ideologi gender dalam karya sastra indonesia

advertisement
Jurnal Lemlit UHAMKA
IDEOLOGI GENDER DALAM KARYA SASTRA INDONESIA
(PENELITIAN FUNDAMENTAL)
Oleh:
Yoce Aliah Darma, Ade Hikmat dan Nur Amalia
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Uhamka
Abstrack
Gender becomes a very interesting discussion in the world . Many of the differences that occur in
everyday life about gender . In the text of literature which representation about gender ideology can
be analyzed with critical discouse analysis (CDA) is used to reveal about the relationship of science
and power,but it can be used to criticize. There is four short stories contained in the anthology of
short stories which represetation gender ideology “Kompas,”version that is“Rambutnya Juminten”
by Ratna Indraswati Ibrahim in the short story anthology Lampor (Kompas, 1984); “Mbok Nah 60
Tahun by Lea Pamungkas in the short story anthology Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Kompas,
1995); “Warung Pinggir Jalan” by Lea Pamungkas in the short story anthology Pistol Perdamaian
(Kompas, 1996); and “Ruang Belakang” by Nenden Lilis Aisyah in the short story anthology Dua
Tengkorak Kepala (Kompas, 2000). Of the four short story known that there are occurred with
representation of gender ideology, look like patriarchy ideology, familialysm ideology, mothernism
ideology, and plublisism ideology; and there are occurred too about gender inequality, look like
subodination, mrginalisation, discrimination, and repression.
Keywords: Gender, CDA, Four Kompas Short Story, Gender Ideology, Gender inequality
PENDAHULUAN
G
ender dalam hal ini mendefinisikan
laki-laki dan perempuan dari sudut
nonbiologis.
Gender
merupakan
konstruksi sosiokultural atau kategori sosial
(feminitas dan maskulinitas) tercermin dalam
perilaku, keyakinan, dan organisasi sosial.
Karena itu gender merupakan konsep sosial.
Lebih eksplisit lagi pernyataan Meneg UPW
(1992: 3) yang menyatakan bahwa gender
digunakan untuk menunjukkan pembagian
kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan.
Saptari dan Holzner (1997: 221-222)
menyatakan bahwa karya sastra terbukti
mempunyai
pengaruh
besar
dalam
membentuk, melembagakan, melestarikan,
mengarahkan,
memasyarakatkan,
dan
mengoperasikan ideologi gender. Oleh karena
itu representasi ideologi gender dalam sastra,
termasuk wacana cerpen relatif menonjol dan
kuat.
Newton dan Resenfolt (dalam Yulianeta, 2002:
54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen
Eropa Barat dan Amerika telah menjadi arena
penciptaan mitos dan ideologi gender dengan
konteks
sosial
tertentu.
Dengan
berkembangnya stereotip yang tidak adil
terhadap perempuan, maka sering terjadi
kekerasan dan beban kerja yang lebih berat
terhadap perempuan (Fakih, 1999: 12-13).
Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat
sejak dari lingkungan rumah tangga dalam
bentuk diskriminasi pada anggota keluarga
yang laki-laki dan perempuan, misalnya
dengan memprioritaskan anggota keluarga
laki-laki harus lebih didahulukan dalam
menuntut pendidikan. Sedangkan subordinasi
terhadap perempuan, misalnya terlihat dari
117
sikap menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting.
Kajian perempuan atau analisis gender sangat
bermanfaat untuk melihat jenis dan bentuk
“konstruksi”
ideologi
gender
yang
terepresentasi dan terlembaga dalam wacana
sastra (cerpen). Sedangkan teori AWK
bermanfaat untuk melihat “pengoperasian”
ideologi gender yang terepresentasi dan
terlembaga
dalam
wacana
cerpen.
Pemanfaatan AWK didasarkan atas asumsi
bahwa cerpen dapat dipandang sebagai wacana
AWK, yaitu mempelajari bagaimana dominasi
suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan
dan dioperasikan melalui teks atau wacana.
Fairclough
(Lukmana,
2003:
329)
menganalisis wacana dalam tiga dimensi, yang
mencakup analisis (1) data linguistik, (2)
praktik-praktik diskursif, dan (3) praktikpraktik sosial. Jadi, studi kritis terhadap bahasa
menyoroti bagaimana konvensi dan praktik
berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan
dan proses ideologis yang sering tidak disadari
oleh masyarakat.
Keterkaitan antara wacana dengan
kekuasaan juga ditekankan oleh van Dijk,
yang menempatkan AWK sebagai sarana
untuk mengkaji peran wacana dalam
reproduksi dan resistensi terhadap dominasi.
Dominasi didefinisikan sebagai penerapan
kekuasaan sosial, para elit, institusi atau
kelompok yang berujung pada ketidaksetaraan
(inequality) sosial, seperti pada ranah praktik,
kelas, dan jenis kelamin (van Dijk, 1993 dalam
Lukmana, 2003: 330).
Cerpen
Sumarjo dan Saini K.M (1991: 37)
menyatakan bahwa cerpen adalah cerita atau
narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi,
tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan
saja) serta relatif pendek. Mengenai ukuran
pendek, Nurgiyantoro (1995: 10) menjelaskan
bahwa ada cerpen yang pendek, mungkin
pendek sekali, berkisar 500-an kata (shortshort story), ada cepen yang panjangnya
cukupan (middle short story), dan ada yang
panjang (long short story), yang terdiri atas
puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata.
Edgar Allan Poe (Nurgiyantoro, 1995: 10)
mendefenisikan cerpen sebagai cerita yang
selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira
setengah jam sampai dua jam.
Cerpen yang akan menjadi pembahasan dalam
penelitian ini adalah cerpen yang merupakan
narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi,
tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan
saja) serta panjangnya cukupan atau termasuk
cerpen yang disebut middle short story.
Ideologi Gender
Latar belakang perbedaan gender antara lakilaki dan perempuan dibentuk oleh beberapa
teori dasar, yaitu (1) nature atau kodrat, (2)
teori nurture atau budaya (3) teori
psikoanalisis atau identifikasi, (4) teori konflik
atau teori kelas, dan (5) teori fungsionalis
structural atau teori saling mempengaruhi.
