Desa Binaan LAPORAN PROGRAM P2M DANA DIPA PELATIHAN KULINER PESISIR UNTUK MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DESA SAMBIRENTENG MENUJU DESA WISATA BERBASISKAN TRI HITA KARANA Oleh Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. (NIDN : 0020036501) Drs. Agus Sudarmawan, M.Si. (NIDN : 0018085907) Drs. I Made Nuridja, M.Pd. (NIDN : 0021125105) Drs. I Putu Panca Adi, M.Pd. (NIDN : 0009076305) Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Pendidikan Ganesha dengan SPK Nomor: 023.04.2.552581/2013 revisi 2 tanggal 01 Mei 2013 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS GANESHA SINGARAJA 2013 i HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul : Pelatihan Kuliner Pesisir untuk Memberdayakan Masyarakat Desa Sambirenteng Menuju Desa Wisata Berbasiskan Tri Hita Karana 2. Ketua Pelaksana a. Nama Lengkap : Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. b. Jenis Kelamin : laki c. NIP : 196503201990031002 d. Disiplin Ilmu : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia e. Pangkat/Golongan : Penata TK I/IIId f. Jabatan : Lektor g. Fakultas/Jurusan : FBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia h. Alamat : Jl. Ahmad Yani 67 Singaraja i. Telp. : (0362) 21541 j. Alamat rumah : Griya Pemaron, Singaraja k. Telp./E-mail : 08123958392/[email protected] 3. Jumlah anggota pelaksana : 3 orang a. Nama Anggota I : Drs. Agus Sudarmawan, M.Si. b. Nama Anggota II : Drs. I Made Nuridja, M.Pd. c. Nama Anggota III : Drs. Putu Panca Adi, M.Pd. 4. Lokasi kegiatan a. Nama Desa : Desa Sambirenteng b. Kecamatan : Tejakula c. Kabupaten : Buleleng d. Provinsi : Bali 5. Jumlah biaya yang diusulkan : Rp. 15.000.000 Singaraja, 17 November 2013 Mengetahui, Dekan FBS, Ketua Pelaksana, Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A. NIP 196206261986032002 Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. NIP 196503201990031002 Menyetujui, Ketua LPM Undiksha, Prof. Dr. Ketut Suma, M.S. NIP 19591011984031003 ii KATA PENGANTAR Pemberdayaan Desa Sambirenteng Berbasiskan Tri Hita Karana Menuju Desa Wisata dengan judul “Pelatihan Kuliner Pesisir untuk memberdayakan masyarakat Desa Sambirenteng menuju Desa Wisata Berbasis Tri Hita Karana” ini merupakan salah satu bentuk pengabdian yang dilakukan oleh LPM Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Tujuan pengabdian ini adalah untuk turut serta memberdayakan masyarakat, khususnya masyarakat desa Sambirenteng. Misi mulia ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari pihak-pihak terkait, khusunya masyarakat dan aparat Desa Sambirenteng. Dengan iklim seperti itu, kami berharap mudah-mudahan kegiatan ini dapat memberikan sedikit sumbangan yang berarti bagi kemajuan masyarakat di negeri ini. Terselenggaranya kegiatan ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan bimbinganNya. Oleh karena itulah, puja dan puji sudah sepantasnya dilantunkan kehadapanNya. Karena atas limpahan karuniaNyalah, tugas-tugas pengabdian masyarakat ini dapat kami selesaikan secara sangat memuaskan. Karunia beliaulah yang membimbing kami untuk dapat bekerja sebagai suatu tim yang padu, dan mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai pihak. Selain itu, ucapan terima kasih sudah sepantasnya juga kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait yang turut membantu terselenggaranya pengabdian ini. Semoga kerjasama itu tetap dapat berlanjut pada masa yang akan datang demi kemajuan pendidikan di negeri tercinta ini. Tim pelaksana, iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ........................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... ...... ii KATA PENGANTAR .................................................................... ...... iii DAFTAR ISI .................................................................................... ...... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................ ...... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... ...... 8 BAB III METODE PELAKSANAAN DAN MATERI...................... 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... ...... 29 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 39 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... ....... 40 LAMPIRAN iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi a) Gambaran Geografis Secara geografis, Desa Sambirenteng adalah sebuah desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Desa Sambirenteng memiliki 4 banjar, yaitu Banjar Sambirenteng, Banjar Benben, Banjar Geretek, dan Banjar Silagading. Uniknya, semua banjar tersebut meiliki pantai dan perbatasan hutan negara. Dengan gambaran geografis seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa desa ini merupakan desa pesisir dan desa dengan lahan kering (tegalan). b) Kependudukan Desa ini memiliki jumlah penduduk + 5.290 jiwa (laki sebanyak 2.753, perempuan sebanyak 2.537). Jumlah itu didominasi oleh penduduk asli Bali yang beragam Hindu (98%). Sisanya ada yang beragama Islam kurang lebih 1,3%, dan agama lainnya sekitar 0,7%. Penduduk yang beragam Islam di desa ini juga sudah turun temurun mendiami desa ini. c) Mata Pencaharian Penduduk Desa Sambirenteng sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani lahan kering dan peternak. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan, pengusaha, dan PNS. Berdasarkan mata pencaharian tersebut, maka ada beberapa kelompok masyarakat yang layak menjadi sasaran pemberdayaan yaitu kelompok masyarakat pesisir, kelompok masyarakat peternak dan petani, dan kelompok masyarakat pengrajin. d) Pendidikan Dari segi pendidikan, di Desa Sambirenteng sudah ada persekolahan dengan rincian sebagai berikut SD sebanyak 4 buah, SMP 1 buah (SMP N 2 Tejakula), dan SMK 1 buah (SMK Pariwisata dan Komputer). Selain itu, di Desa Sambirenteng juga 1 sudah ada Taman Kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh Yayasan Silayukti. Yayasan ini adalah yayasan di bawah naungan desa. e) Prospek Potensi Desa Desa Sambirenteng memiliki beberapa potensi yang dapat diberdayakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Potensi tersebut antara lain (1) masyarakat nelayan, (2) industri kecil (Pengrajin Ingke, Usaha Minyak kelapa), (3) peternakan, dan (4) pariwisata. Masyarakat Sambirenteng yang berprofesi sebagai nelayan + 40 orang. Mereka umumnya masih menjalankan profesinya ini secara tradisional. Walaupun sudah tersentuh dengan pelaratan seperti mesin untuk perahunya tetapi masih perlu pemberdayaan lebih jauh dan pemahaman mereka tentang kelautan dan potensi laut lainnya, seperti terumbu karang, dan lain-lainnya. Di Desa Sambirenteng ada kelompok “Suaka Citra Bahari”. Kelompok ini merupakan kelompok masyarakat pelestari pesisir yang secara sukarela melestarikan terumbu karang yang ada di sekitar pantai Sambirenteng. Potensi alam dan kelembagaan ini perlu lebih diberdayakan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan desa. Industri kecil yang cukup terkenal di Desa Sambirenteng adalah kerajinan Ingke. Banyak kalangan menganggap Ingke buatan pengrajin Sambirenteng tergolong Ingke dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pengrajin ini bisa tetap eksis sampai sekarang. Walaupun demikian, tentu saja inovasi masih sangat diperlukan. Peluang peningkatan usaha menuju usaha mandiri yang menjanjikan peningkatan perekonomian perlu terus dilakukan. Di sinilah peran Perguruan Tinggi diperlukan. Dari segi hambatan, kendala yang dialami pengrajin Ingke adalah langkanya bahan baku. Untuk ini, diperlukan bantuan pihak lain untuk dapat mengatasi permasalahan ini. Selain industri Ingke, di Desa Sambirenteng juga ada usaha pembuatan minyak kelapa. Usaha ini sudah sempat mendapat pelatihan dari program PNPM Mandiri. Usaha ini juga cukup potensial mendongkrat peningkatan perekonomian masyarakat. Usaha minyak ini berkorelasi dengan keberadaan bahan baku berupa kelapa yang menjadi salah satu hasil perkebunan di Desa Sambirenteng. Dalam hal peternakan, di Desa Sambirenteng sudah terbentuk beberapa kelompok ternak yang masih memerlukan pengelolaan. Kelompok ternak ini memang 2 sedikit agak maju terbukti dengan adanya koperasi simpan pinjam kelompok ternak. Kelompok ternak ini ada hampir di setiap dusun. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat adalah sapi dan ayam. Pembinaan peternak memang sudah pernah dilakukan oleh instansi pemerintah. Hal ini terindikasi adanya Gapoktan di desa ini. Hanya saja Gapoktan sampai sekarang belum terkelola dengan baik. Potensi pariwisata yang ada di Desa Sambirenteng adalah wisata bahari (laut). Desa ini sedang berkembang menuju desa wisata laut. Menurut data yang ada, wisata laut yang dimiliki Desa Sambirenteng seluas 30 hektar. Andalan wisata lautnya adalah terumbu karang dengan ikan hiasnya. Dengan demikian, even wisata yang terkait dengan kekayaan alam tersebut perlu dikembangkan. Pembinaan menuju desa wisata laut sangat diperlukan mengingat SDM yang ada di Desa Sambirenteng belum memiliki kualitas yang memadai. Atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk datang, juga perlu ditumbuhkembangkan, seperti jenis tarian khas daerah maupun atraksi lainnya. Desa ini memiliki tarian tardisional sakral yang dapat dijadikan atraksi wisata yaitu Tari Baris Tumbak, Tari Dadap, dan Tari Presi. Selain itu, kuliner khas pesisir juga perlu dikembangkan mengingat belum tersedianya kedai makan yang memungkinkan wisatawan untuk menikmati hidangan ketika sudah lapar. Pembinaan kuliner pesisir sangat mendesak untuk dilakukan mengingat sudah mulai tumbuhnya wilayah desa desa ini menjadi kawasan yang dikunjungi oleh wisatawan sekadar untuk berlibur atau beristirahat. Untuk menunjang perkembangan menuju desa wisata, di Desa Sambirenteng telah berdiri jasa penginapan diantaranya : hotel sebanyak 2 buah, vila sebanyak 2 buah, dan pondok wisata sebanyak 1 buah. Perkembangan wilayah menuju desa wisata biasanya membawa dampak positif dan negatif. Positifnya adalah terangkatnya perekonomian masyarakat. Dampak negatifnya juga tidak sedikit. Dampak ikutan (negatif) ini perlu dikendalikan sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang justru merugikan masyarakat ke depannya. Pemertahanan kearifan lokal dan hal-hal yang terkait dengan sosial budaya masyarakat perlu mendapat perhatian dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Intinya penerapan filosofi Tri Hita Karana sangat tepat untuk membangun kawasan ini menjadi kawasan wisata. 3 Selain potensi yang dapat mengarah kepada peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat, Desa Sambirenteng memiliki lembaga ekonomi yang menunjang perkembangan wilayah desa ini. Di Desa Sambirenteng ada 1 koperasi simpan pinjam, 32 kelompok simpan pinjam, dan 1 bumdes. Selain itu, lembaga desa dengan aparat desanya juga merupakan kekuatan yang ikut menunjang pemberdayaan desa ini. Mengingat begitu kompleksnya masalah yang perlu dipecahkan untuk memberdayakan masyarakat Desa Sambirenteng maka pendekatan terpadu berupa pendekatan pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, dan spiritual perlu diterapkan. 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Menilik potensi desa Sambirenteng seperti dikemukakan pada bagian analisis situasi di depan, tampaknya pengembangan menuju desa wisata tampaknya memiliki prospek yang menjanjikan. Hanya saja untuk menjadi desa kawasan wisata atau pun desa wisata ada beberapa kriteria yang belum dikembangkan dengan baik. Masalah-masalah yang teridentifikasi dalam usaha mengembangkan desa Sambirenteng menuju desa wisata berbasis Tri Hita Karana adalah sebagai berikut. 1. Di desa Sambirenteng belum banyak kedai makanan yang dapat menunjang keberlanjutan dan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke desa ini, khususnya ketika mereka mengunjungi pantai dan laut di desa Sambirenteng. Keberadaan kedai makanan ini tampaknya menjadi kebutuhan mendesak jika desa ini ingin berkembang menjadi wisata pesisir atau pun jenis wisata lainnya, seperti ekowisata, maupun wisata budaya. Keberadaan wisatawan yang sudah mulai berdatangan ke desa Sambirenteng, baik wisatawan lokal maupun asing, merasakan kurangnya tempat untuk menikmati kuliner pada saat perutnya sudah mulai lapar. Keadaan ini mengurangi minat para wisatawan untuk tinggal berlama-lama di kawasan wisata Sambirenteng ini. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) desa Sambirenteng dalam hal pengelolaan desa wisata juga masih rendah. Salah satu penyebab kurangnya keberadaan kedai makanan seperti dikemukakan tadi disebabkan oleh kurangnya kemampuan anggota masyarakat dalam hal mengolah makanan sampai manajemen pemasaran. Padahal sumber atau bahan dasar makanan pesisir seperti ikan, 4 ketela, kelapa, dan bahan lainnya melimpah di desa ini. Oleh karena itu, perlu pengembangan SDM untuk mengelola desa ini menjadi desa pariwisata. 3. Kurangnya promosi potensi wisata yang ada di desa Sambirenteng secara luas dan mengglobal. Untuk ini, perlu bantuan pihak terkait membantu mempromosikan potensi wisata desa ini ke dunia luas sehingga desa Sambirenteng lebih dikenal sebagai salah satu desa wisata yang memiliki laut yang menawan dan juga geografis yang mendukung atraksi wisata lainnya. Selain itu, budaya khas seperti tarian khas dan budaya spiritual/kerohanian khas Sambirenteng juga perlu dikenalkan. 4. Kelembagaan desa juga menjadi salah satu masalah dalam mengelola potensi desa Sambirenteng. Pembenahan dan penyegaran kelembagaan desa sehingga dapat berfungsi untuk menopang terwujudnya desa wisata berbasis Tri Hita Karana tentu sangat diperlukan. Cukup kompleks masalahan yang perlu ditangani untuk mewujudkan desa Sambirenteng menjadi desa wisata berbasis Tri Hita Karana. Tetapi yang paling mendesak dan diminati oleh masyarakat adalah pelatihan kuliner pesisir untuk menopang keberlanjutan desa Sambirenteng sebagai tujuan wisata. Hal ini mengingat sudah mulai ada wisatawan yang mengunjungi desa Sambirenteng, tetapi sarana atau kedai makan belum ada, khususnya di tepi pantai. Oleh karena itu, pada tahun 2013 ini, P2M Undiksha diarahkan kepada pelatihan kuliner pesisir. 1.3 Solusi Pemecahan Masalah Masalah pokok yang hendak dipecahkan dalam kegiatan ini berkaitan pemanfaatan bahan dasar masakan yang bersumber dari lingkungan sekitar desa atau dihasilkan oleh alam yang ada di desa Sambirenteng, modernisasi mengelohan makanan dari bahan dasar yang bersumber dari alam di desa Sambirenteng, dan edukasi masyarakat tentang ketahanan pangan dengan memanfaatkan hasil bumi di desa Sambirenteng. Dengan demikian, kuliner yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan dasar dari alam desa tersebut perlu modern. Dalam artian, jenis olahan makanannya perlu sentuhan pengolahan modern, sedangkan bentuk dan tampilan produksnya sesuai dengan seni kuliner global (modern, dan diminati oleh wisatawan dan generasi modern). Untuk mewujudkan hal itu akan diterapkan berbagai model pendekatan berikut. 5 a. Model problem based discussion (PBD) atau diskusi berdasarkan masalah digunakan untuk menambah wawasan masyarakat tentang berbagai hal berkaitan dengan pola makanan dan gaya pariwisata. Berangkat dari permasalahan yang mereka hadapi, baik yang ditanyakan oleh pengunjung atau pernyataan kontra kepadanya, tim akan melakukan dokumentasi, diskusi, dan klarifikasi. Dengan demikian, masyarakat diharapkan mendapatkan informasi yang komprehensif tentang pengolahan makanan gaya hidup modern. b. Model entrepreneurship capasity building (ECB) digunakan untuk meningkatkan kemampuan berwirausaha bagi mitra. Dengan model tersebut diharapkan: (1) memberikan wawasan, sikap, dan keterampilan usaha, (2) menambah peluang yang lebih luas, (3) memfasilitasi, menambah ketahanan untuk bersaing dengan usaha sejenis, serta (4) merencanakan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi perkembangan usahanya. Penerapan model tersebut diharapkan bisa mengangkat pola pikir masyarakat dari pengolahan makanan secara tradisional menuju pengolahan yang lebih modern. c. Model technology transfer (TT) dilakukan agar mitra menguasai prinsip-prinsip penerapan teknologi berkaitan dengan pengolahan bahan pangan menjadi masakan dengan cita rasa modern. 1.4 Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan P2M di Desa Sambirenteng ini adalah sebagai berikut. a. Meningkatkan kemampuan untuk ikut menjaga ketahanan pangan terkait dengan pengembangan desa wisata berbasis Tri hita Karana serta kontribusi timbal balik antara pariwisata dan taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat. b. Meningkatkan keterampilan mitra untuk membuat masakan berbahadan dasar ikan dan singkong, yang merupakan bahan dasar makanan hasil dari alam desa. Peningkatan keterampilan membuat masakan berbahan dasar ikan dan singkong yang merupakan hasil bumi desa tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerapan konsep Tri Hita Karana dan penghasilan masyarakat. c. Meningkatkan minat dan kemampuan masyarakat dalam berwirausaha menyongsong keberadaan desa wisata Sambirenteng sehingga masyarakat tidak menjadi penonton hingar bingar dunia pariwisata dalam gelimangan dolar. 