1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Masalah kerusakan lingkungan hidup merupakan persoalan yang sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pencemaran dan pengurasan sumber daya alam mengakibatkan hilangnya keseimbangan pada alam, sehingga permasalahan ini menjadi bahan pemikiran dan pembicaraan yang sangat menarik bagi para ilmuwan, budayawan, dan pemerhati lingkungan hidup di seluruh dunia. Masalah lingkungan hidup juga telah mendatangkan kecemasan-kecemasan karena rusaknya lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam yang tidak terbarukan dapat mengancam seluruh umat manusia. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Lingkungan hidup merupakan tempat untuk bereksistensi dan berinteraksi bagi manusia. Hubungan antara sesama manusia dengan makhluk lain dapat dilakukan dengan baik apabila terjadi hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, juga hubungan antara manusia dengan alam harus diusahakan agar terjalin keselarasan dan keserasian. 2 Manusia sedang berada dalam proses perusakan tempat hidupnya sendiri, banyak hutan ditebang sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor serta perusakan dan penjarahan yang semakin mengkhawatirkan. Masyarakat kadang tidak secara kritis menyadari bahwa aktivitasnya seharihari juga telah mengancan eksistensi alam, yaitu secara perlahan-lahan dilumpuhkan dan disakiti, kemudian muncul pertanyaan : “Apa yang salah dalam pendekatan manusia terhadap alam sehingga manusia justru semakin merusaknya?” Rusaknya lingkungan hidup disebabkan oleh faktor alam yang berupa bencana alam yang banyak melanda Indonesia seperti gelombang Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan Padang, letusan gunung berapi (gunung Merapi) dan angin topan/puting beliung yang melanda beberapa kawasan di Indonesia. Peristiwa-peristiwa alam tersebut menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup. Selain itu faktor penyebab rusaknya lingkungan hidup adalah faktor manusia yang berupa pencemaran udara, air, tanah dan suara sebagai dampak adanya industri, terjadinya banjir, tanah longsor sebagai dampak pengrusakan hutan, kekeringan, energi semakin mahal serta munculnya berbagai macam wabah penyakit yang menyerang jenis tumbuh-tumbuhan atau tanaman, hewan maupun manusia. Bintarto (1984: 14) menyatakan bahwa apa yang dilakukan manusia sering tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya, sehingga perlu dipahami perilaku manusia. Pemahaman terhadap perilaku manusia dapat ditelusuri melalui persepsi manusia terhadap 3 lingkunganya, interaksi sosial antara masing-masing individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok dalam hidup bermasyarakat. Permasalahan lingkungan hidup yang muncul lebih banyak disebabkan oleh perilaku manusia. Kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang dimiliki seperti faktor mobilitas pertumbuhannya, akal pikiran dengan perkembangan aspek-aspek kebudayaannya, dan faktor zaman yang semakin berkembang yang mengubah karakter maupun pandangan manusia, merupakan penyebab utama timbulnya permasalahan lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini (Siahaan, 2004: 1). Faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan yaitu besarnya populasi manusia. Pertumbuhan populasi yang cepat, kebutuhan akan pangan, bahan bakar, tempat pemukiman dan kebutuhan maupun kepentingan lainnya mengakibatkan perubahan besar dalam lingkungan hidup. Hal ini berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup yang pada hakikatnya muncul ketika terjadi eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia telah mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepedulian terhadap lingkungan hidup sangat penting untuk dipahami dan dimengerti bagi manusia yang merupakan bagian integral dari alam. Manusia sebagai makhluk secara dominan telah banyak menentukan corak kehidupan dalam ekosistem dengan berbagai tingkah laku, kepentingan, keinginan, ideologi, pandangan terhadap nilai telah banyak mempengaruhi 4 dan mengubah wajah bumi yang mencerminkan ketidak seimbangan. Penggalian dan pemakaian sumber daya alam untuk meningkatkan usahausaha pembangunan serta meningkatkan hasil-hasil pembangunan akhir-akhir ini disinyalir bertambah banyak. Meningkatnya hasil-hasil pembangunan akan makin dapat dirasakan bahwa di samping meningkatnya hasil yang bersifat menguntungkan, makin meningkat pula hasil sampingan yang bersifat merugikan. Jadi bagaimanapun laju pembangunan akan menghasilkan dampak, baik yang berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif merupakan hasil yang diharapkan dan bersifat menguntungkan, sedangkan dampak negatif merupakan hasil yang tidak diharapkan dan bersifat merugikan bagi manusia yang melaksanakan kegiatan pembangunan itu sendiri maupun bagi lingkungan hidup. Dampak negatif dapat merusak lingkungan hidup, yaitu timbulnya perubahan langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik/hayati lingkungan hidup yang mengakibatkan lingkungan hidup itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan (UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Apabila pembangunan tidak mempedulikan adanya dampak negatif itu, niscaya akan sia-sia saja apabila diteruskan, sebab akan berakibat rusaknya lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup berarti rusaknya ekosistem dan pada gilirannya