BAB V BERANGKAI Dua Gen Berangkai dan Pindah Silang Tiga Gen Berangkai dan Pindah Silang Ganda Pemetaan Kromosom Pemetaan Kromosom pada Manusia 66 BAB V. BERANGKAI Percobaan-percobaan persilangan pada kacang ercis yang dilakukan oleh Mendel, baik monohibrid maupun dihibrid, telah menghasilkan dua hukum Mendel, yakni hukum segegasi dan hukum pemilihan bebas. Jika kembali kita perhatikan persilangan dihibrid menyangkut pewarisan warna biji dan bentuk biji, maka akan terlihat bahwa gamet-gamet yang terbentuk tidak hanya mengandung kombinasi gen dominan untuk warna biji (K) dengan gen dominan untuk bentuk biji (B), tetapi memungkinkan pula kombinasi gen resesif untuk warna biji (k) dengan gen resesif untuk bentuk biji (b), dan juga kombinasi gen K dengan gen b, serta gen k dengan gen B. Oleh karena peluang terjadinya kombinasi-kombinasi tersebut sama besar, maka keempat macam gamet yang dihasilkan, yaitu KB, Kb, kB, dan kb, akan mempunyai nisbah 1 : 1 : 1 : 1. Gen-gen yang mengatur warna biji dan bentuk biji dewasa ini telah diketahui letaknya masing-masing. Gen pengatur warna biji terletak pada kromosom 1, sedang gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom 7. Inilah keuntungan lain yang diperoleh Mendel di samping secara kebetulan tanaman yang digunakan adalah diploid. Seandainya gen pengatur warna biji dan gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom yang sama, barangkali Mendel tidak akan berhasil merumuskan hukum pemilihan bebas. Saat ini kita telah mengetahui bahwa banyaknya gen pada kacang ercis, dan juga pada setiap spesies organisme lainnya, jauh lebih banyak daripada jumlah kromosomnya. Artinya, di dalam sebuah kromosom tertentu dapat dijumpai lebih dari sebuah gen. Gen-gen yang terdapat pada kromosom yang sama dinamakan gen-gen berangkai (linked genes), sedang fenomenanya sendiri dinamakan berangkai (linkage). Fenomena berangkai pertama kali ditemukan pada percobaan dihibrid oleh W.Bateson dan R.C Punnet pada tahun 1906. Akan tetapi, mereka tidak dapat memberikan interpretasi terhadap hasil persilangan yang diperoleh. Baru sekitar lima tahun kemudian seorang ahli genetika dan embriologi dari Amerika Serikat, T.H. Morgan, dapat menjelaskan mekanisme pewarisan gen-gen berangkai pada lalat Drosophila melanogaster. Dari konsep mengenai berangkai ini selanjutnya berkembang pengetahuan mengenai pindah silang (crossing over) dan pemetaan 67 kromosom, yang sebagian besar melibatkan karya Morgan dan para mahasiswanya seperti C.B. Bridges, H.J. Muller, dan A.H. Sturtevant. Selukbeluk mengenai gen-gen berangkai, termasuk cara memetakannya pada kromosom tempat mereka berada, akan menjadi pokok bahasan pada Bab V ini. Dua Gen Berangkai Dua buah gen yang berangkai akan mengalami segregasi dan rekombinasi dengan pola yang tidak mengikuti hukum Mendel. Artinya, pola segregasi dan rekombinasinya tidak bebas sehingga tiap macam gamet yang dihasilkannya pun menjadi tidak sama jumlahnya. Adanya perbedaan jumlah di antara macam gamet yang terbentuk tersebut disebabkan oleh kecenderungan gen-gen berangkai untuk selalu berada bersamasama. Jadi, kalau gen-gen yang berangkai adalah sesama dominan dan sesama resesif, maka gamet yang mengandung gen-gen dominan dan gamet yang mengandung gen-gen resesif akan dijumpai lebih banyak daripada gamet dengan kombinasi gen dominan-resesif. Demikian pula, dalam keadaan gen dominan berangkai dengan gen resesif, gamet yang mengandung kombinasi gen dominanresesif akan lebih banyak jumlahnya daripada gamet dengan kandungan gen sesama dominan dan sesama resesif. Sebagai contoh, jika gen A dan gen B berangkai pada suatu kromosom sementara alel-alel resesifnya, a dan b, juga berangkai pada kromosom homolognya, maka gamet-gamet yang dihasilkan akan terdiri atas AB, Ab, aB, dan ab dengan nisbah n : 1 : 1 : n. Sebaliknya, jika