piagam madinah dan teori kontrak sosial jean

advertisement
PIAGAM MADINAH DAN TEORI
KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU
Oleh:
Muamar
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H / 2007 M
PIAGAM MADINAH DAN TEORI
KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Muamar
NIM : 102045225177
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma., SH. MA. MM.
NIP. 150 210 422
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI J I N A Y A H S I Y A S A H
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428 H/2007 M
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan semesta alam,
Allah SWT, yang telah memberikan banyak limpahan karunia dan nikmatnya serta
pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai ungkapan
rasa syukur atas studi yang penulis jalani. Shalawat beriring salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Alhamdu lillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik, meskipun banyak halangan dan hambatan yang menghadang dalam
penulisan skripsi ini, namun akhirnya atas pertolongan Allah penulis dapat terus
istiqamah dan menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Fakultas
Syariah dan Hukum tetap eksis di tengah-tengah perkembangan dan perubahan
zaman.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai
pembimbing skripsi yang telah bersabar serta bersedia meluangkan waktu,
tenaga, dan pikirannya dalam membimbing skripsi ini.
3. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Mukri dan Ibunda Hj. Marsidah yang
telah mendidik, membimbing dan membesarkan penulis hingga saat ini dan
seterusnya, ya Allah limpahkanlah rahmat, maghfiroh, inayah dan keridhoan-Mu
kepada mereka sebagaimana mereka telah mendidikku sejak aku kecil. Doakan
anakmu agar menjadi anak yang shalih berbakti kepada kedua orang tua dan
bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama.
4. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah dan para Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas segala
ilmu yang telah kalian berikan, semoga ilmu yang telah kalian berikan bermanfaat
dan mendapatkan ridha dari Allah SWT.
5. Pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam penelusuran
bahan pustaka guna penyempurnaan skripsi ini.
6. Guru penulis, Habib Yusuf Syaikh Abu Bakar yang do’anya menjadi ruh yang
terus memacu penulis untuk senantiasa berbuat lebih baik.
7. Rekan-rekan mahasiswa Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah angkatan 2002 yang
dengan kekritisannya terus memacu semangat penulis dalam berkompetisi secara
akademis. Semoga kekritisan tersebut dapat berkembang menjadi kesuksesan
dalam karir selanjutnya.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga kebaikan dan
bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah
SWT.
Semoga skripsi ini bermanfaat dalam menambah wawasan khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi seluruh umat manusia, serta dapat memberikan sumbangan
bagi perkembangan ekonomi Islam. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap
aktifitas kita dalam berjuang di jalan-Nya, serta menjadikan kita semua sebagai
hamba-Nya yang bahagia di dunia dan akhirat. Âmin Allâhumma âmîn.
Jakarta, 9 Februari 2007
Penulis
Muamar
DAFTAR ISI
....
i
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .................................................................................................. ........ iv
BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................................... .......
1
A. Latar Belakang ....................................................................... ……
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... .......
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. …...
7
D. Metode Penelitian.................................................................... ……
8
E. Sistematika Penulisan ............................................................. …… 11
BAB II : PIAGAM MADINAH ................................................................. …… 13
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Piagam Madinah................... ........ 13
B. Prinsip-prinsip Piagam Madinah............................................ ........ 19
C. Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum dan Demokrasi .. ........ 23
BAB III : KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU ................ ........ 27
A.
Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques
Rousseau ................................................................................. ……. 27
B.
Interaksi Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Terhadap
Substansi Hukum dan Demokrasi ........................................... ……. 33
BAB IV: PERBANDINGAN
PIAGAM MADINAH DAN
TEORI KONTRAK SOSIAL
JEAN JACQUES ROUSSEAU
DARI SISI HUKUM DAN
DEMOKRASI
…… 39
A. Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi......................... …… 39
B. Persamaan visi antara Piagam Madinah
dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau ............................. …… 50
C. Perbedaan Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques
Rousseau dari Segi Hukum dan Demokrasi............................ …… 55
BAB V : PENUTUP
…… 65
A. Kesimpulan ............................................................................ …… 65
B. Saran-saran ............................................................................. …...
DAFTAR PUSTAKA
…… 70
LAMPIRAN …… 73
69
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini dalam studi politik Islam orang masih banyak berdebat mengenai ada atau
tidaknya demokrasi dalam ajaran Muhammad. Memang pada kenyataannya
Muhammad tidak pernah menggunakan istilah demokrasi sepanjang hidupnya, akan
tetapi subtansi dari demokrasi tersebut memang secara riil sudah ada pada masa
kenabiannya dan dalam sejarahnyapun pernah dilaksanakan pasca wafatnya
Muhammad SAW dan dimasa itulah pemilihan pemimpin di era kekosongan terjadi
(vacum of power) dengan kandidatnya adalah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar ibnu
Khattab. Dari sedikit contoh aktifitas kekuasaan tersebut, substansi demokrasi
memang sudah sering diterapkan dalam kehidupan Muhammad SAW, dari
perjanjian-perjanjian yang diakhiri dengan kesepakatan yang tertulis dan dijadikan
hukum bersosial dan bermasyarakat. Juga disusul dengan era-era yang selanjutnya
yaitu para penggantinya, walaupun banyak anggapan sering terjadi ketidakadilan
yang dipublikasikan oleh pihak-pihak tertentu.
Pada era selanjutnya muncul perdebatan mengenai konsep negara, terutama negara
demokrasi yang didalamnya mengedepankan hak-hak individual rakyat, dalam
perdebatan secara periodik itu, banyak filosof-filosof kenamaan, diantaranya, Thomas
Aquinas (1226-1274 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704
M), Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) dan lain-lainnya.1 Para pemikir Barat
tersebut melandaskan ajaran-ajaran demokrasi sebagai sistem negara yang ideal, yaitu
dengan mengangkat nilai-nilai keluhuran manusia. Dari dua peradaban kuno yakni
Romawi dan Yunani, bergulirlah konsep demokrasi dengan negara kota (city state).
Jauh sebelum masa tersebut (622 M), Muhammad SAW telah menggulirkan
perjanjian atau kontrak sosial dengan suku dan penganut agama lain di kota Yatsrib
dan sekitarnya. Diantara komunitas penganut Islam sampai kini mempunyai beberapa
pandangan, salahsatunya adalah pola yang mengatur interaksi antara Islam dan
ketatanegaraan, pandangan pertama menyatakan bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian Barat, yakni hanya hubungan antara manusia dan Tuhan,
sebaliknya Islam adalah agama sempurna yang mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Para pengikut pandangan ini pada umumnya berprinsip bahwa “Islam
adalah agama yang serba lengkap, baik dari segi sosial, budaya, politik dan
ketatanegaraannya yang mempunyai cara dan karakter tersendiri, tidak meniru Barat.2
Sejarah mencatat, setelah hijrahnya Muhammad SAW bin Abdullah dari
Mekkah ke Madinah, tak lama kemudian terbentuklah golongan yang menjunjung
h.61
1
Nuktoh Arfawie, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1,
2
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Press: 1993), ed. 5, h.1
nilai-nilai hak azasi manusia yang akhirnya melahirkan kesepakatan bersama antara
Muhammad SAW dan pengikutnya dengan suku-suku yang tinggal di Yatsrib dan
sekitarnya. Pada tahun 622 M, Muhammad SAW berhasil memformulasikan nilai
sebuah konstitusi dengan 13 komunitas yang plural dengan kebijakannya masingmasing, konsensus tersebut tertuang dalam 47 Pasal.
Konstitusi Madinah ini digalang untuk kepentingan bersama, mengantisipasi
meluasnya diskriminasi dan intimidasi antar sesama suku.3 Banyak diantara para
pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa piagam Madinah adalah
konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang
dipelopori oleh Muhammad SAW di kota Madinah.4 Kekaguman itu akan bertambah
apabila dikaitkan dengan masa pembentukannya yang ada dipermulaan dasawarsa
ketiga abad ke-7 Masehi, tepatnya 15 abad yang lalu.5
Disinilah, karakter Syari’at Islam menuntut penyelenggaraan pemerintahan dan
Rasulullah SAW mulai mengumpulkan komunitas yang minoritas tersebut menjadi
kesatuan mayoritas yang kuat dalam pemerintahan yang dikendalikannya,6 dengan
berbagai perjanjian-perjanjian, walaupun kontroversi tersebut ada, namun perjanjian
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press,
2005), Cet, Ke-1, h. 16
4
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit, h. 10
5
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta, UI Press, 1995), Cet. Ke-1,
h.3
6
Abdul Aziz, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Yayasan Al-Amin,
1984), Cet. ke-1, h. 7
sudah riil dibentuk oleh Muhammad SAW, akan tetapi tentang seputar kelanjutan
mendirikan pemerintahan itu masih menjadi perdebatan dikalangan para pemikir
Islam, tarik ulur antara tujuan dakwah dan tujuan mendirikan pemerintahan.
Dalam kaitannya dengan persoalan diatas, Barat juga mempunyai teori
tersendiri dalam mencari hak-hak manusia dimuka bumi ini dengan hak yang utuh
dan murni dari tuhannya. Sebut saja teori yang digagas oleh Jean Jacques
Rousseau misalnya, dengan karangannya yang berjudul “the social contract”7 ia
menggarisbawahi bahwa dalam sebuah negara haruslah terdapat kontrak sosial
antara pihak pemerintah dan rakyat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan
dalam hidupnya, diantaranya penegakan hukum, penghapusan perbudakan,
menghargai kebebasan berpendapat dan mengakui persamaan derajat.
Penguasa pemerintahan dapat melahirkan kebijakan yang menempatkan
hukum sebagai acuan, menegakkan keadilan dan mengangkat supremasi hukum,
maka ruang gerak hukum diberi otoritas atau wewenang untuk menjaga kondisi
yang merugikan rakyat dan pemerintah, sebaliknya, penguasa pemerintahan yang
membatasi ruang gerak hukum, terutama dengan mempersempit gerak hukum
dengan mengadakan kecurangan-kecurangan faktual atau pembodohan terhadap
alat-alat negara yang dibawah payung hukum, dengan kata lain, hukum-pun dapat
7
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract yang di alih bahasakan oleh Sumardjo,
(Jakarta, PT. Erlangga, 1986), tanpa cetakan, h. 4
berubah menjadi buram dan kondisi bangsa juga mengalami keterpurukan mental
serta pengkerdilan terhadap hukum itu sendiri sebagai akibat dari intervensi
penguasa.
Perkembangan hukum banyak diwarnai dengan adanya peristiwa-peristiwa
kenegaraan, kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang pro maupun yang kontra
terhadap kepentingan kalangan bawah ataukah pemerintahan formalitas yang
sekedar menjalankan kekuasaan saja, tanpa adanya kebijakan yang bermuara pada
kesejahteraan yang bersifat menyeluruh. Kontrak sosial tersebut dibarengi dengan
penerapan hukum (diatas) memang banyak dialami kerajaan atau negara manapun
karena penguasanya pada saat itu sangat berperan aktif dalam menjalankan politik
dan roda pemerintahannya, dari perannya tersebut hukum dapat dicipta dan
diamandemen sesuai dengan perjanjian yang disetujui antara kedua belah pihak.
Oleh karena itu, dengan didukung beberapa referensi yang valid, akhirnya
penulis mengambil keputusan untuk menyusun sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi
dengan judul dibawah ini:
“PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU”
B.
Pembatasan dan
Perumusan Masalah
Dalam upaya mendapatkan pembahasan tentang relevansi piagam madinah
dan teori kontrak sosial yang masing-masing dirumuskan oleh tokoh yang sangat
populer di dunia yang berasal dari kawasan timur tengah yaitu Muhammad SAW dan
Jean Jacques Rousseau adalah seorang tokoh yang hidup pada (1712-1778 M) dengan
karakter dan kesamaan visi antara keduanya. Agar memperoleh hasil dan sesuai
dengan subtansi yang penulis maksudkan, maka bahasan yang sistematis dan terarah
akan penulis sajikan dengan beberapa batasan seputar masalah hukum dan demokrasi.
Oleh karena itu, obyek penelitiannya adalah membandingkan piagam madinah
dengan teori kontrak sosial dalam pembentukan hukum dan demokrasi, kedua teori
tersebut terdapat kesamaan dan perbedaannya dalam menciptakan tatanan dunia,
dengan demikian, maka pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan (library research).
1.
Ruang Lingkup Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jacques Rousseau.
2.
Lahirnya Kedua Embrio Hukum dan Demokrasi di Era Klasik.
3.
Relevansi Dua Teori Yang Saling Membangun Nilai Kemanusiaan.
Adapun pembatasan diatas diharapkan dapat mengakomodir semua bahasan tanpa melenceng sedikitpun dari garis yang
penulis persiapkan sebelumnya.
Dengan urutan latar belakang dan pembatasan masalah yang membahas
tentang relevansi piagam madinah dan teori kontrak sosial dalam era demokrasi
modern ini, maka fokus penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan
pemahaman bagi para pembaca, berikut ini beberapa perumusan masalah yang perlu
dikaji dan dikritisi dalam membentuk format yang tepat dan relevan. Sehubungan
dengan permasalahan diatas, penulis akan menyajikan pertanyaan sebagai rumusan
masalah yang harus diteliti keberadaannya, adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Apa prinsip dasar piagam madinah dan kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau
dan tujuan utamanya?
2. Bagaimana proses lahirnya piagam madinah dan teori kontrak sosialnya Jean
Jacques Rousseau?
3. Apakah piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau
memuat aspek hukum dan demokrasi?
4. Faktor apa yang menyebabkan persamaan dan perbedaan karakter antara piagam
madinah dan kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkenaan dengan penelitian ini, maka penulis akan berusaha melakukan penelitian yang bersifat ilmiah terhadap
pembentukan teori hukum dan kenegaraan Islam dan Barat. Sedangkan tujuan dari penelitian ini antara lain :
1.
Untuk mengetahui formulasi Piagam Madinah dan teori kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau.
2.
Mengetahui aspek hukum dan demokrasi dalam Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau.
3.
Mengetahui komparasi Piagam Madinah dan teori kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau beserta kesamaannya.
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu; manfaat secara teoritis yakni untuk memperkaya
khasanah keilmuan dilingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan dilingkungan
Fakultas Syari’ah pada khususnya. Sedangkan makna secara praktis yaitu mengetahui lebih detail tentang konsep ketatanegaraan
Romawi dan negara Islam di era Muhammad SAW beserta praktik kedua negara tersebut sampai dengan diciptakannya hukum
yang dipakai sebagai pedoman dan undang-undang.
D. Metode Penelitian
Dengan jenis penelitian kualitatif ini, penulis berusaha mengkaji berbagai
sumber dan literatur untuk memperoleh keterangan rinci mengenai aspek hukum dan
demokrasi dalam Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau.
Sedangkan literatur dan data-data yang diperlukan pembahasan masalah ini berasal
dari buku yang berinteraksi dengan judul dan permasalahan yang ada, seperti
majalah, surat kabar, jurnal, internet, dan sumber-sumber yang mempunyai kekuatan
hukum kebenarannya sebagai bukti yang otentik dalam mencapai hasil penelitian.
