Document

advertisement
Y
GPB Suka Arjawa
PRESIDEN,
PARTAI POLITIK,
DAN MASYARAKAT
buku arti
Arti Foundation
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
©GPB Suka Arjawa
Penerbit :
Buku Arti
e-mail : [email protected]
Pracetak :
Nyoman Krining
Sampul
Ketut Pangus
Cetakan pertama, Mei 2015
Diterbitkan berkat bantuan program Widya Pataka
Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali
ISBN: 978-979-1145-90-9
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
v
Pengantar
Pemilihan Presiden di Tengah Perubahan Sosial
ix
PRESIDEN
Presiden Itu Harus Diatur Juga
3
Faktor Perpecahan Dalam Pemilihan Calon Presiden
6
Menyikapi Calon Presiden Dari Istri Pejabat Negara
10
Lepaskan ”Set Kedua”, Kosentrasi Pada Set Berikut!
14
Baik Buruk Calon Presiden yang Berani Tampil Lebih Dulu 18
Kelemahan Popularitas Calon Presiden Indonesia
22
Realitas Televisi Dalam Perebutan Presiden Indonesia
26
Presiden Dalam Mata “Pancingan’ Relawan
30
Saling Membagi Informasi Untuk Memajukan Indonesia
34
Citra Dalam Pelantikan Presiden Indonesia
38
Mewujudkan Quick Wins Dalam Pemerintahan
Indonesia Baru
41
Melihat Jokowi Menjalankan Pemerintahan
Tanpa “Politik”
44
Menghargai Presiden Memilih Anggota Kabinet
47
Memberikan Kesempatan Kabinet untuk Bekerja,
Bekerja dan Bekerja
50
Membangun Masyarakat Dewasa dan Berkesadaran
53
GPB Suka Arjawa
iii
PARTAI-PARTAI
“Partai Pemulung”
59
Ngaku Kalah Atau Sekedar Strategi?
62
Mengatasi Sanksi Sosial Terhadap Partai Demokrat
65
Kesediaan Berkorban dan Mengalah Dari Partai Politik
69
Penyebaran Inspirasi Dari Gabungan Partai Politik
73
Sisi Lain Konflik Internal Partai Demokrat
77
Hindari Jadi Parpol Pahlawan ”Kepagian”
81
Zigzag Politik Golkar dan Potensi Poros Ketiga
85
Menyaksikan Babak Lanjutan Dinamika Partai Golkar
89
Membuang Kesempatan Memperbaiki Citra
93
Dinamika Golkar Dalam Politik Indonesia
96
Menerawang Masa Depan Golkar Pasca Munas Bali
100
Menunggu Respon Politik Dari Konstituens Golkar
103
Di Balik Sikap Bolak-balik Pemilihan Kepala Daerah
107
Agar Partai Tak Hancur dan Kekuasaan Tak Melayang
111
MASYARAKAT
Menyindir Aparat Lewat Sandal Jepit
117
Minoritas, Dilema Demokrasi, dan Rhoma Irama
121
Elite Politik Seharusnya Mampu Menjadi Promotor
125
Korupsi dan Kekuatan Modal Sosial
129
Strategi untuk Memaksimalkan Bantuan Langsung Tunai
133
Hubungan Perusahan-Buruh Menjadi Tantangan
Pemerintah
137
Sikap Kepada Perempuan: Tradisionalis di Tengah
“Modernisasi”
141
Jika Ratu Adil Bertemu Ratu Adil Dalam Pemilu
145
Melindungi Rakyat Dari Pembohongan Politik
149
Berbagai Persoalan Menghadang Bonus Demografi
153
Potensi Perubahan Sosial Jika Kewenangan
Pemilihan di DPRD
157
Kemandirian Beras, Blusukan, dan Undang-Undang Desa
161
iv
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
RAKYAT DAN WAKILNYA
Politisi Muda Cerdas, Bukan yang Perlihatkan
Otot Lengan
167
Mencari Sosok Anggota Legislatif Berwawasan Luas
171
Kesempatan untuk Memperbaiki Kualitas Caleg
175
Waspada Memilih Politisi di Tengah Perubahan Sosial
179
Peran dan Makna Keterlibatan Politisi di Masyarakat
183
Persiapan Menghadapi Kenyataan Usai Pemilu
187
Masyarakat Kerja Keras Mengawal Perda RTRW
191
Daerah Tingkat II, Kebijakan Otonomi Paling Ideal
195
Memanfaatkan Sisa Waktu Secara Maksimal
199
Pilihan Senator Cermin Sikap Politik Masyarakat
203
Tanda-Tanda Kebingungan dan Kegagalan Reformasi
Indonesia
207
Negara Lain Memutari Mars, Politisi Indonesia
Berputar-Putar
211
Kegaduhan dan Kekonyolan Penampilan Awal
Anggota DPR
215
Tentang Penulis
219
GPB Suka Arjawa
v
Ucapan Terima Kasih
B
uku ini disusun berdasarkan tulisan yang telah diuat di harian
Balipost pada penerbitan periode 2004 sampai dengan 2014.
Sebagai penulis, saya sudah menulis cukup banyak artikel,
baik dengan nama sendiri maupun nama samaran di harian ini. Saya
berterma kasih kepada harian ini yang telah menerbitkan tulisan saya
sejak dekade sembilanpuluhan, malah sejak akhir dekade delapan
puluhan. Pada awalnya tulisan tersebut berkisar pada masalahmasalah internasional, sesuai studi yang saya tempuh. Akan tetapi,
mulai akhir dekade sembilanpuluhan, tulisan ini berkisar pada
politik domestik dan persoalan-persoalan sosial domestik yang
sedang hangat pada waktu itu. Tulisan yang dibuat sebagian besar
merupakan analisis dan respon keadaan politik dan sosial yang
sedang hangat, baik internasional maupun nasional, sehingga dapat
dikatakan tulisan ini mengaca kepada situasi hangat pada waktu
tersebut.
Dalama buku yang merupakan kumpulan tulisan ini, dipilih
tiga kelompok tulisan yang masing-masing mengacu kepada tema
presiden dengan segala persoalan yang terjadi dan dihadapi,
persoalan partai politik dan terakhir adalah kemasyarakatan. Dalam
hal kemasyarakatan, digabungkan dengan tulisan tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, sebab bagaimamanapun parlemen merupakan
wakil rakyat dengan berbagai dinamika yang ada di sekitarnya.
Kita perlu menyoroti hal kepresidenan karena posisi ini menjadi
politik tinggi dan besar di Indonesia. Posisi presiden menjadi rebutan
elit Indonesia, bukan saja elit politik tetapi juga elit ekonomi dan
budaya. Posisi tersebut memungkinkan bagi elit politik, ekonomi,
GPB Suka Arjawa
vii
budaya, saling berebutan. Rakyat yang memahami persoalan ini,
menjadi tersenyum, bahkan tertawa karena seolah mereka hanya
merebut posisi presiden saja tetapi setelah memegang posisi tidak
mampu menjalankannya dengan baik. Menjadi bulan-bulanan lawan
politik dan massa karena kebanyakan para “perebut” itu hanya melihat
hal kepresidenannya saja tanpa berupaya melihat bagaimana rasa
dan tugas menjalankan hal ikhwal tentang kepresidenan. Sedangkan
partai politik perlu dikedepankan karena bukan saja menjadi aktor
tetapi juga agen dalam sistem politik suatu negara. Sudah jelas juga
Indonesia. Partai politik memegang peran penting sebagai jembatan
kepentingan antara rakyat dengan pemerintah dan negara dalam
mencapai kesejahteraan. Di organisasi ini pula para aktor politik
digodog sebelum ia menjadi tokoh legislatif atau eksekutif. Bahkan
sampai sekarang konstitusi Indonesia masih mengharuskan calon
presiden dicalonkan oleh partai politik. Tentang partai politik di
Indonesia, dinamikanya sungguh menarik. Ia tidak hanya menjadi
lokasi bagi pemegang keputusan politik untuk beraktivitas, akan
tetapi dapat juga menjadi ajang untuk melepaskan diri dari bayangbayang masa lalu.
Misalnya seorang pengangguran tiba-tiba saja mendapatkan
keberadaannya di partai politik dan kemudian justru menjadi kunci
dalam sikap politik partai tersebut. Partai dengan demikian boleh
dikatakan mampu membelokkan karir seseorang. Organisasi ini
jelas mempunyai peran untuk mencari kekuasan dan pengaruh,
dan selanjutnya apabila berhasil menduduki posisi politik, juga
dapat memeperbaiki kondisi ekonomi seseorang. Maka, tidak
heran kemudian posisi-posisi struktural pada partai politik menjadi
rebutan, yang ujung-ujungnya dapat membuat konflik internal partai.
Selanjutnya, perjalanan pemerintah maupun kenegaraan tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Harus diakui, setelah reformasi dan kebebasan
berekspresi diberlakukan di Indonesia, dipadu dengan kemajuan
teknologi komunikasi, membuat keterlibatan masyarakat Indonesia
sebagai partisipan politik, menjadi tinggi. Ada banyak pendapat, ide,
usul sampai protes yang muncul dan diutarakan secara langsung
masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, kepada
viii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
pemerintah. Bagaimanapun hal ini merupakan subangan positif.
Dalam konteks realitas politik, boleh dikatakan partisipasi politik
masyarakat ini adalah dalam bentuk informal, yang disuarakan tidak
melalui cara formal di lembaga pemerintahan. Meski demikian,
partisipasi seperti ini penting dan bahkan menjadi tontonan bagi
masyarakat. Kritikan dan usulan melalui radio atau televisi, tentu saja
dapat disaksikan secara langsung oleh banyak masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, apabila kita melihat salah satu peran dari anggota DPR
(D), tidak lain mereka adalah wakil-wakil rakyat yang melakukan
partisipasi politik secara formal di gedung parlemen. Para anggota
legislatif ini membawa aspirasi politik dari masyarakat, yang dalam
hal ini adalah masyarakat konstituensnya. Melalui perwakilan di DPR
(D) inilah masyarakat akan memberikan masukan atau tuntutan yang
berkaitan dengan tujuan kesejahteraan mereka.
Dengan alasan-alasan seperti itulah, maka tiga tema tersebut,
yakni kepresidenan, kepartaipolitikan, dan kemasyarakatan
penting untuk dilihat, dibaca kembali dan sudah tentu direnungkan
bagaimana komentar yang harus diberikan di kemudian hari. Tentu
maksudnya perkembangan pemikiran, ide dan sikap kritis di masa
mendatang. Berdasarkan tulisan tersebut dapat dibuat pikiran
baru terhadap tiga tema diatas. Sebagai tambahan, saya mencoba
memberikan berbagai pendapat di bagian pendahuluan pada buku
ini. Saya lebih banyak mengupas pada hal-hal yang berkaitan dengan
kepresidenan karena sebagai negara berkembang dan menganut
budaya paternalistik, hal kepresidenanlah yang akan lebih banyak
menentukan arah negara di masa depan.
Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas diterbitkannya
buku yang memuat kumpulan tulisan ini. Saya juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Pemda Bali yang telah memberikan
pembiayaan atas penerbitan buku ini. Selanjutnya tidak dapat
dilepaskan peran sahabat Gung Mas Ruscitadewi yang telah
memfasilitasi terbitnya tulisan ini. Jelas saya mengucapkan terima
kasih kepada pihak Bali Post yang telah menerbitkan tulisan-tulisan
penulis. Kepada Aryantha Soethama saya juga mengucapkan terima
kasih atas penerbitan dan koreksi dari tulisan di buku ini.
Tentu saja tiada gading yang tidak retak. Penulis memohon
GPB Suka Arjawa
ix
maaf apabila di dalam tulisan-tulisan ini masih banyak kekurangan.
Pencantuman tanggal pemuatan di Harian Balipost, kemungkinan
tidak semuanya tepat karena data yang tercatat pada komputer
berpotensi berbeda dengan tanggal pemuatan di koran. Akhrinya saya
persembahkan buku ini untuk anggota “pasukan khusus” di keluarga
kami, Ibun, Ageks dan Abetzs. Terima kasih untuk semuanya.
GPB Suka Arjawa
x
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Pengantar
Pemilihan Presiden
di Tengah Perubahan Sosial
P
osisi presiden seolah-olah menjadi lokus paling diincar oleh
para pejabat atau politisi di berbagai negara. Akan tetapi, kalau
dilihat secara seksama, pengaruh seorang presiden tentu saja
tetap terbatas. Misalnya dilakukan dengan undang-undang dan
konstistusi negara. Malah sejarah India memperlihatkan bahwa
orang paling berpengaruh pada masyarakat bukanlah presiden tetapi
tokoh kharismatis. Mahatma Gandhi selalu dihubung-hubungkan
dengan kemerdekaan negara itu dari Inggris dan selalu pula dikaitkan
dengan gerakan satyagraha, perlawanan tanpa kekerasannya yang
termasyur itu. Di Iran, tokoh paling berpengaruh bukanlah presiden,
tetapi pemimpin agama Islam, yang disebut dengan Ayatollah.
Negara-negara seperti Amerika Serikat atau Filipina, menempatkan
presiden sebagai pemimpin politik, pemimpin negara dan pemimpin
pemerintahan.
Secara sosiologis, di jaman reformasi ini hubungan antara rakyat
dengan presiden sangat dekat. Di jaman Orde Baru, hubungan
tersebut “disambungkan” oleh lembaga perwakilan, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Lembaga inilah yang pada waktu itu
secara konstitusional diberikan mandat untuk memilih presiden.
Suara rakyat yang jumlahnya ratusan ribu itu, disalurkan oleh satu
orang wakilnya di MPR untuk memilih presiden. Akibatnya, ada
keterputusan antara apa yang dirasakan oleh rakyat dengan pilihan
GPB Suka Arjawa
xi
yang dijatuhkan oleh anggota MPR. Akan tetapi, karena sudah
ketentuan seperti demikian, rakyat tidak dapat berbuat banyak.
Sistem politik sudah memungkinkan jalannya pemilihan seperti itu.
Ketika kemudian politik berganti, dengan adanya reformasi yang
diperjuangkan rakyat (dipelopori mahasiswa) tahun 1998, suasanya
sangat berubah. Keterikatan antara rakyat dengan presiden boleh
dikatakan dekat. Kedekatan ini terlihat karena rakyat secara langsung
memilih presiden tanpa harus melalui perantara lembaga. Peran
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih presiden sudah
pupus dan kemudian digantikannya secara langsung. Ini merupakan
perubahan sosiologis sangat penting bagi sistem kenegaraan
Indonesia. Adanya pilihan seperti ini perlu dijelaskan secara
sosiologis karena bagaimanapun wujud politik itu, pada akhirnya
akan menukik menuju masyarakat. Manfaat dari perubahan cara
memilih presiden itu langsung dapat diterjemahkan oleh masyarakat.
Dengan adanya perubahan seperti itu, maka secara sosiologis
dapat dijelaskan beberapa hal. Yang pertama, dari sisi perubahan
sosial. Yang dimaksudkan perubahan sosial disini adalah adanya
perbedaan pola kedekatan masyarakat melalui cara memilih
pemimpin tertinggi di suatu negara. Perbedaan yang jelas sekali
kelihatan antara apa yang terjadi di masa lalu dengan masa sekarang.
Perbedaan cara memilih itu, pasti memberikan orientasi rasionalitas
kepada masyarakat. Apabila di masa lalu, masyarakat lapisan bawah
tidak peduli dengan apa yang terjadi di tingkat politik atas, kini
sebaliknya. Perubahan itu cukup tajam. Dengan sistem pemilihan
secara langsung terhadap presiden tersebut, rakyat paling bawah
pun, yang mempunyai pendidikan paling minimal (bahkan tidak
berpendidikan) harus menggunakan keintelektualannya untuk
melakukan pilihan. Secara sosiologis, dalam konteks teori pilihan
rasional, masyarakat akan “dipaksa” menggunakan kemampuan
kognisinya untuk melakukan pilihan tersebut, betapapaun
minimalnya kemapuan kognisi tersebut. Seminim-minimnya
kemampuan kognitif, tetap memberikan sumbangan positif apabila
dikembangkan. Di tengah berbagai informasi yang kini menjadi
pilihan sosial, masyarakat akan mencoba mendengarkan informasi
tentang presiden atau kandidat presiden. Atau paling kurang, mereka
xii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
akan bertanya dengan rekan-rekannya, dengan kualitas pertanyaan
yang berbeda. Jika dulu mereka bertanya, dengan kalimat awal
“siapa” kini, adalah “bagaimana”. Artinya terkesaan di masa lalu,
di jaman Orde Baru, presiden itu sudah dipatok dengan calon yang
sudah ada. Kini dengan pertanyaan “bagaimana”, mereka tertantang
untuk mengetahui gambaran-gambaran calon presiden yang
ditampilkan oleh partai politik.
Perubahan sosial tidak hanya menyangkut masalah kualitas
pemilihan lewat upaya-upaya rasionalitas tersebut, tetapi juga
tentang keberanian masyarakat dalam melakukan sikap kritis secara
langsung. Ini merupakan perubahan tidak saja pada sikap sosial tetapi
juga perubahan dalam budaya politik. Ada beberapa budaya politik
yang tercatat di masyarakat. Di masa lalu, orientasi politik masyarakat
lebih banyak diam dan menyerahkan semua persoalan politiknya
kepada elit. Akan tetapi dengan adanya sistem presiden yang dipilih
secara langsung, maka orientasinya untuk terlibat di dalam sistem
politik juga secara langsung, dan subyektif. Artinya, masyarakatlah
yang akan melakukan penilaian dan memilih presiden berdasarkan
persepsinya mandiri. Dalam bilik pemilihan, ia akan mencoblos
sesuai dengan persepsinya sendiri terhadap calon-calon yang sudah
ada. Tentu juga perubahan sosial tersebut menyangkut peran wanita.
Dalam mengemukanan pendapat, kaum perempuan di Indonesia
sudah ikut terlibat lebih besar. Ini tidak lain merupakan hasil dari
sosialisasi politik kepeda perempuan, dimana yang dimaksudkan
disini adalah proses penanaman nilai-nilai dan pembentukan sikap
politik dan pola tingkah laku politik wanita (Siagian, 1996: 228)
Setelah pemilihan langsung presiden dilakukan di Indonesia,
cara paling bagus untuk melihat kualitas presiden adalah seperti
apa yang diperlihatkan pada tahun 2014. Masing-masing kandidat
dihadapkan kepada panelis yang kemudian mengajukan beragam
pertanyaan kepada calon. Ini jelas merupakan perubahan orientasi
dibanding dengan cara-cara yang dipakai sebelumnya, dan disiarkan
secara nasional melalui televisi. Disini, yang muncul bukan saja
upaya untuk mengeluarkan pengetahuan sang kandidat tetapi juga
keserempakan sikap dan pikiran pada tingkat sosial. Keserempakan
sikap ini berupa kesadaran dari masyarakat untuk melihat secara
GPB Suka Arjawa
xiii
langsung perdebatan dan penampilan kandidat di televisi, tetapi
juga secara bersamaan muncul upaya maksimal dari panelis untuk
mengeluarkan kemampuan bertanya, menggali potensi-potensi,
kelebihan dan kekurangan kandidat. Pada saat yang sama juga muncul
ke permukaan bagaimana hal ikhwal kualitas dari kandidat presiden
mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ini merupakan upaya yang
luar biasa dari sistem demokrasi yang muncul dengan menghadirkan
calon presiden yang mampu mendorong keserempakan semua pihak
tersebut.
Sikap masyarakat untuk “sengaja” duduk di depan televisi (atau
mungkin datang langsung ke studio), merupakan upaya kognitif,
subyektifikasi agar betul-betul mengetahui kemampuan kandidat
presiden. Rakyat akan menilainya dan kemudian, dengan cara seperti
itu mereka mampu menangkap pemahaman-pemahaman sendiri
orientasi dan kecerdasan dari sang kandidat. Malah, di desa-desa
rakyat tidak sekedar menonton di televisi, akan tetapi secara langsung
juga melakukan diskusi dengan rekan-rekan tentang pendapat,
kelebihan dan kekurangan dari calon presiden ini. Sikap dan
tindakan ini dimungkinkana begitu karena di desa, nonton bersama
televisi itu masih terjadi. Secara langsung, akan muncul dialektika,
pendapat baru dan pikiran baru terhadap calon presiden yang ada.
Ini merupakan pengayaan. Jadi, budaya politik masyarakat akan
menuju pada sikap subyektif. Cara seperti ini akan menghasilkan
pilihan lebih cerdas dan rasional karena mereka memilih bukan hasil
petunjuk dari orang lain, atau atas dasar indoktrinasi pihak lain,
tetapi merupakan pilihan berdasarkan olah pikir secara mandiri.
Masyarakat yang mampu melakukan olah pikir sendiri dan membuat
keputusan politik sendiri, merupakan cikal bakal kecerdasan politik.
Dan kecerdasan berpolitik merupakan syarat utama dari sebuah
demokrasi.
Panelis jelas dipilih orang-orang yang cerdas dan dipandang
mampu menggali pertanyaan-pertanyaan untuk kandidat. Alur
yang lebih penting kemudian adalah bagaimana sang kandidat
memberikan jawaban yang merupakan hasil olah otak dari kandidat
bersangkutan. Televisi merupakan sebuah panggung publik
dengan jangkauan lebih luas. Tetapi studio televisi mempunyai
xiv
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tantangan lebih besar. Kesalahan kandidat politik yang berjuang
memperebutkan posisi eksekutif (atau posisi jabatan apapun), terlihat
pada melihat panggung itu sekdar di selingkaran studio televisi saja.
Padahal, jangkauan televisi jauh lebih luas. Karena itulah kemudian
sikap dan penampilan kandidat di televisi ini sangat berpengaruh.
Mereka harus mampu menjawab pertanyaan demi memuaskan
semua penonton televisi, bukan hanya mereka-mereka yang ada di
studio saja. Kesiapan inilah yang sering kali mempengaruhi hasil dari
penampilan televisi dari kandidat politik, maupun presiden dalam
berpenampilan di televisi. Konon hal inidapat dimanfaatkan dengan
baik ketika John F. Kennedy bertarung dengan Richard Nixon
dalam perdebatan di televisi. Kenndy bertarung memakai baju jas
yang warnanya tegas hitam sehingga penonton dapat menafsirkan
ketegasananya. Sedangkan Nixon memakai jas abu-abu sehingga
tidak dapat dipersepsikan tegas.
Pada kampanye presiden Indonesia tahun 2014, teknik ini sudah
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan berlangsung dengan
baik. Jika dicari kekurangannya, maka di tengah arus informasi yang
demikian leluasa sekarang, dengan teknologinya yang sudah ada,
maka ketidakterlibatan penelepon langsung itulah yang menjadi
kekurangannya. Seharusnya diberikan kesempatan masyarakat
bertanya secara langsung, di luar panelis yang sudah ada, kepada
presiden. Sekali lagi, cara ini juga menambah satu keserempakan
yang ada, yaitu sikap serempak masyarakat yang tidak hanya
menonton televisi tetapi juga mempunyai niat dan tindakan untuk
menanyakan secara langsung kepada calon presiden secara langsung.
Ini sekaligus akan dapat dipakai untuk mengetahui sejauh mana
posisi kecerdasan sosial masyarakat, terutama pada bidang politik.
Akan bisa dilihat kualitas pertanyaannya melalui telepon, caranya
menempatkan substansi pertanyaan serta susunan kalimatnya
ketika bertanya. Hal ini dimungkinkan karena telepon seluler kini
sudah ada dimana-mana. Dan dapat juga dilihat kalangan penanya
secara langsung tersebut dari struktur sosial. Misalnya, tua, muda,
pelajar, mahasiswa,, kaya, miskin dan seterusnya. Akan memberikan
sumbangan penting dalam konteks keintelektualan dari masyarakat
Indoensia.
GPB Suka Arjawa
xv
Perubahan orientasi masyarakat menjadi pekerjaan penting bagi
politisi dan pembuat kebijakan Indonesia, terutama saat pemilihan
presiden. Pada kondisi ini, masyarakat akan dapat bersikap secara
langsung terhadap kepemilihan presiden. Secara tidak langsung
akan mampu memberikan pendidikan politik dan latihan berpolitik.
Sasarannya adalah bahwa di masa depan, sikap politik masyarakat
ini tidak dilakukan secara serampangan dan kekerasan tetapi sopan
dan santun dengan cara berbicara yang bagus dan runut. Dalam
level negara, hal ini akan memerlukan waktu yang lama. Akan tetapi
harus dilakukan demi pendidikan politik tersebut. Ditambah dengan
contoh-contoh yang dilakukan oleh elit masyarakat, apalagi oleh elit
politik, maka keinginan untuk mendapatkan masyarakat yang santun
dalam berpolitik akan dapat dipercepat. Bagi Indonesia, kesantunan
dan kesopanan politik ini sangat penting. Bukan saja untuk memutus
sejarah politik yang terkesan tidak santun sejak tahun 1965, akan
tetapi juga demi mendukung kekayaan ragam budaya dan kekayaan
alam Indonesia yang melimpah. Politik yang tidak santun akan
menguras pikiran dan waktu sehingga membuat upaya kosentrasi
mengurusi segala kekayaan alam Indonesia, tidak dapat dilakukan.
Hasil politik tidak santun adalah konflik dan kecurigaan. Dan output
dari konflik tersebut adalah ketidakkosentrasian dan ketidaksadaran
akan potensi diri. Itulah yang terjadi di Indonesia sekarang, sehingga
membuat segala kekayaan budaya dan alam itu dikuras oleh pihakpihak lain. Atau terkuras oleh monopoli-monopoli tertentu.
Komunikasi Politik
Akibat adanya sistem yang berbeda dalam pemilihan presiden
tersebut, maka faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah
pada komunikasi politik. Dalam tataran sistem politik suatu negara,
komunikasi politik pada hakekatnya merupakan fungsi input yang
menyampaikan informasi-informasi politik (Haryanto:1982:55).
Sebagai fungsi input, artinya komunikasi politik ini akan memberikan
masukan-masukan politik ke dalam sistem politik yang berlangsung
di satu negara. Tetapi harus juga dilihat bahwa komunikasi politik
tersebut tidak saja hanya berada pada tataran rakyat, tetapi juga
akan berkaitan dengan kelompok-kelompok politik, individual, partai
xvi
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
politik, dan pada akhirnya lingkungan politik. Komunikasi politik ini
akan berubah sesuai dengan apa yang diperkenalkan dalam model
sistem pemilu yang baru. Kajian-kajian di lapangan, komunikasi
politik ini meluas, malah ikut memperbarui cara berbicara rakyat
di berbagai tempat. Jika di masa lalu, anggota masyarakat ketakuta
berbicara di ruang-ruang publik, maka ketika ada perubahan orientasi
seperti setelah refromasi ini, pembicaraan tersebut menjadi jelas,
berani dan terkadang terasa berlebihan.
Komunikasi politik hematnya dapat dibagi menjadi beberapa hal.
Sebagai sebuah tindakan mengungkap ujaran, komunikasi politik itu
dapat dimaknai sebagai cara berbicara, mengemukakan pendapat
kepada siapapun dari sesorang atau kelompok, atau organisasi yang
memuat tentang pesan-pesan politik. Pesan-pesan itu dapat berupa
upaya mempengaruhi, menambah pengetahuan tentang konsepsi
politik, propaganda, sampai dengan hal-hall yang menjatuhkan pihak
lain dengan tujuan mendapatpakn power atau kekuasaan.
Perubahan sistem pemilihan presiden dari masa Orde Baru
yang menyerahkannya kepada wakil rakyat di MPR kepada sistem
pemilihan langsung, membuat komunikasi politik pihak-pihak yang
ada di sekitar calon presiden juga ikut berubah. Pada masa lalu, di
jaman Orde Baru, komunikasi dalam bentuk ujaran politik tersebut
bersifat formal, elitis dan periodic pada waktu tertentu. Formal dalam
artian, komunikasi yang bersifat politik lebih banyak dilakukan
oleh instansi-instansi pemerintah pada pertemuan-pertmuan
khusus. Misalnya partai politik mengadakan pertemuana tertentu
yang khusus membicarakan masalah kekuasaan pemerintah. Atau
lembaga perguruan tinggi mempermasalahkan pergantian kekuasaan
melalui seminar atau diskusi di ruangan kelas. Tidak ada masyarakat
yang tertarik melakukan pembicaraan seperti ini di ruangan publik.
Dikatakan elit karena yang membicarakan masalah-masalah politik
itu adalah para tokoh di pemerintahan. Ini tidak lain disebabkan
oleh sistem pada waktu itu yang sangat terkait antara poisis politik
dengan struktur di pemerintahan. Seorang pejabat di pemerintah
akan menjadi pejabat juga di organisasi Golkar. Inilah yang dimasa
lalu dinamakan rekrutmen politik yang tertutup, yakni hanya orangorang tertentu saja dapat diangkat menjadi pejabat pemerintah
GPB Suka Arjawa
xvii
(Romli, 2005: 144). Tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh budaya,
para penggerak ekonomi, kelompok orang kaya dan sejenisnya
juga mendominasi pembicaraan-pembicaraan politik. Mereka
tidak hanya berbicara di lingkungan formal, tetapi terkadang juga
membicarakannya di saat upacara adat atau sembahyang. Dengan
demikian, sifat politik itu lebih banyak elitis. Pembicaraan politik
yang sifatnya nasional, sangat periodik dan pada waktu yang telah
ditentukan. Terutama satu tahun menjelang pemilihan umum
atau setahun menjelang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
instansi-instansi pemerintah akan ramai-ramai menggelar apa yang
dinamakan kebupatan tekad pada waktu itu. Kebulatan tekad ini
biasanya pada waktu itu adalah memberikan gelar sebagai Bapak
Pembangunan bagi Presiden Soeharto dan ditambahi embel-embel
agar Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat memilih kembali
Soeharto menjadi presiden.
Akan tetapi, setelah adanya pemilihan langsung presiden
ini, komunikasi politik dalam bentuk ujaran tersebut, bebas dan
berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di masa Orde Baru.
Pembicaraan soal suksesi kepemimpinan, bahkan tentang penjatuhan
presiden, diujarkan oleh masyarakat secara terbuka melalui berbagai
macam media. Kelompok-kelompok politik juga bebas mengutarakan
calon presidennya dengan berbagai embel-embel. Dan masyarakat
umum juga melakukan hal yang sama tanpa ketakutan ditangkap atau
dikritik oleh siapapun. Monopoli komunikasi politik tersebut tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dan
yang paling penting juga adalah keterlibatan perempuan, baik pada
bidang politik maupun sebagai partisipan politik. Perkembangan
tersebut merupakan perkembangan penting karena mengubah
konstelasi sikap kritis sebelumnya yang lebih didominasi kaum lakilaki. Partisipasi ini merupakan bagian dari sikap kritis perempuan,
dimana mencoba membongkar segala sesuatu yang memojokkan
perempuan (:Fuadi, 2013: 302) Inilah yang bisa dikatakan sebagai
bentuk perubahan yang signifikan dalam model komunikasi politik
setelah jaman reformasi.
Dilihat dari teori perubahan sosial, sesungguhnya fenomena
ini memperlihatkan sebagai model perubahan revolusioner dalam
xviii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
bidang komunikasi politik. Indikatornya adalah adanya perubahan
paling mendasar dan cepat terhadap pola komunikasi tersebut.
Hal mendasar terletak pada du ahal, yaitu aktor yang menjadi
pembawa komunikasi dan metode komunikasinya. Aktornya tidak
lagi dikuasai oleh pemerintah, tetapi khalayak umum, bahkan tanpa
memperlihatkan pendidikannya. Mereka dapat mengutarakan apa
saja pendapatnya tentang presiden dan calon presiden yang disulkan.
Metodenya, tidak lagi terkontrol dengan memakai waktu dan alat
tertentu tetapi dilakukan secara mandiri, dengan ujaran mandiri. Soal
waktu, kalau dilihat dari kemunculannya, maka model komunikasi
politik yang bebas ini tidak hanya tahun 2014 tetapi sesungguhnya
telah berakar sejak kejatuhan rejim Orde Baru tahun 1998.
Mengacu kepada hasil dari adanya komunikasi politik yang bebas
ini, memang tidak dapat dikatakan secara instan sukses. Bahwa
sekarang tetap menghasilkan para politisi yang tetap mementingkan
dirinya sendiri, presiden yang juga masih belum mampu membuat
keputusan yang cepat, ini mungkin bukan merupakan hasil yang
baik dari komunikasi politik yang telah dilakukan sejak jauh hari
sebelumnya. Akan tetapi, dengan adanya berbagai kebebasan
mengeluarkan pendapat itu, setidaknya masyarakat telah mampu
menyelami pembelajaran politik, sampai dengan berbagai hasil yang
didapatkannya.
Sikap Kepada Presiden
Dalam sosiologi politik, yang juga penting dilihat adalah
bagaimana perilaku atau sikap masyarakat terhadap kebijakankebijakan politik yang ada, termasuk juga kepada presiden terpilih
dan pencitraannya di masyarakat. Salah satu yang menjadi bagian
perhatian dari sosiologi politik terletak pada sikap dan perilaku
masyarakat terhadap kebijakan yang ada (Setiadi, Kolip, 2013:21).
Kampanye presiden termasuk cara pandang masyarakat terhadap
kebijakan-kebijakan yang dibuat presiden, dapat dikatakan sebagai
sebuah bagian dari pembelajaran sosiologi politik. Apabila dibawa
ke ranah Orde Baru, bahwa perilaku dan sikap masyarakat terhadap
kebijakan presiden, pasif. Kebanyakan mereka mengakui apa yang
diungkapkan oleh presiden. Ini telah menjadi budaya pada waktu
GPB Suka Arjawa
xix
itu dan sekaligus juga kebiasaan masyarakat, mulai dari struktur
masyarakat kelas atas sampai dengan masyarakat paling bawah.
Harus diakui sikap pasif seperti ini pada akhirnya menjadi gaya,
kebiasaan dan kemudian menurun dicontoh oleh generasi-generasi
setelahnya. Reformasi yang terjadi tahun 1998 sesungguhnya harus
berjuang keras untuk mengubah perilaku ini karena generasi yang
“tersedia” pada tahun 1998, adalah mereka-mereka yang sudah
terbiasa dengan perilaku sosial seperti itu. Mungkin kegagalan
memberantas korupsi di masa reformasi, disebabkan oleh adanya
perilaku seperti ini. Intinya, sikap masyarakat pada jaman Orde Baru
kepada presiden, adalah pasif.
Akan tetapi, mengatakan sikap pasif ini terus-terusan terjadi
sampai akhir masa jabatan Presiden Soeharto dan Orde baru, tidak
dapat dikatakan secara total. Kejatuhan Orde Baru dan turunnya
kekuasaan Presiden Soeharto merupakan hasil dari pemikiranpemikiran berani dan kritis. Sikap dari masyarakat, yang saat itu
dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, adalah berani dan kritis. Yang
dibutuhkan masyarakat saat itu adalah seorang pemimpin yang juga
menjadi negarawan, bukan sekedar politisi. Seorang negarawan
harus mampu menunjukkan keilmuannya untuk melaksanakan hal
kepemrintahan. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan sebagai
sarana dalam menjalankan pemerintahan (Kelsen, 2014: 422). Inilah
yang menjadi tuntutaan masyarakat. Ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang dapat ditulis, terlupakan dan dipelajari kembali
dalam wajud dan substansinya yang tidak berubah. (Pakpaham,
1996: 111). Lepas dari dukungan dari pihak luar negeri maupun
dari pihak-pihak tertentu di dalam negeri, kenyataannya adalah
bahwa suara mahasiswa dan masyarakat itu, berhasil menjatuhkan
kekuasaan Orde Baru dan melengserkan Soeharto dari kekuasaan.
Secara spesifik juga harus dilihat bahwa ketika mahasiswa melakukan
demonstrasi di Jakarta, banyak anggota-anggota masyarakat yang
menyediakan bahan makanan dan minuman untuk dikonsumsi oleh
para demosntran. Hal ini menandakan bahwa komponen masyarakat
yang bersikap kritis itu bukan hanya dari kalangan intelektual saja,
tetapi juga komponen yang datang dari luar pelajar tersebut. Ibu
rumah tangga mungkin dapat dimasukkan ke dalam konteks ini.
xx
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Terhadap pemerintahan Abdurahman Wahid dan B.J. Habibie,
sikap ini masih juga dapat dikatakan pasif. Tidak terlalu banyak yang
dapat diungkapkan karena pada pemerintahan ini model campuran
itu masih kelihatan. Maksudnya, sistem politik dengan kewenangan
MPR untuk menjatuhan presiden masih ada. Maka, kedua presiden
ini kemudian seolah-olah dijatuhkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Suara kritis mahasiswa dan masyarakat pada tahun 1998
itu tidak kelihatan pada pemerintahan B.J. Habibie dan Presiden
Abdurahman Wahid.
Maka, sikap kritis yang paling kelihatan justru terlihat pada masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono. Sikap kritis dari masyarakat ini secara sederhana
bisa diungkapkan melalui konsep mengomentari berbagai perilaku
dan kebijaksanaan yang dibuat presiden dan kemudian memberikan
berbagai pendapatnya. Mungkin hal ini dapat dikatakan hal yang
sangat sederhana apabila dikaitkan dengan teori kritis seperti dalam
pengertian sosiologi. Namun demikian, seperti yang diungkapkan
oleh Ritzer yang mengutip Bleich, bahwa teori kritis ini mengkritisi
segala aspek kehidupan sosial dan intelektual. Terhadap teori-teori
lain, salah satunya teori kritis tersebut mengkritisi positivism karena
pendekatan ini sangat menentang peran aktor yang dipandang
mempengaruhi berbagai tindakan sosial (Ritzer, Goodman, 2007:
177). Dengan memakai pendekatan sederhana tentang teori kritis
tersebut, dalam dikatakan bahwa berbagai komentar yang dilakukan
oleh masyarakat, termasuk sikap yang dikeluarkan oleh masyarakat
masuk kedalam ranah teori kritis tersebut.
Setelah turunnya Abdurahman Wahid sebagai presiden yang
kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, pemilihan
seorang presiden di Indoensia dilakukan secara langsung. Disinilah
kelihatan sikap kritis masyarakat Indonesia. Tidak seperti yang
terjadi pada tahun 1998 ketika reformasi menjatuhkan rejim Orde
Baru, sikap terhadap Megawati sebagai pemimpin politik, sudah jauh
sangat menurun. Pada waktu jatuhnya Orde Baru, Megawati sebagai
pemimpin politik mendapatkan posisi teratas karena dipandang
mampu menyelesaikan persoalan yang ada di Indonesia. Ini misalnya
terlihat dari keberhasilan PDI Perjuangan meraih posisi paling tinggi
GPB Suka Arjawa
xxi
pada pemilihan umum tahun 1999. Akan tetapi setelah megawati
menjabat sebagai presiden menggantikan Gus Dur, maka terlihat
bagaimana kualitas kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang
sesungguhnya. Masyarakat yang sebelumnya menjadi pendukung
berat Megawati justru menjauh dan menyadari bahwa dari sisi
kepemimpinan, Megawati tidak mempunyai kapasitas yang kuat
untuk memimpin Indonesia. Hal yang sama juga terjadi kepada
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sifat-sifat
semangat dan revolusioner yang ditampilkan oleh para pengurus
partai, dan juga pejabat partai yang duduk di pemerintahan, seperti
anggota DPR (D) dan kepala daerah, tidak berhasil memuaskan
rakyat. Maka, ketika diselenggarakan pemilihan presiden secara
langsung tahun 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim
Muzadi, kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudoyono dengan
Yusuf Kalla.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia telah
berhasil memperlihatkan sikap kritisnya. Sudah tentu sikap kritis
tersebut muncul sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan politik dan
cara Megawati membuat kebijakan yang dipandang tidak memuaskan
oleh rakyat. Salah satu yang paling kelihatan dari Megawati saat
menjadi presiden adalah kelambatan dan sikap diamnnya yang
terlalu banyak, sampai-sampai anak buahnya yang berada pada
lingkungan istana membuat semacam jargon “diam itu emas”. Ini
merupakan kelemahan dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
Bahkan sangat mungkin, apabila dikaitkan, sikap kritis
masyarakat Indonesia ini kepada pemerintahan Megawati,
disebabkan oleh kritiknya secara tidak langsung kepada kultur.
Salah satu yang harus dilihat dari teori kritis adalah kritiknya kepada
kultur. Para pendukung teori kritis tidak menyukai adanya kultur
massa yang dibuat-buat seperti yang tampil di televisi itu, karena
terlalu memperlihatkan kepalsuan (Ritzer, 2007: 180). Kiranya sikap
kritis itu ditujukan untuk mengembalikan kepada realitas senyatanya
pada manusia. Maka, dengan konteks demikian, ungkapanungkapan seperti “diam itu emas”, “Megawati keturunan Soekarno
sang Proklamator” mencerminkan kepalsuan yang dipandang tidak
mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal, bangsa Indonesia
xxii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
saat itu memerlukan obat yang mujarab untuk menyembuhkan
penyakit seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, kesenjangan
daerah Indonesia bagian barat, tengah dan timur serta bagaimana
mempercepat pemberantasan kemiskinan. Inilah yang membuat
Megawati kalah dalam pemilihan presiden pada pemilihan umum
tahun 2004.
Citra Internasional
Pemilihan presiden, dimanapun di dunia, juga akan sangat
menentukan citra negara dan bangsa. Di Indonesia, disamping
sebagai kepala pemerintahan, presiden juga adalah seorang kepala
negara. Sebenarnya, antara tugas sebagai kepela pemerintahan
dan kepala negara ini satu dalam dua hal. Sebagai kepala negara,
presiden akan mengangkat duta dan konsul, mengadakan perjanjian
dengan negara lain, juga menyatakan perang atau perdamaian
dengan negara-negara lain. Dalam konteks seperti ini, presiden
tentu mempunyai arti yang penting bagi negara-negara lain. Karena
itulah kemudian, secara politis presiden tersebut bisa mencerminkan
bagaimana hubungan suatu negara dengan negara lain di satu masa
yang akan datang. Track record presiden, perilaku politik sampai
kelompok politiknya, akan menjadi penentu bagi negara-negara lain
untuk memprediksi hubungan dengan negara tersebut.
Seperti misalnya terhadap Presiden Soeharto yang dibandingkan
dengan Presiden Soekarno di masa lalu. Ketika Presiden Soekrno
memegang kekuasaan di Indonesia, citra sebagai presiden yang
lincah dan tidak takut dalam pergaulan internasional, serta pernah
menantang negara-negara lain, membuat citranya di Asia Tenggara
cukup menakutkan dan negara-negara lain khawatir kalau eksietensi
negara mereka ditaklukkan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan
Soekarno. Pada masa itu, Indonesia pernah konflik dengan Malaysia
dan konflik dengan Belanda masalah Irian barat. Di masa Soeharto,
citra ini berhasil ditekan karena dipandang Soeharto bukan presiden
yang ingin meluaskan wilayah Indonesia, meskipun pada waktu
itu Timor Timur masuk ke wilayah Indonesia pada jaman Presiden
Soeharto. Akan tetapi pembentukan ASEAN, yaitu organisasi negaranegara Asia Tenggara juga terjadi pada jaman Presiden Soeharto.
GPB Suka Arjawa
xxiii
Peembentukan organisasi ini menegaskan bahwa Indonesia
merupakan negar apecinta damai dan tidak ingin menganggu negaranegara lain.
Karena itulah, merupakan hal yang positif apabila seorang presiden
baru di suatu negara, melakukan kunjungan kerja ke negara-negara
tetangga segera setelah dilantik sebagai kepala negara. Tujuannya
tidak lain untuk memberitahukan secara simbolis kepada negaranegara tetangga tersebut bahwa negara bersangkutan mempunyai
niat bertetangga baik dengan negara-negara di sekitarnya. Melalui
kunjungan tersebut juga akan secara langsung dapat dilihat
bagaimana sesungguhnya gaya, kepribadian, sikap politik dari
kepala negara bersangkutan sehingga dapat secara langsung menilai
dan berdialog dengan presiden. Kunjungaan kepada negara-negara
tetangga sebaiknya merupakan prioritas bagi presiden baru. Setelah
itu adalah negara sahabat yang posisinya jauh. Sahabat dapat saja
berposisi kauh tetapi mempunyai kesamaan ide dan sumber daya.
Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ketika melakukan
kunjungan ke beberapa negara tetangga, merupakan refleksi dari
posisinya sebagai kepala negara agar secara langsung negara
bersangkutan memahami bagaimana sikap politik, perilaku dan latar
belakang politik dari presiden baru Indonesia.
Masyarakat
Kalau dilihat dari konteks budaya politik masyarakat Indonesia,
sesungguhnya apa yang terjadi pada pemilihan presiden itu, budaya
politik yang diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia adalah
campuran. Di satu sisi, orientasi kognitifnya sudah maju karena telah
mampu mengidentifikasi hasil dari sebuah kebijakan politik yang
dinilai gagal, tidak membuahkan hasil sesuai dengan yang dirasakan.
Orientasi afeksi nya juga sudah maju karena merasakan bagaimana
aktor politik tersebut, yaitu presiden, tidak dapat memusakan
perasaannya seperti yang diharapkan. Orientasi evaluatifnyapun
cukup tinggi karena pada akhirnya membuat keputusan tidak
memilih Megawati sebagai presiden lagi. Keputusan ini merupakan
sebuah pencapaian mengangumkan untuk bangsa yang selama tiga
decade tidak diberikan kesempatan untuk melakukan polihan politik
xxiv
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
secara rasional, sesuai dengan pengetahuan politik masyarakat.
Apabila kemudian dilihat pilihan-pilihan presiden berikutnya
dari masyarakat, yaitu kepada Susilo Bambang Yudoyono dan Joko
Widodo, maka segala nilai yang telah dicapai berdasarkan orientasi
terhadap budaya politik tersebut, cukup meragukan. Masyarakat
kemudian cenderung memilih presiden berdasarkan kharisma
yang diperlihatkan oleh calon presiden yang ada. Susilo Bambang
Yudoyono dan Joko Widodo boleh dikatakan sebagai presiden
yang kharismatis. Dan presiden yang kharismatis, belum tentu juga
mempunyai kemampuan manajerial yang bagus untuk mengelola
negara, apalagi negara besar seperti Indoensia. Ada beberapa ciri
dari charisma yang melekat pada dua calon presiden itu, yakni polos,
kalem dan tidak neko-neko, atau berapi-api. Ini merupakan ciri khas
dari budaya Indonesia yang tidak mengemukakan apa yang ada
sesungguhnya di dalam hati.
Kedua, pada Susilo Bambang Yudoyono, ada nuansa kegantengan
dan pada Joko Widodo hal merakyatnya, melalui instrument
blusukan. Padahal dua intrumen itu sama sekali tidak terkait dengan
kemampuan manajemen. Rakyat Indoensia kiranya memilih presiden
berdasarkan hal ini. Tindakan blusukan, seperti yang dilakukan Joko
Widodo boleh dikatakan memutus paham lama yang tergambar
dalam konsepsi ptron-klien, konsepsi yang lebih tertuju pada
kepentingan para elit penguasa dengan kelompoknya (Moeljarto,
1996: 44). Tentu maksudnya adalah keberpihakan dalamm
menjalankan kebijakan. Masyarakat yang memilih pemimpinnya
berdasarkan charisma tersebut, tidaklah dapat dikatakan sebagai
masyarakat yang modern. Tradisionalisme masih menjadi dominasi
pemikiran dari masyarakat seperti ini. Dengan demikian, boleh
dikatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia ini campuran. Pada
satu sisi sudah masuk modern karena memilih untuk tidak memilih
presiden yang dipandangnya gagal. Akan tetapi, pilihannya tetap
bercorak tradisional.
Sikap seperti ini tentu saja memiliki kelemahan yang bisa dilihat
secara mendasar. Yang pertama, dalam hal kecakapan manajemen
belum tentu akan mendapatkan presiden yang mampu mengelola
persoalan negara secara riil. Persoalan yang diurus presiden jelas
GPB Suka Arjawa
xxv
tidak hanya persoalan politik dalam arti garis besar saja (mencari
pendukung) tetapi sangat jauh lebih luas dari itu. Sudah jelas
presiden akan mengurusi masalah ekonomi, kejahatan, budaya,
sosial dan sebagainya. Akan tetapi, sering juga presiden harus
mengurusi intrik-intrik politik dari pesaingnya. Juga upaya-upaya
penyingkiran. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, presiden
yang hanya mengadalkan charisma saja, akan mudah goyang dalam
mengambil keputusan. Kemungkinan, Megawati Sokerano Putri dan
Joko Widodo terkena sindrom seperti ini sehingga lambat mengambil
keputusan. Megawati juga merupakan presiden yang mempunyai
charisma tersendiri, meski dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, terutama sebagai anaknya Presiden Soekarno, proklamator
RI, dan juga ditekan pada jaman pemerintahan Soeharto. Pada
konteks tertentu, hal yang sama juga terlihat pada Susilo Bambang
Yudoyono. Intinya, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma
akan kelabakan apabila berhadapan dengan intrik-intrik politik dan
gerakan-gerakan politik yang mendadak.
Kedua, presiden yang terlalu mengandalkan kharisma, justru
dibebani tuntutan besar oleh rakyatnya. Artinya, rakyat pemilih
terlalu berharap agar presiden mampu menyelesaikan segala
persoalan di masyarakat. Ia dianggap sebagai ratu adil sehingga
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala persoalan yang
ada. Padahal, seperti yang telah diutarakan tadi, tidak akan mungkin
presiden dapat menyelesaikan persoalan kompleks di masyarakat.
Dengan demikian, apabila presiden tidak mampu menyelesaikan
tugas yang dibebankannya, keterikatan masyarakat akan segera
berkurang dan nilai kharismanya langsung melemah. Ujungujungnya rakayat tidak akan memberikan dukungan lagi. Bahkan
mungkin sang presiden tidak akan dipercaya.
Ketiga, presiden yang dipilih secara kharismatis jelas mengabaikan
rasionalitas. Padahal, di tengah iklim global yang demikian kompleks
sekarang, rasionalitas harus menjadi tumpuan dari pemilihan
presiden. Seorang kepala negara harus terpilih berdasarkan
kemampuan-kemampuan intelektual, keterampilan, sosial, dan
sebagainya yang tentunya dapat diukur secara pasti. Cara mengukur
kemampuan itu, tidak saja dengan membaca trek rekordnya, akan
xxvi
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tetapi dapat dilihat pada saat ia di fit dan proper test. Perdebatan calon
presiden yang diselenggarakan menjelang pemilihan merupakan
salah satu ajang untuk mengukur itu. Presiden yang tidak terpilih
secara rasional, akan secara mudah tidak mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat pemilih.
Partai Politik
Partai politik merupakan alat utama bagi negara demokratis
untuk membuktikan kedemokrasiannya. Partai politik juga
merupakan salah satu infrastruktur politik, yakni suatu kelengkapan
yang diperlukan untuk menjalankan hal-hal yang bersifat kenegaraan
(Syafiie, Azhari, 2012: 79). Tidak dapat disangsikan bahwa disamping
partai politik, juga ada media massa dan keberanian masyarakat
untuk mengungkapkan pendapat. Kendati demikian, partai politik
tidak dapat tidak harus menjadi komponenn paling utama dalam
memperlihatkan kedemokrasian suatu negara. Ada empat hal yang
dapat dilihat sebagai peran utama partai politik dalam konteks ini.
Yang pertama adalah kemampuannya untuk merambah budaya
masyarakat. Artinya, sebagai sebuah entitas umum, partai politik
dapat dibentuk dengan nilai dasar yang mengarah kepada budaya,
suku atau agama. Dengan nilai dasar seperti ini akan mudah bagi
partai untuk mendapatkan massa berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Tidak keliru mendirikan partai dengan nilai seperti ini karena
tujuannya adalah menyampaikan aspirasi masyarakat. Di masyarakat
aspirasi itu beragam, sesuai dengan budaya mereka. Kedua, dalam
sistem pemilihan umum di banyak negara, partai politik menjadi
“bahan utama” untuk mencoblos. Indonesia di jaman Orde Baru,
memilih mencoblos partai, bukan pada orang-orang yang ada di
dalam partai. Sebagai wujud pencoblosan itu, maka terlihatkan partai
politik sebagai “wakil” demokrasi karena akan menjadi sasaran pilihan
secara bebas dari masyarakat. Mereka boleh memilih satu partai
darisekian partai yang ikut sebagai kontestan pemilu. Ketiga, yang
menjadi fungsi penting dari partai politik adalah sebagai penghubung,
“jembatan” antara masyarakat dengan pemerntah atau negara. Setiap
anggota masyarakat yang hendak mengutarakan kehendaknya dapat
menggunakan partai ini untuk berkomunikasi dengan pemerintah.
GPB Suka Arjawa
xxvii
Partai lah yang akan menyampaikan persoslan itu melalui
perdebatan di parlemen. Menurut pendapat Plato, terbentuknya
negara bermula dari keinginan untuk memenuhi kebutuhaan yang
bemacam-macam tersebut dengan cara bekerjasama (Chmid,
1980: 14). Keempat, adalah kelanjutan dari bagian ketiga tadi, yaitu
memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara
formal di gedung parlemen. Mereka yang memperjuangkan tidak lain
adalah anggota-anggota partai politik yang telah berhasil menjadi
anggota parlemen. Cara ini lebih bagus dibanding dengan jaman
Orde Baru karena pada jaman itu, wakil rakyat yang dicalonkan
partai, diseleksi pemerintah terlebaih dahulu (Sihbudi, 1997: 157).
Saat ini masing-masing anggota parlemen mempunyai konstituens
yang ada di masyarakat. Dalam konteks keadilan, para elit partai
yang menjadi perwakilan masyarakat haruslah mampu menjadi
sarana untuk mencapai keadilan disetributif, yaitu suatu hubungan
antara negara dengan warga, yangberarti negara wajib memberikan
keadilan kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, bantuan,
subsidi dan kesempatan hidup bersama berdasar hak dan kewajiban
(Santoso, 2014: 92-93).
Karena berdekatan dengan nilai-nilai sosial itulah kemudian,
maka partai politik ini mempunyai masa-masa tertentu di hadapan
masyarakat. Dalam arti, jumlah anggota, simpatisan dan partisipan
partai tersebut dinamis, frekuentif yang dapat dilihat dari perolehan
suara pada saat pemilihan umum berlangsung. Ada kalanya partai
politik berhasil merebut posisi tinggi pada pemilihan umum akan
tetapi ada kalanya juga anjlok perolehan suaranya. Sesungguhnya
banyak faktor yang menjadi penentu dari perolehan suara partai
politik pada pemilihan umum. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan
nilai-nilai budaya yang ada, perolehan suara partai politik pun akan
dipengaruhi juga. Penurunan perolehan suara merupakan indikasi
adanya penyimpangan pencapaian atau laju dari partai politik yang
menjauh dari nilai-nilai yang ada. Misalnya sebuah partai politik
tidak mampu memperjuangkan nilai-nilai budaya Bali, pasti akan
dijauhi oleh masyarakat Bali yang nilai masyarakatnya sangat
terkait dengan agama Hindu. Partai politik seperti ini harus segera
menyadarkan diri dengan keadannya tersebut. Secara teoritis, partai
xxviii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
politik akan mampu kembali merebut hati rakyat kalau kebijakan
partai tersebut kembali kepada nilai-nilai sosial yang ada. Tentu saja,
seperti yang diungkapkan di depan tadi, partai politik juga sangat
ddpengaruhi oleh ketokohan seseorang, charisma serta pola dan gaya
pendkatannya kepada masyarakat. Partai Demokrat, Golkar, PDI
Perjuangan, dan partai lain, pernah mengalami pasang surut seperti
ini di dalam perjalanan kepolitikannya. Pasang surut tersebut tidak
hanya terjadi pada skala nasional, tetapi juga lokal.
Persaingan Partai
Dalam percaturan partai politik, tidak jarang sebuah partai
pemmpunyai ideologi dan nilai-nilai yang sama. Misalnya, partai
politik dapat saja mempunyai ideologi Pancasila yang juga dipakai
oleh partai lainnya. Partai politikpun dapat mempunyai nilai
nasionalis atau nasionalis keagamaan. Dengan adanya persamaan
nilai dan ideologi ini, maka persaingan-persaingan antara satu partai
dengan partai lainnya tidak dapat dihindarkan. Yang kemudian
menjadi pemegang peran di dalam konteks persaingan seperti ini
tidak lain adalah figur seorang pemimpin partai politik atau cara
mereka melakukan pendekatan kepada masyarakat. Sebagai negara
yang sedang berkembang, masyarakat Indonesia masih sangat
melihat figure ketokohan yang ada di dalam partai politik. Ini
tidak dapat dilepaskan dari budaya Indoensia yang masih terikat
dengan messias atau juru selamat. Inilah yang sering menjadi daya
tarik dari partai politik. Karena itulah misalnya PDI Perjuangan
mempunyai massa yang banyak karena terkait dengan figure
Soekarno, proklamator Indonesia. Kharisma ini sekarang melekat
pada Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan partai tersebut.
Tidak dapat dilepaskan juga pada Partai Demokrat yang demikian
melekat pada figur Susilo Bambang Yudoyono, yang juga mempunyai
charisma yang kuat. Bukti bahwa Susilo Bambang Yudoyono
mempunyai kharisma, adalah keberhasilannya terpilih menjadi
presiden sebanyak dua kali. Partai Golkar pun pada hal-hal tertentu,
juga mengandalkan pada kharisma Soeharto, presiden Indonesia
yang kedua.
Mendekati masyarakat memerlukan pendekatan yang
GPB Suka Arjawa
xxix
bermacam-macam. Maka, untuk melakukan hal tersebut partai
politik melakukan berbagai macam pendekatan kepada masyarakat.
Memberikan bantuan keuangan terhadap pembangunan hak milik
umum, seperti misalnya balai pertemuan umum, memperbaiki
jalan atau justru membuka pasar yang terjangkau oleh masyarakat.
Bahkan ketika dilaksanakan pemilihan umum, anggota partai politik
juga ada yang memberikan uang sogokan. Cara-cara seperti ini
sering dinilai controversial karena uang menjadi faktor utama dalam
pendekatan kepada masyarakat. Padahal, partai politik seharusnya
mempunyai misi untuk mendidik masyarakat dalam hal melakukan
pilihan tersebut. Partai juga mempunyai strategi lain, yaitu berupaya
menarik massa dengan menonjolkan figure, meskipun ia bukan
figure kharismatis. Figur popular dipandang menguntungkan dengan
menarik keberpihakan masyarakat kepada penampilan dari figure
tersebut. Masyarakat negara berkembang sering kali mengaitkan
pilihannya dengan emosi psikologis yang ada. Karena alasan-alasan
seperti inilah kemudian banyak partai politik yang memakai artis
untuk menjadi calon anggota legislatif, sekaligus menjadi anggota
partainya. Pilihan kepada artis inipun tidak lepas dari kontroversial.
Dalam konteks edukasi politik, pemilihan kepada artis tidak mampu
member pendidikan politik kepada masyarakat karena mereka hanya
mendekatkan diri saja secara emosional. Artis yang popular belum
tentu juga mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan
politik dari masyarakat sehingga pemilihan artis sebagai anggota
partai dan selanjutnya menjadi anggota parlemen, dipandang sia-sia.
Terhadap berbagai kritik inilah kemudian partai politik mencoba
melakukan beberapa tindakan. Misalnya Partai Hanura melakukan
langkah dengan memberikan pembekalan kepada anggota
legislatifnya sebelum menjalankan tugas di parlemen. Ini dilakukan,
baik di daerah maupun di pusat.
Konflik Internal
Dalam perjalanan kepolitikannya, partai politik tidak jarang
mengalami konflik internal dengan berbagai kualifikasinya.
Perbedaan pandangan untuk mencapai tujuan, cara pandang untuk
mendekati konstituens, upaya penyebarkan pengaruh, sampai
xxx
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
kepada keinginan untuk menduduki posisi strktural yang strategis,
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya konflik di
dalam tubuh partai politik. Seluruh faktor-faktor yang diungkapkan
tersebut bermula dari cara pandang yang sederhana sesungguhnya,
yaitu bagaimana mewujdukan ide yang teruji untuk mencapai
tujuan. Kelemahan dari konsepsi ini adalah bahwa ide itu hanya
teruji secara sepihak, yang dapat diuji menurut keyakinan sendiri
maupun kelompok. Ketika keyakinan probadi dari seorang anggota
partai, apalagi tokohnya, mendapat dukungan dari pihak lain, maka
muncullah berbagai kelompok di dalam partai tersebut, yang sering
disebutkan dengan faksi. Dalam satu partai politik dijumpai banyak
faksi. Partai Golkar yang didirikan oleh berbagai ormas di awal
pendiriannya, potensi memunculkan faksi. Demikian juga Partai
Demokrasi Indonesia di jaman Orde baru.