manusia itu sendiri yang menderita akibatnya. Persoalan lingkungan hidup sebagai ekosistem di mana terdapat keberadaan manusia atau menyangkut kepentingan manusia itu disebabkan 5 oleh tingkah laku manusia sendiri. Manusia yang dikaruniai akal, rasa, dan kehendak bebas mempunyai kelebihan kemampuan bila dibandingkan dengan makhluk lain, sehingga semakin besar kemampuan kebebasannya, seharusnya manusia semakin memiliki sikap tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara hal yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang menjadi kenyataannya (das sein). Manusia seharusnya bertanggung jawab terhadap hasil tindakannya yang dilakukan dengan kesadaran, tetapi pada kenyataannya banyak manusia yang meninggalkan tanggung jawab yang harus dipikulnya (Keraf, 2006: 40). Perilaku manusia terhadap lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan etika, karena etika merupakan tuntunan hidup yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Etika adalah pemikiran sistematis manusia tentang moralitas, merupakan usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikir yang digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah bagaimana manusia harus hidup menjadi baik (Magnis-Suseno, 1993: 15). Etika memberi kriteria penilaian moral tentang perilaku manusia yang dianggap sebagai nilai dan prinsip moral, secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dengan baik. Etika memberikan petunjuk, orientasi, dan arahan kepada manusia bagaimana cara hidup yang baik sebagai manusia. Etika sebagai pengetahuan manusia mengenai baik dan buruk, diharapkan mampu memupuk kesadaran lingkungan hidup dan menghindarkan kesewenangan tindakan manusia terhadap sesama manusia 6 dan lingkungan hidupnya. Lingkungan merupakan suatu norma dalam rangka menjawab pertanyaan : “Apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan untuk kelestarian lingkungan hidup?” Dengan kata lain tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan mempersoalkan pula bagaimana seharusnya meninggalkan yang buruk dan melakukan yang baik untuk kelestarian lingkungan hidup. Etika menjadi dasar yang sangat penting dalam menanggapi permasalahan lingkungan hidup. Kebiasaan hidup yang sesuai dengan tatanan etis menjadikan kehidupan manusia lebih terarah dan seimbang. Kepedulian terhadap lingkungan hidup merupakan bagian dari etika lingkungan hidup yang menuntut pola perilaku manusia terhadap alam dengan memasukkan alam secara keseluruhan ke dalam penilaian moral (Keraf, 2006 : 26). Etika lingkungan hidup merupakan landasan rasional bagi manusia terhadap tuntutan perlindungan lingkungan hidup di dalam permasalahan lingkungan. Etika lingkungan hidup juga menetapkan dan menjelaskan norma-norma atau kaidah-kaidah bagi sikap maupun perilaku manusia yang tepat berhadapan dengan lingkungannya (Glaeser, 1989 : 135). Sadar akan perlunya pencegahan dan penanggulangan kerusakan lingkungan hidup untuk memperoleh kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, maka pembangunan nasional Indonesia dikembangkan ke arah pembangunan berwawasan lingkungan hidup. Arah pengembangan pembangunan tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia harus menumbuhkan 7 etika lingkungan hidup dalam melaksanakan pembangunan dan menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Bangsa Indonesia harus dapat menumbuhkan etika lingkungan hidup dan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjamin. Pembangunan nasional Indonesia pada hakikatnya berarti membangun manusia Indonesia yang memiliki ciri-ciri keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, keselarasan hubungan antara pribadi dengan masyarakat, dan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam. Pembangunan berkelanjutan tersebut cakupannya meliputi seluruh manusia Indonesia, termasuk masyarakat Jawa atau kehidupan mayarakat yang berlatar belakang budaya Jawa. Norma-norma (ajaran-ajaran) yang terkandung dalam budaya Jawa menunjang pokok-pokok etika lingkungan hidup. Hal tersebut dapat mempengaruhi cara berpikir maupun bertindak, sebagaimana ajaran Sultan Agung, yakni “mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi”, yang mengandung arti bahwa dengan akal budi manusia mampu untuk menjalin keselarasan dan keserasian dengan alam (Anshoriy, 2008: v). 8 Ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral dan nilai-nilai filsafati yang berasal dari akar budaya Indonesia sebagai masyarakat multi budaya terdapat dalam konsep pengelolaan lingkungan hidup, misalnya nilainilai filsafati yang berasal dari masyarakat Jawa berupa ungkapan “mamayu hayuning bawana” (menyelamatkan dan memperindah dunia), yang kemudian dikhususkan dengan “mamayu hayuning nusa lan bangsa” (menyelamatkan dan memperindah nusa dan bangsa), dan “mamayu hayuning sasama” (menyelamatkan dan memperindah hubungan sesama manusia) juga dapat disumbangkan untuk etika pengelolaan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Posisi manusia di tengah-tengah jagad raya menganjurkan dan mengajarkan kepada seluruh manusia untuk “sadar kosmis”, faham tentang ekosistem, dan perlu kembali ke alam (back to nature). Jagad raya, isi dan fenomena alam dalam ajaran “mamayu hayuning bawana” perlu dipelajari dan dihayati agar timbul gerak untuk mencintai, memperindah, memelihara, dan melestarikan alam. Hal-hal yang berkaitan dengan fenomena, karakter, siklus, perubahan atau “mobah-mosiking” alam (jagad, rat, bumi, bantala, her, maruta, hagni) perlu diikuti dan dikaji dengan saksama. Ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral dan nilai-nilai filsafati yang berasal dari akar budaya Jawa tersebut dapat dikaji dari segi etika lingkungan hidup. Ajaran moral dan nilai-nilai filsafati yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam masyarakat sering menimbulkan berbagai pendapat yang dalam kenyataannya masing-masing 9 menyatakan suatu pendapat yang paling benar, sehingga sering terjadi pendapat yang pro dan pendapat yang kontra. Perubahan pesat di pelbagai bidang kehidupan masyarakat membawa kemajuan maupun kegelisahan pada banyak orang, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral. Norma-norma lama terasa tidak meyakinkan lagi, atau bahkan terasa usang dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Orang tidak dapat hanya lari pada hati nurani, karena hati nurani merasa tidak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan kemudian menjadi tidak pasti. Sikap yang jelas arahnya dibutuhkan untuk memahami secara mendalam dan kritis atau secara kefilsafatan tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya. Filsafat merupakan hasil perenungan atau pemikiran manusia berkembang terus sesuai dengan tingkat peradaban manusia. Fungsi bahasa yang paling dasar dalam kehidupan manusia adalah menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam kehidupan, kemudian penjelmaan tersebut menjadi landasan untuk suatu perbuatan yang hasilnya dapat dinilai. Apabila pemikiran konseptual tidak dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak akan mengetahui pemikiran tersebut. Penggunaan bahasa yang jelas dalam filsafat dapat mengungkap secara terinci makna ucapan-ucapan di bidang moralitas yaitu bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bahasa moral khusus menganalisis kata yang sangat penting dalam konteks etika, untuk mengkaji makna ungkapan-ungkapan yang mengandung ajaran moral 10 dan nilai-nilai filsafati yang berasal dari akar budaya Jawa yang mencakup etika lingkungan. 2. Rumusan Masalah Penelitian yang berjudul Etika Lingkungan Hidup dalam Ungkapan Budaya Jawa : Relevansinya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, berobjek material ungkapan budaya Jawa (ungkapan-ungkapan Jawa yang mengandung nilai-nilai etis), dan berobjek formal etika lingkungan hidup. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap makna ungkapan-ungkapan etis yang terdapat dalam budaya Jawa menurut kajian etika lingkungan hidup. Berdasarkan objek material dan objek formal pada penelitian tersebut, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana pandangan teori-teori etika lingkungan hidup terhadap ungkapan budaya Jawa ? b. Apa nilai-nilai moralitas lingkungan hidup yang terkandung dalam ungkapan budaya Jawa ? c. Apa prinsip-prinsip etika lingkungan Jawa dalam kehidupan masyarakat ? d. Apa relevansi etika lingkungan Jawa dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia ? 3. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai etika lingkungan hidup menurut budaya Jawa 11 belum banyak dilakukan. Apalagi penelitian mengenai : ungkapan menurut budaya Jawa dalam kajian etika lingkungan hidup belum pernah diteliti. Seminar-seminar mengenai ungkapan-ungkapan yang mengandung etika lingkungan hidup menurut budaya Jawa yang pernah diadakan di Yogyakarta tidak membahas tentang makna ungkapan-ungkapan etis dan nilai-nilai moral yang mendasari pengelolaan lingkungan hidup, tetapi membahas tentang pengembangan, pengendalian, pemanfaatan lingkungan hidup yang sifatnya teknis atau fokusnya pada lingkungan fisik. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai ungkapan-ungkapan Jawa, ialah Ungkapan-ungkapan Jawa sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), oleh Hidayat Widiyanto (2009), membahas tentang manfaat ungkapan-ungkapan Jawa sebagai dasar pengkayaan kata dalam bahasa Indonesia. Penelitian dengan judul Nilai-nilai Luhur dalam Ungkapan Jawa sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat Berbudaya, oleh Endang Nurhayati (2010), yaitu membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan Jawa yang dapat dijadikan kendali untuk berperilaku baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Penelitian yang membahas tentang manfaat ungkapan Jawa bagi informasi antar budaya sekaligus merupakan nasehat yang mengandung unsur pendidikan bagi generasi muda agar senantiasa mau mawas diri, dengan judul Beberapa Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Komunikasi Budaya Daerah 12 dan Manfaatnya bagi Pendidikan, oleh Retno Parwati (2010). Penelitian dengan judul Reaktualisasi Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Sumber Kearifan Lokal dalam Masyarakat untuk Penguat Kepribadian Bangsa, oleh Sri Harti Widyastuti (2012), membahas tentang kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa yang berwujud ungkapan tradisional, di mana ungkapan tradisional Jawa adalah harta kultural yang mencerminkan pandangan hidup, cita-cita, dan keinginan masyarakat Jawa. Sejauh penelusuran dan pengamatan yang telah dilakukan, belum pernah dijumpai adanya penelitian yang sama dengan penelitian Etika Lingkungan dalam Ungkapan Budaya Jawa : Relevansinya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, yang menggunakan sudut pandang etika lingkungan hidup, dengan demikian penelitian ini merupakan yang pertama kali dilaksanakan, benar-benar asli dan belum pernah diteliti sebelumnya. 