white paper series

advertisement
CARE
WHITE PAPER SERIES
2016 VOL. 2
Metode Berbasis Budaya:
Langkah Detail Pendekatan Kemitraan untuk
Membangun Infrastruktur Komunikasi dan
Mendengarkan Suara Komunitas
Mohan J. Dutta, Indranil Mandal, Satveer Kaur, Dyah Pitaloka, Asha Pandi,
Naomi Tan, Munirah Bashir, Monishankar Prasad, Kang Sun, Jagadish Thaker,
Sarah Comer, Dazzelyn Zapata, Ee Lyn Tan, Pauline Luk, Li Lijun, Abdul
Rahman, Julio Etchart, Ashwini Falnikar, Somrita Ganchoudhuri, Rati Kumar,
Agaptus Anaele, William Collins, Sydney Dillard, Shaunak Sastry
Mitra Penulis : Uchicowati Fauzia, YPKP HAM (Yayasan Penelitian Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia) Pipiet Ambar Mirah, Svetlana Dayani Fopper
HAM (Forum Perjuangan dan Pendidikan Hak Asasi Manusia)
THE CARE WHITE PAPER SERIES IS A PUBLICATION OF THE CENTER FOR
CULTURE-CENTERED APPROACH TO RESEARCH AND EVALUATION (CARE),
NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE
Requests for permission to reproduce the CARE White Paper Series should be directed to
the Department of Communications and New Media, Faculty of Arts and Social Sciences,
National University of Singapore.
DEPARTMENT OF COMMUNICATIONS AND NEW MEDIA
11 Computing Drive, AS6 Level 3
National University of Singapore
Singapore 117416
T (65)6516-4971 W http://www.fas.nus.edu.sg/cnm
Mohan J. Dutta, Head
[email protected]
Copyright of this paper resides with the author(s) and further publication, in whole or in
part, shall only be made by authorization of the author(s).
Cover design: Abdul Rahman & Daniel Teo / Layout and editing: Abdul Rahman
CARE is online at http://www.care-cca.com.
ABOUT CARE
Funded by a $1.9 million grant from the
National University of Singapore (NUS),
CARE is a global hub for communication
research that uses participatory and
culture-centered methodologies
to develop community-driven
communication solutions. CARE is an
affiliate organization of the Department
of Communications and New Media at the
Faculty of Arts and Social Sciences, NUS.
the problems conceptualized by them.
CARE seeks to: (a) create a strategic
research core for the social scientific
study of communication issues in Asia
driven by the cultural worldviews of local
communities, (b) develop communication
interventions and policies that are
culturally-centered via the participatory
capacity of local communities to create
culturally meaningful and locally
responsive health solutions, (c) disseminate
the core principles and lessons learned
from the culture-centered projects within
Asia and across other sectors of the globe,
and (d) build communication research
capacity in Asia by creating a training hub
for the next generation of communication
theorists, researchers, practitioners, and
policymakers across Asia.
CARE is driven by the core principle that
communities know best the solutions that
are relevant to the problems that they
identify as critical. CARE works closely with
community organizations, policymakers,
program planners and evaluators in
developing culturally-centered solutions
that are envisioned by community
members in the grassroots in response to
2
CARE WHITE PAPER SERIES
Metode Berbasis Budaya: Langkah
Detail Pendekatan Kemitraan untuk
Membangun Infrastruktur Komunikasi
dan Mendengarkan Suara Komunitas
Mohan J. Dutta, Indranil Mandal, Satveer Kaur, Dyah Pitaloka, Asha Pandi, Naomi Tan, Munirah Bashir,
Monishankar Prasad, Kang Sun, Jagadish Thaker, Sarah Comer,
Dazzelyn Zapata, Ee Lyn Tan, Pauline Luk, Li Lijun, Abdul Rahman, Julio Etchart, Ashwini Falnikar,
Somrita Ganchoudhuri, Rati Kumar, Agaptus Anaele, William Collins, Sydney Dillard, Shaunak Sastry
Mitra Penulis : Uchicowati Fauzia, YPKP HAM (Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia)
Pipiet Ambar Mirah, Svetlana Dayani Fopper HAM (Forum Perjuangan dan Pendidikan Hak Asasi Manusia)
Metode berbasis pendekatan budaya
atau culture-centered approach
(selanjutnya, culture-centered atau
CCA) berusaha untuk membalik situasi
yang selama ini menghapus suara-suara
kelompok subaltern dari ranah dialog
dengan cara membangun kemitraan
untuk menciptakan infrastruktur
komunikasi yang mampu mendengar
suara kelompok subaltern, yang
bersumber dari pengalaman komunitas
(Dutta, 2008, 2011). Pendekatan berbasis
budaya ini berangkat dari pengakuan
bahwa telah terjadi penghapusan
(erasure) dari ranah diskusi dominan
dan ruang masyarakat sipil (civil
society), akademisi, serta pengambil
kebijakan. Pengakuan atas pentingnya
suara kelompok subaltern menjadi
landasan untuk kemudian bersamasama menciptakan infrastruktur
yang mengakui dan mampu mewakili
suara-suara kelompok ini (Dutta,
2008). Kemitraan dalam menciptakan
infrastruktur komunikasi ini menjadi
karakter penting dan juga memberi
penekanan pada sifat kerjasama yang
mewarnai proses komunikasi itu
sendiri. Penghapusan suara-suara
kelompok subaltern selama ini telah
dikonstruksi dalam proses komunikasi
di dalam struktur. Oleh karenanya,
penggalian dan proses menciptakan
infrastruktur komunikasi harus
memperhatikan pentingnya meninjau
ulang keseluruhan proses komunikasi
dengan mempertimbangkan praktikpraktik komunikasi dalam komunitas
3
CARE WHITE PAPER SERIES
dan bagaimana proses tersebut saling
bersinggungan dengan instrumen
komunikasi dari kelompok dominan.
Komunikasi dalam konsep CCA berada
pada persimpangan antara culture
(budaya), structure (struktur), dan
agency (agensi) (Dutta, 2008). Culture
(budaya) merefleksikan nilai-nilai
dan praktik yang diyakini bersama,
serta makna yang dinegosiasikan oleh
komunitas. Dalam konteks ini budaya
bersifat statis dan sekaligus dinamis;
menjadi sarana penyampaian nilai-nilai
yang diyakini oleh komunitas, namun
pada saat yang sama membuka ruang
bagi anggota komunitas untuk bersamasama menciptakan peluang untuk
mewariskan nilai-nilai yang diyakini
dari waktu ke waktu. Structure (struktur)
mewakili sistem yang mengatur
komunitas dan memungkinkan atau
membatasi akses pada sumber daya
(resources). Dalam konteks komunikasi,
struktur mengendalikan sumber-sumber
komunikasi, peraturan, logika, dan
asumpsi yang dimiliki oleh komunitas.
Agency (agensi) menggambarkan
elemen yang mewakili pilihan-pilihan
dan keputusan-keputusan yang diambil
oleh anggota komunitas di tengah
tekanan struktur. Secara umum, agensi
merefleksikan proses negosiasi yang
dilakukan oleh komunitas atas struktur.
