asas pemisahan horizontal dalam pemanfaatan ruang bawah tanah

advertisement
ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM PEMANFAATAN RUANG
BAWAH TANAH BERDASARKAN HUKUM PERTANAHAN INDONESIA
(TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 740 K/PDT/2009,
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 292 PK/PDT/2009,
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2030 K/PDT/2003)
Ires Amanda Putri
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai asas pemisahan horizontal dalam pemanfaatan ruang bawah
tanah di Indonesia serta pengaruhnya terhadap hak pemilik permukaan tanah yang juga dilihat
dari dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus sengketa yang berkaitan dengan hal
ini. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah
pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia saat ini belum ada peraturan yang mengatur khusus
dan sebagai akibat dari berlakunya asas pemisahan horizontal maka dimungkinkan adanya
pembedaan kepemilikan antara permukaan tanah dengan ruang di bawah tanahnya, dengan tidak
merugikan hak pemilik permukaan tanah karena apabila hal tersebut dilakukan maka akan
termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum.
Kata Kunci :
Tanah, Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah, Asas Pemisahan Horizontal.
Abstract
This article discusses about the horizontal separation principle in the use of the space beneath
The Earth’s Surface in Indonesia and its influence on the owner of the surface rights of the land,
which is also seen from the consideration of the Supreme Court Decision relating to this. The
method used is juridicial normative. The result of this research is by this time, the use of the
beneath The Earth’s Surface in Indonesia has no specific regulations and as a result of the
horizontal separation principle of makes it possible if the ownership between the surface of the
land with space under the ground be divided, with no prejudice to the surface of the land owner’s
right as if it made it will be included in the tort.
Key Words :
Land, The Use of Space Beneath The Earth’s Surface, Horizontal Separation Principle.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
1. Pendahuluan
Hukum pertanahan di dunia mengenal dua macam asas mengenai tanah yang
memberikan pengaruh dalam bentuk kewenangan dan kepemilikan tanah.1 Asas pertama
dikenal sebagai asas perlekatan (acessie) yang menguraikan pengertian bahwa tanah tidak
hanya terbatas pada permukaan bumi saja tetapi juga apa yang berada di bawah dan
diatasnya karena seluruhnya adalah satu kesatuan yang melekat dan tidak dapat
dipisahkan. Pemilik hak atas tanah diberikan kewenangan yang sejalan dengan pengertian
tersebut, artinya, kewenangan dan kepemilikan hak atas tanah bukan hanya sebatas
permukaan tanah saja melainkan juga yang terkandung di bawahnya pula yang melekat
dan berdiri di atasnya. Kewenangan yang begitu luas dalam pemilikan tanah yang
menggunakan asas perlekatan tersebut didasarkan pada asas yang dikenal dalam hukum
Romawi, yaitu supefices cedit solo, dan selaras pula dengan adagium hukum yang
menyatakan cujus est solum, ujus est usque ad coelum et de inferos yang memiliki arti
bahwa barang siapa memiliki tanah, dia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya
sampai ke surga, dan segala apa yang dibawahnya sampai ke pusat bumi.2
Asas yang kedua adalah asas pemisahan horizontal.3 Dalam asas ini, pengertian
tanah hanya meliputi permukaan tanah saja sehingga apa yang melekat atau berdiri di
atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan bentukbentuk yang terpisah.4 Ter Haar mengemukakan pendapatnya mengenai asas ini,
menurutnya, tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat padanya atau pemilikan atas
tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik atas tanah dan
bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.5 Mengacu kepada pengertian dari asas
pemisahan horizontal dan pendapat Ter Haar, pemberian kewenangan kepada pemegang
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.20.
2
Eman Ramelan, “Pidato Pengukuhan : Asas Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Tanah Nasional”
http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/01/19/asas-pemisahan-horizontal-dalam-hukum-tanah-nasional-bagian-i/
diunduh 13 September 2012
3
Ibid.
4
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada
Tanah Dalam KonsePsli Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 70.
5
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Jogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 54
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
hak atas tanah hanya sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun
yang melekat di atas tanah tersebut berbeda hak kepemilikannya dengan tanah tersebut
dan hal ini membuka kemungkinan bahwa individu yang menjadi pemegang hak atas
benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan individu yang memegang hak atas
tanah.
Hukum Pertanahan Indonesia memiliki sejarah tersendiri untuk menetapkan asas
mana yang menjadi dasar dalam pengaturan mengenai tanah di Indonesia. Sebelum
tahun 1960, Indonesia memiliki dualisme di bidang hukum pertanahan sebagai warisan
dari zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, terdapat pembagian golongan yang
didasarkan pada pembagian golongan kependudukan yang ditetapkan dalam pasal 131
dan 163 IS (Indische Staats Regeling). Golongan Eropa dan Timur Asing tunduk pada
ketentuan Buku II Burgerlijke Wetboek (BW) yang berisi tentang hukum benda, yang
dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan (acessie) seperti yang diatur
dalam pasal 500, 506 dan 507 BW, sedangkan golongan pribumi diberlakukan hukum
adat yang memberlakukan asas pemisahan horizontal.6
Tanah merupakan harta yang paling tinggi nilainya dalam hukum adat karena
tanah adalah bentuk kepemilikan dan pengikatan terhadap tempat bermukim yang dalam
masyarakat adat merupakan faktor penentu mereka sebagai bagian dari masyarakat adat.7
Asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum adat inilah yang kemudian diadopsi
dalam hukum pertanahan Indonesia yang diwujudkan dalam pembentukan Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043) yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).
6
Soepomo, Sedjarah Politik Hukum Adat, (Jakarta: Djambatan, 1954), hlm. 85.