Dari pembahasan mengenai ideologi gender
ini akan muncul ideologi patriarki, ideologi
familialisme, ideologi ibuisme, dan ideologi
umum.
Profil Gender dan Identitas Gender
Perempuan sebagai “empu” (yang dihormati)
mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu
demi kesejahteraan kehidupan kaumnya.
Karena itu profil perempuan harus bisa
menumbuhkan transformasi sosial secara
berbudaya dan manusiawi, apalagi profil
perempuan itu dituntut untuk bisa mengkaji
permasalahan yang sangat mendasar, berat,
dan mengangkat kaum perempuan itu sendiri.
Peran Gender dan Relasi Gender
Peran gender seseorang, baik itu laki-laki
maupun perempuan, bergantung pada nilainilai budaya yang berkembang di dalam
masyarakatnya. Dalam masyarakat patriarki,
sejak awal, peran gender anak laki-laki lebih
dominan dibandingkan anak perempuan,
sehingga terdapat perbandingan peran gender
dan pada gilirannya laki-laki dianggap lebih
superior dalam kehidupan
daripada
perempuan. Dalam masyarakat tersebut,
perempuan mendapat posisi yang tidak
118
Jurnal Lemlit UHAMKA
diuntungkan secara kultural, struktural dan
ekologis, perempuan dipojokkan ke dalam
urusan-urusan reprodukasi, menjaga rumah,
dan mengasuh anak (Umar, 1999: 8485).
Pembagian peran gender lebih dikenal dengan
pembagian kerja seksual, seperti apa yang
dikemukakan Kementrian Negara Urusan
Peranan Wanita (1992: 3) bahwa gender
digunakan untuk menunjukan pembagian kerja
yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ideologi
Gender
Banyak faktor yang mempengaruhi
ideologi gender, di antaranya budaya etnis.
Budaya etnis merupakan salah satu faktor
pelestari ideologi gender. Hal ini dikemukakan
secara mengesankan dan mendalam (Sudewa,
1992; Kusujiarti, 1997; Saptari dan Holzner,
1997; Hafidz, 1998 ; Fananie, 1994; Purnama,
2001; dalam Yulianeta, 2002: 49). Dalam
masyarakat Jawa, yang budayanya terkenal
dengan sistem patriarki yang melahirkan
ungkapan-ungkapan
yang
dianggap
menyiratkan inferiorisme perempuan, seperti
kanca wingking, swarga nunut neraka katut
(perempuan
hanya
mengurusi
dapur,
perempuan hanya bergantung pada suami)
menegaskan bahwa perempuan tampak
menduduki struktur bawah (inferior).Simak
saja kedudukan perempuan Jawa dalam
sejarah raja-raja Jawa yang memandang lakilaki sebagai tema sentral.
Analisis Wacana Krisis ( AWK )
Pemanfatan teori analisis wacana krisis
selanjutnya disebut AWK didasarkan atas
pandangan bahwa cerpen dapat dipandang
sebagai wacana. AWK mempelajari tentang
dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan
dijalankan dan dioperasikan melalui wacana.
Fairclough (1998) mengemukakan bahwa
AWK melihat wacana sebagai bentuk dan
praktik sosial.
penelitian ini akan dibahas model Yoce Aliah
Darma (2009), yaitu model yang diadopsi dan
dimodifikasi dari model Sara Mills (1997) dan
Norman Fairclough (. Kemudian dari kedua
model ini dibuat satu model yang diperkirakan
akan lebih representatif dalam mengupas
masalah ideologi gender. Model ini diambil
berdasarkan kenyataan bahwa wacana cerpen
berideologi gender akan dapat dikupas dengan
lebih mendalam. Kedua model di atas
merupakan bahan inspirasi untuk membuat
model AWK versi baru yang disebut AWK
Ideologi Gender (AWKIG) versi Yoce Aliah
Darma. Model ini diharapkan akan lebih
bermakna dalam mengkaji wacana-wacana
yang kritis.Cara menentukan teks atau wacana
kritis yang akan dianalisis; (1) menentukan
teks atau wacana kritis yang akan dianalisis;
(2) menentukan subjek penceritaan; (3)
menentukan
objek
penceritaan;
(4)
menentukan deskripsi bahasa; (5) menentukan
interpretasi jenis ideologi gender; (6)
menentukan eksplanasi ketidakadilan gender.
Model ini bisa dijelaskan dengan bagan seperti
di bawah ini:
KRITERIA
AWK
WACANAOBJEK
SUBJEK
PENCERI
PENCERI
DEKSRIP
SI
INTERP
RETASI
MEDAN
WACANA
EKSPLA
NASI
H A S I
Model Analisis Wacana Kritis ( AWK )
Ada beberapa model AWK yang
dilakukan para ahli analisis wacana. Dalam
Dari bagan di atas, bisa diuraikan
keterangan atau penjelasan mengenai apa yang
119
diteliti dan dianalisis: (1) AWK merupakan
media wacana yang akan dianalisis, (2) kriteria
ideologi, tentukan kriterianya mengapa media
wacana itu ditentukan sebagai ideologi
tertentu, (3) wacana-wacana kritis, tentukan
media wacana yang akan dianalisis, baik
berupa artikel media massa, cerpen, atau
novel, (4) medan wacana teks/wacana kritis,
tentukan setiap wacana yang mengandung halhal yang kritis yang akan dianalisis, (5) subjek
penceritaan, tentukan siapa yang menjadi
subjek penceritaannya, (6) objek penceritaan,
tentukan siapa
yang
menjadi objek
penceritaan, (7) deskripsi bahasa, tentukan
makna dari deskripsi bahasa, baik diksi, frase,
klausa, kalimat, dan gaya bahasa, (8)
interpretasi, makna dari deskripsi bahasa
diinterpretasi, dan (9) eksplanasi, hasil
interpretasi dieksplanasi, kemudian ditentukan
hasilnya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini mengkaji ideologi gender pada
cerpen-cerpen karya penulis perempuan yang
telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas
dan telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas
dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis
perempuan, karena penulis perempuan akan
lebih
jelas
dan
transparan
dalam
menggambarkan persoalan ideologi gender
dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang
mengupas
tentang
perempuan,
tetapi
kebanyakan tentang permasalahan kondisi
sosial perempuan dan kemiskinan. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya akan membahas
mengenai cerpen-cerpen yang berideologi
gender. Adapun cerpen-cerpen itu adalah:
Cerpen “Rambutnya Juminten” Judul
: “Rambutnya Juminten”
Pengarang
: Ratna Indraswari Ibrahim
Antalogi
: “Lampor”
Penerbit
: Kompas, 1994
Ikhtisar Cerpen
Juminten meminta dibelikan obat penyubur
rambut, tetapi setiap kali Juminten memakai
obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi,
Juminten alergi terhadap obat itu, namun
Juminten selalu memakainya karena ingin
menyenangkan suami (Panuwun menyenangi
aroma obat rambut itu). Marni, sahabat
Juminten, menganggap tindakan Juminten itu
bodoh, karena menyiksa diri sendiri demi
menyenangkan suami.
Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak
orang mengatakan Juminten cantik, termasuk
Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan
Panuwun). Bahkan Nardi berani menggoda
Juminten. Hal ini diketahui Panuwun,
sehingga ia cemburu. Juminten dilarang keluar
rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar
jika dengan suami. Juminten termasuk salah
satu anggota tim kasti di desanya dan harus
mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa
mengurung Juminten selamanya. Alasan
Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan
oleh rambut panjang Juminten. Akhirnya
Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik.
Tatkala ia melihat rambutnya pendek di depan
kaca salon dia mencucurkan air mata.
Ideologi Patriarki
Dalam
masyarakat
kuno
yang
menganut paham patriarki, sang ayah
mempunyai hak mutlak atas anggota
keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia
memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan
budak, tetapi juga istri, perempuan simpanan,
dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123).
Sementara itu semua perempuan di desa
ini memotong rambutnya semodel Marni,
Juminten yang tidak tahan terhadap
aroma rambut itu ingin memotong
rambutnya semodel Marni (hal. 79).
Tapi apa kata suaminya.
“Saya tidak akan mengizinkan kamu
memotong semodel Marni. Sebagai suami
saya kan tahu model apa yang pantas
untuk
istriku.
Ten
kau
dandan
untukku!”(hal. 79).
Dalam hal ini Panuwun, suami
Juminten, digambarkan sebagai seorang lakilaki yang berwatak otoriter dan egois.
120
Jurnal Lemlit UHAMKA
Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau
peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri
adalah milik suami!
Panuwun melarang istrinya keluar
rumah.
“Ten ada yang bilang setiap kamu
mencuci di pancuran, Nardi pasti
mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi,
mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci
di pancuran.Dan kalau tidak ada saya di
rumah jangan keluyuran!”
Juminten sempat membantah suaminya,
“Kang, saya bosen kalau di rumah
terus.Apalagi sebentar lagi saya akan
latihan kasti.”
“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar”
(hal.81).
Tindakan Panuwun ini menunjukkan
bahwa
Juminten
itu
adalah
kekuasaannya.Juminten menurut walaupun
dirinya sangat tertekan.Terlihat di sini
bagaimana kokohnya pendirian Panuwun
dengan budaya patriarkinya. Kata-kata
pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun
dalam hal melarang istrinya supaya
menurut.Juminten merasa tersubordinasi dan
terepresi.
Ideologi Familialisme (Kekeluargaan)
Sebagai seorang perempuan dan
sebagai istri, Juminten selalu berusaha untuk
menyenangkan suami, karena itu dia selalu
menurut apa kata suami, dan walaupun dia
tidak setuju akan kehendak suami ia tetap
mengalah demi menyenangkan suami.
Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah
perempuan yang mewakili sosok kehidupan
masyarakat yang berlaku umum, yaitu
berwatak penurut, mengalah, dan pasif.
Juminten adalah wakil dari stereotip
perempuan
dalam
masyarakat
yang
dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam
budaya Sunda ada pepatah “awewe mah
dulang tinande” artinya “perempuan itu harus
pasrah dan menerima’’, apa lagi jika hal itu
sudah berkaitan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan laki-laki.
Sikap mengalah untuk menyenangkan suami
yang dilakukan Juminten, tampak pada
kerelaannya memakai obat penyubur rambut,
walaupun dia selalu mual setiap kali memakai
obat itu, bahkan dia alergi terhadap obat itu.
Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila
sudah melekat pada rambut Juminten, maka
Juminten selalu tidak lupa meminyaki
rambutnya dengan obat itu, terutama
menjelang kepulangan Panuwun dari tempat
kerjanya.
Sore ini waktunya Panuwun pulang ke
rumah.Sejak tadi, dia sudah memasak
masakan
kesukaan
Panuwun.Dan
meminyaki rambutnya.(hal. 79).
Meminyaki rambut dengan obat penyubur
rambut bagi Juminten sama artinya
dengan memasak makanan kesukaan
suaminya. Apa pun yang disukai
suaminya, pasti akan dipenuhi dan
dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan
dengan bau obat rambut itu... mungkin
seumur-umur
hidupnya,
dia
akan
memakai obat rambut itu. (hal 80).
Pandangan gender terlihat pula pada
kepatuhan Juminten untuk tidak keluar rumah
karena dilarang suaminya. Istri yang baik
harus mendukung suami dalam segala hal.
Konsep normatif ini merupakan salah satu
bentuk ideologi familialisme. Ideologi
familialisme yang digambarkan dalam cerpen
”Rambutnya
Juminten”
mengonstruksi
perempuan berperan di dalam rumah tangga,
menurut, mengalah, dan selalu harus bisa
menyenangkan suami.
Ideologi Ibuisme
Ideologi ibuisme adalah ideologi yang
merupakan kombinasi nilai borjuis Belanda
dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui
tindakan apa pun yang diambil seorang
perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas
sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan
kekuasaan atau prestise sebagai imbalan.
Onghokham (1991) mengemukakan bahwa
nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan
adopsi dari moral Victorian yang diciptakan
121
untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris
pada masa pemerintahan Ratu Victoria. Moral
ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu
seksual dan larangan terhadap Ratu dengan
seorang suami dan anak-anak dinilai sebagai
model keluarga ideal. Nilai ini berkembang
sampai ke seluruh Eropa abad ke-19 yang
kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di
antaranya sampai ke Indonesia. Di Indonesia
moral ini bertemu dengan moral priyayi yang
dipertahankan untuk mengatur kehidupan
perempuan. Selanjutny selama Orde Baru
ideologi ibuisme dominan sekali di Indonesia.