Sehubungan dengan abstraksi pembahasan diatas, maka, penulis akan menjadikan pembahasan ini secara konkrit dengan
menggunakan pendekatan deskriptif serta analisis-komparatif. Adapun pendekatan tersebut diharapkan dapat memperkuat jenis
penelitian kualitatif, yakni penulis berusaha memadukan secara sinergis dan ilmiah, Sebagai langkah awal, penulis mengadakan
pengolahan data yang sudah terkumpul yaitu data kualitatif, yakni dengan menelaah dan menimbang pembahasan yang ada
relevansinya dengan data-data yang lainnya, yaitu, literatur-literatur yang dikaji dan poin-poin dari bagian yang penting serta
berinteraksi dengan isi yang diperoleh, setelah itu diklasifikasikan sesuai dengan obyek permasalahannya. Selanjutnya, penulis
menguraikan permasalahan dengan metode komparatif.
Cara menyusun dan mendapatkan data yang berurutan dengan tema yang dibahas, penulis akan menyajikannya dalam bentuk
kerangka, yaitu kerangka deduktif (memaparkan terlebih dahulu melalui pendekatan sejarah secara umum kemudian secara
spesifik membahas pengertian piagam madinah dan pengertian kontrak sosial, komparasi dan interaksinya dengan era demokrasi
modern, dua teori, penulis akan memberikan penjelasan yang detail dan lengkap dan diharapkan dapat memaparkan maksud dan
tujuan yang mendekati sempurna).
Sehubungan dengan keterangan yang penulis himpun diatas, maka data yang dubutuhkan dalam penelitian ini adalah jenis data
kualitatif, data-data diformulasikan dari bentuk yang abstrak menjadi konkrit, dan data tersebut dibedakan dalam tiga sifat, yakni
data yang bersifat primer, skunder dan tersier, sebagai sumber primernya (primery resource) adalah teks Piagam Madinah yang
terdapat dalam buku karangan Prof. Dr. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,
2005) Cet. Ke 30, dan J. J. Rousseau, The Social Contract, Terj. Kontrak Sosial (Jakarta: Erlangga, 1986), Cet. Ke-1. Selain
sumber primer tersebut, penulis juga akan merujuk pada sumber skunder (scondery resource) yakni buku karangan, Ahmad
Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: Penerbit UI 1995), Cet. Ke- 1, Hannah Rahman, "Pertentangan Antara
Nabi dan Golongan Oposisi Nabi Di Madinah", Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, (Jakarta: Seri INIS, 1980), Jilid IV.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konspress, 2005). Munawir Sadzali, Islam dan Tata
Negara, (Jakarta: UI Press: 1993), Nuktoh Arfawie Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1. Abdul
Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1. Abdul Aziz, Masalah
Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. ke-1.
Selanjutnya, penulis juga akan merujuk pada sumber lainnya (tersier resource) seperti Ensiklopedi, Kamus, Kumpulan
Karangan dan lain-lainnya yang relevan dengan kajian penulisan karya ilmiah ini, sebagai pendukung terhadap beberapa
referensi yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Sedangkan teknik penulisan karya ilmiah ini secara umum berpedoman pada
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Namun, dalam hal-hal yang lebih
spesifik penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2005.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar dalam pembahasan karya ilmiah
ini, dengan bentuk bab dan sub-bab yang secara berkaitan serta kebulatan dari
pembahasan yang diteliti, maka sistematika penulisan skripsi ini terbagi dengan
empat bab, antara lain:
Bab I:
Pendahuluan, dimulai dengan tekanan utamanya menjelaskan latar
belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab II:
Piagam Madinah dengan sub bab sebagai berikut: Pengertian dan Ruang
Lingkup Piagam Madinah, Prinsip-Prinsip Piagam Madinah, Proteksi
Hukum dan Demokrasi dalam Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum
dan Demokrasi.
Bab III:
Kontrak sosial Jean Jacques Rousseau yang antara lain dengan sub bab
sebagai berikut: Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques
Rousseau, Interaksi Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau
Terhadap Substansi Hukum dan Demokrasi.
Bab IV:
Perbandingan Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean
Jacques Rousseau Dari Sisi Hukum dan Demokrasi, antara
lain; Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi, Persamaan
Visi Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean Jacques
Rousseau, Perbedaan Piagam Madinah dan Teori Kontrak
Sosial JJ. Rousseau Dari Segi Hukum dan Demokrasi.
Bab V:
Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PIAGAM MADINAH
Pengertian dan Ruang Lingkup
Piagam Madinah
Kata piagam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan surat
resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.8 Sedangkan menurut William H.
Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopedia, piagam merupakan
suatu dokumen yang menjamin hak-hak, kekuasaan-kekuasaan, dan kewajibankewajiban tertentu, baik piagam badan yang memerintah suatu negara, piagam
universitas, piagam badan hukum, maupun piagam yang memberikan kekuasaan
kepada suatu masyarakat.9
Setelah menetap di Yatsrib Muhammad membuat perjanjian tertulis atau
piagam kesepakatan dengan penduduk Yatsrib dan sekitarnya (lihat Lampiran 1).10
Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacammacam, Montgomery Watt menyebutnya dengan the constitution of Madina,
Nicholson menyebutnya Charter, Majid Khuddari menggunakan perkataan Treaty,
Phillips K. Hitti menyebutnya Agreement, dan Zainal Abidin Ahmad memakai
perkataan Piagam sebagai terjemahan dari al-shahifah. Nama al-shahifah merupakan
nama yang disebut dalam naskah Piagam Madinah itu sendiri. Dalam pada itu kata
kitab lebih menunjuk pada tulisan (tentang sesuatu hal).11
Padanan istilah constitution yang dalam Bahasa Indonesia menjadi
"konstitusi" atau jika disederhanakan menjadi "undang-undang dasar." Secara
8
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta, Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-2, h. 680
9
William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia,
University Press New York & London, 1975), h. 514
10
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2005),
Cet. Ke-30, h. 202.
11
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta, UI Press,
1995), Cet. Ke-1, h. 2
leksikal Indonesia ia berarti segala ketentuan atau aturan mengenai ketatanegaraan
(undang-undang dasar dan sebagainya), atau undang-undang dasar suatu negara.12
Konstitusi, menurut Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan citacita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa." Di
dalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan,
pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara,
masalah ekonomi, dan sebagainya. Namun mengenai unsur ketetapannya tidak
ada kesepakatan di kalangan para ahli.13
Kata ini bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks piagam.
Perkataan charter sesungguhnya identik dengan piagam dalam bahasa Indonesia,
sedangkan perkataan treaty dan agreement lebih berkenaan dengan isi piagam
atau charter itu. Namun fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokokpokok pedoman kenegaraan menyebabkan piagam itu itu tepat juga disebut
sebagai konstitusi, seperti yang dilakukan oleh Montgomery Watt ataupun seperti
yang dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad seperti di atas. Para pihak yang di ikat
dalam piagam yang berisi perjanjian ini ada tiga belas, yaitu komunitas yang
disebut secara eksplisit dalam teks piagam. Secara keseluruhan, piagam Madinah
itu berisi 47 pasal ketentuan.14
Baik disebut sebagai “perjanjian” maupun “Piagam”, dan “konstitusi” bentuk
dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dan pengertian ketiga istilah tersebut.
Dilihat dari pengertian treaty Shahifat itu adalah dokumen perjanjian antara
12
13
h. 95.
14
Ibid, h. 475
Miriam Budiardjo, Dasar·Dasar 1lmu Polilik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), Cet. Ke-19,
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press,
2005), Cet, Ke-1, h. 18
beberapa golongan, Muhajirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi dilihat
dari segi pengertian charter, ia adalah dokumen yang menjamin hak-hak semua
warga Madinah dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan
yang dimiliki oleh Nabi. Kemudian dilihat dari pengertian constitution, ia juga
memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya
kandungan shahifat itu dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut.
Sebab ia adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Muhajirin-Ansar-Yahudi
dan sekutunya bersama Nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka dan membuat prinsp-prinsip pemerintah yang
bersifat funda mental yang sifatnya mengikat untuk mengatur pemerintahan
dibawah pimpinan Nabi. Karenanya, Marmaduke Pickthal, H.A.R.Gibb Wensinck,
dan Watt sebagai telah disebut menyebut shahifat tersebut sebagai “konstitusi”
Namun masih perlu diuji apakah memenuhui syarat untuk disebut konstitusi.
Piagam Madinah adalah piagam yang tertulis pertama dalam sejarah umat
manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern
adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara nabi
Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah
beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun
622 M. Banyak buku yang menggambarkan piagam Madinah, kadang-kadang
disebut konstitusi Madinah.
Berdasarkan konklusi itu, maka harus diakui bahwa Piagam madinah tidak
dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab, di dalamnya tidak ditemui
penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun
demikian, ia dapat disebut sebagai konstitusi, karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi,
yaitu: ia dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat
Madinah sebagai suatu umat; adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi;
dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental,
yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak
mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. sebagai himpunan
peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat Madinah ia bercita-cita
mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan
hidup berdampingan secara damai sebagai satu umat yang bermoral, menjunjung
tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa. Oleh sebagian sarjana
politik istilah konstitusi diartikan sama dengan undang-undang dasar.15 Tapi
kepustakaan Belanda membedakan pengertian konstitusi (constitution) dan
undang-undang dasar (grondwet). Konstitusi adalah peraturan baik yang tertulis
maupun tidak tertulis, sedangkan undang-undang dasar rnerupakan bagian tertulis
dalam konstitusi.16 Bagi banyak sarjana ilmu politik, istilah konstitusi merupakan
sebutan bagi keseluruhan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang
sifatnya mengikat dalam rnengatur dan menyelenggarakan pemerintahan dalam
suatu masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, yang berlalu hampir di semua
negara dewasa ini bentuknya selalu tertulis, kecuali Inggris.
Walaupun demikian, namun tidak ada konstitusi yang memasukkan semua
peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Karena konstitusi, sebagai telah disebut, merupakan dokumen yang hanya
memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya, ia
hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja.
Jadi, tidak semua masalah yang dianggap penting bagi negara dimasukkan ke
dalam konstitusi
atau undang-undang
dasar
Karena itu,
C.F. Strong
mengemukakan bahwa "tidak ada konstitusi yang seluruhnya tak tertulis;
15
Muh. Ridhwan Indra, UUD 1945 Sebagai Karya Manusia, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
1990), Cet. Ke-1, h. 32.
16
Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 95.
demikian pula tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis.17 Jadi, cukup hal-hal
yang bersifat fundamental dan universal saja yang dimasukkan dalam konstitusi.
Unsur-unsur yang luas dikemukakan oleh Budiardjo, yaitu ketentuan
tentang organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, tentang hak asasi manusia, tentang prosedur mengubah
undang-undang dasar, tentang cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara.
Dari berbagai keterangan tentang pengertian konstitusi dan 'usur-unsur
atau ciri-cirinya yang dikemukakan di atas, maka suatu konstitusi adalah
himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan
dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan organisasi negara, kedaulatan
negara, dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang-bidang sosial,
politik, ekonomi, agama, dan budaya, cita-cita dan ideologi negara dan
sebagainya.
Pembentukan didasari oleh semangat Muhammad dalam memelihara
persatuan dan kesatuan antar suku agar tidak terjadi sikap diskriminasi dan
hegemoni antara suku yang kuat menindas suku yang lain, disebut “Piagam”
(charter),18 Karena isinya mengakui hak-hak kebabasan beragama dan
berkeyakinan, kebebasan Hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan
berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud
h. 66
17
C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London, Sidgwick and Jackson Ltd, 1963),
18
William H. Harris and Judith S, Levey. Op. Cit, h. 514
dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua
golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan
prinsip-prinsipya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak
baik. Disebut “Konstitusi” (constitution)19 Karena didalamnya terdapat prinsipprinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar sosial politik yang bekerja
untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah pesatuan
penduduk Madinah yang majemuk tersebut.
B. Prinsip-prinsip Piagam Madinah
Mengenai isi pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat di dalam konstitusi
Madinah, para ahli yang mengkajinya berbeda dalam membuat rumusannya.
Muhammad Khalid merumuskan 8 prinsip. 1) Kaum Muhajirin dan Ansar serta
siapa saja yang ikur berjuang bersama mereka adalah umat yang satu. 2) Orangorang mukmin harus bersatu menghadapi orang bersalah dan mendurhaka
meskipun anak mereka sendiri. 3) Jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk
semua melindungi orang-orang kecil. 4) Orang-orang mukmin harus saling
membela di antara mereka dan membel golongan lain, dan siapa saja kaum
Yahudi yang mengikut: mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan
seperti yan diperoleh orang muslim. 5) Perdamaian kaum muslim itu adalah satu.
6)
Bila
19
terjadi
persengketaan
di
antara
rakyat
yang
beriman
maka
Konstitusi merupakan prinsip-prinsip pemerintah yang bersifat fundamental dalam suatu
bangsa atau pernyataan secara tidak langsung mengenai peraturan-peraturan, institusi-institusi, dan
kebiasan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis adalah British Constitution
Lihat Ibid, h. 638
penyelesaiannya dikembalikan kepada (hukum) Tuhan kepada Muhammad
sebagai kepala negara. 7) Kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum
muslim. Mereka bebas memeluk agama mereka. 8) Sesungguhnya tetangga
adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak boleh
berbuat kesalahan kepadanya.
Munawir Sjadzali menulis bahwa batu-batu dasar yang ditetapkan oleh
Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat
majemuk di Madinah itu adalah sebagai berikut. 1) Semua pemeluk Islam,
meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. 2)
Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas
Islam dan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: a)
bertetangga baik, b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, c)
membela yang teraniaya, d) saling menasehati, e) menghormati kebebasan
beragama, dan Piagam itu sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak
rncnyebut agama negara.20
Gambaran mengenai prinsip-prinsip Piagam tersebut, yang menjadi
landasan bagi pembentukan umat dan pemerintahan di Madinah, ternyata tidak
mendukung kesimpulan Watt. ia menyatakan "pada asalnya negara Islam itu
mendasarkan pada konsep politik pra-Islam dan ia merupakan contoh teladannya.
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, UI
Press, 1990), Cet. Ke-2, h. 15
Demikian pula kesimpulan Hannah Rahman yang menyatakan dengan
Piagam itu Nabi "bukannya memaksakan suatu tatanan sosial yang sama sekali
baru"21 Sebab, antara keadaan sosial politik Madinah sebelumnya dan sesudah
diorganisir oleh Nabi, jelas berbeda. Sebelumnya, antar suku selalu terjadi
konflik, norma-norma sosialnya menurut aturan suku, dan masing-masing membanggakan sukunya. Akibatnya, tidak ada persatuan. Setelah diorganisir oleh
Nabi, semua suku dipersatukan, hak-hak dan keamanannya dilindungi. Watt
sendiri menyebutnya "kesatuan politik tipe baru" (political unit a new type).
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Piagam itu dapat dikatakan suatu ide
yang revolusioner untuk saat itu. Dari sudut tinjauan modern ia dapat diterima
sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Dalam
kaitan ini Nurcholish Madjid berkomentar: Bunyi naskah Konstitusi itu sangat
menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun
mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ideide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, hak
setiap
kelompok
untuk
mengatur
hidup
sesuai
dengan
keyakinannya,
kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya
suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama
21
Hannah Rahman, "Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi Nabi di Madinah" H.L.
