66 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Subjek AJ 1. Pengalaman

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Subjek AJ
1. Pengalaman Berhijab
Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara (AJ:98-103a).
Dia memiliki adik laki-laki yang sedang menempuh pendidikan di kota
Surabaya (AJ:98-103b ; AJ:105b). Dalam kesehariannya subjek berada di
rumah hanya dengan ibunya saja, karena ayahnya bekerja di Jakarta
(AJ:105b). Meskipun jarang bertemu dengan beberapa anggota
keluarganya, subjek mengaku bahwa hubungannya dengan keluarga
cukup dekat. Kedekatan tersebut berupa sharing satu sama lain dan
terkadang subjek bersama keluarganya pergi jalan-jalan jika seluruh
anggota keluarga sedang berkumpul. Selain itu terkadang dirinya
mengunjungi adiknya yang berada di Surabaya (AJ:24 ; AJ:105a).
Subjek mulai berhijab pada tahun 2011 yaitu setelah lulus
S1(AJ:14 ; AJ:71a). Sebelumnya subjek tidak pernah memiliki latar
belakang sekolah keislaman atau madrasah yang biasanya mengharuskan
para siswa perempuan memakai seragam berjilbab, namun dia mengaku
bahwa dirinya berasal dari keluarga yang Islami (AJ:26 ; AJ:114-117).
Awalnya subjek merasa bingung untuk menentukan kapan waktu yang
tepat untuk mulai berhijab. Hal tersebut dirasa sebagai sebuah kendala
tersendiri bagi subjek dan menjadi konflik yang bergulat dalam dirinya
66
67
(AJ:34 ; AJ:75a). Adapun disebut sebagai suatu konflik karena di satu
sisi subjek menginginkan dirinya menjadi seorang muslimah yang lebih
baik lagi dengan berhijab, namun di sisi yang lain subjek masih bingung
menentukan kapan waktu yang tepat untuknya merealisasikan keinginan
tersebut. Subjek mengaku bahwa ibu dan sahabatnya merupakan orang
yang mempengaruhi keputusannya berhijab, mengingat ibu subjek
memang telah lebih dulu memakai hijab (AJ:16 ; AJ:97). Di tengah
kebingungannya, subjek mendapat nasihat dari ibunya bahwa waktu yang
tepat untuknya mulai memakai hijab yaitu ketika subjek sudah benarbenar mantap dan semakin cepat akan semakin baik. Akhirnya setelah
berdiskusi dengan ibunya, subjek memutuskan bahwa setelah lulus S1
adalah waktu yang tepat untuk dirinya mulai berhijab (AJ:75b ; AJ:110113a ; AJ:110-113b).
Alasan subjek memilih waktu tersebut karena keputusannya
berhijab sekaligus digunakan sebagai perayaan kelulusannya (AJ:77).
Padahal subjek mengaku selama kuliah dia tidak memikirkan atau
memiliki rencana untuk berhijab sebelumnya (AJ:78-83a). Subjek juga
mengaku hal tersebut terjadi secara tiba-tiba dan mengalir begitu saja
seperti mendapat hidayah (AJ:78-83b). Dia hanya berpikir bahwa dirinya
biasa-biasa saja dan sebagai manusia biasa harus selalu menjadi lebih
baik apalagi sebagai seorang muslimah. Oleh karena itu dengan berhijab
subjek bertujuan untuk memperbaiki dirinya agar menjadi muslimah
yang lebih baik lagi (AJ:18 ; AJ:85a ; AJ:85b ; AJ:169a).
68
Saat memakai hijab awalnya subjek merasa canggung dengan
teman-temannya di lingkungan kampus karena mereka mengetahui
keadaan subjek yang sebelumnya tidak berjilbab, tetapi seiring dengan
berjalannya waktu subjek merasa terbiasa (AJ:20 ; AJ:87a). Namun di
luar itu subjek merasa lebih baik dan lebih nyaman setelah dirinya
berhijab (AJ:56 ; AJ:177). Subjek juga merasa lebih percaya diri.
Kepercayaan diri tersebut dirasakannya tiba-tiba muncul dalam dirinya
dan bukan merupakan perasaan bahwa dirinya telah mampu menjadi
seorang muslimah yang baik (AJ:182-185a ; AJ:182-185b). Selain itu
subjek juga merasa senang ketika melihat orang lain yang telah berhijab
(AJ: 50). Dan bagi orang lain yang belum berhijab, subjek mempunyai
harapan agar orang tersebut segera dibukakan pintu hatinya untuk mau
menutup auratnya (AJ:52).
Selain mendapatkan kenyamanan, subjek juga merasa mendapat
perlindungan, menjadi lebih waspada dan berhati-hati (AJ:160-165a ;
AJ:167). Selain itu subjek mengaku saat ini hubungan sosialnya lebih
terjaga dan dihormati setelah dirinya berhijab (AJ:36). Dalam hal ibadah
subjek juga merasakan adanya perubahan ke arah yang lebih baik lagi
yaitu mengerjakan shalat lima waktu lebih awal, meningkatkan ibadah
sunnah, mendengarkan tausiyah dan mencoba mengaplikasikan ilmu
yang didapatnya dari tausiyah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan berhijab mampu menyadarkan subjek agar terus berusaha untuk
memperbaiki diri (AJ:169b ; AJ:170-175). Adanya manfaat tersebut
69
membuatnya ingin terus lebih baik lagi dan tetap istiqomah untuk
menjalankan perintah Allah (AJ:54 ; AJ:157).
“Ehm… Gak sepenuhnya juga, soalnya ya aku manusia biasa
tapi kan dengan berhijab ya aku maksudnya untuk
memperbaiki diri. Tapi setelah berhijab aku kan jadi sadar,
maksudnya ‘oh aku sudah berjilbab’. Jadi meski udah shalat
lima waktu, mungkin harus lebih ditingkatkan, shalatnya
harus lebih awal-awal kaya gitu. Jadi ya tetep sih
memperbaiki diri.”
2. Respon Lingkungan
Mengingat keluarga subjek berperan dalam mempengaruhi subjek
untuk memakai hijab, subjek mendapat respon positif dari lingkungan
keluarga setelah mereka mengetahui bahwa subjek telah memutuskan
untuk mulai berhijab. Respon positif yang didapat subjek adalah berupa
dukungan. Dukungan yang diberikan oleh pihak keluarga saat itu adalah
masukan tentang kapan waktu yang tepat untuknya mulai berhijab dan
bagaimana cara memakai hijab yang benar. Selain itu subjek juga
mendapat pujian yang menunjukkan kelegaan keluarga terkait keputusan
yang diambilnya (AJ:22 ; AJ:93-95 ; AJ:28).
Tidak hanya dari pihak keluarga, respon positif juga didapat subjek
dari teman-temannya saat mengetahui dirinya sudah berhijab (AJ:30 ;
AJ:32). Respon tersebut berupa komentar-komentar positif yang
dianggap subjek sebagai dukungan moral. Bentuk dari dukungan moral
yang di berikan teman-teman di semua lingkungan sosialnya adalah
berupa support doa agar subjek dapat istiqomah dan bisa lebih baik lagi
kedepannya (AJ:118-121 ; AJ:127a ; AJ:127b). Selain itu subjek merasa
70
tidak ada komentar lain yang membuatnya merasa tidak enak (AJ:87b).
Adapun dukungan khusus misalnya ajakan untuk mengikuti kegiatan
keagamaan di dapat subjek dari komunitas Hijabers Malang (AJ:122125).
3. Pengalaman dalam Komunitas
Selang beberapa bulan setelah subjek memakai hijab, subjek
mendapat informasi dari media sosial yaitu Twitter mengenai pembukaan
dan peresmian komunitas Hijabers Malang yang akan mengadakan first
gathering. Berawal dari rasa ingin tahu dan adanya ajakan dari seorang
teman akhirnya subjek datang menghadiri acara tersebut. Setelah datang
dan mengikuti acara first gathering yang diadakan oleh komunitas
Hijabers Malang pada tahun 2011, subjek memutuskan untuk bergabung
dalam komunitas tersebut (AJ:38-39a ; AJ:38-39b ; AJ:67 ; AJ:71b).
Setelah bergabung dan menjadi anggota komunitas Hijabers
Malang, sampai saat ini subjek tergolong aktif dalam mengikuti kegiatankegiatan yang ada dalam komunitas tersebut (AJ:42). Adapun kegiatan
yang paling disukai subjek adalah tausiyah, tadabur Al-qur’an dan
gathering (AJ:44).
Sebagai anggota dalam komunitas Hijabers Malang subjek merasa
hubungannya dengan anggota yang lain cukup dekat (AJ:46). Kedekatan
tersebut digambarkan subjek terjadi tidak hanya ketika mereka sedang
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas saja tetapi
juga ketika berada di luar hal tersebut, misalnya keluar bersama, jalan-
71
jalan bareng, menemani salah satu anggota mencari keperluan dll
(AJ:131-133). Selain itu subjek juga menilai bahwa komunitas Hijabers
Malang cukup kompak. Disini subjek mengartikan kekompakan tidak
identik dengan kebersamaan, dalam arti yang kompak harus selalu
bersama (AJ:202-205a). Namun dengan alasan lain subjek mengartikan
kekompakan dalam komunitas tersebut dengan adanya kebiasaan untuk
saling memberikan hal positif satu sama lain. Hal tersebut sering terjadi
ketika komunitas akan mengadakan suatu acara maka para anggotanya
tidak segan-segan memberikan bantuan agar acara tersebut dapat berjalan
dengan baik. Subjek merasa karena mereka berada dalam satu komunitas
yang sama, maka tidak ada salahnya bekerja sama untuk menciptakan
sesuatu yang positif untuk orang lain (AJ:202-205b).
“Kekompakan bukan berarti harus terus bareng-bareng kalau
aku menilai. Ya kalo dari HM sendiri sih ya kalo’ aku bilang
cukup kompak sih ya, ya bisa dibilang cukup kompak. Dalam
artian misal eee,, kita mau ada acara trus habis itu langsung
aja, ini minta tolong siapa yang ngurusin ini,, langsung ada
yang ngomong. Jadi maksudnya kita ya merasa karna kita
dalam satu komunitas ya jadi gimana caranya biar kita sama2
bisa ngasih positif ke yang lain. Jadi ya gak ada salahnya kalo
kita itu bekerja sama buat sesuatu hal yang positif buat orang
lain. Gitu..”
Sekalipun subjek merasa dekat dan kompak dengan sesama anggota di
komunitas Hijabers Malang, subjek merasa tidak ada perubahan
pergaulan terlebih saat mengikuti organisasi di lingkungan kampus
(AJ:48b).