Culture (budaya), structure (struktur),
dan agency (agensi) saling berinteraksi
dengan dinamis dalam proses
komunikasi. Ketika agency (agensi)
dinyatakan secara komunikatif, proses
komunikasi itu sendiri mengacu pada
makna-makna kultural, dan terhubung
dengan struktur. Proses penciptaan
Metode berbasis budaya ini memberikan
penekanan pada proses kerjasama
(kolaborasi) komunitas local yang
membuka ruang untuk dialog,
partisipasi, dan bersuara, sebuah
aktivitas yang telah lama terkooptasi ke
dalam struktur dominan dan agenda
komunikasi mereka yang berdampak
pada penghapusan partisipasi dan
keterlibatan kelompok subaltern.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini,
proses refleksi secara mendasar dan
mendalam berpusat pada aspek kultural.
Proses mengkaji ulang ini melibatkan
aktivitas untuk menanyakan secara
terus-menerus, makna dan posisi
kuasa (power) yang telah menciptakan
ruang untuk penghapusan suara-suara
komunitas lokal. Contoh kasus yang
kami tampilkan dalam tulisan ini berasal
dari 50 proyek culture-centered di
seluruh dunia dan 22 proyek culturecentered yang dilakukan oleh Center for
Culture-Centered Approach to Research
and Evaluation (CARE), Department
of Communications and New Media
(CNM), the National University of
Singapore (NUS) antara periode
2012-2016 (sedang berjalan). 1
Proyek culture-centered yang dilakukan
oleh CARE NUS didanai oleh Kantor Provost,
National University of Singapore
1
4
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
makna bersama membuka ruang yang
sah bagi pengakuan dan representasi
dari makna yang telah lama terhapus,
yang pada akhirnya akan memberi
pintu masuk bagi pengembangan model
pemecahan masalah yang berbasis pada
budaya komunitas. Model pemecahan
masalah yang mengacu pada komunitas
akan mendorong munculnya solusi
yang bervariasi, seperti misalnya model
pemecahan masalah untuk perawatan
kesehatan, layanan kesehatan, sistem
pengarian (irigasi), ruang budaya
untuk pertunjukan seni, sistem cocok
tanam yang berdasar pada pengetahuan
masyarakat lokal, radio komunitas
untuk kampanye komunikasi guna
meningkatkan pengetahuan, merubah
perilaku, dan/atau merubah struktur
kebijakan. Solusi yang diajukan biasanya
berbentuk pengembangan infrastruktur
dan layanan, dan juga produksi wacana
melalui kampanye komunikasi dan
advokasi, yang semuanya mengakar pada
suara-suara komunitas.
Figure 1 memberi gambaran tentang
culture-centered approach (CCA)
atau pendekatan berbasis budaya
sebagai metode untuk membangun
infrastruktur komunikasi yang
mampu mendengarkan suara-suara
komunitas yang telah lama dihapus
dari ruang wacana (Dutta-Bergman,
2004a, 2004b; Dutta, 2006, 2007, 2008;
Dutta & Basu, 2007a). CCA berupaya
Problem Identification
Research Design
Message Feedback
Advisory Group Members
Academic Partners
Peer Leaders
Message Dissemination
Message Strategy
Community
Message Evaluation
Message Tactics
Figure 1: CCA-based Approach to Community-Based Problem-Solving
5
CARE WHITE PAPER SERIES
untuk mengembangkan kemitraan
antara akademis-masyarakat sipilkomunitas serta memindahkan posisi
pengambilan keputusan dan pemilihan
strategi ke tangan komunitas sebagai
mitra (Basu & Dutta, 2008a; Dutta,
2008; Ford & Yep, 2003). Perbedaan
antara CCA dan pendekatan tradisional
untuk solusi pembangunan adalah:
1) Anggota komunitas dan pimpinan
masyarakat diberdayakan untuk
merancang strategi pesan yang dapat
diterima oleh lingkungan mereka; 2)
Kepemimpinan lokal mengembangan
strategi penyebaran informasi dengan
bantuan tenaga ahli, dan alat-alat
yang dapat diakses untuk memandu
penciptaan strategy penyeberan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sekitar; dan 3) Kepemilikan da nude
seluruhnya adalah milik komunitas
– bukan sebagai produk dari para
ahli yang tidak memiliki kredibilitas
layaknya anggota komunitas yang
termarjinalkan. Tujuan dari kemitraan
akademis adalah untuk mendorong
terciptnya ruang kerjasama dan
kapasitas komunitas untuk mampu
mengambil keputusan (Dutta, 2008,
2014; Dutta & Basu, 2008b). Penciptaan
dasar-dasar komunikasi dilakukan
dengan memahami bahwa pernyataan
para ahli seringkali menghapus suarasuara komunitas.
GAMBARAN DAN DEFINISI CCA:
IDE-IDE DASAR
Proses penciptaan bersama (co-creation)
ruang komunitas dalam CCA didasarkan
pada ide-ide dasar tentang partisipasi,
kemitraan, komunikasi, dan refleksivitas.
Di bagian ini, kami akan mendiskusikan
ide-ide dasar dalam CCA.
PARTISIPASI
CCA menggunakan strategi yang
dikembangkan sebagai bentuk partisipasi
komunitas untuk mengatasi kesenjangan
dalam hal layanan kesehatan dan
menempatkan komunitas sebagai
pemegang peran dalam keseluruhan
proses di mana mereka mendefinisikan
masalah kesehatan yang dihadapi dan
solusi yang diharapkan (Airhuhenhuwa,
1995; Airhihenhuwa & Obregon, 2000;
Basu & Dutta, 2009; Campbell & Gillies,
2001; Campbell & Jovchelovitch, 2000;
Dutta-Bergman, 2004a, 2004b; Dutta,
2008; Kreps, 2005; Viswanathan et al.,
2004). Oleh karenanya, solusi masalah
seluruhnya bersumber dari komunitas
(lingkungan sekitar, komunitas, kelompok
keagamaan). Penekanan dari CCA terletak
pada pengembangan atau penciptaan
6
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
proses, strategi, dan ruang di mana
melalui ketiga hal ini suara-suara lokal
dapat berperan untuk mengembangkan
solusi pemecahan masalah yang spesifik
bagi komunitas (Baker & Motton, 2005;
Dutta, 2008; Ford & Yep, 2003). Hal
mendasar dalam proses pengembangan
solusi yang berbasis komunitas adalah
pola kemitraan, yang memberikan
kesempatan kepada komunitas lokal
untuk mendefinisikan masalah-masalah
kesehatan yang mereka hadapi. Masalah
kesenjangan kesehatan dipecahkan
melalui proses penciptaan saran dan
insfrastruktur komunikasi yang berbasis
komunitas dan memang ditujukan untuk
merespon dan memecahkan kesenjangan
yang terjadi. Sebagai conton, peneliti
CCA yang bekerja dengan komunitas
pekerja sex di India menunjukkan peran
pertemuan komunitas lokal sebagai
dasar untuk mendiskusikan informasi
kesehatan di kalangan komunitas (Basu
& Dutta, 2009).
celah atau kesenjangan dalama
infrastruktur komunikasi dan
sumber daya, selanjutnya juga
untuk mengembangkan dan manata
kembali infrastruktur dan sumber
daya yang ada. Komunitas muncul
sebagai mitra yang terlibat dalam
keseluruhan proses pengembangan
solusi komunikasi, sejak identifikasi
masalah, sampai identifikasi sarana
dan sumber daya komunikasi yang
dapat digunakan untuk memecahkan
kebutuhan komunitas (Campbell &
Gillies, 2001; Dutta, 2008; Yehya &
Dutta, 2010).
