BAB IV HASIL PENELITIAN A. Subjek AJ 1. Pengalaman Berhijab Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara (AJ:98-103a). Dia memiliki adik laki-laki yang sedang menempuh pendidikan di kota Surabaya (AJ:98-103b ; AJ:105b). Dalam kesehariannya subjek berada di rumah hanya dengan ibunya saja, karena ayahnya bekerja di Jakarta (AJ:105b). Meskipun jarang bertemu dengan beberapa anggota keluarganya, subjek mengaku bahwa hubungannya dengan keluarga cukup dekat. Kedekatan tersebut berupa sharing satu sama lain dan terkadang subjek bersama keluarganya pergi jalan-jalan jika seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Selain itu terkadang dirinya mengunjungi adiknya yang berada di Surabaya (AJ:24 ; AJ:105a). Subjek mulai berhijab pada tahun 2011 yaitu setelah lulus S1(AJ:14 ; AJ:71a). Sebelumnya subjek tidak pernah memiliki latar belakang sekolah keislaman atau madrasah yang biasanya mengharuskan para siswa perempuan memakai seragam berjilbab, namun dia mengaku bahwa dirinya berasal dari keluarga yang Islami (AJ:26 ; AJ:114-117). Awalnya subjek merasa bingung untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai berhijab. Hal tersebut dirasa sebagai sebuah kendala tersendiri bagi subjek dan menjadi konflik yang bergulat dalam dirinya 66 67 (AJ:34 ; AJ:75a). Adapun disebut sebagai suatu konflik karena di satu sisi subjek menginginkan dirinya menjadi seorang muslimah yang lebih baik lagi dengan berhijab, namun di sisi yang lain subjek masih bingung menentukan kapan waktu yang tepat untuknya merealisasikan keinginan tersebut. Subjek mengaku bahwa ibu dan sahabatnya merupakan orang yang mempengaruhi keputusannya berhijab, mengingat ibu subjek memang telah lebih dulu memakai hijab (AJ:16 ; AJ:97). Di tengah kebingungannya, subjek mendapat nasihat dari ibunya bahwa waktu yang tepat untuknya mulai memakai hijab yaitu ketika subjek sudah benarbenar mantap dan semakin cepat akan semakin baik. Akhirnya setelah berdiskusi dengan ibunya, subjek memutuskan bahwa setelah lulus S1 adalah waktu yang tepat untuk dirinya mulai berhijab (AJ:75b ; AJ:110113a ; AJ:110-113b). Alasan subjek memilih waktu tersebut karena keputusannya berhijab sekaligus digunakan sebagai perayaan kelulusannya (AJ:77). Padahal subjek mengaku selama kuliah dia tidak memikirkan atau memiliki rencana untuk berhijab sebelumnya (AJ:78-83a). Subjek juga mengaku hal tersebut terjadi secara tiba-tiba dan mengalir begitu saja seperti mendapat hidayah (AJ:78-83b). Dia hanya berpikir bahwa dirinya biasa-biasa saja dan sebagai manusia biasa harus selalu menjadi lebih baik apalagi sebagai seorang muslimah. Oleh karena itu dengan berhijab subjek bertujuan untuk memperbaiki dirinya agar menjadi muslimah yang lebih baik lagi (AJ:18 ; AJ:85a ; AJ:85b ; AJ:169a). 68 Saat memakai hijab awalnya subjek merasa canggung dengan teman-temannya di lingkungan kampus karena mereka mengetahui keadaan subjek yang sebelumnya tidak berjilbab, tetapi seiring dengan berjalannya waktu subjek merasa terbiasa (AJ:20 ; AJ:87a). Namun di luar itu subjek merasa lebih baik dan lebih nyaman setelah dirinya berhijab (AJ:56 ; AJ:177). Subjek juga merasa lebih percaya diri. Kepercayaan diri tersebut dirasakannya tiba-tiba muncul dalam dirinya dan bukan merupakan perasaan bahwa dirinya telah mampu menjadi seorang muslimah yang baik (AJ:182-185a ; AJ:182-185b). Selain itu subjek juga merasa senang ketika melihat orang lain yang telah berhijab (AJ: 50). Dan bagi orang lain yang belum berhijab, subjek mempunyai harapan agar orang tersebut segera dibukakan pintu hatinya untuk mau menutup auratnya (AJ:52). Selain mendapatkan kenyamanan, subjek juga merasa mendapat perlindungan, menjadi lebih waspada dan berhati-hati (AJ:160-165a ; AJ:167). Selain itu subjek mengaku saat ini hubungan sosialnya lebih terjaga dan dihormati setelah dirinya berhijab (AJ:36). Dalam hal ibadah subjek juga merasakan adanya perubahan ke arah yang lebih baik lagi yaitu mengerjakan shalat lima waktu lebih awal, meningkatkan ibadah sunnah, mendengarkan tausiyah dan mencoba mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dari tausiyah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berhijab mampu menyadarkan subjek agar terus berusaha untuk memperbaiki diri (AJ:169b ; AJ:170-175). Adanya manfaat tersebut 69 membuatnya ingin terus lebih baik lagi dan tetap istiqomah untuk menjalankan perintah Allah (AJ:54 ; AJ:157). “Ehm… Gak sepenuhnya juga, soalnya ya aku manusia biasa tapi kan dengan berhijab ya aku maksudnya untuk memperbaiki diri. Tapi setelah berhijab aku kan jadi sadar, maksudnya ‘oh aku sudah berjilbab’. Jadi meski udah shalat lima waktu, mungkin harus lebih ditingkatkan, shalatnya harus lebih awal-awal kaya gitu. Jadi ya tetep sih memperbaiki diri.” 2. Respon Lingkungan Mengingat keluarga subjek berperan dalam mempengaruhi subjek untuk memakai hijab, subjek mendapat respon positif dari lingkungan keluarga setelah mereka mengetahui bahwa subjek telah memutuskan untuk mulai berhijab. Respon positif yang didapat subjek adalah berupa dukungan. Dukungan yang diberikan oleh pihak keluarga saat itu adalah masukan tentang kapan waktu yang tepat untuknya mulai berhijab dan bagaimana cara memakai hijab yang benar. Selain itu subjek juga mendapat pujian yang menunjukkan kelegaan keluarga terkait keputusan yang diambilnya (AJ:22 ; AJ:93-95 ; AJ:28). Tidak hanya dari pihak keluarga, respon positif juga didapat subjek dari teman-temannya saat mengetahui dirinya sudah berhijab (AJ:30 ; AJ:32). Respon tersebut berupa komentar-komentar positif yang dianggap subjek sebagai dukungan moral. Bentuk dari dukungan moral yang di berikan teman-teman di semua lingkungan sosialnya adalah berupa support doa agar subjek dapat istiqomah dan bisa lebih baik lagi kedepannya (AJ:118-121 ; AJ:127a ; AJ:127b). Selain itu subjek merasa 70 tidak ada komentar lain yang membuatnya merasa tidak enak (AJ:87b). Adapun dukungan khusus misalnya ajakan untuk mengikuti kegiatan keagamaan di dapat subjek dari komunitas Hijabers Malang (AJ:122125). 3. Pengalaman dalam Komunitas Selang beberapa bulan setelah subjek memakai hijab, subjek mendapat informasi dari media sosial yaitu Twitter mengenai pembukaan dan peresmian komunitas Hijabers Malang yang akan mengadakan first gathering. Berawal dari rasa ingin tahu dan adanya ajakan dari seorang teman akhirnya subjek datang menghadiri acara tersebut. Setelah datang dan mengikuti acara first gathering yang diadakan oleh komunitas Hijabers Malang pada tahun 2011, subjek memutuskan untuk bergabung dalam komunitas tersebut (AJ:38-39a ; AJ:38-39b ; AJ:67 ; AJ:71b). Setelah bergabung dan menjadi anggota komunitas Hijabers Malang, sampai saat ini subjek tergolong aktif dalam mengikuti kegiatankegiatan yang ada dalam komunitas tersebut (AJ:42). Adapun kegiatan yang paling disukai subjek adalah tausiyah, tadabur Al-qur’an dan gathering (AJ:44). Sebagai anggota dalam komunitas Hijabers Malang subjek merasa hubungannya dengan anggota yang lain cukup dekat (AJ:46). Kedekatan tersebut digambarkan subjek terjadi tidak hanya ketika mereka sedang mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas saja tetapi juga ketika berada di luar hal tersebut, misalnya keluar bersama, jalan- 71 jalan bareng, menemani salah satu anggota mencari keperluan dll (AJ:131-133). Selain itu subjek juga menilai bahwa komunitas Hijabers Malang cukup kompak. Disini subjek mengartikan kekompakan tidak identik dengan kebersamaan, dalam arti yang kompak harus selalu bersama (AJ:202-205a). Namun dengan alasan lain subjek mengartikan kekompakan dalam komunitas tersebut dengan adanya kebiasaan untuk saling memberikan hal positif satu sama lain. Hal tersebut sering terjadi ketika komunitas akan mengadakan suatu acara maka para anggotanya tidak segan-segan memberikan bantuan agar acara tersebut dapat berjalan dengan baik. Subjek merasa karena mereka berada dalam satu komunitas yang sama, maka tidak ada salahnya bekerja sama untuk menciptakan sesuatu yang positif untuk orang lain (AJ:202-205b). “Kekompakan bukan berarti harus terus bareng-bareng kalau aku menilai. Ya kalo dari HM sendiri sih ya kalo’ aku bilang cukup kompak sih ya, ya bisa dibilang cukup kompak. Dalam artian misal eee,, kita mau ada acara trus habis itu langsung aja, ini minta tolong siapa yang ngurusin ini,, langsung ada yang ngomong. Jadi maksudnya kita ya merasa karna kita dalam satu komunitas ya jadi gimana caranya biar kita sama2 bisa ngasih positif ke yang lain. Jadi ya gak ada salahnya kalo kita itu bekerja sama buat sesuatu hal yang positif buat orang lain. Gitu..” Sekalipun subjek merasa dekat dan kompak dengan sesama anggota di komunitas Hijabers Malang, subjek merasa tidak ada perubahan pergaulan terlebih saat mengikuti organisasi di lingkungan kampus (AJ:48b). Setelah bergabung dalam komunitas Hijabers Malang subjek menjadi lebih luas wawasannya dan lebih mengetahui bahwa pandangan 72 orang itu bermacam-macam (AJ:195a), contohnya dalam memandang kewajiban berhijab yang diaplikasikan dengan cara yang berbeda-beda oleh para anggota dalam komunitas tersebut. Pengetahuan tersebut berasal dari sharing atau diskusi yang dilakukan subjek dengan para anggota komunitas Hijabers Malang yang lain. Subjek mengaku bahwa mereka sering berdiskusi mengenai gaya hidup muslimah berhijab. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan, subjek mendapat masukan-masukan tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang muslimah yang baik (AJ:190-193). Baginya diskusi dengan sesama anggota komunitas Hijabers Malang itu lebih bisa bicara dan lebih enak suasananya dibandingkan hanya dengan membaca buku-buku Islami, sehingga subjek merasa hal tersebut adalah hal yang lebih positif karena dapat menambah ilmu (AJ:201). Selain itu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas Hijabers Malang seperti tausiah dan ngaji bareng, subjek merasa hal tersebut mampu mempengaruhi kualitas keagamaannya menjadi lebih baik. Pengaruh tersebut diakuinya berasal dari isi tausiah dan kajian Al-Qur’an yang disampaikan oleh ustadz atau ustadzah (AJ:187-189). Adanya manfaat-manfaat tersebut membuat subjek merasa mendapatkan hal-hal yang positif selama bergabung menjadi anggota komunitas Hijabers Malang. Sehingga subjek merasa tidak ada salahnya untuk tetap aktif dan terus berada dalam komunitas tersebut selama dia masih berada di Malang dan tidak sibuk bekerja (AJ:196-199 ; AJ:201). 73 “Ya karena itu tadi,,, hal-hal positif yang bisa aku dapatkan kenapa nggak, selama itu positif buat aku, trus maksudnya nambah ilmu buat aku, kenapa kok ndak tak terusin. Lagian kalo aku nggak ikut HM pun, misalkan akunya sering baca buku islam dan lain sebagainya, tapi ini loh ada yang lebih positif, apa ya maksudnya lebih bisa bicara, sharing dengan teman-teman yang lain kan lebih enak suasananya, jadi ya gak ada salahnya, ya tak terusin aja.” 4. Fashion Sekalipun subjek menjadi salah satu anggota di komunitas Hijabers Malang yang identik dengan konsep stylish dan fashionable dalam berbusana, subjek mengaku bahwa perkembangan mode atau fashion bukanlah hal yang utama, yang harus menjadi patokan bagi dirinya (AJ:137-143a). Menurut subjek mengikuti perkembangan adalah hal yang wajar dan boleh-boleh saja dilakukan untuk menjadi pengetahuan agar tidak ketinggalan zaman. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus diikuti, karena subjek sendiri mengaku bahwa dia bukanlah orang yang mengharuskan diri untuk mengikuti suatu trend busana yang sedang hits atau populer dan digemari banyak orang. Baginya mengikuti perkembangan mode haruslah cocok dan sesuai dengan kebutuhan, karena hal tersebut yang akan membuatnya merasa nyaman. Saat ini model busana yang menurutnya sesuai dengan kebutuhan dan mampu membuatnya nyaman adalah dengan menggunakan celana. Selain itu subjek juga tidak mau buat pusing dengan masalah fashion asalkan hal tersebut sesuai dengan syari’at Islam (AJ:137-143b ; AJ:137-143d ; AJ:137-143e ; AJ:217). 74 “Ehmm,,,, sejauh itu,,,, ya kita mengikuti perkembangan memang gak ada salahnya ya biar gak apa namanya, ya kita taulah selain untuk pengetahuan tapi sebenarnya aku gak yang terlalu harus mengikuti perkembangan nggak, selama itu cocok dan itu bagus buat aku ya gak masalah, tapi aku gak terlalu yang wah sekarang musimnya ini aku harus pake yang ini, enggak. Jadi mengikuti ya gak apa-apa tapi kalo masalah fashion seperti apa, ya asalkan eee,, sesuai syari’at Islam gitu aja sih menurut aku, nggak tak buat pusing atau ya apa.” Namun setelah subjek masuk dalam komunitas Hijabers Malang, terdapat perubahan dalam penampilan atau gaya berbusananya. Subjek mengaku menjadi lebih variatif, dalam artian yang sebelumnya subjek hanya senang mengkombinasikan kaos panjang dengan celana panjang saja, sekarang subjek terkadang mengkombinasikannya dengan rok ataupun dress (AJ:48a). Ketika bepergian atau keluar rumah, subjek mengaku jika dirinya termasuk orang yang santai, apa adanya dan tidak terlalu berpatokan pada penampilan, sehingga tidak ada penampilan tertentu yang dirasa mampu mempengaruhi rasa percaya dirinya. Baginya yang penting sesuai dengan kebutuhan, seperti ketika akan kuliah dengan pergi ke acara pernikahan pasti menggunakan pilihan busana yang berbeda. Dia juga tidak mempermasalahkan gaya berhijab tertentu karena yang terpenting adalah dia tetap berhijab sekalipun hanya dengan jilbab paris biasa dan tidak dengan gaya berhijab yang “wah” atau “gimana-gimana” (AJ:206-209 ; AJ:212-215a ; AJ:212-215b). “Enggak sih kalo aku gak terlalu berpatokan sama penampilan, ya pokoknya aku berjilbab ya udah, jadi misalkan aku gak pake jilbab yang gimana-gimana misalkan mek parisan tok ya udah yang penting aku tetep berhijab kaya 75 gitu, masalah pakaianku seperti apa,,,ya soalnya aku orangnya emang nyantae ya jadi apa adanya, jadi gak yang harus wohhh aku mau kesini aku harus pake kaya ginigini,,owh ya nggak, jadi aku ya seadanya aja, nggak,,nggak terpatok pada satu,,,apa ya, misalkan aku mau keluar rumah jadi aku harus pake yang kaya gini-gini. Kecuali, jadi misalkan kaya’,,, ehm ya aku kan menyesuaikan juga, jadi mau ke kampus pasti kan bajunya juga beda sama kaya’ mau kondangan.” Adapun model hijab yang sering digunakan oleh subjek adalah jilbab paris dan pashmina (AJ:12). Subjek menilai kerapian dalam berbusana sama seperti pepatah jawa yang menyebutkan “aji ning rogo soko busono”. Sehingga subjek menilai kerapian sebagai penghormatan terhadap diri. Seseorang yang berpenampilan rapi berarti menghormati dan menghargai dirinya serta akan dipandang rapi oleh orang lain sesuai yang terlihat. Baginya segala sesuatu yang rapi enak untuk dilihat, meskipun subjek mengaku bahwa terkadang dirinya juga tidak selalu rapi (AJ:218-221a ; AJ:218-221b). “Rapi itu…. ee kalo’ rapi dalam berpakaian itu kan ada yang bilang, kalo’ di jawa kan aji ning rogo soko busono. Ya itu sih, kalo aku menilainya. Jadi kalo orang itu rapi kita jadi menilai orang kan juga keliatan oh orang ini rapi,, gini-gini,, dan kalo segala sesuatunya rapi kan emang kita ngeliatnya jadi enak. Ya meskipun aku kadang-kadang gak rapi juga. Hehehe.” Namun kerapian tidak hanya dinilai berdasarkan penampilan saja, subjek menuturkan bahwa kemampuannya dalam kerapian seseorang juga dilihat dari menjalankan suatu tugas. Sebjek akan mengatakan orang tersebut rapi ketika dia mampu mengerjakan 76 pekerjaannya dengan yang teratur dan menyelesaikannya tepat waktu (AJ:223). Untuk masalah kebersihan, subjek meyakini bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Ketika dia melihat sesuatu yang tidak bersih maka hal tersebut akan membuatnya merasa tidak nyaman. Sehingga subjek selalu berusaha untuk menciptakan kebersihan di lingkungan sekitarnya. Contohnya saat di rumah, ketika subjek mengetahui kondisi kamarnya sedang berantakan maka subjek akan merasa tidak nyaman dan sesegera mungkin membersihkannya (AJ:224-227). “Kalo kebersihan kan kita tau sendiri sebagian dari iman, jadi ya kita ngeliat,, kalo aku sih ngeliat sesuatu yang gak bersih itu gak nyaman, jadi ya gimana-gimana aku berusaha menciptakan lingkungan sekitarku itu bersih. Jadi kaya misal di rumah itu di kamar contoh kecilnya, misalkan apa pas berantakan itu kan rasanya wes gak nyaman gitu kan, ndangndang di bersihkan.” 5. Konsep Keimanan Bagi subjek keyakinan adalah kepercayaan atau sesuatu yang dipercaya (AJ:150-153). Sesuatu yang dirasakan sebagai hal yang benar dalam hatinya, yang membuat subjek merasa memiliki jalan hidup. Jalan hidup yang tidak mungkin membuatnya tersesat, sehingga selalu menjadi pegangan dalam hidupnya dan dijadikan dasar serta tujuannya dalam melakukan apapun (AJ:145-147a ; AJ:145-147b). Dengan adanya kepercayaan tersebut subjek memandang tujuan hidupnya adalah untuk beribadah (AJ:145-147c). 77 “Ya kalo gak ada agama sih, dasarnya hidup sekarang apa? kita tujuannya hidup itu buat apa? kalo aku sih tujuan hidup itu buat ibadah.” Kepercayaan subjek terhadap agama Islam menuntunnya untuk mengenal Allah dan Al-Qur’an. Di dalam hatinya, subjek bisa merasakan dan meyakini kebenaran Allah sebagai dzat yang memiliki sifat-sifat luar biasa yang dikenalnya dalam asmaul husna sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an (AJ:149). “Ehm…yang apa ya,,, gak bisa diukur dengan kata-kata tapi pasti ada. Ya kan kita tau sifatNya ada 99, dan semuanya itu ya memang terbukti. Ya susah sih, kalo dijelaskan dengan kata-kata karena itu kan apa yang ada di perasaan diri kita dan keyakinan kita jadi itu tergantung sama keyakinan sih.. Dan aku yakin.. Dan aku bisa merasakan.” Baginya Al-Qur’an tidak mungkin bohong. Al-Qur’an berisi hal-hal yang benar dan dapat dibuktikan serta dirasakan kebenarannya. Sehingga hal tersebut membuat subjek melaksanakan perintah yang ada dalam AlQur’an dan Allah lah yang Maha Besar menunjukkan jalan dari setiap hal yang telah disyari’atkanNya (AJ:58 ; AJ:159). 