BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Ternak Babi
Babi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi besar
untuk
dikembangkan
kesanggupan
dalam
karena
memiliki
mengubah
bahan
sifat-sifat
menguntungkan,
makanan
secara
efisien,
yaitu
siklus
reproduksinya relatif pendek, dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan
banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8 -14 ekor dengan
rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya, lebih cepat tumbuh, dan cepat dewasa
(Sihombing 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan babi yang
digemukkan untuk tujuan daging dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
prasapih (prestarter), lepas sapih (starter), pertumbuhan (grower), dan finisher.
Babi periode finisher adalah babi setelah melewati periode pertumbuhan, yang
dicirikan dengan bobot hidup 60-90 kg, sedangkan pertambahan bobot badan babi
periode finisher adalah 701-815 g/hari. Soeparno (1992) menyatakan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh secara kumulatif mengalami
pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan, jadi
pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komponen-komponen
tubuh ternak, termasuk tulang, otot, dan lemak. Menurut Sutardi (1980),
kecepatan pertumbuhan suatu ternak dipengaruhi berbagai faktor, antara lain
bangsa, jenis kelamin, umur, makanan, dan kondisi lingkungan.
Siklus Berahi Ternak Babi
Berahi adalah periode yang ditandai oleh betina yang siap menerima
pejantan, dimana tanda-tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah
perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila
dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva
(membengkak, warna merah muda, dan kadang-kadang adanya sekresi dari
vagina) (Hafez 1993). Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada
babi yang menunjukkan gejala berahi adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila
punggungnya ditekan oleh pejantan atau tangan pekerja. Gejala berahi pada
babi betina sangat spesifik, babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan
10
singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara
babi jantan, baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut
Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang
divasektomi ataupun yang tidak divasektomi dan menempatkannya pada
kandang yang berdekatan dengan babi betina sangat membantu dalam
menentukan berahi. Babi betina yang berahi akan cenderung mencari pejantan
atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk
mendeteksi berahi ialah uji penekanan pada punggung babi betina dan
menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan
menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan adalah 100%.
Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan
menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan
menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990).
Lama berahi biasanya terjadi 2-3 hari dan pada periode tersebut betina
memiliki penerimaan terhadap pejantan (Sihombing 2006), satu sampai empat
hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam
pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1990). Menurut
Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari
dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas, dan gangguan
hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak
memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya
menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah
12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara, dan Belstra (2003) menyatakan
bahwa periode berahi pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk.
Menurut Goodwin (1974), periode berahi pada babi dara selama 12-36 jam.
Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel
telur fertil diproduksi dalam ovarium.
Berdasarkan histologi, vagina siklus berahi dibagi menjadi empat stadium,
yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan
proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, fase luteal terdiri atas metestrus
yang diikuti oleh diestrus dan fase diestrus diakhiri dengan luteolisis (MacMillan
dan Burke 1996). Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua
11
fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase
luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi,
rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus masingmasing adalah 3, 3, 4, dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus berahi pada babi
selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Siklus Berahi pada Babi.
Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu periode ketika folikel de graaf
bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang
makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh cepat
selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke
dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di
dalam darah. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan
penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de graaf membesar dan menjadi
matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan ke arah pematangan.
Selama periode ini, umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan
untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh
pengaruh estradiol pada sistem saraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan
pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak, ovulasi terjadi menjelang akhir
periode estrus.
12
Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus dimana
corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah
dibawah pengaruh LH dari adenohyphophisa (Toelihere 1979).
Metestrus
sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan
oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa
sehingga menghambat pembentukan folikel de graaf yang lain dan mencegah
terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan
seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio.
Diestrus adalah periode terakhir dan siklus berahi terlama pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh
progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini,
korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi
secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi menjadi kembali ke
ukuran semula. Pada periode ini juga mulai terjadi perkembangan folikel primer
dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan
poliestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologis umumnya ditandai oleh
ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi.
Fisiologi Reproduksi
Pertumbuhan dan perkembangan konseptus mulai dari saat fertilisasi,
menjadi zigot, berkembang menjadi embrio, fetus, dan siap lahir, dipengaruhi oleh
sejumlah faktor yang terintegrasi. Faktor tersebut didukung oleh kelenjar hipofisis
untuk mensekresikan hormon perangsang pertumbuhan folikel. Hormon adalah
suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai
saluran, disebut kelenjar endokrin, dan disebarkan melalui peredaran darah untuk
memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh (Hafez 1980). Hormon dapat
dikelompokkan menurut tempat asalnya, yaitu dari hipotalamus, pituitari, gonad
(testis dan ovarium), dan beberapa lainnya, seperti prostaglandin dari uterus,
bermacam-macam hormon dari plasenta, atau yang dihasilkan oleh unit plasentafetus selama kebuntingan. Hormon-hormon hipotalamus yang diketahui sebagai
hormon pelepas atau penghambat yang langsung berhubungan dengan reproduksi
adalah
Gonadotropin
Releasing
Hormone
(GnRH)
yang
menyebabkan
13
dilepaskannya Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone
(LH) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH
dan LH. Follicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein
dengan bobot molekul 67.000. Hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada pH
4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada pH 4,5 dengan mengandung
heksosamin, heksosa, nitrogen, dan sulfur. Fungsi utama FSH adalah stimulasi
pertumbuhan dan pematangan follicle de graaf di dalam ovarium dan
spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. Luteinizing hormone (LH)
pada babi mempunyai bobot molekul 100.000. Luteinizing hormone bekerja sama
dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez
1980). Sesudah pematangan folikel, LH menyebabkan ovulasi dengan menggertak
pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan LH
adalah bersifat luteotropik.
Hormon dari pituitari anterior yang berhubungan dengan reproduksi
diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) (Hafez 1980). Hormon-hormon
ini adalah FSH dan LH. Semua hormon pituitari anterior adalah glikoprotein dan
mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara
buatan. Prolaktin (PRL atau Luteotropic Hormone atau LTH) adalah suatu
hormon protein dengan bobot molekul 22.000-35.000. Hormon ini diinaktifkan
oleh pepsin, tripsin, dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok
asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara
aktivitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron, dan
merangsang tingkah laku keibuan (Toelihere 1979).
Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang
dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari
hipotalamus sampai ke pituitari (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu
yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah oktapeptida yang
mengandung delapan asam amino dengan bobot molekul 1000 dan relatif bersifat
basa dengan titik isoelektrik pada pH basa. Hormon tersebut merupakan peptida
dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesis secara buatan. Fungsi
utama hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar
kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis, oksitoksin telah lama
14
digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus.
Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitoksin pada sel-sel mioepitel
kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan
berkontraksi bila dirangsang oleh oksitoksin dengan akibat peningkatan tekanan
air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979).
Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau berahi pada hewan
betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang
dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin.
Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan
tergolong hormon steroid.
Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh teka
interna dari folliclel de graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan
aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus berahi (Toelihere
1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, akan tetapi disingkirkan melalui
inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses.
Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980).
Di samping itu, hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak
disimpan di dalam tubuh, ia dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya
terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi, yang
disebabkan oleh LH, terbentuklah korpus hemorargikum di dalam ovarium yang
kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan
dipertahankan oleh LTH atau prolaktin. Di bawah pengaruh prolaktin, sel-sel
lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa
kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari
hormon-hormon lain, seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
estrogen
terutama
menyebabkan
proses-proses
pertumbuhan,
sedangkan
progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae.
Relaksin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan simfisis pelvis.
Relaksin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air dengan bobot molekul kirakira10.000 (Toelihere 1979). Relaksin dihasilkan oleh korpus luteum selama
masa kebuntingan. Di samping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan
relaksin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaksin dalam ovarium babi
sangat meninggi pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian
15
kira-kira 10.000 GPU per gram bobot basah ovarium yang dipertahankan sampai
partus. Hormon relaksin bekerja sama sangat erat dengan hormon estrogen pada
saat induk babi partus (Hafez 1980).
Prostaglandin merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang
banyak ditemui hampir di seluruh bagian tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin
(PGF2α) diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus
balik ke ovarium. PGF2α dan PGE2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum
ovulasi. Prostaglandin berbeda dari hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai
hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya.
Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan
hati (Hafez 1980).
Gonadotropin releasing hormone (GnRH) mempunyai daya kerja untuk
merangsang sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan penstimulasi luteal
Luteinizing hormone (LH) serta faktor pengatur lainnya. Sekresi FSH selanjutnya
menstimulus pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi
estrogen yang kemudian akan merangsang sekresi LH yang selanjutnya akan
merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum dan melakukan fungsi
utamanya mensekresi progesteron. Mekanisme tersebut didukung oleh sekresi LH
yang menstimulasi ovulasi atau pematangan oosit, pertumbuhan folikel,
pembentukan dan fungsionalisasi korpus luteum untuk mensintesis dan
membebaskan progesteron. Setelah ovum tersebut terfertilisasi, perkembangan
zigot, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sangat bergantung pada
dukungan korpus luteum mensekresi progesteron yang selanjutnya berperan
mengawali dan menyiapkan lingkungan mikrouterus, merangsang perkembangan
kelenjar uterus dan plasenta, serta mempertahankan kebuntingan (Niswender et al.
2000; Cardenas dan Pope 2002). Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak
domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3.
Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang secara khusus
memproduksi progesteron dan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan
kebuntingan untuk mendukung perkembangan embrio (Rueda et al. 2000).
Rentang hidup korpus luteum bervariasi antara satu spesies dan spesies yang lain,
16
dan dapat berubah secara dramatis melalui peristiwa seperti pengawinan dan
kebuntingan.
Gambar 3 Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi.
Pada dasarnya korpus luteum mengalami dinamika proses regresi dan kehilangan
kapasitas untuk memproduksi progesteron dan mengalami involusi struktural,
yaitu granulosa dan sel-sel teka folikel ditransformasi dan berkembang menjadi
korpus luteum (Bao dan Garverick 1998). Hormone luteinisasi (LH) dari pituitari
anterior sangat berperan penting dalam perkembangan dan fungsi normal korpus
luteum pada hampir semua mamalia, meskipun hormon pertumbuhan, prolaktin,
dan estradiol juga berperan penting pada sejumlah spesies. Proses ini dimulai kirakira 1-2 hari sesudah terjadi pengawinan, selanjutnya korpus luteum memproduksi
dan
membebaskan
progesteron
yang
responsif
untuk
mempertahankan
kebuntingan.
Jika terjadi konsepsi saat pengawinan, korpus luteum tetap berfungsi dan
secara terus menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron (Wuttke et
al. 1997). Dalam mekanisme tersebut, estrogen berperan penting dalam
mempertahankan korpus luteum melalui aksi secara tidak langsung untuk
17
menstimulusi sekresi prolaktin (Geisert et al. 1990). Sebaliknya jika konsepsi
tidak terjadi, prostaglandin (PGF2α) disekresi oleh uterus untuk meregresi korpus
luteum dan terjadi penghentian produksi progesteron dan selanjutnya akan terjadi
perkembangan folikel baru (Wuttke et al. 1997; Bao dan Garverick 1998;
Niswender et al. 2000). Gangguan atau kegagalan reproduksi yang bermuara pada
tingginya mortalitas, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus
selama kebuntingan dapat berawal dari tidak didukung oleh pertumbuhan dan
perkembangan korpus luteum atau terjadi gangguan perkembangan sel folikel
yang diregulasi oleh hormon yang menstimulus FSH pada pituitari untuk
memodulasi sekresi progesteron dan estradiol (Garret et al. 1998).
Laktasi
Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies
mamalia selama masa laktasi (Shandolm dan Saarela 2003), yaitu ketika kelenjar
susu mensekresikan air susu. Kelenjar susu adalah suatu organ kompleks yang
tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel
sekretoris. Sel-sel ini tergabung dalam lobula alveoli, yang merespons dan bekerja
harmonis selama laktasi (Delaval 2008). Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar
susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu beranak pertama. Pada
spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan, dan kortisol diperlukan
untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa
seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur
ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4 .
Pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang
melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh pada kelenjar susu atau pada
semua hewan, maupun pengaruh eksternal, seperti lingkungan, iklim, dan
makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat, yakni pada saat laktasi
penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersamasama dengan jaringan ikat dan lemak, dan sekresi susu yang dihasilkan per hari
bisa melebihi bobot kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat bunting.
