TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ternak Babi Babi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan kesanggupan dalam karena memiliki mengubah bahan sifat-sifat menguntungkan, makanan secara efisien, yaitu siklus reproduksinya relatif pendek, dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8 -14 ekor dengan rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya, lebih cepat tumbuh, dan cepat dewasa (Sihombing 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan babi yang digemukkan untuk tujuan daging dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode prasapih (prestarter), lepas sapih (starter), pertumbuhan (grower), dan finisher. Babi periode finisher adalah babi setelah melewati periode pertumbuhan, yang dicirikan dengan bobot hidup 60-90 kg, sedangkan pertambahan bobot badan babi periode finisher adalah 701-815 g/hari. Soeparno (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan, jadi pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komponen-komponen tubuh ternak, termasuk tulang, otot, dan lemak. Menurut Sutardi (1980), kecepatan pertumbuhan suatu ternak dipengaruhi berbagai faktor, antara lain bangsa, jenis kelamin, umur, makanan, dan kondisi lingkungan. Siklus Berahi Ternak Babi Berahi adalah periode yang ditandai oleh betina yang siap menerima pejantan, dimana tanda-tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda, dan kadang-kadang adanya sekresi dari vagina) (Hafez 1993). Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada babi yang menunjukkan gejala berahi adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila punggungnya ditekan oleh pejantan atau tangan pekerja. Gejala berahi pada babi betina sangat spesifik, babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan 10 singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara babi jantan, baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang divasektomi ataupun yang tidak divasektomi dan menempatkannya pada kandang yang berdekatan dengan babi betina sangat membantu dalam menentukan berahi. Babi betina yang berahi akan cenderung mencari pejantan atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk mendeteksi berahi ialah uji penekanan pada punggung babi betina dan menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan adalah 100%. Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990). Lama berahi biasanya terjadi 2-3 hari dan pada periode tersebut betina memiliki penerimaan terhadap pejantan (Sihombing 2006), satu sampai empat hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1990). Menurut Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas, dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara, dan Belstra (2003) menyatakan bahwa periode berahi pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk. Menurut Goodwin (1974), periode berahi pada babi dara selama 12-36 jam. Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel telur fertil diproduksi dalam ovarium. Berdasarkan histologi, vagina siklus berahi dibagi menjadi empat stadium, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan fase diestrus diakhiri dengan luteolisis (MacMillan dan Burke 1996). Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua 11 fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi, rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus masingmasing adalah 3, 3, 4, dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus berahi pada babi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 Siklus Berahi pada Babi. Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu periode ketika folikel de graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh cepat selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de graaf membesar dan menjadi matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan ke arah pematangan. Selama periode ini, umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem saraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak, ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus. 12 Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus dimana corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah dibawah pengaruh LH dari adenohyphophisa (Toelihere 1979). Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa sehingga menghambat pembentukan folikel de graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Diestrus adalah periode terakhir dan siklus berahi terlama pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini, korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi menjadi kembali ke ukuran semula. Pada periode ini juga mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan poliestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologis umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Fisiologi Reproduksi Pertumbuhan dan perkembangan konseptus mulai dari saat fertilisasi, menjadi zigot, berkembang menjadi embrio, fetus, dan siap lahir, dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terintegrasi. Faktor tersebut didukung oleh kelenjar hipofisis untuk mensekresikan hormon perangsang pertumbuhan folikel. Hormon adalah suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai saluran, disebut kelenjar endokrin, dan disebarkan melalui peredaran darah untuk memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh (Hafez 1980). Hormon dapat dikelompokkan menurut tempat asalnya, yaitu dari hipotalamus, pituitari, gonad (testis dan ovarium), dan beberapa lainnya, seperti prostaglandin dari uterus, bermacam-macam hormon dari plasenta, atau yang dihasilkan oleh unit plasentafetus selama kebuntingan. Hormon-hormon hipotalamus yang diketahui sebagai hormon pelepas atau penghambat yang langsung berhubungan dengan reproduksi adalah Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan 13 dilepaskannya Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH dan LH. Follicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein dengan bobot molekul 67.000. Hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada pH 4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada pH 4,5 dengan mengandung heksosamin, heksosa, nitrogen, dan sulfur. Fungsi utama FSH adalah stimulasi pertumbuhan dan pematangan follicle de graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. Luteinizing hormone (LH) pada babi mempunyai bobot molekul 100.000. Luteinizing hormone bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez 1980). Sesudah pematangan folikel, LH menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan LH adalah bersifat luteotropik. Hormon dari pituitari anterior yang berhubungan dengan reproduksi diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) (Hafez 1980). Hormon-hormon ini adalah FSH dan LH. Semua hormon pituitari anterior adalah glikoprotein dan mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara buatan. Prolaktin (PRL atau Luteotropic Hormone atau LTH) adalah suatu hormon protein dengan bobot molekul 22.000-35.000. Hormon ini diinaktifkan oleh pepsin, tripsin, dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara aktivitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron, dan merangsang tingkah laku keibuan (Toelihere 1979). Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari hipotalamus sampai ke pituitari (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah oktapeptida yang mengandung delapan asam amino dengan bobot molekul 1000 dan relatif bersifat basa dengan titik isoelektrik pada pH basa. Hormon tersebut merupakan peptida dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesis secara buatan. Fungsi utama hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis, oksitoksin telah lama 14 digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus. Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitoksin pada sel-sel mioepitel kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan berkontraksi bila dirangsang oleh oksitoksin dengan akibat peningkatan tekanan air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau berahi pada hewan betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin. Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan tergolong hormon steroid. Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh teka interna dari folliclel de graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus berahi (Toelihere 1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, akan tetapi disingkirkan melalui inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses. Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980). Di samping itu, hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak disimpan di dalam tubuh, ia dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi, yang disebabkan oleh LH, terbentuklah korpus hemorargikum di dalam ovarium yang kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan dipertahankan oleh LTH atau prolaktin. Di bawah pengaruh prolaktin, sel-sel lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain, seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa estrogen terutama menyebabkan proses-proses pertumbuhan, sedangkan progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae. Relaksin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan simfisis pelvis. Relaksin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air dengan bobot molekul kirakira10.000 (Toelihere 1979). Relaksin dihasilkan oleh korpus luteum selama masa kebuntingan. Di samping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan relaksin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaksin dalam ovarium babi sangat meninggi pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian 15 kira-kira 10.000 GPU per gram bobot basah ovarium yang dipertahankan sampai partus. Hormon relaksin bekerja sama sangat erat dengan hormon estrogen pada saat induk babi partus (Hafez 1980). Prostaglandin merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang banyak ditemui hampir di seluruh bagian tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin (PGF2α) diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus balik ke ovarium. PGF2α dan PGE2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum ovulasi. Prostaglandin berbeda dari hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya. Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan hati (Hafez 1980). Gonadotropin releasing hormone (GnRH) mempunyai daya kerja untuk merangsang sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan penstimulasi luteal Luteinizing hormone (LH) serta faktor pengatur lainnya. Sekresi FSH selanjutnya menstimulus pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang kemudian akan merangsang sekresi LH yang selanjutnya akan merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum dan melakukan fungsi utamanya mensekresi progesteron. Mekanisme tersebut didukung oleh sekresi LH yang menstimulasi ovulasi atau pematangan oosit, pertumbuhan folikel, pembentukan dan fungsionalisasi korpus luteum untuk mensintesis dan membebaskan progesteron. Setelah ovum tersebut terfertilisasi, perkembangan zigot, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sangat bergantung pada dukungan korpus luteum mensekresi progesteron yang selanjutnya berperan mengawali dan menyiapkan lingkungan mikrouterus, merangsang perkembangan kelenjar uterus dan plasenta, serta mempertahankan kebuntingan (Niswender et al. 2000; Cardenas dan Pope 2002). Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3. Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang secara khusus memproduksi progesteron dan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan kebuntingan untuk mendukung perkembangan embrio (Rueda et al. 2000). Rentang hidup korpus luteum bervariasi antara satu spesies dan spesies yang lain, 16 dan dapat berubah secara dramatis melalui peristiwa seperti pengawinan dan kebuntingan. Gambar 3 Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi. Pada dasarnya korpus luteum mengalami dinamika proses regresi dan kehilangan kapasitas untuk memproduksi progesteron dan mengalami involusi struktural, yaitu granulosa dan sel-sel teka folikel ditransformasi dan berkembang menjadi korpus luteum (Bao dan Garverick 1998). Hormone luteinisasi (LH) dari pituitari anterior sangat berperan penting dalam perkembangan dan fungsi normal korpus luteum pada hampir semua mamalia, meskipun hormon pertumbuhan, prolaktin, dan estradiol juga berperan penting pada sejumlah spesies. Proses ini dimulai kirakira 1-2 hari sesudah terjadi pengawinan, selanjutnya korpus luteum memproduksi dan membebaskan progesteron yang responsif untuk mempertahankan kebuntingan. Jika terjadi konsepsi saat pengawinan, korpus luteum tetap berfungsi dan secara terus menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron (Wuttke et al. 1997). Dalam mekanisme tersebut, estrogen berperan penting dalam mempertahankan korpus luteum