6. Kepercayaan Berhijab Meyakini kebenaran Al-Qur’an berarti membenarkan apa-apa yang ada di dalamnya. Salah satu hal yang ada dalam Al-Qur’an adalah perintah menutup aurat bagi wanita muslimah. Subjek memandang perintah menutup aurat merupakan kewajiban yang harus dijalani para muslimah, sehingga atas dasar itulah subjek menutup auratnya dengan berhijab (AJ:2a ; AJ:155a). Menurut subjek batasan hijab yang sesuai dengan syariat Islam adalah menutup aurat sampai tidak terlihat lekuk 78 tubuhnya, namun subjek mengaku masih dalam proses untuk menerapkan hal tersebut pada dirinya sendiri (AJ:8-10). Selain itu subjek mengetahui bahwa salah satu cara menutup aurat agar tidak terlihat lekuk tubuhnya adalah dengan menggunakan rok, tetapi sampai saat ini subjek mengaku masih lebih sering dan lebih nyaman menggunakan celana. Meski demikian subjek tetap berusaha untuk tidak menunjukkan bentuk tubuhnya secara berlebihan (AJ:195b). “Emm,, aku tau kok di islam itu perintahnya ya kita harus pakai ya kalau bisa perempuan itu ya harus menutup semuanya, jangan sampai kelihatan lekuk-lekuk tubunya jadi ya pakai rok terus, tapi ya aku menanggapinya itu dengan positif dan memang benar, tapi sejauh ini aku masih nyaman sering pake celana, jadi ya udah,,,,ya gak masalah dan aku sendiri juga berusaha, maksudnya pake celana juga gak sampai nunjuk-nunjukin kaya gitu.” Adanya perintah untuk berhijab sebagai salah satu syariat Islam dirasakan subjek sebagai sesuatu yang perlu, karena dengan adanya syariat tersebut subjek menjadi tahu bagaimana cara berhijab yang benar. Dengan memakai hijab subjek merasa mampu menjaga diri dari pandangan lawan jenis yang berniat kurang baik (AJ:2b ; AJ:4-6). Sehingga bisa dikatakan bahwa subjek menjadikan hijab sebagai pelindung bagi dirinya (AJ:160-165b). Hal tersebut membuat subjek ingin terus menjalankan kewajiban berhijab selama dia mampu menjalankannya (AJ:155b). Sekalipun ada pendapat yang mengatakan bahwa hijab merupakan bagian dari budaya arab dan bukan bagian dari syariat Islam, subjek tidak mempermasalahkan hal tersebut dan tetap 79 berpegang teguh meyakini perintah berhijab seperti yang ada dalam AlQur’an (AJ:179). 7. Analisis Berdasarkan data yang didapat dari subjek AJ, diketahui bahwa dia menjelaskan keimanannya sebagai berikut, iman yang diyakini oleh subjek merupakan keyakinan dan kepercayaan terhadap sesuatu yang dirasa benar. Kebenaran tersebut mengacu pada sesuatu yang dianggap transenden, yang tidak bisa dijelaskan maupun digambarkan dengan katakata dan hanya bisa dirasakan dalam dirinya. Perasaan yakin dan percaya tersebut bertumpu pada suatu dzat yang dia kenal dalam agamanya dengan istilah Allah. Kepercayaan subjek terhadap Allah membuatnya yakin untuk menjalankan hal-hal yang telah diatur dalam agama Islam, yang kemudian hal tersebut dijadikan dasar dan pegangan subjek dalam menjalani kehidupannya. Dengan kata lain segala hal yang dilakukan dalam hidupnya akan bertumpu pada sesuatu yang diyakininya sebagai suatu kebenaran tersebut. Dengan demikian selanjutnya subjek merasa mempunyai tujuan di dalam hidupnya. Bagi subjek tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah semata. Selain meyakini kebenaran Allah, subjek juga meyakini kebenaran Al-Qur’an. Mengingat Al-Qur’an merupakan kitab yang diturunkan Allah untuk hambanya, subjek meyakini bahwa segala hal yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah benar dan tidak mungkin jika di dalamnya terdapat kebohongan. Keyakinan tersebut akhirnya membuat subjek 80 memutuskan untuk mengenakan hijab, karena sejatinya berhijab adalah perintah Allah yang tetulis dalam Al-Qur’an yang ditujukan kepada para muslimah sebagai upaya untuk menutup aurat. Sekalipun hijab menjadi bagian dari fashion berbusana yang terus menerus mengalami perkembangan mode, subjek tidak serta merta mengikuti perkembangan yang ada begitu saja. Baginya, mengikuti perkembangan mode bolehboleh saja asalkan sesuai dengan syariat Islam, cocok dengan dirinya dan sesuai dengan kebutuhan. Pengakuan subjek mengenai hal tersebut sesuai dengan data observasi dan dokumentasi yang didapat oleh peneliti. Berdasarkan catatan observasi yang diambil selama wawancara berlangsung diketahui bahwa dalam berpenampilan, subjek AJ terlihat tidak berlebihan saat berada di lingkungan kampus. Sedangkan berdasarkan dokumentasi foto penampilan subjek terlihat lebih variatif dengan model busana dan hijab yang beragam, dimana foto tersebut menggambarkan subjek bersama anggota komunitas Hijabers Malang yang lain tengah melakukan sesi pemotretan untuk keperluan kepengurusan (commitee) komunitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam berbusana ia sesuaikan dengan kebutuhan dan tetap berhijab sebagai bentuk pengamalan perintah menutup aurat yang disyariatkan dalam Islam. Dengan cara seperti itulah subjek mampu merasa nyaman ketika berhijab, sehingga hijab disini bisa dikatakan sebagai bentuk iman yang diaplikasikan subjek dalam perilaku yang nyata. Namun tidak hanya 81 dengan berhijab, subjek mengaplikasikan bentuk keimanannya juga dalam hal kebersihan dan kerapian. Baginya kebersihan adalah sebagian dari iman. Ketika subjek mendapati sesuatu yang tidak bersih maka dirinya akan merasa tidak nyaman, sehingga dengan segera subjek berusaha untuk membersihkan hal tersebut dan slalu menciptakan kebersihan di lingkungan sekitarnya agar dirinya mampu merasa nyaman. Dalam hal kerapian subjek menilai penampilan seperti pepatah jawa yang mengatakan “aji ning rogo soko busono”, yang mana jika seseorang rapi maka akan dinilai rapi oleh orang lain yang melihatnya dan subjek berpendapat bahwa segala sesuatu yang rapi itu akan enak untuk dilihat. Adanya penggunaan pepatah jawa tersebut menunjukkan bahwa terdapat aspek local wisdom yang mempengaruhi keimanan subjek. Namun tidak hanya dari segi penampilan, subjek juga menilai kerapian seseorang dari caranya menyelesaikan suatu pekerjaan dengan teratur. Adanya perasaan-perasaan nyaman dalam diri subjek seperti kenyamanan saat berhijab, kenyamanan saat berada di lingkungan yang bersih dan kenyamanan saat melihat sesuatu yang rapi menunjukkan bahwa perilaku-perilaku hasil manifestasi keimanan mampu mempengaruhi perasaannya. Yang mana dengan adanya hal tersebut mampu memotivasi subjek untuk melakukan kembali hal-hal yang membuatnya merasa nyaman. Pengulangan perilaku manifestasi iman 82 nantinya akan kembali mempengaruhi perasaan subjek, jika perasaan itu positif maka akan mampu memberikan penguatan terhadap keimanannya. Adapun alur dari iman subjek dapat dilihat pada gambar 4.1 yang disajikan dalam bentuk skema. Skema tersebut juga menggambarkan proses berhijab yang dialami subjek. Pertama, sebelum subjek memutuskan untuk berhijab. Pada saat dirinya belum berhijab, subjek tidak pernah memiliki latar belakang pendidikan Islam secara formal. Namun meskipun demikian subjek mengaku memiliki keluarga yang agamis. Ibunya yang telah berhijab sejak lama ditambah kedekatan yang ada dalam keluarganya, mampu memotivasi subjek agar selalu berusaha menjadi seseorang yang lebih baik dan lebih baik lagi, sehingga muncul keinginan dalam diri subjek untuk memakai hijab. Kedua, saat subjek akan memutuskan untuk mulai berhijab. Pada saat tersebut subjek merasakan adanya konflik yang terjadi dalam dirinya. Konflik tersebut berupa pertentangan batin karena di satu sisi subjek ingin segera memakai hijab agar menjadi muslimah yang lebih baik lagi dan di sisi yang lain dia merasa bingung dalam memilih waktu yang tepat untuk mulai berhijab. Akhirnya subjek merasa hal tersebut menjadi kendala tersendiri bagi dirinya. Namun setelah berdiskusi dengan ibunya subjek memutuskan bahwa setelah lulus S1 adalah waktu yang tepat untuknya. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa keluarga sangat berperan dan berpengaruh bagi subjek dalam membuat keputusan. 83 Gambar. 4.1 Alur iman sadar sebagai dinamika kepercayaan eksistensial AJ 84 Kemudian yang ketiga adalah setelah subjek memakai hijab. Setelah dirinya memakai hijab, subjek mendapat respon yang positif baik dari pihak keluarga maupun teman-temannya. Keluarga subjek sangat senang mengetahui dirinya telah memutuskan untuk berhijab dan memberi dukungan serta masukan tentang cara memakai hijab yang benar. Adapun respon positif dari teman-temannya adalah berupa dukungan moral. Maksud dari dukungan moral disini adalah support doa agar subjek mampu istiqomah dalam menjalani keputusannya. Hal-hal yang dirasakan subjek setelah dirinya memakai hijab yaitu subjek merasa semakin nyaman dan percaya diri. Dia juga merasa lebih hati-hati dan waspada dalam bersikap, serta lebih dihormati di lingkungan sosialnya. Setelah subjek memakai hijab, dia juga mendapat pengalaman baru dengan bergabung menjadi anggota dalam komunitas Hijabers Malang. Selama bergabung, subjek termasuk anggota yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas tersebut. Subjek merasa mendapatkan manfaat-manfaat yang positif setelah dirinya bergabung dengan komunitas Hijabers Malang. Adapun manfaat yang telah didapat subjek adalah bertambahnya teman, ilmu dan kualitas keagamaannya. 85 B. Subjek FA 1. Pengalaman Berhijab Subjek merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang merupakan anak perempuan terakhir dan paling kecil diantara ketiga kakaknya (FA:39-42). Dalam lingkungan sosialnya subjek mengaku telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil. Subjek juga menyebut bahwa sejak TK hingga SMA dirinya disekolahkan di sekolah-sekolah Islam (FA:29-38a). Pendidikan agama didapat baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggal subjek, sehingga bisa dikatakan bahwa dia dibesarkan dengan cara yang Islami oleh lingkungan sekitarnya. Adapun pendidikan agama yang diperoleh subjek dari orangtuanya adalah bukan dengan cara memerintah melainkan dengan pendampingan dan pemberian contoh (FA:44a ; FA:44b). “Kalo’ masalah Islam alhamdulillahnya dari kecil kita dididik dengan cara Islam.Lagi pula ee orangtuaku bukan menyuruh ya, kita didampingi. Misalnya kita ngaji, bukan disuruh ngaji tapi orangtua ngaji akhirnya kita jadi ikut ngaji gitu. Kalo’ temen2 pada ngaji di masjid akhirnya kita minta ngaji2 sendiri. Ya itu jadi semuanya, temen2, keluarga, orangtua.” Berawal dari lingkungan tersebut akhirnya subjek terbiasa mengerjakan hal-hal yang sifatnya religius, salah satunya adalah berjilbab. Menurut pengakuannya, subjek sudah meminta kepada orangtuanya untuk memakai jilbab saat dirinya yang masih duduk di bangku TK melihat kakaknya berjilbab (FA:29-38c). Selain itu lantaran disekolahkan di sekolah Islam, subjek akhirnya menjadi terbiasa 86 memakai jilbab karena setidaknya seragam yang dikenakannya seharihari menggunakan jilbab. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada awalnya subjek berjilbab sekedar ikut-ikutan dan belum ada kemauan sendiri. Namun semakin lama subjek semakin memahami bahwa jilbab itu bukan kebutuhan orang yang melihat melainkan kebutuhannya sendiri. Maka pada saat subjek menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah–tepatnya saat kelas tiga, dirinya memandang bahwa berjilbab adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan kebutuhannya yang harus dipenuhi. Bagi subjek, saat tersebut adalah titik tolak munculnya komitmen dalam dirinya untuk benar-benar berjilbab (FA:2938b). Akhirnya sejak saat itu subjek selalu berjilbab dan akan merasa tidak percaya diri jika keluar tanpa mengenakan jilbab. Sekalipun temantemannya ada yang belum berjilbab, hal itu tidak menjadi masalah bagi subjek karena dia memandang kebutuhan tiap orang berbeda. Baginya berjilbab itu kebutuhan yang dapat mempengaruhi rasa percaya dirinya (FA:45-48a). Sekalipun berjilbab dapat mempengaruhi rasa percaya diri subjek, dirinya menganggap bahwa hal yang menentukan rasa percaya dirinya bukanlah jilbab. Terlepas dari keadaan fisik yang dimilikinya, subjek merasa kepercayaan dirinya muncul ketika dia mampu menonjolkan diri di titik yang bisa dilihat orang lain, misalnya saat dirinya mampu memimpin banyak orang atau memiliki jabatan tertentu. Rasa percaya diri subjek tidak dihadirkan dengan cara mengunggulkan jilbabnya 87 karena ada saat-saat dimana subjek merasa minder atau tidak nyaman dengan jilbabnya. Baginya rasa percaya diri dan hijab merupakan hal yang berbeda tetapi saling menunjang satu sama lain dan saling berkaitan meskipun tidak mengikat. Subjek memandang percaya diri itu sebagai urusan duniawi yang arah hubungannya horizontal, sedangkan hijab sebagai urusan akhirat yang arah hubungannya vertikal dengan tuhannya. Sehingga subjek menjalankan perintah berhijab sebagai syarat yang harus dipenuhinya, dengan kepercayaan diri sebagai rukun yang ada dalam menjalani syarat tersebut (FA:140a ; FA:140b ; FA:140c ; FA:140d). Adapun jilbab dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi subjek karena jika dia tidak memakai jilbab atau tidak menutup aurat secara penuh maka akan berpotensi untuk mendapat godaan dari orang lain saat berada di jalan (FA:45-48b). Namun subjek juga beranggapan bahwa belum tentu orang yang berjilbab bisa bebas dari godaan. Jika orang yang tidak berjilbab dirasa subjek wajar mendapat godaan, maka godaan yang diterima orang tersebut akan berbeda dengan godaan yang diterima oleh orang berjilbab. Perbedaan tersebut terletak pada arti dari godaan itu sendiri. Subjek beranggapan bahwa saat orang yang tidak berjilbab– membuka aurat misalnya dengan berpakaian rok mini atau bikini, digoda maka godaan itu menunjukkan bahwa orang tersebut dipandang murah oleh orang lain. Lain halnya dengan orang yang berjilbab, ketika dia digoda oleh orang lain maka subjek menganggap bahwa godaan itu sebagai cobaan seberapa kuat orang tersebut mempertahankan jilbabnya, 88 karena godaan yang seperti itu dirasa subjek sebagai pengalih yang mampu menggoyahkan iman seseorang (FA:109-112c ; FA:113-118a). Selain itu subjek juga menganggap jilbab sebagai pengontrol, penyaring dan pelindung karena dengan berjilbab seseorang akan dipandang dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tidak berjilbab (FA:80b). Berkaitan dengan hal tersebut, subjek mengaku bahwa saat memakai hijab dirinya merasa terlindungi tapi juga merasa terdiskriminasi. Namun hal itu dipandang subjek secara bijaksana karena baginya segala sesuatu itu pasti memiliki sisi positif dan negatif (FA:113118c). Subjek merasa tidak ada kendala apapun saat dirinya memakai jilbab (FA:54a). Baginya sekalipun berada dalam lingkungan yang tidak semua muslimahnya berjilbab, subjek tidak merasa keberatan dan tetap menghormati pilihan orang tersebut. Subjek merasa bahwa setiap orang itu berbeda dan pengalaman yang dilewatinya juga berbeda, sehingga cara memahami konsep berhijabnya pun menjadi berbeda. Toleransi tersebut ada karena dirinya mengakui bahwa sebenarnya berjilbab itu susah, namun baginya ketika hal tersebut diukur dengan dirinya sendiri maka dia akan merasa lebih susah lagi jika tidak berjilbab. Subjek juga beranggapan bahwa jika seseorang mau berjilbab maka akan menjadi semakin baik, misalnya saja jika ada seseorang yang berjilbab hanya saat kegiatan tertentu maka baginya memulai berjilbab dengan cara tersebut sudah bagus karena nantinya orang tersebut akan merasakan perbedaan 89 perlakuan yang lebih baik yang akan diterimanya ketika berjilbab (FA:75-78c ; FA:80d ; FA:82b). Kepada teman-temannya yang belum berjilbab terkadang subjek memberikan iming-iming jilbab baru ataupun model jilbab yang sedang dipakainya. Jika ada yang tertarik biasanya mereka meminta subjek untuk mengajarkan bagaimana cara memakai jilbab tersebut, kemudian subjek akan mengajarkannya dengan senang hati (FA:68c). Selain itu ketika subjek mengetahui orang yang dikenalnya belum berhijab maka dia akan memberitahu orang tersebut, namun jika subjek tidak mengenal orang tersebut maka dia akan mendoakannya (FA:62d). Bagi subjek berjilbab itu bukan hanya tentang kenyamanan, karena baginya kenyamanan itu milik masing-masing orang dan berbeda satu sama lain. Untuk memperoleh kenyamanannya subjek tidak suka mengikuti cara orang lain, dia mengaku bahwa dirinya bukanlah orang yang suka ikut-ikutan. Sehingga subjek sering mencari dan menciptakan sendiri gaya berjilbab yang ia sesuaikan dengan kenyamanannya (FA:82c). Adapun kepentingan dari jilbab itu sendiri mencakup perlindungan Allah yang selalu ada baik dalam kondisi berjilbab ataupun tidak (FA:80a). Menurut subjek kondisi menutup aurat yang sempurna adalah saat dirinya memakai mukenah ketika shalat. Tetapi setelah dia melepas mukenahnya maka terkadang timbul perasaan bahwa dirinya masih belum mampu menutup aurat dengan sempurna, sehingga subjek masih 90 ingin belajar lebih baik lagi dan berharap kelak mendapat suami yang mampu mengajarkan dan membimbingnya dalam hal tersebut (FA:80c) karena baginya hidup itu step by step, ketika dirinya sudah melakukan suatu tahap maka ada tahap selanjutnya yang harus dilewati, dan harus memiliki nilai lebih dari tahap yang telah dilewati sebelumnya (FA:131136b). Tidak hanya dirinya, subjek memandang bahwa semua orang meskipun yang tidak berjilbab pasti selanjutnya mau menjadi lebih baik lagi. Berjilbab atau tidak, menurutnya menjadi lebih baik itu harus (FA:72 ; FA:131-136c). Menjadi lebih baik itu bukan berarti mengubah apa yang telah dilakukan sebelumnya karena baginya seseorang mampu mencari jalan untuk mendapat manfaat dan hal positif tanpa menghentikan yang sudah ada (FA:131-136a). Selama berhijab subjek mengaku bahwa hal yang didapatnya secara duniawi sama dengan seseorang yang tidak berhijab, misalnya teman, pengalaman, kekayaan, jabatan dll. Adapun yang membedakan adalah nilai di mata Allah. Dengan menjalankan perintah berhijab subjek bertujuan untuk mencari kelebihan di mata Allah, karena yang dicari bukan dunia tapi akhirat (FA:120a). Namun hal tersebut tidak serta merta menjadikannya merasa paling benar, hanya saja dirinya merasa mendapat nilai lebih dengan berhijab (FA:120b) . Tidak hanya itu, subjek merasa tidak merasa bahwa kualitas dirinya menjadi lebih baik setelah dirinya berhijab. Baginya kualitas diri seseorang itu Allah yang melihat. Sekalipun mungkin manusia mampu 91 memberikan penilaian, tetapi penilaian di mata manusia itu belum tentu benar dan bisa jadi berbeda di mata Allah. Dikarenakan subjek lebih memilih penilaian Allah, maka ia tidak berani menilai kualitas dirinya (FA:121-126a ; FA:121-126b). Dengan adanya penilaian yang mungkin dibuat oleh manusia, subjek menganggap bahwa berhijab itu lebih menjadi sorotan, karena pantas tidaknya perilaku seseorang yang berhijab akan menimbulkan penilaian tersendiri di mata orang lain (FA:121126c). “Aku mungkin lebih gini, lebih jadi sorotan. Karena saat orang mungkin jalan trus ketawa hwahahaha, yang berhijab sama yang gak berhijab yang akan jadi sorotan yang mana? Ketawa seperti itu, iki Jilbaban loh.. Nah kalo’ yang gak berjilbab biasa aja ya kan?! Itu. Orang mungkin nganggepnya itu lebih kesitu. Kalo’ kualitas diri di mata manusia mungkin ‘Duh arek iku jilbaban tapi iso ngene ngene ngene’ mungkin gitu, tapi di mata Allah lho belum tentu. Bisa jadi eee aku iki justru wes berjilbab tapi gak iso lek gowo awak. Itu sih.” Meskipun subjek telah memilih untuk mengejar nilai di mata Allah, subjek mengaku bahwa dirinya masih belum sepenuhnya ikhlas dalam berhijab, karena baginya ikhlas itu sesuatu yang berat untuk dilakukan (FA:130a). Adapun hal yang membuatnya belum bisa merasa ikhlas adalah keterbatasan ruang gerak yang dimiliki wanita berhijab. Sehingga dalam situasi-situasi tertentu terkadang subjek membayangkan jika