7
Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia, cet.3
(Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 108, memberikan definisi masyarakat adat sebagai masyarakat-masyarakat
hukum adat seperti di Jawa, marga di Sumatera, Kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas
tanah dan air bagi semua anggotanya … Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal atau bilateral)
mempengaruhi sistem pemerintahannya, terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, di
mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Sebagai peraturan hukum pertanahan di Indonesia, UUPA harus bersifat nasional dari
segi formil maupun materil.8 Dari segi formal, hukum tanah nasional harus dibentuk oleh
perumus undang-undang di Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam bahasa
Indonesia, berlaku bagi semua wilayah di Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada
di Indonesia9, sedangkan dari segi materiil, bentuk tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan
isi UUPA harus bersifat nasional.10 Dalam UUPA, pengertian tanah tercantum dalam
Pasal 1 ayat (4) yaitu “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air” 11
Pembentukan UUPA juga merupakan unifikasi di bidang hukum agraria yang
mengakhiri dualisme dalam hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat sebagai
dasar dari pembentukan hukum pertanahan di Indonesia yang terkandung dalam Pasal 5
UUPA yang berbunyi :
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.12
Hukum adat dipilih sebagai dasar dari pengaturan hukum pertanahan Indonesia
karena Hukum Adat yang merupakan hukum asli dari rakyat Indonesia hidup dan
terbentuk dari perkembangan masyarakat asli Indonesia.13 Hukum adat bentuknya tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu, sifat kemasyarakatan dan
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, cet.X, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 53.
9
Ibid, hlm. 162.
10
Ibid.
11
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, No. 5 Tahun 1960, LN
1960/104, TLN NO. 2043, Psl 1 Ayat (4).
12
Ibid., Psl 5
13
Maria S. Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya, (Jakarta: Kompas,
2008), hlm. 58.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Hukum adat yang berlaku dalam UUPA bukanlah hukum adat yang murni melainkan
hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas kesatuan bangsa, sosialisme Indonesia, peraturan-peraturan yang
tercantum dalam UUPA, peraturan-peraturan perundangan lainnya dan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.14 Maka dari itu, hukum agraria nasional mengadaptasi
konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi normanorma hukum yang tertulis, yang diisusun menurut Sistem Hukum Adat tersebut dan
salah satu asas yang diambil dari Hukum Adat dalam pengaturan Hukum Tanah
Nasional, adalah asas pemisahan horizontal.
UUPA menentukan bahwa asas yang digunakan dalam hukum pertanahan di Indonesia
adalah asas pemisahan horizontal dalam pasal 4 ayat (2) yang berbunyi
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang
ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.15
Pemberlakuan asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia
memberikan pemisahan antara kepemilikan tanah dengan apa yang melekat di bawahnya
dan berada di bawahnya, hanya yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
saja yang dapat dimanfaatkan. Hal ini membatasi kewenangan pemilik hak atas tanah
dalam memanfaatkan tanah yang dimilikinya, karena pemanfaatan apa yang terkandung
di dalam tanah dan yang melekat di atasnya harus dapat dibuktikan bahwa memang dan
hanya yang berkaitan dengan penggunaan tanah tersebut.
Sebagai hasil dari pemberlakuan asas pemisahan horizontal ini, di Indonesia
dikenal berbagai macam hak untuk pemanfaatan atas tanah yang terpisah dari
kepemilikan atas tanah yang dimanfaatkan tersebut. Yang pertama, dalam pasal 28
sampai dengan pasal 34 UUPA dikenal Hak Guna Usaha (HGU) yang memberikan hak
untuk mempergunakan tanah negara dalam pengusahaan tanah di bidang perikanan,
14
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. V, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 16.
15
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 4 Ayat (2)
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
pertanian, perkebunan dan peternakan. Hak ini diberikan lewat penetapan pemerintah
yang berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun.16 HGU
membolehkan pemegang hak untuk membangun bangunan di atas tanah negara yang
berkaitan dengan pemanfaatan usaha tersebut, hanya saja, bangunan dan benda lain yang
ada di atasnya harus dibongkar dalam waktu satu tahun setelah masa berlakunya hak
tersebut habis dan tanah tersebut telah kembali menjadi tanah negara. Jika hal itu tidak
dilakukan, bangunan tersebut akan dibongkar oleh Pemerintah dengan biaya yang
dibebankan kepada pemilik bangunan. Apabila bangunan tersebut masih diperlukan,
kepada pemilik bangunan tersebut mendapatkan ganti rugi yang bentuk dan besarnya
didasarkan pada kesepakatan para pihak.17
Yang kedua, dalam pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA terdapat yang disebut
dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang memberikan hak untuk mendirikan dan/atau
memiliki bangunan diatas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30
tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.18 Yang ketiga,
terdapat Hak Pakai yang memberikan hak untuk memungut hasil dari tanah negara
ataupun hak milik individu.19 Yang terakhir adalah Hak Pengelolaan yang memberikan
hak untuk merencanakan dan menggunakan tanah untuk kepentingan menjalankan fungsi
Negara, maka dari itu hak ini hanya dapat diberikan kepada Birokrat Pemerintahan.20
Selain mengenai apa yang melekat di atas tanah dan telah diatur dengan berbagai
hak seperti yang telah diuraikan diatas, terdapat pula pemanfaatan untuk apa yang berada
di bawah tanah, dalam Pasal 5 UUPA yang merupakan bentuk dari penerapan asas
pemisahan horizontal ditentukan bahwa pemanfaatan bawah tanah hanya sekedar yang
berkaitan langsung dengan penggunaan tanah. Pemegang hak atas tanah memiliki
kewenangan terbatas atas apa yang terkandung di bawah tanah miliknya tersebut. Oleh
16
Ibid., Psl 29.