Beck dan N.J.G. Kaptein, (red.), Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, (Jakarta, Seri INIS, 1980),
Jilid IV, h. 51
menghadapi musuh dari luar.22 Oleh karena itu, Piagam Madinah atau Konstitusi
Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di
Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan
bersama, "merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam
membangun masyarakat yang bercorak majemuk." Hal ini tidak hanya dalam
gagasan sebagai tertuang dalam teks Piagam, tetapi juga tampak dalam praktek
Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Bahkan penulis tegaskan bahwa
ide-ide dalam ketetapan-ketetapannya tetap mempunyai relevansi kuat dengan
perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah
menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Hal ini dapat
dibandingkan dengan isi berbagai piagam, konstitusi, dan deklarasi hak-hak asasi
manusia yang lahir puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi
Madinah.23
22
Nurcholish Madjid, "Cita-Cita Politik Kita" dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, (ed.),
Aspirasi Umat lslam lndonesia, (Jakarta, Leppenas, 1983), h. 11
23
Seperti Magna Charta (Piagam Agung, 1215) yang dibuat oleh Raja John dari Inggris yang
memberikan hak kepada beberapa bangsawan bawahannya dan membatasi kekuasaan Raja John atas
permintaan mereka; Bill of Rights (Undang-undang Hak 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris
sesudah berhasil "'gadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah
Tahun 1688; Declaration des droits de’ homme et du Citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dari warga
negara, 1789) yang lahir pada permulaan Refolusi Perancis; Bill of Rights (Undang-Undang Hak,
1798) yang disusun oleh rakyat Amerika; The Four Freedoms (Empat Kebebasan), yaitu kebebasan
'bicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari
kemelaratan yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt; Undang
Undang Dasar 1945 Republik Indonesia juga memuat hak-hak asasi; Declaration of Human Rights
(Deklarasi " Huk Asasi Manusia, 1948) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (Jakarta, IAIN Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 207
C. Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum dan Demokrasi
Sejak revolusi Prancis perlindungan terhadap hukum dan demokrasi dianggap
berjalan ketika meliputi perlindungan terhadap tiga aspek kehidupan yaitu Liberte
(kebebasan), Egalite (persatuan), dan Freternite (persaudaraan).
Dalam sub-bab ini penulis mencontohkan nilai kemanusiaan yang terkandung
dalam Piagam Madinah, yakni kebebasan, sebab kebebasan adalah hak dasar
manusia sejak lahir dan kebebasan adalah hak manusia yang bersifat utuh, akan
tetapi sebelumnya dibatasi oleh hukum agar terjaganya ketertiban masyarakat.
Dalam pandangan modern, kebebasan individu hanya terbatas pada tingkat bahwa
suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk mendikte melakukan perbuatan
tertentu. Dalam hukum adat yang menentukan batasan tindakan seseorang, tidak
menjadi halagan bagi kemerdekaan seseorang, dia bisa merencanakan untuk
menghindari diri Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan
dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya keutuhan masyarakat pluralistik.
Karakter yang lengkap tersebut dituangkan dengan beberapa pasal yang tidak
memihak golongan manapun Adapun kebebasan tersebut meliputi:
Pertama kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik. Golongan
Muhajirin dari Quraisy tetap berpegang pada adat kebiasaan baik mereka,
mengambil dan membayar diat (tebusan) di antara mereka, dan menebus
tawanan-tawanan mereka menurut kebiasaan baik (ma'aruf) dan adil (alqisth) di antara mereka yang mukmin. Ketetapan-ketetapan tersebut
menunjukkan bahwa kebiasaan mereka dalam hal mengambil dan membayar
diat dan menebus tawanan yang sudah berlaku sebelum Islam tidak
dihapuskan. Ini berarti bahwa Nabi mengakuinya sebagai sesuatu yang baik
dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka dalam kasus
pembunuhan. Karena, kebiasaan tersebut merupakan salah satu cara dan
bentuk penghargaan terhadap martabat manusia bagi yang terbunuh atau
tertawan, walaupun nilai manusia tidak dapat diukur dengan uang atau harta
benda. Karena itu, mereka boleh meneruskan kebiasaan tersebut menurut adat
kebiasaan yang baik dan adil. Al-Quran juga menetapkan jika hukum qisas
tidak dilaksanakan karena keluarga si terbunuh memaafkan keluarga si
pembunuh, maka alternatifnya ialah si pembunuh harus membayar diyat
kepada pemberi maaf (keluarga si terbunuh) dengan cara yang baik.
Kedua, kebebasan dari kekurangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketetapan
Piagam Madinah yang menyatakan bahwa "Sesungguhnya orang-orang
mukmin tidak boleh membiarkan seseorang di antara mereka menanggung
beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya
bantuan dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diat.
Ketetapan ini memberi tanggung jawab kepada seluruh orang mukmin yang
mampu agar membebaskan orang-orang mukmin lain yang berada dalam
kekurangan karena dibebani utang untuk membiayai hidup keluarga, atau
karena ada anggota keluarganya yang tertawan musuh dan ia tidak mampu
menebusnya, dan atau karena ada anggota keluarganya melakukan kejahatan
pembunuhan dan dia tidak mampu membayar diat kepada keluarga si
terbunuh.
Ketiga, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak. Prinsip ini
dipahami dari ketetapan Piagam yang menyatakan: "Bahwa kaum Yahudi
yang mengikuti kami berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa
ada penganiayaan atas mereka dan tidak pula ditolong orang yang menjadi
musuh mereka.
Keempat, kebebasan dan rasa takut. Teks Piagam menyatakan: "Bahwa
siapa saja yang keluar dadari kota Madinah tetap tinggal (di dalarnnya) ia
akan aman kecuali orang berbuat zalim dan dosa. Ketetapan ini merupakan
pengakuan akan hak hidu dan keselamatan diri, hak atas perlindungan din, hak
atas perlindungan dan keamanan diri pribadi setiap penduduk Madinah,
Setiap warganegara yang keluar masuk dan dan ke kota itu maupun tinggal di
dalamnya, keamanannya dijamin.
Kelima, kebebasan berpendapat. Prinsip ini tidak dinyatakan oleh teks
Piagam secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37 yang menyatakan:
" dan bahwa di antara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan
bcrbuat kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa. Dua ketetapan ini
mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat bagi penduduk Madinah. Keenam, kebebasan beragama. Penetapan
prinsip ini di dalam Piagam Madinah tampaknya menjadi jawaban nyata
terhadap situasi sosial penduduk Madinah, yakni adanya keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu.24
Kebebasan-kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama,
kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut,
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan lain-Iain. Di dalam Piagam Madinah juga terdapat ketetapanketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukkan bagi segenap penduduk
Madinah dan hal itu bermuara pada al-Qur’an dan as-Sunnah, misalnya berlaku
adil dan bijaksana merupakan nilai luhur dari kebebasan itu sendiri, kebebasan
mempunyai koridor diatas norma-norma, Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an
surat al-Maidah: 8, sebagai berikut:
‫ﻋ ِﺪﻟُﻮا ُه َﻮ‬
ْ ‫ﻋﻠَﻰ َأﻟﱠﺎ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ا‬
َ ‫ن َﻗ ْﻮ ٍم‬
ُ ‫ﺷﻨَﺂ‬
َ ‫ﺠ ِﺮ َﻣ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﻂ َوﻟَﺎ َﻳ‬
ِ‫ﺴ‬
ْ ‫ﺷ َﻬﺪَا َء ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ‬
ُ ‫ﻦ ِﻟﱠﻠ ِﻪ‬
َ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا آُﻮﻧُﻮا َﻗﻮﱠاﻣِﻴ‬
َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
(5/8 : ‫ن )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬
َ ‫ﺧﺒِﻴ ٌﺮ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
َ ‫ن اﻟﱠﻠ َﻪ‬
‫ب ﻟِﻠ ﱠﺘ ْﻘﻮَى وَا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ ِإ ﱠ‬
ُ ‫َأ ْﻗ َﺮ‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
24
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h. 22
Selain persamaan di atas, di dalam Islam juga ditegakkan persamaan dalam hal
sosial kemasyarakatan, antara lain:58 Persamaan mendapat hak hidup; persamaan
mendapat keamanan; persaman mendapat perlindungan baik laki-laki maupun
perempuan, dan baik golongan Islam maupun golongan non-Islam;
persamaan hak dalam membela diri; persamaan hak memberikan saran dan nasihat
untuk kebaikan; serta persamaan tanggung jawab mempertahankan keamanan kota
Madinah (bela atau mempertahankan tanah air).
58
AM. Saefudin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, , (Jakarta, Gema Insani Press, 1996),
Cet. Ke-1, h. 151.
BAB III
KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU
A. Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau
Kontrak sosial terdiri dari dua kata, kontrak dan sosial. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, Kontrak mengandung arti perjanjian (secara tertulis) antara dua
pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya, atau persetujuan yang
bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan
kegiatan. 25
Sedangkan sosial mengandung arti hal yang berkenaan arti hal berkenaan dengan
masyarakat; atau suka memperhatikan kepentingan umum.26 Jadi, kontrak sosial
adalah perjanjian dalam bentuk tertulis atau persetujuan yang bersangsi hukum yang
dibuat masyarakat.
Perjanjian masyarakat dalam ilmu politik sering disebut juga dengan istilah kontrak
sosial.
Menurut J.J Rousseau, kontrak sosial menunjukan janji timbal-balik, dan usaha
masing-masing pihak dalam kontrak berkaitan dengan kewajiban yang akan
25
Tim Penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Kamus Besar Bahasa Indoensia ( Jakarta, Balai Pustaka, 1998), Cet Ke-1, h. 458
26
Ibid. h. 88
memberikan kepuasan beberapa kepentingan kepada pihak lain yang ada dalam
kontrak itu. 27
Sedangkan kontrak sosial dalam istilah ilmu politik menurut ahli tata negara
Inggris, G.H. Sabine seperti yang dikutip oleh M. Hasbi Amiruddin adalah teori yang
menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan
dirinya pada seseorang atau kepala lembaga yang disepakati.28
Berbicara tentang sejarah timbulnya teori kontrak sosial, biasanya dikaitkan
dengan teori Jean Jacques Rousseau mengenai perjalanan masyarakat. Hal ini wajar,
mengingat Rousseau adalah pemikir yang pertama kali menggunakan istilah social
contract. Teori ini dikemukakan sejak pemikiran politik rasional muncul dimuka
bumi ini. Dengan demikian, teori perjanjian ini boleh dikatakan sudah cukup tua dan
usang. Tiga tokoh teori ini yang paling dikenal ialah Thomas Hobbes, John Locke
dan Jean Jacques Rousseau yang masing-masing mempunyai pandangan tersendiri
mengenai latar belakang timbulnya teori perjanjian masyarakat tersebut. Thomas
Hobbes misalnya, mengikuti jalan pikiran teori-teori perjanjian masyarakat yang
memisahkan kehidupan manusia dalam dua suasana, yakni kadaan sebelum ada
negara dan keadaam setelah bernegara. 29
27
J. J Rousseau, The Social Contract, Terj. Oleh Sumardjo, (Jakarta, Erlangga, 1986) h. xix
Hasbi Amiruddin. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta, UII Press,
2000), Cet. Ke-1, h. 50
29
Cheppy Hericahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, (Yogyakarta Tiara Wacana, 1986),
Cet. Ke-1, h. 201
28
Menurut Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman bagi
manusia, suatu keadaan yang tidak memberikan keadilan dan kemakmuran, tetapi
merupakan keadaan sosial yang serba kacau sebagaimana yang bisa kita simpulkan
dari pendapat Hobbes bellum omnium contra omnes (peperangan antara orang yang
satu dengan yang lainnya, antara seorang dengan semua orang, dan juga antara semua
orang melawan semua orang). Dalam keadaan demikian, “hukum” dibuat oleh
mereka yang fisiknya terkuat sebagaimana keadaam di hutan belantara.
Dalam keadaan alamiah, struktur sosial politik dan kekuatan belum berbentuk.
Manusia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya.
Meskipun demikian, Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah
sejenis hewan sosial (social animal) seperti yang dikemukakan Aristoteles. Meski
sama-sama memiliki naluri, manusia berbeda dengan hewan. Naluri hewani
mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai. Jadi secara
instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.30
Sebaliknya, naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau
berperang. Manusia watak itu membuat manusia berperang satu sama lainnya.
Keadaan seperti itulah yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari
kehidupan alternatif yang lebih baik dimana manusia dapat mengekang hawa
30
Cranston, Hobbes, Makers of Modern Thought, (New York, American Heritage Publishing
Co. Inco. 1992), p. 193
nafsunya. Kehidupan alternatif itu ditemukan Hobbes setelah manusia mengadakan
perjanjian untuk membentuk negara.31
Kita dapat tiga penyebab pokok untuk berselisih Pertama, persaingan yang
membuat manusia menyerang agar memperoleh keuntungan, Kedua tiadanya
kepercayaan untuk mendapatkan keamanan dan ketiga kejayaan untuk reputasi. Yang
pertama mempergunakan kekerasan, agar manusia itu menguasai pribadi manusia
lain, istrinya, anak-anaknya, dan ternaknya, yang kedua untuk mempertahankannya;
yang ketiga untuk memperoleh kelebihan dalam hal-hal kecil, seperti kata, senyum,
pendapat yang berbeda, dan apapun yang menyangkut dengan hal-hal kecil ini. 32
Dengan latar belakang berbeda, di mana masa kecil Locke persis yang dialami
Hobbes, adalah masa tragis dan ironis. Dari tragedi masa kecil itu memberikan
banyak pelajaran berharga baik Locke. Ia mulai memahami berapa pentingnya
penghargaan terhadap kebebasan, demokrasi, pembatasan kekuasaan dan toleransi
agama. Dalam karyanya, Two Treaties of Government dengan mengemukakan asalmuasal pemerintahan. Menurutnya, asal-muasal pemerintahan adalah satu keadaan
alamiah. John Locke menafsirkan keadaan yang alamiah itu merujuk pada keadaan
dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebijakan, saling melindungi, penuh
kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan, artinya manusia hidup secara
31
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
32
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung, Mizan, 2000), Cet. Ke-6, h. 109
rukun dan tentram sesuai dengan hukum (law of reason) yang mengajarkan bahwa
manusia tidak boleh menganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan miliki sesamanya.
Tetapi walaupun dalam keadaan merdeka, ini tidak berarti suka hati, walau
dalam keadaan itu manusia mempunyai kemerdekaan tiada terkontrol untuk berbuat
apa saja tentang dirinya atau miliknya, namun ia tidak merdeka untuk
menghancurkan dirinya atau makhluk
lain yang berbeda dalam kekuasaannya (milik) nya kecuali bila ada maksud
lain yang lebih mulia dari pada sekedar mempertahankannya tiap orang dan
mengajarkan manusia bahwa karena semua sama dari bebas, tidak seorang pun akan
melukai atau merusakkan orang lain dalam hidupnya kesehatannya, kemerdekaannya,
atau miliknya.
Kendatipun keadaan alamiah itu boleh dikatakan sebagai keadaan yang ideal,
tetapi John Locke juga merasakan bahwa keadaan semacam itu dapat menimbulkan
anarki, karena manusia hidup tanpa organisasi dan pemimpin yang dapat mengatur
kehidupan mereka. Karena itu manusia berusaha membentuk negara dengan suatu
perjanjian bersama.