Dalam perkembangannya, dasar konflik yang bermula dari
perbedaan ide pribadi itu, berkembang juga faktor lain yang muncul
sebagai pemicu. Faktor pemicu ini hanyalah sebuah unsur yang bukan
dasar tetapi kehadrannya akan dapat menumbuhkan konflik secara
lebih cepat karena dasar dari konflik tersebut sudah ada. Kehadiran
penyandang dana partai atau orang kaya yang mempunyai dana
besar, kehadiran orang popular, atau seorang tokoh masyarakat yang
mempunyai anakbuah banayak, akan mampu memicu konflik yang
sudah ada. Sebuah partai politik yang mempunyai ketetapan untuk
menempatkan kadernya sebagai pejabat struktural berpengaru,
jelas akan menumbuhkan konflik besar apabila kemudian ada kader
yang tiba-tiba naik pangkat menjadi tokoh semata-mata karena ia
seorang artis atau seorang yang mempunyai dana banyak. Konon
PDI Perjuangan sempat goyang keberadaannya karena kehadiran
Joko Widodo sebagai calon presiden. Padahal Joko Widodo bukanlah
kader yang berjuang dari bawah. Kalau dilihat berbagai plot
penggoyangan kepada Joko Widodo awal tahun 2015 ini, kelihatan
bahwa ada yang tidak puas dengan kehadiran presiden Indonesia itu
pada PDI Perjuangan.
Konflik internal partai biasanya membuat kestabilan organisasi
goyang dalam waktu yang cukup lama. Apalagi misalnya aktor konflik
tersebut ada pada tokoh dan elit-elitnya. Ada berbagai macam solusi
GPB Suka Arjawa
xxxi
yang terjadi kalau penyebab konflik tersebut ada di tangan tokoh.
Yang pertama adalah tergusurnya tokoh ini dari posisi strukturall
tertentu. Dan kedua, sebagai akibatnya menyebabkan munculnya
partai baru. Keberadaan Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Nasdem,
bahkan Partai Demokrat dikatakan sebagai akibat adanya perpecahan
yang terjadi diantara Partai Golkar (Syamsudin Harris, Kompas,
28 Maret 2015). Bagi negara yang politiknya sedang berkembang,
seperti Indonesia saat ini, perpecahan partai politik yang kemudian
memuculkan partai baru mempunyai manfaat positif. Para tokoh
tersebut semakin terasah keberaniannya karena membentuk partai
baru, dan dalam konteks partai bersangkutan, eskalasi konflik
menjadi lebnih sempait dan kemudian mampu menghilangkan
konflik lebih cepat. Bahwa Partaii Golkar kembali dilanda konflik
karena perbedaan pandangan kelompok Munas Bali dengan Munas
Jakarta, ini mungkin menjadi cikal-bakal akan munculnya partai
politik baru lagi di Indonesia.
xxxii
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Daftar Pustaka
Fuadi, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Cet II,
Jakarta, Kencana Prenada Media group.
Haryanto, 1982, Sistem Politik: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty.
Kelsen, Hans, Yusron, Nurulita (terj.), 2014, Dasar-Dasar Hukum Normatif:
Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum
dan Politik (Cetakan III), Bandung, Nusa Media.
Moeljarto, Vidhyandika, 1996, “Dimensi Politik Ekonomi Pembangunan
Nasional: Kebijakan dan Reformasi”, dalam Analisis, Tahun XXV, No.
1, Januari-Februari 1996.
Pakpahan, Agus, 1996, “Pengembangan Pertanian dalam Era Globalisasi:
Pertanian Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, dalam Prisma,
Nomor Khusus 25 Tahun Prisma, 1971-1996
Ritzer, George, Goodman, Douglas, Alimandan (terj.), 2007, Teori Sosiologi
Modern, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Romli, Lili, 2005, “Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekuatan Jawara:
Kasus Provinsi Banten”, dalam Haris, Syamsudin (Ed.), Pemilu
Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon
Legislatif Pemilu 2004, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama
Santoso, Agus, 2014, Hukum. Moral, dan Keadilan; Sebuah Kajian Filsafat
Hukum (Cet.II), Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Schmid, JJ. Von, Wiratno, dkk (Terj), 1980, Ahli-Ahli Pikir besar
tentang Negara dann Hukum: Dari Plato Sampai Kant, Jakarta, PT.
Pembangunan.
Setiadi, Elly M., Kolip, Usman, 2013, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta
Kencana Prenada Media Group.
Siagian, Faisal, 1996, “Keterwakilan Wanita Indonesia di Lembaga Legislatif”,
dalam Analisis Tahun XXV, No. 3, Mei-Juni 1996.
Sihbudi, Riza, 1997, “Mengkaji Ulang Praktek Pemilihan Umum Kita”, dalam
Analisis, XXVI, No. 2, Maret-April 1997.
Syafiie, Inu Kencana, Azhari, 2012, Sitem Politik Indonesia (Edisi Revisi),
Bandung, Refika Aditama
GPB Suka Arjawa
xxxiii
p
PRESIDEN
Presiden Itu
Harus Diatur Juga
S
ebulan menjelang kampanye legislatif dimulai, pembicaraan
tentang undang-undang kepresidenan mencuat. Disebutkan
bahwa undang-undang ini sebaiknya selesai sebelum
presiden dilantik bulan Oktober mendatang. Ini penting agar tidak
menimbulkan persoalan konfliktual di masa-masa mendatang. Pada
pihak lain, banyak juga yang terkejut dengan adanya pemikiran
untuk membuat undang-undang kepresidenan tersebut.
Dalam konteks politik, sebenarnya masa peralihan dari pemerintahan otoriter ke rejim demokratis merupakan masa yang
paling membahayakan bagi kehidupan suatu negara. Ini disebabkan
karena adanya perubahan praktik-praktik dalam menjalankan negara
maupun struktur politik secara mendasar. Banyak praktik baru yang
bertolak belakang dari praktek pemerintahan terdahulu. Misalnya,
parlemen yang sebelumnya demikian berkuasa menentukan
kebijaksanaan umum, kini harus tunduk terhadap pembatasanpembatasan. Hak bersuara yang sebelumnya dibungkam, kini tibatiba saja bebas. Kalau revolusi disebut-sebut sebagai perubahan
radikal terhadap sistem politik suatu negara, sesungguhnya transisi
dari rejim otoriter ke demokratis bisa dikatakan sebagai sebuah
revolusi juga. Hanya saja kalau dilihat dari karakternya, revolusi ini
bersifat lunak. Tidak ada pertumpahan darah, tidak ada pembunuhan,
tidak ada pemenjaraan dalam transisi seperti ini. Di masa transisi
akan terjadi semacam kegamangan dalam menentukan sikap praktik
politik atau lebih tepatnya disebut sebagai mencari-cari pola yang
GPB Suka Arjawa
3
pantas dalam berdemokrasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi kegamangan seperti itu, serta
untuk menjaga jalannya transisi secara benar menuju demokrasi,
adalah pembentukan mahkamah konstitusi yang bertugas untuk
menilai kembali segala produk perundang-undangan yang
muncul di masa transisi ini berdasarkan konstitusi dari negara yang
bersangkutan. Tujuannya tidak lain adalah agar arah perundanganundangana yang dibuat tidak menyimpang dengan konstitusi negara
(yang demokratis). Jika ada penyimpangan, itu akan bisa diluruskan.
Fenomena ini sebenarnya lumrah terjadi di negara mana saja yang
mengalami transisi politik seperti itu, seperti Afrika Selatan (dari
apartheid menuju demokrasi), Rusia (dari komunisme menuju
demokrasi) serta negara-negara di Amerika Latin yang banyak
mengalami perubahan politik dari masa otoriter menuju demokrasi
(salah satunya adalah Nicaragua). Indonesia pun membentuk
mahkamah konstitusi serta berbagai komisi lain yang akan mencoba
meninjau dan menilai produk-produk hukum yang dibuat.
Dalam konteks masa transisi tersebut, di Indonesia salah satu
lembaga yang mesti mendapatkan perhatian adalah lembaga
kepresidenan. Jika dicoba dilihat ke masa lalu, lembaga inilah yang
paling kental dominasinya sebelum reformasi itu bergulir. Banyak
yang mempermasalahkan bagaimana sepak terjang Jendral Soeharto
ketika menjaba presiden dulu. Tetapi ketika reformasi telah bergulir,
presidenpun kembali dipermasalahkan, baik ketika jamannya
Habibie, Gus Dur maupun sekarang di masa Megawati Soekarnoputri. Sebagian dari pemerintahan Habibie dan Gus Dur dinilai sebagai
tidak ada bedanya dengan Soeharto. Sedangkan Megawati dinilai
sebagai tidak pernah tegas, ragu-ragu dan sebagainya. Dalam hal
Megawati, bisa jadi keragu-ragauan itu terjadi karena ketakutan akan tindakannya yang dinilai menyimpang seperti yang pernah
ditimpakan kepada presiden-presiden terdahulu. Ini dikarenakan
tidak ada ketentuan perundangan yang jelas terhadap hak dan
kewajiban presiden.
Untuk mengatasi itulah maka undang-undang kepresidenen
itu penting. Dengan undang-undang ini akan menjadi jelas apa
yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang prersiden sehingga 4
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
penyimpangan anatupun gugatan terhadap presiden kelak, permasalahannya akan bisa dikembalikan kepada ketentuan hukum
yang ada itu. Perundangan ini, bukan saja perlu di masa transisi
sekarang tetapi juga untuk masa depan. Perkembangan politik yang
selalu dipengaruhi dinamika globalisasi akan bisa diatasi dengan undang-undang seperti itu. Sebaliknya undang-undang presiden
inipun kelakpun direvisi lagi. Jika undang-undang kepresidenen
ini kelak dinilai keluar jalur dario pakem demokrasi dan konstitusi
Indonesia, mahkamah konstitusi pasti bersedia menjalankan
tugasnya untuk menjaga lebenaran tersebut.
Jika ada pemikiran bahwa undang-undang kepresidenan itu harus
telah selesai sebelum pelatikan presiden bulan Oktober mendatang,
ini sangat logis dan merupakan keharusan. Secara politik seorang
calon presiden akan bisa mempertimbangkan diri berdasarkan perundang-undangan tersebut sebelum dirinya terjun mencalonkan
diri, bukan asal terima pencalonan saja. Jadi bagaimanapun, seorang
presiden itu harus diatur juga.
GPB Suka Arjawa
5
Faktor Perpecahan Dalam
Pemilihan Calon Presiden
“P
ertengkaran” soal pencalonan presiden tahun 2014 telah
dimulai. Ini barangkali masalah kecil atau masalah awal
yang bisa saja kelak mewarnai perdebatan soal pencalonan
di masa mendatang. Tinggal kurang lebih dua tahun lagi bagi
partai politik untuk memunculkan calon pemimpin pemerintahan
Indonesia, dan periode waktu ini (awal sampai pertengahan tahun
2012) paling baik untuk memunculkan calon tersebut. Jika telah ada
kesepakatan partai politik untuk memilih calonnya, maka perjalanan
setahun mendatang akan matang untuk memperkenalkan diri kepada
masyarakat.
”Pertengkaran” ini justru terjadi di Partai Golkar, lembaga
yang mempunyai sejarah tidak mau kalah dalam soal mengelola
pemerintahan. Dalam rapat pengurus Dewan Pimpinan Pusat
partai yang berlangsung beberapa waktu lalu diputuskan bahwa
partai ini akan mengusung Aburizal Bakrie menjadi calon tunggal
sebagai presiden tahun 2014. Akan tetapi pemilihan yang dilakukan
Dewan Pimpinan Pusat itu ditentang oleh Dewan Pimpinan Daerah
Tingkat II. Melalui salah seorang juru bicaranya, mengatakan bahwa
pihak DPD II harus dilibatkan dalam pencalonan tersebut karena
bagaimanapun DPD II ada pada akar rumput, wwilayah yang paling
dekat dengan pemilih. Ketentuan konstitusi Indonesia, bahwa
pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Itu artinya, DPD II
mempunyai peran sentral mempengaruhi rakyat untuk menentukan
pilihannya.
6
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Sentralitas 2014
Pemilu presiden 2014 merupakan isu yang sangat sentral dan amat
penting bagi partai politik, terutama partai politik besar. Dikatakan
sentral dan sangat penting karena ”lowongan” untuk menjadi
presiden pada saat itu sangat besar. Susilo Bambang Yudoyono yang
kini menjabat sebagai presiden, sudah tidak dibolehkan konstitusi
menduduki jabatan itu untuk yang ketiga kalinya. Maka, dengan
kondisi demikian, siapapun akan mempunyai peluang menjadi
presiden. Sentralitas pemilihan pada saat itu juga akan berlaangsung
seimbang. Artinya satu faktor yang menjadi pengikat pemilih, yaitu
figur, kemungkinan besar akan lenyap. Banyak yang menyebutkan
bahwa faktor figurlah yang menentukan keberhasilan SBY menjadi
presiden. Ketika sosok ini telah tidak mungkin mencalonkan diri lagi,
maka faktor figur itu akan hilang. Secara teoritik, masih belum ada
individu lain dalam politik Indonesia yang mempunyai figur seperti
SBY. Karena itu faktor figur tidak akan menjadi penentu lagi.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi faktor penentu dalam
pemilihan presiden nanti. Dalam konteks kultur Bali (kuno), seorang
pemimpin biasanya disebut ”kelihan”. Ini artinya mereka yang lebih
tua. Makna dari kata tersebut, diharapkan mereka yang mampu
menjadi pemimpin itu terletak pada orang yang lebih tua karena
dipandang pengalamannya lebih luas, lebih dahulu hidup (lahir)
sehingga dengan pengalamannya itu akan mampu memimpin secara
arif dan bijaksana. Akan tetapi dalam perjalanan waktu kata ”kelihan”
itu jelas tidak hanya bermakna kuno yang mengartikan umur semata
akan tetapi meluas pada lebih tua dalam berbagai hal, termasuk
tataran kemampuan ekonomi, sosial, budaya bahkan intelektualitas.
Karena itulah yang menjadi pemimpin tersebut tidak harus mereka
yang mempunyai usia tua. Jika mereka masih muda dan mempunyai
kemampuan ekonomi tinggi, bisa juga menjadi pemimpin. Demikian
juga yang mempunyai kemampuan besar di bidang intelektual,
budaya, teknologi, sosial dan sebagainya.
Barangkali, sebagai partai yang mempunyai segudang
pengalaman memerintah dan segudang tokoh di dalamnya, riakriak perpecahan dalam Golkar tersebut muncul dari sumber dayanya
tersebut. Jadi, filosofi ”kelihan” ini menjadi berkembang dalam
GPB Suka Arjawa
7
konteks keragaman yang ada di Partai Golkar. Karena itulah ketika
Dewan Pimpinan Pusat mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai calon
pemimpin negara, maka ada pihak yang masih belum memandang
cukup karena ada ”kelihan” yang lain. Mungkin Aburizal Bakrie
”tua” dalam kemampuan ekonomi akan tetapi ada Akbar Tanjung
yang juga ”kelih” dalam pengalaman berpolitik dan organisasi. Yang
terakhir ini tidak saja pernah menjadi ketua umum partai akan tetapi
juga berkali-kali menjadi menteri di jaman Presidenn Soeharto, dan
berpengalaman ”menyelamatkan” Golkar ketika dikoyak-ayik saat
reformasi tahun 1998. Mungkin juga nanti akan muncul pendapat
lain, karena Yusuf Kala juga mempunyai predikat ”kelihan”, yakni
berpengalaman menjadi wakil presiden, sebuah jabatan yang hanya
tinggal satu anak tangga lagi menjadi presiden.
Pemilu presiden 2014 sudah pasti akan mampu memancing
masyarakat untuk lebih bersikap rasional, memakai pertimbangannya
sendiri untuk mendapatkan manfaat maksimal, tidak lagi tergantung
dari figur semata. Karena itulah masyarakat akan dipermainkan
oleh faktor-faktor seperti yang disebutkan diatas, yaitu besar dan
tua dalam kemampuan ekonomi, sosial, budaya, atau teknologi. Bisa
saja kelak yang terpilih menjadi presiden adalah seorang budayawan
yang memang dipandang layak oleh masyarakat. Bisa juga seorang
aktivis sosial.
Partai Besar harus Waspada
Dengan kosongnya calon presiden dari faktor figur tersebut,
maka partai besar harus waspada dalam menjaring dan memilih
calon presidennya nanti. Figur bukanlah hal yang cocok lagi dan ini
merupakan cara paling bagus dalam memberikan pendidikan kepada
masyarakat. Partai besar mempunyai kesempatan untuk memilih
calonnya yang terbaik dan berupaya melakukan koalisi dengan
paartai lain. Akan tetapi yang perlu dipertimbangkan, bahwa koalisi
yang dilakukan itu tidak boleh pecah di tengah jalan. Kehancuran
koalisi di tengah jalan justru akan mampu mengguncang dan
menghancurkan partai itu sendiri. Rakyat akan terlalu bisa menilai
kualitas partai yang bersangkutan dan kemudian akan menjauh pada
pemilihan berikutnya. Partai besar (semacam Demokrat) berpotensi
8
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
mampu menggerakkan rakyat dalam jumlah yang besar pula dalam
melakukan pilihan karena basis mereka di akar rumput juga besar.
Namun sekali partai ini salah dalam memilih atau melakukan
mekanisme, partai yang bersangkutan, sekali lagi, akan ditertawai
pemilih.
Partai Golkar sudah tidak diragukan lagi kebesaran pendu­
kungnya. Tetapi apabila dalam memilih calon presiden partai ini
kembali terlibat pertikaian dengan rekan-rekannya sesama partai,
maka simpati dari masyarakat akan bisa berkurang. Jika ini terjadi,
pengalaman puluhan tahun ikut bergabung di pemerintahan akan
bisa sia-sia. Bukan tidak mungkin partai ini akan gagal lagi dalam
merebut posisi tertinggi di Indonesia. 
GPB Suka Arjawa
9
Menyikapi Calon Presiden
Dari Istri Pejabat Negara
S
ilang pendapat tentang dicalonkannya anggota keluarga
presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadi presiden periode
2014-2019, sampai saat ini terus saja berlangsung. Hal ini
sebenarnya telah muncul tahun lalu, tiga tahun sebelum pemilihan
presiden dilakukan. Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa tokoh
Partai Demokrat sempat ditegur Presiden SBY karena menyebutnyebut kecocokan Ibu Ani Yudoyono sebagai presiden mendatang.
Pertimbangannya, beliau pernah menjadi wakil ketua umum
Partai Demokrat, salah satu pendiri paartai ini dan menguasai
masalah kenegaraan. Kemampuan Ibu Ani menguasai masalah
ketatanegaraan disebabkan karena posisinya sebagai istri dan
mendampingi presiden dalam berbagai kunjungan. Hal ini menjadi
sebuah konsekuensi logis dari jabatan sebagai seorang istri presiden.
Dengan berbagai pertimbaangan itulah, kalangan internal Partai
Demokrat memandang layak untuk menjadi calon presiden.
Bagaimanapun arus wacana tersebut, seharusnya hal demikian
tidak memberikan kegaduhan politik yang berkepanjangan. Titik
pandang yang harus dilihat dari konteks ini adalah kata ”calon”,
”tingkat kecerdasan politik masyarakat”, dan ”sistem demokratisasi”.
Kata ”calon”, jelas menyiratkan sesuatu yang belum jadi, belum laku,
dan belum pasti. Ia hanya mengacu kepada kecenderungan yang
akan diharapkan untuk menjadi sesuatu, yang dengan segala sumber
daya yang dimilikinya diusahakan untuk tercapai. Jika Ibu Ani
dicalonkan menjadi presiden, sudah pasti ia belum menjadi presiden
dan belum tentu menjadi presiden. Kekhawatiran yang muncul disini
10
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
terletak pada adanya preseden buruk pada politik Indonesia yang
mampu mempengaruhi perilaku-perilaku politik Indonesia di masa
mendatang. Arus reformasi Indonesia sangat alergi dengan oligarki/
dinasti politik yang memungkinkan berbagai sanak keluarga ikut
dilibatkan dalam dunia politik yang mereka kuasai. Harus diakui
bahwa fenomena demikian sangat kuat terjadi di luar struktur
presiden. Cukup banyak kepala daerah tingkat I dan tingkat II di
Indonesia yang melibatkan sanak keluarganya ke dalam kegiatan dan
jabatan politik dimana mereka berada. Dengan demikian, masuknya
Ibu Ani Yudoyono sebagai calon presiden dikhawatirkan akan lebih
melanggengkan lagi model-model oligarki politik ini di Indonesia,
sehingga kondisinya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan apa yang
terjadi di masa lalu.
Persoalan kekhawatiran demikian, seharusnya bisa dikon­
frontirkan dengan tingkat kecerdasan politik masyarakat. Jalannya
politik sebuah negara (bahkan satu kabupatan atau provinsi
sekalipun), sangat tergantung kepada kecerdasan politik masyarakat.
Ada tiga faktor penentu dari tingkat kecerdasan seperti ini, yaitu tingkat
sosialisasi politik, tingkat pendidikan dan ketersediaan ruang publik
untuk mengartikulasikan kepentingan. Sosialisasi politik merupakan
bentuk paling awal dari faktor penentu ini yang menerjemahkan
bagaiman rakyat paham tentang apa fungsi, tugas, wewenang dari
lembaga politik, seperti presiden, DPR, bupati dan level-level lainnya.
Keberhasilan sosialisasi itu tidak hanya ditentukan oleh pemerintah
tetapi juga aktor-aktor penggerak politik, seperti kaum intelektual,
lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat yang peduli
dengan gerakan reformasi. Tingkat pendidikan sanagat berpengaruh
kepada pemahaman tentang apa arti politik bagi kesejahteraan
umum dan kemajuan peradaban. Pendidikan disini tidak hanya
berarti pendidikan formal tetapi kemampuan masyarakat menyerapp
pengetahuan. Sebab pengatahuan itulah yang menjadi inti dari proses
terdidik dan tidaknya masyarakat. Secara umum, semakin tinggi
tingkat pengetahuan masyarakat, akan semakin mudah bagi mereka
untuk memahami makna politik dan lebih gampang juga sosialisasi
diperkenalkan. Ruang publik adalah lokasi ekpresi masyarakat, pusat
interaksi sosial secara demokratis. Lokasi seperti ini akan mampu
GPB Suka Arjawa
11
memadukan kecerdasan dengan kedewasaan masyarakat karena di
ruang seperti itulah masyarakat akan mengemukakan segala macam
pendapat dan rasa intelektualnya kepada pihak yang lain. Dan dari
lokasi ini pula masyarakat akan diperlihatkan kemampuannya untuk
menerima pendapat baru, menilai sebuah fenomena dan menerima
segala kekurangan dari kadar intelektualnya. Ruang publik tidak
saja bisa berbentuk ruang dalam arti sebenarnya seperri lapangan,
warung, dan sejenisnyaa tetapi juga media lain seperti surat kabar,
televisi, radio yang menyiarkan acara-acara interaktif. Tentu juga
medua genggam seperti telepon seluler dan ruangtatap muka yang
lain. Kecerdasan politik masyarakat akan sangat tergantung dari
hal-hal yang diutarakan diatas dan kecerdasan inilah yang akana
menentukan lolos tidaknya pilihan bagi anggota keluarga para
pejabat negara itu.
Sistem demokratisasi merupakan komponen jaringan yang
memungkinkan terpadunya antara kebebasan masyarakat,
berbagai elemen kecerdasan dan komponen politik kenegaraan
berbaur dalam menentukan output (keluarannya). Jadi, tidak ada
lagi unsur pemaksaan dalam pemilihan politik karena masyarakat
telah dilindungi kebebasannya dalam memilih, masyarakat mampu
menggunakan berbagai bentuk akal kecerdassannya untuk menilai,
melakukan pilihan dan bertindak dalam ukuran-ukuran politik.
Sistem demokratisasi yang melindungi harga kemanusiaan akan
memberikan hasil yang positif bagi keberlanjutan ketatanegaraan.
Dengan demikian, apabila istri presiden dan istri pejabat manapun
yang hendak diamajukan sebagai seorang calon presiden, seharusnya
diserahkan saja kepada mekanisme ”alami” yang bertumpu kepada
tingkat kecerdasan politik masyarakat dan tingkat demokratisasi
yang telah ada di sebuah negara. Jika dari sisi negatif cara ini akan
mengacu kepada munculnya preseden buruk politik yang akan
mampu mempengaruhi generasi politik mendatang, sisi positifnya
juga mesti dilihat. Pemunculan istri presiden atau istri seorang
pejabatn sebagai kandidat presiden justru akan mampu menguji
tingakt kecerdasan politik di suaru negara, mengukur keberhasilan
sosialiasi politik dan juga menguji tingkat demokrastisasi yang
berlaku di sebuah negara. Pencalonan istri presiden, mempunyai
12
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
nilai yang tidak berbeda dengan anak seorang presiden, istri mantan
presiden, suami mantan presiden atau anak dari mantan presiden.
Kalaupun muncul suara-suara untuk mencalonkan Ibu Ani
Yudoyono sebagai calon presiden mendatang, itu akan mempunyai
konsekuensi negatif dan positif seperti yang diungkapkan diatas.
Bagaimana harus menganggapi atau menafsirkan sikap presiden
yang konon menegur pejabat Partai Demokrat tersebut?
Yang pertama, penafsiran bisa dikatakan sebagai ungkapan
kekhawatiran munculnya wacana publik yang khawatir dengan polapola KKN seperti jaman Orde Baru. Yang kedua, jika dilihat dari
sisi politik, bisa saja ditafsirkan ini sebagai sebuah strategi ”tunggu
tanggapan”. Artinya jika tetap ada desakan dari masyarakat untuk
mencalonkan Ibu Ani sebagai presiden, mesti Pak SBY telah berkalikali menolak atau menegur, mungkin saja menjelang deadline
pencalonan mendatang, Ibu Ani akan diformalkan sebagai calon
presiden. Ini hanya sebagai sebuah penafsiran saja! 
GPB Suka Arjawa
13
Lepaskan ”Set Kedua”,
Kosentrasi Pada Set Berikut!
K
etika permainan bulutangkis masih konvensional dengan
memakai poin 15 untuk satu set, ada hal menarik yang
diperlihatkan para pemain dunia saat itu. Jika set pertama
mereka telah unggul lalu mengalami kemunduran mental pada
set kedua, pemain ini akan melepaskan set kedua itu. Ia akan
berjuang habis-habisan di set ketiga. Kebanyakan mereka berhasil
memenangkan pertandingan. Tidak hanya di bulutangkis, pada
permainan lainpun demikian. Bola volly, sepakbola, tenis juga
demikian. Dari pada ngotot di set kedua tetapi mental sudah
kedodoran, lebih baik melepaskan set itu untuk mengirit tenaga
dan memulihkan kepercayaan diri. Setiap set mempunyai mental
tersendiri dan daya juang tersendiri pula.
Sikap dan perilaku pada permainan olahraga, mempunyai
beberapa kesamanaan dengan apa yang terjadi pada bidang politik.
Yang membedakan adalah ”waktu jeda” untuk mengambil nafas dan
kosentrasi itu. Pada dunia olahraga, jeda ambil nafas, memulihkan
mental dan kepercayaan diri berlangsung dalam rentang waktu
menit. Tinju memerlukan waktu sekitar semenit untuk memulihkan
kepercayaan diri ke babak berikutnya, bulutangkis sekitar lima
menit, sepakbola sekitar 15 menit. Politik, khususnya partai politik,
memerlukan waktu bertahun-tahun. Tidak mungkin memulihkan
kepercayaan diri itu hanya dalam waktu sebulan. Politik memerlukan
perbaikan perilaku pendukung untuk meyakinkan publik demi
meraih kepercayaan. Ia juga memerlukan bukti kinerja, pemenuhan
janji-janji, meyakinkan publik dengan bukti-bukti terhadap
14
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
perubahan orientasi partai. Satu saja aparat partai menyimpang
dari aturan normatif dari kehidupan sosial, memerlukan waktu yang
cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan publik. Seperti juga
dunia olahraga, jeda waktu ambil nafas ini akan tetap berpotensi
untuk meraih kemenangan.
Apa kaitannya dengan partai politik?
Disamping Partai Keadilan Sejahtera yang tiba-tiba menghadapi
masalah besar, Partai Demokrat kini tiba-tiba juga ribut di dalam
akibat beberapa survei yang menyebutkan elektabilitas partai ini
menukik tajam. Yang muncul kemudian adalah desakan untuk
memundurkan ketua umum partai yang bersangkutan. Turunnya
ketua umum ini diharapkan akan mampu memulihkan kepercayaan
diri pendukung, dengan ”bantuan” figur Susilo Bambang Yudoyono
pada partai. Masih belum jelas bagaimana peran SBY pada partai ini.
Desakan turunnya ketua umum, disebabkan karena adanya tuduhan
sang ketua umum terlibat korupsi.
Namun demikain dari sisi upaya pemulihan kepercayaan diri,
ribut-ribut untuk menurunkan ketua umum ini sudah sangat
terlambat. Kontroversi soal tuduhan korupsi tersebut sudah
berlangsung berbulan-bulan bahkan lebih dari setahun. Rentang
waktu kontroversial setahun ini merupakan jawaban yang paling
jelas, mengapa elektabilitas partai begitu merosot. Inilah salah satu
kegagalan partai dalam memelihara kepercayaan publik. Dengan
begitu upaya untuk memulihkan kepercayaan publik cukup sulit
di tengah iklim keterbukaan yang sekarang sudah mempengaruhi
masyarakat.
Maka, seperti pada permainan bulutangkis, cara paling baik
untuk memulihkan kepercayaan adalah dengan melepaskan ”set
kedua” untuk konsentrasi pada set berikutnya. ”Set kedua” yang
dimaksudkan ini tidak lain adalah pemilu pemilihan presiden tahun
depan, termasuk juga pemilihan legislatif yang berlangsung tahun
depan. Partai politik justru akan menderita kerugian besar apabila
ribut-ribut internal itu terjadi hanya setahun menjelang perhelatan
politik. Padahal, untuk memulihkan kepercayaan diri pada bidang
politik diperlukan waktu bertahun-tahun. Dalam kondisi seperti
itu, upaya-upaya untuk menurunkan pejabat partai, entah itu ketua
GPB Suka Arjawa
15
partai atau pejabat teras lainnya, justru akan memicu faksional
baru atau mempertegas faksionall yang sudah ada di dalam partai.
Faksional adalah pengelompokan di dalam satu partai politik, yang
merupakan wujud dari perpecahan dan menjadi cikal bakal partai
baru. Hal lain yang bisa terjadi adalah kecurigaan akan adanya
ambisi-ambisi perorangan atau kelompok untukmenduduki jabatan
atau mempertahankan kekuasaan. Artinya, upaya pencopotan itu
mempunyai nilai ganda. Ia tidak semata-mata beralasan memulihkan
nama baik partai tetapi di balik itu tersimpan tujuan tersembunyi
untuk mempertahankan kekuasaan individu atau kelompok tertentu
pada bidang pemerintahan.
Dalam hal Partai Demokrat misalnya, menurunnya elektablitas
partai ini amat mungkin tidak hanya disebabkan oleh berbagai
kasus korupsi yang menimpa kader-kadernya tetapi disebabkan oleh
takdir partai itu sejak awal yang melekat pada figur Susilo Bambang
Yudoyono. Figur inilah yang mengikat masyarakat. Dalam dua pemilu
sebelumnya, Susilo Bambang Yudoyono masih bisa mencalonkan diri
menjadi presiden. Fenomena demikian berbanding lurus dengan
figur SBY dan berbanding lurus juga dengan daya lekat partai itu
kepada masyarakat. Kini ketika kesempatan SBY sudah tidak ada
lagi menjadi presiden, maka hal demikian juga berbanding lurus
dengan daya lekat masyarakat kepada paartai tersebut. Orang bisa
saja melepaskan keterikatakn partai karena figur yang mereka panuti
sudah tidak mungkin menjabat lagi. Jadi, menurunnya elektablitisa
partai ini juga bisa dikaitkan dengan sebuah resiko politik bagi partai
yang terlalu mengandalkan figur sebagai cara untuk meraih suara.
Di jaman modern sekarang, sudah tidak jamannya lagi partai
politik memakai figur untuk meraih massa. Dalam konteks
internasional, entah itu di Amerika Serikat (Kennedy). India (Nehru),
Pakistan (Bhutto), Indonesia (Sukarno), sudah jauh merosot peran
figur tersebut dalam meraih suara masyarakat. Faktor pengaruhnya
adalah intelektualitas masyarakat yang sudah meningkat akibat
keterbukaan yang luar biasa. Tidak ada lagi figur-figur itu yang
berkuasa. Kalaupun berkuasa di sektor-sektor yang lebih kecil
misalnya kabupaten atau kecamatan), itu sangat ddipengaruhi oleh
tingkat perkembangan rasionalitas politik masyarakat.
16
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Maka, dalam kasus seperti Partai Demokrat, lepaskan saja set
kedua ini, mulai lagi membangun partai dengan landasan rasionalitas,
kejujuran dan kesungguhan hati dalam mengelola massa. Relakan
para pejabat partai itu turun panggung dari kekuasaan pemerintahan
untuk bahu membahu lagi membuat partai politik yang rasional.
Biarkan hukum yang menilai bagaimana masalah-masalah korupsi
yang dikaitkan dengan partai tersebut. Dengan cara itulah citra
partai akan mampu terbangu lagi. Mengambil jeda dan memilihkan
kepercayaan diri untuk memenangkan set berikutnya memerlukan
waktu bertahun-tahun. 
GPB Suka Arjawa
17
Baik Buruk Calon Presiden
yang Berani Tampil Lebih Dulu
A
pabila Partai Golkar telah menyebutkan calon presidennya
untuk pemilu 2014, seperti juga yang dilakukan oleh Hanura
atau Gerindra, tidak demikian halnya dengan Partai Demokrat,
PDI Perjuangan dan PKS. Meski dua partai terakhir calonnya telah
sering disebut-sebut, tetapi tetap belum ada nama pasti. Samarsamar mungkin ya, tetapi kepastiannya belum ada. Di Bali, apa yang
dibilang samar itu cukup menakutkan dan dihindari orang, dipakai
sebagai mitos untuk menghindari tempat-tempat tertentu. Bagi partai
politik yang bersemangat ikut pemilu presiden 2014, acara samarsamar ini harus diperhatikan betul karena bisa-bisa akan dihindari
masyarakat. Menunggu survei hasil pesanan juga belum tentu akan
mampu memberikan kontribusi positif bagi elektablitas calon. Jadi,
bagaimana sebaiknya memosisikan calon presiden setahun sebelum
perebutan pemimpin tersebut digelar?
Tinjauan sejarah kontemporer Indonesia memperlihatkan bahwa
pemilihan umum secara langsung rakyat terhadap presiden hanya
memberikan pilihan kepada mereka yang mampu menunjukkan diri
sebagai calon presiden. Kalau Habibie dipilih berdasarkan ”turunan”
dari pemimpin terdahulu, Gus Dur dan Mega terpilih karena
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka boleh dikatakan
hanya Susilo Bambang Yudoyono terpilih melalui pilihan langsung
oleh rakyat. Ya, memang benar mayoritas mengatakan bahwa
terpilihnya pria asal Blitar ini disebabkan oleh pembawaaannya
yang kharismatis dan nJawani. Akan tetapi, harus juga dilihat bahwa
keberaniannya untuk mengumumkan diri sebagai presiden, menjadi
18
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
faktor penguat keberhasilannya. Keberanian memunculkan diri itu
penting untuk masa ketika rakyat masih dalam keadaan stelemate
memilih pemimpin. Ketika mencalonkan diri tahun 2004, mungkin
masyarakat telah tahu bagaimana kepemimpinan presiden-presiden
sebelumnya. Dalam arti, masyarakat telah mengetahui bagaimana
kinerja dan pola kepemimpinan presiden sebelumnya. Wajah abuabu itu sepertinya diselingi oleh jelasnya tampilan Susilo Bambang
Yudoyono karena memberanikan diri menegaskan sikap. Tetapi,
bukan saja Susilo Bambang Yudoyono yang menjadi penjelas juga
apa yang dilakukan Amin Rais.
Karena itulah kemudian, mereka yang menyatakan berani tampil
menjadi presiden mempunyai peran penegas, membuat suasana abuabu meluber dan cenderung ke arah positif. Apabila misalnya tahun
2004 itu, SBY tidak mencalonkan diri, melainkan misalnya Yusuf
Kalla, bisa jadi Kalla akan terpilih menjadi presiden karena ia menjadi
faktor penegas di saat suasana abu-abu. Bahwa kemudian SBY yang
terpilih, barulah kemudian faktor X yang berperan. Faktor X itulah
yang terletak pada kharisma, pembawaan dan nJawani tersebut.
Sekarang, sesungguhnya faktor abu-abu itu telah jelas
terlihat dalam blantika politik Indonesia. Hebat di awal periode
pemerintahn baik tahun 2004-2008 maupun 2009-2014, tetapi
SBY banyak mendapat kritik menjelang akhir kepemimpinannya.
Mudahnya presiden marah, mengritik lawan serta kasus korupsi
yang tetap marak, merupakan beberapa kritik yang ditujukan
kepada pemerintahan SBY. Kritik dan kenyataan dari pemerintahan
tersebut kemudian semakin menyadarkan masyarakat bahwa
memilih presiden tidak harus sekedar memilih kharisma belaka
tetapi ada faktor lain, misalnya kemampuan manajemen, agar
mampu menjalankan tugas kenegaraan. Dengan demikian, bolehlah
dikatakan bahwa sebenarnya sekarang masalah fenomena politik
itu masih abu-abu. Rakyat masih belum bisa menilai bagaimana
keberhasilan pemerintah sebelumnya.
Karena itu merupakan kesempatan yang bagus bagi partai politik
yang telah mempunyai keberanian mengeluarkan calon presiden.
Dengan cara demikian, rakyat akan mampu melakukan penilaian
terhadap calon bersangkutan, memberikan kritikan kepada calon dan
GPB Suka Arjawa
19
syukur-syukur memberi masukan. Wilayah abu-abu yang ditinggalkan
oleh kepemimpinan sebelumnya seolah menjadi tercoret dan
digantikan oleh harapan-harapan dari kepemimpinan (calon) yang
baru ini. Dalam massa yang dipenuhi oleh area abu-abu, harapan itu
sangat penting. Politik boleh dikatakan sebagai pengelolaan harapan
sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat. Calon presiden yang berani
tampil terlebih dahulu, memiliki kesempatan lebih besar mengelola
harapan itu menjadi potensi kemenangan, baik melalui janjijanjinya maupun fakta-fakta yang berupaya diungkapkan. Waktu
dan manajemen kampanye yang akan membuktikan bagaimana
keberhasilan calon presiden tersebut mengelola harapan kepada
masyarakat. Akan tetapi,waktu dan keterampilan juga yang kemudian
mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan saat memperkenalkan
diri kepada masyarakat. Keberhasilan pengelolaan, termasuk tentu
saja profesionalitas, akan mampu menumbangkan citra bahkan
kharismatis seorang calon presiden kompetitor. Dalam hal Indonesia,
nampaknya masyarakat sudah semakin paham apa makna kharisma
itu dan sejauhmana kharisma mampu mendongkrak keberhasilan
dalam mengelola negara. Kharisma mungkin mampu menarik
pemilih tetapi belum tentu mampu melakukan pengelolaan negara
secara lebih baik. Sejarah Indonesia dalam batas-batas tertentu telah
membuktikan hal tetrsebut.
Di balik manfaat yang mampu diraih kandidat yang lebih dahulu
diperkanlakn kepada publik, tetap ada kelemahan-kelemahan
dihadapi. Dari sisi politis dan norma yang ada, tampilan terlebih
dahulu ke publik akan dipandang sebagai tukang salip dan tukang
mencuri start. Jika pencitraan ini yang melekat pada masyarakat,
maka kandidat seperti ini harus waspada. Betapapaun gencarnya
calon menampakkan diri, sukar bagi masyarakat untuk menambatkan
hatinya. Sebab, Indonesia masih trauma dengan politisi-politisi
busuk dan politisi yang suka mencuri start. Trauma sejarah ini, tidak
main-main karena telah berlangsung sejak jaman Orde Baru sampai
dengan jaman reformasi. Katakanlah apabila reformasi ini telah
berlangsung 13 tahun ditambah dengan 15 tahun pemerintahan Orde
Baru terakhir, maka panjang trauma sosial terhadap politisi-politisi
buruk di Indonesia itu sepanjang 28 tahun. Hampr sama dengan
20
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
kekuasaan Orde Baru. Dalam arti lain, trauma itu berlangsung
hampir satu generasi. Maka, tantangan calon presiden yang lebih
dahulu berani mengumumkan dirinya ke ruang publik sangat besar.
Berani tampil ke publik haarus diimbangi dengan tindakan dan
kiat-kiat yang benar-benar bersih dan taktis, tidak melakukan janji
muluk-muluk dan harus mampu mencitrakan diri sebagai calon
presiden yang berasih.
Mau tidak mau juga harus diperhitungkan biaya ekonomi. Mereka
yang tampil terlebih dahulu ke ruang publik akan mengeluarkan
biaya lebih banyak. Biaya ekonomi politik juga lebih banyak. Hati-hati
dengan hal ini karena masyarakat juga sudah memasukkan ke dalam
memorinya, biaya ekonomi politik sangat terkait dengan kualitas
koruptif para politisi. Jika ini terjadi, jangan-jangan calon presiden
itu kelak ketika berhasil menjadi presiden, akan melegalkan korupsi.
Masyarakat tidak ingin hal ini terjadi. Itu baik buruk dari calon
presiden yang berani tampil mendahului. Jadi harus benar-benar
terampil memanfaatkan sisa waktu yang ada sebelum pemilihan
2014. 
GPB Suka Arjawa
21
Kelemahan Popularitas
Calon Presiden Indonesia
C
alon presiden dari Partai Golkar ternyata masih banyak
mengritik. Bukan hanya dari kalangan eksternal tetapi justru
dari sisi internal partai ini banyak yang melakukan otokritik.
Misalnya, ada yang menyuruh mundur saja dan lebih baik berposisi
sebagai King Maker. Tetapi, Partai Demokrat juga mempunyai
masalah sama. Meski mekanisme konvensi sebagaian sudah
berjalan, akan tetapi hasil konvensi inipun banyak yang meragukan.
Kemungkinan calon presiden dari hasil itu tidak akan bisa ikut
bertarung kalau partai ini tidak mendapatkan suara banyak dalam
pemilihan legislatif nanti. Akibatnya, Demokrat harus ikut koalisi
dengan pertai lain. Apabila hal ini terjadi, belum tentu calon dari
partai tersebut terpilih dan diajukan. Alasannya: peserta konvensi
Partai Demokrat kalah populer dibanding calon partai lain, apalagi
Jokowi yang menjadi ”milik” PDI Perjuangan. Meski partai ini masih
malu-malu kucing mencalonkan gubernur DKI itu tetapi, justru
rakyat akar rumput banyak yang menggadang-gadangnya menjadi
calon presiden. Malah para bebotoh telah ada mulai pasang taruhan,
apakah kelak Jokowi dicalonkan atau tidak oleh PDI Perjuangan.
Kalau sudah begini, sikap partai pun pada akhirnya mendorong
munculnya perilaku judi di masyarakat. Jadi, sebaiknya partai politik
mesti tahu juga keadaan masyarakat kalau memang para elitnya
masih malu-malu mengakui keunggulan calon yang tiba-tiba muncul
di masyarakat.
Bahwa calon presiden dari Partai Golkar masih banyak mendapat
kritikan dari kalangan internal, bisa disebutkan bahwa popularitas
22
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
itu ternyata memiliki hal lain di belakangnya. Calon dari partai
ini jelas mempunyai popularitas tinggi. Bukan karena pernah
menjadi menteri, pemilik perusahan besar termasuk juga sering
kelihatan di televisi, tetapi baik kiprahnya dalam dunia ekonomi
Indonesia maupun dinasti keluarganya memang telah mempunyai
posisi tersendiri di Indonesia. Akan tetapi, sebagai calon presiden,
popularitas itu memang tidak cukup. Disinilah harus dilihat bahwa
missi sebagai calon presiden mempunyai faktor lain tersembunyi,
tidak kelihatan, dimana faktor inilah yang mengaitkannya dengan
kehendak masyarakat. Secara umum dikatakan bahwa kharisma
akan mendorong masyarakat untuk memilih. Tetapi di samping
kharisma ada faktor tersembunyi yang sangat mempengaruhi sikap
masyarakat untuk memilih. Dikatakan tersembunyi karena ada
kekuatan penggerak yang mendorong masyarakat memilih yang
bersangkutan sebagai presiden. Apabila kharisma Soekarno dilihat
dari cara berpidatonya, keberaniannya dan kepintarannya bersilat
lidah, bagaimana harus menilai keterpilihan dari Cory Aquino sebagai
Presiden Filipina tahun 1986?
Kekuatan tersembunyi dari Cory adalah keyakinan rakyat bahwa
di balik penderitaannya ada keinginan tulus untuk memerintah
rakyat yang terpinggirkan di masa Ferdinand Marcos. Dan itulah
yang kemudian terbukti karena Cory mampu menyelesaikan tugasnya
selama enam tahun di tengah berbagai upaya kudeta dari Gregorio
Honassan. Megawati bisa dikatakan sebagai kekuatan kharismatis
yang didapatkan fari sang ayah. Kekuatan ini sesungguhnya tidak
melekat terlalu kuat dan mudah goyah. Dengan konteks itu, mudah
dimengerti mengapa pada pemilu tahun 1999 kekuatan PDI
Perjuangan masih mampu ditempel oleh Partai Golkar dan partai lain
yang kemudian memilih Gus Dur sebagai presiden melalui pemilihan
di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mega pun hanya terpilih
setelah Gus Dur ”dilengserkan”. Selanjutnya popularitas Megawati
terus merosot. Boleh dikatakan rakyat masih belum melihat
kekuatan tersembunyi di balik tokoh Megawati, mesti harus diakui
apabila orangtuanya mempunyai kekuatan komplit, baik sebagai
orang kharismatis maupun kekuatan tersembunyi yang hanya bisa
dirasakan masyarakat.
GPB Suka Arjawa
23
Pada konteks itulah harus dilihat bagaimana kondisi pemilihan
umum presiden Indonesia tahun depan. Seorang calon presiden harus
dipersepsikan mempunyai kekuatan tersembunyi di luar kharisma
yang dimilikinya. Jadi, kharisma itu boleh dikatakan sebagai sebuah
keperluan, tetapi tidak cukup dengan kharisma saja karena mesti
ada sesuatu yang melekat di hati masyarakat, berdasarkan ”indra
keenam” mereka. Karena itu setiap calon presiden yang akan melaju
pada pemilihan nanti, tidak cukup hanya populer saja. Popularitas
bisa dikatakan sebagai langkah pertama dari tiga langkah yang harus
dimiliki. Setelah popularitas, langkah berikutnya adalah kharismatik.
Tetapi dalam konteks Indonesia dan negara-negara berkembang,
kharisma ternyata tidak cukup. Harus ada agenda tersembunyi yang
bisa menggugah masyarakat untuk memilihnya. Macam-macam yang
ada pada agenda tersembunyi ini, misalnya ratu adil, kesungguhan,
benar-benar jujur, tulus, tidak muluk-muluk, keteladanan yang
hanya masyarakat mampu mengartikan dan meyakininya.
Popularitas itupun juga harus dilihat secara hati-hati. Konsepsi ini
ada dua, yakni konstruksional dan popularitas populis. Popularitas
konstruksional adalah keadaan yang sengaja dibentuk untuk
membuat seseorang terkenal. Pembentuknya macam-macam seperti
ketersediaann dana yang banyak, sekutu, jaringan, media massa
atau membuat sensasi tertentu sehingga menjadi dikenal orang.
Sedangkan popularitas populis, memang keadaan yang benar-benar
membuat seseorang itu terkenal karena prestasi dan pembawaan
dirinya. Masyarakat menerima orang seperti ini ”ikhlas”, paham,
tahu, menyadari dan membenarkan populernya sehingga tidak
mengandung kecurigaan-kecurigaan tertentu. Tetapi popularitas
yang dikonstruksi, banyak menimbulkan kecurigaan dari masyarakat.
Artis yang tiba-tiba populer sangat dicurigai karena ia kemungkinan
sengaja dipopulerkan demi keuntungan media massa bersangkutan.
Politisi yang tiba-tiba populer juga dicurigai karena kemungkinan
dengan modal besar mereka mampu memplot berita, membikin
acara sendiri atau membikin sensasi demi peemberitaan itu. Rakyat
tidak akan menerima popularitas konstruksionall seperti ini.
Bagi politisi, tidak akan mungkin memunculkan orang
kharismatis apabila popularitas tersebut memang dikonstruksikan,
24
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
disengaja hanya semata-mata untuk mendapatkan simpati politik.
Jika kharismatis saja masih belum bisa ditampilkan melalui metode
konstruksi seperti ini, bagaimana mungkin para politisi tersebut
mampu membentuk image ”tersembunyi” yang memang diperlukan
dan dipercayai masyarakat untuk memilihnya. Dalam konteks
pemilihan presiden mendatang, maka sebagian besar calon presiden
yang telah berani memunculkan dirinya ke publik, termasuk mereka
yang ikut konvensi, ada dalam ranah popularitas terkonstruksi itu,
yakni upaya sengaja membentuk popularitas bagi dirinya. Di balik
kelebihan mereka yang telah berani menampilkan diri terlebih dahulu
ke hadapan publik, kelemahan mereka terletak pada popularitasnya
yang masih berbentuk popularitas kontruksional. Masih jauh dari
harapan publik yang menginginkan ada kekuatan tersembunyi, yang
mampu mendorong keinginnan mereka untuk memilih. Apalagi
sebagian para politisi Indonesia sudah kadung di cap tukang bohong
oleh masyarakat.
Lalu, siapa yang akan mampu mewujudkan diri sebagai calon
pemimpin kharismatis yang ”lebih” dalam pemilu presiden
mendatang? Mungkin ”ratu adil” yang akan mampu menjawabnya.
Di tengah berbagai skandal, kasus, dan degradasi sosial di Indonesia,
rakyat kembali menunggu ”ratu adil” untuk memerintah Indonesia. 
GPB Suka Arjawa
25
Realitas Televisi Dalam
Perebutan Presiden Indonesia
D
ua stasiun televisi sekarang mirip acara wayangan. Jika acara
televisi satunya menayangkan segala pembelaan terhadap
pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, maka acara televisi sebelah
menayangkan segala hal berbau baik tentang pasangan PrabowoHatta Rajasa. Sebaliknya apabila stasiun satu menyiarkan segala yang
berbau miring tentang Prabowo-Hatta Rajasa, stasiun tetangganya
menyoroti ”kemiringan” pasangan capres Jokowi-Jusuf Kalla.
Kenyataan ini seperti dunia adegan wayang karena dua stasiun televisi
itu ”dikendalikan” oleh mereka yang tergabung dalam kompetisi
presiden Indonesia 2014. Jika dilihat dari teorinya Teguh Srimulat,
fenomena dua televisi ini sungguh-sungguh sebuah lawakan.
Teori Teguh tentang lawak adalah sebuah pembelokan atau
kekeliruan makna, gerak, atau fungsi dari realitas sosial. Karena
itu, orang yang paling lucu di dunia adalah balita dan anak-anak
karena mereka membelokkan dan mengelirukan semua kasanah
sosial. Televisi yang seharusnya memberikan pencerahan kepada
masyarakat, justru memberikan kebingungan. Tertawa merupakan
output stasiun tersebut, dan outcome nya bisa golongan putih.
Di tengah tekanan ekonomi yang masih terasakan oleh banyak
masyarakat, serta tegang-tegangnya kompetisi calon presiden
tersebut, maka penampilan dari dua stasiun televisi ini memberikan
nuansa tertawa juga. Jadi tetap mempunyai manfaat.
Sebelum satu dekade terakhir, paling tidak sejak keberhasilan
John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, televisi
memegang peran penting dalam permainan politik, baik pada tingkat
26
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
lokal, apalagi pada tingkat nasional. Tidak lain karena ”benda” ini
mampu memberikan informasi secara audiovisual. Dengan data,
serta gambar bergerak yang ditayangkan kepada masyarakat, televisi
merupakan sumber daya potensial pada aktivitas politik. Satu hal
luar biasa yang ditampilkan televisi pada bidang politik adalah
pembentukan keyakinan masyarakat. Dengan kemampuannya
memberikan gambaran data serta gambar bergerak kepada pemirsa,
maka data-data tersebut memberikan keyakinan kepada pemirsa
yang ada di rumah. Kedua pihak sangat diuntungkan dalam hal ini.
Kandidat politik tidak perlu menghabiskan tenaga dan waktu untuk
meyakinkan sikap sosial tersebut. Cukup dengan menyewa stasiun
televisi, atau kandidatnya duduk diwawancara, maka secera serentak
itu juga akan dilihat oleh ribuan bahkan jutaan massa pemirsa
televisi. Rentang jangkauannya juga tidak sekedar kota tetapi sampai
ke pelosok desa. Bagi pemirsa, juga tidak perlu repot-repot berjalan
(apalagi teriak-teriak sambil bertelanjang dada, mengecat tubuh,
tapi kehausan!!) menghadiri kampanye di lapangan yang terik hanya
untuk mendengar pidato kandidat. Mereka cukup duduk di kamar
untuk menonton kampanye kandidat. Data, gambar dan kepiawaian
gerak dari para politisi ini akan mampu meyakinkan publik yang
menonton televisi.
Itulah yang terjadi di Amerika Serikat pada awal dasawarsa
enampuluhan ketika John F. Kennedy berhasil memenangkan
pemilihan umum. Kennedy mampu meyakinkan rakyat untuk
memilih, menyingkirkan lawannya. Data dan penampilannya
mampu menggugah keyakinan masyarakat. Padahal saat tampildi
televisi Kennedy sesungguhnya sakit punggung tetapi tidak terlihat
di televisi. Demikian juga jas yang dipakai hitam tidak abu-abu
seperti yang dipakai lawannya, Richard Nixon. Jas hitam ini justru
lebih meyakinkan penampilannya (kelihatan tegas) di televisi bagi
masyarakat. Inilah realitas televisi yang mampu menyembunyikan
kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh kandidat. Di luar
kecerdasan yang memang dimiliki Kennedy, televisi mampu
menyembunyikan kekurangan-kekurangan yang dimiliki seorang
kandidat politik.
Tetapi itu adalah realitas pada awal dekade enampulhan dan
GPB Suka Arjawa
27
berlanjut pada dekade delapanpuluhan sampai paruh pertama
dekade sembilanpuluhan. Setelah periode ini, televisi mendapat
tantangan lagi dari perangkat yang lebih hebat, yaitu internet. Dan
hanya dalam waktu kurang dari satu dekade internet pun mendapat
tantangan hebat dari berbagai perangkat gadget modern seperti,
facebook, twitter, instagram, path, line, kakao talk dan sebagainya
. Posisi televisi sesungguhnya sangat terdesak. Orang semakin tahu
bahwa realitas yang ditampilkan oleh televisi itu adalah realitas maya
dan mempunyai spektrum yang sempit. Tampilan tayangan di televisi
hanya kelihatan bagus sepanjang layar persegi empat tersebut. Di
balik atau di luar layar itu, terdapat realitas lain yang bisa lebih bagus
atau justru yang amat jauh lebih buruk dari apa yang terlihat di layar.
Inilah realitas maya televisi. Fenomena ini sangat jelas terlihat pada
kehidupan dunia artis, dimana saja.
Dengan data tandingan yang diberikan oleh internet, telepon
seluler, twiter, instagram dan sebagainya itu, keampuhan televisi
menjadi jauh berkurang dalam upaya meyakinkan pemirsa. Pilihan
politik pada hakekatnya merupakan akumulasi keyakinan-keyakinan
yang dikumpulkan oleh masyarakat terhadap kandidat. Jika datadata tersebut demikian meyakinkan anggota masyarakat dan
semakin banyak data yang mampu meyakinkan, maka pilihannya
sesuai dengan persepsi keyakinan tersebut.
Budaya politik masyarakat adalah keyakinan terakumulasi
yang tertuju kepada rakyat dengan rentang yang lebih luas. Tidak
ada bedanya pemasaran politik dengan pemasaran ekonomi yang
berobyek pada akumluasi keyakinan. Dulu televisi inilah yang
memegang kendali tersebut. Kini setelah munculnya berbagai
gadget modern itu, apa yang ditampilkan televisi ditantang dan bisa
dijungkirbalikkan oleh berbagai informasi melalui gadget yang cukup
dibawa dengan tangan, melintasi ruang dan waktu. Sekali kebohongan
yang ditampilkan televisi dan itu dibuktikan oleh berbagai informasi
yang didapatkan dari internet, instagram, twitter dan sebagainya
itu, maka segala penampakan di televisi akan dijauhi masyarakat
dan dipandang bohong. Televisi kembali menjadi jagat tradisional,
sebagai penghibur atau justru dipandang sebagai lawakan saja.
Dengan begitu haruslah hati-hati menjaga penampilan, informasi,
28
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
data di televisi. Sekali salah, citra akan berjatuhan. Barangkali itulah
yang membuat mengapa tokoh pemilik televisi dan jaringan televisi
bertumbangan saat pemilu anggota legislatif bulan April 2014 yang
lalu.
Para kandidat calon presiden harus juga memahami bahwa
fenomena jaman sekarang, alur informasi politik itu kemungkinan
telah berubah. Arah pencerdasan juga bisa jadi berubah. Apabila di
masa lalu, terutama di jaman Orde Baru, generasi dewasa (orang
tua) yang memberikan informasi pilihan politik kepada anak-anak
muda, sekarang kemungkinan itu telah berbalik. Kemampuan anakanak muda mengakses informasi melalui gadget yang dibawanya,
memungkinkan mereka membantah pilihan politik orang tuanya
dan akhirnya membuat pilihan politik orang tua juga ikut terbawa
dari anak muda. Anak-anak muda ini bisa saja menumbangkan data
yang ditampilkan televisi untuk kemudian ”menceramahi” orang tua
mereka yang ”gaptek”. Saat ini jumlah pemilih muda (pemula) sekitar
50 juta. Apbila 30 juta saja pemilih ini mempunyai gadget dan 20 juta
kemudian menyampaikan ”pelajaran politik” kepada 3 orang, maka
jumlah yang didapatkan sukup siginfikan. Padahal pemilu presiden
2014 diikuti oleh 180 juta, yang mungkin sebagian golput. Maka hatihatilah menampilkan tayangan politik di televisi di jaman sekarang.
Salah-salah tayangan itu akan menjadi blunder yang membuat upaya
kampanye menjadi gagal. 
GPB Suka Arjawa
29
Presiden Dalam Mata
“Pancingan’ Relawan
M
asing-masing calon pasangan presiden mempunyai tim
relawan untuk membantu sukses mereka dalam pemilihan
tanggal 9 Juli yang lalu. Sampai saat ini relawan itu tetap
masih ada, meskipun pemilihan presiden sudah usai dan Komisi
Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla tampil sebagai pemenang, meski Mahkamah Konstitusi masih
melakukan sidang untuk memutus perkara sengketa pemilu yang
diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Berbeda dengan tim
sukses yang dibentuk oleh pasangan calon presiden, relawan ini benarbenar datang dari rakyat. Mereka mempunyai karakter tersendiri,
yakni dibentuk secara spontan, untuk mendukung junjungannya,
rela tanpa upah dengan tujuan mensukseskan dukungannya meraih
cita-cita. Dalam hal ini adalah menjadi presiden. Terhadap pasangan
Jokowi-Jusuf Kalla, itu misalnya terlihat ketika ada konser musik
yang diselenggarakan di Stadion Senayan. Apabila pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla kelak tetap terpilih menjadi presiden setelah
Mahkamah Konstitusi menetapkan keputusannya, maka relawan ini
mempunyai potensi bagus untuk tetap dipertahankan.
Kemunculan relawan pemilu pilpres tahun 2014 ini boleh
dikatakan sebagai gejala sosial menarik karena mempunyai sifat
meluas dan berada di ibu kota negara. Dikatakan meluas karena
begitu banyaknya orang hadir dan menyatakan dirinya sebagai
relawan (katakanlah untuk Jokowi-JK). Penuh sesaknya stadion
Gelora Bung Karno oleh relawan Jokowi ini menjadi salah satu
indicator meluasnya itu. Apabila dalam satu hari mampu memenuhi
30
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
stadion sampai melebihi 200.000 orang, ini merupakan bukti cukup
untuk mengatakan fenomena itu meluas. Dalam konteks social, bisa
dikatakan meluas dan membludaknya orang itu merupakan janji
tidak terkatakan, terucapkan tentangsuatu dukungan yang sama.