4. Manfaat Penelitian Penelitian yang berjudul Etika Lingkungan Hidup dalam Ungkapan Budaya Jawa : Relevansinya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia ini diharapkan mempunyai manfaat : a. Bagi pengembangan bidang ilmu yang berobjek material tentang lingkungan, yang memiliki sifat interdisipliner seperti Ekologi, Demografi dan Ilmu Pengembangan Wilayah. Bagi pengembangan bidang filsafat, terutama filsafat praksis, yaitu Etika Lingkungan, 13 Filsafat Lingkungan, dan Filsafat analitik untuk membantu ketertiban penggunaan bahasa dalam filsafat agar tidak terjadi kekacauan bahasa, serta menghilangkan ungkapan-ungkapan bahasa yang bermakna ganda. b. Bagi bangsa Indonesia, dapat memberikan pemahaman dan kesadaran kritis akan pentingnya perilaku etis terhadap lingkungan hidup dan mendorong keberhasilan pembangunan berkelanjutan. c. Bagi penelitian lebih lanjut, dapat dijadikan bahan acuan untuk pengembangan penelitian khususnya penelitian yang permasalahannya gayut dengan permasalahan penelitian ini. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan sebagai berikut : 1. Merumuskan pandangan teori-teori etika lingkungan hidup terhadap ungkapan budaya Jawa. 2. Menemukan nilai-nilai moralitas lingkungan hidup yang terkandung dalam ungkapan budaya Jawa. 3. Merumuskan prinsip-prinsip etika lingkungan Jawa dalam kehidupan masyarakat. 4. Merumuskan relevansi etika lingkungan Jawa dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. C. Tinjauan Pustaka 14 Bangsa Indonesia sesungguhnya telah mengenal budaya hidup yang religius, artinya bahwa penghayatan hidupnya selalu didasarkan pada keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Pencipta Alam Semesta dengan segala isinya termasuk manusia. Menyadari bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, manusia berkeinginan selalu dekat dengan Tuhan, bahkan bercita-cita dapat kembali pada Tuhan yang menciptakannya, apabila kelak memasuki alam akhirat atau alam wasana setelah pada waktunya meninggalkan alam madya ialah alam dunia fana ini. Manusia berkeyakinan akan dapat mencapai cita-cita hidupnya bila selama hidup di dunia ini dijiwai oleh sifat Tuhan, ialah sifat baik atau becik. Segala pikiran, angan-angan, tutur kata dan perilakunya dikendalikan oleh sifat ”Becik sejatining becik, ber budi bawa leksana” yang artinya baik itu tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi juga baik untuk orang lain atau sesama manusia (Rukmana,1990: 2). Tercapainya cita-cita hidup akan tergantung pada manusia sendiri dalam menggunakan kelengkapan hidup yang berupa akal, rasa, karsa (kehendak), dan dua nafsu yang bertentangan yaitu nafsu baik dan buruk. Bagi orang Jawa pemahaman terhadap nilai baik dan buruk tersebut diperoleh dari petuah yang biasa dikenal dengan pitutur atau piwulang dan ungkapan-ungkapan Jawa sebagai warisan budaya dan filsafat hidup yang berasal dari nenek moyang. Warisan yang berupa piwulang/pitutur dan ungkapan Jawa diterima dari didikan orang tua, guru, ucapan dari mulut ke mulut, bacaan buku-buku kuno serta cerita wayang (Soesilo, 2002: 3). 15 Hadiatmaja (2009: 33) berpendapat bahwa orang Jawa adalah orang yang berbahasa ibu bahasa Jawa yang di dalam tata hidupnya masih berpedoman pada nilai-nilai luhur budaya Jawa. Ciri khas orang Jawa yang berkaitan dengan cara berpikir yang terobsesi oleh nilai-nilai budaya Jawa ialah budi luhur, lembah manah, tepa slira, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupannya dengan terlahirnya sikap rukun, saling menghormati, menghargai, dan menghindari konflik. Dengan demikian yang dimaksud dengan masyarakat Jawa adalah sekelompok orang atau individu yang berbahasa ibu bahasa Jawa, yang berinteraksi secara berkesinambungan yang memiliki norma, aturan, hukum, dan adat istiadat Jawa sebagai pengatur pola tingkah lakunya dan memiliki identitas kuat yang mengikatnya. Suku Jawa memiliki kebudayaan khas yang di dalam sistem dan metode budayanya digunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Menurut data sejarah yang ada, penggunaan simbol telah mulai sejak zaman prasejarah. Penggunaan simbol dalam wujud budayanya dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya atau disebut dengan transgenerasi. Melihat kenyataan hidup orang Jawa, baik dalam bahasa sehari-hari, sastra, kesenian, pergaulan maupun upacara-upacara adatnya selalu ada penggunaan simbol-simbol untuk mengungkap rasa budayanya, sehingga segala makna yang dititipkan pada simbol maupun ungkapan Jawa sebagai warisan dari nenek moyang dahulu dapat dikenal 16 dan dihayati lebih mendalam serta diambil nilai-nilainya sebagai pitutur, piwulang atau ungkapan untuk membentuk manusia yang berhati mulia dengan tanggungjawab sepenuhnya (Pasha, 2011: 6). Pandangan terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya serta pengalaman dan konsep agama yang dimiliki. Pandangan orang Jawa terhadap lingkungan hidup pada umumnya bersifat keseluruhan, tidak memisahkan individu dari lingkungan, golongan, zamannya, serta situasi dan kondisinya, bahkan dari alam adikodratnya. Orang Jawa pada umumnya memandang kehidupan manusia selalu terpaut dengan konsep alam raya, dan dengan demikian hidup manusia merupakan semacam pengalaman religius, yaitu untuk mencapai hubungan yang tepat terhadap alam lahir, dan semakin menyelami batinnya (Magnis-Suseno, 1984: 79) Hubungan antara manusia dengan alam ini merupakan unsur penunjang utama sikap orang Jawa terhadap lingkungan hidupnya. Keterikatan dengan alam membuat manusia belajar menyesuaikan diri dengan alam. Orang Jawa menganggap bahwa alam tidak dapat diperlakukan dengan cara sembarangan. Semua kekuatan alam dikembalikan kepada roh-roh dan kekuatan-kekuatan halus, walaupun demikian manusia tidak merasa bahwa dirinya harus tunduk kepada alam dan karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa kekuatan alam, manusia memilih untuk berusaha hidup selaras dengan alam (Koentjaraningrat, 1984: 42). Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya apa yang pernah terekam dalam pikiran orang Jawa yang kemudian dilahirkan lewat ungkapan-ungkapan, 17 kata-kata indah sarat makna adalah realitas kehidupan yang faktual dan fenomenal, yang dapat dijadikan wacana dan tuntunan hidup bagi pribadi-pribadi yang sedang mengalami kegelisahan atau ketidak tenangan dalam hatinya, agar dapat lebih memahami arti hidup dan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan ini (Pasha, 2011: 13). Pesan-pesan moral dalam masyarakat Jawa disampaikan lewat media seni, dongeng, tembang, pitutur, piweling para orang tua secara turun temurun, hal ini bisa dilacak dengan banyaknya sastra piwulang. Ungkapan tradisional Jawa seperti sing becik ketitik ala ketara, titenana wong cidra mangsa langgenga dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti menunjukkan bahwa eksistensi dan esensi moralitas dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Dimensi sosial nilai-nilai etis memberikan suatu kadar objektif yang jarang terdapat dalam bidang kreativitas yang pada dasarnya bersifat pribadi. Objektivitas ini merupakan suatu prasyarat bagi universalitas nilai-nilai etis. Keamanan sosial dan kebebasan berpikir merupakan dasar bagi perkembangan pribadi, sebagai upaya menemukan kualitas kemanusiaan dan bentuk kelembagaan sosial yang dapat memberikan dorongan secara optimal pada realisasi kondisi itu, terutama arti pentingnya moral (Widyawati, 2010: 75). Hidayat Widiyanto (2009) dalam penelitian yang berjudul “Ungkapanungkapan Jawa sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)”, membahas tentang manfaat ungkapan-ungkapan Jawa sebagai dasar pengkayaan kata dalam bahasa Indonesia, karena banyak istilah-istilah dalam bahasa Indonesia 18 yang dipengaruhi/berasal dari ungkapan Jawa. Endang Nurhayati (2010) dalam penelitiannya dengan judul “Nilai-nilai Luhur dalam Ungkapan Jawa sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat Berbudaya”, menjelaskan tentang pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan Jawa yang dapat dijadikan kendali untuk berperilaku baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Pembahasan tentang kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa yang berwujud ungkapan tradisional, di mana ungkapan tradisional Jawa adalah harta kultural yang mencerminkan pandangan hidup, cita-cita, dan keinginan masyarakat Jawa diungkapkan oleh Sri Harti Widyastuti (2012) dalam penelitian yang berjudul “Reaktualisasi Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Sumber Kearifan Lokal dalam Masyarakat untuk Penguat Kepribadian Bangsa”. Kepribadian manusia Jawa yang unik didasari oleh semangat menjunjung tinggi nilai kearifan lokal Jawa yaitu ngundhuh wohing pakarti, yang maksudnya adalah orang Jawa memahami, menyadari, dan mempercayai bahwa sing nandur becik bakal becik undhuh-undhuhane lan sing nandur ala bakal ala undhuhundhuhane, artinya yang menanam kebaikan pasti akan berbuah kebaikan, dan yang menanam keburukan juga akan berbuah keburukan. Dasar ini mempunyai aura yang cukup kuat dan memberikan energi yang hebat dalam membentuk kepribadian orang Jawa, karena itu selalu didapati bahwa gaya kepribadian orang Jawa mampu memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya, serta akan 19 memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya keharmonisan hubungan persaudaraan secara luas (Haq, 2011: 9). Manfaat ungkapan Jawa bagi informasi antar budaya sekaligus merupakan nasehat yang mengandung unsur pendidikan bagi generasi muda agar senantiasa mau mawas diri, telah diteliti oleh Retno Parwati (2010) dengan judul “Beberapa Ungkapan Tradisional Jawa sebagai Komunikasi Budaya Daerah dan Manfaatnya bagi Pendidikan”. Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana, yaitu memperindah keindahan dunia. Di satu pihak ada orang-orang yang menganggapnya secara harafiah, bahwa manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya, yakni pekarangan sekitar rumahnya, desanya, dan di pihak lain ada yang menganggap abstrak, yaitu orang wajib memelihara serta memperbaiki lingkungan spiritualnya, yakni adat, tata cara serta cita-cita dan nilai budaya yang umum terdapat dalam masyarakat, selain cita-cita dan nilainilai pribadinya. Pada umumnya memayu hayuning bawana merupakan unsur yang tidak terlepas dari unsur lain, yaitu ungkapan yang berbunyi sepi ing pamrih rame ing gawe (Mulder, 1983: 14). Ungkapan-ungkapan yang dijumpai dalam kehidupan merupakan salah satu unsur kebudayaan yaitu bahasa, yang sehari-hari menurut Koentjaraningrat (1974: 15-22) akan menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, yaitu : 1. Wujud ideal : ialah lapisan yang paling abstrak dan paling luas ruang lingkupnya, merupakan kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, 20 norma-norma, peraturan, dan sebagainya, dapat disebut sebagai adat dalam arti khusus yaitu sebagai hal-hal yang bernilai dalam kehidupan manusia. 