MATERI 1 “ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM DAN FILSAFAT” 1 Aliran Pemikiran Islam dan Filsafat: Aliran Politik, kalam, fiqh, falsafah, tasawuf, pendidikan dan pendidikan Islam Aliran pemkiran islam dan filsafat memiliki banyak sekali topik pembahasan yang harus dibahas diantaranya yaitu tentang politik, ilmu kalam, fiqh, falsafah, tasawuf, pendidikan dan pendidikan Islam. Disini kami akan membahas topik-topik diatas berdasarkan referensi-referensi yang kami dapat. 1. Politik Politik itu sendiri berarti cerdik atau bijaksana. Memang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan politik sebagai suatu cara yang dipakai untuk mencapai atau mewujudkan tujuan, tetapi sebenarnya para ahli ilmu politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang politik. Pada dasarnya, politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada dasarnya adalah membicarakan negara. Karena politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki, asas-asas, sejarah pembentukan negara, serta bentuk dan tujuan negara. Jadi politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk, proses negara-negara dan pemerintahanpemerintahan (Wibur White). Kebijaksanaan pemerintah dibuat didalam area politik. Ini bertujuan untuk mengatasi keadaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.1 2. Hukum Kalam Menurut Al-Farabi, ilmu kalam adalah ilmu yang membahas zat dan sifat Allah beserta semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin islam. Macam-macam ilmu kalam sebagai berikut: a. Ilmu Tauhid, adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, guna mempercayai sesuatu dengan yakin. Pokok utama ilmu ini adalah keEsaan Allah SWT. 1 Drs. Inu Kencana Syafiie. Filsafat Kehidupan. PT. Bumi Aksara. Jakarta . 1995. Hal: 129-132 2 b. Ilmu Aqa‟id, artinya simpulan atau buhul, yaitu kepercayaan yang tersimpul dalam hati, atau pandangan yang bersemayam dalam jiwa manusia dan diyakini kebenarannya sehingga tidak mudah dilepaskan. c. Ilmu Ushuluddin, adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip dasar agama dengan menggunakan dalil-dalil qat‟iyyah dan logika. Fungsi ilmu kalam yaitu: a. Menjaga kemurnian dasar-dasar agama dan memberikan dasar-dasar argumentasi yang kuat dihadapan para penentangnya. b. Memberikan arahan dan petunjuk kepada orang-orang yang membutuhkan nasihat. c. Menjadi pijakan bagi ilmu-ilmu syariah. d. Menompang dan menguatkan sistem nilai ajaran agama islam yang terdiri dari tiga pilar yaitu: iman sebagai landasan aqidah, islam sebagai manifestasi syariat, ibadah dan muamalah, serta insan sebagai aktualisasi akhlak. e. Menjaga kesucian niat dan keyakinan yang merupakan dasar dalam perbuatan untuk mencapak kebahagiaan dunia akhirat. 3. Fiqh Fiqh menurut Hanafi adlah mengetahui hukum-hukum syara‟ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalil Allah SWT.yang terperinci. Dan juga merupakan ilmu yang dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan. Ada 4 sumber yang paling utama dalam mempelajari ilmu fiqh, yaitu: a. Al-Qur‟an, semua hal-hal yang berkaitan dengan ilmu fiqh harus menggunakan sumber paling utama yaitu dari Al-qur‟an. Karena Al-qur‟an merupakan kitab suci umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT (perintah-perintah dan laranganlarangan terhadap segala perbuatan hambanya agar tidak terjerumus ke api neraka dan membawa kita ke surga). b. Sunnah, ialah segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Merupakan sumber kedua dalam ilmu fiqh. Jika ada masalah dalam kehidupan yang tidak dapat ditafsirkan oleh para ahli ilmu fiqh, maka sunnah merupakan sumber utama setelah Al-Qur‟an. c. Ijma‟, ialah kesepakatan para mujtahid atau ulama umat muslim dalam suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat atas suatu hukum tertentu. 3 d. Qiyas, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan sunnah, karena adanya persamaan motif hukum antara kedua masalah tersebut.2 Manurut para ulama Ushul Fiqh tujuan utama mempelajari ilmu fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara‟, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, muamalah, „uqubah dan akhlak. Agar kita mengerti mana yang harus kita lakukan dan tinggalkan serta bagaimana hhukumnya. 4. Falsafah Menurut Kmus Besar Bahasa Indonesi, falsafah diartikan sebagai anggapan, gagasan serta pendangan hidup. Ibnu Taimiyah memiliki dasar atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan yaitu ilmu yang bermanfaat bagi asas kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara mempergunakan ilmu itu dapat menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan terjerumus kedalam kehidupan yang sesat. Menuntut ilmu juga merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah SWT dan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum tahu merupakan shadaqah dan mendiskusikannya merupakan tasbih. Dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat mengenal Allah SWT, beribadah, memuji dan mengesakan-Nya, dan dengan ilmu itu pula seseorang dapat diangkat derajatnya dan menjadi umat yang kokoh. Mengajarkan ilmu keapada seseorang merupakan shadaqahnya para nabi. Dengan ilmu ini Allah SWT.malaikat hingga ikan yang ada dilautan serta burung yang ada diangkasa memanjatkan shalawat dan mengucapkan salam kepada orang yang mengajarkannya kepada orang lain. Sementara orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya dianggap sebagai orang yang dilaknat oleh Allah SWT. Selanjutnya, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilu yang bermanfaat yang didasarkan atas asas kehidupan yang benar dan utama adalah ilmu yang mengajak kepada kehidupan yang baik yang diarahkan untuk berhubungan dengan Al-Haq (Tuhan). 2 Hassan Hanafi. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. PT LkiS Pelangi Aksara. Yogyakarta. 2004. Hal: 144 4 Hal ini menurutnya dapat dibangun atas dua hal sebagai berikut: a. Al-Tauhid (mengesakan Allah SWT) b. Tab‟iat Insaniyah (kemanusiaan).3 5. Tasawuf Menurut Sahal Al-Tustury, tasawuf adalah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia dan memandang antara emas dan kerikil. Dasar-dasar tasawuf, para pengkaji tentang tasawuf berdasarkan kezuhudan sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar dari kalangan sahabat dan tabi‟in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari ayatayat Al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang berotientasi akhirat dan berusaha menjauhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakal kepada Allah SWT, takut terhadap ancaman-Nya, mengharapkan rahmat dan ampunan dari-Nya. Contoh ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan orang-orang briman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah SWT dalam Q.S Al-Haidi ayat 20 yang artinya :”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanamtanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menunjukan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafsu mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah serta hawa nafsu segala sesuatu yang merugikan kita di akhiran lainnya. 3 Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000. Hal: 137-142 5 6. Pendidikan dan Pendidikan Islam Menurut Langveld pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak itu. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran islam. Fungsi pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pendidikan tentu dibutuhkan model pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai upaya menjawab kebutuhan masyarakat. Terdapat konsep-konsep pendidikan menurut para tokoh islam yaitu sebagai berikut: a. Ibnu Sina, pemikiran Ibnu Sina dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan hukuman dalam pendidikan. b. Al-Ghazali, pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan antara lain yaitu yang berkenaan dengan aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid. c. Ibnu Taimiyah, pemikiran Ibnu Taimmiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi kedalam beberapa aspek antara lain yang berkenaan dengan falsafah pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum dan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. d. Ikhwan Al-Muslimin, beliau melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Pemikiran Ikhwan Al-Muslimin dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan sistem pendidikan, karakter pendidikan islam, lembaga pendidikan dan metode pendidikan.4 4 Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000. Hal 67,86,137,186 6 MATERI 2 AL-QABISI “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 7 AL- QABISI A. Biografi Al – Qabisi Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan Rajab tahun 324 H-935M. Beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H. Bertepan pada tanggal 23 Oktober 1012. Al-Qabisi bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.5 Semasa kecil dan remajanya ia belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari AlQur‟an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-„Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisi pernah mengatakan tentang gurunya ini: “Saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-„Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.6 Al-Qabisi pernah ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Muridmuridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar 5 6 Muhsin. 2005. Para Filosof. Al-Huda. Hal 88 Ibid. Hal 90 8 bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar „Atiq Al-Susiy dan lain-lain. Al-Qabisi hidup dalam kondisi sosial keagamaan yang semarak dan sangat mantap dengan mempelajari, menyebarluaskan dan mengajarkannya. Dimana lebih banyak diwarnai aliran Mazhab Maliki, satu aliran yang tergolong ahlussunnah, sehingga tuntutan masyarakat dalam bidang pendidikan cenderung pada masalahmasalah keagamaan. Al-Qabisi merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab. la menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya alMumahid fi al-Fiqh dan al-I'tiqadat.Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan berjudul: "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa alMuta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukumhukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi ke dalam 3 juz. Konsep Pendidikan Al-Qabisi Di atas telah dikemukakan bahwa selain ahli dalam bidang hadits dan fiqih, AlQabisi juga ahli dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari beberapa pemikirannya di bawah ini : 1. Pendidikan Anak-anak Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara. Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. Selanjutnya ia juga dikenal sebagai ulama yang berahkhlak mulia. Keluasan ilmunya yang tinggi dibarengi dengan ketekunan ibadah dan budi pekerti mulia, menyebabkan apa yang diajarkan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan seorang guru dalam mengajar. Yaitu guru yang bukan hanya mengusai dengan baik berbagai materi pengajaran dan cara menyampaikannya, tetapi juga dibarengi dengan budi pekerti mulia dan keteladanan yang tinggi. Ia senantiasa menunjukkan rasa takut kepada Allah, bersih jiwanya, cinta pada fakir miskin, gemar puasa, shalat tahajjud, menerima apa adanya (qana‟ah), berhati lembut terhadap orang-orang yang mendapat musibah serta tabah dalam menghadapi cobaan Tuhan. 9 2. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan islam yang dikehendaki Al-Qabisi adalah bercorak agamis dan normatif, yaitu agar anak didik menjadi seorang Muslim yang di samping menguasai berbagai pengetahuan tentang agama Islam juga mau dan dapat mengamalkannya dengan baik dalam bentuk pengalaman agama yang kuat, serta berakhlak mulia. Tujuan pendidikan demikian itu, kini disebut dengan tujuan pendidikan agama. Sementara tujuan pendidikan yang bercorak keduniaan tampaknya hanya merupakan alat untuk dapat menolong kehidupan ekonomi seseorang, dengan cara memberikan keterampilan yang memadai 3. Kurikulum Dilihat dari segi isi mata pelajaran yang diajarkan kepada anak didik, Al-Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian, dengan uraian sebagai berikut: a. Kurikulum Ijbari Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an seperti sembahyang dan doa-doa, ditambah dengan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa Arab yang keduanya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan bacaan Al-Qur‟an, tulisan dan hafalan AlQur‟an. Kurikulum yang berkenaan dengan baca tulis Al-Qur‟an serta ilmu bahasa itu diberikan kepada anak-anak tingkat pendidikan dasar seperti yang berlangsung di kuttab-kuttab. Al-Qabisi lebih lanjut mengatakan bahwa dimasukkannya pelajaran membaca dan menulis Al-Qur‟an ke dalam kurikulum ijbari adalah karena Al-Qur‟an merupakan kalam Allah dan menjadi kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu‟amalat. Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al-Qur‟an sebagai berikut “Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab allah dan mendirikan sembahyang dan membelanjakan hartanya kejalan Allah setengah dari apa yang kami rezekikan kepada mereka baik dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara terang-terangan mereka mengharapkan usaha dengannya tidak menderita kerugian.” (QS. Al-Fathir:29) Prinsip kurikulum demikian itu sesusai dengan pandangannya mengenai ilmu jiwa yang ditetapkan melalui tiga prinsip yang logis, yaitu; (1) Menumpahkan perhatian kepada pengajaran Al-Qur‟an, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk menambah makrifat kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. (2) 10 Pentingnya ilmu nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suci AlQur‟an secara benar. (3) Mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memahami makna ayat Al-Qur‟an beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan mengucapkannya dengan lancar. b. Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan) Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, sya‟ir, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammar) dan bahasa Arab lengkap. Lebih lanjut Al-Qabisi mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu ikhtiyari ini dengan ilmu ijbari adalah dari segi jarak jauh-dekatnya ilmu tersebut untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat, di mana ilmu ilmu ijbariyah lebih dekat jaraknya dengan pembinaan keagamaan. Menurut pandangan Al-Qabisi bahwa memberikan pelajaran keterampilan kerja untuk mencari nafkah hidup nya sesudah selesai tiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan dasar pengetahuan Al-Qur‟an serta ketaatan dalam menjalankan ibadah menunjukkan adanya pandangan yang menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pendidikan pragmatis. Perlu pula ditambahkan di sini, bahwa dalam kurikulum ikhtiyari ini, Al-Qabisi memasukkannya pelajaran berhitung. Dalam hubungan ini Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung sebagai yang tidak bersifat mutlak, karena hal itu disesuaikan dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau sejauh mana ilmu hitung itu diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama. Dalil yang digunakan untuk memasukkan pelajaran berhitung ke dalam kurikulum ikthiyari lain firman Allah yang berbunyi : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya teran dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu,” (QS. Yunus:5) 4. Metode dan Teknik Belajar Al-Qabisi menganjurkan tentang keharusan anak pulang ke rumah masingmasing di waktu siang hari untuk makan siang dan harus kembali ke kuttab setelah sembahyang zhuhur tepat pada waktu-waktu istirahat antara dua waktu belajar dalam satu hari. Mengapa Al-Qabisi memperhatikan waktu istirahat, karena hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pendidikan modern yang memberikan waktu istirahat sebagai waktu yang amat penting untuk menyegarkan kemampuan berpikir mereka. 