17
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. PP
Nomor 40 Tahun 1996, Psl 37.
18
Indonesia, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 35-
19
Ibid., Psl 41-43
40.
20
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria (Permenag) Nomor 9 Tahun 1965 Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan Tentang Kebidjaksanaan Selandjutnja, Psl 2.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
karena itu, jika di tubuh buminya terdapat kekayaan alam tidak menjadi bagian dari hak
yang dimilikinya tapi menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya, seperti yang
ditentukan dalam Pasal 8 UUPA. Pasal ini menentukan bahwa atas dasar hak menguasai
negara, diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang
angkasa. Pasal ini juga yang kemudian menjadi pangkal bagi lahirnya pengaturan di
bidang pertambangan.
Permasalahan mengenai pemanfaatan bawah tanah timbul pada saat ruang kosong
yang berada di bawah tanah dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa mempedulikan hak dari
pemilik tanah tersebut. Contoh yang dapat diambil adalah jika bawah tanah dimanfaatkan
sebagai jalur kabel listrik atau pipa gas. Kasus pelanggaran hak pemilik tanah yang
berkaitan dengan penggunaan ruang bawah tanahnya seperti ini banyak terjadi tanpa
adanya kejelasan mengenai perlindungan pemilik tanah tersebut. Pengaturan mengenai
pemberian hak pemanfaatan bawah tanah juga belum jelas karena yang telah diatur
hanyalah yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber mineral yang dituangkan secara
khusus dalam hukum pertambangan Indonesia. Tentunya ini bertolak belakang dengan
pengaturan mengenai hak-hak yang terkait dengan benda yang melekat di atas tanah
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahkan telah ada aturan khusus mengenai hakhak tersebut contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Milik,
Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.
2. Metode
Metode yang digunakan adalah metode yuridis-normatif untuk menganalisis mengenai
pemanfaatan ruang bawah tanah di Indonesia
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Asas Pemisahan Horizontal di Indonesia
Hukum perekonomian Adat definisinya adalah21 :
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.
3.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Hukum Indonesia yang mengatur hubungan hukum tentang hak-hak
kebendaan dan perekonomian, yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana-sini terdapat unsur
agama
Hukum Perekonomian Adat merupakan aturan-aturan Hukum Adat yang
mengatur cara bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidup keluarga rumah
tangganya di dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dalam hukum harta benda
adat, L.J. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa22 :
hukum adat tidak mengenal sistem pembagian benda (vermorgensrecht) menurut
hukum perdata barat (Burgerlijke Wetboek) atau Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), yang membagi dalam hukum harta mutlak yang disebut
“hukum kebendaan” yang mengatur hak-hak kebendaan dan hukum harta yang
relatif disebut “hukum perjanjian” yang mengatur tentang perhutangan dan
perikatan.
Harta benda yang diatur dalam hukum adat menurut Hilman Hadikusuma
adalah tidak semata-mata mengenai harta yang bernilai uang, tetapi juga
kekeluargaan, kebersamaan dan magis-religius. Begitu pula ia tidak membedakan
antara barang yang berwujud dan tidak berwujud, barang bergerak atau barang
tidak bergerak. Semua harta benda itu dilihat menurut apa adanya dan dibedakan
berdasarkan tanah dan bukan tanah. Jadi, sifatnya sederhana dan mengandung
asas
kekeluargaan,
keagamaan
dan
dipengaruhi
oleh
susunan
kemasyarakatannya.23
Arti tanah bagi masyarakat adat melahirkan suatu asas yang menentukan
kewenangan atas tanah dan benda yang melekat di atasnya dan melahirkan suatu
konsep kepemilikan harta benda tanah dan bukan tanah. Asas tersebut merupakan
asas pemisahan horizontal. Asas Pemisahan Horizontal merupakan asas yang
22
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradhya Paramita, 1976), hlm. 234.
23
Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, hlm.7.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
memisahkan kepemilikan dan kewenangan tanah dengan bangunannya.24 Jadi,
bagi masyarakat adat, kepemilikan tanah berbeda dengan kepemilikan benda
apapun yang melekat di atas tanah atau terkandung di dalam tanah. Asas
pemisahan horizontal ini berbanding terbalik dengan asas perlekatan yang
menganggap bahwa kepemilikan tanah merupakan satu kesatuan dengan
kepemilikan apa yang melekat dan terkandung di dalamnya.25
Asas pemisahan horizontal diterapkan dalam hukum pertanahan Indonesia
lewat bentuk-bentuk hak atas tanah contohnya Hak Sewa di Atas Tanah Milik
Orang Lain yang diatur dalam padal 44 UUPA. Hak sewa memberikan pemegang
haknya wewenang untuk membangun dan memiliki bangunan di atas tanah milik
pihak lain.26 Maka dari itu, hak sewa melahirkan adanya perbedaan kepemilikan
antara tanah dengan bangunan yang berdiri di atasnya dengan imbalan berupa
uang sewa yang dibayarkan kepada si pemilik tanah sesuai dengan aturan pasal 44
ayat 1 UUPA yaitu :
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia
berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan,
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.27
Hak sewa didasarkan pada perjanjian antara si pemilik tanah dengan
penyewa. Di Indonesia, seringkali perjanjian sewa-menyewa tidak dibuat tertulis
hanya berbentuk lisan dan mengandalkan kepercayaan saja. Sebenarnya, hal ini
tidak menyalahi aturan KUHPerdata, karena syarat sah perjanjian yang tertera
dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah28 :
24
Tim Pengkajian Bidang Hukum Adat Indonesia, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum
Adat Tahun 1984/1985, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1986), hlm. 209.
