Perspektif_1 - Universitas Hasanuddin

advertisement
1
PERUBAHAN SOSIAL BUKAN MITOS
Oleh
Dwia Aries Tina
Ketika sekelompok orang tua yang menghabiskan masa sekolah dasar dan
menengah mereka di tahun 1940-an bereuni dengan kolektifitasnya semasa kecil dan
remaja, maka dengan gembira kadang bercampur duka mereka bercerita tentang
masa lalu. Dengan empati yang dalam mereka masuk ke dimensi waktu yang telah
lewat, yakni ketika susahnya mereka berperang melawan lapar karena krisis pangan
di masa revolusi kemerdekaan, susahnya memperjuangkan diri untuk tetap
bersekolah karena daya tampung sekolah dan guru yang tidak sebanding dengan
minat, susahnya melakukan komunikasi dengan para kerabat karena belum ada alat
komunikasi berbasis IT seperti era kini, dan masih banyak aspek kehidupan lainnya
dalam ranah teknologi, ekonomi, politik, soial dan budaya.
Nostalgia kemudian menjadi diskusi bertema komparasi oleh para sesepuh
yang masih tersisa kemampuan untuk menganalisa situasi. Temanya adalah
membandingkan berbagai perubahan-perubahan yang terjadi. Antara lain perubahan
interaksi masyarakat dan pola perilaku ‘doloe’ dan kini, perubahan sarana dan
prasarana yang semula manual mengandalkan tenaga manusia dan era kini yang
mengandalkan pada mesin dengan memanfaatkan energi alam dan buatan,
perubahan tata kelola Negara dari era koloni, ke era kemerdekaan dengan tetap
berwarna koloni namun berbaju demokrasi yang dalam bahasa kritisnya disebut
sebagai era Neokolonialisme, perubahan lingkungan fisik yang dalam perspektif
mereka menjadi lingkungan yang tidak lagi natural, harmoni dan adaptif bagi
masyarakat manusia, dan perubahan teknologi yang sangat kompleks yang memberi
kontribusi untuk kompleksitas aktifitas manusia.
Fenomena ini hanyalah sekelumit gambaran bahwa manusia dan isi alam ini
adalah kesatuan dalam berjalan mengikuti ruang dan waktu. Manusia
bisa
menjelaskan, merasakan, dan memahami bahwa perubahan itu adalah sesuatu yang
ada (real), kadang normal (intended change) dan menyimpang (unintended change)
dan berlanjut baik secara perlahan (evolutif) dan seketika (revolutif). Berdasar kategori
dimensi wujud kita bisa membedakan dua bentuk perubahan, yakni perubahan social
dan perubahan non social. Khusus dalam tulisan ini kita akan focus dalam content
perubahan
sosial, walaupun sebenarnya keduanya berada dalam serat-serat
kehidupan yang tak terpisahkan.
Dalam disiplin Sosiologi, perubahan social menjadi isu yang banyak dibahas.
Auguste Comte (1758-1857) yang dikenal sebagai bapak Sosiologi-, mengawali disiplin
sosiologi dengan premis utamanya tentang dinamika secara evolusioner masyarakat
2
manusia yang semula primitive menuju suatu peradaban baru dengan karakter tiga
tahapan, yakni tahap teologis, metafisik, dan tahapan positivistik. Setiap tahapan
yang dilewati masyarakat manusia ditandai dengan karakter organisasi social dan
peradaban yang spesifik, sehingga perubahan dari satu tahapan menuju tahapan
yang lain menjadi perubahan yang tidak hanya menyangkut tentang struktur social
namun juga dengan pola interaksi social yang terbangun. Dengan kata lain, Comte
menekankan tentang perubahan social sebagai suatu proses perubahan kemajuan
yang linier hasil sejalan dengan perubahan peningkatan tahapan intelegensi manusia.
Para sosiolog yang sejalan dengan pandangan Comte dalam melihat fenomena
perubahan social dikenal sebagai aliran evolusionis, yang mengemuka diantaranya
adalah Herbert Spencer (1820-1903), dan Emile Durkheim (1855-1917).