PARTNERSHIP (KEMITRAAN)
CCA melibatkan proses
menciptakan kemitraan antara
komunitas dan akademisi yang
mampu memfasilitasi partisipasi
komunitas dalam mendefinisikan
masalah dan menciptakan
solusi permasalahan, dan juga
pengembangan pengetahuan.
Dalam hal pennciptakan dan
pengembangan pesan komunikasi,
CCA berbeda dari pendekatan
yang sensitif budaya (culturally
sensitive approaches), karena CCA
menempatkan komunitas sebagai
pemilik pengetahuan dan keahlian
dan seluruh proses pengembangan
program komunikasi akan berdasar
pada pengetahuan komunitas
(Dutta, 2007; Dutta & DeSouza,
Konsep CCA menawarkan strategi riset
yang spesifik yang berbasis komunitas
guna pengembangan infrastruktur
dan solusi komunikasi yang berasal
dari komunitas itu sendiri. Ketike
metode CCA diaplikasikan dalam
kondisi penyakit tertentu, misalnya,
penekanan dari program adalah pada
penciptaan proses komunikasi dan
infrastruktur untuk mendengarkan
masukan-masukan dari komunitas
lokal guna mengidentifikasi celah-
7
CARE WHITE PAPER SERIES
2008). Program intervensi untuk
promosi kesehatan yang bertumpu pada
pengetahuan komunitas akan efektif
ketika lokasi produksi pengetahuan
berada di tangan komunitas, yang
dilengkapi dengan pengetahun klinis
dan keahlian dalam hal penciptaan
solusi komunikasi dari akademisi
(Dutta-Bergman, 2004a, 2004b).
masalah-masalah penelitian tersebut
dengen berpegangan pada keterlibatan
komunitas, partisipasi komunitas,
dan dialog; 4) Pengembangan proses
komunikasi, sumber daya, dan strategi
untuk menciptakan solusi yang berbasis
komunitas; 5) Pengembangan metode
riset berbasis kemitraan komunitas
dan akademisi; 6) Penerapan solusi
kesehatan berbasis komunitas dan
dikendalikan oleh komunitas; 7) Analisis
dan interpretasi data; 8) Penyebaran
(diseminasi) hasil; dan 9) Pembentukan
struktur dan rangkaian proses di tingkat
komunitas untuk mendukung solusi
yang dihasilkan melalui pendekatan
CCA.
Oleh karenanya, meski CCA memiliki
beberapa kesamaan karakter degan
model penelitian berbasis partisipasi
komunitas (community based
participatory research/CBPR) dalam hal
komitmen kemitraan akademisi dan
komunitas, CCA secara prinsip berbeda
dari CBPR dalam hal penempatan
komunitas sebagai pemilik informasi
dan sumber pengetahuan utama. Elemen
kunci dalam proses CCA adalah proses
penciptakan ruang yang dinamis untuk
pertukaran pengetahuan dan kolaborasi,
serta pengambilan keputusan di tingkat
komunitas, menggali berbagai sumber
informasi yang ada (pengetahuan,
teknologi, network, etc) dan kemudian
dengan melibatkan akademisi,
membawanya ke ranah diskusi.
Dengan penekanan pada partisipasi
lokal, metode CCA melibatkan proses
komunikasi yang dinamis, berulang,
dan berkelanjutan yang meliputi: 1)
Identifikasi dan seleksi komunitas mitra;
2) Pengembangan proses komunikasi
partisipatif, kolaboratif, dan melibatkan
komunitas sebagai pengambil keputusan;
3) Identifikasi kebutuhan khusu
komunikas dan bagaimana merespon
Inti dari metode CCA adalah dialog.
Dialog menciptakan proses komunikasi
yang komunikatif, struktur, dan ruang
untuk menggali masukan dari anggota
komunitas guna pengambangan
solusi komunikasi. Sangatlah penting
untuk mempelajari dari dekat sifat
partisipasi, darimana partisipasi berasal,
dan akuntabilitas partisipasi dalam
mendukung suara komunitas (Dutta,
2014).
PROCES KOMUNIKASI DALAM CCA
Proses komunikasi dalam CCA dilandasi
oleh partisipasi dan dialog, yang
secara bersama keduanya membantu
penciptaan solusi komunikasi berbasis
komunitas untuk memecahkan
kebutuhan komunitas lokal. Dialog
berbasis komunitas dalam CCA
8
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
diarahkan untuk menciptakan proses
komunikasi yang dinamis yang mampu
mendukung terciptanya kapasitas
berbasis sumber daya dalam konteks
komunitas lokal (Dutta-Bergman, 2004a,
2004b; Dutta, 2008, 2014; Wang, 1000;
Wang & Burris, 1994). Dari perspektif
komunikasi kesehatan, ruang partisipasi
diciptakan dan dipertahankan agar
mampu memberi kesempata kepada
para komunikator kesehatan untuk
terlibat dengan komunitas lokal,
mendengarkann suara-suara mereka,
dan menciptakan peluang untuk
mengubah kondisi melalui proses
membangun narasi bersama (Basu &
Dutta, 1999; Pasick et al., 2009; Wang
1999; Wang & Burris, 1994). Tidak
adanya infrastruktur komunikasi
(seperti misalnya Internet) yang dapat
dimanfaatkan oleh kelompok marjinal,
CCA berupaya untuk mengembangkan
infrastruktur alternative yang tersedia
bagi kelompok marjinal (seperti
misalnya melalui gereja atau pameranpameran kesehatan). Sebagai tambahan,
CCA juga berusaha membangun
kapasitas komunitas melalui investasi
infrastruktur komunikasi yang memiliki
makna bagi komunitas (seperti misalnya
mengembangkan program kemitraan
untuk pengembangan model komunikasi
online melalui pelatihah penggunaan
sumberdaya online yang berbasis
komunitas). Dalam konteks ini, peneliti
tidak mengklaim dirinya sebagai ahli
atas apa yang dikenal sebagai teori yang
dikembangkan berdasarkan pengalaman
masyarakat (lay theories). Peneliti dalam
CCA berperan untuk membuka akses
komunikasi bagi komunitas, sehingga
komunitas dapat membuat keputusan
kritis untuk diri mereka sendiri (lihat,
Basu & Dutta, 2008a, 2008b, 2009;
Dutta, 2008, 2014; Villagran, Collins &
Garcia, 2008). Ruang diciptakan bersama
agar suara komunitas yang selama ini
telah terhapus, dapat kembali muncul ke
ranah wacana (Dutta, 2014).
