materi 1 “aliran pemikiran islam dan filsafat”

advertisement
MATERI 1
“ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM DAN FILSAFAT”
1
Aliran Pemikiran Islam dan Filsafat: Aliran Politik, kalam, fiqh, falsafah,
tasawuf, pendidikan dan pendidikan Islam
Aliran pemkiran islam dan filsafat memiliki banyak sekali topik pembahasan yang
harus dibahas diantaranya yaitu tentang politik, ilmu kalam, fiqh, falsafah, tasawuf,
pendidikan dan pendidikan Islam. Disini kami akan membahas topik-topik diatas
berdasarkan referensi-referensi yang kami dapat.
1. Politik
Politik itu sendiri berarti cerdik atau bijaksana. Memang dalam pembicaraan
sehari-hari kita seakan-akan mengartikan politik sebagai suatu cara yang dipakai
untuk mencapai atau mewujudkan tujuan, tetapi sebenarnya para ahli
ilmu politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang politik.
Pada dasarnya, politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan
politik pada dasarnya adalah membicarakan negara. Karena politik menyelidiki
negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara
dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki, asas-asas, sejarah
pembentukan negara, serta bentuk dan tujuan negara. Jadi politik adalah ilmu yang
mempelajari asal mula, bentuk-bentuk, proses negara-negara dan pemerintahanpemerintahan (Wibur White).
Kebijaksanaan pemerintah dibuat didalam area politik. Ini bertujuan untuk
mengatasi keadaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.1
2. Hukum Kalam
Menurut Al-Farabi, ilmu kalam adalah ilmu yang membahas zat dan sifat Allah
beserta semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai
masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin islam. Macam-macam ilmu kalam
sebagai berikut:
a. Ilmu Tauhid, adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah,
guna mempercayai sesuatu dengan yakin. Pokok utama ilmu ini adalah keEsaan Allah SWT.
1
Drs. Inu Kencana Syafiie. Filsafat Kehidupan. PT. Bumi Aksara. Jakarta . 1995. Hal: 129-132
2
b. Ilmu Aqa‟id, artinya simpulan atau buhul, yaitu kepercayaan yang tersimpul
dalam hati, atau pandangan yang bersemayam dalam jiwa manusia dan diyakini
kebenarannya sehingga tidak mudah dilepaskan.
c. Ilmu Ushuluddin, adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip dasar
agama dengan menggunakan dalil-dalil qat‟iyyah dan logika.
Fungsi ilmu kalam yaitu:
a. Menjaga
kemurnian
dasar-dasar
agama
dan
memberikan
dasar-dasar
argumentasi yang kuat dihadapan para penentangnya.
b. Memberikan arahan dan petunjuk kepada orang-orang yang membutuhkan
nasihat.
c. Menjadi pijakan bagi ilmu-ilmu syariah.
d. Menompang dan menguatkan sistem nilai ajaran agama islam yang terdiri dari
tiga pilar yaitu: iman sebagai landasan aqidah, islam sebagai manifestasi syariat,
ibadah dan muamalah, serta insan sebagai aktualisasi akhlak.
e. Menjaga kesucian niat dan keyakinan yang merupakan dasar dalam perbuatan
untuk mencapak kebahagiaan dunia akhirat.
3. Fiqh
Fiqh menurut Hanafi adlah mengetahui hukum-hukum syara‟ yang mengenai
perbuatan dengan melalui dalil-dalil Allah SWT.yang terperinci. Dan juga merupakan
ilmu yang dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran
dan perenungan.
Ada 4 sumber yang paling utama dalam mempelajari ilmu fiqh, yaitu:
a. Al-Qur‟an, semua hal-hal yang berkaitan dengan ilmu fiqh harus menggunakan
sumber paling utama yaitu dari Al-qur‟an. Karena Al-qur‟an merupakan kitab suci
umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT (perintah-perintah dan laranganlarangan terhadap segala perbuatan hambanya agar tidak terjerumus ke api
neraka dan membawa kita ke surga).
b. Sunnah, ialah segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.
Merupakan sumber kedua dalam ilmu fiqh. Jika ada masalah dalam kehidupan
yang tidak dapat ditafsirkan oleh para ahli ilmu fiqh, maka sunnah merupakan
sumber utama setelah Al-Qur‟an.
c. Ijma‟, ialah kesepakatan para mujtahid atau ulama umat muslim dalam suatu
masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat atas suatu hukum tertentu.
3
d. Qiyas, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur‟an dan sunnah, karena adanya persamaan motif hukum
antara kedua masalah tersebut.2
Manurut para ulama Ushul Fiqh tujuan utama mempelajari ilmu fiqh adalah
mengetahui dalil-dalil syara‟, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah,
muamalah, „uqubah dan akhlak. Agar kita mengerti mana yang harus kita
lakukan dan tinggalkan serta bagaimana hhukumnya.
4. Falsafah
Menurut Kmus Besar Bahasa Indonesi, falsafah diartikan sebagai anggapan,
gagasan serta pendangan hidup. Ibnu Taimiyah memiliki dasar atau asas yang
digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan yaitu ilmu yang bermanfaat bagi asas
kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara mempergunakan ilmu itu dapat
menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan
terjerumus kedalam kehidupan yang sesat. Menuntut ilmu juga merupakan ibadah
dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah
SWT dan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum
tahu merupakan shadaqah dan mendiskusikannya merupakan tasbih.
Dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat mengenal Allah SWT, beribadah,
memuji dan mengesakan-Nya, dan dengan ilmu itu pula seseorang dapat diangkat
derajatnya dan menjadi umat yang kokoh. Mengajarkan ilmu keapada seseorang
merupakan shadaqahnya para nabi. Dengan ilmu ini Allah SWT.malaikat hingga ikan
yang ada dilautan serta burung yang ada diangkasa memanjatkan shalawat dan
mengucapkan salam kepada orang yang mengajarkannya kepada orang lain.
Sementara orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya dianggap sebagai
orang yang dilaknat oleh Allah SWT.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilu yang bermanfaat yang
didasarkan atas asas kehidupan yang benar dan utama adalah ilmu yang mengajak
kepada kehidupan yang baik yang diarahkan untuk berhubungan dengan Al-Haq
(Tuhan).
2
Hassan Hanafi. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. PT LkiS Pelangi Aksara. Yogyakarta.
2004. Hal: 144
4
Hal ini menurutnya dapat dibangun atas dua hal sebagai berikut:
a. Al-Tauhid (mengesakan Allah SWT)
b. Tab‟iat Insaniyah (kemanusiaan).3
5. Tasawuf
Menurut Sahal Al-Tustury, tasawuf adalah orang yang hatinya jernih dari kotoran,
penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia dan memandang antara emas
dan kerikil.
Dasar-dasar tasawuf, para pengkaji tentang tasawuf berdasarkan kezuhudan
sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar
dari kalangan sahabat dan tabi‟in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari ayatayat Al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang berotientasi akhirat
dan berusaha menjauhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang
bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakal kepada Allah SWT, takut terhadap
ancaman-Nya, mengharapkan rahmat dan ampunan dari-Nya.
Contoh ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan orang-orang briman agar senantiasa
berbekal untuk akhirat adalah firman Allah SWT dalam Q.S Al-Haidi ayat 20 yang
artinya :”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanamtanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan
kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia
ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menunjukan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan
yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan
keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan
hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafsu mulai dari kesenangan dalam
berpakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah serta hawa nafsu segala
sesuatu yang merugikan kita di akhiran lainnya.
3
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2000. Hal: 137-142
5
6. Pendidikan dan Pendidikan Islam
Menurut Langveld pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak itu. Menurut
Ahmad Tafsir pendidikan islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
agar ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran islam. Fungsi pendidikan
menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pendidikan tentu dibutuhkan model
pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai upaya menjawab kebutuhan
masyarakat.
Terdapat konsep-konsep pendidikan menurut para tokoh islam yaitu sebagai
berikut:
a. Ibnu Sina, pemikiran Ibnu Sina dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan
dengan
tujuan
pendidikan,
kurikulum,
metode
pengajaran,
guru
dan
pelaksanaan hukuman dalam pendidikan.
b. Al-Ghazali, pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan antara lain yaitu yang
berkenaan dengan aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan
etika murid.
c. Ibnu Taimiyah, pemikiran Ibnu Taimmiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi
kedalam beberapa aspek antara lain yang berkenaan dengan falsafah
pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum dan hubungan pendidikan dengan
kebudayaan.
d. Ikhwan Al-Muslimin, beliau melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu
masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Pemikiran Ikhwan
Al-Muslimin dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan sistem
pendidikan, karakter pendidikan islam, lembaga pendidikan dan metode
pendidikan.4
4
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2000. Hal 67,86,137,186
6
MATERI 2
AL-QABISI
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
7
AL- QABISI
A. Biografi Al – Qabisi
Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi
Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat
di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia
lahir di Kota Qairawan Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara)
pada hari senin bulan Rajab tahun 324 H-935M. Beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul
Awal Tahun 403 H. Bertepan pada tanggal 23 Oktober 1012. Al-Qabisi bukan dari
keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga
asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal
setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.5
Semasa kecil dan remajanya ia belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari AlQur‟an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at dari beberapa ulama yang
terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada
dirinya adalah Abu Al-„Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik.
Al-Qabisi pernah mengatakan tentang gurunya ini: “Saya tidak pernah menemukan
di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-„Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia
menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy,
Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh
dan Abdullah bin Abi Zaid.6
Al-Qabisi pernah ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5
tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah
menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir)
serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah
belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam
meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy
mengajar pada
sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu.
Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang
menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Muridmuridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar
5
6
Muhsin. 2005. Para Filosof. Al-Huda. Hal 88
Ibid. Hal 90
8
bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar „Atiq
Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisi hidup dalam kondisi sosial keagamaan yang semarak dan sangat
mantap dengan mempelajari, menyebarluaskan dan mengajarkannya. Dimana lebih
banyak diwarnai aliran Mazhab Maliki, satu aliran yang tergolong ahlussunnah,
sehingga tuntutan masyarakat dalam bidang pendidikan cenderung pada masalahmasalah keagamaan.
Al-Qabisi merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab.
la menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya alMumahid fi al-Fiqh dan al-I'tiqadat.Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan
berjudul: "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa alMuta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukumhukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan
dibagi ke dalam 3 juz.
Konsep Pendidikan Al-Qabisi
Di atas telah dikemukakan bahwa selain ahli dalam bidang hadits dan fiqih, AlQabisi juga ahli dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
pemikirannya di bawah ini :
1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak yang
berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan
upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara.
Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan
dan ketekunan yang tinggi.
Selanjutnya ia juga dikenal sebagai ulama yang berahkhlak mulia. Keluasan
ilmunya yang tinggi dibarengi dengan ketekunan ibadah dan budi pekerti mulia,
menyebabkan apa yang diajarkan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan
seorang guru dalam mengajar. Yaitu guru yang bukan hanya mengusai dengan baik
berbagai materi pengajaran dan cara menyampaikannya, tetapi juga dibarengi
dengan budi pekerti mulia dan keteladanan yang tinggi. Ia senantiasa menunjukkan
rasa takut kepada Allah, bersih jiwanya, cinta pada fakir miskin, gemar puasa, shalat
tahajjud, menerima apa adanya (qana‟ah), berhati lembut terhadap orang-orang
yang mendapat musibah serta tabah dalam menghadapi cobaan Tuhan.
9
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan islam yang dikehendaki Al-Qabisi adalah bercorak agamis dan
normatif, yaitu agar anak didik menjadi seorang Muslim yang di samping menguasai
berbagai pengetahuan tentang agama Islam juga mau dan dapat mengamalkannya
dengan baik dalam bentuk pengalaman agama yang kuat, serta berakhlak mulia.
Tujuan pendidikan demikian itu, kini disebut dengan tujuan pendidikan agama.
Sementara tujuan pendidikan yang bercorak keduniaan tampaknya hanya
merupakan alat untuk dapat menolong kehidupan ekonomi seseorang, dengan cara
memberikan keterampilan yang memadai
3. Kurikulum
Dilihat dari segi isi mata pelajaran yang diajarkan kepada anak didik, Al-Qabisi
membagi kurikulum ke dalam dua bagian, dengan uraian sebagai berikut:
a. Kurikulum Ijbari
Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan
keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari
kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an seperti sembahyang dan doa-doa, ditambah dengan
penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa Arab yang keduanya merupakan
persyaratan mutlak untuk memantapkan bacaan Al-Qur‟an, tulisan dan hafalan AlQur‟an. Kurikulum yang berkenaan dengan baca tulis Al-Qur‟an serta ilmu bahasa itu
diberikan kepada anak-anak tingkat pendidikan dasar seperti yang berlangsung di
kuttab-kuttab.
Al-Qabisi lebih lanjut mengatakan bahwa dimasukkannya pelajaran membaca dan
menulis Al-Qur‟an ke dalam kurikulum ijbari adalah karena Al-Qur‟an merupakan
kalam Allah dan menjadi kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu‟amalat. Allah
mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al-Qur‟an sebagai berikut
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab allah dan mendirikan
sembahyang dan membelanjakan hartanya kejalan Allah setengah dari apa yang
kami rezekikan kepada mereka baik dengan cara diam-diam (rahasia) maupun
dengan cara terang-terangan mereka mengharapkan usaha dengannya tidak
menderita kerugian.” (QS. Al-Fathir:29)
Prinsip kurikulum demikian itu sesusai dengan pandangannya mengenai ilmu jiwa
yang ditetapkan melalui tiga prinsip yang logis, yaitu; (1) Menumpahkan perhatian
kepada pengajaran Al-Qur‟an, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk
menambah makrifat kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. (2)
10
Pentingnya ilmu nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suci AlQur‟an secara benar. (3) Mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memahami makna
ayat Al-Qur‟an beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya
dan mengucapkannya dengan lancar.
b. Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, sya‟ir,
kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammar) dan bahasa
Arab lengkap. Lebih lanjut Al-Qabisi mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu ikhtiyari ini dengan ilmu ijbari adalah dari segi jarak jauh-dekatnya ilmu tersebut
untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat, di mana ilmu ilmu ijbariyah lebih dekat
jaraknya dengan pembinaan keagamaan.
Menurut pandangan Al-Qabisi bahwa memberikan pelajaran keterampilan kerja
untuk mencari nafkah hidup nya sesudah selesai tiap jenjang pendidikan yang
ditempuhnya
dengan
dasar
pengetahuan
Al-Qur‟an
serta
ketaatan
dalam
menjalankan ibadah menunjukkan adanya pandangan yang menyatukan antara
tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pendidikan pragmatis.
Perlu pula ditambahkan di sini, bahwa dalam kurikulum ikhtiyari ini, Al-Qabisi
memasukkannya pelajaran berhitung. Dalam hubungan ini Al-Qabisi menyetujui
pengajaran berhitung sebagai yang tidak bersifat mutlak, karena hal itu disesuaikan
dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau sejauh mana ilmu hitung itu
diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama.
Dalil yang digunakan untuk memasukkan pelajaran berhitung ke dalam kurikulum
ikthiyari lain firman Allah yang berbunyi :
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya teran dan
ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu supaya
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu,” (QS. Yunus:5)
4. Metode dan Teknik Belajar
Al-Qabisi menganjurkan tentang keharusan anak pulang ke rumah masingmasing di waktu siang hari untuk makan siang dan harus kembali ke kuttab setelah
sembahyang zhuhur tepat pada waktu-waktu istirahat antara dua waktu belajar
dalam satu hari. Mengapa Al-Qabisi memperhatikan waktu istirahat, karena hal ini
sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pendidikan modern yang memberikan waktu
istirahat sebagai waktu yang amat penting untuk menyegarkan kemampuan berpikir
mereka.