Sebagai istri yang baik, perempuan harus
mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik
pula.Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu
rumah tangga” yang melekat pada istri, yang
lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan.
Seperti apa yang dikatakan Panuwun pada
Juminten tentang perilaku dandan dan
bersolek. Berkali-kali Penuwun mengucapkan,
keluar rumah tanpa seizin suami dan tanpa
didampingi suami.
“... Dan kalau tidak ada saya di rumah
jangan kluyuran!”
“Kang, saya bosen kalau di rumah
terus.Apalagi sebentar lagi saya
akan latihan kasti.”
“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!”
(hal. 81)
Ideologi umum yang direpresentasikan dalam
cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan
pengucilan perempuan dari bidang-bidang
tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja
secara seksual, yaitu ruang publik merupakan
dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan
dunia perempuan.Juminten “terepresi” yang
diakibatkan ketidakadilan gender.
AWKIG pada Cerpen “Mbok Nah 60
Tahun”
“Kamu bersolek untuk suami, iya kan?”
(hal. 78)
“Ten, saya kira kau bersolek untuk
suami!” (hal. 84)
Sikap Panuwun di atas merepresentasikan
pandangan gender yang memposisikan lakilaki yang berkuasa atas istri. Akibat
stereotipnya yang penurut, mengalah, pasrah,
dan akibat dari perannya yang “ibu rumah
tangga” dan “pelayan suami,” yang posisinya
“subordinat” dan tidak punya kekuatan,
Juminten tidak berdaya di depan suaminya,
yang dikuatkan posisinya oleh kehendak dan
nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen
“Rambutnya Juminten,” merepresentasikan
ideologi gender. Juminten tersubordinasi dan
terdiskriminasi.
Judul
: “Mboh Nah 60 Tahun”
Pengarang
: Lea Pamungkas
Antologi
Peri”
: “Laki-laki yang Kawin dengan
Penerbit
: Kompas, 1995
Ikhtisar
Ideologi Umum
Cerpen ini bercerita tentang seorang
perempuan bernama Mbok Nah yang berumur
60 tahun.Ia mempunyai suami bernama Marno
yang berumur lebih muda 20 tahun. Pekerjaan
sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu.Mbok
Nah mempunyai langganan yang banyak.
Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri
adalah seorang waria, nama sebenarnya
Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok
Nah.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa ideologi umum yang
direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya
Juminten” menunjukkan betapa berkuasanya
Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh
Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi
masalah dari kelakuan suaminya. Marno sering
berangkat menarik becak lebih siang, padahal
sudah berdandan sejak pagi. Setiap Mbok Nah
selesai mengantar jamu pada langganannya
122
Jurnal Lemlit UHAMKA
dan hendak mengantar jamu ke kamar Meri,
Mbok Nah selalu melihat suaminya itu
tersenyum malu-malu ketika Meri keluar dari
kamarnya.
Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya
kaget mendengar ketukan pintu, ternyata
Meri.Ia muntah-muntah dan minta tolong
Mbok Nah dan Marno untuk merawatnya.
Ternyata sakit Meri tidak seringan yang
diduga Mbok Nah dan Marno, sehingga
akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah.
Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah
Mbok Nah. Ia banyak membantu Mbok Nah,
segala keperluan Mbok Nah dibereskan,
termasuk jamu-jamu yang akan dijajakan.
Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri
tinggal di rumahnya, ia merasa begitu saja
menemukan anak yang tak pernah singgah di
rahimnya. Mbok Nah tak bereaksi pada
omongan-omongan tetangganya tentang Meri
dan Marno, malahan ada yang terus terang
bahwa Meri adalah gendakannya Marno.
Ideologi Patriarki
Mbok Nah adalah figur seorang perempuan
yang diketahui berwatak tulus, lembut, sabar,
telaten, tak pernah berprasangka buruk
terhadap orang lain, dan tak suka menilai
orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat
seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal,
sesuai dengan yang dikehendaki oleh
masyarakat patriarkis. Sifat-sifat tersebut
merupakan
representasi
dan
stereotip
perempuan. Stereotip tersebut merupakan hasil
ciptaan budaya masyarakat. Lebih jelasnya
Marno berposisi superior dan Mbok Nah
berposisi inferior, padahal sifat Marno itu
tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi
dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah,
bukan secara biologis. Dalam dua minggu ini
Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas
Marno suaminya.
Yang bikin bingung, ya ini, Mas
Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah
kebat kebit. Mas Marno tersayang kini
sering berangkat menarik becak lebih
siang. Padahal pagi-pagi dia sudah
dandan. Rambutnya sudah lengket
berkilat oleh pomade, celana pendek jins
juga sudah dipakainya. Becak pun sudah
di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma
duduk-duduk di amben depan rumah.
Wajahnya jernih kekanakan menatap ke
depan.
Kebingungan Mbok Nah akibat sikap
suaminya ini memunculkan konflik dalam
cerpen ini. Mbok Nah tersubordinasi dan
terepresi
Ideologi Familialisme
Mbok Nah berusaha berbuat taat dan
setia pada suaminya. Kegiatan Mbok Nah
sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia
berfungsi sebagai ibu rumah tangga, juga
sebagai pencari nafkah.
Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak
Marno sudah nangkring di bawah pohon
jambu klutuk depan rumah... Dari kamar
belakang dia mendengar suara Marno
dan
suara
Meri.Suara-suara
itu
mengingatkan Mbok Nah pada malammalam kebersamaannya dengan Marno.
Mbok Nah tercenung... Pandangannya
jatuh pada tangannya yang keriput dan
legam.Mbok Nah menarik nafas. (hal 100101).
Marno dalam pemerian di atas tergambar
sebagai seorang suami yang punya kekuasaan
untuk menyakiti istrinya Mbok Nah. Tegateganya ia berselingkuh dengan waria yang
terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah
atau di rumahnya sendiri. Mbok Nah merasa
tersubordinasi dan terepresi
Ideologi Ibuisme
Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut
perempuan harus menjadi “ibu yang baik” atau
menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan
lebih jelas kalau disebut “ratu rumah tangga.”