Sementara Rousseau yang juga memisahkan kehidupan manusia dalam dua
suasana mempersepsikan keadaan alamiah sebagai suatu keadaan sebelum manusia
melakukan dosa, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Dalam keadaan
alamiah itu manusia hidup secara bebas dan sederajat kebebasan manusia adalah
kebebasan alami, berupa hak-hak yang tiada tentu dan tidak terbatas untuk
mengambil apa saja yang menarik minatnya. Hak-hak ini, katanya lebih lanjut, hanya
dapat ditegakkan selama manusia itu cukup kuat untuk mempertahankannya.
Tetapi dibalik itu manusia sadar akan ancaman potensial atas kehidupan dan
kebahagiannya yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka dalam keadaan alamiah
itu. Keadaan alamiah itu juga dapat berubah menjadi keadaan yang apabila terjadi
kesenjangan derajat manusia, berbeda dengan Hobbes yang melihat ‘perang’ akibat
watak agresif manusia.
Rousseau menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dalam karyakaryanya terutama Du Contract
Social
tetapi itu bukanlah berarti
Rousseau
menghendaki kebebasan yang tanpa batas yang dapat menimbulkan anarki sosial
kebabasan tidak boleh menjadikan manusia anarkis. Dalam keadaan alamiah manusia
mempunyai kebebasan penuh dan bergerak menurut nafsu dan nalurinya. Sebaik apa
pun keadaan alamiah disadari bahwa situasi demikian teramat rentan dan dapat
mengancam eksistensinya manusia. Perang dan pertikaian akan mudah terjadi
kekhawatiran itulah yang kemudian menggerakkan manusia untuk mengadakan
ikatan bersama, berupa kontrak sosial. Manusia berdasarkan kesadaran penuh,
berusaha untuk keluar dari keadaan alamiah dan membentuk negara.
Jadi secara singkat sejarah timbulnya teori kontrak sosial dapat disimpulkan
sebagai berikut: pokok : pokok pikiran teori ini ialah mula-mula ada dalam keadaan
bebas atau liar dan kemudian mengadakan suatu organisasi kenegaraan yang
menjadikan manusia tidak lagi dalam state of nature, tetapi dalam keadaan hidup
bermasyarakat atau bernegara. Pelaksanaan ini dicapai melalui kontrak sosial.
B. Interaksi Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Terhadap Substansi
Hukum dan Demokrasi
Jean Jasques Rousseau dilahirkan di Jenewa tahun 1712 ia adalah seorang pemikir
yang banyak memberi pengaruh di berbagai bidang termasuk filsafat, kesusastraan dan
politik.33 Dalam berbagai ajarann filsafatnya, Rousseau telah memasuki unsur perasaan,
suatu hal yang tidak dilakukan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Kecuali itu yang sangat
menarik dan Rousseau adalah sikapnya yang sangat menarik dari Rousseau adalah
sikapnya yang sangat bebas terhadap keadaan-keadaan atau masalah-masalah yang sudah
berlaku umum dalam zamannya kebebasan sikap atau penderian itu tidak hanya terbatas
pada pimikirannya tentang negara dan hukum, tetapi sikap itu pertama-tama ditujukan
kepada sifat-sifat yang tidak sesuai dengan alam, yang diakibatkan oleh peradaban dan
kebaktian manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini Rousseau berpendirian bahwa
manusia yang menurut kodratnya itu baik sebenarnya telah dirusak oleh peradaban yang
dikembangkannya sendiri.
33
Ibid, h. 149
Ia juga menyatakan bahwa peradaban modern dengan logika Rasionalisme
Cartesiannya membuat manusia menjadi terasing dari kehidupannya Rasionalisme
membuat manusia mengabaikan asfek emosi dan romantisme dalam dirinya. Manusia
tidak lagi menjadi manusia yang alamiah.
Pemikiran Rousseau tentang masyarakat dan negara di tuangkan dalam tulisannya
Du Contract Sosial (Perjanjian social). Dalam tulisannya ini, Rousseau mengemukakan
perjanjian bersama sebagai jalan membentuk negara polis seperti pada masa Yunani
Kuno, republik atau badan politik. Istilah ini bagi Rousseau dapat dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain, seperti rakyat berdaulat, kekuasaan, ataupun rakyat saja tergantung
pada cara melihat negara itu.
Dalam menjawab pertanyaan tentang asal mula negara, Rousseau tidak begitu
berbeda dengan penganut ajaran hukum alam lainnya. Artinya Rousseau sependapat
dengan teori perjanjian masyarakat yang umumnya berkembang sebagai akibat adanya
kekacauan dan berbagai pertentangan dari keadaan alamiah manusia. Akan tetapi segisegi tertentu Rousseau memiliki corak tersendiri, yaitu dengan memasukkan
pemikirannya tentang kedaulatan rakyat.
Mengenai perjanjian masyarakat, bagi Rousseau yang penting adalah bagaimana
menciptakan keseimbangan antara kekuasaan pihak-pihak yang telah ditunjuk untuk
berkuasa dengan kebebasan rakyat yang memberi kuasa. Dalam hubungan ini
dipersoalkan bagaimana cara mendapatkan suatu alasan yang masuk akal dan rasional
tentang keseimbangan antara perjanjian masyarakat yang mengikat dengan kebebasan
orang-orang yang menyelenggarakan
perjanjian masyarakat yang mengikat dengan
kebabasan orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian masyarakat tersebut J.J
Rousseau berpendirian bahwa ini perjanjian masyarakat adalah menemukan satu bentuk
kesatuan yang mampu membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping
kekuasaan pribadi dan milik setiap orang, sehingga semuanya dapat bersatu kedatipun
masing-masing orang tetap mempertahankan dirinya sendiri atau memperhitungkan
kemerdekaan dan kebebasan yang telah dibawahnya sejak lahir.
Dengan perjanjian masyarakat itu, setiap orang melepaskan dan menyerahkan
haknya kepada kesatuannya, yaitu masyarakat. Sebagai konsekuensinya
adalah,
pertama, akan tercipta kemampuan umum (volonte generale), yaitu kesatuan kemauan
orang-orang yang telah menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi. Volone generale
inilah yang merupakan kesatuan tertinggi dalam masyarakat; kedua. terciptanya suatu
masyarakat atau gemeinschaf,
yaitu kesatuan orang-orang yang menyelenggarakan
perjanjian masyarakat tadi. Masyarakat ini memiliki kemauan umum (volne generale),
suatu kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tersebut disebut kedaulatan rakyat.
Dengan perjanjian masyarakat akan tercipta masyarakat, dan selanjutnya bisa
meluas menjadi negara. Dengan demikian berarti telah terjadi suatu peralihan dari
keadaan alam bebas keadaan bernegara. Karena peralihan tersebut, naluri manusia telah
diganti dengan keadilan dan tindakan-tindakan yang mengandung kesusilaan. Kebebasan
dan kemerdekaan alamiah yang tanpa batas diganti dengan kebebasan dan kemerdekaan
yang dibatasi oleh kemauan umum yang ada dalam masyarakat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi.
Beberapa sifat dan kontrak Rousseau adalah. Pertama, kontrak sosial itu hanya
antara sesama rakyat atau anggota-anggota masyarakat, kedua, melalui kontrak sosial itu
masing-masing melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai satu
keutuhan.34
Jika Hobbes hanya mengenal pactum subjections dan Locke mengkontruksi dua
jenis perjanjian saja, yaitu hanya pactum unionis, perjanjian masyarakat yang
sebenarnya. Rousseautidak mengenal pactum subjectionis yang membentuk pemerintah
yang ditaati. Pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual. Hanya organisasi politiklah
yang dibentuk dengan kontrak. Pemerintahan sebagai pimpinan organisasi itu dibentuk
dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakilnya (gecommitterde).
Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya.
Negara atau “badan koperatif kolektif” yang dibentuk itu menyatakan kemauan
umumnya (generalwill) yang tidak dapat khilaf, keliru atau salah, tetapi yang tidak
senantiasa progressif. Kemauan umum inilah yang mutlak berdaulat kemauan umum
tidak selalu berarti kemauan seluruh rakyat.
Adakalanya terdapat perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan
seluruh rakyat (will of all). Kemauan selalu benar dan ditujukan untuk kebahagian
34
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, UI
Press, 1993), Cet. Ke-5. h. 69
bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual
(particular interest) dan karena itu merupakan keseluruhan kemauan-kemauan khusus
(partikular will) tersebut.
Dengan kontruksi perjanjian masyrakat itu, Rousseau menghasilkan bentuk
negara yang kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya. Ia
adalah peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau jenis negara yang demokratis, yakni
rakyat dan penguasa-penguasa negara hanyamerupakan wakil-wakil rakyat.35
Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan merupakan refleksi kritisnya
atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Tidak sulit memahami mengapa
demikian. Penguasa mengklaim Geneva sebagai sebuah republik, negara yang amat
mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaannya,
tetapi dalam praktiknya negara Geneva adalah sebuah negara yang dikuasai oleh
segelincir keluarga bangsawan (aristokrasi) dan kekuasaanya bersifat turun-temurun.
Negara atau sistem pemerintahan yang bagaimanakah yang ideal menurut
Rousseau? Dalam Du Contrat Social, ia mendambakan suatu negara atau sistem
pemerintahan yang memberlakukan demokrasi langsung, yaitu suatu sistem kenegaraan
dimana setiap warga negara-negara jumlahnya tidak begitu banyak menjadi pembaut
keputusan dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas. Rousseau mendambakan negaranegar kota seperti zaman romawi kuno, sistem pemerintahan didesa-desa di Swiss ketika
35
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: Renada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 40
ia masih kanak-kanak. Di negara-negara kota seperti itu, rakyat dapat menjadi subyek
pemerintahan sekalipun berada dibawah kekuasaan negara.
Jean Jacques Rousseau yang berjudul “the social contract” atau dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan kontrak sosial, secara universal manusia lahir membawa
kebebasan yang utuh dengan hak-hak yang melekat pada diri manusia itu sendiri dan
wajib bertanggungjawab untuk menentukan nasibnya, disadari atau tidak diskriminasi
dan intimidasi tetap ada. Untuk mencegah meluasnya diskriminasi dan intimidasi,
dibutuhkan sifat kritis dan berani (membela hak-hak individu yang dirampas oleh
kelompok tertentu).
BAB IV
PERBANDINGAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK
SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU DARI SISI HUKUM DAN
DEMOKRASI
A. Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi
Hukum adalah produk politik penguasa, dan demokrasi merupakan sebuah
konsep yang harus diberlakukan, apabila ketidakadilan hukum terhadap kepentingan
kelompok mayoritas (rakyat) tersebut dihilangkan, ini berarti contoh tidak
terakomodirnya aspirasi rakyat. Keadilan bukan milik pengusa dan kelompok yang
terkuat, akan tetapi milik semua manusia. Misalnya perbudakan, praktik ini tergolong
klasik dan penuh dengan perjanjian yang mengikat antara majikan dan sibudak yang
diambilnya.
Peralihan peradaban lambat laun menghapuskan praktik perbudakan, hal ini
sangat bertentangan dengan hak, baik seseorang terhadap orang lainnya, atau dari
orang terhadap penduduk, sikap inkonsisten terhadap konsesnsus yang diadakan
mereka cenderung dilanggar oleh majikan dan akhirnya membuat sibudak
melepaskan
kemerdekaannya,
nurut
dan
pasrah,
tanpa
kekuatan
untuk
mempertahankan hak-haknya.
Kesepakatan sosial (social compact) memberikan dimensi yang utuh dalam
mempertahankan prinsip, terutama prinsip kenegaraan yang melepaskan atribut
individual menuju atribut universal dalam menyepakati nilai-nilai kehidupan yang
aman dan tertib bermasyarakat. Pengorbanan yang didorong dengan sifat patriotis
membuahkan suatu tatanan yang harmonis. Keruntuhan sebuah dinasti atau bangsa,
terletak kepada kesepakatan sosial dan menjaga komunikasi antara penguasa dan
rakyat.
Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas
dan tidak memihak dan pinjaman hak asasi manusia, adapun konsep rechtsstaat
mempunyai ciri-ciri berikut: 1).Adanya perlindungan terhadap HAM 2). Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin
perlindungan HAM; 3). Pemerintah berdasarkan peraturan.
Infrastruktur Politik merupakan komponen yang dapat mendukung tegaknya
demokrasi, infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party), kelompok
gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan
(pressurelintrest group). Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang
anggota–anggotanya mempunyai orientasi, niai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan
kebijakan-kebijakan.
Agar analisa pembahasan ini sistimatis dan terarah, maka sebelumnya pengertian
demokrasi perlu diulas kembali, bahwasannya secara etimologis demokrasi berasal
dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos
atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Jadi demokrasi menurut asal kata berarti
“rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people.”36 Dengan kata lain
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan rakyat.37
Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu
perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan politik di mana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan
kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah
bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat yang sudah dewasa.
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn menegaskan bahwa demokrasi merupakan
suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas
tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara
tidak langsung, melalui para wakil mereka yang terpilih. Menurut Hendry B. Mayo,
demokrasi merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secar efektif
oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik.38
1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 1998), Cet.
Ke-19, h. 51.
37
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama 1995),
Cet. Ke-3, h. 165
38
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyaralat
Madani, (Jakarta, Renada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 111
Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Critics, seperti dikutip
Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk
mencapai persamaaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia
(baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai (harkat dan
martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.39 Sementara bagi Willy
Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang
dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang
dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya.40
Sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak pengertian dan ragam, namun
batasan yang dikemukakan para pemikir politik tersebut tampak menemukan titik
temu yang sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tak pernah
berubah. Doktrin tersebut adalah: adanya keikutsertaan anggota masyarakat (rakyat)
dalam menyusun agenda-agenda politik (pemerintahan) yang dapat dijadikan
landasan pengambilan keputusan, adanya pemilihan yang dilakukan secara umum dan
berkala, adanya proses yang berkesinambungan, serta adanya pembatasan kekuasaan
politik.
Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Critics, seperti dikutip
Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk
mencapai persamaaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia
(baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai (harkat dan
39
Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1995), Cet. Ke-1, h. 5
Nurcholis Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher
(ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, (Jakarta, Paramadina, 1994), Cet. Ke-1, h. 203
40
martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia. Sementara bagi Willy
Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang
dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang
dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya.
Sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak pengertian dan ragam, namun
batasan yang dikemukakan para pemikir politik tersebut tampak menemukan titik
temu yang sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tak pernah
berubah. Doktrin tersebut adalah: adanya keikutsertaan anggota masyarakat (rakyat)
dalam menyusun agenda-agenda politik (pemerintahan) yang dapat dijadikan
landasan pengambilan keputusan, adanya pemilihan yang dilakukan secara umum dan
berkala, adanya proses yang berkesinambungan, serta adanya pembatasan kekuasaan
politik.
Demokrasi dalam sejarahnya, mengalami pertumbuhan dan perkembangan
melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan kompleks. Konsep demokrasi
bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif,
evolutif dan dinamis. Untuk keperluan dan memudahkan proses penulisan ini, penulis
tidak menjabarkan secara mendetail dan menyeluruh, melainkan hanya membaginya
dalam babakan-babakan yang berdasarkan priode.