11
Selanjutnya Al-Qabisi mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu
menghafal, melakukan latihan dan demontrasi. Belajar dengan cara menghafal yang
dimulai dengan memahami pelajaran dengan baik akan membantu hafalan yang
baik.
Di dalam Al-Kuttab itu hanya diajarkan ilmu-ilmu: Al-Qur‟an, tulis menulis, nahwu,
bahasa Arab, Sya‟ir, dan sejarah bangsa Arab termasuk ilmu-ilmu lafdziyah. Ilmuilmu itu harus dibaca, dipahami dan diingat-ingat.
Metode menghafal yang diajukan Al-Qabisi itu didasarkan pada pemahaman
sebuah hadits Nabi SAW. Tentang menghafal Al-Qur‟an, seperti unta yang diikat
dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat pula,
dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.
5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-laki dan Perempuan
Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalama satu tempat
atau yang dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi perhatian AlQabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki bercampur dengan murid perempuan dalam
al-kitab, sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia baligh (dewasa). Menurut
Al-Qabisi bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar
adalah suatu hal yang tidak baik.
Salah satu alasan mengapa Al-Qabisi teguh pada pendapatnya itu adalah karena
ia khawatir kalau anak-anak itu menjadi rusak moralnya. Ia memperingati agar tidak
mencapurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi coitus),
kecuali bila anak remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum
dewasa).
6. Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut Al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di kuttab tidak ada perbedaan
derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada
pengecualian. Ia menghendaki agar penyelenggaraan pendidikan anak-anak Muslim
dilaksanakan dalam satu ruangan dan memperoleh pengetahuan dari pendidik yang
satu, sehingga tidak perlu dibagi-bagi menjadi tingkat atau jenjang.7
Al-Qabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa pendidikan bagi
7
Ibrahim Madkour. 2005. Fi al-falsafaf al-Islamiyyah. Bumi Aksara. Hal 274
12
anak-anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan bagi
anak laki-laki, meskipun harus dipisahkan kelasnya antara keduanya sebagaimana
telah diuraikan di atas.
B. Relevansi Dengan Pendidikan Sekarang Yang Dapat Digunakan
Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabasi pada inti adalah pendidikan
akhlak sama seperti konsepnya ibnu Maskawaih,8 namun al-Qabisi tidak hanya
sebatas pada pendidikan akhlak saja namun juga pengetahuannya tentang agama
harus diperdalam, dan juga pelajaran yang mendukung agar anak didik lebih mudah
memahami agama islam denga benar. Pelajaran yang mendukung anak didiknya
diantaranya adalah bahasa arab, ilmu hitung, syi‟ir, ilmu nahwu dan lain sebagainya.
Pendidikan tersebut adalah bersifat akherati, al-Qabisi juga memperhatikan
pendidikan yang bersifat duniawi, diantaranya adalah memeberikan pelajaran
keterampilan, dan keahlian pragmatis agar nantinya seorang anak didik tersebut
dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya dan juga didasari landasan takut
kepada Allah swt. Pada masa sekarang ini ditengah moralitas manusia yang turun
konsep pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabisi sangatlah relevan. Pendidikan
agama dan akhlak mulia itu sangat penting ditengah masyarakat kita sekarang ini
karena diharapkan dengan ini moral masyarakat menjadibaikembali.
Kurikulum ijbari yang ditawarkan al-Qabasi adalah pendidikan dasar yang terjadi
di kuttab, pendidikan dasar tersebut salah satunya mengenai pemberian pelajaran
bahasa arab, jika ditanyakan relevansinya menurut saya tidak relevan untuk ukuran
masyarakat Indonesia, karena pada masa Al-Qabisi bahasa arab merupakan
bahasa sehari-hari, jadi tidaklah sulit belajar bahasa arab yang merupakan bahasa
ibu, berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia, bahasa arab bukan merupakan
bahasa ibu. Tentu sangat sulit menangkap pemahamannya jika diberikan pada
tingkatan pertama.
Menurut Ali al-Jumbulati bahwa kondisi lingkungan hidup sosial budaya pada
masa Al-Qabisi adalah bersifat keagamaan yang mantap. Kondisi masyarakat
tersebut merupakan kondisi masyarakat yang agamis sekali.
Ini kaitanya dengan pencampuran murid laki-laki dan perempuan dalam satu
tempat. Telah dijelaskan bahwa tidak bolehnya bercampur karena dikhawartirkan
8
Ibid. Hal 276
13
pada mas remaja adalah masa pubertas, tidak memiliki ketenangan jiwa, dan timbul
dorongan biologis yang paling kuat dan jika berdekatan dengan wanita akan terjadi
pelanggaran seksual. Jadi pada sekarang ini dicampur ataupun tidak tetaplah terjadi
pelanggaran seksual, dorongan biologis yang sangat kuat akan terpendam, dan
akan terlampiaskan pada saat berada ditengah-tengah masyarakat, mengingat
moral masyarakat sudah rusak. Keadaan ini jelas berbeda pada masa Al-Qabasi
yang kondisi masyarakatnya sangat agamis sekali. Inilah yang sudah tidak relevan
digunakan masa sekarang ini.
14
MATERI 3
IBNU SINA
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
15
IBNU SINA
A. Biografi Ibnu Sina
Ar-Ra‟is al-Husain bin Abdullah bin Ali al-Hamadani dilahirkan pada tahun
980M. disebuah desa bernama Afshanah dekat Bukhara yang saat ini terletak
dipinggiran selatan Rusia. Ayahnya bernama Abdullah berasal dari desa yang
terletak dekat Bukhara. Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran Muslim paling
populer sampai saat ini. Di dunia Barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.
Sebagai anak-anak, ia telah menunjukkan keberanian yang luar biasa.
Di usia 10 tahun, ia sudah fasih dalam membaca dan memahami al-Qur‟an
serta menguasai sebagian besar bahasa Arab.Selama enam tahun berikutnya, ia
mempersembahkan karyanya sendiri; hukum islam, filsafat, ilmu alam, manthiq
(logika), dan matematika (geometri). Pada usia 17 tahun, ia memusatkan
perhatiannya pada bidang pengobatan,dan berhasil.
Di usia 18 tahun, reputasinya mencuat dalam bidang fisika dan diundang
untuk menghadiri jamuan Ibnu Mansur, pemimpin Samawi. Sebagai bentuk ucapan
terima kasih atas jasa-jasanya, ia dibebaskan untuk menggunakan fasilitas
perpustakaan kerajaan yang berisi buku-buku langka dan unik.
Pada usia 21 tahun, ia menyusun (mengarang) buku pertamanya. Pada saat
yang sama, ayahnya meninggal dunia. Ia meninggalkan Bukhara ke arah barat. Lalu
ia mengabdikan dirinya pada Ali bin Ma‟mun, pemimpin Khifa. Dalam waktu singkat,
di Jurjan, Ibnu Sina belajar manthiq dan astronomi lalu menulis bagian pertama
karya terbesarnya al-Qanun fi al-Tibb ( Canon and Medicine ). Kemudian ia pindah
ke
Ray
dekat
Tehran
dan
mendirikan
praktik
pengobatan.9
Ia
telah
mempersembahkan banyak karya filsafat, obat-obatan, teologi,geometri, astronomi,
dan sejenisnya.
Di antara karya filsafatnya adalah :
1. Asy-Syifa. Buku ini berjumlah 28 jilid, meliputi manthiq, kosomologi (athThabi‟iyat), metafisika (ilahiyat), dan matematika (riya-dhiyat). Karya terbesar
9
Muhsin Labib, para filosof, (Jakarta :penerbit al-huda,2005) hal 118-119.
16
Ibnu Sina ini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia,termasuk
latin.
2. An-Najah. Buku ringkasan asy-Syifa ini hanya memuat logika, kosmologi dan
teologi Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa
dunia,termasuk latin.
3. Al-Isyarat.
Ini
adalah
karya
terakhir
Ibnu
Sina
yang
membahas
logika,kosmologi,dan metafisika. Pandangan-pandangan Ibnu Sina dalam
buku ini dianggap sebagai pendapatnya yang bersifat final.Puluhan filosof dan
teolog,Syiah dan Suni, telah memberikan komentar (syarh) atas buku ini,
antara lain Fakhrud-Din ar-Razi (tiga jilid) dan Khawajeh (baca: Khajeh)
Nasirud-Din ath-Thusi.
4. Rasa‟ il fi al-Hikmah wa ath-Thabi‟iyat. Buku ini terdiri dari delapan esai
tentang kenabian, jiwa, ilmu-ilmu rasional,etika, dan sebagai-nya.
5. Al-Hashil wa al-Mahshul. Buku ini terdiri dari 20 jilid yang khusus
dipersembahkan Ibnu Sina kepada Abu Bakr al-Barqi di usia muda.
6. Al-Hikmah al-Arsyiyah. Buku ini hanya membahas satu bidang filsafat, yaitu
ilahiyat (teologi).
7. Al-Hikmah al-Marsyriqiyah.
8. Risalah ath-Thayr. „Esai sastra sufistik tentang perjalanan hidup dan
kematian.
9. At-Ta‟liqat.
10. Kitab fi an- Nihayah wa al-La-Nihayah.
Karya-karyanya
dalam
bidang
astronomi,bahasa
arab,
tasawuf,
dan
kedokteran banya sekali,seperti al-Qanun fi al-Tibb (buku kedokteran sebanyak 14
jilid yang ditulis dengan bahasa Parsi.
Abu Ali Sina telah mencetak banyak filosof dan pakar, antara lain:
1. Abu al-Hasan Bahmanyar bin Marzaban; filosof yang sering berbeda
pendapat dengan gurunya terutama tentang kausalitas dan penulis at-Tahshil
(sebuah buku rujukan dalam filsafat paripatetik ).
2. Abu Abdillah al-Ma‟shumi; penulis transkrip kuliah-kuliah Ibnu Sina, seperti
Risalah al-Isyq.
3. Abu Abdillah Abdul-Wahid bin Muhammad al-Jurjani; penulis biografi gurunya.
17
4. Abdul-Hasan bin Thahir bin Zaylah (w.440 H).10
5. Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Syafud-Din al-Ilaqi;yang mewarisi ilmu
Ibnu Sina dalam bidang kedokteran,penulis ikhtishar
Kitab al-Qanun
(ringkasan al-Qanun karya Ibnu Sina).
Guru-Guru Ibnu Sina antara lain :
1. Abu Abdillah an-Natili, yang mengajarinya logika Isagogi (al-madkhal).
2. Abu Sahl Isa bin Yahya al-Masihi al Jurjani,yang mengajarinya ilmu
kedokteran.
3. Ismail az-Zahid yang mengajarinya fiqih.
4. Mahmud al-Massah yang mengajarinya aljabar.
5. Abu Manshur al-Hasan bin Nuh al-Qamari yang menjadi gurunya dalam
bidang filsafat.
Ibnu Sina meninggal dunia pada 1037 M, dalam usia 58 tahun.
B. Konsep pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
a) Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang
menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan fisik, intelektual maupun
budi pekerti.11
b) Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian
yang dipilihnya.
Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina berpendapat
hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik .
Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada
pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul
tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara
professional.
10
11
Ibid, Hlm. 120-123
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1990), hlm. 2
18
2. Kurikulum
Menurut Ibnu Sina kurikulum harus didasarkan kepada tingkat perkembangan usia
anak didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun.
a) Usia 3 sampai 5 tahun
Menurut Ibnu Sina, di usia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian.
b) Usia 6 sampai 14 tahun
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibn Sina adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama,
pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga.
c) Usia 14 tahun ke atas.
Pelajaran yang harus diberikan pada anak usia 14 tahun ke atas menurut ibnu sina
amat banyak jumlahnya, namun pelararan tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat
dan minat si anak.12
3. Mata Pelajaran dalam Kurikulum
Ibnu Sina selanjutnya membagi pelajaran kepada yang bersifat teoritis dan
pelajaran yang bersifat praktis atau pengetahuan terapan. Menurut Ibnu Sina mata
pelajaran yang bersifat teoritis dapat di bagi tiga lagi yaitu: Ilmu tabi‟i yang
dikatagorikan sebagai ilmu yang berada pada urutan yang di bawah. Ilmu
matematika yang ditempatkan pada urutan pertengahan. Ilmu ketuhanan yang
ditempatkan sebagai urutan yang paling tinggi. Mata pelajaran yang bersifat praktis
itu terbagi kepada tiga bagian: Pertama terdiri dari ilmu yang bertujuan membentuk
akhlak dan perbuatan manusia yang mulia, sehingga dapat mengantarkan kepada
kebahagiaannya hidup di dunia dan akhirat. Kedua terdiri dari ilmu yang berupaya
menjelaskan tentang tata cara mengatur kehidupan rumah tangga serta pola
hubungan yang baik antara suami istri, orang tua dengan anak-anaknya, majikan
dengan
para
pembantunya.
Ketiga ilmu
yang
mempelajari
tentang
politik,
pimpinan.13
12
13
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 70-74.
Ibid., hlm. 74-76.
19
4. Metode pembelajaran
Metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode talqin, demonstrasi,
pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
a. Metode talqin: Metode talqin digunakan dalam mengajarkan membaca alQur'an.
b. Metode demonstrasi: Menurut Ibnu Sina, metode demonstrasi dapat
digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara
mengajar menulis.
c. Metode pembiasaan dan keteladanan: Ibnu Sina berpendapat bahwa
pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling
efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak.
d. Metode diskusi: Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian
pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat
berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan
dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk
mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis.
e. Metode magang:Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam
kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibn Sina yang
mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan
praktek.14
f. Metode penugasan: Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibnu
Sina dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian
menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya.
g. Metode targhib dan tarhib: Targhib atau ganjaran, hadiah, penghargaan
ataupun imbalan sebagai motivasi yang baik.
5. Konsep Guru
Adapun pemikiran Ibnu Sina mengenai guru yang baik adalah guru yang
cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak,
berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya,
Ibid., hlm. 76-78
20
tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni. Guru
menurut
ibnu
sina sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas,
teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan
waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias
diri.
C. Relevansi Pemikiran Pendidikah Islam Menurut Ibnu Sina Dengan
Pendidikan Masa Terkini.
Fenomena yang saat ini terjadi, banyak sekali pendidikan-pendidikan yang
sudah melenceng jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri, Terutama pendidikan
Akhlak. Peserta didik yang kurang mendapatkan pembelajaran tentang akhlak
kondisinya sangat memprihatinkan.
Contoh siswa yang sering membolos pada jam sekolah, merokok ketika jam
istirahat, tawuran dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua tidak lepas dari
tanggung jawab seorang guru sebagai pendidik. Maka menurut konsep pemikiran
Ibnu Sina, kriteria seorang pendidik atau guru pun harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh agar bisa mencetak generasi indonesia yang lebih baik.
Konsep pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan sekali untuk di
aplikasikan di zaman sekarang, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina
ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di
sekolah-sekolah
unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan.15
15
Tolhah Hasan,Dinamika Pemikiran,hlm 119.
