CARE WHITE PAPER SERIES 2016 VOL. 2 Metode Berbasis Budaya: Langkah Detail Pendekatan Kemitraan untuk Membangun Infrastruktur Komunikasi dan Mendengarkan Suara Komunitas Mohan J. Dutta, Indranil Mandal, Satveer Kaur, Dyah Pitaloka, Asha Pandi, Naomi Tan, Munirah Bashir, Monishankar Prasad, Kang Sun, Jagadish Thaker, Sarah Comer, Dazzelyn Zapata, Ee Lyn Tan, Pauline Luk, Li Lijun, Abdul Rahman, Julio Etchart, Ashwini Falnikar, Somrita Ganchoudhuri, Rati Kumar, Agaptus Anaele, William Collins, Sydney Dillard, Shaunak Sastry Mitra Penulis : Uchicowati Fauzia, YPKP HAM (Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia) Pipiet Ambar Mirah, Svetlana Dayani Fopper HAM (Forum Perjuangan dan Pendidikan Hak Asasi Manusia) THE CARE WHITE PAPER SERIES IS A PUBLICATION OF THE CENTER FOR CULTURE-CENTERED APPROACH TO RESEARCH AND EVALUATION (CARE), NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE Requests for permission to reproduce the CARE White Paper Series should be directed to the Department of Communications and New Media, Faculty of Arts and Social Sciences, National University of Singapore. DEPARTMENT OF COMMUNICATIONS AND NEW MEDIA 11 Computing Drive, AS6 Level 3 National University of Singapore Singapore 117416 T (65)6516-4971 W http://www.fas.nus.edu.sg/cnm Mohan J. Dutta, Head [email protected] Copyright of this paper resides with the author(s) and further publication, in whole or in part, shall only be made by authorization of the author(s). Cover design: Abdul Rahman & Daniel Teo / Layout and editing: Abdul Rahman CARE is online at http://www.care-cca.com. ABOUT CARE Funded by a $1.9 million grant from the National University of Singapore (NUS), CARE is a global hub for communication research that uses participatory and culture-centered methodologies to develop community-driven communication solutions. CARE is an affiliate organization of the Department of Communications and New Media at the Faculty of Arts and Social Sciences, NUS. the problems conceptualized by them. CARE seeks to: (a) create a strategic research core for the social scientific study of communication issues in Asia driven by the cultural worldviews of local communities, (b) develop communication interventions and policies that are culturally-centered via the participatory capacity of local communities to create culturally meaningful and locally responsive health solutions, (c) disseminate the core principles and lessons learned from the culture-centered projects within Asia and across other sectors of the globe, and (d) build communication research capacity in Asia by creating a training hub for the next generation of communication theorists, researchers, practitioners, and policymakers across Asia. CARE is driven by the core principle that communities know best the solutions that are relevant to the problems that they identify as critical. CARE works closely with community organizations, policymakers, program planners and evaluators in developing culturally-centered solutions that are envisioned by community members in the grassroots in response to 2 CARE WHITE PAPER SERIES Metode Berbasis Budaya: Langkah Detail Pendekatan Kemitraan untuk Membangun Infrastruktur Komunikasi dan Mendengarkan Suara Komunitas Mohan J. Dutta, Indranil Mandal, Satveer Kaur, Dyah Pitaloka, Asha Pandi, Naomi Tan, Munirah Bashir, Monishankar Prasad, Kang Sun, Jagadish Thaker, Sarah Comer, Dazzelyn Zapata, Ee Lyn Tan, Pauline Luk, Li Lijun, Abdul Rahman, Julio Etchart, Ashwini Falnikar, Somrita Ganchoudhuri, Rati Kumar, Agaptus Anaele, William Collins, Sydney Dillard, Shaunak Sastry Mitra Penulis : Uchicowati Fauzia, YPKP HAM (Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia) Pipiet Ambar Mirah, Svetlana Dayani Fopper HAM (Forum Perjuangan dan Pendidikan Hak Asasi Manusia) Metode berbasis pendekatan budaya atau culture-centered approach (selanjutnya, culture-centered atau CCA) berusaha untuk membalik situasi yang selama ini menghapus suara-suara kelompok subaltern dari ranah dialog dengan cara membangun kemitraan untuk menciptakan infrastruktur komunikasi yang mampu mendengar suara kelompok subaltern, yang bersumber dari pengalaman komunitas (Dutta, 2008, 2011). Pendekatan berbasis budaya ini berangkat dari pengakuan bahwa telah terjadi penghapusan (erasure) dari ranah diskusi dominan dan ruang masyarakat sipil (civil society), akademisi, serta pengambil kebijakan. Pengakuan atas pentingnya suara kelompok subaltern menjadi landasan untuk kemudian bersamasama menciptakan infrastruktur yang mengakui dan mampu mewakili suara-suara kelompok ini (Dutta, 2008). Kemitraan dalam menciptakan infrastruktur komunikasi ini menjadi karakter penting dan juga memberi penekanan pada sifat kerjasama yang mewarnai proses komunikasi itu sendiri. Penghapusan suara-suara kelompok subaltern selama ini telah dikonstruksi dalam proses komunikasi di dalam struktur. Oleh karenanya, penggalian dan proses menciptakan infrastruktur komunikasi harus memperhatikan pentingnya meninjau ulang keseluruhan proses komunikasi dengan mempertimbangkan praktikpraktik komunikasi dalam komunitas 3 CARE WHITE PAPER SERIES dan bagaimana proses tersebut saling bersinggungan dengan instrumen komunikasi dari kelompok dominan. Komunikasi dalam konsep CCA berada pada persimpangan antara culture (budaya), structure (struktur), dan agency (agensi) (Dutta, 2008). Culture (budaya) merefleksikan nilai-nilai dan praktik yang diyakini bersama, serta makna yang dinegosiasikan oleh komunitas. Dalam konteks ini budaya bersifat statis dan sekaligus dinamis; menjadi sarana penyampaian nilai-nilai yang diyakini oleh komunitas, namun pada saat yang sama membuka ruang bagi anggota komunitas untuk bersamasama menciptakan peluang untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini dari waktu ke waktu. Structure (struktur) mewakili sistem yang mengatur komunitas dan memungkinkan atau membatasi akses pada sumber daya (resources). Dalam konteks komunikasi, struktur mengendalikan sumber-sumber komunikasi, peraturan, logika, dan