11 Selanjutnya Al-Qabisi mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demontrasi. Belajar dengan cara menghafal yang dimulai dengan memahami pelajaran dengan baik akan membantu hafalan yang baik. Di dalam Al-Kuttab itu hanya diajarkan ilmu-ilmu: Al-Qur‟an, tulis menulis, nahwu, bahasa Arab, Sya‟ir, dan sejarah bangsa Arab termasuk ilmu-ilmu lafdziyah. Ilmuilmu itu harus dibaca, dipahami dan diingat-ingat. Metode menghafal yang diajukan Al-Qabisi itu didasarkan pada pemahaman sebuah hadits Nabi SAW. Tentang menghafal Al-Qur‟an, seperti unta yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat pula, dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi. 5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-laki dan Perempuan Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalama satu tempat atau yang dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi perhatian AlQabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki bercampur dengan murid perempuan dalam al-kitab, sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia baligh (dewasa). Menurut Al-Qabisi bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar adalah suatu hal yang tidak baik. Salah satu alasan mengapa Al-Qabisi teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia khawatir kalau anak-anak itu menjadi rusak moralnya. Ia memperingati agar tidak mencapurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi coitus), kecuali bila anak remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa). 6. Demokrasi dalam Pendidikan Menurut Al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian. Ia menghendaki agar penyelenggaraan pendidikan anak-anak Muslim dilaksanakan dalam satu ruangan dan memperoleh pengetahuan dari pendidik yang satu, sehingga tidak perlu dibagi-bagi menjadi tingkat atau jenjang.7 Al-Qabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa pendidikan bagi 7 Ibrahim Madkour. 2005. Fi al-falsafaf al-Islamiyyah. Bumi Aksara. Hal 274 12 anak-anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan bagi anak laki-laki, meskipun harus dipisahkan kelasnya antara keduanya sebagaimana telah diuraikan di atas. B. Relevansi Dengan Pendidikan Sekarang Yang Dapat Digunakan Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabasi pada inti adalah pendidikan akhlak sama seperti konsepnya ibnu Maskawaih,8 namun al-Qabisi tidak hanya sebatas pada pendidikan akhlak saja namun juga pengetahuannya tentang agama harus diperdalam, dan juga pelajaran yang mendukung agar anak didik lebih mudah memahami agama islam denga benar. Pelajaran yang mendukung anak didiknya diantaranya adalah bahasa arab, ilmu hitung, syi‟ir, ilmu nahwu dan lain sebagainya. Pendidikan tersebut adalah bersifat akherati, al-Qabisi juga memperhatikan pendidikan yang bersifat duniawi, diantaranya adalah memeberikan pelajaran keterampilan, dan keahlian pragmatis agar nantinya seorang anak didik tersebut dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya dan juga didasari landasan takut kepada Allah swt. Pada masa sekarang ini ditengah moralitas manusia yang turun konsep pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabisi sangatlah relevan. Pendidikan agama dan akhlak mulia itu sangat penting ditengah masyarakat kita sekarang ini karena diharapkan dengan ini moral masyarakat menjadibaikembali. Kurikulum ijbari yang ditawarkan al-Qabasi adalah pendidikan dasar yang terjadi di kuttab, pendidikan dasar tersebut salah satunya mengenai pemberian pelajaran bahasa arab, jika ditanyakan relevansinya menurut saya tidak relevan untuk ukuran masyarakat Indonesia, karena pada masa Al-Qabisi bahasa arab merupakan bahasa sehari-hari, jadi tidaklah sulit belajar bahasa arab yang merupakan bahasa ibu, berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia, bahasa arab bukan merupakan bahasa ibu. Tentu sangat sulit menangkap pemahamannya jika diberikan pada tingkatan pertama. Menurut Ali al-Jumbulati bahwa kondisi lingkungan hidup sosial budaya pada masa Al-Qabisi adalah bersifat keagamaan yang mantap. Kondisi masyarakat tersebut merupakan kondisi masyarakat yang agamis sekali. Ini kaitanya dengan pencampuran murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat. Telah dijelaskan bahwa tidak bolehnya bercampur karena dikhawartirkan 8 Ibid. Hal 276 13 pada mas remaja adalah masa pubertas, tidak memiliki ketenangan jiwa, dan timbul dorongan biologis yang paling kuat dan jika berdekatan dengan wanita akan terjadi pelanggaran seksual. Jadi pada sekarang ini dicampur ataupun tidak tetaplah terjadi pelanggaran seksual, dorongan biologis yang sangat kuat akan terpendam, dan akan terlampiaskan pada saat berada ditengah-tengah masyarakat, mengingat moral masyarakat sudah rusak. Keadaan ini jelas berbeda pada masa Al-Qabasi yang kondisi masyarakatnya sangat agamis sekali. Inilah yang sudah tidak relevan digunakan masa sekarang ini. 14 MATERI 3 IBNU SINA “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 15 IBNU SINA A. Biografi Ibnu Sina Ar-Ra‟is al-Husain bin Abdullah bin Ali al-Hamadani dilahirkan pada tahun 980M. disebuah desa bernama Afshanah dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan Rusia. Ayahnya bernama Abdullah berasal dari desa yang terletak dekat Bukhara. Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran Muslim paling populer sampai saat ini. Di dunia Barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna. Sebagai anak-anak, ia telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Di usia 10 tahun, ia sudah fasih dalam membaca dan memahami al-Qur‟an serta menguasai sebagian besar bahasa Arab.Selama enam tahun berikutnya, ia mempersembahkan karyanya sendiri; hukum islam, filsafat, ilmu alam, manthiq (logika), dan matematika (geometri). Pada usia 17 tahun, ia memusatkan perhatiannya pada bidang pengobatan,dan berhasil. Di usia 18 tahun, reputasinya mencuat dalam bidang fisika dan diundang untuk menghadiri jamuan Ibnu Mansur, pemimpin Samawi. Sebagai bentuk ucapan terima kasih atas jasa-jasanya, ia dibebaskan untuk menggunakan fasilitas perpustakaan kerajaan yang berisi buku-buku langka dan unik. Pada usia 21 tahun, ia menyusun (mengarang) buku pertamanya. Pada saat yang sama, ayahnya meninggal dunia. Ia meninggalkan Bukhara ke arah barat. Lalu ia mengabdikan dirinya pada Ali bin Ma‟mun, pemimpin Khifa. Dalam waktu singkat, di Jurjan, Ibnu Sina belajar manthiq dan astronomi lalu menulis bagian pertama karya terbesarnya al-Qanun fi al-Tibb ( Canon and Medicine ). Kemudian ia pindah ke Ray dekat Tehran dan mendirikan praktik pengobatan.9 Ia telah mempersembahkan banyak karya filsafat, obat-obatan, teologi,geometri, astronomi, dan sejenisnya. Di antara karya filsafatnya adalah : 1. Asy-Syifa. Buku ini berjumlah 28 jilid, meliputi manthiq, kosomologi (athThabi‟iyat), metafisika (ilahiyat), dan matematika (riya-dhiyat). Karya terbesar 9 Muhsin Labib, para filosof, (Jakarta :penerbit al-huda,2005) hal 118-119. 16 Ibnu Sina ini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia,termasuk latin. 2. An-Najah. Buku ringkasan asy-Syifa ini hanya memuat logika, kosmologi dan teologi Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia,termasuk latin. 3. Al-Isyarat. Ini adalah karya terakhir Ibnu Sina yang membahas logika,kosmologi,dan metafisika. Pandangan-pandangan Ibnu Sina dalam buku ini dianggap sebagai pendapatnya yang bersifat final.Puluhan filosof dan teolog,Syiah dan Suni, telah memberikan komentar (syarh) atas buku ini, antara lain Fakhrud-Din ar-Razi (tiga jilid) dan Khawajeh (baca: Khajeh) Nasirud-Din ath-Thusi. 4. Rasa‟ il fi al-Hikmah wa ath-Thabi‟iyat. Buku ini terdiri dari delapan esai tentang kenabian, jiwa, ilmu-ilmu rasional,etika, dan sebagai-nya. 5. Al-Hashil wa al-Mahshul. Buku ini terdiri dari 20 jilid yang khusus dipersembahkan Ibnu Sina kepada Abu Bakr al-Barqi di usia muda. 6. Al-Hikmah al-Arsyiyah. Buku ini hanya membahas satu bidang filsafat, yaitu ilahiyat (teologi). 7. Al-Hikmah al-Marsyriqiyah. 8. Risalah ath-Thayr. „Esai sastra sufistik tentang perjalanan hidup dan kematian. 9. At-Ta‟liqat. 10. Kitab fi an- Nihayah wa al-La-Nihayah. Karya-karyanya dalam bidang astronomi,bahasa arab, tasawuf, dan kedokteran banya sekali,seperti al-Qanun fi al-Tibb (buku kedokteran sebanyak 14 jilid yang ditulis dengan bahasa Parsi. Abu Ali Sina telah mencetak banyak filosof dan pakar, antara lain: 1. Abu al-Hasan Bahmanyar bin Marzaban; filosof yang sering berbeda pendapat dengan gurunya terutama tentang kausalitas dan penulis at-Tahshil (sebuah buku rujukan dalam filsafat paripatetik ). 2. Abu Abdillah al-Ma‟shumi; penulis transkrip kuliah-kuliah Ibnu Sina, seperti Risalah al-Isyq. 3. Abu Abdillah Abdul-Wahid bin Muhammad al-Jurjani; penulis biografi gurunya. 17 4. Abdul-Hasan bin Thahir bin Zaylah (w.440 H).10 5. Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Syafud-Din al-Ilaqi;yang mewarisi ilmu Ibnu Sina dalam bidang kedokteran,penulis ikhtishar Kitab al-Qanun (ringkasan al-Qanun karya Ibnu Sina). Guru-Guru Ibnu Sina antara lain : 1. Abu Abdillah an-Natili, yang mengajarinya logika Isagogi (al-madkhal). 2. Abu Sahl Isa bin Yahya al-Masihi al Jurjani,yang mengajarinya ilmu kedokteran. 3. Ismail az-Zahid yang mengajarinya fiqih. 4. Mahmud al-Massah yang mengajarinya aljabar. 5. Abu Manshur al-Hasan bin Nuh al-Qamari yang menjadi gurunya dalam bidang filsafat. Ibnu Sina meninggal dunia pada 1037 M, dalam usia 58 tahun. B. Konsep pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Sina 1. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu : a) Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti.11 b) Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya. Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik . Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional. 10 11 Ibid, Hlm. 120-123 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1990), hlm. 2 18 2. Kurikulum Menurut Ibnu Sina kurikulum harus didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun. a) Usia 3 sampai 5 tahun Menurut Ibnu Sina, di usia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. b) Usia 6 sampai 14 tahun Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibn Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga. c) Usia 14 tahun ke atas. Pelajaran yang harus diberikan pada anak usia 14 tahun ke atas menurut ibnu sina amat banyak jumlahnya, namun pelararan tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak.12 3. Mata Pelajaran dalam Kurikulum Ibnu Sina selanjutnya membagi pelajaran kepada yang bersifat teoritis dan pelajaran yang bersifat praktis atau pengetahuan terapan. Menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang bersifat teoritis dapat di bagi tiga lagi yaitu: Ilmu tabi‟i yang dikatagorikan sebagai ilmu yang berada pada urutan yang di bawah. Ilmu matematika yang ditempatkan pada urutan pertengahan. Ilmu ketuhanan yang ditempatkan sebagai urutan yang paling tinggi. Mata pelajaran yang bersifat praktis itu terbagi kepada tiga bagian: Pertama terdiri dari ilmu yang bertujuan membentuk akhlak dan perbuatan manusia yang mulia, sehingga dapat mengantarkan kepada kebahagiaannya hidup di dunia dan akhirat. Kedua terdiri dari ilmu yang berupaya menjelaskan tentang tata cara mengatur kehidupan rumah tangga serta pola hubungan yang baik antara suami istri, orang tua dengan anak-anaknya, majikan dengan para pembantunya. Ketiga ilmu yang mempelajari tentang politik, pimpinan.13 12 13 Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 70-74. Ibid., hlm. 74-76. 19 4. Metode pembelajaran Metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, dan penugasan. a. Metode talqin: Metode talqin digunakan dalam mengajarkan membaca alQur'an. b. Metode demonstrasi: Menurut Ibnu Sina, metode demonstrasi dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar menulis. c. Metode pembiasaan dan keteladanan: Ibnu Sina berpendapat bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. d. Metode diskusi: Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis. e. Metode magang:Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibn Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek.14 f. Metode penugasan: Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibnu Sina dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya. g. Metode targhib dan tarhib: Targhib atau ganjaran, hadiah, penghargaan ataupun imbalan sebagai motivasi yang baik. 5. Konsep Guru Adapun pemikiran Ibnu Sina mengenai guru yang baik adalah guru yang cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, Ibid., hlm. 76-78 20 tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni. Guru menurut ibnu sina sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. C. Relevansi Pemikiran Pendidikah Islam Menurut Ibnu Sina Dengan Pendidikan Masa Terkini. Fenomena yang saat ini terjadi, banyak sekali pendidikan-pendidikan yang sudah melenceng jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri, Terutama pendidikan Akhlak. Peserta didik yang kurang mendapatkan pembelajaran tentang akhlak kondisinya sangat memprihatinkan. Contoh siswa yang sering membolos pada jam sekolah, merokok ketika jam istirahat, tawuran dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua tidak lepas dari tanggung jawab seorang guru sebagai pendidik. Maka menurut konsep pemikiran Ibnu Sina, kriteria seorang pendidik atau guru pun harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar bisa mencetak generasi indonesia yang lebih baik. Konsep pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan sekali untuk di aplikasikan di zaman sekarang, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan.15 15 Tolhah Hasan,Dinamika Pemikiran,hlm 119. 21 MATERI 4 AL-GHAZALI “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 22 IMAM AL-GHAZALI A. Riwayat Hidup Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia dilahirkan di Thus, sebuah Kota di Khurasan Persia pada tahun 450 H. atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool.16 Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan kepada seorang sahabat setia agar kedua putranya diasuh dan disempurnakan pendidikannya. Sahabat tersebut segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali dengan mendidik dan menyekolahkan keduanya. Setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, keduanya dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak, Imam Al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus. Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Naysaburi untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain; darinya Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam AlGhazali memang orang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, sehingga Imam Juwaini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan “laut dalam nan menenggelamkan”. Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa keuntungan besar baginya. Nidzam Al-Mulk berjanji akan mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M.17 Setelah empat tahun di universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi dengan kehidupan total dipenuhi ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama. 16 .Fathiyah Hasan Sulaiman. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta: Guna Aksara, 1986.hal.9. Fathiyah Hasan Sulaiman. Sistem Pendidikan Al-Ghazali, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986, cet.I.hal. 14. 17 23 Dari sana, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar. Selain mengajar, ia juga rajin menulis buku atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”AlMunqidz min al-Dhalal”. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal di Thus kota kelahiranya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau 1111 M.18 B. Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru, dan etika murid, metode. 1. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia darinya. 18 Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal. 37 24 Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.19 Karena itu, ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari tujuan itu. Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan pendidikan. 2. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat AlGhazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu: a. Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan Allah SWT. b. Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. c. Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat. Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu: Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu agama. Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh 19 Arifin M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Cet.I, hal. 87. 25 sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.20 3. Pendidik menurut Al-Ghazali Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi muridnya. Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.21 4. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam. Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga golongan yang sekaligus menunjukkan keharusan menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda pula, yaitu: a. Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara berfikir tersebut mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk. 20 21 Al-Ghazali, Mutiara Ihya` Ulumuddin. Terj Iwan Kurniawan. Mizan: Bandung. 2001.hal. 18-19. Al-Ghazali, Mutiara Ihya` Ulumuddin, hal. 50 26 b. Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat. c. Kaum pendebat (ahl al jidal), harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka. Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki tugas dan kewajiban, yaitu: Mendahulukan kesucian jiwa, Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan, Jangan menyombongkan ilmunya menentang guru dan Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan. 22 apalagi Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 5. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali Perhatian Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih dikhususkan bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan suatu metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Metode pengajaran menurut AlGhazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama dan pendidikan akhlak. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterengan-keterangan yang menguatkan akidah. Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin. Sebab dalam tahun-tahun tersebut, seorang anak mempunyai persiapan menerima kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan saja dan tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan pendidikan akhlak, pengajaran harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di dalam jiwa yang akan melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah dan gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.23 22 Ibid, hal. 44 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 47 23 27 C. Relevansi dengan pendidikan sekarang yang dapat di gunakan Hal ini dapat dipahami dari satu segi tujuan diciptakannya manusia ialah manusia berpotensi untuk menjadi khalifah fi al-ardi. Potensi tersebut akan bermanfaat hanya jika digali melalui pendidikan karena itulah pendidikan merupakan usaha penggalian dan pengemangan fitrah manusia. Akan tetapi, munculnya filsafat pragmatisme yang mendapat inspirasi dari John Dewey, telah mengubah arah orientasi pendidikan. Filsafat pragmatisme telah mengabaikan konsep-konsep kebenaran dan menggantinya dengan kegunaan, dan pengaruh itu berjalan terus, akhirnya terwujudlah manusia-manusia yang menghancurkan konsep keagungan dan kemuliaan diri manusia itu sendiri. Penggantian konsep tersebut mengharuskan kita untuk mengubah sistem pendidikan yang ada sekarang, yang menyangkut dasar, tujuan, materi, kualifikasi, sistem evaluasi pendidikan dan lain-lain sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Tidak ada jalan lain untuk mengatasi dunia pendidikan semacam itu kecuali kembali kepada dan menerapkan sistem pendidikan yang memperhatikan fitrah manusia secara utuh, yakni sistem pendidikan Islam. Selanjutnya, terhadap tantangan-tantangn yang sedang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini, ternyata konsep pendidikan al-Ghazali mampu menjawabnya. Tampilnya pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah karena aktualitas konsepnya, kejelasan orientasi sistemnya, dan secara umum karena pemikirannya yang sesuai dengan sosio kultural. Penampilannya dalam dunia pendidikan merupakan usaha pengubahan eksistensi muslim yang saat ini telah rusak hubungannya dengan sejarah masa lampaunya. Juga, sumbangsihnya terhadap pendidikan Islam untuk mempelajari warisan para leluhurnya yang telah dihalangi oleh barat. 28 MATERI 5 IBNU KHALDUN “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 29 IBNU KHALDUN A. Biografi Tokoh Ibnu Khaldun Ibnu khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Beliau adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasanalasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata.24 Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd „Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H. / 27 Mei 1332 M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alqur‟an sejak usia dini, selain itu beliau juga membahas tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan). Guru pertama ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Dia belajar membaca dan menghafal al-Qur‟an. Dia fasih dalam qira‟at sab‟ah (tujuh cara membaca alQur‟an), dia memperlihatkan caranya yang seimbang dan merata antara mata pelajaran tafsir, hadith, fiqih dan gramatika bahasa arab yang diambilnya dari sejumlah guru yang ada di Tunisia). Ibnu Khaldun mulai berkarir dalam bidang pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat Laut dan Andalusia selama hampir seperempat Abad. Dalam kurun waktu itu dari sepuluh kali dia pindah jabatan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Jabatan pertaman Ibnu Khaldun pertama adalah sebagai anggota Majlis keilmuwan Sultan Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez. Kemudian dia diangkat menjadi sekertaris Sultan pada Tahun 1354. Selain di dunia politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid. Kemudian dia pindah ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan menuju Tilimsan tahun 1374 M. Di Tilimsan ini ibnu Khaldun menemukan tempat untuk menulis dan membaca di rumah bani Arif di dekat benteng Qal‟at Ibn Salamah sebagai tempat tinggal dan tinggal di Istana Ibnu Salamah. Di tempat inilah selama empat tahun dia memulai karnya yang terkenal dengan Kitab al-Ibar (sejarah 24 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka firdaus, 2003, hlm. 503. 30 Universal). Ibnu Khaldun meninggal pada usia 76 Tahun. Untuk menghormati nama besarnya dia dimakamkan di pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang merupakan makam para ulama dan orang-orang penting. Sebagai pelopor sosiologi, sejarah-filsafat, dan ekonomi-politik, karyakaryanya memiliki keaslian yang menajubkan. “Kitab al-I‟bar” termasuk al-Taarif adalah buku sejarahnya yang monumental, berisi Muqaddimah serta otobiografinya. Bukunya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terkenal dengan muqaddimah, dalam bagian ini membicarakan tentang masyarakat, asal-usulnya,kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang mencari nafkah, dan ilmu pengetahuan. Bagian kedua kitab al-I‟bar, terdiri dalam empat jilid, membicarakan tentang sejarah bangsa arab dan orang-orang muslim lainnya dan juga dinasti-dinasti pada masa itu, termasuk dinasti syiria, persia, seljuk, turki, yahudi, romawi, dan prancis. Dan bagian ketiga terdiri dari dua jilid, membicarakan bangsa barbar dan suku tetangga, otobiografi yaitu Al-Taarfi.25 B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Tokoh Ibnu Khaldun Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang sematasemata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia memuat pengetahuan yang otentik.26 a. Tujuan Menurut Ibnu Khaldun Ada Enam Tujuan Pendidikan, yaitu : 1) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman, sebagaimana dengan potensi-potensi lain 25 26 Ibid, hlm. 505. Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA :‟UIN Sunan Kalijaga, 2008) hlm.17. 31 2) menyiapkan seseorang dari segi akhlak 3) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial 4) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan 5) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan 6) menyiapkan seseorang dari segi kesenian. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu: a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. b. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman c. Pembinaan pemikiran yang baik b. Materi Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu: a. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah) Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari‟at yang diambil dari al-Qur‟an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta‟bir mimpi. 32 b. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah) Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: 1) Ilmu logika, 2) Ilmu fisika, 3) Ilmu metafisika dan 4) Ilmu matematika termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al- jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu nujuum. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masingmasing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah: 1) Ilmu agama (syari‟at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam. 2) Ilmu „aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika) 3) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari‟at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama. 4) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika. Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari‟at (agama) dan ilmu „Aqliyah (filsafat). 33 Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. b. Metode Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Ibnu Khaldun memberikan sedikitnya ada dua bentuk pembelajaran yaitu: a. Tahapan pembelajaran Pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta dpembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta didik apabila dilakukan secara berangsurangsur, setapak-demi setapak dan apabila dilakukan secara berangsur-angsur. Berkaitan dengan itu semua ibnu khaldun menganjurkan agar para guru dan orang tua sebagai pendidik seharusnya berlaku sopan dan adil dalam mengingatkan siswa, lain dari itu ibnu khaldun membolehkan memukul siswa apabila dalam keadaan memaksa akan tetapi pukulan tersebut tidak lebih tiga kali. Dalam literatur yang lainnya lagi dengan metode pengajaran ini ibnu khaldun menjelaskan bahwa tiap-tiap pemikiran dan ilmu akan mengembangkan pada akal yang cerdas, lebih lnjut beliau menjelaskan ilmu berhitung tidak sama dengan metode problem-problem kemasyarakatan dan falsafah atau sejarah, dari sini seorang pendidik harus mampu mengklasifikasi mata pelajaran dan metode pengajaran. b. Concertie method (metode pemusatan) Dalam kaitan ini komponin pendidikan sama-sama dituntut untuk lebih fokus pada satu atau dua pilihan bidang pendidikan saja, baik guru, para orang tua dan siswa. Dalam beberapa referensi yang ada sepertinya sosok ibnu khaldun adalah seorang yang menjunjung tinggi metode itu (specialisasi pelajaran) dan telaten. 34 Selain metode diatas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya menjelaskan bahwa didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya: a. memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. b. Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. c. Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode diskusi Isbnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. d. Pendidik Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli. 35 Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah. Dalam melaksanakan menggunakan metode tugasnya, mengajar seorang pendidik hendaknya yang efektif dan efisien. Ibnu mampu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu: 1) Prinsip pembiasaan 2) Prinsip tadrij (berangsur-angsur) 3) Prinsip pengenalan umum (generalistik) 4) Prinsip kontinuitass 5) Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik 6) Menghindari kekerasan dalam mengajar. e. Peserta Didik Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian- bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. Pada dasarnya peserta didik adalah: 1) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya. 2) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui 36 oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya. 3) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi. 4) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada. 5) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. 6) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Ibnu Khaldun Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 faktor pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun yakni tujuan, pendidik, peserta didik, metode pengajaran dan materi pendidikan. Semua komponen pendidikan tersebut sesuai dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan sekarang. Namun, ada beberapa pemikiran beliau yang berbeda dengan para ahli pendidikan yakni tentang tujuan pendidikan. Disini pemikiran Ibnu Khaldun lebih kepada realistis. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mengangkat derajat manusia. Namun, agar manusia mampu memperoleh penghasilan dan menghasilkan industri-indutri untuk eksistensi hidup manusia selanjutnya. Selain itu, pemikiran beliau tentang jangan berhenti terlalu lama dalam proses belajar, belum ditemukan dalam teori para ahli pendidikan masa sekarang. Serta hal-hal yang menghambat proses pendidikan belumlah berlaku pada masa sekarang yakni tentang banyaknya buku dan banyaknya ringkasan. Konsep pemikiran Ibnu Khaldun juga sangat relevan dengan konsep pendidikan masa sekarang, dan sangat cocok untuk diterapkan dalam kegiatan belajar dimana pun. 37 Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan ahli pendidikan pada masanya bahwa apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran hingga kini masih diperdebatkan ditentukan oleh bawaan atau kemampuan hasil belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung pada pendapat terakhir yaitu hasil kemampuan. 38 MATERI 6 MUHAMMAD ABDUH “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 39 MUHAMMAD ABDUH A. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam 1. Sekilas Biografi Muhammad Abduh Muhammad Abduh memiliki nama legkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah, beliau adalah seorang petani keturunan Turki, sedangakan ibunya adalah keturunan Arab. Masa pendidikan ditempuh Muhammad Abduh di Thanta, sebuah lembaga pendidikan masjid Ahmadi. Ditempat tersebut Ia belajar bahasa Arab, nahu, sarf, fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain adalah metode hapalan diluar kepala tanpa pengertian, sehingga membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan. Rasa kecewa akan apa yang ada di Thanta, membuat Muhammad Abduh memutuskan menuntut ilmu di Al-Azhar. Namun kekecewaan kembali ia dapat saat mengetahui bahwa metode yang digunakan sama dengan apa yang digunakan di Thanta. 2. Konsep pendidikan islam Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama Muhamad Abduh, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat. Tipe pertama adalah sekolah tradisional, sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Adanya dua tipe pendidikan berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dan tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi. Muhamad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran itu, ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. 40 Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi tersebut. Supaya bisa mencetak generasi muda yang berkualitas. Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu: a. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.27 Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih. Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali metode munazharah (forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) buta pada masa ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al- Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam menafsirkan al-quran yang didasarkan pada lima prinsip: 1) Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan nash alquran 2) Menjadikan alquran sebagai sebuah kesatuan 3) Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat 4) Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran 5) Tidak melalaikan peristiwa–perisiwa sejarah untuk menafsirkan ayat–ayat yang turun pada waktu itu 27 . Nasution, Harun. 