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta:
Djambatan, 2008), hlm. 266.
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya), hlm.
27
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl 44 ayat (1).
28
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 339.
297.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
1.
Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu.
4.
Sebab yang halal.
Hukum perjanjian Indonesia memberlakukan asas konsensualisme yang
memberikan pengertian bahwa, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan.29 Makna
kesepakatan dalam hal ini adalah kedua subyek yang mengikatkan diri ke dalam
perjanjian telah sepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian yang dikehendaki tersebut.30 Tidak ada aturan bahwa suatu perjanjian
harus dibuat tertulis sehingga apabila perjanjian sewa tanah hanya berbentuk
lisan, seperti yang banyak diterapkan di Indonesia maka hal ini dibolehkan dan
perjanjian tersebut dianggap sah selama syarat sah perjanjian terpenuhi. Hanya
saja, perjanjian sewa tidak tertulis seringkali menimbulkan permasalahan karena
banyak ketidakjelasan yang terjadi. Contohnya, dalam hal jangka waktu sewa,
dalam perjanjian sewa tertulis akan jelas tercantum kapan sewa tersebut akan
berakhir sehingga akan otomatis selesai jangka waktu persewaannya ketika telah
jatuh tempo.
Tertera dalam pasal 1570 KUHPerdata yang mengatur bahwa “jika sewa
dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang
ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu untuk pemberhentian untuk
itu.”31 Sedangkan apabila bentuknya tidak tertulis, maka harus ada pemberitahuan
dari para pihak bahwa sewa telah berakhir dan tidak akan dilanjutkan. Hal ini
tertera dalam pasal 1571 KUHPerdata bahwa jika sewa tidak dibuat dengan
tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan melainkan jika
29
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), hlm.15.
30
Ibid., hlm. 17
31
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm.385
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan
tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.32
Permasalahan yang mungkin timbul dari adanya ketidakjelasan apabila
perjanjian sewa dibuat tidak tertulis adalah si penyewa dapat sewaktu-waktu
diminta untuk mengembalikan tanah kepada pemilik karena dianggap sewa telah
habis. Hal ini dapat merugikan penyewa karena hanya mendapatkan sedikit waktu
untuk bersiap-siap meninggalkan tanah atau justru tidak memiliki waktu sama
sekali yang menimbulkan perasaan terusir yang tentunya akan sangat
mengganggu ketentraman diantara kedua pihak. Permasalahan ini tidak akan
terjadi apabila perjanjian berbentuk tertulis dengan jangka waktu yang sudah
ditentukan karena kedua belah pihak mengetahui sampai kapan sewa tersebut
akan berlangsung. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (6) UndangUndang No. 4 Tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 44
Tahun 1994 telah menegaskan bahwa sewa menyewa rumah baik dengan
perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan
batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4
Tahun 1992, dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun sejak berlakunya undangundang tersebut.
Berkaitan dengan jangka waktu sewa, karena hak ini bersifat sementara,
permasalahan lain yang paling sering timbul adalah bagaimana kedudukan
bangunan yang didirikan oleh penyewa tersebut setelah waktu sewa habis dan
tanah dikembalikan kepada pemiliknya. Solusi yang berkembang dalam
masyarakat adalah pemilik tanah sering menawarkan pilihan agar penyewa
menerima ganti rugi terhadap bangunan yang dimiliki, sehingga bangunan
tersebut akan jatuh ke tangan pemilik. Namun, terkadang ganti rugi yang
diberikan tidak sebanding dengan keadaan bangunan yang ditinggal
oleh
penyewa. Tentunya hal ini merugikan bagi pihak penyewa. Solusi lainnya adalah
pemilik meminta penyewa agar membongkar bangunan mereka tersebut sebelum
pengembalian dan mengembalikan tanah pada keadaan semula seperti sebelum
32
Ibid.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dilakukan penyewaan tanah. Hal ini menimbulkan kerugian lain pada pihak
penyewa karena harus mengeluarkan biaya pembongkaran bangunan.
Masalah ini jelas akan sangat merugikan pihak penyewa dan juga tidak
mencerminkan apa yang merupakan ketentuan dari Undang-Undang Pokok
Agraria yang menghendaki tidak terjadinya pemerasan oleh salah satu pihak yang
bertujuan untuk memenuhi pertimbangan keadilan.
Ditegaskan di dalam Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agararia
(UUPA) yang menjelaskan bahwa “Perjanjian sewa tanah yang dimaksud dalam
pasal ini tidak boleh disertai syarat-sayarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan”.33 Kerugian tidak hanya sering diderita oleh penyewa saja, pihak
pemilik tanah juga dapat menderita kerugian. Dengan didirikannya bangunan
rumah atau bangunan lainnya di atas tanah sewa tersebut oleh penyewa tanah
maka pihak pemilik tanah sudah tidak dapat lagi menikmati atau mempergunakan
tanahnya. Terlebih lagi jika perjanjian sewa tidak menentukan kapan batas akhir
dari perbuatan sewa-menyewa, sehingga kedudukan penyewa tanah seolah-olah
sudah seperti pemilik tanah dan pemilik tanah yang telah menyewakan tanahnya
merasa tidak nyaman karena merasa terjajah haknya dalam kepemilikan tanah
tersebut.