Apa pun sebutannya adalah sama saja
perempuan harus menjadi orang baik di dunia
domestik dan masyarakatnya.
Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”
menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang
123
sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu.Kalau
dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat yang
dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap
pagi jamunya pasti ditunggu orang.
nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apaapa. Suami adalah panutan.
Mbok Nah yang masih montok pandai merayu
tukang becak dan kuli bangunan: “Ayo Mas
biar badannya kuat dan bojone di rumah puas,
pokoke coba dulu, sampean pasti bangga,”
atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua
puluh tahun lebih muda, gara-gara sari rapet
ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang
ini bikin badan singset ndak bau, laki kan
ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa
repot.”(hal. 93).
Judul
: “Warung Pinggir Jalan”
Pengarang
: Lea Pamungkas
Antologi
: “Pistol Perdamaian”
Penerbit
: Kompas, 1996
Pemerian
dan
monolog
di
atas
menggambarkan bahwa betapa pentingnya
jamu untuk
membuat laki-laki kuat sehingga istrinya
merasa puas. Kalau istri merasa puas tentu saja
suami menjadi bangga karena dia bisa
menunjukkan kejantanannya.Sudah sejak awal
memang laki-laki dikondisikan secara kultural
untuk mempunyai stereotip yang jantan, kuat,
rasional, dan gagah.
Ideologi Umum
Marno dalam pemerian di atas tergambar
sebagai seorang suami yang punya kekuasaan
untuk menyakiti istrinya Mbok Nah. Tegateganya ia berselingkuh dengan waria yang
terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah
atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suarasuara itu mengingatkan Mbok Nah pada
malam-malam
kebersamaannya
dengan
Marno,” membuat Mbok Nah tercenung, dia
merasa tersubordinas, terdiskriminasi, dan
terepresi. Dia menoleh kepada dirinya yang
sudah berumur 60 tahun, tangannya telah
keriput dan legam, apalagi wajahnya. Kalimat
Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan
bahwa dia menyadari sudah tua, sudah tidak
menarik lagi bagi Marno.Kesadaran ini
membuat dirinya tidak sakit hati. Apa artinya
sakit hati karena dalam dirinya sejak awal
sudah dicekoki konco wingking, bahwa
perempuan Jawa tidak boleh menyatakan
perasaannya kepada suami, dalam arti harus
Cerpen “Warung Pinggir Jalan”
Ikhtisar
Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di
sebuah daerah yang terkena proyek
pembangunan waduk, yang diperkirakan di
daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini daerah
pertanian, tentu saja mata pencaharian
warganya adalah bertani. Namun ketika daerah
itu dijadikan proyek pembuatan waduk,
warganya jadi kehilangan mata pencaharian.
Akibatnya warga merobah profesi jadi
pedagang dan berdirilah warung-warung di
sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh
pengarang cerpen ini disebut warung pinggir
jalan. Pada perkembangannya warung pinggir
jalan ini ternyata menjadi tempat prostitusi. Di
antara warung pinggir jalan tersebut, ada
sebuah warung yang sejak sebelum ada proyek
pun sudah berdiri.Warung tersebut adalah
warung milik tokoh Emak, yang menjual satai
dan gulai. Emak tinggal dengan anaknya Idah
yang masih berusia belasan tahun.
Akhir-akhir ini perhatian Idah tertumpu pada
seorang perempuan di seberang jalan yang
bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari
perempuan-perempuan lainnya di desa itu.
Mira selalu cantik, gembira, dan gaya.
Rumahnya pun lebih bagus. Sore menjelang
malam Mira selalu dijemput oleh seorang
lelaki dengan menggunakan sebuah mobil truk
mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin
sekali meniru apa yang dipakai dan apa yang
dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira
dari mulai kepergian sampai kepulangannya.
Idah ingin menjadi seperti Mira.
Berhari-hari sumur Emak Idah yang
juga digunakan penduduk lainnya kering,
begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu.
124
Jurnal Lemlit UHAMKA
Kegiatan warung Emak Idah terhambat,
sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah
mengusulkan agar sumur itu digali lagi, tetapi
Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah
mengusulkan agar Emak menyuruh Emet
menggalinya dan Idah berjanji akan
mengatakannya
kepada
Emet.
Emak
sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena
keadaan,
akhirnya
menyetujuinya.Emet
ternyata bersedia karena ia punya maksud lain
terhadap Idah. Kenyatannya benar, di lokasi
pembangunan waduk itu, keperawanan Idah
direnggut Emet. Lewat firasatnya Emak
mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak
bicara apa-apa, ia hanya bisa menangis.
Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa
terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama
ini mempengaruhi perasaannya. Pengalaman
ini membuat Idah merasa bebas dan berhak
melakukan apa saja yang ia inginkan.
Sementara itu terjadi perubahan lain di desa
itu, pembangunan waduk itu terhenti.
Warung-warung pinggir jalan banyak yang
gulung tikar.Warga kampung banyak yang
demo menuntut ganti rugi tanah yang
digunakan proyek itu.Dengan kondisi situasi
seperti itu, pengarang menceritakan bahwa
Idah akhirnya menjadi pelacur yang berakibat
pada Emak menjadi bisu.
Ideologi Patriarki
Ideologi patriarki yang ditemukan
dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan”adalah
dalam perwatakan dan aktivitas (pekerjaan
tokoh).Watak Idah (sebagai objek penceritaan)
adalah polos dan sikapnya pasif (diam,
menunggu), mudah terpengaruh, dan selalu
ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu
Emak dalam kegiatan di warung dan
bersekolah. Di tengah-tengah aktivitas rutin
sehari-hari ini pengarang menggambarkan
peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah.
Kalau kita telaah cerpen “Warung Pinggir
Jalan” ini bertema bahwa: Pembangunan yang
hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan
mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat
dan menjadikan masyarakat menjadi korban.
Yang menjadi korban terparah adalah
perempuan, karena selain mereka menerima
dampak pembangunan tersebut, mereka pun
berada dalam situasi masyarakat yang
merendahkan posisi mereka.