1897. Muhammad abduh dan teologi rasional muktazilah. Jakarta: PT Grafindo Persada 41 B. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral Di samping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah. a. Kurikulum Al-azhar Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas AlAzhar. Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruanperguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta menjauhi paham fatalism, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi penyebab kemunduran Umat, kelemahan umat, absennya jihad Umat, absennya kemajuan kultur Ummat dan tercabutnya Umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam. Muhammad abduh memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode menghafal, karna metode itu merusak daya nalar. Seperti yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thalanta.28 Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu. Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan ikut baik. Menurutnya perlu diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-ilmu modern, sehinnga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan 28 .Kholid, Muhammad Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI 42 universitas-unuversitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin. Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain: 1. Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar. 2. Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran. 3. Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid 4. Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama. 5. Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan. a. Sekolah Dasar Negeri Muhammad abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement bahwa agama islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengantarkan masyarakat mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan berbangsa. b. Sekolah Tingkat Atas Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad Abduh merasa perlu menambahkan materi – materi yang berhubungan dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik. Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan menciptakan kelompok social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran 43 diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan. Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat harkat martabat perempuan, munurunya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam Tahrir al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin. Dalam bidang pendidikan nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama antara lain: 1) Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar 2) Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui. 3) Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air, dan pemimpin. Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh factor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan social keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral. Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir bahkan ide penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu Al- Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa. Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikuluum Al-Azhar, antara lain ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern. Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh 44 positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya. C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan Pendidikan Nasional Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa.29 Sumbangsi pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pengajaran relevan dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah – sekolah yang tersebar di Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tak selalu metode menghapal. Guru berusaha menyajikan metode – metode yang dapat dipahami anak didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek. Jika dilihat dari segi konsep pendidikan yang dikeluarkan Muhammad Abduh penulis merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi muda yang tidak lepas dari tuntunan islam, meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah – sekolah umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam). 29 . Muhammad kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan pendidikan Nasional,( Jakarta Departemen Agama RI) Hlm.10 45 MATERI 7 MUHAMMAD „ATHIYAH AL-ABRASYI “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 46 MUHAMMAD ATHIYA AL-ABRASYI A. Biografi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 19541970. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1981. Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada fakultas Darul Ulum Cairo University, Cairo. Sebagai guru besar, beliau secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari zaman ke zaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat pada abad ke-20 ini. Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang ulama‟, cendekiawan yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing, seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis yang produktif dan seorang guru besar. Sebagai salah seorang dari sekian banyak ilmuwan muslim yang sangat produktif mencetuskan gagasan dan ide menuju perbaikan dan peningkatan kualitas umat Islam pada era sekarang ini dengan menawarkan konsep-konsep dasar bagi pendidikan Islam yang merupakan hasil dari sari pati dari nilai ajaran al-Qur‟an dan al-Hadits yang digalinya. Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui beliau merupakan modal dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia Islam, mengingat umat dan masyarakat yang di hadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah kemajuan. Keberhasilan pendidikan Islam dari semula sampai dimasa jayanya menurut beliau dapat dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Khaldun dan Ibnu Maskawaih. Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi tentang pendidikan Islam 47 banyak dipengaruhi oleh dan dari rangkuman, saduran, pemahaman, dan pemikiran serta pendidik muslim sebelumnya yang ditelusurinya dengan baik terutama pemahaman secara filosofis. Beliau cenderung menjadikan Ibnu Sina, al-Ghazali dan ibnu Khaldun sebagai nara sumber. B. Prinsip dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. M. Athiyah AlAbrasyi 1. Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan Metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip kebebasan dan demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Pintu masjid dan institut terbuka bagi anak didik yang ada dalam masyarakat tanpa adanya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin serta tinggi rendahnya kedudukan sosial anak didik dalam masyarakat. Maka dari itu, untuk belajar pendidikan Islam, anak didik tidak terikat pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka dalam ujian atau peraturan khusus untuk penerimaan siswa baru. 2. Pembicaraan sesuai dengan tingkat intelektual Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam pendidikan Islam dan termasuk prinsip terbaru dalam pendidikan modern, Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengutarakan bahwa: “Seorang pendidik hendaknya membatasi dirinya dalam berbicara dengan anak didik sesuai dengan daya pengertiannya, dan jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya memberontak terhadapnya”. Di abad modern yang serba canggih sekarang, permasalahan kehidupan semakin rumit dan memerlukan pemecahan yang tepat dan cepat, padahal al-Qur‟an dan al-Hadits tidak memuat pemecahan persoalan-persoalan itu secara rinci. AlQur‟an hanya bersifat global sedangkan Nabi dan wahyu tidak akan datang lagi. Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, sekarang muncul dan menuntut 48 pemecahannya seperti nikah via telepon, bayi tabung dan lain sebagainya. Semua itu menuntut pemecahan hukum yang akurat agar umat Islam tidak bingung menghadapinya. 3. Pengaruh pembawaan dan instink terhadap pilihan Setiap orang yang meneliti buku-buku yang ditinggalkan oleh sarjana-sarjana Islam, akan menyaksikan pendapat mereka mengenai instink dan cara-cara pendidikannya mengenai studi atas kemampuan-kemampuan manusia dan hubungan dengan pendidikan akhlak dan moral. Sarjana muslim itu berkata bahwa dalam diri manusia terdapat: a. Kemampuan untuk membedakan dan memikirkan b. Unsur-unsur kemarahan yang mencakup sifat-sifat marah, membantu kawan, agresif, gila kekuasaan dan penonjolan diri. c. Unsur-unsur syahwat (hawa nafsu) yang mencakup nafsu-nafsu mencari makan dan berbagai kelezatan-kelezatan panca indera. Para intelektual Islam telah lama menganjurkan agar pembawaan, instink, dan seseorang diperhatikan dalam menuntut ke arah bidang pekerjaan yang dipilihnya demi masa depan kehidupannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi menSyarankan agar menekankan kemampuan instink anak-anak harus diperhatikan yang merupakan landasan dalam pendidikannya. Tidak semua pekerjaan yang dicita-citakan akan terpenuhi secara keseluruhan, hanya pekerjaan yang sesuai dengan instink dan pembawaannya. Karena itu, kewajiban seorang juru didik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan untuk anak harus memilih dahulu dan menguji, sehingga bakatnya bisa terpenuhi sesuai dengan bidangnya. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa Islam sangat memperhatikan perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak yaitu perbedaan yang timbul akibat perbedaan keturunan, pembawaan dan bakat dari si kecil. Hal ini terbukti dalam penyelidikan-penyelidikan ilmu jiwa, bahwa pengekangan terhadap kemarahan, penindasan atas hawa nafsu, ataupun penggecetan atas instink seorang anak, akan membahayakan terhadap dirinya. Jalan yang terbaik adalah kita 49 tuntun ia dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, pendidikan serta daya upaya lainnya sehingga nafsu kemarahan, hawa nafsu atau instinknya yang liar itu dapat dijinakkan dan ditundukkan. 4. Kecintaan terhadap pengetahuan Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar dan menggunakan seluruh waktunya untuk melakukan penelitian, membaca studi memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu, bergairah dalam menggali ilmu pengetahuan dan masalah-masalah ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan pelajaran mereka buat keesokan harinya. Mereka menyerahkan seluruh kekuatan masa muda dan hidupnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Muhammad Athiyah al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi sasaran tujuan pendidikan Islam, antara lain: a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan atau tujuan vokasional dan profesional d. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan peserta didik mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu e. Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu 50 Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyebut pendidik adalah sebagai spiritual father atau bapak rohani dari seorang peserta didik, dialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya atau meluruskan perilaku peserta didik yang burukMaka menghormati pendidik berarti penghormatan terhadap anak-anak kita, dengan pendidik itulah mereka hidup dan berkembang sekiranya setiap pendidik itu menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul, sebagaimana syair al-Syawki yang dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi. “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.” Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi kode etik pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut: a. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri. b. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar. c. Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus di ukur dengan kadar kemampuannya. d. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi. e. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan. f. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar kewajibannya. g. Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya (menggunakan pola integrited curriculum). h. Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang di alami oleh pendidiknya. i. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana 51 yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguhsungguh. Muhammad Athiyah al-Abrasyi menegaskan bahwa peserta didik dalam menuntut ilmu pengetahuan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap peserta didik dan di kerjakannya adalah sebagai berikut: a. Sebelum belajar, harus membersihkan diri dari segala sifat yang buruk karena belajar adalah juga ibadah. b. Belajar dengan maksud mengisi jiwa dan rasa fadlilah, mendekatkan diri kepada Allah SWT. c. Bersedia menuntut ilmu walaupun sampai meninggalkan keluarga dan tanah air. d. Menekuni ilmu sampai selesai artinya jangan terlalu sering berganti guru, jika berganti juga harus dipikir matang-matang terlebih dahulu. e. Hendaknya ia memiliki guru dan menghormatinya karena Allah dan berupaya menyenangkan hati guru dengan cara yang baik. f. Jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya dan jangan mulai berbicara kecuali sudah ada izinnya. g. Saling mencintai dan berjiwa persaudaraan antara sesama murid. h. Bertekad belajar sampai akhir hayat dan jangan meremehkan suatu bidang ilmu. Selain yang telah disebutkan di atas, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi masih ada prinsip-prinsip penting mengenai pendidik dan peserta didik adalah sebagai berikut: a. Akhlak dan moral yang sempurna lebih berharga dari ilmu b. Pengagungan ilmu, ulama‟ dan sarjana c. Perhatian yang cukup dalam mempererat hubungan pribadi dan saling 52 C. Kurikulum / Materi Pendidikan Islam Dalam pendidikan modern dewasa ini, pembawaan dan keinginan peserta didik sangat diperhatikan. Oleh karena itu, dalam pembuatan kurikulum, Muhammad Athiyah al-Abrasyi mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Harus ada mata pelajaran yang ditujukan mendidik rohani atau hati. Ini berarti perlu diberikan mata pelajaran ketuhanan (aqidah). Maka dari itu, peserta didik diberikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ke-Tuhanan karena ilmu termulia ialah mengenai Tuhan serta sifat-sifat yang pantas pada Tuhan. b. Mata pelajaran harus ada yang berisi petunjuk dan tuntunan untuk menjalani cara hidup yang mulia, sempurna, seperti ilmu akhlak, hadits, fiqih, dan lain sebagainya. c. Mata pelajaran yang dipelajari oleh orang-orang Islam karena mata pelajaran tersebut mengandung kelezatan ilmiah dan kelezatan ideologi. d. Mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Dengan kata lain, ilmu itu harus terpakai. e. Pendidikan kejuruan, tekhnik dan industrialisasi untuk mencari penghidupan. f. Mata pelajaran yang diberikan berguna dalam mempelajari ilmu lain, yang dimaksud adalah ilmu alat seperti bahasa dan semua cabangnya. D. Metode Pendidikan Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi metode adalah jalan yang dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik tentang segala macam pelajaran dalam segala mata pelajaran. Metode merupakan rencana yang dibuat oleh pendidik sebelum memasuki kelas, dan menerapkannya di dalam kelas. Adapun metode pendidikan Islam yang relevan dan efektif dalam pengajaran Islam menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah: 1. Metode Induktif (al-Istiqraiyah aw Al-Istinbathiyah) 2. Metode Deduktif (Al-Qiyasiyah) 3. Metode Periklanan (Al-Ikhbariyah) dan Metode Pertemuan (Al-Muhadharah) 53 Metode ini dilakukan dengan cara memasang iklan, pemberitahuan, pengumuman,brosur-brosur, berita-berita baik melalui televisi, radio maupun surat kabar, jurnal atau majalah. Metode ini dapat direalisasikan dengan menggunakan model-model sebagai berikut: 1. Ceramah (Lecturing/al-mawidhah) 2. Tulisan (Al-Kitabah) 3. Metode Dialog (Hiwar) Untuk merealisasikan metode dialog dapat digunakan model-model sebagai berikut: 1. Tanya jawab (Al-As‟ilah wa Ajwibah) 2. Diskusi (Al-Niqasy) 3. Bantah-bantahan (Al-Mujadalah) 4. Brainstorming (Sumbang saran) 5. Metode Koreksi dan Kritik (Al-Tanqibiyah) 6. Metode Metafora (Al-Amtsal) 7. Metode Permainan (Al-La‟bu / Game) 8. Metode Drill (Al-Tadrib wa Al-Muronah) 9. Metode Kuliah (Muhadharah) E. Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah: 1. Ruh al-Islam, Isa al- Babiel Halabi bi Sayidina Husaini, Cairo. 2. Uzmat al- Islam, jilid I dan II, Mesir, Cairo. 3. At-Tarbiyah Islamiyah,Dar al-Qoumiyah li al-Tiba‟ati wa al-Nashir,Cairo. 4. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa al-Babiel Halabi, Mesir. 5. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, Isa al-Babiel Halabi, Mesir. 6. Uzmat al-Rasul Muhammad SAW, Dar al-Katib al-Araby, Cairo. 7. Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, Isa al-Babiel Halabi, Mesir. 8. Al-Thuruq al-Khassat al-Haditsah fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat al-Arabiyah Wadiin, Mesir. 9. At-Tufalah Sani‟atul Mustaqbal au Kaifa Nurabbi at-Falana, Mesir. 10. Al-Ilmu Shi‟ar al-Surah Thaqofyah, Al-Anglo, Mesir..30 30 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2006 54 MATERI 8 FAZLUR RAHMAN “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 55 FAZLUR RAHMAN A. Biografi Singkat Fazlur Rahman Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.31 Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilainilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangantantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam. Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya 31 Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz, Teologi islam modern, Gitamedia Press, Surabaya, 1999, hal. 133 56 dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neo modernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran berbagai literatur.32 Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar doktornya, di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat. Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada 32 Ibid, hal. 134 57 keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah. Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai berbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal FikroNazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan. Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lainlain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas 58 berbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.33 Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut layaknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara. Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles. Selama kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema yang dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional. Itulah sebagai peninggalnnya yang smpai kini pemikiran-pemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal dunia.34 B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Pendidikan islam menurut rahman bukan sekedar perlengkapan dan perlalatan fisik atau menguasai fisik pengajaran seperti buku-buku yang di ajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme islam karena baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran islam yang asli dan memadai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah system pendidikan islam. Pendidikan islam dapat mencakup dua pengertian, yaitu pertama, pendidikan islam dalam pendidikan praktis yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia islam seperti yang di selenggarakan di Pakistan, sudan, Saudi, iran, maroko dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk Indonesia, 33 Ibid, hal. 138 Ibid, hal.137 34 59 meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah, dan di perguruan tinggi islam, bahkan bisa juga pendidikan agama islam di sekolah dan pendidikan agama islam di perguruan tinggi umum. Kedua, pendidikan islam yang di sebut dengan intelektual islam. Lebih dari itu, pendidikan islam menurut rahman dapat juga di pahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia integrative, yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur dan sebagainya. Berdasarkan Al-qur‟an, tujuan pendidikan menurut rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehigga semua pengetahuan yang di perolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia. Tanggung jawab pendidik yang pertama adalah menanamkan pada pikiranpikiran peserta didik dengan nilai moral. Pendidikan islam didasarkan pada ideology islam karena itu pada hakikatnya pendidikan islam tidak dapat meninggalkan keterlibatannya pada persepsi benar dan salah. Al-qur‟an sering kali berbicara tentang dunia dan akhirat. Dunia bernilai lebih rendah, materialis serta hasil yang tidak memuaskan. Akhirat bernilai lebih tinggi, lebih baik dan menjadi tujuan dari kehidupan. Al-qur‟an menyuruh manusia mempelajari bumi seisinya dengan cermat dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan pengetahuanya dengan tepat dan tidak berbuat kerusakan. Karena itu, tujuan utama dari pendidikan adalah untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri, oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Fazlur Rahman memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan pendidikan Islam. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi alternative, solusi atas problem-problem pendidikan umat Islam kontemporer. Semula ia mengembangkan metode kritik sejarah, kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), dan akhirnya disempurnakan menjadi metode gerakan ganda (a doble movement). Tujuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahaman untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Materi pendidikan menurut Fazlur Rahman meliputi mebaca dan menulis, berhitung, AlQur‟an, al-hadits, komentar dan superkomentar, fiqih, Illahiyah, adab, 60 thobi‟iyah, dan astronomi.35 Metode pembelajaran abad pertengahan: membaca dan mengulang-ulang sampai hafal. Metode demikian ini menurut Fazlur Rahman dikenal dengan metode belajar secara mekanis, padasaat itu sekolah tidak melaksanakan ujian akhir tahun tetapi peserta didik bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan r ekomendasi guru-gurunya.36 Dalam berbagai bentuk menurut Fazlurr Rahman pendidiken Islam ketika jaman pertengahan menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal Al-Qur;an dan Al-hadits, namun ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektual.Evaluasi pendidikan digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah tercapai. Tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga pengetahuan ynag diperolehya akan menjadi pribadi yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya pemanfaatan sumber-sumber alam untuk kebaikan, untuk manusia dan untuk menciptakan keadilan dan kemajuan dunia. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan itu telah tercapai, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap performance peserta didik terutama dalam memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia dan dari segi keberhasilan menciptakan keadilan, kemajuan serta keteraturan dunia.37 Secara mendasar pembaharuan pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat dilakukan dengan menerima pendidikan, kemudian berusaha memasukinya dengan konsep-konsep Islam. Menurut Fazlur Rahman, pembaharuan dilakukan dengan cara: a. Membangkitkan ideologi umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. b. Berusaha mengikis dualisme system pendidikan tradisional (agama), dan pada sisi lain ada pendidikan modern (sekuler). Kedua system ini sama-sama tidak beresnya. Karena itu perlu ada upaya mengintegrasikan keduanya. c. Menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman umat Islam adalah masyarakat tanpa bahasa karena lemah di bidang bahasa. 35 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the University of Chichago Press, America, 1982.hal 35-37. 36 Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan ,(Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hal. 18. 37 Sutrisno, op.cit., hal. 106-107. 61 5. Pembaharuan di bidang metode pendidikan Islam yaitu dari metode mengulangulang dan menghafal pelajaran ke metode memahami dan menganalisis. 38 C. Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman dengan Pendidikan Islam Sekarang Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman sangat strategis untuk megurangi benang kusut krisis pemikiran dalam islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai alternative atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan, menurut Fazlur Rahman pembaharuan islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada kemajuan,harus bermula dari pendidikan. Hal itu hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Matuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat islam yang peduli terhadap persoalan-persoalan besar bangsa. Menurut Fazlur Rahman,problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini adalah problem ideology. Umat islam tidak dapat secara efektif mengetahui pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya mereka tidak terdorong untuk belajar.Bahkan mereka tidak sadar kalau berada di bawah perintah moral kewajiban islam untuk menuntut ilmu pengetahuan. Problem yang sangat pelik adalah timbulnya dualisme dalam system pendidikan. Ini dikarenakan adanya dikotomi ilmuhal ini dapat diperhatikan secara seksama pendidikan islam yang berbentuk lembaga mulai dari tingkat MI sampai Perguruan tinggi hanya bisa mencetak para generasi yang tahu nilai-nilai agama islam, tapi tidak dapat menghadapi tantangan kehidupan modern. Sesuatu yang berkebalikan juga terjadi pendidikan umum dari tingkat SD sampai perguruan tinggi umum hanya bisa mencetak orang yang sanggup bersaing didunia modern tapi gersang dengan nilai-nilai agama islam.Akibatnya tidak pelik orang yang mengalami stess, bunuh diri, dan tindakan moral lainnya meskipun sudah berpendidikan. Padahal kita tahu sendiri bahwa di sumber agama islam Kitab suci Alqur‟an selalu tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum. Kalau pendidikan islam diteruskan seperti ini dapat diprediksi beberapa tahun kemudian pendidikan islam akan menjadi pendidikan yang ketinggalan dan tidak diminati oleh masyarakat (stakeholder). Menurut rahman untuk memenuhi target yang telah didambakan oleh 38 Sutrisno , Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System Pendidikan , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2006), hal. 167 62 masyarakat.Serta fungsi rahmatan lil alamin dapat meluas pendidikan islam haruslah melakukan teori gerak ganda sebelum menentukan target atau tujuan dari pendirian lembaga pendidikan tersebut. Gerak ganda atau Doble movement yang dimaksud rahman yakni ada dua tempat yang harus di perhatikan yakni sumber yang dalam kategori rahman adalah al-quran dan as-sunnah sementara tempat yang kedua yakni realitas social atau social cultural masyarakat setempat.Langkah yang harus ditempuh dalam pendidikan yakni selaku pihak yang ingin mendirikan lembaga pendidikan islam haruslah dapat melihat realitas, kebutuhan masyarakat, tantangan kedepan. Kemudian pelaku lembaga pendidikan harus menarik problem tersebut kedalam daerah sumber. Dalam wilayah ini pelaku pendidikan melakukan proses perenungan yang mendalam agar lembaga pendidikan dapat memadukan hal tersebut.Dan hasilnya dari proses tersebut baru dibuat dasar dalam pendirian dan pengembangan pendidikan islam. Walaupun gagasan rahman disini hanya bersifat teoritis dan belum selesai tapi para ilmuwan berikutnya berhasil mengembangkan konsep Rahman tersebut dengan adanya berbagai pendekatan keilmuan pendidikan islam mulai dari islamisasi ilmusampai intergarasi dan interkoneksi. Ini dalam bidang keilmuan, dalam bidang menajemen pendidikan islam juga harus bersifat terbuka terhadap menajemen yang baru dan bersifat efektif . 63 MATERI 9 KH. AHMAD DAHLAN “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 64 K.H AMHAD DAHLAN A. Biografi Tokoh K.H. Ahmad Dahlan Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu,dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 rajab 1340 H atau 23 pebruari 1923 M dan di makamkan di karang kadjen, kemantren, mergangsan, Yogyakarta. Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat masih kecil beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu Bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun Ia dapat membaca Al-Qur‟an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara mereka. Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H.Ahmad Dahlan mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola. Ada beberapa faktor intern dan faktor ekstern, yang mendorong mengapa KH.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Faktor interennya adalah: a. Kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits, karena merajalelanya taklid, bid‟ah dan churafat (TBC), yang menyebabkan Islam menjadi beku. b. Keadaan bangsa Indonesia serta umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan kemunduran. 65 c. Tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat. d. Lembaga pendidikan Islam tak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno. Adanya pengaruh dan dorongan, gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Faktor-faktor ekstern, mencakup: a. Adanya kolonialisme Belanda di Indonesia. b. Kegiatan serta kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen dan Katolik di Indonesia. c. Sikap sebagian kaum intelektual Indonesia yang memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman. d. Adanya rencana politik kristenisasi dari pemerintah belanda, demi kepentingan politik kolonialnya. B. Karya-karya dan Lembaga yang Didirikan Oleh K.H. Ahmad Dahlan 1. Sekolah calon guru,”Al-Qismul Arqa” 2. Sekolah ibtidaiyah diniyah islamiyah 3. Mencetak selebaran beresi doa sehari-hari, dan jadwal puasa 4. Menerbitkan buku-buku meliputi masalah fiqih, tajwid, hadist, sejarah para nabi dan rosul dan terjemahan ayat-ayatb al-Quran mengenai akhlak dan hukum. C. KonsepPemikiran Pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan Upaya strategi untuk menyelamatkan umat islam dari pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala perioritas utama dalam proses pembangunan umat. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ini meliputi: 1. Tujuan Pendidikan Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan 66 dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada soal itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Melihat ketimpangan tersebut K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. 2. Materi pendidikan KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi: a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. 3. Metode Mengajar Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun 67 perbedaan model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut: a. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari bukubuku umum. c. Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab. 4. Pendidik Muhamadiyah menanamkan keyakinan tentang islam dalam sistem pendidikan dan pengajaran. Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia Muhammadiyah, berpendirian, bahwa para guru memegang peranan yang penting di sekolah dalam usaha menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. 5. Peserta Didik Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Muhammadiyah telah mendirikan sekolahsekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum. Metode baru yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah mendorong pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya jawab dan pembahasan makna dan ayat tertentu juga dianjurkan dikelas. “Bocahbocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan 68 yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925, melukiskan suasana baik sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali (Mailrapport No. 467X/25: 13). 6. Pendidikaan integralistik K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: 1) Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci. 2) Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia. 3) Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai jika manusia menyerah kepada petunjuk allah swt. Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu model dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.39 Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai ulama-intelek• atau intelek-ulama, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolahsekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana 39 Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah , hlm. 24-24. 69 agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya. Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Baratdengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini.40 Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama alQism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu‟allimin dan Mu‟allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah: 1. Baik budi, alim dalam agama 2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum) 3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagasan dan praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadikan estafet dalam pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah. 40 Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107. 70 D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh KH. Ahmad Dahlan Dengan Pendidikan Masa Terkini Relevansi pemikiran tokoh K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan terkini berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi: a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. Uraian di atas merupakan bagian dari konsep Islam tentang manusia. Kaitannya dengan persoalan pendidikan, maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam proses pendidikan haruslah mampu menghasilkan lulusan yang: a. Memiliki kepribadian yang utuh, seimbang antara aspek jasmani dan ruhaninya, pengetahuan umum dan pengetahuan agamanya, duniawi dan ukhrawinya. b. Memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi. c. Bermoral yang bersumber pada al-Qur‟an dan sunnah. Sebagaimana pelaksanaan pendidikan menurut K.H.Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai „abdAllah dan khalifah fil-ardh.41 41 Ibid, hlm. 112. 71 MATERI 10 KH. HASYIM ASY‟ARI “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 72 K.H. HASYIM ASY‟ARI A. Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari, adalah seorang ulama Jawa yang menjadi panutan banyak dari para kyai di Indonesia. Beliau lahir di desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang, pada tanggal 24 Dzul Qa‟dah 1287 H, bertepatan pada tanggal 14 Pebruari 1871. Nama asli yang diberikan oleh orang tua beliau adalah Muhammad Hasyim, sedangkan ayahnya bernama Asy‟ari dan ibunya bernama Halimah. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir, dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI, juga dipercayai merupakan keturunan bangsawan. Ayah beliau adalah seorang kyai pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, kyai Utsman42 adalah kyai terkenal pendiri Pesantren Gedang, sementara moyangnya, kyai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambakberas Jombang. Sahingga wajar saja apabila K.H. Hasyim Asy‟ari menyerap lingkungan agama dari lingkungan pesantren keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama Islam yang luas.43 Hasyim Asy‟ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, bersama K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri, yang didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344, bertepatan tanggal 31 Januari 1926. Organisasi NU bermaksud untuk mempertahankan praktik keagamaan yang sudah mentradisi di Nusantara untuk mengimabangi gencarnya ekspansi pembaruan Islam. NU sendiri memberikan perhatian besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Kemudian NU mendirikan madrasahmadarasah dengan model Barat. Dalam hidupnya, beliau juga ikut berperan penting dalam bidang politik nasional. Di samping itu, beliau menjadi salah satu motivator para pejuang bangsa Indonesia dalam mengusir pendudukan kolonial di tanah air, untuk meraih kemerdekaan. Akhir hayatnya, K.H. Hasyim Asy‟ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan tanggal 25 Juli 1947, disebabkan tekanan darah tinggi. 44 42 Kyai Utsman adalah seorang ulama terkenal dan berjasa memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa pada pertengahan abad ke-19. 43 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama-Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 14-15. 44 Ibid. 73 B. Aktivitas Kependidikan K.H. Hasyim Asy‟ari Riwayat pendidikan K.H. Hasyim Asy‟ari mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata sederhana, “dari pesantren kembali ke pesantren.” Beliau dibesarkan di lingkungan pesantren, diasuh dan dididik langsung oleh orang tua dan kakeknya di Pesantren Gedang, di bawah bimbingan orang tuanya sampai berusia 13 tahun. Ketika itu, beliau sudah berani menjadi guru pengganti di pesantren ayahnya dengan mengajar murid-murid yang tidak jarang lebih tua dari usia beliau sendiri. Pada usia 15 tahun, K.H. Hasyim Asy‟ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura untuk mencari ilmu pengetahuan keagamaan, di antaranya yaitu Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis, Pesantren Kademangan (Bangkalan, Madura), dan Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo). Tradisi bahwa masing-masing pesantren memiliki spesialisasi dalam ilmu agama, menjadikan para santri menerima pengajaran dari berbagai ahli agama dengan jalan berkelana ke pesantren yang berbeda-beda untuk mencari ilmu. Hal ini memberi kesempatan pada K.H. Hasyim Asy‟ari untuk belajar tatabahasa dan sastra Arab, fiqih, dan sufisme dari Kyai Khalil45 dari Bangkalan, selama tiga tahun, sebelum memfokuskan diri dalam bidang fiqih selama dua tahun di bawah bimbingan Kyai Ya‟qub di Pesantren Siwalan Panji. Pada akhir perjalanan mencari ilmunya, K.H. Hasyim Asy‟ari telah mahir dalam tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir dan hadits.46 Kemudian beliau ke Mekkah selama tujuh tahun melakukan ibadah haji dan belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi. Beliau juga sempat mengajar di Mekkah, yang menjadi sebuah awal karier pengajaran yang kemudian diteruskan ketika kembali ke tanah air pada 1900. Setelah tujuh tahun di Mekkah beliau kembali ke Nusantara. Di rumah, pertama beliau mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, kemudian, antara 1903-1906, mengajar di kediaman mertuanya, Kemuring (Kediri).47 Setelah dirasa cukup, pada tahun 1899 Hasyim mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, yang terletak 2 km dari pesantren milik ayahnya. Kyai Hasyim 45 Kyai Khalil adalah ulama terkenal di Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Beliau dianggap mempunyai kekuatan luar biasa (karamah) dan pengetahuan agama yang tinggi. Murid-murid beliau kemudian menjadi Kyai terkenal seperti K.H. Hasyim Asy‟ari sendiri, K.H. A. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, dan K.H. As‟ad Syamsul Arifin. 46 Ibid., hlm. 16, 23-24. 47 Ibid., hlm. 17. 74 menghabiskan sebagian besar waktunya mengajar para santri di pesantren. Bahkan mengatur “kegiatan-kegiatan politik dari pesantren.” Modal awal, selain tekad dan sikap istiqomah, Hasyim ditemani oleh 8 santri dari pesantren ayahnya. Buahnyapun ada, dalam tempo 3 bulan, santrinya menjadi 28 orang. Dan ini terus bertambah dan berkembang karena ilmu yang dimilikinya, menjadi ratusan bahkan ribuan santri. Selain dibantu oleh para santri senior, Kyai Hasyim turun sendiri mengajar para santri. Dan dalam mengajar, beliau punya disiplin yang tinggi.48 Banyak murid yang memperoleh pengetahuan dasar agamanya di pesantrenpesantren yang lain, kemudian mendaftar di Pesantren Tebuireng untuk melanjutkan pendidikannya di bawah pimpinan Kyai Hasyim. Mereka tertarik dengan pendekatan pedagogiknya, sebuah teknik yang diperoleh dari berbagai ulama di Indonesia dan Hijaz. K.H. Hasyim Asy‟ari juga menerapkan sistem madrasah ke dalam sistem pesantren dan memperkenalkan sistem musyawarah dalam sistem pendidikan pesantren.49 Sebagaimana kutipan dalam buku lain: K.H. Hasyim Asy‟ari was a master of the Qur‟an and hadith, knowledge that was regarded as a new field in the pesantrens. So, by providing instructions in these two subjects, K.H. Hasyim Asy‟ari can be regarded as an innovator and reformer within the traditionalist Indonesian scholars.50 Kyai Hasyim adalah sosok terkemuka, sejak Pesantren Tebuireng yang dipimpinnya telah meluluskan kyai-kyai terkenal di Indonesia, seperti Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo, Kyai Abbas, pendiri Pesantren Buntet, Kyai As‟ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Sukorejo, Kyai Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar, dan sebagainya. Ada juga yang berperan dalam bidang politik, seperti Kyai Masykur yang menjadi Menteri Agama, dan Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama pada era Demokrasi Terpimpin. 48 Mohammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 21-23 49 Mohammad Rifa‟i, Wahid Hasyim (Jogjakarta: Garasi, 2009), hlm. 9. 50 Lathiful Khuluq, Op. Cit., hlm. 32. 75 C. Pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai Pendidikan Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ila al-Muta‟alim fi Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limi. Sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Namun demikian, karya tersebut tidak berarti menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Karyanya ini merujuk pada kitabkitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu (1) Keutamaan ilmu dan ilmuan serta keutamaan belajar mengajar, (2) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, (3) Etika murid terhadap guru, (4) Etika murid terhadap pelajaran dan halhal yang harus dipedomani bersama guru, (5) Etika yang harus dipesomani seorang guru, (6) Etika guru ketika dan akan mengajar, (7) Etika guru terhadap muridmuridnya, dan (8) Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pembelajaran, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu (1) Signifikansi pendidikan, (2) Tugas dan tanggung jawab seorang murid, (3) Tugas dan tanggung jawab seorang guru, (4) Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.51 Dalam makalah ini akan dibahas konsep pendidikan beliau meliputi tujuan pendidikan, konsep pendidik, dan konsep peserta didik. 51 Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Maguwoharjo: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 211-212. 76 1. Tujuan Pendidikan Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, pertama bagi murid, hendaknya ia berniat suci menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk halhal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekan. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan ilmu hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. K.H. Hasyim Asy‟ari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Dalam hal belajar, yang menjadi titik penekanannya adalah pada pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan.52 2. Konsep Pendidik Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik antara lain: a. Etika yang dipedomani seorang guru 1) Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. 2) Senantiasa takut kepada Allah. 3) Senantiasa bersikap tenang dan berhati-hati. 4) Senantiasa tawadhu‟, mengadukan persoalannya kepada Allah. 5) Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata. 6) Tidak selalu memanjakan anak didik. 7) Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia. 8) Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah. 9) Mengamalkan sunah Nabi. 10) Mengistiqamahkan membaca Al-Qur‟an. 11) Bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam. 12) Membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah. 13) Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan. 14) Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya. 52 Ibid., hlm. 212-213. 77 15) Membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas.53 b. Etika guru ketika dan akan mengajar 1) Mensucikan diri dari hadas dan kotoran. 2) Berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan berbau wangi. 3) Berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik. 4) Sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah. 5) Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan. 6) Berilah salam ketika masuk ke dalam kelas. 7) Sebelum mengajar, mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita. 8) Berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata. 9) Menjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa. 10) Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya. 11) Pada waktu mengajar, hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis. 12) Usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas, dan lugas, serta tidak sombong. 13) Dalam mengajar, hendaknya mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan dengan profesi yang dimiliki. 14) Jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan. 15) Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan ketenangan dalam belajar. 16) Menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel. 17) Bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-oersoalan yang ditemukan. 18) Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangi penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud. 19) Dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas ataau belum dipahami.54 53 54 Ibid., hlm. 216 Ibid., hlm. 217-218. 78 c. Etika guru terhadap murid-muridnya 1) Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam. 2) Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian. 3) Hendaknya selalu melakukan introspeksi diri. 4) Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid. 5) Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya. 6) Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu. 7) Selalu memerhatikan kemampuan peserta didik. 8) Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya. 9) Mengarahkan minat peserta didik. 10) Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik. 11) Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik. 12) Bila terdapat peserta didik yang berhalangan, hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya. 13) Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik. 14) Tawadhu‟.55 3. Konsep Peserta Didik Dalam kitab karangan K.H. Hasyim Asy‟ari yang disebut di atas, disebutkan tentang tugas dan tanggung jawab peserta didik antara lain: a. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar 1) Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian. 2) Membersihkan niat. 3) Tidak menunda-nunda kesempatan belajar. 4) Bersabar dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan. 5) Pandai mengatur waktu. 6) Menyederhanakan makan dan minum. 7) Bersikap hati-hati (wara‟). 8) Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan. 55 Ibid., hlm. 220. 79 9) Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan. 10) Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.56 b. Etika murid terhadap guru 1) Hendaknya selalu mendengar dan memperhatikan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru. 2) Memilih guru yang wara‟ di samping professional. 3) Mengikuti jejak-jejak guru. 4) Memuliakan guru. 5) Memerhatikan apa yang menjadi hak guru. 6) Bersabar terhadap kekerasan guru. 7) Berkunjung kepada kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya. 8) Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru. 9) Berbicaralah dnegan sopan dan lemah lembut. 10) Dengarkan segala fatwanya. 11) Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang menjelaskan. 12) Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.57 c. Etika murid terhadap pelajaran 1) Memerhatikan ilmu yang bersifat fardhu „ain untuk dipelajari. 2) Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu „ain. 3) Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama. 4) Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang-orang yang dipercayainya. 5) Senantiasa menganalisis dan menyimak ilmu. 6) Pancangkan cita-cita yang tinggi. 7) Bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi. 8) Ucapkan salam bila sampai dim tempat majlis ta‟lim. 9) Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan. 56 Ibid., hlm. 213. 