Artinya ada kesamaan pendapat yang kemudian mendapatkan
momentum secara bersama-sama. Ada tempat untuk mengutarakan
itu. Di dalam suatu yang tidak kelihatan itu, mungkin terselip ada
ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada. Misalnya kesenjangan
kehidupan, ketidakadilan, kesesakan hidup di ibu kota sampai
dengan ketidakadilan politik. Harapan mereka tentu kepada tokoh
bersangkutan berbagai ketimpangan itu akan mampu diselesaikan.
Inilah fenomena munculnya sukarelawan Jokowi-JK di Stadion
Utama Bung Karno itu.
Bahwa fenomena itu muncul di ibukota negara, membuktikan
masalah-masalah yang diungkapkan diatas banyak ada di ibu kota
negara (Jakarta). Mungkin dalam sukarelawan itu tidak banyak
berasal darii golongan kelas menengah atas. Akan tetapi mungkin
juga ada yang berasal dari golongan tersebut, meskipun sedikit.
Jumlah elit sebagai relawan tidak terlalu penting karena mereka
justru mampu menggerakkan masyarakat dan meyakinkan golongan
menengah ke bawah. Kehadirannya menjadi legitimasi bagi rakyat
kecil untuk mengungkapkan perasaannya. Yang paling penting
justru kehadiran fenomena itu di ibukota negara. Dalam satu negara,
ibukota adalah pusat, core sector dari seluruh negara. Ibukota
merupakan mata dan jantung dari berbagai pergerakan nasional.
Karena fungsinya seperti itu, maka berbagaii peritiwa yang terjadi di
ibukota negara, akan menjadi inspirasi di daerah-daerah. Pengaruh
berbagai peristiwa itu akan meluas ke daerah. Dengan demikian,
adanya fenomena relawan di ibukota negara itu pasti berpengaruh
di daerah-daerah. Artinya akan tumbuh juga relawan-relawan calon
pasangan presiden di daerah. Meskipun jumlah relawan di satu
daerah tidak sama dengan apa yang ada di ibu kota negara, akan
tetapi secara akumulatif, jumlah itu akan melebihi dengan apa yang
ada di ibu kota negara. Di Indonesia, jumlah keseluruhan relawan di
34 (33) propinsi akan melebihi jumlah relawan di Jakarta.
Apakah artinya relawan ini dalam kelanjutan pemerintahan di
GPB Suka Arjawa
31
Indonesia?
Relawan adalah pendukung dari calon pasangan presiden.
Koheren dengan dukungan itu adalah langkah dan pilihan kebijakan
dari calon presiden. Ada kesepakatan yang awalnya diam-diam
dan kemudian terbuka saat kumpul berasama terhadap kebijakan
presiden. Maka, apabila calon presiden dukungannya itu mampu
memenangkan pemilihan umum, sudah seharusnya para relawan
ini juga mendukung segenap kebijaksanaan dari presiden terpilih
dukunganya itu. Disinilah kemudian manfaat relawan ini dalam
pemerintahan Republik Indonesia. Relawan ini melanjutkan
dukungannya saat junjungannya itu telah terpilih menjadi presiden.
Tantangan paling besar dari para relawan ini justru terletak manakala
junjungannya itu berhasil mencapai cita-citanya.
Cerita tentang relawan di tingkat pemilihan bupati sering kali
terjadi masalah setelah keterpilihan tersebut. Banyak mereka-mereka
itu ternyata relawan palsu yang menginginkan “hadiah” setelah
tercapai cita-cita junjungannya. “Hadiah” itu bisa dalam bentuk
posisi jabatan, pegawai negari, bahkan sampai dengan permintaan
uang. Celakanya tokoh-tokoh relawan inilah yang menjadi masalah
karena sang tokoh menginginkan posisi dan kedudukan tersebut.
Cerita mengenai dipukul dan ditempelengnya bupati terpilih setelah
tidak mendapat “hadiah” pernah terlontar di masyarakat. Cerita
relawan yang meminta kanaikan kedudukan, pegawai negeri sampai
minta “honor” itu jelas bukan relawan murni. Mereka adalah seorang
petualang atau pengemis jabatan dengan bungkus mendukung calon
politisi.
Relawan adalah orang yang benar-benar mampu memberikan
dukungannya dengan sukarela. Maka, ketika misalnya Jokowi-JK
telah pasti menduduki jabatan sebagai presiden dan wakil presiden,
relawan ini tidakk boleh menjadi pengemis jabatan. Mereka benarbenar secara sukarela membantu penmerintahan dengan ikut
memasyarakatkan berbagai kebijakan pemerintah. Tahu tentang
bagaimana kondisi masyarakat dan tahu dengan bagaimana kondisi
pemerintah. Mereka harus bisa menjelaskan kepada masyarakat soal
keterlambatan kebijakan kemiskinan (misalnya) karena pemerintah
masih disibukkan oleh urusan daerah tertinggal (misalnya). Mereka
32
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
juga harus mampu mengenal karakter masyarakat setempat untuk
lebih mudah menjelaskan hal-hal yang sifatnya urgen tersebut.
Sebagai relawan yang menyebar di seluruh negara maka merekamereka yang ada di daerah inilah yang mempunyai kedudukan
penting sekarang, disaat junjungan mereka telah menjadi presiden.
Bagaimanapun, keputusan pemerntah tersebut bertujuan harus
sampai di daerah. Di dalam system pemerintahan Indonesia sekarang,
dimana otonomi ada pada tingkat kabupaten, maka relawan ini
juga harus mempunyai kedekatan hubbungan dangan pemerintah
daerah tingkat II. Tanpa itu, akan percuma disebut relawan. Mereka
yang meminta jabatan dan kedudukan, tidak beda dengan pengemis
intelektual. 
GPB Suka Arjawa
33
Saling Membagi Informasi
Untuk Memajukan Indonesia
P
ertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan
presiden terpilih, Joko Widodo di Nusa Dua beberapa
waktu lalu, memberikan inspirasi positif bagi masyarakat,
pemerintahan dan generasi baru di masa mendatang. Pertemuan
tersebut juga mempunyai manfaat besar secara psikologis karena
mampu memberikan rasa nyaman politik, menurunkan tensi tegang
dalam empat bulan terakhir akibat rivalitas pemilihan presiden.
Dengan pertemuan itu, rasa persaudaraan, kewajaran bahwa keaslian
hubungan sosial kembali bisa ditemukan. Persaingan politik tidak
harus berakhir dengan “putus kontak” dua pihak yang sedang
berkompetisi. Seperti yang dilihat oleh masyarakat, hubungan antara
Prabowo Subianto dan Jokowi terasa tidak enak sampai sekarang.
Dan konon hubungan antara Susilo Bambang Yudoyono dengan
Megawati juga disebut-sebut terganjal hingga saat ini. Dengan
demikian, pertemuan antara Susilo Bambang Yudoyono sebagai
presiden yang akan mengakhiri masa jabatan dengan Jokowi yang
segera menjabat, ikut membantu memberikan sumbangan pikiran
ke depan bahwa kompetisi politik tidak harus berakhir dengan
kerenggangan persahabatan. Mereka diharapkan saling membagi
informasi untuk memajukan Indonesia.
Dalam hubungan kepemerintahan negara, waktu lima
tahun, bukanlah waktu panjang untuk menyelesaikan satu missi
pemerintah. Bahkan sepuluh tahun pun bukan waktu yang panjang
untuk menyelesaikan segala persoalan. Apalagi jika misalnya
pemerintahan itu diganggu di tengah jalan oleh berbagai move politik.
34
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Karena itulah harus ada pertemuan kedua belah pihak untuk saling
member masukan dan meminta pendapat. Pembangunan ekonomi
Indonesia di masa Susilo Bambang Yudoyono selama satu dekade
tidaklah dapat dikatakan berhasil tuntas karena angka kemiskinan
relatif Indonesia tidak mampu ditekan secara siginifikan. Bahkan
mungkin terjadi involusi. Meminjam istilah Clifford Geertz, involusi
pertanian dimaksudkan sebagai wujud semu keberhasilan pertanian.
Penampakan keberhasilan dalam satu lahan mungkin ya. Akan tetapi
jumlah penggarapan lahan satu hektar (misalnya) justru lebih banyak
dibanding sebelumnya, misalnya dari 5 orang menjadi 7 orang.
Akibatnya, hasil itu secara perorangan justru lebih kecil dibanding
sebelumnya karena dibagi oleh lebih banyak orang, meskipun padi
lebih menguning dalam satu hektar tersebut. Kemakmuran palsu
ini jamak terlihat di jaman Orde Baru. Kalaupun kemudian di desa
terlihat banyak bangunan yang telah bertembok semen dengan lantai
berkeramik, tetapi apabila pengangguran juga bertambah banyak,
jalan ke kampung rusak dan banjir belum mampu dicegah, maka
kemakmuran itu palsu. Realitasnya kemiskinan tidak beranjak dari
angka sebelumnya. Bahkan menjanjikan adanya kemiskinan yang
lebih massif di masa mendatang.
Gambaran yang disebutkan diatas itu merupakan fenomena
tersembunyi dari pembangunan negara, sering terjadi pada negaranegara transisional dari sosialis menuju liberal dan telah dipraktikkan
gagal di Amerika Latin. Bahayanya, fenomena kemiskinan
tersembunyi ini bisa menimbulkan protes rakyat, kemunculan
karte-kartel narkoba, sampai pemberontakan. Apa yang terjadi di
Nikaragua, Kolombia, Bolivia bisa dilacak dari kegagalan prinsipprinsip pembangunan seperti itu. Di permukaan kelihatan baik tetapi
realitas tersembunyinya memperlihatkan hal berkebalikan.
Indonesia di masa reformasi ini, bagaimanapun boleh dikatakan
sebagai negara yang sedang bertransisi. Bahkan transisi itu ada pada
tiga bidang sekaligus, yakni politik, ekonomi, dan kebudayaan Pada
bidang politik, Indonesia mempunyai transisi dari totaliter ke upaya
egalitar demokrasi). Pada bidang ekonomi, dari sistem “Pancasila”
ke liberal. Dan pada bidang budaya, terasa sekali anak-anak muda
Indonesia mulai menyerbu model-model di luar kebudayaan
GPB Suka Arjawa
35
Indonesia seperti terlihat pada gaya berpakaian, pola kerja, perilaku,
seni yang entah dari mana datangnya. Pendek kata transisional itu
kini sedang ada dan sedang berlangsung pada masyarakat Indonesia.
Missi untuk menuntaskan agenda reformasi maupun missi lain yang
diemban SBY ketika menjabat, kemungkinan masih belum bisa
tuntas benar.
Karena itu, pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudoyono
dengan Joko Widodo sebagai presiden terpilih sangat penting untuk
melakukan komunikasi langsung tentang apa yang harus dilanjutkan
dan dibenahi dalam pemerintahan mendatang. Keterpaduan antara
missi dari SBY yang tidak berhasil dicapai untuk diklopkan dengan
missi Joko Widodo yang kelak dijalankan. Link ini harus disatukan.
Disini, yang lebih memberikan peran penting sesungguhnya ada
pada Susilo Bambang Yudoyono. Secara politik, langkah yang
dilakukan Susilo Bambang Yudoyono sesungguhnya sudah “menang”
dibanding dengan presiden-presiden lainnya. Belum pernah ada
kesempatan seperti ini dilakukan oleh presiden yang masih berkuasa
dengan presiden terpilih. Artinya Susilo Bambang Yudoyono telah
memenangkan politik citra yang sebenarnya. Dia memberikan
contoh kepada generasi lain yang mungkin akan menguntungkan
juga bagi partai politik pengusung. Paling tidak citra sportifitas akan
tertancapkan pada pribadi dan partai politik pendukungnya dulu.
Peran lain yang lebih penting adalah alur informasi yang sangat
bermanfaat dari Susilo Bambang Yudoyono tentang kegagalankegagalan atau kekurang berhasilan yang didapatkannya saat
menjabat. Akan sangat bagus kalau informasi tentang kegagalan
tersebut juga mnyebutkan metode yang dipakainya. Informasi ini
jelas penting bagi Joko Widodo-Yusuf Kalla untuk mempersiapkan
perencanaan secara nasional, untuk kemudian membagi perencanaan
tersebut ke dalam skala yang lebih kecil. Keterusterangan dan
kejujuran penyampaian informasi ini sangat penting karena ini akan
menentukan keberhasilan penyerapan informasi yang didapatkan
oleh Jokowi. Satu yang mesti diperhatikan dalam konteks seperti
ini adalah metode untuk mencapai tujuan dalam proyek tersebut.
Meskipun segenap kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Susilo
Bambang Yudoyono selama memerintah telah diungkap di media
36
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
massa dan mungkin telah dikliping, tetapi persoalan metode yang
dipakai sering kali tersembunyi sifatnya. Pemerintah tidak berani
mengungkap metode ini karena takut dikritik oleh pihak lain. Karena
itu metode inipun harus disampaikan kepada Jokowi dan pembantupembantunya.
Dari telaah metodis inilah nanti para pembantu pemerintahan
Jokowi akan mencoba menelusuri kegagalan, memperbaiki
metodenya dan memperispkan perencanaan secara nasional untuk
melanjutkan proyek tersebut. Atau justru merombaknya dengan
mengganti lewat proyek lain untuk mensejahterakan masyarakat.
Misalnya, bantuan langsung tunai, bukanlah metode yang bagus
untuk mensejahterakan masyarakat. Demikian juga metode bedah
rumah yang kini sering kali dipandang sebagai cara instan untuk
mencari popularitas politik. 
GPB Suka Arjawa
37
Citra Dalam Pelantikan
Presiden Indonesia
D
alam hubungan antar negara, citra memegang peran penting
sekali. Dalam beberapa teori sering disebut image, yang
melintasi jaman. Contoh paling jelas adalah sidang pemilihan
ketua DPR dan MPR Indonesia baru lalu. Bagian dari komunitas
ekonomi internasional langsung bersikap negatif ketika melihat
kekisruhan sidang tersebut. Investor enggan menanam modal dan
membuat nilai rupiah jatuh. Mereka mengkhawatirkan kestabilitas
politik yang berimbas pada stabilitas sosial. Stabilitas nasional penting
dilihat para investor. Inilah yang sangat diperhatikan Presiden Soeharto
pada sebagian besar pemerintahannya. Investor tidak mau peduli
dengan berbagai perdebatan dan wacana yang mencoba meyakinkan
mereka tetapi lebih memilih “penampilan” politik di permukaan
sebagai bahan pertimbangan membuat keputusan ekonomi. Sebagai
negara yang masih mempertimbangkan investor untuk membantu
proses pembangunan, maka Indonesia harus memperhatikan betul
hal ini.
Kini, setelah sidang DPR dan sidang MPR yang telah “mengganggu”
citra Indonesia tersebut, ada satu panggung yang mampu memberikan
citra kepada Indonesia, yakni pelantikan presiden dan wakil presiden
terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, hari Senin, 20 Oktober 2014.
Pelantikan pemimpin eksekutif negara ini sesungguhnya mempunyai
makna besar dan paling meluas bagi sebuah negara, dibandingkan
dengan seremonial lembaga yang lain. Dari sudut sosiologis, pelantikan
kepala negara adalah jendela sosial bangsa dan negara. Media massa
internasional pasti akan menayangkan pelantikan itu. Disamping
38
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
menayangkan atau memberitakan pelantikannya, sebagai sebuah
features, media massa akan meliput kondisi geografis, kondisi sosial,
kekayaan alam, pola kehidupan, budaya, seni dan sebagainya kepada
khalayak. Melalui tayangan ini akan terpatri citra dan gambaran
bangsa dan negara ke seluruh dunia. Masyarakat internasional akan
menangkap bagaimana jati diri sebuah bangsa dan negara. Politik
disini seolah menguap karena masyarakat internasional melihat gerak
sosial budaya dalam kehidupan masyarakat negara itu dan membuat
kesimpulannya sendiri. Dan para investor pun juga membuat
analisisnya sendiri berkaitan dengan upaya menanam modal.
Dari sisi politik, pelantikan presiden akan bisa menggambarkan
bagaimana hubungan politik antar lembaga maupun antar individu di
dalam suatu negara. Sorotan media massa pasti akan memperlihatkan
tokoh-tokoh dan representasi kelembagaan saat pelantikan tersebut.
Lembaga itu bisa berupa lembaga negara (eksekutif, legislative dan
yudikatif), bisa partai politik, kelompok kepentingan, tokoh-tokoh
pimpinan yang hadir. Akumulasi kehadiran dalam pelantikan
ini mencerminkan dan menggambarkan kualitas harmonisasi
kepemimpinan pemerintahan suatu negara dan mencerminkan
bagaimana stabilitas jangka pendek maupun jangka panjang negara
tersebut. Bisa juga dilihat keadaan konfigurasi politik yang ada di
negara bersangkutan. Apabila misalnya pelantikan tidak dihadiri oleh
pemimpin partai politik, atau tokoh-tokoh politik di suatu negara,
secara mudah bisa ditafsirkan oleh para pihak, bahwa negara itu
mempunyai politik yang sangat fragmentatif. Dan stabilitas politik ke
depannya bisa diprediksikan. Tentu yang sebaliknya juga bisa terjadi.
Pemandangan di pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla Senin depan akan
mampu diperkirakan bagaimana kondisi Indonesia ke depan. Para
investor cukup melihat pelantikan ini untuk memprediksi bagaimana
keadaan politik Indonesia ke depan.
Dari kancah politik internasional, juga akan tergambarkan seberapa
penting posisi negara itu bagi negara lain. Ini terlihat misalnya dari
kehadiran-tamu-tamu negara luar yang hadir. Semakin banyak
pemimpin negara atau pemerintahan yang hadir, memperlihatkan
bagaimana wibawa dari negara itu bagi negara lain. Dalam beberapa
berita di media massa, tamu yang hadir dalam pelantikan Joko Widodo
GPB Suka Arjawa
39
dan Jusuf Kalla ini cukup beragam. Meski tidak mutlak dihadiri oleh
kepala negara atau kepala pemerintahan, tetapi tetap memperlihatkan
bahwa peta posisi Indonesia di mata dunia tetapp penting, terutama di
kawasan Asia Tenggara. Beberapa pemimpin negara di Asia Tenggara
menyatakan akan hadir langsung pada pelantikan itu.
Namun demikian, yang paling penting nanti dilihat adalah
bagaimana pidato sambutan (jika ada) dari presiden baru, Jokowi.
Pidato ini mengandung pesan paling besar karena sebagian dari isi
pidato itu mencerminkan kebijakan-kebijakannya presiden, baik
dalam konteks dalam negeri maupun luar negeri. Diplomasi awal dari
presiden akan terlihat dari pidato ini, dan karena itu sangat berguna
bagi negara-negara asing. Melalui pidato inilah akan diperlihatkan
pola-pola hubungan yang kelak coba dipatrikan oleh Indonesia.
Kemajuan dan kemodernan atau bahkan perubahan arah politik luar
negeri akan terlihat disini. Demikian juga dengan kebijakan politik
dalam negeri. Bagi masyarakat, pidato yang menyinggung politik
dalam negeri haruslah merupakan momen yang paling ditunggu.
Sebab, dalam kondisi politik yang “terbelah dua” saat ini, tetap harus
dilihat cara pandang Jokowi kepada seterunya. Sangat dimungkinkan
para investor juga akan terpengaruh dengan pidato ini.
Disamping melihat bagaimana pencitraan yang akan tumbuh
dalam pelantikan presiden nanti, juga akan bisa dilihat sikap berbagai
kelompok (politik) yang kini ada di Indonesia. Juga akan bisa dianalisis,
bagaimana perilaku politik para politisi (bahkan partai politik). Jika
misalnya para politisi yang kini sedang berseteru antar kelompok ini
tetap bisa datang (terutama di kalangan anggota DPR), maka mereka
menjadii bagian dari pihak yang menyelamatkan martabat negara
dari mata negara lain. Bagaimanapun peran menjadi negarawan tetap
diperlukan dalam kondisi seremonial yang dihadiri oleh berbagai
tamu luar negeri. Jika tidak hadir, dengan alasan berbelit-belit, apalagi
membikin gaduh lagi di hadapan undangan negara asing, maka
mereka bukan saja memperlihatkan politisi kacangan yang sangat
bukan negarwan tetapi juga sebagai pencoreng muka negara sendiri.
Nama dan citra negara akan semakin rendah di mata negara lain.
Mudah-mudahan dalam pelantikan presiden nanti, seluruh
anggota parlemen Indonesia mampu memperlihatkan dirinya sebagai
seorang negarawan. 
40
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Mewujudkan Quick Wins
Dalam Pemerintahan Indonesia Baru
D
alam satu seminar di Jakarta beberapa waktu lalu, ada
pemikiran bahwa cara terbaik Jokowi meyakinkan rakyat
adalah segera mewujudkan kebijakan yang paling bisa
dinikmati. Kebijakan ini disebut dengan quick wins yang disebutkan
bisa diperlihatkan dalam waktu tiga hari. Sebagai sebuah ide,
mungkin ide ini positif karena meyakinkan khasanah masyarakat
banyak. Sarwono Kusumaatmaja, salah seorang meneteri jaman
Orde Baru yang aktif menyuarakan pikirannya mengutarakan apabila
dalam waktu tiga hari berhasil, masyarakat akan semakin percaya
dengan kepemimpinan Jokowi.
Ide quick wins ini mungkin sulit diwujudkan oleh presiden
baru, apalagi yang diinginkan berupa perwujudan kebijakan
konkrit, semacam tersedianya lapangan kerja, apalagi peningkatan
kesejahteraan rakyat yang berskala nasional. Akan tetapi,
sesungguhnya Jokowi mempunyai cukup banyak aset yang mampu
diwujudkan dalam waktu singkat. Yang paling mampu diperlihatkan
dan segera dirasakan oleh masyarakat justru berpotensi terjadi pada
saat pelantikan Jokowi. Jika pelantikan ini berlangsung lancar dan
dihadiri oleh sebagian besar oleh anggota MPR, termasuk Koalisi
Merah Putih, ini merupakan keberhasilan paling awal dari presiden
terpilih. Dengan keberhasilan pelantikan itu, berarti telah mampu
menurunkan intensitas kekhawatiran rakyat. Sebagian masyarakat
Indonesia merasa khawatir bahkan tegang dalam waktu beberapa
GPB Suka Arjawa
41
waktu terakhir ini karena ada ancaman pemboikotan pelantikan
presiden. Kelancaran pelantikan merupakan quick wins awal dari
Jokowi.
Ancaman itu sesungguhnya merupakan bagian dari politik juga.
Boleh jadi merupakan bagian dari propaganda pihak-pihak yang
tidak menyukai Jokowi dengan pemerintahannya kelak. Ancaman
ini merupakan metode penanaman pengaruh dalam bentuk ancaman
dengan tujuan bukan saja mengganggu kejiwaan masyarakat tetapi
juga membangkitkan kebencian kepada pihak yang dilawan (Jokowi
dan pemerintahannya). Propaganda lazim dilakukan antar pihak
yang sedang konflik atau bersengketa, baik dalam skala kenegaraan,
kelompok negara atau kelompok politik. Realitas politik Indonesia
dalam satu tahun terakhir ini secara jelas memperlihatkan
keterbelahan politik itu dalam dua pihak. Kecuriagaan, kekhawatiran
dan ketakutan akan pemboikotan itu, besar di benak masyarakat.
Pemboikotan akan melahirkan masalah dan biaya politik yang lebih
besar lagi, misalnya penundaan pelantikan, lobi-lobi politik, dekrit
presiden lama sampai dengan pengulangan pemilihan umum.
Dengan demikian, apabila pelantikan ini berlangsung lancar,
tidak diragukan ini merupakan hasil politik Jokowi paling awal yang
bisa dimasukkan dalam katagori quick wins, yakni politik paling
awal yang mempunyai dampak dan dinikmati secara langsung
masyarakat. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari langkah
strategis dan langkah politik yang dilakukan Jokowi beberapa
hari menjelang pelantikan. Dalam konstelasi teori konflik, cara
untuk meredam konflik mempunyai beberapa dimensi. Misalnya
rekonsiliasi, dimana pihak-pihak melakukan inisiatif untuk
mempertemukan dirinya. Jokowi sebagai presiden terpilih, langsung
mengeluarkan inisiatif dan melaksanakannya, yakni dengan bergerak
mengunjungi para pemimpin lembaga legislative yang kebetulan
sebagian besar bersikap berlawanan dengan sikap politiknya. Ia juga
bersafari dengan menemui Aburizal Bakri dan Prabowo Subianto,
tokoh kompetitor yang demikian bersaing ketat dalam pemilihan
presiden lalu. Paling tidak dengan kunjungan-kunjungan tersebut,
dalam waktu satu minggu menjelang pelantikan Presiden Indonesia
ketujuh ini, suasana dan tekanan politik telah mulai menurun. Itu
42
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
bisa dirasakan dan dimaknai positif oleh masyarakat. Sekali lagi,
inilah yang bisa dikatakan sebagai quick wins dari Jokowi sendiri.
Yang penting diperhatikan oleh masyarakat sekarang adalah
keberasaran jiwa dan kemengertiannya melihat kepemerintahan
mendatang. Ini penting dipahami karena apa yang ada di benak
masyarakat, kemungkinan besar tidak akan bisa “nyambung” secara
sempurna. Kekhawatiran paling besar dari kemenangan terhadap
pemimpin yang berpredikat kharismatis adalah ketika masyarakat
merasakan “ketidaknyambungan” tersebut dalam pemerintahan
riilnya. Masalah kharismatis-populis itu ada pada jalur citra
dan pencitraan yang dibawa oleh sosok dan perilaku pemimpin.
Sedangkan kebijakaan politik yang adil ada pada ranah fakta sosial.
Dalam lingkup negara, kebijakan politik mengalami tantangan
yang luar biasa besar seperti waktu penerapan, persetujuan
politik (antara eksekutif-legislatif), dana, pelaksana, disiplin, dan
sebagainya. Itulah misalnya, upaya pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan ekonomi, memerlukan waktu satu periode
kepemimpinan presiden. Untuk melihat realitas peningkatan ini
memerlukan kesabaran dari rakyat. Bahkan satu periode pun masih
belum mampu diwujudkan. Rakyat yang memilih pemimpin dengan
basis kharismatis-populis, cenderung memiliki kekurangsabaran
untuk melihat hasil. Maka, yang paling dipentingkan sekarang untuk
menjaga “harmonisasi huhungan” antara rakyat dengan pemimpin
kharismatis-populis itu adalah adanya kesabaran dari rakyat dan
kesungguhan dari pemimpin untuk mewujudkan kebijakankebijakan populisnya.
Faktor kunci yang harus dipegang Jokowi terletak kepada ikon yang
memenangkannya selama ini, yaitu blusukan. Inilah yang menjadi
simbol yang melekat pada pemimpin ini. Banyak yang menyebutkan
bahwa blusukan seperti itu tidak akan mungkin dilakukan sebagai
presiden. Pendapat ini mungkin benar tetapi mungkin juga keliru.
Sebagai presiden ia berkesempatan untuk berkunjung ke berbagai
wilayah. Disinilah tempatnya ia memperkenalkan blusukannya itu
dan mengetahui bagaimana kondisi real masyarakat di berbagai
wilayah di Indonesia. 
GPB Suka Arjawa
43
Melihat Jokowi Menjalankan
Pemerintahan Tanpa “Politik”
M
enjalankan pemerintahan tanpa “politik” mungkin
merupakan seni tersendiri. Tetapi itulah yang diperlukan
oleh negara Indonesia setelah melihat kesuksesan
pelantikan Presiden Joko Widodo tanggal 20 Oktober 2014 yang
lalu. Tanpa “politik” yang dimaksudkan disini mempunyai beberapa
karakter. Yang pertama adalah tanpa gembar-gembor berstrategi
mengatakanj berbagai aspek prioritas dalam rancangan pembangunan.
Kedua, tidak berupaya mengambil pencitraan pemerintahan bersih,
misalnya dengan mewawancarai calon menteri. Ketiga, tidak
mengungkapkan pidato-pidato retorik untuk memperkuat keyakinan
rakyat. Dan keempat, tidak berupaya menekankan aspek teoritis
dalam pencapaian-pencapaian tujuan. Intisari dari semua itu adalah
pemerintah yang polos, menerapkan apa adanya, dan berupaya
menyelesaikan perbedaan pendapat secara apa adanya.
Barangkali itulah kesan yang harus dilihat sampai tengah hari
pertama pemerintahan Joko Widodo setelah pelantikannya menjadi
presiden. Yang tidak bisa dilepaskan dari pelantikan itu adalah
tumbangnya bebagai penafsiran orang tentang boikot dari para
anggota MPR yang pro Koalisi Merah Putih. Seluruh ketua MPR
hadir yang membuat sidang berjalan dengan lancar. Dan yang paling
istimewa adalah hadirnya Prabowo Subianto dalam pelantikan
itu sehingga membuat semuanya menjadi cair. Ini merupakan
“pertunjukan” sangat positif yang mampu memberikan rasa tenang
kepada seluruh rakyat. Suasana seperti inilah yang diperlukan oleh
44
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
masyarakat Indonesia.
Jika dilihat dari konteks hubungan sosial, maka keberhasilan dan
kesuksesan dari pelantikan ini, tidak lain dari upaya Joko Widodo
yang bersedia menyelesaikan perbedaan pendapat secara alami, apa
adanya. Inilah cara memerintah yang tanpa “politik” itu. Jokowi
berdiplomasi sendirian, mendatangi para seterunya, berbicara apa
adanya dan kemudian berhasil meluluhkan hati mereka. Konflik yang
diselesaikan dengan cara mengalah dan sangat sederhana ini, justru
mampu meluluhkan sikap mereka yang sebelumnya tajam bertolak
belakang. Apabila dilihat pada peristiwa datangnya Joko Widodo ke
lokasi tempat tinggal Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto, tidak
ada saling tukar konsesi, juga tidak ada saling tawar menawar, lebih
didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan kebuntuan dengan
cara-cara alami dan sederhana. Sampai dengan pelantikan presiden,
diplomasi polos situ kelihatan berhasil.
Akan tetapi pemerintahan tanpa politik dan diplomasi polos
seperti itu, hanya mampu berlaku dalam hubungan antar manusia
dengan manusia. Bagaimana dengan cara pemerintah demikian
apabila kemudian dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan yang
sifatnya nasional? Inilah yang menjadi tontonan menarik masyarakat
Indonesia ke depan sekaligus juga menunggu berbagai kejutan
sederhana yang dilakukan Presiden Joko Widodo ke depan dalam
menyelesaikan persoalan negara. Akan tetapi, pada hakekatnya
pembuatan kebijakan negara, berbagai keputusan yang dibuat
sebenarnya juga merupakan hasil dari pemikiran manusia. Dengan
begitu, hubungan antar manusia dan antar kelompok dimungkinkan
untuk menyelesaikan kebijakan pemerintahan tanpa memakai politik
tingkat tinggi. Dalam hal ini, tidak diperlukan adanya negosiasinegosiasi tinggi yang dapat berakibat korupsi dan sejenisnya.
Pembuatan kebijakan pemerintah hakekatnya merupakan
keputusan bersama antara eksekutif dengan legislative. Akan tetapi
yang lebih menonjol dalam pembuatan kebijakan ini ada pada
tangan eksekutif. Ide pelaksanaan, prioritas, ide metodis dan strategi
pencapaian, datang dari eksekutif. Misalnya, penurunan kemiskinan
dengan swasembada pangan sebagai sebuah ide, datang dari
eksekutif. Pelaksanannya bisa saja di luar Pulau Jawa dengan strategi
GPB Suka Arjawa
45
memperluas lahan pertanian. Legislatif mencoba mengkaji ide ini
yang kemudian dikeluarkan dalam bentuk persetujuan maupun
penolakan, apalagi misalnya dalam bentuk perundang-undangan.
Dalam iklim wacana pemerintahan sekarang, kekuatan legislative
sebagai penyeimbang dipandang terlalu kuat sehingga kemungkinan
banyak kebijakan eksekutif (presiden) dijegal. Fenomena ini yang
paling dikhawatirkan masyarakat.
Untuk menghindari hal-hal seperti itulah dipentingkan kemampuan
politik yang tidak “berpolitik” dari Presiden Joko Widodo. Sebagai
tindak awal, memerintah seperti ini harus dilakukan dengan memilih
anggota kabinet yang betul-betul professional, bersih dan tidak terlalu
menjadi “kerbaunya” partai politik. Anggota kabinet ini setia kepada
negara dan bangsa serta hormat kepada Joko Widodo. Dengan hormat
kepada presiden, mereka akan tunduk dengan pola kesederhanaannya.
Selanjutnya dalam langkah berikut adalah kemampuan polos Joko
Widodo untuk melakukan interaksi langsung taanpa perlu langkah
formal dengan anggota-anggota legislative dan fraksi-fraksi yang ada
di dalamnya. Tujuannya adalah agar kebijakan eksekutif itu tidak
banyak mendapat hambatan. Tugas ini sebaiknya dilakukan oleh Joko
Widodo karena ia mempunyai karakter seperti itu. Apabila berhasil
melunakkan hati Prabowo Subianto, maka tugas melunakkan hati
anggota parlemen yang bersebarangan nampaknya tidak terlalu sulit.
Dengan demikian, kepemerintahan dari Presiden Joko Widodo
ke depan, sungguh menarik bagi semua pihak, baik kalangan
di Indonesia maupun luar negeri. Di kalangan dalam negeri,
pemerintahan ini sangat diharapkan oleh rakyat untuk membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan. Misalnya membantu
mengontrol harga barang, mencegah alihfungsi lahan, memingkatkan
hasil pertanian dan seterusnya. Tetapi kalangan akademik juga
akan melihat model dan gaya kepemimpinannya yang berbeda
dari pemimpin-pemimpin lain. Akademisi akan mencoba mengkaji
kepemimpinan ini dari sisi tradisionalis Indonesia atau kepemipinan
yang membumi, bukan dilandasi oleh teori-teori manajemen
mutakhir yang berakar barat. Para ilmuwan akan mencoba mencari
perbandingan model kepemimpinan itu dan menjadi warisan
menarik bagi generasi mendatang. 
46
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Menghargai Presiden
Memilih Anggota Kabinet
K
ritik awal kepada pemerintahan Presien Joko Widodo (Jokowi)
adalah kelambatannya dalam menyusun dan memilih anggota
kabinet. Seperti biasa, para pengritik ini kebanyakan dari
mereka yang sebelumnya berseberangan dari pemikiran dan ideide praksis politik Jokowi. Apabila dibandingkan dengan presiden
sebelumnya, kelambatan menyusun kabinet sampai sekitar 3 x
24 jam setelah pelantikan, memang termasuk lama. Akan tetapi,
normanya presiden memang dibolehkan melakukan penyusunan
(dan perenungan) kabinet itu sampai dengan waktu dua minggu.
Dengan demikian, sesungguhnya tidak apa-apa apabila presiden
memakai rentang waktu tersebut memilih calon menteri yang akan
mendampinginya memerintah. Jokowi pun tahu persoalan ini. Terlihat
misalnya dari “kecamannya” kepada pers yang memuat terlebih dahulu
nama-nama menteri dan kemudian ternyata itu salah. Kurang lebih
Jokowi menggarisbawahi bahwa tidaklah etis menyebutkan namanama demikian kepada umum karena hal itu menyangkut nama
dan prestise perseorangan. Etika menjadi perhatian dari presiden
Indonesia.
“Hardikan” Jokowi kepada pers itu kelihatan kecil, tetapi
mempunyai makna tersembunyi yang penting bagi masyarakat. Inti
dari pesan itu adalah etika dan saling penghargaan kepada manusia
dan kemanusiaan. Etika merupakan persoalan sosial mendasar bagi
bangsa Indonesia saat ini, di kala menghadapi berbagai tantangan
jaman. Dalam konteks hubungan sosial, etika itu ada pada ranah
penghargaan dan pengakuan kepada pihak lain, termasuk lingkungan.
Karena masuk ke dalam ranah penghargaan maka etika itu menjadi
GPB Suka Arjawa
47
faktor menentukan bagaimana kehidupan sosial itu berlangung. Pada
intinya, hubungan sosial akan bisa berjalan mulus, dan stabilitas
terjamin kalau ada saling penghargaan tersebut. Landasan dasarnya
adalah pengetahuan.
Masalah yang kemudian menjadi ganjalan di Indonesia, sejujurnya
boleh dikatakan justru orang-orang yang memiliki pengetahuan
itulah yang tidak mampu memberikan penghargaan kepada pihak
lain. Malah, mereka yang mempunyai pengetahuan tingkat tinggi,
tidak mampu memberikan penghargaan dan menjadi pelanggar etika
bagi masyarakat. Dalam bidang politik, secara mudah bisa diambil
contoh itu. Reformasi tahun 1998 jika dicari dari konteks inipun
sesungguhnya bisa terlihat bagaiamana kurangnya perhargaan yang
bisa disumbangkan kepada masyarakat. Ketika reformasi sedang ada
di puncak-puncaknya, mahasiswa sampaii menaiki gedung MPR/
DPR tanpa tahu kalau kekuatan gedung itu terbatas. Pantas apabila
kemudian ada peringatan dari arsitek pembangun gedung tersebut.
Yang juga kurang diketahui adalah penghargaan terhadap masa depan
politik. Pada reformasi tahun 1998, kelihatan bagaimana prediksi
budaya politik Indonesia tidak dipahami secara bagus oleh para tokohtokoh reformasi itu sehingga ketika sekarang dinilai menyimpang,
tiba-tiba muncul pertentangan dengan berbagai varian seperti memilih
presiden lewat MPR, kembali ke UUD 45, atau pemilihan bupati lewat
DPRD. Mereka tidak mau menghargai budaya politik Indonesia yang
menyukai ketenangan dan kesederhanaan pada sosok. Semuanya ini
mempunyai kaitan dengan tidak adanya penghargaan-penghargaan
tersebut sehingga etika dilanggar. Dan itu justru dilakukan oleh orangorang yang mempunyai pengetahuan banyak. Sudah jelas juga apabila
dilihat bagaimana dengan penembakan yang terjadi di Jembatan
Semanggi tahun 1998, penculikan tokoh-tokoh dan sebagainya. Ini
semuanya merupakan pelanggaran etika.
Pada bidang sosial yang lain, korupsi jelas merupakan wujud dari
ketidakadaan penghargaan kepada usaha, kepada kerja keras, prestasi
atau kepada karya. Justru ketidakadaan penghargaan kepada hal-hal
inilah yang membuat negara menjadi bangkrut di segala bidang, mulai
dari PSSI U-19 yang gagal, Asian Games 2014 yang terpuruk sampai
dengan begitu banyaknya pengagguran di Indoensia. Banyaknya anak
48
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
muda yang sok tahu memakai ponsel sambil berkendara, juga tidak
lepas dari rendahnya kesadaran dan etika berperilaku tersebut.
Dalam kerangka “gaduh” menjelang pengumuman kbinet ini,
sesungguhnya juga kita lihat tidak adanya penghargaan kepada
waktu, hak dan norma presiden untuk menyusun kabinet secara
baik (menurut pandangan Jokowi). Cukup banyak komentar yang
muncul mengecam dan tidak sabar dengan cara Jokowi melakukan
pilihan kepada menteri. Dan itu jutsru dilakukan oleh mereka-mereka
yang mempunyai level pengetahuan tinggi. Padahal, yang paling
nyata bahwa presiden mempunyai kesempatan selama dua minggu
untuk menyusun kabinetnya. Fakta inilah yang mestinya dilihat oleh
para pengecam tersebut untuk memelihara situasi sosial yang sudah
mendukung ketertiban dan kenyamanan (kondusif) setelah kehadiran
Prabowo di Gedung MPR saat pelantikan Jokowi.
Ada dua hal yang mesti dipertimbangkan manakala melihat
penyusunan anggota kabinet ini agar bisa memberi penghargaan
kepada Presiden. Yang pertama, diskusi yang dilakukan kepada
KPK jelas diperlukan dan merupakan penghargaan kepada lembaga
tersebut untuk ikut serta memberikan sumbangan terbaik kepada
negara ini untuk mendapatkan orang-orang terbaik, tidak korup dan
berintegritas tinggi. Bagi Jokowi hak prerogatifnya jelas masih melekat
karena KPK hanya memberikan semacam nasihat kepada para calon
menteri tersebut. Warna merah dan kuning itu hanyalah rambu bagi
Jokowi untuk pemilihannya. Jadi keberadaan KPK justru menambah
positifnya hasil pemilihan.
Kedua, tantangan ke depan sangat besar bagi Indonesia yang
sekarang berada dalam sorotan dari berbagai pihak. Di kalangan
internal sendiri (dalam negeri) kekhawatiran muncul karena rivalitas
antara eksekutif dan legislative, masih belum surut benar. Di kalangan
luar negeri, para investor masih menunggu-nunggu bagaimana wajah
pemerintahan Jokowi ke depan. Apalagi kemudian beberapa menterii
di jaman Susilo Bambang Yudoyono telah masuk kedalam hitungan
koruptor. Maka pantaslah kemudian dengan pertimbangan tersebut,
pemilihan menteri ini menjadai agak lama demi mendapatkan orangorang yang tepat. Jadi, memang semuanya logis. Harus sabar menanti
agar jalannya negara bisa berjalan lebih baik. 
GPB Suka Arjawa
49
Memberikan Kesempatan
Kabinet untuk Bekerja, Bekerja
dan Bekerja
P
embentukan Kabinet Kerja, seperti yang dinamakan oleh
Jokowi, memerlukan waktu enam hari untuk menyelesaikannya.
Ini merupakan peristiwa berbeda dibanding dengan pemilihan
personil kabinet presiden-presiden sebelumnya. Tetapi presiden
mempunyai alasan mengambil waktu lebih dari satu hari untuk
mengumumkan. Apabila dilihat bahwa pembicaraan pemilihan menteri
telah jauh-jauh hari diutarakan, dengan terbentuknya Tim Transisi,
maka dapat dikatakan bahwa pemilihan menteri itu sangat mungkin
lebih dari dua minggu. Ketika kemudian presiden mengumumkan
nama-namanya tanggal 26 Oktober 2014 yang lalu, ada pihak terkejut
tetapi juga ada yang memahami personil yang muncul. Ada beberapa
dipandang tidak mempunyai kapasitas pengalaman dan intelektual
untuk jabatan menteri. Bahkan menyoroti tentang kredibilitas diri
yang konon pernah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Beberapa malah pernah disebutkan berurusan dengan KPK.
Padahal, Jokowi telah melakukan konsultasi dengan KPK dan PPATK
sebelum membuat keputusan memilih menteri, sesuai dengan hak
yang dimiliknya sebagai presiden.
Ada beberapa persoalan dasar mesti dilihat manakala melihat dan
menilai hasil kerja nasional, tidak hanya dalam pemilihan menteri.
Dalam konteks pemilihan menteri, tantangaan besar yang dilakukan
oleh pemimpin cukup banyak. Yang pertama adalah representasi
50
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
nasional. Mau tidak mau, dengan memperhatikan soal representasi
nasional ini, kualitas intelektual, keterampilan dan professional
harus dikompromikan. Menteri di Indonesia harus mereprestasikan
budaya, etnik, agama, pemeluk agama dan sebagainya. Dengan
tuntutan seperti ini, pemilihan seorang menteri harus melihat pada
keterwakilan mereka disamping keahlian yang dimiliki. Disini ia
mesti dipandang sebagai sebuah representasi, keterwakilan yang
kemudian dapat diarahkan menjadi dua bagian. Seorang calon menteri
yang benar-benar matang, profesional dan intelek, harus mengalah
tidak mendapatkan tempat apabila keterwakilan mereka lemah. Ia
harus memberikan kesempatan tersebut kepada calon yang memang
merepresentasikan keindonesiaan. Pada sistem politik kontemporer
Indonesia, keterwakilan itu harus juga dikompromikan dengan politik
dan partai politik. Selanjutnya, ada banyak calon menteri yang matang
dan professional, akibat tidak mempunyai representasi etnik, agama,
politik dan sebagainya sebagian tidak muncul di permukaan sebagai
menteri, tetapi difungsikan sebagai dirjen, staf ahli atau staf khusus
lainnya.
Karena itu, masyarakat seharusnya memahami konteks
keindonesiaan ini dari sisi keragaman dan politiknya sehingga
dapat menerima jajaran anggota kabinet seperti yang diumumkan
oleh Presiden Joko Widodo. Lamanya pemilihan anggota kabinet
itu sesungguhnya dapat dipahami dari logika kebhinekaan dan
realitas politik kontemporer. Menteri sebagai petugas negara, dengan
demikian, memang benar seorang petugas politik. Kinerja menteri
akan sangat ditentukan oleh bawahan yang membantunya. Inilah yang
harus lebih professional, lebih matang dan tahu arah perkembangan
jaman yang cocok untuk Indonesia. Dari situlah kemudian muncul
pembenaran bahwa tidak perlu seorang menteri itu membawahi
departemen sesuai dengan “nomenklatur” ijazah perguruan tinggi atau
ijazah sekolah menengahnya. Menteri harus mau belajar, mengerti
keahlian bawahan, dan meyerapnya ke dalam pembuatan keputusan.
Dengan telah disumpah dan dimulainya sidang Kabinet Kerja
Senin yang lewat, maka paling tidak Joko Widodo sebagai presiden
telah membuktikan kata-katanya untuk segera “mempekerjakan
pembantunya” itu untuk membangun Indonesia sesuai dengan missi
GPB Suka Arjawa
51
yang ditetapkan untuk mencapai visi negara, setidaknya tahun 2045.
Dalam model pencapain sekarang, secara internasional condong
dipakai skala kuantitatif untuk mengukur keberhasilan seorang
presiden. Satuan waktu yang dipakai biasanya tiga bulan (100 hari).
Akan tetapi, skala demikian biasanya dilakukan oleh negara-negara
maju yang telah mempunyai perangkat jelas. Sesungguhnya model
kuantitatif ini, di negara maju tidak hanya dilakukan untuk mengukur
keberhasilan kinerja pemerintahan, tetapi juga sektor lain seperti
perguruan tinggi, perusahan, kekayaan korporat dan sebagainya.
Tetapi untuk mengetahui itu harus mempuyai perangkat indikator yang
jelas. Amerika Serikat, Inggris atau Perancis mempunyai skala untuk
melihat seberapa banyak pengangguran yang terserap selama tiga
bulan pertama pemerintahannya bekerja. Didukung oleh manajemen
yang handal, penyerapan tenaga kerja itu akan dipakai memprediksi
perkembangan ekonomi pada tiga bulan berikutnya, untuk kemudian
membangun perkiraan terhadap sektor kesehatan keluarga pada
tiga bulan berikut. Dengan demikian ukuran keberhasilan itu
“diimplankan” dengan segala indikator dengan alat-alat yang jelas
agar tidak menimbulkan berbagai kontraversi di masyarakat. Sebab
kontraversi ini justru akan berpotensi memperlambat kinerja
pemerintah.
Di Indonesia, ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif demikian
sebaiknya tidak terlalu dipaksakan untuk mengukur keberhasilan
pemerintahan presiden baru. Atau disamping indikator kuantitatif itu,
juga mesti dipakai pendekatan kualitatif. Inti dari pendekatan kualitatif
ini adalah merasakan dalam kehidupan sehari-hari, menghubungkan
dengan stabilitas politik dan stabilitas sosial dan kemungkinan harapan
di masa depan. Dengan cara pandang seperti ini maka keberhasilan
pemerintahan baru untuk mencairkan kebekuan antara Koalisi Merah
Putih dengan Koalisi Indoensia Hebat sudah merupakan langkah
positif. Bagaimanapun ini telah mampu mengurangi ketegangan
sosial. Terepresentasikannya anggota kabinet ke dalam ragam etnik,
agama, wilayah, professional, politik, dan gender itu sudah merupakan
kerja bagus. Jadi, marilah berikan mereka bekerja, bekerja dan bekerja
untuk membuktikan kemampuannya terlebih dahulu. 
52
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Membangun Masyarakat
Dewasa dan Berkesadaran
K
artu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar (KIS dan
KIP) merupakan salah satu kebijakan dari Presiden Joko
Widodo dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin
Indonesia. Dua kartu itu akan segera dibagikan kepada masyarakat
Indonesia yang benar-benar memerlukan. Di tengah politik yang
sedang sakit, bagaimanakah manfaat kartu-kartu itu bagi masyarakat
dan masa depan Indonesia?
“Kesakitan” politik Indonesia sekarang bisa dilihat bagaimana
riak politik panas yang ada di parlemen. Dua kelompok politik di
lembaga yang seharusnya terhormat itu, secara tidak tahu malu
memperlihatkan sifat politik nyeleneh di hadapan masyarakat
Republik Indonesia. Masing-masing kelompok ngotot dengan
pendiriannya sehingga secara nyata telah terbelah. Kenyataan ini
terlihat dengan adanya kelompok yang melakukan sidang paripurna
sendiri sebagai respon terhadap kelompok lainnya yang juga tuli buta
terhadap realitas masyarakat banyak. Padahal Presiden Jokowi dan
tokoh-tokoh lain di eksekutif telah melakukan upaya perdamaian.
Setidaknya upaya untuk itu telah berhasil, meski masih minor karena
tidak mampu mempengaruhi kepanjangan tangannya di parlemen.
Maka, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar
mempunyai posisi impian dalam kerangka memeperbaiki mental
Indonesia di masa depan. Artinya keberhasilan pelaksanaan dua jenis
kartu ini akan memberi kontribusi bagi masa depan politik Indonesia.
Tentu tidak sekedar iklim politik saja yang menjadi sasaran masa
GPB Suka Arjawa
53
depan kartu iitu. Sasaran utamanya adalah kecerdasan dan kesehatan
masyarakat serta generasi muda. Kecerdasan bisa meliput segala
segmen. Akan tetapi, karena politik Indonesia sekarang demikian
memalukan, maka melalui dua kartu inilah diharapkan ke depan
generasi politik yang tumbuh dengan berlatar dua kartu ini dapat
diperbaiki secara mendasar.
Satu pendapat menyebutkan bahwa dua jenis kartu itu sesungguhnya hanya merupakan gincu politis saja dari pemerintahan Joko
Widodo dengan memanfaatkan kondisi sosial yang ada. Banyak masyarakat Indonesia, yang tidak tersentuh pendidikan menangah dan
mempunyai indeks kesehatan yang rendah. Ini merupakan fakta sosial,
tidak hanya di daerah pedalaman tetapi juga di perkotaan. Kota yang
tumbuh akibat dari urbanisasi yang kuat, pada akhirnya juga mencerminkan kehidupan desa dan pedalaman karena banyak orang seperti
itu datang ke kota mencari penghidupan. Itulah yang mebuat tingkat
pendidikan dan tingkat kesehatan di kota juga tidak terlalu bagus. Apabila kemudian ada pendapat bahwa KIP dan KIS itu merupakan proyek
politik, hal ini sah-sah saja. Tetapi apabila dilihat dari alur pesan dan
tujuan dari “politik” KIS dan KIP tersebut, mempu­nyai nilai-nilai ideal
yang pantas dikembangkan di Indonesia. Karena itu, demi mengimbangi kritik terhadap keluarnya kebijakan ini maka pemerintah harus
benar-benar serius dalam melakukan pengelolaan. Bahwa menteri
pendidikan dasar dan menengah bertemu dengan menteri sosial hanya
beberapa hari setelah dilantik demi menindak­lanjuti kebijakan KIP
dan KIS, itu merupakan langkah positif yang mencerminkan keseriusan pemerintah terhadap pilihan politik itu.
Dalam konteks kebijakan, yang pertama KIP dan KIS realisasinya
tidak boleh parsial. Artinya, sasaran itu harus broad spektrum,
meluas dan tidak mengenal sekat geografis. Seluruh wilayah
Indonesia, pegunungan, desa, kota maupun perbatasan harus
menjadi jangkauan kebijakan ini. Ada beberapa alasan untuk
memperkuat ke”broadspektrum”an ini. Seperti yang telah disebutkan
diatas, kekurangmerataan pendidikan itu tidak hanya di pedalaman
tetapi juga di perkotaan. Sasaran utama yang mesti dilihat memang
masyarakat pedalaman tetapi jangan sekali-sekali meninggalkan
peerhatian kepada kota. Urbanisasi sekarang membuat tingkat
54
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
kekurangan pendidikan yang ada di pedalaman berpindah ke kota.
Peningkatan pendidikan di kota akan memungkinkan juga penurunan
angka kejahatan dan berpotensi meningkatkan peningkatan disiplin.
Kejahatan dan absurditas di kota disebabkan oleh tidak adanya
kesadaran cerdas dan kepintaran dari masyarakat.
Hal yang sama juga dengan kesehatan. Suasana alami pegunungan
dan pedesaan mungkin memberikan iklim kesehatan yang lebih tinggi
dibanding dengan kota. Tetapi karena tenaga kesehatan yang lebih
banyak ada di perkotaan, membuat sentuhan teknis dan pemahaman
tentang kesehatan secara akumulatif, justru kurang di desa. Akibatnya
bisa fatal karena anggota masyarakat cenderung membiarkan
penyakit yang ada. Akan tetapi, kota di jaman sekarang di Indonesia
justru merupakan “ladang” berbagai penyakit. Kesemrawutan kota,
dengan berbagai masalah kependudukan dan lingkungan, membuat
di kota justru menjadi ladang berbagai macam penyakit. Demikian
juga dengan penyebaran penyakit dari rumah sakit yang kebanyakan
ada di perkotaan.
Intinya, baik kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar,
diperlukan oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Bagaimana dengan
pengaruh terhadap tabungan masa depan politik Indonesia? Disinilah
justru kepentingan utamanya. Politik merupakan kesadaran dan
pendewasaan. Artinya berkesadaran untuk membangun masyarakat
sejahtera dan dewasa untuk mengupayakan pencapaian tujuan itu.
Di Indonesia sekarang, politik justru sangat absurd. Politisi hanya
mampu menguasai politik sebagai sebuah kepentingan kelompok dan
bahkan kekayaan. Untuk mengubah kepercayaan dan pemahaman ini
perlu waktu banyak, panjang dan besar. Pendidikan dan kesehatanlah
yang akan mampu menciptakan kesadaran dan pendewasaan itu,
melalui proses yang bertahap. Pemerintahan Jokowi sekarang harus
benar-benar melaksanakan raalisasi KIP dan KIS ini agar benarbenar tepat sasaran agar mampu mencapai masyarakat yang dewasa
dan sadar akan budayanya. Karena absurditas politik itu terjadi
di jaman Presiden Jokowi, maka tidak ada jalan lain, pemerintah
harus benar-benar taktis, cermat, jujur dan sederhana dalam proses
menjalankan pendidikan dan kesehatan ini demi membangun insan
politik yang cerdas dan jujur di masa depan. 
GPB Suka Arjawa
55
J
PARTAI-PARTAI
GPB Suka Arjawa
57
“Partai Pemulung”
K
etika partai politik diberikan kesempatan untuk menyerahkan
daftar caleg pertama kali tanggal 29 Desember yang lalu,
batas waktu pukul 24.00 Wib tersebut dimanfaatkan penuh.
Pejabat KPU pusat cukup dibuat pusing karena sampai sekitar pukul
22. 00 Wib masih banyak partai yang menyerahkan daftarnya. Tetapi
dalam waktu satu jam sebelum batas penutupan, para pejabat partai
politik ramai-ramai memenuhi ruangan KPU untuk mendaftarkan
calegnya. Kemudian, pada saat KPU memberikan batasan waktu
pukul 16.00 Wib bagi partai politik untuk menyerahkan kembali perbaikan berkas pendaftaran caleg hari Senin yang lalu, ternyata
beberapa partai politik tidak bisa memenuhi waktu yang telah
ditetapkan itu. Lantas untuk menyiasati batas waktu ini, parpol
yang lambat mendaftar itu memasukkan berkasnya melalui celah
bawah dari pintu kantor KPU yang telah ditutup rapat. Fenomena
ini bukan saja mendapat kritik dari masyarakat tetapi sekaligus juga
ditertawakan. Perilaku partai politik itu ternyata tidak ada bedanya
dengan pemulung. Seorang pemulung akan selalu mencari siasat
untuk bisa masuk kawasan tertentu meski telah ada tulisan “dilarang
masuk”. Ada apa dengan partai politik kita?
Salah satu ukuran dari kualitas partai politik itu bisa dilihat
dari kinerja administatifnya. Pemilihan calon anggota legislatif
merupakan tugas partai politik yang akan menentukan bagaimana
kiprah partai tersebut di masa-masa yang akan datang karena
caleg inilah kelak yang akan memperlihatkan bobot partai yang
GPB Suka Arjawa
59
bersangktan di parlemen. Karena itu dalam pemilihan calon caleg
tersebut, haruslah dilakukan persiapan yang matang. Artinya telah
jauh-jauh hari dipikirkan siapa calon yang pantas untuk didaftar,
yang mempunyai karakter sesuai dengan misi dan visi partai yang
bersangkutan. Dalam jangka waktu itu pula parpol mesti melihat
bagaimana trek rekord dari calon caleg yang hendak direkrut tersebut.
Adanya kemepetan batas waktu yang dimanfaatkan parpol
dalam menyerahkan daftar caleg (seperti yang terlihat tanggal 29
Desemeber 2003 lalu) atau parpol yang menyerahkan bekas melalui
celah pintu (seperti yang diperlihatakan hari Senin lalu di kantor KPU
Jakarta), sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh masihnya
ada perdebatan tentang daftar caleg yang sedang disusun partai
yang bersangkutan atau kemungkinan besar akibat kebingungan
partai untuk mencari calon caleg. Buntutnya kemudian terlihat pada
urusan adminsitrasi tersebut.
Kemungkinan yang lain adalah bahwa partai politik tidak
memanfaatkaan waktu itu secara maksimal, disebabkan oleh begitu
banyaknya pejabat partai politik memiliki aktivitas di luar partai.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia Indonesia
itu mempunyai pekerjaan rangkap untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Hal yang sama juga terlihat di partai politik. Banyak tokoh
partai misalnya yang memiliki kesibukan berupa pengusaha atau
pemborong atau menjadi pegawai di perusahan swasta. Salah satu
akibatnya, keputusan-keputusan internal partai yang mestinya harus
medapatkan persetujuan dari pejabat yang bersangkutan menjadi
tertunda karena kesibukan di luar partai tersebut. Bisa pula waktu satu bulan untuk menyusun daftar caleg itu, terpaksa “dipotong” dan hanya digunakan dalam waktu seminggu. Ada kesan partai
politik justru menganggap hal-hal seperti ini merupakan hal remeh. Faktor inilah yang membuat parpol akhirnya kalang kabut pada saat
batas waktu penyerahan itu tiba.
Berpolitik adalah kegiatan yang sesungguhnya mulia karena
mengandung makna idealis yang tinggi. Keidealan ini disebabkan
oleh karena berpolitik itu bertujuan untuk memperbaiki kehidupan
raakyat banayak. Tekanannya pada memperbaiki bukan menyiasati.
Karena itu tidak bolehlah tugas berpolitik itu dilakukan sambil
60
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
berdagang. Harusnya tugas ini dilakukan secara terkosentrasi.
Mereka yang suah memilih terjun ke partai politik harus bisa
menanggalkan pekerjaan lainnya agar bisa lebih terkosentrasi. Jadi
jangan dipandang remeh kegiatan politik tersebut.
Anggota legislatif merupakan ujung tombak dari partai untuk
memperlihatkan kualitas partainya. Anggota legislatif pula yang kelak
paling bertanggung jawab untuk membuat peraturan-peraturan
tertentu baru atau keputusan-keputusan tertentu yang ditujukan
kepada masyarakat. Jika kemudian anggota legislatif tersebut tersebut
merupakan anggota yang direkrut berdasarkan pertimbangan yang
mendadak (grasa-grusu!) akibat waktu mepet, bagaimana mungkin
bisa menghasilkan anggota yang kualifaid. Dan bagaimana mungkin
anggota legislatif yang tidak kualifaid bisa menghasilkan output yang berkualitas. Jangan-jangan nanti kualitasnya hanya bisa memulung
ijazah di sana-sini! 
GPB Suka Arjawa
61
Ngaku Kalah
Atau Sekedar Strategi?
