Y GPB Suka Arjawa PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT buku arti Arti Foundation PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT ©GPB Suka Arjawa Penerbit : Buku Arti e-mail : [email protected] Pracetak : Nyoman Krining Sampul Ketut Pangus Cetakan pertama, Mei 2015 Diterbitkan berkat bantuan program Widya Pataka Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali ISBN: 978-979-1145-90-9 Daftar Isi Ucapan Terima Kasih v Pengantar Pemilihan Presiden di Tengah Perubahan Sosial ix PRESIDEN Presiden Itu Harus Diatur Juga 3 Faktor Perpecahan Dalam Pemilihan Calon Presiden 6 Menyikapi Calon Presiden Dari Istri Pejabat Negara 10 Lepaskan ”Set Kedua”, Kosentrasi Pada Set Berikut! 14 Baik Buruk Calon Presiden yang Berani Tampil Lebih Dulu 18 Kelemahan Popularitas Calon Presiden Indonesia 22 Realitas Televisi Dalam Perebutan Presiden Indonesia 26 Presiden Dalam Mata “Pancingan’ Relawan 30 Saling Membagi Informasi Untuk Memajukan Indonesia 34 Citra Dalam Pelantikan Presiden Indonesia 38 Mewujudkan Quick Wins Dalam Pemerintahan Indonesia Baru 41 Melihat Jokowi Menjalankan Pemerintahan Tanpa “Politik” 44 Menghargai Presiden Memilih Anggota Kabinet 47 Memberikan Kesempatan Kabinet untuk Bekerja, Bekerja dan Bekerja 50 Membangun Masyarakat Dewasa dan Berkesadaran 53 GPB Suka Arjawa iii PARTAI-PARTAI “Partai Pemulung” 59 Ngaku Kalah Atau Sekedar Strategi? 62 Mengatasi Sanksi Sosial Terhadap Partai Demokrat 65 Kesediaan Berkorban dan Mengalah Dari Partai Politik 69 Penyebaran Inspirasi Dari Gabungan Partai Politik 73 Sisi Lain Konflik Internal Partai Demokrat 77 Hindari Jadi Parpol Pahlawan ”Kepagian” 81 Zigzag Politik Golkar dan Potensi Poros Ketiga 85 Menyaksikan Babak Lanjutan Dinamika Partai Golkar 89 Membuang Kesempatan Memperbaiki Citra 93 Dinamika Golkar Dalam Politik Indonesia 96 Menerawang Masa Depan Golkar Pasca Munas Bali 100 Menunggu Respon Politik Dari Konstituens Golkar 103 Di Balik Sikap Bolak-balik Pemilihan Kepala Daerah 107 Agar Partai Tak Hancur dan Kekuasaan Tak Melayang 111 MASYARAKAT Menyindir Aparat Lewat Sandal Jepit 117 Minoritas, Dilema Demokrasi, dan Rhoma Irama 121 Elite Politik Seharusnya Mampu Menjadi Promotor 125 Korupsi dan Kekuatan Modal Sosial 129 Strategi untuk Memaksimalkan Bantuan Langsung Tunai 133 Hubungan Perusahan-Buruh Menjadi Tantangan Pemerintah 137 Sikap Kepada Perempuan: Tradisionalis di Tengah “Modernisasi” 141 Jika Ratu Adil Bertemu Ratu Adil Dalam Pemilu 145 Melindungi Rakyat Dari Pembohongan Politik 149 Berbagai Persoalan Menghadang Bonus Demografi 153 Potensi Perubahan Sosial Jika Kewenangan Pemilihan di DPRD 157 Kemandirian Beras, Blusukan, dan Undang-Undang Desa 161 iv PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT RAKYAT DAN WAKILNYA Politisi Muda Cerdas, Bukan yang Perlihatkan Otot Lengan 167 Mencari Sosok Anggota Legislatif Berwawasan Luas 171 Kesempatan untuk Memperbaiki Kualitas Caleg 175 Waspada Memilih Politisi di Tengah Perubahan Sosial 179 Peran dan Makna Keterlibatan Politisi di Masyarakat 183 Persiapan Menghadapi Kenyataan Usai Pemilu 187 Masyarakat Kerja Keras Mengawal Perda RTRW 191 Daerah Tingkat II, Kebijakan Otonomi Paling Ideal 195 Memanfaatkan Sisa Waktu Secara Maksimal 199 Pilihan Senator Cermin Sikap Politik Masyarakat 203 Tanda-Tanda Kebingungan dan Kegagalan Reformasi Indonesia 207 Negara Lain Memutari Mars, Politisi Indonesia Berputar-Putar 211 Kegaduhan dan Kekonyolan Penampilan Awal Anggota DPR 215 Tentang Penulis 219 GPB Suka Arjawa v Ucapan Terima Kasih B uku ini disusun berdasarkan tulisan yang telah diuat di harian Balipost pada penerbitan periode 2004 sampai dengan 2014. Sebagai penulis, saya sudah menulis cukup banyak artikel, baik dengan nama sendiri maupun nama samaran di harian ini. Saya berterma kasih kepada harian ini yang telah menerbitkan tulisan saya sejak dekade sembilanpuluhan, malah sejak akhir dekade delapan puluhan. Pada awalnya tulisan tersebut berkisar pada masalahmasalah internasional, sesuai studi yang saya tempuh. Akan tetapi, mulai akhir dekade sembilanpuluhan, tulisan ini berkisar pada politik domestik dan persoalan-persoalan sosial domestik yang sedang hangat pada waktu itu. Tulisan yang dibuat sebagian besar merupakan analisis dan respon keadaan politik dan sosial yang sedang hangat, baik internasional maupun nasional, sehingga dapat dikatakan tulisan ini mengaca kepada situasi hangat pada waktu tersebut. Dalama buku yang merupakan kumpulan tulisan ini, dipilih tiga kelompok tulisan yang masing-masing mengacu kepada tema presiden dengan segala persoalan yang terjadi dan dihadapi, persoalan partai politik dan terakhir adalah kemasyarakatan. Dalam hal kemasyarakatan, digabungkan dengan tulisan tentang Dewan Perwakilan Rakyat, sebab bagaimamanapun parlemen merupakan wakil rakyat dengan berbagai dinamika yang ada di sekitarnya. Kita perlu menyoroti hal kepresidenan karena posisi ini menjadi politik tinggi dan besar di Indonesia. Posisi presiden menjadi rebutan elit Indonesia, bukan saja elit politik tetapi juga elit ekonomi dan budaya. Posisi tersebut memungkinkan bagi elit politik, ekonomi, GPB Suka Arjawa vii budaya, saling berebutan. Rakyat yang memahami persoalan ini, menjadi tersenyum, bahkan tertawa karena seolah mereka hanya merebut posisi presiden saja tetapi setelah memegang posisi tidak mampu menjalankannya dengan baik. Menjadi bulan-bulanan lawan politik dan massa karena kebanyakan para “perebut” itu hanya melihat hal kepresidenannya saja tanpa berupaya melihat bagaimana rasa dan tugas menjalankan hal ikhwal tentang kepresidenan. Sedangkan partai politik perlu dikedepankan karena bukan saja menjadi aktor tetapi juga agen dalam sistem politik suatu negara. Sudah jelas juga Indonesia. Partai politik memegang peran penting sebagai jembatan kepentingan antara rakyat dengan pemerintah dan negara dalam mencapai kesejahteraan. Di organisasi ini pula para aktor politik digodog sebelum ia menjadi tokoh legislatif atau eksekutif. Bahkan sampai sekarang konstitusi Indonesia masih mengharuskan calon presiden dicalonkan oleh partai politik. Tentang partai politik di Indonesia, dinamikanya sungguh menarik. Ia tidak hanya menjadi lokasi bagi pemegang keputusan politik untuk beraktivitas, akan tetapi dapat juga menjadi ajang untuk melepaskan diri dari bayangbayang masa lalu. Misalnya seorang pengangguran tiba-tiba saja mendapatkan keberadaannya di partai politik dan kemudian justru menjadi kunci dalam sikap politik partai tersebut. Partai dengan demikian boleh dikatakan mampu membelokkan karir seseorang. Organisasi ini jelas mempunyai peran untuk mencari kekuasan dan pengaruh, dan selanjutnya apabila berhasil menduduki posisi politik, juga dapat memeperbaiki kondisi ekonomi seseorang. Maka, tidak heran kemudian posisi-posisi struktural pada partai politik menjadi rebutan, yang ujung-ujungnya dapat membuat konflik internal partai. Selanjutnya, perjalanan pemerintah maupun kenegaraan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Harus diakui, setelah reformasi dan kebebasan berekspresi diberlakukan di Indonesia, dipadu dengan kemajuan teknologi komunikasi, membuat keterlibatan masyarakat Indonesia sebagai partisipan politik, menjadi tinggi. Ada banyak pendapat, ide, usul sampai protes yang muncul dan diutarakan secara langsung masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, kepada viii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT pemerintah. Bagaimanapun hal ini merupakan subangan positif. Dalam konteks realitas politik, boleh dikatakan partisipasi politik masyarakat ini adalah dalam bentuk informal, yang disuarakan tidak melalui cara formal di lembaga pemerintahan. Meski demikian, partisipasi seperti ini penting dan bahkan menjadi tontonan bagi masyarakat. Kritikan dan usulan melalui radio atau televisi, tentu saja dapat disaksikan secara langsung oleh banyak masyarakat Indonesia. Sebaliknya, apabila kita melihat salah satu peran dari anggota DPR (D), tidak lain mereka adalah wakil-wakil rakyat yang melakukan partisipasi politik secara formal di gedung parlemen. Para anggota legislatif ini membawa aspirasi politik dari masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat konstituensnya. Melalui perwakilan di DPR (D) inilah masyarakat akan memberikan masukan atau tuntutan yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan mereka. Dengan alasan-alasan seperti itulah, maka tiga tema tersebut, yakni kepresidenan, kepartaipolitikan, dan kemasyarakatan penting untuk dilihat, dibaca kembali dan sudah tentu direnungkan bagaimana komentar yang harus diberikan di kemudian hari. Tentu maksudnya perkembangan pemikiran, ide dan sikap kritis di masa mendatang. Berdasarkan tulisan tersebut dapat dibuat pikiran baru terhadap tiga tema diatas. Sebagai tambahan, saya mencoba memberikan berbagai pendapat di bagian pendahuluan pada buku ini. Saya lebih banyak mengupas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepresidenan karena sebagai negara berkembang dan menganut budaya paternalistik, hal kepresidenanlah yang akan lebih banyak menentukan arah negara di masa depan. Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas diterbitkannya buku yang memuat kumpulan tulisan ini. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemda Bali yang telah memberikan pembiayaan atas penerbitan buku ini. Selanjutnya tidak dapat dilepaskan peran sahabat Gung Mas Ruscitadewi yang telah memfasilitasi terbitnya tulisan ini. Jelas saya mengucapkan terima kasih kepada pihak Bali Post yang telah menerbitkan tulisan-tulisan penulis. Kepada Aryantha Soethama saya juga mengucapkan terima kasih atas penerbitan dan koreksi dari tulisan di buku ini. Tentu saja tiada gading yang tidak retak. Penulis memohon GPB Suka Arjawa ix maaf apabila di dalam tulisan-tulisan ini masih banyak kekurangan. Pencantuman tanggal pemuatan di Harian Balipost, kemungkinan tidak semuanya tepat karena data yang tercatat pada komputer berpotensi berbeda dengan tanggal pemuatan di koran. Akhrinya saya persembahkan buku ini untuk anggota “pasukan khusus” di keluarga kami, Ibun, Ageks dan Abetzs. Terima kasih untuk semuanya. GPB Suka Arjawa x PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Pengantar Pemilihan Presiden di Tengah Perubahan Sosial P osisi presiden seolah-olah menjadi lokus paling diincar oleh para pejabat atau politisi di berbagai negara. Akan tetapi, kalau dilihat secara seksama, pengaruh seorang presiden tentu saja tetap terbatas. Misalnya dilakukan dengan undang-undang dan konstistusi negara. Malah sejarah India memperlihatkan bahwa orang paling berpengaruh pada masyarakat bukanlah presiden tetapi tokoh kharismatis. Mahatma Gandhi selalu dihubung-hubungkan dengan kemerdekaan negara itu dari Inggris dan selalu pula dikaitkan dengan gerakan satyagraha, perlawanan tanpa kekerasannya yang termasyur itu. Di Iran, tokoh paling berpengaruh bukanlah presiden, tetapi pemimpin agama Islam, yang disebut dengan Ayatollah. Negara-negara seperti Amerika Serikat atau Filipina, menempatkan presiden sebagai pemimpin politik, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan. Secara sosiologis, di jaman reformasi ini hubungan antara rakyat dengan presiden sangat dekat. Di jaman Orde Baru, hubungan tersebut “disambungkan” oleh lembaga perwakilan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga inilah yang pada waktu itu secara konstitusional diberikan mandat untuk memilih presiden. Suara rakyat yang jumlahnya ratusan ribu itu, disalurkan oleh satu orang wakilnya di MPR untuk memilih presiden. Akibatnya, ada keterputusan antara apa yang dirasakan oleh rakyat dengan pilihan GPB Suka Arjawa xi yang dijatuhkan oleh anggota MPR. Akan tetapi, karena sudah ketentuan seperti demikian, rakyat tidak dapat berbuat banyak. Sistem politik sudah memungkinkan jalannya pemilihan seperti itu. Ketika kemudian politik berganti, dengan adanya reformasi yang diperjuangkan rakyat (dipelopori mahasiswa) tahun 1998, suasanya sangat berubah. Keterikatan antara rakyat dengan presiden boleh dikatakan dekat. Kedekatan ini terlihat karena rakyat secara langsung memilih presiden tanpa harus melalui perantara lembaga. Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih presiden sudah pupus dan kemudian digantikannya secara langsung. Ini merupakan perubahan sosiologis sangat penting bagi sistem kenegaraan Indonesia. Adanya pilihan seperti ini perlu dijelaskan secara sosiologis karena bagaimanapun wujud politik itu, pada akhirnya akan menukik menuju masyarakat. Manfaat dari perubahan cara memilih presiden itu langsung dapat diterjemahkan oleh masyarakat. Dengan adanya perubahan seperti itu, maka secara sosiologis dapat dijelaskan beberapa hal. Yang pertama, dari sisi perubahan sosial. Yang dimaksudkan perubahan sosial disini adalah adanya perbedaan pola kedekatan masyarakat melalui cara memilih pemimpin tertinggi di suatu negara. Perbedaan yang jelas sekali kelihatan antara apa yang terjadi di masa lalu dengan masa sekarang. Perbedaan cara memilih itu, pasti memberikan orientasi rasionalitas kepada masyarakat. Apabila di masa lalu, masyarakat lapisan bawah tidak peduli dengan apa yang terjadi di tingkat politik atas, kini sebaliknya. Perubahan itu cukup tajam. Dengan sistem pemilihan secara langsung terhadap presiden tersebut, rakyat paling bawah pun, yang mempunyai pendidikan paling minimal (bahkan tidak berpendidikan) harus menggunakan keintelektualannya untuk melakukan pilihan. Secara sosiologis, dalam konteks teori pilihan rasional, masyarakat akan “dipaksa” menggunakan kemampuan kognisinya untuk melakukan pilihan tersebut, betapapaun minimalnya kemapuan kognisi tersebut. Seminim-minimnya kemampuan kognitif, tetap memberikan sumbangan positif apabila dikembangkan. Di tengah berbagai informasi yang kini menjadi pilihan sosial, masyarakat akan mencoba mendengarkan informasi tentang presiden atau kandidat presiden. Atau paling kurang, mereka xii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT akan bertanya dengan rekan-rekannya, dengan kualitas pertanyaan yang berbeda. Jika dulu mereka bertanya, dengan kalimat awal “siapa” kini, adalah “bagaimana”. Artinya terkesaan di masa lalu, di jaman Orde Baru, presiden itu sudah dipatok dengan calon yang sudah ada. Kini dengan pertanyaan “bagaimana”, mereka tertantang untuk mengetahui gambaran-gambaran calon presiden yang ditampilkan oleh partai politik. Perubahan sosial tidak hanya menyangkut masalah kualitas pemilihan lewat upaya-upaya rasionalitas tersebut, tetapi juga tentang keberanian masyarakat dalam melakukan sikap kritis secara langsung. Ini merupakan perubahan tidak saja pada sikap sosial tetapi juga perubahan dalam budaya politik. Ada beberapa budaya politik yang tercatat di masyarakat. Di masa lalu, orientasi politik masyarakat lebih banyak diam dan menyerahkan semua persoalan politiknya kepada elit. Akan tetapi dengan adanya sistem presiden yang dipilih secara langsung, maka orientasinya untuk terlibat di dalam sistem politik juga secara langsung, dan subyektif. Artinya, masyarakatlah yang akan melakukan penilaian dan memilih presiden berdasarkan persepsinya mandiri. Dalam bilik pemilihan, ia akan mencoblos sesuai dengan persepsinya sendiri terhadap calon-calon yang sudah ada. Tentu juga perubahan sosial tersebut menyangkut peran wanita. Dalam mengemukanan pendapat, kaum perempuan di Indonesia sudah ikut terlibat lebih besar. Ini tidak lain merupakan hasil dari sosialisasi politik kepeda perempuan, dimana yang dimaksudkan disini adalah proses penanaman nilai-nilai dan pembentukan sikap politik dan pola tingkah laku politik wanita (Siagian, 1996: 228) Setelah pemilihan langsung presiden dilakukan di Indonesia, cara paling bagus untuk melihat kualitas presiden adalah seperti apa yang diperlihatkan pada tahun 2014. Masing-masing kandidat dihadapkan kepada panelis yang kemudian mengajukan beragam pertanyaan kepada calon. Ini jelas merupakan perubahan orientasi dibanding dengan cara-cara yang dipakai sebelumnya, dan disiarkan secara nasional melalui televisi. Disini, yang muncul bukan saja upaya untuk mengeluarkan pengetahuan sang kandidat tetapi juga keserempakan sikap dan pikiran pada tingkat sosial. Keserempakan sikap ini berupa kesadaran dari masyarakat untuk melihat secara GPB Suka Arjawa xiii langsung perdebatan dan penampilan kandidat di televisi, tetapi juga secara bersamaan muncul upaya maksimal dari panelis untuk mengeluarkan kemampuan bertanya, menggali potensi-potensi, kelebihan dan kekurangan kandidat. Pada saat yang sama juga muncul ke permukaan bagaimana hal ikhwal kualitas dari kandidat presiden mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ini merupakan upaya yang luar biasa dari sistem demokrasi yang muncul dengan menghadirkan calon presiden yang mampu mendorong keserempakan semua pihak tersebut. Sikap masyarakat untuk “sengaja” duduk di depan televisi (atau mungkin datang langsung ke studio), merupakan upaya kognitif, subyektifikasi agar betul-betul mengetahui kemampuan kandidat presiden. Rakyat akan menilainya dan kemudian, dengan cara seperti itu mereka mampu menangkap pemahaman-pemahaman sendiri orientasi dan kecerdasan dari sang kandidat. Malah, di desa-desa rakyat tidak sekedar menonton di televisi, akan tetapi secara langsung juga melakukan diskusi dengan rekan-rekan tentang pendapat, kelebihan dan kekurangan dari calon presiden ini. Sikap dan tindakan ini dimungkinkana begitu karena di desa, nonton bersama televisi itu masih terjadi. Secara langsung, akan muncul dialektika, pendapat baru dan pikiran baru terhadap calon presiden yang ada. Ini merupakan pengayaan. Jadi, budaya politik masyarakat akan menuju pada sikap subyektif. Cara seperti ini akan menghasilkan pilihan lebih cerdas dan rasional karena mereka memilih bukan hasil petunjuk dari orang lain, atau atas dasar indoktrinasi pihak lain, tetapi merupakan pilihan berdasarkan olah pikir secara mandiri. Masyarakat yang mampu melakukan olah pikir sendiri dan membuat keputusan politik sendiri, merupakan cikal bakal kecerdasan politik. Dan kecerdasan berpolitik merupakan syarat utama dari sebuah demokrasi. Panelis jelas dipilih orang-orang yang cerdas dan dipandang mampu menggali pertanyaan-pertanyaan untuk kandidat. Alur yang lebih penting kemudian adalah bagaimana sang kandidat memberikan jawaban yang merupakan hasil olah otak dari kandidat bersangkutan. Televisi merupakan sebuah panggung publik dengan jangkauan lebih luas. Tetapi studio televisi mempunyai xiv PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tantangan lebih besar. Kesalahan kandidat politik yang berjuang memperebutkan posisi eksekutif (atau posisi jabatan apapun), terlihat pada melihat panggung itu sekdar di selingkaran studio televisi saja. Padahal, jangkauan televisi jauh lebih luas. Karena itulah kemudian sikap dan penampilan kandidat di televisi ini sangat berpengaruh. Mereka harus mampu menjawab pertanyaan demi memuaskan semua penonton televisi, bukan hanya mereka-mereka yang ada di studio saja. Kesiapan inilah yang sering kali mempengaruhi hasil dari penampilan televisi dari kandidat politik, maupun presiden dalam berpenampilan di televisi. Konon hal inidapat dimanfaatkan dengan baik ketika John F. Kennedy bertarung dengan Richard Nixon dalam perdebatan di televisi. Kenndy bertarung memakai baju jas yang warnanya tegas hitam sehingga penonton dapat menafsirkan ketegasananya. Sedangkan Nixon memakai jas abu-abu sehingga tidak dapat dipersepsikan tegas. Pada kampanye presiden Indonesia tahun 2014, teknik ini sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan berlangsung dengan baik. Jika dicari kekurangannya, maka di tengah arus informasi yang demikian leluasa sekarang, dengan teknologinya yang sudah ada, maka ketidakterlibatan penelepon langsung itulah yang menjadi kekurangannya. Seharusnya diberikan kesempatan masyarakat bertanya secara langsung, di luar panelis yang sudah ada, kepada presiden. Sekali lagi, cara ini juga menambah satu keserempakan yang ada, yaitu sikap serempak masyarakat yang tidak hanya menonton televisi tetapi juga mempunyai niat dan tindakan untuk menanyakan secara langsung kepada calon presiden secara langsung. Ini sekaligus akan dapat dipakai untuk mengetahui sejauh mana posisi kecerdasan sosial masyarakat, terutama pada bidang politik. Akan bisa dilihat kualitas pertanyaannya melalui telepon, caranya menempatkan substansi pertanyaan serta susunan kalimatnya ketika bertanya. Hal ini dimungkinkan karena telepon seluler kini sudah ada dimana-mana. Dan dapat juga dilihat kalangan penanya secara langsung tersebut dari struktur sosial. Misalnya, tua, muda, pelajar, mahasiswa,, kaya, miskin dan seterusnya. Akan memberikan sumbangan penting dalam konteks keintelektualan dari masyarakat Indoensia. GPB Suka Arjawa xv Perubahan orientasi masyarakat menjadi pekerjaan penting bagi politisi dan pembuat kebijakan Indonesia, terutama saat pemilihan presiden. Pada kondisi ini, masyarakat akan dapat bersikap secara langsung terhadap kepemilihan presiden. Secara tidak langsung akan mampu memberikan pendidikan politik dan latihan berpolitik. Sasarannya adalah bahwa di masa depan, sikap politik masyarakat ini tidak dilakukan secara serampangan dan kekerasan tetapi sopan dan santun dengan cara berbicara yang bagus dan runut. Dalam level negara, hal ini akan memerlukan waktu yang lama. Akan tetapi harus dilakukan demi pendidikan politik tersebut. Ditambah dengan contoh-contoh yang dilakukan oleh elit masyarakat, apalagi oleh elit politik, maka keinginan untuk mendapatkan masyarakat yang santun dalam berpolitik akan dapat dipercepat. Bagi Indonesia, kesantunan dan kesopanan politik ini sangat penting. Bukan saja untuk memutus sejarah politik yang terkesan tidak santun sejak tahun 1965, akan tetapi juga demi mendukung kekayaan ragam budaya dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Politik yang tidak santun akan menguras pikiran dan waktu sehingga membuat upaya kosentrasi mengurusi segala kekayaan alam Indonesia, tidak dapat dilakukan. Hasil politik tidak santun adalah konflik dan kecurigaan. Dan output dari konflik tersebut adalah ketidakkosentrasian dan ketidaksadaran akan potensi diri. Itulah yang terjadi di Indonesia sekarang, sehingga membuat segala kekayaan budaya dan alam itu dikuras oleh pihakpihak lain. Atau terkuras oleh monopoli-monopoli tertentu. Komunikasi Politik Akibat adanya sistem yang berbeda dalam pemilihan presiden tersebut, maka faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah pada komunikasi politik. Dalam tataran sistem politik suatu negara, komunikasi politik pada hakekatnya merupakan fungsi input yang menyampaikan informasi-informasi politik (Haryanto:1982:55). Sebagai fungsi input, artinya komunikasi politik ini akan memberikan masukan-masukan politik ke dalam sistem politik yang berlangsung di satu negara. Tetapi harus juga dilihat bahwa komunikasi politik tersebut tidak saja hanya berada pada tataran rakyat, tetapi juga akan berkaitan dengan kelompok-kelompok politik, individual, partai xvi PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT politik, dan pada akhirnya lingkungan politik. Komunikasi politik ini akan berubah sesuai dengan apa yang diperkenalkan dalam model sistem pemilu yang baru. Kajian-kajian di lapangan, komunikasi politik ini meluas, malah ikut memperbarui cara berbicara rakyat di berbagai tempat. Jika di masa lalu, anggota masyarakat ketakuta berbicara di ruang-ruang publik, maka ketika ada perubahan orientasi seperti setelah refromasi ini, pembicaraan tersebut menjadi jelas, berani dan terkadang terasa berlebihan. Komunikasi politik hematnya dapat dibagi menjadi beberapa hal. Sebagai sebuah tindakan mengungkap ujaran, komunikasi politik itu dapat dimaknai sebagai cara berbicara, mengemukakan pendapat kepada siapapun dari sesorang atau kelompok, atau organisasi yang memuat tentang pesan-pesan politik. Pesan-pesan itu dapat berupa upaya mempengaruhi, menambah pengetahuan tentang konsepsi politik, propaganda, sampai dengan hal-hall yang menjatuhkan pihak lain dengan tujuan mendapatpakn power atau kekuasaan. Perubahan sistem pemilihan presiden dari masa Orde Baru yang menyerahkannya kepada wakil rakyat di MPR kepada sistem pemilihan langsung, membuat komunikasi politik pihak-pihak yang ada di sekitar calon presiden juga ikut berubah. Pada masa lalu, di jaman Orde Baru, komunikasi dalam bentuk ujaran politik tersebut bersifat formal, elitis dan periodic pada waktu tertentu. Formal dalam artian, komunikasi yang bersifat politik lebih banyak dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah pada pertemuan-pertmuan khusus. Misalnya partai politik mengadakan pertemuana tertentu yang khusus membicarakan masalah kekuasaan pemerintah. Atau lembaga perguruan tinggi mempermasalahkan pergantian kekuasaan melalui seminar atau diskusi di ruangan kelas. Tidak ada masyarakat yang tertarik melakukan pembicaraan seperti ini di ruangan publik. Dikatakan elit karena yang membicarakan masalah-masalah politik itu adalah para tokoh di pemerintahan. Ini tidak lain disebabkan oleh sistem pada waktu itu yang sangat terkait antara poisis politik dengan struktur di pemerintahan. Seorang pejabat di pemerintah akan menjadi pejabat juga di organisasi Golkar. Inilah yang dimasa lalu dinamakan rekrutmen politik yang tertutup, yakni hanya orangorang tertentu saja dapat diangkat menjadi pejabat pemerintah GPB Suka Arjawa xvii (Romli, 2005: 144). Tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh budaya, para penggerak ekonomi, kelompok orang kaya dan sejenisnya juga mendominasi pembicaraan-pembicaraan politik. Mereka tidak hanya berbicara di lingkungan formal, tetapi terkadang juga membicarakannya di saat upacara adat atau sembahyang. Dengan demikian, sifat politik itu lebih banyak elitis. Pembicaraan politik yang sifatnya nasional, sangat periodik dan pada waktu yang telah ditentukan. Terutama satu tahun menjelang pemilihan umum atau setahun menjelang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, instansi-instansi pemerintah akan ramai-ramai menggelar apa yang dinamakan kebupatan tekad pada waktu itu. Kebulatan tekad ini biasanya pada waktu itu adalah memberikan gelar sebagai Bapak Pembangunan bagi Presiden Soeharto dan ditambahi embel-embel agar Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat memilih kembali Soeharto menjadi presiden. Akan tetapi, setelah adanya pemilihan langsung presiden ini, komunikasi politik dalam bentuk ujaran tersebut, bebas dan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di masa Orde Baru. Pembicaraan soal suksesi kepemimpinan, bahkan tentang penjatuhan presiden, diujarkan oleh masyarakat secara terbuka melalui berbagai macam media. Kelompok-kelompok politik juga bebas mengutarakan calon presidennya dengan berbagai embel-embel. Dan masyarakat umum juga melakukan hal yang sama tanpa ketakutan ditangkap atau dikritik oleh siapapun. Monopoli komunikasi politik tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dan yang paling penting juga adalah keterlibatan perempuan, baik pada bidang politik maupun sebagai partisipan politik. Perkembangan tersebut merupakan perkembangan penting karena mengubah konstelasi sikap kritis sebelumnya yang lebih didominasi kaum lakilaki. Partisipasi ini merupakan bagian dari sikap kritis perempuan, dimana mencoba membongkar segala sesuatu yang memojokkan perempuan (:Fuadi, 2013: 302) Inilah yang bisa dikatakan sebagai bentuk perubahan yang signifikan dalam model komunikasi politik setelah jaman reformasi. Dilihat dari teori perubahan sosial, sesungguhnya fenomena ini memperlihatkan sebagai model perubahan revolusioner dalam xviii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT bidang komunikasi politik. Indikatornya adalah adanya perubahan paling mendasar dan cepat terhadap pola komunikasi tersebut. Hal mendasar terletak pada du ahal, yaitu aktor yang menjadi pembawa komunikasi dan metode komunikasinya. Aktornya tidak lagi dikuasai oleh pemerintah, tetapi khalayak umum, bahkan tanpa memperlihatkan pendidikannya. Mereka dapat mengutarakan apa saja pendapatnya tentang presiden dan calon presiden yang disulkan. Metodenya, tidak lagi terkontrol dengan memakai waktu dan alat tertentu tetapi dilakukan secara mandiri, dengan ujaran mandiri. Soal waktu, kalau dilihat dari kemunculannya, maka model komunikasi politik yang bebas ini tidak hanya tahun 2014 tetapi sesungguhnya telah berakar sejak kejatuhan rejim Orde Baru tahun 1998. Mengacu kepada hasil dari adanya komunikasi politik yang bebas ini, memang tidak dapat dikatakan secara instan sukses. Bahwa sekarang tetap menghasilkan para politisi yang tetap mementingkan dirinya sendiri, presiden yang juga masih belum mampu membuat keputusan yang cepat, ini mungkin bukan merupakan hasil yang baik dari komunikasi politik yang telah dilakukan sejak jauh hari sebelumnya. Akan tetapi, dengan adanya berbagai kebebasan mengeluarkan pendapat itu, setidaknya masyarakat telah mampu menyelami pembelajaran politik, sampai dengan berbagai hasil yang didapatkannya. Sikap Kepada Presiden Dalam sosiologi politik, yang juga penting dilihat adalah bagaimana perilaku atau sikap masyarakat terhadap kebijakankebijakan politik yang ada, termasuk juga kepada presiden terpilih dan pencitraannya di masyarakat. Salah satu yang menjadi bagian perhatian dari sosiologi politik terletak pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap kebijakan yang ada (Setiadi, Kolip, 2013:21). Kampanye presiden termasuk cara pandang masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat presiden, dapat dikatakan sebagai sebuah bagian dari pembelajaran sosiologi politik. Apabila dibawa ke ranah Orde Baru, bahwa perilaku dan sikap masyarakat terhadap kebijakan presiden, pasif. Kebanyakan mereka mengakui apa yang diungkapkan oleh presiden. Ini telah menjadi budaya pada waktu GPB Suka Arjawa xix itu dan sekaligus juga kebiasaan masyarakat, mulai dari struktur masyarakat kelas atas sampai dengan masyarakat paling bawah. Harus diakui sikap pasif seperti ini pada akhirnya menjadi gaya, kebiasaan dan kemudian menurun dicontoh oleh generasi-generasi setelahnya. Reformasi yang terjadi tahun 1998 sesungguhnya harus berjuang keras untuk mengubah perilaku ini karena generasi yang “tersedia” pada tahun 1998, adalah mereka-mereka yang sudah terbiasa dengan perilaku sosial seperti itu. Mungkin kegagalan memberantas korupsi di masa reformasi, disebabkan oleh adanya perilaku seperti ini. Intinya, sikap masyarakat pada jaman Orde Baru kepada presiden, adalah pasif. Akan tetapi, mengatakan sikap pasif ini terus-terusan terjadi sampai akhir masa jabatan Presiden Soeharto dan Orde baru, tidak dapat dikatakan secara total. Kejatuhan Orde Baru dan turunnya kekuasaan Presiden Soeharto merupakan hasil dari pemikiranpemikiran berani dan kritis. Sikap dari masyarakat, yang saat itu dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, adalah berani dan kritis. Yang dibutuhkan masyarakat saat itu adalah seorang pemimpin yang juga menjadi negarawan, bukan sekedar politisi. Seorang negarawan harus mampu menunjukkan keilmuannya untuk melaksanakan hal kepemrintahan. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarana dalam menjalankan pemerintahan (Kelsen, 2014: 422). Inilah yang menjadi tuntutaan masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat ditulis, terlupakan dan dipelajari kembali dalam wajud dan substansinya yang tidak berubah. (Pakpaham, 1996: 111). Lepas dari dukungan dari pihak luar negeri maupun dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri, kenyataannya adalah bahwa suara mahasiswa dan masyarakat itu, berhasil menjatuhkan kekuasaan Orde Baru dan melengserkan Soeharto dari kekuasaan. Secara spesifik juga harus dilihat bahwa ketika mahasiswa melakukan demonstrasi di Jakarta, banyak anggota-anggota masyarakat yang menyediakan bahan makanan dan minuman untuk dikonsumsi oleh para demosntran. Hal ini menandakan bahwa komponen masyarakat yang bersikap kritis itu bukan hanya dari kalangan intelektual saja, tetapi juga komponen yang datang dari luar pelajar tersebut. Ibu rumah tangga mungkin dapat dimasukkan ke dalam konteks ini. xx PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Terhadap pemerintahan Abdurahman Wahid dan B.J. Habibie, sikap ini masih juga dapat dikatakan pasif. Tidak terlalu banyak yang dapat diungkapkan karena pada pemerintahan ini model campuran itu masih kelihatan. Maksudnya, sistem politik dengan kewenangan MPR untuk menjatuhan presiden masih ada. Maka, kedua presiden ini kemudian seolah-olah dijatuhkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Suara kritis mahasiswa dan masyarakat pada tahun 1998 itu tidak kelihatan pada pemerintahan B.J. Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid. Maka, sikap kritis yang paling kelihatan justru terlihat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Sikap kritis dari masyarakat ini secara sederhana bisa diungkapkan melalui konsep mengomentari berbagai perilaku dan kebijaksanaan yang dibuat presiden dan kemudian memberikan berbagai pendapatnya. Mungkin hal ini dapat dikatakan hal yang sangat sederhana apabila dikaitkan dengan teori kritis seperti dalam pengertian sosiologi. Namun demikian, seperti yang diungkapkan oleh Ritzer yang mengutip Bleich, bahwa teori kritis ini mengkritisi segala aspek kehidupan sosial dan intelektual. Terhadap teori-teori lain, salah satunya teori kritis tersebut mengkritisi positivism karena pendekatan ini sangat menentang peran aktor yang dipandang mempengaruhi berbagai tindakan sosial (Ritzer, Goodman, 2007: 177). Dengan memakai pendekatan sederhana tentang teori kritis tersebut, dalam dikatakan bahwa berbagai komentar yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk sikap yang dikeluarkan oleh masyarakat masuk kedalam ranah teori kritis tersebut. Setelah turunnya Abdurahman Wahid sebagai presiden yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, pemilihan seorang presiden di Indoensia dilakukan secara langsung. Disinilah kelihatan sikap kritis masyarakat Indonesia. Tidak seperti yang terjadi pada tahun 1998 ketika reformasi menjatuhkan rejim Orde Baru, sikap terhadap Megawati sebagai pemimpin politik, sudah jauh sangat menurun. Pada waktu jatuhnya Orde Baru, Megawati sebagai pemimpin politik mendapatkan posisi teratas karena dipandang mampu menyelesaikan persoalan yang ada di Indonesia. Ini misalnya terlihat dari keberhasilan PDI Perjuangan meraih posisi paling tinggi GPB Suka Arjawa xxi pada pemilihan umum tahun 1999. Akan tetapi setelah megawati menjabat sebagai presiden menggantikan Gus Dur, maka terlihat bagaimana kualitas kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang sesungguhnya. Masyarakat yang sebelumnya menjadi pendukung berat Megawati justru menjauh dan menyadari bahwa dari sisi kepemimpinan, Megawati tidak mempunyai kapasitas yang kuat untuk memimpin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi kepada kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sifat-sifat semangat dan revolusioner yang ditampilkan oleh para pengurus partai, dan juga pejabat partai yang duduk di pemerintahan, seperti anggota DPR (D) dan kepala daerah, tidak berhasil memuaskan rakyat. Maka, ketika diselenggarakan pemilihan presiden secara langsung tahun 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi, kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudoyono dengan Yusuf Kalla. Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia telah berhasil memperlihatkan sikap kritisnya. Sudah tentu sikap kritis tersebut muncul sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan politik dan cara Megawati membuat kebijakan yang dipandang tidak memuaskan oleh rakyat. Salah satu yang paling kelihatan dari Megawati saat menjadi presiden adalah kelambatan dan sikap diamnnya yang terlalu banyak, sampai-sampai anak buahnya yang berada pada lingkungan istana membuat semacam jargon “diam itu emas”. Ini merupakan kelemahan dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan sangat mungkin, apabila dikaitkan, sikap kritis masyarakat Indonesia ini kepada pemerintahan Megawati, disebabkan oleh kritiknya secara tidak langsung kepada kultur. Salah satu yang harus dilihat dari teori kritis adalah kritiknya kepada kultur. Para pendukung teori kritis tidak menyukai adanya kultur massa yang dibuat-buat seperti yang tampil di televisi itu, karena terlalu memperlihatkan kepalsuan (Ritzer, 2007: 180). Kiranya sikap kritis itu ditujukan untuk mengembalikan kepada realitas senyatanya pada manusia. Maka, dengan konteks demikian, ungkapanungkapan seperti “diam itu emas”, “Megawati keturunan Soekarno sang Proklamator” mencerminkan kepalsuan yang dipandang tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal, bangsa Indonesia xxii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT saat itu memerlukan obat yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, kesenjangan daerah Indonesia bagian barat, tengah dan timur serta bagaimana mempercepat pemberantasan kemiskinan. Inilah yang membuat Megawati kalah dalam pemilihan presiden pada pemilihan umum tahun 2004. Citra Internasional Pemilihan presiden, dimanapun di dunia, juga akan sangat menentukan citra negara dan bangsa. Di Indonesia, disamping sebagai kepala pemerintahan, presiden juga adalah seorang kepala negara. Sebenarnya, antara tugas sebagai kepela pemerintahan dan kepala negara ini satu dalam dua hal. Sebagai kepala negara, presiden akan mengangkat duta dan konsul, mengadakan perjanjian dengan negara lain, juga menyatakan perang atau perdamaian dengan negara-negara lain. Dalam konteks seperti ini, presiden tentu mempunyai arti yang penting bagi negara-negara lain. Karena itulah kemudian, secara politis presiden tersebut bisa mencerminkan bagaimana hubungan suatu negara dengan negara lain di satu masa yang akan datang. Track record presiden, perilaku politik sampai kelompok politiknya, akan menjadi penentu bagi negara-negara lain untuk memprediksi hubungan dengan negara tersebut. Seperti misalnya terhadap Presiden Soeharto yang dibandingkan dengan Presiden Soekarno di masa lalu. Ketika Presiden Soekrno memegang kekuasaan di Indonesia, citra sebagai presiden yang lincah dan tidak takut dalam pergaulan internasional, serta pernah menantang negara-negara lain, membuat citranya di Asia Tenggara cukup menakutkan dan negara-negara lain khawatir kalau eksietensi negara mereka ditaklukkan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno. Pada masa itu, Indonesia pernah konflik dengan Malaysia dan konflik dengan Belanda masalah Irian barat. Di masa Soeharto, citra ini berhasil ditekan karena dipandang Soeharto bukan presiden yang ingin meluaskan wilayah Indonesia, meskipun pada waktu itu Timor Timur masuk ke wilayah Indonesia pada jaman Presiden Soeharto. Akan tetapi pembentukan ASEAN, yaitu organisasi negaranegara Asia Tenggara juga terjadi pada jaman Presiden Soeharto. GPB Suka Arjawa xxiii Peembentukan organisasi ini menegaskan bahwa Indonesia merupakan negar apecinta damai dan tidak ingin menganggu negaranegara lain. Karena itulah, merupakan hal yang positif apabila seorang presiden baru di suatu negara, melakukan kunjungan kerja ke negara-negara tetangga segera setelah dilantik sebagai kepala negara. Tujuannya tidak lain untuk memberitahukan secara simbolis kepada negaranegara tetangga tersebut bahwa negara bersangkutan mempunyai niat bertetangga baik dengan negara-negara di sekitarnya. Melalui kunjungan tersebut juga akan secara langsung dapat dilihat bagaimana sesungguhnya gaya, kepribadian, sikap politik dari kepala negara bersangkutan sehingga dapat secara langsung menilai dan berdialog dengan presiden. Kunjungaan kepada negara-negara tetangga sebaiknya merupakan prioritas bagi presiden baru. Setelah itu adalah negara sahabat yang posisinya jauh. Sahabat dapat saja berposisi kauh tetapi mempunyai kesamaan ide dan sumber daya. Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika melakukan kunjungan ke beberapa negara tetangga, merupakan refleksi dari posisinya sebagai kepala negara agar secara langsung negara bersangkutan memahami bagaimana sikap politik, perilaku dan latar belakang politik dari presiden baru Indonesia. Masyarakat Kalau dilihat dari konteks budaya politik masyarakat Indonesia, sesungguhnya apa yang terjadi pada pemilihan presiden itu, budaya politik yang diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia adalah campuran. Di satu sisi, orientasi kognitifnya sudah maju karena telah mampu mengidentifikasi hasil dari sebuah kebijakan politik yang dinilai gagal, tidak membuahkan hasil sesuai dengan yang dirasakan. Orientasi afeksi nya juga sudah maju karena merasakan bagaimana aktor politik tersebut, yaitu presiden, tidak dapat memusakan perasaannya seperti yang diharapkan. Orientasi evaluatifnyapun cukup tinggi karena pada akhirnya membuat keputusan tidak memilih Megawati sebagai presiden lagi. Keputusan ini merupakan sebuah pencapaian mengangumkan untuk bangsa yang selama tiga decade tidak diberikan kesempatan untuk melakukan polihan politik xxiv PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT secara rasional, sesuai dengan pengetahuan politik masyarakat. Apabila kemudian dilihat pilihan-pilihan presiden berikutnya dari masyarakat, yaitu kepada Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo, maka segala nilai yang telah dicapai berdasarkan orientasi terhadap budaya politik tersebut, cukup meragukan. Masyarakat kemudian cenderung memilih presiden berdasarkan kharisma yang diperlihatkan oleh calon presiden yang ada. Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo boleh dikatakan sebagai presiden yang kharismatis. Dan presiden yang kharismatis, belum tentu juga mempunyai kemampuan manajerial yang bagus untuk mengelola negara, apalagi negara besar seperti Indoensia. Ada beberapa ciri dari charisma yang melekat pada dua calon presiden itu, yakni polos, kalem dan tidak neko-neko, atau berapi-api. Ini merupakan ciri khas dari budaya Indonesia yang tidak mengemukakan apa yang ada sesungguhnya di dalam hati. Kedua, pada Susilo Bambang Yudoyono, ada nuansa kegantengan dan pada Joko Widodo hal merakyatnya, melalui instrument blusukan. Padahal dua intrumen itu sama sekali tidak terkait dengan kemampuan manajemen. Rakyat Indoensia kiranya memilih presiden berdasarkan hal ini. Tindakan blusukan, seperti yang dilakukan Joko Widodo boleh dikatakan memutus paham lama yang tergambar dalam konsepsi ptron-klien, konsepsi yang lebih tertuju pada kepentingan para elit penguasa dengan kelompoknya (Moeljarto, 1996: 44). Tentu maksudnya adalah keberpihakan dalamm menjalankan kebijakan. Masyarakat yang memilih pemimpinnya berdasarkan charisma tersebut, tidaklah dapat dikatakan sebagai masyarakat yang modern. Tradisionalisme masih menjadi dominasi pemikiran dari masyarakat seperti ini. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia ini campuran. Pada satu sisi sudah masuk modern karena memilih untuk tidak memilih presiden yang dipandangnya gagal. Akan tetapi, pilihannya tetap bercorak tradisional. Sikap seperti ini tentu saja memiliki kelemahan yang bisa dilihat secara mendasar. Yang pertama, dalam hal kecakapan manajemen belum tentu akan mendapatkan presiden yang mampu mengelola persoalan negara secara riil. Persoalan yang diurus presiden jelas GPB Suka Arjawa xxv tidak hanya persoalan politik dalam arti garis besar saja (mencari pendukung) tetapi sangat jauh lebih luas dari itu. Sudah jelas presiden akan mengurusi masalah ekonomi, kejahatan, budaya, sosial dan sebagainya. Akan tetapi, sering juga presiden harus mengurusi intrik-intrik politik dari pesaingnya. Juga upaya-upaya penyingkiran. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, presiden yang hanya mengadalkan charisma saja, akan mudah goyang dalam mengambil keputusan. Kemungkinan, Megawati Sokerano Putri dan Joko Widodo terkena sindrom seperti ini sehingga lambat mengambil keputusan. Megawati juga merupakan presiden yang mempunyai charisma tersendiri, meski dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, terutama sebagai anaknya Presiden Soekarno, proklamator RI, dan juga ditekan pada jaman pemerintahan Soeharto. Pada konteks tertentu, hal yang sama juga terlihat pada Susilo Bambang Yudoyono. Intinya, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma akan kelabakan apabila berhadapan dengan intrik-intrik politik dan gerakan-gerakan politik yang mendadak. Kedua, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma, justru dibebani tuntutan besar oleh rakyatnya. Artinya, rakyat pemilih terlalu berharap agar presiden mampu menyelesaikan segala persoalan di masyarakat. Ia dianggap sebagai ratu adil sehingga mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada. Padahal, seperti yang telah diutarakan tadi, tidak akan mungkin presiden dapat menyelesaikan persoalan kompleks di masyarakat. Dengan demikian, apabila presiden tidak mampu menyelesaikan tugas yang dibebankannya, keterikatan masyarakat akan segera berkurang dan nilai kharismanya langsung melemah. Ujungujungnya rakayat tidak akan memberikan dukungan lagi. Bahkan mungkin sang presiden tidak akan dipercaya. Ketiga, presiden yang dipilih secara kharismatis jelas mengabaikan rasionalitas. Padahal, di tengah iklim global yang demikian kompleks sekarang, rasionalitas harus menjadi tumpuan dari pemilihan presiden. Seorang kepala negara harus terpilih berdasarkan kemampuan-kemampuan intelektual, keterampilan, sosial, dan sebagainya yang tentunya dapat diukur secara pasti. Cara mengukur kemampuan itu, tidak saja dengan membaca trek rekordnya, akan xxvi PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tetapi dapat dilihat pada saat ia di fit dan proper test. Perdebatan calon presiden yang diselenggarakan menjelang pemilihan merupakan salah satu ajang untuk mengukur itu. Presiden yang tidak terpilih secara rasional, akan secara mudah tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pemilih. Partai Politik Partai politik merupakan alat utama bagi negara demokratis untuk membuktikan kedemokrasiannya. Partai politik juga merupakan salah satu infrastruktur politik, yakni suatu kelengkapan yang diperlukan untuk menjalankan hal-hal yang bersifat kenegaraan (Syafiie, Azhari, 2012: 79). Tidak dapat disangsikan bahwa disamping partai politik, juga ada media massa dan keberanian masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Kendati demikian, partai politik tidak dapat tidak harus menjadi komponenn paling utama dalam memperlihatkan kedemokrasian suatu negara. Ada empat hal yang dapat dilihat sebagai peran utama partai politik dalam konteks ini. Yang pertama adalah kemampuannya untuk merambah budaya masyarakat. Artinya, sebagai sebuah entitas umum, partai politik dapat dibentuk dengan nilai dasar yang mengarah kepada budaya, suku atau agama. Dengan nilai dasar seperti ini akan mudah bagi partai untuk mendapatkan massa berdasarkan nilai-nilai tersebut. Tidak keliru mendirikan partai dengan nilai seperti ini karena tujuannya adalah menyampaikan aspirasi masyarakat. Di masyarakat aspirasi itu beragam, sesuai dengan budaya mereka. Kedua, dalam sistem pemilihan umum di banyak negara, partai politik menjadi “bahan utama” untuk mencoblos. Indonesia di jaman Orde Baru, memilih mencoblos partai, bukan pada orang-orang yang ada di dalam partai. Sebagai wujud pencoblosan itu, maka terlihatkan partai politik sebagai “wakil” demokrasi karena akan menjadi sasaran pilihan secara bebas dari masyarakat. Mereka boleh memilih satu partai darisekian partai yang ikut sebagai kontestan pemilu. Ketiga, yang menjadi fungsi penting dari partai politik adalah sebagai penghubung, “jembatan” antara masyarakat dengan pemerntah atau negara. Setiap anggota masyarakat yang hendak mengutarakan kehendaknya dapat menggunakan partai ini untuk berkomunikasi dengan pemerintah. GPB Suka Arjawa xxvii Partai lah yang akan menyampaikan persoslan itu melalui perdebatan di parlemen. Menurut pendapat Plato, terbentuknya negara bermula dari keinginan untuk memenuhi kebutuhaan yang bemacam-macam tersebut dengan cara bekerjasama (Chmid, 1980: 14). Keempat, adalah kelanjutan dari bagian ketiga tadi, yaitu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara formal di gedung parlemen. Mereka yang memperjuangkan tidak lain adalah anggota-anggota partai politik yang telah berhasil menjadi anggota parlemen. Cara ini lebih bagus dibanding dengan jaman Orde Baru karena pada jaman itu, wakil rakyat yang dicalonkan partai, diseleksi pemerintah terlebaih dahulu (Sihbudi, 1997: 157). Saat ini masing-masing anggota parlemen mempunyai konstituens yang ada di masyarakat. Dalam konteks keadilan, para elit partai yang menjadi perwakilan masyarakat haruslah mampu menjadi sarana untuk mencapai keadilan disetributif, yaitu suatu hubungan antara negara dengan warga, yangberarti negara wajib memberikan keadilan kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi dan kesempatan hidup bersama berdasar hak dan kewajiban (Santoso, 2014: 92-93). Karena berdekatan dengan nilai-nilai sosial itulah kemudian, maka partai politik ini mempunyai masa-masa tertentu di hadapan masyarakat. Dalam arti, jumlah anggota, simpatisan dan partisipan partai tersebut dinamis, frekuentif yang dapat dilihat dari perolehan suara pada saat pemilihan umum berlangsung. Ada kalanya partai politik berhasil merebut posisi tinggi pada pemilihan umum akan tetapi ada kalanya juga anjlok perolehan suaranya. Sesungguhnya banyak faktor yang menjadi penentu dari perolehan suara partai politik pada pemilihan umum. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan nilai-nilai budaya yang ada, perolehan suara partai politik pun akan dipengaruhi juga. Penurunan perolehan suara merupakan indikasi adanya penyimpangan pencapaian atau laju dari partai politik yang menjauh dari nilai-nilai yang ada. Misalnya sebuah partai politik tidak mampu memperjuangkan nilai-nilai budaya Bali, pasti akan dijauhi oleh masyarakat Bali yang nilai masyarakatnya sangat terkait dengan agama Hindu. Partai politik seperti ini harus segera menyadarkan diri dengan keadannya tersebut. Secara teoritis, partai xxviii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT politik akan mampu kembali merebut hati rakyat kalau kebijakan partai tersebut kembali kepada nilai-nilai sosial yang ada. Tentu saja, seperti yang diungkapkan di depan tadi, partai politik juga sangat ddpengaruhi oleh ketokohan seseorang, charisma serta pola dan gaya pendkatannya kepada masyarakat. Partai Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, dan partai lain, pernah mengalami pasang surut seperti ini di dalam perjalanan kepolitikannya. Pasang surut tersebut tidak hanya terjadi pada skala nasional, tetapi juga lokal. Persaingan Partai Dalam percaturan partai politik, tidak jarang sebuah partai pemmpunyai ideologi dan nilai-nilai yang sama. Misalnya, partai politik dapat saja mempunyai ideologi Pancasila yang juga dipakai oleh partai lainnya. Partai politikpun dapat mempunyai nilai nasionalis atau nasionalis keagamaan. Dengan adanya persamaan nilai dan ideologi ini, maka persaingan-persaingan antara satu partai dengan partai lainnya tidak dapat dihindarkan. Yang kemudian menjadi pemegang peran di dalam konteks persaingan seperti ini tidak lain adalah figur seorang pemimpin partai politik atau cara mereka melakukan pendekatan kepada masyarakat. Sebagai negara yang sedang berkembang, masyarakat Indonesia masih sangat melihat figure ketokohan yang ada di dalam partai politik. Ini tidak dapat dilepaskan dari budaya Indoensia yang masih terikat dengan messias atau juru selamat. Inilah yang sering menjadi daya tarik dari partai politik. Karena itulah misalnya PDI Perjuangan mempunyai massa yang banyak karena terkait dengan figure Soekarno, proklamator Indonesia. Kharisma ini sekarang melekat pada Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan partai tersebut. Tidak dapat dilepaskan juga pada Partai Demokrat yang demikian melekat pada figur Susilo Bambang Yudoyono, yang juga mempunyai charisma yang kuat. Bukti bahwa Susilo Bambang Yudoyono mempunyai kharisma, adalah keberhasilannya terpilih menjadi presiden sebanyak dua kali. Partai Golkar pun pada hal-hal tertentu, juga mengandalkan pada kharisma Soeharto, presiden Indonesia yang kedua. Mendekati masyarakat memerlukan pendekatan yang GPB Suka Arjawa xxix bermacam-macam. Maka, untuk melakukan hal tersebut partai politik melakukan berbagai macam pendekatan kepada masyarakat. Memberikan bantuan keuangan terhadap pembangunan hak milik umum, seperti misalnya balai pertemuan umum, memperbaiki jalan atau justru membuka pasar yang terjangkau oleh masyarakat. Bahkan ketika dilaksanakan pemilihan umum, anggota partai politik juga ada yang memberikan uang sogokan. Cara-cara seperti ini sering dinilai controversial karena uang menjadi faktor utama dalam pendekatan kepada masyarakat. Padahal, partai politik seharusnya mempunyai misi untuk mendidik masyarakat dalam hal melakukan pilihan tersebut. Partai juga mempunyai strategi lain, yaitu berupaya menarik massa dengan menonjolkan figure, meskipun ia bukan figure kharismatis. Figur popular dipandang menguntungkan dengan menarik keberpihakan masyarakat kepada penampilan dari figure tersebut. Masyarakat negara berkembang sering kali mengaitkan pilihannya dengan emosi psikologis yang ada. Karena alasan-alasan seperti inilah kemudian banyak partai politik yang memakai artis untuk menjadi calon anggota legislatif, sekaligus menjadi anggota partainya. Pilihan kepada artis inipun tidak lepas dari kontroversial. Dalam konteks edukasi politik, pemilihan kepada artis tidak mampu member pendidikan politik kepada masyarakat karena mereka hanya mendekatkan diri saja secara emosional. Artis yang popular belum tentu juga mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik dari masyarakat sehingga pemilihan artis sebagai anggota partai dan selanjutnya menjadi anggota parlemen, dipandang sia-sia. Terhadap berbagai kritik inilah kemudian partai politik mencoba melakukan beberapa tindakan. Misalnya Partai Hanura melakukan langkah dengan memberikan pembekalan kepada anggota legislatifnya sebelum menjalankan tugas di parlemen. Ini dilakukan, baik di daerah maupun di pusat. Konflik Internal Dalam perjalanan kepolitikannya, partai politik tidak jarang mengalami konflik internal dengan berbagai kualifikasinya. Perbedaan pandangan untuk mencapai tujuan, cara pandang untuk mendekati konstituens, upaya penyebarkan pengaruh, sampai xxx PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT kepada keinginan untuk menduduki posisi strktural yang strategis, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya konflik di dalam tubuh partai politik. Seluruh faktor-faktor yang diungkapkan tersebut bermula dari cara pandang yang sederhana sesungguhnya, yaitu bagaimana mewujdukan ide yang teruji untuk mencapai tujuan. Kelemahan dari konsepsi ini adalah bahwa ide itu hanya teruji secara sepihak, yang dapat diuji menurut keyakinan sendiri maupun kelompok. Ketika keyakinan probadi dari seorang anggota partai, apalagi tokohnya, mendapat dukungan dari pihak lain, maka muncullah berbagai kelompok di dalam partai tersebut, yang sering disebutkan dengan faksi. Dalam satu partai politik dijumpai banyak faksi. Partai Golkar yang didirikan oleh berbagai ormas di awal pendiriannya, potensi memunculkan faksi. Demikian juga Partai Demokrasi Indonesia di jaman Orde baru. Dalam perkembangannya, dasar konflik yang bermula dari perbedaan ide pribadi itu, berkembang juga faktor lain yang muncul sebagai pemicu. Faktor pemicu ini hanyalah sebuah unsur yang bukan dasar tetapi kehadrannya akan dapat menumbuhkan konflik secara lebih cepat karena dasar dari konflik tersebut sudah ada. Kehadiran penyandang dana partai atau orang kaya yang mempunyai dana besar, kehadiran orang popular, atau seorang tokoh masyarakat yang mempunyai anakbuah banayak, akan mampu memicu konflik yang sudah ada. Sebuah partai politik yang mempunyai ketetapan untuk menempatkan kadernya sebagai pejabat struktural berpengaru, jelas akan menumbuhkan konflik besar apabila kemudian ada kader yang tiba-tiba naik pangkat menjadi tokoh semata-mata karena ia seorang artis atau seorang yang mempunyai dana banyak. Konon PDI Perjuangan sempat goyang keberadaannya karena kehadiran Joko Widodo sebagai calon presiden. Padahal Joko Widodo bukanlah kader yang berjuang dari bawah. Kalau dilihat berbagai plot penggoyangan kepada Joko Widodo awal tahun 2015 ini, kelihatan bahwa ada yang tidak puas dengan kehadiran presiden Indonesia itu pada PDI Perjuangan. Konflik internal partai biasanya membuat kestabilan organisasi goyang dalam waktu yang cukup lama. Apalagi misalnya aktor konflik tersebut ada pada tokoh dan elit-elitnya. Ada berbagai macam solusi GPB Suka Arjawa xxxi yang terjadi kalau penyebab konflik tersebut ada di tangan tokoh. Yang pertama adalah tergusurnya tokoh ini dari posisi strukturall tertentu. Dan kedua, sebagai akibatnya menyebabkan munculnya partai baru. Keberadaan Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Nasdem, bahkan Partai Demokrat dikatakan sebagai akibat adanya perpecahan yang terjadi diantara Partai Golkar (Syamsudin Harris, Kompas, 28 Maret 2015). Bagi negara yang politiknya sedang berkembang, seperti Indonesia saat ini, perpecahan partai politik yang kemudian memuculkan partai baru mempunyai manfaat positif. Para tokoh tersebut semakin terasah keberaniannya karena membentuk partai baru, dan dalam konteks partai bersangkutan, eskalasi konflik menjadi lebnih sempait dan kemudian mampu menghilangkan konflik lebih cepat. Bahwa Partaii Golkar kembali dilanda konflik karena perbedaan pandangan kelompok Munas Bali dengan Munas Jakarta, ini mungkin menjadi cikal-bakal akan munculnya partai politik baru lagi di Indonesia. xxxii PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Daftar Pustaka Fuadi, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Cet II, Jakarta, Kencana Prenada Media group. Haryanto, 1982, Sistem Politik: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty. Kelsen, Hans, Yusron, Nurulita (terj.), 2014, Dasar-Dasar Hukum Normatif: Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik (Cetakan III), Bandung, Nusa Media. Moeljarto, Vidhyandika, 1996, “Dimensi Politik Ekonomi Pembangunan Nasional: Kebijakan dan Reformasi”, dalam Analisis, Tahun XXV, No. 1, Januari-Februari 1996. Pakpahan, Agus, 1996, “Pengembangan Pertanian dalam Era Globalisasi: Pertanian Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, dalam Prisma, Nomor Khusus 25 Tahun Prisma, 1971-1996 Ritzer, George, Goodman, Douglas, Alimandan (terj.), 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Romli, Lili, 2005, “Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuatan Jawara: Kasus Provinsi Banten”, dalam Haris, Syamsudin (Ed.), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Santoso, Agus, 2014, Hukum. Moral, dan Keadilan; Sebuah Kajian Filsafat Hukum (Cet.II), Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Schmid, JJ. Von, Wiratno, dkk (Terj), 1980, Ahli-Ahli Pikir besar tentang Negara dann Hukum: Dari Plato Sampai Kant, Jakarta, PT. Pembangunan. Setiadi, Elly M., Kolip, Usman, 2013, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta Kencana Prenada Media Group. Siagian, Faisal, 1996, “Keterwakilan Wanita Indonesia di Lembaga Legislatif”, dalam Analisis Tahun XXV, No. 3, Mei-Juni 1996. Sihbudi, Riza, 1997, “Mengkaji Ulang Praktek Pemilihan Umum Kita”, dalam Analisis, XXVI, No. 2, Maret-April 1997. Syafiie, Inu Kencana, Azhari, 2012, Sitem Politik Indonesia (Edisi Revisi), Bandung, Refika Aditama GPB Suka Arjawa xxxiii p PRESIDEN Presiden Itu Harus Diatur Juga S ebulan menjelang kampanye legislatif dimulai, pembicaraan tentang undang-undang kepresidenan mencuat. Disebutkan bahwa undang-undang ini sebaiknya selesai sebelum presiden dilantik bulan Oktober mendatang. Ini penting agar tidak menimbulkan persoalan konfliktual di masa-masa mendatang. Pada pihak lain, banyak juga yang terkejut dengan adanya pemikiran untuk membuat undang-undang kepresidenan tersebut. Dalam konteks politik, sebenarnya masa peralihan dari pemerintahan otoriter ke rejim demokratis merupakan masa yang paling membahayakan bagi kehidupan suatu negara. Ini disebabkan karena adanya perubahan praktik-praktik dalam menjalankan negara maupun struktur politik secara mendasar. Banyak praktik baru yang bertolak belakang dari praktek pemerintahan terdahulu. Misalnya, parlemen yang sebelumnya demikian berkuasa menentukan kebijaksanaan umum, kini harus tunduk terhadap pembatasanpembatasan. Hak bersuara yang sebelumnya dibungkam, kini tibatiba saja bebas. Kalau revolusi disebut-sebut sebagai perubahan radikal terhadap sistem politik suatu negara, sesungguhnya transisi dari rejim otoriter ke demokratis bisa dikatakan sebagai sebuah revolusi juga. Hanya saja kalau dilihat dari karakternya, revolusi ini bersifat lunak. Tidak ada pertumpahan darah, tidak ada pembunuhan, tidak ada pemenjaraan dalam transisi seperti ini. Di masa transisi akan terjadi semacam kegamangan dalam menentukan sikap praktik politik atau lebih tepatnya disebut sebagai mencari-cari pola yang GPB Suka Arjawa 3 pantas dalam berdemokrasi. Salah satu upaya untuk mengatasi kegamangan seperti itu, serta untuk menjaga jalannya transisi secara benar menuju demokrasi, adalah pembentukan mahkamah konstitusi yang bertugas untuk menilai kembali segala produk perundang-undangan yang muncul di masa transisi ini berdasarkan konstitusi dari negara yang bersangkutan. Tujuannya tidak lain adalah agar arah perundanganundangana yang dibuat tidak menyimpang dengan konstitusi negara (yang demokratis). Jika ada penyimpangan, itu akan bisa diluruskan. Fenomena ini sebenarnya lumrah terjadi di negara mana saja yang mengalami transisi politik seperti itu, seperti Afrika Selatan (dari apartheid menuju demokrasi), Rusia (dari komunisme menuju demokrasi) serta negara-negara di Amerika Latin yang banyak mengalami perubahan politik dari masa otoriter menuju demokrasi (salah satunya adalah Nicaragua). Indonesia pun membentuk mahkamah konstitusi serta berbagai komisi lain yang akan mencoba meninjau dan menilai produk-produk hukum yang dibuat. Dalam konteks masa transisi tersebut, di Indonesia salah satu lembaga yang mesti mendapatkan perhatian adalah lembaga kepresidenan. Jika dicoba dilihat ke masa lalu, lembaga inilah yang paling kental dominasinya sebelum reformasi itu bergulir. Banyak yang mempermasalahkan bagaimana sepak terjang Jendral Soeharto ketika menjaba presiden dulu. Tetapi ketika reformasi telah bergulir, presidenpun kembali dipermasalahkan, baik ketika jamannya Habibie, Gus Dur maupun sekarang di masa Megawati Soekarnoputri. Sebagian dari pemerintahan Habibie dan Gus Dur dinilai sebagai tidak ada bedanya dengan Soeharto. Sedangkan Megawati dinilai sebagai tidak pernah tegas, ragu-ragu dan sebagainya. Dalam hal Megawati, bisa jadi keragu-ragauan itu terjadi karena ketakutan akan tindakannya yang dinilai menyimpang seperti yang pernah ditimpakan kepada presiden-presiden terdahulu. Ini dikarenakan tidak ada ketentuan perundangan yang jelas terhadap hak dan kewajiban presiden. Untuk mengatasi itulah maka undang-undang kepresidenen itu penting. Dengan undang-undang ini akan menjadi jelas apa yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang prersiden sehingga 4 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT penyimpangan anatupun gugatan terhadap presiden kelak, permasalahannya akan bisa dikembalikan kepada ketentuan hukum yang ada itu. Perundangan ini, bukan saja perlu di masa transisi sekarang tetapi juga untuk masa depan. Perkembangan politik yang selalu dipengaruhi dinamika globalisasi akan bisa diatasi dengan undang-undang seperti itu. Sebaliknya undang-undang presiden inipun kelakpun direvisi lagi. Jika undang-undang kepresidenen ini kelak dinilai keluar jalur dario pakem demokrasi dan konstitusi Indonesia, mahkamah konstitusi pasti bersedia menjalankan tugasnya untuk menjaga lebenaran tersebut. Jika ada pemikiran bahwa undang-undang kepresidenan itu harus telah selesai sebelum pelatikan presiden bulan Oktober mendatang, ini sangat logis dan merupakan keharusan. Secara politik seorang calon presiden akan bisa mempertimbangkan diri berdasarkan perundang-undangan tersebut sebelum dirinya terjun mencalonkan diri, bukan asal terima pencalonan saja. Jadi bagaimanapun, seorang presiden itu harus diatur juga. GPB Suka Arjawa 5 Faktor Perpecahan Dalam Pemilihan Calon Presiden “P ertengkaran” soal pencalonan presiden tahun 2014 telah dimulai. Ini barangkali masalah kecil atau masalah awal yang bisa saja kelak mewarnai perdebatan soal pencalonan di masa mendatang. Tinggal kurang lebih dua tahun lagi bagi partai politik untuk memunculkan calon pemimpin pemerintahan Indonesia, dan periode waktu ini (awal sampai pertengahan tahun 2012) paling baik untuk memunculkan calon tersebut. Jika telah ada kesepakatan partai politik untuk memilih calonnya, maka perjalanan setahun mendatang akan matang untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. ”Pertengkaran” ini justru terjadi di Partai Golkar, lembaga yang mempunyai sejarah tidak mau kalah dalam soal mengelola pemerintahan. Dalam rapat pengurus Dewan Pimpinan Pusat partai yang berlangsung beberapa waktu lalu diputuskan bahwa partai ini akan mengusung Aburizal Bakrie menjadi calon tunggal sebagai presiden tahun 2014. Akan tetapi pemilihan yang dilakukan Dewan Pimpinan Pusat itu ditentang oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II. Melalui salah seorang juru bicaranya, mengatakan bahwa pihak DPD II harus dilibatkan dalam pencalonan tersebut karena bagaimanapun DPD II ada pada akar rumput, wwilayah yang paling dekat dengan pemilih. Ketentuan konstitusi Indonesia, bahwa pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Itu artinya, DPD II mempunyai peran sentral mempengaruhi rakyat untuk menentukan pilihannya. 6 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Sentralitas 2014 Pemilu presiden 2014 merupakan isu yang sangat sentral dan amat penting bagi partai politik, terutama partai politik besar. Dikatakan sentral dan sangat penting karena ”lowongan” untuk menjadi presiden pada saat itu sangat besar. Susilo Bambang Yudoyono yang kini menjabat sebagai presiden, sudah tidak dibolehkan konstitusi menduduki jabatan itu untuk yang ketiga kalinya. Maka, dengan kondisi demikian, siapapun akan mempunyai peluang menjadi presiden. Sentralitas pemilihan pada saat itu juga akan berlaangsung seimbang. Artinya satu faktor yang menjadi pengikat pemilih, yaitu figur, kemungkinan besar akan lenyap. Banyak yang menyebutkan bahwa faktor figurlah yang menentukan keberhasilan SBY menjadi presiden. Ketika sosok ini telah tidak mungkin mencalonkan diri lagi, maka faktor figur itu akan hilang. Secara teoritik, masih belum ada individu lain dalam politik Indonesia yang mempunyai figur seperti SBY. Karena itu faktor figur tidak akan menjadi penentu lagi. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penentu dalam pemilihan presiden nanti. Dalam konteks kultur Bali (kuno), seorang pemimpin biasanya disebut ”kelihan”. Ini artinya mereka yang lebih tua. Makna dari kata tersebut, diharapkan mereka yang mampu menjadi pemimpin itu terletak pada orang yang lebih tua karena dipandang pengalamannya lebih luas, lebih dahulu hidup (lahir) sehingga dengan pengalamannya itu akan mampu memimpin secara arif dan bijaksana. Akan tetapi dalam perjalanan waktu kata ”kelihan” itu jelas tidak hanya bermakna kuno yang mengartikan umur semata akan tetapi meluas pada lebih tua dalam berbagai hal, termasuk tataran kemampuan ekonomi, sosial, budaya bahkan intelektualitas. Karena itulah yang menjadi pemimpin tersebut tidak harus mereka yang mempunyai usia tua. Jika mereka masih muda dan mempunyai kemampuan ekonomi tinggi, bisa juga menjadi pemimpin. Demikian juga yang mempunyai kemampuan besar di bidang intelektual, budaya, teknologi, sosial dan sebagainya. Barangkali, sebagai partai yang mempunyai segudang pengalaman memerintah dan segudang tokoh di dalamnya, riakriak perpecahan dalam Golkar tersebut muncul dari sumber dayanya tersebut. Jadi, filosofi ”kelihan” ini menjadi berkembang dalam GPB Suka Arjawa 7 konteks keragaman yang ada di Partai Golkar. Karena itulah ketika Dewan Pimpinan Pusat mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai calon pemimpin negara, maka ada pihak yang masih belum memandang cukup karena ada ”kelihan” yang lain. Mungkin Aburizal Bakrie ”tua” dalam kemampuan ekonomi akan tetapi ada Akbar Tanjung yang juga ”kelih” dalam pengalaman berpolitik dan organisasi. Yang terakhir ini tidak saja pernah menjadi ketua umum partai akan tetapi juga berkali-kali menjadi menteri di jaman Presidenn Soeharto, dan berpengalaman ”menyelamatkan” Golkar ketika dikoyak-ayik saat reformasi tahun 1998. Mungkin juga nanti akan muncul pendapat lain, karena Yusuf Kala juga mempunyai predikat ”kelihan”, yakni berpengalaman menjadi wakil presiden, sebuah jabatan yang hanya tinggal satu anak tangga lagi menjadi presiden. Pemilu presiden 2014 sudah pasti akan mampu memancing masyarakat untuk lebih bersikap rasional, memakai pertimbangannya sendiri untuk mendapatkan manfaat maksimal, tidak lagi tergantung dari figur semata. Karena itulah masyarakat akan dipermainkan oleh faktor-faktor seperti yang disebutkan diatas, yaitu besar dan tua dalam kemampuan ekonomi, sosial, budaya, atau teknologi. Bisa saja kelak yang terpilih menjadi presiden adalah seorang budayawan yang memang dipandang layak oleh masyarakat. Bisa juga seorang aktivis sosial. Partai Besar harus Waspada Dengan kosongnya calon presiden dari faktor figur tersebut, maka partai besar harus waspada dalam menjaring dan memilih calon presidennya nanti. Figur bukanlah hal yang cocok lagi dan ini merupakan cara paling bagus dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat. Partai besar mempunyai kesempatan untuk memilih calonnya yang terbaik dan berupaya melakukan koalisi dengan paartai lain. Akan tetapi yang perlu dipertimbangkan, bahwa koalisi yang dilakukan itu tidak boleh pecah di tengah jalan. Kehancuran koalisi di tengah jalan justru akan mampu mengguncang dan menghancurkan partai itu sendiri. Rakyat akan terlalu bisa menilai kualitas partai yang bersangkutan dan kemudian akan menjauh pada pemilihan berikutnya. Partai besar (semacam Demokrat) berpotensi 8 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT mampu menggerakkan rakyat dalam jumlah yang besar pula dalam melakukan pilihan karena basis mereka di akar rumput juga besar. Namun sekali partai ini salah dalam memilih atau melakukan mekanisme, partai yang bersangkutan, sekali lagi, akan ditertawai pemilih. Partai Golkar sudah tidak diragukan lagi kebesaran pendu­ kungnya. Tetapi apabila dalam memilih calon presiden partai ini kembali terlibat pertikaian dengan rekan-rekannya sesama partai, maka simpati dari masyarakat akan bisa berkurang. Jika ini terjadi, pengalaman puluhan tahun ikut bergabung di pemerintahan akan bisa sia-sia. Bukan tidak mungkin partai ini akan gagal lagi dalam merebut posisi tertinggi di Indonesia. GPB Suka Arjawa 9 Menyikapi Calon Presiden Dari Istri Pejabat Negara S ilang pendapat tentang dicalonkannya anggota keluarga presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadi presiden periode 2014-2019, sampai saat ini terus saja berlangsung. Hal ini sebenarnya telah muncul tahun lalu, tiga tahun sebelum pemilihan presiden dilakukan. Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa tokoh Partai Demokrat sempat ditegur Presiden SBY karena menyebutnyebut kecocokan Ibu Ani Yudoyono sebagai presiden mendatang. Pertimbangannya, beliau pernah menjadi wakil ketua umum Partai Demokrat, salah satu pendiri paartai ini dan menguasai masalah kenegaraan. Kemampuan Ibu Ani menguasai masalah ketatanegaraan disebabkan karena posisinya sebagai istri dan mendampingi presiden dalam berbagai kunjungan. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi logis dari jabatan sebagai seorang istri presiden. Dengan berbagai pertimbaangan itulah, kalangan internal Partai Demokrat memandang layak untuk menjadi calon presiden. Bagaimanapun arus wacana tersebut, seharusnya hal demikian tidak memberikan kegaduhan politik yang berkepanjangan. Titik pandang yang harus dilihat dari konteks ini adalah kata ”calon”, ”tingkat kecerdasan politik masyarakat”, dan ”sistem demokratisasi”. Kata ”calon”, jelas menyiratkan sesuatu yang belum jadi, belum laku, dan belum pasti. Ia hanya mengacu kepada kecenderungan yang akan diharapkan untuk menjadi sesuatu, yang dengan segala sumber daya yang dimilikinya diusahakan untuk tercapai. Jika Ibu Ani dicalonkan menjadi presiden, sudah pasti ia belum menjadi presiden dan belum tentu menjadi presiden. Kekhawatiran yang muncul disini 10 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT terletak pada adanya preseden buruk pada politik Indonesia yang mampu mempengaruhi perilaku-perilaku politik Indonesia di masa mendatang. Arus reformasi Indonesia sangat alergi dengan oligarki/ dinasti politik yang memungkinkan berbagai sanak keluarga ikut dilibatkan dalam dunia politik yang mereka kuasai. Harus diakui bahwa fenomena demikian sangat kuat terjadi di luar struktur presiden. Cukup banyak kepala daerah tingkat I dan tingkat II di Indonesia yang melibatkan sanak keluarganya ke dalam kegiatan dan jabatan politik dimana mereka berada. Dengan demikian, masuknya Ibu Ani Yudoyono sebagai calon presiden dikhawatirkan akan lebih melanggengkan lagi model-model oligarki politik ini di Indonesia, sehingga kondisinya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Persoalan kekhawatiran demikian, seharusnya bisa dikon­ frontirkan dengan tingkat kecerdasan politik masyarakat. Jalannya politik sebuah negara (bahkan satu kabupatan atau provinsi sekalipun), sangat tergantung kepada kecerdasan politik masyarakat. Ada tiga faktor penentu dari tingkat kecerdasan seperti ini, yaitu tingkat sosialisasi politik, tingkat pendidikan dan ketersediaan ruang publik untuk mengartikulasikan kepentingan. Sosialisasi politik merupakan bentuk paling awal dari faktor penentu ini yang menerjemahkan bagaiman rakyat paham tentang apa fungsi, tugas, wewenang dari lembaga politik, seperti presiden, DPR, bupati dan level-level lainnya. Keberhasilan sosialisasi itu tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tetapi juga aktor-aktor penggerak politik, seperti kaum intelektual, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat yang peduli dengan gerakan reformasi. Tingkat pendidikan sanagat berpengaruh kepada pemahaman tentang apa arti politik bagi kesejahteraan umum dan kemajuan peradaban. Pendidikan disini tidak hanya berarti pendidikan formal tetapi kemampuan masyarakat menyerapp pengetahuan. Sebab pengatahuan itulah yang menjadi inti dari proses terdidik dan tidaknya masyarakat. Secara umum, semakin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat, akan semakin mudah bagi mereka untuk memahami makna politik dan lebih gampang juga sosialisasi diperkenalkan. Ruang publik adalah lokasi ekpresi masyarakat, pusat interaksi sosial secara demokratis. Lokasi seperti ini akan mampu GPB Suka Arjawa 11 memadukan kecerdasan dengan kedewasaan masyarakat karena di ruang seperti itulah masyarakat akan mengemukakan segala macam pendapat dan rasa intelektualnya kepada pihak yang lain. Dan dari lokasi ini pula masyarakat akan diperlihatkan kemampuannya untuk menerima pendapat baru, menilai sebuah fenomena dan menerima segala kekurangan dari kadar intelektualnya. Ruang publik tidak saja bisa berbentuk ruang dalam arti sebenarnya seperri lapangan, warung, dan sejenisnyaa tetapi juga media lain seperti surat kabar, televisi, radio yang menyiarkan acara-acara interaktif. Tentu juga medua genggam seperti telepon seluler dan ruangtatap muka yang lain. Kecerdasan politik masyarakat akan sangat tergantung dari hal-hal yang diutarakan diatas dan kecerdasan inilah yang akana menentukan lolos tidaknya pilihan bagi anggota keluarga para pejabat negara itu. Sistem demokratisasi merupakan komponen jaringan yang memungkinkan terpadunya antara kebebasan masyarakat, berbagai elemen kecerdasan dan komponen politik kenegaraan berbaur dalam menentukan output (keluarannya). Jadi, tidak ada lagi unsur pemaksaan dalam pemilihan politik karena masyarakat telah dilindungi kebebasannya dalam memilih, masyarakat mampu menggunakan berbagai bentuk akal kecerdassannya untuk menilai, melakukan pilihan dan bertindak dalam ukuran-ukuran politik. Sistem demokratisasi yang melindungi harga kemanusiaan akan memberikan hasil yang positif bagi keberlanjutan ketatanegaraan. Dengan demikian, apabila istri presiden dan istri pejabat manapun yang hendak diamajukan sebagai seorang calon presiden, seharusnya diserahkan saja kepada mekanisme ”alami” yang bertumpu kepada tingkat kecerdasan politik masyarakat dan tingkat demokratisasi yang telah ada di sebuah negara. Jika dari sisi negatif cara ini akan mengacu kepada munculnya preseden buruk politik yang akan mampu mempengaruhi generasi politik mendatang, sisi positifnya juga mesti dilihat. Pemunculan istri presiden atau istri seorang pejabatn sebagai kandidat presiden justru akan mampu menguji tingakt kecerdasan politik di suaru negara, mengukur keberhasilan sosialiasi politik dan juga menguji tingkat demokrastisasi yang berlaku di sebuah negara. Pencalonan istri presiden, mempunyai 12 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT nilai yang tidak berbeda dengan anak seorang presiden, istri mantan presiden, suami mantan presiden atau anak dari mantan presiden. Kalaupun muncul suara-suara untuk mencalonkan Ibu Ani Yudoyono sebagai calon presiden mendatang, itu akan mempunyai konsekuensi negatif dan positif seperti yang diungkapkan diatas. Bagaimana harus menganggapi atau menafsirkan sikap presiden yang konon menegur pejabat Partai Demokrat tersebut? Yang pertama, penafsiran bisa dikatakan sebagai ungkapan kekhawatiran munculnya wacana publik yang khawatir dengan polapola KKN seperti jaman Orde Baru. Yang kedua, jika dilihat dari sisi politik, bisa saja ditafsirkan ini sebagai sebuah strategi ”tunggu tanggapan”. Artinya jika tetap ada desakan dari masyarakat untuk mencalonkan Ibu Ani sebagai presiden, mesti Pak SBY telah berkalikali menolak atau menegur, mungkin saja menjelang deadline pencalonan mendatang, Ibu Ani akan diformalkan sebagai calon presiden. Ini hanya sebagai sebuah penafsiran saja! GPB Suka Arjawa 13 Lepaskan ”Set Kedua”, Kosentrasi Pada Set Berikut! K etika permainan bulutangkis masih konvensional dengan memakai poin 15 untuk satu set, ada hal menarik yang diperlihatkan para pemain dunia saat itu. Jika set pertama mereka telah unggul lalu mengalami kemunduran mental pada set kedua, pemain ini akan melepaskan set kedua itu. Ia akan berjuang habis-habisan di set ketiga. Kebanyakan mereka berhasil memenangkan pertandingan. Tidak hanya di bulutangkis, pada permainan lainpun demikian. Bola volly, sepakbola, tenis juga demikian. Dari pada ngotot di set kedua tetapi mental sudah kedodoran, lebih baik melepaskan set itu untuk mengirit tenaga dan memulihkan kepercayaan diri. Setiap set mempunyai mental tersendiri dan daya juang tersendiri pula. Sikap dan perilaku pada permainan olahraga, mempunyai beberapa kesamanaan dengan apa yang terjadi pada bidang politik. Yang membedakan adalah ”waktu jeda” untuk mengambil nafas dan kosentrasi itu. Pada dunia olahraga, jeda ambil nafas, memulihkan mental dan kepercayaan diri berlangsung dalam rentang waktu menit. Tinju memerlukan waktu sekitar semenit untuk memulihkan kepercayaan diri ke babak berikutnya, bulutangkis sekitar lima menit, sepakbola sekitar 15 menit. Politik, khususnya partai politik, memerlukan waktu bertahun-tahun. Tidak mungkin memulihkan kepercayaan diri itu hanya dalam waktu sebulan. Politik memerlukan perbaikan perilaku pendukung untuk meyakinkan publik demi meraih kepercayaan. Ia juga memerlukan bukti kinerja, pemenuhan janji-janji, meyakinkan publik dengan bukti-bukti terhadap 14 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT perubahan orientasi partai. Satu saja aparat partai menyimpang dari aturan normatif dari kehidupan sosial, memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan publik. Seperti juga dunia olahraga, jeda waktu ambil nafas ini akan tetap berpotensi untuk meraih kemenangan. Apa kaitannya dengan partai politik? Disamping Partai Keadilan Sejahtera yang tiba-tiba menghadapi masalah besar, Partai Demokrat kini tiba-tiba juga ribut di dalam akibat beberapa survei yang menyebutkan elektabilitas partai ini menukik tajam. Yang muncul kemudian adalah desakan untuk memundurkan ketua umum partai yang bersangkutan. Turunnya ketua umum ini diharapkan akan mampu memulihkan kepercayaan diri pendukung, dengan ”bantuan” figur Susilo Bambang Yudoyono pada partai. Masih belum jelas bagaimana peran SBY pada partai ini. Desakan turunnya ketua umum, disebabkan karena adanya tuduhan sang ketua umum terlibat korupsi. Namun demikain dari sisi upaya pemulihan kepercayaan diri, ribut-ribut untuk menurunkan ketua umum ini sudah sangat terlambat. Kontroversi soal tuduhan korupsi tersebut sudah berlangsung berbulan-bulan bahkan lebih dari setahun. Rentang waktu kontroversial setahun ini merupakan jawaban yang paling jelas, mengapa elektabilitas partai begitu merosot. Inilah salah satu kegagalan partai dalam memelihara kepercayaan publik. Dengan begitu upaya untuk memulihkan kepercayaan publik cukup sulit di tengah iklim keterbukaan yang sekarang sudah mempengaruhi masyarakat. Maka, seperti pada permainan bulutangkis, cara paling baik untuk memulihkan kepercayaan adalah dengan melepaskan ”set kedua” untuk konsentrasi pada set berikutnya. ”Set kedua” yang dimaksudkan ini tidak lain adalah pemilu pemilihan presiden tahun depan, termasuk juga pemilihan legislatif yang berlangsung tahun depan. Partai politik justru akan menderita kerugian besar apabila ribut-ribut internal itu terjadi hanya setahun menjelang perhelatan politik. Padahal, untuk memulihkan kepercayaan diri pada bidang politik diperlukan waktu bertahun-tahun. Dalam kondisi seperti itu, upaya-upaya untuk menurunkan pejabat partai, entah itu ketua GPB Suka Arjawa 15 partai atau pejabat teras lainnya, justru akan memicu faksional baru atau mempertegas faksionall yang sudah ada di dalam partai. Faksional adalah pengelompokan di dalam satu partai politik, yang merupakan wujud dari perpecahan dan menjadi cikal bakal partai baru. Hal lain yang bisa terjadi adalah kecurigaan akan adanya ambisi-ambisi perorangan atau kelompok untukmenduduki jabatan atau mempertahankan kekuasaan. Artinya, upaya pencopotan itu mempunyai nilai ganda. Ia tidak semata-mata beralasan memulihkan nama baik partai tetapi di balik itu tersimpan tujuan tersembunyi untuk mempertahankan kekuasaan individu atau kelompok tertentu pada bidang pemerintahan. Dalam hal Partai Demokrat misalnya, menurunnya elektablitas partai ini amat mungkin tidak hanya disebabkan oleh berbagai kasus korupsi yang menimpa kader-kadernya tetapi disebabkan oleh takdir partai itu sejak awal yang melekat pada figur Susilo Bambang Yudoyono. Figur inilah yang mengikat masyarakat. Dalam dua pemilu sebelumnya, Susilo Bambang Yudoyono masih bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Fenomena demikian berbanding lurus dengan figur SBY dan berbanding lurus juga dengan daya lekat partai itu kepada masyarakat. Kini ketika kesempatan SBY sudah tidak ada lagi menjadi presiden, maka hal demikian juga berbanding lurus dengan daya lekat masyarakat kepada paartai tersebut. Orang bisa saja melepaskan keterikatakn partai karena figur yang mereka panuti sudah tidak mungkin menjabat lagi. Jadi, menurunnya elektablitisa partai ini juga bisa dikaitkan dengan sebuah resiko politik bagi partai yang terlalu mengandalkan figur sebagai cara untuk meraih suara. Di jaman modern sekarang, sudah tidak jamannya lagi partai politik memakai figur untuk meraih massa. Dalam konteks internasional, entah itu di Amerika Serikat (Kennedy). India (Nehru), Pakistan (Bhutto), Indonesia (Sukarno), sudah jauh merosot peran figur tersebut dalam meraih suara masyarakat. Faktor pengaruhnya adalah intelektualitas masyarakat yang sudah meningkat akibat keterbukaan yang luar biasa. Tidak ada lagi figur-figur itu yang berkuasa. Kalaupun berkuasa di sektor-sektor yang lebih kecil misalnya kabupaten atau kecamatan), itu sangat ddipengaruhi oleh tingkat perkembangan rasionalitas politik masyarakat. 16 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Maka, dalam kasus seperti Partai Demokrat, lepaskan saja set kedua ini, mulai lagi membangun partai dengan landasan rasionalitas, kejujuran dan kesungguhan hati dalam mengelola massa. Relakan para pejabat partai itu turun panggung dari kekuasaan pemerintahan untuk bahu membahu lagi membuat partai politik yang rasional. Biarkan hukum yang menilai bagaimana masalah-masalah korupsi yang dikaitkan dengan partai tersebut. Dengan cara itulah citra partai akan mampu terbangu lagi. Mengambil jeda dan memilihkan kepercayaan diri untuk memenangkan set berikutnya memerlukan waktu bertahun-tahun. GPB Suka Arjawa 17 Baik Buruk Calon Presiden yang Berani Tampil Lebih Dulu A pabila Partai Golkar telah menyebutkan calon presidennya untuk pemilu 2014, seperti juga yang dilakukan oleh Hanura atau Gerindra, tidak demikian halnya dengan Partai Demokrat, PDI Perjuangan dan PKS. Meski dua partai terakhir calonnya telah sering disebut-sebut, tetapi tetap belum ada nama pasti. Samarsamar mungkin ya, tetapi kepastiannya belum ada. Di Bali, apa yang dibilang samar itu cukup menakutkan dan dihindari orang, dipakai sebagai mitos untuk menghindari tempat-tempat tertentu. Bagi partai politik yang bersemangat ikut pemilu presiden 2014, acara samarsamar ini harus diperhatikan betul karena bisa-bisa akan dihindari masyarakat. Menunggu survei hasil pesanan juga belum tentu akan mampu memberikan kontribusi positif bagi elektablitas calon. Jadi, bagaimana sebaiknya memosisikan calon presiden setahun sebelum perebutan pemimpin tersebut digelar? Tinjauan sejarah kontemporer Indonesia memperlihatkan bahwa pemilihan umum secara langsung rakyat terhadap presiden hanya memberikan pilihan kepada mereka yang mampu menunjukkan diri sebagai calon presiden. Kalau Habibie dipilih berdasarkan ”turunan” dari pemimpin terdahulu, Gus Dur dan Mega terpilih karena sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka boleh dikatakan hanya Susilo Bambang Yudoyono terpilih melalui pilihan langsung oleh rakyat. Ya, memang benar mayoritas mengatakan bahwa terpilihnya pria asal Blitar ini disebabkan oleh pembawaaannya yang kharismatis dan nJawani. Akan tetapi, harus juga dilihat bahwa keberaniannya untuk mengumumkan diri sebagai presiden, menjadi 18 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT faktor penguat keberhasilannya. Keberanian memunculkan diri itu penting untuk masa ketika rakyat masih dalam keadaan stelemate memilih pemimpin. Ketika mencalonkan diri tahun 2004, mungkin masyarakat telah tahu bagaimana kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya. Dalam arti, masyarakat telah mengetahui bagaimana kinerja dan pola kepemimpinan presiden sebelumnya. Wajah abuabu itu sepertinya diselingi oleh jelasnya tampilan Susilo Bambang Yudoyono karena memberanikan diri menegaskan sikap. Tetapi, bukan saja Susilo Bambang Yudoyono yang menjadi penjelas juga apa yang dilakukan Amin Rais. Karena itulah kemudian, mereka yang menyatakan berani tampil menjadi presiden mempunyai peran penegas, membuat suasana abuabu meluber dan cenderung ke arah positif. Apabila misalnya tahun 2004 itu, SBY tidak mencalonkan diri, melainkan misalnya Yusuf Kalla, bisa jadi Kalla akan terpilih menjadi presiden karena ia menjadi faktor penegas di saat suasana abu-abu. Bahwa kemudian SBY yang terpilih, barulah kemudian faktor X yang berperan. Faktor X itulah yang terletak pada kharisma, pembawaan dan nJawani tersebut. Sekarang, sesungguhnya faktor abu-abu itu telah jelas terlihat dalam blantika politik Indonesia. Hebat di awal periode pemerintahn baik tahun 2004-2008 maupun 2009-2014, tetapi SBY banyak mendapat kritik menjelang akhir kepemimpinannya. Mudahnya presiden marah, mengritik lawan serta kasus korupsi yang tetap marak, merupakan beberapa kritik yang ditujukan kepada pemerintahan SBY. Kritik dan kenyataan dari pemerintahan tersebut kemudian semakin menyadarkan masyarakat bahwa memilih presiden tidak harus sekedar memilih kharisma belaka tetapi ada faktor lain, misalnya kemampuan manajemen, agar mampu menjalankan tugas kenegaraan. Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa sebenarnya sekarang masalah fenomena politik itu masih abu-abu. Rakyat masih belum bisa menilai bagaimana keberhasilan pemerintah sebelumnya. Karena itu merupakan kesempatan yang bagus bagi partai politik yang telah mempunyai keberanian mengeluarkan calon presiden. Dengan cara demikian, rakyat akan mampu melakukan penilaian terhadap calon bersangkutan, memberikan kritikan kepada calon dan GPB Suka Arjawa 19 syukur-syukur memberi masukan. Wilayah abu-abu yang ditinggalkan oleh kepemimpinan sebelumnya seolah menjadi tercoret dan digantikan oleh harapan-harapan dari kepemimpinan (calon) yang baru ini. Dalam massa yang dipenuhi oleh area abu-abu, harapan itu sangat penting. Politik boleh dikatakan sebagai pengelolaan harapan sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat. Calon presiden yang berani tampil terlebih dahulu, memiliki kesempatan lebih besar mengelola harapan itu menjadi potensi kemenangan, baik melalui janjijanjinya maupun fakta-fakta yang berupaya diungkapkan. Waktu dan manajemen kampanye yang akan membuktikan bagaimana keberhasilan calon presiden tersebut mengelola harapan kepada masyarakat. Akan tetapi,waktu dan keterampilan juga yang kemudian mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan saat memperkenalkan diri kepada masyarakat. Keberhasilan pengelolaan, termasuk tentu saja profesionalitas, akan mampu menumbangkan citra bahkan kharismatis seorang calon presiden kompetitor. Dalam hal Indonesia, nampaknya masyarakat sudah semakin paham apa makna kharisma itu dan sejauhmana kharisma mampu mendongkrak keberhasilan dalam mengelola negara. Kharisma mungkin mampu menarik pemilih tetapi belum tentu mampu melakukan pengelolaan negara secara lebih baik. Sejarah Indonesia dalam batas-batas tertentu telah membuktikan hal tetrsebut. Di balik manfaat yang mampu diraih kandidat yang lebih dahulu diperkanlakn kepada publik, tetap ada kelemahan-kelemahan dihadapi. Dari sisi politis dan norma yang ada, tampilan terlebih dahulu ke publik akan dipandang sebagai tukang salip dan tukang mencuri start. Jika pencitraan ini yang melekat pada masyarakat, maka kandidat seperti ini harus waspada. Betapapaun gencarnya calon menampakkan diri, sukar bagi masyarakat untuk menambatkan hatinya. Sebab, Indonesia masih trauma dengan politisi-politisi busuk dan politisi yang suka mencuri start. Trauma sejarah ini, tidak main-main karena telah berlangsung sejak jaman Orde Baru sampai dengan jaman reformasi. Katakanlah apabila reformasi ini telah berlangsung 13 tahun ditambah dengan 15 tahun pemerintahan Orde Baru terakhir, maka panjang trauma sosial terhadap politisi-politisi buruk di Indonesia itu sepanjang 28 tahun. Hampr sama dengan 20 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT kekuasaan Orde Baru. Dalam arti lain, trauma itu berlangsung hampir satu generasi. Maka, tantangan calon presiden yang lebih dahulu berani mengumumkan dirinya ke ruang publik sangat besar. Berani tampil ke publik haarus diimbangi dengan tindakan dan kiat-kiat yang benar-benar bersih dan taktis, tidak melakukan janji muluk-muluk dan harus mampu mencitrakan diri sebagai calon presiden yang berasih. Mau tidak mau juga harus diperhitungkan biaya ekonomi. Mereka yang tampil terlebih dahulu ke ruang publik akan mengeluarkan biaya lebih banyak. Biaya ekonomi politik juga lebih banyak. Hati-hati dengan hal ini karena masyarakat juga sudah memasukkan ke dalam memorinya, biaya ekonomi politik sangat terkait dengan kualitas koruptif para politisi. Jika ini terjadi, jangan-jangan calon presiden itu kelak ketika berhasil menjadi presiden, akan melegalkan korupsi. Masyarakat tidak ingin hal ini terjadi. Itu baik buruk dari calon presiden yang berani tampil mendahului. Jadi harus benar-benar terampil memanfaatkan sisa waktu yang ada sebelum pemilihan 2014. GPB Suka Arjawa 21 Kelemahan Popularitas Calon Presiden Indonesia C alon presiden dari Partai Golkar ternyata masih banyak mengritik. Bukan hanya dari kalangan eksternal tetapi justru dari sisi internal partai ini banyak yang melakukan otokritik. Misalnya, ada yang menyuruh mundur saja dan lebih baik berposisi sebagai King Maker. Tetapi, Partai Demokrat juga mempunyai masalah sama. Meski mekanisme konvensi sebagaian sudah berjalan, akan tetapi hasil konvensi inipun banyak yang meragukan. Kemungkinan calon presiden dari hasil itu tidak akan bisa ikut bertarung kalau partai ini tidak mendapatkan suara banyak dalam pemilihan legislatif nanti. Akibatnya, Demokrat harus ikut koalisi dengan pertai lain. Apabila hal ini terjadi, belum tentu calon dari partai tersebut terpilih dan diajukan. Alasannya: peserta konvensi Partai Demokrat kalah populer dibanding calon partai lain, apalagi Jokowi yang menjadi ”milik” PDI Perjuangan. Meski partai ini masih malu-malu kucing mencalonkan gubernur DKI itu tetapi, justru rakyat akar rumput banyak yang menggadang-gadangnya menjadi calon presiden. Malah para bebotoh telah ada mulai pasang taruhan, apakah kelak Jokowi dicalonkan atau tidak oleh PDI Perjuangan. Kalau sudah begini, sikap partai pun pada akhirnya mendorong munculnya perilaku judi di masyarakat. Jadi, sebaiknya partai politik mesti tahu juga keadaan masyarakat kalau memang para elitnya masih malu-malu mengakui keunggulan calon yang tiba-tiba muncul di masyarakat. Bahwa calon presiden dari Partai Golkar masih banyak mendapat kritikan dari kalangan internal, bisa disebutkan bahwa popularitas 22 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT itu ternyata memiliki hal lain di belakangnya. Calon dari partai ini jelas mempunyai popularitas tinggi. Bukan karena pernah menjadi menteri, pemilik perusahan besar termasuk juga sering kelihatan di televisi, tetapi baik kiprahnya dalam dunia ekonomi Indonesia maupun dinasti keluarganya memang telah mempunyai posisi tersendiri di Indonesia. Akan tetapi, sebagai calon presiden, popularitas itu memang tidak cukup. Disinilah harus dilihat bahwa missi sebagai calon presiden mempunyai faktor lain tersembunyi, tidak kelihatan, dimana faktor inilah yang mengaitkannya dengan kehendak masyarakat. Secara umum dikatakan bahwa kharisma akan mendorong masyarakat untuk memilih. Tetapi di samping kharisma ada faktor tersembunyi yang sangat mempengaruhi sikap masyarakat untuk memilih. Dikatakan tersembunyi karena ada kekuatan penggerak yang mendorong masyarakat memilih yang bersangkutan sebagai presiden. Apabila kharisma Soekarno dilihat dari cara berpidatonya, keberaniannya dan kepintarannya bersilat lidah, bagaimana harus menilai keterpilihan dari Cory Aquino sebagai Presiden Filipina tahun 1986? Kekuatan tersembunyi dari Cory adalah keyakinan rakyat bahwa di balik penderitaannya ada keinginan tulus untuk memerintah rakyat yang terpinggirkan di masa Ferdinand Marcos. Dan itulah yang kemudian terbukti karena Cory mampu menyelesaikan tugasnya selama enam tahun di tengah berbagai upaya kudeta dari Gregorio Honassan. Megawati bisa dikatakan sebagai kekuatan kharismatis yang didapatkan fari sang ayah. Kekuatan ini sesungguhnya tidak melekat terlalu kuat dan mudah goyah. Dengan konteks itu, mudah dimengerti mengapa pada pemilu tahun 1999 kekuatan PDI Perjuangan masih mampu ditempel oleh Partai Golkar dan partai lain yang kemudian memilih Gus Dur sebagai presiden melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mega pun hanya terpilih setelah Gus Dur ”dilengserkan”. Selanjutnya popularitas Megawati terus merosot. Boleh dikatakan rakyat masih belum melihat kekuatan tersembunyi di balik tokoh Megawati, mesti harus diakui apabila orangtuanya mempunyai kekuatan komplit, baik sebagai orang kharismatis maupun kekuatan tersembunyi yang hanya bisa dirasakan masyarakat. GPB Suka Arjawa 23 Pada konteks itulah harus dilihat bagaimana kondisi pemilihan umum presiden Indonesia tahun depan. Seorang calon presiden harus dipersepsikan mempunyai kekuatan tersembunyi di luar kharisma yang dimilikinya. Jadi, kharisma itu boleh dikatakan sebagai sebuah keperluan, tetapi tidak cukup dengan kharisma saja karena mesti ada sesuatu yang melekat di hati masyarakat, berdasarkan ”indra keenam” mereka. Karena itu setiap calon presiden yang akan melaju pada pemilihan nanti, tidak cukup hanya populer saja. Popularitas bisa dikatakan sebagai langkah pertama dari tiga langkah yang harus dimiliki. Setelah popularitas, langkah berikutnya adalah kharismatik. Tetapi dalam konteks Indonesia dan negara-negara berkembang, kharisma ternyata tidak cukup. Harus ada agenda tersembunyi yang bisa menggugah masyarakat untuk memilihnya. Macam-macam yang ada pada agenda tersembunyi ini, misalnya ratu adil, kesungguhan, benar-benar jujur, tulus, tidak muluk-muluk, keteladanan yang hanya masyarakat mampu mengartikan dan meyakininya. Popularitas itupun juga harus dilihat secara hati-hati. Konsepsi ini ada dua, yakni konstruksional dan popularitas populis. Popularitas konstruksional adalah keadaan yang sengaja dibentuk untuk membuat seseorang terkenal. Pembentuknya macam-macam seperti ketersediaann dana yang banyak, sekutu, jaringan, media massa atau membuat sensasi tertentu sehingga menjadi dikenal orang. Sedangkan popularitas populis, memang keadaan yang benar-benar membuat seseorang itu terkenal karena prestasi dan pembawaan dirinya. Masyarakat menerima orang seperti ini ”ikhlas”, paham, tahu, menyadari dan membenarkan populernya sehingga tidak mengandung kecurigaan-kecurigaan tertentu. Tetapi popularitas yang dikonstruksi, banyak menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Artis yang tiba-tiba populer sangat dicurigai karena ia kemungkinan sengaja dipopulerkan demi keuntungan media massa bersangkutan. Politisi yang tiba-tiba populer juga dicurigai karena kemungkinan dengan modal besar mereka mampu memplot berita, membikin acara sendiri atau membikin sensasi demi peemberitaan itu. Rakyat tidak akan menerima popularitas konstruksionall seperti ini. Bagi politisi, tidak akan mungkin memunculkan orang kharismatis apabila popularitas tersebut memang dikonstruksikan, 24 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT disengaja hanya semata-mata untuk mendapatkan simpati politik. Jika kharismatis saja masih belum bisa ditampilkan melalui metode konstruksi seperti ini, bagaimana mungkin para politisi tersebut mampu membentuk image ”tersembunyi” yang memang diperlukan dan dipercayai masyarakat untuk memilihnya. Dalam konteks pemilihan presiden mendatang, maka sebagian besar calon presiden yang telah berani memunculkan dirinya ke publik, termasuk mereka yang ikut konvensi, ada dalam ranah popularitas terkonstruksi itu, yakni upaya sengaja membentuk popularitas bagi dirinya. Di balik kelebihan mereka yang telah berani menampilkan diri terlebih dahulu ke hadapan publik, kelemahan mereka terletak pada popularitasnya yang masih berbentuk popularitas kontruksional. Masih jauh dari harapan publik yang menginginkan ada kekuatan tersembunyi, yang mampu mendorong keinginnan mereka untuk memilih. Apalagi sebagian para politisi Indonesia sudah kadung di cap tukang bohong oleh masyarakat. Lalu, siapa yang akan mampu mewujudkan diri sebagai calon pemimpin kharismatis yang ”lebih” dalam pemilu presiden mendatang? Mungkin ”ratu adil” yang akan mampu menjawabnya. Di tengah berbagai skandal, kasus, dan degradasi sosial di Indonesia, rakyat kembali menunggu ”ratu adil” untuk memerintah Indonesia. GPB Suka Arjawa 25 Realitas Televisi Dalam Perebutan Presiden Indonesia D ua stasiun televisi sekarang mirip acara wayangan. Jika acara televisi satunya menayangkan segala pembelaan terhadap pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, maka acara televisi sebelah menayangkan segala hal berbau baik tentang pasangan PrabowoHatta Rajasa. Sebaliknya apabila stasiun satu menyiarkan segala yang berbau miring tentang Prabowo-Hatta Rajasa, stasiun tetangganya menyoroti ”kemiringan” pasangan capres Jokowi-Jusuf Kalla. Kenyataan ini seperti dunia adegan wayang karena dua stasiun televisi itu ”dikendalikan” oleh mereka yang tergabung dalam kompetisi presiden Indonesia 2014. Jika dilihat dari teorinya Teguh Srimulat, fenomena dua televisi ini sungguh-sungguh sebuah lawakan. Teori Teguh tentang lawak adalah sebuah pembelokan atau kekeliruan makna, gerak, atau fungsi dari realitas sosial. Karena itu, orang yang paling lucu di dunia adalah balita dan anak-anak karena mereka membelokkan dan mengelirukan semua kasanah sosial. Televisi yang seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat, justru memberikan kebingungan. Tertawa merupakan output stasiun tersebut, dan outcome nya bisa golongan putih. Di tengah tekanan ekonomi yang masih terasakan oleh banyak masyarakat, serta tegang-tegangnya kompetisi calon presiden tersebut, maka penampilan dari dua stasiun televisi ini memberikan nuansa tertawa juga. Jadi tetap mempunyai manfaat. Sebelum satu dekade terakhir, paling tidak sejak keberhasilan John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, televisi memegang peran penting dalam permainan politik, baik pada tingkat 26 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT lokal, apalagi pada tingkat nasional. Tidak lain karena ”benda” ini mampu memberikan informasi secara audiovisual. Dengan data, serta gambar bergerak yang ditayangkan kepada masyarakat, televisi merupakan sumber daya potensial pada aktivitas politik. Satu hal luar biasa yang ditampilkan televisi pada bidang politik adalah pembentukan keyakinan masyarakat. Dengan kemampuannya memberikan gambaran data serta gambar bergerak kepada pemirsa, maka data-data tersebut memberikan keyakinan kepada pemirsa yang ada di rumah. Kedua pihak sangat diuntungkan dalam hal ini. Kandidat politik tidak perlu menghabiskan tenaga dan waktu untuk meyakinkan sikap sosial tersebut. Cukup dengan menyewa stasiun televisi, atau kandidatnya duduk diwawancara, maka secera serentak itu juga akan dilihat oleh ribuan bahkan jutaan massa pemirsa televisi. Rentang jangkauannya juga tidak sekedar kota tetapi sampai ke pelosok desa. Bagi pemirsa, juga tidak perlu repot-repot berjalan (apalagi teriak-teriak sambil bertelanjang dada, mengecat tubuh, tapi kehausan!!) menghadiri kampanye di lapangan yang terik hanya untuk mendengar pidato kandidat. Mereka cukup duduk di kamar untuk menonton kampanye kandidat. Data, gambar dan kepiawaian gerak dari para politisi ini akan mampu meyakinkan publik yang menonton televisi. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat pada awal dasawarsa enampuluhan ketika John F. Kennedy berhasil memenangkan pemilihan umum. Kennedy mampu meyakinkan rakyat untuk memilih, menyingkirkan lawannya. Data dan penampilannya mampu menggugah keyakinan masyarakat. Padahal saat tampildi televisi Kennedy sesungguhnya sakit punggung tetapi tidak terlihat di televisi. Demikian juga jas yang dipakai hitam tidak abu-abu seperti yang dipakai lawannya, Richard Nixon. Jas hitam ini justru lebih meyakinkan penampilannya (kelihatan tegas) di televisi bagi masyarakat. Inilah realitas televisi yang mampu menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh kandidat. Di luar kecerdasan yang memang dimiliki Kennedy, televisi mampu menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang dimiliki seorang kandidat politik. Tetapi itu adalah realitas pada awal dekade enampulhan dan GPB Suka Arjawa 27 berlanjut pada dekade delapanpuluhan sampai paruh pertama dekade sembilanpuluhan. Setelah periode ini, televisi mendapat tantangan lagi dari perangkat yang lebih hebat, yaitu internet. Dan hanya dalam waktu kurang dari satu dekade internet pun mendapat tantangan hebat dari berbagai perangkat gadget modern seperti, facebook, twitter, instagram, path, line, kakao talk dan sebagainya . Posisi televisi sesungguhnya sangat terdesak. Orang semakin tahu bahwa realitas yang ditampilkan oleh televisi itu adalah realitas maya dan mempunyai spektrum yang sempit. Tampilan tayangan di televisi hanya kelihatan bagus sepanjang layar persegi empat tersebut. Di balik atau di luar layar itu, terdapat realitas lain yang bisa lebih bagus atau justru yang amat jauh lebih buruk dari apa yang terlihat di layar. Inilah realitas maya televisi. Fenomena ini sangat jelas terlihat pada kehidupan dunia artis, dimana saja. Dengan data tandingan yang diberikan oleh internet, telepon seluler, twiter, instagram dan sebagainya itu, keampuhan televisi menjadi jauh berkurang dalam upaya meyakinkan pemirsa. Pilihan politik pada hakekatnya merupakan akumulasi keyakinan-keyakinan yang dikumpulkan oleh masyarakat terhadap kandidat. Jika datadata tersebut demikian meyakinkan anggota masyarakat dan semakin banyak data yang mampu meyakinkan, maka pilihannya sesuai dengan persepsi keyakinan tersebut. Budaya politik masyarakat adalah keyakinan terakumulasi yang tertuju kepada rakyat dengan rentang yang lebih luas. Tidak ada bedanya pemasaran politik dengan pemasaran ekonomi yang berobyek pada akumluasi keyakinan. Dulu televisi inilah yang memegang kendali tersebut. Kini setelah munculnya berbagai gadget modern itu, apa yang ditampilkan televisi ditantang dan bisa dijungkirbalikkan oleh berbagai informasi melalui gadget yang cukup dibawa dengan tangan, melintasi ruang dan waktu. Sekali kebohongan yang ditampilkan televisi dan itu dibuktikan oleh berbagai informasi yang didapatkan dari internet, instagram, twitter dan sebagainya itu, maka segala penampakan di televisi akan dijauhi masyarakat dan dipandang bohong. Televisi kembali menjadi jagat tradisional, sebagai penghibur atau justru dipandang sebagai lawakan saja. Dengan begitu haruslah hati-hati menjaga penampilan, informasi, 28 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT data di televisi. Sekali salah, citra akan berjatuhan. Barangkali itulah yang membuat mengapa tokoh pemilik televisi dan jaringan televisi bertumbangan saat pemilu anggota legislatif bulan April 2014 yang lalu. Para kandidat calon presiden harus juga memahami bahwa fenomena jaman sekarang, alur informasi politik itu kemungkinan telah berubah. Arah pencerdasan juga bisa jadi berubah. Apabila di masa lalu, terutama di jaman Orde Baru, generasi dewasa (orang tua) yang memberikan informasi pilihan politik kepada anak-anak muda, sekarang kemungkinan itu telah berbalik. Kemampuan anakanak muda mengakses informasi melalui gadget yang dibawanya, memungkinkan mereka membantah pilihan politik orang tuanya dan akhirnya membuat pilihan politik orang tua juga ikut terbawa dari anak muda. Anak-anak muda ini bisa saja menumbangkan data yang ditampilkan televisi untuk kemudian ”menceramahi” orang tua mereka yang ”gaptek”. Saat ini jumlah pemilih muda (pemula) sekitar 50 juta. Apbila 30 juta saja pemilih ini mempunyai gadget dan 20 juta kemudian menyampaikan ”pelajaran politik” kepada 3 orang, maka jumlah yang didapatkan sukup siginfikan. Padahal pemilu presiden 2014 diikuti oleh 180 juta, yang mungkin sebagian golput. Maka hatihatilah menampilkan tayangan politik di televisi di jaman sekarang. Salah-salah tayangan itu akan menjadi blunder yang membuat upaya kampanye menjadi gagal. GPB Suka Arjawa 29 Presiden Dalam Mata “Pancingan’ Relawan M asing-masing calon pasangan presiden mempunyai tim relawan untuk membantu sukses mereka dalam pemilihan tanggal 9 Juli yang lalu. Sampai saat ini relawan itu tetap masih ada, meskipun pemilihan presiden sudah usai dan Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla tampil sebagai pemenang, meski Mahkamah Konstitusi masih melakukan sidang untuk memutus perkara sengketa pemilu yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Berbeda dengan tim sukses yang dibentuk oleh pasangan calon presiden, relawan ini benarbenar datang dari rakyat. Mereka mempunyai karakter tersendiri, yakni dibentuk secara spontan, untuk mendukung junjungannya, rela tanpa upah dengan tujuan mensukseskan dukungannya meraih cita-cita. Dalam hal ini adalah menjadi presiden. Terhadap pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, itu misalnya terlihat ketika ada konser musik yang diselenggarakan di Stadion Senayan. Apabila pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla kelak tetap terpilih menjadi presiden setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan keputusannya, maka relawan ini mempunyai potensi bagus untuk tetap dipertahankan. Kemunculan relawan pemilu pilpres tahun 2014 ini boleh dikatakan sebagai gejala sosial menarik karena mempunyai sifat meluas dan berada di ibu kota negara. Dikatakan meluas karena begitu banyaknya orang hadir dan menyatakan dirinya sebagai relawan (katakanlah untuk Jokowi-JK). Penuh sesaknya stadion Gelora Bung Karno oleh relawan Jokowi ini menjadi salah satu indicator meluasnya itu. Apabila dalam satu hari mampu memenuhi 30 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT stadion sampai melebihi 200.000 orang, ini merupakan bukti cukup untuk mengatakan fenomena itu meluas. Dalam konteks social, bisa dikatakan meluas dan membludaknya orang itu merupakan janji tidak terkatakan, terucapkan tentangsuatu dukungan yang sama. Artinya ada kesamaan pendapat yang kemudian mendapatkan momentum secara bersama-sama. Ada tempat untuk mengutarakan itu. Di dalam suatu yang tidak kelihatan itu, mungkin terselip ada ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada. Misalnya kesenjangan kehidupan, ketidakadilan, kesesakan hidup di ibu kota sampai dengan ketidakadilan politik. Harapan mereka tentu kepada tokoh bersangkutan berbagai ketimpangan itu akan mampu diselesaikan. Inilah fenomena munculnya sukarelawan Jokowi-JK di Stadion Utama Bung Karno itu. Bahwa fenomena itu muncul di ibukota negara, membuktikan masalah-masalah yang diungkapkan diatas banyak ada di ibu kota negara (Jakarta). Mungkin dalam sukarelawan itu tidak banyak berasal darii golongan kelas menengah atas. Akan tetapi mungkin juga ada yang berasal dari golongan tersebut, meskipun sedikit. Jumlah elit sebagai relawan tidak terlalu penting karena mereka justru mampu menggerakkan masyarakat dan meyakinkan golongan menengah ke bawah. Kehadirannya menjadi legitimasi bagi rakyat kecil untuk mengungkapkan perasaannya. Yang paling penting justru kehadiran fenomena itu di ibukota negara. Dalam satu negara, ibukota adalah pusat, core sector dari seluruh negara. Ibukota merupakan mata dan jantung dari berbagai pergerakan nasional. Karena fungsinya seperti itu, maka berbagaii peritiwa yang terjadi di ibukota negara, akan menjadi inspirasi di daerah-daerah. Pengaruh berbagai peristiwa itu akan meluas ke daerah. Dengan demikian, adanya fenomena relawan di ibukota negara itu pasti berpengaruh di daerah-daerah. Artinya akan tumbuh juga relawan-relawan calon pasangan presiden di daerah. Meskipun jumlah relawan di satu daerah tidak sama dengan apa yang ada di ibu kota negara, akan tetapi secara akumulatif, jumlah itu akan melebihi dengan apa yang ada di ibu kota negara. Di Indonesia, jumlah keseluruhan relawan di 34 (33) propinsi akan melebihi jumlah relawan di Jakarta. Apakah artinya relawan ini dalam kelanjutan pemerintahan di GPB Suka Arjawa 31 Indonesia? Relawan adalah pendukung dari calon pasangan presiden. Koheren dengan dukungan itu adalah langkah dan pilihan kebijakan dari calon presiden. Ada kesepakatan yang awalnya diam-diam dan kemudian terbuka saat kumpul berasama terhadap kebijakan presiden. Maka, apabila calon presiden dukungannya itu mampu memenangkan pemilihan umum, sudah seharusnya para relawan ini juga mendukung segenap kebijaksanaan dari presiden terpilih dukunganya itu. Disinilah kemudian manfaat relawan ini dalam pemerintahan Republik Indonesia. Relawan ini melanjutkan dukungannya saat junjungannya itu telah terpilih menjadi presiden. Tantangan paling besar dari para relawan ini justru terletak manakala junjungannya itu berhasil mencapai cita-citanya. Cerita tentang relawan di tingkat pemilihan bupati sering kali terjadi masalah setelah keterpilihan tersebut. Banyak mereka-mereka itu ternyata relawan palsu yang menginginkan “hadiah” setelah tercapai cita-cita junjungannya. “Hadiah” itu bisa dalam bentuk posisi jabatan, pegawai negari, bahkan sampai dengan permintaan uang. Celakanya tokoh-tokoh relawan inilah yang menjadi masalah karena sang tokoh menginginkan posisi dan kedudukan tersebut. Cerita mengenai dipukul dan ditempelengnya bupati terpilih setelah tidak mendapat “hadiah” pernah terlontar di masyarakat. Cerita relawan yang meminta kanaikan kedudukan, pegawai negeri sampai minta “honor” itu jelas bukan relawan murni. Mereka adalah seorang petualang atau pengemis jabatan dengan bungkus mendukung calon politisi. Relawan adalah orang yang benar-benar mampu memberikan dukungannya dengan sukarela. Maka, ketika misalnya Jokowi-JK telah pasti menduduki jabatan sebagai presiden dan wakil presiden, relawan ini tidakk boleh menjadi pengemis jabatan. Mereka benarbenar secara sukarela membantu penmerintahan dengan ikut memasyarakatkan berbagai kebijakan pemerintah. Tahu tentang bagaimana kondisi masyarakat dan tahu dengan bagaimana kondisi pemerintah. Mereka harus bisa menjelaskan kepada masyarakat soal keterlambatan kebijakan kemiskinan (misalnya) karena pemerintah masih disibukkan oleh urusan daerah tertinggal (misalnya). Mereka 32 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT juga harus mampu mengenal karakter masyarakat setempat untuk lebih mudah menjelaskan hal-hal yang sifatnya urgen tersebut. Sebagai relawan yang menyebar di seluruh negara maka merekamereka yang ada di daerah inilah yang mempunyai kedudukan penting sekarang, disaat junjungan mereka telah menjadi presiden. Bagaimanapun, keputusan pemerntah tersebut bertujuan harus sampai di daerah. Di dalam system pemerintahan Indonesia sekarang, dimana otonomi ada pada tingkat kabupaten, maka relawan ini juga harus mempunyai kedekatan hubbungan dangan pemerintah daerah tingkat II. Tanpa itu, akan percuma disebut relawan. Mereka yang meminta jabatan dan kedudukan, tidak beda dengan pengemis intelektual. GPB Suka Arjawa 33 Saling Membagi Informasi Untuk Memajukan Indonesia P ertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan presiden terpilih, Joko Widodo di Nusa Dua beberapa waktu lalu, memberikan inspirasi positif bagi masyarakat, pemerintahan dan generasi baru di masa mendatang. Pertemuan tersebut juga mempunyai manfaat besar secara psikologis karena mampu memberikan rasa nyaman politik, menurunkan tensi tegang dalam empat bulan terakhir akibat rivalitas pemilihan presiden. Dengan pertemuan itu, rasa persaudaraan, kewajaran bahwa keaslian hubungan sosial kembali bisa ditemukan. Persaingan politik tidak harus berakhir dengan “putus kontak” dua pihak yang sedang berkompetisi. Seperti yang dilihat oleh masyarakat, hubungan antara Prabowo Subianto dan Jokowi terasa tidak enak sampai sekarang. Dan konon hubungan antara Susilo Bambang Yudoyono dengan Megawati juga disebut-sebut terganjal hingga saat ini. Dengan demikian, pertemuan antara Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden yang akan mengakhiri masa jabatan dengan Jokowi yang segera menjabat, ikut membantu memberikan sumbangan pikiran ke depan bahwa kompetisi politik tidak harus berakhir dengan kerenggangan persahabatan. Mereka diharapkan saling membagi informasi untuk memajukan Indonesia. Dalam hubungan kepemerintahan negara, waktu lima tahun, bukanlah waktu panjang untuk menyelesaikan satu missi pemerintah. Bahkan sepuluh tahun pun bukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan segala persoalan. Apalagi jika misalnya pemerintahan itu diganggu di tengah jalan oleh berbagai move politik. 34 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Karena itulah harus ada pertemuan kedua belah pihak untuk saling member masukan dan meminta pendapat. Pembangunan ekonomi Indonesia di masa Susilo Bambang Yudoyono selama satu dekade tidaklah dapat dikatakan berhasil tuntas karena angka kemiskinan relatif Indonesia tidak mampu ditekan secara siginifikan. Bahkan mungkin terjadi involusi. Meminjam istilah Clifford Geertz, involusi pertanian dimaksudkan sebagai wujud semu keberhasilan pertanian. Penampakan keberhasilan dalam satu lahan mungkin ya. Akan tetapi jumlah penggarapan lahan satu hektar (misalnya) justru lebih banyak dibanding sebelumnya, misalnya dari 5 orang menjadi 7 orang. Akibatnya, hasil itu secara perorangan justru lebih kecil dibanding sebelumnya karena dibagi oleh lebih banyak orang, meskipun padi lebih menguning dalam satu hektar tersebut. Kemakmuran palsu ini jamak terlihat di jaman Orde Baru. Kalaupun kemudian di desa terlihat banyak bangunan yang telah bertembok semen dengan lantai berkeramik, tetapi apabila pengangguran juga bertambah banyak, jalan ke kampung rusak dan banjir belum mampu dicegah, maka kemakmuran itu palsu. Realitasnya kemiskinan tidak beranjak dari angka sebelumnya. Bahkan menjanjikan adanya kemiskinan yang lebih massif di masa mendatang. Gambaran yang disebutkan diatas itu merupakan fenomena tersembunyi dari pembangunan negara, sering terjadi pada negaranegara transisional dari sosialis menuju liberal dan telah dipraktikkan gagal di Amerika Latin. Bahayanya, fenomena kemiskinan tersembunyi ini bisa menimbulkan protes rakyat, kemunculan karte-kartel narkoba, sampai pemberontakan. Apa yang terjadi di Nikaragua, Kolombia, Bolivia bisa dilacak dari kegagalan prinsipprinsip pembangunan seperti itu. Di permukaan kelihatan baik tetapi realitas tersembunyinya memperlihatkan hal berkebalikan. Indonesia di masa reformasi ini, bagaimanapun boleh dikatakan sebagai negara yang sedang bertransisi. Bahkan transisi itu ada pada tiga bidang sekaligus, yakni politik, ekonomi, dan kebudayaan Pada bidang politik, Indonesia mempunyai transisi dari totaliter ke upaya egalitar demokrasi). Pada bidang ekonomi, dari sistem “Pancasila” ke liberal. Dan pada bidang budaya, terasa sekali anak-anak muda Indonesia mulai menyerbu model-model di luar kebudayaan GPB Suka Arjawa 35 Indonesia seperti terlihat pada gaya berpakaian, pola kerja, perilaku, seni yang entah dari mana datangnya. Pendek kata transisional itu kini sedang ada dan sedang berlangsung pada masyarakat Indonesia. Missi untuk menuntaskan agenda reformasi maupun missi lain yang diemban SBY ketika menjabat, kemungkinan masih belum bisa tuntas benar. Karena itu, pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan Joko Widodo sebagai presiden terpilih sangat penting untuk melakukan komunikasi langsung tentang apa yang harus dilanjutkan dan dibenahi dalam pemerintahan mendatang. Keterpaduan antara missi dari SBY yang tidak berhasil dicapai untuk diklopkan dengan missi Joko Widodo yang kelak dijalankan. Link ini harus disatukan. Disini, yang lebih memberikan peran penting sesungguhnya ada pada Susilo Bambang Yudoyono. Secara politik, langkah yang dilakukan Susilo Bambang Yudoyono sesungguhnya sudah “menang” dibanding dengan presiden-presiden lainnya. Belum pernah ada kesempatan seperti ini dilakukan oleh presiden yang masih berkuasa dengan presiden terpilih. Artinya Susilo Bambang Yudoyono telah memenangkan politik citra yang sebenarnya. Dia memberikan contoh kepada generasi lain yang mungkin akan menguntungkan juga bagi partai politik pengusung. Paling tidak citra sportifitas akan tertancapkan pada pribadi dan partai politik pendukungnya dulu. Peran lain yang lebih penting adalah alur informasi yang sangat bermanfaat dari Susilo Bambang Yudoyono tentang kegagalankegagalan atau kekurang berhasilan yang didapatkannya saat menjabat. Akan sangat bagus kalau informasi tentang kegagalan tersebut juga mnyebutkan metode yang dipakainya. Informasi ini jelas penting bagi Joko Widodo-Yusuf Kalla untuk mempersiapkan perencanaan secara nasional, untuk kemudian membagi perencanaan tersebut ke dalam skala yang lebih kecil. Keterusterangan dan kejujuran penyampaian informasi ini sangat penting karena ini akan menentukan keberhasilan penyerapan informasi yang didapatkan oleh Jokowi. Satu yang mesti diperhatikan dalam konteks seperti ini adalah metode untuk mencapai tujuan dalam proyek tersebut. Meskipun segenap kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudoyono selama memerintah telah diungkap di media 36 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT massa dan mungkin telah dikliping, tetapi persoalan metode yang dipakai sering kali tersembunyi sifatnya. Pemerintah tidak berani mengungkap metode ini karena takut dikritik oleh pihak lain. Karena itu metode inipun harus disampaikan kepada Jokowi dan pembantupembantunya. Dari telaah metodis inilah nanti para pembantu pemerintahan Jokowi akan mencoba menelusuri kegagalan, memperbaiki metodenya dan memperispkan perencanaan secara nasional untuk melanjutkan proyek tersebut. Atau justru merombaknya dengan mengganti lewat proyek lain untuk mensejahterakan masyarakat. Misalnya, bantuan langsung tunai, bukanlah metode yang bagus untuk mensejahterakan masyarakat. Demikian juga metode bedah rumah yang kini sering kali dipandang sebagai cara instan untuk mencari popularitas politik. GPB Suka Arjawa 37 Citra Dalam Pelantikan Presiden Indonesia D alam hubungan antar negara, citra memegang peran penting sekali. Dalam beberapa teori sering disebut image, yang melintasi jaman. Contoh paling jelas adalah sidang pemilihan ketua DPR dan MPR Indonesia baru lalu. Bagian dari komunitas ekonomi internasional langsung bersikap negatif ketika melihat kekisruhan sidang tersebut. Investor enggan menanam modal dan membuat nilai rupiah jatuh. Mereka mengkhawatirkan kestabilitas politik yang berimbas pada stabilitas sosial. Stabilitas nasional penting dilihat para investor. Inilah yang sangat diperhatikan Presiden Soeharto pada sebagian besar pemerintahannya. Investor tidak mau peduli dengan berbagai perdebatan dan wacana yang mencoba meyakinkan mereka tetapi lebih memilih “penampilan” politik di permukaan sebagai bahan pertimbangan membuat keputusan ekonomi. Sebagai negara yang masih mempertimbangkan investor untuk membantu proses pembangunan, maka Indonesia harus memperhatikan betul hal ini. Kini, setelah sidang DPR dan sidang MPR yang telah “mengganggu” citra Indonesia tersebut, ada satu panggung yang mampu memberikan citra kepada Indonesia, yakni pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, hari Senin, 20 Oktober 2014. Pelantikan pemimpin eksekutif negara ini sesungguhnya mempunyai makna besar dan paling meluas bagi sebuah negara, dibandingkan dengan seremonial lembaga yang lain. Dari sudut sosiologis, pelantikan kepala negara adalah jendela sosial bangsa dan negara. Media massa internasional pasti akan menayangkan pelantikan itu. Disamping 38 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT menayangkan atau memberitakan pelantikannya, sebagai sebuah features, media massa akan meliput kondisi geografis, kondisi sosial, kekayaan alam, pola kehidupan, budaya, seni dan sebagainya kepada khalayak. Melalui tayangan ini akan terpatri citra dan gambaran bangsa dan negara ke seluruh dunia. Masyarakat internasional akan menangkap bagaimana jati diri sebuah bangsa dan negara. Politik disini seolah menguap karena masyarakat internasional melihat gerak sosial budaya dalam kehidupan masyarakat negara itu dan membuat kesimpulannya sendiri. Dan para investor pun juga membuat analisisnya sendiri berkaitan dengan upaya menanam modal. Dari sisi politik, pelantikan presiden akan bisa menggambarkan bagaimana hubungan politik antar lembaga maupun antar individu di dalam suatu negara. Sorotan media massa pasti akan memperlihatkan tokoh-tokoh dan representasi kelembagaan saat pelantikan tersebut. Lembaga itu bisa berupa lembaga negara (eksekutif, legislative dan yudikatif), bisa partai politik, kelompok kepentingan, tokoh-tokoh pimpinan yang hadir. Akumulasi kehadiran dalam pelantikan ini mencerminkan dan menggambarkan kualitas harmonisasi kepemimpinan pemerintahan suatu negara dan mencerminkan bagaimana stabilitas jangka pendek maupun jangka panjang negara tersebut. Bisa juga dilihat keadaan konfigurasi politik yang ada di negara bersangkutan. Apabila misalnya pelantikan tidak dihadiri oleh pemimpin partai politik, atau tokoh-tokoh politik di suatu negara, secara mudah bisa ditafsirkan oleh para pihak, bahwa negara itu mempunyai politik yang sangat fragmentatif. Dan stabilitas politik ke depannya bisa diprediksikan. Tentu yang sebaliknya juga bisa terjadi. Pemandangan di pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla Senin depan akan mampu diperkirakan bagaimana kondisi Indonesia ke depan. Para investor cukup melihat pelantikan ini untuk memprediksi bagaimana keadaan politik Indonesia ke depan. Dari kancah politik internasional, juga akan tergambarkan seberapa penting posisi negara itu bagi negara lain. Ini terlihat misalnya dari kehadiran-tamu-tamu negara luar yang hadir. Semakin banyak pemimpin negara atau pemerintahan yang hadir, memperlihatkan bagaimana wibawa dari negara itu bagi negara lain. Dalam beberapa berita di media massa, tamu yang hadir dalam pelantikan Joko Widodo GPB Suka Arjawa 39 dan Jusuf Kalla ini cukup beragam. Meski tidak mutlak dihadiri oleh kepala negara atau kepala pemerintahan, tetapi tetap memperlihatkan bahwa peta posisi Indonesia di mata dunia tetapp penting, terutama di kawasan Asia Tenggara. Beberapa pemimpin negara di Asia Tenggara menyatakan akan hadir langsung pada pelantikan itu. Namun demikian, yang paling penting nanti dilihat adalah bagaimana pidato sambutan (jika ada) dari presiden baru, Jokowi. Pidato ini mengandung pesan paling besar karena sebagian dari isi pidato itu mencerminkan kebijakan-kebijakannya presiden, baik dalam konteks dalam negeri maupun luar negeri. Diplomasi awal dari presiden akan terlihat dari pidato ini, dan karena itu sangat berguna bagi negara-negara asing. Melalui pidato inilah akan diperlihatkan pola-pola hubungan yang kelak coba dipatrikan oleh Indonesia. Kemajuan dan kemodernan atau bahkan perubahan arah politik luar negeri akan terlihat disini. Demikian juga dengan kebijakan politik dalam negeri. Bagi masyarakat, pidato yang menyinggung politik dalam negeri haruslah merupakan momen yang paling ditunggu. Sebab, dalam kondisi politik yang “terbelah dua” saat ini, tetap harus dilihat cara pandang Jokowi kepada seterunya. Sangat dimungkinkan para investor juga akan terpengaruh dengan pidato ini. Disamping melihat bagaimana pencitraan yang akan tumbuh dalam pelantikan presiden nanti, juga akan bisa dilihat sikap berbagai kelompok (politik) yang kini ada di Indonesia. Juga akan bisa dianalisis, bagaimana perilaku politik para politisi (bahkan partai politik). Jika misalnya para politisi yang kini sedang berseteru antar kelompok ini tetap bisa datang (terutama di kalangan anggota DPR), maka mereka menjadii bagian dari pihak yang menyelamatkan martabat negara dari mata negara lain. Bagaimanapun peran menjadi negarawan tetap diperlukan dalam kondisi seremonial yang dihadiri oleh berbagai tamu luar negeri. Jika tidak hadir, dengan alasan berbelit-belit, apalagi membikin gaduh lagi di hadapan undangan negara asing, maka mereka bukan saja memperlihatkan politisi kacangan yang sangat bukan negarwan tetapi juga sebagai pencoreng muka negara sendiri. Nama dan citra negara akan semakin rendah di mata negara lain. Mudah-mudahan dalam pelantikan presiden nanti, seluruh anggota parlemen Indonesia mampu memperlihatkan dirinya sebagai seorang negarawan. 40 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Mewujudkan Quick Wins Dalam Pemerintahan Indonesia Baru D alam satu seminar di Jakarta beberapa waktu lalu, ada pemikiran bahwa cara terbaik Jokowi meyakinkan rakyat adalah segera mewujudkan kebijakan yang paling bisa dinikmati. Kebijakan ini disebut dengan quick wins yang disebutkan bisa diperlihatkan dalam waktu tiga hari. Sebagai sebuah ide, mungkin ide ini positif karena meyakinkan khasanah masyarakat banyak. Sarwono Kusumaatmaja, salah seorang meneteri jaman Orde Baru yang aktif menyuarakan pikirannya mengutarakan apabila dalam waktu tiga hari berhasil, masyarakat akan semakin percaya dengan kepemimpinan Jokowi. Ide quick wins ini mungkin sulit diwujudkan oleh presiden baru, apalagi yang diinginkan berupa perwujudan kebijakan konkrit, semacam tersedianya lapangan kerja, apalagi peningkatan kesejahteraan rakyat yang berskala nasional. Akan tetapi, sesungguhnya Jokowi mempunyai cukup banyak aset yang mampu diwujudkan dalam waktu singkat. Yang paling mampu diperlihatkan dan segera dirasakan oleh masyarakat justru berpotensi terjadi pada saat pelantikan Jokowi. Jika pelantikan ini berlangsung lancar dan dihadiri oleh sebagian besar oleh anggota MPR, termasuk Koalisi Merah Putih, ini merupakan keberhasilan paling awal dari presiden terpilih. Dengan keberhasilan pelantikan itu, berarti telah mampu menurunkan intensitas kekhawatiran rakyat. Sebagian masyarakat Indonesia merasa khawatir bahkan tegang dalam waktu beberapa GPB Suka Arjawa 41 waktu terakhir ini karena ada ancaman pemboikotan pelantikan presiden. Kelancaran pelantikan merupakan quick wins awal dari Jokowi. Ancaman itu sesungguhnya merupakan bagian dari politik juga. Boleh jadi merupakan bagian dari propaganda pihak-pihak yang tidak menyukai Jokowi dengan pemerintahannya kelak. Ancaman ini merupakan metode penanaman pengaruh dalam bentuk ancaman dengan tujuan bukan saja mengganggu kejiwaan masyarakat tetapi juga membangkitkan kebencian kepada pihak yang dilawan (Jokowi dan pemerintahannya). Propaganda lazim dilakukan antar pihak yang sedang konflik atau bersengketa, baik dalam skala kenegaraan, kelompok negara atau kelompok politik. Realitas politik Indonesia dalam satu tahun terakhir ini secara jelas memperlihatkan keterbelahan politik itu dalam dua pihak. Kecuriagaan, kekhawatiran dan ketakutan akan pemboikotan itu, besar di benak masyarakat. Pemboikotan akan melahirkan masalah dan biaya politik yang lebih besar lagi, misalnya penundaan pelantikan, lobi-lobi politik, dekrit presiden lama sampai dengan pengulangan pemilihan umum. Dengan demikian, apabila pelantikan ini berlangsung lancar, tidak diragukan ini merupakan hasil politik Jokowi paling awal yang bisa dimasukkan dalam katagori quick wins, yakni politik paling awal yang mempunyai dampak dan dinikmati secara langsung masyarakat. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari langkah strategis dan langkah politik yang dilakukan Jokowi beberapa hari menjelang pelantikan. Dalam konstelasi teori konflik, cara untuk meredam konflik mempunyai beberapa dimensi. Misalnya rekonsiliasi, dimana pihak-pihak melakukan inisiatif untuk mempertemukan dirinya. Jokowi sebagai presiden terpilih, langsung mengeluarkan inisiatif dan melaksanakannya, yakni dengan bergerak mengunjungi para pemimpin lembaga legislative yang kebetulan sebagian besar bersikap berlawanan dengan sikap politiknya. Ia juga bersafari dengan menemui Aburizal Bakri dan Prabowo Subianto, tokoh kompetitor yang demikian bersaing ketat dalam pemilihan presiden lalu. Paling tidak dengan kunjungan-kunjungan tersebut, dalam waktu satu minggu menjelang pelantikan Presiden Indonesia ketujuh ini, suasana dan tekanan politik telah mulai menurun. Itu 42 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT bisa dirasakan dan dimaknai positif oleh masyarakat. Sekali lagi, inilah yang bisa dikatakan sebagai quick wins dari Jokowi sendiri. Yang penting diperhatikan oleh masyarakat sekarang adalah keberasaran jiwa dan kemengertiannya melihat kepemerintahan mendatang. Ini penting dipahami karena apa yang ada di benak masyarakat, kemungkinan besar tidak akan bisa “nyambung” secara sempurna. Kekhawatiran paling besar dari kemenangan terhadap pemimpin yang berpredikat kharismatis adalah ketika masyarakat merasakan “ketidaknyambungan” tersebut dalam pemerintahan riilnya. Masalah kharismatis-populis itu ada pada jalur citra dan pencitraan yang dibawa oleh sosok dan perilaku pemimpin. Sedangkan kebijakaan politik yang adil ada pada ranah fakta sosial. Dalam lingkup negara, kebijakan politik mengalami tantangan yang luar biasa besar seperti waktu penerapan, persetujuan politik (antara eksekutif-legislatif), dana, pelaksana, disiplin, dan sebagainya. Itulah misalnya, upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi, memerlukan waktu satu periode kepemimpinan presiden. Untuk melihat realitas peningkatan ini memerlukan kesabaran dari rakyat. Bahkan satu periode pun masih belum mampu diwujudkan. Rakyat yang memilih pemimpin dengan basis kharismatis-populis, cenderung memiliki kekurangsabaran untuk melihat hasil. Maka, yang paling dipentingkan sekarang untuk menjaga “harmonisasi huhungan” antara rakyat dengan pemimpin kharismatis-populis itu adalah adanya kesabaran dari rakyat dan kesungguhan dari pemimpin untuk mewujudkan kebijakankebijakan populisnya. Faktor kunci yang harus dipegang Jokowi terletak kepada ikon yang memenangkannya selama ini, yaitu blusukan. Inilah yang menjadi simbol yang melekat pada pemimpin ini. Banyak yang menyebutkan bahwa blusukan seperti itu tidak akan mungkin dilakukan sebagai presiden. Pendapat ini mungkin benar tetapi mungkin juga keliru. Sebagai presiden ia berkesempatan untuk berkunjung ke berbagai wilayah. Disinilah tempatnya ia memperkenalkan blusukannya itu dan mengetahui bagaimana kondisi real masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. GPB Suka Arjawa 43 Melihat Jokowi Menjalankan Pemerintahan Tanpa “Politik” M enjalankan pemerintahan tanpa “politik” mungkin merupakan seni tersendiri. Tetapi itulah yang diperlukan oleh negara Indonesia setelah melihat kesuksesan pelantikan Presiden Joko Widodo tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu. Tanpa “politik” yang dimaksudkan disini mempunyai beberapa karakter. Yang pertama adalah tanpa gembar-gembor berstrategi mengatakanj berbagai aspek prioritas dalam rancangan pembangunan. Kedua, tidak berupaya mengambil pencitraan pemerintahan bersih, misalnya dengan mewawancarai calon menteri. Ketiga, tidak mengungkapkan pidato-pidato retorik untuk memperkuat keyakinan rakyat. Dan keempat, tidak berupaya menekankan aspek teoritis dalam pencapaian-pencapaian tujuan. Intisari dari semua itu adalah pemerintah yang polos, menerapkan apa adanya, dan berupaya menyelesaikan perbedaan pendapat secara apa adanya. Barangkali itulah kesan yang harus dilihat sampai tengah hari pertama pemerintahan Joko Widodo setelah pelantikannya menjadi presiden. Yang tidak bisa dilepaskan dari pelantikan itu adalah tumbangnya bebagai penafsiran orang tentang boikot dari para anggota MPR yang pro Koalisi Merah Putih. Seluruh ketua MPR hadir yang membuat sidang berjalan dengan lancar. Dan yang paling istimewa adalah hadirnya Prabowo Subianto dalam pelantikan itu sehingga membuat semuanya menjadi cair. Ini merupakan “pertunjukan” sangat positif yang mampu memberikan rasa tenang kepada seluruh rakyat. Suasana seperti inilah yang diperlukan oleh 44 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT masyarakat Indonesia. Jika dilihat dari konteks hubungan sosial, maka keberhasilan dan kesuksesan dari pelantikan ini, tidak lain dari upaya Joko Widodo yang bersedia menyelesaikan perbedaan pendapat secara alami, apa adanya. Inilah cara memerintah yang tanpa “politik” itu. Jokowi berdiplomasi sendirian, mendatangi para seterunya, berbicara apa adanya dan kemudian berhasil meluluhkan hati mereka. Konflik yang diselesaikan dengan cara mengalah dan sangat sederhana ini, justru mampu meluluhkan sikap mereka yang sebelumnya tajam bertolak belakang. Apabila dilihat pada peristiwa datangnya Joko Widodo ke lokasi tempat tinggal Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto, tidak ada saling tukar konsesi, juga tidak ada saling tawar menawar, lebih didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan kebuntuan dengan cara-cara alami dan sederhana. Sampai dengan pelantikan presiden, diplomasi polos situ kelihatan berhasil. Akan tetapi pemerintahan tanpa politik dan diplomasi polos seperti itu, hanya mampu berlaku dalam hubungan antar manusia dengan manusia. Bagaimana dengan cara pemerintah demikian apabila kemudian dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya nasional? Inilah yang menjadi tontonan menarik masyarakat Indonesia ke depan sekaligus juga menunggu berbagai kejutan sederhana yang dilakukan Presiden Joko Widodo ke depan dalam menyelesaikan persoalan negara. Akan tetapi, pada hakekatnya pembuatan kebijakan negara, berbagai keputusan yang dibuat sebenarnya juga merupakan hasil dari pemikiran manusia. Dengan begitu, hubungan antar manusia dan antar kelompok dimungkinkan untuk menyelesaikan kebijakan pemerintahan tanpa memakai politik tingkat tinggi. Dalam hal ini, tidak diperlukan adanya negosiasinegosiasi tinggi yang dapat berakibat korupsi dan sejenisnya. Pembuatan kebijakan pemerintah hakekatnya merupakan keputusan bersama antara eksekutif dengan legislative. Akan tetapi yang lebih menonjol dalam pembuatan kebijakan ini ada pada tangan eksekutif. Ide pelaksanaan, prioritas, ide metodis dan strategi pencapaian, datang dari eksekutif. Misalnya, penurunan kemiskinan dengan swasembada pangan sebagai sebuah ide, datang dari eksekutif. Pelaksanannya bisa saja di luar Pulau Jawa dengan strategi GPB Suka Arjawa 45 memperluas lahan pertanian. Legislatif mencoba mengkaji ide ini yang kemudian dikeluarkan dalam bentuk persetujuan maupun penolakan, apalagi misalnya dalam bentuk perundang-undangan. Dalam iklim wacana pemerintahan sekarang, kekuatan legislative sebagai penyeimbang dipandang terlalu kuat sehingga kemungkinan banyak kebijakan eksekutif (presiden) dijegal. Fenomena ini yang paling dikhawatirkan masyarakat. Untuk menghindari hal-hal seperti itulah dipentingkan kemampuan politik yang tidak “berpolitik” dari Presiden Joko Widodo. Sebagai tindak awal, memerintah seperti ini harus dilakukan dengan memilih anggota kabinet yang betul-betul professional, bersih dan tidak terlalu menjadi “kerbaunya” partai politik. Anggota kabinet ini setia kepada negara dan bangsa serta hormat kepada Joko Widodo. Dengan hormat kepada presiden, mereka akan tunduk dengan pola kesederhanaannya. Selanjutnya dalam langkah berikut adalah kemampuan polos Joko Widodo untuk melakukan interaksi langsung taanpa perlu langkah formal dengan anggota-anggota legislative dan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Tujuannya adalah agar kebijakan eksekutif itu tidak banyak mendapat hambatan. Tugas ini sebaiknya dilakukan oleh Joko Widodo karena ia mempunyai karakter seperti itu. Apabila berhasil melunakkan hati Prabowo Subianto, maka tugas melunakkan hati anggota parlemen yang bersebarangan nampaknya tidak terlalu sulit. Dengan demikian, kepemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke depan, sungguh menarik bagi semua pihak, baik kalangan di Indonesia maupun luar negeri. Di kalangan dalam negeri, pemerintahan ini sangat diharapkan oleh rakyat untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan. Misalnya membantu mengontrol harga barang, mencegah alihfungsi lahan, memingkatkan hasil pertanian dan seterusnya. Tetapi kalangan akademik juga akan melihat model dan gaya kepemimpinannya yang berbeda dari pemimpin-pemimpin lain. Akademisi akan mencoba mengkaji kepemimpinan ini dari sisi tradisionalis Indonesia atau kepemipinan yang membumi, bukan dilandasi oleh teori-teori manajemen mutakhir yang berakar barat. Para ilmuwan akan mencoba mencari perbandingan model kepemimpinan itu dan menjadi warisan menarik bagi generasi mendatang. 46 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Menghargai Presiden Memilih Anggota Kabinet K ritik awal kepada pemerintahan Presien Joko Widodo (Jokowi) adalah kelambatannya dalam menyusun dan memilih anggota kabinet. Seperti biasa, para pengritik ini kebanyakan dari mereka yang sebelumnya berseberangan dari pemikiran dan ideide praksis politik Jokowi. Apabila dibandingkan dengan presiden sebelumnya, kelambatan menyusun kabinet sampai sekitar 3 x 24 jam setelah pelantikan, memang termasuk lama. Akan tetapi, normanya presiden memang dibolehkan melakukan penyusunan (dan perenungan) kabinet itu sampai dengan waktu dua minggu. Dengan demikian, sesungguhnya tidak apa-apa apabila presiden memakai rentang waktu tersebut memilih calon menteri yang akan mendampinginya memerintah. Jokowi pun tahu persoalan ini. Terlihat misalnya dari “kecamannya” kepada pers yang memuat terlebih dahulu nama-nama menteri dan kemudian ternyata itu salah. Kurang lebih Jokowi menggarisbawahi bahwa tidaklah etis menyebutkan namanama demikian kepada umum karena hal itu menyangkut nama dan prestise perseorangan. Etika menjadi perhatian dari presiden Indonesia. “Hardikan” Jokowi kepada pers itu kelihatan kecil, tetapi mempunyai makna tersembunyi yang penting bagi masyarakat. Inti dari pesan itu adalah etika dan saling penghargaan kepada manusia dan kemanusiaan. Etika merupakan persoalan sosial mendasar bagi bangsa Indonesia saat ini, di kala menghadapi berbagai tantangan jaman. Dalam konteks hubungan sosial, etika itu ada pada ranah penghargaan dan pengakuan kepada pihak lain, termasuk lingkungan. Karena masuk ke dalam ranah penghargaan maka etika itu menjadi GPB Suka Arjawa 47 faktor menentukan bagaimana kehidupan sosial itu berlangung. Pada intinya, hubungan sosial akan bisa berjalan mulus, dan stabilitas terjamin kalau ada saling penghargaan tersebut. Landasan dasarnya adalah pengetahuan. Masalah yang kemudian menjadi ganjalan di Indonesia, sejujurnya boleh dikatakan justru orang-orang yang memiliki pengetahuan itulah yang tidak mampu memberikan penghargaan kepada pihak lain. Malah, mereka yang mempunyai pengetahuan tingkat tinggi, tidak mampu memberikan penghargaan dan menjadi pelanggar etika bagi masyarakat. Dalam bidang politik, secara mudah bisa diambil contoh itu. Reformasi tahun 1998 jika dicari dari konteks inipun sesungguhnya bisa terlihat bagaiamana kurangnya perhargaan yang bisa disumbangkan kepada masyarakat. Ketika reformasi sedang ada di puncak-puncaknya, mahasiswa sampaii menaiki gedung MPR/ DPR tanpa tahu kalau kekuatan gedung itu terbatas. Pantas apabila kemudian ada peringatan dari arsitek pembangun gedung tersebut. Yang juga kurang diketahui adalah penghargaan terhadap masa depan politik. Pada reformasi tahun 1998, kelihatan bagaimana prediksi budaya politik Indonesia tidak dipahami secara bagus oleh para tokohtokoh reformasi itu sehingga ketika sekarang dinilai menyimpang, tiba-tiba muncul pertentangan dengan berbagai varian seperti memilih presiden lewat MPR, kembali ke UUD 45, atau pemilihan bupati lewat DPRD. Mereka tidak mau menghargai budaya politik Indonesia yang menyukai ketenangan dan kesederhanaan pada sosok. Semuanya ini mempunyai kaitan dengan tidak adanya penghargaan-penghargaan tersebut sehingga etika dilanggar. Dan itu justru dilakukan oleh orangorang yang mempunyai pengetahuan banyak. Sudah jelas juga apabila dilihat bagaimana dengan penembakan yang terjadi di Jembatan Semanggi tahun 1998, penculikan tokoh-tokoh dan sebagainya. Ini semuanya merupakan pelanggaran etika. Pada bidang sosial yang lain, korupsi jelas merupakan wujud dari ketidakadaan penghargaan kepada usaha, kepada kerja keras, prestasi atau kepada karya. Justru ketidakadaan penghargaan kepada hal-hal inilah yang membuat negara menjadi bangkrut di segala bidang, mulai dari PSSI U-19 yang gagal, Asian Games 2014 yang terpuruk sampai dengan begitu banyaknya pengagguran di Indoensia. Banyaknya anak 48 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT muda yang sok tahu memakai ponsel sambil berkendara, juga tidak lepas dari rendahnya kesadaran dan etika berperilaku tersebut. Dalam kerangka “gaduh” menjelang pengumuman kbinet ini, sesungguhnya juga kita lihat tidak adanya penghargaan kepada waktu, hak dan norma presiden untuk menyusun kabinet secara baik (menurut pandangan Jokowi). Cukup banyak komentar yang muncul mengecam dan tidak sabar dengan cara Jokowi melakukan pilihan kepada menteri. Dan itu jutsru dilakukan oleh mereka-mereka yang mempunyai level pengetahuan tinggi. Padahal, yang paling nyata bahwa presiden mempunyai kesempatan selama dua minggu untuk menyusun kabinetnya. Fakta inilah yang mestinya dilihat oleh para pengecam tersebut untuk memelihara situasi sosial yang sudah mendukung ketertiban dan kenyamanan (kondusif) setelah kehadiran Prabowo di Gedung MPR saat pelantikan Jokowi. Ada dua hal yang mesti dipertimbangkan manakala melihat penyusunan anggota kabinet ini agar bisa memberi penghargaan kepada Presiden. Yang pertama, diskusi yang dilakukan kepada KPK jelas diperlukan dan merupakan penghargaan kepada lembaga tersebut untuk ikut serta memberikan sumbangan terbaik kepada negara ini untuk mendapatkan orang-orang terbaik, tidak korup dan berintegritas tinggi. Bagi Jokowi hak prerogatifnya jelas masih melekat karena KPK hanya memberikan semacam nasihat kepada para calon menteri tersebut. Warna merah dan kuning itu hanyalah rambu bagi Jokowi untuk pemilihannya. Jadi keberadaan KPK justru menambah positifnya hasil pemilihan. Kedua, tantangan ke depan sangat besar bagi Indonesia yang sekarang berada dalam sorotan dari berbagai pihak. Di kalangan internal sendiri (dalam negeri) kekhawatiran muncul karena rivalitas antara eksekutif dan legislative, masih belum surut benar. Di kalangan luar negeri, para investor masih menunggu-nunggu bagaimana wajah pemerintahan Jokowi ke depan. Apalagi kemudian beberapa menterii di jaman Susilo Bambang Yudoyono telah masuk kedalam hitungan koruptor. Maka pantaslah kemudian dengan pertimbangan tersebut, pemilihan menteri ini menjadai agak lama demi mendapatkan orangorang yang tepat. Jadi, memang semuanya logis. Harus sabar menanti agar jalannya negara bisa berjalan lebih baik. GPB Suka Arjawa 49 Memberikan Kesempatan Kabinet untuk Bekerja, Bekerja dan Bekerja P embentukan Kabinet Kerja, seperti yang dinamakan oleh Jokowi, memerlukan waktu enam hari untuk menyelesaikannya. Ini merupakan peristiwa berbeda dibanding dengan pemilihan personil kabinet presiden-presiden sebelumnya. Tetapi presiden mempunyai alasan mengambil waktu lebih dari satu hari untuk mengumumkan. Apabila dilihat bahwa pembicaraan pemilihan menteri telah jauh-jauh hari diutarakan, dengan terbentuknya Tim Transisi, maka dapat dikatakan bahwa pemilihan menteri itu sangat mungkin lebih dari dua minggu. Ketika kemudian presiden mengumumkan nama-namanya tanggal 26 Oktober 2014 yang lalu, ada pihak terkejut tetapi juga ada yang memahami personil yang muncul. Ada beberapa dipandang tidak mempunyai kapasitas pengalaman dan intelektual untuk jabatan menteri. Bahkan menyoroti tentang kredibilitas diri yang konon pernah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Beberapa malah pernah disebutkan berurusan dengan KPK. Padahal, Jokowi telah melakukan konsultasi dengan KPK dan PPATK sebelum membuat keputusan memilih menteri, sesuai dengan hak yang dimiliknya sebagai presiden. Ada beberapa persoalan dasar mesti dilihat manakala melihat dan menilai hasil kerja nasional, tidak hanya dalam pemilihan menteri. Dalam konteks pemilihan menteri, tantangaan besar yang dilakukan oleh pemimpin cukup banyak. Yang pertama adalah representasi 50 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT nasional. Mau tidak mau, dengan memperhatikan soal representasi nasional ini, kualitas intelektual, keterampilan dan professional harus dikompromikan. Menteri di Indonesia harus mereprestasikan budaya, etnik, agama, pemeluk agama dan sebagainya. Dengan tuntutan seperti ini, pemilihan seorang menteri harus melihat pada keterwakilan mereka disamping keahlian yang dimiliki. Disini ia mesti dipandang sebagai sebuah representasi, keterwakilan yang kemudian dapat diarahkan menjadi dua bagian. Seorang calon menteri yang benar-benar matang, profesional dan intelek, harus mengalah tidak mendapatkan tempat apabila keterwakilan mereka lemah. Ia harus memberikan kesempatan tersebut kepada calon yang memang merepresentasikan keindonesiaan. Pada sistem politik kontemporer Indonesia, keterwakilan itu harus juga dikompromikan dengan politik dan partai politik. Selanjutnya, ada banyak calon menteri yang matang dan professional, akibat tidak mempunyai representasi etnik, agama, politik dan sebagainya sebagian tidak muncul di permukaan sebagai menteri, tetapi difungsikan sebagai dirjen, staf ahli atau staf khusus lainnya. Karena itu, masyarakat seharusnya memahami konteks keindonesiaan ini dari sisi keragaman dan politiknya sehingga dapat menerima jajaran anggota kabinet seperti yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo. Lamanya pemilihan anggota kabinet itu sesungguhnya dapat dipahami dari logika kebhinekaan dan realitas politik kontemporer. Menteri sebagai petugas negara, dengan demikian, memang benar seorang petugas politik. Kinerja menteri akan sangat ditentukan oleh bawahan yang membantunya. Inilah yang harus lebih professional, lebih matang dan tahu arah perkembangan jaman yang cocok untuk Indonesia. Dari situlah kemudian muncul pembenaran bahwa tidak perlu seorang menteri itu membawahi departemen sesuai dengan “nomenklatur” ijazah perguruan tinggi atau ijazah sekolah menengahnya. Menteri harus mau belajar, mengerti keahlian bawahan, dan meyerapnya ke dalam pembuatan keputusan. Dengan telah disumpah dan dimulainya sidang Kabinet Kerja Senin yang lewat, maka paling tidak Joko Widodo sebagai presiden telah membuktikan kata-katanya untuk segera “mempekerjakan pembantunya” itu untuk membangun Indonesia sesuai dengan missi GPB Suka Arjawa 51 yang ditetapkan untuk mencapai visi negara, setidaknya tahun 2045. Dalam model pencapain sekarang, secara internasional condong dipakai skala kuantitatif untuk mengukur keberhasilan seorang presiden. Satuan waktu yang dipakai biasanya tiga bulan (100 hari). Akan tetapi, skala demikian biasanya dilakukan oleh negara-negara maju yang telah mempunyai perangkat jelas. Sesungguhnya model kuantitatif ini, di negara maju tidak hanya dilakukan untuk mengukur keberhasilan kinerja pemerintahan, tetapi juga sektor lain seperti perguruan tinggi, perusahan, kekayaan korporat dan sebagainya. Tetapi untuk mengetahui itu harus mempuyai perangkat indikator yang jelas. Amerika Serikat, Inggris atau Perancis mempunyai skala untuk melihat seberapa banyak pengangguran yang terserap selama tiga bulan pertama pemerintahannya bekerja. Didukung oleh manajemen yang handal, penyerapan tenaga kerja itu akan dipakai memprediksi perkembangan ekonomi pada tiga bulan berikutnya, untuk kemudian membangun perkiraan terhadap sektor kesehatan keluarga pada tiga bulan berikut. Dengan demikian ukuran keberhasilan itu “diimplankan” dengan segala indikator dengan alat-alat yang jelas agar tidak menimbulkan berbagai kontraversi di masyarakat. Sebab kontraversi ini justru akan berpotensi memperlambat kinerja pemerintah. Di Indonesia, ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif demikian sebaiknya tidak terlalu dipaksakan untuk mengukur keberhasilan pemerintahan presiden baru. Atau disamping indikator kuantitatif itu, juga mesti dipakai pendekatan kualitatif. Inti dari pendekatan kualitatif ini adalah merasakan dalam kehidupan sehari-hari, menghubungkan dengan stabilitas politik dan stabilitas sosial dan kemungkinan harapan di masa depan. Dengan cara pandang seperti ini maka keberhasilan pemerintahan baru untuk mencairkan kebekuan antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indoensia Hebat sudah merupakan langkah positif. Bagaimanapun ini telah mampu mengurangi ketegangan sosial. Terepresentasikannya anggota kabinet ke dalam ragam etnik, agama, wilayah, professional, politik, dan gender itu sudah merupakan kerja bagus. Jadi, marilah berikan mereka bekerja, bekerja dan bekerja untuk membuktikan kemampuannya terlebih dahulu. 52 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Membangun Masyarakat Dewasa dan Berkesadaran K artu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar (KIS dan KIP) merupakan salah satu kebijakan dari Presiden Joko Widodo dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin Indonesia. Dua kartu itu akan segera dibagikan kepada masyarakat Indonesia yang benar-benar memerlukan. Di tengah politik yang sedang sakit, bagaimanakah manfaat kartu-kartu itu bagi masyarakat dan masa depan Indonesia? “Kesakitan” politik Indonesia sekarang bisa dilihat bagaimana riak politik panas yang ada di parlemen. Dua kelompok politik di lembaga yang seharusnya terhormat itu, secara tidak tahu malu memperlihatkan sifat politik nyeleneh di hadapan masyarakat Republik Indonesia. Masing-masing kelompok ngotot dengan pendiriannya sehingga secara nyata telah terbelah. Kenyataan ini terlihat dengan adanya kelompok yang melakukan sidang paripurna sendiri sebagai respon terhadap kelompok lainnya yang juga tuli buta terhadap realitas masyarakat banyak. Padahal Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh lain di eksekutif telah melakukan upaya perdamaian. Setidaknya upaya untuk itu telah berhasil, meski masih minor karena tidak mampu mempengaruhi kepanjangan tangannya di parlemen. Maka, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar mempunyai posisi impian dalam kerangka memeperbaiki mental Indonesia di masa depan. Artinya keberhasilan pelaksanaan dua jenis kartu ini akan memberi kontribusi bagi masa depan politik Indonesia. Tentu tidak sekedar iklim politik saja yang menjadi sasaran masa GPB Suka Arjawa 53 depan kartu iitu. Sasaran utamanya adalah kecerdasan dan kesehatan masyarakat serta generasi muda. Kecerdasan bisa meliput segala segmen. Akan tetapi, karena politik Indonesia sekarang demikian memalukan, maka melalui dua kartu inilah diharapkan ke depan generasi politik yang tumbuh dengan berlatar dua kartu ini dapat diperbaiki secara mendasar. Satu pendapat menyebutkan bahwa dua jenis kartu itu sesungguhnya hanya merupakan gincu politis saja dari pemerintahan Joko Widodo dengan memanfaatkan kondisi sosial yang ada. Banyak masyarakat Indonesia, yang tidak tersentuh pendidikan menangah dan mempunyai indeks kesehatan yang rendah. Ini merupakan fakta sosial, tidak hanya di daerah pedalaman tetapi juga di perkotaan. Kota yang tumbuh akibat dari urbanisasi yang kuat, pada akhirnya juga mencerminkan kehidupan desa dan pedalaman karena banyak orang seperti itu datang ke kota mencari penghidupan. Itulah yang mebuat tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan di kota juga tidak terlalu bagus. Apabila kemudian ada pendapat bahwa KIP dan KIS itu merupakan proyek politik, hal ini sah-sah saja. Tetapi apabila dilihat dari alur pesan dan tujuan dari “politik” KIS dan KIP tersebut, mempu­nyai nilai-nilai ideal yang pantas dikembangkan di Indonesia. Karena itu, demi mengimbangi kritik terhadap keluarnya kebijakan ini maka pemerintah harus benar-benar serius dalam melakukan pengelolaan. Bahwa menteri pendidikan dasar dan menengah bertemu dengan menteri sosial hanya beberapa hari setelah dilantik demi menindak­lanjuti kebijakan KIP dan KIS, itu merupakan langkah positif yang mencerminkan keseriusan pemerintah terhadap pilihan politik itu. Dalam konteks kebijakan, yang pertama KIP dan KIS realisasinya tidak boleh parsial. Artinya, sasaran itu harus broad spektrum, meluas dan tidak mengenal sekat geografis. Seluruh wilayah Indonesia, pegunungan, desa, kota maupun perbatasan harus menjadi jangkauan kebijakan ini. Ada beberapa alasan untuk memperkuat ke”broadspektrum”an ini. Seperti yang telah disebutkan diatas, kekurangmerataan pendidikan itu tidak hanya di pedalaman tetapi juga di perkotaan. Sasaran utama yang mesti dilihat memang masyarakat pedalaman tetapi jangan sekali-sekali meninggalkan peerhatian kepada kota. Urbanisasi sekarang membuat tingkat 54 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT kekurangan pendidikan yang ada di pedalaman berpindah ke kota. Peningkatan pendidikan di kota akan memungkinkan juga penurunan angka kejahatan dan berpotensi meningkatkan peningkatan disiplin. Kejahatan dan absurditas di kota disebabkan oleh tidak adanya kesadaran cerdas dan kepintaran dari masyarakat. Hal yang sama juga dengan kesehatan. Suasana alami pegunungan dan pedesaan mungkin memberikan iklim kesehatan yang lebih tinggi dibanding dengan kota. Tetapi karena tenaga kesehatan yang lebih banyak ada di perkotaan, membuat sentuhan teknis dan pemahaman tentang kesehatan secara akumulatif, justru kurang di desa. Akibatnya bisa fatal karena anggota masyarakat cenderung membiarkan penyakit yang ada. Akan tetapi, kota di jaman sekarang di Indonesia justru merupakan “ladang” berbagai penyakit. Kesemrawutan kota, dengan berbagai masalah kependudukan dan lingkungan, membuat di kota justru menjadi ladang berbagai macam penyakit. Demikian juga dengan penyebaran penyakit dari rumah sakit yang kebanyakan ada di perkotaan. Intinya, baik kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar, diperlukan oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Bagaimana dengan pengaruh terhadap tabungan masa depan politik Indonesia? Disinilah justru kepentingan utamanya. Politik merupakan kesadaran dan pendewasaan. Artinya berkesadaran untuk membangun masyarakat sejahtera dan dewasa untuk mengupayakan pencapaian tujuan itu. Di Indonesia sekarang, politik justru sangat absurd. Politisi hanya mampu menguasai politik sebagai sebuah kepentingan kelompok dan bahkan kekayaan. Untuk mengubah kepercayaan dan pemahaman ini perlu waktu banyak, panjang dan besar. Pendidikan dan kesehatanlah yang akan mampu menciptakan kesadaran dan pendewasaan itu, melalui proses yang bertahap. Pemerintahan Jokowi sekarang harus benar-benar melaksanakan raalisasi KIP dan KIS ini agar benarbenar tepat sasaran agar mampu mencapai masyarakat yang dewasa dan sadar akan budayanya. Karena absurditas politik itu terjadi di jaman Presiden Jokowi, maka tidak ada jalan lain, pemerintah harus benar-benar taktis, cermat, jujur dan sederhana dalam proses menjalankan pendidikan dan kesehatan ini demi membangun insan politik yang cerdas dan jujur di masa depan. GPB Suka Arjawa 55 J PARTAI-PARTAI GPB Suka Arjawa 57 “Partai Pemulung” K etika partai politik diberikan kesempatan untuk menyerahkan daftar caleg pertama kali tanggal 29 Desember yang lalu, batas waktu pukul 24.00 Wib tersebut dimanfaatkan penuh. Pejabat KPU pusat cukup dibuat pusing karena sampai sekitar pukul 22. 00 Wib masih banyak partai yang menyerahkan daftarnya. Tetapi dalam waktu satu jam sebelum batas penutupan, para pejabat partai politik ramai-ramai memenuhi ruangan KPU untuk mendaftarkan calegnya. Kemudian, pada saat KPU memberikan batasan waktu pukul 16.00 Wib bagi partai politik untuk menyerahkan kembali perbaikan berkas pendaftaran caleg hari Senin yang lalu, ternyata beberapa partai politik tidak bisa memenuhi waktu yang telah ditetapkan itu. Lantas untuk menyiasati batas waktu ini, parpol yang lambat mendaftar itu memasukkan berkasnya melalui celah bawah dari pintu kantor KPU yang telah ditutup rapat. Fenomena ini bukan saja mendapat kritik dari masyarakat tetapi sekaligus juga ditertawakan. Perilaku partai politik itu ternyata tidak ada bedanya dengan pemulung. Seorang pemulung akan selalu mencari siasat untuk bisa masuk kawasan tertentu meski telah ada tulisan “dilarang masuk”. Ada apa dengan partai politik kita? Salah satu ukuran dari kualitas partai politik itu bisa dilihat dari kinerja administatifnya. Pemilihan calon anggota legislatif merupakan tugas partai politik yang akan menentukan bagaimana kiprah partai tersebut di masa-masa yang akan datang karena caleg inilah kelak yang akan memperlihatkan bobot partai yang GPB Suka Arjawa 59 bersangktan di parlemen. Karena itu dalam pemilihan calon caleg tersebut, haruslah dilakukan persiapan yang matang. Artinya telah jauh-jauh hari dipikirkan siapa calon yang pantas untuk didaftar, yang mempunyai karakter sesuai dengan misi dan visi partai yang bersangkutan. Dalam jangka waktu itu pula parpol mesti melihat bagaimana trek rekord dari calon caleg yang hendak direkrut tersebut. Adanya kemepetan batas waktu yang dimanfaatkan parpol dalam menyerahkan daftar caleg (seperti yang terlihat tanggal 29 Desemeber 2003 lalu) atau parpol yang menyerahkan bekas melalui celah pintu (seperti yang diperlihatakan hari Senin lalu di kantor KPU Jakarta), sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh masihnya ada perdebatan tentang daftar caleg yang sedang disusun partai yang bersangkutan atau kemungkinan besar akibat kebingungan partai untuk mencari calon caleg. Buntutnya kemudian terlihat pada urusan adminsitrasi tersebut. Kemungkinan yang lain adalah bahwa partai politik tidak memanfaatkaan waktu itu secara maksimal, disebabkan oleh begitu banyaknya pejabat partai politik memiliki aktivitas di luar partai. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia Indonesia itu mempunyai pekerjaan rangkap untuk memenuhi keperluan hidupnya. Hal yang sama juga terlihat di partai politik. Banyak tokoh partai misalnya yang memiliki kesibukan berupa pengusaha atau pemborong atau menjadi pegawai di perusahan swasta. Salah satu akibatnya, keputusan-keputusan internal partai yang mestinya harus medapatkan persetujuan dari pejabat yang bersangkutan menjadi tertunda karena kesibukan di luar partai tersebut. Bisa pula waktu satu bulan untuk menyusun daftar caleg itu, terpaksa “dipotong” dan hanya digunakan dalam waktu seminggu. Ada kesan partai politik justru menganggap hal-hal seperti ini merupakan hal remeh. Faktor inilah yang membuat parpol akhirnya kalang kabut pada saat batas waktu penyerahan itu tiba. Berpolitik adalah kegiatan yang sesungguhnya mulia karena mengandung makna idealis yang tinggi. Keidealan ini disebabkan oleh karena berpolitik itu bertujuan untuk memperbaiki kehidupan raakyat banayak. Tekanannya pada memperbaiki bukan menyiasati. Karena itu tidak bolehlah tugas berpolitik itu dilakukan sambil 60 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT berdagang. Harusnya tugas ini dilakukan secara terkosentrasi. Mereka yang suah memilih terjun ke partai politik harus bisa menanggalkan pekerjaan lainnya agar bisa lebih terkosentrasi. Jadi jangan dipandang remeh kegiatan politik tersebut. Anggota legislatif merupakan ujung tombak dari partai untuk memperlihatkan kualitas partainya. Anggota legislatif pula yang kelak paling bertanggung jawab untuk membuat peraturan-peraturan tertentu baru atau keputusan-keputusan tertentu yang ditujukan kepada masyarakat. Jika kemudian anggota legislatif tersebut tersebut merupakan anggota yang direkrut berdasarkan pertimbangan yang mendadak (grasa-grusu!) akibat waktu mepet, bagaimana mungkin bisa menghasilkan anggota yang kualifaid. Dan bagaimana mungkin anggota legislatif yang tidak kualifaid bisa menghasilkan output yang berkualitas. Jangan-jangan nanti kualitasnya hanya bisa memulung ijazah di sana-sini! GPB Suka Arjawa 61 Ngaku Kalah Atau Sekedar Strategi? P ernyataan menarik dari Akbar Tanjung setelah bebas dari tuntutan pengadilan adalah penilaiannya terhadap kekuatan PDI Perjuangan. Dalam sebuah pernyataan politisnya di Jakarta beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Golkar tersebut mengungkapkan bahwa PDI Perjuangan masih merupakan kekuatan politik terbesar di Indonesia. Karena itu Golkar mengaku kalah tidak mampu menyaingi perolehan suaranya dalam pemilu legislatif mendatang. Partai ini hanya mematok angka 30 persen dari raihan suara nasional. Apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung itu cukup menarik jika dikaitkan dengan budaya politik yang berkembang di Indonesia. Seperti juga halnya dengan bisnis di dunia politik tidak ada politisi yang mengaku kalah. Jangankan sebelum bertanding setelah pertandingan usaipun kata kalah tersebut tidak pernah terungkapkan. Kalau perolehan suara secara riil lebih kecil dari lawan, pasti ada argumentasi lain yang keluar sebagai pembelaan diri. Misalnya pemilu berlangsung curang atau pelaksana pemilu tidak benar, tidak tepat waktu dan sebagainya. Ini merupakan sebuah kebiasaan dalam politik karena di dalam politik tersebut ada persaingan untuk memperoleh dukungan. Untuk mendapatkan dukungan tersebut, tidak ada rumus ngaku kalah apalagi misalnya menjelek-jelekkan nama partai sendiri. Akbar Tanjung adalah ketua umum partai, karena itu keliru jika seorang tokoh puncak partai mengaku kalah sebelum pertandingan mulai terhadap kandidat partai lawan. 62 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Di balik itu secara jujur harus diakui bahwa dalam lingkungan politik di Indonesia, Akbar merupakan politisi ulung. Dia bisa bertahan di dunia politik sejak dekade enampuluhan (ketika terlibat sebagai aktivis mahasiswa) sampai sekarang. Terlebih lagi, Akbar merupakan satu-satunya politisi Orde Baru yang masih bertahan di belantara politik kontemporer Indonesia yang hiruk pikuk dengan berbagai partai politik dan bermacam-macam manuver. Dan yang paling berprestasi adalah keberhasilannya mempertahankan Golkar di tengah berbagai upaya penggembosan yang dilakukan dan di tengah berbagai kecaman masyarakat terhadap Golkar sebagai partai yang korup, kolusi dan nepotis. Golkar tidak hanya digerogoti oleh partai-partai lain, tetapi juga oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya hidup di lingkungan Golkar. Kebarhasilan ini secara politik bisa dinilai spektakuler! Bayangkan, sebuah partai yang secara moral oleh masyarakat (bukan semata-mata oleh individual atau kelompok!) telah dinilai negatif, dihujat, secara struktural porak-poranda, tidak mempunyai tokoh kharismatis karena tokoh-tokohnya telah dinilai korup, toh tetap bisa bertahan dan malah mampu meraih peringkat kedua raihan suara dalam pemilu. Jika coba dibandingkan dengan PDI Perjuangan, banyak penilaian mengatakan bahwa partai ini besar karena tokoh sentral pada kharisma diri Soekarno dengan perwujudan Megawati. Peristiwa pertemuan di Jembrana, dimana banyak massa PDI Perjuangan yang balik pulang gara-gara Megawati tidak datang beberapa tahun lalu, memperlihatkan betapa partai ini sangat kuat berfokus pada figur personal kharismatis. Karena itu ketika Akbar Tanjung mengatakan baahwa dirinya ngaku kalah terhaap PDI Perjuangan dalam pemilu mendatang, haruslah juga dilihat sebagai sebuah manufer dan strategi. Ungkapan ini dilakukan hanya seminggu setelah ia terbebas dari jeratan hukuman dari Mahkamah Agung. Akbat keputusan bebas dari Mahkamah Agung tersebut, masyarakat Indonesia gempar. Yang kena gampar bukan saja Akbar Tanjung sendiri (dinilai sebagai politisi pongah keterlaluan) tetapi juga Golkar dan praktik hukum positif di Indonesia. Bebasnya Akbar Tanjung mempunyai konotasi negatif bagi partai, yang bisa membuat Golkar kembali dibenci dan akhirnya dijauhi oleh pemilih. GPB Suka Arjawa 63 Satu cara yang bisa dipakai untuk mengobati luka ini adalah dengan cara mengambil hati budaya masyarakat Indonesia yang antitesis, yaitu “ngesor” berpura-pura sebagai bawahan, berpurapura hormat, nunduk dan sejenisnya. Perwujudan dari budaya tersebut dalam bidang politik adalah mengaku kalah terhadap lawan yang dinilai paling kuat. Padahal sesungguhnya tujuan dari pengambilan hati ini adalah memperoleh keuntungan dibalik pengakuan kalah, “ngesor”, nunduk dan sebagainya itu. Jadi, berbalik dan bertentangan dengan apa yang diucapkan dan digerakkan oleh fisik: mengaku kalah padahal sesunggunya sangat ingin menang. Jangan lupa, model ini merupakan budaya asli Indonesia, terutama banyak dijumpai pada masyarakat Jawa! Cara kultural untuk mengambil hati masyarakat ini diharapkan mampu mengobati masyarakat yang demikian kecewa terhadap keputusan bebasnya dari Mahkamah Agung tersebut. Selanjutnya masyarakat secara pelan-pelan mampu memaafkan Akbar, Partai Golkar dan akhirnya melupakan keputusan pahit Mahkamah Agung tersebut. Pendekatan budaya sosial ini sangat penting dan paling cocok untuk menghadapi pemilu yang tinggal sekitar satu setengah bulan lagi. Apalagi telah ada isu yang muncul bahwa Partai Karya Peduli Bangsa yang dibentuk oleh R. Hartono dan mencalonkan Mbak Tutut sebagai presiden, mempunyai agenda untuk menggembosi Partai Golkar dan mencoba menarik hati para simpatisan Golkar di masa lalu. Dengan demikian, partai-partai lain di luar Golkar haruslah bersiap-siap sejak sekarang menghadapi trik Partai Golkar (Akbar Tanjung) selanjutnya terutama di masa kampanye nanti. Partai yang menganadalkan otak dan strategi, mempunyai kesempatan berkembang jauh lebih hebat ketimbang partai yang sekadar tokoh apalagi massanya sering ugal-ugalan. 64 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Mengatasi Sanksi Sosial Terhadap Partai Demokrat P ernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudoyono yang mengakui menurunnya dukungan rakyat terhadap partai ini, mengandung makna positif. Bahkan, pengakuan akan adanya pengaruh tuduhan korusi dari komponen partai sebagai penyebab penurunan itu, merupakan sebuah terobosan baru. Terobosan ini bukan sekedar bersifat politis tetapi juga moral. Selama ini, petinggi partai politik cenderung enggan mengakui adanya unsur-unsur negatif yang melekat di partai politik tempatnya berlindung. Dan apa yang terjadi dalam rentang waktu hampir setengah tahun terakhir ini, unsur negatif itu melekat pada Partai Demokrat. ”Ini adalah fakta,” ungkap Yudoyono tentang realitas turunya dukungan partai atas survei yang dilaakukan oleh lembaga tertentu. Bagaimana pengaruh pernyataan tersebut dalam kehidupan Partai Demokrat ke depan? Kalau dilihat sebagai sebuah terapi, pengakuan jujur seperti ini merupakan terapi yang paling manjur untuk mengobati keadaan partai politik. Pengakuan jujur yang juga berarti pengakuan atas fakta yang ada mempunyai peran yang sangat penting untuk memperbaiki kinerja partai (dan juga organisasi lain). Dengan cara demikian, inti dari penyakitnya akan diketahui dengan pasti. Apabila inti penyakit telah diketahui, penyakit yang menggerogoti partai akan mudah disembuhkan. Seorang dokter kesehatanpun mempunyai pandangan yang sama karena kejujuran seorang pasien untuk mengungkapkan GPB Suka Arjawa 65 riwayat penyakitnya akan memudahkan dokter menganalisa dan memberikan obat. Susilo Bambang Yudoyono telah mengakui bahwa partainya kini merosot jumlah dukungannya (menjadi sekitar 13 persen dari 20 persen di bulan Januari, dan menduduki peringkat ketiga setelah Partai Golkarr dan PDI Perjuangan), dan mengakui telah adanya tuduhan korupsi yang dilakukan oleh beberapa kader terasnya. Dengan demikian, apa yang harus dilakukan Partai Demokrat setelah pengakuan ini adalah menunggu proses hukum dan kemudian melakukan tindakan yang tepat bagi kadernya yang melanggar garis partai, lalu kembali memompakan semangat kader dan pendukung serta membersihkan nama paartai itu agar tetap mampu bersaing dua tahun lagi dalam pemilihan umum (2014). Pengakuan yang disandarkan atas kejujuran itu mengandung arti sosial yang cukup siginifikan. Yang pertama, secara moral mengakui kelemahan diri sendiri di hadapan masyarakat secara luas. Artinya tidak ada yang selalu digjaya dalam realitas sosial ini, sekaligus mengAkui adanya kelemahan manusia. Hanya dalam waktu sembilan tahun sejak tahun 2009 Partai Demokrat telah berhasil meraih suara terbanyak pada pemilu tahun 1999. Banyak yang menduga keberhasilan tersebut disebabkan oleh faktor kharisma Susilo Bambang Yudoyono. Dan hanya tiga tahun setelah itu, faktor kharisma inipun bisa jebol karena ulah dari ”anak buah” Partai Demokrat. Pengakuan akan hal ini sungguh bernilai tinggi karena juga merupakan pengakuan akan keterbatasan (kharisma) manusia. Bahwa hal itu diakui secara terbuka, tindakan ini merupakan keberanian dan mempunyai nilai moral positif. Moral selalu diukur akan kejujuran manusia akan apa yang sesungguhnyaa terjadi di dalam dirinya sendiri di hadapan khalayak. Kedua, di balik pengakuan tersebut, secara tidak sengaja telah tersirat motivasi politik untuk mencari dukungan. Sifat masyarakat Indonesia sekarang sungguh sangat haus dengan kejujuran, sangat haus dengan keberanian akan pengungkapan kejujuran tersebut.. Masyarakat akan lebih puas mendengar kejujuran itu apabila datang dari seorang yang berpngaruh, mempunyai posisi dan peran yang penting dalam sebuah orgaanisasi. Selama hampir empat dasawarsa 66 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT (kalau dihitung dari masa Orba) rakyat Indonesia tidak pernah mendengar seorang petinggi politik yang bersikap jujur seperti itu. Maka, apabila kejujuran tersebut datang dari seorang yang berposisi amat berpengaruh, maka organisasi yang bersangkutan akan bisa kembali mendapat simpati, meskipun harus dengan cara merangkak. Posisi pengakuan jujur dari Susilo Bambang Yudoyono ada pada konteks ini. Lalu tugas paling berat sekarang terletak pada kejujuran lanjutan dari para tokoh partai yang kini sedang menghadapi dugaan korupsi. Segenap kejadian-kejadian tidak populer tersebut,, membuat predikat Partai Demokrat terpuruk di mata masyarakat. Inilah bentuk sanksi sosial yang diterima partai ini. Pada saat sebuah partai mendapatkan sanksi sosial, tidak ada ampun lagi, inilah yang paling berat diterima partai karena basis partau politik justru ada di masyarakat. Dengan demikian, tugas paling berat dari partai politik ini sekarang adalah menghilangkan sanksi sosial itu. Cara yang telah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudoyono sesungguhnya telah mengurangi secara signifikan sanksi sosial tersebut. Selanjutnya sekarang adalah memproses secara hukum dengan seadil-adilnya kader Partai demokrat yang dituduh melakukan korupsi. kader tersebut harus menerima secara legowo, memberikan keterangan di depan pengadilan secara terang benderang, tidak berbelit-belit. Dan apabila kemudian dinyatakan bersalah, bersedia menerima hukum secara ikhlas. Meminta maaf secara pribadi kepada masyarakat dan kepada partai. Jika ternyata tidak terbukti bersalah, para kader ini justru akan mampu memberikan sumbangan positif kepada partai karena membuktikan dirinya tidak bersalah. Akan tetapi, meski kader yang bersangkutan tidak dinyatakan bersalah, tetap harus meminta maaf kepada masyarakat karena telah membuat kegaduhan politis dan memancing sikap emsoional masyarakat. Minta maaf juga ke partai karena telah membuat kegaduhan. Terhadap mereka yang bersalah dan mendapat hukuman, secara ikhlas juga harus mundur dari Partai Demokrat. Dengan cara seperti inilah sanksi sosial itu akan bisa dikurangi. Sekali lagi, sanksi sosial tersebut merupakan hukuman paling berat bagi partai politik. GPB Suka Arjawa 67 Kita berharap, Partai Demokrat mampu memberikan contohcontoh positif ini kepada generasi berikutnya. Adalah benar satu partai mungkin tidak akan terus-terusan mampu bertahan di dalam pemerintahan. Akan tetapi sebuah contoh positif akan mampu ditularkan kepada partai generasi lain yang mungkin kelak akan dukuk di pemerintahan. 68 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Kesediaan Berkorban dan Mengalah Dari Partai Politik A da hal yang harus dipertimbangkan saat melihat, apakah partai akan bisa bertahan di tengah gempuran cercaan, citra, dan kondite yang tidak positif. Di jaman modernisasi komunikasi seperti sekarang, citra yang menyebar merupakan tantangan paling besar untuk mempertahankan keberadaan lembaga. Partai Demokrat merupakan salah satu partai yang sedang menghadapi persoalan itu saat ini. Baik pejabat teras maupun pejabat yang ada di bawahnya terkena citra buruk karena tuduhan korupsi. Satu yang dimaksud itu adalah bagaimana cara menghubungkan diri antara pejabat partai dengan konstituens. Penghubungan itu tidak hanya melalui kampanye dan pencitraan saja akan tetapi dengan cara yang sangat sederhana, yakni kesediaan berkorban, bersedia untuk kalah untuk sementara. Kalimat terakhir ini yang paling tidak dimengerti dan paling takut di terima oleh para pejabat partai politik dimana saja, termasuk juga di Indonesia. Korupsi merupakan item utama dari masyarakat Indonesia sekarang sehingga selalu mendapatkan sorotan dimana saja. Secara sosial, korupsi di Indonesia itu dimungkinkan karena kondisi ekonomi negara sedang sulit dan etos kerja masih rendah. Karena etos kerja rendah maka orang ramai-ramai mencari jalan pintas untuk memenuhi keperluan hidup. Korupsi dengan segala turunannya menjadi pilihan memenuhi tuntutan itu. Dan jangan lupa, korupsi itu tindakan yang rasional. Artinya dengan tindakan, biaya dan tenaga yang minimal memperoleh hasil yang maksimal. Inilah yang membuat banyak GPB Suka Arjawa 69 anggota masyarakat yang tercebur ke dalam perilaku-perilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).Bangunan jaringan sosial yang dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat yang memahami ”teori rasionalisasi korupsi” itu, sebenarnya juga dimanfaatkan untuk melanggengkan tindakan-tindakan KKN tersebut. Meski tindakan korupsi itu rasional tetapi jelas tidak etis dan melanggar segala norma yang ada. Dengan demikian, kesediaan untuk berkorban untuk sementara dan kesediaan mengalah itu sesunguhnya mempunyai tujuan dan nilai yang kompleks. Partai politik pada hakekatnya adalah lembaga tindakan yang berupaya membangun jaringan. Pada titik yang paling dasar, partai politik terdiri dari komponen-komponen yang berhubungan satu sama lain (sistem). Dengan komposisi dewan pimpinan pusat, dewan pimpinan daerah, dewann pimpinan cabang sampai pimpinan ranting, memperlihatkan bagaimana luasnya jaringan tersebut. Di dalam norma (perundangan yang ada) partai politik yang tumbuh di Indonesia diharusnya mempunyai cabangcabang di berbagai daerah di seluruh Indonesia (meski tidak harus sepenuhnya). Dengan konteks jaringan yang menggurita tersebut, maka potensi untuk melakukan KKN di seluruh Indonesia itu menjadi semakin besar. Partai politik yang mempunyai masalah dengan persoalan korupsi, dengan demikian, tidak harus ”meneliti” personil-persinil yang ada di pusat saja. Akan tetapi juga harus memberikan perhatian kepada seluruh personilnya yang ada di berbagai daerah. Intinya kalau personil itu ”mencurigakan”, memang harus segera dikeluarkan dari keanggotaan. Jadi, pemecatan memang menjadi cara yang paling bagus untuk membersihkan partai dari masalah seperti ini. Namun demikian, dalam konteks kehidupan partai politik di Indonesia, justru hal inilah yang paling sulit dilakukan. Di perlukan pengorbanan disini. Kebanyakan anggota konstituens mempunyai keterikatan dengan para pejabat-pejabat partai. Secara tidak kelihatan, para konstituens itu ternyata mempunyai hubungan yang sifatnya juga mirip-mirip dengan KKN. Pemberian sumbangan untuk menarik simpati dan memilih partai dan nama tertentu dalam pemilu, juga bisa dikatakan 70 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT sebagai tindakan kolutif dan nepotism. Secara sembunyi-sembunyi, ada bisik-bisik dan janji-janji atas bantuan yang diberikan itu. Korupsi dengan segala turunannya itu jelas adalah tindakan sembunyisembunyi. Apabila partai politik yang terlibatt korupsi ingin memperthankan reputasinya, mereka harus segera memutuskan hubungan dengan pejabat-pejabat yang berpotensi melakukan tindakan korupsi itu. Disinilah kesediaan partai untuk berkorban harus dibuktikan. Tokoh-tokoh yang membentuk jaringan itu akan berupaya menggembosi partai kalau mereka dipecat. Tidak jarang satu tokoh itu mempunyai jaringan yang luas dengan anggota-anggota konstituens yang jumlahnya banyak. Jadi, apabila seorang tokoh ittu mempunyai ratusan jaringan dan masing-masing jaringan mampu mengumpulkan ribuan anggota, bisa dihitung berapa banyak jumlah anggota konstituens yang menyeberang dari partai politik yang terlibat masalah korupsi. Dengan begitu, potensi sebuah partai untuk kalah dari tingkat pusat sampai daerah, cukup tinggi. Inilah pengorbanan awal yang harus dilakukan oleh partai politik. Kebanyakan para tokoh partai ketakutan untuk melakukan tindakan seperti ini karena cita-citanya amat pragmatis, yakni memegang kekuasaan, sebuah cita-cita yang sesungguhnya jauh dari tujuan awal pendirian partai. Tujuan pendirian partai adalah menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Bagaimana dengan partai-partai politik yang ada di Indonesia? Sejarah pembentukan dan ketahahan partai politik Indonesia secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu cinta kepada tanah air (sekaligus membenci penjajah) dan cinta kepada figur. Partai politik yang berasas nasionalisme merupakan partai yang mempunyai sejarah yang pertama. Dalam perkembangannya, partai juga mencintai figur yang ada. Partai Nasional Indonesia merupakan salah satu dari partai yang mempunyai dua karakter tersebut sekaligus. Ciri-ciri demikian, masih ada sisanya sampai sekarang hanya saja faktor figur sangat memegang penting. Dalam hal pembangunan politik pada partai ini, kekecewaan akan terjadi kalau figur tersebut dinilai melenceng dan nasionalisme Indonesia seolah diabaikan. Inilah yang membuat beberapa partai di Indonesia GPB Suka Arjawa 71 hancur di masa lalu. Redupnya Partai Nasionali Indonesia di masa lalu boleh dikatakan disebabkan oleh dua hal tersebut. Para elit partai tidak berani melakukan perbaikan-perbaikan signifikan untuk memperbarui citra partai. Bagaimana dengan Partai Demokrat? Partai ini harus diakui kebesarannya karena hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun telah menjadi partai besar dan ”merebut” kendali pemerintahan di Indonesia. Pertama, fenomena ini terjadi karena kebosanan masyarakat terhadap Orde Baru yang KKN. Kedua, karena figur pimpinan yang memikat. Jujur saja, figur itu ada pada Susilo Bambang Yudoyono, yang kini menjadi presiden Indonesia. Akan tetapi, partai ini harus hati-hati di masa depan. Tuduhan-tuduhan korupsi yang dialamatkaan kepada beberapa pengurus teras partai ini bisa-bisa ditafsirkan menjadi pelecehan terhadap nilai nasionalisme Indonesia, apabila mereka-mereka itu benar-benar terbukti nanti. Korupsi adalah tindakan anti nasionalisme, di tengah kesulitan ekonomi. Jika SBY tidak berani tegas, bisa-bisa figurnya juga tergoyahkan. 72 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Penyebaran Inspirasi Dari Gabungan Partai Politik A da ide bagus ketika Ketua DPD Golkar Jawa Timur menyebutkan bahwa pihaknya berupaya mencalonkan Sukarwo, Gubernur Jawa Timur, untuk mendampingi Aburizal Bakrie sebagai calon presiden tahun 2014 nanti. Sukarwo kini berada di jajaran Partai Demokrat. Sedangkan Bakrie, sudah jelas menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Meski ini masih belum pasti, bahkan pencalonan Ical pun masih belum mendapat persetujuan bulan sebagai presiden di kalangan Golkar, akan tetapi ide menggabungkan dua partai ke dalam satu paket bisa dikatakan positif. Penggabungan dua partai mendapatkan manfaat sosialnya sebagai simbol pemersatu politik. Cara ini bisa mempunyai nilai positif karena akan mengubah persepsi bahwa partai politik itu terpisah satu dengan yang lain. Sejarah sosial dan sejarah politik dari partai politik di Indonesia mempunyai konotasi yang berbeda. Secara sosial, cara pandang masyarakat terhadap partai politik di Indonesia mengacu kepada sesuatu yang berbeda. Artinya anggota partai politik yang satu mempunyai perbedaan dengan yang lain. Ada sekat pemisah diantara kedua-duanya tersebut. Ini dibuktikan dari sejarah dan perilaku simpatisan partai politik itu sendiri. Di jaman Orde Lama mereka yang menjadi anggota partai komunis mempunyai sikap berbeda dengan partai lain, demikian pula sebaliknya. Dan di jaman awal Orde Baru, seperti yang diketahui bersama, banyak dimpatisan partai komunis dibunuh. Di jaman Orde Baru, banyak anggota PDI ditekan GPB Suka Arjawa 73 jika mereka tidak mau ikut dengan kebijakan pemerintah. Dan pada jaman reformasi, setidaknya kelihatan dari indikasi berbagai bentrok politik di Bali, konflik antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan, mencitrakan adanya keterpisahan jarak antara dua partai tersebut. Sejarah politik partai politik di Indonesia mungkin memberikan gambaran yang berbeda. Pada masa Orde Baru, munculnya peleburan partai-partai politik yang hidup pada masa Orde Lama memberikan kesan bahwa partai politik yang ada di Indonesia tersebut bersahabat, tidak mempunyai sekat dan perbedaan. Inilah yang terlihat pada tiga partai politik di jaman Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pencitraan kesatuan antara partai-partai politik itu juga terlihat di jaman reformasi. Upaya-upaya penggalangan suara yang dilakukan oleh para politisi eksekutif, entah itu pada pemilihan daerah tingkat II, I, bahkan presiden pun, selalu berupaya menggabungkan beberapa partai politik. Misalnya pencalonan seorang bupati akan didukung oleh Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PPP dan seterusnya. Kesan yang muncul disini adalah seluruh partai tersebut mempunyai misi yang sama, mempunyai persatuan dengan partai lain. Akan tetapi, baik pada jaman Orde Baru maupun jaman reformasi, penggabungan tersebut bersifat semu. ”Bersahabatnya” partai politik di jaman Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dari kekuatan Orde Baru untuk menekan belasan partai politik yang ada untuk digabung ke dalam tiga partai tersebut. Sedangkan bergabungnya partai-partai politik pada jaman reformasi untuk meraih dukungan dalam pemilihan bupati atau gubernur, mempunyai sifat yang sangat pragmatis. Ada kepentingan tertentu yang menjadi target partai yang bersangkutan untuk dikejar. Bisa jadi alasan yang sangat pragmatis: uang, proyek, posisi atau hal yang lain. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan kalau upaya penggabungan itu mempunyai kekuatan kohesivitas dan kekuatan yang tinggi. Ide yang menyebutkan dua partai berbeda menjadi pasangan presiden dan wakil presiden, bisa dikatakan sebagai langkah maju, paling tidak untuk melebur skat-skat antar partai politik tersebut yang telah diciptakan oleh sejarah. Jika benar kelak presiden dari 74 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Partai Golkar dan wakilnya dari Partai Demokrat, hal ini akan semakin memberikan keyakinan kepada rakyat bahwa sesungguhnya dua parti itu bisa saling bekerja sama. Dulu ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono berpasangan dengan Yusuf Kala sebagai wakil presiden, nuansa peleburan antara Demokrat dengan Partai Golkar itu telah ada. Kini hal itu akan dipertegas lagi oleh pasangan dua partai ini, apabila kelak itu memang jadi dilakukan. Pengulangan pencalonan antar dua partai ini penting pada konteks sikap puncak eksistensial pperpolitikan di Indonesia. Artinya, upaya penggabungan itu terjadi pada tataran pemilihan presiden. Dinamika politik di Indonesia telah dieksperimenkan oleh penggabungan partai politik pada tingkat pemilihan kepala daerah tingkat II dan tingkat I. Akan tetapi, rekayasa ini kemudian bubar hanya dalam satu periode, bahkan di tengah jalan telah bubar. Beberapa pasangan itu (termasuk di DKI Jakarta) secara tidak segansegan menyatakan ketidakcocokannya. Karena itu pasangan presiden dan wakil presiden yang berasal dari dua partai yang berbeda itu akan mampu memperbaiki citra yang telah coreng moreng di tingkat pemilihan kepala daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Ke depan, politik penggabungan ini mempunyai manfaat yang cukup besar. Banyak yang mengkritik bahwa jumlah partai politik yang ada di Indonesia ini terlalu banyak. Undang-undang memang memungkinkan jumlah partai di Indonesia mencapai belasan bahkan puluhan. Akan tetapi kalau kemudian dalam real politik hal itu tidak mampu memberikan makna yang positif, seperti kemampuan meraih suara yang banyak, kemampuan memberikan sumbangan pemikiran yang lebih baik kepada masyarakat, maka penggabungan partai politik dalam sebuah pemilihan kepala eksekutif, justru mampu memberikan inspirasi bagi penggabungan partai secara utuh. Inspirasi inilah yang diperlukan oleh masyarakat politik di Indonesia. Penggabungan partai politik tersebut akan berlangsung secara alami, tidak dipaksakan seperti di jaman Orde Baru (fusi partai tahun 1972). Karena berlangsung secara alami, maka kesadaran akan hasil dan prosesnya juga akan berlangsung secara lebih baik. Hasilnya pun akan diharapkan menjadi lebih baik. Eforia munculnya partai politik hanya bisa ditahan oleh dua hal, yaitu kegagalan mengembangkan GPB Suka Arjawa 75 partai dan kedua, kesadaran untuk menggabungkan partai politik. Dengaan demikian, penyederhanaan partai juga akan berlangsung secara alami. Akan tetapi, jika kemudian gabungan partai politik untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden itu rontok di tengah jalan, inilah yang menjadi marabahaya bagi sistem kepartaian di Indonesia. Ia akan menjadi model dan contoh bagi kebobrokan, keserakahan dan ketidakkonsistenan para politisi di Indonesia. Jadi, pikirkanlah secara matang agar usaha ini benar-benar mampu memberikan inspirasi bagi bangsa dan negara. 76 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Sisi Lain Konflik Internal Partai Demokrat D ua tahun menjelang pemilihan umum, Partai Demokrat mendapatkan gangguan cukup kuat, baik dari kalangan internal maupun eksternal. Secara internal, konflik partai itu cukup memanas. Beberapa media menyebutkan bahwa ada indikasi ketidakserasian antara ketua dewan pembina dengan ketua umum partai. Pernyataan Susilo Bambang Yudoyono yang menyebutkan kader partai tidak bersih diharapkan mundur, banyak ditafsirkan ditujukan kepada Anas Urbaningrum yang kini menduduki ketua umum. Sebaliknya pernyataan ketua umum partai yang mengatakan kinerja pemerintah harus baik untuk meningkatkan citra partai, banyak yang menafsirkan ditujukan kepada presiden Indonesia. Secara eksternal, disaat Partai Demokrat sedang guncang, tibatiba Aburizal Bakrie, calon presiden dari Partai Golkar mencoba melirik Ibas (kader Partai Demokrat dan putra dari Susilo Bambang Yudoyono) dicalonkan sebagai wakil presiden. Nada-nadanya, ada keinginan untuk koalisi antara Partai Golkar dengan Partai Demokrat. Mengenai silang pendapat antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dengan ketua umum partai, kalaupun hal itu benar adanya, sesungguhnya bisa juga dilihat dari sisi positif. Sebab, seperti yang dikatakan Lewis Coser, sosiolog yang menekuni persoalan konflik, konflik tidak seluruhnya bersifat negatif. Harus ada yang mampu mempelajari manfaat-manfaat positif dari konflik karena akan mampu memberikan dan membuka wawasan masyarakat secara lebih luas. Meninjau konflik sebagai sesuatu yang juga GPB Suka Arjawa 77 mempunyai sifat positif justru memberikan pelajaran sosial bagus di masa depan. Adalah benar bahwa apabila ada pertentangan terbuka antara pemuncuk partai politik, akan membuat citra partai itu terpuruk. Dalam hal Partai Demokrat, hal ini telah dibuktikan dengan terpuruknya posisi sosial-politik partai itu pada peringkat ketiga dari tiga partai besar di Indonesia (Golkar, PDI Perjuangan dan Partai Demokrat). Survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga telah memperlihatkan posisi tersebut. Akan tetapi, esensi partai politik yang tidak bisa ditinggalkan adalah fakta bahwa di dalam lingkaran itu ada komposisi tokoh dengan massanya. Karena itulah sebuah partai politik pasti akan memiliki segmentasi, yang sering disebut sebagai faksi. Sebagai sebuah organisasi yang berkecimpung pada bidang politik, pengaruh, kekuatan dan kekuasaan sudah pasti terikat kepada masing-masing faksi tersebut. Dengan demikian, tokoh dan massanya yang ada dalam partai politik, pasti mempunyai pengaruh, kekuatan dan kekuatan tersendiri di dalam partai. Ini tidak bisa dielakkan Di negara yang mempunyai wilayah luas, terbagi menjadi provisni dan kabupaten, sangat memungkinkan segmentasi (faklsionalisasi) partai sebanding dengan jumlah provinsi dan kabupaten. Jadi, DPD tingkat I dan tingkat II, secara teoritik sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai faksionalisasi partai politik. Masuk akal apabila di dalam partai tertentu, satu DPD I atau DPD II melakukan ”pembangkangan”. Mereka masing-masing mempunyai tokoh tersendiri. Belum lagi apabila dibagi menjadi cabang dan anak ranting partai. Dari konteks itu, sesungguhnya wajar partai politik itu mempunyai sifat faksional. Kalaupun kemudian partai itu mampu mengecilkan faksinya pada tingkat negara (nasional), tidak bisa lain, sangat tergantung dari tokoh yang ada. Setiap pengelompokan yang ada di daerah tingkat I, II atau cabang dan anak ranting, bersedia menundukkan ketaatannya kepada tokoh tertentu di tingkat pusat. Jadilah kemudian faksi tersebut menciut di tingkat pusat, mungkin ada dua atau tiga faksi. Pada konteks ini, pengaruh seorang tokoh akan berperan untuk mengecilkan jumlah faksi tersebut. Tokoh, dengan demikian mempunyai peran penting dalam keberadaan partai. Ketokohan sering bersifat abstrak. Artinya ketaatan tersebut 78 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor. Bisa kharisma, janjijanji politik, keterikatan budaya, ekonomi, ras, agama dan seterusnya. Dengan demikian, dalam kasus di Partai Demokrat, jelas Susilo Bambang Yudoyono adalah seorang tokoh. Ia pendiri dan penggagas dari berdirinya partai ini. Tentu juga mempunyai massa pengikut tersendiri. Sebagai ketua umum, Anas Urbaningrum juga seorang tokoh dan pastilah mempunyai massa tersendiri. Kemampuannya menjadi ketua umum, telah memberikan pesan bahwa ia mempunyai massa tersendiri di dalam tubuh Partai Demokrat. Tidak diragukan pula bahwa Susilo Bambang Yudooyono mempunyai massa besar dengan pembuktiannya sebagai presiden pada sistem pemilihan umum langsung. Kalaupun kemudian terjadi silang pendapat diantara kedua tokoh itu, nilai positif yang bisa dilihat adalah bahwa mereka mempertahankan argumen dan pendapatnya, sebagai seorang tokoh yang harus mempertanggungjawabkan kepada massa yang ada di belakangnya. Massa itu tidak main-main jumlahnya, karena mencapai jutaan di seluruh wilayah Indonesia. Karena itulah bentuk pembelaan diri, bila perlu ”perlawanan” memang harus dilakukan. Betapapun, sebelum keputusan pengadilan menjatuhkan vonis bersalah, jelas belum ada perasaan bersalah kepada siapapun (termasuk juga kepada Anas kalau memang tuduhan itu ditujukan kepadanya). Pada saat seperti ini, pendapat pribadi sangatlah penting, baik untuk membela diri maupun untuk membela massa yang ada di belakangnya. Ungkapan bernada pembelaan diri Anas yang mengatakan bahwa pemerintahpun harus berjalan bagus demi mendongkrak reputasi Partai Demokrat, adalah posisi untuk pembelaan, bukan sekedar untuk diri sendiri tetapi juga demi massa yang ada di belakangnya. Ini penting dan berperan positif untuk mempersatukan massa tersebut dan untuk menambah ”kewibawaan” diri. Kalau pernyataan itu ditujukan kepada Susilo Bambang Yudoyono, maka nilai ”keberanian” akan bertambah kepadanya yang bisa memperkuat kesatuan massa sebagai pendukung ketua umum partai. Dengan demikian, kesatuan massa akan teta erat dan utuh, tidak tercerai berai. Sekali lagi, hal ini penting karena meskipun ada silang pendapat antara ketua umum dengan ketua GPB Suka Arjawa 79 dewan pembina, Partai Demokrat belum tentu pecah. ”Keberanian” bersilang pendapat tersebut juga penting bagi ketua umum partai demi masa depan karir politiknya. Sebaliknya, kalaupun Susilo Bambang Yudoyono mengatakan kader yang tidak bersih sebaiknya mundur, ini tidak sekedar ditujukan kepada kader Partai Demokrat, tetapi pernyataan itu berguna untuk massa yang ada di belakang Susilo Bambang Yudoyono, dan tentu juga untuk Partai Demokrat sendiri. Tidak ada yang meragukan melimpahnya jumlah massa yang ada di belakang Susilo bambang Yudoyono. Partai politik memang sudah kodratnya tereksistensi karena faksi-faksi tersebut. Persatuan dan kekuatan partai politik sangat tergantung dari kesatuan dan faksi yaang ada di partai tersebut. Karena itu, secara teori cukup mudah untuk mengembalikan kekuatan partai yang pecah, yaitu mempererat persatuan diantara faksi-faksi yang ada. Jadi, bisa dibayangkan, apabila Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudoyono bertemu dalam beberapa bulan lagi dan kemudian terus-terusan berjalan bersama, keutuhan partai yang kini sedang goyang tersebut akan kembali bisa dilakukan. Masing-masing faksi memiliki massa, yang kalau disatukan akan bisa sekuat batu karang. 80 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Hindari Jadi Parpol Pahlawan ”Kepagian” P artai politik peserta pemilu 2014 kini masing-masing telah mengantongi nomor urut. Pendatang baru, Partai Nasional Demokrat mendapatkan nomor urut pertama (No.1), sedangkan Partai Hanura mendapatkan nomor urut sepuluh (10). Sejak ditetapkannya nomor urut ini, telah muncul berbagai pernyataan politik dari pemimpin partai dengan menyanjung nomor masing-masing. Mengatakannya sebagai keberuntungan, nomor strategis atau pilihan yang memang telah diduga sebelumnya. Tapi, tentu rakyat tidak bodoh yang hanya melihat nomor partai sebagai patokan untuk memilih kelak dalam pemilu. Di dalam kehidupan politik masyarakat yang masih tradisionil, nomor malah sering membingungkan karena tidak semua pemilih mengatahuinya. Masyarakat pemilih seperti ini identik dengan tingkat pendidikan masih rendah yang tidak mengetahui angka. Untuk itulah, demokrasi yang berlangsung pada masyarakat tradisionil sering kali partainya diidentikkan dengan gambar bendabenda hidup yang dekat dengan mereka seperti kuda, sapi, ayam, pepohonan, bulan, bintang atau simbol sosial lain yang paling dekat dengan kehidupan sosial. Demokrasi dalam sistem seperti ini benarbenar merupakan pencampuran antara sikap tradisionil dengan upaya kebebasan melakukan pilihan. Karena itulah, sarana kampanye bagi partai politik di jaman seperti itu sering menggunakan alatalat, mislanya kendaraan, yang identik dengan gambar partainya. Partai Nasional Indonesia di masa lalu, dekade tujuhpuluhan, pernah GPB Suka Arjawa 81 memakai kendaraan yang didekorasi seperti sapi untuk mengantar kampanye para kadernya. Gambar, dalam konteks demikian, justru mengalahkan nomor pada masyarakat model demikian. Akan tetapi, nomor atau jumlah angka tetap mampu diutakatik sebagai sebuah permainan politik. Konon ketika menjelaskan sosial konsep pilihan jumlah sila dalam jumlah Pancasila, Presiden Pertama RI pernah mengatakan kepada rakyat Indonesia bahwa jumlah lima itu tepat karena manusia mempunyai jari-jari kaki maupun tangan banyaknya lima, pendawa mempunyai anak lima dan seterusnya. Ketika Partai Demokrat dulu mempunyai nomor urut sembilan, inipun juga dikait-kaitkan dengan anka mujur karena lahir di bulan sembilan. Angka dan nomor bisa saja dimanipulir menjadi keuntungan-keuntungan politik tertentu. Sekali lagi, masyarakat yang bisa menerima hal seperti ini adalah masyarakat dari negara-negara yang masih menyisakan sifat tradisionilnya atau mereka yang baru bertransisi menuju masyarakat yang lebih maju. Masyarakat ”tengah” seperti ini masih mempercayai tahyul, kekuatan irasional dan kurang melihat manfaat partai politik sebagai jembatan fungsional untuk perjuangan kehidupan sosial. Menyikapi masyarakat politik Indonesia di tahun 2014 ini, partai politik haruslah hati-hati. Fenomena kemenangan Jokowi dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu, harus memutar otak pada kontestan politik untuk semakin berhati-hati. Disitu dijelaskan secara gamblang oleh realitas bahwa nomor (bahkan baju, warna dan kumis sekalipun), tumpul di hadapan mereka. Sosiologi politik masyarakat Jakarta sudah sangat jelas memperlihatkan kerasionalan mereka. masyarakat pemilih akan bersikap positif kepada pemimpin yang tidak mengobral janji tetapi kepada calon pemimpin yang mengobral tindakan nyata. Paling tidak dalam pandangan masyarakat Jokowi (ketika memimpin Solo) dipandang memlakukan tindakan yang kedua. Itulah yang membuat nomor, warna bahkan baju kotak-kotak tidak singgah di hati mereka. Lalu bagaimana dengan fenomena masyarakat Indonesia di tahun 2014 nanti? Ada indikasi kuat kalau masyarakat Indonesia sekarang sudah lebih rasional. Fenomena Jokowi itu sudah terkenal di mana-mana 82 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT dan yang paling kelihatan dari hal itu adalah apa yang disebut dengan ”blusukan” tersebut. Dari sisi fakta sosial, ”blusukan” itu adalah tindakan dari sesorang (pimpinan) yang bersedia turun ke lanpangan sampai ke pelosok, melihat keadaan sosial langsung ke lapangan. Dari sisi konsepsional, ”blusukan” merupakan upaya mencari kebijakan sosial yang tepat. Dengan cara seperti itulah pemimpin dapat mengetahui dengan pasti apa yang ddiperlukan masyarakat. ”Blusukan” juga amerupakan tindakan untuk mengatasi sikap ”asbun” bawahan yang suka memberikan masukan kepada atasan dengan fakta-fakta bohong dengan tujuan agar atasan senang. Gencarnya pemberitaan media massa konvensional dengan tindakan politik Jokowi dan gencarnya pesan melalui media sosial memberikan sumbangan besar kepada pengetahuan politik masyarakat yang menuju pada sikap-sikap yang rasional. Sikap inilah merupakan sikap yang jauh lebih maju ketimbang dengan cara pandang tradisionil atau cara pandang setengah-setengah antara tradisionil-maju. Dengan bantuan media massa seperti itu, sikap rasional masyarakat Indonesia sekarang tidak hanya ada di Jakarta saja tetapi diyakini sudah jauh meluas ke berbagai provinsi lain. Kurang dari dua tahun waktu berjalan menjelang pemilihan umum tahun 2004, akan semakin memperkuat keyakinan bahwa penyebaran sikap rasionalitas itu akan semakin luas. Jadi, sepuluh partai politik yang kelak akan bertarung pada pemilu mendatang, janganlah mengutak atik nomor, apalagi mengaitngaitkannya dengan bahasa tahyul yang membodohi rakyat. Utakatik nomor salah-salah akan dipandang sebagai partai politik yang mirip dengan nomor buntut. Rasionalitas merupakan sikap yang paling pantas dikedepankan oleh setiap partai yang kelak bertarung dalam pemilu. Sikap demikian tidak boleh hanya diartikan sebagai upaya mencari keuntungan maksimal, tetapi sebagai sebuah cara untuk mendapatkan hasil maksimal dalam mendekati hati rakyat. Dan rakyat yang dihadapi adalah mereka yang sudah pintar-pintar dan suka mempunyai sikap yang rasional. Maka ketika sikap rasional ini (dari partai politik) beradu dengan rasional (dari masyarakat), yang muncul adalah sikap intelek, jujur, taat hukum, tertib, positif dan berpandangan jauh ke depan. Paling akhir melihat kemajuan GPB Suka Arjawa 83 kepada bangsa dan negara. Satu hal yang juga harus dipertimbangkan oleh partai politik dalam keadaan rasional beradu rasional itu adalah soal start kampanye. Sekarang banyak yang mengkhawatirkan bahwa beberapa tokoh partai politik mempunyai media massa yang sangat potensial untuk mendukung kapmanyenya. Dikhawatirkan mereka-mereka ini akan mencuri start dalam kampanye melalui media massa yang dimilikinya. Maka satu pesan yang harus dicamkan, jangan sekalikali memakai cara ini karena masyarakar rasional akan langsung memfonis sebagai partai yang kepagian. Partai yang datang kepagian bisa-bisa hanya akan menjadi penonton di masa depan karena pertunjukan belum berlangsung. 84 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Zigzag Politik Golkar dan Potensi Poros Ketiga J ika saja Partai Golkar itu seorang pemain sepakbola, kemungkinan besar ia tidak akan terpilih masuk tim Piala Dunia 2014. Pemimpin umum partai ini dalam beberapa hari belakangan melakukana gerak zigzag politik dengan berkunjung dan menyapa para petinggi partai politik yang lain. Setelah dengan Prabowo (dari Gerindra), tokoh partai ini kemudian berdekatan dengan Jokowi (PDI Perjuangan), terus kepada Susilo Bambang Yudoyono dan terakhir kepada Megawati Sukarnoputri (PDI Perjuangan). Sebagai pemenang kedua pemilu legislatif, harus diakui Partai Golkar meraih suara besar, tetapi tetap tidak meyakinkan untuk menjadi pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan begitu zigzag politik ini bisa ditafsirkan macam-macam. Bisa saja partai ini kebingungan mencari partner untuk bisa duduk dalam pemerintahan. Atau mungkin sengaja memperlihatkan diri kepada partai-partai lain, dengan berkata ”saya mempunyai kekuatan besar, Anda memberi apa kepada kami?” Wow...kalau memang benar tafsirannya seperti ini, tidak ada yang berubah dari Golkar. Dari dulu selalu ingin duduk di lingkar kekuasaan. Padahal, sebagai partai besar mestinya berani percaya diri, menarik partai lain untuk berkoalisi atau sekalian tidak ikut di pemerintahan. Pengalaman tidak ikut pemerintahan penting untuk menambah kedewasaan partai. Ada kesan partai ini tidak mau duduk di ”bangku cadangan”, selalu saja ingin menjadi pemain inti setiap ada pertandingan. Pemerintahan adalah sebuah pertandingan menghadapi berbagai kompetitor berupa persoalan negara bangsa. GPB Suka Arjawa 85 Di Prancis, terjadi kejutan ketika pelatih nasional Didier Deschamps tidak memilih Samir Nasri ke dalam skuad Piala Dunia 2014 di Brazil. Pacar pemain ini mencak-mencak memisuhi pelatih dan negara Prancis sendiri. Tetapi penjelasan sang pelatih justru dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat dan penggemar. Nasri memang pemain cerdas dan berkualitas, tetapi kualitas mentalnya dipandang buruk. Ia sering marah-marah dan, yang paling mengkhawatirkan, akan ngomel dan mencak-mencak kalau dibangkucadangkan. Mental seperti ini tentu saja akan mampu mengganggu keseimbangan tim pada turnamen sekelas Piala Dunia. Apakah Partai Golkar mau ”dibangkucadangkan?”. Inilah pertanyaan dasar yang bisa jadi dipikirkan oleh partai-partai lain. Golkar, dengan kekuatan organisasinya memiliki kemampuan besar untuk meraih dukungan di masyarakat. Kekuatan itu memang sudah terbukti. Kejatuhan Orde Baru tidak membuat Golkar tiarap bahkan tetap pada posisi kedua. Tidak bisa disangsikan bahwa loyalitas, kinerja para organisator, profesionalitas dan dana memungkinkan mereka tetap mampu berbicara di tingkat politik nasional. Bahkan isu korusi pun tidak mampu menggoyahkan posisi partai ini. Kelemahannya, mereka tidak mempunyai figur nasional seperti yang diidamkan oleh masyarakat Indonesia yang masih bersikap tradisional. Sangat kelihatan bagaimana figur yang tidak ambisius, polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat, sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Itu ada pada Soekarno (merakyat), Soeharto (polos), Gus Dur (bersentuhan dengan rakyat), Susilo Bambang Yudoyono (polos, datar, bersentuhan dengan rakyat) dan Jokowi (polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat). Di Partai Golkar tidak ada kelihatan model-model seperti itu. Malah yang kelihatan terkesan ambisius. Ini yang sulit diadapatasi oleh masyarakat sehingga sulit bisa berbuat banyak dalam pemilihan presiden. Antara pemilu presiden dengan pemilu legislatif, dalam konteks keterikatan sosial, jelas sangat berbeda. Pada pemilu presiden, figur itu menukik tajam menuju ranah nasional. Sedangkan pada pemilu legislatif, keterikatan figurnya justru menukik ke ranah daerah. Politisi bisa saja menjadi figur di daerah, tetapi tidak untuk daerah lain, apalagi nasional. Keterikatan partai bisa saja lebih longgar atau ketat di satu 86 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT daerah, tetapi berbeda dengan daerah lain. Calon legislatif yang berakar daerah, lebih mudah melakukan manuvernya (entah dengan serangan fajar atau simakrama) di daerah ketimbang nasional. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Partai Golkar sulit mendapatkan suara pada tingkat nasional, dibanding dengan suara yang berakar pada daerah. Dikaitkan dengan perjalanan politik di Indonesia, partai ini juga mempunyai kelemahan justru karena kebesarannya sendiri. Bagaimanapun dengan kebesaran yang dimiliki partai ini serta kemampuannya meraih banyak suara di ”segala jaman”, berpotensi membuat partai lain juga ketakutan kalau diajak berkoalisi. Jika misalnya Golkar hanya diparkair sebagai ”pemain cadangan” atau hanya diberikan kursi menteri di bawah kuota yang diinginkan Golkar, bukan tidak mungkin dengan kekuatan politiknya, partai itu bisa menggoyang pemerintahan. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, hal ini sempat terucap oleh partai-partai politik, tidak hanya Partai Golkar. Dan satu saja menteri ”mogok” dalam kabinet, pemerintahan sebagai sebuah sistem bisa guncang. Situasi seperti ini jelas sangat tidak baik untuk negara seperti Indonesia yang benar-benar memerlukan kosentrasi tinggi untuk menjalankan roda pemerintahan. Di jaman globalisasi seperti sekarang dan jaman komunikasi serba cepat ini, rumor politik bisa membuat situasi macam-macam. Mogoknya satu menteri bisa dipakai sebagai rumor politik yang empuk. Negara-negara yang tidak suka dengan Indonesia bisa saja membuat blog yang mengatakan situasi politik Indonesia gawat. Atau investor luar terpaksa menunda pembangunannya atau tiba-tiba saja travel warning dikeluarkan kepada warganegara yang mau ke Indonesia. Karena itu, benarbenar diperlukan suatu pemerintahan yang mantap, sepakat, tidak membuat move macam-macam dalam perjalanan kepemerintahan. Pemerintahan nanti, seharusnya banyak belajar dengan pemerintahan koalisi yang terbentuk pada kabinet Susilo Bambang Yudoyono. Dan kemungkinan pembelajaran ini masih sedang dikaji oleh partai-partai yang kelihatan memperoleh jumlah suara besar seperti Gerindra atau PDI Perjuangan. Tidak seluruhnya citacita menstabilkan politik negara itu tercapai dengan menerapkan GPB Suka Arjawa 87 model kabinet pelangi. Komposisi menteri seperti ini hanya mampu menstabilkan politik secara relatif, tetapi akan mudah goyah apabila platform kebijakan negara tidak menyesuaikan dengan nilai partai politik pendukung kabinet pelangi tersebut. Padahal, ketika sudah tergabung dalam kabinet, seharusnya yang menjadi patokan adalah negara dan bangsa sebagai prioritas. Maka, seharusnya demi bangsa dan negara, termasuk demi pengalaman partai ini, Golkar dengan perolehan suara banyak dan konsisten dengan suaranya itu, harus berani memilih alternatif tersendiri. Poros Ketiga di luar PDI Perjuangan dan Gerindra perlu dipkirkan partai ini. Wacana yang sempat dikemukajan oleh Susilo Bambang Yudoyono untuk membentuk poros kketiga perlu dipikirkan. Poros ini akan menjadi kejutan, langkah baru dan amat mungkin sebagai sebuah terobosan, akan ditanggapi positif oleh masyarakat. Memang kemudian ini berpotensi membuat pemilu berlangsung tiga putaran. Tetapi sebagai sebuah pelajaran politik, mungkin ini penting. 88 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Menyaksikan Babak Lanjutan Dinamika Partai Golkar R ibut-ribut Partai Golkar (istilah kerennya dinamika), memberikan beberapa catatan penting terhadap perilaku partai politik di Indonenesia. Betapapun dinamikanya itu, tetap memberi sumbangan penting yang akan mampu mengolah pemikiran bagi generasi politisi mendatang. Dimanapun, generasi baru politisi selalu memakai patokan masa lalu untuk melangkah. Positifnya diambil, negatifnya dibuang atau dicari sintesa dari hal tersebut. Jadi, ada juga keberuntungannya bagi masyarakat terhadap keributan di Partai Golkar yang terjadi sekarang ini. Ada dua pendapat penting yang muncul dari partai ini. Kelompok pertama menginginkan agar partai ini tetap konsisten sebagai pendukung Prabowo-Hatta. Ringkasnya apabila gugatannya di Mahkamah Konstitusi berhasil, maka kelompok ini akan bergabung di pemerintahan Prabowo-hatta kelak. Kalau gugatannya itu gagal maka Partai Golkar akan berada di luar pemerintahan Indonesia. Kelompok kedua, mereka (para elit partai itu), menginginkan tidak bergabung dengan kelompok Prabowo-Hatta. Mereka yang beraliran ini masih belum jelas kedudukannya, apakah hendak mendekati Joko WidodoJusuf Kalla atau sekedar mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan kebergabungan partai itu kepada kontestan Prabowo-Hatta. Dalam kelompok ini juga secara tersamar kedengaran ada yang mengatakan kalau partai Golkar itu sekarang menjadi relawan, sebuah fungsi yang dipandang sangat jauh dari fitrah pendirian partai tersebut sekian decade yang lewat. Namun demikian, di kelompok ini GPB Suka Arjawa 89 kelihatan nada yang ingin memihak Jokowi-JK dan ingin bergabung dengan pemerintahan kelak. Alasannya, Golkar selalu duduk di pemerintahan. Disinilah inti dari berbagai dinamikan internal Partai Golkar tersebut. Sebagai sebuah lembaga politik yang begitu berpengaruh, sesungguhnya Golkar sekarang ibarat teater. Artinya sebuah adegan yang cukup nikmat ditonton dan ditunggu pementasannya. Generasi kelahiran dekade lima puluh dan enampuluhan telah tahu dan mengerti sepak terjang Golkar, paling tidak sejak paruh kedua decade tujuh puluhan. Prestasi mencengangkan dari partai ini sesungguhnya tidak terlihat pada tiga decade awal (sejak enampuluhan samapai delapanpuluhan), tetapi tepat pada akhir abad ke-20. Ketika Orde Baru jatuh, Golkar secara politik ternyata tidak jatuh. Kalau pada masa sebelumnya Golkar kuat karena dipandang ditopang oleh Soeharto, tahun 1999 itu Soeharto jatuh tetapi Golkar masih mampu mencengkram lembaga legislative. Logika yang mengatakan Golkar identik dengan Soeharto runtuh disini. Dan cengkraman itu masih hingga sekarang. Pertunjukan itu boleh dikatakan sebagai babak kedua dari kehidupan Golkar dari masa kelahirannya sebagai babak pertama. Babak ketiga seharusnya dimainkan Partai Golkar sekarang. Partai ini mempunyai pemain yang cukup banyak dengan keterampilan yang juga banyak. Maka babak ketiga ini adalah mencoba mempertunjukkan kepiawaiannya sebagai pemain oposan (di luar pemerintah), tetapi yang benar-benar menunjukkan keeksistensiannya sebagai partai politik yang pro-rakyat. Dengan konteks ini, silang sengkarut pendapat di partai Golkar bisa didorong untuk memilih berada di luar pemerintahan, tidak usah mengikuti garis pemerintah. Praktik dan perilaku politik Golkar sebagai “orang” luar pemerintahan inilah yang akan dilihat dan ditonton oleh masyarakat. Jika PDI Perjuangan sebelumnya pernah mempraktikkan hal seperti itu, maka giliran Golkar lah yang kini mempraktikkan. Gaya mengambil kebijakan, prioritas keputusan yang diambil, strategi wacana yang dikeluarkan sampai pilihan politik di parlemen, semuanya akan menjadi tontonan dan kemudian dibandingkan oleh masyarakat. Apabila partai ini kemudian mampu memberikan contoh dan inspirasi yang baik, 90 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT maka komplitlah sudah pengaman Golkar. Apabila sebaliknya, ada pembelajaran menarik yang bisa dipakai untuk memperkuat langkah di depan. Menjadi “oposisi” jelas tidak sekedar menyalahkan dan menghadang kebijakan pemerintah. Peran yang dipegang lebih banyak pada kemampuan memberikan pilihan alternatif lebih baik kepada pemerintah untuk ditujukan kepada masyarakat. Kesempatan memperlihatkan diri sebagai partai intelek, justru akan terlihat ketika berperan sebagai oposisi. Artinya partai yang mengungkapkan data dan argumentasi terhadap pilihan akan mampu lebih meyakinkan masyarakat di jaman serba terbuka dan serba cepat ini. Karena itulah partai yang mempunyai kekuatan litbang (penelitian dan pengembangan) yang lebih kuat, berkesempatan menjadi partai terbaik dan mendapatkan kepercayaan social di masa mendatang. Jika dilihat perkembangannya, sector apapun menggunakan lembaga litbang untuk meningkatkan prestasi. Termasuk dunia olahraga. “Oposisi” yang dimaksudkan disini adalah oposisi yang konstruktif, mampu memberikanmasukan dan inspirasi kepada masyarakat. Jadi, bukan partai yang as all menyalahkan pemerintah atau menghadang kebijakan pemerintah yang kemudian membuat mirip dengan partai balas dendam. Rakyat akan ketakutan dengan cara-cara seperti ini. Bagaiamana kalau partai ini masuk ke pemerintahan? Kalau pasangan Prabowo-Hatta kelak memenangkan gugatannya di Mahkamah Konstitusi, sebagai partai penyokong terbanyak sudah sewajarnya masuk ke dalam pemerintahan. Ini merupakan hal logis dari adanya “koalisi” itu untuk mendukung pasangan calon presiden tersebut. Akan tetapi apabila pasangan Jokowi-JK tetap dinyatakan sebagai pemenang pemilu presiden 2014 ini, maka Partai Golkar secara kesatuan harus berfikir banyak. Keluar dari koalisi kalah dan bergabung dengan koalisi pemenang sedikit banyak mengundang kritik dan cibiran. Kendati politik sering dikatakan tidak mengenal rasa malu, akan tetapi di jaman sekarang ini hal itu harus diperhatikan. Kritik dan cibiran tersebut akan mampu menurunkan derajat partai. Jangan lupa juga bahwa kebebasan yang ada di Indonesia sekarang tidak hanya kebebasan mengungkapkan pendapat tetapi juga kebebasan GPB Suka Arjawa 91 untuk mendirikan partai politik. Artinya, partai politik yang ada itu sudah demikian banyak sehingga orang bebas memilih partai mana yang mereka suka. Ini juga menjadi ancaman bagi para penggiat partai di masa depan. Jadi, haruslah ditunggu bagaimana pertunjukan yang diper­ lihatkan Partai Golkar, pemeran politik paling besar dalam sejarah Republik Indonesia. 