i LAPORAN PROGRAM P2M DANA DIPA PELATIHAN KULINER

advertisement
Desa Binaan
LAPORAN PROGRAM P2M DANA DIPA
PELATIHAN KULINER PESISIR UNTUK MEMBERDAYAKAN
MASYARAKAT DESA SAMBIRENTENG MENUJU DESA WISATA
BERBASISKAN TRI HITA KARANA
Oleh
Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. (NIDN : 0020036501)
Drs. Agus Sudarmawan, M.Si. (NIDN : 0018085907)
Drs. I Made Nuridja, M.Pd. (NIDN : 0021125105)
Drs. I Putu Panca Adi, M.Pd. (NIDN : 0009076305)
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Pendidikan
Ganesha dengan SPK Nomor: 023.04.2.552581/2013 revisi 2 tanggal 01 Mei 2013
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS GANESHA
SINGARAJA
2013
i
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul : Pelatihan Kuliner Pesisir untuk Memberdayakan Masyarakat Desa
Sambirenteng Menuju Desa Wisata Berbasiskan Tri Hita Karana
2. Ketua Pelaksana
a. Nama Lengkap : Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd.
b. Jenis Kelamin
: laki
c. NIP
: 196503201990031002
d. Disiplin Ilmu
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
e. Pangkat/Golongan : Penata TK I/IIId
f. Jabatan
: Lektor
g. Fakultas/Jurusan : FBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
h. Alamat
: Jl. Ahmad Yani 67 Singaraja
i. Telp.
: (0362) 21541
j. Alamat rumah
: Griya Pemaron, Singaraja
k. Telp./E-mail
: 08123958392/[email protected]
3. Jumlah anggota pelaksana
: 3 orang
a. Nama Anggota I
: Drs. Agus Sudarmawan, M.Si.
b. Nama Anggota II
: Drs. I Made Nuridja, M.Pd.
c. Nama Anggota III
: Drs. Putu Panca Adi, M.Pd.
4. Lokasi kegiatan
a. Nama Desa
: Desa Sambirenteng
b. Kecamatan
: Tejakula
c. Kabupaten
: Buleleng
d. Provinsi
: Bali
5. Jumlah biaya yang diusulkan
: Rp. 15.000.000
Singaraja, 17 November 2013
Mengetahui,
Dekan FBS,
Ketua Pelaksana,
Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.
NIP 196206261986032002
Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd.
NIP 196503201990031002
Menyetujui,
Ketua LPM Undiksha,
Prof. Dr. Ketut Suma, M.S.
NIP 19591011984031003
ii
KATA PENGANTAR
Pemberdayaan Desa Sambirenteng Berbasiskan Tri Hita Karana Menuju Desa
Wisata dengan judul “Pelatihan Kuliner Pesisir untuk memberdayakan masyarakat Desa
Sambirenteng menuju Desa Wisata Berbasis Tri Hita Karana” ini merupakan salah satu
bentuk pengabdian yang dilakukan oleh LPM Universitas Pendidikan Ganesha,
Singaraja. Tujuan pengabdian ini adalah untuk turut serta memberdayakan masyarakat,
khususnya masyarakat desa Sambirenteng. Misi mulia ini ternyata mendapat antusiasme
yang cukup baik dari pihak-pihak terkait, khusunya masyarakat dan aparat Desa
Sambirenteng. Dengan iklim seperti itu, kami berharap mudah-mudahan kegiatan ini
dapat memberikan sedikit sumbangan yang berarti bagi kemajuan masyarakat di negeri
ini.
Terselenggaranya kegiatan ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan
bimbinganNya. Oleh karena itulah, puja dan puji sudah sepantasnya dilantunkan
kehadapanNya. Karena atas limpahan karuniaNyalah, tugas-tugas pengabdian
masyarakat ini dapat kami selesaikan secara sangat memuaskan. Karunia beliaulah yang
membimbing kami untuk dapat bekerja sebagai suatu tim yang padu, dan mendapat
dukungan yang cukup banyak dari berbagai pihak.
Selain itu, ucapan terima kasih sudah sepantasnya juga kami sampaikan kepada
pihak-pihak terkait yang turut membantu terselenggaranya pengabdian ini. Semoga
kerjasama itu tetap dapat berlanjut pada masa yang akan datang demi kemajuan
pendidikan di negeri tercinta ini.
Tim pelaksana,
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...........................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... ......
ii
KATA PENGANTAR .................................................................... ......
iii
DAFTAR ISI .................................................................................... ......
iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ ......
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... ......
8
BAB III METODE PELAKSANAAN DAN MATERI......................
25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................... ......
29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................
39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... .......
40
LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Analisis Situasi
a) Gambaran Geografis
Secara geografis, Desa Sambirenteng adalah sebuah desa yang berada di wilayah
administrasi Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Desa Sambirenteng memiliki 4
banjar, yaitu Banjar Sambirenteng, Banjar Benben, Banjar Geretek, dan Banjar
Silagading. Uniknya, semua banjar tersebut meiliki pantai dan perbatasan hutan negara.
Dengan gambaran geografis seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa desa ini
merupakan desa pesisir dan desa dengan lahan kering (tegalan).
b) Kependudukan
Desa ini memiliki jumlah penduduk
+ 5.290 jiwa (laki sebanyak 2.753,
perempuan sebanyak 2.537). Jumlah itu didominasi oleh penduduk asli Bali yang
beragam Hindu (98%). Sisanya ada yang beragama Islam kurang lebih 1,3%, dan agama
lainnya sekitar 0,7%. Penduduk yang beragam Islam di desa ini juga sudah turun
temurun mendiami desa ini.
c) Mata Pencaharian
Penduduk Desa Sambirenteng sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani
lahan kering dan peternak. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai nelayan,
pengusaha, dan PNS. Berdasarkan mata pencaharian tersebut, maka ada beberapa
kelompok masyarakat yang layak menjadi sasaran pemberdayaan yaitu kelompok
masyarakat pesisir, kelompok masyarakat peternak dan petani, dan kelompok
masyarakat pengrajin.
d) Pendidikan
Dari segi pendidikan, di Desa Sambirenteng sudah ada persekolahan dengan
rincian sebagai berikut SD sebanyak 4 buah, SMP 1 buah (SMP N 2 Tejakula), dan
SMK 1 buah (SMK Pariwisata dan Komputer). Selain itu, di Desa Sambirenteng juga
1
sudah ada Taman Kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh Yayasan Silayukti. Yayasan ini
adalah yayasan di bawah naungan desa.
e) Prospek Potensi Desa
Desa Sambirenteng memiliki beberapa potensi yang dapat diberdayakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Potensi tersebut antara lain (1) masyarakat
nelayan, (2) industri kecil (Pengrajin Ingke, Usaha Minyak kelapa), (3) peternakan, dan
(4) pariwisata.
Masyarakat Sambirenteng yang berprofesi sebagai nelayan + 40 orang. Mereka
umumnya masih menjalankan profesinya ini secara tradisional. Walaupun sudah
tersentuh dengan pelaratan seperti mesin untuk perahunya tetapi masih perlu
pemberdayaan lebih jauh dan pemahaman mereka tentang kelautan dan potensi laut
lainnya, seperti terumbu karang, dan lain-lainnya. Di Desa Sambirenteng ada kelompok
“Suaka Citra Bahari”. Kelompok ini merupakan kelompok masyarakat pelestari pesisir
yang secara sukarela melestarikan terumbu karang yang ada di sekitar pantai
Sambirenteng. Potensi alam dan kelembagaan ini perlu lebih diberdayakan untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan desa.
Industri kecil yang cukup terkenal di Desa Sambirenteng adalah kerajinan Ingke.
Banyak kalangan menganggap Ingke buatan pengrajin Sambirenteng tergolong Ingke
dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pengrajin ini bisa tetap eksis sampai
sekarang. Walaupun demikian, tentu saja inovasi masih sangat diperlukan. Peluang
peningkatan usaha menuju usaha mandiri yang menjanjikan peningkatan perekonomian
perlu terus dilakukan. Di sinilah peran Perguruan Tinggi diperlukan. Dari segi
hambatan, kendala yang dialami pengrajin Ingke adalah langkanya bahan baku. Untuk
ini, diperlukan bantuan pihak lain untuk dapat mengatasi permasalahan ini. Selain
industri Ingke, di Desa Sambirenteng juga ada usaha pembuatan minyak kelapa. Usaha
ini sudah sempat mendapat pelatihan dari program PNPM Mandiri. Usaha ini juga
cukup potensial mendongkrat peningkatan perekonomian masyarakat. Usaha minyak ini
berkorelasi dengan keberadaan bahan baku berupa kelapa yang menjadi salah satu hasil
perkebunan di Desa Sambirenteng.
Dalam hal peternakan, di Desa Sambirenteng sudah terbentuk beberapa
kelompok ternak yang masih memerlukan pengelolaan. Kelompok ternak ini memang
2
sedikit agak maju terbukti dengan adanya koperasi simpan pinjam kelompok ternak.
Kelompok ternak ini ada hampir di setiap dusun. Jenis ternak yang dipelihara oleh
masyarakat adalah sapi dan ayam. Pembinaan peternak memang sudah pernah
dilakukan oleh instansi pemerintah. Hal ini terindikasi adanya Gapoktan di desa ini.
Hanya saja Gapoktan sampai sekarang belum terkelola dengan baik.