P
ernyataan menarik dari Akbar Tanjung setelah bebas dari
tuntutan pengadilan adalah penilaiannya terhadap kekuatan
PDI Perjuangan. Dalam sebuah pernyataan politisnya di
Jakarta beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Golkar tersebut
mengungkapkan bahwa PDI Perjuangan masih merupakan kekuatan
politik terbesar di Indonesia. Karena itu Golkar mengaku kalah
tidak mampu menyaingi perolehan suaranya dalam pemilu legislatif
mendatang. Partai ini hanya mematok angka 30 persen dari raihan
suara nasional.
Apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung itu cukup menarik jika
dikaitkan dengan budaya politik yang berkembang di Indonesia.
Seperti juga halnya dengan bisnis di dunia politik tidak ada politisi
yang mengaku kalah. Jangankan sebelum bertanding setelah
pertandingan usaipun kata kalah tersebut tidak pernah terungkapkan.
Kalau perolehan suara secara riil lebih kecil dari lawan, pasti ada
argumentasi lain yang keluar sebagai pembelaan diri. Misalnya
pemilu berlangsung curang atau pelaksana pemilu tidak benar,
tidak tepat waktu dan sebagainya. Ini merupakan sebuah kebiasaan
dalam politik karena di dalam politik tersebut ada persaingan untuk
memperoleh dukungan. Untuk mendapatkan dukungan tersebut,
tidak ada rumus ngaku kalah apalagi misalnya menjelek-jelekkan
nama partai sendiri. Akbar Tanjung adalah ketua umum partai,
karena itu keliru jika seorang tokoh puncak partai mengaku kalah
sebelum pertandingan mulai terhadap kandidat partai lawan.
62
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Di balik itu secara jujur harus diakui bahwa dalam lingkungan
politik di Indonesia, Akbar merupakan politisi ulung. Dia bisa
bertahan di dunia politik sejak dekade enampuluhan (ketika terlibat sebagai aktivis mahasiswa) sampai sekarang. Terlebih lagi, Akbar merupakan satu-satunya politisi Orde Baru yang masih bertahan di
belantara politik kontemporer Indonesia yang hiruk pikuk dengan
berbagai partai politik dan bermacam-macam manuver. Dan
yang paling berprestasi adalah keberhasilannya mempertahankan Golkar di tengah berbagai upaya penggembosan yang dilakukan dan
di tengah berbagai kecaman masyarakat terhadap Golkar sebagai
partai yang korup, kolusi dan nepotis. Golkar tidak hanya digerogoti
oleh partai-partai lain, tetapi juga oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya
hidup di lingkungan Golkar. Kebarhasilan ini secara politik bisa
dinilai spektakuler! Bayangkan, sebuah partai yang secara moral oleh
masyarakat (bukan semata-mata oleh individual atau kelompok!)
telah dinilai negatif, dihujat, secara struktural porak-poranda, tidak
mempunyai tokoh kharismatis karena tokoh-tokohnya telah dinilai
korup, toh tetap bisa bertahan dan malah mampu meraih peringkat
kedua raihan suara dalam pemilu. Jika coba dibandingkan dengan
PDI Perjuangan, banyak penilaian mengatakan bahwa partai ini
besar karena tokoh sentral pada kharisma diri Soekarno dengan
perwujudan Megawati. Peristiwa pertemuan di Jembrana, dimana
banyak massa PDI Perjuangan yang balik pulang gara-gara Megawati
tidak datang beberapa tahun lalu, memperlihatkan betapa partai ini
sangat kuat berfokus pada figur personal kharismatis.
Karena itu ketika Akbar Tanjung mengatakan baahwa dirinya
ngaku kalah terhaap PDI Perjuangan dalam pemilu mendatang,
haruslah juga dilihat sebagai sebuah manufer dan strategi. Ungkapan
ini dilakukan hanya seminggu setelah ia terbebas dari jeratan
hukuman dari Mahkamah Agung. Akbat keputusan bebas dari
Mahkamah Agung tersebut, masyarakat Indonesia gempar. Yang
kena gampar bukan saja Akbar Tanjung sendiri (dinilai sebagai
politisi pongah keterlaluan) tetapi juga Golkar dan praktik hukum
positif di Indonesia. Bebasnya Akbar Tanjung mempunyai konotasi
negatif bagi partai, yang bisa membuat Golkar kembali dibenci dan
akhirnya dijauhi oleh pemilih.
GPB Suka Arjawa
63
Satu cara yang bisa dipakai untuk mengobati luka ini adalah
dengan cara mengambil hati budaya masyarakat Indonesia yang
antitesis, yaitu “ngesor” berpura-pura sebagai bawahan, berpurapura hormat, nunduk dan sejenisnya. Perwujudan dari budaya
tersebut dalam bidang politik adalah mengaku kalah terhadap lawan yang dinilai paling kuat. Padahal sesungguhnya tujuan dari pengambilan hati ini adalah memperoleh keuntungan dibalik
pengakuan kalah, “ngesor”, nunduk dan sebagainya itu. Jadi, berbalik
dan bertentangan dengan apa yang diucapkan dan digerakkan oleh
fisik: mengaku kalah padahal sesunggunya sangat ingin menang.
Jangan lupa, model ini merupakan budaya asli Indonesia, terutama
banyak dijumpai pada masyarakat Jawa! Cara kultural untuk
mengambil hati masyarakat ini diharapkan mampu mengobati masyarakat yang demikian kecewa terhadap keputusan bebasnya
dari Mahkamah Agung tersebut. Selanjutnya masyarakat secara
pelan-pelan mampu memaafkan Akbar, Partai Golkar dan akhirnya
melupakan keputusan pahit Mahkamah Agung tersebut. Pendekatan
budaya sosial ini sangat penting dan paling cocok untuk menghadapi
pemilu yang tinggal sekitar satu setengah bulan lagi. Apalagi telah ada
isu yang muncul bahwa Partai Karya Peduli Bangsa yang dibentuk
oleh R. Hartono dan mencalonkan Mbak Tutut sebagai presiden,
mempunyai agenda untuk menggembosi Partai Golkar dan mencoba
menarik hati para simpatisan Golkar di masa lalu.
Dengan demikian, partai-partai lain di luar Golkar haruslah bersiap-siap sejak sekarang menghadapi trik Partai Golkar (Akbar
Tanjung) selanjutnya terutama di masa kampanye nanti. Partai
yang menganadalkan otak dan strategi, mempunyai kesempatan
berkembang jauh lebih hebat ketimbang partai yang sekadar tokoh
apalagi massanya sering ugal-ugalan. 
64
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Mengatasi Sanksi Sosial
Terhadap Partai Demokrat
P
ernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo
Bambang Yudoyono yang mengakui menurunnya dukungan
rakyat terhadap partai ini, mengandung makna positif.
Bahkan, pengakuan akan adanya pengaruh tuduhan korusi dari
komponen partai sebagai penyebab penurunan itu, merupakan
sebuah terobosan baru. Terobosan ini bukan sekedar bersifat politis
tetapi juga moral. Selama ini, petinggi partai politik cenderung
enggan mengakui adanya unsur-unsur negatif yang melekat di partai
politik tempatnya berlindung. Dan apa yang terjadi dalam rentang
waktu hampir setengah tahun terakhir ini, unsur negatif itu melekat
pada Partai Demokrat. ”Ini adalah fakta,” ungkap Yudoyono tentang
realitas turunya dukungan partai atas survei yang dilaakukan oleh
lembaga tertentu.
Bagaimana pengaruh pernyataan tersebut dalam kehidupan
Partai Demokrat ke depan?
Kalau dilihat sebagai sebuah terapi, pengakuan jujur seperti ini
merupakan terapi yang paling manjur untuk mengobati keadaan
partai politik. Pengakuan jujur yang juga berarti pengakuan atas fakta
yang ada mempunyai peran yang sangat penting untuk memperbaiki
kinerja partai (dan juga organisasi lain). Dengan cara demikian, inti
dari penyakitnya akan diketahui dengan pasti. Apabila inti penyakit
telah diketahui, penyakit yang menggerogoti partai akan mudah
disembuhkan. Seorang dokter kesehatanpun mempunyai pandangan
yang sama karena kejujuran seorang pasien untuk mengungkapkan
GPB Suka Arjawa
65
riwayat penyakitnya akan memudahkan dokter menganalisa dan
memberikan obat. Susilo Bambang Yudoyono telah mengakui bahwa
partainya kini merosot jumlah dukungannya (menjadi sekitar 13
persen dari 20 persen di bulan Januari, dan menduduki peringkat
ketiga setelah Partai Golkarr dan PDI Perjuangan), dan mengakui
telah adanya tuduhan korupsi yang dilakukan oleh beberapa kader
terasnya.
Dengan demikian, apa yang harus dilakukan Partai Demokrat
setelah pengakuan ini adalah menunggu proses hukum dan kemudian
melakukan tindakan yang tepat bagi kadernya yang melanggar garis
partai, lalu kembali memompakan semangat kader dan pendukung
serta membersihkan nama paartai itu agar tetap mampu bersaing
dua tahun lagi dalam pemilihan umum (2014).
Pengakuan yang disandarkan atas kejujuran itu mengandung
arti sosial yang cukup siginifikan. Yang pertama, secara moral
mengakui kelemahan diri sendiri di hadapan masyarakat secara
luas. Artinya tidak ada yang selalu digjaya dalam realitas sosial ini,
sekaligus mengAkui adanya kelemahan manusia. Hanya dalam waktu
sembilan tahun sejak tahun 2009 Partai Demokrat telah berhasil
meraih suara terbanyak pada pemilu tahun 1999. Banyak yang
menduga keberhasilan tersebut disebabkan oleh faktor kharisma
Susilo Bambang Yudoyono. Dan hanya tiga tahun setelah itu, faktor
kharisma inipun bisa jebol karena ulah dari ”anak buah” Partai
Demokrat. Pengakuan akan hal ini sungguh bernilai tinggi karena
juga merupakan pengakuan akan keterbatasan (kharisma) manusia.
Bahwa hal itu diakui secara terbuka, tindakan ini merupakan
keberanian dan mempunyai nilai moral positif. Moral selalu diukur
akan kejujuran manusia akan apa yang sesungguhnyaa terjadi di
dalam dirinya sendiri di hadapan khalayak.
Kedua, di balik pengakuan tersebut, secara tidak sengaja telah
tersirat motivasi politik untuk mencari dukungan. Sifat masyarakat
Indonesia sekarang sungguh sangat haus dengan kejujuran, sangat
haus dengan keberanian akan pengungkapan kejujuran tersebut..
Masyarakat akan lebih puas mendengar kejujuran itu apabila datang
dari seorang yang berpngaruh, mempunyai posisi dan peran yang
penting dalam sebuah orgaanisasi. Selama hampir empat dasawarsa
66
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
(kalau dihitung dari masa Orba) rakyat Indonesia tidak pernah
mendengar seorang petinggi politik yang bersikap jujur seperti itu.
Maka, apabila kejujuran tersebut datang dari seorang yang berposisi
amat berpengaruh, maka organisasi yang bersangkutan akan bisa
kembali mendapat simpati, meskipun harus dengan cara merangkak.
Posisi pengakuan jujur dari Susilo Bambang Yudoyono ada pada
konteks ini.
Lalu tugas paling berat sekarang terletak pada kejujuran lanjutan
dari para tokoh partai yang kini sedang menghadapi dugaan korupsi.
Segenap kejadian-kejadian tidak populer tersebut,, membuat
predikat Partai Demokrat terpuruk di mata masyarakat. Inilah
bentuk sanksi sosial yang diterima partai ini. Pada saat sebuah
partai mendapatkan sanksi sosial, tidak ada ampun lagi, inilah yang
paling berat diterima partai karena basis partau politik justru ada
di masyarakat. Dengan demikian, tugas paling berat dari partai
politik ini sekarang adalah menghilangkan sanksi sosial itu. Cara
yang telah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudoyono sesungguhnya
telah mengurangi secara signifikan sanksi sosial tersebut. Selanjutnya
sekarang adalah memproses secara hukum dengan seadil-adilnya
kader Partai demokrat yang dituduh melakukan korupsi. kader
tersebut harus menerima secara legowo, memberikan keterangan di
depan pengadilan secara terang benderang, tidak berbelit-belit. Dan
apabila kemudian dinyatakan bersalah, bersedia menerima hukum
secara ikhlas. Meminta maaf secara pribadi kepada masyarakat dan
kepada partai. Jika ternyata tidak terbukti bersalah, para kader ini
justru akan mampu memberikan sumbangan positif kepada partai
karena membuktikan dirinya tidak bersalah. Akan tetapi, meski kader
yang bersangkutan tidak dinyatakan bersalah, tetap harus meminta
maaf kepada masyarakat karena telah membuat kegaduhan politis
dan memancing sikap emsoional masyarakat. Minta maaf juga ke
partai karena telah membuat kegaduhan. Terhadap mereka yang
bersalah dan mendapat hukuman, secara ikhlas juga harus mundur
dari Partai Demokrat.
Dengan cara seperti inilah sanksi sosial itu akan bisa dikurangi.
Sekali lagi, sanksi sosial tersebut merupakan hukuman paling berat
bagi partai politik.
GPB Suka Arjawa
67
Kita berharap, Partai Demokrat mampu memberikan contohcontoh positif ini kepada generasi berikutnya. Adalah benar satu
partai mungkin tidak akan terus-terusan mampu bertahan di dalam
pemerintahan. Akan tetapi sebuah contoh positif akan mampu
ditularkan kepada partai generasi lain yang mungkin kelak akan
dukuk di pemerintahan. 
68
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Kesediaan Berkorban dan
Mengalah Dari Partai Politik
A
da hal yang harus dipertimbangkan saat melihat, apakah partai
akan bisa bertahan di tengah gempuran cercaan, citra, dan
kondite yang tidak positif. Di jaman modernisasi komunikasi
seperti sekarang, citra yang menyebar merupakan tantangan paling
besar untuk mempertahankan keberadaan lembaga. Partai Demokrat
merupakan salah satu partai yang sedang menghadapi persoalan itu
saat ini. Baik pejabat teras maupun pejabat yang ada di bawahnya
terkena citra buruk karena tuduhan korupsi.
Satu yang dimaksud itu adalah bagaimana cara menghubungkan
diri antara pejabat partai dengan konstituens. Penghubungan itu
tidak hanya melalui kampanye dan pencitraan saja akan tetapi
dengan cara yang sangat sederhana, yakni kesediaan berkorban,
bersedia untuk kalah untuk sementara. Kalimat terakhir ini yang
paling tidak dimengerti dan paling takut di terima oleh para pejabat
partai politik dimana saja, termasuk juga di Indonesia. Korupsi
merupakan item utama dari masyarakat Indonesia sekarang sehingga
selalu mendapatkan sorotan dimana saja. Secara sosial, korupsi
di Indonesia itu dimungkinkan karena kondisi ekonomi negara
sedang sulit dan etos kerja masih rendah. Karena etos kerja rendah
maka orang ramai-ramai mencari jalan pintas untuk memenuhi
keperluan hidup. Korupsi dengan segala turunannya menjadi pilihan
memenuhi tuntutan itu. Dan jangan lupa, korupsi itu tindakan yang
rasional. Artinya dengan tindakan, biaya dan tenaga yang minimal
memperoleh hasil yang maksimal. Inilah yang membuat banyak
GPB Suka Arjawa
69
anggota masyarakat yang tercebur ke dalam perilaku-perilaku KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme).Bangunan jaringan sosial yang
dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat yang memahami ”teori
rasionalisasi korupsi” itu, sebenarnya juga dimanfaatkan untuk
melanggengkan tindakan-tindakan KKN tersebut. Meski tindakan
korupsi itu rasional tetapi jelas tidak etis dan melanggar segala norma
yang ada.
Dengan demikian, kesediaan untuk berkorban untuk sementara
dan kesediaan mengalah itu sesunguhnya mempunyai tujuan dan
nilai yang kompleks. Partai politik pada hakekatnya adalah lembaga
tindakan yang berupaya membangun jaringan. Pada titik yang
paling dasar, partai politik terdiri dari komponen-komponen yang
berhubungan satu sama lain (sistem). Dengan komposisi dewan
pimpinan pusat, dewan pimpinan daerah, dewann pimpinan cabang
sampai pimpinan ranting, memperlihatkan bagaimana luasnya
jaringan tersebut. Di dalam norma (perundangan yang ada) partai
politik yang tumbuh di Indonesia diharusnya mempunyai cabangcabang di berbagai daerah di seluruh Indonesia (meski tidak harus
sepenuhnya). Dengan konteks jaringan yang menggurita tersebut,
maka potensi untuk melakukan KKN di seluruh Indonesia itu
menjadi semakin besar.
Partai politik yang mempunyai masalah dengan persoalan
korupsi, dengan demikian, tidak harus ”meneliti” personil-persinil
yang ada di pusat saja. Akan tetapi juga harus memberikan
perhatian kepada seluruh personilnya yang ada di berbagai daerah.
Intinya kalau personil itu ”mencurigakan”, memang harus segera
dikeluarkan dari keanggotaan. Jadi, pemecatan memang menjadi
cara yang paling bagus untuk membersihkan partai dari masalah
seperti ini. Namun demikian, dalam konteks kehidupan partai politik
di Indonesia, justru hal inilah yang paling sulit dilakukan. Di perlukan
pengorbanan disini.
Kebanyakan anggota konstituens mempunyai keterikatan dengan
para pejabat-pejabat partai. Secara tidak kelihatan, para konstituens
itu ternyata mempunyai hubungan yang sifatnya juga mirip-mirip
dengan KKN. Pemberian sumbangan untuk menarik simpati dan
memilih partai dan nama tertentu dalam pemilu, juga bisa dikatakan
70
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
sebagai tindakan kolutif dan nepotism. Secara sembunyi-sembunyi,
ada bisik-bisik dan janji-janji atas bantuan yang diberikan itu. Korupsi
dengan segala turunannya itu jelas adalah tindakan sembunyisembunyi.
Apabila partai politik yang terlibatt korupsi ingin memperthankan
reputasinya, mereka harus segera memutuskan hubungan dengan
pejabat-pejabat yang berpotensi melakukan tindakan korupsi itu.
Disinilah kesediaan partai untuk berkorban harus dibuktikan.
Tokoh-tokoh yang membentuk jaringan itu akan berupaya
menggembosi partai kalau mereka dipecat. Tidak jarang satu
tokoh itu mempunyai jaringan yang luas dengan anggota-anggota
konstituens yang jumlahnya banyak. Jadi, apabila seorang tokoh
ittu mempunyai ratusan jaringan dan masing-masing jaringan
mampu mengumpulkan ribuan anggota, bisa dihitung berapa
banyak jumlah anggota konstituens yang menyeberang dari partai
politik yang terlibat masalah korupsi. Dengan begitu, potensi sebuah
partai untuk kalah dari tingkat pusat sampai daerah, cukup tinggi.
Inilah pengorbanan awal yang harus dilakukan oleh partai politik.
Kebanyakan para tokoh partai ketakutan untuk melakukan tindakan
seperti ini karena cita-citanya amat pragmatis, yakni memegang
kekuasaan, sebuah cita-cita yang sesungguhnya jauh dari tujuan awal
pendirian partai. Tujuan pendirian partai adalah menghubungkan
masyarakat dengan pemerintah.
Bagaimana dengan partai-partai politik yang ada di Indonesia?
Sejarah pembentukan dan ketahahan partai politik Indonesia
secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu cinta
kepada tanah air (sekaligus membenci penjajah) dan cinta kepada
figur. Partai politik yang berasas nasionalisme merupakan partai
yang mempunyai sejarah yang pertama. Dalam perkembangannya,
partai juga mencintai figur yang ada. Partai Nasional Indonesia
merupakan salah satu dari partai yang mempunyai dua karakter
tersebut sekaligus. Ciri-ciri demikian, masih ada sisanya sampai
sekarang hanya saja faktor figur sangat memegang penting. Dalam
hal pembangunan politik pada partai ini, kekecewaan akan terjadi
kalau figur tersebut dinilai melenceng dan nasionalisme Indonesia
seolah diabaikan. Inilah yang membuat beberapa partai di Indonesia
GPB Suka Arjawa
71
hancur di masa lalu. Redupnya Partai Nasionali Indonesia di masa
lalu boleh dikatakan disebabkan oleh dua hal tersebut. Para elit
partai tidak berani melakukan perbaikan-perbaikan signifikan untuk
memperbarui citra partai.
Bagaimana dengan Partai Demokrat? Partai ini harus diakui
kebesarannya karena hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun
telah menjadi partai besar dan ”merebut” kendali pemerintahan
di Indonesia. Pertama, fenomena ini terjadi karena kebosanan
masyarakat terhadap Orde Baru yang KKN. Kedua, karena figur
pimpinan yang memikat. Jujur saja, figur itu ada pada Susilo Bambang
Yudoyono, yang kini menjadi presiden Indonesia. Akan tetapi, partai
ini harus hati-hati di masa depan. Tuduhan-tuduhan korupsi yang
dialamatkaan kepada beberapa pengurus teras partai ini bisa-bisa
ditafsirkan menjadi pelecehan terhadap nilai nasionalisme Indonesia,
apabila mereka-mereka itu benar-benar terbukti nanti. Korupsi
adalah tindakan anti nasionalisme, di tengah kesulitan ekonomi.
Jika SBY tidak berani tegas, bisa-bisa figurnya juga tergoyahkan. 
72
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Penyebaran Inspirasi
Dari Gabungan Partai Politik
A
da ide bagus ketika Ketua DPD Golkar Jawa Timur
menyebutkan bahwa pihaknya berupaya mencalonkan
Sukarwo, Gubernur Jawa Timur, untuk mendampingi
Aburizal Bakrie sebagai calon presiden tahun 2014 nanti. Sukarwo
kini berada di jajaran Partai Demokrat. Sedangkan Bakrie, sudah
jelas menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Meski ini masih
belum pasti, bahkan pencalonan Ical pun masih belum mendapat
persetujuan bulan sebagai presiden di kalangan Golkar, akan tetapi
ide menggabungkan dua partai ke dalam satu paket bisa dikatakan
positif.
Penggabungan dua partai mendapatkan manfaat sosialnya sebagai
simbol pemersatu politik. Cara ini bisa mempunyai nilai positif
karena akan mengubah persepsi bahwa partai politik itu terpisah satu
dengan yang lain. Sejarah sosial dan sejarah politik dari partai politik
di Indonesia mempunyai konotasi yang berbeda. Secara sosial, cara
pandang masyarakat terhadap partai politik di Indonesia mengacu
kepada sesuatu yang berbeda. Artinya anggota partai politik yang satu
mempunyai perbedaan dengan yang lain. Ada sekat pemisah diantara
kedua-duanya tersebut. Ini dibuktikan dari sejarah dan perilaku
simpatisan partai politik itu sendiri. Di jaman Orde Lama mereka
yang menjadi anggota partai komunis mempunyai sikap berbeda
dengan partai lain, demikian pula sebaliknya. Dan di jaman awal
Orde Baru, seperti yang diketahui bersama, banyak dimpatisan partai
komunis dibunuh. Di jaman Orde Baru, banyak anggota PDI ditekan
GPB Suka Arjawa
73
jika mereka tidak mau ikut dengan kebijakan pemerintah. Dan pada
jaman reformasi, setidaknya kelihatan dari indikasi berbagai bentrok
politik di Bali, konflik antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan,
mencitrakan adanya keterpisahan jarak antara dua partai tersebut.
Sejarah politik partai politik di Indonesia mungkin memberikan
gambaran yang berbeda. Pada masa Orde Baru, munculnya peleburan
partai-partai politik yang hidup pada masa Orde Lama memberikan
kesan bahwa partai politik yang ada di Indonesia tersebut bersahabat,
tidak mempunyai sekat dan perbedaan. Inilah yang terlihat pada
tiga partai politik di jaman Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pencitraan
kesatuan antara partai-partai politik itu juga terlihat di jaman
reformasi. Upaya-upaya penggalangan suara yang dilakukan oleh
para politisi eksekutif, entah itu pada pemilihan daerah tingkat II,
I, bahkan presiden pun, selalu berupaya menggabungkan beberapa
partai politik. Misalnya pencalonan seorang bupati akan didukung
oleh Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, PPP dan
seterusnya. Kesan yang muncul disini adalah seluruh partai tersebut
mempunyai misi yang sama, mempunyai persatuan dengan partai
lain.
Akan tetapi, baik pada jaman Orde Baru maupun jaman
reformasi, penggabungan tersebut bersifat semu. ”Bersahabatnya”
partai politik di jaman Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dari kekuatan
Orde Baru untuk menekan belasan partai politik yang ada untuk
digabung ke dalam tiga partai tersebut. Sedangkan bergabungnya
partai-partai politik pada jaman reformasi untuk meraih dukungan
dalam pemilihan bupati atau gubernur, mempunyai sifat yang sangat
pragmatis. Ada kepentingan tertentu yang menjadi target partai yang
bersangkutan untuk dikejar. Bisa jadi alasan yang sangat pragmatis:
uang, proyek, posisi atau hal yang lain. Dengan demikian, tidak bisa
dikatakan kalau upaya penggabungan itu mempunyai kekuatan
kohesivitas dan kekuatan yang tinggi.
Ide yang menyebutkan dua partai berbeda menjadi pasangan
presiden dan wakil presiden, bisa dikatakan sebagai langkah maju,
paling tidak untuk melebur skat-skat antar partai politik tersebut
yang telah diciptakan oleh sejarah. Jika benar kelak presiden dari
74
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Partai Golkar dan wakilnya dari Partai Demokrat, hal ini akan
semakin memberikan keyakinan kepada rakyat bahwa sesungguhnya
dua parti itu bisa saling bekerja sama. Dulu ketika Presiden Susilo
Bambang Yudoyono berpasangan dengan Yusuf Kala sebagai wakil
presiden, nuansa peleburan antara Demokrat dengan Partai Golkar
itu telah ada. Kini hal itu akan dipertegas lagi oleh pasangan dua
partai ini, apabila kelak itu memang jadi dilakukan.
Pengulangan pencalonan antar dua partai ini penting pada
konteks sikap puncak eksistensial pperpolitikan di Indonesia.
Artinya, upaya penggabungan itu terjadi pada tataran pemilihan
presiden. Dinamika politik di Indonesia telah dieksperimenkan oleh
penggabungan partai politik pada tingkat pemilihan kepala daerah
tingkat II dan tingkat I. Akan tetapi, rekayasa ini kemudian bubar
hanya dalam satu periode, bahkan di tengah jalan telah bubar.
Beberapa pasangan itu (termasuk di DKI Jakarta) secara tidak segansegan menyatakan ketidakcocokannya. Karena itu pasangan presiden
dan wakil presiden yang berasal dari dua partai yang berbeda itu
akan mampu memperbaiki citra yang telah coreng moreng di tingkat
pemilihan kepala daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
Ke depan, politik penggabungan ini mempunyai manfaat yang
cukup besar. Banyak yang mengkritik bahwa jumlah partai politik
yang ada di Indonesia ini terlalu banyak. Undang-undang memang
memungkinkan jumlah partai di Indonesia mencapai belasan bahkan
puluhan. Akan tetapi kalau kemudian dalam real politik hal itu
tidak mampu memberikan makna yang positif, seperti kemampuan
meraih suara yang banyak, kemampuan memberikan sumbangan
pemikiran yang lebih baik kepada masyarakat, maka penggabungan
partai politik dalam sebuah pemilihan kepala eksekutif, justru
mampu memberikan inspirasi bagi penggabungan partai secara utuh.
Inspirasi inilah yang diperlukan oleh masyarakat politik di Indonesia.
Penggabungan partai politik tersebut akan berlangsung secara alami,
tidak dipaksakan seperti di jaman Orde Baru (fusi partai tahun 1972).
Karena berlangsung secara alami, maka kesadaran akan hasil dan
prosesnya juga akan berlangsung secara lebih baik. Hasilnya pun
akan diharapkan menjadi lebih baik. Eforia munculnya partai politik
hanya bisa ditahan oleh dua hal, yaitu kegagalan mengembangkan
GPB Suka Arjawa
75
partai dan kedua, kesadaran untuk menggabungkan partai politik.
Dengaan demikian, penyederhanaan partai juga akan berlangsung
secara alami.
Akan tetapi, jika kemudian gabungan partai politik untuk
mendukung calon presiden dan wakil presiden itu rontok di tengah
jalan, inilah yang menjadi marabahaya bagi sistem kepartaian di
Indonesia. Ia akan menjadi model dan contoh bagi kebobrokan,
keserakahan dan ketidakkonsistenan para politisi di Indonesia.
Jadi, pikirkanlah secara matang agar usaha ini benar-benar mampu
memberikan inspirasi bagi bangsa dan negara. 
76
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Sisi Lain Konflik Internal
Partai Demokrat
D
ua tahun menjelang pemilihan umum, Partai Demokrat
mendapatkan gangguan cukup kuat, baik dari kalangan
internal maupun eksternal. Secara internal, konflik partai itu
cukup memanas. Beberapa media menyebutkan bahwa ada indikasi
ketidakserasian antara ketua dewan pembina dengan ketua umum
partai. Pernyataan Susilo Bambang Yudoyono yang menyebutkan
kader partai tidak bersih diharapkan mundur, banyak ditafsirkan
ditujukan kepada Anas Urbaningrum yang kini menduduki ketua
umum. Sebaliknya pernyataan ketua umum partai yang mengatakan
kinerja pemerintah harus baik untuk meningkatkan citra partai,
banyak yang menafsirkan ditujukan kepada presiden Indonesia.
Secara eksternal, disaat Partai Demokrat sedang guncang, tibatiba Aburizal Bakrie, calon presiden dari Partai Golkar mencoba
melirik Ibas (kader Partai Demokrat dan putra dari Susilo Bambang
Yudoyono) dicalonkan sebagai wakil presiden. Nada-nadanya, ada
keinginan untuk koalisi antara Partai Golkar dengan Partai Demokrat.
Mengenai silang pendapat antara Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat dengan ketua umum partai, kalaupun hal itu benar
adanya, sesungguhnya bisa juga dilihat dari sisi positif. Sebab, seperti
yang dikatakan Lewis Coser, sosiolog yang menekuni persoalan
konflik, konflik tidak seluruhnya bersifat negatif. Harus ada yang
mampu mempelajari manfaat-manfaat positif dari konflik karena
akan mampu memberikan dan membuka wawasan masyarakat
secara lebih luas. Meninjau konflik sebagai sesuatu yang juga
GPB Suka Arjawa
77
mempunyai sifat positif justru memberikan pelajaran sosial bagus
di masa depan. Adalah benar bahwa apabila ada pertentangan
terbuka antara pemuncuk partai politik, akan membuat citra partai
itu terpuruk. Dalam hal Partai Demokrat, hal ini telah dibuktikan
dengan terpuruknya posisi sosial-politik partai itu pada peringkat
ketiga dari tiga partai besar di Indonesia (Golkar, PDI Perjuangan
dan Partai Demokrat). Survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga
telah memperlihatkan posisi tersebut.
Akan tetapi, esensi partai politik yang tidak bisa ditinggalkan
adalah fakta bahwa di dalam lingkaran itu ada komposisi tokoh
dengan massanya. Karena itulah sebuah partai politik pasti akan
memiliki segmentasi, yang sering disebut sebagai faksi. Sebagai
sebuah organisasi yang berkecimpung pada bidang politik, pengaruh,
kekuatan dan kekuasaan sudah pasti terikat kepada masing-masing
faksi tersebut. Dengan demikian, tokoh dan massanya yang ada
dalam partai politik, pasti mempunyai pengaruh, kekuatan dan
kekuatan tersendiri di dalam partai. Ini tidak bisa dielakkan
Di negara yang mempunyai wilayah luas, terbagi menjadi provisni
dan kabupaten, sangat memungkinkan segmentasi (faklsionalisasi)
partai sebanding dengan jumlah provinsi dan kabupaten. Jadi,
DPD tingkat I dan tingkat II, secara teoritik sebenarnya juga bisa
dikatakan sebagai faksionalisasi partai politik. Masuk akal apabila
di dalam partai tertentu, satu DPD I atau DPD II melakukan
”pembangkangan”. Mereka masing-masing mempunyai tokoh
tersendiri. Belum lagi apabila dibagi menjadi cabang dan anak
ranting partai. Dari konteks itu, sesungguhnya wajar partai politik
itu mempunyai sifat faksional. Kalaupun kemudian partai itu mampu
mengecilkan faksinya pada tingkat negara (nasional), tidak bisa lain,
sangat tergantung dari tokoh yang ada. Setiap pengelompokan yang
ada di daerah tingkat I, II atau cabang dan anak ranting, bersedia
menundukkan ketaatannya kepada tokoh tertentu di tingkat pusat.
Jadilah kemudian faksi tersebut menciut di tingkat pusat, mungkin
ada dua atau tiga faksi. Pada konteks ini, pengaruh seorang tokoh
akan berperan untuk mengecilkan jumlah faksi tersebut. Tokoh,
dengan demikian mempunyai peran penting dalam keberadaan
partai. Ketokohan sering bersifat abstrak. Artinya ketaatan tersebut
78
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor. Bisa kharisma, janjijanji politik, keterikatan budaya, ekonomi, ras, agama dan seterusnya.
Dengan demikian, dalam kasus di Partai Demokrat, jelas Susilo
Bambang Yudoyono adalah seorang tokoh. Ia pendiri dan penggagas
dari berdirinya partai ini. Tentu juga mempunyai massa pengikut
tersendiri. Sebagai ketua umum, Anas Urbaningrum juga seorang
tokoh dan pastilah mempunyai massa tersendiri. Kemampuannya
menjadi ketua umum, telah memberikan pesan bahwa ia mempunyai
massa tersendiri di dalam tubuh Partai Demokrat. Tidak diragukan
pula bahwa Susilo Bambang Yudooyono mempunyai massa besar
dengan pembuktiannya sebagai presiden pada sistem pemilihan
umum langsung. Kalaupun kemudian terjadi silang pendapat diantara
kedua tokoh itu, nilai positif yang bisa dilihat adalah bahwa mereka
mempertahankan argumen dan pendapatnya, sebagai seorang
tokoh yang harus mempertanggungjawabkan kepada massa yang
ada di belakangnya. Massa itu tidak main-main jumlahnya, karena
mencapai jutaan di seluruh wilayah Indonesia. Karena itulah bentuk
pembelaan diri, bila perlu ”perlawanan” memang harus dilakukan.
Betapapun, sebelum keputusan pengadilan menjatuhkan vonis
bersalah, jelas belum ada perasaan bersalah kepada siapapun
(termasuk juga kepada Anas kalau memang tuduhan itu ditujukan
kepadanya). Pada saat seperti ini, pendapat pribadi sangatlah
penting, baik untuk membela diri maupun untuk membela massa
yang ada di belakangnya. Ungkapan bernada pembelaan diri Anas
yang mengatakan bahwa pemerintahpun harus berjalan bagus
demi mendongkrak reputasi Partai Demokrat, adalah posisi untuk
pembelaan, bukan sekedar untuk diri sendiri tetapi juga demi massa
yang ada di belakangnya. Ini penting dan berperan positif untuk
mempersatukan massa tersebut dan untuk menambah ”kewibawaan”
diri.
Kalau pernyataan itu ditujukan kepada Susilo Bambang
Yudoyono, maka nilai ”keberanian” akan bertambah kepadanya
yang bisa memperkuat kesatuan massa sebagai pendukung ketua
umum partai. Dengan demikian, kesatuan massa akan teta erat
dan utuh, tidak tercerai berai. Sekali lagi, hal ini penting karena
meskipun ada silang pendapat antara ketua umum dengan ketua
GPB Suka Arjawa
79
dewan pembina, Partai Demokrat belum tentu pecah. ”Keberanian”
bersilang pendapat tersebut juga penting bagi ketua umum partai
demi masa depan karir politiknya. Sebaliknya, kalaupun Susilo
Bambang Yudoyono mengatakan kader yang tidak bersih sebaiknya
mundur, ini tidak sekedar ditujukan kepada kader Partai Demokrat,
tetapi pernyataan itu berguna untuk massa yang ada di belakang
Susilo Bambang Yudoyono, dan tentu juga untuk Partai Demokrat
sendiri. Tidak ada yang meragukan melimpahnya jumlah massa yang
ada di belakang Susilo bambang Yudoyono.
Partai politik memang sudah kodratnya tereksistensi karena
faksi-faksi tersebut. Persatuan dan kekuatan partai politik sangat
tergantung dari kesatuan dan faksi yaang ada di partai tersebut.
Karena itu, secara teori cukup mudah untuk mengembalikan kekuatan
partai yang pecah, yaitu mempererat persatuan diantara faksi-faksi
yang ada. Jadi, bisa dibayangkan, apabila Anas Urbaningrum dan
Susilo Bambang Yudoyono bertemu dalam beberapa bulan lagi dan
kemudian terus-terusan berjalan bersama, keutuhan partai yang kini
sedang goyang tersebut akan kembali bisa dilakukan. Masing-masing
faksi memiliki massa, yang kalau disatukan akan bisa sekuat batu
karang. 
80
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Hindari Jadi Parpol
Pahlawan ”Kepagian”
P
artai politik peserta pemilu 2014 kini masing-masing telah
mengantongi nomor urut. Pendatang baru, Partai Nasional
Demokrat mendapatkan nomor urut pertama (No.1),
sedangkan Partai Hanura mendapatkan nomor urut sepuluh
(10). Sejak ditetapkannya nomor urut ini, telah muncul berbagai
pernyataan politik dari pemimpin partai dengan menyanjung nomor
masing-masing. Mengatakannya sebagai keberuntungan, nomor
strategis atau pilihan yang memang telah diduga sebelumnya. Tapi,
tentu rakyat tidak bodoh yang hanya melihat nomor partai sebagai
patokan untuk memilih kelak dalam pemilu.
Di dalam kehidupan politik masyarakat yang masih tradisionil,
nomor malah sering membingungkan karena tidak semua pemilih
mengatahuinya. Masyarakat pemilih seperti ini identik dengan
tingkat pendidikan masih rendah yang tidak mengetahui angka.
Untuk itulah, demokrasi yang berlangsung pada masyarakat
tradisionil sering kali partainya diidentikkan dengan gambar bendabenda hidup yang dekat dengan mereka seperti kuda, sapi, ayam,
pepohonan, bulan, bintang atau simbol sosial lain yang paling dekat
dengan kehidupan sosial. Demokrasi dalam sistem seperti ini benarbenar merupakan pencampuran antara sikap tradisionil dengan
upaya kebebasan melakukan pilihan. Karena itulah, sarana kampanye
bagi partai politik di jaman seperti itu sering menggunakan alatalat, mislanya kendaraan, yang identik dengan gambar partainya.
Partai Nasional Indonesia di masa lalu, dekade tujuhpuluhan, pernah
GPB Suka Arjawa
81
memakai kendaraan yang didekorasi seperti sapi untuk mengantar
kampanye para kadernya. Gambar, dalam konteks demikian, justru
mengalahkan nomor pada masyarakat model demikian.
Akan tetapi, nomor atau jumlah angka tetap mampu diutakatik sebagai sebuah permainan politik. Konon ketika menjelaskan
sosial konsep pilihan jumlah sila dalam jumlah Pancasila, Presiden
Pertama RI pernah mengatakan kepada rakyat Indonesia bahwa
jumlah lima itu tepat karena manusia mempunyai jari-jari kaki
maupun tangan banyaknya lima, pendawa mempunyai anak lima
dan seterusnya. Ketika Partai Demokrat dulu mempunyai nomor urut
sembilan, inipun juga dikait-kaitkan dengan anka mujur karena lahir
di bulan sembilan. Angka dan nomor bisa saja dimanipulir menjadi
keuntungan-keuntungan politik tertentu. Sekali lagi, masyarakat yang
bisa menerima hal seperti ini adalah masyarakat dari negara-negara
yang masih menyisakan sifat tradisionilnya atau mereka yang baru
bertransisi menuju masyarakat yang lebih maju. Masyarakat ”tengah”
seperti ini masih mempercayai tahyul, kekuatan irasional dan kurang
melihat manfaat partai politik sebagai jembatan fungsional untuk
perjuangan kehidupan sosial.
Menyikapi masyarakat politik Indonesia di tahun 2014 ini, partai
politik haruslah hati-hati. Fenomena kemenangan Jokowi dalam
pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu, harus
memutar otak pada kontestan politik untuk semakin berhati-hati.
Disitu dijelaskan secara gamblang oleh realitas bahwa nomor
(bahkan baju, warna dan kumis sekalipun), tumpul di hadapan
mereka. Sosiologi politik masyarakat Jakarta sudah sangat jelas
memperlihatkan kerasionalan mereka. masyarakat pemilih akan
bersikap positif kepada pemimpin yang tidak mengobral janji tetapi
kepada calon pemimpin yang mengobral tindakan nyata. Paling
tidak dalam pandangan masyarakat Jokowi (ketika memimpin Solo)
dipandang memlakukan tindakan yang kedua. Itulah yang membuat
nomor, warna bahkan baju kotak-kotak tidak singgah di hati mereka.
Lalu bagaimana dengan fenomena masyarakat Indonesia di tahun
2014 nanti?
Ada indikasi kuat kalau masyarakat Indonesia sekarang sudah
lebih rasional. Fenomena Jokowi itu sudah terkenal di mana-mana
82
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
dan yang paling kelihatan dari hal itu adalah apa yang disebut
dengan ”blusukan” tersebut. Dari sisi fakta sosial, ”blusukan” itu
adalah tindakan dari sesorang (pimpinan) yang bersedia turun ke
lanpangan sampai ke pelosok, melihat keadaan sosial langsung ke
lapangan. Dari sisi konsepsional, ”blusukan” merupakan upaya
mencari kebijakan sosial yang tepat. Dengan cara seperti itulah
pemimpin dapat mengetahui dengan pasti apa yang ddiperlukan
masyarakat. ”Blusukan” juga amerupakan tindakan untuk mengatasi
sikap ”asbun” bawahan yang suka memberikan masukan kepada
atasan dengan fakta-fakta bohong dengan tujuan agar atasan senang.
Gencarnya pemberitaan media massa konvensional dengan
tindakan politik Jokowi dan gencarnya pesan melalui media
sosial memberikan sumbangan besar kepada pengetahuan politik
masyarakat yang menuju pada sikap-sikap yang rasional. Sikap
inilah merupakan sikap yang jauh lebih maju ketimbang dengan
cara pandang tradisionil atau cara pandang setengah-setengah
antara tradisionil-maju. Dengan bantuan media massa seperti itu,
sikap rasional masyarakat Indonesia sekarang tidak hanya ada di
Jakarta saja tetapi diyakini sudah jauh meluas ke berbagai provinsi
lain. Kurang dari dua tahun waktu berjalan menjelang pemilihan
umum tahun 2004, akan semakin memperkuat keyakinan bahwa
penyebaran sikap rasionalitas itu akan semakin luas.
Jadi, sepuluh partai politik yang kelak akan bertarung pada
pemilu mendatang, janganlah mengutak atik nomor, apalagi mengaitngaitkannya dengan bahasa tahyul yang membodohi rakyat. Utakatik nomor salah-salah akan dipandang sebagai partai politik yang
mirip dengan nomor buntut. Rasionalitas merupakan sikap yang
paling pantas dikedepankan oleh setiap partai yang kelak bertarung
dalam pemilu. Sikap demikian tidak boleh hanya diartikan sebagai
upaya mencari keuntungan maksimal, tetapi sebagai sebuah cara
untuk mendapatkan hasil maksimal dalam mendekati hati rakyat.
Dan rakyat yang dihadapi adalah mereka yang sudah pintar-pintar
dan suka mempunyai sikap yang rasional. Maka ketika sikap rasional
ini (dari partai politik) beradu dengan rasional (dari masyarakat),
yang muncul adalah sikap intelek, jujur, taat hukum, tertib, positif
dan berpandangan jauh ke depan. Paling akhir melihat kemajuan
GPB Suka Arjawa
83
kepada bangsa dan negara.
Satu hal yang juga harus dipertimbangkan oleh partai politik
dalam keadaan rasional beradu rasional itu adalah soal start
kampanye. Sekarang banyak yang mengkhawatirkan bahwa beberapa
tokoh partai politik mempunyai media massa yang sangat potensial
untuk mendukung kapmanyenya. Dikhawatirkan mereka-mereka
ini akan mencuri start dalam kampanye melalui media massa yang
dimilikinya. Maka satu pesan yang harus dicamkan, jangan sekalikali memakai cara ini karena masyarakar rasional akan langsung
memfonis sebagai partai yang kepagian. Partai yang datang kepagian
bisa-bisa hanya akan menjadi penonton di masa depan karena
pertunjukan belum berlangsung. 
84
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Zigzag Politik Golkar
dan Potensi Poros Ketiga
J
ika saja Partai Golkar itu seorang pemain sepakbola, kemungkinan
besar ia tidak akan terpilih masuk tim Piala Dunia 2014.
Pemimpin umum partai ini dalam beberapa hari belakangan
melakukana gerak zigzag politik dengan berkunjung dan menyapa
para petinggi partai politik yang lain. Setelah dengan Prabowo (dari
Gerindra), tokoh partai ini kemudian berdekatan dengan Jokowi
(PDI Perjuangan), terus kepada Susilo Bambang Yudoyono dan
terakhir kepada Megawati Sukarnoputri (PDI Perjuangan). Sebagai
pemenang kedua pemilu legislatif, harus diakui Partai Golkar
meraih suara besar, tetapi tetap tidak meyakinkan untuk menjadi
pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan begitu zigzag politik
ini bisa ditafsirkan macam-macam. Bisa saja partai ini kebingungan
mencari partner untuk bisa duduk dalam pemerintahan. Atau
mungkin sengaja memperlihatkan diri kepada partai-partai lain,
dengan berkata ”saya mempunyai kekuatan besar, Anda memberi
apa kepada kami?” Wow...kalau memang benar tafsirannya seperti
ini, tidak ada yang berubah dari Golkar. Dari dulu selalu ingin duduk
di lingkar kekuasaan. Padahal, sebagai partai besar mestinya berani
percaya diri, menarik partai lain untuk berkoalisi atau sekalian tidak
ikut di pemerintahan. Pengalaman tidak ikut pemerintahan penting
untuk menambah kedewasaan partai. Ada kesan partai ini tidak mau
duduk di ”bangku cadangan”, selalu saja ingin menjadi pemain inti
setiap ada pertandingan. Pemerintahan adalah sebuah pertandingan
menghadapi berbagai kompetitor berupa persoalan negara bangsa.
GPB Suka Arjawa
85
Di Prancis, terjadi kejutan ketika pelatih nasional Didier
Deschamps tidak memilih Samir Nasri ke dalam skuad Piala
Dunia 2014 di Brazil. Pacar pemain ini mencak-mencak memisuhi
pelatih dan negara Prancis sendiri. Tetapi penjelasan sang pelatih
justru dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat dan penggemar.
Nasri memang pemain cerdas dan berkualitas, tetapi kualitas
mentalnya dipandang buruk. Ia sering marah-marah dan, yang
paling mengkhawatirkan, akan ngomel dan mencak-mencak kalau
dibangkucadangkan. Mental seperti ini tentu saja akan mampu
mengganggu keseimbangan tim pada turnamen sekelas Piala Dunia.
Apakah Partai Golkar mau ”dibangkucadangkan?”. Inilah
pertanyaan dasar yang bisa jadi dipikirkan oleh partai-partai lain.
Golkar, dengan kekuatan organisasinya memiliki kemampuan besar
untuk meraih dukungan di masyarakat. Kekuatan itu memang sudah
terbukti. Kejatuhan Orde Baru tidak membuat Golkar tiarap bahkan
tetap pada posisi kedua. Tidak bisa disangsikan bahwa loyalitas,
kinerja para organisator, profesionalitas dan dana memungkinkan
mereka tetap mampu berbicara di tingkat politik nasional. Bahkan
isu korusi pun tidak mampu menggoyahkan posisi partai ini.
Kelemahannya, mereka tidak mempunyai figur nasional seperti
yang diidamkan oleh masyarakat Indonesia yang masih bersikap
tradisional. Sangat kelihatan bagaimana figur yang tidak ambisius,
polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat, sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia. Itu ada pada Soekarno (merakyat), Soeharto
(polos), Gus Dur (bersentuhan dengan rakyat), Susilo Bambang
Yudoyono (polos, datar, bersentuhan dengan rakyat) dan Jokowi
(polos, datar, lugu, bersentuhan dengan rakyat). Di Partai Golkar
tidak ada kelihatan model-model seperti itu. Malah yang kelihatan
terkesan ambisius. Ini yang sulit diadapatasi oleh masyarakat
sehingga sulit bisa berbuat banyak dalam pemilihan presiden. Antara
pemilu presiden dengan pemilu legislatif, dalam konteks keterikatan
sosial, jelas sangat berbeda. Pada pemilu presiden, figur itu menukik
tajam menuju ranah nasional. Sedangkan pada pemilu legislatif,
keterikatan figurnya justru menukik ke ranah daerah. Politisi bisa
saja menjadi figur di daerah, tetapi tidak untuk daerah lain, apalagi
nasional. Keterikatan partai bisa saja lebih longgar atau ketat di satu
86
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
daerah, tetapi berbeda dengan daerah lain. Calon legislatif yang
berakar daerah, lebih mudah melakukan manuvernya (entah dengan
serangan fajar atau simakrama) di daerah ketimbang nasional. Inilah
yang bisa menjelaskan mengapa Partai Golkar sulit mendapatkan
suara pada tingkat nasional, dibanding dengan suara yang berakar
pada daerah.
Dikaitkan dengan perjalanan politik di Indonesia, partai ini
juga mempunyai kelemahan justru karena kebesarannya sendiri.
Bagaimanapun dengan kebesaran yang dimiliki partai ini serta
kemampuannya meraih banyak suara di ”segala jaman”, berpotensi
membuat partai lain juga ketakutan kalau diajak berkoalisi. Jika
misalnya Golkar hanya diparkair sebagai ”pemain cadangan” atau
hanya diberikan kursi menteri di bawah kuota yang diinginkan
Golkar, bukan tidak mungkin dengan kekuatan politiknya, partai itu
bisa menggoyang pemerintahan.
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, hal ini sempat
terucap oleh partai-partai politik, tidak hanya Partai Golkar. Dan satu
saja menteri ”mogok” dalam kabinet, pemerintahan sebagai sebuah
sistem bisa guncang. Situasi seperti ini jelas sangat tidak baik untuk
negara seperti Indonesia yang benar-benar memerlukan kosentrasi
tinggi untuk menjalankan roda pemerintahan. Di jaman globalisasi
seperti sekarang dan jaman komunikasi serba cepat ini, rumor politik
bisa membuat situasi macam-macam. Mogoknya satu menteri bisa
dipakai sebagai rumor politik yang empuk. Negara-negara yang tidak
suka dengan Indonesia bisa saja membuat blog yang mengatakan
situasi politik Indonesia gawat. Atau investor luar terpaksa menunda
pembangunannya atau tiba-tiba saja travel warning dikeluarkan
kepada warganegara yang mau ke Indonesia. Karena itu, benarbenar diperlukan suatu pemerintahan yang mantap, sepakat, tidak
membuat move macam-macam dalam perjalanan kepemerintahan.
Pemerintahan nanti, seharusnya banyak belajar dengan
pemerintahan koalisi yang terbentuk pada kabinet Susilo Bambang
Yudoyono. Dan kemungkinan pembelajaran ini masih sedang
dikaji oleh partai-partai yang kelihatan memperoleh jumlah suara
besar seperti Gerindra atau PDI Perjuangan. Tidak seluruhnya citacita menstabilkan politik negara itu tercapai dengan menerapkan
GPB Suka Arjawa
87
model kabinet pelangi. Komposisi menteri seperti ini hanya mampu
menstabilkan politik secara relatif, tetapi akan mudah goyah apabila
platform kebijakan negara tidak menyesuaikan dengan nilai partai
politik pendukung kabinet pelangi tersebut. Padahal, ketika sudah
tergabung dalam kabinet, seharusnya yang menjadi patokan adalah
negara dan bangsa sebagai prioritas.
Maka, seharusnya demi bangsa dan negara, termasuk demi
pengalaman partai ini, Golkar dengan perolehan suara banyak dan
konsisten dengan suaranya itu, harus berani memilih alternatif
tersendiri. Poros Ketiga di luar PDI Perjuangan dan Gerindra
perlu dipkirkan partai ini. Wacana yang sempat dikemukajan oleh
Susilo Bambang Yudoyono untuk membentuk poros kketiga perlu
dipikirkan. Poros ini akan menjadi kejutan, langkah baru dan amat
mungkin sebagai sebuah terobosan, akan ditanggapi positif oleh
masyarakat. Memang kemudian ini berpotensi membuat pemilu
berlangsung tiga putaran. Tetapi sebagai sebuah pelajaran politik,
mungkin ini penting. 
88
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Menyaksikan Babak Lanjutan
Dinamika Partai Golkar
R
ibut-ribut Partai Golkar (istilah kerennya dinamika),
memberikan beberapa catatan penting terhadap perilaku
partai politik di Indonenesia. Betapapun dinamikanya itu,
tetap memberi sumbangan penting yang akan mampu mengolah
pemikiran bagi generasi politisi mendatang. Dimanapun, generasi
baru politisi selalu memakai patokan masa lalu untuk melangkah.
Positifnya diambil, negatifnya dibuang atau dicari sintesa dari hal
tersebut. Jadi, ada juga keberuntungannya bagi masyarakat terhadap
keributan di Partai Golkar yang terjadi sekarang ini.
Ada dua pendapat penting yang muncul dari partai ini. Kelompok
pertama menginginkan agar partai ini tetap konsisten sebagai
pendukung Prabowo-Hatta. Ringkasnya apabila gugatannya di
Mahkamah Konstitusi berhasil, maka kelompok ini akan bergabung di
pemerintahan Prabowo-hatta kelak. Kalau gugatannya itu gagal maka
Partai Golkar akan berada di luar pemerintahan Indonesia. Kelompok
kedua, mereka (para elit partai itu), menginginkan tidak bergabung
dengan kelompok Prabowo-Hatta. Mereka yang beraliran ini masih
belum jelas kedudukannya, apakah hendak mendekati Joko WidodoJusuf Kalla atau sekedar mengungkapkan ketidaksetujuannya
dengan kebergabungan partai itu kepada kontestan Prabowo-Hatta.
Dalam kelompok ini juga secara tersamar kedengaran ada yang
mengatakan kalau partai Golkar itu sekarang menjadi relawan,
sebuah fungsi yang dipandang sangat jauh dari fitrah pendirian partai
tersebut sekian decade yang lewat. Namun demikian, di kelompok ini
GPB Suka Arjawa
89
kelihatan nada yang ingin memihak Jokowi-JK dan ingin bergabung
dengan pemerintahan kelak. Alasannya, Golkar selalu duduk di
pemerintahan. Disinilah inti dari berbagai dinamikan internal Partai
Golkar tersebut.
Sebagai sebuah lembaga politik yang begitu berpengaruh,
sesungguhnya Golkar sekarang ibarat teater. Artinya sebuah adegan
yang cukup nikmat ditonton dan ditunggu pementasannya. Generasi
kelahiran dekade lima puluh dan enampuluhan telah tahu dan
mengerti sepak terjang Golkar, paling tidak sejak paruh kedua decade
tujuh puluhan. Prestasi mencengangkan dari partai ini sesungguhnya
tidak terlihat pada tiga decade awal (sejak enampuluhan samapai
delapanpuluhan), tetapi tepat pada akhir abad ke-20.
Ketika Orde Baru jatuh, Golkar secara politik ternyata tidak jatuh.
Kalau pada masa sebelumnya Golkar kuat karena dipandang ditopang
oleh Soeharto, tahun 1999 itu Soeharto jatuh tetapi Golkar masih
mampu mencengkram lembaga legislative. Logika yang mengatakan
Golkar identik dengan Soeharto runtuh disini. Dan cengkraman itu
masih hingga sekarang. Pertunjukan itu boleh dikatakan sebagai
babak kedua dari kehidupan Golkar dari masa kelahirannya sebagai
babak pertama. Babak ketiga seharusnya dimainkan Partai Golkar
sekarang. Partai ini mempunyai pemain yang cukup banyak dengan
keterampilan yang juga banyak.
Maka babak ketiga ini adalah mencoba mempertunjukkan
kepiawaiannya sebagai pemain oposan (di luar pemerintah), tetapi
yang benar-benar menunjukkan keeksistensiannya sebagai partai
politik yang pro-rakyat. Dengan konteks ini, silang sengkarut
pendapat di partai Golkar bisa didorong untuk memilih berada di
luar pemerintahan, tidak usah mengikuti garis pemerintah. Praktik
dan perilaku politik Golkar sebagai “orang” luar pemerintahan inilah
yang akan dilihat dan ditonton oleh masyarakat. Jika PDI Perjuangan
sebelumnya pernah mempraktikkan hal seperti itu, maka giliran
Golkar lah yang kini mempraktikkan. Gaya mengambil kebijakan,
prioritas keputusan yang diambil, strategi wacana yang dikeluarkan
sampai pilihan politik di parlemen, semuanya akan menjadi tontonan
dan kemudian dibandingkan oleh masyarakat. Apabila partai ini
kemudian mampu memberikan contoh dan inspirasi yang baik,
90
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
maka komplitlah sudah pengaman Golkar. Apabila sebaliknya, ada
pembelajaran menarik yang bisa dipakai untuk memperkuat langkah
di depan.
Menjadi “oposisi” jelas tidak sekedar menyalahkan dan
menghadang kebijakan pemerintah. Peran yang dipegang lebih
banyak pada kemampuan memberikan pilihan alternatif lebih baik
kepada pemerintah untuk ditujukan kepada masyarakat. Kesempatan
memperlihatkan diri sebagai partai intelek, justru akan terlihat ketika
berperan sebagai oposisi. Artinya partai yang mengungkapkan data
dan argumentasi terhadap pilihan akan mampu lebih meyakinkan
masyarakat di jaman serba terbuka dan serba cepat ini. Karena
itulah partai yang mempunyai kekuatan litbang (penelitian dan
pengembangan) yang lebih kuat, berkesempatan menjadi partai
terbaik dan mendapatkan kepercayaan social di masa mendatang.
Jika dilihat perkembangannya, sector apapun menggunakan lembaga
litbang untuk meningkatkan prestasi. Termasuk dunia olahraga.
“Oposisi” yang dimaksudkan disini adalah oposisi yang konstruktif,
mampu memberikanmasukan dan inspirasi kepada masyarakat. Jadi,
bukan partai yang as all menyalahkan pemerintah atau menghadang
kebijakan pemerintah yang kemudian membuat mirip dengan partai
balas dendam. Rakyat akan ketakutan dengan cara-cara seperti ini.
Bagaiamana kalau partai ini masuk ke pemerintahan? Kalau
pasangan Prabowo-Hatta kelak memenangkan gugatannya di
Mahkamah Konstitusi, sebagai partai penyokong terbanyak sudah
sewajarnya masuk ke dalam pemerintahan. Ini merupakan hal logis
dari adanya “koalisi” itu untuk mendukung pasangan calon presiden
tersebut. Akan tetapi apabila pasangan Jokowi-JK tetap dinyatakan
sebagai pemenang pemilu presiden 2014 ini, maka Partai Golkar
secara kesatuan harus berfikir banyak. Keluar dari koalisi kalah dan
bergabung dengan koalisi pemenang sedikit banyak mengundang
kritik dan cibiran.
Kendati politik sering dikatakan tidak mengenal rasa malu, akan
tetapi di jaman sekarang ini hal itu harus diperhatikan. Kritik dan
cibiran tersebut akan mampu menurunkan derajat partai. Jangan
lupa juga bahwa kebebasan yang ada di Indonesia sekarang tidak
hanya kebebasan mengungkapkan pendapat tetapi juga kebebasan
GPB Suka Arjawa
91
untuk mendirikan partai politik. Artinya, partai politik yang ada itu
sudah demikian banyak sehingga orang bebas memilih partai mana
yang mereka suka. Ini juga menjadi ancaman bagi para penggiat
partai di masa depan.
Jadi, haruslah ditunggu bagaimana pertunjukan yang diper­
lihatkan Partai Golkar, pemeran politik paling besar dalam sejarah
Republik Indonesia. 