Setelah bergabung dalam komunitas Hijabers Malang subjek
menjadi lebih luas wawasannya dan lebih mengetahui bahwa pandangan
72
orang itu bermacam-macam (AJ:195a), contohnya dalam memandang
kewajiban berhijab yang diaplikasikan dengan cara yang berbeda-beda
oleh para anggota dalam komunitas tersebut. Pengetahuan tersebut
berasal dari sharing atau diskusi yang dilakukan subjek dengan para
anggota komunitas Hijabers Malang yang lain. Subjek mengaku bahwa
mereka sering berdiskusi mengenai gaya hidup muslimah berhijab. Dari
diskusi-diskusi yang dilakukan, subjek mendapat masukan-masukan
tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang muslimah yang baik
(AJ:190-193). Baginya diskusi dengan sesama anggota komunitas
Hijabers Malang itu lebih bisa bicara dan lebih enak suasananya
dibandingkan hanya dengan membaca buku-buku Islami, sehingga
subjek merasa hal tersebut adalah hal yang lebih positif karena dapat
menambah ilmu (AJ:201). Selain itu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan
yang diadakan oleh komunitas Hijabers Malang seperti tausiah dan ngaji
bareng, subjek merasa hal tersebut mampu mempengaruhi kualitas
keagamaannya menjadi lebih baik. Pengaruh tersebut diakuinya berasal
dari isi tausiah dan kajian Al-Qur’an yang disampaikan oleh ustadz atau
ustadzah (AJ:187-189).
Adanya
manfaat-manfaat
tersebut
membuat
subjek
merasa
mendapatkan hal-hal yang positif selama bergabung menjadi anggota
komunitas Hijabers Malang. Sehingga subjek merasa tidak ada salahnya
untuk tetap aktif dan terus berada dalam komunitas tersebut selama dia
masih berada di Malang dan tidak sibuk bekerja (AJ:196-199 ; AJ:201).
73
“Ya karena itu tadi,,, hal-hal positif yang bisa aku dapatkan
kenapa nggak, selama itu positif buat aku, trus maksudnya
nambah ilmu buat aku, kenapa kok ndak tak terusin. Lagian
kalo aku nggak ikut HM pun, misalkan akunya sering baca
buku islam dan lain sebagainya, tapi ini loh ada yang lebih
positif, apa ya maksudnya lebih bisa bicara, sharing dengan
teman-teman yang lain kan lebih enak suasananya, jadi ya
gak ada salahnya, ya tak terusin aja.”
4. Fashion
Sekalipun subjek menjadi salah satu anggota di komunitas Hijabers
Malang yang identik dengan konsep stylish dan fashionable dalam
berbusana, subjek mengaku bahwa perkembangan mode atau fashion
bukanlah hal yang utama, yang harus menjadi patokan bagi dirinya
(AJ:137-143a). Menurut subjek mengikuti perkembangan adalah hal
yang wajar dan boleh-boleh saja dilakukan untuk menjadi pengetahuan
agar tidak ketinggalan zaman. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang
harus diikuti, karena subjek sendiri mengaku bahwa dia bukanlah orang
yang mengharuskan diri untuk mengikuti suatu trend busana yang sedang
hits atau populer dan digemari banyak orang. Baginya mengikuti
perkembangan mode haruslah cocok dan sesuai dengan kebutuhan,
karena hal tersebut yang akan membuatnya merasa nyaman. Saat ini
model busana yang menurutnya sesuai dengan kebutuhan dan mampu
membuatnya nyaman adalah dengan menggunakan celana. Selain itu
subjek juga tidak mau buat pusing dengan masalah fashion asalkan hal
tersebut sesuai dengan syari’at Islam (AJ:137-143b ; AJ:137-143d ;
AJ:137-143e ; AJ:217).
74
“Ehmm,,,, sejauh itu,,,, ya kita mengikuti perkembangan
memang gak ada salahnya ya biar gak apa namanya, ya kita
taulah selain untuk pengetahuan tapi sebenarnya aku gak
yang terlalu harus mengikuti perkembangan nggak, selama
itu cocok dan itu bagus buat aku ya gak masalah, tapi aku gak
terlalu yang wah sekarang musimnya ini aku harus pake yang
ini, enggak. Jadi mengikuti ya gak apa-apa tapi kalo masalah
fashion seperti apa, ya asalkan eee,, sesuai syari’at Islam gitu
aja sih menurut aku, nggak tak buat pusing atau ya apa.”
Namun setelah subjek masuk dalam komunitas Hijabers Malang,
terdapat perubahan dalam penampilan atau gaya berbusananya. Subjek
mengaku menjadi lebih variatif, dalam artian yang sebelumnya subjek
hanya senang mengkombinasikan kaos panjang dengan celana panjang
saja, sekarang subjek terkadang mengkombinasikannya dengan rok
ataupun dress (AJ:48a).
Ketika bepergian atau keluar rumah, subjek mengaku jika dirinya
termasuk orang yang santai, apa adanya dan tidak terlalu berpatokan pada
penampilan, sehingga tidak ada penampilan tertentu yang dirasa mampu
mempengaruhi rasa percaya dirinya. Baginya yang penting sesuai dengan
kebutuhan, seperti ketika akan kuliah dengan pergi ke acara pernikahan
pasti menggunakan pilihan busana yang berbeda. Dia juga tidak
mempermasalahkan gaya berhijab tertentu karena yang terpenting adalah
dia tetap berhijab sekalipun hanya dengan jilbab paris biasa dan tidak
dengan gaya berhijab yang “wah” atau “gimana-gimana” (AJ:206-209 ;
AJ:212-215a ; AJ:212-215b).
“Enggak sih kalo aku gak terlalu berpatokan sama
penampilan, ya pokoknya aku berjilbab ya udah, jadi
misalkan aku gak pake jilbab yang gimana-gimana misalkan
mek parisan tok ya udah yang penting aku tetep berhijab kaya
75
gitu, masalah pakaianku seperti apa,,,ya soalnya aku
orangnya emang nyantae ya jadi apa adanya, jadi gak yang
harus wohhh aku mau kesini aku harus pake kaya ginigini,,owh ya nggak, jadi aku ya seadanya aja, nggak,,nggak
terpatok pada satu,,,apa ya, misalkan aku mau keluar rumah
jadi aku harus pake yang kaya gini-gini. Kecuali, jadi
misalkan kaya’,,, ehm ya aku kan menyesuaikan juga, jadi
mau ke kampus pasti kan bajunya juga beda sama kaya’ mau
kondangan.”
Adapun model hijab yang sering digunakan oleh subjek adalah jilbab
paris dan pashmina (AJ:12).
Subjek menilai kerapian dalam berbusana sama seperti pepatah
jawa yang menyebutkan “aji ning rogo soko busono”. Sehingga subjek
menilai kerapian sebagai penghormatan terhadap diri. Seseorang yang
berpenampilan rapi berarti menghormati dan menghargai dirinya serta
akan dipandang rapi oleh orang lain sesuai yang terlihat. Baginya segala
sesuatu yang rapi enak untuk dilihat, meskipun subjek mengaku bahwa
terkadang dirinya juga tidak selalu rapi (AJ:218-221a ; AJ:218-221b).
“Rapi itu…. ee kalo’ rapi dalam berpakaian itu kan ada yang
bilang, kalo’ di jawa kan aji ning rogo soko busono. Ya itu
sih, kalo aku menilainya. Jadi kalo orang itu rapi kita jadi
menilai orang kan juga keliatan oh orang ini rapi,, gini-gini,,
dan kalo segala sesuatunya rapi kan emang kita ngeliatnya
jadi enak. Ya meskipun aku kadang-kadang gak rapi juga.
Hehehe.”
Namun kerapian tidak hanya dinilai berdasarkan penampilan saja,
subjek menuturkan bahwa
kemampuannya
dalam
kerapian seseorang juga dilihat dari
menjalankan
suatu
tugas.
Sebjek
akan
mengatakan orang tersebut rapi ketika dia mampu mengerjakan
76
pekerjaannya dengan yang teratur dan menyelesaikannya tepat waktu
(AJ:223).
Untuk masalah kebersihan, subjek meyakini bahwa kebersihan itu
sebagian dari iman. Ketika dia melihat sesuatu yang tidak bersih maka
hal tersebut akan membuatnya merasa tidak nyaman. Sehingga subjek
selalu berusaha untuk menciptakan kebersihan di lingkungan sekitarnya.
Contohnya saat di rumah, ketika subjek mengetahui kondisi kamarnya
sedang berantakan maka subjek akan merasa tidak nyaman dan sesegera
mungkin membersihkannya (AJ:224-227).
“Kalo kebersihan kan kita tau sendiri sebagian dari iman, jadi
ya kita ngeliat,, kalo aku sih ngeliat sesuatu yang gak bersih
itu gak nyaman, jadi ya gimana-gimana aku berusaha
menciptakan lingkungan sekitarku itu bersih. Jadi kaya misal
di rumah itu di kamar contoh kecilnya, misalkan apa pas
berantakan itu kan rasanya wes gak nyaman gitu kan, ndangndang di bersihkan.”
5. Konsep Keimanan
Bagi subjek keyakinan adalah kepercayaan atau sesuatu yang
dipercaya (AJ:150-153). Sesuatu yang dirasakan sebagai hal yang benar
dalam hatinya, yang membuat subjek merasa memiliki jalan hidup. Jalan
hidup yang tidak mungkin membuatnya tersesat, sehingga selalu menjadi
pegangan dalam hidupnya dan dijadikan dasar serta tujuannya dalam
melakukan apapun (AJ:145-147a ; AJ:145-147b). Dengan adanya
kepercayaan tersebut subjek memandang tujuan hidupnya adalah untuk
beribadah (AJ:145-147c).
77
“Ya kalo gak ada agama sih, dasarnya hidup sekarang apa?
kita tujuannya hidup itu buat apa? kalo aku sih tujuan hidup
itu buat ibadah.”
Kepercayaan subjek terhadap agama Islam menuntunnya untuk
mengenal Allah dan Al-Qur’an. Di dalam hatinya, subjek bisa merasakan
dan meyakini kebenaran Allah sebagai dzat yang memiliki sifat-sifat luar
biasa yang dikenalnya dalam asmaul husna sebagaimana yang
digambarkan dalam Al-Qur’an (AJ:149).
“Ehm…yang apa ya,,, gak bisa diukur dengan kata-kata tapi
pasti ada. Ya kan kita tau sifatNya ada 99, dan semuanya itu
ya memang terbukti. Ya susah sih, kalo dijelaskan dengan
kata-kata karena itu kan apa yang ada di perasaan diri kita
dan keyakinan kita jadi itu tergantung sama keyakinan sih..
Dan aku yakin.. Dan aku bisa merasakan.”
Baginya Al-Qur’an tidak mungkin bohong. Al-Qur’an berisi hal-hal yang
benar dan dapat dibuktikan serta dirasakan kebenarannya. Sehingga hal
tersebut membuat subjek melaksanakan perintah yang ada dalam AlQur’an dan Allah lah yang Maha Besar menunjukkan jalan dari setiap hal
yang telah disyari’atkanNya (AJ:58 ; AJ:159).