asumpsi yang dimiliki oleh komunitas. Agency (agensi) menggambarkan elemen yang mewakili pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota komunitas di tengah tekanan struktur. Secara umum, agensi merefleksikan proses negosiasi yang dilakukan oleh komunitas atas struktur. Culture (budaya), structure (struktur), dan agency (agensi) saling berinteraksi dengan dinamis dalam proses komunikasi. Ketika agency (agensi) dinyatakan secara komunikatif, proses komunikasi itu sendiri mengacu pada makna-makna kultural, dan terhubung dengan struktur. Proses penciptaan Metode berbasis budaya ini memberikan penekanan pada proses kerjasama (kolaborasi) komunitas local yang membuka ruang untuk dialog, partisipasi, dan bersuara, sebuah aktivitas yang telah lama terkooptasi ke dalam struktur dominan dan agenda komunikasi mereka yang berdampak pada penghapusan partisipasi dan keterlibatan kelompok subaltern. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, proses refleksi secara mendasar dan mendalam berpusat pada aspek kultural. Proses mengkaji ulang ini melibatkan aktivitas untuk menanyakan secara terus-menerus, makna dan posisi kuasa (power) yang telah menciptakan ruang untuk penghapusan suara-suara komunitas lokal. Contoh kasus yang kami tampilkan dalam tulisan ini berasal dari 50 proyek culture-centered di seluruh dunia dan 22 proyek culturecentered yang dilakukan oleh Center for Culture-Centered Approach to Research and Evaluation (CARE), Department of Communications and New Media (CNM), the National University of Singapore (NUS) antara periode 2012-2016 (sedang berjalan). 1 Proyek culture-centered yang dilakukan oleh CARE NUS didanai oleh Kantor Provost, National University of Singapore 1 4 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS makna bersama membuka ruang yang sah bagi pengakuan dan representasi dari makna yang telah lama terhapus, yang pada akhirnya akan memberi pintu masuk bagi pengembangan model pemecahan masalah yang berbasis pada budaya komunitas. Model pemecahan masalah yang mengacu pada komunitas akan mendorong munculnya solusi yang bervariasi, seperti misalnya model pemecahan masalah untuk perawatan kesehatan, layanan kesehatan, sistem pengarian (irigasi), ruang budaya untuk pertunjukan seni, sistem cocok tanam yang berdasar pada pengetahuan masyarakat lokal, radio komunitas untuk kampanye komunikasi guna meningkatkan pengetahuan, merubah perilaku, dan/atau merubah struktur kebijakan. Solusi yang diajukan biasanya berbentuk pengembangan infrastruktur dan layanan, dan juga produksi wacana melalui kampanye komunikasi dan advokasi, yang semuanya mengakar pada suara-suara komunitas. Figure 1 memberi gambaran tentang culture-centered approach (CCA) atau pendekatan berbasis budaya sebagai metode untuk membangun infrastruktur komunikasi yang mampu mendengarkan suara-suara komunitas yang telah lama dihapus dari ruang wacana (Dutta-Bergman, 2004a, 2004b; Dutta, 2006, 2007, 2008; Dutta & Basu, 2007a). CCA berupaya Problem Identification Research Design Message Feedback Advisory Group Members Academic Partners Peer Leaders Message Dissemination Message Strategy Community Message Evaluation Message Tactics Figure 1: CCA-based Approach to Community-Based Problem-Solving 5 CARE WHITE PAPER SERIES untuk mengembangkan kemitraan antara akademis-masyarakat sipilkomunitas serta memindahkan posisi pengambilan keputusan dan pemilihan strategi ke tangan komunitas sebagai mitra (Basu & Dutta, 2008a; Dutta, 2008; Ford & Yep, 2003). Perbedaan antara CCA dan pendekatan tradisional untuk solusi pembangunan adalah: 1) Anggota komunitas dan pimpinan masyarakat diberdayakan untuk merancang strategi pesan yang dapat diterima oleh lingkungan mereka; 2) Kepemimpinan lokal mengembangan strategi penyebaran informasi dengan bantuan tenaga ahli, dan alat-alat yang dapat diakses untuk memandu penciptaan strategy penyeberan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar; dan 3) Kepemilikan da nude seluruhnya adalah milik komunitas – bukan sebagai produk dari para ahli yang tidak memiliki kredibilitas layaknya anggota komunitas yang termarjinalkan. Tujuan dari kemitraan akademis adalah untuk mendorong terciptnya ruang kerjasama dan kapasitas komunitas untuk mampu mengambil keputusan (Dutta, 2008, 2014; Dutta & Basu, 2008b). Penciptaan dasar-dasar komunikasi dilakukan dengan memahami bahwa pernyataan para ahli seringkali menghapus suarasuara komunitas. GAMBARAN DAN DEFINISI CCA: IDE-IDE DASAR Proses penciptaan bersama (co-creation) ruang komunitas dalam CCA didasarkan pada ide-ide dasar tentang partisipasi, kemitraan, komunikasi, dan refleksivitas. Di bagian ini, kami akan mendiskusikan ide-ide dasar dalam CCA. PARTISIPASI CCA menggunakan strategi yang dikembangkan sebagai bentuk partisipasi komunitas untuk mengatasi kesenjangan dalam hal layanan kesehatan dan menempatkan komunitas sebagai pemegang peran dalam keseluruhan proses di mana mereka mendefinisikan masalah kesehatan yang dihadapi dan solusi yang diharapkan (Airhuhenhuwa, 1995; Airhihenhuwa & Obregon, 2000; Basu & Dutta, 2009; Campbell & Gillies, 2001; Campbell & Jovchelovitch, 2000; Dutta-Bergman, 2004a, 2004b; Dutta, 2008; Kreps, 2005; Viswanathan et al., 2004). Oleh karenanya, solusi masalah seluruhnya bersumber dari komunitas (lingkungan sekitar, komunitas, kelompok keagamaan). Penekanan dari CCA terletak pada pengembangan atau penciptaan 6 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS proses, strategi, dan ruang di mana melalui ketiga hal ini suara-suara lokal dapat berperan untuk mengembangkan solusi pemecahan masalah yang spesifik bagi komunitas (Baker & Motton, 2005; Dutta, 2008; Ford & Yep, 2003). Hal mendasar dalam proses pengembangan solusi yang berbasis komunitas adalah pola kemitraan, yang memberikan kesempatan kepada komunitas lokal untuk mendefinisikan masalah-masalah kesehatan yang mereka hadapi. Masalah kesenjangan kesehatan dipecahkan melalui proses penciptaan saran dan insfrastruktur komunikasi yang berbasis komunitas dan memang ditujukan untuk