57 Ibid., hlm. 213-214. 80 10) Bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman, sebaiknya jangan mendahului antrean kalau tidak mendapatkan izin. 11) Ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada jangan lupa membawa catatan. 12) Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinu. 13) Tanamkan rasa semangat dalam belajar.58 D. Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari dengan Pendidikan Saat Ini Relevansi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap pendidikan sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji Islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya. Konsep pendidikan oleh K.H. Hasyim tidak hanya berupa teori dan pemikirannya saja, akan tetapi beliau juga mempraktikkannya langsung dalam aktivitas kependidikannya. Walaupun pemikiran beliau masih bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari tetap sesuai dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan Islam saat ini, terutama dalam beberapa aspek antara lain yaitu dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar yang digunakan yaitu Al-Qu‟an dan AlHadits. Pemikiran Kyai Hasyim tentang pemaduan antara pesantren yang tradisionalis dengan model sekolah barat yang lebih moderenis, sebelumnya banyak dikhawatirkan oleh banyak kyai lain. Namun, beliau konsisten dengan pemikiran yang telah dipertimbangkannya, sebagaimana slogan NU sebagai berikut: ِ ِ الصالِ ِح و ْاْلَ َخ ُذ بِال ِ صلَ ِح ْ َْجديْد ْاْل َ َ َّ اَل ُْم َحافَظَةُ َعلَى الْ َقديْ ِم “tetap memelihara hal-hal yang lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.” Hal tersebut menunjukkan bahwa Kyai Hasyim merupakan tokoh yang berusaha memelihara tradisi turun temurun dari pondok pesantren, juga mengembangkan pendidikan keilmuan di pondok pesantren. Hingga sekarang, 58 Ibid., hlm. 214-215. 81 pendidikan Islam berkembang dari model pesantren tradisional, pesantren moderen, madrasah dan sekolah Islam. 1. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan menurut K.H. Hasyim Asy‟ari adalah mengamalkan ilmu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kyai Hasyim juga menyebutkan dalam hal belajar, bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan. Pola pikir Kyai Hasyim yang pragmatis, memadukan antara pendidikan tradisionalis, yang menekankan pada pendidikan keagamaan, dengan pendidikan modernis, yang berisi pendidikan umum atau non-keagamaan. Hal tersebut bertujuan mencetak lulusan siswa menjadi seorang ulama yang intelektual, dan intelek yang islami. 2. Konsep Pendidik Seorang pendidik yang dipraktikkan oleh Kyai Hasyim sendiri adalah bahwa mereka harus memiliki ilmu yang mumpuni, memiliki kewibawaan dan keteladanan, tekun, ulet, bertekad menyebarluaskan ilmu kebenaran demi kebaikan, ikut berbaur dengan lingkungan masyarakat sekitar dan sesama pendidik, selalu berusaha untuk mengimbangi antara memelihara tradisi dan tuntutan kemajuan zaman, dan senantiasa mencintai anak didiknya dengan memberi motivasi, inspirasi dan memeliharanya. Sedangkan yang dijelaskan oleh beliau dalam kitabnya ialah sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa pertama, guru harus memiliki kompetensi personal dengan etika yang harus dipedomani oleh pribadi seorang pendidik. Kedua, memiliki kompetensi pedagogik dan profesional dengan etika guru dalam mengajar. Ketiga, memiliki kompetensi sosial dengan etika ketika bersama peserta didiknya. Dalam mengajar, seorang guru harus memiliki niat yang lurus dan ikhlas dalam mengajar, tidak mengharapkan meteri semata. Ikhlas di sini adalah bahwa seorang pendidik harus bekerja dengan profesional, yaitu ahli sesuai dengan bidangnya. Guru harus tegas dan jelas dalam menyampaikan ilmu, tidak menjadikan bingung dan ragu peserta didiknya, sehingga dapat memahamkan ilmu bagi mereka. 82 3. Konsep Peserta Didik Sebagai peserta pendidik, juga memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap guru, pelajaran, dan dalam belajarnya. Sama halnya dengan pendidik, peserta didik juga harus memiliki etika di dalamnya. Dalam menuntut ilmu peserta didik hendaknya berniat suci menuntut ilmu pengetahuan untuk mengamalkannya, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan, demi mencari ridha Allah yang mengantarkan untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekan ilmu dan gurunya. 4. Kurikulum Pendidikan Pada awal mulanya, mata pelajaran yang di ajarkan oleh Kyai Hasyim adalah menekankan pada syariat Islam atau ilmu pengetahuan dasar keagamaan Islam, yaitu tauhid, fiqih dan tafsir. Sedangkan ilmu bahasa yang dipelajari adalah bahasa Arab, dan tulis menulis Arab. Setelah berkembangnya tuntutan zaman, kurikulum yang sebelumnya ditambahkan pelajaran Qur‟an dan Hadits, dan bahasa Indonesia dan Melayu, serta bahasa asing Belanda. Seiring berkembangnya model pesantren tradisional yang dipadukan dengan model sekolah moderen, mata pelajaran pun ditambah dengan mempelajari baca tulis dengan tulisan latin, ilmu hitung, ilmu geografi, ilmu sosial. 5. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Pada dasarnya tradisionalisme pendidikan Kyai Hasyim Asy‟ari mengindikasikan bahwa aplikasi pendidikan berkaitan dengan model dalam pembelajaran, lebih berpusat pada subject matter oriented dengan posisi sentral pada keberadaan seorang guru sebagai subjek yang menentukan dalam proses belajar mengajar, atau disebut teacher centre learning (pengajaran berpusat pada guru). Dalam hal ini, sesungguhnya konsep dan aktualisasi pendidikan Kyai Hasyim Asy‟ari lebih dekat kepada kerangka esensialisme (lebih menitikberatkan pada materi) dari pada progresifisme (lebih menitikberatkan pada aspek intelektual atau kecerdasan). Selain itu, pembelajaran pendidikan di pesantren juga menggunakan pendekatan kontekstual dan pembiasaan. Dalam kegiatan belajar mengajar, Kyai Hasyim menggunakan beberapa metode antara lain dengan cara halaqah, mubahatsah, sorogan, bandongan, dan 83 muthalaah, yang identik dengan metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi dan dialog. Dalam mata pelajaran bahasa Arab, terutama dalam belajar shorof, menggunakan metode hafalan. 6. Evaluasi Pendidikan Mengenai evaluasi, menurut pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari memang dalam proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai, namun jika diteliti sistem pendidikan islam sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pemikiran beliau lebih menitikberatkan pada persoalan hati (qolb) sehingga yang menjadi hal terpenting atau modal dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus dan ikhlas dan mengaharapkan ridha Allah SWT. Selain itu beliau juga sangat menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa. Jika dikaitkan dengan pendidikan sekarang maka pemikiraan K.H. Hasyim Asy‟ari berhubungan erat dengan aspek afektif siswa. pada dasarnya pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari mengenai tujuan atau pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai karena menggunakan dasar Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Karena dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits terwujud suatu sistem pendidikan yang komprehensif yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Disamping keilmuan, keteladanan dan kewibawaan K.H. Hasyim Asy‟ari, ketekunnan dan keuletan beliau merupakan kunci kesuksesan dalam usahanya untuk mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Menyebarluaskan berita dan risalah dari Nabi Muhammad SAW yang terus menerus dibawa oleh sahabat, tabi‟in, dan tabi‟ut tabi‟in hingga guru-guru beliau, merupakan tekad beliau. Kecintaannya dengan tanah air Indonesia yang tipe pendidikannya identik dengan budaya pesantren tradisional, tidak menghalanginya untuk melakukan pembaruan, mengambil dan mengkombinasikan sub-sub sistem ke dalamnya, namun tetap menjaga yang bermanfaat dan maslahat, yang tentunya telah beliau benar-benar dipikirkan dengan seksama. Pemikiran pendidikannya yang sedemikian rupa menjadi inspirasi bagi praktisi pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan Islam. Kitab tentang pendidikan, Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ila al-Muta‟alim fi Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limi, buah karyanya dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk sebuah tuntunan bagi pendidik, peserta didik, dan orang84 orang yang lain yang tentu tidak terlepas dengan unsur pendidikan yang sebenarnya telah melekat di dalam mereka. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja pendidik yang berniat mengadopsi pemikiran pendidikan beliau, dapat menerapkannya ke dalam pendidikan umum dan pendidikan moderen. Hal ini menunjukkan adanya bentuk yang fleksibel pada pendidikan yang dilakukan oleh Kyai Hasyim. Namun bukan berarti bahwa pemikirannyalah yang paling ideal untuk diterapkan di berbagai bidang pendidikan di Indonesia. 85 MATERI 11 ABDUL KARIM AMRULLAH “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 86 HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA 1908-1981) A. Riwayat Hidup Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), lahir di Sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh.59 Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karna itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.60 Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur‟an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus,William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.61 59 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI, 1985), Cet-3, hlm. 46. 60 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang PendidikanIslam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 15-18 61 http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 27-01-2010 87 Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab.62 Di usia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai.63 Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8-15 tahun. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistim halaqah. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistim hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitabkitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Meskipun tidak puas dengan sistim pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama. Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistim pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan ilmu bumi.64 Bersama dengan Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Pada awalnya, ia hanya diajak untuk membantu melipat-lipat kertas pada percetakan tersebut. Sambil bekerja, ia diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam buku, seperti agama, filsafat dan sastra. Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingatnya yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat 62 Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) Cet-2, hlm. 53 63 Ibid. , hlm. 53 64 Samsul Nizar, Op. cit., hlm. 21-22 88 Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan lainnya. Melalui bacaan tersebut, membuat cakrawala pemikirannya semakin luas.65 Di usia yang sangat muda Hamka sudah melalang buana. Tatkala usianya masih 16 tahun, tepatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa; Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik ayahnya Ja‟far Amrullah. Di sini Hamka belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, R. M. Suryopranoto, H. Fachruddin, HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir, dan AR. St. Mansur.66 Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dengan Serikat Islam (SI). Ide-ide pergerakan ini banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai suatu yang hidup dan dinamis. Hamka mulai melihat perbedaan yang demikian nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau, yang terkesan statis, dengan Islam yang hidup di Yogyakarta, yang bersifat dinamis. Di sinilah mulai berkembang dinamika pemikiran keislaman Hamka. Perjalanan ilmiahnya dilanjutkan ke Pekalongan, dan belajar dengan iparnya, AR. St. Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah. Di sini pula Hamka mulai berkenalan dengan ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Hamka ke pulau Pulau Jawa selama kurang lebih setahun ini sudah cukup mewarnai wawasannya tentang dinamika dan universalitas Islam. Dengan bekal tersebut, Hamka kembali pulang ke Maninjau (pada tahun 1925) dengan membawa semangat baru tentang Islam.67 Ia kembali ke Sumatera Barat bersama AR. St. Mansur.68 Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dengan maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-Ummah. Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam, dan menjadi koresponden di harian Pelita Andalas. Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa (1927), Hamka pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama enam bulan ia bekerja di bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak 65 Ibid., hlm. 22-23 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.201-202 67 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, hlm. 101 68 H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet-2, hlm. 2 66 89 langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kesaksian Rusydi Hamka, salah seorang puteranya; ”Bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan dengan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula, ia mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat ia meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan pribadinya di belakang hari”. Kondisi yang tidak menguntungkan ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang pada tahun 1945.69Di Padang Panjang, seolah tidak puas dengan berbagai upaya pembaharuan pendidikan yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia mendirikan sekolah dengan nama Tabligh School.70 Hamka ditugaskan oleh Muhammadiyyah ke Sulawesi Selatan. Pada konggres Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka diputuskan untuk melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama menjadi Kulliyyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun.71 Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu tulisan yang bernafaskan Islam berbentuk sastra.72 Pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia menyandang titel ”Dr” di pangkal namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974, Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusastraan, serta gelar Professor dari universitas Prof. Dr. Moestopo. semuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.73Ia juga mendapatkan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. 69 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami, 2006), hlm.62 70 Mardjani Tamin, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Dep P dan K RI, 1997), hlm.112 71 A. Susanto, op. cit., hlm. 102 72 Sides Sudyarto DS, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984), hlm. 139 73 Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. XIX 90 Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruh nya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. B. Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam 1. Urgensi pendidikan Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperluas akhlaknya, dan berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya. Ini berarti pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi menjadi dua bagian; pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan rohani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada ilmu. Kedua unsur tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuhkembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tesebut dikenal dengan istilah fitrah. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada jasad manusia. Perpaduan unsur tersebut membantu manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.74Dengan pendidikan, manusia akan dapat mempertajam fitrah akal dan mengontrol nafsunya. Proses ini selanjutnya akan membantu manusia (khususnya peserta didik) mampu mempertimbangkan perbuatannya dengan nilai baik dan buruk secara bertanggung jawab. Manusia hanya bisa menata kehidupan dan peradabannya apabila didukung dengan pendidikan yang baik. Pentingnya pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan kepentingan internal sebagai mahluk yang dinamis, akan tetapi juga bagi 74 A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 105-106 91 kepentingan eksternal, yaitu tertanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis. Untuk itu eksisitensi pendidikan merupakan suatu kemestian dan hajat hidup bagi setiap manusia. Melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban yang tinggi dan mengenal eksisitensi dirinya, baik sebagai mahluk individu, sosial, maupun bertuhan.75 2. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan adalah “serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik”. Sementara pengajaran adalah “upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan”. Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab setiap proses pendidikan, didalamnya terdapat proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di 76 dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam, menurut Hamka, sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah “mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.” 75 76 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2011), hlm. 230-231 92 3. Materi dan Metode Pendidikan Materi pendidikan dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak dan keadilan. Ketiga konsep sangat tersebut mendasari proses pendidikan tersebut. Pertama, ilmu. Menurut Hamka ilmu ada dua macam, Ilmu yang bersumber dari dari wahyu dan mutlak kebenarannya, yang disebut dengan al-ulum annaqliyah, dan ilmu yang bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya, biasanya disebut dengan al-ulum al-aqliyah. Kedua, amal dan akhlak. Dalam pandangan Hamka, ternyata bahwa ilmu yang hanya dibarengi iman tidaklah cukup, namun harus pula diiringi dengan amal, kerja, atau usaha. Ketiga, keadilan. Hamka mendefinisikan keadilan dengan „tegak di tengah‟. Dan secara lebih lengkap Hamka menjelaskan, keadilan sebagai pertahanan yang memikat hati dan menyebabkan orang takluk dan patuh dengan segala kerendahan hati.77 Dalam buku lain dijelaskan bahwa menurut Hamka, materi pendidikan Islam dapat dibagi kepada empat bentuk, yaitu: a. Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, mantiq, dan lain-lain. Pelaksanaan pendidilkan agama merupakan suatu kemestian pada setiap lembaga pendidikan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik. b. Ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, kesusastraan, ilmu berhitung, falak, dan sebagainya. Dengan ilmu-ilmu tersebut, akan membuka wawasan keilmuan terhadap peserta didik dalam perkembangan zaman. c. Keterampilan, seperti berbaris akan menjadikan hidupnya teratur dan bisa diatur, sementara memanah, berperang, berenang, dan berkuda akan membuat tubuhnya sehat dan kuat. d. Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi, dan memahat. Dengan ilmu ini peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya. Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, seorang guru hendaknya mempergunakan berbagai macam pendekatan dan metode pendidikan yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua yang diajarkan secara baik. Diantara metode pendidikan itu adalah: 77 A. Sutanto, Op. Cit, hlm. 107- 109 93 a. Diskusi proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan. b. Karya wisata mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial. c. Resitasi Memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.78 Dalam buku lain dijelaskan metode pendidikan menurut Hamka, yaitu 1. Amar ma‟ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat. 2. Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman tauhid kepada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya. 79 3. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik Tugas pendidik secara umum adalah memantau mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan hidupnya baik secara horizontal (kholifah fil ard) maupun vertikal („abd Allah). Dalam hal ini setidaknya ada tiga intitusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu: a. Lembaga pendidikan informal Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan akhlak dan pola pikir anak, dan hanya keluarga yang demokratis akan mampu mengembangkan dinamika secara maksimal. b. Lembaga pendidikan formal Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara terencana dan sistematis. Sekolah bertugas mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam peserta didik secara maksimal sehingga memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam 78 79 Ramayulis dan Mamsul Nizar, Op.Cit. hlm. 278-282 Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit, hlm 246 94 hal ini seorang guru bertugas membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. c. Lembaga pendidikan non formal Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang sangat luas dan berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak.Lembaga ini merupakan lembaga pendukung dalam pelaksanaan proses pendidikan secara praktis. Sesuai dengan fitrahnya yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya.80 d. Tugas dan Tanggung Jawab peserta didik Menurut Buya Hamka tugas dan tanggung jawab peserta didik ialah berupaya mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengatahuan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melalui fitrah-Nya.81 e. Analisa pemikiran Dengan penjelasan pemikiran pendidikan Hamka di atas dapat diketahui Pendidikan pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak, dan keadilan. Ketiganya merupakan suatu konsep yang harus saling keterkaitan dalam proses pendidikan. Dan pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan kepentingan internal sebagai makhluk yang dinamis, akan tetapi juga kepentingan eksternal, yaitu tertatanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis. Melalui pemikirannya, Hamka memperlihatkan relevansi yang harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum. Eksistensi agama bukan hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat memainkan peranannya sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial (social control) secara efektif. 80 81 Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 268-274 Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 274-277 95 MATERI 12 MUHAMMAD NATSIR “BIOGRAFI, KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG” 96 MUHAMMAD NATSIR A. Biografi Muhammad Natsir Muhammad Natsir bin Idris Sutan Saripado (1908-1993) adalha tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Ayahnya yang bernama Idris Sutan Saripado dan ibunya bernama Khadijah. Anak Ketiga dari empat bersaudara itu tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai rendahan yang bekerja sebagai juru tulis kontrolir dikampungnya Maninjau dan sipir penjara di Sulawesi Selatan. Ia memiliki tiga orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Muhammad Natsir Datuk Sinaru Panjang lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari jumat. 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi82. Di desa kelahirannya itu, Natsir kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnnya. Sejarah mencatat bahwa kota Padang tempat kelahiran Natsir telah mencatat dan memberikan arti tersendiri buat dirinya. Keterbukaan sikap penduduknya terhadap model pendidikan Belanda terlihat jelas. Misalnya, pada tahun 1915, telah terbuka kesempatan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan belajar ini dipergunakan secara antusias, sehingga sekolah yang dibuka pada waktu itu tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan. Tingginya animo masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang demikian itu menyebabkan Minangkabau menjadi pusat kegiatan pendidikan se-Sumatera, baik dalam bidang pendidikan tersebut tidak hanya ditandai oleh adanya orang-orang luar Minangkabau yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidika yang ada di daerah tersebut, melainkan putra-putri daerah pun tidak segan-segan memanfaatkan kesempatan belajar di pulau Jawa, seperti halnya dilakukan oleh Muhammad Natsir. Muhammad Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Sepanjang hidupnya ia perjuangkan untuk agama Islam dan bangsa Indonesia. Kiprah Muhammad Natsir 82 Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia.Jakarta:Rajda Grafindo Persada.2005. h.73 97 sebagai seorang intelektual, politikus, pendidik, pemimpin Negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fisiknya, Muhammad Natsir hanyalah orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh sopan santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Dibalik itu semua Muhammad Natsir adalah ibarat karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memgang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orangorang lain. Saat kecil Muhammad Natsir terlahir dillingkungan agamis, ayahnya seorang Ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat mempengaruhi pertumbuhan sang putra. Waktu kecil Muhammad Natsir menghabiskan waktu di surau, mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau tidaklah cukup. Natsir kecil sangat ingin belajar di sekolah modern. Sayang, karena kedudukan ayahnya sebagai pegawai rendahan itulah, Muhammad Natsir kecil sempat ditolak sebagai murid di Holandsch Inlandische School (HIS) Padang, sebuah sekolah bergengsi milik orang kulit putih yang banyak diminati saat itu. HIS hanya menerima anak pegawai negeri yang berpenghasilan besar atau anak saudagar kaya raya. 83 B. Pemikiran Pendidikan Islam Cendekiawan Muslim Indonesia yang lebih dikenal sebagai tokoh politik Masyumi dan Mantan Perdana Menteri RI adalah M. Natsir. Diungkapkan oleh Abuddin Nata, (2005 : 81-94) bahwa pokok-pokok pemikiraan pendidikan M. Natsir adalah sebagai berikut : a. Peran dan fungsi pendidikan. Dalam hal ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir yaitu sebagai berikut:. 1) Pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, 83 Hepi Andi Bastoni dkk. Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah.Jakarta: Mujtama Press, 2008. h 2 98 2) Pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna. 3) Pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). 4) Pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. 5) Pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. 6) Pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan lingkungan. b. Tujuan pendidikan Islam Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral. Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-nabi Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib kerabatya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terbatas dananya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana menimpa. Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari-hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan 99 santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan. c. Dasar pendidikan Dalam tulisan yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela. d. Ideologi dan pendekatan dalam pendidikan M. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 berjudul "Tauhid sebagai dasar Pendidikan", menggariskan ideologi pendidikan umat Islam bertitik tolak & berorientasi pada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat. Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini. 100 e. Fungsi bahasa asing Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Menurut Natsir, bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifatsifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa sendiri menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita. Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah-langkah antara lain . 1) Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia. 2) Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis. 3) Negara-Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya. 4) Keteladanan guru Menurut Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Pernyataan ini diajukan, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Minat lulusan terbaik dari sekolah menengah untuk menjadi guru sampai sekarang masih tampak dikarenakan perhatian terhadap lembaga pendidikan guru memang belum memadai. Sistem pendidikan Belanda memang dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan 101 akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Tampaknya, gagasan dan pemikiran M. Natsir relevan dalam tinjauan perkembangan pendidikan dewasa ini disebabkan hal-hal sebagai berikut: 1) M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara 2) M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius. 3) Sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil. 4) Sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal: a) Dengan merombak sistem yang dikotomis ke sistem yang integrated antara ilmu agama dan umum. b) Dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi integrated. c) Dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat menjadi teladan bagi peserta didik.84 Natasir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol, Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau. Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu. 84 Tohir Luth dan M.Nasir.Dakwah dan pemikirannya.Jakarta:Gema Insani.1999 102 Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu. 103 DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajda Grafindo Persada. 2005. Ahmad D. Marimba. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. 1990. Arifin M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1991. Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000. Inu Kencana Syafiie. Filsafat Kehidupan. PT. Bumi Aksara. Jakarta . 1995. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellctual Tradition, the University of Chichago Press. America. 1982. Hamka. Tasauf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1987. Hassan Hanafi. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. PT LkiS Pelangi Aksara. Yogyakarta. 2004. Hepi Andi Bastoni dkk. Muhammad Natsir Sang Maestro Dakwah. Jakarta: Mujtama Press. 2008. Herry Mohammad. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Islami. 2006. Jamil Ahmad. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka firdaus. 2003. Kholid, Muhammad Fathoni. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI. 2000. Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.2011. Labib, Muhsin. Para Filosof. Jakarta: Penerbit Al-huda. 2005. Lathiful Khuluq. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari. Yogyakarta: LKiS. 2000. Lathiful Khuluq. Hasyim Asy‟ari, Religious Thought and Political Activities. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. Ibrahim Madkour. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. 2004. Mohammad Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani. 2006. Mohammad Rifa‟i, Wahid Hasyim. Yogyakarta: Garasi. 2009. 104 Muhammad Soedja. Cerita Tentang Kyiai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Rhineka Cipta. 1993. Muhsin Labib. Para Filosof. Jakarta: penerbit al-huda.2005. Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz. Teologi islam modern. Gitamedia Press. Surabay. 1999. Nasution, Harun. Muhammad abduh dan teologi rasional muktazilah. Jakarta: PT Grafindo Persada. 1897. Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003 Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press Group. 2005. Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Sutrisno, Fazlur Rahman. Kajian Terhadap Metode, Epistemology dan System Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Sutrisno. Pendidikan Islam yang menghidupkan. Yogyakarta: Kota Kembang. 2006. Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Maguwoharjo: Ar Ruzz Media. 2013. Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. 2002. Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, POKJA: UIN Sunan Kalijaga. 2008. Terj Iwan Kurniawan. Al-Ghazali. Mutiara Ihya` Ulumuddin. Mizan: Bandung. 2001. Tohir Luth dan M.Nasir. Dakwah dan pemikirannya. Jakarta: Gema Insani. 1999. Zainuddin dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. 1991. 105