6. Kepercayaan Berhijab
Meyakini kebenaran Al-Qur’an berarti membenarkan apa-apa yang
ada di dalamnya. Salah satu hal yang ada dalam Al-Qur’an adalah
perintah menutup aurat bagi wanita muslimah. Subjek memandang
perintah menutup aurat merupakan kewajiban yang harus dijalani para
muslimah, sehingga atas dasar itulah subjek menutup auratnya dengan
berhijab (AJ:2a ; AJ:155a). Menurut subjek batasan hijab yang sesuai
dengan syariat Islam adalah menutup aurat sampai tidak terlihat lekuk
78
tubuhnya, namun subjek mengaku masih dalam proses untuk menerapkan
hal tersebut pada dirinya sendiri (AJ:8-10). Selain itu subjek mengetahui
bahwa salah satu cara menutup aurat agar tidak terlihat lekuk tubuhnya
adalah dengan menggunakan rok, tetapi sampai saat ini subjek mengaku
masih lebih sering dan lebih nyaman menggunakan celana. Meski
demikian subjek tetap berusaha untuk tidak menunjukkan bentuk
tubuhnya secara berlebihan (AJ:195b).
“Emm,, aku tau kok di islam itu perintahnya ya kita harus
pakai ya kalau bisa perempuan itu ya harus menutup
semuanya, jangan sampai kelihatan lekuk-lekuk tubunya jadi
ya pakai rok terus, tapi ya aku menanggapinya itu dengan
positif dan memang benar, tapi sejauh ini aku masih nyaman
sering pake celana, jadi ya udah,,,,ya gak masalah dan aku
sendiri juga berusaha, maksudnya pake celana juga gak
sampai nunjuk-nunjukin kaya gitu.”
Adanya perintah untuk berhijab sebagai salah satu syariat Islam
dirasakan subjek sebagai sesuatu yang perlu, karena dengan adanya
syariat tersebut subjek menjadi tahu bagaimana cara berhijab yang benar.
Dengan memakai hijab subjek merasa mampu menjaga diri dari
pandangan lawan jenis yang berniat kurang baik (AJ:2b ; AJ:4-6).
Sehingga bisa dikatakan bahwa subjek menjadikan hijab sebagai
pelindung bagi dirinya (AJ:160-165b). Hal tersebut membuat subjek
ingin terus menjalankan kewajiban berhijab selama dia mampu
menjalankannya (AJ:155b). Sekalipun ada pendapat yang mengatakan
bahwa hijab merupakan bagian dari budaya arab dan bukan bagian dari
syariat Islam, subjek tidak mempermasalahkan hal tersebut dan tetap
79
berpegang teguh meyakini perintah berhijab seperti yang ada dalam AlQur’an (AJ:179).
7. Analisis
Berdasarkan data yang didapat dari subjek AJ, diketahui bahwa dia
menjelaskan keimanannya sebagai berikut, iman yang diyakini oleh
subjek merupakan keyakinan dan kepercayaan terhadap sesuatu yang
dirasa benar. Kebenaran tersebut mengacu pada sesuatu yang dianggap
transenden, yang tidak bisa dijelaskan maupun digambarkan dengan katakata dan hanya bisa dirasakan dalam dirinya. Perasaan yakin dan percaya
tersebut bertumpu pada suatu dzat yang dia kenal dalam agamanya
dengan istilah Allah. Kepercayaan subjek terhadap Allah membuatnya
yakin untuk menjalankan hal-hal yang telah diatur dalam agama Islam,
yang kemudian hal tersebut dijadikan dasar dan pegangan subjek dalam
menjalani kehidupannya. Dengan kata lain segala hal yang dilakukan
dalam hidupnya akan bertumpu pada sesuatu yang diyakininya sebagai
suatu kebenaran tersebut. Dengan demikian selanjutnya subjek merasa
mempunyai tujuan di dalam hidupnya. Bagi subjek tujuan hidupnya
adalah beribadah kepada Allah semata.
Selain meyakini kebenaran Allah, subjek juga meyakini kebenaran
Al-Qur’an. Mengingat Al-Qur’an
merupakan kitab yang diturunkan
Allah untuk hambanya, subjek meyakini bahwa segala hal yang terdapat
dalam Al-Qur’an adalah benar dan tidak mungkin jika di dalamnya
terdapat kebohongan. Keyakinan tersebut akhirnya membuat subjek
80
memutuskan untuk mengenakan hijab, karena sejatinya berhijab adalah
perintah Allah yang tetulis dalam Al-Qur’an yang ditujukan kepada para
muslimah sebagai upaya untuk menutup aurat. Sekalipun hijab menjadi
bagian dari fashion berbusana yang terus menerus mengalami
perkembangan mode, subjek tidak serta merta mengikuti perkembangan
yang ada begitu saja. Baginya, mengikuti perkembangan mode bolehboleh saja asalkan sesuai dengan syariat Islam, cocok dengan dirinya dan
sesuai dengan kebutuhan.
Pengakuan subjek mengenai hal tersebut sesuai dengan data
observasi dan dokumentasi yang didapat oleh peneliti. Berdasarkan
catatan observasi yang diambil selama wawancara berlangsung diketahui
bahwa dalam berpenampilan, subjek AJ terlihat tidak berlebihan saat
berada di lingkungan kampus. Sedangkan berdasarkan dokumentasi foto
penampilan subjek terlihat lebih variatif dengan model busana dan hijab
yang beragam, dimana foto tersebut menggambarkan subjek bersama
anggota komunitas Hijabers Malang yang lain tengah melakukan sesi
pemotretan untuk keperluan kepengurusan (commitee) komunitas. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam berbusana ia sesuaikan dengan
kebutuhan dan tetap berhijab sebagai bentuk pengamalan perintah
menutup aurat yang disyariatkan dalam Islam.
Dengan cara seperti itulah subjek mampu merasa nyaman ketika
berhijab, sehingga hijab disini bisa dikatakan sebagai bentuk iman yang
diaplikasikan subjek dalam perilaku yang nyata. Namun tidak hanya
81
dengan berhijab, subjek mengaplikasikan bentuk keimanannya juga
dalam hal kebersihan dan kerapian. Baginya kebersihan adalah sebagian
dari iman. Ketika subjek mendapati sesuatu yang tidak bersih maka
dirinya akan merasa tidak nyaman, sehingga dengan segera subjek
berusaha untuk membersihkan hal tersebut dan slalu menciptakan
kebersihan di lingkungan sekitarnya agar dirinya mampu merasa nyaman.
Dalam hal kerapian subjek menilai penampilan seperti pepatah
jawa yang mengatakan “aji ning rogo soko busono”, yang mana jika
seseorang rapi maka akan dinilai rapi oleh orang lain yang melihatnya
dan subjek berpendapat bahwa segala sesuatu yang rapi itu akan enak
untuk dilihat. Adanya penggunaan pepatah jawa tersebut menunjukkan
bahwa terdapat aspek local wisdom yang mempengaruhi keimanan
subjek. Namun tidak hanya dari segi penampilan, subjek juga menilai
kerapian seseorang dari caranya menyelesaikan suatu pekerjaan dengan
teratur.
Adanya perasaan-perasaan nyaman dalam diri subjek seperti
kenyamanan saat berhijab, kenyamanan saat berada di lingkungan yang
bersih dan kenyamanan saat melihat sesuatu yang rapi menunjukkan
bahwa
perilaku-perilaku
hasil
manifestasi
keimanan
mampu
mempengaruhi perasaannya. Yang mana dengan adanya hal tersebut
mampu memotivasi subjek untuk melakukan kembali hal-hal yang
membuatnya merasa nyaman. Pengulangan perilaku manifestasi iman
82
nantinya akan kembali mempengaruhi perasaan subjek, jika perasaan itu
positif maka akan mampu memberikan penguatan terhadap keimanannya.
Adapun alur dari iman subjek dapat dilihat pada gambar 4.1 yang
disajikan dalam bentuk skema. Skema tersebut juga menggambarkan
proses berhijab yang dialami subjek. Pertama, sebelum subjek
memutuskan untuk berhijab. Pada saat dirinya belum berhijab, subjek
tidak pernah memiliki latar belakang pendidikan Islam secara formal.
Namun meskipun demikian subjek mengaku memiliki keluarga yang
agamis. Ibunya yang telah berhijab sejak lama ditambah kedekatan yang
ada dalam keluarganya, mampu memotivasi subjek agar selalu berusaha
menjadi seseorang yang lebih baik dan lebih baik lagi, sehingga muncul
keinginan dalam diri subjek untuk memakai hijab.
Kedua, saat subjek akan memutuskan untuk mulai berhijab. Pada
saat tersebut subjek merasakan adanya konflik yang terjadi dalam
dirinya. Konflik tersebut berupa pertentangan batin karena di satu sisi
subjek ingin segera memakai hijab agar menjadi muslimah yang lebih
baik lagi dan di sisi yang lain dia merasa bingung dalam memilih waktu
yang tepat untuk mulai berhijab. Akhirnya subjek merasa hal tersebut
menjadi kendala tersendiri bagi dirinya. Namun setelah berdiskusi
dengan ibunya subjek memutuskan bahwa setelah lulus S1 adalah waktu
yang tepat untuknya. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa keluarga sangat
berperan dan berpengaruh bagi subjek dalam membuat keputusan.
83
Gambar. 4.1
Alur iman sadar sebagai dinamika kepercayaan eksistensial AJ
84
Kemudian yang ketiga adalah setelah subjek memakai hijab.
Setelah dirinya memakai hijab, subjek mendapat respon yang positif baik
dari pihak keluarga maupun teman-temannya. Keluarga subjek sangat
senang mengetahui dirinya telah memutuskan untuk berhijab dan
memberi dukungan serta masukan tentang cara memakai hijab yang
benar. Adapun respon positif dari teman-temannya adalah berupa
dukungan moral. Maksud dari dukungan moral disini adalah support doa
agar subjek mampu istiqomah dalam menjalani keputusannya.
Hal-hal yang dirasakan subjek setelah dirinya memakai hijab yaitu
subjek merasa semakin nyaman dan percaya diri. Dia juga merasa lebih
hati-hati dan waspada dalam bersikap, serta lebih dihormati di
lingkungan sosialnya.
Setelah subjek memakai hijab, dia juga mendapat pengalaman baru
dengan bergabung menjadi anggota dalam komunitas Hijabers Malang.
Selama bergabung, subjek termasuk anggota yang aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas tersebut. Subjek merasa
mendapatkan manfaat-manfaat yang positif setelah dirinya bergabung
dengan komunitas Hijabers Malang. Adapun manfaat yang telah didapat
subjek adalah bertambahnya teman, ilmu dan kualitas keagamaannya.
85
B. Subjek FA
1. Pengalaman Berhijab
Subjek merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang
merupakan anak perempuan terakhir dan paling kecil diantara ketiga
kakaknya (FA:39-42). Dalam lingkungan sosialnya subjek mengaku telah
mendapatkan pendidikan agama sejak kecil. Subjek juga menyebut
bahwa sejak TK hingga SMA dirinya disekolahkan di sekolah-sekolah
Islam (FA:29-38a). Pendidikan agama didapat baik di lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggal subjek,
sehingga bisa dikatakan bahwa dia dibesarkan dengan cara yang Islami
oleh lingkungan sekitarnya. Adapun pendidikan agama yang diperoleh
subjek dari orangtuanya adalah bukan dengan cara memerintah
melainkan dengan pendampingan dan pemberian contoh (FA:44a ;
FA:44b).
