Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi ekonomi dunia ditandai dengan adanya perdagangan bebas, yang diakibatkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan revolusi teknologi, liberalisasi informasi dan peningkatan produktivitas yang luar biasa. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadi over capacity disemua sektor ekonomi, sehingga menyebabkan terjadinya resesi ekonomi, yang menghambat pertumbuhan dan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan disertai dengan stabilitas ekonomi yang mantap sangat diperlukan guna mencapai tujuan suatu kebijakan ekonomi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan penghasilan masyarakat dan merupakan perluasan dari kegiatan ekonomi. Sedangkan stabilitas ekonomi yang stabil merupakan salah satu prasyarat bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merupakan kunci dari peningkatan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Oleh karena itu, yang menjadi prioritas utama stabilitas ekonomi adalah menjaga kestabilan harga kebutuhan dasar rakyat. Sedangkan prioritas utama di bidang perekonomian adalah mengarahkan agar perluasan kegiatan ekonomi dapat menampung mayoritas angkatan kerja (Boediono, 2005). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan krisis yang paling parah sepanjang masa orde baru. Proses penyebaran krisis berlangsung sangat cepat karena 1 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - keterbukaan dan ketergantungan perekonomian Indonesia pada sektor luar negeri sangat besar. Terjadinya krisis ekonomi karena terdapat berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional, terutama ditingkat mikro. Hal ini mengakibatkan kegiatan intermediasi di sektor keuangan terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai kegiatan investasi dan produksi mengalami hambatan. Serta mengakibatkan kegiatan ekonomi mengalami kontraksi yang tajam sehingga secara keseluruhan pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PDB) merosot menjadi 4,7% pada tahun 1997 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 8,0%. Tingkat pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4,9% pada tahun 1996 menjadi 7,5% pada tahun 1997. Laju inflasi melonjak dari 5,17% pada tahun 1996 menjadi 34,22% pada tahun 1997/1998 (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1997/1998: 1). Krisis yang terjadi di Indonesia, telah menghancurkan semua sendisendi perekonomian. Di mana tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 negatif, yaitu antara -13,6% sampai dengan -15% dan pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi antara -2% sampai dengan -5,1%. Hal ini membuat banyak industri tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang baru untuk menampung tambahan angkatan kerja yang semakin meningkat. Perkembangan jumlah angkatan kerja dan penduduk Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 1997 menunjukan jumlah yang terus meningkat. Di mana terlihat bahwa dari tahun 1991 hingga tahun 1997, pertambahan jumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga menyebabkan jumlah angkatan kerja juga mengalami peningkatan. Hal ini dibarengi dengan jumlah 2 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kesempatan kerja yang terus meningkat. Namun hal ini tidak terlepas dari masalah ketenagakerjaan yang sangat krusial yaitu ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja sehingga menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran. Perkembangan mengenai jumlah penduduk, angkatan kerja dan kesempatan kerja dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini: Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk, Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja di Indonesia Tahun 1991-1997 (Dalam Persen) TAHUN A Kesempatan Kerja a. Pria b. Wanita B Angkatan Kerja a. Pria b. Wanita C Penduduk a. Pria b. Wanita 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 76,9 78,6 79,2 82,0 83,9 85,7 87,1 47,7 48,2 48,7 50,3 51,7 53,0 54,0 29,2 30,4 30,5 31,7 32,2 32,7 33,1 75,8 80,7 81,4 85,8 87,9 90,1 91,4 48,4 49,4 50,0 52,3 53,8 55,3 56,3 30,1 31,3 31,4 33,5 34,1 34,8 35,1 137,3 140,8 143,8 147,8 151,1 152,5 157,4 67,9 69,7 70,9 72,7 74,6 76,5 77,9 69,4 71,1 72,9 75,1 76,5 76,0 79,5 Sumber: BPS (Sakernas) dan ILO (1998) Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penambahan jumlah lapangan kerja maka pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan infrastruktur perlu mendapat perhatian pemerintah. Hal ini sangat diperlukan guna mendukung kegiatan investasi dan perdagangan serta menunjang pertumbuhan sektor swasta. Sehingga diharapkan akan memperlancar arus pendistribusian barang dan menurunkan tingkat inflasi. Sumber pembiayaan yang potensial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perbankan nasional dan investor luar negeri. Dalam rangka menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan aspek kepercayaan yang 3 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - harus dibangun oleh pemerintah yaitu menjaga stabilitas moneter dan stabilitas keamanan yang merupakan suatu tuntutan global di era globalisasi ini. Hal ini dicerminkan oleh suatu kondisi yang bebas dari anarkisme, radikalisme dan terorisme. Keadaan yang aman dan nyaman sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim investasi serta terhadap bantuan yang akan diberikan oleh lembaga-lembaga internasional. Keberadaan investasi asing masih sangat diperlukan terlebih lagi bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar, di mana jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia belum dapat menampung banyaknya jumlah pencari kerja yang semakin meningkat setiap tahunnya, ditambah lagi dengan masalah pemulangan TKI ilegal dari Malaysia yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Permasalahan ekonomi lain yang banyak dihadapi oleh negara di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang adalah masalah inflasi yang cenderung lebih berfluktuasi dan masalah pengangguran yang semakin meningkat jumlahnya. Tingginya tingkat inflasi merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan harus diwaspadai, karena pada umumnya inflasi yang terjadi di negara-negara berkembang, bersumber pada impor besar-besaran bahan baku bagi industri yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan juga rumor politik yang merupakan salah satu pemicu terjadinya inflasi serta pola kehidupan konsumeristis masyarakat terutama terhadap barang-barang konsumsi akibat dari perdagangan bebas yang sudah mulai diterapkan serta globalisasi pasar yang membuat semakin parahnya kinerja perekonomian. 4 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Peningkatan laju inflasi disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan kenaikan administered prices yang juga telah mendorong meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat. Selain itu, tingginya tingkat inflasi terjadi karena ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan bahwa tingginya laju inflasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi sektor riil dan bukan sektor moneter. Laju inflasi di Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi pada awal tahun 1990 sampai menjelang tahun 1997 masih dapat dikatakan relatif stabil dan berada dalam taraf yang terkontrol. Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata inflasi berada pada level 9%. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada tahun 1992 sebesar 3,59%. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan laju inflasi meroket hingga mencapai 77,54%. Perkembangan laju inflasi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.2 di bawah ini: Tabel 1.2 Perkembangan Laju Inflasi Tahunan dan Kuartalan di Indonesia Tahun 1990-2003 (Dalam Persen) TAHUN 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kuartalan Kuartalan I II 6,4 0,53 3714 0,88 3,04 2,34 3,26 0,77 1,96 2,54 25,13 46,55 4,08 2,73 0,93 1,91 2,11 3,28 3,5 0,92 0,77 0,46 Kuartalan III 1,27 2,79 1,41 0,91 5,37 75,47 0,02 1,74 2,56 1,65 1,24 Kuartalan Tahunan IV 1,53 99 1,86 9.24 1,85 8.64 1,53 6.47 11,05 11.05 77,63 77.54 2,04 2.01 4,42 9.35 4,06 12.55 3,63 10.03 0,89 5.06 Sumber: Bank Indonesia 5 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Bagi Indonesia, laju inflasi yang tinggi memiliki potensi untuk mengganggu stabilitas dan kredibilitas mata uang rupiah. Dari sudut pandang stabilitas ekonomi, tingginya laju inflasi suatu negara dapat menimbulkan gangguan pasar, yaitu melemahnya permintaan dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bagi konsumen, tingginya laju inflasi mengakibatkan daya beli mereka melemah, sehingga menyebabkan tingkat konsumsinya menurun. Tingginya tingkat inflasi juga menjadikan daya saing produk di pasar internasional menjadi lemah (Suseno, 1997: 88). Apabila laju inflasi mencapai dua digit atau bahkan lebih, maka akan mengganggu kredibilitas Indonesia. Inflasi merupakan salah satu indikator kinerja ekonomi makro yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam stabilitas moneter. Dalam definisinya, inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Oleh karena itu, upaya untuk menekan laju inflasi serendah mungkin seharusnya menjadi komitmen bersama para pelaku bisnis, para konsumen, dan pemerintah (Suseno, 1999: 153). Laju pertumbuhan inflasi ini, harus selalu diwaspadai dan dikendalikan, karena menimbulkan dampak yang cukup besar bagi perekonomian. Berikut ini merupakan beberapa dampak dari inflasi diantaranya adalah sebagai berikut (Tajul Khalwaty, 2000: 2): 1. Inflasi berdampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan, sehingga perlu dicermati terutama oleh para praktisi ekonomi dan bisnis. 6 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 2. Inflasi yang tinggi mempunyai pengaruh agregatif terhadap perekonomian makro sebagai faktor eksternal dunia industri serta berdampak luas pula terhadap sektor perekonomian mikro yang merupakan faktor internal dunia bisnis. 3. Industri yang berorientasi ekspor akan semakin kurang kompetitif di pasaran global dan bahkan di pasaran nasional jika terjadi inflasi yang tinggi. Biaya faktor-faktor produksi semakin mahal hingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal ini semakin memberatkan negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka. 4. Kemerosotan produksi baik yang berorientasi pada ekspor maupun untuk pasaran domestik akan meningkatkan laju pertumbuhan angka pengangguran yang sangat berbahaya bagi stabilisasi perekonomian negara. 5. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama terhadap produksi dalam negeri yang selanjutnya dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional. 6. Inflasi yang tinggi akan semakin menumbuh-suburkan korupsi, manipulasi dan kolusi di kalangan elit pemerintahan dengan kalangan konglomerat yang membawa kepercayaan dunia terhadap kewibawaan pemerintah semakin merosot. 7. Inflasi yang tinggi akan mendorong para pemodal nasional untuk menanamkan modalnya ke luar negeri (hot money) dan bahkan para pengusaha akan merelokasikan industrinya ke luar negeri yang perekonomiannya lebih stabil. Jika hal ini terjadi, perekonomian nasional 7 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - akan terus memanas dan hancur. Industri semakin tidak kompetitif dan tidak mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya. Berbagai persoalan yang timbul akibat krisis ekonomi, memberi dampak yang sangat serius bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Meningkatnya laju inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Selain itu, krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 juga membawa dampak banyak pabrik dan industri yang collaps serta banyak pengusaha yang terpaksa memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Hal inilah yang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran baru serta menambah berbagai persoalan sosial ekonomi dan politik (Tambunan, 2000: 41) Pengangguran merupakan masalah makroekonomi yang penting, karena mempunyai dampak yang serius apabila tidak segera diatasi. Penganggur merupakan beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, serta dapat menghambat pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran sering kali menimbulkan masalah ekonomis dan psikologis bagi penganggur dan keluarga mereka antara lain: meningkatnya tingkat penderita stress dan penyakit kejiwaan lainnya serta meningkatnya kasuskasus bunuh diri akibat tidak mampu lagi menghadapi kesulitan hidup yang semakin besar. Pengangguran juga merupakan biaya bagi perekonomian secara keseluruhan, karena barang dan jasa yang dapat diproduksi menjadi 8 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - berkurang. Output yang hilang ini dan digabungkan dengan kerugian ekonomis dan psikologis bagi individu dan keluarganya menunjukan biaya sebenarnya dari pengangguran (Mc Eachern, 2000: 124). Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja, terlebih lagi bagi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, di mana pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut lebih menonjol atau penting bagi negara berkembang. Pertama, pertumbuhan penduduk di negara berkembang cenderung tinggi, sehingga cenderung melebihi pertumbuhan kapital. Kedua, demografi profil lebih muda, sehingga lebih banyak penduduk yang masuk kelapangan kerja. Ketiga, struktur industri di negara berkembang, yang cenderung mempunyai tingkat diversifikasi kegiatan ekonomi rendah, serta tingkat ketrampilan penduduk yang belum memadai, membuat usaha penciptaan lapangan kerja menjadi semakin kompleks. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 8%) maka penciptaan lapangan kerja baru akan mampu memenuhi tambahan angkatan kerja, ini yang terjadi di Indonesia sebelum tahun 1990 sampai dengan tahun 1997. Bagi Indonesia dalam memasuki era pasar bebas masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu problema yang berat. Hal ini disebabkan karena: Pertama, adanya ketimpangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja dengan penciptaan kesempatan kerja. Menurut Depnaker jumlah angkatan kerja pada tahun 1996 sekitar sekitar 90,11 juta orang, sementara kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 85,70 juta orang dan ada 9 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - sekitar 4,41 juta orang pengangguran terbuka. Di tahun 1996, perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang relatif lebih besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Namun dengan terjadinya krisis ekonomi ditahun 1997 dan 1998, jumlah pengangguran meningkat lagi akibat banyaknya karyawan yang di PHK. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Di tahun 2000 jumlah pengangguran menurun menjadi 5,87 juta orang dari sekitar 6,03 juta orang di tahun 1999. Namun di tahun 2003 jumlah pengangguran mengalami peningkatan hingga mencapai 9.53 juta orang dan jumlah ini akan terus meningkat apabila pemulihan ekonomi belum berjalan dengan baik. Pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini: Tabel 1.3 Jumlah Angkatan Kerja dan Jumlah Pengangguran di Indonesia Tahun 1990-2003 TAHUN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 JUMLAH ANGKATAN KERJA 77.802.264 78.455.548 80.703.974 81.446.078 85.775.633 86.361.261 90.109.582 91.324.911 92.734.932 94.847.178 95.695.979 98.812.448 100.779.270 100.316.007 JUMLAH PENGANGGURAN 1.951.684 2.032.369 2.185.602 2.245.536 3.737.524 6.251.201 4.407.769 4.275.155 5.062.483 6.030.319 5.871.956 8.005.031 9.132.104 9.531.090 Sumber: BPS (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia) 10 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Kedua, masalah ketenagakerjaan yang lain adalah rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia sehingga daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi turun. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya sistem pendidikan di Indonesia yang ada saat ini, yaitu tidak mampu mempersiapkan secara khusus bagi angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja. Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Angka pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1997 meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya, lulusan yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus terakumulasi. 11 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Di lihat dari faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia adalah karena masih lemahnya sistem pendidikan yang ada saat ini, yaitu tidak mampu mempersiapkan secara khusus bagi angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja. Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Angka pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi pada tahun 1995 mencapai 12,36%, pada tahun 1997 meningkat menjadi 18,55%, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5%. Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Ada beberapa faktor yang membuat industri mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Pertama, naiknya suku bunga pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Kedua, krisis keuangan yang diikuti dengan ketidakstabilan politik membuat kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia mencapai titik terendah sehingga menyebabkan terjadinya capital flight. Ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya, mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international, namun kenyataannya nilai ekspor Indonesia tidak mengalami peningkatan yang tajam. Akibat dari hal tersebut, capital formation tidak terbentuk, bahkan cenderung negatif. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang 12 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya. Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka dan belum meliputi mereka yang termaksud dalam pengangguran terselubung (distinguished unemployment) atau setengah pengangguran yang angkanya selama ini selalu jauh lebih besar dibandingkan angka pengangguran terbuka. Uniknya, pengangguran terbuka ini didominasi oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan cukup tinggi. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah ini belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Teori yang membahas mengenai masalah pengangguran pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Inggris bernama AW Phillips dari London School of Economic pada tahun 1958. Phillips mempublikasikan sebuah makalah dimana beliau menemukan hubungan negatif antara perubahan tingkat upah dan tingkat pengangguran di Inggris. Hubungan tersebut digambarkan dalam bentuk kurva yang kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Dalam perkembangan berikutnya, konsep dasar Phillips ini di interpretasikan dengan cara yang lain. Tingkat upah nominal dipengaruhi oleh tingkat harga, maka variabel perubahan tingkat upah itu diidentikan dengan 13 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - persentase perubahan tingkat harga, yang tidak lain adalah inflasi. Dan hubungan dalam kurva Phillips itu diartikan sebagai berikut: jika diinginkan target inflasi yang cukup rendah maka hal ini akan membawa konsekuensi tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Perkembangan kurva Phillips sejak tahun enam puluhan berkembang kearah yang semakin kompleks. Ekonom dari University of Chicago, Milton Friedman dan Edmund Phelps dari University of Columbia berpendapat bahwa kurva Phillips akan berubah setiap waktu karena pekerja dan perusahaanperusahaan mulai dapat memperkirakan inflasi. Sehingga inflasi dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Teori Keynes yang menyoroti aspek lain dari inflasi, dalam teori ini, inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut teori ini adalah keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang yang tersedia (Boediono, 1995: 163). Jika jumlah permintaan melebihi dari jumlah yang tersedia, maka akan terjadi kenaikan harga. Masyarakat akan dapat membeli barang-barang jika mereka memiliki penghasilan dari pekerjaannya dan hal ini berarti tingkat pengangguran kecil karena lebih banyak masyarakat yang memiliki pekerjaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan sedikitnya pengangguran, maka inflasi akan bergerak naik, karena masyarakat memiliki daya beli terhadap barang yang ada. Sasaran inflasi merupakan kunci penentu seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan. Namun trade-off antara inflasi dan pengangguran ini menimbulkan pilihan bagi pengambil kebijakan, apakah 14 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - akan menekan laju inflasi tapi harus menerima pengangguran yag cukup tinggi, karena penurunan inflasi menuntut pengorbanan bertahun-tahun angka pengangguran yang tinggi. Semakin drastis Bank Indonesia menurunkan inflasi, maka semakin besar pula biaya pengangguran yang harus dibayar. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka Penelitian ini diberi judul “Analisis Kausalitas antara Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Tahun 1983-2003 (Pendekatan Uji Granger, Uji Kointegrasi dan ECM)”. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Adakah hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat penganguran? 2. Bagaimana arah hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang? 3. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran. 2. Untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek dan jangka panjang. 3. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang. 15 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan membuktikan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara inflasi dan pengangguran b. Penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian yang ada serta dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti, memberi pengalaman yang bermanfaat dalam bidang penelitian b. Dapat digunakan untuk membuat kebijakan yang efektif dengan memakai hasil penelitian ini sebagai bahan acuan. 