REPRESENTASI MASKULINITAS KAUM TERMAJINALKAN DALAM IKLAN (Analisis Semiotik Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II) Disusun Oleh: YUNITA EKA RINI D 0205140 Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SBELAS MARET SURAKARTA 2010 i PERSETUJUAN Disetujui oleh Dosen Pembimbing Untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Pembimbing Skripsi Dra. Indah Budi Rahayu, SE, M.Hum NIP. 19580317 199010 2 001 ii PENGESAHAN Penulisan Skripsi ini telah diterima dan disahkan Oleh Dosen Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada Hari : Tanggal : DOSEN PENGUJI 1. Ketua : Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002 (…………………..) 2. Sekretaris : Drs. Surisno S. Utomo, M.Si NIP. 19500926 198503 1 001 (…………………..) 3. Penguji : Dra. Indah Budi R., SE, M.Hum NIP 19580317 199010 2 001 (………………….) Mengetahui, Dekan Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001 iii MOTTO Sukses terdiri dari 1% bakat dan 99% keringat (Thomas Alva Edison) Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada keindahan mimpi-mimpi mereka (Eleanor Rosevelt) Just think different, and be creative iv PERSEMBAHAN Karya sederhana ini aku persembahkan kepada: Ø Bapak dan Ibu yang senantiasa melimpahiku dengan kasih sayang tiada henti dan yang telah mengajariku bagaimana memaknai arti kehidupan. Juga untuk kedua adikku, Bayu dan Riyan yang selalu berbagi kebahagiaan denganku... Ø Keluarga besarku di Malang dan Yogyakarta, memiliki kalian semua adalah hal yang terindah dalam hidupku... Ø Wirastomo Hadi SIP, kakak sekaligus sahabat terbaik yang aku punya. Terima kasih untuk gambaran masa depan yang ingin kau berikan untukku... Ø Sahabat-sahabatku tersayang, Maya Apriliani, yang selalu menemani dalam suka dan duka. Juga untuk Annisa “Bacung”, Tyas, Ajeng dan Dewi Winahyu, teruslah melangkah kawan. Ø Teman-temanku “Komunikasi 2005” yang telah bersama-sama berjuang mengarungi kehidupan dan memberi warna dalam hidupku... Ø Teman-teman Bildung Organisation, Luv U aLL J v KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim Alhamdulillaahi rabbil aalamiin. Segala puji senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Berkat ridha-Mu, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Membutuhkan banyak perjuangan untuk terus membaca, menganalisis dan melawan rasa malas. Semoga karya sederhana ini dapat dijadikan referensi dalam sebuah penelitian, khususnya dalam kajian penelitian semiotik. Selama ini tubuh perempuan selalu dijadikan komoditas dalam media televisi, termasuk iklan. Tetapi sekarang tubuh laki-laki juga mulai dikomersialkan. Semakin banyak iklan televisi yang mengatasnamakan maskulinitas, yang hanya berorientasi pada sensualitas dan imej fisik saja. Iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan II sedikit berbeda dari iklan yang lainnya. Masih tetap mengusung tema maskulinitas, hanya saja dalam iklan ini tidak hanya menjadikan tubuh laki-laki sebagai komoditas. Ada aspek-aspek lainnya yang mendukung konsep maskulinitas. Fenomena inilah yang mendorong penulis untuk mengambil tema tersebut sebagai bahan skripsi. Penulis ingin mengetahui bagaimana makna pesan yang ditonjolkan dan bagaimana mitos maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan tersebut. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi berjudul REPRESENTASI MASKULINITAS KAUM TERMARJINALKAN DALAM IKLAN (Analisis vi Semiotik Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II) ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah membantu penulis menyusun dengan sepenuh hati. Untuk itulah penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi penulis, Dra. Indah Budi Rahayu, SE, M.Hum, yang senantiasa memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga untuk kesabaran yang telah diberikan. 2. Wirastomo Hadi, SIP, seseorang yang telah mengenalkan penulis pada dunia advertising dan Artek ‘n Partner Communication. Terima kasih untuk informasi dan sharing yang cukup membantu penulis. 3. Ibu Maya Dewi AR, Presiden Director Artek ‘n Partner Communication, yang telah memberikan ijin penelitian dan company profile pada penulis. 4. Mba Indri, Account Executive Artek ‘n Partner Communication, yang telah membantu penulis mendapatkan informasi mengenai Sido Muncul dan Kuku Bima Ener-G. 5. Mas Adhyth Adyatmand, Executive Creative Director Artek ‘n Partner Communication, yang telah membantu penulis untuk mendapatkan copy asli TVC Kuku Bima Ener-G. 6. Sigit Maryuwanto, SIP, atas kesediaannya mencarikan storyboard. Mas Dave, Koh Budi dan crew Artekers lainnya, yang telah membantu penulis serta mengenalkan penulis pada dunia Artek dan advertising. Keep “crazy” guys. vii 7. Hasan, Reza, Ajeng dan Tyas atas referensi dan pinjaman bukunya. 8. Solo Channel, bersama kalian penulis belajar memahami arti kekompakan dan kebersamaan. 9. Mas Budi, yang selalu dengan ramah membantu penulis saat berurusan dengan administrasi kampus terutama jurusan komunikasi. 10. Staff Perpustakaan UNS dan FISIP UNS. 11. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moral, materi maupun spiritual dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Masih terdapat kesalahan dan kekurangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Surakarta, Maret 2010 Penulis Yunita Eka Rini viii DAFTAR ISI JUDUL ........................................................................................... i PERSETUJUAN ............................................................................ ii PENGESAHAN .............................................................................. iii MOTTO .......................................................................................... iv PERSEMBAHAN................................................................................................. v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi ABSTRAKSI ....................................................................................................... xi ABSTRACTION................................................................................................. xiv BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................. 9 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian ................................................................. 10 E. Kajian Teori............................................................................ 11 1. Definisi Komunikasi........................................................ 11 2. Iklan................................................................................. 19 3. Pendekatan Semiotika Komunikasi................................. 37 ix BAB II : F. Kerangka Pemikiran............................................................... 48 G. Definisi Konsepsional............................................................ 49 H. Metodologi Penelitian............................................................ 72 PT. SIDO MUNCUL DAN IKLAN TV KUKU BIMA ENER-G A. Sekilas Mengenai Dunia Periklanan Indonesia ...................... 78 B. Sekilas Mengenai PT. Sido Muncul ....................................... 82 C. Sekilas Mengenai Kuku Bima Ener-G.................................... 85 D. Sekilas Mengenai Artek ’n Partner Communication............... 87 E. Iklan TV Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri 92 II..................................................................... BAB III: BAB IV : ANALISA DATA A. Laskar Mandiri I...................................................................... 109 B. Laskar Mandiri II.................................................................... 14 PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................ 18 B. Saran.......................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... LAMPIRAN x 196 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Pesan dan Makna…….……………………………………................16 Gambar 1.2 Iklan Sebagai Proses Komunikasi........................................................20 Gambar 1.3 Elemen-elemen Makna Pierce..................... .......................................39 Gambar 1.4 Elemen-elemen Makna Saussure.........................................................41 Gambar 1.5 Dua Tatanan Pertandaan Barthes.........................................................44 Gambar 1.6 Peta Tanda Barthes...............................................................................46 Gambar 2.1 Struktur Organisasi Artek ‘n Partner Communication.........................90 xi ABSTRAK Yunita Eka Rini. D0205140. Representasi Maskulinitas Kaum Termarjinalkan dalam Iklan (Analisis Semiotik Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II). Skripsi, Surakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2010. Kuku Bima Ener-G adalah salah satu merek minuman berenergi yang diproduksi oleh PT. Sido Muncul. Melalui iklannya, produk yang erat kaitannya dengan konsep maskulinitas ini, tidak memberikan definisi maskulinitas yang hanya berorientasi kepada imej fisik dan tubuh kekar saja. Iklan Kuku Bima Ener-G yang sekarang mengusung tema Laskar Mandiri. Keunikan dari iklan ini adalah lebih mengangkat kaum termarjinalkan, yang dikaitkan dengan konsep maskulinitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna pesan yang ditonjolkan dan untuk mengetahui keberadaan mitos maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan “Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II” dengan menggunakan analisis semiotik. Penelitian ini bersifat deskriptif interpretatif kualitatif, sebagai metode untuk menganalisa makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam teks. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah shot dalam iklan “Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II” dan untuk sumber data sekunder diperoleh dari referensi buku yang dilengkapi dari informasi media massa lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik Roland Barthes. Adapun digunakannya semiotika Roland Barthes dalam penelitian ini adalah untuk menggali makna yang ditekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya. Objek penelitian atau korpus dari penelitian ini adalah iklan “Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II”. Penelitian ini menganalisis simbol-simbol komunikasi seperti visual, verbal dan non-verbal. Kode-kode itu digunakan untuk mencari makna, baik makna konotasi dan denotasi, dari simbol-simbol maskulinitas kaum termarjinalkan yang ditemukan dalam kedua iklan tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Makna pesan yang ditonjolkan adalah mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan. Maskulinitas pada laki-laki dengan jenis profesi yang termasuk dalam kategori sektor informal, yaitu: tukang bakso, pengamen, pemulung, penyemir sepatu, tukang ojek sepeda, tukang ojek motor dan pedagang asongan; (2) Penggambaran mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan memiliki persamaan dengan maskulinitas tradisional yakni: imej fisik yang digambarkan dengan tubuh yang kuat, kekar dengan dada yang bidang dan lengan berotot,; karakteristik yang cenderung positif seperti semangat tinggi, aktif dan setia kawan; maskulinitas kaum termarjinalkan juga tidak lepas dari budaya patriarkhi, mereka memiliki kuasa atas perempuan dan sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga; (3) Adanya persamaan mitos, baik mitos yang berkembang dalam masyarakat dengan mitos maskulinitas kaum termarjinalkan xii dalam iklan dilihat dari kekuatan fisik, karakter dan pengaruh budaya patriarkhi; (4) Adanya perbedaan mitos mengenai imej fisik kaum termarjinalkan dalam iklan dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat. Dalam iklan, kaum termarjinalkan digambarkan memiliki tubuh yang kekar dengan dada yang bidang dan berotot. Sedangkan dalam realitas, kaum termarjinalkan digambarkan dengan tubuh yang kurus, dekil dan tidak berotot. Kata Kunci: Maskulinitas Kaum Termarjinalkan, Iklan, Semiotik. xiii ABSTRACT Yunita Eka Rini. D0205140. The Representation of Masculinity on Marginal Class in Advertising (Semiotic Analysis of Television Advertisement “Kuku Bima Ener-G” Version “Laskar Mandiri I” and “Laskar Mandiri II”). Thesis, Surakarta: Department of Communication. Faculty of Sosial and Political Sciences. University of Sebelas Maret Surakarta, Maret 2010. Kuku Bima Ener-G is one brand of energy drinks are manufactured by PT. Sido Muncul. Through advertisement, product closely linked with the concept of masculinity is, does not provide definitions o masculinity that is only oriented to the physical image and muscular body. Advertisement that now carry the “Laskar Mandiri”. Uniquely theme of this advertisement is more raised the marginalized, which is related to the concept o masculinity. The purpose of this research is to analize the meaning of message that is underlined and to analize existence the masculinity myth of marginal class in advertisements of “Kuku Bima Ener-G” version “Laskar Mandiri I” and “Laskar Mandiri II” using semiotics analysis. This research is a qualitative descriptive interpretative research using semiotics analysis as the method analyze the meaning of the symbols found in a text. The primary data sources of this research are shots in the “Kuku Bima Ener-G” version “Laskar Mandiri I” and “Laskar Mandiri II” advertisements and the secondary data sources obtained from literatures and from media information associated with the advertisements. The method for analizing the data of this research is the semiotic analysis of Roland Barthes. The semiotics of Roland Barthes used in this study was to explore the meaning of which is emphasized in the way signs in the text interact with personal and cultural experience of its users. Research object or the corpus of this research is the advertisements “Kuku Bima Ener-G” version “Laskar Mandiri I” dan “Laskar Mandiri II”. This research analizes the communication symbols, visual, verbal and nonverbal. Code is used to find the meanings, both connotation and denotation meanings, from the masculinity of marjinal class symbols found in advertisements. The results of this research are as follows: (1) The meaning of messages that is underlined about the masculinity of marjinal class. Mens masculinity on some name of jobs that are categorized on informal sector, such as, builders meatballs, singers, scavengers, shoe, bicycle motorcycle taxi drivers, motorcycle taxi drivers, and pitchman; (2) Potrayal of the marginalized masculinity has similarities with traditional masculinity that is, the physical images are depicted with strong bodies, stout with a broad chest and muscular arms; positive characteristics such that tends to be highly motivated, active and loyal friend; masculinity o the marginalized are also not free of patriarchal culture, they have power over women and as a center that the entire economic structure of the family; (3) The existence of equality myth, a myth that developed both within the community by myths of masculinity of the marginalized in the advertisement seen from physical strength, character and xiv influence o patriarchal culture; (4) The difference of the myths about the physical image of the marginalized in the advertisement with the myths that developed in the community. In the advertisement, the marginalized described as having a muscular body with broad chest and muscular. While in reality, the marginalized depicted with a thin body, filthy and not muscular. Key words: Masculinity of marginal class, Advertisements, Semiotics. xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potret fisik laki-laki dalam iklan tak lagi sekedar menjadi sebuah simbol dominasi pria melainkan simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang lebih luas. Dominasi laki-laki dewasa ini terlihat dari nilai jualnya, baik melalui otot keperkasaannya, tubuh kekar hingga wajah indonya. Kesemuanya itu merupakan cerminan maskulinitas kapitalistik yang sangat beraksentuasi bisnis. Melalui iklannya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan dan kepercayaan mengenai penggambaran laki-laki. Kepercayaan itu antara lain pentingnya pria memiliki wajah yang tampan, tubuh yang kekar dan berotot, atau istilahnya tubuh atletis. Representasi maskulinitas dalam iklan juga menggunakan tanda dan bahasa yang tidak bisa lepas dari hegemoni budaya patriarkhi yang berorientasi kapitalistik. Bila laki-laki muncul dalam iklan, tokoh itu digambarkan agresif, pemberani, jantan, mandiri kuat, tegar, berkuasa, pintar dan rasional. Konsep maskulinitas digambarkan dengan bentuk tubuh berotot adalah tubuh yanag paling ideal dan diakui “kelaki-lakiannya”. Maskulin hanya diukur dari unsur sensualitasnya saja. Dapat diartikan bahwa maskulinitas sebagai komoditas dipergunakan produsen dengan memberikan xvi janji-janji sebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan atau produk yang dihadirkan produsen membantu dan memberi dukungan pada masyarkat untuk mendapatkan ciriciri maskulin yang tujuan akhir adalah keuntungan bagi produsen atas produk tersebut (Nugroho, http://aris-nugraha.blogspot.com, diakses pada 12 November 2009). Bentuk tubuh merupakan syarat atau faktor dominan di dalam berbagai pertukaran sosial. Kompetisi otot laki-laki dalam industri kebudayaan kian marak dipertontonkan. Termasuk dalam industri media massa. Bentuk tubuh seseorang dijadikan tolak ukur menarik tidaknya orang itu. Dalam budaya pop yang terkomersialkan, tubuh laki-laki kini dipajang sebagai tanda dan imaji untuk mewakili suatu benda, produk atau komoditi yang dimaksudkan untuk dijual secara massal. Tubuh kini mulai dikonsumsi dan tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya sehingga akan mendongkrak penjualan. Pengelolaan tubuh bagi laki-laki kini menjadi hal yang penting. Dari perawatan rambut, mulut, dagu, kulit, hingga ketiak coba dikenalkan pada pria untuk mendapatkan bentuk atau penampilan yang diinginkan. Cukup banyak iklan yang menonjolkan bentuk, penampilan dan keindahan tubuh pria. Iklan membangkitkan kesadaran semu tentang pentingnya menjadi tampan, bertubuh atletis, tampak bugar dan muda bagi kaum adam ini. Mulai dari iklan perawatan rambut, perawatan kulit, susu khusus untuk pria, parfum hingga suplemen untuk stamina pria selalu saja xvii menggambarkan sosok pria dengan otot kekarnya. Iklan-iklan tersebut menawarkan bentuk tubuh berotot yang dibayangkan paling ideal. Jika menggunakan produk yang diiklankan itu, dipersepsikan akan seperti sosok pria dengan segala kemaskulinitasannya. Sehingga keinginan mereka selalu berorientasi untuk memiliki tubuh yang ideal komodifikasi media. Secara tidak langsung, iklan-iklan itu berusaha untuk merayu dan mempengaruhi