“Kalo’ masalah Islam alhamdulillahnya dari kecil kita dididik
dengan cara Islam.Lagi pula ee orangtuaku bukan menyuruh
ya, kita didampingi. Misalnya kita ngaji, bukan disuruh ngaji
tapi orangtua ngaji akhirnya kita jadi ikut ngaji gitu. Kalo’
temen2 pada ngaji di masjid akhirnya kita minta ngaji2
sendiri. Ya itu jadi semuanya, temen2, keluarga, orangtua.”
Berawal dari lingkungan tersebut akhirnya subjek terbiasa
mengerjakan hal-hal yang sifatnya religius, salah satunya adalah
berjilbab. Menurut pengakuannya, subjek sudah meminta kepada
orangtuanya untuk memakai jilbab saat dirinya yang masih duduk di
bangku TK melihat kakaknya berjilbab (FA:29-38c). Selain itu lantaran
disekolahkan di sekolah Islam, subjek akhirnya menjadi terbiasa
86
memakai jilbab karena setidaknya seragam yang dikenakannya seharihari menggunakan jilbab. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada
awalnya subjek berjilbab sekedar ikut-ikutan dan belum ada kemauan
sendiri. Namun semakin lama subjek semakin memahami bahwa jilbab
itu bukan kebutuhan orang yang melihat melainkan kebutuhannya
sendiri. Maka pada saat subjek menempuh pendidikan Madrasah
Tsanawiyah–tepatnya saat kelas tiga, dirinya memandang bahwa
berjilbab adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan kebutuhannya
yang harus dipenuhi. Bagi subjek, saat tersebut adalah titik tolak
munculnya komitmen dalam dirinya untuk benar-benar berjilbab (FA:2938b). Akhirnya sejak saat itu subjek selalu berjilbab dan akan merasa
tidak percaya diri jika keluar tanpa mengenakan jilbab. Sekalipun temantemannya ada yang belum berjilbab, hal itu tidak menjadi masalah bagi
subjek karena dia memandang kebutuhan tiap orang berbeda. Baginya
berjilbab itu kebutuhan yang dapat mempengaruhi rasa percaya dirinya
(FA:45-48a).
Sekalipun berjilbab dapat mempengaruhi rasa percaya diri subjek,
dirinya menganggap bahwa hal yang menentukan rasa percaya dirinya
bukanlah jilbab. Terlepas dari keadaan fisik yang dimilikinya, subjek
merasa kepercayaan dirinya muncul ketika dia mampu menonjolkan diri
di titik yang bisa dilihat orang lain, misalnya saat dirinya mampu
memimpin banyak orang atau memiliki jabatan tertentu. Rasa percaya
diri subjek tidak dihadirkan dengan cara mengunggulkan jilbabnya
87
karena ada saat-saat dimana subjek merasa minder atau tidak nyaman
dengan jilbabnya. Baginya rasa percaya diri dan hijab merupakan hal
yang berbeda tetapi saling menunjang satu sama lain dan saling berkaitan
meskipun tidak mengikat. Subjek memandang percaya diri itu sebagai
urusan duniawi yang arah hubungannya horizontal, sedangkan hijab
sebagai urusan akhirat yang arah hubungannya vertikal dengan tuhannya.
Sehingga subjek menjalankan perintah berhijab sebagai syarat yang harus
dipenuhinya, dengan kepercayaan diri sebagai rukun yang ada dalam
menjalani syarat tersebut (FA:140a ; FA:140b ; FA:140c ; FA:140d).
Adapun jilbab dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi subjek
karena jika dia tidak memakai jilbab atau tidak menutup aurat secara
penuh maka akan berpotensi untuk mendapat godaan dari orang lain saat
berada di jalan (FA:45-48b). Namun subjek juga beranggapan bahwa
belum tentu orang yang berjilbab bisa bebas dari godaan. Jika orang yang
tidak berjilbab dirasa subjek wajar mendapat godaan, maka godaan yang
diterima orang tersebut akan berbeda dengan godaan yang diterima oleh
orang berjilbab. Perbedaan tersebut terletak pada arti dari godaan itu
sendiri. Subjek beranggapan bahwa saat orang yang tidak berjilbab–
membuka aurat misalnya dengan berpakaian rok mini atau bikini, digoda
maka godaan itu menunjukkan bahwa orang tersebut dipandang murah
oleh orang lain. Lain halnya dengan orang yang berjilbab, ketika dia
digoda oleh orang lain maka subjek menganggap bahwa godaan itu
sebagai cobaan seberapa kuat orang tersebut mempertahankan jilbabnya,
88
karena godaan yang seperti itu dirasa subjek sebagai pengalih yang
mampu menggoyahkan iman seseorang (FA:109-112c ; FA:113-118a).
Selain itu subjek juga menganggap jilbab sebagai pengontrol,
penyaring dan pelindung karena dengan berjilbab seseorang akan
dipandang dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan orang yang
tidak berjilbab (FA:80b). Berkaitan dengan hal tersebut, subjek mengaku
bahwa saat memakai hijab dirinya merasa terlindungi tapi juga merasa
terdiskriminasi. Namun hal itu dipandang subjek secara bijaksana karena
baginya segala sesuatu itu pasti memiliki sisi positif dan negatif (FA:113118c).
Subjek merasa tidak ada kendala apapun saat dirinya memakai
jilbab (FA:54a). Baginya sekalipun berada dalam lingkungan yang tidak
semua muslimahnya berjilbab, subjek tidak merasa keberatan dan tetap
menghormati pilihan orang tersebut. Subjek merasa bahwa setiap orang
itu berbeda dan pengalaman yang dilewatinya juga berbeda, sehingga
cara memahami konsep berhijabnya pun menjadi berbeda. Toleransi
tersebut ada karena dirinya mengakui bahwa sebenarnya berjilbab itu
susah, namun baginya ketika hal tersebut diukur dengan dirinya sendiri
maka dia akan merasa lebih susah lagi jika tidak berjilbab. Subjek juga
beranggapan bahwa jika seseorang mau berjilbab maka akan menjadi
semakin baik, misalnya saja jika ada seseorang yang berjilbab hanya saat
kegiatan tertentu maka baginya memulai berjilbab dengan cara tersebut
sudah bagus karena nantinya orang tersebut akan merasakan perbedaan
89
perlakuan yang lebih baik yang akan diterimanya ketika berjilbab
(FA:75-78c ; FA:80d ; FA:82b).
Kepada teman-temannya yang belum berjilbab terkadang subjek
memberikan iming-iming jilbab baru ataupun model jilbab yang sedang
dipakainya. Jika ada yang tertarik biasanya mereka meminta subjek
untuk mengajarkan bagaimana cara memakai jilbab tersebut, kemudian
subjek akan mengajarkannya dengan senang hati (FA:68c). Selain itu
ketika subjek mengetahui orang yang dikenalnya belum berhijab maka
dia akan memberitahu orang tersebut, namun jika subjek tidak mengenal
orang tersebut maka dia akan mendoakannya (FA:62d).
Bagi subjek berjilbab itu bukan hanya tentang kenyamanan, karena
baginya kenyamanan itu milik masing-masing orang dan berbeda satu
sama lain. Untuk memperoleh kenyamanannya subjek tidak suka
mengikuti cara orang lain, dia mengaku bahwa dirinya bukanlah orang
yang suka ikut-ikutan. Sehingga subjek sering mencari dan menciptakan
sendiri gaya berjilbab yang ia sesuaikan dengan kenyamanannya
(FA:82c).
Adapun kepentingan dari jilbab itu sendiri mencakup perlindungan
Allah yang selalu ada baik dalam kondisi berjilbab ataupun tidak
(FA:80a). Menurut subjek kondisi menutup aurat yang sempurna adalah
saat dirinya memakai mukenah ketika shalat. Tetapi setelah dia melepas
mukenahnya maka terkadang timbul perasaan bahwa dirinya masih
belum mampu menutup aurat dengan sempurna, sehingga subjek masih
90
ingin belajar lebih baik lagi dan berharap kelak mendapat suami yang
mampu mengajarkan dan membimbingnya dalam hal tersebut (FA:80c)
karena baginya hidup itu step by step, ketika dirinya sudah melakukan
suatu tahap maka ada tahap selanjutnya yang harus dilewati, dan harus
memiliki nilai lebih dari tahap yang telah dilewati sebelumnya (FA:131136b). Tidak hanya dirinya, subjek memandang bahwa semua orang
meskipun yang tidak berjilbab pasti selanjutnya mau menjadi lebih baik
lagi. Berjilbab atau tidak, menurutnya menjadi lebih baik itu harus
(FA:72 ; FA:131-136c). Menjadi lebih baik itu bukan berarti mengubah
apa yang telah dilakukan sebelumnya karena baginya seseorang mampu
mencari jalan untuk mendapat manfaat dan hal positif tanpa
menghentikan yang sudah ada (FA:131-136a).
Selama berhijab subjek mengaku bahwa hal yang didapatnya secara
duniawi sama dengan seseorang yang tidak berhijab, misalnya teman,
pengalaman, kekayaan, jabatan dll. Adapun yang membedakan adalah
nilai di mata Allah. Dengan menjalankan perintah berhijab subjek
bertujuan untuk mencari kelebihan di mata Allah, karena yang dicari
bukan dunia tapi akhirat (FA:120a). Namun hal tersebut tidak serta merta
menjadikannya merasa paling benar, hanya saja dirinya merasa mendapat
nilai lebih dengan berhijab (FA:120b) .
Tidak hanya itu, subjek merasa tidak merasa bahwa kualitas dirinya
menjadi lebih baik setelah dirinya berhijab. Baginya kualitas diri
seseorang itu Allah yang melihat. Sekalipun mungkin manusia mampu
91
memberikan penilaian, tetapi penilaian di mata manusia itu belum tentu
benar dan bisa jadi berbeda di mata Allah. Dikarenakan subjek lebih
memilih penilaian Allah, maka ia tidak berani menilai kualitas dirinya
(FA:121-126a ; FA:121-126b). Dengan adanya penilaian yang mungkin
dibuat oleh manusia, subjek menganggap bahwa berhijab itu lebih
menjadi sorotan, karena pantas tidaknya perilaku seseorang yang berhijab
akan menimbulkan penilaian tersendiri di mata orang lain (FA:121126c).
“Aku mungkin lebih gini, lebih jadi sorotan. Karena saat
orang mungkin jalan trus ketawa hwahahaha, yang berhijab
sama yang gak berhijab yang akan jadi sorotan yang mana?
Ketawa seperti itu, iki Jilbaban loh.. Nah kalo’ yang gak
berjilbab biasa aja ya kan?! Itu. Orang mungkin nganggepnya
itu lebih kesitu. Kalo’ kualitas diri di mata manusia mungkin
‘Duh arek iku jilbaban tapi iso ngene ngene ngene’ mungkin
gitu, tapi di mata Allah lho belum tentu. Bisa jadi eee aku iki
justru wes berjilbab tapi gak iso lek gowo awak. Itu sih.”