REFLEXIVITY (KEMAMPUAN
KOMUNITAS UNTUK
MEMBERDAYAKAN DIRI)
Dalam studi yang berbasis CCA,
reflexivity merupakan langkah
mempertanyakan dan mendiskusikan
ranah kekuasaan dan bagaimana
kekuasaan didistribusikan secara tidak
merata dalam komunitas, dan antara
akademisi dan komunitas (Dutta, 2008).
Sebagai ahli, akademisi ditempatkan
dalam ranah kekuasaan dan karenanya
memainkan peran penting dalam
mengarahkan kemana kekuasaan
berpihak dalam sebuah pengambilan
keputusan. Akademisi harus mampu
secara kritis melihat dan memahami
9
CARE WHITE PAPER SERIES
relasi kuasa dalam penciptaan ruang
partisipasi komunitas. Hal kritis lain
yang perlu dipahami oleh komunitas
mitra adalah bahwa agenda masyarakat
telah seringkali terkooptasi ke dalam
agenda para ahli. Agar ranah kuasa
ini dapat muncul, ruang-ruang
kesempatan dan peluang harus dibuka
untuk komunitas agar mereka dapat
secara kritis menginterogasi kuasa
dan menuntut pertanggungjawaban
pembagian kuasa secara terbuka.
Sebagai contoh, ketika kita seling
berbagi pengerahuan tentang best
practice dalam pelatihan komunitas
(kita akan diskusikan ini di bagian
lain tulisan ini), mitra akademis harus
selalu memahami peran kuasa dalam
mengidentifikasi mana yang bisa
dikategorikan sebagai pengetahuan
(knowledge) dan mana yang merupakan
best practice.
Dalam sebuah proses, pengetahuan
selalu menjadi ranah kontestasi
dan penciptaan makna bersama.
Melalui proses mendengarkan suara
komunitas untuk menemukan apa
yang disebut pengetahuan, wilayah
kekuasaan yang selama ini tidak
terbagi secara merata dikaji secara
seksama (Dutta, 2014). Reflexivity
memunculkan pertanyaan tentang
kuasa, siapa yang menggenggam
kekuasaan dan siapa yang tidak, dan
bagaimana kuasa dimainkan dalam
produksi pengetahuan dan keahlian.
Demokratisasi pengetahuan hanya
dapat dilakukan dengan menginterogasi
pembagian kekuasaan yang tidak merata
dalam masyarakat, dan membuka pintu
masuk untuk partisipasi. Reflexivity,
oleh karenanya, merupakan hasil
dari sebuah proses pengamatan yang
berkelanjutan dan upaya mengawal
dengan ketat proses-proses partisipasi
dan pengambilan keputusan dalam
masyarakat.
METODE: DETAIL DAN TERPERINCI
Tujuan akhir dari CCA bukan sekedar
pelibatan komunitas lokal dalam
keseluruhan langkah-langkah penelitian
untuk merancang pesan komunikasi,
tapi juga untuk mengidentifikasi
letak pengambilan keputusan dalam
komunitas. Dorongan terbesar
CCA adalah mengalihkan kapasitas
pengambilan keputusan ke tangan
komunitas. Akademisi dan mitra klinis
menjadi sumber daya yang mendorong
ke arah terbangunnya kapasitas
komunitas untuk mencapat tujuan yang
telah dinyatakan oleh anggota-anggota
komunitas. Dalam konteks perancangan
solusi, komunitas ditempatkan sebagai
pemilik strategi dan juga solusi. Oleh
karenanya, CCA mendorong ke arah
terciptanya proses komunikasi dan
ruang yang memungkinkan komunitas
untuk mengambil keputusan atas solusi
terbaik, memetakan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, merancang strategi dan
10
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
taktik, dan alat-alat evaluasi yang akan
digunakan.
ADVISORY GROUP DISCUSSION
(GD) – DISKUSI DEWAN PENASIHAT
Pendekatan ethnografi, yang dilakukan
antara lain melalui observasi
partisipatif (participant observation),
wawancara mendalam (in-depth
interviews, selanjutnya II), dan diskusi
kelompok (focus group, selanjutnya FG)
membentuk fondasi kolaborasi dalam
CCA. Dengan kata lain, pendekatan
etnografi dilakukan melalui hubungan
kemitraan dengan komunitas, yang
mewujud dalam pembentukan dewan
penasihat (advisory board) yang terdiri
dari para angota komunitas. Diskusi
dewan penasihat (community advisory
group discussion, selanjutnya GD) sangat
mendasar bagi proses perencanaan
interview dan pengambilan data
melalui diskusi kelompok (FG), proses
memaknai data, dan pengembangan
solusi. Selanjutnya, pelatihan
(workshops) yang melibatkan komunitas
akan memandu dan mengarahkan
penciptaan dna pemilihan solusi yang
akan dilaksanakan.
Kelompok penasihat merupakan
inti dari proses CCA, dengan proses
pengambilan keputusan terletak di
tangan dewan penasihat (Advisory
Board, selanjutnya AB). AB dalam
hal ini berfungsi sebagai ‘ruang’
pengambilan keputusan. Isu-isu dalam
komunitas, agenda-agenda, dan solusi
yang dirancang seluruhnya muncul dari
AB, dan keputusan seluruhnya diambil
melalui langkah kerjasama.
Anggota-anggota dewan penasihat
(AB) dipilih sedemikian rupa
sehingga mewakili komunitas, dengan
berpegangan pada konsep penghapusan
suara komunitas (erasure). Secara
teoretis, perhatian utama diberikan
pada pengapusan ruang dan ranah
diskusi dengan mengajukan pertanyaan,
“Suara-suara seperti apakah yang hilang
dari ruang wacana?” Melibatkan diri
secara teoretis dengan pertanyaan
seputar penghapusan (erasure)
membantu pemilihan anggota dewan
penasihat (advisory board members).
Kriteria untuk AB adalah: 1) memiliki
pengetahuan tentang kebutuhan
kesehatan komunitas, 2) memiliki
pengaruh terkait dengan isu-isu yang
sedang dihadapi oleh komunitas dan
mitra akademis, dan 3) memiliki
ketertarikan untuk mengembangkan
kemitraan komunitas dengan tujuan
11
CARE WHITE PAPER SERIES
utama menghapus kesenjangan
masalah kesehatan. Diskusi kelompok
dari dewan penasihat diikuti oleh
antara 10-15 partisipan dan umumnya
berlangsung selama kurang lebih
90 menit. Dalam beberapa situasi,
dewan penasihat juga beranggotakan
pimpinan lokal, praktisi promosi
kesehatan, dokter, perawat,
perwakilan masyarakat sipil, pekerja
seni, dan pengambil keputusan di
komunitas.
