Memajukan Kepentingan TKI melalui Hukum Internasional 3 Memajukan Kepentingan TKI melalui Hukum Internasional Sebuah Perspektif Non-Statist* Pranoto Iskandar† For the first time, the Bush administration has conceded that “unlawful enemy combatants” captured in America’s global war on terror are entitled to minimum protections under the Geneva Conventions. This is the latest in a series humiliating retreats . . . since his announcement, after September 11th 2001, that he planned to fight a new kind of war with new rule (The Economist, 15‐21 Juli 2006. hlm. 31) A. Pendahuluan Pernyataan the Economist di atas menunjukan “keperkasaan” norma HAM – walaupun – terhadap negara adikuasa sekalipun. Contoh lainnya adalah ASEAN, terutama Malaysia, mulai meninggalkan prinsip non‐intervensi dalam kaitannya dengan persoalan Hak Asasi Manusia (selanjutnya: HAM) di Myanmar.[1] Maka, pertimbangan terhadap hukum HAM Internasional sudah sepatutnya menempati posisi sentral dalam proses pengambilan berbagai kebijakan, baik yang domestik[2] maupun luar negeri[3]. Hal ini tak terlepas dari hakikat HAM itu sendiri yang memiliki implikasi terhadap segala aspek kehidupan, mulai dari tingkah laku individu terhadap sesamanya sampai negara kepada rakyatnya.[4] Sebagai contoh, dalam persoalan orientasi seksual yang sebelumnya secara tradisional dipandang sebatas moralitas tapi pada saat ini tidak bisa dilepaskan dari isu hak individu seseorang.[5] Begitu pula halnya dengan tingkatan pergaulan masyarakat international yang menganggap sebuah hukum akan tidak berkekuatan mengikat ketika melanggar jus cogens, yang salah satunya adalah nilai‐nilai kemanusiaan yang telah diakui oleh masyarakat internasional.[6] Pada tataran praktis hukum internasional mengenai pengakuan (recognition) negara dan pemerintahan pada saat ini telah mengalami perubahan yang fundamental dengan telah dimasukannya penghormatan terhadap HAM sebagai prasyarat bagi diberikannya pengakuan.[7] Bahkan, Uni‐Eropa kepada para calon negara anggotanya di masa yang akan datang mengharuskan adanya konstitusionalisasi hak.[8] Jadi, secara praktis kegunaan hukum HAM sangatlah diperlukan bagi semua proses pembentukan kebijakan di semua tingkatan. Selain itu, dengan makin meningkatnya kesadaran hak (rights talk)[9] dan maraknya demokratisasi di seluruh bagian di dunia – terlepas apakah dilakukan di bawah tekanan atau secara sukarela – dengan sendirinya telah menambah justifikasi bagi pemanfaatan hukum internasional itu sendiri di tingkat domestik sebagai alat untuk penguatan sistem demokrasi di tingkat nasional.[10] Tidaklah mengherankan apabila hukum internasional pun dapat dimanfaatkan sebagai alat bagi pemajuan berbagai kepentingan negara-negara berkembang sekalipun.[11] Dalam kaitannya dengan itu, skeptisisme atas universalitas hukum internasional sebagai hukum semua bangsa pada saat ini sudah menjadi tidak relevan lagi.[12] Begitu pula dengan perdebatan sosiologis‐antropologis antara kelompok relativis di satu sisi dan universalis di sisi lainnya terkait dengan keabsahan HAM pun menjadi tidak relevan lagi.[13] Dalam konteks pemajuan perlindungan TKI hukum internasional pun bisa dikatakan telah memiliki peraturan yang sangat lengkap.[14] Keadaan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta-fakta yang menunjukan akan pentingnya pemberian hak khusus bagi para pekerja migran di mata masyarakat internasional.[15] Dalam kaitannya dengan ini, Antoine Pécoud dan Paul deGuchteneire memandang stagnasi yang ada lebih disebabkan karena ketiadaan kehendak politik semata.[16] Oleh karenanya sangatlah tepat apabila kita hendak memajukan perlindungan hukum bagi pekerja migran untuk mulai secara serius mempertimbangkan hukum internasional. Peningkatan perbaikan manajemen migrasi pada gilirannya, tidak hanya, baik untuk HAM para pekerja migran itu sendiri tapi juga terhadap pembangunan ekonomi, khususnya, bagi bangsa Indonesia sendiri.[17] Migrasi adalah sebuah isu lama tapi ia akan tetap menjadi salah satu tema utama pada masa ini dan yang akan datang.[18] Dengan kata lain migrasi adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa tidak harus dihadapi. Bahkan, sepatutnya kita harus berupaya keras untuk mengelolanya sebaik mungkin demi kemaslahatan semua. Sehingga, akan sangat bodoh bila kita berupaya lari untuk menghindarinya. Melalui artikel singkat ini saya ingin mendorong semua pihak untuk secara serius mempertimbangkan pemanfaatan hukum HAM internasional bagi pemajuan HAM, khususnya, bagi para pekerja migran Indonesia (atau yang lebih dikenal sebagai Tenaga Kerja Indonesia atau TKI[19]) dan penciptaan sebuah manajemen migrasi yang baik. Usulan ini tidak bisa dilepaskan dari fakta yang menunjukan bahwa baik Pemerintah Indonesia maupun para advokat lokal belum memanfaatkannya secara maksimal.[20] Malahan sebaliknya, mereka cenderung menaruh curiga yang berlebih-lebihan terhadap hukum internasional.[21] Sebagaimana akan dilihat di bawah, padahal pemanfaatan hukum internasional oleh para advokat HAM pekerja migran di negaranegara lain telah menjadi pilihan utama dalam perjuangannya.[22] Secara legal-formal pun, pemanfaatan mekanisme hukum telah diakui sebagai HAM oleh hukum nasional.[23] Dengan kata lain, diabaikannya pemanfaatan mekanisme internasional yang dilakukan secara sistematis bisa disamakan sebagai pelanggaran HAM serius. I. Sistematika Pembahasan Pembahasan dalam artikel ini terbagi ke dalam enam bagian yang masing-masing memuat argumentasi-argumentasi yang mendukung kesimpulan dan saran yang dimajukan oleh artikel ini. Bagian pertama memuat pengantar yang memetakan permasalahan yang diidentifikasi oleh artikel. Pada bagian kedua pembahasan ditujukan pada review atas praktek Indonesia dalam upayanya selama ini dalam memberikan perlindungan HAM bagi para TKI. Pada bagian kedua ini pun disertakan pembahasan terkait dengan penolakan Indonesia untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan perlindungan internasional bagi pekerja migran yang dapat diartikan sebagai peratifikasian Konvensi Pekerja Migran PBB (CMW).[24] Selanjutnya pada bagian ketiga pembahasan dilakukan terhadap kerangka perlindungan HAM pekerja migran yang ada di tingkat internasional dan regional. Selanjutnya, pada bagian keempat akan ditemukan pembahasan terkait dengan berbagai mekanisme internasional yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Di bagian lima pembahasan ditujukan pada status hak atas akses untuk memanfaatkan mekanisme perlindungan pada berbagai fora internasional. Kemudian bagian berikutnya membahas mengenai pemberdayaan peluang yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Sebagai penutup diberikan sebuah kesimpulan terkait dengan argumentasi yang diajukan dalam artikel ini. B. Tinjauan atas Kebijakan dan Praktek Perlindungan TKI Secara keseluruhan upaya-upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam upayanya untuk melindungi para TKI bisa dikatakan masih bersifat ad hoc atau tambalsulam.[25] Satu contoh, adalah sikap reaksioner-emosional pemerintah dapat dengan jelas dilihat, misal, terkait dengan penghentian pengiriman TKI ke Malaysia[26] terkait dengan banyaknya pelanggaran HAM.[27] Ini dibuktikan oleh kesimpangsiuran[28] dan penolakan atas kebijakan emosional tersebut.[29] Tentu saja efektifitas tekanan seperti ini akan bersifat kontraproduktif karena malah berakibat pada peningkatan TKI yang tak berdokumen[30] di Malaysia.[31] Pada gilirannya, kebijakan ini pun dapat meningkatkan pelanggaran HAM terhadap para TKI sebagai akibat dari status migrasinya.[32] Penghentian ini dimaksudkan sebagai tekanan bagi Malaysia untuk mau merevisi Memorandum of Understanding (MoU) yang sebelumnya telah mereka sepakati berdua.[33] Adapun maksud dari revisi MoU itu sendiri, salah satu tujuannya, adalah untuk menghapus ketentuan yang memberikan kewenangan kepada majikan untuk menahan dokumen identitas TKI.[34] Apabila diperhatikan sebenarnya persoalan, khususnya, yang terakhir bisa dihindari bila para perancang MoU, khususnya dari pihak Indonesia paham prinsip-prinsip hukum migrasi internasional.[35] Dan salah satu fungsi dari peratifikasian CMW adalah memberikan pemahaman pada para pejabat terkait perihal praktek-praktek baik dalam persoalan keimigrasian.[36] Hal mana dalam hukum internasional kewenangan untuk memegang dokumen identitas dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi negara penerima untuk memastikan itu.[37] Dengan kata lain, dimuatnya ketentuan tersebut adalah sebuah kecerobohan. Berikut akan kita tinjau sejauh mana hukum internasional dimanfaatkan oleh Indonesia. I. Pemanfaatan Fora Internasional Dari berbagai informasi yang dapat saya kumpulkan sampai saat ini pemanfaatan fora internasional oleh Indonesia dalam upayanya untuk melindungi TKI masih bisa dikatakan jauh dari memuaskan. Situasi ini secara jelas ditunjukan oleh tindakan Pemerintah Indonesia yang baru sebatas menandatangani perjanjian kerjasama (MoU) penempatan TKI dengan Negara penerima (host State), yaitu Malaysia pada tahun 2004 dan Yordania dan Kuwait pada tahun 1999.[38] Penekanan atau pengharapan secara berlebih-lebihan terhadap MoU adalah sebuah kecerobohan lainnya. Karena MoU bukanlah sebuah perjanjian internasional, traktat atau konvensi dalam pengertian yang dimaksudkan oleh pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969.[39] MoU lebih tepat sebagai komitmen yang menjadikannya sangat sulit untuk meminta pertanggungjawaban kepada pihak pelanggar. Ini ditunjukan oleh penggunaan istilah istilah yang lebih lembek seperti “will” dibandingkan “shall” yang umum ditemui dalam dokumen hukum. Dan pada umumnya MoU ditujukan bagi pengaturan atas isu-isu yang bersifat rahasia seperti persoalan pertahanan negara.[40] Dan perhatian yang berlebih-lebihan pada MoU adalah sebuah inefisiensi mengingat jumlah negara tujuan akan terus bertambah seiring waktu. Sebagai contoh, Indonesia sampai saat ini belum bisa membuat MoU dengan Arab Saudi. Padahal Arab Saudi merupakan negara tujuan terbesar kedua bagi TKI setelah Malaysia.[41] Partisipasi Indonesia dalam perjanjian multilateral pun terkait pemajuan kepentingan TKI bisa dikatakan masih kurang memuaskan.[42] Sampai saat ini Indonesia sudah berhasil meratifikasi Konvensi yang digolongkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai instrumen pokok.[43] Tapi Indonesia sama sekali belum menandatangani satu pun Konvensi ILO yang secara spesifik ditujukan untuk pekerja migran.[44] Begitu pula halnya dengan penandatangan terhadap CMW sendiri.[45] Ini makin menunjukan bahwa Indonesia belum memandang hukum internasional sebagai hal yang relevan bagi perlindungan para TKI.[46] Hal yang sama bisa dikatakan terkait dengan optimalisasi peran ASEAN dalam bidang ini.[47] Malahan ASEAN dalam perancangan Piagam-nya cenderung sibuk dengan perolehan status hukumnya yang sebenarnya sudah bukan menjadi persoalan lagi.[48] Tapi, seharusnya yang menjadi perhatian sekarang adalah apa yang dapat dilakukan ASEAN bagi warganya.[49] ASEAN sampai saat ini baru mampu mengeluarkan Deklarasi ASEAN bagi Promosi dan Perlindungan HAM para Pekerja Migran pada 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina, yang tidak memiliki kekuatan mengikat.[50] Begitu pula halnya dengan pembentukan mekanisme HAM regional yang masih jauh dari harapan.[51] Salah satunya adalah pembentukan Komisi HAM yang beranggotakan para wakil pemerintah. Setelah itu, Komisi pun hanya memiliki peran sebagai organ konsultatif bagi para negara anggotanya. Dan Komisi pun tidak diberikan kewenangan untuk menerima pengaduan. Padahal, dalam Terms of Reference (ToR)-nya tujuan Komisi tidak hanya mempromosikan tapi juga dalam bergerak dalam bidang perlindungan.[52] Fokus pada aspek promosi, menurut Sihasak Phuangketkeow, Ketua High Level Panel sebagai badan perancang ToR, tidak bisa dilepaskan dari sikap yang realistik.[53] Keadaan ini menunjukan kepemimpinan Indonesia di ASEAN telah meredup. Padahal di ASEAN selain Indonesia masih terdapat Filipina dan Vietnam yang juga merupakan kelompok negara pengirim pekerja migran yang cukup besar di dunia. Sementara itu, dari pernyataan di situs resminya, BNP2TKI memaparkan berbagai pencapaian yang telah ia lakukan.[54] Dua contoh yang perlu diperhatikan di sini adalah: (i) Menanda tangani MoU dengan ILO pada tanggal 30 Mei 2007 dalam rangka mengefektifkan dan memanfaatkan bantuan ILO di bidang Capacity Building dan pelatihan bagi staf BNP2TKI; (ii) Menjajaki jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga internasional seperti USIS, ASEAN, ECOSOC, AANZ (Asean, Australia, New Zealand), GMFD (Global Forum on Migration and Development), ACILS (American Center for International Labor Solidarity), IOM (International Organization for Migration), WTO (World Trade Organization), dan UNIFEM (United Nations Development Funds for Migration), yang dimaksudkan sebagai upaya memperkuat posisi tawar Indonesia dalam melindungi TKI di negera-negara penempatan. Sayangnya, berbagai bentuk kerjasama tersebut sulit diketahui oleh publik, khususnya, terkait manfaat kongkrit yang ditimbulkannya. Dalam studinya, Nicola Piper dan Robyn Iredale terkait dengan hambatan bagi peratifikasian CMW, menyampaikan temuan sebagai berikut.[55] Indonesia memiliki kelemahan dalam persoalan struktur pemerintahan dan birokrasi yang menjadikannya tidak memiliki kebijakan strategis yang tertuju untuk pembangunan jangka panjang.[56] Selain itu kebijakan terkait dengan persoalan keimigrasian hanya menjadi isu di tingkat kementerian. Dan yang lebih buruk lagi adalah pertimbangan utama pembentukan kebijakan lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi pengangguran daripada “mempersoalkan pembentukan mekanisme perlindungan yang mahal.”[57] Keadaan makin diperparah oleh penekanan pada kebijakan bagi penciptaan stabilitas politik dan integrasi nasional.[58] Alasan lain yang mendasari penolakan dari pemerintah untuk meratifikasi CMW tidak bisa dilepaskan dari keyakinan akan turunnya minat negara-negara yang selama ini menerima TKI. Dan mereka pun tidak ingin terjadinya konfrontasi terbuka dengan negara-negara penerima tersebut. CMW dalam persepsi mereka dipandang kurang perlu karena negara-negara penerima pun bukan negara pesertanya. Oleh karenanya bila meratifikasi CMW hanya memberikan keuntungan bagi para pekerja asing yang ada di Indonesia yang pada umumnya berada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari orang Indonesia sendiri. Alasan lain terkait dengan keyakinan akan hilangnya mata pencarian sebagai akibat pengeksposan yang dituntut CMW. Ketiadaan tekanan pun telah menjadi pendorong bagi diabaikannya CMW. Dan terakhir adalah keterbatasan SDM dan dana untuk membiayai proses yang rumit, seperti memenuhi kewajiban untuk memberikan pelaporan, sebagai akibat dari kepesertaannya terhadap CMW.[59] Keadaan ini sangat kontras dengan Filipina dan Meksiko yang sangat aktif memanfaatkan berbagai fora internasional bagi pemajuan hak-hak pekerja migran. Filipina tidak hanya aktif dalam fora internasional tapi juga secara konsekuen telah menerapkannya di tingkat domestik.[60] Adapun atas kegigihannya, bersama Meksiko menjadi negara yang dipandang berhasil menjadikan isu hak migran sebagai bagian dari agenda masyarakat internasional.[61] Salah satu pencapaiannya yang fenomenal adalah kelahiran Advisory Opinion no. 18 terkait dengan penguatan penerapan prinsip non-diskriminasi terhadap para pekerja migran yang tidak memiliki dokumen keimigrasian yang sah.[62] Dalam putusan tersebut, pengadilan InterAmerika menegaskan bahwa prinsip non-diskriminasi harus diperlakukan kepada semua tanpa memandang status keimigrasian yang dipandangnya.