18
Gambar 4 Struktur Ambing (Delaval 2008).
Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kebuntingan,
akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai
di sini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau
tiga hari setelah tikus beranak. Penelitian yang dilakukan Knight dan Parker
(1982) menunjukkan bahwa, pada tikus, populasi sel sekretoris pada hari kelima
setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari
terakhir kebuntingan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik
paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Juga dilaporkan bahwa
produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi.
Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor, seperti fisiologi,
endokrinologi, dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya
anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat
selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor
biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal di
atas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu, yaitu kondisi
19
stress saat induk menyusui dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusui
(Delaval 2008).
Proses sintesis dan sekresi susu sangat bergantung pada suplai prekursor
ke sel epitel kelenjar susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari
kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah,
yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material.
Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam
kelenjar susu sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah
dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu
dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan sel sekretoris, didapat dari
makanan yang dikonsumsi dan diekstrak ke dalam darah (Walstra 1999). Substrat
utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa,
asam amino, asam lemak, dan mineral.
Ovulasi Ganda
Ovulasi ganda adalah suatu teknik untuk merangsang pembentukan
sejumlah besar folikel di dalam ovarium dan mematangkannya lebih cepat
daripada kemampuan alamiahnya (Toelihere 1981). Ovulasi ganda pada ternak
babi dapat dirangsang dengan cara pemberian suntikan hormon gonadotropin.
Termasuk ke dalam golongan hormon gonadotropin ini adalah luteinizing
hormone
(LH),
follicle
stimulating
hormone
(FSH),
human
chorionic
gonadotropin (hCG), pregnant mare's serum gonadotropin (PMSG), dan
prolactin (Sherwood dan McShan 1977; Partodihardjo 1980).
Hormon
gonadotropin telah dikenal hampir 60 tahun yang silam, yaitu sejak ditemukan
zat-zat di dalam kelenjar pituitari (hipofisis), darah, air seni, dan plasenta yang
dapat mempengaruhi perkembangan alat kelamin primer (gonad). Isolasi hormon
gonadotropin ini semula sangat sulit dilakukan karena jumlahnya sangat kecil, labil, dan polimorfik. Namun, sejak tahun 1960, beberapa ahli telah mampu
mengisolasi beberapa preparat hormon ini dalam keadaan cukup murni
(Partodihardjo 1980).
Ovulasi ganda telah dicoba pada beberapa hewan ternak komersial
maupun pada hewan model. Ovulasi ganda pada domba memperbaiki bobot lahir
20
dalam litter size (Manalu et al. 2000). Ovulasi ganda pada domba juga dapat
meningkatkan jumlah korpus luteum yang selanjutnya meningkatkan sekresi
progesteron, dan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus serta
pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sakai dan Takashi 1993; Manalu et al.
1999; Manalu 1999). Ovulasi ganda pada sapi diduga dapat mengontrol terjadinya
kenaikan LH pada preovulasi (Vos et al. 1994), sangat efektif untuk sinkronisasi
yang memperbaiki target pengawinan dan dapat meningkatkan produksi per induk
kambing (Goel dan Agrawal 1998). Ovulasi ganda pada induk babi sebelum
pengawinan dapat memperbaiki produktivitas dalam hal ini merangsang
pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, embrio dan fetus serta kelenjar
susu (Mege et al. 2007).
Hormon Ovulasi Ganda : PMSG dan hCG
Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) ditemukan pertama kali
oleh Cole dan Hart pada tahun 1930. Pregnant mare’s serum gonadotropin
(PMSG) disekresi oleh mangkok-mangkok uterus kuda bunting, yaitu mulai umur
kebuntingan enam minggu dan tetap ada sampai umur kebuntingan 12 minggu.
Bobot molekul PMSG bervariasi dari 28.000 sampai 53.000 dan dapat dipisahkan
menjadi subunit alfa dan beta PMSG yang memiliki sifat-sifat fisiologis, seperti
FSH dan sedikit LH. Seperti FSH, PMSG yang disuntikkan merupakan stimulator
yang potensial terhadap pertumbuhan indung telur dan meningkatkan kadar
estradiol di dalam darah, dan seperti LH, PMSG juga bisa merangsang sel-sel
granulosa dan ovulasi sel telur (Kaltenbach dan Dunn 1980). Fungsi PMSG
dalam tubuh kuda yang sedang bunting adalah merangsang indung telur
membentuk folikel-folikel baru, karena korpus luteum yang sudah terbentuk
hanya berumur 40 hari. Folikel-folikel yang tumbuh tersebut ada yang matang
sampai ovulasi dan ada juga bersifat atretik. Pregnant mare’s serum gonadotropin
(PMSG) merangsang dan meningkatkan laju pertumbuhan folikel, juga diduga
mempengaruhi proses terjadinya reduksi folikel berukuran kecil yang bersamaan
dengan itu terjadi peningkatan jumlah tipe folikel yang berukuran besar (Bates et
al. 1991; Estiene dan Harper 2003).
21
Teknik ovulasi ganda pada umumnya hewan donor disuntik dengan
preparat FSH dan PMSG atau kombinasi PMSG dengan hCG. Supriatna et al.
(1998) menyatakan bahwa PMSG yang merupakan hormon gonadotropin
mempunyai daya kerja biologi yang unik dengan aktivitas berpotensi ganda FSH
dan LH dalam satu molekul yang dapat merangsang pertumbuhan folikel.
Selanjutnya Bindon dan Piper (1982) menyatakan bahwa PMSG mempunyai
aktivitas biologis yang mirip dengan FSH dan LH. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa PMSG dapat dikatakan sebagai gonadotropin yang lengkap, yang dapat
meningkatkan pertumbuhan folikel, produksi estrogen, ovulasi dan luteinisasi,
serta sintesis progesteron.