kondisi obyektif penontonnya supaya mau menggunakan produk yang ditawarkan. Disadari atau tidak, media dalam hal ini iklan mencoba mengkonstruksi realitas. Sebagai contoh misalnya iklan Gatsby, produk untuk perawatan rambut ini memasang Christian Sugiono sebagai endorser-nya. Dimana dalam iklan tersebut Christian Sugiono ditampilkan sebagai sosok pria yang mapan terlihat dari mobil yang dikendarainya, memiliki senyum menawan, wajah rupawan dan tubuh atletis. Sosoknya semakin sempurna dengan potongan rambut mohawk yang menjadi trend di kalangan pria. Dengan mengenakan gel rambut Gatsby, tidak dianggap ketinggalan jaman dan akan sekeren aktor peranakan Jerman-Indonesia ini. Atau iklan susu khusus pria, L-Men dengan jargonnya yang khas, “Kerempeng, Mana Keren” ini, seolah-olah ikut mengkonstruksikan bahwa tubuh pria itu akan tampak keren jika badannya kekar dan berotot istilah kerennya tubuh six pack. Tubuh kerempeng tidak dianggap sebagai trend saat ini. Itulah realitas yang coba ditampilkan oleh iklan L-Men ini, dengan konsep tubuh ideal yang tidak terlalu banyak lemak dan tidak terlalu kurus. Contoh lain lagi adalah iklan xviii Hemaviton, salah satu produk minuman berenergi. Memasang Marcelino Lefrandt sebagai endorser-nya. Yang secara fisik hampir sama dengan Christian Sugiono, berkulit putih dan bertampang indo. Kebanyakan iklaniklan di Indonesia memang dihiasi oleh wajah-wajah bertampang “semiidonesia”. Wajah-wajah ini menjadi idola dunia hiburan dan ikon majalah populer serta menjadi primadona beberapa produsen iklan yang tidak hanya menjual produk tetapi sekaligus memasarkan konsep mengenai wajah tampan dan tubuh ideal ke masyarakat konsumen Indonesia. Ditambah lagi Marcelino memiliki predikat sebagai atlet nasional Indonesia untuk cabang olagraga silat. Predikat ini semakin mengukuhkan kelaki-lakiannya. Ekstra joss, salah satu produk yang termasuk dalam kategori minuman suplemen energi, dalam beberapa iklannya juga menonjolkan pria-pria dengan sosok macho-nya. Ketika Donny Kesuma masih menjadi endorser ekstra joss, tubuh macho-nya selalu menghiasi iklan-iklan ekstra joss. Dengan mengenakan kaos tanpa lengan atau terkadang hanya bertelanjang dada, Donny Kesuma tampil dengan keringat yang bercucuran terlihat sebagai pria yang senantiasa bekerja keras. Ekstra joss digunakan sebagai penambah staminanya, dan konsumen dibujuk dengan sosok macho Donny Kesuma. Ekstra joss juga pernah menjadikan Christian Ronaldo, untuk menjadi endorser-nya. Siapa yang tak kenal dengan Christian Ronaldo, pesepak bola Internasional ini selalu mengantar klubnya mencapai kemenangan. Dengan ditunjang wajah dan penampilan xix yang mendekati sempurna, serta kemampuannya menggiring bola, tak diragukan lagi jika dia menjadi ikon pria masa kini. Banyaknya iklan televisi mengenai konsep maskulinitas yang berorientasi pada unsur sensualitas kini menjadi fenomena. Seolah-olah telah direpresentasi dan dikonstruksikan sebagai komoditas, sesuatu yang diproduksi dan bertujuan untuk dijual. Padahal jika kita mau memahami lebih lanjut, konsep maskulinitas tidak melulu tertuju pada pemujaan tubuh saja, tetapi juga dapat dilihat dari sifat dan karakter yang coba ditampilkan. Seperti misalnya, memiliki tanggung jawab, pantang menyerah, disiplin, jujur dan mandiri. Hal itulah yang coba ditampilkan oleh Kuku Bima Ener-G, merek minuman berenergi yang diproduksi PT Sido Muncul. Kuku Bima Ener-G ini mencoba memberikan definisi maskulinitas yang tidak hanya sekedar pria dengan tubuh kekarnya. Produk yang tidak hanya dikhususkan untuk pria ini erat dengan konsep maskulinitas. Mulai dari Mbah Maridjan, Chris John, Donny Kusuma hingga Ade Rai dijadikan sebagai endorser-nya. Chris John adalah petinju profesional yang sudah beberapa kali menang dan mempertahankan gelarnya. Ade Rai adalah ikon binaraga yang sangat konsisten pada profesinya. Kemudian sosok fenomenal Mbah Maridjan. Berbeda dengan Ade Rai dan Chris John yang dikenal karena kekuatan fisiknya, Mbah Maridjan ini lebih dikenal dengan kekuatan mental dan keberanian untuk tetap tegar pada pendirian. Mereka dianggap memiliki nilai xx tersendiri sebagai seorang lelaki. Bahkan saat menggandeng Mbah Maridjan untuk pertama kalinya pada pertengahan tahun 2006, omzet penjualan naik hingga 225% (www.swa.co.id, diakses pada 7 Oktober 2009). Secara psikologis ketiganya memberikan kekuatan bagi para calon peminum Kuku Bima. Sebagai minuman berenergi, Kuku Bima Ener-G hadir paling akhir. Sido Muncul sangat serius menangani merek bungsunya ini. Jadi, walau baru berusia 4 tahun lebih, Kuku Bima mampu menyalip pemain lain sehingga membayangi Extra Joss, sang pemimpin pasar.(Swa, No.10/XXV/14-27 Mei 2009, hlm. 44). Hingga Juli 2008, penjualan Kuku Bima Ener-G menyentuh angka tertinggi, yakni 200 juta sachet per bulan. Padahal, pada awal diluncurkan hanya terjual 5 juta sachet per bulan. Tak mengherankan, saat ini, Kuku Bima Ener-G memberikan kontribusi 65% dari total omzet Sido Muncul. Bahkan, produk itu sudah dipasarkan di berbagai negara. Selain itu, tentu saja kegiatan promosi dilakukan secara konsisten. Khusus untuk Kuku Bima, setiap tahun Sido Muncul mengucurkan sekitar Rp 2,5 miliar dengan mayoritas 80% untuk aktivitas above the line, terutama beriklan di televisi. Sido Muncul selalu merogoh sekitar 15 % dari net sales setiap tahun untuk iklan. .(Swa, No.10/XXV/14-27 Mei 2009, hlm 62). Sembari beriklan, produk yang dilempar ke pasar pada 23 April 2004 ini juga sembari mengkomunikasikan nilai-nilai yang sekarang ini terlihat sudah menipis di masyarakat, seperti kesetiaan, ketulusan hati dan rela xxi berkorban. Keunikan lain dari iklan ini adalah lebih mengangkat kaum yang termarjinalkan, tetapi tetap dengan kemasan yang menarik dan tidak terlihat murahan. Hal ini menarik, karena sebelumnya kebanyakan iklan di Indonesia mengabaikan fakta bahwa mayoritas pemirsanya adalah kelas bawah yang terdiri dari petani, buruh, dan pekerja keras lainnya. Sedari awal iklan produk Kuku Bima Ener-G tidak hanya menekankan kepada endorser-nya saja. Jika dilihat sekilas, memang beberapa endorser dari Kuku Bima Ener-G memiliki tubuh yang kekar. Ade Rai misalnya, tubuhnya berotot dan macho. Ade Rai adalah ikon binaraga yang sangat konsisten dengan profesinya. Dia yang memperkenalkan binaraga bukan sebagai bagian dari cabang olah raga yang dipertandingkan saja, tetapi menjadi bagian gaya hidup. Chris John juga memiliki bentuk tubuh yang mendekati sempurna. Chris John adalah petinju profesional yang sudah beberapa kali menang dan mempertahankan gelar. Selain menampilkan endorser dengan tubuh yang kekar, sebagian iklan Kuku Bima Ener-G juga menggandeng orang-orang yang keberadaannya sering terabaikan. Pada tahun 2006, Kuku Bima Ener-G menggandeng orang-orang yang memiliki profesi sebagai montir dan supir. Pada tahun 2007, Kuku Bima Ener-G menggandeng Nur Kodim, seorang supir angkot dengan cacat fisik, dan Sugeng yang berproesi sebagai penambal ban dengan cacat fisik pada kakinya. Sebagian dari iklan Kuku Bima Ener-G tidak selalu menampilkan keindahan fisik endorser-nya saja. xxii Kuku Bima Ener-G yang sekarang mengusung tema Laskar Mandiri. Laskar Mandiri I yang diluncurkan pada tahun 2008 menggandeng para pemulung, penjual jamu gendong, tukang ojek sepeda, tukang semir sepatu, pedagang asongan dan pengamen. Mereka adalah para pekerja sektor informal yang ada di negeri ini yang terkadang keberadaan mereka seringkali dipinggirkan. Selain para Laskar Mandiri, sebutan untuk para pekerja yang dilibatkan dalam iklan itu, para endorser-nya seperti Chris John, Ade Rai, Donny Kesuma, Vega Hapsari dan Rieke Diah Pitaloka masih dilibatkan juga. Untuk iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I, peneliti akan menggunakan iklan dengan durasi 30 detik. Sedangkan Laskar Mandiri II merupakan lanjutan dari Laskar Mandiri I. Dalam Laskar Mandiri II, para pekerja sektor informal yang dilibatkan adalah orang-orang yang berprofesi sebagai tukang bakso, pengamen, pedagang asongan dan ojek motor. Laskar Mandiri II juga masih menggunakan Chris John, Ade Rai, Donny Kesuma, Vega Hapsari dan Rieke Diah Pitaloka. Sudah menjadi tradisi bagi Kuku Bima untuk memakai para endorser-nya itu. Adapun penggunaan nama Laskar Mandiri dimaksudkan untuk memberikan penjelasan bahwa walau pekerjaan mereka termasuk dalam jenis pekerjaan sektor informal, tidak membutuhkan jenjang pendidikan tertentu dengan penghasilan yang tidak banyak, dan terkadang keberadaannya sering diabaikan, mereka tetap bekerja untuk menghidupi dirinya dan xxiii keluarganya tanpa pernah bergantung pada orang lain. Itulah konsep dari Laskar Mandiri. Dalam iklan Kuku Bima Ener-G, baik Laskar Mandiri I ataupun II, ada apresiasi tersendiri untuk kaum-kaum termarjinalkan. Peneliti memilih iklan Kuku Bima Energ-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II sebagai iklan yang dianalisis karena peneliti ingin menggali pesan-pesan yang coba ditampilkan oleh iklan ini. Proses pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masingmasing individu. Oleh karena itu, analisis semiotika akan digunakan untuk mengetahui isi pesan dan makna yang tersembunyi dari film tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana makna pesan yang ditonjolkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II? 2. Bagaimana keberadaan mitos maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan Kuku Bima ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II? xxiv C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui makna pesan yang ditonjolkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. 2. Untuk mengetahui keberadaan mitos maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi rinci, akurat dan aktual yang akan memberikan jawaban permasalahan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara praktis berwujud aktual. Maka diperoleh manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1. Manfaat secara teoritis-akademis: a. Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai bagaimana iklan merekonstruksi tatanan sosial yang ada dengan penggunaan metode semiotik yang notabene adalah suatu bentuk penyampaian pesan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. xxv b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan di bidang penelitian komunikasi khususnya di bidang analisis semiotika. 2. Manfaat secara praktis: a. Penelitian diharapkan dapat berfungsi bagi para insan kreatif periklanan sebagai masukan untuk tidak membuat iklan yang mengedepankan budaya pemujaan tubuh (fetishism of body), baik itu laki-laki maupun perempuan dan juga untuk lebih memahami bahwa iklan dapat menjadi wacana dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. b. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang penelitian komunikasi dengan pendekatan semiotika iklan televisi. c. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut iklan televisi, khususnya melalui pendekatan analisis semiotika. E. Kajian Teori 1. Definisi Komunikasi Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. xxvi Hal tersebut menjadikan komunikasi sebagai salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. The mental activities of thinking and communicating are importantly interrelated in our species. Human societies and cultures, and civilization at large, are the results of cooperating and conflicting minds, connected through cognitive-semiotic functions and processes. (Kegiatan mental berpikir dan berkomunikasi merupakan faktor penting dari manusia. Masyarakat, budaya, dan peradaban pada umumnya, adalah hasil kerjasama dari perbedaan pikiran yang terhubung melalui fungsi dan proses semiotik kognitif). (Andreassen, Brandt and Vang, 2007:4). Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 2005: 9). Menurut Webster New Collogiate Dictionary komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambanglambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. John Fiske berasumsi bahwa semua komunikasi melibatkan tanda (signs) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri; yakni, tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. Tanda-tanda dan kode-kode itu ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain: dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda/kode/komunikasi adalah praktik hubungan sosial. Adapun yang xxvii mendasari asumsi tersebut adalah definisi umum tentang komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan” (Fiske, 2007: 8). Para ahli telah melakukan berbagai upaya untuk mendefinisikan komunikasi, namun membangun suatu definisi tunggal mengenai komunikasi terbukti tidak mungkin dilakukan dan mungkin juga tidak terlalu bermanfaat. Littlejohn melakukan terobosan penting dalam upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi. Suatu definisi yang lebih mencerminkan fenomena “komunikasi” yang kita alami sehari-hari misalnya “komunikasi mencakup pemahaman bagaimana manusia melakukan penciptaan, pertukaran dan penafsiran pesan-pesan” (Littlejohn, 1996: ). Hampir sama seperti yang diasumsikan oleh John Fiske, menurut Stephen W.Littlejohn, pesan atau message merupakan inti dari studi ilmu komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi memiliki cabang yang bertingkat dimana yang memiliki titik sentral adalah pesan atau message (Littlejohn, 2002:61). Ada dua mahzab dalam melakukan studi komunikasi, (Fiske, 2007: 8-9) yakni: 1. Komunikasi sebagai transmisi pesan-pesan (transmission of message) Tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan xxviii saluran dan media komunikasi. Mengacu pada paradigma Laswell, dimana dalam proses ini terdapat komunikator, pesan, komunikan, media dan efek. Pesan berpindah dari komunikator menuju ke komunikan. 2. Komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (production and exchange of meaning) Berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Dalam mahzab kedua ini, tidak mengenal adanya suatu kegagalan komunikasi. Makna baru akan muncul jika orang mulai menafsirkan isyarat atau simbol dan berusaha memahami dengan melibatkan aspek pikiran, perasaan dan konsep (Kincaid dan W. Schramm, 1987: 77). Pesan merupakan satu konstruksi dari beberapa tanda (sign) yang mana melalui interaksi dengan penerima akan menghasilkan makna. Pengirim (sender) didefinisikan sebagai pen-transfer pesan. Reading adalah sebuah proses penemuan makna-makna ketika pembaca (reader) berinteraksi dengan teks. Proses interaksi inilah yang mempunyai kedudukan sebagai suatu faktor dimana reader membawa aspek kultural, sehingga dalam reading akan mendapati makna yang berbeda. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah xxix semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), yang nantinya akan digunakan dalam penelitian ini. John Fiske, dalam bukunya Introduction to Communication Studies, juga menjelaskan bahwa komunikasi merupakan proses Generating of Meaning atau pembangkitan makna. Ketika A berkomunikasi dengan B, agar terjadi komunikasi maka A akan menyusun suatu pesan yang terdiri dari tanda-tanda. Pesan ini menstimuli B untuk menyusun makna bagi dirinya sendiri yang berhubungan dengan makna yang dibangkitkan oleh A dalam pesan awalnya. Dalam hal ini B akan melakukan interpretasi terhadap makna dari pesan A. A dan B menggunakan kode-kode dan sistem tanda yang sama sehingga kedua pemaknaan terhadap pesan tersebut akan saling mendekati (Fiske, 1990: 39) Pesan merupakan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas ekternal dari produser atau pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang paralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukkan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (Fiske, 2007: 11) xxx Pesan Teks Makna Produser Pembaca Referent Gambar I.1: Pesan dan Makna Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2007, hlm. 11 Pesan dibahas sebagai suatu kumpulan pola-pola, isyarat-isyarat, atau simbol-simbol. Baik pola, isyarat, maupun simbol itu sendiri tidak mempunyai makna, karena hanya berupa perubahan-perubahan wujud perantara yang berguna untuk komunikasi. Tetapi terdapat kesepakatan di kalangan manusia untuk memberikan makna pada simbol-simbol yang mereka pakai. Namun seseorang yang tidak mengenal sandi (kode) atau ketentuan-ketentuannya, hanya akan dapat menerka saja makna simbolsimbol tersebut. Orang-orang tidak akan mempunyai makna yang tepat sama untuk simbol-simbol atau tanda-tanda yang sama, tetapi masing-masing makna yang dimiliki oleh mereka akan cukup mirip, dan mereka akan dapat menggunakan pesan yang sama itu bersama-sama dan dengan begitu mereka “berkomunikasi” (Kincaid&Wilbur Schramm, 1987:55). Pesan merupakan xxxi suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Sebenarnya inti dari proses komunikasi adalah pengoperan lambanglambang yang mengandung arti. Proses ini berjalan dari komunikator ke komunikan. Mc Luhan mengatakan bahwa suatu pesan yang akan disampaikan dan diterima oleh komunikan, tergantung dari medianya. Menurut Mc Luhan, “Medium is The Message” yaitu bahwa pada akhirnya pesan tergantung dari penggunaan media, dan bagaimana pengaruh pesan. Komunikasi dengan menggunakan media massa atau disebut komunikasi massa merupakan sejenis kekuatan sosial yang dapat menggerakkan proses sosial ke arah suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2004: 8). Iklan adalah segala bentuk pesan tentang sesuatu produk yang disampaikan lewat media, ditujukan pada sebagian atau seluruh masyarakat (Khasali,1995: 79). Dengan kata lain iklan merupakan bentuk dari komunikasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau pengiklan untuk xxxii memasarkan produknya melalui media. Hal ini dijelaskan oleh Gillian Dyer dalam bukunya Advertising as Communication, yakni: “Today it suffuses the whole system of mass communication and some econimist argue that the media are in fact not just a part of the economy but its servants. The media convert audiences into markets and because they exist throught ‘selling’ audiences to advertisers, they generally preclude the services that the media could perform such as providing adequate consumer information to public ”. “Sekarang iklan merupakan bagian dari komunikasi massa dan beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa media pada kenyataannya tidak hanya menjadi bagian dari ekonomi tetapi juga melayani iklan. Media merubah khalayak menjadi pasar karena media ada melalui “penjualan” khalayak kepada pemasang iklan/pengiklan, pada umumnya media mencakup pelayanan bahwa media memberikan informasi yang cukup mengenai konsumen kepada publik, (Dyer, 1982: 9-10)”. Hakikat iklan sebagai salah satu bentuk komunikasi juga dikemukakan oleh Arens, bahwa: “Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media, (Arens dalam Noviani, 2002: 22-23) Dari definisi tersebut, jelas bahwa iklan memiliki fungsi utama menyampaikan informasi tentang produk kepada massa (nonpersonal). Ia menjadi penyampai informasi yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal maupun non-verbal. Dalam menjalankan fungsi komunikasinya ini, iklan memiliki berbagai gaya, baik dalam penyajian maupun isi iklan itu sendiri (Noviani, 2002: 23) Untuk selanjutnya pemahaman tentang iklan, sebagai fokus kajian, akan dijelaskan pada subbab di bawah ini. xxxiii 2. Iklan Wright (1978) menulis dalam bukunya Advertising bahwa ada begitu banyak julukan yang diberikan kepada makhluk yang disebut iklan. Iklan terkadang bersikap merayu secara gombal, dan mempunyai kemampuan dapat menembus situasi yang semula sukar dijangkau. Iklan sering dijuluki bersifat materialistik. Iklan nampaknya mempengaruhi sikap orang menjadi dinamik, memiliki daya pikat dan kadang-kadang menjengkelkan. Namun anehnya iklan tetap dibutuhkan oleh para penguasa (pengiklan), pemilik media, biro iklan, maupun masyarakat (Liliweri, 1992: 17). Rhenald Khasali mengungkapkan bahwa secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media (Khasali, 1995: 9). Selain itu tujuan dari periklanan itu sendiri umumnya mengandung misi komunikasi. Periklanan adalah suatu komunikasi massa dan harus dibayar untuk menarik kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap atau mengharapkan adanya suatu tindakan yang menguntungkan bagi pengiklan (Khasali, 1995: 51). Dalam Advertising Excellence, Boove (1995: 14 dalam Bungin, 2008: 108) mendeskripsikan iklan sebagai sebuah proses komunikasi, di mana terdapat: pertama, orang yang disebut sebagai sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; dan ketiga adalah audiens. xxxiv Masukan Balik Jika mereka membeli ini, mereka akan lebih produktif. Jika saya beli ini, saya akan lebih produktif. encoding decoding pesan individu Beli ini dan kamu akan bekerja lebih produktif. Sumber medium (noise) audiens Gambar I.2: Iklan Sebagai Proses Komunikasi Sumber: Boove, 1995: 14 dalam Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, 2008, hlm. 108 Terjadi proses dialektika dalam proses komunikasi tersebut, di mana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens memberi respon serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses komunikasi tersebut. Dalam proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses encoding di mana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksikan menjadi bahasa media. Pada tahap ini terjadi decoding xxxv karena audiens menangkap bahasa media itu dan membentuk pengetahuanpengetahuan atau realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespons balik kepada iklan tersebut (Bungin, 2008: 108-109). Untuk menuangkan ide-ide ke dalam sebuah produk, biasanya pengiklan menggunakan media lini atas atau media lini bawah untuk mengiklankan produknya. Media lini bawah meliputi; pameran, direct mail, merchandising schemes, kalender. Sedangkan media lini atas media massanya antara lain; televisi, radio, surat kabar dan billboard. Televisi merupakan media yang paling banyak dipilih oleh pengiklan untuk memasarkan produknya karena televisi hadir dalam bentuk media massa yang memiliki perpaduan audio dan visual dengan sifat persuasif yang tinggi. Onong Uchjana Effendy menegaskan bahwa televisi mempunyai fungsi mempengaruhi yang bisa diandalkan. Menurutnya, televisi mempunyai daya tarik kuat, karena memiliki unsur kata, musik dan unsur visual yang berupa gambar hidup yang mampu menimbulkan kesan mendalam pada penonton. ( Effendy, 1981:170). Salah satu keuntungan utama periklanan lewat televisi adalah kemampuannya dalam membangun citra. Iklan televisi mempunyai cakupan, jangkauan, dan repetisi yang tinggi dan dapat menampilkan pesan multimedia (suara, gambar, dan animasi) yang dapat mempertajam ingatan. Dalam komunikasi periklanan, ia tidak hanya mengunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna dan xxxvi bunyi. Dalam konteks komunikasi periklanan, yang bertindak sebagai komunikator adalah produsen sedangkan yang bertindak sebagai komunikan adalah para pemirsa televisi. Melalui iklan, produsen mampu mengubah pola pikir, kebiasaan, kebudayaan, gaya hidup dan hal lainnya dari khalayak ke dalam bentuk-bentuk baru yang menguntungkannya. Selain itu, penyampaian pesan iklan dari sebuah produk juga dikemas agar mudah dimengerti dan diingat oleh khalayak Pengertian tentang iklan televisi akan dijelaskan pada subbab berikut ini. 2.1. Iklan Televisi Simon During dalam bukunya yang berjudul The Cultural Studies memasukan tulisan Raymon Williams yang berjudul Advertising: The Magic System. Kedua orang ini terkesan amat mengagumi iklan. Kekaguman mereka terhadap iklan, memiliki dasar yang kuat, dimana iklan televisi telah mengangkat medium iklan ke dalam konteks yang sangat kompleks namun jelas, berimajinasi namun konstektual, penuh dengan fantasi namun nyata. Kekaguman- kekaguman itu tidak pernah terlepas dari peran televisi yang telah “menghidupkan” iklan dalam dunia kognisi pemirsa serta penuh dengan angan-angan. Padahal televisi hanya mengandalkan kemampuan audiovisual dan prinsip-prinsip komunikasi massa sebagai media konstruksi (Bungin, 2008: 107). xxxvii Bentuk-bentuk iklan di televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi atau sindikat, jaringan lokal, kabel atau bentuk lainnya. Bentuk-bentuk iklan televisi antara lain: 1. Pensponsoran Acara televisi yang penayangan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai seluruh biaya produksi plus fee untuk televisi. 2. Partisipasi Melalui iklan dengan durasi 15”, 30” atau 60”, iklan ini disisipkan diantara satu atau beberapa acara (spots). 3. Spot Announcement Merupakan bentuk ketiga dari siaran komersial di televisi, yang ditempatkan pada pergantian acara. Iklan spot 10”, 20”, 30” atau 60” dijual oleh stasiun-stasiun baik untuk pengiklan lokal maupun nasional. 4. Public Service Announcement Iklan Layanan Masyarakat yang ditempatkan di tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu LSM untuk menggalang solidaritas masyarakat atas suatu masalah. xxxviii Iklan televisi berkembang dengan berbagai kategori. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, di mana iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek. Dan karena waktu tayangan yang pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu beberapa detik. Tugas utama iklan televisi adalah menjual barang atau jasa bukan menghibur. Horace Schewerin melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara rasa suka kepada iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut (David Ogilvy, 1987:170 dalam Bungin, 2008: 121). Kata-kata Schwerin ini tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik. Para copywriter percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan memengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas sosial itu sifatnya semu. Hal ini adalah sebagian contoh dari upaya teknologi menciptakan theater of mind dalam dunia kognitif masyarakat. Media, termasuk iklan, bukanlah saluran yang bebas, tetapi merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan xxxix pandangan bias dan pemihakannya. Seperti dikatakan Tony Bennet (1982:287-288) dalam bukunya yang berjudul Media ,Reality, Signification, mengartikan bahwa media massa sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. (Eriyanto,2001:36) “the media are not a part from social reality, passively reflecting and giving back to the world its self-image; they are a part of social reality, contributing to its coutours and to the logic and direction of its development via the socially articulated way in which the shape our perceptions” (Media tidak hanya menjadi bagian pasif dari realitas sosial tetapi media mencerminkan serta menceritakan kembali realitas dengan citra diri mereka. Media adalah bagian dari realitas sosial, menyumbangkan logika dan arah perkembangannya dengan cara artikulasi sosial di mana media membentuk persepsi kita). Iklan memang telah menjadi bagian dari masyarakat industri kapitalis yang begitu powerful dan sulit untuk dielakkan. Ia menyediakan gambaran tentang realitas, dan sekaligus mendefinisikan keinginan dan kemauan individu. Ia mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus bukan sebagai sebuah kemungkinan atau saran, melainkan sebagai tujuan yang diinginkan dan tidak bisa dipertanyakan. (Noviani, 2002:49). Dan iklan-iklan semacam ini tidak bisa dipungkiri sangat mempengaruhi kehidupan manusia sehari-hari, bahkan memainkan sebuah peranan yang dominan dalam masyarakat. Dalam proses komunikasi, iklan menggunakan bentuk-bentuk simbolis supaya makna atau pesan yang disampaikan oleh produsen dapat ditangkap dengan baik oleh konsumen. xl Realitas sosial dapat atau sedang dikonstruksi oleh sebuah iklan televisi, sebuah media televisi. Realitas kekuatan media mengkonstruksi realitas sosial, dimana melalui kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah dirubah citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa (iklan) mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan. (Alex Sobur, 2001:88). Pengertian tentang konstruksi realitas akan dijelaskan pada subbab berikut ini. 2.2. Konstruksi Realitas dalam Iklan Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya The Social Construction of Reality , A Treaties in the Sociological of Knowledge. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. (Bungin, 2001:10). xli Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial dalam pandangan mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Berkenaan dengan hal tersebut, media massa, lazim melakukan tindakan dalam konstruksi realitas dalam hasil akhirnya berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Sebagai media konstruksi realitas sosial, iklan melampaui momen dialektis itu. Iklan merupakan penyesuaian dengan dunia sosiokultural. Iklan juga diterima melalui proses institusionalisasi, dan pada akhirnya iklan terinternalisasi melalui individu yang mengidentifikasikan dengan lembaga sosialnya. Realitas yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolis, dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas obyektif dari berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Henry, 1997, dalam Bungin, 2008: 24) Konstruksi sosial iklan televisi adalah cara bagaimana realitas baru itu dapat dikonstruksikan oleh media melalui interaksi simbolis dan xlii padanan budaya dalam dunia intersubjektif serta proses pelembagaan realitas baru. Konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Karena itu kesadaran adalah bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial. Pernyataan posisi seseorang dalam masyarakat kemudian dapat dikonstruksikan melalui iklan televisi, antara lain melalui iklan yang menunjukkan penggunaan produk-produk komersil tertentu yang ada di masyarakat. Agar sebuah iklan komersil memiliki kemampuan mengkonstruksi gender atau kelas sosial di masyarakat, maka lebih dahulu produk itu dikonstruksi sebagai barang yang mampu memberi kontribusi pembentukan kelas ekslusif di masyarakat. Karena itu produk komersil tertentu harus dikonstruksi sebagai bagian dari kelas atas atau kelas ekslusif itu sendiri. Kemudian penggunaan media televisi dalam konteks ini dengan maksud, selain televisi memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyarakat. Televisi juga bagian dari masyarakat ekslusif, modern, urbanis dan cosmopolitan (Bungin, 2008: 26) Pencitraan berusaha dikonstruksi oleh iklan. Pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan. Pada beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, (Bungin, 2008: 122-127) sebagai berikut : xliii a. Citra Perempuan. Seperti yang dijelaskan oleh Tomagola, citra perempuan tergambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan. b. Citra Maskulin. Iklan juga mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin. c. Citra Kemewahan dan Ekslusif. Kemewahan dan ekslusif adalah realitas yang diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang bekerja keras, berjuang hidup untuk memperoleh realitas kemewahan dan ekslusif, karena itu iklan televisi memproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud memberi simbol-simbol kemewahan ke dalam objek iklan televisi. d. Citra Kelas Sosial. Dalam realitas sosial nyata, selain kemewahan, rasa ingin masuk ke dalam kelas sosial yang lebih baik, merupakan realitas yang didambakan setiap orang. Sehingga iklan televisi mencitrakan kehidupan kelas sosial atas menjadi acuan dan digambarkan sebagai kehidupan yang bergengsi, modern, identik dengan kehidupan diskotek, pesta pora dan penuh dengan hiruk pikik musik. xliv e. Citra Kenikmatan. Kenikmatan adalah bagian terbesar dari dunia kemewahan dan kelas sosial yang tinggi. Dalam iklan televisi kenikmatan dapat memindahkan seseorang dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang ada di atasnya. f. Citra Manfaat. Citra manfaat menjadi penting untuk masukan terhadap keputusan membeli atau tidak sebuah produk. g. Citra Persahabatan. Ditampilkan dalam sebuah iklan, sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem rendah diri yang terjadi di kalangan remaja. h. Citra Seksime dan Seksualitas. Ketika iklan televisi berani muncul dengan citra seksualitas ini, menjadi daya tarik yang luar bias am karena selain ‘berani’ menembus tradisi, citra seksualitas dalam ruang publik dianggap sebagai ‘hiburan’ yang menyegarkan. Jadi, dengan demikian, maka pencitraan iklan televisi adalah bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi atas realitas sosial, baik itu memiliki citra tunggal atau citra ganda. Sengaja ataupun tidak, citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu. Citra ini pula adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Konstruksi sosial menjadi salah satu kekuatan perusahaan besar dengan kekuatan kapitalis untuk membuat mereka tetap eksis di xlv masyarakat. Kekuatan kapital yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar, membuat mereka leluasa membangun ‘ideologi baru’ yang dikonstruksikan melalui pembiayaan yang sangat besar untuk merebut pasar, sekaligus terus menerus mengkonstruksi masyarakat (Bungin, 2008: 29). Pengertian tentang ideologi akan dijelaskan pada subbab berikut ini. 2.3. Ideologi dan Gender Yang dimaksud dengan ideologi adalah sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial (Pilliang, 2003: 18). Ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat dimana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja dan sebagainya (Sobur, 2004: 214). Perlu diketahui juga bahwa iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah media yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji. Terkadang realitas telah dikonstruksi oleh sebuah iklan. Iklaniklan dengan citraan simbolik itu tak jarang juga memutarbalikkan realitas yang ada. Ekspresi iklan mampu membuat efek-efek mediasi yang mempengaruhi kondisi obyektif penontonnya, yakni memberikan daya tekan dan daya paksa terhadap kestabilan jiwa manusia (Wirodono, 2005:105). xlvi Hegemoni media massa antara lain menghasilkan ‘ideologi iklan’ bahwa produk iklan selalu menyodorkan sisi baik sebuah produk., hal ini dilakukan melalui selling effect, tujuannya tentu saja ‘menembak’ psikologis konsumen dan bukan akal sehat. Sehingga iklan selalu sarat dengan kegunaan sekunder (Saidi, 1996, dalam Bungin, 2008: 29). Hal ini dikarenakan dunia pertelevisian dan periklanan adalah sektor yang banyak menelan investasi modal, bisa dilihat dari iklan televisi yang beberapa detik itu bisa menelan dana ratusan juta. Karena itu dipastikan bahwa iklan televisi hanya dapat hidup karena dukungan kapital, begitu pula iklan televisi hanya hidup dalam kekuasaan kapitalis. Jadi iklaniklan yang besar dengan daya tarik yang besar, merupakan iklan dengan kemampuan konstruksi yang besar pula, bahkan penggarapan iklan yang sempurna, merupakan persyaratan konstruksi dalam iklan televisi. Dan iklan –iklan televisi semacam ini membutuhkan kapital yang besar pula serta mengandung ideologi tertentu, sebagai the magic system, iklan diharuskan memiliki ideologi. Iklan merupakan salah satu media yang mana melaluinya suatu konstruksi ideologi diperkuat seperti nilai maskulinitas, feminitas, teknologi,kemewahan, kelas sosial, dan sebagainya. Aspek penting suatu ideologi adalah ia terlihat natural dan merupakan suatu pemberian daripada sebagai suatu bagian sistem kepercayaan dimana sebuah kebudayaan dihasilkan supaya berfungsi sesuai dengan caranya. Iklan xlvii melalui teknik-teknik sinematographinya mempengaruhi penonton secara halus untuk menyebarkan ideologi yang dianutnya. Salah satu ideologi yang ikut tersebar dan terlestarikan lewat media massa adalah ideologi gender. Dengan demikian, selain lingkungan keluarga dan pendidikan, media massa merupakan salah satu agen sosialisasi yang sangat menentukan karena mampu secara khusus berpengaruh dalam menyalurkan keinsyafan dan pengharapan gender. Julia T. Wood dalam bukunya Gendered Lives: Communiation, Gender and Culture mengatakan bahwa perlu dibedakan antara gender dan seks, jika seks adalah penandaan pada biologis, sedangkan gender adalah konstruksi sosial dan psikologis. Gender sangat kompleks dibandingkan seks yang mana gender adalah konstruksi sosial yang bervariasi diantara berbagai kebudayaan di sepanjang jaman ( Wood, 2001: 19). Konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat ditukarkan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke kelas lain. Laki-laki dan perempuan telah diberi peran-peran sosial yang dibedakan karena peran-peran itu dihubungkan dengan perbedaan jenis kelaminnya, fungsi biologisnya dan alat reproduksinya. Adanya konstruksi dan ideologi gender yang xlviii menempatkan kaum pria pada posisi dominan masih sangat kuat dan kentara di Indonesia. Ideologi ini ditopang terutama oleh negara, agama, budaya dan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik yang mengejawantahkannya (Ibrahim, 2007: 27) Menurut Kristeva, (Kristeva, 1986, dalam Barker, 2004: 254), identitas seksual bukan merupakan suatu esensi melainkan soal representasi. Derajat maskulinitas dan feminitas dikatakan ada di dalam diri laki-laki dan perempuan secara biologis. Memang, tatanan simbolis patriarkhilah yang mencoba menetapkan semua perempuan sebagai makhluk feminin dan semua laki-laki sebagai makhluk maskulin. Perbedaan gender terkait dengan perbedaan identitas mental dan posisi sosial antara lelaki dan perempuan, yang perbedaan itu tidak tersangkut paut dengan kodrati biologis tetapi bisa dipertukarkan dan saling menggantikan. Artinya, perempuan pun bisa memiliki identitas yang maskulin dan lelaki yang memiliki identitas feminin. Representasi itu sendiri dapat diartikan sebagai tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Pilliang, 2003: 21). Pembahasan mengenai representasi akan dijelaskan pada subbab berikut ini. xlix 2.4. Representasi Istilah representasi memiliki dua pengertian sehingga harus dibedakan antara keduanya. Pertama, representasi sebagai sebuah proses sosial dari “representing” dan yang kedua representasi sebagai produk dari proses sosial “representing”. Istilah pertama merujuk pada proses, sedang yang kedua adalah produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna (Noviani, 2002: 61). Selanjutnya dalam proses representasi, ada tiga elemen yang terlibat, pertama sesuatu yang direpresentasikan disebut sebagai objek; kedua representasi itu sendiri yang disebut tanda dan yang ketiga adalah seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan, atau disebut coding. Coding membatasi makna-makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Sesuatu yang sangat esensial dari sebuah tanda adalah ia bisa menghubungkan obyek untuk diidentifikasi, sehingga biasanya satu tanda hanya mengacu pada sebuah kelompok obyek yang telah ditentukan secara jelas. Representasi mengacu pada sesuatu yang sifatnya orisinil. Pada konsep dikonseptualisasikan kejujurannya, representasi, sebagai reliabilitasnya, citra-citra atau tanda-tanda representasi realitas dan ketepatannya. juga yang dinilai Konsep representasi terbagi dua, yakni true representation dan dissimulation atau false representation. Dissimulation menggunakan citra-citra dan l ideologi-ideologi yang tersembunyi sehingga menimbulkan distorsidistorsi. Namun dalam dissimulation, the real yang tersembunyi dibalik topeng-topeng yang menutupinya masih bisa dikembalikan lagi (Noviani, 2002: 62). Representasi sosial dalam iklan sering dianggap sebagai representasi yang cenderung mendistorsi. Merujuk pendapat Marchan, iklan adalah cerminan yang mendistorsi (a hall of distorting mirrors) (Kellner, dalam Noviani, 2002: 62). Di satu sisi, iklan merujuk pada realitas sosial dan dipengaruhi oleh realitas sosial. Sedang di sisi lain, iklan juga memperkuat persepsi tentang realitas dan mempengaruhi cara menghadapi realitas. Dengan kata lain, representasi realitas oleh iklan tidak mengemukakan realitas dengan apa adanya tapi dengan sebuah perspektif baru. Representasi dianggap menggambarkan dunia sosial dengan cara yang tidak lengkap dan sempit. Representasi merupakan suatu ekspresi langsung realitas sosial dan atau suatu distorsi potensial dan distorsi aktual atas realitas tersebut. Representasi sebagai konstruksi budaya dan bukan sebagai suatu refleksi atas dunia nyata (Barker, 2004: 259). Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara singkat, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. li Jika dikaitkan dengan iklan yang akan diteliti, representasi merupakan konvensi-konvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dengan mudah dipahami seluas mungkin oleh penontonnya. Konvensi dalam bahasa representasi film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakannya. Representasi menunjuk baik pada proses maupun dari pemaknaan suatu tanda.Untuk mengungkap makna dari suatu tanda-tanda maka dalam penelitian ini digunakan analisis semiotika. Pengertian mengenai semiotika akan dijelaskan pada subbab berikut. 3. Pendekatan Semiotika Komunikasi Dalam media massa, tidak semua pesan diungkapkan secara lugas atau langsung. Ada pula pesan-pesan yang tersirat secara tidak langsung baik melalui kata-kata, gerak, isyarat dan lain sebagainya. Pendekatan yang menjelaskan tentang penggunaan lambang dalam pesan komunikasi adalah pendekatan semiotik, yaitu studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” (Sobur, 2001, 95). Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda. lii Secara garis besar semiotika merupakan pemikiran seseorang yang disimpulkan dari berbagai tanda. In its narrower sense, it is the science of the necessary conditions of the attainment of truth. In its broader sense, it is the science of the necessary laws of thought, or, still better (thought always taking place by means of signs), it is general semiotic. (dalam arti sempit semiotika merupakan ilmu yang diperlukan untuk pencapaian kebenaran, dalam arti luas semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tata cara/hukum dari sesuatu pemaknaan yang baik, tetap baik (pemaknaan seseorang selalu terjadi melalui tanda-tanda) itulah garis besar semiotika. (Helsinki, Finland, hlm 5:2009). Berkenaan dengan studi semiotik, pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Fiske, 1990, dalam Sobur, 2001: 94): 1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 3. Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi. liii Salah satu pendiri aliran semiotika adalah Charles Sander Pierce (1931-1958). Charles Sanders Peirce terkenal karena teori tandanya di ruang lingkup semiotika. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan kepertamaan, objeknya adalah kekeduaan, dan penafsirannya –unsur pengantara– adalah keketigaan (Sobur, 2003:41). Pierce mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda, pengguna dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Pierce mengungkapkan modelnya secara sederhana, yaitu : Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya (Zeman, 1977 dalam Fiske, 2004:63) Gambar I.3: Elemen-elemen Makna Pierce Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2004, hlm. 63 Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengaacu liv pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak penggunanya-interpretant. Pendiri semiotik lainnya adalah ahli linguistic Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Jika Pierce memfokuskan minatnya pada makna, yang ditemukannya dalam relasi sturuktural tanda, manusia dan objek sedangkan Saussure mengungkapkan bahwa tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna;atau untuk menggunakan istilahnya, sebuah tanda terdiri atas penanda dan petanda. Saussure menggambarkan bahwa sebuah tanda terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hubungan diantara penanda dan petanda adalah arbiter atau bersifat semena-mena atau tanpa alasan. Significant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek mental), yakni apa yang ditulis dan dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Kurniawan, 2001:14). Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa; apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi, Petanda adalah aspek mental dari bahasa. Signifier adalah materi yang membawa makna, sedangkan signified adalah maknanya. Signifier menunjuk pada dimensi konkret dari tanda, sedangkan signified merupakan sisi abstrak tanda, makna yang diletakkan pada tanda. lv Jadi, ada keterkaitan antara signifier dan signified dalam menganalisa suatu tanda (Alex Sobur, 2003:46). Sign externally reality of meaning Composed of plus Signifer Signified Elemen-elemen makna Saussure Gambar I.4: Elemen-elemen Makna Saussure Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 2004, hlm. 66. Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda-penanda merupakan konsep mental yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita bisa memahami realitas tersebut. Dengan begitu petanda dibuat oleh manusia, ditentukan oleh kultur atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut. Dengan demikian, maka bidang realitas atau pengalaman yang menjadi acuan petanda, yakni signifikasi tanda, ditentukan bukan oleh sifat/realitas pengalaman itu, melainkan oleh batas-batas dari petanda terkait di dalam sistem. Adalah Roland Barthes yang melengkapi kekurangan Saussure dengan memberi perhatian lebih pada interaksi tanda dalam teks dengan pengalaman personal dan cultural pemakainya. Barthes menyempurnakan lvi teori semiotik Saussure yang hanya berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Roland Barthes mengulas apa yang sering disebut dengan sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini disebut Roland Barthes sebagai konotasi, yang menyelidiki makna-makna konotatif atau sekunder dalam bentuk mitos. Barthes membangun sebuah model makna yang sistematis yang lebih memperhatikan “dunia diluar tanda”. Inti dari teori Barthes adalah “dua tingkat makna”, yaitu tingkat pertama tanda ini disebut denotasi, menunjukkan pada”makna awam” atau”makna literal” yang secara obyektif hadir dan mudah dikenali. Pada tingkat kedua tanda ini disebut konotasi, yang merujuk pada makna yang tersembunyi di balik makna denotasi akan tetapi tergantung situasinya (Alex Sobur, 2001:69). Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi anatara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda (Fiske, 2004:118). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif lvii yakni interprestasi beberapa orang yang mendefinisikan tanda-tanda tersebut berdasarkan pandangan subjektifnya. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata ”penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Alex Sobur, 2001:122). Sedangkan pada signifikasi tanda kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitive, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan lain-lain. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, pengetahuan dan kesuksesan. Bagi barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2004: 121). Andrew Leak dalam jurnal ilmiahnya, Phago-citations: Barthes, Perec and the Transformation of Literature, . (Leak, http://proquest.umi.com/pqdweb/ptn063, 2009), mengungkapkan bahwa: lviii “Mythologies was a collection of short essays written, for the most part, between 1954 and 1956, and published as a single volume in 1957. These essay constituted a kind of “mythical corpus on the consumer society,”and their subject matter was extremely varied: newspaper and magazine articles, photographs and films, social rituals and cultural events, advertisements and election posters, a wrestling match, the Tour de France, the new Citroën, even the hairstyle of a newsworthy cleric! Barthes's corpus was potentially unlimited because myth itself knew no bounds: "everything can be a myth provided it is conveyed by a discourse."2 Myths are messages within messages, and Barthes wrote an afterword to his book in which he sought to analyze precisely how these secondary messages are constructed and received.” “Mitologi adalah salah satu koleksi dari tulisan essay pendek, kebanyakan antara tahun 1954 hingga 1956 dan pertama kali dipublikasikan sebagai jilid yang terpisah pada tahun 1957. Essay ini semacam tulisan tentang dongeng pada masyarakat consumer dan menjadi pembicaraan yang luar biasa. Variasinya : artikel surat kabar dan majalah, fotografi dan film, ritual masyarakat, dan event kebudayaan, iklan dan poster pemilihan, tour de France bahkan gaya rambut pun patut dijadikan berita. Corpus Barthes memiliki potensi tanpa batas karena mitos itu sendiri tidak mengenal adanya loncatan: “semua hal bisa menjadi mitos yang disampaikan melalui sebuah wacana.”2 mitos adalah pesan di bawah pesan, dan Barthes menulis pada bukunya yang mana dia mencari analisis dengan tepat bagaimana pesan kedua ini dikonstruksi dan diterima.” Tatanan pertama Realitas Tatanan kedua tanda kultur Konotasi Denotasi Penanda Mitos Gambar 1. 5 Dua Tatanan Pertandaan Barthes Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 2004, hlm. 122 lix Selain itu barthes, juga menyoroti relasi antara tanda dengan manusia. Dengan meminjam istilah Hjemslev, sebagai pengganti konsep – konsep seperti penanda maupun petanda dari saussure. Barthes membedakan lapis ekspresi (expression = E) dari lapis isi (content = c). Eksprsi dan isi berelasi (relation = R) sehingga menghasilkan signifikasi : RC. Sistem ERC pada tingkat pertama ini pada gilirannya akan menjadi unsure pada system tingkat kedua. Sistem ERC menjadi lapis ekspresi (signifier) dari system kedua (ERC)RC. Dari sinilah oleh Hjemselv dinamakan sebagai semiotic konotatif: sistem pertama merupakan lapisan denotasi sedangkan sistem kedua (sebagai perluasan) lapis konotasi. Dengan kata lain, sebuah sistem konotasi adalah sistem yang lapis ekspresinya sendiri tersusun oleh sebuah signifikasi (Budiman, 1999:65). Konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Di pihak lain, denotasi menunjukkan arti literature atau eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Pada level ini terbentuk mitos. lx 1. Signifier (PENANDA) 2. Signified (PETANDA) 3.Denotative Sign (TANDA DENOTATIF) 4. Connotative signifier (PENANDA KONOTATIF) 5. Connotative signified (PETANDA KONOTATIF) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Gambar 1. 6 Peta Tanda Barthes Sumber: Kris Budiman, Semiotika Visual, 2003, hlm. 69 Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatife (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatife adalah juga penanda konotatif (4) (Budiman, 2003:69). Jadi dalam konsep Barthes kanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan tetapi juga mengandung kedua tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Dalam pengertian Barthes denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Konotasi menurut Barthes identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu dalam tahapan analisis data. lxi Secara struktural iklan terdiri dari tanda-tanda, yaitu unsur terkecil bahasa yang terdiri dari penanda, yaitu sesuatu yang bersifat materi berupa gambar, foto, atau ilustrasi (Pilliang, 2003: 280). Pendekatan ini dipilih karena semiotik memberikan ruang yang luas untuk melakukan interpretasi terhadap iklan sehingga dengan pendekatan ini dapat diperoleh maknamakna tersembunyi yang terdapat dalam iklan. Dalam sebuah iklan terdapat tanda-tanda, simbol-simbol yang menjadi unsur penyusun dimana iklan tersebut disampaikan kepada konsumen dan tentunya lambang serta simbol tersebut mempunyai maksud dan makna yang hendak disampaikan kepada konsumen. lxii F. Kerangka Pemikiran Visualisasi iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan II Makna shoot Shoot yang menggambarkan mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan Kode-kode teknik fotografi pada actor, property, setting dan produk Simbol Verbal dan Nonverbal · Denotasi · Konotasi Kode-kode social seperti: imej fisik, karakter/sifat, ekonomi dan seksualitas lxiii · Mitos G. Definisi Konsepsional Untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mengenai variabel-variabel penelitian yang diketengahkan antara konsep yang dimaksudkan peneliti dan pembaca, maka diperlukan dasar-dasar konsep yang jelas, yaitu : 1. Visualisasi Iklan Periklanan menurut kamus istilah periklanan Indonesia adalah pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara lain pers, radio, televisi, yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4). Waktu atau durasi untuk iklan dikenal dengan istilah ”slot”, ada tiga macam yaitu durasi 60”, 30” dan 5” yang biasa disebut dengan bumper. Dalam hal ini produknya adalah Ikan televisi Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. Peneliti menggunakan iklan dengan durasi 30” dan 60”. 2. Shot Selama proses produksi, shot memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga sering diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Satu shot dapat berdurasi kurang dari satu detik, beberapa menit bahkan jam. lxiv 3. Maskulinitas Kata maskulin sendiri sangat dekat dengan kata musle (otot) yang serta merta akan diasosiasikan dengan keperkasaan, kekuatan, kepahlawanan dan terkadang kekerasan (Subono, 2002:106). Maskulinitas di sini dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Berbagai karakter maskulinitas muncul dan menjadi wacana sehari-hari. Maskulinitas juga dapat dipersepsikan sebagai imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik. Laki-laki secara alamiah lebih mendominasi dan haus akan kekuasaan. Tahap penyebaran konsep maskulinitas tidak terlepas dari keberadaan media. Media sebagai alat penyebar informasi dan komunikasi telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat, karena dianggap sebagai agen sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media mengungkapkan kepada kita tentang peran pria dan wanita dari sudut pandang tertentu. Media dengan demikian bisa menjadi saluran mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, pria dan wanita. Sehingga dapat dikatakan bahwa media juga berperan penting dalam menciptakan nilai-nilai maskulinitas laki-laki, baik itu media cetak lxv maupun media elektronik. Televisi, misalnya, lebih banyak menggambarkan pria daripada wanita, dan pria lebih sering ditampilkan dalam peran pemimpin (Ibrahim, 2007: 4). Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk samasama melestarikan struktur gender yang timpang. Maskulinitas sebagai komoditas dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji sebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan membantu masyarkat untuk mendapatkan ciri-ciri maskulin yang tujuan akhir adalah keuntungan bagi produsen atas produk tersebut. Media juga mempatologiskan citra tubuh pria yang normal. Tidak sedikit pria yang merasakan bahwa tak lagi cukup baik hanya sehat dan aktif. Trend merekayasa tubuh, body building, telah menciptakan idealideal yang tak realistis bagi tubuh maskulin (Ibrahim, 2007: 66). Ambillah secara simpel bagaimana “Cowok Macho” dibayangkan oleh pengelola industri hiburan kita. Ia digambarkan sebagai “sejenis” pria dengan motor besar, kekar-berotot agak seksi, rambut gondrong, berkacamata (biasanya hitam), selalu menang dalam adu otot dan suka menolong. Pencitraan maskulin digambarkan sebagai kekuatan otot lelaki yang menjadi dambaan wanita (iklan Extra Joss), atau dicitrakan sebagai makhluk yang tangkas, berani, menantang maut (iklan sampo Clear, iklan rokok Wismilak, dan lxvi iklan rokok Jarum Super). Mereka adalah lelaki berwibawa, macho, dan sensitif (iklan rokok Marlboro, iklan rokok Bentoel Merah). Bila tokoh pria muncul dalam iklan, tokoh itu digambarkan agresif, pemberani, jantan, mandiri, kuat, tegar, berkuasa, pintar dan rasional (Mulyana, 1997: 157). Kepedulian pria juga dikaitkan pada pekerjaan, bisnis, urusan publik, olahraga, mobil dan sebagainya. Kini, iklan tidak hanya mempertontonkan kontes kecantikan wanita tetapi juga kompetisi otot pria dalam industri kebudayaan diinjeksikan tanpa henti. Media mempatologisasikan citra tubuh pria yang normal. Tidak sedikit pria yang merasakan bahwa tak cukup baik hanya sehat dan aktif. Trend merekayasa tubuh, bodybuilding, telah menciptakan ideal-ideal yang tak realistis bagi tubuh maskulin. Iklan-iklan yang menawarkan bentuk tubuh berotot dianggap sebagai tubuh yang ideal. Tubuh muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditi dan jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dengan sendirinya dikonsumsi (Ibrahim, 2007: 50). Budaya patriarkhi pun ikut mengukuhkan nilai maskulinitas. Patriarkhi dipandang sebagai sistem kekuasaan yang menstruktur dan menjamin keuntungan pria dalam setiap ruang hidup, dalam institusi ekonomi, politik, dan keluarga, dan dalam interaksi kehidupan sehari-hari (Ibrahim, 2007: 8). Ketika pengalaman-pengalaman dan makna-makna maskulinitas dan feminitas mengalami konflik, nilai maskulin cenerung menang-dimenangkan, atau dikondisikan untuk selalu menang-disebabkan lxvii kuatnya dominasi pria dalam masyarakat (Ibrahim, 2007: 16). Dominasi maskulin terus berlangsung dan meluas dalam struktur komunikasi dan struktur masyarakat tempat pria dan khususnya wanita, sengaja atau tidak, terus menginternalisasikan nilai-nilai maskulin. Konstruksi dan sosialisasi gender yang menempatkan pria pada posisi dominan masih sangat kuat dan kentara, termasuk di Indonesia. Ideologi ini ditopang terutama oleh negara, agama, budaya, dan kondisi-kondisi sosial-ekonomi-politik yang mengejawantahkannya. Maskulinitas merupakan karakter gender yang secara sosial memang dianggap layak dilekatkan dengan sosok laki-laki. Semakin maskulin seorang pria, semakin mudah ia diterima dalam kelompoknya. Sebagai produk konstruksi sosial, maskulinitas bahkan telah ditanamkan sangat kokoh dalam lingkup keluarga inti. Media pun turut andil dalam pembentukan konsep maskulinitas. Sosiolog Janet Saltzman Chafetz (1974: 35-36) menggambarkan 7 area maskulinitas tradisional (http://en.wikipedia.org/wiki/masculinity, diakses pada 3 Februari 2010), yakni: 1. Physical- virile. athletic. strong. brave. Sloppy. worry less about appearance and aging; 2. Functional- breadwinner. provider; 3. Sexual- sexually. aggressive. acceptable:male “caught’ by spouse; lxviii experienced. Single status 4. Emotional- unemotional. stoic. don’t cry: 5. Intellectual- logical. intellectual. rational. objective. scientific. practical. mechanical. public awareness. activity. contributes to society: dogmatic: 6. Interpersonal- leader. dominating; disciplinarian; independent. free. individualistic; demanding; and 7. Other Personal Characteristic- aggressive. success oriented. ambitious: proud. egostistical. ambitious. moral. trustworthy: decisive. competitive. uninhibited. adventurous. Objek penelitian yang terdiri dari serangkaian shot yang dipilih dan mewakili maskulinitas akan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: 1. Citra laki-laki melalui imej tubuh sebagai fragmen. Akar “keperkasaan” lelaki dalam konteks penyajian iklan dapat dipulangkan ke tradisi Yunani. Ingatlah bagaimana kebudayaan Yunani berkembang melalui unsur maskulinitas pelukisan dewa-dewa dan tokoh-tokoh mitos mereka yang gagah, berotot kawat bertulang besi dan perkasa. Maskulinitas ini pula yang menjelma dalam wujud kegagahan kaisar-kaisar Romawi, yang lantas memunculkan heroisme (Wibowo, 2003: 171). Pengidentifikasian diri yang maskulin adalah dengan menampilkan dada yang bidang, lengan yang kekar, otot yang lxix sedikit menyembul, dan memiliki tubuh yang kuat. Sehingga kategori fisik pria dapat dilihat dari: 1.1 Badan atletis dan gagah berotot 1.2 Tubuhnya kuat dan macho 2. Citra laki-laki melalui penampilan karakter. Laki-laki dikenal sebagai sosok yang agresif, bebas, aktif, rasional, bersifat pejuang, tak kenal menyerah dan sebagainya. Untuk mencapai keberhasilan, pria mempunyai standar keberhasilan maskulin yang membutuhkan sifat-sifat independen, otonom, ambisi, agresif, dan mampu mengontrol keadaan (Megawangi, 1999: 111). Melalui iklannya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma maskulinitas yang sudah ada. Bila laki-laki muncul dalam iklan, tokoh itu digambarkan agresif, pemberani, jantan, mandiri kuat, tegar, berkuasa, pintar dan rasional (Mulyana, 1997: 157). Citra laki-laki melalui penampilan karakter dapat dikelompokkan menjadi: 2.1 Semangat tinggi 2.2 Persahabatan/setia kawan 2.3 Aktif 3. Citra laki-laki dalam budaya patriarkhi. 3.1 Kekuasaan laki-laki atas perempuan lxx Selama berabad-abad,laki-laki dipandang sebagai makhluk rasional yang mempunyai ketepatan pikiran dan tindakan sehingga mereka ‘merasa’ dan ‘dirasa’ perlu untuk berada di depan kaum perempuan yang dipandang lemah, lembut, peka dan kurang mampu mengoptimalkan daya nalar mereka karena terlalu mengedepankan hati (Setiawan, http://jurnal.ump.ac.id, : 2008: 64). Dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Ragam Tubuh Ideologis: Keperempuanan Representasi dalam Iklan di Kelelakian Media dan cetak”, Setiawan juga mengungkapkan bahwa ketika patriarkhi sudah menjadi semacam regime of truth (meminjam istilah Foucoult), ia akan mempengaruhi sistem dan struktur sosial sehingga menjadikannya sebagai wacana dominan yang berakibat meningkatnya kuasa laki-laki. 3.2 Laki-laki sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga Lihatlah laki-laki dewasa yang sudah berperan menjadi suami atau pun ayah. Laki-laki (baik itu suami ataupun ayah), berperan sentral sebagai kepala keluarga. Ia berperan sebagai pencari nafkah dan yang lxxi mengayomi kehidupan di dalamnya. Maka sudah biasa jika lelaki selalu digambarkan dengan kemapanan. Profesi dan tingkat penghasilan ikut menentukan kemaskulinitasan seseorang sehingga wajar kalau lakilaki masih diyakini sebagai makhluk ‘superior’ (Setiawan, 2008: 74). 4. Kaum Termarjinalkan Kapitalisme dan ketimpangan sosial sebagai fenomena sosial yang terus berlangsung di negara-negara berkembang sebagaimana halnya di Indonesia. Menjadi fenomena yang paradoks, dimana di sepanjang jalan dipadati mobil mewah dan bangunan yang megah, sementara jutaan penduduk Indonesia lainnya hidup dibawah garis kemiskinan (Wijaya, 2007: 147). Ketimpangan sosial terbagi dalam tiga dimensi, yakni kelas, status dan kekuasaan. “Situasi kelas” menurut pengertian Weber adalah lokasi dimana seseorang berperan serta dalam sistem ekonomi meliputi proses produksi, distribusi serta pertukaran. Dalam pengertian ketimpangan kelas tidak hanya faktor perbedaan pendapatan para pekerja berdasarkan kedudukan atau jabatan, tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam kesempatan-kesempatan untuk berpindah ke jenjang yang lebih atas (Wijaya, 2007: 150). lxxii Kemiskinan dan pengangguran, sebagai efek dari ketimpangan sosial, senantiasa tampil menonjol sebagai wajah kusam dunia ketiga. Fenomena ini tampak jelas jika melihat kontras situasi dan kondisi daerah perkotaan dimana sektor informal yang lahir dari pembangunan sendiri yang bias urban justru digusur-gusur dan dimarjinalkan padahal ia menjadi katup atau kantong penyelamat bagi para migran dari desa yang ditekan kemiskinan dan juga mereka yang dipecat dari sektor ekonomi formal serta angkatan kerja yang terancam menganggur karena terbatasnya kapasitas atau daya serap sektor formal. Pembangunan (development) dianggap sebagai obat mujarab pembasmi kemiskinan yang direkayasa untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat, selain telah membawa kenikmatan tertentu, ternyata juga membelah masyarakat menjadi dua bagian; kaya dan miskin; tradisional dan modern; formal dan informal; elite dan grass root. Ini berakar dalam konsep pembangunan sendiri yang disinonimkan dengan pertumbuhan ekonomi (http://urama- corner.blogspot.com, diakses pada 10 April 2010). Mereka yang tergolong dalam kaum termarjinalkan adalah orangorang yang keberadaannya seringkali dipinggirkan. Pekerja yang tidak termasuk dalam kategori pekerja formal. Dianggap tidak memiliki keahlian dan tidak memiliki sertifikat resmi yang menunjukkan tingkat jenjang pendidikan mereka. Terkadang hanya sampai pada jenjang tertentu yang dapat dikategorikan jenjang pendidikan rendah. lxxiii Kaum termarjinalkan sering diidentikan dengan para pekerja sektor informal. Seperti misalnya pedagang asongan, buruh bangunan, pengamen, penyemir sepatu dan lainnya. Padahal para pekerja dalam sektor informal ini ikut berperan dalam pembangunan. Perbedaan kelas memang merupakan fenomena yang kompleks, yang mencakup aspek-aspek dari situasi ekonomi seseorang yang mencerminkan ketimpangan-ketimpangan yang langsung berasal dari sistem produktif (Wijaya, 2007: 150) 5. Simbol Verbal dan Nonverbal Secara rinci Riyono Praktikto mengatakan bahwa pesan merupakan semua bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Yang dimaksud dengan komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman (Praktikto , 1987:42). Pesan dalam proses komunikasi terdiri dari dua hal yaitu simbol dan kode. Karena pesan dikirim dari komunikator kepada penerima terdiri dari rangkaian simbol dan kode. Simbol-simbol yang digunakan selain sudah ada yang diterima menurut konvensi internasional, juga terdapat simbol lokal yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Banyak kesalahan komunikasi terjadi di dalam masyarakat karena tidak mengetahui simbol-simbol lokal. lxxiv Pesan dan kode pada dasarnya dapat dibedakan atas dua macam,yaitu: a. Kode Verbal Menurut Deddy Mulyana, simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk kedalam katagori pesan verbal yang disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan kepada orang lain secara lisan. Sehingga bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal (Mulyana , 2005:237). Bahasa adalah seperangkat kata yang disusun secara berstruktur sehingga menjadi suatu kalimat yang mengandung makna. Fungsi bahasa yang mendasar bagi manusia adalah untuk menamai atau menjuluki obyek, orang dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan merupakan basis bahasa, dan pada awalnya hal itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang kemudian menjadi konvensi (Riswandi, 2009: 59). b. Kode Non-Verbal Secara sederhana pesan non-verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A.Samovar dan Richard E.Porter. komunikasi non-verbal mencakup semua rangsangan lxxv (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan individu dan penggunakan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Riswandi, 2009: 69). Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengklasifikasikan pesan-pesan nonverbal ke dalam 2 kategori utama, yaitu: 1) Perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, baubauan, dan parabahasa. 2) Ruang, waktu dan diam. 6. Kode Fotografi John Fiske (1997:35) dalam “The Code of Television” mengatakan bahwa penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara dapat merepresentasikan makna situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Sehingga aspek teknis perlu diperhatikan dalam menemukan representasi maskulinitas kaum termarjinalkan yang ditampilkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan II, yakni: a. Kamera Produksi film atau iklan selalu melibatkan manipulasi dari kamera. Manipulasi dan dramatisasi dari angle memiliki efek dalam pemaknaan lxxvi sebuah film. Angle mengidentifikasi sebuah shot dengan sudut pandang karakter/penokohan sesuai dengan karakter yang akan ditampilkan. Sudut pandang kamera sangat penting untuk memotivasi dan mengatur identifikasi penonton terhadap suatu karakter dalam film. Ketinggian dan jarak kamera terhadap subjek juga memiliki efek dalam memaknai sebuah shot. Teknik-teknik pengambilan gambar pada kamera mampu menambah emotional response dan mengajak audience untuk merancang sendiri emosinya dalam sebuah adegan. Sebuah film/iklan terbentuk dari sekian banyak shot. Setiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang terbaik bagi pandangan mata penonton. Shot merupakan unsur terkecil dalam film/iklan. Teknik-teknik dalam kamera ditentukan oleh: 1) Jarak kamera dengan objek (Pratista, 2008:104). a. Extreme Long shot, merupakan jarak kamera yang paling jauh dari objeknya. Wujud manusia nyaris tidak nampak. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah objek yang sangat jauh atau panorama yang luas, dimana objek tersebut berada. b. Long Shot, tubuh manusia nampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long Shot seringkali digunakan sebagai establising shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang lebih dekat. Shot ini sering digunakan untuk mengikuti objek yang sedang lxxvii bergerak, seperti orang yang sedang berjalan, berlari, menggerakkan tangannya, dll. c. Medium Long Shot, pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang. Digunakan untuk memperjelas pergerakan objek. d. Medium Shot, memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas, memotong badan dari pinggang dan dari siku. Gesture serta eksprsi wajah mulai nampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame. Shot jenis ini biasanya digunakan untuk objek dengan pergerakan yang terbatas. e. Medium Close Up, memperlihatkan tubuh manusia dari dada dan lengan atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak ladi dominan. Ekspresi wajah dari objek sangat terlihat dengan jelas, termasuk gerakan mata. Adegan percakapan normal biasanya menggunakan Medium Close Up. Shot jenis ini untuk memperlihatkan subjek dari dekat, tapi tidak terlalu dekat. f. Close Up, umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki atau sebuah obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetail. Close up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim. Close up memperlihatkan sangat detail sebuah benda atau objek. Dimensi jarak kamera juga mempengaruhi akting pemain, pengambilan close lxxviii up mampu memperlihatkan ekspresi wajah sementara pengambilan long shot hanya memperlihatkan gerak tubuh. Digunakan untuk situasi yang sesuai, seperti keintiman, memberitahukan sebuah rahasia, emosi. g. Extreme close up, mampu memperlihatkan lebih detail bagian dari wajah, seperti telinga, hidung dan bagian lainnya. Digunakan untuk situasi yang sesuai, seperti keintiman, memberitahukan sebuah rahasia, emosi. 2) Sudut pengambilan gambar (angle) Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap objek yang berada dalam frame. Secara umum sudut kamera dibagi menjadi tiga yaitu: high angle (kamera melihat objek dalam frame yang berada di bawahnya), straigt –on angle (kamera melihat objek dalam frame lurus), serta low angle (kamera melihat objek dalam frame yang berada diatasnya) (Pratista, 2008:106). a. High-angle Kamera lebih tinggi dari objek yang diambil. Angle ini menimbulkan kesan subjek menjadi kecil/kerdil sehingga kedudukannya tidak lagi superior atas pemain yang lain. High-angle memberikan kesan lamban atas pergerakan dari subjek. lxxix b. Low-angle Kamera digunakan mengambil untuk objeknya memberi kesan dari bawah. Low-angle atau kegairahan, kagum mengurangi foreground yang tidak disukai, menurunkan cakrawala dan menyusutkan latar belakang, komposisi menciptakan mendistorsikan garis-garis prespektif yang lebih kuat, mengintensifikasikan dampak dramatik, Low-angle menempatkan penonton dalam kerendahan sehingga ia harus melihat ke atas pada lambang kekuasaan. b. Pencahayaan (Lighting) Tata cahaya dalam film secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat unsur yakni, kualitas, arah, sumber serta warna. Keempat unsur tersebut sangat mempengaruhi dalam membentuk suasana serta mood dalam film (Pratista, 2008:75). 1) Kualitas pencahayaan Kualitas cahaya merujuk pada besar-kecilnya intensitas cahaya. Cahaya terang (hard light) cenderung menghasilkan bentuk objek serta bayangan yang jelas. Sementara cahaya lembut (Soft light) cenderung menyebarkan cahaya sehingga menghasilkan bayangan yang tipis. Sinar matahari atau cahaya lampu yang menyorot sangat tajam merupakan hard light. Sedangkan cahaya langit yang cerah merupakan lxxx soft light. Hard light cenderung membentuk cahaya yang kontras dengan lingkungannya. 2) Arah Pencahayaan Arah cahaya merujuk pada posisi sumber cahaya terhadap objek yang dituju biasanya adalah pelaku cerita dan paling sering adalah bagian wajah. Arah cahaya dibagi menjadi lima yaitu: a. Frontal lighting, cenderung menghapus bayangan dan menegaskan bentuk sebuah objek dan wajah karakter. b. slide lighting, mampu menampilkan bayangan ke arah samping tubuh karakter atau bayangan pada wajah. c. Back Lighting, mampu menampilkan bentuk siluet sebuah objek atau karakter jika tidak dikombinasikan dengan arah cahaya lain. d. Under Lighting, biasanya ditempatkan di bagian depan bawah karakter dan biasanya pada bagian wajahnya. Efeknya seperti cahaya senter atau api unggun yang diarahkan kebawah. Arah cahaya seperti biasanya digunakan untuk mendukung efek horor atau sekedar untuk mempertegas sumber cahaya alami seperti lilin, api unggun, dan lampu minyak. e. Top lighting, digunakan untuk mempertegas suatu benda atau karakter. Atau hanya digunakan sekedar menunjukkan jenis cahaya buatan dalam suatu adegan, seperti lampu gantung, dan lampu jalan. lxxxi Selain unsur-unsur diatas, pencahayaan dalam film juga ditentukan rancangan tata lampu. Dimana rancangan tata lampu dikelompokkan menjadi High key lighting dan low key lighting. 1. High key lighting, merupakan teknik tatacahaya yang menciptakan batas yang tipis antara area gelap dan terang. Teknik ini biasanya digunakan untuk adegan-adegan yang bersifat formal, seperti kantor, rumah, serta ruang-ruang publik lainnya. 2. low key lighting, merupakan teknik tata cahaya yang menciptakan batas tegas antara area gelap dan terang. Teknik ini sering digunakan dalam adegan-adegan yang bersifat intim, mencekam, suram serta mengandung misteri. 7. Kode Sosial Kode sosial adalah kode yang menyangkut kondisi sosial yang terdapat dalam iklan. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam iklan, dan situasi yang digambarkan dalam iklan merupakan bagian dari aspek sosial tersebut. Kode-kode sosial ini biasanya terlihat dari pesan nonverbal dan verbal yang dikirimkan, baik itu berupa gerak tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah dan penampilan. Dalam visualisasi iklan “Kuku Bima EnerG versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II” ini kode-kode sosial terlihat dari beberapa kategori berikut ini: lxxxii a. Imej Fisik Imej disini menyangkut atribut fisik yang diharapkan dimiliki oleh seorang laki-laki. Aspek fisik ini biasanya meliputi: kuat, macho dan atletis. Atribut laki-laki seperti ini masih mendominasi seorang “real man”. Pengidentifikasian diri yang maskulin adalah dengan menampilkan dada yang bidang, keenam otot perut benar-benar terlihat sepenuhnya dan tidak memiliki lemak. Kesempurnaan fisik yang lain menurut masyarakat era ini adalah unsur “muda” yang terlihat dari kulit yang masih kencang. Juga wajah yang tampan dan terkesan “macho”. Keseluruhan tubuh dalam balutan pakaian yang pas di badan dengan mengenakan celana jeans. b. Imej Tentang Karakter atau Sifat Imej ini menyatakan bahwa laki-laki agresif, bebas, aktif, rasional, bersifat pejuang, tak kenal menyerah dan sebagainya. Untuk mencapai keberhasilan, laki-laki mempunyai standar keberhasilan maskulin yang membutuhkan sifat-sifat independen, otonom, ambisi, agresif, dan mampu mengontrol keadaan (Megawangi, 1999: 111). Melalui iklannya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma maskulinitas yang sudah ada. Bila laki-laki muncul dalam iklan, tokoh itu digambarkan agresif, pemberani, jantan, mandiri kuat, tegar, berkuasa, pintar dan rasional (Mulyana, 1997: 157). lxxxiii c. Imej Ekonomi Sukses materi dan kekuasaan ekonomi masih menjadi pondasi yang kuat dalam identitas maskulin yang dominan. Dengan demikian faktor penghasilan amat penting bagi seorang laki-laki. Untuk ini mereka melakukan dominasi dalam lingkungan pekerjaan yang meliputi distribusi kerja dan penghasilan. Mereka berusaha menjadikan kerja dan penghasilan mereka atribut yang melengkapi kemaskulinan mereka (Connel, 1995: 74). d. Imej Seksualitas Seks merupakan faktor penting dalam identitas maskulin. Pada zaman dahulu faktor seks menjadi mitos kemenangan laki-laki terhadap perempuan. Bagaimana mereka mengkiaskan hubungan seks seperti berburu, dan kalau dalam berburu mereka membunuh binatang buruannya mereka kiaskan sebagai pemberian benih ke dalam tubuh perempuan. 8. Semiotika Roland Barthes (Denotasi, Konotasi, Mitos) Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Analisis tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaan oleh mereka yang menggunakannya. lxxxiv Pendekatan semiotika ala Barthes memberi perhatian lebih pada interaksi tanda dalam teks dengan pengalaman personal dan kultural pemakainya. Barthes membagi dua tingkatan tanda, pertama adalah tatanan yang menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Tatanan ini disebut sebagai denotasi. Pada tatanan kedua, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nila kulturalnya. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Cara kedua dari tiga Barthes mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Menurut Barthes, dalam usaha mendapatkan makna dari suatu teks (yang dalam penelitian ini berupa Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II), ada dua tahap yang harus dilalui yaitu tahap yang menghasilkan makna literal/denotasi dan tahap dua yang menghasilkan makna laten/konotasi. Unsur-unsur penting yang perlu diketahui sebelum memulai proses tersebut adalah 1. Realitas : adanya Iklan Televisi Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. lxxxv 2. Sign : unsur-unsur dari sisi audio dan visual yang membangun iklan tersebut terdiri atas signifier dan signified. 3. Culture : frame of reference, pola pikir dan kebudayaan setempat yang telah membentuk peneliti. 4. Dennotative : Makna literal yang langsung didapat dari tanda-tanda audio dan visual yang membangun iklan tersebut. 5. Conotative : Makna yang tersembunyi di balik makna denotasi, yang dipengaruhi oleh situasinya. 6. Myth : Makna yang hidup dalam masyarakat 9. Makna Makna ada dalam manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Makna merupakan rangsangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respon kepada rangsangan itu tadi (Sobur, 1990:261). Proses pemberian makna terhadap simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi dipengaruhi faktor budaya, juga faktor psikologis, terutama pada saat pesan diinterpretasi penerima. Sebuah pesan disampaikan dingan simbol yang sama, bisa saja berbeda arti bila individu menerima pesan itu berbeda kerangka berpikir dan kerangka pengalaman. Kesamaan makna dalam pada dua orang adalah karena kesamaan pengalaman di masa lalu dan kesamaan dalam perangkat perseptual mereka (Rakhmat, 1986:353). lxxxvi H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat interpretatif kualitatif. Data yang dianalisis bukanlah data kuantitatif melainkan data kualitatif yang lebih besifat kategori substansif yang kemudian diinterpretasikan dengan rujukan, acuan atau referensi ilmiah. (Sudjiman dan Aart Van Zoest, 1992: 28). Menurut Pawito, penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007: 35) 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotik. Semiotik disebut sebagai ilmu tentang tanda. Semiologi sebagai konsep tentang tanda-tanda yang dilihat tidak saja karena pemaknaan, penafsiran atau menguak signifikasinya saja, tetapi tanda-tanda juga dibangun dan diciptakan karena maksud atau tujuan yang lebih pragmatis, yaitu kepada publiknya. Penafsiran tanda-tanda untuk sebuah tujuan inilah yang diperkenalkan Andrik Purwasito sebagai semiologi komunikasi (Purwasito, 2001: 8) lxxxvii Analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat pada suatu paket lambang-lambang pesan atau teks (Pawito, 2007:155). Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (signs) baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Metode analisis pendekatan semiotik bersifat interpretative kualitatif, maka secara umum teknik analisis datanya menggunakan alur yang lazim digunakan dalam metode penelitian kualitatif, yakni mengidentifikasi objek yang diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan maknanya. Metode ini memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks objek yang diteliti. Adapun digunakannya semiotika Roland Barthes dalam penelitian ini adalah untuk menggali makna yang ditekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya. Inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of significations). 3. Objek Penelitian Roland Batrhes menyebutkan bahwa objek penelitian atau korpus berarti kumpulan materi yang terbatas yang ditentukan oleh analisis dengan lxxxviii mana ia akan bekerja, menyelidiki signifikasi yang terjadi dan terdapat pada objek studinya (Pawito, 1990:18). Dimana korpus-korpus memiliki sifat: a. Korpus harus cukup luas, memberi harapan yang masuk akal bahwa elemen-elemen korpus tersebut dapat menghasilkan sebuah sistem persamaan dan perbedaan yang jenuh. Jenuh di sini diartikan Barthes adalah ketika kita tidak bisa lagi menentukan hal-hal baru atau semua fakta dan relasi dalam korpus telah habis dieksplorasi dan dipaparkan. b. Korpus harus sehomogen mungkin. Homogen di sini berarti dua hal. Pertama, homogen dalam substansi. Artinya, dokumen-dokumen yang digunakan haruslah sejenis. Kedua, homogen dalam waktu. Korpus harus semaksimal mungkin tidak mengandung elemen diakronik (biasa dipahami sebagai historis, melihat bagaimana suatu narasi tersusun), namun harus disusun sebagai suatu kumpulan data sinkronik (diartikan sebagai suatu analisis, melihat hubungan yang ada diantara elemenelemennya). Objek dalam penelitian ini adalah visualisasi iklan ”Kuku Bima EnerG Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II”, salah satu produk dari PT. Sido Muncul. Iklan besutan biro iklan Artek ’n Partner Communications ini akan dibahas lambang-lambang komunikasi yang digunakan dan aspek fotografis yang mendukung terbentuknya makna iklan tersebut. Sehingga dari hal tersebut akan diperoleh makna yang berupa makna denotasi dan lxxxix konotasi dari hubungan lambang-lambang komunikasi dan aspek fotografis dalam iklan tersebut. 4. Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber data primer Sumber data primer adalah cuplikan-cuplikan gambar (shot) dalam iklan ”Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder pada penelitian ini yaitu berasal dari buku-buku referensi, artikel, situs internet, majalah dan surat kabar yang berhubungan dengan objek penulisan ini. 5. Validitas Data Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan maka peneliti menggunakan teknik trianggulasi sumber. Jenis trianggulasi ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, ia menggunakan berbagai sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap xc kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang bebeda. Dalam penelitian ini setelah peneliti mengambil shot yang menunjukkan tandatanda yang mengandung makna maskulinitas kemudian dicek ulang dalam buku-buku dan artikel. Jika memang benar mantap kebenarannya, peneliti menggunakan scene yang tersebut sebagai data. 6. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yang ditawarkan Roland Barthes. Langkah-langkah analisa data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : · Peneliti melakukan pengamatan mendalam dan mengenali lebih jauh tanda-tanda komunikasi yang terdapat dalam iklan televisi Kuku Bima Ener-G baik berupa audio maupun visualnya. Untuk selanjutnya, karena keterbatasan peneliti, aspek penelitian hanya dibatasi pada visualnya saja dan tiak melibatkan audio. · Dari data yang telah didapat, untuk selanjutnya dijelaskan makna denotasinya. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau tanda dengan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi adalah makna pada yang tampak. xci · Kemudian berdasarkan makna denotasi yang telah didapatkan maka dengan pangamatan yang mendalam terhadap lambang-lambang denotasi maka akan didapat makna-makna konotasi dari lambanglambang komunikasi yang ada. Makna konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk satu konotator tunggal; sedang petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar (Kurniawan, 2001:68). Di dalam proses ini terjadi interaksi antara teks dengan kultur dan frame of referens peneliti, maka pada akhirnya berdasarkan makna-makna yang berlaku di dalam masyarakat kita mendapatkan makna konotasi dari iklan televisi tersebut.Kemudian dari kedua kode tersebut, analisis memasuki tahap analisis mitos. · Untuk dapat membongkar sebuah makna ideologis dari praktik pertandaan, diperlukan prinsip-prinsip intertektualitas dan intersubyektifitas. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, iklan secara pengertian umum adalah teks. xcii BAB II PT SIDO MUNCUL DAN IKLAN TV KUKU BIMA ENER-G A. Sekilas Mengenai Dunia Periklanan Indonesia Di Indonesia iklan dikenal sejak surat kabar beredar pertama sekitar lebih dari 100 tahun lalu. Pada awal kemunculannya lebih banyak berupa iklan-iklan pribadi daripada iklan perusahaan. Iklan media massa cetak cukup lama menguasai dunia periklanan di Indonesia di samping iklan-iklan lainnya seperti radio dan iklan luar ruang. Kemudian pada tanggal 1 Maret 1963 tepat pukul 19.00 TVRI diperbolehkan menayangkan iklan, itu pun dibatasi hanya sebanyak 15% dari total jam siaran ( Bungin, 2008: 77). Pada masa Orde Baru, periklanan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Era Orde Baru cenderung memberikan perhatian pada masalah mengembalikan kestabilan politik dan ekonomi dalam negeri. Selain berupaya keras mengendalikan inflasi, Pemerintah juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi baru. Konfrontasi dengan Negara-negara liberal dihapuskan dan membuka lagi peluang bagi perdagangan luar-negeri yang lebih terbuka dan dinamis. Lebih lagi setelah Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) disahkan. Di tahun 1967, tahun yang sama dikeluarkannya Undang-undang PMDN tersebut, di Jakarta lahir perusahaan periklanan InterVisa Ltd. Inc., yang xciii didirikan dan dikelola oleh Nuradi. InterVisa dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia. InterVisa pula yang dianggap menjadi perusahaan periklanan pertama yang beroperasi dalam kapasitas full service advertising agenc) atau pelayanan periklanan menyeluruh (http://www/pppi/or/id/pppi/tentang/tentang-isi9.html, diakses pada 5 Januari 2010). Dan dengan semakin berkembangnya industri perdagangan dalam negeri, periklanan pun mulai diakui secara jelas peran dan fungsinya sebagai kepanjangan tangan dari bagian pemasaran barang dan jasa. Perkembangan iklan di Indonesia mengikuti model sejarah perkembangan iklan pada umumnya, yaitu seirama dengan perkembangan media massa. Awal masyarakat Indonesia mengenal iklan modern dari surat kabar, karena masyarakat baru mengenal surat kabar, kemudian saat masyarakat Indonesia mengenal media radio, maka lahir iklan radio, dan kemudian di saat masyarakat mengenal televisi, maka lahirlah iklan televisi. Begitu pesatnya perkembangan dunia periklanan di masyarakat memunculkan berbagai institusi yang secara spesifik menangani periklanan ini. Seperti lahirnya perusahaan advertising dengan berbagai fungsi. Begitu kompleksnya aktivitas individu dan urusan-urusan perusahaan, serta kompleksnya dunia periklanan menyebabkan seseorang mengalami kesulitan menangani sendiri kebutuhan periklanan, karena itu munculnya institusi advertising sebagai institusi yang secara profesional menangani periklanan xciv institusi ini lebih dikenal dengan biro iklan. Biro ini dapat berdiri sendiri atau menjadi sebuah divisi dalam satu perusahaan. Tenaga ahli di biro iklan bekerja menghasilkan iklan yang dipesan oleh berbagai perusahaan atau individu, termasuk pula memilih media apa untuk penyebaran iklan tersebut. Bahkan ada perusahaan yang secara bebas memercayakan sebuah biro iklan untuk menangani periklanannya, mulai dari perencanaan, pemilihan media massa, sampai dengan riset-riset efek periklanan bagi peningkatan produktivitas perusahaan itu (Bungin, 2008: 77-78). Dari segi teks iklan sendiri, iklan pada masa tahun 1970-an masih didominasi oleh naskah atau copy, dan bersifat informative. Dalam arti teks iklan lebih menekankan pada penjelasan produk yang diiklankan secara detail. Namun, pada akhir 1970-an, presentasi iklan Indonesia mulai berkembang seiring dengan perkembangan media dan teknologi. Iklan tidak hanya menekankan pada naskah saja, tapi juga sudah memikirkan visualisasi yang dibuat untuk mendukung naskah iklan. Dan pada periode inilah simbolisasi dan personifikasi mulai mendominasi presentasi iklan di Indonesia. Pemunculan simbol-simbol dan citra-citra yang dilekatkan pada produk mulai diterapkan dalam iklan. Pada masa 1980-an, iklan tidak lagi hanya menerapkan pendekatan demografis dalam mendekati khalayaknya, namun sudah mulai menerapkan pendekatan psikografis. Sehingga pada masa tahun ini, gaya hidup mulai xcv menjadi tema utama dalam merancang iklan. Bahasa iklan pun juga sudah mulai disesuaikan dengan target pasarnya. Di tahun 1990-an, presentasi iklan mulai mengalami penyempurnaan. Simbolisasi dan pencitraan semakin mendominasi teks iklan, didukung oleh perkembangan medis maupun teknologi dalam penciptaan kreatif iklan. Banyak iklan yang tampil dengan sedikit naskah dan lebih banyak tampilan visualisasi. Impresi publik memang sengaja dibangun dengan teknik visual ini. Mulai munculnya televisi swasta semakin membuat pijakan periklanan Indonesia semakin mantap. Lagi pula, lain halnya dengan media cetak dan media radio, iklan di televisi lebih menarik perhatian dengan kekuatan audio visualnya sehingga mampu merebut kue iklan yang besar (Noviani, 2002: 3537). Dari tahun ke tahun perkembangan periklanan Indonesia semakin pesat. Meskipun sempat menurun pada kisaran tahun 1998, namun di tahun-tahun berikutnya, industri periklanan semakin merangkak naik seiring dengan dinamika pertumbuhan perekonomian Indonesia (Majalah Cakram Komunikasi edisi Januari 2003,hal 9) Dengan semakin berkembangnya periklanan di Indonesia, semakin banyak pula upaya untuk mengembangkan iklan dengan gaya khas Indonesia. Gaya khas Indonesia dibangun dengan tiga hal, yaitu fisik, karakter dan gaya atau style. Penggambaran fisik dilakukan dengan mengacu pada fisik produk maupun segmentasi geografis dan demografis khalayak sasaran produk. xcvi Karakter bisa ditinjau dari segmentasi psikografis. Dan gaya atau style bisa dilihat dari gaya busana, logat bahasa yang digunakan dan sebagainya. Namun demikian, gaya periklanan tersebut tetap tidak bisa lepas dari perkembangan periklanan secara global. Seperti penekanan pada penggunaan simbolisme dengan sedikit kata, pendekatan psikologis dan gaya hidup tetap mengacu pada kecenderungan perkembangan periklanan global. Apalagi dengan semakin berkembangnya ekonomi global, dengan produk dan konsumen yang bersifat global pula, iklan maupun media hiburan lainnya terus menerus mempromosikan sebuah komitmen global pada gaya-gaya yang paling mumutakhir, seperti misalnya baju, mobil, aktivitas leisure dan makanan (Noviani, 2002: 43). B. Sekilas Mengenai PT. Sido Muncul PT Sido Muncul adalah pabrik jamu tradisional yang bermula dari usaha keluarga. Berdiri pada tahun 1940 di Yogyakarta, dan dikelola oleh Ny. Rakhmat Sulistio, Sido Muncul yang semula berupa industri rumahan ini secara perlahan berkembang menjadi perusahaan besar dan terkenal seperti sekarang ini. Pada tahun 1951, keluarga Ny. Rakhmat Sulistio pindah ke Semarang. Karena semakin besarnya usaha keluarga ini, maka modernisasi pabrik menjadi sebuah kebutuhan. Pada 1984, PT. Sido Muncul memulai modernisasi pabriknya, dengan merelokasi pabrik sederhananya ke pabrik yang representatif dengan mesin-mesin modern. Untuk kemajuan dimasa xcvii dating, dirasa perlu untuk membangun unit pabrik yang lebih besar dan modern, maka di tahun 1997 diadakan peletakan batu pertama pembangunan pabrik baru di Klepu, Ungaran oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 dan disaksikan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan saat itu, Drs. Wisnu Kaltim (http://id.wiki.detik.com/wiki/Kuku_Bima_Ener-G, diakses pada 7 Januari 2010). Pabrik baru yang berlokasi di Klepu ini, dengan luas 29 ha tersebut diresmikan oleh Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia, dr. Achmad Sujudi pada tanggal 11 November 2000. Saat peresmian pabrik, Sido Muncul sekaligus menerima dua sertifikat yaitu Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) setara dengan farmasi, dan sertifikat inilah yang menjadikan PT. Sido Muncul sebagai satu-satunya pabrik jamu berstandar farmasi. Lokasi pabrik sendiri terdiri dari bangunan pabrik seluas 7 hektar, lahan Agrowisata, 1,5 hektar, dan sisanya menjadi kawasan pendukung lingkungan pabrik. Sido Muncul sendiri beranggapan bahwa perusahaan harus bisa membawa manfaat bagi semua. Misalnya, jika suatu produk jamu tidak perlu melalui uji toksisitas, Sido Muncul melakukan uji tersebut. Jika pemerintah memberlakukan standar pabrik jamu untuk industri jamu, Sido Muncul standarnya dalah pabrik farmasi. Intinya, perusahaan harus mengedepankan dan melakukan yang terbaik bagi konsumen. Berkat visi tersebut akhirnya xcviii Sido Muncul mendapat hadiah lingkungan yaitu Kejati Award paa tahun 2000. berbagai penghargaan diterima oleh perusahaan keluarga tersebut, antara lain penghargaan The Best Brand Award tahun 2000, lalu pada tahun 2002 mendapat predikat Perusahaan Teladan serta mendapat penghargaan