[63] Dalam kaitannya dengan itu, Sarah Cleveland memandang bahwa putusan tersebut yang telah membahas secara detail sehingga dapat memberikan kontribusi yang sangat penting terkait dengan pengembangan hak pekerja tak berdokumen di Amerika dan tempat lainnya di Dunia.[64] II. Upaya di Tingkat Lokal Dalam kaitannya dengan ini berbagai upaya Pemerintah Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terkait dengan berbagai upaya pemerintah Indonesia yang dilakukan di negara penerima. Sedangkan kelompok kedua terkait dengan berbagai langkah yang dilakukan di dalam negaranya sendiri atau pada proses pra-pemberangkatan. Berikut akan kita bahas satu-persatu. 1. Upaya-upaya di Luar Negeri Migran adalah salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM di luar negeri. Keadaan ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan negatif terhadap kaum migran itu sendiri.[65] Ini dengan jelas ditunjukan oleh survey yang dilakukan oleh Pew Global Research atas pandangan masyarakat dunia terhadap kaum migran.[66] Pandangan ini tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa para migran dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran publik dan rendahnya gaji bagi masyarakat setempat.[67] Berikut akan kita tinjau langkahlangkah yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia di negara-negara penerima. Pemerintah untuk melindungi TKI di luar negeri telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut: (i) mengeluarkan SK Menakertrans no. 157/MEN/2003 tentang Asuransi Perlindungan TKI di Luar Negeri; (ii) melakukan pendampingan para TKI di beberapa negara (Arab Saudi, Kuwait dan Malaysia) oleh tim advokasi yang beranggotakan mahasiswa dan PNS yang bekerja di Negara itu serta pengacara lokal dari Negara setempat. Tim ini bertugas mendata, memantau dan membela TKI di luar negeri.[68] Kebijakan pertama terkait dengan pengadaan program asuransi bagi para TKI bisa dikatakan tidak memiliki efek positif yang jelas. Tidak kurang Jumhur Hidayat sendiri selaku Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menyatakan bahwa semua konsorsium yang ada dikatakannya sebagai “berengsek”.[69] Bisa jadi uang sebesar Rp. 400.000 tersebut menjadi lahan korupsi baru mengingat para TKI sendiri lebih suka untuk tidak mempersoalkannya.[70] Menariknya, Jumhur malah akan memaksa para TKI untuk membayar asuransi tersebut di masa yang akan datang.[71] Lebih konyol lagi adalah keinginan Menteri Tenaga Kerja Erman Soeparno yang baru-baru ini ingin membentuk sebuah konsorsium baru yang memegang monopoli yang dipandangnya dapat menyelesaikan persoalan yang selama ini menghantuinya. Alih-alih menyelesaikan masalah malah menimbulkan konfrontasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena dapat melanggar Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang Anti-Monopoli.[72] Kebijakan kedua yang paling menarik yakni penjalinan kerjasama dengan pihak-pihak lokal yang berupa tim advokasi yang terdiri dari para pengacara lokal, mahasiswa dan para PNS. Kebijakan ini pun tidak dapat dirasakan secara nyata oleh para TKI. Hampir semua TKI yang pernah saya temui dan tanya tidak mengetahui akan adanya inisiatif ini di negara dia bekerja. Bahkan, pintu-pintu tradisional seperti akses terhadap kedubes malah menurut mereka dikesankan menjadi makin dipersulit.[73] Dalam temuan Tim Peneliti dari the Institute for Migrant Rights (IMR) ketika melakukan wawancara terhadap para TKI yang bekerja di Timur Tengah dan Asia Timur yang dilakukan pada sekitar pertengahan tahun 2008 menemukan pandangan yang berbeda.[74] Temuan awal tersebut menekankan akan perlunya diversifikasi pendekatan terhadap tiap negara penerima. Adapun pembedaan ini tidak bisa dilepaskan dari struktur dan sistem politik domestik di negara bersangkutan. Misal, di negara-negara Asia Timur, seperti Hongkong dan Korea Selatan, yang menjadi tujuan utama TKI, adalah negara yang tergolong demokratis sehingga kehadiran dan peran masyarakat sipil cukup kuat. Di negara-negara seperti itu TKI cenderung mendapatkan bantuannya dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mereka sebut sebagai “shelter”.[75] Oleh karenanya sangatlah tepat apabila sebuah studi yang ditujukan untuk peningkatan kemampuan para pekerja migran Filipina merekomendasikan supaya program-program seperti pendidikan dan pengorganisasian yang bertujuan pada peningkatan kesadaran akan hak-hak kerja (labour rights) dan HAM-nya masing-masing.[76] Sejalan dengan itu, Undang-Undang bagi Pekerja Migrannya[77] Filipina secara jelas didasarkan pada pengakuan akan peran penting LSM dalam perjuangan bagi HAM dan kesejahteraan para pekerja migrannya.[78] Keadaan tersebut sangat berbeda dengan negara-negara tujuan di Timur Tengah yang pada umumnya masih menganut sistem monarki-absolut seperti Arab Saudi[79] atau Bahrain[80] di mana eksistensi dan posisi masyarakat sipil sangatlah lemah.[81] Bahkan, di Bahrain telah terjadi kriminalisasi para pekerja domestik migran oleh para penegak hukum setempat, dalam hal ini Polisi.[82] Di negara-negara seperti ini peran kedutaan dan aparat hukum setempat merupakan hal yang vital.[83] Sebagai konsekuensinya di masa yang akan datang perancangan sistem perlindungan hukum bagi TKI di luar negeri haruslah mengikutsertakan kekhasan yang ada. Pertimbangan ini sangat penting mengingat penyebaran TKI tidak hanya sebatas di negara atau wilayah tertentu tapi telah meluas. Apalagi di masa yang akan datang BNP2TKI akan mengirim TKI ke Australia dalam jumlah yang cukup besar.[84] Dalam kaitannya dengan itu, perlu disinggung pendekatan yang digagas oleh Profesor Jennifer Gordon, seorang aktivis HAM migran terkemuka, yang mendasarkan pada teori kewarganegaraan politik transnasional. Usulan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidakpercayaannya atas efektifitas metode tradisional yang menekankan pada pengetatan perbatasan sebagai akibat dari peningkatan permintaan pasar di tingkat global. Sebagai konsekuensinya, ia mengusulkan penggabungan antara kewargaan pekerja dengan kewargaan terhadap suatu negara. Ini ditunjukan oleh penekanan akan pentingnya organisasi buruh lokal sehingga harus diberikan perhatian yang utama mengingat pada saat ini mereka sudah dapat menerima keanggotaan dari para pekerja migran.[85] Dan fitur yang lebih penting lagi dalam usulan ini adalah dengan menjadikan pertimbangan hak sebagai sebuah hal yang utama. Dengan kata lain, akses para migran untuk mempertahankan atau membela kepentingannya sendiri, baik di negara penerima maupun asalnya menjadi fokus utama. Pendekatan ini pun pada akhirnya diharapkannya dapat memindahkan keuntungan dari para “calo” kepada para pekerja migran.[86] 2. Upaya-upaya di dalam Negeri Ketidakpuasan Presiden selaku pimpinan puncak eksekutif di Indonesia atas persoalan TKI bisa ditunjukan oleh desakannya bagi pembentukan “sistem peringatan dini” yang diharapkan dapat merespon segala persoalan TKI lebih cepat.[87] Dengan kata lain, desakan ini harus dipandang sebagai konfirmasi atas kekurangpuasan atas sistem yang selama ini ada. Salah satu masalah dalam sistem perlindungan TKI yang ada saat ini bisa dikatakan tidak tumpang-tindih kewenangan yang tentunya menimbulkan kompleksitas. Dan ketumpang-tindihan ini pun kelihatannya akan makin bertambah mengingat ada kemungkinan tiap Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tiap Kabupaten akan memiliki Tim Satgas yang berlaku seperti polisi yang menjaga supaya TKI tanpa dokumen dapat ke luar negeri.[88] Tentunya, kewenangan dan area kerja Satgas baru ini akan bergesekan dengan Balai Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) yang juga bergerak dalam persoalan yang sama.[89] Amburadulnya kontruksi sistem perlindungan bagi TKI pada saat ini dapat dirunut mulai pada pembentukan BNP2TKI itu sendiri. Alih-alih melindungi malah menjadi monster menakutkan yang makin mendorong para TKI untuk menjauhkan diri. Selain itu, pendekatan paternalistik yang diadopsinya terhadap TKI tidak hanya merugikan TKI secara ekonomi tapi juga telah merenggut harga diri mereka sebagai manusia yang berdaulat. Lebih lanjut keadaan ini telah mendorong bagi terciptanya efek-efek samping yang tak kalah seriusnya, sedikitnya, seperti, pelecehan seksual, kekerasan, pemerasan, pencurian dan penipuan. Singkatnya, peribahasa yang tepat yang menggambarkan hubungannya dengan TKI adalah “pagar makan tanaman.”[90] Pada awalnya BNP2TKI dimaksudkan sebagai badan koordinasi antar lembaga atau departemen terkait[91], tapi dalam perjalanannya lembaga tersebut lebih aktif berperan sebagai badan bagi penempatan tenaga kerja.[92] Bahkan BNP2TKI, setidaknya, tercatat pernah konflik dengan Depnakertrans.[93] Selain itu kesamaan pemahaman terhadap pengertian pekerja migran pun berbeda-beda, Departemen Sosial memahaminya meliputi para pekerja Indonesia yang bekerja di luar daerah asalnya yang masih dalam jurisdiksi Indonesia.[94] Ini dikonfirmasi oleh desakan Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan TKI (Himsataki) yang meminta supaya Depnakertrans, BNP2TKI dan Deplu untuk bekerjasama.[95] Dari keadaan tersebut setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa isu pertama adalah persoalan koordinasi antar lembaga yang jelas belum terpecahkan oleh kehadiran BNP2TKI. Simpang siurnya kewenangan telah mengakibatkan dilaksanakannya rapat koordinasi tingkat menteri bagi TKI bermasalah yang kemudian melahirkan: Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 09/KEP/MENKO/KESRA/ III/2008 tanggal 6 Maret 2008, dibentuk Tim Koordinasi Formulasi Kebijakan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK FK-PTKIB), yang diberi tugas dalam waktu 30 hari untuk: (1) mengkoordinasikan penyusunan anggaran operasional Satuan Tugas Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia untuk tahun anggaran 2008 dan 2009; (2) mengkoordinasikan formulasi pembagian tugas Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia antara Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2004 dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006; (3) melaporkan hasil koordinasi dan rekomendasi kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kepala BNP2TKI.”[96] Singkatnya, dengan mengacu pada tugas masing departemen dan lembaga terkait maka diperoleh formulasi sebagai berikut. i. Penanganan TKI, Calon TKI dan T[enaga] K[erja] I[ndonesia] B[ermasalah] menurut pengertian UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN, menjadi tugas BNP2TKI, bekerjasama dengan sektor terkait dan Pemerintah Daerah. ii. Penanganan P[ekerja] M[igran] (I[ndonesia]), Calon P[ekerja] M[igran] (I[ndonesia]) dan P[ekerja] M[igran] (I[ndonesia])-B[ermasalah] S[osial], menjadi tugas Depsos, bekerjasama dengan sektor terkait dan Pemerintah Daerah. iii. Penanganan WNI (TKI, TKIB, dan PM(I), PM(I)-BS) di luar negeri menjadi tugas Departemen Luar Negeri melalui Perwakilan RI setempat, bekerjasama dengan BNP2TKI, Depsos, sektor terkait dan Pemerintah Daerah.[97] Sebenarnya formulasi tersebut lebih tepat dikatakan sebagai penegasan komitmen karena tugastugas telah ada pada mereka masing-masing. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan bagi timbulnya ketegangan antara Depnaker dan BNP2TKI terkait dengan kewenangan atas aspek penempatan dari UU no. 39 tahun 2004 (selanjutnya: UU TKI) yang sangat “basah” dari segi finansial. Upaya lain yang patut mendapat perhatian secara serius adalah pengadopsian UU yang saat ini bisa dikatakan sebagai bangunan dasar perlindungan TKI nasional yang juga cukup kontroversial.[98] UU TKI ini sudah mengalami beberapa kali uji materi oleh Mahkamah Konstitusi baik diajukan oleh para pengirim (sponsor)[99] maupun pihak lainnya[100]. Tidak hanya itu, para anggota DPR pun mendesak bagi dilakukannya amandemen terhadap UU TKI yang dianggapnya kurang jelas dalam hal bidang pelayanan dan perlindungan bagi TKI.[101] Tapi, di sisi lain sebagian suara para penggiat HAM TKI menolak upaya amandemen tanpa adanya peratifikasian CMW dan rujukan terhadapnya.[102] Di tengah kesimpangsiuran tersebut perlu kita klarifikasi terkait dengan UU TKI tersebut. UU dimaksudkan sebagai regulasi terhadap proses penempatan dan perlindungan para TKI di luar negeri.[103] UU ini pun telah membebankan kewajiban pada negara untuk “memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”[104] Selanjutnya, UU pun mengatur aspek administratif-praktis yang cukup komperehensif pada tahap pemberangkatan TKI.[105] Berbeda dengan persoalan sebelumnya, isu perlindungan TKI dalam UU tidak dilakukan secara elaboratif.[106] Isu perlindungan hanya diberikan pembahasan sekadarnya – tidak dengan menggunakan istilah-istilah imperatif.[107] Dari kesemua fakta di atas bisa ditunjukan bila sebenarnya pemahaman akan perlindungan bagi TKI itu sendiri sebenarnya masih belum jelas. Maka tidaklah heran apabila dalam prakteknya terjadi kesimpang-siuran. Satu-satunya upaya yang paling rasional untuk menghadapi kebuntutan adalah dengan membuka peluang yang ada di tingkat internasional untuk memperoleh gambaran utuh atas praktek-praktek baik (best practices) dalam manajemen migrasi. 3. Persepsi dan Praktek Aktor Non-Negara terhadap Hukum Internasional Hukum internasional – sebagaimana cabang studi hukum lainnya – secara umum di Indonesia termasuk bidang studi hukum yang kurang berkembang secara baik.[108] Secara umum bisa jadi gara-gara sistem sekolah hukum itu sendiri yang secara keseluruhan sangat buruk, sehingga pada gilirannya berimbas pada absennya tradisi akademis yang baik di kalangan civitas akademik Indonesia. Tapi, saya tidak sependapat dengan pandangan Profesor Noortmann yang menyalahkan intensnya keterlibatan para pengajarnya dalam aktivitas LSM yang sangat menggiurkan secara finansial.[109] Bagaimanapun, seharusnya antara kegiatan akademik dan keterlibatan mereka dalam masyarakat sipil saling mendukung. Adapun persoalan utama dalam dunia pendidikan hukum Indonesia adalah intensnya peran negara (state dominated system). Situasi ini bisa ditunjukan oleh karakter dunia pendidikan yang lebih tepat sebagai birokrat yang anti meritrokrasi yang hanya mengharapkan pembiayaan dari belanja negara. Hal ini sangat kontras dengan situasi di berbagai institusi pendidikan tinggi terkemuka dunia yang cenderung beroperasi sebagai wirausahawan yang sangat mengandalkan insting keekonomian.[110] Implikasi dari ketakterpisahan antara akademisi dan pegawai pemerintahan, dalam konteks hukum internasional, telah mengentalkan kemandegan studi hukum internasional di Indonesia. Di Indonesia semua akademisi hukum internasional yang menonjol tidak bisa dilepaskan dari sepak terjangnya sebagai representasi kepentingan politik-praktis pemerintah – bukan keilmuan. Sebagai contoh adalah Profesor Mochtar Kusuma-Atmadja[111] dan Profesor Hasjim Djalal[112] sebagai dua sarjana Indonesia terkemuka. Keterlibatan keduanya hanya terbatas pada isu-isu “kedaulatan negara”, khususnya hukum laut, sebagai perwakilan Indonesia di forum PBB. Bahkan, mereka diklaim sebagai penggagas konsep negara kepulauan yang kemudian termuat dalam Konvensi PBB 1982 tentang hukum laut (UNCLOS).[113] Untuk saat ini, para akademisi muda hukum internasional didominasi oleh produk lokal sebagaimana ditunjukan oleh jurusan hukum internasional di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Atas alasan ini pula mungkin yang menjadikan mereka jauh dari perdebatan kontemporer dalam hukum internasional, walau sebenarnya jarak dan waktu sudah bukan menjadi alasan. Malah pada sebagian akademisi tumbuh sentimen nasionalisme ekstrim. Ini diwakili secara gamblang oleh pandangan fatalistik Hikmahanto Juwana, seorang Profesor hukum internasional di Universitas Indonesia (UI), universitas paling terkemuka di Indonesia. Hikmahanto berpandangan bahwa hukum internasional murni produk Barat yang karenanya akan selalu memihak mereka.