merespon dan memecahkan kesenjangan yang terjadi. Sebagai conton, peneliti CCA yang bekerja dengan komunitas pekerja sex di India menunjukkan peran pertemuan komunitas lokal sebagai dasar untuk mendiskusikan informasi kesehatan di kalangan komunitas (Basu & Dutta, 2009). celah atau kesenjangan dalama infrastruktur komunikasi dan sumber daya, selanjutnya juga untuk mengembangkan dan manata kembali infrastruktur dan sumber daya yang ada. Komunitas muncul sebagai mitra yang terlibat dalam keseluruhan proses pengembangan solusi komunikasi, sejak identifikasi masalah, sampai identifikasi sarana dan sumber daya komunikasi yang dapat digunakan untuk memecahkan kebutuhan komunitas (Campbell & Gillies, 2001; Dutta, 2008; Yehya & Dutta, 2010). PARTNERSHIP (KEMITRAAN) CCA melibatkan proses menciptakan kemitraan antara komunitas dan akademisi yang mampu memfasilitasi partisipasi komunitas dalam mendefinisikan masalah dan menciptakan solusi permasalahan, dan juga pengembangan pengetahuan. Dalam hal pennciptakan dan pengembangan pesan komunikasi, CCA berbeda dari pendekatan yang sensitif budaya (culturally sensitive approaches), karena CCA menempatkan komunitas sebagai pemilik pengetahuan dan keahlian dan seluruh proses pengembangan program komunikasi akan berdasar pada pengetahuan komunitas (Dutta, 2007; Dutta & DeSouza, Konsep CCA menawarkan strategi riset yang spesifik yang berbasis komunitas guna pengembangan infrastruktur dan solusi komunikasi yang berasal dari komunitas itu sendiri. Ketike metode CCA diaplikasikan dalam kondisi penyakit tertentu, misalnya, penekanan dari program adalah pada penciptaan proses komunikasi dan infrastruktur untuk mendengarkan masukan-masukan dari komunitas lokal guna mengidentifikasi celah- 7 CARE WHITE PAPER SERIES 2008). Program intervensi untuk promosi kesehatan yang bertumpu pada pengetahuan komunitas akan efektif ketika lokasi produksi pengetahuan berada di tangan komunitas, yang dilengkapi dengan pengetahun klinis dan keahlian dalam hal penciptaan solusi komunikasi dari akademisi (Dutta-Bergman, 2004a, 2004b). masalah-masalah penelitian tersebut dengen berpegangan pada keterlibatan komunitas, partisipasi komunitas, dan dialog; 4) Pengembangan proses komunikasi, sumber daya, dan strategi untuk menciptakan solusi yang berbasis komunitas; 5) Pengembangan metode riset berbasis kemitraan komunitas dan akademisi; 6) Penerapan solusi kesehatan berbasis komunitas dan dikendalikan oleh komunitas; 7) Analisis dan interpretasi data; 8) Penyebaran (diseminasi) hasil; dan 9) Pembentukan struktur dan rangkaian proses di tingkat komunitas untuk mendukung solusi yang dihasilkan melalui pendekatan CCA. Oleh karenanya, meski CCA memiliki beberapa kesamaan karakter degan model penelitian berbasis partisipasi komunitas (community based participatory research/CBPR) dalam hal komitmen kemitraan akademisi dan komunitas, CCA secara prinsip berbeda dari CBPR dalam hal penempatan komunitas sebagai pemilik informasi dan sumber pengetahuan utama. Elemen kunci dalam proses CCA adalah proses penciptakan ruang yang dinamis untuk pertukaran pengetahuan dan kolaborasi, serta pengambilan keputusan di tingkat komunitas, menggali berbagai sumber informasi yang ada (pengetahuan, teknologi, network, etc) dan kemudian dengan melibatkan akademisi, membawanya ke ranah diskusi. Dengan penekanan pada partisipasi lokal, metode CCA melibatkan proses komunikasi yang dinamis, berulang, dan berkelanjutan yang meliputi: 1) Identifikasi dan seleksi komunitas mitra; 2) Pengembangan proses komunikasi partisipatif, kolaboratif, dan melibatkan komunitas sebagai pengambil keputusan; 3) Identifikasi kebutuhan khusu komunikas dan bagaimana merespon Inti dari metode CCA adalah dialog. Dialog menciptakan proses komunikasi yang komunikatif, struktur, dan ruang untuk menggali masukan dari anggota komunitas guna pengambangan solusi komunikasi. Sangatlah penting untuk mempelajari dari dekat sifat partisipasi, darimana partisipasi berasal, dan akuntabilitas partisipasi dalam mendukung suara komunitas (Dutta, 2014). PROCES KOMUNIKASI DALAM CCA Proses komunikasi dalam CCA dilandasi oleh partisipasi dan dialog, yang secara bersama keduanya membantu penciptaan solusi komunikasi berbasis komunitas untuk memecahkan kebutuhan komunitas lokal. Dialog berbasis komunitas dalam CCA 8 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS diarahkan untuk menciptakan proses komunikasi yang dinamis yang mampu mendukung terciptanya kapasitas berbasis sumber daya dalam konteks komunitas lokal (Dutta-Bergman, 2004a, 2004b; Dutta, 2008, 2014; Wang, 1000; Wang & Burris, 1994). Dari perspektif komunikasi kesehatan, ruang partisipasi diciptakan dan dipertahankan agar mampu memberi kesempata kepada para komunikator kesehatan untuk terlibat dengan komunitas lokal, mendengarkann suara-suara mereka, dan menciptakan peluang untuk mengubah kondisi melalui proses membangun narasi bersama (Basu & Dutta, 1999; Pasick et al., 2009; Wang 1999; Wang & Burris, 1994). Tidak adanya infrastruktur komunikasi (seperti misalnya Internet) yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok marjinal, CCA berupaya untuk mengembangkan infrastruktur alternative yang tersedia bagi kelompok marjinal (seperti misalnya melalui gereja atau pameranpameran kesehatan). Sebagai tambahan, CCA juga berusaha membangun kapasitas komunitas melalui investasi infrastruktur komunikasi yang memiliki makna bagi komunitas (seperti misalnya mengembangkan program kemitraan untuk pengembangan model komunikasi online melalui pelatihah penggunaan sumberdaya online yang berbasis komunitas). Dalam konteks ini, peneliti tidak mengklaim dirinya sebagai ahli atas apa yang dikenal sebagai teori yang dikembangkan berdasarkan pengalaman masyarakat (lay theories). Peneliti dalam CCA berperan untuk membuka akses komunikasi bagi komunitas, sehingga komunitas dapat membuat keputusan kritis untuk diri mereka sendiri (lihat, Basu & Dutta, 2008a, 2008b, 2009; Dutta, 2008, 2014; Villagran, Collins & Garcia, 2008). Ruang diciptakan bersama agar