21
MATERI 4
AL-GHAZALI
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
22
IMAM AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia dilahirkan di Thus, sebuah Kota
di Khurasan Persia pada tahun 450 H. atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal
wool.16 Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya
berpesan kepada seorang sahabat setia agar kedua putranya diasuh dan
disempurnakan pendidikannya. Sahabat tersebut segera melaksanakan wasiat ayah
Al-Ghazali dengan mendidik dan menyekolahkan keduanya. Setelah harta pusaka
peninggalan ayah mereka habis, keduanya dinasehati agar meneruskan mencari
ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak
pencinta ilmu pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa
duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak, Imam
Al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian
belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus.
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Naysaburi untuk belajar kepada seorang
ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain;
darinya Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam AlGhazali memang orang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak
sesuai dengan penalaran yang jernih, sehingga Imam Juwaini memberi predikat
sebagai orang yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan “laut dalam nan
menenggelamkan”.
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama
dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa keuntungan besar baginya.
Nidzam Al-Mulk berjanji akan mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar di
Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M.17 Setelah
empat tahun di universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan
meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi
dengan kehidupan total dipenuhi ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk
meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
16
.Fathiyah Hasan Sulaiman. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta: Guna Aksara, 1986.hal.9.
Fathiyah Hasan Sulaiman. Sistem Pendidikan Al-Ghazali, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986, cet.I.hal. 14.
17
23
Dari sana, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar. Selain mengajar,
ia juga rajin menulis buku atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”AlMunqidz min al-Dhalal”. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi
dan sibuk mengajar di sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau
meninggal di Thus kota kelahiranya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H.
atau 1111 M.18
B. Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami
pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan,
yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru, dan etika murid, metode.
1. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia
memahami benar filsafat
yang mendasarinya.
Rumusan
selanjutnya
akan
menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap
pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin
dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada
sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu
tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan
tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam
dengan mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan
dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran
pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu.
Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada
Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi
beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan
yang diperoleh manusia darinya.
18
Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal. 37
24
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: Pertama,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah. dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia
dan akhirat.19 Karena itu, ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai
pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari
tujuan itu. Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di
dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya
dengan menguasai sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian
dari tujuan pendidikan.
2. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu
seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat AlGhazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi
ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di
akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari
akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan
akan meragukan keberadaan Allah SWT.
b. Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan
membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan
keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat
mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian
yang dilihat dari kepentingannya, yaitu: Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh
semua orang Muslim, yaitu ilmu agama. Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh
19
Arifin M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Cet.I, hal. 87.
25
sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung,
kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.20
3. Pendidik menurut Al-Ghazali
Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu keharusan.
Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses pendidikan dan
pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki
pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya;
dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu pengetahuan secara
mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi
muridnya.
Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus
cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam,
dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan
dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan
mengarahkan anak-anak muridnya.21
4. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan
bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk
beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian
manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama
Islam.
Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali membagi
manusia
menjadi
tiga
golongan
yang
sekaligus
menunjukkan
keharusan
menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda pula, yaitu:
a. Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara
berfikir tersebut mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka
mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi
dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
20
21
Al-Ghazali, Mutiara Ihya` Ulumuddin. Terj Iwan Kurniawan. Mizan: Bandung. 2001.hal. 18-19.
Al-Ghazali, Mutiara Ihya` Ulumuddin, hal. 50
26
b. Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang
mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus dihadapi dengan sikap
menjelaskan hikmat-hikmat.
c. Kaum pendebat (ahl al jidal), harus dihadapi dengan sikap mematahkan
argumen-argumen mereka.
Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki tugas dan
kewajiban, yaitu: Mendahulukan kesucian jiwa, Bersedia merantau untuk
mencari
ilmu
pengetahuan,
Jangan
menyombongkan
ilmunya
menentang guru dan Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
22
apalagi
Dengan tugas
dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk
menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Perhatian Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih dikhususkan bagi
pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan
suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan
penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Metode pengajaran menurut AlGhazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan pendidikan
akhlak. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai
dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterengan-keterangan yang
menguatkan akidah.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan
kepada anak-anak sedini mungkin. Sebab dalam tahun-tahun tersebut, seorang
anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan
mengimankan saja dan tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu
berkaitan dengan pendidikan akhlak, pengajaran harus mengarah kepada
pembentukan akhlak yang mulia. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah
suatu sikap yang mengakar di dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan
baik dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.23
22
Ibid, hal. 44
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 47
23
27
C. Relevansi dengan pendidikan sekarang yang dapat di gunakan
Hal ini dapat dipahami dari satu segi tujuan diciptakannya manusia ialah
manusia berpotensi untuk menjadi khalifah fi al-ardi. Potensi tersebut akan
bermanfaat hanya jika digali melalui pendidikan karena itulah pendidikan merupakan
usaha penggalian dan pengemangan fitrah manusia.
Akan tetapi, munculnya filsafat pragmatisme yang mendapat inspirasi dari
John Dewey, telah mengubah arah orientasi pendidikan. Filsafat pragmatisme telah
mengabaikan konsep-konsep kebenaran dan menggantinya dengan kegunaan, dan
pengaruh
itu
berjalan
terus,
akhirnya
terwujudlah
manusia-manusia
yang
menghancurkan konsep keagungan dan kemuliaan diri manusia itu sendiri.
Penggantian konsep tersebut mengharuskan kita untuk mengubah sistem
pendidikan yang ada sekarang, yang menyangkut dasar, tujuan, materi, kualifikasi,
sistem evaluasi pendidikan dan lain-lain sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi dunia pendidikan semacam itu kecuali
kembali kepada dan menerapkan sistem pendidikan yang memperhatikan fitrah
manusia secara utuh, yakni sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, terhadap
tantangan-tantangn yang sedang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini, ternyata
konsep pendidikan al-Ghazali mampu menjawabnya.
Tampilnya pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dalam dunia pendidikan
dewasa ini adalah karena aktualitas konsepnya, kejelasan orientasi sistemnya, dan
secara
umum
karena
pemikirannya
yang
sesuai
dengan
sosio
kultural.
Penampilannya dalam dunia pendidikan merupakan usaha pengubahan eksistensi
muslim yang saat ini telah rusak hubungannya dengan sejarah masa lampaunya.
Juga, sumbangsihnya terhadap pendidikan Islam untuk mempelajari warisan para
leluhurnya yang telah dihalangi oleh barat.
28
MATERI 5
IBNU KHALDUN
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
29
IBNU KHALDUN
A. Biografi Tokoh Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan
terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan.
Beliau adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas
membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasanalasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata.24
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd „Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan
732 H. / 27 Mei 1332 M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai
sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alqur‟an sejak usia dini, selain itu
beliau juga membahas tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal
adalah Muqaddimah (Pendahuluan).
Guru pertama ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar membaca
dan menghafal al-Qur‟an. Dia fasih dalam qira‟at sab‟ah (tujuh cara membaca alQur‟an), dia memperlihatkan caranya yang seimbang dan merata antara mata
pelajaran tafsir, hadith, fiqih dan gramatika bahasa arab yang diambilnya dari
sejumlah guru yang ada di Tunisia).
Ibnu Khaldun mulai berkarir dalam bidang pemerintahan dan politik di
kawasan Afrika Barat Laut dan Andalusia selama hampir seperempat Abad. Dalam
kurun waktu itu dari sepuluh kali dia pindah jabatan dari satu dinasti ke dinasti yang
lain. Jabatan pertaman Ibnu Khaldun pertama adalah sebagai anggota Majlis
keilmuwan Sultan Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez. Kemudian dia diangkat
menjadi sekertaris Sultan pada Tahun 1354.
Selain di dunia politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid.
Kemudian dia pindah ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan
menuju Tilimsan tahun 1374 M. Di Tilimsan ini ibnu Khaldun menemukan tempat
untuk menulis dan membaca di rumah bani Arif di dekat benteng Qal‟at Ibn Salamah
sebagai tempat tinggal dan tinggal di Istana Ibnu Salamah. Di tempat inilah selama
empat tahun dia memulai karnya yang terkenal dengan Kitab al-Ibar (sejarah
24
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka firdaus, 2003, hlm. 503.
30
Universal). Ibnu Khaldun meninggal pada usia 76 Tahun. Untuk menghormati nama
besarnya dia dimakamkan di pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang
merupakan makam para ulama dan orang-orang penting.
Sebagai pelopor sosiologi, sejarah-filsafat, dan ekonomi-politik, karyakaryanya memiliki keaslian yang menajubkan. “Kitab al-I‟bar” termasuk al-Taarif
adalah buku sejarahnya yang monumental, berisi Muqaddimah serta otobiografinya.
Bukunya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terkenal dengan muqaddimah,
dalam bagian ini membicarakan tentang masyarakat, asal-usulnya,kedaulatan,
lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang mencari nafkah, dan
ilmu pengetahuan. Bagian kedua kitab al-I‟bar, terdiri dalam empat jilid,
membicarakan tentang sejarah bangsa arab dan orang-orang muslim lainnya dan
juga dinasti-dinasti pada masa itu, termasuk dinasti syiria, persia, seljuk, turki,
yahudi, romawi, dan prancis. Dan bagian ketiga terdiri dari dua jilid, membicarakan
bangsa barbar dan suku tetangga, otobiografi yaitu Al-Taarfi.25
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Tokoh Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang sematasemata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di
dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial
yang menjadi ciri khas jenis insani.
Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan
menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model
lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai
karya-karya
sebelumnya,
telah
memberikan
kontribusi
akademik
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia memuat
pengetahuan yang otentik.26
a. Tujuan
Menurut Ibnu Khaldun Ada Enam Tujuan Pendidikan, yaitu :
1) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman,
sebagaimana dengan potensi-potensi lain
25
26
Ibid, hlm. 505.
Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA :‟UIN Sunan
Kalijaga, 2008) hlm.17.
31
2) menyiapkan seseorang dari segi akhlak
3) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
4) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
5) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang
dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan
6) menyiapkan seseorang dari segi kesenian.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya
bertujuan
untuk
mendapatkan
ilmu
pengetahuan
akan
tetapi
juga
untuk
mendapatkan keahlian. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak
pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu:
a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
b. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
c.
Pembinaan pemikiran yang baik
b. Materi
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah
merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu
Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia
pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
a. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits yang dalam hal
ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang
utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari‟at yang diambil
dari al-Qur‟an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir,
ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu
tasawuf, dan ilmu ta‟bir mimpi.
32
b. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya
untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada
sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam
ilmu yaitu:
1) Ilmu logika,
2) Ilmu fisika,
3) Ilmu metafisika dan
4)
Ilmu matematika termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al-
jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu nujuum.
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah
dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi
ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu
berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masingmasing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya.
Empat macam pembagian itu adalah:
1) Ilmu agama (syari‟at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2)
Ilmu „aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan
(metafisika)
3) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari‟at), yang terdiri dari
ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari
agama.
4) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah
merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri.
Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat
untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu
Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara
ilmu syari‟at (agama) dan ilmu „Aqliyah (filsafat).
33
Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu
ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup
dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang
mulia sejajar dengan ilmu agama.
b. Metode
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan
oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya.
Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan
membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan
perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ibnu Khaldun memberikan sedikitnya ada dua bentuk pembelajaran yaitu:
a. Tahapan pembelajaran
Pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta dpembelajaran yang
efektif dan efisien terhadap peserta didik apabila dilakukan secara berangsurangsur, setapak-demi setapak dan apabila dilakukan secara berangsur-angsur.
Berkaitan dengan itu semua ibnu khaldun menganjurkan agar para guru dan orang
tua sebagai pendidik seharusnya berlaku sopan dan adil dalam mengingatkan siswa,
lain dari itu ibnu khaldun membolehkan memukul siswa apabila dalam keadaan
memaksa akan tetapi pukulan tersebut tidak lebih tiga kali.
Dalam literatur yang lainnya lagi dengan metode pengajaran ini ibnu khaldun
menjelaskan bahwa tiap-tiap pemikiran dan ilmu akan mengembangkan pada akal
yang cerdas, lebih lnjut beliau menjelaskan ilmu berhitung tidak sama dengan
metode problem-problem kemasyarakatan dan falsafah atau sejarah, dari sini
seorang pendidik harus mampu mengklasifikasi mata pelajaran dan metode
pengajaran.
b. Concertie method (metode pemusatan)
Dalam kaitan ini komponin pendidikan sama-sama dituntut untuk lebih fokus
pada satu atau dua pilihan bidang pendidikan saja, baik guru, para orang tua dan
siswa. Dalam beberapa referensi yang ada sepertinya sosok ibnu khaldun adalah
seorang yang menjunjung tinggi metode itu (specialisasi pelajaran) dan telaten.
34
Selain metode diatas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya menjelaskan
bahwa didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya:
a. memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh,
dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
b. Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan
tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
c. Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak
didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua
persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang
sempurna.
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan
metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah
otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan
percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir
reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode
ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.
Disamping metode diskusi Isbnu Khaldun juga menganjurkan metode
peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan
materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan
kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan
penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan
berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan
kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai
pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti
dan paham terhadap apa yang dipelajarinya.
d. Pendidik
Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh
kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan
saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian
dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta
didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura,
karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli.
35
Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam
pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang
mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau
perintah-perintah.
Dalam melaksanakan
menggunakan
metode
tugasnya,
mengajar
seorang pendidik hendaknya
yang
efektif
dan
efisien.
Ibnu
mampu
Khaldun
mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
1) Prinsip pembiasaan
2) Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
3) Prinsip pengenalan umum (generalistik)
4) Prinsip kontinuitass
5) Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
6) Menghindari kekerasan dalam mengajar.
e. Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum
mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian- bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan,
dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
1) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki
dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap
mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang
dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan,
sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
2) Peserta
didik
adalah
manusia
yang
memiliki
diferensiasi
periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui
36
oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan
oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi
yang dimilikinya.
3) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut
kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
4) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual
(diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun
lingkungan di mana ia berada.
5) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani.
Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan
yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua
daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka
proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
6) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Ibnu Khaldun
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 faktor pendidikan yang
ditawarkan Ibnu Khaldun yakni tujuan, pendidik, peserta didik, metode pengajaran
dan materi pendidikan. Semua komponen pendidikan tersebut sesuai dengan
konsep pemikiran para ahli pendidikan sekarang. Namun, ada beberapa pemikiran
beliau yang berbeda dengan para ahli pendidikan yakni tentang tujuan pendidikan.
Disini pemikiran Ibnu Khaldun lebih kepada realistis. Bahwa pendidikan bukan
hanya untuk mengangkat derajat manusia. Namun, agar manusia mampu
memperoleh penghasilan dan menghasilkan industri-indutri untuk eksistensi hidup
manusia selanjutnya. Selain itu, pemikiran beliau tentang jangan berhenti terlalu
lama dalam proses belajar, belum ditemukan dalam teori para ahli pendidikan masa
sekarang. Serta hal-hal yang menghambat proses pendidikan belumlah berlaku
pada masa sekarang yakni tentang banyaknya buku dan banyaknya ringkasan.
Konsep pemikiran Ibnu Khaldun juga sangat relevan dengan konsep pendidikan
masa sekarang, dan sangat cocok untuk diterapkan dalam kegiatan belajar dimana
pun.
37
Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan ahli pendidikan
pada masanya bahwa apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran
hingga kini masih diperdebatkan ditentukan oleh bawaan atau kemampuan hasil
belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung pada pendapat terakhir yaitu hasil
kemampuan.
38
MATERI 6
MUHAMMAD ABDUH
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
39
MUHAMMAD ABDUH
A. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam
1. Sekilas Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memiliki nama legkap Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir
pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama Muhammad
Abduh ibn Hasan Khairullah, beliau adalah seorang petani keturunan Turki,
sedangakan ibunya adalah keturunan Arab.