Meskipun subjek telah memilih untuk mengejar nilai di mata Allah,
subjek mengaku bahwa dirinya masih belum sepenuhnya ikhlas dalam
berhijab, karena baginya ikhlas itu sesuatu yang berat untuk dilakukan
(FA:130a). Adapun hal yang membuatnya belum bisa merasa ikhlas
adalah keterbatasan ruang gerak yang dimiliki wanita berhijab. Sehingga
dalam situasi-situasi tertentu terkadang subjek membayangkan jika
dirinya tidak berhijab. Namun subjek tidak serta merta menjadikan hal
tersebut sebagai penghalang dan alasan untuk menanggalkan hijabnya
(FA:130b). Subjek mengaku bahwa dirinya ingin tetap berhijab dan tidak
ingin melepaskan hijabnya secara tiba-tiba (FA:70). Adapun hal yang
92
membuat subjek merasa yakin untuk tetap berhijab adalah keyakinan
yang dimiliknya. Jika berhijab adalah sesuatu yang ditetapkan oleh hal
yang diyakininya maka hal itu lah yang akan terus dia lakukan (FA:128).
“Oh kalo’ ikhlas belum. Orang itu titik terakhir itu,, ikhlas
itu,, berat. Pasti ada duh misale ae gak gawe kudung lek
moleh bengi lak gak masalah. Nah ada kaya’ gitu. Tapi bukan
berarti itu jadi penghalang, bukan jadi alesan untuk akhirnya
yo wes aku males, sumpek aku, mesisan ae gak kudungan.
Gak juga gitu lho.”
2. Respon Lingkungan
Saat subjek pertama kali meminta orangtuanya untuk memakai
jilbab seperti kakaknya, subjek akhirnya diberi jilbab milik kakaknya.
Dikarenakan kondisi subjek yang masih sangat kecil, ukuran jilbab yang
dipakainya tersebut lebih besar daripada postur tubuhnya. Hal tersebut
akhirnya menjadi sesuatu yang dianggap lucu oleh keluarganya (FA:2938d).
“Ya lucu, karena namanya anak TK ya,,, aku TK kakakku
SD. Yaa jadi lucu2an, aku aja liat fotonya sekarang eee
jilbabnya sama akunya gedean jilbabnya. Jadi dari kecil
emang uda pake’ jilbab dan itu emang aku yang minta,
akhirnya aku dikasih ya jilbabnya kakak.”
Adapun respon yang didapat subjek dari lingkungan di luar
keluarga terhadap kondisinya yang berhijab dirasa subjek tidak mengarah
pada hal-hal yang negatif. Sebaliknya subjek merasa bersyukur bahwa
lingkungan sekitarnya memberikan tanggapan yang baik. Misalnya
tanggapan teman-teman subjek yang tidak merasa terganggu meskipun
tidak semua dari mereka berjilbab. Subjek mengaku bahwa mereka saling
kompromi atas hak masing-masing (FA:52). Tidak hanya itu terkadang
93
subjek mendapatkan pemakluman dari kumpulan orangtuanya–yang
menurutnya sarat dengan nuansa Islam, ketika kegiatannya menuntut
untuk memakai pakaian yang mungkin menurut sebagian orang kurang
sesuai atau pantas (FA:56).
“Mmm kalo’ tanggapan miring mungkin enggak ya, justru
malah kebalik jadi karena orangtuaku kumpulannya juga
orang-orang yang islami banget gitu ya, saat tau aku pake’
celana jeans itu oh mungkin karena mobilitas ya karena aku
berkegiatan yang gak memungkinkan untuk pake’ rok.”
Namun ada saja komentar negatif yang pernah didapat subjek. Komentar
tersebut diakuinya berasal dari teman-teman sesama model yang
mengatakan bahwa subjek aneh, berbeda dan selalu ruwet dengan
hijabnya. Namun subjek menanggapi hal tersebut dengan santai karena
dirinya merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya (FA:82a).
3. Pengalaman dalam Komunitas
Pada awalnya subjek tidak tahu menahu soal komunitas Hijabers
Malang karena pada saat komunitas tersebut diresmikan dalam acara
grand launching, subjek mengaku dirinya sedang mengikuti kontes
pemilihan Kakang Mbak Yu Malang. Subjek yang pernah ditawari untuk
ikut dalam acara grand launching komunitas Hijabers Malang oleh
kakaknya yang kebetulan menjadi reporter di acara tersebut, namun
dirinya menolak dengan alasan masih repot menjadi finalis di kontes
Kakang Mbak Yu Malang karena memang waktunya bertabrakan. Setelah
itu subjek sempat mencari informasi mengenai komunitas Hijabers
Malang yang kemudian mempetemukannya dengan salah satu kakak
94
kelasnya saat SMP yang ternyata salah satu pendiri komunitas tersebut.
Akhirnya setelah berbincang bincang dengan kakak kelasnya tersebut,
subjek ditawari untuk bergabung dalam komunitas Hijabers Malang.
Meskipun tidak langsung bergabung, subjek merasa tertarik untuk
mengenal komunitas tersebut dengan mencoba ikut dalam acara yang
diselenggarakannya. Adapun acara pertama yang diikuti subjek adalah
tausiyah. Berawal dari sana akhirnya subjek bergabung dalam komunitas
Hijabers Malang (FA:6-8a ; FA:6-8b ; FA:6-8c ; FA:6-8d).
Tanpa sengaja saat subjek mengikuti tausiyah tersebut dirinya
bertemu dengan teman sesama finalis Kakang Mbak Yu Malang. Setelah
itu dirinya diajak bergabung dalam Hijabers Malang Model (HM Model)
(FA:6-8e). HM Model itu sendiri adalah sub grup dari komunitas
Hijabers Malang yang berisikan model-model Hijabers yang tampil jika
ada fashion show (FA:12-14b). Sekalipun subjek mengaku sudah pernah
berkecimpung di dunia modelling, dirinya tidak memiliki bayangan akan
masuk menjadi salah satu model di komunitas Hijabers Malang (FA:68f). Selain HM Model, dalam komunitas Hijabers Malang juga terdapat
HM Entrepreneur, HM Charity, HM Voice dll (FA:12-14a).
Setelah subjek masuk dalam HM Model, pernah suatu ketika saat
dirinya bertugas sebagai model dalam acara seminar yang akan
diselenggarakan oleh komunitas Hijabers Malang, dirinya diminta ikut
berpartisipasi dalam rapat komite. Kemudian setelah itu akhirnya subjek
dimasukkan dalam kepanitiaan yang membuatnya semakin aktif dalam
95
komunitas tersebut. Subjek mengungkapkan bahwa setelah acara seminar
berakhir banyak anggota komunitas Hijabers Malang yang vakum karena
acara tersebut termasuk acara yang cukup besar. Namun berbeda dengan
banyaknya anggota yang memilih untuk beristirahat sejenak dari
kesibukan dan kegiatan yang ada dalam komunitas Hijabers Malang,
subjek menjadi semakin aktif dengan sering mengikuti tausiyah-tausiyah.
Suatu ketika karena beberapa komite ada yang sudah menikah,
kepengurusan dalam komunitas tersebut menjadi kurang lengkap. Maka
setelah itu para anggota yang masih aktif dikumpulkan untuk melakukan
evaluasi guna merombak susunan kepengurusan, agar kegiatan-kegiatan
komunitas mampu berjalan dengan lancar (FA:12-14d). Dalam evaluasi
tersebut subjek terpilih menjadi wakil ketua (vice president) berdasarkan
hasil vooting (FA:12-14c). Padahal sebelumnya subjek mengira mungkin
dirinya ditunjuk sebagai bendahara mengingat pekerjaaannya sebagai
accounting.
Subjek mengaku bahwa dirinya sering ikut dalam kegiatankegiatan yang diadakan oleh HM (FA:15-18a). Adapun kegiatan rutin
yang dilakukan setiap minggu adalah tausiyah dan charity. Sedangkan
event-event besar yang diadakan setiap dua atau tiga bulan sekali
terkadang realisasinya menjadi dadakan karena terbatasnya intensitas
pertemuan para anggota komunitas Hijabers Malang sehingga hanya
diinformasikan melalui jejaring sosial (FA:15-18b). Adapun saat acara
tausiyah para anggota komunitas Hijabers Malang merasa lebih nyaman
96
jika yang mengisi acaranya seorang ustadzah karena mereka bisa
mengusulkan atau request tema tausiyah yang akan dibahas (FA:15-18c).
Setelah subjek masuk dalam komunitas Hijabers Malang, subjek
merasa mendapat ilmu dan saudara (FA:148-150). Subjek merasa dirinya
dengan anggota yang lain cukup dekat dan sudah seperti keluarga. Subjek
menilai orang-orang yang ada dalam komunitas tersebut termasuk orangorang yang solid, yang mampu menyelesaikan tugasnya masing-masing
sehingga menjadkan komunitas tersebut tetap berjalan dengan baik.
Baginya prinsip yang ada dalam komunitas tersebut adalah kekeluargaan
dan persaudaraan (FA:15-18d ; FA:21-26a ; FA:21-26c ; FA:21-26d).
Dimana setiap anggotanya saling mendukung satu sama lain baik saat
bersama-sama maupun tidak, yang mana dalam kondisi seperti itu subjek
menyebutnya sebagai sebuah kekompakan (FA:162).
Subjek juga merasa bahwa dirinya dengan anggota yang lain dalam
komunitas Hijabers Malang bersama-sama dalam satu visi dan tujuan
yaitu ingin menjadi lebih baik dalam berhijab yang mana berhijab tidak
hanya merupakan tampilan secara fisik saja tetapi juga isinya. Adanya
kondisi tersebut dianggap lebih enak oleh subjek karena baginya berada
di kumpulan yang positif akan membawa pada perubahan yang juga
positif (FA:74c). Tidak hanya itu, subjek juga beranggapan bahwa
komunitas Hijabers Malang membantu dan memfasilitasi dirinya untuk
belajar bersosialisasi secara vertikal dan horizontal, yaitu hablu minallah
dan hablu minannaas (FA:141-146).
97
“Komunitas ini membantu, memfasilitasi saya untuk belajar
horizontal dan vertikal. Di dalam komunitas saya bisa belajar
bersosial, hablu minannaas. Tapi juga saya bisa belajar hablu
minallah, karena di dalam situ ada tausiyah ada segala
macem, jadi bisa belajar oh aku bisa beramal segala macem
itu hubungannya sama Allah. Ada hubungannya sama
manusia tapi juga ada hubungannya sama Allah.”
Subjek mengaku setelah selama ini dirinya bergabung dalam
komunitas Hijabers Malang tidak ada perubahan mengenai pandangan
agama. Baginya pandangan tersebut tetap sama yaitu perintah dan
larangan. Pandangan, keyakinan dan rule subjek tetep sama, hanya cara
menyikapi dan pengaplikasiannya yang berbeda. Dengan posisinya
sebagai vice president subjek belajar untuk menjadi lebih wise atau
bijaksana (FA:151-154a ; FA:151-154b).