dirinya tidak berhijab. Namun subjek tidak serta merta menjadikan hal tersebut sebagai penghalang dan alasan untuk menanggalkan hijabnya (FA:130b). Subjek mengaku bahwa dirinya ingin tetap berhijab dan tidak ingin melepaskan hijabnya secara tiba-tiba (FA:70). Adapun hal yang 92 membuat subjek merasa yakin untuk tetap berhijab adalah keyakinan yang dimiliknya. Jika berhijab adalah sesuatu yang ditetapkan oleh hal yang diyakininya maka hal itu lah yang akan terus dia lakukan (FA:128). “Oh kalo’ ikhlas belum. Orang itu titik terakhir itu,, ikhlas itu,, berat. Pasti ada duh misale ae gak gawe kudung lek moleh bengi lak gak masalah. Nah ada kaya’ gitu. Tapi bukan berarti itu jadi penghalang, bukan jadi alesan untuk akhirnya yo wes aku males, sumpek aku, mesisan ae gak kudungan. Gak juga gitu lho.” 2. Respon Lingkungan Saat subjek pertama kali meminta orangtuanya untuk memakai jilbab seperti kakaknya, subjek akhirnya diberi jilbab milik kakaknya. Dikarenakan kondisi subjek yang masih sangat kecil, ukuran jilbab yang dipakainya tersebut lebih besar daripada postur tubuhnya. Hal tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap lucu oleh keluarganya (FA:2938d). “Ya lucu, karena namanya anak TK ya,,, aku TK kakakku SD. Yaa jadi lucu2an, aku aja liat fotonya sekarang eee jilbabnya sama akunya gedean jilbabnya. Jadi dari kecil emang uda pake’ jilbab dan itu emang aku yang minta, akhirnya aku dikasih ya jilbabnya kakak.” Adapun respon yang didapat subjek dari lingkungan di luar keluarga terhadap kondisinya yang berhijab dirasa subjek tidak mengarah pada hal-hal yang negatif. Sebaliknya subjek merasa bersyukur bahwa lingkungan sekitarnya memberikan tanggapan yang baik. Misalnya tanggapan teman-teman subjek yang tidak merasa terganggu meskipun tidak semua dari mereka berjilbab. Subjek mengaku bahwa mereka saling kompromi atas hak masing-masing (FA:52). Tidak hanya itu terkadang 93 subjek mendapatkan pemakluman dari kumpulan orangtuanya–yang menurutnya sarat dengan nuansa Islam, ketika kegiatannya menuntut untuk memakai pakaian yang mungkin menurut sebagian orang kurang sesuai atau pantas (FA:56). “Mmm kalo’ tanggapan miring mungkin enggak ya, justru malah kebalik jadi karena orangtuaku kumpulannya juga orang-orang yang islami banget gitu ya, saat tau aku pake’ celana jeans itu oh mungkin karena mobilitas ya karena aku berkegiatan yang gak memungkinkan untuk pake’ rok.” Namun ada saja komentar negatif yang pernah didapat subjek. Komentar tersebut diakuinya berasal dari teman-teman sesama model yang mengatakan bahwa subjek aneh, berbeda dan selalu ruwet dengan hijabnya. Namun subjek menanggapi hal tersebut dengan santai karena dirinya merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya (FA:82a). 3. Pengalaman dalam Komunitas Pada awalnya subjek tidak tahu menahu soal komunitas Hijabers Malang karena pada saat komunitas tersebut diresmikan dalam acara grand launching, subjek mengaku dirinya sedang mengikuti kontes pemilihan Kakang Mbak Yu Malang. Subjek yang pernah ditawari untuk ikut dalam acara grand launching komunitas Hijabers Malang oleh kakaknya yang kebetulan menjadi reporter di acara tersebut, namun dirinya menolak dengan alasan masih repot menjadi finalis di kontes Kakang Mbak Yu Malang karena memang waktunya bertabrakan. Setelah itu subjek sempat mencari informasi mengenai komunitas Hijabers Malang yang kemudian mempetemukannya dengan salah satu kakak 94 kelasnya saat SMP yang ternyata salah satu pendiri komunitas tersebut. Akhirnya setelah berbincang bincang dengan kakak kelasnya tersebut, subjek ditawari untuk bergabung dalam komunitas Hijabers Malang. Meskipun tidak langsung bergabung, subjek merasa tertarik untuk mengenal komunitas tersebut dengan mencoba ikut dalam acara yang diselenggarakannya. Adapun acara pertama yang diikuti subjek adalah tausiyah. Berawal dari sana akhirnya subjek bergabung dalam komunitas Hijabers Malang (FA:6-8a ; FA:6-8b ; FA:6-8c ; FA:6-8d). Tanpa sengaja saat subjek mengikuti tausiyah tersebut dirinya bertemu dengan teman sesama finalis Kakang Mbak Yu Malang. Setelah itu dirinya diajak bergabung dalam Hijabers Malang Model (HM Model) (FA:6-8e). HM Model itu sendiri adalah sub grup dari komunitas Hijabers Malang yang berisikan model-model Hijabers yang tampil jika ada fashion show (FA:12-14b). Sekalipun subjek mengaku sudah pernah berkecimpung di dunia modelling, dirinya tidak memiliki bayangan akan masuk menjadi salah satu model di komunitas Hijabers Malang (FA:68f). Selain HM Model, dalam komunitas Hijabers Malang juga terdapat HM Entrepreneur, HM Charity, HM Voice dll (FA:12-14a). Setelah subjek masuk dalam HM Model, pernah suatu ketika saat dirinya bertugas sebagai model dalam acara seminar yang akan diselenggarakan oleh komunitas Hijabers Malang, dirinya diminta ikut berpartisipasi dalam rapat komite. Kemudian setelah itu akhirnya subjek dimasukkan dalam kepanitiaan yang membuatnya semakin aktif dalam 95 komunitas tersebut. Subjek mengungkapkan bahwa setelah acara seminar berakhir banyak anggota komunitas Hijabers Malang yang vakum karena acara tersebut termasuk acara yang cukup besar. Namun berbeda dengan banyaknya anggota yang memilih untuk beristirahat sejenak dari kesibukan dan kegiatan yang ada dalam komunitas Hijabers Malang, subjek menjadi semakin aktif dengan sering mengikuti tausiyah-tausiyah. Suatu ketika karena beberapa komite ada yang sudah menikah, kepengurusan dalam komunitas tersebut menjadi kurang lengkap. Maka setelah itu para anggota yang masih aktif dikumpulkan untuk melakukan evaluasi guna merombak susunan kepengurusan, agar kegiatan-kegiatan komunitas mampu berjalan dengan lancar (FA:12-14d). Dalam evaluasi tersebut subjek terpilih menjadi wakil ketua (vice president) berdasarkan hasil vooting (FA:12-14c). Padahal sebelumnya subjek mengira mungkin dirinya ditunjuk sebagai bendahara mengingat pekerjaaannya sebagai accounting. Subjek mengaku bahwa dirinya sering ikut dalam kegiatankegiatan yang diadakan oleh HM (FA:15-18a). Adapun kegiatan rutin yang dilakukan setiap minggu adalah tausiyah dan charity. Sedangkan event-event besar yang diadakan setiap dua atau tiga bulan sekali terkadang realisasinya menjadi dadakan karena terbatasnya intensitas pertemuan para anggota komunitas Hijabers Malang sehingga hanya diinformasikan melalui jejaring sosial (FA:15-18b). Adapun saat acara tausiyah para anggota komunitas Hijabers Malang merasa lebih nyaman 96 jika yang mengisi acaranya seorang ustadzah karena mereka bisa mengusulkan atau request tema tausiyah yang akan dibahas (FA:15-18c). Setelah subjek masuk dalam komunitas Hijabers Malang, subjek merasa mendapat ilmu dan saudara (FA:148-150). Subjek merasa dirinya dengan anggota yang lain cukup dekat dan sudah seperti keluarga. Subjek menilai orang-orang yang ada dalam komunitas tersebut termasuk orangorang yang solid, yang mampu menyelesaikan tugasnya masing-masing sehingga menjadkan komunitas tersebut tetap berjalan dengan baik. Baginya prinsip yang ada dalam komunitas tersebut adalah kekeluargaan dan persaudaraan (FA:15-18d ; FA:21-26a ; FA:21-26c ; FA:21-26d). Dimana setiap anggotanya saling mendukung satu sama lain baik saat bersama-sama maupun tidak, yang mana dalam kondisi seperti itu subjek menyebutnya sebagai sebuah kekompakan (FA:162). Subjek juga merasa bahwa dirinya dengan anggota yang lain dalam komunitas Hijabers Malang bersama-sama dalam satu visi dan tujuan yaitu ingin menjadi lebih baik dalam berhijab yang mana berhijab tidak hanya merupakan tampilan secara fisik saja tetapi juga isinya. Adanya kondisi tersebut dianggap lebih enak oleh subjek karena baginya berada di kumpulan yang positif akan membawa pada perubahan yang juga positif (FA:74c). Tidak hanya itu, subjek juga beranggapan bahwa komunitas Hijabers Malang membantu dan memfasilitasi dirinya untuk belajar bersosialisasi secara vertikal dan horizontal, yaitu hablu minallah dan hablu minannaas (FA:141-146). 97 “Komunitas ini membantu, memfasilitasi saya untuk belajar horizontal dan vertikal. Di dalam komunitas saya bisa belajar bersosial, hablu minannaas. Tapi juga saya bisa belajar hablu minallah, karena di dalam situ ada tausiyah ada segala macem, jadi bisa belajar oh aku bisa beramal segala macem itu hubungannya sama Allah. Ada hubungannya sama manusia tapi juga ada hubungannya sama Allah.” Subjek mengaku setelah selama ini dirinya bergabung dalam komunitas Hijabers Malang tidak ada perubahan mengenai pandangan agama. Baginya pandangan tersebut tetap sama yaitu perintah dan larangan. Pandangan, keyakinan dan rule subjek tetep sama, hanya cara menyikapi dan pengaplikasiannya yang berbeda. Dengan posisinya sebagai vice president subjek belajar untuk menjadi lebih wise atau bijaksana (FA:151-154a ; FA:151-154b). Adapun hal yang akhirnya membuat subjek yakin untuk terus berada di komunitas Hijabers Malang adalah persaudaraan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Karena baginya Saudara itu sedarah, satu jalinan darah dan bukan komitmen. Subjek mengartikan keberadaan dirinya sebagai saudara yang saling pengertian satu sama lain, bukan komitmen yang terkesan mengikat. Persaudaraan itulah yang dipertahankan, dipegang teguh dan menjadi pedoman sampai kapanpun karena yang namanya saudara tidak mengenal istilah mantan saudara (FA:155-160a). Perasaan kepada saudara salah satunya adalah merasa senang