Potensi pariwisata yang ada di Desa Sambirenteng adalah wisata bahari (laut).
Desa ini sedang berkembang menuju desa wisata laut. Menurut data yang ada, wisata
laut yang dimiliki Desa Sambirenteng seluas 30 hektar. Andalan wisata lautnya adalah
terumbu karang dengan ikan hiasnya. Dengan demikian, even wisata yang terkait
dengan kekayaan alam tersebut perlu dikembangkan. Pembinaan menuju desa wisata
laut sangat diperlukan mengingat SDM yang ada di Desa Sambirenteng belum memiliki
kualitas yang memadai. Atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk datang,
juga perlu ditumbuhkembangkan, seperti jenis tarian khas daerah maupun atraksi
lainnya. Desa ini memiliki tarian tardisional sakral yang dapat dijadikan atraksi wisata
yaitu Tari Baris Tumbak, Tari Dadap, dan Tari Presi. Selain itu, kuliner khas pesisir
juga perlu dikembangkan mengingat belum tersedianya kedai makan yang
memungkinkan wisatawan untuk menikmati hidangan ketika sudah lapar. Pembinaan
kuliner pesisir sangat mendesak untuk dilakukan mengingat sudah mulai tumbuhnya
wilayah desa desa ini menjadi kawasan yang dikunjungi oleh wisatawan sekadar untuk
berlibur atau beristirahat.
Untuk menunjang perkembangan menuju desa wisata, di Desa Sambirenteng
telah berdiri jasa penginapan diantaranya : hotel sebanyak 2 buah, vila sebanyak 2 buah,
dan pondok wisata sebanyak 1 buah.
Perkembangan wilayah menuju desa wisata biasanya membawa dampak positif
dan negatif. Positifnya adalah terangkatnya perekonomian masyarakat. Dampak
negatifnya juga tidak sedikit. Dampak ikutan (negatif) ini perlu dikendalikan sehingga
tidak menimbulkan hal-hal yang justru merugikan masyarakat ke depannya.
Pemertahanan kearifan lokal dan hal-hal yang terkait dengan sosial budaya masyarakat
perlu mendapat perhatian dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Intinya penerapan
filosofi Tri Hita Karana sangat tepat untuk membangun kawasan ini menjadi kawasan
wisata.
3
Selain potensi yang dapat mengarah kepada peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat, Desa Sambirenteng memiliki lembaga ekonomi yang menunjang
perkembangan wilayah desa ini. Di Desa Sambirenteng ada 1 koperasi simpan pinjam,
32 kelompok simpan pinjam, dan 1 bumdes. Selain itu, lembaga desa dengan aparat
desanya juga merupakan kekuatan yang ikut menunjang pemberdayaan desa ini.
Mengingat begitu kompleksnya masalah yang perlu dipecahkan untuk
memberdayakan masyarakat Desa Sambirenteng maka pendekatan terpadu berupa
pendekatan pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, dan spiritual perlu diterapkan.
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Menilik potensi desa Sambirenteng seperti dikemukakan pada bagian analisis
situasi di depan, tampaknya pengembangan menuju desa wisata tampaknya memiliki
prospek yang menjanjikan. Hanya saja untuk menjadi desa kawasan wisata atau pun
desa wisata ada beberapa kriteria yang belum dikembangkan dengan baik.
Masalah-masalah yang teridentifikasi dalam usaha mengembangkan desa
Sambirenteng menuju desa wisata berbasis Tri Hita Karana adalah sebagai berikut.
1. Di desa Sambirenteng belum banyak kedai makanan yang dapat menunjang
keberlanjutan dan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke desa ini, khususnya
ketika mereka mengunjungi pantai dan laut di desa Sambirenteng. Keberadaan
kedai makanan ini tampaknya menjadi kebutuhan mendesak jika desa ini ingin
berkembang menjadi wisata pesisir atau pun jenis wisata lainnya, seperti
ekowisata, maupun wisata budaya. Keberadaan wisatawan yang sudah mulai
berdatangan ke desa Sambirenteng, baik wisatawan lokal maupun asing,
merasakan kurangnya tempat untuk menikmati kuliner pada saat perutnya sudah
mulai lapar. Keadaan ini mengurangi minat para wisatawan untuk tinggal
berlama-lama di kawasan wisata Sambirenteng ini.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) desa Sambirenteng dalam hal pengelolaan desa
wisata juga masih rendah. Salah satu penyebab kurangnya keberadaan kedai
makanan seperti dikemukakan tadi disebabkan oleh kurangnya kemampuan
anggota masyarakat dalam hal mengolah makanan sampai manajemen
pemasaran. Padahal sumber atau bahan dasar makanan pesisir seperti ikan,
4
ketela, kelapa, dan bahan lainnya melimpah di desa ini. Oleh karena itu, perlu
pengembangan SDM untuk mengelola desa ini menjadi desa pariwisata.
3. Kurangnya promosi potensi wisata yang ada di desa Sambirenteng secara luas
dan mengglobal. Untuk ini, perlu bantuan pihak terkait
membantu
mempromosikan potensi wisata desa ini ke dunia luas sehingga desa
Sambirenteng lebih dikenal sebagai salah satu desa wisata yang memiliki laut
yang menawan dan juga geografis yang mendukung atraksi wisata lainnya.
Selain itu, budaya khas seperti tarian khas dan budaya spiritual/kerohanian khas
Sambirenteng juga perlu dikenalkan.
4. Kelembagaan desa juga menjadi salah satu masalah dalam mengelola potensi
desa Sambirenteng. Pembenahan dan penyegaran kelembagaan desa sehingga
dapat berfungsi untuk menopang terwujudnya desa wisata berbasis Tri Hita
Karana tentu sangat diperlukan.
Cukup kompleks masalahan yang perlu ditangani untuk mewujudkan desa
Sambirenteng menjadi desa wisata berbasis Tri Hita Karana. Tetapi yang paling
mendesak dan diminati oleh masyarakat adalah pelatihan kuliner pesisir untuk
menopang keberlanjutan desa Sambirenteng sebagai tujuan wisata. Hal ini mengingat
sudah mulai ada wisatawan yang mengunjungi desa Sambirenteng, tetapi sarana atau
kedai makan belum ada, khususnya di tepi pantai. Oleh karena itu, pada tahun 2013 ini,
P2M Undiksha diarahkan kepada pelatihan kuliner pesisir.
1.3 Solusi Pemecahan Masalah
Masalah pokok yang hendak dipecahkan dalam kegiatan ini berkaitan
pemanfaatan bahan dasar masakan yang bersumber dari lingkungan sekitar desa atau
dihasilkan oleh alam yang ada di desa Sambirenteng, modernisasi mengelohan makanan
dari bahan dasar yang bersumber dari alam di desa Sambirenteng, dan edukasi
masyarakat tentang ketahanan pangan dengan memanfaatkan hasil bumi di desa
Sambirenteng. Dengan demikian, kuliner yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan
dasar dari alam desa tersebut perlu modern. Dalam artian, jenis olahan makanannya
perlu sentuhan pengolahan modern, sedangkan bentuk dan tampilan produksnya sesuai
dengan seni kuliner global (modern, dan diminati oleh wisatawan dan generasi modern).
Untuk mewujudkan hal itu akan diterapkan berbagai model pendekatan berikut.
5
a. Model problem based discussion (PBD) atau diskusi berdasarkan masalah
digunakan untuk menambah wawasan masyarakat tentang berbagai hal berkaitan
dengan pola makanan dan gaya pariwisata. Berangkat dari permasalahan yang
mereka hadapi, baik yang ditanyakan oleh pengunjung atau pernyataan kontra
kepadanya, tim akan melakukan dokumentasi, diskusi, dan klarifikasi. Dengan
demikian, masyarakat diharapkan mendapatkan informasi yang komprehensif
tentang pengolahan makanan gaya hidup modern.
b. Model entrepreneurship capasity building (ECB) digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berwirausaha bagi mitra. Dengan model tersebut diharapkan: (1)
memberikan wawasan, sikap, dan keterampilan usaha, (2) menambah peluang
yang lebih luas, (3) memfasilitasi, menambah ketahanan untuk bersaing dengan
usaha sejenis, serta (4) merencanakan, melaksanakan, memonitor dan
mengevaluasi perkembangan usahanya. Penerapan model tersebut diharapkan
bisa mengangkat pola pikir masyarakat dari pengolahan makanan secara
tradisional menuju pengolahan yang lebih modern.
c. Model technology transfer (TT) dilakukan agar mitra menguasai prinsip-prinsip
penerapan teknologi berkaitan dengan pengolahan bahan pangan menjadi
masakan dengan cita rasa modern.
1.4 Tujuan Kegiatan
Tujuan kegiatan P2M di Desa Sambirenteng ini adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan kemampuan untuk ikut menjaga ketahanan pangan terkait dengan
pengembangan desa wisata berbasis Tri hita Karana serta kontribusi timbal balik
antara pariwisata dan taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
b. Meningkatkan keterampilan mitra untuk membuat masakan berbahadan dasar
ikan dan singkong, yang merupakan bahan dasar makanan hasil dari alam desa.
