5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Coturnix coturnix japonica

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Puyuh
Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan
banyak dipelihara di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri bagian kepala,
punggung dan sayap berwarna coklat tua dengan garis coklat muda berkombinasi
totol-totol hitam. Bulu dadanya berwarna merah kombinasi totol-totol yang lebih
jelas. Bagian perut berwarna coklat muda merah. Puyuh betina memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar dari pada puyuh jantan. Puyuh betina memiliki warna
coklat yang lebih terang dengan warna coklat muda bergradasi putih ke bawah
dan leher memiliki bulu berwarna putih yang lebih lebar (Marsudi dan Saparinto,
2012). Shanaway (1994) menyatakan bahwa puyuh dapat di klasifikasi sebagai
berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Galliformes
Sub ordo
: Galli
Famili
: Phasianidae
Subfamili
: Odontophorinae
Genus
: Coturnix
Spesies
: Coturnix coturnix japonica
Puyuh merupakan ternak berdarah panas. Woodard et al. (1973)
menyatakan bahwa rataan suhu tubuh puyuh betina dewasa adalah antara 41,842,4°C. Suhu lingkungan yang optimal untuk puyuh fully feathered adalah 24°C
dan untuk anak puyuh (day old quail) adalah 35°C. Kelembaban lingkungan yang
optimal untuk puyuh adalah antara 30-80%.
Puyuh merupakan ternak yang potensial sebagai penghasil telur.
Keunggulan puyuh dari ternak unggas yang lain adalah laju produksi telur yang
cepat dan tinggi (Harjanto, 2009). Puyuh berpotensi meningkatkan pendapatan
5
6
peternak karena biaya pemeliharaan yang ekonomis salah satunya kandang ini
disebabkan oleh ukuran serta bobot badan yang kecil sehingga tidak memerlukan
area yang luas untuk satu ekor per satuan luasnya (Faitarone et al., 2005). Puyuh
sudah mulai berproduksi pada umur 41 hari dengan produksi telur rata-rata 200300 butir/tahun dengan bobot rata-rata 10 g/butir (Harjanto, 2009). Bobot rata-rata
seekor puyuh betina sekitar 150 g dan mencapai puncak produksi lebih dari 80%
pada minggu ke-13. Produktivitasnya akan menurun dengan persentase bertelur
kurang dari 50% di atas 14 bulan, kemudian berhenti bertelur saat berumur 30
bulan. Puyuh jantan dewasa memiliki bobot badan sekitar 100-140 g (Anggorodi,
1995).
B. Ransum
Ransum merupakan pakan jadi yang siap diberikan pada ternak yang
disusun dari berbagai jenis bahan pakan yang sudah dihitung (dikalkulasi)
sebelumnya berdasarkan kebutuhan nutrien dan energi yang diperlukan.
Berdasarkan bentuknya, ransum dibagi menjadi tiga jenis yaitu mash, pellet dan
crumble. Ransum dengan masing-masing bentuk memiliki tingkat kecernaan yang
berbeda (Alamsyah, 2005). Kebutuhan nutrien puyuh yang harus dipenuni pada
fase starter, grower dan layer dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrien puyuh petelur starter, grower dan layer
Nutrien
Starter
Grower
Energi metabolis (Kkal/Kg)
Min. 2800
Min. 2.600
Protein kasar (%)
Min. 19
Min. 17
Lemak kasar (%)
Maks. 7
Maks. 7
Serat kasar (%)
Maks. 6,5
Maks. 7
Abu (%)
Maks. 8
Maks. 8
Ca (%)
0,90-1,20
0,90-1,20
Fosfor (%)
0,6-1,00
0,6-1,00
Lisin (%)
Min.1,10
Min. 0,80
Metionin (%)
Min. 0,40
Min. 0,35
Metionin + Sistin (%)
Min. 0,60
Min. 0,50
Sumber: Standar Nasional Indonesia (2006).
Layer
Min. 2.700
Min. 17
Maks. 7
Maks. 7
Maks. 14
2,50-3,50
0,6-1,00
Min. 0,90
Min. 0,40
Min. 0,60
7
Jumlah ransum yang diberikan kepada puyuh harus diperhatikan.
Pemberian ransum ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi
ransum dan tingkat produksi. Ransum yang diberikan pada ternak harus
disesuaikan dengan umur dan kebutuhannya. Hal ini bertujuan untuk
mengefisiensikan penggunaan ransum. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa
jumlah ransum harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi dan tersedia terusmenerus (Tabel 2.).