suara komunitas yang selama ini telah terhapus, dapat kembali muncul ke ranah wacana (Dutta, 2014). REFLEXIVITY (KEMAMPUAN KOMUNITAS UNTUK MEMBERDAYAKAN DIRI) Dalam studi yang berbasis CCA, reflexivity merupakan langkah mempertanyakan dan mendiskusikan ranah kekuasaan dan bagaimana kekuasaan didistribusikan secara tidak merata dalam komunitas, dan antara akademisi dan komunitas (Dutta, 2008). Sebagai ahli, akademisi ditempatkan dalam ranah kekuasaan dan karenanya memainkan peran penting dalam mengarahkan kemana kekuasaan berpihak dalam sebuah pengambilan keputusan. Akademisi harus mampu secara kritis melihat dan memahami 9 CARE WHITE PAPER SERIES relasi kuasa dalam penciptaan ruang partisipasi komunitas. Hal kritis lain yang perlu dipahami oleh komunitas mitra adalah bahwa agenda masyarakat telah seringkali terkooptasi ke dalam agenda para ahli. Agar ranah kuasa ini dapat muncul, ruang-ruang kesempatan dan peluang harus dibuka untuk komunitas agar mereka dapat secara kritis menginterogasi kuasa dan menuntut pertanggungjawaban pembagian kuasa secara terbuka. Sebagai contoh, ketika kita seling berbagi pengerahuan tentang best practice dalam pelatihan komunitas (kita akan diskusikan ini di bagian lain tulisan ini), mitra akademis harus selalu memahami peran kuasa dalam mengidentifikasi mana yang bisa dikategorikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan mana yang merupakan best practice. Dalam sebuah proses, pengetahuan selalu menjadi ranah kontestasi dan penciptaan makna bersama. Melalui proses mendengarkan suara komunitas untuk menemukan apa yang disebut pengetahuan, wilayah kekuasaan yang selama ini tidak terbagi secara merata dikaji secara seksama (Dutta, 2014). Reflexivity memunculkan pertanyaan tentang kuasa, siapa yang menggenggam kekuasaan dan siapa yang tidak, dan bagaimana kuasa dimainkan dalam produksi pengetahuan dan keahlian. Demokratisasi pengetahuan hanya dapat dilakukan dengan menginterogasi pembagian kekuasaan yang tidak merata dalam masyarakat, dan membuka pintu masuk untuk partisipasi. Reflexivity, oleh karenanya, merupakan hasil dari sebuah proses pengamatan yang berkelanjutan dan upaya mengawal dengan ketat proses-proses partisipasi dan pengambilan keputusan dalam masyarakat. METODE: DETAIL DAN TERPERINCI Tujuan akhir dari CCA bukan sekedar pelibatan komunitas lokal dalam keseluruhan langkah-langkah penelitian untuk merancang pesan komunikasi, tapi juga untuk mengidentifikasi letak pengambilan keputusan dalam komunitas. Dorongan terbesar CCA adalah mengalihkan kapasitas pengambilan keputusan ke tangan komunitas. Akademisi dan mitra klinis menjadi sumber daya yang mendorong ke arah terbangunnya kapasitas komunitas untuk mencapat tujuan yang telah dinyatakan oleh anggota-anggota komunitas. Dalam konteks perancangan solusi, komunitas ditempatkan sebagai pemilik strategi dan juga solusi. Oleh karenanya, CCA mendorong ke arah terciptanya proses komunikasi dan ruang yang memungkinkan komunitas untuk mengambil keputusan atas solusi terbaik, memetakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, merancang strategi dan 10 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS taktik, dan alat-alat evaluasi yang akan digunakan. ADVISORY GROUP DISCUSSION (GD) – DISKUSI DEWAN PENASIHAT Pendekatan ethnografi, yang dilakukan antara lain melalui observasi partisipatif (participant observation), wawancara mendalam (in-depth interviews, selanjutnya II), dan diskusi kelompok (focus group, selanjutnya FG) membentuk fondasi kolaborasi dalam CCA. Dengan kata lain, pendekatan etnografi dilakukan melalui hubungan kemitraan dengan komunitas, yang mewujud dalam pembentukan dewan penasihat (advisory board) yang terdiri dari para angota komunitas. Diskusi dewan penasihat (community advisory group discussion, selanjutnya GD) sangat mendasar bagi proses perencanaan interview dan pengambilan data melalui diskusi kelompok (FG), proses memaknai data, dan pengembangan solusi. Selanjutnya, pelatihan (workshops) yang melibatkan komunitas akan memandu dan mengarahkan penciptaan dna pemilihan solusi yang akan dilaksanakan. Kelompok penasihat merupakan inti dari proses CCA, dengan proses pengambilan keputusan terletak di tangan dewan penasihat (Advisory Board, selanjutnya AB). AB dalam hal ini berfungsi sebagai ‘ruang’ pengambilan keputusan. Isu-isu dalam komunitas, agenda-agenda, dan solusi yang dirancang seluruhnya muncul dari AB, dan keputusan seluruhnya diambil melalui langkah kerjasama. Anggota-anggota dewan penasihat (AB) dipilih sedemikian rupa sehingga mewakili komunitas, dengan berpegangan pada konsep penghapusan suara komunitas (erasure). Secara teoretis, perhatian utama diberikan pada pengapusan ruang dan ranah diskusi dengan mengajukan pertanyaan, “Suara-suara seperti apakah yang hilang dari ruang wacana?” Melibatkan diri secara teoretis dengan pertanyaan seputar penghapusan (erasure) membantu pemilihan anggota dewan penasihat (advisory board members). Kriteria untuk AB adalah: 1) memiliki pengetahuan tentang kebutuhan kesehatan komunitas, 2) memiliki pengaruh terkait dengan isu-isu yang sedang dihadapi oleh komunitas dan mitra akademis, dan 3) memiliki ketertarikan untuk mengembangkan kemitraan komunitas dengan tujuan 11 CARE WHITE PAPER SERIES utama menghapus kesenjangan masalah kesehatan. Diskusi kelompok dari dewan penasihat diikuti oleh antara 10-15 partisipan dan umumnya berlangsung selama kurang lebih 90 menit. Dalam beberapa situasi, dewan penasihat juga beranggotakan pimpinan lokal, praktisi promosi kesehatan, dokter, perawat, perwakilan masyarakat sipil, pekerja seni, dan pengambil keputusan di komunitas. Beberapa anggota dewan penasihat dipilih oleh komunitas sebagai pemimpin kelompok (selanjutnya peer leaders). Peer leaders berperan sebagai mitra peneliti, dan secara aktif berpartisipasi dalam mendisain dan melaksanakan proses penelitian, rekruitmen anggota komunitas untuk wawancara mendalam, diskusi kelompok (focus group), dan pelatihan-pelatihan (workshops). Peer leaders juga memainkan peran penting