“Dan nanti elusan Emet pada pantatnya,
akan terasa sampai Idah duduk di bangku
sekolah siang nanti.Emak pura-pura tidak
melihat, mata dan tangannya segera sibuk
mengerjakan sesuatu” (hal. 137).
Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet
ini sangat tidak menghargai perempuan
apalagi perempuan itu adalah gadis belasan
tahun yang polos, yang belum tahu apaapa.Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa, karena perbuatan Emet
dianggap wajar menurut lingkungannya. Lakilaki senang berbuat apa saja, walaupun tidak
senonoh. Seperti pada penggalan teks berikut.
Perempuan-perempuan warung yang
berjualan selama sehari penuh itu
menyebut Emet “Si Jalu.”Sama seperti
mereka menyebut ayam-ayam jantan
aduan yang paling sering menang (hal.
137).
Penonjolan budaya patriarki terlihat dari
tingkah laku para sopir, yang seenaknya dan
menganggap perempuan sebagai dagangan “Si
Idah sudah jadi perawan montok ya Ceu, saya
pesan duluan ya” (hal. 137).Tapi gurauan para
sopir itu tidak menjadikan Idah kesal dan
Emak pun pura-pura tak memberikan
reaksi.Kecenderungan laki-laki menggoda
perempuan ini merupakan gambaran dari
kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya di antara dua
kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis
kelamin, yaitu kesenjangan berupa subordinasi
laki-laki atas perempuan. Akibat kepincangan
ini, timbul pandangan bahwa perilaku laki-laki
menggoda perempuan itu merupakan sesuatu
yang “sehat dan normal.” Malahan kalau lakilaki yang tak pernah melakukan godaan
terhadap perempuan akan diejek dan
diragukan kenormalannya.
Ideologi Familialisme
125
Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang
menjadi korban terparah dari pembangunan
adalah perempuan. Akibat pembangunan yang
dilakukan pada masa Orde Baru banyak
dirasakan oleh kaum perempuan adalah
“pemarginalan” kaum perempuan. Misalnya
dalam cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan
waduk itu membuat warga desa kehilangan
pekerjaan dari bertani ke pekerjaan-pekerjaan
di proyek.Tetapi perempuan yang tadinya juga
bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya
beralih mendirikan warung-warung pinggir
jalan dan menjalankan praktik prostitusi.
kaum laki-laki banyak yang terserap menjadi
pekerja proyek pembangunan.Akhirnya para
perempuan desa membuka warung-warung di
pinggir jalan, yang secara terselubung
membuka praktik prostitusi. Merebaknya
prostitusi sebagai akibat berubahnya cara
pandang masyarakat warga desa yang
terpengaruh konsep pembangunan yang
mengejar pertumbuhan ekonomi (materi),
yang cenderung mengukur segala sesuatu dari
materi. Warga tidak lagi mengindahkan
norma-norma kehidupan dan nilai-nilai
spiritual.
Peristiwa yang merupakan kelanjutan dari
akibat pembangunan waduk, yaitu Idah yang
muda belia, yang normalnya menyukai teman
laki-laki yang sebaya, lebih menyukai Emet
yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi
karena lingkungan yang membentuknya
demikian. Hanya figur para sopirlah yang
menarik Idah, karena dengan merekalah Idah
banyak berhubungan.
Idah mengidolakan Mira, karena Mira berbeda
dengan
perempuan-perempuan
di
desanya.Mira banyak bajunya, banyak
sepatunya, selalu gembira, dan warna
lipstiknya bermacam-macam, badannya selalu
harum, dan menarik.
Warung satai-gulei milik Emak harus
buka pukul enam pagi. Sebentar lagi
sopir-sopir truk bermata merah burung
hantu itu akan berdatangan. “Si Idah
sudah jadi perawan montok ya, Ceu.Saya
pesan duluan ya,” gurauan para sopir itu
tidak selamanya mengesalkan Idah.
Apalagi kalau Emet yang mengatakannya.
Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar
menunggu kopi selesai diseduh dan
mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet
pada pantatnya akan terasa sampai Idah
duduk di bangku sekolah siang nanti (hal.
138).
Ideologi Ibuisme
Ideologi ibuisme menuntut perempuan
menjadi “ibu yang baik”, dalam arti
perempuan harus menjadi orang baik di
dunianya, yaitu dunia domestik dan di
masyarakat.
Pemarginalisasian
dan
diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan
terlihat dari pembangunan di pedesaan yang
mengintrodusir mekanisme pembangunan
waduk. Perempuan yang tadinya bekerja
bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan
Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba
putih, kecuali rambut hitam sangat lurus dan
masai ......Lelaki-lelaki yang mengantarkannya
pun tak bakal lama. Tetapi yang hanya
sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam
ketergesaan mereka saling berciuman
merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh
Idah punya waktu menikmati kegugupan dan
kejutan-kejutan dirinya (hal. 135).
Kejadian-kejadian
di
lingkungan
kehidupannya ini sangat mempengaruhi Idah
yang masih polos dan belia, yang akhirnya
terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir yang
pantas jadi bapaknya.Pemarginalisasian dan
diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan
terlihat dari pembangunan di pedesaan yang
mengintrodusir mekanisme pembangunan
waduk.
Ideologi Umum
Idah dalam peristiwa ini selain merupakan
representasi lain dari perempuan yang menjadi
korban pembangunan yang tidak berkeadilan
gender juga merupakan korban dari ideologi
gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai
bentuk kekerasan (represi) yang dilakukan
masyarakat terhadap perempuan, karena
perempuan tereksploitasi sebagai objek untuk
kepentingan tertentu.Mereka tak menyadari
126
Jurnal Lemlit UHAMKA
hal itu karena telah termakan “hegemoni
gender.”
Sudah empat hari sumur Emak kering.Idah
menyarankan Emak agar minta tolong Emet
untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet
datang dengan senyum di bibir dan matanya
nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah
menyampaikan pembicaraan dengan Emak
malam kemarin.Emet menyambut gembira
permintaan Idah.
“Neng, jangankan masuk sumur, masuk
lubang kubur Mang mau, kalau Neng yang
minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya
mencubit pipi Idah. Telapak tangan Idah tibatiba berkeringat
Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif
dan percaya diri untuk melaksanakan
kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah
yang masih polos dan belia.
