Modeling di Negeri Syariat

advertisement
 Modeling di Negeri Syariat “Perempuan itu, semakin dibungkus semakin mulia. Semakin dibuka, semakin murah,” kata Fansari, seorang perancang busana Islami dari Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh di ujung barat Indonesia. Fansari membungkus tubuhnya dalam jubah kombor yang mencapai mata kaki, menutup kepalanya dengan kerudung besar yang memanjang ke dada dan pinggul. Dengan pakaian itu, dia seolah bersedia setiap saat mendirikan salat. Fansari mengimani, inilah pakaian paling sempurna untuk memenuhi perintah Tuhan dan menyenangkan Tuhan, sedangkan perempuan yang pakaiannya tidak sempurna—yang dia sebut “berpakaian tapi telanjang”, mengutip perkataan Nabi—tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. Melihat Fansari hari ini, pada usia 35 tahun, sulit memercayai bagaimana penampilan masa mudanya. Sepuluh tahun lalu, dia peragawati dengan dandanan tebal, model rambut selalu berubah mengikuti tren, memakai baju you-­‐‑can-­‐‑see ketat yang menegaskan lekuk payudara dan rok mini yang ala kadarnya menutup selangkangan. Dia juga suka berpesta, minum minuman keras, bergaul dengan para lelaki anggota geng balap motor. Mendeskripsikan masa lalu dari sudut pandang sekarang, Fansari menggunakan satu kata: gila-­‐‑gilaan. Hidupnya berubah total sejak dia mulai menutup rambutnya dengan jilbab, setelah belajar Islam lebih mendalam dari pengajian. Ajaran Islam tentang kesederhanaan bagi kaum perempuan seketika membuat Fansari merasa dirinya wanita terhormat. Tidak ada lagi laki-­‐‑laki menggodanya, kecemasan tinggi yang bertahun-­‐‑tahun menderanya perlahan lenyap. Dari sekadar kain menutup rambut yang diikatkan di leher, jilbab Fansari semakin membesar dan memanjang sampai mengaburkan bentuk tubuhnya. Versi jilbab yang lebih ortodoks ini, di Indonesia disebut jilbab Syar’i—arti harfiahnya adalah memenuhi Syariat, aturan agama. Saat itu, model pakaian seperti ini belum populer, Fansari kesulitan membeli baju di toko mana pun. Karena itu, dia mulai merancang sendiri, dengan bahan woolpeach, sutra, hingga batik, juga memadukan macam-­‐‑macam motif dan warna. Itulah awal karier Fansari sebagai desainer baju Muslim Syar’i. Perubahan dramatis Fansari menggambarkan perubahan Indonesia. Walaupun ini negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pemakaian jilbab secara massal adalah fenomena baru. Sebelum 1990an, sangat jarang perempuan Indonesia berjilbab. Rezim Orde Baru Suharto bahkan pernah melarang jilbab di sekolah dan tempat kerja. Jilbab baru mulai populer pada tahun 2000an seiring semakin menguatnya semangat keagamaan di kalangan masyarakat. Kini, di sejumlah kota Indonesia, lebih banyak perempuan Muslim yang berjilbab daripada yang tidak. Mereka pun cenderung mengadopsi definisi pakaian yang semakin konservatif. Gaya berpakaian ala Timur Tengah semakin lazim, baik di kalangan perempuan maupun laki-­‐‑laki. Sejak tiga tahun lalu, jilbab Syar’i menjadi tren baru di Indonesia. Bagi Fansari, jilbab Syar’i adalah medium berdakwah sekaligus kesempatan bisnis—apalagi pemerintah bervisi menjadikan Indonesia sebagai kiblat mode busana Muslim dunia pada tahun 2020. Dia ingin mempromosikan busana rancangannya, demi meyakinkan kaum perempuan bahwa mereka bisa menjadi saleh sekaligus tetap cantik dan trendi. Untuk itu, Fansari menggunakan platform media sosial, berkolaborasi dengan model, penata rambut, perias wajah, dan fotografer. Hari ini, model yang akan memeragakan baju rancangannya adalah Wiwik, seorang model terkenal di Aceh. Tetapi gadis tinggi semampai 21 tahun itu seumur hidup belum pernah memakai jilbab Syar’i. Dia malah sering dipotret dengan rambut terbuka tanpa kerudung—di Aceh, ini sudah dianggap “seksi”. Tahun lalu, Wiwik mewakili Aceh mengikuti lomba modeling tingkat nasional di ibukota Jakarta. Di sana, Wiwik berlenggak-­‐‑