16 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BAB II TELAAH PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kurva Phillips Kurva Phillips diambil dari nama seorang ekonom kelahiran New Zealand A.W Phillips, Ia adalah Professor di London School of Economics. Pada tahun 1958, Ia menerbitkan satu studi komprehensif tentang perilaku upah di Inggris selama tahun 1861-1957 dengan judul The Relation Between Unemployment and The Rate of Change of Money Wage Rate in the United Kingdom. Dari hasil studinya, Ia menemukan hubungan negatif antara inflasi upah dan pengangguran. Secara grafik, hubungan tersebut tercermin dalam gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2.1 Hubungan Antara Prosentase Kenaikan Upah dengan Pengangguran Sumber: Nopirin (2000), Ekonomi Moneter Buku II, hal 36 17 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Kurva Phillips menunjukan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya pengangguran (Dornbush dan Fischer, 1990: 434). Hasil temuan A.W Phillips kemudian dikembangkan di Amerika Serikat oleh Paul Samuelson dan Robert Solow dengan melakukan modifikasi. Hasil studinya membuktikan adanya hubungan negatif antara laju pertumbuhan inflasi dan laju pertumbuhan pengangguran. Masalah pokok kebijaksanaan makro ekonomi sampai akhir tahun 1950-an adalah pencapaian kestabilan harga serta kesempatan kerja yang tinggi. Oleh karena itu, kurva Phillips mampu menjelaskan keadaan pesimis ini yaitu kestabilan harga dan kesempatan kerja yang tinggi di mana, kedua hal ini tidak bisa terjadi bersama-sama. Sehingga jika ingin menghendaki kesempatan kerja yang tinggi harus mau menanggung beban inflasi yang tinggi, sehingga harus ada “Trade-Off”. Kurva Phillips diperoleh semata-mata atas dasar studi empirik, tidak ada dasar teorinya (Nopirin, 2000: 37). Perkembangan selanjutnya dari studi empiris ini, Lipsey (1960) mencoba untuk mengisi dasar teorinya dengan menggunakan teori pasar tenaga kerja. Dalam pasar tenaga kerja, tingkat upah cenderung turun apabila terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja (pengangguran) dan akan naik apabila terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja. Pengangguran mempunyai hubungan negatif dengan kelebihan permintaan akan tenaga kerja. Dengan demikian, apabila dalam pasar terdapat kelebihan penawaran, ini akan tercermin pada banyaknya orang yang mencari pekerjaan. Namun Ia mengakui adanya kenyataan bahwa pasar tenaga kerja tidak sempurna sehingga inilah yang 18 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - menyebabkan terjadinya pengangguran friksional atau pengangguran alamiah (Nopirin, 2000: 37). Namun penjelasan Lipsey tersebut mengandung kelemahan. Kurva Phillips menggambarkan tingkah-laku upah nominal, sedangkan teori pasar tanaga kerja klasik menggambarkan tingkah laku upah riil. Dua konsep ini sama apabila harga stabil. Dengan mengubah sumbu vertikal dengan tingkat perubahan upah riil (upah nominal di bagi dengan harga) maka dapatlah dianalisa hubungan antara harga atau inflasi dengan pengangguran (Nopirin, 2000: 37). Tingkat upah ini berkaitan dengan variabel harga, yaitu jika tingkat upah mengalami kenaikan maka akan berpengaruh terhadap tingkat harga. Sehingga kurva Phillips ini berslope negatif yang berarti bahwa jika laju inflasi tinggi maka tingkat pengangguran akan turun. Inflasi yang tinggi akan berdampak pada sektor ekonomi yang lain, misalnya tingkat suku bunga, investasi dan konsumsi masyarakat. Sedangkan rendahnya tingkat pengangguran dapat mencerminkan tingkat distribusi pendapatan yang lebih merata, meningkatkan konsumsi total, meningkatkan produksi nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Dornbush dan Fischer, 1990) Jika W adalah tingkat upah dalam periode ini, dan W-1 adalah tingkat upah periode yang lalu, maka laju inflasi upah gW dapat didefinisikan pada persamaan berikut ini: gW = W - W-1 ........................................ ……………............... W-1 (2.1) 19 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Dengan U menunjukan tingkat pengangguran aktual dan U0 menunjukan tingkat pengangguran alamiah, maka kurva Phillips dapat dituliskan sebagai berikut: gW = - (U-U0) ........................................................................... (2.2) adalah suatu nilai yang mengindikasikan bagaimana berubahnya inflasi pada nilai (U-U0). Persamaan ini menyatakan bahwa upah akan menurun bila angka pengangguran melebihi angka alamiahnya, yaitu U>U0, dan upah akan naik bila angka pengangguran lebih kecil dibanding tingkat alamiahnya. Kurva Phillips menggambarkan penawaran agregat karena kurva Phillips mengindikasikan kenaikan output agregat pada tingkat pengangguran yang lebih rendah akan dapat menaikkan inflasi. Kurva Phillips secara tidak langsung menggambarkan bahwa upah dan harga menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregat. Kurva Phillips menunjukan bahwa apabila upah naik 10 persen angka pengangguran akan menurun. Ini akan mengakibatkan tingkat upah naik, harga juga naik, dan akhirnya perekonomian akan kembali ke kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan turunnya jumlah pengangguran. Sehingga dapat ditulis persamaan sebagai berikut: W =W-1 [1- (U-U0)] ........................................................... (2.3) Agar upah naik di atas tingkat sebelumnya, angka pengangguran harus turun di bawah angka alamiahnya. Meskipun kurva Phillips merupakan hubungan kenaikan tingkat upah atau inflasi upah dengan angka pengangguran seperti studi empiris 20 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - tersebut di atas, namun kurva Phillips ini secara bertahap digunakan untuk menggambarkan hubungan tingkat kenaikan harga-harga (tingkat inflasi) dengan tingkat pengangguran. Sehingga kurva Phillips ini menjadi landasan kebijakan ekonomi makro. Terjadinya Trade-off antara inflasi dan pengangguran ini membuat para policymakers dihadapakan pada dua pilihan kebijakan yang kontradiktif yaitu berusaha menekan rendahnya pengangguran namun dengan resiko tingkat inflasi yang tinggi atau sebaliknya. Sehingga para policymakers harus memilih kombinasi yang optimal dari tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Misalnya pada studi empiris yang pernah dilakukan di Amerika Serikat pada periode tahun 1961-1969 diperoleh bahwa angka pengangguran yang rendah selama penelitian dengan inflasi yang tinggi sesuai dengan konsep kurva Phillips. Secara grafik dapat digambarkan pada gambar di bawah ini: Gambar 2.2 Hubungan laju inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat 1961-1969 Sumber: Dornbush and Fisher (1990), Makro Ekonomi, hal 433. 21 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Akan tetapi hubungan kurva Phillips yang sederhana ini tidak berlaku lagi pada masa-masa berikutnya, baik di Inggris maupun di Amerika Serikat. Diungkapkan bahwa perilaku inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat di tahun 1970-an membuktikan tidak berlakunya kurva Phillips yang sederhana seperti semula. Secara grafik keadaan tersebut digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.3 Hubungan laju inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat 1961-1985 Sumber: Dornbush and Fisher (1990), Makro Ekonomi, hal 434. Perkembangan kurva Phillips sejak tahun 1970-an berkembang ke arah yang semakin kompleks. Ekonom dari Chicago University Milton Friedman dan Edmund Phelps dari University of Columbia berpendapat bahwa kurva Phillips akan berubah setiap waktu karena pekerja dan perusahaan mulai dapat memperkirakan inflasi dan inflasi dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Mereka menyimpulkan bahwa gagasan dari trade-off jangka panjang antara inflasi dan pengangguran adalah semu. 22 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Karena perekonomian dalam jangka panjang akan bergerak pada tingkat pengangguran alamiah pada tingkat berapapun dan kurva penawaran agregat tenaga kerja dalam jangka panjang berbentuk vertikal. Alasanalasan ini didasarkan pada pengertian pengangguran alamiah yang merupakan tingkat pergeseran pengangguran yang sesuai dengan pasar tenaga kerja selama keseimbangan itu terjadi. Selama pengangguran itu berada di atas tingkat alamiah, maka lebih banyak orang mencari pekerjaan dari pada pengangguran tetap dalam keseimbangan pasar tenaga kerja. Banyaknya pengangguran akan menyebabkan tingkat upah menurun karena perusahaan hanya mau mempekerjakan tenaga kerja yang mau diberi upah yang kecil sehingga terjadi penurunan tingkat pengangguran sampai pada tingkat pengangguran alamiah. Sebaliknya terjadi bila pengangguran berada di bawah tingkat alamiah sehingga tingkat upah mengalami kenaikan yang dalam jangka panjang menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan memaksimalkan sumber daya dan pada akhirnya tingkat pengangguran akan kembali naik ke tingkat alamiah. Sehingga menurut mereka tidak ada trade-off antara inflasi dan pengangguran dalam jangka panjang. 2. Inflasi a. Pengertian Inflasi Inflasi adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus. Boediono (1995: 155) mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk 23 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - menaik secara umum dan terus menerus. Menurut Nanga, Muana (2001: 241), dari uraian tersebut, terdapat tiga hal penting yang ditekankan yaitu: 1) Adanya kecenderungan harga-harga meningkat, yang berarti bisa saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukan tendensi yang meningkat. 2) Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi bisa beberapa waktu lamanya. 3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum Berkaitan dengan pengertian inflasi di atas, maka perlu juga diketahui bahwa kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain: 1) Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index) Indeks harga konsumen (IHK) adalah salah satu pengukuran inflasi yang paling banyak digunakan. Indeks harga konsumen merupakan indeks harga yang mengukur biaya sekelompok barang-barang dan jasa-jasa di pasar, termasuk hargaharga makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar transportasi, 24 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - perawatan kesehatan, pendidikan dan komoditi lain yang dibeli untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. 2) Indeks Harga Produsen (Producer price index) Indeks Harga Produsen (IHP) adalah suatu indeks dari harga bahan-bahan baku (raw materials), produk antara (intermediate products) dan peralatan modal dan mesin yang dibeli oleh sektor bisnis atau perusahaan. Sehingga indeks harga produsen hanya mencakup bahan baku dan barang antara atau setengah jadi saja, sementara barang-barang jadi tidak dimasukan di dalam perhitungan indeks harga. Pada umumnya pertumbuhan indeks harga searah dengan indeks biaya hidup. 3) GNP Deflator GNP Deflator adalah suatu indeks yang merupakan perbandingan atau rasio antara GNP nominal dan GNP riil dikalikan dengan 100 (Nanga, Muana 2001: 242). GNP riil adalah nilai barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan di dalam perekonomian, yang diperoleh ketika output dinilai dengan menggunakan harga tahun dasar (base year). Sedangkan GNP nominal adalah GNP yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (GNP at current market price). Sedangkan menurut Nopirin (2000: 26), GNP Deflator merupakan jenis indeks yang lain, yang mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam perhitungan GNP. Sehingga jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan indeks yang lain. Karena GNP Deflator ini cakupannya 25 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - lebih luas dalam arti perhitungannya meliputi semua barang yang diproduksi di dalam perekonomian, maka indeks ini merupakan indeks harga yang secara luas digunakan sebagai basis untuk mengukur inflasi. b. Macam-macam Inflasi Laju inflasi dapat berbeda dari suatu negara dengan negara lain atau dalam satu negara untuk waktu yang berbeda. Adapun besarnya laju inflasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori (Nopirin, 2000: 27): 1) Inflasi Merayap (Creeping inflation) Pada umumnya creeping inflation ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama. 2) Inflasi Menengah (Galloping inflation) Inflasi menengah (galloping inflation) ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. 3) Inflasi Tinggi (HiperInflation) Inflasi tinggi merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin 26 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, perlu terlebih dahulu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi. Menurut teori kuantitas sebab utama timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah uang beredar. Adapun jenis-jenis inflasi menurut sebabnya adalah: 1) Inflasi tarikan Permintaan (Demand-Pull Inflation) Merupakan inflasi yang disebabkan karena tarikan permintaan. Inflasi ini bermula dari adanya permintaan total (agregat demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Dalam keadaan seperti ini, kenaikan permintaan total disamping menaikan harga dapat juga menaikan hasil produksi atau output. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai; penambahan permintaan selanjutnya hanya akan menaikan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan keseimbangan GNP pada kesempatan kerja penuh maka akan terdapat “inflationary gap”. Inflationary gap inilah yang dapat menimbulkan inflasi. Secara Grafik, demand-pull inflation dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 2.4 berikut: 27 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tingkat Harga (P) SRAS P1 E1 P0 E0 AD1 AD0 0 Y0 Y1 Output (Y) Gambar 2.4 Demand-Pull Inflation Sumber: Nanga, Muana (2001), Makro Ekonomi, hal 243 Dari gambar 2.4 menunjukan bahwa pada mulanya perekonomian berada pada titik E0. Akibat adanya kenaikan permintaan agregat (AD) dari AD0 ke AD1, menyebabkan tingkat harga naik dari P0 ke P1, dan pada saat yang sama perekonomian akan bergerak sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) dari titik E0 ke E1. Dalam jangka pendek output naik dari Y0 ke Y1. 2) Inflasi dorongan biaya (Cost-Push Inflation) Merupakan inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya produksi yang mengakibatkan adanya penurunan penawaran. Kenaikan biaya produksi ini ditimbulkan oleh beberapa faktor diantaranya: a) Persatuan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah. b) Industri yang bersifat monopolistis, sehingga dapat menggunakan kekuasaannya di pasar untuk menentukan harga yang lebih tinggi. 28 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - c) Kenaikan harga bahan baku industri. Secara Grafik, cost-push inflation dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 2.5 berikut: Tingkat Harga (P) SRAS1 SRAS0 P1 E1 P0 E0 AD 0 Y1 Y0 Output (Y) Gambar 2.5 Cost-Push Inflation Sumber: Nanga, Muana (2001), Makro Ekonomi, hal 245 Dari gambar 2.5, menunjukan bahwa pada mulanya perekonomian berada pada titik E0. Akibat adanya kenaikan biaya produksi, menyebabkan kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser sepanjang kurva permintaan agregat (AD), yaitu dari SRAS0 ke SRAS1, telah mendorong perekonomian bergerak dari titik E0 ke titik E1. Sehingga harga naik dari P0 ke P1 dan sebaliknya, output turun dari Y0 ke Y1. 3) Inflasi Struktural (Structural Inflation) Merupakan inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya berbagai kendala atau kekuatan struktural (structural rigidities) yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi kurang atau tidak responsif terhadap permintaan yang meningkat. 29 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 4) Inflasi sebagai akibat kebijakan (Policy Induced Inflation) Jenis inflasi ini disebabkan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga bisa merefleksikan defisit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya. Contoh klasik hyperinflation di Jerman tahun 1920 tergolong dalam kelompok ini. Non policyinduced inflation disebabkan oleh pengaruh eksogen yang dapat merefleksikan. 5) Inertial Inflation Jenis inflasi ini cenderung untuk berlanjut pada tingkat yang sama sampai kejadian ekonomi yang menyebabkan berubah. Jika inflasi terus bertahan, dan tingkat ini diantisipasi dalam bentuk kontrak finansial dan upah, kenaikan inflasi akan terus berlanjut. Inertial Inflation biasanya disebut pula sebagai inflasi dasar (core inflation). c. Teori Inflasi Inflasi merupakan masalah utama, suatu masalah makro ekonomi yang banyak dialami oleh negara sedang berkembang. Secara garis besar ada tiga kelompok teori inflasi yang masing-masing membicarakan aspek-aspek tertentu dari proses inflasi: 1) Teori Kuantitas Teori kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih sangat berguna untuk menerangkan proses terjadinya inflasi terutama di negara-negara yang sedang 30 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang yang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar. Tanpa adanya tambahan jumlah uang yang beredar tidak akan terjadi inflasi. b) Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan harga-harga dimasa yang akan datang. Ada tiga kemungkinan keadaan: (1) Keadaan pertama, bila masyarakat tidak mengharapkan harga-harga akan naik, maka tambahan uang yang beredar akan diterima sebagai tambahan likuiditasnya, dan sebagian besar dari kenaikan tersebut tidak dibelanjakan untuk membeli barang-barang. (2) Keadaan kedua, adalah masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi, orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar akan digunakan untuk membeli barang-barang, hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian memegang uang kas. (3) Keadaan yang ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih parah yaitu tahap hiperinflasi. Keinginan untuk tidak memegang uang kas dan adanya keinginan yang sangat 31 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - besar untuk membelanjakan dengan membeli barangbarang. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang (velocity of circulation yang menaik). Prosentase kenaikan jumlah uang yang beredar akan diikuti kenaikan prosentase harga yang lebih besar. Secara sederhana penyebab terjadinya inflasi dapat dikemukakan dengan persamaan pertukaran menurut Irving Fisher berikut ini: MV = PT ................................................................................ (2.4) Dimana: M adalah jumlah uang yang beredar, V adalah Velocity of money atau kecepatan perputaran uang dalam suatu periode, P adalah tingkat harga rata-rata dan T adalah jumlah transaksi yang terjadi selama periode tertentu. MV mencerminkan total pengeluaran uang untuk barang dan jasa (total money expenditure on goods and services) dan PT mencerminkan total penerimaan uang hasil penjualan barang dan jasa (total receipts from the sale of good and services). Dari persamaan pertukaran Fisher di atas, dapat dinyatakan bahwa volume barang yang diperdagangkan (T) sama dengan output (O) sehingga bentuk persamaan dapat diubah menjadi: MV = Po = Y ........................................................................ (2.5) Dimana Y = Po (sama dengan GNP nominal) Dengan asumsi bahwa perekonomian selalu dalam keadaan full employment, maka besarnya T atau O tidak berubah. Demikian 32 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - juga dengan V relatif tetap atau paling tidak V hanya berubah jika terjadi perubahan kelembagaan, seperti misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi. Dengan demikian dalam jangka pendek V tidak berubah. Konsekuensi dari kedua asumsi ini adalah bahwa M hanya mempengaruhi T atau O berubah secara proporsional. Bila M naik dua kali maka T juga akan naik dua kali (Nopirin, 1992: 126) oleh karena itu, dengan asumsi Velocity of Money (V) konstan, maka kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi dan output nasional meningkat. 2) Teori Keynes Menurut Keynes, inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia (inflationary gap). Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri yang berusaha memperoleh output masyarakat dengan jalan deficit financing, yaitu dengan mencetak uang baru, karena penerimaan dari pajak dan penerimaan lain-lain tidak 33 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - mencukupi. Pengusaha-pengusaha swasta yang ingin membiayai investasi-investasi barunya dengan kredit dari bank atau serikat buruh yang menuntut gaji yang tinggi melebihi produktivitasnya. Keadaan ini menggeser agregat demand sehingga terjadi kelebihan permintaan yang merupakan inflationary gap, kenaikan agregat demand dalam keadaan output full employment akan menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan pada pasar barang dan jasa, sehingga harga barang dan jasa meningkat yang akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor produksi, sehingga faktor produksi juga akan naik. Kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi inilah yang merupakan inflasi bagi perekonomian. Penyebab terjadinya kenaikan agregate demand ini, menurut moneteris adalah sebagai akibat dari kenaikan ekspansi jumlah uang beredar, sedangkan Keynes tidak menyangkal anggapan tersebut, tetapi menambahkan bahwa kenaikan agregat demand bisa juga karena peningkatan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, atau ekspor netto, meskipun tidak disertai dengan kenaikan jumlah uang beredar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa meningkatnya kurva agregate demand dapat disebabkan oleh faktor-faktor moneter maupun non moneter. 3) Teori Strukturalis Teori ini memberikan tekanan pada adanya ketegaran (infleksibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang 34 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - berkembang. Faktor-faktor struktural itu hanya dapat berubah secara gradual. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori inflasi jangka panjang. Menurut teori ini, Ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara yang sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi adalah (Boediono 1995: 167): a) Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu laju pertumbuhan nilai ekspor lebih lamban dibanding dengan laju pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Kelambanan tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu: Pertama, harga barang ekspor di pasaran dunia tidak menguntungkan lagi, bila dibandingkan dengan harga barang-barang impor atau terms of trade yang semakin memburuk. Kedua, supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan harga. Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. b) Ketidakelastisan supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri, yaitu laju pertumbuhan Produksi bahan makanan di dalam negeri lebih lamban dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Hal ini mengakibatkan tuntutan kenaikan upah dari para karyawan, dengan demikian akan menyebabkan kenaikan ongkos 35 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - produksi, sehingga biaya produksi total meningkat. Hal inilah yang menyebabkan para pengusaha menaikan harga jual produknya. 