6 1.5 Manfaat Kegiatan 1). Bagi masyarakat Kegiatan pelatihan kuliner pesisir ini sangat bermanfaat bagi masyarakat karena mereka mendapatkan informasi berkaitan dengan ketahanan pangan berbasis Tri Hita Karana, dilatih membuat dalam sentuhan cita rasa dan selera modern, yang pada akhirnya dapat dipakai sebagai bekal untuk menciptakan ketahanan pangan dan juga diharapkan berkontribusi dalam membuka peluang usaha. 2). Bagi Pemerintah Sebagian tugas pemerintah dalam melatih masyarakat mengembangkan dan memberdayakan diri dan kekayaan alam dapat terbantu melalui kegiatan ini. Kegiatan ini dapat meningkatkan pemberdayaan dan pemertahanan masyarakat desa Sambirenteng dalam pemenuhan kebutuhan makan keluarga dan membina usaha perdagangan kuliner sehingga dapat meningkatkan bidang ekonomi kerakyatan agar mampu bersaing dengan para pendatang, khususnya dalam bisnis kuliner. Selain itu, kegiatan ini juga membantu pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. 1.6 Luaran Target luaran dalam pelaksanaan pengabdian pada masyarakat ini adalah sebagai berikut. 1. Jasa Beberapa jenis jasa yang ditargetkan dari pelaksanaan pengabdian masyarakat ini adalah (1) pemahaman terhadap dampak negatif pariwisata, (2) pemahaman ketahanan pangan berbasis Tri Hita Karana, (3) pemahaman terhadap keberadaan pariwisata dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolalan wisata. 2. Metode : (1) Metode membuat olahan kuliner pesisir berbahan dasar ikan berupa nuget dan bakso ikan, (2) metode membuat olahan jajanan berbahan dasar singkong, khususnya kue kukus pelangi. 3. Produk : Nuget ikan, bakso ikan, dan kue kukus pelangi berbahan dasar singkong. 4. Artikel 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Desa Wisata “Desa wisata” biasanya berupa kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus yang layak untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian, dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, sumberdaya alam dan lingkungan alam yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor penting dari sebuah kawasan desa wisata. Selain berbagai keunikan tersebut, kawasan desa wisata juga dipersyaratkan memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang seyogyanya ada di suatu kawasan desa wisata antara lain: sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata dapat menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (home stay) sehingga para pengunjung dapat merasakan suasana pedesaan yang masih asli. Desa Wisata merupakan "Suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata, dan kebutuhan wisata lainnya. Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Penetapan suatu desa dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain sebagai berikut : 1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi. 8 2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan local, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. 3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya. 4. Keamanan di desa tersebut terjamin. 5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai. 6. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Pembangunan desa wisata mempunyai manfaat ganda di bidang ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Manfaat ganda dari pembangunan desa wisata, adalah: 1) Ekonomi : Meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan masyarakat lokal. 2) Sosial : Membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa. 3) Politik : a. Internasional : Menjembatani perdamaian antar bangsa di dunia. b. Nasional : Memperkokoh persatuan bangsa, mengatasi disintegrasi. 4) Pendidikan : Memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa, mendidik cara hidup bersih dan sehat. 5) Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) : Meningkatkan ilmu dan teknologi bidang kepariwisataan. 6) Sosial budaya : Menggali dan mengembangkan kesenian serta kebudayaan asli daerah yang hampir punah untuk dilestarikan kembali. 7) Lingkungan : Menggugah sadar lingkungan (Darling), yaitu menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi kehidupan manusia kini dan di masa datang. Untuk suksesnya pembangunan desa wisata, perlu ditempuh upaya-upaya, sebagai berikut. 1. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) 9 Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya, serta di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan untuk tenagatenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial. Untuk itu, sebaiknya ditugaskan generasi muda dari desa yang bersangkutan untuk dididik pada sekolahsekolah kepariwisataan, sedangkan pelatihan diberikan kepada mereka yang akan diberi tugas menerima dan melayani wisatawan. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya diberikan kepada para petugas kepariwisataan di desa, kecamatan, dan kabupaten, karena penduduk desa umumnya hanya mempunyai keterampilan bertani. Kepada mereka dapat diberikan pelatihan keterampilan lain untuk menambah kegiatan usaha seperti kerajinan, industri rumah tangga, pembuatan makanan lokal, budi daya jamur, cacing, menjahit, dan lain sebagainya. 2. Kemitraan Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak Pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti : bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan, dan lain-lain. 3. Kegiatan Pemerintahan di Desa Kegiatan dalam rangka desa wisata yang dilakukan oleh pemerintah desa, antara lain seperti : Rapat-rapat dinas, pameran pembangunan, dan upacara-upacara hari-hari besar diselenggarakan di desa wisata. 4. Promosi Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun elektronik untuk kegiatan hal tersebut. 10 5. Festival / Pertandingan Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bias menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut, misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya. 6. Membina Organisasi Warga Penduduk desa biasanya banyak yang merantau di tempat lain. Mereka akan pulang ke desa kelahirannya pada saat lebaran Idul Fitri, yang dikenal dengan istilah “mudik”. Mereka juga bisa diorganisir dan dibina untuk memajukan desa wisata mereka. Sebagai contoh di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat telah berkembang organisasi kemasyarakatan atau disebut “warga”, yaitu ikatan keluarga dari dari satu keturunan yang hidup terpencar, mereka tersebut bertujuan ingin mengeratkan kembali tali persaudaraan diantara keturunan mereka. Pada setiap hari raya Idul Fitri mereka berkumpul secara bergiliran saling ketemu sambil mengenalkan anak cucu mereka, kemudian mereka membentuk suatu organisasi. Badan organisasi dinamakan koperasi keluarga, mereka yang sukses membantu keluarga yang kurang mampu. Fenomena kemasyarakat semacam ini perlu didorong dan dikembangkan untuk memajukan desa wisata. 7. Kerjasama dengan Universitas. Universitas-Universitas di Indonesia mensyaratkan melakukan Kuliah Kerja Praktek Lapangan (KKPL) bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya, sehubungan dengan itu sebaiknya dijalin atau diadakan kerjasama antara desa wisata dengan Universitas yang ada, agar bisa memberikan masukan dan peluang bagi kegiatan di desa wisata untuk meningkatkan pembangunan desa wisata tersebut. Untuk memperkaya Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di suatu desa wisata, dapat dibangun berbagai fasilitas dan kegiatan sebagai berikut : 1). Eco-lodge : Renovasi homestay agar memenuhi persyaratan akomodasi wisatawan, atau membangun guest house berupa, bamboo house, traditional house, log house, dan lain sebagainya. 11 2). Eco-recreation : Kegiatan pertanian, pertunjukan kesenian lokal, memancing ikan di kolam, jalan-jalan di desa (hiking), biking di desa dan lain sebagainya. 3). Eco-education: Mendidik wisatawan mengenai pendidikan lingkunagn dan memperkenalkan flora dan fauna yang ada di desa yang bersangkutan. 4). Eco-research : Meneliti flora dan fauna yang ada di desa, dan mengembangkan produk yang dihasilkan di desa, serta meneliti keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di desa tersebut, dan sebbagainya. 5). Eco-energy : Membangun sumber energi tenaga surya atau tenaga air untuk Eco-lodge. 6). Eco-development : Menanam jenis-jenis pohon yang buahnya untuk makanan burung atau binatang liar, tanaman hias, tanaman obat, dll, agar bertambah populasinya. 7). Eco-promotion : Promosi lewat media cetak atau elektronik, dengan mengundang wartawan untuk meliput mempromosikan kegiatan desa wisata. Pendekatan Kawasan Desa wisata Pengembangan kawasan wisata haruslah senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat setempat, lingkungan dan peletakan/pembagian zonasi yang tepat dan penataan. Oleh karena itu pendekatan dalam pengembangan kawasan wisata harus tetap diperhatikan. Adapun pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat. Ini adalah dasar utama yang senantiasa harus dijaga keutuhannya, sehingga situasi konflik tidak akan timbul bila dilakukan konservasi untuk pengembangan desa wisata. 2. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung ruang, pemilihan daya tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat serta peletakan zonasi yang seimbang antara zona inti, zona penyangga, dan zona pelayanan, fisis, tanah, air dan iklim biotis. 3. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat dibangun dalam hubungan dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas bagi wisatawan. 12 4. Pendekatan dasar rencana tapak yang berkaitan dengan peletakan fisik, sistem transportasi, sistem utilitas tipologis, pola penghijauan, pola disain/arsitektural, tata bangunan, topografi, iklim, desain lanskap. 5. Pendekatan struktur geo-klimatologis dan geo-morfologis setempat harus mendukung kesuburan dan keindahan seperti karakter, pegunungan/perbukitan yang indah, udara yang sejuk serta kondisi hidrologis yang memungkinkan, budi daya pertanian berkembang. Manfaat Pengembangan Desa Wisata Jika desa wisata berkembang, maka seharusnya desa wisata tersebut bermanfaat bagi sektor-sektor yang ada di desa tersebut sehingga desa tersebut menjadi lebih mandiri dan makmur . Berikut manfaat dari keberadaan desa wisata. 1) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Desa wisata perlu dukungan melalui kelancaran dan efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama untuk mengembangkan Usaha Mirko Kecil dan KOPERASI (UMKK) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) agar masyarakat desa mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk itu perlu adanya pengembangan usaha ekonomi dan mata pencaharian berkelanjutan yang dapat ditempuh dengan cara : (1) Usaha Ekonomi Rakyat (usaha kecil, mikro dan koperasi) yang memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal dan lestari, (2) dikembangkan badan usaha milik rakyat yang dapat berdampingan, kemitraan dengan Koperasi, (3) pengembangan klaster-klaster usaha ekonomi rakyat yang menampilkan produk-produk unggulan bernilai tambah tinggi sebagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Dukungan bagi kelancaran dan efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut di atas dapat dikembangkan secara partisipatif sesuai dengan prioritas masyarakat seperti, prasarana fisik yang memperlancar transportasi dan komunikasi, pelayanan dasar, perluasan ruang publik pada tingkatan masyarakat yang mendukung berbagai lapisan masyarakat, pengembangan tenaga kerja dan lingkungan kerja bagi tenaga kerja usia muda. 2) Pemberdayaan Sosial Budaya Pendekatan integratif dalam menata kehidupan sosial dapat dikaitkan melalui kearifan lokal yang terdiri dari pemerintah daerah, sebagai regulator dan fasilitator 13 melakukan identifikasi dan kegiatan atas bentuk, mekanisme dalam pemecahan masalah ke pendudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan pelayanan masyarakat, Unsur-unsur tersebut perlu menjadi pertimbangan utama dalam mengkaji kawasan desa wisata, mengingat pengembangan kepariwisataan secara umum tidak terlepas kaitannya dengan pariwisata sebagai suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Disamping itu beberapa pendapat menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan, seperti memburuknya kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antara daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi. Pentingnya kajian sosiologi terhadap penerapan pemodelan pariwisata semakin jelas, karena tipe pariwisata yang dikembangkan adalah desa wisata, dimana desa wisata mempunyai beberapa ciri, seperti; desa wisata melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dan lebih intensif karena dasarnya adalah berkaitan dengan kehidupan sosial budaya yang menjadi daya tarik wisata melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pentingnya mengidentifikasi dampak terhadap sosial budaya pariwisata yang menurut Fiquerola (dalam Pitana, 2005:117) terdiri dari enam kategori, yaitu : a) Dampak terhadap struktur demografi b) Dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian c) Dampak terhadap transportasi nilai d) Dampak terhadap gaya hidup tradisional e) Dampak terhadap pola konsumsi, dan f) Dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial budaya pariwisata. 3) Pemberdayaan Lingkungan Desa wisata Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut tiga dimensi penting yaitu, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta merubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang, sedangkan dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah ke pendudukan perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, 14 diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi pengelolaan limbah serta konservasi/preservasi sumber daya alam. Prinsip-prinsip sistemik pengembangan desa wisata antara lain : a) Kawasan desa wisata harus berdasarkan prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan pembangunan bernuansa lingkungan memiliki keterkaitan dengan pencegahan kerusakan sumber daya alam sebagai akibat dari satu perkembangan kepariwisataan dan merupakan dampak baik terhadap lingkungan hidup bigeofisik dan sumber daya alam, sosial ekonomi dan budaya penduduk setempat. Karena itu kewaspadaan terhadap dampak lingkungan dalam pemodelan desa wisata yang akan diakibatkan oleh kunjungan wisatawan massal menjadi amat penting guna memelihara kelanjutan kualitas lingkungan hidup/sumber daya alam yang tersedia di pedesaan. b) Kawasan desa wisata harus sudah mengantisipasi secara terpadu, kemungkinan terjadinya dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sejak dini, yang digarap sejak tahap perencanaan, sehingga upaya untuk mencegah dan mengarungi serta mengendalikan dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sebagai bagian dari pengembangan desa wisata tidak terpisahkan dan dapat dilaksanakan. c) Studi pra-rencana untuk mendukung desa wisata dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan tersebut, sekaligus akan memberikan masukan yang berharga akan tersedianya potensi desa wisata. d) Pengembangan desa wisata lebih diarahkan dan dipacu guna menuju upaya pengembangan ekowisata yang berpola pada upaya pemanfaatan dan menyelamatkan lingkungan biogeofisik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya serta memelihara sumber daya alam pedesaan, dari perusakan lingkungan hidup dan pemborosan sumber daya alam pedesaan. e) Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya, pengembangan kawasan desa wisata harus ditujukan kepada upaya meningkatkan pemerataan kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung jawab masyarakat setempat yang terpadu dengan upaya pemerintah (daerah) dan dunia usaha yang relevan. 15 f) Pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat dilepaskan dari desa pusat, pemerintah desa, desa tempat masyarakat desa sebagai tempat hidup mereka dan desa tempat berekreasi masyarakat, hal ini penting untuk mencegah beralihnya aset desa dan kepemilikan lahan masyarakat desa kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab serta tersisihkannya masyarakat oleh berkembangnya pendatang. 4) Pemberdayaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human capital) yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua, peningkatan kapasitas organisasi di pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama memiliki keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga; memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai. Keempat, memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab dan hemat. Kelima, menghilangkan sifat dan mental negatif, boros, konsumtif yang dapat merusak produktivitas. Sedangkan, melalui pendidikan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan tidak hanya memberikan keilmuan yang lebih penting adalah kesadaran untuk tumbuhnya sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan prilaku baru dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan ketergantungan. Perencanaan Kawasan Desa wisata Hal yang sangat penting diketahui dalam setiap kerja sama individu dalam kelompok, ialah maksud dan tujuan kerja sama tersebut, dan harus jelas mengetahui metode pencapaiannya. Bila usaha kelompok itu ingin efektif, orang-orang dalam kelompok itu harus mengetahui apa yang diharapkan untuk menyelesaikannya, inilah yang dimaksud dengan fungsi perencanaan. Berdasarkan fungsi perencanaan tersebut, maka perencanaan adalah keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana akan dilakukan dan siapa yang akan melakukan. Jelasnya perencanaan dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu dalam waktu yang akan datang, 16 dan usaha/cara yang efektif untuk pencapaiannya. Oleh karena itu perencanaan adalah suatu keputusan apa yang diharapkan dalam waktu yang akan datang. Dalam penyusunan perencanaan kawasan desa wisata merupakan suatu proses kesinambungan. Sebagai satu proses dalam penyusunan perencanaan kawasan desa wisata dibutuhkan suatu tindakan pemeliharaan yang terbaik/menguntungkan dari berbagai alternatif dalam usaha pencapaian tujuan. Mengingat perencanaan kawasan desa wisata lebih banyak melibatkan peran, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, maka bentuk perencanaannya lebih menitik beratkan kepada Community Based Tourism. Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat (people centred development). Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal dalam mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari dengan atau oleh masyarakat desa yang dikenal sebagai satu pendekatan Participatory Planning dapat diartikan sebagai metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa membuat rencana dan bertindak. Desa wisata yang bertumpu pada masyarakat merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Perencanaan partisipatif dapat dilakukan jika praktisi pembangunan tidak berperan sebagai perencanaan untuk masyarakat tetapi sebagai pendamping dalam proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat Pariwisata Berbasis Budaya Wisata berbasis budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini biasanya dibedakan dari wisata alam, dan wisata petualangan. Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat mempunyai daya tarik bagi wisatawan, yaitu: 1. Bahasa (language). 2. Masyarakat (traditions). 3. Kerajinan tangan (handicraft). 4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits). 5. Musik dan kesenian (art and music). 17 6. Sejarah suatu tempat (history of the region) 7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology). 8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan. 9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area). 10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes). 11. Sistem pendidikan (educational system). 12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities). Wisata berbasis budaya ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Bali yang menganut konsep dari filosofi Tri Hita Karana. 2.2 Makanan dan wisata Makan minum merupakan produk yang memiliki nilai penting dalam industri pariwisata. Bisnis makanan saat ini telah memberi kontribusi sekitar 19,33 % dari total penghasilan industri pariwisata khususnya yang berasal dari wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia. Pengeluaran makanan dan minuman merupakan pengeluaran kedua terbesar setelah akomodasi, yang kontribusinya mencapai 38,48 % dari total pengeluaran wisatawan mancanegara. Kontribusi produk makanan dan minuman makin signifikan mendukung pariwisata dengan berkembangnya wisata makanan (food tourism) yang menekankan pada kegiatan/petualangan mengkonsumsi berbagai jenis menu makanan/minuman khas daerah. Beberapa tayangan televisi, khusunya tayangan pariwisata dan wisata boga seperti wisata kuliner, Jalan Jajan (Trans TV), Koper dan Ransel (Trans TV), Jejak Petualang (RCTI), oleh-oleh, food &beverage (SBO) dsb, makin mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata dan secara khusus mencoba berbagai menu lokal. Tayangan wisata kuliner yang marak di televisi juga mendorong masyarakat mengenal masakan daerah. Indonesia berpotensi besar dalam wisata makanan (food tourism) karena memiliki kekayaan etnis dan budaya, yang masing-masing memiliki kuliner khas tersendiri. Berkembangnya wisata makanan juga merupakan peluang bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan makanan dan minuman khas Indonesia agar bisa 18 dikenal masyarakat dunia lebih luas lagi sekaligus meningkatkan daya tarik wisatawan mancanegara. Daya tarik makanan dan minuman yang cukup besar untuk mendorong turis asing datang ke Indonesia, tidak hanya pendapatan negara dan daerah meningkat, tapi juga akan meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Oleh karena itu, kemampuan mengolah, menyajikan, menampilkan, mempromosikan, makanan dengan baik sangat menentukan penghasilan dari sektor pariwisata secara keseluruhan. Tahun 2007 pemerintah memproyeksikan jumlah wisatawan nusantara mencapai sekitar 117,1 juta orang dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 669.442 dan total perjalanan mencapai 219,75 juta. Pasar wisata makanan makin terbuka dengan berkembangnya para gourmands (pencinta makanan dengan cita rasa khas) yang rela bepergian ke berbagai daerah/wilayah untuk mencoba beragam makanan lokal, bukan sekadar berbelanja atau mengunjungi tempat wisata yang eksotis. Pengembangan wisata makanan (food tourism) juga terbuka pasarnya di dalam negeri. Peningkatan kesejahteraan masyarakat telah mendorong timbulnya perilaku makan di luar sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat khususnya di perkotaan. Banyak keluarga yang mengisi liburan ke berbagai daerah untuk mencicipi menu lokal yang baru dan menarik. Perilaku tersebut mendorong berkembangnya obyek wisata kuliner di berbagai daerah. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki makanan khas, yang bisa ditampilkan sebagai daya tarik bagi wisatawan. Diakuinya nasi goreng dan rendang sebagai makanan yang terenak di dunia merupakan salah satu bukti kekayaan kuliner lokal. Indonesia masih menyimpan ribuan jenis makanan dan minuman khas yang berpotensi untuk dikembangkan secara global sebagai daya tarik wisata. Namun, di Indonesia potensi food tourism tampaknya belum digarap dengan serius sebagai aset wisata, jika dibandingkan negara lain. Di negara lain seperti Malaysia, Singapore, Thailand, Jepang, Korea, dan Australia, sudah sajak awal menawarkan kuliner sebagai produk wisata andalan. Bahkan negara tetangga seperti Singapore rutin memiliki event festival makanan lokal sebagai kegiatan rutin pariwisata. Dalam event tersebut turis diajak berpetualang menikmati berbagai makanan/minuman lokal dengan harga khusus. Event ini dipromosikan secara terus menerus sehingga efektif menarik 19 wisatawan. Malaysia juga gencar melakukan promosi makanan lokal seperti laksa dan nasi lemak, sebagai daya tarik wisatawan. Untuk mengangkat kuliner lokal sebagai atraksi wisata diperlukan strategi yang komprehensif. Pertama, mengidentifikasi jenis-jenis makanan lokal yang memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai ikon dan daya tarik wisatawan. Kedua, memetakan situasi dan kondisi yang melingkupi perkembangan menu lokal di daerah seperti popularitas jenis makanan di wilayah setempat, penyediaan makanan di restoran/depot/warung, teknologi memasak setempat, dan cara menu ditampilkan/dipresentasikan, Ketiga, tipologi pasar food tourism. Keempat, merancang bentuk kegiatan food tourism (meliputi atraksi, event) yang diintegrasikan dengan daya tarik wisata setempat. Menurut Hall dan Sharples (2003:1) makanan adalah elemen penting dalam pengalaman wisata. Di San Fransisco belanja wisata untuk makanan dan minum mencapai 28% dari seluruh total belanja wisata, dan di New Mexico mencapai 25,5%. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran belanja makanan dan minuman dalam kegiatan wisata. Di Bali belanja wisata untuk makan dan minum mencapai 12% (Fandeli, 2002). Di Indonesia secara umum urutan pengeluaran terbesar adalah akomodasi yaitu 21,77% dari total pengeluarannya, diikuti pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 10,96%, belanja 10,36% dan penerbangan domestic sebesar 10,14% (Saptatyningsih, 2003 dalam Nurhidayati, 2013). Pada awalnya makanan hanya menjadi salah satu pelengkap kegiatan wisata. namun kemudian berkembang menjadai salah satu bentuk wisata khusus yang disebut dengan istilah wisata makanan atau food tourism. Ada beberapa latar belakang yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan meningkatnya pertumbuhan studi wisata makanan di daerah tertentu (Hall dan Mitchell, 2002). Sejak awal tahun 1970-an daerah pedesaan telah menjadi bagian penting bagi perkembangan di masyarakat industri dan menjadi bagian dari restrukturisasi ekonomi. Perkembangan masyarakat selanjutnya telah menyebabkan hilangnya fungsi layanan pasar tradisional dan, dan penghapusan tarif dan mekanisme bagi dukungan regional. Oleh karena itu daerah pedesaan berusaha melakukan diversifikasi basis ekonomi mereka, yaitu dengan mengembangkan pertanian dengan produk baru dan pariwisata. Strategi melalui pariwisata makanan (food tourism) adalah salah satu instrumen signifikan bagi 20 pembangunan daerah (pertanian) khususnya karena pengaruh potensial antara produk dari dua sektor yaitu produk pertanian dan pariwisata. Makanan juga diakui sebagai ekspresif identitas dan budaya. oleh karena itu merupakan komponen penting dari budaya dan pariwisata heritage (Bessi`ere, 1998; Cusack, 2000; Ritchie dan Zins,1978). Dalam mendefinisikan wisata makanan (food tourism) perlu membedakan antara wisatawan yang mengkonsumsi makanan sebagai bagian dari pengalaman perjalanan dengan turis-turis yang kegiatan, perilaku dan, bahkan, pemilihan tujuan dipengaruhi oleh makanan sebagai daya tarik utama (Hall, Johnson et al, 2000a.). Wisata makanan (food tourism) secara umum dapat didefinisikan sebagai kunjungan ke produsen makanan, festival makanan, restoran dan lokasi spesifik untuk mencicipi makanan dan atau menikmati ataupun mempelajari produksinya. Dengan demikian makanan, produksi makanan dan atribut khusus makanan daerah menjadi dasar dan faktor pendorong utama dalam perjalanan wisata (Hall dan Mitchell, 2001a: 308). Kebutuhan akan makanan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perilaku perjalanan dan pengambilan keputusan itu sebagai bentuk perjalanan minat khusus. Wisata makanan dapat berupa wisatawan biasa atau wisata kuliner, gourmet gastronomi, sebagai bentuk rekreasi dari food tourism yang lebih serius (Hall dan Mitchell, 2001; Wagner, 2001). Hall (2002) berpendapat bahwa anggur, makanan dan industri pariwisata yang mengandalkan ciri khas regional dapat digunakan untuk mengembangkan pasar dan melakukan promosi . Dengan sebutan, atau daerah 'khusus' tersebut, dapat menjadi sumber penting dari diferensiasi dan nilai tambah daerah pedesaan. (Hall dan Sharples, 2003:10). Ada beberapa bentuk/varian food tourism (Hall dan Sharples, 2003:11): 1. Rural/urban tourism yaitu kegiatan berkunjung di restoran/tempat makan saat berwisata, festival makanan lokal karena berbeda, sebagai wujud adanya kebutuhan makan minum selama berwisata. Ketertarikan terhadap makanan lokal tergolong rendah, karena tujuan utamanya bukan untuk menikmati makanan lokal melainkan berwisata. 21 2. Culinary tourism yaitu mengunjungi pasar tradisional, restoran lokal, festival makanan saat datang ke destinasi wisata. Ketertarikan terhadap makanan lokal tergolong sedang karena menikmati menu lokal merupakan bagian dari aktivitas gaya hidup mereka. 3. Gastronomi tourism/cuisine tourism/gourmet tourism yaitu bepergian ke destinasi khusus untuk menikmati makanan lokal, festival makanan, atau mempelajari makanan lokal secara serius. Menikmati/mempelajari makanan lokal sebagai tujuan/daya tarik utama kegiatan perjalanan, dan memiliki ketertarikan tinggi terhadap makanan lokal. (Nurhidayati, 2013) 3.3 Tri Hita Karana Tri Hita Karana berasal dari Bahasa Sansekerta. Dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam bermasyaraakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian, suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni: wilayah, masyarakat, dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi. Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah maupun batiniah. Seperti inilah gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana. Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat, adalah sebagai berikut: 1. Parhyangan Parhyangan berasal dari kata Hyang yang berarti Tuhan. Parhyangan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Hubungan yang harmonis ini dapat menyebabkan kebahagiaan. Contohnya dengan berdoa kepada 22 Tuhan, merawat tempat ibadah, maupun mengucapkan puji syukur kepada Tuhan. Hal ini dapat menimbulakan kebahagiaan hati dan pikiran. 2. Palemahan Palemahan berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Misalnya dengan cara membersihkan lingkungan sekitar, merawat tumbuhan dan hewan, dan tidak melakukan tindakan yang dapat merusak atau mencemari alam sekitar. 3. Pawongan Pawongan berasal dari kata wong dalam bahasa Jawa yang berarti orang. Pawongan adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Dapat diwujudkan dengan cara saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia, memupuk sikap saling tolong menolong, mempererat tali silaturahmi, dan juga menyelesaikan masalah dengan musyawarah bukan dengan kekerasan. Di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana.Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat,maupun berorganisasi. Seperti salah satu organisasi pertanian yang bergerak di bidang pengairan yakni Sekehe Subak. Sistem Sekehe Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batasbatasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig (peraturan ) subak.Awig-awig ini memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan. Apabila melanggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam awigawig persubakan. Tri Hita Karana Persubakan menyangkut adanya sawah sebagai areal, ada krama subak sebagai pemilik sawah, dan ada Pura Subak atau Ulun Suwi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manisfestasinya sebagai Ida Batari Sri, penguasa kemakmuran. Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluargganya. Setiap keluarga menenpati Karang Ayahan Desa, yang disebut karang sikut satak. Disinilah setiap KK bebas mengatur keluarganya. Pola Kehidupan mereka tak lepas dari pola Tri Hita Karana. Hal ini dapat 23 dilihat dari Karang Sikut Satak yang ditempati. Secara umum penempatan bangunan di karang itu berpolakan : Utama Mandala, tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur, letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan. Madya Mandala tempat untuk membangun rumah, Balai Delod, Dapur, Kamar Mandi, Lumbung dan bangunan lainnya. Nista Mandala tempat membangun Kori Agung, Candi Bentar, Angkul-angkul tempat masuk ke Pekarangan Sikut Satak. Di luar Pekarangan Sikut Satak, namanya teba. Di teba inilah tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman seperti kelapa, pisang, nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis. Di tempat ini pula anggota keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam, itik, kambing dan peliharanaan lainnya sebagai wujud pelestarian lingkungan. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berkiblat kepada ajaran Tri Hita Karana dan telah tercermin dalam hidup harmonis di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Bahkan terhadap para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kini Tri Hita Karana, bukan saja baik diterapkan di Bali, tetapi juga di tempat lain terutama yang menginginkan suasana hidup aman, tenteram, sejahtera, sentosa. Hidup berdampingan secara damai. 24 BAB III METODE PELAKSANAAN 3.1. Kerangka Pemecahan Masalah Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Alternatif Pemecahan Masalah No Permasalahan Akar masalah Alternatif Pemecahan Masalah 1. Tidak adanya informasi berkaitan pengembangan desa wisata yang memerlukan persiapan tidak hanya berupa fisik bangunan seperti hotel, vila, penginapan, dll, tetapi perlu juga penyiapan mental Masyarakat belum memiliki pemahaman dan informasi yang memadai mengenai hakikat pengembangan desa wisata 1. Eksplorasi dan diskusi permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan pengembangan kawasan desa wisata berbasis Tri Hita Karana 2. Elaborasi pemikiran masyarakat dari sikap menjadi penonton hingar bingarnya pariwisata ke sikap dan pemikiran menjadi pelaku pariwisata untuk menunjang perekonomian keluarga 2. Belum dimanfaatkan hasil alam khususnya potensi makanan yang dihasilkan oleh desa untuk ketahanan pangan dan membuka peluang bisnis atau kewirausahan. Hal ini dapat dilihat dari belum maksimalnya pengolahan singkong dan ikan laut. Singkong bahkan hanya dipakai sebagai makanan ternak, ikan yang hanya diolah secara tradisional sebagai makanan keluarga Belum pahamnya masyarakat tentang ketahanan pangan dan belum banyak ada upaya untuk memanfaatkan potensi lokal dalam pembuatan masakan 1. Elaborasi pemikiran masyarakat tentang ketahanan pangan berbahan dasar hasil alam desa 2. Pengolahan bahan dasar makanan yang dihasilkan oleh alam desa menjadi olahan yang bercita rasa modern dan bernilai jual tinggi. Pengolahan ini dengan memanfaatkan teknik pengolahan makanan secara modern sehingga dihasilkan makanan sejenis nuget da bakso ikan, serta kue kukus pelangi berbahan dasar singkong. 