Adapun perode-periodenya adalah: Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-6
SM sampai abad ke-4 M. Pada masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah
demokrasi langsung (direct democracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputuan
politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga
negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan
undang-undang, dan tidak didiskriminasi dalam proses perumusan kebijakan
negara.41 Praktik demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negarakota (city-state) Atena,Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah
satu faktor bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan
negara-kota Atena dari Sparta. Yaitu, terbentuknya negara kesejahteraaan (walfare
state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM),
M. Tullius Cicero (106-43 SM), dan lainya.
Kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola
kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan,
Gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran
sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak terjadi
perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para bangsawan,
dan munculnya konsep demokrasi melalaui Magna Charter (Piagam Besar) diakhir
abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi. Piagam ini
berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John di Inggris, untuk
mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai imbalan bagi
penyerahan dana pada kerajaan untuk membiayai kebutuhannya. Selain itu, piagam
41
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta, Universitas Atmajaya,
2000), Cet. Ke-2, h. 58
ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan
kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan negara.42
Ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M).
Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada kesusastraan
dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan disisihkan. Sedangkan
reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat yang berkembang
menjadi
azas-azas
sewenang-wenang
protestanisme,
atas
nama
seperti perjuangan menentang kekuasaan
agama,
desakralisasi
kekuasaan
gereja,
memperjuangkan kebebasan beragam, kebebesan berfikir, kebebasan mengemukakan
pendapat. dan pemisahan secara tegas antara wilayah agama (Gereja) dan negara. Dua
kejadian ini telah mempersiapkan Eropa masuk kedalam Aufklarung (abad pemikiran)
dan rasionalisme yang ditandai oleh merebaknya gagasan-gagasan demokrasi yang
menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527
M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704 M), Montesqueu
(1689-1755 M) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778 M).43 Mereka inilah para
kampium gagasan demokrasi Barat, dan telah mendorong bagi lahirnya Revolusi
Amerika (1774-1783 M) dan Revolusi Perancis (1786 M).
Di abad modern, mulai pada abad ke-19, muncul pola pikir dan inspirasi baru
bagi gerakan politik yaitu, demokrasi menjadi model yang diakui secara luas untuk
pengorganisasian secara mandiri. Demokrasi muncul untuk mengatasi masalah-
42
43
Ibid, h. 65
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, Gramedia, 2001), h. 299-300
masalah terutama terkait dengan: bagaimana masyarakat dapat mencapai kesepakatan
untuk mengatur tata tertib kehidupan bersama meski sistem nilai dan agamanya
berbeda? Bagaimana cara menata kekuasan politik agar selaras dengan kepentingan,
nilai dan aspirasi rakyat, serta bertindak atas nama mereka? Bagaimana menciptakan
masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia? Demokrasi akhirnya
menemukan jati dirinya dalam kehidupan modern, yaitu membangun pemerintahan
melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa, serta
pemisahan pusat-pusat kekuasaan.44
Demokrasi bukan hanya sebuah metode kekuasaan mayoritas melalui peran
rakyat dan kompetisi yang bebas, akan tetapi mengandung nilai-nilai persamaan,
kebebasan dan sebagainya. Kendatipun konsep pelaksanaannya beraneka ragam
sesuai dengan kondisi budaya pada negara tersebut. Eksistensi demokrasi berkaitan
erat dengan eksistensi hak manusia. Demokrasi tidak hanya berhubungan dengan
institusi formal tetapi juga dengan eksistensi hak nilai-nilainya. Dalam kehidupan
sosial politik, hal semacam ini bersumber dari Philppe C. Schmitter dan Terry Lynn
Karl yang mengkarakterisasikan demokrasi bukanlah sebagai kekuasaan yang
otokrasi, otoriter, zalim, totalitarian, dictator, tirani, absolut, tradisional, monarki,
oligarki, kesultanan, plutokrasi dan aristokrasi.
Pada tahun 431 SM Pericles, seorang negarawan ternama di Athena
merumuskan beberapa nilai demokrasi, yaitu :
44
Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar untuk Penerapan, (Jakarta, Friedrich Ebert
Stiftung, 2003), Cet. Ke-2, h. 4
Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan
langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme, yaitu penghargaan
terhadap beragam kreativitas berkarya, berfikir dan berpendapatan. Keempat,
penghargaan privasi personal untuk berekspresi.45
Sementara itu menurut Robert Dahl, nilai-nilai demokrasi itu adalah:
Pertama, persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat.
Kedua, partisipasi efektif, yaitu kesepakatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran,
yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang yang memberikan penilaian
terhadap jalanya proses politik pemerintahan secara logis. Keempat kontrol terakhir
terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksekutif bagi masyarakat yang
menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan yang mewakili masyarakat. Kelima pencakupan yaitu, terliputinya
masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.46
Sedangkan Gwendolen M. Carter, John H Hery dan Henry B. Mayo merumuskan nilai-nilai demokrasi sebagai berikut :
Pertama, pembatasan terhadap tindakan pemerintah yang memberikan perlindungan
bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara
berkala, tertib dan damai dan juga melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif.
Kedua, adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan. Ketiga,
persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk rule of law tanpa
45
Eep Saifullah Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1994), Cet. Ke-1, h. 7
46
Ibid, h. 6
membedakan kedudukan politik. Keempat, adanya pemilihan yang bebas dengan
disertai adanya model perwakilan yang efektif. Kelima, didirikannya kebebasan
berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi masyarakat, perseorangan,
serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. Keenam,
dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih
mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan
refresi.47 Secara umum nilai demokrasi yang diutarakan oleh para tokoh di atas,
menunjukkan beragamnya nilai demokrasi. Namun terdapat nilai-nilai universal yaitu
keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan,
pengawasan terhadap kekuasaan, persamaan perlakuan negara terhadap semua warga
negara, persaingan secara adil dan bebas dalam pemilihan, pluralisme, kebebasan dan
sebagainya. Oleh karena nilai-nilai universal ini sangat penting, maka akan dibahas
secara rinci, mendasar dan berkaitan dengan judul ini yaitu kedaulatan rakyat,
persamaan didepan hukum dan kebebasan.
Pada zaman sebelum revolusi Perancis, yaitu masa berkuasanya feodalisme di
Eropa, yang mempunyai kedaulatan hanyalah seorang raja. Setelah kekuasaan
raja Lodenviji XVI dirampas oleh rakyat melalui revolusi, kedaulatan itu diambil
alih oleh rakyat, kemudian Perancis menempatkan dalam Undang-Undang
Dasarnya yaitu pasal 3 dari Declaration de droits de I du citiyen, yang
menyatakan bahwa yang berdaulat dalam negara adalah rakyat. Menurut
47
Ibid, h. 7
Mohammad Yamin, dewasa ini lebih dari empat puluh lima negara yang
menganut paham kedaulatan rakyat.48
Kedaulatan pada awalnya merupakan hasil terjemahan dari kata sovereignty
(bahasa Inggris), Souverainate (bahasa Perancis), dan Sovranus (bahasa Italia);
Supranus (bahasa Latin) berarti yang tertinggi.49 Dalam pengertian yang lebih
luas diartikan sebagai kekuasaan tertinggi. Kata yang paling dekat dengan arti
kedaulatan menurut Hendry C. Black, adalah kehendak atau kemauan, seperti
diterapkan dalam masalah-masalah politik.50 Pada awalnya kedaulatan diartikan
sebagai kekuasaan tertinggi dan bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain
yang bisa menandinginya, kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa
dan negara yang memaksa negara untuk membuat perjanjian internasional,
negara terikat dengan perjanjian tersebut, akibatnya mengurangi kedaulatan
negara keluar. Kedaulatan ke dalam dengan dibatasi oleh hukum positifnya,
sehingga arti kedaulatan itu menjadi relatif. Dalam makna kekuasaan yang
tertinggi ini, pengertian kedalatan telah dikenal pada zaman Yunani Kuno.
Meskipun
demikian,
pembahasan
secara
sistematis
pertama
kali
dikemukakan oleh Jean Bodin (1530-1596) untuk mendukung raja Hendry IV
menghadapi kekuatan politik dari kelompok bangsawan dari gereja yang
mendefinisikan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para
48
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Kosepsi Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1995),
Cet. Ke-1, h. 110
49
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung, Bina Cipta, 1992), Cet. Ke-1, h.107.
50
Abdullah Ahmad Na’im, Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta, LKIS, 1999), Cet.
Ke-1, h. 158
warga negara dan rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang. Raja tidak
terikat oleh undang-undang karena ia sebagai yang dipertuan yaitu orang yang
menetapkan undang-undang. Raja mempunyai imperium, yakni hak berkuasa.
Negara adalah sama dengan raja, dengan kata lain rajalah yang berdaulat. Konsep
kedaulatan Jean Bodin ini melahirkan kekauasaan absolut para raja.
Ajaran kedaulatan rakyat adalah yang memberi kekuasaan tertinggi kepada
rakyat atau juga disebut pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Ajaran ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau. Yang menarik dari ajaran ini adalah
adanya dua macam kehendak dari rakyat yang dinyatakan sebagai kehendak
rakyat seluruhnya dan kehendak sebagian dari rakyat. Kehendak rakyat
seluruhnya ini hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja yaitu pada
saat negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Yang Kedua,
kehendak sebagian dari rakyat, dinyatakan sesudah negara ada dengan keputusan
suara terbanyak. Menurut Rousseau suara minoritas itu membawa kehendak yang
tidak sesuai dengan kepentingan umum.
B. Persamaan visi antara Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques
Rousseau.
Sebelum membahas persamaan visi antara Piagam Madinah dan Teori
Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau indikator hukum dan demokrasi itu sendiri
perlu penulis paparkan terlebih dahulu. Adanya aspek hukum diindikasikan dengan
adanya perlindungan terhadap kebebasan menjalankan kebiasaan yang baik,
perlindungan terhadap hak azasi, dan proteksi terhadap keutuhan negara serta
keutuhan masyarakat.
Sementara itu penegakan demokrasi diindikasikan dengan adanya pengakuan
atas kedaulatan dan kehendak rakyat. Adanya penghargaan terhadap keputusan dan
pendapat mayoritas juga mengindikasikan adanya demokrasi. Indikator lainnya
adalah jaminan atas kebebasan, persatuan, dan persaudaraan (liberte, egalite, dan
fraternite).
1. Piagam Madinah Muhammad SAW
Pembentukan Piagam Madinah didasari oleh semangat Muhammad dalam
memelihara persatuan dan kesatuan antar suku agar tidak terjadi sikap diskriminasi
dan hegemoni antara suku yang kuat menindas suku yang lain, karena isinya
mengakui hak-hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan hak kebabasan
beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga
Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajibankewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan
kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipya untuk menghapuskan tradisi dan
peraturan kesukuan yang tidak baik. Piagam Madinah didalamnya terdapat prinsipprinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar sosial politik yang bekerja
untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah pesatuan
penduduk Madinah yang majemuk tersebutDalam peradaban modern istilah ini
terkenal menjadi Konstitusi.51
Prinsip-prinsip yang digagas oleh Muhammad SAW memang sejalan
dengan kondisi realitas hukum modern, yang mana kesemuanya pernah dituangkan
dalam Piagam Madinahnya.52 Penulis melihat keunggulan dalam Piagam Madinah ini
dimana terdapat pada pasal-pasal yang sangat detail dan kesemua fungsi dan
kegunaannya hanya untuk menghilangkan diskriminasi dan intimidasi antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain, baik dalam konteks bangsa dan bernegara.
Dari segi hukum, Piagam Madinah jelas merupakan sebuah produk hukum
yang diproduksi oleh Muhammad kemudian ditawarkan kepada penduduk Yatsrib
dan sekitarnya untuk disepakati bersama. Piagam Madinah berperan sebagai hukum
atau norma yang berlaku bagi setiap orang yang telah menyepakatinya. Didalamnya
terdapat proteksi terhadap perdamaian dalam kota dan menyebutkan hak dan
51
Konstitusi merupakan prinsip-prinsip pemerintah yang bersifat funda mental dalam suatu
bangsa atau pernyataan secara tidak langsung mengenai peraturan-peraturan, institusi-institusi, dan
kebiasan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis Adalah Britis Constitution.
William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia, University
Press New York & London, 1975), h. 638
52
Rumusan-rumusan tersebut masih dalam ruang lingkup kandungan teks Piagam Madinah.
Perbedaan poin-poin yang mereka kemukakan dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing untuk
menonjolkan aspek-aspek tertentu, ini tidak terlepas pula dari karakteristik ketetapan-ketetapan Piagam
itu sendiri yang bersifat global la bisa dirumuskan secara singkat dan bisa pula ditafsirkan secara luas.
Penulis sendiri merumuskannya ke dalam 14 prinsip, yaitu 1) prinsip umat; 2) prinsip persatuan dan
persaudaraan; 3) prinsip persamaan; 4) prinsip kebebasan; 5) prinsip hubungan antar pemeluk agama;
6) prinsip tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) prinsip hidup bertetangga; 8) prinsip
perdamaian; 9) prinsip pertahanan; 10) prinsip musyawarah; 11) prinsip keadilan; 12) prinsip
pelaksanaan hukum; 13) prinsip kepemimpinan; dan 14) prinsip ketakwaan, amar makruf dan nahi
munkar. J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h. 121
kewajiban setiap penduduk yang termasuk bagian dari ahl al-shahifah (orang yang
sepakat dengan Piagam Madinah).
Sementara itu, dari sudut pandang demokrasi Piagam Madinah merupakan
kehendak masyarakat meskipun pada awalnya merupakan tawaran dari Muhammad.
Di dalam Piagam Madinah dimuat elemen-elemen demokrasi seperti Liberte
(kebebasan), Egalite (persatuan), dan Fraternite (persaudaraan). Piagam Madinah
adalah hasil kesepakatan rakyat yang dibuat untuk kepentingan rakyat.
2. Teori Kontrak Sosial (Du Contrat Social)
Menurut Jean-Jacques Rousseau:
"Pemerintah menerima dari para penguasa perintah-perintah yang
diberikannya kepada rakyat; dan jika negara harus dalam keseimbangan yang baik,
penting, semua hal untuk dipertimbangkan, bahwa produk dan kekuasaan pemerintah
yang ada pada dirinya sarna dengan produk dan kekuasaan warga negara yang
berkuasa dalam satu sisi dan menjadi subjek dalam sisi yang lain."
Di sini terlihat bahwa Rousseau menganggap adanya kaitan erat antara
pemerintahan, negara, rakyat, dan kedaulatan.53
Persamaan di sini artinya semua orang sama mendapatkan perlindungan hukum
dalam arti semua orang mempunyai hak kewarganegaraan yang sama seperti halnya
orang lain, tunduk kepada peraturan yang sama. Persamaan di depan hukum lebih
berarti pernyataan etis dari pada pengertian yang sesungguhnya di mana mereka
setara dalam arti akan mendapat perlakuan yang sama. Dalam ekonomi politik dan
53
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001),
Cet. Ke-1, h. 254
sosial terdapat perbedaan antara ketidaksamaan alamiah dan konvensional, yang
pertama artinya sesuatu yang berbeda dalam hal seks, umur, kekuatan, dan
sebagainya sedangkan yang kedua artinya berbeda dalam hal status, kekuasaan dan
seterusnya. J.J. Rousseau menerima ketidaksamaan alamiah tetapi menolak yang
kedua karena yang kedua mengikuti arus perubahan zaman sedangkan yang pertama
tetap konsisten. Konsep modern tentang persamaan berusaha menggabungkan tradisi
liberal klasik dengan tradisi egalitarian. Yaitu munculnya ide tentang persamaan
dalam kesempatan, dalam perkembangan selanjutnya menyerukan menghapuskan
hambatan hukum yang bersifat diskriminatif terhadap gender, ras, dan hak istimewa
lain. Kemudian kesempatan dalam pendidikan harus diutamakan. Sebelumnya
definisi kebebasan tidak mengambil bentuk yang jelas kecuali pada abad 18. Menurut
Warne Becker, mendefinisikan kemerdekaan sebagai seorang yang dalam batas-batas
tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang dia inginkan. Batas-batas ini
mungkin bersifat biologis. Biasanya dalam konteks demokrasi dibicarakan tentang
kebebasan individu. Dalam praktek terkadang kebebasan berperilaku dibatasi oleh
hukum serta sanksinya, sehingga kebebasan tadi terlihat bertentangan dengan hukum.
