Pendidikan al-Quran dalam Membangun Akhlak Mulia

advertisement
Pendidikan al-Quran dalam Membangun Akhlak Mulia Siswa
Oleh: Ahmed Machfudh,
Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan
disajikan pada seminar dan sosialisasi
Perda No. 3/2009 Pemerintah Provinsi Kalimatan Selatan
Rabu, 14 Oktober 2009 di Gedung Mahligai Pancasila Kalimantan Selatan
Pendahuluan
Imam al-Ghazaliy mendefinisikan akhlak sebagai gejala dari kondisi
kejiwaan yang mengeluarkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa susah
payah, dan tanpa paksaan. Seorang yang pelit, misalnya, dapat berbuat dan
menampakkan diri seolah-olah sebagai seorang yang pemurah. Namun
perbuatan demikian bukan merupakan gejala dari kondisi kejiwaannya karena
keluarnya ia paksakan.
Secara sosiologis, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan
interaksi antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak dapat hidup dalam
ketunggalan atau kesendirian yang mutlak. Ia memerlukan kerangka sosial yang
dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk yang dapat menerima dan diterima
oleh lingkungannya.
Sebagai wujud nyata dari eksistensi sosialnya, manusia harus memiliki
akhlak mulia sebagai sarana berinteraksi secara positif dalam mengembangkan
kehidupannya. Barometer akhlak mulia bagi individu, keluarga, masyarakat,
maupun negara sekurang-kurangnya terlihat dari perwujudan kasih sayang,
kebersamaan, perhatian, saling menghormati, dan kejujuran. Sebaliknya, dalam
kehidupan di dunia ini yang tidak terbangun kasih sayang, kebersamaan,
perhatian, saling menghormati, dan kejujuran dalam sistem hidupnya, maka
hanya menunggu saat kehancurannya.
Syair terkenal menyatakan: Innamal umamul akhla-qu ma- baqiyat; fain
humu- dzahabat akhla-quhum dzahabu-. Kejayaan sesuatu masyarakat bangsa
adalah jika memiliki akhlak mulia. Jika akhlak tersebut sirna, hancurlah
masyarakat tersebut.
Akhlak mulia adalah landasan yang paling mendasar dalam membangun
kebudayaan dan peradaban umat manusia. Hilangnya akhlak mulia dalam
sistem kehidupan umat manusia berarti hilangnya harapan bagi terwujudnya
kesejahteraan lahir maupun batin. Karena sebaik-baik manusia adalah orang
yang memiliki keunggulan akhlak mulia. Khayrun na-si anfa’uhum lin na-si wa
ahsanuhum khuluqan.
Menurut Imam al-Ghazaliy, akhlak para prinsipnya dapat diubah dan
diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam
proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu ia selalu terbuka dan mampu
menerima usaha pembaruan serta perbaikan. Artinya, akhlak manusia adalah
potret perilaku manusia sebagai sebuah proses hidup yang dapat dibangun,
diperbaiki, dipertahankan, dan dikembangkan sekaligus dapat ditinggalkan.
Membumikan akhlak mulia dalam diri siswa
Menurut Ibnu Maskawaihi, seorang tokoh filsafat akhlak, ada lima metode
dalam memperbaiki akhlak:
1.
Mencari teman yang baik. Teman adalah cermin diri seseorang. Baik
tidaknya seseorang dapat dilihat dari pergaulan dengan teman-temannya,
karena teman sangat mempengaruhi kehidupannya.
2.
Olah pikir. Kegiatan ini dimaksudkan agar pikiran manusia dapat dijaga
dan dikembangkan dalam pola pikir yang positif.
3.
Menjaga kesucian kehormatan diri dengan tidak mengikuti dorongan
nafsu.
4.
Menjaga konsistensi antara rencana baik yang telah dibuat dan realisasi
tindakan.
5.
Meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari kelemahan-kelemahan
diri.
Metode perbaikan akhlak yang ditawarkan oleh Ibnu Maskawaih masih
sangat relevan dalam lingkungan sekolah kita yang masih memprihatinkan.