[114] “Hukum rimba” ini, klaim yang disampaikan dalam Pidato Pengukuhan ke-Profesor-annya, ditunjukan oleh “hukum ekonomi internasional yang lebih mengakomodasi kepentingan Negara Maju.”[115] Maka, tidaklah mengherankan apabila Indonesia tidak memiliki sebuah komunitas hukum internasional.[116] Begitu pula dalam hal publikasi, karya-karya penulis Indonesia dalam hukum internasional sangat minim. Ini ditunjukan, misal, oleh mandeknya Indonesian Journal of International Law yang hanya sampai edisi 3 diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Internasional – UI.[117] Kalaupun ada sebatas kumpulan artikel atau opini yang sebelumnya dimuat untuk media masa. Sementara itu yang bersifat kajian tidak pernah menyinggung adanya keterkaitan antara HAM di tingkat nasional dan internasional, sebagaimana kajian Tim Universitas Padjajaran, Bandung yang dipimpin oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan.[118] Satu upaya lain yang patut mendapat perhatian adalah yang dilakukan oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII) dengan kata pengantar dari Philip Alston yang mencoba menerbitkan buku teks yang memuat kompilasi dari para penulis asing maupun lokal yang secara khusus untuk itu. Tapi, upaya mahal tersebut kurang optimal mengingat kualitas editorial yang kurang yang ditunjukan oleh ketiadaannya koherensi, khususnya.[119] Sebagai konsekuensinya, para pembaca Indonesia hanya mengandalkan pada terjemahan yang selain kuantitasnya sedikit kualitas terjemahannya pun rendah. Hal ini diperburuk oleh ketiadaan koleksi atas buku HAM di berbagai perpustakaan, termasuk universitas sekalipun. Imbas dari situasi di atas kemudian ditunjukan oleh masih belumnya diadopsi pendekatan menyeluruh dalam pemberian bantuan hukum bagi para korban pelanggaran HAM. Pemberian bantuan hukum dari lembaga-lembaga bantuan hukum hanya mengandalkan mekanismemekanisme lokal.[120] Sementara itu sikap mayoritas di kalangan para advokat HAM migran pun ambivalen walaupun menerima hukum internasional tapi mereka sangat skeptis. Mereka cenderung lebih memilih upaya melalui hukum nasional. Maka, mereka pun tidak pernah memanfaatkan atau mengeksplorasi mekanisme hukum internasional yang ada. Padahal, negara-negara tujuan TKI merupakan negara peserta atas kebanyakan berbagai instrumen ILO.[121] Oleh karenanya tidak heran bila mereka pun kurang antusias untuk memberikan tekanan kepada pemerintah untuk meratifikasi CMW.[122] Tidak begitu halnya dengan kaum masyarakat “bawah” yang pandangannya berada di luar media. Hal ini ditunjukan oleh dukungan para tokoh masyarakat Cianjur, yang di dalamnya meliputi sesepuh tokoh NU di situ. Antusiasme mereka ditunjukan ketika IMR mengadakan workshop terkait dengan perlindungan HAM internasional di kota tersebut. Hal yang sama ditunjukan pula oleh antusiasme para TKI yang ditemui dan diwawancara oleh tim dari the Institute for Migrant Rights. Bahkan, sebagai pengaruh dari maraknya pelanggaran HAM di Arab Saudi dan Malaysia telah melunturkan rasa kedekatan mereka terhadap kedua negara tersebut. Dengan kata lain, mereka telah mulai bersikap rasional, yakni hanya mengedepankan kepentingan mereka semata. C. Hukum Internasional dan Kepentingan TKI Bagian ini akan membahas pertanyaan mengapa menggunakan hukum internasional dan bagaimana implikasinya terhadap Indonesia itu sendiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. Melalui bagian ini diharapkan kita dapat melihat secara jernih memahami apa manfaat yang diberikan oleh hukum internasional terhadap TKI. Selanjutnya bagian ini diharapkan dapat menjadi pendukung bagi alasan utama mengapa hukum internasional harus dijadikan sebagai titik awal bagi perbaikan di tingkat lokal. I. Konsepsi Hukum Internasional Diskursus kontemporer terkait dengan hakikat hukum internasional pada saat ini cenderung untuk mengedepankan suara individu di tingkat internasional.[123] Ini diapat dilihat, misal, oleh simposium tentang metode-metode dalam hukum internasional yang diadakan oleh the American Society of International (ASIL) yang kemudian dipublikasikan melalui jurnal bergengsinya American Journal of International Law pada tahun 1999.[124] Sebagai contoh adalah Philip Allot yang merupakan salah seorang pemikir utama dalam teori hukum internasional. Allot melalui karya monumentalnya Eunomia yang secara radikal menuntut terciptanya paradigma revolusioner terhadap hukum internasional. Semua ini bisa dicapai karena sebelumnya pun hasil dari pemikiran manusia yang tentunya dapat diubah pula dengan cara berpikir yang baru.[125] Hukum internasional dalam pandangannya harus menyampaikan kehendak individu. Tidak seperti selama ini yang sebatas kepanjangan tangan dari keinginan para para diplomat semata.[126] Dalam praktek hubungan internasional kedaulatan berlaku sebagai dasar‐dasar bagi terlahirnya syarat‐syarat dan standar‐standar dalam politik di tingkat internasional.[127] Sedangkan dalam hukum internasional kedaulatan diberlakukan sebagai “sumber dari segala sumber hukum”.[128] Misal, konsep persamaan (equality) antar negara‐negara dan doktrin non‐intervensi.[129] Sebagai konsekuensinya, tidak hanya traktat yang merupakan cermin supremasi persetujuan bebas dari negara tapi juga hukum kebiasaan yang dibuktikan dengan the two elements theory (“praktek‐praktek negara” dan “opinio juris”)‐nya.[130] Kedaulatan bisa dipahami dalam dua aspek. Pertama, Kedaulatan dipahami sebagai sebuah kemampuan sebuah negara untuk memonopoli penggunaan kekuasaan tertentu untuk diterapkan di wilayah dan terhadap warga negara tertentu. Aspek kedua merupakan penegasan akan ketiadaan kekuasaan yang lebih tinggi di atas negara itu sendiri.[131] Dari kedua aspek tersebut maka kedaulatan bisa menjadi alat legitimasi bagi kesewenang‐wenangan penguasa lokal. Dalam kaitannya dengan ini Reisman memandang bahwa yang dilindungi oleh hukum internasional pada saat ini adalah kedaulatan rakyat bukan yang dimiliki oleh penguasa.[132] Dengan runtuhnya komunisme saling‐ketergantungan dan pentingnya kerjasama internasional menjadi tema teori hukum internasional masa ini. Pada masa ini pemikiran hukum internasional Soviet memprioritaskan nilai‐nilai kemanusiaan universal dan penyelesaian masalah‐masalah global.[133] Menguatnya kepedulian terhadap nilai‐nilai kemanusiaan dalam kesadaran masyarakat internasional telah mendorong terjadinya evolusi terhadap konsepsi hukum internasional beserta institusi-institusinya.[134] Evolusi ini pun tidak terlepas dari natur yang dimilikinya. Oleh karenanya Rosalyn Higgins dengan merujuk pada persoalan narkotika dan pelacuran menyatakan “apa yang pada saat ini benar‐benar [sebagai persoalan] domestik belum tentu [sama] pada masa lima tahun yang akan datang”.[135] Oleh karenanya menurut Boutros‐Boutros Ghali “masa pandangan kedaulatan sebagai hal yang absolut dan ekslusif . . . telah selesai; pandangan itu tidak sesuai dengan realitas”.[136] Pandangan kontemporer atas kedaulatan yang bisa dikatakan cukup otoritatif dapat ditemukan dalam Laporan of the International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) yang berjudul the Responsibility to Protect yang dipublikasikan pada tahun 2001.[137] Komisi ini dibentuk oleh pemerintahan Kanada, di bawah Perdana Menteri Jean Chrétien, sebagai respon atas tantangan Kofi Annan kepada komunitas internasional untuk berupaya membangun sebuah konsensus internasional baru dalam rangka menghadapi persoalan kemanusiaan yang makin serius. Komisi ini diketuai bersama oleh Gareth Evans dan Mohamed Shanoun. Adapun para anggotanya mewakili berbagai kalangan dan memiliki beragam kebangsaan. Dalam laporannya, Komisi menekankan akan terdapatnya kewajiban dalam kedaulatan. Kewajiban yang dimaksud di sini adalah kewajiban untuk melindungi (responsibility to protect atau dikenal sebagai R2P) setiap manusia yang ada di wilayahnya. Dalam hal terjadinya kegagalan dalam menunaikan kewajibannya, maka kewajiban beralih pada pundaknya masyarakat internasional untuk melakukan intervensi. Adapun dasar‐dasarnya terdapat dalam hukum internasional, misal pasal 24 Piagam PBB. Selanjutnya, kewajiban untuk melindungi memiliki tiga aspek. Pertama, kewajiban preventif untuk mencegah terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh manusia. Kedua, kewajiban untuk melakukan reaksi adalah kewajiban untuk merespon dengan berbagai tindakan yang sesuai. Terakhir, kewajiban untuk membangun kembali apa yang telah hancur, misal, sebagai akibat intervensi militer. Konsepsi tersebut pada dasarnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan publik di tingkat internasional dan mentransformasikan pengertian legitimasi kekuasaan politik yang hanya mengandalkan kekuasaan yang efektif semata digantikan dengan pendasaran pada nilai‐nilai fundamental, utamanya kemanusiaan. Atau dengan kata lain kekuasaan yang efektif ditantang oleh hak untuk menentukan diri sendiri, demokrasi dan HAM. Pada saat ini, pengakuan akan R2P telah diberikan oleh komunitas internasional secara resmi pada pertemuan tingkat tinggi dunia pada tahun 2005 yang tergolong sebagai salah satu pertemuan terbesar dalam sejarah. Hal mana pada sidang tersebut para Kepala Pemerintahan dan Negara menyetujui bahwa, salah satunya, masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kedaulatannya masing-masing.[138] II. Urgensi Hukum Internasional bagi TKI Suka atau tidak, sadar atau tidak, hukum internasional sudah bisa dipastikan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita semua. Baru-baru ini ASIL dalam memperingati ulang tahunnya yang ke-100 mempublikasikan International Law: 100 It Shapes Our Lives yang membahas mengenai bagaimana pengaruh hukum internasional terhadap berbagai kejadian.[139] Sebelumnya, PBB pun telah menerbitkan buku Sixty Ways the United Nations Makes a Difference yang juga memuat bagaimana kontribusi PBB terhadap perbaikan kehidupan di tingkat domestik.[140] Begitu pula pengaruhnya hukum internasional terhadap pembentukan kebijakan di tingkat lokal.[141] Oleh karenanya tidaklah mengherankan, sebagaimana ditulis oleh Profesor Beth Lyon, dalam praktek advokasi pekerja migran di Amerika pemanfaatan hukum internasional sudah tidak bukan lagi hal yang asing. Hal mana ini dikarenakan oleh ketidakmampuan ekonomi, ketiadaan akses terhadap hak pilih, dan mereka pada umumnya memiliki pemahaman yang baik atas hukum internasional.[142] Oleh karenanya sangatlah tepat ketika Cathleen Caron, direktur eksekutif Global Workers Justice Alliance, menyatakan “ketika aturan-aturan lokal tidak sejalan dengan standar-standar internasional, sangatlah menguntungkan untuk melihat ke luar batasan negara kita untuk mengetahui bahwa banyak negara-negara lain yang telah menerapkan prinsipprinsip yang sedang kamu perjuangkan.”[143] Sebelumnya, perlu kita pahami dulu persoalan migrasi dalam tata kelola pemerintahan internasional (international governanace). Perhatian terhadap persoalan migrasi di tingkat global bisa dikatakan semenjak PBB mengadakan Konferensi Internasional mengenai Populasi dan Pembangunan di Kairo pada tahun 1994 yang diskusinya telah menimbulkan kontroversi baik bagi negara-negara kaya maupun miskin.[144] Baru pada tahun 2003 ketika Komisi Global tentang Migrasi Internasional (Global Commission on International Migration atau GCIM) yang dibentuk atas inisiatif Swedia dan Swis mengeluarkan prinsip-prinsip terkait dengan praktek migrasi norma hukum internasional dalam bidang ini mulai terbentuk.[145] Salah satu pencapaian lanjutannya adalah pembentukan Kelompok Migrasi Global (Global Migration Group atau GMG) yang merupakan kelompok lintas-agensi PBB yang terkait dengan persoalan migrasi.[146] Adapun standar yang paling komprehensif bagi praktek migrasi di tingkat lokal dan internasional dapat dirujuk CMW. Nilai penting CMW tidak bisa dilepaskan dari 7 fitur yang dikandungnya: (i) langkah awal bagi perlindungan HAM dasar; (ii) menawarkan pendekatan HAM dalam isu pekerja migran; (iii) mengangkat situasi buruk yang dihadapi oleh sebagian pekerja migran; (iv) bersifat komprehensif mulai dari pemberangkatan sampai pemulangan; (v) pengakuan secara tegas akan HAM para migran tanpa mempertimbangkan status migrasinya; (vi) memuat pengertian-pengertian yang telah diakui secara internasional; dan (vii) memiliki komite khusus yang ditujukan untuk menangani isu yang satu ini.[147] Selain kelebihan tersebut CMW memiliki beberapa kelebihan lain yang juga dapat diberlakukan pada negara-negara berkembang.[148] Pertama, dengan menjadi negara peserta Indonesia dapat ikut mempengaruhi bentuk rezim hukum migrasi internasional itu sendiri. Sehingga rezim internasional dapat mengakomodir secara lebih jelas atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh para TKI. Kedua, kepesertaan terhadap CMW dapat mendidik para pihak yang terkait dengan penanganan isu TKI atas berbagai praktek baik dalam pengelolaan migrasi. Sehingga, diharapkan kesalahan yang tidak perlu seperti pencantuman kewenangan bagi para majikan untuk memegang identitas para TKI dicantumkan dalam MoU. Ketiga, dengan diratifikasinya CMW diharapkan dapat memberikan kembali peran Indonesia sebagai bangsa yang penting dalam percaturan di tingkat internasional. Tidak hanya itu, peratifikasian CMW pun dapat memberikan imbalan yang mengiurkan secara finansial bagi negara peratifikasi. Ini ditunjukan oleh studi dilakukan dalam tradisi Hukum dan Ekonomi yang dilakukan oleh Adam Cox dan Eric Posner dengan melihat sisi permintaan dan persediaan membuktikan bahwa pemberian hak kepada migran dapat pula mendorong bagi peningkatan investasi asing di negara pemberi hak. Hal ini dikarenakan pihak investor asing akan lebih merasa aman karena ia tidak akan diperlakukan semena-mena. Dan pemberian hak ini dapat menjadi insentif bagi para migran untuk memenuhi berbagai kewajibannya, misal, melunasi pajak. Walau tidak bisa dikatakan secara literal para migran menandatangani kontrak dengan pemerintah penerima, tapi keadaan mereka memiliki kemiripan yang kuat. Misal, pekerja migran akan diberi gaji yang lebih besar bila mampu bicara bahasa Inggris yang secara tidak langsung telah memberi insentif pada pihak pekerja.[149] Sehingga sudah seharusnya Indonesia tidak memiliki persoalan teknis terkait dengan internalisasi hukum internasional berikut harmonisasinya. III. Hukum Substantif Perlindungan Pekerja Migran Pada bagian ini akan kita bahas mengenai hukum substantif bagi perlindungan pekerja migran dalam hukum internasional. Sebelumnya perlu diperhatikan prinsip dasar dalam sistem perlindungan internasional bagi pekerja migrant di mana negara dimungkinkan untuk menolak memberikan pekerjaan kepada bukan warga negaranya tapi “ketika hubungan kerja telah tercipta maka semua orang berhak atas hak-hak perburuhan dan kepegawaian.”[150] Berikut adalah daftar hak-hak yang dimiliki oleh para pekerja migran sesuai dengan hukum internasional. 1. Hak-hak Dasar[151] 1) perlindungan yang sama di depan hukum[152] dan tidak ada pembatasan terhadap kebanyakan hak-hak sipil dan politik tanpa mempertimbangkan “status lainnya,”[153] termasuk status tak berdokumen;[154] 2) “kewajiban untuk menghormati dan menjalankan HAM tanpa . . . status keimigrasian seseorang;”[155] 3) hak atas “upaya hukum efektif” bagi pelanggaran-pelanggaran HAM[156] dan atas “perimbangan, secara adil, oleh sebuah peradilan yang kompeten, independen, dan imparsial . . . untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban . . . terkait dengan hakikat kesipilannya [atau] pekerjaan;”[157] 4) pelarangan atas kerja paksa;[158] 5) “gaji yang sepadan dengan pekerjaan”[159] dan bayaran yang setara dengan kerja “tanpa dibeda-bedakan.”