Tabel 2. Jumlah ransum yang diberikan per hari menurut umur puyuh
Umur Burung Puyuh
Jumlah ransum yang diberikan per ekor (g)
1 hari - 1 minggu
2
1 minggu - 2 minggu
4
2 minggu - 4 minggu
8
4 minggu - 5 minggu
13
5 minggu - 6 minggu
15
diatas 6 minggu
17-19
Sumber : Listiyowati dan Roospitasari (2005).
C. Kepadatan Kandang
Kepadatan kandang menjadi faktor ekonomi yang sangat penting dalam
industri perunggasan. Kepadatan kandang yang tinggi akan mengurangi biaya
penyediaan kandang, tempat pakan dan minum. Pelaku industri perunggasan
petelur cenderung menerapkan tingkat kepadatan kandang yang tinggi untuk
meningkatkan laba dan memperbesar margin keuntungan (Faitarone, 2005).
Sementara itu, kondisi kandang puyuh harus disesuaikan dengan jenis dan ukuran
ternak (Ensminger, 1992).
Kepadatan dalam kandang yang tinggi akan mengakibatkan penurunan
konsumsi pakan secara linier (Seker et al., 2009). Kandang yang terlalu sempit
menyebabkan puyuh berdesak-desakan berebut pakan, sehingga konsumsi pakan
tidak merata (Listyowati dan Roospitasari, 2005). Turunnya produksi telur dan
bobot telur juga dipengaruhi kepadatan yang tinggi (Rodenburg, 2005). Luas
lantai yang semakin sempit akan menurunkan pertumbuhan puyuh (Bobwhite) dan
8
dapat juga meningkatkan mortalitas. Mortalitas yang tinggi pada kandang yang
padat disebabkan oleh faktor stres dan persaingan di dalam kandang (Wilson et
al., 1978). Selain itu, beban radiasi internal yang dihasilkan oleh puyuh akan
meningkatkan kelembaban kandang yang tinggi karena proses evaporasi (panting)
seiring meningkatnya kepadatan kandang (Ahmad et al., 2006; Baziz et al., 2010).
Hal tersebut akan menciptakan kondisi yang buruk yaitu menurunkan performa,
kesuburan, kekebalan tubuh, peningkatan ammonia, kanibalisme dan mortalitas
(Heckert et al., 2002; Askar dan Assaf, 2004; Dhaliwal et al., 2008).
Tabel 3. Standar kepadatan kandang puyuh yang disesuaikan dengan umur
Umur (minggu)
Daya Tampung (ekor/m2)
0-1
100
1-3
80
3-6
50
6-dst
50
Sumber : Direktorat Perbibitan Ternak (2011)
Cekaman panas disebabkan oleh proses metabolik dan diimbangi dengan
pelepasan panas (Hafez, 1968). Ternak harus membuang hasil produksi panas dari
dalam tubuhnya untuk dapat mempertahankan suhu tubuh. Pelepasan panas dapat
berupa sensible heat loss dengan cara konduksi, konveksi dan radiasi atau
insensible heat loss dengan cara evaporasi (panting) melalui respirasi (Austic dan
Nesheim, 1990). Unggas yang dipelihara pada suhu 23°C, 75% panas tubuh
dibuang secara sensible, selebihnya 25% dikeluarkan secara insensible, sebaliknya
bila suhu lingkungan meningkat sampai 35°C sebanyak 75% panas tubuh dibuang
melalui proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible
(Mohammad, 2014). Panting yang berlebihan akan menyebabkan tidak efisiennya
penggunaan energi oleh ternak (Austic dan Nesheim, 1990). Morris (2004)
menyatakan bahwa panting yang berkelanjutan akan menyebabkan tidak
tersedianya energi metabolik yang cukup untuk mendukung produksi yang
normal. Stres panas akan menurunkan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan
transport nutrien yang berakibat pada penurunan produksi telur (Miles, 2001).
Bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh konsumsi air akan meningkat untuk
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Akibatnya adalah nafsu makan,
9
nutrien yang dikonsumsi dan efisiensi pakan menurun (Ozbey et al., 2004;
Rahardjo, 2012). Menurunnya produksi telur dan bobot telur adalah respon awal
menurunnya konsumsi pakan (Ali et al., 1991; Saki et al., 2012).
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh kepadatan yang tinggi
terhadap performa ternak unggas. Hasil penelitian Asghar et al. (2012)
menyatakan kepadatan kandang pada ayam White Leghorn fase layer dengan 4
tingkat kepadatan berbeda yaitu 0,2; 0,1; 0,0667 dan 0,05 ekor/m2 meningkatkan
konsumsi, produksi telur, massa telur dan menurunkan nilai konversi pakannya.