3. Penawaran Tenaga Kerja a. Konsep Penawaran Penawaran adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenagakerja yang para pemilik tenagakerja siap untuk menyediakannya (Don Bellante and Mark Jackson, 1990: 72). Sedangkan menurut Aris Ananta (1990: 27) penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah barang yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan bagi suatu perekonomian tergantung pada: (1) jumlah penduduk, (2) persentase jumlah penduduk yang memilih masuk dalam angkatan kerja, dan (3) jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Masing-masing dari komponen tersebut tergantung pada upah pasar (Aris Ananta, 1990: 27). b. Teori Penawaran Teori penawaran terhadap pekerja ini didasarkan pada newhomes economics yang merupakan analisis ekonomi mikro dengan beberapa elemen yang berbeda. Elemen yang pertama, berhubungan dengan usaha memaksimalkan utility tersebut. Namun, komoditi yang digunakan tidak terbatas pada komoditi yang biasa dijual di pasar, 36 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - tetapi mencakup juga komoditi abstrak yang diproduksi di dalam rumah tangga. Elemen kedua, new-homes economics adalah teknologi produksi rumah tangga yang digambarkan oleh satu atau beberapa fungsi produksi. Dalam teori ekonomi konvensional, komoditi pasar dapat langsung memberikan kepuasan pada individu. Tetapi menurut new-homes economics, komoditi pasar tidak dapat langsung memberikan kepuasan pada individu. Komoditi pasar tersebut harus diolah dulu bersama input rumah tangga. Transformasi input pasar dan input rumah tangga menjadi komoditi rumah tangga, yang langsung memberikan kepuasan, digambarkan melalui suatu fungsi produksi rumah tangga. Elemen ketiga adalah suatu rangkaian asumsi tentang cara memperoleh sumber-sumber rumah tangga, terutama waktu, yang akan digunakan dalam proses produksi rumah tangga. Elemen terakhir adalah keterbatasan sumber yang dihadapi oleh rumah tangga dalam pembuatan keputusan. Dalam analisis ekonomi mikro konvensional, kendala yang sering dibahas adalah kendala harga dan pendapatan. Selain kedua kendala tersebut, kendala waktu sering pula menjadi salah satu kendala dalam new-homes economics. Kendala lain yang sering muncul adalah kendala yang berkaitan dengan pendapatan bukan upah. Pengalokasian waktu harus mempertimbangkan kendala bahwa satu hari hanya terdiri dari 24 jam. Bersama kendala yang lain, kendala 37 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - waktu dan selera rumah tangga terhadap leisure akan menentukan kombinasi antara leisure dan komoditi pasar yang mengoptimalkan kepuasan rumah tangga (Aris Ananta, 1990: 28-30). c. Teori Alokasi Waktu Teori Alokasi Waktu Becker yang lebih dikenal dengan Teori Rumah Tangga Baru (New Home Economics Theory) membangun teorinya berdasarkan perilaku konsumen dalam ekonomi mikro dengan memperkenalkan rumah tangga/keluarga sebagai unit analisis (Becker, 1965; Elfindri, 1989 dalam (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 39). Teori ini mengasumsikan bahwa utility rumah tangga tidak langsung dari konsumsi barang namun juga memaksimalkan utility dari suatu komoditi Z dari kombinasi barang dan jasa (X) yang dikonsumsi selama periode tertentu. Hubungan ini dapat ditulis dengan: Z = z(X, T)..................................................................................... (2.6) Masing-masing komoditi Z dapat dibeli di pasar atau diproduksi sendiri di rumah, hingga totalnya: X = Xm + Xh................................................................................. (2.7) Hasil substitusi persamaan 2 ke 1 menjadi fungsi utility. Z = z (Xm, Xh, T).......................................................................... (2.8) Komoditi yang dibeli dan diproduksi di rumah dipisahkan, di mana komoditi yang dihasilkan di rumah diproduksi dalam suatu periode waktu di rumah. Sehingga: Xh = f (H) ..................................................................................... (2.9) 38 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Hingga konsumsi keluarga dimaksimalkan dengan batasan waktu dan anggaran, di mana pendapatan keluarga dan pengeluaran untuk konsumsi (Xm) tergantung pada income yang diperoleh di pasar tingkat individu (W) kali jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja di pasar (N) dan income yang berasal dari tenaga kerja lain dalam rumah tangga. Persamaan ini dapat ditulis secara matematis sebagai berikut: Xm = WN + V……..................................................................... (2.10) Dalam hal ini waktu merupakan sumber daya yang penting dengan batasan waktu 24 jam sehari yang harus dialokasikan pada beberapa kegiatan seperti waktu luang (leisure), bekerja di rumah dan di pasar. Persamaan dapat ditulis sebagai berikut: T = H + N + L.............................................................................. (2.11) Tingkat konsumsi optimal suatu rumah tangga adalah saat marjinal produktivity dari bekerja di rumah sebanding dengan marginal rate dari substitusi antara barang dan konsumsi waktu. Alokasi waktu keluarga mungkin pada kegiatan bekerja dan konsumsi. Kendala waktu adalah: Ti = TC = T – Tw ……............................................................... (2.12) Di mana TC adalah waktu konsumsi yang jumlahnya sama dengan jumlah seluruh waktu yang tersedia. Becker menekankan bahwa waktu dapat dialokasikan secara efisien diantara aktivitas yang berbeda. Perubahan dalam efisiensi pasar akan menyebabkan realokasi waktu oleh anggota keluarga yang lain. Sehingga penekanan dilakukan 39 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - pada alokasi waktu dari pada opportunity cost keluarga yang bekerja, bukan yang tidak bekerja. Gronou (1977), Elfindri (1989) melakukan revisi terhadap teori Becker dengan memperlihatkan pengaruh kenaikan sumber pendapatan lain dan upah pada alokasi waktu. Kenaikan pendapatan lain tidak mempengaruhi marginal produktivitas dari pekerjaan di rumah, namun akan meningkatkan waktu leisure (dengan asumsi bukan barang inferior) dan mengurangi jam kerja di pasar. Kedua, untuk pekerja di pasar kenaikan upah akan mempengaruhi tingkat substitusi waktu dan barang serta keuntungan produksi di rumah. Perubahan ini akan mengurangi jam kerja di rumah (yang dianggap tidak menguntungkan). Pengaruh substitution effect cenderung mengurangi leisure sementara income effect mengurangi jam kerja di rumah. Pemisahan kegiatan di rumah dan leisure oleh Becker menjadi masalah karena dikaitkan dengan aktivitas pasar. Namun kenaikan kegiatan pasar bagi wanita bukan benar-benar menyatakan pengurangan leisure, terutama di negara-negara berkembang. Graham dan Green (1984), Elfindri (1989) menekankan adanya joint production antara aktivitas rumah dan leisure, artinya unit waktu yang sama sering digunakan untuk aktivitas rumah dan leisure secara bersamaan (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 39-41). d. Angkatan Kerja Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau Labor Force terdiri dari (1) 40 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - golongan yang bekerja dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1) golongan yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan (3) golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok angkatan kerja sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, kelompok ini sering juga dinamakan sebagai potensial labor force (Payaman J Simanjuntak, 1985: 3). Konsep angkatan kerja yang paling luas adalah konsep angkatan kerja menyeluruh atau labor force, yang merupakan keseluruhan angkatan kerja dari semua individu yang tidak dilembagakan berusia 16 tahun atau lebih tua dalam satu minggu yang mana saja; termasuk angkatan militer, baik yang tenaganya digunakan maupun yang tidak digunakan (Don Bellante and Mark Jackson, 1990: 93). Angkatan Kerja = Pekerja + Penganggur.................................... (2.13) Jumlah orang yang bekerja tergantung dari besarnya permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tersebut dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah. Penyediaan tenagakerja merupakan jumlah penduduk yang sedang dan siap bekarja dan pengertian kualitas usaha yang diberikan. Penyediaan tenagakerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jumlah penduduk, tenagakerja, jam kerja, pendidikan, produktivitas dan lain-lain. Penyediaan tenagakerja dipengaruhi oleh jumlah 41 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - penduduk dan struktur umur. Semakin banyak penduduk dalam umur anak-anak, semakin kecil jumlah yang tergolong tenagakerja (Payaman J Simanjuntak 1985:20) Analisa penyediaan tenagakerja tidak cukup hanya dengan memperhatikan jumlah orang yang bekerja, akan tetapi juga perlu diberikan perhatian kepada jumlah jam kerja dan usaha produktif yang diberikan oleh setiap pekerja serta perbedaan tingkat pendidikan dan latihan pekerja tersebut (Payaman J Simanjuntak, 1985: 20). Faktor non ekonomi yang dapat mempengaruhi penawaran angkatan kerja dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 25): 1) Faktor Demografis Bagi seorang individu, usia juga menentukan aktif atau tidaknya ikut dalam proses produksi. Pada umumnya pria, setelah mendapatkan pekerjaan akan selalu ikut dalam proses produksi baik menjadi buruh, pekerja mandiri atau pekerja keluarga, kemudian pada batas tertentu akan berangsur-angsur menarik diri dari pasar kerja. Berbeda dengan pria, bagi wanita gelombang usia dapat menentukan rintangan menawarkan atau menarik diri dari pasar kerja. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi ganda wanita khususnya di negara-negara sedang berkembang. Sebagai akibatnya pada usia child bearing period, usia masa melahirkan, katakan 21-35 tahun, maka penawaran jasa wanita dalam proses 42 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - produksi dipengaruhi oleh jangka waktu yang dibutuhkan untuk keperluan pelayanan reproduksi dan produksi rumah tangga. 2) Faktor Pendidikan Proses pendidikan yang diterapkan oleh suatu negara tak jarang berpengaruh terhadap percepatan penawaran angkatan kerja. Penerapan wajib belajar pendidikan dasar secara jelas mampu menunda penawaran angkatan kerja. Demikian juga dengan semakin terbatasnya fasilitas pendidikan lanjutan, maka secara potensial kelompok yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, baik sengaja maupun tidak, akan semakin besar. 3) Faktor Budaya Faktor budaya juga berperan dalam mempengaruhi penawaran angkatan kerja. Budaya kerja yang dimiliki suatu masyarakat sangat berpengaruh terhadap jam kerja yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, budaya tersebut telah menyebabkan nilai waktu yang ada semakin tinggi. Budaya yang tidak cenderung suka bekerja menganggap waktu kerja adalah barang inferior dan waktu untuk leasure merupakan barang lux. Wanita yang dianggap oleh kelompok masyarakat setempat sebagai “the second bread winner” akan memperkecil kemungkinan untuk menawarkan dirinya pada pasar kerja. Kondisi demikian banyak ditemukan pada masyarakat muslim. Ketiga faktor ini sering diabaikan oleh kebanyakan sarjana ekonomi ketika memahami persoalan munculnya penawaran angkatan 43 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kerja. Jika perhatian kita lebih terhimpun kepada reaksi individu atau masyarakat angkatan kerja terhadap tingkat upah, maka masalah akan timbul bila struktur pasar kerja tidak mengandalkan upah. Sehingga kupasan terhadap faktor ekonomi yang mempengaruhi reaksi untuk menawarkan jam kerja sulit diuji secara empiris. Menurut ILO, terdapat tiga komponen sebagai dasar seseorang dapat terdaftar menjadi angkatan kerja. Pertama, adalah pertimbangan usia, batasan usia seseorang memasuki usia kerja adalah 15 tahun. Hal ini sangat rasional mengingat kelompok usia 10-14 tahun masih diakui pemerintah sebagai kelompok yang diberi kesempatan penuh untuk mengecap pendidikan. Kedua, kegiatan utama seminggu yang lalu. Ketiga, berapa lama yang bekerja tersebut menggunakan waktunya secara ekonomis. Bila di bawah 2 jam selama seminggu yang lalu, maka individu yang bersangkutan adalah seorang penganggur (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 23). e. Masalah Pengangguran Pengangguran adalah masalah besar yang sering kali menghantui baik negara maju maupun negara berkembang. Tingginya tingkat pengangguran mencerminkan bahwa masih rendahnya kinerja pembangunan di negara-negara berkembang itu sendiri. Dalam definisinya, pengangguran merupakan penduduk yang termasuk angkatan kerja tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi waktu tertentu (Nota Keuangan). Dalam pembangunan ekonomi terdapat tenaga-tenaga manusia yang disebut 44 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - menganggur dan setengah menganggur. Menurut Nopirin (2000: 68), tenaga kerja yang menganggur adalah mereka yang ada dalam umur angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi tidak hanya mengganggu stabilitas ekonomi namun juga stabilitas keamanan dan politik. Oleh karenanya, pemerintah harus senantiasa mengendalikan jumlah pengangguran pada tingkat yang wajar. Tingkat pengangguran menunjukan persentase besarnya angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan dari seluruh angkatan kerja yang ada. Tingkat pengangguran sering juga disebut pengangguran terbuka (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004). Tingkat pengangguran terbuka adalah perbandingan jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Perumusannya adalah sebagai berikut (Hera Susanti, dkk, 2000: 99): Tingkat Pengangguran = Jumlah Penganggur x 100%......... (2.14) Jumlah Angkatan Kerja Angka tingkat pengangguran ini tidak hanya digunakan untuk mengukur tingkat pengangguran secara keseluruhan, namun juga dapat digunakan untuk menghitung tingkat pengangguran menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang pernah diselesaikan, menurut daerah tempat tinggal dan sebagainya (Hera Susanti, dkk, 2000:99). Di lihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut (Nanga, Muana 2000: 254): 45 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 1) Pengangguran Friksional atau Transisi (Frictional or Transitional Unemployment), Merupakan jenis pengangguran yang timbul sebagai akibat adanya perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring dengan perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi. Jenis pengangguran ini dapat pula terjadi karena berpindahnya orangorang dari suatu daerah ke daerah lain, dan dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan lain atau melalui berbagai tingkat siklus kehidupan yang berbeda. Pengangguran friksional disebut juga sebagai penganggur sukarela. 2) Pengangguran Struktural (Structural Unemployment) Merupakan jenis pengangguran yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketidaksesuaian ini terjadi karena permintaan atas satu jenis pekerjaan bertambah sementara permintaan atas jenis pekerjaan lain menurun, dan penawaran tidak dapat melakukan penyesuaian dengan cepat atas situasi tersebut. Pengangguran struktural adalah pengangguran yang terjadi ketika perekonomian beroperasi pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) atau tingkat pengangguran alamiah (natural rate). 46 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 3) Pengangguran Alamiah (Natural Unemployment) Merupakan tingkat pengangguran yang terjadi pada kesempatan kerja penuh, atau tingkat pengangguran di mana inflasi yang diharapkan (expected inflation) sama dengan tingkat inflasi aktual (actual inflation). 4) Pengangguran Konjungtur atau Siklis (Cyclical Unemployment) Merupakan pengangguran yang terjadi apabila permintaan tenaga kerja secara keseluruhan rendah. Apabila total pembelanjaan dan output menurun, maka pengangguran akan meningkat dengan segera di segala bidang. Pengangguran siklis terjadi apabila jumlah kesempatan kerja menurun sebagai akibat dari terjadinya keseimbangan antara penawaran agregat dan permintaan agregat. Pada negara-negara yang sedang berkembang, pengangguran dapat digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu (Suparmoko, M dan Irawan, 1996:69): 1) Pengangguran yang Kelihatan (Visible Underemployment) Visible Underemployment akan timbul apabila jumlah waktu kerja yang sungguh-sungguh digunakan lebih sedikit daripada waktu kerja yang disediakan untuk bekerja. 2) Pengangguran Tak-Kentara (Invisible Underemployment/ Disguised Unemployment) 47 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Pengangguran Tak-kentara terjadi apabila para pekerja telah menggunakan waktu kerjanya secara penuh dalam suatu pekerjaan dapat ditarik ke sektor-sektor lain tanpa mengurangi output. 3) Pengangguran Potensial (Potential Underemployment) Pengangguran potensial merupakan suatu perluasan daripada disguised unemployment, dalam arti bahwa para pekerja dalam suatu sektor dapat ditarik dari sektor tersebut tanpa mengurangi output; hanya harus dibarengi dengan perubahanperubahan fundamental dalam metode-metode produksi yang memerlukan pembentukan kapital yang berarti. Untuk mengukur tingkat pengangguran, pendekatan yang biasanya digunakan didasarkan pada pengertian angkatan kerja. Metode pengukuran yang dipakai berasal dari Labor Force Approach. Yang diperkenalkan oleh ILO yang banyak digunakan oleh negara-negara berkembang. BPS membedakan angkatan kerja sebagai penduduk yang bekerja dan penduduk yang sedang mencari pekerjaan (disebut juga dengan pengangguran terbuka). BPS mendefinisikan angkatan kerja sebagai penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang bekerja atau punya pekerjaan tapi sementara tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang kegiatannya tidak bekerja maupun mencari pekerjaan, yaitu mereka yang memiliki 48 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kegiatan sekolah, menjurus rumah tangga tanpa mendapat upah dan tidak mampu melakukan kegiatan seperti pensiun atau cacat jasmani. Untuk mengetahui apakah tingkat pengangguran mengalami kenaikan, penurunan atau tetap dapat dilihat dari dua indikator yaitu, pertama, tingkat pengangguran terbuka dan kedua, tingkat bekerja tidak penuh. Tingginya tingkat pengangguran bisa jadi disebabkan ketidakberhasilan sektor industri di kota yang dipandang paling potensial dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor industri lebih banyak menggunakan investasi yang bersifat padat modal dan menggunakan teknologi tinggi di mana teknologi tinggi ini membutuhkan tenaga kerja terdidik. B. Penelitian Terdahulu Edi Sutarta (2001), meneliti mengenai “Uji Kausalitas Granger Antara Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi”. Hasil uji empiris dalam jangka pendek dengan menggunakan uji kausalitas Granger ternyata hipotesis bahwa ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tidak terbukti dalam kasus di Indonesia, tetapi dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan ECM ternyata membuktikan bahwa dalam jangka panjang ekspor dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian kebijakan industrialisasi yang berorientasi ekspor dalam jangka panjang dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Doyle (1996) dalam Ika Rahutami (2001), dalam penelitiannya pendekatan kausalitas Granger model koreksi kesalahan (ECM) 49 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - menyimpulkan adanya kausalitas dalam jangka pendek, yaitu ekspor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang juga menunjukan bahwa ekspor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Maknun, Mappaujung (1995), meneliti “Hubungan Kausalitas Antara Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara ASEAN”. Hasil uji kausalitas model Granger dan Sims menunjukan bahwa terjadi kausalitas dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan Malaysia sedangkan di Singapura tidak terjadi kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kedua negara tersebut ingin mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, maka harus menerima tingkat inflasi yang tinggi. Oleh karena itu sebaiknya kedua negara tersebut tidak perlu mengejar pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dengan mengorbankan stabilitas harga. Yash P Mehra (1991), mencoba untuk menguji “Expected Augmented Phillips Curve Model” dengan menggunakan metode kausalitas Granger yang memberikan hasil pengujian bahwa terjadi kausalitas dua arah antar inflasi dan biaya tenaga kerja, kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan upah bergerak satu arah antara inflasi ke pertumbuhan upah. Dumairy (1987), meneliti “Kausalitas Antara Uang Beredar dan Inflasi di Indonesia”. Temuan empiris dalam telaah ini membuktikan adanya mekanisme umpan balik antara uang dan harga di Indonesia. Pendapat umum tentang penyebab inflasi di Indonesia, yakni ekspansi moneter, cukup beralasan. Namun pandangan alternatifnya, bahwa inflasi merupakan konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi, tidak begitu saja dapat diabaikan. 50 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - C. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu masalah perekonomian di Indonesia yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian di berbagai sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, dapat dikategorikan baik apabila angka pertumbuhannya positif. Dalam indikator ekonomi makro, terdapat beberapa hal utama yang menjadi pokok permasalahan ekonomi makro. Untuk melihat tinggirendahnya kinerja suatu perekonomian apakah pembangunan itu berhasil atau tidak, maka dalam hal ini, indikator ekonomi makro memiliki peran yang cukup penting guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi seperti yang diharapkan, misalnya mengurangi tingginya tingkat pengangguran, menekan laju inflasi di bawah dua digit, maupun mengurangi defisit neraca pembayaran, sehingga diperlukannya stabilisasi guna menekan masalahmasalah tersebut. Mengingat banyaknya variabel yang memiliki hubungan timbal balik dengan inflasi, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi hanya dengan menggunakan variabel pengangguran. Berdasarkan latar belakang, penentuan variabel dependen dan variabel independen didasarkan pada teori kurva Phillips. Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung 51 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Pengangguran mencerminkan banyaknya jumlah tenaga kerja yang belum terserap di dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, pengangguran juga mencerminkan besarnya tingkat kesejahteraan yang rendah. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pembatasan masalah hanya pada kausalitas antara inflasi dan pengangguran saja. Hal ini didasarkan bahwa keterkaitan antara variabel ekonomi sangat kompleks. Untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian ini digambarkan suatu kerangka pemikiran yang sistematis, sebagai berikut: 52 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - STABILISASI EKONOMI INFLASI PENGANGGURAN PERTUMBUHAN EKONOMI PROSPEK EKONOMI Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Studi Dari kerangka pemikiran dapat dilihat bahwa stabilisasi ekonomi sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tingginya tingkat inflasi dan semakin meningkatnya tingkat pengangguran. Oleh karena itu, menjaga kestabilan harga kebutuhan dasar rakyat dan mengarahkan agar perluasan kegiatan ekonomi dapat menampung mayoritas angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. Sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai dan tujuan pembangunan dapat terwujud yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. D. Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat diajukan suatu hipotesis yaitu: 1. Antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran diduga terjadi kausalitas. 2. Dalam jangka pendek dan jangka panjang diduga terjadi kausalitas dua arah antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. 3. Tingkat pengangguran diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang. 53 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan serta untuk menganalisis pengaruh dan hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran di mana, pokok-pokok pikirannya didasarkan pada teori, penggalian data dan referensi dari berbagai literatur. B. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bersifat kuantitatif mengenai pengaruh dan hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia, dengan menggunakan data time series pada tahun 1983 sampai dengan tahun 2003. Periode ini mewakili penelitian guna menggambarkan kausalitas dan pengaruh jangka panjang antar variabel yang diteliti. C. Pengukuran Variabel Data yang diteliti dalam penelitian ini, dikelompokan menjadi dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel independen adalah variabel yang bersifat menentukan atau mempengaruhi variabel dependen. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. 1. Inflasi : Merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Di mana, inflasi adalah suatu keadaaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli 54 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - masyarakat yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (instrinsik) mata uang suatu negara. Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK) yang menggambarkan besarnya inflasi pada tingkat nasional untuk masing-masing jenis barang dan jasa yang termasuk dalam pola konsumsi masyarakat. Formula yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung IHK adalah dengan formula Laspeyers (Widodo, 1990; dalam Arintoko; 2002: 258): n Pi(t ) * Qi (t ) I(t) = i 1 n Pi(0) * Qi (0) * 100 .......................................................... (3.1) i 1 Keterangan: I(t) = Indeks pada periode (tahun atau bulan) t Pi(t) = Harga barang atau jasa jenis i pada periode t Pi(0) = Harga barang/jasa jenis i pada periode dasar/periode (t-1) Qi(t) = Barang/jasa jenis i (yang dikonsumsi) pada periode t Qi(0) = Barang/jasa jenis i (yang dikonsumsi) pada periode dasr Pi(t)/Pi(0) = Harga relatif pada periode t terhadap periode dasar Berdasarkan perhitungan IHK di atas besarnya inflasi pada tahun tertentu. Dapat dihitung dengan cara berikut: INF(%) = I (t ) I (t 1) *100 ……........................................... (3.2) i(t 1) Keterangan: INF = Tingkat inflasi pada periode (tahun atau bulan)t dalam persen I(t) = Indeks pada periode (tahun atau bulan) t I(t-1) = Indeks pada periode (tahun atau bulan) sebelumnya 55 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 2. Pengangguran : Merupakan penduduk yang termasuk angkatan kerja tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi waktu tertentu (Nota Keuangan). Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka Pengangguran Terbuka, terdiri dari (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2003): a. Mereka yang mencari pekerjaan b. Mereka yang mempersiapkan usaha c. Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. d. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran terbuka adalah jumlah pengangguran yang terdaftar dalam Disnakertrans dan merupakan perbandingan jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Perumusannya adalah sebagai berikut (Hera Susanti, dkk, 2000: 99): Tingkat Pengangguran = Jumlah Penganggur x 100% .......... (3.3) Jumlah Angkatan Kerja D. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series dari tahun 1983-2003. Adapun data tersebut diperoleh dari: 1. Data Laju Inflasi diambil dari buku Laporan Tahunan Bank Indonesia berbagai edisi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003. 2. Data Pengangguran diperoleh dari buku Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia berbagai edisi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003. 56 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - E. Metode Analisis Data Analisa data digunakan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, analisis data digunakan untuk mengetahui apakah terjadi pengaruh dan hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistika dan teori ekonometrika. Penelitian ini akan menggunakan model analisis Error Correction Model untuk menganalisis pengaruh antara variabel dependen dan independen. Alat analisis ini lebih relevan jika data yang dianalisis stasioner/stabil/normal, sebab salah satu syarat untuk mengaplikasikan regresi deret waktu adalah dipenuhinya data yang bersifat stasioner. Untuk mengetahui kausalitas antara inflasi dan pengangguran akan digunakan model uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Konsep uji kausalitas Granger dikenal sebagai konsep kausalitas sejati atau prediktabilitas di mana masa lalu dapat mempengaruhi masa kini atau masa datang, akan tetapi masa kini tidak dapat mempengaruhi masa lalu. Ide dasar pengertian kausalitas adalah bahwa, suatu variabel X menyebabkan Y apabila pelibatan atau penyertaan nilai-nilai masa lalu X membuahkan prakiraan yang lebih baik akan Y (Dumairy, 1987: 4). Oleh karena itu, digunakan Uji Kausalitas Granger sebab dapat menjelaskan hubungan timbal balik variabel yang diamati. Sedangkan untuk mengetahui apakah dalam jangka panjang terdapat kausalitas antara inflasi dan pengangguran akan digunakan alat analisis yang dikembangkan oleh Granger 57 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - (1988) dengan menerapkan VECM (Vector Error Correction Model). Selain konsisten dengan konsep kointegrasi, model koreksi kesalahan ternyata lebih mampu menjelaskan hubungan kausalitas daripada uji kausalitas Granger (1969), di mana model kausalitas Granger (1969) yang baku diperluas dengan membentuk model koreksi kesalahan atau disebut dengan Vector Error Correction Model dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas dari variabel yang sedang diuji, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Aliman, 2000: 133). Menurut Insukindro (1999: 2) ECM memiliki kemampuan dalam meliput lebih banyak variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang dan mengkaji konsisten tidaknya model empirik dengan teori ekonomi, serta dalam usaha mencari pemecahan terhadap persoalan variabel time series yang tidak stasioner (non stasionary) dan regresi lancung (spurious regression) atau korelasi langsung (spurious correlation) dalam analisis ekonometrika. Selain itu, ECM dapat pula dipakai untuk menjelaskan mengapa pelaku ekonomi menghadapi adanya ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam hal bahwa fenomena yang diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan kenyataan yang terjadi oleh karena itu, perlu dilakukan penyesuaian sebagai akibat dari adanya fenomena aktual yang terjadi antar waktu. Dengan menggunakan ECM, dapat pula dianalisis secara teoritik dan empirik apakah model yang dihasilkan sesuai dengan teori atau tidak. 58 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 1. Uji Mackinnon, White dan Davidson (MWD Test) Pemilihan bentuk fungsi model empirik merupakan pertanyaan atau masalah empirik (empirical question) yang sangat penting. Hal ini karena teori ekonomi tidak secara spesifik menunjukan apakah sebaiknya bentuk fungsi suatu model empirik dinyatakan dalam bentuk linear atau log-linier atau bentuk fungsi lainnya (Aliman, 2000: 14). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemilihan bentuk fungsi model seperti model transformasi Box-Cox, bera dan Mc Aleer Zarembaka, namun dalam penelitian ini menggunakan metode yang dikembangkan Mac Kinnon, White dan Davidson pada tahun 1983 dan lebih dikenal dengan MWD test. Ho : Model Linier: Y adalah fungsi linier dari regressor X (Y=f(X)) H1 : Model Log Linier: Log Y adalah fungsi Linier dari Log regressor Log X (LogY=f(LogX)) Untuk dapat menerapkan uji MWD, pertama-tama kita membuat dua model regresi dengan asumsi: Model regresi 1: ECM linier DINFt = 0 + 1 DUNEMPLt + 2 UNEMPLt-1 + 3 ECT1 + et........(3.4) Keterangan: DINFt = INFt-INF(t-1) DUNEMPLt = UNEMPLt-UNEMPL(t-1) ECT1 = (UNEMPL(t-1)-INF(t-1)) Dimana: INFt = Tingkat Inflasi (dalam persen) 59 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - INF(t-1) = Tingkat Inflasi tahun sebelumnya UNEMPLt = Tingkat Pengangguran (dalam persen) UNEMPL(t-1) = Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya ECT1 = Error Correction Term 0 = Intersep 1 - 3 = Koefisien regresi et = Error Term Model regresi 2: ECM Log-linear DLogINFt= 0 + 1 DUNEMPLt+ 2 UNEMPLt-1+ 3 ECT2+et.......( 3.5) Keterangan: DLogINFt = LogINFt-LogINF(t-1) DUNEMPLt = UNEMPLt-UNEMPL(t-1) ECT1 = (UNEMPL(t-1)-LogINF(t-1)) Dimana: LogINFt = Tingkat Inflasi (dalam persen) LogINF(t-1) = Tingkat Inflasi tahun sebelumnya UNEMPLt = Tingkat Pengangguran (dalam persen) UNEMPL(t-1) = Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya ECT1 = Error Correction Term 0 = Intersep 1 - 3 = Koefisien regresi et = Error Term 60 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Dari persamaan (3.4) dan (3.5) di atas, selanjutnya kita menerapkan test, di mana untuk menerapkan uji tersebut , terdapat langkah-langkah MWD test adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Melakukan regresi terhadap persamaan (3.4) yang kemudian akan didapatkan nilai fitted dari INF yang dinamai dengan STF Langkah 2 : Melakukan regresi terhadap persamaan (3.5) yang kemudian akan didapatkan nilai fitted dari LogINF yang dinamai dengan LSF Langkah 3 : Dapatkan Z1 = (LogSTF-LSF) Langkah 4 : Dapatkan Z2 = (AntilogLSF-STF) Langkah 5 : Melakukan regresi dengan menggunakan persamaan (3.4) ditambahkan Z1 sebagai variabel penjelas. DINFt = 0 + 1 DUNEMPLt + 2 UNEMPLt-1 + 3 ECT1 + Z1.......(3.6) Bila Z1 signifikan secara statistik maka kita menolak model yang benar adalah linier atau dengan kata lain, bila Z1 signifikan maka model yang benar adalah model Log Linier. Langkah 6 : Melakukan regresi dengan menggunakan persamaan (3.5) ditambahkan Z2 sebagai variabel penjelas. DLogINFt= 0 + 1 DUNEMPLt+ 2 UNEMPLt-1+ 3 ECT2+Z2............( 3.7) Bila Z2 signifikan secara statistik maka kita menolak model yang benar adalah log linier atau dengan kata lain, bila Z2 signifikan maka model yang benar adalah model Linier. 61 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 2. Uji Stasioneritas a. Uji akar-akar unit Pengujian pada data time series perlu dilakukan guna meneliti apakah data tersebut bersifat stasioner atau tidak. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya regresi lancung (spurious regression) yaitu mengandung R2 yang relatif tinggi dan Durbin-Watson statistics yang rendah seperti yang dibuktikan oleh Granger dan Newbold (1974, 1977) (Sritua Arief, 1993:162). Uji ini dapat dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada prinsipnya, uji ini untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Sehingga data time series tersebut harus dideferensi beberapa kali agar diperoleh data yang stasioner. Namun demikian, karena distribusi dari model tersebut tidak baku maka uji statistik yang baku seperti uji t dan uji F tidak cukup layak dipakai guna menguji hipotesa model yang bersangkutan. karena itu, dalam model ini akan menggunakan dua uji yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979, 1981) dengan penaksiran otoregresif berikut ini (Insukindro, 1993: 130) dalam (Aliman, 2000: 112): k D2Xt = a0 + a1BDXt - b B i 1 i 1 DXt..........................................( 3.8) k D2Xt = c0 + c1T + c2BDXt + d i 1 i B1DXt ...........................( 3.9) Dimana: DXt = DXt – DXt-1 62 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BDXt = Xt-1, T = Trend Waktu Xt adalah variabel yang diamati pada periode t B adalah Operasi Kelambanan waktu ke udik (backward lag operator) Setelah itu, perlu dihitung nilai statistik Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mengetahui pada derajat keberapa suatu data akan stasioner. Nilai DF dan ADF untuk hipotesa bahwa a1= 0 dan c2 = 0 ditunjukan oleh nisbah t pada koefisien regresi BXt pada persamaan di atas. Besarnya waktu kelambanan k ditentukan oleh k = N1/3, dimana N adalah jumlah pengamatan. b. Uji Derajat Integrasi Bersamaan dengan pengujian di atas, dapat pula dilakukan uji derajat integrasi. Uji derajat integrasi dilakukan apabila pada uji akarakar unit data yang diamati ternyata tidak stasioner. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui derajat atau ordo diferensi keberapa data yang diamati stasioner. Uji derajat integrasi merupakan perluasan dari uji akar-akar unit. Definisi formal: data time series X dikatakan berintegrasi pada derajat d atau I(d) jika data tersebut perlu dideferensi sebanyak d kali untuk dapat menjadi data yang stasioner atau I(0), dengan melakukan penaksiran model autoregresif berikut ini (Insukindro,1993: 30) dalam (Aliman, 2000: 119): k D2Xt = e0 + e1BDXt - f i 1 i i D2Xt ................................... ( 3.10) 63 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - k D2Xt = g0 + g1T + g2BDXt + h i 1 i BiD2Xt ....................... ( 3.11) Dimana DX2t = DXt – DXt-1, BDXt = DXt-1, T = Trend Waktu dan Xt adalah variabel yang diamati pada periode t serta B adalah Operasi Kelambanan waktu ke udik (backward lag operator) Setelah langkah di atas, selanjutnya adalah menguji nilai statistik DF dan ADF dapat diketahui dengan melihat nilai t statistik pada koefisien regresi BDXt. Jika e1 dan g2 sama dengan satu, maka variabel Xt dikatakan stasioner pada diferensi pertama atau berintegrasi pada derajat satu atau I(1). Sebaliknya, bila e1 dan g2 sama dengan nol, maka variabel X belum stasioner pada diferensi pertama. Sehingga uji derajat integrasi perlu dilanjutkan sampai diperoleh kondisi stasioner. c. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. Untuk dapat melakukan uji kointegrasi harus diyakini terlebih dahulu bahwa variabel-variabel terkait dalam pendekatan ini memiliki derajat integrasi yang sama atau tidak. Pada umumnya sebagian besar pembahasan mengenai isu yang terkait lebih memusatkan perhatiannya pada variabel yang berintegrasi nol I(0) atau satu I(1). (Insukindro, 1993: 132) dalam (Aliman, 2000: 128). Jika dua atau lebih variabel terkait mempunyai derajat integrasi yang berbeda, maka variabel- variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi. Untuk mendapat gambaran mengenai pendekatan kointegrasi, dianggap suatu himpunan variabel runtun waktu X dikatakan berkointegrasi pada derajat d, b atau CI (d,b) bila setiap elemen X 64 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - berintegrasi pada derajat d atau I(d) dan terdapat satu vektor k yang tidak sama dengan nol sehingga w = k’X~I (d-b) dengan d>0 dan k merupakan vektor kointegrasi (Engel dan Granger,1987:265-270; Insukindro,1993:132) dalam (Aliman, 2000: 128). Implikasi penting dari ilustrasi dan definisi di atas adalah bahwa jika dua variabel atau lebih mempunyai derajat integrasi yang berbeda, katakanlah X= I (1) dan Y= I (2) maka kedua variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi (Insukindro,1993: 132) dalam (Aliman,2000:128). Uji CDRW (Cointegration Regression DurbinWatson), DF (Dickey-Fuller) dan ADF (Augmented Dickey-Fuller) merupakan uji statistik yang disukai dalam pendekatan ini. Untuk menghitung CRDW, DF dan ADF ditaksir regresi kointegrasi berikut ini dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS): Yt = m0 + m1 X1t + m2X2t + Et............................................... ( 3.12) Dimana: Yt = Variabel Tak bebas X1t, X2t = Variabel Bebas Et = Variabel Gangguan (Residual) Dalam kasus ini dianggap bahwa Y, X1 dan X2 mempunyai derajat integrasi yang sama, misalnya I(1). Kemudian regresi berikut ini ditaksir dengan OLS: DEt = p1BEt………………................................................. ( 3.13) k DEt = q1BE + w i 1 i BiDEt.................................................. ( 3.14) 65 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Nilai statistik CRDW ditunjukan oleh nilai statistik DW persamaan (3.12) dan statistik DF dan ADF ditunjukan oleh nisbah t pada koefisien BEt pada persamaan (3.13) dan (3.14). Tujuan utama uji kointegrasi adalah untuk menguji apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Pengujian ini sangat penting bila suatu model dinamis akan dikembangkan 3. Pendekatan Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM) Tujuan digunakannya uji kointegrasi adalah untuk mengkaji apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak dan untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel yang diamati. Pengujian ini sangat penting bila ingin dikembangkan model dinamis, khususnya model koreksi kesalahan atau ECM, yang mencakup variabelvariabel kunci pada regresi kointegrasi terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model koreksi kesalahan konsisten dengan konsep kointegrasi atau dikenal dengan Granger Representation Theorem (Engel dan Granger, 1987: 255; Insukindro,1993:134 dan Thomas,1997:432) dalam (Aliman,2000:132) Teorema Representasi Granger menekankan bahwa bila variabelvariabel yang diamati membentuk suatu himpunan yang berkointegrasi maka model dinamis yang sahih atau valid adalah model koreksi kesalahan. Sebaliknya, bila variabel yang digunakan tidak berkointegrasi maka residual dari model koreksi kesalahan tidak stasioner dan kondisi tersebut memberikan indikasi bahwa spesifikasi model yang diamati tidak 66 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - sahih (Hall, 1986:229; Engle dan Granger, 1987:225; Insukindro,1993:134 dan Thomas, 1997:432) dalam (Aliman, 2000: 133) Sebagai ilustrasi dari hubungan antara pendekatan kointegrasi dengan model koreksi kesalahan, perlu diamati kembali persamaan (3.12) dan dianggap bahwa dari residual persamaan tersebut stasioner atau U = I(0). Selanjutnya berdasarkan persamaan (3.12) kemudian diturunkan model koreksi kesalahan sebagai berikut (Insukindro,1993:134) dalam (Aliman, 2000: 133): DYt = r0 + r1 DX1t + r2 DX2t + r3 DX3t + r4 DX4t + r5 (BX1t + BX2t– BYt)……………........................... ( 3.15) Dengan mengikuti teori yang dikembangkan oleh Engel dan Granger (1987), bila Et = I(0). Maka BEt dapat menggantikan variabel BYt, BX1t, dan BX2t pada ruas kanan persamaan (3.15) sehingga diperoleh persamaan: DYt = s0 + s1DX1t + s2 DX2t + s3 BEt............................... ( 3.16) Dimana: Yt = Variabel tak bebas Xt = Variabel bebas BEt = Nilai yang diestimasi dari residual kointegrasi dalam periode sebelumnya Dari persamaan (3.16) dapat diketahui bahwa semua variabel yang dipakai dalam model adalah stasioner atau I(0). Langkah-langkah tersebut di atas selanjutnya lebih dikenal sebagai Engel-Granger ECM (Engel dan Granger, 1987) dalam (Aliman, 2000: 133). Dengan memperhatikan hasil estimasi ECM, dapat dilihat apakah nlai t dari variabel bebas signifikan, karena signifikansi ini akan mampu 67 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - digunakan untuk menjelaskan arah jangka pendek. Perlu diperhatikan juga signifikansi koefisien dari ECT. Nilai t yang signifikan akan mampu digunakan untuk estimasi jangka panjang. Bentuk persamaan jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut: INFt = f0 + f1 UNEMPLt............................................................ ( 3.17) Dimana: f0 = a0/a3 (dari persamaan ECM) f1 = (a2+a3)/a3 (dari persamaan ECM) Dengan berdasarkan formulasi di atas, maka akan diperoleh persamaan jangka panjang untuk kedua variabel yang digunakan dalam penelitian ini Model ECM yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada model yang dikembangkan oleh Domowitz dan Elbadawi (1987) yang diturunkan dari fungsi biaya kuadrat tunggal. Tahap penurunan ECM dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama: Membuat hubungan persamaan dasar antara variabel tak bebas (Dependen Variabel) dengan variabel bebas (Independen Variabel). Maka hubungan variabel tersebut akan dirumuskan sebagai berikut: INFt = 0 + 1 UNEMPLt................................................................ ( 3.18) Dimana: INF = Tingkat Inflasi (%) UNEMPL = Tingkat Pengangguran (%) Kedua: Membentuk fungsi biaya kuadrat tunggal yang dikembangkan oleh Domowitz dan Elbadawi (1987) yang dirumuskan sebagai berikut: C =b1(INFt-INFt*)2+ b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2........................ ( 3.19) 68 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Di mana: C = Fungsi biaya kuadrat periode tunggal dari Domowitz dan Elbadawi Zt = Faktor yang mempengaruhi INFt Zt-1 = Faktor-faktor yang mempengaruhi INFt tahun sebelumnya ft INFt = Faktor pembobot masing-masing elemen Zt = Tingkat Inflasi pada periode tahun t INFt-1 = Tingkat inflasi tahun sebelumnya t-1 = Backward-lag Operator b1(INFt-INFt*) = Biaya Ketidakseimbangan b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)] = Biaya Penyesuaian Ketiga: Meminimisasi fungsi biaya kuadrat periode tunggal dari persamaan (3.19) untuk meminimumkan biaya, maka dC/dCt = 0, sehingga didapatkan: 2 b1(INFt-INFt*) + 2 b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2 = 0 1/2 .2{b1(INFt-INFt*) + b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2} = 0 b1INFt- b1INFt* + b2INFt- b2INFt-1- b2 f t Zt - b2 f t Zt-1 = 0 (b1+b2)INFt = b1INFt* + b2INFt-1+ b2 f t Zt - b2 f t Zt-1 INFt = [b1INFt* + b2INFt-1+ b2 f t Zt - b2 f t Zt-1] : (b1+b2) INFt = b2 b2 b2 b2 INFt+ INFt-1+ f t Zt f t Zt-1 b1 b2 b1 b2 b1 b2 b1 b2 Dengan mengasumsikan b = b1 b2 , maka didapat (1-b) = b1 b2 b1 b2 b1 = b1 + b2 b b2 = b1 – (b1.b) b2 = b1 (1 b) b 69 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - b2 .b = (1-b) b1 (1-b) = b2 b1 b2 INFt = bINFt* + (1-b) INFt-1 + (1-b) f t Zt – (1-b) f t Zt-1.................. ( 3.20) Keempat: Melakukan substitusi antara persamaan (3.18) serta fungsi Zt=(UNEMPLt) secara bersama-sama ke dalam persamaan (3.20) akan didapatkan persamaan: INFt =b( 0 + 1 UNEMPLt) + (1-b)INFt-1+ (1-b) f t UNEMPLt– (1-b) f t UNEMPLt-1 = b 0 +b 1 UNEMPLt + INFt-1 - bINFt-1 + (1-b) f t UNEMPLt – (1-b) f t UNEMPLt-1 = b 0 +(b 1 +(1-b) f t )UNEMPLt – (1-b) f t UNEMPLt-1 + (1-b) INFt-1 Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi: INFt = C0 + C1UNEMPLt + C2UNEMPLt-1 + C3INFt-1 ................. ( 3.21) Di mana: C0 = b 0 C1 = b 1 +(1-b) f t C2 = – (1-b) f t C3 = (1-b) Persamaan di atas disebut sebagai Model Linier Dinamis (MLD), yang meliputi variabel tak bebas sebagai fungsi dari variabel bebas pada 70 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - periode tersebut. Langkah selanjutnya adalah mengurangkan hasil persamaan di atas dengan persamaan berikut: INFt-1 = C1UNEMPLt-1 + INFt-1 – C1UNEMPLt-1 + UNEMPLt-1 UNEMPLt-1 + C3UNEMPLt-1 – C3UNEMPLt-1............................... ( 3.22) Hasil pengurangan persamaan (3.4) dengan (3.5) yakni: INFt - INFt-1= C0 + C1UNEMPLt - C1UNEMPLt-1 + C2UNEMPLt-1 + C3UNEMPLt-1 - UNEMPLt-1 + UNEMPLt-1– C3UNEMPLt-1+ (1-C3)INFt-1 Persamaan di atas dapat disederhanakan sebagai berikut: INFt - INFt-1 = C0 + C1(UNEMPLt - UNEMPLt-1) + (C2+C1+C3-1 ) UNEMPLt-1 + (1- C3) (UNEMPLt-1 - INFt-1) Bentuk akhir dari persamaan ECM adalah: DINFt = C0 + C1DUNEMPLt + C2UNEMPLt-1 + C3ECT............... ( 3.23) Di mana: = INF – INFt-1 DINF DUNEMPL = UNEMPLt – UNEMPLt-1 C3 = Error Correction Model (ECM) ECT = UNEMPLt-1 - INFt-1 Keterangan: LINF = Tingkat Inflasi (%) LUNEMPL = Tingkat Pengangguran(%) 4. Model Uji Kausalitas Granger (1969) Dalam realitas ekonomi, model regresi linier di mana variabel dependen diregresikan atas variabel-veriabel bebas tidak dapat dipastikan mengandung pengertian bahwa variabel dependen secara kausal betul- 71 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - betul ditentukan oleh variabel-variabel bebas secara sepihak. Ada kemungkinan dalam suatu model persamaan tunggal, variabel dependen ditentukan oleh variabel bebas, tetapi sebaliknya variabel bebas juga ditentukan oleh variabel dependen sehingga dalam hal ini terdapat kausalitas dua arah (Sritua Arif, 1993: 151-152). Uji kausalitas Granger pada penelitian ini didasarkan pada anggapan yang relevan untuk memprediksi variabel-variabel Tingkat Inflasi (INF) dan pengangguran (UNEMPL) pada data time series dari variabel-variabel tersebut. Model dasar kausalitas Granger dapat diformulasikan sebagai berikut (Damodar Gujarati, 2003: 697): INFt = UNEMPLt = n n i 1 j1 n n jUNEMPLt-i + jINFt-j + u1t.................... jUNEMPLt-i + i -1 jINFt-j + u2t.................... ( 3.24) ( 3.25) j1 Di mana INFt merupakan tingkat inflasi, UNEMPLt adalah tingkat pengangguran u1t dan u2t adalah error terms yang diasumsikan tidak saling berkorelasi atau dipandang mempunyai sifat swara resik (white noise). Pada persamaan (3.23) menyatakan bahwa nilai variabel inflasi (INFt) sekarang dihubungkan dengan nilai masa lalu inflasi dan nilai masa lalu tingkat pengangguran. Pada persamaan (3.25) juga menyatakan hal yang sama untuk tingkat pengangguran yang berlaku (UNEMPLt), dimana tingkat pengangguran sekarang dipengaruhi oleh tingkat inflasi masa lalu dan tingkat pengangguran masa yang lalu. Dari regresi persamaan (3.24) dan (3.25), dapat dibedakan empat macam kasus atau empat pola kausalitas dari Granger (Gujarati,2000:697): 72 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - a. Kausalitas satu arah dari inflasi ke pengangguran Kausalitas ini terjadi jika koefisien yang diestimasi pada nilai masa lalu inflasi, (dalam persamaan 3.24) adalah signifikan secara statistik tidak sama dengan nol ( 0 ) dan jika koefisien yang diestimasi pada nilai masa lalu pengangguran, (dalam persamaan 3.25) secara statistik signifikan sama dengan nol ( =0). b. Kausalitas satu arah dari pengangguran ke inflasi Kausalitas ini terjadi jika koefisien yang diestimasi pada masa lalu inflasi, (dalam persamaan 3.24) adalah signifikan secara statistik sama dengan nol ( =0) dan jika koefisien yang diestimasi pada masa lalu pengangguran, (dalam persamaan 3.25) secara statistik signifikan tidak sama dengan nol ( 0 ). c. Kausalitas bilateral atau umpan balik Kausalitas ini terjadi apabila koefisien inflasi dan pengangguran secara statistik signifikan tidak sama dengan nol dalam regresi kedua persamaan tersebut. d. Tidak terdapat hubungan kausalitas antara dua variabel Kausalitas ini terjadi apabila kedua koefisien yaitu inflasi dan pengangguran tidak signifikan secara statistik dalam kedua regresinya. Uji ini penting dilakukan terutama untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel inflasi dan variabel pengangguran. Dalam model uji kausalitas Granger (1969) ini dilakukan dengan mengestimasi dua buah persamaan di bawah ini. Dalam model ini panjang Lag tidak 73 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - ditentukan sehingga penentuan panjangnya Lag variabel, bebas ditentukan (Shofwan, 2000: 64). Dalam penelitian ini, panjang Lag ditentukan sebanyak 6 dan dirumuskan sebagai berikut: 6 INFt = 6 jINFt-i + jUNEMPLt-j + u1t.................... i 1 j1 6 UNEMPLt = ( 3.26) jUNEMPLt-i + i -1 6 jINFt-j + u2t................... ( 3.27) j1 Di mana: INFt = Tingkat Inflasi UNEMPLt = Tingkat Pengangguran t = waktu dan u1t, u2t = error term 5. Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vector Error Correction Model (VECM) Pengujian kausalitas Granger (1969) selama ini selalu dilandaskan pada bentuk dasar analisis time series yang biasa. Sejalan dengan perkembangan spesifikasi model dinamis dan dalam rangka menghindari munculnya regresi lancung, Granger (1988) merekomendasikan suatu uji kausalitas yang didasarkan pada model koreksi kesalahan (ECM) yang dihubungkan dengan informasi dari uji kointegrasi. Dalam perkembangan selanjutnya, model ini dikenal dengan vector error correction model. Untuk dapat menerapkan model ini maka perlu dilakukan estimasi persamaan kointegrasi berikut: Xt = 0 + 1 Yt+ut.......................................................... ( 3.28) Yt = 0 + 1 Xt+u’t......................................................... ( 3.29) Dimana ut dan u’t adalah error term. Dari persamaan (3.28) dan (3.29), jika error term stasioner kemudian akan diterapkan model ECM 74 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - yang dihubungkan dengan informasi dari uji kointegrasi dengan model sebagai berikut: DINFt = 0 + 1 DUNEMPLt+ 2 UNEMPLt-1+ 3 ECT............ ( 3.30) DUNEMPLt = 0 + 1 DINFt+ 2 INFt-1+ 3 ECT ................... ( 3.31) Keterangan: DINF = Perubahan Tingkat Inflasi DUNEMPL = Perubahan Tingkat Pengangguran ECT = error Correction Term t = Waktu Dengan memasukan komponen error correction term, ECM memiliki keunggulan tambahan di mana kausalitas Granger dapat dideteksi. Berdasarkan persamaan 3.30 dan 3.31 di atas, hipotesis nol bahwa Y tidak menyebabkan X di tolak, tidak hanya jika 3 bergabung secara signifikan, koefisien ECT harus signifikan secara statistik dan positif. Hal ini dikarenakan estimasi ECM akan berarti apabila koefisien ECT 0 dan signifikan. Selain itu, dengan signifikannya nilai koefisien ECT, maka berarti model empiris mempunyai atau memiliki spesifikasi model yang benar, sehingga hasil estimasi model koreksi kesalahan dapat digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dari variabel ekonomi yang sedang diteliti. 6. Uji Statistik Proses analisa yang akan dilakukan meliputi pengujian variabelvariabel independen secara bersama-sama serta penghitungan koefisien determinasi. 75 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - a. Uji t (Uji Secara Individu) Uji ini merupakan pengujian koefisien regresi secara individual dan untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen, dengan menganggap variabel lain tetap/ konstan. Langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut: 1) Ho : 1= 0 Ha : 1 0 Nilai t tabel T tabel; t /2; N-K Dimana: = derajat signifikansi N = jumlah sampel (observasi) K = banyaknya parameter/ koefisien regresi plus konstanta 2) t hitung Uji t statistik tersebut dirumuskan dengan : thitung = i . SE( i ) ......................................................... ( 3.32) Di mana : i = Koefisien regresi SE = Standard error 3) Kriteria Pengujian t tabel t / 2 ; N-K Dimana: = derajad signifikansi 76 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - N = jumlah sampel (observasi) K = banyaknya parameter jika |t hitung| < |t tabel|, maka H0 diterima dan Ha ditolak artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Jika |t hitung| > |t tabel|, maka H0 ditolak dan Ha di terima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. b. Uji F (Uji Secara Bersama-sama) Uji F (Analisis Varian) ini digunakan untuk menguji signifikansi secara bersama-sama semua koefisien regresi. Pengujian F test dapat dilakukan melalui langkah sebagai berikut : 1) Menentukan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu Ho : 1 = 0 Ha : 1 0 2) Menghtung F hitung dengan menggunakan program Eviews Mencari F tabel, yaitu F tabel = F / 2 ; n-k; k-1, Dimana: n = jumlah observasi, k = banyaknya parameter, = derajat signifikansi. 3) Menentukan kriteria pengujian a) Apabila F hitung < f tabel, H0 diterima dan Ha ditolak. Ini menunjukan variabel independen secara serentak (bersamasama) tidak berpengaruh terhadap variabel bebas. b) Apabila F hitung > F tabel, H0 ditolak dan Ha diteroma. Ini menunjukan variabel independen secar serentak (bersamasama) berpengaruh terhadap variabel dependen. 77 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - c. Uji R2 (Koefisien Determinasi) Uji ini untuk mengetahui berapa persen variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis regresi, yang ditunjukan oleh besarnya koefisien determinasi (R2 adjusted) antara nol dan satu. Apabila koefisien determinan 0 berarti variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen, bila mendekati 1 berarti variabel independen semakin berpengaruh terhadap variabel dependen. Adapun rumus R2 adalah sebagai berikut : R2 = 1- RSS ........................................................................ TSS ( 3.33) Di mana: R2 = Koefisien Determinasi RSS = Residual Sum of Square TSS = Total Residual Sum of Square 7. Pengujian Terhadap Uji Asumsi Klasik Dalam penelitian ini, untuk melihat ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik, maka dilakukan pengujian terhadap gejalagejala multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. a. Multikolinearitas Istilah multikolinearitas pertama kali diperkenalkan oleh Ragnar Frisch (1934). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen terdapat korelasi atau hubungan linear yang sempurna dengan variabel independen yang lain. Jika dalam model 78 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - terdapat multikolinearitas maka model tersebut memiliki kesalahan standar yang basar sehingga koefisien tidak dapat ditakar dengan kecepatan tinggi. Salah satu cara yang digunakan untuk mendetksi ada tidaknya multikolinearitas digunakan uji Klein yang membandingkan nilai koefisien korelasi setiap variabel penjelas (r2 xi, xj) dengan nilai koefisien determinasi (R2y, xi, xj,....xn). jika nilai r2 lebih kecil dari nilai R2, maka tidak terdapat multikolinearitas dalam model. b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih tetap tidak bias dan konsisten). Salah satu cara untuk mendeteksi masalah Heteroskedastisitas adalah dengan uji Park yaitu: 1) Dari hasil regresi OLS akan diperoleh nilai residualnya 2) Nilai residual tadi dikuadratkan, lalu diregresikan dengan variabel bebas sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: ei2 = 0 + 1 X1+ 2 X2......................................................... ( 3.34) Dari hasil regresi tahap 2 dilakukan uji t. Jika 1 dan 2 signifikan, maka tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model tersebut. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel gangguan pada 79 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - periode yang lain. Hal ini mengakibatkan penaksir tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Autokorelasi ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor kelambanan, kesalahan dalam pembentukan model, pembentukan lag dalam model, tidak memasukan variabel yang penting dan manipulasi data. Jika data dalam model mengandung Autokorelasi maka hal tersebut mengakibatkan parameter yang diuji menjadi bias. Untuk variabel bebas yang mengandung lagged dependent variabel maka uji durbin watson tidak dapat digunakan pada model ini. Nerlove dan Wallis (1966) telah membuktikan bahwa apabila uji Durbin Watson diaplikasikan dalam model ini, maka nilai durbin Watson statistiknya secara asymtotik akan bias mendekati nilai 2 (Sritua Arif, 1993, 15) Dalam penelitian ini uji Autokorelasi yang akan digunakan adalah uji Breush-Godfrey (LM Version) yang merupakan uji otokorelasi berderajad lebih dari satu. Uji ini menggunakan dasar hipotesis nol bahwa semua koefisien autoregresif secara simultan sama dengan nol atau tidak terdapat otokorelasi pada setiap order pengamatan. Dasar pengambilan keputusan dengan menggunakan dasar statistik 2 yang diperoleh dari ((n-p)*R2)~ 2 p. 80 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum 1. Perkembangan Perekonomian Indonesia Kondisi perekonomian Indonesia, pada masa orde lama dalam keadaan yang sangat buruk. Pada masa itu, sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode tahun 1962-1966 kurang dari 2%, lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan perkapita. Pada masa itu, bahan-bahan makanan pokok sangat terbatas, defisit saldo neraca pembayaran dan keuangan pemerintah sangat besar, serta tingginya laju inflasi. Kondisi tersebut merupakan krisis ekonomi pertama yang dialami Indonesia sejak kemerdekaan (Tulus Tambunan, 2001: 36) Pada masa orde baru, pembangunan ekonomi di Indonesia dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini disebabkan oleh penghasilan ekspor minyak sangat besar terutama pada periode oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Selain itu, pinjaman luar negeri dan peranan penanaman modal asing (PMA) sejak pertengahan dekade 1980-an sangat berperan dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah pada masa orde baru lebih mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, politik, serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi terbuka sehingga mampu menimbulkan kepercayaan pihak barat terhadap prospek ekonomi Indonesia. 81 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Pada era itu, proses pembangunan dan perubahan ekonomi berjalan semakin cepat sejak pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang diawali pada sektor moneter dan sektor riil dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor non migas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan peranan sektor swasta yang semakin besar (Tulus Tambunan, 2000: 23). Namun pada tahun 1981-1982, terjadi resesi dunia yang menggoncang perekonomian Indonesia melalui melemahnya permintaan terhadap minyak bumi dan merosotnya harga beberapa komoditi primer non migas. Di tahun 1982 hingga tahun 1986 juga merupakan periode buruk bagi perekonomian Indonesia karena jatuhnya harga minyak mentah di pasaran internasional yang mengakibatkan meningkatnya utang luar negeri dan penurunan pertumbuhan ekonomi tahun 1982. pada periode tahun 1982-1986 adalah masa penyesuaian ekonomi Indonesia terhadap melemahnya harga minyak dan juga berakhirnya masa pertumbuhan yang didanai oleh minyak. Kebijakan yang diambil pemerintah saat itu adalah melakukan pemotongan berbagai macam pengeluaran, menangguhkan atau membatalkan sejumlah proyek besar dan melakukan devaluasi nilai rupiah terhadap dollar AS pada tahun 1983 dan tahun 1986 (Tulus Tambunan, 2001:39). Krisis kembali melanda perekonomian Indonesia di tahun 1984, pada bidang perbankan. Krisis ini bermula dari deregulasi perbankan pada tanggal 1 juni 1983 yang memaksa bank-bank milik negara untuk memobilisasi dana mereka sendiri dan memikul resiko kredit macet. 82 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Kesulitan likuiditas perbankan yang menjadi pangkal krisis perbankan tahun 1984 itu mencerminkan kurangnya modal bank dan kurang baiknya manajemen bank dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Perekonomian Indonesia di tahun 1990-1995 sempat beberapa kali mengalami gangguan yang muncul dari waktu ke waktu. Pertama, walaupun tidak sampai menimbulkan suatu krisis yang berarti bagi perekonomian nasional, terapresiasinya nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia. Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban utang luar negeri yang didapat dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS. Kedua, pada awal tahun 1984, roda perekonomian Indonesia cukup terganggu oleh adanya arus pembelian dollar AS yang bersifat spekulatif karena beredarnya isu akan adanya devaluasi rupiah atau tindakan drastis lainnya dari pemerintah Indonesia. Selama periode 1993-1995, ekonomi tumbuh dengan laju rata-rata per tahun antara 7,3% hingga 9,2%. Dalam keadaan perekonomian dunia yang kurang menguntungkan, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat serta diikuti dengan membaiknya indikator-indikator sosial. Hal tersebut tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, laju inflasi yang dapat dikendalikan pada tingkat yang wajar, dan neraca pembayaran yang berkembang cukup mantap. Perkembangan yang menggembirakan tersebut dimungkinkan karena semakin baiknya struktur perekonomian Indonesia (Laporan Tahunan, 1990/1991: 1). Proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akibat beberapa 83 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kebijakan yang diambil selama masa orde baru harus dibayar dengan biaya yang sangat mahal (high cost economy) dan menjadikan fundamental ekonomi Indonesia rapuh. Hal inilah yang menyebabkan krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997 (Tulus Tambunan, 2001: 24). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 sangat tidak diduga oleh banyak kalangan, yakni pada saat laju pembangunan ekonomi Indonesia sangat pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 6% per tahun selama periode 1990-1996 dan dengan kondisi lingkungan, internal dan eksternal yang cukup kondusif (Tulus tambunan, 2001: 35). Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1995-1996 menunjukan tingkat pertumbuhan yang tertinggi yaitu 8% per tahun. Namun pada tahun 1997, ketika Indonesia mulai dilanda krisis hingga tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup drastis hingga nilai terendah -13,2% namun di tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mulai mengalami peningkatan yaitu sebesar 4,5%. Hal ini erat kaitannya dengan mulai stabilnya kondisi ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Berikut ini merupakan pertumbuhan ekonomi bulanan Indonesia dari tahun 1999 hingga tahun 2003 dapat dilihat dari tabel 4.1 di bawah ini: 84 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bulanan Indonesia (Dalam Persen) Bulan Januari Februari Maret April mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata 1999 8.021 0.066 0.066 0.066 0.065 0.065 0.065 0.065 0.065 0.065 0.065 0.065 0.728 2000 2.299 1.372 0.181 0.181 0.181 0.181 0.181 0.179 0.179 0.178 0.178 0.178 0.456 2001 0.876 0.282 0.282 0.281 0.280 0.279 0.278 0.277 0.277 0.276 0.275 0.275 0.328 2002 0.462 0.301 0.300 0.300 0.299 0.298 0.297 0.296 0.295 0.294 0.293 0.293 0.311 2003 0.581 0.334 0.333 0.332 0.331 0.330 0.329 0.328 0.326 0.325 0.322 0.326 0.350 Sumber: Hasil Interpolasi Pertumbuhan Ekonomi Tahunan 1999 s/d 2003 Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami krisis mata uang yang disusul oleh krisis moneter bahkan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Menurut Haris (1998) krisis ekonomi yang di alami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dollar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan perkapita bangsa yang sangat drastis. Selain itu, banyak pabrik dan industri yang collaps maupun disita oleh kreditor akibat utang yang telah jatuh tempo pada tahun 1998 yang menyebabkan ribuan pengangguran baru dengan sederet persoalan sosial, ekonomi dan politik (Tulus Tambunan, 2001, 41). Peningkatan utang luar negeri yang harus dibayar perusahaan menimbulkan kesulitan keuangan, yang berakibat pada modal kerja berkurang serta berakibat pada menurunnya atau bahkan terhentinya volume produksi. Berkurangnya volume produksi dari banyak perusahan di berbagai sektor mengakibatkan menurunnya output agregat yang 85 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - menimbulkan resesi. Pada periode awal krisis 1997, laju pertumbuhan PDB Indonesia untuk tahun 1998 mengalami kontraksi sekitar 5,0%. Pada tahun 1997 perekonomian Indonesia masih tidak terlalu buruk. Akan tetapi setelah satu tahun umur krisis, pada tahun 1998 Indonesia mengalami laju pertumbuhan antara -13,4% dan -15,0% sedangkan di tahun 1999 laju pertumbuhan cukup membaik (Tulus Tambunan, 2001: 49). Pada tahun 2000 hingga tahun 2001, kondisi perekonomian Indonesia menunjukan pertumbuhan yang positif. Hal ini disebabkan semakin membaiknya iklim investasi di Indonesia. Selain itu, dari dunia internasional, meningkatnya harga minyak di pasaran dunia juga turut meningkatkan pendapatan dari sektor migas. Pada tahun 2002, kondisi perekonomian Indonesia mengalami penurunan. Hal ini terkait erat dengan terjadinya ledakan bom di bali yang menggambarkan kurang amannya kondisi keamanan di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing pada Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2003 menunjukan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya hal ini terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi mencapai 3,76%, meningkat dibandingkan sebelumnya yang mencapai 3,47%. Dari sisi permintaan domestik, konsumsi pemerintah dan swasta masih merupakan pendorong utama pertumbuhan, walaupun dengan laju yang melambat. Sementara itu investasi pemerintah dan swasta, serta ekspor menunjukan pertumbuhan yang melemah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi penawaran, 86 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - pertumbuhan ekonomi selama tahun 2003 didukung oleh pertumbuhan positif di seluruh sektor ekonomi, dengan sumbangan terbesar dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan. Pertumbuhan sektor industri pengolahan antara lain tercermin dari kecenderungan meningkatnya indeks produksi (Laporan Triwulanan I 2003, Bank Indonesia: 45). Dalam kondisi yang demikian, salah satu aspek penting dari pembangunan ekonomi di Indonesia yang masih merupakan masalah serius adalah penciptaan kesempatan kerja. Penciptaan kesempatan kerja atau mengurangi jumlah pengangguran merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir di semua negara di dunia. Namun dapat dikatakan bahwa intensitas dari masalah tersebut berbeda antar negara maju dengan negara berkembang. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja, langsung maupun tidak langsung, misalnya laju pertumbuhan, diversivikasi kegiatan ekonomi, perkembangan atau penerapan teknologi, tingkat pendidikan/keterampilan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, serta faktor-faktor kultur dan budaya. Perekonomian Indonesia juga masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan berupa terbatasnya lapangan kerja, masalah pemerataan dan terbatasnya prasarana. 