Masa pendidikan ditempuh Muhammad Abduh di Thanta, sebuah lembaga
pendidikan masjid Ahmadi. Ditempat tersebut Ia belajar bahasa Arab, nahu, sarf,
fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain
adalah metode hapalan diluar kepala tanpa pengertian, sehingga membuat
Muhammad Abduh merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan.
Rasa kecewa akan apa yang ada di Thanta, membuat Muhammad Abduh
memutuskan menuntut ilmu di Al-Azhar. Namun kekecewaan kembali ia dapat saat
mengetahui bahwa metode yang digunakan sama dengan apa yang digunakan di
Thanta.
2. Konsep pendidikan islam
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama Muhamad
Abduh, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah
yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat. Tipe pertama adalah sekolah
tradisional, sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan
pemerintah Mesir oleh para misionaris asing.
Adanya dua tipe pendidikan berdampak kepada munculnya dua kelas sosial
dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dan
tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua
melahirkan
kelas
elit
generasi
muda
yang
mendewakan
dan
menerima
perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran
itu, ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka
akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus
kehidupan modern.
40
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap
kedua institusi tersebut. Supaya bisa mencetak generasi muda yang berkualitas.
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan adalah upaya menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama
dengan pelajaran umum. Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk
memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
a. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan
tujuan, pendididkan islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal
serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat
mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.27
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir
dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan
kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual dapat dicairkan
dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak
hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan
metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping
menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru.
Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali metode munazharah (forum
perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam
memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang
lain) buta pada masa ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan
mahasiswa Al- Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam
menafsirkan al-quran yang didasarkan pada lima prinsip:
1) Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan nash alquran
2) Menjadikan alquran sebagai sebuah kesatuan
3) Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat
4) Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
5) Tidak melalaikan peristiwa–perisiwa sejarah untuk menafsirkan ayat–ayat yang
turun pada waktu itu
27
. Nasution, Harun. 1897. Muhammad abduh dan teologi rasional muktazilah. Jakarta: PT
Grafindo Persada
41
B. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Di samping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan
spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta
jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat
kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah.
a. Kurikulum Al-azhar
Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun
1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada
Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas AlAzhar. Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai
dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruanperguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang
sesuai
Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk
berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta
menjauhi paham fatalism, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang
menjadi penyebab kemunduran Umat, kelemahan umat, absennya jihad Umat,
absennya kemajuan kultur Ummat dan tercabutnya Umat dari norma-norma dasar
pendidikan Islam.
Muhammad abduh memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid
dengan metode menghafal, karna metode itu merusak daya nalar. Seperti yang
dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thalanta.28
Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu.
Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu
Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural
maupun peradaban.
Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin bahwa apabila
pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan ikut baik.
Menurutnya perlu diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas,
mencakup ilmu-ilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan
28
.Kholid, Muhammad Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen
Agama RI
42
universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum
muslimin.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1. Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
2. Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem
hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
3. Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
4. Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca
hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks
pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
5. Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
a.
Sekolah Dasar Negeri
Muhammad abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa
dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama
diajarkan sedini mungkin pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu
pada statement bahwa agama islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi
seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim,
maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang
dapat mengantarkan masyarakat mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan
berbangsa.
b.
Sekolah Tingkat Atas
Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan
sekolah menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini,
Muhammad Abduh merasa perlu menambahkan materi – materi yang berhubungan
dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon
pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik.
Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan
menciptakan kelompok social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk
melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh
adalah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran
43
diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan
dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan.
Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah
tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari
rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat
harkat
martabat
perempuan,
munurunya
ada
beberapa
hal
yang
harus
diperjuangkan pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan
poligami. Semua pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan
dikembangkan dalam Tahrir al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin.
Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha
perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan
pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka
yang utama antara lain:
1) Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
2) Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka
lupakan atau yang belum mereka ketahui.
3) Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air, dan pemimpin.
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh
factor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu.
Keadaan social keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan.
Krisis yang menimpa umat bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi
juga akhlak dan moral. Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada
saat itu. Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di
Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di
Mesir bahkan ide penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah
terkenal di Mesir, yaitu Al- Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa.
Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang
dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus
yang mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia
memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar, antara lain ilmu
filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum
sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh
44
positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu
lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang
pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan
Pendidikan Nasional
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan
menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan
pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk
peserta didik yang memiliki iman dan takwa.29
Sumbangsi pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pengajaran relevan
dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah – sekolah yang tersebar
di Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tak selalu
metode menghapal. Guru berusaha menyajikan metode – metode yang dapat
dipahami anak didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun
praktek.
Jika dilihat dari segi konsep pendidikan yang dikeluarkan Muhammad Abduh
penulis merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad
Abduh ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi muda yang tidak lepas
dari tuntunan islam, meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah
yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah – sekolah
umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam).
29
. Muhammad kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan pendidikan Nasional,( Jakarta Departemen
Agama RI) Hlm.10
45
MATERI 7
MUHAMMAD „ATHIYAH AL-ABRASYI
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
46
MUHAMMAD ATHIYA AL-ABRASYI
A. Biografi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup
pada masa pemerintahan Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 19541970. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya
yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi
sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada tanggal
17 Juli 1981.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama
berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu
pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada fakultas Darul Ulum Cairo
University, Cairo. Sebagai guru besar, beliau secara sistematis telah menguraikan
pendidikan Islam dari zaman ke zaman serta mengadakan komparasi di bidang
pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di
dunia Barat pada abad ke-20 ini.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang ulama‟, cendekiawan yang
telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing,
seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis yang produktif dan seorang
guru besar. Sebagai salah seorang dari sekian banyak ilmuwan muslim yang sangat
produktif mencetuskan gagasan dan ide menuju perbaikan dan peningkatan kualitas
umat Islam pada era sekarang ini dengan menawarkan konsep-konsep dasar bagi
pendidikan Islam yang merupakan hasil dari sari pati dari nilai ajaran al-Qur‟an dan
al-Hadits yang digalinya.
Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui beliau merupakan modal
dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah seorang di antara pembaharu di
Mesir dan dunia Islam, mengingat umat dan masyarakat yang di hadapinya sedang
bangkit dan berkembang ke arah kemajuan. Keberhasilan pendidikan Islam dari
semula sampai dimasa jayanya menurut beliau dapat dibuktikan dengan munculnya
ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Khaldun dan
Ibnu Maskawaih. Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi tentang pendidikan Islam
47
banyak dipengaruhi oleh dan dari rangkuman, saduran, pemahaman, dan pemikiran
serta pendidik muslim sebelumnya yang ditelusurinya dengan baik terutama
pemahaman secara filosofis. Beliau cenderung menjadikan Ibnu Sina, al-Ghazali
dan ibnu Khaldun sebagai nara sumber.
B. Prinsip dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. M. Athiyah AlAbrasyi
1. Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan
Metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan Islam sangat
banyak terpengaruh oleh prinsip kebebasan dan demokrasi. Islam telah menyerukan
adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga
terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Pintu masjid dan
institut terbuka bagi anak didik yang ada dalam masyarakat tanpa adanya
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin serta tinggi rendahnya kedudukan
sosial anak didik dalam masyarakat. Maka dari itu, untuk belajar pendidikan Islam,
anak didik tidak terikat pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka
dalam ujian atau peraturan khusus untuk penerimaan siswa baru.
2. Pembicaraan sesuai dengan tingkat intelektual
Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam pendidikan Islam dan termasuk
prinsip terbaru dalam pendidikan modern, Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengutarakan bahwa: “Seorang pendidik hendaknya
membatasi dirinya dalam berbicara dengan anak didik sesuai dengan daya
pengertiannya, dan jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak bisa ditangkap
oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya memberontak
terhadapnya”.
Di abad modern yang serba canggih sekarang, permasalahan kehidupan
semakin rumit dan memerlukan pemecahan yang tepat dan cepat, padahal al-Qur‟an
dan al-Hadits tidak memuat pemecahan persoalan-persoalan itu secara rinci. AlQur‟an hanya bersifat global sedangkan Nabi dan wahyu tidak akan datang lagi.
Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, sekarang muncul dan menuntut
48
pemecahannya seperti nikah via telepon, bayi tabung dan lain sebagainya. Semua
itu menuntut pemecahan hukum yang akurat agar umat Islam tidak bingung
menghadapinya.
3. Pengaruh pembawaan dan instink terhadap pilihan
Setiap orang yang meneliti buku-buku yang ditinggalkan oleh sarjana-sarjana
Islam, akan menyaksikan pendapat mereka mengenai instink dan cara-cara
pendidikannya
mengenai studi atas kemampuan-kemampuan
manusia
dan
hubungan dengan pendidikan akhlak dan moral. Sarjana muslim itu berkata bahwa
dalam diri manusia terdapat:
a.
Kemampuan untuk membedakan dan memikirkan
b.
Unsur-unsur kemarahan yang mencakup sifat-sifat marah, membantu kawan,
agresif, gila kekuasaan dan penonjolan diri.
c.
Unsur-unsur syahwat (hawa nafsu) yang mencakup nafsu-nafsu mencari
makan dan berbagai kelezatan-kelezatan panca indera.
Para intelektual Islam telah lama menganjurkan agar pembawaan, instink, dan
seseorang diperhatikan dalam menuntut ke arah bidang pekerjaan yang dipilihnya
demi masa depan kehidupannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menSyarankan agar menekankan kemampuan
instink
anak-anak
harus
diperhatikan
yang
merupakan
landasan
dalam
pendidikannya. Tidak semua pekerjaan yang dicita-citakan akan terpenuhi secara
keseluruhan, hanya pekerjaan yang sesuai dengan instink dan pembawaannya.
Karena itu, kewajiban seorang juru didik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan
untuk anak harus memilih dahulu dan menguji, sehingga bakatnya bisa terpenuhi
sesuai dengan bidangnya.
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa Islam sangat memperhatikan
perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak yaitu perbedaan yang timbul
akibat perbedaan keturunan, pembawaan dan bakat dari si kecil. Hal ini terbukti
dalam
penyelidikan-penyelidikan
ilmu
jiwa,
bahwa
pengekangan
terhadap
kemarahan, penindasan atas hawa nafsu, ataupun penggecetan atas instink
seorang anak, akan membahayakan terhadap dirinya. Jalan yang terbaik adalah kita
49
tuntun ia dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, pendidikan serta daya upaya
lainnya sehingga nafsu kemarahan, hawa nafsu atau instinknya yang liar itu dapat
dijinakkan dan ditundukkan.
4. Kecintaan terhadap pengetahuan
Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar dan menggunakan
seluruh waktunya untuk melakukan penelitian, membaca studi memecahkan
problematik ilmiah, mencernakan ilmu, bergairah dalam menggali ilmu pengetahuan
dan
masalah-masalah
ilmiah
tanpa
segan-segan
bertekun
siang
malam
mempersiapkan pelajaran mereka buat keesokan harinya. Mereka menyerahkan
seluruh kekuatan masa muda dan hidupnya untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi sasaran tujuan
pendidikan Islam, antara lain:
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat
c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan
atau tujuan vokasional dan profesional
d. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan memuaskan
keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan peserta didik
mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu
e. Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan pertukangan supaya
dapat menguasai profesi tertentu
50
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyebut pendidik adalah sebagai spiritual father
atau bapak rohani dari seorang peserta didik, dialah yang memberi santapan jiwa
dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya atau meluruskan perilaku
peserta didik yang burukMaka menghormati pendidik berarti penghormatan terhadap
anak-anak kita, dengan pendidik itulah mereka hidup dan berkembang sekiranya
setiap pendidik itu menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Bahkan Islam menempatkan
pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul, sebagaimana syair al-Syawki
yang dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi. “Berdiri dan hormatilah guru dan
berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.”
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi kode etik pendidik dalam pendidikan Islam
adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia
menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.
b. Adanya komunikasi yang aktif
antara pendidik dan peserta didik. Pola
komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar
mengajar.
c. Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi
pelajaran harus di ukur dengan kadar kemampuannya.
d. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik,
misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi.
e. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
f.
Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar
kewajibannya.
g. Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya
(menggunakan pola integrited curriculum).
h. Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan,
karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang di alami oleh pendidiknya.
i.
Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung
jawab dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana
51
yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguhsungguh.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menegaskan bahwa peserta didik dalam
menuntut ilmu pengetahuan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Adapun
kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap peserta didik
dan di kerjakannya adalah sebagai berikut:
a.
Sebelum belajar, harus membersihkan diri dari segala sifat yang buruk
karena belajar adalah juga ibadah.
b.
Belajar dengan maksud mengisi jiwa dan rasa fadlilah, mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
c.
Bersedia menuntut ilmu walaupun sampai meninggalkan keluarga dan
tanah air.
d.
Menekuni ilmu sampai selesai artinya jangan terlalu sering berganti guru,
jika berganti juga harus dipikir matang-matang terlebih dahulu.
e.
Hendaknya ia memiliki guru dan menghormatinya karena Allah dan
berupaya menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
f.
Jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya dan jangan mulai
berbicara kecuali sudah ada izinnya.
g.
Saling mencintai dan berjiwa persaudaraan antara sesama murid.
h.
Bertekad belajar sampai akhir hayat dan jangan meremehkan suatu bidang
ilmu.
Selain yang telah disebutkan di atas, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi masih
ada prinsip-prinsip penting mengenai pendidik dan peserta didik adalah sebagai
berikut:
a. Akhlak dan moral yang sempurna lebih berharga dari ilmu
b. Pengagungan ilmu, ulama‟ dan sarjana
c. Perhatian yang cukup dalam mempererat hubungan pribadi dan saling
52
C. Kurikulum / Materi Pendidikan Islam
Dalam pendidikan modern dewasa ini, pembawaan dan keinginan peserta didik
sangat diperhatikan. Oleh karena itu, dalam pembuatan kurikulum, Muhammad
Athiyah al-Abrasyi mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Harus ada mata pelajaran yang ditujukan mendidik rohani atau hati. Ini berarti
perlu diberikan mata pelajaran ketuhanan (aqidah). Maka dari itu, peserta
didik diberikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ke-Tuhanan karena ilmu
termulia ialah mengenai Tuhan serta sifat-sifat yang pantas pada Tuhan.
b. Mata pelajaran harus ada yang berisi petunjuk dan tuntunan untuk menjalani
cara hidup yang mulia, sempurna, seperti ilmu akhlak, hadits, fiqih, dan lain
sebagainya.
c. Mata pelajaran yang dipelajari oleh orang-orang Islam karena mata pelajaran
tersebut mengandung kelezatan ilmiah dan kelezatan ideologi.
d. Mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi
kehidupan. Dengan kata lain, ilmu itu harus terpakai.
e. Pendidikan kejuruan, tekhnik dan industrialisasi untuk mencari penghidupan.
f. Mata pelajaran yang diberikan berguna dalam mempelajari ilmu lain, yang
dimaksud adalah ilmu alat seperti bahasa dan semua cabangnya.