Menurut Faitaron et al. (2005) puyuh yang dipelihara dalam kepadatan kandang
36, 47, 57 dan 66 ekor/m2 mengalami penurunan konsumsi, produksi telur, massa
telur dan meningkatkan nilai konversi pakan.
D. Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176 dengan
rumus molekul C6H8O6 (Gambar 1.). Asam askorbat dapat dalam bentuk kristal
tidak berwarna dan memiliki titik cair 190-192°C. Vitamin C bersifat larut dalam
air dan sedikit larut dalam aseton dan alkohol yang mempunyai berat molekul
rendah. Vitamin C sukar larut dalam chloroform, ether dan benzene. Vitamin C
pada pH rendah lebih stabil dari pada pH tinggi. Vitamin C mudah teroksidasi,
lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim askorbat oksidase, sinar,
temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih
stabil apabila tidak ada katalisator (Sudarmadji et al., 1997).
HO
H
OH
HO
O
O
OH
Gambar 1. Rumus Bangun Vitamin C (Sudarmadji et al., 1997).
Vitamin C dapat dibentuk
L-askorbat
dan asam
L-dehidroaskorbat,
keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat sangat mudah
10
teroksidasi secara reversibel menjadi L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat
secara kimia sangat stabil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi
asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keefektifan vitamin C lagi (Winarno,
1992).
Vitamin C atau asam askorbat dikenal sebagai antistres yang baik dan
banyak dimanfaatkan pada unggas karena dibutuhkan dalam reaksi hidroksilasi
pada sistem saraf dan medulla adrenal (Pardue et al., 1986). Vitamin C dapat
mengaktivasi kelenjar tiroid untuk meningkatkan sekresi tiroksin yang mampu
meningkatkan sintesis protein, sementara katabolisme protein yang banyak
menghasilkan panas justru dikurangi, akibatnya ternak akan merasa lebih nyaman
(tidak dalam kondisi tercekam) (Cooper dan Washburn, 1998). Suplementasi
vitamin C digunakan dalam pakan puyuh karena sifat antioksidan yang mampu
menetralkan radikal bebas yang dihasilkan selama stres panas (Ramnath et al.,
2008).
Menurut Sahin et al. (2002) sintesis vitamin C dapat terjadi di dalam
tubuh unggas karena adanya enzim gulonolakton oksidase, tetapi saat kondisi
cekaman panas produksi vitamin C akan menurun sehingga kebutuhan vitamin C
meningkat. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya pembentukan vitamin C akibat
gangguan pada organ tubuh penghasil vitamin C tersebut sehingga untuk
memenuhi kebutuhannya perlu ditambahkan dari luar (Aengwanich, 2008a).
Ketika ternak menderita stres, maka sistem neurogenik langsung
diaktifkan (Virden dan Kidd 2009). Fase alarm stres ditandai dengan peningkatan
tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah dan respirasi. Bila upaya ini
gagal untuk mengatasi stres, maka tubuh akan mengaktifkan hypothalamicpituitary-adrenal cortical system. Ketika sistem ini diaktifkan, hipotalamus
menghasilkan corticotrophin-releasing factor, yang pada gilirannya merangsang
pituitari untuk pelepasan adreno kortikotropik hormon (ACTH). Sekresi ACTH
menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan
kortikosteroid. Hormon ini kemungkinan difasilitasi oleh aksi katekolamin yang
menyebabkan katekolamin merangsang corticotrophin-releasing factor yang
11
dibebaskan dari hipotalamus sehingga sirkulasi hormonal ini terus menerus terjadi
(Siegel 1995; Virden dan Kidd 2009).
Peningkatan hormon glukokortikoid yang dihasilkan adrenal kortek akan
menurunkan Triiodotironin (T3) yang diproduksi oleh kelenjar tiroid dalam
sirkulasi darah (Hilman et al., 2000; Sahin et al., 2001; Downing dan Bryden,
2002; Aengwanich, 2008a). Kehadiran kortikosteroid ini dapat mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid (Virden dan Kidd, 2009).
Terganggunya fungsi kekebalan tubuh tersebut ditandai dengan peningkatan rasio
heterofil-limfosit dalam darah (Davis et al., 2008; Tamzil et al., 2013). Mitzler
(1977) menyatakan bahwa aktivitas tiroid adalah pembentukan norepineprin
sehingga kemampuan ternak untuk membuang panas dengan memacu denyut
jantung dan dilatasi pembuluh darah perifer dapat ditingkatkan. Tolok ukur lain
yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat stres pada unggas adalah
konsentrasi kortikosteron dalam darah (Sohail et al., 2010; Tamzil et al., 2013).