jika bersama dan merasa ada yang kurang saat ditinggal pergi (FA:155-160b). “Ya itu yang di pertahankan, itu yang dipegang teguh, itu yang di eee itu pedomannya. Persaudaraan. Jadi kalo’ pun 98 misal kita tukaran segala macem, kalo’ kita saudara yo’opo seh nyelesaikannya? Kalo’ aku pegel mbe’ kamu aku ngene ngene ngene, tapi yo’opo yo’opo kita tetep saudara, kan gak mungkin berganti saat itu.” Selain aktif dalam komunitas Hijabers Malang subjek juga aktif di pondok beras dan PAY (Pecinta Anak Yatim) (FA:75-78a). Dalam komunitas-komunitas tersebut subjek merasa ada persamaan prinsip yang mendasari hubungannya dengan sesama anggota yang lain, yaitu brotherhood (pesaudaraaan) (FA:75-78d). Sekalipun terdapat perbedaan lingkungan dan cara berinteraksi di masing-masing komunitas terebut, subjek mengaku nyaman menjalaninya dengan alasan adanya prinsip persaudaraan tersebut. Misalnya saat berada di komunitas Hijabers Malang yang beranggotakan para perempuan, subjek merasa terbiasa berbicara lepas dengan posisi yang sangat perempuan. Adapun saat di pondok beras subjek tidak hanya berinteraksi dengan orang yang seumuran tetapi juga dengan om-om maupun orang yang sudah sepuh, karena lebih banyak berinteraksi dengan laki-lak subjek bersikap strong untuk menunjukkan bahwa dirinya perempuan yang tidak bisa dilecehkan sembarangan. Sedangkan di PAY subjek banyak berinteraksi dengan adik-adik yang usianya lebih muda dari subjek, sehingga dia memposisikan dirinya sebagai kakak dan guru. Perbedaan lingkungan tersebut membuat subjek mendapat banyak ilmu yang bisa diterapkan di tempat yang berbeda (FA:75-78e ; FA:75-78f). 99 4. Fashion Sejalan dengan karirnya di dunia modelling, subjek merupakan orang yang suka tampil dan dilihat orang (FA:163-172a). Selain itu subjek juga merupakan orang yang suka berkreasi dan menciptakan sesuatu sendiri tanpa mengikuti cara orang lain. Subjek menganggap dirinya termasuk orang yang kreatif dan suka mengeksplorasi bakat dan minat yang dimilikinya. Adapun dalam hal berjilbab, subjek mengaku bahwa dirinya sudah mulai berkreasi dengan jilbabnya jauh sebelum dirinya mengenal dan bergabung dalam komunitas Hijabers Malang. Misalnya saat sebagian besar orang masih menggunakan jilbab dengan cara dilipat biasa, subjek sudah mulai menggunakan kerudung pashmina dengan cara dililit. Atau pada saat dirinya akan pergi ke acara pernikahan, maka saat itu dia berani berkreasi dengan menggunakan pernak pernik, entah berupa pin, bros, anting dll (FA:54b ; FA:54c). Hal tersebut berlanjut sampai saat ini, saat dirinya telah bergabung dalam komunitas Hijabers Malang. Subjek mengaku bahwa pada saat dirinya mengikuti acara tertentu seperti pesta, fashion show ataupun talk show, subjek selalu berjilbab dengan cara yang heboh. Kehebohannya tersebut tetap merupakan hasil kreasinya sendiri, yang mana dia lakukan untuk menyesuaikan sendiri tingkat kenyamanannya (FA:66). Baginya orang yang kreatif akan mampu menyalurkan ide-idenya sekalipun tidak ada tempat yang mewadahinya. Adapun tujuan subjek dalam berkreasi adalah 100 agar dirinya mengetahui kondisi seperti apa yang paling nyaman untuknya (FA:54d). Saat SMA, subjek mengaku bahwa dirinya masih sering memakai jilbab paris dengan cara yang biasa (FA:64a). Hal tersebut diilakukan subjek karena baginya saat itu cara tersebut adalah yang nyaman menurutnya. Kenyamanan subjek saat berjilbab disesuaikan dengan keadaan tubuh, kombinasi pakaian dan pemilihan bahan jilbab itu sendiri. Menurut subjek karena tubuhnya kurus maka dia cenderung nyaman menggunakan pakaian yang tidak terasa berat saat digunakan. Dalam hal kombinasi pakaian, subjek mengaku jika dirinya memakai baju yang tidak longgar maka dia akan memakai jilbab yang agak panjang, namun ketika dirinya memakai baju yang longgar maka berjilbab dengan cara apapun tidak menjadi masalah. Sehingga dirinya menyesuaikan antara pakaian dan jilbab yang akan dikenakannya (FA:64b). Terkadang subjek berpikir bahwa berjilbab yang nyaman itu yang simple, namun selama subjek bisa dan tetap merasa nyaman terkadang subjek juga mencoba cara berjilbab yang ribet atau rumit. Hanya saja jika pada saat memakai cara yang rumit tersebut mengurangi kenyamannya, maka akan mengganti style jilbab yang dirasanya lebih enak (FA:64c). Dalam berbusana subjek lebih mengandalkan mood atau suasana hati. Jika suasana hatinya sedang baik maka subjek akan merasa percaya diri dan sebaliknya jika dirinya merasa tidak dalam suasana hati yang 101 baik (badmood) maka hal tersebut akan mengurangi rasa percaya diri yang dimilikinya (FA:163-172b). “Aku ini ngandalno mood, lek mood ku tinggi PD ku tinggi. Masio pakaianku warna warni, masio opo itu gak masalah. Jadi kalo’ aku bisa bilang, ati. Ati seng iso bikin aku kaya’ gitu. Rokan? aku yo percaya diri. Celanaan? aku yo percaya diri.” Hal tersebut juga berlaku dalam hal berjilbab subjek. Subjek mengaku perasaan hatinya mempengaruhi cara dia berjilbab. Misalnya saat di jalan atau di dalam mobil dirinya merasa tidak mood, subjek pernah memakai jilbab secara malas-malasan dengan hanya menyampirkan ujung jilbabnya di pundak. Namun meskipun demikian subjek mengaku ingin tetap berada di koridor atau jalan-Nya dengan tetap memakai jilbab tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Hal tersebut dibuktikannya dengan cara tetap berusaha menutup auratnya dengan jilbab meskipun dalam suasana hati yang kurang baik maupun situasi yang kurang mendukung. Misalnya saat dirinya dituntut utuk berwudhu di tempat yang cenderung terbuka untuk umum, maka subjek saat itu dirinya tetap berusaha untuk tidak melepas jilbab secara terang-terangan (FA:70b). “Mau wudhu mau apa itu susah, kalau tempat wudhu’nya di tempat terbuka, umum, aku gak lepas jilbab. Aku mesti begini, mesti dari dalem, daripada ntar keliatan. maksudnya tetep ada usaha untuk nutupin.” Menurut subjek busana itu merupakan bagian dari fashion yang mampu memunculkan karakter seseorang meskipun bukan merupakan kunci utama untuk melihat karakter orang tersebut. Baginya fashion adalah aksesoris, penarik mata dan penarik perhatian yang mampu 102 menjadi jendela, awal mula dan jalan melihat sebagian karakter seseorang meskipun tidak secara keseluruhan. Adapun karakter seseorang diyakini subjek sebagai sesuatu yang ada dalam diri, bukan di luar. Baginya apa yang ada di luar itu sebatas tampilan dan make up semata. Ketika seseorang tertarik dengan penampilan orang lain, kemungkinan orang tersebut akan mendekat atau berusaha mencari tahu. Sehingga dengan cara seperti itu orang tersebut dapat mengetahui sekilas gambaran tentang karakter orang lain (FA:163-172c ; FA:173-176). Adapun rapi menurut subjek adalah etika, yang mana penilaiannya akan berbeda-beda pada setiap orang. Baginya kerapian adalah sesuatu yang identik dengan keresmian, dalam arti subjek memantaskan diri dalam berpenampilan ketika berhadapan orang lain. Hal tersebut dilakukan subjek dengan tujuan untuk menghormati orang tersebut. Selain itu baginya kerapian juga mencakup kebersihan karena tidak mungkin ketika seseorang berusaha tampil resmi secara pantas namun tidak diirigi dengan penampilan yang bersih pula (FA:177-182). Menurut subjek bersih itu berbeda dengan suci. Penilaian bersih pada setiap orang itu berbeda, sehingga jika dijelaskan akan ada banyak hal atau aspek yang harus dipikirkan. Namun ketika ditujukan hanya pada subjek, dia memandang bersih itu sebagai hal bisa dilihat oleh mata, yang menyangkut kenyamanannya secara pribadi. (FA:183-186). “Bersih itu nyaman, bersih itu kenyamanan, orang-orang beda. Pake celana jeans seng uda berapa minggu gak dicuci gitu, tapi mereka nyaman nyaman aja. makane bersih menurut orang itu banyak ee banyak lingkup, banyak hal, 103 banyak aspek yang dipikirkan. Kalo’ menurut aku ya tadi, kalo’ aku nyaman. Kalo’ aku bersih aku nyaman.” 5. Konsep Keimanan Subjek memandang agama dan keyakinan sebagai sesuatu yang berbeda. Baginya agama adalah sesuatu yang memiliki nama, seperti agamanya yang dikenal dengan nama “Islam”. Subjek meyakini agama Islam tersebut sebagai pedoman hidup. Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup membuat subjek merasa memiliki tata cara, rule, aturan, salah dan benar dalam berperilaku, serta mengetahui balasan dan timbal balik yang akan diperolehnya saat melakukan sesuatu (FA:89-92a ; FA:89-92b). Selain itu, baginya Islam adalah agama yang indah dan tidak memaksa sehingga tanpa adanya paksaan tersebut seseorang menjadi ikhlas dalam menjalaninya (FA:62c). Sedangkan keyakinan diyakininya sebagai sesuatu yang sama pada semua agama. Baginya dalam agama apapun keyakinan itu percaya kepada tuhannya masing-masing, sebagaimana dirinya percaya kepada Allah yang diketahuinya sebagai tuhan dari agama yang dia peluk. Adapun keyakinan tersebut terbatas pada apa yang diyakini masingmasing pribadi yang datangnya murni dari hati. Selain itu subjek juga memandang keyakinan sebagai tempat kembali dan tempat bersandar, yang mana dalam bersandar atau bertumpu pada dzat yang diyakininya tersebut terdapat cara atau rule yaitu agama (FA:89-92c ; FA:98a ; FA:98b). 104 Keyakinan subjek kepada Allah membuat dirinya menaati segala hal yang diperintahkan dan dilarang oleh-Nya. Dirinya meyakini bahwa ada sesuatu dibalik setiap perintah dan larangan Allah karena alasan Allah menciptakan perintah dan larangan tersebut merupakan bukti bahwa Allah sayang pada hamba-Nya dan tidak mungkin menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Baginya Allah merupakan titik dimana asal mula semuanya ada, termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di dunia, yang mana asal mula dunia itu sendiri juga merupakan ciptaan Allah. Selain itu subjek juga meyakini bahwa Allah itu pusat dari segalanya termasuk perintah dan larangan. Maka jika seseorang menginginkan sesuatu maka hendaknya orang tersebut meminta kepada Allah dan jika seseorang berbuat salah kepada Allah maka wajar jika ada sesuatu yang diambil oleh-Nya (FA:98a ; FA:98c ; FA:94a). Subjek menganggap Allah itu Maha Pengasih yang mampu memegang hati, mempunyai kekuatan dan berkuasa untuk memberikan hidayah pada seseorang yang dikehendaki-Nya. Hidayah itu sendiri dinilai subjek sebagai kuasa dan hak prerogatif Allah untuk diberikan kepada siapapun, yang di dalamnya tidak ada campur tangan manusia karena baginya hidayah itu murni kesadaran dari apa yang dirasakan oleh orang tersebut (FA:72b ; FA:94b). Jika hidayah itu datangnya dari Allah subjek meyakini bahwa Allah pula lah yang mampu mencabutnya. Sehingga manusia tinggal menentukan mau menerima atau menjemput 105 hidayah tersebut seperti apa karena sebenarnya hidayah itu ada dimanamana (FA:74a ; FA:113-118d). Selain hidayah, subjek juga memandang dosa dan pahala sebagai urusan Allah. Sehingga penilaiannya pun seharusnya diserahkan pada Allah yang lebih mengetahui urusan tersebut. Sekalipun manusia mampu memberikan penilaian namun hal tersebut belum tentu benar di mata Allah karena penilaian manusia hanya berdasarkan apa yang terlihat, sedangkan penilaian Allah lebih dari itu karena Allah lah yang mampu melihat dan mengetahui hal-hal yang tidak terlihat secara kasat mata. Subjek pun mengaku bahwa belajar untuk tidak menilai atau menjudge perbuatan seseorang bukanlah hal yang mudah, baginya belajar tidak menilai itu membutuhkan waktu yang lama (FA:84a ; FA:84c). Subjek berpikir jika dirinya ingin mendapat pahala maka harus berusaha sebaik mungkin untuk mendapat ridho dari Allah. Namun tidak hanya sebatas itu, di sisi lain subjek juga beranggapan bahwa berusaha menjadi baik juga perlu ditujukan pada lingkungan karena hubungan vertikal dan horizontal itu harus seimbang, yaitu hablu minallah dan hablu minannas (FA:84b). “Cuman kalo’ aku pribadi aku berpikir kalo’ mau dapet pahala ya aku usaha sebaik mungkin buat dapet keridhoan sama Allah sama lingkungan. ................ eee hablu minallah itu utama tapi tidak satu-satunya. Jadi horizontal baik, vertikal juga baik. Kalo’ kita cuma ke atas ya gak imbang. Lha kita hidup di dunia lho bukan cuma cukup buat shalat, bukan cuma itu doang.” 106 Subjek mengaku bahwa dirinya mulai berpikir tentang keyakinan, agama dan tuhan pada saat dirinya sudah tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Saat tersebut dirasa subjek sebagai saat dimana dirinya sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, juga saat dirinya mulai mempertanyakan tentang segala sesuatunya secara lebih mendalam. Namun banyaknya pertanyaan di benak subjek membuatnya mulai belajar menyadari hakikatnya sebagai manusia itu harus banyak belajar dan tidak boleh sok tahu. Baginya ketika seseorang merasa pintar lantaran sudah pernah membaca maka belum tentu orang tersebut mengetahui artinya, ketika sudah mengetahui artinya maka belum tentu tahu maknanya (FA:99-108a ; FA:99-108b). “Cuman eee saya mulai menyadari apa hakikatnya saya sebagai manusia, mulai belajar menyadari bahwa kita sebagai manusia yang harus belajar, jangan kemeroh, ojok sok tau.” Selain itu, pada saat tersebut subjek juga menemukan kasus-kasus yang dianggapnya tidak masuk akal, yang jika itu terjadi padanya maka subjek beranggapan dia tidak akan bisa menghadapinya. Namun subjek yakin jika seseorang memiliki pegangan dan keyakinan maka hal tersebut pasti bisa dilalui. Subjek mengaku bahwa proses dirinya dihadapkan pada kasus-kasus dan pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan kuasa Allah yang tanpa sadar menuntun subjek untuk mendapatkan jawaban yang membuatnya bersyukur dan memahami keberadaan tuhan. Sehingga pada akhirnya subjek tidak lagi berpikir tentang nilai semata melainkan juga tentang makna (FA:99-108c ; FA:99-108d). 107 Adapun dalam memandang orang yang berbeda keyakinan dengannya, subjek mengaku tidak ingin menyalahkan mereka. Subjek hanya menanggapi hal tersebut sebagai perbedaan penangkapan ajaran yang mungkin oleh sebagian orang ditangkap dengan cara yang salah (FA:94c). Bagi subjek, orang atheis atau yang tidak memiliki agama akan cenderung membenarkan pikirannya dan menuhankan ilmu atau kepintaran yang dimilikinya. Padahal menurut subjek, semua kepintaran dan pengetahuan itu ada pemilik dan penciptanya, yang mana jika semua itu diambil maka orang tersebut tidak akan mengerti apapun (FA:8992d). 6. Kepercayaan Berhijab Subjek memandang hijab sebagai penutup yang diartikannya sebagai sesuatu yang digunakan untuk menutup aurat. Subjek juga berpendapat bahwa dalam menutup aurat seharusnya dilakukan secara lahir dan batin. Maksudnya menutup aurat secara dhohir dengan menggunakan hijab dan menutup secara batin dengan berperilaku yang baik sepantasnya muslimah berhijab. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya anggapan subjek bahwa berhijab itu bukan hanya sekedar fisiknya saja yang ditutup tetapi juga hatinya. Jika seseorang menutup aurat hanya dengan menutup fisiknya, maka hal tersebut belum bisa dikatakan menutup melainkan hanya sebatas menjaga, yaitu menjaga tubuhnya dengan berhijab (FA:58). 108 Menurut subjek berhijab merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan, yang dasarnya sudah ada dalam Al-Qur’an, yang mana AlQur’an tersebut dianggap subjek mampu menuntun kepada segala sesuatu yang baik (FA:60a ; FA:60b). Dasar kewajiban berhijab yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut dianggap subjek sebagai sebuah syari’at, yang mana baginya syari’at adalah sesuatu yang tertulis atau tersurat. Namun tidak hanya itu, kewajiban menutup aurat diyakini subjek memiliki hakikat yang tidak kalah penting. Meskipun hakikat berhijab diakui subjek juga terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, namun hakikat berhijab tersebut tidak hadir secara tertulis melainkan hadir sebagai sesuatu yang tersirat. Secara jelas subjek mengungkapkan bahwa syari’atnya menutup dengan hijab sedangkan hakikatnya berhijab secara benar dengan berperilaku yang pantas (FA:58 ; FA:62a). Subjek meyakini bahwa perempuan diciptakan Allah dengan memiliki daya tarik fisik sedangkan laki-laki diciptakan dengan memiliki pandangan yang mencintai sosok atau fisik perempuan tersebut. Sehingga Allah menurunkan kewajiban untuk menutup aurat dengan perintah berhijab (FA:109-112a). Perintah berhijab tersebut dipandang subjek sebagai suatu bentuk atau wujud rasa sayang Allah pada makhluk ciptaan-Nya, karena dengan berhijab berarti Allah melindungi dan menjunjung tinggi perempuan. Adapun alasan perempuan dilindungi dan dijunjung tinggi adalah karena perempuan itu mulia, takdirnya sebagai 109 pendamping laki-laki atau khalifah di dunia ini merupakan hal yang mulia (FA:109-112b). Meskipun subjek memandang hijab sebagai kewajiban, namun dirinya merupakan orang yang terbuka dan tidak mempermasalahkan jika ada pandangan yang berbeda karena pada dasarnya hal tersebut adalah hak masing-masing individu dan hak Allah untuk mengirimkan hidayah pada siapapun yang dikehendaki-Nya. Bagi subjek berhijab itu hubungannya dengan Allah karena Allah lah yang paling memahami hal tersebut (FA:80e ; FA:138). Berbicara mengenai hidayah, subjek meyakini bahwa hal tersebut bisa Allah turunkan pada siapa saja dan diputus dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sehingga ada peluang bagi orang yang sudah berjilbab untuk melepas jilbabnya dan orang yang belum berjilbab untuk mulai memakai jilbab. Hal tersebut sama seperti orang Islam yang berpeluang menjadi murtad atau orang kafir menjadi mualaf (FA:68a ; FA:68b). “Sama seperti orang Islam murtad dan orang kafir mualaf. Kan yang seperti itu hubungannya sama hidayah, terlepas dari yang sudah dipelajari atau apa. ..... Aku memandangnya tetep peluang itu, memandangnya gak berhijab intinya itu. Karena kalo’ hidayah udah turun atau dia tiba-tiba putus, kita gak bisa berbuat apa-apa, kita gak tau.” Subjek merasa bahwa peluang tersebut juga sangat mungkin terjadi pada dirinya karena baginya hidup ini terus berputar, iman seseorang bisa jadi fluktuatif begitu juga dengan mood yang dirasakan bisa jadi naik turun. Subjek beranggapan bahwa ketika dirinya lupa atau mungkin saat iman 110 dan moodnya sedang menurun, maka bisa saja dia perlu diingatkan oleh orang lain (FA:70a ; FA:74b). Menurut subjek berhijab itu tidak memiliki batasan-batasan tertentu karena batasan hijab datang dari Allah melalui hidayah-Nya. Ada orang yang memandang berhijab itu harus menutup dada, memakai jilbab lebar, berpakaian longgar yang tidak putus dari atas sampai bawah, serba hitam atau tidak mencolok, bahkan ada juga yang mengharuskan memakai cadar dll. Namun hal itu dipandang subjek sebagai cara seseorang memahami perintah berhijab, yang mana ketika Allah memberikan perintah pasti Allah juga memberikan hidayah. Hidayah tersebut lah yang nantinya akan mempengaruhi seseorang dalam memutuskan