melalui aksi secara tidak langsung untuk 17 menstimulusi sekresi prolaktin (Geisert et al. 1990). Sebaliknya jika konsepsi tidak terjadi, prostaglandin (PGF2α) disekresi oleh uterus untuk meregresi korpus luteum dan terjadi penghentian produksi progesteron dan selanjutnya akan terjadi perkembangan folikel baru (Wuttke et al. 1997; Bao dan Garverick 1998; Niswender et al. 2000). Gangguan atau kegagalan reproduksi yang bermuara pada tingginya mortalitas, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan dapat berawal dari tidak didukung oleh pertumbuhan dan perkembangan korpus luteum atau terjadi gangguan perkembangan sel folikel yang diregulasi oleh hormon yang menstimulus FSH pada pituitari untuk memodulasi sekresi progesteron dan estradiol (Garret et al. 1998). Laktasi Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies mamalia selama masa laktasi (Shandolm dan Saarela 2003), yaitu ketika kelenjar susu mensekresikan air susu. Kelenjar susu adalah suatu organ kompleks yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel sekretoris. Sel-sel ini tergabung dalam lobula alveoli, yang merespons dan bekerja harmonis selama laktasi (Delaval 2008). Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu beranak pertama. Pada spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan, dan kortisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4 . Pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh pada kelenjar susu atau pada semua hewan, maupun pengaruh eksternal, seperti lingkungan, iklim, dan makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat, yakni pada saat laktasi penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersamasama dengan jaringan ikat dan lemak, dan sekresi susu yang dihasilkan per hari bisa melebihi bobot kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat bunting. 18 Gambar 4 Struktur Ambing (Delaval 2008). Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kebuntingan, akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau tiga hari setelah tikus beranak. Penelitian yang dilakukan Knight dan Parker (1982) menunjukkan bahwa, pada tikus, populasi sel sekretoris pada hari kelima setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari terakhir kebuntingan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Juga dilaporkan bahwa produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi. Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor, seperti fisiologi, endokrinologi, dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal di atas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu, yaitu kondisi 19 stress saat induk menyusui dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusui (Delaval 2008). Proses sintesis dan sekresi susu sangat bergantung pada suplai prekursor ke sel epitel kelenjar susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah, yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material. Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam kelenjar susu sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan sel sekretoris, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak ke dalam darah (Walstra 1999). Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak, dan mineral. Ovulasi Ganda Ovulasi ganda adalah suatu teknik untuk merangsang pembentukan sejumlah besar folikel di dalam ovarium dan mematangkannya lebih cepat daripada kemampuan alamiahnya (Toelihere 1981). Ovulasi ganda pada ternak babi dapat dirangsang dengan cara pemberian suntikan hormon gonadotropin. Termasuk ke dalam golongan hormon gonadotropin ini adalah luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), human chorionic gonadotropin (hCG), pregnant mare's serum gonadotropin (PMSG), dan prolactin (Sherwood dan McShan 1977; Partodihardjo 1980). Hormon gonadotropin telah dikenal hampir 60 tahun yang silam, yaitu sejak ditemukan zat-zat di dalam kelenjar pituitari (hipofisis), darah, air seni, dan plasenta yang dapat mempengaruhi perkembangan alat kelamin primer (gonad). Isolasi hormon gonadotropin ini semula sangat sulit dilakukan karena jumlahnya sangat kecil, labil, dan polimorfik. Namun, sejak tahun 1960, beberapa ahli telah mampu mengisolasi beberapa preparat hormon ini dalam keadaan cukup murni (Partodihardjo 1980). Ovulasi ganda telah dicoba pada beberapa hewan ternak komersial maupun pada hewan model. Ovulasi ganda pada domba memperbaiki bobot lahir 20 dalam litter size (Manalu et al. 2000). Ovulasi ganda pada domba juga dapat meningkatkan jumlah korpus luteum yang selanjutnya meningkatkan sekresi progesteron, dan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus serta pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sakai dan Takashi 1993; Manalu et al. 1999; Manalu 1999). Ovulasi ganda pada sapi diduga dapat mengontrol terjadinya kenaikan LH pada preovulasi (Vos et al. 1994), sangat efektif untuk sinkronisasi yang memperbaiki target pengawinan dan dapat meningkatkan produksi per induk kambing (Goel dan Agrawal 1998). Ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan dapat memperbaiki produktivitas dalam hal ini merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, embrio dan fetus serta kelenjar susu (Mege et al. 2007). Hormon Ovulasi Ganda : PMSG dan hCG Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) ditemukan pertama kali oleh Cole dan Hart pada tahun 1930. Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) disekresi oleh mangkok-mangkok uterus kuda bunting, yaitu mulai umur kebuntingan enam minggu dan tetap ada sampai umur kebuntingan 12 minggu. Bobot molekul PMSG bervariasi dari 28.000 sampai 53.000 dan dapat dipisahkan menjadi subunit alfa dan beta PMSG yang memiliki sifat-sifat fisiologis, seperti FSH dan sedikit LH. Seperti FSH, PMSG yang disuntikkan merupakan stimulator yang potensial terhadap pertumbuhan indung telur dan meningkatkan kadar estradiol di dalam darah, dan seperti LH, PMSG juga bisa merangsang sel-sel granulosa dan ovulasi sel telur (Kaltenbach dan Dunn 1980). Fungsi PMSG dalam tubuh kuda yang sedang bunting adalah merangsang indung telur membentuk folikel-folikel baru, karena korpus luteum yang sudah terbentuk hanya berumur 40 hari. Folikel-folikel yang tumbuh tersebut ada yang matang sampai ovulasi dan ada juga bersifat atretik. Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) merangsang dan meningkatkan laju pertumbuhan folikel, juga diduga mempengaruhi proses terjadinya reduksi folikel berukuran kecil yang bersamaan dengan itu terjadi peningkatan jumlah tipe folikel yang berukuran besar (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003). 