Peningkatan keterampilan membuat masakan berbahan dasar ikan dan singkong
yang merupakan hasil bumi desa tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerapan konsep Tri Hita Karana dan penghasilan masyarakat.
c. Meningkatkan
minat
dan
kemampuan
masyarakat
dalam
berwirausaha
menyongsong keberadaan desa wisata Sambirenteng sehingga masyarakat tidak
menjadi penonton hingar bingar dunia pariwisata dalam gelimangan dolar.
6
1.5 Manfaat Kegiatan
1). Bagi masyarakat
Kegiatan pelatihan kuliner pesisir ini sangat bermanfaat bagi masyarakat karena
mereka mendapatkan informasi berkaitan dengan ketahanan pangan berbasis Tri Hita
Karana, dilatih membuat dalam sentuhan cita rasa dan selera modern, yang pada
akhirnya dapat dipakai sebagai bekal untuk menciptakan ketahanan pangan dan juga
diharapkan berkontribusi dalam membuka peluang usaha.
2). Bagi Pemerintah
Sebagian tugas pemerintah dalam melatih masyarakat mengembangkan dan
memberdayakan diri dan kekayaan alam dapat terbantu melalui kegiatan ini. Kegiatan
ini
dapat
meningkatkan
pemberdayaan
dan
pemertahanan
masyarakat
desa
Sambirenteng dalam pemenuhan kebutuhan makan keluarga dan membina usaha
perdagangan kuliner sehingga dapat meningkatkan bidang ekonomi kerakyatan agar
mampu bersaing dengan para pendatang, khususnya dalam bisnis kuliner. Selain itu,
kegiatan ini juga membantu pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kesehatan masyarakat.
1.6 Luaran
Target luaran dalam pelaksanaan pengabdian pada masyarakat ini adalah sebagai
berikut.
1. Jasa
Beberapa jenis jasa yang ditargetkan dari pelaksanaan pengabdian masyarakat
ini adalah (1) pemahaman terhadap dampak negatif pariwisata, (2) pemahaman
ketahanan pangan berbasis Tri Hita Karana, (3) pemahaman terhadap
keberadaan pariwisata dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolalan wisata.
2. Metode : (1) Metode membuat olahan kuliner pesisir berbahan dasar ikan berupa
nuget dan bakso ikan, (2) metode membuat olahan jajanan berbahan dasar
singkong, khususnya kue kukus pelangi.
3. Produk : Nuget ikan, bakso ikan, dan kue kukus pelangi berbahan dasar
singkong.
4. Artikel
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Desa Wisata
“Desa wisata” biasanya berupa kawasan pedesaan yang memiliki beberapa
karakteristik khusus yang layak untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini,
penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu,
beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian, dan sistem sosial
turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, sumberdaya
alam dan lingkungan alam yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor
penting dari sebuah kawasan desa wisata. Selain berbagai keunikan tersebut, kawasan
desa wisata juga dipersyaratkan memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya
sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para
pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang
seyogyanya ada di suatu kawasan desa wisata antara lain: sarana transportasi,
telekomunikasi, kesehatan, dan akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa
wisata dapat menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (home
stay) sehingga para pengunjung dapat merasakan suasana pedesaan yang masih asli.
Desa Wisata merupakan "Suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan
suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi,
sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata
ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta
mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan,
misalnya : atraksi, akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata, dan kebutuhan wisata
lainnya.
Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Penetapan suatu desa dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi
persyaratan-persyaratan, antara lain sebagai berikut :
1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan
menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
8
2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan
local, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.
3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang
tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
6. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat
luas.
Pembangunan desa wisata mempunyai manfaat ganda di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan lain-lain. Manfaat ganda dari pembangunan desa wisata, adalah:
1) Ekonomi : Meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan masyarakat
lokal.
2) Sosial : Membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di
desa.
3) Politik :
a. Internasional : Menjembatani perdamaian antar bangsa di dunia.
b. Nasional : Memperkokoh persatuan bangsa, mengatasi disintegrasi.
4) Pendidikan : Memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa,
mendidik cara hidup bersih dan sehat.
5) Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) : Meningkatkan ilmu dan teknologi
bidang kepariwisataan.
6) Sosial budaya : Menggali dan mengembangkan kesenian serta kebudayaan asli
daerah yang hampir punah untuk dilestarikan kembali.
7) Lingkungan : Menggugah sadar lingkungan (Darling), yaitu menyadarkan
masyarakat akan arti pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi
kehidupan manusia kini dan di masa datang.
Untuk suksesnya pembangunan desa wisata, perlu ditempuh upaya-upaya,
sebagai berikut.
1. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
9
Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan
melalui pendidikan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain
sebagainya, serta di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan untuk tenagatenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial. Untuk itu, sebaiknya
ditugaskan generasi muda dari desa yang bersangkutan untuk dididik pada sekolahsekolah kepariwisataan, sedangkan pelatihan diberikan kepada mereka yang akan diberi
tugas menerima dan melayani wisatawan. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan
lain sebagainya diberikan kepada para petugas kepariwisataan di desa, kecamatan, dan
kabupaten, karena penduduk desa umumnya hanya mempunyai keterampilan bertani.
Kepada mereka dapat diberikan pelatihan keterampilan lain untuk menambah kegiatan
usaha seperti kerajinan, industri rumah tangga, pembuatan makanan lokal, budi daya
jamur, cacing, menjahit, dan lain sebagainya.
2. Kemitraan
Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak
pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak Pembina
desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang usaha yang bisa
dikerjasamakan, antara lain seperti : bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan,
dan lain-lain.
3. Kegiatan Pemerintahan di Desa
Kegiatan dalam rangka desa wisata yang dilakukan oleh pemerintah desa, antara
lain seperti : Rapat-rapat dinas, pameran pembangunan, dan upacara-upacara hari-hari
besar diselenggarakan di desa wisata.
4. Promosi
Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu
desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun
elektronik untuk kegiatan hal tersebut.
10
5. Festival / Pertandingan
Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bias
menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut,
misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya.
6. Membina Organisasi Warga
Penduduk desa biasanya banyak yang merantau di tempat lain. Mereka akan
pulang ke desa kelahirannya pada saat lebaran Idul Fitri, yang dikenal dengan istilah
“mudik”. Mereka juga bisa diorganisir dan dibina untuk memajukan desa wisata
mereka. Sebagai contoh di Desa Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten
Ciamis, Propinsi Jawa Barat telah berkembang organisasi kemasyarakatan atau disebut
“warga”, yaitu ikatan keluarga dari dari satu keturunan yang hidup terpencar, mereka
tersebut bertujuan ingin mengeratkan kembali tali persaudaraan diantara keturunan
mereka. Pada setiap hari raya Idul Fitri mereka berkumpul secara bergiliran saling
ketemu sambil mengenalkan anak cucu mereka, kemudian mereka membentuk suatu
organisasi. Badan organisasi dinamakan koperasi keluarga, mereka yang sukses
membantu keluarga yang kurang mampu. Fenomena kemasyarakat semacam ini perlu
didorong dan dikembangkan untuk memajukan desa wisata.
7. Kerjasama dengan Universitas.
Universitas-Universitas di Indonesia mensyaratkan melakukan Kuliah Kerja
Praktek Lapangan (KKPL) bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya,
sehubungan dengan itu sebaiknya dijalin atau diadakan kerjasama antara desa wisata
dengan Universitas yang ada, agar bisa memberikan masukan dan peluang bagi kegiatan
di desa wisata untuk meningkatkan pembangunan desa wisata tersebut.
Untuk memperkaya Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di suatu desa
wisata, dapat dibangun berbagai fasilitas dan kegiatan sebagai berikut :
1). Eco-lodge : Renovasi homestay agar memenuhi persyaratan akomodasi
wisatawan, atau membangun guest house berupa, bamboo house,
traditional house, log house, dan lain sebagainya.
11
2). Eco-recreation
:
Kegiatan
pertanian,
pertunjukan
kesenian
lokal,
memancing ikan di kolam, jalan-jalan di desa (hiking), biking di desa dan
lain sebagainya.
3). Eco-education: Mendidik wisatawan mengenai pendidikan lingkunagn dan
memperkenalkan flora dan fauna yang ada di desa yang bersangkutan.
4). Eco-research : Meneliti flora dan fauna yang ada di desa, dan
mengembangkan produk yang dihasilkan di desa, serta meneliti keadaan
sosial ekonomi dan budaya masyarakat di desa tersebut, dan sebbagainya.
5). Eco-energy : Membangun sumber energi tenaga surya atau tenaga air untuk
Eco-lodge.
6). Eco-development : Menanam jenis-jenis pohon yang buahnya untuk
makanan burung atau binatang liar, tanaman hias, tanaman obat, dll, agar
bertambah populasinya.
7). Eco-promotion : Promosi lewat media cetak atau elektronik, dengan
mengundang wartawan untuk meliput mempromosikan kegiatan desa
wisata.
Pendekatan Kawasan Desa wisata
Pengembangan kawasan wisata haruslah senantiasa berorientasi kepada
kepentingan masyarakat setempat, lingkungan dan peletakan/pembagian zonasi yang
tepat dan penataan. Oleh karena itu pendekatan dalam pengembangan kawasan wisata
harus tetap diperhatikan. Adapun pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat. Ini adalah dasar utama yang
senantiasa harus dijaga keutuhannya, sehingga situasi konflik tidak akan timbul
bila dilakukan konservasi untuk pengembangan desa wisata.
2. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung ruang, pemilihan
daya tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat serta peletakan zonasi yang
seimbang antara zona inti, zona penyangga, dan zona pelayanan, fisis, tanah, air
dan iklim biotis.
3. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat dibangun dalam
hubungan dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas bagi wisatawan.
12
4. Pendekatan dasar rencana tapak yang berkaitan dengan peletakan fisik, sistem
transportasi, sistem utilitas tipologis, pola penghijauan, pola disain/arsitektural,
tata bangunan, topografi, iklim, desain lanskap.
5. Pendekatan struktur geo-klimatologis dan geo-morfologis setempat harus
mendukung kesuburan dan keindahan seperti karakter, pegunungan/perbukitan
yang indah, udara yang sejuk serta kondisi hidrologis yang memungkinkan, budi
daya pertanian berkembang.
Manfaat Pengembangan Desa Wisata
Jika desa wisata berkembang, maka seharusnya desa wisata tersebut bermanfaat
bagi sektor-sektor yang ada di desa tersebut sehingga desa tersebut menjadi lebih
mandiri dan makmur . Berikut manfaat dari keberadaan desa wisata.
1) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Desa wisata perlu dukungan melalui kelancaran dan efektivitas pemberdayaan
ekonomi rakyat, terutama untuk mengembangkan Usaha Mirko Kecil dan KOPERASI
(UMKK) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) agar masyarakat desa mendapatkan
pekerjaan yang layak, untuk itu perlu adanya pengembangan usaha ekonomi dan mata
pencaharian berkelanjutan yang dapat ditempuh dengan cara : (1) Usaha Ekonomi
Rakyat (usaha kecil, mikro dan koperasi) yang memanfaatkan sumber daya lokal secara
optimal dan lestari, (2) dikembangkan badan usaha milik rakyat yang dapat
berdampingan, kemitraan dengan Koperasi, (3) pengembangan klaster-klaster usaha
ekonomi rakyat yang menampilkan produk-produk unggulan bernilai tambah tinggi
sebagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Dukungan bagi kelancaran dan
efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut di atas dapat dikembangkan secara
partisipatif sesuai dengan prioritas masyarakat seperti, prasarana fisik yang
memperlancar transportasi dan komunikasi, pelayanan dasar, perluasan ruang publik
pada
tingkatan
masyarakat
yang
mendukung
berbagai
lapisan
masyarakat,
pengembangan tenaga kerja dan lingkungan kerja bagi tenaga kerja usia muda.
2) Pemberdayaan Sosial Budaya
Pendekatan integratif dalam menata kehidupan sosial dapat dikaitkan melalui
kearifan lokal yang terdiri dari pemerintah daerah, sebagai regulator dan fasilitator
13
melakukan identifikasi dan kegiatan atas bentuk, mekanisme dalam pemecahan masalah
ke pendudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan
pelayanan masyarakat, Unsur-unsur tersebut perlu menjadi pertimbangan utama dalam
mengkaji kawasan desa wisata, mengingat pengembangan kepariwisataan secara umum
tidak terlepas kaitannya dengan pariwisata sebagai suatu kegiatan yang secara langsung
menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap
masyarakat setempat. Disamping itu beberapa pendapat menunjukkan adanya berbagai
dampak yang tidak diharapkan, seperti memburuknya kesenjangan pendapatan antara
kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antara daerah, hilangnya kontrol
masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi. Pentingnya kajian sosiologi terhadap
penerapan pemodelan pariwisata semakin jelas, karena tipe pariwisata yang
dikembangkan adalah desa wisata, dimana desa wisata mempunyai beberapa ciri,
seperti; desa wisata melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dan lebih intensif
karena dasarnya adalah berkaitan dengan kehidupan sosial budaya yang menjadi daya
tarik wisata melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pentingnya
mengidentifikasi dampak terhadap sosial budaya pariwisata yang menurut Fiquerola
(dalam Pitana, 2005:117) terdiri dari enam kategori, yaitu :
a) Dampak terhadap struktur demografi
b) Dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian
c) Dampak terhadap transportasi nilai
d) Dampak terhadap gaya hidup tradisional
e) Dampak terhadap pola konsumsi, dan
f) Dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat
sosial budaya pariwisata.
3) Pemberdayaan Lingkungan Desa wisata
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut tiga dimensi penting
yaitu, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Ekonomi antara lain berkaitan dengan
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta merubah
pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang, sedangkan dimensi sosial
bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah ke pendudukan perbaikan pelayanan
masyarakat, peningkatan pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan,
14
diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi pengelolaan
limbah serta konservasi/preservasi sumber daya alam.
Prinsip-prinsip sistemik pengembangan desa wisata antara lain :
a) Kawasan desa wisata harus berdasarkan prinsip pembangunan yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan pembangunan bernuansa lingkungan memiliki
keterkaitan dengan pencegahan kerusakan sumber daya alam sebagai akibat dari
satu perkembangan kepariwisataan dan merupakan dampak baik terhadap
lingkungan hidup bigeofisik dan sumber daya alam, sosial ekonomi dan budaya
penduduk setempat. Karena itu kewaspadaan terhadap dampak lingkungan
dalam pemodelan desa wisata yang akan diakibatkan oleh kunjungan wisatawan
massal menjadi amat penting guna memelihara kelanjutan kualitas lingkungan
hidup/sumber daya alam yang tersedia di pedesaan.
b) Kawasan desa wisata harus sudah mengantisipasi secara terpadu, kemungkinan
terjadinya dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sejak dini, yang digarap
sejak tahap perencanaan, sehingga upaya untuk mencegah dan mengarungi serta
mengendalikan dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sebagai bagian dari
pengembangan desa wisata tidak terpisahkan dan dapat dilaksanakan.
c) Studi pra-rencana untuk mendukung desa wisata dalam pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan
lingkungan
tersebut,
sekaligus
akan
memberikan masukan yang berharga akan tersedianya potensi desa wisata.
d) Pengembangan desa wisata lebih diarahkan dan dipacu guna menuju upaya
pengembangan ekowisata yang berpola pada upaya pemanfaatan dan
menyelamatkan lingkungan biogeofisik dan lingkungan sosial, ekonomi dan
budaya serta memelihara sumber daya alam pedesaan, dari perusakan
lingkungan hidup dan pemborosan sumber daya alam pedesaan.
e) Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya, pengembangan
kawasan desa wisata harus ditujukan kepada upaya meningkatkan pemerataan
kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung jawab masyarakat setempat
yang terpadu dengan upaya pemerintah (daerah) dan dunia usaha yang relevan.
15
f) Pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat dilepaskan dari desa pusat,
pemerintah desa, desa tempat masyarakat desa sebagai tempat hidup mereka dan
desa tempat berekreasi masyarakat, hal ini penting untuk mencegah beralihnya
aset desa dan kepemilikan lahan masyarakat desa kepada pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab serta tersisihkannya masyarakat oleh berkembangnya
pendatang.
4) Pemberdayaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih
menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human capital) yaitu
dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua, peningkatan kapasitas organisasi di
pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama memiliki
keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya pembangunan yang
berkelanjutan. Ketiga; memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan
kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai. Keempat, memperbaiki budaya kerja, kerja
keras, tanggung jawab dan hemat. Kelima, menghilangkan sifat dan mental negatif,
boros, konsumtif yang dapat merusak produktivitas. Sedangkan, melalui pendidikan
lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam
bentuk pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan tidak hanya
memberikan keilmuan yang lebih penting adalah kesadaran untuk tumbuhnya sikap
menerima, bekerja sama, dan menimbulkan prilaku baru dalam upaya mengentaskan
kemiskinan, keterbelakangan dan ketergantungan.
Perencanaan Kawasan Desa wisata
Hal yang sangat penting diketahui dalam setiap kerja sama individu dalam
kelompok, ialah maksud dan tujuan kerja sama tersebut, dan harus jelas mengetahui
metode pencapaiannya. Bila usaha kelompok itu ingin efektif, orang-orang dalam
kelompok itu harus mengetahui apa yang diharapkan untuk menyelesaikannya, inilah
yang dimaksud dengan fungsi perencanaan. Berdasarkan fungsi perencanaan tersebut,
maka perencanaan adalah keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan
dilakukan, bilamana akan dilakukan dan siapa yang akan melakukan. Jelasnya
perencanaan dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu dalam waktu yang akan datang,
16
dan usaha/cara yang efektif untuk pencapaiannya. Oleh karena itu perencanaan adalah
suatu keputusan apa yang diharapkan dalam waktu yang akan datang.
Dalam penyusunan perencanaan kawasan desa wisata merupakan suatu proses
kesinambungan. Sebagai satu proses dalam penyusunan perencanaan kawasan desa
wisata dibutuhkan suatu tindakan pemeliharaan yang terbaik/menguntungkan dari
berbagai alternatif dalam usaha pencapaian tujuan. Mengingat perencanaan kawasan
desa wisata lebih banyak melibatkan peran, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
maka bentuk perencanaannya lebih menitik beratkan kepada Community Based
Tourism. Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan
yang bertumpu kepada masyarakat (people centred development). Strategi ini menyadari
pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan
internal dalam mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari dengan atau oleh
masyarakat desa yang dikenal sebagai satu pendekatan Participatory Planning dapat
diartikan sebagai metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi
meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan
desa membuat rencana dan bertindak. Desa wisata yang bertumpu pada masyarakat
merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi guna memenuhi
kebutuhan masyarakat. Perencanaan partisipatif dapat dilakukan jika praktisi
pembangunan tidak berperan sebagai perencanaan untuk masyarakat tetapi sebagai
pendamping dalam proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat
Pariwisata Berbasis Budaya
Wisata berbasis budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang
menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini biasanya dibedakan
dari wisata alam, dan wisata petualangan.
Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat mempunyai daya tarik bagi wisatawan,
yaitu:
1. Bahasa (language).
2. Masyarakat (traditions).
3. Kerajinan tangan (handicraft).
4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).
5. Musik dan kesenian (art and music).
17
6. Sejarah suatu tempat (history of the region)
7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).
8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat
disaksikan.
9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata
(architectural characteristic in the area).
10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
11. Sistem pendidikan (educational system).
12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).
Wisata berbasis budaya ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Bali yang
menganut konsep dari filosofi Tri Hita Karana.
2.2 Makanan dan wisata
Makan minum merupakan produk yang memiliki nilai penting dalam industri
pariwisata. Bisnis makanan saat ini telah memberi kontribusi sekitar 19,33 % dari total
penghasilan industri pariwisata khususnya yang berasal dari wisatawan mancanegara
yang datang ke Indonesia. Pengeluaran makanan dan minuman merupakan pengeluaran
kedua terbesar setelah akomodasi, yang kontribusinya mencapai 38,48 % dari total
pengeluaran wisatawan mancanegara.
Kontribusi produk makanan dan minuman makin signifikan mendukung
pariwisata dengan berkembangnya wisata makanan (food tourism) yang menekankan
pada kegiatan/petualangan mengkonsumsi berbagai jenis menu makanan/minuman khas
daerah. Beberapa tayangan televisi, khusunya tayangan pariwisata dan wisata boga
seperti wisata kuliner, Jalan Jajan (Trans TV), Koper dan Ransel (Trans TV), Jejak
Petualang (RCTI), oleh-oleh, food &beverage (SBO) dsb, makin mendorong
masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata dan secara khusus mencoba berbagai
menu lokal. Tayangan wisata kuliner yang marak di televisi juga mendorong
masyarakat mengenal masakan daerah.
Indonesia berpotensi besar dalam wisata makanan (food tourism) karena
memiliki kekayaan etnis dan budaya, yang masing-masing memiliki kuliner khas
tersendiri. Berkembangnya wisata makanan juga merupakan peluang bagi masyarakat
Indonesia untuk mengembangkan makanan dan minuman khas Indonesia agar bisa
18
dikenal masyarakat dunia lebih luas lagi sekaligus meningkatkan daya tarik wisatawan
mancanegara. Daya tarik makanan dan minuman yang cukup besar untuk mendorong
turis asing datang ke Indonesia, tidak hanya pendapatan negara dan daerah meningkat,
tapi juga akan meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Oleh
karena itu, kemampuan mengolah, menyajikan, menampilkan, mempromosikan,
makanan dengan baik sangat menentukan penghasilan dari sektor pariwisata secara
keseluruhan.
Tahun 2007
pemerintah
memproyeksikan jumlah wisatawan nusantara
mencapai sekitar 117,1 juta orang dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 669.442 dan
total perjalanan mencapai 219,75 juta. Pasar wisata makanan makin terbuka dengan
berkembangnya para gourmands (pencinta makanan dengan cita rasa khas) yang rela
bepergian ke berbagai daerah/wilayah untuk mencoba beragam makanan lokal, bukan
sekadar berbelanja atau mengunjungi tempat wisata yang eksotis.
Pengembangan wisata makanan (food tourism) juga terbuka pasarnya di dalam
negeri. Peningkatan kesejahteraan masyarakat telah mendorong timbulnya perilaku
makan di luar sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat khususnya di perkotaan.
Banyak keluarga yang mengisi liburan ke berbagai daerah untuk mencicipi menu lokal
yang baru dan menarik. Perilaku tersebut mendorong berkembangnya obyek wisata
kuliner di berbagai daerah.
Hampir semua daerah di Indonesia memiliki makanan khas, yang bisa
ditampilkan sebagai daya tarik bagi wisatawan. Diakuinya nasi goreng dan rendang
sebagai makanan yang terenak di dunia merupakan salah satu bukti kekayaan kuliner
lokal. Indonesia masih menyimpan ribuan jenis makanan dan minuman khas yang
berpotensi untuk dikembangkan secara global sebagai daya tarik wisata. Namun, di
Indonesia potensi food tourism tampaknya belum digarap dengan serius sebagai aset
wisata, jika dibandingkan negara lain. Di negara lain seperti Malaysia, Singapore,
Thailand, Jepang, Korea, dan Australia, sudah sajak awal menawarkan kuliner sebagai
produk wisata andalan. Bahkan negara tetangga seperti Singapore rutin memiliki
event festival makanan lokal sebagai kegiatan rutin pariwisata. Dalam event tersebut
turis diajak berpetualang menikmati berbagai makanan/minuman lokal dengan harga
khusus. Event ini dipromosikan secara terus menerus sehingga efektif menarik
19
wisatawan. Malaysia juga gencar melakukan promosi makanan lokal seperti laksa dan
nasi lemak, sebagai daya tarik wisatawan.
Untuk mengangkat kuliner lokal sebagai atraksi wisata diperlukan strategi yang
komprehensif. Pertama, mengidentifikasi jenis-jenis makanan lokal yang memiliki
peluang untuk dikembangkan sebagai ikon dan daya tarik wisatawan. Kedua,
memetakan situasi dan kondisi yang melingkupi perkembangan menu lokal di daerah
seperti popularitas jenis makanan di wilayah setempat, penyediaan makanan di
restoran/depot/warung,
teknologi
memasak
setempat,
dan
cara
menu
ditampilkan/dipresentasikan, Ketiga, tipologi pasar food tourism. Keempat, merancang
bentuk kegiatan food tourism (meliputi atraksi, event) yang diintegrasikan dengan daya
tarik wisata setempat.
Menurut Hall dan Sharples (2003:1) makanan adalah elemen penting dalam
pengalaman wisata. Di San Fransisco belanja wisata untuk makanan dan minum
mencapai 28% dari seluruh total belanja wisata, dan di New Mexico mencapai
25,5%. Prosentase tersebut menunjukkan pentingnya peran belanja makanan dan
minuman dalam kegiatan wisata.
Di Bali belanja wisata untuk
makan dan
minum mencapai 12% (Fandeli, 2002). Di Indonesia secara umum urutan pengeluaran
terbesar adalah akomodasi yaitu 21,77% dari total pengeluarannya, diikuti pengeluaran
untuk makanan dan minuman sebesar 10,96%, belanja 10,36% dan penerbangan
domestic sebesar 10,14% (Saptatyningsih, 2003 dalam Nurhidayati, 2013).
Pada awalnya makanan hanya menjadi salah satu pelengkap kegiatan wisata.
namun kemudian berkembang menjadai salah satu bentuk wisata khusus yang disebut
dengan istilah wisata makanan atau food tourism. Ada beberapa latar belakang yang
dapat dikemukakan untuk menjelaskan meningkatnya pertumbuhan studi wisata
makanan di daerah tertentu (Hall dan Mitchell, 2002). Sejak awal tahun 1970-an
daerah pedesaan telah menjadi bagian penting bagi perkembangan di masyarakat
industri dan menjadi bagian dari restrukturisasi ekonomi. Perkembangan masyarakat
selanjutnya telah menyebabkan hilangnya fungsi layanan pasar tradisional dan, dan
penghapusan tarif dan mekanisme bagi dukungan regional. Oleh karena itu daerah
pedesaan berusaha melakukan diversifikasi basis ekonomi mereka, yaitu dengan
mengembangkan pertanian dengan produk baru dan pariwisata. Strategi melalui
pariwisata makanan (food tourism) adalah salah satu instrumen signifikan bagi
20
pembangunan daerah (pertanian) khususnya karena pengaruh potensial antara produk
dari dua sektor yaitu produk pertanian dan pariwisata. Makanan juga diakui sebagai
ekspresif identitas dan budaya. oleh karena itu merupakan komponen penting dari
budaya dan
pariwisata heritage (Bessi`ere, 1998; Cusack, 2000; Ritchie dan
Zins,1978).
Dalam mendefinisikan wisata makanan (food tourism) perlu membedakan
antara wisatawan yang mengkonsumsi makanan sebagai bagian dari pengalaman
perjalanan dengan turis-turis yang kegiatan, perilaku dan, bahkan, pemilihan tujuan
dipengaruhi oleh makanan sebagai daya tarik utama (Hall, Johnson et al, 2000a.).
Wisata makanan (food tourism) secara umum dapat didefinisikan sebagai kunjungan ke
produsen makanan, festival makanan, restoran dan lokasi spesifik untuk mencicipi
makanan dan atau menikmati ataupun mempelajari produksinya. Dengan demikian
makanan, produksi makanan dan atribut khusus makanan daerah menjadi dasar
dan faktor pendorong utama dalam perjalanan wisata (Hall dan Mitchell, 2001a: 308).
