BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat merupakan ilmunya ilmu pengetahuan, atau induk dari ilmu pengetahuan (mother of science). Dengan berfilsafat maka lahirlah sebuah ilmu pengetahuan, karena berfilsafat merupakan mengoptimalkan daya nalar dan kritis akal manusia. Filsafat merupakan ilmu untuk mencari kebenaran yang penuh dengan tanda tanya sehingga tak heran jika terdapat perbedaan pendapat dikalangan filosof tentang esensi sesuatu hal ini tidaklah menjadi hal yang tabuh karena setiap Filosof harus menerima hasil pemikiran orang lain. Semakin banyak orang yang mau berfilsafat maka semakin berkembanglah ilmu pengetahuan. Filsafat mulai dikenal didunia Islam pada abad IX di zaman pemerintahan daulah Abbasiyah. Pada masa itu lahirlah ilmu kedokteran, geometri, astronomi, kimia dan lainnya dengan tokoh-tokohnya yang Mashur. Dengan munculnya filsafat ditengah-tengah kehidupan umat islam, yang memberikan kebebasan seluas mungkin untuk berkembengnya pikiran secara bebas, meskipun harus menentang kebiasaan lama, membuka tabir baru terhadap perkembangan sejarah dan peradaban dunia islam. Islam telah melahirkan tokoh-tookoh filsafat yang terkenal di dunia islam dan dunia barat karena pemikiranya yang tidak akan lekang oleh waktu. Dalam perkembangannya filsafat memiliki sejarah yang menarik,. Betapa menariknya perkembangan filsafat islam untuk kita pelajari tanpa mengesampingkan tokoh dan pemikirannya. Ibnu Miskawaih adalah salah satu tokoh filsafat islam yang memiliki pemikiranpemikiran khususnya di bidang akhlaq. Beliau adalah cendikiawan muslim yang tetap berdasarkan Al-Qur’an dan hadits dalam berfikir. Sedangkan Nahiruddin Al Thusi juga merupakan filsuf yang juga hidup pada masa Ibnu Rusyd. Kedua Filsuf Islam tersebut meiliki corak pemikiran tersendiri meskipun ada beberapa dari pemikiran mereka memiliki pola serta pijakan yang sama B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah Nashiruddin Al Thusi beserta konsep pemikiran filsafatnya? 2. Bagaimana sejarah Ibn Maskawaih beserta konsep pemikiran filsafatnya?? 1 BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Nashiruddin Al Thusi Nashiruddin Al-Thusi dikenal sebagai “Ilmuwan serba bisa“ (Multi talented). Julukan (laqob) itu rasanya amat pantas disandangnya karena sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu, seperti astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama islam. Sarjana Muslim yang kemansyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti Thomas Aquinas, memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Nasiruddin Ath-Thusi. Ia lahir pada tanggal 18 Februari tahun 1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed, disebelah timur lautan Iran. Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi, Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir.1 Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia islam telah mengalami masamasa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu oleh ayahnya yang berprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas. Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Ath-Thusi mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad di sana, dia mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin,dan juga Matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.2 1 Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, [Bandung, Pustaka Setia,2009],hlm.246 2 M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, [Bandung, Penerbit Mizan, 1993], hlm. 235 2 Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Thus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Islamiyah ‘Abdurahim mengajak sang ilmuwan untuk bergabung. Tawaran itu tidak disia-siakannya, Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat istana Islamiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karyanya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaq-I Nasiri yang ditulisnya pada tahun 1232 M. Pasukan Mangol yang dipimpin Hulagu Khan – cucu Chinggis Khan pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya. Nyawa Nasiruddin selamat karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam, tapi Nasiruddin diperlakukan dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi panesehat dibidang Ilmu Pengetahuan. Meskipun telah m,enjadi panesehat pasukan Mangol, Nasiruddin tidak mampu menghentikan ulah dan kebiadapan Hulagu Khan yang membumi hanguskan kota metropolis intelektual dunia yaitu kota Baghdad, pada tahun 1258 M. terlebih disaat itu, dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta’sim yang lemah. Terbukti pada militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.3 Nashiruddin Al Thusi juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti NizariIslamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at-Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul ‘Rawdhah alTaslim’ atau Tashawurat.4 Dalam pemikiran agama, al-Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dari Ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya. 3 Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,Semarang, (Toha Putra: 1988) hlm.231 4 Antony Black, Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. (Serambi. Jakarta: 2006), hlm. 67-70. 3 Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nasehat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al Farabi. Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1). Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Beliau menafsirkan Negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fuquha dan juga para imam. Sehingga at-Tusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.5 B. Karya-Karya Nashiruddin Al Thusi Benar kalau dikatakan bahwa Ath-Thusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang Ilmu, bukan hanya seorang filsuf semata. Hal itu terlihat dari berbagai disiplin keilmuan yang ditulisnya dalam bentuk buku atau kitab. Meskipun Ath-Thusipandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia bukan seorang ilmuwan / filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada ditimur yang memuat sebelumnya. Ia bukan termaksuk ahli fikir yang kreatif yang memberikan gagasan-gagasan murni yang cemerlang. Hal ini tampak pada kedudukan ia sebagai pengajur gerakan kebangktan kembali dan dalam karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Tetapi meskipun demikian, ia tetap memiliki cirri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya 5 Ibid, hlm.70 4 yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogy, music, sejarah , kesusastraan dan dogmatik. Adapun karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi sebagi berikut6: 1. Karya dibidang logika diantaranya: a. Asas Al-Iqtibas b. At-Tajrid fi Al-Mantiq c. Syarh-I Mantiq Al-Isyarat d. Ta’dil Al-Mi’yar 2. Di bidang metafisika meliputi : a. Risalah dar Ithbat-I Wajib, b. Itsar-I Jauhar Al-Mufariq, c. Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad, d. Risalah dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al, e. Risalah Darurat-I Marg, f. Risalah Sudur Kharat Az Wahdat, g. Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul, h. Tashawwurat, i. Talkis Al-Muhassal dan j. Hall-I Musykilat Al-Asyraf. 3. Di bidang etika meliputi : a. Akhlak-I Nashiri, b. Ausaf Al-Asyarf. 4. Sementara di bidang dogmatik adalah : a. Tajrid Al’Aqa’id, b. Qawa’id Al-‘Aqa’id, c. Risalah-I I’tiqodat. 5. Di samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada : a. Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a,: buku suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table ( penyempurnaan Planetary Tables ) 6 Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.249 5 b. Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a; buku ini terdiri dari atas empat bab ( I ) pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti, gerak-gerik sederhan, dan kompleks. ( II ) pengertian-pengertian astronomikal secara umum, perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr De Vaux penuh dengan kritikyang tajam atas Almagest karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasan-pembiasan pada bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet.( III ) bumi dan pengaruh bendabenda angkasa atasnya, termaksuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal ini terjadi. ( IV ) besar dan jarak antar planet. c. Zubdat Al-Hai’a 9 yang terbaik dari astronomi), d. Al-Tahsil fil An-Nujum, e. Tahzir Al-Majisti, f. Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan), g. Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum ( buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ). 6. Di bidang arritmatika, geometri, dan trogonometri adalah : a. Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi ), b. Al-Jabr wa Al-Muqabala ( risalah tetang Al-Jabar ) c. Al-Ushul Al-Maudua ( risalah mengenai Euclidas Postulate ), d. Qawa’id Al-Handasa ( kaidah-kaidah geometri ), e. Tahrir al-Ushul, f. Kitab Shakl Al-Qatta ( risalah tentang Trilateral ), sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan. Buku tersebut sanagat berpengaruh di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian trigonometri. 7. Di bidang optic, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam: a. Tahrir Kitab Al-Manazir, b. Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar). 6 8. Di bidang seni ( syair ) meskipuntidak sekeliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf. 9. Karya di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah7; buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual. C. Pokok Pemikiran Nashiruddin Al Thusi Nashiruddin Al-Thusi dalam hal pemikiran tidak memunculkan pemikir tidak memunculkan pemikiran yang baru secara ter sendiri dan sepenuhnya beda dari pemikiran filsafat yang telah dimunculkan oleh paa filosof sebelumnya. Akan tetapi ia menambahkan dengan pemikiran-pemikirannya. Adapun pemikiran filsafat yang ia munculkan adalah sebgai berikut. 1. Tentang Metafisika Filosof sebelumnya juga membahas masalah metafisika. Tetapi Al-Thusi menambahkan menurut Al Thusi metafisika terbagi menjadi dua yaitu: a) Ilmu Ketuhanan (‘ilm-I Ilahi)8 Menurut Al Thusi Ilmu Ketuhanan (‘ilm-I Ilahi) Ini Mencakup persoalan pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhanan.9 Dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut seperti kenabian (nubuwwah), kepemimpinan spiritual (imamah), dan hari pembalasan (qiyamat).10 b) filsafat pertama (falsafah-I ula)11 7 Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam (Banjarmasin, Kafusari Press:2013), hlm. 152 8 Ibid. 9 M.M Syarif.Para Filosof Muslim terjemah dari buku ketiga , bagian ketiga “The Philoshophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy.(Bandung : Mizan, 1998), Hal 251 10 Op.cit. hal 152 11 Op.cit. Hal 251 7 Menurut Al Thusi ini meliputi alam semesta, termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekelan.12 2. Tentang Tuhan Al Thusi berpendapat bahwa Tuhan tidak perlu dibuktikan, karena mengenai tuhan sangat jelas sekali dan tidak mungkin untuk diingkari. Menurut Al Thusi eksistensi tuhan harus di terima bukan di buktikan, kerena mustahil bagi manusia yang terbatas menbuktikan Tuhan dalam keseluruhannya begitu pula mustahil bagi manusia membuktikan eksistensi Tuhan.13 3. Tentang Jiwa Menurut Al Thusi jiwa merupakan subtansi sederhana dan immateri yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot tubuh dan alat-alat perasa tetapi ia sendiri tidak dapat dirasakan lewat alat-alat tubuh. Jiwa menurut Al Thusi terbagi menjadi empat yaitu jiwa vegetative, hewani, manusiawi dan imajinatif. Jiwa imajinatif menepati posisi tengah antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (naql) yang menerima dari akal pertama.14 4. Tentang nubuwah dan imamah Menurut Al Thusi manusia memiliki kebebasan berkehandak dan berbuat dan di akhirat nanti akan dibangitkan dan dibei ganjaran atas perbuatannya apa bila baik akan mendapat pahala dan sebaliknya. Untuk itu perlu adanya aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia dan membimbing mereka kejalan kebaikan, oleh karena Tuhan berada diluar jangkauan 12 Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam. (Banjarmasin : Kafusari Press, 2013), hal 152 13Op.cit. hal 252 14 Ibid, hal 249-250 8 manusia maka Tuhan mengutus para nabi untuk menuntun para manusia. Setelah nabi wafat maka aturan suci akan disampaikan oleh pemimpin spiritual.15 5. Tentang Akhlak Pemikiran akhlak Al thusi terlihat banyak terpengaruh dari Tahdzib al Akhlaq karya Ibnu Maskawaih, tetapi dalam bukunya Akhlaq-i