2. Wujud kelakuan : ialah merupakan kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud fisik : ialah berupa seluruh hasil fisik aktivitas , perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat. Nilai budaya masyarakat Jawa dapat diartikan sebagai pedoman tertinggi yang bersifat abstrak dari masyarakat Jawa dalam rangka menjawab hakikat hidup, karya, ruang dan waktu, hubungan dengan alam dan hubungan antar sesama manusia (Koentjaraningrat, 1974: 27). Manusia dengan kebudayaan berusaha memahami lingkungannya, sehingga dengan budaya manusia dapat menguasai, melihat, memahami, mengklasifikasi gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya. Jadi manusia beradaptasi dengan lingkungannya dapat mengandalkan kebudayaannya, yaitu adaptasi dalam memahami lingkungannya melalui proses budaya yang sering terjadi apa yang disebut equilibrium (keseimbangan) dan disequilibrium (ketidak seimbangan) antara manusia dengan lingkungan hidupnya, maka untuk menjaga disequilibrium ini dalam tradisi Jawa diadakan selamatan/slametan atau korban secara ritual (Sutardjo, 2008: 11). D. Landasan Teori 21 Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruk (Sunoto, 1981: 33). Etika berkaitan erat dengan masalah-masalah nilai benar dan salah dalam arti susila dan tidak susila, baik dan buruk. Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu sendiri adalah suatu perencanaan menyeluruh yang mengkaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi (Peursen, 1976: 48). Persoalan etika itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan bagaimana seharusnya menjadi baik dan bagaimana seharusnya meninggalkan yang buruk. Teori-teori etika yang digunakan untuk menjawab permasalahan etis, yaitu teori etika Deontologi (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan kewajiban), etika Teleologi (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan tujuan), dan etika Keutamaan (penilaian baik buruk yang berkaitan dengan sifat watak yang dimiliki manusia). Teori etika Deontologi berbicara tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan manusia, sedangkan teori etika Keutamaan mempunyai orientasi yang lain, yaitu tidak menyoroti perbuatan manusia tetapi lebih mengarah pada watak atau kebijakan manusia (Bertens, 2007: 212). Lingkungan hidup adalah segala hal yang ada di sekitar manusia, mulai dari alam sampai manusia lainnya (Reksadjaja, 1979: 24). Batasan yang lebih 22 terinci dikemukakan oleh Salim (1979: 27), bahwa lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang ditempati manusia dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia. Pengertian lingkungan hidup dikemukakan pula oleh Thohir (1985: 16), yaitu bahwa lingkungan hidup sering disebut lingkungan manusia, ialah segala sesuatu yang ada di keliling manusia, baik yang berbentuk benda mati maupun jasad-jasad atau organisme-organisme hidup dan manusia-manusia lain, seperti teman-teman, tetangga-tetangga dan orang-orang lain yang belum dikenalnya. Batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian lingkungan hidup mengandung unsur-unsur ruang, benda hidup termasuk manusia dan perilakunya, benda tidak hidup, kondisi dan pengaruh-pengaruh di dalamnya. Secara jelas batasan mengenai lingkungan hidup tercantum pada UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Etika lingkungan hidup merupakan thema yang meletakkan etika sebagai praksiologi dan melibatkan secara langsung persoalan-persoalan kehidupan manusia. Penilaian moral bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan segi kehidupannya, yang menyangkut tanggung jawab etik manusia terhadap lingkungan hidupnya, terkait tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri, manusia lain (sesama manusia), serta Tuhan Pencipta (Soerjani, 1981: 12). 23 Tanggung jawab etik tersebut menurut Soerjani (1981: 15), meliputi halhal sebagai berikut : 1. Menjaga lingkungan hidup terus berlangsung secara seimbang keseluruhan komponen lingkungan hidup itu berada dalam suasana serasi. 2. Hidup manusia dipandang dari arti spiritual, merupakan anugerah yang sekaligus tugas. Hidup manusia wajib dikembangkan dan bertanggung jawab “memanusiakan” dirinya dengan mengambil manfaat segala yang berada di sekitar dirinya, yaitu : a. Menghadapi sesama manusia harus dijalin kerjasama yang serasi sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masingmasing, tidak memperbudak atau memperalat manusia lain. b. Kewajiban manusia menata lingkungan hidupnya agar terselenggara interaksi yang seimbang bukan hanya terbatas generasinya, tetapi terlebih lagi bagi generasi yang akan meneruskannya. 