Secara umum kondisi siswa di banyak daerah masih menghadapi permasalahan.
Media elektronik yang memberikan informasi dijadikan hal-hal yang negatif,
seperti display kekerasan antar siswa, tawuran/perkelahian antar siswa dari lain
sekolah, bahkan perbuatan a susila antar siswa. Siswa yang berada di daerah
“aman akhlak” akhirnya tahu seluk beluk hal yang “tidak aman”, sehingga
makin berkembang kebobrokan akhlak di kalangan siswa.
Dalam situasi di atas, pendekatan moral dengan membumikan akhlak
mulia secara langsung di tengah-tengah masyarakat khususnya di lingkungan
sekolah melalui gerakan budaya menjadi sangat penting perannya. Gerakan
budaya diharapkan dapat menciptakan kesadaran masal akan keburukan dan
bahaya kekerasan serta perilaku negatif lainnya sehingga tercipta suasana
waspada dan suasana kesadaran akan tanggung jawab terhadap masalah
tersebut.
Pendidikan al-Quran solusi berbagai permasalahan
Salah satu masalah kita yang sangat memprihatinkan hingga saat ini
adalah rendahnya keteladanan, baik dari pendidik, tenaga kependidikan,
maupun orang tua siswa. Sebagai contoh perilaku korupsi (dapat pula melalui
pungutan liar) yang sedemikian buruk sehingga sudah dianggap sebagai sebuah
realitas yang wajar. Publik bahkan telah menganggap hal tersebut sebagai salah
satu solusi instan terhadap rendahnya gaji yang diterima. Persepsi semacam ini
harus segera diubah, dan hanya dapat diubah dengan pendekatan budaya,
karena pendekatan hukum tidak akan pernah mampu menyentuh aspek ini.
Indikasi tinggi atau rendahnya korupsi atau pungutan liar dapat diminimalisasi,
bahkan dapat diatasi dengan melakukan keteladanan akhlak mulia di kalangan
para pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua siswa. Gerakan tersebut
secara umum dapat mengadopsi metode perbaikan akhlak yang ditawarkan oleh
Ibnu Maskawaih.
Tentu metode tersebut hanya dapat dijalankan jika agama dapat
dioptimalkan peranannya di tengah-tengah kehidupan sekolah. Meskipun
agama lebih merupakan landasan dan kerangka moral, namun agama memberi
ancaman bagi pelaku tindak kekerasan, kejahatan, dan perilaku negatif lain yang
cukup efektif menyentuh ranah kesadaran yang paling dalam.
Solusi di atas akan berjalan dengan baik dan mantap jika pendidikan alQuran dapat diselenggarakan di berbagai sekolah pada semua jalur dan jenjang,
dari yang paling bawah sampai jenjang yang tertinggi. Pendidikan al-Quran
tidak hanya membawa siswa ke arah baca tulis al-Quran sehingga baik, benar,
dan fasih dalam membaca; namun lebih diarahkan kepada pemahaman,
penghayatan, serta pengamalan kandungan ayat al-Quran. Jika semua perilaku
siswa dalam melakukan setiap gerakannya tanpa dipikirkan lebih dahulu sesuai
dengan ajaran al-Quran, tak dapat disangkal lagi mereka telah terbangun akhlak
mulianya, karena akhlaknya adalah al-Quran sebagaimana akhlak Rasulullah
saw.
Jika kesadaran dan amalan beragama berbanding lurus dengan pola
pendidikan yang jauh dari praktik kekerasan, kejahatan, dan perilaku negatif
lainnya, maka penciptaan suasana kegiatan belajar mengajar yang baik, efektif,
dan efisien dapat terwujud. Upaya pembumian ajaran dan nilai agama dalam
rangka membumikan akhlak mulia di lingkungan siswa merupakan alternatif
yang dapat mengatasi masalah-masalah kenakalan remaja.