[160] 6) kebebasan untuk berkelompok, berserikat dan menegosiasikan hak,[161] termasuk memperoleh upaya hukum atas pelanggarannya;[162] 7) lembur dan “sebuah hari kerja dengan waktu yang masuk akal;”[163] 8) “hari libur periodik dengan bayaran;”[164] 9) “kondisi kerja yang layak,” termasuk perlindungan atas keselamatan dan kesehatan;[165] 10) “kompensasi bagi para pekerja dan perlindungan kesehatan bagi para pekerja migran yang mengalami kecelakaan”[166] 11) perbaikan atas segala aspek kebersihan industrial[167] dan pencegahan atas penyakit akibat pekerjaan[168] 12) tersedianya “jaminan judisial dan administratif”[169] dan upaya hukum yang efektif bagi segala pelanggaran yang terjadi;[170] 13) keikutsertaan dalam skema jaminan sosial,[171] atau hak untuk mendapat kontribusi jaminan sosial;[172] 14) kewajiban negara penerima untuk mengambil langkah “pencegahan dan perbaikan atas persoalan serius akibat . . . belitan hutang”; [173] 15) kewajiban negara penerima untuk melakukan tindakan-tindakan khusus “untuk mencegah dan memperbaiki persoalan serius terkait dengan . . . penahanan passport;” [174] 16) kewajiban negara penerima untuk mengambil langkah-langkah khusus “untuk mencegah dan memperbaiki persoalan serius terkait dengan . . . penahan ilegal”[175] oleh majikan atau pemberi kerja; 17) kewajiban negara penerima untuk mengambil langkah-langkah khusus “untuk mencegah dan memperbaiki persoalan serius terkait . . . pemerkosaan dan penyerangan fisik;” [176] 18) kewajiban negara penerima untuk mencegah diskriminasi dalam rangka bekerja;[177] 19) bagi korban penjualan manusia, “layanan konseling dan informasi, khususnya terkait dengan hak-haknya, dalam bahasa yang dimengerti dan . . . kesempatan untuk memperoleh pelatihan, pendidikan dan pekerjaan;”[178] 20) bagi korban penjualan manusia, status hukum keimigrasiannya didasarkan pada trauma yang mereka derita dan pada saat pemulanggannya dituntut kerjasama dengan pejabat penegak hukum untuk penanganan atas kejahatan yang mana ia merupakan korbannya. 2. Hak-hak Tambahan bagi Pekerja Migran yang Berdokumen 1) kewenangan untuk memilih/merubah pekerjaan tanpa kehilangan statusnya (kurang dinyatakan secara tegas); [179] 2) tidak kehilangan status dan izin kerja hanya dikarenakan kehilangan pekerjaan;[180] 3) hak untuk bekerja bagi para anggota keluarganya (dinyatakan secara tidak tegas);[181] 4) unifikasi keluarga (dinyatakan secara tidak tegas);[182] 5) asuransi pengangguran (didasarkan pada pertimbangan nasionalitas)[183] dan “skema kerja publik” (didasarkan pada pertimbangan nasionalitas);[184] D. Mekanisme Hukum Internasional bagi TKI Perlindungan terhadap para pekerja migran dalam hukum internasional pada mulanya hanya ditemukan dalam perlindungan tehadap warga asing.[185] Tapi, semenjak pembentukan ILO yang memiliki tujuan yang terkait dengan penciptaan kondisi kerja yang manusiawi dan layak, maka perlindungan terhadap pekerja migran tidak bisa dilepaskan dari ILO.[186] Hal mana ini dikarenakan sejak pendiriannya ILO memiliki tujuan, yang salah satunya, menciptakan hak bagi para pekerja migran atas dasar prinsip persamaan perlakuan sebagaimana yang diterima oleh pekerja lokal.[187] Tapi tidak berhenti di situ hukum internasional pun memberikan mekanismemekanisme yang dapat dimanfaatkan untuk penegakannya. Selanjutnya di bawah kita akan membahas beberapa mekanisme HAM internasional yang dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan HAM TKI. I. Dewan HAM Dewan HAM yang mulai beroperasi sejak 19 Juni 2006 didirikan berdasarkan resolusi 60/225 Majelis Umum PBB[188] sebagai sebuah organ sentral dalam promosi dan perlindungan dalam sistem PBB.[189] Ini menjadikan Dewan HAM memiliki posisi yang lebih kuat bila dibandingkan yang Komisi HAM PBB yang digantikan olehnya.[190] Dewan HAM merupakan salah satu forum yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemajuan perlindungan HAM TKI mengingat ia memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan (komunikasi) dari individu dan memiliki hubungan erat dengan prosedur khusus (special procedures) tanpa mempersoalkan keikutsertaan suatu negara atas suatu Konvensi tertentu.[191] Dalam mekanisme pengaduan yang sudah direvisi individu/lembaga dapat mengajukan pengaduannya secara langsung kepada Dewan. Untuk dapat dipertimbangkan komplain haruslah memenuhi kriteria: (i) tidak bermotif politik dan bertentangan dengan semangat Piagam PBB; (ii) memuat informasi faktual dan tidak didasarkan pada laporan media masa; (iii) penggunaan bahasa yang kasar; (iv) tidak diajukan oleh pihak yang berkepentingan; (v) tidak dalam pertimbangan badan internasional lainnya; dan (vi) sudah tiadanya upaya hukum di tingkat lokal.[192] Selanjutnya bila para pengaju sudah yakin akan diterima maka ia dapat menyampaikannya dalam salah satu bahasa resmi PBB.[193] Sedangkan prosedur khusus terbagi ke dalam dua kelompok yang didasarkan pada negara dan tema yang jadi fokus perhatian. Dalam hal yang pertama individu atau lembaga yang merasa berhak untuk menyampaikan pengaduan dapat secara langsung mengirimkan komunikasi ke Special Rapporteur dimaksud.[194] Sedangkan untuk yang kedua yang didasarkan pada tema maka pengajuan komunikasi dapat diajukan pada Special Rapporteur yang menangani isu yang kita hadapi, misal apakah persoalan migran, perbudakan atau penjualan manusia.[195] II. Organ-organ Treaty-based Persoalan pelanggaran HAM TKI pun dapat dibawa ke mekanisme HAM lainnya. Ini sangat dimungkinkan asalkan masalah tersebut tidak diajukan secara berbarengan kepada organ-organ yang berbeda. Kehadiran dua mekanisme tersebut tidak hanya menimbulkan kesempatan baru tapi telah menghadirkan kontroversi tersendiri.[196] Terlepas dari pro-kontra terkait dengan ketumpangtindihannya kita harus melihat sisi positifnya, yakni, hadirnya banyak alternatif. Dengan begitu kita dapat memanfaatkan dan mengambil keuntungannya secara optimal. Adalah Profesor Satterthwaite yang mencoba menerapkan pendekatan “intersectionality” dalam advokasi HAM di tingkat internasional yang memandangnya perlu di tengah pesimismenya terhadap CMW.[197] Pengajuan penggunaan pendekatan ini tidak bisa dilepaskan dari hakikat pelanggaran HAM itu sendiri yang memiliki sifat saling terkait. Sebagai contoh, pelanggaran HAM yang berupa penyiksaan yang dialami oleh seorang TKI bisa dipahami sebagai bentuk pelanggaran terhadap Konvensi anti Diskriminasi Rasial (CERD) ketika didasari oleh kebencian rasial atau dapat dipahami sebagai pelanggaran atas Konvensi anti Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) ketika yang menjadi dasar adalah upaya pelecehan terhadap hakikat perempuan. Dalam pendekatan seperti ini semua instrumen HAM dipandang memiliki potensi dan kontribusi yang sama pentingnya.[198] Cara pandang di atas dapat menutupi kebuntuan yang dihadapi oleh para pekerja migran ketika ia dihadapkan pada keadaan di mana segalanya sangat terbatas. Dengan mengidentifikasi beberapa variabel seperti itu persoalan sementara, seperti kurangnya regulasi, yang dihadapi oleh para advokat HAM dapat terselesaikan. III. Mekanisme CMW Pembahasan terhadap CMW dipisahkan walaupun merupakan bagian dari keluarga treaty-based organs. Pertimbangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa mekanisme dalam CMW merupakan yang paling utama bagi pemajuan HAM migran. 1. Komite CMW Sebagaimana halnya Konvensi‐konvensi HAM lainnya, CMW pun memiliki Komite yang bertugas untuk mengawasi implementasinya.[199] Komite ini terdiri dari sepuluh orang ahli yang bertugas dalam kapasitasnya sebagai pibadi.[200] Tapi, jumlah sepuluh orang tersebut tidak berlaku absolut karena ketika jumlah negara peserta telah mencapai 41 negara jumlah anggotanya akan bertambah pula menjadi 14.[201] Anggota Komite dipilih oleh para negara peserta melalui pemungutan yang dilakukan secara rahasia.[202] Calon harus berkewarganegaraan salah satu negara peserta.[203] Pemilihan harus mempertimbangkan keterwakilan geografis dan sistem hukum yang ada.[204] Adapun masa jabatan adalah selama empat tahun.[205] Selanjutnya, masa jabatan dapat diperpanjang selama satu kali.[206] Segala kelangkapan disediakan oleh Sekretaris Jenderal.[207] Para anggota mendapatkan gaji dari PBB sesuai dengan kehendak Majelis Umum.[208] Komite bersidang tiap tahun.[209] Sidang diadakan di Markas PBB, Jenewa.[210] Sidang digelar secara terbuka kecuali Komite memiliki petimbangan lain.[211] Keputusan diupayakan untuk dicapai secara bulat.[212] Apabila tidak bisa dicapai maka dilakukan pemungutan suara untuk menentukan suara mayoritas sederhana.[213] Komite memiliki hak untuk mengundang perwakilan dari berbagai lembaga yang dipandang perlu.[214] Komite menyampaikan laporan tahunan kepada Majelis Umum terkait dengan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya dalam kaitannya dengan penerapan Konvensi. 2. Mekanisme Pelaporan Untuk mengawasi ditaatinya Konvensi Komite berhak untuk menerima laporan dari para negara peserta mengenai langkah‐langkah dan hambatan apa saja yang mereka temui. Setelah itu Komite mengeluarkan pandangannya atas laporan tersebut. Apabila perlu Komite berhak untuk meminta laporan tambahan sebagai pelengkap.[215] Komite dalam melakukan penilaiannya melalui Sekretaris Jenderal dibantu oleh ILO.[216] Di samping itu, Sekretaris setelah mengadakan konsultasi dengan Komite dapat menyampaikan laporan tersebut pada badan‐badan khusus PBB lainnya.[217] Apabila dipandang perlu Komite dapat mengundang badan‐badan khusus dalam kaitannya dengan pengujian laporan negara peserta.[218] Komite memiliki kewajiban untuk memberikan laporan tahunan yang memuat segala aktivitasnya yang berkaitan dengan implementasi Konvensi kepada Majelis.[219] Laporan Komite didistribusikan oleh Sekretaris Jenderal kepada para negara peserta, ECOSOC, Komisi HAM (sekarang Dewan HAM), Direktur Jenderal ILO dan organisasi‐organisasi lainnya yang relevan.[220] Laporan negara peserta kepada Komite harus memuat dua bagian. Bagian pertama mengenai: (a) gambaran mengenai kerangka perundang‐undangan dan administratif dalam kaitannya dengan penerapan Konvensi dan berbagai perjanjian bilateral dan multilateral dimana negara peserta terlibat; (b) memberikan informasi kuantitatif dan kualitatif mengenai karakteristik‐karakteristik dan natur migrasi yang terjadi di negara peserta; (c) menggambarkan situasi aktual di negara peserta terkait dengan aspek praktis dari proses implementasi Konvensi dan berbagai hal yang mempengaruhi pemenuhan kewajiban Konvensi; dan (d) informasi mengenai berbagai langkah yang telah dilakukan oleh negara peserta terkait dengan penyebarluasan dan promosi Konvensi dan kerjasama yang telah dilakukannya dengan LSM mengenai isu dalam Konvensi.[221] Sedangkan bagian kedua memuat informasi yang ditujukan secara spesifik terhadap berbagai ketentuan dalam Konvensi secara indvidual.[222] 3. Komunikasi Antar‐‐Negara Melalui pasal 76 negara‐negara peserta dapat mengakui jurisdiksi Komite untuk menerima komunikasi yang berisi tentang pelanggaran hak‐hak Konvensi yang telah terjadi. Prosedur ini berlaku apabila telah terdapat sepuluh negara yang menyatakan deklarasi.[223] Pertama, komunikasi dapat diajukan oleh sesama negara peserta atas pelanggaran yang dilakukan oleh negara‐negara peserta lainnya.[224] Negara yang tertuduh setelah menerima komunikasi harus memberikan jawaban dalam jangka waktu tiga bulan setelahnya.[225] Apabila setelah enam bulan jawaban atas komunikasi pertama masih belum menghasilkan kepuasan di antara kedua belah pihak maka tiap‐tiap pihak memiliki hak untuk menyerahkan masalah pada Komite.[226] Komite akan bersedia menerimanya setelah memenuhi berbagai syarat yang terdapat dalam hukum internasional umum.[227] Dalam kaitannya dengan ini, Komite dapat menggunakan peran good offices‐nya.[228] Komite melakukan penilaian dalam sidang tertutup.[229] Pada saat itu negara‐negara diminta memberikan informasi terkait.[230] Negara‐negara pun berhak untuk diwakili.[231] Apabila waktu dua bulan telah terlampaui dan kedua belah pihak tidak menemukan solusi maka Komite membuat laporan yang memuat: (a) apabila solusi telah tercapai maka dalam laporan dimuat secara singkat tentang fakta‐fakta dan solusi; dan (b) apabila solusi tidak tercapai maka laporan memuat segala hal yang mengemuka pada saat penilaian dan pandangan Komite sendiri yang hanya diserahkan pada pihak‐pihak yang bertikai.[232] 4. Komunikasi Individu Sedangkan mekanisme bagi komunikasi yang diajukan oleh atau dengan mengatasnamakan individu yang hak‐haknya terlanggar diberikan oleh pasal 77. Ketentuan ini akan berlaku setelah terdapat sepuluh negara telah membuat deklarasi untuk menerimanya.[233] Komite akan memandang komunikasi sebagai inadmissible dalam hal identitas si pengirim tidak jelas.[234] Begitu pula halnya ketika komunikasi mengandung masalah yang sedang dibahas oleh mekanisme internasional lainnya atau belum memenuhi syarat the exhaustion of local remedies.[235] Komite hanya melakukan penilaian atas berdasar segala informasi yang tersedia dari pihak negara peserta dan individu.[236] Penilaian dilakukan oleh Komite dalam sebuah sidang tertutup.[237] Pandangan Komite kemudian akan diserahkan pada individu dan negara peserta.[238] IV. Mekanisme di ILO ILO pun memiliki sistem yang dapat dimanfaatkan dan dieksplorasi oleh para advokat HAM migran. Salah satu contoh jurisprudensi (case-law) yang paling sering dijadikan rujukan oleh para akademisi maupun praktisi adalah Kasus No. 2227 yang merupakan komplain terhadap pemerintah Amerika Serikat oleh the American Federation of Labor and the Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO) dan the Confederation of Mexican Workers (CTM).[239] Kasus ini telah menghasilkan rekomendasi dari ILO kepada pemerintah AS untuk mengamandemen peraturan perundang-undangannya untuk sejalan dengan prinsip internasional terkait dengan kebebasan berasosiasi. Secara umum perlindungan terhadap pekerja dalam kerangka ILO dibagi menjadi dua kelompok yang disebut sebagai: (i) sistem regular; dan (ii) prosedur-prosedur khusus. Pada dasarnya mekanisme yang dimiliki ILO ini memiliki kesamaan dengan yang dimiliki oleh CMW. Mekanisme pertama yang disebut sebagai “sistem reguler” memiliki kemiripan dengan sistem pelaporan yang ada di sistem perlindungan di Konvensi HAM PBB. Mekanisme ini merupakan sistem pelaporan para negara peserta kepada Komite Ahli bagi Penerapan Konvensi Beserta Rekomendasinya (The Committee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations)[240] dan Komite Tripartit bagi Penerapan dan Konvensi beserta Rekomendasinya (The International Labour Conference’s Tripartite Committee on the Application of Conventions and Recommendations).[241] Hal mana kedua Komite tersebut kemudian menyampaikan pertanggungjawabannya tiap tahun ke ILO.[242] Sedangkan yang tergolong ke dalam kategori prosedur-prosedur khusus adalah: (i) perwakilan (representation); (ii) pengaduan (complaint); dan (iii) pengaduan khusus terkait dengan kebebasan berserikat. Perwakilan adalah sebuah mekanisme yang memungkinkan kelompok pemberi kerja dan/atau pekerja untuk menyampaikan pengaduan manakala negara peserta dimaksud dipandang gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan harapan Konvensi di mana ia sebagai peserta.[243] Pengaduan adalah mekanisme di mana kewenangan penyampaian pengaduan ada di tangan negara peserta lainnya.[244] Mekanisme terakhir terkait dengan keyakinan ILO akan fundamentalnya hak berasosiasi bagi para pemberi kerja maupun pekerja. Sehingga dalam mekanisme ini semua komplain yang terkait dengan isu ini akan menjadi perhatian tanpa mempertimbangkan keikutsertaan negara yang diadukan terhadap Konvensi yang terkait.