3. Kadar dan tingkat adaptasi manusia dibatasi atau setidaknya dipengaruhi oleh lingkungannya, baik fisik, biotik maupun yang bersifat sosial budaya. Perlu disadari agar jangan sampai manusia menciptakan suasana memberikan pengaruh lingkungan buruk di hidup masa yang nantinya mendatang. akan Sistem bermasyarakat, sistem pendidikan, segala pranata hidup yang digariskan sesuai dengan kebijaksanaan yang berlaku sekarang, demikian pula 24 pemanfaatan segala jenis sumber daya yang sekarang ada, serta kebijaksanaan kependudukan yang direncanakan, hendaknya tetap dapat memelihara keserasian lingkungan hidup dan peradaban manusia di masa mendatang. Bintarto (1979: 5) berpendapat bahwa secara ringkas kajian lingkungan hidup dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu lingkungan fisik (physical environment), lingkungan biologis (biological environment), dan lingkungan sosial (social environment). Ketiga kelompok lingkungan hidup tersebut oleh Munn (1979: 7) disebutkan sebagai biogeophysical environment. Penggolongan tersebut oleh Soerjani (1985: 4) disebutkan sebagai penggolongan sumber daya, dengan perincian : golongan fisik, golongan hayati, dan golongan sosial budaya. Golongan fisik meliputi air, udara, tanah/ruang, dan mineral. Golongan hayati meliputi tumbuhan/vegetasi, hewan, manusia, dan jasad perombak. Golongan sosial budaya meliputi ilmu pengetahuan, teknologi, tenaga kerja, nilai sosial budaya atau seni, akal budi/ akal pikiran, agama/ kepercayaan. Keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya, harus membawa diri, sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang harus dikembangkan agar hidup sebagai manusia berhasil disebut dengan etika. Etika merupakan sebuah konstruksi sosial, budaya, keyakinan dan pandangan hidup secara total. Teori-teori lingkungan hidup sebagai landasan teori terdiri dari lima (5) macam teori, yaitu Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak asasi alam, dan Ekofeminisme (Keraf, 2010: 46). 25 Antroposentrisme ialah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Biosentrisme ialah suatu teori yang berpandangan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga bagi dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Teori Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan Biosentrisme, sudut pandangnya lebih diperluas untuk mencakup komunitas lingkungan hidup seluruhnya, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Teori hak asasi alam, menyatakan bahwa hak asasi tidak hanya dimiliki oleh manusia, melainkan oleh semua makhluk hidup, dan alam mempunyai hak asasi untuk dihargai dan dijamin oleh manusia sebagai pelaku moral. Teori Ekofeminisme adalah teori etika lingkungan hidup yang mempunyai prinsip dan klaim moral bahwa dunia manusia bukan hanya dunia laki-laki, tetapi ada yang lain yaitu dunia perempuan, yang secara kritis menelaah akar persoalan dari semua krisis lingkungan hidup (Keraf, 2010: 145). Setiap orang hendaknya harus sadar disertai tanggung jawab moral bahwa memelihara, melestarikan (menjaga kelestarian) lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang baik dan terpuji dan sebaliknya kalau merusak adalah tidak etis. Bahasa dalam kehidupan manusia bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja atau memiliki fungsi komunikatif, melainkan juga memiliki fungsi kognitif dan emotif (Kaelan, 1998: 17). Hubungan antara bahasa dengan pikiran manusia, dengan demikian sangat diperlukan dalam upaya manusia memahami realitas secara benar, terutama dalam memahami dan menafsirkan 26 ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai etis yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dasar-dasar teori inilah yang digunakan pada penelitian kajian etika lingkungan dalam ungkapan budaya Jawa. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bercorak kualitatif deskriptif yang meneliti tentang etika lingkungan hidup yang mengandung ajaranajaran moral, yang berupa ungkapan-ungkapan etis yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang merupakan anjuran maupun tuntunan untuk berbuat baik atau larangan agar tidak berbuat buruk terhadap lingkungan hidup. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam dalam ungkapanungkapan tersebut diperlukan cara/metode analitik untuk mengkajinya, sehingga hasil yang dicapai dapat memberikan kontribusi dalam menggali, melestarikan dan memasyarakatkan nila-nilai budaya tradisional, maupun pengelolaan lingkungan dengan baik. 1. Bahan Penelitian Bahan atau materi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data primer : 27 (1). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Butir-butir Budaya Jawa, Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatining Becik, penyunting Hardiyanti Rukmana, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta, 1990. (2). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Ungkapan Budaya Jawa, penulis Soesilo Piwulang , Yayasan Yusula, Jakarta, 2005. (3). Ungkapan-ungkapan Jawa yang ada dalam buku Butir-butir Kearifan Jawa, Sumber Inspirasi Kearifan Lokal, penulis Lukman Pasha, In Azna Books, Yogyakarta, 2011. b. Data sekunder : buku-buku berkaitan dengan etika (filsafat moral), etika Jawa, dan etika lingkungan hidup. Naskah-naskah, dokumendokumen, tulisan-tulisan tentang ajaran moral yang berkaitan dengan pembahasan etika lingkungan dan budaya Jawa. 2. Cara/Alat Penelitian Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan bersifat kualitatif deskriptif. Objek materi penelitian adalah ungkapan-ungkapan dalam budaya Jawa. Pengumpulan data dilakukan dengan pengkartuan, yaitu menyimpan data dengan parafrase pada kartu-kartu data, dan masing-masing subsistem diberikan kode tertentu. Cara penelitian dilakukan dengan 28 peneliti langsung melakukan pengumpulan data, dan mengingat penelitian bersifat kualitatif maka teknik penelitian dilakukan dengan pengumpulan data pada sumber-sumber data, dan peneliti langsung melakukan analisis. 