Adapun hal yang akhirnya membuat subjek yakin untuk terus
berada di komunitas Hijabers Malang adalah persaudaraan sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya. Karena baginya Saudara itu sedarah,
satu jalinan darah dan bukan komitmen. Subjek mengartikan keberadaan
dirinya sebagai saudara yang saling pengertian satu sama lain, bukan
komitmen
yang
terkesan
mengikat.
Persaudaraan
itulah
yang
dipertahankan, dipegang teguh dan menjadi pedoman sampai kapanpun
karena yang namanya saudara tidak mengenal istilah mantan saudara
(FA:155-160a). Perasaan kepada saudara salah satunya adalah merasa
senang jika bersama dan merasa ada yang kurang saat ditinggal pergi
(FA:155-160b).
“Ya itu yang di pertahankan, itu yang dipegang teguh, itu
yang di eee itu pedomannya. Persaudaraan. Jadi kalo’ pun
98
misal kita tukaran segala macem, kalo’ kita saudara yo’opo
seh nyelesaikannya? Kalo’ aku pegel mbe’ kamu aku ngene
ngene ngene, tapi yo’opo yo’opo kita tetep saudara, kan gak
mungkin berganti saat itu.”
Selain aktif dalam komunitas Hijabers Malang subjek juga aktif di
pondok beras dan PAY (Pecinta Anak Yatim) (FA:75-78a). Dalam
komunitas-komunitas tersebut subjek merasa ada persamaan prinsip yang
mendasari hubungannya dengan sesama anggota yang lain, yaitu
brotherhood (pesaudaraaan) (FA:75-78d). Sekalipun terdapat perbedaan
lingkungan dan cara berinteraksi di masing-masing komunitas terebut,
subjek mengaku nyaman menjalaninya dengan alasan adanya prinsip
persaudaraan tersebut. Misalnya saat berada di komunitas Hijabers
Malang yang beranggotakan para perempuan, subjek merasa terbiasa
berbicara lepas dengan posisi yang sangat perempuan. Adapun saat di
pondok beras subjek tidak hanya berinteraksi dengan orang yang
seumuran tetapi juga dengan om-om maupun orang yang sudah sepuh,
karena lebih banyak berinteraksi dengan laki-lak subjek bersikap strong
untuk menunjukkan bahwa dirinya perempuan yang tidak bisa dilecehkan
sembarangan. Sedangkan di PAY subjek banyak berinteraksi dengan
adik-adik yang usianya lebih muda dari subjek, sehingga dia
memposisikan dirinya sebagai kakak dan guru. Perbedaan lingkungan
tersebut membuat subjek mendapat banyak ilmu yang bisa diterapkan di
tempat yang berbeda (FA:75-78e ; FA:75-78f).
99
4. Fashion
Sejalan dengan karirnya di dunia modelling, subjek merupakan
orang yang suka tampil dan dilihat orang (FA:163-172a). Selain itu
subjek juga merupakan orang yang suka berkreasi dan menciptakan
sesuatu sendiri tanpa mengikuti cara orang lain. Subjek menganggap
dirinya termasuk orang yang kreatif dan suka mengeksplorasi bakat dan
minat yang dimilikinya. Adapun dalam hal berjilbab, subjek mengaku
bahwa dirinya sudah mulai berkreasi dengan jilbabnya jauh sebelum
dirinya mengenal dan bergabung dalam komunitas Hijabers Malang.
Misalnya saat sebagian besar orang masih menggunakan jilbab dengan
cara dilipat biasa, subjek sudah mulai menggunakan kerudung pashmina
dengan cara dililit. Atau pada saat dirinya akan pergi ke acara
pernikahan, maka saat itu dia berani berkreasi dengan menggunakan
pernak pernik, entah berupa pin, bros, anting dll (FA:54b ; FA:54c). Hal
tersebut berlanjut sampai saat ini, saat dirinya telah bergabung dalam
komunitas Hijabers Malang. Subjek mengaku bahwa pada saat dirinya
mengikuti acara tertentu seperti pesta, fashion show ataupun talk show,
subjek selalu berjilbab dengan cara yang heboh. Kehebohannya tersebut
tetap merupakan hasil kreasinya sendiri, yang mana dia lakukan untuk
menyesuaikan sendiri tingkat kenyamanannya (FA:66). Baginya orang
yang kreatif akan mampu menyalurkan ide-idenya sekalipun tidak ada
tempat yang mewadahinya. Adapun tujuan subjek dalam berkreasi adalah
100
agar dirinya mengetahui kondisi seperti apa yang paling nyaman
untuknya (FA:54d).
Saat SMA, subjek mengaku bahwa dirinya masih sering memakai
jilbab paris dengan cara yang biasa (FA:64a). Hal tersebut diilakukan
subjek karena baginya saat itu cara tersebut adalah yang nyaman
menurutnya. Kenyamanan subjek saat berjilbab disesuaikan dengan
keadaan tubuh, kombinasi pakaian dan pemilihan bahan jilbab itu sendiri.
Menurut subjek karena tubuhnya kurus maka dia cenderung nyaman
menggunakan pakaian yang tidak terasa berat saat digunakan. Dalam hal
kombinasi pakaian, subjek mengaku jika dirinya memakai baju yang
tidak longgar maka dia akan memakai jilbab yang agak panjang, namun
ketika dirinya memakai baju yang longgar maka berjilbab dengan cara
apapun tidak menjadi masalah. Sehingga dirinya menyesuaikan antara
pakaian dan jilbab yang akan dikenakannya (FA:64b). Terkadang subjek
berpikir bahwa berjilbab yang nyaman itu yang simple, namun selama
subjek bisa dan tetap merasa nyaman terkadang subjek juga mencoba
cara berjilbab yang ribet atau rumit. Hanya saja jika pada saat memakai
cara yang rumit tersebut mengurangi kenyamannya, maka akan
mengganti style jilbab yang dirasanya lebih enak (FA:64c).
Dalam berbusana subjek lebih mengandalkan mood atau suasana
hati. Jika suasana hatinya sedang baik maka subjek akan merasa percaya
diri dan sebaliknya jika dirinya merasa tidak dalam suasana hati yang
101
baik (badmood) maka hal tersebut akan mengurangi rasa percaya diri
yang dimilikinya (FA:163-172b).
“Aku ini ngandalno mood, lek mood ku tinggi PD ku tinggi.
Masio pakaianku warna warni, masio opo itu gak masalah.
Jadi kalo’ aku bisa bilang, ati. Ati seng iso bikin aku kaya’
gitu. Rokan? aku yo percaya diri. Celanaan? aku yo percaya
diri.”
Hal tersebut juga berlaku dalam hal berjilbab subjek. Subjek mengaku
perasaan hatinya mempengaruhi cara dia berjilbab. Misalnya saat di jalan
atau di dalam mobil dirinya merasa tidak mood, subjek pernah memakai
jilbab secara malas-malasan dengan hanya menyampirkan ujung
jilbabnya di pundak. Namun meskipun demikian subjek mengaku ingin
tetap berada di koridor atau jalan-Nya dengan tetap memakai jilbab tanpa
ada keinginan untuk melepasnya. Hal tersebut dibuktikannya dengan cara
tetap berusaha menutup auratnya dengan jilbab meskipun dalam suasana
hati yang kurang baik maupun situasi yang kurang
mendukung.
Misalnya saat dirinya dituntut utuk berwudhu di tempat yang cenderung
terbuka untuk umum, maka subjek saat itu dirinya tetap berusaha untuk
tidak melepas jilbab secara terang-terangan (FA:70b).
“Mau wudhu mau apa itu susah, kalau tempat wudhu’nya di
tempat terbuka, umum, aku gak lepas jilbab. Aku mesti
begini, mesti dari dalem, daripada ntar keliatan. maksudnya
tetep ada usaha untuk nutupin.”
Menurut subjek busana itu merupakan bagian dari fashion yang
mampu memunculkan karakter seseorang meskipun bukan merupakan
kunci utama untuk melihat karakter orang tersebut. Baginya fashion
adalah aksesoris, penarik mata dan penarik perhatian yang mampu
102
menjadi jendela, awal mula dan jalan melihat sebagian karakter
seseorang meskipun tidak secara keseluruhan. Adapun karakter
seseorang diyakini subjek sebagai sesuatu yang ada dalam diri, bukan di
luar. Baginya apa yang ada di luar itu sebatas tampilan dan make up
semata. Ketika seseorang tertarik dengan penampilan orang lain,
kemungkinan orang tersebut akan mendekat atau berusaha mencari tahu.
Sehingga dengan cara seperti itu orang tersebut dapat mengetahui sekilas
gambaran tentang karakter orang lain (FA:163-172c ; FA:173-176).
Adapun rapi menurut subjek adalah etika, yang mana penilaiannya
akan berbeda-beda pada setiap orang. Baginya kerapian adalah sesuatu
yang identik dengan keresmian, dalam arti subjek memantaskan diri
dalam berpenampilan ketika berhadapan orang lain. Hal tersebut
dilakukan subjek dengan tujuan untuk menghormati orang tersebut.
Selain itu baginya kerapian juga mencakup kebersihan karena tidak
mungkin ketika seseorang berusaha tampil resmi secara pantas namun
tidak diirigi dengan penampilan yang bersih pula (FA:177-182).
Menurut subjek bersih itu berbeda dengan suci. Penilaian bersih
pada setiap orang itu berbeda, sehingga jika dijelaskan akan ada banyak
hal atau aspek yang harus dipikirkan. Namun ketika ditujukan hanya
pada subjek, dia memandang bersih itu sebagai hal bisa dilihat oleh mata,
yang menyangkut kenyamanannya secara pribadi. (FA:183-186).
“Bersih itu nyaman, bersih itu kenyamanan, orang-orang
beda. Pake celana jeans seng uda berapa minggu gak dicuci
gitu, tapi mereka nyaman nyaman aja. makane bersih
menurut orang itu banyak ee banyak lingkup, banyak hal,
103
banyak aspek yang dipikirkan. Kalo’ menurut aku ya tadi,
kalo’ aku nyaman. Kalo’ aku bersih aku nyaman.”
5. Konsep Keimanan
Subjek memandang agama dan keyakinan sebagai sesuatu yang
berbeda. Baginya agama adalah sesuatu yang memiliki nama, seperti
agamanya yang dikenal dengan nama “Islam”. Subjek meyakini agama
Islam tersebut sebagai pedoman hidup. Menjadikan Islam sebagai
pedoman hidup membuat subjek merasa memiliki tata cara, rule, aturan,
salah dan benar dalam berperilaku, serta mengetahui balasan dan timbal
balik yang akan diperolehnya saat melakukan sesuatu (FA:89-92a ;
FA:89-92b). Selain itu, baginya Islam adalah agama yang indah dan tidak
memaksa sehingga tanpa adanya paksaan tersebut seseorang menjadi
ikhlas dalam menjalaninya (FA:62c).
Sedangkan keyakinan diyakininya sebagai sesuatu yang sama pada
semua agama. Baginya dalam agama apapun keyakinan itu percaya
kepada tuhannya masing-masing, sebagaimana dirinya percaya kepada
Allah yang diketahuinya sebagai tuhan dari agama yang dia peluk.