92
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Membuang Kesempatan
Memperbaiki Citra
D
alam keriuhan persoalan undang-undang pemilihan kepala
daerah yang disahkan oleh anggota DPR baru-baru ini,
Susilo Bambang Yudoyono boleh dikatakan sebagai “korban”
paling keras dari para kelompok pendukung pemilihan langsung
kepala daerah. Meski poros Merah Mutih ditengarai sebagai otak
dari persetujuan DPR tersebut, akan tetapi wolk out dari anggota
Partai Demokrat di parlemen disebut sebagai faktor pengaruh
persoalan. Karena apabila anggota partai ini memilih “tidak” untuk
pemilihan DPRD, besar kemungkinan pemilihan langsung akan tetap
lolos. Meski masih bisa berjuang dengan berbagai ragam upaya,
seperti menggugat ke Mahkamah Konstitusi, undang-undang itu
tidak ditandatangani presiden sampai dengan pembuatan perpu,
toh kritik kepada Susilo Bambang Yudoyono tidak henti-hentinya
muncul. Mulai dari warung, ruang publik, media sosial sampai
dengan kalangan kampus, terus bermunculan dan berkembang
kritikan tersebut. Gunjingan juga mengganggu pasar uang sehingga
dipandang akan mampu menggoyang perekonomian Indonesia.
Kalau dilihat dari titik persoalan yang membuat anggota DPR dari
Partai Demokrat meninggalkan ruangan saat sidang, ada logika yang
memang perlu diperhatikan. Sepuluh syarat yang dikeluarkan oleh
Partai Demokrat, ternyata tidak sepenuhnya mendapat perhatian
dari partai politik pendukung pemilihan langsung. Konon yang
tidak mendapat perhatian adalah uji publik dari calon kepala daerah
tersebut. Inilah yang membuat kecewa partai itu yang membuat
GPB Suka Arjawa
93
mereka meninggalkan ruangan. Jika memang demikian, unsur
pembenar hal ini terletak kepada persoalan kualitas calon pemimpin.
Kualitas itulah yang berhadapan dengan ambisi. Ada benarnya juga
bahwa seorang calon pemimpin haruslah diuji publik, mengingat
cukup banyak dari mereka yang menjadi pemimpin daerah itu
bersifat kacangan, mudah dikunyah dan hancur luluh. Jelas, sebagai
pemimpin daerah yang melihat secara langsung dan berhadapan
langsung pada akar rumput, tidak boleh bermental demikian. Uji
publik akan membuat kualitas pemimpin mampu dilihat rakyat
sehingga keputusan untuk mencalonkannya atau tidak, ditentukan
oleh hasil uji tersebut.
Kalaupun memang tidak ada perhatian oleh partai-partai
pendukung pemilihan langsung, kemungkinan partai-partai ini
ketakutan kalau kader-kadernya kurang berkualitas sehingga tidak
mampu lolos ke pemilihan kepala daerah. Partai seperti ini pun tetap
mencerminkan unsur ketakutan.
Dalam konstelasi politik yang demikian ketat, sesungguhnya ada
celah yang dipakai Partai Demokrat untuk melakukan strategi demi
menarik hati dan kembali merangkul suara rakyat. Jika memang
satu syarat tersebut tidak diperhatikan oleh partai lain, sepanjang
lebih banyak syarat lain yang sudah dipenuhi, seharusnya partai ini
melakukan langkah politis rangkul rakyat. Soal uji publik, akan bisa
dilakukan secara “mandiri” dengan membentuk opini rasional di
berbagai macam media. Rekam jejak seorang calon pemimpin yang
memang tidak berkualitas, di jaman sekarang, mampu dikontrol
melalui strategi media massa. Harus ada aktor yang secara jujur
dan bertanggung jawab mengungkapkan kekurangan kualitas dari
calon pemimpin sehingga tidak akan dicalonkan oleh partai. Partai
Demokrat yang pernah memegang kekuasan mungkin bisa memakai
strategi ini dan tidak memutuskan untuk melakukan tindakan keluar
ruangan.
Ada tiga manfaat yang bisa dipetik Partai Demokrat (dan
Susilo Bambang Yudoyono) apabila melakukan strategi tersebut.
Secara eksternal partai, ia akan menyelamatkan nuansa demokrasi
dan memberikan kesempatan pembelajaran demokrasi langsung
kepada rakyat Indonesia. Betapapaun pemilihan langsung itu
94
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tetap mempunyai kelemahan, bahkan cukup mendasar, tetapi
kesempatan itu akan mampu memberikan pembelajaran bagi
masyarakat. Mereka akan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang
ada. Dasar kelemahan rakyat Indonesia adalah bahwa demokrasi
yang diterapkan tidak berpijak pada rasionalitas dan intelektualitas.
Kekurangan inilah yang akan diperbaiki melalui proses yang bisa jadi
panjang. Tetapi panjangnya proses itu akan mampu memantapkan
rakyat meningkatkan kualitas rasional dan intelektualnya. Ini akan
menjadi investasi politik yang amat besar ke depan. Sebagian hal itu
sudah terbukti pada pemilu lalu dimana rakyat dewasa menerima
kekalahan dari pasangan Prabowo-Hatta.
Kedua, Partai Demokrat berpotensi menghindarkan biaya politik
dan ketatanegaraan yang membengkak. Artinya jika saja anggota
partai ini tidak wolk out dan kemudian membuat pemilihan langsung
tetap dipertahankan, maka potensi ke Mahkamah Konstitusi tidak
akan ada. Kini akibat dari kekalahan pemilihan langsung itu dalam
voting parlemen, banyak komponen masyarakat yang menginginkan
produk undang-undang ini dibawa ke mahkamah konstitusi.
Bayangkan biaya ekonomi, politik, sosial, psikologis dan juga
ketatanegaraan yang muncul. Perdebatan yang tidak habis-habis ini
juga menyita emosi dan energi positif anggota masyarakat.
Ketiga, secara internal partai, sikap mendukung pemilihan
langsung (tidak wolk out dan memilih pilkada langsung), akan
mampu meningkatkan citra partai. Jajak pendapat dari lembaga yang
mampu dipercaya memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat
Indonesia masih menginginkan pilkada langsung. Juga pejabatpejabatnya. Partai Demokrat secara jujur harus diakui prestasi dan
predtisenya sudah berkurang sekarang. Maka untuk memperbaiki
itu, haruslah dilakukan langkah politis. Memilih mendukung pilkada
langsung dalam voting DPR lalu berpotensi mampu mengembalikan
citra dukungan tersebut. Tetapi mereka membuang kesempatan itu. 
GPB Suka Arjawa
95
Dinamika Golkar
Dalam Politik Indonesia
P
ertarungan internal di Partai Golkar saat ini menarik dilihat
setelah rapat pimpinan nasional partai itu menyetujui jika
Musyawarah Nasional dilangsaungkan pada tanggal 30
November sampai 4 Desember 2014 mendatang. Padahal inilah
ajang yang dipakai untuk memilih pemimpin Partai Golkar. Sejak
kegagalan partai ini merebut suara terbanyak dalam pemilu
legislative dan presiden yang lalu, suara perebutan pimpinan
puncak semakin mengemuka. Saling kritik antar pejabat internal
partai juga muncul saat pemilihan presiden tentang apakah ikut atau
tidak partai ini dalam struktur pemerintahan. Sebagai akibat dari
berbagai pro-kontra tersebut, kini ada lebih dari lima calon yang
ingin merebut pimpinan tertainggi dari partai ini. Tentang munas
yang dilangsungkan akhir bulan ini, Ketua Umum Golkar, Aburizal
Bakrie menyetujuinya.
Sekali lagi, hiruk pikuk yang terjadi di Partai Golkar menarik
dicermati, tidak hanya oleh para politisi, pegiat partai politik tetapi
juga bagi masyarakat. Bagaimanapan Partai Golkar merupakan
sebuah “studi” yang memberikan sumbangan pengetahuan politik
kepada khalayak.
Yang pertama adalah soal cara pandang keterlibatan di
dalam pemerintahan. Konflik internal di dalam partai ini, sangat
dimungkinkan disebabkan oleh pertentangan cara pandang klasik
dari partaii itu, yaitu tentang perlu tidaknya keterlibatan di dalam
pemerintahan. Sejarah Golkar adalah pemerintahan. Karena itu
96
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
apabila mempunyai prinsip sebagai “jasmerah” maka keterlibatan
di dalam pemerintahan merupakan keharusan. Pengingkaran
terhadap “jasmerah” ini merupakan pengingkaran kepada sejarah
pembentukan partai ini. Dalam pandangan seperti ini, politik
memang selalu mempunyai pandangan identik dengan kekuasaan.
Dengan demikian, dalam logika pikiran ini, apapaun yang dilakukan
oleh Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2014 (entah pemilu
legislative maupun pemilu presiden) semuanya dalam kerangka
politik kekuasaan tersebut. Benar jika Golkar membuat trik tersendiri
menghadapai PDI Perjuangan dan partai lain dalam pemilu legislatif.
Benar juga tindakan Golkar yang selalu berseberangan dengan
Jokowi, akan tetapi bahwa apabila Jokowi menang, harus diteria
dengan lapang dada, dank arena itu buntutnya sebaiknya leburlah
dalam pemerintahan Jokowi. Semua trik sebelumnya itu hanya
sekedar trik politik yang memang wajar, sah dan harus dilakukan.
Akan tetapi masalah kekuasaan merupakan masalah lain. Jika trik
itu gagal tetapi sumber daya mempungkinkan masuk ke bidang
kekuasaan (pemerintahan), maka secara politik, Golkar tidak
mempunyai kesalahan masuk pemerntahan Jokowi. Modal besar
yang dimiliki adalah keberhasilan mendapatkan banyak kursi DPR,
kader banyak menduduki jabatan di eksekutif tingkat propinsi dan
kabupaten. Tidak bisa dilupakan juga sampai saat ini kader-kader
politik paling berpengalaman di Indonesia, memang berasal dari
Partai Golkar. Jadi, layaknlah mereka tetap ikut pemerintahan.
Cara pandang diatas berbenturan dengan “kelompok pembaharu”
di partai ini yang mencoba menghilangkan cara pandang lama tersebut.
Bahwa berpolitik tidaka mesti harus duduk di dalam pemerintahan.
Politik itu mempunyai skala luas, berdimensi banyak dan yang lebih
utama berpolitik itu merupakan proses belajar. Dengan cara pandang
seperti itu, trik-trik yang dilakukan menjelang dan selama pemilu
tahun 2014 adalah benar dalam kerangka sikap politik Partai Golkar
tersebut. Sikap politik itu tidak lain memperlihatkan kejatidirian
baru sesuai dengan iklim baru pemerintahan di Indonesia. Jadi,
haruslah partai ini mampu memberikan sumbangan baru dalam
iklim politik di Indonesia, yaitu berada di luar pemerintahan. Dengan
berada di luar pemerintahan sejak lahirnya di awal kekuasaan Orde
GPB Suka Arjawa
97
Baru (tahun 1964), Golkar harus meemperlihatkan keberanian
untuk belajar menerima kenyataan, belajar dewasa dan menjadi
penyeimbang pemerintahan di Indonesia. Cara pandang seperti ini
tidaklah menentang sejarah pembentukan Golkar karena lembaga ini
adalah lembaga politik. Dalam politik, kekuasaan tidak mesti menjadi
focus pandangan satu-satunya tetapi sebagai sebuah visi yang mampu
dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Partai Golkar.
Terhadap dua cara pandang demikian dari Partai Golkar,
sesungguhnya masyarakat dan para politisi Indonesia mendapat
banyak masukan dan pelajaran. Disnilah akan terlihat dan mampu
dibuktikan dalam perjalanan politik Indonesia ke depan, sejauh mana
sebuah partai politik yang mempunyai pengalaman panjang dalam
satu negara, mampu membuktikan dan mempertahankan prinsipprinsip tersebut. Dan sejauh mana para aktivias partai ini dapat
mempertahankan soliditas mereka terhadap perbedaan pedpata
tersebut. Sekali lagi ini sangat menarik karena dari konteks inilah
akan terlihat gaya, budaya dan perilaku politik dari politisi Indonesia.
Hal kedua yang harus dilihat dari konflik Partai Golkar adalah
pengaruhnya terhadap iklim politik nasional Indonesia. Dinamika
politik yang terjadi pasca pemilihan presiden di Indonesia saat ini,
tidak bisa dilepaskan karena posisi Partai Golkar sendiri. Artinya
bagaimanapun, keampuhan kekuatan Koalisi Merah Putih di
lembaga legislative saat ini, tidak mampu dilepaskan darii posisi
Partai Golkar. Ada kemungkinan negosiasi dan move politik yang
terjadi, disebabkan oleh kemampuan lobi yang dilakukan oleh partai
Golkar. Entah karena kemampuan pengetahuan politik yang luas
atau bisa jadi kemampuan ekonomis kader, yang membuat mereka
mampu memperkuat Koalisi Merah Putih. Ada dugaan bahwa
kekuatan-kekuatan tersebut ada di belakang figure ketua umum
partai sekarang, Aburizal Bakrie. Berbagai langkah soliditas Koalisi
Merah Putih dan langkah-langkah pembuktiannya di pandang
berasal dari kelompok ini.
Maka, Musyawarah Nasional Partai Golkar yang akan berlangsung
akhir bulan ini akan memberikan gambaran masa depan perjalanan
negara dan pemerintahan ke depan. Kemenangan kelompok yang
pertama, akan memungkinkan semakin adanya kerjasama antara
98
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
pemerintah dengan partai Golkar dank arena itu stabilitas politik
akan lebih terjadi di Indonesia. Tetapi apabila “kelompok pembaharu”
yang berhasil kembali meraih kekuasaan (kelompoknya Aburizal
Bakrie), akan muncul dua alternative. Pemerintahan akan mampu
lebih stabil apabila Jokowi benar-benar dapat mewujudkan missinya
dengan baik sebagai presiden atau mampu melakukan pendekatan
dengan Partai Golkar. Jika itu tidak dapat dilakukan, Partai Golkar
akan bisa memancing-mancing dan mengkritik pemerintahan yang
artinya, stabilitas politik berpotensi terusik lagi. 
GPB Suka Arjawa
99
Menerawang Masa Depan
Golkar Pasca Munas Bali
P
erseteruan di tubuh Partai Golkar sudah jelas kelihatan.
Beberapa pejabat teras partai ini yang berseberangan dengan
Ketua Umum, Aburizal Bakrie datang ke Bali “menyaingi” munas
dengan menginap di sebelah hotel dimana munas diselenggarakan.
Malah petinggi yang berseberangan itu diusir manakala hendak
mencoba menghadiri kegiatan tersebut. Persitiwa ini menandakan
bahwa di tubuh Golkar telah terjadi perpecahan. Karena persetEruan
itu ada pada tingkat elit, wajar apabila kemudian ada yang mengatakan
kalau partai ini akan pecah dalam perjalanannya ke depan. Akan
tetapi, apabila dilihat bahwa peserta munas dipenuhi oleh pimpinan
dan anggota dewan pimpinan daerah tingkat I dan tingkat II,
tafsiran atas pecah belah partai ini kemungkinan mengecil. Akan
tetapi kalau dilihat dari fenomenanya itu, kelihatan saat ini Golkar
hanya mengalami kertakan. Apakah nanti keretakan itu bisa menjadi
perpecahan atau bopeng yang secara pelan-pelan bisa disatukan lagi
dalam perjalanannya ke depan, masih dalam tanda tanya.
Banyak yang menyebutkan Golkar merupakan aset bagi politik
Indonesia. Pernyataan ini jelas tidak salah. Juga kalau dikatakan
partai itu mempunyai sumber daya manusia dengan intelektual tinggi,
dengan berbagai pengalaman partai yang komplit. Tetapi tidak keliru
juga kalau dikatakan Golkar itu mempunyai masalah tentang sikap
monopolis dengan segala dampaknya pada jaman Orde Baru. Kekuatan
partai ini ada pada seluruh hal yang diungkapkan diatas. Maka, ketika
menghadapi berbagai masalah saat ini, upaya untuk mencari solusinya
100
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
akan diambil dari berbagai kekuatan yang ada tersebut.
Dari sisi konflik, boleh dikatakan bahwa ranah konflik paling besar
dari partai ini ada pada struktur atas. Secara teori, dalam kehidupan
politik konflik yang terjadi pada ranah elit, selalu mengikutkan massa
dari masing-masing elit tersebut. Elit dalam politik ditentukan oleh
dua hal, yaitu massa dan kapasitas pribadi. Yang masuk kapasitas
pribadi disini adalah kemampuan intelektual, kepemilikan ekonomi
dan kemampuan pengaruh. Akan tetapi dalam konflik di partai ini,
massa yang terlibat tidak begitu banyak. Menurut berita yang dimuat
beberapa media massa, sebagian besar dari tokoh DPD I dan II hadir.
Padahal kekuatan dari pembuatan keputusan dalam partai ini ada
pada ranah dewan pimpinan daerah tersebut.
Massa politik dari partai ini kemungkiann besar “dipegang” oleh
mereka yang mengendalikan dewan pimpinan daerah, baikk pada
tingkat I maupun II. Fenomena ini memberikan output konflik
tersendiri bagi Partai Golkar. Artinya ada keuntungan kepada ketua
umum yang lama, yang mencalonkan diri menjadi ketua umum baru
lagi. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kondisi Partai Golkar
saat ini adalah retak, masih belum pecah belah karena sebagai besar
DPD I dan II hadir dalam musnas yang berlaangsung di Bali. Mungkin
kritik banyak berhamburan atas terselenggaranya munas Bali ini, juga
mungkin ada rekayasa politik kepentingan, akan tetapi di lapangan
memperlihatkan bahwa munas itu berlangsung dengan kehadiran
mayoritas dari mereka yang mempunyai kekuatan massa maupun
kekuatan suara (dalam membuat keputusan akhir munas). Paartai lain,
seperti Partai Demokrat, juga pernah mengalami konflik seperti ini dan
menggelar hayatan besarnya juga di Bali.
Hasil munas Partai Golkar di Bali ini, pasti akan menyisakan
keretakan itu dalam perjalanan mereka ke depan. Ada beberapa
hal yang akan terjadi sebagai akibat dari kasus ini. Keberlanjutan
retakan akan beriringan dengan kapasitas dan kualifikasi dari tokohtokoh partai tersebut. Dalam arti, apabila tokoh-tokoh partai yang
berseberangan dengan mereka yang terlibat ini benar-benar ingin
menjaga idelaisme politik, maka keretakan tersebut akan selesai
dengan turunnya atau terhempasnya tokoh-tokoh partai yang tidak
setuju dengan munas Bali. Ada kemungkinan akan terbentuk partai
GPB Suka Arjawa
101
baru yang mempunyai ideology mirip dengan Partai Golkar. Ini
memerlukan keberanian dan kehebatan dari tokoh-tokoh pembaharu
partai tersebut. Jika keberanian tersebut kurang, yang terjadi adalah
lompatan tokoh-tokoh partai ini menuju partai lain. Meskipun ini
menuai kecaman, baik dari partai maupun masyarakat luas, akan
tetapi itu terjadi demi karir politik politisi yang bersangkutan. Model
seperti ini tidak terlalu aneh di Indonesia.
Akan tetapi, apabila ambisi kekuasaan para politisi yang
bersebarangan dengan munas Bali ini tetap kuat dan idealism politiknya
tidak terlalu kuat, maka yang terjadi mereka akan tetap duduk di Partai
Golkar, sambill menunggu waktu yang tepat untuk berbaikan kembali.
Konflik yang terjadi sekerang “dibiarkan” demikian secara alami yang
pada akhirnya mengendap sesuai dengan perjalanan waktu. Perjalanan
waktu yang mengendapkan konflik inilah yang memungkinkan kedua
belah pihak itu akan kembali akur. Bagaimanapun partai politik
merupakan kendaraan kekuasaan dan pengaruh. Dan Golkar adalah
partai politik yang merupakan kendaraan raksasa untuk meraih
kekuasaan itu. Menjadi tokoh di partai ini jelas sulit, berliku dan ketika
telah berada diatas kekuasaan Golkar, hanya perlu satu titi untuk
meraih kekuasan besar. Inilah yang menjadi salah daya tarik dari partai
tersebut. Golkar sebagai sebuah partai masih kuat.
Di balik kehebatan partai itu, kelemahan justru terbayang nyata
pada politisi-politisi yang terlibat di dalamnya. Konflik ini cenderung
memperlihatkan domain kekuasaan menjadi ajang pertarungan
dari para politisi internal. Setidaknya itu terlihat dari adanya dua
pandangan tentang kapan dan bagaimana seharusnya musyawarah
nasional itu diselenggarakan. “Pertempuran” lebih memperlihatkan
lagi karena tenggat waktu penyelenggaraan itu mengandung nilai dan
citra tentang saat terbaik untuk mendapat kekuasaan, betapapun itu
kemungkinan besar mendapatkan sumbangan pikiran dari lembaga
jajak pendapat. Politisi yang terlalu mengandalkan kekuasaan sebagai
tujuannya berpolitik, pasti menuai kecaman dan lambat laun akan
memudar pamornya. Dan hal lain yang menjadi kelemahan Golkar
adalah cara pandangnya yang selalu melihat pemerintahan sebagai
“lahan” untuk berkecimpung dalam politik. Bukankah berpolitik tidak
harus di dalam pemerintahan? 
102
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Menunggu Respon Politik
Dari Konstituens Golkar
P
artai Golkar telah menyelesaikan perhelatan musyawarah
nasionalnya yang berlangsungdi Nusa Dua. Hasil dari munas
itu adalah terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi sebagai
ketua umum dan sikap Golkar yang tetap menginginkan kepala
daerah dipilih oleh DPRD. Mereka menolak Perppu yang diajukan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Fenomena demikian sepertinya
memperlihatkan “keaslian” Golkar. Dalam arti ada nuansa kembali
ke di jaman Orde baru dulu. Pertanyaan disini, secara internal apakah
itu tidak berbahaya bagi Golkar? Dan secara eksternal, apakah itu
tidak akan memberikan sumbangan negative pada perkembangan
kenegaraan dan sosial di masa mendatang?
Kalau ditafsirkan dalam konteks sosiologi politik, dalam
iklim demokrasi di Indonesia, permusyawaratan/perwakilan
itu dimungkinkan terjadi dengan itikad dasar yang sangat luhur.
Artinya sebelum terjadinya kebersamaan sikap untuk mengambil
kesepakatan, telah terjadi perdebatan dan berbagai pertimbangan
terlebih dahulu dianatara berbagai pihak, golongan atau kelompok
yang sedang berkompetisi. Perdebatan itu terjadi diantara sekian
kandidat yang bertarung , mengemukakan berbagai argumentasinya
di arena terbuka. Paling tidak di arena sidang. Maka, manakala
terjadi semacam deadlock karena masing-masing pihak sudah “habishabisan” mengeluarkan argumentasi, maka diambilah kesepakatan
untuk memilih seseorang sebagai “pemenang”, demi menghilangkan
konflik dan perbedaan yang ada. Pemenang ini disepakati bersama
GPB Suka Arjawa
103
Tujuan utama ini adalah keutuhan organisasi dan pencapaian citacita organisasi. Dalam konteks kenegaraan, organisasi itu tidak lain
adalah negara itu sendiri atau pemerintahan itu sendiri. Munculnya
musyawarah yang dilandasi permufakatan itu didasari oleh karakter
sosial masyarakat Indonesia yang dilandasi oleh gotong royong, tepa
selira dan saling memberi. Paling dasar mungkin terletak pada sifat
tradisionil masyarakat Indoensia yang menekankan pada stabilitas
sosial.
Kalau dilihat dari kontestasi yang terjadi pada partaii Golkar
saat melaksanakan musyawarah nasional di Nusa Dua ini, sikap
musyawarah mufakat itu sesungguhnya nyaris bisa dilakukan
seandainya saja satu calon lain sebagai competitor Aburizal Bakrie
masih tetap ikut pemilihan sampai saat terakhir. Akan tetapi calon
bersangkutan mundur konon karena ketidakpuasan atas aturanaturan tertentu. Inilah yang kemudian yang dapat mencoreng
suara aklamasi yang didapatkan oleh ketua umum Partai Golkar.
Kalau dikaitkan dengan perceksokan yang terjadi sebelum
diselenggarakannya musyawaran nasional ini, maka keterpilihan
tersebut semakin jauh dari musyawarah mufakat seperti yang
ditafsirkan diatas.
Sebagian besar masyarakat Indonesia sekarang masih menganut
budaya tradisional. Akan tetapi sikap tradisionalitas itu kemungkinan
juga telah mendapatkan “pembaruan” lagi melalui model reformasi.
Memang benar apabila dilakatakan tidak semua anggota masyarakat
menyukai demokrasi terbuka yang meungkinkan terjadinya konflik.
Amat mungkin sitesa dari dua budaya politik ini menghasilkan
masyarakat yang mendukung musywarah mufakat dengan varian
yang lebih modern. Artinya masyarakat tetap menginginkan adanya
adu argumentasi, perdebatan dan sejenisnya tetapi kemudian
menginginkan semua berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan.
Perdebatan dan adu argumentasi itu merupakan hasil dari pembaruan
demokrasi yang dilandasi reformasi di Indonesia. Sedangkan
kemufakatan itu merupakan intisari dari budaya tradisionil
masyarakat. Partai Golkar ke depan harus mengtantisipasi hal ini
karena bukan tidak mungkin basis pendukung mereka berkarakter
seperti yang diungkapkan diatas. Maka kritik terhadap keterpilihan
104
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Aburizal Bakrie adalah tidak adanya unsure-unsur perdebatan
tersebut. Inilah yang menjadi tantangan internal partai, terutama
dari konstituens yang kini sudah mulai kritis.
Satu hal yang mesti dipertimbangkan, bahwa dengan model
keterpilihan ketua umum seperti sekarang, boleh dikatakan masih
belum teruji pada tingkat konstituens atau akar rumput. Para petinggi
Golkar masih dapat mampu membuktikan apakah cara ini memang
telah disetujui oleh masyarakat konstituens atau tidak. Sebab cara
untuk membuktikan itu tergantung dari pemilihan umum, terutama
pemilihan umum pusat (presiden). Apabila petinggi Golkar sekarang
tetap mampu memegang partai dengan baik, kesempatan itu baru
bisa dibuktikan pada pemilihan presiden mendatang. Membuktikan
pada pemilihan umum daerah, sedikit lebih sulit karena faktor aktoraktor politik di daerah. Sebagian masyarakat tradisional di daerah
masih melihat figure ke daerahan dalam menjatuhkan pilihan politik.
Sikap untuk menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang
menekankan kepada pemilihan kepala daerah secara langsung,
boleh dikatakan sebagai sikap politik Partai Golkar. Beberapa analis
menyebutkan bahwa kekukuhan dari petinggi partai untuk tetap
mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, merupakan salah
satu faktor yang membuat berhasilnya diselenggarakan munas di Bali
ini. Logikanya apabila memang Golkar di koalisi Merah Putih dan
tetap mendukung pola pemilihan demikian, maka potensi petinggi
Golkar untuk mendapatkan kursi pemimpin dadrah tinggi. Akan
tetapi, lagai-lagi tantangannya terletak pada praktik ke depan.
Sampai saat ini, “persekutuan” untuk menyepakati kembali ke
pemilihan DPRD itu adalah persekutuan antar elit politik, bukan
pada persekutuan rakyat. Artinya belum tentu rakyat kebanyakan
itu (termasuk yang sebelumnya memilih Golkar dan partai lain
di Koalaisi Merah Putih), ikut-ikutan menyetujui pola demikian.
Pembelajara politik yang terjadi di masa refeormasi cukup banyak dan
dengan rentang waktu yang panjang. Seluruh pemilu setelah tahun
1999 dilakukan secara langsung. Paling tidak telah tiga kali rakyat
terlatih melakukan pemilihan secara langsung dengan rentang waktu
sampai 15 tahun, hampir satu generasi pemilih. Cara ini telah mampu
melahirkan budaya politik kepada masyarakat, yang tidak lain dalam
GPB Suka Arjawa
105
hal inii adalah pemilihan langsung. Pemaksaan pemilihan kepala
daerah oleh DPRD, bisa-bisa menjauhkan rakyat dari partai-partai
sponsor ini. Jadi, tetap perlu bukti dipemilihan umum mendatang.
106
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Di Balik Sikap Bolak-balik
Pemilihan Kepala Daerah
P
emilihan kepala daerah, sepertinya menjadi kunci berbagai
riak politik akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015. Ketika
Koalisi Merah Mutih menguasai mayoritas anggota DPR
pusat, kelompok ini bersemangat mendukung pemilihan kepala
daerah oleh DPRD. Tetapi begitu ada Perppu No 1 tahun 2014 yang
menyatakan pemilihan itu dilakukan secara langsung, suara Koalisi
Merah Putih agak meredup. Kehadiran Presiden Susilo Bambang
Yudoyono yang mendukung pemilihan langsung dan pengaruhnya
kepada tokoh-tokoh koalisi itu dinilai mempengaruhi meredupnya
dukungan pada pilkada tak langsung. Akan tetapi mata masyarakat
seolah membelalak lagi manakala Partai Golkar, yang merupakan
anggota terkuat koalisi ini, melaksanakan Munas IX di Bali.
Salah satu hasil Munas itu kembali menekankan disetujuinya
pemilihan kepala daerah oleh DPRD (menolak Perppu). Menyikapi
hal ini, secara politis mantan presiden Susilo Bambang Yudoyono
bertemu dengan Presiden Joko Widodo, kembali menyatakan
dukungannya terhadap pilkada langsung.
Tiba-tiba saja mata masyarakat kembali terbelalak manakala
beberapa hari belakangan Koalisi Merah Putih kembali menyatakan
mendukung pemilihan langsung. Bahkan pentolannya juga
mengatakan demikian. Ini terjadi setelah adanya pertemuan antara
Jokowi dengan SBY dan setelah usainya Munas IX Golkar (tandingan)
yang berlangsung di Ancol, Jakarta. Karena Golkar menjadi “inti” dari
Koalisi Merah Putih, maka ada kesan sikap koalisi itu bolak-balik.
GPB Suka Arjawa
107
Aburizal Bakrie juga menyatakan mendukung pemilihan langsung.
Lantas ada apa dibalik sikap demikian tersebut?
Yang pertama harus dilihat bahwa kemungkinan besar Koalisi
Merah Putih, termasuk Golkar di dalamnya, baru menyadari betul
bagaimana sosiologi politik masyarakat Indonesia itu masih sangat
tergantung kepada figure. Bisa dikatakan bahwa budaya politik
itu masih sangat tergantung kepada tokoh. Pertemuan tokoh yang
kebetulan dipandang kharismatis, pasti akan mempengaruhi sikap
masyarakat. Maka ketika Susilo Bambang Yudoyono bertemu dengan
Jokowi dan membicarakan dukungannya kepada Pilkada langsung,
rakyat pasti akan mendukung, dan itu dipastikan berpengaruh
kepada sikap politik di DPR pusat. Intinya pembahasan Perppu 1
tahun 2014 di DPR cenderung akan mendapat persetujuan sehingga
dapat diundangkan nanti.
Apabila Golkar dan Koalisi merah Putih masih ngotot dengan
sikap menentang pemilihan langsung, dikhawatirkan masyarakat
akan menjauhi partai-partai yang tergabung pada Koalisi Merah
Putih. Apalagi keberadaan partai politik di dalam koalisi ini sekarang
sudah pada bercabang dua, yakni pecahnya Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan. Disamping itu, konon sebelumnya telah
ada kesepakatan-kesepakatan antara Partai Demokrat dengan para
petinggi Koalisi Merah Putih untuk mendukung Perppu tersebut.
Apabila kesepakatan ini dilanggar, maka secara moral dan hukum,
koalisi tersebut bisa dikatakan telah melanggar. Tentu ini juga
menambah poin negative pencitraan koalisi tersebut. Maka pilihan
untuk kembali mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung
ini, merupakan cara rasional untuk dapat merangkul masyarakat.
Dari titik ini, sikap politik sebelumnya yang menolak Perppu dan
mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD, merupakan sikap
gegabah dan grasa grusu, lebih menentingkan emosi ketimbang
rasionalitas sosiologi politik masyarakat.
Hal kedua yang bisa dilihat adalah bahwa wacana tentang
pemilihan kepala daerah melalui DPRD sesungguhnya lebih banayak
merupakan wacana elit, wacana tokoh yang kemungkinan banyak
frustrasi padacita-cita politik mereka. Wacana tersebut masih belum
teruji di masyarakat (akar rumput). Artinya belum tentu secara
108
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
faktual, pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu akan mendapat
respon positif dari masyarakat. Ini dapat berakibat pada pemilihan
umum mendatang, dimana partai-partai yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih akan dijauhi pemilih. Tentu ini menjadi hal
yang sangat menakutkan. Apalagi sekarang telah banyak suara-suara
yang muncul yang dikeluarkan oleh elit-elit masyarakat, dan juga elit
politik untuk tidak memilih partai yang mendukung pemilihan kepala
daerah tidak langsung tersebut. Survei yang dilakukan oleh beberapa
lembaga pada minggu-minggu terakhir memperlihatkan diatas 75
persen masih memandang pemilihan langsung lebih baik ketimbang
pemilihan dilakukan oleh DPRD.
Ketiga, pembelokan sikap yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie
ini, bisa jadi akan membuat munculnya perubahan konstelasi politik
internal Golkar. Bagaimanapun hendak disanggah, Golkar telah pecah
dua antara Munas Bali dan Munas Ancol. Salah satu kekuatana besar
dari Munas Bali diprediksi pada “janji” penolakan Perppu 1 Tahun
2014, yang artinya menolak pemilihan langsung kepala daerah. Jika
pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, diprediksi banyak
tokoh Golkar daerah yang akan naik menjadi kepala daerah di masa
depan. Inilah yang kemungkian menjadi alasan ramainya tokoh
daaerah datang di Munas Bali.
Tetapi, dengan adanya pembelokan sikap ini, akan menjadi
perjuangan yang memerlukan tenaga bagi pengurus Partai Golkar
versi Munas Bali untuk mempertahankan soliditasnya. Ada
kemungkinan secara pelan-pelan para pendukung Munas Bali
kecewa dan akhirnya merayap merapatkan diri kepada Golkar Munas
Ancol. Sebagai sebuah peristiwa politik, ini akan menjadi tontonan
dan bacaan menarik di masa depan.
Secara nasional, dinamika politik Indonesia ini tidak terlalu
memberikan sumbangan menarik bagi pencerdasan pengetahuan
politik masyarakat (dan mahasiswa). Sebab, sikap politik ini terlihat
terlalu individual, dan karena itu melekat kepentingan-kepentingan
individual, kurang memperhatikan aspirasi rakyat. Terlihat juga
politik itu terlalu mengagungkan kekuasaan dan menjadikan posisi
itu sebagai cita-cita. Politik menjadi lemah karena kecondongannya
kepada kekuasaan. Kerugian politik sangat kentara dalam waktu satu
GPB Suka Arjawa
109
tahun terakhir ini. Banyak energy terbuang percuma hanya untuk
memenangkan keinginan pribadi atau untuk menentang sebuah
kekalahan. Tidak ada pembelajaran positif bagi masyarakat. 
110
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Agar Partai Tak Hancur
dan Kekuasaan Tak Melayang
U
paya berbaikan kembali (islah) dari dua kubu Partai Golkar,
merupakan peristiwa politik paling menarik di akhir tahun
2014. Partai ini dikenal karena kebesaran nama, organisasi,
dan pengaruhnya di Indonesia. Di era Orde Baru, sudah tidak perlu
diungkapkan lagi pengaruh kekuasaannya. Tetapi penampilan
paling hebat dan boleh dikatakan heroik, adalah tahun 1999. Ketika
masyarakat sudah menduga partai ini kolaps setelah tumbangnya
Orde Baru, tiba-tiba mereka tetap kokoh menjadi pemenang kedua
pemilu tahun 1999. Momen inilah bisa dikatakan sebagai penampilan
terbaik Partai Golkar, kokoh di saat badai hebat menerjang.
Akan tetapi, paradoksnya, Golkar justru lunglai di saat angin
sepoi-sepoi menghadap kepada sosok Joko Widodo, politisi yang
boleh dikatakan lembut dan santun, tanpa membawa angin puting
beliung seperti reformasi tahun 1997. Golkar kokoh diterpa badai
tetapi seolah lunglai diterpa angin sepoi. Dengan demikian,Golkar
tidak mampu dirobohkan oleh kekuatan di luar badannya tetapi
justru oleh penyakit yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Persis
seperti pohon beringin yang tidak tumbang oleh angin puyuh tetapi
goyah digerogoti rayap yang merusak batang tubuhnya.
Pecahnya Partai Golkar saat ini tidak lain karena perpecahan
internal, terutama soal sikap terhadap kepemerintahan dari tokohtokohnya. Melihat perpecahan yang terjadi selama ini, sudah
jamak diketahui bahwa kelompok Munas Bali tidak pro dengan
pemerintahan Joko Widodo dan sebaliknya dengan kelompok Munas
GPB Suka Arjawa
111
Ancol. Komposisi jumlah anggota masing-masing kelompok yang
bertentangan ini, baik dari sisi elit maupun non elit, boleh dikatakan
seimbang. Maka, dalam komposisi demikian, seperti halnya dalam
permainan olahraga, pastilah hasilnya seri. Dun kekuatan aspirasi
politik seimbang di dalam satu organisasi, akan membuat partai itu
pecah atau bubar. Pada tubuh Partai Golkar, pembubaran, dalam hal
ini, bukanlah sesuatu yang rasional karena kebesaran jumlah anggota,
infra dan suprastruktur, kekayaan, sampai dengan pengaruhnya.
Maka, perpecahan merupakan “kejadian rasional” yang bisa dinilai
“logis” untuk partai sebesar ini. Masing-masing pihak masih mampu
mengklaim kondisi, apalagi dalam komposisi masing-masing pihak
yang seimbang dengan dua kubu yang berhadapan. Golkar tidak
hilang, tidak bubar. Golkar tetap ada tetapi pecah!
Perpecahan internal yang terjadi pada partai besar, dengan
komposisi yang sama kuat, tidak akan mungkin mampu memberikan
solusi dalam jangka dekat. Masalah hanya dapat diselesaikan secara
hukum. Akan tetapi masalah seperti ini pada akhirnya hanya akan
memberikan kerugian kepada partai itu sebab salah satu pihak pasti
akan dimenangkan. Yang berarti pihak yang pasti akan kalah. Dan
kekalahan hukum bisa berarti sebuah kehilangan.
Dalam konflik partai sebesar Golkar, bisa dibayangkan
jumlahnya sumber daya yang akan hilang dengan dikalahkannya
satu pihak sebagai akibat dari keputusan hukum. Secara politis,
ini akan memberikan dampak sangat merugikan karena harus
membangun partai yang baru lagi. Membangun partai baru, tidak
sekedar membangun nama, dan lambang partai tetapi juga harus
membangun citra dan pengaruh. Pembangunan citra dan pengaruh
ini mempunyai tatangan paling besar bagi partai yang kalah.
Kondisi yang kalah di pengadilan akan mempengaruhi citra partai
tersebut pada masyarakat. Apalagi masyarakat Indonesia yang
menjadi anggota partai, sikap ideologisnya tidak konstan. Mereka
secara mudah pindah partai politik, apalagi menjelang pemilu.
Kondisi seperti ini akan menguntungkan bagi Partai Golkar yang
memenangkan “pertarungan” di pengadilan.
Dengan demikian, maka apabila kedua belah pihak mengambil
keputusan untuk berbaikan kembali (islah), ini merupakan keputusan
112
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
paling rasional dari partai beringin yang besar ini. Dengan islah,
potensi melubernya anggota partai, terutama pada tingkat akar
rumput semakin kecil. Mereka masih dapat ditahan dan dirangkul
lagi sesuai dengan kepengurusan-kepengurusan setelah islah tersebut
kelak tercapai.
Tantangan islah ini ada beberapa hal. Secara politis, tantangan itu
terletak pada formulasi sikap terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Dalam hal ini, nampaknya perbedaan itu telah bisa diatasi. Kubu
Munas Bali bersikap lunak karena tidak lagi keras menentang pilkada
langsung. Artinya mereka sudah jauh bergeser dari kekukuhan sikap
sebelumnya yang meminta agar pemilhan kepala daerah dilakukan
oleh DPRD. Sikap ini boleh dikatakan sebagai corong frontal
perbedaan sikap kedua kelompok itu karena kubu Munas Ancol
memilih tetap pilkada secara langsung.
Meski sulit, Golkar Munas Bali sebaiknya menerima opsi ini
karena bagaimanapun mayoritas masyarakat Indonesia masih
memilih pilkada langsung. Bertahan dengan sikap menentang
pilkada langsung bisa berari “bunuh diri’ karena ke depan partai
ini akan dijauhi rakyat. Pilihan menyetujui pilkada langsung,
kemungkinan juga membuat Golkar Munas Bali akan sedikit goyah
dari pendukung-pendukung setianya. Konon menurut beberapa
pendapat, banyak tokoh Golkar di daerah mendukung Munas Bali
karena ada ambisi memenangkan kepala daerah. Pemilihan kepala
daerah melalui DPRD diduga akan banyak mendudukkan pejabat
Golkar di daerah menjadi kepala daerah karena komposisi anggota
DPRD dikuasai oleh Partai Golkar. Akan tetapi, di luar itu semua,
partai politik harus tunduk kepada keinginan rakyat.
Tantangan paling besar dari islah ini adalah dalam bidang
organisatoris. Perpecahan partai ini membawa dua kubu elit, yang
masing-masing mempunyai anak buah. Pada tataran partai politik
besar, kompisi elit kepengurusan pada struktural yang lebih tinggi itu
identik dengan jembatan awal menuju elit kekuasaan pemerintahan
negara. Inilah yang akan menjadi rebutan dalam islah nanti dan
kemungkinan paling rumit. Dengan kompisisi struktur yang terbatas
dalam organisasi, posisi-posisi tersebut pasti akan mendapat rebutan.
Disnilah orang-orang dari Aburizal Bakrie dan Agung Laksono
GPB Suka Arjawa
113
memerlukan kedewaan berfikir, antara memihak kekuasaan atau
memihak keutuhan partai. Yang jelas, kekuasaan itu sifatnya
membentang, masih ada di depan. Sedangkan keutuhan partai, itu
tergantung sikap hari ini. Kalah dalam menentukan sikap dewasa,
dua-duanya akan hilang. Partai hancur kekuasaan melayang. 
114
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
u
MASYARAKAT
GPB Suka Arjawa
115
116
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Menyindir Aparat
Lewat Sandal Jepit
D
ari sisi hukum, persoalan mencuri sandal atau mencuri
mobil, tetap sebuah pelanggaran. Karena itu, memang sangat
wajar untuk mendapat proses hukuim. Akan tetapi, masalah
keadilan menjadi signifikan disini. Mencuri mobil atau menggelapkan
uang negara yang kualitas kejahatannya lebih besar, sering kali
lolos dari perburuan hukum. Sedangkan mencuri ketela, ayam atau
sandal, lebih gampang dijerat hukum. Ketimpaangan inilah yang
membuat isu pencurian sandal di Sulawesi Tengah mencuat menjadi
isu nasional. Isu itu tetap pada porsinya, yakni masalaah keadilan.
Dalam urusan ketatanegaraan, ia menjadi sebuah sindiran
kepada para penguasa dan penegak hukum di negeri ini. Unjuk rasa
berupa solidaritas 1000 sandal jepit itu, bermakna sebuah sindiran
politik, sindiran sosial yang ditujukaan kepada para penyelenggara
negara (pemerintah) dan aparat hukum. Tulisan di bawah ini
mengulas masalah sindiran dalam hubungannya dengan tugas-tugas
kepemerintahan.
Dalam tataran konstruksi sosial, protes yang berupa sindiran
mempunyai posisi yang penting sebab ketimpangan keadilan ini
menjadi amat berbahaya bagi kehidupan masyarakat selanjutnya.
Di Indonesia ketimpangan keadilan itu secara kuantitatif sudah
cukup banyak. Tidak hanya begitu lancar, berhasil dan suksenya
proses pengadilan terhadap masyarakat golongan kecil yang mencuri
ayam, sayur, cokelat dan sejenisnya, tetapi para para koruptor (yang
hakekatnya pencuri juga), juga berhasil melepaskan diri dari jeratan
GPB Suka Arjawa
117
hukum. Praktik sosial ketidakadilan seperti ini terjadi di banyak
tempat di Indonesia. Yang kita khawatirkan, praktik tersebut akan
menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi contoh sosial, tidak saja
bagi generasi sekarang tetapi juga generasi berikutnya. Peter L.
Berger kurang lebih mengatakan bahwa masyarakat akan bertindak,
berperilaku berdasarkan apa yang menjadi praktik sosial paling
sering terjadi di masyarakat.
Jadi, kalau ketidakadilan tersebut menjadi praktik sosial yang
paling sering terjadi, dan dibiarkan lolos, masyarakat kemungkinan
akan menyebut praktik itulah yang benar (dan akhirnya dicontoh),
lalu dibudayakan! Inilah hal yang paling membahayakan bagi situasi
sosial apabila ketidakadilan dan ketimpangan-ketimpangan itu
dibiarkan terus-terusan berlangsung. Penghentian praktik seperti ini
menjadi keperluan mendasar bagi negara yang sedang membangun
dan sedang mengalami perubahan sosial. Indonesia adalah negara
yang sedang membangun dan berproses dalam perubahan sosial.
Pemerintah haruslah sadar dengan fenomena ini dan harus
segera mengubahnya sekuat tenaga. Jika memang pencuri sandal
harus mendapat hukuman karena memang terbukti ia melakukan
pencurian, lakukanlah hal yang sama dengan para pencuri (koruptor)
kelas kakap, tanpa pandang bulu. Pemerintah juga harus sadar bahwa
apa yang dikatakan oleh Berger itu, di jaman sekarang mungkin telah
diperkaya melalui kemajuan dan modernisasi jaman. Keterbukaan
komunikasi dan lalu lintas informasi yang begitu bebas berlalu lalang
sekarang (modernisasi), akan mampu lebih melekatkan kepercayaan
masyarakat untuk mencontoh perilaku-perilaku yang paling sering
muncul di media.
Ketika Berger mengungkapkan teorinya tentang konstruksi
sosial itu, mungkin kebebasan informasi belum demikian melaju
dengan cepat. Di masa terbitnya teori ini, peniruan-peniruan dan
kepercayaan akan praktik sosial itu bisa terjadi setelah kejadiannya
berlangsung berhari-hari atau bertahun-tahun. Ini yang membuat
masyarakat percaya bahwa begitulah seharusnya berperilaku dan
bertindak, karena banyak masyarakat yang telah melakukannya.
Misalnya ngaben dilakukan dengan upacara yang rumit, meski tidak
seharusnya demikian. Akan tetapi karena banyak orang melakukan
118
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
hal demikian dan berlangsung bertahun-tahun, pengetahuan akan
ngaben yang rumit itu akhirnya mengendap, dan ngaben yang rumit
itulah yang dilakukan. Padahal sekali lagi, ngaben tidak seharusnya
dilakukan dengan cara yang rumit karena intinya hanya pada mantra
pralina.
Kini sebuah peristiwa akan bisa berulang sekian kali dalam sehari
melalui acara siaran ulang di berbagai stasiun televisi, berita berulang
di surat kabar yang menembus berbagai daerah dan melalui grup-grup
diskusi di dunia maya. Terulang-ulangnya peristiwa ini oleh media
massa akan memungkinkaan membentuk sikap kepercayaan pada
masyarakat dalam waktu yang lebih singkat, tidak lagi memerlukan
waktu lama seperti saat Berger menelorkan teorinya.
Sebuah kejadian korupsi besar yang dilakukan oleh para politisi
atau orang besar, apabila ia berhasil lolos dari jeratan hukum, amat
berpotensi menjadi percontohan di masyarakat, dan akhirnya
membudaya dalam waktu yang lebih singkat. Ini sebagai akibat dari
pengulangan-pengulangan informasi yang didapatkan masyarakat.
Pengulangan seperti itu tidak saja membentuk kepercayaan, juga
bisa memberikan percontohan kepada masyarakat. Di tingkat
percontohan ini, teknik, strategi dan kiat baik untuk berkorupsi
maupun meloloskan diri dari jeratan hukum, juga akan bisa dipelajari
secara lebih dalam. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana pengaruh
buruk apabila ketimpangan-ketimpangan hukum itu dibiarkan tanpa
harus ada upaya-upaya perlawanan.
Pada konteks itulah, solidaritas sosial dalam bentuk pengumpulan
ribuan sandal jepit terhadap pencuri sandal yang terjadi di Sulawesi
Tengah itu menjadi amat penting. Di tengah gencarnya lalu-lintas
informasi seperti saat ini, pemberitaan tentang ketimpangan keadilan
ini akan mampu membuat kesadaran tidak saja kepada masyarakat,
tetapi juga kepada para penyelenggara negara dan penegak hukum.
Para pemrotes dan pendukung aksi soslidaritas ini tentu saja tidak
hendak membebaskan AAN dari jeratan hukum, akan tetapi lebih
pada memberikan sentilan kepada petugas negara terhadap kondisi
ketidakadilan hukum yang terjadi di negara ini. Artinya, silakan AAN
diproses secara hukum, secara adil dan mendapat pembelaan yang
layak, namun penyelenggara negara juga harus melakukan hal yang
GPB Suka Arjawa
119
sama kepada para koruptor-koruptor besar yang merugikan negara.
Dalam kasus di Sulawesi Tengah ini, fenomenanya menjadi lebih
menonjol karena kebetulan pihak pelapor adalah petugas keamanan
(kepolisian) yang selama ini cukup sering dikritik dalam menjalankan
tugasnya.
Aksi solidaritas itu mempunyai fungsi, tidak hanya berupaya
mencegah keterulangan ketidakadilan seperti yang telah menjadi
praktik-praktik hukum yang telah ada, tetapi telah menjadi sebuah
arena diskusi dan transfer pengetahuan baru yang pasti akan
memperkaya kesadaran masyarakat akan praktik ketidakadilan di
Indonesia. Di masa depan, akumulasi kegiatan-kegiatan disekusi
seperti ini bisa mempunyai dampak besar jika pemerintah tidak
tanggap dengan makna solidaritas tersebut. Gerakan sosial
penurunan pemerintah bisa saja terjadi 
120
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Minoritas, Dilema Demokrasi,
dan Rhoma Irama
P
ersoalan suku Rohingya dengan pemerintah Myanmar, tibatiba mendapat perhatian di Indonesia akhir-akhir ini. Presiden
Susilo Bambang Yudoyono juga ikut menyinggung masalah itu
yang menjadi keprihatinan. Konflik ini tidaklah baru tetapi sudah
menjadi perhatian internasional paling tidak lebih dari lima tahun
lewat ketika suku itu terusir dari kampungnya.
Kekerasan kepada kelompok minoritas tidak hanya terjadi
di Myanmar. Di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu kelompok
penganut Sikh ditembak mati saat melakukan ibadah di kuil
mereka. Ia yang melakukan penembakan adalah mantan tentara
penganut keyakinan supremasi kulit putih diatas kelompok lain.
Konon ada kekeliruan terhadap penembakan itu karena penganut
Sikh dipandang sebagai umat muslim. Sang penyerang diperkirakan
merasa sebagai pihak mayoritas dan yang diserang dipandang
sebagai kelompok minoritas. Cara pandang ini amat berbahaya bagi
peradaban modern.
Banyak kasus lain yang menimpa golongan minoritas. Sejarah
mencatat kelompok Tionghoa di Semenanjung Melaya mendirikan
negara sendiri (Singapura), setelah sebelumnya selalu terlibat konflik
dengan mayoritas Melayu di wilayah itu. Suku Kurdi mempunyai
pengalaman lebih unik lagi. Sebagai sebuah suku, mereka mempunyai
penduduk sekitar 30 juta. Akan tetapi, terbagi dan berada pada
lima negara di Asia. Kurdi, akhirnya menjadi minoritas di masingmasing negara itu (diantaranya Suriah, Irak, dan Turki), dan sampai
GPB Suka Arjawa
121
sekarang selalu mendapat perlakuan tidak adil. Yang paling membuat
dunia terguncang, adalah apa yang terjadi di Timur Tengah. Israel
dalam skala regional, boleh dikatakan sebagai minoritas. Tetapi
bangsa Yahudi ini selalu menantang dan memakai strategi untuk
menghadapi lingkungan regional yang mayoritas menentangnya.
Strategi itu bermacam-macam, mulai dari ekonomi, intelektual,
politik, kebudayaan, keunggulan teknologi sampai dengan diplomasi
untuk menghadapi musuh yang memojokkannya. Secara jujur harus
diakui, penerapan strategi ini mampu membuat negara Israel tegak
berdiri sampai sekarang.
Minoritas sesungguhnya lebih banyak mengacu kepada kenyataan
yang sifatnya kuantitatif. Artinya memposisiskan adanya skala
perbandingan jumlah yang bisa dihitung diantara kelompok di suatu
wilayah. Karena merupakan skala kuantitas, sesungguhnya tidaklah
adil kalau dibandingkan dengan kenyataan lain, yaitu kualitatif. Pada
sisi kualitatif yang lebih banyak dilihat adalah makna, arti dan produk
pikiran yang dihasilkan. Dikaitkan dengan kenyataan duniawi,
meaning inilah paling menentukan pengaruh dan sumbangannya
kepada peradaban manusia. Karena itu, meskipun sebuah entitas
hanya minoritas akan tetapi produk pikirannya sangat mungkin
mampu memberikan sumbangan dan ide positif bagi perkembangan
dunia dan produk itu mampu menjadi mayoritas. Di tengah berbagai
kecaman terhadap perilaku dan eksistensi bangsa Yahudi misalnya,
produk pengetahuan sosial, eksakta, bahkan perekonomian, banyak
berasal dari golongan ini. Karena itulah, Yahudi dipandang selalu
menguasai dunia. Mereka adalah minoritas di tengah komunitas
dunia, tetapi mayoritas dalam sumbangan pengetahuan.
Konon, munculnya kelompok Sikh di wilayah Khalistan di India
pada abad ke-14, merupakan hasil dialektika konflik antara kelompok
Hindu dan Islam yang selalu bertikai di negara itu sejak berabad-abad.
Sikh konon menjadi perpaduan antara dua agama besar tersebut.
Sebagai sebuah ide, munculnya golongan ini mestinya memberikan
inspirasi bahwa solusi terhadap bebagai konflik tidaklah harus
dilakukan dengan kekerasan tetapi penyerapan antara kedua ajaran
tersebut. Pada tataran kualitatif dan produk idealis yang dihasilkan,
sebutan-sebutan terhadap minoritas itu sesungguhnya tidak ada. Di
122
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
jaman globalisasi seperti sekarang, yang paling mendapat perhatian
masyarakat adalah produk. Bukan sekedar produk yang sifatnya
ekonomis, tetapi sosial, budaya, bahkan politik. Produk inilah yang
akan mampu memberikan masyarakat inspirasi dan solusi, sebagai
sebuah bentuk pengimbang dari berbagai percepatan pola hidup
global yang dicirikan oleh mobilitas jugernaut. Mobilitas seperti
ini ditandakan dengan pola persaingan pada bidang apapun yang
semakin kuat di seluruh dunia. Yoga misalnya, bisa dikatakan sebagai
produk sosial yang mampu memberi solusi terhadap kepenatan
kompetisi.
Bagaimana hubungan minoritas ini dengan politik?
Pemaksaan tentang konsepsi minoritas dan mayoritas hanya akan
muncul pada ranah politik yang berbasis kekuasaan dengan tujuan
mengekalkan kekuasaan itu. Yang menjadi dilema pada konteks ini
justru demokrasi. Inilah yang menjadi paradoks demokrasi di jaman
globalisasi. Pertama harus dilihat bahwa globalisasi memberikan
kebebasan kepada ide dan pikiran-pikiran (cemerlang) muncul
ke permukaan. Pada tahap ini, baik individu maupun kelompok
dimungkinkan untuk mengembangkan ide dan inspirasi yang
bisa mempengaruhi tindakan masyarakat. Ini disebabkan karena
keterbukaan informasi memungkinkan pikiran-pikiran yang bagus
itu masuk menuju setiap segmen masyarakat. Keterbukaan informasi
juga diikuti dengan keterbukaan publik yang menjadi gaya hidup
masyarakat modern. Orang bisa memperbincangkan kesuksesan
Steve Jones atau Bill Gates (ahli dan maestro perangkat lunak
dunia) di warung, lapangan, televisi atau media lain. Pada saat inilah
identifikasi seseorang tersebut akan berbarengan masuk ke ranah
publik dan diinternalisasi oleh masyarakat. Internalisasi ini bisa
dalam bentuk kekaguman atau berbagai cara lain yang mengikat
seseorang atau masyarakat kepada si figur pemberi inspirasi tersebut.
Politiklah yang akan menangkap figur ini untuk dimasukkan ke
dalam berbagai ranahnya.
Demokrasi justru merupakan wahana kebebasan untuk
meletakkan dan menumpahkan ikon (figur) yang telah diinternalisasi
tersebut ke dalam bentuk sikap, baik dalam bentuk sikap maupun
wacana. Jadi, inspirasi tentang kemajuan dan perubahan positif
GPB Suka Arjawa
123
di tengah masyarakat, secara ikonik memungkinkan datang dari
kelompok minoritas. Sebab, harus juga diingat, minoritas sebagai
sebuah kelompok yang selalu merasa tertekan, akan mampu
mendorong kreatifitas dalam berbagai bentuk. Dalam sebuah
peristiwa politik, misalnya pemilihan umum, masyarakat akan
mungkin bersikap memihak kelompok minoritas atau ikonnya
(perwakilannya) ke dalam sebuah pilihan politik. Faktor inilah yang
bisa menimbulkan kecemburuan dan kekhawatiran bagi kelompok
mayoritas.
Kekhawatiran itu tidak saja ada pada sektor politik, juga
pada sektor sosial lain. Juga tidak saja terjadi pada sektor mezzo
(kelompok dan negara) tetapi juga makro tingkat dunia. Munculnya
minoritas berprestasi, secara makro akan mampu mengembangkan
pengaruhnya ke seluruh dunia baik dari sisi penganut maupun
pikiran. Dari sinilah berbagai upaya untuk mendeskreditkan
kelompok minoritas itu bermunculan.
Jadi, manakala akhir-akhir ini sempat terjadi ribut-ribut
tentang ucapan penyanyi dangdut Rhoma Irama di sebuah tempat
sembahyang di Jakarta, kemungkinan persoalannya seperti yang
diurai diatas. Mungkin benar Rhoma Irama berpendapat bahwa
sebaiknya para pemilih dalam pemilu memilih mereka yang seumat.
Akan tetapi, begitu pendapat itu muncul di kalangan publik,
akan dinilai kontraversial karena dipandang terlalu berpihak dan
bernuansa kekhawatiran akan kecolongan pemilih. 
124
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Elite Politik Seharusnya
Mampu Menjadi Promotor
K
reativitas anak-anak SMK di Solo, Jawa Tengah yang
menghasilkan mobil Kiat Esemka, seolah menjadi pendorong
munculnya kreativitas yang sama di Bandung, Surabaya dan
berbagai kota lainnya. Anak-anak SMK itu, di bawah bimbingan
para guru mereka, juga membuat mobil dalam bentuk yang berbeda
atau membuat peralatan motif batik yang sangat berguna bagi
masyarakat. Padahal, kalau dilihat dari skala waktu kemunculan
berbagai kreativitas itu di media massa, bisa dipastikan sesungguhnya
mereka itu telah mengerjakannya dalam skala waktu yang hampir
bersamaan. Bahwa mobil Kiat Esemka yang lahir di Solo yang paling
dahulu muncul ke permukaan, itu membuktikan bahwa harus ada
semacam promotor yang mampu mengungkap kreativitas tersebut
ke permukaan. Peran promotor inilah yang mungkin tidak dimiliki
atau kurang dilihat di daerah-daerah yang anak-anak remajanya
mempunyai kreativitas positif yang mampu mengangkat citra daerah
dan negara.
Banyak tinjauan yang bisa dilihat dari fenomena munculnya
mobil Kiat Esemka tersebut. Pada ranah politis, dan ini yang
paling berperan, keterkenalan mobil hasil kreativitas anak muda
itu disebabkan oleh munculnya tokoh politik (pemerintahan)
yang memberikan apresiasi kepada hasil kreativitas itu. Susah
untuk dipungkiri bahwa kemunculan mobil itu di publik tidak bisa
dilepaskan oleh perhatian Walikota Solo (Jokowi/Joko Widodo).
Apresiasi tersebut tidak hanya dalam bentuk pujian verbal belaka,
GPB Suka Arjawa
125
akan tetapi tindakan dalam bentuk memakainya sebagai mobil dinas.
Dari sinilah cikal bakal kemunculan popularitas yang kemudian
seolah-olah mendorong munculnya kreativitas di tempat lain.