Tradisi liberal dari John Locke yang mengatakan bahwa tujuan hukum bukan untuk
menghapus atau mengekang tetapi untuk melindungi dan memperluas kebebasan.
Namun dalam deklarasi kebebasan Perancis yang sangat terkenal dalam pasal 4 tahun
1789 menyatakan bahwa setiap manusia bebas melaksanakan aktivitas selama tidak
mengganggu kebebasan orang lain. Pengertian dari deklarasi ini bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan yang sama. Dalam melaksanakan aktivitasnya manusia tidak
boleh melanggar kebebasan orang lain. Kebebasan tadi dibatasi oleh hukum agar
terjaganya ketertiban masyarakat. Dalam pandangan modern, kebebasan individu
hanya terbatas pada tingkat bahwa suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk
mendikte melakukan perbuatan tertentu.
ANALISA TABEL TERHADAP PERSAMAAN PIAGAM MADINAH DAN
TEORI KONTRAK SOSIAL JJ. ROUSSEAU
1.
Dari segi hukum baik Piagam Madinah Maupun Teori Kontrak Sosial J. J.
Rousseau sama-sama menghendaki perlindungan terhadap kebebasan dan
mencita-citakan ketertiban dalam kehidupan rakyat. Ini sejalan dengan fungsi
hukum itu sendiri sebagai pemelihara ketertiban dan perlindungan terhadap
hak azasi manusia.
2.
Dari sisi demokrasi keduanya sama-sama berkaitan dengan kehendak umum
atau kehendak masyarakat. Keduanya juga berkaitan dengan kedaulatan rakyat
dan menjunjung tinggi suara mayoritas.
C. Perbedaan Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Dari
Segi Hukum dan Demokrasi
Sama halnya dengan sebelum membahas persamaan visi pada sub bab
sebelumnya, dalam membahas perbedaan kita juga perlu memakai indikator yang
sama mengenai hukum dan demokrasi. Penulis mengulas kembali bahwa adanya
aspek hukum diindikasikan dengan adanya perlindungan terhadap kebebasan
menjalankan kebiasaan yang baik, perlindungan terhadap hak azasi, dan proteksi
terhadap keutuhan negara serta keutuhan masyarakat.
Berjalannya demokrasi diindikasikan dengan adanya pengakuan atas
kedaulatan dan kehendak rakyat. Adanya penghargaan terhadap keputusan dan
pendapat mayoritas juga mengindikasikan adanya demokrasi. Indikator lainnya
adalah jaminan atas kebebasan, persatuan, dan persaudaraan (liberte, egalite, dan
fraternite).
Sebelum membahas perbedaan antara Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial
Jean Jacques Rousseau terlebih dahulu harus diketahui faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan antara keduanya. Tentunya dapat diketahui bersama dari pembahasan pada bab
sebelumnya bahwa faktor-faktor penyebab tersebut diantaranya:
Pertama, faktor waktu, dari sini terlihat bahwa Piagam Madinah telah ada
sejak tahun 622 Masehi, jauh sebelum Rousseau mengemukakan gagasannya tentang
Kontrak sosial.
Kedua, faktor pelaku. Muhammad adalah seorang nabi. Dengan demikian,
amat jelas bahwa Muhammad adalah manusia yang taat terhadap tuhan. Sementara
gagasan Rousseau tentang Kontrak Sosial adalah sebagai wujud ketidaksetujuannya
terhadap dominasi gereja di Eropa.
Ketiga, faktor bentuk. Piagam Madinah berbentuk perjanjian atau kesepakatan
yang menjadi sebuah kontitusi yang mengikat masyarakat. Sementara itu teori
Kontrak Sosial hanya sebuah ide sepihak yang tidak aplikatif.
Secara rinci perbedaan tersebut amat nampak lewat penjelasan berikut:
1. Piagam Madinah Muhammad SAW
Bertumpu pada sejarah ketatanegaraan di masa lalu telah mengajarkan kepada
kita bahwa umat manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan antara prinsip
ke-Tuhanan dengan persoalan kenegaraan. Salah satunya adalah Islam, sejarah dunia
Islam memberikan tauladan yang baik agar kesatuan umat manusia ini dapat terjaga
dan terpelihara, saling melindungi antara satu dengan yang lainnya, dalam hal ini
Piagam Madinah misalnya, piagam ini dapat dikatakan sebagai piagam yang sangat
mengutamakan kedamaian, penegakan hukum, perlindungan terhadap hak azasi
manusia dan perlindungan terhadap etnis minoritas. Dalam piagam tersebut di kota
Madinah posisi Muhammad bukan lagi mempunyai sifat Rasul Allah tetapi juga
mempunyai sifat kepala negara.54
Dalam sejarah umum, juga digaungkan oleh tokoh-tokoh Barat, sebagian tokoh
tersebut memperjuangkan hak-hak individu rakyat karena hal itu penting sebagai
awal dari proses terbentuknya negara, hal ini dibuktikan dengan adanya perdebatan
secara periodik yang banyak melibatkan filosof-filosof kenamaan, diantaranya,
Thomas Aquinas (1226-1274 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke
(1632-1704 M), Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) dan lain-lainnya.55 Para
filosof tersebut masing-masing melahirkan teori yang beragam.
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan
oleh beberapa tokoh, yang antara lain oleh Immanuel Kant (1724-1804 M), Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lai-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
rechtsstaat, sedangkan dalam Angelo Amerika adalah konsep negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V.Dicey dengan sebutan rule of law. Walaupun ini
54
55
h.61
Ahmad Sukardja, Op. Cit, h. 2
Nuktoh Arfawie, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1,
dinilai sebagai kemajuan peradaban Barat, Islam juga maju beberapa langkah dalam
merumuskan unsur-unsur Piagam Madinah didalam kehidupan saat ini.
Kontroversi pendapat memang ada,56 tapi tidak mengurangi sedikitpun subtansi
yang terkandung dalam Piagam Madinah yang tidak lain adalah rekonstruksi terhadap
lingkungan yang hiterogen, rekonsiliasi antara suku-suku Arab dan Yahudi dalam
menyelesaikan konflik dan pertikaian, perbedaan yang mencolok dapat kita lihat pada
Piagam Madinah dan perjanjian-perjanjian yang lain disepanjang sejarah perdaban
umat manusia, tujuan utama dari piagam ini direalisasikan Muhammad SAW adalah
untuk menata kembali hubungan masyarakat Muslim dengan Tuhan dan hubungan
sosial antara sesama mereka serta menjadikan Muslim agar hidup bertauhid,
bertakwa, bermoral dan dapat hidup berdampingan dalam kesatuan sosial dan politik.
Namun menurut Jean Claude Vatin bahwasannya prinsip-prinsip persamaan,
kemerdekaan, penghormatan terhadap sesama dengan jelas dikukuhkan pada tahap
awal, sehingga menetapkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat. Islam lebih
awal menetapkan dan mempublikasikan hak-hak pribadi, keamanan, reputasi pribadi,
kebebasan beragama, persamaan dimuka hukum dan lain-lainnya. Sebagai bukti nyata
akan penterjemahan Piagam Madinah kedalam kehidupan umat Islam adalah konsep
hukum Islam yang mempunyai relevansi terhadap perkembangan hukum modern
seperti saat ini.
56
Kaum Orientalis mengatakan, diantaranya Watt, ia menyimpulkan bahwa pemerintahan
pada masa Muhammad SAW berdasarkan pada konsep pra Islam dan ia merupakan contoh
tauladannya, sedangkan Hanna Rahman menyatakan Nabi bukannya memksakan tatanan sosial yang
baru sama sekali, dan bahkan Rosseau, Stuart Mill dan Renan berpendapat bahwa kemerdekaan politik
tidak memiliki akar hukum di dunia Islam. Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Azasi Mnusia
Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1987), Cet. Ke-1, h. 121
Dalam hal ini, penulis condong terhadap contoh konsep Maqasid Al-Syari’ah,
sebagai kelanjutan ide yang pernah dipopulerkan pada era klasik, sebab konsep ini
adalah realisasi dari subtansi Piagam Madinah yang digagas oleh Muhammad SAW
dalam menegakkan nilai-nilai murni dan hak-hak individu serta kebebasan yang
bertalian dengan proses penegakan hukum dalam pemerintahan suatu negara,
perjanjian antara rakyat dan penguasa, unsur kesamaan dimuka hukum inilah yang
merupakan pilar utama dari konsep yang digagas oleh Al-Syatibi,57 adapun interaksi
yang terbangun dalam konsep Maqasid Al-Syari’ah adalah nomokrasi dan konsep
negara hukum. Sumber sejarah lain mencatat bahwasannya agama-agama besar di
dunia juga melahirkan sistem dan konsep hidup bersama dalam satu tatanan yang
didalamnya mengakomodasi kepentingan-kepentingan pemeluknya dalam berbangsa
dan bernegara, antara lain, hukum Islam sendiri (Syari’ah Islamiyyah).58
57
Menurut pendapat Al-Syathibi seorang pakar hukum Islam (ushul fiqh) yang sangat
tersohor karena pemikirannya yang ada dalam kitab al-Muwaafaqat fi Ushul al-Ahkam, al-Syathibi
berpendapat bahwa makna kemaslahatan itu mempunyai arti yang luas dengan kriteria-kriteria
kemaslahatan yang didalamnya harus terdapat lima unsur pokok yang dapat direalisasikan dan
dipelihara kemurniannya, yaitu: memelihara agama (hifdz al-Din), jiwa (hifdz al-Nafs), akal (hifdz alAql), keturunan (hifdz al-Nasl) dan harta (hifdz al-Maal), kelima unsur tersebut dinamakan Ushul alKhamsah dan apabila kelima unsur ini dilanggar maka konsekuensinya adalah status sosial dan
agamanya mengalami kesenjangan atau dapat bahkan dalam era sekarang ini dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar hukum, baik dari segi hukum negara atau hukum IslamNama lengkap
dari Al-Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim (790 H), Al-Syatibi adalah nama daerah yang asal
keluarganya bermukim, nama Syatibi diambil dari urutan nama Syatibah (Jativa), dalam sejarahnya,
kota ini jatuh ketangan penguasa Kristen dan para pemeluk Islam diusir dari kota itu dan sebagaian
melarikan ke kota Granada-Spanyol. Menurut Fazlurrahman, Al-Syatibi adalah seorang ahli hukum
yang cemerlang pada abad 8H/ 14 M, peletak fondasi-fondasi rasional moral dan spiritual hukum
Islam. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 30
58
Al-Qur’an sebagai sumber hukum ajaran agama Islam memberikan pondasi yang penting
terhadap kesamaan hak-hak manusia yakni the principle governing the interest of people (prinsip
membentuk kemaslahatan manusia), dengan kata lain subtansi dari Maqasid Al-Syari’ah atau kita
kenal dengan kemaslahatan bersama, menjaga dan memelihara hak-hak dasar manusia secara utuh dari
Secara garis besar Piagam Madinah lebih bersifat teosentris karena merupakan
buah fikiran dari seorang utusan tuhan. Ini terlihat dari isinya yang memuat namanama Allah dan berisi permohonan perlindungan kepada-Nya.
Piagam Madinah bersifat praktis bukan teoritis karena merupakan produk hukun
yang bersumber dari Muhammad kemudian disepakati dan dijadikan hukum yang
mengikat para pelakunya. piagam ini secara konkrit melindungi hak azasi manusia
dan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
2. Teori Kontrak Sosial (Du Contrat Social)
Perlu diketahui Jean Jacques Rousseau hanyalah seorang pemikir yang hanya
bersifat teoritis dengan ide-ide yang di publikasikannya lewat buku, bukan pelaku
peristiwa sepertihalnya Muhammad SAW, awalnya ia berfikir akan pentingnya
interaksi negara dan rakyat jika dibangun perjanjian yang tidak merugikan antar
keduanya, hingga ia memperoleh gagasan tentang keadaan masyarakat sebelum
terbentuknya negara atau keadaan alamiah, paparan ini dijelaskan Rousseau dalam
karya monumentalnya, Du Contrat Social yang menggunakan istilah du droit
politique (political right) dalam pengertian yang sama seperti yang digunakan
Burlamaqui dalam karyanya, Principe du Droit Politique (prinsip hak-hak politik),
intervensi pihak lain, Syari’at Islam beradasar pada Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh
Muhammad SAW baik dengan perkataan dan perbuatan, keduanya tersebut dinamakan As-Sunnah.
Sesudah Islam meluas dan bangsa Arab mulai menghargai bangsa lain, tidak sukuisme, maka dibuatlah
peraturan-peraturan yang menggunakan bahasa Arab, selain berfungsi sebagai bahasa resmi, bahasa
Al-Qur’an juga menggunakan bahasa Arab dengan tujuan agar Al-Qur’an dapat dimengerti secara
tekstual dan kontekstual karena didalamnya memuat aturan-aturan sosial dan hubungan antara Tuhan
Allah dan mahluk-Nya. Hal ini membuat para ahli agama Islam (Ulama) menggali kemampuan agar
dapat menterjemahkan hukum Islam yang sangat luas maknanya ini secara benar dan tidak
kontroversial. A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta, Widjaya, 2001 ), Cet. Ke-14,h. 9
karena istilah itu merupakan konsep pokok dalam karya-karya Rousseau, khususnya
Du Contrat Social.
Sekarang kita akan menelaah pemikiran Rousseau tentang teori kontrak sosial
dan kaitannya dengan pembentukan dan kekuasaan. Menurut pemikir ini, negara
merupakan sebuah produk perjanjian sosial. Individu-individu dalam masyarakat
sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan
yang
dimililikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian
dinamakan negara, kedaulatan rakyat, kekuasaan negara, atau istilah-istilah lain yang
identik dengannya, tergantung dari mana kita melihatnya. Dengan menyerahkan hakhak itu, Individu-individu itu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaanya. Mereka
tetap dalam keadaan sediakala.
Negara berdaulat karena mandat dari rakyat. Negara diberi mandat rakyat untuk
mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka.
Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsifungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Negara harus selalu berusaha mewujudkan
kehendak umum. Bila menyimpang dari kehendak rakyat atau kemauan umum,
keabsahan kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara
berdasarkan kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak-hak ketuhanan raja.
Dalam teori hak-hak ketuhanan raja, kekuasaan dan legitimasinya diperoleh dari
Tuhan. Dengan teori kontrak sosialnya, Rousseau membalikkan sumber kekuasaan
dari legitimasinya, dari Tuhan ke manusia.