Pregnant mare’s serum gonadotropin mempunyai efektivitas yang tinggi
dalam menimbulkan ovulasi ganda pada hewan bila diberikan dengan dosis yang
tepat secara injeksi tunggal, karena PMSG mempunyai waktu paruh biologi yang
panjang. Lain halnya dengan FSH yang mempunyai waktu paruh yang pendek
(sekitar lima jam), sehingga pemberiannya harus dua kali atau berulang kali
selama tiga-empat hari (Armstrong et al. 1982). Menurut Menzer dan Schams
(1979), PMSG mempunyai waktu paruh yang panjang yaitu mencapai 123
jam, sehingga walaupun pengaruh ovulasi ganda telah tercapai, PMSG
masih dapat merangsang ovarium. Yadav et al. (1983) menyatakan
bahwa residu PMSG yang beredar di peredaran darah dan masih
memiliki potensi biologis akan terus merangsang aktivitas ovarium,
sehingga menimbulkan negative rebound effect terhadap hipofisa yang
berakibat pada penekanan sekresi LH. Menurut Armstrong et al. (1982)
ovarium yang terangsang disertai tidak adanya sekresi LH akan menghasilkan
folikel yang gagal berovulasi (persisten). Dampak lanjutan dengan
beredarnya
keseimbangan
PMSG
dalam
hormonal,
sirkulasi
gangguan
darah
ovulasi,
adalah
gangguan
gangguan
pembuahan
(fertilisasi) dan pengangkutan embrio di saluran telur.
Pada hewan ternak yang diinduksi dengan ovulasi ganda pada saat fase
yang tepat dari siklus estrusnya akan diperoleh hasil ovulasi ganda yang
maksimum (Rajamahendran et al. 1987). Ovulasi ganda pada domba, kambing,
dan sapi, PMSG biasanya diberikan pada fase folikuler, meskipun respon pada
22
masa ini terhadap jumlah ovulasi tidak dapat diprediksi dan tingginya variabel
yang mempengaruhi pada hewan donor (Cahill et al. 1982).
Pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) memiliki aktivitas biologi
ganda, yaitu serupa dengan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing
hormon (LH) sehingga disebut sebagai gonadotropin sempurna. Pengaruh yang
ditimbulkan oleh PMSG antara lain: (1) menunjang produksi estrogen; (2)
ovulasi; (3) luteinisasi; dan (4) merangsang sintesis progesteron pada ternak
yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga
dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskuler cukup untuk
menimbulkan ovulasi berganda (Bates et al. 1991). Penggunaan PMSG dan
human corionic gonadotropin (hCG) untuk merangsang ovulasi ganda, lebih
sering digunakan daripada FSH dan LH.
Human Corionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon yang ditemukan
pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal
dari hipofisa melainkan disintesis dari villi-villi khorion (cytotrophoblast) yang
kemudian disebut "anterior pituitary-like hormone " karena aktivitas biologisnya
menyerupai LH dan sedikit FSH (Hafez 1993). Human Corionic Gonadotropin
merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 40.000 dalton, terdiri atas
sub unit a dengan 92 asam amino dan dua rantai karbohidrat dan menyerupai sub
unit a pada LH. Sub unit o terdiri atas 145 asam amino dan lima rantai
karbohidrat (Hafez 1993). Aktivitas biologis hCG menyerupai LH, meskipun
struktur kimianya berbeda. Human Corionic Gonadotropin (hCG) merangsang
sel-sel interstisial pada ovarium dan menyebabkan ovulasi (Kaltenbach dan
Dunn 1980). Reseptor untuk hCG sama dengan untuk LH. Human Corionic
Gonadotropin mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap sel-sel interstisial dan
terbatas pada sel-sel teka. Selain itu, hCG diketahui berikatan dengan sel-sel
granulosa sehingga peranan hCG juga membantu merangsang pembentukan
folikel pada ovarium (Sherwood dan McShan 1977).
Human Corionic
Gonadotropin juga mempunyai daya kerja sedikit seperti FSH, maka pemberian
hCG dengan dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan folikel dalam ovarium.
Selain itu, hCG bertanggungjawab atas luteinisasi sel-sel granulosa, memelihara
fungsi korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesteron (Sherwood dan
23
McShan 1977; Hafez 1993). Aktivitas luteinisasi hCG terlihat pada
perpanjangan sekresi progesteron. Pemberian hCG akan memperpanjang hidup
korpus luteum (Bennet dan Laymaster. 1989).
Hasil penelitian superovalasi pada domba telah dilaporkan berhasil
meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron dalam darah induk,
peningkatan pertumbuhan jaringan uterus, embrio dan fetus (Manalu dan
Sumaryadi 1999). Ovulasi ganda berhasil pula meningkatkan pertumbuhan
diferensial kelenjar susu, pada waktu kebuntingan berdasarkan gambaran
kandungan kolagen, DNA, RNA (Manalu et al, 1999). Selanjutnya, ovulasi
ganda berhasil meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu,
produksi susu induk domba, dan menurunkan mortalitas, serta memperbaiki
pertumbuhan prasapih dan bobot sapih anak domba (Manalu dan Sumaryadi
1998). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal
pembentukan folikel sampai pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Fase luteal
merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum yang meliputi lebih
dari duapertiga siklus estrus (Hunter 1995).
Human chorionic gonadotropin (hCG) adalah hormon yang ditemukan
pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal
dari hipofisis, melainkan disintesis dari villi-villi khorion cytotrophoblast yang
kemudian disebut “anterior pituitary-like hormone” karena aktivitas biologisnya
menyerupai LH dan sedikit mirip FSH (Hafez 1993).
Human chorionic
gonadotropin (hCG) dapat ditemukan kira-kira satu minggu setelah fertilisasi atau
satu hari setelah implantasi.
Human chorionic gonadotropin (hCG) adalah
hormon glikoprotein terdiri atas subunit alfa dan beta dengan bobot molekul
40.000. Human chorionic gonadotropin (hCG) memiliki aktivitas seperti LH
karena keduanya memiliki struktur yang hampir sama. Aktivitas hCG antara lain
merangsang pertumbuhan sel-sel interstisial indung telur yang menyebabkan
ovulasi dan meningkatkan sekresi progestin (Sherwood dan McShan 1977). Kadar
hCG di dalam air seni wanita hamil terus meningkat dari minggu pertama
kehamilan dan mencapai kadar maksimal pada umur kehamilan 10 sampai 12
minggu, dan setelah itu kadar hCG menurun (Sherwood dan McShan 1977).