D. Metode Pendidikan
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi metode adalah jalan yang dilalui untuk
memperoleh pemahaman pada peserta didik tentang segala macam pelajaran
dalam segala mata pelajaran. Metode merupakan rencana yang dibuat oleh pendidik
sebelum memasuki kelas, dan menerapkannya di dalam kelas. Adapun metode
pendidikan Islam yang relevan dan efektif dalam pengajaran Islam menurut
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:
1. Metode Induktif (al-Istiqraiyah aw Al-Istinbathiyah)
2. Metode Deduktif (Al-Qiyasiyah)
3. Metode Periklanan (Al-Ikhbariyah) dan Metode Pertemuan (Al-Muhadharah)
53
Metode
ini
dilakukan
dengan
cara
memasang
iklan,
pemberitahuan,
pengumuman,brosur-brosur, berita-berita baik melalui televisi, radio maupun surat
kabar, jurnal atau majalah. Metode ini dapat direalisasikan dengan menggunakan
model-model sebagai berikut:
1. Ceramah (Lecturing/al-mawidhah)
2. Tulisan (Al-Kitabah)
3. Metode Dialog (Hiwar)
Untuk merealisasikan metode dialog dapat digunakan model-model sebagai berikut:
1. Tanya jawab (Al-As‟ilah wa Ajwibah)
2. Diskusi (Al-Niqasy)
3. Bantah-bantahan (Al-Mujadalah)
4. Brainstorming (Sumbang saran)
5. Metode Koreksi dan Kritik (Al-Tanqibiyah)
6. Metode Metafora (Al-Amtsal)
7. Metode Permainan (Al-La‟bu / Game)
8. Metode Drill (Al-Tadrib wa Al-Muronah)
9. Metode Kuliah (Muhadharah)
E. Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:
1. Ruh al-Islam, Isa al- Babiel Halabi bi Sayidina Husaini, Cairo.
2. Uzmat al- Islam, jilid I dan II, Mesir, Cairo.
3. At-Tarbiyah Islamiyah,Dar al-Qoumiyah li al-Tiba‟ati wa al-Nashir,Cairo.
4. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
5. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
6. Uzmat al-Rasul Muhammad SAW, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
7. Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
8. Al-Thuruq al-Khassat al-Haditsah fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat al-Arabiyah
Wadiin, Mesir.
9. At-Tufalah Sani‟atul Mustaqbal au Kaifa Nurabbi at-Falana, Mesir.
10. Al-Ilmu Shi‟ar al-Surah Thaqofyah, Al-Anglo, Mesir..30
30
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2006
54
MATERI 8
FAZLUR RAHMAN
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
55
FAZLUR RAHMAN
A. Biografi Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu
daerah yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan
dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh
Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah
keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun.
Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar
ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab
yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.31
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan
keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh
pelajaran berupa nilainilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah
Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun
beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab
Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus
memandang modernitas sebagai tantangantantangan dan kesempatan-kesempatan.
Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan
keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman
pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam
mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian
ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah
modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun
mendapatkan
pendidikan
atau
pengajaran
tradisinonal
dalam
kajian-kajian
keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din.
Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat
ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika
berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat,
bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir. Setelah menyelesaikan
pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya
31
Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz, Teologi islam modern, Gitamedia Press, Surabaya,
1999, hal. 133
56
dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940
ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama
gerakan neo modernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang
sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan
studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur
Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa
yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman,
Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman
dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi
keislaman) melalui penelusuran berbagai literatur.32
Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar doktornya, di
Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika
itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat
disana. Ketika tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham
University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy
sampai awal tahun 1960.
Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di
Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan
modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang
didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian
membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya
dalam bidang filsafat. Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya
pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya
diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan.
Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah
bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam
Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk
memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota
Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi
Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada
32
Ibid, hal. 134
57
keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah
terkubur dalam puing-puing sejarah.
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai berbagai
reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini
disebabkan
oleh
latar
belakang
pendidikannya
yang
ditempuh
di
Barat.
Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal FikroNazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya
yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran
kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad
saw.
Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan
Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad
saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai
munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal, kontroversi
dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu
hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada
gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada
September 1968.
Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa
penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk
menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur
Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan
oleh Ayyub Khan. Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan
untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung
diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama.
Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam,
tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al
Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lainlain. Salah satu alasan yang
menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh
keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan
lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas
58
berbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di
Pakistan.33
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya
pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan
pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70
kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas
dirinya tersebut layaknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.
Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya
Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional.
Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima
Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern
Studies, Universitas California, Los Angeles. Selama kurang lebih 18 tahun menetap
di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang
bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema
yang dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan
puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional.
Itulah sebagai peninggalnnya yang smpai kini pemikiran-pemikirannya masih terus di
kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes,
Fazlur Rahma meninggal dunia.34
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam
Pendidikan islam menurut rahman bukan sekedar perlengkapan dan perlalatan
fisik atau menguasai fisik pengajaran seperti buku-buku yang di ajarkan ataupun
struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena
baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi islam. Hal ini
merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang
harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah
system pendidikan islam.
Pendidikan islam dapat mencakup dua pengertian, yaitu pertama, pendidikan
islam dalam pendidikan praktis yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia islam
seperti yang di selenggarakan di Pakistan, sudan, Saudi, iran, maroko dan
sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk Indonesia,
33
Ibid, hal. 138
Ibid, hal.137
34
59
meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah, dan di perguruan tinggi islam,
bahkan bisa juga pendidikan agama islam di sekolah dan pendidikan agama islam di
perguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan islam yang di sebut dengan intelektual
islam.
Lebih dari itu, pendidikan islam menurut rahman dapat juga di pahami sebagai
proses untuk menghasilkan manusia integrative, yang padanya terkumpul sifat-sifat
seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya.
Berdasarkan Al-qur‟an, tujuan pendidikan menurut rahman adalah untuk
mengembangkan manusia sedemikian rupa sehigga semua pengetahuan yang di
perolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang
memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan
umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.
Tanggung jawab pendidik yang pertama adalah menanamkan pada pikiranpikiran peserta didik dengan nilai moral. Pendidikan islam didasarkan pada ideology
islam karena itu pada hakikatnya pendidikan islam tidak dapat meninggalkan
keterlibatannya pada persepsi benar dan salah. Al-qur‟an sering kali berbicara
tentang dunia dan akhirat. Dunia bernilai lebih rendah, materialis serta hasil yang
tidak memuaskan. Akhirat bernilai lebih tinggi, lebih baik dan menjadi tujuan dari
kehidupan. Al-qur‟an menyuruh manusia mempelajari bumi seisinya dengan cermat
dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan
pengetahuanya dengan tepat dan tidak berbuat kerusakan.
Karena itu, tujuan utama dari pendidikan adalah untuk menyelamatkan manusia
dari diri sendiri, oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Fazlur Rahman memiliki
berbagai
pemikiran
yang
terkait
dengan
pendidikan
Islam.
Ia
berhasil
mengembangkan suatu metode yang dapat memberi alternative, solusi atas
problem-problem pendidikan umat Islam kontemporer. Semula ia mengembangkan
metode kritik sejarah, kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode
penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), dan akhirnya
disempurnakan menjadi metode gerakan ganda (a doble movement).
Tujuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahaman untuk memenuhi
kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tercapainya kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
Materi pendidikan menurut Fazlur Rahman meliputi mebaca dan menulis,
berhitung, AlQur‟an, al-hadits, komentar dan superkomentar, fiqih, Illahiyah, adab,
60
thobi‟iyah, dan astronomi.35 Metode pembelajaran abad pertengahan: membaca dan
mengulang-ulang sampai hafal. Metode demikian ini menurut Fazlur Rahman
dikenal dengan metode belajar secara mekanis, padasaat itu sekolah tidak
melaksanakan ujian akhir tahun tetapi peserta didik bisa naik ke tingkat yang lebih
tinggi dengan r ekomendasi guru-gurunya.36
Dalam berbagai bentuk menurut Fazlurr Rahman pendidiken Islam ketika
jaman pertengahan menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling
lazim adalah menghafal Al-Qur;an dan Al-hadits, namun ada juga kelompok kecil
yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektual.Evaluasi pendidikan
digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah tercapai. Tujuan
pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia
sedemikian rupa sehingga pengetahuan ynag diperolehya akan menjadi pribadi
yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya pemanfaatan sumber-sumber alam
untuk kebaikan, untuk manusia dan untuk menciptakan keadilan dan kemajuan
dunia.
Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan itu telah tercapai, maka
perlu dilakukan evaluasi terhadap performance peserta didik terutama dalam
memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia dan dari segi
keberhasilan menciptakan keadilan, kemajuan serta keteraturan dunia.37
Secara mendasar pembaharuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman
dapat dilakukan dengan menerima pendidikan, kemudian berusaha memasukinya
dengan konsep-konsep Islam. Menurut Fazlur Rahman, pembaharuan dilakukan
dengan cara:
a. Membangkitkan
ideologi
umat
Islam
tentang
pentingnya
belajar
dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Berusaha mengikis dualisme system pendidikan tradisional (agama), dan pada
sisi lain ada pendidikan modern (sekuler). Kedua system ini sama-sama tidak
beresnya. Karena itu perlu ada upaya mengintegrasikan keduanya.
c. Menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk
mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman umat Islam
adalah masyarakat tanpa bahasa karena lemah di bidang bahasa.
35
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the University of
Chichago Press, America, 1982.hal 35-37.
36
Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan ,(Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hal. 18.
37
Sutrisno, op.cit., hal. 106-107.
61
5. Pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam yaitu dari metode mengulangulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis. 38
C. Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman dengan Pendidikan Islam Sekarang
Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk megurangi
benang kusut krisis pemikiran dalam islam yang berdampak pada stagnasi dan
kemunduran peradaban islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai alternative
atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan, menurut Fazlur
Rahman pembaharuan islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada
kemajuan,harus bermula dari pendidikan. Hal itu hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Matuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan
tinggi Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat islam yang
peduli terhadap persoalan-persoalan besar bangsa.
Menurut Fazlur Rahman,problem pendidikan Islam yang paling mendasar
dewasa ini adalah problem ideology. Umat islam tidak dapat secara efektif
mengetahui pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya
mereka tidak terdorong untuk belajar.Bahkan mereka tidak sadar kalau berada di
bawah perintah moral kewajiban islam untuk menuntut ilmu pengetahuan. Problem
yang sangat pelik adalah timbulnya dualisme dalam system pendidikan.
Ini dikarenakan adanya dikotomi ilmuhal ini dapat diperhatikan secara
seksama pendidikan islam yang berbentuk lembaga mulai dari tingkat MI sampai
Perguruan tinggi hanya bisa mencetak para generasi yang tahu nilai-nilai agama
islam, tapi tidak dapat menghadapi tantangan kehidupan modern. Sesuatu yang
berkebalikan juga terjadi pendidikan umum dari tingkat SD sampai perguruan tinggi
umum hanya bisa mencetak orang yang sanggup bersaing didunia modern tapi
gersang dengan nilai-nilai agama islam.Akibatnya tidak pelik orang yang mengalami
stess, bunuh diri, dan tindakan moral lainnya meskipun sudah berpendidikan.
Padahal kita tahu sendiri bahwa di sumber agama islam Kitab suci Alqur‟an
selalu tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum. Kalau pendidikan islam
diteruskan seperti ini dapat diprediksi beberapa tahun kemudian pendidikan islam
akan menjadi pendidikan yang ketinggalan dan tidak diminati oleh masyarakat
(stakeholder). Menurut rahman untuk memenuhi target yang telah didambakan oleh
38
Sutrisno , Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System Pendidikan ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2006), hal. 167
62
masyarakat.Serta fungsi rahmatan lil alamin dapat meluas pendidikan islam haruslah
melakukan teori gerak ganda sebelum menentukan target atau tujuan dari pendirian
lembaga pendidikan tersebut.
Gerak ganda atau Doble movement yang dimaksud rahman yakni ada dua
tempat yang harus di perhatikan yakni sumber yang dalam kategori rahman adalah
al-quran dan as-sunnah sementara tempat yang kedua yakni realitas social atau
social cultural masyarakat setempat.Langkah yang harus ditempuh dalam
pendidikan yakni selaku pihak yang ingin mendirikan lembaga pendidikan islam
haruslah dapat melihat realitas, kebutuhan masyarakat, tantangan kedepan.
Kemudian pelaku lembaga pendidikan harus menarik problem tersebut kedalam
daerah sumber.
Dalam wilayah ini pelaku pendidikan melakukan proses perenungan yang
mendalam agar lembaga pendidikan dapat memadukan hal tersebut.Dan hasilnya
dari proses tersebut baru dibuat dasar dalam pendirian dan pengembangan
pendidikan islam. Walaupun gagasan rahman disini hanya bersifat teoritis dan belum
selesai tapi para ilmuwan berikutnya berhasil mengembangkan konsep Rahman
tersebut dengan adanya berbagai pendekatan keilmuan pendidikan islam mulai dari
islamisasi ilmusampai intergarasi dan interkoneksi. Ini dalam bidang keilmuan,
dalam bidang menajemen pendidikan islam juga harus bersifat terbuka terhadap
menajemen yang baru dan bersifat efektif .
63
MATERI 9
KH. AHMAD DAHLAN
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
64
K.H AMHAD DAHLAN
A. Biografi Tokoh K.H. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868 adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia.Ia adalah putera keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar adalah seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu,dan ibu dari
K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai
penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad
Dahlan dilahirkan pada tahun 1869. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7
rajab 1340 H atau 23 pebruari 1923 M dan di makamkan di karang kadjen,
kemantren, mergangsan, Yogyakarta.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat masih kecil
beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu Bakar. Karena sejak
kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan
hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang
kepadanya. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun Ia dapat membaca
Al-Qur‟an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang seorang yang
cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan
dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara mereka.
Sebelum
mendirikan
organisasi
Muhammadiyah,
K.H.Ahmad
Dahlan
mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk
kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering
mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola.
Ada beberapa faktor intern dan faktor ekstern, yang mendorong mengapa
KH.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Faktor interennya adalah:
a. Kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits, karena
merajalelanya taklid, bid‟ah dan churafat (TBC), yang menyebabkan Islam
menjadi beku.
b. Keadaan
bangsa
Indonesia
serta
umat
Islam
yang
hidup
dalam
kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan kemunduran.
65
c. Tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi
Islam yang kuat.
d. Lembaga pendidikan Islam tak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, dan
sistem pesantren yang sudah sangat kuno. Adanya pengaruh dan dorongan,
gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam.
Faktor-faktor ekstern, mencakup:
a. Adanya kolonialisme Belanda di Indonesia.
b. Kegiatan serta kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen dan Katolik di
Indonesia.
c. Sikap sebagian kaum intelektual Indonesia yang memandang Islam sebagai
agama yang telah ketinggalan zaman.
d. Adanya rencana politik kristenisasi dari pemerintah belanda, demi kepentingan
politik kolonialnya.
B. Karya-karya dan Lembaga yang Didirikan Oleh K.H. Ahmad Dahlan
1. Sekolah calon guru,”Al-Qismul Arqa”
2. Sekolah ibtidaiyah diniyah islamiyah
3. Mencetak selebaran beresi doa sehari-hari, dan jadwal puasa
4. Menerbitkan buku-buku meliputi masalah fiqih, tajwid, hadist, sejarah para
nabi dan rosul dan terjemahan ayat-ayatb al-Quran mengenai akhlak dan
hukum.
C. KonsepPemikiran Pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan
Upaya strategi untuk menyelamatkan umat islam dari pola berfikir yang statis
menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan
hendaknya ditempatkan pada skala perioritas utama dalam proses pembangunan
umat.
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan ini meliputi:
1. Tujuan Pendidikan
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan
66
dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada soal itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama.
Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang
didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan
pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat.
2. Materi pendidikan
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan
hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia
yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan
gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan
dan keinginan hidup bermasyarakat.
3. Metode Mengajar
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada problem mendasar
berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga
pendidikan pesantren.