2. Perkembangan Ketenagakerjaan Indonesia Berbagai macam masalah ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia sampai saat ini sangat kompleks, karena ketenagakerjaan merupakan aspek yang amat mendasar dalam kehidupan manusia yang mencakup dimensi 87 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - ekonomi dan sosial. Kompleksnya masalah ketenagakerjaan memberi dampak yang sangat luas, seperti pengangguran, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, kualitas SDM yang rendah, pengupahan dan perlindungan tenaga kerja, hak berserikat dan pemogokan, investasi dan perluasan kesempatan kerja, dan masalah-masalah hubungan industrial pada umumnya. Hal tersebut membuat kondisi ketenagakerjaan di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, perlunya pemerintah memberikan prioritas utama dan menanganinya secara konseptual, menyeluruh dan profesional. Masalah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri terus meningkat. Serta maraknya TKI ilegal menggambarkan ketidakmampuan pemerintah selama ini, untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai di Indonesia maupun ketidakmampuan pemerintah untuk benar-benar mengelola pengiriman TKI secara baik. Selain itu, hubungan industrial di Indonesia akhir-akhir ini terkesan kurang kondisif. Hal ini diakibatkan semakin maraknya aksi pemogokan oleh para pekerja. Selain itu juga, semakin kompleksnya peraturan perundangan di Indonesia mengenai masalah ketenagakerjaan juga semakin memperparah kondisi ketenagakerjaan Indonesia.. Salah satu sasaran utama pembangunan Indonesia adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai agar dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja. Upaya pembangunan pada setiap negara selalu diarahkan pada perluasan 88 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kesempatan kerja dan berusaha agar setiap penduduknya dapat memperoleh manfaat langsung dari pembangunan. Pasar kerja di Indonesia merupakan cerminan suatu perekonomian dualistik yang ditandai oleh lapangan kerja di sektor formal yang relatif kecil dan sektor informal yang sangat besar. Perpindahan tenaga kerja dari sektor informal ke sektor formal yang lebih produktif diharapkan mampu memberikan upah yang lebih tinggi merupakan tujuan utama pembangunan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Selain untuk meningkatkan hak-hak tenaga kerja, tantangan terbesar yang dihadapi dalam jangka pendek hingga menengah adalah memfasilitasi perpindahan tenaga kerja keluar dari lapangan pekerjaan dengan tingkat produktivitas rendah dan membantu mereka yang masih berada di sektor informal melalui penggunaan sumber daya dan perluasan akses ke pasar yang lebih baik. Untuk itu fleksibilitas pasar kerja merupakan bagian penting dari proses penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tidak terjalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja sehingga mengakibatkan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat diabaikannya pertumbuhan lapangan kerja sebagai sasaran utama kebijakan pemerintah. Kesempatan kerja di sektor formal menurun tajam pada tahun 1998 yang kemudian diikuti dengan pemulihan yang lamban selama periode pasca krisis dari tahun 1999 hingga tahun 2001. Tingginya pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di sektor modern selama tiga dasawarsa 89 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - terakhir terhenti akibat krisis ekonomi pada 1997 dan 1998. Memburuknya situasi kesempatan kerja telah mengakibatkan meningkatnya pengangguran terbuka serta membengkaknya sektor informal. Situasi semacam ini merupakan ancaman terhadap sasaran jangka panjang pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan stabilitas sosial. Perluasan kesempatan kerja formal di Indonesia masih tetap lemah pada tahun 2003. Setelah mengalami kontraksi pada tahun 1998, lapangan kerja di sektor formal mengalami pemulihan akibat lonjakan ekspor pada tahun 2000. Namun, perluasan kesempatan kerja formal kembali merosot tajam, pada tahun 2002. hal ini disebabkan oleh jumlah pekerja formal yang mengalami penurunan, semakin menurunnya jumlah lapangan kerja formal akibat krisis namun, jumlah jumlah angkatan kerja relatif tinggi. Perkembangan kesempatan kerja di sektor formal dari tahun 2000 hingga tahun 2002 dapat di lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.2 Perkembangan Kesempatan Kerja di Sektor formal STATUS PEKERJAAN Berusaha buruh tetap * Perkotaan * Pedesaaan * Nasional Pekerja/Buruh/Karyawan * Perkotaan * Pedesaaan * Nasional Pekerja Formal * Perkotaan * Pedesaaan * Nasional TAHUN Perubahan 2000 2001 2002 Perubahan 1,002,252 1,030,275 2,032,527 1,342,678 1,446,200 2,788,878 340,426 415,925 756,351 1,432,827 1,348,399 2,786,226 90,149 -97,801 -2,652 17,581,703 11,916,336 29,498,039 17,928,849 8,650,151 26,579,000 347,146 -3,266,185 -2,919,039 17,459,389 7,590,404 25,049,793 -469,460 -1,059,747 -1,529,207 18,583,955 12,946,611 31,530,566 19,271,527 10,096,351 29,367,878 687,572 -2,850,260 -2,162,688 18,897,216 8,938,803 27,836,019 -374,311 -1,157,548 -1,531,859 Sumber: Sakernas-BPS, 2002 Dari tabel di atas, hilangnya kesempatan kerja formal yang berlangsung seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi 90 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - mendorong perluasan sektor informal, sehingga berlawanan dengan trend perekonomian pada periode sebelum terjadi krisis yang mengarah pada perluasan kesempatan kerja di sektor formal. Perkembangan angkatan kerja di Indonesia dilihat dari latar belakang pendidikan yang ditamatkan, maka jumlah angkatan kerja yang berlatar belakang pendidikan SD ke bawah pada tahun 2003 mengalami penurunan dari 59,057 ribu jiwa menjadi 54,824 ribu jiwa. Sedangkan angkatan kerja berpendidikan SMTP dan SMTA mengalami peningkatan masing-masing 20,569 ribu jiwa dan 20,293 ribu jiwa pada tahun 2003. Jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi yakni lulusan diploma mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi 1,932 ribu jiwa sedangkan lulusan Universitas mengalami kenaikan menjadi 2,698 ribu jiwa pada tahun 2003. Perkembangan angkatan kerja berdasarkan latar belakang pendidikan pada tahun 2000-2003 dapat di lihat pada tabel 4.3: Tabel 4.3 Angkatan Kerja Menurut Pendidikan Tahun 2001-2003 PENDIDIKAN < SD SMTP SMTA Akademi/Diploma Universitas Jumlah TAHUN 2000 57,258 15,363 18,591 2,144 2,295 95,651 TAHUN 2001 58,309 16,850 18,747 2,238 2,669 98,812 TAHUN 2002 59,057 17,489 19,332 2,215 2,686 100,779 TAHUN 2003 54,824 20,569 20,293 1,932 2,698 100,316 Sumber : BPS, Sakernas (data diolah dalam Ribu Orang) Dengan semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja di Indonesia yang tidak tertampung di pasar kerja menyebabkan semakin bertambahnya jumah pengangguran. Pengangguran terbuka meningkat sebesar satu juta orang pada tahun 2002 dengan tingkat pengangguran usia muda yang 91 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang lambat dan cepatnya kenaikan biaya upah pada tahun 2001 dan tahun 2002 memberi kontribusi terhadap memburuknya situasi kesempatan kerja pada tahun 2002. Pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara 3-4% tidak memadai untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih baik guna menyerap 2,5 juta pencari kerja baru setiap tahunnya, apalagi mengeluarkan pekerja dari sektor tradisional. Kondisi ketenagakerjaan hingga kini masih belum pulih akibat terpaan krisis ekonomi. Penciptaan lapangan kerja berjalan sangat lambat. Bahkan setiap tahunnya hanya tercipta 1,5 juta lapangan kerja baru. Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk menampung masuknya angkatan kerja baru yang besarnya antara 2 juta hingga 2,5 juta orang per tahun. Di sisi lain, krisis ekonomi memperkecil jumlah lapangan pekerjaan. Berdasarkan Laporan BPS menunjukan bahwa pada tahun 2003 terjadi penyusutan lapangan kerja formal 1,2 juta, terutama di perkotaan (656.000) dan sisanya di pedesaan. Angka tersebut menunjukan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK dan sebagainya. Sedangkan di tahun 2003, penyusutan lapangan pekerjaan lebih besar lagi, yaitu 1,5 juta, terdiri dari perkotaan (400.000) dan sisanya di pedesaan. Mereka kemudian masuk ke sektor informal (Human Capital, No 12 tahun 2005: 37). Kompleksnya upaya untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan di Indonesia, berkaitan erat dengan kondisi ekonomi, politik, keamanan, sosial, kebijakan investasi, dan pendidikan. Selain itu, Faktor-faktor yang berperan terhadap buruknya iklim investasi secara keseluruhan meliputi, 92 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - lambannya pemulihan sektor perbankan, restrukturisasi korporasi yang lambat, kelemahan dan korupsi dalam sistem hukum dan birokrasi, dan ketidakpastian hak kepemilikan (property rights). Industri-industri padat pekerja, khususnya, telah mengalami kesulitan sejak tahun 2001. Kenaikan biaya upah yang tinggi dan ketidakpastian dalam lingkungan hubungan industrial telah mempengaruhi daya saing beberapa industri utama yang padat pekerja, yang kemudian mulai berdampak terhadap investasi di sektor-sektor tersebut. Sementara kebijakan upah minimum dan buruknya lingkungan hubungan industrial merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi daya saing, walaupun masih ada berbagai faktor lain yang juga penting. Berbagai kendala yang menghambat pertumbuhan sektor padat pekerja seperti, hambatan infrastruktur, biaya operasi pelabuhan yang tinggi, korupsi dalam administrasi pabean dan pajak serta pembatasan perdagangan dan pungutan pajak yang dilakukan pemerintah daerah, Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa perbaikan kebijakan dan kepemerintahan yang baik penting untuk meningkatkan laju pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Selama ini pemerintah mengandalkan investasi asing untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, namun karena belum pulihnya citra buruk Indonesia di mata masyarakat global maka untuk beberapa tahun ke depan, investasi asing belum mampu diharapkan. Selain itu, investasi domestik (PMDN) juga belum menunjukan perbaikan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari tingginya komitmen kredit bank yang belum dicairkan serta belum terwujudnya utilisasi penuh dari kapasitas 93 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - pabrik yang ada. Secara umum kondisi investasi di Indonesia masih buram. Sementara pemerintah sendiri tidak bisa diandalkan sebagai motor penggerak ekonomi karena APBN yang bersifat kontraktif dalam beberapa tahun terakhir. Langkah visioner pemerintah dalam membuka lapangan kerja, antara lain bisa diwujudkan dengan mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit dan merevitalisasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) maupun sepatu Indonesia yang belakangan ini kehilangan daya saing. Harapan pembukaan lapangan kerja terbesar kini datang dengan akan dibangunnya beraneka proyek infrastruktur di Indonesia dengan melibatkan investor global. Masih banyak langkah strategis yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk segera mengatasi persoalan lapangan kerja. Secara simultan, langkah itu bisa berbarengan dengan upaya serius memperbaiki kualitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan. Untuk meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, maka peran pemerintah kedepan, adalah menjalankan program wajib belajar 9 tahun secara gratis. persoalan pendidikan ini sangat serius karena akan sangat menentukan kemajuan dan kesejahteraan bangsa ke depan. Populasi Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa sebenarnya adalah potensi pasar dan sumberdaya untuk menggerakan perekonomian. Sehingga pemerintah diharapkan lebih menyadari dan memahami masalah ketenagakerjaan yang semakin kompleks, luas, sosial dan 94 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - ekonomis. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan mampu memberikan perhatian khusus untuk menangani masalah ketenagakerjaan. 3. Perkembangan Variabel Penelitian a. Laju Inflasi di Indonesia Inflasi merupakan indikator utama stabilitas moneter. Pada dasarnya para konsumen, produsen maupun pemerintah menginginkan rendahnya tingkat inflasi. Namun berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam ekonomi Indonesia selama ini, kegiatan ekonomi selalu diikuti tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini justru akan membebani masyarakat dengan tingginya tingkat harga. Dengan kata lain, kemajuan ekonomi negara justru akan menurunkan nilai uang atau daya beli masyarakat. Salah satu penyebab terjadinya keadaan seperti ini ialah karena ekonomi Indonesia terkenal sebagai ekonomi yang cepat memanas (Overheated). Tingginya laju inflasi perlu diwaspadai karena berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap uang domestik yang beredar. Akibatnya akan mudah sekali merebak isu devaluasi. Selain itu, laju inflasi yang tinggi akan menghambat ekspor dan akan menimbulkan kesulitan pada neraca pembayaran (Suseno Triyanto, 1997: 51). Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, laju inflasi di Indonesia sempat mencapai 650% sehingga menghancurkan sistem keuangan Indonesia pada waktu itu. Dari pengalaman pahit tersebut, pemerintah senantiasa berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Hal ini dapat dibuktikan dari menurunnya laju inflasi dari Pelita ke Pelita pada masa 95 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - orde baru, yaitu pada Pelita I rata-rata laju inflasi pertahun 17,48%, kemudian Pelita II dan III masing-masing 14,77% dan 13,6%, sedangkan pada Pelita IV menurun secara drastis yaitu 6,59% (Nota Keuangan dan RAPBN, 1993/1994). Melihat kondisi empiris pembangunan ekonomi sejak Pelita I tahun 1969 hingga akhir dekade 1980-an dapat dikatakan Indonesia telah mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang spektakuler. Dalam tahun 1983/1984, yang merupakan tahun terakhir pelaksanan (REPELITA III), perekonomian Indonesia mengalami tantangan-tantangan yang amat berat terutama sebagai akibat resesi dunia dan perkembangan pasaran minyak bumi yang kurang menguntungkan. Namun perekonomian Indonesia masih menunjukan hasil yang cukup memadai, seperti tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Sedangkan laju inflasi di tahun 1985 sebesar 4,3% setahun dengan laju pertumbuhan PDB hanya sebear 2,53%. Dalam tahun 1986/1987 perekonomian Indonesia mengalami keadaan yang sangat sulit terutama sebagai akibat merosotnya harga minyak bumi, di samping masih rendahnya pertumbuhan ekonomi dunia dan tindakan proteksi oleh beberapa negara industri. Sedangkan tekanan terhadap laju inflasi pada tahun 1991/1992 antara lain meliputi penyesuaian harga BBM dan tarif jasa-jasa pelayanan umum tertentu, serta keterbatasan prasarana dan kapasitas produksi untuk beberapa barang tertentu. Selain itu, masih tingginya permintaan dalam negeri 96 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - sejalan dengan peningkatan investasi dan kenaikan gaji pegawai negeri juga memberikan tekanan terhadap laju inflasi. Dalam tahun 1992 laju inflasi berhasil ditekan cukup rendah, yaitu mencapai 4,92% Pada tahun 1993/1994 pengendalian inflasi merupakan permasalahan yang menonjol. Pada kuartal I 1993 laju inflasi kembali meningkat dan mencapai 6,44%. Apabila dilihat dari sebab-sebabnya, peningkatan laju inflasi timbul karena beberapa faktor antara lain: adanya kenaikan harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan yang selama ini dikendalikan oleh pemerintah, dan pengaruh bencana banjir di beberapa daerah yang bersamaan pula dengan datangnya Idul Fitri pada bulan maret 1993. Namun tingkat inflasi di tahun 1995 mulai bergerak turun. Hal ini disebabkan adanya kenaikan tingkat suku bunga sehingga terjadi penurunan pertumbuhan uang primer dan jumlah uang yang beredar. Di tahun 1996 laju inflasi kembali menurun menjadi sekitar 6,5%. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam sektor riil dan perdagangan akibat dari komitmen pemerintah terhadap WTO dan APEC. Pergerakan laju inflasi di Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi pada awal tahun 1990 sampai menjelang tahun 1997 masih dapat dikatakan relatif stabil dan berada dalam taraf yang terkontrol. Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata inflasi berada pada level 9%. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada tahun 1992 sebesar 3,59%. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan tingkat 97 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - inflasi meroket hingga mencapai 77,54%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini: Tabel 4.4 Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 1990-2003 TAHUN 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Kuartalan Kuartalan Kuartalan Kuartalan Tahunan I II III IV 6,4 0,53 1,27 1,53 9,90 3714 0,88 2,79 1,86 9,24 3,04 2,34 1,41 1,85 8,64 3,26 0,77 0,91 1,53 6,47 1,96 2,54 5,37 11,05 11,05 25,13 46,55 75,47 77,63 77,54 4,08 2,73 0,02 2,04 2,01 0,93 1,91 1,74 4,42 9,35 2,11 3,28 2,56 4,06 12,55 3,5 0,92 1,65 3,63 10,03 0,77 0,46 1,24 0,89 5,06 Sumber: Bank Indonesia Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang dipicu oleh krisis moneter yang secara cepat menjalar ke sektor riil. Hal ini mengakibatkan turunnya taraf hidup rakyat Indonesia. Pada periode tahun 1997/1998 perkembangan laju inflasi merupakan yang tertinggi sejak tahun 1984 dan tahun 1974/1975. Namun, harus diakui pula bahwa penurunan kinerja perekonomian pada tahun tersebut juga tidak terlepas dari inefisiensi yang selama ini terjadi di sektor riil seperti terlihat dari masih banyaknya distorsi di bidang perdagangan dan investasi. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, terjadi akibat dari semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Sementara pada saat yang sama, perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. 98 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Sampai dengan awal tahun, situasi tersebut terus memburuk menjadikan krisis ini menjadi yang terparah sejak tahun 1960-an. Namun, dengan berbagai langkah stabilisasi dan reformasi ekonomi yang dimulai dalam semester kedua tahun 1998, beberapa indikator mulai menunjukan adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi. Nilai tukar rupiah menguat dan stabil diikuti dengan laju inflasi yang jauh menurun. Selama semester pertama 1999, telah terjadi pertumbuhan ekonomi selama tahun 1998 dan semester pertama 1999. Kondisi perekonomian nasional di tahun 1998 sangat kurang menguntungkan. Sehingga memicu hilangnya kepercayaaan pada kekuatan ekonomi Indonesia. Akibatnya nilai rupiah merosot tajam secara langsung mengakibatkan melonjaknya laju inflasi. Selain itu, faktor lain yang mendorong laju inflasi adalah kegagalan panen pada tahun 1997/1998 akibat kekeringan yang ditimbulkan fenomena cuaca El Nino., yang berdampak luas dan dalam terhadap pilar-pilar ekonomi lainnya. Inflasi membumbung tinggi, demikian juga tingkat suku bunga. Beban hutang perusahaan baik di sektor keuangan maupun sektor riil meningkat tajam dan mengganggu operasi mereka. Sistem pembayaran terganggu sehingga kegiatan produksi dan ekspor-impor terhambat. Keuangan pemerintah menjadi sangat lemah. Pertumbuhan ekonomi merosot tajam dan kemiskinan serta pengangguran meningkat. Pada akhir desember 1998, inflasi yang terjadi mencapai 77,6% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang terjadi pada 99 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - tahun-tahun sebelumnya, yakni 6,5% di tahun 1996 dan 10,3% di tahun 1997. Lonjakan laju inflasi tersebut sebagian besar berasal dari barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable goods) terutama makanan dan pakaian. Harga barang-barang tersebut jauh meningkat dengan terdepresiasinya nilai rupiah. Setelah gagal menahan laju depresiasi rupiah disemester kedua 1997, di awal tahun 1998 Bank Indonesia menaikkan suku bunga sampai tingkat yang tinggi. Pada bulan juli 1998, suku bunga SBI 1 bulan meningkat sampai 70% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode pra krisis yang hanya sekitar 10% (Bappenas, 1999: 17). Perekonomian Indonesia juga masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan berupa terbatasnya lapangan kerja, masalah pemerataan, terbatasnya prasarana. Pada tahun 2000 Inflasi di Indonesia meningkat menjadi 9,35% (year on year) dibandingkan tahun 1999 yang hanya sebesar 2,01%. Hal ini disebabkan karena kondisi makroekonomi Indonesia dan situasi keamanan dan politik dalam negeri yang kurang menguntungkan. Selain itu, di tahun 2000 perkembangan harga-harga mendapat tekanan dengan meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi akibat dari adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, serta meningkatnya ekspektasi terhadap inflasi. Tingkat inflasi selama tahun 2001, mengalami tekanan yang lebih berat jika dibandingkan dengan inflasi di tahun 2000. Hal ini berkaitan dengan adanya kebijakan pemerintah menaikan TDL dan 100 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - harga jual eceran rokok, kenaikan tarif angkutan akibat kenaikan harga BBM pada bulan juli serta kenaikan biaya pendidikan seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru. Sehingga menekan tingkat inflasi menjadi 12,55%. Pada tahun 2002, laju inflasi tahunan mengalami penurunan dari 12,55% di tahun 2001 menjadi 10,03% pada tahun 2001. Kondisi ini mencerminkan bahwa dalam tahun 2002 telah terjadi proses disinflasi. Sedangkan kondisi pada tahun 2003 Inflasi dapat ditekan hingga mencapai angka 5,06%. Penurunan inflasi di tahun 2003 terkait dengan peningkatan sisi penawaran yang dapat mengimbangi permintaan domestik. Kondisi tersebut antara lain didukung oleh peningkatan impor khususnya beras serta adanya ekspektasi inflasi yang menurun. Sementara itu dari sektor industri, tingginya investasi yang terjadi pada awal 2003 diperkirakan akan meningkatkan kapasitas produksi dalam jangka lebih panjang. Secara umum kondisi makroekonomi stabil dan cenderung membaik selama 2003. kinerja neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, dan laju inflasi lebih baik dari pada proyeksi di awal 2003. b. Pengangguran di Indonesia Pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Keadaan ini terutama disebabkan adanya ketimpangan antara perkembangan angkatan kerja yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Masalah pengangguran masih merupakan masalah besar bagi Indonesia, 101 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - terutama melihat kenyataan bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi selama ini. Para penganggur ini adalah mereka yang tidak bekerja tetapi sedang berusaha mendapatkan pekerjaan (Hananto Sigit, dkk, 1988: 22). Besarnya kesempatan kerja pada sektor informal di Indonesia yang umumnya tidak terlalu memerlukan keahlian dan pendidikan tertentu menyebabkan orang mudah memperoleh pekerjaan tapi dengan produktivitas dan pendapatan yang rendah. Di samping pengangguran penuh, hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah masalah setengah pengangguran atau pengangguran tidak penuh. Setengah penganggur ini adalah penduduk yang mempunyai pekerjaan, tetapi tidak sepenuhnya produktif. Mereka terdiri dari pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal atau mereka yang bekerja dengan jam kerja penuh tapi tidak memperoleh penghasilan cukup atau pekerja yang tidak sesuai antara jenis pekerjaan dengan tingkat pendidikannya (Hananto Sigit, dkk, 1988:23). Persentase tingkat setengah pengangguran yang tinggi, terutama terlihat pada sektor-sektor tradisional dan informal seperti sektor pertanian, industri rumah tangga, dan perdagangan eceran. Sektor-sektor semacam itu tudak terlalu menuntut tingkat pendidikan ataupun keahlian. Begitu pula, tidak diperlukan investasi yang besar. Oleh karena itu tenaga kerja akan relatif mudah bekerja atau berusaha sendiri dalam sektor-sektor semacam itu. Hal semacam ini akan terus berlangsung, sehingga jika dibiarkan struktur perekonomian dan 102 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - kesempatan kerja memburuk, sehingga sektor-sektor tertentu menjadi semkin miskin karena harus menampung tenaga kerja yang terus melimpah. Untuk itu diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang terpadu, mengaitkannya dengan kebijakan perekonomian, sehingga akan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan kesempatan kerja bisa tumbuh dengan merata dan lebih cepat, dengan tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan tujuan pembangunan lainnya (Hananto Sigit, dkk, 1988: 23). Meningkatnya angka pengangguran selama beberapa tahun terakhir ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja dengan penciptaan kesempatan kerja. Berdasarkan data di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Pada tahun 1996, perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98%. Namun dengan terjadinya krisis ekonomi ditahun 1997 dan 1998, jumlah pengangguran meningkat lagi akibat banyak karyawan yang di PHK. Sedangkan jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8%. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,03 juta juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedangkan di tahun 2003 jumlah pengangguran meningkat hingga mencapai 9.53 juta orang dan jumlah ini akan terus meningkat apabila pemulihan ekonomi belum berjalan dengan baik. Pertumbuhan jumlah 103 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - angkatan kerja dan jumlah pengangguran dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 4.5: Tabel 4.5 Jumlah Angkatan Kerja dan Jumlah Pengangguran di Indonesia Tahun 1990-2003 TAHUN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 JUMLAH ANGKATAN KERJA JUMLAH PENGANGGURAN 77,802,264 78,455,548 80,703,974 81,446,078 85,775,633 86,361,261 90,109,582 91,324,911 92,734,932 94,847,178 95,695,979 98,812,448 100,779,270 100,316,007 1,951,684 2,032,369 2,185,602 2,245,536 3,737,524 6,251,201 4,407,769 4,275,155 5,062,483 6,030,319 5,871,956 8,005,031 9,132,104 9,531,090 Sumber: BPS (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia) Sepanjang tahun 2003, kondisi ketenagakerjaan masih belum mengalami perbaikan yang berarti angka pengangguran terbuka tahun 2003 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih relatif kecil dan cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2003 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan kerja sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka di perkirakan meningkat menjadi 10,1 juta orang. 104 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - B. Analisa Data dan Pembahasan 1. Deskripsi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series yang merupakan data sekunder. Adapun data tersebut diperoleh dari buku Laporan Tahunan Bank Indonesia berbagai edisi, website BI (www.bi.go.id) dan buku Keadaan Angkatan kerja di Indonesia berbagai edisi. Data tersebut dianalisis dalam bentuk data tahunan dari tahun 1983 hingga tahun 2003. Data yang digunakan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Eviews Version 4.0. Analisis data yang akan dikemukakan merupakan hasil analisis secara statistik dan ekonomi. Adapun variabelvariabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Inflasi : Merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Di mana, inflasi adalah suatu keadaaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli masyarakat yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (instrinsik) mata uang suatu negara. Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK) yang menggambarkan besarnya inflasi pada tingkat nasional untuk masing-masing jenis barang dan jasa yang termasuk dalam pola konsumsi masyarakat. b. Pengangguran : Merupakan penduduk yang termasuk angkatan kerja tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi waktu tertentu (Nota Keuangan). 105 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka, terdiri dari (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2003): 1) Mereka yang mencari pekerjaan 2) Mereka yang mempersiapkan usaha 3) Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. 4) Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.6 di bawah ini: Tabel 4.6 Data Tingkat Inflasi dan Pengangguran di Indonesia TAHUN INFLASI PENGANGGURAN 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 12,63 3,64 4,31 8,83 8,90 5,47 5,97 9,53 9,52 3,59 9,90 9,24 8,64 6,47 10,27 77,54 2,01 9,35 12,55 10,03 5,06 0,75 1,07 1,26 2,64 2,55 2,79 2,76 2,51 2,59 2,71 2,76 4,36 7,24 4,89 4,68 5,46 6,36 6,14 8,10 9,06 9,50 Sumber: Bank Indonesia dan BPS Ket: INF (dalam %) dan UNEMPL (dalam %) 106 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 2. Model Analisis Penelitian ini akan menggunakan model analisis Error Correction Model untuk menganalisis pengaruh antara variabel dependen dan independen. Alat analisis ini lebih relevan jika data yang dianalisis stasioner/stabil/normal, sebab salah satu syarat untuk mengaplikasikan regresi deret waktu adalah dipenuhinya data yang bersifat stasioner. Untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak, maka dilakukan uji terhadap orde/integrasi dari masing-masing variabel yang digunakan dengan menggunakan uji akar-akar unit (Unit Roots Test) dan uji derajat integrasi. Data yang bersifat tidak stasioner untuk koefisien regresi tersebut menjadi tidak valid lagi (Insukindro dan Aliman 1999:54). Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran dalam janga pendek, akan digunakan uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Konsep uji kausalitas Granger dikenal sebagai konsep kausalitas sejati atau prediktabilitas di mana masa lalu dapat mempengaruhi masa kini atau masa datang, akan tetapi masa kini tidak dapat mempengaruhi masa lalu. Sedangkan untuk mengetahui apakah dalam jangka panjang terdapat hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran akan digunakan alat analisis dengan menggunakan konsep koreksi kesalahan (ECM) yang lebih dikenal dengan nama VECM (Vector Error Correction Model). Selain konsisten dengan konsep kointegrasi, model koreksi kesalahan ternyata lebih mampu menjelaskan hubungan kausalitas daripada uji kausalitas Granger (1969), di mana model kausalitas Granger (1969) yang baku diperluas dengan membentuk model 107 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - koreksi kesalahan atau dapat disebut dengan vector error correction model dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas dari variabel yang sedang diuji, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang (Aliman,2000:133). 3. Hasil dan Analisis Data a. Uji Model Mac Kinnon, White and Davidson (MWD Test) Pemilihan bentuk fungsi model empirik digunakan untuk mengetahui apakah sebaiknya menggunakan bentuk linier atau log linier. Hal ini karena teori ekonomi tidak secara spesifik menunjukkan apakah sebaiknya bentuk fungsi suatu model empirik dinyatakan dalam bentuk linear atau log-linier atau bentuk fungsi lainnya (Aliman,2000: 14). Dalam penelitian ini, digunakan metode yang dikembangkan oleh Mac Kinnon, White dan Davidson pada tahun 1983 dan lebih dikenal dengan MWD test. Dari hasil uji MWD, jika nilai Z1 signifikan secara statistik, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa model yang benar adalah bentuk linier ditolak. Demikian juga apabila Z2 signifikan secara statistik, maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa model yang benar adalah bentuk log linier ditolak. Berikut ini merupakan hasil pengujian dengan membandingkan dua model. Dapat dilihat pada tabel 4.7 dan tabel 4.8: 108 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.7 Hasil MWD test model 1 (ECM Linear) Dependent Variable: DINF Method: Least Squares Date: 07/24/05 Time: 06:13 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C DUNEMPL UNEMPL(-1) ECT Z1 1.851730 0.009094 -1.069822 1.074457 60.34065 10.75888 0.039547 0.258975 0.262485 65.08931 0.172112 0.229943 -4.130985 4.093404 0.927044 0.8657 0.8212 0.0009 0.0010 0.3686 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.582221 0.470813 17.05259 4361.865 -82.22800 1.859820 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -0.378500 23.44154 8.722800 8.971733 5.226040 0.007706 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Tabel 4.8 Hasil MWD test model 2 (ECM Log Linier) Dependent Variable: DLOGINF Method: Least Squares Date: 07/24/05 Time: 06:14 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 1.013975 0.249297 4.067343 DUNEMPL 0.000647 0.000676 0.957095 UNEMPL(-1) -1.363015 0.240079 -5.677373 ECT1 1.363480 0.240136 5.677955 Z2 -0.000461 0.000441 -1.046208 R-squared 0.696398 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.615438 S.D. dependent var S.E. of regression 0.302087 Akaike info criterion Sum squared resid 1.368849 Schwarz criterion Log likelihood -1.561149 F-statistic Durbin-Watson stat 2.204576 Prob(F-statistic) Prob. 0.0010 0.3537 0.0000 0.0000 0.3120 -0.019863 0.487134 0.656115 0.905048 8.601702 0.000815 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Berdasarkan hasil regresi pada uji MWD di atas, maka dapat dilihat bahwa nilai Z1 dan Z2 pada model 1 dan model 2 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti antara 109 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - bentuk fungsi linier maupun bentuk log inier. Artinya kedua model tersebut sama baiknya. Namun model yang dipilih adalah model ECM Linier karena data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk persentase. b. Uji Stasioneritas Pada tahap awal akan dilakukan uji stasionaritas dengan menggunakan uji akar-akar unit, dengan metode DF dan ADF. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah data deret waktu yang digunakan bersifat stasioner atau tidak. Apabila dari hasil uji yang digunakan pada data yang dimaksud belum mempunyai sifat yang stasioner, maka langkah selanjutnya adalah menentukan orde/derajat integrasi sampai data yang akan digunakan bersifat stasioner yaitu dengan uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi dilanjutkan dengan uji kointegrasi. 1) Uji Akar-Akar Unit Uji akar-akar unit adalah uji stasioneritas untuk mengamati apakah koefisien tertentu yang sedang diamati mempunyai nilai satu atau tidak. Untuk uji akar-akar unit, dapat dilihat dari nilai hitung mutlak DF dan ADF. Apabila nilai hitung mutlak lebih besar dari nilai kritis mutlak (pada =1%), maka variabel tersebut stasioner. Begitu pula sebaliknya apabila nilai hitung mutlak lebih kecil dari nilai kritis mutlak (pada =1%), maka variabel tersebut tidak stasioner. 110 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.9 Nilai Uji Akar-Akar Unit dengan Metode DF dan ADF Pada Orde 0 Variabel D(INF) D(UNEMPL Nilai Hitung Mutlak DF ADF 5.150797 4.134656 5.014006 4.195336 Nilai Krisis Mutlak pada 1% DF ADF 3.8572 3.8572 4.5743 4.5743 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Keterangan: D(INF) = Perubahan Tingkat Inflasi D(UNEMPL) = Perubahan Tingkat Pengangguran Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode DF dan ADF, tabel 4.9 di atas, terlihat bahwa ADF pada orde I(0) untuk variabel Pengangguran (UNEMPL) adalah sebesar 4.195336 lebih kecil dari nilai kritis mutlak pada tingkat 1% yaitu sebesar 4.5743. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel pengangguran belum stasioner. Sehingga masih perlu dilanjutkan dengan menggunakan uji derajat integrasi. 2) Uji Derajat Integrasi Uji derajat integrasi dilakukan untuk mengetahui pada derajat integrasi keberapa data yang akan diamati akan stasioner. Dari uji derajat integrasi yang dilakukan dapat diperoleh hasil estimasi seperti tabel di bawah ini: Tabel 4.10 Nilai Uji Derajat Integrasi dengan Metode DF dan ADF Pada Orde 1 Variabel D(INF) D(UNEMPL) Nilai Hitung Mutlak Nilai Krisis Mutlak pada 1% DF ADF DF ADF 6.188378 5.518283 5.965391 5.411281 3.8877 3.8877 4.6193 4.6193 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Ket: D(INF) = Perubahan Tingkat Inflasi D(UNEMPL) = Perubahan Tingkat Pengangguran 111 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa nilai DF dan ADF untuk semua variabel telah memiliki nilai yang lebih besar dari nilai kritis Mac Kinnon pada tingkat 1%. Hal ini menunjukan bahwa pada orde atau derajat satu I(1) semua data sudah stasioner. Ini berarti bahwa distribusi (t) mengarah pada kondisi yang signifikan dengan menggunakan uji stasioneritas metode DF maupun ADF. 3) Uji Kointegrasi Setelah uji stasioneritas melalui uji akar-akar unit dan derajat integrasi dipenuhi, maka langkah selanjutnya dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Uji statistik yang digunakan adalah uji CRDW, uji DF dan uji ADF. Untuk menguji kointegrasi antara variabel-variabel yang ada, metode yang digunakan adalah metode Engel dan Granger dengan memakai uji statistik DF dan ADF untuk melihat apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Untuk menghitung nilai DF dan ADF, terlebih dahulu adalah dengan membentuk persamaan regresi kointegrasi dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS). INF = m0 + m1UNEMPLt + et........................................ ( 4.1) 112 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Dimana (INF) adalah tingkat inflasi dan (UNEMPL) adalah tingkat pengangguran sedangkan t menunjukan waktu sedangkan e merupakan residual atau error term. Dari persamaan di atas akan didapat nilai residualnya. Setelah nilai residualnya didapat langkah selanjutnya adalah melakukan penaksiran melalui otoregresi dari residual persamaan tersebut dengan menggunakan OLS: DEt = p1BEt...................................................................... ( 4.2) k DEt = g1BEt + w i 1 1 B1DEt.............................................. ( 4.3) Tabel 4.11 Hasil Estimasi OLS Regresi Kointegrasi ADF Test Statistic: -4.991237 1% Critical Value -3.8572 5% Critical Value -3.0400 10% Critical Value -2.6608 Variabel Dependen: D(Residu) Variabel DResidu(-1) D(DResidu(-1)) R F Statistik DW Statistik Koefisien -2.077404 0.374341 Std Error 0.416210 0.238978 t-Statistic -4.991237 1.566423 Prob 0.0002 0.1381 : 0.789326 : 28. 9995 : 2.202558 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Dari tabel regresi kointegrasi didapat nilai residualnya, yang kemudian diuji dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller untuk melihat apakah nilai dari residual tersebut bersifat stasioner atau tidak. Tabel 4.11 menunjukan bahwa nilai hitung mutlak ADF lebih besar dari nilai kritis mutlak Mac Kinnon pada tingkat 1%. Hal ini berarti bahwa nilai residu tersebut bersifat stasioner pada orde/ derajat satu. 113 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - c. Hasil Uji Model Koreksi Kesalahan (ECM) Estimasi dengan pendekatan model koreksi kesalahan akan menjelaskan parameter jangka pendek maupun jangka panjang atas variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan uji MWD yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukan bahwa model yang digunakan untuk meneliti pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi di Indonesia adalah model pendekatan ECM linier. Hasil analisis regresi OLS ECM linier adalah sebagai berikut: Tabel 4.12 Estimasi Fungsi Inflasi Terhadap Pengangguran dengan Model ECM Linier Variabel Dependen : DINF Variabel Koefisien Std.Error Konstanta 8.484774 D(UNEMPL) 2.067102 UNEMPL(-1) -0.314652 ECT 1.134623 R : 0.558327 R Adjusted : 0.475513 DW Statistik : 1.955224 8.001269 3.738983 1.641316 0.253247 t-Statistik Prob 1.060429 0.3047 0.552852 0.5880 -0.191707 0.8504 4.480303 0.0004 F-Statistik : 6.741961 Prob F-stat : 0.003765 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Keterangan: DINF = First difference Tingkat Inflasi (INFt-INFt-1) D(UNEMPL) = First difference Tingkat Penganguran UNEMPL(-1) = Tingkat Pengangguran dalam Jangka Pendek ECT = Error Correction Term Dari hasil perhitungan model ECM di atas, dapat dibuat fungsi regresi OLS sebagai berikut: DINF = 8.484774 + 2.067102D(UNEMPL) -0.314652 UNEMPL(-1) + 1.134623 ECT 114 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis ECM di atas, maka dapat diketahui besarnya nilai variabel ECT, di mana ECT digunakan sebagai indikator bahwa spesifikasi model dianggap baik atau tidak dilihat dari signifikansi dan koefisien dari koreksi kesalahan (Insukindro dan Aliman, 1999: 54) Berdasarkan fungsi regresi linier ECM di atas, dapat dilihat bahwa nilai koefisien ECT-nya (Error Corection Term) sebesar 1.134623. Ini menunjukan bahwa proporsi biaya ketidakseimbangan dalam perkembangan Inflasi terhadap pengangguran pada periode sebelumnya yang disesuaikan pada periode sekarang adalah sekitar 1.134623%. Dilihat dari tingkat signifikansinya, ECT menunjukan nilai 0.0004 yang signifikan pada taraf 5%. Hal ini berarti spesifikasi model sudah sahih (valid) dan memberi indikasi mengenai kemungkinan hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Dilihat dari nilai koefisien determinasi atau R2 yang diperoleh menunjukkan nilai yang tidak besar yaitu sebesar 0.558327. Nilai konstanta sebesar 8.484774 dari hasil estimasi di atas, menunjukan bahwa perubahan Inflasi terhadap pengangguran sebesar 8.484774 persen jika semua variabel penjelas bernilai nol. Variabel jangka pendek dari model persamaan di atas ditunjukan oleh UNEMPL(-1), koefisien regresi jangka pendek dari regresi ECM Inflasi terhadap pengangguran ditunjukan oleh besarnya koefisien variabel-variabel di atas. Variabel jangka panjang dari model 115 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - tersebut ditunjukan oleh D(UNEMPL) sedangkan koefisien jangka panjang diperoleh dari: Konstanta =C0 / C3= 8.484774/1.134623= 7.478056 D(UNEMPL)=(C2/C3)/C3 =(-0.314652+1.134623)/1.134623= 0.722681 Variabel-variabel UNEMPL(-1) adalah variabel yang menunjukkan parameter jangka pendek, sedangkan koefisien masingmasing variabelnya menunjukkan besarnya pengaruh pada penyesuaian variabel dependen terhadap variabel independen dalam jangka pendek. Variabel-variabel yang menunjukkan parameter jangka panjang adalah D(UNEMPL). Nilai ECT yang signifikan pada tingkat signifikansi 5% menunjukkan adanya hubungan antara ECM dan kointegrasi. Koefisien jangka panjang pada variabel-variabel jangka panjang tersebut menjelaskan besarnya kekuatan respon perubahan pada variabel independen terhadap variabel dependen. d. Hasil Uji Kausalitas Granger Model analisis untuk menguji hubungan kausalitas yang terjadi antara variabel inflasi dan pengangguran di Indonesia akan digunakan uji kausalitas Granger yang diformulasikan sebagai berikut: INFt = n n i 1 j1 j UNEMPLt-i + j INFt-j + u1t.............................. ( 4.4) n UNEMPLt = j UNEMPLt-i + i -1 n jINFt-j + u2t..................... ( 4.5) j1 Dimana u1t dan u2t adalah error terms yang diasumsikan tidak saling berkorelasi atau dipandang mempunyai sifat swara resik (white noise). 116 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Masing-masing persamaan tersebut di regresi dengan menggunakan metode OLS dengan menerapkan kendala (Constraint). n = 0, untuk persamaan 1 j1 n = 0, untuk persamaan 2 j1 Pada uji kausalitas Granger ini akan terdapat empat kemungkinan hasil yang akan diperoleh, yaitu: n n j1 j1 1) Jika 0 dan =0, terdapat kausalitas satu arah dari Inflasi (INF) ke Pengangguran (UNEMPL). n n j1 j1 2) Jika =0 dan 0, terdapat kausalitas satu arah dari Pengangguran (UNEMPL) ke Inflasi (INF). n n j1 j1 3) Jika =0 dan =0, masing-masing variabel bebas antara satu dengan yang lain. n n j1 j1 4) Jika 0 dan 0, terdapat kausalitas dua arah antara Inflasi (INF) dan Pengangguran (UNEMPL). Selanjutnya untuk memperkuat indikasi keberadaan berbagai bentuk kausalitas tersebut maka dilakukan F-test untuk masing-masing model regresi. 117 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.13 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran Variabel INF atas 6 Lag INF dan 6 Lag UNEMPL Penjelas Tahun Sebelumnya Variabel Koefisien t-Statistik Probabilitas Konstanta -6.387010 -1.094981 0.3878 UNEMPLt-1 2.615196 2.376349 0.1407 UNEMPLt-2 -6.543393 5.118239 0.0361 UNEMPLt-3 17.17743 10.89136 0.0083 UNEMPLt-4 1.920000 0.470829 0.6841 UNEMPLt-5 2.653360 0.712868 0.5499 UNEMPLt-6 -1.003991 -0.358560 0.7542 INFt-1 -0.659185 -2.634547 0.1189 INFt-2 -0.572658 -2.402790 0.1382 INFt-3 -0.460559 -3.349348 0.0788 INFt-4 -0.822850 -7.250794 0.0185 INFt-5 -0.755940 -4.021799 0.0566 INFt-6 -0.771602 -1.346400 0.3105 R-squared 0.994656 Adjusted R-squared 0.962591 S.E. of regression 3.510126 Durbin-Watson stat 24.64196 F-statistik -25.00708 Prob(F-statistik) 1.694683 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Tabel 4.14 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Tingkat Pengangguran dengan Tingkat Inflasi Variabel UNEMPL atas 6 Lag UNEMPL dan 6 Lag Penjelas INF Tahun Sebelumnya Variabel Koefisien t-Statistik Probabilitas Konstanta 3.68891 1.872437 0.2020 UNEMPLt-1 0.431657 1.161276 0.3654 UNEMPLt-2 0.032045 0.074211 0.9476 UNEMPLt-3 0.705945 1.325212 0.3162 UNEMPLt-4 -2.361319 -1.714381 0.2286 UNEMPLt-5 -1.210744 -0.963065 0.4371 UNEMPLt-6 1.954454 2.066564 0.1747 INFt-1 0.178948 2.117469 0.1684 INFt-2 0.119504 1.484551 0.2759 INFt-3 0.000870 0.018725 0.9868 INFt-4 0.045575 1.189002 0.3565 INFt-5 0.128044 2.016899 0.1812 INFt-6 -0.323554 -1.671544 0.2366 R-squared 0.965465 Adjusted R-squared 0.758255 S.E. of regression 1.185583 Durbin-Watson stat 3.322033 F-statistik 4.659362 Prob(F-statistik) 0.190122 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 118 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger (1969) antara inflasi dan pengangguran pada tabel 4.13 dan 4.14 menunjukan adanya kausalitas satu arah antara pengangguran dan inflasi. Di mana berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.13 dan 4.14 terlihat bahwa hanya koefisien j yang signifikan tidak sama dengan nol, yaitu 2 dan 3 pada tingkat signifikansi 5%. Serta tidak satupun koefisien j yang signifikan tidak sama dengan nol. Hal ini berarti pengangguran membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk mempengaruhi inflasi pada tingkat signifikansi 5%. e. Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vector Error Corection Model (VECM) Pengujian kausalitas dengan ECM digunakan sebagai pengganti dari pengujian kausalitas standard Granger. Estimasi pengujian didasarkan pada model koreksi kesalahan sebagai berikut: 4 4 I 1 i 1 DINFt= 0 + i DINFt-1+ i DUNEMPLt-1+ 1 t 1 + et ......... ( 4.6) 4 4 I 1 I 1 DUNEMPL= 1 + i UNEMPLt-1+ i DINFt-1+ 1 t 1 + et ... ( 4.7) Keterangan: D = Turunan Pertama DINF dan DUNEMPL adalah Stasioner. 119 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.15 Uji Kausalitas dengan VECM Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran Dependent Variable: DINF Variabel Koefisien Konstanta 3.474172 DUNEMPLt-1 -0.294786 DUNEMPLt-2 -6.837121 DUNEMPLt-3 12.08079 DUNEMPLt-4 6.447441 DINFt-1 -0.103213 DINFt-2 0.1989963 DINFt-3 0.244094 DINFt-4 -0.014761 ECT 0.882200 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat F-statistic Prob(F-statistic) t-Statistik 0.550176 -0.103618 -2.354109 2.781445 0.993488 -0.214143 0.534163 0.791465 -0.070563 1.535378 Probabilitas 0.6021 0.9208 0.0567 0.0319 0.3588 0.8375 0.6124 0.4588 0.9460 0.1756 0.939096 0.847741 10.24528 1.987599 10.27960 0.005146 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Ket: INF = Tingkat Inflasi UNEMPL = Tingkat Pengangguran Tabel 4.16 Uji Kausalitas dengan VECM Tingkat Pengangguran dengan Tingkat Inflasi Dependent Variable: DUNEMPL Variabel Koefisien t-Statistik 0.384264 0.468792 Konstanta -0.254550 -0.689291 DUNEMPLt-1 -0.532379 -1.412132 DUNEMPLt-2 -0.025897 -0.045934 DUNEMPLt-3 -0.837309 -0.993944 DUNEMPLt-4 -0.051372 -0.821100 DINFt-1 -0.078011 1.613466 DINFt-2 -0.051372 -1.458840 DINFt-3 -0.034303 -1.263248 DINFt-4 0.091822 1.231112 ECT1 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat F-statistic Prob(F-statistic) Probabilitas 0.6558 0.5164 0.2076 0.9649 0.3586 0.44330 0.1578 0.1949 0.2534 0.2643 0.468603 -0.328492 1.329912 2.327403 0.587889 0.772712 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Ket: INF = Tingkat Inflasi UNEMPL = Tingkat Pengangguran 120 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Hasil uji kausalitas dengan Vector Error Correction Model (VECM) disajikan pada Tabel 4.15 dan 4.16. Dari kedua Tabel ini, menunjukan hasil yang tidak memuaskan pada kedua persamaan. Ini ditunjukkan dengan koefisien error correction term (ECT) yang tidak signifikan. Temuan ini menunjukan bahwa model yang dibangun tidak sahih sehingga interpretasi lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat dilakukan. 