Perda #3/2009 Pemerintah Prov. Kalsel sebagai upaya positif
Saya mengapresiasi Perda No. 3/2009 tentang Pendidikan al-Quran di
Kalimantan Selatan yang terkait erat dengan pendidikan al-Quran dalam rangka
mendorong perwujudan generasi Islami yang beriman, cerdas, dan berakhlak
mulia sebagai muatan kurikulum keunggulan lokal di Provinsi Kalimantan
Selatan. Oleh karena itu kita harus mendukung pelaksanaan Perda No. 3/2009
dimaksud agar perspektif kehidupan dan pengamalan agama para peserta didik
dan masyarakat dapat dikoreksi. Sudah amat sering terdengar kritik tentang
kehidupan dan pengalaman keagamaan masyarakat Indonesia yang lebih
berorientasi pada formalisme dan simbolisme keagamaan daripada substansi.
Kalaupun ada penekanan pada substansi, ini lebih cenderung inward oriented,
pada kesalehan personal indiividu, juga sekaligus outward oriented menjadi
kesalehan sosial yang terejawantah dalam kehidupan sosial secara luas. Di sini
terjadi disparitas tajam antara personal religiousity sebagai basis pembangunan
akhlak mulia dengan social religiousity sebagai konsekuensi beragama. Bahkan
lebih parah lagi terjadi pemisahan antara sikap keberagamaan di masjid,
mushalla atau surau dengan tingkah laku di sekolah, di jalan raya, di pasar, di
ranah bisnis dan sebagainya. Padahal jelas seseorang seharusnya tetap beragama
di mana saja.
Karena itu sikap keberagamaan yang terpisah harus dikoreksi, diperlukan
ekspresi keberagamaan holistik di lingkungan masyarakat sekolah yang
mengintegrasikan kehidupan ibadah dan ritual lain dengan praktik kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian berbagai perilaku negatif dapat diatasi dan
penciptaan suasana belajar mengajar yang baik, efektif, dan efisien dapat
terwujud.
Kiranya Allah swt memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
sekalian. Amin.
i Ibn Maskawaih, nama lengkapnya Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yaakub bin
Maskawaih adalah ilmuwan Islam, sekaligus peletak dasar teori evolusi. Walaupun pemikiran
falsafahnya tidak banyak dibicarakan, tetapi ia telah mengemukakan berbagai macam teori
falsafah penting yang menjadi dasar pemikiran falsafah tokoh-tokoh sesudahnya.
Pandangannya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan saja menjadi
dasar pemikiran ilmuwan Islam yang lain seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin al-Rumi, tetapi
juga para sarjana Barat. Teori evolusi yang dikemukakan telah dijadikan bahan kajian oleh
Charles Darwin yang kemudian menerbitkan buku The Origin of Species, mengenai kejadian dan
asal usul manusia. Dalam buku tersebut, Charles Darwin menyatakan bahwa manusia
berkembang secara evolusi dari spesies kehidupan yang paling sederhana ke yang kompleks.
Perkembangan itu berjalan perlahan-lahan dan pada masa yang lama. Hasil kajian dan
perhatiannya terhadap pelbagai spesies kehidupan dan fosil di beberapa benua akhirnya
membuat keputusan bahwa manusia sebenarnya berasal dari kera melalui proses evolusi.
Teori evolusinya membuat kontroversi dan mendapat tentangan dari pihak gereja karena
dianggap menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di bumi. Meskipun demikian
teori tersebut bahkan menjadikan Darwin terkenal dan dianggap sebagai pelopor teori evolusi
yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi dan sosiologi dalam menguraikan
sejarah serta perjalanan manusia dan perkembangan masyarakat. Padahal teori evolusi telah
lama digunakan oleh Ibn Maskawaih dalam kajiannya mengenai perabadan manusia.
Menurutnya, kecerdikan manusia tidak lebih tinggi dari kepintaran yang dimiliki oleh kera.
Tetapi manusia menjadi lebih cerdik karena pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan
bermasyarakat.