Beberapa anggota dewan penasihat
dipilih oleh komunitas sebagai
pemimpin kelompok (selanjutnya
peer leaders). Peer leaders berperan
sebagai mitra peneliti, dan secara
aktif berpartisipasi dalam mendisain
dan melaksanakan proses penelitian,
rekruitmen anggota komunitas
untuk wawancara mendalam,
diskusi kelompok (focus group), dan
pelatihan-pelatihan (workshops).
Peer leaders juga memainkan peran
penting dalam mengevaluasi dan
melaksanakan tahapan-tahapan dalam
program kerja.
menggali kebutuhan komunikasi untuk
pengembangan solusi yang dibutuhkan
komunitas. Data dari hasil analisis
II akan digunakan sebagai masukan
untuk pelatihan-pelatihan (workshops)
dan pertemuan dewan penasihat
(advisory board meeting). Lebih lanjut,
berdasarkan respon terhadap II, tim
akan menyusun pertanyaan-pertanyaan
diskusi kelompok (FG). Rekruitmen
partisipan untuk II dilakukan secara
berjenjang dengan memperhatikan
latar belakang sosial ekonomi, dengan
perbadingan laki-laki dan perempuan
yang seimbang.
Minimum 30 II dilaksanakan, dengan
lama waktu wawancara berkisar antara
30-70 menit. II memberikan ruang
masuk guna pengembangan tema-tema
kunci untuk didiskusikan dan dikaji
secara mendalam dalam diskusi
kelompok, sekaligus memberikan
wawasan (insights) pada proses
pemaknaan yang dilakukan oleh anggota
komunitas dalam keseharian terkait
dengan isu-isu utama yang menjadi
perhatian dalam studi.
Wawancara Mendalam di Tingkat
Komunitas (Community Level
In-depth Interviews): Tujuan
utama dari wawancara mendalam
(in-depth interviews, selanjutnya
II) di tingkat komunitas bertujuan
untuk memahami kebutuhan
komunikasi komunitas, dan untuk
12
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
Diskusi Kelompok di tingkat Komunitas
(Community Level Focus Groups):
Tujuan utama dari diskusi kelompok
(Focus Group, selanjutnya FG)
dilakukan untuk menindaklanjuti
temuan-temuan II dan mendiskusikan
sumber daya komunikasi yang
dibutuhkan oleh kelompok komunitas,
dan diharapkan mampu menciptakan
ruang kerjasama atau kemitraan
bagi terwujudnya dialog terbuka
dan diskusi, serta iklim yang terbuka
untuk proses berbagi pengetahuan dan
pengembangan pemahaman bersama
tentang masalah kesehatan dan solusi
yang dibutuhkan untuk mengatasinya.
Kehadiran para pemangku
kepentingan di tingkat komunitas
dalam meja diskusi sangat penting
untuk menyuarakan kebutuhan
spesifik komunitas yang mungkin
dapat dijawab oleh mitra akademisi.
Kriteria pemilihan partisipan FG
di tingkat komunitas adalah: 1)
anggota komunitas lokal; 2) memiliki
pengetahuan dan pengaruh dalam
komunitas; 3) fasih dalam berkesama
sama dalam program kemitraan
(jumlah peserta antara 12-14
orang). Suguhan sederhana biasanya
disediakan pada saat pertemuab, dan
FG diadakan di lokasi yang mudah
dijangkau oleh partisipan. Sebagai
tambahan, partisipan menerima honor
yang sesuai untuk partisipasi mereka.
FG dimulai dengan menjelaskan
mengenai kegiatan dan meminta
persetujuan partisipan (informed
consent). Untuk memfasilitasi alur dialog
antara partisipan, setiap partisipan
diberi tanda peserta dan diminta untuk
memperkenalkan diri mereka masingmasing. Moderator akan memulai
diskusi dengan memaparkan tujuan
dari FG dan dimulai dengan topik
pertama, mengundang partisipan untuk
mendiskusikan persepsi mereka tentang
kebutuhan komunitas. Moderator
menggunakan kerangka topik sebagai
panduan diskusi, dan juga untuk
mengarahkan diskusi aga lebih fokus
dan mendalam, serta menghindari
pengulangan topik-topik yang sudah
tersentuh sebelumnya. Moderator
juga memiliki kesempatan untuk
merangsang diskusi seara lebih luas
dengan melibatkan partisipan secara
merata, sehingga tiap peserta mendapat
kesempatan yang sama, merasa nyaman
dan dihargai, serta mendapat urang
yang sama untuk berpartisipasi dalam
diskusi. Asisten mencatat jalannya
diskusi di papan balik. Diharapkan FG
menghaslkan tema-tema utama dalam
paruh terakhir diskusi, dan akhirnya
mencapai kesepakatan untuk isu-isu
kritis pada bagian akhir FG serta
menyimpulkan beberapa pertanyaan
penting yang dapat didiskusikan dalam
pertemuan selanjutnya. Pencatat
menuliskan catatan diskusi (field notes)
selama sesi FG, yang nantinya akan
13
CARE WHITE PAPER SERIES
digunakan bersama sebagai panduan
untuk interpretasi data. Setelah FG,
anggota tim peneliti mendiskusikan field
notes, hasil pengamatan dan refleksi
pribadi serta pengalaman-pengalaman
dengan komunitas. Hasil diskusi
ditranskrip dalam bentuk verbatim
untuk tujuan analisis data.
Akhirnya, melalui tahapan analisis
terakhir, selective coding, konsep teori
yang muncul saling dihubungkan untuk
mencapai integrasi teori (theoretical
integration) (Strauss & Corbin, 1990).
Analisis Data Kualitatif: Data dari II dan
FG, dikombinasikan dengan data dari
jurnal dan juga field notes dianalisis
dengan menggunakan open coding, axial
coding, dan selective coding (Strauss
& Corbin, 1990). Transkrip, analisis
data, dan pengumpulan data terus
dilakukan secara berkesinambungan
dengan analisis data. Proses analisis
data diawali dengan open coding untuk
mengidentifikasi konsep-konsep yang
dengan mudah dikelompokkan dan
diberi label. Kelompok-kelompok data
ini (kelompok-kelompok kalimat)
yang muncul dan memiliki ciri
khusus yang membentuk kategori
akan dipisahkan sebagai unit analisis.
Proses open coding akan dilanjutkan
dengan tahapan berikutnya yaitu axial
coding, yang bertujuan untuk mencari
formula hubungan di antara dan dalam
kategori-kategori. Pada titil ini, tim
peneliti juga akan merujuk pada field
notes dan temuan-temuan jurnal untuk
meningkatkan sensitivitas teori dari
analisis data, menghubungan kerangka
analisis dengan wawancara mendalam
(II) yang masih berjalan dan juga diskusi
kelompok (FG) (Charmaz, 2000).
Berpijak pada tujuan utama pendekatan
grounded theory (teori dari dasar) yang
fokus pada proses membangun bersama
(co-constructive), tema-tema yang sudah
diidentifikasi dikaji kembali untuk
menjamin keabsahan (trustworthiness)
hasil analisis (Charmaz, 2000). Hasil
analisis data kemudian disimpulkan
dalam laporan singkat untuk dibagikan
kepada partisipan pelatihan dan juga
anggota dewan penasihat (advisory
board members).