Kadar hCG tertinggi di dalam darah (120 i.u./mL serum) didapatkan pada hari
24
ke-62 setelah menstruasi terakhir, dan kadar terendah (10 i.u./mL serum darah)
didapatkan pada hari ke-154, namun pada hari ke-200 meningkat lagi (20
i.u./mL serum darah) dan kadar ini tetap tidak berubah sampai kehamilan berakhir
(Partodihardjo 1980). Adanya kandungan asam sialat yang lebih tinggi pada
PMSG dan hCG menyebabkan waktu paruhnya lebih panjang sehingga
penggunaannya lebih efektif daripada FSH dan LH (Sherwood dan McShan
1977).
Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Reproduksi Ternak Babi
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan
jalan meningkatkan reproduktivitas ternak betina (Yoga 1988). Dikemukakan pula
bahwa peningkatan reproduktivitas pada ternak babi guna mendapatkan jumlah
anak sekelahiran (litter size) dan bobot lahir yang tinggi, laju pertumbuhan yang
pesat, angka kematian yang rendah, dan lain sebagainya banyak diusahakan orang.
Banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas reproduksi pejantan maupun
betina (Sihombing 2006).
Hafez (1993) mengemukakan lama bunting ternak diukur dari saat
terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kelahiran adalah
suatu proses fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan plasenta
dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan (Toelihere 1981), sedang
menurut Partodihardjo (1982) kelahiran adalah suatu proses mengeluarkan anak
dan plasenta melalui saluran kelahiran. Tanda-tanda babi yang akan beranak ialah
babi sangat gelisah, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan lendir,
berusaha membuat tempat atau sarang untuk bakal anaknya, di dalam puting susu
terdapat air susu dan urat daging di sekitar vulva mengendor (Eusebio 1980).
Proses pembentukan dan pemeliharaan kebuntingan pada sebagian besar
mamalia melibatkan integrasi fungsi antara ovarium, uterus, plasenta, dan
konseptus itu sendiri serta ketersediaan nutrisi maupun dukungan stimulasi
hormon-hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan (Bazer et al. 1982; Roberts
et al. 1993). Kesemuanya itu merupakan faktor penentu untuk menghasilkan
jumlah anak sekelahiran yang berbobot lahir optimal dan sangat substansial bagi
efisiensi produksi babi (Geisert dan Schmitt 2002). Pertumbuhan dan
25
perkembangan embrio dimulai sejak blastosis menempel pada dinding uterus. Selsel blastosis tersebut akan membelah dengan cepat sehingga terjadi pertambahan
jumlah dan masa sel disertai dengan diferensiasi sel. Mekanisme tersebut sangat
dipengaruhi oleh hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Aksi hormon
tersebut terjadi secara langsung dalam mekanisme pertambahan dan diferensiasi
jaringan embrio dan fetus selama kebuntingan (Owens 1991; Anthony et al.
1995).
Kapasitas uterus
ternak babi mempengaruhi jumlah anak sekelahiran
sesudah umur 25 hari kebuntingan (Fenton et al. 1972; Pope et al. 1990).
Tingginya laju ovulasi yang dapat menghasilkan sejumlah embrio dan fetus yang
tidak didukung oleh kapasitas uterus yang memadai menjadi penyebab kematian
embrio dan fetus selama kebuntingan (Christenson et al. 1987; Wu et al. 1988;
Sterle et al. 2003). Kapasitas uterus yang kurang memadai pada gilirannya
berpengaruh pada dukungan fisiologis lingkungan internal uterus dalam
mempertahankan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio
dan fetus sampai lahir (Young et al. 1990; Wilson et al. 1999; Sterle et al. 2003).
Lingkungan internal uterus yang memadai bergantung pada dukungan dan
perkembangan kelenjar-kelenjarnya yang mensekresi kebutuhan zat-zat makanan
untuk konseptus selama kebuntingan (Bennet dan Leymaster 1989; Vallet et al.
1998; Willis et al. 2003). Ketidaksiapan lingkungan uterus terutama dalam
menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya berdampak pada tingginya
kematian, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wu et al.
1988), pada gilirannya berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak
yang lahir serta pertumbuhannya (Sterle et al. 2003).
Sekresi kelenjar uterus sangat penting dalam memediasi pertumbuhan dan
perkembangan konseptus (Yamashita et al. 1990; Gray et al. 2001). Kelenjar
uterus yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan normal
konseptus pada saat implantasi akan memicu terjadinya kegagalan reproduksi,
yang digambarkan dengan kematian embrio yang tinggi pada kebuntingan dini
(Pope dan First 1985; Geisert et al. 1990). Kematian ini dapat juga bermula dari
ketidakcukupan kebutuhan nutrisi sejumlah konseptus untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik (Pope dan First 1985; Pope et al. 1990), sedangkan pada
awal kebuntingan konseptus membutuhkan nutrisi yang cukup dan apabila
26
cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi akan berakibat pada daya tahan
dan kesehatan embrio karena semuanya sangat bergantung pada sekresi kelenjar
uterus (Vallet et al. 1998; Gray et al. 2001).
Sekresi uterus sangat penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,
dan perkembangan konseptus pada ternak yang mempunyai periode kebuntingan
yang panjang, seperti domba, kambing, sapi, dan babi (Roberts dan Bazer 1988).
Mortalitas, pertumbuhan, dan perkembangan fetus selama periode kebuntingan
sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kapasitas serta kemampuan plasenta
menyediakan nutrisi melalui mobilisasi sirkulasi dari induk. Plasenta adalah organ
yang mempunyai peran sebagai mediator pertukaran gas, nutrien, dan limbah
antara induk dan sistem fetus. Fungsi utama plasenta adalah menyalurkan substrat
metabolik yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan fetus. Oleh karena
itu, pertumbuhan dan perkembangan plasenta merupakan salah satu faktor
penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan normal fetus (Reynolds dan
Redmer 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan
anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup, dan
pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan dan perkembangan fetus secara optimal
sangat ditentukan oleh mekanisme sirkulasi nutrien baik yang dimediasi oleh
protein transpor maupun melalui difusi, dan sangat bergantung pada hubungan
fungsional antara permukaan dinding uterus di plasenta (Reynolds dan Redmer
1995) dalam uterus melalui perubahan mekanisme dan ekspresi gen jaringan fetus
(Anthony et al. 1995; Fowden 1995).
Peningkatan progesteron yang mempengaruhi pertumbuhan embrio dan
fetus, juga merangsang sekresi protein oleh uterus (Vallet et al. 1998). Banyak
protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal fetus pada babi yang
disekresi oleh uterus, seperti uteroferin dan retinol-binding-protein (RBP).
