Mendekonstruksi Mitos – Mitos Masa Kini (ELEARNING) Mitos dan Dekonstruksi Roland Barthes dalam bukunya Mythologies, mengemukakan dua pemikiran pokok : Melakukan kritik ideologi atas bahasa budaya massa Melakukan pembongkaran semiologis atas Bahasa tersebut untuk memahami dasar pemaknaan yang sudah “mengakar” atas fenomena budaya Perancis. Teori tentang mitos diterangkan melalui konotasi, yakni pengembangan segi signifie (petanda, “makna”) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, itu akan menjadi mitos. Ketika mitos menjadi mantap, itu akan menjadi ideologi. Jadi banyak fenomena budaya dimaknai dengan konotasi. Jika menjadi mantap, makna fenomena itu menjadi mitos dan kemudian ideologi. Dekonstruksi merupakan konsep Jaques Derrida, dalam bukunya De la grammatologie I dan II. Teori dekonstruksi merupakan kritik terhadap Ferdinand de Saussure. Bagi Derrida, teori tentang tanda dari Saussure bersifat statis, yakni melihat tanda sebagai hubungan antara significant (penanda, “bentuk”) dan signifie (petanda, “makna”). Makna tanda didasari oleh perbedaan semiologis. Dalam kenyataannya, hubungan signifiant dan signifie dinamis. Hubungannya sering “ditunda” dan diberi makna baru. Argumen ini diperkuat dengan konteks Bahasa perancis, kata differer tidak hanya berarti “berbeda”, tetapi juga “menunda”. Hubungan antara penanda dan petanda, antara bentuk dan makna bersifat dinamis. Makna tidak sekedar diperoleh dari “perbedaan”, tetapi juga “penundaan” semiologis. Oleh karena itu, Derrida mengetengahkan istilah differance (mengganti hurud e dengan huruf a), yang mencakup makna “berbeda” dan “menunda” sekaligus. Beberapa Fenomena Budaya : Pendekatan Barthes dan Derrida 1. Gotong – royong : Merupakan tradisi bertahun – tahun Denotasi ; bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial. Misal ; membangun masid, pembuatan jalan desa, pemadaman kebakaran. Konotasi : kewajiban membantu tetangga yang sedang kesusahan. Konotasi kedua, Kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa. Jika menggunakan teori dekonstruksi, maka akan kita lihat penundaan relasi antara gotong – royong sebagai significant dan makna denotatifnya sebagai signifie. Penundaan itu memberi kesempatan bagi para pengguna kata gotong – royong untuk memberi makna (konotasi) sesuai dengan pengalaman masing – masing. Gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”. Kita melihat di desa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka yang tidak dapat ikut bergotong-royong. Gotong-royong, tidak jarang dimaknai sebagai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat pengucilan dan hukuman. 2. Bangsa yang ramah – tamah Tradisi lisan mengenal kata ramah – tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa kita mitos. Setelah reformasi, mitos ini luntur. Tawuran sudah menjadi bagian dari tradisi lisan baru (bentrokan SARA). Mitos bangsa yang ramah – tamah sedang berproses menjadi mitos bangsa yang suka berkelahi. Perkembangan budaya masyarakat memperlihatkan in-groupness menjadi menonjol. 3. Aja Dumeh “jangan mentang – mentang” (aja dumeh), tradisi lisan yang berkembang. Denotatif ; jangan mentang – mentang, jangan sombong Sudah menjadi mitos, karena sudah dipandang sebagai cara yang baik dalam masyarakat. Mitos ini mengalami perubahan di kalangan tertentu. Misal – eksekutif muda / yuppies memaknainya ; harus berani menonjolkan kemampuan diri dan harus memiliki kebanggaan akan diri sendiri. Bagi yang memegang mitos “lama” aja dumeh, mitos di kalangan eksekutif muda sebagai sesuatu yang buruk. Generasi baru di kota dan kalangan bisnis, sedang mendekonstruksi aja dumeh yang memberi makna “tidak boleh maju” dan “tidak boleh menonjolkan diri”. Ini menyebabkan aja dumeh menjadi tidak berterima, karena menghambat kemajuan dalam masyarakat perkotaan 4. Reformasi dan civil society Reformasi, tradisi lisan baru. Makna denotasi ; perubahan radikal) untuk perbaikan di bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat / negara. Reformasi menjadi bagian tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan hidup masyarakat Indonesia. Reformasi dewasa ini, memperolah konotasi “tindakan mengutuk orde baru”, pergantian kekuasaan, perubahan kebijakan, boleh berbuat sesukanya. Boleh mengkritik pemerintah, aparat, atasan serta melakukan pembalasan terhadap pejabat dari jaman Orba. Reformasi seringkali berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konoatif “kebebasan” dan keberanian melawan kekuasaan”. Kata ini sering berpasangan dengan civil society = masyarakat yang tidak dikuasai militer, masyarakat yang dikuasai oleh sipil. Sipil menguasai militer dan militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan pemerintah sipil. Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna “perbaikan” dan “sama rasa sama rata” serta “kepatuhan terhadap etika dan hukum” dapat menggantikan mitos buruk yang berkembang dari konotasi salah kaparah itu. 5. Mahasiswa Kekuatan Moral dan Harapan Bangsa Hal tersebut menjadi mitos. Mitos tersebut terancam pudar Alasannya banyak perilaku mahasiswa yang berubah dan sering terbawa oleh arus permainan politik, narkoba atau tawuran Makna mitis ‘generasi penerus dan calon pemimpin’, sedang terancam berubah menjadi ‘lost generation’ yang tidak lagi punya kekuatan moral. Beragam peristiwa yang memberikan citra buruk pada mahasiswa, dapat membuat kita mendekonstruksi mitos yang bertahun hidup di masyarakat. TUGAS Carilah video klip berdurasi maksimal 30 menit (video inspiratif, iklan, dlsb) Analisislah berdasarkan salah satu pendekatan ini : Barthes, Sassure atau Pierce Sistematikan penulisan : 1. Tulis pengantar / deskripsikan video tersebut 2. Masalah apa yang akan diangkat 3. Analisislah berdasarkan salah satu pemikiran tokoh tsb 4. Tulisan berbentuk argumentatif / essay Lanjutan Teknis Penulisan : 1. Font TNR 12, margin 3, spasi 1,5 2. Ditulis maksimal 5 halaman 3. Pakailah sub –sub judul (seperti contoh pada penulisan opini di kompas) 4. Pertajam di bagian analisis 5. Pengumpulan paling lambat saat ujian akhir.