PELATIHAN
Pelatihan (workshops) merupakan salah
satu elemen penting dalam pendekatan
berbasis budaya (CCA). Pelatihan
menjangkau khalayak yang lebih luas
di luar dewan penasihat, termasuk di
dalamnya komunitas dan juga para
khalayak kunci yang bersama-sama
akan berdiskusi untuk merancang solusi
pemecahan masalah. Dalam semangat
dialog, pelatihan ini menjadi dasar dan
untuk mengarahkan suara komunitas
agar mampu merespon isu-isu dan
agenda-agenda yang paling penting
bagi kehidupan komunitas. Pelatihan
komunitas terbagi dalam kelompokkelompok yang lebih kecil yang secara
khusus diundang untuk dialog. Beberapa
14
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
contoh pelatihan komunitas yang
telah dilakukan melibatkan model
pertemuan terbuka dimana seluruh
anggota komunitas diundang untuk
berpartisipasi. Dalam beberapa proyek
CCA yang telah dilakukan, seperti
yang dilaukkan di wilayah daerah
pedesaan Bengal, seluruh komunitas di
desa tersebut terlibat dalam pelatihan
komunitas yang dilaksanakan sebagai
sebuah pertemuan besar komunitas,
yang disebut gram sabha. Contoh yang
lain, dalam proyek CCA yang dilakukan
pada komunitas keturunan Afrika
Amerika di sebuah kota di Amerika
Serikat, partisipan pelatihan direkrut
oleh peer leaders, yang seluruhnya
mewakili suara-suara yang berbeda
dalam komunitas.
Pelatihan di Tingkat Komunitas:
Pelatihan di tingkat komunitas
mempertemukan anggota dewan
penasihat (advisory board members),
pimpinan kelompok (peer leaders),
staf organisasi kepemimpinan dan
kemasyarakatan, dan partisipan dari
komunitas untuk bersama-sama
mengembangkan solusi strategis dan
memetakan taktik untuk menjalankan
strategi. Partisipan yang berasal dari
komunitas direkrut sebagai mitra oleh
anggota dewan penasihat dan peer
leaders, yang biasanya dipilih dari
dewan penasihat. Kriteria dari partisipan
pelatihan adalah: 1) anggota komunitas
lokal; 2) memiliki pengetahuan dan
pengaruh dalam komunitas lokal; dan 3)
fasih bekerja secara kolaboratif (jumlah
peserta 15 orang dari tiap komunitas).
Pelatihan komunitas dimulai dengan sesi
pelatihan CCA untuk mendengarkan,
dialog, dan partisipasi. Bahan pelatihan
diambil dari berbagai studi CCA yang
telah dilakukan untuk menyusun tujuan
utama dan strategi untuk program
pelatihan satu jam tentang CCA, yang
akan bisa dipergunakan oleh akademisi
dan komunitas yang bermitra untuk
menyusun pesan yang secara khusus
ditujukan untuk memecahkan masalah
kesenjangan kesehatan (Kreuter &
Skinner, 2000; Kreuter & Strecher,
1996; Kreuter & Wray, 2003). Elemen
penting dari pelatihan CCA meliputi:
1) pengetahuan berbasis proses untuk
merancang kolaborasi yang berbasis
CCA; 2) kriteria untuk mengevaluasi
efektivitas solusi; dan 3) proses
menciptakan solusi yang kreatif. Tim
peneliti juga mengumpulkan data yang
relevan dan penting dari literatur, dan
menyampaikan informasi tersebut
kepada komunitas. Informasi harus
mudah diakses, relevan, dan lengkap,
15
CARE WHITE PAPER SERIES
dengan mencakup berbagai sisi, aspek,
dan elemen dari masalah (DuttaBergman, 2003). Pelatihan umumnya
dilakukan dalam bentuk tatap muka
langsung, namun tidak menutup
kemungkinan dilakukan dengan
bantuan teknologi, terutama bagi para
khalayak kunci yang memiliki akses
pada teknologi dan termotivasi untuk
menggunakan teknologi (DeSouza &
Dutta, 2008; Dutta-Bergman, 2003,
2006; Dutta & Feng, 2007). Pelatihan
yang dimediasi oleh teknologi
memungkinkan untuk dilakukan
setelah seluruh hambatan dan kendala
dipikirkan sungguh-sungguh, dan
bagaimana dengan mediasi teknologi
partisipasi dapat dilakukan dengan
efektif.
akan mengajukan daftar kriteria
strategi penyusunan pesan, yang
dilengkapi dengan daftar saluransaluran komunikasi yang tersedia
dan pesan yang tepat. Tim peneliti,
pimpinan komunitas, dan anggota
komunitas akan secara bersamasama mengkoordinasi pelatihan.
Tim peneliti akan mencatat jalannya
pelatihan di papan balik (flip charts)
selama proses pelatihan. Catatan
ini akan digunakan dalam berbagai
tahapan kerjasama dan juga sebagai
sumber evaluasi proyek. Selanjutnya,
tim peneliti dan produksi akan
bekerja sama untuk mengolah
strategi yang telah dipilih oleh mitra
komunitas dan menciptakan beberapa
versi solusi yang dapat dipilih
oleh komunitas dalam pelatihan
pengkajian (review workshops).
Berikutnya, partisipan akan
merancang dan mengembangkan
solusi berdasarkan data II dan
FG, dan kemudian diikuti dengan
mengidentifikasi solusi yang spesifik
untuk diimplementasikan, dialog
untuk membicarakan strategi, taktik,
dan kerangka evaluasi. Bergantung
pada solusi yang direncanakan,
strategi komunikasi yang dihasilkan
dari pelatihan akan sangat bervariasi,
mulai dari intervensi komunikasi,
perangkat advokasi, solusi yang
mengarah pada kebijakan, petisi,
pertemuan, sesi dialog, dan
sebagainya. Sebagai contoh, dalam
konteks solusi yang menekankann
pada strategi komunikasi, partisipan
Pelatihan Pengkajian Program:
Pelatihan ini membuka ruang berbasis
pada kepentingan komunitas untuk
memastikan bahwa solusi yang
diajukan dan diciptakan bersamasama antara akademisi dengan
komunitas benar-benar berangkat
dari suara komunitas. Pelatihan
komunitas, sebagai tahap akhir untuk
memastikan bahwa seluruh proses
benar-benar melibatkan komunitas,
harus mampu menggali suara dari
komunitas secara luas, bukan hanya
dari dewan penasihat (advisory
board). Pelatihan juga didisain agar
16
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
mampu menjamin bahwa suara-suara
dan juga pendapat komunitas terwakili.
Memahami perbedaan di dalam
komunitas sangatlah penting, oleh
karenanya pemilihan partisipan dalam
pelatihan pengkajian ini harus memiliki
strategi seleksi yang menjamin suarasuara dan pandangan yang berbeda
dapat terwakili. Strategi yang diusulkan
untuk pemecahan masalah akan
dikaji oleh anggota komunitas dengan
mempertimbangkan 1) jangkauan
(reach), 2) efektivitas (effectiveness),
3) kelengkapan (completeness), 4)
kelayakan secara kultural (cultural
appropriateness), 5) kemampuan untuk
dipahami khalayak (comprehensibility),
dan 6) ketepatan (fidelity).