Untuk menghindari terjadinya konflik, perjanjian sewa yang dibuat harus
menyatakan secara jelas mengenai jangka waktu persewaan dan status bangunan
yang kemungkinan dibangun atau apapun yang ditanam dan melekat pada tanah
setelah persewaan jatuh tempo agar jelas bentuk hak dan kewajiban dari masingmasing pihak. Selain itu, pihak penyewa sebaiknya menghindari membuat
bangunan permanen diatas tanah sewa, namun, apabila hal ini tidak dapat
dihindari maka sebaiknya bentuk ganti rugi bangunan yang telah didirikan di atas
tanah sewa
jika hubungan sewa menyewa berakhir atau dibatalkan juga
dicantumkan di dalam perjanjian sewa agar terjadinya permasalahan dapat
diminimalisir.
3.2 Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah 33
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Psl. 44 ayat (3).
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Penerapan asas pemisahan horizontal juga dapat dijumpai lewat
pengaturan pemanfaatan bawah tanah. Pemanfaatan bawah tanah dapat dibagi
menjadi pemanfaatan benda yang telah diatur khusus lewat peraturan dan
pemanfaatan ruang bawah tanah. Indonesia belum memiliki peraturan khusus
mengenai aturan pemanfaatan ruang bawah tanah. Namun, terdapat suatu kasus
yang cukup menarik untuk memberikan penggambaran mengenai pemanfaatan
ruang bawah tanah di Indonesia, yaitu, kasus mengenai revitalisasi lapangan
Karebosi di Makassar.
Karebosi merupakan suatu alun-alun kota yang berada di Makassar.
Letaknya berada di jantung Kota Makassar dan menjadi titik 0 kilometer sebagai
penunjuk arah di Makassar. Keberadaan lapangan seluas 11 ha ini telah menyatu
dengan masyarakat termasuk dengan adanya latar belakang sejarah hingga kini
menjadi tempat rekreasi, berdagang, sarana olahraga, sarana berkumpul, obyek
wisata dan lain sebagainya. Permasalahan muncul ketika Pemerintah Kota
memutuskan
untuk
melakukan
revitalisasi
Lapangan
Karebosi
untuk
memperbaharui tempat ini. Memang, Lapangan Karebosi yang semakin tidak
terawat dan juga setiap musim penghujan menjadi danau di tengah kota akibat
letaknya yang lebih rendah daripada tanah sekitarnya.
Pemerintah Kota menggandeng investor lokal yang sebelumnya telah
membangun pusat perbelanjaan (Karebosi Link) di Makassar, PT Tosan Permai
Lestari untuk membangun pusat perbelanjaan di bawah Lapangan Karebosi
tersebut. rencananya, akan dibangun pusat perbelanjaan bawah tanah dan
terowongan yang menghubungkan dengan Mall lainnya. Masyarakat bereaksi
keras menolak pembangunan ini namun Pemerintah Kota menjelaskan bahwa
bagian bawah tanah yang akan dijadikan pusat perbelanjaan hanya 3 ha saja, Dari
3 ha itu, hanya 1,1 ha untuk bangunan komersil, dan 1,9 ha untuk fasilitas umum
dan fasilitas sosial, seperti area parkir, area sirkulasi angkutan kota,mushallah,
dan terowongan (under pass). Namun tetap saja masyarakat Karebosi mengajukan
class action menolak pembangunan ini.
Badan Pertanahan Nasional setempat lewat ketuanya, Sulsel Elfahri
Budiman mengatakan bahwa Lapangan Karebosi tersebut memang belum
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
memiliki izin untuk mengelola atau membangun apapun di atasnya. Hasilnya,
Lapangan Karebosi kemudian menjadi Status Quo yang artinya, aktivitas bisnis di
kawasan Lapangan Karebosi Makassar khususnya di pusat perbelanjaan Karebosi
Link terancam dihentikan. Alasannya, PT Tosan Permai Lestari selaku
pengembang belum mengantongi izin Hak Pengelolaan dari BPN.
Lapangan Karebosi merupakan ruang publik di mana yang dimaksud
dengan ruang publik pada hakikatnya adalah ruang yang dimiliki oleh semua
orang di mana setiap orang
dapat memanfaatkannya.34 Lapangan Karebosi
merupakan tanah lapang yang sangat luas yang tidak bertuan. Oleh karena itu,
berdasarkan Pasal 2 UUPA, Pemerintah Kota Makassar memiliki wewenang
untuk mengelolanya, apalagi sampai saat ini tidak ada satu pun pihak, baik
individu maupun kelompok yang mampu menunjukkan bukti hukum yang sah
sebagai dasar untuk menguasai atau mengklaim bahwa lahan karebosi adalah
miliknya. Lapangan Karebosi sebagai ruang publik dan merupakan tanah tak
bertuan adalah merupakan objek Hak Menguasai Negara. oleh karena Lapangan
Karebosi adalah milik Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kota Makassar di
mana kewenangan untuk mengelolanya ada pada Pemerintah Kota Makassar
sebagai pendelegasian fungsi dan tugas Hak Menguasai Negara dari negara
sebagai organisasi kekuasaan tertinggi.