Kebutuhan akan makanan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perilaku
perjalanan dan pengambilan keputusan itu sebagai bentuk perjalanan minat
khusus. Wisata makanan dapat berupa wisatawan biasa atau wisata kuliner, gourmet
gastronomi, sebagai
bentuk rekreasi dari food tourism yang lebih serius (Hall dan
Mitchell, 2001; Wagner, 2001).
Hall (2002) berpendapat bahwa anggur, makanan dan industri pariwisata
yang mengandalkan ciri khas regional dapat digunakan untuk mengembangkan pasar
dan
melakukan
promosi
.
Dengan
sebutan,
atau
daerah
'khusus'
tersebut, dapat menjadi sumber penting dari diferensiasi dan nilai tambah daerah
pedesaan. (Hall dan Sharples, 2003:10).
Ada beberapa bentuk/varian food tourism (Hall dan Sharples, 2003:11):
1. Rural/urban tourism yaitu kegiatan berkunjung di restoran/tempat makan saat
berwisata, festival makanan lokal karena berbeda, sebagai wujud adanya
kebutuhan makan minum selama berwisata. Ketertarikan terhadap makanan
lokal tergolong rendah, karena tujuan utamanya bukan untuk menikmati
makanan lokal melainkan berwisata.
21
2. Culinary tourism yaitu mengunjungi pasar tradisional, restoran lokal, festival
makanan saat datang ke destinasi wisata. Ketertarikan terhadap makanan lokal
tergolong sedang karena menikmati menu lokal merupakan bagian dari aktivitas
gaya hidup mereka.
3. Gastronomi tourism/cuisine tourism/gourmet tourism yaitu bepergian ke
destinasi khusus untuk menikmati makanan lokal, festival makanan, atau
mempelajari makanan lokal secara serius. Menikmati/mempelajari makanan
lokal sebagai tujuan/daya tarik utama kegiatan perjalanan, dan memiliki
ketertarikan tinggi terhadap makanan lokal. (Nurhidayati, 2013)
3.3 Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari Bahasa Sansekerta. Dari kata Tri yang berarti tiga,
Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah
tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia.
Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali.
Berawal dari pola hidup ini terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat
terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama
dalam bermasyaraakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan
kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Dengan demikian, suatu ciri
khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok, yakni: wilayah,
masyarakat, dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi.
Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya
rasa hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah maupun batiniah. Seperti
inilah gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.
Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat, adalah
sebagai berikut:
1. Parhyangan
Parhyangan berasal dari kata Hyang yang berarti Tuhan. Parhyangan adalah
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Hubungan
yang harmonis ini dapat menyebabkan kebahagiaan. Contohnya dengan berdoa kepada
22
Tuhan, merawat tempat ibadah, maupun mengucapkan puji syukur kepada Tuhan. Hal
ini dapat menimbulakan kebahagiaan hati dan pikiran.
2. Palemahan
Palemahan berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan adalah
hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Misalnya dengan cara
membersihkan lingkungan sekitar, merawat tumbuhan dan hewan, dan tidak melakukan
tindakan yang dapat merusak atau mencemari alam sekitar.
3. Pawongan
Pawongan berasal dari kata wong dalam bahasa Jawa yang berarti orang. Pawongan
adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Dapat
diwujudkan dengan cara saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia,
memupuk sikap saling tolong menolong, mempererat tali silaturahmi, dan juga
menyelesaikan masalah dengan musyawarah bukan dengan kekerasan.
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola
Tri Hita Karana.Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali.
Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun tercermin dan
berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat,maupun berorganisasi. Seperti
salah satu organisasi pertanian yang bergerak di bidang pengairan yakni Sekehe Subak.
Sistem Sekehe Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batasbatasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig (peraturan ) subak.Awig-awig ini
memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan. Apabila
melanggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam awigawig persubakan. Tri Hita Karana Persubakan menyangkut adanya sawah sebagai areal,
ada krama subak sebagai pemilik sawah, dan ada Pura Subak atau Ulun Suwi tempat
pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manisfestasinya sebagai Ida Batari Sri,
penguasa kemakmuran.
Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga (KK). Mereka bertanggung
jawab atas kelangsungan hidup keluargganya. Setiap keluarga menenpati Karang
Ayahan Desa, yang disebut karang sikut satak. Disinilah setiap KK bebas mengatur
keluarganya. Pola Kehidupan mereka tak lepas dari pola Tri Hita Karana. Hal ini dapat
23
dilihat dari Karang Sikut Satak yang ditempati. Secara umum penempatan bangunan di
karang itu berpolakan : Utama Mandala, tempat bangunan suci untuk memuja Sang
Hyang Widhi dan Para Leluhur, letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan
Sanggah Kemulan. Madya Mandala tempat untuk membangun rumah, Balai Delod,
Dapur, Kamar Mandi, Lumbung dan bangunan lainnya. Nista Mandala tempat
membangun Kori Agung, Candi Bentar, Angkul-angkul tempat masuk ke Pekarangan
Sikut Satak. Di luar Pekarangan Sikut Satak, namanya teba. Di teba inilah tempat krama
Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman seperti kelapa, pisang, nangka,
durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis. Di tempat ini pula anggota
keluarga membuat kandang sapi, babi, ayam, itik, kambing dan peliharanaan lainnya
sebagai wujud pelestarian lingkungan. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali
senantiasa berkiblat kepada ajaran Tri Hita Karana dan telah tercermin dalam hidup
harmonis di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Bahkan terhadap para
wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kini Tri Hita Karana, bukan saja baik diterapkan di
Bali, tetapi juga di tempat lain terutama yang menginginkan suasana hidup aman,
tenteram, sejahtera, sentosa. Hidup berdampingan secara damai.
24
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1. Kerangka Pemecahan Masalah
Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah dalam kegiatan ini dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Alternatif Pemecahan Masalah
No
Permasalahan
Akar masalah
Alternatif Pemecahan Masalah
1.
Tidak adanya
informasi berkaitan
pengembangan desa
wisata yang
memerlukan persiapan
tidak hanya berupa
fisik bangunan seperti
hotel, vila,
penginapan, dll, tetapi
perlu juga penyiapan
mental
Masyarakat
belum
memiliki
pemahaman
dan informasi
yang memadai
mengenai
hakikat
pengembangan
desa wisata
1. Eksplorasi dan diskusi
permasalahan yang dihadapi
masyarakat berkaitan dengan
pengembangan kawasan desa
wisata berbasis Tri Hita Karana
2. Elaborasi pemikiran masyarakat
dari sikap menjadi penonton hingar
bingarnya pariwisata ke sikap dan
pemikiran menjadi pelaku
pariwisata untuk menunjang
perekonomian keluarga
2.
Belum dimanfaatkan
hasil alam khususnya
potensi makanan yang
dihasilkan oleh desa
untuk ketahanan
pangan dan membuka
peluang bisnis atau
kewirausahan. Hal ini
dapat dilihat dari
belum maksimalnya
pengolahan singkong
dan ikan laut.
Singkong bahkan
hanya dipakai sebagai
makanan ternak, ikan
yang hanya diolah
secara tradisional
sebagai makanan
keluarga
Belum
pahamnya
masyarakat
tentang
ketahanan
pangan dan
belum banyak
ada upaya
untuk
memanfaatkan
potensi lokal
dalam
pembuatan
masakan
1. Elaborasi pemikiran masyarakat
tentang ketahanan pangan berbahan
dasar hasil alam desa
2. Pengolahan bahan dasar makanan
yang dihasilkan oleh alam desa
menjadi olahan yang bercita rasa
modern dan bernilai jual tinggi.
Pengolahan ini dengan
memanfaatkan teknik pengolahan
makanan secara modern sehingga
dihasilkan makanan sejenis nuget
da bakso ikan, serta kue kukus
pelangi berbahan dasar singkong.
25
3.
Belum ada usaha
kuliner khas pesisir
sebagai penunjang
kelengkapan sarana
wisata di desa
Sambirenteng
Kurangnya
1. Diskusi tentang kemungkinan usaha
pemahaman
kedai makanan berbahan dasar khas
pesisir
tentang
prospek usaha 2. Diskusi tentang jenis makanan
kuliner modern
pesisir yang disukai oleh wisatawan
dalam
lokal maupun mancanegara
3.2. Realisasi Pemecahan Masalah
Realisasi kegiatan ini dimulai dengan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya
staf desa, untuk mendiskusikan program dan waktu kegiatan secara pasti.
Hasil
kesepakatan tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan di tempat yang telah
ditentukan oleh staf desa.
Secara umum kegiatan ini berupa diskusi tentang tata
kelembagaan untuk persiapan menuju desa wisata, eksplorasi dan elaborasi pemikiran
masyarakat dari sebagai penonton menjadi pelaku wisata di desa mereka sendiri,
ekplorasi dan elaborasi pemikiran masyarakat tentang ketahanan pangan, serta praktek
pembuatan kuliner pesisir berbahan dasar ikan dan singkong.
Tabel 3.2 Kegiatan Pelatihan Kuliner Pesisir di Desa Sambirenteng
No
Tujuan
Bentuk Kegiatan
Produk
Petugas
1
Untuk meningkatkan
pemahaman
masyarakat tentang
keberadaan desa
wisata (dampak positif
dan negatifnya) serta
meningkatkan peran
masyarakat dalam
pengelolaan desa
wisata.