Menurut
Syamsul
Nizar,
dalam
bukunya
Filsafat
Pendidikan
Islam,
menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar,
kurikulum, dan materi pendidikan.
Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah
metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan
pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad
Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi
saat ini. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak
kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran.
Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami
secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun
67
perbedaan model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan
pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal,
madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti
sekolah Belanda.
b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di
madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari bukubuku umum.
c. Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya
terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral.
Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan
hubungan guru-murid yang akrab.
4. Pendidik
Muhamadiyah menanamkan keyakinan tentang islam dalam sistem pendidikan
dan pengajaran. Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini ternyata
membawa hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada
umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia Muhammadiyah, berpendirian,
bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam usaha
menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah.
5. Peserta Didik
Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu
Al-Qur‟an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi
pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya.
Untuk mencapai tujuan itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan
pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan
dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai
dengan tuntutan dan kehendak zaman. Muhammadiyah telah mendirikan sekolahsekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.
Metode baru yang diterapkan oleh sekolah
Muhammadiyah mendorong
pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya
jawab dan pembahasan makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocahbocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan
68
yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925,
melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali (Mailrapport
No. 467X/25: 13).
6. Pendidikaan integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah
pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh
sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti
lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan.
Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci
yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu:
1) Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat
dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan
istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci.
2) Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia.
3) Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya
akan dicapai jika manusia menyerah kepada petunjuk allah swt.
Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap
apa yang tersirat dalam tafsir
Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar
belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui
ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan
sebagai suatu model dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat
dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang
dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan
kejumudan paham agama Islam.39
Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia
baru yang mampu tampil sebagai ulama-intelek• atau intelek-ulama, yaitu seorang
muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad
Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolahsekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana
39
Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah , hlm. 24-24.
69
agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Dalam rangka menjamin
kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya. Beliau
akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak
kontekstual melalui proses penyadaran. Mengadopsi Substansi dan Metodologi
Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama yaitu
mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan
Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian dengan
gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang
dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah
tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan
modern Baratdengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang
didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola
oleh masyarakat pribumi saat ini.40
Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan
daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama alQism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu‟allimin dan Mu‟allimat
Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di
atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah
menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H.
Ahmad Dahlan adalah:
1. Baik budi, alim dalam agama
2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya
pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh
rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan
salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang
dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagasan dan praktek pendidikan Islamnya
merupakan cikal bakal dan dijadikan estafet dalam pembaharuan system pendidikan
Muhammadiyah.
40
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107.
70
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh KH. Ahmad Dahlan Dengan
Pendidikan Masa Terkini
Relevansi pemikiran tokoh K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan terkini
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia
yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu
yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan,
antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan
dan keinginan hidup bermasyarakat.
Uraian di atas merupakan bagian dari konsep Islam tentang manusia.
Kaitannya dengan persoalan pendidikan, maka secara ringkas dapat dikatakan
bahwa dalam proses pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang:
a. Memiliki kepribadian yang utuh, seimbang antara aspek jasmani dan ruhaninya,
pengetahuan umum dan pengetahuan agamanya, duniawi dan ukhrawinya.
b. Memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi.
c.
Bermoral yang bersumber pada al-Qur‟an dan sunnah.
Sebagaimana pelaksanaan pendidikan menurut K.H.Ahmad Dahlan hendaknya
didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis
bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal
(khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua
sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai „abdAllah dan khalifah fil-ardh.41
41
Ibid, hlm. 112.
71
MATERI 10
KH. HASYIM ASY‟ARI
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
72
K.H. HASYIM ASY‟ARI
A. Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari
Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, adalah seorang ulama Jawa yang menjadi
panutan banyak dari para kyai di Indonesia. Beliau lahir di desa Gedang, sekitar dua
kilometer sebelah timur Jombang, pada tanggal 24 Dzul Qa‟dah 1287 H, bertepatan
pada tanggal 14 Pebruari 1871. Nama asli yang diberikan oleh orang tua beliau
adalah Muhammad Hasyim, sedangkan ayahnya bernama Asy‟ari dan ibunya
bernama Halimah. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa,
Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, juga dipercayai merupakan
keturunan bangsawan.
Ayah beliau adalah seorang kyai pendiri Pesantren Keras di Jombang,
sementara kakeknya, kyai Utsman42 adalah kyai terkenal pendiri Pesantren Gedang,
sementara moyangnya, kyai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambakberas
Jombang. Sahingga wajar saja apabila K.H. Hasyim Asy‟ari menyerap lingkungan
agama dari lingkungan pesantren keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan
agama Islam yang luas.43 Hasyim Asy‟ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama,
bersama K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri, yang didirikan di Surabaya
pada tanggal 16 Rajab 1344, bertepatan tanggal 31 Januari 1926. Organisasi NU
bermaksud untuk mempertahankan praktik keagamaan yang sudah mentradisi di
Nusantara untuk mengimabangi gencarnya ekspansi pembaruan Islam. NU sendiri
memberikan perhatian besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional
yang harus dipertahankan keberadaannya. Kemudian NU mendirikan madrasahmadarasah dengan model Barat.
Dalam hidupnya, beliau juga ikut berperan penting dalam bidang politik
nasional. Di samping itu, beliau menjadi salah satu motivator para pejuang bangsa
Indonesia dalam mengusir pendudukan kolonial di tanah air, untuk meraih
kemerdekaan. Akhir hayatnya, K.H. Hasyim Asy‟ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan
1366 H, bertepatan tanggal 25 Juli 1947, disebabkan tekanan darah tinggi. 44
42
Kyai Utsman adalah seorang ulama terkenal dan berjasa memperkenalkan Tarekat
Naqsyabandiyah di Jawa pada pertengahan abad ke-19.
43
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama-Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Yogyakarta: LKiS, 2000),
hlm. 14-15.
44
Ibid.
73
B. Aktivitas Kependidikan K.H. Hasyim Asy‟ari
Riwayat pendidikan K.H. Hasyim Asy‟ari mungkin dapat digambarkan dengan
kata-kata sederhana, “dari pesantren kembali ke pesantren.” Beliau dibesarkan di
lingkungan pesantren, diasuh dan dididik langsung oleh orang tua dan kakeknya di
Pesantren Gedang, di bawah bimbingan orang tuanya sampai berusia 13 tahun.
Ketika itu, beliau sudah berani menjadi guru pengganti di pesantren ayahnya dengan
mengajar murid-murid yang tidak jarang lebih tua dari usia beliau sendiri. Pada usia
15 tahun, K.H. Hasyim Asy‟ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di Jawa
dan Madura untuk mencari ilmu pengetahuan keagamaan, di antaranya yaitu
Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis, Pesantren Kademangan (Bangkalan, Madura), dan Pesantren Siwalan
Panji (Sidoarjo).
Tradisi bahwa masing-masing pesantren memiliki spesialisasi dalam ilmu
agama, menjadikan para santri menerima pengajaran dari berbagai ahli agama
dengan jalan berkelana ke pesantren yang berbeda-beda untuk mencari ilmu. Hal ini
memberi kesempatan pada K.H. Hasyim Asy‟ari untuk belajar tatabahasa dan sastra
Arab, fiqih, dan sufisme dari Kyai Khalil45 dari Bangkalan, selama tiga tahun,
sebelum memfokuskan diri dalam bidang fiqih selama dua tahun di bawah
bimbingan Kyai Ya‟qub di Pesantren Siwalan Panji. Pada akhir perjalanan mencari
ilmunya, K.H. Hasyim Asy‟ari telah mahir dalam tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir dan
hadits.46
Kemudian beliau ke Mekkah selama tujuh tahun melakukan ibadah haji dan
belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi.
Beliau juga sempat mengajar di Mekkah, yang menjadi sebuah awal karier
pengajaran yang kemudian diteruskan ketika kembali ke tanah air pada 1900.
Setelah tujuh tahun di Mekkah beliau kembali ke Nusantara. Di rumah, pertama
beliau mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, kemudian, antara 1903-1906,
mengajar di kediaman mertuanya, Kemuring (Kediri).47
Setelah dirasa cukup, pada tahun 1899 Hasyim mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng, yang terletak 2 km dari pesantren milik ayahnya. Kyai Hasyim
45
Kyai Khalil adalah ulama terkenal di Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20. Beliau dianggap mempunyai kekuatan luar biasa (karamah) dan pengetahuan agama yang
tinggi. Murid-murid beliau kemudian menjadi Kyai terkenal seperti K.H. Hasyim Asy‟ari sendiri, K.H. A.
Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, dan K.H. As‟ad Syamsul Arifin.
46
Ibid., hlm. 16, 23-24.
47
Ibid., hlm. 17.
74
menghabiskan sebagian besar waktunya mengajar para santri di pesantren. Bahkan
mengatur “kegiatan-kegiatan politik dari pesantren.”
Modal awal, selain tekad dan sikap istiqomah, Hasyim ditemani oleh 8 santri
dari pesantren ayahnya. Buahnyapun ada, dalam tempo 3 bulan, santrinya menjadi
28 orang. Dan ini terus bertambah dan berkembang karena ilmu yang dimilikinya,
menjadi ratusan bahkan ribuan santri. Selain dibantu oleh para santri senior, Kyai
Hasyim turun sendiri mengajar para santri. Dan dalam mengajar, beliau punya
disiplin yang tinggi.48
Banyak murid yang memperoleh pengetahuan dasar agamanya di pesantrenpesantren yang lain, kemudian mendaftar di Pesantren Tebuireng untuk melanjutkan
pendidikannya di bawah pimpinan Kyai Hasyim. Mereka tertarik dengan pendekatan
pedagogiknya, sebuah teknik yang diperoleh dari berbagai ulama di Indonesia dan
Hijaz.
K.H. Hasyim Asy‟ari juga menerapkan sistem madrasah ke dalam sistem
pesantren dan memperkenalkan sistem musyawarah dalam sistem pendidikan
pesantren.49 Sebagaimana kutipan dalam buku lain:
K.H. Hasyim Asy‟ari was a master of the Qur‟an and hadith, knowledge that
was regarded as a new field in the pesantrens. So, by providing instructions in
these two subjects, K.H. Hasyim Asy‟ari can be regarded as an innovator and
reformer within the traditionalist Indonesian scholars.50
Kyai Hasyim adalah sosok terkemuka, sejak Pesantren Tebuireng yang
dipimpinnya telah meluluskan kyai-kyai terkenal di Indonesia, seperti Kyai Wahab
Hasbullah, Kyai Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo, Kyai Abbas, pendiri
Pesantren Buntet, Kyai As‟ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Sukorejo, Kyai Bisri
Syansuri pendiri Pesantren Denanyar, dan sebagainya. Ada juga yang berperan
dalam bidang politik, seperti Kyai Masykur yang menjadi Menteri Agama, dan
Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama pada era Demokrasi Terpimpin.
48
Mohammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006),
hlm. 21-23
49
Mohammad Rifa‟i, Wahid Hasyim (Jogjakarta: Garasi, 2009), hlm. 9.
50
Lathiful Khuluq, Op. Cit., hlm. 32.
75
C. Pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai Pendidikan
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ila al-Muta‟alim fi
Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limi. Sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan
pada masalah pendidikan etika. Namun demikian, karya tersebut tidak berarti
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Karyanya ini merujuk pada kitabkitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang diterima dari para gurunya ditambah
dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.
Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu (1) Keutamaan ilmu dan ilmuan
serta keutamaan belajar mengajar, (2) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
mengajar, (3) Etika murid terhadap guru, (4) Etika murid terhadap pelajaran dan halhal yang harus dipedomani bersama guru, (5) Etika yang harus dipesomani seorang
guru, (6) Etika guru ketika dan akan mengajar, (7) Etika guru terhadap muridmuridnya, dan (8) Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pembelajaran, dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan
dalam empat kelompok, yaitu (1) Signifikansi pendidikan, (2) Tugas dan tanggung
jawab seorang murid, (3) Tugas dan tanggung jawab seorang guru, (4) Etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.51
Dalam makalah ini akan dibahas konsep pendidikan beliau meliputi tujuan
pendidikan, konsep pendidik, dan konsep peserta didik.
51
Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Maguwoharjo: Ar
Ruzz Media, 2013), hlm. 211-212.
76
1.
Tujuan Pendidikan
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, pertama bagi
murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk halhal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekan. Kedua, bagi guru, dalam
mengajarkan ilmu hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata-mata.
K.H. Hasyim Asy‟ari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan
adalah mengamalkannya. Dalam hal belajar, yang menjadi titik penekanannya
adalah pada pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan.52
2.
Konsep Pendidik
Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan
tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik antara lain:
a. Etika yang dipedomani seorang guru
1)
Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
2)
Senantiasa takut kepada Allah.
3)
Senantiasa bersikap tenang dan berhati-hati.
4)
Senantiasa tawadhu‟, mengadukan persoalannya kepada Allah.
5)
Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata.
6)
Tidak selalu memanjakan anak didik.
7)
Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia.
8)
Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah.
9)
Mengamalkan sunah Nabi.
10) Mengistiqamahkan membaca Al-Qur‟an.
11) Bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam.
12) Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah.
13) Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan.
14) Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya.
52
Ibid., hlm. 212-213.
77
15) Membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas.53
b. Etika guru ketika dan akan mengajar
1)
Mensucikan diri dari hadas dan kotoran.
2)
Berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan berbau wangi.
3)
Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik.
4)
Sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah.
5)
Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan.
6)
Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas.
7)
Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli
ilmu yang telah lama meninggalkan kita.
8)
Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang
mata.
9)
Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa.
10) Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan
sebagainya.
11) Pada waktu mengajar, hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis.
12) Usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas, dan lugas, serta
tidak sombong.
13) Dalam mengajar, hendaknya mendahulukan materi-materi yang penting dan
sesuaikan dengan profesi yang dimiliki.
14) Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa
membinasakan.
15) Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak
terlalu lama, menciptakan ketenangan dalam belajar.
16) Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel.
17) Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-oersoalan yang
ditemukan.
18) Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan
ulangi penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud.
19) Dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak didik untuk
menanyakan hal-hal yang kurang jelas ataau belum dipahami.54
53
54
Ibid., hlm. 216
Ibid., hlm. 217-218.
78
c. Etika guru terhadap murid-muridnya
1)
Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan
syariat Islam.
2)
Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian.
3)
Hendaknya selalu melakukan introspeksi diri.
4)
Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid.
5)
Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya.
6)
Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu.
7)
Selalu memerhatikan kemampuan peserta didik.
8)
Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang
lainnya.
9)
Mengarahkan minat peserta didik.
10) Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik.
11) Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik.
12) Bila terdapat peserta didik yang berhalangan, hendaknya mencari hal ikhwal
kepada teman-temannya.
13) Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik.
14) Tawadhu‟.55
3. Konsep Peserta Didik
Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan
tentang tugas dan tanggung jawab peserta didik antara lain:
a. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
1) Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian.
2) Membersihkan niat.
3) Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.
4) Bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan.
5) Pandai mengatur waktu.
6) Menyederhanakan makan dan minum.
7) Bersikap hati-hati (wara‟).
8) Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan
kebodohan.
55
Ibid., hlm. 220.
79
9) Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan.
10) Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.56
b. Etika murid terhadap guru
1)
Hendaknya selalu mendengar dan memperhatikan apa yang dikatakan atau
dijelaskan oleh guru.
2)
Memilih guru yang wara‟ di samping professional.
3)
Mengikuti jejak-jejak guru.
4)
Memuliakan guru.
5)
Memerhatikan apa yang menjadi hak guru.
6)
Bersabar terhadap kekerasan guru.