[245] V. Memanfaatkan Mekanisme Eropa dan Amerika Perlindungan regional di Eropa terhadap pekerja migran dapat ditemukan dalam, misal, instrumen HAM utama yang bersifat umum seperti Konvensi HAM Eropa.[246] Walau tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang itu tapi di dalamnya mencakup perlindungan atas kelompok pekerja migran. Adapun pasal‐pasal yang sering dijadikan sebagai dasar adalah pasal 3 mengenai hak atas perlakuan yang manusiawi dan tidak merendahkan, pasal 5 dan 6 yang melindungi hak untuk sidang (hearing) yang bersifat publik dan adil, pasal 8 yang melindungi privasi dan kehidupan keluarga, pasal 12 berhubungan dengan hak untuk menikah, dan pasal 14 yang merupakan prinsip non‐diskiminasi. Perlindungan lainnya dapat ditemukan dalam Piagam Sosial Eropa dan Konvensi Eropa 1977 mengenai Status Hukum para Pekerja Migran yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1983.[247] Tapi, Appendix Piagam dengan secara tegas menyatakan bahwa perlindungan yang diberikan hanya sebatas ditujukan bagi para pekerja migran yang legal. Begitu pula halnya dengan Konvensi 1977. Situasi ini menjadikan perlindungan bagi para pekerja migran yang ilegal menjadi tidak memungkinkan. Di samping itu, masih terdapat Persetujuan Interim Eropa mengenai Jaminan Sosial dan Konvensi Eropa mengenai Jaminan Sosial yang menjamin kesetaraan perlakuan antara warga dan non‐warga.[248] Terlepas dari rendahnya antusias dari negara-negara Eropa terhadap perlindungan HAM migran Pengadilan HAM regional Eropa (ECHR)[249] dan Pengadilan Eropa (ECJ)[250] sebagai mekanisme yang sangat kuat pengaruhnya dalam persoalan perlindungan HAM membuka peluang yang sangat baik bagi aktivitas tersebut.[251] Tentunya dengan sendirinya banyak kasus yang menjadikan perlindungan HAM Eropa layak untuk dijadikan sebagai sumber referensi bagi litigasi di seluruh dunia.[252] Begitu pula halnya dengan Amerika dengan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) melalui pengadilan Inter-Amerika-nya[253] telah memiliki andil yang sangat besar dalam pemajuan kepentingan pekerja migran tak berdokumen melalui advisory opinion-nya yang dikenal sebagai OC-18.[254] Proses ini dikatakan oleh salah seorang Hakim dan mantan Presidennya Antonio Augusto Cançado Trinidade sebagai bagian dari “humanisasi hukum internasional.”[255] Tidak berhenti di situ OAS pun telah membentuk sebuah Komite Khusus terkait Migrasi yang saat ini sedang menyiapkan program Inter-Amerika bagi perlindungan HAM pekerja Migran dan para Keluarganya.[256] E. Hak atas Upaya Hukum di tingkat Internasional Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum internasional HAM tidak hanya memuat aspek promotif (substantif) semata tapi juga memuat perlindungannya. Ini tidak bisa dilepaskan dari fakta yang menegaskan akan kehendak masyarakat internasional itu sendiri yang menginginkan terdapatnya pendekatan integral dalam perlindungan HAM. Deklarasi HAM Wina (1993) Kehadiran mekanisme internasional bagi persoalan HAM dapat dirujuk jauh ke belakang sampai masa di mana isu HAM itu sendiri belum menjadi keprihatinan khusus masyarakat internasional. Pada masa-masa awal penanganan HAM di tingkat internasional ditangani secara ad hoc.[257] Misal, contoh awal yang dipandang paling komprehensif adalah sebagaimana yang termuat dalam Traktat Versailles (1919) sebagai perjanjian yang mengakhiri Perang Dunia I. Traktat tidak bisa dilepaskan dari keyakinan akan pentingnya isu HAM minoritas untuk diatur dalam hukum internasional. Tidak berhenti di situ, Traktat pun ditegakan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Permanent Court of International Justice (PCIJ) selaku organ judisialnya. Pendirian ILO selaku organ internasional yang paling berpengalaman dalam bidang HAM pekerja tidak bisa dilepaskan dari Traktat. Dan traktat pun menjadi dasar bagi dikenalnya jurisdiksi universal yang memampukan negara-negara untuk menegakan hukum internasional di tingkat lokal.[258] Pada masa pasca Perang Dunia II perkembangan mekanisme internasional makin marak. Fenomena ini bisa dikatakan diawali oleh pembentukan Peradilan Internasional Nurmberg dan Tokyo yang sangat berpengaruh pada perkembangan rezim hukum pidana internasional. Tidak hanya yang berupa badan peradilan, tapi juga berupa komite, organ, komisi kebeneran dan rekonsiliasi dan berbagai sistem peradilan alternatif lainnya, seperti sistem Rwandan Gacaca.[259] Maka, bila dikaitkan dengan tren tersebut sangatlah mengherankan bila ada dokumen HAM internasional modern tidak secara eksplisit memuat hak untuk menyampaikan petisi (komunikasi) kepada organ yang mengawalnya. Pada umumnya, mekanisme ini sangat mengandalkan pada sanksi yang dikenal sebagai “shaming,” yakni dipermalukannya negara pelanggar. Sehingga, dalam pandangan seorang praktisi hukum HAM internasional, dalam konteks ICCPR, penegakannya sangat tergantung pada kehendak negara peserta.[260] Begitu pula halnya dengan mekanisme regional Amerika.[261] Ini berbeda dengan di negara-negara Eropa yang merupakan negara peserta terhadap ECHR yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum.[262] Terlepas dari kelemahannya tersebut, sebagaimana telah dilihat di bawah, mekanisme internasional memiliki nilai yang sangat penting dalam perlindungan HAM di tingkat lokal. Kehadiran rekonseptualisasi atas kedaulatan sebagai sebuah kewajiban dari negara untuk melindungi para penduduknya haruslah dipandang sebagai peningkatan status atas hak untuk akses terhadap mekanisme internasional. Ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dari kehadiran mekanisme internasional itu sendiri yang ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kewenangan atau kesewenang-wenangan negara. Sejalan dengan itu, the International Law Commission (ILC) dalam komentarnya atas pasal 41(1)[263] dari Responsibilty of States for Internationally Wrongful Acts memandang fora internasional “is often the only way of providing an effective remedy.”[264] Ayat 1 dari Pasal 41 tersebut oleh ILC mengimplikasikan “States under a positive duty to cooperate in order to bring an end serious breach in the sense of Artcle 40.”[265] Dan tambah ILC, “[c]ooperation could be organized in the framework of a comptent international organization, in particular the United Nations. However, paragraph 1 also envisages the possibility of non-institutionalized cooperation.”[266] Pengakuan atas pentingnya mekanisme HAM internasional pun sebenarnya telah diakui oleh sistem hukum nasional Indonesia sekalipun. Ini ditunjukan oleh Pasal 7(1) Undang-Undang no. 39 tahun 1999 (selanjutnya: UU HAM) yang menyatakan: “[s]etiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya [di] . . . forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh pelanggaran hukum Indonesia dan hukum internasional . . . .” Hak ini merupakan bagian dari asas-asas dasar dalam UU HAM. Maka, perlindungan atas “[k]etentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia . . . .”[267] dalam bidang “[p]erlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.”[268] Dari pembahasan di atas, maka ketika negara secara sistematis mengabaikan pemanfaatan fora internasional untuk memajukan kepentingan warga negaranya bisa disimpulkan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang serius. Tidak hanya pelanggaran terhadap norma dalam hukum internasional tapi juga telah melanggar hukum nasional itu sendiri. Sebagai konsekuensinya, negara dapat dimintai pertanggungjawaban internasional bilamana dipandang telah gagal memenuhi kewajibannya dalam bidang ini. F. Memanfaatkan Peluang Internasional bagi TKI Sistem internasional bagi promosi dan perlindungan HAM migran tidak hanya berdimensi internasional semata, tapi juga meliputi dimensi lokal. Pada bagian ini akan dibahas persoalan tersebut dalam konteks Indonesia. I. Ratifikasi CMW Pada tanggal 17 Desember 1979 Majelis Umum mengadopsi resolusi 24/172 yang kemudian menjadi dasar bagi dibentuknya sebuah kelompok kerja yang terbuka bagi semua negara anggota tahun 1980 yang ditujukan bagi perancangan sebuah konvensi bagi perlindungan para pekerja migran CMW.[269] Organisasi dan organ‐organ internasional yang berkepentingan diundang untuk terlibat. Pada tahun 1990 kelompok kerja telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Hebatnya CMW dalam masa pembahasannya semua keputusan dilaksanakan dengan mengandalkan konsensus yang secara mengejutkan berhasil.[270] Tanggal 18 Desember 1990 Konvensi Internasional bagi Perlindungan para Pekerja Migran dan para Anggota Keluarganya diadopsi oleh Majelis Umum tanpa dilakukan pemungutan suara dan dibuka untuk ditandatangani oleh negara‐negara anggota PBB.[271] Pada tanggal 14 Maret 2003, Guatemala meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Pekerja Migran dan Anggota‐anggota Keluarganya.[272] Tindakan Guatemala ini, pada akhirnya menjadikan Konvensi mulai berlaku pada 1 Juli 2003.[273] Pada hari pengesahannya, diadakan diskusi panel yang di dalamnya meliputi pembicara Bertrand Ramcharan, Acting UN High Commissioner for Human Rights, yang mana menyatakan bahwa pada dasarnya, kebanyakan hak‐hak dalam konvensi adalah hak‐hak yang sebelumnya telah dimuat dalam ICCPR dan DUHAM. Konvensi ini telah memperluas Konvensi HAM inti dalam rezim hukum HAM internasional yang dibidani PBB. Ini tidak terlepas dari nilai-nilai fundamental yang tercakup dalam Konvensi itu sendiri. Tapi, Konvensi tidak dimaksudkan untuk seperangkat hak baru bagi kelompok migran tapi hanya sebuah upaya yang memastikan hak-hak yang telah ada dapat dinikmati oleh kaum migran.[274] Melalui konvensi ini perlindungan terhadap pekerja migran tidak hanya ditujukan pada pekerja yang sah tapi juga yang “illegal”.[275] Ini tidak bisa dilepaskan dari pengertian yang diberikan terhadap pekerja migran itu sendiri sebagai “seseorang yang akan, sedang, dan telah terlibat dalam sebuah aktivitas yang bergaji di negara bukan kebangsaannya”.[276] Konsekuensi lainnya, dengan mulai berlakunya Konvensi adalah legal setting yang mendasarkan diri pada rezim hukum ILO mengenai pekerja migran, khususnya Konvensi no 97 dan 143, akan dituntut untuk dipikirkan ulang. Situasi ini akan dimungkinkan untuk terjadi dalam hal negara‐negara, yang dalam jumlah substansial, telah mendukung Konvensi. Dan sekarang sinyal positif telah hadir dengan komitmen Brasil dan Italia yang telah menginkorporasikannya ke dalam hukum lokal dan sikap 11 negara Uni Eropa lainnya.[277] Adapun implikasi yang bersifat praktis dan secara langsung dapat dirasakan oleh para pekerja migran adalah perlindungan yang diberikan Konvensi meliputi para anggota keluarga si pekerja – tidak hanya si pekerja.[278] Singkatnya, menurut Konvensi ini tidak hanya kesejahteraan pribadi si pekerja tapi juga meliputi anggota keluarganya yang berada di negara asal ataupun negara ia biasa tinggal. Terkait dengan tidak adanya pembedaan antara pekerja illegal dan legal, menjadikan Pemerintah si pekerja atau si pekerja sendiri memiliki dasar hukum yang kuat bagi penuntutan gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan nakal.[279] Konvensi ditujukan bagi terciptanya standar minimum yang ditujukan bagi para pekerja Migran di seluruh dunia. Di samping itu, Konvensi ini, sebagaimana dinyatakan oleh Preambulnya, bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk eksploitasi yang sering dihadapi oleh para pekerja migran gelap.[280] Konvensi terdiri dari sembilan bagian yang memuat 93 pasal. Bagian pertama mencakup mengenai pengertian dan jangkauan Konvensi itu sendiri. Pasal 2 (1) memberikan definisi pekerja migran sebagai “seorang individu yang akan, sedang atau telah terlibat dalam aktivitas yang bergaji di sebuah negara yang berbeda dengan kewarganegaraannya”. Tapi, sebenarnya pengertian yang dimuat oleh Konvensi jauh lebih luas meliputi “pekerja” yang tidak memiliki majikan.[281] Bagian kedua yang hanya terdiri dari pasal 7 memuat kewajiban negara peserta untuk tidak bertindak diskriminatif. Bagian Ketiga bisa dikatakan sebagai bagian yang substantif. Beberapa hak, antara lain, hak untuk meninggalkan negara (pasal 8), hak hidup (pasal (9), hak untuk terbebas dari segala praktek perbudakan (pasal 10) dan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 11) dimuat. Bagian keempat masih merupakan bagian substantif. Tapi hak‐hak yang dimuat dalam bagian ini bersifat ekslusif; hanya dimiliki oleh kelompok pekerja migran yang sah (pasal 36). Adapun hak‐hak yang termuat, antara lain, kebebasan bergerak (pasal 39) dan hak untuk membentuk perserikatan kerja (pasal 40).[282] Bagian kelima memuat ketentuan‐ketentuan yang secara khusus disandang oleh kategori tertentu para pekerja migran. Ketentuan‐ketentuan pada bagian ini pun hanya berlaku bagi para pekerja yang sah.[283] Bagian keenam ditujukan bagi pembentukan lingkungan kerja yang nyaman, aman dan manusiawi bagi para pekerja migran.[284] Bagian ketujuh memuat ketentuan‐ketentuan yang terkait dengan mekanisme perlindungan hak‐hak dan kebebasan‐kebebasan dalam Konvensi.[285] Bagian kedelapan memuat ketentuan‐ketentuan umum.[286] Bagian penutup memuat ketentuan‐ketentuan yang pada umumnya ditemui sebagai penutup.[287] II. Harmonisasi Hukum Nasional Pada umumnya kebanyakan beranggapan bahwa persoalan yang paling rumit adalah yang terkait dengan harmonisasi aturan di tingkat nasional terhadap standar internasional. Padahal tidak demikian halnya. Hal ini dikarenakan Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asia lainnya bisa dikatakan sebagai terbanyak dalam keterlibatannya sebagai peserta terhadap instrumen HAM internasional.[288] Selain itu, CMW sebagai standar internasional dalam praktek migrasi tidaklah menuntut adanya perubahan-perubahan yang radikal atau dramatis akan tumpang-tindih dengan peraturan yang ada karena ia hanya berlaku sebagai penegas komitmen Indonesia terhadap perlindungan hak-hak migran. Ini dibuktikan, di antaranya, sebagaimana telah disinggung di atas, dengan tidak melahirkan hak-hak yang bersifat baru. Tapi hanya sebatas memberikan penegasan bahwa hak-hak yang sudah ada juga dimiliki oleh para migran.