Menarik menyimak bagaimana Rousseau memandang kekuasaan negara. Ia
mengumpamakan negara memiliki sepuluh ribu warga. Kekuasaan negara yang
merupakan manifestasi dari penyerahan hak, kebebasan dan kekuasaan serta kemauan
individu haruslah dilihat secara kolektif dan sebagai suatu lembaga politik yang utuh.
Meskipun demikian, setiap individu masyarakat yang merupakan subjek harus dilihat
sebagai suatu entitas individual. Bukan sebagai entitas kolektif. Maka setiap orang
memiliki akses sepersepuluh ribu dari kekuasaan.
Menurut Rousseau, negara yang memiliki keabsahan memerintah atas kehendak
umum atau rakyat itu memiliki dua hal; pertama kemauan, dan kedua, kekuatan.
Yang dimaksud Rousseau dengan kemauan adalah kekuasaan legislatif (legislative
power) sedangkan kekuatan adalah kekuasaan eksekutif (executive power). Dua
bentuk kekuasaan ini hams bekerja sama secara harmonis apabila negara ingin
menjalankan fungsinya secara baik. Tanpa kerja sama dan keberadaan kedua lembaga
itu negara tidak bisa berbuat apa-apa.
Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan merupakan refleksi kritisnya
atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Tidak sulit untuk memahami
mengapa demikian. Penguasa mengklaim Geneva sebagai sebuah republik, negara
yang amat mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi
kekuasaannya, tetapi dalam praktik nyata negara Geneva adalah sebuah negara yang
dikuasai oleh segelintir keluarga bangsawan (aristokrat) dan kekuasaannya bersifat
turun-temurun.
Negara atau sistem pemerintahan yang bagaimana yang ideal menurut Rousseau
Dalam Du Contrat Social, ia mendambakan suatu negara atau sistem pemerintahan
yang memberlakukan demokrasi langsung, yaitu suatu sistem kenegaraan dimana
setiap warga negara-yang jumlahnya tidak begitu banyak-menjadi pembuat keputusan
dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas. Rousseau mendambakan negara-negara
kota seperti zaman Romawi kuno, atau sistem pemerintah di desa-desa di Swiss
ketika ia masih kanak-kanak. Di negara-negara kota seperti itu, rakyat dapat menjadi
subjek pemerintahan sekalipun berada di bawah kekuasaan negara. Dengan kata lain,
rakyat diperintah tetapi pada saat yang sama juga memerintah. Gagasan Rousseau ini
menarik, tetapi juga sekaligus menafikan kenyataan perkembangan penduduk dan
semakin kompleksnya struktur sosial politik. Semuanya ini menyebabkan negara
yang didambakan Rousseau sulit terwujud dalam kenyataan sejarah. Negara kota
akan hanya menjadi khayalan.
ANALISA TABEL TERHADAP
PERBEDAAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JJ.
ROUSSEAU
NO
PIAGAM MADINAH
1.
Piagam Madinah bersifat teosentris
karena digagas oleh seorang rasul
Allah yang juga seorang negarawan
yang memimpin masyarakat.
2.
Piagam madinah berdasarkan AlQur’an dan Al-Sunnah dan ide dari
Muhammad dan pimpinan-pimpinan
masyarakat Yatsrib dan sekitarnya.
3.
Dari segi hukum Piagam Madinah di
TEORI KONTRAK SOSIAL
JJ. ROUSSEAU
Teori Kontrak Sosial bersifat
antroposentris karena merupakan
gagasan JJ.Rousseau yang
berlandaskan pemikiran dan
pengamatan pribadi terhadap kondisi
masyarakat Eropa.
Teori Kontrak Sosial hanyalah
pemikiran yang tertuang dalam
sebuah buku tanpa kesepakatan atau
sumbangan pemikiran elemen-elemen
masyarakat.
Teori Kontrak Sosial tidak aplikatif
4.
5.
6.
7.
sepakati dan dijadikan aturan yang
mengikat setiap anggota masyarakat
yang menyepakatinya.
Piagam Madinah sudah dibuat sejak
tahun 622 M, jauh sebelum
masyarakat dunia menjunjung tinggi
Hak Azasi dalam ketatanegaraan.
Dalam Piagam Madinah terdapat
nilai-nilai ketuhanan bagi kaum
Muslimin sekaligus sebagai proteksi
terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi
masyarakat Yatsrib dan sekitarnya.
Dari sudut pandang demokrasi
Piagam Madinah secara nyata
merupakan kehendak umum atau
kehendak rakyat yang menjelma
menjadi konstitusi yang memuat
perlindungan terhadap nilai-nilai
demokrasi.
Meskipun merupakan kehendak
mayoritas Piagam Madinah tetap
melindungi hak-hak minoritas sebagai
bagian dari masyarakat.
karena hanya sebatas teori.
Teori Kontrak Sosial baru
dirumuskan oleh JJ. Rousseau pada
abad 18.
Kontrak Sosial J.J Rousseau
formulasinya bercorak humanistik
dan tidak mengacu kepada prinsip
taat kepada Tuhan.
Teori Kontrak Sosial secara fanatik
berkiblat pada teori-teori demokrasi
Yunani kuno tanpa aplikasi
sedikitpun.
Teori kontrak sosial menganggap
minotitas tak hanya sebagai golongan
yang kalah tetapi juga salah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah penulis lakukan dalam karya ilmiah ini, maka
penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Piagam Madinah adalah piagam yang pertama digagas oleh Muhammad
SAW, yang menandai babak awal peradaban manusia modern dalam sejarah
umat manusia, piagam ini bersifat humanistik dalam memelihara hak
kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
2. Melihat kedudukan Muhammad SAW di kota Madinah pada saat itu bukan
hanya mempunyai sifat Rasul Allah akan tetapi juga mempunyai sifat kepala
negara, atau seorang negarawan.
3. Piagam Madinah yang dipelopori oleh Muhammad SAW lahir karena kondisi
para penduduk jazirah Arab mengalami krisis multidimensi, yang mana para
pemuka etnis Arab belum menemukan format kehidupan sosial, budaya,
keamanan, hukum, politik dan ekonomi secara normal, kondisi ini mendorong
Muhammad SAW memunculkan kesepakatan dikalangan masyarakat yang
heterogen dan pluralistik, hal ini dibentuk oleh Muhammad SAW agar
keberadaan satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak diskriminatif dan
anarkis, sebagai alternatif yang tepat Muhammad SAW mengadakan
kesepakatan yang terkenal pertama sedunia dalam merumuskan perdamaian
dunia tanpa adanya kekerasan fisik dan psikis. Sedangkan Menurut J.J
Rousseau, kontrak sosial lahir karena ia melihat kekuasaan yang ada di alam
ini ada dua, yakni penguasa dan rakyat, dan ia menuntut agar tidak terjadi
kegiatan yang saling merugikan dalam hidup berdampingan yang tertuang
dalam perjanjian yang jelas dan sama kedudukannya dimuka hukum.
4. Pembentukan Piagam Madinah didasari oleh semangat kenegaraan dan jiwa
patriotis muhammad dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di jazirah
yang sarat dengan konflik antar etnis.
5. Tujuan akhir dari di deklarasikannya Piagam Madinah adalah bukti nyata dari
rekonsiliasi dan tanggungjawab bersama dalam menjaga perdamanian antar
sesama.
6. Prinsip yang ada dalam Piagam Madinah Muhammad SAW dan teori Kontrak
Sosial J.J Rousseau adalah sama-sama memperjuangkan hak azasi manusia
secara utuh dan tanpa adanya penindasan, kehidupan yang bebas,
pemerintahan yang tidak diskriminatif dan diktator, mengutamakan kepada
nilai damai dan rekonsiliasi dalam semua perbedaan.
7. Adapun faktor yang membedakan antara Piagam Madinah Muhammad SAW
dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau adalah seiring sejalan dan saling
melengkapi keberadaannya antara lain;
a. Selisih waktu dibentuknya, Piagam Madinah dibentuk pada abad 7 M
tepatnya tahun 622 M, sedangkan JJ. Rousseau hidup pada abad 18 M,
tepatnya tahun 1712-1778.
b. Piagam Madinah bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah sedangkan
teori Kontrak Sosial JJ. Rousseau berdasarkan pengamatan pribadi
terhadap kondisi masyarakat dan penguasa Eropa pada abad 18 M.
c. Piagam Madinah cenderung paraktis dan akomodatif sedangkan teori
Kontrak Sosial J.J Rousseau hanya bersifat teoritis.
d. Dari segi hukum, Piagam Madinah jelas merupakan sebuah produk
hukum yang diproduksi oleh Muhammad kemudian ditawarkan
kepada penduduk Yatsrib dan sekitarnya untuk disepakati bersama.
e. Piagam Madinah berperan sebagai hukum atau norma yang berlaku
bagi setiap orang yang telah menyepakatinya. Didalamnya terdapat
proteksi terhadap perdamaian dalam kota dan menyebutkan hak dan
kewajiban setiap penduduk yang termasuk bagian dari ahl al-shahifah
(orang yang sepakat dengan Piagam Madinah).
f. Dari sudut pandang demokrasi Piagam Madinah merupakan kehendak
masyarakat meskipun pada awalnya merupakan tawaran dari
Muhammad.
g. Di dalam Piagam Madinah dimuat elemen-elemen demokrasi seperti
Liberte
(kebebasan),
Egalite
(persatuan),
dan
Fraternite
(persaudaraan). Piagam Madinah adalah hasil kesepakatan rakyat yang
dibuat untuk kepentingan rakyat.
h. Teori Kontrak Sosial bersifat antroposentris karena merupakan
gagasan JJ.Rousseau yang berlandaskan pemikiran dan pengamatan
pribadi terhadap kondisi masyarakat Eropa.
i. Teori Kontrak Sosial hanyalah pemikiran yang tertuang dalam sebuah
buku tanpa kesepakatan atau sumbangan pemikiran elemen-elemen
masyarakat.
j. Teori Kontrak Sosial tidak aplikatif karena hanya sebatas teori.
8. Sedangkan persamaan antara Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial J.J
Rousseau adalah sebagai berikut:
a. Dari segi hukum baik Piagam Madinah Maupun Teori Kontrak Sosial
J. J. Rousseau sama-sama menghendaki perlindungan terhadap
kebebasan dan mencita-citakan ketertiban dalam kehidupan rakyat. Ini
sejalan dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai pemelihara ketertiban
dan perlindungan terhadap hak azasi manusia.
b. Dari sisi demokrasi keduanya sama-sama berkaitan dengan kehendak
umum atau kehendak masyarakat. Keduanya juga berkaitan dengan
kedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi suara mayoritas.
c. Persamaan dalam tata dan regulasi sebuah pemerintahan yang
mengedepankan persatuan dan kesatuan serta kesamaan derajat di
muka umum, menjaga perdamaian.
B. Saran-saran
Untuk saran yang konstruktif, penulis mengharapkan kepada semua pihak
baik politisi, penegak hukum, birokrat, militer dan militer atau masyarakat
umum, agar:
1. Dapat mengambil pelajaran emas dari Piagam Madinah Muhammad
SAW dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau sebagai lambang
kedamaian, menghargai antara yang satu dengan yang lain dan
mengutamakan kebebasan berpendapat untuk kesejahteraan bersama
walaupun dalam kemajmukan.
2. Hendaknya Umat Islam dan lainnya dapat berlaku Humanis,
demokratis, tidak berlaku diskriminatif dan anarkis dalam kehidupan
beragama dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag.RI, 1979).
Amiruddin. M. Hasbi. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta,
UII Press, 2000), Cet ke-1.
Arfawie, Nuktoh. Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet.
Ke-1.
Arinanto, Satya. Teori Hukum dan Demokrasi, tentang pertumbuhan Rechtsstaat(3).
(Jakarta, FH-UI, 2005), Cet. 1.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi
Press, 2005), Cet, Ke-1.
Aziz, Abdul. Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Yayasan AlAmin, 1984), Cet. ke-1.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996).
Budiardjo, Miriam. Dasar·Dasar 1lmu Polilik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), Cet.
Ke- 19.
Cranston, Hobbes, dalam Makers of Modern Thought, (New York, American
Heritage Publishing Co. Inco. 1992).
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cet. IX, (Bandung, Bina Cipta, 1992).
Fattah, Eep Saifullah. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1994), Cet. Ke-1.
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta, Litera Antar Nusa,
2005), Cet. Ke-30.
Hanafie, A. Ushul Fiqh, (Jakarta, Widjaya, 2001), Cet. Ke-14,
Haris, Syamsuddin. Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1995), Cet. Ke-1.
Harris, William H and, Judith S, Levey. The New Columbia Encyclopaedia,
(Columbia, University Press New York & London, 1975).
Hericahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya, (Yogyakarta, Tiara Wacana,
1986), Cet ke-1.
Hilmi, Mahmud. Nizam al-hukm al-Islam Muqaranan bi al-Nuzum al_Mu’asarah,
(Dar al-Huda, 1978), Cet. 4.
Kusnardi, Moh. dan. Saragih, Bintan R. Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama
1995), Cet. Ke-3.
Madjid, Nurcholis. Demokrsi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher
(ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, (Jakarta, Paramadina,
1994), Cet. Ke-1.
"Cita-Cita Politik Kita" dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, (ed.), Aspirasi
Umat lslam lndonesia, (Jakarta, Leppenas, 1983).
Mahfud, Moh MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesi, (Jakarta, Universitas
Atmajaya, 2000), Cet. Ke-2.
Meyer, Thomas. Demokrasi Sebuah Pengantar untuk Penerapan, , (Jakarta, Friedrich
Ebert Stiftung, 2003), Cet. Ke-2.
Na’im, Abdullah Ahmad. Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta, LKIS,
1999), Cet. Ke-1.
Na’im, Abdullah Ahmad. Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, Cet. Ke-1 (Yogyakarta,
LKIS, 1999).
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung, Mizan, 2000), Cet. Ke-6.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah
Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1996), Cet. Ke-2.
Qadir, Abdul Djaelani. Negara Ideal Menurut Kosepsi Islam, (Surabaya, Bina Ilmu,
1995), Cet. Ke-1.
Rahman, Hannah. "Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi Nabi tli
Madinah" dalarn H.L. Beck dan N.J.G. Kaptein, (red.), Pandangan Barat
Terhadap Islam Lama, (Jakarta, Seri INIS, 1980), Jilid IV.
Ridhwan, Indra Muh., UUD 1945 Sebagai Karya Manusia, (Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1990), Cet. Ke-1.
Rousseau, J. J. The Social Contract, yang dialih bahasakan oleh: Sumardjo (Jakarta,
Erlangga, 1986), Cet. Ke-1.
Saefudin, AM. Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, , (Jakarta, Gema Insani Press,
1996), Cet. 1.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta,
UI Press, 1990), Cet. Ke-2.
Strong, C.F. Modern Polilical Constitution, (London, Sidgwick and Jackson Ltd,
1963).
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, Gramedia, 2001).
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara Masyarakat dan Kekuasaan (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta, Penerbit UI, 1995),
Cet. Ke- 1.
Sumardjo, terjemahan dari The Social Contract, (Jakarta, PT. Erlangga, 1947), tanpa
cetakan.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (Jakarta, Renada Media, 2003), Cet. Ke-1.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
1988), Cet. Ke-1.