Jangkauan (reach) mengacu
pada kemampuan strategi untuk
disebarluaskan kepada public.
Efektivitas (effectiveness) mengacu
pada kemampuan strategi untuk
mencapai efek atau pengaruh
dalam tingkatan yang diharapkan.
Kelengkapan (completeness) mengacu
pada kemampuan strategi untuk
memberikan solusi yang diharapkan
dan relevan bagi komunitas. Kelayakan
secara kultural (cultural appropriateness)
mencerminkan kondisi dimana solusi
yang ditawarkan sejalan dengan nilainilai kultural (cultural values) dan
pemahaman serta keyakinan (beliefs)
komunitas. Kemampuan strategi untuk
dipahami khalayak (comprehensibility)
mencerminkan sejauhmana solusi dapat
dipahami oleh khalayak luas. Dan yang
terakhir, ketepatan (fidelity), mengacu
pada sejauh mana sejalan dengan
rencana awal pemecahan masalah yang
diharapkan komunitas.
Partisipan dalam pelatihan pengkajian
program biasanya direkrut melalui
pimpinan komunitas (peer leaders).
Kriteria untuk partisipan pelatihan
ini adalah: 1) anggota komunitas
lokal; 2) memiliki pengetahuan dan
pengaruh dalam komunitas lokal; 3)
fasih dalam bekerjasama (secara umum
15 sampai 100 partisipan diambil dari
komunitas untuk mendiskusikan solusi
yang akan dilakukan dan memberi
masukan). Pelatihan pengkajian
program memberikan lapisan tambahan
untuk menjamin akuntabilitas proses
CCA dan memastikan bahwa solusi
yang dikembangkan bersama (cocreated) memang berakar dari harapan
komunitas.
IMPLEMENTASI
Setelah seluruh pelatihan mengintifikasi,
menyelaraskan, dan memastikan
strategi yang akan dilaksanakan, proses
kolaborasi yang berbasis budaya ini
akan memasuki tahap implementasi atau
pelaksanaan. Karena sifat dari prosess
CCA yang berangkat dari komunitas
dan dialog dalam komunitas, maka
pelaksanaan program dapat sangat
17
CARE WHITE PAPER SERIES
bervariasi, mulai dari intervensi
komunikasi yang mungkin secara
umum adalah bentuk intervensi
komunikasi biasa, sampai pada
kegiatan advokasi yang berupaya
untuk menggeser opini dan kebijakan
publik, lalu juga kegiatan partisipatif
yang bersifatb kemitraan untuk
membangun insfrastruktur komunitas.
Implementasi program juga dapat
mengambil bentuk berupa kampanye
pesan, atau disain yang mampu secara
tepat menyasar permasalahan dalam
struktur dan mampu mentransformasi
struktur. Di samping itu kegiatan juga
dapat mengambil bentuk berupaya
kampanye perubahan perilaku
(behavior change campaign) yang
berupaya untuk mengubah praktikpraktik dan upaya pemeliharaan
kesehatan dan kesejahteraan
komunitas yang sudah berjalan.
Sebagai contoh, solusi dapat ditujukan
untuk mencapai perubahan dalam hal
layanan kesehatan. Contoh lain adalah
dengan menciptakan infrastruktur
khusus dalam komunitas atau
dengan mengadakan advokasi untuk
membangun infrastruktur dalam
komunitas. Keberhasilan intervensi
sangat terkait dengan kemampuan
dewan penasihan (advisory board)
dan pelatihan-pelatihan untuk
memunculkan solusi yang spesifik dan
mampu diterapkan.
EVALUASI
Evaluasi dari solusi yang dilaksanakan
dilakukan bersama oleh anggota
dewan penasihat, dan dalam konteks
masalah yang sedang dicari solusinya,
dan bagaimana solusi yang ditawarkan
mampu membantu pemecahan masalah.
Tujuan dari evaluasi adalah untuk
memberikan gambaran sejauh mana
solusi yang dikembangkan dalam
pertemuan dewan penasihat mampu
menjangkau khalayak sasaran. Evaluasi
juga dilakukan untuk mengetahui
apakah kebutuhan kahalayak-khalayak
lain, seperti misalnya akademisi,
pengambil keputusan kunci, pengambil
kebijakan, dan juga pendonor, telah
mampu dipenuhi.
Dalam menyusun evaluasi, proyek
yang berbasis kultural (CCA) akan
selalu menegosiasikan apa yang
dianggap penting bagi komunitas,
apa yang dianggap penting bagi
akademisi, kelompok pendonor, dan
juga kelompok-kelompok kepentingan
lainnya. Dalam pendekatan CCA
tarikan kepentingan seperti ini harus
didiskusikan melalui partisipasi,
dan partisipasi sangat penting untuk
menjamin keberhasilan proses
intervensi berbasis pendekatan
kultural (culture-centered process), dan
memastikan bahwa intervensi mampu
memastikan keberhasilan proyek dan
semuanya berpijak pada pengalaman
18
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
keseharian komunitas dan secara
berkesinambungan dan terus-menerus
merespon pada pemahaman yang telah
terbangun dalam struktur dominan.
Mengarahkan interaksi antara berbagai
pihak secara kreatif sangatlah penting
untuk menjamin bahwa pendekatan
yang dilakukan memang benar-benar
otentik dan berasal dari suara-suara
komunitas (Dutta, 2014).
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, budaya sebagai
unsur yang mempengaruhi proses
pemaknaan, yang menjadi landasan
CCA, menciptakan pintu masuk untuk
membangun solusi berbasis komunitas,
yang seluruh kegiatannya berasal
dari komunitas dan mengakar pada
partisipasi komunitas. Kerangka kerja
CCA menonjolkan langkah-langkah
yang mampu mendorong terciptanya
ruang partisipasi bagi komunitas dan
juga peluang untuk menyuarakan
kepentingan dan agenda komunitas,
juga pendekatan komunitas untuk
pemecahan masalah. Dalam proses
CCA partisipasi bukanlah alat untuk
mewujudkan strategi yang dikooptasi
untuk memuaskan agenda para ahli,
pengambil kebijakan, dan akademisi
yang jauh dari harapan komunitas.
Dalam CCA, partisipasi merupakan
elemen penting untuk menciptakan
ruang keterlibatan komunitas yang
seluruhnya mengacu pada visi dan
aspirasi komunitas. Secara prinsip, CCA
bekerja dengan prinsip kerendahan
hati (humility) yang diawali dengan
memperhatikan bahwa suara-suara
komunitas telah seringkali terhapus
dalam proses produksi pengetahuan.