Tindakan dari walikota ini bisa dikatakan sebagai antiteori
umum dan pro nasional (rakyat). Secara umum, kemewahan pejabat
menjadi ”teori” yang sudah mapan di Indonesia. Bahwa seorang
pejabat harus dilayani dan mendapat fasilitas yang mewah. Padahal
secara fenomenologis, di balik diamnya rakyat atas kemewahankemewahan tersebut, sesungguhnya mereka protes, tidak menyetujui
adanya kemewahan berlebih yang diperlihatkan oleh seorang pejabat
pemerintah. Atau tidak ingin melakukan pelayanan berlebih kepada
aktor pemerintah yang mendapatkan kedudukan. Itulah, maka ketika
walikota tersebut melakukan langkah nyata untuk memakai Kiat
Esemka sebagai mobil dinas, langsung mendapatkan apresiasi positif
karena dipandang sebagai jawaban dari di balik diamnya masyarakat
itu. Ya, memang benar langkah walikota ini pun sesungguhnya
langkah politik yang memberikan keuntungan politis baginya secara
pribadi. Akan tetapi langkah politis inilah yang memang seharusnya
dilakukan karena langkah tersebut pro-rakyat.
Apresiasi yang dilakukan terhadap walikota itu semakin
membuktikan bahwa aktor pemerintah sesungguhnya mempunyai
aset luar biasa sebagai seorang promotor. Seorang aktor pemerintah,
secara tidak langsung menggenggam dua aset sekaligus dan saling
melekat, yaitu aktor publik dan ruang publik. Sebagai aktor publik,
tindakan seorang pejabat pemerintah akan menjadi perhatian
masyarakat luas. Namun sebagai ruang publik, tindakannya itu
tidak sekedar diperhatikan tetapi didiskusikan oleh berbagai pihak
(mirip dengan diskusi yang dilakukan di warung, pemberhentian
bis, lapangan olahraga dsb), ibarat di dalam sebuah ruangan, dan
kemudian disebarkan secara lebih luas, baik oleh media massa
maupun oleh jaringan sosial di masyarakat secara berantai. Maka
dalam konteks ini, seorang pejabat pemerintah sesungguhnya juga
mempunyai peran sebagai seorang promotor. Tugas promotor adalah
memperkenalkan, memperlihatkan apa yang menjadi bimbingannya.
Pejabat pemerintah adalah pembimbing masyarakat. Promotorlah
yang mampu membangkitkan prestasi seseorang dan juga mampu
126
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
memperbaikinya menjadi lebih baik agar dikenal luas. Dalam dunia
olahraga tinju, Muhammad Ali dan Sugar Ray Leonard tidak akan
mungkin terkenal jika tidak ada Bob Arum. Atau Make Tyson tidak
akan bisa dikenal dunia kalau tidak ada Don King, sang promotor.
Dengan demikian, seorang politisi seharusnya pintar menjadi
promotor prestasi rakyat, bukan pecundang politik!
Dalam konteks sosiologis, fenomena semaraknya sambutan
masyarakat atas Kiat Esemka dan kreativitas anak-anak lainnya
itu, memperlihatkan bahwa masyarakat sesungguhnya haus akan
prestasi yang membumi. Tanpa mengecilkan arti berhasilnya para
mahasiswa kita di ajang robot internasional, juga tanpa mengecilkan
makna keberhasilan para remaja Indonesia dalam berbagai olimpade
pengetahuan, sambutan terhadap keberhasilan Kiat Esemka itu
memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang lebih menyentuh perhatian
mereka. Keberhasilan membuat mobil ini membangkitkan rasa
nasionalitas masyarakat di tengah berbagai keterpurukan prestasi
bangsa. Jika bulutangkis telah jeblok, atau olahraga panahan sudah
tidak mampu berprestasi dunia lagi (apalagi sepakbola!), kemampuan
para remaja membuat mobil sendiri ini mampu membangkitkan
kebanggan nasional. Dengan demikian, keberhasilan ini sangat
berpengaruh terhadap nilai-nilai persatuan Indonesia, yang kini
coreng moreng oleh konflik yang benada sara. Mobil Kiat ini seolah
mampu merajut, menyambung lagi rasa nasionalis Indonesia yang
tersekat oleh berbagai suku, bahasa dan budaya.
Indonesia adalah negara dengan kondisi geografis yang amat
beragam. Terlalu jauh perbedaan antara kota dan desa, desa dan
pegunungan dan antara kaya dan miskin. Keberhasilan membuat
mobil ditangan para siswa seolah keberhasilan yang membumi.
Bagaimanapun, putra Indonesia akan lebih mampu memahami
kondisi alamnya sendiri dan kemudian membuat kendaraan yang
bisa lebih elastis dan lebih murah (manusiawi!) yang mampu
menjelajahi desa dan pengunungan secara lebih baik. Kendaraan
seperti inilah yang diperlukan masyarakat Indonesia sekarang,
bukan yang mempunyai bandrol mahal yang sekedar menjadi bahan
pameran orang kaya di jalan-jalan raya kota. Penemuan mobil seperti
ini dipandang akan lebih mampu menjawab tantangan lain di laut,
GPB Suka Arjawa
127
sungai dan danau yang menjadi karakter kepulauan Indonesia. Di
masa depan, kapal-kapal pengangkut seperti ini akan mampu lagi
dibuat oleh anak-anak sekolah menengah kita sehingga tidak perlu
lagi mengimpor kapal laut dari luar negeri. Tentu juga angkutan
massal seperti kereta api sangat diperlukan.
Pada konteks pendidikan, menjadi semakin nyata bahwa
paradigma pendidikan Indonesia di masa lalu ternyata lebih cocok
dan mengena bagi masyarakat. Pada dekade tujuhpuluhan, Indonesia
telah mengenal sekolah kejuruan sejak sekolah menengah pertama.
Juga telah dikenalkan adanya pelajaran pra-karya sejak sekolah
menengah pertama. Inilah sesungguhnya yang diperlukan negara
berkembang seperti Indonesia karena masyarakatnya memerlukan
keterampilan agar lebih mandiri dalam menjawab tantangan. Tetapi
”perkembangan jaman” kemudian membuat jenjang pendidikan
keterampilan ini seolah dihapus sejak sekolah menengah pertama,
bahkan nyaris juga pada jenjang sekolah menengah atas. Kini anakanak SMK telah memperlihatkan bahwa pendidikan Indonesia
memerlukan keterampilan lebih banyak dibanding jenjang pemikir.
128
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Korupsi dan Kekuatan
Modal Sosial
N
unun Nurbaeti telah menjalani pemeriksaan oleh KPK.
Meski ia pingsan dan kemudian dirawat di rumah sakit, akan
tetapi pengusaha buronan ini telah berhasil ditangkap atas
usaha KPK. Pada pihak lain, Nazaruddin juga telah mulai menjalani
persidanagn di Jakarta. Harus jujur diakui, tertangkapnya Nunun,
disidangkannya Nazaruddin dan upaya-upaya penyidikan yang telah
dilakukan kepada Angelia Sondakh, membuat citra pemberantasan
korupsi menjadi meningkat. Bagaimanapun ini juga meningkatkan
citra pemerintah dan tentu saja lembaga penegak hukum di
Indonesia yang telah berdekade-dekade kurang mendapat apresiasi
dari masyarakat.
Kalau dilihat dari latar belakang tersangka koruptor itu, setidaknya
secara garis besar bisa dilihat ada empat yakni pengusaha, politisi,
pegawai negeri, dan rakyat biasa. Yang terakhir boleh dikatakan
penampakannya relatif kecil (meski kalau dikalikan, jumlahnya
banyak!). Korupsi yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan
berlangsung secara ”tahu sama tahu”. Kendati demikian, secara
kultural ini harus tetap dihapuskan. Menjual makanan yang telah
kedaluarsa misalnya, jelas amat berbahaya dan perlu dibawa ke
ranah meja hijau. Pegawai negeri telah mendapat sorotan beberapa
waktu lalu, terutama karena ada oknum pegawai negeri muda
yang mempunyai rekening milyaran rupiah. Oknum pengusaha
dan politisilah yang paling banyak melakukan tindakan demikian
yang jumlahnya menjadi titik perhatian. Dalam kasus dugaan
GPB Suka Arjawa
129
korupsi yang dilakukan Nunun dan Nazzar, jumlah rupiah yang
”digelindingkan” mencapai puluhan. Karena itulah harus dilihat
bagaimana cara pandang mereka terhadap upaya-upaya penggelapan
dan pengompasan untuk menjadi kaya tersebut.
Ada dua hal yang harus dilihat dari korupsi ini, yaitu tindakan
dan tujuan dari tindakan itu. Tujuan melakukan tindakan demikian,
pastilah untuk mendapatkan manfaat yang paling maksimal. Dalam
hal melakukan korupsi, manfaat paling maksimal bisa berupa jumlah
uang yang banyak dengan tidak melakukan upaya kerja keras, dan
barangkali, mampu menjamin hari tua.
Korupsi jelas merupakan tindakan yang tidak melakukan kerja
keras karena dilakukan dengan model motong kompas, dengan hasil
yang berlipat-lipat. Tindakan menjamin hari tua ini amat mungkin
bisa menjadi tujuan utama dari manfaat maksimal itu. Orang yang
terlalu biasa dengan hidup mewah, akan membawa kebiasaan itu
sampai tua, bila perlu sampai mati dengan cara membeli kuburan
khusus. Ketuaan disebut sebagai masa yang tidak aktif, yang tidak
mungkin bisa melakukan cara mengumpulkan uang banyak. Maka
selagi raga masih bisa bergerak untuk melakukan korupsi, itulah cara
terbaik untuk mengumpulkan jaminan hari tua.
Sedangkan tindakan, tidak bisa dilakukan sendiri. Korupsi
adalah sebuah kejadian yang melibatkan paling kurang dua orang,
yaitu aktor yang melakukan korupsi tersebut dan rekanan yang
dipakai untuk melakukan perjanjian. Obyek yang dikorupsi di
Indonesia kebanyakan proyek atau uang kantor, uang perjalanan
dan sejenisnya. Dalam studi pilihan rasional, tindakan itu akan
dilakukan setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Pertimbangan itu secara ”ilmiah” disebut dengan pengetahuan. Dan
pengetahuan itu, sebagai sebuah kekayaan kognitif, bisa didapatkan
dengan pengalaman sendiri, hasil diskusi dengan teman, kenalan
dan sejenisnya serta membaca dari konten-konten berita yang
ada. Pengalaman kognitif inilah yang dipakai pertimbangan untuk
melakukan tindakan korupsi.
Dengan demikian, maka tindakan yang dilakukan oleh Nunun
Nurbaeti, Nazaruddin, oknum pegawai negeri maupun para koruptorkoruptor lainnya, jelas tidak mungkin dilakukan secara tunggal.
130
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Tindakan itu dilakukan dengan pasangannya (dan ”pasanganpasangannya” yang lain).
Feneomena ini mempunyai pengaruh signifikan pada ranah
hukum. Artinya, penegak hukum harus berupaya mencari rentetan
rekan-rekan tersebut karena merekalah yang diajak bekerja sama
sehingga tindakan korupsi tersebut berhasil dilakukan. Dilihat dari
sisi kognitif seperti yang disebutkan diatas, maka sang koruptor
tersebut (juga dengan rekan-rekannya), kemungkinan mempunyai
pengalaman tersendiri yang dipakai sebagai patokan, sebagai bahan
baku pengalaman untuk melakukan tindakannya sekarang. Karena
itu, para korupsi tidak mesti ”ditanyai” tentang satu kasus korupsi
mutakhir (paling akhir) yang dilakukan, akan tetapi kemungkinan
mereka juga mempunyai pengalaman lain sebelumnya.
Dari titik ini, menangkap satu koruptor sebenarnya berpotensi
untuk mengungkap berbagai kasus korupsi lain yang pernah dipakai
untuk pengalamannya di masa lalu. Pembelajaran korupsi ibarat
bekerjasama dengan penjahat lain. Harus didiskusikan terlebih
dahulu tentang segala kemungkiannya. Hal ini membawa pemikiran
bahwa koruptor itu pun mempunyai ”staf ahli”. Mereka-mereka
ini bisa macama-macam jenisnya sebagai teman diskusi untuk
menimba pengalaman, mulai dari rekan koruptor yang hendak diajak
melakukan tindakan bejat tersebut, orang-orang berpengalaman
sampai seorang ”ilmuwan” korupsi. Ranah hukum pun seharusnya
ikut menjamah orang-orang seperti ini.
Di jaman teknologi komunikasi-informasi yang serba cepat, serba
hiper seperti sekarang, proses pembelajaran juga bisa dilakukan
secara konten analisis melalui media-media (dan buku!) yang
ada. Pemberitaan korupsi yang terlalu mendetail, akan mampu
menggelincirkan keahlian untuk melakukan korupsi itu melalui
pembacaan yang ada. Jadi, media massa haru juga mempunyai
tanggung jawab moral dan sosial untuk kasus-kasus korupsi yang
dimuat sebab kemungkinan diantara berbagai kalimat itu terselip
teori, kiat dan strategi tertentu yang bisa dipakai untuk memperkaya
pengetahuan sang koruptor.
Di jaman sekarang, modal sosial sering kali menjadi perbincangan
umum. Modal ini akan mampu dipakai untuk bebagai macam kegiatan
GPB Suka Arjawa
131
yang mampu menunjang kehidupan. Salah satu dari modal sosial itu
adalah jaringan pertemanan atau relasi sosial. Sistem jaringan di
jaman sekarang tentulah sangat jauh lebih mudah dibanding dengan
satu dua dekade yang lalu yang lebih mengandalkan telepon meja
dan surat. Kini dengan adanya jaringan maya (internet), jaringan
sosial itu bisa dilakukan secara lebih cepat, lebih luas dan lebih rapi.
Menjangkau dunia di jaman sekarang hanya hitungan detik, dengan
berbagai informasi yang lengkap.
Pengusaha dikenal pandai bergaul untuk memperluas jangkauan
dagangnya. Politisi adalah orang-orang yang mempunyai jaringan
luas, mulai dari pusat sampai dengan daerah yang paling lokal.
Pegawai negeri jelas mempunyai jaringan yang luas juga. Seragam
yang dikenakan dan ”persamaan nasib” sering membuat hubungan
mereka dekat. Inilah modal-modal sosial yang mempunyai potensi
untuk melakukan tindakan korupsi. Penegak hukum harus
memperhatikan hal ini dalam melakukan tugasnya.
132
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Strategi untuk Memaksimalkan Bantuan Langsung Tunai
B
antuan Langsung Tunai yang hendak dikucurkan oleh
pemerintah sebagai kompensasi dari kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM), masih dikomentarsi simpang siur oleh
masyarakat. Pemerintah akan menyalurkan biaya tersebut selama 9
bulan, kepada 18, 5 juta kepala keluarga di Indonesia, dengan nilai
150.000 rupiah perbulan. Terhadap kebijakan seperti ini, pendapat
pro kontra mesti dibilang wajar karena kebijakan seperti ini pasti
ada baik buruknya. Tahun lalu jumlah keluarga yang mendapatkan
bantuan seperti ini adalah 17,5 juta jiwa sehingga ada yang menilai
bahwa kebijakan seperti ini gagal karena pada kenyataannya tidak
mampu mengurangi kemiskinan. Jumlah rumah tangga miskin
yang mendapat bantuan seperti ini, ternyata meningkat dibanding
tahun lalu. Karena itulah ada yang mengusulkan kalau subsidi pupuk
akan lebih menguntungkan dibanding dengan memberikan bantuan
langsung tunai seperti ini.
Pada konteks strukturasi, bantuan langsung tunai ini boleh
dikatakan membingungkan karena sumber daya yang disumbangkan
hanya senilai 150.000 ribu rupiah per bulan. Artinya nilai uang
tersebut tidak terlalu mencukupi untuk menggerakkan sumber
daya yang lain. Teori strukturasi memberikan pemahaman bahwa
sumber daya akan mempengaruhi rentetan peristiwa lain yang saling
mempunyai temali. Bantuan keuangan boleh dikatakan sebagai
satu sumber daya yang mampu mempengaruhi dan menggerakkan
sumber daya lain dalam bentuk jaringan. Seseorang yang mempunyai
GPB Suka Arjawa
133
modal mencukupi, dengan bantuan nasihat dari ahli dan bimbingan
(entah dari pengalaman maupun aktor) akan bisa menggerakkan
modal itu menjadi sumber daya lain. Misalnya membuka usaha,
menarik karyawan, menghasilkan produk baru yang perlu dipasarkan
sehingga membuka lapangan kerja baru lagi, menghidupi keluarga,
mencegah pengangguran dan seterusnya.
Namun, bantuan tunai langsung yang diberikan pemerintah itu
hanya cukup untuk memberikan ”masukan” sebesar rata-rata 5000
rupiah sehari. Di desa kini, harga keperluan pokok (nasi) lebih tinggi
dari 5000 rupiah, apalagi jika dibandingkan di kota. Harga beras
sekilo juga lebih tinggi nilainya. Kalaupun uang Rp. 5000,- tersebut
mampu dibelikan beras setengah kilogram dan kemungkinan mampu
memberikan makan kepada lebih dari satu orang, tetapi nasi tanpa
protein yang cukup tidak akan mampu ”menggerakkan” manusia
secara lebih berkualitas. Logikanya apabila satu nasi bungkus dengan
protein yang cukup mampu menggerakkan sumber daya manusia
untuk berkarya atau bekerja lebih banyak, maka kemungkinan akan
mampu menghasilkan sebuah karya atau kerja lebih baik (karena
fisik lebih kuat). Dengan demikian, dalam konteks strukturasi yang
menekankan pada saling pengaruh dan memperkuatnya satu sumber
daya dengan sumber daya lain, bantuan langsung tunai sebanyak
150.000 per bulan itu, tidak mampu berbicara banyak.
Satu strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi ini adalah dengan
memberikan uang bantuan tunai secara langsung total sembilan bulan
itu dalam satu kali penyerahan. Artinya masyarakat yang mendapat
bantuan tersebut (yang terkatagori miskin itu) akan mendapatkan
dana sebesar Rp. 1.350.000,-. Jumlah ini cukup sebagai sebuah modal
sumber daya yang bisa menggerakkan sumber daya lainnya. Paling
tidak bisa dipakai modal untuk berjualan kecil-kecilan (mungkin
kripik ketela pohon!). Jumlah ini jauh lebih besar dibanding dengan
uang Rp. 150.000,- per bulan. Yang harus diperhatikan dalam hal ini
adalah pengawasan atau seorang penasihat. Dengan cara seperti ini
pemberdayaan sumber daya manusia akan lebih mampu digerakkan
melalui jaringan yang lebih luas. Bantuan langsung tunai akan
mampu berbicara lebih banyak kalau dimetodekan seperti ini.
Apa boleh buat, bagaimanapun karena kultur masyarakat kita,
134
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
mekanisme pengawasan sangat diperlukan untuk melancarkan
kebijaksanaan pemerintah. Budaya kita sangat tidak disiplin dan
tidak memberikan peluang kepada modal untuk berjalan sesuai
dengan jalur utamanya. Terlalu biasa masyarakat kita apabila
mendapatkan uang banyak, tidak digunakan secara semestinya.
Disamping itu, masyarakat juga memerlukan bimbingan untuk
membuka usaha kecil. Metode dengan memberikan bimbingan
dan pengawasan seperti ini sesungguhnya mempunyai pesan yang
kuat dalam hal memberdayakan masyarakat. Mereka akan mampu
belajar dari bawah untuk membangun dirinya, dan cara demikian
(tentu apabila sukses) memberikan daya tahan yang lebih baik dalam
melanjutkan aktivitas. Guna menjamin kelancaran bantuan sejumlah
Rp 1.350.000,- per kepala keluarga itu, pemerintah mungkin bisa
menyiasatinya dengan memberikan penyerahannya per daerah
secara sistematis yang kemudian dalam sembilan bulan, seluruh 18.5
juta kepala keluarga tersebut akhirnya mendapatkan bantuan semua.
Pemberian pengawasan dan pembimbingan ini sebenarnya
mempunyai manfaat ganda. Cara demikian tidak saja mampu
memberi bantuan pembimbingan akan tetapi mempunyai manfaat
untuk menangkal kritik kepada bantuan langsung tunai ini. Jadi,
mirip dengan metode yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis
dalam menerima kritik dari kaum komunis. Untuk menghindari
kebenaran komunis bahwa kaum buruh dan karyawan akan
memberontak, pemilik usaha memperbaiki metode pendekatannya
dengan memberikan gaji tambahan (seperti gaji ke-13), kepada
karyawan, insentif enam bulanan atau memberikan beasiswa
kepada anak karyawan. Bimbingan dan nasihat mempunyai peranan
untuk menjamin uang sebanyak Rp. 1.350.000,- itu terlaksana
dan termanfaatkan dengan baik, sehingga mampu menanggulangi
kelemahan uang yang hanya sejumlah Rp. 150.000,- per bulan.
Apabila uang bantuan langsung tunai tersebut diberikan
setiap bulan selama sembilan bulan tanpa adanya bimbingan dan
pengawasan, sangat besar potensinya untuk hilang menguap begitu
saja. Amat mungkin uang itu mencelakakan karena akan dipakai
untuk kegiatan-kegiatan yang tidak jelas, mislanya memasang nonor
buntut. Pada konteks itu, bantuan langsung tunai pantas dikritik
GPB Suka Arjawa
135
dan memang lebih pantas apabila pemerintah memberikan subsidi
kepada pupuk yang digunakan petani.
Pemberian bantuan langsung tunia mungkin merupakan pilihan
politik yang paling rasional bagi pemerintah. Akan terlihat bahwa
peningkatan harga minyak itu memberikan penghasilan yang lebih
besar pada pendapatan. Kelebihan itu kemudian diberikan kepada
anggota masyarakat yang tidak mampu. Paling tidak masyarakat
yang tidak mampu akan merasa tersentuh dengan kebijakan seperti
ini. Tetapi harus diingat, kalau pemerintah terlalu memusatkan garis
besar pada model-model ekonomui kapitalis, maka kantong-kantong
kemiskinan akan banyak muncul di perkotaan. Uang sejumlah 150
ribu selama sembilan bulan, tidak terlalu berarti bagi mereka. 
136
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Hubungan Perusahan-Buruh
Menjadi Tantangan Pemerintah
U
ntuk pertamakalinya, Indonesia meliburkan tanggal 1 Mei
sebagai hari nasional. Tanggal itu merupakan peringatan
hari buruh internasional. Dengan demikain, kebijakan
pemerintah Susilo Bambang Yudoyono telah ”menyamai” apa yang
dilakukan pemerinah Orde Lama yang juga memperingati peringatan
tersebut pada tanggal yang sama. Konon Presiden Soekarno selalu
menghadiri peringatan tersebut sebagai dukungan kepada kaum ini
di seluruh dunia. Buruh dimanapaun di seluruh dunia, mempunyai
persepsi, citra dan ide yang sama sebagai bagian dari eksitensi
keberadaan masyarakat. Akan tetapi, sangat tipis batasan antara
buruh dan karyawan.
Secara kontekstual, sering diasosiasikan bahwa buruh adalah
mereka yang melakukan pekerjaan di bawah pengaruh dan
dikendalikan majikan. Dan dalam hubungannya itu sering kali
mendapatkan perlakukan kurang adil dalam hal upah. Amat mungkin
fenomena ini yang membuat buruh di seluruh dunia itu mempunyai
persepsi, ide dan tindakan yang sama. Dengan pembatasan seperti
itu, sesungguhnya banyak juga pekerja di Indonesia yang berkualifiasi
sebagai buruh. Tidak saja pada mereka yang bekerja di sektor swasta.
Sebagai sebuah entitas internasional, buruh adalah sebuah
komunitas yang mempunyai ciri dan sikap yang hampir sama.
Mereka merupakan produk dari kapitalis. Jadi, buruh dan kapitalis
itu mempunyai hubungan sebab-akibat yang mempunyai sisi kontras,
namun saling memerlukan satu sama lain. Anak dari kapitaalis
GPB Suka Arjawa
137
adalah industri dan industri mempunyai anak lagi yang namanya
perusahan. Tidak mungkin perusahan itu hidup tanpa buruh untuk
melanggengkan kehidupannya dan sebaliknya buruh memerlukan
perusahan untuk melanjutkan hidup. Akan tetapi, dua pihak ini
mempunyai sifat dan ciri yang sangat berbeda. Pertentangan dan
konflik muncul karena perbedaan ini. Secara ideologis, karena
perusahan mempunyai moyang kapitalis, maka tidak lain ideologinya
kompetisi penuh dan dengan biaya yang ada mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Tidak bisa lain, untuk mengejar nilai-nilai tersebut, perusahan
harus ”mengeksploatasi” karyawan (buruh) untuk mencapai target.
Bentuk kongkrit dari eksploitasi itu tidak saja kerja fisik, lembur
malam, tetapi juga umpatan dan makian dari pemilik perusahan
(majikan). Buruh pada sisi lain, mempunyai nilai kerjasama, ”gotong
royong”. Nilai-nilai ini boleh dikatakan terpaksa diterima, disamping
untuk memaksimalkan outcome perusahan, juga untuk meringankan
beban kerja dan beban psikologis dari ”perintah” majikan.
Konflik buruh akan muncul apabila nilai kedua pihak tersebut
overload. Majikan terlalu memaksakan kehendaknya sedangkan
buruh sudah tidak mungkin menolerir lagi kehendak tersebut.
Keinginan yang dikeluarkan oleh majikan sudah tidak mungkin
ditolerir oleh nilai-nilai yang dimilikioleh buruh tersebut. Tidak
mungkin buruh akan bisa melakukan kerja lembur apabila perusahan
hanya memberikan upah tetap. Sebaliknya kalau lebur tidak
dilakukan, perusahan akan dikalahkan oleh kompetitornya.
Di mana-mana di seluruh dunia, ”hukum” ini berlaku dan karena
itulah diperlukan semacam solidaritas bersama di seluruh dunia bagi
kaum buruh untuk menyelesaikan persoalan sosial ini. Dari konteks
inilah muncul Hari Buruh Internasional itu. dalam maknanya, tidak
lain hari buruh internasional ini adalaah sebuah wujud solidaritas
bersama antar kaum buruh yang memang secara historisnya selalu
termarginalkan.
Karl Marx memperoleh inspirasi teori Marxis yang luar biasa
itu dari fenomena seperti ini. Dilihat dari sisi politik, Hari Buruh
Internasional itu (dan peringatannya), tidak lain merupakan sebuah
upaya pengingatan bagi perusahan, bos perusahan dan para majikan
138
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
di seluruh dunia, bahwa kaum buruh harus tetap diperhatikan. Bahwa
kaum ini mempunyai hubungan solidaritas di sluruh penjuru dunia
sehingga wajib secara terus-menerus memperhatikan kebijakan
terhadap buruh. Upah dan berbagai sarana buruh harus selalu
mendapat perhatian sebab kalau ini tidak diperhatikan, perusahan
bisa bangktut apabula buruh bergerak. Inilah makna dari Hari Buruh
Internasional tersebut.
Dengan komposisi benturan antara nilai yang diusung kaum
kapitalis dan kaum buruh tersebut, maka secara kaidah tidak akan
mungkin bisa tercapai hubungan rukun antara buruh dan majikan.
Negara sebagai sebuah tempat keberadaan kaum buruh dan
perusahan, secara teoritis tidak akan mungkin bisa menyelesaikan
persoalan antara dua pihak ini. Negara hanya bisa menjadi penengah
terhadap hubungan nilai yang kontra tersebut. Sebagai penengah
maka, negara hanya mampu meredakan dengan berbagai tindakantindakan politiknya.
Maka ketika Orde Lama memperingati Hari Buruh Nasional,
ini merupakan kebijakan politik yang tepat untuk menghargai
keberadaan kaum buruh sekaligus menegaskan (secara politis) bahwa
perusahan harus hati-hati dalam mempekrjakan buruh. Kehadiran
Presiden Soekarno dalam peringatan tersebut, tidak lain juga sebuah
langkah politik yang mempunyai makna seperti yang dikemukakan
diatas. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia memerlukan
stabilitas pembangunan ekonomi. Dan yang tidak bisa dilupakan,
pada masa Orde Lama, pemerintah pernah memberlakukan
sistem demokrasi liberal. Langkah Presiden Soekarno itu tidak lain
merupakan upaya peredaan apabila ada perselisihan yang tajam
antara buruh dengan majikan.
Bahwa Indonesia sekarang baru memberlakukan libur nasional
untuk memperingati Hari Burh Internasional (Nasional) tanggal
1 Mei tersebut, tidak lain juga sebagai sebuah langkah politik dari
pemerintah dengan makna-makna seperti yang diutarakan diatas.
Akan tetapi, persoalannya terlihat terlambat karena baru dilakukan
menjelang pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono berakhir.
Perayaan Hari Buruh ini semakin mempunyai bukti bahwa Indonesia
masuk menuju wilayah-wilayah kapitalis yang dipraktikkan secara
GPB Suka Arjawa
139
internasional. Kalau pada jaman Orde Baru hari buruh ini mungkin
tidak dirayakan, itu juga bisa sebagai bukti rejim tersebut penuh
mengontrol segala aktivitas masyarakat dan tidak mempraktikkan
kapitalis.
Cara lain untuk meredakan ketegangan anatara kaum buruh
dengan majikan adalah berupa penyampaian protes, uneg-uneg
terhadap berbagai persoalan dari kaum buruh itu kepada majikan.
Unjuk rasa kaum buruh, dimanapun di seluruh dunia merupakan
bentyk lain dari penyampaian uneg-uneg tersebut yang ditujukan
tidak saja kepada maum majikan tetapi juga kepada pemerntah
agar dua pihak ini mampu memperhatikan nasib kaum buruh. Ini
merupakan pendekatan psikologis demi tidak munculnya konflik
yang lebih parah antara kedua belah pihak.
Ke depan, buruh mungkin akan mempunyai problem besar,
terutama di negara-negara berkembang. Semakin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi, kalangan industri akan dimungkinkan
untukmemaki mesin dalam memproduksi barang-barangnya. Pada
sisi lain, di negara berkembang tidak semua masyarakat mempunyai
kemampuan intreprenour yang tinggi, membuka usaha sendiri untuk
hidup. Inilah yang menjadi tantangan Indonesia di masa depan. Jadi,
siapapun yang akan menjadi presiden kelak, tolong jangan bersenang
hati dulu. Kemampuan berusaha mandiri dari bangsa Indonesia ini
masih minim. Atau apabila terpilih menjadi presiden nanti, galakkan
dulu usaha kreatifitas mandiri ini agar tidak gagap menghadapi
kemajuan teknologi nanti. 
140
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Sikap Kepada Perempuan:
Tradisionalis di Tengah
“Modernisasi”
P
emilihan umum legislatif ini telah menghasilkan kenyataan
bahwa kaum perempuan belum terpilih sesuai dengan yang
diharapkan. Mayoritas dari anggota legislatif, baik di pusat
maupun daerah masih didominasi laki-laki. Ini menandakan harus
ada perjuangan lebih maksimal lagi agar perempuan bisa masuk
ke lingkungan legislatif ini di masa depan. Padahal, keterwakilan
perempuan dipandang akan mampu memberikan alternatif kebijakan.
Alternatif tersebut tidak hanya berupa tersalurnya kepentingan
secara lebih layak, tetapi bentuk kebijakan yang dihasilkan mampu
lebih membumi seperti kaidah dari perempuan itu sendiri.
Ada beberapa cara pandang antara laki-laki dengan perempuan
dalam konteks kehidupan sosial, termasuk diantaranya kehidupan
politik. Moeljarto (1997) menyebutkan bahwa perempuan lebih
banyak masuk dalam ”pengkatagorian” natural atau alam. Sedangkan
laki-laki adalah kultural atau budaya. Itu kemudian diterjemahkan
bahwa dalam kehidupan sosial, wanita lebih menyesuikan diri dengan
alam, mengikuti irama alam dalam melakukan kehidupannya.
Perempuan dengan demikian lebih kalem yang kemudian
diterjemahkan sebagai bekerja pada bidang-bidang domestik seperti
mengasuh anak, memasak dan sejenisnya. Sedangkan laki-laki dalam
landasan kultural terebut, memang harus berkreasi dalam kehidupan
sosial. Laki-laki ”bebas” berkreasi dalam menaklukkan alam untuk
GPB Suka Arjawa
141
beraktivitas. Pendapat diatas boleh dikatakan sebagai pandangan
tradisionil terhadap fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Amat mungkin hasil pemilu legislatif sekarang (entah di
Bali maupun di tempat lain di Indonesia) mencerminkan sikap
tradisionalis masyarakat Indonesia terhadap kaum laki-laki dan
perempuan. Politik pada hakekatnya adalah sebuah kerja budaya,
kerja kultural. Sebagai sebuah aktivitas kultural tersebut, maka
bentuk kreativitas sangat diperlukan untuk mencapai tujuan. Pada
lingkungan elit, kreativitas tersebut sebenarnya bisa diandalkan
melalui kerja otak atau pengetahuan. Pembuatan strategi, platform
politik bisa dilakukan melalui diskusi, rapat-rapat dan sebagainya.
Akan tetapi begitu politik memasuki arena kompetisi yang ketat,
maka semakin di bawah rentang struktural dari politik tersebut, kerja
kreatif ini tidak cukup dilakukan dengan mengandalkan otak atau
pengetahuan saja (apalagi dengan survei macam-macam). Kreativitas
itu benar-benar memerlukan kerja fisik yang kuat. Rapat sampai
tengah malam, begadang berhari-hari, berdebat, berkunjung ke
konstituens, meyakinkan konstituens adalah kreativitas fisik yang
sangat menyita tenaga dan waktu. Tentu saja juga mempunyai beban
ekonomi (keuangan). Pada konteks ini, politik sepertinya dimaknai
sebagai kerja kaum laki-laki. Hanya laki-lakilah yang mampu
mengoptimalkan kreativitasnya dengan iklim kompetisi seperti yang
disebutkan diatas. Pada pihak lain, wanita dipandang tidak mampu
menandingi kerja budaya tersebut yang menuntut kreativitas tinggi.
Kultur masyarakat Indonesia (tentu saja juga di Bali), nampaknya
tidak berubah dengan kenyataan seperti itu. Hasil pemilihan umum
legislatif ini mencerminkan bahwa tidak banyak ada pergeseran cara
pandang terhadap nilai-nilai budaya tradisionil tersebut. Jadi, lakilakilah yang didahulukan dalam bidang kultural seperti ini. Praktikpraktik budaya di Indonesia juga memperlihatkan hal seperti ini.
Di Bali, malah di beberapa kampung, secara terang benderang
malah ”menomorduakan” kaum perempuan. Perempuan misalnya
akan mendapatkan ”giliran kedua” dalam acara sajian menikmati
makanan dalam sebuah kenduri. Bahkan dalam sebuah permandian
umum, posisi tempat mandi kaum perempuan ada pada lokasi
lebih rendah (di bawah) atau berada di sebelah kiri. Ini merupakan
142
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
cerminan sempurna antara posisi perempuan dengan laki-laki di
tingkat masyarakat. Jadi, kalaupun perolehan kursi kaum perempuan
di kalangan anggota legislatif sangat minor, logika tradisionalnya
seperti pada uraian diatas.
Maka, dalam konteks masyarakat seperti itu, seharusnya ”top
manajer” dari negara ini (presiden) paling baik kalau berasal dari
kaum perempuan. Sesungguhnya pencalonan Megawati sebagai
presiden, memenuhi proporsi tepat pada konteks uraian diatas,
dengan tujuan untuk mengubah cara pandang tradisionil Indonesia
terhadap perempuan. Pada sisi politik perempuan, pilihan ini positif
demi masa depan perkembangan politik perempuan di Indonesia.
Ratusan tahun lalu Kartini sudah memperjuangkan hak itu. Ternyata
sekarang, masih belum mampu terpenuhi dengan baik.
Pendapat-pendapat internasional telah lama membicarakan
bahwa perempuan tersebut sangat diperlukan duduk sebagai partner
laki-laki di dalam dunia politik. Terutama saat konflik yang terjadi
selama Perang Dingin, sangat diperlukan kaum perempuan untuk
mengimbanginya. Kedekatan perempuan secara filosofis dengan
natur (alam) dipandang mampu lebih ”mendinginkan” suasana
konflik karena sifat alam secara sabar akan mengikuti perubahanperubahan sosial. Bisa jadi, sebutan-sebutan ”lady first” yang
muncul pada masyarakat Barat bersumber dari pandangan tersebut.
Munculnya Cory Aquino menjadi Presiden di Filipina tahun 1986
dimungkinkan juga sebagai patokan bahwa perempuan mempunyai
bukti kuat mampu menandingi machoisme (kekerasan) yang ada pada
kaum laki-laki. Saat Aquino menjadi presiden, berkali-kali ia mampu
mematahkan perlawanan kaum pembangkang yang diperlihatkan
melalui upaya kudeta oleh kelompok tentara. Di Amerka Serikat,
dalam beberapa periode pemerintahan, jabatan politik luar negeri
dipegang oleh perempuan. Sekali lagi, amat mungkin ini merupakan
cerminan upaya meluluhkan diplomasi negara lain.
Karena itu, ketika fakta telah menyatakan bahwa perempuan
tidak terlalu mendapatkan tempat pada lembaga legislatif, ada
beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dari sekarang. Segenap
komponen pemerintahan harus memahami bagaimana pentingnya
posisi perempuan itu diperhitungkan. Dan karena itu haruslah ada
GPB Suka Arjawa
143
pemikiran secara bersama-sama untuk mengubah cara pandang
terhadap posisi perempuan tersebut.
Karena lembaga legislatif telah menujukkan posisi seperti itu,
maka lembaga eksekutif dan legislatif haruslah mampu menandingi
”kekakuan” lembaga legislatif. Artinya,. pejabat-pejabat SKPD
di tingkat provinsi maupun kabupaten, mungkin sudah saatnya
sebagian dipegang oleh perempuan. Presiden mendatang sebaiknya
mengangkat menteri dari kaum perempuan lebih banyak dari apa
yang dilakukana pemerintah sebelumnya. Lembaga-lembaga publik,
seperti media massa, juga tidak harus ragu-ragu menempatkan
perempuan pada posisi puncak. Dan tentu saja para hakim, termasuk
hakim mahkamah konstitusi, mengangkat kaun perempuan lebih
banyak sebagai hakimnya demi kesetaraan jenis kelamin ini dalam
fungsi sosial.
Pemilu legislatif yang baru lewat banyak memberikan cerminan
kehidupan sosial di Indonesia. Tengah begitu glamornya kehidupan
sosial, cerewetnya acara televisi, bermunculannya orang sok sosialita,
ternyata masyarakat Indonesia masih tradisional bersikap sosial
dalam hal jenis kelamin. Masih ada waktu untuk mengubahnya. 
144
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Jika Ratu Adil Bertemu
Ratu Adil Dalam Pemilu
P
emilu presiden tinggal seputaran dua bulan lagi . Mengandalkan
perubahan budaya politik masyarakat, sudah tidak mungkin
lagi. Pada setiap masyarakat, berlaku hukum alam berupa,
pengetahuan sangat berpengaruh kepada budaya politik mereka.
Menanamkan pengetahuan tidak semudah menanam kacang kedelai.
Akan tetapi begitu penegtahuan itu tertanamm dengan baik, budaya
politik itu berubah drastis. Ia menjadi rasional dan adaptif terhadap
perubahan. Masyarakat mempunyai tradisi, gaya dan keyakinan
politik terhadapp figur atau performa partai politik dan aktoraktornya.
Di negara maju yang pengetahuan politiknya sudah mantap,
budaya tersebut mampu begreka ke arah rasional. Tetapi di
negara berkembang, hal ini sulit sekali terjadi. Indonesia adalah
negara berkembang, yang bagaimanapun sok modern penampilan
masyarakatnya, sok keren para sosialitanya, tetapi budaya politiknya
masih tetap tradisional. Pada masyarakat tipe seperti ini, mereka
masih mengandakan figur semacam ratu adil sebagai pemimpin.
Jadi bisa dikatakan model pemerintahnnya republik tetapi figur yang
diinginkan raja. Praktik republik merupakan sistem pemerintahan
modern. Tetapi raja adalaah sisa-sisa feodalisme.
Tanpa mengurangi kemampuan kognitif, usaha dan kepribadian
Susilo Bambang Yudoyono ataupun Joko Widodo, termasuk juga
Soekarno, figur-figur tersebut merupakan idaman masyarakat yang
masih mengandalkan sosok ratu adil sebagai seorang pemimpin.
GPB Suka Arjawa
145
Kharisma menjadi andalan paling tinggi dari kepemimpinan seperti
ini. Akan tetapi kepemimpinan yang kharismatis-ratu adil tersebut
sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua bagian. Yang pertama,
mereka aratu adil sebagai penyelamat bangsa dari ancaman musuh.
Inilah tipe yang ”hinggap” pada diri Soekarno. Ia diidamkan sebagai
pemimpin yang mampu menandingi dan menghadapi musuh dengan
gagah perkasa, baik dengan senjata maupun omongannya. Soekarno
memperoleh legitimasi itu melalui keberaniannnya bersilat lidah
dan berdiplomasi. Sejarah membicarakana bahwa dengan siapapun
presiden pertama RI itu tidak takut menghadapinya. Bahkan dalam
sebuah tulisannya ia mengkritik taktik perang dari Hitler dan
Napoleon yang dalam pandangannya menjiplak Jengis Khan.
Yang kedua adalah tipe Ratu Adil dalam pengertian mampu
memberikan ksejehatreaan dan keadilan kepada masyarakat.
Kharismatis seperti ini bisa terlihat pada tindakan maupun gerakgerik fisik. Atau melekat pada kedirian seseorang sehingga membuat
pencitraan dan mampu kemudian menarik seseorang untuk ”tunduk”
kepada mereka. Secara jujur harus diakui bahwa apa yang terjadi pada
Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo, ada pada khasanah
Ratu Adil sepert ini. Susilo Bambang Yudoyono pada citra dirinya,
mulai dari cara berbicara, gestur tubuh sampai dengan kalimat yang
keluar dari mulutnya. Inilah yang memiripkan ia seperti Ratu Adil itu.
Joko Widodo juga mempunyai hal yang sama, pencitraan yang
sama. Jangan salah apapun yang melekat pada penilaian manusia
adalah sebuah pencitraan. Apa pun itu karena orang tidak tahu apa
sesungguhnya yang terjadi. Jika Susilo Bamnag Yudoyono melalui
pencitraan diri, Joko Widodo ada pada tindakannya yang menyentuh
masyarakat melalui ”blusukan” yang dilakukan. Ini lebih mengaraha
pada persoalan psikologis. Masyarakat yang mempunyai persoalan
psikologis, harus disentuh dan didekati. Maka ketika Joko Widodo
melakukan itu, pola langkahnya menjadi klop. Ia pun seperti seorang
mesias, seorang Ratu Adil dan diperbincangkan dimana-mana.
Tetapi sebagian masyarakat juga mengkonter berbagai perbincangan
tersebut. Tesis dan antitesis ini menjadi sangat menarik dilihat dari
sisi perubahan perkembangan sosial.
Masyarakat Indonesia, yang sedang berkembang dan bercorak
146
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tradisionil pertanian, terjebak dengan citra-citra seperti itu. Secara
teoritik, memang budaya politik seperti ini memang cocok dengan
kondisi masyarakat. Mereka masih mengandalkan juru adil,
pembimbing untuk menjalani kehidupan sosial yang bagaimanapun
menekan bagi mereka.
Dalam budaya sosial pertanian yang kental, masyarajatnya pasti
akan tertekan manakala disuguhi oleh budaya kapitalis. Inilah yang
menjadi kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Itulah yang mebuat
sentuhan oleh Joko Widodo begitu berarti dan begitu menyebar
cepat ke berbagaia pelosok di Indonesia. Pada tataran politik,
kondisi budaya masyarakat seperti ini, sungguh membingungkan
para politisi untuk menggaet kekuasaan. Kebingungan partai politik
mencari pasangan presiden (wakil presiden), sangat berkorelasi
dengan kondisi sosial masyarakat seperti yang disebutkan diatas.
Intinya adalah masyarakat menginginkan seorang ratu adil. Jika
PDI Perjuangan sudah mempunyai hal itu, partai lain harus juga
mencarinya.
Akan tetapi harus tetap hati-hati. Ratu Adil itu jelas-jelas
mitos. Sedangkan politik dan kebijakan adalah realitas dunia yang
memerlukan rasionalitas untuk mengelolanya. Tidak ada ratu adil
yang mampu memerintah dunia. Karena itu, pemimpin yang terlalu
mengosepkan ini, akan mendapat kritikan saat ia turun tahta.
Harapan dari masyarakat tidak kesampaian.
Pada kasanah politik Indonesia sekarang, yang justru menarik
adalah mencari-cari orang yang mampu menandingi ratu adil
tersebut. Atau menggabungkan antara Ratu Adil dengan rasionalitas.
Kini telah muncul kejutan pikiran. Agar Sang Ratu Adil ini bisa duaduaanya tampil, muncul pemikiran bagaimana kalau Joko Widodo
sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan lalu, Susilo Bambang
Yudoyono menjadi wakil presiden oleh partai lain? Ini adalah usulan
hebat karena memunculkan dua-duanya sang Ratu Adil.
Susilo Bambang Yudoyono secara hukum jelas sudah tidak
boleh mencalonkan diri menjadi presiden lagi karena telah dua kali
menjabat. Akan tetapi dimungkinkan untuk menjadi seorang wakil
presiden. Tentu ada yang menanyakan apakah Susilo Bambang
Yudoyono bersedia?
GPB Suka Arjawa
147
Politik adalah seni, kemauan dan (untuk jaman sekarang) berani
malu. Sepanjang tidak disalahkan aturan, maka seorang presiden
yang kemudian menjadi wakil presiden pada periode berikutnya
merupakan sebuah langkah terobosan. Sebagai sebuah seni, maka
Ratu Adil lawan ratu Adil akan menjadi sebuah tontonan politik yang
menarik. Seni unjuk muka, unjuk sikap dari para calon akan mampu
menggugah pikiran masyarakat untuk mempertimbangkanya. Politik
itu juga sebuah kemauan. Sepanjang mislanya Susilo Bambang
Yudoyono melihat itu sebagai sebuah peluang untuk menghentikan
kebingungan partai untuk mencari figur. Mungkin ini sesuatu yang
bermanfaat. Tenaga untuk saling manuver akan bisa dihemat. Berani
malu, itulah politisi. Mungkin ada yang menyebutnya sebagai tidak
tahu malu kalau mengambil posisi itu. Tetapi malu bisa ditangkis
dengan alasan politik yang logis. Bukankah perpaduan antara
rasionalitas dengan mitos itu tepat untuk masyarakat Indonesia.
Bahkan akan mampu memperbaiki pola-pola mitos yang hiudp dan
berkembang. Ratu Adil menghadapi Ratu Adil belum pernah terjadii
di Indonesia.
Siapa tahu dalam waktu dua bulan mendatang itu terjadi. Ini
menarik, ini seni dan tentu juga tantangan sendiri bagi masyarakat
Indonesia. 
148
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Melindungi Rakyat
Dari Pembohongan Politik
K
ampanye acap kali bermunculan bersamaan dengan
pembohongan politik. Bagian terakhir dari kalimat ini bisa
diartikan sebagai kegiatan politik di hadapan masyarakat
yang hanya menonjolkan diri sepihak tanpa tindak lanjut yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pembohongan politik dengan demikian
berupa tindakan menipu baik dengan cara memperlihatkan
penampilan diri di hadapan masyarakat, melalui janji-janji, data
palsu, secara langsung maupun lewat orang lain.
Berbagai peralatan teknologi canggih, gadget, yang kini beredar
mampu menyebarkan pembohongan politik tersebut kepada berbagai
kelompok masyarakat, lewat televisi maupun gadget lainnya.
Tidak terkecuali juga dalam acara kampanye pemilihan Presiden
Indonesia dalam pemilu 2014 ini. Persaingan antara dua pasang
calon, dinilai ketat sehingga riauh rendah komentar dan suara di
jagat maya dan nyata, begitu ramai. Masing-masing pasangan capres
”memiliki” stasiun televisi yang dimanfaatkan untuk memopulerkan
kelompoknya sendiri maupun menampakkan kekurangan pasangan
calon lain. Bukan tidak mungkin dari berbagai acara tersebut
memunculkan banyak pembohongan politik kepada masyarakat.
Ada beberapa syarat munculnya pembohongan politik ini. Yang
pertama, adalah ambisi yang melebihi kemampuan. Produk sosial
ambisius yang melebihi kemampuan intelektual sendiri, terwujud
dalam tindakan yang tidak biasa. Pada tingkat manusia, muncul dalam
bentuk kesombongan. Orang seperti ini tidak mempunyai rasa malu
GPB Suka Arjawa
149
dan etika, selalu beropini tentang keunggulannya sendiri. Dirinya
dipakai sebagai instrumen untuk memperlihatkan ambisi tersebut.
Pada tingkat ekonomi, produk demikian muncul dengan bantuan
iklan besar media massa maupun media luar ruang. Produk seperti
ini mungkin cepat laku, tetapi cepat pudar karena masyarakat telah
mengetahui kualitasnya. Sedangkan pada dunia politik, ini dilakukan
dengan model kampanye yang melanggar aturan. Memasang baliho
mendahului batas waktu yang dipersyaratkan, kampanye terselubung
di televisi, menjelek-jelekkan saingan, dan mengagungkan diri sendiri
merupakan contohnya. Secara keseluruhan, ambisi seperti ini akan
tumbang sendiri oleh ketidakpercayaan rakyat.
Kedua, kompetisi yang ketat. Pada hakekatnya, kompetisi adalah
sebuah arena persaingan. Maka, ketika persaingan berada pada titik
yang berimbang, maka pemenang kompetisi hanya akan ditentukan
oleh kekuatan mental. Peserta kompetisi yang mentalnya tidak
kuat, sering terpeleset karena berupaya mencari celah negatif untuk
mendukung diri. Dalam politik yang muncul adalah upaya menarik
perhatian publik dengan data-data yang coba digelembungkan dari
data yang sebenarnya. Janji yang dilebih-lebihkan, prestasi yang
diada-adakan atau menceritakan segala kebaikan kelompok. Akan
tetapi, upaya berlebihan ini akan bisa menjadi bumerang sendiri
kalau tingkat intelektual rakyat sudah memadai.
Yang ketiga adalah rendahnya budaya politik partsipasi
masyarakat. Pada masyarakat sedang berkembang atau yang pernah
mengalami dominasi kekuasaan, tingkat partisipasi masyarakat
pada politik biasanya kurang. Partisipasi yang dimaksudkan disini
bukan sekedar partisipasi aktif dalam kerangka pemilihan, tetapi
juga partisipasi intelektual. Artinya masyarakat ikut memikirkan,
menimbang-nimbang berbagai tawaran politisi maupun partai politik
sebelum melakukan pilihan. Masyarakat yang kurang mempunyai
budaya politik partisipatif seperti ini akan mudah dibohongi dengan
berbagai janji, data dan slogan politik.
Kekhawatiran kita, ketiga faktor sosial tersebut bisa saja terjangkit
di Indonesia menjelang pemilu presiden ini sehingga masyarakat
menjadi terbuai oleh berbagai janji dan eforia politik dari politisi dan
partai politik. Demikian pula halnya saat menjelang pemilihan umum
150
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
presiden kali ini.
Secara jujur harus dikatakan bahwa mengelola Indonesia itu
sungguh ruwet. Komposisi struktur demografis-geografis Indonesia
yang terdiri dari banyak suku, budaya, daerah kaya dan miskin,
merupakan faktor utama yang sulit menelorkan apa yang disebut
oleh J.S. Furnivall sebagai kehendak bersama (Nasikun: 2014/1984).
Meski pendapat ini muncul pada pertengahan dekade limapuluhan,
akan tetapi kemungkinan besar fenomena ini masih berlaku sampai
sekarang.
Kalau diterjemahkan, hingga saat ini Indonesia masih belum
mampu membuat prioritas apa yang harus dibereskan terlebih
dahulu untuk membenahi negara ini ke depan. Munculnya kegagalan
menahan laju inflasi, kekerasan kelompok, mahalnya harga barang
di tengah tanah gemah ripah lohjinawi ini, mungkin bisa dikatakan
sebagai bentuk kegagalan membikin prioritas tersebut.
Dalam konteks demikian, berbagai janji-janji yang dikeluarkan
oleh para calon presiden ini mirip dengan pendapat pertama, yaitu
ambisi yang melebihi kemampuan. Tidak perlu muluk-muluk, lima
tahun adalah masa yang singkat dalam pemerintahan satu negara.
Maka tidak perlu banyak-banyak menyatakan visi. Cukup satu saja.
Misalnya, stabilitas sosial. Cukup ini saja diwujudkan selama lima
tahun pemerintahan. Jika ini berhasil akan mampu menjadi landasan
untuk proyek pembangunan pemerintahan berikut. Kandidat calon
presiden sekarang dinilai mempunyai kemampuan berimbang.
Tetapi, di beberapa acara televisi, masing-masing berupaya
mengangkat citra pasangan masing-masing, cenderung menonjolkan,
bahkan ada nuansa menjelekjelekan pasangan lain. Ini bukanlah
cara positif untuk mendidik masyarakat. Sekali lagi juga harus
dikatakan, meski Indonesia telah merdeka 68 tahun, tetapi adanya
suap-suapan dalam pemilu, sumbangan ini itu, termasuk serangan
fajar, membuktikan tingkat partisipasi politik masyarakat, baik
pada partisipasi fisik maupun intelektual, sangatlah kurang. Seluruh
pemikiran tadi, menjadi potensial munculnya pembohongan politik
dari kontestan kepada masyarakat dalam kampanye presiden kelak.
Secara kultural, untuk mencegah adanya pembohongan politik
ini, ada pada orang yang dituakan (tokoh) karena budaya masyarakat
GPB Suka Arjawa
151
Indonesia itu paternalistik (mempercayai mereka yang lebih tua).
Akan tetapi karena tokoh politik maupun tokoh kultural sebagian
besar larut pada ”politik aliran” menuju masing-masing capres, maka
tanggung jawab ini sekarang beralih kepada intelektual. Dan intelek
itu tidak hanya di lembaga pendidikan.
Siapa pun yang mempunyai kesadaran dan tindakan jernih dan
jujur untuk memperbaiki kondisi bangsa, juga seorang intelektual.
Melalai berbagai sikap, ceramah, sebaran melalui gadget, bimbingan
kepada masyarakat, mereka harus bergerak untuk memberikan
pencerahan politik. Bahwa politik tidak sekedar orasi, tetapi upaya
untuk memilih manajer negara yang akan mampu mengelola negara
ini dengan baik. 
152
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Berbagai Persoalan
Menghadang Bonus Demografi
B
onus demografi sering menjadi perbincangan nasional akhirakhir ini. Bonus demografi dimaksudkan sebagai kelebihan
penduduk usia produktif yang dimiliki Indonesia, sekarang
dan di masa mendatang. Usia produktif masyarakat dipandang mulai
dari umur 15 sampai dengan 64 tahun, dimana Indonesia diprediksi
mempunyai jumlah usia produktif itu sekitar 200 juta tahun. Ini
menjadi puncaknya pada tahun 2028 sampai dengan 2031 saat
diperkirakan jumlah total penduduk Indonesia mencapai sekitar 300
juta jiwa. Jumlah angkatan kerja luar biasa melimpah itulah yang
menjadi keuntungan Indonesia menghadapi persaingan besar ke
depan. Namun demikian, perbincangan sosial bonus demografi itu
masih banyak kontroversialnya, mengingat berbagai persoalan yang
dihadapi pemerintah dan masyarakat.
Sisi yang mesti dilihat adalah waktu. Seperti yang dikatakan
oleh beberapa ahli, bahwa rentang waktu dari sekarang sampai
dengan tahun 2028 itu tidaklah terlalu panjang. Waktu 14 tahun
untuk mempersiapkan sumber daya manusia terbaik, bukan
merupakan waktu panjang untuk itu karena banyak hal yang
harus dikerjakan. Mempersiapkan tenaga manusia terampil
untuk membenahi skilnya perlu waktu lama dan sistematis demi
membentuk manusia mengetahui kemampuan diri. Sistematika
itu dimulai dari pengenalan kemampuan dan keterampilan diri,
yang mungkin memerlukan waktu sampai anak-anak muda tamat
sekolah menengah atas, bahkan sampai tamat perguruan tinggi.
GPB Suka Arjawa
153
Setelah itu mulai dengan pengenalan kemampuan pendukung untuk
memperkuat keterampilan yang bisa jadi memerlukan waktu lebih
dari tiga tahun. Untuk membentuk seorang dokter ahli, perlu waktu
bahkan lebih dari empat tahun. Setelah itu pengenalan (di) lapangan
dan kemudian melatih melakukan inovasi-inovasi berdasarkan
temuan di lapangan dan pekerjaan. Inovasi inilah merupakan real
bonus demografi itu yang bisa dipakai untuk kemanfaatan orang
banyak. Menemukan teknologi angin sebagai pembangkit listrik
misalnya, merupakan temuan bemanfaat. Dalam konteks demikian,
waktu 14 tahun menjelang tahun 2028 tidak bisa dikatakan lama,
paling tidak pas-pasan untuk menyongsong waktu bonus demografi
tersebut.
Selanjutnya adalah kualitas manusia Indonesia. Beberapa
predikat pada masyarakat Indonesia sekarang adalah orangnya
yang cenderung tidak mengenali kemampuan diri, suka ikut-ikutan
sampai dengan predikat orang malas bekerja (berkreativitas).
Predikat ini tidak sepenuhnya salah. Terhadap predikat yang tidak
mengenali diri sendiri, secara mudah dilihat dari anak-anak sekolah
menengah atas. Jika ditayakan kepada diri mereka tentang apa
yang dicita-citakan, sebagian akan menjawab tidak mengetahui.
Meskipun pertanyaan itu sudah dipertanyakan sejak sekolah
menengah pertama, bahkan sekolah dasar. Kegagalan menjawab citacita diri ini merupakan kecelakaan besar bagi masyarakat sebab itu
menandakan mereka tidak mengenal dirinya. Cita-cita merupakan
cerminan dari kemampuan untuk mengenali diri sendiri, bakat dan
kemudian upaya mengembangkan bakat dan keterampilan tersebut
demi menopang kehidupan mendatang. Cita-cita bukan sekedar
ucapan berdasarkan kesenangan belaka, tetapi mengandung makna
besar di dalamnya berupa upaya dan kreatifitas untuk mencapai itu
berdasarkan kemampuan diri pribadi.
Remaja dan pemuda Indonesia masih belum banyak yang tahu
masalah ini. Ketidaktahuan demikian berakibat fatal. Pemilihan
jurusan dan fakultas di perguruan tinggi menjadi hambar karena
didasarkan oleh ikut-ikutan dari teman-temannya. Padahal fakultas,
jurusan dan program studi merupakan jembatan untuk lebih
mendekatkan cita-cita dari individu bersangkutan demi meraih masa
154
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
depan. Pembelajara di program studi akan mampu dijalani secara
lebih baik apabila datang dari dalam diri sendiri berdasarkan citacita. Bagaimanapun populernya program studi tersebut, apabila tidak
didasari oleh pilihan pribadi dan cita-cita sendiri, tidak akan mungkin
bisa dijalani dengan baik. Ini akan berpengaruh kepada derajat
drop out dari mahasiswa dan tidak terampilnya lulusan perguruan
tinggi bersangkutan. Banyaknya pengangguran sarjana di Indonesia
sekarang (1 diantara 7 sarjana menganggur), merupakan akibat
dari tidak menyatunya antara keterampilan diri dengan kuliah yang
dimasuki di perguruan tinggi. Kemalasan bekerja dari masyarakat
Indonesia, disamping oleh faktor budaya menurun, ritual membabi
buta, juga diakibatkan secara tidak langsung dari tidak menyatunya
keterampilan dengan pekerjaan yang dihadapi.
Tidak bisa diabaikan juga adalah sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan di tanah air sudah carut marut secara “sistematis”.
Berbicara masalah sistem menyangkut segala persoalan tentang
unsur di dalam pendidikan, mulai dari gaji, sarana pendidikan,
kesedian tenaga pengajar, dosen, waktu dan sebagainya. Belum
lagi apabila dimasukkan persoalan mata pelajaran dan mata
kuliah. Seluruh unsur yang disebutkan diatas tersebut tidak terlalu
mendukung dunia pendidikan di Indonesia. Antara gaji dosen atau
guru sangat tidak mendukung untuk membeli sarana (bahan ajar).