[289] G. Kesimpulan Persoalan yang selalu mendera TKI tidak bisa dilepaskan dari kekacauan mekanisme perlindungan yang ada di dalam negeri itu sendiri. Ini secara jelas, misal, ditunjukan oleh ketiadaan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang memiliki koherensi dan bersifat logis. Semua penyelesaian yang diadopsi sangat bersifat ad hoc dan tidak terstruktur dengan sistem yang telah ada. Untuk itu salah satu jalan terbaik adalah dengan mencoba bergabung dengan dunia luar demi tercapainya solusi yang terbaik bagi bangsa ini. Pemanfaatan peluang di luar bukanlah berarti kedaulatan kita terkurangi tapi lebih sebagai upaya pencapaian atas hal yang lebih substantif. Ini pun dapat diartikan sebagai salah satu komitmen politik dari pemerintah dengan belajar dan bekerja sama dengan pihak luar – untuk lebih bersikap pragmatis dengan mengedepankan kepentingan rakyat sebagai bentuk demokrasi. Selain itu, temuan penting yang perlu dikuatkan adalah terkait dengan isu relativisme kultural yang pernah menguat dengan nilai-nilai Asia-nya sebenarnya hanya sebatas ada di angan-angan para elit. Adapun persoalan yang menjadi hambatan yang kadang berupa penolakan dalam bidang promosi HAM di Indonesia lebih terkait dengan ketiadaan akses terhadapnya. Dengan kata lain, persoalan ketidaktahuan dibanding nilai-nilai keagamaan atau budaya lebih berperan dalam terciptanya penolakan di kalangan akar rumput. Dasar hukum dari UU HAM yang secara eksplisit mengakui akan eksistensi hak atas upaya hukum di tingkat internasional sudah sepatutnya membuat para pihak terkait untuk tidak ragu lagi memanfaatkan hukum internasional. Singkatnya, pemanfaatan fora internasional untuk persoalan, khususnya bagi para TKI, merupakan salah satu fitur utama dalam pembentukan paradigma manajemen migrasi nasional baru yang berbasis HAM. Kegagalan negara untuk mengadopsi pendekatan ini akan berujung pada terbukanya kemungkinan bagi dimintanya pertanggungjawaban internasional baik oleh komunitas internasional maupun oleh rakyatnya sendiri. [1] [2] Wayne Arnold, International Herald Tribune, Sabtu-Minggu 22-3 Juli, 2006. hlm. 3. Misal, lihat, pengaruhnya terhadap praktek penafsiran Undang-undang di Inggris The Rt. Hon. Lady Ardeen, “The Interpretation of UK Domestic Legislation in the Light of European Convention on Human Rights Jurisprudence,” 25 Statute Law Review 165 (2004). [3] Rein Müllerson, Human Rights Diplomacy, London: Routledge, 1997. [4] Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca, Cornell University Press, 2003. Untuk kritikannya lihat Hilary Charlesworth, “What are ‘Women’s International Human Rights?,’” dalam Rebecca Cook (ed.), Women's Rights in International Law, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1994. hlm. 58-84. [5] Lihat, misalnya, pertimbangan hukum dalam kasus Lawrence v. Texas, 123 S.Ct. 2472 (2003) atau kasus di tingkat internasional, seperti, pandangan the Human Rights Committee dalam kasus Toonen, Communication no. 488/1992. Lihat juga studi komprehensif yang dalam Robert Wintemute dan Mads Andenǽs (eds.), Legal Recognition of Same-Sex Partnerships: A Study of National, European and International Law, Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2001. [6] Pasal 53 Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian menyatakan bahwa sebuah traktat akan gugur “bila, . . . , ia bertentangan dengan norma memaksa (peremptory norms) hukum internasional umum” dan ICJ dalam kasus Barcelona Traction yang menyatakan bahwa: “an essential distinction should be drawn between the obligations of a State towards the international community as a whole, and those arising vis a vis another State in the field of diplomatic protection. By their very nature, the former are the concern of all States. In view of the importance of the rights involved, all States can be held to have a legal interest in their protection; they are obligations erga omnes. Such obligations derive, for example, in contemporary international law, from the outlawing of acts of agression, and of genocide, as also from the principles and rules concerning the basic rights of the human persons, including protection from slavery and racial discrimination. Some of the coresponding rights of protection have entered into the body of general international law . . . ; of a universal or quasi-universal character”. Barcelona Traction, Light and Power Company Limited, Second Phase, Judgment, ICJ Reports, 1970 hlm. 3, para. 33. Lihat juga kritik terhadap konsep ini dalam Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin, “The Gender of Jus Cogen,” 15 Human Rights Quarterly 63 (1993). [7] Eric Stein, “International Law and Internal Law: Toward Internationalisation of Central-Eastern European Constitutions,” dalam 88 American Journal of International Law 448 (1994). [8] Philip Alston dan J.H.H. Weiler, “An ‘Ever Closer Union’ in Need of a Human Rights Policy,” 9 European Journal of International law 658 (1998). [9] Mengenai konsep “Rights Talk” lihat Mary Ann Glendon, Rights Talk: The Impoverishment of Political Discourse, New York: Free Press, 1991. [10] Mengenai keterhubungan antara penguatan demokrasi dan pemanfaatan hukum internasional lihat Eyal Benvenisti, “Reclaiming Democracy: Strategic Uses of Foreign and International Law by National Courts,” 102 American Journal of International Law 241 (2008). [11] Beth Lyon, “Discourse in Development: A Post-Colonial ‘Agenda’ for the United Nations Committee on Economic, Social, and Cultural Committee,” 10 American University Journal of Gender Social Policy and Law 535 (2003). [12] Bruno Simma, “Universality of International Law from the Perspective of Practitioner,” 20 European Journal of International Law 265 (2009). [13] Philip Alston menyatakan bahwa tren untuk mengadopsi bill of rights – entah dalam bentuk penyerapan konvensi internasional, pernyataan dari lembaga legislatif, judikatif ataupun pengadopsian oleh konstitusi – secara esensial mengalami peningkatan. Situasi tadi tidak hanya terjadi di negara-negara Eropa tapi juga dimana-mana. Hal mana tren tersebut mengimplikasikan akan terdapatnya kelompok “hak inti”, di antaranya: hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, hak untuk tidak dianggap bersalah, hak atas privasi, hak untuk bergerak, hak atas kepemilikan, kebebasan untuk berpikir, keyakinan dan beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berkelompok, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Philip Alston, “A Framework for the Comparative Analysis of Bills of Rights,” dalam Philip Alstons (ed.), Promoting Human Rights through Bill of Rights: Comparative Perspective, New York: Oxford University Press, 1999. hlm. 1-3. [14] Di antara sekian banyak dokumen hukum adalah CMW yang bisa dikatakan sebagai yang paling komprehensif dan ambisius. Lihat Richard Plender (ed), Basic Documents on International Migration Law, Leiden dan Boston: Martinus Nijhoff, 2007. [15] Jorge Bustamante, “Immigrant’s Vulnerability as Subject of Human Rights,” dalam 32The International Migration Review 333 (2002). [16] Antoine Pécoud dan Paul deGuchteniere, “Migration, Human Rights and the United Nations: An Investigation into the Obstacles to the UN Convention on Migrant Workers’ Right,” 24 Windsor Yearbook of Access to Justice 241, 244 (2006). Dikutip dalam Beth Lyon, “The Unsigned United Nations Migrant Worker Rights Convention: An Overlooked Opportunity to Change ‘the Bown Collar’ Migration Paradigm,” New York University Journal of International Law and Politics (Akan Datang). hlm. 1. [17] Lihat, misal, Lant Pritchett, Let Their People Come: Breaking the Gridlock on Global Labor Mobility, Washington D.C.: the Center for Global Development, 2006. [18] Stephen Castles dan Mark J. Miller, The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World, London: Palgrave-Macmillan, 2008. [19] Oleh pasal 1 (1) Undang-undang Penempatan dan Perlindungan TKI diartikan sebagai “setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.” [20] Sejauh yang saya tahu di Indonesia baru terdapat satu inisiatif non-pemerintahan yang mendedikasikan kerjanya untuk pemanfaatan atau pengeksplorasian hukum internasional bagi kepentingan persoalan kemanusiaan, yakni the Institute for Migrant Rights (IMR), Cianjur, dengan alamat situs web-nya: <http://www.imr.or.id> [21] Lihat bagian II.3. di bawah. Sikap ini sangat kontras dengan tren di wilayah lain sebagaimana disampaikan oleh Profesor Beth Lyon dalam pidatonya yang bertajuk the International Protection of Migrant Workers pada tanggal 18 Desember 2007 yang diselenggarakan oleh IMR dan the American Society of International Law (ASIL) di Cianjur. Lihat juga tulisannya pada cat. kaki no. 20 di bawah. [22] Lihat Beth Lyon, “From Sanctuary to Shaping International Law: How Unauthorized Migrant Workers in America Advocating Beyond U.S. Borders,” in Cynthia Soohoo, Catherine Albisa and Martha F. Davis (eds.), Bringing Human Rights Home: Portraits of Movements, vol. 3, Westport dan London: Praeger, 2008. pp. 34-6. [23] Lihat, utamanya, Pasal 7(1) Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM (selanjutnya: UU HAM) yang menyatakan “[s]etiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya [yang ada dalam]. . . forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin . . . hukum internasional . . . .” [24] International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (1990). Dibuka untuk ditandatangani pada 18 November 1990, 2220 UNTS 3 (Mulai berlaku sejak 1 Juli 2003). [25] Untuk tinjauan secara umum atas persoalan migrasi di Asia Pasifik lihat Manolo Abella dan Geoffrey Ducanes, “The Effect of the Global Economic Crisis on Asian Migrant Workers and Governments’ Responses,”yang tersedia di: <http://www.age-of-migration.com/uk/financialcrisis/updates/ 1d.pdf>. [26] Pemerintah Kaji Penghentian Pengiriman TKI ke Malaysia dapat ditemukan dalam <http://www.antaranews.com/view/?i=1245647356&c=NAS&s=NAK> yang diakses pada 15 Juli 2009. Lihat juga laporan Human Rights Watch <http://www.hrw.org/en/news/2007/02/20/indonesia-malaysia-overhaullabor-agreement-domestic-workers>. [27] Untuk mengetahui keadaan Pelanggaran TKI baik di Malaysia maupun Indonesia dapat dilihat laporan Human Rights Watch, Help Wanted: Abuses Against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia, 21 Juli 2004. dapat ditemukan di <http://www.hrw.org/en/reports/2004/07/21/helpwanted>. [28] Misal lihat Pemkab Garut Belum Terima Edaran Penghentian Pengiriman TKI ke Malaysia dalam <http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=84352> diakses pada tanggal 13 Juli 2009. [29] Lihat laporan BBC yang berjudul Pengiriman TKI Masih Terjadi yang dapat diakses dalam <http://www.bbc.co.uk/indonesian/indonesia/story/2009/07/090701_tki.shtml> diakses pada 16 Juli 2009. [30] Penggunaan istilah “tak berdokumen” ini dimaksudkan untuk mengurangi sentimen negatif yang diakibatkan oleh istilah “ilegal” sebagaimana yang marak digunakan di Indonesia. Selain itu, Pasal 5 CMW pun menggunakan istilah “irregular” yang berarti “(a) . . . if they are authorized to enter, to stay and to engage in a remunerated activity in the State of employment pursuant to the law of that State and to international agreements to which that State is a party; (b) . . . if they do not comply with the conditions provided for in subparagraph (a) of the present article.” Penggunaan istilah ini pun dapat diartikan sebagai penegasan akan natur pelanggarannya yang hanya bersifat administratif belaka – bukan pidana. Sebagai konsekuensinya, penahanan terhadap mereka pun harus dipisahkan dari para pelaku kejahatan pidana. Lihat Administrative Detention of Migrants, paper yang didasarkan laporan Special Rapporteur of Migrants, E/CN.4/2003/85, Artikel dapat ditemukan di: <http://www2.ohchr.org/english/issues/migration/taskforce/docs/ administrativedetentionrev5.pdf>. [31] Persoalan migrasi adalah sebuah persoalan yang tidak dapat dihentikan oleh apapun. Terutama ketika keadaan di dalam negeri tergolong suram. Sehingga sangatlah tepat ketika blog YouNotSneaky.blogspot.com yang dikutip oleh the Economist menanyakan: “[h]ow much of a jerk do you have to be to opposse immigration?” Adapun hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara memanfaatkannya secara maksimal mengingat akibat positif-nya bagi negara berkembang, sebagaimana dikatakan oleh Lant Pritchett dari Universitas Harvard, dapat melampaui kombinasi dari segala bentuk bantuan internasional yang ada saat ini. Lihat laporan khusus the Economist yang berjudul Open Up pada tanggal 3 Januari 2008 yang dapat ditemukan di <http://www.economist.com> [32] Hal ini dikarenakan bila kita memahami hukum internasional dapat menyadari bahwa sebetulnya sudah cukup lama status keimigrasian seseorang bukanlah alas yang legal bagi perlakuan yang anti HAM. Lihat misalnya Sarah Cleveland, “Legal Status and Rights of the Undocumented Workers,” 99 American Journal of International Law 460 (2005); Beth Lyon, “New International Human Rights Standard on Unauthorized Immigrant Worker Rights: Seizing an Opportunity to Pull Government Out of Shadows,” dalam Anne Bayefsky (ed.), Human Rights and Refugee, Internally Displaced Persons and Migrant Workers, Belanda: Koninklijke Brill, 2005. hlm. 554-66; Laurie Berg, “At the Broder and between the Cracks: The Precarious Position of Irregular Migrant Workers under International Human Rights Law,” dalam 8 Melbourne Journal of International Law 1 (2007). [33] Lihat juga Depnakertrans bentuk Tim negosiator untuk membahas review MoU TKI di Malaysia dalam <http://www.nakertrans.go.id/news.html,253,naker> yang diakses pada tanggal 16 Juli 2009. [34] Depnakertrans bentuk Tim negosiator untuk membahas review MoU TKI di Malaysia dalam <http://www.nakertrans.go.id/news.html,253,naker> yang diakses pada tanggal 16 Juli 2009. [35] Lihat Migration in an Interconnected World: New Direction for Actions, dapat ditemukan di <http://www.gcim.org>. [36] Beth Lyon, “The Unsigned . . . op. cit. hlm. 46-9. [37] Lihat 2008 Rekomendasi CERD kepada Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. [38] Tribun Jabar, Senin, 19/11/2007. [39] Pasal ini berbunyi: “’treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation . . .”, 1158 UNTS 331. [40] Lihat Anthony Aust, Handbook of International Law, New York: Cambridge University Press, 2005. hlm. 55-7. [41] KOMPAS.com, TKI Tewas Dianiaya Majikan di Arab Saudi, diakses pada 24 Juli 2009 di: <http//internasional.kompas.com/read/xml/2009/07/24/05432895>. [42] Daftar instrumen hukum internasional yang terkait dengan migrasi dan tenaga kerja dapat ditemukan, misal, dalam The ILO Multilateral Framework on Labor Migration: Non-Binding Principles and Guidelines for a Rights-Based Approach to Labour Migration, Jenewa: International Labor Office, 2006. Bagian Annex I di hlm. 33-4. Dokumen ini dapat dibaca secara gratis dalam <http://www.ilo.org/public/ english/protection/migrant/download/multilat_fwk_en.pdf> [43] Daftar instrumen ILO yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dapat ditemukan di: < http://www.ilo.org/ilolex/english/newratframeE.htm > [44] Lihat <http://www.ilo.org/ilolex/english/newratframeE.htm> [45] Ini dibuktikan oleh penundaan yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri yang sejak tahun 2007 mengklaim akan segera meratifikasi CMW lihat Indonesia Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran dapat dibaca dalam <http://www.antara.co.id/view/?i=1171531212&c=NAS&s=> yang diakses pada tanggal 16 Juli 2009. [46] Jorge Bustamante, Report of the Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants, A/HRC/4/ 24/Add.3. Dapat dilihat di <http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G07/112/04/PDF/ G0711204.pdf?OpenElement>. [47] Ceah Whui Ling, “Migrant Workers as Citizens within the ASEAN Landscape: International Law and the Singapore Experiment,” 8 Chinese Journal of International Law 207 (2009). [48] Lihat kumpulan tulisan dalam Rodolfo Severino et. al., Framing the ASEAN Charter: An ISEAS Perspective, Singapore: ISEAS Publication, 2005. [49] Simon Chesterman, “Does ASEAN Exist: The Association of Southeast Asian Nations as Legal Person,” paper yang dipersembahkan di Seminar Asian Law Institute yang diselenggarakan pada 22-3 Mei 2008 di Singapura. [50] Terlepas dari ketiadaan kekuatan hukum yang bersifat mengikat, Deklarasi ini mengakui akan adanya hak-hak dasar bagi para pekerja migran tak berdokumen. Dokumen dapat ditemukan dalam <http://www.12thaseansummit.org.ph/innertemplate3.asp?category=docs&docid=23> [51] Marwaan Macan-Markar, “Southeast Asia: Regional Rights Body Dismissed as ‘Toothless,’” Global Information Network, 29 September 2009. Diakses dari <http://proquest.umi.com/ pqdweb?did=1786322831&sid=1&Fmt=3&clientId=77199&RQT=309&VName=PQD>. [52] Lihat Terms of Reference of ASEAN Intergovermental Commission of Human Rights, diadopsi pada sidang tingkat Menteri (19-20 Juli 2009) yang dapat ditemukan di: <http://www.asean.org/DOCTOR-AHRB.pdf>. [53] Lihat Termsak Chalermpalanupap, “10 Facts about ASEAN Human Rights Cooperation,” dalam <http://www.aseansec.org/HLP-OtherDoc-1.pdf>. [54] Lengkapnya lihat Permasalahan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri <http://bnp2tki.go.id/content/view/226/85/> diakses pada tanggal 17 Juli 2009. [55] Nicola Piper dan Robyn Iredale, “Identification of the Obstacles to the Signing and Ratification of the UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers: The Asia Pacific Perspective,” UNESCO Series of Country Reports on the Ratification of the UN Convention on Migrants UNESCO (2003). [56] Ibid. hlm. 23-4. [57] Ibid. hlm. 21. [58] Ibid. [59] Ibid. hlm. 23-5. [60] Philip Martin, Manolo Abella dan Elizabeth Midgley, “Best Practices to Manage Migration: The Philipines,” dalam 38 International Migration Review 1544 (2004). [61] Beth Lyon, The International Protection . . . op. cit. [62] Putusan dapat ditemukan di <http://www.corteidh.or.cr/seriea_ing/index.html> [63] Perlindungan bagi pekerja migran dalam kerangka Organisasi Negara-negara Amerika dapat dibaca laporan Special Rapporteur-nya yang berjudul Fourth Progress Report of the Rapporteurship on Migrant Workers and Their Families di <http://www.cidh.org/annualrep/2002eng/ chap.6.htm#I.