Dengan berbekal kerendahan hati inilah
dialog akan mampu terwujud, mengakar
pada suara-suara komunitas dan
memunculkan suara-suara yang adalah
milik anggota komunitas, meskipun
mungkin suara-suara itu masih hanya
mewakili kelompok kecil (contingent) ,
terfragmentasi (fragmented), mungkin
kontradiktif (contradictory), dan juga
belum sempurna (incomplete) (Dutta,
2008, 2014).
19
CARE WHITE PAPER SERIES
DAFTAR PUSTAKA
Airhihenbuwa, C. (1995). Health and
culture: Beyond the Western paradigm.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Airhihenbuwa, C. O., & Obregon,
R. (2000). A critical assessment
of theories/models used in health
communication for AIDS. Journal
of Health Communication, 5(Suppl.),
5-15.
Baker, E., & Motton, F. (2005).
Creating understanding and action
through group dialogue. In Israel,
B., Eng, E., Schulz, A., & Parker, E.
(Eds.), Methods in community-based
participatory research for health (pp.
307-325). San Francisco, CA: JosseyBass.
Basu, A., & Dutta, M. (2008a).
Participatory change in a campaign led
by sex workers: Connecting resistance
to action-oriented agency. Qualitative
Health Research, 18, 106-119.
Basu, A., & Dutta, M. (2008b).
The relationship between health
information seeking and community
participation: The roles of motivation
and ability. Health Communication, 23,
70-79.
Basu, A., & Dutta, M. (2009). Sex
workers and HIV/AIDS: Analyzing
participatory culture-centered health
communication strategies. Human
Communication Research, 35, 86-114.
Campbell, C., & Gillies, P. (2001).
Conceptualizing ‘social capital’ for
health promotion in small local
communities: A micro-qualitative
study. Journal of Community & Applied
Social Psychology, 11, 329–346.
Campbell, C., & Jovchelovitch, S.
(2000). Health, community, and
development: Towards a social
psychology of participation. Journal
of Community & Applied Social
Psychology, 10, 255–270.
Charmaz, K. (2000). Grounded theory:
Objectivist and constructivist methods.
In Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (Eds.),
Handbook of qualitative research (2nd
ed., pp. 509-35). Thousand Oaks, CA:
Sage Publications.
DeSouza, R., & Dutta, M. (2008).
Global and local networking for
HIV/AIDS prevention: The case of
Saathii E-forum. Journal of Health
Communication, 13, 326-344.
Dutta-Bergman, M. J. (2003). Health
communication on the web: The roles
of web use motivation and information
completeness. Communication
Monographs, 70, 264-274.
Dutta-Bergman, M. (2004a).
Poverty, structural barriers and
health: A Santali narrative of health
communication. Qualitative Health
Research, 14, 1-16.
20
METODE BERBASIS BUDAYA: LANGKAH DETAIL PENDEKATAN
KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI
DAN MENDENGARKAN SUARA KOMUNITAS
Dutta-Bergman, M. (2004b).
The unheard voices of Santalis:
Communicating about health from
the margins of India. Communication
Theory, 14, 237-263.
Dutta-Bergman, M. J. (2006). Media
use theory and internet use for health
care. The Internet and health care:
Theory, research, and practice, 83-103.
culture-centered approach. Qualitative
Health Research, 17, 38-48.
Dutta, M., & Basu, A. (2007b).
Centralizing context and culture in the
co-construction of health: Localizing
and vocalizing health meanings in
rural India. Health Communication, 21,
187-196.
Dutta, M. (2006). Theoretical
approaches to entertainment
education: A subaltern critique. Health
Communication, 20, 221-231.
Dutta, M., & DeSouza, R. (2008).
Reconciling the past and present:
Reflexivity in the critical-cultural
approach to health campaigns. Health
Communication, 23, 326-339.
Dutta, M. (2007). Communicating
about culture and health: Theorizing
culture-centered and culturalsensitivity approaches. Communication
Theory, 17, 304-328.
Dutta, M., & Feng, H. (2007). Health
orientation and disease state as
predictors of online health support
group use. Health Communication, 22,
181-189.
Dutta, M. (2008). Communicating
health: A culture-centered approach.
London, UK: Polity Press.
Ford, L. A., & Yep, G. A. (2003).
Working along the margins: Developing
community-based strategies for
communicating about health with
marginalized groups. In T. Thompson,
A. Dorsey, K. Miller, & R. Parrot (Eds.),
Handbook of Health Communication
(pp. 241-261). Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum.
Dutta, M. J. (2011). Communicating
social change: culture, structure, agency.
New York: Routledge.
Dutta, M. J. (2014). A culture-centered
approach to listening: Voices of social
change. International Journal of
Listening, 28, 67-81.
Dutta, M., & Basu, A. (2007a).
Health among men in rural Bengal:
Approaching meanings through a
Kreps, G. L. (2005). Communication
and racial inequities in health care.
American Behavioral Scientist, 49: 6,
1-15.
21
CARE WHITE PAPER SERIES
Kreuter, M., & Skinner, C. (2000).
Tailoring: What’s in a name? Health
Education Research, 15, 1-4.
perspective in health communication:
Meaning, culture, power (pp.
203-223). London, UK: Routledge.
Kreuter, M., & Strecher, V. (1996). Do
tailored behavior change messages
enhance the effectiveness of health risk
appraisal? Results from a randomized
trial. Health Education Research, 11,
97-105.
Viswanathan, M., Ammerman, A.,
Eng, E., Gartlehner, G., Lohr, K.
N., Griffith, D., Rhodes, S., SamuelHodge, C., Maty, S., Lux, L., Webb,
L., Sutton, S., Swinson, T., Jackman,
A., Whitener, L. (2004). Communitybased participatory research: Assessing
the evidence. Evidence Report/
Technology Assessment No. 99
(Prepared by RTI-University of North
Carolina Evidence-based Practice
Center. AHRQ Publication 04E022-2. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality.
Kreuter, M., & Wray, R. (2003).
Tailored and targeted health
communication: strategies for
enhancing information relevance.
American Journal of Health Behavior,
27 (Suppl.), S227-232.
Pasick, R. J., Barker, J. C., OteroSabogal, R., Burke, N., Joseph, G., &
Guerra, C. (2009). Intention, subjective
norms, and cancer screening in the
context of relational culture. Health
Education & Behavior, 36(Suppl. 1),
91S-110S.
Wang, C. C. (1999). Photovoice: A
participatory action research strategy
applied to women’s health. Journal of
Women’s Health, 8, 185-192.
Wang, C., & Burris, M. (1994).
Empowerment through photo
novella: Portraits of participation.
Health Education Quarterly, 21,
171-186.
Strauss, A. and Corbin, J. (1990).
Basics of qualitative research: Grounded
theory procedures and techniques. Sage
Publications.
Yehya, N., & Dutta, M. (2010).
Health, religion, and meaning: A
culture-centered study of Druze
women. Qualitative Health Research,
20, 845-858.
Villagran, M., Collins, D., & Garcia,
S. (2008). Voces de Las Colonias:
Dialectical tensions about control
and cultural identification in Latinas’
communication about cancer. In H.
Zoller & M. Dutta (Eds.), Emerging
22
www.care-cca.com
Download