“Duduk sini, Neng,” Emet menepuknepuk tempat di sampingnya. Idah raguragu sejenak, tetapi kemudian ia
tersenyum dan mendekati Emet. “Supaya
cepat, antar Mang Emet ambil peralatan
di waduk. Neng Idah mau kan?” Mata
Emet berbinar, tiba-tiba saja Idah sudah
ada di pangkuannya.Pipi Idah diciumnya
sekilas.Idah
terperangah,
tanpa
disadarinya
kepalanya
langsung
mengangguk (hal. 139).
Kejadian pelecehan Emet terhadap Idah
berlangsung lancar, tak ada penolakan dari
Idah.Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai
korban lingkungan, terutama fikirannya yang
mengidolakan Mira, seorang pelacur.Idah
“terepresi” oleh Emet dan oleh kondisi
lingkungan
masyarakatnya.
Saat
Idah
diperawani oleh Emet dia tidak merasa
menyesal, malah dia gembira.
Ia merasa memperoleh puncak dari
sesuatu
yang
selama
ini
ingin
diketahuinya, sekaligus terbebaskan dari
ketidaktahuan (hal. 145).
Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa
saja, termasuk pergi sore pulang pagi seperti
yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur,
sesuai dengan dambaannya ingin seperti
Mira.Sebetulnya bukan Idah saja yang
hidupnya terepresi karena pembangunan,
tetapi berakibat juga terhadap Emak.Emak
“terepresi” sampai menjadi bisu.
Cerpen “Ruang Belakang”
Judul
Pengarang
Analogi
Kepala”
Kompas
: Ruang Belakang
: Nenden Lilis Aisyah
:
“Tengkorak
Dua
: 2000
Ikhtisar
Cerpen “Ruang Belakang” bercerita
tentang kehidupan dua keluarga yang
mengontrak di ruang belakang paviliun yang
dikontrak tokoh aku (pengarang). Pengarang
dalam cerita ini menempatkan diri sebagai
pengamat, tetapi pegarang juga melibatkan
diri dalam penceritaan.Kedua-duanya ibu,
yang satu adalah Umi, seorang janda dengan
satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan
sangat bandel, tidak pernah menurut pada
ibunya dan selalu menyepelekan ibunya.
Perempuan yang kedua Teh Nining yang
kehidupannya sangat ruwet.Kadangkadang
terdengar suara jeritan Teh Nining karena
bertengkar dengan tetangganya Umi, atau
karena digampar suaminya.
Tokoh aku (pengarang) sudah tiga bulan
mengontrak paviliun di perbatasan kota, dan
mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu
karena biayanya relatif murah. Tokoh aku
bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang
baru berumur empat bulan.Teh Nining sering
dipukul suaminya. Apalagi setelah suaminya
dikeluarkan dari hotel tempatnya semula
bekerja.
Ideologi Patriarki
Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai
peran ganda dalam rumah tangganya.Selain
dia beperan di ruang domestik, dia juga
127
bekerja di ruang publik sebagai penjual
gorengan.Teh Nining berperan sebagai pencari
nafkah, karena suaminya sedang menganggur,
dikeluarkan dari pekerjaannya di hotel.Tokoh
aku (pengarang) sering merasa takut dan jijik
pada suami Teh Nining karena wataknya.
Apabila suaminya bangun agak pagi, dan
menemukan istrinya sudah pergi tanpa
menyediakan kopi, dia akan menyumpahnyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan
semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh
aku. Tokoh aku (pengarang) sering merasa
takut dan jijik pada suami Teh Nining yang
digambarkannya sebagai berikut:
Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan
sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari
atap gudang.Wajahnya menyerupai kamar
sempit penuh sarang laba-laba.Ia
menatap dengan mata orang sakit mata,
dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk
dari got seakan memenuhi perutnya untuk
menyebarkan bau melalui mulutnya. Ia
luntang-lantung seharian, ikut menyabung
ayam atau main gapleh dengan pemudapemuda pengangguran. Pulang-pulang
untuk makan, dan kalau tak ada makanan,
istrinya harus siap-siap menerima
dampratan (hal.108).
Tingkah laku Dadang (suami Teh Nining)
menjijikan dan galak, Dalam penceritaan
cerpen ini tokoh Dadang sebagai “subjek”
penceritaan digambarkan penonjolan ideologi
patriarkinya.
Ideologi Familialisme
Sebagai seorang istri Teh Nining adalah
seorang perempuan yang sangat bertanggung
Jawab terhadap kelangsungan kehidupan
keluarga.Karena suaminya tidak bekerja, dia
yang mengambil alih mencari nafkah dengan
berjualan gorengan.Jadi, dalam cerpen ini
digambarkan bahwa Teh Nining berperan
ganda.Sayangnya peran ganda Teh Nining
tidak ditunjang oleh suaminya.Pola kehidupan
keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini
menunjukkan representasi ideologi gender.
Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining
mengomel karena suaminya selalu tidur kayak
kebo, anaknya menangis tidak mau mandi.
Selanjutnya terdengar suara jeritan Teh Nining
yang digampar suaminya.Kekasaran Dadang
terhadap
istrinya
menunjukkan
"pemarginalan,
penyubordinasian,
pendeskriminasian, dan perepresian” suami
terhadap istri.
Ideologi Ibuisme
Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti
dengan paham “ibuisme”.Paham ini membawa
arti sempit terhadap perempuan, karena
perannya
dibatasi
pada
sektor
domestik.Ideologi
ibuisme
menuntut
perempuan berperan sebagai ibu yang baik,
pendamping suami yang baik, mengurus anak,
dan ikut mencari nafkah tambahan.
Memosisikan
perempuan
seperti
ini
menunjukkan adanya diskriminasi terhadap
kehidupan perempuan.Soalnya tak ada
tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki.Laki-laki
hanya dikondisikan sebagai kepala rumah
tangga dan pencari nafkah (bekerja di ruang
publik), tidak ada tuntutan untuk membantu
pekerjaan
perempuan
di
ruang
domestik.Semua posisi ini dikondisikan oleh
sistem nilai masyarakat turun-temurun. Saat
Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja
kayak
kebo,
Dadang
marah
dan
menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak
menyediakan kopi untuk suaminya kalau
bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa
digampar lagi.Jadi perempuan tidak bisa
menampilkan dirinya, diskriminasi ini
berlangsung selama ada dominasi laki-laki
terhadap perempuan, perempuan selalu
didefinisikan tidak bisa mendefinisikan.