dalam mengevaluasi dan melaksanakan tahapan-tahapan dalam program kerja. menggali kebutuhan komunikasi untuk pengembangan solusi yang dibutuhkan komunitas. Data dari hasil analisis II akan digunakan sebagai masukan untuk pelatihan-pelatihan (workshops) dan pertemuan dewan penasihat (advisory board meeting). Lebih lanjut, berdasarkan respon terhadap II, tim akan menyusun pertanyaan-pertanyaan diskusi kelompok (FG). Rekruitmen partisipan untuk II dilakukan secara berjenjang dengan memperhatikan latar belakang sosial ekonomi, dengan perbadingan laki-laki dan perempuan yang seimbang. Minimum 30 II dilaksanakan, dengan lama waktu wawancara berkisar antara 30-70 menit. II memberikan ruang masuk guna pengembangan tema-tema kunci untuk didiskusikan dan dikaji secara mendalam dalam diskusi kelompok, sekaligus memberikan wawasan (insights) pada proses pemaknaan yang dilakukan oleh anggota komunitas dalam keseharian terkait dengan isu-isu utama yang menjadi perhatian dalam studi. Wawancara Mendalam di Tingkat Komunitas (Community Level In-depth Interviews): Tujuan utama dari wawancara mendalam (in-depth interviews, selanjutnya II) di tingkat komunitas bertujuan untuk memahami kebutuhan komunikasi komunitas, dan untuk 12 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS Diskusi Kelompok di tingkat Komunitas (Community Level Focus Groups): Tujuan utama dari diskusi kelompok (Focus Group, selanjutnya FG) dilakukan untuk menindaklanjuti temuan-temuan II dan mendiskusikan sumber daya komunikasi yang dibutuhkan oleh kelompok komunitas, dan diharapkan mampu menciptakan ruang kerjasama atau kemitraan bagi terwujudnya dialog terbuka dan diskusi, serta iklim yang terbuka untuk proses berbagi pengetahuan dan pengembangan pemahaman bersama tentang masalah kesehatan dan solusi yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Kehadiran para pemangku kepentingan di tingkat komunitas dalam meja diskusi sangat penting untuk menyuarakan kebutuhan spesifik komunitas yang mungkin dapat dijawab oleh mitra akademisi. Kriteria pemilihan partisipan FG di tingkat komunitas adalah: 1) anggota komunitas lokal; 2) memiliki pengetahuan dan pengaruh dalam komunitas; 3) fasih dalam berkesama sama dalam program kemitraan (jumlah peserta antara 12-14 orang). Suguhan sederhana biasanya disediakan pada saat pertemuab, dan FG diadakan di lokasi yang mudah dijangkau oleh partisipan. Sebagai tambahan, partisipan menerima honor yang sesuai untuk partisipasi mereka. FG dimulai dengan menjelaskan mengenai kegiatan dan meminta persetujuan partisipan (informed consent). Untuk memfasilitasi alur dialog antara partisipan, setiap partisipan diberi tanda peserta dan diminta untuk memperkenalkan diri mereka masingmasing. Moderator akan memulai diskusi dengan memaparkan tujuan dari FG dan dimulai dengan topik pertama, mengundang partisipan untuk mendiskusikan persepsi mereka tentang kebutuhan komunitas. Moderator menggunakan kerangka topik sebagai panduan diskusi, dan juga untuk mengarahkan diskusi aga lebih fokus dan mendalam, serta menghindari pengulangan topik-topik yang sudah tersentuh sebelumnya. Moderator juga memiliki kesempatan untuk merangsang diskusi seara lebih luas dengan melibatkan partisipan secara merata, sehingga tiap peserta mendapat kesempatan yang sama, merasa nyaman dan dihargai, serta mendapat urang yang sama untuk berpartisipasi dalam diskusi. Asisten mencatat jalannya diskusi di papan balik. Diharapkan FG menghaslkan tema-tema utama dalam paruh terakhir diskusi, dan akhirnya mencapai kesepakatan untuk isu-isu kritis pada bagian akhir FG serta menyimpulkan beberapa pertanyaan penting yang dapat didiskusikan dalam pertemuan selanjutnya. Pencatat menuliskan catatan diskusi (field notes) selama sesi FG, yang nantinya akan 13 CARE WHITE PAPER SERIES digunakan bersama sebagai panduan untuk interpretasi data. Setelah FG, anggota tim peneliti mendiskusikan field notes, hasil pengamatan dan refleksi pribadi serta pengalaman-pengalaman dengan komunitas. Hasil diskusi ditranskrip dalam bentuk verbatim untuk tujuan analisis data. Akhirnya, melalui tahapan analisis terakhir, selective coding, konsep teori yang muncul saling dihubungkan untuk mencapai integrasi teori (theoretical integration) (Strauss & Corbin, 1990). Analisis Data Kualitatif: Data dari II dan FG, dikombinasikan dengan data dari jurnal dan juga field notes dianalisis dengan menggunakan open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 1990). Transkrip, analisis data, dan pengumpulan data terus dilakukan secara berkesinambungan dengan analisis data. Proses analisis data diawali dengan open coding untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang dengan mudah dikelompokkan dan diberi label. Kelompok-kelompok data ini (kelompok-kelompok kalimat) yang muncul dan memiliki ciri khusus yang membentuk kategori akan dipisahkan sebagai unit analisis. Proses open coding akan dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu axial coding, yang bertujuan untuk mencari formula hubungan di antara dan dalam kategori-kategori. Pada titil ini, tim peneliti juga akan merujuk pada field notes dan temuan-temuan jurnal untuk meningkatkan sensitivitas teori dari analisis data, menghubungan kerangka analisis dengan wawancara mendalam (II) yang masih berjalan dan juga diskusi kelompok (FG) (Charmaz, 2000). Berpijak pada tujuan utama pendekatan grounded theory (teori dari dasar) yang fokus pada proses membangun bersama (co-constructive), tema-tema yang sudah diidentifikasi dikaji kembali untuk menjamin keabsahan (trustworthiness) hasil analisis (Charmaz, 2000). Hasil analisis data kemudian disimpulkan dalam laporan singkat untuk dibagikan kepada partisipan pelatihan dan juga anggota dewan penasihat (advisory board members). PELATIHAN Pelatihan (workshops) merupakan salah satu elemen penting dalam pendekatan berbasis budaya (CCA). Pelatihan menjangkau khalayak yang lebih luas di luar dewan penasihat, termasuk di dalamnya komunitas dan juga para khalayak kunci yang bersama-sama akan berdiskusi untuk