Adapun keyakinan tersebut terbatas pada apa yang diyakini masingmasing pribadi yang datangnya murni dari hati. Selain itu subjek juga
memandang keyakinan sebagai tempat kembali dan tempat bersandar,
yang mana dalam bersandar atau bertumpu pada dzat yang diyakininya
tersebut terdapat cara atau rule yaitu agama (FA:89-92c ; FA:98a ;
FA:98b).
104
Keyakinan subjek kepada Allah membuat dirinya menaati segala
hal yang diperintahkan dan dilarang oleh-Nya. Dirinya meyakini bahwa
ada sesuatu dibalik setiap perintah dan larangan Allah karena alasan
Allah menciptakan perintah dan larangan tersebut merupakan bukti
bahwa
Allah
sayang
pada
hamba-Nya
dan
tidak
mungkin
menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Baginya Allah merupakan
titik dimana asal mula semuanya ada, termasuk kebaikan dan keburukan
yang ada di dunia, yang mana asal mula dunia itu sendiri juga merupakan
ciptaan Allah. Selain itu subjek juga meyakini bahwa Allah itu pusat dari
segalanya termasuk perintah dan larangan. Maka jika seseorang
menginginkan sesuatu maka hendaknya orang tersebut meminta kepada
Allah dan jika seseorang berbuat salah kepada Allah maka wajar jika ada
sesuatu yang diambil oleh-Nya (FA:98a ; FA:98c ; FA:94a).
Subjek menganggap Allah itu Maha Pengasih yang mampu
memegang hati, mempunyai kekuatan dan berkuasa untuk memberikan
hidayah pada seseorang yang dikehendaki-Nya. Hidayah itu sendiri
dinilai subjek sebagai kuasa dan hak prerogatif Allah untuk diberikan
kepada siapapun, yang di dalamnya tidak ada campur tangan manusia
karena baginya hidayah itu murni kesadaran dari apa yang dirasakan oleh
orang tersebut (FA:72b ; FA:94b). Jika hidayah itu datangnya dari Allah
subjek meyakini bahwa Allah pula lah yang mampu mencabutnya.
Sehingga manusia tinggal menentukan mau menerima atau menjemput
105
hidayah tersebut seperti apa karena sebenarnya hidayah itu ada dimanamana (FA:74a ; FA:113-118d).
Selain hidayah, subjek juga memandang dosa dan pahala sebagai
urusan Allah. Sehingga penilaiannya pun seharusnya diserahkan pada
Allah yang lebih mengetahui urusan tersebut. Sekalipun manusia mampu
memberikan penilaian namun hal tersebut belum tentu benar di mata
Allah karena penilaian manusia hanya berdasarkan apa yang terlihat,
sedangkan penilaian Allah lebih dari itu karena Allah lah yang mampu
melihat dan mengetahui hal-hal yang tidak terlihat secara kasat mata.
Subjek pun mengaku bahwa belajar untuk tidak menilai atau menjudge
perbuatan seseorang bukanlah hal yang mudah, baginya belajar tidak
menilai itu membutuhkan waktu yang lama (FA:84a ; FA:84c). Subjek
berpikir jika dirinya ingin mendapat pahala maka harus berusaha sebaik
mungkin untuk mendapat ridho dari Allah. Namun tidak hanya sebatas
itu, di sisi lain subjek juga beranggapan bahwa berusaha menjadi baik
juga perlu ditujukan pada lingkungan karena hubungan vertikal dan
horizontal itu harus seimbang, yaitu hablu minallah dan hablu minannas
(FA:84b).
“Cuman kalo’ aku pribadi aku berpikir kalo’ mau dapet
pahala ya aku usaha sebaik mungkin buat dapet keridhoan
sama Allah sama lingkungan. ................ eee hablu minallah
itu utama tapi tidak satu-satunya. Jadi horizontal baik,
vertikal juga baik. Kalo’ kita cuma ke atas ya gak imbang.
Lha kita hidup di dunia lho bukan cuma cukup buat shalat,
bukan cuma itu doang.”
106
Subjek mengaku bahwa dirinya mulai berpikir tentang keyakinan,
agama dan tuhan pada saat dirinya sudah tidak lagi menjalankan
kewajibannya sebagai seorang pelajar. Saat tersebut dirasa subjek sebagai
saat dimana dirinya sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, juga saat dirinya mulai mempertanyakan tentang segala
sesuatunya secara lebih mendalam. Namun banyaknya pertanyaan di
benak subjek membuatnya mulai belajar menyadari hakikatnya sebagai
manusia itu harus banyak belajar dan tidak boleh sok tahu. Baginya
ketika seseorang merasa pintar lantaran sudah pernah membaca maka
belum tentu orang tersebut mengetahui artinya, ketika sudah mengetahui
artinya maka belum tentu tahu maknanya (FA:99-108a ; FA:99-108b).
“Cuman eee saya mulai menyadari apa hakikatnya saya
sebagai manusia, mulai belajar menyadari bahwa kita sebagai
manusia yang harus belajar, jangan kemeroh, ojok sok tau.”
Selain itu, pada saat tersebut subjek juga menemukan kasus-kasus
yang dianggapnya tidak masuk akal, yang jika itu terjadi padanya maka
subjek beranggapan dia tidak akan bisa menghadapinya. Namun subjek
yakin jika seseorang memiliki pegangan dan keyakinan maka hal tersebut
pasti bisa dilalui. Subjek mengaku bahwa proses dirinya dihadapkan pada
kasus-kasus dan pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan kuasa Allah
yang tanpa sadar menuntun subjek untuk mendapatkan jawaban yang
membuatnya bersyukur dan memahami keberadaan tuhan. Sehingga pada
akhirnya subjek tidak lagi berpikir tentang nilai semata melainkan juga
tentang makna (FA:99-108c ; FA:99-108d).
107
Adapun dalam memandang orang yang berbeda keyakinan
dengannya, subjek mengaku tidak ingin menyalahkan mereka. Subjek
hanya menanggapi hal tersebut sebagai perbedaan penangkapan ajaran
yang mungkin oleh sebagian orang ditangkap dengan cara yang salah
(FA:94c). Bagi subjek, orang atheis atau yang tidak memiliki agama akan
cenderung membenarkan pikirannya dan menuhankan ilmu atau
kepintaran yang dimilikinya. Padahal menurut subjek, semua kepintaran
dan pengetahuan itu ada pemilik dan penciptanya, yang mana jika semua
itu diambil maka orang tersebut tidak akan mengerti apapun (FA:8992d).
6. Kepercayaan Berhijab
Subjek memandang hijab sebagai penutup yang diartikannya
sebagai sesuatu yang digunakan untuk menutup aurat. Subjek juga
berpendapat bahwa dalam menutup aurat seharusnya dilakukan secara
lahir dan batin. Maksudnya menutup aurat secara dhohir dengan
menggunakan hijab dan menutup secara batin dengan berperilaku yang
baik sepantasnya muslimah berhijab. Hal tersebut dikarenakan oleh
adanya anggapan subjek bahwa berhijab itu bukan hanya sekedar
fisiknya saja yang ditutup tetapi juga hatinya. Jika seseorang menutup
aurat hanya dengan menutup fisiknya, maka hal tersebut belum bisa
dikatakan menutup melainkan hanya sebatas menjaga, yaitu menjaga
tubuhnya dengan berhijab (FA:58).
108
Menurut subjek berhijab merupakan perintah Allah yang wajib
dilaksanakan, yang dasarnya sudah ada dalam Al-Qur’an, yang mana AlQur’an tersebut dianggap subjek mampu menuntun kepada segala
sesuatu yang baik (FA:60a ; FA:60b). Dasar kewajiban berhijab yang
terdapat dalam Al-Qur’an tersebut dianggap subjek sebagai sebuah
syari’at, yang mana baginya syari’at adalah sesuatu yang tertulis atau
tersurat. Namun tidak hanya itu, kewajiban menutup aurat diyakini
subjek memiliki hakikat yang tidak kalah penting. Meskipun hakikat
berhijab diakui subjek juga terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, namun
hakikat berhijab tersebut tidak hadir secara tertulis melainkan hadir
sebagai sesuatu yang tersirat. Secara jelas subjek mengungkapkan bahwa
syari’atnya menutup dengan hijab sedangkan hakikatnya berhijab secara
benar dengan berperilaku yang pantas (FA:58 ; FA:62a).
Subjek meyakini bahwa perempuan diciptakan Allah dengan
memiliki daya tarik fisik sedangkan laki-laki diciptakan dengan memiliki
pandangan yang mencintai sosok atau fisik perempuan tersebut. Sehingga
Allah menurunkan kewajiban untuk menutup aurat dengan perintah
berhijab (FA:109-112a). Perintah berhijab tersebut dipandang subjek
sebagai suatu bentuk atau wujud rasa sayang Allah pada makhluk
ciptaan-Nya, karena dengan berhijab berarti Allah melindungi dan
menjunjung tinggi perempuan. Adapun alasan perempuan dilindungi dan
dijunjung tinggi adalah karena perempuan itu mulia, takdirnya sebagai
109
pendamping laki-laki atau khalifah di dunia ini merupakan hal yang
mulia (FA:109-112b).
Meskipun subjek memandang hijab sebagai kewajiban, namun
dirinya merupakan orang yang terbuka dan tidak mempermasalahkan jika
ada pandangan yang berbeda karena pada dasarnya hal tersebut adalah
hak masing-masing individu dan hak Allah untuk mengirimkan hidayah
pada siapapun yang dikehendaki-Nya. Bagi subjek berhijab itu
hubungannya dengan Allah karena Allah lah yang paling memahami hal
tersebut (FA:80e ; FA:138). Berbicara mengenai hidayah, subjek
meyakini bahwa hal tersebut bisa Allah turunkan pada siapa saja dan
diputus dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sehingga ada peluang bagi
orang yang sudah berjilbab untuk melepas jilbabnya dan orang yang
belum berjilbab untuk mulai memakai jilbab. Hal tersebut sama seperti
orang Islam yang berpeluang menjadi murtad atau orang kafir menjadi
mualaf (FA:68a ; FA:68b).
“Sama seperti orang Islam murtad dan orang kafir mualaf.
Kan yang seperti itu hubungannya sama hidayah, terlepas
dari yang sudah dipelajari atau apa. ..... Aku memandangnya
tetep peluang itu, memandangnya gak berhijab intinya itu.
Karena kalo’ hidayah udah turun atau dia tiba-tiba putus, kita
gak bisa berbuat apa-apa, kita gak tau.”
Subjek merasa bahwa peluang tersebut juga sangat mungkin terjadi pada
dirinya karena baginya hidup ini terus berputar, iman seseorang bisa jadi
fluktuatif begitu juga dengan mood yang dirasakan bisa jadi naik turun.
Subjek beranggapan bahwa ketika dirinya lupa atau mungkin saat iman
110
dan moodnya sedang menurun, maka bisa saja dia perlu diingatkan oleh
orang lain (FA:70a ; FA:74b).