lenggok di panggung tanpa jilbab. Dia dapat gelar juara, tetapi justru menerima banyak hujatan, terutama dari orang Aceh sendiri: Berani-­‐‑beraninya dia mewakili Aceh tidak pakai jilbab? Aceh adalah daerah pertama masuknya Islam di kepulauan Indonesia, dijuluki “Serambi Mekkah”, dan merupakan satu-­‐‑satunya provinsi Indonesia yang menerapkan Syariat Islam, yang diperkenalkan sejak tahun 2001. Sisi paling kentara dari Syariat Islam versi Aceh adalah kewajiban berjilbab. Sejak itu, aturan-­‐‑aturan ketat tentang busana perempuan terus diterbitkan berdasar interpretasi ulama berbeda-­‐‑beda. Busana tradisional juga harus didesain ulang dengan jilbab, sehingga beragam pola sanggul perempuan khas Aceh telah menjadi sejarah. Bahkan banyak bayi yang belum lama lahir pun kini sudah dipasangi jilbab. Mereka bukan hanya menjilbabi masa kini dan masa depan, tetapi juga masa lalu: sejumlah pihak berupaya menggambar ulang potret para pahlawan perempuan Aceh dari periode kolonialisme Belanda berabad silam—yang banyak tidak berjilbab—supaya berjilbab. Pada pintu masuk salon tempat Wiwik akan didandani dengan jilbab hari ini, alih-­‐‑alih gambar model perempuan dengan rambut cantik tergerai, pengunjung salon disambut poster besar sepasang lelaki berpeci dan perempuan berjilbab bersama membaca Alquran. Barulah di dalam salon, orang bisa melihat pada deretan foto kecil di dinding, gambar macam-­‐‑macam gaya rambut yang dipamerkan para perempuan bule tersenyum. Suatu hari, polisi Syariat berpatroli ke salon ini, marah-­‐‑marah melihat foto-­‐‑foto perempuan tak berjilbab itu. Pemilik salon, seorang penata rambut laki-­‐‑laki, membela diri, “Tapi, Bu, kami di sini jual model rambut, bukan jual kain!” Wiwik sendiri tidak terlalu peduli dengan polisi Syariat, yang sering berpatroli di jalan-­‐‑
jalan merazia kaum perempuan yang pakaiannya tidak sesuai aturan. Hari ini, sambil menanti datangnya baju Syar’i rancangan Fansari, Wiwik duduk-­‐‑duduk di luar salon, di pinggir jalan ramai, dengan rambut bersemir pirang tergerai, memakai rok setinggi lutut. Ini seperti pemberontakan, tetapi sesungguhnya pernyataan sikap. “Memakai jilbab itu bagus,” katanya, “Tapi harus dari hati, bukan karena paksaan atau takut polisi.” Wiwik dirias dengan bulu mata palsu dan lipstik merah jambu berkilat. Ketika baju-­‐‑baju Fansari datang, Wiwik menukar baju ketat dan rok pendeknya dengan jubah hitam polos panjang, kemudian membungkus kepalanya dengan kerudung ekstra-­‐‑besar yang sama hitam pekat, dihiasi sedikit sulaman benang emas pada tepinya. Seketika, Wiwik menjadi seperti perempuan Iran dibungkus chador pada masa Revolusi Islam. Dia mengerjap-­‐‑
ngerjapkan mata di depan cermin, seakan tak percaya dirinya masih cantik. Pemotretan hari ini berlangsung di pinggir jalan ramai. Belasan fotografer, semua laki-­‐‑
laki dari satu klub fotografi, tak sabar menantikan kedatangan sang model. Dengan kamera-­‐‑kamera besar yang bunyinya meletup-­‐‑letup, mereka tampak lebih seperti pemburu bernafsu. “Cantik, lihat sini!” “Ayo, pose manis dong!” fotografer bersahut-­‐‑sahutan. Beberapa kali Wiwik berputar, kerudung besar itu berkibar menderu-­‐‑deru seperti bendera, sesekali menutup wajahnya, sesekali menyibakkan misteri kecantikannya. Banyak pula pengguna jalan melambatkan kendaraan, demi menikmatinya. Di mana pun, dalam pakaian apa pun, dia tetaplah sang bintang. Foto-­‐‑foto Wiwik memakai jilbab Syar’i merupakan kejutan bagi 15 ribuan pengikutnya di Instagram. Dia mendapat 2.000 likes untuk empat foto yang diunggahnya. Banyak warganet memujinya lebih cantik, sekaligus mendoakan sang model idola bisa selamanya berjilbab. Seorang warganet luar negeri, tampaknya lelaki Pakistan, mengomentari foto Wiwik dalam bahasa Inggris, “Gadis dalam jilbab itu bagaikan mutiara dalam cangkangnya.” Pada foto yang lain, orang yang sama itu meninggalkan pesan, “Bisakah aku mendapat nomor teleponmu, pls?” Catatan dari Banda Aceh, 30 Juni 2016 
Download