penegakan hukum terhadap kejahatan agresi

advertisement
MARTHEN NAPANG
MARTHEN NAPANG
TERHADAP
KEJAHATAN AGRESI
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI
PENEGAKAN HUKUM
i
KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
Perpustakaan Nasional RI
Napang, Marthen
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI /
Marthen Napang -- Cet. 1 -- Makassar : Yusticia Press, 2014
Bibliografi
ISBN 978-979-99208-4-3
Judul :
PENEGAKAN
HUKUM
TERHADAP
KEJAHATAN
AGRESI
Penulis :
DR. MARTHEN NAPANG, S.H., M.H., MSi
Penerbit :
YUSTICIA PRESS
Jl. Ince Nurdin No. 11
MAKASSAR 90111
Hak cipta dilindungi Undang-undang ada pada Penulis
Hak Penerbitan pada YUSTICIA PRESS MAKASSAR
Cetakan Pertama, 2014
ABSTRAK
MARTHEN NAPANG, NIM: 0005.DIH.07.2009, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi
Berdasarkan Statuta Roma 1998 Tentang Pengadilan Pidana Internasional dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
dibawah bimbingan Alma Pattileuw sebagai Promotor, Syamsuddin Pasamai dan Ibrahim
masing-masing sebagai Ko-Promotor.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan serta menemukan, bahwa
Penegakan hukum terhadap kejahatan agresi berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Pidana
Internasional sesuai Statuta Roma 1998 dan yurisdiksi Peradilan Pidana HAM RI sesuai UU
No.26 Tahun 2000 dapat dilaksanakan. Selain itu, untuk mengkaji secara konseptual dan
seksama mengenai tuntutan pertanggunjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan agresi yang
belum dirumuskan dalam Statuta Roma 1998, mengenai Sistem Peradilan Pidana Internasional
untuk diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang memeriksa dan mengadili
pelaku kejahatan HAM di Indonesia, dan tuntutan pertanggungjawaban pidana individual
terhadap pelaku kejahatan HAM berat menurut sistem peradilan pidana internasional dan
sistem peradilan pidana Indonesia.
Penelitian ini memiliki spesifikasi pada penelitian hukum normatif. Sehingga menggunakan
pendekatan yuridis normatif (dogmatic), yaitu mengkaji ketentuan hukum yang bersumber dari
Undang-Undang, Konvensi, Keputusan Pengadilan, dan tulisan para ahli berkenaan dengan
Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi Berdasarkan Statuta Roma 1998 Tentang
Pengadilan Pidana Internasional dan Undang-Undang Repuiblik Indonesia Nomor 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, juga menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu pendekatan yang mengandalkan kesahihan data kepustakaan yang akurat, yang
didukung pendekatan kuantitatif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif yuridis
analitik, Historis Komparatif, Deskriptif-Interpretatif, dan Grounded Research.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa: (1) Kejahatan Agresi yang
belum dirumuskan definisi kejahatannya dapat diadili pada Pengadilan Pidana Internasional Ad
Hoc dan Pengadilan HAM Indonesia Ad Hoc yang dibentuk dengan cara: (a) Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk menerbitkan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk
Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc untuk memeriksa dan mengadili Pelaku Kejahatan
Agresi tertentu yang direkomendasikan Sekjen PBB. Dewan Keamanan PBB dapat berinisiatif
sendiri menerbitkan Resolusi DK PBB membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut. (b) Dewan
Perwakilian Rakyat Republik Indonesia mengusulkan kepada Presiden RI untuk menerbitkan
Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang mengadili
Kejahatan Agresi tertentu yang direkomendasikan DPR RI. Presiden RI dapat berinisiatif sendiri
menerbitkan Keppres membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut. Kedua Pengadilan Ad Hoc
tersebut diatas mengadili kasus per kasus (case by case) artinya mengadili perkara kejahatan
agresi tertentu yang disebutkan secara tegas dalam surat keputusan (Resolusi atau Keppres
RI) pembentukannya. (2) Pokok-pokok Sistem Peradilan Pidana Internasional-ICC dapat
diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang mengadili kejahatan HAM termasuk
kejahatan Agresi, terutama penerapan hukum acara dan pengambilan keputusan melalui
metode penemuan hukum: Penafsiran dan konstruksi hukum yang sah dalam keadaan
kekosongan hukum. (3) Pelaku Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi dapat dituntut
pertanggungjawaban pidana di Indonesia, meskipun yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia
hanya meliputi kejahatan Genosida dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Penuntutan pidana ini dapat dilakukan melalui pengadilan Pidana HAM RI Ad Hoc.
Sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini, adalah: (1) Sebaiknya Indonesia
meratifikasi Statuta Roma 1998, lalu melakukan penyesuaian ketentuan-ketentuan Statuta
Roma 1998 kedalam perundang-undangan nasional Indonesia, sehingga Indonesia dapat
melaksanakan kewajiban internasionalnya menegakan hukum terhadap kejahatan HAM di
Indonesia secara efektif. (2) Sebaiknya Indonesia memelopori perumusan definisi kejahatan
agresi sebagai bentuk kemauan dan kesungguhan Indonesia melaksanakan penegakan hukum
terhadap kejahatan HAM secara efektif, sehingga dapat mendorong negara-negara lain serta
ICC melaksanakan kewajiban internasionalnya merumuskan definisi yang sama.
i
ABSTRACT
MARTHEN NAPANG, NIM : 0005.DIH.07.2009, Law Enforcement Against Aggression Crime
Based on Rome Statues of 1998 in terms of International Criminal Court and Indonesian Laws
No.26 of 2000 regarding Human Rights Court under counseling of Alma Pattileuw as
Promotor, Syamsuddin Pasamai and Ibrahahim which of each as Co Promotor.
This research is aimed at analyzing and clarifying as well as finding that Law
Enforcement against aggression crime being based on both jurisdiction of International Criminal
Court is accordance with Rome Statutes of 1998 and jurisdiction of criminal court of Indonesian
Human Right is accordance with Laws No.26 of 2000 may be implemented. Additionally, in
order to study demand of criminal responsibility against aggression offender having not been
formulated in Rome Statutes of 1998, in regard of International Criminal Judicial System to be
applied in Indonesia Criminal Judicial System which investigate and judge offender of Human
Right in Indonesia, as well as demand of individual criminal responsibility against offender of
inconsiderate Human Right in Indonesia according to both International Criminal Judicial
System and Indonesia Criminal Judicial System conceptually and accurately.
This research has specification of normative law research. So that, it uses normative
(dogmatic) juridical approach, it studies law regulation derived from Laws, Convention, Court
Award and author’s writing in terms of Law Enforcement against aggression crime being based
on both Rome Statutes of 1998 regarding International Criminal Court and Indonesian Laws
No.26 of 2000 regarding Human Rights Court. Moreover, also it uses qualitative approach by
relying on validity of accurate literatures supported by quantitative approach. Data analysis
conducted using analytical juridical description, Comparative History, Descriptive-Interpretative
and Grounded Research.
Then, based on research it may concluded that : (1) Aggression Crime which of
criminal definition had not been formulated it may be judged at Ad hoc International Criminal
Court and Ad hoc Indonesian Human Right Court established by : (a) General Secretary of
UNO propose to Security Board of UNO for issuing Resolution of Security Board of UNO for
designing Ad hoc International Criminal Court in order to investigate and judge certain
Aggression Offenders recommended by General Secretary of UNO, By such General Secretary
of UNO self they may initiate to issue Resolution of Security Board of UNO for designing such
Ad hoc Court; (b) Indonesia Legislative Body may propose to Indonesia President in issuing
Presidential Decree of RI on Establishment of Ad hoc Human Right Court to judge certain
Aggression Crime recommended by Indonesia Legislative Body. Such self Indonesia President
may initiate to issue Presidential Decree which establish such Ad hoc Court. Those two Ad hoc
Courts to judge case by case, in other word, to judge certain aggression crime having been
stated both in Resolution and/or Presidential Decree of RI in its establishment strictly. (2)
Principles of International Criminal Court (ICC) may be applied in Indonesia Criminal Judicial
System judging Human Rights crimes including Aggression crime therein, specially, to apply
procedure law and decision making by law finding method : Interpretation and construction of
valid law in condition of law vacant. (3) In Indonesia war offenders and Aggression Crime may
be claimed in terms of its criminal responsibility, although jurisdiction of Indonesia Human Right
Court solely, it covers Genocide crimes and inconsiderate violation against Human Right. This
criminal award may be implemented by Ad hoc criminal court of Indonesia Human Right.
As recommendation from this research is : (1) it Is better that Indonesia ratify
Rome Statutes of 1998, subsequently, to adjust Rome Statutes of 1998 to Indonesia
legislations, hence, Indonesia may realize international obligation to enforce law against
Human Rights in Indonesia effectively. (2). It is better that Indonesia initiate to
formulate definition of aggression crime as Indonesia willingness and seriousness to
realize law enforcement against Human Rights crime effectively, hence, it may motivate
other countries as well as ICC to implement international obligation in order to
formulate the same.
ii
PRAKATA
Bagaimanapun, “Takut akan Tuhan adalah awal dari segala ilmu
pengetahuan”. Segala ciptaanNya yang maha dahsyat: Manusia,
Bumi dan Alam Semesta penuh misteri keimanan dan keilmuan yang
menjadi pusat kehidupan dan keslamahatan umat manusia.
Sekaligus merupakan objek dan subjek penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan disegala bidang, termasuk
dibidang ilmu hukum, lebih khusus lagi terkait dengan materi
penulisan buku ini yang bertema: Penegakan Hukum Terhadap
Kejahatan Agresi. Sehingga pertama-tama patutlah penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan dan
pengasihanNya yang senantiasa menyertai penulis dalam
menggumuli dan menyelesaikan penulisan buku ini.
Ada banyak pihak yang membantu penulis menyelesaikan kreatifitas
akademik ini,
untuk itu pada kesempatan ini patut penulis
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya teristimewa
kepada: Prof. Dr. Alma Pattileuw,SH.,MH., Prof. Dr. Syamsuddin
Pasamai,SH.,MH., Dr. Ibrahim,SH.,LLM., Prof. Dr. H. Hambali
Thalib,SH.,MH, Prof. Dr.H.Laode Husen,SH.MH., Prof. Dr.Sukarno
Aburaera,SH.,MH, Dr. Hamzah Baharuddin,SH.,MH.
Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya seraya berdoa kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih
melimpahkan berkat dan Rachmatnya yang melimpah ruah bagi
Bapak dan Ibu beserta keluarga.
Semua kritik dan saran untuk kesempurnaan buku ini penulis
harapkan dari semua pihak, kiranya karya ilmiah ini berguna bagi
pengembangan ilmu hukum dan bagi perjuangan penegakan hukum
hak asasi manusia.
Adalah kesuksesan bagi orang yang berdoa dan berjuang.
Hormat Penulis
Marthen Napang
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...............................................................................
i
ABSTRACT .............................................................................
ii
PRA KATA ..............................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................
iv
BAB I.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN
HAM BERDASARKAN STATUTA ROMA 1998 ....
A. Pengadilan Pidana Internasional – ICC ........
B. Yurisdiksi ICC ...................................................
1. Yurisdiksi Pokok Perkara (Subject Matter
Jurisdiction/Ratione Material) .................
2. Yurisdiksi Terkait Waktu (Temporal
Jurisdiction / Ratione Temporis) .............
3. Yurisdiksi
Territorial
(Territorial
Jurisdiction/ Ratione Loci) ......................
4. Yurisdiksi Personal-Individual (Personal
Jurisdiction / Ratione Personae). ............
5. Yurisdiksi
Pelanggaran
Administrasi
Pengadilan ..................................................
6. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib
Pengadilan ..................................................
C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM Internasional ...
D. Sistem Peradilan Pidana ICC .......................
1. Prinsip-Prinsip Utama Sistim Peradilan
ICC ..............................................................
2. Hukum Acara ICC .......................................
3. Struktur Organ ICC .....................................
BAB II.
1
1
3
3
44
48
50
55
55
56
126
126
132
144
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN
HAM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO.
26 TAHUN 2000 ......................................................
147
A. Pengadilan HAM RI ..........................................
B. Yurisdiksi Pengadilan HAM RI ........................
1. Yurisdiksi Pidana Umum ...........................
2. Yurisdiksi Pidana Khusus HAM RI ...........
147
161
161
167
iv
C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI ....................
1. Ketentuan Umum .......................................
2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI
3. Sistem Peradilan Pidana Indonesia ..........
1. Hukum Acara Pidana Umum ................
2. Hukum Acara Pidana Khusus HAM RI .
179
179
183
255
255
259
BAB III. PERANAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
KEJAHATAN
AGRESI
YANG
DAPAT
DIPERTANGGUNGJAWABKAN PADA HUKUM
PIDANA INDONESIA .............................................
267
A. Sumber Penegakan Hukum Dalam Sistem
Pemerintahan Negara ......................................
1. Ajaran
Pemisahan
Kekuasaan
Pemerintahan Negara ................................
a. Thomas Hobbes (1588-1679) ...............
b. John Locke (1632-1704) .......................
c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ..
d. Montesquieu ........................................
e. Alexander Hamilton & James Madison
- The Federalist Papers ........................
f. Doctrine Dual Federalism ....................
2. Praktek
Pemisahan
Kekuasaan
Pemerintah Negara AS ...............................
B. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan
Agresi di Indonesia. .........................................
1. Peranan Pengadilan HAM ..........................
2. Penerapan Prinsip Penemuan Hukum
terhadap Kejahatan Agresi ........................
a. Penafsiran Hukum ................................
1) Penafsiran Historis .........................
2) Penafsiran Sistimatis ......................
3) Penafsiran Sosiologis ....................
4) Penafsiran Teleologis .....................
5) Penafsiran Perbandingan ...............
6) Penafsiran ekstensif .......................
b. Konstruksi Hukum ................................
1) Metode Analogi (Argumentum Per
Analogiam) ......................................
2) Metode Fiksi Hukum .......................
v
267
267
`267
269
272
275
279
301
307
372
372
373
373
374
375
376
376
377
378
378
378
379
c. Beberapa Penganut Doktrin .................
1) Penganut Doktrin “Sens-clair”(la
doctrine du sensclair). ....................
2) Penganut Penemuan Hukum selalu
harus dilakukan. .............................
3) Konsep Transformasi .....................
C. Beberapa Sumber Tentang Kejahatan Agresi
1. Kejahatan Agresi Menurut Liga BangsaBangsa .........................................................
2. Kejahatan Agresi Menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa ...........................................
3. Kejahatan Agresi Menurut Tribunal
Nuremberg dan Tribunal Tokyo ................
4. Kejahatan Agresi Menurut Komisi Hukum
Internasional PBB .......................................
5. Kejahatan Agresi Menurut Pendapat Ahli..
a. Menurut J.G. Starke. .............................
b. Menurut Lauterpacht Oppenheim ........
c. Menurut Yoram Dinstein ......................
d. Menurut Thomas M. Franck ................
e. Menurut Tom Ruys ...............................
f. Beberapa Sumber Lainnya: .................
D. Rumusan
Definisi
Prediktif
Tentang
Kejahatan Agresi ..............................................
1. Rumusan Konvensional .............................
2. Rumusan Prediktif - Objektif .....................
380
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................
458
A. Kesimpulan: .....................................................
B. Saran .................................................................
458
459
vi
380
381
381
382
382
382
389
390
391
391
391
393
403
421
447
452
452
453
BAB I
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM
BERDASARKAN STATUTA ROMA 1998
A. Pengadilan Pidana Internasional – ICC
Bahwa Pengadilan Pidana Internasional atau The
International Criminal of Court – ICC dibentuk berdasarkan
Statuta Roma 1998. Statuta ini disebut Statuta Roma karena
diputuskan dalam Konperensi Roma 1998 yang
diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau
UN Diplomatic Conference of Penipotentiaris on the
Establishment of an International Criminal Court yang
diselenggarakan di Roma pada tanggal 15 Juni – 17 Juli
1998. Statuta ini telah diputuskan dan ditanda tangani oleh
negara-negara
anggota
PBB
peserta
konperensi.
Berdasarkan statuta inilah dibentuk Pengadilan Pidana
Internasional yang tetap – ICC. Sehingga dikenal dengan
The Rome Statute of International Criminal Court, UN.
Doc. A / Conf. 183/9 (July 17, 1998).
Dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 ini ditegaskan
4 (empat) jenis kejahatan HAM yang menjadi yurisdiksi
criminal dari Pengadilan Pidana Internasional – ICC, yaitu:
1.
The Crime of Genocide
2.
Crime Against Humanity
3.
War Crimes
4.
The Crimes of Aggression
Ditegaskan pula Pengadilan Pidana Internasional
sebagai pengadilan komplementari, dalam pengertian ICC
wajib melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan
kemanusiaan manakala pengadilan pidana nasional suatu
1
negara sungguh-sungguh (genuinely) tidak berkemauan
(unwillingness) sesuai pasal 17 (2) atau tidak
berkemampuan (inability) sesuai pasal 17 (3) statuta untuk
melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap para pelaku
kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam pasal 5 statuta
Roma 1998 tersebut di atas.
Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif sejak tanggal 11
April 2002 karena saat itu telah terpenuhi syarat ratifikasi 60
negara sebagai syarat berlaku sahnya Statuta Roma ini
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 126 Statuta.
Sehingga sejak itu telah menjadi kewajiban internasional
bagi ICC dan negara – negara di dunia termasuk Indonesia
untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku
kejahatan kemanusiaan.
Walaupun dalam Pasal 5 Statuta telah disebutkan ada
4(empat) jenis kejahatan HAM yang menjadi yurisdiksi
Pengadilan Pidana Internasional – ICC namun ternyata
belum semua kejahatan HAM tersebut diatur rumusan
deliknya. Kejahatan HAM: The Crime of Genocide telah
dirumuskan dalam Pasal 6, Crime Against Humanity dalam
Pasal 7 dan War Crimes diuraikan dalam Pasal 8.
Drmikianpun Unsur-unsur kejahatan dari ketiga jenis
kejahatan tersebut telah dirumuskan lengkap. Sedang The
Crimes of Aggression (Kejahatan Agresi) akan dirumuskan 7
(tujuh) tahun kemudian sejak berlaku sahnya Statuta sesuai
maksud Pasal 5 ayat 2. Akan tetapi ternyata sampai
sekaran telah lewat waktu 10 (Sepuluh) tahun Kejkahatan
Agresi tersebut belum dirumuskan.
Hal ini akan menyebabkan negara –negara akan
mendapat
kesulitan
melaksanakan
kewajiban
internasionalnya untuk menegakkan hukum terhadap
kejahatan agresi tersebut.
2
Jika terjadi kejahatan agresi siapa yang dapat
mengadilinya dan apa dasar hukum mengadilinya?,
Bagaimana rumusan kejahatan agresi dalam literature dan
praktek penegakan hukumnya? Jawaban atas pertanyaan
diatas akan membantu penegakan hukum terhadap
kejahatan agresi sebagai salah satu jenis kejahatan
kemanusiaan yang berat, sekaligus sebagai sumbang saran
bagi ICC maupun negara –negara merumuskan kejahatan
agresi yang menjadi yurisdiksinya.
Kendala penegakan hukumnya, antara lain dapatkah
mengadili suatu perbuatan sebelum dirumuskan sebagai
suatu kejahatan, atau bagaimana terobosan hukum yang
dapat dilakukan untuk mengadili suatu kejahatan yang
belum ada rumusan deliknya? Apalagi pasal 9 statuta
menjelaskan, bahwa penafsiran terhadap ketiga kejahatan
yang telah mendapat rumusan deliknya dalam pasal 6, 7,
dan 8 dilakukan sesuai dengan unsure-unsur kejahatan
(elements of crimes) pasal 6.7. dan 8. Sehingga mau tak
mau terlebih dahulu perlu dilakukan perumusan delik agresi
dan unsure-unsur kejahatan agresi, agar penegakan hukum
terhadap kejahatan Agresi dapat dilaksanakan.
B. Yurisdiksi ICC
1. Yurisdiksi
Pokok
Perkara
Jurisdiction/Ratione Material)
(Subject
Matter
Dalam pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 ditegaskan
yurisdiksi ICC adalah kejahatan atau pelangaran berat
HAM yang meliputi: The Crime of Genocide, Crime
against humanity, War Crimes,The Crimes of
aggression.
3
Selanjutnya
kejahatan
Kemanusiaan
diatas
(terkecuali kejahatan agresi) telah dirumuskan secara
jelas pada pasal 6, 7 dan 8 statuta Roma 1998, yaitu1
a. The Crime of Genocide
Kejahatan genosida diatur dalam pasal 6 Statuta
Roma 1998 dengan rumusan, bahwa genocide
(pemusnahan etnis) berarti setiap tindakan berikut ini
yang
dilakukan
dengan
maksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan ataupun
sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras atau agama
seperti:
(a) Pembunuhan para anggota kelompok;
(b) Menyebabkan kerusakan/luka-luka tubuh ataupun
mental yang sangat serius terhadap para anggota
kelompok;
(c) Dengan sengaja merugikan kondisi-kondisi
kehidupan kelompok yang diperhitungkan dapat
berakibat
pada
kerusakan
fisik
secara
keseluruhan ataupun sebagian;
(d) Tindakan-tindakan berat yang dimaksudkan untuk
mencegah kelahiran kelompok itu;
(e) Pemindahan paksa anak-anak
kelompok ke kelompok lain;
dari
suatu
Bahwa rumusan kejahatan genosida yang
menjadi yurisdiksi ICC diatas adalah sama dengan
rumusan kejahatan genosida yang diatur dalam pasal
7a UU RI No.26 tahun 2000, bahkan sebelumnya
telah dinyatakan dalam pasal 2 Konvensi
Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
(Convention the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide) yang disahkan melalui Resolusi
1 Marthen Napang. Op Cit. hlm 150
4
Majelis Umum PBB No.260 B (III) tgl. 9 Desember
1948. Namun Konvensi Genosida 1948 ini lebih luas
sebagaimana diatur pada pasal 3 yang meliputi juga
perbuatan-perbuatan yang sehubungan dengan
genosida yang dapat dihukum, yaitu:
(a) Genosida
(b) Persekongkolan untuk melakukan genosida
(c) Hasutan langsung dan didepan umum, untuk
melakukan genosida
(d) Mencoba melakukan genosida
(e) Keterlibatan dalam genosida
Selain itu dalam pasal 1 Konvensi Genosida
1948 ditegaskan sebagai kejahatan menurut hukum
internasional genosida baik yang dilakukan dimasa
damai maupun masa perang. Sedang dalam Statuta
Roma 1998 tidak secara tegas dinyatakan. Sehingga
menurut hemat penulis bahwa genosida yang
menjadi yurisdiksi ICC adalah genosida yang
dilakukan dimasa damai dan genosida yang
dilakukan dimasa perang atau konflik bersenjata
merupakan bagian dari kejahatan perang sehingga
tunduk pada yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang.
Jadi terhadap genosida dimasa damai diberlakukan
yurisdiksi ICC tentang genosida sesuai pasal 6
sedang genosida dimasa perang atau konflik
bersenjata diberlakukan yurisdiksi ICC tentang
kejahatan perang sesuai pasal 8.
Demikian juga pasal 6 Konvensi Genosida 1948
yang mengatur kemungkinan adanya suatu tribunal
nasional dan tribunal pidana internasional untuk
mengadili kejahatan genosida adalah selaras dengan
pasal 1 dan bagian pertimbangan Statuta Roma 1998
tentang prinsip komplementari ICC sebagai peradilan
pidana internasional
terhadap peradilan pidana
5
nasional suatu negara dalam mengadili kejahatan
genosida.
Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu
konvensi
yang
secara
tegas
menginginkan
pembentukan suatu peradilan pidana internasional
selain peradilan pidana nasional untuk mengadili
kejahatan kemanusiaan khususnya genosida. Majelis
Umum PBB mendukung prinsip-prinsip Nuremberg
sehingga berupaya merumuskan tugas-tugas suatu
Dewan Kriminal Internasional. Defenisi dari tugas
dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B (III)
yang disahkan oleh MU PBB pada tanggal 9
Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum
meminta komisi hukum internasional untuk:
Mempelajari keinginan dan kemungkinan pendirian
suatu organ pengadilan internasional untuk mengadili
orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan
suatu suku atau suku bangsa atau melakukan
tindakan kriminal lainnya dimana kepada orang
tersebut diberikan hak hukum yang diatur dalam
konvensi-konvensi internasional.
Dengan adanya permintaan MU PBB kepada
Komisi Hukum Internasional diatas maka semula
berkembang pemikiran memasukkan kejahatan
kemanusiaan termasuk genosida menjadi yurisdiksi
Mahkamah Internasional (International Courtof
Justice) yang telah terbentuk. Namun mendapat
kendala diantaranya yang utama adalah hanya
negara yang boleh menjadi pihak-berperkara di muka
Mahkamah Internasional (pasal 34 (1) Statuta
Mahkamah Internasional). Sedang tujuan yang ingin
dicapai bagi peradilan kejahatan kemanusiaan
adalah untuk menghukum pelaku-pelaku kejahatan
kemanusiaan secara individual.
6
Memang dalam kasus terbunuhnya Pangeran
Bernadotte dari Swedia selaku utusan khusus
perdamaian PBB di Timur Tengah, Mahkamah
Internasional dengan Advisory opinion (sesuai pasal
65 Statuta Mahkamah) Memberikan kemungkinan
PBB dapat menjadi pihak dihadapan Mahkamah
Internasional. Sehingga merupakan pengecualian
dari pasal 34 (1) Statuta Mahkamah yang hanya
memungkinkan negara sebagai pihak berperkara.
Akan tetapi Advisory opinion Mahkamah tersebut
belum cukup menjadi dasar hukum bagi yurisdiksi
pidana Mahkamah Internasional mengadili individuindividu pelaku kejahatan kemanusiaan. Apalagi
ternyata legal opinium tersebut tidak dilaksanakan
oleh PBB mengajukan perkara tewasnya Pangeran
Bernadotte tersebut ke Mahkamah Internasional.
Kendala
yang lain
adalah
menyangkut
penerapan yurisdiksi hukumnya yaitu Mahkamah
Internasional
menerapkan hukum publik-privat
sedang peradilan pidana internasional yang
diinginkan menerapkan hukum pidana (nasional dan
internasional).
b. Crime Against Humanity
Kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur
dalam pasal 7 Statuta Roma 1998 dengan rumusan:
1) Untuk tujuan undang-undang ini, "kejahatan
terhadap kemanusiaan" berarti setiap tindakantindakan berikut ini apabila dilakukan sebagai
bagian dari upaya penyerangan yang sistimatis
dan menyebar luas yang diarahkan terhadap
salah satu kelompok penduduk sipil, dengan
penyerangan yang disengaja:
7
(a) Pembunuhan;
(b) Pembasmian;
(c) Perbudakan ;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
(e) Pemenjaraan atau tekanan-tekanan kebebasan
fisik yang kejam yang melanggar peraturan
dasar hukum international;
(f) Penyiksaan;
(g) Perbudakan
seksual,
prostitusi
paksa,
kehamilan paksa, sterilisasi paksa, atau
bentuk-bentuk pelanggaran seksual lainnya
dengan tingkat keseriusan yang dapat
diperbandingkan;
(h) Tuntutan terhadap kelompok tertentu yang
dapat diidentifikasi atau dilakukan secara
bersama-sama dalam bidang politik, ras,
bangsa, etnik, budaya, agama, jenis kelamin
sebagaimana dijelaskan pada ayat 3, atau
dasar-dasar lain yang secara universal dikenal
sebagai hal yang tidak dapat diizinkan sesuai
dengan hukum international, sehubungan
dengan suatu tindakan yang disebutkan pada
ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi
pengadilan itu;
(i) Penculikan/penghilangan paksa seseorang;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan
lain dari sifat yang sama secara sengaja
menyebabkan penderitaan yang besar atau
kecelakaan yang serius terhadap tubuh atau
mental atau kesehatan phisik.
8
2) Untuk tujuan ayat 1:
(a) "Penyerangan yang diarahkan terhadap
penduduk sipil" berarti suatu tindakan yang
melibatkan perbuatan tindakan yang berlipat
ganda yang disebutkan pada ayat 1 terhadap
penduduk
sipil,
sesuai
dengan
atau
merupakan kelanjutan dari kebijakan suatu
negara atau organisasi untuk melakukan
penyerangan itu:
(b) "Pemusnahan" mencakup hukuman atau yang
sengaja dari kondisi-kondisi penyiksaan
kehidupan, inter alia perampasan akses
terhadap makanan dan obat-obatan yang
diperhitungkan membawa akibat kerusakan
dari bagian suatu populasi;
(c) "Perbudakan" yaitu pelaksanaan salah satu
atau semua kekuasaan yang melekat pada
hak kepemilikan seseorang dan termasuk
pelaksanaan
kekuasaan
itu
dalam
pelaksanaan perdagangan orang, pada
khususnya wanita dan anak-anak;
(d) "Deportasi" atau pemindahan penduduk
secara paksa" yaitu pemindahan paksa orangorang yang terkait dengan pengusiran atau
tindakan-tindakan lain dari daerah dimana
mereka secara hukum berada, tanpa dasardasar yang diizinkan sesuai dengan hukum
international;
(e) "Penyiksaan" yaitu penyiksaan yang sengaja
dari rasa sakit yang sangat berat atau
menderita, baik secara phisik maupun mental
pada
seseorang
yang berada
dalam
penjagaan atau di bawah kontrol dari
terdakwa; kecuali bahwa penyiksaan itu tidak
termasuk rasa sakit atau menderita yang
timbul hanya dari, yang menjadi sifat atau
secara tidak disengaja dari sanksi-sanksi
hukum;
9
(f) "Kehamilan yang dipaksa" yaitu pengurungan
yang tidak berdasar hukum dari seorang
wanita yang dipaksa untuk hamil, dengan
maksud mempengaruhi komposisi etnis dari
suatu populasi atau melakukan pelanggaranpelanggaran
berat
lain
dari
hukum
international. Defenisi ini bagaimanapun juga
tidak boleh diinterpretasikan mempengaruhi
hukum nasional yang berhubungan dengan
kehamilan;
(g) "Penganiayaan" yaitu perampasan yang
disengaja dan kejam dari hak-hak dasar yang
bertentangan dengan hukum internasional
dengan alasan identitas dari kelompok atau
pengelompokkan;
(h) "Kejahatan aparheid" yaitu tindakan-tindakan
yang disebutkan pada ayat 1, yang dilakukan
dalam konteks resim yang dilembagakan dari
penekanan sistimatis dan dominasi sistimatis
oleh salah satu kelompok rasial terhadap
kelompok rasial lain atau beberapa kelompok
dan dilakukan dengan maksud untuk menjaga
resim itu;
(i) "Penghilangan
paksa
orang"
yaitu
penangkapan, penahanan, atau penculikan
orang-orang oleh atau dengan kewenangan,
dukungan atau pengakuan dari negara atau
organisasi politik yang diikuti dengan
penolakan
untuk
mengakui
bahwa
perampasan kebebasan atau keberadaan dari
orang-orang
itu,
dengan
maksud
menghilangkannya dari perlindungan hukum
untuk jangka waktu yang lama;
10
3) Untuk tujuan undang-undang ini, hal ini dipahami
bahwa istilah "jenis kelamin" merujuk pada dua
jenis kelamin, pria dan wanita, dalam konteks
masyarakat. Istilah "gender" tidak menunjukan
adanya pengertian yang berbeda seperti diatas.
Yurisdiksi ICC tentang Kejahatan terhadap
kemanusiaan ini ditegaskan pula sebagai yurisdiksi
Pengadilan HAM di Indonesia sebagai diatur dalam
UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
dalam pasal 7b dengan rumusan yang sama.
Bahwa
rumusan
kejahatan
terhadap
kemanusiaan ini lebih terinci luas dibanding rumusan
yang sama yang terdapat dalam Piagam Perjanjian
London 1945 (London Agreement of 1945 for the
European Axis) yang disahkan pada tanggal 8
Agustus 1945 oleh AS, Inggris, Perancis dan Uni
Soviet selaku pemenang Perang Dunia II. Dalam
pasal 6 c dirumuskan kejahatan terhadap
kemanusiaan, yaitu pembunuhan, membinasakan,
memperbudak, pengasingan dan lain-lain kekejaman
di luar kemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang
dijalankan sebelum atau sesudah ada perang,
penuntutan berdasarkan alasan-alasan politik,
rasialisme, atau keagamaan. Organisasi yang
mengorganisir, menghasut dan membantu mereka
yang turut serta dalam memformulir atau
melaksanakan rencana bersama komplotan untuk
menjalankan kejahatan-kejahatan tersebut adalah
bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang
(oknum-oknum) yang menjalankan rencana-rencana
tersebut.
11
Prinsip hukum tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan ini kemudian menjadi salah satu prinsip
hukum internasional yang diterapkan untuk mengadili
pelaku kejahatan perang oleh Tribunal Neremberg
dan Tokyo.
Demikianpun rumusan kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebar luas dan berwujud dalam
rumusan pelanggaran HAM dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right) Resolusi MU PBB 217
A(III) 10 Desember 1948, dan Konvensi Genewa
1945. Berikut ini tersebut berbagai konvensi dan
deklarasi internasional tentang HAM :2
A). Instrumen-instrumen Umum:
(A.1)
Deklarasi Universal
Asasi Manusia
tentang
Hak-hak
(A.2).
Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik
(A.3).
Protokol Opsional Kovenan tentang Hakhak Sipil dan Politik
(A.4).
Protokol Opsional Kedua pada Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik,
yang
Ditujukan
pada
Penghapusan Hukuman Mati
(A.5).
Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya
(A.6).
Proklamasi Teheran
(A.7).
Piagam tentang Hak-hak dan Kewajibankewajiban Ekonomi Negara,3281 (XXIX),
Disetujui
oleh
Majelis
Umum,12
Desember 1974
2 Peter Baehr, Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution dan Leo Zwaak. Instrumen
Internasional Pokok Hak Hak Asasi Manusia. Penerbit:Yayasan Obor
Indonesia,2001, Jakarta, hlm.viii-xiv
12
(A.8).
Resolusi 1503 (XLVIII): Prosedur untuk
Menangani Surat Pengaduan tentang
Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia
(A.9).
Resolusi 1235 (XLII): Pelanggaran Hakhak Asasi Manusia dan Kebebasan
Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan
Diskriminasi Rasial dan Pemisahan
Rasial dan Apartheid
(A.10). Piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi
Manusia dan Hak-hak Rakyat
(A.11). Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban Manusia
(A.12). Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi
Manusia,
ditandatangani
di
San
Josepada tanggal 22 November 1969,
mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978
(A.13). Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak
Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
(A.14). Piagam Sosial Eropah, ditandatangani di
Turin pada tanggal 18 Oktober 1961,
mulai berlaku pada tanggal 26 Februari
1965
B). Penentuan Nasib Sendiri:
(B.1).
Deklarasi
tentang
Pemberian
Kemerdekaan kepada Negara-negara
dan Bangsa-bangsa Jajahan
(B.2).
Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII) 14
Desember 1962, "Kedaulatan Permanen
atas Sumber Daya Alam"
13
C). Pencegahan Diskriminasi:
(C.1).
Konvensi
Internasional
Penghapusan
Semua
Diskriminasi Rasial
(C.2).
Konvensi
Internasional
mengenai
Penindasan
dan
Penghukuman
Kejahatan Apartheid
(C.3).
Konvensi Tentang Penghapusan Semua
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
Konvensi melawan Diskriminasi dalam
Pendidikan
(C.5).
Protokol
yang
Membentuk
Komisi
Konsiliasi
dan
Jasa
baik
yang
bertanggungjawab
atas
Pencarian
Penyelesaian Perselisihan Apapun yang
Mungkin Timbul di antara Negara Peserta
Konvensi melawan Diskriminasi dalam
Pendidikan
(C.6).
Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan
Jabatan), Konvensi (No.111) tentang
Diskriminasi mengenai Pekerjaan dan
jabatan (C.4).
(C.7).
Deklarasi tentang Penghapusan Semua
Bentuk ketidakrukunan dan Diskriminasi
Berdasarkan Agama atau Kepercayaan
(C.8).
Deklarasi tentang Ras dan Prasangka
Rasial
D). Administrasi
Peradilan,
Penganiayaan
(D.1).
Penahanan
tentang
Bentuk
dan
Peraturan-peraturan Standar Minimum
bagi Perlakuan terhadap Narapidana
14
(D.2).
Konvensi melawan Penganiayaan dan
Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak
Manusiawi
atau
Hukuman
yang
Menghinakan
(D.3).
Konvensi Eropah untuk Pencegahan
Penganiayaan dan Perlakuan Tidak
manusiawi
atau
Hukuman
yang
Menghinakan
(D.4).
Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah
dan Menghukum Penganiayaan
(D.5).
Aturan-aturan Tingkah Laku bagi Petugas
Penegak hokum
(D.6).
Prinsip-prinsip Etika Kedokteran, yang
Relevan
dengan
Peran
Personel
Kesehatan, terutama para Dokter, dalam
Perlindungan Narapidana dan Tahanan
terhadap Penganiayaan dan Perlakuan
Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau
Hukuman yang Menghinakan
(D.7).
Prinsip-prinsip
Dasar
kemandirian Pengadilan
(D.8).
Kumpulan
Prinsip-prinsip
untuk
Perlindungan Semua Orang yang Berada
dibawah Bentuk Penahanan Apa pun
atau Pemenjaraan
E) Kejahatan Perang,
termasuk Genosida
Kejahatan
tentang
Kemanusiaan,
(E.1).
Konvensi tentang Pencegahan
Penghukuman Kejahatan Genosida
(E.2).
Konvensi
tentang
Tidak
Dapat
Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada
Kejahatan
Perang
dan
Kejahatan
Kemanusiaan
15
dan
F). Perbudakan dan Lembaga dan Praktek-praktek
Serupa
(F.1).
Konvensi Perbudakan
(F.2).
Konvensi
Pelengkap
tentang
Penghapusan Perbudakan, Perdagangan
Budak, dan Lembaga dan Praktek
Serupa dengan Perbudakan
(F.3).
Konvensi Kerja Paksa
(F.4).
Konvensi Penghapusan Kerja Paksa
(F.5)
Konvensi untuk Menumpas Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Pelacuran Orang
Lain
G). Kewarganegaraan, Ketiadaan Kewarganegaraan,
Suaka dan Pengungsi
(G.1).
Konvensi tentang
Wanita Kawin
Kewarganegaraan
(G.2)
Konvensi tentang Kewarganegaraan
Wanita (Montevideo,tahun 1933)
(G.3).
Konvensi
tentang
Pengurangan
Ketiadaan Kewarganegaraan
(G.4).