Pemaparan dan diskusi
mengenai hakikat
keberadaan desa wisata
berbasis Tri Hita Karana
serta persiapan yang harus
dilakukan
Pola pikir
kepariwisataan
dan
kewirausahaan
terkait
kepariwisataan
Drs. I Gede
Nurjaya,
M.Pd.
Diskusi tentang tata
kelembagaan desa untuk
menunjang keberadaan
desa wisata
Penguatan
kelembagaan
desa
Dr. I Wayan
Mudana,
M.Si
Untuk meningkatkan
pemahaman tentang
ketahanan pangan
berbasis Tri Hita
Karana
Pemaparan dan diskusi
terkait pemanfaatan hasil
bumi di desa sendiri untuk
meningkatkan ketahanan
pangan
Pola pikir
masyarakat
dalam
mengolah
bahan pangan
hasil bumi
sendiri
Dra. Riza
Panti
Ariani,
M.Pd.
2
26
3
Untuk melatih
masyarakat agar
mampu membuat
berbagai produk
kuliner pesisir yang
sesuai dengan cita rasa
modern
Praktek pembuatan bakso
berbahan dasar ikan
Bakso ikan
Dra. Riza
Panti
Ariani,
M.Pd.
Praktek membuat nuget
berbahan dasar ikan
Nuget ikan
Dra. Riza
Panti
Ariani,
M.Pd.
Praktik membuat Kue
kukus pelangi berbahan
dasar singkong
Kue kukus
pelangi
Dra. Riza
Panti
Ariani,
M.Pd.
3.3. Metode Yang Digunakan
Metode yang diambil untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Diskusi tentang dampak positif dan negatif dijadikannya desa Sambirenteng
sebagai desa wisata, serta perubahan peran masyarakat dari menjadi penonton
wisata menjadi pelaku wisata walaupun masih dalam skala sederhana dan kecil.
2) Diskusi tentang pembinaan kelembagaan desa yang menunjang keberadaan desa
wisata.
3) Pemaparan tentang ketahanan pangan berbasisi Tri Hita Karana untuk
memanfaatkan potensi pangan desa.
4) Pelatihan membuat masakan berbahan dasar ikan, berupa nuget dan bakso ikan,
serta berbahan dasar singkong berupa kue kukus pelangi.
Kegiatan diskusi dan praktek yang dilakukan diharapkan mampu meningkatkan
pemahaman dan keterampilan mitra berkaitan dengan masakan vegetarian, serta
memiliki jiwa kewirausahaan.
4.4. Indikator Keberhasilan dan Rancangan Evaluasi
Luaran dalam kegiatan ini berupa produk kuliner pesisir berupa nuget ikan,
bakso ikan, dan kue kukus pelangi berbahan dasar singkong.
Indikator luaran berupa
produk ini adalah kualitas masakan mencakup tampilan, tekstur, dan rasa; minimal
tergolong baik (rerata skor 3,40 menurut skala Likert 1 – 5).
27
Evaluasi kegiatan dilakukan terhadap proses dan produk kegiatan. Evaluasi
proses berkaitan dengan semangat mengikuti kegiatan, kerja sama, dan keterbukaan
menerima masukan. Evaluasi proses dilakukan selama kegiatan berlangsung. Evaluasi
produk dilakukan terhadap kualitas masakan yang dibuat oleh peserta pelatihan.
28
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil Pelatihan
4.1.1 Hasil Diskusi dengan Masyarakat
Sebelum melaksanakan pelatihan Kuliner Pesisir untuk memberdayakan
masyarakat Desa Sambirenteng menuju desa wisata berbasis Tri Hita Karana, telah
dilaksanakan diskusi mengenai pemberdayaan desa Sambirenteng secara umum.
Diskusi itu dilakukan dengan aparat desa (Sekretaris Desa dan Perbekel Desa
Sambirenteng) dan masyarakat umum.
Dari diskusi pertama dengan aparat Desa Sambirenteng, disepakati bahwa Desa
Sambirenteng memang sudah berancang-ancang menjadi desa wisata. Aparat desa
menyatakan bahwa di Desa Sambirenteng telah mulai dibangun fasilitas wisata seperti
Vila, pondok penginapan, dan bahkan berencana ada investor yang berencana
membangun hotel. Vila dan pondok penginapan sudah ada.
Dalam diskusi ini dibahas tentang pengelolaan lembaga desa dalam persiapan
menuju desa wisata. Lembaga desa telah dan akan terus diberdayakan untuk menunjang
persiapan menuju Desa Sambirenteng menjadi desa wisata. Beberapa kegiatan yang
telah terus akan dilakukan dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Berkoordinasi dengan pemerintah yang lebih tinggi, yaitu tingkat kabupaten,
provinsi, bahkan dengan pemerintah pusat terutama meminta sokongan dana dan
program pengembangan lainnya. Hasil dari upaya ini terlihat dari akan
dikucurkannya dana pembinaan desa wisata ini untuh tahun 2014.
2) Mengundang para invenstor untuk membangun sarana wisata di desa
Sambirentang. Syaratnya tentu saja pengekplorasian desa Sambirenteng harus
tetap berlandaskan konsep dan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa investor telah
mulai melirik desa Sambirenteng untuk dikembangkan menjadi desa wisata.
3) Bekerjasama dengan masyarakat desa dengan gerakan membangun desa untuk
anak cucu. Kegiatan kebersihan, penanaman pohon, dan lainnya telah
diupayakan oleh aparat desa dengan kelembagaan desa yang ada.
4) Bekerjasama dengan perguruan tinggi. Dalam hal ini, Universitas Pendidikan
Ganseha telah berinisiatif melalui LPM Undiksha melakukan pengabdian
29
masyarakat di desa Sambirenteng. Pihak desa sangat menyambut baik upaya
Undiksha ikut membantu membangun desa.
4.1.2 Hasil Pelatihan Kuliner Pesisir Berbahan Dasar Ikan dan singkong
Pelatihan kuliner pesisir ini mengambil judul “Pelatihan Kuliner Pesisir untuk
Memberdayakan Masyarakat Desa Sambirenteng menuju Desa Wisata Berbasis Tri Hita
Karana”. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 15 November 2013 bertempat di
kantor Aula Kepala Desa Sambirenteng.
Foto 1 : Spanduk Kegiatan
Pelatihan kuliner ini dihadiri oleh Kepala Desa Sambirenteng beserta staf
sebanyak sebelas orang dan ibu-ibu PKK perwakilan dari setiap dusun di Desa
Sambirenteng sebanyak 25 orang. Sasaran pelatihan adalah para Ibu PKK. Acara
pelatihan ini dimulai dengan pembukaan oleh petugas yang dari tim Pengabdian
Undiksha.
30
Foto 2 : Pembukaan acara oleh Pewara
Setelah pewara melakukan pembukaan acara selama kurang lebih 5 menit,
dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua Panitia sekaligus mewakili pihak Undiksha,
khususnya Lembaga Pengabdian Masyarakat. Isi sambutan terlampir.
Foto 3: Sambutan Ketua Panitia
Setelah sambutan dari Ketua Panitia, kegiatan dilanjutkan dengan sambutan dan
sekaligus pembukaan kegiatan pelatihan oleh Kepala Desa Sambirenteng.
31
Foto 4 : Sambutan Kepala Desa Sambirenteng sekaligus membuka Kegiatan
Setelah kegiatan pelatihan secara resmi dibuka oleh kepala desa, selanjutnya
dilaksanakan operasionalisasi pelatihan. Pada pelatihan ini ada dua materi utama yang
dipaparkan. Pertama adalah pemaparan tentang ketahanan pangan dan kedua adalah
pelatihan membuat berbagai jenis masakan.
Pemaparan ketahanan pangan ini diarahkan kepada pemanfaatan sumber pangan
yang ada di lingkungan desa untuk menjaga ketahanan pangan pada masyarakat.
Sumber pangan dangat berlimpah di desa, tetapi sering belum mampu dimanfaatkan
secara baik sehingga sering mengakibatkan sumber pangan tersebut terbuang percuma.
Kalaupun dimanfaatkan hanya sekadar pemanfaatan secara tradisional. Secara ringkat
dapat disimpulkan bahwa pemaparan tentang ketahanan pangan bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai upaya
yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga pangan di masyarakat tetap bisa tersedia
secara cukup untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat. Ketahanan pangan
disampaikan oleh instruktur Riza Panti Ariani.
32
Foto 5 : Sosialisasi tentang Ketahanan Pangan
Pemaparan ketahanan pangan ini mendapat sambutan yang cukup baik dari
peserta pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan dan keantusiasan peserta
mendengarkan pemaparan ini. Setelah selesai pemaparan ketahanan pangan, dilakukan
pemaparan tentang teknik pembuatan nuget dan bakso berbahan dasar ikan dan kue
kukus pelangi berbahan dasar singkong. Untuk pelatihan ini, peserta dikelompokkan
menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 8-9 orang. Setiap kelompok
membuat ketiga jenis masakan yaitu bakso, nuget, dan kue kukus pelangi. Karena
pelaratan yang tersedia terbatas, maka cara kerjanya adalah setiap kelompok secara
bergiliran membuat ketiga jenis kuliner tadi sehingga alat yang tersedia dapat dipakai
secara bergiliran. Pada sesi pertama, kelompok 1 mendapat giliran membuat bakso,
kelompok 2 membuat nuget, dan kelompok 3 membuat kue kukus pelangi. Pada sesi
kedua, kelompok 1 membuat nuget, kelompok 2 membuat kue kukus pelangi, dan
kelompok 3 membuat bakso. Pada sesi ketiga, kelompok 1 membuat kue kukus pelangi,
kelompok 2 membuat bakso, dan kelompok 3 membuat nuget.