25 3. Belum ada usaha kuliner khas pesisir sebagai penunjang kelengkapan sarana wisata di desa Sambirenteng Kurangnya 1. Diskusi tentang kemungkinan usaha pemahaman kedai makanan berbahan dasar khas pesisir tentang prospek usaha 2. Diskusi tentang jenis makanan kuliner modern pesisir yang disukai oleh wisatawan dalam lokal maupun mancanegara 3.2. Realisasi Pemecahan Masalah Realisasi kegiatan ini dimulai dengan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya staf desa, untuk mendiskusikan program dan waktu kegiatan secara pasti. Hasil kesepakatan tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan di tempat yang telah ditentukan oleh staf desa. Secara umum kegiatan ini berupa diskusi tentang tata kelembagaan untuk persiapan menuju desa wisata, eksplorasi dan elaborasi pemikiran masyarakat dari sebagai penonton menjadi pelaku wisata di desa mereka sendiri, ekplorasi dan elaborasi pemikiran masyarakat tentang ketahanan pangan, serta praktek pembuatan kuliner pesisir berbahan dasar ikan dan singkong. Tabel 3.2 Kegiatan Pelatihan Kuliner Pesisir di Desa Sambirenteng No Tujuan Bentuk Kegiatan Produk Petugas 1 Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang keberadaan desa wisata (dampak positif dan negatifnya) serta meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan desa wisata. Pemaparan dan diskusi mengenai hakikat keberadaan desa wisata berbasis Tri Hita Karana serta persiapan yang harus dilakukan Pola pikir kepariwisataan dan kewirausahaan terkait kepariwisataan Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. Diskusi tentang tata kelembagaan desa untuk menunjang keberadaan desa wisata Penguatan kelembagaan desa Dr. I Wayan Mudana, M.Si Untuk meningkatkan pemahaman tentang ketahanan pangan berbasis Tri Hita Karana Pemaparan dan diskusi terkait pemanfaatan hasil bumi di desa sendiri untuk meningkatkan ketahanan pangan Pola pikir masyarakat dalam mengolah bahan pangan hasil bumi sendiri Dra. Riza Panti Ariani, M.Pd. 2 26 3 Untuk melatih masyarakat agar mampu membuat berbagai produk kuliner pesisir yang sesuai dengan cita rasa modern Praktek pembuatan bakso berbahan dasar ikan Bakso ikan Dra. Riza Panti Ariani, M.Pd. Praktek membuat nuget berbahan dasar ikan Nuget ikan Dra. Riza Panti Ariani, M.Pd. Praktik membuat Kue kukus pelangi berbahan dasar singkong Kue kukus pelangi Dra. Riza Panti Ariani, M.Pd. 3.3. Metode Yang Digunakan Metode yang diambil untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Diskusi tentang dampak positif dan negatif dijadikannya desa Sambirenteng sebagai desa wisata, serta perubahan peran masyarakat dari menjadi penonton wisata menjadi pelaku wisata walaupun masih dalam skala sederhana dan kecil. 2) Diskusi tentang pembinaan kelembagaan desa yang menunjang keberadaan desa wisata. 3) Pemaparan tentang ketahanan pangan berbasisi Tri Hita Karana untuk memanfaatkan potensi pangan desa. 4) Pelatihan membuat masakan berbahan dasar ikan, berupa nuget dan bakso ikan, serta berbahan dasar singkong berupa kue kukus pelangi. Kegiatan diskusi dan praktek yang dilakukan diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan keterampilan mitra berkaitan dengan masakan vegetarian, serta memiliki jiwa kewirausahaan. 4.4. Indikator Keberhasilan dan Rancangan Evaluasi Luaran dalam kegiatan ini berupa produk kuliner pesisir berupa nuget ikan, bakso ikan, dan kue kukus pelangi berbahan dasar singkong. Indikator luaran berupa produk ini adalah kualitas masakan mencakup tampilan, tekstur, dan rasa; minimal tergolong baik (rerata skor 3,40 menurut skala Likert 1 – 5). 27 Evaluasi kegiatan dilakukan terhadap proses dan produk kegiatan. Evaluasi proses berkaitan dengan semangat mengikuti kegiatan, kerja sama, dan keterbukaan menerima masukan. Evaluasi proses dilakukan selama kegiatan berlangsung. Evaluasi produk dilakukan terhadap kualitas masakan yang dibuat oleh peserta pelatihan. 28 BAB IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil Pelatihan 4.1.1 Hasil Diskusi dengan Masyarakat Sebelum melaksanakan pelatihan Kuliner Pesisir untuk memberdayakan masyarakat Desa Sambirenteng menuju desa wisata berbasis Tri Hita Karana, telah dilaksanakan diskusi mengenai pemberdayaan desa Sambirenteng secara umum. Diskusi itu dilakukan dengan aparat desa (Sekretaris Desa dan Perbekel Desa Sambirenteng) dan masyarakat umum. Dari diskusi pertama dengan aparat Desa Sambirenteng, disepakati bahwa Desa Sambirenteng memang sudah berancang-ancang menjadi desa wisata. Aparat desa menyatakan bahwa di Desa Sambirenteng telah mulai dibangun fasilitas wisata seperti Vila, pondok penginapan, dan bahkan berencana ada investor yang berencana membangun hotel. Vila dan pondok penginapan sudah ada. Dalam diskusi ini dibahas tentang pengelolaan lembaga desa dalam persiapan menuju desa wisata. Lembaga desa telah dan akan terus diberdayakan untuk menunjang persiapan menuju Desa Sambirenteng menjadi desa wisata. Beberapa kegiatan yang telah terus akan dilakukan dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Berkoordinasi dengan pemerintah yang lebih tinggi, yaitu tingkat kabupaten, provinsi, bahkan dengan pemerintah pusat terutama meminta sokongan dana dan program pengembangan lainnya. Hasil dari upaya ini terlihat dari akan dikucurkannya dana pembinaan desa wisata ini untuh tahun 2014. 2) Mengundang para invenstor untuk membangun sarana wisata di desa Sambirentang. Syaratnya tentu saja pengekplorasian desa Sambirenteng harus tetap berlandaskan konsep dan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa investor telah mulai melirik desa Sambirenteng untuk dikembangkan menjadi desa wisata. 3) Bekerjasama dengan masyarakat desa dengan gerakan membangun desa untuk anak cucu. Kegiatan kebersihan, penanaman pohon, dan lainnya telah diupayakan oleh aparat desa dengan kelembagaan desa yang ada. 4) Bekerjasama dengan perguruan tinggi. Dalam hal ini, Universitas Pendidikan Ganseha telah berinisiatif melalui LPM Undiksha melakukan pengabdian 29 masyarakat di desa Sambirenteng. Pihak desa sangat menyambut baik upaya Undiksha ikut membantu membangun desa. 4.1.2 Hasil Pelatihan Kuliner Pesisir Berbahan Dasar Ikan dan singkong Pelatihan kuliner pesisir ini mengambil judul “Pelatihan Kuliner Pesisir untuk Memberdayakan Masyarakat Desa Sambirenteng menuju Desa Wisata Berbasis Tri Hita Karana”. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 15 November 2013 bertempat di kantor Aula Kepala Desa Sambirenteng. Foto 1 : Spanduk Kegiatan Pelatihan kuliner ini dihadiri oleh Kepala Desa Sambirenteng beserta staf sebanyak sebelas orang dan ibu-ibu PKK perwakilan dari setiap dusun di Desa Sambirenteng sebanyak 25 orang. Sasaran pelatihan adalah para Ibu PKK. Acara pelatihan ini dimulai dengan pembukaan oleh petugas yang dari tim Pengabdian Undiksha. 30 Foto 2 : Pembukaan acara oleh Pewara Setelah pewara melakukan pembukaan acara selama kurang lebih 5 menit, dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua Panitia sekaligus mewakili pihak Undiksha, khususnya Lembaga Pengabdian Masyarakat. Isi sambutan terlampir. Foto 3: Sambutan Ketua Panitia Setelah sambutan dari Ketua Panitia, kegiatan dilanjutkan dengan sambutan dan sekaligus pembukaan kegiatan pelatihan oleh Kepala Desa Sambirenteng. 31 Foto 4 : Sambutan Kepala Desa Sambirenteng sekaligus membuka Kegiatan Setelah kegiatan pelatihan secara resmi dibuka oleh kepala desa, selanjutnya dilaksanakan operasionalisasi pelatihan. Pada pelatihan ini ada dua materi utama yang dipaparkan. Pertama adalah pemaparan tentang ketahanan pangan dan kedua adalah pelatihan membuat berbagai jenis masakan. Pemaparan ketahanan pangan ini diarahkan kepada pemanfaatan sumber pangan yang ada di lingkungan desa untuk menjaga ketahanan pangan pada masyarakat. Sumber pangan dangat berlimpah di desa, tetapi sering belum mampu dimanfaatkan secara baik sehingga sering mengakibatkan sumber pangan tersebut terbuang percuma. Kalaupun dimanfaatkan hanya sekadar pemanfaatan secara tradisional. Secara ringkat dapat disimpulkan bahwa pemaparan tentang ketahanan pangan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga pangan di masyarakat tetap bisa tersedia secara cukup untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat. Ketahanan pangan disampaikan oleh instruktur Riza Panti Ariani. 