merancang solusi pemecahan masalah. Dalam semangat dialog, pelatihan ini menjadi dasar dan untuk mengarahkan suara komunitas agar mampu merespon isu-isu dan agenda-agenda yang paling penting bagi kehidupan komunitas. Pelatihan komunitas terbagi dalam kelompokkelompok yang lebih kecil yang secara khusus diundang untuk dialog. Beberapa 14 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS contoh pelatihan komunitas yang telah dilakukan melibatkan model pertemuan terbuka dimana seluruh anggota komunitas diundang untuk berpartisipasi. Dalam beberapa proyek CCA yang telah dilakukan, seperti yang dilaukkan di wilayah daerah pedesaan Bengal, seluruh komunitas di desa tersebut terlibat dalam pelatihan komunitas yang dilaksanakan sebagai sebuah pertemuan besar komunitas, yang disebut gram sabha. Contoh yang lain, dalam proyek CCA yang dilakukan pada komunitas keturunan Afrika Amerika di sebuah kota di Amerika Serikat, partisipan pelatihan direkrut oleh peer leaders, yang seluruhnya mewakili suara-suara yang berbeda dalam komunitas. Pelatihan di Tingkat Komunitas: Pelatihan di tingkat komunitas mempertemukan anggota dewan penasihat (advisory board members), pimpinan kelompok (peer leaders), staf organisasi kepemimpinan dan kemasyarakatan, dan partisipan dari komunitas untuk bersama-sama mengembangkan solusi strategis dan memetakan taktik untuk menjalankan strategi. Partisipan yang berasal dari komunitas direkrut sebagai mitra oleh anggota dewan penasihat dan peer leaders, yang biasanya dipilih dari dewan penasihat. Kriteria dari partisipan pelatihan adalah: 1) anggota komunitas lokal; 2) memiliki pengetahuan dan pengaruh dalam komunitas lokal; dan 3) fasih bekerja secara kolaboratif (jumlah peserta 15 orang dari tiap komunitas). Pelatihan komunitas dimulai dengan sesi pelatihan CCA untuk mendengarkan, dialog, dan partisipasi. Bahan pelatihan diambil dari berbagai studi CCA yang telah dilakukan untuk menyusun tujuan utama dan strategi untuk program pelatihan satu jam tentang CCA, yang akan bisa dipergunakan oleh akademisi dan komunitas yang bermitra untuk menyusun pesan yang secara khusus ditujukan untuk memecahkan masalah kesenjangan kesehatan (Kreuter & Skinner, 2000; Kreuter & Strecher, 1996; Kreuter & Wray, 2003). Elemen penting dari pelatihan CCA meliputi: 1) pengetahuan berbasis proses untuk merancang kolaborasi yang berbasis CCA; 2) kriteria untuk mengevaluasi efektivitas solusi; dan 3) proses menciptakan solusi yang kreatif. Tim peneliti juga mengumpulkan data yang relevan dan penting dari literatur, dan menyampaikan informasi tersebut kepada komunitas. Informasi harus mudah diakses, relevan, dan lengkap, 15 CARE WHITE PAPER SERIES dengan mencakup berbagai sisi, aspek, dan elemen dari masalah (DuttaBergman, 2003). Pelatihan umumnya dilakukan dalam bentuk tatap muka langsung, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan dengan bantuan teknologi, terutama bagi para khalayak kunci yang memiliki akses pada teknologi dan termotivasi untuk menggunakan teknologi (DeSouza & Dutta, 2008; Dutta-Bergman, 2003, 2006; Dutta & Feng, 2007). Pelatihan yang dimediasi oleh teknologi memungkinkan untuk dilakukan setelah seluruh hambatan dan kendala dipikirkan sungguh-sungguh, dan bagaimana dengan mediasi teknologi partisipasi dapat dilakukan dengan efektif. akan mengajukan daftar kriteria strategi penyusunan pesan, yang dilengkapi dengan daftar saluransaluran komunikasi yang tersedia dan pesan yang tepat. Tim peneliti, pimpinan komunitas, dan anggota komunitas akan secara bersamasama mengkoordinasi pelatihan. Tim peneliti akan mencatat jalannya pelatihan di papan balik (flip charts) selama proses pelatihan. Catatan ini akan digunakan dalam berbagai tahapan kerjasama dan juga sebagai sumber evaluasi proyek. Selanjutnya, tim peneliti dan produksi akan bekerja sama untuk mengolah strategi yang telah dipilih oleh mitra komunitas dan menciptakan beberapa versi solusi yang dapat dipilih oleh komunitas dalam pelatihan pengkajian (review workshops). Berikutnya, partisipan akan merancang dan mengembangkan solusi berdasarkan data II dan FG, dan kemudian diikuti dengan mengidentifikasi solusi yang spesifik untuk diimplementasikan, dialog untuk membicarakan strategi, taktik, dan kerangka evaluasi. Bergantung pada solusi yang direncanakan, strategi komunikasi yang dihasilkan dari pelatihan akan sangat bervariasi, mulai dari intervensi komunikasi, perangkat advokasi, solusi yang mengarah pada kebijakan, petisi, pertemuan, sesi dialog, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam konteks solusi yang menekankann pada strategi komunikasi, partisipan Pelatihan Pengkajian Program: Pelatihan ini membuka ruang berbasis pada kepentingan komunitas untuk memastikan bahwa solusi yang diajukan dan diciptakan bersamasama antara akademisi dengan komunitas benar-benar berangkat dari suara komunitas. Pelatihan komunitas, sebagai tahap akhir untuk memastikan bahwa seluruh proses benar-benar melibatkan komunitas, harus mampu menggali suara dari komunitas secara luas, bukan hanya dari dewan penasihat (advisory board). Pelatihan juga didisain agar 16 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS mampu menjamin bahwa suara-suara dan juga pendapat komunitas terwakili. Memahami perbedaan di dalam komunitas sangatlah penting, oleh karenanya pemilihan partisipan dalam pelatihan pengkajian ini harus memiliki strategi seleksi yang menjamin suarasuara dan pandangan yang berbeda dapat terwakili. Strategi yang diusulkan untuk pemecahan masalah akan dikaji oleh anggota komunitas dengan mempertimbangkan 1) jangkauan (reach), 2) efektivitas (effectiveness), 3) kelengkapan (completeness), 4) kelayakan secara kultural (cultural appropriateness), 5) kemampuan untuk dipahami khalayak (comprehensibility), dan 6) ketepatan (fidelity). Jangkauan (reach) mengacu pada kemampuan strategi untuk disebarluaskan kepada public. Efektivitas (effectiveness) mengacu pada kemampuan strategi untuk mencapai efek atau pengaruh dalam tingkatan yang diharapkan. Kelengkapan (completeness) mengacu