33
Foto 6 : Penjelasan teknis dan pembagian bahan dasar
Dari foto ini terlihat peserta sangat antusias mendengarkan pengarahan teknik
dan pembagian bahan dasar untuk pembuatan jenis kuliner yang menjadi tugas
kelompoknya, dari instruktur dan pembantunya. Runtutan kegiatan dapat dilihat pada
foto berikut ini.
Foto 7 : Pembuatan Nuget dibimbing oleh pembantu instruktur
34
Kegiatan yang dilaksanakan tersebut menghasilkan 3 produk untuk tiap-tiap
kelompok. Produk yang dihasilkan dinilai dengan indikator (1) penampilan, (2) rasa, (3)
kebersihan. Berdasarkan ketiga indikator tersebut dan dinilai oleh empat penilai yaitu
kepala desa, instruktur, dan 2 orang dari tim Pelaksana P2M maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: (1) Dari segi penampilan masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi
yaitu dari segi bentuk untuk bakso serta pewarnaan dan proporsi warna untuk kue kukus
pelangi. Nilai yang diperoleh pada skala 100 adalah rata-rata 70. (2) Dari segi rasa,
sudah memenuhi standar rasa yang ditetapkan. Komposisi bumbu sudah tampak baik.
Nilainya rata 90. (3) Dari segi kebersihan nilainya 90. Para peserta cukup baik
memperhatikan kebersihan peralatan dan produknya.
Berikut ini foto produk yang dihasilkan dari pelatihan di Desa Sambirenteng
pada tanggal 15 November 2013.
Foto 8 : Nuget berbahan dasar ikan Laut
35
Foto 9 : Bakso Ikan berbahan dasar Ikan Laut
Foto 10 : Kue Kukus Pelangi berbahan dasar singkong
Selama kegiatan berlangsung, dilakukan evaluasi proses oleh dua orang anggota
pelaksana P2M dan 1 orang instruktur.
Parameter yang diukur adalah kehadiran
peserta, semangat mengikuti kegiatan, keterampilan membuat masakan, keingintahuan,
36
dan kerja sama. Penilaian dilakukan dengan instrumen lembar observasi, dan hasil
rekapitulasinya ditampilan pada Tabel 4.1.
Secara umum, kinerja peserta selama
kegiatan ini tergolong sangat tinggi.
Tabel 4.1. Rekapitulasi Kinerja Mitra
Skor
No
Uraian
1
2
3
4
5
Jumlah
Rerata
1
Kehadiran mitra
-
-
-
1
2
14
5,00
2
Semangat mengikuti kegiatan
-
-
-
-
3
15
5,00
3
Keterampilan membuat masakan
-
-
-
-
3
15
5,00
4
Rasa keingintahuan
-
-
-
-
3
15
4,67
4
Kerja sama
-
-
-
-
3
15
5,00
74
4,93
Rerata
Untuk mendapatkan data yang paling akurat berkaitan dengan kualitas produk masakan
yang dihasilkan, telah diambil pendapat para pencicip (kepala desa, sekdes, masyarakat
umum, dan tim pelaksana 2 orang) terhadap masakan yang dihasilkan oleh ketiga
kelompok peserta setelah mengikuti pelatihannya.
Hasilnya, secara umum, para
pencicip cukup puas dengan masakan yang dihasilkan oleh peserta pelatihan.
4.2 Pembahasan
Peserta dan juga aparat desa Sambirenteng sangat puas dengan kegiatan yang
dilakukan. Mereka sangat terbuka dan bersemangat dalam mengikuti seluruh kegiatan.
Selain telah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang ketahanan pangan dan
kuliner pesisir, mereka juga sudah terampil membuat masakan berbahan dasar hasil
bumi desa mereka, baik ditinjau dari jenis maupun rasanya. Masakan yang dibuatpun
boleh dikatakan sedang disukai oleh mereka, anak-anak mereka, dan juga pengunjung
yang sering datang ke Desa Sambirenteng. Masakan yang mereka buat pada kegiatan ini
adalah bakso ikan laut, nuget ikan laut, dan kue kukus pelangi berbahan dasar
singkong. Semua masakan tersebut dibuat dari bahan yang merupakan hasil bumi dari
desa mereka sendiri. Hal ini tentu membagakan mereka bahwa alam desa mereka
37
mampu memberikan bahan dasar untuk masakan yang mereka perlukan untuk
kelangsungan hidupnya. Mereka juga tampak menyadari bahwa masakan modern
seperti bakso dan nuget dapat mereka buat sendiri dengan bahan yang sederhana tetapi
cita rasanya tidak kalah dengan makanan sejenis yang sering mereka beli di toko atau
pada orang luar desa (Jawa, dan sebaginya). Yang mengejutkan mereka adalah
kemampuan singkong yang selama ini hanya sebagai makanan ternak, ternyata dapat
dibuat menjadi jajanan yang enak dan menarik selera untuk menikmati dan
memandangnya.
Berdasarkan penilai, yang sekaligus menjadi tester atas produk yang dihasilkan
dari kegiatan ini, masakan yang berhasil dibuat pada saat pelatihan ini tidak kalah dalam
hal rasa maupun penampilannya dari masakan yang dijual oleh pedagang profesional.
Sebagai contoh, kue kukus pelangi yang berbahan dasar singkong rasanya dan
penampilannya tidak kalah dengan kue kukus berbahan dasar terigu yang berasal dari
luar negeri. Demikian juga dengan nuget dan bakso yang dihasilkan oleh peserta tidak
kalah dengan yang dijual keliling oleh pedagang bakso. Bahkan, masakan buatan
peserta dijamin lebih sehat karena tidak menggunakan pengawet makanan, pewarna
kimia, dan tidak memakai penyedap rasa. Semua hal terakhir ini memberikan nilai
tambah bagi masakan peserta terutama untuk menjaga kesehatan.
Berdasarkan indikator-indikator yang telah terukur di depan, serta kriteria
keberhasilan menurut skala Linket yang tidak kurang dari 3,40 (batas minimal skor
baik), maka proses kegiatan P2M ini dinyatakan berhasil.
38
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan di depan, hasil dalam kegiatan
P2M ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, peserta pelatihan telah memiliki
pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan ketahanan pangan dan kuliner pesisir.
Kedua, kedua mitra telah terampil dalam membuat masakan berupa kuliner pesisir
berbahan dasar ikan dan singkong. Hal ini tentu menguatkan konsep Tri Hita Karana
mereka karena dengan memanfaatkan bahan dasar masakan dari bahan yang ada di alam
desanya maka mereka akan turut menjaga kelestarian alam desa untuk tetap menunjang
penyediaan bahan masakan. Keterampilan mereka itu telah mendapat pengakuan positif
dari para evaluator.
5.2. Saran
Sehubungan dengan hasil pelatihan seperti di atas, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut.
1) Perlu diadakan pemberdayaan lanjutan untuk lebih meningkatkan kemampuan,
keterampilan, dan kesiapan masyarakat Desa Sambirenteng mewujudkan Desa
Sambirenteng sebagai desa wisata berbasisi Tri Hita Karana
2) Masyarakat perlu lebih dimotivasi dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan
pemberdayaan lainnya karena mereka tampak sangat antusias untuk melakukan
kegiatan semacam ini.
3) Bantuan sarana dan permodalan sangat diperlukan oleh masyarakat desa
Sambirenteng untuk mewujudkan desa mereka menjadi desa wisata.
39
Daftar Pustaka
Cousins, J., Foskett, D., Gillespie, C. 2002. Food and Beverage Management. London:
Prentice Hall/Pearson Education
Dalem, K.P. 2010. Strategi Pengembangan Makanan Tradisional Bali pada
Freestanding Restaurant Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung-Bali (Tesis). Denpasar: Kajian Pariwisata Universitas
Udayana.
Edgell. D.L, Allen M.D, Smith, G, and Swanson, J.R. 2008. Tourism Policy and
Planning Yesterday, Today and Tomorrow, First Edition, USA:Elsevier.
Gregoire, M.B dan Spears, M.C. 2006. Food Service Organizations A Managerial and
Systems Approach, Sixth Edition. New Jersey:Perason prentice Hall.
Hall, Michael C. and Page, Stephen J, 2002. The Geography of Touristm and
Recreation Enviroment, Place and Space; 2nd ed. Routledge, London and New
York
Hotomo, A.S. Pengaruh Kualitas Produk dan Tingkat Kepuasan Konsumen terhadap
Loyalitas Pelanggan pada Produk Makanan Tela Krezz Cabang Bekasi:
Universitas Gunadarma.
Latief, A., 1998. Resep Masakan Daerah. Jakarta: CV. Atisa.
Muchtadi, D., 1989. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Nurhidayati, Sri Endah.2013. Potensi Wisata Makanan (Food Tourism) : http://endahparwis-fisip.web.unair.ac.id/artikel
Page, S. 1995. Urban Tourism. Routledge, Landon and New York
Suci, N. K., 1986. Pengolahan Makanan Khas Bali. Denpasar: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Bali.
40
41
Download