Konvensi mengenai Status Orang yang
Tidak Berkewarganegaraan
(G.5).
Konvensi mengenai Status Pengungsi
(G.6).
Protokol mengenai Status Pengungsi
(G.7).
Deklarasi tentang Suaka Teritorial
(G.8).
Persetujuan
Penghapusan
Tahun 1959
(G.9).
Persetujuan Eropah tentang Pengalihan
Pertanggungjawaban untuk Pengungsi,
Tahun 1980
Eropah
Visa bagi
tentang
Pengungsi,
(G.10). Konvensi tentang Suaka Politik
16
(G.11). Konvensi tentang Suaka Diplomatik
Rancangan Protokol Tambahan pada
Konvensi-konvensi
tentang
Suaka
Diplomatik:
(G.12) Konvensi tentang Suaka Teritorial
(G.13). Konvensi Organisasi Kesatuan Afrika
mengenai
Aspek-aspek
Khusus
Permasalahan Pengungsi di Afrika
H). Perkawinan
Remaja
dan
Keluarga,
Anak-anak
dan
(H.1).
Konvensi
mengenai
Persetujuan
Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan
dan Pencatatan Perkawinan
(H.2).
Konvensi tentang Hak-hak Anak
(H.3).
Konvensi Eropah tentang Status Hukum
Anak yang Lahir di Luar Ikatan
Perkawinan
I). Hak untuk Bekerja
Berhimpun
dan
Hak untuk Bebas
(I.1).
Konvensi tentang Kebebsan Berhimpun
dan
Perlindungan
Hak
untuk
Berorganisasi
(I.2).
Konvensi tentang Hak Berorganisasi dan
Penawaran Kolektif
(I.3).
Konvensi Tentang Perwakilan Pekerja
(I.4).
Konvensi Kebijakan Pekerjaan
(I.5).
Konvensi tentang Penggajian yang Sama
(I.6).
Konvensi Eropah tentang Status Hukum
Pekerja Pendatang
17
J). Kesejahteraan
Pembangunan
Sosial,
Kemajuan
(J.1).
Deklarasi
Universal
Pemberantasan
Kelaparan
kekurangan Gizi
(J.2).
Deklarasi
tentang
Pembangunan
dan
tentang
dan
Hak
atas
K). Hak-hak Politik dan Sipil Wanita
(K.1).
Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita
(K.2).
Konvensi
Pemberian
Wanita
(K.3).
Konvensi
Inter-Amerika
tentang
Pemberian Hak-hak Sipil kepada Wanita
Inter-Amerika
Hak-hak Politik
tentang
kepada
L). Kebebasan Informasi dan Perlindungan Data
(L.1).
Konvensi
tentang
Internasional
Hak
Koreksi
(L.2).
Konvensi untuk Perlindungan Individu
mengenai Pemrosesan Otomatis Data
Pribadi
M). Penduduk Asli dan Kelompok Minoritas
(M.1).
Konvensi tentang Penduduk Asli dan
Penduduk Suku di negara-negara
Merdeka
(M.2).
Rancangan Deklarasi tentang hak-hak
Orang-orang yang termasuk Kelompok
Minoritas Bangsa atau Etnis, Agama, dan
Bahasa.
18
Dalam instrumen nasional Indonesia rumusan
pelanggaran HAM termuat dalam :
1). UUD 1945 & Amandemen khususnya pasal 5 ayat
(1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 ayat
(1) & ayat (3), dan Pasal 34.
2). TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia
3). UU RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi
Manusia
4). UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia
5). Pelbagai UU RI tentang Ratifikasi KonvensiKonvensi Internasional yang terkait dengan HAM.
c, War Crime
Kejahatan perang dirumuskan secara detail dalam
pasal 8 Statuta ICC, sebagai berikut:
1). Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan
dengan kejahatan perang pada khususnya ketika
dilakukan sebagai bagian dari perencanaan atau
kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan
yang mempunyai dampak skala luas dari
kejahatan itu.
2). Untuk tujuan Undang-undang ini, "kejahatan
perang' berarti:
(a) Pelanggaran-pelanggaran
berat
terhadap
Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,
yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini
terhadap orang-orang atau kekayaan yang
dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Konvensi Jenewa yang bersangkutan:
19
(i)
Pembunuhan yang disengaja;
(ii)
Penyiksaan
atau
perlakuan
tidak
manusiawi, termasuk uji coba biologi;
(iii)
Kesengajaan
yang
menyebabkan
penderitaan atau rasa sakit yang luar
biasa terhadap tubuh atau kesehatan;
Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan
pemusnahan harta benda/ kekayaan,
yang tidak dibenarkan oleh kebutuhankebutuhan militer dan dilakukan secara
tidak berdasarkan hukum dan tanpa
alasan;
(iv)
Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan
pemusnahan harta benda/ kekayaan,
yang tidak dibenarkan oleh kebutuhankebutuhan militer dan dilakukan secara
tidak berdasarkan hukum dan tanpa
alasan;
(v)
Pemaksaan tahanan perang atau orang
yang
dilindungi
lainnya
untuk
melaksanakan secara paksa kekuasaan
yang sedang bertempur;
(vi)
Penyiksaan tahanan perang atau orang
yang
dilindungi
lainnya
untuk
melaksanakan secara paksa kekuasaan
yang sedang bertempur;
(vii) Penyiksaan disengaja terhadap tahanan
perang atau orang yang dilindungi
lainnya dari hak-hak pengadilan yang
adil dan reguler;
(viii) Deportasi atau pengalihan orang yang
tidak
berdasarkan
hukum
atau
pengurungan yang tidak berdasarkan
hukum;
(ix)
Penyanderaan.
20
(b)
Pelanggaran-pelanggaran
berat
lainnya
terhadap hukum dan hukum adat yang berlaku
dalam konflik bersenjata international dalam
kerangka kerja yang ditetapkan dari hukum
international yaitu setiap tindakan-tindakan
berikut ini:
(i)
Dengan
sengaja
mengarahkan
penyerangan terhadap penduduk sipil
seperti atau terhadap penduduk sipil
secara individu yang tidak ambil bagian
secara
langsung
dalam
kerusuhan/permusuhan itu;
(ii)
Dengan
sengaja
mengadakan
penyerangan terhadap obyek-obyek sipil
yaitu
obyek-obyek
yang
bukan
merupakan obyek-obyek militer;
(iii)
Dengan
sengaja
mengarahkan
penyerangan
terhadap
personil,
instalasi,
bahan-bahan,
unit
atau
kendaraan-kendaraan
yang
terlibat
dalam bantuan kemanusiaan atau misi
penjagaan keamanan sesuai dengan
Piagam PBB, sepanjang hal tersebut
mendapat perlindungan yang diberikan
terhadap orang-orang sipil atau obyekobyek sipil sesuai dengan hukum
international dari konflik bersenjata;
(iv)
Secara sengaja melancarkan serangan
yang menurut pengetahuannya bahwa
penyerangan itu akan menyebabkan
kerugian yang tiba-tiba terhadap jiwa
atau kecelakaan terhadap warga sipil
atau kerusakan terhadap obyek-obyek
sipil atau kerusakan-kerusakan yang
luas, jangka panjang dan berat terhadap
lingkungan alam yang dengan jelas akan
berhubungan
dengan
keuntungankeuntungan militer yang kongkrit dan
21
langsung secara
dapat diantisipasi;
keseluruhan
yang
(v)
Penyerangan atau bombardir, dengan
cara apapun kota-kota, desa-desa,
tempat-tempat hunian atau gedunggedung yang tidak dipertahankan dan
yang bukan merupakan obyek-obyek
militer;
(vi)
Pembunuhan atau penyiksaan sandera
yang telah meletakkan senjatanya atau
tidak lagi mempunyai daya pertahanan,
telah menyerahkan kebijaksanaannya;
(vii) Membuat penggunaaan yang tidak tepat
bendera gencatan senjata, bendera atau
tanda-tanda militer serta seragam musuh
atau PBB, serta perangkat-perangkat
Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan
kematian atau kecelakaan jiwa yang
gawat;
(viii) Pengalihan, secara langsung ataupun
tidak langsung, dengan penempatan
kekuasaan sebagian dari penduduk
sipilnya sendiri ke wilayah huniannya,
atau deportasi atau pengalihan seluruh
atau sebagian penduduk dari wilayah
yang ditempati di dalam atau di luar
wilayahnya;
(ix)
Dengan
sengaja
mengarahkan
penyerangan terhadap gedung-gedung
yang diperuntukkan untuk tujuan agama,
pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau
tujuan
amal,
monumen-monumen
histories, rumah sakit, dan tempattempat dimana orang-orang sakit dan
luka dikumpulkan, asal mereka bukan
obyek militer;
22
(x)
Melakukan pada orang-orang yang
berada pada kekuasaan pihak lawan,
mutilasi fisik atau eksperimen medis atau
ilmiah dari salah satu jenis yang tidak
dibenarkan oleh perawatan medis, gigi
atau perawatan rumah sakit dari orang
yang bersangkutan demi kepentingankepentingannya,
dan
yang
menyebabkan kematian terhadap atau
bahaya yang serius terhadap kesehatan
orang atau beberapa orang itu;
(xi)
Pembunuhan atau mengakibatkan luka
terhadap individu-individu yang menjadi
milik bangsa yang bermusuhan atau
angkatan bersenjata;
(xii) Menyatakan bahwa tidak ada tempat
tinggal yang akan diberikan;
(xiii) Merusak atau menyita harta kekayaan
musuh kecuali pengrusakan atau
penyitaan itu diminta dengan tegas untuk
kebutuhan-kebutuhan perang;
(xiv) Menyatakan hilang,berhenti atau tidak
dapat diizinkan di pengadilan hukum
hak-hak dan tindakan-tindakan pihak
nasional
maupun
pihak
yang
bermusuhan;
(xv) Memaksa bangsa-bangsa dari pihak
yang bermusuhan untuk ambil bagian
dalam operasi perang yang diarahkan
terhadap negaranya sendiri, bahkan
apabila mereka berada dalam layanan
belligerent sebelum memulai perang itu;
(xvi) Penjarahan kota atau tempat, bahkan
apabila dilakukan dengan penyerangan;
(xvii) Menggunakan
beracun;
23
racun
atau
senjata
(xviii) Menggunakan gas asphyxiating, gas
beracun atau gas-gas lain, dan semua
bahan-bahan cairan, bahan-bahan dan
perangkat-perangkat yang sama;
(xix) Menggunakan
peluru
tajam yang
menyebar atau mudah menusuk pada
tubuh manusia, seperti peluru-peluru
dengan pelindung keras yang intinya
tidak tertutup seluruhnya atau diberi
incisions;
(xx) Menggunakan senjata, proyektil dan
bahan-bahan serta metode perang yang
sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan
yang maha berat atau penderitaan yang
tidak diperlukan atau yang secara
disengaja
tidak
membeda-bedakan
dalam pelanggaran hak international
atau konflik bersenjata, asalkan senjatasenjata, proyektil dan bahan-bahan serta
metode perang itu mangacu pada
larangan
yang
komprehensif
dan
termasuk dalam lampiran Undangundang
ini,
dengan
perubahanperubahannya sesuai dengan ketentuanketentuan yang relevan yang ditetapkan
pada pasal 121 dan 123;
(xxi) Melakukan kekejaman terhadap harta
benda manusia, pada khususnya
kemanusiaan dan perlakuan kejam;
(xxii) Melakukan pemerkosaan, perbudakan,
perbudakan seks, prostitusi paksa,
kehamilan paksa, sebagaimana yang
diidentifikasikan pada pasal 7 ayat 2 (f),
sterilisasi paksa atau bentuk-bentuk
pelanggaran seksual lain apapun yang
juga merupakan pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa;
24
(xxiii) Menggunakan keberadaan masyarakat
sipil atau orang yang dilindungi lain
untuk tameng titik-titik, daerah-daerah
atau kekebalan-kekebalan kekuasaan
militer tertentu dari operasi militer;
(xxiv) Dengan sengaja mengarahkan serangan
terhadap bangunan-bangunan, unit-unit
medis dan transportasi dan personilpersonil yang menggunakan perangkat
khusus dari Konvensi Jenewa sesuai
dengan hukum international;
(xxv) Sengaja menggunakan kelaparan sipil
sebagai
metode
perang
dengan
membiarkan mereka menghilangkan
obyek-obyek yang tidak dapat diperbaiki
bagi kelanjutan hidupnya termasuk
dengan sengaja menghambat pasokanpasokan sebagaimana yang diberikan
sesuai dengan Konvensi Jenewa;
(xxvi) Memaksa atau mengikutsertakan anakanak di bawah umur limabelas tahun
dalam kekuatan bersenjata nasional atau
menggunakannya untuk berpartisipasi
aktif dalam pertempuran.
(c)
Dalam hal konflik bersenjata bukan bersifat
internasional, pelanggaran-pelanggaran serius
dari pasal 3 pada Konvensi Jenewa ke empat
tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap tindakan
berikut ini yang dilakukan terhadap orangorang yang tidak ambil bagian secara aktif
dalam pertempuran termasuk para anggota
angkatan bersenjata yang telah meletakkan
senjatanya/menyerah dan mereka yang
ditempatkan hors de combat karena sakit,
luka, penahanan atau sebab-sebab lain
apapun:
25
(i)
Pelanggaran terhadap nyawa dan orang,
pada khususnya pembunuhan tanpa
pandang bulu, mutilasi, perlakuan kejam
dan penyiksaan;
(ii)
Melakukan penyiksaan pada harkat
pribadi, khususnya kemanusiaan dan
perlakuan kejam;
(iii)
Penyanderaan;
(iv)
Memberikan hukuman dan melakukan
eksekusi tanpa pengadilan terlebih
dahulu yang diumumkan oleh pengadilan
yang dilembagakan secara reguler, yang
mengupayakan seluruh jaminan yudisial
yang secara umum dikenal sangat
diperlukan;
(d) Ayat 2 © berlaku bagi konflik bersenjata yang
bukan bersifat internasional dan dengan
demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi
gangguan
internal
dan
keteganganketegangan, seperti kerusuhan, tindakantindakan
isolasi
dan
sporadic dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa.
(e) Pelanggaran-pelanggaran
hukum
serius
lainnya dan hukum tradisional yang berlaku di
dalam konflik bersenjata yang bukan bersifat
internasional, dalam kerangka kerja yang
ditetapkan pada hukum internasional yaitu
setiap tindakan berikut ini:
(i)
Dengan sengaja mengarahkan serangan
terhadap penduduk sipil seperti atau
terhadap warga negara sipil yang tidak
ambil bagian secara langsung dalam
pertempuran/ permusuhan itu;
26
(ii)
Dengan sengaja mengarahkan serangan
terhadap bangunan, bahan-bahan, unit
medis dan transportasi, dan personil
yang menggunakan perangkat khusus
dari Konvensi Jenewa seusai dengan
hukum internasional;
(iii)
Dengan sengaja mengarahkan serangan
terhadap personil, instalasi, bahanbahan unit atau kendaraan yang terlibat
dalam bantuan kemanusiaan atau misi
penjaga keamanan sesuai dengan
Piagam PBB, dan juga mereka berhak
mendapat perlindungan yang diberikan
kepada warga sipil atau obyek-obyek
sipil seusia dengan hukum internasional
dari konflik bersenjata;
(iv)
Dengan
sengaja
mengarahkan
penyerangan
terhadap
bangunanbangunan yang diperuntukkan untuk
tujuan keagamaan, pendidikan, seni,
ilmu pengetahuan atau tujuan-tujuan
amal, monumen bersejarah, rumah sakit
dan tempat-tempat dimana oang-orang
sakit berada asalkan mereka bukan
tujuan militer;
(v)
Penjarahan kota atau tempat, bahkan
apabila dilakukan dengan penyerangan;
(vi)
Melakukan pemerkosaan, perbudakan
seksual, prostitusi paksa, kehamilan
paksa, sebagaimana dijelaskan pada
pasal 7 ayat 2 (f), sterilisasi paksa dan
setiap bentuk pelanggaran seksual
lainnya dan juga yang merupakan
pelanggaran serius terhadap pasal 3
sampai dengan Konvensi Jenewa
keempat;
27
(vii) Mengikutsertakan atau mendaftarkan
anak-anak di bawah umur limabelas
tahun dalam angkatan bersenjata atau
kelompok-kelompok
atau
menggunakannya untuk berpartisipasi
aktif dalam kerusuhan;
(viii) Memerintahkan pemindahan populasi
atau penduduk sipil untuk alasan-alasan
yang terkait dengan konflik kecuali
menjamin masyarakat sipil yang terlibat
atau untuk alasan-alasan militer imperatif
yang diminta;
(ix)
Pembunuhan atau mengakibatkan luka
yang hebat;
(x)
Menyatakan bahwa tidak ada tempat
yang akan diberikan;
(xi)
Menjadikan orang-orang yang berada
pada kekuasaan pihak lain yang bertikai
sebagai obyek mutilasi fisik atau pada uji
coba medis atau ilmiah dari jenis apapun
yang tidak dibenarkan oleh medis,
kedokteran gigi atau rumah sakit dari
orang-orang yang bersangkutan yang
tidak dilakukan pada kepentingannya,
yang menyebabkan kematian atau
bahaya yang serius terhadap kesehatan
orang atau beberapa orang itu;
(xii) Merusak atau menyita harta benda pihak
lain kecuali pengrusakan atau penyitaan
itu dituntut dengan tegas oleh kebutuhan
konflik;
28
(f) Ayat 2 (e) berlaku bagi konflik bersenjata yang
bukan bersifat internasional dan dengan demikian
tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan
internal dan ketegangan -ketegangan, seperti
kerusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadic
dari pelanggaran atau tindakan-tindakan lain dari
sifat yang serupa. Ini berlaku bagi konflik
bersenjata yang berlangsung di wilayah suatu
Negara apabila ada konflik bersenjata yang terjadi
antara pemerintah dan kelompok bersenjata
terorganisir atau antara kelompok-kelompok itu.
3) Tidak ada ketentuan dalam ayat 2 (c) dan (e)
yang akan mempengaruhi tanggung jawab
Pemerintah untuk menjaga atau menetapkan
kembali undang-undang atau aturan di Negara itu
atau untuk mempertahankan kesatuan dan
integritas wilayah Negara itu, dengan segala cara
yang sah.
Dari rumusan diatas dapat disimak pelanggaran
berat HAM yang dikategorikan sebagai kejahatan perang
tersebut diatas terjadi dalam situasi konflik bersenjata
internasional (pasal 8 ayat 2 (b) dan situasi konflik
bersenjata non internasional (pasal 8 ayat 2 (c).
Dalam situasi konflik bersenjata internasional yang
diterapkan adalah keempat Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan I. Sedang dalam situasi konflik
bersenjata non internasional yang diberlakukan adalah
Pasal 3 dalam keempat konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan II.
Yang dimaksud konflik bersenjata internasional
adalah perang antar negara. sedang konflik bersenjata
non internasional adalah konflik bersenjata yang terjadi
antara pemerintah (tentara nasional) dengan kelompok
bersenjata terorganisir atau antar kelompok bersenjata
teroganisir yang satu dengan yang lainnya (pasal 2 (f).
29
Situasi-situasi gangguan internal dan keteganganketegangan,
seperti kerusuhan, tindakan-tindakan
isolasi dan sporadis lainnya tidak termasuk dalam
pengertian konflik bersenjata non internasional.
Sehingga terhadapnya tidak diberlakukan yurisdiksi ICC
tentang kejahatan perang ini.
Namun demikian dalam situasi kekacauankekerasan dalam negeri seperti tersebut diatas yang
belum merupakan konflik bersenjata, perlindungan
minimal terhadap Hak Asasi Manusia tetap dijamin oleh
hukum, karena perlindungan HAM sudah merupakan
tekad dan gerakan internasional.
Sehubungan dengan itu, menurut Muladi3, ada
penemuan yang progresif dari praktek kedua Tribunal
Nuremberg dan Tokyo yaitu pandangan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) dapat dilakukan dalam keadaan damai
(peacetime) dan hakekat kejahatan perang dapat terjadi
pada konflik bersenjata internal.
Begitupun rumusan kejahatan perang dalam pasal 8
Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC tidak terlepas dari
sejarah perang dunia kedua dimana merupakan tekad
bersama negara-negara sekutu untuk mengadili dan
menghukum para pelaku kejahatan perang Jerman,dan
Jepang jika perang telah usai. Untuk itu disepakati
Deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943 dilanjutkan
Piagam Perjanjian London 1945 dimana dalam pasal 6
diatur bentuk-bentuk kejahatan perang yang dapat
dijatuhi hukuman, yaitu:
3 Muladi. Perbandingan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum Pidana
menurut Undang-undang No.26 / 2000. Ceramah FH. UNDIP Semarang, 2002 hlm.
4
30
1) Kejahatan
terhadap
perdamaian
yaitu,
merencanakan, mempersiapkan, memulai atau
menjalankan perang agresi, atau perang yang
melanggar
perjanjian-perjanjian
internasional,
persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan, atau
turut serta dalam rencana-rencana bersama atau
komplotan untuk mencapai salah satu dari tujuan
perbuatan-perbuatan tersebut diatas.
2) Kejahatan perang yaitu, pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang,
seperti pembunuhan, perlakuan kejam terhadap
penduduk sipil dengan mengasingkan mereka,
mengerjakan mereka secara paksa atau diwilayah
pendudukan
memperlakukan
tawanan-tawanan
perang dengan kejam, membunuh mereka atau
memperlakukan mereka yang dilaut secara demikian,
merajah
milik
negara
atau
perseorangan,
menghancurkan kota atau desa dengan semaumaunya atau membinasakannya dengan tidak ada
alasan kepentingan militer.
3) Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
yaitu,
pembunuhan,
membinasakan,
memperbudak,
pengasingan dan lain-lain kekejaman diluar
prikemanusiaan terhadap penduduk sipil yang
dijalankan sebelum atau selama perang, penuntutan
berdasarkan alasan-alasan politik, rasialisme atau
keagamaan yang dalam hubungannya dengan suatu
kejahatan yang berada dalam yurisdiksi mahkamah,
atau apakah tidak merupakan pelanggaran dari
hukum dalam negeri yang bersangkutan jika tidak
dilakukan.
Keinginan untuk mengadili dan menghukum para
pelaku kejahatan perang dunia II pada awalnya
dinyatakan secara unilateral melalui pelbagai deklarasideklarasi antara lain :4
4 Oebit Sabi T. Hukum Perang dan Humaniter, FH-UNPAD. hlm.18-19
31
a) Secara sendiri-sendiri Presiden AS F.D. Rosevelt dan
Perdana Menteri Inggris W. Churchill pada tanggal 25
Oktober 1941 dan deklarasi Menteri Luar Negeri Uni
Soviet Molotov pada tanggal 17 November 1941
mengatakan bahwa kekejaman dan kebiadaban
Jerman harus diadili sesudah Perang Dunia II
selesai;
b) Deklarasi St. James tahun 1942, kemudian tanggal
13 Januari 1942 oleh negara-negara Belgia,
Chekoslavia, Luxemberg, Norwegia, Polandia,
Yugoslavia, Yunani, Belanda dan Perancis yang
berada di London secara bersama mengatakan
adanya perbuatan-perbuatan Nazi Jerman yang keji
dengan konsesi tindakan perang atau kejahatankejahatan politiknya terhadap penduduk sipil yang tak
bersalah di Negara-negara yang didudukinya, maka
nantinya sesudah perang selesai terhadap pelakupelaku tersebut, harus diberikan hukuman melalui
saluran badan-badan peradilan guna menyatakan
kesalahan dan atau bertanggungjawab terhadap
kejahatan-kejahatan tersebut.
c) Deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943. Dengan
adanya Deklarasi Moskow terhadap kekejaman
Jerman pada tanggal 30 Oktober 1943, dari Presiden
Amerika Serikat Roosevelt, Perdana Menteri Uni
Soviet Stalin untuk mengadili penjahat-penjahat
perang Jerman segera sesudah Perang Dunia II
selesai yaitu, perwira-perwira Jerman dan anggotaanggotanya serta pengikut partai Nazi yang
bertanggungjawab untuk ini atau yang telah
mengambil bagian dalam keganasan-keganasan
tersebut,
pembunuhan-pembunuhan
dan
pelaksanaannya, mereka harus diadili dan dihukum
sesuai dengan hukum dari negara-negara bebas
tersebut, dan atau pemerintah merdeka yang
dibentuk nantinya.
32
d) Perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 dan
Deklarasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk
Timur Jauh di Tokyo tanggal 19 Januari 1946.
Sesudah Jerman menyerah dan selesainya Perang
Dunia II, di London diadakan konperensi atas dasar
deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943 antara
empat negara besar sekutu: AS, Inggris, Uni Soviet
dan Perancis yang dimulai sejak tanggal 26 Juni
1945. Hasil konperensi tersebut adalah adanya
perjanjian London (London Agreement) tanggal 8
Agustus 1945 tentang penuntutan dan pemidanaan
kejahatan perang yang besar dari negara-negara
poros Eropah. Berhasilnya disusun prosedur kerja
Mahkamah Militer Internasional di Berlin pada tanggal
6 Oktober 1945 (Charter of the International Militery
Tribunal).
Kemudian proklamasi bersama pada tanggal 26 Juli
1945 oleh Presiden AS Harry S. Truman, PM Uni Soviet
Stalin, PM. Inggris W.Churchill dan Presiden Cina
Jenderal Chiang
Kai Shek atas adanya Postdam
Agreement 1945 yang diadakan dari tanggal 17 Juli
sampai 2 Agustus 1945 menyatakan bahwa, bangsa
Jepang tidak akan dimusnahkan sebagai bangsa, tetapi
akan dihukum mereka yang telah melakukan kejahatan
perang, termasuk mereka yang melakukan kekejaman
terhadap tawanan perang.
Selanjutnya dalam literatur hukum humaniter dikenal
"kejahatan perang dalam arti sempit" yaitu pelanggaran
terhadap hukum dan kebiasaan perang, dalam hal ini
pelanggaran terhadap keempat Konvensi Jenewa tahun
1949. Bentuk-bentuk tindakan pelanggaran tersebut
terdapat dalam:
33
(a) Pasal 50 Konvensi Jenewa I yang berbunyi:
Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh
pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi
perbuatan-perbuatan berikut, apabila dilakukan
terhadap orang atau milik yang dilindungi oleh
konvensi: pembunuhan disengaja, penganiayaan
atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk
percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja
penderitaan besar atau luka berat atas badan atau
kesehatan, serta pembinasaan yang luas dan
tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak
dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang
dilaksanakan dengan melawan hukum dan dengan
semena-mena.
(b) Pasal 130 Konvensi Jenewa III menyebutkan:
Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh
pasal terdahulu adalah pelanggaran yang meliputi
perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang
atau milik yang dilindungi oleh konvensi:
pembunuhan
disengaja,
penganiayaan
atau
perlakuan
tak
berprikemanusiaan,
termasuk
percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja
penderitaan besar atau luka berat atas badan atau
kesehatan, memaksa seorang tawanan perang untuk
berdinas dalam ketentaraan negara musuh atau
dengan sengaja merampas hak-hak tawanan perang
atau peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan
dalam konvensi ini.
(c) Pasal 147 Konvensi Jenewa IV menyebutkan:
Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh
pasal terdahulu adalah pelanggaran yang meliputi
perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang
atau milik yang dilindungi oleh konvensi:
pembunuhan
disengaja,
penganiayaan
atau
perlakuan
tak
berprikemanusiaan,
termasuk
34
percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja
penderitaan besar atau luka berat atas badan atau
kesehatan, deportasi, pemindahan atau penahanan
seorang yang dilindungi untuk berdinas dalam
ketentaraan negara musuh, atau dengan sengaja
merampas hak-hak orang yang dilindungi atas
peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam
konvensi ini, penyanderaan dan perusakan besarbesaran serta tindakan pemilikan atas harta benda
yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan
yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan
dengan sewenang-wenang.
Pelangaran-pelanggaran dalam konvensi diatas
menggambarkan jenis-jenis perbuatan yang lumrah
terjadi dalam perang di darat, laut dan udara pada
umumnya khususnya dalam Perang Dunia I dan Perang
Dunia II.
Menurut GPH. Haryomataram5 kejahatan perang
dalam arti luas adalah:
1) Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang.
2) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against
peace)
3) Kejahatan terhadap prikemanusiaan (crimes against
humanity)
4) Genocide.
Sedang kejahatan perang dalam arti sempit adalah
pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang.
Untuk memperjelas perlu pula dikemukakan
pendapat beberapa ahli tentang kejahatan perang
berikut ini.
5 Haryamataram,GPH. Hukum Humaniter, Penerbit:CV.Rajawali, Jakarta, hlm.96
35
Menurut Wirjono Prodjodikoro6, macam-macam
tindakan yang dianggap merupakan kejahatan perang
antara lain:
1) Mempergunakan racun atau gas beracun dalam
peperangan,
2) Membunuh prajurit-prajurit yang sakit atau luka-luka,
3) Menghancurkan bangunan-bangunan yang tidak
boleh dihancurkan seperti hospital, gereja, mesjid,
museum, sekolah dan lain-lain sebagainya,
4) Menyerang kota-kota yang dinyatakan terbuka, yaitu
yang tidak dilengkapi dengan alat-alat penangkis
serangan bersenjata,
5) Merampas kapal-kapal laut swasta yang tidak boleh
diserang seperti, kapal-kapal hospital, kapal-kapal
dagang.
Sementara
itu
Oppenheim-Lautterpacht7
membedakan jenis-jenis kejahatan perang berdasarkan
sifat dari kejahatan-kejahatan itu, yaitu:
1) Violations of recognised rules regarding war fare
commited by members of the armed forces,
2) All hostilities in arms commited by individuals who
are not members of the enemy armed forces,
3) Espionage and war treason,
4) All Marauding acts.
6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Publik Internasional,1967, Penerbit:
PT.Pembimbing Masa, Jakarta, hlm.173
7 Oppenheim-Lauterpacht.International Law.Vol.II: War and Neutrality,Seventh
Edition,Longmans,hlm.567
36
Begitupun Ali Sastroamidjojo 8 membagi kejahatan
perang dalam empat jenis, yaitu:
1) Pelanggaran-pelanggaran
peraturan-peraturan
perang yang berlaku dengan sah, oleh anggotaanggota angkatan bersenjata musuh.
2) Semua tindakan permusuhan bersenjata yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang bukan anggotaanggota bersenjata musuh.
3) Spionase dan penghianatan perang.
4) Tindakan-tindakan
(penggedoran).
yang
merupakan
perajahatan
Bahwa rumusan kejahatan perang dalam pasal 8
ICC merujuk pada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus
1949. Konvensi Jenewa ini terdiri dari empat konvensi
yang secara bersama-sama dinamakan Konvensi
Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang,
juga dikenal dengan nama Konvensi Paling Merah tahun
19499 Negara RI telah menerima seluruh Konvensi
Jeneswa 1949 tersebut berdasarkan Undang-Undang
No.59 Tahun 1958 tanggal 10 September 1958 tentang
Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh
Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang dimuat
dalam Lembaran Negara No.109, 1958 dan memori
penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara No.1644.
Sebenarnya Negara RI bukan peserta konperensi
diplomatik yang melahirkan Konvensi-Konvensi Jenewa
1949 tersebut. Namun melalui pernyataan turut serta
(tanpa pensyaratan/ reservation) tertanggal 10
September 1958 Republik Indonesia telah menjadi
anggota Konvensi Konvensi Jenewa tahun 1949.
Pernyataan turut serta semacam ini merupakan salah
satu cara mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian
8 Ali Sastroamidjojo. Pengantar Hukum Internasional. Penerbit: Bharata, 1971,
Jakarta. hlm.283
9 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. hlm.7
37
atau konvensi internasional yang dikenal dalam hukum
internasional.10
Cara penerimaan Konvensi Jenewa 1949 di atas
dipergunakan dalam hubungannya dengan klausula
formula penerimaan (acceptance formula Clause)11.
Kekuatan hukumnya sama dengan ratifikasi dan
dibenarkan untuk memudahkan negara-negara bukan
penandatangan menjadi anggota konvensi.
Cara pengesahan perjanjian internasional semacam
ini telah dibakukan kedalam hukum nasional Indonesia
melalui UU RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional, dimana dalam pasal 1 ayat 2 diatur
bentuk-bentuk pengesahan dengan cara ratifikasi
(ratification),
aksesi
(accession),
penerimaan
(acceptance) dan penyetujuan (approval).
Dengan demikian maka seharusnya pula Indonesia
meratifikasi Statuta Roma 1998 apalagi telah mendapat
ratifikasi lebih dari 60 negara pada tanggal 11 April 2002
dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2002.
Selain itu AS sendiri yang tadinya menolak mentahmentah Statuta Roma 1998 kini telah berobah sikap
dengan menandatanganinya.
Sebagaimana
yang
dikemukakan
Menteri
Kehakiman dan HAM dalam acara pembukaan pelatihan
Hakim Ad Hoc tanggal 5 November 2000 dengan
menyatakan bahwa, di penghujung tahun 2000
perjuangan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) telah
ditandai oleh 2 (dua) perkembangan penting, yaitu
Amerika Serikat telah menandatangani Perjanjian
Pengadilan Tetap Pidana Internasional (PPTPI) atau
Statuta Roma 1998 dan DPR Khmer Merah telah
10 Yudha Bhakti A. Hukum Internasional Suatu Bunga Rampai,2000,
Penerbit:Alumni, Bandung, hlm.170
11 Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional. 1986.Penerbit:Justitia Study Group
Bandung,hlm.244
38
menyetujui rancangan undang-undang pembentukan
Pengadilan Khmer Merah untuk mengadili para pelaku
kejahatan kemanusiaan semasa rezim PolPot. Semula
AS tidak menyetujui Statuta Roma dengan alasan utama
bahwa pengadilan akan dapat menerapkan yurisdiksinya
atas peristiwa yang terjadi dalam wilayah sebuah negara
yang telah menerima jurisdiksinya. Amerika mendesak
agar Pengadilan hanya dapat menerapkan yurisdiksinya
jika negara dimana tersangka adalah warga negaranya
dan negara tersebut telah meratifikasi Statuta12.
Selain itu, disebabkan serdadu dan kepentingan
militer AS ada dimana-mana di wilayah dunia, maka
dikhawatir berbagai konflik bersenjata yang melibatkan
militer AS akan dapat menyeret serdadunya kedalam
yurisdiksi pengadilan HAM negara setempat maupun
ICC.
Sesungguhnya
kejahatan
kemanusiaan yang
menjadi yurisdiksi ICC banyak diatur dalam KUH Pidana
seperti
pembunuhan
berencana,
penganiayaan/penyiksaan
berat,
perbudakan,
penggunaan senjata dan berbagai jenis tindak
kekerasan terhadap nyawa atau badan orang dan
barang/benda lainnya, namun karena dilakukan secara
sistimatis dan menyebar luas atau menjadi bagian dari
perencanaan atau kebijakan yang berdampak skala luas
dari suatu negara atau organisasi maka kejahatan
kemanusiaan dalam statuta memperoleh karakteristik
tersendiri dan pengaturan tersendiri dalam hukum pidana
internasional yang seyogyanya dapat diadopsi kedalam
sistim hukum pidana nasional setiap negara.
Sehubungan dengan penjelasan kejahatan perang di
atas kini menjadi pertanyaan yang menarik, apakah
pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 terhadap kasuskasus kejahatan perang yang tunduk pada yurisdiksi ICC
tidak bersifat retroaktif ?
12 Soedjono Dirdjosisworo.Pengadilan Hak Hak Asasi Manusia Indonesia.2002.
Penerbit:PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.147 & 146
39
Menurut hemat penulis pemberlakuan Konvensi
Jenewa 1949 oleh ICC dengan demikian juga oleh
pengadilan pidana (HAM) nasional yang menerapkan
yurisdiksi ICC tidak bersifat retroaktif atau tidak
melanggar prinsip legalitas dalam Statuta ICC karena:
1) Pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 sama dengan
pemberlakuan beberapa prinsip-prinsip hukum
pidana internasional (universal) yang telah lama
dikenal jauh sebelumnya sebagaimana yang
disebutkan dianut dalam Statuta ICC, seperti: prinsip
Nullum crimen sine lege (pasal 22), Nulla poena sine
lege (pasal 23), Non-retroaktivity ratione personae
(pasal 24), prinsip tanggungjawab pidana individu
(pasal 25), prinsip admissibility (pasal 17), prinsip
non-impunity (pasal 27), prinsip tanggungjawab
komandan/atasan (pasal 28) dan lain-lain.
2). Dengan disebutkannya secara tegas dalam Statuta
ICC tersebut maka Konvensi Jenewa 1949 menjadi
bagian tak terpisahkan dari statuta ICC, artinya
ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1949 menjadi
ketentuan-ketentuan ICC yang keberlakuannya
(kekuatan hukumnya) sama dengan ketentuan ICC
lainya sepanjang mengenai kejahatan perang di
darat, laut dan udara terutama tentang konflik
bersenjata internasional dan non internasional.
Sehingga Konvensi Jenewa 1949 dapat diberlakukan
terhadap kasus-kasus yang menjadi Yurisdiksi ICC
yang terjadi setelah Statuta ICC berlaku efektif.
40
d. The Crime of Aggression
Tiga dari empat jenis kejahatan kemanusiaan
universal yang menjadi yurisdiksi ICC secara
berurutan dirumuskan dalam pasal 6,7 dan 8 Statuta
Roma 1998. Sedang perumusan yurisdiksi ICC yang
keempat tentang kejahatan agressi ini belum
dilakukan menunggu selang waktu 7 tahun terhitung
sejak 1 Juli 2002 saat mana mulai berlaku efektifnya
statuta ini sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 2
yang merujuk pada pasal 121 tentang amandemen
dan pasal 123 tentang peninjauan statuta.
Statuta Roma berlaku efektif mulai tanggal 1 Juli
2002 karena telah lewat hari ke-60 sejak ratifikasi
negara ke-60 pada tanggal 11 April 2002.
Namun demikian oleh karena agresi sangat
terkait dengan perang atau konflik bersenjata
internasional bahkan merupakan bagian awal dari
perang itu sendiri maka segala kejahatan
kemanusiaan yang berat yang terkait dengan
kejahatan agresi dapat terhisap kedalam yurisdiksi
ICC tentang kejahatan perang. Kejahatan perang
dapat dimulai dari kejahatan agresi, aatu kejahatan
agresi dapat berlanjut menjadi kejahatan perang.
Tetapi kedua jenis kejahatan ini dapat dibedakan dan
diatur sendiri-sendiri karena memiliki karakteristik
yang berbeda.
Sebagai gambaran kedepan, maka sebaiknya
dikemukakan beberapa konsepsi dan kaidah hukum
internasional tentang agresi yang sesungguhnya
telah lama dikenal dalam literatur hukum
internasional.