Ideologi Umum
Ideologi umum menunjukkan adanya represi
bagi perempuan yang dilakukan oleh lakilaki.Hal ini juga terjadi karena adanya
hegemoni gender.Dalam cerpen “Ruang
Belakang” ini pengarang bercerita tentang
keterlibatannya dalam penceritaan.
“Pagi itu dia dan suaminya terbangun
karena jeritan bayinya, yang kaget
128
Jurnal Lemlit UHAMKA
karena suara gerombyang gelas dan
piring yang dilempar. Jam di dinding
baru menunjukkan jam enam lewat
sedikit. Terdengar suara laki-laki yang
kasar
dan
suara
benda
yang
dibenturkan.Tampaknya
Dadang
menjambak rambut Teh Nining dan
membenturkan
kepalanya.Terdengar
pula jeritan Teh Nining dan tangisan
anaknya,
serta
bantingan
pintu,
kayaknya Dadang pergi.Suamiku pergi
ke belakang ingin melihat apa yang
terjadi, tapi dia kembali lagi karena
pintu kamar Teh Nining dikunci (hal
112).”
Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh
Teh Nining tidak mau kejelekan rumah
tangganya diketahui orang lain, dia berusaha
menutupi apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini
juga menunjukkan adanya ideologi gender,
yang menyangkut posisi perempuan yang tabu
untuk mengemukakan perasaannya secara
terbuka.Perempuan harus bisa menyimpan
perasaan, dan harus bisa tetap menutupi
kejelekan-kejelekan suaminya, karena suami
adalah kepala rumah tangga dan panutannya.
Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya
bengap dan matanya sembab tak mau terbuka
menceritakan kepada tokoh aku atas “represi”
yang dilakukan suaminya.
PENUTUP
Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh
Nining, karena khawatir terjadi apa-apa pada
Teh Nining, tetapi tidak dibuka.Kamar Umi
juga sepi, entah ke mana dia pergi.“Menjelang
tengah hari terdengar ketukan di pintu
dapur.Ketika pintu dibuka, tersembul muka
bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog
antara tokoh aku dan Teh Nining.
“Eh Teh Nining, masuk Teh!”
“Maaf mengganggu nih, Bu...” ucapnya
lirih.
“Nggak apa-apa.Justru saya gembira Teh
Nining keluar. Tadi pintunya beberapa
kali saya ketuk...”
“Saya ada di dalam. Cuman tadi
saya betul-betul nggak bisa bangun.
Pusing. Nggak enak badan.”
“Dahi Teteh memar, kenapa?”
“Ah cuman terbentur, nggak apa-apa
kok.”
“Benar nggak apa-apa?”(hal. 112).
Dia menggeleng pelan, lalu cepat-cepat
mengatakan maksudnya akan meminjam uang
untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya
bersama anaknya. Dia berjanji akan
mengembalikan uangnya kalau kembali dari
Cililin.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada 4
cerpen yang terdapat dalam 4 antologi cerpen
yaitu “Rambutnya Juminten” karya Ratna
Indraswati Ibrahim dalam antologi cerpen
Lampor
(Kompas, 1984); cerpen “Mbok Nah 60
Tahun” karya Lea Pamungkas dalam antologi
cerpen
Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Kompas,
1995); cerpen “Warung Pinggir Jalan”
karyaLea Pamungkas dalam antologi cerpen
Pistol Perdamaian (Kompas, 1996); cerpen
“RuangBelakang” karya Nenden Lilis Aisyah,
dan dalam antologi cerpen Dua Tengkorak
Kepala (Kompas, 2000) diketahui bahwa
keempat cerpen ini adalah cerpen yang
merepresentasikan ideologi gender dan
ketidaladilan gender.
Model AWK yang diterapkan untuk
menganalisis cerpen berideologi gender ini
adalah AWKIG versi Yoce Aliah Darma dan
hasilnya sangat efektif dalam mengungkap
adanya ideologi gender, yaitu ideologi
patriarki, familialisme, ibuisme, dan umum.
Selain itu mengungkap pula adanya
ketidakadilan gender, yaitu subordinasi,
marginalisasi, diskriminasi, dan represi.
129
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nenden Lilis. 2000. Ruang Belakang
dalam Dua Tengkorak Kepala Antologi
Cerpen Kompas. Jakarta: Kompas.
Umar,
Nazaruddin.
1999.
Argumen
Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Quran.
Jakarta: Paramadina.
Darma, Yoce Aliah. 2009.Analisis Wacana
Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse
Analysis: The Critical Study Of
Language. New York. Longman.
Fakih, M. 1996. Analisis
Transformasi
Sosial.
Pustaka Pelajar.
Gender dan
Yogyakarta:
Ibrahim, Ratna Indraswari. 1994. Rambutnya
Juminten dalam Lampor Antologi Cerpen
Kompas. Jakarta: Kompas.
Lukmana, Iwa. 2003. “Critical Discourse
Analysis (CDA): Rekonstruksi Kritis
terhadap Makna” dalam Jurna Bahasa
dan Sastra.Bandung: FPBS UPI.
Meneg UPW. 1992. Pengantar Teknik Analisis
Gender. Jakarta: Kantor Meneg UPW.
Mills, S.1997. Discourse. London: Routledge.
Nurgiyantoro, B. 1995.Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta, Gadjahmada University Press.
Pamungkas, Lea. 1995. Mbok Nah 60 Tahun
dalam Laki-laki Kawin dengan Peri
Antologi Cerpen Kompas. Jakarta:
Kompas.
Pamungkas, Lea. 1996. Warung Pinggir Jalan
dalam Pistol Perdamaian Antologi
Cerpen Kompas 1995 hal. 135-146.
Jakarta: Kompas.
Saptari and Holzner.1997. Perempuan, Kerja,
dan
Perubahan
Sosial:
Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Sumardjo, Jacob. & Saini, K.M. 1991.
Apresiasi
Kesusasteraan.
Jakarta:
Gramedia.
73
130
Download