ICSA (Indonesian Customer Satisfaction Award). Bagi Sido Muncul, semua penghargaan yang direngkuh itu bukti bahwa visi yang mereka terapkan berhasil memagari perusahaan (http://www.mynutrend.com/ceo.htm, diakses pada 6 Januari 2010). Logo Jamu Sido Muncul yang berupa ibu dan anaknya adalah gambar Ny. Rahkmat Sulistio, pendiri Jamu Sido Muncul beserta cucunya, Irwan Hidayat, yang saat itu masih berusia 4 tahun. Irwan Hidayat sejak tahun 1972 sampai sekarang adalah Presiden Direktur PT. Sido Muncul. Di tangan Irwan Hidayat, generasi ketiga, Sido Muncul menjelma menjadi industri jamu yang setara dengan industri farmasi. Sido Muncul siap mendunia dengan beragam produk jamu yang sudah teruji secara klinis. PT Sido Muncul, yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta km 28, Kecamatan Bergas, Klepu, Semarang, kini memiliki 150 item produk jamu baik yang bermerek (branded) maupun yang generik. Sedikit diantara produk bermerek unggulan Sido Muncul, antara lain Kuku Bima, Tolak Angin, Kunyit Asem, Jamu Komplit, Jamu Instan, STMJ, Anak Sehat, dan lain-lain (http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi /i/irwan-hidayat/index.shtml, diakses pada 28 Desember 2009) xcix Sido Muncul didukung 3.500 karyawan dan delapan laboratorium modern untuk pengembangan produk. Pabrik Sido Muncul kini mampu memproduksi Tolak Angin sampai 40 juta sachet dan 300 juta sachet untuk pabrik Kuku Bima Ener-G dan minuman energi lainnya per bulan (http://batampos.co.id/kolom/mekar/irwanhidayat, bos PT Sido Muncul.html, diakses pada 3 Januari 2010). C. Sekilas Mengenai Kuku Bima Ener-G Kuku Bima Ener-G merupakan salah satu merek andalan produksi PT. Sido Muncul. Kuku Bima Ener-G sendiri masuk dalam kategori produk minuman energi. Sido Muncul beranggapan bahwa kategori minuman berenergi memiliki pasar yang sangat besar, sedangkan jumlah pemainnya belum terlalu banyak. Adapun masih digunakannya nama Kuku Bima, merek dari produk Sido Muncul sebelumnya, dikarenakan merek ini masih sangat sesuai jika digunakan untuk kategori minuman energi. Nama Kuku Bima sudah cukup familiar di kalangan konsumen. Selain itu, untuk launching sebuah produk baru tentunya diperlukan riset dan biaya yang cukup banyak. Yang menjadi pembeda dengan produk sebelumnya adalah penggunaan kata Ener-G dibelakang nama merek Kuku Bima itu sendiri. Dapat dikatakan Kuku Bima Ener-G merupakan ekstensifikasi dari merek sebelumnya. Sejak dilempar ke pasar pada 23 April 2004, bertepatan dengan tanggal kelahiran bos sekaligus President Director PT Sido Muncul Irwan c Hidayat, Kuku Bima Ener-G terus merangsek pasar minuman berenergi di tanahair (http://www.mix.co.id/index2.php?option=comcontent&dopdf=1&1d =202, diakses pada 28 Desember 2009). Dari sisi produk, Kuku Bima Ener-G sebenarnya tidak berbeda dari produk minuman energi lainnya. Selain faktor merek, hal yang turut membuat Kuku Bima dapat cepat menerobos pasar adalah keberaniannya berinovasi. Karena sebelumnya seolah-olah ada pakem bahwa produk minuman energi harus kuning dengan harga yang agak asam (http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=92797&actmenu=44, diakses pada 4 Januari 2010) Selain itu, Kuku Bima Ener-G juga mempositioningkan produknya sebagai pelopor minuman energi dengan berbagai macam rasa yakni original, anggur, jambu dan jeruk, Sido Muncul pun semakin giat berinovasi dengan menambahkan varian rasa baru. Pada awalnya Kuku Bima memiliki empat varian rasa, sekarang ditambah tiga varian rasa baru yaitu susu soda, kopi dan nanas. Sebagai diferensiasi, Sido Muncul menambahkan ekstrak gingseng, royal jelly, madu dan taurine pada produknya agar manfaat dari produk ini lebih terasa. Karena citra produk berbahan tersebut telah melekat di hati masyarakat sebagai produk minuman kesehatan yang menyegarkan dan tanpa efek samping (http://berita.liputan6.com/lainlain/200607/126259/class=”vidico”, diakses pada 4 Januari 2010). Produk ini dapat diminum oleh pria dan wanita, antara lain berguna untuk menambah stamina dan tenaga saat bekerja keras, menghilangkan kantuk, menambah semangat, dengan harga per sachet Rp 1.000,00 sehingga ci terjangkau semua pihak. Dengan omzet mencapai ratusan juta bungkus, target market produk ini kalangan menengah ke bawah. Kuku Bima Ener-G dapat diterima pasar karena produk ini menggunakan merek yang sudah dikenal konsumen (http://www.kr.co.id/web/detailphp?sid=192797&actmenu=44, diakses pada 4 Januari 2010). Untuk aktivitas merek lainnya, Kuku Bima kerap mensponsori program-program yang membidik pasar pria dan wanita di atas 24 tahun, dengan status social ekonomi C, D, dan E. Misalnya saja program olah raga tinju, kompetisi menyanyi dangdut “Stardut”, Kuis Take Me Out dan lainnya. Dalam sponsorship itu, Kuku Bima juga ikut terlibat dalam event off air-nya. D. Sekilas Mengenai Artek ‘n Partners Communication 1. Sejarah Lahirnya Artek ‘n Partners Communication Artek ‘n Partners Communications ini didirikan oleh Bapak Abdul Manan AR, salah seorang living legend dalam industri periklanan Indonesia. Berawal dari seorang Sales & Promotion Manager di industri farmasi, Abdul Manan dan rekannya, Bapak Eko Prijono mendirikan artek. Sebagai biro iklan lokal, Artek yang terletak di Jalan Dharmawangsa XI No.6 Jakarta ini, berusaha memberikan pelayanan yang tidak kalah dengan biro iklan multinasional. Berawal dari sebuah biro iklan kecil pada tahun 1978, Artek ‘n Partners telah bertransformasi menjadi salah satu biro iklan yang memberikan cii pelayanan integrated marketing communication. Mulai dari advertising, production house, outdoor specialist, media house dan brand activation (data diolah dari company profile PT Armananta Eka Putra th 2009). Agensi yang pada 2007 lalu membukukan billing sekitar Rp 300 miliar ini berhasil membiakkan bisnisnya di bawah bendera Artek Network, kelompok usaha ini memiliki sejumlah anak perusahaan, yaitu Brand Concept, agensi yang memegang account di Semarang; Dumitos dan Ekma yang fokus di jasa komunikasi outdoor; Satu Atap yang menyediakan jasa brand activation; dan AB Productions, sebuah rumah produksi. Melalui sebuah pemahaman yang mendalam mengenai klien-klien, Artek berusaha sebaik mungkin membangun brand image yang dimiliki oleh beraneka ragam kliennya. Sebagai agensi, Artek berbicara, berfikir, bahkan bernapas seperti klien memikirkan, membicarakan, dan mengelola merek mereka sendiri. Rahasia Artek sukses dan dapat bertahan hingga sekarang ada tiga hal. Pertama, servis yang memuaskan. Kedua, support klien secara total. Artek bahkan rela melewatkan bonus dan diskon dari media untuk dikembalikan kepada klien, Artek hanya mengambil agency fee yang memang sudah menjadi miliknya. Dan kunci ketiga adalah professional dan passion (http://mix.co.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=190, diakses pada 30 Desember 2009). Artek, dengan taglinenya “Passion, Mind and Soul” ini, termasuk agensi yang diloyali klien-kliennya. Sebut saja Sido Muncul, yang sudah ciii menjalin kerjasama dengan Artek selama 30 tahun; Mayora, 25 tahun; Mecosin Indonesia 15 tahun; dan PT. Soho Industri Pharmacy, perusahaan farmasi yang hampir 10 tahun bersama Artek. Dan dengan sederet klien yang tergolong kelas atas itu, Artek memiliki total billing per tahun diatas Rp. 100 miliar (http://www.swa.co.id/primer/pemasaran/advertising/details.php/cid+ 18&id=562, diakses pada 15 Desember 2009). Meskipun Artek adalah agensi lokal, perusahaan periklanan yang termasuk top 5 national agency ini tampaknya juga cukup memiliki wawasan global. Ini dapat dilihat dari deretan kliennya yang tidak hanya dihiasi oleh klien lokal. Artek juga memiliki klien yang berasal dari perusahaan multinasional. Misalnya, Artek dipercaya oleh ponsel Samsung dan Oishi Snack untuk menangani kampanye mereka. 2. Logo Artek ‘n Partners civ 3. Struktur Organisasi Chairman Abdul Manan President Director Maya Dewi AR General Manager Rina Purnama S. Client Service Creative Dept. Finance Media Dept. HRD & IT Shandy Adhyt Dept. Agung GA Dept. Dept. Mulyadi Adyatmand Alexander Gunara Setyanto Ipung Christianto Production Dept. Agus Trianto Gambar 2.1: Struktur Organisasi Artek ‘n Partner Communication Sumber: Diolah dari company profile PT Armananta Eka Putra th 2009 4. Super Brands Artek cv cvi E. Iklan TV Kuku Bima Ener-G Versi Laskar Mandiri I dan II Dari awal produk ini diluncurkan, PT. Sido Muncul telah mempercayai biro iklan Artek ‘n Partners untuk menangani Campaign Brand dari produknya. Selanjutnya, tim kreatif Artek mendapatkan brief dari klien (Sido Muncul) yang berisi tentang bagaimana agar produk ini bisa dikenal dan menjadi market leader di segmennya. Sido Muncul menginginkan sebuah konsep yang benar-benar berbeda dari iklan-iklan produk minuman berenergi lainnya. Baik dari segi reference pemilihan gambar sampai karakter-karakter yang berusaha ditampilkan dalam iklan tersebut. Brief dari Sido Muncul itu kemudian “digali” oleh tim kreatif Artek. Iklan Kuku Bima pertama kali dibintangi oleh Rieke Dyah Pitaloka dan Doni Kesuma, kemudian sejumlah bintang iklan lain, seperti Chris John, M. Rahman, Mbah Maridjan, Vega Darwanti, Ade Rai, dan Wynne Prakusya. Kuku Bima Ener-G melakukan gebrakannya ketika menggandeng Mbah Maridjan untuk kampanye komunikasinya pada pertengahan tahun 2006. Di tahun ini pula Kuku Bima Ener-G sempat mencapai masa kejayaannya. Pada akhir tahun 2006 penjualan Kuku Bima Ener-G naik hingga 225% (http://mix.co.id/index2.php?option=com.content&do.pdf=1&id=202, diakses pada 28 Desember 2009). Ketika itu Mbah Maridjan, bersama dengan Chris John dan Rieke Dyah Pitaloka membintangi iklan televisi terbaru Kuku Bima versi “Lelaki Pemberani”. Sukses dengan iklan televisi versi dua lelaki pemberani, Kuku Bima Ener-G kembali meluncurkan ikan televisi terbarunya cvii versi “Jangan Pernah Putus Asa” yang menampilkan sosok wanita perkasa yang melakoni pekerjaan sebagai penarik becak. Kuku Bima Ener-G memiliki kampanye komunikasi yang khas. Setiap kampanye komunikasi Kuku Bima selalu berbalut CSR (Corporate Sosial Responsibility). Mulai dari Mbah Marijan, para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang pernah disiksa majikan di negeri jiran, hingga Laskar Mandiri (pengamen, pengojek, tukang semir sepatu, pedagang jamu gendong, pemulung, dan pengasong), digandeng menjadi model iklan Kuku Bima (http://mix.co.id/index2.php?option=comcontent&do.pdf=1&id=202, diakses pada 28 Desember 2009). Iklan yang bertema Laskar Mandiri ini mulai diluncurkan pada pertengahan juli 2008, dan dengan adanya iklan ini diharapkan penjualan Kuku Bima mencapai 1,2 miliar sachet, sementara di tahun 2007, Kuku Bima sukses memasarkan 1 miliar sachet. Adapun ditampilkannya kelompok masyarakat di sektor informal ini lebih kepada bentuk kekaguman dan apresiasi dari Kuku Bima (http://mix.co.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=1768, diakses pada 4 Januari 2010). Production team untuk iklan-iklan Kuku Bima Ener-G mulai dari Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II tidak pernah berubah. Dikarenakan sudah ada kerja sama yang terjalin cukup lama dan team ini pun diciptakan sedemikian ramping dengan alas an, yang bekerja dalam team ini harus memiliki feel terhadap Kuku Bima Ener-g itu sendiri. Team itu meliputi: cviii 1. Client : PT Jamu Sido Muncul · Owner : Irwan Hidayat · Brand Manager : Linawati Suteja 2. Agency : Artek ‘n Partners Communication · Presiden Director : Maya Dewi AR · Sr Account Executive : Indriati · Creative Director : Adyth Adyatmand 3. Production House : Fast Films · Executive Produser : Hamdhani Koestoro · Director : Imam Brotoseno Hingga saat ini iklan-iklan “Laskar Mandiri” telah muncul 3 versi iklan yang kesemuanya lebih mengangkat kaum termarjinalkan. Karena sebelumnya kebanyakan iklan di Indonesia mengabaikan fakta bahwa mayoritas pemirsanya adalah kelas bawah. Untuk penelitian ini hanya menggunakan iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. Kedua versi iklan itu yakni: 1. Laskar Mandiri I Tayang di televisi sebagai versi pertama kampanye iklan “Laskar Mandiri” pada bulan September 2008 dan masih menggunakan tagline “Kuku Bima Ener-G, Roso!”. Dalam iklan ini, lebih mengangkat mengenai perjuangan kaum termarjinalkan yang jarang diekspose untuk mengenalkan cix suatu produk. Laskar Mandiri Versi I menampilkan enam laskar, yakni: laskar penjual jamu, laskar asongan, laskar penyemir sepatu, laskar pemulung, laskar pengamen, dan laskar ojek sepda. a. Storyline Laskar Mandiri Versi I Storyline adalah penggambaran jalan cerita iklan melalui deskripsi iklan(cerita) secara lugas apa yang divisualisasikan dalam iklan. Pada iklan Kuku Bima “Laskar Mandiri Versi I” yang digunakan oleh peneliti adalah iklan yang berdurasi 30 detik. KONSEP STORYLINE TV COMMERCIAL KBE “LASKAR MANDIRI VERSI I” Adegan dibuka dengan menampilkan suasana pagi hari, ketika sinar matahari pagi memancar dibalik gedung-geung pencakar langit di kota Jakarta. Tampak penjual jamu berjalan dibalik matahari pagi. Terlihat penjual jamu itu ceria dan semangat dalam menjalani hari. Di lain tempat, para pedagang asongan bernyanyi di tepi dermaga berjalan bersama dengan semangat membara. Sementara itu, para penyemir jalanan sedang duduk berjejer sambil bekerja. Tampak kegembiraan dan semangat di wajah mereka. Di sekitar tepi rel kereta api, para pemulung bernyanyi sambil menggendong tas sampahnya. Walau begitu mereka tetap bergembira. Di jalanan yang arus lalu lintasnya cukup padat, para pengamen jalanan bersenandung dipenuhi cx dengan tawa. Kemudian di sekitar Kota Tua, iring-iringan tukang ojek sepeda tak kenal lelah mengayuh sepedanya, sambil sesekali menunjukkan kegembiraan dan saling tertawa bersama. Masih di sekitar Kota Tua, Rieke, Doni dan Vega melihat para Laskar Mandiri (penjual jamu gendong, pedagang asongan, penyemir jalanan, pengamen, dan tukang ojek sepeda) yang ternyata berjalan mendatangi mereka. Lalu, mereka pun bergabung dengan para laskar mandiri itu dan bernyanyi bersama. Mereka terlihat akrab. Para laskar mandiri yang berjenis kelamin pria membuka bajunya dan ternyata dibalik kemeja itu, mereka mengenakan kaos merah bertuliskan Laskar Mandiri, LASKAR KUKU BIMA ENER-G. Masing-masing menggenggam segelas minuman aneka rasa varian dari KBE. Para bintang mengacungkan gelas yang digenggamnya sambil berkata; “Kuku Bima Energi”. Tampak pack shot Mbah Maridjan mengepalkan tangan kanannya sebagai perwujudan untuk menggugah semangat dan berkata; “Roso!!!” b. Storyboard Laskar Mandiri Versi I Storyboard adalah jalan cerita visualisasi iklan melalui potongan-potongan visualisasi iklan per adegan ataupun per shot dalam iklan (Santosa, 2002: 42). cxi BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam bab pendahuluan, permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimana makna pesan yang ditonjolkan dan bagaimana keberadaan mitos mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II. Oleh karena itu, analisis semiotika Roland Barthes telah digunakan untuk mengetahui isi pesan dan makna yang tersembunyi dari iklan tersebut. Adapun digunakannya semiotika Roland Barthes dalam penelitian ini adalah untuk menggali makna yang ditekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya. Makna pesan dianalisis berdasarkan kode fotografi dan kode sosial. Dalam kode fotografi, simbol-simbol yang digunakan juga dianalisis berdasarkan tanda verbal dan tanda non-verbal. Tanda verbal mencakup bahasa tulisan dan bahasa lisan, sedangkan tanda non-verbal mencakup: kinesics(gerak tubuh termasuk wajah), haptics (sentuhan), physical appearance (penampilan fisik), artifacts (objek ciri khas), proxemics (jarak tubuh), environmental factor (faktor suasana), chronemics (lama interaksi), paralanguage (kualitas suara), dan silence (keheningan). cxii Analisis iklan Kuku Bima ener-G meliputi tiga kategori. Kategori pertama, yaitu citra laki-laki melalui imej tubuh sebagai fragmen yang dibagi menjadi dua sub tema, yaitu badan atletis (macho), dan tubuh kuat. Kategori kedua, yaitu citra laki-laki melalui penampilan karakter yang dibagi menjadi tiga sub tema, yaitu, semangat tinggi, persahabatan/setia kawan, dan aktif. Kategori ketiga, yaitu citra laki-laki dalam budaya patriarkhi yang dibagi menjadi dua sub tema, yaitu, kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan lakilaki sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga. Dari serangkaian data simbol-simbol komunikasi yang diperoleh melalui metode analisis semiotika Roland Barthes mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II, maka di sini peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa iklan ini mampu merepresentasikan simbol-simbol maskulinitas kaum termarjinalkan, sebagai berikut : 1. Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I a. Citra laki-laki melalui imej tubuh sebagai fragmen a.1. Badan atletis dan gagah berotot (macho) Kategori ini diwakili oleh gambar 01 dan gambar 02, yang keduanya menggunakan teknik straight on-angle. Untuk bidang pandangan menggunakan medium close up dan long shot. Kedua bidang pandangan ini membantu untuk memperlihatkan tandatanda maskulinitas. Kostum yang melekat pada pemain cxiii digunakan untuk menguatkan jenis pekerjaan yang sedang mereka jalani. Tanda-tanda yang menunjukkan maskulinitas dalam gambar 01 dan 02 dapat dilihat dari penampilan fisik para pemain. Dalam gambar 01, salah satu pemulung berdiri di bagian depan dan memperlihatkan dada yang bidang dan lengan yang kekar. Sedangkan dalam gambar 02, memperlihatkan lengan kekar yang dimiliki oleh tukang ojek sepeda. Tubuh laki-laki memang direpresentasikan kuat, berotot dan keras. Tidak peduli apa jenis pekerjaan dan status sosial mereka, laki-laki tetap direpresentasikan sesuai dengan maskulinitas tradisional. a.2. Tubuh kuat Gambar 03 menggunakan sudut pengambilan gambar low angle. Yang mengindikasikan bahwa objek memiliki rasa percaya diri, dominan serta kuat semakin mempertegas kemaskulinitasannya. Menggunakan bidang pandangan long shot. Tanda-tanda tubuh kuat direpresentasikan oleh gambar 03 dimana terlihat beberapa laki-laki sedang mengangkat beban berat. Dalam budaya pop yang terkomersialkan, tubuh laki-laki selalu digambarkan lebih kuat dibanding wanita. cxiv b. Citra laki-laki melalui penampilan karakter b.1. Semangat tinggi Visualisasi gambar dalam kategori ini hanya menggunakan straight-on angle dengan bidang pandangan yang bervariasi, yakni medium close up (gambar 04), medium long shot (gambar 05) dan medium shot (gambar 06). Pencahayaan yang terang memberikan kesan alami dan menunjukkan lokasi pengambilan gambar yang ada di luar ruangan. Dalam gambar 04, background dibuat blur seolah hanya ingin memfokuskan pada laskar penyemir sepatu yang sedang bekerja dan memperlihatkan ekpresi wajah mereka lebih detail. Tanda-tanda semangat tinggi lebih menekankan bagaimana mereka selalu bekerja dengan penuh semangat walau beberapa dari mereka memiliki usia yang masih muda (gambar 04 dan gambar 05). Jenis pekerjaan adalah pemulung dan pengamen, yang termasuk dalam kategori jenis pekerjaan informal, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus bekerja dengan penuh semangat. cxv b.2. Persahabatan/setia kawan Tanda-tanda persahabatan/setia kawan diperlihatkan dalam gambar 07 dan gambar 08, dimana keduanya menggunakan sudut pengambilan gambar straight on-angle. Bidang pandangan menggunakan medium long shot dan medium shot untuk memperlihatkan kedekatan yang terjalin diantara sesama laskar mandiri ataupun antara laskar mandiri dengan Donny Kesuma. Tanda-tanda yang menunjukkan persahabatan lebih kepada kedekatan yang terjalin diantara mereka. Baik dalam gambar 07 dan gambar 08, memperlihatkan aktivitas yang biasa terjadi diantara laki-laki yaitu tos. Tos dianggap sebagai cara seorang pria dengan genggaman kuat yang menyiratkan persahabatan. b.3. Aktif Penggunaan bidang pandangan medium long shot dan extreme long shot mewarnai gambar-gambar yang merepresentasikan sub kategori ini. Teknik extreme long shot yang digunakan dalam gambar 10 digunakan untuk menggambarkan panorama yang luas, sehingga terlihat setting keseluruhan dan aktivitasnya. Dari kegiatan yang diperlihatkan dalam gambar 09 dan 10 dapat diasumsikan bahwa laki-laki sudah biasa untuk lebih cxvi sering melakukan kegiatan di luar rumah seperti misalnya: bekerja, berolah raga, atau sekedar melakukan hobi. c. Citra laki-laki dalam budaya patriarkhi c.1. Kekuasaan laki-laki atas perempuan Visualisasi gambar dalam kategori ini yakni medium shot (gambar 11). Tanda-tanda kekuasaan lelaki lebih menunjukkan peneguhan maskulinitas. Dalam gambar 11, peran laki-laki sebagai sosok yang kuat (gladiator) dengan perempuan disebelahnya hanya sebagai penggoda (vamp). c.2. Laki-laki sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga Ada 5 gambar yang direpresentasikan dalam sub kategori ini. Bidang pandangan yang digunakan cukup bervariasi, yakni, medium close up (gambar 12), medium long shot (gambar 13), long shot (gambar 14), medium long shot (gambar 15), dan long shot (gambar 16). Tanda-tanda maskulinitas lebih menekankan adanya konsep bekerja bagi laki-laki yang selalu dikaitkan dengan keluarga dan tanggung jawab seorang laki-laki terhadap keluarganya. Gambar 12 dan 13, menggambarkan bahwa laki-laki walau usianya terbilang masih muda dan belum waktunya untuk bekerja, sudah dituntut untuk bisa mencari uang sendiri. Gambar 14, 15, dan 16 cxvii menggambarkan area kerja laki-laki yang cukup keras. Area ini dianggap cocok untuk pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan tidak cocok dilakukan oleh perempuan. 2. Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri II a. Citra laki-laki melalui imej tubuh sebagai fragmen a.1. Badan atletis dan gagah berotot (macho) Kategori ini diwakili oleh gambar 01, dimana teknik medium close up digunakan sebagai bidang pandangan. Dengan medium close up, semakin memperlihatkan penampilan fisik yang dimiliki oleh salah satu tukang bakso. Jika perempuan selalu digambarkan dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan ramping, maka laki-laki digambarkan dengan tubuhnya yang kekar, dada bidang, dan berotot.dalam gambar 01 memperlihatkan lengan kekar dan berotot yang dimiliki oleh tukang bakso itu. a.2. Tubuh kuat Gambar 02 digunakan untuk mewakili kategori tubuh kuat. Menggunakan bidang pandangan medium close up. Pakaian dan gerobak bakso yang digunakan sebagai properti, menandakan jenis pekerjaannya. cxviii Adapun tanda-tanda maskulinitas diperlihatkan pada penampilan fisik yang dikaitkan dengan profesinya itu. Profesinya itu menuntuk kekuatan fisik agar terus berjalan mendorong gerobak baksonya. Keringat yang menetes semakin mempertegas tubuh kuat yang dimilikinya. Karena walau dia terlihat lelah, tetapi dia masih terus kuat untuk bekerja. b. Citra laki-laki melalui penampilan karakter b.1. Semangat tinggi Visualisasi gambar dalam kategori ini terdapat teknik straight on-angle (gambar 04, 05, dan 07) dan high angle (gambar 03 dan 06). Sudut kamera high-angle mampu membuat sebuah obyek seolah tampak lebih kecil, lemah dan terintimidasi. Walau menggunakan teknik ini, penggambaran mengenai tokoh tetap terlihat gembira dan semangat dalam menjalani hidupnya. Bidang pandangan cukup bervariasi, yakni medium long shot (gambar 03, 04, dan 05), extreme long shot (gambar 06) dan long shot (gambar 07) Salah satu karakteristik yang identik dengan jiwa maskulin adalah rasa semangat dalam mengerjakan sesuatu. Keseluruhan dari gambar menunjukkan susasana kebahagiaan dan penuh semangat. Mulai dari cara berjalan, ekspresi wajah, dan perilaku yang mereka lakukan menunjukkan semangat. cxix b.2. Persahabatan/setia kawan Hanya ada satu gambar yang mewakili kategori ini, yakni gambar 08 yang menggunakan sudut pengambilan gambar straight on-angle. Bidang pandangan menggunakan medium close up, untuk menggambakan kedekatan dan persahabatan yang terjalin antara tukang bakso dengan Ari lasso. Dalam urusan pergaulan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang terbuka dan supel. Ini dapat dilihat dari kedekatan yang terjalin antara Ari Lasso, yang seorang aktor, dengan tukang bakso. b.3. Aktif Gambar-gambar yang merepresentasikan kategori ini menggunakan teknik straight-on angle dan high angle. Dengan bidang pandangan medium long shot (gambar 09) dan extreme long shot (gambar 10). Dari environment dalam kedua gambar itu, menandakan bahwa mereka sedang beraktivitas di luar ruangan. Laki-laki diidentikan dengan kegiatan di luar rumah. Dalam gambar 09, lokasi mereka berada adalah di sekitar jalan raya, yang sarat dengan polusi. Sedangkan dalam gambar 10, lokasi mereka berada adalah di pusat kota Jakarta, yaitu di kawasan cxx Sudirman. Kedua gambar ini memperlihatkan bahwa tempat laki-laki beraktivitas adalah di luar ruangan. c. Citra laki-laki dalam budaya patriarkhi c.1. Kekuasaan laki-laki atas perempuan Tidak ada gambar yang mewakili kategori kekuasaan lakilaki atas perempuan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri II. c.2. Laki-laki sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga Kategori ini diwakili oleh 4 gambar. Dengan visualisasi gambar terdapat teknik straight on-angle (gambar 11 dan 12), high angle (gambar 13) dan low angle (gambar 14). Low angle dalam gambar 14 membuat laki-laki dalam gambar itu terlihat domonan, percaya diri serta kuat. Walau mereka hanya bekerja sebagai pedagang asongan, tetapi mereka adalah laki-laki, jenis kelamin yang dianggap masih memiliki superioritas yang kelak akan menjadi kepala keluarga. Sedangkan untuk bidang pandangan cukup bervariasi, yakni, long shot (gambar 11), medium long shot (gambar 12) dan extreme long shot (gambar 13 dan 14) Dalam hal okupasi pekerjaan yang mengandalkan kekuatan dan keberanian disebut sebagai pekerjaan maskulin. Baik gambar cxxi 11, 12, 13 dan 14 adalah pekerjaan yang identik dengan laki-laki bahkan dalam gambar 13 dan 14 yang menjadi tokoh utamanya adalah laki-laki dengan usia yang masih muda, tetapi sudah memiliki kesadaran untuk bekerja. Ini semua karena mereka adalah laki-laki, yang senantiasa dituntut tanggung jawabnya untuk bisa menghidupi keluarganya. Mitos yang berusaha digambarkan dalam iklan ini memiliki beberapa persamaan dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat. Kaum termarjinalkan dalam iklan juga dicitrakan dengan tubuh yang kuat, memiliki karakter yang cenderung positif dan mereka juga memiliki kuasa atas perempuan serta pengontrol ekonomi keluarga. Karena mereka adalah lakilaki, penggambaran untuk iklan tidak jauh berbeda dengan mitos laki-laki yang berkembang di masyarakat. Hanya ada satu perbedaan yakni mengenai imej fisik maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan maupun dalam realitas sosial. Dari ringkasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa analisis semiotika pada kode fotografi ternyata menyumbang suatu rekayasa teknis dalam mengungkapkan tanda-tanda representasi maskulinitas kaum termarjinalkan. Analisis kode fotografi dan kode sosial saling berkaitan satu sama lain untuk semakin memperkuat makna pesan dibalik gambar tersebut. cxxii Setelah dianalisis dengan menggunakan kode fotografi dan kode sosial, dapat disimpulkan secara umum tanda-tanda dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II, yakni: 1. Makna pesan yang ditonjolkan dalam iklan ini adalah mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan. Maskulinitas pada laki-laki dengan jenis profesi yang termasuk dalam kategori sektor informal, yaitu: Tukang bakso, pengamen, pemulung, penyemir sepatu, tukang ojek sepeda, tukang ojek motor, dan pedagang asongan. 2. Penggambaran mengenai maskulinitas kaum termarjinalkan memiliki persamaan dengan maskulinitas tradisional atau maskulinitas pada umumnya, yakni: a. Imej fisik yang digambarkan dengan tubuh yang kuat, kekar dengan dada yang bidang dan lengan berotot. b. Karakteristik yang cenderung positif seperti semangat tinggi, aktif dan setia kawan. c. Maskulinitas kaum termarjinalkan juga tidak lepas dari budaya patriarkhi. Mereka memiliki kuasa atas perempuan dan sebagai pusat yang mengatur seluruh struktur ekonomi keluarga. cxxiii 3. Adanya persamaan mitos antara mitos yang berkembang di masyarakat dengan mitos maskulinitas kaum termarjinalkan dalam iklan, yakni: a. Maskulinitas kaum termarjinalkan digambarkan dengan fisik yang kuat walau badan mereka terlihat kurus. b. Memiliki semangat tinggi, aktif dan setia kawan. c. Tidak peduli apaun pekerjaannya, karena mereka adalah laki-laki, mereka pun dianggap memiliki kuasa atas perempuan dan penanggung jawab roda ekonomi keluarga. 4. Adanya perbedaan mitos mengenai imej fisik kaum termarjinalkan dalam iklan Kuku Bima Ener-G versi Laskar Mandiri I dan Laskar Mandiri II dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat. Dalam iklan, kaum termarjinalkan digambarkan memiliki tubuh yang kekar dengan dada yang bidang dan berotot. Sedangkan dalam realitas, kaum termarjinalkan itu digambarkan dengan tubuh yang kurus, dekil, tidak berotot bahkan cenderung hanya terbungkus tulang saja. cxxiv B. Saran 1. Bagi akademis dan peneliti lain. a. Semiotika melihat sebuah teks sebagai sesuatu yang sangat terbuka sehingga sangat memungkinkan menghasilkan berbagai macam interpretasi. Interpretasi peneliti bukanlah satu-satunya kebenaran yang sah. Diharapkan adanya penelitian lain sebagai pembanding terhadap tema yang sama tentang mitos maskulinitas. b. Dalam melakukan penelitian semiotik, diharapkan selalu mempertimbangkan kode fotografi dan kode sosial. Karena kode-kode tersebut mengandung tanda-tanda yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi interpretasi penonton. c. Meningkatkan penelitian yang mendalam mengenai dampak-dampak iklan, dilihat dari aspek budaya, sosial, kesehatan dan psikologis, terutama mengenai bagaimana sebuah iklan dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku yang keliru. 2. Bagi pemerintah dan masyarakat. a. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan masalah gender. Karena masalah ini tidak hanya mencakup pada sebuah jenis kelamin saja, tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan. Terutama wacana gender dalam media massa yang sering tidak sesuai dengan kenyataan dan dieksploitasi secara berlebihan. cxxv b. Masyarakat luas diharapkan lebih memperhatikan masalah gender. Yang terkadang tidak hanya pihak perempuan saja yang menjadi korban, tetapi juga pihak laki-laki pun menjadi korban karena perbedaan gender ini. 3. Bagi audiens (laki-laki). a. Tidak langsung menerima pesan yang dikonstruksi oleh sebuah iklan. Dalam memandang makna yang tampak pada iklan, yang penting untuk direnungkan adalah bagaimana kita menyikapi rayuan dan gaya hidup yang ditawarkan oleh sebuah iklan produk. Bagaimanapun juga, iklan secara sengaja memang dikonstruksi dan dipopulerkan oleh kaum kapitalis. b. Meningkatkan melek media yang tentunya akan meningkatkan sikap analitis, sikap kritis dan selektif dalam menghadapi berbagai serbuan media iklan yang terkadang sering salah persepsi. 4. Bagi kreator iklan. a. Meningkatkan kualitas informasi dalam periklanan, yakni dengan mengedepankan informasi mengenai produk yang diiklankan dan mengurangi informasi palsu. b. Peningkatan kualitas informasi harus diiringi dengan peningkatan kualitas aturan-aturan periklanan, khususnya mengenai kode etik periklanan. cxxvi DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. Cultural Studies: Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: LKIS, 2003. Bungin, Burhan. Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Yogyakarta: Jendela, 2001. -------------------. Konstruksi Sosial Media Massa, Iklan TV dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomass Luckmann. Jakarta: Kencana, 2008. Connel, R.W. Masculinities. Cambridge: Polity Pers, 1995. Darwin, Muhadjir & Tukiran. Menggugat Budaya Patriarkhi. Yogyakarta: Fourd Foundation & Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 2001. Dyer, Gillian. Advertising as Communication. London: Routledge, 1996. Effendy, Onong Uchjana. Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, 1981. -----------------------------. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Pemaja Rosda Karya, 2005. Eriyanto. Analisa Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS, 2001. Fiske, John. Introduction to Communication Studies. London: Routledge, 1990. -------------. ”The Codes of Television” dalam Media Studies; A Reader, edited by Paul Marris dan Sue Thornham. Edinburg: Edinburg University Press, 1997. -------------. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004. Fowless, Jib. Advertising and Popular Culture. London: Sage Publications, 1996. Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Media Scape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2007. Khasali, Rhenald. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. cxxvii Kincaid, Lawrence & Wilbur Schramm, Asas-asas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3ES, 1987. Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. PT. Indonesiatera, 2001. Liliweri, Allo. Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyrakat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication.New York: Wardsworth Publishing Company, 2002. Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Media Utama, 1999. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. M. Henslin, James. Sosiologi, Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga dan Pusat Perbukuan Depdiknas, 2007. Nierenberg , Gerald I dan Calero. Membaca Pikiran Orang Seperti Membaca Buku. Yogyakarta: Think Jogjakarta, 2009. Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Nurudin. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Cespur, 2004. Pawito. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS, 2007. Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika. Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Praktikto, Riyono. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Bandung: CV.Remadja Karya, 1987 Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosadakarya, 1986. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. --------------. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. cxxviii Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. Serba-Serbi Komunikasi. Jakarta: Gramedia, 1992. Suranto, Hanif dan Idi Subandy Ibrahim. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998. Turner, Graeme. Film As Social Practice. London: Routledge, 1999. Wijaya, Mahendra. Perspektif Sosiologi Ekonomi, Dari Masyarakat Kapitalis Hingga Kapitalisme Neo-liberal. Karanganyar: Lindu Pustaka, 2007. Wirodono, Sunardian. Matikan TV-Mu!. Yogyakarta: Resist Book, 2005. Wood, Julia T. Gendered Lives: Communication, Gender and Culture. Nort Carolina: Wadsworth, 2001. -----------------. Communication Mossaics. Belmont: 1997. Internet Akuntan yang ”Terjebak” di Advertising, Lis Hendriani, http://mix.co.id/index2.php?option=com.content&do.pdf=1&id=1768, diakses pada 4 Januari 2010 Artek N Partners Targetkan Pertumbuhan Billing 50%, Taufik Hidayat, http://www.swa.co.id/primer/pemasaran/advertising/details.php/cid+18&id= 562, diakses pada 4 Januari 2010 Bisnis Minuman Energi Rp 2,5 T per Tahun, http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=927978&actmenu=44, diakses pada 4 Januari 2010 Iklan Pertama di Hindia Belanda, http://www.pppi.or.id/pppi/tentang-isi9.html, diakses pada 5 Januari 2010 Irwan Hidayat, Presdir PT Sido Muncul, Perusahaan Harus Membawa Manfaat bagi Semua, Edy Wahyudi, http://www.mynutrend.com/ceo.htm, diakses pada 6 Januari 2010 cxxix Irwan Hidayat, Generasi Ketiga Sido Muncul, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/i/irwanhidayat/index.html, diakses pada 28 Desember 2009 Irwan Hidayat, Bos PT Sido Muncul, http://batampos.co.id/kolom/mekar/irwanhidayat, diakses pada 3 Januari 2010 Jeli Membaca Kelemahan Pesaing, Dwi Wulandari, http://www.mix.co.id/index2.php?option=conten&dpdf=1&1d=202, diakses pada 28 Desember 2009 Komodifikasi Maskulinitas dalam Media Massa Modern, Aris Nugraha, http://arisnugraha.blogspot.com, diakses pada 12 November 2009 Kuku Bima Ener-G Siap Gerogoti Pasar Minuman Energi, www.swa.co.id, diakses pada 7 Oktober 2009 Kuku Bima Ener-G, http://id.wiki.detik.com/wiki/kuku bima ener-g, diakses pada 7 Januari 2010 Kuku Bima Targetkan Sales 1,2 M Sachet, http://mix.co.id/index.php?option=com.content&task=view&id=190, diakses pada 30 Desember 2009 Mbah Maridjan, Lelaki Pemberani Versi Kuku Bima http://berita.liputan6.com/lain-lain/200607/126259/class=”vidico”, Ener-G, diakses pada 4 Januari 2010 Paralegal Bagi Kaum Miskin dan Termarjinalkan, Zulkifli Mohamad, http://uramacorner.blogspot.com/paralegal/bagi/kaum/miskin/dan/termarjinalkan.html, diakses pada 10 April 2010. Jurnal Ilmiah Andreasse, Lars, Line Brandt and Jes Vang. “Agency”. Cognitive Semiotic issue 0. Spring. 2007: pg 4. cxxx Helsinki, Finland. The secret of rendering signs effective: the import of C. S. Peirce’s semiotic rhetoric. The Public Journal of Semiotics, halm 5, Juli 2007. Leak, Andrew. Phago-citations: Barthes, Perec, and the Transformation of Literature, Review of Contemporary Fiction. Spring. 2009: Vol.29, Iss. 1; pg 25 & 124 Majalah Swa, No.10/XXV/14-27 Mei 2009, halm. 44 dan 62 Cakram Komunikasi, edisi Januari 2003, halm. 9 cxxxi