3. Jalan Penelitian a. Tahap Pengumpulan Data Sebelum melakukan penelitian peneliti merinci sumbersumber data, serta menentukan lokasi pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan menyimpan pada kartu data, dengan cara memberikan kode pada setiap subsistem data penelitian. Adapun proses pengumpulan data dilakukan dengan (1) mencatat data pada kartu data secara paraphrase, mencatat dan menangkap keseluruhan intisari data kemudian mencatat pada kartu data, dengan menggunakan kalimat yang disusun oleh peneliti sendiri. (2) Mencatat data secara quotasi, yaitu mencatat data dari sumber data secara langsung dan secara persis. (3) Mencatat data secara sinoptik, yaitu mencatat data dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary. Selain itu dalam proses pengumpulan data ini, data diorganisir dengan cara memberikan kode pada setiap subsistem data, sesuai dengan klasifikasinya masing- masing. 29 b. Tahap Pengolahan Data Setelah melakukan pengumpulan data kemudian dilakukan pengorganisasian dan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut ; (1). Reduksi data, yaitu data dalam penelitian kualitatif kepustakaan berupa data-data verbal, dalam suatu uraian yang panjang dan lebar. Data yang berupa data verbal kemudian diseleksi dan direduksi tanpa mengubah esensi maknanya, serta ditentukan maknanya sesuai dengan ciri-ciri objek formal filosofis. (2). Klasifikasi data, yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian dilakukan klasifikasi data. Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokan berdasarkan objek formal penelitian. (3). Peragaan/Display data, tahap berikutnya kemudian mengorganisasikan data-data penelitian tersebut sesuai dengan peta penelitian. Display data dapat juga dilakukan dengan membuat networks atau skematisasi yang berkaitan dengan konteks data tersebut. Tahap berikutnya adalah melakukan analisis data. c. Tahap Analisis Data 30 Setelah pengumpulan data kemudian dilakukan analisis data sebagai berikut : (1). Metode interpretasi, yaitu proses analisis dilakukan dengan melakukan interpretasi yaitu meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun menerjemahkan. Penerapan metode interpretasi dilakukan dengan mengintrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor dari luar objek (Poespoprodjo, 1987: 192). (2). Metode analitika bahasa, yaitu mengungkapkan makna yang terkandung dalam ungkapan verbal, yang bertolak dari analysandum dan diuraikan menjadi analysans, dari ungkapan yang masih belum jelas menjadi lebih jelas dan eksplisit. Mengingat data penelitian kebanyakan berupa data-data verbal (Langevord, 1952: 100). (3). Metode Verstehen, yaitu untuk memahami bagian atau unsur makna yang dikumpulkan dalam penelitian. Ungkapanungkapan dalam budaya Jawa dipahami berdasarkan kategori serta karakteristik masing-masing (Kaelan, 2005:71). (4). Metode hermeneutika, yaitu metode untuk mencari dan menemukan makna esensial yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena budaya Jawa. Prinsip kerja hermeneutika menurut Schleiermacher (1977: 22) untuk 31 menemukan objective geist, yaitu makna yang terdalam, yang esensial atau hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian. Untuk data yang berupa data verbal anailisis hermeneutis dilakukan dengan tahap pertama menangkap makna semantik, kemudian makna kedalaman atau deep structure, kemudian ditemukan makna essensial atau hakikat yang terdalam (Ricour, 1988: 82). (5). Metode heuristika, yaitu metode untuk menemukan suatu pemikiran atau jalan baru. Dalam hubungan dengan penelitian tentang ungkapan-ungkapan dalam budaya Jawa dalam kajian etika lingkungan, diterapkan metode heuristika dalam rangka untuk menemukan inovasi baru secara kritis, dari hasil penelitian tersebut yaitu hasil refleksi kritis dalam hubungannya dengan pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup (Peursen, 1985: 97). F. Sistematika Penulisan Penulisan desertasi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. 32 BAB II berisi ruang lingkup etika lingkungan hidup, meliputi pengertian ekologi, ekosistem dan lingkungan hidup, pengertian etika dan etika lingkungan hidup, dasar filsafati etika lingkungan hidup, teori-teori etika lingkungan hidup, hubungan etika lingkungan dengan bahasa. BAB III berisi nilai-nilai moralitas Jawa, yang menerangkan tentang pengertian budaya Jawa, wujud kebudayaan dan milai budaya Jawa, ajaran-ajaran moral/etika Jawa, pandangan dunia/filsafat Jawa, dan ungkapanungkapan Jawa. BAB IV merupakan inti tulisan ini, ialah analisis etika lingkungan hidup dalam budaya Jawa, berupa ungkapan-ungkapan Jawa yang mengandung nilai etis lingkungan, prinsip-prinsip etika lingkungan hidup dalam budaya Jawa, dan norma-norma etika lingkungan hidup dalam budaya Jawa. BAB V menjelaskan tentang relevansi etika lingkungan Jawa dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu tentang pengertian pengelolaan lingkungan hidup, azas, tujuan, dan prinsip pengelolaan lingkungan hidup, moralitas pengelolaan lingkungan hidup dalam budaya Jawa, peranan ungkapan Jawa dalam moralitas pembangunan, dan etika lingkungan Jawa dan implementasinya dalam pembangunan di Indonesia. BAB VI berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran.