6 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar juga dapat dikatakan sebagai objek penilaian. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa (Sudjana, 2006: 22). Menurut Lindgren dalam (Suprijono, 2009: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hasil belajar adalah perubahan prilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusian saja. Menurut Bloom dalam Sudjana (2009: 22-23) bahwa hasil belajar dibagi tiga kategori yaitu (1) ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan atau hafalan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri lima aspek yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi; (3) ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan betindak yang terdiri atas enam aspek yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Hasil belajar atau perubahan prilaku yang menimbulkan kemampuan dapat berupa hasil utama pengajaran (intructional effect) maupun hasil sampingan pengiring (nurturan effect). Hasil utama pengajaran adalah kemampuan hasil belajar yang memang direncanakan untuk untuk diwujudkan dalam kurikulum dan 7 tujuan pembelajaran. Sedangkan hasil pengiring adalah hasil belajar yang dicapai namun tidak direncanakan untuk dicapai. Misalnya setelah mengikuti pelajaran siswa menyukai pelajaran tersebut yang semula tidak disukai karena siswa senang dengan cara guru mengajar (Purwanto, 2013: 48) Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hasil belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh siswa untuk mengatahui sampai dimana pemahaman siswa memahami materi yang telah disampaikan oleh guru. Hasil belajar juga dapat diartikan seberapa besar tingkat penguasaan siswa dalam aspek pemahamam dan penerapan yang dialami siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang umumnya diperoleh dari tes evaluasi hasil belajar yang diberikan kepada siswa setelah mendapat pengajaran. Tes hasil belajar merupakan tes yang digunakan untuk menilai hasilhasil pelajaran yang telah diberikan guru kepada peserta didik dalam jangka waktu tertentu. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu (1) faktor dari dalam diri siswa itu sendiri, dan (2) faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimiliki. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai seperti yang dikemukakan oleh Clark bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkunga. Sedangkan Carol berpendapat bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh lima faktor yakni (a) bakat belajar, (c) waktu yang 8 diperlukan siswa untuk menjelaskan pelajaran, (d) kualitas pengajaran, dan (e) kemampuan individu (Sudjana 2009: 39-40). 2.2 Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen) (Sanjaya, 2006: 242). Menurut Eggen dan Kauchak dalam (Trianto, 2012: 58) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Dengan pengunaan model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama yang berbeda latar belakangnya. Menurut Suprijono (2011: 54) bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentukbentuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas. Menurut Sanjaya (2006: 246-247) bahwa terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan. Prinsip pertama pembelajaran kooperatif adalah prinsip ketergantungan positif. Prinsip ini menunjukan bahwa dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat 9 tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota kelompok akan merasa saling ketergantungan. Prinsip kedua pembelajaran kooperatif adalah tangung jawab perorangan. Prinsip ini menunjukan bahwa keberhasilan kelompok tergantung pada setiap angotanya, maka setiap anggota kelomok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu biasa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama. Prinsip ketiga pembelalajaran kooperatif adalah interaksi tatap muka. Prinsip ini menunjukkan bahwa interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, latar belakang sosial, dan kemapuan akademik yang berbeda. Perbedaan macam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antara anggota kelompok. Prinsip keempat pembelajaran kooperatif adalah partisipasi dan komunikasi. prinsip ini sangat penting karena sebagai bekal merekadalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh karena itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap 10 siswa mempunyai kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah proses pembelajaran yang diorganisasikan dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen. Dalam kelompok kooperatif siswa dapat bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masingmasing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing, dan saling menghargai antar kelompok. 