Bagi Ibn Maskawaih manusia adalah sebuah dunia yang kecil dan padanya terdapat
gambaran mengenai segala yang ada di dunia. Setiap manusia mempunyai peranan yang
tersendiri bersamaan sebagai individu atau anggota masyarakat. Pendapat ini sesuai Teori
Fungsi yang dikemukakan oleh sosiolog Perancis, Auguste Comte. Jika setiap anggota
masyarakat melaksanakan peranan dan fungsinya, maka masyarakat itu akan berada dalam
keadaan yang stabil dan bersatu padu serta berkembang dengan teratur. Jika ada gangguan
terhadap fungsi yang akan mengakibatkan konflik dan pergolakan dalam masyarakat, maka
secara tidak langsung akan membawa keruntuhan kepada masyarakat tersebut. Jadi, tidak salah
kalau dikatakan bahwa Ibn Maskawaih juga merupakan peletak dasar Teori Fungsi yang
digunakan oleh para analis sosial yang melakukan kajian tentang masyarakat kuno dan modern.
Walaupun latar belakang pendidikannya bidang medis, tetapi minatnya yang mendalam
terhadap ilmu telah mendorongnya mempelajari kesusasteraan, falsafah, kimia, bahasa, dan ilmu
klasik yang lain. Penguasaan dan kepakarannya di setiap bidang yang dipelajari membuat Ibnu
Maskawaih sebagai ahli sejarah, filsafah, dan berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmuwan akhlak
yang andal.
Selain sebagai dokter, ia pernah menjadi ketua perpustakaan. Kesempatan ini digunakan
untuk menelaah berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan Yunani. Setelah itu
beliau dilantik sebagai Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggung jawab menjaga
Perpustakaan Malik Adhdud Daulah yang memerintah tahun 367-372H. Dengan pengetahuan
dan pengalamannya, Ibn Muskawaih berhasil membina ketokohannya sebagai seorang ilmuwan
yang berpengetahuan luas dalam pelbagai bidang. Banyak teori dihasilkan dan tidak terbatas
pada bidang falsafah semata. Beliau menulis banyak kitab yang membicarakan pelbagai
persoalan, seperti kitab al-Fauz al-Saghir yang membicarakan hal yang berkaitan dengan metafisik
yaitu tentang Allah, kerasulan dan jiwa.
Kebanyakan pandangannya mengenai hal ini diselaraskan dengan pandangan ahli
falsafah Yunani. Kesan pemikiran falsafah Yunani terhadap Ibn Muskawaih dapat dilihat pada
pandangannya mengenai jiwa. Ketika mengungkap persoalan ini, ia menyatakan bahwa jiwa
merupakan roh yang berbeda dari tubuh dan tak mungkin dapat dilihat dan disentuh oleh panca
indera. Jiwa adalah sesuatu yang dapat menerima dua hal pada satu saat yang sama seperti
keadaan hitam dan putih pada satu waktu. Ia juga mengemukakan teori akhlak dalam kitab
Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab itu disebutkan bahwa puncak akhlak ialah apabila keluar
perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan secara teratur. Oleh itu akhlak yang baik hanya akan
lahir dari jiwa yang bersih. Demikian pula sebaliknya. Untuk mendapat jiwa yang bersih maka
anak-anak sejak kecil harus diajarkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk hanya akan
mengganggu proses pertumbuhannya dan menyebabkan mereka tidak menghiraukan tatasusila.
Anak-anak perlu dilatih sejak dini supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini. Ibn
Maskawaih menulis beberapa kitab lain seperti al-Adwiah al-Mufradah tentang obat-obatan, Uns
al-Farid sebuah antologi cerpen, Tajarub al-Umam sebuah catatan mengenai sejarah, al-Thabikh
mengenai masakan, al-Asyribah yang membicarakan minuman, dan al-Fauz al-Kabir tentang
metafisika.
Berdasarkan kitab yang ditulisnya ketokohannya sebagai ahli falsafah dan pengarang
tidak dapat dinafikan. Ide dan pandangannya jelas menunjukkan ia sebagai salah seorang
ilmuwan serta sarjana Islam yang tak ada bandingan pada zamannya. Ibn Maskawaih yang lahir
pada 330H (941M) di Kota Rhages terus dikenang sebagai seorang ahli falsafah yang kaya
dengan teori-teorinya.
Download