%20%20%20%20%20%20%20%20INTRODUCTION> [64] Sarah Cleveland, “Legal Status . . . op. cit. hlm. 460 dst. [65] Jorge Bustamante, “Immigrant Vulnerabilities . . . op. cit. [66] The Pew Research Centre, World Publics Welcome Global Trade – But Not Immigration: 47-Nation Pew Global Attitudes Project, October 4, 2007. Dapat ditemukan di <http://www.pewglobal.org> [67] Gordon H. Hanson, The Economic Logic of Illegal Immigration, New York: Council on Foreign Relations, 2007. hlm. 19-21. [68] Tribun Jabar . . . op. cit. [69] Kantor Berita Antara, Jumhur: Semua Asuransi TKI Berengsek, dalam <http://www.antara.co.id/view/?i=1199882713&c=NAS&s=> yang diakses pada tanggal 17 Juni 2009. [70] Baca, misalnya, Premi Asuransi TKI Dipertanyakan, dalam <http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/10/01/brk,20061001-85125,id.html> diakses pada tanggal 16 Juni 2009; Rp. 364,9 Milyar Dipertanyakan Klaim Asuransi Tak Cair dalam <http://www.antara.co.id/view/ ?i=1247577027&c=EKB&s=BIS> yang diakses pada 18 Juli 2009. [71] Kantor Berita Antara,Jumhur: Semua Asuransi . . . op. cit. [72] Majalah Trust, Mengincar Rezeki Para TKI, dalam <http://www.majalahtrust.com/ekonomi/ keuangan/981.php> diakses pada tanggal 18 Juli 2009. [73] Adang Goni – bukan nama asli – seorang TKI di Korea Selatan, dalam wawancaranya kepada penulis berkeyakinan akan adanya upaya sistematis yang ditujukan untuk tidak diketahuinya nomor penting oleh para TKI. [74] Wawancara ini merupakan proyek awal penelitian terkait dengan Strategi Pemajuan Perlindungan HAM TKI di Luar Negeri yang dipimpin oleh Indra Permana yang diharapkan selesai pada pertengahan 2010. [75] Lihat juga misalnya laporan Amnesty Internasional yang berjudul Migrant Workers are also Human Beings yang dapat dibaca di <http://www.amnestyusa.org/ document.php?id=engasa250072006&lang=e> diakses pada tanggal 18 Juli 2009. [76] Rene E. Ofreneo dan Isabelo A. Samonte, “Empowering Filipino Migrant Workers: Policy Issues and Challenges,” International Migration Papers no. 62, Jenewa: International Labor Office, 2004. hlm. 1. yang dapat dibaca pada <http://www.ilo.org/public/english/protection/migrant/info/imp_list.htm> [77] Republic Act no. 8042 yang juga dikenal sebagai Magna Charta-nya para pekerja migran Filipina. [78] [79] Rene E. Ofreneo dan Isabelo A. Samonte, “Empowering Filipino . . . op. cit. hlm. 3. Untuk di Arab Saudi lihat laporan Human Rights Watch (2008) yang berjudul As If I Am Not Human: Abuses against Asian Domestic Workers in Saudi Arabia yang dapat ditemukan di <http://www.hrw.org/en/reports/2008/07/07/if-i-am-not-human-0>. [80] Lihat Staci Strobl, “Policing Housemaids: The Criminalization of Domestic Workers in Bahrain,” British Journal of Criminology 1 (2008). [81] Situasi kontemporer di Timur Tengah dapat dirujuk pada laporan khusus The Economist yang berjudul Waking from Its Sleep yang dimuat dalam edisi 25-31 Juli 2009. [82] Staci Strobl, “Policing Housemaids . . . op. cit. [83] Lihat studi Sabika al-Najjar, “Women Migrant Domestic Workers in Bahrain,” dalam International Migration Paper 47, Jenewa: International Labor Office, 2002. [84] Lihat BNP2TKI, BNP2TKI Gaet Australia untuk Pasar TKI dalam <http://bnp2tki.go.id/ content/view/1394/231/> yang diakses pada tanggal 17 Juli 2009. [85] Lihat Jennifer Gordon, “Transnational National Labor Citizenship,” dalam 80 Southern California Law Review 503 (2007). [86] Selanjutnya mengenai ini lihat Jennifer Gordon, Toward Transnational Labor Citizenship: Restructuring Labor Migration to Reinforce Workers’ Rights, A Preliminary Report on Emerging Experiments, dapat ditemukan di <http://www.law.berkeley.edu/files/Gordon_Transnatl_Labor_Final.pdf>. [87] Depkominfo, Presiden: Bentuk Sistem Deteksi Dini, dapat dibaca dalam <http://www.depkominfo.go.id/2009/06/11/presiden-bentuk-sistem-deteksi-dini-perlindungan-tki/> diakses pada tanggal 17 Juli 2009. [88] Lihat Wawasan Digital, Nakertrans bentuk Satgas perlindungan TKI dalam <http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=22826&Itemid=34> diakses pada 18 Juli 2009. [89] Lihat laporan Manado Post yang berjudul Atasi Calo TKI, BP3TKI Gaet Polda yang dapat dibaca pada <http://mdopost.com/news/ index.php?option=com_content&task=view&id=25324&Itemid=9> yang diakses pada 19 Juli 2009. [90] Istilah ini dinyatakan oleh para TKI yang baru pulang dari negara tempatnya bekerja yang diwawancarai oleh saya terkait dengan ketidaksukaan mereka terhadap BNP2TKI pada pertengahan bulan Juli 2007. Kebijakan-kebijakan BNP2TKI yang paling sering dikeluhkan oleh para TKI adalah terkait dengan “penjemputan paksa” terhadap mereka yang baru tiba di Bandara Indonesia. Adapun proses “penjaringan” dilakukan secara serampangan hanya didasarkan pada bahasa tubuh atau penampilan para penumpang oleh para “petugas” dengan seragam. Para TKI yang berhasil terjaring di pintu terminal kedatangan bandara langsung dibawa ke tempat penampungan yang memiliki bangunan seperti penjara. Kemudian di situ mereka ditahan untuk menunggu kuota mobil antaran ke jurusannya penuh terlebih dahulu. Ketentuan ini diberlakukan dengan tidak ada pengeculian. Seorang TKI yang baru pulang dari Korea Selatan mengaku bahwa penjemputan oleh keluarganya sendiri pun tidak bisa dijadikan sebagai pengecualian. Sehingga, para TKI yang memiliki tujuan yang sepi akan lama masa tunggunya. Untuk antaran tersebut TKI dikenakan ongkos yang jauh di atas normal. Sesampainya di tempat tujuan, tuan rumah yang ada diminta untuk menandatangani pernyataan dan menyerahkan fotokopi identitas sebagai bukti bahwa antaran telah sampai secara selamat. Sebagai jalan keluarnya para TKI yang sudah tahu mengalihkan tujuan pulangnya – menuju bandara yang belum ada penjagaan BNP2TKI. Pengaduan ini sangat sering diterima oleh IMR. Atas keadaan ini IMR saat ini sedang berupaya menggalang dukungan untuk menghapus kewenangan BNP2TKI terkait dengan persoalan ini. Untuk informasi lebih lanjut mengenai ini dapat menghubungi Indra Permana selaku Program manajernya <[email protected]>. [91] [92] Lihat bagian menimbang pada Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2006 tentang BNP2TKI. Lihat Peraturan Presiden no. 81 tahun 2006 sebagai dasar pembentukannya. Untuk aktifitasnya lihat aktifitas BNP2TKI yang cenderung lebih mendekati katogori sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada situs resminya <http://www.bnp2tki.go.id> [93] Lihat KapanLagi.com, BNP2TKI Berjalan Sesuai UU dapat dibaca dalam <http://www.kapanlagi.com/h/0000270072.html> yang diakses pada 16 Juli 2009. [94] Pardjoko Midjan, “Pembagian Tugas Penanganan TKI dan Pekerja Bermasalah,” dalam Situs Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Sosial Rakyat yang diakses pada 20 Juli 2009 di < http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi6/tkib_april2008.pdf>. [95] TKI Perlu Perlindungan Sistematis dalam <http://kabarnusantara.com/ekonomi-a-bisnis/ 546-tki-perlu-perlindungan-secara-sistematis> yang diakses pada 16 Juli 2009. [96] Pardjoko Midjan, Pembagian Tugas Penanganan TKI . . . op. cit. [97] Ibid. [98] Teks UU ini dapat ditemukan di <http://www.bnp2tki.go.id/content/view/116/163/> [99] Kantor Berita Antara, Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materil UU TKI dalam <http://www.antara.co.id/view/?i=1176358681&c=NAS&s=> yang diakses pada tanggal 18 Juni 2009. [100] Putusan (019-020) PUU III 2005 dapat di-download di <http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/ putusan_sidang_eng_putusan%20(019-020)%20PUU%20III%202005%20(UU%20TKI%20di%20luar%20negeri)%20-%20Englis [101] ATKI, UU TKI Harus Diamandemen dalam <http://atkijakarta.cmsindo.com/ index.php?option=com_content&view=article&id=19:uu-tki-harus-diamandemen&catid=13:beritamigrant&Itemid=2> diakses pada tanggal 19 Juli 2009. [102] Okezone.com, Serikat TKI Menentang Rencana Revisi UU TKI dalam <http://news.okezone.com/read/2008/10/19/1/155318/1/serikat-tki-menentang-rencana-revisi-uu-tki> yang diakses pada 19 Juli 2009. [103] UU TKI Bagian menimbang huruf g. [104] UU TKI Pasal 7 huruf e. [105] Lihat UU TKI mulai dari bab IV. [106] Lihat UU TKI bab VI. [107] Sebagai contoh lihat kalimat pasal 79 “[d]alam rangka pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri, Perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri”. Dan pengaturan mengenai perlindungan hanya mencakup satu bab saja. Ini berbeda dengan bagian proses penempatan yang memuat pengaturan secara detail, misal jumlah uang yang harus disediakan oleh pengusaha pengiriman TKI (pasal 13). [108] Untuk perkembangan sistem pendidikan hukum Indonesia dapat dilihat Teuku Mohammad Radhie, “Legal Science in Indonesia,” dalam Koentjaraningrat (ed.), The Social Sciences in Indonesia, Jakarta: LIPI, 1979. hlm. 339 dst. [109] Lihat Math Noortmann, “Indonesia’s Law School in Need of Radical Reform,” Jakarta Post 7 Juli 2007. Saya mengucapkan terima kasih kepada Profesor Noortmann atas kesediaannya untuk memberikan kejelasan atas polemik terkait dengan artikel ini. [110] Lihat The Economist, The Brains Bussiness: A Survey of Higher Education, 20 September 2005. hlm. 50 dst. [111] Terlepas dari rendahnya produktivitas publikasi Profesor Kusuma-Atmadja pada 1 Januari 2004 tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Asian Yearbook of International Law yang dipublikasikan di bawah the Foundation for the Development of International Law in Asia (FIDA). Untuk biografinya dapat dilihat pada <http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/mochtar-kusumaatmadja/ index.shtml>. [112] Profesor Djalal memiliki publikasi yang cukup banyak dalam bentuk artikel yang kemudian dikompilasi menjadi buku, di antaranya, adalah Indonesia and the Law of the Sea, Jakarta: CSIS, 1995 dan Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned, Jakarta: the Habibie Center, 2002. [113] UNCLOS mulai dibuka untuk ditandatangani sejak 19 Desember 1982 dan berlaku pada 16 November 1994. [114] Hikmahanto Juwana, Ph.D.: Hukum Internasional Menjadi Hukum Rimba, dapat ditemukan di: <http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/28/hikmahanto-juwana-phd-hukum-internasional-menjadihukum-rimba/> [115] Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: Universitas Indonesia, 2007. hlm. 4. [116] Malahan masyarakat hukum internasional di Cina, India dan Singapura memiliki jurnal yang berkualitas internasional. Lihat daftarnya di <http://dilafoundation.org/>. [117] Informasi ini diperoleh dari WorldCat: <http://www.worldcat.org/wcpa/ow/62150324> pada tanggal 3 Juli 2009. [118] Bagir Manan et. al., Perkembangan Pemikiran dan Peraturan HAM, Bandung: Yayasan HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2001. [119] Suparman Marzuki et. al (eds.), Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. [120] Lihat Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M. Zen (eds.), Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ausaid, YLBHI, PSHK dan IALDF, 2009. [121] Lihat di: <http://www.ilo.org/ilolex/english/newratframeE.htm>. [122] Wawancara yang dilakukan oleh Pranoto Iskandar pada tanggal 27 Juli 2009 oleh penulis terhadap Yuni Asrianti, Koordinator Liaison Unit Jakarta, dari Institute for Migrant Workers, Jakarta. [123] Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, 2006. hlm. 173-5. [124] Lihat Hilary Charlesworth, “Feminist Methods in International Law,” 93 American Journal of International Law 379 (1999). [125] Philip Allot, Eunomia: New Order for a New Order, Oxford University Press, 2001. hlm. xxvii. [126] Philip Allot, The Health of Nations: Society and Law Beyond the State, New York: Cambridge University Press, 2004. Bagian Ketiga. [127] Robert Jackson, “Introduction: Sovereignty at the Millenium,” dalam Robert Jackson (ed.), Sovereignty at the Millenium, Oxford: Blackwell, 1999. hlm. 1. [128] John H. Jackson, “Sovereignty-Modern: A New Approach to an Outdated Concept,” dalam 97 American Journal of International Law 786 (2003). [129] Lihat Pasal 2 Piagam PBB. [130] Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, Oxford: Oxford University Press, 2003. hlm. 268. [131] Philip Allot, Eunomia . . . op. cit. hlm. 302. [132] Michael W. Reisman, “Sovereignty and Human Rights in Contemporary International Law,” dalam Gregory H. Fox dan Brad R. Roth (eds.), Democratic Governance and International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2000. hlm. 239-58. [133] Lihat pasal 15(4) Konstitusi Rusia yang memberikan supremasi hukum internasional dibanding hukum nasional. Lihat juga China Mieville, Between Equal Rights: A Marxist Theory of International Law, Boston: Brill, 2005. [134] Lihat Thomas M. Franck, Fairness in International Law and Institutions, Oxford: Oxford University Press, 1995. [135] Rosalyn Higgins, The Development of International Law through the Political Organs of the United Nations, Oxford: Oxford University Press, 1969. hlm. 61. [136] Boutros-Boutros Ghali, An Agenda For Peace: Preventive Diplomacy, Peacemaking, and Peacekeeping, New York: United Nations, 1992. hlm. 9. [137] ICISS, The Responsibility to Protect, Ottawa: IDRC, 2001. [138] Laporan mengenai ini dapat ditemukan di: <http://reliefweb.int/rw/RWFiles2009.nsf/ FilesByRWDocUnidFilename/EGUA-7U6NSK-full_report.pdf/$File/full_report.pdf>. [139] Publikasi ini dapat ditemukan di <http://www.asil.org/files/asil_100_ways_05.pdf> [140] Publikasi ini dapat ditemukan di <http://www.un.org/un60/60ways_book.pdf> [141] David Martin, "Effects of International Law on Migration Policy and Practice: The Uses of Hypocrisy," 23 Internationall Migration Review 547 (1989). [142] Beth Lyon, “From Sanctuary . . . op. cit. hlm. 35-6. [143] Dikutip dalam Ibid. hlm. 35-6. [144] Antoine Pécoud dan Paul de Guchteneire, “Between Global Governance and Human Rights: International Migration and the United Nations,” dalam 8 Georgetown Jornal of International Affairs 115 (2007). hlm. 116. [145] Laporan akhirnya yang berjudul Migration in an Interconnected . . . op. cit. [146] Kunjungi situsnya <http://www.gmg.org> [147] Ini merupakan ringkasan dari argumentasi yang dikemukan dalam pada bab 3 Guide for Ratification of the International Convention of the Rights of All Migrant Workers and Members of Theirs Families yang disiapkan oleh The International Steering Committee for the Campaign for Ratification of the Migrant Rights Convention yang dapat ditemukan di <http://www.migrantrights.org> [148] Argumentasi yang diberikan di sini merupakan modifikasi dari argumentasi yang sebelumnya diberikan oleh Beth Lyon dalam “The Unsigned United Nations Convention . . . op. cit. [149] Adam B. Cox dan Eric A. Posner, “The Rights of Migrants,” dalam John M. Olin Law & Economics Working Papers no. 461 (2009). Dapat ditemukan di <http://www.law.uchicago.edu/Lawecon/ index.html>. Lihat juga Ryan Bubb, Michael Kremer, dan David Levine, “The Economics of Refugee Law,” Working Paper no. 27 (2007). Paper dapat ditemukan di <http://www.wcfia.harvard.edu/sites/default/files/ Kremer_Economics.pdf>. [150] CERD General Recommendation 30 para. 35. Pandangan ini pun dikuatkan oleh Advisory Opinion OC-18: Juridical Condition and Rights of the Undocumented Migrants, 17 September 2003 Pengadilan HAM Inter-Amerika (Inter-Am. Ct. H.R.) (Ser. A) No. 18, at paras. 