32 Foto 5 : Sosialisasi tentang Ketahanan Pangan Pemaparan ketahanan pangan ini mendapat sambutan yang cukup baik dari peserta pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan dan keantusiasan peserta mendengarkan pemaparan ini. Setelah selesai pemaparan ketahanan pangan, dilakukan pemaparan tentang teknik pembuatan nuget dan bakso berbahan dasar ikan dan kue kukus pelangi berbahan dasar singkong. Untuk pelatihan ini, peserta dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 8-9 orang. Setiap kelompok membuat ketiga jenis masakan yaitu bakso, nuget, dan kue kukus pelangi. Karena pelaratan yang tersedia terbatas, maka cara kerjanya adalah setiap kelompok secara bergiliran membuat ketiga jenis kuliner tadi sehingga alat yang tersedia dapat dipakai secara bergiliran. Pada sesi pertama, kelompok 1 mendapat giliran membuat bakso, kelompok 2 membuat nuget, dan kelompok 3 membuat kue kukus pelangi. Pada sesi kedua, kelompok 1 membuat nuget, kelompok 2 membuat kue kukus pelangi, dan kelompok 3 membuat bakso. Pada sesi ketiga, kelompok 1 membuat kue kukus pelangi, kelompok 2 membuat bakso, dan kelompok 3 membuat nuget. 33 Foto 6 : Penjelasan teknis dan pembagian bahan dasar Dari foto ini terlihat peserta sangat antusias mendengarkan pengarahan teknik dan pembagian bahan dasar untuk pembuatan jenis kuliner yang menjadi tugas kelompoknya, dari instruktur dan pembantunya. Runtutan kegiatan dapat dilihat pada foto berikut ini. Foto 7 : Pembuatan Nuget dibimbing oleh pembantu instruktur 34 Kegiatan yang dilaksanakan tersebut menghasilkan 3 produk untuk tiap-tiap kelompok. Produk yang dihasilkan dinilai dengan indikator (1) penampilan, (2) rasa, (3) kebersihan. Berdasarkan ketiga indikator tersebut dan dinilai oleh empat penilai yaitu kepala desa, instruktur, dan 2 orang dari tim Pelaksana P2M maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Dari segi penampilan masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi yaitu dari segi bentuk untuk bakso serta pewarnaan dan proporsi warna untuk kue kukus pelangi. Nilai yang diperoleh pada skala 100 adalah rata-rata 70. (2) Dari segi rasa, sudah memenuhi standar rasa yang ditetapkan. Komposisi bumbu sudah tampak baik. Nilainya rata 90. (3) Dari segi kebersihan nilainya 90. Para peserta cukup baik memperhatikan kebersihan peralatan dan produknya. Berikut ini foto produk yang dihasilkan dari pelatihan di Desa Sambirenteng pada tanggal 15 November 2013. Foto 8 : Nuget berbahan dasar ikan Laut 35 Foto 9 : Bakso Ikan berbahan dasar Ikan Laut Foto 10 : Kue Kukus Pelangi berbahan dasar singkong Selama kegiatan berlangsung, dilakukan evaluasi proses oleh dua orang anggota pelaksana P2M dan 1 orang instruktur. Parameter yang diukur adalah kehadiran peserta, semangat mengikuti kegiatan, keterampilan membuat masakan, keingintahuan, 36 dan kerja sama. Penilaian dilakukan dengan instrumen lembar observasi, dan hasil rekapitulasinya ditampilan pada Tabel 4.1. Secara umum, kinerja peserta selama kegiatan ini tergolong sangat tinggi. Tabel 4.1. Rekapitulasi Kinerja Mitra Skor No Uraian 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata 1 Kehadiran mitra - - - 1 2 14 5,00 2 Semangat mengikuti kegiatan - - - - 3 15 5,00 3 Keterampilan membuat masakan - - - - 3 15 5,00 4 Rasa keingintahuan - - - - 3 15 4,67 4 Kerja sama - - - - 3 15 5,00 74 4,93 Rerata Untuk mendapatkan data yang paling akurat berkaitan dengan kualitas produk masakan yang dihasilkan, telah diambil pendapat para pencicip (kepala desa, sekdes, masyarakat umum, dan tim pelaksana 2 orang) terhadap masakan yang dihasilkan oleh ketiga kelompok peserta setelah mengikuti pelatihannya. Hasilnya, secara umum, para pencicip cukup puas dengan masakan yang dihasilkan oleh peserta pelatihan. 4.2 Pembahasan Peserta dan juga aparat desa Sambirenteng sangat puas dengan kegiatan yang dilakukan. Mereka sangat terbuka dan bersemangat dalam mengikuti seluruh kegiatan. Selain telah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang ketahanan pangan dan kuliner pesisir, mereka juga sudah terampil membuat masakan berbahan dasar hasil bumi desa mereka, baik ditinjau dari jenis maupun rasanya. Masakan yang dibuatpun boleh dikatakan sedang disukai oleh mereka, anak-anak mereka, dan juga pengunjung yang sering datang ke Desa Sambirenteng. Masakan yang mereka buat pada kegiatan ini adalah bakso ikan laut, nuget ikan laut, dan kue kukus pelangi berbahan dasar singkong. Semua masakan tersebut dibuat dari bahan yang merupakan hasil bumi dari desa mereka sendiri. Hal ini tentu membagakan mereka bahwa alam desa mereka 37 mampu memberikan bahan dasar untuk masakan yang mereka perlukan untuk kelangsungan hidupnya. Mereka juga tampak menyadari bahwa masakan modern seperti bakso dan nuget dapat mereka buat sendiri dengan bahan yang sederhana tetapi cita rasanya tidak kalah dengan makanan sejenis yang sering mereka beli di toko atau pada orang luar desa (Jawa, dan sebaginya). Yang mengejutkan mereka adalah kemampuan singkong yang selama ini hanya sebagai makanan ternak, ternyata dapat dibuat menjadi jajanan yang enak dan menarik selera untuk menikmati dan memandangnya. Berdasarkan penilai, yang sekaligus menjadi tester atas produk yang dihasilkan dari kegiatan ini, masakan yang berhasil dibuat pada saat pelatihan ini tidak kalah dalam hal rasa maupun penampilannya dari masakan yang dijual oleh pedagang profesional. Sebagai contoh, kue kukus pelangi yang berbahan dasar singkong rasanya dan penampilannya tidak kalah dengan kue kukus berbahan dasar terigu yang berasal dari luar negeri. Demikian juga dengan nuget dan bakso yang dihasilkan oleh peserta tidak kalah dengan yang dijual keliling oleh pedagang bakso. Bahkan, masakan buatan peserta dijamin lebih sehat karena tidak menggunakan pengawet makanan, pewarna kimia, dan tidak memakai penyedap rasa. Semua hal terakhir ini memberikan nilai tambah bagi masakan peserta terutama untuk menjaga kesehatan. Berdasarkan indikator-indikator yang telah terukur di depan, serta kriteria keberhasilan menurut skala Linket yang tidak kurang dari 3,40 (batas minimal skor baik), maka proses kegiatan P2M ini dinyatakan berhasil. 38 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan di depan, hasil dalam kegiatan P2M ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, peserta pelatihan telah memiliki pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan ketahanan pangan dan kuliner pesisir. Kedua, kedua mitra telah terampil dalam membuat masakan berupa kuliner pesisir berbahan dasar ikan dan singkong. Hal ini tentu menguatkan konsep Tri Hita Karana mereka karena dengan memanfaatkan bahan dasar masakan dari bahan yang ada di alam desanya maka mereka akan turut menjaga kelestarian alam desa untuk tetap menunjang penyediaan bahan masakan. Keterampilan mereka itu telah mendapat pengakuan positif dari para evaluator. 5.2. Saran Sehubungan dengan hasil pelatihan seperti di atas, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut. 1) Perlu diadakan pemberdayaan lanjutan untuk lebih meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan kesiapan masyarakat Desa Sambirenteng mewujudkan Desa Sambirenteng sebagai desa wisata berbasisi Tri Hita Karana 2) Masyarakat perlu lebih dimotivasi dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan pemberdayaan lainnya karena mereka tampak sangat antusias untuk melakukan kegiatan semacam ini. 3) Bantuan sarana dan permodalan sangat diperlukan oleh masyarakat desa Sambirenteng untuk mewujudkan desa mereka menjadi desa wisata. 39 Daftar Pustaka Cousins, J., Foskett, D., Gillespie, C. 2002. Food and Beverage Management. London: Prentice Hall/Pearson Education Dalem, K.P. 2010. Strategi Pengembangan Makanan Tradisional Bali pada Freestanding Restaurant Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung-Bali (Tesis). Denpasar: Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Edgell. D.L, Allen M.D, Smith, G, and Swanson, J.R. 2008. Tourism Policy and Planning Yesterday, Today and Tomorrow, First Edition, USA:Elsevier. Gregoire, M.B dan Spears, M.C. 2006. Food Service Organizations A Managerial and Systems Approach, Sixth Edition. New Jersey:Perason prentice Hall. Hall, Michael C. and Page, Stephen J, 2002. The Geography of Touristm and Recreation Enviroment, Place and Space; 2nd ed. Routledge, London and New York Hotomo, A.S. Pengaruh Kualitas Produk dan Tingkat Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Pelanggan pada Produk Makanan Tela Krezz Cabang Bekasi: Universitas Gunadarma. Latief, A., 1998. Resep Masakan Daerah. Jakarta: CV. Atisa. Muchtadi, D., 1989. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Nurhidayati, Sri Endah.2013. Potensi Wisata Makanan (Food Tourism) : http://endahparwis-fisip.web.unair.ac.id/artikel Page, S. 1995. Urban Tourism. Routledge, Landon and New York Suci, N. K., 1986. Pengolahan Makanan Khas Bali. Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengkajian Bali. 40 41