Uteroferin berperan untuk transpor besi, sedangkan RBP berperan untuk transpor
retinol. Sekresi protein tersebut mengalami perubahan selama kebuntingan dan
perubahan
disini
terutama
berhubungan
dengan
perkembangan
fetus.
Sekresi protein melalui endometrium selama kebuntingan dikontrol oleh
progesteron dan estradiol (Adams et al. 1981; Torut et al. 1992).
27
Pertumbuhan dan perkembangan fetus
yang baik sampai akhir
kebuntingan diharapkan akan memberikan bobot lahir yang baik walaupun dengan
jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya menghasilkan
penampilan produksi yang lebih baik pula. Masalah rendahnya produksi tidak saja
dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya
bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya
pertumbuhan dan perkembangan embrio serta fetus selama kebuntingan dan
jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu
pertama setelah lahir (Bennett dan Leymaster 1989).
Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, seperti
estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999),
baik melalui perbaikan pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti FSH
dan LH atau melalui tiruannya, seperti PMSG dan hCG serta kombinasi hormon
gonadotropin lainnya.
Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir
per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak
babi setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari. Seekor induk babi dapat
menghasilkan anak babi sampai 12-14 ekor anak dalam sekelahiran. Litter size ini
dapat digunakan sebagai indikator kemampuan reproduksi ternak babi karena
anak yang banyak setiap kelahiran adalah esensial untuk produksi babi
(Sihombing 2006). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kelahiran anak yang banyak
disertai banyaknya anak yang hidup pada waktu disapih menunjukkan beberapa
hal sebagai berikut; menandakan ovulasi yang tinggi dan kematian embrio rendah,
air susu induk babi dapat berfungsi dengan baik dan kedua pernyataan ini
menunjukkan kemampuan induk dalam mengasuh anak.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, di antaranya
jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama
berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes dan Varley 2004), umur (Singh
dan Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus, dan bangsa (Leymaster dan
Jhonson 1994). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi Landrace dapat
menghasilkan litter size lahir sekitar 10.94 ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire
28
adalah 9.57 ekor (Park dan Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al.
(2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire,
masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum, litter size lahir dan sapih
terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada
paritas selanjutnya. Induk babi pada paritas ketiga dan keempat memiliki
penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk.
Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat
sebanyak 0.7 ekor sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et
al. 2003).
Bobot lahir adalah bobot badan yang ditimbang sesaat setelah hewan
dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa,
pejantan, ransum yang diberikan selama induk bunting, dan litter size pada waktu
lahir (De Borsotti 1982). Bangsa babi mempengaruhi bobot lahir per ekor, yaitu
pada babi Duroc 1.47 kg (Milagres 1983), 1.46 kg (Lopez et al. 1983), Landrace
1.74 kg, dan Yorkshire 1.39 kg (Quintana dan Lopez 1983) . Rataan bobot lahir
bangsa murni dan persilangan Duroc, Landrace, Yorkshire adalah 1.38±0.10 kg
(De Borsotti 1982).
Mati lahir adalah suatu kondisi yang anak babi dilahirkan sudah dalam
keadaan mati. Huges dan Varley (2004) menyatakan bahwa kejadian mati lahir
anak babi dapat mencapai 3-5%, sedangkan hasil penelitian Cole dan Foxcroft
(1982) menyatakan angka kematian babi saat dilahirkan 4-8% dari semua anak
yang dilahirkan. Menurut Bolet (1982) bahwa kematian anak babi akan meningkat
dengan meningkatnya jumlah anak babi yang lahir per kelahiran, selanjutnya
Benkov (1983) mengemukakan bahwa jika litter size lahir anak babi kurang dari 6
ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1.78% dan jika
litter size lahir anak babi 6-8.8, 8.8–10, dan 10-12 ekor, maka tingkat kematian
anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6, 18 dan 12.79%, bila litter size
lahir 12 ekor, maka kematian pada 21 hari adalah 10.86%. Anak babi yang
mempunyai bobot badan di bawah 1 kg pada waktu lahir lebih banyak mati karena
kalah bersaing dengan anak babi yang lebih besar dalam menyatakan air susu
(Bolet 1982). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sebelum
29
disapih dapat mencapai 72% dengan empat penyebab utama, yaitu 35.4% akibat
terinjak oleh induk, 14% kaki tidak lurus, 11% akibat agalactic, dan 11% akibat
kelemahan pada waktu lahir, ini lebih sering berlaku pada induk yang beranak
pertama. Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan kematian anak babi pada waktu
sebelum disapih sangat bervariasi, yaitu 12-30%, sedangkan periode menyusu
rataan tingkat kematian adalah 20.8%.
Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk
dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot
sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk, dan cara
pemberian makan (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikatakan pada umur
penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi di saat
sapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot potong daripada anak babi yang
bobot badannya lebih ringan. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot
badan, umur induk, dan keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui
anak, kuantitas dan
kualitas ransum yang diberikan, serta suhu lingkungan.
Umumnya, kisaran bobot sapih adalah 13.6–18.1 kg (Hafez 1993).
Produksi Ternak Babi
Produksi ternak babi mencakup pertumbuhan ternak babi, proses yang
terjadi sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan, tetapi menyangkut
pertumbuhan semua ogran tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al.
1983). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuranukurannya. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor
makanan sangat
mempengaruhi pertumbuhan.
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk kebutuhan 24
jam (Anggorodi 1994). Ransum yang sempurna adalah kombinasi beberapa bahan
yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada
ternak dalam perbandingan jumlah dan bentuk sedemikian rupa sehingga fungsifungsi fisiologis dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi 1983). Adapun
konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bobot
badan, umur ternak, temperatur, jumlah ransum, serta bertambahnya umur
(Sihombing 2006). Tingkat konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang
30
dimakan oleh ternak bila diberikan ad libitum (Cuncha 1980). Faktor penting yang
menentukan tingkat konsumsi adalah palatabilitas dan palatabilitas yang
bergantung pada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain, seperti suhu
lingkungan, kesehatan ternak, stress, dan bentuk ransum (Church 1984). Pada
umumnya, konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya
frekuensi pemberian makan. Babi dengan bobot badan 10-90 kg yang diberikan
ransum dua kali sehari mengkonsumsi rataan 1.54 kg per ekor per hari, sedangkan
pada pemberian tiga kali sehari, konsumsi ransum sebesar 1.92 kg dan pada
pemberian ad libitum konsumsi ransumnya 2.61 kg per ekor per hari (Tillman et
al. 1989).
Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel (hiperplasia) serta
peningkatan sel (hipertropi). Definisi pertumbuhan adalah pertambahan besar otot,
tulang, organ-organ dalam, dan bagian tubuh lain (Cuncha 1980). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari konsumsi langsung yang
dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hipotalamus (Goodwin
1974). Pertumbuhan umumnya diukur dengan kenaikan bobot badan yang dengan
penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot
badan harian, minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al. 1989).
Parakkasi (1983) mengemukakan bahwa untuk kebutuhan zat makanan,
urutan yang paling penting adalah protein, karena dibutukkan untuk kebutuhan
hidup pokok dan produksi, di samping itu untuk sejumlah energi yang cukup
untuk membantu proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk periode starter
14-16% dengan bobot badan ternak babi 15-45 kg. Menurut Sihombing (2006)
periode pertumbuhan pengakhiran, yaitu babi yang memiliki bobot rata-rata
35–90 kg. Periode ini merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan
zat makanannya dan ransum yang bermutu. Pertambahan bobot badan dan
konversi ransum yang tinggi adalah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
performans babi grower. Pertambahan bobot badan mencapai 820 g/hr dan
efisiensi ransum 0.31.
Efisiensi penggunaan makanan merupakan pertambahan bobot badan yang
dihasilkan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum
bergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk pertumbuhan
31
hidup pokok dan fungsi lain, kemampuan ternak untuk mencerna makanan,
jumlah makanan yang hilang melalui proses metabolisme, dan tipe makanan yang
dikonsumsi (Campbell 1985). Faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan
ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak, dan
keseimbangan ransum yang diberikan (Devendra dan Fuller 1979). Efisiensi
penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap
ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik (Bogart 1997).
Bobot potong yang paling disukai konsumen berkisar 90-115 kg, karena
kisaran ini memberikan perbandingan antara daging dan lemak yang optimal
dengan penilaian karkas sesuai dengan standar USDA (United State Development
of Agriculture). Bobot potong yang paling optimum menurut Whittemore (1980)
adalah 50-120 kg. Untuk menghasilkan bobot karkas yang berkisar 78-86 kg maka
babi sebaiknya dipotong pada bobot hidup dengan kisaran 90-100 kg (Sihombing
2006).
Kualitas Karkas Babi
Teknik ovulasi ganda pada induk melalui pemberian hormon eksternal
PMSG dan hCG memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas bakalan ternak
babi. Kualitas bakalan dapat dilihat dari karakteristik karkas pada saat dipotong.
Pada ternak babi, karkas yang dihasilkan berkisar 60-90% dari bobot hidup,
bergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas, dan cara pemotongan.
Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu penting pengaruhnya pada bobot
karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas lambung yang
lebih kecil (Pond dan Maner 1974).
Devendra dan Fuller (1979) mengemukakan bahwa persentase karkas
adalah perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup dalam persen. Persentase
karkas ini dapat menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dan bobot
hidup. Persentase karkas lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau
domba karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely
dan Bade 1998). Persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe ternak,
penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang
dikeluarkan (Campbell et al. 1985). Pemberian makanan yang bersifat bulky dan
32
lama pemuasaan sebelum ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase
karkas yang dihasilkan (Devendra dan Fuller 1979).
Krider dan Carroll (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak
punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas
karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa tebal lemak punggung memiliki hubungan dengan
komposisi daging yang dihasilkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. (Meat
Evaluation Handbook 1988).
Tabel 1 Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang
Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya
Kelas
Tebal Lemak Punggung (cm)
Persentase Daging (%)
US NO 1
< 3,56
>53
US NO 2
3,56-4,32
50-42,9
US NO 3
4,32-5,08
47-49,9
US NO 4
>5,08
< 47
Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988
Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Dengan
perkataan lain, anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan memberikan
kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) menyatakan bahwa anak
babi yang lahir dengan bobot tubuh ringan akan menurunkan penampilan
pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dikatakan bahwa anak babi yang
dilahirkan dengan bobot ringan akan menurunkan kualitas karkas, dalam hal ini
mempunyai deposisi lemak tinggi dan LEA yang rendah (Bee 2004). Rendahnya
bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan
selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008).
Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan
pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan isi rongga
dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih
yang dapat dikonsumsi
oleh manusia, termasuk isi rongga perut dan dada.
Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari bobot hidup bergantung
pada kondisi, genetik, kualitas pakan, dan cara pemotongan (Forrest et al. 1975).
33
Whittemore (1980) menyatakan bahwa karkas babi mengandung tiga perempat
bagian daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas
adalah nonkarkas atau offal. Lawrie (2003) menyatakan bahwa karkas merupakan
bagian tubuh ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran
pencernaan, intestin, kantong urin, jantung, trakhea, paru-paru, ginjal, limfa, hati,
dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas
terdiri atas urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang terdiri atas
tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-lain. Rataan
bobot karkas domba, sapi, dan babi masing-masing 50, 55, dan 75% dari bobot
hidup.
Kualitas karkas (yield grade), yang dijadikan ukuran adalah tebal lemak
punggung, luas urat daging mata rusuk, persentase lemak pelvis, ginjal dan
jantung, dan bobot karkas (Forrest et al. 1975). Kualitas karkas adalah nilai
karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran.
Komponen nonkarkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis kelamin, dan bobot
potong (Forrest et al. 1975). Offal terdiri atas bagian yang layak dimakan (edibleoffal), yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, saluran pencernaan, ginjal, dan
limpa. Tanduk, kuku, tulang, dahi, atau kepala adalah termasuk bagian yang tidak
layak dimakan (inedible offal). Daging sebagai komponen utama karkas, tersusun
dari otot, jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah, dan
lemak. Otot merupakan bagian terbesar dari karkas yang mengandung 75% air,
19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, 2,3% zat terlarut bukan protein, dan
sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak mengandung 2% protein dan 8-12%
air (Soeparno 1992). Daging babi memiliki protein yang berkualitas tinggi dengan
kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap.
Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot
potong yang dinyatakan dalam persen (Forrest et al. 1975). Bobot potong yang
tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Hal ini dikarenakan
sering adanya perbedaan pada bobot kepala, bulu, isi rongga dada, dan perut
(Soeparno 1992). Oleh karena itu, bobot potong lebih dari 90 kg memang
meningkatkan hasil bobot karkas, tetapi persentase karkas yang dihasilkan akan
menurun (Sihombing 2006). Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat
34
interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak,
jenis kelamin, dan kematangan seksual (Davendra dan Fuller 1979). Persentase
karkas babi dibagi menjadi beberapa kelas, kelas satu menurut USDA adalah 6872% (Forrest et al. 1975). Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe
dan ukuran ternak serta penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya
kotoran yang dikeluarkan (Soeparno, 1992). Persentase karkas akan meningkat
dengan meningkatnya bobot potong (Forrest et al. 1975), yang dinyatakan pula
dengan meningkatnya presentase lemak karkas menyebabkan persentase otot dan
tulang menurun. Persentase karkas normal berkisar antara 60-75% dari bobot
hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain,
seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu
besar serta babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade 1998).
Panjang karkas erat hubungannya dengan panjang badan pada waktu
hidup. Whittemore (1980) juga menyatakan bahwa semakin pendek bentuk tubuh
ternak maka akan cenderung mempunyai lemak punggung yang semakin tebal.
Selain itu, Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa panjang karkas erat
kaitannya
dengan
tebal
lemak
punggung
dan
bobot
karkas
dalam
mengklasifikasikan kualitas karkas.
Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh
Hazel dan Kline dengan alat yang disebut ”back fat probe”. Setelah itu alat ini
sangat luas penggunaannya dan perkembangan teknologi peralatannya juga
berjalan terus. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan
produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi
persentase hasil daging yang tinggi dan, sebaliknya, tebal lemak punggung yang
tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968,
lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan
kelas karkas babi yang siap potong. Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa
pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam
menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas
merupakan lemak subkutan. Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan
pengklasifikasian kualitas karkas. Ternak babi merupakan ternak yang paling
cepat menimbun lemak dan paling cepat di antara ternak lainnya (Miller et al.
35
1991). Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh
ternak. Karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno
1998). Devendra dan Fuller (1979) menyatakan bahwa babi yang baru lahir sudah
mengandung 1% lemak dari total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi
10% pada saat disapih, setelah itu menjadi 20-35% pada saat bobot badan
mencapai 60-120 kg. Pertambahan umur dan bobot badan ternak babi akan
menyebabkan persentase lemak meningkat. Lokasi penumpukan atau deposisi
lemak dalam karkas terdiri atas empat bagian, yaitu di bawah kulit (subkutan),
lemak internal (lemak di sekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuskuler dan
lemak intramuskuler (lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada keempat
lokasi ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak di
sekitar rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling.
Jaringan lemak ternak babi paling banyak disimpan di bawah kulit dibandingkan
dengan sapi dan domba yang terbesar pada bagian pundak.
Kualitas daging erat hubungannya dengan ukuran luas penampang otot
longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut urat daging mata rusuk
yang diukur di antara tulang rusuk ke 10 dan 11 (Miller et al. 1991). Luas urat
daging mata rusuk dapat digunakan untuk menduga perdagingan karkas dan bobot
karkas karena terdapat korelasi dengan total daging pada karkas, yaitu yang lebih
berat akan mempunyai ukuran penampang urat daging mata rusuk yang lebih
besar. Lebih lanjut dikatakan bahwa luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh
pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut Figueroa (2001) yang meneliti
pengaruh performans babi pertumbuhan finisher yang diberikan pakan rendah
protein, rendah energi, tepung biji sorghum-kedelai memperoleh nilai rataan luas
urat daging mata rusuk sebesar 42,97 cm2. Menurut Soeparno (1998), luas urat
daging mata rusuk dipengaruhi juga oleh bobot potong. Bobot potong yang tinggi
akan menghasilkan daging mata rusuk yang lebih luas.
36
60 EKOR BABI DARA
30 Ekor Disuntik PMSG dan
Hcg 600 IU
.
PENYERENTAKAN
BERAHI
PGF2ά
30 EKOR BUNTING
30 Ekor Disuntik
NaCl Fisiologis 0.95%
30 EKOR BUNTING
LSL, BBL,PASI,
TAHAP I
LSL, BBL,PASI,
LLSP,BBS, M
LLSP, BBS, M
9 Induk LS
9 Induk LS
(R,S,T)
(R,S,T)
L
SR
L
SS
L
SRU1
(N=2)
SSU1
(N=2)
SRU2
(N=2)
L
SSU3
(N=2)
L
SS
L
SRU2
(N=2)
TAHAP II
BP 87-90 KG
STU2
(N=2)
L
L
L
KUALITAS
KARKAS:
SRU3
SSU3
STU3
(N=2)BP,BK,PK,TLP,LEA
(N=2)
(N=2)
SSU3
(N=2)
L
L
ST
L
SSU1
(N=2)
L
SRU2
(N=2)
L
STU1
(N=2)
L
SSU2
(N=2)
L
STU3
(N=)
SS
L
TAHAP III
Kualitas Karkas
L
STU2
(N=2)
L PBBH,LEPR
KRH,
SRU3
(N=2)
SRU1
(N=2)
L
L
STU1
(N=2)
L
L
STU1
(N=2)
L
L
SSU2
(N=2)
SR
L
L
ST
SSU1
(N=2)
L
ST
SSU1
(N=2)
SSU2
(N=2)
L
L
SS
L
L
L
L
SRU2
(N=2)
SRU1
(N=2)
STU3
(N=2)
L
L
SRU1
(N=2)
L
STU2
(N=2)
L PBBH,
L EPR
KRH,
SR
SR
STU1
(N=2)
SSU2
(N=2)
SRU3
(N=2)
L
ST
L
L
L
L
STU2
(N=2)
L
L
L
KUALITAS
KARKAS:
SRU3
SSU3
STU3
BP,BK,PK,TLP,LEA
(N=2)
(N=2)
(N=2)
Gambar 5 Bagan Penelitian
Kualitas Karkas Daging
Kualitas Karkas
Daging
Kualitas Karkas Daging
Download