William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia,
(Columbia, University Press New York & London, 1975).
‫‪LAMPIRAN‬‬
‫‪TEKS PIAGAM MADINAH‬‬
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬
‫هﺬا آﺘﺎب ﻣﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ واﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ وﻳﺜﺮب وﻣﻦ ﺗﺒﻌﻬﻢ ﻓﻠﺤﻖ ﺑﻬﻢ وﺟﺎهﺪ ﻣﻌﻬﻢ‪ .‬أﻧﻬﻢ‬
‫أﻣﺔ واﺣﺪة ﻣﻦ دون اﻟﻨﺎس‪ .‬اﻟﻤﻬﺎﺟﺮون ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻋﻠﻰ رﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮن ﺑﻴﻨﻬﻢ وهﻢ ﻳﻔﺪون ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻘﺴﻂ ﺑﻴﻦ‬
‫اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‪ .‬وﺑﻨﻮ ﻋﻮف ﻋﻠﻰ رﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮن ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ اﻷوﻟﻰ‪ .‬وآﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪي ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻘﺴﻂ ﺑﻴﻦ‬
‫اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‪.‬‬
‫وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻻ ﻳﺘﺮآﻮن ﻣﻔﺮﺣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ أن ﻳﻌﻄﻮﻩ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﻓﻲ ﻓﺪاء أو ﻋﻘﻞ‪ .‬وﻻ ﻳﺤﺎﻟﻒ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﻮﻟﻰ‬
‫ﻣﺆﻣﻦ دوﻧﻪ‪ .‬وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ اﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﻐﻲ ﻣﻨﻬﻢ أو اﺑﺘﻐﻰ وﺳﻴﻌﺔ ﻇﻠﻢ أو إﺛﻢ أو ﻋﺪوان أو ﻓﺴﺎد ﺑﻴﻦ‬
‫اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‪ ,‬وأن أﻳﺪﻳﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻤﻴﻌﺎ وﻟﻮ آﺎن وﻟﺪ أﺣﺪهﻢ وﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻓﻲ آﺎﻓﺮ وﻻ ﻳﻨﺼﺮ آﺎﻓﺮا ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ‪.‬‬
‫وأن ذﻣﺔ اﷲ واﺣﺪة ﻳﺠﻴﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ أدﻧﺎهﻢ‪ .‬وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻮاﻟﻲ ﺑﻌﺾ دون اﻟﻨﺎس‪ .‬وأﻧﻪ ﻣﻦ ﺗﺒﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﻬﻮد‬
‫ﻓﺈن ﻟﻪ اﻟﻨﺼﺮ واﻷﺳﻮة ﻏﻴﺮ ﻣﻈﻠﻮﻣﻴﻦ وﻻ ﻣﺘﻨﺎﺻﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ‪ .‬وأن ﺳﻠﻢ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ واﺣﺪة ﻻ ﻳﺴﺎﻟﻢ ﻣﺆﻣﻦ دون ﻣﺆﻣﻦ ﻓﻲ‬
‫ﻗﺘﺎل ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ إﻻ ﻋﻠﻰ ﺳﻮاء وﻋﺪل ﺑﻴﻨﻬﻢ‪ .‬وأن آﻞ ﻏﺎزﻳﺔ ﻏﺰت ﻣﻌﻨﺎ ﻳﻌﻘﺐ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎ‪ .‬وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻳﺒﻲء‬
‫ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺑﻤﺎ ﻧﺎل دﻣﺎءهﻢ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ‪ .‬وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ اﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ أﺣﺴﻦ اﻟﻬﺪى وأﻗﻮﻣﻪ‪ .‬وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻴﺮ‬
‫ﻣﺸﺮك ﻣﺎﻻ ﻟﻘﺮﻳﺶ وﻻ ﻧﻔﺴﺎ وﻻ ﻳﺤﻮل دوﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ‪ .‬وأﻧﻪ ﻣﻦ اﻋﺘﺒﻂ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻗﺘﻼ ﻋﻦ ﺑﻴﻨﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻗﻮد ﺑﻪ إﻻ أن‬
‫ﻳﺮﺿﻰ وﻟﻲ اﻟﻤﻘﺘﻮل‪ ,‬وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻠﻴﻪ آﺎﻓﺔ وﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻬﻢ إﻻ ﻗﻴﺎم ﻋﻠﻴﻪ‪ .‬وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻤﺆﻣﻦ أﻗ ﱠﺮ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ هﺬﻩ‬
‫اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وﺁﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻵﺧﺮ أن ﻳﻨﺼﺮ ﻣﺤﺪﺛﺎ وﻻ ﻳﺆوﻳﻪ وأﻧﻪ ﻣﻦ ﻧﺼﺮﻩ أو ﺁواﻩ ﻓﺈن ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻌﻨﺔ اﷲ وﻏﻀﺒﻪ‬
‫ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ وﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺻﺮف وﻻ ﻋﺪل‪ .‬وأﻧﻜﻢ ﻣﻬﻤﺎ اﺧﺘﻠﻔﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﻲء ﻓﺈن ﻣﺮدّﻩ إﻟﻰ اﷲ وإﻟﻰ ﻣﺤﻤﺪ –ﻋﻠﻴﻪ‬
‫اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم‪ -‬وأن اﻟﻴﻬﻮد ﻳﻨﻔﻘﻮن ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﺎداﻣﻮا ﻣﺤﺎرﺑﻴﻦ‪ .‬وأن ﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﻋﻮف أﻣﺔ ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ‪ .‬ﻟﻠﻴﻬﻮد‬
‫ن ﻟﻴﻬﻮد ﺑﻨﻲ‬
‫ﻻ ﻧﻔﺴﻪ وأهﻞ ﺑﻴﺘﻪ وأ ّ‬
‫دﻳﻨﻬﻢ وﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ دﻳﻨﻬﻢ وﻣﻮاﻟﻴﻬﻢ وأﻧﻔﺴﻬﻢ إﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ او اﺛِﻢ ﻓﺎﻧّﻪ ﻻﻳﻮ ِﺗ ُﻎ ا ّ‬
‫ﺠ ْﻔ َﻨ َﺔ وﻟﺒﻨﻲ‬
‫اﻟ ّﻨﺠّﺎر وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ اﻟﺤﺎرث وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺳﺎﻋِﺪة وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺟُﺜﻢ وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ اﻷوس وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺛﻌﻠﺒﺔ وﻟ ِ‬
‫ﻄ ْﻴ َﺒ ِﺔ ﻣِﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﻋﻮف‪.‬‬
‫ﺸَ‬
‫اﻟ ُ‬
‫ﻻ ﺑﺄذن ﻣﺤﻤّﺪ – ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ن ﺑﻄﺎﻧﺔ ﻳﻬﻮد آﺄ ﻧﻔﺴﻬﻢ ‪ .‬وأﻧّﻪ ﻻﻳﺨﺮج ﻣﻨﻬﻢ أﺣﺪ ا ّ‬
‫ن ﻣﻮاﻟﻲ ﺛﻌﻠﺒﺔ آﺄﻧﻔﺴﻬﻢ ‪ .‬وأ ّ‬
‫وأ ّ‬
‫ن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺑ ّﺮ هﺬا ‪.‬‬
‫ح‪ .‬وأ ّ‬
‫اﻟﺼّﻼة واﻟﺴّﻠﻢ – وأﻧّﻪ ﻻﻳﺘﺤﺠّﺮ ﻋﻠﻰ ﺛﺄ ٍر ﺟﺮ ٌ‬
‫ن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟﻨّﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺣﺎرب أهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼّﺤﻴﻔﺔ‪.‬‬
‫ن ﻋﻠﻰ اﻟﻴﻬﻮد ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ وﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ ‪ .‬وأ ّ‬
‫وأ ّ‬
‫ن اﻟﻨّﺼﺮ ﻟﻠﻤﻈﻠﻮم‪.‬‬
‫ﺤِﻠ ْﻴ ِﻔ ِﻪ ‪ .‬وأ ّ‬
‫ﺢ واﻟﻨّﺼﻴﺤﺔ واﻟ ِﺒ ﱠﺮ دون اﻷﺛﻢ‪ .‬وأﻧّﻪ ﻟﻢ ﻳَﺄ َﺛ ِﻢ اﻣﺮؤ ِﺑ َ‬
‫ﺼَ‬
‫ن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟ ﱡﻨ ْ‬
‫وأ ّ‬
‫وأن اﻟﻴﻬﻮد ﻳﻨﻔﻘﻮن ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﺎداﻣﻮا ﻣﺤﺎرﺑﻴﻦ‪ .‬وأن ﻳﺜﺮب ﺣﺮام ﺟﻮﻓﻬﺎ ﻷهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ‪ .‬وأن‬
‫اﻟﺠَﺎ َر آﺎﻟﻨﻔﺲ ﻏﻴﺮ ُﻣﻀَﺎ ﱟر وﻻ ﺁﺛﻢ‪ .‬وأﻧﻪ ﻻﺗﺠﺎر ﺣﺮﻣﺔ إﻻ ﺑﺈذن أهﻠﻬﺎ‪ .‬وأﻧﻪ ﻣﺎ آﺎن ﺑﻴﻦ أهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﺣﺪث‬
‫أو اﺳﺘﺠﺎر ﻳُﺨﺎف ﻓﺴﺎدﻩ ﻓﺈن ﻣﺮدﱠﻩ إﻟﻰ اﷲ وإﻟﻰ ﻣﺤﻤﺪ رﺳﻮل اﷲ –ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‪ -‬وأن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺗﻘﻰ ﻣﺎ ﻓﻲ‬
‫هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وأﺑﺮّﻩ‪ .‬وأﻧﻪ ﻻ ﺗﺠﺎر ﻗﺮﻳﺶ وﻻ ﻣﻦ ﻧﺼﺮهﺎ‪ .‬وأن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟﻨﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ َد ِه َﻢ ﻳﺜﺮب‪ ,‬وإذا دُﻋﻮا ﻏﻠﻰ‬
‫اﻟﺼﻠﺢ ﻳﺼﺎﻟﺤﻮﻧﻪ وﻳﻠﺒﺴﻮﻧﻪ ﻓﺄﻧﻬﻢ ﻳﺼﺎﻟﺤﻮن‪ .‬وأﻧﻬﻢ إذا دﻋﻮا إﻟﻰ إﻟﻰ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ ﻓﺈن ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ إﻻ ﻣﻦ‬
‫ﺣﺎرب ﻓﻲ اﻟﺪﻳﻦ‪ .‬ﻋﻠﻰ آﻞ أﻧﺎس ﺣﺼﺘﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﺎﻧﺒﻬﻢ اﻟﺬي ﻗﺒﻠﻬﻢ‪.‬‬
‫وأن اﻟﻴﻬﻮد اﻷوس ﻣﻮاﻟﻴﻬﻢ وأﻧﻔﺴﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻷهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻊ اﻟﺒ ّﺮ اﻟﻤﺤﺾ ﻣﻦ أهﻞ هﺬﻩ‬
‫اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ‪ .‬وأن اﻟﺒ ّﺮ دون اﻹﺛﻢ ﻻ ﻳﻜﺴﺐ آﺎﺳﺐ إﻻ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ‪.‬‬
‫ب دون اﻟﻈﺎﻟﻢ أو ﺁﺛﻢ‪ .‬وأن ﻣﻦ‬
‫وأن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺻﺪق ﻣﺎ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وأﺑﺮﻩ‪ .‬وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻮل هﺬا اﻟﻜﺘﺎ ُ‬
‫ﺧﺮج ﺁﻣﻦ وﻣﻦ ﻗﻌﺪ ﺁﻣﻦ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ إﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ وأﺛﻢ‪ .‬وأن اﷲ ﺟﺎ ٌر ﻟﻤﻦ ﺑ ّﺮ واﺗﻘﻰ‪.‬‬
‫‪Artinya:‬‬
‫‪Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang.‬‬
Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi; antara orang-orang beriman dan
kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta yang mengikut mereka dan
menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu
umat di luar golongan yang lain.
Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy tetap menurut adat kebiasaan baik
yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan
darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan
cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman.
Bahwa Banu Auf tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku,
bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Dan setiap
golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil
diantara sesama orang-orang beriman.
Kemudian disebutnya tiap-tiap suku Anshar itu serta keluarga tiap puak: Banu
al-Haris, Banu Sa’idah, Banu Jusyam, Banu an-Najjar, Banu 'Amr bin 'Auf dan Banu
an-Nabit. Selanjutnya disebutkan:
Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang
menanggung beban hidup dan hutang yang berat diantara sesama mereka. Mereka
harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau
membayar diat.
Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi
mukmin lainnya.
Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang
melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan
perbuatan zalim, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang
beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap
anak sendiri.
Bahwa orang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang
kafir untuk melawan orang beriman.
Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah diantara mereka.
Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling tolong-menolong satu
sama lain.
Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia
berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak menganiaya atau melawan
mereka.
Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu; tidak dibenarkan
seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin
lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil.
Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling
bergiliran.
Bahwa orang-orang beriman itu harus saling membela terhadap sesamanya
yang telah tewas di jalan Allah.
Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam
pimpinan yang baik dan lurus.
Bahwa orang tidak dibolehkan melindungi harta-benda atau jiwa orang
Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman.
Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan
cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang setimpal kecuali bila keluarga si
terbunuh sukarela (menerima tebusan).
Bahwa orang-orang yang beriman harus menentangnya semua dan tidak
dibenarkan mereka hanya tinggal diam.
Bahwa orang beriman yang telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada
Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau
membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan
mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan
yang dapat diterima.
Bahwa bilamana diantara kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah
yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad 'alaihi-shalaatu was-salaam.
Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama-sama orangorang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang.
Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang-orang
beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orangorang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikutpengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan
aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan
keluarganya sendiri.
Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu an-Najjar, Yahudi Banu al-Haris,
Yahudi Banu Sa'idah, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu
Tsa'labah, Jafnah dan Banu Syutaibah berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri.
Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh keluar kecuali dengan ijin
Muhammad s.a.w.
Bahwa seseorang tidak boleh dirintangi dalam menuntut haknya karena
dilukai; dan barangsiapa yang diserang ia dan keluarganya harus berjaga diri, kecuali
jika ia menganiaya. Maka Allah juga yang menentukan ini.
Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri
dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula.
Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak
menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.
Bahwa mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan
saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa.
Bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap
sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong ialah yang teraniaya.
Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama
orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang.
Bahwa kota Yatsrib adalah kota yang dihormati bagi orang yang mengakui
perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan
diperlakukan dengan perbuatan jahat.
Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa ijin
penduduknya.
Bahwa bila diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu
perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat
kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah -s.a.w. - dan bahwa
Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini
Bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak
dibenarkan.
Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau
menyerang Yatsrib. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan
perdamaian itu.
Bahwa apabila mereka diajak demikian, maka orang-orang yang beriman
wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap
orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikutpengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui
naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang
menyetujui naskah perjanjian ini.
Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang melakukannya
hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar
dan patuh menjalankan isi perjanjian ini
Bahwa hanya orang yang zalim dan jahat yang melanggar isi perjanjian ini.
Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota ini, keselamatannya
terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan.
Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa.
Sumber: Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta,
Litera Antar Nusa, 2005), Cet. Ke-30.
Download