4. Uji Statistik a. Uji t (Uji secara individu) Uji t merupakan uji sendiri-sendiri terhadap koefisien regresi masing-masing variabel bebas, dengan menggunakan derajat keyakinan 5%. 1) Koefisien regresi dari konstanta sebesar 8.484774 dengan probabilitas 0.3047 tidak signifikan dan positif pada derajat signifikasi5 %. 2) Koefisien regresi dari variabel DUNEMPL dalam jangka panjang sebesar 0.722681 dengan probabilitas 0.5880 tidak signifikan dan positif pada derajat signifikasi 5%. 3) Koefisien regresi dari variabel UNEMPL(-1) dalam jangka pendek sebesar -0.314652 dengan probabilitas 0.8504 tidak signifikan dan negatif pada derajat signifikasi 5%. 4) Koefisien regresi dari variabel ECT sebesar 1.134623 dengan probabilitas 0.0004 signifikan dan positif pada derajat keyakinan 5%. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen tersebut 121 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - secara signifikan berpengaruh terhadap variabel Inflasi pada derajat signifikasi 5%. b. Uji F Uji F ini digunakan untuk menguji signifikansi secara bersamasama pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan nilai F hitung adalah 6.741961 dengan probabilitas 0.003765. Dengan demikian bahwa secara bersama-sama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang variabel pengangguran mempunyai pengaaruh yang nyata terhadap tingkat inflasi di Indonesia pada derajat signifikansi 5%. c. Uji Koefisien Determinasi (R2) Besarnya R2 menunjukan besarnya variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai R2 adalah sebesar 0.558327 yang berarti 55.83 % variasi variabel inflasi (INF) dapat dijelaskan oleh variasi variabel pengangguran (UNEMPL). Sedangkan sisanya sebesar 44.17% dipengaruhi faktor lain di luar model. 5. Uji Ekonometrik (Uji Asumsi Klasik) a. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya satu atau lebih variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel lainnya. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas maka digunakan metode Klein. Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai r2 regresi variabel 122 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - independen terhadap variabel independen lainnya dengan nilai R2 dari regresi ECM berganda R2> r2, maka disimpulkan tidak terjadi masalah multikolinearitas dan sebaliknya. Hasil uji Klein untuk mendeteksi masalah multikolinearitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.17 Uji Multikolinieritas VARIABEL R DUNEMPL-UNEMPL(-1) -0.020731 r2 R2 KESIMPULAN 0.004298 0.558327 Tidak Ada Multikolinearitas Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Dari tabel 4.17 di atas, ditunjukan bahwa semua korelasi antar variabel independen memilki nilai r2 yang lebih kecil jika dibandingkan dngan R2 (r2<R2). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen tidak terdapat masalah multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih tetap tidak bias dan konsisten). Salah satu cara untuk mendeteksi masalah Heteroskedastisitas adalah dengan Uji Park. Pengujian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dilakukan regresi dari model yang dipilih yang kemudian akan didapatkan nilai residualnya. Tahap kedua adalah mengkuadratkan nilai residu dan meregresinya dengan semua variabel bebas. Jika nilai yang diperoleh signifikan maka terdapat masalah heteroskedastisitas dan begitu juga sebaliknya. Tabel Uji Heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 4.18 dibawah ini: 123 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.18 Uji Heteroskedastisitas Variabel Konstanta DUNEMPL UNEMPL(-1) t-Statistik 0.158469 0.385533 0.334537 Probabilitas 0.8761 0.7049 0.7423 Hasil Uji t Tidak Signifikan Pada 5% Tidak Signifikan Pada 5% Tidak Signifikan Pada 5% Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Berdasarkan tabel 4.18 di atas, menunjukan nilai probabilitas dari semua variabel melebihi taraf signifikansi 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah adanya korelasi antara variabel gangguan yang diutarakan menurut waktu atau ruang sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Pada penelitian ini, model yang digunakan adalah model koreksi kesalahan, maka untuk mendeteksi masalah autokorelasi digunakan lagrange multiplier test. Uji ini dilakukan dengan meregres semua variabel independen dan variabel dependen untuk kemudian dilakukan yang dikembangkan oleh Breusch-Godfrey terhadap residu dari hasil regresi tersebut. Tabel Uji Autokorelasi dapat dilihat pada tabel 4.19 di bawah ini: 124 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Tabel 4.19 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 0.042755 0.056845 Probability Probability 0.838968 0.811554 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 04/11/05 Time: 16:44 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C DUNEMPL UNEMPL(-1) ECT RESID(-1) 2.702411 0.032774 -0.112743 0.325234 0.334309 15.45655 3.859369 1.778382 1.594440 1.616792 0.174839 0.008492 -0.093397 0.203980 0.206773 0.8635 0.9933 0.9503 0.8411 0.8390 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.002842 -0.263066 17.50853 4598.229 -82.75571 2.006158 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 1.42E-15 15.57889 8.775571 9.024504 0.010689 0.999746 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005 Dari hasil estimasi persamaan di atas, ditemukan besarnya nilai (n-p)*R2= 2 hitung = (21-1)* 0.002842= 0.05684 sementara nilai 2 (1) dengan =5% sebesar 3.84146. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji Breusch-Godfrey, maka hipotesis nol (H0) yang mengatakan 1 2 0 diterima karena nilai 2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai 2 tabel . Atau dengan kata lain, dalam model yang empiris yang digunakan tidak ditemukan adanya autokorelasi. Setelah terpenuhinya semua asumsi klasik yang meliputi uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi dalam model ECM, maka tafsiran-tafsiran yang diperoleh dalam perhitungan regresi ECM tersebut mempunyai varian minimum bersifat tidak bias dan linear. Dengan demikian pengujian secara statistik dapat dilakukan 125 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - guna melihat tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas baik secara individual independen dalam menjelaskan perubahan nilai variabel dependen. 6. Interpretasi Hasil Analisis Uji Kausalitas Granger Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger (1969) antara inflasi dan pengangguran pada tabel 4.13 dan 4.14 menunjukan adanya kausalitas satu arah dari pengangguran ke inflasi. Di mana berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.13 dan 4.14 terlihat bahwa hanya koefisien j yang signifikan tidak sama dengan nol, yaitu 2 dan 3 pada tingkat signifikansi 5%. Serta tidak satupun koefisien j yang signifikan tidak sama dengan nol. Hal ini berarti tingkat pengangguran membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk mempengaruhi tingkat inflasi pada tingkat signifikansi 5%. Ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat kausalitas dua arah antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa tingginya tingkat pengangguran di Indonesia tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat inflasi, akan tetapi lebih disebabkan oleh: Pertama, adanya kelangkaan kesempatan kerja yang menyebabkan meningkatnya pengangguran. Selain itu, tenaga kerja Indonesia kurang memiliki daya saing karena lemahnya etos kerja dan rendahnya produktivitas yang mereka miliki. Kedua, struktur tenaga kerja yang masih berat ke bawah, yaitu dengan mayoritas berpendidikan dasar, menyebabkan di dalam negeri kekurangan tenaga-tenaga ahli yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Meskipun suplai tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berpendidikan 126 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - tinggi di dalam negeri menunjukan kecenderungan yang meningkat, namun tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berkualitas rendah dan kurang terampil, sehingga tidak mampu merebut peluang kerja di dalam negeri sendiri. Situasi ini memberi peluang masuknya tenaga kerja asing untuk mengisi kelangkaan tenaga-tenaga terampil di dalam negeri. Hal inilah yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia. 7. Interpretasi Hasil Analisis Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vektor Error Correction Model (VECM) Hasil uji kausalitas dengan Vector Error Correction Model (VECM) disajikan pada Tabel 4.15 dan 4.16. Dari kedua Tabel ini, menunjukan hasil yang tidak memuaskan pada kedua persamaan. Ini ditunjukkan dengan koefisien Error Correction Term (ECT) yang tidak signifikan. Temuan ini menunjukan bahwa model yang dibangun tidak sahih sehingga interpretasi lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat dilakukan. 8. Interpretasi Hasil Analisis Error Correction Model Dari hasil estimasi yang telah dilakukan dengan menggunakan model regresi ECM Linier dapat dikatakan bahwa penaksir OLS yang diperoleh dari hasil perhitungan regresi model tersebut telah bersifat BLUE, karena sudah terbebas dari masalah asumsi klasik serta pengujian secara statistik juga telah menghasilkan taksiran-taksiran yang berarti secara statistik. Dari hasil estimasi tersebut diperoleh nilai R2 sebesar 0.558327 yang berarti bahwa sekitar 55.83% variasi variabel Inflasi dapat 127 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - dijelaskan oleh variabel bebas, sedangkan 44.17% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Selanjutnya akan dilakukan interpretasi terhadap koefisien regresi dari variabel independen dan dependen dalam model hasil penyesuaian dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil interpretasi dari hasil regresi tersebut dapat diuraikan yaitu sebagai berikut: a. Pengaruh Pengangguran terhadap Inflasi Hasil estimasi ECM Linier menunjukan bahwa dalam jangka pendek variabel tingkat pengangguran (UNEMPL) memiliki hubungan yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi. Dalam jangka pendek koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar -0.314652 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Sedangkan dalam jangka panjang, variabel tingkat pengangguran (DUNEMPL) memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi dengan koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar 0.722681. Besarnya probabilitas tingkat pengangguran dalam jangka panjang yaitu 0.8504 dengan taraf signifikansi 5%, sehingga tingkat pengangguran dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tidak berpengaruh secara nyata terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hasil analisis variabel tingkat pengangguran dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tidak sesuai dengan teori kurva Phillips yang menyatakan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya pengangguran (Dornbush, 1990: 432). Hal ini berarti dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, kondisi perekonomian di Indonesia tidak 128 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh AW Phillips, yaitu terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Namun hal ini membenarkan pendapat Edmund Phelps dan Milton Friedman yang menyatakan bahwa trade off jangka panjang antara laju inflasi dan jumlah pengangguran adalah semu (Dornbush, 1990: 435). Hal ini tejadi karena sebagian besar faktor yang mempengaruhi tingginya laju inflasi di Indonesia disebabkan oleh dorongan biaya (cost-push) yang umumnya dipicu oleh kenaikan administered prices, meningkatnya upah minimum dan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga mengakibatkan meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat. Namun kebijakan fiskal yang diambil pemerintah juga turut mempengaruhi besarnya laju inflasi di Indonesia. Sehingga peran stabilisasi perekonomian sangat penting dilakukan karena keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingginya tingkat inflasi dan juga tingginya tingkat pengangguran merupakan gejala ekonomi yang dapat meresahkan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang diperlukan untuk mengendalikan jalannya perekonomian secara keseluruhan dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan ekonomi makro, yang meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian. Sedangkan kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah yang 129 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - dilaksanakan bank sentral untuk mempengaruhi (merubah ) penawaran uang dalam perekonomian atau merubah tingkat bunga dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat. Karena kinerja ekonomi makro Indonesia merupakan integrasi dari berbagai kebijakan baik moneter maupun fiskal (kebijakan anggaran). Dengan demikian hasil yang dicapai merupakan efek simultan dari seluruh kebijakan tersebut. Sehingga diperlukan suatu pedoman agar kegiatan pemerintah dapat mencapai hasil yang optimal. b. Biaya Ketidakseimbangan dalam Perubahan Inflasi (ECT) Hasil regresi ECM Linier didapatkan nilai koefisien dari variabel ECT sebesar 1.134623 dengan probabilitas 0.0004 positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 5%, artinya bahwa biaya ketidakseimbangan dalam perubahan tingkat inflasi pada periode sebelumnya yang disesuaikan dengan periode sekarang adalah sebesar 1.1346%. Nilai probabilitas yang menunjukan signifikansi variabel ECT ini berarti bahwa analisis ECM yang digunakan dalam penelitian ini sudah valid (sahih) dan dapat menjelaskan pada variabel tidak bebas. 130 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dalam meneliti pengaruh dan hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia selama periode tahun 1983-2003 serta untuk menjawab hipotesis yang diajukan, digunakan model analisis kausalitas Granger (1969) dan pengujian kausalitas dengan menggunakan model koreksi kesalahan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Maka dari hasil penelitian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil Uji Kausalitas Granger Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran, ditemukan bahwa terjadi kausalitas satu arah antara tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi, di mana tingkat pengangguran hanya membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk mempengaruhi tingkat inflasi pada tingkat signifikansi 5%. Namun tingkat inflasi tidak dapat menyebabkan tingkat pengangguran pada tingkat signifikansi 5%. Ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat kausalitas dua arah antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa tingginya tingkat pengangguran di Indonesia tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat inflasi, akan tetapi lebih disebabkan oleh: Pertama, adanya kelangkaan kesempatan kerja yang menyebabkan meningkatnya pengangguran. Selain itu, tenaga kerja 131 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - Indonesia kurang memiliki daya saing karena lemahnya etos kerja dan rendahnya produktivitas yang mereka miliki. Kedua, struktur tenaga kerja yang masih berat ke bawah, yaitu dengan mayoritas berpendidikan dasar, menyebabkan di dalam negeri kekurangan tenaga-tenaga ahli yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Meskipun suplai tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berpendidikan tinggi di dalam negeri menunjukan kecenderungan yang meningkat, namun tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berkualitas rendah dan kurang terampil, sehingga tidak mampu merebut peluang kerja di dalam negeri sendiri. Situasi ini memberi peluang masuknya tenaga kerja asing untuk mengisi kelangkaan tenaga-tenaga terampil di dalam negeri. Hal inilah yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia. 2. Hasil Uji Kausalitas Granger (1988) atau VECM Berdasarkan hasil pengujian untuk menyelidiki hubungan kausalitas dalam jangka panjang yang terjadi antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun 1983 hingga tahun 2004 dengan menggunakan alat analisis ekonometrika dengan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM), menunjukan hasil yang tidak memuaskan pada kedua persamaan. Ini ditunjukkan dengan koefisien Error Correction Term (ECT) yang tidak signifikan. Temuan ini menunjukan bahwa model yang dibangun tidak sahih sehingga interpretasi lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat dilakukan. 132 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - 3. Hasil Uji Model Koreksi Kesalahan Hasil estimasi ECM Linier menunjukan bahwa dalam jangka pendek variabel tingkat pengangguran (UNEMPL) memiliki hubungan yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi. Dalam jangka pendek koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar -0.314652 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Sedangkan dalam jangka panjang, variabel tingkat pengangguran (DUNEMPL) memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi dengan koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar 0.722681. Besarnya probabilitas tingkat pengangguran dalam jangka panjang yaitu 0.8504 dengan taraf signifikansi 5%, maka variabel pengangguran dalam jangka panjang tidak berpengaruh secara nyata terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hasil analisis variabel tingkat pengangguran dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tidak sesuai dengan teori kurva Phillips yang menyatakan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya pengangguran (Dornbush, 1990: 432). Hal ini berarti dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, kondisi perekonomian di Indonesia tidak sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh AW Phillips, yaitu terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Namun hal ini membenarkan pendapat Edmund Phelps dan Milton Friedman yang menyatakan bahwa trade off jangka panjang antara laju inflasi dan jumlah pengangguran adalah semu (Dornbush, 1990: 435). Hal ini tejadi karena sebagian besar faktor yang mempengaruhi tingginya laju inflasi di Indonesia disebabkan oleh dorongan biaya 133 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - (cost-push) yang umumnya dipicu oleh kenaikan administered prices, meningkatnya upah minimum dan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga mengakibatkan meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat. Namun kebijakan fiskal yang diambil pemerintah juga turut mempengaruhi besarnya laju inflasi di Indonesia. Sehingga peran stabilisasi perekonomian sangat penting dilakukan karena keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingginya tingkat inflasi dan juga tingginya tingkat pengangguran merupakan gejala ekonomi yang dapat meresahkan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang diperlukan untuk mengendalikan jalannya perekonomian secara keseluruhan dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan ekonomi makro, yang meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian. Sedangkan kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah yang dilaksanakan bank sentral untuk mempengaruhi (merubah ) penawaran uang dalam perekonomian atau merubah tingkat bunga dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat. Karena kinerja ekonomi makro Indonesia merupakan integrasi dari berbagai kebijakan baik moneter maupun fiskal (kebijakan anggaran). Sehingga diperlukan suatu pedoman agar kegiatan pemerintah dapat mencapai hasil yang optimal. 134 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - B. Saran 1. Dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terutama untuk menurunkan laju inflasi melalui inflation targeting, hendaknya pemerintah lebih bijaksana dalam mematok besarnya tingkat inflasi yang ideal bagi Indonesia. Hal ini diperlukan guna menumbuhkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga diharapkan mampu menyerap jumlah angkatan kerja yang belum terserap di dalam pasar kerja dan dapat mengurangi tingginya tingkat pengangguran. 2. Perlunya peran pemerintah sebagai fasilitator untuk meminimalisir biaya sosial akibat konflik pekerja dan pengusaha hal ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan pekerja maupun kemajuan perusahaan, serta untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha dan berinvestasi. Pencarian win-win solution bagi pengusaha dan pekerja dengan cara perundingan dan negosiasi memberikan kontribusi dan harapan di tengah pencarian pemecahan keluar dari krisis ekonomi yang semakin rumit dan semakin terbatasnya alternatif kebijakan. 3. Masalah ketenagakerjaan yang ada di Indonesia bersifat multi dimensi dan dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, untuk menekan tingginya jumlah pengangguran dan pesatnya perkembangan globalisasi maka upaya untuk menciptakan agar tenaga kerja kita memiliki keunggulan kompetitif yang dinamis, yang berketerampilan dan beradaptasi tinggi sehingga mempunyai daya tahan terhadap perubahan internal maupun eksternal seperti terjadinya krisis, resesi dan stagflasi baik di dalam negeri maupun yang berada di luar 135 Enjang Dwi Astuti – F0101034 - negeri sangat diperlukan. Selain itu, faktor kualitas SDM suatu negara merupakan faktor kunci untuk dapat merebut dan menenangkan persaingan di pasar global. Apalagi dengan semakin terbukanya pasar tenaga kerja dunia di mana persaingan sangat kompetitif, maka SDM di Indonesia diharapkan memiliki daya kreasi, inovasi, tingkat produktivitas tinggi dan kemampuan membaca peluang yang lebih baik. oleh karena pemerintah perlu memberikan perhatian ynag serius mengenai maslah ini. 4. Perlunya mengembangkan konsep link and match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja, yang menitik beratkan pada pelatihan dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas SDM, melalui in-house training system serta dikembangkan program apprenticeship (permagangan) dengan lebih memanfaatkan balai-balai latihan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga diharapkan akan mempercepat tingginya highly skilled labour dan juga transfer of technology untuk mendukung proses industrialisasi yang semakin canggih dalam menghadapi liberalisasi ekonomi. 5. Dari penelitian yang telah dilakukan, pengujian kausalitas belum memberikan hasil yang memuaskan. sehingga untuk penelitian selanjutnyanya, alangkah lebih baik jika tahun pengamatan lebih diperpanjang lagi, sehingga mampu memberikan hasil yang memuaskan serta perlunya pengembangan alat analisis yang lebih baik lagi guna menjawab berbagai macam fenomena ekonomi yang berkembang semakin kompleks. 136