2.3 Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe STAD Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secra heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok (Trianto, 2007: 52). Menurut Slavin (2005: 149) bahwa membentuk tim/kelompok STAD mewakili seluruh bagian didalam kelas. Didalam kelas yang terdiri dari separuh laki-laki dan separuh perempuan, tiga perempat kulit putih dan seperempat minoritas, boleh saja membentuk kelompok yang terdiri 4 – 5 orang yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan, dan tiga siswa kulit putih serta satu siswa minoritas. Kelompok tersebut juga harus terdiri dari seorang siswa berprestasi tinggi, rendah, dan sedang. Tipe ini merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada 11 adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Ibrahim, dkk dalam (Trianto, 2007: 54) yang tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD Fase Fase-1 Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa Fase-2 Menyajikan/menyampaikan informasi Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Fase-5 Evaluasi Tingkah laku guru Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemostrasikan atau lewat bahan bacaan Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasika hasil kerjanya Fase-6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai Memberikan penghargaan baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber:Ibrahim, dkk dalam (Trianto, 2007: 54) Pembelajaran kooperatif tipe STAD ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang cukup 12 sederhana. Dikatakan demikian karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan masih dekat kaitanya dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat pada fase 2 dari fase-fase pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu adanya penyajian informasi atau materi pelajaran. Perbedaan model ini dengan model konvensional terletak pada adanya pemberian penghargaan pada kelompok. 2.4 Pendekatan Problem Posing Menurut Lin (dalam Mahmudi, 2008: 4) bahwa problem posing dapat diartikan sebagai pembentukan soal berdasarkan konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui. Problem posing merupakan pembentukan soal baru oleh siswa dari soal yang telah diberikan oleh guru atau masalah yang telah diberikan oleh guru. Problem posing meliputi beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan beberapa perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan dengan syaratsyarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan. Menurut Chotimah dan Dwitasari (2009: 115) bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris. Sebagai padanan katanya dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal)” Problem posing merupakan salah satu strategi pembelajaran yang yang dapat mengaktifkan peserta didik, mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan kreaktif yang diharapkan dapat membangun sikap positif, dan meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi masa depan yang lebih banyak tantangan. 13 Dari pengertian yang telah di kemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa problem posing merupakan sebagai strategi pembelajaran yang menekankan siswa untuk dapat menyusun atau membuat soal setelah kegiatan pembelajaran dilakukan. Dengan mengunakan pendekatan problem posing dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan bertanya. Problem posing (pembentukan soal) merupaka suatu pendekatan pada kegiatan membentuk soal, yang memugkinkan penigkatan kemampaun siswa dalam menyelesaikan soal sebab mereka sudah biasa menyusun atau membuat soal. Adapun langkah-langkah pendekatan problem posing menurut Chotimah dan Dwitasari (2009: 118) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Langkah-langkah Pendekatan Problem Posing No Kegiatan pembelajaran 1. Guru menyampaikan materi sebagai pengatar 2. Peserta didik diminta untuk menyusun/ membentuk soal 3. Soal yang disusun didiskusikan dengan teman 4 Guru membahas jawaban soal yang dibentuk peserta didik Sumber: Chotimah dan