Berbeda dengan
perspektif evolusionis, Pitirim Sorokin (1937)
melihat
perubahan social bukan sebagai suatu tahap sejarah kemajuan yang linier dengan
satu arah menuju kemajuan. Tampil dengan presmis yang berbeda, menurut Sorokin
bahwa perubahan social merupakan tahapan yang memperlihatkan beberapa unsur
yang kembali terulang. Sorokin sangat dipengaruhi oleh pandangan Yunani kuno dari
Aristoteles bahwa “ Sesuatu yang telah ada adalah sesuatu yang akan ada; sesuatu
yang telah dilakukan adalah sesuatu yang akan dilakukan; dan tak ada sesuatu yang
baru di dunia ini” (Sztompka; 168). Jauh sebelum Sorokin, di abad pertengahan
seorang cendekiawan muslim, Ibn Khaldun (1332-1406) sudah menjelaskan tentang
perubahan social yang berpola seperti keteraturan lingkaran, yang kemudian
mengilhami Sorokin dan beberapa sosiolog sebelum Sorokin yakni antara antara lain
Vilfredo Pareto (1848-1923) dan Arnold Toynbee (1989-1975) yang telah menganalisa
sejarah peradaban besar, yakni Mesir, Babilonia, China, Hindu, Persia, Yunani,
Yahudi, Romawi, Arab dan Eropa. Pandangan mereka tentang perubahan social
dikenali sebagai aliran siklus. Pareto menyimpulkan bahwa perubahan social sebagai
perkembangan dalam system social melalui proses yang melingkar dengan
menekankan peranan kelompok elite sebagai factor penentu kecenderungan.
Dalam ulasan common sense perubahan social sering dihubungkan dengan
mitos dan peyimpangan. Perspektif ilmiah tentu saja menolak ulasan ini dengan
gagasan bahwa perubahan social adalah hal yang normal dan diperlukan untuk
menjaga keseimbangan (equilibrium) didalam kehidupan bermasyarakat. Aliran siklus
bahkan menekankan bahwa perubahan social merupakan suatu sejarah produk dan
hasil tindakan manusia, jadi jelas dan nyata sebagaimana tindakan itu sendiri.
Kita bisa memahami mengapa orang sering melihat perubahan social sebagai
suatu mitos, karena memang variasi perubahan social sangat kompleks dan
komprehensif. Ketika membahas periode masa yang lalu, berhubungan dengan
sejarah, maka mitos menjadi sulit terhindarkan. Seperti misalnya pandangan bahwa
leluhur manusia Bugis Makassar adalah berasal seorang dewa dari istana Boting
Langiq (kerajaan dewa di atas langit) dan dewi dari kerajaan Buriq Liu (dasar laut)
yang kemudian bersatu melahirkan turun temurunnya yang meramaikan bumi ini.
3
Ini adalah mitos yang bagi sebagian orang Bugis dipandang sebagai peristiwa sejarah
yang benar-benar pernah terjadi (Salim, 2003 dalam La Galigo Menelusuri Jejak
Warisan Sastra Dunia), sebagaimana telah terangkum dalam epos besar kitab sastra
La Galigo.
Bagaimana kita bisa membahas perubahan social terlepas dari mitos? Wilbert
Moore karenanya telah membatasi bahwa perubahan social adalah sebatas
perubahan penting dalam pola perilaku dan interaksi social. Robert H Lauer (1989)
lebih
membantu kita memahami perubahan social, yang menurutnya bahwa
perubahan social bisa terjadi pada berbagai tingkatan, mulai tingkatan individu,
kelompok, Negara dan dunia. Adalah pilihan bagi masing-masing untuk menentukan
pada tingkatan mana yang menjadi focus pembahasan ketika menganalisis
perubahan social.
Sumber Bacaan
Johnson, Doyle Paul. Di Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, 1988. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia
Lauer, Robert H. 1989. Perspektf Tentang Perubahan Sosial (Terjemahan). Jakarta;
Bina Aksara.
Salim, Muhammad. 2003. “Ibuku Magali-Gali, maka Aku Dinamai La Galigo” dalam La
Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Universitas Hasanuddin: Pusat
Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian.
Sztompka, Piötr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial (terjemahan). Jakarta (2004):
Prenada
Download