Nasiri Al Thusi menambahkan pembahasan tentang persoalan rumah tangga dan politik. Pembicaraan tentang akhlak tidak terlepas dari baik dan buruk, kebaikan oleh Al Thusi diibaratkan seperti gandum yang ditanam dan disiram hingga tumbuh dengan baik dan kemudian menghasilkan buahsehingga dapat dipanen. Sedangkan keburukan, ibarat buih yang muncul diatas permukaan air sebagai gerakan dari air. Dalam kehidupan manusia, keburukan terjadi adalah kerena penyalah gunaan manusia akan karunia Tuhn berupa kebebasan berkehendak dan berbuat yang dikaruniakan-Nya kepada manusia. Jadi, keburukan itu bukanlah berasal atau bersumber dari Tuha, tetapi dari oleh manusia itu sendiri. Al Thusi memasukan urusan rumah tangga kedalam pembahasan akhlak. Ia mendefinisikan rumah tangga sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba, dan kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah untuk mengembangkan system disiplin yang mendorong terciptanya kesejahtraan fisik, mental, dan social seluruh anggota rumah tangga itu, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya. Sedangkan istri yang baik adalah yang memiliki kecerdasan, integritas, kemurnian, kesederhanaan, dan kelembutan hati. Bekenaan dengan disiplin anak-anak, Al Thusi mengikuti pendapat Ibnu Maskawaih, yait disiplin anak-anak adalah dimulai dengan penanaman akhlak yang baik yang dilakukan melalui pujian, hadiah, dan celaan yang halus. Al Thusi juga memasukan urusan politik kedalam pembicaraan akhlak. Diantaranya pembicaraan Al Thusi yang penting adalah pendapatnya mengenai suatu Negara dan etika berperang. Suatu Negara , menurutnya harus didukung oleh empat kelompok, yaitu ilmuan, prajurit, petani dan pedagang. Menurut Al Thusi, seorang raja harus memiliki latar belakang, seperti berikut : 1) keluarga terhormat, 2) mempunyai cita-cita tinggi, 3) adil dalam menilai, 4) 15Op.cit. hal 154-155 9 teguh pendirian, 5) tegar dalam menghadapi kesulitan, 6) lapang dada dan 7) sahabat-sahabat yang berbudi baik.16 D. Biografi Ibn Miskawaih Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub, sedangkan Maskawih diambil dari nama keluarganya, dan ia disebut pula Abu ‘Ali al-Khazin. Sebutannya yang lebih populer adalah Miskawaih, Ibn Miskawaih, atau Ibn Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Parsi) yang kemudian masuk Islam. Gelar Abu ‘Ali diambil dari nama sahabat ‘Ali, sedang gelar Al-Khazin, yang berarti bendahara, sebab pada masa kekuasaan ‘Adud al-Daulah dari Bani Buwaihi ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharanya.17 Ada sebagian penulis yang menyebut Ibn Maskawaih sebagai penganut Syi’ah, karena gelar Abu ‘Ali yang dinisbatkan kepada sahabat ‘Ali itu18. Padahal bisa saja hal ini sematamata sebagai identifikasi diri kepada pihak penguasa dan bukan sebagai pernyataan bahwa ia menganut aliran syi’ah, karena memang ia hidup pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah. Ibn Maskawaih hidup pada masa akhir Daulah ‘Abbasiyyah, dimana kekhalifahan mulai mengalami kemunduran dan kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan ‘Abbasiyyah dikuasai oleh Bani Buwaihi sejak tahun 334-447 H. Namun demikian sisa-sisa kehidupan intelektual ‘Abbasiyyah yang mencapai puncaknya pada masa Al-Mansur dan Al-Ma’mun masih tampak pada saat itu, yakni banyak buku- buku Yunani terutama karya Plato dan Aristoteles yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, baik yang berkaitan dengan masalah metafisika, fisika, etika, psikologi, dan lain sebagainya, dan demikian pula buku-buku helenisme Romawi. Puncak kekuasaan Bani Buwaihi terjadi pada masa ‘Adud-Al-Daulah, yang berkuasa dari tahun 367 – 372 H dan Ibn Maskawaih mendapat kepercayaan menjadi 16 Op.cit. hal 155-157 17 Muh Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifah al-Islam, Mesir, al-Ma’arif, 1927, h. 304-305 18 Izzat, Aziz, Abd, Ibn Maskawaih, Mesir, Mustofa al-Halabi, 1946, h. 82 10 bendaharanya, dan pada saat itu pula Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, dan pujangga.19 Riwayat pendidikannya sendiri tidak banyak diketahui secara jelas. Hal ini disebabkan ia sendiri tidak menuliskan otobiografinya, sehingga para penulis tidak dapat menemukan