92 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Membuang Kesempatan Memperbaiki Citra D alam keriuhan persoalan undang-undang pemilihan kepala daerah yang disahkan oleh anggota DPR baru-baru ini, Susilo Bambang Yudoyono boleh dikatakan sebagai “korban” paling keras dari para kelompok pendukung pemilihan langsung kepala daerah. Meski poros Merah Mutih ditengarai sebagai otak dari persetujuan DPR tersebut, akan tetapi wolk out dari anggota Partai Demokrat di parlemen disebut sebagai faktor pengaruh persoalan. Karena apabila anggota partai ini memilih “tidak” untuk pemilihan DPRD, besar kemungkinan pemilihan langsung akan tetap lolos. Meski masih bisa berjuang dengan berbagai ragam upaya, seperti menggugat ke Mahkamah Konstitusi, undang-undang itu tidak ditandatangani presiden sampai dengan pembuatan perpu, toh kritik kepada Susilo Bambang Yudoyono tidak henti-hentinya muncul. Mulai dari warung, ruang publik, media sosial sampai dengan kalangan kampus, terus bermunculan dan berkembang kritikan tersebut. Gunjingan juga mengganggu pasar uang sehingga dipandang akan mampu menggoyang perekonomian Indonesia. Kalau dilihat dari titik persoalan yang membuat anggota DPR dari Partai Demokrat meninggalkan ruangan saat sidang, ada logika yang memang perlu diperhatikan. Sepuluh syarat yang dikeluarkan oleh Partai Demokrat, ternyata tidak sepenuhnya mendapat perhatian dari partai politik pendukung pemilihan langsung. Konon yang tidak mendapat perhatian adalah uji publik dari calon kepala daerah tersebut. Inilah yang membuat kecewa partai itu yang membuat GPB Suka Arjawa 93 mereka meninggalkan ruangan. Jika memang demikian, unsur pembenar hal ini terletak kepada persoalan kualitas calon pemimpin. Kualitas itulah yang berhadapan dengan ambisi. Ada benarnya juga bahwa seorang calon pemimpin haruslah diuji publik, mengingat cukup banyak dari mereka yang menjadi pemimpin daerah itu bersifat kacangan, mudah dikunyah dan hancur luluh. Jelas, sebagai pemimpin daerah yang melihat secara langsung dan berhadapan langsung pada akar rumput, tidak boleh bermental demikian. Uji publik akan membuat kualitas pemimpin mampu dilihat rakyat sehingga keputusan untuk mencalonkannya atau tidak, ditentukan oleh hasil uji tersebut. Kalaupun memang tidak ada perhatian oleh partai-partai pendukung pemilihan langsung, kemungkinan partai-partai ini ketakutan kalau kader-kadernya kurang berkualitas sehingga tidak mampu lolos ke pemilihan kepala daerah. Partai seperti ini pun tetap mencerminkan unsur ketakutan. Dalam konstelasi politik yang demikian ketat, sesungguhnya ada celah yang dipakai Partai Demokrat untuk melakukan strategi demi menarik hati dan kembali merangkul suara rakyat. Jika memang satu syarat tersebut tidak diperhatikan oleh partai lain, sepanjang lebih banyak syarat lain yang sudah dipenuhi, seharusnya partai ini melakukan langkah politis rangkul rakyat. Soal uji publik, akan bisa dilakukan secara “mandiri” dengan membentuk opini rasional di berbagai macam media. Rekam jejak seorang calon pemimpin yang memang tidak berkualitas, di jaman sekarang, mampu dikontrol melalui strategi media massa. Harus ada aktor yang secara jujur dan bertanggung jawab mengungkapkan kekurangan kualitas dari calon pemimpin sehingga tidak akan dicalonkan oleh partai. Partai Demokrat yang pernah memegang kekuasan mungkin bisa memakai strategi ini dan tidak memutuskan untuk melakukan tindakan keluar ruangan. Ada tiga manfaat yang bisa dipetik Partai Demokrat (dan Susilo Bambang Yudoyono) apabila melakukan strategi tersebut. Secara eksternal partai, ia akan menyelamatkan nuansa demokrasi dan memberikan kesempatan pembelajaran demokrasi langsung kepada rakyat Indonesia. Betapapaun pemilihan langsung itu 94 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tetap mempunyai kelemahan, bahkan cukup mendasar, tetapi kesempatan itu akan mampu memberikan pembelajaran bagi masyarakat. Mereka akan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Dasar kelemahan rakyat Indonesia adalah bahwa demokrasi yang diterapkan tidak berpijak pada rasionalitas dan intelektualitas. Kekurangan inilah yang akan diperbaiki melalui proses yang bisa jadi panjang. Tetapi panjangnya proses itu akan mampu memantapkan rakyat meningkatkan kualitas rasional dan intelektualnya. Ini akan menjadi investasi politik yang amat besar ke depan. Sebagian hal itu sudah terbukti pada pemilu lalu dimana rakyat dewasa menerima kekalahan dari pasangan Prabowo-Hatta. Kedua, Partai Demokrat berpotensi menghindarkan biaya politik dan ketatanegaraan yang membengkak. Artinya jika saja anggota partai ini tidak wolk out dan kemudian membuat pemilihan langsung tetap dipertahankan, maka potensi ke Mahkamah Konstitusi tidak akan ada. Kini akibat dari kekalahan pemilihan langsung itu dalam voting parlemen, banyak komponen masyarakat yang menginginkan produk undang-undang ini dibawa ke mahkamah konstitusi. Bayangkan biaya ekonomi, politik, sosial, psikologis dan juga ketatanegaraan yang muncul. Perdebatan yang tidak habis-habis ini juga menyita emosi dan energi positif anggota masyarakat. Ketiga, secara internal partai, sikap mendukung pemilihan langsung (tidak wolk out dan memilih pilkada langsung), akan mampu meningkatkan citra partai. Jajak pendapat dari lembaga yang mampu dipercaya memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menginginkan pilkada langsung. Juga pejabatpejabatnya. Partai Demokrat secara jujur harus diakui prestasi dan predtisenya sudah berkurang sekarang. Maka untuk memperbaiki itu, haruslah dilakukan langkah politis. Memilih mendukung pilkada langsung dalam voting DPR lalu berpotensi mampu mengembalikan citra dukungan tersebut. Tetapi mereka membuang kesempatan itu. GPB Suka Arjawa 95 Dinamika Golkar Dalam Politik Indonesia P ertarungan internal di Partai Golkar saat ini menarik dilihat setelah rapat pimpinan nasional partai itu menyetujui jika Musyawarah Nasional dilangsaungkan pada tanggal 30 November sampai 4 Desember 2014 mendatang. Padahal inilah ajang yang dipakai untuk memilih pemimpin Partai Golkar. Sejak kegagalan partai ini merebut suara terbanyak dalam pemilu legislative dan presiden yang lalu, suara perebutan pimpinan puncak semakin mengemuka. Saling kritik antar pejabat internal partai juga muncul saat pemilihan presiden tentang apakah ikut atau tidak partai ini dalam struktur pemerintahan. Sebagai akibat dari berbagai pro-kontra tersebut, kini ada lebih dari lima calon yang ingin merebut pimpinan tertainggi dari partai ini. Tentang munas yang dilangsungkan akhir bulan ini, Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie menyetujuinya. Sekali lagi, hiruk pikuk yang terjadi di Partai Golkar menarik dicermati, tidak hanya oleh para politisi, pegiat partai politik tetapi juga bagi masyarakat. Bagaimanapan Partai Golkar merupakan sebuah “studi” yang memberikan sumbangan pengetahuan politik kepada khalayak. Yang pertama adalah soal cara pandang keterlibatan di dalam pemerintahan. Konflik internal di dalam partai ini, sangat dimungkinkan disebabkan oleh pertentangan cara pandang klasik dari partaii itu, yaitu tentang perlu tidaknya keterlibatan di dalam pemerintahan. Sejarah Golkar adalah pemerintahan. Karena itu 96 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT apabila mempunyai prinsip sebagai “jasmerah” maka keterlibatan di dalam pemerintahan merupakan keharusan. Pengingkaran terhadap “jasmerah” ini merupakan pengingkaran kepada sejarah pembentukan partai ini. Dalam pandangan seperti ini, politik memang selalu mempunyai pandangan identik dengan kekuasaan. Dengan demikian, dalam logika pikiran ini, apapaun yang dilakukan oleh Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2014 (entah pemilu legislative maupun pemilu presiden) semuanya dalam kerangka politik kekuasaan tersebut. Benar jika Golkar membuat trik tersendiri menghadapai PDI Perjuangan dan partai lain dalam pemilu legislatif. Benar juga tindakan Golkar yang selalu berseberangan dengan Jokowi, akan tetapi bahwa apabila Jokowi menang, harus diteria dengan lapang dada, dank arena itu buntutnya sebaiknya leburlah dalam pemerintahan Jokowi. Semua trik sebelumnya itu hanya sekedar trik politik yang memang wajar, sah dan harus dilakukan. Akan tetapi masalah kekuasaan merupakan masalah lain. Jika trik itu gagal tetapi sumber daya mempungkinkan masuk ke bidang kekuasaan (pemerintahan), maka secara politik, Golkar tidak mempunyai kesalahan masuk pemerntahan Jokowi. Modal besar yang dimiliki adalah keberhasilan mendapatkan banyak kursi DPR, kader banyak menduduki jabatan di eksekutif tingkat propinsi dan kabupaten. Tidak bisa dilupakan juga sampai saat ini kader-kader politik paling berpengalaman di Indonesia, memang berasal dari Partai Golkar. Jadi, layaknlah mereka tetap ikut pemerintahan. Cara pandang diatas berbenturan dengan “kelompok pembaharu” di partai ini yang mencoba menghilangkan cara pandang lama tersebut. Bahwa berpolitik tidaka mesti harus duduk di dalam pemerintahan. Politik itu mempunyai skala luas, berdimensi banyak dan yang lebih utama berpolitik itu merupakan proses belajar. Dengan cara pandang seperti itu, trik-trik yang dilakukan menjelang dan selama pemilu tahun 2014 adalah benar dalam kerangka sikap politik Partai Golkar tersebut. Sikap politik itu tidak lain memperlihatkan kejatidirian baru sesuai dengan iklim baru pemerintahan di Indonesia. Jadi, haruslah partai ini mampu memberikan sumbangan baru dalam iklim politik di Indonesia, yaitu berada di luar pemerintahan. Dengan berada di luar pemerintahan sejak lahirnya di awal kekuasaan Orde GPB Suka Arjawa 97 Baru (tahun 1964), Golkar harus meemperlihatkan keberanian untuk belajar menerima kenyataan, belajar dewasa dan menjadi penyeimbang pemerintahan di Indonesia. Cara pandang seperti ini tidaklah menentang sejarah pembentukan Golkar karena lembaga ini adalah lembaga politik. Dalam politik, kekuasaan tidak mesti menjadi focus pandangan satu-satunya tetapi sebagai sebuah visi yang mampu dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Partai Golkar. Terhadap dua cara pandang demikian dari Partai Golkar, sesungguhnya masyarakat dan para politisi Indonesia mendapat banyak masukan dan pelajaran. Disnilah akan terlihat dan mampu dibuktikan dalam perjalanan politik Indonesia ke depan, sejauh mana sebuah partai politik yang mempunyai pengalaman panjang dalam satu negara, mampu membuktikan dan mempertahankan prinsipprinsip tersebut. Dan sejauh mana para aktivias partai ini dapat mempertahankan soliditas mereka terhadap perbedaan pedpata tersebut. Sekali lagi ini sangat menarik karena dari konteks inilah akan terlihat gaya, budaya dan perilaku politik dari politisi Indonesia. Hal kedua yang harus dilihat dari konflik Partai Golkar adalah pengaruhnya terhadap iklim politik nasional Indonesia. Dinamika politik yang terjadi pasca pemilihan presiden di Indonesia saat ini, tidak bisa dilepaskan karena posisi Partai Golkar sendiri. Artinya bagaimanapun, keampuhan kekuatan Koalisi Merah Putih di lembaga legislative saat ini, tidak mampu dilepaskan darii posisi Partai Golkar. Ada kemungkinan negosiasi dan move politik yang terjadi, disebabkan oleh kemampuan lobi yang dilakukan oleh partai Golkar. Entah karena kemampuan pengetahuan politik yang luas atau bisa jadi kemampuan ekonomis kader, yang membuat mereka mampu memperkuat Koalisi Merah Putih. Ada dugaan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut ada di belakang figure ketua umum partai sekarang, Aburizal Bakrie. Berbagai langkah soliditas Koalisi Merah Putih dan langkah-langkah pembuktiannya di pandang berasal dari kelompok ini. Maka, Musyawarah Nasional Partai Golkar yang akan berlangsung akhir bulan ini akan memberikan gambaran masa depan perjalanan negara dan pemerintahan ke depan. Kemenangan kelompok yang pertama, akan memungkinkan semakin adanya kerjasama antara 98 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT pemerintah dengan partai Golkar dank arena itu stabilitas politik akan lebih terjadi di Indonesia. Tetapi apabila “kelompok pembaharu” yang berhasil kembali meraih kekuasaan (kelompoknya Aburizal Bakrie), akan muncul dua alternative. Pemerintahan akan mampu lebih stabil apabila Jokowi benar-benar dapat mewujudkan missinya dengan baik sebagai presiden atau mampu melakukan pendekatan dengan Partai Golkar. Jika itu tidak dapat dilakukan, Partai Golkar akan bisa memancing-mancing dan mengkritik pemerintahan yang artinya, stabilitas politik berpotensi terusik lagi. GPB Suka Arjawa 99 Menerawang Masa Depan Golkar Pasca Munas Bali P erseteruan di tubuh Partai Golkar sudah jelas kelihatan. Beberapa pejabat teras partai ini yang berseberangan dengan Ketua Umum, Aburizal Bakrie datang ke Bali “menyaingi” munas dengan menginap di sebelah hotel dimana munas diselenggarakan. Malah petinggi yang berseberangan itu diusir manakala hendak mencoba menghadiri kegiatan tersebut. Persitiwa ini menandakan bahwa di tubuh Golkar telah terjadi perpecahan. Karena persetEruan itu ada pada tingkat elit, wajar apabila kemudian ada yang mengatakan kalau partai ini akan pecah dalam perjalanannya ke depan. Akan tetapi, apabila dilihat bahwa peserta munas dipenuhi oleh pimpinan dan anggota dewan pimpinan daerah tingkat I dan tingkat II, tafsiran atas pecah belah partai ini kemungkinan mengecil. Akan tetapi kalau dilihat dari fenomenanya itu, kelihatan saat ini Golkar hanya mengalami kertakan. Apakah nanti keretakan itu bisa menjadi perpecahan atau bopeng yang secara pelan-pelan bisa disatukan lagi dalam perjalanannya ke depan, masih dalam tanda tanya. Banyak yang menyebutkan Golkar merupakan aset bagi politik Indonesia. Pernyataan ini jelas tidak salah. Juga kalau dikatakan partai itu mempunyai sumber daya manusia dengan intelektual tinggi, dengan berbagai pengalaman partai yang komplit. Tetapi tidak keliru juga kalau dikatakan Golkar itu mempunyai masalah tentang sikap monopolis dengan segala dampaknya pada jaman Orde Baru. Kekuatan partai ini ada pada seluruh hal yang diungkapkan diatas. Maka, ketika menghadapi berbagai masalah saat ini, upaya untuk mencari solusinya 100 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT akan diambil dari berbagai kekuatan yang ada tersebut. Dari sisi konflik, boleh dikatakan bahwa ranah konflik paling besar dari partai ini ada pada struktur atas. Secara teori, dalam kehidupan politik konflik yang terjadi pada ranah elit, selalu mengikutkan massa dari masing-masing elit tersebut. Elit dalam politik ditentukan oleh dua hal, yaitu massa dan kapasitas pribadi. Yang masuk kapasitas pribadi disini adalah kemampuan intelektual, kepemilikan ekonomi dan kemampuan pengaruh. Akan tetapi dalam konflik di partai ini, massa yang terlibat tidak begitu banyak. Menurut berita yang dimuat beberapa media massa, sebagian besar dari tokoh DPD I dan II hadir. Padahal kekuatan dari pembuatan keputusan dalam partai ini ada pada ranah dewan pimpinan daerah tersebut. Massa politik dari partai ini kemungkiann besar “dipegang” oleh mereka yang mengendalikan dewan pimpinan daerah, baikk pada tingkat I maupun II. Fenomena ini memberikan output konflik tersendiri bagi Partai Golkar. Artinya ada keuntungan kepada ketua umum yang lama, yang mencalonkan diri menjadi ketua umum baru lagi. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kondisi Partai Golkar saat ini adalah retak, masih belum pecah belah karena sebagai besar DPD I dan II hadir dalam musnas yang berlaangsung di Bali. Mungkin kritik banyak berhamburan atas terselenggaranya munas Bali ini, juga mungkin ada rekayasa politik kepentingan, akan tetapi di lapangan memperlihatkan bahwa munas itu berlangsung dengan kehadiran mayoritas dari mereka yang mempunyai kekuatan massa maupun kekuatan suara (dalam membuat keputusan akhir munas). Paartai lain, seperti Partai Demokrat, juga pernah mengalami konflik seperti ini dan menggelar hayatan besarnya juga di Bali. Hasil munas Partai Golkar di Bali ini, pasti akan menyisakan keretakan itu dalam perjalanan mereka ke depan. Ada beberapa hal yang akan terjadi sebagai akibat dari kasus ini. Keberlanjutan retakan akan beriringan dengan kapasitas dan kualifikasi dari tokohtokoh partai tersebut. Dalam arti, apabila tokoh-tokoh partai yang berseberangan dengan mereka yang terlibat ini benar-benar ingin menjaga idelaisme politik, maka keretakan tersebut akan selesai dengan turunnya atau terhempasnya tokoh-tokoh partai yang tidak setuju dengan munas Bali. Ada kemungkinan akan terbentuk partai GPB Suka Arjawa 101 baru yang mempunyai ideology mirip dengan Partai Golkar. Ini memerlukan keberanian dan kehebatan dari tokoh-tokoh pembaharu partai tersebut. Jika keberanian tersebut kurang, yang terjadi adalah lompatan tokoh-tokoh partai ini menuju partai lain. Meskipun ini menuai kecaman, baik dari partai maupun masyarakat luas, akan tetapi itu terjadi demi karir politik politisi yang bersangkutan. Model seperti ini tidak terlalu aneh di Indonesia. Akan tetapi, apabila ambisi kekuasaan para politisi yang bersebarangan dengan munas Bali ini tetap kuat dan idealism politiknya tidak terlalu kuat, maka yang terjadi mereka akan tetap duduk di Partai Golkar, sambill menunggu waktu yang tepat untuk berbaikan kembali. Konflik yang terjadi sekerang “dibiarkan” demikian secara alami yang pada akhirnya mengendap sesuai dengan perjalanan waktu. Perjalanan waktu yang mengendapkan konflik inilah yang memungkinkan kedua belah pihak itu akan kembali akur. Bagaimanapun partai politik merupakan kendaraan kekuasaan dan pengaruh. Dan Golkar adalah partai politik yang merupakan kendaraan raksasa untuk meraih kekuasaan itu. Menjadi tokoh di partai ini jelas sulit, berliku dan ketika telah berada diatas kekuasaan Golkar, hanya perlu satu titi untuk meraih kekuasan besar. Inilah yang menjadi salah daya tarik dari partai tersebut. Golkar sebagai sebuah partai masih kuat. Di balik kehebatan partai itu, kelemahan justru terbayang nyata pada politisi-politisi yang terlibat di dalamnya. Konflik ini cenderung memperlihatkan domain kekuasaan menjadi ajang pertarungan dari para politisi internal. Setidaknya itu terlihat dari adanya dua pandangan tentang kapan dan bagaimana seharusnya musyawarah nasional itu diselenggarakan. “Pertempuran” lebih memperlihatkan lagi karena tenggat waktu penyelenggaraan itu mengandung nilai dan citra tentang saat terbaik untuk mendapat kekuasaan, betapapun itu kemungkinan besar mendapatkan sumbangan pikiran dari lembaga jajak pendapat. Politisi yang terlalu mengandalkan kekuasaan sebagai tujuannya berpolitik, pasti menuai kecaman dan lambat laun akan memudar pamornya. Dan hal lain yang menjadi kelemahan Golkar adalah cara pandangnya yang selalu melihat pemerintahan sebagai “lahan” untuk berkecimpung dalam politik. Bukankah berpolitik tidak harus di dalam pemerintahan? 102 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Menunggu Respon Politik Dari Konstituens Golkar P artai Golkar telah menyelesaikan perhelatan musyawarah nasionalnya yang berlangsungdi Nusa Dua. Hasil dari munas itu adalah terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi sebagai ketua umum dan sikap Golkar yang tetap menginginkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mereka menolak Perppu yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Fenomena demikian sepertinya memperlihatkan “keaslian” Golkar. Dalam arti ada nuansa kembali ke di jaman Orde baru dulu. Pertanyaan disini, secara internal apakah itu tidak berbahaya bagi Golkar? Dan secara eksternal, apakah itu tidak akan memberikan sumbangan negative pada perkembangan kenegaraan dan sosial di masa mendatang? Kalau ditafsirkan dalam konteks sosiologi politik, dalam iklim demokrasi di Indonesia, permusyawaratan/perwakilan itu dimungkinkan terjadi dengan itikad dasar yang sangat luhur. Artinya sebelum terjadinya kebersamaan sikap untuk mengambil kesepakatan, telah terjadi perdebatan dan berbagai pertimbangan terlebih dahulu dianatara berbagai pihak, golongan atau kelompok yang sedang berkompetisi. Perdebatan itu terjadi diantara sekian kandidat yang bertarung , mengemukakan berbagai argumentasinya di arena terbuka. Paling tidak di arena sidang. Maka, manakala terjadi semacam deadlock karena masing-masing pihak sudah “habishabisan” mengeluarkan argumentasi, maka diambilah kesepakatan untuk memilih seseorang sebagai “pemenang”, demi menghilangkan konflik dan perbedaan yang ada. Pemenang ini disepakati bersama GPB Suka Arjawa 103 Tujuan utama ini adalah keutuhan organisasi dan pencapaian citacita organisasi. Dalam konteks kenegaraan, organisasi itu tidak lain adalah negara itu sendiri atau pemerintahan itu sendiri. Munculnya musyawarah yang dilandasi permufakatan itu didasari oleh karakter sosial masyarakat Indonesia yang dilandasi oleh gotong royong, tepa selira dan saling memberi. Paling dasar mungkin terletak pada sifat tradisionil masyarakat Indoensia yang menekankan pada stabilitas sosial. Kalau dilihat dari kontestasi yang terjadi pada partaii Golkar saat melaksanakan musyawarah nasional di Nusa Dua ini, sikap musyawarah mufakat itu sesungguhnya nyaris bisa dilakukan seandainya saja satu calon lain sebagai competitor Aburizal Bakrie masih tetap ikut pemilihan sampai saat terakhir. Akan tetapi calon bersangkutan mundur konon karena ketidakpuasan atas aturanaturan tertentu. Inilah yang kemudian yang dapat mencoreng suara aklamasi yang didapatkan oleh ketua umum Partai Golkar. Kalau dikaitkan dengan perceksokan yang terjadi sebelum diselenggarakannya musyawaran nasional ini, maka keterpilihan tersebut semakin jauh dari musyawarah mufakat seperti yang ditafsirkan diatas. Sebagian besar masyarakat Indonesia sekarang masih menganut budaya tradisional. Akan tetapi sikap tradisionalitas itu kemungkinan juga telah mendapatkan “pembaruan” lagi melalui model reformasi. Memang benar apabila dilakatakan tidak semua anggota masyarakat menyukai demokrasi terbuka yang meungkinkan terjadinya konflik. Amat mungkin sitesa dari dua budaya politik ini menghasilkan masyarakat yang mendukung musywarah mufakat dengan varian yang lebih modern. Artinya masyarakat tetap menginginkan adanya adu argumentasi, perdebatan dan sejenisnya tetapi kemudian menginginkan semua berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan. Perdebatan dan adu argumentasi itu merupakan hasil dari pembaruan demokrasi yang dilandasi reformasi di Indonesia. Sedangkan kemufakatan itu merupakan intisari dari budaya tradisionil masyarakat. Partai Golkar ke depan harus mengtantisipasi hal ini karena bukan tidak mungkin basis pendukung mereka berkarakter seperti yang diungkapkan diatas. Maka kritik terhadap keterpilihan 104 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Aburizal Bakrie adalah tidak adanya unsure-unsur perdebatan tersebut. Inilah yang menjadi tantangan internal partai, terutama dari konstituens yang kini sudah mulai kritis. Satu hal yang mesti dipertimbangkan, bahwa dengan model keterpilihan ketua umum seperti sekarang, boleh dikatakan masih belum teruji pada tingkat konstituens atau akar rumput. Para petinggi Golkar masih dapat mampu membuktikan apakah cara ini memang telah disetujui oleh masyarakat konstituens atau tidak. Sebab cara untuk membuktikan itu tergantung dari pemilihan umum, terutama pemilihan umum pusat (presiden). Apabila petinggi Golkar sekarang tetap mampu memegang partai dengan baik, kesempatan itu baru bisa dibuktikan pada pemilihan presiden mendatang. Membuktikan pada pemilihan umum daerah, sedikit lebih sulit karena faktor aktoraktor politik di daerah. Sebagian masyarakat tradisional di daerah masih melihat figure ke daerahan dalam menjatuhkan pilihan politik. Sikap untuk menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menekankan kepada pemilihan kepala daerah secara langsung, boleh dikatakan sebagai sikap politik Partai Golkar. Beberapa analis menyebutkan bahwa kekukuhan dari petinggi partai untuk tetap mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, merupakan salah satu faktor yang membuat berhasilnya diselenggarakan munas di Bali ini. Logikanya apabila memang Golkar di koalisi Merah Putih dan tetap mendukung pola pemilihan demikian, maka potensi petinggi Golkar untuk mendapatkan kursi pemimpin dadrah tinggi. Akan tetapi, lagai-lagi tantangannya terletak pada praktik ke depan. Sampai saat ini, “persekutuan” untuk menyepakati kembali ke pemilihan DPRD itu adalah persekutuan antar elit politik, bukan pada persekutuan rakyat. Artinya belum tentu rakyat kebanyakan itu (termasuk yang sebelumnya memilih Golkar dan partai lain di Koalaisi Merah Putih), ikut-ikutan menyetujui pola demikian. Pembelajara politik yang terjadi di masa refeormasi cukup banyak dan dengan rentang waktu yang panjang. Seluruh pemilu setelah tahun 1999 dilakukan secara langsung. Paling tidak telah tiga kali rakyat terlatih melakukan pemilihan secara langsung dengan rentang waktu sampai 15 tahun, hampir satu generasi pemilih. Cara ini telah mampu melahirkan budaya politik kepada masyarakat, yang tidak lain dalam GPB Suka Arjawa 105 hal inii adalah pemilihan langsung. Pemaksaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bisa-bisa menjauhkan rakyat dari partai-partai sponsor ini. Jadi, tetap perlu bukti dipemilihan umum mendatang. 106 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Di Balik Sikap Bolak-balik Pemilihan Kepala Daerah P emilihan kepala daerah, sepertinya menjadi kunci berbagai riak politik akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015. Ketika Koalisi Merah Mutih menguasai mayoritas anggota DPR pusat, kelompok ini bersemangat mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Tetapi begitu ada Perppu No 1 tahun 2014 yang menyatakan pemilihan itu dilakukan secara langsung, suara Koalisi Merah Putih agak meredup. Kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang mendukung pemilihan langsung dan pengaruhnya kepada tokoh-tokoh koalisi itu dinilai mempengaruhi meredupnya dukungan pada pilkada tak langsung. Akan tetapi mata masyarakat seolah membelalak lagi manakala Partai Golkar, yang merupakan anggota terkuat koalisi ini, melaksanakan Munas IX di Bali. Salah satu hasil Munas itu kembali menekankan disetujuinya pemilihan kepala daerah oleh DPRD (menolak Perppu). Menyikapi hal ini, secara politis mantan presiden Susilo Bambang Yudoyono bertemu dengan Presiden Joko Widodo, kembali menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung. Tiba-tiba saja mata masyarakat kembali terbelalak manakala beberapa hari belakangan Koalisi Merah Putih kembali menyatakan mendukung pemilihan langsung. Bahkan pentolannya juga mengatakan demikian. Ini terjadi setelah adanya pertemuan antara Jokowi dengan SBY dan setelah usainya Munas IX Golkar (tandingan) yang berlangsung di Ancol, Jakarta. Karena Golkar menjadi “inti” dari Koalisi Merah Putih, maka ada kesan sikap koalisi itu bolak-balik. GPB Suka Arjawa 107 Aburizal Bakrie juga menyatakan mendukung pemilihan langsung. Lantas ada apa dibalik sikap demikian tersebut? Yang pertama harus dilihat bahwa kemungkinan besar Koalisi Merah Putih, termasuk Golkar di dalamnya, baru menyadari betul bagaimana sosiologi politik masyarakat Indonesia itu masih sangat tergantung kepada figure. Bisa dikatakan bahwa budaya politik itu masih sangat tergantung kepada tokoh. Pertemuan tokoh yang kebetulan dipandang kharismatis, pasti akan mempengaruhi sikap masyarakat. Maka ketika Susilo Bambang Yudoyono bertemu dengan Jokowi dan membicarakan dukungannya kepada Pilkada langsung, rakyat pasti akan mendukung, dan itu dipastikan berpengaruh kepada sikap politik di DPR pusat. Intinya pembahasan Perppu 1 tahun 2014 di DPR cenderung akan mendapat persetujuan sehingga dapat diundangkan nanti. Apabila Golkar dan Koalisi merah Putih masih ngotot dengan sikap menentang pemilihan langsung, dikhawatirkan masyarakat akan menjauhi partai-partai yang tergabung pada Koalisi Merah Putih. Apalagi keberadaan partai politik di dalam koalisi ini sekarang sudah pada bercabang dua, yakni pecahnya Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Disamping itu, konon sebelumnya telah ada kesepakatan-kesepakatan antara Partai Demokrat dengan para petinggi Koalisi Merah Putih untuk mendukung Perppu tersebut. Apabila kesepakatan ini dilanggar, maka secara moral dan hukum, koalisi tersebut bisa dikatakan telah melanggar. Tentu ini juga menambah poin negative pencitraan koalisi tersebut. Maka pilihan untuk kembali mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung ini, merupakan cara rasional untuk dapat merangkul masyarakat. Dari titik ini, sikap politik sebelumnya yang menolak Perppu dan mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, merupakan sikap gegabah dan grasa grusu, lebih menentingkan emosi ketimbang rasionalitas sosiologi politik masyarakat. Hal kedua yang bisa dilihat adalah bahwa wacana tentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD sesungguhnya lebih banayak merupakan wacana elit, wacana tokoh yang kemungkinan banyak frustrasi padacita-cita politik mereka. Wacana tersebut masih belum teruji di masyarakat (akar rumput). Artinya belum tentu secara 108 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT faktual, pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu akan mendapat respon positif dari masyarakat. Ini dapat berakibat pada pemilihan umum mendatang, dimana partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih akan dijauhi pemilih. Tentu ini menjadi hal yang sangat menakutkan. Apalagi sekarang telah banyak suara-suara yang muncul yang dikeluarkan oleh elit-elit masyarakat, dan juga elit politik untuk tidak memilih partai yang mendukung pemilihan kepala daerah tidak langsung tersebut. Survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga pada minggu-minggu terakhir memperlihatkan diatas 75 persen masih memandang pemilihan langsung lebih baik ketimbang pemilihan dilakukan oleh DPRD. Ketiga, pembelokan sikap yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie ini, bisa jadi akan membuat munculnya perubahan konstelasi politik internal Golkar. Bagaimanapun hendak disanggah, Golkar telah pecah dua antara Munas Bali dan Munas Ancol. Salah satu kekuatana besar dari Munas Bali diprediksi pada “janji” penolakan Perppu 1 Tahun 2014, yang artinya menolak pemilihan langsung kepala daerah. Jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, diprediksi banyak tokoh Golkar daerah yang akan naik menjadi kepala daerah di masa depan. Inilah yang kemungkian menjadi alasan ramainya tokoh daaerah datang di Munas Bali. Tetapi, dengan adanya pembelokan sikap ini, akan menjadi perjuangan yang memerlukan tenaga bagi pengurus Partai Golkar versi Munas Bali untuk mempertahankan soliditasnya. Ada kemungkinan secara pelan-pelan para pendukung Munas Bali kecewa dan akhirnya merayap merapatkan diri kepada Golkar Munas Ancol. Sebagai sebuah peristiwa politik, ini akan menjadi tontonan dan bacaan menarik di masa depan. Secara nasional, dinamika politik Indonesia ini tidak terlalu memberikan sumbangan menarik bagi pencerdasan pengetahuan politik masyarakat (dan mahasiswa). Sebab, sikap politik ini terlihat terlalu individual, dan karena itu melekat kepentingan-kepentingan individual, kurang memperhatikan aspirasi rakyat. Terlihat juga politik itu terlalu mengagungkan kekuasaan dan menjadikan posisi itu sebagai cita-cita. Politik menjadi lemah karena kecondongannya kepada kekuasaan. Kerugian politik sangat kentara dalam waktu satu GPB Suka Arjawa 109 tahun terakhir ini. Banyak energy terbuang percuma hanya untuk memenangkan keinginan pribadi atau untuk menentang sebuah kekalahan. Tidak ada pembelajaran positif bagi masyarakat. 110 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Agar Partai Tak Hancur dan Kekuasaan Tak Melayang U paya berbaikan kembali (islah) dari dua kubu Partai Golkar, merupakan peristiwa politik paling menarik di akhir tahun 2014. Partai ini dikenal karena kebesaran nama, organisasi, dan pengaruhnya di Indonesia. Di era Orde Baru, sudah tidak perlu diungkapkan lagi pengaruh kekuasaannya. Tetapi penampilan paling hebat dan boleh dikatakan heroik, adalah tahun 1999. Ketika masyarakat sudah menduga partai ini kolaps setelah tumbangnya Orde Baru, tiba-tiba mereka tetap kokoh menjadi pemenang kedua pemilu tahun 1999. Momen inilah bisa dikatakan sebagai penampilan terbaik Partai Golkar, kokoh di saat badai hebat menerjang. Akan tetapi, paradoksnya, Golkar justru lunglai di saat angin sepoi-sepoi menghadap kepada sosok Joko Widodo, politisi yang boleh dikatakan lembut dan santun, tanpa membawa angin puting beliung seperti reformasi tahun 1997. Golkar kokoh diterpa badai tetapi seolah lunglai diterpa angin sepoi. Dengan demikian,Golkar tidak mampu dirobohkan oleh kekuatan di luar badannya tetapi justru oleh penyakit yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Persis seperti pohon beringin yang tidak tumbang oleh angin puyuh tetapi goyah digerogoti rayap yang merusak batang tubuhnya. Pecahnya Partai Golkar saat ini tidak lain karena perpecahan internal, terutama soal sikap terhadap kepemerintahan dari tokohtokohnya. Melihat perpecahan yang terjadi selama ini, sudah jamak diketahui bahwa kelompok Munas Bali tidak pro dengan pemerintahan Joko Widodo dan sebaliknya dengan kelompok Munas GPB Suka Arjawa 111 Ancol. Komposisi jumlah anggota masing-masing kelompok yang bertentangan ini, baik dari sisi elit maupun non elit, boleh dikatakan seimbang. Maka, dalam komposisi demikian, seperti halnya dalam permainan olahraga, pastilah hasilnya seri. Dun kekuatan aspirasi politik seimbang di dalam satu organisasi, akan membuat partai itu pecah atau bubar. Pada tubuh Partai Golkar, pembubaran, dalam hal ini, bukanlah sesuatu yang rasional karena kebesaran jumlah anggota, infra dan suprastruktur, kekayaan, sampai dengan pengaruhnya. Maka, perpecahan merupakan “kejadian rasional” yang bisa dinilai “logis” untuk partai sebesar ini. Masing-masing pihak masih mampu mengklaim kondisi, apalagi dalam komposisi masing-masing pihak yang seimbang dengan dua kubu yang berhadapan. Golkar tidak hilang, tidak bubar. Golkar tetap ada tetapi pecah! Perpecahan internal yang terjadi pada partai besar, dengan komposisi yang sama kuat, tidak akan mungkin mampu memberikan solusi dalam jangka dekat. Masalah hanya dapat diselesaikan secara hukum. Akan tetapi masalah seperti ini pada akhirnya hanya akan memberikan kerugian kepada partai itu sebab salah satu pihak pasti akan dimenangkan. Yang berarti pihak yang pasti akan kalah. Dan kekalahan hukum bisa berarti sebuah kehilangan. Dalam konflik partai sebesar Golkar, bisa dibayangkan jumlahnya sumber daya yang akan hilang dengan dikalahkannya satu pihak sebagai akibat dari keputusan hukum. Secara politis, ini akan memberikan dampak sangat merugikan karena harus membangun partai yang baru lagi. Membangun partai baru, tidak sekedar membangun nama, dan lambang partai tetapi juga harus membangun citra dan pengaruh. Pembangunan citra dan pengaruh ini mempunyai tatangan paling besar bagi partai yang kalah. Kondisi yang kalah di pengadilan akan mempengaruhi citra partai tersebut pada masyarakat. Apalagi masyarakat Indonesia yang menjadi anggota partai, sikap ideologisnya tidak konstan. Mereka secara mudah pindah partai politik, apalagi menjelang pemilu. Kondisi seperti ini akan menguntungkan bagi Partai Golkar yang memenangkan “pertarungan” di pengadilan. Dengan demikian, maka apabila kedua belah pihak mengambil keputusan untuk berbaikan kembali (islah), ini merupakan keputusan 112 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT paling rasional dari partai beringin yang besar ini. Dengan islah, potensi melubernya anggota partai, terutama pada tingkat akar rumput semakin kecil. Mereka masih dapat ditahan dan dirangkul lagi sesuai dengan kepengurusan-kepengurusan setelah islah tersebut kelak tercapai. Tantangan islah ini ada beberapa hal. Secara politis, tantangan itu terletak pada formulasi sikap terhadap pemerintahan Joko Widodo. Dalam hal ini, nampaknya perbedaan itu telah bisa diatasi. Kubu Munas Bali bersikap lunak karena tidak lagi keras menentang pilkada langsung. Artinya mereka sudah jauh bergeser dari kekukuhan sikap sebelumnya yang meminta agar pemilhan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Sikap ini boleh dikatakan sebagai corong frontal perbedaan sikap kedua kelompok itu karena kubu Munas Ancol memilih tetap pilkada secara langsung. Meski sulit, Golkar Munas Bali sebaiknya menerima opsi ini karena bagaimanapun mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih pilkada langsung. Bertahan dengan sikap menentang pilkada langsung bisa berari “bunuh diri’ karena ke depan partai ini akan dijauhi rakyat. Pilihan menyetujui pilkada langsung, kemungkinan juga membuat Golkar Munas Bali akan sedikit goyah dari pendukung-pendukung setianya. Konon menurut beberapa pendapat, banyak tokoh Golkar di daerah mendukung Munas Bali karena ada ambisi memenangkan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD diduga akan banyak mendudukkan pejabat Golkar di daerah menjadi kepala daerah karena komposisi anggota DPRD dikuasai oleh Partai Golkar. Akan tetapi, di luar itu semua, partai politik harus tunduk kepada keinginan rakyat. Tantangan paling besar dari islah ini adalah dalam bidang organisatoris. Perpecahan partai ini membawa dua kubu elit, yang masing-masing mempunyai anak buah. Pada tataran partai politik besar, kompisi elit kepengurusan pada struktural yang lebih tinggi itu identik dengan jembatan awal menuju elit kekuasaan pemerintahan negara. Inilah yang akan menjadi rebutan dalam islah nanti dan kemungkinan paling rumit. Dengan kompisisi struktur yang terbatas dalam organisasi, posisi-posisi tersebut pasti akan mendapat rebutan. Disnilah orang-orang dari Aburizal Bakrie dan Agung Laksono GPB Suka Arjawa 113 memerlukan kedewaan berfikir, antara memihak kekuasaan atau memihak keutuhan partai. Yang jelas, kekuasaan itu sifatnya membentang, masih ada di depan. Sedangkan keutuhan partai, itu tergantung sikap hari ini. Kalah dalam menentukan sikap dewasa, dua-duanya akan hilang. Partai hancur kekuasaan melayang. 114 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT u MASYARAKAT GPB Suka Arjawa 115 116 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Menyindir Aparat Lewat Sandal Jepit D ari sisi hukum, persoalan mencuri sandal atau mencuri mobil, tetap sebuah pelanggaran. Karena itu, memang sangat wajar untuk mendapat proses hukuim. Akan tetapi, masalah keadilan menjadi signifikan disini. Mencuri mobil atau menggelapkan uang negara yang kualitas kejahatannya lebih besar, sering kali lolos dari perburuan hukum. Sedangkan mencuri ketela, ayam atau sandal, lebih gampang dijerat hukum. Ketimpaangan inilah yang membuat isu pencurian sandal di Sulawesi Tengah mencuat menjadi isu nasional. Isu itu tetap pada porsinya, yakni masalaah keadilan. Dalam urusan ketatanegaraan, ia menjadi sebuah sindiran kepada para penguasa dan penegak hukum di negeri ini. Unjuk rasa berupa solidaritas 1000 sandal jepit itu, bermakna sebuah sindiran politik, sindiran sosial yang ditujukaan kepada para penyelenggara negara (pemerintah) dan aparat hukum. Tulisan di bawah ini mengulas masalah sindiran dalam hubungannya dengan tugas-tugas kepemerintahan. Dalam tataran konstruksi sosial, protes yang berupa sindiran mempunyai posisi yang penting sebab ketimpangan keadilan ini menjadi amat berbahaya bagi kehidupan masyarakat selanjutnya. Di Indonesia ketimpangan keadilan itu secara kuantitatif sudah cukup banyak. Tidak hanya begitu lancar, berhasil dan suksenya proses pengadilan terhadap masyarakat golongan kecil yang mencuri ayam, sayur, cokelat dan sejenisnya, tetapi para para koruptor (yang hakekatnya pencuri juga), juga berhasil melepaskan diri dari jeratan GPB Suka Arjawa 117 hukum. Praktik sosial ketidakadilan seperti ini terjadi di banyak tempat di Indonesia. Yang kita khawatirkan, praktik tersebut akan menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi contoh sosial, tidak saja bagi generasi sekarang tetapi juga generasi berikutnya. Peter L. Berger kurang lebih mengatakan bahwa masyarakat akan bertindak, berperilaku berdasarkan apa yang menjadi praktik sosial paling sering terjadi di masyarakat. Jadi, kalau ketidakadilan tersebut menjadi praktik sosial yang paling sering terjadi, dan dibiarkan lolos, masyarakat kemungkinan akan menyebut praktik itulah yang benar (dan akhirnya dicontoh), lalu dibudayakan! Inilah hal yang paling membahayakan bagi situasi sosial apabila ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan itu dibiarkan terus-terusan berlangsung. Penghentian praktik seperti ini menjadi keperluan mendasar bagi negara yang sedang membangun dan sedang mengalami perubahan sosial. Indonesia adalah negara yang sedang membangun dan berproses dalam perubahan sosial. Pemerintah haruslah sadar dengan fenomena ini dan harus segera mengubahnya sekuat tenaga. Jika memang pencuri sandal harus mendapat hukuman karena memang terbukti ia melakukan pencurian, lakukanlah hal yang sama dengan para pencuri (koruptor) kelas kakap, tanpa pandang bulu. Pemerintah juga harus sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Berger itu, di jaman sekarang mungkin telah diperkaya melalui kemajuan dan modernisasi jaman. Keterbukaan komunikasi dan lalu lintas informasi yang begitu bebas berlalu lalang sekarang (modernisasi), akan mampu lebih melekatkan kepercayaan masyarakat untuk mencontoh perilaku-perilaku yang paling sering muncul di media. Ketika Berger mengungkapkan teorinya tentang konstruksi sosial itu, mungkin kebebasan informasi belum demikian melaju dengan cepat. Di masa terbitnya teori ini, peniruan-peniruan dan kepercayaan akan praktik sosial itu bisa terjadi setelah kejadiannya berlangsung berhari-hari atau bertahun-tahun. Ini yang membuat masyarakat percaya bahwa begitulah seharusnya berperilaku dan bertindak, karena banyak masyarakat yang telah melakukannya. Misalnya ngaben dilakukan dengan upacara yang rumit, meski tidak seharusnya demikian. Akan tetapi karena banyak orang melakukan 118 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT hal demikian dan berlangsung bertahun-tahun, pengetahuan akan ngaben yang rumit itu akhirnya mengendap, dan ngaben yang rumit itulah yang dilakukan. Padahal sekali lagi, ngaben tidak seharusnya dilakukan dengan cara yang rumit karena intinya hanya pada mantra pralina. Kini sebuah peristiwa akan bisa berulang sekian kali dalam sehari melalui acara siaran ulang di berbagai stasiun televisi, berita berulang di surat kabar yang menembus berbagai daerah dan melalui grup-grup diskusi di dunia maya. Terulang-ulangnya peristiwa ini oleh media massa akan memungkinkaan membentuk sikap kepercayaan pada masyarakat dalam waktu yang lebih singkat, tidak lagi memerlukan waktu lama seperti saat Berger menelorkan teorinya. Sebuah kejadian korupsi besar yang dilakukan oleh para politisi atau orang besar, apabila ia berhasil lolos dari jeratan hukum, amat berpotensi menjadi percontohan di masyarakat, dan akhirnya membudaya dalam waktu yang lebih singkat. Ini sebagai akibat dari pengulangan-pengulangan informasi yang didapatkan masyarakat. Pengulangan seperti itu tidak saja membentuk kepercayaan, juga bisa memberikan percontohan kepada masyarakat. Di tingkat percontohan ini, teknik, strategi dan kiat baik untuk berkorupsi maupun meloloskan diri dari jeratan hukum, juga akan bisa dipelajari secara lebih dalam. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana pengaruh buruk apabila ketimpangan-ketimpangan hukum itu dibiarkan tanpa harus ada upaya-upaya perlawanan. Pada konteks itulah, solidaritas sosial dalam bentuk pengumpulan ribuan sandal jepit terhadap pencuri sandal yang terjadi di Sulawesi Tengah itu menjadi amat penting. Di tengah gencarnya lalu-lintas informasi seperti saat ini, pemberitaan tentang ketimpangan keadilan ini akan mampu membuat kesadaran tidak saja kepada masyarakat, tetapi juga kepada para penyelenggara negara dan penegak hukum. Para pemrotes dan pendukung aksi soslidaritas ini tentu saja tidak hendak membebaskan AAN dari jeratan hukum, akan tetapi lebih pada memberikan sentilan kepada petugas negara terhadap kondisi ketidakadilan hukum yang terjadi di negara ini. Artinya, silakan AAN diproses secara hukum, secara adil dan mendapat pembelaan yang layak, namun penyelenggara negara juga harus melakukan hal yang GPB Suka Arjawa 119 sama kepada para koruptor-koruptor besar yang merugikan negara. Dalam kasus di Sulawesi Tengah ini, fenomenanya menjadi lebih menonjol karena kebetulan pihak pelapor adalah petugas keamanan (kepolisian) yang selama ini cukup sering dikritik dalam menjalankan tugasnya. Aksi solidaritas itu mempunyai fungsi, tidak hanya berupaya mencegah keterulangan ketidakadilan seperti yang telah menjadi praktik-praktik hukum yang telah ada, tetapi telah menjadi sebuah arena diskusi dan transfer pengetahuan baru yang pasti akan memperkaya kesadaran masyarakat akan praktik ketidakadilan di Indonesia. Di masa depan, akumulasi kegiatan-kegiatan disekusi seperti ini bisa mempunyai dampak besar jika pemerintah tidak tanggap dengan makna solidaritas tersebut. Gerakan sosial penurunan pemerintah bisa saja terjadi 120 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Minoritas, Dilema Demokrasi, dan Rhoma Irama P ersoalan suku Rohingya dengan pemerintah Myanmar, tibatiba mendapat perhatian di Indonesia akhir-akhir ini. Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga ikut menyinggung masalah itu yang menjadi keprihatinan. Konflik ini tidaklah baru tetapi sudah menjadi perhatian internasional paling tidak lebih dari lima tahun lewat ketika suku itu terusir dari kampungnya. Kekerasan kepada kelompok minoritas tidak hanya terjadi di Myanmar. Di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu kelompok penganut Sikh ditembak mati saat melakukan ibadah di kuil mereka. Ia yang melakukan penembakan adalah mantan tentara penganut keyakinan supremasi kulit putih diatas kelompok lain. Konon ada kekeliruan terhadap penembakan itu karena penganut Sikh dipandang sebagai umat muslim. Sang penyerang diperkirakan merasa sebagai pihak mayoritas dan yang diserang dipandang sebagai kelompok minoritas. Cara pandang ini amat berbahaya bagi peradaban modern. Banyak kasus lain yang menimpa golongan minoritas. Sejarah mencatat kelompok Tionghoa di Semenanjung Melaya mendirikan negara sendiri (Singapura), setelah sebelumnya selalu terlibat konflik dengan mayoritas Melayu di wilayah itu. Suku Kurdi mempunyai pengalaman lebih unik lagi. Sebagai sebuah suku, mereka mempunyai penduduk sekitar 30 juta. Akan tetapi, terbagi dan berada pada lima negara di Asia. Kurdi, akhirnya menjadi minoritas di masingmasing negara itu (diantaranya Suriah, Irak, dan Turki), dan sampai GPB Suka Arjawa 121 sekarang selalu mendapat perlakuan tidak adil. Yang paling membuat dunia terguncang, adalah apa yang terjadi di Timur Tengah. Israel dalam skala regional, boleh dikatakan sebagai minoritas. Tetapi bangsa Yahudi ini selalu menantang dan memakai strategi untuk menghadapi lingkungan regional yang mayoritas menentangnya. Strategi itu bermacam-macam, mulai dari ekonomi, intelektual, politik, kebudayaan, keunggulan teknologi sampai dengan diplomasi untuk menghadapi musuh yang memojokkannya. Secara jujur harus diakui, penerapan strategi ini mampu membuat negara Israel tegak berdiri sampai sekarang. Minoritas sesungguhnya lebih banyak mengacu kepada kenyataan yang sifatnya kuantitatif. Artinya memposisiskan adanya skala perbandingan jumlah yang bisa dihitung diantara kelompok di suatu wilayah. Karena merupakan skala kuantitas, sesungguhnya tidaklah adil kalau dibandingkan dengan kenyataan lain, yaitu kualitatif. Pada sisi kualitatif yang lebih banyak dilihat adalah makna, arti dan produk pikiran yang dihasilkan. Dikaitkan dengan kenyataan duniawi, meaning inilah paling menentukan pengaruh dan sumbangannya kepada peradaban manusia. Karena itu, meskipun sebuah entitas hanya minoritas akan tetapi produk pikirannya sangat mungkin mampu memberikan sumbangan dan ide positif bagi perkembangan dunia dan produk itu mampu menjadi mayoritas. Di tengah berbagai kecaman terhadap perilaku dan eksistensi bangsa Yahudi misalnya, produk pengetahuan sosial, eksakta, bahkan perekonomian, banyak berasal dari golongan ini. Karena itulah, Yahudi dipandang selalu menguasai dunia. Mereka adalah minoritas di tengah komunitas dunia, tetapi mayoritas dalam sumbangan pengetahuan. Konon, munculnya kelompok Sikh di wilayah Khalistan di India pada abad ke-14, merupakan hasil dialektika konflik antara kelompok Hindu dan Islam yang selalu bertikai di negara itu sejak berabad-abad. Sikh konon menjadi perpaduan antara dua agama besar tersebut. Sebagai sebuah ide, munculnya golongan ini mestinya memberikan inspirasi bahwa solusi terhadap bebagai konflik tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan tetapi penyerapan antara kedua ajaran tersebut. Pada tataran kualitatif dan produk idealis yang dihasilkan, sebutan-sebutan terhadap minoritas itu sesungguhnya tidak ada. Di 122 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT jaman globalisasi seperti sekarang, yang paling mendapat perhatian masyarakat adalah produk. Bukan sekedar produk yang sifatnya ekonomis, tetapi sosial, budaya, bahkan politik. Produk inilah yang akan mampu memberikan masyarakat inspirasi dan solusi, sebagai sebuah bentuk pengimbang dari berbagai percepatan pola hidup global yang dicirikan oleh mobilitas jugernaut. Mobilitas seperti ini ditandakan dengan pola persaingan pada bidang apapun yang semakin kuat di seluruh dunia. Yoga misalnya, bisa dikatakan sebagai produk sosial yang mampu memberi solusi terhadap kepenatan kompetisi. Bagaimana hubungan minoritas ini dengan politik? Pemaksaan tentang konsepsi minoritas dan mayoritas hanya akan muncul pada ranah politik yang berbasis kekuasaan dengan tujuan mengekalkan kekuasaan itu. Yang menjadi dilema pada konteks ini justru demokrasi. Inilah yang menjadi paradoks demokrasi di jaman globalisasi. Pertama harus dilihat bahwa globalisasi memberikan kebebasan kepada ide dan pikiran-pikiran (cemerlang) muncul ke permukaan. Pada tahap ini, baik individu maupun kelompok dimungkinkan untuk mengembangkan ide dan inspirasi yang bisa mempengaruhi tindakan masyarakat. Ini disebabkan karena keterbukaan informasi memungkinkan pikiran-pikiran yang bagus itu masuk menuju setiap segmen masyarakat. Keterbukaan informasi juga diikuti dengan keterbukaan publik yang menjadi gaya hidup masyarakat modern. Orang bisa memperbincangkan kesuksesan Steve Jones atau Bill Gates (ahli dan maestro perangkat lunak dunia) di warung, lapangan, televisi atau media lain. Pada saat inilah identifikasi seseorang tersebut akan berbarengan masuk ke ranah publik dan diinternalisasi oleh masyarakat. Internalisasi ini bisa dalam bentuk kekaguman atau berbagai cara lain yang mengikat seseorang atau masyarakat kepada si figur pemberi inspirasi tersebut. Politiklah yang akan menangkap figur ini untuk dimasukkan ke dalam berbagai ranahnya. Demokrasi justru merupakan wahana kebebasan untuk meletakkan dan menumpahkan ikon (figur) yang telah diinternalisasi tersebut ke dalam bentuk sikap, baik dalam bentuk sikap maupun wacana. Jadi, inspirasi tentang kemajuan dan perubahan positif GPB Suka Arjawa 123 di tengah masyarakat, secara ikonik memungkinkan datang dari kelompok minoritas. Sebab, harus juga diingat, minoritas sebagai sebuah kelompok yang selalu merasa tertekan, akan mampu mendorong kreatifitas dalam berbagai bentuk. Dalam sebuah peristiwa politik, misalnya pemilihan umum, masyarakat akan mungkin bersikap memihak kelompok minoritas atau ikonnya (perwakilannya) ke dalam sebuah pilihan politik. Faktor inilah yang bisa menimbulkan kecemburuan dan kekhawatiran bagi kelompok mayoritas. Kekhawatiran itu tidak saja ada pada sektor politik, juga pada sektor sosial lain. Juga tidak saja terjadi pada sektor mezzo (kelompok dan negara) tetapi juga makro tingkat dunia. Munculnya minoritas berprestasi, secara makro akan mampu mengembangkan pengaruhnya ke seluruh dunia baik dari sisi penganut maupun pikiran. Dari sinilah berbagai upaya untuk mendeskreditkan kelompok minoritas itu bermunculan. Jadi, manakala akhir-akhir ini sempat terjadi ribut-ribut tentang ucapan penyanyi dangdut Rhoma Irama di sebuah tempat sembahyang di Jakarta, kemungkinan persoalannya seperti yang diurai diatas. Mungkin benar Rhoma Irama berpendapat bahwa sebaiknya para pemilih dalam pemilu memilih mereka yang seumat. Akan tetapi, begitu pendapat itu muncul di kalangan publik, akan dinilai kontraversial karena dipandang terlalu berpihak dan bernuansa kekhawatiran akan kecolongan pemilih. 