batasan hijab yang dianggapnya benar untuk dijadikan patokan bagi dirinya (FA:62b). “Tapi kalo’ menurut aku mikirnya, kalo’ Allah itu ngasih perintah Allah pasti juga kasih hidayah gitu. Jadi kalo’ Allah kasih perintah, hidayahnya ke kita kapan itu kuasanya Allah gitu lho, batasannya juga batasannya Allah. Kita dikasih hidayah untuk berjilbab sudah bagus, sudah subhanallah.” Bagi subjek seseorang akan menjadi jeli dalam mengambil sikap ketika orang tersebut sudah mengetahui mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan apa yang telah didengar, dibaca maupun dilihatnya secara langsung. Pengetahuan subjek tentang kewajiban berhijab membuat dirinya yakin untuk memenuhi kewajiban tersebut. Namun subjek merasa bahwa apa yang diketahuinya tentang kewajiban berhijab itu belum tentu diketahui oleh orang lain (FA:72c ; FA:72d). Subjek juga 111 tidak bisa membayangkan posisinya jika tidak ada syari’at berhijab dalam Islam, karena baginya yang terpenting adalah mencari keridhoan Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan yang ada. Sehingga jika dirinya menjalankan perintah berhijab tersebut secara asalasalan, bandel dan mbeler pasti tidak mendapatkan ridho Allah (FA:86a ; FA:86b). Baginya berhijab adalah suatu usaha untuk menjadi yang terbaik di mata Allah, yang mana hal tersebut tentu tidaklah mudah, karena saat seseorang mencari ujung yang abadi maka jalannya tidak mungkin mudah (FA:113-118b). 7. Analisis Berdasarkan data yang didapat, subjek FA mengartikan keimanannya dengan percaya kepada tuhan, yang mana kepercayaan tersebut ia jadikan tempat kembali dan berserah atas apa yang terjadi di dunia ini. Tuhan sendiri–dalam artian Allah, ia pandang sebagai pusat segala sesuatu dan asal mula semua hal diciptakan. Subjek meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini termasuk kebaikan dan keburukan adalah ciptaan Allah, begitu juga halnya dengan hidayah. Baginya Allah mempunyai hak prerogatif dalam memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Hidayah tersebut dianggap subjek sebagai sesuatu yang mampu menggerakkan hati seseorang untuk melakukan suatu hal secara sadar atas keinginannya sendiri. Dalam melakukan segala sesuatu khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaannya kepada tuhan, subjek mempunyai 112 pedoman yaitu agama. Agama ia jadikan sebagai tata cara atau aturan dalam hidup sehingga dirinya memiliki konsep benar dan salah, serta motivasi untuk melakukan sesuatu yang akan memberikan timbal balik positif bagi dirinya. Dalam pedoman tersebut terdapat Al-Qur’an yang mampu menuntun subjek kepada kebaikan. Kebaikan itu secara nyata ia rasakan saat menjalankan perintah atau larangan Allah. Hal ini lah yang akhirnya membuat subjek berusaha untuk mengamalkan segala sesuatu yang terdapat dalam Al-Qur’an, salah satunya dengan berhijab. Berhijab merupakan perintah Allah yang ditujukan kepada para muslimah untuk menutup aurat. Dalam menjalankan perintah berhijab subjek tidak hanya melakukannya secara syariat saja, tetapi juga secara hakikat. Baginya hakikat dalam berhijab adalah menjaga hati dan perilaku ke arah yang positif sesuai dengan perannya sebagai muslimah. Selain itu berhijab juga dijalani subjek sebagai bagian dari fashion berbusana. Dalam berbusana khususnya berhijab, subjek termasuk orang yang yang kreatif karena dirinya mampu berkreasi menciptakan berbagai model hijab. Saat menciptakan model hijab tersebut, subjek sebenarnya tengah melakukan usaha trial and error untuk menemukan keadaan yang nyaman untuk dirinya. Subjek bisa saja mengganti model hijab yang sedang dipakainya secara tiba-tiba ketika dirinya merasa tidak nyaman dengan model tersebut karena terlalu ribet, yang mungkin dapat mengganggu aktivitasnya sehingga ia merubah model hijab dengan cara yang lebih simple . 113 Ketertarikan subjek dalam berkreasi dengan penampilannya sejalan dengan pengalaman modelling yang dimilikinya dan kesenangannya untuk tampil di depan umum. Menurut penuturannnya ia merupakan orang yang suka dilihat orang. Hal tersebut dikuatkan dengan dokumentasi foto yang menggambarkan subek FA tengah berada di salah satu peragaan busana. Foto-foto lain menunjukkan eksistensinya di dunia modelling, yaitu subjek menampilkan gaya, busana serta make up selayaknya seorang model. Selain itu dalam catatan observasi juga diketahui bahwa subjek memang senang memadupadankan berkreasi model dalam busana, hal penampilan. Mulai dari mengkombinasikan warna dan penggunaan aksesoris sebagai pelengkap penampilan dalam aktivitasnya sehari-hari. Hal tersebut tergambar jelas baik saat subjek berada di kantor tempatnya bekerja (wawancara pertama) ataupun pada saat menghadiri acara halal bi halal yang diselenggarakan oleh komunitas Hijabers Malang (wawancara kedua). Namun tidak hanya masalah kenyamanan, hal penting lainnya yang mempengaruhi subjek dalam berhijab adalah mood atau suasana hati. Suasana hati dirasa subjek sebagai sesuatu yang sifatnya fluktuatif. Maka ketika suasana hatinya sedang baik (good mood) subjek akan merasa percaya diri dengan apapun yang dipakainya dan dengan cara apapun ia memakainya. Berbeda ketika suasana hatinya sedang buruk (bad mood) maka kepercayaan diri subjek akan menurun bahkan ia akan merasa tidak 114 bersemangat sekalipun tengah menggunakan model hijab yang paling bagus misalnya. Dalam hal kerapian, subjek menganggap rapi itu identik dengan resmi yang mana hal tersebut mempengaruhi rasa pantas yang dimilikinya dihadapan orang lain. Namun tidak hanya sebatas itu, kerapian juga berhubungan dengan kebersihan. Baginya sesuatu yang bersih adalah yang mampu membuat dirinya merasa nyaman. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 yang menyajikan skema alur iman sadar subjek. Dalam skema tersebut juga tergambar proses berhijab yang dialami subjek. Adapun proses berhijab yang dilewati subjek berawal dari bentukan lingkungan. Lingkungan sosial yang dinilai subjek sangat islami membuat dirinya melakukan modeling atas apa yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Hal tersebut berlangsung sejak subjek masih kecil saat dirinya ingin memakai hijab seperti yang dilakukan oleh saudara perempuannya. Setelah itu berhijab menjadi kebiasaan yang dilakukan subjek baik saat berada di lingkungan keluarga maupun sekolah. Adapun perilaku berhijab subjek saat masih kecil terbukti dalam data dokumentasi berupa foto yang menggambarkan subjek memakai hijab yang terlihat lebih besar dari pada dirinya yang memang masih sangat kecil. 115 Gambar. 4.2 Alur iman sadar sebagai dinamika kepercayaan eksistensial FA 116 Namun seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan subjek dalam memakai hijab akhirnya memunculkan kesadaran dalam dirinya. Kesadaran tersebut membuat subjek yakin dan berkomitmen untuk menggunakan hijab secara utuh yaitu secara syariat dan hakikat. Pada saat itu subjek menyadari bahwa berhijab merupakan suatu kebutuhan bagi dirinya, yang mana kebutuhan tersebut dirasa subjek muncul dalam bentuk pengontrol, penyaring dan pelindung saat berhubungan dengan orang lain. Setelah subjek berhijab, ia mendapatkan respon yang positif dari pihak keluarga dan teman-temannya. Adapun respon positif dari keluarga adalah berupa dukungan atas keinginannya berhijab, dengan cara memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkannya serta tidak membatasi kreativitasnya dalam berhijab. Sedangkan respon positif dari temantemannya adalah berupa toleransi atas hak masing-masing meskipun tidak semua temannya berhijab. Namun saat berada di lingkungan temantemannya sesama model, subjek pernah mendapat respon negatif tentang hijab yang dikenakannya. Respon negatif tersebut berupa komentarkomentar yang mengungkapkan bahwa cara berhijab subjek selalu berbeda dengan yang lain, aneh dan ruwet. Adapun hal-hal yang dirasakan subjek dalam lingkungan sosialnya setelah ia yakin untuk berhijab secara utuh adalah subjek merasa percaya diri, nyaman, lebih terlindungi dan terkontrol. Di sisi lain subjek juga terkadang merasa minder dan terdiskriminasi, yang mana hal tersebut 117 terjadi ketika dirinya dihadapkan pada situasi-situasi yang terbatas untuk dilakukan oleh seseorang yang berhijab. Namun hal itu tidak lantas membuat subjek memiliki keinginan untuk melepas hijabnya begitu saja karena ia memandang bahwa segala sesuatu pasti memiliki sisi positif dan negatif. Sehingga meskipun berada dalam posisi yang kurang menyenangkan, subjek ingin terus istikamah dalam menjalani pilihannya. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan keyakinannya adalah subjek merasa memiliki nilai lebih di mata Allah sekalipun ia belum bisa sepenuhnya merasa ikhlas dalam menjalani perintah berhijab, karena baginya ikhlas merupakan titik akhir yang tidak mudah untuk dicapai. Dalam perjalanannya memakai hijab, subjek memiliki pengalaman bergabung dengan beberapa komunitas sosial yaitu komunitas Hijabers Malang, PAY (Pecinta Anak Yatim) dan Pondok Beras. Selama bergabung dengan komunitas-komunitas tersebut, subjek merupakan orang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Subjek merasa setelah bergabung dengan komunitas-komunitas tersebut dirinya mendapatkan manfaat-manfaat yang positif, antara lain mendapat ilmu, saudara, menjadi lebih wise serta mendapat kualitas hubungan yang lebih baik, secara vertikal (hablu minallah) maupun horizontal (hablu minannaas).