21 Teknik ovulasi ganda pada umumnya hewan donor disuntik dengan preparat FSH dan PMSG atau kombinasi PMSG dengan hCG. Supriatna et al. (1998) menyatakan bahwa PMSG yang merupakan hormon gonadotropin mempunyai daya kerja biologi yang unik dengan aktivitas berpotensi ganda FSH dan LH dalam satu molekul yang dapat merangsang pertumbuhan folikel. Selanjutnya Bindon dan Piper (1982) menyatakan bahwa PMSG mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan FSH dan LH. Dijelaskan lebih lanjut bahwa PMSG dapat dikatakan sebagai gonadotropin yang lengkap, yang dapat meningkatkan pertumbuhan folikel, produksi estrogen, ovulasi dan luteinisasi, serta sintesis progesteron. Pregnant mare’s serum gonadotropin mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menimbulkan ovulasi ganda pada hewan bila diberikan dengan dosis yang tepat secara injeksi tunggal, karena PMSG mempunyai waktu paruh biologi yang panjang. Lain halnya dengan FSH yang mempunyai waktu paruh yang pendek (sekitar lima jam), sehingga pemberiannya harus dua kali atau berulang kali selama tiga-empat hari (Armstrong et al. 1982). Menurut Menzer dan Schams (1979), PMSG mempunyai waktu paruh yang panjang yaitu mencapai 123 jam, sehingga walaupun pengaruh ovulasi ganda telah tercapai, PMSG masih dapat merangsang ovarium. Yadav et al. (1983) menyatakan bahwa residu PMSG yang beredar di peredaran darah dan masih memiliki potensi biologis akan terus merangsang aktivitas ovarium, sehingga menimbulkan negative rebound effect terhadap hipofisa yang berakibat pada penekanan sekresi LH. Menurut Armstrong et al. (1982) ovarium yang terangsang disertai tidak adanya sekresi LH akan menghasilkan folikel yang gagal berovulasi (persisten). Dampak lanjutan dengan beredarnya keseimbangan PMSG dalam hormonal, sirkulasi gangguan darah ovulasi, adalah gangguan gangguan pembuahan (fertilisasi) dan pengangkutan embrio di saluran telur. Pada hewan ternak yang diinduksi dengan ovulasi ganda pada saat fase yang tepat dari siklus estrusnya akan diperoleh hasil ovulasi ganda yang maksimum (Rajamahendran et al. 1987). Ovulasi ganda pada domba, kambing, dan sapi, PMSG biasanya diberikan pada fase folikuler, meskipun respon pada 22 masa ini terhadap jumlah ovulasi tidak dapat diprediksi dan tingginya variabel yang mempengaruhi pada hewan donor (Cahill et al. 1982). Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) memiliki aktivitas biologi ganda, yaitu serupa dengan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) sehingga disebut sebagai gonadotropin sempurna. Pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG antara lain: (1) menunjang produksi estrogen; (2) ovulasi; (3) luteinisasi; dan (4) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskuler cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda (Bates et al. 1991). Penggunaan PMSG dan human corionic gonadotropin (hCG) untuk merangsang ovulasi ganda, lebih sering digunakan daripada FSH dan LH. Human Corionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisa melainkan disintesis dari villi-villi khorion (cytotrophoblast) yang kemudian disebut "anterior pituitary-like hormone " karena aktivitas biologisnya menyerupai LH dan sedikit FSH (Hafez 1993). Human Corionic Gonadotropin merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 40.000 dalton, terdiri atas sub unit a dengan 92 asam amino dan dua rantai karbohidrat dan menyerupai sub unit a pada LH. Sub unit o terdiri atas 145 asam amino dan lima rantai karbohidrat (Hafez 1993). Aktivitas biologis hCG menyerupai LH, meskipun struktur kimianya berbeda. Human Corionic Gonadotropin (hCG) merangsang sel-sel interstisial pada ovarium dan menyebabkan ovulasi (Kaltenbach dan Dunn 1980). Reseptor untuk hCG sama dengan untuk LH. Human Corionic Gonadotropin mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap sel-sel interstisial dan terbatas pada sel-sel teka. Selain itu, hCG diketahui berikatan dengan sel-sel granulosa sehingga peranan hCG juga membantu merangsang pembentukan folikel pada ovarium (Sherwood dan McShan 1977). Human Corionic Gonadotropin juga mempunyai daya kerja sedikit seperti FSH, maka pemberian hCG dengan dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan folikel dalam ovarium. Selain itu, hCG bertanggungjawab atas luteinisasi sel-sel granulosa, memelihara fungsi korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesteron (Sherwood dan 23 McShan 1977; Hafez 1993). Aktivitas luteinisasi hCG terlihat pada perpanjangan sekresi progesteron. Pemberian hCG akan memperpanjang hidup korpus luteum (Bennet dan Laymaster. 1989). Hasil penelitian superovalasi pada domba telah dilaporkan berhasil meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron dalam darah induk, peningkatan pertumbuhan jaringan uterus, embrio dan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1999). Ovulasi ganda berhasil pula meningkatkan pertumbuhan diferensial kelenjar susu, pada waktu kebuntingan berdasarkan gambaran kandungan kolagen, DNA, RNA (Manalu et al, 1999). Selanjutnya, ovulasi ganda berhasil meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, produksi susu induk domba, dan menurunkan mortalitas, serta memperbaiki pertumbuhan prasapih dan bobot sapih anak domba (Manalu dan Sumaryadi 1998). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum yang meliputi lebih dari duapertiga siklus estrus (Hunter 1995). Human chorionic gonadotropin (hCG) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisis, melainkan disintesis dari villi-villi khorion cytotrophoblast yang kemudian disebut “anterior pituitary-like hormone” karena aktivitas biologisnya menyerupai LH dan sedikit mirip FSH (Hafez 1993). Human chorionic gonadotropin (hCG) dapat ditemukan kira-kira satu minggu setelah fertilisasi atau satu hari setelah implantasi. Human chorionic gonadotropin (hCG) adalah hormon glikoprotein terdiri atas subunit alfa dan beta dengan bobot molekul 40.000. Human chorionic gonadotropin (hCG) memiliki aktivitas seperti LH karena keduanya memiliki struktur yang hampir sama. Aktivitas hCG antara lain merangsang pertumbuhan sel-sel interstisial indung telur yang menyebabkan ovulasi dan meningkatkan sekresi progestin (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hCG di dalam air seni wanita hamil terus meningkat dari minggu pertama kehamilan dan mencapai kadar maksimal pada umur kehamilan 10 sampai 12 minggu, dan setelah itu kadar hCG menurun (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hCG tertinggi di dalam darah (120 i.u./mL serum) didapatkan pada hari 24 ke-62 setelah menstruasi terakhir, dan kadar terendah (10 i.u./mL serum darah) didapatkan pada hari ke-154, namun pada hari ke-200 meningkat lagi (20 i.u./mL serum darah) dan kadar ini tetap tidak berubah sampai kehamilan berakhir (Partodihardjo 1980). Adanya kandungan asam sialat yang lebih tinggi pada PMSG dan hCG menyebabkan waktu paruhnya lebih panjang sehingga penggunaannya lebih efektif daripada FSH dan LH (Sherwood dan McShan 1977). Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Reproduksi Ternak Babi Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan jalan meningkatkan reproduktivitas ternak betina (Yoga 1988). Dikemukakan pula bahwa peningkatan reproduktivitas pada ternak babi guna mendapatkan jumlah anak sekelahiran (litter size) dan bobot lahir yang tinggi, laju pertumbuhan yang pesat, angka kematian yang rendah, dan lain sebagainya banyak diusahakan orang. Banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas reproduksi pejantan maupun betina (Sihombing 2006). Hafez (1993) mengemukakan lama bunting ternak diukur dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kelahiran adalah suatu proses fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan plasenta dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan (Toelihere 1981), sedang menurut Partodihardjo (1982) kelahiran adalah suatu proses mengeluarkan anak dan plasenta melalui saluran kelahiran. Tanda-tanda babi yang akan beranak ialah babi sangat gelisah, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan lendir, berusaha membuat tempat atau sarang untuk bakal anaknya, di dalam puting susu terdapat air susu dan urat daging di sekitar vulva mengendor (Eusebio 1980). Proses pembentukan dan pemeliharaan kebuntingan pada sebagian besar mamalia melibatkan integrasi fungsi antara ovarium, uterus, plasenta, dan konseptus itu sendiri serta ketersediaan nutrisi maupun dukungan stimulasi hormon-hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan (Bazer et al. 1982; Roberts et al. 1993). Kesemuanya itu merupakan faktor penentu untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran yang berbobot lahir optimal dan sangat substansial bagi efisiensi produksi babi (Geisert dan Schmitt 2002). Pertumbuhan dan 25 perkembangan embrio dimulai sejak blastosis menempel pada dinding uterus. Selsel blastosis tersebut akan membelah dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah dan masa sel disertai dengan diferensiasi sel. Mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Aksi hormon tersebut terjadi secara langsung dalam mekanisme pertambahan dan diferensiasi jaringan embrio dan fetus selama kebuntingan (Owens 1991; Anthony et al. 1995). Kapasitas uterus ternak babi mempengaruhi jumlah anak sekelahiran sesudah umur 25 hari kebuntingan (Fenton et al. 1972; Pope et al. 1990). Tingginya laju ovulasi yang dapat menghasilkan sejumlah embrio dan fetus yang tidak didukung oleh kapasitas uterus yang memadai menjadi penyebab kematian embrio dan fetus selama kebuntingan (Christenson et al. 1987; Wu et al. 1988; Sterle et al. 2003). Kapasitas uterus yang kurang memadai pada gilirannya berpengaruh pada dukungan fisiologis lingkungan internal uterus dalam mempertahankan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Young et al. 1990; Wilson et al. 1999; Sterle et al. 2003). Lingkungan internal uterus yang memadai bergantung pada dukungan dan perkembangan kelenjar-kelenjarnya yang mensekresi kebutuhan zat-zat makanan untuk konseptus selama kebuntingan (Bennet dan Leymaster 1989; Vallet et al. 1998; Willis et al. 2003). Ketidaksiapan lingkungan uterus terutama dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya berdampak pada tingginya kematian, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wu et al. 1988), pada gilirannya berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak yang lahir serta pertumbuhannya (Sterle et al. 2003). Sekresi kelenjar uterus sangat penting dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan konseptus (Yamashita et al. 1990; Gray et al. 2001). Kelenjar uterus yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan normal konseptus pada saat implantasi akan memicu terjadinya kegagalan reproduksi, yang digambarkan dengan kematian embrio yang tinggi pada kebuntingan dini (Pope dan First 1985; Geisert et al. 1990). Kematian ini dapat juga bermula dari ketidakcukupan kebutuhan nutrisi sejumlah konseptus untuk tumbuh dan berkembang dengan baik (Pope dan First 1985; Pope et al. 1990), sedangkan pada awal kebuntingan konseptus membutuhkan nutrisi yang cukup dan apabila 26 cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi akan berakibat pada daya tahan dan kesehatan embrio karena semuanya sangat bergantung pada sekresi kelenjar uterus (Vallet et al. 1998; Gray et al. 2001). Sekresi uterus sangat penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan konseptus pada ternak yang mempunyai periode kebuntingan yang panjang, seperti domba, kambing, sapi, dan babi (Roberts dan Bazer 1988). Mortalitas, pertumbuhan, dan perkembangan fetus selama periode kebuntingan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kapasitas serta kemampuan plasenta menyediakan nutrisi melalui mobilisasi sirkulasi dari induk. Plasenta adalah organ yang mempunyai peran sebagai mediator pertukaran gas, nutrien, dan limbah antara induk dan sistem fetus. Fungsi utama plasenta adalah menyalurkan substrat metabolik yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan fetus. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan plasenta merupakan salah satu faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan normal fetus (Reynolds dan Redmer 1995). Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup, dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan dan perkembangan fetus secara optimal sangat ditentukan oleh mekanisme sirkulasi nutrien baik yang dimediasi oleh protein transpor maupun melalui difusi, dan sangat bergantung pada hubungan fungsional antara permukaan dinding uterus di plasenta (Reynolds dan Redmer 1995) dalam uterus melalui perubahan mekanisme dan ekspresi gen jaringan fetus (Anthony et al. 1995; Fowden 1995). Peningkatan progesteron yang mempengaruhi pertumbuhan embrio dan fetus, juga merangsang sekresi protein oleh uterus (Vallet et al. 1998). Banyak protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal fetus pada babi yang disekresi oleh uterus, seperti uteroferin dan retinol-binding-protein (RBP). Uteroferin berperan untuk transpor besi, sedangkan RBP berperan untuk transpor retinol. Sekresi protein tersebut mengalami perubahan selama kebuntingan dan perubahan disini terutama berhubungan dengan perkembangan fetus. Sekresi protein melalui endometrium selama kebuntingan dikontrol oleh progesteron dan estradiol (Adams et al. 1981; Torut et al. 1992). 27 Pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik sampai akhir kebuntingan diharapkan akan memberikan bobot lahir yang baik walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya menghasilkan penampilan produksi yang lebih baik pula. Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan perkembangan embrio serta fetus selama kebuntingan dan jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir (Bennett dan Leymaster 1989). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999), baik melalui perbaikan pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti FSH dan LH atau melalui tiruannya, seperti PMSG dan hCG serta kombinasi hormon gonadotropin lainnya. Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak babi setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari. Seekor induk babi dapat menghasilkan anak babi sampai 12-14 ekor anak dalam sekelahiran. Litter size ini dapat digunakan sebagai indikator kemampuan reproduksi ternak babi karena anak yang banyak setiap kelahiran adalah esensial untuk produksi babi (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kelahiran anak yang banyak disertai banyaknya anak yang hidup pada waktu disapih menunjukkan beberapa hal sebagai berikut; menandakan ovulasi yang tinggi dan kematian embrio rendah, air susu induk babi dapat berfungsi dengan baik dan kedua pernyataan ini menunjukkan kemampuan induk dalam mengasuh anak. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, di antaranya jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes dan Varley 2004), umur (Singh dan Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus, dan bangsa (Leymaster dan Jhonson 1994). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi Landrace dapat menghasilkan litter size lahir sekitar 10.94 ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire 28 adalah 9.57 ekor (Park dan Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al. (2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire, masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum, litter size lahir dan sapih terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada paritas selanjutnya. Induk babi pada paritas ketiga dan keempat memiliki penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk. Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat sebanyak 0.7 ekor sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et al. 2003). Bobot lahir adalah bobot badan yang ditimbang sesaat setelah hewan dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa, pejantan, ransum yang diberikan selama induk bunting, dan litter size pada waktu lahir (De Borsotti 1982). Bangsa babi mempengaruhi bobot lahir per ekor, yaitu pada babi Duroc 1.47 kg (Milagres 1983), 1.46 kg (Lopez et al. 1983), Landrace 1.74 kg, dan Yorkshire 1.39 kg (Quintana dan Lopez 1983) . Rataan bobot lahir bangsa murni dan persilangan Duroc, Landrace, Yorkshire adalah 1.38±0.10 kg (De Borsotti 1982). Mati lahir adalah suatu kondisi yang anak babi dilahirkan sudah dalam keadaan mati. Huges dan Varley (2004) menyatakan bahwa kejadian mati lahir anak babi dapat mencapai 3-5%, sedangkan hasil penelitian Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan angka kematian babi saat dilahirkan 4-8% dari semua anak yang dilahirkan. Menurut Bolet (1982) bahwa kematian anak babi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anak babi yang lahir per kelahiran, selanjutnya Benkov (1983) mengemukakan bahwa jika litter size lahir anak babi kurang dari 6 ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1.78% dan jika litter size lahir anak babi 6-8.8, 8.8–10, dan 10-12 ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6, 18 dan 12.79%, bila litter size lahir 12 ekor, maka kematian pada 21 hari adalah 10.86%. Anak babi yang mempunyai bobot badan di bawah 1 kg pada waktu lahir lebih banyak mati karena kalah bersaing dengan anak babi yang lebih besar dalam menyatakan air susu (Bolet 1982). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sebelum 29 disapih dapat mencapai 72% dengan empat penyebab utama, yaitu 35.4% akibat terinjak oleh induk, 14% kaki tidak lurus, 11% akibat agalactic, dan 11% akibat kelemahan pada waktu lahir, ini lebih sering berlaku pada induk yang beranak pertama. Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan kematian anak babi pada waktu sebelum disapih sangat bervariasi, yaitu 12-30%, sedangkan periode menyusu rataan tingkat kematian adalah 20.8%. Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk, dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikatakan pada umur penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi di saat sapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot potong daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan, umur induk, dan keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, serta suhu lingkungan. Umumnya, kisaran bobot sapih adalah 13.6–18.1 kg (Hafez 1993). Produksi Ternak Babi Produksi ternak babi mencakup pertumbuhan ternak babi, proses yang terjadi sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan, tetapi menyangkut pertumbuhan semua ogran tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al. 1983). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuranukurannya. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk kebutuhan 24 jam (Anggorodi 1994). Ransum yang sempurna adalah kombinasi beberapa bahan yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan jumlah dan bentuk sedemikian rupa sehingga fungsifungsi fisiologis dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi 1983). Adapun konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bobot badan, umur ternak, temperatur, jumlah ransum, serta bertambahnya umur (Sihombing 2006). Tingkat konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang 30 dimakan oleh ternak bila diberikan ad libitum (Cuncha 1980). Faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi adalah palatabilitas dan palatabilitas yang bergantung pada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain, seperti suhu lingkungan, kesehatan ternak, stress, dan bentuk ransum (Church 1984). Pada umumnya, konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi pemberian makan. Babi dengan bobot badan 10-90 kg yang diberikan ransum dua kali sehari mengkonsumsi rataan 1.54 kg per ekor per hari, sedangkan pada pemberian tiga kali sehari, konsumsi ransum sebesar 1.92 kg dan pada pemberian ad libitum konsumsi ransumnya 2.61 kg per ekor per hari (Tillman et al. 1989). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel (hiperplasia) serta peningkatan sel (hipertropi). Definisi pertumbuhan adalah pertambahan besar otot, tulang, organ-organ dalam, dan bagian tubuh lain (Cuncha 1980). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari konsumsi langsung yang dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hipotalamus (Goodwin 1974). Pertumbuhan umumnya diukur dengan kenaikan bobot badan yang dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot badan harian, minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al. 1989). Parakkasi (1983) mengemukakan bahwa untuk kebutuhan zat makanan, urutan yang paling penting adalah protein, karena dibutukkan untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi, di samping itu untuk sejumlah energi yang cukup untuk membantu proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk periode starter 14-16% dengan bobot badan ternak babi 15-45 kg. Menurut Sihombing (2006) periode pertumbuhan pengakhiran, yaitu babi yang memiliki bobot rata-rata 35–90 kg. Periode ini merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan zat makanannya dan ransum yang bermutu. Pertambahan bobot badan dan konversi ransum yang tinggi adalah satu faktor terpenting yang mempengaruhi performans babi grower. Pertambahan bobot badan mencapai 820 g/hr dan efisiensi ransum 0.31. Efisiensi penggunaan makanan merupakan pertambahan bobot badan yang dihasilkan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk pertumbuhan 31 hidup pokok dan fungsi lain, kemampuan ternak untuk mencerna makanan, jumlah makanan yang hilang melalui proses metabolisme, dan tipe makanan yang dikonsumsi (Campbell 1985). Faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak, dan keseimbangan ransum yang diberikan (Devendra dan Fuller 1979). Efisiensi penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik (Bogart 1997). Bobot potong yang paling disukai konsumen berkisar 90-115 kg, karena kisaran ini memberikan perbandingan antara daging dan lemak yang optimal dengan penilaian karkas sesuai dengan standar USDA (United State Development of Agriculture). Bobot potong yang paling optimum menurut Whittemore (1980) adalah 50-120 kg. Untuk menghasilkan bobot karkas yang berkisar 78-86 kg maka babi sebaiknya dipotong pada bobot hidup dengan kisaran 90-100 kg (Sihombing 2006). Kualitas Karkas Babi Teknik ovulasi ganda pada induk melalui pemberian hormon eksternal PMSG dan hCG memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas bakalan ternak babi. Kualitas bakalan dapat dilihat dari karakteristik karkas pada saat dipotong. Pada ternak babi, karkas yang dihasilkan berkisar 60-90% dari bobot hidup, bergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas, dan cara pemotongan. Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu penting pengaruhnya pada bobot karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas lambung yang lebih kecil (Pond dan Maner 1974). Devendra dan Fuller (1979) mengemukakan bahwa persentase karkas adalah perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup dalam persen. Persentase karkas ini dapat menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dan bobot hidup. Persentase karkas lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau domba karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely dan Bade 1998). Persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe ternak, penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Campbell et al. 1985). Pemberian makanan yang bersifat bulky dan 32 lama pemuasaan sebelum ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan (Devendra dan Fuller 1979). Krider dan Carroll (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tebal lemak punggung memiliki hubungan dengan komposisi daging yang dihasilkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. (Meat Evaluation Handbook 1988). Tabel 1 Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya Kelas Tebal Lemak Punggung (cm) Persentase Daging (%) US NO 1 < 3,56 >53 US NO 2 3,56-4,32 50-42,9 US NO 3 4,32-5,08 47-49,9 US NO 4 >5,08 < 47 Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988 Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Dengan perkataan lain, anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan memberikan kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) menyatakan bahwa anak babi yang lahir dengan bobot tubuh ringan akan menurunkan penampilan pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dikatakan bahwa anak babi yang dilahirkan dengan bobot ringan akan menurunkan kualitas karkas, dalam hal ini mempunyai deposisi lemak tinggi dan LEA yang rendah (Bee 2004). Rendahnya bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008). Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan isi rongga dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih yang dapat dikonsumsi oleh manusia, termasuk isi rongga perut dan dada. Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari bobot hidup bergantung pada kondisi, genetik, kualitas pakan, dan cara pemotongan (Forrest et al. 1975). 33 Whittemore (1980) menyatakan bahwa karkas babi mengandung tiga perempat bagian daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas adalah nonkarkas atau offal. Lawrie (2003) menyatakan bahwa karkas merupakan bagian tubuh ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, intestin, kantong urin, jantung, trakhea, paru-paru, ginjal, limfa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri atas urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang terdiri atas tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-lain. Rataan bobot karkas domba, sapi, dan babi masing-masing 50, 55, dan 75% dari bobot hidup. Kualitas karkas (yield grade), yang dijadikan ukuran adalah tebal lemak punggung, luas urat daging mata rusuk, persentase lemak pelvis, ginjal dan jantung, dan bobot karkas (Forrest et al. 1975). Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Komponen nonkarkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis kelamin, dan bobot potong (Forrest et al. 1975). Offal terdiri atas bagian yang layak dimakan (edibleoffal), yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, saluran pencernaan, ginjal, dan limpa. Tanduk, kuku, tulang, dahi, atau kepala adalah termasuk bagian yang tidak layak dimakan (inedible offal). Daging sebagai komponen utama karkas, tersusun dari otot, jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak. Otot merupakan bagian terbesar dari karkas yang mengandung 75% air, 19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, 2,3% zat terlarut bukan protein, dan sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak mengandung 2% protein dan 8-12% air (Soeparno 1992). Daging babi memiliki protein yang berkualitas tinggi dengan kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan dalam persen (Forrest et al. 1975). Bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Hal ini dikarenakan sering adanya perbedaan pada bobot kepala, bulu, isi rongga dada, dan perut (Soeparno 1992). Oleh karena itu, bobot potong lebih dari 90 kg memang meningkatkan hasil bobot karkas, tetapi persentase karkas yang dihasilkan akan menurun (Sihombing 2006). Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat 34 interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak, jenis kelamin, dan kematangan seksual (Davendra dan Fuller 1979). Persentase karkas babi dibagi menjadi beberapa kelas, kelas satu menurut USDA adalah 6872% (Forrest et al. 1975). Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe dan ukuran ternak serta penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Soeparno, 1992). Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong (Forrest et al. 1975), yang dinyatakan pula dengan meningkatnya presentase lemak karkas menyebabkan persentase otot dan tulang menurun. Persentase karkas normal berkisar antara 60-75% dari bobot hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain, seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade 1998). Panjang karkas erat hubungannya dengan panjang badan pada waktu hidup. Whittemore (1980) juga menyatakan bahwa semakin pendek bentuk tubuh ternak maka akan cenderung mempunyai lemak punggung yang semakin tebal. Selain itu, Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa panjang karkas erat kaitannya dengan tebal lemak punggung dan bobot karkas dalam mengklasifikasikan kualitas karkas. Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh Hazel dan Kline dengan alat yang disebut ”back fat probe”. Setelah itu alat ini sangat luas penggunaannya dan perkembangan teknologi peralatannya juga berjalan terus. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi persentase hasil daging yang tinggi dan, sebaliknya, tebal lemak punggung yang tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968, lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan kelas karkas babi yang siap potong. Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas. Ternak babi merupakan ternak yang paling cepat menimbun lemak dan paling cepat di antara ternak lainnya (Miller et al. 35 1991). Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh ternak. Karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno 1998). Devendra dan Fuller (1979) menyatakan bahwa babi yang baru lahir sudah mengandung 1% lemak dari total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi 10% pada saat disapih, setelah itu menjadi 20-35% pada saat bobot badan mencapai 60-120 kg. Pertambahan umur dan bobot badan ternak babi akan menyebabkan persentase lemak meningkat. Lokasi penumpukan atau deposisi lemak dalam karkas terdiri atas empat bagian, yaitu di bawah kulit (subkutan), lemak internal (lemak di sekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuskuler dan lemak intramuskuler (lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada keempat lokasi ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak di sekitar rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling. Jaringan lemak ternak babi paling banyak disimpan di bawah kulit dibandingkan dengan sapi dan domba yang terbesar pada bagian pundak. Kualitas daging erat hubungannya dengan ukuran luas penampang otot longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut urat daging mata rusuk yang diukur di antara tulang rusuk ke 10 dan 11 (Miller et al. 1991). Luas urat daging mata rusuk dapat digunakan untuk menduga perdagingan karkas dan bobot karkas karena terdapat korelasi dengan total daging pada karkas, yaitu yang lebih berat akan mempunyai ukuran penampang urat daging mata rusuk yang lebih besar. Lebih lanjut dikatakan bahwa luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut Figueroa (2001) yang meneliti pengaruh performans babi pertumbuhan finisher yang diberikan pakan rendah protein, rendah energi, tepung biji sorghum-kedelai memperoleh nilai rataan luas urat daging mata rusuk sebesar 42,97 cm2. Menurut Soeparno (1998), luas urat daging mata rusuk dipengaruhi juga oleh bobot potong. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan daging mata rusuk yang lebih luas. 36 60 EKOR BABI DARA 30 Ekor Disuntik PMSG dan Hcg 600 IU . PENYERENTAKAN BERAHI PGF2ά 30 EKOR BUNTING 30 Ekor Disuntik NaCl Fisiologis 0.95% 30 EKOR BUNTING LSL, BBL,PASI, TAHAP I LSL, BBL,PASI, LLSP,BBS, M LLSP, BBS, M 9 Induk LS 9 Induk LS (R,S,T) (R,S,T) L SR L SS L SRU1 (N=2) SSU1 (N=2) SRU2 (N=2) L SSU3 (N=2) L SS L SRU2 (N=2) TAHAP II BP 87-90 KG STU2 (N=2) L L L KUALITAS KARKAS: SRU3 SSU3 STU3 (N=2)BP,BK,PK,TLP,LEA (N=2) (N=2) SSU3 (N=2) L L ST L SSU1 (N=2) L SRU2 (N=2) L STU1 (N=2) L SSU2 (N=2) L STU3 (N=) SS L TAHAP III Kualitas Karkas L STU2 (N=2) L PBBH,LEPR KRH, SRU3 (N=2) SRU1 (N=2) L L STU1 (N=2) L L STU1 (N=2) L L SSU2 (N=2) SR L L ST SSU1 (N=2) L ST SSU1 (N=2) SSU2 (N=2) L L SS L L L L SRU2 (N=2) SRU1 (N=2) STU3 (N=2) L L SRU1 (N=2) L STU2 (N=2) L PBBH, L EPR KRH, SR SR STU1 (N=2) SSU2 (N=2) SRU3 (N=2) L ST L L L L STU2 (N=2) L L L KUALITAS KARKAS: SRU3 SSU3 STU3 BP,BK,PK,TLP,LEA (N=2) (N=2) (N=2) Gambar 5 Bagan Penelitian Kualitas Karkas Daging Kualitas Karkas Daging Kualitas Karkas Daging