Pembangunan gedung, baik yang berada di atas maupun yang ada di ruang
bawah tanah (tubuh bumi), harus memenuhi persyaratan yang bersifat komulatif
seperti syarat administratif yang di dalamnya termasuk menyangkut hak atas
tanah dan aspek perizinan. Terhadap hak atas tanahnya, sebelum pendirian
bangunan gedung harus dipastikan terlebih dahulu hak atas tanahnya, baik yang
menyangkut macam atau jenis haknya, juga subjek serta kepastian luas dan batasbatas tanahnya. Sesuai dengan pengaturan Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang
berbunyi “Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status
34
F. Budi Hardiman, Ruang Publik, (Jakarta: Kanisius, 2010), hlm.372.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.”35 Demikian
pula jika bangunan tersebut dibangun atau didirikan di bawah permukaan bumi
(tubuh bumi), tentu juga diperlukan persyaratan perizinan pembangunan seperti
halnya pembangunan gedung yang berada di atas tanah, yaitu ada hak yang secara
hukum memberi kewenangan untuk mendirikan, memiliki dan menggunakan
ruang bawah tanah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta
peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung telah menentukan adanya keberadaan gedung di ruang bawah
tanah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung dijelaskan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil kerja
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan atau di bawah tanah.36 Hal ini berarti bahwa selain bangunan
yang berada di atas permukaan bumi, ada pula bangunan yang berada di bawah
permukaan bumi. Bangunan-bangunan tersebut terhadap tanah yang dilekatinya,
apabila dianalogikan sama dengan bangunan yang berada di atas permukaan
tanah, maka secara umum berlaku pula terhadapnya asas-asas dan prinsip-prinsip
hukum tanah nasional, tidak terkecuali asas pemisahan horizontal. Untuk itu,
dalam pembangunan ini harus dimintakan izin pemanfaatan ruang bawah tanah
kepada pihak yang berwenang untuk memberikan izin tersebut apabila memang
ingin dibangun gedung pusat perbelanjaan di bawah tanah ini.
Bertolak dari kewenangan yang bersumber dari Hak Menguasai Negara,
maka terkait dengan penentuan dan pengaturan pendirian bangunan gedung di
ruang bawah tanah adalah kewenangan Negara seperti yang telah diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b UUPA, yakni mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Atas dasar kewenangan
ini, Negara dapat menentukan dan memberikan hak-hak atas penguasaan bumi,
35
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Nomor 36 Tahun 2005, Psl 11 Ayat 1.
36
Ibid., Psl. 1 angka 1.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
air, dan ruang angkasa kepada warga Negara atau subjek lain yang memenuhi
syarat. Lebih lanjut ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa
Atas dasar hak menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.37
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dengan dasar Hak Menguasai
Negara, maka Negara memiliki kewenangan untuk memberikan hak atas tanah,
hak atas air, hak atas ruang angkasa, serta hak atas pengambilan kekayaan alam
dalam bumi, air, dan ruang angkasa (disebut sebagai kuasa pertambangan). UUPA
tidak mengatur secara tegas mengenai penggunaan atau pemanfaatan ruang bawah
tanah (tubuh bumi) untuk keperluan pembangunan gedung. Namun demikian
tidak berarti bahwa Negara tidak memiliki dasar atau wewenang untuk
memberikannya
atau
bahkan
menutup
kemungkinan
untuk
melakukan
pembangunan gedung di bawah tanah. Jika dilihat kembali dalam Pasal 2 ayat (2)
UUPA, khususnya pada huruf b yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus sebagai
sumber pengaturan dari Pasal 4 ayat (1) dan (3) serta Pasal 8 UUPA, di dalam
Pasal tersebut disebutkan kata “bumi” sebagai sebagai salah satu objek
pengaturannya.
Bumi itu sendiri telah diatur definisinya dalam Pasal 1 ayat (4) UUPA
yang menyatakan bahwa “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi,
termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air”.38 Pasal 1
ayat (4) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b tidak secara limitatif merinci atau
menyebutkan peruntukan dan penggunaan tubuh bumi. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa peruntukan dan penggunaan tubuh bumi tidak hanya untuk
pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tapi juga
37
Indonesia, Undang-undang Pokok Dasar Agraria, Pasal 4 Ayat 1.
38
Ibid., Psl 1 Ayat (4)
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dimungkinkan untuk kepentingan lain, termasuk penggunaan dan peruntukan
pembangunan gedung.
Untuk itu, Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini berwenang untuk
memberikan Hak Pengelolaan sebagai dasar perizinan dibangunnya Karebosi
Link di bawah tanah Lapangan Karebosi tersebut. Hal ini dikuatkan lewat surat
yang bernomor 576/73.300/V/2012 yang menjelaskan bahwa Badan Pertanahan
Nasional telah mengakui bahwa Hak Pengelolaan lapangan karebosi yang telah
diajukan sejak tahun 2007 telah memperoleh kekuatan hukum dan juga Putusan
Mahkamah Agung Nomor 366 K/Pdt/2010, tertanggal 26 November 2010 sebagai
salah satu dokumen pendukung penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan lapangan
Karebosi yang artinya, prosedur perizinan ini sudah sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.
Hanya saja, pemanfaatan ruang bawah tanah yang belum memiliki aturan
tersendiri ini menjadi polemik tersendiri di Indonesia. Kasus Karebosi yang
berbelit ini disebabkan juga oleh pertanyaan bahwa benarkah Pemerintah Kota
Makassar berwenang untuk mengeluarkan izin Hak Pengelolaan bawah tanah.
Jawabannya tentu saja dihubungkan dengan aturan hukum yang berlaku saat ini
yang hanya mengatur tentang pemanfaatan ruang atas tanah. Sehingga, sangat
perlu kiranya penyusunan dan pemberlakuan peraturan mengenai pemanfaatan
ruang bawah tanah tersendiri.
3.3 Dasar Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memutus Sengketa Terkait
Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah
Putusan Mahkamah Agung yang dianalisis dengan masing-masing nomor putusan
yang pertama adalah Putusan Mahkamah Agung No. 740 K/Pdt/2009, yang kedua
adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 2030 K/Pdt/2003 dan yang terakhir
adalah Putusan Mahkamah Agung No. 292 PK/PDT/2009, ketiganya merupakan
putusan yang berkaitan dengan pemanfaatan bawah tanah yang dirasa melanggar
hak pemilik tanah yang asli. Ketiganya menimbulkan isu hukum dan analisisnya
sebagai berikut :
a. Perbuatan Melawan Hukum
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Para Tergugat dalam ketiga kasus yang berbeda tersebut dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1335
KUHPerdata yang berbunyi “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh
karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.39 dalam
menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan
hukum atau tidak, ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain40 :
a) Ada perbuatannya yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang
melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan
kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undangundang.
b) Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :
i.
Obyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu
manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya
akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik
untuk berbuat atau tidak berbuat.
ii.
Subyektif yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat
berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari
perbuatannya.
Selain itu, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat
dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu
apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
c) Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian
yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :
(a) Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari
kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang
seharusnya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si
pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian
39
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1365.
40
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 12.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga
keuntungan yang seharusnya diperoleh.
(b) Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat
menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit
dan kehilangan kesenangan hidup.
d) Adanya
hubungan
kausal
antara
perbuatan
dan
kerugian
yang
menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat
perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut.
Para Tergugat dalam ketiga kasus yang berbeda tersebut dianggap telah
melakukan perbuatan ini dan memenuhi unsur-unsur tersebut dengan
memanfaatkan serta menguasai tanah yang dianggap milik Para Tergugat
dengan menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil karena dalam
penguasaan dan pemanfaatannya, telah menimbulkan kerusakan maupun tidak
dapat dimanfaatkannya tanah milik mereka tersebut. namun, dalam
pembuktiannya, Para Penggugat dianggap sebagai bukan pemilik yang sah
dari tanah yang digunakan tersebut. pada putusan Mahkamah Agung No. 2030
K/Pdt/2003, ternyata tanah yang menjadi obyek sengketa telah jatuh pada hak
kepemilikan masyarakat. Berdasarkan Narasumber Bapak Dr. Arya Widya
Wasista, S.T., M.Si., Kepala Seksi Hak & Pendaftaran Pertanahan Badan
Pertanahan Kabupaten Bandung Barat, tanah yang telah dilepaskan kepada
masyarakat dipegang oleh Negara. Sehingga, tanah tersebut memang bukan
lagi milik Penggugat dan Tergugat tidak perlu meminta izin apapun kepada
Penggugat mengenai pemanfaatan tanah tersebut, permohonan izin seharusnya
dimintakan kepada Pemerintah, sehingga Tergugat tidak melakukan Perbuatan
Melawan Hukum. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 740 K/Pdt/2009,
Penggugat tidak dapat membuktikan batas-batas dan tanah yang dimilikinya
dengan yang dimanfaatkan oleh Tergugat sehingga tanah tersebut bukanlah
tanah milik Penggugat dan Tergugat tidak melakukan Perbuatan Melawan
Hukum. Hal ini erat kaitannya dengan Pembuktian mengenai hak kepemilikan
atas tanah. yang terakhir, putusan Mahkamah Agung Nomor 292
PK/PDT/2009, menguraikan bahwa tanah tersebut bukanlah tanah milik
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Penggugat karena Penggugat juga tidak dapat membuktikan kepemilikan atas
tanahnya sehingga Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum
kepada Penggugat seperti yang menjadi dasar gugatan.
Isu hukum berupa Perbuatan Melawan Hukum yang menjadi dasar
gugatan dari ketiga kasus dalam putusan Mahkamah Agung ini tidak terbukti
di keseluruhan Putusan Mahkamah Agung tersebut karena ketiganya dianggap
oleh Mahkamah Agung bukan pemilik sah dari tanah yang menjadi obyek
sengketa. Hal ini mengakibatkan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam
perbuatan melawan hukum menjadi tidak terpenuhi seluruhnya. Selain itu,
yang harus diperhatikan bahwa apabila tanah tersebut bukan milik Para
Penggugat dalam ketiga kasus tersebut, maka memang Para Tergugat tidak
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada Para Penggugat
dengan melanggar hukum.
b. Pembuktian Hak Atas Tanah
Tanah yang menjadi obyek sengketa dalam kasus-kasus tersebut dianggap
sebagai milik dari Para Penggugat, karena itulah mereka melayangkan
gugatan terhadap Para Tergugat. Dalam pembuktiannya, ketiganya dianggap
sebagai bukan pemilik yang sah dari tanah sengketa tersebut yang
menyebabkan kalahnya Para Penggugat dalam ketiga sengketa tersebut.
pembuktian hak atas tanah diwujudkan lewat kepemilikan sertipikat.
“\sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.41
Di dalam sertipikat tertera batas-batas dan gambar situasi tanah yang
bersangkutan. Dalam ketiga sengketa tersebut, hanya Penggugat dalam kasus
yang diputus lewat putusan Mahkamah Agung Nomor 292 PK/PDT/2009
sajalah yang tidak memiliki sertipikat. Penggugat ini tidak memiliki sertipikat
karena masih dalam proses pembuatan oleh Badan Pertanahan Nasional.
41
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Psl 1 Butir 20.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Hanya saja, akibat tidak dimilikinya sertipikat sebagai dasar pembuktian
tersebut, hakim kemudian melihat dari sudut hukum adat yang berlaku dan
setelah ditelusuri, tanah tersebut bukanlah milik Penggugat karena Penggugat
mendapatkan tanah tersebut lewat cara mewaris, hanya saja, Pewaris yang
merupakan ayah dari Penggugat ternyata mendapatkan hak atas tanah yang
sifatnya sementara dan tidak dapat diwariskan. Maka, tanah tersebut bukanlah
merupakan milik Penggugat. Lain halnya dengan Para Penggugat dalam kasus
yang diputus oleh 740 K/Pdt/2009 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
2030 K/Pdt/2003, kesemuanya dianggap bukan sebagai pemilik yang sah
karena sertipikat yang mereka miliki tidak mencantumkan batas-batas tanah
dan gambar situasi yang menyebabkan tidak jelasnya letak tanah yang mereka
miliki. Hal ini menyebabkan tidak terbuktinya kepemilikan mereka atas tanah
yang menjadi obyek sengketa dan menyebabkan tidak dapatnya Para Tergugat
untuk dimintakan pertanggungjawaban atas pemanfaatan bawah tanah yang
mereka lakukan.