Dwitasari (2009: 118) Adapun kelebihan dan kekurangan pendekatan problem posing menurut Chotimah dan Dwitasari (2009: 118) yaitu kelebihanya adalah a). peserta didik diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dihendaki, b). peserta didik dapat belajar aktif dan mandiri. Ia membangun pengetahuan dari yang sederhana menuju. pengetahuan yang kompleks, c). Guru dapat melihat sejauh mana daya serap peserta didik terhadap materi pembelajaran, dan d). Melatih sikap kritis dn cara berfikir divergen. Peserta didik lebih peka terhadap masalah yang timbul disekitarnya dan mampu memberikan penyelesaian yang cerdas. Sedangkan kekurangnya adalah a). tidak setiap pertanyaan yang 14 diajukan oleh peserta didik merupakan suatu pertanyaan yang berbobot karena pertanyaan berkualitas tidak muncul begitu saja, b). perlu waktu untuk belajar mengajukan pertanyaan yang baik, dan c). untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkualitas perlu banyak latiha. Berikut ini merupakan hasil pengembangan penulis mengenai langkahlangkah model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan problem posing seperti tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengembangan Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan problem posing No Langkahlangkah Jenis-jenis kegiatan 1. Pendahuluan 1. Membuka kegiatan pembelajaran 2. Memberikan motivasi (Apresepsi) 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran 2. Inti 3. Penutup 4. Menjelaskan materi pembelajaran 5. Memberikan contoh soal (merumuskan soal) 6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya hal-hal yang belum di pahami 7. Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok secara heterogen 8. Memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk merumuskan soal dari situasi yang diberikan kedalam LKS problem posing 9. Mempersilahkan kepada setiap kelompok untuk saling menukarkan hasil rumusan soalnya kepada kelompok lain untuk dikerjakan kelompok tersebut. 10. Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengalami kesulitan 11. Mempersilahkan kepada setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan kelompok 12. Memberikan penghargaan kelompok 13. Untuk mengecek pemahaman siswa, diberikan quis 14. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan 15. Menutup kegiatan pembelajaran 15 2.5 Metode Ceramah Menurut Majid (2007: 137) bahwa metode caramah merupakan cara menyampaikan materi ilmu pengetahuan kepada anak didik dilakukan secara lisan. Yang perlu diperhatikan, hendaknya ceramah mudah diterima, isinya mudah dipahami serta mampu menstimulasi pendengar (anak didik) untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar dari isi ceramah yang disampaikan. Djamarah dan Zain (2006: 97-98) menjelaskan bahwa metode ceramah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Metode ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangannya sebagai berikut: Kelebihan metode ceramah yaitu, guru mudah menguasai kelas, mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas, dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar, mudah mempersiapkan dan melaksanakanya, dan guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik. Sedangkan kelemahan metode ceramah yaitu mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata), yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) yang besar menerimanya, bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan, guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramanya, ini sukar sekali, dan menyebabkan siswa menjadi pasif. Metode ceramah dapat di artikan sebagai cara menyajikan materi pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada kelompok siswa (Sanjaya, 2006: 147). Metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari guru 16 ataupun siswa. Guru biasanya belum merasa puas jika dalam proses pembelajaran tidak melakukan ceramah. Demikian dengan siswa, mereka akan belajar jika ada guru yang memberikan materi pelajaran menggunakan ceramah, sehingga ada guru yang berceramah berarti ada proses belajar, dan tidak ada guru yang berceramah berarti tidak ada proses belajar mengajar. Agar metode ceramah berhasil, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, baik tahap persiapan, maupun tahap pelaksanaan. Tahap persiapan yaitu merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menentukan pokok-pokok