informasinya yang jelas; hanya saja diduga bahwa Ibn Maskawaih tidak banyak berbeda dari kebiasaan anak masa itu dalam menuntut ilmu. Ahmad Amin memberikan gambaran mengenai pendidikan anak pada masa Abbasiyah, bahwa pada umumnya anak-anak bermula dari belajar membaca, menulis, mempelajari alQur’an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (Nahw) dan ‘Arud (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran ini diberikan di surau-surau, dan bagi kalangan keluarga yang mampu, mereka mendatangkan guru ke rumahnya untuk memberi pelajaran privat pada anak-anaknya. Setelah ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian mereka diberi pelajaran ilmu Fiqh, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Persia, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula bermacam-macam ilmu praktis, seperti musik dan berkuda20 E. Karya-Karya Ibn Maskawaih Sebagai seorang filosof, sejarahwan, tabib, dan ilmuwan, Ibn Maskawaih menulis banyak buku dalam berbagai keahlian. Mengenai sejak kapan ia menulis, tidak terdapat informasi yang dapat dijadikan rujukan yang pasti. Berbagai buku yang ditulisnya antara lain adalah : 1. Tahzib al-akhlak wa Tathir al-A’raq; mengenai etika 2. Fauz al-Asfar; mengenai ketuhanan, jiwa, dan kebahagiaan. 3. Al-Sa’adah; mengenai etika dan politik. 4. Tajarib al-umam; mengenai sejarah mulai peristiwa air bah (masa Nabi Nuh) samapi tahun 369 5. Jawizan khirad; mengenai filsafat Romawi, Arab, Persi dan India 19 Phillip H Hitty, History of the Arabs, terj. Edward Jurji dkk., Beirut, Dar al-Kasysyaf, 1963. H. 567 20 Amin, Ahmad, Duha al-Islam, kairo, Maktabah al-nahdah, 1974, Juz Ii, h. 66-69. 11 6. Lagz Qabis; kumpulan risalah-risalah Ibn Maskawaih. 7. Badi’ al-Zaman al-Hamazani; mengenai kaidah syair. 8. Al-Mutaqaddimah al-Zikr; kumpulan petuah Miskawaih 9. Asy’ar Ibn Maskwaih; kumpulan syair. F. Pokok Pemikiran Ibn Maskawaih Pemikiran Ibnu Maskawih mencakup beberapa hal, diantaranya ialah: 1. Filsafat Ketuhanan Menurut Ibnu Miskawaih membuktikan adanya tuhan adalah muda, karena kebenarannnya tentangg adanya tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapai orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya akan sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya. Miskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Tuhan pencipta itu Esa, Azali (tanpa awal) dan bukan materi (jisim).Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung pada kepada yang lain. Tampaknya pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Al-Farabi. Argumen yang digunakan Ibnu Miskawaih untuk membuktikan adanya tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebab tidak ada artinya mencipta. Alam diciptakan oleh Tuhan dari tiada, alam melami gerakan yang bersifat natur bagi alam yang menimbulkan perubahan. Tiap-tiap bentuk yang berubah digantikan oleh bentuk yang baru, bentuk yang lama menjadi tiada, dengan demikian terjadilah ciptaan yang terus-menerus. Pendapat ini sepaham dengan pendapat Aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula. Nampak pemikiran Ibnu Miskawaih sepaham dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Walaupun demikian ia menganut teori emanasi yang berbeda dengan Al-Farabi. Bagi Miskawaih Allah menjadikan 12 alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada, sedangkan menurut Al-Farabi alam dijadikan secara pancaran dari sesuatu akal, bahan yang sudah ada menjadi ada. Akan tetapi menurut Ibnu Rushd creatio ex nihilo hanyalah interpretasi kaum teolog saja. 2. Filsafat Jiwa Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera. Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa. Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu. Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkattingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut: 1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk. 13 2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang 3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik. Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta. 3. Filsafat Kenabian Dalam pemikiran Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat diperoleh pula oleh para filosof. Tetapi ada perbedaan pada cara untuk memperolehnya. Dikatakan kekuatan imajinasi seseorang mampu meningkat lagi hingga melewati batas yang biasa pada kebanyakan manusia. Seseorang setelah mencapai tingkat tersebut dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran. Bilamana seseorang melanjutkan pemikiran terus menerus setelah tiba pada tingkatan tersebut maka tilikan rohaninyan akan makin kuat dan tilikan pengamatannya makin tajam, dan terpancarlah baginya hal ihwal illahiat sejelas-jelasnya. Sehingga perbedaan mengenai cara memperoleh hakikat atau kebenaran antara nabi dan filosofialah nabi memperoleh kebenaran diturunkan langsung dari akal aktif langsung kepada kepada nabi sebagai rahmat Allah, sedangkan filosof memperoleh kebenaran dengan cara berusaha dan berfikir secara terus menerus. Menurut pemikiran Ibnu Miskawaih manusia mengalami evolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tetapi berkembang pula tingkat ecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan mendekati derajat malaikat. Manusia menurut fitrahnya 14 mempunyai kemampuan dan kemauaan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini bisa dicapai melalui mawas diri, perenungan, beribadah dengan baik, menjaga dan membersihkan jiwa dari perbuatan jahat dan tercela. 4. Filsafat Akhlak Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak). Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatanperbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik. Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya. Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan- perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq. 15 BAB III PENUTUP Simpulan Nasiruddin Ath-Thusi memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan. Ia lahir pada tanggal 18 Februari tahun 1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed, disebelah timur lautan Iran. Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi, Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir. Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia islam telah mengalami masamasa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Nama lengkap Ibnu Miskawaih ialah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. Di rayy (sekarang Teheran), dan meninggal di isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/ 16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah dan beliau pernah menjadi bendahara sehingga mendapat gelar al-Knazain dan gelar Abu Ali, indikasi inilah yang membuat ia dianggap penganut Syi’ah. Banyak dari pemikirannya yang dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Aristoteles tetapi lebih platonis. Dalam hal penciptaan alam semesta misalnya yang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Pada masalah esensi ruh yang kekal dan bergerak. Terlepas dari pengaruh pemikiran yunani tersebut pemikiran Ibnu Maskawai berpengaruh pada perkembangan islam yang telah memberika kemajuan dalam masalah akhlak terutama. Beliau adalah orang yang pertama kali menulis tentang akhlak melalui karya-karya beliau yang mazhur seperti namanya. Manusia ada yang memiliki sifat baik dari asalnya yang jumlahnya sedikit dan cenderung untuk berbuat baik, ada yang memiliki sifat buruk dari aslnya yang jumlahnya banyak dan cenderung 16 berbuat jahat, dan diantara keduanya ada golongan yang dapat beralih pada kejahatan hal ini tergantung pada pendidikan dan lingkungan dimana ia tinggal. 17 DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,Semarang, (Toha Putra: 1988) Amin, Ahmad, Duha al-Islam, kairo, Maktabah al-nahdah, 1974, Black, Anthony, Pemikiran Politik Islam. Dari masa nabi Hingga Masa Kini. (Serambi. Jakarta: 2006). Dedi,Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia,2009) Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam (Banjarmasin, Kafusari Press:2013) Izzat, Aziz, Abd, Ibn Maskawaih, Mesir, (Mustofa al-Halabi, 1946) M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung, Penerbit Mizan, 1993) Muh Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifah al-Islam, Mesir, (al-Ma’arif, 1927) Hiiti, H, Phillip, History of the Arabs, terj. Edward Jurji dkk., Beirut, Dar al-Kasysyaf, tt. 18