Kenaikan pangkat juga selalu ada peraturan baru. Sementara jam dan
bobot pelajaran yang diterima siswa (mahasiswa), juga masih banyak
dipersoalkan. Penduduk muda yang cerdas tidak bisa dilepaskan dari
sarana-sarana tersebut. Manakala sistem itu tidak mendukung, maka
kemungkinan besar hasilnya tidak akan bisa bagus. Cita-cita bonus
demografi itu, justru bisa menjadi bomerang. Out put pendidikan
tidak bagus membuat tenaga kerja juga tidak bagus. Akibanya, dalam
dunia pasar bebas, tenaga kerja sendiri akan bisa menjadi penonton
di tanah airnya sendiri.
Inilah yang menjadi tugas pemerintahan mendatang. Untuk
mempersiapkan bonus demografi agar benar-benar menjadi
keuntungan bagi negara, maka tidak lain persiapan ini harus
dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Ini
menjadi dasar dari pangkal persoalan yang harus diperbaiki untuk
GPB Suka Arjawa
155
mempersiapkan menyambut bonus demografis tersebut. Kerja dalam
satu periode kepemerintahan ini mestinya fokus untuk membenahi
tingkat pendidikan dan keterampilan. Tidak ada cara lain untuk
membenahi kualitas manusia kecuali dengan membenahi pendidikan
dan keterampilan. Bahkan yang paling penting adalah pendidikan
dasar.
Indonesia mempunyai penduduk terbesar nomor empat di
dunia. Apabila ini mampu dimanfaatkan dengan baik, dalam arti
memperbaiki kualitas manusianya, akan menjadi aktor utama
dalam pergaulan internasional. Akan tetapi, apabila itu tidak
mampu dilakukan, justru menjadi persoalan baru yang sangat
membahayakan. Angka kriminal, pengangguran, sampai dengan
ledakan pendudukan justru menjadi masalah masa depan negara
paling berbahaya. 
156
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Potensi Perubahan Sosial Jika
Kewenangan Pemilihan di DPRD
P
ersoalan pilihan kepala daerah yang hendak “dibelokkan”
kepada lembaga legislative daerah, nempaknya perlu disoroti
secara periodic. Secara sosiologis, masalah ini akan mampu
membuat perubahan sosial kepada masyarakat. Perubahan sosial
yang dimaksudkan ini adalah sikap dan tindakan masyarakat dalam
memandang pemerintahan negara. Dalam hal ini yang lebih bersifat
local.
Seperti sering diungkapkan media massa, bahwa wacana untuk
membelokkan cara pemilihan kepala daerah itu menguat. Jika
selama reformasi pemilihan kepala daerah (gubernur. Bupati dan
walikota), pemilihan langsung dilakukan oleh masyarakat, maka
kelak (rencananya setelah DPR bersidang akhir bulan ini), beberapa
fraksi di lembaga tersebut telah sepakat kuat untuk mengubah cara
menjadi pemilihan dilakukan oleh lembaga legislative di daerah.
Fungsi DPRD yang sebelumnya mengawasi, legislasi dan anggaran,
tiba-tiba ditambah lagi menjadi memilih pemimpin daerah.
Kontroversinya, fraksi-fraksi tersebut sebelumnya sepakat untuk
mempertahankan pemilihan langsung. Akan tetapi tiba-tiba berbalik
sepakat apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kontroversi ini
sangat mengecewakan, dan kemudian melahirkan kecurigaan besar di
masyarakat bahwa pembalikan sikap itu disebabkan oleh kekecewaan
mereka akibat kekalahan pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilihan
prsesiden. Sebagian besar dari fraksi tersebut adalah pendukung
calon pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
GPB Suka Arjawa
157
Maka, apabila kelak benar-benar DPR menyepakai perubahan
metode pemilihan tersebut, akan mempunyai akibat kepada
sikap dan persepsi masyarakat. Disini perubahan sosial tersebut
akan memperlihatkan kondisi real di masyarakat. Sebagai sebuah
fenomena sosial, politik (dengan segala tindakannya), merupakan
bagian dari realitas sosial. Dan realitas sosial itu akrab dengan
berbagai macam perubahan.
Yang pertama pola hubungan antara calon kepala daerah dengan
rakyat. Metode pemilihan langsung akan membuat calon pemimpin
di daerah langsung terjun ke lapangan, bukan saja memperkenalkan
dirinya tetapi juga langsung dan tidak langsung akan melihat kondisi
lapangan (fakta sosial yang ada di masyarakat). Terjun langsung ini
bukan masalah sok dekat dengan rakyat tetapi dekat dengan keadaan
yang betul-betul di lapangan.
Seorang pemimpin, dimana pun itu, pada hakekatnya seorang
manajer dan memikirkan dan mengelola bawahannya berdasarkan
kepada keadaan di lapangan. Ketika seorang calon pemimpin
berkampanye untuk menjadi pemimpin dan dengan itu ia harus
ke lapangan, maka sekaligus dua hal yang didapatkan, yaitu dekat
dengan rakyat dan tahu keadaan. Manajemen yang keluar dari
pikirannya sangat didasarkan kepada pengetahuan yang didapatkan
di lapangan. Pengetahuan itu bisa dipegang karena ia aberkunjung ke
lapangan. Dan keputusan yang dibuat berdasarkan pada perpaduan
antara fakta di lapangan dengan karakter masyarakatnya. Dengan
demikian, pemilihan bupati misalnya, paling bagus kalau dilakukan
secara langsung karena dengan begitulah ia melihat kondisi real di
lapangan.
Seorang bupati akan dengan cepat membuat keputusan untuk
memprioritaskan pembangunan pertanian di daerah pertanian,
dengan masyarakat yang memang kegiatannya pertanian. Bupati di
lokasi seperti ini tidak akan mungkin memberikan ijin pembangunan
perumahan. Bupati harus datang langsung ke lapangan, bukan
sekedar mencontoh apa yang dilakukan Joko Widodo ketika menjadi
walikota, tetapi memang harus begitu karena pejabat inilah paling
dekat dengan rakyat dibanding dengan gubernur atau presiden.
Modal awal yang dipakainya adalah saat berkampanye.
158
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Jika kemudian model pemilihan langsung ini tidak lagi dilakukan,
maka seorang calon bupati, walikota atau calon gubernur bisa-bisa
akan menjadi broker atau calo politik. Mereka tidak akan terjun ke
lapangan untuk berkampanye dan melihat kondisi lapangan tetapi
melihat konisi rumah calon anggota DPRD.
Calon bupati, walikota atau calon gubernur berpotensi besar
menjadi aktor penyebar kolusi dan nepotisme karena mencoba
menyuap calon anggota DPRD bahkan sebelum calon itu resmi
terpilih bahna belum resmi dilantik. Apabila ini terjadi, lagi-lagi
mereka berpotensi menyuap aggota DPRD untukketerpilihannya
menjadi pejabat. Jelas calon seperti ini akan jauh dari masyarakat,
tidak tahu fakta di lapangan dan sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan riil apabila kelak menjadi bupati. Apa yang mampu
dikerjakan bupati yang menyuap anggota DPRD?
Perubahan sosial yang terjadi sangat mendasar, berupa
pembelokan nilai-nilai dalam melaksanakan pemerintahan. Bupati
berpotensi memerintah tidak atas kehendak rakyat, tidak atas
reaalitas sosial tetapi berdasar kehendak elit anggota DPRD dan atas
realitas sikap anggota lembaga tersebut. Pola pemerintahannya akan
kaku, dan berpotensi menjalankan laporan palsu dari bawahannya.
Sementara bawahannya akan melaporkan keadaan di lapangan atas
dasar ABS (asal bapak senang) saja.
Kedua, dari tingkat masyarakat akan berpotensi melahirkan
pola feodalisme baru. Cara-cara pemilihan oleh DPRD membuat
adanya jarak antara pemimpin dengan rakyat yang sesungguhnya.
Atau bisa jadi sebaliknya, rakyat akan menjauh dengan pemimpin.
Di sini terjadi benturan antara perkembangan jaman melalui aliran
informasi dan komunikasi dengan model feodalisme.
Bisa dibayangkan, televisi yang ada sekarang selalu
memperlihatkan hubungan setara antara pemimpin dengan rakyat.
Artinya hubungan pemimpin dengan rakyat itu egaliter, rakyat
membaur dengan pemimpin. Rakyat biasa bercakap-cakap dengan
pemimpin. Akan tetapi karena tidak ada pemilihan langsung sejak
awal, maka pola seperti ini bisa saja hilang. Rakyat akan semakin
jauh, tidak peduli dengan pemimpin. Sebaliknya pemimpin yang
dipilih oleh DPRD akan merasa tidak peduli dengan rakyat karena
GPB Suka Arjawa
159
memang bukan rakyat yang memilih. Pemimpin pun akan menjauh.
Inilah hubungan yang sangat tidak imbang, kontradisktif dalam
politik. Benturan seperti ini adalah perubahan pola jarak antara
pemimpin dengan rakyat. Tidak akan mungkin tercipta model
manajemen pemerintahan yang baik dalam kondisi seperti ini.
Maka untuk menghindari hal tersebut, para pemimpin politik,
terutama elit-elit di Jakarta, haruslah sadar dengan posisinya sebagai
elit. Janganlah menitikberatkan politik itu sebagai sebuah balas
dendam. Apalagi areal balasa dendam. Tidak akan pernah menjadi
dewasa politisi seperti ini. Jadi, tidak usah kembali memikirkan halhal yang jauh dari reformasi. Biarkan pemilihan itu langsung oleh
rakyat, bukan oleh lembaga DPRD. Tidak ada untungnya akembali
ke masa lalu yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat. 
160
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Kemandirian Beras, Blusukan,
dan Undang-Undang Desa
D
alam sambutannya pada pembukaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Nasional, dihadapan gubernur
dan bupati Indonesia, Presiden Joko Widodo mengungkapkan
potensi sumber daya nasional yang serba paradoksal. Misalnya,
potensi pariwisata Indonesia yang tinggi, ternyata tidak mampu
mengalahkan negara tetangga. Kamboja yang baru aman dari gejolak,
mampu menyedot sekitar tujuh juta wisatawan per tahun, sedikit di
bawah Indonesia, dengan ikon Angkor Watt nya. Sudah tentu presiden
juga menyinggung persoalan potensi kelautan Indonesia yang dua
per tiga wilayahnya terdiri dari air. Dan yang cukup memberikan
harapan adalah bahwa soal beras. Presiden sendiri mengkritisi bahwa
Indonesia masih mengimpor beras. Karena itu dalam waktu tiga
tahun, diharapkan Indonesia sudah tidak mengimpor lagi. Presiden
menugaskan menteri pertanian untuk mencapai keinginan ini.
Persoalan kemandirian beras, nampaknya merupakan hal penting
yang harus dilihat dalam konteks keindonesiaan. Nasi merupakan
makanan pokok dari rakyat Indonesia. Keperluan dasar dari rakyat
adalah tersedianya makanan pokok itu agar mereka dapat berinteraksi
secara sosial. Maka, dalam konteks kemandirian beras, itu merupakan
pilihan pertama bagi Indonesia, yang kalau digabungkan dengan
pilihan mengembangkan perikanan kelautan, menjadi kombinasi
yang paling bagus. Para ahli menyebutkan bahwa mengkonsumsi
ikan akan mencerdaskan. Indonesia pernah menyatakan diri sebagai
negara berswasembada beras pada tahun 1984, tetapi pada saat itu
GPB Suka Arjawa
161
sektor perikanan kelautan belum diperbincangkan. Jika sekarang
Indonesia mampu berswasembada beras, dengan perikanan laut
yang mendukung, hasil ini jauh melampaui dari apa yang didapatkan
tahun 1984. Sebagai negara pertanian, mayoritas masyarakat
Indonesia tidak terlalu sulit mencari buah dan sayuran sebagai
pelengkap konsumsi makanan sehari-hari.
Menjadikan negara yang berswasembada beras dalam waktu
tigaa tahun, mungkin mudah secara teori. Misalkan, asal tersedianya
bendungan, penyuluh pertanian handal, tidak menganaktirikan
petani, dalam waktu tiga tahun hal itu bisa dilakukan. Saat menberikan
pidato pembukaan itu, Presiden Joko Widodo juga menyebut-nyebut
soal pembangunan bendungan sebanyak 49 di seluruh Indonesia.
Namun yang sering menjadi penghambat pembanguna itu adalah
tidak adanya saling pemahaman antar kementerian. Seolah tidak ada
saling mendukung rencana kerja dalam waktu yang ditetapkan. Atau
bisa jadi, perintah proyek yang dilakukan itu tidak dipahami dengan
baik. Modelnya bisa dilihat pada tataran paling bawah.
Bagaimana mungkin bisa meningkatkan produksi beras apabila
lahan-lahan persawahan secara mudah dibolduser untuk dijadikan
perumahan. Air untuk persawahan mati sekibat dihambat oleh
pembangunan hotel, atau sumber air sengaja disedot untuk suplai
air hotel. Sungai pun dieksploatasi untuk kepentingan bisnis, juga
bibir jurang.
Sementara tidak ada proyek untuk membuat persawahan baru
atau proyek untuk pembuatan irigasi sangat lambat. Ini merupakan
paradox dari cita-cita pembangunan yang memprioritaskan
menghasilkan beras sebagai hasil utama Indonesia di masa depan.
Sepertinya ongkos, upah dan penghasilan untuk menghancurkan
alam itu jauh lebih tinggi dan menjanjikan ketimbang ongkos, upah,
dan penghasilan untuk memperbaiki kondisi alam agar berfungsi
baik. Fenomena ini tidak saja terjadi di Bali, tetapi di daerah-daerah
lain di Indonesia, terutama di wilayah yang berdekatan dengan kota.
Disamping kerakusan, penyebabnya adalah tidak adanya saling
pengertian antara kementerian, terutama pada jajaran paling bawah.
Dengan demikian, agar keinginan Presiden Joko Widodo tersebut
mampu tercapai, kalaupun tidak tiga tahun tetapi minimal dalam
162
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
masa lima tahun pemerintahannya, ia harus mengingatkan menteri
dan kementerian terkait. Satu kesaktian yang dimiliki oleh Bapak
Presiden, adalah hobinya blusukan itu. Sebagai sebuah metode untuk
menjalankan pemerintahan, blusukan itu tangguh. Sektor pertanian,
“lahan” penghasil beras (seperti yang dicita-citakan presiden) itu
ada pada basis blusukan presiden. Ia ada pada tingkat paling bawah,
bahkan bersentuhan dengan kemiskinan dan kemarginalan.
Banyak petani yang miskin di Indonesia dan sektor pertanian
seolah terpinggirkan. Karena itu, orientasi blusukan presiden
sekarang haruslah pada petani sawah ini, menanyakan tentang
masalah-masalah yang ada di lapangan, “ketidakadilan bolduser”
yang meratakan sawah menjadi perumahan, penghentian air sawah
dan penyedotan sumber air untuk mengaliri hotel. Dengan cara
blusukan juga presiden akan tahu sejarah sebuah lahan persawahan
yang kemudian berubah menjadi kompleks kantor pemerintahan.
Dengan metode yang sama juga presiden tahu bagaimana latar
belakang kompleks perumahan. Di Bali bagian selatan banyak
ada contoh-contoh seperti ini sehingga pantaslah presiden datang
incognito ke wilayah ini.
Bali juga bisa dilihat sebagai “percontohan” krisis persawahan
sekaligus bisa dipakai model untuk menyetopnya kelak apabila
presiden berhasil melakukan itu. Blusukan dalam hal ini dipakai
sebagai survey yang sangat berguna sebagai masukan, bukan
saja kepada presiden sebagai pemimpin negara, tetapi juga para
meneterinya untuk membuat kebijakan secara tepat.Bukan tidak
mungkin hal ini akan ditiru oleh bawahan presiden. Secara akademis,
blusukan itu merupakan metode kualitatif, yang bermakna melihat
secara langsung ke masyarakat, merasakan kehidupan sosial mereka
dan mencoba memahami bagaimana cara masyarakat berfikir. Akan
lebih komplit apabila misalnya, presiden mau datang, bermalam,
sambil ikut melakukan aktivitas sosial.
Ada satu hal yang juga dapat digunakan disamping blusukan
sebagai metode mencari masukan, yaitu memanfaatkan secara
maksimal Undang Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa. Dalam
undang-undang ini, desa didayagunakan untuk mandiri agar
mampu mencapai cita-cita nasional, sesuai dengan karekter desa
GPB Suka Arjawa
163
tersebut. Bagi desa yang mayoritas sumber dayanya dari pertanian
sawah, harus dimaksimalkan dan diberikan rangsaangan untuk
meningkatkan hasil swadaya tersebut.
Undang-undang ini juga memungkinkan adanya kerjasama antar
desa yang berkaitan dengan wilayah kabupaten atau kota, lewat apa
yang disebut dengan kawasan perdesaan. Satu yang ditekankan disini
adalah soal desa yang mempunyai lahan pertanian. Jadi pemerintah
bisa memanfaatkan hal ini dengan baik. Tetapi yang harus diingat,
tenggang waktu 3 tahun sebagai target, mungkin agak susah dicapai.
Undang Undang ini akan mampu mencapai cita-cita tersebut dalam
jangka panjang. 
164
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
o
RAKYAT
DAN WAKILNYA
GPB Suka Arjawa
165
166
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Politisi Muda Cerdas, Bukan
yang Perlihatkan Otot Lengan
D
i tahun politik ini banyak yang menyoroti bahwa Indonesia
seharusnya dipimpin oleh polititisi-politisi muda. Ada
pernyataan cukup menggelitik bahwa sungguh memalukan
apabila politisi tua ngotot tetap ingin maju sebagai anggota legislatif
atau menduduki posisi eksekutif. Namun, politisi muda yang
dimaksudkan itu mempunyai kriteria tersendiri. Secara umur,
mereka harus dibawah 45 tahun, dari sisi kepribadian ia jujur cerdas
dan mampu memberi inspirasi positif. Jadi, bukan politisi muda yang
hanya bisa memamerkan otot-otot lengan bertato (meski kerempeng),
atau mengacungkan kepalan tangan yang terkesan mau menantang.
Politisi terakhir ini sebaiknya sadar diri untuk tidak masuk dunia
publik karena akan mempunyai kesan menakut-nakuti rakyat.
Di jaman sekarang, rakyat harus cerdas dan kritis terhadap hal-hal
seperti ini. Dari sisi kepribadian juga, rakyat harus cerdas memikirkan
latar belakang politisi. Kalau memang mempunyai sejarah
berandalan, hati-hati memilihnya. Terlalu riskan memilih orang
seperti ini karena politik itu mengandung segmen kebijaksanaan,
keputusan serta alokasi sumber daya yang menyangkut masyarakat
banyak (per kabupaten, provinsi maupun negara). Dus, politisi muda
itu haruslah mereka yang benar-benar mampu memberikan inovasi,
pembaruan dan jujur bekerja untuk rakyatnya.
Wacana politisi muda pada tahun politik 2014 ini sangat penting
diperhatikan dengan beberapa alasan. Pertama adalah upaya
memberikan pengereman dan alternatif pada reformasi Indonesia.
GPB Suka Arjawa
167
Mengapa pengereman? Reformasi Indonesia baik pada tingkat
nasional maupun lokal, boleh dikatakan sudah gagal. Kecuali
reformasi kelembagaan dan keterbukaan, reformasi kejujuran dan
keadilaan ekonomi tidak pernah bisa jalan. Salah satu contohnya
adalah kenaikan elpiji yang ”memekakkan kantong” di awal tahun
ini, bukanlah cita-cita reformasi. Karena itu, gaya reformasi seperti
ini harus di rem.
Hanya anak-anak muda yang penuh idealisme dan berjiwa jujur
(bukan main tantang-menantang) yang bisa melakukan perbaikan.
Anak-anak muda mempunyai relasi luas melalui keterampilan
mereka dengan gadget terbaru. Anak-anak muda yang mempunyai
jiwa positif dan bermutu, pasti juga mempunyai relasi bermutu.
Melalui relasi inilah pesan, ide-ide cemerlang itu akan bisa mengalir
dan akhinya membentuk kesatuan tekad dengan anggota jaringan
luas. Kesatuan tekad itu mampu mengubah gerak dan mampu juga
mengalahkan generasi muda yang lebih memilih memperlihatkan
otot-otot lengannya di pinggir-pinggir jalan raya itu, tanpa kekerasan.
Mereka mampu mengalahkan dengan pikiran dan tindakan positif.
Reformasi yang menghasilkan koruptor dan berandalan itu bisa
ditumbangkan oleh generasi muda cerdas yang penuh dengan
inpirasi positif.
Mengapa generasi muda harus memberikan alternatif? Titik
tolak dari alternatif ini adalah pemerintahan dan cara memerintah
atau membuat kebijaksanaan. Di Indonesia, pemerintah itu adalah
eksekutif dan legislatif. Keputusan yang diambil oleh dua lembaga
ini disebut dengan keputusan pemerintah. Hasil dari keputusan
pemerintah di jaman reformasi ini tidak pernah bagus. Misalnya
pembangunan jalan raya memang telah dilakukan akan tetapi
”kulit-kulitnya” saja. Jalan negara misalnya, dibangun dengan
aspal mulus tetapi kemulusannya itu merupakan campuran kasar.
Akibatnya, belum setahun, terkena hujan sudah hancur. Di desa
jalan juga diperbaiki. Tetapi hanya sekitar dua kilometer dari titik
luar selebihnya masih hancur lebur. Cara-cara seperti ini adalah cara
penipuan yang bukan merupakan cita-cita reformasi. Dengan titik
pandang seperti itu, politisi muda yang menempati posisi sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dan anggota legislatif diharapkan
168
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
mampu memberikan alternatif kebijaksanaan dan keputusan
politik pemerintah, dan secara subyektif, mereka para politisi muda
ini merupakan pilihan alternatif kepada politisi tua yang ngototngotot tidak tahu malu dan hanya mementingkan penghasilan uang
dibanding dengan menghasilkan putusan politik berkualitas itu.
Alasan kedua adalah kualitas mereka. Disini yang ditekankan
adalah politisi muda yang benar-benar atas kesadaran sendiri dan
berjuang sendiri untuk mendapatkan posisi. Jadi, bukan mereka yang
mendapatkan kekuasaan berdasarkan warisan orang tuanya, apalagi
yang disokong dan dipaksakan oleh orang tuanya. Sekarang banyak
politisi-politisi muda duduk di kalangan eksekutif maupun legislatif.
Tetapi mereka adalah pejabat yang mendapatkan warisan kekuasaan
maupun politik dari orang tua atau kakek mereka. Bukan ini yang
dimaksudkan. Titik sentralnya adalah mereka yang benar-benar
berjuang sendiri bukan atas dukungan ayah-ibu-kakek-nenek. Politisi
muda yang bekuasa dengan jalan seperti ini, bukan saja memalukan
tetapi mirip dengan kerbau dicocok hidung. Mereka hanya simbol
saja pada jabatan tetapi pembuat keputusannya adalah para kekeknenek-ibu-bapaknya itu. Berangkat dari kacamata itu, menjadi
tantangan bagi para generasi muda sekarang untuk membangun
dirinya terjun ke ranah politik.
Alasan ketiga adalah daya tarik. Kini politik menjadi arena
terbuka. Dalam arti tidak harus seperti jaman Orde Baru yang hanya
menekankan pada keluarga, orang-orang dekat dan sejenisnya.
Banyak intelektual muda dari berbagai disiplin ilmu mulai
tertarik dengan dunia politik. Mereka yang berlatar ilmu ekonomi,
peternakan, kehewanan, teknik sampai dengan kedokteran sudah
tidak canggung-canggung masuk menuju ranah politik. Baliho
dan calon-calon legislatif yang suka menempel berbagai gelarnya
(entah didapat secara instan atau wajar) di pinggir jalan raya itu,
memperlihatkan bahwa politisi tidak harus datang dari sarjana
hukum atau politik saja tetapi juga bisa dari berbagai arena. Ini
sangat bermanfaat dalam upaya terjun ke dunia politik. Sebab, seperti
yang telah diutarakan politik itu adalah kebijakan publik. Karena
merupakan kebijakan publik, mereka memerlukan berbagai disiplin
ilmu untuk mendiskusikan berbagai masalah yang ada pada tingkat
GPB Suka Arjawa
169
masyarakat. Kekurangan air, tentu yang diperlukan sarjana teknik.
Masalah kesehatan akan ditangani oleh sarjana kedokteran atau
kesehatan masyarakat. Peternakan masyarakat memerlukan kajian
dari sarjana peternakan. Jadi, lembaga legislatif yang dihiasi oleh
berbagai sarjana dari anak-anak muda, akan mampu menghasilkan
output lebih membumi dan yang lebih diperlukan oleh masyarakat
itu sendiri.
Keempat adalah alasan profesi. Yang dimaksudkan disini adalah
profesi beretika, memperhatikan lingkungan, budaya, sejarah,
kepemilikan dan norma-norma yang ada. Banyak anak-anak muda
sekarang tergiur oleh materi dann hidup instan. Harus diakui ini
barangkali mayoritas. Ketika mereka tidak mampu mengamalkan
ilmu yang didapatkan di sekolah, maka, terutama di Bali, banyak
yang menjadi calo. Tanpa malu akan leluhur mereka menjadi calo
tanah dan merusak lingkungan. Dengan seenaknya menggaruk tanah
yang subur menjadi perumahan atau pertokoan. Tanpa malu-malu
juga membohong dan menunggak utang kepada pemilik tanah yang
sudah dibeli. Dari pada bekerja tanpa norma dan menentang leluhur
ini, maka secara positif sebaiknya menjadi politisi yang mumpuni
saja. Bukan kemudian politisi yang kongkalikong dengan calo
tanah. Sekali politisi terbeli oleh calo tanah maka lingkungan akan
bisa rusak, banjir akan terjadi dimana-mana dan kota penuh sesak,
kependudukan akan berubah yang membuat kompisisi penduduk
juga berbeda.
Anak-anak muda yang masuk arena politik haruslah mereka yang
benar-benar mempunyai idealis positif agar bisa memberi inspirasi.
Bukan hanya ikut-ikutan berfoto lalu memamerkan ototnya yang
sekedar kelihatan kekar saja. 
170
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Mencari Sosok Anggota
Legislatif Berwawasan Luas
D
alam pelaksanaan tugas-tugasnya, anggota legislatif sering kali
dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
keterbelakangan pada masyarakat. Secara ideal, pernyataan
diatas tidak salah karena salah satu tugas anggota legislatif adalah
menyerap segala persoalan di masyarakat. Salah satu caranya, dengan
melakukan kunjungan ke konstituens. Dikatakan salah satu, karena
cara lain yang dipakai bisa lewat informasi langsung dari masyarakat,
entah dengan surat atau melalui SMS yang kini telah demikian jamak
dipakai. Maka, apabila kedua cara ini telah dilakukan, berbagai
problem mendasar yang ada di tingkat akar rumput, sedikit banyak
telah teratasi. Sekarang, yang jadi tugas bagi calon anggota legislatif,
justru terletak pada pemetaan terhadap masalah-masalah yang ada di
kampung. Berikut sekedar gambaran tentang persoalan sosial yang
ada di masyarakat.
Sebagai negara berkembang, dengan basis dasar masyarakat
pertanian, Indonesia merupakan negara yang paling banyak rakyatnya
hidup di pedesaan. Dalam konteks demikian, kota hanya merupakan
wilayah seolah-olah induk memayungi sekian desa yang berdekatan
dengannya. Kata berdekatan itupun mempunyai pengertian berbedabeda di Indonesia. Di Bali, misalnya jarak antara desa dengan kota
relatif dekat dan mudah dijangkau dengan kendaraan karena lalu
lintas sudah relatif lancar. Akan tetapi apabila dibawa pada kondisi
geografis di wilayah lain, di Sumatra, Kalimantan, Papua, bahkan di
Jawa pun, hal demikian akan bertambah sulit. Jaraknya kota-desa,
GPB Suka Arjawa
171
disamping jauh, juga fasilitas angkutannya tidak sebaik seperti apa
yang ada di Bali. Itulah yang membuat berbagai persoalan sosial
yang ada di Indonesia, mempunyai karakteristisk yang berbeda-beda.
Akan tetapi, secara umum bisa dikatakan bahwa geografi
kependudukan seperti itulah yang harus dihadapi oleh calon anggota
legislatif sekarang sehingga mereka wajib mengetahui berbagai
persoalan tersebut. Di jaman sekarang, dekade kedua dari milenium
baru, harus dilihat pemerintahan di Indonesia sekarang sudah
kadung ”kejebak” dengan sistem ekonomi yang berorientasi kapitalis.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (termasuk bagian
akhir dari pemerintahan Orde Baru dan juga mau tidak mau harus
disebutkan sedikit banyak dari pemerintahannya Megawati), telah
mengadaptasi orientasi kapitalis ini.
Munculnya banyak perusahan asing dan keterlibatan korporat
asing dalam sistem (komponen) ekonomi Indonesia, mengindikasikan
adanya orientasi kapitalis tersebut. Orientasi ini pada akhirnya
bertentangan dengan fakta sosial masyarakat yang basisnya pertanian
yang berkehidupan di desa karena kecenderungan kapitalis itu lebih
banyak memusatkan sektor perkotaan. Pada kecenderungan itu,
perdagangan lebih banyak terpusat di wilayah perkotaan karena
sarana dan prasarana yang mendukung pergerakan ekonomi lebih
banyak di kota. Jalan, toko, perusahan, sarana pengangkutan sampai
dengan interaksi sosial lebih banyak di kota.
Munculnya urbanisasi, merupakan konsekuensi logis dari
kecenderungan ini. Karena perputaran bisnis, ekonomi dan keuangan
lebih banyak di kota, maka mau tidak mau penghasilan uang lebih
banyak di kota. Uang juga lebih banyak dan lebih cepat dihasilkan
di kota. Kenyataan ini membuat kota menjadi magnet kehidupan,
terutama bagi mereka-mereka dari kalangan anak muda. Tuntutan
berbagai kehidupan yang serba cepat, termasuk hiburan, lebih
banyak ada di kota. Secara sosial, akibat kecenderungan kapitalis ini
sungguh mengerikan. Tidak saja kaum urban memenuhi perkotaan,
tetapi ketimpangan penduduk menjadi begitu kelihatan. Desa seolah
sepi dan kota demikian padat. Dalam konteks keamanan, fenomena
ini sungguh tidak baik karena justru sama-sama memunculkan
hal sifatnya negatif. Pertumbuhan pertanian menjadi mandeg di
172
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
pedesaan, perkebunan menjadi terbengkalai, dan keterampilan
menjadi hilang. Di kota, karena sesaknya pertumbuhan penduduk,
memunculkanlah tingkat kejahatan menjadi lebih tinggi. Kota
kumuh, kebanjiran dan problem pertumbuhan penduduk kota
tidak terkendali. Kelangkaan penduduk di desa, juga memunculkan
mudahnya pencurian muncul di wilayah ini.
Dengan fenomena seperti itu, para calon anggota legislatif
di Indonesia, harus memperhatikan persoalan urbanisasi ini.
Karena kebijakan pemerintah melingkup wilayah nasional, maka
kecenderungan sistem kapitalis itu pun lingkupnya nasional
serta berakibat nasional juga. Pembiaran kecenderungan ini akan
berbahaya, baik secara sosial maupun budaya. Apabila secara sosial
hal itu mengakibatkan ”gerakan” perpindahan masyarakat dari desa
ke kota, maka secara budaya akan membuat semakin hilangnya
budaya pertanian yang dipahami oleh masyarakat Indonesia.
Akibatnya akan terjadi perbedaan persepsi antar generasi Inipun
akan mengakibatkan masalah sosial lain, yaitu pertentangan persepsi
antar generasi yang bisa menciptakan perpecahan di keluarga, bahkan
keluarga batih. Sendi-sendi masyarakat menjadi goyah. Konflik sosial
yang paling membahayakan negara adalah rapuhnya hubungan sosial
pada keluarag batih ini.
Calon anggota legislatif semestinya tidak semata-mata memasang
sepanduk dan baliho yang hanya ”meminta-minta” suara tetapi
harus jauh lebih memikirkan persoalan-persoalan sosial yang
kemungkinan dan dimungkinkan terjadi akibat pilihan-pilihan sistem
ekonomi dari pemerintah pusat. Satu pandangan memperlihatkan
kegagalan negara dalam membina masa depan, disebabkan oleh
ketidakmampuan anggota legislatif melihat fenomena yang terjadi
di masyarakat. Anggota legislatif sebaiknya mempunyai cara pandang
lebih luas kepada negara, bukan saja kepada konstituens yang
menjadi tanggung jawabnya. Jadi, mereka harus mempunyai dua
”sertifikat”, yakni kemampuan untuk menganalisis persoalan yang
ada di wilayah konstituens. Dan yang kedua memunyai kehandalan
menghadapi persoalan nasional.
Dari sudut pandang struktur keanggotaan legislatif, dalam arti
anggota legislatif daerah tingkat II, tingkat I dan tingkat pusat,
GPB Suka Arjawa
173
fungsi-fungsi memadukan konstituens dan negara, sesungguhnya
tidak mempunyai perbedaan menyolok. Mereka yang menjadi
anggota legislatif tingkat II, adalah pihak yang paling tahu
bagaimana duduk persoalan yang ada pada tingkat akar rumput.
Mereka mesti memperjuangkan agar pembangunan di pedesaan
harus mendapatkan prioritas utama. Inilah yang akan memberikan
sumbangan besar kepada orientasi sistem ekonomi nasional. Mereka
yang duduk di tingkat I, harus memahami karakteristik budaya
politik dan budaya sosial dari masyarakat. Dengan pemahaman
tersebut, mudah melakukan kontrol kebijakan pemerintah terhadap
pola pembangunan utama di propinsi.
Misalnya, apabila masyarakat propinsi itu terlalu permisif dengan
pembangunan pusat, maka haruslah berani melakukan stop kepada
kebijakan pembangunan pusat. Anggota DPRD Bali, tentu harus
berani melakukan penyetopan pembangunan yang terlalu merusak
budaya. Sedangkan anggota legislatif pusat, adalah pengemban
tanggung jawab untuk tidak meloloskan segala bentuk perundangan
bersifat nasional yang lebih berorientasi kapitalis. Begitulah sebaiknya
alur pemikiran calon anggota legislatif, bukaan sekedar ”mengemisngemis” suara dalam berbagai bentuknya. 
174
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Kesempatan untuk
Memperbaiki Kualitas Caleg
C
itra dan kinerja partai politik sangatlah tergantung dari (calon)
anggota legislatif yang berasal dari partai bersangkutan. Ini
disebabkan karena partai mempunyai hubungan resiprokal
terkait dengan rakyat. Posisi (calon) anggota legislatif sebagai
penghubung membuat pencitraan itu sangat berpengaruh kepada
partai. Karena itu, partai politik mestinya memperhatikan pola-pola
rekrutmen yang diberlakukan. Saat ini partai politik sudah banyak
anjlok elektabilitasnya karena kinerja politisi yang menggerakkan
partai tersebut.
Secara nasional berbagai survei menyebutkan jika Partai Demokrat
sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung pada pemilu
2014. Disamping figur sentralnya (Susilo Bambang Yudoyono) tidak
akan bisa lagi menjadi calon presiden, juga kadernya berurusan
dengan pengadilan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga
mengalami nasib hampir sama. Kekeliruan partai ini merekrut
politisi, membuat pencitraan dan elektabilitasanya merosot, bahkan
sampai di Bali, ”gudang” pendukung partai itu di masa lalu.
Di awal kebangkitannya, partai ini terkesan gegabah memilih
kader, terutama kader yang kurang mampu adaptif dengan kultur
masyarakat Indonesia ( yang lemah lembut, sabar dan kebapakan),
dan terjadi silang pendapat tentang kualitas pendidikan dari kader
partai bersangkutan. Akibatnya secara perlahan, hampir di seluruh
Indonesia elektabilitas dan citra partai mulai merosot. Inilah yang
membuat nama Jokowi sering kali disebut-sebut sebagai kartu truf
GPB Suka Arjawa
175
demi menaikkan tingkat keberpihakan rakyat terhadapp partai ini.
Sampai-sampai beberapa daerah telah berani mengambil resiko
politik, mendeklarasikan relawan Jokowi sebagai calon presiden,
meski PDIP sendiri belum melakukannya.
Dengan konteks hubungan yang demikian bertemali antara
rekrutmen dengan pencitraan partai politik, maka dalam menghadapi
pemilihan umum tahun 2014 ini, partai politik harus benar-benar
memperhatikan hal itu agar tidak terlalu berpengaruh kepada
pencitraan partai. Hal pertama yang mesti diperhatikan partai
adalah taat aturan dan taat hukum. Artinya (calon) anggota legislatif
tersebut harus mampu menaati norma-norma yang paling dasar dan
paling sederhana. Sekali lagi yang ditekankan adalah norma, yang
artinya bukan sekedar aturan hukum tetapi juga tata tertib, nilai-nilai
kebaikan, etika bahkan kepercayaan yang berlaku di masyarakat.
Saat ini banyak calon anggota legislatif yang benar-benar melanggar
norma yang sederhana tersebut.
Ketika KPU telah mengeluarkan aturan untuk tidak membolehkan
memasang baliho bagi calon anggota legislatif, justru aturan paling
dasar ini banyak yang tidak diindahkan. Bahkan pelanggaran
norma ini secara tidak tahu malu juga dilakukan oleh politisi yang
sudah berpengalaman, gaek bercucu, bahkan seolah memaksakan
diri kembali menjadi calon anggota legislatif. Politisi seperti ini
seharusnya mampu memberi contoh kepada para pendatang baru
yang demikian berambisi menjadi anggota legislatif. Contoh memang
harus diberikan untuk menaati aturan yang paling dasar dan paling
sederhana. Apabila calon anggota legislatif ini tidak mampu
menaati aturan paling dasar dan sederhana seperti itu, masyarakat
sebaiknya mempertimbangkan keberpihakannya kepada politisi
model demikian. Bagaimana mungkin seorang anggota legislatif
kelak akan mampu membuat aturan-aturan baru di parlemen kalau
menaati norma paling sederhana saja tidak mampu. Jadi, sekali lagi
masyarakat seharusnya membuat pertimbangan terhadap calon
yang berkarakter seperti ini.
Ketidaksediaan calon anggota legislatif menaati aturan
sederhana tersebut sekaligus membuktikan bahwa kekuasaan (dan
kemungkinan uang) menjadi motivasi utama calon politisi itu maju
176
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
sebagai calon. Padahal menjadi politisi di jaman transisi seperti
sekarang seharusnya bukanlah kekuasaan (dan uang) yang menjadi
tujuan tetapi fungsi dan peran sebagai jembatan penghubung antara
rakyat dengan pemerintah. Sekali lagi ini bukan kata-kata idealis,
tetapi itulah yang menjadi tujuan dari reformasi karena reformasi
itu sampai sekarang masih belum kelihatan.
Pemahaman rakyat dengan kondisi negara, dengan paham
ketergantungan, dengan makna kebijakan masih terlalu jauh.
Demikian juga pengetahuan pemerintah tentang kondisi sosial
yang sesunghuhnya masih juga jauh. Pemerintah tidak tahu secara
pasti, misalnya, apa yang diperlukan oleh nelayan Indoensia saat
menghadapi serbuan pukat harimau dari negara lain. Kondisi inilah
yang memerlukan politisi yang berperan sebagai jembatan. Peran
ini tidak akan mungkin bisa terjadi apabila seorang anggota legislatif
mengejar kekuasaan (apalagi yang berupaya bergaya mewah dengan
pakaian dan parfum wangi), dan memakai duit sebagai sasarannya.
Pada akhirnya politisi demikian akan cenderung berbuat untuk
dirinya sendiri dan bermacam-macam tindakan dengan tujuan
kekuasaan dan uang tersebut. Selanjutnya, partai politik lah yang
akan tercoreng citranya dan elektabilitas partai itu semakin rendah,
sebelum kemudian jeblok ke lantai dasar.
Partai politik didirikan tidak hanya untuk lima tahun belaka
lalu kemudian surut, tetapi partai itu dipakai untuk terus-terusan,
dan semestinya sepanjang negara itu ada. Partailah yang akan
memberikan sumbangan kepada jalannya negara. Melalui
pengalamannya, partai akan mampu memberikan perbandingan
perjalanan ketatanegaraan pada periode waktu tertentu. Tidak perlu
partai demikian terlalu berkuasa tetapi tetap aktif di dalam perjalanan
kenegaraan (artinya bisa ikut berkompetisi). Keaktifan inilah yang
kemudian terekam melalui perjalanan waktu dan rekaman itulah
yang kemudian dipakai perbandingan dalam menjalankan negara.
Perbandingan ini bisa dipakai untuk mengritik dan memperbaiki
kinerja untuk selanjutnya dipilih state of the art dari perjalanan
ketatanegaraan agar berkembang ke arah lebih baik. Tetapi partai
yang dijalankan oleh politisi yang hanya menaati aturan sederhana
saja tidak bisa, kemungkinan partai ini akan berumur pendek.
GPB Suka Arjawa
177
Karena itulah, demi masa depan partai (dan negara), segera
perbaiki pola rekrutmen politik. Dan kalaupun partai politik sudah
kadung memilih politisi ”miring” seperti yang disebutkan diatas,
segera tegakkan mereka. Ada waktu sekitar dua bulan untuk
memosisikan politisi itu, misalnya dengan segera menurunkan
baliho apabila itu melanggar. Segera memperingatkannya agar tidak
melakukan penyuapan dalam bentuk apapun kepada masyarakat.
Melarang melakukan pemaksaan dalam mendekati warga atau
mengubah perilakunya sekalian. Dengan cara seperti ini, secara
tidak langsung akan mampu memperbaiki kondisi negara dengan
sistematis.
Memperbaiki negara bisa dilakukan dari sektor paling mikro,
yakni politisi dari partai politik yang terlibat pemilu. Sebab, seperti
yang telah diutarakan oleh berbagai kalangan, negara akan bisa
berjalan baik kalau politisinya bersih, jujur dan adil. Konsepsikonsepsi kenegaraan itu justru muncul dari politisi. Sedangkan
jalannya negara sehari-hari dijalankan oleh birokrasi. Hanya negara
yang mempunyai politisi baiklah mampu membuat negaranya maju
ke depan. Kini Indonesia masih harus mengimpor beras, menyewa
pilot dari luar negeri, antre membeli minyak, kebanjiran dimanamana, masyarakatnya terlalu berani menembus awan panas gunung
meletus, sepakbolanya kalah terus-terusan.
Nah ini salah siapa? 
178
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Waspada Memilih Politisi
di Tengah Perubahan Sosial
J
ika dilihat lingkungan kota Jakarta tahun 1990 (apalagi tahun
1980-an), seperti yang terekam film-film Warkop DKI misalnya,
masih ada tempat ”bernafas”. Lapangan masih cukup tersedia,
meski macet, lalu lintas masih bisa lebih lancar, dan sinar matahari
lebih leluasa masuk ke dalam pekarangan (dan ruang) rumah. Kini
hanya dua dekade setelah tahun itu, Jakarta sepertinya bukan kota
manusiawi. Jalan layang berseliweran, gedung bertingkat yang
menghalangi laju sinar matahari semakin banyak, warga semakin
banyak di jalan raya, dan yang paling mutakhir, ibu kota itu ibarat
kolam renang kumuh akibat banjir berhari-hari. Kualitas jalan raya
setelah banjir itu, lebih buruk dari pada jalan ke kampung pelosok.
Bisa dibayangkan bagaimana kesan orang asing ketika melihat
ibukota negara Indonesia, kondisinya seperti demikian.
Hal yang sama nyaris terjadi di Bali. Tahun 2000 yang lewat
(apalagi tahun 1990-an), kota Denpasar dan wilayah Badung, masih
terlihat pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, pinggir jalan yang
dihiasi sawah, air selokan mengalir lancar, emperan toko yang bersih
dari pedagang kaki lima serta jalan raya yang lancar. Kini, hanya satu
dekade setelah itu Denpasar penuh dengan perumahan, dengan
kemacetan, dengan sampah, serta sumpah sarapah pengendara jalan
raya. Di wilayah Badung selatan, burung-burung sawah kebingungan
mencari padi, sawah berubah menjadi perumahan dan kalimat yang
sering muncul di jalanan, ”para pengembang sudah ramai-ramai
pindah ke Tabanan mencari lahan...” Di Tabanan, tebing diratakan
GPB Suka Arjawa
179
dengan buldoser, sawah ”dikeringkan” dan harga tanah melambung
tinggi. Tidak ada lagi kenyamanan di wilayah-wilayah ini. Jakarta
dan Bali kini seolah identik, menjadi korban dari perubahan
sosial. Barangkali karena ”kemajuan” industri penerbangan dan
komunikasi, sehingga hubungan antara Bali dan Jakarta terlalu
dekat, singkat dan terjangkau. Mungkin banjir di Jakarta akan secara
mudah bagi orang kaya untuk membeli tanah di Bali. Atau barangkali
bangkrut di Jakarta akan merangsang pengusaha untuk menanam
modal di Bali sebagai pulau pariwisata.
Secara perlahan tapi pasti, masyarakat terdidik oleh keadaan yang
dilihat di sekelilingnya. Sampai kemudian ada kalimat mengejutkan
dari masyarakat, ”...jangan pilih anggota legislatif yang jadi calo dan
yang menggerus tanah-tanah tebing..!”
Kalimat ini jelas merupakan cerminan sikap sosial, kekecewaan
dan protes terhadap begitu derasnya perubahan sosial yang tidak
terkontrol. Kata calo dan penggerus tebing itu, bisa jadi terkait
antara Jakarta dengan Bali, terutama di Denpasar, Badung, Gianyar
dan Tabanan (sarbagita). Penjualan tanah termasuk tebing-tebing
potensial baik yang ada di Jakarta maupun Bali, memerlukan jasa
perantara yang oleh masyarakat banyak disebut dengan calo. Tanpa
perantara, perkembangan kondisi tanah akan lebih lambat. Maka
makin rusaknya kondisi sebuah wilayah dimungkinkan disebabkan
oleh jasa calo ini.
Pada sisi lain, para calo ini mendapatkan komisi yang besar
sebagai akibat dari jasanya memberikan informasi seperti itu.
Secara sarkatis kemudian dikatakan bahwa justru orang-orang yang
berpotensi merusak tatanan tanah (termasuk tatanan sosial itu),
mendapatkan keuntungan banyak dibanding dengan orang-orang
yang mencoba memperbaiki tatanan wilayah dan tatanan sosial itu.
Seorang perantara bisa saja mendapatkan keuntungan sampai
seratus juta sekali transaksi yang membuat potensi pertandian di
sebuah wilayah menjadi rusak total karena berubah fungsi menjadi
bangunan. Secara sosial kemudian, karena mendapatkan keuntungan
besar itu, profesi-profesi sebagai perantara ini menjadi meenyebar.
Masyarakat tidak tahan, dengan tuntutan ekonomi tinggi (apalagi
dengan ritual keagamaan yang dibuat-buat besar), mencari pekerjaan
180
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
susah, akibatnya mereka ikut-ikutan menjadi calo.
Pada pihak lain, jasa penggerukan tanah, tebing, meratakan
bukit sampai dengan membikin got, dengan memakai traktor
besar, semakin marak. Di Bali jasa mengeruk tanah, membolduser
tebing, meratakan batu kapur inilah yang paling mendapatkan
keuntungan amat tinggi. Sehingga hanya dalam hitungan hari,
tanah gundukan yang berupa bukit itu, bisa rata dengan dataran.
Pendapat kontroversial pun muncul. Jasa merusak tanah mendapat
bayaran tinggi sedangkan upaya, pendapat untuk memberikan hal
positif kepada wilayah terkadang hanya mendapat ucapan terima
kasih. Sangat tidak adill dan sangat janggal. Mereka yang membuat
lingkungan buruk justru semakin kaya!
Kalau kemudian ada ungkapan ”...jangan pilih anggota legislatif
yang jadi calo dan yang menggerus tanah-tanah tebing..!” ini
merupakan ungkapan politis yang logis masyarakat yang khawatir
dengan demikian derasnya perubahan sosial yang terjadi di Bali
(dan mungkin juga di Jakarta). Kekhawatiran itu berumber dari
logika bahwa sikap penguasa akan mempengaruhi pihak lainnya.
Seorang anggota legislatif yang mempunyai latar belakang calo atau
tukang gerus tebing, sikapnya sudah melekat dengan perilaku dan
profesinya itu. Sehingga apabila ia menjadi anggota legislatif (tentu
saja juga eksekutif), mereka akan berupaya mempengaruhi anggota
legislatif yang lain untuk mengikuti sikap dan profesinya. Akibatnya,
apabila penyebaran pengaruh ini berhasil, ijin dan persetujuan untuk
menjual tanah-tanah produktif dan menggerus tebing akan keluar
semakin banyak dari pemerintah.
Kekhawatiran masyarakat itu masuk akal karena kekuasaan
itu lekat dengan pengaruh. Kekuasaan berupaya menyebarkan
pengaruhnya, yang pertama-tama pada lingkungan paling dekat.
Pemerintah (eksekutif dan legislatif) jelas pemangku pengaruh
dan bagaimanapun juga akan berupaya melebarkan pengaruhnya
pada lingkungan terdekat dulu. Apabila hal ini terjadi, maka sebuah
wilayah hanya dalam waktu beberapa tahun saja telah bisa berubah
wujud. Dengan potensi uang yang dimilikinya, sangat mungkin para
calo dan penggerus tebing yang ”sukses” itu kembali beravonturir di
bidang lain, yaitu legislatif.
GPB Suka Arjawa
181
Maka, dua bulan menjelang pemilihan umum anggota legislatif
ini, masyarakat harus benar-benar memperhatikan kalimat dan
ungkapan-ungkapan yang muncul di lingkungannya sendiri.
Lingkungan masyarakat itu tersistematis dengan sempurna.
Artinya, pada awalnya adalah lingkungan rumah tanggal, banjar,
desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya sampai negara. Jika
lingkungan ini rusak, tidak ada kenyamanan hidup bagi masyarakat.
Padahal kenyamanan merupakan prasyarat utama untuk bisa
menjalankan hidup itu, dimana improvisasi, inovasi, pengembangan
pikiran dan kreativitas bisa dilakukan.
Masyarakat harus benar-benar mencermati calon anggota
legislatif mendatang. Masyarakat mesti berusaha, ikut terjun
partisipatif. Artinya, tidak hanya sekedar mencoblos tetapi juga
partisipatif dalam hal mencarii pengetahuan tentang latar belakang
calon anggota legislatif tersebut, sikap hidupnya, cara pandang ke
depan serta pembelaannya yang benar terhadap wilayah. Tidak
terlalu banyak tenaga yang habis untuk menambah wawasan ini
karena bisa dilakukan sambil diskusi dengan teman-teman, saat
kumpul-kumpul, mendengar radio atau menyaksikan televisi. 
182
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Peran dan Makna Keterlibatan
Politisi di Masyarakat
D
alam pelaksanaan pemilu mendatang, ratusan kandidat
berkompetisi merebut posisi legislatif yang hanya puluhan.
Artinya ada ratusan kandidat yang akan tersisih. Ini adalahh
kepastian dalam pemilihan umum bulan April mendatang. Guyonan
yang ada di masyarakat terdengar seperti ini, ”Rumah sakit jiwa
sudah mulai menyiapkan kamar-kamar baru untuk menampung
calon legislatif yang akan kecewa kelak...”. Meski guyonan ini sangat
sarkatis, tetapi beberapa waktu lalu memang telah terbukti ada calon
politisi yang sampai menderita sakit jiwa karena kalah tanding. Juga
ada yang sakit fisik karena kehabisan dana yang dikeluarkan.
Mungkin hal itu harus ditambahkan lagi, para istri dan anak-anak
calon politisi juga harus disiapkan mentalnya menghadapi berbagai
keadaan mendatang. Ini disebabkan karena persaingan antar politisi
sekarang sangat ketat. Dan tentu saja karena kesalahan sikap
memandang politik sebagai sebuah pekerjaan, mencari penghasilan,
prestise. Yang tidak bisa ditinggalkan adalah mereka menjadi politisi
demi mencari dana pensiun. Dalam beberapa berita, disebutkan
bahwa ada politisi yang menjual tanahnya untuk membiayai
kampanye. Atau meminjam uang di bank dengan menggadaikan
tanah milik.
Dari sisi hubungan politik-reformasi, banyaknya politisi yang
terjun ke kancah pemilu ini, bisa dilihat sebagai sebuah keberhasilan.
Ini merupakan hasil terjangan kebuntuan politik yang begitu dalam
sejak jaman Orde Baru. Banyaknya warga yang masuk partai politik
GPB Suka Arjawa
183
juga bisa dikatakan sebagai hasil sosialisasi yang sangat positif dari
pemerintah kepada masyarakat. Bahwa politik bukanlah barang
haram dan kotor yang harus dijauhi. Waktu dua windu sebagai
tenggang reformasi merupapakan rentang cukup untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat. Pada titik ini harus juga dilihat
bahwa masyarakat telah berhasil meyakinkan dirinya tentang
keterlibatan politik tersebut. Mereka memilih jalur politik karena
memang disitulah hobi dan bakatnya.
Di masa depan, keterlibatan seperti ini akan memberikan
gambaran tentang budaya politik masyarakat Indonesia. Pada saat
gambaran tentang budaya politik itu tergambarkan, pembangunan
akan lebih mudah dilakukan dalam koridor pemberian masukan
dari masyarakat. Artinya, kesadaran politik berbasis budaya politik
itu akan memudahkan bagi pemerintah untuk membuat model
pembangunan nasional karena masyarakat telah memberikan
masukannya dengan baik. Partsisipasi politik itu disamakan dengan
upaya-upaya pemberian masukan kepada model pembangunan.
Dari sisi hubungan warga dan negara, banyaknya muncul politisi
itu boleh dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara (pemerintah)
dalam memenuhi salah satu kewajibannya, yakni menyediakan
pekerjaan bagi warga.
Masuknya warga menjadi politisi itu bisa jadi sebagai tempat
”sembunyi” dari pengangguran atau menjadi jalan pintas untuk
mencari pekerjaan yang diperkirakan mendapatkan penghasilan
besar. Dikatakan sembunyi dari pengangguran karena minimal
dengan menjadi anggota partai politik (apalagi menjadi caleg),
mampu menjawab pertanyaan warga yang suka usil ”....dimana
bekerja sekarang?” Atau paling tidak mempunyai aktivitas dan
tempat kumpul-kumpul serta menuangkan persoalan, sebagai
tempat berdiskusi. Dikatakan menjadi jalan pintas karena banyaknya
politisi yang suka bermobil mewah, pamer kekayaan dan sebagainya,
sehingga dipandang mempunyai penghasilan besar, meskipun
terkadang apa yang dipakainya itu semata-semata demi memaksakan
diri dalam penampilan. Atau bisa jadi mereka-mereka itu mencoba
mengejar uang pensiunan sebagai anggota legislatif sehingga masa
tuanya terjamin. Yang terakhir ini disebabkan oleh karena negara
184
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tidak mampu menjamin uang pensiun kepada seluruh masyarakat.
Dari konteks diatas, negara seharusnya mampu memberikan
jaminan kepada warga secara layak. Dan sebaliknya, masyarakat
juga mesti mengetahui bagaimana kemampuan negara-pemerintah
untuk membiayai masyarakat.
Dengan cara pandang demikian, bisa dikatakan pekerjaan sebagai
politisi ini tidak bedanya dengan judi atau mirip dengan adu untung
di bursa efek. Padahal politik tidak demikian dan sangat jauh dari dua
fenomena yang sering kali lekat dengan budaya masyarakat kelas
bawah (judi) dan kelas atas (main di bursa efek). Judi merupakan
perilaku untung-untungan, meski juga melibatkan pikiran. Tetapi
lebih banyak menduga-duganya. Karena itu, aduan ayam sering
kali meleset dan main dadu (seperti yang dilakukan dalam cerita
Mahabharata) juga didominasi dugaan. Bursa efek hampir mirip.
Diperlukan pengetahuan keuangan dan perkembangan politik
sosial internasional secara cepat untuk mengkalkulasi berbagai
kemungkinan yang terjadi dalam beberapa jam yang berpengaruh
kepada nilai dan harga mata uang internasional.
Politik, sekali lagi, tidaklah demikian. Apabila ada yang
mengatakan bahwa politik itu sebuah pengabdian, ini bisa kata
yang mendekati untuk itu. Dasar pemikirannya adalah kebijakan
umum. Membuat kebijakan umum tidak akan mungkin bisa lebih
terkosentrasi kalau kemudian tidak dilandasi oleh pengabdian.
Penghasilan yang didapatkan didasarkan atas pengabdian itu.
Karena itu tidak banyak. Jadi, kalau ada yang mengatakan akan
menggratiskan bayarannya sebagai politisi, nampaknya ini agak
berlebihan.
Sesungguhnya kata yang lebih pantas untuk itu adalah
keterlibatan. Jadi, berpolitik itu adalah sebuah keterlibatan. Sebab
faktanya ketika warga berpolitik, paling bagus di Indonesia itu adalah
terlibat. Politisi langsung terjun ke lapangan untuk melihat persoalan
yang ada. Sebab, sebagian budaya sosial di Indonesia itu masih
”yes man” atau bapakisme. Apa yang diinginkan oleh ”bapak” akan
diiyakan dan mencoba mencari-cari pembenaran tanpa langsung ke
lapangan. Politisi yang terjun ke lapangan, akan lebih kongkrit dan
jelas dalam melakukan perdebatan di parlemen.
GPB Suka Arjawa
185
Politisi jelas terlibat dalam pembuatan keputusan di parlemen.
Melalui fakta yang memang benar di dapatkan di lapangan, politisi
akan melalukan perdebatan secara positif ketika harus berhadapan
dengan kompetitor di parlemen. Diskusi dan perdebatan yang
dilakukan pasti akan bermutu karena didasarkan oleh fakata yang ada
di lapangan. Dan politisi juga harus terlibat bermasyarakat. Disinilah
real politik sebagai sebuah strategi meraih massa. Keterlibatan di
masyarakat tidak hanya saat ada bencana alam saja tetapi dalam
setiap ada persoalan sosial, termasuk juga manakala ada upacara
kenduri. Acara seperti ini bukan untuk memberikan sumbangan
tetapi justru dipakai untuk menyerap berbagai pendapat yang
ada, menginformasikan berbagai fakta di pemerintahan, memberi
penjelasan (sambil guyub) tentang makna kebijakan yang ada.
Maka, apabila kemudian ada yang berkelakar untuk menambah
ruang rumah sakit jiwa, kelakar ini harus diperhatikan. Tetapi tentu
tidak berlaku bagi politisi-politisi yang memang sudah mengetahui
makna keterlibatannya, seperti yang telah diuraikan diatas tadi. 
186
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Persiapan Menghadapi
Kenyataan Usai Pemilu
C
alon anggota legislatif yang memajangkan fotonya di pinggir
jalan itu, hanya mempunyai waktu sekitar satu bulan untuk
memantapkan diri di hadapan masyarakat. Artinya upaya
kerja keras tersebut kini ada dalam batas-batas akhir. Hanya kesan
dan citralah yang akan mampu memperbaiki tingkat elektabilitas
demi keterpilihannya nanti.
Dalam dunia penelitian kualitatif, para calon anggota parlemen
tersebut haruslah melakukan triangulasi untuk meyakinkan
dirinya terpilih dalam pemilu mendatang. Dia harus mengecek lagi
keterikatan massa dengan dirinya sehingga mampu memperkirakan
bagaimana kansnya dalam pemilu. Perkiraan ini penting untuk
menjaga emosi di hari pencoblosan atau pengumuman mendatang
agar tidak terlalu kecewa atu tidak terlalu gembira. Kekecewaan yang
terlalu mendalam sangat berpotensi memunculkan konflik dengan
berbagai komponen. Kegembiraan berlebihan juga memberikan
potensi konflik, terutama membikin tersinggung dan makan hati bagi
para kompetitor. Jadi triangulasi atau pengecekan kembali potensi
kekuatan itu sangat penting untuk menjaga stabilitas lingkungan agar
mendukung kehidupan sosial.
Akan tetapi, apakah pengecekan itu bisa etis kalau dilakukan
oleh para calon anggota legslatif? Kepentingan pengecekan kembali
itu, seperti yang telah dijelaskan diatas, merupakan upaya untuk
menjaga stabilitas emosi. Persoalan etika dalam politik penting di
perhatikan. Mengecek kembali kekuatan di suatu wilayah kekuatan
GPB Suka Arjawa
187
masing-masing tentu bisa dilakukan dengan cara etis. Yang paling
awal tentu yang harus diperhatikan adalah ucapan dan sikap yang
tidak memperlihatkan sikap memaksa kepada calon pendukung.