pada kemampuan strategi untuk memberikan solusi yang diharapkan dan relevan bagi komunitas. Kelayakan secara kultural (cultural appropriateness) mencerminkan kondisi dimana solusi yang ditawarkan sejalan dengan nilainilai kultural (cultural values) dan pemahaman serta keyakinan (beliefs) komunitas. Kemampuan strategi untuk dipahami khalayak (comprehensibility) mencerminkan sejauhmana solusi dapat dipahami oleh khalayak luas. Dan yang terakhir, ketepatan (fidelity), mengacu pada sejauh mana sejalan dengan rencana awal pemecahan masalah yang diharapkan komunitas. Partisipan dalam pelatihan pengkajian program biasanya direkrut melalui pimpinan komunitas (peer leaders). Kriteria untuk partisipan pelatihan ini adalah: 1) anggota komunitas lokal; 2) memiliki pengetahuan dan pengaruh dalam komunitas lokal; 3) fasih dalam bekerjasama (secara umum 15 sampai 100 partisipan diambil dari komunitas untuk mendiskusikan solusi yang akan dilakukan dan memberi masukan). Pelatihan pengkajian program memberikan lapisan tambahan untuk menjamin akuntabilitas proses CCA dan memastikan bahwa solusi yang dikembangkan bersama (cocreated) memang berakar dari harapan komunitas. IMPLEMENTASI Setelah seluruh pelatihan mengintifikasi, menyelaraskan, dan memastikan strategi yang akan dilaksanakan, proses kolaborasi yang berbasis budaya ini akan memasuki tahap implementasi atau pelaksanaan. Karena sifat dari prosess CCA yang berangkat dari komunitas dan dialog dalam komunitas, maka pelaksanaan program dapat sangat 17 CARE WHITE PAPER SERIES bervariasi, mulai dari intervensi komunikasi yang mungkin secara umum adalah bentuk intervensi komunikasi biasa, sampai pada kegiatan advokasi yang berupaya untuk menggeser opini dan kebijakan publik, lalu juga kegiatan partisipatif yang bersifatb kemitraan untuk membangun insfrastruktur komunitas. Implementasi program juga dapat mengambil bentuk berupa kampanye pesan, atau disain yang mampu secara tepat menyasar permasalahan dalam struktur dan mampu mentransformasi struktur. Di samping itu kegiatan juga dapat mengambil bentuk berupaya kampanye perubahan perilaku (behavior change campaign) yang berupaya untuk mengubah praktikpraktik dan upaya pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan komunitas yang sudah berjalan. Sebagai contoh, solusi dapat ditujukan untuk mencapai perubahan dalam hal layanan kesehatan. Contoh lain adalah dengan menciptakan infrastruktur khusus dalam komunitas atau dengan mengadakan advokasi untuk membangun infrastruktur dalam komunitas. Keberhasilan intervensi sangat terkait dengan kemampuan dewan penasihan (advisory board) dan pelatihan-pelatihan untuk memunculkan solusi yang spesifik dan mampu diterapkan. EVALUASI Evaluasi dari solusi yang dilaksanakan dilakukan bersama oleh anggota dewan penasihat, dan dalam konteks masalah yang sedang dicari solusinya, dan bagaimana solusi yang ditawarkan mampu membantu pemecahan masalah. Tujuan dari evaluasi adalah untuk memberikan gambaran sejauh mana solusi yang dikembangkan dalam pertemuan dewan penasihat mampu menjangkau khalayak sasaran. Evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui apakah kebutuhan kahalayak-khalayak lain, seperti misalnya akademisi, pengambil keputusan kunci, pengambil kebijakan, dan juga pendonor, telah mampu dipenuhi. Dalam menyusun evaluasi, proyek yang berbasis kultural (CCA) akan selalu menegosiasikan apa yang dianggap penting bagi komunitas, apa yang dianggap penting bagi akademisi, kelompok pendonor, dan juga kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Dalam pendekatan CCA tarikan kepentingan seperti ini harus didiskusikan melalui partisipasi, dan partisipasi sangat penting untuk menjamin keberhasilan proses intervensi berbasis pendekatan kultural (culture-centered process), dan memastikan bahwa intervensi mampu memastikan keberhasilan proyek dan semuanya berpijak pada pengalaman 18 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS keseharian komunitas dan secara berkesinambungan dan terus-menerus merespon pada pemahaman yang telah terbangun dalam struktur dominan. Mengarahkan interaksi antara berbagai pihak secara kreatif sangatlah penting untuk menjamin bahwa pendekatan yang dilakukan memang benar-benar otentik dan berasal dari suara-suara komunitas (Dutta, 2014). KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, budaya sebagai unsur yang mempengaruhi proses pemaknaan, yang menjadi landasan CCA, menciptakan pintu masuk untuk membangun solusi berbasis komunitas, yang seluruh kegiatannya berasal dari komunitas dan mengakar pada partisipasi komunitas. Kerangka kerja CCA menonjolkan langkah-langkah yang mampu mendorong terciptanya ruang partisipasi bagi komunitas dan juga peluang untuk menyuarakan kepentingan dan agenda komunitas, juga pendekatan komunitas untuk pemecahan masalah. Dalam proses CCA partisipasi bukanlah alat untuk mewujudkan strategi yang dikooptasi untuk memuaskan agenda para ahli, pengambil kebijakan, dan akademisi yang jauh dari harapan komunitas. Dalam CCA, partisipasi merupakan elemen penting untuk menciptakan ruang keterlibatan komunitas yang seluruhnya mengacu pada visi dan aspirasi komunitas. Secara prinsip, CCA bekerja dengan prinsip kerendahan hati (humility) yang diawali dengan memperhatikan bahwa suara-suara komunitas telah seringkali terhapus dalam proses produksi pengetahuan. Dengan berbekal kerendahan hati inilah dialog akan mampu terwujud, mengakar pada suara-suara komunitas dan memunculkan suara-suara yang adalah milik anggota komunitas, meskipun mungkin suara-suara itu masih hanya mewakili kelompok kecil (contingent) , terfragmentasi (fragmented), mungkin kontradiktif (contradictory), dan juga belum sempurna (incomplete) (Dutta, 2008, 2014). 19 CARE WHITE PAPER SERIES DAFTAR PUSTAKA Airhihenbuwa, C. (1995). Health and culture: Beyond the Western paradigm. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Airhihenbuwa, C. O., & Obregon, R. (2000). A critical assessment of theories/models used in health communication for AIDS. Journal of Health Communication, 5(Suppl.), 5-15. Baker, E., & Motton, F. (2005). Creating understanding and action through group dialogue. In Israel, B., Eng, E., Schulz, A., & Parker, E. (Eds.), Methods in community-based participatory research for health (pp. 307-325). San Francisco, CA: JosseyBass. Basu, A., & Dutta, M. (2008a). Participatory change in a campaign led by sex workers: Connecting resistance to action-oriented agency. Qualitative Health Research, 18, 106-119. Basu, A., & Dutta, M. (2008b). The relationship between health information seeking and community participation: The roles of motivation and ability. Health Communication, 23, 70-79. Basu, A., & Dutta, M. (2009). Sex workers and HIV/AIDS: Analyzing participatory culture-centered health communication strategies. Human Communication Research, 35, 86-114. Campbell, C., & Gillies, P. (2001). Conceptualizing ‘social capital’ for health promotion in small local communities: A micro-qualitative study. Journal of Community & Applied Social Psychology, 11, 329–346. Campbell, C., & Jovchelovitch, S. (2000). Health, community, and development: Towards a social psychology of participation. Journal of Community & Applied Social Psychology, 10, 255–270. Charmaz, K. (2000). Grounded theory: Objectivist and constructivist methods. In Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd ed., pp. 509-35). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. DeSouza, R., & Dutta, M. (2008). Global and local networking for HIV/AIDS prevention: The case of Saathii E-forum. Journal of Health Communication, 13, 326-344. Dutta-Bergman, M. J. (2003). Health communication on the web: The roles of web use motivation and information completeness. Communication Monographs, 70, 264-274. Dutta-Bergman, M. (2004a). Poverty, structural barriers and health: A Santali narrative of health communication. Qualitative Health Research, 14, 1-16. 20 METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS Dutta-Bergman, M. (2004b). The unheard voices of Santalis: Communicating about health from the margins of India. Communication Theory, 14, 237-263. Dutta-Bergman, M. J. (2006). Media use theory and internet use for health care. The Internet and health care: Theory, research, and practice, 83-103. culture-centered approach. Qualitative Health Research, 17, 38-48. Dutta, M., & Basu, A. (2007b). Centralizing context and culture in the co-construction of health: Localizing and vocalizing health meanings in rural India. Health Communication, 21, 187-196. Dutta, M. (2006). Theoretical approaches to entertainment education: A subaltern critique. Health Communication, 20, 221-231. Dutta, M., & DeSouza, R. (2008). Reconciling the past and present: Reflexivity in the critical-cultural approach to health campaigns. Health Communication, 23, 326-339. Dutta, M. (2007). Communicating about culture and health: Theorizing culture-centered and culturalsensitivity approaches. Communication Theory, 17, 304-328. Dutta, M., & Feng, H. (2007). Health orientation and disease state as predictors of online health support group use. Health Communication, 22, 181-189. Dutta, M. (2008). Communicating health: A culture-centered approach. London, UK: Polity Press. Ford, L. A., & Yep, G. A. (2003). Working along the margins: Developing community-based strategies for communicating about health with marginalized groups. In T. Thompson, A. Dorsey, K. Miller, & R. Parrot (Eds.), Handbook of Health Communication (pp. 241-261). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Dutta, M. J. (2011). Communicating social change: culture, structure, agency. New York: Routledge. Dutta, M. J. (2014). A culture-centered approach to listening: Voices of social change. International Journal of Listening, 28, 67-81. Dutta, M., & Basu, A. (2007a). Health among men in rural Bengal: Approaching meanings through a Kreps, G. L. (2005). Communication and racial inequities in health care. American Behavioral Scientist, 49: 6, 1-15. 21 CARE WHITE PAPER SERIES Kreuter, M., & Skinner, C. (2000). Tailoring: What’s in a name? Health Education Research, 15, 1-4. perspective in health communication: Meaning, culture, power (pp. 203-223). London, UK: Routledge. Kreuter, M., & Strecher, V. (1996). Do tailored behavior change messages enhance the effectiveness of health risk appraisal? Results from a randomized trial. Health Education Research, 11, 97-105. Viswanathan, M., Ammerman, A., Eng, E., Gartlehner, G., Lohr, K. N., Griffith, D., Rhodes, S., SamuelHodge, C., Maty, S., Lux, L., Webb, L., Sutton, S., Swinson, T., Jackman, A., Whitener, L. (2004). Communitybased participatory research: Assessing the evidence. Evidence Report/ Technology Assessment No. 99 (Prepared by RTI-University of North Carolina Evidence-based Practice Center. AHRQ Publication 04E022-2. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality. Kreuter, M., & Wray, R. (2003). Tailored and targeted health communication: strategies for enhancing information relevance. American Journal of Health Behavior, 27 (Suppl.), S227-232. Pasick, R. J., Barker, J. C., OteroSabogal, R., Burke, N., Joseph, G., & Guerra, C. (2009). Intention, subjective norms, and cancer screening in the context of relational culture. Health Education & Behavior, 36(Suppl. 1), 91S-110S. Wang, C. C. (1999). Photovoice: A participatory action research strategy applied to women’s health. Journal of Women’s Health, 8, 185-192. Wang, C., & Burris, M. (1994). Empowerment through photo novella: Portraits of participation. Health Education Quarterly, 21, 171-186. Strauss, A. and Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and techniques. Sage Publications. Yehya, N., & Dutta, M. (2010). Health, religion, and meaning: A culture-centered study of Druze women. Qualitative Health Research, 20, 845-858. Villagran, M., Collins, D., & Garcia, S. (2008). Voces de Las Colonias: Dialectical tensions about control and cultural identification in Latinas’ communication about cancer. In H. Zoller & M. Dutta (Eds.), Emerging 22 www.care-cca.com