124 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Elite Politik Seharusnya Mampu Menjadi Promotor K reativitas anak-anak SMK di Solo, Jawa Tengah yang menghasilkan mobil Kiat Esemka, seolah menjadi pendorong munculnya kreativitas yang sama di Bandung, Surabaya dan berbagai kota lainnya. Anak-anak SMK itu, di bawah bimbingan para guru mereka, juga membuat mobil dalam bentuk yang berbeda atau membuat peralatan motif batik yang sangat berguna bagi masyarakat. Padahal, kalau dilihat dari skala waktu kemunculan berbagai kreativitas itu di media massa, bisa dipastikan sesungguhnya mereka itu telah mengerjakannya dalam skala waktu yang hampir bersamaan. Bahwa mobil Kiat Esemka yang lahir di Solo yang paling dahulu muncul ke permukaan, itu membuktikan bahwa harus ada semacam promotor yang mampu mengungkap kreativitas tersebut ke permukaan. Peran promotor inilah yang mungkin tidak dimiliki atau kurang dilihat di daerah-daerah yang anak-anak remajanya mempunyai kreativitas positif yang mampu mengangkat citra daerah dan negara. Banyak tinjauan yang bisa dilihat dari fenomena munculnya mobil Kiat Esemka tersebut. Pada ranah politis, dan ini yang paling berperan, keterkenalan mobil hasil kreativitas anak muda itu disebabkan oleh munculnya tokoh politik (pemerintahan) yang memberikan apresiasi kepada hasil kreativitas itu. Susah untuk dipungkiri bahwa kemunculan mobil itu di publik tidak bisa dilepaskan oleh perhatian Walikota Solo (Jokowi/Joko Widodo). Apresiasi tersebut tidak hanya dalam bentuk pujian verbal belaka, GPB Suka Arjawa 125 akan tetapi tindakan dalam bentuk memakainya sebagai mobil dinas. Dari sinilah cikal bakal kemunculan popularitas yang kemudian seolah-olah mendorong munculnya kreativitas di tempat lain. Tindakan dari walikota ini bisa dikatakan sebagai antiteori umum dan pro nasional (rakyat). Secara umum, kemewahan pejabat menjadi ”teori” yang sudah mapan di Indonesia. Bahwa seorang pejabat harus dilayani dan mendapat fasilitas yang mewah. Padahal secara fenomenologis, di balik diamnya rakyat atas kemewahankemewahan tersebut, sesungguhnya mereka protes, tidak menyetujui adanya kemewahan berlebih yang diperlihatkan oleh seorang pejabat pemerintah. Atau tidak ingin melakukan pelayanan berlebih kepada aktor pemerintah yang mendapatkan kedudukan. Itulah, maka ketika walikota tersebut melakukan langkah nyata untuk memakai Kiat Esemka sebagai mobil dinas, langsung mendapatkan apresiasi positif karena dipandang sebagai jawaban dari di balik diamnya masyarakat itu. Ya, memang benar langkah walikota ini pun sesungguhnya langkah politik yang memberikan keuntungan politis baginya secara pribadi. Akan tetapi langkah politis inilah yang memang seharusnya dilakukan karena langkah tersebut pro-rakyat. Apresiasi yang dilakukan terhadap walikota itu semakin membuktikan bahwa aktor pemerintah sesungguhnya mempunyai aset luar biasa sebagai seorang promotor. Seorang aktor pemerintah, secara tidak langsung menggenggam dua aset sekaligus dan saling melekat, yaitu aktor publik dan ruang publik. Sebagai aktor publik, tindakan seorang pejabat pemerintah akan menjadi perhatian masyarakat luas. Namun sebagai ruang publik, tindakannya itu tidak sekedar diperhatikan tetapi didiskusikan oleh berbagai pihak (mirip dengan diskusi yang dilakukan di warung, pemberhentian bis, lapangan olahraga dsb), ibarat di dalam sebuah ruangan, dan kemudian disebarkan secara lebih luas, baik oleh media massa maupun oleh jaringan sosial di masyarakat secara berantai. Maka dalam konteks ini, seorang pejabat pemerintah sesungguhnya juga mempunyai peran sebagai seorang promotor. Tugas promotor adalah memperkenalkan, memperlihatkan apa yang menjadi bimbingannya. Pejabat pemerintah adalah pembimbing masyarakat. Promotorlah yang mampu membangkitkan prestasi seseorang dan juga mampu 126 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT memperbaikinya menjadi lebih baik agar dikenal luas. Dalam dunia olahraga tinju, Muhammad Ali dan Sugar Ray Leonard tidak akan mungkin terkenal jika tidak ada Bob Arum. Atau Make Tyson tidak akan bisa dikenal dunia kalau tidak ada Don King, sang promotor. Dengan demikian, seorang politisi seharusnya pintar menjadi promotor prestasi rakyat, bukan pecundang politik! Dalam konteks sosiologis, fenomena semaraknya sambutan masyarakat atas Kiat Esemka dan kreativitas anak-anak lainnya itu, memperlihatkan bahwa masyarakat sesungguhnya haus akan prestasi yang membumi. Tanpa mengecilkan arti berhasilnya para mahasiswa kita di ajang robot internasional, juga tanpa mengecilkan makna keberhasilan para remaja Indonesia dalam berbagai olimpade pengetahuan, sambutan terhadap keberhasilan Kiat Esemka itu memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang lebih menyentuh perhatian mereka. Keberhasilan membuat mobil ini membangkitkan rasa nasionalitas masyarakat di tengah berbagai keterpurukan prestasi bangsa. Jika bulutangkis telah jeblok, atau olahraga panahan sudah tidak mampu berprestasi dunia lagi (apalagi sepakbola!), kemampuan para remaja membuat mobil sendiri ini mampu membangkitkan kebanggan nasional. Dengan demikian, keberhasilan ini sangat berpengaruh terhadap nilai-nilai persatuan Indonesia, yang kini coreng moreng oleh konflik yang benada sara. Mobil Kiat ini seolah mampu merajut, menyambung lagi rasa nasionalis Indonesia yang tersekat oleh berbagai suku, bahasa dan budaya. Indonesia adalah negara dengan kondisi geografis yang amat beragam. Terlalu jauh perbedaan antara kota dan desa, desa dan pegunungan dan antara kaya dan miskin. Keberhasilan membuat mobil ditangan para siswa seolah keberhasilan yang membumi. Bagaimanapun, putra Indonesia akan lebih mampu memahami kondisi alamnya sendiri dan kemudian membuat kendaraan yang bisa lebih elastis dan lebih murah (manusiawi!) yang mampu menjelajahi desa dan pengunungan secara lebih baik. Kendaraan seperti inilah yang diperlukan masyarakat Indonesia sekarang, bukan yang mempunyai bandrol mahal yang sekedar menjadi bahan pameran orang kaya di jalan-jalan raya kota. Penemuan mobil seperti ini dipandang akan lebih mampu menjawab tantangan lain di laut, GPB Suka Arjawa 127 sungai dan danau yang menjadi karakter kepulauan Indonesia. Di masa depan, kapal-kapal pengangkut seperti ini akan mampu lagi dibuat oleh anak-anak sekolah menengah kita sehingga tidak perlu lagi mengimpor kapal laut dari luar negeri. Tentu juga angkutan massal seperti kereta api sangat diperlukan. Pada konteks pendidikan, menjadi semakin nyata bahwa paradigma pendidikan Indonesia di masa lalu ternyata lebih cocok dan mengena bagi masyarakat. Pada dekade tujuhpuluhan, Indonesia telah mengenal sekolah kejuruan sejak sekolah menengah pertama. Juga telah dikenalkan adanya pelajaran pra-karya sejak sekolah menengah pertama. Inilah sesungguhnya yang diperlukan negara berkembang seperti Indonesia karena masyarakatnya memerlukan keterampilan agar lebih mandiri dalam menjawab tantangan. Tetapi ”perkembangan jaman” kemudian membuat jenjang pendidikan keterampilan ini seolah dihapus sejak sekolah menengah pertama, bahkan nyaris juga pada jenjang sekolah menengah atas. Kini anakanak SMK telah memperlihatkan bahwa pendidikan Indonesia memerlukan keterampilan lebih banyak dibanding jenjang pemikir. 128 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Korupsi dan Kekuatan Modal Sosial N unun Nurbaeti telah menjalani pemeriksaan oleh KPK. Meski ia pingsan dan kemudian dirawat di rumah sakit, akan tetapi pengusaha buronan ini telah berhasil ditangkap atas usaha KPK. Pada pihak lain, Nazaruddin juga telah mulai menjalani persidanagn di Jakarta. Harus jujur diakui, tertangkapnya Nunun, disidangkannya Nazaruddin dan upaya-upaya penyidikan yang telah dilakukan kepada Angelia Sondakh, membuat citra pemberantasan korupsi menjadi meningkat. Bagaimanapun ini juga meningkatkan citra pemerintah dan tentu saja lembaga penegak hukum di Indonesia yang telah berdekade-dekade kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. Kalau dilihat dari latar belakang tersangka koruptor itu, setidaknya secara garis besar bisa dilihat ada empat yakni pengusaha, politisi, pegawai negeri, dan rakyat biasa. Yang terakhir boleh dikatakan penampakannya relatif kecil (meski kalau dikalikan, jumlahnya banyak!). Korupsi yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan berlangsung secara ”tahu sama tahu”. Kendati demikian, secara kultural ini harus tetap dihapuskan. Menjual makanan yang telah kedaluarsa misalnya, jelas amat berbahaya dan perlu dibawa ke ranah meja hijau. Pegawai negeri telah mendapat sorotan beberapa waktu lalu, terutama karena ada oknum pegawai negeri muda yang mempunyai rekening milyaran rupiah. Oknum pengusaha dan politisilah yang paling banyak melakukan tindakan demikian yang jumlahnya menjadi titik perhatian. Dalam kasus dugaan GPB Suka Arjawa 129 korupsi yang dilakukan Nunun dan Nazzar, jumlah rupiah yang ”digelindingkan” mencapai puluhan. Karena itulah harus dilihat bagaimana cara pandang mereka terhadap upaya-upaya penggelapan dan pengompasan untuk menjadi kaya tersebut. Ada dua hal yang harus dilihat dari korupsi ini, yaitu tindakan dan tujuan dari tindakan itu. Tujuan melakukan tindakan demikian, pastilah untuk mendapatkan manfaat yang paling maksimal. Dalam hal melakukan korupsi, manfaat paling maksimal bisa berupa jumlah uang yang banyak dengan tidak melakukan upaya kerja keras, dan barangkali, mampu menjamin hari tua. Korupsi jelas merupakan tindakan yang tidak melakukan kerja keras karena dilakukan dengan model motong kompas, dengan hasil yang berlipat-lipat. Tindakan menjamin hari tua ini amat mungkin bisa menjadi tujuan utama dari manfaat maksimal itu. Orang yang terlalu biasa dengan hidup mewah, akan membawa kebiasaan itu sampai tua, bila perlu sampai mati dengan cara membeli kuburan khusus. Ketuaan disebut sebagai masa yang tidak aktif, yang tidak mungkin bisa melakukan cara mengumpulkan uang banyak. Maka selagi raga masih bisa bergerak untuk melakukan korupsi, itulah cara terbaik untuk mengumpulkan jaminan hari tua. Sedangkan tindakan, tidak bisa dilakukan sendiri. Korupsi adalah sebuah kejadian yang melibatkan paling kurang dua orang, yaitu aktor yang melakukan korupsi tersebut dan rekanan yang dipakai untuk melakukan perjanjian. Obyek yang dikorupsi di Indonesia kebanyakan proyek atau uang kantor, uang perjalanan dan sejenisnya. Dalam studi pilihan rasional, tindakan itu akan dilakukan setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan itu secara ”ilmiah” disebut dengan pengetahuan. Dan pengetahuan itu, sebagai sebuah kekayaan kognitif, bisa didapatkan dengan pengalaman sendiri, hasil diskusi dengan teman, kenalan dan sejenisnya serta membaca dari konten-konten berita yang ada. Pengalaman kognitif inilah yang dipakai pertimbangan untuk melakukan tindakan korupsi. Dengan demikian, maka tindakan yang dilakukan oleh Nunun Nurbaeti, Nazaruddin, oknum pegawai negeri maupun para koruptorkoruptor lainnya, jelas tidak mungkin dilakukan secara tunggal. 130 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Tindakan itu dilakukan dengan pasangannya (dan ”pasanganpasangannya” yang lain). Feneomena ini mempunyai pengaruh signifikan pada ranah hukum. Artinya, penegak hukum harus berupaya mencari rentetan rekan-rekan tersebut karena merekalah yang diajak bekerja sama sehingga tindakan korupsi tersebut berhasil dilakukan. Dilihat dari sisi kognitif seperti yang disebutkan diatas, maka sang koruptor tersebut (juga dengan rekan-rekannya), kemungkinan mempunyai pengalaman tersendiri yang dipakai sebagai patokan, sebagai bahan baku pengalaman untuk melakukan tindakannya sekarang. Karena itu, para korupsi tidak mesti ”ditanyai” tentang satu kasus korupsi mutakhir (paling akhir) yang dilakukan, akan tetapi kemungkinan mereka juga mempunyai pengalaman lain sebelumnya. Dari titik ini, menangkap satu koruptor sebenarnya berpotensi untuk mengungkap berbagai kasus korupsi lain yang pernah dipakai untuk pengalamannya di masa lalu. Pembelajaran korupsi ibarat bekerjasama dengan penjahat lain. Harus didiskusikan terlebih dahulu tentang segala kemungkiannya. Hal ini membawa pemikiran bahwa koruptor itu pun mempunyai ”staf ahli”. Mereka-mereka ini bisa macama-macam jenisnya sebagai teman diskusi untuk menimba pengalaman, mulai dari rekan koruptor yang hendak diajak melakukan tindakan bejat tersebut, orang-orang berpengalaman sampai seorang ”ilmuwan” korupsi. Ranah hukum pun seharusnya ikut menjamah orang-orang seperti ini. Di jaman teknologi komunikasi-informasi yang serba cepat, serba hiper seperti sekarang, proses pembelajaran juga bisa dilakukan secara konten analisis melalui media-media (dan buku!) yang ada. Pemberitaan korupsi yang terlalu mendetail, akan mampu menggelincirkan keahlian untuk melakukan korupsi itu melalui pembacaan yang ada. Jadi, media massa haru juga mempunyai tanggung jawab moral dan sosial untuk kasus-kasus korupsi yang dimuat sebab kemungkinan diantara berbagai kalimat itu terselip teori, kiat dan strategi tertentu yang bisa dipakai untuk memperkaya pengetahuan sang koruptor. Di jaman sekarang, modal sosial sering kali menjadi perbincangan umum. Modal ini akan mampu dipakai untuk bebagai macam kegiatan GPB Suka Arjawa 131 yang mampu menunjang kehidupan. Salah satu dari modal sosial itu adalah jaringan pertemanan atau relasi sosial. Sistem jaringan di jaman sekarang tentulah sangat jauh lebih mudah dibanding dengan satu dua dekade yang lalu yang lebih mengandalkan telepon meja dan surat. Kini dengan adanya jaringan maya (internet), jaringan sosial itu bisa dilakukan secara lebih cepat, lebih luas dan lebih rapi. Menjangkau dunia di jaman sekarang hanya hitungan detik, dengan berbagai informasi yang lengkap. Pengusaha dikenal pandai bergaul untuk memperluas jangkauan dagangnya. Politisi adalah orang-orang yang mempunyai jaringan luas, mulai dari pusat sampai dengan daerah yang paling lokal. Pegawai negeri jelas mempunyai jaringan yang luas juga. Seragam yang dikenakan dan ”persamaan nasib” sering membuat hubungan mereka dekat. Inilah modal-modal sosial yang mempunyai potensi untuk melakukan tindakan korupsi. Penegak hukum harus memperhatikan hal ini dalam melakukan tugasnya. 132 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Strategi untuk Memaksimalkan Bantuan Langsung Tunai B antuan Langsung Tunai yang hendak dikucurkan oleh pemerintah sebagai kompensasi dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), masih dikomentarsi simpang siur oleh masyarakat. Pemerintah akan menyalurkan biaya tersebut selama 9 bulan, kepada 18, 5 juta kepala keluarga di Indonesia, dengan nilai 150.000 rupiah perbulan. Terhadap kebijakan seperti ini, pendapat pro kontra mesti dibilang wajar karena kebijakan seperti ini pasti ada baik buruknya. Tahun lalu jumlah keluarga yang mendapatkan bantuan seperti ini adalah 17,5 juta jiwa sehingga ada yang menilai bahwa kebijakan seperti ini gagal karena pada kenyataannya tidak mampu mengurangi kemiskinan. Jumlah rumah tangga miskin yang mendapat bantuan seperti ini, ternyata meningkat dibanding tahun lalu. Karena itulah ada yang mengusulkan kalau subsidi pupuk akan lebih menguntungkan dibanding dengan memberikan bantuan langsung tunai seperti ini. Pada konteks strukturasi, bantuan langsung tunai ini boleh dikatakan membingungkan karena sumber daya yang disumbangkan hanya senilai 150.000 ribu rupiah per bulan. Artinya nilai uang tersebut tidak terlalu mencukupi untuk menggerakkan sumber daya yang lain. Teori strukturasi memberikan pemahaman bahwa sumber daya akan mempengaruhi rentetan peristiwa lain yang saling mempunyai temali. Bantuan keuangan boleh dikatakan sebagai satu sumber daya yang mampu mempengaruhi dan menggerakkan sumber daya lain dalam bentuk jaringan. Seseorang yang mempunyai GPB Suka Arjawa 133 modal mencukupi, dengan bantuan nasihat dari ahli dan bimbingan (entah dari pengalaman maupun aktor) akan bisa menggerakkan modal itu menjadi sumber daya lain. Misalnya membuka usaha, menarik karyawan, menghasilkan produk baru yang perlu dipasarkan sehingga membuka lapangan kerja baru lagi, menghidupi keluarga, mencegah pengangguran dan seterusnya. Namun, bantuan tunai langsung yang diberikan pemerintah itu hanya cukup untuk memberikan ”masukan” sebesar rata-rata 5000 rupiah sehari. Di desa kini, harga keperluan pokok (nasi) lebih tinggi dari 5000 rupiah, apalagi jika dibandingkan di kota. Harga beras sekilo juga lebih tinggi nilainya. Kalaupun uang Rp. 5000,- tersebut mampu dibelikan beras setengah kilogram dan kemungkinan mampu memberikan makan kepada lebih dari satu orang, tetapi nasi tanpa protein yang cukup tidak akan mampu ”menggerakkan” manusia secara lebih berkualitas. Logikanya apabila satu nasi bungkus dengan protein yang cukup mampu menggerakkan sumber daya manusia untuk berkarya atau bekerja lebih banyak, maka kemungkinan akan mampu menghasilkan sebuah karya atau kerja lebih baik (karena fisik lebih kuat). Dengan demikian, dalam konteks strukturasi yang menekankan pada saling pengaruh dan memperkuatnya satu sumber daya dengan sumber daya lain, bantuan langsung tunai sebanyak 150.000 per bulan itu, tidak mampu berbicara banyak. Satu strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi ini adalah dengan memberikan uang bantuan tunai secara langsung total sembilan bulan itu dalam satu kali penyerahan. Artinya masyarakat yang mendapat bantuan tersebut (yang terkatagori miskin itu) akan mendapatkan dana sebesar Rp. 1.350.000,-. Jumlah ini cukup sebagai sebuah modal sumber daya yang bisa menggerakkan sumber daya lainnya. Paling tidak bisa dipakai modal untuk berjualan kecil-kecilan (mungkin kripik ketela pohon!). Jumlah ini jauh lebih besar dibanding dengan uang Rp. 150.000,- per bulan. Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah pengawasan atau seorang penasihat. Dengan cara seperti ini pemberdayaan sumber daya manusia akan lebih mampu digerakkan melalui jaringan yang lebih luas. Bantuan langsung tunai akan mampu berbicara lebih banyak kalau dimetodekan seperti ini. Apa boleh buat, bagaimanapun karena kultur masyarakat kita, 134 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT mekanisme pengawasan sangat diperlukan untuk melancarkan kebijaksanaan pemerintah. Budaya kita sangat tidak disiplin dan tidak memberikan peluang kepada modal untuk berjalan sesuai dengan jalur utamanya. Terlalu biasa masyarakat kita apabila mendapatkan uang banyak, tidak digunakan secara semestinya. Disamping itu, masyarakat juga memerlukan bimbingan untuk membuka usaha kecil. Metode dengan memberikan bimbingan dan pengawasan seperti ini sesungguhnya mempunyai pesan yang kuat dalam hal memberdayakan masyarakat. Mereka akan mampu belajar dari bawah untuk membangun dirinya, dan cara demikian (tentu apabila sukses) memberikan daya tahan yang lebih baik dalam melanjutkan aktivitas. Guna menjamin kelancaran bantuan sejumlah Rp 1.350.000,- per kepala keluarga itu, pemerintah mungkin bisa menyiasatinya dengan memberikan penyerahannya per daerah secara sistematis yang kemudian dalam sembilan bulan, seluruh 18.5 juta kepala keluarga tersebut akhirnya mendapatkan bantuan semua. Pemberian pengawasan dan pembimbingan ini sebenarnya mempunyai manfaat ganda. Cara demikian tidak saja mampu memberi bantuan pembimbingan akan tetapi mempunyai manfaat untuk menangkal kritik kepada bantuan langsung tunai ini. Jadi, mirip dengan metode yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis dalam menerima kritik dari kaum komunis. Untuk menghindari kebenaran komunis bahwa kaum buruh dan karyawan akan memberontak, pemilik usaha memperbaiki metode pendekatannya dengan memberikan gaji tambahan (seperti gaji ke-13), kepada karyawan, insentif enam bulanan atau memberikan beasiswa kepada anak karyawan. Bimbingan dan nasihat mempunyai peranan untuk menjamin uang sebanyak Rp. 1.350.000,- itu terlaksana dan termanfaatkan dengan baik, sehingga mampu menanggulangi kelemahan uang yang hanya sejumlah Rp. 150.000,- per bulan. Apabila uang bantuan langsung tunai tersebut diberikan setiap bulan selama sembilan bulan tanpa adanya bimbingan dan pengawasan, sangat besar potensinya untuk hilang menguap begitu saja. Amat mungkin uang itu mencelakakan karena akan dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang tidak jelas, mislanya memasang nonor buntut. Pada konteks itu, bantuan langsung tunai pantas dikritik GPB Suka Arjawa 135 dan memang lebih pantas apabila pemerintah memberikan subsidi kepada pupuk yang digunakan petani. Pemberian bantuan langsung tunia mungkin merupakan pilihan politik yang paling rasional bagi pemerintah. Akan terlihat bahwa peningkatan harga minyak itu memberikan penghasilan yang lebih besar pada pendapatan. Kelebihan itu kemudian diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak mampu. Paling tidak masyarakat yang tidak mampu akan merasa tersentuh dengan kebijakan seperti ini. Tetapi harus diingat, kalau pemerintah terlalu memusatkan garis besar pada model-model ekonomui kapitalis, maka kantong-kantong kemiskinan akan banyak muncul di perkotaan. Uang sejumlah 150 ribu selama sembilan bulan, tidak terlalu berarti bagi mereka. 136 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Hubungan Perusahan-Buruh Menjadi Tantangan Pemerintah U ntuk pertamakalinya, Indonesia meliburkan tanggal 1 Mei sebagai hari nasional. Tanggal itu merupakan peringatan hari buruh internasional. Dengan demikain, kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudoyono telah ”menyamai” apa yang dilakukan pemerinah Orde Lama yang juga memperingati peringatan tersebut pada tanggal yang sama. Konon Presiden Soekarno selalu menghadiri peringatan tersebut sebagai dukungan kepada kaum ini di seluruh dunia. Buruh dimanapaun di seluruh dunia, mempunyai persepsi, citra dan ide yang sama sebagai bagian dari eksitensi keberadaan masyarakat. Akan tetapi, sangat tipis batasan antara buruh dan karyawan. Secara kontekstual, sering diasosiasikan bahwa buruh adalah mereka yang melakukan pekerjaan di bawah pengaruh dan dikendalikan majikan. Dan dalam hubungannya itu sering kali mendapatkan perlakukan kurang adil dalam hal upah. Amat mungkin fenomena ini yang membuat buruh di seluruh dunia itu mempunyai persepsi, ide dan tindakan yang sama. Dengan pembatasan seperti itu, sesungguhnya banyak juga pekerja di Indonesia yang berkualifiasi sebagai buruh. Tidak saja pada mereka yang bekerja di sektor swasta. Sebagai sebuah entitas internasional, buruh adalah sebuah komunitas yang mempunyai ciri dan sikap yang hampir sama. Mereka merupakan produk dari kapitalis. Jadi, buruh dan kapitalis itu mempunyai hubungan sebab-akibat yang mempunyai sisi kontras, namun saling memerlukan satu sama lain. Anak dari kapitaalis GPB Suka Arjawa 137 adalah industri dan industri mempunyai anak lagi yang namanya perusahan. Tidak mungkin perusahan itu hidup tanpa buruh untuk melanggengkan kehidupannya dan sebaliknya buruh memerlukan perusahan untuk melanjutkan hidup. Akan tetapi, dua pihak ini mempunyai sifat dan ciri yang sangat berbeda. Pertentangan dan konflik muncul karena perbedaan ini. Secara ideologis, karena perusahan mempunyai moyang kapitalis, maka tidak lain ideologinya kompetisi penuh dan dengan biaya yang ada mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tidak bisa lain, untuk mengejar nilai-nilai tersebut, perusahan harus ”mengeksploatasi” karyawan (buruh) untuk mencapai target. Bentuk kongkrit dari eksploitasi itu tidak saja kerja fisik, lembur malam, tetapi juga umpatan dan makian dari pemilik perusahan (majikan). Buruh pada sisi lain, mempunyai nilai kerjasama, ”gotong royong”. Nilai-nilai ini boleh dikatakan terpaksa diterima, disamping untuk memaksimalkan outcome perusahan, juga untuk meringankan beban kerja dan beban psikologis dari ”perintah” majikan. Konflik buruh akan muncul apabila nilai kedua pihak tersebut overload. Majikan terlalu memaksakan kehendaknya sedangkan buruh sudah tidak mungkin menolerir lagi kehendak tersebut. Keinginan yang dikeluarkan oleh majikan sudah tidak mungkin ditolerir oleh nilai-nilai yang dimilikioleh buruh tersebut. Tidak mungkin buruh akan bisa melakukan kerja lembur apabila perusahan hanya memberikan upah tetap. Sebaliknya kalau lebur tidak dilakukan, perusahan akan dikalahkan oleh kompetitornya. Di mana-mana di seluruh dunia, ”hukum” ini berlaku dan karena itulah diperlukan semacam solidaritas bersama di seluruh dunia bagi kaum buruh untuk menyelesaikan persoalan sosial ini. Dari konteks inilah muncul Hari Buruh Internasional itu. dalam maknanya, tidak lain hari buruh internasional ini adalaah sebuah wujud solidaritas bersama antar kaum buruh yang memang secara historisnya selalu termarginalkan. Karl Marx memperoleh inspirasi teori Marxis yang luar biasa itu dari fenomena seperti ini. Dilihat dari sisi politik, Hari Buruh Internasional itu (dan peringatannya), tidak lain merupakan sebuah upaya pengingatan bagi perusahan, bos perusahan dan para majikan 138 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT di seluruh dunia, bahwa kaum buruh harus tetap diperhatikan. Bahwa kaum ini mempunyai hubungan solidaritas di sluruh penjuru dunia sehingga wajib secara terus-menerus memperhatikan kebijakan terhadap buruh. Upah dan berbagai sarana buruh harus selalu mendapat perhatian sebab kalau ini tidak diperhatikan, perusahan bisa bangktut apabula buruh bergerak. Inilah makna dari Hari Buruh Internasional tersebut. Dengan komposisi benturan antara nilai yang diusung kaum kapitalis dan kaum buruh tersebut, maka secara kaidah tidak akan mungkin bisa tercapai hubungan rukun antara buruh dan majikan. Negara sebagai sebuah tempat keberadaan kaum buruh dan perusahan, secara teoritis tidak akan mungkin bisa menyelesaikan persoalan antara dua pihak ini. Negara hanya bisa menjadi penengah terhadap hubungan nilai yang kontra tersebut. Sebagai penengah maka, negara hanya mampu meredakan dengan berbagai tindakantindakan politiknya. Maka ketika Orde Lama memperingati Hari Buruh Nasional, ini merupakan kebijakan politik yang tepat untuk menghargai keberadaan kaum buruh sekaligus menegaskan (secara politis) bahwa perusahan harus hati-hati dalam mempekrjakan buruh. Kehadiran Presiden Soekarno dalam peringatan tersebut, tidak lain juga sebuah langkah politik yang mempunyai makna seperti yang dikemukakan diatas. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia memerlukan stabilitas pembangunan ekonomi. Dan yang tidak bisa dilupakan, pada masa Orde Lama, pemerintah pernah memberlakukan sistem demokrasi liberal. Langkah Presiden Soekarno itu tidak lain merupakan upaya peredaan apabila ada perselisihan yang tajam antara buruh dengan majikan. Bahwa Indonesia sekarang baru memberlakukan libur nasional untuk memperingati Hari Burh Internasional (Nasional) tanggal 1 Mei tersebut, tidak lain juga sebagai sebuah langkah politik dari pemerintah dengan makna-makna seperti yang diutarakan diatas. Akan tetapi, persoalannya terlihat terlambat karena baru dilakukan menjelang pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono berakhir. Perayaan Hari Buruh ini semakin mempunyai bukti bahwa Indonesia masuk menuju wilayah-wilayah kapitalis yang dipraktikkan secara GPB Suka Arjawa 139 internasional. Kalau pada jaman Orde Baru hari buruh ini mungkin tidak dirayakan, itu juga bisa sebagai bukti rejim tersebut penuh mengontrol segala aktivitas masyarakat dan tidak mempraktikkan kapitalis. Cara lain untuk meredakan ketegangan anatara kaum buruh dengan majikan adalah berupa penyampaian protes, uneg-uneg terhadap berbagai persoalan dari kaum buruh itu kepada majikan. Unjuk rasa kaum buruh, dimanapun di seluruh dunia merupakan bentyk lain dari penyampaian uneg-uneg tersebut yang ditujukan tidak saja kepada maum majikan tetapi juga kepada pemerntah agar dua pihak ini mampu memperhatikan nasib kaum buruh. Ini merupakan pendekatan psikologis demi tidak munculnya konflik yang lebih parah antara kedua belah pihak. Ke depan, buruh mungkin akan mempunyai problem besar, terutama di negara-negara berkembang. Semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, kalangan industri akan dimungkinkan untukmemaki mesin dalam memproduksi barang-barangnya. Pada sisi lain, di negara berkembang tidak semua masyarakat mempunyai kemampuan intreprenour yang tinggi, membuka usaha sendiri untuk hidup. Inilah yang menjadi tantangan Indonesia di masa depan. Jadi, siapapun yang akan menjadi presiden kelak, tolong jangan bersenang hati dulu. Kemampuan berusaha mandiri dari bangsa Indonesia ini masih minim. Atau apabila terpilih menjadi presiden nanti, galakkan dulu usaha kreatifitas mandiri ini agar tidak gagap menghadapi kemajuan teknologi nanti. 140 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Sikap Kepada Perempuan: Tradisionalis di Tengah “Modernisasi” P emilihan umum legislatif ini telah menghasilkan kenyataan bahwa kaum perempuan belum terpilih sesuai dengan yang diharapkan. Mayoritas dari anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah masih didominasi laki-laki. Ini menandakan harus ada perjuangan lebih maksimal lagi agar perempuan bisa masuk ke lingkungan legislatif ini di masa depan. Padahal, keterwakilan perempuan dipandang akan mampu memberikan alternatif kebijakan. Alternatif tersebut tidak hanya berupa tersalurnya kepentingan secara lebih layak, tetapi bentuk kebijakan yang dihasilkan mampu lebih membumi seperti kaidah dari perempuan itu sendiri. Ada beberapa cara pandang antara laki-laki dengan perempuan dalam konteks kehidupan sosial, termasuk diantaranya kehidupan politik. Moeljarto (1997) menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak masuk dalam ”pengkatagorian” natural atau alam. Sedangkan laki-laki adalah kultural atau budaya. Itu kemudian diterjemahkan bahwa dalam kehidupan sosial, wanita lebih menyesuikan diri dengan alam, mengikuti irama alam dalam melakukan kehidupannya. Perempuan dengan demikian lebih kalem yang kemudian diterjemahkan sebagai bekerja pada bidang-bidang domestik seperti mengasuh anak, memasak dan sejenisnya. Sedangkan laki-laki dalam landasan kultural terebut, memang harus berkreasi dalam kehidupan sosial. Laki-laki ”bebas” berkreasi dalam menaklukkan alam untuk GPB Suka Arjawa 141 beraktivitas. Pendapat diatas boleh dikatakan sebagai pandangan tradisionil terhadap fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Amat mungkin hasil pemilu legislatif sekarang (entah di Bali maupun di tempat lain di Indonesia) mencerminkan sikap tradisionalis masyarakat Indonesia terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Politik pada hakekatnya adalah sebuah kerja budaya, kerja kultural. Sebagai sebuah aktivitas kultural tersebut, maka bentuk kreativitas sangat diperlukan untuk mencapai tujuan. Pada lingkungan elit, kreativitas tersebut sebenarnya bisa diandalkan melalui kerja otak atau pengetahuan. Pembuatan strategi, platform politik bisa dilakukan melalui diskusi, rapat-rapat dan sebagainya. Akan tetapi begitu politik memasuki arena kompetisi yang ketat, maka semakin di bawah rentang struktural dari politik tersebut, kerja kreatif ini tidak cukup dilakukan dengan mengandalkan otak atau pengetahuan saja (apalagi dengan survei macam-macam). Kreativitas itu benar-benar memerlukan kerja fisik yang kuat. Rapat sampai tengah malam, begadang berhari-hari, berdebat, berkunjung ke konstituens, meyakinkan konstituens adalah kreativitas fisik yang sangat menyita tenaga dan waktu. Tentu saja juga mempunyai beban ekonomi (keuangan). Pada konteks ini, politik sepertinya dimaknai sebagai kerja kaum laki-laki. Hanya laki-lakilah yang mampu mengoptimalkan kreativitasnya dengan iklim kompetisi seperti yang disebutkan diatas. Pada pihak lain, wanita dipandang tidak mampu menandingi kerja budaya tersebut yang menuntut kreativitas tinggi. Kultur masyarakat Indonesia (tentu saja juga di Bali), nampaknya tidak berubah dengan kenyataan seperti itu. Hasil pemilihan umum legislatif ini mencerminkan bahwa tidak banyak ada pergeseran cara pandang terhadap nilai-nilai budaya tradisionil tersebut. Jadi, lakilakilah yang didahulukan dalam bidang kultural seperti ini. Praktikpraktik budaya di Indonesia juga memperlihatkan hal seperti ini. Di Bali, malah di beberapa kampung, secara terang benderang malah ”menomorduakan” kaum perempuan. Perempuan misalnya akan mendapatkan ”giliran kedua” dalam acara sajian menikmati makanan dalam sebuah kenduri. Bahkan dalam sebuah permandian umum, posisi tempat mandi kaum perempuan ada pada lokasi lebih rendah (di bawah) atau berada di sebelah kiri. Ini merupakan 142 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT cerminan sempurna antara posisi perempuan dengan laki-laki di tingkat masyarakat. Jadi, kalaupun perolehan kursi kaum perempuan di kalangan anggota legislatif sangat minor, logika tradisionalnya seperti pada uraian diatas. Maka, dalam konteks masyarakat seperti itu, seharusnya ”top manajer” dari negara ini (presiden) paling baik kalau berasal dari kaum perempuan. Sesungguhnya pencalonan Megawati sebagai presiden, memenuhi proporsi tepat pada konteks uraian diatas, dengan tujuan untuk mengubah cara pandang tradisionil Indonesia terhadap perempuan. Pada sisi politik perempuan, pilihan ini positif demi masa depan perkembangan politik perempuan di Indonesia. Ratusan tahun lalu Kartini sudah memperjuangkan hak itu. Ternyata sekarang, masih belum mampu terpenuhi dengan baik. Pendapat-pendapat internasional telah lama membicarakan bahwa perempuan tersebut sangat diperlukan duduk sebagai partner laki-laki di dalam dunia politik. Terutama saat konflik yang terjadi selama Perang Dingin, sangat diperlukan kaum perempuan untuk mengimbanginya. Kedekatan perempuan secara filosofis dengan natur (alam) dipandang mampu lebih ”mendinginkan” suasana konflik karena sifat alam secara sabar akan mengikuti perubahanperubahan sosial. Bisa jadi, sebutan-sebutan ”lady first” yang muncul pada masyarakat Barat bersumber dari pandangan tersebut. Munculnya Cory Aquino menjadi Presiden di Filipina tahun 1986 dimungkinkan juga sebagai patokan bahwa perempuan mempunyai bukti kuat mampu menandingi machoisme (kekerasan) yang ada pada kaum laki-laki. Saat Aquino menjadi presiden, berkali-kali ia mampu mematahkan perlawanan kaum pembangkang yang diperlihatkan melalui upaya kudeta oleh kelompok tentara. Di Amerka Serikat, dalam beberapa periode pemerintahan, jabatan politik luar negeri dipegang oleh perempuan. Sekali lagi, amat mungkin ini merupakan cerminan upaya meluluhkan diplomasi negara lain. Karena itu, ketika fakta telah menyatakan bahwa perempuan tidak terlalu mendapatkan tempat pada lembaga legislatif, ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dari sekarang. Segenap komponen pemerintahan harus memahami bagaimana pentingnya posisi perempuan itu diperhitungkan. Dan karena itu haruslah ada GPB Suka Arjawa 143 pemikiran secara bersama-sama untuk mengubah cara pandang terhadap posisi perempuan tersebut. Karena lembaga legislatif telah menujukkan posisi seperti itu, maka lembaga eksekutif dan legislatif haruslah mampu menandingi ”kekakuan” lembaga legislatif. Artinya,. pejabat-pejabat SKPD di tingkat provinsi maupun kabupaten, mungkin sudah saatnya sebagian dipegang oleh perempuan. Presiden mendatang sebaiknya mengangkat menteri dari kaum perempuan lebih banyak dari apa yang dilakukana pemerintah sebelumnya. Lembaga-lembaga publik, seperti media massa, juga tidak harus ragu-ragu menempatkan perempuan pada posisi puncak. Dan tentu saja para hakim, termasuk hakim mahkamah konstitusi, mengangkat kaun perempuan lebih banyak sebagai hakimnya demi kesetaraan jenis kelamin ini dalam fungsi sosial. Pemilu legislatif yang baru lewat banyak memberikan cerminan kehidupan sosial di Indonesia. Tengah begitu glamornya kehidupan sosial, cerewetnya acara televisi, bermunculannya orang sok sosialita, ternyata masyarakat Indonesia masih tradisional bersikap sosial dalam hal jenis kelamin. Masih ada waktu untuk mengubahnya. 144 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Jika Ratu Adil Bertemu Ratu Adil Dalam Pemilu P emilu presiden tinggal seputaran dua bulan lagi . Mengandalkan perubahan budaya politik masyarakat, sudah tidak mungkin lagi. Pada setiap masyarakat, berlaku hukum alam berupa, pengetahuan sangat berpengaruh kepada budaya politik mereka. Menanamkan pengetahuan tidak semudah menanam kacang kedelai. Akan tetapi begitu penegtahuan itu tertanamm dengan baik, budaya politik itu berubah drastis. Ia menjadi rasional dan adaptif terhadap perubahan. Masyarakat mempunyai tradisi, gaya dan keyakinan politik terhadapp figur atau performa partai politik dan aktoraktornya. Di negara maju yang pengetahuan politiknya sudah mantap, budaya tersebut mampu begreka ke arah rasional. Tetapi di negara berkembang, hal ini sulit sekali terjadi. Indonesia adalah negara berkembang, yang bagaimanapun sok modern penampilan masyarakatnya, sok keren para sosialitanya, tetapi budaya politiknya masih tetap tradisional. Pada masyarakat tipe seperti ini, mereka masih mengandakan figur semacam ratu adil sebagai pemimpin. Jadi bisa dikatakan model pemerintahnnya republik tetapi figur yang diinginkan raja. Praktik republik merupakan sistem pemerintahan modern. Tetapi raja adalaah sisa-sisa feodalisme. Tanpa mengurangi kemampuan kognitif, usaha dan kepribadian Susilo Bambang Yudoyono ataupun Joko Widodo, termasuk juga Soekarno, figur-figur tersebut merupakan idaman masyarakat yang masih mengandalkan sosok ratu adil sebagai seorang pemimpin. GPB Suka Arjawa 145 Kharisma menjadi andalan paling tinggi dari kepemimpinan seperti ini. Akan tetapi kepemimpinan yang kharismatis-ratu adil tersebut sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua bagian. Yang pertama, mereka aratu adil sebagai penyelamat bangsa dari ancaman musuh. Inilah tipe yang ”hinggap” pada diri Soekarno. Ia diidamkan sebagai pemimpin yang mampu menandingi dan menghadapi musuh dengan gagah perkasa, baik dengan senjata maupun omongannya. Soekarno memperoleh legitimasi itu melalui keberaniannnya bersilat lidah dan berdiplomasi. Sejarah membicarakana bahwa dengan siapapun presiden pertama RI itu tidak takut menghadapinya. Bahkan dalam sebuah tulisannya ia mengkritik taktik perang dari Hitler dan Napoleon yang dalam pandangannya menjiplak Jengis Khan. Yang kedua adalah tipe Ratu Adil dalam pengertian mampu memberikan ksejehatreaan dan keadilan kepada masyarakat. Kharismatis seperti ini bisa terlihat pada tindakan maupun gerakgerik fisik. Atau melekat pada kedirian seseorang sehingga membuat pencitraan dan mampu kemudian menarik seseorang untuk ”tunduk” kepada mereka. Secara jujur harus diakui bahwa apa yang terjadi pada Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo, ada pada khasanah Ratu Adil sepert ini. Susilo Bambang Yudoyono pada citra dirinya, mulai dari cara berbicara, gestur tubuh sampai dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Inilah yang memiripkan ia seperti Ratu Adil itu. Joko Widodo juga mempunyai hal yang sama, pencitraan yang sama. Jangan salah apapun yang melekat pada penilaian manusia adalah sebuah pencitraan. Apa pun itu karena orang tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Jika Susilo Bamnag Yudoyono melalui pencitraan diri, Joko Widodo ada pada tindakannya yang menyentuh masyarakat melalui ”blusukan” yang dilakukan. Ini lebih mengaraha pada persoalan psikologis. Masyarakat yang mempunyai persoalan psikologis, harus disentuh dan didekati. Maka ketika Joko Widodo melakukan itu, pola langkahnya menjadi klop. Ia pun seperti seorang mesias, seorang Ratu Adil dan diperbincangkan dimana-mana. Tetapi sebagian masyarakat juga mengkonter berbagai perbincangan tersebut. Tesis dan antitesis ini menjadi sangat menarik dilihat dari sisi perubahan perkembangan sosial. Masyarakat Indonesia, yang sedang berkembang dan bercorak 146 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tradisionil pertanian, terjebak dengan citra-citra seperti itu. Secara teoritik, memang budaya politik seperti ini memang cocok dengan kondisi masyarakat. Mereka masih mengandalkan juru adil, pembimbing untuk menjalani kehidupan sosial yang bagaimanapun menekan bagi mereka. Dalam budaya sosial pertanian yang kental, masyarajatnya pasti akan tertekan manakala disuguhi oleh budaya kapitalis. Inilah yang menjadi kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Itulah yang mebuat sentuhan oleh Joko Widodo begitu berarti dan begitu menyebar cepat ke berbagaia pelosok di Indonesia. Pada tataran politik, kondisi budaya masyarakat seperti ini, sungguh membingungkan para politisi untuk menggaet kekuasaan. Kebingungan partai politik mencari pasangan presiden (wakil presiden), sangat berkorelasi dengan kondisi sosial masyarakat seperti yang disebutkan diatas. Intinya adalah masyarakat menginginkan seorang ratu adil. Jika PDI Perjuangan sudah mempunyai hal itu, partai lain harus juga mencarinya. Akan tetapi harus tetap hati-hati. Ratu Adil itu jelas-jelas mitos. Sedangkan politik dan kebijakan adalah realitas dunia yang memerlukan rasionalitas untuk mengelolanya. Tidak ada ratu adil yang mampu memerintah dunia. Karena itu, pemimpin yang terlalu mengosepkan ini, akan mendapat kritikan saat ia turun tahta. Harapan dari masyarakat tidak kesampaian. Pada kasanah politik Indonesia sekarang, yang justru menarik adalah mencari-cari orang yang mampu menandingi ratu adil tersebut. Atau menggabungkan antara Ratu Adil dengan rasionalitas. Kini telah muncul kejutan pikiran. Agar Sang Ratu Adil ini bisa duaduaanya tampil, muncul pemikiran bagaimana kalau Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan lalu, Susilo Bambang Yudoyono menjadi wakil presiden oleh partai lain? Ini adalah usulan hebat karena memunculkan dua-duanya sang Ratu Adil. Susilo Bambang Yudoyono secara hukum jelas sudah tidak boleh mencalonkan diri menjadi presiden lagi karena telah dua kali menjabat. Akan tetapi dimungkinkan untuk menjadi seorang wakil presiden. Tentu ada yang menanyakan apakah Susilo Bambang Yudoyono bersedia? GPB Suka Arjawa 147 Politik adalah seni, kemauan dan (untuk jaman sekarang) berani malu. Sepanjang tidak disalahkan aturan, maka seorang presiden yang kemudian menjadi wakil presiden pada periode berikutnya merupakan sebuah langkah terobosan. Sebagai sebuah seni, maka Ratu Adil lawan ratu Adil akan menjadi sebuah tontonan politik yang menarik. Seni unjuk muka, unjuk sikap dari para calon akan mampu menggugah pikiran masyarakat untuk mempertimbangkanya. Politik itu juga sebuah kemauan. Sepanjang mislanya Susilo Bambang Yudoyono melihat itu sebagai sebuah peluang untuk menghentikan kebingungan partai untuk mencari figur. Mungkin ini sesuatu yang bermanfaat. Tenaga untuk saling manuver akan bisa dihemat. Berani malu, itulah politisi. Mungkin ada yang menyebutnya sebagai tidak tahu malu kalau mengambil posisi itu. Tetapi malu bisa ditangkis dengan alasan politik yang logis. Bukankah perpaduan antara rasionalitas dengan mitos itu tepat untuk masyarakat Indonesia. Bahkan akan mampu memperbaiki pola-pola mitos yang hiudp dan berkembang. Ratu Adil menghadapi Ratu Adil belum pernah terjadii di Indonesia. Siapa tahu dalam waktu dua bulan mendatang itu terjadi. Ini menarik, ini seni dan tentu juga tantangan sendiri bagi masyarakat Indonesia. 148 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Melindungi Rakyat Dari Pembohongan Politik K ampanye acap kali bermunculan bersamaan dengan pembohongan politik. Bagian terakhir dari kalimat ini bisa diartikan sebagai kegiatan politik di hadapan masyarakat yang hanya menonjolkan diri sepihak tanpa tindak lanjut yang bisa dipertanggungjawabkan. Pembohongan politik dengan demikian berupa tindakan menipu baik dengan cara memperlihatkan penampilan diri di hadapan masyarakat, melalui janji-janji, data palsu, secara langsung maupun lewat orang lain. Berbagai peralatan teknologi canggih, gadget, yang kini beredar mampu menyebarkan pembohongan politik tersebut kepada berbagai kelompok masyarakat, lewat televisi maupun gadget lainnya. Tidak terkecuali juga dalam acara kampanye pemilihan Presiden Indonesia dalam pemilu 2014 ini. Persaingan antara dua pasang calon, dinilai ketat sehingga riauh rendah komentar dan suara di jagat maya dan nyata, begitu ramai. Masing-masing pasangan capres ”memiliki” stasiun televisi yang dimanfaatkan untuk memopulerkan kelompoknya sendiri maupun menampakkan kekurangan pasangan calon lain. Bukan tidak mungkin dari berbagai acara tersebut memunculkan banyak pembohongan politik kepada masyarakat. Ada beberapa syarat munculnya pembohongan politik ini. Yang pertama, adalah ambisi yang melebihi kemampuan. Produk sosial ambisius yang melebihi kemampuan intelektual sendiri, terwujud dalam tindakan yang tidak biasa. Pada tingkat manusia, muncul dalam bentuk kesombongan. Orang seperti ini tidak mempunyai rasa malu GPB Suka Arjawa 149 dan etika, selalu beropini tentang keunggulannya sendiri. Dirinya dipakai sebagai instrumen untuk memperlihatkan ambisi tersebut. Pada tingkat ekonomi, produk demikian muncul dengan bantuan iklan besar media massa maupun media luar ruang. Produk seperti ini mungkin cepat laku, tetapi cepat pudar karena masyarakat telah mengetahui kualitasnya. Sedangkan pada dunia politik, ini dilakukan dengan model kampanye yang melanggar aturan. Memasang baliho mendahului batas waktu yang dipersyaratkan, kampanye terselubung di televisi, menjelek-jelekkan saingan, dan mengagungkan diri sendiri merupakan contohnya. Secara keseluruhan, ambisi seperti ini akan tumbang sendiri oleh ketidakpercayaan rakyat. Kedua, kompetisi yang ketat. Pada hakekatnya, kompetisi adalah sebuah arena persaingan. Maka, ketika persaingan berada pada titik yang berimbang, maka pemenang kompetisi hanya akan ditentukan oleh kekuatan mental. Peserta kompetisi yang mentalnya tidak kuat, sering terpeleset karena berupaya mencari celah negatif untuk mendukung diri. Dalam politik yang muncul adalah upaya menarik perhatian publik dengan data-data yang coba digelembungkan dari data yang sebenarnya. Janji yang dilebih-lebihkan, prestasi yang diada-adakan atau menceritakan segala kebaikan kelompok. Akan tetapi, upaya berlebihan ini akan bisa menjadi bumerang sendiri kalau tingkat intelektual rakyat sudah memadai. Yang ketiga adalah rendahnya budaya politik partsipasi masyarakat. Pada masyarakat sedang berkembang atau yang pernah mengalami dominasi kekuasaan, tingkat partisipasi masyarakat pada politik biasanya kurang. Partisipasi yang dimaksudkan disini bukan sekedar partisipasi aktif dalam kerangka pemilihan, tetapi juga partisipasi intelektual. Artinya masyarakat ikut memikirkan, menimbang-nimbang berbagai tawaran politisi maupun partai politik sebelum melakukan pilihan. Masyarakat yang kurang mempunyai budaya politik partisipatif seperti ini akan mudah dibohongi dengan berbagai janji, data dan slogan politik. Kekhawatiran kita, ketiga faktor sosial tersebut bisa saja terjangkit di Indonesia menjelang pemilu presiden ini sehingga masyarakat menjadi terbuai oleh berbagai janji dan eforia politik dari politisi dan partai politik. Demikian pula halnya saat menjelang pemilihan umum 150 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT presiden kali ini. Secara jujur harus dikatakan bahwa mengelola Indonesia itu sungguh ruwet. Komposisi struktur demografis-geografis Indonesia yang terdiri dari banyak suku, budaya, daerah kaya dan miskin, merupakan faktor utama yang sulit menelorkan apa yang disebut oleh J.S. Furnivall sebagai kehendak bersama (Nasikun: 2014/1984). Meski pendapat ini muncul pada pertengahan dekade limapuluhan, akan tetapi kemungkinan besar fenomena ini masih berlaku sampai sekarang. Kalau diterjemahkan, hingga saat ini Indonesia masih belum mampu membuat prioritas apa yang harus dibereskan terlebih dahulu untuk membenahi negara ini ke depan. Munculnya kegagalan menahan laju inflasi, kekerasan kelompok, mahalnya harga barang di tengah tanah gemah ripah lohjinawi ini, mungkin bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan membikin prioritas tersebut. Dalam konteks demikian, berbagai janji-janji yang dikeluarkan oleh para calon presiden ini mirip dengan pendapat pertama, yaitu ambisi yang melebihi kemampuan. Tidak perlu muluk-muluk, lima tahun adalah masa yang singkat dalam pemerintahan satu negara. Maka tidak perlu banyak-banyak menyatakan visi. Cukup satu saja. Misalnya, stabilitas sosial. Cukup ini saja diwujudkan selama lima tahun pemerintahan. Jika ini berhasil akan mampu menjadi landasan untuk proyek pembangunan pemerintahan berikut. Kandidat calon presiden sekarang dinilai mempunyai kemampuan berimbang. Tetapi, di beberapa acara televisi, masing-masing berupaya mengangkat citra pasangan masing-masing, cenderung menonjolkan, bahkan ada nuansa menjelekjelekan pasangan lain. Ini bukanlah cara positif untuk mendidik masyarakat. Sekali lagi juga harus dikatakan, meski Indonesia telah merdeka 68 tahun, tetapi adanya suap-suapan dalam pemilu, sumbangan ini itu, termasuk serangan fajar, membuktikan tingkat partisipasi politik masyarakat, baik pada partisipasi fisik maupun intelektual, sangatlah kurang. Seluruh pemikiran tadi, menjadi potensial munculnya pembohongan politik dari kontestan kepada masyarakat dalam kampanye presiden kelak. Secara kultural, untuk mencegah adanya pembohongan politik ini, ada pada orang yang dituakan (tokoh) karena budaya masyarakat GPB Suka Arjawa 151 Indonesia itu paternalistik (mempercayai mereka yang lebih tua). Akan tetapi karena tokoh politik maupun tokoh kultural sebagian besar larut pada ”politik aliran” menuju masing-masing capres, maka tanggung jawab ini sekarang beralih kepada intelektual. Dan intelek itu tidak hanya di lembaga pendidikan. Siapa pun yang mempunyai kesadaran dan tindakan jernih dan jujur untuk memperbaiki kondisi bangsa, juga seorang intelektual. Melalai berbagai sikap, ceramah, sebaran melalui gadget, bimbingan kepada masyarakat, mereka harus bergerak untuk memberikan pencerahan politik. Bahwa politik tidak sekedar orasi, tetapi upaya untuk memilih manajer negara yang akan mampu mengelola negara ini dengan baik. 152 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Berbagai Persoalan Menghadang Bonus Demografi B onus demografi sering menjadi perbincangan nasional akhirakhir ini. Bonus demografi dimaksudkan sebagai kelebihan penduduk usia produktif yang dimiliki Indonesia, sekarang dan di masa mendatang. Usia produktif masyarakat dipandang mulai dari umur 15 sampai dengan 64 tahun, dimana Indonesia diprediksi mempunyai jumlah usia produktif itu sekitar 200 juta tahun. Ini menjadi puncaknya pada tahun 2028 sampai dengan 2031 saat diperkirakan jumlah total penduduk Indonesia mencapai sekitar 300 juta jiwa. Jumlah angkatan kerja luar biasa melimpah itulah yang menjadi keuntungan Indonesia menghadapi persaingan besar ke depan. Namun demikian, perbincangan sosial bonus demografi itu masih banyak kontroversialnya, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat. Sisi yang mesti dilihat adalah waktu. Seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli, bahwa rentang waktu dari sekarang sampai dengan tahun 2028 itu tidaklah terlalu panjang. Waktu 14 tahun untuk mempersiapkan sumber daya manusia terbaik, bukan merupakan waktu panjang untuk itu karena banyak hal yang harus dikerjakan. Mempersiapkan tenaga manusia terampil untuk membenahi skilnya perlu waktu lama dan sistematis demi membentuk manusia mengetahui kemampuan diri. Sistematika itu dimulai dari pengenalan kemampuan dan keterampilan diri, yang mungkin memerlukan waktu sampai anak-anak muda tamat sekolah menengah atas, bahkan sampai tamat perguruan tinggi. GPB Suka Arjawa 153 Setelah itu mulai dengan pengenalan kemampuan pendukung untuk memperkuat keterampilan yang bisa jadi memerlukan waktu lebih dari tiga tahun. Untuk membentuk seorang dokter ahli, perlu waktu bahkan lebih dari empat tahun. Setelah itu pengenalan (di) lapangan dan kemudian melatih melakukan inovasi-inovasi berdasarkan temuan di lapangan dan pekerjaan. Inovasi inilah merupakan real bonus demografi itu yang bisa dipakai untuk kemanfaatan orang banyak. Menemukan teknologi angin sebagai pembangkit listrik misalnya, merupakan temuan bemanfaat. Dalam konteks demikian, waktu 14 tahun menjelang tahun 2028 tidak bisa dikatakan lama, paling tidak pas-pasan untuk menyongsong waktu bonus demografi tersebut. Selanjutnya adalah kualitas manusia Indonesia. Beberapa predikat pada masyarakat Indonesia sekarang adalah orangnya yang cenderung tidak mengenali kemampuan diri, suka ikut-ikutan sampai dengan predikat orang malas bekerja (berkreativitas). Predikat ini tidak sepenuhnya salah. Terhadap predikat yang tidak mengenali diri sendiri, secara mudah dilihat dari anak-anak sekolah menengah atas. Jika ditayakan kepada diri mereka tentang apa yang dicita-citakan, sebagian akan menjawab tidak mengetahui. Meskipun pertanyaan itu sudah dipertanyakan sejak sekolah menengah pertama, bahkan sekolah dasar. Kegagalan menjawab citacita diri ini merupakan kecelakaan besar bagi masyarakat sebab itu menandakan mereka tidak mengenal dirinya. Cita-cita merupakan cerminan dari kemampuan untuk mengenali diri sendiri, bakat dan kemudian upaya mengembangkan bakat dan keterampilan tersebut demi menopang kehidupan mendatang. Cita-cita bukan sekedar ucapan berdasarkan kesenangan belaka, tetapi mengandung makna besar di dalamnya berupa upaya dan kreatifitas untuk mencapai itu berdasarkan kemampuan diri pribadi. Remaja dan pemuda Indonesia masih belum banyak yang tahu masalah ini. Ketidaktahuan demikian berakibat fatal. Pemilihan jurusan dan fakultas di perguruan tinggi menjadi hambar karena didasarkan oleh ikut-ikutan dari teman-temannya. Padahal fakultas, jurusan dan program studi merupakan jembatan untuk lebih mendekatkan cita-cita dari individu bersangkutan demi meraih masa 154 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT depan. Pembelajara di program studi akan mampu dijalani secara lebih baik apabila datang dari dalam diri sendiri berdasarkan citacita. Bagaimanapun populernya program studi tersebut, apabila tidak didasari oleh pilihan pribadi dan cita-cita sendiri, tidak akan mungkin bisa dijalani dengan baik. Ini akan berpengaruh kepada derajat drop out dari mahasiswa dan tidak terampilnya lulusan perguruan tinggi bersangkutan. Banyaknya pengangguran sarjana di Indonesia sekarang (1 diantara 7 sarjana menganggur), merupakan akibat dari tidak menyatunya antara keterampilan diri dengan kuliah yang dimasuki di perguruan tinggi. Kemalasan bekerja dari masyarakat Indonesia, disamping oleh faktor budaya menurun, ritual membabi buta, juga diakibatkan secara tidak langsung dari tidak menyatunya keterampilan dengan pekerjaan yang dihadapi. Tidak bisa diabaikan juga adalah sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan di tanah air sudah carut marut secara “sistematis”. Berbicara masalah sistem menyangkut segala persoalan tentang unsur di dalam pendidikan, mulai dari gaji, sarana pendidikan, kesedian tenaga pengajar, dosen, waktu dan sebagainya. Belum lagi apabila dimasukkan persoalan mata pelajaran dan mata kuliah. Seluruh unsur yang disebutkan diatas tersebut tidak terlalu mendukung dunia pendidikan di Indonesia. Antara gaji dosen atau guru sangat tidak mendukung untuk membeli sarana (bahan ajar). Kenaikan pangkat juga selalu ada peraturan baru. Sementara jam dan bobot pelajaran yang diterima siswa (mahasiswa), juga masih banyak dipersoalkan. Penduduk muda yang cerdas tidak bisa dilepaskan dari sarana-sarana tersebut. Manakala sistem itu tidak mendukung, maka kemungkinan besar hasilnya tidak akan bisa bagus. Cita-cita bonus demografi itu, justru bisa menjadi bomerang. Out put pendidikan tidak bagus membuat tenaga kerja juga tidak bagus. Akibanya, dalam dunia pasar bebas, tenaga kerja sendiri akan bisa menjadi penonton di tanah airnya sendiri. Inilah yang menjadi tugas pemerintahan mendatang. Untuk mempersiapkan bonus demografi agar benar-benar menjadi keuntungan bagi negara, maka tidak lain persiapan ini harus dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Ini menjadi dasar dari pangkal persoalan yang harus diperbaiki untuk GPB Suka Arjawa 155 mempersiapkan menyambut bonus demografis tersebut. Kerja dalam satu periode kepemerintahan ini mestinya fokus untuk membenahi tingkat pendidikan dan keterampilan. Tidak ada cara lain untuk membenahi kualitas manusia kecuali dengan membenahi pendidikan dan keterampilan. Bahkan yang paling penting adalah pendidikan dasar. Indonesia mempunyai penduduk terbesar nomor empat di dunia. Apabila ini mampu dimanfaatkan dengan baik, dalam arti memperbaiki kualitas manusianya, akan menjadi aktor utama dalam pergaulan internasional. Akan tetapi, apabila itu tidak mampu dilakukan, justru menjadi persoalan baru yang sangat membahayakan. Angka kriminal, pengangguran, sampai dengan ledakan pendudukan justru menjadi masalah masa depan negara paling berbahaya. 