Sikap yang terlalu memaksa (untuk dipilih) merupakan etika yang
tidak positif dalam budaya Indonesia. Disini yang harus diperhatikan
adalah pemakaian kata “ya” atau “nggih” oleh masyarakat kita. Apabila
hal itu sudah diucapkan, anggota legislatif harus menginsyafinya
karena mereka sudah tidak mengucapkan penentangan. Kata itu
masih dalam batas abu-abu, dank arena itulah diperlukan adanya
penegecekan kembali.
Upaya pengecekan kembali itu, demi etika sosial, bisa dilakukan
dengan beberapa cara. Yang pertama adalah dengan kunjungan sang
kandidat kembali ke wilayah tersebut dengan cara-cara yang tidak
formal. Calon anggota tersebut datang ke wilayah kampanyenya pada
sore hari, dengan bercakap-cakap atau ngobrol tentang peristiwaperistiwa yang lagi hangat. Tidak keliru kalau mereka membicarakan
soal gosip yang menimpa artis. Atau yang lebih normal lagi,
membicarakan tentang sepakbola yang lagi menjadi trend pada anakanak muda sekarang.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan model persahabatan.
Di suatu tempat, calon anggota legislatif pastilah mempunyai teman.
Sang teman inilah yang dipakai sebagai “alat”. Artinya mencoba
mendiskusikan hal itu dengan rekan yang ada di suatu wilayah
tentang kekuatan yang diperolehnya di wilayah tersebut. Calon
anggota legislatif bisanya juga mempunyai anak buah sebagai asisten
kampanye. Menugaskan asisten kampanye untuk berkunjung dengan
relasinya yang ada di suatu tempat juga merupakan cara yang positif
untuk datang ke wilayah tertentu. Kunjungan dengan dandanan
yang macam-macam, sangatlah berbahaya.
Jadi, para politisi di jaman sekarang harus benar-benar
mempertimbangkan potensi kemenangan dan kekalahan yang
akan didapatkannya. Mengapa ditekankan pada politisi di jaman
sekarang? Dari sisi kemutakhiran perilaku, politisi saat ini dijadikan
tidak hanya sebagai ajang “sembunyi” dari pengangguran tetapi
juga sebagai sebuah prestise dan posisi. Anggota legislatif jelas
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa karena
188
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
fungsinya membuat aturan dan mengawasi kinerja pemerintah
dan juga mengawasi persoalan keuangan. Ini merupakan prestise.
Maka, seorang pengangguran, tukang pukul atau preman yang
mampu menduduki jabatan seperti ini akan terangkat prestisennya.
Segala keburukan yang melekat kepada mereka sebelummnya
seolah terhapus. Paling-paling masyarakat berkomentar, “Ah dia itu
sebelumnya pengangguran”. Atau “Untung lolos sehingga predikat
premannya tersembunyikan”.
Akan tetapi apabila orang yang berstatus seperti ini gagal dalam
perjuangaannya, ia yang mempunyai predikat seperti ini akan lebih
berbahaya lagi tindakannya di masyarakat. Nah, untuk menghindari
tekanan-tekanan di masyarakat itulah, pengecekan kembali kekuatan
dan kemungkinan keberhasilannya perlu dilakukan. Mereka harus
mengira-ngira dukungan masyarakat agar mampu menerima
kenyataan yang dihadapi nanti, agar mampu mengendalikan diri.
Di jaman sekarang, kompetisi antar calon anggota legislatif itu
cukup ketat di banding sebelumnya. Pada masa Orde Baru partailah
yang memilih aktivis untuk dicalonkan. Force dan kekuasaan untuk
memilih ada pada partai dan pejabat-pejabatnya yang berpengaruh.
Calon anggota hanya tunduk dan menerima “nasibnya”. Kenyataan
seperti ini membuat pasraha para kandidat. Sedangkan di jaman
sekarang, disamping harus berkompetisi dengan rekan-rekan satu
partai, pembiayaan untuk berkampanyepun harus ditanggung
sendiri. Bahkan beberapa pihak juga merasa “pembiayaan” kepada
partai demi pencalonnya itu harus dilakukan oleh kandidat itu
sendiri. Membikin baliho, spanduk, menggaji petugas merupakan
tugas mandiri dari politisi. Kekalahan dan kegagalan tidak saja berarti
prestise anjlok, juga biaya ekonomi menjadi luar biasa besar hilang.
Disinilah potensi besar menjadi orang yang sakit atau berpotensi
menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Dengan konteks itulah, maka bagaimanapun kunjungan kembali
dan upaya mengira-ngira potensi kekalahan maupun kemenangan
perlu dilakukan sejak sekarang. Masyarakat tidak boleh terganggu
atas kekalahan (juga kemenangan) dari calon anggota legislatif ini.
Tidak ada yang salah dari masyarakat. Kekeliruan atau keberhasilan
terletak di tangan sang kandidat. Menjadi anggota legislatif hanya
GPB Suka Arjawa
189
salah satu dari upaya mengabdi masyarakat, hanya sebagian kecil
cara untuk meningkatkan prestise. Kalau ada yang menganggap
sebagai celah untuk mencari pekerjaan dan kekayaan, lebih mundur
saja dari calon, sekarang! Di masyarakat masih banyak ada orangorang yang lebih mampu dan lebih ideal. 
190
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Masyarakat Kerja Keras
Mengawal Perda RTRW
M
asih terasa remang-remang apakah Perda No. 16 Tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi
Bali (RTRW) memang tidak akan direvisi lagi oleh DPRD
Bali, atau hal itu akan dikonsultasikan lagi kepada Kemendagrai di
Jakarta. Akan tetapi, dari beberapa media diungkapkan bahwa para
petinggi DPRD Bali katanya telah menyatakan tidak akan merevisi
perda tersebut.
Keputusan dengan surat tertulis ini telah diketahui oleh Aliansi
Masyarakat Bali yang sebelumnya secara getol mempertahankan agar
Perda tersebut dipertahankan. Semua pihak sebaiknya menyambut
baik keputusan ini (tidak ada revisi), dan tentu saja berterima
kasih kepada lembaga legislatif karena sebelumnya dikhawatirkan
akan melakukan revisi. Namun demikian, tidak ada salahnya tetap
mengkritisi dan waspada terhadap kebijakan tersebut terutama untuk
masa-masa mendatang. Bagaimanapun, tanah di Bali sangat eksotis,
mengundang selera, dan tantangan untuk memanfaatkannya.
Pada satu sisi, sikap DPRD Bali jelas menguntungkan banyak
pihak. Namun, pada sisi lain sikap ini boleh dikatakan berubah secara
mendadak, karena dalam waktu lama sebelumnya terkesan ngotot
agar pasan tentang bhisama itu ”digeser” ke dalam penjelasan Perda.
Perubahan cepat ini sesungguhnya juga harus ”diwaspadai”, apakah
perubahan sikap itu diakibatkan oleh desakan eleman masyarakat
yang demikian massif, mulai dari akademisi, agamawan, rohaniwan,
LSM sampai dengan para simpatisan. Atau perubahan itu justru
GPB Suka Arjawa
191
sebagai sebuah strategi politis-ekonomis jangka panjang yang
mungkin berasal dari kerjasama antara kaum politisi dengan para
pengusaha.
Jangan lupa, anggota DPRD adalah politisi, anggota partai, yang
mempunyai kiat-kiat khusus yang tidak diketahui oleh orang banyak.
Pengusaha adalah pihak yang selalu melihat peluang, entah bisnis di
depan mata yang harus segera dimaanfaatkan atau justru melihat
peluang bisnis lain di masa depan yang bisa ditunda pemanfaatannya
demi keuntungan berlipat-lipat nanti. Di jaman Republik Indonesia
masih dipimpin oleh Orde Baru, politisi dan pengusaha sering kali
dipandang mempunyai kongkalikong yang banyak merugikan negara
dan masyarakat.
Apabila perubahan sikap dari anggota DPRD tersebut disebabkan
oleh desakan-desakan kelompok masyarakat, ini merupakan hal
positif bagi Bali. Kedua belah pihak mempunyai kontribusi berguna.
Sumber daya opini yang dimiliki oleh masyarakat ternyata memiliki
kekuatan yang mampu dipakai untuk mengubah persepsi politisi
yang mempunyai peran membuat peraturan daerah. Potensi ini
berguna untuk mengontrol legislatif di masa depan, meski dengan
catatan harus digunakan dengan cara-cara yang sopan, tertib dan
tidak mengganggu ketertiban umum. Pihak DPRD juga mempunyai
peran positif karena mampu, bersedia dan mengakui kekuatan
masyarakat itu sebagai sebuah kebenaran yang ada di akar rumput.
Persekongkolan antara politisi dengan pengusaha, mempunyai
akibat yang luar biasa besarnya bagi masyarakat. Harus dilihat,
sebuah persekongkolan mempunyai beberapa dimensi yang hanya
bermanfaat untuk keuntungan persekongkolan tersebut. Yang paling
awal dan paling jelas adalah keuntungan bagi kedua belah pihak
dalam rentang waktu yang dekat. Ini misalnya dilakukan dengan jual
beli pasal-pasal yang dibuat oleh kelompok legislatif.
Pengusaha berupaya mendekati kelompok legislatif agar
pasal tertentu ditambah atau dihilangkan demi tujuan-tujuan
korporasinya. Pasal yang memihak pengusaha inilah produk dan hasil
persekongkolan tersebut. Dari hasil jual beli pasal ini, pengusaha
atau kelompok pengusaha akan mampu melegitimasi proyek yang
dilakukannya di daearah tertentu. Pada titik ini, legitimasi sosial
192
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tidak ada gunanya lagi. Meski masyarakat berkutat memprotes atas
proyek yang dinilai merugikan, proyek itu telah memiliki legitimasi
yang kuat, karena misalnya, dilindungi perda.
Kedua, persekongolan politisi-pengusahan ini berupaya ”menarik
diri” dari wacana kontroversial manakala wacana tersebut sedang
hangat di masyarakat. Tetapi, upaya seperti ini hanyalah berupa
strategi jangka panjang saja untuk mencari keuntungan lain.
Hubungan khusus antara legislatif (dan anggota-anggota legislatif)
dengan para pengusaha tentu saja masih bertahan dan berlangsung
”dibawah tangan” yang siapapaun tidak mampu mengetahuinya,
kecuali anggota persekongkolan tersebut. Pada konteks ini, peluang
untuk bermain-main termasuk diantaranya merevisi pasal-pasal
dalam sebuah peraturan (entah perundang-undangan atau peraturan
daerah) akan kembali terbuka di masa depan, manakala penerapan
peraturan tersebut kelihatan ketidakimbangannya.
Secara personal, anggota DPR (D) jelaslah tidak terjamin
kelangsungan hidupnya untuk menjadi anggota DPRD dalam jangka
panjang. Ada mekanisme tertentu yang harus dilalui agar posisi
sebagai anggota DPR (D) bisa bertahan lama, misalnya mempunyai
konstituen yang setia, sikap yang jujur sehingga dipercaya
konstituens.
Akan tetapi, pada sisi lain sebuah korporasi mempunyai
kemungkinan bertahan yang lebih lama, karena hanya pengusahapengusaha yang bermodal besarlah yang akan mampu melakukan
lobi sampai di tingkat legislatif. Yang paling ”abadi” dalam hubungan
antara politisi dan pengusaha adalah pola, cara, dan pendekatan
antara dua abelah pihak. Jadi, meskipun dalam dua tahun mendatang
para anggota DPRD itu telah pensiun, tidak ada jaminan pendekatanpendekatan antara pengusaha dengan lembaga legislatif akan
berhenti. Pendekatan itu tetap ada demi melancarkan usaha.
Karena itu, kalau misalnya saat ini anggota DPRD Bali memang
benar-benar tidak merevisi Perda RTRW ini, maka segenap
komponen masyarakat di Bali, harus tetap waspada dengan apa ayang
terjadi pada setelah dua tahun atau lima tahun mendatang. Tetap
ada kemungkinan anggota DPRD untuk melakukan kajian ulang
(merevisi) perda tersebut apabila dalam perjalanannya muncul
GPB Suka Arjawa
193
berbagai macam protes karena dipandang merugikan. Melalui
modal yang dimilikinya para pengusaha ini akan memungkinkan
merekayasa peristiwa yang seolah-olah perda tersebut merugikan
masyarakat banyak.
Misalnya isu tentang bedol desa sebagai akibat dari efek negatif
dari penerapan bhisama. Segenap komponen masyarakat Bali harus
waspada dengan hal ini. Karena kepentingan yang sama, bukan
tidak mungkin para pengusaha itu akan bersatu. Harus juga dilihat,
jangan-jangan kebijakan-kebijakan pengusaha itu telah ”ditetapkan’
dari Jakarta, sebagai sebuah kebijakan pembangunan nasional. Hal
ini juga harus diwaspadai, sebab kemungkinan ini ada. Konon ada
keinginan DPRD Bali untuk berkonsultasi dengan pihak Kemendagri
soal penerapan perda ini.
Dengan demikian, demi menghindari terulangnya keinginan
DPRD Bali untuk merevisi perda RTRW ini, maka pekerjaan besar
lain yang harus dilakukan masyarakat adalah saat pemilihan
anggota DPRD di berbagai tingkat dua tahun nanti. Masyarakat
harus mampu memilih secara bersih, tidak terpengaruh serangan
fajar, memilih calon yang benar-benar jujur dan tidak memihak
kepentingan pengusaha. Dari sekarang masyarakat harus melihat
gelagat-gelagat calon angota DPRD tersebut. tentu juga harus mampu
memilih bupati, walikota dan gubernur yang mampu diajak menjaga
Bali. 
194
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Daerah Tingkat II, Kebijakan
Otonomi Paling Ideal
K
ebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah,
mulai mendapat serangan dan kritikan. Masih munculnya
pergolakan-pergolakan daerah seperti yang terjadi di Papua
serta munculnya raja-raja kecil penguasa daerah pada tingkat
II (misalnya bupati yang terlalu kuasa), membuat kebijakan ini
dipertanyakan oleh banyak pihak. Akibat dari berbagai kritikan itu,
munculah kemudian pemikiran agar otonomi tersebut diberikan
pada propinsi. Meski adanya berbagai kritikan, satu yang jelas
harus diperhatikan bahwa sebagai sebuah pemikiran yang hendak
diterapkan di Indonesia, otonomi daerah itu tetap diperlukan.
Konsepsi ini diakui penting untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang ada di Indonesia, baik yang bersifat ekonomi, sosial,
maupun politis. Hanya saja, yang harus dipikirkan, apakah perlu
otonomi itu digeser lagi ke tingkat provinsi atau ada kebijakan lain?
Otonomi daerah, dari sisi konsepnya memiliki makna kebebasan.
Akan tetapi kebebasan ini terbatas. Di Indonesia otonomi daerah
itu jatuh pada tingkat kabupaten dan kota. Artinya pemerintah
pusat memberikan kebebasan kepada daerah tingkat dua ini untuk
membuat kebijakan yang sesuai dengan konteks sosial yang ada
di daerah tersebut. Akan tetapi, kebebasan itu tidaklah berarti
seenaknya sendiri, tanpa ada pengawasan dari pemerintah pusat.
Sebab, bagaimanapun Indonesia adalah negara kesatuan yang mana
tidak ada boleh daerah-daerah yang maunya seenaknya sendiri.
Dari sisi politis, konsepsi otonomi daerah ini adalah sebuah
GPB Suka Arjawa
195
upaya dari pemerintah untuk mengejawantahkan tuntutan
reformasi dan demokratisasi. Sebab, demokratisasi memaknakan
adanya pengakuan terhadap kemampuan, kelebihan dan dinamisasi
daerah terhadap pemerintah pusat. Artinya dimungkinkan bagi
pemerintah daerah untuk mempunyai pendapat yang berbeda
dengan pemerintah pusat karena daerah memiliki karakter tersendiri
dan daerah itulah yang paling tahu dengan kondisi riil mereka. Secara
politis juga, konsepsi otonomi daerah ini mempunyai tujuan untuk
meredam pergolakan-pergolakan yang mungkin terjadi di daerah.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami persoalan ini
seperti pada kasus PRRI/Permesta, DI/TII, LOGIS, termasuk upaya
pemisahan diri, misalnya di Aceh atau Papua. Maka dengan memberi
keleluasaan kepada daerah untuk membuat kebijakan, diharapkan
pergolakan-pergolakan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu,
tidak akan terulang.
Secara sosial, konsepsi otonomi daerah itu merupakan wujud
upaya pendekatan pemerintah dengan masyarakat. Ditetapkannya
tingkat kabupaten sebagai ”pengemban” otonomi daerah karena
wilayah itulah yang paling dekat dengan rakyat. Daerah tingkat
II merupakan wilayah politik paling bawah dari pemerintahan di
Indonesia, yang mempunyai sentuhan langsung dengan rakyat. Jadi,
dibandingkan dengan pemerintah pusat, bahkan dengan pemerintah
propinsi, hanya pemerintahan di kabupatenlah yang paling mampu
mengenali sikap, sifat dan kebutuhan paling riil dari daerah yang
bersangkutan. Dengan pengetahuan riil seperti itu, model-model
kebijakan akan lebih realistis kalau dibuat oleh pemerintah
kabupeten.
Dari berbagai pemikiran itulah kebijakan otonomi daerah ini
diharapkan akan mampu memberikan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi. Tingkat pertumbuhan ini akan dimungkinkan
karena kebijakan telah dilakukan secara lebih tepat. Juga dengan
kebijakan otonomi daerah itulah diharapkan akan terbentuk keadilan
sosial di Indonesia karena kebijakan yang dibuat sesuai dengan
kenyataan yang ada.
196
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Raja-raja Daerah
Akan tetapi munculnya penguasa baru yang mirip seperti raja di
daerah tingkat II itulah yang kemudian membuat kebijakan otonomi
daerah ini menjadi kacau.
Kalau dilihat dari sisi potensi untuk menjadi raja-raja kecil di
daerah itu, sesungguhnya ada dua, yakni oknum pimpinan daerah
(seperti bupati atau walikota) dan oknum anggota DPRD. Sebagai
individu paling berpengaruh di daerah tingkat II, oknum pimpinan
ini berpotensi membuat kebijakan yang paling menguntungkan
dirinya. Pimpinan daerah jelas mempunyai ”rekan” yang lebih besar
di DPRD II karena ia biasanya merupakan representasi dari partai
yang paling berpengaruh di daerah yang bersangkutan. Adanya
koneksitas antara oknum pimpinan dan anggota legislatif inilah
membuat segala yang cita-cita ideal dari otonomi daerah tersebut
tidak bisa berjalan dengan baik. Apalagi apabila dikaitkan dengan
fakta sosial politik sekarang, dimana seorang pimpinan daerah dan
anggota DPRD harus mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk
bisa tampil di panggung politik. Potensi untuk menyelewengkan
pemaknaan terhadap otonomi daerah itu sangatlah besar.
Apabila konteksnya seperti diatas, maka sesungguhnya ini adalah
persoalan perilaku politis dan faktor budaya. Baik perilaku politik
masyarakat maupun perilaku politik elit politik, masih belum mampu
menjiwai bagaimana politik itu sesungguhnya. Politik adalah sebuah
pengabdian kepada masyarakat, tanpa melihat kekuasaan sebagai
faktor hegemoni dan tidak melihat kekuasaan itu sebagai sumber
daya ekonomi. Masyarakat seharusnya melihat politik itu sebagai
sebuah upaya untuk mengatur kesejahteraan dan keadilan. Karena
itu, pilihan politis yang dilakukan seharusnya bebas dari ”biaya”.
Akan tetapi, perilaku inilah yang tidak dipahami oleh kedua pihak.
Kemiskinan, tuntutan ekonomi dan keperluaan sesaat justru
membuat masyarakat itu bersedia disogok. Dan faktor inilah yang
menjadi kunci yang kemudian pengaruhnya kemana-mana. Sogokan
itu menjadi kebiasaan, membuat biaya politis semakin mahal.
Biaya politis semakin mahal membuat hutang dari politisi semakin
meningkat.
Dalam bidang praktik politik seperti ini, budaya sosial di Indoensia
GPB Suka Arjawa
197
justru terlihat sangat abu-abu. Katakanlah misalnya budaya saling
tolong-menolong. Bahasa minta tolong yang dikeluarkan oleh politisi
ketika sedang berkampanye, justru direspon dengan minta tolong
juga oleh rakyat dalam bentuk pertolongan ekonomi. Bahasa abuabu inilah yang ikut mengacaukan lelaku politik yang terjadi di
Indonesia.
Maka, apabila konteksnya demikian, sesungguhnya ”pergeseran
otonomi” itu tidak perlu terjadi. Tidak perlu adanya perubahan basis
otonomi dari daerah tingkat II menuju daerah tingkat I, sebab secara
ideal daerah tingkat II merupakan jawaban bagi otonomi di Indonesia.
Daerah inilah yang paling dekat dengan masyarakat dan daerah
inilah yang menjadi ” perwakilan” politik dari pemerintah pusat. Yang
harus diperbaiki adalah perilaku politik elit dan masyarakat serta
mental budaya sosial kita. Setelah ini diperbaiki barulah akan bisa
ditekan perilaku-perilaku raja kecil di daerah tersebut.
Pada akhirnya, dalam praktik budaya paternalistik, atasan
memang harus mampu memberikan contoh kepada bawahan.
Hanya dengan cara itu akan mampu diperbaiki mental politisis
di Indonesia. Percuma memindahkan otonomi ke propinsi apabila
mental dan perilaku politik kita masih seperti yang diuraikan diatas.

198
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Memanfaatkan Sisa Waktu
Secara Maksimal
S
ukar menghilangkan kesan sinis masyarakat terhadap partai
politik. Kepada anggota legislatif yang merupakan produk dari
partai politik, pendapat masyarakat ini juga cukup mengerikan.
Sebagian besar mengatakan anggota legislatif itu pembohong,
lembaga legislatif sebagai wilayah paling korup dan hanya sedikit
yang menyebut mereka itu berperilaku sopan. Mungkin yang
terakhir ini lebih banyak terjadi menjelang pemilihan umum karena
mereka menggunakan segala daya (termasuk daya yang ada pada
dirinya, yaitu kesopanan itu) untuk meraih suara. Predikat-predikat
”mengerikan” ini seharusnya mampu memberikan pelajaran kepada
calon anggota legislatif yang beberapa hari nanti nasib, usaha dan
takdirnya ditentukan melalui pemilihan umum langsung di tanah air.
Mengapa mereka dikatakan pembohong? Sesungguhnya mencari
pembenaran terhadap kata-kata pembohong ini agak sulit. Namun
amat mungkin disebabkan oleh strategi kampanye calon anggota
legislatif yang lebih banyak mengandalkan suara (janji) ketimbang
sumber daya yang dimilikinya. Sudah menjadi ”pelajaran” warisan
kalau masyarakat dipakai obyek oleh politisi menjelang pemilihan
umum. Kondisi ini bisa dilihat dari realitas sosial di masyarakat
dan realitas kemampuan yang dimiliki oleh calon anggota legislatif
tersebut. Janji merupakan respon terhadap kenyataan sosial
yang kurang di masyarakat. Artinya ada fakta tentang berbagai
kekurangan dihadapai oleh masyarakat. Kekurangan inilah kemudian
dieksploatasi oleh calon anggota legislatif yang juga memiliki
GPB Suka Arjawa
199
kekurangan dalam sumber dayanya. Geografi dan demografi Indonsia
sangat mendukung hal itu secara nyata. Dan paling kelihatan adalah
sarana transportasi sosial, yaitu jalan raya.
Dimanapun di Indonesia dijumpai sarana transportasi yang rusak.
Padahal, sarana ini merupakan faktor utama penentu kehidupan
manusia (bukan sekedar masyarakat). Dengan transportasi lancar,
orang bisa berkomunikasi, mengagregasikan kepentingan dan
mampu memberikan pilihan untuk pemenuhan hidup mereka.
Kontestan biasanya menyasar hal ini demi janji-janji politiknya.
Inilah yang paling biasa dijumpai manakala berlangsung masa
kampanye. Dalam hal transportasi, kebohongan terjadi karena
sanagat sulit memperbaiki sarana transportasi dalam waktu lima
tahun, apalagi dengan waktu kurang dari itu dengan panjang belasan
kilometer, misalnya. Kesulitan-kesulitan ini tidak diketahui oleh
masyarakat dan juga oleh calon anggota legislatif yang secara mudah
mengeluarkan janji. Jadi, kedua pihak sebenarnya juga lengah.
Dalam hal pemenuhan kesejahteraan dan peningkatan ekonomi,
pemenuhan janji-janji juga sangat sulit dilakukan. Peningkatan
penghasilan dan kesejahteraan (termasuk kesehatan), tidak akan
mungkin bisa tercapai kalau masyarakat tidak mengubah orientasi
hidupnya. Banyak politisi yang tidak mampu menjelaskan persoalan
ini sehingga secara mudah memberikan janji-janji peningkatan
kesejahteraan dan peningkatan kesehatan. Perubahan cara hidup
merupakan hal mutlak dilakukan untuk bisa mencapai harapan
tersebut. Namun, mengubah perilaku dan cara hidup itu sulit,
memerlukan waktu dan memerlukan bimbingan.
Para calon politisi tidak pernah membawa pembimbing dan
sejenisnya untuk melakukan ”terapi sosial” itu kepada masyarakat.
Kebohongan muncul karena tidak ada kesepahaman di bidang ini.
Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang juga membuat bagaimana
sukarnya pemerintah memberantas dan menekan kemiskinan, meski
rumahnya sudah dipoles dengan berbagai cara. Jadi, para calon
anggota legislatif seharusnya sudah memahami hal ini jauh-jauh
hari menjelang kampanye.
Mengapa lembaga legislatif dipandang sebagai lembaga paling
korup? Pada tataran teori pilihan rasional, korupnya lembaga
200
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
tersebut merupakan imbas citra daru aktornya. Aktor utama dari
lembaga legislatif ini tidak lain dari para anggota legislatif tersebut.
Merekalah yang melakukan korupsi sehingga digeneralisir oleh
publik bahwa lembaga legislatif itu merupakan lembaga paling korup
di Indonesia. Kalaupun penilaian ini benar, maka merupakan fakta
paling menyedihkan karena disinilah pengawasan kepada eksekutif,
proses penganggaran dan pembuatan perundang-undangan negara
(daerah) digodok. Bagaimana mungkin output dan outcome dari
lembaga itu mampu memberikan hasil positif kalau para aktornya
diisi oleh orang-orang yang korupsi. Logikanya, semua fungsi-fungsi
itu akan berjalan menyimpang kalau prosesnya diisi dengan suapsuapan dan sejenisnya. Pengawasan kepada eksekutif tidak akan
mampu berjalan secara adil manakala anggota legislatif bungkam
karena telah diberikan bungkusan, misalnya.
Secara teoritis, korupsi yang terjadi pada lembaga legislatif ini
disebabkan oleh adanya sifat pragmatis dua pihak antara masyarakat
dengan calon anggota legislatif. Korupsi kemudian berkorelasi dengan
hukum ekonomi. Pragmatisme model kampanye itu didorong oleh
situasi sosial yang saling mendukung. Di tengah kemiskinan dan
ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu politik, secara mudah
kemudian dibuatkan janji dengan memberikan bantuan komplit
berupa barang atau uang.
Bantuan ini merupakan bentuk konkrit dari kampaanye sehingga
mampu memancing kepercayaan pada masyarakat yang berkulifikasi
seperti yang diutarakan tadi. Bagi calon anggota legislatif, bantuan itu
merupakan bentuk rasional yang mampu menghemat tenaga, waktu,
kemampuan persuasif, bahkan dana. Dengan memberi bantuan
demikian, calon anggota legislatif tidak akan perlu lagi bolak-balik ke
wilayah tersebut untuk meyakinkan masyarakat dalam memilihnya.
Juga tidak perlu mengeluarkan keahlian mengubah sikap dan pola
pikir masyarakat agar mamilihnya nanti. Jadi banyak hal yang bisa
diirit. Inilah bentuk pragmatisme dua pihak yang laing mengisi.
Rakyat juga tidak perlu repot-repot mencari sumbangan karena dana
sudah diberikan. Model pragmatisme seperti inilah yang membuat
politisi banyak uang minim ilmu masuk melenggang menuju gedung
lembaga legislatif.
GPB Suka Arjawa
201
Tetapi persoalannya kemudian, dana dan uang yang dikeluarkan
oleh para kandidat itu, harus dikembalikan lagi. Dari sinilah muncul
berbagai upaya untuk mengembalikan uang tersebut, termasuk
misalnya mendapatkan uang dari pengusaha, dari eksekutif yang
mau nyogok, dari pihak manapun asal dana kampanye kembali.
Jadi, kalau ada jalur hijau yang dijadikan bangunan, gunung yang
dibolduser diratakan menjadi dataran, bekas lahar dikuras sampai
habis, amat mungkin berasal dari fenomena diatas.
Maka, tidak bisa lain, kalau politisi tersebut sudah tidak bisa lagi
diubah perilakunya, sikap dan tindak tanduk mereka, apa boleh buat,
perbaikan itu harus dilakukan oleh masyarakat. Dalam konteks ini
masyarakat harus ”mengalah” dengan belajar lebih banyak untuk
mengetahui kualitas para calon anggota legislatif. Kosentrasikan
diri melihat kejujuran dan kemampuannya menaati hukum. Jika
ada politisi yang tetap ngotot berkampanye di masa minggu tenang,
masyarakat bisa menilai bagaimana perilaku mereka, masih pantas
dipilih atau tidak! 
202
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Pilihan Senator Cermin
Sikap Politik Masyarakat
A
nggota legislatif terpilih sudah mulai kelihatan kepastiannya
setelah sidang pleno yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan
Umum tingkat kabupaten beberapa waktu lalu. Demikian
pula halnya dengan anggota senator yang akan mewakili daerah
menju Jakarta. Dalam konteks Bali, disitulah kelihatan bagaimana
konfigurasi politik di wilayah ini, pola demografis sampai dengan
budaya politik dari masyarakat.
Feodalisme, keragaman, pembaruan sampai dengan konser­
vatisme masih tetap tergambarkan dari beberapa hasil yang
didapatkan anggota legislatif 2014-2019 ini. Tentu banyak pula
kekecewaan (bahkan mungkin penyesalan) dari calon anggota
legislatif yang ternyata tidak terpilih. Bisa jadi pula keterkejutan
karenaa ternyata cukup banyak incumbent yang kini tersingkir.
Ketersingkiran ini mudah-mudahan menjadi sebuah pembelajaran
dan pendewasaan bagi mereka.
Namun calon anggota legislatif yang tersingkir karena selisih
suara kecil, kemungkinan meninggalkan perasaan penasaran.
Mungkin mereka kecewa akan tetapi sesungguhnya kekalahan
tipis ini merupakan modal dasar untuk melaju pada ajang-ajang
berikut, termasuk pemilu lima tahun lagi. Dukungan politik apabila
pendekatannya dilakukaan secara kontinyu, ibarat menumbuhkaan
sebuah pohon yang rajin dirawat. Ia akan terus tumbuh membesar di
masa mendatang. Jadi para politisi yang tersingkir karena kekalahan
tipis, peliharalah harapan tersebut dengan baik agar membesar di
GPB Suka Arjawa
203
masa depan.
Yang pertama mesti dikomentari adalah komposisi senator Bali
ke Jakarta. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (senator itu), jelas
berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal daerah.
Dari sisi fungsional, seorang wakil daerah harus memperjuangkan
daerahnya di pusat. Segala kepentingan daerah tersebut mesti
diperjuangkan. Inti yang paling utama fungsi dari seorang senator
adalah memperjuangan identitas yang menjadi karakter dari daerah
tersebut. Maka, mereka yang menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah harus tahu apa yang menjadi ciri atau karakter dari daerahnya
sendiri.
Dalam hal Bali, tentu ciri tersebut adalah budaya yang didasarkan
pada kehinduan. Tidak bisa dilupakan juga, stabilitas dan harmoni
sosial yang telah terpelihara di Bali turun temurun. Akulturasi juga
bisa dikatakan sebagai identitas Bali. Inilah yang seharusnya menjadi
pokok perhatian dari para anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
Bali. Tetapi harap juga diingat bahwa perubahan sosial merupakan
gejala yang sangat kelihatan di Bali sekarang. Di luar fungsi DPD
seperti yang tertera dalam konstitusi, para senator itu harus
memahami seberapa jauh perubahan sosial itu mempunyai akibat
positif dan dampak negatif bagi perkembangan sosial. Identitas lain
dari Bali tentu saja kepariwisataan.
Belakangan telah muncul suara-suara dari masyarakat lapis
bawah bahwa pariwisata tidak seluruhnya memberikan akibat positif
bagi masyarakat dan daerah. Itulah yang mesti dikaji ke depan.
Bagaimana harus menyikapi pariwisata ini agar bisa memberikan
manfaat lebih besar kepada subyek pariwisata itu sendiri, yaitu
budaya dan masyarakat Bali.
Dari sisi keanggotaan anggota DPD dari Bali ini, ada beberapa hal
yang bisa ditafsirkan. Masyarakat Bali secara umum bisa dikatakan
masih mempunyai sifat feodalis yang kuat. Feodalis itu mempunyai
akar pada pertanian. Paling tidak itu terlihat dari keturunan puri
atau yang menyerempet-nyerempet masalah itu yang terpilih sebagai
anggota DPD. Puri adalah pusat kekuasaan di masa lalu, dimana
kekuatan sosial dari puri itu ada pada bidang pertanian. Dari sini
saja sebenarnya sudah mendapatkan pesan bahwa masyarakat Bali
204
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
(terutama para elit-elitnya, termasuk pada senator ini) harus hati-hati
mengembangkan pariwisata yang berbasiskan liberalisme. Budaya
pertanian tidak cocok dengan liberalis, kecuali pertanian berbasis
industri. Pertanian di Bali masih didasarkan kepada s kerakyatan
karena semuanya dikerjakan oleh tenaga manusia. Pertemuan
antara budaya ini (liberalis dan agraris) di Bali, akan menimbulkan
tabrakan. Itulah yang memunculkan kemiskinan karena masyarakat
kebingungan menyisihkan waktu antara ”menghamba” kepada
budaya pertanian (misalnya ritual) atau menghamba kepada budaya
indutstri (yang sangat mengutamakan waktu).
Catatan lain soal keanggotaan DPD ini adalah keberhasilan
seorang seniman. Keberhasilannya mempertahnkan diri sebagai
anggota DPD juga mencerminkan satu hal bagi masyarakat di Bali.
Dengan tetap menghargai usaha dan kerja keras yang dilakukan
oleh seniman tersebut, masyarakat Bali cenderung terlihat sebagai
komunitas yang sedang tertekan. Kemungkinan masyarakat menjadi
korban demikian derasnya perubahan sosial yang sampai menggerus
sektor dasar dari kehidupan sosial. Karena itu, sebagai upaya untuk
mengutarakan uneg-uneg, seniman lawak dipakai sebagai sebuah
pelepasan dalam pemilihan. Toh juga ini merupakan kegiatan
politik yang bisa mewakili budaya gerak Bali di kancah nasional.
Keberhasilan untuk mempertahankan keanggotaan ini juga
dipengaruhi secara psikologis oleh fenomena tersebut.
Meskipun tidak mendapat tempat sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah, kompisisi demografis di Bali sudah mulai
berubah. Anggota yang berasal dari agama Islam telah berhasil
mengumpulkan suara signifikan dalam pengumpulan suara. Sekali
lagi, meskipun tidak terpilih sebagai anggota DPD akan tetapi
perolehan suaranya telah memberikan indikasi bahwa demografi Bali
sudah mulai berubah dan akan terus demikian di masa mendatang.
Ini juga menjadi tugas bagi para senator ini untuk memelihara
harmoni ke depan, menanamkan pengertian bagaimana membentuk
model-model solodaritas bagi Bali di masa mendatang.
Masyarakat Hindu di Bali mesti mempunyai cara pandang baru
dalam melakukan tata cara sosial. Misalnya yang paling mendesak
adalah bagaimana merasionalisasikan atau lebih menyederhanakan
GPB Suka Arjawa
205
segala ritual itu agar menjadi lebih hemat waktu, tenaga dan uang.
Penyederahaan ini akan mampu memberikan ruang kompetisi yang
lebih fair antara masyarakat Hindu dengan masyarakat agama lainnya
dalam dunia kerja. Penyederhanaan ritual itu sangat dimungkinkan
dan bisa dipraktikkan asal para petinggi agama mampu melakukan
penafsiran yang benar tentang ajaran agama. Dan yang paling
penting masyarakat bisa menyatukan pikiran taanpa harus berkonflik
antar sesama.
Hal kedua yang harus dilihat dari hasil pemilu ini adalah
tampilnya banyak pendatang baru di ajang legislatif. Ini menjadi
tantangan tersendiri bagi Bali. Agar tidak mengulangi persoalan
klasik dalam jagat politik Indonesia, maka para pendatang baru ini
harus belajar mengejar pengetahuan, mendahului tugasnya sebagai
legislator. Kritik yang disampikan kepada legislator terdahulu adalah
tidak paham tentang apa itu politik akar rumput. Politik seperti ini
terjemahannya memahami perbagai persoalan yang dihadapi oleh
konstituen. Karena itu perjuangan para politisi ini berupa menyerap
persoalan di konstituens untuk selanjutnya diperjuankan di arena
politik (parlemen) baik pada tingkat daerah maupun nasional.\
206
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Tanda-Tanda Kebingungan dan
Kegagalan Reformasi Indonesia
P
ersoalan demokrasi dan reformasi di Indonesia saat ini benarbenar merupakan masalah membingungkan. Demokrasi
sebagai sebuah upaya penyelenggaraan pemerintahan melalui
pilihan rakyat, sudah berlangsung sejak saat reformasi. Bentuknya,
menyangkut segala hal yang bersifat kepemimpinan eksekutif
(publik), dipilih secara langsung oleh rakyat. Jadi, pemilihan
presiden sampai dengan kepala kampung di tingkat masyarakat,
telah dilakukan pemilihan langsung.
Di Bali, pemilihan kepala dinas, yaitu pemimpin pemerintahan
di lingkungan paling kecil di masyarakat, dilakukan melalui
pemungutan suara. Kini, tiba-tiba ada usulan kalau pemilihan bupati
dan gubernur dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Sebagian anggota DPR, terutama dari Poros Merah Putih,
diperkirakan akan menyetujui usulan tersebut.
Pilihan oleh DPRD ini dalam konteks budaya politik masyarakat
Indonesia, bisa jadi dikatakan sebagai sebuah kebingungan elit dan
rakyat untuk menghadapi dirinya sendiri. Awalnya, bisa dikatakan
sebagai sebuah upaya putus asa menghadapi budaya politik
masyarakat yang erat dengan gotong royong, tepa selera dan korupsi.
Praktik demikian misalnya terwujud ketika ada pilihan anggota
DPRD maupun bupati. Para juru kampanye dan orang dekat dari
calon-calon tersebut datang menuju masyarakat akar rumput untuk
mengumpulkan suara. Ada berbagai cara untuk meraup suara.
Kalau tidak dengan ancaman, pengumpulan itu dilakukan dengan
GPB Suka Arjawa
207
membeli suara berwujud menyuap anggota masyarakat. Ancaman
dan pembelian suara, bukanlah cara-cara demokrasi, bukan juga
metode yang dibenarkan oleh reformasi Indonesia.
Akan tetapi, pemberian bantuan berupa uang atau materi, bisa
dikatakan sebagai bentuk tepa selera dan gotong royong. Membangun
balai masyarakat yang dibantu oleh para politisi, merupakan bentuk
gotong royong. Namun pemberian inipun bisa dikatakan sebagai
upaya penyuapan. Dan penyuapan yang telah menjadi model, akan
membentuk kebiasaan masyarakat. Akibatnya, mereka tidak akan
pernah mengerti dan tidak akan pernah dewasa berpolitik. Demokrasi
yang dihasilkan dari pembelian suara atau menakut-nakuti rakyat,
bukanlah demokrasi sebenarnya karena berasal dari kepentingan
orang lain. Demokrasi sesungguhnya berasal dari diri sendiri, bukan
dari kepentingan orang lain.
Maka, ketika ada upaya pemilihan gubernur atau bupati melalui
mekanisme DPRD, sesungguhnya bisa dikatakan positif kalau
memang ingin menghindari praktik pembodohan dari dan kepada
masyarakat ini. Tidak akan terjadi pembelian suara atau upaya
menakut-nakuti masyarkat apabila pemilihan itu dilakukan oleh
anggota DPRD.
Tetapi pertanyaannya, apakah kemudian anggota DPRD terjamin
kejujurannya ketika harus memilih bupati atau gubernur? Ada
pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan bupati oleh anggota
DPRD memungkinkan biaya yang dikeluarkan calon lebih besar.
Yakni digunakan untuk menyuap anggota legislatif yang memilihnya.
Budaya korupsi yang masih mengakar di Indonesia, dikhawatirkan
akan tetap hinggap pada anggota legialtif ini. Sampai dengan saat ini,
masih belum ada jaminan kalau para elit-elit pemerintah Indonesia
bebas dari korupsi. Bahwa Jero Wacik, Andi Mallarangeng dan
Suryadharma Ali dijadikan sebagai terdakwa korupsi, membuktikan
bahwa keperluan akan uang itu sangat tidak terbatas di Indonesia.
Semua orang bisa korupsi. Maka ketika pemilihan bupati
diserahkan kepada anggota DPRD, ini tidak akan menyelesaikan
persoalan apabila tujuannya untuk memberantas korupsi,
memberantas politik uang, atau memberantas budaya tolong
menolong yang negatif tersebut. Jika dikatakan pengeluaran calon
208
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
bupati atau gubernur dikatakan semakin kecil, juga bukan jaminan
karena biaya untuk menyuap anggota DPRD akan berlimpah ruah
juga dibandingkan dengan membeli suara dari masyarakat.
Inilah tanda-tanda kebingunan Indonesia menghadapi hasil
reformasi yang dicapai tahun 1998. Inti dari persoalannya adalah
bagaimana Indonesia mampu menghilangkan budaya korupsi
tersebut karena fenomena itu telah melekat, menjadi kebiasaan
dan mengakar di Indoensia. Ada ranah budaya yang disentuhnya.
Apabila boleh dinilai, titik kekeliruan reformasi Indonesia sudah
mulai kelihatan. Jelas masyarakat perlu reformasi tetapi yang lebih
diperlukan lagi sebelum reformasi itu berjalan, adalah pembenahan
masalah mental dan budaya korupsi tersebut. Inilah yang seharusnya
dibenahi jauh-jauh hari sebelum reformasi itu dilakukan tahun 1998.
Mestinya ada kesepakatan nasional, mestinya ada kesadaran elit
untuk membenahi mental budaya korupsi tersebut, dan mestinya
ada kesadaran untuk melakukan yang terbaik demi negara.
Disamping kebingungaan menghadapi persoalan budaya
korupsi, adanya keinginan untuk kembali memberikan hak kepada
anggota DPRD untuk memilih gubernur dan bupati/walikota, dan
itu melalui legitimasi DPR pusat, fenomena ini memperlihatkan
keanehan dan benar-benar memperlihatkan politisi Indonesia
itu mementingkan kelompok dan mementingkan diri sendiri.
Mereka tidak memperhatikan rakyat yang sebenarnya dan memilih
mementingkan dirinya sendiri untuk kepentingan subyektif.
Dari satu sisi, politisi kita tidak tahu malu dengan anak-anak
mahasiswa Indonesia yang bahu membahu menumbangkan Orde
Baru di tahun 1998 dalam kerangka reformasi. Kalau patokannya
dipakai reformasi sebagai tolok ukur pembangunan demokrasi di
Indonesia sekarang, maka politisi sekarang seolah-olah tidak merasa
berterima kasih dengan mahasiswa kita tahun 1998. Politisi kita
yang seolah menerima (mendapatkan hadiah) lapangan reformasi,
kemudian tega-teganyaa mencoreng lapangan tersebut, padahal
mereka tidak ikut berjuang di masa lalu. Atau apabila memang politisi
sekarang ikut pada perjuangan tahun 1998, alangkah munafiknya
mereka ketika harus kembali mengikuti pola rekrutmen yang dipakai
oleh Orde Baru.
GPB Suka Arjawa
209
Mereka yang kini duduk di partai politik, di parlemen, bahkan
di jajaran eksekutif, benar-benar munafik dan tidak mampu
mengendalikan diri. Mereka lemah dalam berpolitik sehingga
mudah sekali terpengaruh oleh pihak-pihak lain atau kepentingan
kelompok. Jika tidak demikian, mengapa harus mudah berbalik arah
dari semula mendukung pilihan langsung, tiba-tiba kini mendukung
pemilihan oleh anggota DPRD. 
210
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Negara Lain Memutari Mars,
Politisi Indonesia Berputar-Putar
S
ampai dengan pukul 18.00 Wita, perdebatan anggota DPR
tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah, masih sengit
di gedung parlemen. Berbagai pendapat bermunculan,
memperlihatkan bahwa baik pemilihan langsung maupun tidak
langsung, ternyata mempunyai pengikut yang banyak. Apapun
keputusannya nanti, jelas akan berdampak bagi masyarakat.
Meski demikian, apabila pemungutan suara itu nanti memberikan
keunggulan kepada kelompok yang mendukung pemilihan tidak
langsung (dilakukan oleh DPRD), maka kemungkinan aka nada
proses lanjutan lagi, yakni adanya tinjauan oleh Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi, proses ini sangat menarik diperhatikan
dari sisi praktik politik elit negara Indonesia dihubungkan dengan
prestasi yang diperoleh.
Hanya sekedar ilustrasi saja, di Korea Selatan (Icheon) saat
ini, prestasi Indonesia jauh terpuruk di gelanggang Asian Games.
Pengumpulan medali justru di bawah Mongolia, Hongkong dan
Malaysia. Padahal tiga negara ini di masa decade tujuhpuluhan
statusnya hanya “terdengar” saja dibandingkan Indonesia. Artinya
Indonesia jauh melampaui prestasi negara itu di bidang olahraga.
Pada saat yang sama, ada berita yang menyebutkan bahwa India
telah berhasil mengorbitkan satelitnya di planet Mars. India, yang
dibalik kesuksesana sebagian rakyatnya, konon memiliki kelompok
masyarakat paling miskin di Asia. Akan tetapi, tetap mampu focus
untuk meraih prestasi tinggi di bidang ilmu pengetahuan. Ini adalah
GPB Suka Arjawa
211
jalan masuk menuju prestasi-prestasi lain di bidang apapaun juga.
Kembali ke masalah perdebatan yang tidak habis di parlemen,
substansi apa yang bisa dihasilkan untuk meraih prestasi pada berbagai
bidang yang membanggakan masyarakat kalau hanya masalah
pemilihan kepala daerah saja diutak-atik sedemikian bombastis,
entah demi ambisi atau demi nilai-nilai politik yang diperjuangkan.
Dari sisi elit politik, fenomena ini cukup mempengaruhi sikap
masyarakat, dalam arti sikap yang tidak mendukung nilai-nilai
kefokusan, inti perhatian yang harus dilakukan. Posisi elit politik
dalam kasanah masyarakat Indonesia, secara strukturatif akan
mudah membiongkar masa lalu dan prediksi masa depan dari politik
ini. Pembongkaran masa lalu ini tidak hanya kepada perjalanan
elit itu sendiri, tetapi juga kelompok atau partai, bahkan kepada
pemikirannya sekaligus. Ke depan, juga akan bisa dilihat bagaimana
gaya dari kelompok-kelompok seperti ini. Derrida, sosiolog dan juga
filsuf post modern kurang lebih memperkenalkan memperkenalkan
tentang upaya pencarian jejak dari sikap seseorang atau kelompok
berdasarkan tindakan dan sikapnya sekarang. Dari pencarian jejak
itulah kemudian bisa coba dikaitkan dengan kemungkinan prestasiprestasi masa depan yang diraih.
Keberhasilan India mengorbitkan satelitnya di Mars, tidak
maungkin dicapai apabila tidak ada dukungan dari pemerintah berupa
riset teknologi dan pengetahuan. Dan itulah yang ditanam oleh India
sejak berdkade-dekade yang lalu. Mereka focus di bidang itu untuk
merangnag generasi mudanya berprestasi. Keberhasilan Malaysia
meraih medali emas, di Asian Games disebabkan oleh kosentrasi
lebih utama pada cabang-cabang olahraga itu karena politiknya
sudah stabil dan pembangunan ekonomi telah mencapai tujuannya.
Mereka focus di bidang olahraga, focus di bidang pendidikan dan
berani melangkah ke depan dengan pasti. Mensponsori ajang F1
bukan tantangan lagi bagi mereka.
Di bawa ke ranah tersebut maka, bolak-baliknya sikap politisi
Indonesia di DPR pusat memperlihatkan bahwa focus untuk
pembangunan politik ini tidak ada. Hanya dua windu setelah
refeormasi, fatsun politik nasional diobrak-abrik, dari pemilihan
langsung menuju pemilihan tidak langsung. Jangankan plot politik ini
212
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
nanti menang, adanya gerakan untuk kembali ke Orde Baru itu saja
sudah merupakan kemunduran besar bagi reformasi. Dicari jejaknya
ke belakang, ada gambaran bahwa politisi seperti ini pemahaman
kebudayaan Indonesianya kurang. Bahkan mungkin tidak mumpuni.
Dilihat dari awal abad ke-20 saja, kultur masyarakat Indonesia
itu memang lambat. Bisa dilihat dari tari-tariannya (seperti yang
ada di Jawa). Atau cara berbicara. Di situ juga akan tergambarkan
bagaimana budaya politiknya. Artinya setiap pembaruan politik,
memang pasti memerlukan penyesuaian yang panjang agar menjadi
budaya yang benar-benar dijiwai oleh masyarakat.
Para pelopor demokrasi Indonesia, yaitu para penggerak reformasi
tahun 1998, harus tahu bahwa demokrasi yang diperkenalkan di
Indonesia ini lebih mirip dengan demokrasi bebas seperti di negaranegara Barat. Seharusnya para politisi dan penggerak demokrasi itu
tahu bahwa menyelami kehidupan demokrasi Barat di negara yang
mempunyai latar belakang demokrasi Pancasila (juga terpimpin)
dengan budaya gerak yang lamabat, memerlukan penyesuaian
panjang. Benturan antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi
Barat itu saja memerlukan penyesuaian panjang. Apalagi kemudian
di negara yang budaya sosialnya memang terkesan lambat. Maka
konsekusnsi dari pelaksanaan demokrasi ini harus dipikirkan
masak-masak ketika saat pertama hendak digulirkan dahulu. Kalau
kemudian hanya dua windu saja sudah dipotong, maka yang terkesan
adalah bahwa Indonesia dan bangsa Indonesia ini sebagai sebuah
eksperimen. Politik tidak boleh dipakai sebagai eksperimen.
Dari titik ini bolehlah dikatakan kalau para elit politik kita kurang
memahami budaya dan budaya politik masyarakat Indonesia. Kalau
dicari jejaknya ke belakang, ada kemungkinan disebabkan oleh
reformasi yang terlalu cepat. Reformasi cepat memungkinkan bagi
politisi-politisi yang sebelumnya tidak berpengalaman dan kemudian
memaksakan diri menjadi politisi. Yang muncul, kalau bukan politisi
gadungan dan karbitan adalah mereka yang terlalu mengandalkan
kekuasaan. Kalau mereka berlatar intelektual, mungkin juga
disebabkan oleh mereka terkungkung oleh ambisi intelektualnya
sendiri sehingga memandang remeh pihak lain.
Politisi yang mempunyai orientasi kembali ke Orde Baru itu,
GPB Suka Arjawa
213
ketidakkonsistennya cukup kelihatan. Sebagian mungkin mereka ikut
menolak Megawai Soekarnoputri menjadi presiden tahun 1999 (lewat
Poros Tengah) dan kemudian memilih Gus Dur sebagai presiden.
Tetapi politisi inilah sebagian yang kemudian “menumbangkan” Gus
Dur di tengah jalan lalu memilih kembali Megawati Soekarnoputri
menjadi presiden. Pada waktu itu mereka mungkin tidak membaca ke
depan apa yang akan terjadi pada Gus Dur dan bagaimana Megawati
itu. Jika dibandingkan dengan fenomena ini, maka keinginan untuk
kembali ke masa Orde Baru (pemilihan kepala daerah oleh DPRD),
tidak ada bedanya dengan saat Poros Tengah “menumbangkan”
Gus Dur.
Di Indonesia yang masyarakatnya mempunyai budaya lambat
seperti itu, memerlukan kajian dan pemikiran yang lebih luas. Jika
memaksa memperkenalkan demokrasi yang berjalan cepat, silahkan
berikan waktu yang lebih panjang agar generasi mampu memahami
dan memperlajari kelemahannya. Sangatlah tidak elok apabila
kelemahan itu semata-mata dilihat dari kegagalan meraih kekuasaan.
Sejarah tahun 1959 telah memberikan pelajaran besar bagi Indonesia
bahwa masyarakat dan elit, tidak mampu berdemokrasi liberal.
Karena itu seharusnya inilah dipakai pedoman dahulu ketika memilih
demokrasi bebas diperkenalkan tahun 1998.
Politisi terkadang tidak memperhitungkan biaya lain, terutama
biaya beban kepada masyarakat. Mereka tidak memperhitungkan
ketegangan, tersendatnya proses sosial, juga ego persaingan di
tingkat akar rumput. Perdebatan berlarut ini saja sudah memberikan
beban kepada masyarakat. Belum lagi misalnya kalau harus dibawa
ke ranah Mahkamah Konstitusi lagi. Sebagian politisi Indonesia
tidak kedap sosial dan terlalu memperhatikan kelompoknya sendiri.
Orang lain sudah mengitari planet Mars, sudah mengumandangkan
lagu kebangsaan di arena olahraga dunia, politisi Indonesia masih
berputar-putar dengan egonya sendiri dan ada dari mereka mungkin
tidak hafal lagi Indonesia Raya. 
214
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Kegaduhan dan Kekonyolan
Penampilan Awal Anggota DPR
P
elajaran pertama dari anggota DPR baru Indonesia adalah
kegaduhan. Ini terjadi ketika pemilihan pimpinan lembaga itu
hari Rabu malam. Sudah banyak diduga bahwa koalisi Merah
Putih akan mampu merebut posisi ketua parlemen. Apalagi dengan
demikian membingungkannya sikap Partai Demokrat. Kendati begitu
tidaklah segala protes itu dilakukan dengan cara gaduh. Apalagi ini
merupakan sidang dan “penampakan” pertama dari anggota DPR
periode 2014-2019. Ada beberapa pelajaran yang mampu dipetik
masyarakat Indonesia pada peristiwa di sepanjang proses pelantikan
anggota DPR tersebut.
Yang pertama adalah memaknai sikap dan perilaku anggota
DPR. Kalaupun banyak anggota DPR yang mencoba narsis, selfy
atau foto bareng dengan keluarga seusai dilantik, fenomena ini
bolehlah dimaklumi sebagai bagian dari arus perubahan jaman.
Meskipun perilaku seperti itu seharusnya bisa di rem oleh mereka
yang berpredikat sebagai anggota parlemen karena mereka sudah
dewasa dan mewakili berbagai ragam kondisi sosial (masyarakat
miskin, kaya, sedang berjuang dan sebagainya), akan tetapi begitu
derasnya perubahan sosial, harus dimaklumi perilaku ke remajaanremajaan itu.
Ketika kemudian anggota DPR ini sudah memperlihatkan
kegaduhan di saat sidangnya yang pertama kali, teladan apa yang
bisa diberikan kepada masyarakat? Dari gambar tayang televise,
fenomena gaduhnya wakil rakyat di tingkat pusat itu, mirip dengan
GPB Suka Arjawa
215
orang main tajen. Tangannya naik mengacung seolah-olah mereka
mau bertaruh uang dengan lawan taruhnya itu. Atau ribut seperti
sedang jualan di pasar umum, ketika di tengah protes itu ada anggota
yang seenaknya teriak melalui microphone. Atau tiba-tiba saja tidak
tahu etika nyelonong ke tempat pimpinan sementara, yang entah
membisikkan kata apa di tempat itu. Fenomena demikian sungguh
kacau balau.
Di dalam arena politik, peristiwa kegaduhan tersebut sungguh
sangat tidak mencerminkan adanya peristiwa politik. Inilah
kekonyolan dari anggota DPR karena seharusnya mereka bermain
politik. Bertambah konyol lagi kalau kegaduhan itu terjadi di saat
pertama kali sidang. Lembaga parlemen merupakan wilayah politik
yang paling elit. Negara (dan setiap negara), sengaja menciptakan
sebuah ruang, gedung, termasuk dengan berbagai fasilitas mewahnya,
untuk melakukan adu argimentasi pikiraan-pikiran yang menyangkut
kemasyarakatan. Masyarakatlah yang menjadi pokok tujuan pertama.
Karena masyarakat itu ada di dalam satu kekuasaan dan batas-batas
negara, maka hubungan antara rakyaat dengan kenegaraan itulah
yang menjadi perhatian selanjutnya.
Politik di gedung ini harus dilakukan dengan akal sehat,
bernurani, sopan, beretika dan penuh perhitungan demi mencapai
kesinambungan antara rakyat dengan hal kenegaraan tersebut.
Untuk mencapai tujuan itulah anggota parlemen mendapatkan segala
prioritas utama, dan mendapat sebutan terhormat. Di beberapa
negara malah mendapatkan hak imunitas hukum. Mereka, para
anggota parlemen itu harus “membalas” segala prioritas itu dengan
berbagai usaha maksimal seperti upaya pengendalian diri, berfikir
focus, mengerti arti etika, sopan termasuk tangkas dalam mengatur
strategi pembicaraan.
Lingkungan parlemen merupakan intisari politik karenaa
merupakan saringan dari berbagai perhitungan dan strategi yang
sudah berjenjang dari tingkat paling bawah (akar rumput). Karena
itu, perdebatan di lembaga ini sesungguhnya sebuah arena seni,
intelek dan memberi inspirasi bagi siapa saja. Itulah yang membuat
di banyak negara, perdebatan di parlemen itu disiarkaan langsung
kepada masyarakat luas. Dan adanya ruang khusus bagi masyarakat
216
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
umum di gedung parlemen, bisa ditarik keberadaannya dari logika
ini.Masyarakat yang berminat boleh menyaksikan secara langsung
kegiatan dan perdebatan itu. Sudah tentu pula ada ruang khusus
bagi insane pres. Politik di parlemen harus sepenuhnya datang dari
otak, tersalur secara rapi lewat kata, bukan dari tudingan tangan atau
kalimat-kalimat teriakan.
Ketika kemudian anggota DPR itu terlihat gaduh maka cerminan
yang muncul adalah bahwa mereka salah tempat. Dan rakyat
memang salah memilih atau partai salah mengkader anggotanya.
Masyarakat harus belajar banyak dari hal ini. Apabila di awal-awal
tugas sudah bersikap gaduh seperti itu, maka tidaklah banyak yang
bisa diharapkan dari para anggota parlemen ini di masa mendatang.
Perkenalan pertama sudah gaduh, yang dikhawatirkan selanjutnya
adalah kerusuhan di gedung parlemen. Kalau ini terjadi, maka akan
bertambah fatal lah Indonesia. Blok politik di gedung parlemen
Indonesia sekarang, ditambah dengan kualitas kegaduhan yang
mereka taampakkan, membuat kekhawatiran tentang kerusuhan di
parlemen itu semakin meningkat di masa depan.
Memang benar di beberapa negara, terutama di kawasan Asia
Timur, ada anggota parelemen yang berkelahi di gedung. Tetapi ini
bukan contoh yang baik. Jepang, Taiwan dan Korea Selatan pernah
anggota parlemennya berkelahi. Harus juga dilihat, masyarakat di
negara tersebut tingkat kemakmuran dan kesadaran relasional dan
kesadaran bernegaranya sudah lebih tinggi dari Indonesia.
Artinya meski anggota parlemen di negara itu berkelahi, sangat
tipis kemungkinan akan dicontoh oleh masyarakatnya dan tidak
terlalu menganggu stabilitas ekonomi dan sosial negara. Di Indonesia,
“pertempuran” di parlemen akan memberikan contoh ke tingkat yang
lebih di bawah, termasuk rakyat. Inilah yang menjadi pelajaran kedua
kedua dari peristiwa tersebut. Setiap anggota parlemen di Indonesia,
harus menyadari bahwa ia bukan saja seorang politisi tetapi juga
seorang patron, contoh sosial bagi konstituensnya. 
GPB Suka Arjawa
217
218
PRESIDEN, PARTAI POLITIK, DAN MASYARAKAT
Tentang Penulis
foto
GPB Suka Arjawa
219
Download