c. Fungsi Sosial Atas Tanah
Ketiga Putusan Mahkamah Agung tersebut juga erat kaitannya dengan fungsi
social atas tanah. permasalahan utama yang timbul adalah apakah
pemanfaatan bawah tanah di atas tanah orang lain adalah perbuatan melawan
hukum. Perbuatan tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum
apabila tanpa seizin pemilik tanah dan langsung memanfaatkannya serta
mengakibatkan kerugian bagi si pemilik. Dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 2030 K/Pdt/2003, si Penggugat bukanlah pemilik tanah sengketa lagi
karena kepemilikan atas tanahnya telah beralih kepada masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan asas fungsi sosial atas tanah yang mendahulukan
kepentingan masyarakat di atas segalanya. Maka dari itu, jika memang tanah
tersebut dibutuhkan masyarakat dan tidak menimbulkan kerugian bagi si
pemilik, maka akan diperbolehkan. Untuk putusan Mahkamah Agung No. 740
K/Pdt/2009 dan Nomor 292 PK/PDT/2009, Tergugat adalah Perusahaan Gas
Negara dan Pertamina yang melakukan pemanfaatan tanah untuk menanam
aliran pipa maupun sumur minyak yang dibutuhkan untuk kepentingan orang
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
banyak. Maka, jikapun tanah tersebut adalah tanah milik Para Penggugat,
mereka harus memberikan tanahnya untuk kepentingan penanaman tersebut.
hanya saja yang harus dibicarakan selanjutnya adalah soal kompensasi akibat
penanaman dan pemanfaatan bawah tanahnya tersebut.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, yang termasuk tanah
kepentingan umum salah satunya adalah untuk infrastruktur minyak, gas dan
panas bumi.42 Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, maka tanah yang
digunakan untuk kepentingan umum akan dibayarkan ganti rugi sesuai dengan
musyawarah bersama pemilik tanah yang terkena dampak pembangunan
tersebut.43 Hanya saja, yang mendapatkan ganti rugi hanyalah pemilik yang
dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut. dalam ketiga kasus
tersebut, Para Penggugat tidak dapat membuktikan kepemilikan mereka atas
tanah tersebut yang menyebabkan mereka tidak dapat mendapatkan ganti rugi
dari Para Tergugat yang memanfaatkan bawah tanah tersebut.
4. Simpulan
Asas pemisahan horizontal dianut dalam hukum tanah Indonesia dan memberikan
kemungkinan adanya pemisahan kepemilikan antara tanah dengan apa yang berada di
atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya. asas pemisahan horizontal juga memberikan
batasan kewenangan bagi pemilik hak tanah dalam memanfaatkan tanahnya. Pada bagian
atas, tidak termasuk pada kewenangan atas apa yang berada di atasnya (apabila termasuk,
harus dijelaskan atau disebutkan) dan untuk bawah tanahnya hanya yang berhubungan
dengan kepentingan pemanfaatan permukaan tanah yang dimilikinya saja. Asas pemisahan
horizontal merupakan warisan hukum adat Indonesia yang menunjukkan bahwa hukum adat
masih diakui dan menjadi dasar pemikiran bagi hukum tanah nasional.
Penerapan asas pemisahan horizontal di Indonesia diwujudkan melalui adanya beragam
hak atas tanah. Pengaturan mengenai beragam macam hak atas tanah ini merupakan wujud
42
Indonesia, Undang-undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, Nomor
2 tahun 2012, Psl. 10.
43
Ibid., Psl. 27 Ayat (2).
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
dari dapat dimilikinya suatu tanah dan apa yang melekat di atasnya oleh dua subyek hukum
yang berbeda. Hak-hak atas tanah yang berlaku di Indonesia sesuai dengan aturan UUPA
antara lain :
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53.
Pemanfaatan bawah tanah di Indonesia terbagi atas pemanfaatan ruang bawah tanah dan
pemanfaatan benda yang terkandung di bawah tanah. Pemanfaatan mengenai benda yang
terkandung di bawah tanah telah diatur melalui peraturan khusus contohnya adalah
pengaturan mengenai pengambilan bahan tambang dalam Undang-undang nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pengambilan minyak dan
gas bumi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, serta
pengambilan air bawah tanah dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor, 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah
di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
Pemanfaatan mengenai ruang bawah tanah belum memiliki aturan khusus, padahal, ruang
bawah tanah dapat dimanfaatkan dalam hal keterbatasan lahan yang terjadi di masa kini.
Dalam praktiknya, hak atas ruang bawah tanah kepemilikannya dapat dibedakan dengan
pemilik permukaan tanah dan alas hak bagi pemegang hak ruang bawah tanah diberikan
sesuai dengan analogi pengaturan hak atas tanah selama belum ada peraturan yang mengatur
khusus. Namun, pemanfaatan ruang bawah tanah harus memperhatikan aspek hak pemilik
permukaan tanah agar jangan sampai menyebabkan kerugian bagi pemilik permukaan tanah
dan pemilik hak ruang bawah tanah harus siap bertanggung jawab bila terjadi hal-hal yang
menyebabkan kerugian bagi pemilik permukaan tanah.
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Asas pemisahan..., Ires Amanda Putri, FH UI, 2013
Download