materi yang akan diceramahkan, dan mempersiapkan alat bantu. Tahap pelaksanaan yaitu langkah pembukaan, langkapenyajian, dan langkah mengakhiri atau menutup ceramah (Sanjaya, 2006: 149-152) Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode ceramah merupakan metode penuturan bahan pelajaran terhadap peserta didik secara lisan, atau penyampaian materi secara lisan. Penyampaian materi dengan menggunakan metode ceramah dapat diikuti oleh peserta didik dalam jumlah yang lebih besar, dan mudah menjelaskan materi, tetapi dengan menggunakan metode ceramah menyebabkan siswa menjadi pasif disebabkan oleh jumlah siswa yang besar sehingga guru tidak memperhatikan peserta didik. 2.6 Tinjauan Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan (Ksp) Dalam mempelajari materi kelarutan dan hasil kali kelarutan terdiri dari beberapa sub pokok bahasan yaitu kelarutan dan hasil kali kelarutan, pengaruh ion senama, pengaruh pH terhadap kelarutan, dan reaksi pengendapan. Pokok bahasan pertama yaitu kelarutan dan hasil kali kelarutan. Menurut 17 Purba (2007: 266) menjelaskan bahwa kelarutan adalah jumlah maksimum zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut. Kelarutan adalah banyaknya suatu zat secara maksimum yang dapat larut dalam suatu pelarut (Hidayat, Supriyadi dan Mardowo, 2000: 160). Dari beberapa pengertian kelarutan di atas dapat disimpulkan bahwa kelarutan adalah banyaknya maksimum zat yang dapat larut dalam suatu pelarut. Kemampuan garam-garam yang dapat larut dalam air berbeda-beda, ada garam yang mudah larut dalam air dan ada pula garam yang sukar larut dalam air. Adapun garam yang mudah larut adalah seperti natrium klorida (NaCl), sedangkan garam yang sukar larut dalam air adalah perak klorida (AgCl). Untuk zat yang tergolong mudah larut, kelarutanya dinyatakan dalam gram per 100 gram air. Namun untuk yang tergolong sukar larut kelarutan dinyatakan dalam mol L-1, sama dengan kemolaran. Garam-garam yang mudah larut dan sukar larut berdasarkan nilai Kspnya yaitu seperti pada tabel dibawah ini: Senyawa Al(OH)3 BaCO3 BaCrO4 PbCl2 PbSO4 FeC2O4 Sumber: Lukum (2008: 26) Nilai Ksp 2 x 10-33 8,1 x 10-9 2,4 x 10-10 1,6 x 10-5 2,0 x 10-4 2,1 x 10-7 Hasil kali kelarutan merupakan hasil kali konsentrasi ion-ion tersebut yang dipangkatkan koefisienya (Hidayat, Supriyadi dan Mardowo, 2000: 162). Menurut Purba (2007: 267) menjelaskan bahwa tetepan hasil kali kelarutan adalah hasil 18 perkalian konsentrasi ion-ion dalam larutan jenuh, masing-masing dipangkatkan dengan koefisien ionisasinya, dan dinyatakan dengan lambang Ksp. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil kali kelarutan adalah hasil perkalian konsentrasi ion-ion yang dipangkatkan dengan koefisien masing-masing. Ksp disebut juga konstanta hasil kali kelarutan (solubility product constant), yaitu hasil kali konsentrasi tiap ion dipangkatkan dengan koefisiennya masing-masing (Syukri,1999:434). Secara umum, hubungan antara kelarutan (s) dengan tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) untuk elektrolit AxBy dapat dinyatakan sebagi berikut. AxBy (s) s y+ xA (aq) + yBx- (aq) = Ksp = [Ay+]x [Bx-]y = (xs)x (ys)y = xx yy s(x+y) xs ys Hubungan kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp) suatu zat adalah semakin besar harga Ksp semakin besar pula kelarutanya. Dalam mempelajari kelarutan dan hasil kali kelarutan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan yaitu ion senama dan pH. Dengan adanya penambahan ion senama (ion sejenis) kedalam larutan akan mempengaruhi kesetimbangan. Penambahan ini menyebabkan kelarutan semakin mengecil (endapan bertambah) sesuai dengan asas le chatelier yaitu semakin banyak konsentrasi ion sejenis, maka kelarutan akan semakin kecil. Bila kita melarutkan AgCl dalam larutan NaCl, maka akan terdapat ion sejenis yaitu ion Cl-Jika dalam larutan terdapat ion sejenis, maka kesetimbangan akan bergeser kekiri sehingga akan menurunkan kelarutan dan makin mudah mengendap. (Sugiati,2011:257) 19 Kelarutan endapan dalam air berkurang jika larutan tersebut mengandung ion senama penyusun endapan, sebab pembatasan Ksp baik kation maupun anion yang ditambahkan, mengurangi ion senama penyusun endapan sehingga endapan garam bertambah. Hal ini berfungsi untuk menyempurnakan pengendapan (Khopkar, 1990: 63-64). Tingkat keasaman larutan (pH) dapat mempengaruhi kelarutan dari berbagai jenis