7)
Berkunjung kepada kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih
dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya.
8)
Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru.
9)
Berbicaralah dnegan sopan dan lemah lembut.
10) Dengarkan segala fatwanya.
11) Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang menjelaskan.
12) Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.57
c. Etika murid terhadap pelajaran
1)
Memerhatikan ilmu yang bersifat fardhu „ain untuk dipelajari.
2)
Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu „ain.
3)
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
4)
Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang-orang yang
dipercayainya.
5)
Senantiasa menganalisis dan menyimak ilmu.
6)
Pancangkan cita-cita yang tinggi.
7)
Bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi.
8)
Ucapkan salam bila sampai dim tempat majlis ta‟lim.
9)
Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan.
56
Ibid., hlm. 213.
57
Ibid., hlm. 213-214.
80
10) Bila
kebetulan
bersamaan
dengan
banyak
teman,
sebaiknya
jangan
mendahului antrean kalau tidak mendapatkan izin.
11) Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada jangan lupa membawa
catatan.
12) Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu.
13) Tanamkan rasa semangat dalam belajar.58
D. Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari dengan Pendidikan Saat Ini
Relevansi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap pendidikan sekarang
nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji Islam atau
lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang masih
menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama
yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya
dan besar dedikasi sosialnya.
Konsep pendidikan oleh K.H. Hasyim tidak hanya berupa teori dan
pemikirannya saja, akan tetapi beliau juga mempraktikkannya langsung dalam
aktivitas kependidikannya. Walaupun pemikiran beliau masih bercorak tradisionalis,
tetapi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari tetap sesuai dan tepat jika diterapkan dalam
pendidikan Islam saat ini, terutama dalam beberapa aspek antara lain yaitu dalam
hal tujuan pendidikan, materi dan dasar yang digunakan yaitu Al-Qu‟an dan AlHadits.
Pemikiran
Kyai
Hasyim
tentang
pemaduan
antara
pesantren
yang
tradisionalis dengan model sekolah barat yang lebih moderenis, sebelumnya banyak
dikhawatirkan oleh banyak kyai lain. Namun, beliau konsisten dengan pemikiran
yang telah dipertimbangkannya, sebagaimana slogan NU sebagai berikut:
ِ ِ ‫الصالِ ِح و ْاْلَ َخ ُذ بِال‬
ِ
‫صلَ ِح‬
ْ َ‫ْجديْد ْاْل‬
َ
َ َّ ‫اَل ُْم َحافَظَةُ َعلَى الْ َقديْ ِم‬
“tetap memelihara hal-hal yang lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru
yang lebih baik.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa Kyai Hasyim merupakan tokoh yang
berusaha
memelihara
tradisi turun
temurun
dari pondok pesantren,
juga
mengembangkan pendidikan keilmuan di pondok pesantren. Hingga sekarang,
58
Ibid., hlm. 214-215.
81
pendidikan Islam berkembang dari model pesantren tradisional, pesantren moderen,
madrasah dan sekolah Islam.
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut K.H. Hasyim Asy‟ari adalah mengamalkan ilmu
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kyai Hasyim juga menyebutkan
dalam hal belajar, bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah
yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai
Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan.
Pola pikir Kyai Hasyim yang pragmatis, memadukan antara pendidikan
tradisionalis, yang menekankan pada pendidikan keagamaan, dengan pendidikan
modernis, yang berisi pendidikan umum atau non-keagamaan. Hal tersebut
bertujuan mencetak lulusan siswa menjadi seorang ulama yang intelektual, dan
intelek yang islami.
2.
Konsep Pendidik
Seorang pendidik yang dipraktikkan oleh Kyai Hasyim sendiri adalah bahwa
mereka harus memiliki ilmu yang mumpuni, memiliki kewibawaan dan keteladanan,
tekun, ulet, bertekad menyebarluaskan ilmu kebenaran demi kebaikan, ikut berbaur
dengan lingkungan masyarakat sekitar dan sesama pendidik, selalu berusaha untuk
mengimbangi antara memelihara tradisi dan tuntutan kemajuan zaman, dan
senantiasa mencintai anak didiknya dengan memberi motivasi, inspirasi dan
memeliharanya.
Sedangkan yang dijelaskan oleh beliau dalam kitabnya ialah sebagaimana
yang disebutkan di atas, bahwa pertama, guru harus memiliki kompetensi personal
dengan etika yang harus dipedomani oleh pribadi seorang pendidik. Kedua, memiliki
kompetensi pedagogik dan profesional dengan etika guru dalam mengajar. Ketiga,
memiliki kompetensi sosial dengan etika ketika bersama peserta didiknya.
Dalam mengajar, seorang guru harus memiliki niat yang lurus dan ikhlas
dalam mengajar, tidak mengharapkan meteri semata. Ikhlas di sini adalah bahwa
seorang pendidik harus bekerja dengan profesional, yaitu ahli sesuai dengan
bidangnya. Guru harus tegas dan jelas dalam menyampaikan ilmu, tidak menjadikan
bingung dan ragu peserta didiknya, sehingga dapat memahamkan ilmu bagi mereka.
82
3.
Konsep Peserta Didik
Sebagai peserta pendidik, juga memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
guru, pelajaran, dan dalam belajarnya. Sama halnya dengan pendidik, peserta didik
juga harus memiliki etika di dalamnya. Dalam menuntut ilmu peserta didik
hendaknya berniat suci menuntut ilmu pengetahuan untuk mengamalkannya,
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan
kebodohan, demi mencari ridha Allah yang mengantarkan untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan
jangan melecehkan atau menyepelekan ilmu dan gurunya.
4.
Kurikulum Pendidikan
Pada awal mulanya, mata pelajaran yang di ajarkan oleh Kyai Hasyim adalah
menekankan pada syariat Islam atau ilmu pengetahuan dasar keagamaan Islam,
yaitu tauhid, fiqih dan tafsir. Sedangkan ilmu bahasa yang dipelajari adalah bahasa
Arab, dan tulis menulis Arab. Setelah berkembangnya tuntutan zaman, kurikulum
yang sebelumnya ditambahkan pelajaran Qur‟an dan Hadits, dan bahasa Indonesia
dan Melayu, serta bahasa asing Belanda.
Seiring berkembangnya model pesantren tradisional yang dipadukan dengan
model sekolah moderen, mata pelajaran pun ditambah dengan mempelajari baca
tulis dengan tulisan latin, ilmu hitung, ilmu geografi, ilmu sosial.
5.
Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan
Pada
dasarnya
tradisionalisme
pendidikan
Kyai
Hasyim
Asy‟ari
mengindikasikan bahwa aplikasi pendidikan berkaitan dengan model dalam
pembelajaran, lebih berpusat pada subject matter oriented dengan posisi sentral
pada keberadaan seorang guru sebagai subjek yang menentukan dalam proses
belajar mengajar, atau disebut teacher centre learning (pengajaran berpusat pada
guru). Dalam hal ini, sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan Kyai Hasyim
Asy‟ari lebih dekat kepada kerangka esensialisme (lebih menitikberatkan pada
materi) dari pada progresifisme (lebih menitikberatkan pada aspek intelektual atau
kecerdasan). Selain itu, pembelajaran pendidikan di pesantren juga menggunakan
pendekatan kontekstual dan pembiasaan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, Kyai Hasyim menggunakan beberapa
metode antara lain dengan cara halaqah, mubahatsah, sorogan, bandongan, dan
83
muthalaah, yang identik dengan metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi
dan dialog. Dalam mata pelajaran bahasa Arab, terutama dalam belajar shorof,
menggunakan metode hafalan.
6.
Evaluasi Pendidikan
Mengenai evaluasi, menurut pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari memang dalam
proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai, namun jika diteliti sistem
pendidikan islam sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pemikiran beliau lebih menitikberatkan pada persoalan hati (qolb) sehingga
yang menjadi hal terpenting atau modal dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus
dan ikhlas dan mengaharapkan ridha Allah SWT. Selain itu beliau juga sangat
menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa. Jika dikaitkan dengan
pendidikan sekarang maka pemikiraan K.H. Hasyim Asy‟ari berhubungan erat
dengan aspek afektif siswa. pada dasarnya pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai
tujuan atau pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai
karena menggunakan dasar Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Karena dalam Al-Qur‟an dan
Al-Hadits terwujud suatu sistem pendidikan yang komprehensif yaitu kognitif, afektif
dan psikomotorik.
Disamping keilmuan, keteladanan dan kewibawaan K.H. Hasyim Asy‟ari,
ketekunnan dan keuletan beliau merupakan kunci kesuksesan dalam usahanya
untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Menyebarluaskan berita dan
risalah dari Nabi Muhammad SAW yang terus menerus dibawa oleh sahabat, tabi‟in,
dan tabi‟ut tabi‟in hingga guru-guru beliau, merupakan tekad beliau. Kecintaannya
dengan tanah air Indonesia yang tipe pendidikannya identik dengan budaya
pesantren
tradisional,
tidak
menghalanginya
untuk
melakukan
pembaruan,
mengambil dan mengkombinasikan sub-sub sistem ke dalamnya, namun tetap
menjaga yang bermanfaat dan maslahat, yang tentunya telah beliau benar-benar
dipikirkan dengan seksama.
Pemikiran pendidikannya yang sedemikian rupa menjadi inspirasi bagi praktisi
pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan Islam. Kitab tentang pendidikan, Adab
al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ila al-Muta‟alim fi Ahuwal Ta‟allum wa ma
Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limi, buah karyanya dapat dijadikan sebagai
salah satu rujukan untuk sebuah tuntunan bagi pendidik, peserta didik, dan orang84
orang yang lain yang tentu tidak terlepas dengan unsur pendidikan yang sebenarnya
telah melekat di dalam mereka.
Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja pendidik yang
berniat mengadopsi pemikiran pendidikan beliau, dapat menerapkannya ke dalam
pendidikan umum dan pendidikan moderen. Hal ini menunjukkan adanya bentuk
yang fleksibel pada pendidikan yang dilakukan oleh Kyai Hasyim. Namun bukan
berarti bahwa pemikirannyalah yang paling ideal untuk diterapkan di berbagai bidang
pendidikan di Indonesia.
85
MATERI 11
ABDUL KARIM AMRULLAH
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
86
HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
(HAMKA 1908-1981)
A. Riwayat Hidup
Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), lahir di Sungai Batang, Maninjau
Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M/13 Muharam 1326 H
dari kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim
Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin
Tuanku Abdullah Saleh.59 Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti
Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari
keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu
Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam
struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karna itu,
dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku
ibunya.60
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur‟an
langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa
ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke
sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena kenakalannya ia
dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak ia peroleh dengan belajar
sendiri (autodidak). Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya
ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert
Camus,William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx dan Pierre Loti.61
59
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI,
1985), Cet-3, hlm. 46.
60
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
PendidikanIslam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 15-18
61
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010
87
Ketika
usia
Hamka
mencapai
10
tahun,
ayahnya
mendirikan
dan
mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka
mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab.62 Di usia 12 tahun,
kedua orang tuanya bercerai.63
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8-15
tahun. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan
menggunakan sistim halaqah. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian
kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya.
Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada
waktu itu, sistim hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan
pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab dan
latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitabkitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di
Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar
menulis secara maksimal. Meskipun tidak puas dengan sistim pendidikan waktu itu,
namun ia tetap mengikutinya dengan seksama.
Melalui
Diniyyah
School
Padang
Panjang
yang
didirikannya,
ia
telah
memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam modern dengan menyusun
kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistim pendidikan
klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan
buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti, bahasa,
matematika, sejarah dan ilmu bumi.64 Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku
Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Pada
awalnya, ia hanya diajak untuk membantu melipat-lipat kertas pada percetakan
tersebut. Sambil bekerja, ia diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada di
perpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam
buku, seperti agama, filsafat dan sastra. Melalui kemampuan bahasa sastra dan
daya ingatnya yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat
62
Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) Cet-2, hlm.
53
63
Ibid. , hlm. 53
64
Samsul Nizar, Op. cit., hlm. 21-22
88
Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya. Melalui
bacaan tersebut, membuat cakrawala pemikirannya semakin luas.65
Di usia yang sangat muda Hamka sudah melalang buana. Tatkala usianya masih
16 tahun, tepatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju
Jawa; Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik ayahnya Ja‟far Amrullah. Di sini Hamka
belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, R. M. Suryopranoto, H. Fachruddin, HOS.
Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir, dan
AR. St. Mansur.66 Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dengan Serikat Islam (SI).
Ide-ide pergerakan ini banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka
tentang Islam sebagai suatu yang hidup dan dinamis. Hamka mulai melihat
perbedaan yang demikian nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau, yang
terkesan statis, dengan Islam yang hidup di Yogyakarta, yang bersifat dinamis.
Di sinilah mulai berkembang dinamika pemikiran keislaman Hamka. Perjalanan
ilmiahnya dilanjutkan ke Pekalongan, dan belajar dengan iparnya, AR. St. Mansur,
seorang tokoh Muhammadiyah. Di sini pula Hamka mulai berkenalan dengan ide
pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang
berupaya mendobrak kebekuan umat. Hamka ke pulau Pulau Jawa selama kurang
lebih setahun ini sudah cukup mewarnai wawasannya tentang dinamika dan
universalitas Islam. Dengan bekal tersebut, Hamka kembali pulang ke Maninjau
(pada tahun 1925) dengan membawa semangat baru tentang Islam.67 Ia kembali ke
Sumatera Barat bersama AR. St. Mansur.68 Berbekal pengetahuan yang telah
diperolehnya, dengan maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang
wawasan Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan
pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-Ummah.
Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam, dan menjadi
koresponden di harian Pelita Andalas. Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa
(1927), Hamka pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama enam bulan
ia bekerja di bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak
65
Ibid., hlm. 22-23
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993),
hlm.201-202
67
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, hlm. 101
68
H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet-2,
hlm. 2
66
89
langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa
waktu lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual mulai terbentuk.
Hal tersebut bisa kita ketahui dari kesaksian Rusydi Hamka, salah seorang
puteranya; ”Bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh kenangan. Dari kota
ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan
sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia
memperoleh sukses sebagai wartawan dengan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini
pula, ia mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka
yang membuat ia meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang
menumbuhkan pribadinya di belakang hari”. Kondisi yang tidak menguntungkan ini
membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang pada tahun
1945.69Di Padang Panjang, seolah tidak puas dengan berbagai upaya pembaharuan
pendidikan yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia mendirikan sekolah dengan
nama Tabligh School.70 Hamka ditugaskan oleh Muhammadiyyah ke Sulawesi
Selatan. Pada konggres Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka
diputuskan untuk melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama
menjadi Kulliyyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun.71
Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang
bernafaskan Islam berbentuk sastra.72 Pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi
University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris
Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia menyandang titel ”Dr” di pangkal namanya.
Kemudian pada 6 Juni 1974, Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang
kesusastraan, serta gelar Professor dari universitas Prof. Dr. Moestopo. semuanya
ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa
memperdalam ilmu pengetahuan.73Ia juga mendapatkan Gelar Datuk Indono dan
Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
69
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006),
hlm.62
70
Mardjani Tamin, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Dep P dan K RI, 1997),
hlm.112
71
A. Susanto, op. cit., hlm. 102
72
Sides Sudyarto DS, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati Umat,
(Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hlm. 139
73
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. XIX
90
Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan
pengaruh nya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
B. Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam
1. Urgensi pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan
hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih
dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperluas
akhlaknya, dan berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk
pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam
hidupnya.