gen A berangkai dengan gen b, dan gen a berangkai dengan gen B, maka nisbah gamet AB : Ab : aB : ab menjadi 1 : n : n : 1. Dalam hal ini n merupakan bilangan positif dengan nilai lebih dari satu. Untuk lebih jelasnya pada Gambar 5.1 di bawah ini secara skema dapat diperbandingkan tiga kemungkinan segregasi dan rekombinasi gen-gen pada individu dihibrid AaBb. Gambar 5.1.a) memperlihatkan pola segregasi dan rekombinasi gen-gen yang terjadi secara bebas karena keduanya tidak berangkai. Sementara itu, pada Gambar 5.1.b) dan 5.1.c) tampak bahwa segregasi dan rekombinasi kedua gen tidak terjadi secara bebas. Dua gen yang berangkai 68 cenderung untuk selalu bersama-sama atau tidak bersegregasi di dalam gametgamet yang terbentuk. A B A B A b a b a b a B gamet : A B 1 A B n A b n A b 1 a b n a B n a B 1 A b 1 A B 1 a b 1 a B 1 a b 1 a) b) c) Gambar 5.1. Gamet yang terbentuk dari individu dihibrid a) Kedua gen tidak berangkai b) Kedua gen berangkai dengan kedudukan sis c) Kedua gen berangkai dengan kedudukan trans Kedudukan Dua Gen Berangkai Kalau kita perhatikan lagi Gambar 5.1, akan tampak bahwa dua buah gen yang berangkai dapat berada pada dua macam kedudukan atau konfigurasi yang berbeda. Pada Gambar 5.1.b) gen dominan A berangkai dengan gen dominan B dan gen resesif a berangkai dengan gen resesif b. Kedudukan gen berangkai semacam ini dinamakan sis atau coupling phase. Sebaliknya, jika gen dominan berangkai dengan gen resesif seperti pada Gambar 5.1.c), maka kedudukannya dinamakan trans atau repulsion phase. Kedudukan gen berangkai harus tercerminkan pada notasi individu yang bersangkutan. Individu dihibrid AaBb, misalnya, ditulis sebagai AB/ab jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis, dan ditulis sebagai Ab/aB jika kedudukan berangkainya adalah trans. Jadi, penulisan AaBb hanya digunakan apabila kedua gen tersebut tidak berangkai. Baik pada kedudukan sis maupun trans terdapat dua macam gamet, yang masing-masing disebut sebagai gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Gamet tipe parental mempunyai susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Jadi, individu dihibrid AaBb akan menghasilkan gamet tipe parental AB dan ab serta gamet tipe rekombinasi 69 Ab dan aB jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis. Kebalikannya, jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan trans, maka gamet tipe parentalnya adalah Ab dan aB sementara gamet tipe rekombinasinya adalah AB dan ab. Gamet tipe parental jumlahnya selalu lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan jumlah gamet tipe rekombinasi. Dengan perkataan lain, gamet tipe parental jumlahnya berkisar dari 50% hingga 100%, sedang gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0% hingga 50%. Jika gamet tipe parental sama banyaknya dengan gamet tipe rekombinasi (masing-masing 50% atau nisbah gamet = 1 : 1 : 1 : 1), maka hal ini berarti kedua gen tidak berangkai. Sebaliknya, jika semua gamet yang ada merupakan gamet tipe parental, atau dengan perkataan lain sama sekali tidak terdapat gamet tipe rekombinasi, maka kedua gen dikatakan mempunyai loki (tempat gen pada kromosom) yang sangat berdekatan. Besar kecilnya jumlah, atau persentase, gamet tipe rekombinasi oleh A.H. Sturtevant digunakan untuk menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai. Setiap satuan peta ditetapkan sebagai jarak antara dua gen berangkai yang dapat menghasilkan gamet tipe rekombinasi sebanyak 1%. Makin panjang jarak antara dua gen berangkai, makin besar persentase gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan. Sebagai contoh, jika suatu individu dihibrid dengan gen-gen yang berangkai menghasilkan gamet tipe parental sebanyak 80% atau gamet tipe rekombinasi sebanyak 20%, maka jarak antara kedua gen berangkai tersebut dikatakan sama dengan 20% atau 