zat. Suatu basa umumnya lebih larut dalam larutan yang bersifat asam, dan sebaliknya lebih sukar larut dalam larutan yang bersifat basa, dan garam-garam yang berasal dari asam lemah akan lebih muda larut dalam larutan yang bersifat asam kuat. Untuk mengetahui apakah dalam larutan tersebut terjadi endapan, belum jenuh, atau tepat jenuh dari pencampuran dua zat, maka harus dibandingkan dengan hasil kali konsentrasi ion-ion yang dicampurkan (Qc) dengan harga Ksp. Kita dapat mengeluarkan suatu ion dari larutannya melalui reaksi pengendapan. Sebagiman telah di pelajari ketika membahas kesetimbangan kimia, hasil kali konsentrasi seperti dirumuskan tetapan kesetimbangan (bukan konsentrasi setimbang) kita sebut Qc. jadi secara umum, apakah keadaan suatu larutan belum jenuh, jenuh, atau terjadi pengendapan, dapat ditentukan dengan memeriksa nilai Qc-nya dengan ketentuan sebagai berikut: a) jika Qc < Ksp, larutan belum jenuh, b) jika Qc = Ksp, larutan tepat jenuh, dan c) jika Qc > Ksp, terjadi pengendapan (Purba, 2007: 274). 20 2.7 Kajian Relevan Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan diantaranya oleh Supartono, Wijayati, dan Harum Sari (2009) mengemukakan bahwa dengan menggunakan metode student teams achievement divisions (STAD) melalui pendekatan chemo-entrepreneurship terhadap materi larutan Asam-Basa pada siswa kelas XI IA semester 2 SMA Negeri 1 Blora dapat meningkatkan hasil belajar siswa, diman skor rata-rata pre test kelas eksperimen lebih tinggi yaitu 62,88, sedangkan kelas kontrol adalah 60,02. Sedangkan skor post test kelas eksperimen sebesar 72,16, sedangkan kelas kontrol sebesar 67,7, Penelitian selanjutnya Sriwenda, Mulyani, dan Yamtinah (2013) mengemukakan bahwa dengan menggunakan model problem posing untuk meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar siswa pada materi laju reaksi Kelas Xi IPA 5 SMA Negeri 1 Boyolali Tahun Pelajaran 2012/2013 dapat meningkatkan kreativitas siswa yaitu 43,75% pada siklus I meningkat menjadi 53,10% pada siklus II dan Persentase ketuntasan belajar siswa mencapai 69% pada siklus I meningkat menjadi 81,25% pada siklus II. Penelitian selanjutnya oleh Astra, Umiatin, dan Jannah (2012) menyatakan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran problem posing tipe pre-solution posing terhadap hasil belajar fisika dan karakter siswa SMA, dapat meningkat dimana kelas yang diajar dengan model Problem Posing tipe Pre-Solution Posing lebih besar dari pada kelas yang tidak diajar dengan model Problem Posing tipe Pre-Solution, besar pengaruhnya sebesar 12,76. 21 Dari ketiga penelitian tersebut, dapat dilihat perbedaan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti melihat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) melalui pendekatan problem posing dan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. 2.8 Kerangka Berfikir Dalam pembelajaran, khususnya pelajaran kimia sangat dibutuhkan model pembelajaran yang tepat. Salah satu yang dapat dilakukan guru adalah mampu memilih dan menggunakan model pembelajaran dalam pengajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi yang diajarkan, dan karakteristik siswa agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik. Dalam pembelajaran guru masih cenderung menggunakan metode ceramah, dengan menggunakan metode ceramah maka proses pembelajaran terkesan di didominasi oleh guru sementara siswa menjadi pasif dalam menerima materi dan berdampak pada hasil belajar siswa, sehingga kurangnya keberanian siswa untuk bertanya atau menjawab pertanyaan pada saat pembelajaran. Seorang guru harus kreaktif dalam menerapkan model pembelajaran. Siswa akan aktif apabila model pembelajaran yang digunakan diterapkan secara tepat pada materi yang diajarkan. Dengan demikian, melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui pendekatan problem posing, diharapkan tujuan proses pembelajaran akan tercapai dan siswa dapat lebih termotivasi dalam proses pembelajaran. 22 Gambar 1. Skema kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Guru Kelas kontrol Kelas eksperimen Topik kelarutan dan hasil kali kelarutan Metode Ceramah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD melalui Pendekatan Problem Posing Hasil Belajar 2.9 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) melalui pendekatan problem posing dan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.