109-110 (2003). [151] Ini berarti hak-hak dalam kelompok ini dimiliki oleh semua orang yang memiliki tanpa mempersoalkan batasan-batasan apapun, termasuk status keimigrasiannya. [152] International Covenant on Civil and Political Rights, Sept. 8, 1992, 999 United Nations Treaties Series (U.N.T.S.) 171, entered into force Mar. 23, 1976. Pasal 26; American Declaration on the Rights and Duties of Man Pasal II; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Jan. 3, 1976, 993 U.N.T.S. 3 Pasal 6; Komite PBB bagi Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya General Comment 20: Non-Discrimination in Economic, Social and Cultural Rights, E/C.12/GC/20, para. 30 (10 Juni 2009); InterAmerican Convention on Human Rights Pasal. 24 (1969); ICCPR Pasal 2(1). [153] [154] ICHR Pasal 1; ICCPR Pasal 2(1). United Nations Human Rights Committee, General Comment 15, The situation of aliens in accordance with the Covenant, 11/04/86, CCPR/C/27 paras. 1, 2, 4, 7, 8, dan 9; Advisory Opinion OC-18 (Juridical Condition and Rights of the Undocumented Migrants), (17 September 2003) Inter-Am. Ct. H.R. (Ser. A) No. 18, at paras. 109-110 (2003). [155] OC-18 para. 106. [156] OC-18 para. 108; Inter-Am. Ct. H.R., kasus “Five Pensioners”, Putusan pada 28 February, 2003, Series C No. 98, para. 136; kasus the Mayagna (Sumo) Awas Tingni Community; Putusan pada 31 Agustus 2001, para. 113; Kasus Ivcher Bronstein, Putusan pada 6 Februari 2001, Series C No. 74, paras. 136 and 137; Judicial Guarantees in States of Emergency (Pasal. 27(2), 25 dan 8 American Convention on Human Rights), Advisory Opinion OC-9/87 pada 6 Oktober 1987, Series A No. 9, para. 30; ICCPR Pasal 2(3); [157] ICHR Pasal 8(1). [158] ICCPR Pasal 8; OC-18 para. 157; CMW, G.A. res. 45/158, annex, 45 U.N. GAOR Supp. (No. 49A) at 262, U.N. Doc. A/45/49 (1990), mulai berlaku sejak 1 Juli 2003, Pasal 11. [159] OC-18 para. 157, CMW 25; ILO Convention Concerning Migrations in Abusive Conditions and the Promotion of Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers, diadopsi pada 24 Juni 1975, Pasal 9, dapat ditemukan di <http://www.ilo.org/ilolex/cgi-lex/convde.pl?C143>. [160] ICESCR Pasal 7(a)(i); CESCR General Comment 20 para. 30. [161] ICCPR Pasal 22; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 21 Desember, 1965, GA Res 20/2106, Pasal 5(3)(ii), berlaku semenjak 4 Januari 1969; ICESCR Pasal 8; CESCR General Comment 20 para. 30; ICHR para 16; OC-18 para. 157; CMW Pasal 26; ILO Committee on Freedom of Association, Kasus No. 2121 (Spanyol): Definitive Report, Complaint against the Government of Spain presented by General Union of Workers of Spain (UGT), dalam 327th Report of the Committee on Freedom of Association, International Labour Office Governing Body, GB .283/8, 283rd Session (Maret 2002) 164; Kasus No. 2227 (Amerika Serikat): Report in Which the Committee Requests to be Kept Informed of Developments, Komplain terhadap pemerintah Amerika Serikat oleh the American Federation of Labor and the Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO) dan the Confederation of Mexican Workers (CTM), dalam 332nd Report of the Committee on Freedom of Association, GB.228/7 (Part II), 288th Session (November 2003) 142, dapat ditemukan di <www.ilo.org/public/english/ standards/relm/gb/docs/gb288/pdf/gb-7.pdf>. [162] ILO Case No. 2727. [163] OC-18 para. 157; ICMW Pasal 25(1)(a); ILO 143 Pasal 9. [164] ICESCR art. 7(d); CESCR General Comment 20 para. 30; ICMW Pasal 25(1)(a); OC-18 para. 157; ILO 143 Pasal 9. [165] ICESCR Pasal 7(b); CESCR General Comment 20 para. 30; OC-18 para. 157; ICMW Pasal 25(1)(a); ILO 143 Pasal 9. [166] 2008 Laporan the UN Special Rapporteur bagi HAM Migrant Jorge Bustamante Report on Mission to US, A/HRC/7/12/Add.2 para 130 (5 Maret 2008). [167] ICESCR Pasal 12(b); CESCR General Comment 20 para. 30. [168] ICESCR Pasal 12(c); CESCR General Comment 20 para. 30. [169] OC-18 para. 157. [170] ICERD para. 5(e); Concluding Observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination: United States of America, CERD/C/USA/CO/6 para. 28 (Feb. 2008) [171] ICESCR Pasal 9; CESCR General Comment 20 para. 30; OC-18 para. 157; ICMW Pasal 27(1); ILO 143 Pasal 9. [172] [173] [174] [175] [176] [177] [178] ICMW Pasal 27(2). 2008 Recommendasi CERD untuk Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. 2008 Recommendasi CERD untuk Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. 2008 Recommendasi CERD untuk Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. 2008 Recommendasi CERD untuk Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. 2008 Recommendasi CERD untuk Amerika Serikat para. 28; OC-18 paras. 9-10, 104. United Nations Convention against Transnational Organized Crime, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. [179] ICMW Pasal 51-52. [180] ICMW Pasal 49(2); ILO 143 Pasal 8(1). [181] ICMW Pasal 53(2). [182] ICMW Pasal 44 (“States parties shall take measures that they deem appropriate”); ILO 143 Pasal 13 (states parties “may” “take all necessary measures”). [183] ICMW Pasal 54; Gaygusuz v. Austria , 39/1995/545/631, Dewan Eropa: European Court of Human Rights, 23 Mei 1996, dapat ditemukan di <http://www.unhcr.org/refworld/docid/3ae6b6f12c.html>. [184] ICMW Pasal 54; ILO 143 Pasal 8(2). [185] Lihat David Weissbrodt, U.N. Special Rapporteur, Working Paper on the Rights of NonCitizens; Appendix on Issues Relating to Migrants, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1999/7/Add.1 (1999). Yang dapat dibaca di <http://www1.umn.edu/humanrts/demo/noncitMay99-append.html> [186] Lihat Virginia A. Leary, “Lessons from the Experience of the International Labour Organisation”, dalam Philip Alston (ed.), The United Nations and Human Rights: A Critical Apprissal, Oxford: Clarendon Press, 1992. hlm. 580-619. [187] Faruk Sen dan Sedef Koray, “Migrant Workers’ Rights,” dalam Janusz Symonides (ed.) Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO Publishing, 2000. hlm. 331. [188] GA Res 60/225. Resolusi dapat ditemukan di <http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/ docs/A.RES.60.251_En.pdf> [189] Pembahasan selanjutnya mengenai persoalan pendiriannya dapat dibaca Philip Alston, “Reconceiving the UN Human Rights Regime: Chalenges Confronting the New UN Human Rights Council,” 7 Melbourne Journal of International Law 185 (2006). [190] Lihat pasal 68 Piagam PBB. [191] Ini tidak bisa dilepaskan dari perannya yang menggantinkan Komisi HAM PBB sebagai the Charter-based Organ yang dipandang sudah kurang memadai untuk menghadapi persoalan sekarang. Lihat Philip Alston, “Reconceiving the UN . . . op. cit. hlm. 187. Kunjungi juga situs resminya: <http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/> [192] Lihat juga Fact Sheet no. 27 yang diterbitkan oleh PBB yang sedang dalam revisi. [193] Lihat: <http://www2.ohchr.org/english/bodies/chr/complaints.htm> [194] Daftar negara-negara yang masuk ke dalam mekanisme ini dapat dilihat di <http://www2.ohchr.org/english/bodies/chr/special/countries.htm> [195] Daftar Special Rapporteur dapat ditemukan di <http://www2.ohchr.org/english/bodies/ chr/special/themes.htm> [196] Pembandingan atau “rivalitas” mengenai kedua mekanisme lihat Sir Nigel Rodley, “United Nations Human Rights Treaty System Bodies and Special Procedures of the Commission on Human Rights: Complementarity or Competition,” dalam 25 Human Rights Quarterly 882 (2003). [197] Kritik terhadap kritik dan pesimisme Satterthwaite atas harapan para sarjana dan advokat pekerja migran terhadap CMW lihat Beth Lyon, “The Unsigned . . . op. cit. hlm. 49 dst. [198] Pembahasan lebih lanjut mengenai pendekatan ini lihat Margaret Satterthwaite, “Intersecting Protection, Migrating Women,” dalam 8 Yale Human Rights & Development Law Journal 1 (2005). [199] Pasal 72 (1). [200] Pasal 72 (2) (b). [201] Ibid. [202] Pasal 72 (2) (a). [203] Ibid. [204] Ibid. [205] Konvensi Pasal 72 (5) (a). [206] Ibid. Pasal 72 (5) (c). [207] Ibid. Pasal 72 (7). [208] Ibid. Pasal 72 (8). [209] CMW/C/L.1. Rules of Procedure, Rule 2. [210] Ibid. Rule 3. [211] Ibid. Rule 22. [212] Ibid. Rule 26. [213] Ibid. Rule 27. [214] Ibid. Rule 28 dan 29. [215] Konvensi. Pasal 74 (1). [216] Ibid. Pasal 74 (2). [217] Ibid. Pasal 74 (3). [218] Ibid. Pasal 74 (6). [219] Ibid. Pasal 74 (7). [220] Ibid. Pasal 74 (8). [221] HRI/GEN/Rev.2/3. para. 3. hlm. 123. [222] Ibid. para. 4. hlm. 123. [223] Konvensi Pasal 76 (2). [224] Ibid. Pasal 76 (1) (a). [225] Ibid. Pasal 76 (1) (b). [226] Ibid. Pasal 76 (1) (c). [227] Ibid. Pasal 76 (1) (d). [228] Ibid. Pasal 76 (1) (e). [229] Ibid. Pasal 76 (1) (f). [230] Ibid. Pasal 76 (1) (g). [231] Ibid. Pasal 76 (1) (h). [232] Ibid. Pasal 76 (2). [233] Ibid. Pasal 77 (8). [234] Ibid. Pasal 77 (2). [235] Ibid. Pasal 77 (3). [236] Ibid. Pasal 77 (5). [237] Ibid. Pasal 77 (6). [238] Ibid. Pasal 77 (6). [239] Kasus ini dimuat dalam 332nd Report of the Committee on Freedom of Association, GB.228/7 (Part II), 288th Session (November 2003) 142, dapat ditemukan di <www.ilo.org/public/english/ standards/relm/gb/docs/gb288/pdf/gb-7.pdf>. [240] Selanjutnya mengenai Komite Ahli ini dapat mengunjungi situs: <http://www.ilo.org/ global/What_we_do/InternationalLabourStandards/ApplyingandpromotingInternationalLabourStandards/ CommitteeofExperts/lang--en/index.htm>. [241] Selanjutnya mengenai Komite ini dapat mengunjungi situs: <http://www.ilo.org/global/ What_we_do/InternationalLabourStandards/ApplyingandpromotingInternationalLabourStandards/CCAS/lang-en/index.htm>. [242] Kunjungi situs masing-masing Komite di atas. [243] Pasal 24 dan 25 Konstitusi ILO. [244] Lihat Pasal 26-34 Konstitusi ILO. [245] Lihat juga <http://www.ilo.org/global/What_we_do/InternationalLabourStandards/ ApplyingandpromotingInternationalLabourStandards/CFA/lang--en/index.htm>. [246] Teks Konvensi dapat ditemukan di <http://www.echr.coe.int/nr/rdonlyres/ d5cc24a7-dc13-4318-b457-5c9014916d7a/0/englishanglais.pdf>. [247] Teks Konvensi dapat ditemukan di <http://conventions.coe.int/Treaty/EN/Treaties/ Html/093.htm>. [248] Lihat Faruk Sen dan Sedef Koray, “Migrant Workers’ . . . op. cit. hlm. 332-6. [249] Kunjungi situs resmi Pengadilan Strasbourg di <curia.europa.eu/>. [250] Kunjungi situs resmi Pengadilan Uni Eropa di <www.echr.coe.int/>. [251] Mengenai hubungan antara keduanya lihat Guy Harpaz, “The European Court of Justice and Its Relations with the European Court of Human Rights: The Quest for Enhanced Reliance, Coherence and Legitimacy,” 46 Common Market Law Review 105 (2009). [252] Untuk koleksi kasus di Eropa dapat dilihat, antara lain, “Case Law,” 45 Common Market Law Review 499 (2008). [253] Pembahasan mengenai mekanisme perlindungan bagi migran di Amerika lihat Beth Lyon dan Soren Rottman, “The Inter-American Mechanisms,” dalam Joan M. Fitzpatrick (ed.), Human Rights Protection for Refugees, Asylum Seekers, and Internally Displaced Persons: A Guide to International Mechanisms and Procedure, New York: Transnational Publisher, 2002. hlm. 439-94. [254] Lihat Sarah Cleveland, “Legal Status and Rights . . . op. cit. [255] Antonio Augusto Cançado Trinidade, “The Humanization of Consular Law: The Impact of Advisory Opinion no. 16 (1999) of the Inter-American Court of Human Rights on International Caselaw and Practice,” 6 Chinese Journal of International Law 2 (2007). [256] Lihat situs resminya di <http://www.oas.org/consejo/CAJP/Migrant_default.asp>. [257] Untuk pembahasan lebih lengkap lihat Paul G. Lauren, “From Impunity to Accountability: Forces of Transformation and the Changing International Human Rights Context,” dalam Ramesh Thakur dan Peter Malcontent (eds.), From Sovereignty to International Accountability: The Search for Justice in A World of States, Tokyo, New York, dan Paris: United Nations University Press, 2004. hlm. 15-41. [258] David J. Bederman, Globalization and International Law, New York: Palgrave Macmillan dan , 2008. hlm. 38. [259] Malcolm N. Shaw, International Law, New York: Cambridge University Press, 2008. hlm. 271-2. [260] Elizabeth Evatt, “The Impact of International Human Rights on Domestic Law,” dalam Grant Huscroft dan Paul Risworth (eds.), Litigating Rights: Perspectives from Domestic Law and International Law, Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2002. hlm. 302. [261] James L. Cavallaro dan Stephanie Erin Brewer, “Reevaluating Regional Human Rights Litigations in the Twenty-Fisrt Century: The Case of the Inter-American Court,”102 American Journal of International Law 768 (2008). [262] Elizabeth Evatt, hlm. 302. [263] Pasal ini berbunyi: “States shall cooperate to bring an end through lawful means any serious breach within the meaning of article 40.” A/56/49(Vol. I)/Corr. 4. [264] Report of the International Law Commission on the Works of Its Fifty-thrid Session, hlm. 114. Laporan ini juga dimuat dalam Yearbook of the International Law Commission, vol. II (2001). [265] Ibid. [266] Ibid. [267] Ayat 2 Pasal 7 UU HAM. [268] Pasal 8 UU HAM. [269] Lihat juga UNESCO, Information Kit on the United Nations Convention on Migrant Rights di < http://www.unesco.org/most/migration/convention/>. [270] Luca Bicocchi, Rights of All Migrant Workers (Part III of the Convention) Travaux Préparatoires, hlm. 1 <www2.ohchr.org/english/issues/migration/taskforce/docs/draftinghistoryrev1.doc> [271] Nama lengkapnya adalah The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Theirs Families. [272] A/Res./45/158. [273] Pada saat ini situasi negara-negara yang menjadi peserta dan yang baru menandatangani dapat ditemukan di <http://portal.unesco.org/shs/en/ev.phpURL_ID=3693&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html>. [274] UNESCO, Information Kit . . . op. cit. [275] Lihat Luca Bicocchi, Rights of . . . op. cit. hlm. 3 dst. [276] Pasal 2(1) menyatakan ‘the term “migrant worker” refers to a person who is to be engaged, is engaged or has been engaged in a renomerated activity in a State of which he or she is not a national’. [277] UNESCO, Information Kit . . . op. cit. [278] Lihat CMW Pasal 1(2) yang dapat ditemukan di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/ m_mwc_p1.htm>. [279] Lihat hlm. 21 di bawah. [280] Lihat Preambul CMW di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwcpre.htm>. [281] Lihat pembahasan Luca Bicocchi, Rights of . . . op. cit. [282] Lihat bagian III CMW di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p3.htm> dan pembahasan awalnya di Luca Bicocchi, Rights of . . . op. cit. hlm. 3 dst. [283] Lihat bagian ini di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p5.htm>. [284] Lihat bagian ini di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p6.htm>. [285] Lihat bagian ini di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p7.htm>. [286] Lihat bagian ini di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p8.htm>. [287] Lihat bagian ini di <http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/m_mwc_p9.htm>. [288] Lihat rekaman negara-negara peratifikasi instrumen HAM internasional di <http://untreaty.un.org/English/>. [289] Lihat di atas mengenai urgensi hukum internasional bagi TKI.