Pemberian vitamin C dapat mengaktivasi kelenjar tiroid untuk meningkatkan
sekresi tiroksin karena sesuai dengan pernyataan Cooper dan Washburn (1998)
bahwa telah terbukti pula suplementasi vitamin C mampu meningkatkan sintesis
protein, sementara katabolisme protein yang banyak menghasilkan panas justru
dikurangi, akibatnya ternak akan merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi
tercekam). Kenyamanan akan merangsang pusat lapar yang berada di hipotalamus
sementara pusat haus dihambat. Selanjutnya kenyamanan pun akan merangsang
thyroid stimulating hormone (TSH) di hipotalamus, sehingga kelenjar tiroid akan
meningkatkan sekresi hormon tiroid baik tiroksin (T4) maupun triiodotironin.
Akibatnya, ayam yang nyaman akan meningkatkan konsumsi ransum,
metabolisme secara umum melalui peningkatan konsumsi oksigen serta
pertambahan bobot hidup.
Menurut penelitian Syahruddin (2013) suplementasi vitamin C dalam
kulit buah nanas 500 ppm pada ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi
(suhu 27 dan 33°C) dapat meningkatkan hormon tiroksin, karena vitamin C
memiliki gugus hidroksil yang mudah teroksidasi sehingga dengan mudah mampu
mendonorkan elektron dan hidrogen terhadap radikal bebas. Akibatnya radikal
12
bebas yang semula memiliki elektron yang tidak berpasangan menjadi stabil.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Ichsan (1991) bahwa peran vitamin C dalam aktivitas
tiroid mungkin terkait dengan fungsi vitamin C sebagai transport elektron,
sehingga dapat memberikan elektron dalam reaksi penggabungan dengan iodium
dalam pembentukan tiroksin, hal ini dapat menaikkan kadar tiroksin dalam plasma
darah. Sesuai dengan fungsi hormon tiroksin yang dihasilkan kelenjar tiroid
memegang peranan penting dalam mempercepat pertumbuhan dan metabolisme
energi (Sahin et al., 2001). Kusnadi et al. (2006) menyatakan bahwa vitamin C
berperan baik sebagai antioksidan, sehingga mampu mengatasi turunnya
konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan pada kondisi cekaman panas.
Aengwanich (2008b) kenaikan berat badan yang terjadi pada ayam yang diberi
vitamin C sebagai akibat dari pengaruh vitamin C pada fungsi kelenjar tiroid,
yaitu penyerapan iodium lebih besar pada ayam yang diberi 100 mg/kg vitamin C.
Suplementasi vitamin C sebanyak 800 mg/kg pakan dapat meningkatkan imunitas
humoral pada ayam broiler yang diberi cekaman panas (Aengwanich, 2008a).
E. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi seekor
ternak dalam 1 hari atau selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan
jumlah ransum sisa selama 24 jam (Anggorodi, 1995). Ransum pada unggas
digunakan untuk ketahanan tubuh, pertumbuhan, pertumbuhan bulu dan produksi
telur (North dan Bell, 1990). Pemberian ransum pada ternak puyuh harus
memperhatikan tingkat efisiensinya agar tidak terjadi pemborosan dan
pembuangan ransum (Marsudi dan Saparinto, 2012).
Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi ransum adalah bobot badan,
galur, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas ternak, mortalitas, kandungan
energi dalam ransum dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1990). Semakin tinggi
kandungan energi ransum, semakin sedikit ransum yang dikonsumsi. Puyuh dapat
menyesuaikan konsumsinya untuk memperoleh cukup energi, oleh karena itu
13
puyuh cenderung mengurangi konsumsi bila energi dalam tubuhnya telah
tercukupi dari ransum yang dikonsumsinya (Daulay et al., 2007).
Salah satu yang menurunkan konsumsi ransum adalah suhu lingkungan.
Teori dikenal dengan nama teori termostatik. Menurut Ferkert dan Gernat (2006)
saat suhu lingkungan tinggi nutrien yang dibutuhkan ternak untuk pertumbuhan
akan dialihkan untuk mendukung sistem kekebalan tubuh. Ternak yang
mengkonsumsi ransum saat kondisi suhu lingkungan tinggi akan mengalami
kelebihan panas akibat metabolik basal sehingga ternak untuk mengatasi kondisi
tersebut mengurangi konsumsi ransum.