20 satuan peta atau 20 Morgan. Sebenarnya hubungan linier antara jarak dua gen berangkai dan persentase gamet tipe rekombinasi hanya berlaku lebih kurang hingga nilai 20%. Di atas nilai ini peningkatan jarak tidak terus-menerus diikuti oleh peningkatan persentase gamet tipe rekombinasi. Seperti telah dijelaskan, gamet tipe rekombinasi jumlahnya paling banyak hanya 50%. Di sisi lain jarak antara dua gen berangkai dapat mencapai lebih dari 100%, misalnya jarak terpanjang antara dua gen berangkai pada kromosom 1 tanaman jagung yang mencapai 161%. Pindah Silang Telah disebutkan bahwa dua buah gen yang berangkai akan cenderung untuk tetap bersama-sama di dalam gamet yang terbentuk. Akan tetapi, di antara 70 keduanya masih terdapat pula kemungkinan untuk mengalami segregasi dan rekombinasi sehingga akan diperoleh kombinasi gen-gen seperti yang dijumpai pada gamet tipe rekombinasi. Terjadinya segregasi dan rekombinasi dua buah gen berangkai ini tidak lain karena mereka mengalami peristiwa yang dinamakan pindah silang (crossing over), yaitu pertukaran materi genetik (gen) di antara kromosom-kromosom homolog. Dari pengertian pindah silang tersebut kita dapat menyederhanakan batasan tentang gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Di atas telah dikatakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet dengan susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet yang susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Sekarang dengan lebih mudah dapat kita katakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet bukan hasil pindah silang, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet hasil pindah silang. Peristiwa pindah silang, bersama-sama dengan pemilihan bebas (hukum Mendel II), merupakan mekanisme penting yang mendasari pembentukan keanekaragaman genetik karena kedua-duanya akan menghasilkan kombinasi baru di antara gen-gen yang terdapat pada individu sebelumnya. Selanjutnya, seleksi alam akan bekerja untuk mempertahankan genotipe-genotipe dengan kombinasi gen yang adaptif saja. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang menganggap bahwa pindah silang dan pemilihan bebas sangat penting bagi berlangsungnya proses evolusi. Pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom Pada profase I meiosis kedua kromosom homolog akan mengalami duplikasi menjadi empat buah kromatid (lihat Bab IV). Selanjutnya, keempat kromatid ini akan membentuk sinapsis yang dinamakan tetrad. Pada saat terbentuknya konfigurasi tetrad inilah pindah silang terjadi. Bukti bahwa pindah silang terjadi sesudah kromosom homolog mengalami duplikasi diperoleh dari hasil analisis genetik pada percobaan menggunakan kapang Neurospora crassa. Kapang ini sangat cocok untuk keperluan analisis genetik terutama karena dalam fase reproduksi aseksualnya terdapat askosopra haploid yang akan mengalami pembelahan mitosis sehingga berkecambah dan 71 tumbuh menjadi miselium multisel yang juga haploid. Dengan adanya miselium haploid inilah, keberadaan gen-gen resesif dapat dideteksi karena ekspresinya tidak tertutup oleh gen dominan. Secara skema bukti yang menujukkan bahwa pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini. Pola askus A B a b A b a A B a b A b A b 100% a B rekombinasi a B B Meiosis I Meiosis II, Mitosis a) Pola askus parental A B a b A B A B A B A B A b A b a b a B a B a b a b a b rekombinasi parental Meiosis I Meiosis II, Mitosis b) Gambar 5.2. Hasil pindah silang dilihat dari pola askus pada Neurospora crassa 72 Pada Gambar 5.2.a) pindah silang terjadi sebelum kromosom mengalami duplikasi. Ternyata dilihat dari kedelapan askospora hasil pembelahan mitosis gamet dapat dipastikan bahwa keempat gamet yang dihasilkan seluruhnya merupakan gamet tipe rekombinasi atau sama sekali tidak ada gamet tipe parental. Hal ini jelas sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa persentase gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0 hingga 50%. Sebaliknya, pada Gambar 5.2.b) pindah silang terjadi sesudah kromosom mengalami duplikasi. Tampak bahwa kedelapan askospora yang terbentuk terdiri atas dua macam, yaitu askospora yang berasal dari gamet tipe parental dan askosopra yang berasal dari gamet tipe rekombinasi. Di antara askospora tipe parental masih dapat dibedakan lagi askopora dari parental pertama (AB) dengan askospora dari parental kedua (ab). Oleh karena kemungkinan pada Gambar 5.2.b) ini masuk akal, maka dapat disimpulkan bahwa pindah silang terjadi setelah kromosom mengalami duplikasi. Persentase pindah silang menggambarkan jarak antara dua gen berangkai Peristiwa pindah silang akan menyebabkan terbentuknya gamet tipe rekombinasi, atau seperti disebutkan di atas, gamet tipe rekombinasi merupakan gamet hasil pindah silang. Sementara itu, persentase gamet tipe rekombinasi sampai dengan batas tertentu (lebih kurang 20%) memperlihatkan korelasi positif dengan jarak fisik antara dua gen berangkai. Dengan demikian, besarnya persentase pindah silang juga menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai. Tiga Gen Berangkai Di antara tiga buah gen berangkai, misalnya gen-gen dengan urutan A-B-C, dapat terjadi tiga kemungkinan pindah silang. Pertama, pindah silang terjadi antara A dan B atau pindah silang pada interval I. Ke dua, pindah silang terjadi antara B dan C atau pindah silang pada interval II. Ke tiga, pindah silang terjadi antara A dan B sekaligus antara B dan C. Kemungkinan yang terakhir ini dinamakan pindah silang ganda (double crossing over). Sesuai dengan banyaknya macam pindah silang yang terjadi, gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan ada tiga macam, yaitu gamet tipe rekombinasi hasil 73 pindah silang pada interval I, gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang pada interval II, dan gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda. Kalau kita misalkan bahwa kedudukan ketiga gen berangkai tersebut seperti pada Gambar 5.3, maka gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan adalah Abc dan aBC (hasil pindah silang I), ABc dan abC (hasil pindah silang II), serta AbC dan aBc (hasil pindah silang ganda). Selain itu, ada juga gamet tipe parental, yaitu ABC dan abc. A B a C b interval I c interval II A B C A B C a a b b c c A B C A b C a a B b c c Gambar 5.3. Pindah silang di antara tiga gen berangkai Dari delapan macam gamet yang dihasilkan tersebut, gamet tipe parental dengan sendirinya paling besar persentasenya, sedang gamet yang paling kecil persentasenya adalah gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda. Bagaimana dengan gamet hasil pindah silang I dan gamet hasil pindah silang II ? Mana di antara kedua kelompok gamet tipe rekombinasi tersebut yang lebih besar persentasenya ? Jawabannya tentu saja bergantung kepada besarnya jarak A-B dan jarak B-C. Jika A-B lebih panjang daripada B-C, maka gamet hasil pindah silang I lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang II. Begitu pula sebaliknya, gamet hasil pindah silang II akan dijumpai lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang I jika jarak B-C lebih panjang daripada jarak A-B. 74 Silang Uji Tiga Titik Silang uji, seperti telah dijelaskan pada Bab II, adalah persilangan suatu individu dengan individu homozigot resesif. Silang uji terhadap individu trihibrid dinamakan silang uji tiga titik (three-point test cross). Sebagai contoh, individu trihibrid AaBbCc disilang uji dengan aabbcc. Jika di antara ketiga gen tersebut tidak ada yang berangkai, maka hasil persilangannnya ada delapan macam fenotipe, yaitu A-B-C-, A-B-cc, A-bbC-, aaB-C-, A-bbcc, aaB-cc, aabbC-, dan aabbcc, dengan nisbah 