156 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Potensi Perubahan Sosial Jika Kewenangan Pemilihan di DPRD P ersoalan pilihan kepala daerah yang hendak “dibelokkan” kepada lembaga legislative daerah, nempaknya perlu disoroti secara periodic. Secara sosiologis, masalah ini akan mampu membuat perubahan sosial kepada masyarakat. Perubahan sosial yang dimaksudkan ini adalah sikap dan tindakan masyarakat dalam memandang pemerintahan negara. Dalam hal ini yang lebih bersifat local. Seperti sering diungkapkan media massa, bahwa wacana untuk membelokkan cara pemilihan kepala daerah itu menguat. Jika selama reformasi pemilihan kepala daerah (gubernur. Bupati dan walikota), pemilihan langsung dilakukan oleh masyarakat, maka kelak (rencananya setelah DPR bersidang akhir bulan ini), beberapa fraksi di lembaga tersebut telah sepakat kuat untuk mengubah cara menjadi pemilihan dilakukan oleh lembaga legislative di daerah. Fungsi DPRD yang sebelumnya mengawasi, legislasi dan anggaran, tiba-tiba ditambah lagi menjadi memilih pemimpin daerah. Kontroversinya, fraksi-fraksi tersebut sebelumnya sepakat untuk mempertahankan pemilihan langsung. Akan tetapi tiba-tiba berbalik sepakat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kontroversi ini sangat mengecewakan, dan kemudian melahirkan kecurigaan besar di masyarakat bahwa pembalikan sikap itu disebabkan oleh kekecewaan mereka akibat kekalahan pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilihan prsesiden. Sebagian besar dari fraksi tersebut adalah pendukung calon pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. GPB Suka Arjawa 157 Maka, apabila kelak benar-benar DPR menyepakai perubahan metode pemilihan tersebut, akan mempunyai akibat kepada sikap dan persepsi masyarakat. Disini perubahan sosial tersebut akan memperlihatkan kondisi real di masyarakat. Sebagai sebuah fenomena sosial, politik (dengan segala tindakannya), merupakan bagian dari realitas sosial. Dan realitas sosial itu akrab dengan berbagai macam perubahan. Yang pertama pola hubungan antara calon kepala daerah dengan rakyat. Metode pemilihan langsung akan membuat calon pemimpin di daerah langsung terjun ke lapangan, bukan saja memperkenalkan dirinya tetapi juga langsung dan tidak langsung akan melihat kondisi lapangan (fakta sosial yang ada di masyarakat). Terjun langsung ini bukan masalah sok dekat dengan rakyat tetapi dekat dengan keadaan yang betul-betul di lapangan. Seorang pemimpin, dimana pun itu, pada hakekatnya seorang manajer dan memikirkan dan mengelola bawahannya berdasarkan kepada keadaan di lapangan. Ketika seorang calon pemimpin berkampanye untuk menjadi pemimpin dan dengan itu ia harus ke lapangan, maka sekaligus dua hal yang didapatkan, yaitu dekat dengan rakyat dan tahu keadaan. Manajemen yang keluar dari pikirannya sangat didasarkan kepada pengetahuan yang didapatkan di lapangan. Pengetahuan itu bisa dipegang karena ia aberkunjung ke lapangan. Dan keputusan yang dibuat berdasarkan pada perpaduan antara fakta di lapangan dengan karakter masyarakatnya. Dengan demikian, pemilihan bupati misalnya, paling bagus kalau dilakukan secara langsung karena dengan begitulah ia melihat kondisi real di lapangan. Seorang bupati akan dengan cepat membuat keputusan untuk memprioritaskan pembangunan pertanian di daerah pertanian, dengan masyarakat yang memang kegiatannya pertanian. Bupati di lokasi seperti ini tidak akan mungkin memberikan ijin pembangunan perumahan. Bupati harus datang langsung ke lapangan, bukan sekedar mencontoh apa yang dilakukan Joko Widodo ketika menjadi walikota, tetapi memang harus begitu karena pejabat inilah paling dekat dengan rakyat dibanding dengan gubernur atau presiden. Modal awal yang dipakainya adalah saat berkampanye. 158 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Jika kemudian model pemilihan langsung ini tidak lagi dilakukan, maka seorang calon bupati, walikota atau calon gubernur bisa-bisa akan menjadi broker atau calo politik. Mereka tidak akan terjun ke lapangan untuk berkampanye dan melihat kondisi lapangan tetapi melihat konisi rumah calon anggota DPRD. Calon bupati, walikota atau calon gubernur berpotensi besar menjadi aktor penyebar kolusi dan nepotisme karena mencoba menyuap calon anggota DPRD bahkan sebelum calon itu resmi terpilih bahna belum resmi dilantik. Apabila ini terjadi, lagi-lagi mereka berpotensi menyuap aggota DPRD untukketerpilihannya menjadi pejabat. Jelas calon seperti ini akan jauh dari masyarakat, tidak tahu fakta di lapangan dan sama sekali tidak mempunyai pengetahuan riil apabila kelak menjadi bupati. Apa yang mampu dikerjakan bupati yang menyuap anggota DPRD? Perubahan sosial yang terjadi sangat mendasar, berupa pembelokan nilai-nilai dalam melaksanakan pemerintahan. Bupati berpotensi memerintah tidak atas kehendak rakyat, tidak atas reaalitas sosial tetapi berdasar kehendak elit anggota DPRD dan atas realitas sikap anggota lembaga tersebut. Pola pemerintahannya akan kaku, dan berpotensi menjalankan laporan palsu dari bawahannya. Sementara bawahannya akan melaporkan keadaan di lapangan atas dasar ABS (asal bapak senang) saja. Kedua, dari tingkat masyarakat akan berpotensi melahirkan pola feodalisme baru. Cara-cara pemilihan oleh DPRD membuat adanya jarak antara pemimpin dengan rakyat yang sesungguhnya. Atau bisa jadi sebaliknya, rakyat akan menjauh dengan pemimpin. Di sini terjadi benturan antara perkembangan jaman melalui aliran informasi dan komunikasi dengan model feodalisme. Bisa dibayangkan, televisi yang ada sekarang selalu memperlihatkan hubungan setara antara pemimpin dengan rakyat. Artinya hubungan pemimpin dengan rakyat itu egaliter, rakyat membaur dengan pemimpin. Rakyat biasa bercakap-cakap dengan pemimpin. Akan tetapi karena tidak ada pemilihan langsung sejak awal, maka pola seperti ini bisa saja hilang. Rakyat akan semakin jauh, tidak peduli dengan pemimpin. Sebaliknya pemimpin yang dipilih oleh DPRD akan merasa tidak peduli dengan rakyat karena GPB Suka Arjawa 159 memang bukan rakyat yang memilih. Pemimpin pun akan menjauh. Inilah hubungan yang sangat tidak imbang, kontradisktif dalam politik. Benturan seperti ini adalah perubahan pola jarak antara pemimpin dengan rakyat. Tidak akan mungkin tercipta model manajemen pemerintahan yang baik dalam kondisi seperti ini. Maka untuk menghindari hal tersebut, para pemimpin politik, terutama elit-elit di Jakarta, haruslah sadar dengan posisinya sebagai elit. Janganlah menitikberatkan politik itu sebagai sebuah balas dendam. Apalagi areal balasa dendam. Tidak akan pernah menjadi dewasa politisi seperti ini. Jadi, tidak usah kembali memikirkan halhal yang jauh dari reformasi. Biarkan pemilihan itu langsung oleh rakyat, bukan oleh lembaga DPRD. Tidak ada untungnya akembali ke masa lalu yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat. 160 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Kemandirian Beras, Blusukan, dan Undang-Undang Desa D alam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, dihadapan gubernur dan bupati Indonesia, Presiden Joko Widodo mengungkapkan potensi sumber daya nasional yang serba paradoksal. Misalnya, potensi pariwisata Indonesia yang tinggi, ternyata tidak mampu mengalahkan negara tetangga. Kamboja yang baru aman dari gejolak, mampu menyedot sekitar tujuh juta wisatawan per tahun, sedikit di bawah Indonesia, dengan ikon Angkor Watt nya. Sudah tentu presiden juga menyinggung persoalan potensi kelautan Indonesia yang dua per tiga wilayahnya terdiri dari air. Dan yang cukup memberikan harapan adalah bahwa soal beras. Presiden sendiri mengkritisi bahwa Indonesia masih mengimpor beras. Karena itu dalam waktu tiga tahun, diharapkan Indonesia sudah tidak mengimpor lagi. Presiden menugaskan menteri pertanian untuk mencapai keinginan ini. Persoalan kemandirian beras, nampaknya merupakan hal penting yang harus dilihat dalam konteks keindonesiaan. Nasi merupakan makanan pokok dari rakyat Indonesia. Keperluan dasar dari rakyat adalah tersedianya makanan pokok itu agar mereka dapat berinteraksi secara sosial. Maka, dalam konteks kemandirian beras, itu merupakan pilihan pertama bagi Indonesia, yang kalau digabungkan dengan pilihan mengembangkan perikanan kelautan, menjadi kombinasi yang paling bagus. Para ahli menyebutkan bahwa mengkonsumsi ikan akan mencerdaskan. Indonesia pernah menyatakan diri sebagai negara berswasembada beras pada tahun 1984, tetapi pada saat itu GPB Suka Arjawa 161 sektor perikanan kelautan belum diperbincangkan. Jika sekarang Indonesia mampu berswasembada beras, dengan perikanan laut yang mendukung, hasil ini jauh melampaui dari apa yang didapatkan tahun 1984. Sebagai negara pertanian, mayoritas masyarakat Indonesia tidak terlalu sulit mencari buah dan sayuran sebagai pelengkap konsumsi makanan sehari-hari. Menjadikan negara yang berswasembada beras dalam waktu tigaa tahun, mungkin mudah secara teori. Misalkan, asal tersedianya bendungan, penyuluh pertanian handal, tidak menganaktirikan petani, dalam waktu tiga tahun hal itu bisa dilakukan. Saat menberikan pidato pembukaan itu, Presiden Joko Widodo juga menyebut-nyebut soal pembangunan bendungan sebanyak 49 di seluruh Indonesia. Namun yang sering menjadi penghambat pembanguna itu adalah tidak adanya saling pemahaman antar kementerian. Seolah tidak ada saling mendukung rencana kerja dalam waktu yang ditetapkan. Atau bisa jadi, perintah proyek yang dilakukan itu tidak dipahami dengan baik. Modelnya bisa dilihat pada tataran paling bawah. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan produksi beras apabila lahan-lahan persawahan secara mudah dibolduser untuk dijadikan perumahan. Air untuk persawahan mati sekibat dihambat oleh pembangunan hotel, atau sumber air sengaja disedot untuk suplai air hotel. Sungai pun dieksploatasi untuk kepentingan bisnis, juga bibir jurang. Sementara tidak ada proyek untuk membuat persawahan baru atau proyek untuk pembuatan irigasi sangat lambat. Ini merupakan paradox dari cita-cita pembangunan yang memprioritaskan menghasilkan beras sebagai hasil utama Indonesia di masa depan. Sepertinya ongkos, upah dan penghasilan untuk menghancurkan alam itu jauh lebih tinggi dan menjanjikan ketimbang ongkos, upah, dan penghasilan untuk memperbaiki kondisi alam agar berfungsi baik. Fenomena ini tidak saja terjadi di Bali, tetapi di daerah-daerah lain di Indonesia, terutama di wilayah yang berdekatan dengan kota. Disamping kerakusan, penyebabnya adalah tidak adanya saling pengertian antara kementerian, terutama pada jajaran paling bawah. Dengan demikian, agar keinginan Presiden Joko Widodo tersebut mampu tercapai, kalaupun tidak tiga tahun tetapi minimal dalam 162 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT masa lima tahun pemerintahannya, ia harus mengingatkan menteri dan kementerian terkait. Satu kesaktian yang dimiliki oleh Bapak Presiden, adalah hobinya blusukan itu. Sebagai sebuah metode untuk menjalankan pemerintahan, blusukan itu tangguh. Sektor pertanian, “lahan” penghasil beras (seperti yang dicita-citakan presiden) itu ada pada basis blusukan presiden. Ia ada pada tingkat paling bawah, bahkan bersentuhan dengan kemiskinan dan kemarginalan. Banyak petani yang miskin di Indonesia dan sektor pertanian seolah terpinggirkan. Karena itu, orientasi blusukan presiden sekarang haruslah pada petani sawah ini, menanyakan tentang masalah-masalah yang ada di lapangan, “ketidakadilan bolduser” yang meratakan sawah menjadi perumahan, penghentian air sawah dan penyedotan sumber air untuk mengaliri hotel. Dengan cara blusukan juga presiden akan tahu sejarah sebuah lahan persawahan yang kemudian berubah menjadi kompleks kantor pemerintahan. Dengan metode yang sama juga presiden tahu bagaimana latar belakang kompleks perumahan. Di Bali bagian selatan banyak ada contoh-contoh seperti ini sehingga pantaslah presiden datang incognito ke wilayah ini. Bali juga bisa dilihat sebagai “percontohan” krisis persawahan sekaligus bisa dipakai model untuk menyetopnya kelak apabila presiden berhasil melakukan itu. Blusukan dalam hal ini dipakai sebagai survey yang sangat berguna sebagai masukan, bukan saja kepada presiden sebagai pemimpin negara, tetapi juga para meneterinya untuk membuat kebijakan secara tepat.Bukan tidak mungkin hal ini akan ditiru oleh bawahan presiden. Secara akademis, blusukan itu merupakan metode kualitatif, yang bermakna melihat secara langsung ke masyarakat, merasakan kehidupan sosial mereka dan mencoba memahami bagaimana cara masyarakat berfikir. Akan lebih komplit apabila misalnya, presiden mau datang, bermalam, sambil ikut melakukan aktivitas sosial. Ada satu hal yang juga dapat digunakan disamping blusukan sebagai metode mencari masukan, yaitu memanfaatkan secara maksimal Undang Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa. Dalam undang-undang ini, desa didayagunakan untuk mandiri agar mampu mencapai cita-cita nasional, sesuai dengan karekter desa GPB Suka Arjawa 163 tersebut. Bagi desa yang mayoritas sumber dayanya dari pertanian sawah, harus dimaksimalkan dan diberikan rangsaangan untuk meningkatkan hasil swadaya tersebut. Undang-undang ini juga memungkinkan adanya kerjasama antar desa yang berkaitan dengan wilayah kabupaten atau kota, lewat apa yang disebut dengan kawasan perdesaan. Satu yang ditekankan disini adalah soal desa yang mempunyai lahan pertanian. Jadi pemerintah bisa memanfaatkan hal ini dengan baik. Tetapi yang harus diingat, tenggang waktu 3 tahun sebagai target, mungkin agak susah dicapai. Undang Undang ini akan mampu mencapai cita-cita tersebut dalam jangka panjang. 164 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT o RAKYAT DAN WAKILNYA GPB Suka Arjawa 165 166 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Politisi Muda Cerdas, Bukan yang Perlihatkan Otot Lengan D i tahun politik ini banyak yang menyoroti bahwa Indonesia seharusnya dipimpin oleh polititisi-politisi muda. Ada pernyataan cukup menggelitik bahwa sungguh memalukan apabila politisi tua ngotot tetap ingin maju sebagai anggota legislatif atau menduduki posisi eksekutif. Namun, politisi muda yang dimaksudkan itu mempunyai kriteria tersendiri. Secara umur, mereka harus dibawah 45 tahun, dari sisi kepribadian ia jujur cerdas dan mampu memberi inspirasi positif. Jadi, bukan politisi muda yang hanya bisa memamerkan otot-otot lengan bertato (meski kerempeng), atau mengacungkan kepalan tangan yang terkesan mau menantang. Politisi terakhir ini sebaiknya sadar diri untuk tidak masuk dunia publik karena akan mempunyai kesan menakut-nakuti rakyat. Di jaman sekarang, rakyat harus cerdas dan kritis terhadap hal-hal seperti ini. Dari sisi kepribadian juga, rakyat harus cerdas memikirkan latar belakang politisi. Kalau memang mempunyai sejarah berandalan, hati-hati memilihnya. Terlalu riskan memilih orang seperti ini karena politik itu mengandung segmen kebijaksanaan, keputusan serta alokasi sumber daya yang menyangkut masyarakat banyak (per kabupaten, provinsi maupun negara). Dus, politisi muda itu haruslah mereka yang benar-benar mampu memberikan inovasi, pembaruan dan jujur bekerja untuk rakyatnya. Wacana politisi muda pada tahun politik 2014 ini sangat penting diperhatikan dengan beberapa alasan. Pertama adalah upaya memberikan pengereman dan alternatif pada reformasi Indonesia. GPB Suka Arjawa 167 Mengapa pengereman? Reformasi Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, boleh dikatakan sudah gagal. Kecuali reformasi kelembagaan dan keterbukaan, reformasi kejujuran dan keadilaan ekonomi tidak pernah bisa jalan. Salah satu contohnya adalah kenaikan elpiji yang ”memekakkan kantong” di awal tahun ini, bukanlah cita-cita reformasi. Karena itu, gaya reformasi seperti ini harus di rem. Hanya anak-anak muda yang penuh idealisme dan berjiwa jujur (bukan main tantang-menantang) yang bisa melakukan perbaikan. Anak-anak muda mempunyai relasi luas melalui keterampilan mereka dengan gadget terbaru. Anak-anak muda yang mempunyai jiwa positif dan bermutu, pasti juga mempunyai relasi bermutu. Melalui relasi inilah pesan, ide-ide cemerlang itu akan bisa mengalir dan akhinya membentuk kesatuan tekad dengan anggota jaringan luas. Kesatuan tekad itu mampu mengubah gerak dan mampu juga mengalahkan generasi muda yang lebih memilih memperlihatkan otot-otot lengannya di pinggir-pinggir jalan raya itu, tanpa kekerasan. Mereka mampu mengalahkan dengan pikiran dan tindakan positif. Reformasi yang menghasilkan koruptor dan berandalan itu bisa ditumbangkan oleh generasi muda cerdas yang penuh dengan inpirasi positif. Mengapa generasi muda harus memberikan alternatif? Titik tolak dari alternatif ini adalah pemerintahan dan cara memerintah atau membuat kebijaksanaan. Di Indonesia, pemerintah itu adalah eksekutif dan legislatif. Keputusan yang diambil oleh dua lembaga ini disebut dengan keputusan pemerintah. Hasil dari keputusan pemerintah di jaman reformasi ini tidak pernah bagus. Misalnya pembangunan jalan raya memang telah dilakukan akan tetapi ”kulit-kulitnya” saja. Jalan negara misalnya, dibangun dengan aspal mulus tetapi kemulusannya itu merupakan campuran kasar. Akibatnya, belum setahun, terkena hujan sudah hancur. Di desa jalan juga diperbaiki. Tetapi hanya sekitar dua kilometer dari titik luar selebihnya masih hancur lebur. Cara-cara seperti ini adalah cara penipuan yang bukan merupakan cita-cita reformasi. Dengan titik pandang seperti itu, politisi muda yang menempati posisi sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan anggota legislatif diharapkan 168 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT mampu memberikan alternatif kebijaksanaan dan keputusan politik pemerintah, dan secara subyektif, mereka para politisi muda ini merupakan pilihan alternatif kepada politisi tua yang ngototngotot tidak tahu malu dan hanya mementingkan penghasilan uang dibanding dengan menghasilkan putusan politik berkualitas itu. Alasan kedua adalah kualitas mereka. Disini yang ditekankan adalah politisi muda yang benar-benar atas kesadaran sendiri dan berjuang sendiri untuk mendapatkan posisi. Jadi, bukan mereka yang mendapatkan kekuasaan berdasarkan warisan orang tuanya, apalagi yang disokong dan dipaksakan oleh orang tuanya. Sekarang banyak politisi-politisi muda duduk di kalangan eksekutif maupun legislatif. Tetapi mereka adalah pejabat yang mendapatkan warisan kekuasaan maupun politik dari orang tua atau kakek mereka. Bukan ini yang dimaksudkan. Titik sentralnya adalah mereka yang benar-benar berjuang sendiri bukan atas dukungan ayah-ibu-kakek-nenek. Politisi muda yang bekuasa dengan jalan seperti ini, bukan saja memalukan tetapi mirip dengan kerbau dicocok hidung. Mereka hanya simbol saja pada jabatan tetapi pembuat keputusannya adalah para kekeknenek-ibu-bapaknya itu. Berangkat dari kacamata itu, menjadi tantangan bagi para generasi muda sekarang untuk membangun dirinya terjun ke ranah politik. Alasan ketiga adalah daya tarik. Kini politik menjadi arena terbuka. Dalam arti tidak harus seperti jaman Orde Baru yang hanya menekankan pada keluarga, orang-orang dekat dan sejenisnya. Banyak intelektual muda dari berbagai disiplin ilmu mulai tertarik dengan dunia politik. Mereka yang berlatar ilmu ekonomi, peternakan, kehewanan, teknik sampai dengan kedokteran sudah tidak canggung-canggung masuk menuju ranah politik. Baliho dan calon-calon legislatif yang suka menempel berbagai gelarnya (entah didapat secara instan atau wajar) di pinggir jalan raya itu, memperlihatkan bahwa politisi tidak harus datang dari sarjana hukum atau politik saja tetapi juga bisa dari berbagai arena. Ini sangat bermanfaat dalam upaya terjun ke dunia politik. Sebab, seperti yang telah diutarakan politik itu adalah kebijakan publik. Karena merupakan kebijakan publik, mereka memerlukan berbagai disiplin ilmu untuk mendiskusikan berbagai masalah yang ada pada tingkat GPB Suka Arjawa 169 masyarakat. Kekurangan air, tentu yang diperlukan sarjana teknik. Masalah kesehatan akan ditangani oleh sarjana kedokteran atau kesehatan masyarakat. Peternakan masyarakat memerlukan kajian dari sarjana peternakan. Jadi, lembaga legislatif yang dihiasi oleh berbagai sarjana dari anak-anak muda, akan mampu menghasilkan output lebih membumi dan yang lebih diperlukan oleh masyarakat itu sendiri. Keempat adalah alasan profesi. Yang dimaksudkan disini adalah profesi beretika, memperhatikan lingkungan, budaya, sejarah, kepemilikan dan norma-norma yang ada. Banyak anak-anak muda sekarang tergiur oleh materi dann hidup instan. Harus diakui ini barangkali mayoritas. Ketika mereka tidak mampu mengamalkan ilmu yang didapatkan di sekolah, maka, terutama di Bali, banyak yang menjadi calo. Tanpa malu akan leluhur mereka menjadi calo tanah dan merusak lingkungan. Dengan seenaknya menggaruk tanah yang subur menjadi perumahan atau pertokoan. Tanpa malu-malu juga membohong dan menunggak utang kepada pemilik tanah yang sudah dibeli. Dari pada bekerja tanpa norma dan menentang leluhur ini, maka secara positif sebaiknya menjadi politisi yang mumpuni saja. Bukan kemudian politisi yang kongkalikong dengan calo tanah. Sekali politisi terbeli oleh calo tanah maka lingkungan akan bisa rusak, banjir akan terjadi dimana-mana dan kota penuh sesak, kependudukan akan berubah yang membuat kompisisi penduduk juga berbeda. Anak-anak muda yang masuk arena politik haruslah mereka yang benar-benar mempunyai idealis positif agar bisa memberi inspirasi. Bukan hanya ikut-ikutan berfoto lalu memamerkan ototnya yang sekedar kelihatan kekar saja. 170 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Mencari Sosok Anggota Legislatif Berwawasan Luas D alam pelaksanaan tugas-tugasnya, anggota legislatif sering kali dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas keterbelakangan pada masyarakat. Secara ideal, pernyataan diatas tidak salah karena salah satu tugas anggota legislatif adalah menyerap segala persoalan di masyarakat. Salah satu caranya, dengan melakukan kunjungan ke konstituens. Dikatakan salah satu, karena cara lain yang dipakai bisa lewat informasi langsung dari masyarakat, entah dengan surat atau melalui SMS yang kini telah demikian jamak dipakai. Maka, apabila kedua cara ini telah dilakukan, berbagai problem mendasar yang ada di tingkat akar rumput, sedikit banyak telah teratasi. Sekarang, yang jadi tugas bagi calon anggota legislatif, justru terletak pada pemetaan terhadap masalah-masalah yang ada di kampung. Berikut sekedar gambaran tentang persoalan sosial yang ada di masyarakat. Sebagai negara berkembang, dengan basis dasar masyarakat pertanian, Indonesia merupakan negara yang paling banyak rakyatnya hidup di pedesaan. Dalam konteks demikian, kota hanya merupakan wilayah seolah-olah induk memayungi sekian desa yang berdekatan dengannya. Kata berdekatan itupun mempunyai pengertian berbedabeda di Indonesia. Di Bali, misalnya jarak antara desa dengan kota relatif dekat dan mudah dijangkau dengan kendaraan karena lalu lintas sudah relatif lancar. Akan tetapi apabila dibawa pada kondisi geografis di wilayah lain, di Sumatra, Kalimantan, Papua, bahkan di Jawa pun, hal demikian akan bertambah sulit. Jaraknya kota-desa, GPB Suka Arjawa 171 disamping jauh, juga fasilitas angkutannya tidak sebaik seperti apa yang ada di Bali. Itulah yang membuat berbagai persoalan sosial yang ada di Indonesia, mempunyai karakteristisk yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara umum bisa dikatakan bahwa geografi kependudukan seperti itulah yang harus dihadapi oleh calon anggota legislatif sekarang sehingga mereka wajib mengetahui berbagai persoalan tersebut. Di jaman sekarang, dekade kedua dari milenium baru, harus dilihat pemerintahan di Indonesia sekarang sudah kadung ”kejebak” dengan sistem ekonomi yang berorientasi kapitalis. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (termasuk bagian akhir dari pemerintahan Orde Baru dan juga mau tidak mau harus disebutkan sedikit banyak dari pemerintahannya Megawati), telah mengadaptasi orientasi kapitalis ini. Munculnya banyak perusahan asing dan keterlibatan korporat asing dalam sistem (komponen) ekonomi Indonesia, mengindikasikan adanya orientasi kapitalis tersebut. Orientasi ini pada akhirnya bertentangan dengan fakta sosial masyarakat yang basisnya pertanian yang berkehidupan di desa karena kecenderungan kapitalis itu lebih banyak memusatkan sektor perkotaan. Pada kecenderungan itu, perdagangan lebih banyak terpusat di wilayah perkotaan karena sarana dan prasarana yang mendukung pergerakan ekonomi lebih banyak di kota. Jalan, toko, perusahan, sarana pengangkutan sampai dengan interaksi sosial lebih banyak di kota. Munculnya urbanisasi, merupakan konsekuensi logis dari kecenderungan ini. Karena perputaran bisnis, ekonomi dan keuangan lebih banyak di kota, maka mau tidak mau penghasilan uang lebih banyak di kota. Uang juga lebih banyak dan lebih cepat dihasilkan di kota. Kenyataan ini membuat kota menjadi magnet kehidupan, terutama bagi mereka-mereka dari kalangan anak muda. Tuntutan berbagai kehidupan yang serba cepat, termasuk hiburan, lebih banyak ada di kota. Secara sosial, akibat kecenderungan kapitalis ini sungguh mengerikan. Tidak saja kaum urban memenuhi perkotaan, tetapi ketimpangan penduduk menjadi begitu kelihatan. Desa seolah sepi dan kota demikian padat. Dalam konteks keamanan, fenomena ini sungguh tidak baik karena justru sama-sama memunculkan hal sifatnya negatif. Pertumbuhan pertanian menjadi mandeg di 172 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT pedesaan, perkebunan menjadi terbengkalai, dan keterampilan menjadi hilang. Di kota, karena sesaknya pertumbuhan penduduk, memunculkanlah tingkat kejahatan menjadi lebih tinggi. Kota kumuh, kebanjiran dan problem pertumbuhan penduduk kota tidak terkendali. Kelangkaan penduduk di desa, juga memunculkan mudahnya pencurian muncul di wilayah ini. Dengan fenomena seperti itu, para calon anggota legislatif di Indonesia, harus memperhatikan persoalan urbanisasi ini. Karena kebijakan pemerintah melingkup wilayah nasional, maka kecenderungan sistem kapitalis itu pun lingkupnya nasional serta berakibat nasional juga. Pembiaran kecenderungan ini akan berbahaya, baik secara sosial maupun budaya. Apabila secara sosial hal itu mengakibatkan ”gerakan” perpindahan masyarakat dari desa ke kota, maka secara budaya akan membuat semakin hilangnya budaya pertanian yang dipahami oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya akan terjadi perbedaan persepsi antar generasi Inipun akan mengakibatkan masalah sosial lain, yaitu pertentangan persepsi antar generasi yang bisa menciptakan perpecahan di keluarga, bahkan keluarga batih. Sendi-sendi masyarakat menjadi goyah. Konflik sosial yang paling membahayakan negara adalah rapuhnya hubungan sosial pada keluarag batih ini. Calon anggota legislatif semestinya tidak semata-mata memasang sepanduk dan baliho yang hanya ”meminta-minta” suara tetapi harus jauh lebih memikirkan persoalan-persoalan sosial yang kemungkinan dan dimungkinkan terjadi akibat pilihan-pilihan sistem ekonomi dari pemerintah pusat. Satu pandangan memperlihatkan kegagalan negara dalam membina masa depan, disebabkan oleh ketidakmampuan anggota legislatif melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Anggota legislatif sebaiknya mempunyai cara pandang lebih luas kepada negara, bukan saja kepada konstituens yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi, mereka harus mempunyai dua ”sertifikat”, yakni kemampuan untuk menganalisis persoalan yang ada di wilayah konstituens. Dan yang kedua memunyai kehandalan menghadapi persoalan nasional. Dari sudut pandang struktur keanggotaan legislatif, dalam arti anggota legislatif daerah tingkat II, tingkat I dan tingkat pusat, GPB Suka Arjawa 173 fungsi-fungsi memadukan konstituens dan negara, sesungguhnya tidak mempunyai perbedaan menyolok. Mereka yang menjadi anggota legislatif tingkat II, adalah pihak yang paling tahu bagaimana duduk persoalan yang ada pada tingkat akar rumput. Mereka mesti memperjuangkan agar pembangunan di pedesaan harus mendapatkan prioritas utama. Inilah yang akan memberikan sumbangan besar kepada orientasi sistem ekonomi nasional. Mereka yang duduk di tingkat I, harus memahami karakteristik budaya politik dan budaya sosial dari masyarakat. Dengan pemahaman tersebut, mudah melakukan kontrol kebijakan pemerintah terhadap pola pembangunan utama di propinsi. Misalnya, apabila masyarakat propinsi itu terlalu permisif dengan pembangunan pusat, maka haruslah berani melakukan stop kepada kebijakan pembangunan pusat. Anggota DPRD Bali, tentu harus berani melakukan penyetopan pembangunan yang terlalu merusak budaya. Sedangkan anggota legislatif pusat, adalah pengemban tanggung jawab untuk tidak meloloskan segala bentuk perundangan bersifat nasional yang lebih berorientasi kapitalis. Begitulah sebaiknya alur pemikiran calon anggota legislatif, bukaan sekedar ”mengemisngemis” suara dalam berbagai bentuknya. 174 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Kesempatan untuk Memperbaiki Kualitas Caleg C itra dan kinerja partai politik sangatlah tergantung dari (calon) anggota legislatif yang berasal dari partai bersangkutan. Ini disebabkan karena partai mempunyai hubungan resiprokal terkait dengan rakyat. Posisi (calon) anggota legislatif sebagai penghubung membuat pencitraan itu sangat berpengaruh kepada partai. Karena itu, partai politik mestinya memperhatikan pola-pola rekrutmen yang diberlakukan. Saat ini partai politik sudah banyak anjlok elektabilitasnya karena kinerja politisi yang menggerakkan partai tersebut. Secara nasional berbagai survei menyebutkan jika Partai Demokrat sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung pada pemilu 2014. Disamping figur sentralnya (Susilo Bambang Yudoyono) tidak akan bisa lagi menjadi calon presiden, juga kadernya berurusan dengan pengadilan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga mengalami nasib hampir sama. Kekeliruan partai ini merekrut politisi, membuat pencitraan dan elektabilitasanya merosot, bahkan sampai di Bali, ”gudang” pendukung partai itu di masa lalu. Di awal kebangkitannya, partai ini terkesan gegabah memilih kader, terutama kader yang kurang mampu adaptif dengan kultur masyarakat Indonesia ( yang lemah lembut, sabar dan kebapakan), dan terjadi silang pendapat tentang kualitas pendidikan dari kader partai bersangkutan. Akibatnya secara perlahan, hampir di seluruh Indonesia elektabilitas dan citra partai mulai merosot. Inilah yang membuat nama Jokowi sering kali disebut-sebut sebagai kartu truf GPB Suka Arjawa 175 demi menaikkan tingkat keberpihakan rakyat terhadapp partai ini. Sampai-sampai beberapa daerah telah berani mengambil resiko politik, mendeklarasikan relawan Jokowi sebagai calon presiden, meski PDIP sendiri belum melakukannya. Dengan konteks hubungan yang demikian bertemali antara rekrutmen dengan pencitraan partai politik, maka dalam menghadapi pemilihan umum tahun 2014 ini, partai politik harus benar-benar memperhatikan hal itu agar tidak terlalu berpengaruh kepada pencitraan partai. Hal pertama yang mesti diperhatikan partai adalah taat aturan dan taat hukum. Artinya (calon) anggota legislatif tersebut harus mampu menaati norma-norma yang paling dasar dan paling sederhana. Sekali lagi yang ditekankan adalah norma, yang artinya bukan sekedar aturan hukum tetapi juga tata tertib, nilai-nilai kebaikan, etika bahkan kepercayaan yang berlaku di masyarakat. Saat ini banyak calon anggota legislatif yang benar-benar melanggar norma yang sederhana tersebut. Ketika KPU telah mengeluarkan aturan untuk tidak membolehkan memasang baliho bagi calon anggota legislatif, justru aturan paling dasar ini banyak yang tidak diindahkan. Bahkan pelanggaran norma ini secara tidak tahu malu juga dilakukan oleh politisi yang sudah berpengalaman, gaek bercucu, bahkan seolah memaksakan diri kembali menjadi calon anggota legislatif. Politisi seperti ini seharusnya mampu memberi contoh kepada para pendatang baru yang demikian berambisi menjadi anggota legislatif. Contoh memang harus diberikan untuk menaati aturan yang paling dasar dan paling sederhana. Apabila calon anggota legislatif ini tidak mampu menaati aturan paling dasar dan sederhana seperti itu, masyarakat sebaiknya mempertimbangkan keberpihakannya kepada politisi model demikian. Bagaimana mungkin seorang anggota legislatif kelak akan mampu membuat aturan-aturan baru di parlemen kalau menaati norma paling sederhana saja tidak mampu. Jadi, sekali lagi masyarakat seharusnya membuat pertimbangan terhadap calon yang berkarakter seperti ini. Ketidaksediaan calon anggota legislatif menaati aturan sederhana tersebut sekaligus membuktikan bahwa kekuasaan (dan kemungkinan uang) menjadi motivasi utama calon politisi itu maju 176 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT sebagai calon. Padahal menjadi politisi di jaman transisi seperti sekarang seharusnya bukanlah kekuasaan (dan uang) yang menjadi tujuan tetapi fungsi dan peran sebagai jembatan penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Sekali lagi ini bukan kata-kata idealis, tetapi itulah yang menjadi tujuan dari reformasi karena reformasi itu sampai sekarang masih belum kelihatan. Pemahaman rakyat dengan kondisi negara, dengan paham ketergantungan, dengan makna kebijakan masih terlalu jauh. Demikian juga pengetahuan pemerintah tentang kondisi sosial yang sesunghuhnya masih juga jauh. Pemerintah tidak tahu secara pasti, misalnya, apa yang diperlukan oleh nelayan Indoensia saat menghadapi serbuan pukat harimau dari negara lain. Kondisi inilah yang memerlukan politisi yang berperan sebagai jembatan. Peran ini tidak akan mungkin bisa terjadi apabila seorang anggota legislatif mengejar kekuasaan (apalagi yang berupaya bergaya mewah dengan pakaian dan parfum wangi), dan memakai duit sebagai sasarannya. Pada akhirnya politisi demikian akan cenderung berbuat untuk dirinya sendiri dan bermacam-macam tindakan dengan tujuan kekuasaan dan uang tersebut. Selanjutnya, partai politik lah yang akan tercoreng citranya dan elektabilitas partai itu semakin rendah, sebelum kemudian jeblok ke lantai dasar. Partai politik didirikan tidak hanya untuk lima tahun belaka lalu kemudian surut, tetapi partai itu dipakai untuk terus-terusan, dan semestinya sepanjang negara itu ada. Partailah yang akan memberikan sumbangan kepada jalannya negara. Melalui pengalamannya, partai akan mampu memberikan perbandingan perjalanan ketatanegaraan pada periode waktu tertentu. Tidak perlu partai demikian terlalu berkuasa tetapi tetap aktif di dalam perjalanan kenegaraan (artinya bisa ikut berkompetisi). Keaktifan inilah yang kemudian terekam melalui perjalanan waktu dan rekaman itulah yang kemudian dipakai perbandingan dalam menjalankan negara. Perbandingan ini bisa dipakai untuk mengritik dan memperbaiki kinerja untuk selanjutnya dipilih state of the art dari perjalanan ketatanegaraan agar berkembang ke arah lebih baik. Tetapi partai yang dijalankan oleh politisi yang hanya menaati aturan sederhana saja tidak bisa, kemungkinan partai ini akan berumur pendek. GPB Suka Arjawa 177 Karena itulah, demi masa depan partai (dan negara), segera perbaiki pola rekrutmen politik. Dan kalaupun partai politik sudah kadung memilih politisi ”miring” seperti yang disebutkan diatas, segera tegakkan mereka. Ada waktu sekitar dua bulan untuk memosisikan politisi itu, misalnya dengan segera menurunkan baliho apabila itu melanggar. Segera memperingatkannya agar tidak melakukan penyuapan dalam bentuk apapun kepada masyarakat. Melarang melakukan pemaksaan dalam mendekati warga atau mengubah perilakunya sekalian. Dengan cara seperti ini, secara tidak langsung akan mampu memperbaiki kondisi negara dengan sistematis. Memperbaiki negara bisa dilakukan dari sektor paling mikro, yakni politisi dari partai politik yang terlibat pemilu. Sebab, seperti yang telah diutarakan oleh berbagai kalangan, negara akan bisa berjalan baik kalau politisinya bersih, jujur dan adil. Konsepsikonsepsi kenegaraan itu justru muncul dari politisi. Sedangkan jalannya negara sehari-hari dijalankan oleh birokrasi. Hanya negara yang mempunyai politisi baiklah mampu membuat negaranya maju ke depan. Kini Indonesia masih harus mengimpor beras, menyewa pilot dari luar negeri, antre membeli minyak, kebanjiran dimanamana, masyarakatnya terlalu berani menembus awan panas gunung meletus, sepakbolanya kalah terus-terusan. Nah ini salah siapa? 178 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Waspada Memilih Politisi di Tengah Perubahan Sosial J ika dilihat lingkungan kota Jakarta tahun 1990 (apalagi tahun 1980-an), seperti yang terekam film-film Warkop DKI misalnya, masih ada tempat ”bernafas”. Lapangan masih cukup tersedia, meski macet, lalu lintas masih bisa lebih lancar, dan sinar matahari lebih leluasa masuk ke dalam pekarangan (dan ruang) rumah. Kini hanya dua dekade setelah tahun itu, Jakarta sepertinya bukan kota manusiawi. Jalan layang berseliweran, gedung bertingkat yang menghalangi laju sinar matahari semakin banyak, warga semakin banyak di jalan raya, dan yang paling mutakhir, ibu kota itu ibarat kolam renang kumuh akibat banjir berhari-hari. Kualitas jalan raya setelah banjir itu, lebih buruk dari pada jalan ke kampung pelosok. Bisa dibayangkan bagaimana kesan orang asing ketika melihat ibukota negara Indonesia, kondisinya seperti demikian. Hal yang sama nyaris terjadi di Bali. Tahun 2000 yang lewat (apalagi tahun 1990-an), kota Denpasar dan wilayah Badung, masih terlihat pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, pinggir jalan yang dihiasi sawah, air selokan mengalir lancar, emperan toko yang bersih dari pedagang kaki lima serta jalan raya yang lancar. Kini, hanya satu dekade setelah itu Denpasar penuh dengan perumahan, dengan kemacetan, dengan sampah, serta sumpah sarapah pengendara jalan raya. Di wilayah Badung selatan, burung-burung sawah kebingungan mencari padi, sawah berubah menjadi perumahan dan kalimat yang sering muncul di jalanan, ”para pengembang sudah ramai-ramai pindah ke Tabanan mencari lahan...” Di Tabanan, tebing diratakan GPB Suka Arjawa 179 dengan buldoser, sawah ”dikeringkan” dan harga tanah melambung tinggi. Tidak ada lagi kenyamanan di wilayah-wilayah ini. Jakarta dan Bali kini seolah identik, menjadi korban dari perubahan sosial. Barangkali karena ”kemajuan” industri penerbangan dan komunikasi, sehingga hubungan antara Bali dan Jakarta terlalu dekat, singkat dan terjangkau. Mungkin banjir di Jakarta akan secara mudah bagi orang kaya untuk membeli tanah di Bali. Atau barangkali bangkrut di Jakarta akan merangsang pengusaha untuk menanam modal di Bali sebagai pulau pariwisata. Secara perlahan tapi pasti, masyarakat terdidik oleh keadaan yang dilihat di sekelilingnya. Sampai kemudian ada kalimat mengejutkan dari masyarakat, ”...jangan pilih anggota legislatif yang jadi calo dan yang menggerus tanah-tanah tebing..!” Kalimat ini jelas merupakan cerminan sikap sosial, kekecewaan dan protes terhadap begitu derasnya perubahan sosial yang tidak terkontrol. Kata calo dan penggerus tebing itu, bisa jadi terkait antara Jakarta dengan Bali, terutama di Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (sarbagita). Penjualan tanah termasuk tebing-tebing potensial baik yang ada di Jakarta maupun Bali, memerlukan jasa perantara yang oleh masyarakat banyak disebut dengan calo. Tanpa perantara, perkembangan kondisi tanah akan lebih lambat. Maka makin rusaknya kondisi sebuah wilayah dimungkinkan disebabkan oleh jasa calo ini. Pada sisi lain, para calo ini mendapatkan komisi yang besar sebagai akibat dari jasanya memberikan informasi seperti itu. Secara sarkatis kemudian dikatakan bahwa justru orang-orang yang berpotensi merusak tatanan tanah (termasuk tatanan sosial itu), mendapatkan keuntungan banyak dibanding dengan orang-orang yang mencoba memperbaiki tatanan wilayah dan tatanan sosial itu. Seorang perantara bisa saja mendapatkan keuntungan sampai seratus juta sekali transaksi yang membuat potensi pertandian di sebuah wilayah menjadi rusak total karena berubah fungsi menjadi bangunan. Secara sosial kemudian, karena mendapatkan keuntungan besar itu, profesi-profesi sebagai perantara ini menjadi meenyebar. Masyarakat tidak tahan, dengan tuntutan ekonomi tinggi (apalagi dengan ritual keagamaan yang dibuat-buat besar), mencari pekerjaan 180 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT susah, akibatnya mereka ikut-ikutan menjadi calo. Pada pihak lain, jasa penggerukan tanah, tebing, meratakan bukit sampai dengan membikin got, dengan memakai traktor besar, semakin marak. Di Bali jasa mengeruk tanah, membolduser tebing, meratakan batu kapur inilah yang paling mendapatkan keuntungan amat tinggi. Sehingga hanya dalam hitungan hari, tanah gundukan yang berupa bukit itu, bisa rata dengan dataran. Pendapat kontroversial pun muncul. Jasa merusak tanah mendapat bayaran tinggi sedangkan upaya, pendapat untuk memberikan hal positif kepada wilayah terkadang hanya mendapat ucapan terima kasih. Sangat tidak adill dan sangat janggal. Mereka yang membuat lingkungan buruk justru semakin kaya! Kalau kemudian ada ungkapan ”...jangan pilih anggota legislatif yang jadi calo dan yang menggerus tanah-tanah tebing..!” ini merupakan ungkapan politis yang logis masyarakat yang khawatir dengan demikian derasnya perubahan sosial yang terjadi di Bali (dan mungkin juga di Jakarta). Kekhawatiran itu berumber dari logika bahwa sikap penguasa akan mempengaruhi pihak lainnya. Seorang anggota legislatif yang mempunyai latar belakang calo atau tukang gerus tebing, sikapnya sudah melekat dengan perilaku dan profesinya itu. Sehingga apabila ia menjadi anggota legislatif (tentu saja juga eksekutif), mereka akan berupaya mempengaruhi anggota legislatif yang lain untuk mengikuti sikap dan profesinya. Akibatnya, apabila penyebaran pengaruh ini berhasil, ijin dan persetujuan untuk menjual tanah-tanah produktif dan menggerus tebing akan keluar semakin banyak dari pemerintah. Kekhawatiran masyarakat itu masuk akal karena kekuasaan itu lekat dengan pengaruh. Kekuasaan berupaya menyebarkan pengaruhnya, yang pertama-tama pada lingkungan paling dekat. Pemerintah (eksekutif dan legislatif) jelas pemangku pengaruh dan bagaimanapun juga akan berupaya melebarkan pengaruhnya pada lingkungan terdekat dulu. Apabila hal ini terjadi, maka sebuah wilayah hanya dalam waktu beberapa tahun saja telah bisa berubah wujud. Dengan potensi uang yang dimilikinya, sangat mungkin para calo dan penggerus tebing yang ”sukses” itu kembali beravonturir di bidang lain, yaitu legislatif. GPB Suka Arjawa 181 Maka, dua bulan menjelang pemilihan umum anggota legislatif ini, masyarakat harus benar-benar memperhatikan kalimat dan ungkapan-ungkapan yang muncul di lingkungannya sendiri. Lingkungan masyarakat itu tersistematis dengan sempurna. Artinya, pada awalnya adalah lingkungan rumah tanggal, banjar, desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya sampai negara. Jika lingkungan ini rusak, tidak ada kenyamanan hidup bagi masyarakat. Padahal kenyamanan merupakan prasyarat utama untuk bisa menjalankan hidup itu, dimana improvisasi, inovasi, pengembangan pikiran dan kreativitas bisa dilakukan. Masyarakat harus benar-benar mencermati calon anggota legislatif mendatang. Masyarakat mesti berusaha, ikut terjun partisipatif. Artinya, tidak hanya sekedar mencoblos tetapi juga partisipatif dalam hal mencarii pengetahuan tentang latar belakang calon anggota legislatif tersebut, sikap hidupnya, cara pandang ke depan serta pembelaannya yang benar terhadap wilayah. Tidak terlalu banyak tenaga yang habis untuk menambah wawasan ini karena bisa dilakukan sambil diskusi dengan teman-teman, saat kumpul-kumpul, mendengar radio atau menyaksikan televisi. 182 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Peran dan Makna Keterlibatan Politisi di Masyarakat D alam pelaksanaan pemilu mendatang, ratusan kandidat berkompetisi merebut posisi legislatif yang hanya puluhan. Artinya ada ratusan kandidat yang akan tersisih. Ini adalahh kepastian dalam pemilihan umum bulan April mendatang. Guyonan yang ada di masyarakat terdengar seperti ini, ”Rumah sakit jiwa sudah mulai menyiapkan kamar-kamar baru untuk menampung calon legislatif yang akan kecewa kelak...”. Meski guyonan ini sangat sarkatis, tetapi beberapa waktu lalu memang telah terbukti ada calon politisi yang sampai menderita sakit jiwa karena kalah tanding. Juga ada yang sakit fisik karena kehabisan dana yang dikeluarkan. Mungkin hal itu harus ditambahkan lagi, para istri dan anak-anak calon politisi juga harus disiapkan mentalnya menghadapi berbagai keadaan mendatang. Ini disebabkan karena persaingan antar politisi sekarang sangat ketat. Dan tentu saja karena kesalahan sikap memandang politik sebagai sebuah pekerjaan, mencari penghasilan, prestise. Yang tidak bisa ditinggalkan adalah mereka menjadi politisi demi mencari dana pensiun. Dalam beberapa berita, disebutkan bahwa ada politisi yang menjual tanahnya untuk membiayai kampanye. Atau meminjam uang di bank dengan menggadaikan tanah milik. Dari sisi hubungan politik-reformasi, banyaknya politisi yang terjun ke kancah pemilu ini, bisa dilihat sebagai sebuah keberhasilan. Ini merupakan hasil terjangan kebuntuan politik yang begitu dalam sejak jaman Orde Baru. Banyaknya warga yang masuk partai politik GPB Suka Arjawa 183 juga bisa dikatakan sebagai hasil sosialisasi yang sangat positif dari pemerintah kepada masyarakat. Bahwa politik bukanlah barang haram dan kotor yang harus dijauhi. Waktu dua windu sebagai tenggang reformasi merupapakan rentang cukup untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat. Pada titik ini harus juga dilihat bahwa masyarakat telah berhasil meyakinkan dirinya tentang keterlibatan politik tersebut. Mereka memilih jalur politik karena memang disitulah hobi dan bakatnya. Di masa depan, keterlibatan seperti ini akan memberikan gambaran tentang budaya politik masyarakat Indonesia. Pada saat gambaran tentang budaya politik itu tergambarkan, pembangunan akan lebih mudah dilakukan dalam koridor pemberian masukan dari masyarakat. Artinya, kesadaran politik berbasis budaya politik itu akan memudahkan bagi pemerintah untuk membuat model pembangunan nasional karena masyarakat telah memberikan masukannya dengan baik. Partsisipasi politik itu disamakan dengan upaya-upaya pemberian masukan kepada model pembangunan. Dari sisi hubungan warga dan negara, banyaknya muncul politisi itu boleh dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara (pemerintah) dalam memenuhi salah satu kewajibannya, yakni menyediakan pekerjaan bagi warga. Masuknya warga menjadi politisi itu bisa jadi sebagai tempat ”sembunyi” dari pengangguran atau menjadi jalan pintas untuk mencari pekerjaan yang diperkirakan mendapatkan penghasilan besar. Dikatakan sembunyi dari pengangguran karena minimal dengan menjadi anggota partai politik (apalagi menjadi caleg), mampu menjawab pertanyaan warga yang suka usil ”....dimana bekerja sekarang?” Atau paling tidak mempunyai aktivitas dan tempat kumpul-kumpul serta menuangkan persoalan, sebagai tempat berdiskusi. Dikatakan menjadi jalan pintas karena banyaknya politisi yang suka bermobil mewah, pamer kekayaan dan sebagainya, sehingga dipandang mempunyai penghasilan besar, meskipun terkadang apa yang dipakainya itu semata-semata demi memaksakan diri dalam penampilan. Atau bisa jadi mereka-mereka itu mencoba mengejar uang pensiunan sebagai anggota legislatif sehingga masa tuanya terjamin. Yang terakhir ini disebabkan oleh karena negara 184 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tidak mampu menjamin uang pensiun kepada seluruh masyarakat. Dari konteks diatas, negara seharusnya mampu memberikan jaminan kepada warga secara layak. Dan sebaliknya, masyarakat juga mesti mengetahui bagaimana kemampuan negara-pemerintah untuk membiayai masyarakat. Dengan cara pandang demikian, bisa dikatakan pekerjaan sebagai politisi ini tidak bedanya dengan judi atau mirip dengan adu untung di bursa efek. Padahal politik tidak demikian dan sangat jauh dari dua fenomena yang sering kali lekat dengan budaya masyarakat kelas bawah (judi) dan kelas atas (main di bursa efek). Judi merupakan perilaku untung-untungan, meski juga melibatkan pikiran. Tetapi lebih banyak menduga-duganya. Karena itu, aduan ayam sering kali meleset dan main dadu (seperti yang dilakukan dalam cerita Mahabharata) juga didominasi dugaan. Bursa efek hampir mirip. Diperlukan pengetahuan keuangan dan perkembangan politik sosial internasional secara cepat untuk mengkalkulasi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam beberapa jam yang berpengaruh kepada nilai dan harga mata uang internasional. Politik, sekali lagi, tidaklah demikian. Apabila ada yang mengatakan bahwa politik itu sebuah pengabdian, ini bisa kata yang mendekati untuk itu. Dasar pemikirannya adalah kebijakan umum. Membuat kebijakan umum tidak akan mungkin bisa lebih terkosentrasi kalau kemudian tidak dilandasi oleh pengabdian. Penghasilan yang didapatkan didasarkan atas pengabdian itu. Karena itu tidak banyak. Jadi, kalau ada yang mengatakan akan menggratiskan bayarannya sebagai politisi, nampaknya ini agak berlebihan. Sesungguhnya kata yang lebih pantas untuk itu adalah keterlibatan. Jadi, berpolitik itu adalah sebuah keterlibatan. Sebab faktanya ketika warga berpolitik, paling bagus di Indonesia itu adalah terlibat. Politisi langsung terjun ke lapangan untuk melihat persoalan yang ada. Sebab, sebagian budaya sosial di Indonesia itu masih ”yes man” atau bapakisme. Apa yang diinginkan oleh ”bapak” akan diiyakan dan mencoba mencari-cari pembenaran tanpa langsung ke lapangan. Politisi yang terjun ke lapangan, akan lebih kongkrit dan jelas dalam melakukan perdebatan di parlemen. GPB Suka Arjawa 185 Politisi jelas terlibat dalam pembuatan keputusan di parlemen. Melalui fakta yang memang benar di dapatkan di lapangan, politisi akan melalukan perdebatan secara positif ketika harus berhadapan dengan kompetitor di parlemen. Diskusi dan perdebatan yang dilakukan pasti akan bermutu karena didasarkan oleh fakata yang ada di lapangan. Dan politisi juga harus terlibat bermasyarakat. Disinilah real politik sebagai sebuah strategi meraih massa. Keterlibatan di masyarakat tidak hanya saat ada bencana alam saja tetapi dalam setiap ada persoalan sosial, termasuk juga manakala ada upacara kenduri. Acara seperti ini bukan untuk memberikan sumbangan tetapi justru dipakai untuk menyerap berbagai pendapat yang ada, menginformasikan berbagai fakta di pemerintahan, memberi penjelasan (sambil guyub) tentang makna kebijakan yang ada. Maka, apabila kemudian ada yang berkelakar untuk menambah ruang rumah sakit jiwa, kelakar ini harus diperhatikan. Tetapi tentu tidak berlaku bagi politisi-politisi yang memang sudah mengetahui makna keterlibatannya, seperti yang telah diuraikan diatas tadi. 186 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Persiapan Menghadapi Kenyataan Usai Pemilu C alon anggota legislatif yang memajangkan fotonya di pinggir jalan itu, hanya mempunyai waktu sekitar satu bulan untuk memantapkan diri di hadapan masyarakat. Artinya upaya kerja keras tersebut kini ada dalam batas-batas akhir. Hanya kesan dan citralah yang akan mampu memperbaiki tingkat elektabilitas demi keterpilihannya nanti. Dalam dunia penelitian kualitatif, para calon anggota parlemen tersebut haruslah melakukan triangulasi untuk meyakinkan dirinya terpilih dalam pemilu mendatang. Dia harus mengecek lagi keterikatan massa dengan dirinya sehingga mampu memperkirakan bagaimana kansnya dalam pemilu. Perkiraan ini penting untuk menjaga emosi di hari pencoblosan atau pengumuman mendatang agar tidak terlalu kecewa atu tidak terlalu gembira. Kekecewaan yang terlalu mendalam sangat berpotensi memunculkan konflik dengan berbagai komponen. Kegembiraan berlebihan juga memberikan potensi konflik, terutama membikin tersinggung dan makan hati bagi para kompetitor. Jadi triangulasi atau pengecekan kembali potensi kekuatan itu sangat penting untuk menjaga stabilitas lingkungan agar mendukung kehidupan sosial. Akan tetapi, apakah pengecekan itu bisa etis kalau dilakukan oleh para calon anggota legslatif? Kepentingan pengecekan kembali itu, seperti yang telah dijelaskan diatas, merupakan upaya untuk menjaga stabilitas emosi. Persoalan etika dalam politik penting di perhatikan. Mengecek kembali kekuatan di suatu wilayah kekuatan GPB Suka Arjawa 187 masing-masing tentu bisa dilakukan dengan cara etis. Yang paling awal tentu yang harus diperhatikan adalah ucapan dan sikap yang tidak memperlihatkan sikap memaksa kepada calon pendukung. Sikap yang terlalu memaksa (untuk dipilih) merupakan etika yang tidak positif dalam budaya Indonesia. Disini yang harus diperhatikan adalah pemakaian kata “ya” atau “nggih” oleh masyarakat kita. Apabila hal itu sudah diucapkan, anggota legislatif harus menginsyafinya karena mereka sudah tidak mengucapkan penentangan. Kata itu masih dalam batas abu-abu, dank arena itulah diperlukan adanya penegecekan kembali. Upaya pengecekan kembali itu, demi etika sosial, bisa dilakukan dengan beberapa cara. Yang pertama adalah dengan kunjungan sang kandidat kembali ke wilayah tersebut dengan cara-cara yang tidak formal. Calon anggota tersebut datang ke wilayah kampanyenya pada sore hari, dengan bercakap-cakap atau ngobrol tentang peristiwaperistiwa yang lagi hangat. Tidak keliru kalau mereka membicarakan soal gosip yang menimpa artis. Atau yang lebih normal lagi, membicarakan tentang sepakbola yang lagi menjadi trend pada anakanak muda sekarang. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan model persahabatan. Di suatu tempat, calon anggota legislatif pastilah mempunyai teman. Sang teman inilah yang dipakai sebagai “alat”. Artinya mencoba mendiskusikan hal itu dengan rekan yang ada di suatu wilayah tentang kekuatan yang diperolehnya di wilayah tersebut. Calon anggota legislatif bisanya juga mempunyai anak buah sebagai asisten kampanye. Menugaskan asisten kampanye untuk berkunjung dengan relasinya yang ada di suatu tempat juga merupakan cara yang positif untuk datang ke wilayah tertentu. Kunjungan dengan dandanan yang macam-macam, sangatlah berbahaya. Jadi, para politisi di jaman sekarang harus benar-benar mempertimbangkan potensi kemenangan dan kekalahan yang akan didapatkannya. Mengapa ditekankan pada politisi di jaman sekarang? Dari sisi kemutakhiran perilaku, politisi saat ini dijadikan tidak hanya sebagai ajang “sembunyi” dari pengangguran tetapi juga sebagai sebuah prestise dan posisi. Anggota legislatif jelas mempunyai kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa karena 188 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT fungsinya membuat aturan dan mengawasi kinerja pemerintah dan juga mengawasi persoalan keuangan. Ini merupakan prestise. Maka, seorang pengangguran, tukang pukul atau preman yang mampu menduduki jabatan seperti ini akan terangkat prestisennya. Segala keburukan yang melekat kepada mereka sebelummnya seolah terhapus. Paling-paling masyarakat berkomentar, “Ah dia itu sebelumnya pengangguran”. Atau “Untung lolos sehingga predikat premannya tersembunyikan”. Akan tetapi apabila orang yang berstatus seperti ini gagal dalam perjuangaannya, ia yang mempunyai predikat seperti ini akan lebih berbahaya lagi tindakannya di masyarakat. Nah, untuk menghindari tekanan-tekanan di masyarakat itulah, pengecekan kembali kekuatan dan kemungkinan keberhasilannya perlu dilakukan. Mereka harus mengira-ngira dukungan masyarakat agar mampu menerima kenyataan yang dihadapi nanti, agar mampu mengendalikan diri. Di jaman sekarang, kompetisi antar calon anggota legislatif itu cukup ketat di banding sebelumnya. Pada masa Orde Baru partailah yang memilih aktivis untuk dicalonkan. Force dan kekuasaan untuk memilih ada pada partai dan pejabat-pejabatnya yang berpengaruh. Calon anggota hanya tunduk dan menerima “nasibnya”. Kenyataan seperti ini membuat pasraha para kandidat. Sedangkan di jaman sekarang, disamping harus berkompetisi dengan rekan-rekan satu partai, pembiayaan untuk berkampanyepun harus ditanggung sendiri. Bahkan beberapa pihak juga merasa “pembiayaan” kepada partai demi pencalonnya itu harus dilakukan oleh kandidat itu sendiri. Membikin baliho, spanduk, menggaji petugas merupakan tugas mandiri dari politisi. Kekalahan dan kegagalan tidak saja berarti prestise anjlok, juga biaya ekonomi menjadi luar biasa besar hilang. Disinilah potensi besar menjadi orang yang sakit atau berpotensi menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Dengan konteks itulah, maka bagaimanapun kunjungan kembali dan upaya mengira-ngira potensi kekalahan maupun kemenangan perlu dilakukan sejak sekarang. Masyarakat tidak boleh terganggu atas kekalahan (juga kemenangan) dari calon anggota legislatif ini. Tidak ada yang salah dari masyarakat. Kekeliruan atau keberhasilan terletak di tangan sang kandidat. Menjadi anggota legislatif hanya GPB Suka Arjawa 189 salah satu dari upaya mengabdi masyarakat, hanya sebagian kecil cara untuk meningkatkan prestise. Kalau ada yang menganggap sebagai celah untuk mencari pekerjaan dan kekayaan, lebih mundur saja dari calon, sekarang! Di masyarakat masih banyak ada orangorang yang lebih mampu dan lebih ideal. 190 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Masyarakat Kerja Keras Mengawal Perda RTRW M asih terasa remang-remang apakah Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali (RTRW) memang tidak akan direvisi lagi oleh DPRD Bali, atau hal itu akan dikonsultasikan lagi kepada Kemendagrai di Jakarta. Akan tetapi, dari beberapa media diungkapkan bahwa para petinggi DPRD Bali katanya telah menyatakan tidak akan merevisi perda tersebut. Keputusan dengan surat tertulis ini telah diketahui oleh Aliansi Masyarakat Bali yang sebelumnya secara getol mempertahankan agar Perda tersebut dipertahankan. Semua pihak sebaiknya menyambut baik keputusan ini (tidak ada revisi), dan tentu saja berterima kasih kepada lembaga legislatif karena sebelumnya dikhawatirkan akan melakukan revisi. Namun demikian, tidak ada salahnya tetap mengkritisi dan waspada terhadap kebijakan tersebut terutama untuk masa-masa mendatang. Bagaimanapun, tanah di Bali sangat eksotis, mengundang selera, dan tantangan untuk memanfaatkannya. Pada satu sisi, sikap DPRD Bali jelas menguntungkan banyak pihak. Namun, pada sisi lain sikap ini boleh dikatakan berubah secara mendadak, karena dalam waktu lama sebelumnya terkesan ngotot agar pasan tentang bhisama itu ”digeser” ke dalam penjelasan Perda. Perubahan cepat ini sesungguhnya juga harus ”diwaspadai”, apakah perubahan sikap itu diakibatkan oleh desakan eleman masyarakat yang demikian massif, mulai dari akademisi, agamawan, rohaniwan, LSM sampai dengan para simpatisan. Atau perubahan itu justru GPB Suka Arjawa 191 sebagai sebuah strategi politis-ekonomis jangka panjang yang mungkin berasal dari kerjasama antara kaum politisi dengan para pengusaha. Jangan lupa, anggota DPRD adalah politisi, anggota partai, yang mempunyai kiat-kiat khusus yang tidak diketahui oleh orang banyak. Pengusaha adalah pihak yang selalu melihat peluang, entah bisnis di depan mata yang harus segera dimaanfaatkan atau justru melihat peluang bisnis lain di masa depan yang bisa ditunda pemanfaatannya demi keuntungan berlipat-lipat nanti. Di jaman Republik Indonesia masih dipimpin oleh Orde Baru, politisi dan pengusaha sering kali dipandang mempunyai kongkalikong yang banyak merugikan negara dan masyarakat. Apabila perubahan sikap dari anggota DPRD tersebut disebabkan oleh desakan-desakan kelompok masyarakat, ini merupakan hal positif bagi Bali. Kedua belah pihak mempunyai kontribusi berguna. Sumber daya opini yang dimiliki oleh masyarakat ternyata memiliki kekuatan yang mampu dipakai untuk mengubah persepsi politisi yang mempunyai peran membuat peraturan daerah. Potensi ini berguna untuk mengontrol legislatif di masa depan, meski dengan catatan harus digunakan dengan cara-cara yang sopan, tertib dan tidak mengganggu ketertiban umum. Pihak DPRD juga mempunyai peran positif karena mampu, bersedia dan mengakui kekuatan masyarakat itu sebagai sebuah kebenaran yang ada di akar rumput. Persekongkolan antara politisi dengan pengusaha, mempunyai akibat yang luar biasa besarnya bagi masyarakat. Harus dilihat, sebuah persekongkolan mempunyai beberapa dimensi yang hanya bermanfaat untuk keuntungan persekongkolan tersebut. Yang paling awal dan paling jelas adalah keuntungan bagi kedua belah pihak dalam rentang waktu yang dekat. Ini misalnya dilakukan dengan jual beli pasal-pasal yang dibuat oleh kelompok legislatif. Pengusaha berupaya mendekati kelompok legislatif agar pasal tertentu ditambah atau dihilangkan demi tujuan-tujuan korporasinya. Pasal yang memihak pengusaha inilah produk dan hasil persekongkolan tersebut. Dari hasil jual beli pasal ini, pengusaha atau kelompok pengusaha akan mampu melegitimasi proyek yang dilakukannya di daearah tertentu. Pada titik ini, legitimasi sosial 192 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tidak ada gunanya lagi. Meski masyarakat berkutat memprotes atas proyek yang dinilai merugikan, proyek itu telah memiliki legitimasi yang kuat, karena misalnya, dilindungi perda. Kedua, persekongolan politisi-pengusahan ini berupaya ”menarik diri” dari wacana kontroversial manakala wacana tersebut sedang hangat di masyarakat. Tetapi, upaya seperti ini hanyalah berupa strategi jangka panjang saja untuk mencari keuntungan lain. Hubungan khusus antara legislatif (dan anggota-anggota legislatif) dengan para pengusaha tentu saja masih bertahan dan berlangsung ”dibawah tangan” yang siapapaun tidak mampu mengetahuinya, kecuali anggota persekongkolan tersebut. Pada konteks ini, peluang untuk bermain-main termasuk diantaranya merevisi pasal-pasal dalam sebuah peraturan (entah perundang-undangan atau peraturan daerah) akan kembali terbuka di masa depan, manakala penerapan peraturan tersebut kelihatan ketidakimbangannya. Secara personal, anggota DPR (D) jelaslah tidak terjamin kelangsungan hidupnya untuk menjadi anggota DPRD dalam jangka panjang. Ada mekanisme tertentu yang harus dilalui agar posisi sebagai anggota DPR (D) bisa bertahan lama, misalnya mempunyai konstituen yang setia, sikap yang jujur sehingga dipercaya konstituens. Akan tetapi, pada sisi lain sebuah korporasi mempunyai kemungkinan bertahan yang lebih lama, karena hanya pengusahapengusaha yang bermodal besarlah yang akan mampu melakukan lobi sampai di tingkat legislatif. Yang paling ”abadi” dalam hubungan antara politisi dan pengusaha adalah pola, cara, dan pendekatan antara dua abelah pihak. Jadi, meskipun dalam dua tahun mendatang para anggota DPRD itu telah pensiun, tidak ada jaminan pendekatanpendekatan antara pengusaha dengan lembaga legislatif akan berhenti. Pendekatan itu tetap ada demi melancarkan usaha. Karena itu, kalau misalnya saat ini anggota DPRD Bali memang benar-benar tidak merevisi Perda RTRW ini, maka segenap komponen masyarakat di Bali, harus tetap waspada dengan apa ayang terjadi pada setelah dua tahun atau lima tahun mendatang. Tetap ada kemungkinan anggota DPRD untuk melakukan kajian ulang (merevisi) perda tersebut apabila dalam perjalanannya muncul GPB Suka Arjawa 193 berbagai macam protes karena dipandang merugikan. Melalui modal yang dimilikinya para pengusaha ini akan memungkinkan merekayasa peristiwa yang seolah-olah perda tersebut merugikan masyarakat banyak. Misalnya isu tentang bedol desa sebagai akibat dari efek negatif dari penerapan bhisama. Segenap komponen masyarakat Bali harus waspada dengan hal ini. Karena kepentingan yang sama, bukan tidak mungkin para pengusaha itu akan bersatu. Harus juga dilihat, jangan-jangan kebijakan-kebijakan pengusaha itu telah ”ditetapkan’ dari Jakarta, sebagai sebuah kebijakan pembangunan nasional. Hal ini juga harus diwaspadai, sebab kemungkinan ini ada. Konon ada keinginan DPRD Bali untuk berkonsultasi dengan pihak Kemendagri soal penerapan perda ini. Dengan demikian, demi menghindari terulangnya keinginan DPRD Bali untuk merevisi perda RTRW ini, maka pekerjaan besar lain yang harus dilakukan masyarakat adalah saat pemilihan anggota DPRD di berbagai tingkat dua tahun nanti. Masyarakat harus mampu memilih secara bersih, tidak terpengaruh serangan fajar, memilih calon yang benar-benar jujur dan tidak memihak kepentingan pengusaha. Dari sekarang masyarakat harus melihat gelagat-gelagat calon angota DPRD tersebut. tentu juga harus mampu memilih bupati, walikota dan gubernur yang mampu diajak menjaga Bali. 194 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Daerah Tingkat II, Kebijakan Otonomi Paling Ideal K ebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, mulai mendapat serangan dan kritikan. Masih munculnya pergolakan-pergolakan daerah seperti yang terjadi di Papua serta munculnya raja-raja kecil penguasa daerah pada tingkat II (misalnya bupati yang terlalu kuasa), membuat kebijakan ini dipertanyakan oleh banyak pihak. Akibat dari berbagai kritikan itu, munculah kemudian pemikiran agar otonomi tersebut diberikan pada propinsi. Meski adanya berbagai kritikan, satu yang jelas harus diperhatikan bahwa sebagai sebuah pemikiran yang hendak diterapkan di Indonesia, otonomi daerah itu tetap diperlukan. Konsepsi ini diakui penting untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang ada di Indonesia, baik yang bersifat ekonomi, sosial, maupun politis. Hanya saja, yang harus dipikirkan, apakah perlu otonomi itu digeser lagi ke tingkat provinsi atau ada kebijakan lain? Otonomi daerah, dari sisi konsepnya memiliki makna kebebasan. Akan tetapi kebebasan ini terbatas. Di Indonesia otonomi daerah itu jatuh pada tingkat kabupaten dan kota. Artinya pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada daerah tingkat dua ini untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks sosial yang ada di daerah tersebut. Akan tetapi, kebebasan itu tidaklah berarti seenaknya sendiri, tanpa ada pengawasan dari pemerintah pusat. Sebab, bagaimanapun Indonesia adalah negara kesatuan yang mana tidak ada boleh daerah-daerah yang maunya seenaknya sendiri. Dari sisi politis, konsepsi otonomi daerah ini adalah sebuah GPB Suka Arjawa 195 upaya dari pemerintah untuk mengejawantahkan tuntutan reformasi dan demokratisasi. Sebab, demokratisasi memaknakan adanya pengakuan terhadap kemampuan, kelebihan dan dinamisasi daerah terhadap pemerintah pusat. Artinya dimungkinkan bagi pemerintah daerah untuk mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemerintah pusat karena daerah memiliki karakter tersendiri dan daerah itulah yang paling tahu dengan kondisi riil mereka. Secara politis juga, konsepsi otonomi daerah ini mempunyai tujuan untuk meredam pergolakan-pergolakan yang mungkin terjadi di daerah. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami persoalan ini seperti pada kasus PRRI/Permesta, DI/TII, LOGIS, termasuk upaya pemisahan diri, misalnya di Aceh atau Papua. Maka dengan memberi keleluasaan kepada daerah untuk membuat kebijakan, diharapkan pergolakan-pergolakan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu, tidak akan terulang. Secara sosial, konsepsi otonomi daerah itu merupakan wujud upaya pendekatan pemerintah dengan masyarakat. Ditetapkannya tingkat kabupaten sebagai ”pengemban” otonomi daerah karena wilayah itulah yang paling dekat dengan rakyat. Daerah tingkat II merupakan wilayah politik paling bawah dari pemerintahan di Indonesia, yang mempunyai sentuhan langsung dengan rakyat. Jadi, dibandingkan dengan pemerintah pusat, bahkan dengan pemerintah propinsi, hanya pemerintahan di kabupatenlah yang paling mampu mengenali sikap, sifat dan kebutuhan paling riil dari daerah yang bersangkutan. Dengan pengetahuan riil seperti itu, model-model kebijakan akan lebih realistis kalau dibuat oleh pemerintah kabupeten. Dari berbagai pemikiran itulah kebijakan otonomi daerah ini diharapkan akan mampu memberikan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Tingkat pertumbuhan ini akan dimungkinkan karena kebijakan telah dilakukan secara lebih tepat. Juga dengan kebijakan otonomi daerah itulah diharapkan akan terbentuk keadilan sosial di Indonesia karena kebijakan yang dibuat sesuai dengan kenyataan yang ada. 196 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Raja-raja Daerah Akan tetapi munculnya penguasa baru yang mirip seperti raja di daerah tingkat II itulah yang kemudian membuat kebijakan otonomi daerah ini menjadi kacau. Kalau dilihat dari sisi potensi untuk menjadi raja-raja kecil di daerah itu, sesungguhnya ada dua, yakni oknum pimpinan daerah (seperti bupati atau walikota) dan oknum anggota DPRD. Sebagai individu paling berpengaruh di daerah tingkat II, oknum pimpinan ini berpotensi membuat kebijakan yang paling menguntungkan dirinya. Pimpinan daerah jelas mempunyai ”rekan” yang lebih besar di DPRD II karena ia biasanya merupakan representasi dari partai yang paling berpengaruh di daerah yang bersangkutan. Adanya koneksitas antara oknum pimpinan dan anggota legislatif inilah membuat segala yang cita-cita ideal dari otonomi daerah tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Apalagi apabila dikaitkan dengan fakta sosial politik sekarang, dimana seorang pimpinan daerah dan anggota DPRD harus mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk bisa tampil di panggung politik. Potensi untuk menyelewengkan pemaknaan terhadap otonomi daerah itu sangatlah besar. Apabila konteksnya seperti diatas, maka sesungguhnya ini adalah persoalan perilaku politis dan faktor budaya. Baik perilaku politik masyarakat maupun perilaku politik elit politik, masih belum mampu menjiwai bagaimana politik itu sesungguhnya. Politik adalah sebuah pengabdian kepada masyarakat, tanpa melihat kekuasaan sebagai faktor hegemoni dan tidak melihat kekuasaan itu sebagai sumber daya ekonomi. Masyarakat seharusnya melihat politik itu sebagai sebuah upaya untuk mengatur kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, pilihan politis yang dilakukan seharusnya bebas dari ”biaya”. Akan tetapi, perilaku inilah yang tidak dipahami oleh kedua pihak. Kemiskinan, tuntutan ekonomi dan keperluaan sesaat justru membuat masyarakat itu bersedia disogok. Dan faktor inilah yang menjadi kunci yang kemudian pengaruhnya kemana-mana. Sogokan itu menjadi kebiasaan, membuat biaya politis semakin mahal. Biaya politis semakin mahal membuat hutang dari politisi semakin meningkat. Dalam bidang praktik politik seperti ini, budaya sosial di Indoensia GPB Suka Arjawa 197 justru terlihat sangat abu-abu. Katakanlah misalnya budaya saling tolong-menolong. Bahasa minta tolong yang dikeluarkan oleh politisi ketika sedang berkampanye, justru direspon dengan minta tolong juga oleh rakyat dalam bentuk pertolongan ekonomi. Bahasa abuabu inilah yang ikut mengacaukan lelaku politik yang terjadi di Indonesia. Maka, apabila konteksnya demikian, sesungguhnya ”pergeseran otonomi” itu tidak perlu terjadi. Tidak perlu adanya perubahan basis otonomi dari daerah tingkat II menuju daerah tingkat I, sebab secara ideal daerah tingkat II merupakan jawaban bagi otonomi di Indonesia. Daerah inilah yang paling dekat dengan masyarakat dan daerah inilah yang menjadi ” perwakilan” politik dari pemerintah pusat. Yang harus diperbaiki adalah perilaku politik elit dan masyarakat serta mental budaya sosial kita. Setelah ini diperbaiki barulah akan bisa ditekan perilaku-perilaku raja kecil di daerah tersebut. Pada akhirnya, dalam praktik budaya paternalistik, atasan memang harus mampu memberikan contoh kepada bawahan. Hanya dengan cara itu akan mampu diperbaiki mental politisis di Indonesia. Percuma memindahkan otonomi ke propinsi apabila mental dan perilaku politik kita masih seperti yang diuraikan diatas. 198 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Memanfaatkan Sisa Waktu Secara Maksimal S ukar menghilangkan kesan sinis masyarakat terhadap partai politik. Kepada anggota legislatif yang merupakan produk dari partai politik, pendapat masyarakat ini juga cukup mengerikan. Sebagian besar mengatakan anggota legislatif itu pembohong, lembaga legislatif sebagai wilayah paling korup dan hanya sedikit yang menyebut mereka itu berperilaku sopan. Mungkin yang terakhir ini lebih banyak terjadi menjelang pemilihan umum karena mereka menggunakan segala daya (termasuk daya yang ada pada dirinya, yaitu kesopanan itu) untuk meraih suara. Predikat-predikat ”mengerikan” ini seharusnya mampu memberikan pelajaran kepada calon anggota legislatif yang beberapa hari nanti nasib, usaha dan takdirnya ditentukan melalui pemilihan umum langsung di tanah air. Mengapa mereka dikatakan pembohong? Sesungguhnya mencari pembenaran terhadap kata-kata pembohong ini agak sulit. Namun amat mungkin disebabkan oleh strategi kampanye calon anggota legislatif yang lebih banyak mengandalkan suara (janji) ketimbang sumber daya yang dimilikinya. Sudah menjadi ”pelajaran” warisan kalau masyarakat dipakai obyek oleh politisi menjelang pemilihan umum. Kondisi ini bisa dilihat dari realitas sosial di masyarakat dan realitas kemampuan yang dimiliki oleh calon anggota legislatif tersebut. Janji merupakan respon terhadap kenyataan sosial yang kurang di masyarakat. Artinya ada fakta tentang berbagai kekurangan dihadapai oleh masyarakat. Kekurangan inilah kemudian dieksploatasi oleh calon anggota legislatif yang juga memiliki GPB Suka Arjawa 199 kekurangan dalam sumber dayanya. Geografi dan demografi Indonsia sangat mendukung hal itu secara nyata. Dan paling kelihatan adalah sarana transportasi sosial, yaitu jalan raya. Dimanapun di Indonesia dijumpai sarana transportasi yang rusak. Padahal, sarana ini merupakan faktor utama penentu kehidupan manusia (bukan sekedar masyarakat). Dengan transportasi lancar, orang bisa berkomunikasi, mengagregasikan kepentingan dan mampu memberikan pilihan untuk pemenuhan hidup mereka. Kontestan biasanya menyasar hal ini demi janji-janji politiknya. Inilah yang paling biasa dijumpai manakala berlangsung masa kampanye. Dalam hal transportasi, kebohongan terjadi karena sanagat sulit memperbaiki sarana transportasi dalam waktu lima tahun, apalagi dengan waktu kurang dari itu dengan panjang belasan kilometer, misalnya. Kesulitan-kesulitan ini tidak diketahui oleh masyarakat dan juga oleh calon anggota legislatif yang secara mudah mengeluarkan janji. Jadi, kedua pihak sebenarnya juga lengah. Dalam hal pemenuhan kesejahteraan dan peningkatan ekonomi, pemenuhan janji-janji juga sangat sulit dilakukan. Peningkatan penghasilan dan kesejahteraan (termasuk kesehatan), tidak akan mungkin bisa tercapai kalau masyarakat tidak mengubah orientasi hidupnya. Banyak politisi yang tidak mampu menjelaskan persoalan ini sehingga secara mudah memberikan janji-janji peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesehatan. Perubahan cara hidup merupakan hal mutlak dilakukan untuk bisa mencapai harapan tersebut. Namun, mengubah perilaku dan cara hidup itu sulit, memerlukan waktu dan memerlukan bimbingan. Para calon politisi tidak pernah membawa pembimbing dan sejenisnya untuk melakukan ”terapi sosial” itu kepada masyarakat. Kebohongan muncul karena tidak ada kesepahaman di bidang ini. Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang juga membuat bagaimana sukarnya pemerintah memberantas dan menekan kemiskinan, meski rumahnya sudah dipoles dengan berbagai cara. Jadi, para calon anggota legislatif seharusnya sudah memahami hal ini jauh-jauh hari menjelang kampanye. Mengapa lembaga legislatif dipandang sebagai lembaga paling korup? Pada tataran teori pilihan rasional, korupnya lembaga 200 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT tersebut merupakan imbas citra daru aktornya. Aktor utama dari lembaga legislatif ini tidak lain dari para anggota legislatif tersebut. Merekalah yang melakukan korupsi sehingga digeneralisir oleh publik bahwa lembaga legislatif itu merupakan lembaga paling korup di Indonesia. Kalaupun penilaian ini benar, maka merupakan fakta paling menyedihkan karena disinilah pengawasan kepada eksekutif, proses penganggaran dan pembuatan perundang-undangan negara (daerah) digodok. Bagaimana mungkin output dan outcome dari lembaga itu mampu memberikan hasil positif kalau para aktornya diisi oleh orang-orang yang korupsi. Logikanya, semua fungsi-fungsi itu akan berjalan menyimpang kalau prosesnya diisi dengan suapsuapan dan sejenisnya. Pengawasan kepada eksekutif tidak akan mampu berjalan secara adil manakala anggota legislatif bungkam karena telah diberikan bungkusan, misalnya. Secara teoritis, korupsi yang terjadi pada lembaga legislatif ini disebabkan oleh adanya sifat pragmatis dua pihak antara masyarakat dengan calon anggota legislatif. Korupsi kemudian berkorelasi dengan hukum ekonomi. Pragmatisme model kampanye itu didorong oleh situasi sosial yang saling mendukung. Di tengah kemiskinan dan ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu politik, secara mudah kemudian dibuatkan janji dengan memberikan bantuan komplit berupa barang atau uang. Bantuan ini merupakan bentuk konkrit dari kampaanye sehingga mampu memancing kepercayaan pada masyarakat yang berkulifikasi seperti yang diutarakan tadi. Bagi calon anggota legislatif, bantuan itu merupakan bentuk rasional yang mampu menghemat tenaga, waktu, kemampuan persuasif, bahkan dana. Dengan memberi bantuan demikian, calon anggota legislatif tidak akan perlu lagi bolak-balik ke wilayah tersebut untuk meyakinkan masyarakat dalam memilihnya. Juga tidak perlu mengeluarkan keahlian mengubah sikap dan pola pikir masyarakat agar mamilihnya nanti. Jadi banyak hal yang bisa diirit. Inilah bentuk pragmatisme dua pihak yang laing mengisi. Rakyat juga tidak perlu repot-repot mencari sumbangan karena dana sudah diberikan. Model pragmatisme seperti inilah yang membuat politisi banyak uang minim ilmu masuk melenggang menuju gedung lembaga legislatif. GPB Suka Arjawa 201 Tetapi persoalannya kemudian, dana dan uang yang dikeluarkan oleh para kandidat itu, harus dikembalikan lagi. Dari sinilah muncul berbagai upaya untuk mengembalikan uang tersebut, termasuk misalnya mendapatkan uang dari pengusaha, dari eksekutif yang mau nyogok, dari pihak manapun asal dana kampanye kembali. Jadi, kalau ada jalur hijau yang dijadikan bangunan, gunung yang dibolduser diratakan menjadi dataran, bekas lahar dikuras sampai habis, amat mungkin berasal dari fenomena diatas. Maka, tidak bisa lain, kalau politisi tersebut sudah tidak bisa lagi diubah perilakunya, sikap dan tindak tanduk mereka, apa boleh buat, perbaikan itu harus dilakukan oleh masyarakat. Dalam konteks ini masyarakat harus ”mengalah” dengan belajar lebih banyak untuk mengetahui kualitas para calon anggota legislatif. Kosentrasikan diri melihat kejujuran dan kemampuannya menaati hukum. Jika ada politisi yang tetap ngotot berkampanye di masa minggu tenang, masyarakat bisa menilai bagaimana perilaku mereka, masih pantas dipilih atau tidak! 202 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Pilihan Senator Cermin Sikap Politik Masyarakat A nggota legislatif terpilih sudah mulai kelihatan kepastiannya setelah sidang pleno yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum tingkat kabupaten beberapa waktu lalu. Demikian pula halnya dengan anggota senator yang akan mewakili daerah menju Jakarta. Dalam konteks Bali, disitulah kelihatan bagaimana konfigurasi politik di wilayah ini, pola demografis sampai dengan budaya politik dari masyarakat. Feodalisme, keragaman, pembaruan sampai dengan konser­ vatisme masih tetap tergambarkan dari beberapa hasil yang didapatkan anggota legislatif 2014-2019 ini. Tentu banyak pula kekecewaan (bahkan mungkin penyesalan) dari calon anggota legislatif yang ternyata tidak terpilih. Bisa jadi pula keterkejutan karenaa ternyata cukup banyak incumbent yang kini tersingkir. Ketersingkiran ini mudah-mudahan menjadi sebuah pembelajaran dan pendewasaan bagi mereka. Namun calon anggota legislatif yang tersingkir karena selisih suara kecil, kemungkinan meninggalkan perasaan penasaran. Mungkin mereka kecewa akan tetapi sesungguhnya kekalahan tipis ini merupakan modal dasar untuk melaju pada ajang-ajang berikut, termasuk pemilu lima tahun lagi. Dukungan politik apabila pendekatannya dilakukaan secara kontinyu, ibarat menumbuhkaan sebuah pohon yang rajin dirawat. Ia akan terus tumbuh membesar di masa mendatang. Jadi para politisi yang tersingkir karena kekalahan tipis, peliharalah harapan tersebut dengan baik agar membesar di GPB Suka Arjawa 203 masa depan. Yang pertama mesti dikomentari adalah komposisi senator Bali ke Jakarta. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (senator itu), jelas berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal daerah. Dari sisi fungsional, seorang wakil daerah harus memperjuangkan daerahnya di pusat. Segala kepentingan daerah tersebut mesti diperjuangkan. Inti yang paling utama fungsi dari seorang senator adalah memperjuangan identitas yang menjadi karakter dari daerah tersebut. Maka, mereka yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah harus tahu apa yang menjadi ciri atau karakter dari daerahnya sendiri. Dalam hal Bali, tentu ciri tersebut adalah budaya yang didasarkan pada kehinduan. Tidak bisa dilupakan juga, stabilitas dan harmoni sosial yang telah terpelihara di Bali turun temurun. Akulturasi juga bisa dikatakan sebagai identitas Bali. Inilah yang seharusnya menjadi pokok perhatian dari para anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Bali. Tetapi harap juga diingat bahwa perubahan sosial merupakan gejala yang sangat kelihatan di Bali sekarang. Di luar fungsi DPD seperti yang tertera dalam konstitusi, para senator itu harus memahami seberapa jauh perubahan sosial itu mempunyai akibat positif dan dampak negatif bagi perkembangan sosial. Identitas lain dari Bali tentu saja kepariwisataan. Belakangan telah muncul suara-suara dari masyarakat lapis bawah bahwa pariwisata tidak seluruhnya memberikan akibat positif bagi masyarakat dan daerah. Itulah yang mesti dikaji ke depan. Bagaimana harus menyikapi pariwisata ini agar bisa memberikan manfaat lebih besar kepada subyek pariwisata itu sendiri, yaitu budaya dan masyarakat Bali. Dari sisi keanggotaan anggota DPD dari Bali ini, ada beberapa hal yang bisa ditafsirkan. Masyarakat Bali secara umum bisa dikatakan masih mempunyai sifat feodalis yang kuat. Feodalis itu mempunyai akar pada pertanian. Paling tidak itu terlihat dari keturunan puri atau yang menyerempet-nyerempet masalah itu yang terpilih sebagai anggota DPD. Puri adalah pusat kekuasaan di masa lalu, dimana kekuatan sosial dari puri itu ada pada bidang pertanian. Dari sini saja sebenarnya sudah mendapatkan pesan bahwa masyarakat Bali 204 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT (terutama para elit-elitnya, termasuk pada senator ini) harus hati-hati mengembangkan pariwisata yang berbasiskan liberalisme. Budaya pertanian tidak cocok dengan liberalis, kecuali pertanian berbasis industri. Pertanian di Bali masih didasarkan kepada s kerakyatan karena semuanya dikerjakan oleh tenaga manusia. Pertemuan antara budaya ini (liberalis dan agraris) di Bali, akan menimbulkan tabrakan. Itulah yang memunculkan kemiskinan karena masyarakat kebingungan menyisihkan waktu antara ”menghamba” kepada budaya pertanian (misalnya ritual) atau menghamba kepada budaya indutstri (yang sangat mengutamakan waktu). Catatan lain soal keanggotaan DPD ini adalah keberhasilan seorang seniman. Keberhasilannya mempertahnkan diri sebagai anggota DPD juga mencerminkan satu hal bagi masyarakat di Bali. Dengan tetap menghargai usaha dan kerja keras yang dilakukan oleh seniman tersebut, masyarakat Bali cenderung terlihat sebagai komunitas yang sedang tertekan. Kemungkinan masyarakat menjadi korban demikian derasnya perubahan sosial yang sampai menggerus sektor dasar dari kehidupan sosial. Karena itu, sebagai upaya untuk mengutarakan uneg-uneg, seniman lawak dipakai sebagai sebuah pelepasan dalam pemilihan. Toh juga ini merupakan kegiatan politik yang bisa mewakili budaya gerak Bali di kancah nasional. Keberhasilan untuk mempertahankan keanggotaan ini juga dipengaruhi secara psikologis oleh fenomena tersebut. Meskipun tidak mendapat tempat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, kompisisi demografis di Bali sudah mulai berubah. Anggota yang berasal dari agama Islam telah berhasil mengumpulkan suara signifikan dalam pengumpulan suara. Sekali lagi, meskipun tidak terpilih sebagai anggota DPD akan tetapi perolehan suaranya telah memberikan indikasi bahwa demografi Bali sudah mulai berubah dan akan terus demikian di masa mendatang. Ini juga menjadi tugas bagi para senator ini untuk memelihara harmoni ke depan, menanamkan pengertian bagaimana membentuk model-model solodaritas bagi Bali di masa mendatang. Masyarakat Hindu di Bali mesti mempunyai cara pandang baru dalam melakukan tata cara sosial. Misalnya yang paling mendesak adalah bagaimana merasionalisasikan atau lebih menyederhanakan GPB Suka Arjawa 205 segala ritual itu agar menjadi lebih hemat waktu, tenaga dan uang. Penyederahaan ini akan mampu memberikan ruang kompetisi yang lebih fair antara masyarakat Hindu dengan masyarakat agama lainnya dalam dunia kerja. Penyederhanaan ritual itu sangat dimungkinkan dan bisa dipraktikkan asal para petinggi agama mampu melakukan penafsiran yang benar tentang ajaran agama. Dan yang paling penting masyarakat bisa menyatukan pikiran taanpa harus berkonflik antar sesama. Hal kedua yang harus dilihat dari hasil pemilu ini adalah tampilnya banyak pendatang baru di ajang legislatif. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bali. Agar tidak mengulangi persoalan klasik dalam jagat politik Indonesia, maka para pendatang baru ini harus belajar mengejar pengetahuan, mendahului tugasnya sebagai legislator. Kritik yang disampikan kepada legislator terdahulu adalah tidak paham tentang apa itu politik akar rumput. Politik seperti ini terjemahannya memahami perbagai persoalan yang dihadapi oleh konstituen. Karena itu perjuangan para politisi ini berupa menyerap persoalan di konstituens untuk selanjutnya diperjuankan di arena politik (parlemen) baik pada tingkat daerah maupun nasional.\ 206 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Tanda-Tanda Kebingungan dan Kegagalan Reformasi Indonesia P ersoalan demokrasi dan reformasi di Indonesia saat ini benarbenar merupakan masalah membingungkan. Demokrasi sebagai sebuah upaya penyelenggaraan pemerintahan melalui pilihan rakyat, sudah berlangsung sejak saat reformasi. Bentuknya, menyangkut segala hal yang bersifat kepemimpinan eksekutif (publik), dipilih secara langsung oleh rakyat. Jadi, pemilihan presiden sampai dengan kepala kampung di tingkat masyarakat, telah dilakukan pemilihan langsung. Di Bali, pemilihan kepala dinas, yaitu pemimpin pemerintahan di lingkungan paling kecil di masyarakat, dilakukan melalui pemungutan suara. Kini, tiba-tiba ada usulan kalau pemilihan bupati dan gubernur dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagian anggota DPR, terutama dari Poros Merah Putih, diperkirakan akan menyetujui usulan tersebut. Pilihan oleh DPRD ini dalam konteks budaya politik masyarakat Indonesia, bisa jadi dikatakan sebagai sebuah kebingungan elit dan rakyat untuk menghadapi dirinya sendiri. Awalnya, bisa dikatakan sebagai sebuah upaya putus asa menghadapi budaya politik masyarakat yang erat dengan gotong royong, tepa selera dan korupsi. Praktik demikian misalnya terwujud ketika ada pilihan anggota DPRD maupun bupati. Para juru kampanye dan orang dekat dari calon-calon tersebut datang menuju masyarakat akar rumput untuk mengumpulkan suara. Ada berbagai cara untuk meraup suara. Kalau tidak dengan ancaman, pengumpulan itu dilakukan dengan GPB Suka Arjawa 207 membeli suara berwujud menyuap anggota masyarakat. Ancaman dan pembelian suara, bukanlah cara-cara demokrasi, bukan juga metode yang dibenarkan oleh reformasi Indonesia. Akan tetapi, pemberian bantuan berupa uang atau materi, bisa dikatakan sebagai bentuk tepa selera dan gotong royong. Membangun balai masyarakat yang dibantu oleh para politisi, merupakan bentuk gotong royong. Namun pemberian inipun bisa dikatakan sebagai upaya penyuapan. Dan penyuapan yang telah menjadi model, akan membentuk kebiasaan masyarakat. Akibatnya, mereka tidak akan pernah mengerti dan tidak akan pernah dewasa berpolitik. Demokrasi yang dihasilkan dari pembelian suara atau menakut-nakuti rakyat, bukanlah demokrasi sebenarnya karena berasal dari kepentingan orang lain. Demokrasi sesungguhnya berasal dari diri sendiri, bukan dari kepentingan orang lain. Maka, ketika ada upaya pemilihan gubernur atau bupati melalui mekanisme DPRD, sesungguhnya bisa dikatakan positif kalau memang ingin menghindari praktik pembodohan dari dan kepada masyarakat ini. Tidak akan terjadi pembelian suara atau upaya menakut-nakuti masyarkat apabila pemilihan itu dilakukan oleh anggota DPRD. Tetapi pertanyaannya, apakah kemudian anggota DPRD terjamin kejujurannya ketika harus memilih bupati atau gubernur? Ada pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan bupati oleh anggota DPRD memungkinkan biaya yang dikeluarkan calon lebih besar. Yakni digunakan untuk menyuap anggota legislatif yang memilihnya. Budaya korupsi yang masih mengakar di Indonesia, dikhawatirkan akan tetap hinggap pada anggota legialtif ini. Sampai dengan saat ini, masih belum ada jaminan kalau para elit-elit pemerintah Indonesia bebas dari korupsi. Bahwa Jero Wacik, Andi Mallarangeng dan Suryadharma Ali dijadikan sebagai terdakwa korupsi, membuktikan bahwa keperluan akan uang itu sangat tidak terbatas di Indonesia. Semua orang bisa korupsi. Maka ketika pemilihan bupati diserahkan kepada anggota DPRD, ini tidak akan menyelesaikan persoalan apabila tujuannya untuk memberantas korupsi, memberantas politik uang, atau memberantas budaya tolong menolong yang negatif tersebut. Jika dikatakan pengeluaran calon 208 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT bupati atau gubernur dikatakan semakin kecil, juga bukan jaminan karena biaya untuk menyuap anggota DPRD akan berlimpah ruah juga dibandingkan dengan membeli suara dari masyarakat. Inilah tanda-tanda kebingunan Indonesia menghadapi hasil reformasi yang dicapai tahun 1998. Inti dari persoalannya adalah bagaimana Indonesia mampu menghilangkan budaya korupsi tersebut karena fenomena itu telah melekat, menjadi kebiasaan dan mengakar di Indoensia. Ada ranah budaya yang disentuhnya. Apabila boleh dinilai, titik kekeliruan reformasi Indonesia sudah mulai kelihatan. Jelas masyarakat perlu reformasi tetapi yang lebih diperlukan lagi sebelum reformasi itu berjalan, adalah pembenahan masalah mental dan budaya korupsi tersebut. Inilah yang seharusnya dibenahi jauh-jauh hari sebelum reformasi itu dilakukan tahun 1998. Mestinya ada kesepakatan nasional, mestinya ada kesadaran elit untuk membenahi mental budaya korupsi tersebut, dan mestinya ada kesadaran untuk melakukan yang terbaik demi negara. Disamping kebingungaan menghadapi persoalan budaya korupsi, adanya keinginan untuk kembali memberikan hak kepada anggota DPRD untuk memilih gubernur dan bupati/walikota, dan itu melalui legitimasi DPR pusat, fenomena ini memperlihatkan keanehan dan benar-benar memperlihatkan politisi Indonesia itu mementingkan kelompok dan mementingkan diri sendiri. Mereka tidak memperhatikan rakyat yang sebenarnya dan memilih mementingkan dirinya sendiri untuk kepentingan subyektif. Dari satu sisi, politisi kita tidak tahu malu dengan anak-anak mahasiswa Indonesia yang bahu membahu menumbangkan Orde Baru di tahun 1998 dalam kerangka reformasi. Kalau patokannya dipakai reformasi sebagai tolok ukur pembangunan demokrasi di Indonesia sekarang, maka politisi sekarang seolah-olah tidak merasa berterima kasih dengan mahasiswa kita tahun 1998. Politisi kita yang seolah menerima (mendapatkan hadiah) lapangan reformasi, kemudian tega-teganyaa mencoreng lapangan tersebut, padahal mereka tidak ikut berjuang di masa lalu. Atau apabila memang politisi sekarang ikut pada perjuangan tahun 1998, alangkah munafiknya mereka ketika harus kembali mengikuti pola rekrutmen yang dipakai oleh Orde Baru. GPB Suka Arjawa 209 Mereka yang kini duduk di partai politik, di parlemen, bahkan di jajaran eksekutif, benar-benar munafik dan tidak mampu mengendalikan diri. Mereka lemah dalam berpolitik sehingga mudah sekali terpengaruh oleh pihak-pihak lain atau kepentingan kelompok. Jika tidak demikian, mengapa harus mudah berbalik arah dari semula mendukung pilihan langsung, tiba-tiba kini mendukung pemilihan oleh anggota DPRD. 210 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Negara Lain Memutari Mars, Politisi Indonesia Berputar-Putar S ampai dengan pukul 18.00 Wita, perdebatan anggota DPR tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah, masih sengit di gedung parlemen. Berbagai pendapat bermunculan, memperlihatkan bahwa baik pemilihan langsung maupun tidak langsung, ternyata mempunyai pengikut yang banyak. Apapun keputusannya nanti, jelas akan berdampak bagi masyarakat. Meski demikian, apabila pemungutan suara itu nanti memberikan keunggulan kepada kelompok yang mendukung pemilihan tidak langsung (dilakukan oleh DPRD), maka kemungkinan aka nada proses lanjutan lagi, yakni adanya tinjauan oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, proses ini sangat menarik diperhatikan dari sisi praktik politik elit negara Indonesia dihubungkan dengan prestasi yang diperoleh. Hanya sekedar ilustrasi saja, di Korea Selatan (Icheon) saat ini, prestasi Indonesia jauh terpuruk di gelanggang Asian Games. Pengumpulan medali justru di bawah Mongolia, Hongkong dan Malaysia. Padahal tiga negara ini di masa decade tujuhpuluhan statusnya hanya “terdengar” saja dibandingkan Indonesia. Artinya Indonesia jauh melampaui prestasi negara itu di bidang olahraga. Pada saat yang sama, ada berita yang menyebutkan bahwa India telah berhasil mengorbitkan satelitnya di planet Mars. India, yang dibalik kesuksesana sebagian rakyatnya, konon memiliki kelompok masyarakat paling miskin di Asia. Akan tetapi, tetap mampu focus untuk meraih prestasi tinggi di bidang ilmu pengetahuan. Ini adalah GPB Suka Arjawa 211 jalan masuk menuju prestasi-prestasi lain di bidang apapaun juga. Kembali ke masalah perdebatan yang tidak habis di parlemen, substansi apa yang bisa dihasilkan untuk meraih prestasi pada berbagai bidang yang membanggakan masyarakat kalau hanya masalah pemilihan kepala daerah saja diutak-atik sedemikian bombastis, entah demi ambisi atau demi nilai-nilai politik yang diperjuangkan. Dari sisi elit politik, fenomena ini cukup mempengaruhi sikap masyarakat, dalam arti sikap yang tidak mendukung nilai-nilai kefokusan, inti perhatian yang harus dilakukan. Posisi elit politik dalam kasanah masyarakat Indonesia, secara strukturatif akan mudah membiongkar masa lalu dan prediksi masa depan dari politik ini. Pembongkaran masa lalu ini tidak hanya kepada perjalanan elit itu sendiri, tetapi juga kelompok atau partai, bahkan kepada pemikirannya sekaligus. Ke depan, juga akan bisa dilihat bagaimana gaya dari kelompok-kelompok seperti ini. Derrida, sosiolog dan juga filsuf post modern kurang lebih memperkenalkan memperkenalkan tentang upaya pencarian jejak dari sikap seseorang atau kelompok berdasarkan tindakan dan sikapnya sekarang. Dari pencarian jejak itulah kemudian bisa coba dikaitkan dengan kemungkinan prestasiprestasi masa depan yang diraih. Keberhasilan India mengorbitkan satelitnya di Mars, tidak maungkin dicapai apabila tidak ada dukungan dari pemerintah berupa riset teknologi dan pengetahuan. Dan itulah yang ditanam oleh India sejak berdkade-dekade yang lalu. Mereka focus di bidang itu untuk merangnag generasi mudanya berprestasi. Keberhasilan Malaysia meraih medali emas, di Asian Games disebabkan oleh kosentrasi lebih utama pada cabang-cabang olahraga itu karena politiknya sudah stabil dan pembangunan ekonomi telah mencapai tujuannya. Mereka focus di bidang olahraga, focus di bidang pendidikan dan berani melangkah ke depan dengan pasti. Mensponsori ajang F1 bukan tantangan lagi bagi mereka. Di bawa ke ranah tersebut maka, bolak-baliknya sikap politisi Indonesia di DPR pusat memperlihatkan bahwa focus untuk pembangunan politik ini tidak ada. Hanya dua windu setelah refeormasi, fatsun politik nasional diobrak-abrik, dari pemilihan langsung menuju pemilihan tidak langsung. Jangankan plot politik ini 212 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT nanti menang, adanya gerakan untuk kembali ke Orde Baru itu saja sudah merupakan kemunduran besar bagi reformasi. Dicari jejaknya ke belakang, ada gambaran bahwa politisi seperti ini pemahaman kebudayaan Indonesianya kurang. Bahkan mungkin tidak mumpuni. Dilihat dari awal abad ke-20 saja, kultur masyarakat Indonesia itu memang lambat. Bisa dilihat dari tari-tariannya (seperti yang ada di Jawa). Atau cara berbicara. Di situ juga akan tergambarkan bagaimana budaya politiknya. Artinya setiap pembaruan politik, memang pasti memerlukan penyesuaian yang panjang agar menjadi budaya yang benar-benar dijiwai oleh masyarakat. Para pelopor demokrasi Indonesia, yaitu para penggerak reformasi tahun 1998, harus tahu bahwa demokrasi yang diperkenalkan di Indonesia ini lebih mirip dengan demokrasi bebas seperti di negaranegara Barat. Seharusnya para politisi dan penggerak demokrasi itu tahu bahwa menyelami kehidupan demokrasi Barat di negara yang mempunyai latar belakang demokrasi Pancasila (juga terpimpin) dengan budaya gerak yang lamabat, memerlukan penyesuaian panjang. Benturan antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi Barat itu saja memerlukan penyesuaian panjang. Apalagi kemudian di negara yang budaya sosialnya memang terkesan lambat. Maka konsekusnsi dari pelaksanaan demokrasi ini harus dipikirkan masak-masak ketika saat pertama hendak digulirkan dahulu. Kalau kemudian hanya dua windu saja sudah dipotong, maka yang terkesan adalah bahwa Indonesia dan bangsa Indonesia ini sebagai sebuah eksperimen. Politik tidak boleh dipakai sebagai eksperimen. Dari titik ini bolehlah dikatakan kalau para elit politik kita kurang memahami budaya dan budaya politik masyarakat Indonesia. Kalau dicari jejaknya ke belakang, ada kemungkinan disebabkan oleh reformasi yang terlalu cepat. Reformasi cepat memungkinkan bagi politisi-politisi yang sebelumnya tidak berpengalaman dan kemudian memaksakan diri menjadi politisi. Yang muncul, kalau bukan politisi gadungan dan karbitan adalah mereka yang terlalu mengandalkan kekuasaan. Kalau mereka berlatar intelektual, mungkin juga disebabkan oleh mereka terkungkung oleh ambisi intelektualnya sendiri sehingga memandang remeh pihak lain. Politisi yang mempunyai orientasi kembali ke Orde Baru itu, GPB Suka Arjawa 213 ketidakkonsistennya cukup kelihatan. Sebagian mungkin mereka ikut menolak Megawai Soekarnoputri menjadi presiden tahun 1999 (lewat Poros Tengah) dan kemudian memilih Gus Dur sebagai presiden. Tetapi politisi inilah sebagian yang kemudian “menumbangkan” Gus Dur di tengah jalan lalu memilih kembali Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Pada waktu itu mereka mungkin tidak membaca ke depan apa yang akan terjadi pada Gus Dur dan bagaimana Megawati itu. Jika dibandingkan dengan fenomena ini, maka keinginan untuk kembali ke masa Orde Baru (pemilihan kepala daerah oleh DPRD), tidak ada bedanya dengan saat Poros Tengah “menumbangkan” Gus Dur. Di Indonesia yang masyarakatnya mempunyai budaya lambat seperti itu, memerlukan kajian dan pemikiran yang lebih luas. Jika memaksa memperkenalkan demokrasi yang berjalan cepat, silahkan berikan waktu yang lebih panjang agar generasi mampu memahami dan memperlajari kelemahannya. Sangatlah tidak elok apabila kelemahan itu semata-mata dilihat dari kegagalan meraih kekuasaan. Sejarah tahun 1959 telah memberikan pelajaran besar bagi Indonesia bahwa masyarakat dan elit, tidak mampu berdemokrasi liberal. Karena itu seharusnya inilah dipakai pedoman dahulu ketika memilih demokrasi bebas diperkenalkan tahun 1998. Politisi terkadang tidak memperhitungkan biaya lain, terutama biaya beban kepada masyarakat. Mereka tidak memperhitungkan ketegangan, tersendatnya proses sosial, juga ego persaingan di tingkat akar rumput. Perdebatan berlarut ini saja sudah memberikan beban kepada masyarakat. Belum lagi misalnya kalau harus dibawa ke ranah Mahkamah Konstitusi lagi. Sebagian politisi Indonesia tidak kedap sosial dan terlalu memperhatikan kelompoknya sendiri. Orang lain sudah mengitari planet Mars, sudah mengumandangkan lagu kebangsaan di arena olahraga dunia, politisi Indonesia masih berputar-putar dengan egonya sendiri dan ada dari mereka mungkin tidak hafal lagi Indonesia Raya. 214 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Kegaduhan dan Kekonyolan Penampilan Awal Anggota DPR P elajaran pertama dari anggota DPR baru Indonesia adalah kegaduhan. Ini terjadi ketika pemilihan pimpinan lembaga itu hari Rabu malam. Sudah banyak diduga bahwa koalisi Merah Putih akan mampu merebut posisi ketua parlemen. Apalagi dengan demikian membingungkannya sikap Partai Demokrat. Kendati begitu tidaklah segala protes itu dilakukan dengan cara gaduh. Apalagi ini merupakan sidang dan “penampakan” pertama dari anggota DPR periode 2014-2019. Ada beberapa pelajaran yang mampu dipetik masyarakat Indonesia pada peristiwa di sepanjang proses pelantikan anggota DPR tersebut. Yang pertama adalah memaknai sikap dan perilaku anggota DPR. Kalaupun banyak anggota DPR yang mencoba narsis, selfy atau foto bareng dengan keluarga seusai dilantik, fenomena ini bolehlah dimaklumi sebagai bagian dari arus perubahan jaman. Meskipun perilaku seperti itu seharusnya bisa di rem oleh mereka yang berpredikat sebagai anggota parlemen karena mereka sudah dewasa dan mewakili berbagai ragam kondisi sosial (masyarakat miskin, kaya, sedang berjuang dan sebagainya), akan tetapi begitu derasnya perubahan sosial, harus dimaklumi perilaku ke remajaanremajaan itu. Ketika kemudian anggota DPR ini sudah memperlihatkan kegaduhan di saat sidangnya yang pertama kali, teladan apa yang bisa diberikan kepada masyarakat? Dari gambar tayang televise, fenomena gaduhnya wakil rakyat di tingkat pusat itu, mirip dengan GPB Suka Arjawa 215 orang main tajen. Tangannya naik mengacung seolah-olah mereka mau bertaruh uang dengan lawan taruhnya itu. Atau ribut seperti sedang jualan di pasar umum, ketika di tengah protes itu ada anggota yang seenaknya teriak melalui microphone. Atau tiba-tiba saja tidak tahu etika nyelonong ke tempat pimpinan sementara, yang entah membisikkan kata apa di tempat itu. Fenomena demikian sungguh kacau balau. Di dalam arena politik, peristiwa kegaduhan tersebut sungguh sangat tidak mencerminkan adanya peristiwa politik. Inilah kekonyolan dari anggota DPR karena seharusnya mereka bermain politik. Bertambah konyol lagi kalau kegaduhan itu terjadi di saat pertama kali sidang. Lembaga parlemen merupakan wilayah politik yang paling elit. Negara (dan setiap negara), sengaja menciptakan sebuah ruang, gedung, termasuk dengan berbagai fasilitas mewahnya, untuk melakukan adu argimentasi pikiraan-pikiran yang menyangkut kemasyarakatan. Masyarakatlah yang menjadi pokok tujuan pertama. Karena masyarakat itu ada di dalam satu kekuasaan dan batas-batas negara, maka hubungan antara rakyaat dengan kenegaraan itulah yang menjadi perhatian selanjutnya. Politik di gedung ini harus dilakukan dengan akal sehat, bernurani, sopan, beretika dan penuh perhitungan demi mencapai kesinambungan antara rakyat dengan hal kenegaraan tersebut. Untuk mencapai tujuan itulah anggota parlemen mendapatkan segala prioritas utama, dan mendapat sebutan terhormat. Di beberapa negara malah mendapatkan hak imunitas hukum. Mereka, para anggota parlemen itu harus “membalas” segala prioritas itu dengan berbagai usaha maksimal seperti upaya pengendalian diri, berfikir focus, mengerti arti etika, sopan termasuk tangkas dalam mengatur strategi pembicaraan. Lingkungan parlemen merupakan intisari politik karenaa merupakan saringan dari berbagai perhitungan dan strategi yang sudah berjenjang dari tingkat paling bawah (akar rumput). Karena itu, perdebatan di lembaga ini sesungguhnya sebuah arena seni, intelek dan memberi inspirasi bagi siapa saja. Itulah yang membuat di banyak negara, perdebatan di parlemen itu disiarkaan langsung kepada masyarakat luas. Dan adanya ruang khusus bagi masyarakat 216 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT umum di gedung parlemen, bisa ditarik keberadaannya dari logika ini.Masyarakat yang berminat boleh menyaksikan secara langsung kegiatan dan perdebatan itu. Sudah tentu pula ada ruang khusus bagi insane pres. Politik di parlemen harus sepenuhnya datang dari otak, tersalur secara rapi lewat kata, bukan dari tudingan tangan atau kalimat-kalimat teriakan. Ketika kemudian anggota DPR itu terlihat gaduh maka cerminan yang muncul adalah bahwa mereka salah tempat. Dan rakyat memang salah memilih atau partai salah mengkader anggotanya. Masyarakat harus belajar banyak dari hal ini. Apabila di awal-awal tugas sudah bersikap gaduh seperti itu, maka tidaklah banyak yang bisa diharapkan dari para anggota parlemen ini di masa mendatang. Perkenalan pertama sudah gaduh, yang dikhawatirkan selanjutnya adalah kerusuhan di gedung parlemen. Kalau ini terjadi, maka akan bertambah fatal lah Indonesia. Blok politik di gedung parlemen Indonesia sekarang, ditambah dengan kualitas kegaduhan yang mereka taampakkan, membuat kekhawatiran tentang kerusuhan di parlemen itu semakin meningkat di masa depan. Memang benar di beberapa negara, terutama di kawasan Asia Timur, ada anggota parelemen yang berkelahi di gedung. Tetapi ini bukan contoh yang baik. Jepang, Taiwan dan Korea Selatan pernah anggota parlemennya berkelahi. Harus juga dilihat, masyarakat di negara tersebut tingkat kemakmuran dan kesadaran relasional dan kesadaran bernegaranya sudah lebih tinggi dari Indonesia. Artinya meski anggota parlemen di negara itu berkelahi, sangat tipis kemungkinan akan dicontoh oleh masyarakatnya dan tidak terlalu menganggu stabilitas ekonomi dan sosial negara. Di Indonesia, “pertempuran” di parlemen akan memberikan contoh ke tingkat yang lebih di bawah, termasuk rakyat. Inilah yang menjadi pelajaran kedua kedua dari peristiwa tersebut. Setiap anggota parlemen di Indonesia, harus menyadari bahwa ia bukan saja seorang politisi tetapi juga seorang patron, contoh sosial bagi konstituensnya. GPB Suka Arjawa 217 218 PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT Tentang Penulis foto GPB Suka Arjawa 219