Hasil penelitian Asghar et al. (2012) menyatakan kepadatan kandang
pada ayam White Leghorn fase layer yang meningkat kepadatan kandangnya
memberiakan hasil semakin rendah menurun konsumsi ransum. Hal tersebut
didukung Faitaron et al. (2005) menyatakan kepadatan kandang yang meningkat
akan mengalami penururunan konsumsi serta meningkatkan nilai konversi pakan.
Hasil penelitian Kusnadi (2006) menyatakan suplementasi vitamin C dengan level
250, 500 dan 750 ml/kg pada ransum dapat meningkatkan konsumsi ayam broiler
dengan kondisi cekaman panas.
F. Produksi Telur
Produksi telur merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pada
peternakan puyuh. Beberapa faktor dapat memengaruhi produksi telur antara lain
adalah ransum. Pemanfaatan ransum yang dikonsumsi ternak unggas adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok, setelah itu baru untuk pertumbuhan, produksi
dan sebagian dari ransum tersebut dikeluarkan sebagai sisa metabolisme
(Tugiyanti, 2005).
Listyowati dan Roospitasari (2009) menyatakan bahwa beberapa hal
yang menyebabkan puyuh tidak bertelur yaitu kandang yang terlalu gelap,
pengaruh pakan, minum dan suara gaduh. Cekaman kepadatan kandang yaitu
panting akan mempengaruhi produksi telur. Panting akan menurunkan proses
kadiovaskuler di dalam tubuh ternak mulai dari pencernaan hingga reproduksi,
14
serta aliran darah lain seperti ke tulang kaki sebagai penghasil kalsium (Miles,
2001). Hasil penelitian menunjukkan semakin meningkat temperatur akan
berakibat juga pada menurunnya produksi telur (Sterling et al., 2003). Menurut
Subekti (2005) peningkatan rerata produksi telur puyuh per hari yang semakin
meningkat dengan suplementasi vitamin C sebanyak 150 dan 300 mg/kg.
G. Massa Telur
Massa telur adalah hasil hitung perkalian antara bobot telur dengan
persentase produksi telur (Senkoylu et al., 2004). Massa telur dipengaruhi oleh
produksi telur dan bobot telur. Bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh
(Santos et al., 2011). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat
memengaruhi bobot telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan
ukuran telur dan kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Telur puyuh
memiliki bobot sekitar 10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) (Woodard et al.,
1973). Bobot telur semakin meningkat secara gradual seiring pertambahan umur
puyuh (Nagarajan et al., 1991).
Hasil penelitian Sloan dan Harms (1984) menunjukkan bahwa penurunan
bobot telur adalah respon produksi pertama yang diakibatkan oleh penurunan
konsumsi ransum. Menurut Faitarone et al. (2005) dengan tingkat kepadatan
kandang 38 hingga 47 ekor/m2 dapat menurunkan massa telur puyuh. Hasil
penelitian Hemid et al. (2010) menyatakan bahwa terjadi peningkatan massa telur
yang disuplementasi vitamin C sebesar 200 mg/kg pada ayam petelur.
H. Konversi Ransum
Konversi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi untuk
menghasilkan satu satuan produksi (pertambahan bobot badan, telur dan produksi
lainya). Semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu
satuan produksi maka semakin buruk ransum tersebut (Tillman et al., 1991).
15
Konversi ransum yang terbaik dicapai pada saat puyuh berumur 21-28 minggu
hari saat produksi telur mencapai puncak (Tiwari dan Panda, 1978).
Konversi ransum dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti umur, bangsa,
kandungan energi dan protein ransum, temperatur dan kesehatan unggas (Leeson
dan Summers, 1991). Semakin rendah angka konversi ransum berarti efisiensi
penggunaan ransum semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi angka konversi
ransum berarti tingkat efisiensi semakin rendah (Ensminger, 1992). Menurut
penelitian Faitaron et al. (2005) dan Asghar et al. (2012) menyatakan kepadatan
kandang yang semakin meningkat pada ayam White Leghorn fase layer dan
puyuh mengalami kenaikan nilai konversi pakan. Avci et al. (2005) menyatakan
bahwa suplementasi vitamin C sebanyak 500 mg/kg mampu menurunkan nilai
konversi pakan dan suplementasi vitamin C sebanyak 1000 mg/kg memberikan
respon lebih baik untuk penurunan nilai konversi ransum.
Download