Ini berarti pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi menjadi dua bagian;
pertama,
pendidikan
jasmani,
yaitu
pendidikan
untuk
pertumbuhan
dan
kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan rohani,
yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang didasarkan kepada ilmu.
Kedua unsur tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk
menumbuhkembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan
merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara
optimal kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tesebut
dikenal dengan istilah fitrah.
Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada
jasad manusia. Perpaduan unsur tersebut membantu manusia memperoleh ilmu
pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya,
serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.74Dengan pendidikan, manusia akan
dapat mempertajam fitrah akal dan mengontrol nafsunya. Proses ini selanjutnya
akan membantu manusia (khususnya peserta didik) mampu mempertimbangkan
perbuatannya dengan nilai baik dan buruk secara bertanggung jawab. Manusia
hanya bisa menata kehidupan dan peradabannya apabila didukung dengan
pendidikan yang baik.
Pentingnya pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan
kepentingan internal sebagai mahluk yang dinamis, akan tetapi juga bagi
74
A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 105-106
91
kepentingan eksternal, yaitu tertanya peradaban umat manusia secara kaffah dan
harmonis. Untuk itu eksisitensi pendidikan merupakan suatu kemestian dan hajat
hidup bagi setiap manusia. Melalui pendidikan manusia mampu menciptakan
peradaban yang tinggi dan mengenal eksisitensi dirinya, baik sebagai mahluk
individu, sosial, maupun bertuhan.75
2. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya,
pendidikan adalah “serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu
membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik”. Sementara
pengajaran adalah “upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah
ilmu pengetahuan”. Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada
maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata
tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka
mencapai tujuan yang sama. Sebab setiap proses pendidikan, didalamnya terdapat
proses pengajaran.
Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti
apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.Adapun tujuan pendidikan
menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di
76
dunia dan di akhirat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu
beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar
dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam, menurut Hamka, sama dengan
tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada
Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah “mengakui diri sebagai budak atau
hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.”
75
76
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press
Group, 2002), hlm. 265
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2011), hlm. 230-231
92
3. Materi dan Metode Pendidikan
Materi pendidikan dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar antara
ilmu, amal, akhlak dan keadilan. Ketiga konsep sangat tersebut mendasari proses
pendidikan tersebut. Pertama, ilmu. Menurut Hamka ilmu ada dua macam, Ilmu yang
bersumber dari dari wahyu dan mutlak kebenarannya, yang disebut dengan al-ulum
annaqliyah, dan ilmu yang bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya,
biasanya disebut dengan al-ulum al-aqliyah. Kedua, amal dan akhlak. Dalam
pandangan Hamka, ternyata bahwa ilmu yang hanya dibarengi iman tidaklah cukup,
namun harus pula diiringi dengan amal, kerja, atau usaha. Ketiga, keadilan.
Hamka mendefinisikan keadilan dengan „tegak di tengah‟. Dan secara lebih
lengkap Hamka menjelaskan, keadilan sebagai pertahanan yang memikat hati dan
menyebabkan orang takluk dan patuh dengan segala kerendahan hati.77
Dalam buku lain dijelaskan bahwa menurut Hamka, materi pendidikan Islam
dapat dibagi kepada empat bentuk, yaitu:
a. Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, mantiq, dan
lain-lain. Pelaksanaan pendidilkan agama merupakan suatu kemestian pada
setiap lembaga pendidikan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian
peserta didik.
b. Ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, kesusastraan, ilmu berhitung, falak, dan
sebagainya. Dengan ilmu-ilmu tersebut, akan membuka wawasan keilmuan
terhadap peserta didik dalam perkembangan zaman.
c. Keterampilan, seperti berbaris akan menjadikan hidupnya teratur dan bisa diatur,
sementara memanah, berperang, berenang, dan berkuda akan membuat
tubuhnya sehat dan kuat.
d. Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi, dan memahat. Dengan
ilmu ini peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi
rasanya.
Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, seorang guru
hendaknya mempergunakan berbagai macam pendekatan dan metode pendidikan
yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua yang diajarkan secara
baik. Diantara metode pendidikan itu adalah:
77
A. Sutanto, Op. Cit, hlm. 107- 109
93
a. Diskusi
proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk
mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
b. Karya wisata
mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan
memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial.
c. Resitasi
Memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan,
dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang
diberikan kepadanya.78
Dalam buku lain dijelaskan metode pendidikan menurut Hamka, yaitu
1. Amar ma‟ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat
jahat.
2. Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman tauhid kepada peserta
didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya. 79
3. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Tugas pendidik secara umum adalah memantau
mempersiapkan dan
mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak
mulia dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Dengan pelaksanaan
pendidikan yang demikian peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan
hidupnya baik secara horizontal (kholifah fil ard) maupun vertikal („abd Allah). Dalam
hal ini setidaknya ada tiga intitusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas dan
bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu:
a. Lembaga pendidikan informal
Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan akhlak dan
pola pikir anak, dan hanya keluarga yang demokratis akan mampu mengembangkan
dinamika secara maksimal.
b. Lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara terencana dan
sistematis. Sekolah bertugas mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam
peserta didik secara maksimal sehingga memiliki sejumlah kemampuan yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam
78
79
Ramayulis dan Mamsul Nizar, Op.Cit. hlm. 278-282
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit, hlm 246
94
hal ini seorang guru bertugas membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu
yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
c. Lembaga pendidikan non formal
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang sangat luas dan berpengaruh
dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak.Lembaga ini merupakan
lembaga pendukung dalam pelaksanaan proses pendidikan secara praktis. Sesuai
dengan fitrahnya yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi
dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya.80
d. Tugas dan Tanggung Jawab peserta didik
Menurut Buya Hamka tugas dan tanggung jawab peserta didik ialah berupaya
mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengatahuan
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT
melalui fitrah-Nya.81
e. Analisa pemikiran
Dengan penjelasan pemikiran pendidikan Hamka di atas dapat diketahui
Pendidikan pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak, dan keadilan.
Ketiganya merupakan suatu konsep yang harus saling keterkaitan dalam proses
pendidikan. Dan pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan
kepentingan internal sebagai makhluk yang dinamis, akan tetapi juga kepentingan
eksternal, yaitu tertatanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis.
Melalui pemikirannya, Hamka memperlihatkan relevansi yang harmonis antara
ilmu-ilmu agama dan umum. Eksistensi agama bukan hanya sekedar melegitimasi
sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol
perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup tatkala
pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan dan mengayomi dinamika
fitrah peserta didik serta mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan
umum secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat
memainkan peranannya sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial
(social control) secara efektif.
80
81
Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 268-274
Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 274-277
95
MATERI 12
MUHAMMAD NATSIR
“BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG”
96
MUHAMMAD NATSIR
A. Biografi Muhammad Natsir
Muhammad Natsir bin Idris Sutan Saripado (1908-1993) adalha tokoh intelektual,
pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki
bangsa kita. Ayahnya yang bernama Idris Sutan Saripado dan ibunya bernama
Khadijah. Anak Ketiga dari empat bersaudara itu tumbuh dari keluarga yang sangat
sederhana. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai rendahan yang bekerja
sebagai juru tulis kontrolir dikampungnya Maninjau dan sipir penjara di Sulawesi
Selatan. Ia memiliki tiga orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan,
Rubiah, dan Yohanusun.
Muhammad Natsir Datuk Sinaru Panjang lahir di Jembatan Berukir, Alahan
Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari jumat. 17 Jumadil Akhir 1326
Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi82. Di desa kelahirannya itu, Natsir
kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnnya.
Sejarah mencatat bahwa kota Padang tempat kelahiran Natsir telah mencatat
dan memberikan arti tersendiri buat dirinya. Keterbukaan sikap penduduknya
terhadap model pendidikan Belanda terlihat jelas. Misalnya, pada tahun 1915, telah
terbuka kesempatan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan
belajar ini dipergunakan secara antusias, sehingga sekolah yang dibuka pada waktu
itu tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan.
Tingginya animo masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang demikian itu
menyebabkan Minangkabau menjadi pusat kegiatan pendidikan se-Sumatera, baik
dalam bidang pendidikan tersebut tidak hanya ditandai oleh adanya orang-orang luar
Minangkabau yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidika yang ada di daerah
tersebut, melainkan putra-putri daerah pun tidak segan-segan memanfaatkan
kesempatan belajar di pulau Jawa, seperti halnya dilakukan oleh Muhammad Natsir.
Muhammad Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Sepanjang hidupnya ia
perjuangkan untuk agama Islam dan bangsa Indonesia. Kiprah Muhammad Natsir
82
Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia.Jakarta:Rajda Grafindo
Persada.2005. h.73
97
sebagai seorang intelektual, politikus, pendidik, pemimpin Negara maupun tokoh
dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah
pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fisiknya, Muhammad Natsir hanyalah
orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh sopan santun dan
kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Dibalik itu semua Muhammad Natsir adalah ibarat karang yang kokoh. Ia termasuk
seorang yang teguh memgang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orangorang lain.
Saat kecil Muhammad Natsir terlahir dillingkungan agamis, ayahnya seorang
Ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat mempengaruhi
pertumbuhan sang putra. Waktu kecil Muhammad Natsir menghabiskan waktu di
surau, mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau tidaklah cukup. Natsir kecil
sangat ingin belajar di sekolah modern. Sayang, karena kedudukan ayahnya
sebagai pegawai rendahan itulah, Muhammad Natsir kecil sempat ditolak sebagai
murid di Holandsch Inlandische School (HIS) Padang, sebuah sekolah bergengsi
milik orang kulit putih yang banyak diminati saat itu. HIS hanya menerima anak
pegawai negeri yang berpenghasilan besar atau anak saudagar kaya raya. 83
B. Pemikiran Pendidikan Islam
Cendekiawan Muslim Indonesia yang lebih dikenal sebagai tokoh politik
Masyumi dan Mantan Perdana Menteri RI adalah
M. Natsir. Diungkapkan oleh
Abuddin Nata, (2005 : 81-94) bahwa pokok-pokok pemikiraan pendidikan M. Natsir
adalah sebagai berikut :
a. Peran dan fungsi pendidikan.
Dalam hal ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir
yaitu sebagai berikut:.
1) Pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat
mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara
sempurna,
83
Hepi Andi Bastoni dkk. Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah.Jakarta: Mujtama Press,
2008. h 2
98
2) Pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat
kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna.
3) Pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan
benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
4) Pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya,
yaitu menjadi hamba Allah Swt.
5) Pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya
selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
6) Pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan
bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat
merugikan orang lain dan lingkungan.
b. Tujuan pendidikan Islam
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan
idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami,
yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan
pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada
Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan
derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah
Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap
Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 177 yang
artinya Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur,
tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat, kitab, dan nabi-nabi Nya serta memberikan harta yang disayanginya
kepada karib kerabatya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terbatas
dananya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia
mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji, bersifat sabar dan
tenang di waktu bahaya dan bencana menimpa.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang
memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid
yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari-hari. Kedua,
memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan
99
santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa
melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat
secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan
sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada
orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan
dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah
dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan
menakutkan.
c. Dasar pendidikan
Dalam tulisan yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir
menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang
professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari
keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah
banyak penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan
rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela.
d. Ideologi dan pendekatan dalam pendidikan
M. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan
dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya
adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada
rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 serta dalam tulisannya di Pedoman
Masyarakat pada 1937 berjudul "Tauhid sebagai dasar Pendidikan", menggariskan
ideologi pendidikan umat Islam bertitik tolak & berorientasi pada tauhid sebagaimana
tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum.
Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak
mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan
antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya
agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran
Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah
Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
100
e. Fungsi bahasa asing
Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung
kemajuan dan kecerdasan bangsa. Menurut Natsir, bahasa erat kaitannya dengan
corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung
kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifatsifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung
pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu faktor
terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu,
bahasa sendiri menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya
bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan
kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah-langkah antara lain .
1) Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang
diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan
setia.
2) Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab
harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3) Negara-Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus
menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional
ibunya.
4) Keteladanan guru
Menurut Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang
mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Pernyataan ini diajukan, karena pada saat
itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Minat
lulusan terbaik dari sekolah menengah untuk menjadi guru sampai sekarang masih
tampak dikarenakan perhatian terhadap lembaga pendidikan guru memang belum
memadai.
Sistem pendidikan Belanda memang dapat memberikan bekal pengetahuan
modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi jiwanya kerdil,
dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi
lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan
101
akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi
yang dibutuhkan masyarakat.
Tampaknya,
gagasan
dan
pemikiran
M.
Natsir
relevan
dalam
tinjauan
perkembangan pendidikan dewasa ini disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1) M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas
pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara
2) M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga termasuk
pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius.
3) Sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya ilmiah
yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan
pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti
cukup berhasil.
4) Sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir melihat bahwa masalah pokok
untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal:
a) Dengan merombak sistem yang dikotomis ke sistem yang integrated
antara ilmu agama dan umum.
b) Dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi
integrated.
c) Dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat menjadi
teladan bagi peserta didik.84
Natasir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua
orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai
pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol, Dia kemudian diangkat
menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di
Pasar Maninjau.
Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa
demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa
intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan
meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan
praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya.
Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu.
84
Tohir Luth dan M.Nasir.Dakwah dan pemikirannya.Jakarta:Gema Insani.1999
102
Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang
patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis.
Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah
Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas
tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung
parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Rajda Grafindo Persada. 2005.
Ahmad D. Marimba. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. 1990.
Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1991.
Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2000.
Inu Kencana Syafiie. Filsafat Kehidupan. PT. Bumi Aksara. Jakarta . 1995.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the
University of Chichago Press. America. 1982.
Hamka. Tasauf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1987.
Hassan Hanafi. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. PT LkiS Pelangi Aksara.
Yogyakarta. 2004.
Hepi Andi Bastoni dkk. Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah. Jakarta:
Mujtama Press. 2008.
Herry Mohammad. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema
Islami. 2006.
Jamil Ahmad. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka firdaus. 2003.
Kholid, Muhammad Fathoni. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta:
Departemen Agama RI. 2000.
Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.2011.
Labib, Muhsin. Para Filosof. Jakarta: Penerbit Al-huda. 2005.
Lathiful Khuluq. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari.
Yogyakarta: LKiS. 2000.
Lathiful Khuluq. Hasyim Asy‟ari, Religious Thought and Political Activities. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu. 2000.
Ibrahim Madkour. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. 2004.
Mohammad Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema
Insani. 2006.
Mohammad Rifa‟i, Wahid Hasyim. Yogyakarta: Garasi. 2009.
104
Muhammad Soedja. Cerita Tentang Kyiai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka
Cipta. 1993.
Muhsin Labib. Para Filosof. Jakarta: penerbit al-huda.2005.
Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz. Teologi islam modern. Gitamedia Press.
Surabay. 1999.
Nasution, Harun. Muhammad abduh dan teologi rasional muktazilah. Jakarta: PT
Grafindo Persada. 1897.
Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003
Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
Ciputat Press Group. 2005.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Sutrisno, Fazlur Rahman. Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Sutrisno. Pendidikan Islam yang menghidupkan. Yogyakarta: Kota Kembang.
2006.
Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Maguwoharjo: Ar Ruzz Media. 2013.
Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002.
Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, POKJA:
UIN Sunan Kalijaga. 2008.
Terj Iwan Kurniawan. Al-Ghazali. Mutiara Ihya` Ulumuddin. Mizan: Bandung. 2001.
Tohir Luth dan M.Nasir. Dakwah dan pemikirannya. Jakarta: Gema Insani. 1999.
Zainuddin dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
1991.
105
Download