Menurut subjek berhijab itu tidak memiliki batasan-batasan tertentu
karena batasan hijab datang dari Allah melalui hidayah-Nya. Ada orang
yang memandang berhijab itu harus menutup dada, memakai jilbab lebar,
berpakaian longgar yang tidak putus dari atas sampai bawah, serba hitam
atau tidak mencolok, bahkan ada juga yang mengharuskan memakai
cadar dll. Namun hal itu dipandang subjek sebagai cara seseorang
memahami perintah berhijab, yang mana ketika Allah memberikan
perintah pasti Allah juga memberikan hidayah. Hidayah tersebut lah yang
nantinya akan mempengaruhi seseorang dalam memutuskan batasan
hijab yang dianggapnya benar untuk dijadikan patokan bagi dirinya
(FA:62b).
“Tapi kalo’ menurut aku mikirnya, kalo’ Allah itu ngasih
perintah Allah pasti juga kasih hidayah gitu. Jadi kalo’ Allah
kasih perintah, hidayahnya ke kita kapan itu kuasanya Allah
gitu lho, batasannya juga batasannya Allah. Kita dikasih
hidayah untuk berjilbab sudah bagus, sudah subhanallah.”
Bagi subjek seseorang akan menjadi jeli dalam mengambil sikap
ketika orang tersebut sudah mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah berdasarkan apa yang telah didengar, dibaca maupun dilihatnya
secara langsung. Pengetahuan subjek tentang kewajiban berhijab
membuat dirinya yakin untuk memenuhi kewajiban tersebut. Namun
subjek merasa bahwa apa yang diketahuinya tentang kewajiban berhijab
itu belum tentu diketahui oleh orang lain (FA:72c ; FA:72d). Subjek juga
111
tidak bisa membayangkan posisinya jika tidak ada syari’at berhijab
dalam Islam, karena baginya yang terpenting adalah mencari keridhoan
Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan yang ada.
Sehingga jika dirinya menjalankan perintah berhijab tersebut secara asalasalan, bandel dan mbeler pasti tidak mendapatkan ridho Allah (FA:86a ;
FA:86b). Baginya berhijab adalah suatu usaha untuk menjadi yang
terbaik di mata Allah, yang mana hal tersebut tentu tidaklah mudah,
karena saat seseorang mencari ujung yang abadi maka jalannya tidak
mungkin mudah (FA:113-118b).
7. Analisis
Berdasarkan
data
yang
didapat,
subjek
FA
mengartikan
keimanannya dengan percaya kepada tuhan, yang mana kepercayaan
tersebut ia jadikan tempat kembali dan berserah atas apa yang terjadi di
dunia ini. Tuhan sendiri–dalam artian Allah, ia pandang sebagai pusat
segala sesuatu dan asal mula semua hal diciptakan. Subjek meyakini
bahwa segala sesuatu di dunia ini termasuk kebaikan dan keburukan
adalah ciptaan Allah, begitu juga halnya dengan hidayah. Baginya Allah
mempunyai hak prerogatif dalam memberikan hidayah kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya. Hidayah tersebut dianggap subjek sebagai
sesuatu yang mampu menggerakkan hati seseorang untuk melakukan
suatu hal secara sadar atas keinginannya sendiri.
Dalam melakukan segala sesuatu khususnya dalam hal-hal yang
berhubungan dengan kepercayaannya kepada tuhan, subjek mempunyai
112
pedoman yaitu agama. Agama ia jadikan sebagai tata cara atau aturan
dalam hidup sehingga dirinya memiliki konsep benar dan salah, serta
motivasi untuk melakukan sesuatu yang akan memberikan timbal balik
positif bagi dirinya. Dalam pedoman tersebut terdapat Al-Qur’an yang
mampu menuntun subjek kepada kebaikan. Kebaikan itu secara nyata ia
rasakan saat menjalankan perintah atau larangan Allah. Hal ini lah yang
akhirnya membuat subjek berusaha untuk mengamalkan segala sesuatu
yang terdapat dalam Al-Qur’an, salah satunya dengan berhijab.
Berhijab merupakan perintah Allah yang ditujukan kepada para
muslimah untuk menutup aurat. Dalam menjalankan perintah berhijab
subjek tidak hanya melakukannya secara syariat saja, tetapi juga secara
hakikat. Baginya hakikat dalam berhijab adalah menjaga hati dan
perilaku ke arah yang positif sesuai dengan perannya sebagai muslimah.
Selain itu berhijab juga dijalani subjek sebagai bagian dari fashion
berbusana. Dalam berbusana khususnya berhijab, subjek termasuk orang
yang yang kreatif karena dirinya mampu berkreasi menciptakan berbagai
model hijab. Saat menciptakan model hijab tersebut, subjek sebenarnya
tengah melakukan usaha trial and error untuk menemukan keadaan
yang nyaman untuk dirinya. Subjek bisa saja mengganti model hijab
yang sedang dipakainya secara tiba-tiba ketika dirinya merasa tidak
nyaman dengan model tersebut karena terlalu ribet, yang mungkin dapat
mengganggu aktivitasnya sehingga ia merubah model hijab dengan cara
yang lebih simple .
113
Ketertarikan subjek dalam berkreasi dengan penampilannya sejalan
dengan pengalaman modelling yang dimilikinya dan kesenangannya
untuk tampil di depan umum. Menurut penuturannnya ia merupakan
orang yang suka dilihat orang. Hal tersebut dikuatkan dengan
dokumentasi foto yang menggambarkan subek FA tengah berada di salah
satu peragaan busana. Foto-foto lain menunjukkan eksistensinya di dunia
modelling, yaitu subjek menampilkan gaya, busana serta make up
selayaknya seorang model.
Selain itu dalam catatan observasi juga diketahui bahwa subjek
memang
senang
memadupadankan
berkreasi
model
dalam
busana,
hal
penampilan.
Mulai
dari
mengkombinasikan warna dan
penggunaan aksesoris sebagai pelengkap penampilan dalam aktivitasnya
sehari-hari. Hal tersebut tergambar jelas baik saat subjek berada di kantor
tempatnya bekerja (wawancara pertama) ataupun pada saat menghadiri
acara halal bi halal yang diselenggarakan oleh komunitas Hijabers
Malang (wawancara kedua).
Namun tidak hanya masalah kenyamanan, hal penting lainnya yang
mempengaruhi subjek dalam berhijab adalah mood atau suasana hati.
Suasana hati dirasa subjek sebagai sesuatu yang sifatnya fluktuatif. Maka
ketika suasana hatinya sedang baik (good mood) subjek akan merasa
percaya diri dengan apapun yang dipakainya dan dengan cara apapun ia
memakainya. Berbeda ketika suasana hatinya sedang buruk (bad mood)
maka kepercayaan diri subjek akan menurun bahkan ia akan merasa tidak
114
bersemangat sekalipun tengah menggunakan model hijab yang paling
bagus misalnya.
Dalam hal kerapian, subjek menganggap rapi itu identik dengan
resmi yang mana hal tersebut mempengaruhi rasa pantas yang
dimilikinya dihadapan orang lain. Namun tidak hanya sebatas itu,
kerapian juga berhubungan dengan kebersihan. Baginya sesuatu yang
bersih adalah yang mampu membuat dirinya merasa nyaman.
Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 yang menyajikan skema
alur iman sadar subjek. Dalam skema tersebut juga tergambar proses
berhijab yang dialami subjek. Adapun proses berhijab yang dilewati
subjek berawal dari bentukan lingkungan. Lingkungan sosial yang dinilai
subjek sangat islami membuat dirinya melakukan modeling atas apa yang
dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Hal tersebut berlangsung sejak
subjek masih kecil saat dirinya ingin memakai hijab seperti yang
dilakukan oleh saudara perempuannya. Setelah itu berhijab menjadi
kebiasaan yang dilakukan subjek baik saat berada di lingkungan keluarga
maupun sekolah. Adapun perilaku berhijab subjek saat masih kecil
terbukti dalam data dokumentasi berupa foto yang menggambarkan
subjek memakai hijab yang terlihat lebih besar dari pada dirinya yang
memang masih sangat kecil.
115
Gambar. 4.2
Alur iman sadar sebagai dinamika kepercayaan eksistensial FA
116
Namun seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan subjek dalam
memakai hijab akhirnya memunculkan kesadaran dalam dirinya.
Kesadaran tersebut membuat subjek yakin dan berkomitmen untuk
menggunakan hijab secara utuh yaitu secara syariat dan hakikat. Pada
saat itu subjek menyadari bahwa berhijab merupakan suatu kebutuhan
bagi dirinya, yang mana kebutuhan tersebut dirasa subjek muncul dalam
bentuk pengontrol, penyaring dan pelindung saat berhubungan dengan
orang lain.
Setelah subjek berhijab, ia mendapatkan respon yang positif dari
pihak keluarga dan teman-temannya. Adapun respon positif dari keluarga
adalah berupa dukungan atas keinginannya berhijab, dengan cara
memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkannya serta tidak membatasi
kreativitasnya dalam berhijab. Sedangkan respon positif dari temantemannya adalah berupa toleransi atas hak masing-masing meskipun
tidak semua temannya berhijab. Namun saat berada di lingkungan temantemannya sesama model, subjek pernah mendapat respon negatif tentang
hijab yang dikenakannya. Respon negatif tersebut berupa komentarkomentar yang mengungkapkan bahwa cara berhijab subjek selalu
berbeda dengan yang lain, aneh dan ruwet.
Adapun hal-hal yang dirasakan subjek dalam lingkungan sosialnya
setelah ia yakin untuk berhijab secara utuh adalah subjek merasa percaya
diri, nyaman, lebih terlindungi dan terkontrol. Di sisi lain subjek juga
terkadang merasa minder dan terdiskriminasi, yang mana hal tersebut
117
terjadi ketika dirinya dihadapkan pada situasi-situasi yang terbatas untuk
dilakukan oleh seseorang yang berhijab. Namun hal itu tidak lantas
membuat subjek memiliki keinginan untuk melepas hijabnya begitu saja
karena ia memandang bahwa segala sesuatu pasti memiliki sisi positif
dan negatif. Sehingga meskipun berada dalam posisi yang kurang
menyenangkan, subjek ingin terus istikamah dalam menjalani pilihannya.
Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan keyakinannya adalah
subjek merasa memiliki nilai lebih di mata Allah sekalipun ia belum bisa
sepenuhnya merasa ikhlas dalam menjalani perintah berhijab, karena
baginya ikhlas merupakan titik akhir yang tidak mudah untuk dicapai.
Dalam perjalanannya memakai hijab, subjek memiliki pengalaman
bergabung dengan beberapa komunitas sosial yaitu komunitas Hijabers
Malang, PAY (Pecinta Anak Yatim) dan Pondok Beras. Selama
bergabung dengan komunitas-komunitas tersebut, subjek merupakan
orang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya.
Subjek merasa setelah bergabung dengan komunitas-komunitas tersebut
dirinya mendapatkan manfaat-manfaat yang positif, antara lain mendapat
ilmu, saudara, menjadi lebih wise serta mendapat kualitas hubungan yang
lebih baik, secara vertikal (hablu minallah) maupun horizontal (hablu
minannaas).
Download