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1. Namun, jika gen A berangkai dengan gen B dan gen C, maka nisbah fenotipe yang dihasilkan tidak akan sama tetapi bergantung kepada jumlah tiap macam gamet individu trihibrid tersebut. Seperti pada penjelasan Gambar 5.3, gamet dari individu ABC/abc dapat dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah gamet tipe parental (ABC dan abc), kelompok ke dua gamet hasil pindah silang di daerah I (Abc dan aBC), kelompok ke tiga gamet pindah silang di daerah II (ABc dan abC), dan kelompok ke empat gamet hasil pindah silang ganda (AbC dan aBc). Sementara itu, dari individu homozigot resesif aabbcc (abc/abc) hanya akan dihasilkan satu macam gamet, yakni abc, karena baik gamet tipe parental maupun rekombinasi akan mempunyai susunan gen yang sama. Dengan demikian, fenotipe sekaligus genotipe hasil silang ujinya akan ada empat kelompok, yang masing-masing terdiri atas dua macam fenotipe, sesuai dengan nisbah gamet individu ABC/abc. ABC/abc tipe parental (persentasenya terbesar) abc/abc Abc/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang antara A dan B (persentasenya bergantung kepada posisi lokus B) aBC/abc ABc/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang antara B dan C (persentasenya bergantung kepada posisi lokus B) abC/abc AbC/abc tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda (persentasenya terkecil) aBc/abc 75 Salah satu kromosom homolog pada tiap fenotipe/genotipe hasil silang uji tersebut di atas selalu membawa gen-gen dengan susunan yang sama, yaitu abc. Oleh karena itu, biasanya notasi fenotipe/genotipe individu hasil silang uji untuk gen-gen berangkai sama dengan notasi untuk gametnya masing-masing. Jadi, individu ABC/abc, misalnya, cukup ditulis dengan ABC. Begitu juga untuk ketujuh genotipe lainnya penulisannya cukup seperti notasi gametnya saja. Pemetaan Kromosom Data hasil silang uji tiga titik dapat dimanfaatkan untuk membuat peta kromosom. Di dalam peta kromosom tiap kromosom disebut sebagai satu kelompok gen berangkai (linkage group), yang terdiri atas sederetan gen-gen dengan urutan dan jarak tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya pembuatan peta kromosom meliputi penentuan urutan gen pada satu kromosom dan penghitungan jarak antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai contoh, pada lalat Drosophila melanogaster telah ditemukan adanya empat kelompok gen berangkai seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4. Langkah-langkah untuk membuat peta kromosom dari data hasil silang uji dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini. ABC = 265 AbC = 6 Abc = 435 abC = 139 ABc = 133 aBC = 441 aBc = 4 abc = 227 Untuk menentukan urutan gen yang benar pertama-tama kita cari individu tipe parental di antara kedelapan genotipe tersebut, yaitu dua individu yang persentase atau jumlahnya terbesar (aBC dan Abc). Keduanya dipasangkan menjadi aBC/Abc. Kemudian, kita cari individu hasil pindah silang ganda, yaitu dua individu yang jumlahnya terkecil (AbC dan aBc). Ini juga kita pasangkan menjadi AbC/aBc. Individu parental disimulasi untuk mengalami pindah silang ganda (psg). Artinya, aBC/Abc disimulasi untuk mengalami psg menjadi abC/ABc. Setelah hasil simuasi ini dicocokkan dengan individu psg yang ada ternyata susunan gennya tidak sama (abC/ABc tidak sama dengan AbC/aBc). Oleh karena itu, individu parental harus kita ubah urutan gennya, misalnya menjadi BaC/bAc. Jika individu ini mengalami psg, maka akan diperoleh BAC/bac, yang ternyata masih belum cocok juga dengan AbC/aBc. Alternatif ke tiga (terakhir) adalah mengubah 76 urutan gen pada individu parental menjadi aCB/Acb. Individu parental dengan urutan gen seperti ini (lokus C di tengah) jika mengalami psg akan menjadi acB/ACb, yang ternyata cocok dengan AbC/aBc. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa urutan loki gen yang benar adalah A-C-B atau B-C-A. 0 y (yellow body) 0 w (whirte eyes) N (Notch wings) ec (echinus eyes) rb (ruby eyes) bo (bordeaux eyes) cv (crossveinless wings) ov (oval eyes) ct (cut wings) sn (singed bristles) net (net wings) S (Star eyes) 0 ru (roughoid eyes) 0 R (Roughened eyes) 3 Cy (Curly wings) IV ed (echinoid eyes) dp (dumpy wings) cl (clot eyes) spd (spade wings) lys (lysine accumulation) t (tan body) ras (raspberry eyes) m (miniature wings) wy (wavy wings) g (garnet eyes) pl (pleated wings) sd (scalloped wings) r (rudimentary wings) B (Bar eyes) car (carnation eyes) fs(3) G2 (betina steril) jv (javelin bristles) Hn (Henna eyes) tu-48 (abdominal tumors) fy (fuzzy hairs) corr (corrugated wings) J (Jammed wings) se (sepia eyes) cur (curvoid wings) rs (rose eyes) Gl (Glued eyes) st (scarlet eyes) eg (eagle wings) cu (curly wings) b (black body) rd (reduced bristles) stw (straw bristles) cn (cinnabar eyes) che (cherub wings) bb (bobbed bristles) 68 ci (cubitus interruptus eyes) bt (bent wings) sv (shaven bristles) bx (bithorax body) sr (stripe body) vg (vestigial wings) U (Upturmed wings) Dl (Delta wings) e (ebony body) c (curved wings) Amy (Amylase) rf (roof wings) nw (narrow wings) cd (cardinal eyes) obt (obtuse wings) I dsr (disrupted wings) hy (humpy body) a (arc wings) Frd (Freckled body) M(2)c (Minute body) 106 108 Pr (Prickly bristles) r sd (raised wings) ra (rase britles) ca (claret eyes) M(3)g (Minute body) III II Gambar 5.4. Peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster = sentromir Kromosom I = kromosom kelamin Mutan yang diawali dengan huruf besar = mutan dominan Setelah urutan gen yang benar diketahui, data hasil silang uji tersebut di atas diubah urutan gennya sehingga menjadi ACB = 265 ACb = 6 Acb = 435 aCb = 139 AcB = 133 aCB = 441 acB = 4 acb = 227 Selanjutnya, kita dapat menghitung jarak antara dua gen berurutan (A-C dan C-B), yang masing-masing sama dengan persentase pindah silang di antara kedua gen yang diukur jaraknya (ingat ! besarnya persentase pindah silang 77 menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai). Jadi, jarak A-C sama dengan pindah silang antara A dan C, sedang jarak C-B sama dengan pindah silang antara C dan B. Oleh karena individu parentalnya aCB/Acb, maka individu hasil pindah silang antara A dan C terdiri atas acb, ACB, acB, dan ACb. Dengan demikian, jarak A-C = (227 + 265 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 30,4%. Sementara itu, individu hasil pindah silang antara C dan B masing-masing aCb, AcB, acB, dan ACb, sehingga jarak C-B = (139 + 133 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 17,1%. A C 30,4% B 17,1% Interferensi Kromosom Pada contoh soal tersebut di atas terlihat bahwa banyaknya individu hasil pindah silang ganda ada (4 + 6) / 1650 x 100% = 0,6%. Nilai ini merupakan persentase pindah silang ganda yang benar-benar terjadi (psg O). Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pindah silang ganda adalah dua peristiwa pindah silang yang terjadi bersama-sama pada dua daerah yang berurutan. Seandainya kedua pindah silang ini benar-benar independen satu sama lain, maka secara teori besarnya persentase pindah silang ganda seharusnya sama dengan hasil kali masing-masing pindah silang (lihat teori peluang pada Bab II). Pada soal tersebut di atas persentase pindah silang ganda yang diharapkan atau seharusnya terjadi (psg E) sama dengan 30,4% x 17,1% = 5,2%. Biasanya psg O lebih kecil daripada psg E. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh H.J. Muller pada tahun 1916, dan dinamakan interferensi kromosom atau interferensi kiasma. Jadi, interferensi ini menunjukkan bahwa pindah silang di suatu tempat akan menghalangi terjadinya pindah silang di dekatnya. Derajad interferensi secara kuantitatif diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien koinsidensi (KK), yang merupakan nisbah psg O terhadap psg E. Nilai KK berkisar dari 0 hingga 1, dan pada contoh soal di atas nilai KK = 0,6% / 5,2% = 0,12. Nilai KK = 1 menggambarkan adanya independensi yang sempurna di antara dua peristiwa pindah silang yang berurutan sehingga psg O sama besarnya dengan psg E. Sebaliknya, nilai KK = 0 menunjukkan bahwa dua 78 peristiwa pindah silang yang berurutan benar-benar saling menghalangi. Oleh karena itu, nilai KK berbanding terbalik dengan besarnya interferensi. Makin besar KK, kedua pindah silang makin independen sehingga makin kecil interferensinya. Untuk menggambarkan derajad interferensi dapat pula digunakan koefisien interferensi (KI), yang nilainya sama dengan 1 - KK. Dengan demikian, nilai KI juga berkisar dari 0 hingga 1 tetapi berbanding lurus dengan besarnya interferensi. Artinya, makin besar KI, kedua pindah silang makin menghalangi satu sama lain atau makin besar interferensinya. Pemetaan Kromosom pada Manusia Pada manusia dengan sendirinya tidak dapat dilakukan pembuatan peta kromosom menggunakan data hasil silang uji. Oleh karena itu, diperlukan cara lain untuk dapat mengetahui susunan gen pada suatu kromosom tertentu. Cara yang paling lama dikenal adalah analisis silsilah keluarga dengan mengamati pola pewarisan suatu sifat. Pada tahun 1960-an terjadi kemajuan yang pesat dalam pembuatan peta kromosom pada manusia berkat ditemukannya suatu teknik yang dikenal sebagai hibridisasi sel somatis. Sejalan dengan penemuan ini berkembang pula teknik sitologi yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kromosom dan segmen kromosom manusia. Bahkan dewasa ini teknik DNA rekombinan dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi keberadaan masing-masing gen di dalam molekul DNA kromosom. Teknik hibridisasi sel somatis pertama kali digunakan oleh G. Barski dan koleganya pada tahun 1960 untuk menggabungkan sel somatis mencit dengan sel somatis manusia secara in vitro. Penggabungan (fusi) sel ini berlangsung dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah, yaitu sekitar satu di antara sejuta sel. Namun, frekuensi fusi tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan sejenis virus, yakni virus Sendai, yang telah diinaktifkan dengan radiasi ultraviolet. Selain dengan virus Sendai, frekuensi fusi dapat juga ditingkatkan dengan pemberian bahan kimia polietilen glikol. Sel hibrid yang terbentuk kemudian mengalami pembelahan mitosis sehingga dihasilkan sejumlah besar sel hibrid. Di antara sel-sel hibrid hasil mitosis 79 ini selalu terjadi pengurangan jumlah kromosom manusia sementara jumlah kromosom mencitnya tetap. Dengan adanya variasi jumlah kromosom manusia pada sel hibrid, dapat ditentukan keberadaan gen tertentu pada suatu kromosom atas dasar aktivitas enzim yang dihasilkan. Sebagai contoh, keberadaan gen yang mengatur sintesis enzim timidin kinase dapat diketahui dari data seperti pada Tabel 5.1. Terlihat bahwa kromosom 17 merupakan satu-satunya kromosom yang keberadaannya berkorelasi positif dengan aktivitas timidin kinase. Dalam hal ini kromosom 17 selalu dijumpai pada setiap sel hibrid yang memperlihatkan aktivitas timidin kinase dan tidak dijumpai pada sel hibrid yang tidak memperlihatkan aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gen yang mengatur sintesis timidin kinase terletak pada kromosom nomor 17. Cara yang sama digunakan untuk menentukan bahwa pada suatu kromosom terdapat gen-gen tertentu. Tabel 5.1. Data hibridisasi sel somatis Nomor sel hibrid Aktivitas timidin kinase 1 Kromosom manusia (+ = ada; - = tidak ada) X Y 1 2 4 7 9 10 15 17 18 21 aktif + + - + - - + + + + - + 2 aktif + - + + - + + - + + + - 3 aktif - - + + + + - - - + - - 4 aktif - - + - - - - + - + - + 5 tidak aktif + - - + - - + - + - - - 80