41
Pada tahun 1954 Komisi Hukum Internasional
pernah mengajukan konsep agresi kepada Majelis
Umum PBB sebagaimana yang diungkapkan James
Barros13), sebagai berikut:
Tindakan-tindakan sebagai berikut adalah
bertentangan dengan perdamaian dan keamanan
umat manusia:
1) Setiap tindakan agresi, termasuk penempatan
kekuatan bersenjata oleh penguasa sebuah
negara terhadap negara lain dengan tujuan
apapun kecuali pembelaan diri baik nasional
maupun bersama atau menjalankan keputusan
Perserikatan Bangsa Bangsa atau berdasarkan
rekomendasi sebuah organ PBB yang berwenang.
2) Setiap ancaman oleh penguasa sebuah negara
untuk terpaksa mengambil tindakan agresi
terhadap negara lain.
Selain itu J.G. Starke14 menyatakan bahwa
Komisi Khusus yang dibentuk PBB merumuskan
defenisi agresi yang menggambarkan Agresi adalah
penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu negara
terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau
kebebasan politik negara lain atau cara lain yang
bertentangan dengan Piagam PBB sebagaimana
diterapkan dalam defenisi ini.
Dalam penerapannya, Tribunal Nuremberg
dalam putusannya membedakan antara tindakan
agresi seperti tindakan pendudukan Jerman atas
Austria pada tahun 1938 dan Cekoslowakia pada
tahun 1939 tanpa adanya perlawanan bersenjata
yang berarti dengan perang agresi seperti
13 James Barros .PBB Dulu, Kini dan Esok. Alih Bahasa D.H.Gulo. Penerbit: Bumi
Aksara, hlm.210
14 Starke,J.G. Op.cit. hlm.222
42
pendudukan Jerman atas Polandia sejak 1
September 1939 yang mendapat perlawanan
bersenjata yang sengit. Tetapi Tribunal Tokyo dalam
putusannya sama sekali tidak mengadakan
pembedaan antara tindakan agresi dan perang
agresi.
Jadi agresi adalah setiap ancaman kekuatan
bersenjata suatu negara terhadap negara lain yang
tidak berdasarkan pada upaya pembelaan diri (sesuai
pasal 51 Piagam PBB) atau bukan keputusan atau
saran organ PBB yang berwenang yaitu Dewan
Keamanan PBB (sesuai pasal 39 jo. pasal 41 & pasal
42 Piagam PBB).
Kesulitan
utama
merumuskan
agresi
15
sebagaimana dikemukakan J.G. Starke
adalah
bagaimana menentukan adanya perang agresi atau
kapan permusuhan-permusuhan bukan perang
menimbulkan tindakan agresi. Kesulitan ini dialami
oleh komisi hukum internasional PBB dalam
mempersiapkan suatu rancangan keputusan bagi
yurisdiksi ICC tentang kejahatan agresi sehingga
perumusannya masih memerlukan waktu 7 (tujuh)
tahun setelah berlaku efektifnya ICC melalui upaya
amandemen dan peninjauan statuta (pasal 121 jo
123 statuta ICC). Amerika Serikat juga menolak
yurisdiksi ICC tentang kejahatan agresi, mengingat
serdadu dan kepentingan militernya ada dimanamana dimuka bumi ini.
Sesungguhnya sejak berlakunya Piagam PBB
terutama berdasarkan pasal 2 ayat 3 & 4 yang
menegaskan prinsip penyelesaian sengketa tanpa
kekerasan bersenjata serta pasal 33 yang
menyebutkan cara-cara penyelesaian damai yang
dapat ditempuh pihak bersengketa maka perang tidak
lagi dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan suatu
15 Starke,J.G. Op.cit. hlm.296
43
sengketa internasional. Piagam PBB hanya
membenarkan penggunaan kekerasan/kekuatan
militer dalam menyelesaikan suatu sengketa
internasional dalam dua hal yaitu:
1) Pembelaan diri suatu negara dari ancaman/
serangan militer negara lain sesuai pasal 51
Piagam PBB
2) Tindakan Militer Pasukan Perdamaian PBB yang
terdiri dari berbagai negara sesuai pasal 39 jo.
pasal 41 & pasal 42 Piagam PBB.
Dengan demikian semua aksi militer suatu
negara yang mengancam atau menyerang negara
lain yang dilakukan tidak berdasarkan pasal 51 dan
pasal 39 jo. pasal 41 & 42 Piagam PBB adalah
tindakan agresi atau perang agresi.
Prinsip inilah yang dapat menjadi kriteria utama
dalam penyusunan rumusan agresi yang dapat
menjadi yurisdiksi ICC yang keempat dikemudian
hari.
2. Yurisdiksi Terkait Waktu (Temporal Jurisdiction /
Ratione Temporis)
Yurisdiksi temporal ini ditegaskan dalam pasal 11
ayat 1 dan pasal 24 statuta ICC serta saling terkait
dengan pasal 22 , pasal 23 dan pasal 12 ayat 3 jo. pasal
11 ayat 2 Statuta ICC.
Pasal 11 ayat 1 secara tegas menyebutkan yurisdiksi
ratione temporis ICC hanya berkaitan dengan kejahatankejahatan yang terjadi setelah berlakunya statuta ICC.
Kemudian pasal 24 menegaskan Prinsip
Nonretroactivity, bahwa tidak seorangpun dapat dimintakan
pertanggung-jawaban pidana atas tindakan-tindakan
44
yang dilakukan sebelum berlakunya statuta ICC.
Dikuatkan lagi dalam pasal 22 yang menegaskan
pemberlakuan prinsip Nullum crimen sine lege, bahwa
seseorang tidak bertanggung-jawab secara pidana
kecuali tindakan yang dilakukannya merupakan
kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Penegasan mana juga
terdapat dalam pasal 23 yang memberlakukan prinsip
Nulla poena sene lege, bahwa seseorang hanya dapat
dihukum oleh ICC berdasarkan statuta ICC ini.
Selanjutnya pasal 12 ayat 3 jo Pasal 11 ayat 2
mengatur adanya pengecualian pelaksanaan yurisdiksi
temporis dalam pra-konsidi. Sehubungan dengan hal ini
Muladi16 menyatakan, berlakunya asas legalitas
tersebut mengandung perkecualian yang diatur dalam
pasal 12 ayat 3 Jo. pasal 11 ayat 2 yaitu apabila negara
yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (ad
hoc declaration) yang diajukan pada Panitera bahwa
negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi
oleh Pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan yang
bersangkutan yang dilakukan pada masa lalu, sesuai
dengan Bagian 9 Statuta (International Cooperation and
Judicial Assistance).
Ditambahkannya lagi, bahwa asas legalitas ini dalam
konteks yang berbeda juga tersurat dan tersirat dalam
pasal 22 dan pasal 23 Statuta ICC. Terhadap kejahatankejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku
secara efektif dan berlanjut sesudahnya (continuous
crimes), maka penyelesaiannya sepenuhnya pada
pertimbangan Pengadilan.
Hal yang terpenting pula, bahwa segala perubahan
Aturan-aturan Prosedur dan Pembuktian serta Aturanaturan sementara tidak akan diterapkan secara retroaktif
(pasal 51 ayat 4 Statuta ICC).
16 Muladi 2002. Op Cit, hlm. 9
45
Akan
tetapi
terhadap
Pengadilan
Pidana
Internasional Ad Hoc diberlakukan asas retroaktif yang
sangat bertentangan dengan asas legalitas.
Tentang hal ini, Indiyanto Seno Adji 17 menyarankan,
bahwa makna yang terkandung dalam asas legalitas
yang universalitas sifatnya, baik ilmu hukum, doktrin
maupun yurisprudensi, adalah bahwa (1) tiada pidana
tanpa peraturan Undang-undang terlebih dahulu, (2)
larangan adanya analogi hukum, dan (3) larangan
berlaku surut suatu Undang-undang atau yang dikenal
sebagai larangan berlakunya asas retroaktif. Artikulasi
yang terakhir inilah yang menimbulkan polemik dalam
kerangka penyusunan (rancangan) UU Pengadilan HAM,
sehingga untuk memahami effektifitasnya perlu
dilakukan suatu historical approach dalam wacana sistim
hukum pidana Indonesia, yang sejak pengaruh
konkordansi hukum pidana Indonesia selalu menolak
keberadaan asas retroaktif.
Selanjutnya dikatakannya18, bahwa dari pendekatan
historis tersebut, keberadaan asas retroaktif haruslah
memenuhi kriteria yang rigid dan limitatif, antara lain:
(1)
Adanya korelasi antara Tata Negara Darurat
(Staatsnoodrecht) dengan hukum pidana, artinya
asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila
negara dalam keadaan darurat (abnormal)dengan
prinsip-prinsip hukum darurat (abnormaalrecht),
karena sifatnya penempatan asas ini hanya bersifat
temporer dan dalam wilayah hukum yang sangat
limitatif,
(2)
Asas retroaktif tidak diperkenankan bertentangan
dengan pasal 1 ayat 2 KUHPidana yang imperatif
sifatnya, artinya sifat darurat keberlakuan asas
17 Indriyanto Seno Adji. Catatan Tentang Pengadilan HAM & Masalahnya. Talk
Show IKA UNAIR,6 Mei 2000, Jakarta, hlm.6
18 Indriyanto Seno Adji, ibid. hlm.9
46
retroaktif ini tidak berada dalam keadaan yang
merugikan seorang tersangka/terdakwa, dan
47
(3)
Substansiel dari suatu aturan yang bersifat
retroaktif harus tetap memperhatikan asas lex certa,
yaitu penempatan substansiel suatu aturan secara
tegas dan tidak menimbulkan multi-interperatif,
sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa
melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan
abuse of power.
Pemberlakuan asas retroaktif terhadap peradilan
HAM Internasional maupun nasional ad hoc tidak
bijaksana untuk dipertentangkan dengan asas legalitas
karena
pada hakekatnya kedua asas tersebut
bersumber dari asas yang lebih mendasar yaitu asas
keadilan. Tidaklah adil jika suatu kejahatan HAM yang
begitu menggugah hati nurani tidak mendapat
penghakiman. Apalagi dilakukan oleh aparat pemerintah/
negara yang seharusnya melayani dan melindungi
rakyatnya dan orang asing dinegaranya. Pemberlakuan
asas retroaktif secara eksklusif-khusus terhadap kasuskasus HAM berat dimasa lalu melalui peradilan HAM ad
hoc tidaklah melanggar asas keadilan. Penekanan
tujuan peradilan HAM ad hoc adalah bukan pada
penegakan
asasnya
melainkan
pemberantasan
kejahatannya yang tidak berkesan balas dendam (lex
talionis).
3. Yurisdiksi Territorial (Territorial Jurisdiction/ Ratione
Loci)
Menyimak pasal 12 ayat 2 Statuta ICC, dapat dilihat
yurisdiksi territorial ICC berlaku terhadap kejahatan
kemanusiaan yang terjadi pada:
a). Wilayah negara peserta konvensi/Statuta Roma 1998
tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku.
b). Wilayah negara yang menerima yurisdiksi ICC
berdasarkan pernyataan ad hoc (ad hoc declaration).
c). Wilayah yang ditentukan Dewan Keamanan PBB.
48
d). Wilayah negara bendera atas Kapal Laut
dan
Pesawat Udara.
Sejak lahirnya negara-negara
moderen yang dimulai dan ditandai dengan
ditandatanganinya perjanjian-perjanjian West Phalia
tahun 1648 suatu perjanjian yang mengakhiri perang
30 tahun di Eropa (1618-1648) praktek bendera
sebagai simbol identitas negara sudah berkembang
(bahkan jauh sebelumnya di zaman kerajaankerajaan di masa lalu bendera sebagai simbol
identitas kerajaan sudah ada).
Selanjutnya di negara-negara yang lahir setelah
Perang Dunia II lebih cenderung mencantumkan
bendera kebangsaannya ke dalam UUD Negara.
Kemudian negara Indonesia menegaskannya dalam
Pasal 35 UUD 45. Sebagai identitas negara bendera
juga dipandang sebagai “bayangan positif” dari
kemerdekaan, kedaulatan, dan yurisdiksi negara
bendera,
juga
harkat
dan
martabat
masyarakat/bangsanya, sehingga bendera mempunyai
nilai sakral, suci dan kramat terutama bagi negara yang
lahir dari hasil perjuangan panjang segenap banga dan
msyarakat pendahulunya seperti Indonesia.
Bahwa hubungan erat dan esensial antara bendera
dan keberadaan negara antara lain dapat dilihat dalam
praktek negara sejak
abad 18 tentang Flag of
convenience yang mengandung prinsip umum bahwa
bendera yang menentukan yurisdiksi negara yang
berlaku di atas sebuah kapal artinya hukum dan
perundang-undangan serta kebijaksanaan pemerintah
negara bendera yang berlaku/diperlakukan di atas kapal
tersebut dimanapun kapal itu berada baik di laut bebas
maupun di laut teritorial negara lain.
Juga praktek di masa perang sejak lama telah
menjadi kebiasaan internasional penurunan atau
pengibaran bendera merupakan simbol kekalahan atau
kemenangan suatu pihak (negara atau kerajaan).
49
Dalam hukum dan kebiasaan perang, juga bendera
merupakan salah satu lambang tanda pembeda utama
pihak-pihak yang berperan maupun pihak-pihak terkait
lainnya seperti organisasi Palang erah Internasional dan
pasukan perdamaian (PBB). Lebih khusus lagi dalam
membedakan status kombatan dan non kombatan serta
kelompok-kelompok non kombatan yang dalam hal-hal
tertentu
diperlakukan
sama
dengan
kombatan
sebagaimana antara lain yang diatur dalam Konvensi
Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan kebiasaan
perang di darat dan Konvensi Jenewa 1949 mengenai
perlindungan korban perang.
4. Yurisdiksi Personal-Individual (Personal Jurisdiction
/ Ratione Personae).
Yurisdiksi personal-individual ICC diatur dalam
beberapa pasal yaitu: pasal 12 ayat 2 b, pasal 12 ayat 3,
pasal 27 ayat 1 dan 2 , pasal 28 ayat 1 dan 2 serta pasal
26 dan pasal 25 statuta ICC.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, yurisdiksi
Individual ICC meliputi:
a.
Warga negara peserta Konvensi Roma 1998
b.
Warga negara penerima yurisdiksi ICC
c.
Warga negara manapun yang melakukan kejahatan
kemanusiaan di wilayah negara peserta dan
penerima yurisdiksi ICC.
d.
Warga negara manapun yang melakukan kejahatan
kemanusiaan diatas Kapal Laut dan Pesawat
Udara.
e.
Warga negara manapun yang melakukan kejahatan
kemanusiaan sesuai keputusan DK-PBB.
50
f.
Siapa
saja
yang
melakukan
kejahatan
kemanusiaan
tanpa
memandang
jabatan
kenegaraan/pemerintahan yang dipangkunya.
g.
Komandan dan atasan militer lainnya.
h.
Siapa saja yang telah mencapai usia 18 tahun atau
lebih.
Bahwa sistim pertanggungjawaban pidana tanpa
memandang kapasitas-jabatannya yang dianut Statuta
ICC merupakan pembatasan ekslusif terhadap teori
imputation yang dikenal dalam literatur hukum
internasional selama ini. Menurut paham imputation,
pertanggungjawaban atas pelanggaran/kejahatan yang
dilakukan aparat/badan negara dapat berpindah ke
negara, selama tindakan tersebut dilakukan sesuai
kewenangannya. Berarti aparat badan negara secara
individual dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban
pidana.
Hanya dalam hal aparat badan negara melakukan
tindakan yang melampaui batas wewenangnya sehingga
organ negara melakukan ultra vires, maka aparat badan
negara tersebut secara individual dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
Tetapi menurut J.G.Starke19, namun juga dalam hal
peristiwa-peristiwa
ultra
vires
negara
dapat
dipertanggung-jawabkan apabila karena peristiwaperistiwa tersebut telah melanggar kewajiban-kewajiban
yang berdiri sendiri, misalnya kewajiban mengambil
langkah-langkah menghentikan tindakan-tindakan yang
salah dan sebagainya. Jadi negara dapat secara tidak
langsung bertanggungjawab karena tindakan-tindakan
ultra vires.
19 Starke,J.G. Op.cit. hlm.176
51
Dengan
demikian
menurut
hemat
penulis
pemindahan pertanggungjawaban dari aparat badan
negara
kepada
negara
bukan
pemindahan
pertanggungjawaban pidana individualnya melainkan
terbatas
secara
ekslusif
hanya
pada
pertanggungjawaban perdata/privat berupa pemberian
ganti-rugi atas kesalahan/kelalaian aparat negara yang
menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga, dapat pula
berupa pertanggungjawaban politis-diplomatik berupa
permintaan maaf pemerintah/negara, atau pemutusan
hubungan diplomatik atau tindakan persona non grata
terhadap individu yang bersangkutan.
Pelaksanaan yurisdiksi individual diatas mendapat
pembatasan ekslusif atas dasar:
a) Security Council Veto of Prosecution oleh DK-PBB
yaitu sesuai pasal 16 Statuta ICC, DK-PBB dapat
meminta ICC menunda/menangguhkan penyidikan
dan penuntutan suatu kasus selama dua belas bulan
yang dapat diperpanjang
sehubungan dengan
kewenangan DK-PBB dalam Bab VII Piagam PBB
tentang tindakan-tindakan yang berkenaan dengan
ancaman-ancaman
terhadap
perdamaian,
pengacauan terhadap perdamaian dan tindakan
tindakan agresi.
b) Penegasan pasal 26 Statuta ICC yang menyatakan
yurisdiksi personal ICC tidak menjangkau seseorang
yang berumur di bawah 18 tahun pada saat
melakukan kejahatan yang dituduhkan.
Menurut hemat penulis, ketentuan ini akan
menyulitkan penerapan yurisidksi ICC tentang kejahatan
perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan
diadopsi pula kedalam Statuta ICC yang masih
memungkinkan perekrutan anak-anak berusia 15 tahun
untuk menjadi anggota kombatan. Karena merupakan
anggota kombatan
meskipun konvensi Jenewa
melarang ditempatkannya digaris depan pertempuran,
maka anak-anak berusia 15 tahun/di bawah 18 tahun
52
tersebut dapat saja terlibat dalam suatu kejahatan
perang yang sudah menjadi yurisdiksi ICC.
Bahwa ketentuan-ketentuan Statuta ICC diatas
mencerminkan prinsip pertanggungjawaban pidana
secara individual sesuai pasal 25 Statuta ICC terhadap
siapapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan yang
selama ini dituntut untuk diadili dan dihukum melalui
suatu pengadilan.
Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo serta
Pengadilan HAM Ad Hoc ex Yugoslavia dan Pengadilan
HAM Ad Hoc Rwanda serta Pengadilan Ad Hoc Nasional
Indonesia telah dan sedang mengadili dan memvonis
para terdakwa kejahatan kemanusiaan berdasarkan
prinsip pertanggungjawaban pidana Individual.
Bahwa terdapat perbedaan yang tajam antara
Tribunal Nuremberg, Tribunal Tokyo dan Pengadilan
Internasional HAM Ex Yogoslavia dan Rwanda termasuk
Pengadilan HAM Ad Hoc Nasional RI disatu pihak
dengan ICC dan pengadilan HAM (permanen) nasional
RI dilain pihak, yaitu kelompok yang pertama
menerapkan asas hukum Retroaktif dan yang lainnya
menerapkan asas hukum legalitas.
Selain itu Tribunal Nuremberg dan Tokyo
menempatkan
peradilannya
sebagai
peradilan
internasional
yang
berada
diatas
(superior atau primacy) dari pengadilan nasional.
Sementara ICC menempatkan peradilannya dalam
hubungan komplementari (pelengkap) dari pengadilan
HAM nasional. Hal ini sama dengan Konvensi Jenewa
yang memungkinkan adanya pengadilan nasional
disamping pengadilan pidana internasional.
53
Tentang peralihan penanganan kasus kejahatan
kemanusiaan dari pengadilan internasional (tribunal) ke
Pengadilan
HAM
Nasional
diatas,
Mochtar
Kusumaadmadja20
menyatakan:
dari
ketentuanketentuan ini ternyata bahwa konvensi tidak mengikuti
sistim peradilan penjahat-penjahat perang dunia kedua
yang telah menjdi terkenal karena pengadilanpengadilan penjahat perang Nuremberg dan Tokyo.
Ketentuan ini sebaliknya menyerahkan peradilan pidana
dari pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuanketentuan hukum internasional yakni ketentuanketentuan konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949,
kepada peradilan nasional pihak penandatangan.
Sebagai sistim peradilan penjahat perang, sistim
konvensi Jenewa 1949 ini jadinya merupakan suatu
tingkat peralihan dari peradilan kejahatan-kejahatan
internasional oleh pengadilan-pengadilan nasional yang
dikenal dalam hukum perang tradisional dan peradilan
internasional
daripada
penjahat
perang
model
Nuremberg dan Tokyo sesudah perang dunia kedua.
Dengan demikian sama dengan ICC, setiap negara
berdaulat diberi wewenang hukum untuk mengadili
kejahatan kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud
dalam Statuta ICC.
Bahwa kejahatan kemanusiaan yang belum diatur
dalam Statuta ICC seperti yurisdiksi terhadap kejahatan
agresi, sebaiknya diadili melalui pengadilan HAM Ad Hoc
Internasional maupun Nasional dengan menerapkan
prinsip-prinsip hukum dalam Konvensi Jenewa 1949
maupun yang tersebar dalam pelbagai Konvensi HAM
lainnya. Sambil menuggu penyempurnaan yurisdiksi ICC
yang dimaksud tujuh tahun mendatang
20 Muchtar Kusumaatmadja, ibid. hlm. 42
54
5. Yurisdiksi Pelanggaran Administrasi Pengadilan
Yurisdiksi ICC terhadap pelanggaran administrasi
pengadilan diatur dalam pasal 70 Statuta ICC yang
antara lain mengatur tentang:
(a) Pemberian pengakuan palsu sehubungan dengan
kebenaran bukti yang diberikan saksi.
(b) Mengajukan bukti palsu atau dipalsukan.
(c) Mempengaruhi baik melalui bujukan seperti suap
maupun ancaman kepada saksi dalam memberikan
kesaksian atau kepada petugas pengadilan dalam
melaksanakan tugasnya.
(d) Meminta pengiriman suatu kasus kepada pihak yang
berkompeten melakukan penuntutan.
(e) Menjatuhkan pidana penjara setinggi-tingginya lima
tahun dan/atau denda.
6. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib Pengadilan.
Yurisdiksi ICC terhadap pelanggaran tata tertib di
muka pengadilan diatur dalam pasal 71 Statuta ICC yang
meliputi:
(a) Menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang
melanggar tata tertib dalam ruang persidangan,
termasuk mengganggu persidangan dan menolak
mematuhi aturan-aturannya.
(b) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi,
pemenjaraan, mengeluarkan sementara waktu atau
selamanya dari ruang sidang serta menjatuhkan
denda atau tindakan serupa yang ditetapkan dalam
peraturan dan bukti.
55
C. Unsur – Unsur Kejahatan HAM Internasional
1. Ketentuan Umum
a) Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 jo. Pasal 21,
bahwa Unsur-unsur Kejahatan Bersamaan ini harus
digunakan Pengadilan secara konsisten dalam
melakukan penegakan hukum terhadap Pasal 6
Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang
Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8
Tentang Kejahatan Perang. Sehingga Pengadilan
tidak boleh melakukan interpretasi dan aplikasi lain
selain berdasarkan rumusan Unsur-Unsur Kejahatan
Bersamaan ini.
b) Unsur-Unsur Kejahatan Bersamaan ini dirumuskan
sesuai dengan masing-masing kejahatan HAM yang
telah dirumuskan definisi kejahatannya dalam Pasal 6
Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang
Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8
Tentang Kejahatan Perang. Sedang untuk Kejahatan
HAM Agresi belum dapat dibuatkan rumusan UnsurUnsur Kejahatan karena definisi kejahatan Agresi
belum dirumuskan.
c) Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 30, kecuali
ditetapkan sebaliknya, seseorang harus bertanggung
jawab secara kriminal dan bertanggung jawab atas
hukuman untuk suatu kejahatan dalam yurisdiksi
suatu Pengadilan, hanya bila materi unsur-unsur
tersebut dikerjakan dengan maksud (intent) dan
pengetahuan. Tidak ada rujukan yang dibuat di
dalam unsur-unsur Kejahatan untuk unsur mental
bagi tindakan tertentu, akibat atau keadaan telah
didaftar, hal ini dimengerti sebagai unsur mental yang
relevan, yaitu maksud, pengetahuan atau keduanya,
ditampilkan dalam terapan Pasal 30. Perkecualian
bagi standar-standar Pasal 30, berdasarkan UndangUndang, termasuk hukum terapan di bawah
ketetapannya yang relevan, ditunjukkan di bawah ini.
56
d) Keberadaan akan maksud dan pengetahuan dapat
disimpulkan dari fakta-fakta dan keadaan-keadaan
yang relevan.
e) Mengenai unsur-unsur mental yang berhubungan
dengan unsur-unsur yang terlibat dengan nilai
pengadilan,
seperti
pemakaian
istilah
‘inhumane’ (tidak manusiawi) atau ‘severe’ (parah),
tidaklah penting bahwa pelaku kejahatan secara
pribadi
menyelesaikan
(penilaian)
pengadilan
tertentu, kecuali bila ditunjuk sebaliknya.
f) Dasar-dasar untuk menyingkirkan tanggung jawab
atau ketiadaan kriminal secara umum tidak
dispesifikasi dalam unsur-unsur dari kejahatan yang
diurutkan untuk setiap kejahatan.
g) Perlunya ‘unlawfulness’ (keadaan tanpa hukum)
ditemukan dalam Undang-Undang atau dalam bagian
lain dari hukum internasional, dalam hukum
humaniter internasional khusus, secara umum tidak
dispesifikasi dalam unsur-unsur dari Kejahatan.
h) Unsur-unsur dari kejahatan secara umum terstruktur
secara berurut dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
-
Dengan adanya unsur-unsur dari kejahatan
berfokus pada tindakan, akibat dan keadaan yang
berkaitan dengan masing-masing kejahatan,
semua itu secara umum terdaftar dengan urutan
seperti itu.
-
Ketika diperlukan, suatu unsur mental khusus
diurutkan setelah tindakan yang terpengaruhi,
akibat atau keadaan.
-
Keadaan-keadaan yang kontekstual diurutkan
terakhir.
i) Karena dipakai dalam unsur-unsur dari Kejahatan,
istilah “perpetrator” (pelaku kejahatan) adalah netral
seperti halnya bersalah atau tidak berdosa. Unsurunsur tersebut, termasuk unsur mental yang sesuai,
menerapkan mutatis mutandis pada semua yang
57
mempunyai tanggung jawab kriminal, terdapat pada
pasal 25 dan 26 dari Undang-Undang.
j). Tindakan tertentu dapat membentuk satu atau lebih
kejahatan-kejahatan.
k). Penggunaan hak-hak singkat (short) untuk kejahatankejahatan tidak mempunyai efek legal.
l) Mempertimbangkan unsur-unsur
element of crime) yang utama:
kejahatan
(the
(1) unsur material yang berfokus pada perbuatan
(conduct), akibat (consequences) dan keadaankeadaan
(circumstances)
yang
menyertai
perbuatan,
(2) unsur mental yang relevan dalam bentuk
kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge)
atau keduanya (Pasal 30 Statuta Roma) yang
mengatur "mental element",
m). Unsur Mental (Mental Element) dalam pengertian:
Kesengajaan (intent) terjadi apabila
perbuatan
(conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat atau
keinginan
untuk
melakukan/turut
serta
melakukannya,
yang
menimbulkan
akibat
(consequences).
Perbuatan
tersebut
menimbulkan
akibat
(consequences), apabila pelaku
mengetahui
(knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya
tersebut akan menimbulkan akibat.
Sedangkan
"knowledge"
diartikan sebagai
kesadaran (awareness) bahwa perbuatan dan akibat
terdapat hubungan sebab-akibat. perbuatan awal
menimbulkan kejadian sebab, dan kejadian sebab
menimbulkan kejadian akibat.
Pengertian tahu (know) dan mengetahui (knowingly)
ditafsirkan dalam kerangka hubungan sebab-akibat
antara perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut.
58
n) Unsur Perbuatan :
(1)
perbuatan tersebut dilakukan sebagai
bagian dari suatu serangan yang meluas
(widespread) dan
sistematik (systematic)
ditujukan pada penduduk sipil; dan
(2)
keharusan adanya pengetahuan (with
knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang
dilakukan
merupakan
bagian
dari
atau
dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan
yang meluas atau sistematik terhadap penduduk
sipil.
2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM Internasional
a. Genocide (Pemusnahan Suatu Bangsa) Pasal 6
Pendahuluan
Dengan memandang ayat terakhir yang terurut untuk
setiap kejahatan:
-
Istilah “in the context of” (dalam konteks dari)
akan meliputi tindakan-tindakan awal dalam pola
yang baru bermunculan;
-
Istilah “manifest” (penampakan) adalah kualifikasi
yang obyektif;
-
Tanpa menentang persyaratan normal untuk
unsur mental yang ditetapkan dalam pasal 30,
dan mengenali bahwa pengetahuan mengenai
keadaan-keadaan biasanya akan ditujukan untuk
membuktikan maksud genocide, persyaratan yang
sesuai, bila ada, untuk unsur mental merujuk pada
keadaan ini akan perlu diputuskan oleh
Pengadilan dengan dasar kasus per kasus
59
Pasal 6 (a)
Pemusnahan bangsa-bangsa melalui Pembunuhan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah membunuh (2) satu orang
atau lebih
2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu.
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan,
secara
keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau
kelompok agama tersebut.
4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola
penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan
terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan
tersendiri yang berefek pada penghancuran
semacam itu.
Pasal 6 (b)
Pemusnahan bangsa-bangsa dengan melukai secara
fisik maupun mental
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melukai secara fisik atau mental
dengan serius terhadap satu orang atau lebih. (3)
2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu.
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan,
secara
keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau
kelompok agama tersebut.
60
4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola
penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan
terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan
tersendiri yang berefek pada penghancuran
semacam itu.
Pasal 6 (c)
Pemusnahan bangsa-bangsa dengan membuat
kondisi-kondisi perhitungan jiwa secara sengaja
untuk menimbulkan penghancuran fisik
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kondisi-kondisi
tertentu atas jiwa satu orang atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan,
secara
keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau
agama tersebut.
4. Kondisi-kondisi atas jiwa tersebut diperhitungkan
untuk menimbulkan penghancuran fisik atas
kelompok tersebut, secara keseluruhan atau
sebagian. (4)
5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola
penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan
terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan
tersendiri yang berefek pada penghancuran
semacam itu.
61
Pasal 6 (d)
Pemusnahan
bangsa-bangsa
dengan
memberlakukan langkah-langkah untuk mencegah
kelahiran.
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memberlakukan langkahlangkah tertentu atas satu orang atau lebih
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan,
secara
keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau
agama tersebut.
4. Tindakan-tindakan tersebut diberlakukan untuk
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu.
5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola
penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan
terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan
tersendiri yang berefek pada penghancuran
semacam itu.
Pasal 6 (e)
Pemusnahan bangsa-bangsa dengan pemindahan
anak-anak dengan paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa untuk memindahkan
satu orang atau lebih.(5)
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu
62
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan,
secara
keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau
agama tersebut.
4. Pemindahan tersebut adalah dari satu kelompok
ke kelompok lain
5. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 18 tahun
6. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui, bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 18 tahun
7. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola
penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan
terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan
tersendiri yang berefek pada penghancuran
semacam itu.
b. Crime Againts Humanity (Kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan) Pasal 7
Pendahuluan
1. Oleh karena pasal 7 menyinggung tentang hukum
kriminal internasional, ketetapan-ketetapannya,
konsisten dengan pasal 22, maka harus
ditafsirkan dengan baik, diperhitungkan bahwa
kejahatan-kejahatan
terhadap
kemanusiaan
seperti yang didefinisikan dalam pasal 7 adalah
salah satu di antara kejahatan yang paling serius
yang mengkhawatirkan dunia internasional
sebagai tanggung jawab kriminal dari individu
secara keseluruhan, terjamin, dan dibutuhkan,
dan memerlukan tindakan yang tidak diijinkan
oleh hukum internasional terapan umum, seperti
yang dikenali oleh sistem-sistem legal utama
dunia.
63
2. Dua unsur terakhir untuk masing-masing
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mendeskripsikan dalam konteks di mana tindakan
harus mendapat tempat.
Unsur-unsur ini
mempertegas syarat-syarat partisipasi dalam dan
akan pengetahuan tentang pernyebaran atau
serangan sistematis terhadap penduduk sipil.
Bagaimanapun juga, unsur terakhir tidak
seharusnya diinterpretasikan sebagai memerlukan
bukti
bahwa
pelaku
kejahatan
memiliki
pengetahuan atas semua karakteristik suatu
serangan atau rincian yang tepat dari suatu
rencana atau kebijakan suatu Negara atau
organisasi. Dalam kasus dari munculnya
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil, maksud ketentuan dari ayat
terakhir menunjukkan bahwa pemikiran ayat ini
akan dipenuhi bila pelaku kejahatan bermaksud
untuk bertindak lebih jauh atas serangan
semacam itu.
3. “Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil.”
Dalam konteks ini unsur-unsur dipahami sebagai
perjalanan tindakan yang melibatkan komisi
multipel dari aksi-aksi merujuk pada pasal 7,
paragraf 1, dari Undang-Undang terhadap
penduduk sipil apa pun, menurut atau di dalam
keterlibatan lebih jauh dari kebijakan Negara atau
organisasi untuk menetapkan serangan semacam
itu.
Tindakan-tindakan
tersebut
tidak
membutuhkan adanya unsur serangan militer.
Dipahami bahwa “kebijakan yang menetapkan
serangan semacam itu” memerlukan Negara atau
organisasi untuk secara aktif meningkatkan atau
memberanikan serangan semacam itu terhadap
penduduk sipil. (6).
64
Pasal 7 (1) (a)
Kejahatan terhadap kemanusiaan atas pembunuhan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh (7) satu orang atau
lebih
2. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis ditujukan
terhadap penduduk sipil
3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa tindakan
tersebut adalah bagian dari atau dimaksudkan
untuk menjadi bagian dari serangan tersebar atau
sistematis terhadap penduduk sipil
Artikel 7 (1) (b)
Kejahatan
terhadap
pemusnahan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh (8) satu orang atau
lebih, termasuk dengan cara membuat kondisikondisi yang mengancam jiwa yang menimbulkan
penghancuran sebagian dari penduduk. (9)
2. Tindakan tersebut terdiri dari atau sebagai bagian
dari, (10) pembunuhan massal dari anggotaanggota penduduk sipil
3. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis ditujukan
terhadap penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
65
Pasal 7 (1) (c)
Kejahatan
terhadap
perbudakan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas
beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang
berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang
atau
lebih,
seperti
membeli,
menjual,
meminjamkan atau menukarkan orang atau
orang-orang
semacam
itu
atau
dengan
membebani
mereka
dengan
perampasan
kebebasan dan sejenisnya. (11)
2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (d)
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mengenai
deportasi atau pemindahan paksa atas suatu
penduduk
1. Pelaku
kejahatan
mendeportasi
atau
memindahkan (13) secara paksa (12) tanpa dasar
yang diijinkan oleh hukum internasional, bagi satu
orang atau lebih ke Negara lain atau lokasi lain,
dengan tindakan pengusiran atau tindakan paksa
lainnya.
2. Orang atau orang-orang semacam itu berada
secara hukum di daerah di mana mereka
dideportasikan atau dipindahkan
66
3. Pelaku menyadari keadaan yang sebenarnya
yang ada dalam keberadaan hukum seperti itu.
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (e)
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mengenai
pemenjaraan atau berbagai perampasan kebebasan
fisik lainnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memenjarakan satu orang atau
lebih atau sebaliknya merampas kebebasan fisik
satu orang atau lebih dengan parahnya.
2. Kegawatan dari tindakan itu adalah karena
tindakan itu merupakan pelanggaran atas aturanaturan dasar hukum internasional
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
yang sebenanya terjadi
yang menimbulkan
kegawatan tindakan tersebut
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
67
Pasal 7 (1) (f)
Kejahatan atas kemanusiaan mengenai penyiksaan
(14)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau derita fisik
atau mental yang parah atas satu orang atau lebih
2. Orang atau orang-orang tersebut adalah sebagai
tahanan atau di bawah kendali pelaku kejahatan
3. Sakit atau derita semacam itu tidak hanya berasal
dari dan tidak melekat atau insidentil terhadap
sanksi hukum.
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-1
Kejahatan
terhadap
pemerkosaan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang (15) tubuh
seseorang dengan tindakan yang menyebabkan
penetrasi dari organ seks pelaku kejahatan,
betapa pun ringannya, terhadap bagian tubuh
apapun dari tubuh korban, atau dari bukaan anus
atau kelamin dari korban dengan obyek apapun
atau dengan bagian tubuh apapun
68
2. Penyerangan ini dilakukan dengan paksa, atau
dengan ancaman atau kekuatan atau tindakan
pemaksaan, dan tindakan semacam itu yang
disebabkan oleh ketakutan atas kekerasan,
ancaman, penahanan dan penindasan psikologis
atau penganiayaan atas kuasa, terhadap orang
tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil
keuntungan atas suatu lingkungan keterpaksaan,
atau penyerangan yang dilakukan terhadap
seseorang yang tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sesungguhnya. (16)
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-2
Kejahatan
terhadap
perbudakan seks (17)
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas
beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang
berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang
atau
lebih,
seperti
membeli,
menjual,
meminjamkan atau menukarkan orang atau
orang-orang
semacam
itu
atau
dengan
membebani
mereka
dengan
perampasan
kebebasan dan sejenisnya. (18)
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih tindakan-tindakan seks alami.
69
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-3
Kejahatan
terhadap
pelacuran paksa
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau
lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih
dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan
ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan
ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan
dan penindasan psikologis atau penganiayaan
atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau
orang lain, atau dengan mengambil keuntungan
atas suatu keadaan keterpaksaan, atau
penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang
yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan
yang sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau
mengharapkan
untuk
memperoleh
keuntungan uang atau keuntungan lainnya yang
ditukarkan dalam hubungannya dengan tindakan
kegiatan seksual .
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
70
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-4
Kejahatan atas kemanusiaan mengenai kehamilan
paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan satu orang wanita
atau lebih dan memaksanya hamil, dengan
maksud mempengaruhi komposisi etnik dari
penduduk apa pun atau untuk menyelenggarakan
pelanggaran
berat
lainnya
dari
hukum
internasional
2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-5
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
sterilisasi yang dipaksakan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduksi
biologis dari satu orang atau lebih. (19)
71
2. Tindakan ini baik dinilai secara tatalaksana medis
atau rumah sakit dari orang atau orang-orang
tersebut maupun diselenggarakan dengan
persetujuan tertulis dari mereka. (20)
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-6
Kejahatan
terhadap
kekerasan seksual
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau
lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih
dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan
ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan
ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan
dan penindasan psikologis atau penganiayaan
atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau
orang lain, atau dengan mengambil keuntungan
atas suatu lingkungan keterpaksaan, atau
penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang
yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan
yang sesungguhnya.
2. Tindakan
tersebut
merupakan
kegawatan
dibandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran
lain dalam pasal 7 paragraf 1 (g) dalam UndangUndang.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
sebenarnya yang membentuk kegawatan dari
tindakan tersebut
72
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (h)
Kejahatan
penyiksaan
terhadap
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melakukan pelanggaran berat
berupa penghilangan hak-hak dasar satu orang
atau lebih, yang berlawanan dengan hukum
internasional, (21)
2. Pelaku kejahatan membuat sasaran atas satu
orang atau lebih tersebut dengan alasan demi
identitas suatu kelompok atau secara kolektif atau
membuat sasaran atas kelompok itu atau secara
kolektif.
3. Pembuatan sasaran seperti itu didasarkan pada
politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama dan
jenis kelamin seperti yang didefinisikan pada
pasal 7, paragraf 3, dari Undang-Undang, atau
dasar lain yang secara universal dikenali sebagi
hal yang tidak diijinkan oleh hukum internasional
4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam kaitanya
dengan tindakan apapun merujuk pada pasal 7,
paragraf 1, dari Undang-undang atau kejahatan
apa pun dalam yurisdiksi Pengadilan. (22)
5. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
73
6. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi
sebagai bagian dari serangan tersebar atau
sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (i)
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mengenai
penghilangan orang secara paksa (23) (24)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan:
(a) Menangkap, menahan (25) (26) atau menculik
satu orang atau lebih; atau
(b) Menolak untuk mengakui penangkapan,
penahanan atau penculikan tersebut atau
untuk memberi informasi tentang nasib atau
keberadaan orang atau orang-orang tersebut.
2. (a) Penangkapan,
penahanan,
penculikan
tersebut diikuti atau disertai oleh penolakan
untuk mengakui bahwa hal itu adalah
perampasan atas kebebasan atau untuk
memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan orang atau orang-orang tersebut
(b) Penolakan tersebut diikuti atau disertai oleh
perampasan kebebasan
3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa: (27)
(a) Penangkapan, penahanan atau penculikan
tersebut dapat diikuti secara alami dari suatu
kejadian dengan suatu penolakan untuk
mengakui perampasan kebebasan atau
menolak untuk memberikan informasi
tentang nasib atau keberadaan orang atau
orang-orang. (28) atau
(b) Penolakan tersebut didahului atau disertai oleh
perampasan kebebasan
74
4. Penangkapan, penahanan atau penculikan
tersebut diselesaikan oleh atau dengan otorisasi,
dukungan atau akuisisi dari Negara atau suatu
organisasi politik
5. Penolakan tersebut untuk mengakui perampasan
kebebasan atau untuk memberikan informasi
tentang nasib atau keberadaan orang atau
orang-orang tersebut diselesaikan oleh atau
dengan otorisasi atau dukungan, dari Negara atau
organisasi politik tersebut
6. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memindahkan
orang
atau
orang-orang
tersebut
dari
perlindungan hukum untuk periode waktu yang
lama.
7. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
8. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (j)
Kejahatan
apartheid.
terhadap
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan
tidak manusiawi terhadap satu orang atau lebih.
2. Aksi tersebut merupakan tindakan seperti yang
dirujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari UndangUndang atau merupakan suatu tindakan dengan
ciri-ciri yang mirip dengan salah satu dari
tindakan-tindakan tersebut. (29)
75
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
sebenarnya yang menjadi ciri dari tindakan
tersebut
4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam konteks dari
rezim terinstitusi dari penindasan dan odminasi
dari satu kelompok ras terhadap kelompok atau
kelompok-kelompok ras lainnya.
5. Pelaku kejahatan bermaksud untuk tetap
mempertahankan rezim semacam itu dengan
tindakan tersebut
6. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis terhadap
penduduk sipil
7. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi
sebagai bagian dari serangan tersebar atau
sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (k)
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mengenai
tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat penderitaan besar
atau luka serius terhadap kesehatan tubuh atau
jiwa atau fisik, dengan sarana suatu tindakan tidak
manusiawi.
2. Tindakan tersebut merupakan ciri yang mirip
dengan salah satu dari tindakan-tindakan lain
seperti yang disebut pada pasal 7, paragraf 1, dari
Undang-Undang. (30)
3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadankeadaan sebenarnya yang menjadi ciri tindakan
tersebut.
76
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau4. sistematis terhadap
penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan
tersebut
sebagai
bagian
atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.
c. War Crime (Kejahatan-kejahatan Perang) Pasal 8
Pendahuluan
Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8,
paragraf 2 (c) dan (e) tunduk pada pembatasanpembatasan yang terdapat dalam pasal 8, paragraf 2
(d) dan (f), yang merupakan bukan unsur-unsur
kejahatan.
Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8,
paragraf
2,
dari
Undang-Undang
harus
diinterpretasikan dalam kerangka kerja yang matang
dari hukum internasional termasuk konflik bersenjata,
yang sesuai dengan hukum internasional dari konflik
bersenjata yang dapat diterapkan pada konflik
bersenjata di laut.
Menurut dua unsur terakhir yang terurut untuk setiap
kejahatan:
Tidak ada persyaratan untuk evaluasi legal oleh
Pelaku kejahatan yang menentukan suatu konflik
bersenjata atau ciri-cirinya baik internasional atau
non internasional.
Dalam konteks tersebut tidak ada persyaratan
untuk
kesadaran
bagi
pelaku
kejahatan
berdasarkan fakta yang menentukan ciri-ciri dari
konflik bersenjata baik internasional atau non
internasional
77
Hanya ada satu persyaratan untuk kesadaran
atas
keadaan-keadaan
faktual
yang
menentukan keberadaan dari suatu konflik
bersenjata yang mempunyai makna implisit
dalam istilah “mengambil tempat dalam
konteks dan berkaitan dengan.”
Pasal 8 (2) (a)
Pasal 8 (2) (a) (i)
Kejahatan perang mengenai pembunuhan yang
dikehendaki
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau
lebih. (31)
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status terlindungi (32)
(33)
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dari dan terkait dengan suatu konflik
bersenjata internasional. (34)
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (ii)-1
Kejahatan perang mengenai penyiksaan
Unsur-unsur (35)
1. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit
atau
penderitaan baik secara fisik atau mental yang
berat atas seseorang atau lebih.
78
2. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau
penderitaan untuk tujuan-tujuan tertentu seperti:
memperoleh infromasi atau pengakuan, hukuman,
intimidasi, atau pemaksaan atau untuk berbagai
alasan lain berdasarkan pada berbagai macam
bentuk diskriminasi
3. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (ii)-2
Kejahatan perang
manusiawi
atas
perlakuan
yang
tidak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan
baik fisik maupun mental terhadap satu orang
atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa
tahun 1949
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
79
Pasal 8 (2) (a) (iii)-3
Kejahatan perang atas eksperimen biologis
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih
dalam suatu eksperimen biologis tertentu.
2. Eksperimen
tersebut
secara
serius
membahayakan kesehatan fisik atau mental atau
integritas dari orang atau orang-orang tersebut
3. Maksud dari eksperimen tersebut tidak bersifat
mengobati dan tidak pernah dinilai dengan
alasan-alasan medis atau diselesaikan demi rasa
ingin tahu seseorang atau sekelompok orang.
4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh
satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi
6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (iii)
Kejahatan
Perang
atas
perbuatan
menyebabkan penderitaan yang disengaja
yang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan
baik fisik maupun mental terhadap satu orang
atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa
tahun 1949
80
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (iv)
Kejahatan perang atas penghancuran dan penyisihan
milik tertentu
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
menghancurkan
menyisihkan milik tertentu
atau
2. Penghancuran atau penyisihan tersebut tidak
melibatkan kepentingan militer
3. Penghancuran
atau
penyisihan
tersebut
diselenggarakan secara luas dan tanpa alasan
4. Milik tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa tahun 1949
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
81
Pasal 8 (2) (a) (v)
Kejahatan perang atas pemaksaan pelayanan untuk
kekuatan musuh
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih,
dengan tindakan atau ancaman, untuk mengambil
bagian dalam suatu operasi militer menentang
negara atau kekuatannya sendiri atau sebaliknya
melayani kekuatan dan kekuasan musuh
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindugi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (vi)
Kejahatan perang atas
pengadilan yang adil
penyangkalan
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih
atas pengadilan umum dan adil dengan
menyangkal jaminan yudisial seperti yang
didefinisikan, secara khusus, dalam Konvensi
Jenewa Ketiga dan Keempat tahun 1949
2. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
82
3. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (vii)-1
Kejahatan perang atas deportasi dan pemindahan
tanpa berdasar hukum
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
mendeportasi
atau
memindahkan satu orang atau lebih ke Negara
lain atau ke lokasi lain
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (vii)-2
Kejahatan perang atas pemenjaraan tanpa berdasar
hukum
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
memenjarakan
atau
memenjarakan secara terus menerus satu orang
atau lebih di lokasi tertentu
83
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh
satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (viii)
Kejahatan Perang atas Penyanderaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas dan menahan atau
bila tidak, menahan sandera atas satu orang atau
lebih
2. Pelaku mengancam untuk membunuh untuk
melukai, mencelakai atau terus menahan orang
atau orang-orang tersebut.
3. Pelaku bermaksud untuk suatu Negara, suatu
organisasi internasional, suatu pihak atau orang
atau sekelompok orang yang legal dan natural
untuk bertindak menahan diri sebagai persyaratan
eksplisit atau implisit demi keselamatan atau
pembebasan dari orang atau orang-orang
tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status proteksi.
84
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b)
Pasal 8 (2) (b) (i)
Kejahatan perang
penduduk sipil
atas
penyerangan
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek penyerangan merupakan penduduk sipil
layaknya atau individu sipil yang tidak terlibat
dalam permusuhan.
3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan
penduduk sipil layaknya atau individu sipil yang
tidak terlibat dalam permusuhan sebagai obyek
dari suatu serangan tersebut.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
85
Pasal 8 (2) (b) (ii)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
penduduk sipil
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan.
2. Obyek dari serangan tersebut adalah obyekobyek penduduk sipil, yaitu, obyek-obyek yang
bukan merupakan obyek-obyek militer.
3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan
obyek-obyek penduduk sipil
sebagai obyek
penyerangan.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (iii)
Kejahatan perang atas penyerangan personel atau
obyek-obyek
yang
terlibat
dalam
bantuan
kemanusiaan atau misi perdamaian
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
penyerangan
melancarkan
suatu
2. Obyek-obyek yang diserang merupakan personil,
instalasi, material, unit-unit atau termasuk
peralatan untuk kemanusiaan
atau misi
perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan
Bangsa Bangsa.
3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan
personil, instalasi, material, unit-unit atau
termasuk peralatan yang terlibat sebagai obyek
dari serangan tersebut.
86
4. Personil, instalasi, material, unit-unit atau
peralatan tersebut berhak atas perlindungan yang
diberikan bagi penduduk sipil atau obyek-obyek
sipil di bawah hukum internasional tentang konflik
bersenjata.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan suatu proteksi.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait dengan suatu konflik
bersenjata
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (iv)
Kejahatan perang atas insiden kematian
berkelebihan, luka-luka, atau kerusakan
yang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan.
2. Penyerangan seperti yang dapat menyebabkan
insiden kematian atau luka terhadap penduduk
sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau
tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan
berat terhadap alam lingkungan dan kematian
tersebut, luka-luka atau kerusakan akan menjadi
tingkatan yang jelas berkelebihan dalam suatu
hubungan yang konkrit dan keuntungan militer
yang
terantisipasi
secara
langsung
dan
menyeluruh.(36)
3. Pelaku
kejahatan
mengetahui
bahwa
penyerangan
akan
menyebabkan
insiden
kematian atau luka-luka terhadap penduduk sipil
atau kerusakan obyek-obyek sipil atau tersebar
luas, waktu yang lama dan kerusakan berat
terhadap alam lingkungan dan kematian tersebut,
luka-luka atau kerusakan akan menjadi tingkatan
87
yang jelas berkelebihan dalam suatu hubungan
yang konkrit dan keuntungan militer yang
terantisipasi
secara
langsung
dan
menyeluruh.(37)
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait dengan suatu konflik
bersenjata
internasional.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (v)
Kejahatan perang atas penyerangan tempat yang
tanpa pertahanan (38)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu atau lebih kotakota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunanbangunan.
2. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau
bangunan-bangunan tersebut untuk pendudukan
yang tanpa perlawanan.
3. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau
bangunan-bangunan tersebut bukan merupakan
obyek-obuek militer.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait dengan suatu konflik
bersenjata
internasional.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
88
Pasal 8 (2) (b) (vi)
Kejahatan perang atas pembunuhan atau melukai
seseorang hors de combat
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai satu
atau lebih orang-orang.
2. Seseorang atau orang-orang tersebut merupakan
hors de combat.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status ini.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-1
Kejahatan perang atas penggunaan
gencatan senjata yang tidak sepantasnya
bendera
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
gencatan senjata.
menggunakan
bendera
2. Pelaku kejahatan menggunakan bendera tersebut
untuk tujuan
pura-pura negoisasi ketika tidak ada tujuan
tersebut dalam peranan Pelaku kejahatan.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu pada dasarnya larangan penggunaan seperti
itu (39)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka
yang serius terhadap seseorang.
89
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat
mengkibatkan kematian atau luka yang serius
terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-2
Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana
atau seragam dari pihak musuh yang tidak
sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana
atau seragam dari pihak musuh.
2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara
yang dilarang oleh Undang Undang Internasional
tentang konflik bersenjata ketika terlibat dalam
suatu penyerangan.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu
larangan
pada
dasarnya
larangan
penggunaan seperti itu (40)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka
yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat
mengkibatkan kematian atau luka yang serius
terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
90
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-3
Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana
atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa yang
tidak sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana
atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa.
2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara
yang dilarang oleh Undang Undang Internasional
tentang konflik bersenjata.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu
larangan
pada
dasarnya
larangan
penggunaan seperti itu. (41)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka
yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat
mengkibatkan kematian atau luka yang serius
terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
91
Pasal 8 (2) (b) (vii)-4
Kejahatan perang atas penggunaan simbol-simbol
khusus
dari Konvensi Genewa yang tidak
sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan emblem-emblem
khusus dari Konvensi Genewa.
2. Pelaku kejahatan menggunakan untuk semacam
tujuan-tujuan perjuangan (42) dengan cara yang
dilarang oleh Undang Undang Internasional
tentang konflik bersenjata.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu
larangan
pada
dasarnya
larangan
penggunaan seperti itu. (43)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka
yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat
mengkibatkan kematian atau luka yang serius
terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
suatu
konflik
bersenjata
internasional.
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (viii)
Pemindahan, langsung atau tidak langsung, dengan
Memiliki Kekuasan atas bagian-bagian dari milik
penduduk-penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang
dimilikinya, atau deportasi atau pemindahan dari
seluruh bagian dari penduduk atas wilayah yang di
miliki ke dlam atau ke luar wilayah ini.
92
Ayat-Ayat
1. Pelaku kejahatan:
(a) Memindahkan, (44) secara langsung atau tidak
langsung, sebagaian dari penduduknya sendiri
ke dalam wilayah yang dimilikinya; atau
(b) Mendeportasi atau memindhkan seluruh atau
sebagian dari penduduk dari wilayah yang
dimiliki ke dalam atau ke luar wilayah ini.
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (ix)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyekobyek yang dilindungi (45)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah suatu atau
beberapa bangunan yang didedikasikan untuk
agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan
atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit
atau tempat di mana orang sakit dan terluka
berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek
militer
3. Pelaku kejahatan bermaksud agar suatu atau
beberapa bangunan yang didedikasikan untuk
agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan
atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit
atau tempat di mana orang sakit dan terluka
berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek
militer tersebut menjadi obyek dari serangan
tersebut.
93
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (x)-1
Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih
dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan
merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa
orang
secara
permanen,
atau
dengan
melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh
atau anggota tubuh tertentu secara permanen
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau
membahayakan kesehatan fisik atau mental orang
atau orang-orang tersebut secara serius.
3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan
kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan
rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau
orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang
atau orang tersebut.(46)
4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam
kekuasaan pihak musuh
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
94
Pasal 8 (2) (b) (x)-2
Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu
eksperimen medis atau ilmiah
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau
membahayakan kesehatan atau integritas fisik
atau mental orang atau orang-orang tersebut
secara serius.
3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan
kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan
rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau
orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang
atau orang tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam
kekuasaan pihak musuh
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xi)
Kejahatan perang atas pembunuhan atau tindakan
melukai yang berbahaya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau
keyakinan dari satu atau beberapa pejuang
musuh bahwa mereka berhak untuk atau
diwajibkan
untuk
menyetujui,
memberi
perlindungan
di
bawah
aturan
hukum
internasional yang dapat diterapkan pada konflik
bersenjata.
95
2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati
kepercayaan atau keyakinan tersebut
3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang
atau orang-orang tersebut
4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan
atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau
melukai orang atau orang-orang tersebut
5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik
pihak musuh
6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xii)
Kejahatan perang atas penyangkalan tentang tempat
tinggal sementara
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
memerintahkan bahwa
selamat
menyatakan
atau
harus tidak ada yang
2. Pernyataan atau perintah
tersebut diberikan
untuk mengancam
lawan
atau tindakan
permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya
tidak ada yang selamat.
3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif
untuk memerintahkan
atau mengendalikan
tenaga bawahan
dimana pernyataan
atau
perintah dapat diarahkan
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait dengan konflik bersenjata internasional.
96
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan
keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xiii)
Kejahatan
perang
atas
penghancuran
perampasan milik milik musuh
atau
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghancurkan atau merampas
milik tertentu
2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh
3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau
perampasan di bawah hukum internasional
tentang konflik bersenjata
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status dari milik tersebut
5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak
dibutuhkan oleh kebutuhan militer
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xiv)
Kejahatan perang atas pencabutan kebangsaan dari
kekuasaan atas hak atau tindakan permusuhan
Ayat-Ayat
1. Pelaku kejahatn mempengaruhi abolisi, suspensi
dan terminasi dari penerimaan di dalam hukum
pengadilan atas hak-hak atau tindakan-tindakan
tertentu
97
2. Abolisi, suspensi atau terminasi tersebut
diarahkan terhadap kebangsaan dari pihak musuh
3. Pelaku kejahatan bermaksud menjadikan abolisi,
suspensi dan terminasi terarah pada kebangsaan
dari pihak musuh
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xv)
Kejahatan perang atas pemaksaan partisipasi dalam
operasi militer
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang dengan tindakan atau ancaman
untuk mengambil bgian di dalam operasi militer
yang melawan negeri atau kekuatan orang itu
sendiri.
2. Orang atau orang-orang tersebut merupakan
warga negara dari pihak musuh
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
98
Pasal 8 (2) (b) (vi)
Kejahatan perang atas perampasan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk mencabut
kepemilikan
dari
milik
tersebut
dan
menyisihkannya untuk kepentingan sendiri atau
pribadi. (47)
3. Penyisihan tersebut adalah tanpa persetujuan dari
sang pemilik.
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xvii)
Kejahatan perang atas kepemilikan racun atau
senjata-senjata beracun
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memiliki bahan atau suatu
senjata yang melepaskan bahan tersebut sebagai
hasil kepemilikannya.
2. Bahan tersebut dapat menyebabkan kematian
atau kerusakan serius terhadap kesehatan
dengan jalan kejadian biasa, oleh karena potensi
toksiknya.
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
99
Pasal 8 (2) (b) (xviii)
Kejahatan perang atas kepemilikan materi-materi
atau peralatan gas, cair terlarang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memiliki gas atau bahan analog
lainnya atau peralatan.
2. Gas, bahan atau peralatan tersebut dapat
menyebabkan kematian atau kerusakan serius
akan kesehatan dengan jalan kejadian biasa,
melalui kemampuan toksik yang terhirup. (48)
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xix)
Kejahatan perang atas
terlarang
kepemilikan peluru-peluru
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memiliki peluru-peluru tertentu
2. Peluru-peluru tersebut sebegitu rupa sehingga
penggunaanya melanggar hukum internasional
tentang konflik bersenjata karena dapat meluas
atau memipih degan mudah dalam tubuh manusia
3. Pelaku kejahatan menyadari sifat alami pelurupeluru
tersebut
sebegitu
rupa
sehingga
kepemilikanya hanya akan tidak berguna dan
memberikan efek luka atau penderitaan
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata
100
Pasal 8 (2) (b) (xx)
Kejahatan perang atas kepemilikan senjata-senjata,
proyektil atau materi-materi atau metode-metode
perang seperti yang didaftar dalam lampiran terhadap
Undang-Undang
Unsur-unsur
[Unsur-unsur akan dirancang ketika senjata-senjata,
proyektil atau materi atau metode-metode berperang
telah termasuk dalam lampiran Undang-Undang.]
Pasal 8 (2) (b) (xxi)
Kejahatan perang atas
kehormatan seseorang
kebiadaban
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau
bahkan melanggar derajat kemanusiaan yang
secara umum dikenal sebagai kebiadaban
terhadap kehormatan seseorang. (49)
2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut,
perendahan dan pelanggaran atas derajat
kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai
kebiadaban terhadap kehormatan seseorang.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
101
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-1
Kejahatan perang atas pemerkosaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menginvasi (menyerang) (50)
tubuh seseorang dengan tindakan yang
menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya,
pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari
Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau
bukaan anus dan kelamin dari korban dengan
berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya
2. Invasi (serangan) tersebut terlaksana dengan
paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan
atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh
ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan,
penindasan psikologis atau penyalahgunaan
kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang
lain atau dengan mengambil keuntungan dari
lingkungan yang memaksa atau invasi yang
dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(51)
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dan berkaitan dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b (xxii)-2
Kejahatan perang atas perbudakan seks (52)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau
keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan
hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa
orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan
atau menukar orang atau orang-orang tersebut
102
atau dengan membebani mereka
semacam perampasan kebebasan. (53)
dengan
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih kegiatan seks
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dan berkaitan dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-3
Kejahatan perang atas pelacuran yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau
lebih untuk terlibat dalam satu tindakan atau lebih
dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan
ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti yang
disebabkan oleh rasa takut terhadap kekerasan,
ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau
penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang
atau orang-orang atau orang lain, atau dengan
mengambil keuntungan dari lingkungan yang
memaksa atau ketidakberdayaan orang atau
orang-orang
tersebut
untuk
memberikan
persetujuan yang sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau
mengharapkan
untuk
memperoleh
keuntungan berupa uang atau keuntungan lain
sebagai pertukaran yang berkaitan dengan
tindakan-tindakan dari kegiatan seks tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional.
103
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-4
Kejahatan perang atas kehamilan paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau
lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk
mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk
apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas
hukum internasional
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-5
Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif
biologis dari satu orang atau lebih. (54)
2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk
pengobatan medis atau rumah sakit dan orang
atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak
diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang
sesungguhnya. (55)
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
104
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-6
Kejahatan perang atas kekerasan seksual
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu aksi kegiatan
seksual terhadap satu orang atau lebih atau
disebabkan oleh orang atau orang-orang tersebut
untuk terlibat dalam tindakan kegiatan seksual
dengan paksa, atau ancaman kekuatan atau
pemaksaan, seperti halnya disebabkan oleh
ketakutan terhadap kekerasan, kekerasan,
ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau
penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang
atau orang-orang atau orang lain, atau dengan
mengambil keuntungan dari lingkungan yang
memaksa
atau
ketidakberdayaan
orang
atau
orang-orang
tersebut
untuk
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan
dibandingkan
dengan
pelanggaran
yang
berbahaya dari Konvensi Jenewa
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
105
Pasal 8 (2) (b) (xxiii)
Kejahatan perang atas menggunakan orang-orang
sebagai pelindung
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memindahkan atau bila tidak,
mengambil kesempatan atas lokasi dari satu atau
lebih penduduk sipil atau orang-orang lain yang
dilindungi di bawah hukum internasional tentang
konflik bersenjata
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk melindungi
obyek-obyek
militer
dari
serangan
atau
perlindungan, pertolongan atau menghalangi
operasi-operasi militer.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxiv)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
atau orang-orang dengan menggunakan simbolsimbol yang istimewa dari Konvensi Jenewa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau
lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan
atau transportasi atau obyek-obyek berguna
lainnya, dengan tata cara yang sesuai dengan
hukum internasional, suatu simbol-simbol yang
istimewa atau metode identifikasi lain yang
menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi
Jenewa
106
2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orang-orang,
bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana
transportasi atau obyek-obyek yang berguna
dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari
penyerangan tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxv)
Kejahatan perang atas kelaparan sebagai cara
berperang
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
merampas
obyek-obyek
penduduk sipil yang tidak penting bagi pertahanan
hidupnya
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk membuat
penduduk-penduduk sipil kelaparan sebagai cara
untuk berperang
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
107
Pasal 8 (2) (b) (xxvi)
Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan
wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa
bagi anak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau
masuk sebagai tentara militer bagi seseorang
atau beberapa orang untuk masuk ke dalam
kekuatan militer nasional atau memanfaatkan
seseorang
atau
beberapa
orang
untuk
berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan
2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 15 tahun
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 15 tahun
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (c)
Pasal 8 (2) (c) (I)-1
Kejahatan perang atas pembunuhan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau
lebih
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
108
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan tentang internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (i)-2
Kejahatan perang atas mutilasi
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih
dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan
merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa
orang
secara
permanen,
atau
dengan
melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh
atau anggota tubuh tertentu secara permanen
2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan
kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan
rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau
orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang
atau orang tersebut
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
109
Pasal 8 (2) (c) (i)-3
Kejahatan perang atas perlakuan kejam
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan
fisik atau mental atas seseorang atau beberapa
orang
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (i)-4
Kejahatan perang atas penyiksaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit dan penderitaan
fisik atau mental yang dahsyat atas seseorang
atau lebih
2. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan
tersebut dengan maksud memperoleh informasi
atau pengakuan, hukuman, intimidasi atau
pemaksaan atau untuk berbagai alasan
berdasarkan diskriminasi atas beberapa hal.
110
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (ii)
Kejahatan perang atas
kehormatan seseorang
kebiadaban
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau
bahkan melakukan kekerasan terhadap derajat
kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai
kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. (57)
2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut,
perendahan dan kekerasan atas derajat
kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai
kebiadaban terhadap kehormatan seseorang.
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
111
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (iii)
Kejahatan perang atas penyanderaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menangkap, menahan atau
bahkan menyandera seseorang atau lebih
2. Pelaku kejahatan mengancam akan membunuh,
melukai atau akan terus menahan orang atau
orang-orang tersebut
3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memaksa
Negara, suatu organisasi internasional, suatu
pihak atau orang atau sekelompok orang yang
legal dan mendasar untuk bertindak menahan diri
sebagai persyaratan eksplisit atau implisit demi
keselamatan atau pembebasan dari orang atau
orang-orang tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai
peran aktif dalam permusuhan tersebut
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
112
Pasal 8 (2) (c) (iv)
Kejahatan perang atas hukuman atau hukuman mati
tanpa proses pengadilan yang layak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghukum atau menghukum
mati satu orang atau lebih . (58)
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan,
atau personil keagamaan tidak mempunyai peran
aktif dalam permusuhan tersebut
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual dan menentukan status ini.
4. Tidak pernah ada peradilan sebelumnya yang
diumumkan oleh pengadilan atau pengadilan
yang memberikan peradilan tidak “biasanya
terdapat”, yaitu, tidak menyelenggarakan jaminan
esensial dari kebebasan dan kejujuran, atau
pengadilan memberikan peradilan yang tidak
mampu mencakup jaminan yudisial lainnya secara
umum dikenal sebagai kepentingan di bawah
hukum internasional. (59)
5. Pelaku kejahatan menyadari tidak adanya
peradilan sebelumnya atau penyangkalan atas
jaminan relevan dan fakta bahwa hal itu esensial
atau penting terhadap pengadilan yang jujur
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
113
Pasal 8 (2) (e)
Pasal 8 (2) (e) (i)
Kejahatan perang
penduduk sipil
atas
penyerangan
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah penduduk
sipil seperti juga individu sipil yang tidak
mempunyai peran langsung dalam permusuhan
3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud terhadap
penduduk sipil, seperti juga individu sipil yang
tidak mempunyai peran langsung dalam
permusuhan, untuk dijadikan obyek dari serangan
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (ii)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
atau orang-orang dengan menggunakan simbol
khusus dari Konvensi Jenewa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau
lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan
atau sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek
lain yang berguna, dengan tata cara yang sesuai
dengan hukum internasional, suatu simbol-simbol
yang istimewa atau metode identifikasi lain yang
menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi
Jenewa
114
2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orang-orang,
bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana
transportasi atau obyek-obyek yang berguna
dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari
penyerangan tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (iii)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
personil atau obyek-obyek yang terlibat dalam
bantuan kemanusiaan dan misi perdamaian
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah personil,
instalasi, material, unit atau kendaraan-kendaraan
yang terlibat di dalam bantuan kemanusiaan atau
misi perdamaian yang sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa.
3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud atas
personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau
kendaraan-kendaraan tersebut untuk menjadi
terlibat dan menjadi obyek dari serangan tersebut
4. Personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau
kendaraan-kendaraan tersebut berhak untuk
mendapatkan perlindungan yang diberikan
kepada penduduk atau obyek-obyek penduduk di
bawah hukum internasional tentang konflik
bersenjata
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan perlindungan
115
6. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan tentang ciri-ciri internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (iv)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyekobyek yang dilindungi (60)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek dari serangan adalah salah satu gedung
atau lebih yang didedikasikan untuk agama,
pendidikan, kesenian, pengetahuan atau tujuan
amal, monumen sejarah, rumah sakit-rumah sakit
atau tempat-tempat di mana orang sakit dan
terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek
militer.
3.
Pelaku kejahatan bermaksud agar salah satu
gedung atau lebih yang didedikasikan untuk
agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan atau
tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakitrumah sakit atau tempat-tempat di mana orang
sakit dan terluka berkumpul, yang bukan
merupakan obyek militet, dijadikan obyek dari
serangan tersebut
4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
116
Pasal 8 (2) (e) (v)
Kejahatan perang atas perampasan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk merampas
kepemilikan milik tersebut dan menyisihkannya
untuk penggunaan sendiri atau pribadi. (61)
3. Penyisihan tersebut terjadi tanpa persetujuan dari
sang pemilik
4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan tentang ciri-ciri internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-1
Kejahatan perang atas pemerkosaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menginvasi / menyerang (62)
tubuh seseorang dengan tindakan yang
menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya,
pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari
Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau
bukaan anus dan kelamin dari korban dengan
berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya
2. Serangan / Invasi tersebut terlaksana dengan
paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan
atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh
ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan,
penindasan psikologis atau penyalahgunaan
kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang
lain atau dengan mengambil keuntungan dari
lingkungan yang memaksa atau invasi yang
dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu
117
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(63)
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-2
Kejahatan perang atas perbudakan seks (64)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau
keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan
hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa
orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan
atau menukar orang atau orang-orang tersebut
atau dengan membebani mereka dengan
semacam perampasan kebebasan. (65)
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih kegiatan seks
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
118
Pasal 8 (2) (e) (vi)-3
Kejahatan perang atas pelacuran yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau
lebih terlibat dalam satu atau beberapa tindakan
dari kegiatan seks dengan paksaan atau dengan
ancaman terhadap kekuatan atau paksaan,
seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan
kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan
psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan
terhadap orang tersebut atau orang lain atau
dengan mengambil keuntungan dari lingkungan
yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan
terhadap orang yang tidak mampu memberikan
persetujuan yang sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau
mengharapkan
untuk
memperoleh
keuntungan uang atau keuntungan lain sebagai
pertukaran yang terkait dengan tindakan-tindakan
dari kegiatan seksual
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks
dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata
bukan internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-4
Kejahatan perang atas kehamilan paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau
lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk
mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk
apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas
hukum internasional
119
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
Pasal 8 (2) (e) (vi)-5
Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif
biologis dari satu orang atau lebih. (66)
2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk
pengobatan medis atau rumah sakit dan orang
atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak
diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang
sesungguhnya. (67)
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konlik bersenjata
bukan internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-6
Kejahatan perang atas kekerasan seksual
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan dari
kegiatan seksual terhadap seseorang atau
beberapa orang atau menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam
tindakan dari kegiatan seksual dengan paksa,
atau dengan ancaman kekuatan atau paksaan,
seperti juga disebabkan oleh ketakutan atas
120
kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan
psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan
terhadap orang tersebut atau orang lain atau
dengan mengambil keuntungan dari lingkungan
yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan
terhadap orang yang tidak mampu memberikan
persetujuan yang sesungguhnya.
2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan
dibandingkan dengan pelanggaran serius pada
pasal 3 sesuai dengan Konvensi Jenewa
Keempat.
3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan kegawatan suatu
tindakan
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vii)
Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan
wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa
bagi anak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau
masuk sebagai tentara militer bagi seseorang
atau beberapa orang untuk masuk ke dalam
kekuatan militer nasional atau memanfaatkan
seseorang
atau
beberapa
orang
untuk
berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan
2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 15 tahun
121
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 15 tahun
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan suatu
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vii)
Kejahatan perang
penduduk sipil
atas
pemindahan
penduduk-
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memerintahkan pemindahan
dari penduduk sipil
2. Perintah tersebut tidak dinilai berdasarkan
keamanan penduduk sipil yang terlibat atau oleh
karena keperluan militer
3. Pelaku kejahatan berada dalam posisi yang dapat
memberikan efek pemindahan penduduk dengan
memberikan perintah semacam itu
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
konflik
bersenjata
bukan
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
122
Pasal 8 (2) (e) (ix)
Kejahatan perang atas pembunuhan atau tindakan
melukai yang berbahaya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau
keyakinan dari satu atau beberapa pejuang
musuh bahwa mereka berhak untuk atau
diwajibkan
untuk
menyetujui,
memberi
perlindungan
di
bawah
aturan
hukum
internasional yang dapat diterapkan pada konflik
bersenjata
2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati
kepercayaan atau keyakinan tersebut
3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang
atau orang-orang tersebut
4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan
atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau
melukai orang atau orang-orang tersebut
5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik
pihak musuh
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
konflik
bersenjata
bukan
internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata
Pasal 8 (2) (e) (x)
Kejahatan perang atas
tempat tinggal sementara
penyangkalan
terhadap
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
menyatakan
atau
memerintahkan bahwa tidak akan ada yang
selamat
123
2. Pernyataan atau perintah
tersebut diberikan
untuk mengancam
lawan
atau tindakan
permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya
tidak akan ada yang selamat.
3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif
untuk memerintahkan
atau mengendalikan
tenaga bawahan
dimana pernyataan
atau
perintah dapat diarahkan
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan
terkait
dengan
konflik
bersenjata
bukan
internasional.
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan
keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (xi)-1
Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih
dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan
merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa
orang
secara
permanen,
atau
dengan
melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh
atau anggota tubuh tertentu secara permanen
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau
membahayakan kesehatan fisik atau mental orang
atau orang-orang tersebut secara serius.
3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan
kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan
rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau
orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang
atau orang tersebut. (68)
4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam
kekuasaan pihak lain terhadap konflik.
124
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan tentang ciri-ciri internasional
6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (xi)-2
Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah
Unsur-unsur
1.
Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu
eksperimen medis atau ilmiah
Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau
membahayakan kesehatan fisik atau mental orang
atau orang-orang tersebut secara serius.
2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan
kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan
rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau
orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang
atau orang tersebut.
3. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam
kekuasaan pihak lain terhadap konflik.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
125
Pasal 8 (2) (e) (xii)
Kejahatan
perang
atas
penghancuran
perampasan milik milik musuh
atau
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghancurkan atau merampas
milik tertentu
2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh
3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau
perampasan di bawah hukum internasional
tentang konflik bersenjata
4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan status dari milik tersebut
5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak
dibutuhkan oleh kebutuhan militer
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan konflik
bersenjata.
D. Sistem Peradilan Pidana ICC
1. Prinsip-Prinsip Utama Sistim Peradilan ICC
Bahwa Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) merupakan suatu sistim penanggulangan
kejahatan yang mula-mula berkembang di Amerika pada
masa pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson di era
1960-an.
Pada masa itu kejahatan semakin berkembang,
merajalela dan memprihatinkan di berbagai tempat dan
kota di AS, sehingga Presiden L.B. Johnsons
mencanangkan satu program nasional tentang
126
penanggulangan kejahatan yang kemudian dikenal
dengan konsep Criminal Justice System. Sejak itu dalam
literatur muncul beberapa pemikiran dikalangan para ahli
tentang criminal justice system.
Remington dan Ohli21 mengemukakan, bahwa
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistim terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistim merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan
sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistim itu
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara
efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.
Sementara itu Hagan (1987) membedakan
pengertian antara "criminal justice process" dan "criminal
justice system". "Criminal justice process" adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang
tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada
penentuan pidana baginya. Sedangkan "criminal justice
system" adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap
instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Beberapa pakar di Indonesia juga memberikan
penjelasan tentang hal yang sama.
Mardjono Reksodipoetro22 memberikan batasan
bahwa yang dimaksud dengan sistim peradilan pidana
adalah, sistim pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan terpidana.
21 Romli Atmasasmita. Sistim Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. Penerbit:Putra Bardin,Cetakan Kedua,1996, hlm.14
22 Mardjono Reksodipoetra. Sistim Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi); Pidato
Pengukuhan Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada FH-UI
1993:1, dikutip dari Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, hlm.14.
127
Sementara itu Romli Atmasasmita (yang sependapat
dengan Sanford Kadish)
mengatakan, bahwa
pengertian sistim peradilan pidana dapat dilihat dari
sudut pendekatan normatif, manajemen dan sosial.
Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda,
tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan
lebih jauh ketiga bentuk pendekatan tersebut saling
mempengaruhi
dalam
menentukan
tolok
ukur
keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.
Ketiga pendekatan tersebut adalah:
a) Pendekatan normatif memandang keempat
aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai institusi pelaksana peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga keempat
aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistim penegakan hukum
semata-mata.
b) Pendekatan administrasi memandang keempat
aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki mekanisme
kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal
maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur or
ganisasi yang berlaku dalam
organisasi tersebut. Sistim yang dipergunakan
adalah sistim administrasi.
c). Pendekatan sosial memandang keempat aparatur
penegak hukum merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga
masyarakat
secara
keseluruhan
ikut
bertanggungjawab
atas
keberhasilan
dari
keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan
tugasnya.
Sistim
yang
dipergunakan adalah sistim sosial. 23
23 Romli Atmasasmita, Op.cit. hlm.16-17
128
Dalam hal pendekatan normatif sub.a. diatas dikenal
lagi dua model yaitu Crime Control Model dan Due
process Model yang mempunyai karakteristik nilai yang
sama
dan
berbeda.
Tetapi
oleh
Muladi24)
mengemukakan kelemahan-kelemahan model-model
sistim peradilan pidana tersebut bagi Indonesia, yaitu:
a) Crime control model: tidak cocok karena model ini
berpandangan tindakan yang bersifat represif
sebagai terpenting dalam melaksanakan proses
peradilan pidana.
b) Due
process
model:
tidak
sepenuhnya
menguntungkan
karena
bersifat
"antiauthoritarian values".
c) Model family atau "family model": (griffits) kurang
memadai karena terlalu "offender oriented"
karena masih terdapat korban (victims) yang juga
memerlukan perhatian serius.
Selain itu, sistem perlawanan (adversary model)
seperti yang dikenal di Amerika Serikat, baik yang
bersifat "crime control model" maupun yang bersifat "due
process model" nampaknya agak sulit untuk menerima
peranan pihak ke tiga, yaitu si korban, dalam proses
peradilan pidana. Hal ini disebabkan karena pada model
perlawanan secara filosofis hanya dikenal adanya kontes
antara dua pihak yang berlawanan yakni terdakwa
bersama penasihat hukumnya dan negara dalam hal ini
diwakili oleh Jaksa. Dalam model ini yang paling penting
adalah "publik order" dan "efisiensi". Proses kriminal
pada hakekatnya merupakan perjuangan atau bahkan
semacam perang antara dua kepentingan yang tidak
dapat dipertemukan kembali, yakni kepentingan negara
dan kepentingan individu (terdakwa). Karena itu model
ini juga sering disebut ""The Battle Model" Model
perlindungan hak (due process model) yang mulai
mengedepankan perlindungan hak-hak individu guna
mengendalikan maksimal efisiensi pada hakekatnya
24 Muladi, dikutip dari Romli Atmasasmita Sistem Peradilan Pidana, hlm.22
129
tetap berada dalam kerangka sistem perlawanan yang
didasarkan atas perimbangan kepentingan dan
ketiadaan hubungan harmoni antara negara dan pelaku
tindak pidana.
Terhadap adversary model, berkembang model
ketiga sistem peradilan pidana yang disebut "Model
Kekeluargaan" (Family Model) yang diperkenalkan oleh
John Griffith. Dalam model ini pelaku tindak pidana tidak
dipandang sebagai musuh masyarakat melainkan
dipandang sebagai anggota keluarga yang harus
dimarahi guna pengendalian kontrol pribadinya, tetapi
tidak boleh ditolak atau diasingkan. Semuanya dilandasi
oleh semangat cinta kasih.25
Selanjutnya Muladi mengemukakan bahwa model
sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia
adalah model yang mengacu kepada: "daad-dader
strafrecht" yang disebut: model keseimbangan
kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu
yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan
pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.
Pemahaman yang sama dikemukakan juga oleh
Indriyanto Seno Adji yang memberikan abstraksi
berdasarkan pendapat Mardjono Reksodiputro, bahwa
keterpaduan (integrated) diantara operasionalisasi subsistim tersebut sangat menentukan keberhasilan
mekanisme sistim peradilan pidana ini. Pola kerja sistim
ini layaknya suatu "bejana berhubungan" yang
memerlukan korelasi dan kooperasi di antaranya,
sehingga secara a contrario, hasil kerja satu sub-sistim
akan mempengaruhi kerja sub-sistim lainnya. Hambatan
keberhasilan suatu "Integrated Criminal Justice System"
25 Muladi. Hak Asasi manusia,Politik dan Sistem Peradilan Pidana.2002.Badan
Penerbit UNDIP,Semarang,hlm.181-182
130
terletak pada arogansi sektoral di antara pola kerja subsistim tersebut. 26
Dengan demikian criminal justice system (sistim
peradilan pidana) sangat terkait dengan:
1) Pengendalian kejahatan sampai batas batas
minimal.
2) Sistim hukum yang berlaku dan kesadaran
hukum yang hidup dan berlaku dalam
masyarakatnya
3) Keberadaan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan ( termasuk peran
Penasihat Hukum)
4) Kehidupan sosial-budaya-masyarakat yang hidup
dan berkembang disekitarnya.
Selanjutnya yang dimaksud hukum acara pidana
adalah peraturan perundang-undangan yang digunakan
sebagai pedoman dalam proses pemeriksaan perkara
pidana melalui satu sistim pemeriksaan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan putusan yang melibatkan
instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Sehingga pembahasan berikut ini
adalah aturan-aturan yang berlaku sebagai pedoman
bagi Kepolisian Jaksa, Pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan serta negara dan lembaga organisasi
internasional, terdakwa dan penasihat hukumnya
melaksanakan tugas, tanggungjawab, hak dan
kewajibannya masing-masing sesuai keberadaannya
masing-masing pada semua tingkat pemeriksaan dan
peradilan, dari penyelidikan, penyidikan penuntutan,
penjatuhan putusan sampai pelaksanaan putusan; dari
pengadilan tingkat pertama sampai tingkat lebih tinggi
(Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Termasuk
didalamnya mengenai bantuan hukum atau pembelaan
terhadap terdakwa.
26 Indriyanto Seno Adji. Op.cit. hlm. Abstraksi
131
Dalam hukum nasional Indonesia hukum acara diatur
dalam UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Sedang Statuta ICC
menggunakan
istilah
Peraturan
Prosedur
dan
Pembuktian (pasal 51 Statuta ICC) yang tersebar dalam
berbagai pasal menyangkut kewenangan penyelidikan,
pra penyidikan/peradilan, penuntutan, penangkapan,
penahanan, putusan, menjalankan hukuman, banding,
gantirugi, kerjasama internasional, pemberian bantuan
hukum, perlindungan terhadap saksi, pengajuan alat
bukti, perkara pengakuan bersalah, pemeriksaan biasa,
dan pemeriksaan khusus.
2. Hukum Acara ICC
Dalam sistem peradilan pidana, hukum acara dalam
keseluruhan prose penegakan hukum memegang
peranan penting. Sebagaimana yang diterapkan oleh
pengadilan pidana internasional – ICC, meliputi: 27
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan
pendahuluan
merupakan
pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan di
pengadilan (ICC) yang dimulai dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pengajuan
perkara di pengadilan). Dalam proses ini Jaksa dan
Dewan Pra-Penyidikan/Dewan Pra-Peradilan (the
Pre-Trial Chamber) yang terdiri dari Hakim
Tunggal/Anggota-Anggota
Majelis Hakim ICC
memegang peranan utama, terutama dalam hal
menentukan apakah suatu informasi atau hasil
penyelidikan/penyidikan sudah memenuhi syarat
diajukan sebagai perkara tindak pidana di pengadilan
ICC. Fungsi dan Tugas Dewan Pra-Penyidikan ini
secara luas diatur dalam pasal 57 yang dapat
mengeluarkan segala perintah dan aturan dalam
27 Marthen Napang. Op Cit. hlm. 188
132
bentuk keputusan atau penetapan berdasarkan pasal
15, 18, 19, 54 (2), 62 (7), 72, 58, 56 Bagian 9, 93
ayat 1 (j). Kewenagan tersebut meliputi meneliti dan
memutuskan
apakah
permintaan
melakukan
penyelidikan oleh Penuntut beralasan atau tidak, atau
apakah hasil penyelidikan Penuntut telah memenuhi
syarat untuk diajukan ke muka pengadilan,
pemanggilan,
pemeriksaan,
penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan hal lain yang mendukung
kelancaran proses penyelidikan dan penyidikan
dalam rangka penuntutan di muka pengadilan oleh
Penuntut.
Permulaan penyelidikan atas informasi atau
laporan
terjadinya
kejahatan
kemanusiaan
(Genocide, Crime against humanity dan war crime)
dilakukan oleh Jaksa (penuntut) yang terbentuk
berdasarkan pasal 42 Statuta ICC. Informasi atau
laporan dapat saja berasal dari suatu negara (pasal
14), DK-PBB (pasal 13 b), atau pihak lain seperti
organisasi internasional, individu/kelompok individu
lainnya.
Berdasarkan pasal 15 jo 53 Statuta ICC, penuntut
dapat melakukan penyelidikan "proprio mutu
(pengujian awal informasi) suatu informasi terjadinya
kejahatan kemanusiaan, menganalisanya, dan
menyimpulkannya dengan dua kemungkinan:
1) Jika disimpulkan informasi tersebut mempunyai
dasar yang kuat untuk ditindak-lanjuti maka
penuntut meminta kewenangan melakukan
investigasi kepada Majelis Pra-Peradilan (the PreTrial Chamber).
2) Jika disimpulkan informasi tersebut tidak
berdasar, maka penuntut akan memberitahukan
kepada pemberi-informasi tentang hal tersebut.
Kecuali jika kemudian ditemukan fakta-fakta atau
bukti-bukti baru kuat untuk hal yang sama, maka
penuntut dapat kembali melakukan "proprio mutu"
dengan dua kemungkinan diatas.
133
Dalam hal Penuntut ingin mengawali penyelidikan
atas suatu informasi yang diterimanya, Penuntut
terikat dengan kriteria (pasal 53 ayat 1):
1) Informasi
tersebut
meyakinkan,
harus
benar-benar
2) Kasusnya dapat diselesaikan sesuai pasal 17
3) Mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan
dan kepentingan korban yang ditimbulkan.
Sedang kriteria untuk tidak cukup dasar
melakukan penuntutan setelah diadakan penyelidikan
yang mengikat penuntut (pasal 53 ayat 2) adalah:
1) Ketiadaan dasar hukum dan fakta yang
memadai untuk mendapat jaminan melakukan
penahanan atau panggilan sesuai pasal 58.
2) Kasusnya
pasal 17
tidak
memenuhi
syarat-syarat
3) Secara keseluruhan tuntutan bukan dalam
kepentingan peradilan.
Selanjutnya pasal 54 mengatur Tugas-tugas dan
Kekuasaan Penuntut berkaitan dengan penyelidikan
yaitu:
1). Mengambil semua tindakan penyelidikan yang
dipandang perlu dan efektif dalam arti seluasluasnya
dalam
memperoleh
dan
mengumpulkan fakta dan bukti suatu
kejahatan kemanusiaan, termasuk memanggil
dan memeriksa para saksi, korban dan pihak
lainnya, melakukan kerjasama dengan negara
atau organisasi lainnya, menjaga kerahasiaan
sumber
informasi,
mengupayakan
perlindungan terhadap setiap orang pemberi
informasi dan perlindungan bukti-bukti.
134
2). Menjalankan investigasi dalam wilayah suatu
negara sesuai ketentuan Bagian 9 atau yang
disahkan
oleh Dewan Pra-Penyidikan berdasarkan pasal
57 ayat 3 (d).
b. Pemeriksaan Persidangan
Selanjutnya, dalam peningkatan pemeriksaan
penyelidikan menjadi penyidikan dalam rangka
penuntutan di muka Pengadilan, Penuntut tetap
memegang peranan penting atas persetujuan dan
pengawasan Majelis Penyidik/Majelis Hakim dengan
segala fungsi dan kewenangannya yang termuat
dalam pasal 64.
Sebelum diadakan peningkatan pemeriksaan dari
penyelidikan ke penyidikan, terlebih dahulu diadakan
konfirmasi
tuntutan
dihadapan
Dewan
Pra
Penyidikan, setelah itu Pejabat Presiden ICC
mengangkat Majelis Hakim yang bertanggungjawab
dalam proses persidangan pengadilan selanjutnya,
dan mengambil-alih semua fungsi dan kewenangan
Majelis Pra-Penyidikan sebagaimana dimaksud
pasal 61.
Pada awal pemeriksaan (penyidikan) di muka
persidangan, Majelis Hakim memberi kesempatan
kepada Terdakwa untuk menyampaikan pengakuan
bersalah atau pengakuan tidak bersalah. Majelis
Hakim tidak terikat dengan pengakuan bersalah yang
dilakukan terdakwa. Jika Majelis hakim mengangap
pengakuan bersalah oleh terdakwa tidak didukung
fakta-fakta dan bukti-bukti kasus yang termuat dalam
surat tuntutan dan diakui sebelumnya oleh Terdakwa
dan para saksi maka Majelis Hakim dapat
memerintahkan perkara dilanjutkan dengan acara
pemeriksaan biasa (pasal 65 ayat 1 (c), ayat 3
dan 4).
135
Selama masa penyidikan dan pemeriksaan di
pengadilan, hak-hak terdakwa tetap dilindungi sesuai
pasal 67. Terdakwa diperiksa dan diadili di tempat
kedudukan pengadilan (terkecuali ditentukan lain)
sesuai pasal 62 dan diperlakukan sesuai asas
Praduga tak bersalah, sehingga merupakan
tanggungjawab Penuntut untuk membuktikan kesalah
Terdakwa sesuai pasal 66. Oleh karena itu sistim
pembuktian
yang
digunakan
adalah
sistim
pembuktian biasa bukan sistim pembuktian terbalik.
Penuntut berhak mengajukan semua alat bukti,
sebaliknya Terdakwa dapat menolak atau menerima
alat-alat bukti tersebut atau dapat mengajukan alat
bukti lainnya. Akan tetapi penilaian akhir dari
kebenaran
alat
bukti
tersebut
merupakan
kewenangan Majelis hakim untuk digunakan sebagai
pertimbangan mengambil keputusan akhir.
Dalam mengambil keputusan, Majelis hakim ICC
harus memenuhi syarat pasal 74, pasal 66 ayat 3 ,
pasal 77 dan pasal 78 yaitu :
1) Menghadiri
semua
tahap
penyidikan di persidangan.
pemeriksaan
2) Mengevaluasi bukti-bukti dan segala yang
terungkap dalam persidangan.
3) Tidak melebihi apa yang dituntut oleh Penuntut
4) Mendahulukan pengambilan putusan secara
bulat/aklamasi,
kemudian
pengambilan
putusan berdasarkan suara mayoritas (voting).
5) Putusan
secara tertulis dan memuat
pandangan dari mayoritas hakim dan minoritas
hakim dalam hal pengambilan putusan secara
Voting.
6) Pertimbangan Majelis Hakim bersifat rahasia
sampai putusan dibacakan secara terbuka
dalam persidangan untuk itu
136
7) Harus yakin akan kesalahan terdakwa di luar
keraguan yang masuk akal, jika menjatuhkan
putusan yang bersifat menghukum Terdakwa.
8) Menjatuhkan hukuman penjara maksimal 30
tahun atau hukuman seumur hidup.
9) Menjatuhkan hukuman denda dan penebusan
harta/asset hasil kejahatan.
10)Mempertimbangkan
hal-hal
yang
memberatkan dan meringankan dari keadaan
Terdakwa.
11)Mengurangi masa hukuman penjara dengan
masa penahanan yang telah dijalani terdakwa.
12)Mengumumkan hukuman untuk tiap-tiap
kejahatan dan gabungan hukuman yang
menjelaskan lamanya masa hukuman, tetapi
tidak boleh melebihi masa 30 tahun penjara
atau seumur hidup sesuai pasal 77 ayat 1 (b).
Sedang sumber hukum yang wajib diterapkan ICC
(pasal 21) adalah:
1) Statuta ICC dan elemen-elemen kejahatan
serta hukum acara (prosedur dan pembuktian)
yang diatur juga dalam statuta ICC.
2) Fakta-fakta, prinsip-prinsip dan aturan hukum
internasional yang terkait termasuk tentang
konflik bersenjata.
3) Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana dari
sistem hukum nasional (pengadilan nasional)
dan sistem hukum dunia, asal tidak
bertentangan dengan Statuta ICC.
4) Sistem Yurisprudensi dari putusan-putusan
sebelumnya.
5) Interpretasi hukum yang konsisten dengan hak
asasi
manusia
yang
dikenal
secara
internasional tanpa diskriminasi.
137
Jika mengacuh pada tata urutan pasal 38 statuta
Mahkamah Internasional adalah :
1) Semua ketentuan dalam Statuta ICC termasuk
didalamnya Konvensi Jenewa 1949 dan
Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana yang
tersebut secara jelas.
Kemudian Konvensi-Konvensi atau Perjanjian
Inetrnasional lainnya yang terkait khususnya
dengan kejahatan-kejahatan yang menjadi
yurisdiksi ICC.
2) Kebiasaan Internasional yang sudah umum
dipraktekkan, (terutama yang terkait dengan
kejahatan-kejahatan
kemanusiaan
yang
menjadi yurisdiksi ICC, seperti kebiasaankebiasaan dalam perang dan pertempuran di
darat, laut dan udara).
3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
bangsa-bangsa yang beradab, (terutama yang
terkait
dengan
kejahatan-kejahatan
kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi ICC).
4) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran
(doktrin) dari para ahli dari berbagai bangsa,
sebagai alat bantu dalam menetapkan kaidah
hukum.
Menurut hemat penulis, prinsip-prinsip umum
hukum pidana yang diatur dalam Bagian 3 dan
beberapa pasal lainnya penerapan hukumnya
ditempatkan pada urutan pertama disamakan dengan
konvensi atau perjanjian internasional karena prinsipprinsip umum hukum pidana tersebut merupakan
bagian dari ketentuan-ketentuan Statuta Roma 1998.
Jadi dibedakan dengan prinsip-prinsip hukum umum
lainnya yang tidak disebutkan dalam Statuta ICC,
yang ditempatkan pada urutan ketiga.
138
Prinsip-prinsip umum hukum pidana yang wajib
diterapkan ICC adalah:
1) Prinsip Nullum crimen sine lege (pasal 22
statuta ICC)
2) Prinsip Nulla poena sine lege (pasal 23)
3) Prinsip Non-retroactivity
(pasal 24)
4) Prinsip Tanggungjawab
pasal 25)
ratione
personae
pidana individu (
5) Prinsip Non-yurisdiksi terhadap orang berusia
di bawah 18 tahun. (pasal 26)
6) Prinsip tidak memandang Jabatan Resmi atau
NonImpunity (pasal 27)
7) Prinsip Tanggungjawab Komandan dan atasan
lainnya (pasal 28)
8) Prinsip
Tidak
berlakunya
pembatasan (pasal 29)
ketentuan
9) Prinsip Elemen mental (pasal 30)
10)Prinsip Penghapusan Tanggungjawab Pidana
(pasal 31)
11)Prinsip Perintah Atasan dan Kesalahan Hukum
(pasal 32 dan pasal 33)
12)Prinsip Ne bis in idem (pasal 20)
13)Prinsip Komplementri (pasal 1)
14)Prinsip Inadmissibility (pasal 17)
15)Prinsip
Non-Lapse
of
ketidakberlakuan Kadaluarsa.
139
Time
atau
Selain itu asas-asas lainnya dalam hukum
internasional yang dapat digunakan oleh ICC adalah:
1) Asas "Au Dedere Au Punere"
2) Asas "Au Dedere Au Judicare"
3) Asas "Primacy" (secara terbatas).
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah
pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 terhadap
kasus-kasus kejahatan perang yang tunduk pada
yurisdiksi ICC tidak bersifat retroaktif ?
Menurut hemat penulis pemberlakuan Konvensi
Jenewa 1949 oleh ICC dengan demikian juga oleh
pengadilan pidana (HAM) nasional yang menerapkan
yurisdiksi kriminal ICC tidak bersifat retroaktif atau
tidak melanggar prinsip legalitas dalam Statuta ICC,
karena:
1) Pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 sama
dengan pemberlakuan beberapa prinsipprinsip hukum pidana internasional yang telah
dikenal jauh sebelumnya sebagaimana yang
disebutkan dianut dalam Statuta ICC seperti :
prinsip Nullum crimen sine lege (pasal 22),
prinsip Nulla poena sine lege (pasal 23),
prinsip non retroactivity ratione personae
(pasal 24), prinsip tanggungjawab individu
(pasal 28) dan lain-lain.
2) Dengan penyebutannya dalam Statuta ICC
tersebut maka Konvensi Jenewa 1949 menjadi
bagian dari ketentuan-ketentuan Statuta ICC
yang keberlakuannya sama dengan ketentuan
ICC lainnya sepanjang mengenai kejahatan
perang terutama tentang konflik bersenjata
internasional dan non internasional.
140
c. Upaya Hukum Banding dan Revisi
Terhadap putusan pengadilan diatas dapat ditolak
oleh Terdakwa maupun Penuntut melalui upaya
hukum banding (appeal) sesuai pasal 81-83 dan
peninjauan (revision) sesuai pasal 84.
Terdapat perbedaan alasan banding terhadap
Penuntut dan Terdakwa yaitu:
Alasan banding bagi Penuntut (pasal 81 ayat 1 (a)
adalah:
(a) Kesalahan prosedur
(b) Kesalahan fakta; atau
(c) Kesalahan hukum.
Sedang alasan banding bagi Terdakwa (pasal 81
ayat 2) adalah:
(a) Kesalahan prosedur;
(b) Kesalahan fakta;
(c) Kesalahan hukum; atau
(d) Alasan-alasan lain yang mempengaruhi
kejujuran dan kepercayaan proses peradilan
atau keputusan.
Pasal 81 ayat 2 memungkinkan pula pengajuan
banding oleh Penuntut maupun Terdakwa terhadap
hukuman dengan alasan antara hukuman yang
dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang
dilakukan. Jika Majelis banding menganggap terdapat
alasan untuk membatalkan hukuman baik sebagian
maupun seluruhnya, maka Majelis Banding dapat
mengundang Penuntut dan Terdakwa untuk
mengajukan alasan menurut pasal 81 ayat 1(a)
atau (b).
141
Begitupun Penuntut dan Terdakwa atau
keluarganya (anak pasangan hidupnya dan
orangtuanya) dapat mengajukan peninjauan/revisi
terhadap putusan penghukuman dengan dasar
alasan telah ditemukannya alat bukti baru, telah
ditemukan/diketahuinya bukti yang
menentukan
penyidikan dan penuntutan ternyata salah, terlupakan
atau dipalsukan.
Majelis Hakim (revisi) dapat menolak atau
mengabulkan permohonan revisi. Dalam hal
permohonan revisi dianggap berguna dan beralasan
untuk dikabulkan maka Majelis Hakim (revisi)
mengundang kembali Majelis Hakim Banding
sebelumnya untuk mendapatkan masukan perlu
tidaknya revisi dilakukan.
d. Pelaksanaan Putusan
Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka dilakukan pelaksanaan putusan
(eksekusi) sebagaimana yang diatur dalam pasal
103 - pasal 111.
Pengadilan menentukan di negara mana dari
negara-negara yang bersedia sebagai tempat
pelaksanaan hukuman sesuai putusan, termasuk
menentukan pemindahan pemenjaraan ke negara
lain. Negara pelaksana terikat dan tidak dapat
merobah isi putusan yang dilaksanakan. Tetapi
syarat-syarat penahanan pemenjaraan dilakukan
berdasarkan hukum nasional negara pelaksana
dengan tetap menghormati syarat-syarat standar
internasional
serta
tidak
boleh
melakukan
diskriminasi antara narapidana ICC dengan
narapidana domestik dalam arti narapidana ICC tidak
boleh diperlakukan lebih buruk dari narapidana lokal.
Negara pelaksana dapat melakukan ekstradisi atau
penyerahan atau mengirim seseorang berdasarkan
142
hukum nasionalnya ke negara lain untuk tujuan
penyidikan atau pelaksanaan putusan, termasuk
yang melarikan diri tetapi atas persetujuan atau
perintah Pengadilan ICC.
Pelaksanaan putusan yang dimaksud selain
menyangkut pelaksanaan hukuman penjaranya, juga
meliputi
pelaksanaan
hukuman
denda
dan
penebusan asset-asset atau harta benda yang
diperintahkan oleh Pengadilan sesuai pasal 109.
Statuta ICC juga mengatur tentang kerjasama
internasional dan bantuan hukum sebagaimana
tertuang dalam pasal 86 - pasal 102.
Kerjasama
internasional
tersebut
meliputi
berbagai bentuk kerjasama dengan pengadilan
dalam investigasi dan penuntutan kejahatan yang
menjadi yurisdiksi ICC didalamnya tercakup
penangkapan, pengiriman orang, penahanan,
pemberian data dan bukti, pemeriksaan orang, dan
tindakan lainnya yang terkait dengan mutual legal
assistance.
Dalam rangkaian kerjasama internasional antara
negara-negara penandatangan/penerima statuta ICC
dan atau dengan ICC tersebut diatas lembaga
pemasyarakatan dan kepolisian nasional memegang
peranan penting berdasarkan hukum nasional negara
yang bersangkutan. Untuk itu para negara
penandatangan menjamin adanya hukum nasional
yang mengatur prosedur untuk seluruh bentuk
kerjasama internasional tersebut (pasal 88).
143
3. Struktur Organ ICC
Komposisi kelembagaan ICC di atur dalam bagian 4
pasal 34 sampai dengan pasal 52 Statuta, yaitu:
1. Badan-badan ICC terdiri dari:
a. Dewan Ketua.
b. Divisi Banding yang terdiri dari:
1) seorang Ketua,
2) empat orang Hakim,.
3) melaksanakan sidang ditingkat banding,
4) sidang ditingkat banding harus dihadiri semua
hakim divisi banding.
5) upaya banding terhadap putusan yang
dijatuhkan Divisi Pengadilan (pasal 74 statuta)
dapat diajukan Penuntut Umum berdasar
pasal 81 ayat 1 (a).
6) Upaya banding terhadap putusan yang
diajuhkan Divisi Pengadilan dapat diajukan
oleh Terdakwa berdasarkan alasan-alasan
dalam pasal 81 ayat 1 (b).
7) Hakim
Divisi
Banding
tidak
dapat
diperbantukan ke Divisi Pengadilan maupun
Divisi Pra-Peradilan.
c. Divisi Pengadilan yang terdiri dari:
1) minimal enam orang hakim,
2) melaksanakan
pertama,
proses
peradilan
ditingkat
3) persidangan dilaksanakan oleh tiga orang
hakim,
4) upaya banding terhadap putusan yang
dijatuhkan Divisi Pengadilan (pasal 74 statuta)
dapat diajukan Penuntut Umum berdasar
pasal 81 ayat 1 (a).
144
5) Upaya banding terhadap putusan yang
diajuhkan Divisi Pengadilan dapat diajukan
oleh Terdakwa berdasarkan alasan-alasan
dalam pasal 81 ayat 1 (b).
6) Hakim Divisi Pengadilan dapat diperbantukan
melaksanakan tugas hakim Divisi PraPeradilan, tetapi tidak boleh mengadili perkara
yang ditanganinya di divisi Pra-Peradilan yang
diadili di Divisi Pengadilan.
d. Divisi Pra-Pengadilan yang terdiri dari:
1) minimal enam orang hakim,
2) melaksanakan sidang pendahuluan yang
memutuskan
kewenangan Penuntut Umum
melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu
dugaan tindak pidana.
3) persidangan Pra-Peradilan data dlaksanakan
oleh hakim tunggal atau tiga orang hakim.
4) Upaya banding terhadap putusan yang
dijatuhkan Divisi Pra-Peradilan (pasal 57
Statuta) dapat diajukan para pihak terkait:
Penuntut Umum, Individu-individu terlapor,
atau suatu Negara.
5) Hakim
Divisi
Pra-Peradilan
dapat
diperbantukan
menjadi
hakim
Divisi
Pengadilan, tetai tidak menangani perkara
yang ditanganinyan di Divisi Pra-Peradilan.
e. Kepaniteraan dan Staf
2. Hakim ICC terdiri dari:
a. delapan belas orang yang dapat ditambah sesuai
kebutuhan,
b. hakim-hakim dipilih dari dan oleh Majelis Negara
Pihak atau negara-negara yang meratifikasi
Statuta,
145
c. hakim-hakim dipilih dengan mempertimbangkan
kecakapan yang dibutuhkan, perwakilan sistemsistem hkum utama dnia, geogafis dan genjer,
d. masa jabatan hakim selama sembilan tahun, dan
tidak dapat dipilih kembali,
e. hasil pemilihan hakim yang pertama diundi
menjadi tiga kelompok masa jabatan, yaitu
kelompok kesatu menjabat masa jabatan tiga
tahun, kelompok kedua menjabat masa jabatan
enam tahun, dan kelompok ketiga menjabat masa
jabatan sembilan tahun. Hakim-hakim pada
kelompok kesatu dapat dipilih kembali untuk
masa jabatan enam tahun lagi, dan hakim ada
kelompok kedua dapat dipilih kembali untuk masa
jabatan tiga tahun lagi. Tidak ada seorangpun
yang dapat memegang jabatan lebih dari
sembilan tahun.
f. untuk maksud di atas, pemlihan hakim berikutnya
dilakukan secara regular setiap tiga tahun untuk
memilih sepertiga hakim yang berakhir masa
jabatannya.
g. pemilihan hakim karena kekosongan dapat
dilakukan secara irregular sesuai kebutuhan.
h. Hakim melaksnkan tugas secara penuh waktu
dan tidak boleh memegang jabatan atau profesi
lainnya.
i. Hakim melaksanakan tugas yudisialnya secara
mandiri dan bebas dari pengaruh siapapun juga.
146
BAB II
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 26 TAHUN 2000
A. Pengadilan HAM RI
Peradilan Hak Asasi Manusia di Indonesia dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan
Hak
Asasi
Manusia.
Dalam
bagian
konsiderannya disebutkan pembentukan pengadilan HAM
RI dilakukan dalam rangka melindungi, menghormati
mempertahankan hak asasi manusia sebagai hak dasar
yang universal dan langgeng secara kodrati melekat pada
diri manusia, oleh karena itu tidak dapat diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain itu, juga
dimaksudkan sebagai perwujudan Negara Indonesia ikut
serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan, perlindungan, kepastian hukum, keadilan dan
perasaan aman kepada setiap orang-perorangan dan
masyarakat akan hak asasinya, serta sebagai perwujudan
tanggungjawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa. Pasal 1 UU No.26 Tahun
2000 menjelaskan hak asasi manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tingg dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Selanjutnya dijelaskan, bahwa penegakan hukum
melalui peradilan HAM ini dilakukan terhadap hak asasi
manusia yang tercantum dalam:
147
1) Undang-Undang Dasar 1945,
2) Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia,
3) Ketetapan MPR-RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia,
4) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Penegakan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan
falsafah yang terkadung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional.
Ditegaskan pula, bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang dibentuk ini merupakan pengadilan khusus bagi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kekhususannya
ini nampak dalam upaya penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaannya, yaitu:
a. diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc,
penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim
ad hoc;
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima
laporan atau pengadual sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu
tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di pengadilan;
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban
dan saksi;
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada
kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia
yang berat.
148
Kekhususan ini dilakukan atas pertimbangan, bahwa
pelanggaran hak asasi yang berat merupakan “extra
ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada
tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian
baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan
perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Sifatnya yang “extra ordinary crimes” menyebabkan
diperlukannya membentuk pengadilan hak asasi manusia
ad hoc yang berwenang memeriksa dan mengadili
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimasa lalu
sebelum diundangkannya UU No.26 Tahun 2000. Oleh
karena diberlakukan asas retroaktif secara terbatas hanya
terhadap kejahatan kemanusiaan yang berat. Pengadilan
HAM ad hoc dibentuk sesuai kebutuhan berdasarkan
Keputusan Presiden atas usul DPR RI dan berada
dilingkungan Peradilan Umum.
Pembatasan penggunaan asas retroaktif dengan
undang-undang ini dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
149
Diakui bahwa hak asasi manusia yang perlu ditegakkan
dan dilindungi oleh pengadilan hak asasi manusia Indonesia
adalah bersifat universal dan melekat secara kodrati pada
diri setiap manusia, sehingga dapat ditemukan dalam
berbagai deklarasi maupun konvensi nasional maupun
internasional. Namun demikian tidak boleh bertentangan
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Pancasila dan Pembukaan UUD’45 merupakan dasar
filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai ideologi negara Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD’45 merupakan Roh dan Jiwa dari
kerangka tubuh NKRI.
Sebagai Roh dan Jiwa bangsa,
Pancasila
telah
menuntun
kehidupan
sosial
kemasyarakatan bangsa Indonesia dari masa ke masa
dengan pelbagai nilai-nilai kehidupan bersama, yaitu:
Kebhinnekaan Tunggal Ika, Gotong- royong, Senasibsepenanggungan,
Kesetiakawanan
Sosial,
Tolongmenolong, Musyawarah-Kekeluargaan,
Untuk itu perlu kiranya di inventarisir nilai – nilai hak
asasi manusia yang dapat ditemukan dalam UUD 1945,
yaitu:
a. PANCASILA, sebagai sumber nilai-nilai filosofis ideologis.
Nilai-nilai utama dalam Pancasila sebagai nilai-nilai
hidup dan menghidupi kehidupan berbangsa dan
bernegara, antara lain:
1) Kemerdekaan,
2) Kebebasan,
3) Kebangsaan,
4) Kemanusiaan,
5) Keadilan,
6) Persatuan dan Kesatuan,
7) Kedaulatan Rakyat,
8) Kemakmuran dan Kesejahteraan,
150
9) Pendidikan,
10) Perdamaian,
11) Pengayoman.
b. UUD 1945, sebagai sumber nilai fundamental –
konstitusional.
Berbagai nilai yang terpatri dalam pembukaan dan
pasal-pasal batang tubuh UUD’45, diantaranya:
a. NKRI,
b. Pemerintahan Presidensial,
c. Pembagian Kekuasaan: Eksekutif, Legislatif, dan
Judikatif,
d. Pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat,
e. Hak-hak dan kebebasan individual yang tidak
dapat dicabut:
i. Hak dan kebebasan untuk beribadah sesuai
ajaran agama dan keyakinannya,
ii. Hak dan kebebasan berkumpul dan berpartai,
iii. Hak dan kebebasan menyatakan pikiran dan
pendapat,
iv. Hak dan kebebasan mendapat pekerjaan,
v. Hak dan kebebasan mengejar kesejahteraan,
vi. Hak dan kebebasan mendapat pendidikan,
vii. Hak dan kebebasan mendapat perlindungan.
Dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara
yang aman, tertib dan damai, maka hak, kewajiban
dan tanggungjawab warga negara dan pemerintah
diatur didalam pasal-pasal UUD’45. Ketentuanketentuan UUD’45 ini merupakan pedoman yang
wajib ditaati, dilaksanakan, dijamin, dilindungi, dan
ditegakkan sebagai nilai-nilai hak asasi manusia,
antara lain:
151
1) Pasal 27 ayat (1) : Hak Setiap WNI
dipersamakan
dalam
hukum
pemerintahan.EE
untuk
dan
2) Pasal 27 ayat (1): Kewajiban Setiap WNI untuk
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
3) Pasal 27 ayat (2): Hak dan kebebasan setiap WNI
untuk mendapat pekerjaan yang menghidupinya
secara layak bagi kemanusiaan.
4) Pasal 27 ayat (3): Hak dan Kewajiban Setiap WNI
untuk membela dan mempertahankan NKRI.
5) Pasal 28: Hak Setiap WNI untuk bebas berserikat,
berkumpul, menyatakan pikiran dan pendapat.
6) Pasal 28 AJ: Hak Setiap WNI untuk mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi.
7) Pasal 28 B ayat (1): Hak dan Kebebasan Setiap
WNI untuk menikah, membentuk satu keluarga,
dan mendpatkan keturunan.
8) Pasal 28 B ayat (2): Hak Setiap Anak di Indonesia
untuk hidup bebas dari tindakan kekerasan dan
diskriminasi.
9) Pasal 28 C ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mendapatkan dan memanfaatkan
Ilmu
Pengetahuan
dan
Tehnologi
bagi
meningkatkan kualitas dan kesejahteraannya.
10) Pasal 28 C ayat (2): Hak Setiap WNI untuk
mempertahan, memajukan dan melestarikan
keberadaan pribadi dan kolektifnya sebagai
bagian dari pembangunan masyarakat, bangsa
dan NKRI.
11) Pasal 28 C ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk mendapat pengakuan, perlindungan,
kepastian, keadilan, kesamaan dihadapan hukum.
12) Pasal 28 D ayat (2): Hak WNI dan penduduk
untuk bekerja dengan penghasilan yang layak dan
perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.
152
13) Pasal 28 D ayat (3): Hak Setiap WNI dan
penduduk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
14) Pasal 28 D ayat (4): Hak Setiap WNI dan
penduduk memperoleh status kewarganegaraa.
15) Pasal 28 E ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk bebas memeluk dan beribadat
menurut agamanya, memilih pe ndidikan dan
pengajaran,
memilih
pekerjaan,
memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali.
16) Pasal 28 E ayat (2): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk bebas meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya.
17) Pasal 28 E ayat (3): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk bebas berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
18) Pasal 28 F: Hak Setiap WNI dan penduduk untuk
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan
sosialnya, serta dapat mencari, memperoleh,
memiliki,
menyimpan,
mengubah,
dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.
19) Pasal 28 G ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mendapat perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang berada dalam kekuasaannya,
serta memperoleh rasa aman dan memperoleh
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
153
20) Pasal 28 G ayat (2): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajad martabat
manusia dan bebas memperoleh suaka politik dari
negara lain.
21) Pasal 28 H ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan
kesehatan.
22) Pasal 28 H ayat (2): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
23) Pasal 28 H ayat (3): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk memperoleh jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat.
24) Pasal 28 H ayat (4): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara
sewenang wenang oleh siapapun.
25) Pasal 28 I ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk dalam keadaan apapun tidk
dikurangi hak asasinya, yaitu: hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut.
26) Pasal 28 I ayat (2): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk tidak diperlakukan diskriminatif
dan dilindungi dari perlakuan diskriminatif dengan
dasar dan alasan apapun.
154
27) Pasal 28 I ayat (3): Hak setiap WNI dan penduduk
untuk mendapat perlindungan atas identitas
budaya dan masyarakat tradisionalnya.
28) Pasal 28 I ayat (4): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mendapat penyeleggaraan
perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan hak asasi manusia.
29) Pasal 28 I ayat (5): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mendapat perlindungan hak
asasi manusia melalui peraturan perundangundangan sesuai negara hukum yang demokratis.
30) Pasal 28 J ayat (1): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk dihormati hak asasinya dari
sesama WNI dan penduduk lainnya.
31) Pasal 28 J ayat (2): Hak Setiap WNI dan
penduduk untuk mendapat pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasannya dari
sesama WNI dan penduduk lainnya berdasarkan
keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat yang demokratis sebagaimana
ditetapkan peraturan perundang-undangan.
32) Pasal 29 ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk
untuk bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya.
33) Pasal 30 ayat (1): Hak dan kewajiban Setiap WNI
untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.
34) Pasal 30 ayat (2): Hak dan Kewajiban Setiap WNI
untuk menjadi kekuatan pendukung dalam sistim
pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
35) Pasal 31 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk
memperoleh pendidikan.
36) Pasal 31 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk
memperoleh pendidikan dasar atas biaya
pemerintah.
155
37) Pasal 31 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak mulia dan kecerdasannya dari satu sistim
pendidikan nasional yang diusahakan dan
diselenggarakan oleh pemerintah.
38) Pasal 31 ayat (4): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan pendidikan dari pendidikan nasional
dengan anggaran 20% dari APBN dan APBD.
39) Pasal 31 ayat (5): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan jaminan terhadap pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, persatuan bangsa,
kemajuan peradaban, dan kesejahteraan tanpa
diskriminasi.
40) Pasal 32 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya
dalam
rangka
memajukan
kebudayaan
nasional
ditengan-tengah
perkembangan peradaban dunia.
41) Pasal 32 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk
memelihara dan menghormati bahasa daerahnya
sebagai kekayaan budaya nasional.
42) Pasal 33 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan
manfaat
atas
satu
sistim
perekonomian
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan asas kekeluargaan yang disusun
pemerintah berdasarkan undang-undang.
43) Pasal 33 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan manfaat bersama WNI lainnya atas
cabang-cabang produksi yang penting yang
dikuasai dan diolah pemerintah.
44) Pasal 33 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan kemakmuran bersama WNI lainnya
atas bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya yang dikuasai pemerintah.
156
45) Pasal 33 ayat (4): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan manfaat bersama WNI lainnya atas
perekonomian nasional yang diselenggarakan
pemerintah
berdasarkan
atas
demokrasi
ekonomidengan prinsip kebersamaan, efisiensi
keadilan, berkelanjutan, berwawasan linglkungan,
kemandirian, serta keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
46) Pasal 34 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan manfaat atas pemeliharaan fakir
miskin dan anak-anak terlantar yang dilaksanakan
pemerintah.
47) Pasal 34 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan manfaat atas sistim jaminan sosial
sesuai kemampuan ekonomi dan martabat
kemanusiaan yang diselenggarakan pemerintah.
48) Pasal 34 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk
mendapatkan manfaat yang layak atas fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang diselenggarakan pemerintah.
Dengan demikian berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan di
atas, setiap warga negara Indonesia dalam berbagai
kehidupan sosial, politik, pemerintahan, dan negara
maupun
dalam
pergaulan
Internasional
wajib
memelihara, mempertahankan dan melaksanakan nilainilai ideologis dan fundamental tersebut di atas dalam
sikap prilaku:
1) Cinta tanah Air,
2) Setia kepada Pancasila, UUD’45, dan NKRI,
3) Rela berkorban tanpa pamrih membela dan
mempertahankan Pancasila, UUD’45 dan NKRI.
4) Mengutamakan kepentingan negara dan rakyat
dari kepentingan pribadi dan golongan,
5) Menjunjung tinggi hak asasi manusia,
6) Bersikap arif dan bijaksana serta adil dan jujur,
157
7) Taat pada hukum dan peraturan perundangundangan,
8) Mencela segala perbuatan yang melemahkan dan
merugikan keuangan negara dan perekonomian
rakyat.
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini
bukan Undang-Undang Ratifikasi Indonesia terhadap
Statuta Roma 1998. Keberlakuan Statuta Roma 1998
sebagai perjanjian internasional kedalam yurisdiksi
pengadilan Indonesia harus melalui upaya ratifikasi. Hingga
sekarang Indonesia belum meratifikasinya. Namun demikian
Pembentukan Pengadilan HAM RI walaupu masih terbatas
pada kejahatan genosida dan kejahatan terhadap HAM
berat, sudah dapat menjadi pertanda akan kesungguhan
(genuinely) Indonesia yang berkeinginan (willing)
dan
berkemampuan (ability) memeriksa dan mengadili pelaku
kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Jo. Pasal 7 UU No.2 6
tahun 2000, Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum
dengan tugas dan wewenang (yang merupakan yurisdiksi
kriminalnya) memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat : Kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang sama
terdapat dalam pasal 6 dan pasal 7 Statuta Roma 1998
(Roma Statute of the International Criminal Court). Hal ini
merupakan bentuk pengakuan diam-diam - tersirat negara
Indonesia terhadap statuta ICC setidaknya pada yurisdiksi
ICC tentang kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Walaupun secara terbatas pada kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berat, namun
melalui upaya penemuan hukum Pengadilan HAM RI dapat
memperluas yurisdiksi pidananya yang menjangkau 2(dua)
jenis kejahatan HAM lainnya yang ada dalam Statute Roma
1998: Kejahatan Perang dan Kejkahatan Agresi. Hal ini
158
disebabkan
oleh karena Indonesia telah ikut serta dalam
seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 Tentang
Perlindungan Korban Perang melalui pernyataan turut serta
tertanggal 10 September 1958 berdasarkan UU No.59 tahun
1958, sementara yurisdiksi kejahatan perang (war Crimes)
ICC merujuk pada Konvensi Jenewa 1949 tersebut.
Memang sangat diperlukan upaya ratifikasi Statuta
Roma 1998 sebagai dasar hukum lebih lanjut melakukan
upaya kriminalisasi Statuta ICC ini ke dalam sistim hukum
pidana khusus Indonesia, antara lain:
a) penyesuaian beberapa pasal dalam UU No.26/2000
diantaranya perluasan yurisdiksi kriminal Pengadilan
HAM tetap maupun ad hoc yang juga meliputi
kejahatan perang,
b) meniadakan komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau
komisi ini diberi kewenangan penyelidikan yang lebih
bersifat politis melengkapi Komnas HAM yang
menekankan pada aspek yuridis sebuah peristiwa
pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Selanjutnya, untuk
hukum, antara lain:
memperkuat
upaya
penegakan
a) diperlukan pengadilan HAM yang otonom terlepas
dari lingkungan peradilan umum untuk menghindari
operasionalisasi yang semi-permanen dengan sistim
majelis hakim yang terdiri dari hakim peradilan umum
dan hakim ad hoc.
b) Pengadilan HAM tetap yang otonom ini diberi
kewenangan untuk membentuk pengadilan ad hoc
sesuai kebutuhan yang selalu bersifat mendesak,
sehingga pembentukannya tidak perlu lagi melalui
Keputusan Presiden atas usul DPR RI yang berbelitbelit dan memakan waktu. Juga karena kejahatan
HAM begitu luas dan kompleks dengan karakteristik
universal dan transnasionalnya,
159
c) diperlukan Hakim yang memiliki pengetahuan khusus
untuk itu yang dapat berfungsi pada pengadilan HAM
tetap dan juga pada pengadilan ad hoc.
d) Putusan secara tertulis dan memuat pandangan dari
mayoritas hakim dan minoritas hakim dalam hal
pengambilan putusan secara voting ;
e) Mempertimbangkan unsur-unsur
element of crime) yang utama:
kejahatan
(the
1) unsur material yang berfokus pada perbuatan
(conduct), akibat (consequences) dan keadaankeadaan
(circumstances)
yang
menyertai
perbuatan,
2) unsur mental yang relevan dalam bentuk
kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge)
atau keduanya (Pasal 30 Statuta Roma) yang
mengatur "mental element",
f) Unsur Mental (Mental Element) dalam pengertian:
Kesengajaan (intent) terjadi apabila
perbuatan
(conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat atau
keinginan
untuk
melakukan/turut
serta
melakukannya,
yang
menimbulkan
akibat
(consequences).
Perbuatan
tersebut
menimbulkan
akibat
(consequences), apabila pelaku
mengetahui
(knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya
tersebut akan menimbulkan akibat.
Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran
(awareness) bahwa perbuatan dan akibat terdapat
hubungan
sebab-akibat.
perbuatan
awal
menimbulkan kejadian sebab, dan kejadian sebab
menimbulkan kejadian akibat.
Pengertian tahu (know) dan mengetahui (knowingly)
ditafsirkan dalam kerangka hubungan sebab-akibat
antara perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut.
160
g) Unsur Perbuatan :
(a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari
suatu serangan yang meluas (widespread) dan
sistematik (systematic) ditujukan pada penduduk
sipil; dan
(b) keharusan
adanya
pengetahuan
(with
knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang
dilakukan
merupakan
bagian
dari
atau
dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan
yang meluas atau sistematik terhadap penduduk
sipil.
B. Yurisdiksi Pengadilan HAM RI
1. Yurisdiksi Pidana Umum
a. Prinsip Territorialitas
Prinsip ini ditegaskan dalam pasal 2 KUHP yang
menyatakan: bahwa ketentuan-ketentuan hukum
pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara
Indonesia.
Jadi yurisdiksi territorial peradilan pidana
Indonesia meliputi semua wilayah Republik
Indonesia. Sehingga siapapun baik warga negara
Indonesia maupun penduduk asing yang melakukan
kejahatan dalam wilayah RI dapat diajukan dan diadili
di muka pengadilan Indonesia.
Konsep
wilayah
negara
dalam
hukum
internasional yang telah baku dalam perundangundangan nasional negara-negara meliputi pula
wilayah ekstra-territorial pada kedutaan besar di luar
negeri, kapal laut dan kapal terbang yang berbendera
nasional suatu negara. Dengan demikian yurisdiksiteritorial peradilan pidana Indonesia meliputi pula
161
wilayah ekstra teritorial pada semua kedutaan besar
RI di negara lain, Kapal Laut dan Kapal Terbang
berbendera merah-putih RI (pasal 9 KUHAP).
b. Prinsip Nasional Aktif.
Pasal 5 KUHP mengatur prinsip ini dengan
penegasan:
(1) Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia, yang di
luar wilayah negara Indonesia bersalah
melakukan: Kesatu: salah satu dari kejahatankejahatan yang termuat dalam titel 1 dan 2
Buku II dan dalam pasal 160, 161, 240, 279,
450 dan 451. Kedua: suatu tindak pidana
yang menurut hukum pidana Indonesia masuk
golongan "kejahatan", dan yang menurut
hukum pidana dari negara tempat pidana itu
dilakukan, diancam pula dengan hukuman
pidana.
(2) Penuntutan
kejahatan-kejahatan
tersebut
dalam sub kedua juga dapat dilakukan apabila
si tersangka baru setelah melakukan tindak
pidana menjadi warga negara Indonesia.
Dalam pasal 5 KUHP diatas, yurisdiksi peradilan
pidana Indonesia meliputi:
(1) Warga Negara Indonesia yang melakukan
kejahatan di luar
yurisdiksi-teritorial
Indonesia.
(2) Pelaku
kejahatan
yang
mengganti
kewarganegaraannya menjadi warga negara
Indonesia.
162
(3) Kejahatan yang dilakukan adalah salah satu
dari kejahatan-kejahatan dalam titel 1 dan 2
Buku II dan dalam pasal 160, 161, 240, 279,
450, dan 451.
(4) Kejahatan yang dilakukan menurut hukum
pidana Indonesia dan menurut pula hukum
pidana negara tempat kejadian adalah
tindakan yang diancam dengan hukuman
pidana, dengan pengecualian tidak dapat
dijatuhi hukuman mati jika hukum pidana
negara tempat kejadian tidak mengancamnya
dengan hukuman mati (pasal 6).
Selanjutnya disebut sebagai prinsip nasional
"aktif" karena yang melakukan kejahatan adalah
warga negara Indonesia dan juga yang kemudian
menjadi warga negara Indonesia. "Perbuatan
melakukan" adalah sesuatu yang bersifat "aktif".
c. Prinsip Nasional Aktif (Perluasan)
Pasal 7 KUHP memperluas prinsip nasional aktif
sehingga disebut pula perluasan prinsip nasional aktif
menjangkau sampai pada semua pegawai negeri
Indonesia yang melakukan "kejahatan-kejahatan
jabatan (ambtsmisdrijven)" yang termuat dalam titel
XXVIII dari Buku II KUHP di luar yurisdiksi-teritorial
peradilan pidana Indonesia termasuk didalamnya
warga negara asing yang bekerja sebagai pegawai
pada instansi pemerintahan RI di negara lain, seperti
di Kantor Konsulat dan kedutaan RI, Badan Usaha
Milik Negara RI : Bank Negara Indonesia dan
lainnya.
163
d. Prinsip Nasional Pasif
Prinsip ini diatur dalam pasal 4 ke-1, ke-2, dan
ke-3 KUHP yang menegaskan:
"Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi siapa saja, yang di luar wilayah
Indonesia telah melakukan:
ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang
termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111
bis sub 1, 127, 130-133;
ke-2: suatu kejahatan mengenai mata uang atau
uang kertas atau mengenai segel atau merk
yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia;
ke-3: suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang
(schuldbrieven) atas beban Indonesia atau
daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam
tanda tangan dividen atau bunga dari suratsurat hutang itu, atau dengan sengaja
mempergunakan surat-surat yang dipalsukan
itu.
Selanjutnya pasal 8 KUHP memperluas lagi
pemberlakuan prinsip nasional pasif ini sampai
meliputi pengemudi dan para penumpang kapal
Indonesia yang di luar wilayah Indonesia dan di luar
kapal,
yaitu di daratan wilayah negara asing,
melakukan kejahatan pelayaran (scheepvaartmisdrijven) yang termuat dalam titel XXIX Buku II
KUHP, dan pelanggaran pelayaran (scheepvaartovertredingen), yang termuat dalam titel IX Buku III
KUHP.
Kemudian pasal 93 ayat 2 KUHP mengartikan
"penumpang (opvarenden)"meliputi semua semua
orang yang ada di suatu kapal, yang terdiri dari awak
kapal (schepelingen) dan orang-orang yang harus
diangkut sebagai penumpang menuju tujuanpengangkutannya. Perluasan prinsip nasional pasif
164
ini berkaitan dengan kepentingan pelayaran kapal
Indonesia dan mereka yang perlu dilindungi oleh
hukum pidana nasional Indonesia di wilayah negara
lain.
e. Prinsip Universalitas (Universaliteits-Beginsel)
Prinsip ini diatur dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang
menyatakan:
"Ketentuan pidana
dalam undang-undang
Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di
luar Indonesia: 4e. Salah satu kejahatan yang
tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan
pasal 446 tentang pembajak laut dan pasal 447
tentang
penyerahan
kendaraan
air
kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum,
pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan penerbangan sipil".
Melalui pasal 4 sub 4e yang mengatur prinsip
Universalitas ini, nampaknya hukum pidana
Indonesia (KUHP) dapat di "internasionalisasi"
terhadap
kejahatan-kejahatan
Internasional
setidaknya terhadap kejahatan-kejahatan di laut dan
di udara seperti : pembajakan kapal laut dan pesawat
udara yang sejak lama sudah menjadi kejahatan
internasional.
Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip
yurisdiksi pengadilan diatas maka menurut hemat
penulis yurisdiksi peradilan pidana Indonesia bersifat
terbuka
untuk
dapat
beradaptasi
dengan
perkembangan hukum pidana internasional bahkan
hukum
pidana
nasional
Indonesia
dapat
diinternasionalisasikan terhadap kejahatan-kejahatan
yang memiliki karakter universal-internasional. Selain
165
itu
hukum
pidana
internasional
dapat
dinasionalisasikan-diadopsikan-dikriminalisasikan
kedalam hukum pidana nasional Indonesia melalui
peraturan perundang-undangan antara lain seperti:
UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, yang
diundangkan sehubungan dengan UU RI No.8 Tahun
1996
tentang
Pengesahan
Convention
on
Psychotropic
Substances
1971
(Konvensi
Psikotropika 1971) dan pengaruh Convention Against
Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances
1988
(Konvensi
Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988),
Undang-undang tentang Pencucian Uang (Money
Laundryng), dan lain-lainnya termasuk UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang sedang dalam pembahasan legislatif
merupakan komitmen RI mewujudkan ketentuan
pasal 3 Convention Against Terrorist Bombing (1997)
dan Convention on the Suppression of Financing
Terrorism (1999)., yang mana kesemuanya
digolongkan sebagai delik-delik khusus yang tersebar
di luar KUHP.
Sementara itu, perlu pula dipahami pengertian
dari 'yurisdiksi peradilan pidana" (Indonesia) itu
sendiri. Dalam yurisdiksi peradilan pidana dapat
ditarik dua yurisdiksi daripadanya yaitu:
a. Yurisdiksi peradilan yang disebut pula
yurisdiksi yudikatif (Judicative jurisdiction),
yang oleh I Wayan Parthiana28 diartikannya
sebagai yurisdiksi suatu negara untuk
mengadili dan atau menghukum si pelanggar
peraturan perundang-undangan yang telah
dibuat dan dilaksanakan oleh negara yang
bersangkutan.
28 I Wayan Parthiana, Op.cit. hlm.301
166
b. Yurisdiksi kriminal (criminal jurisdiction) adalah
yurisdiksi (hak, kekuasaan, kewenangan
menurut hukum) suatu negara untuk dapat
melaksanakan hukum pidana nasionalnya
terhadap suatu kasus baik yang berdimensi
nasional maupun internasional.
Dengan demikian, menurut hemat penulis
yurisdiksi peradilan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain didalam
memberantas suatu
tindak pidana (kejahatan) baik yang berskala nasional
maupun
transnasional-internasional.
Yurisdiksikriminal bersifat melekat (assesoir) mengikuti
yurisdiksi peradilan pidana sebagai induk.
2. Yurisdiksi Pidana Khusus HAM RI
a. Subject Matter
(Pokok Perkara)
Jurisdictial/Ratione
Material
Dalam Pasal 4 jo. Pasal 7 UU No.26 Tahun 2000
menegaskan yurisdiksi pokok perkara Pengadilan
HAM (tetap) adalah pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dan meliputi: kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kemudian dalam
bagian penjelasan pasal 7 ditegaskan, Kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusian dalam
ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of The
International Criminal Court” (pasal 6 dan Pasal 7).
Pada pasal 4 ditegaskan jenis kejahatan yang
menjadi
yurisdiksi
pokok
perkara,
dengan
menegaskan:
167
Pasal 4
Pengadilan
HAM
bertugas
dan
berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Selanjutnya rumusan delik kejahatan HAM
berupa kejahatan genosida diuraikan dalam Pasal 8
UU No.26 Tahun 2000, sebagai berikut:
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok
tertentu ke kelompok lain.
Selanjutnya rumusan delik kejahatan HAM
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan diuraikan
dalam Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000, sebagai
berikut:
168
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara
paksa,
pemaksaan
kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin atau. alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid;
169
Sedang Yurisdiksi Pengadilan HAM Ad hoc diatur
dalam pasal 43 dan 44, sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak asasi manusia, yang berat yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang
ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad
hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan
Rakyat
Republik
Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan
Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya
hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
3. Individual Jurisdiction/Ratione Personal (Yurisdiksi
Perorangan)
Pengaturan yurisdiksi individual ini diatur tersebar
dalam beberapa pasal dalam UU No.26 Tahun 2000,
yaitu:
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e
dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh
lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
170
Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25
(dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.
Pasal 38
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 39
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 40
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan
untuk
melakukan
pelanggaran
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana
dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
171
Penjelasan Pasal 41:
Yang dimaksud dengan “permufakatan jahat adalah
apabila 2 (dua) orang atau lebih sepakat akan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Pasal 49
Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal
123 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam
pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat menurut Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 49
Cukup jelas.
Dalam ketentuan ini dimaksudkan hanya berlaku
untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
yurisdiksinya berlaku bagi siapa saja baik sipil
maupun militer.
Berdasarkan ketentuan di atas peradilan HAM RI
berlaku bagi setiap orang siapapun juga sipil maupun
militer dan polisi, pejabat pemerintah/negara ataupun
bukan, warga negara Indonesia atau bukan. Juga
meskipun tidak diatur secara tegas termasuk juga setiap
organisasi
yang
digunakan
sebagai
wahana
mengorganisir persiapan, perencanaan dan pelaksanaan
kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk hal ini dijelaskan
dalam Pasal 1 ayat 4 yang menyatakan:
4. Setiap orang adalah orang perorangan, kelompok
orang baik sipil, militer, maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual.
172
Namun demikian terdapat pembatasan usia hanya
pada setiap orang yang berusian 18 tahun ke atas,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UU No.26
Tahun 2000, yang menyatakan:
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang
berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada
saat kejahatan dilakukan.
4. Temporal Jurisdiction/Ratione Temporis (Yurisdiksi
Waktu)
Undang-Undang No.26 Tahun 2000 diundangkan
sebagai undang-undang tentang Pengadilan HAM, tetapi
juga mengatur mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc,
sehingga dapat disimpulkan, terdapat dua jenis
pengadilan HAM yang diatur dan dapat dibentuk
berdasarkan undang-undang ini, yaitu:
1} Pengadilan HAM (tetap), yang diatur sebagai
pengadilan tetap dilingkungan peradilan umum.
Meskipun tidak disebutkan sebagai pengadilan tetap
(permanent), tetapi dapat digunakan sebagai
konsekuensi pembedaan dengan pengadilan HAM
ad hoc yang di atur dalam Bab VIII Pasal 43 dan
pasal 44. Sifat tetap pada pengadilan HAM ini tidak
terpengaruh dengan keberadaan tiga dari lima
anggota Majelis Hakim yang berstatus ad hoc.
Sehingga meskipun Majelis Hakimnya terdiri dari
hakim ad hoc atau hakim yang diangkat untuk masa
jabatan tertentu yaitu lima tahun dan dapat dipilih
untuk satu masa jabatan lagi (pasal 27 dan pasal
28), namun secara kelembagaan pengadilannya
bersifat tetap atau permanent.
173
2} Pengadilan HAM ad hoc, yang diatur sebagai
pengadilan HAM yang tidak tetap atau secara
kelembagaan atau badan dibentuk setiap kali ada
kasus pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan
HAM ad hoc dibentuk dengan Surat Keputusan
Presiden atas usul DPR RI dan juga berada
dilingkungan peradilan umum (pasal 43). Selanjutnya
berdasarkan pasal 44, Majelis Hakim pada
pengadilan ad hoc sama dengan Majelis Hakim pada
Pengadilan HAM tetap (permanent), yaitu sebanyak
lima orang yang terdiri dari dua hakim pada peradilan
umum dan tiga hakim ad hoc (pasal 27 dan pasal
28). Meskipun Majelis hakimnya diambil dari Majelis
Hakim Pengadilan HAM tetap, secara kelembagaan
Pengadilan HAM ad hoc tetap merupakan
pengadilan yang bersifat sementara yang dibentuk
secara kasuistis atau kasus per kasus (case by
case). Demikian juga, meski undang-undang tidak
mengatur secara tegas batasan sifat ad hoc dari
pengadilan HAM ad hoc ini, namun dapat dimengerti
jika keberadaan pengadilan ad hoc ini berakhir
setelah perkara yang diadilinya telah mendapat
kekuatan hukum yang tetap dan telah dilaksanakan
atau dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum ad hoc
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan sistim
peradilan pidana Indonesia, dimana pengadilan yang
lebih tinggi (banding dan kasasi) berwenang untuk
memerintahkan Majelis Hakim tingkat pertama
mengadakan sidang untuk melakukan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diperlukan.
174
5. Territorial Jurisdiction/Ratione Loci ( Yurisdiksi
Territorial)
Kewenangan mengadili Peradilan HAM RI meliputi
semua kejahatan HAM yang terjadi di wilayah
kedaulatan negara Republik Indonesia baik warga
negara Indonesia maupun bukan, dan diluar wilayah RI
dengan pembatasan hanya terhadap pelaku kejahatan
yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Kewenangan Peradilan HAM RI terhadap kejahatan
HAM yang terjadi didalam negeri yang dilakukan baik
warga negara Indonesia maupun bukan, merupakan
bagian dari kewenangan negara RI sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat. Untuk itu yurisdiksi pidana
negara Indonesia menganut prinsip territorialitas,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 KUHP yang
menyatakan: bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan
tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia.
Kemudian dalam UU No.43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara di jelaskan arti dan batas wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1
ayat 1 menyatakan:
“Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah
salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman,
perairan kepulauan, dan laut territorial beserta dasar
laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di
atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya.”
Begitupun ditegaskan kembali dalam Pasal 4, yang
menyatakan:
“Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah
perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung di dalamnya.”
175
Selanjutnya Pasal 6 lebih mengkonkritkan lagi ruang
lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan menegaskan batas-batas wilayah negara RI
dengan negara tetangga dan yang tidak berbatas
dengan negara lain, dengan menegaskan:
Pasal 6
Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5, meliputi:
di darat berbatas dengan Wilayah Negara
Malaysia, Papua Nugini, dan Timur Leste;
di laut berbatas dengan Wilayah Negara
Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timur
Leste; dan
di udara mengikuti batas kedaulatan negara di
darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa
luar ditetapkan berdasarkan perkembangan
hukum internasional;
Batas Wilayah Negar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan
berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan
negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah
Negara secara unilateral berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional.
Selain mengatur batas wilayah, UU No. 43 Tahun
2008 juga mengatur mengenai batas wilayah yurisdiksi
dalam pasal 7 dan pasal 8. Dalam kedua wilayah ini
Negara Indonesia memiliki kewenangan-kewenangan
atau kekuasaan-kekuasaan hukum yang berbeda, yaitu:
Dalam wilayah negara Negara Indonesia berdaulat
penuh dan merupakan satu satu unsure dari tiga unsur
keberadaan sebuah negara disamping unsur Pemerintah
dan Rakyat. Sedang dalam wilayah yurisidksi, Negara
Indonesia
memiliki hak hak berdaulat. Hak-hak
berdaulat ini merupakan hak-hak khusus atau yurisdiksi
176
khusus yang dapat dijalankan atau dilaksanakan Negara
Indonesia dalam wilayah tersdebut. Hak-hak khusus atau
yurisdiksi khusus ini bersumber dari hukum internasional
dan Undang-Undang Nasional Indonesia yang
diundangkan karena hukum Internasional.
Sehubungan dengan konsep wilayah negara dan
wilayah yurisdiksi tersebut di atas, dikenal pula wilayah
ekstra-territorial Indonesia yang melekat pada:
Keduataan Besar RI di negara lain, Kapal Laut dan
Kapal Terbang berbendera Indonesia. Sesuai Pasal 9
KUHAP Indonesia memiliki kewenangan mengadili atas
semua peristiwa hukum yang terjadi dalam wilayah
ekstra territorial ini, termasuk kejahatan HAM. Jadi
meskipun wilayah ekstra-teritorial itu berada terpisah dari
wilayah negara, namun karena diberlakukan sebagai
bagian dari wilayah negara, maka berlaku yurisdiksi
pidana Indonesia atas semua kejahatan yang dilakukan
baik warga negara Indonesia maupun bukan, termasuk
kejahatan HAM. Dengan demikian wilayah ekstra
territorial ini tidak digolongkan sebagai wilayah diluar
batas territorial wilayah negara Indonesia sebagaimana
yang dikenal dalam pasal 5 UU No.43 Tahun 2008.
Dalam Pasal 5 ini ditegaskan kewenangan Peradilan
HAM RI terhadap kejahatan HAM yang terjadi diluar
kedaulatan negara RI yang dilakukan warga negara
Indonesia, dengan menegaskan:
Pasal 5
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia
177
Dengan demikian, yurisdiksi territorial pidana
Indonesia dalam wilayah ekstra territorial diberlakukan
terhadp kejahatan HAM yang dilakukan baik oleh warga
negara Indonesia maupun bukan. Sedang terhadap
kejahatan HAM yang terjadi di luar batas territorial
wilayah negara Indonesia yang dimaksud Pasal 5 UU
No.43 Tahun 2008, negara Indonesia hanya dapat
melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan HAM
yang dilakukan oleh Warga negara Indonesia.
6. Yurisdiksi Pelanggaran Administrasi Peradilan
Yurisidiksi ini merupakan yurisdiksi yang terkait
dengan semua administrasi suatu kasus yang sedang
dalam proses penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan,
persidangan, dan upaya hukum pada semua tingkat
peradilan serta eksekusi, antara lain meliputi: surat
penangkapan, penahanan, penggeledaan, penyitaan,
permohonan-permohonan, penyerahan tersangka atau
terdakwa, penyerahan berkas perkara, bukti-bukti, berita
acara persidangan dan surat-persuratan lainnya. Semua
tindakan pemalsuan, pengrusakan, penghilangan,
penggantian tidak sah, atau bentuk penyalahgunaan
lainnya merupakan pelanggaran administrasi peradilan
yang dapat dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan hukum
yang berlaku, baik terhadap pihak pengadilan, penyidik
dan penuntut umum, pengacara, tersangka/terdakwa,
saksi, maupun pihak ketiga lainnya.
Berbeda dengan Statuta Roma 1998 yang mengatur
yurisdiksi administrasi peradilan dalam Pasal 70, UU
No.26 Tahun 2000 tidak mengatur yurisdiksi ini secara
khusus. Sehingga berdasarkan 10 UU No.26 Tahun
2000, pelaksanaan yurisdiksi administrasi peradilan HAM
dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan beracara
yang terdapat dalam KUHAP.
178
7. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib Pengadilan
Yurisdiksi ini merupakan yurisidiksi Contempt of
court (penghinaan terhadap pengadilan), yaitu semua
tindakan-tindakan yang mengganggu dan/atau diduga
dapat mengganggu jalannya persidangan yang terbuka
bebas, cepat dan sederhana. Semua tindakan-tindakan
yang melanggar tata tertib selama persidangan
berlangsung baik yang diumumkan maupun yang
diucapkan Majelis Hakim termasuk dalam persidangan di
lapangan merupakan pelanggaran terhadap tata tertib
pengadilan yang dapat diberikan tindakan penertiban
seketika oleh pihak pengadilan berdasarkan yurisdiksi
ini. Tindakan penertiban ini antara lain berupa: melarang
masuk atau memerintahkan yang bersangkutan
meninggalkan ruang sidang.
Juga berbeda dengan Statuta Roma 1998 yang
mengatur yurisdiksi administrasi peradilan dalam Pasal
71, UU No.26 Tahun 2000 tidak mengatur yurisdiksi ini
secara khusus. Semua ketentuan tehnis tata tertib
persidangan di atur langsung oleh pihak pengadilan.
C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI
1. Ketentuan Umum
Bahwa Yurisdiksi pokok perkara Pengadilan HAM RI
ditetapkan dalam Pasal 4 jo. Pasal 7 dan penjelasannya
Undang Undang RI No.26 Tahun 2000 terdiri dari:
kejahatan
genosida
dan
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan sesuai dengan “Rome Statute of The
International Criminal Court” (pasal 6 dan Pasal 7). Oleh
karena itu dalam upaya penegakan hukumnya
Pengadilan HAM RI mempunyai kewajiban internasional
untuk menerapkan ketentuan-ketentuan umum dan
unsur-unsur kejahatan HAM yang telah dirumuskan
berdasarkan Statuta Roma 1998. Rumusan-rumusannya
terurai berikut ini:
179
1)
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 jo.
Pasal 21, bahwa Unsur-unsur Kejahatan
Bersamaan ini harus digunakan Pengadilan
secara konsisten dalam melakukan penegakan
hukum terhadap Pasal 6 Tentang Kejahatan
Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan
Perang. Sehingga Pengadilan tidak boleh
melakukan interpretasi dan aplikasi lain selain
berdasarkan rumusan Unsur-Unsur Kejahatan
Bersamaan ini.
2)
Unsur-Unsur
Kejahatan
Bersamaan
ini
dirumuskan sesuai dengan masing-masing
kejahatan HAM yang telah dirumuskan definisi
kejahatannya dalam Pasal 6 Tentang Kejahatan
Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan
Perang. Sedang untuk Kejahatan HAM Agresi
belum dapat dibuatkan rumusan Unsur-Unsur
Kejahatan karena definisi kejahatan Agresi
belum dirumuskan.
3)
Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 30, kecuali
ditetapkan
sebaliknya,
seseorang
harus
bertanggung jawab secara kriminal dan
bertanggung jawab atas hukuman untuk suatu
kejahatan dalam yurisdiksi suatu Pengadilan,
hanya bila materi unsur-unsur tersebut
dikerjakan dengan maksud (intent) dan
pengetahuan. Tidak ada rujukan yang dibuat di
dalam unsur-unsur Kejahatan untuk unsur
mental bagi tindakan tertentu, akibat atau
keadaan telah didaftar, hal ini dimengerti
sebagai unsur mental yang relevan, yaitu
maksud,
pengetahuan
atau
keduanya,
ditampilkan
dalam
terapan
Pasal
30.
Perkecualian bagi standar-standar Pasal 30,
berdasarkan Undang-Undang, termasuk hukum
terapan di bawah ketetapannya yang relevan,
ditunjukkan di bawah ini.
180
4)
Keberadaan akan maksud dan pengetahuan
dapat disimpulkan dari fakta-fakta dan keadaankeadaan yang relevan.
5)
Mengenai
unsur-unsur
mental
yang
berhubungan dengan unsur-unsur yang terlibat
dengan nilai pengadilan, seperti pemakaian
istilah
‘inhumane’ (tidak manusiawi) atau ‘severe’
(parah), tidaklah penting bahwa pelaku
kejahatan
secara
pribadi
menyelesaikan
(penilaian) pengadilan tertentu, kecuali bila
ditunjuk sebaliknya.
6)
Dasar-dasar untuk menyingkirkan tanggung
jawab atau ketiadaan kriminal secara umum
tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari
kejahatan yang diurutkan untuk setiap
kejahatan.
7)
Perlunya ‘unlawfulness’ (keadaan tanpa hukum)
ditemukan dalam Undang-Undang atau dalam
bagian lain dari hukum internasional, dalam
hukum humaniter internasional khusus, secara
umum tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari
Kejahatan.
8)
Unsur-unsur dari kejahatan secara umum
terstruktur secara berurut dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
-
Dengan adanya unsur-unsur dari kejahatan
berfokus pada tindakan, akibat dan keadaan
yang berkaitan dengan masing-masing
kejahatan, semua itu secara umum terdaftar
dengan urutan seperti itu.
-
Ketika diperlukan, suatu unsur mental
khusus diurutkan setelah tindakan yang
terpengaruhi, akibat atau keadaan.
-
Keadaan-keadaan
diurutkan terakhir.
181
yang
kontekstual
9)
Karena dipakai dalam unsur-unsur dari
Kejahatan,
istilah
“perpetrator”
(pelaku
kejahatan) adalah netral seperti halnya bersalah
atau tidak berdosa. Unsur-unsur tersebut,
termasuk
unsur
mental
yang
sesuai,
menerapkan mutatis mutandis pada semua
yang mempunyai tanggung jawab kriminal,
terdapat pada pasal 25 dan 26 dari UndangUndang.
10). Tindakan tertentu dapat membentuk satu atau
lebih kejahatan-kejahatan.
11). Penggunaan hak-hak singkat (short) untuk
kejahatan-kejahatan tidak mempunyai efek
legal.
12) Mempertimbangkan unsur-unsur kejahatan (the
element of crime) yang utama:
1) unsur material yang berfokus pada
perbuatan (conduct), akibat (consequences)
dan keadaan-keadaan (circumstances) yang
menyertai perbuatan,
2) unsur mental yang relevan dalam bentuk
kesengajaan
(intent),
pengetahuan
(knowledge) atau keduanya (Pasal 30
Statuta Roma) yang mengatur "mental
element",
13. Unsur Mental
pengertian:
(Mental
Element)
dalam
Kesengajaan (intent) terjadi apabila perbuatan
(conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat
atau keinginan untuk melakukan/turut serta
melakukannya, yang menimbulkan akibat
(consequences).
Perbuatan
tersebut
menimbulkan
akibat
(consequences), apabila pelaku mengetahui
(knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya
tersebut akan menimbulkan akibat.
182
Sedangkan "knowledge"
diartikan sebagai
kesadaran (awareness) bahwa perbuatan dan
akibat
terdapat
hubungan
sebab-akibat.
perbuatan awal menimbulkan kejadian sebab,
dan kejadian sebab menimbulkan kejadian
akibat.
Pengertian tahu (know) dan mengetahui
(knowingly)
ditafsirkan
dalam
kerangka
hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan
akibat dari perbuatan tersebut.
14) Unsur Perbuatan :
(a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai
bagian dari suatu serangan yang meluas
(widespread) dan sistematik (systematic)
ditujukan pada penduduk sipil; dan
(b) keharusan adanya
pengetahuan (with
knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang
dilakukan merupakan bagian dari atau
dimaksudkan
untuk
menjadi
bagian
serangan yang meluas atau sistematik
terhadap penduduk sipil.
2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI
Bahwa unsure-unsur kejahatan HAM Genosida dan
Kejhatan HAM Pelanggaran tehadap kemanusiaan yang
menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM RI telah diuraikan
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000,
sebagai berikut:
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan
maksud
untuk
menghancurkan
atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
183
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh
atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak
kelompok tertentu ke kelompok lain.
dari
Pasal 9
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d pengusiran
paksa;
atau
pemindahan
penduduk secara
e. perampasan
kemerdekaan
atau
perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
184
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau. alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid;
Namun demikian oleh karena Kejahtan HAM yang
menjadi wewenang Pengadilan HAM RI merujuk pada
kejahatan HAM yang ditegaskan dalam Statuta Roma
1998, maka Unsur-Unsur Kejahatan HAM yang
melengkapi Statuta Roma tersebut seharusnya pula
melengkapi Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI tersebut di
atas, Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan
HAM yang dilakukan Pengadilan HAM RI juga memenuhi
standar Statuta Roma yang menjadi kewajiban
internasional Indonesia.
Bahwa Unsur-Unsur Kejahatan HAM yang menjadi
kewajiban
internasional
untuk ditegakkan
oleh
Pengadilan HAM RI berdasarkan Pasal 4 jo. Pasal 7 UU
No.26 Tahun 2000 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma
1998 adalah Unsur-Unsur Kejahatan Genosida dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Namun demikian
terbuka peluang bagi Pengadilan HAM RI memperluas
yurisidiksi pidananya menjangkau Kejahatan Perang
(Pasal 8 Statuta Roma 1998) berdasarkan Konvensi
Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 Tentamg Perlindungan
Korban Perang. Hal ini disebabkan karena berdasarkan
UU RI No.59 Tahun 1958 Indonesia telah menyatakan
turut serta terhadap Konvensi Jenewa 1949 tersebut.
Sehingga Indonesia mempunyai kewajiban internasional
untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku
kejahatan perang yang juga merupakan kejahatan HAM.
185
Berikut ini selengkapnya diuraikan unsur-unsur
kejahatan dari ketiga kejahatan HAM menurut Statuta
Roma 1998 tersebut.
a. Genocide
Pasal 6
(Pemusnahan
Suatu
Bangsa)
Pendahuluan
Dengan memandang ayat terakhir yang terurut
untuk setiap kejahatan:
-
Istilah “in the context of” (dalam konteks dari)
akan meliputi tindakan-tindakan awal dalam
pola yang baru bermunculan;
-
Istilah “manifest” (penampakan)
kualifikasi yang obyektif;
-
Tanpa menentang persyaratan normal untuk
unsur mental yang ditetapkan dalam pasal 30,
dan mengenali bahwa pengetahuan mengenai
keadaan-keadaan biasanya akan ditujukan
untuk
membuktikan
maksud
genocide,
persyaratan yang sesuai, bila ada, untuk unsur
mental merujuk pada keadaan ini akan perlu
diputuskan oleh Pengadilan dengan dasar
kasus per kasus
adalah
Pasal 6 (a)
Pemusnahan
Pembunuhan
bangsa-bangsa
melalui
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah membunuh (2) satu
orang atau lebih
2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah
milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama
tertentu.
186
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras
atau kelompok agama tersebut.
4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari
pola penampakan dari tindakan serupa yang
ditujukan terhadap kelompok itu atau
merupakan tindakan tersendiri yang berefek
pada penghancuran semacam itu.
Pasal 6 (b)
Pemusnahan bangsa-bangsa dengan melukai
secara fisik maupun mental
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melukai secara fisik atau
mental dengan serius terhadap satu orang
atau lebih. (3)
2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah
milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama
tertentu.
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras
atau kelompok agama tersebut.
4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari
pola penampakan dari tindakan serupa yang
ditujukan terhadap kelompok itu atau
merupakan tindakan tersendiri yang berefek
pada penghancuran semacam itu.
187
Pasal 6 (c)
Pemusnahan bangsa-bangsa dengan membuat
kondisi-kondisi perhitungan jiwa secara sengaja
untuk menimbulkan penghancuran fisik
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kondisi-kondisi
tertentu
atas
jiwa
satu
orang atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama
tertentu
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras
atau agama tersebut.
4. Kondisi-kondisi
atas
jiwa
tersebut
diperhitungkan
untuk
menimbulkan
penghancuran fisik atas kelompok tersebut,
secara keseluruhan atau sebagian. (4)
5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari
pola penampakan dari tindakan serupa yang
ditujukan terhadap kelompok itu atau
merupakan tindakan tersendiri yang berefek
pada penghancuran semacam itu.
Pasal 6 (d)
Pemusnahan
bangsa-bangsa
memberlakukan
langkah-langkah
mencegah kelahiran.
dengan
untuk
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memberlakukan langkahlangkah tertentu atas satu orang atau lebih
188
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama
tertentu
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras
atau agama tersebut.
4. Tindakan-tindakan tersebut diberlakukan untuk
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu.
5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari
pola penampakan dari tindakan serupa yang
ditujukan terhadap kelompok itu atau
merupakan tindakan tersendiri yang berefek
pada penghancuran semacam itu.
Pasal 6 (e)
Pemusnahan
bangsa-bangsa
pemindahan anak-anak dengan paksa
dengan
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
memaksa
untuk
memindahkan satu orang atau lebih.(5)
2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh
bangsa, etnis, ras atau kelompok agama
tertentu
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau
sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras
atau agama tersebut.
4. Pemindahan tersebut adalah
kelompok ke kelompok lain
dari
satu
5. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 18 tahun
6. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui, bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 18 tahun
189
7. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari
pola penampakan dari tindakan serupa yang
ditujukan terhadap kelompok itu atau
merupakan tindakan tersendiri yang berefek
pada penghancuran semacam itu.
b. Crime Againts Humanity (Kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan) Pasal 7
Pendahuluan
1. Oleh karena pasal 7 menyinggung tentang
hukum kriminal internasional, ketetapanketetapannya, konsisten dengan pasal 22,
maka harus ditafsirkan dengan baik,
diperhitungkan bahwa kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan
seperti yang
didefinisikan dalam pasal 7 adalah salah satu
di antara kejahatan yang paling serius yang
mengkhawatirkan dunia internasional sebagai
tanggung jawab kriminal dari individu secara
keseluruhan, terjamin, dan dibutuhkan, dan
memerlukan tindakan yang tidak diijinkan oleh
hukum internasional terapan umum, seperti
yang dikenali oleh sistem-sistem legal utama
dunia.
2. Dua unsur terakhir untuk masing-masing
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
mendeskripsikan dalam konteks di mana
tindakan harus mendapat tempat. Unsurunsur
ini
mempertegas
syarat-syarat
partisipasi dalam dan akan pengetahuan
tentang pernyebaran atau serangan sistematis
terhadap penduduk sipil. Bagaimanapun juga,
unsur
terakhir
tidak
seharusnya
diinterpretasikan sebagai memerlukan bukti
bahwa pelaku kejahatan memiliki pengetahuan
atas semua karakteristik suatu serangan atau
rincian yang tepat dari suatu rencana atau
190
kebijakan suatu Negara atau organisasi.
Dalam kasus dari munculnya serangan
tersebar atau sistematis terhadap penduduk
sipil, maksud ketentuan dari ayat terakhir
menunjukkan bahwa pemikiran ayat ini akan
dipenuhi bila pelaku kejahatan bermaksud
untuk bertindak lebih jauh atas serangan
semacam itu.
3. “Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil.”
Dalam konteks ini unsur-unsur dipahami
sebagai perjalanan tindakan yang melibatkan
komisi multipel dari aksi-aksi merujuk pada
pasal 7, paragraf 1, dari Undang-Undang
terhadap penduduk sipil apa pun, menurut
atau di dalam keterlibatan lebih jauh dari
kebijakan Negara atau organisasi untuk
menetapkan
serangan
semacam
itu.
Tindakan-tindakan
tersebut
tidak
membutuhkan adanya unsur serangan militer.
Dipahami bahwa “kebijakan yang menetapkan
serangan semacam itu” memerlukan Negara
atau
organisasi
untuk
secara
aktif
meningkatkan atau memberanikan serangan
semacam itu terhadap penduduk sipil. (6).
Pasal 7 (1) (a)
Kejahatan
terhadap
pembunuhan
kemanusiaan
atas
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh (7) satu orang
atau lebih
2. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis ditujukan
terhadap penduduk sipil
191
3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa tindakan
tersebut adalah bagian dari atau dimaksudkan
untuk menjadi bagian dari serangan tersebar
atau sistematis terhadap penduduk sipil
Artikel 7 (1) (b)
Kejahatan terhadap
pemusnahan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh (8) satu orang
atau lebih, termasuk dengan cara membuat
kondisi-kondisi yang mengancam jiwa yang
menimbulkan penghancuran sebagian dari
penduduk. (9)
2. Tindakan tersebut terdiri dari atau sebagai
bagian dari, (10) pembunuhan massal dari
anggota-anggota penduduk sipil
3. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari
serangan tersebar atau sistematis ditujukan
terhadap penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (c)
Kejahatan terhadap
perbudakan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas
beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang
berkenaan dengan kepemilikan atas satu
orang atau lebih, seperti membeli, menjual,
192
meminjamkan atau menukarkan orang atau
orang-orang semacam itu atau dengan
membebani mereka dengan perampasan
kebebasan dan sejenisnya. (11)
2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (d)
Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai
deportasi atau pemindahan paksa atas suatu
penduduk
1. Pelaku
kejahatan
mendeportasi
atau
memindahkan (13) secara paksa (12) tanpa
dasar yang diijinkan oleh hukum internasional,
bagi satu orang atau lebih ke Negara lain atau
lokasi lain, dengan tindakan pengusiran atau
tindakan paksa lainnya.
2. Orang atau orang-orang semacam itu berada
secara hukum di daerah di mana mereka
dideportasikan atau dipindahkan
3. Pelaku menyadari keadaan yang sebenarnya
yang ada dalam keberadaan hukum seperti itu.
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
193
Pasal 7 (1) (e)
Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai
pemenjaraan
atau
berbagai
perampasan
kebebasan fisik lainnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memenjarakan satu orang
atau lebih atau sebaliknya merampas
kebebasan fisik satu orang atau lebih dengan
parahnya.
2. Kegawatan dari tindakan itu adalah karena
tindakan itu merupakan pelanggaran atas
aturan-aturan dasar hukum internasional
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan yang sebenanya terjadi
yang
menimbulkan kegawatan tindakan tersebut
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (f)
Kejahatan
atas
penyiksaan (14)
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau derita
fisik atau mental yang parah atas satu orang
atau lebih
2. Orang atau orang-orang tersebut adalah
sebagai tahanan atau di bawah kendali pelaku
kejahatan
194
3. Sakit atau derita semacam itu tidak hanya
berasal dari dan tidak melekat atau insidentil
terhadap sanksi hukum.
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-1
Kejahatan terhadap
pemerkosaan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang (15) tubuh
seseorang
dengan
tindakan
yang
menyebabkan penetrasi dari organ seks
pelaku kejahatan, betapa pun ringannya,
terhadap bagian tubuh apapun dari tubuh
korban, atau dari bukaan anus atau kelamin
dari korban dengan obyek apapun atau
dengan bagian tubuh apapun
2. Penyerangan ini dilakukan dengan paksa, atau
dengan ancaman atau kekuatan atau tindakan
pemaksaan, dan tindakan semacam itu yang
disebabkan oleh ketakutan atas kekerasan,
ancaman,
penahanan
dan
penindasan
psikologis atau penganiayaan atas kuasa,
terhadap orang tersebut atau orang lain, atau
dengan mengambil keuntungan atas suatu
lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan
yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak
mampu untuk memberikan persetujuan yang
sesungguhnya. (16)
195
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-2
Kejahatan terhadap
perbudakan seks (17)
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas
beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang
berkenaan dengan kepemilikan atas satu
orang atau lebih, seperti membeli, menjual,
meminjamkan atau menukarkan orang atau
orang-orang semacam itu atau dengan
membebani mereka dengan perampasan
kebebasan dan sejenisnya. (18)
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih tindakan-tindakan seks alami.
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
196
Pasal 7 (1) (g)-3
Kejahatan terhadap
pelacuran paksa
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang
atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan
atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa,
atau dengan ancaman atau tindakan paksa,
yang disebabkan ketakutan atas kekerasan,
ancaman,
penahanan
dan
penindasan
psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan,
terhadap orang tersebut atau orang lain, atau
dengan mengambil keuntungan atas suatu
keadaan keterpaksaan, atau penyerangan
yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak
mampu untuk memberikan persetujuan yang
sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau mengharapkan untuk memperoleh
keuntungan uang atau keuntungan lainnya
yang ditukarkan dalam hubungannya dengan
tindakan kegiatan seksual .
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
197
Pasal 7 (1) (g)-4
Kejahatan
atas
kehamilan paksa
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan satu orang wanita
atau lebih dan memaksanya hamil, dengan
maksud mempengaruhi komposisi etnik dari
penduduk
apa
pun
atau
untuk
menyelenggarakan pelanggaran berat lainnya
dari hukum internasional
2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-5
Kejahatan terhadap kemanusiaan
sterilisasi yang dipaksakan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
merampas kapasitas
reproduksi
biologis
dari
satu
orang atau lebih. (19)
2. Tindakan ini baik dinilai secara tatalaksana
medis atau rumah sakit dari orang atau orangorang tersebut maupun diselenggarakan
dengan persetujuan tertulis dari mereka. (20)
3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
198
4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (g)-6
Kejahatan terhadap
kekerasan seksual
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang
atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan
atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa,
atau dengan ancaman atau tindakan paksa,
yang disebabkan ketakutan atas kekerasan,
ancaman,
penahanan
dan
penindasan
psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan,
terhadap orang tersebut atau orang lain, atau
dengan mengambil keuntungan atas suatu
lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan
yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak
mampu untuk memberikan persetujuan yang
sesungguhnya.
2. Tindakan tersebut merupakan kegawatan
dibandingkan
dengan
pelanggaranpelanggaran lain dalam pasal 7 paragraf 1 (g)
dalam Undang-Undang.
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan sebenarnya yang membentuk
kegawatan dari tindakan tersebut
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
199
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
Pasal 7 (1) (h)
Kejahatan terhadap
penyiksaan
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melakukan pelanggaran
berat berupa penghilangan hak-hak dasar satu
orang atau lebih, yang berlawanan dengan
hukum internasional, (21)
2. Pelaku kejahatan membuat sasaran atas satu
orang atau lebih tersebut dengan alasan demi
identitas suatu kelompok atau secara kolektif
atau membuat sasaran atas kelompok itu atau
secara kolektif.
3. Pembuatan sasaran seperti itu didasarkan
pada politik, ras, bangsa, etnis, budaya,
agama dan jenis kelamin seperti yang
didefinisikan pada pasal 7, paragraf 3, dari
Undang-Undang, atau dasar lain yang secara
universal dikenali sebagi hal yang tidak
diijinkan oleh hukum internasional
4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam kaitanya
dengan tindakan apapun merujuk pada pasal
7, paragraf 1, dari Undang-undang atau
kejahatan
apa
pun
dalam
yurisdiksi
Pengadilan. (22)
5. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
200
6. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi
sebagai bagian dari serangan tersebar atau
sistematis yang ditujukan terhadap penduduk
sipil.
Pasal 7 (1) (i)
Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai
penghilangan orang secara paksa (23) (24)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan:
(a) Menangkap, menahan (25) (26)
menculik satu orang atau lebih; atau
atau
(b) Menolak untuk mengakui penangkapan,
penahanan atau penculikan tersebut atau
untuk memberi informasi tentang nasib
atau keberadaan orang atau orang-orang
tersebut.
2. (a) Penangkapan, penahanan, penculikan
tersebut diikuti atau disertai oleh penolakan
untuk mengakui bahwa hal itu adalah
perampasan atas kebebasan atau untuk
memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan orang atau orang-orang
tersebut
(b) Penolakan tersebut diikuti atau disertai oleh
perampasan kebebasan
201
3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa: (27)
(a) Penangkapan, penahanan atau penculikan
tersebut dapat diikuti secara alami dari
suatu kejadian dengan suatu penolakan
untuk mengakui perampasan kebebasan
atau menolak untuk memberikan informasi
tentang nasib atau keberadaan orang atau
orang-orang. (28) atau
(b) Penolakan tersebut didahului atau disertai
oleh perampasan kebebasan
4. Penangkapan, penahanan atau penculikan
tersebut diselesaikan oleh atau dengan
otorisasi, dukungan atau akuisisi dari Negara
atau suatu organisasi politik
5. Penolakan
tersebut
untuk
mengakui
perampasan
kebebasan
atau
untuk
memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan
orang
atau
orang-orang tersebut diselesaikan oleh atau
dengan otorisasi atau dukungan, dari Negara
atau organisasi politik tersebut
6. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
memindahkan
orang
atau
orang-orang
tersebut dari perlindungan hukum untuk
periode waktu yang lama.
7. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
8. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
202
Pasal 7 (1) (j)
Kejahatan
apartheid
terhadap
kemanusiaan
mengenai
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan
tidak manusiawi terhadap satu orang atau
lebih.
2. Aksi tersebut merupakan tindakan seperti yang
dirujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari UndangUndang atau merupakan suatu tindakan
dengan ciri-ciri yang mirip dengan salah satu
dari tindakan-tindakan tersebut. (29)
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan sebenarnya yang menjadi ciri dari
tindakan tersebut
4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam konteks
dari rezim terinstitusi dari penindasan dan
odminasi dari satu kelompok ras terhadap
kelompok atau kelompok-kelompok ras
lainnya.
5. Pelaku kejahatan bermaksud untuk tetap
mempertahankan rezim semacam itu dengan
tindakan tersebut
6. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis
terhadap penduduk sipil
7. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi
sebagai bagian dari serangan tersebar atau
sistematis yang ditujukan terhadap penduduk
sipil.
203
Pasal 7 (1) (k)
Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai
tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat penderitaan besar
atau luka serius terhadap kesehatan tubuh
atau jiwa atau fisik, dengan sarana suatu
tindakan tidak manusiawi.
2. Tindakan tersebut merupakan ciri yang mirip
dengan salah satu dari tindakan-tindakan lain
seperti yang disebut pada pasal 7, paragraf 1,
dari Undang-Undang. (30)
3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadankeadaan sebenarnya yang
menjadi ciri
tindakan tersebut.
4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian
dari serangan tersebar atau4. sistematis
terhadap penduduk sipil
5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa
tindakan tersebut sebagai bagian atau
dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian
dari serangan tersebar atau sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil.
c. War Crime
Pasal 8
(Kejahatan-kejahatan
Perang)
Pendahuluan
Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam
pasal 8, paragraf 2 (c) dan (e) tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam
pasal 8, paragraf 2 (d) dan (f), yang merupakan
bukan unsur-unsur kejahatan.
204
Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal
8, paragraf 2, dari Undang-Undang harus
diinterpretasikan dalam kerangka kerja yang
matang dari hukum internasional termasuk konflik
bersenjata,
yang
sesuai
dengan
hukum
internasional dari konflik bersenjata yang dapat
diterapkan pada konflik bersenjata di laut.
Menurut dua unsur terakhir yang terurut untuk
setiap kejahatan:
Tidak ada persyaratan untuk evaluasi legal
oleh Pelaku kejahatan yang menentukan
suatu konflik bersenjata atau ciri-cirinya
baik internasional atau non internasional.
Dalam konteks tersebut tidak ada
persyaratan untuk kesadaran bagi pelaku
kejahatan
berdasarkan
fakta
yang
menentukan ciri-ciri dari konflik bersenjata
baik internasional atau non internasional
Hanya ada satu persyaratan untuk
kesadaran atas keadaan-keadaan faktual
yang menentukan keberadaan dari suatu
konflik bersenjata yang mempunyai makna
implisit dalam istilah “mengambil tempat
dalam konteks dan berkaitan dengan.”
Pasal 8 (2) (a)
Pasal 8 (2) (a) (i)
Kejahatan perang mengenai pembunuhan yang
dikehendaki
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau
lebih. (31)
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
205
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
terlindungi (32) (33)
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dari dan terkait dengan suatu konflik
bersenjata internasional. (34)
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (ii)-1
Kejahatan perang mengenai penyiksaan
Unsur-unsur (35)
1. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau
penderitaan baik secara fisik atau mental yang
berat atas seseorang atau lebih.
2. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau
penderitaan untuk tujuan-tujuan tertentu
seperti:
memperoleh
infromasi
atau
pengakuan,
hukuman,
intimidasi,
atau
pemaksaan atau untuk berbagai alasan lain
berdasarkan pada berbagai macam bentuk
diskriminasi
3. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata
206
Pasal 8 (2) (a) (ii)-2
Kejahatan perang atas perlakuan yang tidak
manusiawi
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau
penderitaan baik fisik maupun mental terhadap
satu orang atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa
tahun 1949
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (iii)-3
Kejahatan perang atas eksperimen biologis
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau
lebih dalam suatu eksperimen biologis
tertentu.
2. Eksperimen
tersebut
secara
serius
membahayakan kesehatan fisik atau mental
atau integritas dari orang atau orang-orang
tersebut
3. Maksud dari eksperimen tersebut tidak bersifat
mengobati dan tidak pernah dinilai dengan
alasan-alasan medis atau diselesaikan demi
rasa ingin tahu seseorang atau sekelompok
orang.
207
4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi
oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi
6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (a) (iii)
Kejahatan
Perang
atas
perbuatan
menyebabkan penderitaan yang disengaja
yang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau
penderitaan baik fisik maupun mental terhadap
satu orang atau lebih.
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa
tahun 1949
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata
208
Pasal 8 (2) (a) (iv)
Kejahatan perang atas penghancuran
penyisihan milik tertentu
dan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghancurkan
menyisihkan milik tertentu
atau
2. Penghancuran atau penyisihan tersebut tidak
melibatkan kepentingan militer
3. Penghancuran atau penyisihan tersebut
diselenggarakan secara luas dan tanpa alasan
4. Milik tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa tahun 1949
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (v)
Kejahatan perang atas pemaksaan pelayanan
untuk kekuatan musuh
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau
lebih, dengan tindakan atau ancaman, untuk
mengambil bagian dalam suatu operasi militer
menentang negara atau kekuatannya sendiri
atau sebaliknya melayani kekuatan dan
kekuasan musuh
209
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindugi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949.
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (vi)
Kejahatan perang atas penyangkalan terhadap
pengadilan yang adil
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau
lebih atas pengadilan umum dan adil dengan
menyangkal jaminan yudisial seperti yang
didefinisikan, secara khusus, dalam Konvensi
Jenewa Ketiga dan Keempat tahun 1949
2. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
3. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
210
Pasal 8 (2) (a) (vii)-1
Kejahatan perang atas deportasi dan pemindahan
tanpa berdasar hukum
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
mendeportasi
atau
memindahkan satu orang atau lebih ke Negara
lain atau ke lokasi lain
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (vii)-2
Kejahatan perang
berdasar hukum
atas
pemenjaraan
tanpa
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
memenjarakan
atau
memenjarakan secara terus menerus satu
orang atau lebih di lokasi tertentu
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi
oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
211
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (a) (viii)
Kejahatan Perang atas Penyanderaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas dan menahan
atau bila tidak, menahan sandera atas satu
orang atau lebih
2. Pelaku mengancam untuk membunuh untuk
melukai, mencelakai atau terus menahan
orang atau orang-orang tersebut.
3. Pelaku bermaksud untuk suatu Negara, suatu
organisasi internasional, suatu pihak atau
orang atau sekelompok orang yang legal dan
natural untuk bertindak menahan diri sebagai
persyaratan eksplisit atau implisit demi
keselamatan atau pembebasan dari orang
atau orang-orang tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di
bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun
1949
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status
proteksi.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
212
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b)
Pasal 8 (2) (b) (i)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
penduduk sipil
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek penyerangan merupakan penduduk
sipil layaknya atau individu sipil yang tidak
terlibat dalam permusuhan.
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menjadikan penduduk sipil layaknya atau
individu
sipil yang tidak terlibat dalam
permusuhan sebagai obyek
dari suatu
serangan tersebut.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (ii)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
penduduk sipil
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
serangan.
melancarkan
suatu
2. Obyek dari serangan tersebut adalah obyekobyek penduduk sipil, yaitu, obyek-obyek yang
bukan merupakan obyek-obyek militer.
213
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menjadikan obyek-obyek penduduk sipil
sebagai obyek penyerangan.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (iii)
Kejahatan perang atas penyerangan personel
atau obyek-obyek yang terlibat dalam bantuan
kemanusiaan atau misi perdamaian
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
penyerangan
melancarkan
suatu
2. Obyek-obyek yang diserang merupakan
personil, instalasi, material, unit-unit atau
termasuk peralatan untuk kemanusiaan atau
misi perdamaian sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa.
3. Pelaku
kejahatan
bermaksud
untuk
menjadikan
personil,
instalasi,
material, unit-unit atau termasuk peralatan
yang terlibat sebagai obyek dari serangan
tersebut.
4. Personil, instalasi, material, unit-unit atau
peralatan tersebut berhak atas perlindungan
yang diberikan bagi penduduk sipil atau obyekobyek sipil di bawah hukum internasional
tentang konflik bersenjata.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan suatu
proteksi.
214
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (iv)
Kejahatan perang atas insiden kematian yang
berkelebihan, luka-luka, atau kerusakan.
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
serangan.
melancarkan
suatu
2. Penyerangan
seperti
yang
dapat
menyebabkan insiden kematian atau luka
terhadap penduduk sipil atau kerusakan
obyek-obyek sipil atau tersebar luas, waktu
yang lama dan kerusakan berat terhadap alam
lingkungan dan kematian tersebut, luka-luka
atau kerusakan akan menjadi tingkatan yang
jelas berkelebihan dalam suatu hubungan
yang konkrit dan keuntungan militer yang
terantisipasi
secara
langsung
dan
menyeluruh.(36).
3. Pelaku
kejahatan
mengetahui
bahwa
penyerangan akan menyebabkan insiden
kematian atau luka-luka terhadap penduduk
sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau
tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan
berat terhadap alam lingkungan dan kematian
tersebut, luka-luka atau kerusakan akan
menjadi tingkatan yang jelas berkelebihan
dalam suatu hubungan yang konkrit dan
keuntungan militer yang terantisipasi secara
langsung dan menyeluruh.(37).
215
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (v)
Kejahatan perang atas penyerangan tempat yang
tanpa pertahanan (38)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu atau lebih
kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau
bangunan-bangunan.
2. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau
bangunan-bangunan
tersebut
untuk
pendudukan yang tanpa perlawanan.
3. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau
bangunan-bangunan
tersebut
bukan
merupakan obyek-obuek militer.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vi)
Kejahatan perang atas pembunuhan atau melukai
seseorang hors de combat
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai
satu atau lebih orang-orang.
216
2. Seseorang
atau
orang-orang
merupakan hors de combat.
tersebut
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status ini.
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-1
Kejahatan perang atas penggunaan bendera
gencatan senjata yang tidak sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan
gencatan senjata.
menggunakan
bendera
2. Pelaku kejahatan menggunakan
tersebut untuk tujuan
bendera
pura-pura negoisasi ketika tidak ada tujuan
tersebut dalam peranan Pelaku kejahatan.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu pada dasarnya larangan penggunaan
seperti itu (39)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau
luka yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu
dapat mengkibatkan kematian atau luka yang
serius terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
217
Pasal 8 (2) (b) (vii)-2
Kejahatan perang atas penggunaan bendera,
lencana atau seragam dari pihak musuh yang
tidak sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera,
lencana atau seragam dari pihak musuh.
2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam
cara yang dilarang oleh Undang Undang
Internasional tentang konflik bersenjata ketika
terlibat dalam suatu penyerangan.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu larangan pada dasarnya larangan
penggunaan seperti itu (40)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau
luka yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu
dapat mengkibatkan kematian atau luka yang
serius terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-3
Kejahatan perang atas penggunaan bendera,
lencana atau seragam Perserikatan Bangsa
Bangsa yang tidak sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera,
lencana atau seragam Perserikatan Bangsa
Bangsa.
218
2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam
cara yang dilarang oleh Undang Undang
Internasional tentang konflik bersenjata.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu larangan pada dasarnya larangan
penggunaan seperti itu. (41)
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau
luka yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu
dapat mengkibatkan kematian atau luka yang
serius terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (vii)-4
Kejahatan perang atas penggunaan simbol-simbol
khusus
dari Konvensi Genewa yang tidak
sepantasnya
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menggunakan emblememblem khusus dari Konvensi Genewa.
2. Pelaku
kejahatan
menggunakan
untuk
semacam tujuan-tujuan perjuangan (42)
dengan cara yang dilarang oleh Undang
Undang
Internasional
tentang
konflik
bersenjata.
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya
tahu larangan pada dasarnya larangan
penggunaan seperti itu. (43)
219
4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau
luka yang serius terhadap seseorang.
5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu
dapat mengkibatkan kematian atau luka yang
serius terhadap seseorang.
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan suatu konflik bersenjata
internasional.
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (viii)
Pemindahan, langsung atau tidak langsung,
dengan Memiliki Kekuasan atas bagian-bagian
dari milik penduduk-penduduk sipilnya sendiri ke
wilayah yang dimilikinya, atau deportasi atau
pemindahan dari seluruh bagian dari penduduk
atas wilayah yang di miliki ke dlam atau ke luar
wilayah ini.
Ayat-Ayat
1. Pelaku kejahatan:
(a) Memindahkan, (44) secara langsung atau
tidak
langsung,
sebagaian
dari
penduduknya sendiri ke dalam wilayah
yang dimilikinya; atau
(b) Mendeportasi atau memindhkan seluruh
atau sebagian dari penduduk dari wilayah
yang dimiliki ke dalam atau ke luar wilayah
ini.
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
220
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (ix)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
obyek-obyek yang dilindungi (45)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah suatu
atau beberapa bangunan yang didedikasikan
untuk agama, pendidikan, kesenian, ilmu
pengetahuan atau tujuan amal, monumen
sejarah, rumah sakit atau tempat di mana
orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan
merupakan obyek-obyek militer
3. Pelaku kejahatan bermaksud agar suatu atau
beberapa bangunan yang didedikasikan untuk
agama,
pendidikan,
kesenian,
ilmu
pengetahuan atau tujuan amal, monumen
sejarah, rumah sakit atau tempat di mana
orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan
merupakan obyek-obyek militer tersebut
menjadi obyek dari serangan tersebut.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata
221
Pasal 8 (2) (b) (x)-1
Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
lebih
dalam suatu
tindakan
mutilasi,
khususnya dengan merusak bentuk tubuh
seseorang atau beberapa orang secara
permanen, atau dengan melumpuhkan atau
memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh
tertentu secara permanen
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian
atau membahayakan kesehatan fisik atau
mental orang atau orang-orang tersebut
secara serius.
3. Tindakan
tersebut
tidak
dinilai
atas
kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau
pengobatan rumah sakit atas perhatian
terhadap orang atau orang tersebut juga tidak
demi
kepentingan
orang
atau
orang
tersebut.(46)
4. Orang atau orang-orang tersebut berada
dalam kekuasaan pihak musuh
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
222
Pasal 8 (2) (b) (x)-2
Kejahatan perang atas eksperimen medis atau
ilmiah
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu
eksperimen medis atau ilmiah
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian
atau membahayakan kesehatan atau integritas
fisik atau mental orang atau orang-orang
tersebut secara serius.
3. Tindakan
tersebut
tidak
dinilai
atas
kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau
pengobatan rumah sakit atas perhatian
terhadap orang atau orang tersebut juga tidak
demi kepentingan orang atau orang tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut berada
dalam kekuasaan pihak musuh
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xi)
Kejahatan perang atas pembunuhan
tindakan melukai yang berbahaya
atau
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau
keyakinan dari satu atau beberapa pejuang
musuh bahwa mereka berhak untuk atau
diwajibkan
untuk
menyetujui,
memberi
perlindungan di bawah aturan hukum
223
internasional yang dapat diterapkan pada
konflik bersenjata.
2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati
kepercayaan atau keyakinan tersebut
3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai
orang atau orang-orang tersebut
4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan
atau keyakinan tersebut dalam membunuh
atau melukai orang atau orang-orang tersebut
5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik
pihak musuh
6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xii)
Kejahatan perang atas penyangkalan tentang
tempat tinggal sementara
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
menyatakan
atau
memerintahkan bahwa harus tidak ada yang
selamat
2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan
untuk mengancam lawan
atau tindakan
permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya
tidak ada yang selamat.
3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang
efektif
untuk
memerintahkan
atau
mengendalikan tenaga bawahan dimana
pernyataan atau perintah dapat diarahkan
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional.
224
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan
faktual
yang
menentukan
keberadaan konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xiii)
Kejahatan perang atas penghancuran
perampasan milik milik musuh
atau
Unsur-unsur:
1. Pelaku kejahatan menghancurkan
merampas milik tertentu
atau
2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak
musuh
3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran
atau
perampasan
di
bawah
hukum
internasional tentang konflik bersenjata
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status dari
milik tersebut
5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak
dibutuhkan oleh kebutuhan militer
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
225
Pasal 8 (2) (b) (xiv)
Kejahatan perang atas pencabutan kebangsaan
dari kekuasaan atas hak atau tindakan
permusuhan
Ayat-Ayat
1. Pelaku kejahatn mempengaruhi abolisi,
suspensi dan terminasi dari penerimaan di
dalam hukum pengadilan atas hak-hak atau
tindakan-tindakan tertentu
2. Abolisi, suspensi atau terminasi tersebut
diarahkan terhadap kebangsaan dari pihak
musuh
3. Pelaku kejahatan bermaksud menjadikan
abolisi, suspensi dan terminasi terarah pada
kebangsaan dari pihak musuh
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xv)
Kejahatan perang atas pemaksaan partisipasi
dalam operasi militer
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang dengan tindakan atau
ancaman untuk mengambil bgian di dalam
operasi militer yang melawan negeri atau
kekuatan orang itu sendiri.
2. Orang atau orang-orang tersebut merupakan
warga negara dari pihak musuh
226
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjat
Pasal 8 (2) (b) (vi)
Kejahatan perang atas perampasan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk mencabut
kepemilikan
dari
milik
tersebut
dan
menyisihkannya untuk kepentingan sendiri
atau pribadi. (47)
3. Penyisihan tersebut adalah tanpa persetujuan
dari sang pemilik.
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xvii)
Kejahatan perang atas kepemilikan racun atau
senjata-senjata beracun
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memiliki bahan atau suatu
senjata yang melepaskan bahan tersebut
sebagai hasil kepemilikannya.
227
2. Bahan tersebut dapat menyebabkan kematian
atau kerusakan serius terhadap kesehatan
dengan jalan kejadian biasa, oleh karena
potensi toksiknya.
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xviii)
Kejahatan perang atas kepemilikan materi-materi
atau peralatan gas, cair terlarang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memiliki gas atau bahan
analog lainnya atau peralatan.
2. Gas, bahan atau peralatan tersebut dapat
menyebabkan kematian atau kerusakan serius
akan kesehatan dengan jalan kejadian biasa,
melalui kemampuan toksik yang terhirup. (48)
3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xix)
Kejahatan perang atas kepemilikan peluru-peluru
terlarang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan
tertentu
228
memiliki
peluru-peluru
2. Peluru-peluru tersebut sebegitu rupa sehingga
penggunaanya melanggar hukum internasional
tentang konflik bersenjata karena dapat
meluas atau memipih degan mudah dalam
tubuh manusia
3. Pelaku kejahatan menyadari sifat alami pelurupeluru tersebut sebegitu rupa sehingga
kepemilikanya hanya akan tidak berguna dan
memberikan efek luka atau penderitaan
4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xx)
Kejahatan perang atas kepemilikan senjatasenjata, proyektil atau materi-materi atau metodemetode perang seperti yang didaftar dalam
lampiran terhadap Undang-Undang
Unsur-unsur
[Unsur-unsur akan dirancang ketika senjatasenjata, proyektil atau materi atau metode-metode
berperang telah termasuk dalam lampiran
Undang-Undang.]
229
Pasal 8 (2) (b) (xxi)
Kejahatan perang atas kebiadaban terhadap
kehormatan seseorang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan
atau bahkan melanggar derajat kemanusiaan
yang
secara
umum
dikenal
sebagai
kebiadaban terhadap kehormatan seseorang.
(49)
2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut,
perendahan dan pelanggaran atas derajat
kemanusiaan yang secara umum dikenal
sebagai kebiadaban terhadap kehormatan
seseorang.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-1
Kejahatan perang atas pemerkosaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menginvasi (menyerang)
(50) tubuh seseorang dengan tindakan yang
menghasilkan
penetrasi,
betapa
pun
ringannya, pada bagian tubuh manapun dari
korban atau dari Pelaku kejahatan dengan
organ seksual atau bukaan anus dan kelamin
dari korban dengan berbagai obyek atau
bagian tubuh lainnya
230
2. Invasi (serangan) tersebut terlaksana dengan
paksa, atau dengan ancaman terhadap
kekuatan atau paksaan, seperti juga yang
disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan,
ancaman, penahanan, penindasan psikologis
atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap
orang tersebut atau orang lain atau dengan
mengambil keuntungan dari lingkungan
yang
memaksa
atau
invasi
yang
dilaksanakan terhadap orang yang tidak
mampu
memberikan persetujuan yang
sesungguhnya. (51)
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dan berkaitan dengan konflik
bersenjata internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b (xxii)-2
Kejahatan perang atas perbudakan seks (52)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian
atau keseluruhan kuasa yang berhubungan
dengan hak kepemilikan atas seseorang atau
beberapa orang, seperti membeli, menjual,
meminjamkan atau menukar orang atau orangorang tersebut
atau dengan membebani
mereka dengan semacam perampasan
kebebasan. (53)
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih kegiatan seks
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dan berkaitan dengan konflik
bersenjata internasional
231
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-3
Kejahatan perang
dipaksakan
atas
pelacuran
yang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang
atau lebih untuk terlibat dalam satu tindakan
atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa,
atau dengan ancaman kekuatan atau
pemaksaan, seperti yang disebabkan oleh
rasa takut terhadap kekerasan, ancaman,
penahanan, penindasan psikologis atau
penyalahgunaan
kekuasaan
terhadap
seseorang atau orang-orang atau orang lain,
atau dengan mengambil keuntungan dari
lingkungan
yang
memaksa
atau
ketidakberdayaan orang atau orang-orang
tersebut untuk memberikan persetujuan yang
sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau mengharapkan untuk memperoleh
keuntungan berupa uang atau keuntungan lain
sebagai pertukaran yang berkaitan dengan
tindakan-tindakan dari kegiatan seks tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional.
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
232
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-4
Kejahatan perang atas kehamilan paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita
atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud
untuk mempengaruhi komposisi etnis dari
penduduk
apapun
atau
mengadakan
pelanggaran berat atas hukum internasional
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-5
Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
merampas kapasitas
reproduktif biologis dari satu orang atau lebih.
(54)
2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk
pengobatan medis atau rumah sakit dan orang
atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak
diselenggarakan tanpa persetujuan mereka
yang sesungguhnya. (55)
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
233
Pasal 8 (2) (b) (xxii)-6
Kejahatan perang atas kekerasan seksual
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu aksi
kegiatan seksual terhadap satu orang atau
lebih atau disebabkan oleh orang atau orangorang tersebut untuk terlibat dalam tindakan
kegiatan seksual dengan paksa, atau
ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti
halnya disebabkan oleh ketakutan terhadap
kekerasan, kekerasan, ancaman, penahanan,
penindasan psikologis atau penyalahgunaan
kekuasaan terhadap seseorang atau orangorang atau orang lain, atau dengan mengambil
keuntungan dari lingkungan yang memaksa
atau
ketidakberdayaan
orang atau orang-orang tersebut untuk
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
2. Tindakan
tersebut
merupakan
suatu
kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran
yang berbahaya dari Konvensi Jenewa
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxiii)
Kejahatan perang atas menggunakan orangorang sebagai pelindung
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memindahkan atau bila
tidak, mengambil kesempatan atas lokasi dari
satu atau lebih penduduk sipil atau orangorang lain yang dilindungi di bawah hukum
internasional tentang konflik bersenjata
234
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk melindungi
obyek-obyek militer dari serangan atau
perlindungan, pertolongan atau menghalangi
operasi-operasi militer.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxiv)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
atau orang-orang dengan menggunakan simbolsimbol yang istimewa dari Konvensi Jenewa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau
lebih,
bangunan-bangunan,
unit-unit
kesehatan atau transportasi atau obyek-obyek
berguna lainnya, dengan tata cara yang sesuai
dengan hukum internasional, suatu simbolsimbol yang istimewa atau metode identifikasi
lain yang menunjukkan perlindungan di bawah
Konvensi Jenewa
2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orangorang, bangunan-bangunan, unit-unit dan
sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek
yang berguna dalam identifikasi tersebut
menjadi obyek dari penyerangan tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
235
Pasal 8 (2) (b) (xxv)
Kejahatan perang atas kelaparan sebagai cara
berperang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan merampas obyek-obyek
penduduk sipil yang tidak penting bagi
pertahanan hidupnya
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk membuat
penduduk-penduduk sipil kelaparan sebagai
cara untuk berperang
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (b) (xxvi)
Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan
wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa
bagi anak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer
atau masuk sebagai tentara militer
bagi
seseorang atau beberapa orang untuk masuk
ke dalam kekuatan militer nasional atau
memanfaatkan seseorang atau beberapa
orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam
permusuhan
2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 15 tahun
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 15 tahun
236
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (c)
Pasal 8 (2) (c) (I)-1
Kejahatan perang atas pembunuhan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau
lebih
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan tentang internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
237
Pasal 8 (2) (c) (i)-2
Kejahatan perang atas mutilasi
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
lebih
dalam suatu
tindakan
mutilasi,
khususnya dengan merusak bentuk tubuh
seseorang atau beberapa orang secara
permanen, atau dengan melumpuhkan atau
memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh
tertentu secara permanen
2. Tindakan
tersebut
tidak
dinilai
atas
kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau
pengobatan rumah sakit atas perhatian
terhadap orang atau orang tersebut juga tidak
demi kepentingan orang atau orang tersebut
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (i)-3
Kejahatan perang atas perlakuan kejam
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau
penderitaan fisik atau mental atas seseorang
atau beberapa orang
238
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (i)-4
Kejahatan perang atas penyiksaan
Unsur-unsur
1.
Pelaku kejahatan membuat sakit dan
penderitaan fisik atau mental yang dahsyat
atas seseorang atau lebih
2. Pelaku kejahatan membuat sakit atau
penderitaan
tersebut
dengan
maksud
memperoleh informasi atau pengakuan,
hukuman, intimidasi atau pemaksaan atau
untuk
berbagai
alasan
berdasarkan
diskriminasi atas beberapa hal.
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
239
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (c) (ii)
Kejahatan perang atas kebiadaban terhadap
kehormatan seseorang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan
atau bahkan melakukan kekerasan terhadap
derajat kemanusiaan yang secara umum
dikenal
sebagai
kebiadaban
terhadap
kehormatan seseorang. (57)
2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut,
perendahan dan kekerasan atas derajat
kemanusiaan yang secara umum dikenal
sebagai kebiadaban terhadap kehormatan
seseorang.
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
240
Pasal 8 (2) (c) (iii)
Kejahatan perang atas penyanderaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menangkap, menahan atau
bahkan menyandera seseorang atau lebih
2. Pelaku
kejahatan
mengancam
akan
membunuh, melukai atau akan terus menahan
orang atau orang-orang tersebut
3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memaksa
Negara, suatu organisasi internasional, suatu
pihak atau orang atau sekelompok orang yang
legal dan mendasar untuk bertindak menahan
diri sebagai persyaratan eksplisit atau implisit
demi keselamatan atau pembebasan dari
orang atau orang-orang tersebut.
4. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat, atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
241
Pasal 8 (2) (c) (iv)
Kejahatan perang atas hukuman atau hukuman
mati tanpa proses pengadilan yang layak
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
menghukum
atau
menghukum mati satu orang atau lebih . (58)
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de
combat,
atau penduduk sipil, personil
kesehatan, atau personil keagamaan tidak
mempunyai peran aktif dalam permusuhan
tersebut
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini.
4. Tidak pernah ada peradilan sebelumnya yang
diumumkan oleh pengadilan atau pengadilan
yang memberikan peradilan tidak “biasanya
terdapat”, yaitu, tidak menyelenggarakan
jaminan esensial dari kebebasan dan
kejujuran, atau pengadilan memberikan
peradilan yang tidak mampu mencakup
jaminan yudisial lainnya secara umum dikenal
sebagai kepentingan
di bawah hukum
internasional. (59)
5. Pelaku kejahatan menyadari tidak adanya
peradilan sebelumnya atau penyangkalan atas
jaminan relevan dan fakta bahwa hal itu
esensial atau penting
terhadap pengadilan
yang jujur
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
242
Pasal 8 (2) (e)
Pasal 8 (2) (e) (i)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
penduduk sipil
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah
penduduk sipil seperti juga individu sipil yang
tidak mempunyai peran langsung dalam
permusuhan
3. Pelaku
kejahatan
mempunyai
maksud
terhadap penduduk sipil, seperti juga individu
sipil yang tidak mempunyai peran langsung
dalam permusuhan, untuk dijadikan obyek dari
serangan
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (ii)
Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek
atau orang-orang dengan menggunakan simbol
khusus dari Konvensi Jenewa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau
lebih,
bangunan-bangunan,
unit-unit
kesehatan atau sarana-sarana transportasi
atau obyek-obyek lain yang berguna, dengan
tata cara yang sesuai dengan hukum
internasional, suatu simbol-simbol yang
istimewa atau metode identifikasi lain yang
menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi
Jenewa
243
2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orangorang, bangunan-bangunan, unit-unit dan
sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek
yang berguna dalam identifikasi tersebut
menjadi obyek dari penyerangan tersebut.
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (iii)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
personil atau obyek-obyek yang terlibat dalam
bantuan kemanusiaan dan misi perdamaian
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan
2. Obyek dari serangan tersebut adalah personil,
instalasi, material, unit atau kendaraankendaraan yang terlibat di dalam bantuan
kemanusiaan atau misi perdamaian yang
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa
Bangsa.
3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud atas
personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit
atau kendaraan-kendaraan tersebut untuk
menjadi terlibat dan menjadi obyek dari
serangan tersebut
4. Personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit
atau kendaraan-kendaraan tersebut berhak
untuk mendapatkan perlindungan yang
diberikan kepada penduduk atau obyek-obyek
penduduk di bawah hukum internasional
tentang konflik bersenjata
244
5. Pelaku
kejahatan
keadaan
faktual
perlindungan
menyadari
keadaanyang
menentukan
6. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional
7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan
faktual yang menentukan keberadaan dari
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (iv)
Kejahatan perang atas penyerangan terhadap
obyek-obyek yang dilindungi (60)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan
2. Obyek dari serangan adalah salah satu
gedung atau lebih yang didedikasikan untuk
agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan
atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah
sakit-rumah sakit atau tempat-tempat di mana
orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan
merupakan obyek militer.
3. Pelaku kejahatan bermaksud agar salah satu
gedung atau lebih yang didedikasikan untuk
agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan
atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah
sakit-rumah sakit atau tempat-tempat di mana
orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan
merupakan obyek militet, dijadikan obyek dari
serangan tersebut
4. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
245
Pasal 8 (2) (e) (v)
Kejahatan perang atas perampasan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu
2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk merampas
kepemilikan milik tersebut dan menyisihkannya
untuk penggunaan sendiri atau pribadi. (61)
3. Penyisihan tersebut terjadi tanpa persetujuan
dari sang pemilik
4. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-1
Kejahatan perang atas pemerkosaan
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menginvasi / menyerang
(62) tubuh seseorang dengan tindakan yang
menghasilkan
penetrasi,
betapa
pun
ringannya, pada bagian tubuh manapun dari
korban atau dari Pelaku kejahatan dengan
organ seksual atau bukaan anus dan kelamin
dari korban dengan berbagai obyek atau
bagian tubuh lainnya
2. Serangan / Invasi tersebut terlaksana dengan
paksa, atau dengan ancaman terhadap
kekuatan atau paksaan, seperti juga yang
disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan,
ancaman, penahanan, penindasan psikologis
atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap
orang tersebut atau orang lain atau dengan
mengambil keuntungan dari lingkungan yang
246
memaksa atau invasi yang dilaksanakan
terhadap
orang
yang
tidak
mampu
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
(63)
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-2
Kejahatan perang atas perbudakan seks (64)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian
atau keseluruhan kuasa yang berhubungan
dengan hak kepemilikan atas seseorang atau
beberapa orang, seperti membeli, menjual,
meminjamkan atau menukar orang atau orangorang tersebut
atau dengan membebani
mereka dengan semacam perampasan
kebebasan. (65)
2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau
orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu
atau lebih kegiatan seks
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
247
Pasal 8 (2) (e) (vi)-3
Kejahatan perang
dipaksakan
atas
pelacuran
yang
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang
atau lebih terlibat dalam satu atau beberapa
tindakan dari kegiatan seks dengan paksaan
atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau
paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh
ketakutan
akan
kekerasan,
ancaman,
penahanan, penindasan psikologis atau
penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang
tersebut atau orang lain atau dengan
mengambil keuntungan dari lingkungan yang
memaksa atau invasi yang dilaksanakan
terhadap
orang
yang
tidak
mampu
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh
atau mengharapkan untuk memperoleh
keuntungan uang atau keuntungan lain
sebagai pertukaran yang terkait dengan
tindakan-tindakan dari kegiatan seksual
3. Tindakan yang mengambil tempat dalam
konteks dari dan berkaitan dengan konflik
bersenjata bukan internasional
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
dari suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-4
Kejahatan perang atas kehamilan paksa
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita
atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud
untuk mempengaruhi komposisi etnis dari
penduduk
apapun
atau
mengadakan
pelanggaran berat atas hukum internasional
248
2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional.
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (e) (vi)-5
Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
merampas kapasitas
reproduktif biologis dari satu orang atau
lebih. (66)
2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk
pengobatan medis atau rumah sakit dan orang
atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak
diselenggarakan tanpa persetujuan mereka
yang sesungguhnya. (67)
3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konlik bersenjata
bukan internasional
4. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vi)-6
Kejahatan perang atas kekerasan seksual
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan
dari kegiatan seksual terhadap seseorang atau
beberapa orang atau menyebabkan orang
atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam
tindakan dari kegiatan seksual dengan paksa,
atau dengan ancaman kekuatan atau paksaan,
249
seperti juga disebabkan oleh ketakutan atas
kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan
psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan
terhadap orang tersebut atau orang lain atau
dengan
mengambil
keuntungan
dari
lingkungan yang memaksa atau invasi yang
dilaksanakan terhadap orang yang tidak
mampu
memberikan persetujuan yang
sesungguhnya.
2. Tindakan
tersebut
merupakan
suatu
kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran
serius pada pasal 3 sesuai dengan Konvensi
Jenewa Keempat.
3. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan kegawatan
suatu tindakan
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vii)
Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan
wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa
bagi anak
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer
atau masuk sebagai tentara militer
bagi
seseorang atau beberapa orang untuk masuk
ke dalam kekuatan militer nasional atau
memanfaatkan seseorang atau beberapa
orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam
permusuhan
250
2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di
bawah 15 tahun
3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah
mengetahui bahwa orang atau orang-orang
tersebut berusia di bawah 15 tahun
4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku kejahatan menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
suatu konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (vii)
Kejahatan perang atas pemindahan pendudukpenduduk sipil
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memerintahkan pemindahan
dari penduduk sipil
2. Perintah tersebut tidak dinilai berdasarkan
keamanan penduduk sipil yang terlibat atau
oleh karena keperluan militer
3. Pelaku kejahatan berada dalam posisi yang
dapat
memberikan
efek
pemindahan
penduduk dengan memberikan perintah
semacam itu
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata bukan
internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
251
Pasal 8 (2) (e) (ix)
Kejahatan perang atas pembunuhan
tindakan melukai yang berbahaya
atau
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau
keyakinan dari satu atau beberapa pejuang
musuh bahwa mereka berhak untuk atau
diwajibkan
untuk
menyetujui,
memberi
perlindungan di bawah aturan hukum
internasional yang dapat diterapkan pada
konflik bersenjata
2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati
kepercayaan atau keyakinan tersebut
3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai
orang atau orang-orang tersebut
4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan
atau keyakinan tersebut dalam membunuh
atau melukai orang atau orang-orang tersebut
5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik
pihak musuh
6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata bukan
internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (e) (x)
Kejahatan perang atas penyangkalan terhadap
tempat tinggal sementara
Unsur-unsur
1. Pelaku
kejahatan
menyatakan
atau
memerintahkan bahwa tidak akan ada yang
selamat
252
2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan
untuk mengancam lawan
atau tindakan
permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya
tidak akan ada yang selamat.
3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang
efektif
untuk
memerintahkan
atau
mengendalikan tenaga bawahan dimana
pernyataan atau perintah dapat diarahkan
4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks
dan terkait dengan konflik bersenjata bukan
internasional.
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan
faktual
yang
menentukan
keberadaan konflik bersenjata
Pasal 8 (2) (e) (xi)-1
Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan)
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
lebih
dalam suatu
tindakan
mutilasi,
khususnya dengan merusak bentuk tubuh
seseorang atau beberapa orang secara
permanen, atau dengan melumpuhkan atau
memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh
tertentu secara permanen
2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian
atau membahayakan kesehatan fisik atau
mental orang atau orang-orang tersebut
secara serius.
3. Tindakan
tersebut
tidak
dinilai
atas
kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau
pengobatan rumah sakit atas perhatian
terhadap orang atau orang tersebut juga
tidak demi kepentingan orang atau orang
tersebut. (68)
253
4. Orang atau orang-orang tersebut berada
dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik.
5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan tentang ciri-ciri internasional
6. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
Pasal 8 (2) (e) (xi)-2
Kejahatan perang atas eksperimen medis atau
ilmiah
Unsur-unsur
1.
Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau
beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu
eksperimen medis atau ilmiah
Tindakan tersebut menyebabkan kematian
atau membahayakan kesehatan fisik atau
mental orang atau orang-orang tersebut
secara serius.
2. Tindakan
tersebut
tidak
dinilai
atas
kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau
pengobatan rumah sakit atas perhatian
terhadap orang atau orang tersebut juga tidak
demi kepentingan orang atau orang tersebut.
3. Orang atau orang-orang tersebut berada
dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik.
4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
5. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
254
Pasal 8 (2) (e) (xii)
Kejahatan perang atas penghancuran
perampasan milik milik musuh
atau
Unsur-unsur
1. Pelaku kejahatan menghancurkan
merampas milik tertentu
atau
2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak
musuh
3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran
atau
perampasan
di
bawah
hukum
internasional tentang konflik bersenjata
4. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan status dari
milik tersebut
5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak
dibutuhkan oleh kebutuhan militer
6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam
konteks dan terkait dengan konflik bersenjata
bukan internasional
7. Pelaku
kejahatan
menyadari
keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan
konflik bersenjata.
3. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Hukum Acara Pidana Umum
Sistim peradilan pidana yang berlaku di Indonesia
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal
31 Desember 1981
dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.
255
Hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya
adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau
yang dikenal dengan nama Het Herziene Inlandsch
Reglement disingkat H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941
Nomor 44). Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt.
Tahun 1951 diadakan unifikasi hukum acara pidana
yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana
bagi landraad dan raad van justitie. Pembedaan
hukum acara pidana ini merupakan konsekuensi dari
pemerintahan penjajahan Hindia Belanda yang
mengadakan pembedaan peradilan bagi golongan
penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan
bangsa
Eropah
(termasuk
Timur
Asing)
sebagaimana yang dipertahankan dalam Reglemen
Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor
16), kemudian dirubah dengan Reglemen Indonesia
yang dibaharui (R.I.B.).
Selanjutnya oleh karena Reglemen Indonesia
yang dibaharui (R.I.B.) dipandang belum memberikan
jaminan perlindungan terhadap Hak-hak asasi
manusia, harkat dan martabatnya sebagai manusia
yang seharusnya mendapat perlindungan di negara
hukum seperti di Indonesia, maka dirumuskan lagi
hukum acara pidana yang baru sebagaimana diatur
dalam KUHAP yang kini sedang berlaku dengan
meletakkan jaminan perlindungan mendasar hak-hak
asasi manusia (humanisme) sebagai pijakannya.
Jika diteliti secara saksama, maka menurut hemat
penulis nampaknya KUHAP sudah cukup memadai
menampung ide-ide dasar dari sistim peradilan
pidana yang modern karena:29
a.
Terdapat pembagian kewenangan pada
semua
tahap
yang
saling
"berketergantungan" dalam arti saling terkait
dan menunjang secara serasi dan seimbang
29 Marthen Napang, Op Cit. hlm.179
256
sesuai peran dari masing-masing instansi
kepolisian, kejaksaan (pasal 4 s/d 15),
pengadilan (77 s/d 88) dan lembaga
pemasyarakatan (pasal 22 , pasal 278 dan
pasal 280 ayat 2 s/d pasal 282) sebagai pilar
utama dari sistim peradilan pidana.
b. Terdapat pengaturan secara tegas dan jelas
serta mempertimbangkan aspek hak-hak
asasi manusia tentang penyelidikan (pasal
102 s/d 105), penyidikan (pasal 106 s/d 136),
penuntutan (pasal 137 s/d 144) pemeriksaan
pengadilan (pasal 145 s/d pasal 232),
penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan surat (pasal 16 s/d
pasal 49), Tersangka dan Terdakwa (Pasal
50 s/d 68), pemberian bantuan hukum (pasal
69 s/d 74 KUHAP), praperadilan (pasal 77 s/d
pasal 83 KUHAP), upaya hukum banding,
kasasi dan peninjauan kembali (pasal 233 s/d
pasal 269), dan pelaksanaan putusan (pasal
270 s/d 276 jo. Pasal 277 s/d 283).
c. Bersikap terbuka untuk memungkinkan
mengikuti perkembangan kejahatan atau
munculnya jenis-jenis kejahatan baru sebagai
akibat
dari
perkembangan
kehidupan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan tehnologi
yang semakin canggih dan tak terduga
sebelumnya. Dalam hal demikian KUHAP
menempatkan diri sebagai legi generali
(aturan umum) dari Undang-undang yang
mengatur jenis-jenis kejahatan baru yang
membutuhkan penanganan khusus sebagai
lex specialis (aturan khusus). Dengan asas
"lex specialis derogat legi generali" (aturan
khusus
menyingkirkan
aturan
umum")
memungkinkan KUHAP dapat "fleksible"
membuka diri terhadap pembaharuan akibat
perubahan dan perkembangan zaman.
Penerapan asas ini dimungkinkan oleh pasal
284 ayat 2 KUHAP dan pasal 103 KUHP
257
sebagai "ketentuan induk" dari KUHAP.
Penyebutan 'ketentuan induk" oleh penulis
karena tanpa KUHP tidak perlu ada KUHAP.
Meskipun demikian masih terdapat kelemahankelemahan yang perlu disempurnakan. Sebagaimana
yang digambarkan Romli Atmasasmita30 antara lain:
a. Bahwa pada tahap penyelidikan oleh
penyilidik tunggal kepolisian masih belum
diperlukan kehadiran seorang pembela atau
penasihat
hukum
untuk
mendampingi
tersangka atau orang yang dicurigai untuk
disuruh berhenti lalu diperiksa identitas
pribadinya. Atau dikenakan tindakan lainnya
(pasal 5 ayat 1 sub a, dan b ), padahal pada
saat itu tindakan penyelidik sudah menyentuh
kemerdekaan pribadi seseorang.
b. KUHAP
hanya
mengatur
motivasi
penangkapan tanpa menyebutkan alasanalasan
umum
untuk
sahnya
suatu
penangkapan.
c. Praperadilan sebagai lembaga baru dalam
sistim peradilan pidana di Indonesia memiliki
kewenangan untuk memutuskan sah atau
tidaknya
penangkapan,
penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan
serta
gantirugi
dan/atau
rehabilitasi bagi orang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan (pasal 77 KUHAP), tetapi
tidak memiliki kewenangan apapun terhadap
tindakan
penyelidik
pada
tahapan
penyelidikan. Padahal tindakan penyelidikan
sudah menyentuh kemerdekaan, harkat dan
martabat sesorang yang merupakan hak-hak
asasi yang dimiliki setiap orang.
30 Romli Atmasasmita, Op.cit. hlm.34
258
2. Hukum Acara Pidana Khusus HAM RI
Sebagaimana diketahui bahwa penerapan asas
lex specialis derogat legi generali (aturan khusus
menyingkirkan aturan umum) sehubungan dengan
hukum acara pidana sebagai bagian dari sistim
peradilan pidana dimungkinkan oleh pasal 284 ayat 2
KUHAP dan pasal 103 KUHP.
Dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP ditegaskan:
(1) Dalam waktu dua tahun setelah undangundang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan
undang-undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus
acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang
tertentu,
sampai
ada
perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Sementara
menegaskan:
itu
pasal
103
KUHPidana
"Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
dengan Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan
yang
oleh
ketentuan
perundang-undangan lain diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang
ditentukan lain."
Sehubungan dengan penegasan Pasal 284
KUHAP dan Pasal 103 KUHP diatas maka hukum
pidana dibagi kedalam hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus, yang oleh Andi Hamzah 31
lebih cenderung menggunakan istilah perundangundangan pidana umum dan khusus.
31 Andi Hamzah. Delik Delik Tersebar Diluar KUHP dengan komentar. 1995.
Penerbit :PT.Pradnya Paramita, Jakarta. hlm.7
259
Perundang-undangan Pidana Umum ialah KUHP
dan semua Undang-Undang yang mengubah,
menambah KUHP seperti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958,
Undang-Undang (Prp) Nomor 18 tahun 1960 dan
lain-lain.
Perundang-undangan pidana khusus ialah
perundang-undangan pidana diluar KUHP dan yang
berkaitan dengan KUHP tersebut, yang dapat dibagi
lagi atas:
a.
Perundang-undangan pidana khusus seperti
ekonomi, subversi, korupsi, imigrasi dan lainlain.
b.
Perundang-undangan bukan pidana yang
bersanksi pidana (seperti yang dimaksud
Scholten
dengan
hukum
pidana
pemerintahan), misalnya Undang-Undang
tenaga kerja, atom, arsip, agraria, narkotika,
tera dan lain-lain.
Bahwa fleksibilitas KUHAP melalui pasal 284 dan
KUHP melalui pasal 103 terhadap perubahan dan
perkembangan zaman yang begitu cepat dan
kompleks menyebabkan semakin banyak perundangundangan yang mengatur delik-delik di luar KUHP.
Untuk hal ini, Andi Hamzah32 memberikan
alasan-alasan mengapa semakin banyak delik-delik
yang terpencar di luar KUHP, antara lain disebabkan:
a. Adanya perubahan sosial secara cepat
sehingga perubahan-perubahan itu perlu
disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan
hukum pula dengan sanksi pidana. Hukum
disini telah berfungsi sebagai "Social
engineering" maupun "social control".
32 Andi Hamzah. Ibid. hlm.1
260
b.
Kehidupan modern semakin kompleks,
sehingga disamping adanya peraturan hukum
(pidana) berupa unifikasi yang tahan lama
(KUHP) diperlukan pula peraturan pidana yang
bersifat temporer.
c.
Banyak peraturan hukum berupa perundangundangan di lapangan perdata, tata negara,
dan terutama administrasi negara, perlu
dikaitkan dengan sanksi-sanksi pidana untuk
mengawasi peraturan-peraturan itu supaya
ditaati. Hal ini nyata pada peraturan-peraturan
perburuhan, agraria, kehutanan, perbankan,
perdagangan,
perindustrian,
pertanian,
perkawinan, pemilihan umum, perikanan,
perhubungan, kemaritiman, perkoperasian dan
seterusnya.
Selain itu, terdapat hubungan erat antara
perubahan kehidupan sosial dan perubahan hukum
yang begitu cepat sebagaimana dijelaskan oleh
Friedman33
bahwa
hukum
adalah
cermin
masyarakat, perubahan sosial yang cepat berarti pula
perubahan hukum yang cepat. Perubahan besar
dalam hubungan sosial dan dalam perekonomian
hampir pasti menghasilkan perubahan hukum.
Kemudian mencontohkan, bahwa sistim hukum
menjadi pemain kunci dalam kemajuan masyarakat
dan perekonomian Amerika yang dramatis selama
bertahun-tahun.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan diatas
hukum acara pidana yang diberlakukan dalam
peradilan HAM di Indonesia adalah sebagaimana
yang diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
33 Friedman M.Lawrence. American Law. New York: W.W.Norton & Company.
1984. hlm.361,364 & 366.
261
Jika dikaji secara saksama, menurut hemat
penulis hukum acara pidana yang terdapat dalam UU
No.26 Tahun 2000 sudah cukup memadai memenuhi
unsur-unsur utama minimal sistem peradilam pidana
HAM yang dibutuhkan, karena:
a. Terdapat pengaturan tentang Komnas HAM
sebagai lembaga penyelidik (pasal 18 s/d
pasal 20), Jaksa Agung yang dapat
mengangkat Jaksa/Penuntut Umum Ad Hoc
sebagai lembaga penyidikan dan penuntutan
(pasal 21 s/d pasal 25), Hakim Tetap dan
Hakim Ad Hoc sebagai lembaga pengadilan
(pasal 27 s/d pasal 31), penangkapan (pasal
11),
penahanan
(pasal
12),
Lingkup
kewenangan-Yurisdiksi
(pasal4
s/d
9).
Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai lembaga
peradilan terhadap kasus-kasus HAM yang
terjadi sebelum UU No.26/2000 diundangkan
(pasal 43 dan pasal 44), Acara pemeriksaanupaya hukum (pasal 31 s/d pasal 33).
b.
Ketentuan pasal 10 memberi akses kepada
KUHAP untuk melengkapi segala sistim
peradilan pidana yang tidak diatur dalam UU
No.26 tahun 2000 seperti antara lain: peranan
lembaga
kepolisian
dan
lembaga
pemasyarakat yang merupakan dua pilar
utama dari suatu sistim peradilan pidana
disamping
lembaga
kejaksaan
dan
pengadilan. Juga tentang hak-hak Tersangka
& Terdakwa , bantuan hukum serta
pelaksanaan putusan.
Terdapat dua lembaga peradilan yang diatur
bersamaan dalam UU No.26 tahun 2000 ini dengan
hukum acara yang sama, yaitu:
a. Lembaga Pengadilan HAM (permanen)
b. Lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc.
262
Dalam pasal 1 ayat 3 dijelaskan pengertian
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya
disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Sedang lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc tidak
diberi pengertian. Hanya saja melalui makna pasal 43
dapat dibedakan bahwa pengadilan HAM Ad Hoc
hanya berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM
berat pada locus dan tempos delicti tertentu yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang
No.26/2000,
serta
pembentukannya
melalui
Keputusan Presiden atas usul DPR.
Tetapi
pemeriksaan dan upaya hukumnya sama dengan
ketentuan yang diberlakukan terhadap lembaga
pengadilan HAM.
Dengan demikian Pengadilan HAM adalah
lembaga
pengadilan
HAM
yang
bersifat
tetap/permanen
sebagaimana
ICC.
Sedang
Pengadilan HAM Ad hoc adalah lembaga pengadilan
HAM yang bersifat tidak tetap (insidentil) seperti
Tribunal Nuremberg dan Tokyodan Pengadilan HAM
Ad Hoc ex Yugoslavia dan Rwanda pada skala
internasional.
Perbedaan yang paling mendasar diantara
keduanya adalah pada Pengadilan HAM (permanen)
diberlakukan secara tajam asas legalitas. Sebaliknya
pada pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan asas
retroaktif.
Menurut hemat penulis, pemberlakuan kedua
asas yang berbeda ini membawa konsekuensi yuridis
yang berbeda pula sehubungan dengan yurisdiksi
kriminal, yaitu:
Pada Pengadilan HAM (permanen) karena
diberlakukan asas legalitas maka yurisdiksikriminalnya hanya meliputi Kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang
263
telah diatur dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 9. Tidak
termasuk kejahatan perang dan agresi yang menjadi
yurisdiksi-kriminal ICC.
Pada Pengadilan HAM Ad Hoc terdapat dua
kemungkinan:
a.
Dalam pengertian yang terbatas mengikuti
pasal 44, maka yurisdiksi-kriminal Pengadilan
HAM Ad Hoc hanya meliputi kejahatan
genosida
dan
kejahatan
terhadap
kemanusiaan sesuai pasal 7, pasal 8 dan
pasal 9. Tidak menjangkau kejahatan perang
dan agresi yang menjadi yurisdiksi-kriminal
ICC.
b.
Dalam pengertian yang meluas mengikuti
asas retroaktif berarti tidak mengikuti UU
No.26/2000,
maka
yurisdiksi-kriminal
Pengadilan HAM Ad Hoc selain kejahatan
genosida
dan
kejahatan
terhadap
kemanusiaan, juga dapat meliputi kejahatan
perang dan agresi yang terjadi sebelum
diundangkannya UU No.26/2000. Jadi
dengan asas retroaktif tersebut yurisdiksikriminal Pengadilan HAM Ad Hoc dapat
menjadi tidak terbatas hanya pada dua jenis
kejahatan-pelanggaran HAM yang berat
dalam UU No.26/2000 tersebut, tapi dapat
meluas menjangkau yurisdiksi kejahatan
perang dan agresi yang juga menjadi
yurisdiksi ICC.
Kemudian Dalam instrument perundangan
nasional Indonesia rumusan pelanggaran HAM dapat
ditemukan dalam:
1) UUD 1945 & Amandemen khususnya pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal
33 ayat (1) & ayat (3), dan Pasal 34.
264
2) TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia
3) UU RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak
Asasi Manusia
4) UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia
5) Pelbagai UU RI tentang Ratifikasi KonvensiKonvensi Internasional yang terkait dengan
HAM.
Sedang kriteria untuk menentukan telah terjadi
kegagalan lembaga dan sistem peradilan pidana
nasional secara menyeluruh atau substansial
menangani pelanggaran HAM yang berat, adalah:
1).
Tidak ada lembaga dan sistem peradilan
pidana nasional yang dapat menangani
kasus tersebut;
2).
Lembaga dan sistem peradilan pidana
nasional
yang
ada
tidak
bersedia
mencari/menemukan tersangka, atau saksi,
atau bukti-bukti;
3).
Lembaga dan sistem peradilan pidana
nasional
menyelenggarakan
proses
peradilan yang sengaja melindungi pelaku
kejahatan
(tersangka/terdakwa)
dari
ancaman hukuman;
4).
Lembaga dan sistem peradilan pidana
nasional tidak mampu menyelenggarakan
proses peradilan pidana yang adil dan patut,
seperti: tidak independen, bersifat memihak,
bersifat apriori, diskriminasi, mengabaikan
hak-hak tersangka / terdakwa atau korban,
dan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip
"denial of justice" (penyangkalan terhadap
keadilan) lainnya;
265
Kewenangan untuk menentukan terpenuhitidaknya kriteria tersebut diatas ada pada Dewan
Keamanan PBB selaku lembaga yang berwenang
membentuk tribunal internasional ad hoc. Berbeda
pada ICC, yang menentukan ada tidaknya
kesungguhan
(genuinely),
ketidakmauan
(unwillingness), dan ketidakmampuan (inability)
lembaga dan sistem peradilan pidana nasional
menangani kasus pelanggaran HAM yang berat
adalah ICC itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan
prinsip Admissibility ICC dalam pasal 17 Statuta ICC.
Dalam hal ini menurut Muladi lembaga peradilan
pidana nasional seringkali tidak mau atau tidak
mampu berbuat, baik karena harus mengadili warga
negaranya sendiri yang kadang-kadang posisinya
sangat tinggi ataupun karena ketidakberdayaan
(collapsed) lembaga peradilan tersebut seperti yang
terjadi di Rwanda.34
Sebagaimana
diketahui,
istilah
"tribunal"
digunakan bagi pengadilan pidana internasional ad
hoc. Sedang "court" digunakan bagi ICC yang
bersifat permanen.
34 Muladi, 2001 op cit hlm 5
266
BAB III
PERANAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN
AGRESI YANG DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN
PADA HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Sumber Penegakan Hukum Dalam Sistem Pemerintahan
Negara
1. Ajaran Pemisahan Kekuasaan Pemerintahan Negara
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Dalam Leviathan, Hobbes menggambarkan
despotisme sebagai bentuk pemerintahan yang
paling natural dan efektif. Alasanya karena dalam
diri manusia terdapat suatu hasrat yang begitu kuat
untuk melindungi diri sendiri, sehingga terdorong
untuk mencari kekuatan dalam semua bentuk. Dia
seluruhnya menjadi egois, hanya tertarik pada
masyarakat atau mengikutinya sejauh dapat bekerja
sama dengannya dalam pencarian dirinya. Sekalipun
begitu manusia dilihatnya bukanlah seekor hewan
buas di hutan, dan menyadari secara baik dan penuh
bahwa negara alami adalah ekuivalen hanya untuk
anarki, dimana kekuatan bengis berlaku dominan.
Begitulah, dalam rangka menjaga dirinya sendiri dari
suatu masyarakat dimana kecerdikan bukannya
kekuatan
adalah
bagian
esensi,
manusia
menyerahkan beberapa hak-haknya pada pemerintah
sebagai kompensasi memperoleh perlindungan dan
stabilitas. Dalam kaitan itu menurut Hobbes format
pemerintahan monarki absulut yang paling sesuai
untuk memelihara stabilitas dan menekan insting
mentah dari manusia. Demokrasi rapat kota adalah
267
tidak mungkin dalam skala besar, dan aturan
representatif tunduk pada segala rupa keterlibatan,
kebingungan dan inefisiensi. Lebih baik dari manusia
yang harus mendelegasikan hak-haknya kepada
seorang wakil, monarki sendiri, yang kelemahannya
paling tidak, tidak lebih besar dibandingkan mereka
para anggota parlemen atau dewan perwakilan yang
populer dan siapa yang potensinya untuk bertindak
cepat dan menentukan adalah jauh superior dengan
yang memperoleh di bawah format peraturan
tersebut. Lebih jauh, monarki secara teoritis berada di
atas faksionalisme atau bias, sejak dalam posisinya
dia telah memuaskan secara penuh hasratnya pada
kekuasaan dan tidak dapat memperoleh lagi. Dia
dengan demikian terbatas untuk bertindak hanya
pada benda publik, dimana dia akan pastinya
mengerjakan karena, dengan sendirian, dia dapat
secara mudah dan secara tepat dipecat jika dia
menggunakan kekuasaannya dengan cara yang tak
beralasan atau tidak bijaksana.
Prinsip-prinsip monarki yang agak sinis ini dapat
sangat diharapkan menjadi populer dalam Amerika
revolusioner, dan sekalipun begitu sikap Hobbes
menuju alam manusia memiliki beberapa penerimaan
dalam koloni. Pada tempat pertama ia bersamaan
waktu dengan doktrin Puritan kuno tentang perbuatan
jahat manusia dan kedua, ia meluas pada justifikasi
pihak kiri tentang kesadaran hak milik manusia yang
sesuai dengan khayalan masyarakat muda yang
tamak.
Bahwa konsep Leviathan ini menjiwai
argumen-argumen partai Federalist dan secara
khusus
dalam
ucapan-ucapan
Federalisme,
Alexander Hamilton. Sebagaimana Hobbes, Hamilton
secara politis mengutip diktum Hume, bahwa setiap
manusia hendaknya dianggap seorang bajingan yang
hanya mementingkan diri sendiri dengan segala cara.
Iri dengki merupakan sumber sifat jahat manusia
yang terbesar, sehingga dipandang sebagai suatu
penderitaan utama dari sifat alami manusia. Sifat
268
alami manusia adalah suka menentang secara
natural, begitu korup, begitu malas, begitu egois dan
iri dengki, dimana dia tidak pernah baik kecuali ada
keperluan. Sehingga pemerintah harus dilembagakan
un tuk melindungi manusia dari bakat jahat alaminya.
Lebih konkrit lagi pemerintah berfungsi untuk
melindungi kepemilikan individu dan minoritas dari
tindakan rakyat banyak yang tidak patuh pada
hukum. Untuk itu secara natural Federalist menyukai
suatu pemerintahan yang kuat dan sangat terpusat,
yang otoritasnya akan sangat kuat untuk ditantang
oleh massa dan mereka yang bersifat serakah
menumpuk kekayaan pribadi.
b. John Locke (1632-1704)
Antara Hobbes dan John Locke (1632-1704)
terdapat sangat sedikit persamaan dan kebanyakan
bertentangan dalam pendapat umum. Mereka setuju
akan tendensi manusia untuk menjadi jahat dan
predator dan setuju bahwa pemerintah perlu untuk
mencegah anarki. Mereka juga setuju bahwa
pemerintah yang tidak membawa manfaat publik
harus diturunkan. Selain dari itu keduanya sangatr
berbeda. Locke adalah seorang Whig yang tidak
sependapat dengan
Hobbes dan Stuarts karena
menganggapnya pemerintahan mereka seperti
memiliki justifikasi yang bukan hukum ataupun moral.
Setelah bergesernya raja Stuart terakhir pada tahun
1688, Locke bebas untuk menerbitkan pandangan
politiknya dalam Dua Risalah Pemerintah (1690).
Dalam essay-essay ini dia membenarkan Revolusi
Agung dan menegakkan pemerintahan parlementer
baru, dan tanpa disadari menjadi dasar Konstitusi
Amerika Serikat.
Pemikiran politik Locke bersandar pada konsep
kontrak sosial, suatu teori pemerintahan yang tidak
269
sama sekali asli dari dia tetapi sesuatu hal untuk
mana ia memberi suatu interpretasi yang baru dan
sangat signifikan. Menurutnya hukum alam, adalah
baik dan didesain untuk kebahagiaan manusia, tetapi
manusia dalam negara alam tidak makmur. Tendensi
predatornya menentukan apa yang seharusnya
menjadi suatu masyarakat damai menjadi sesuatu
yang anarkis dan diatur hanya oleh hukum rimba.
Untuk muncul di atas situasi yang tidak
menggembirakan ini dan untuk menahan sikap suka
menantang dari sifat alaminya, manusia menciptakan
pemerintah dan, dengan sepenuh hati menyerahkan
beberapa hak-hak alami untuk mengembalikan
keamanan orang dan kepemilikan. Dalam membuat
pemerintahan protektif seperti ini, manusia tidak
menandatangani cek kosong. Pemerintah bukanlah
suatu
kekuatan
terpisah,
sewenang-wenang
sebagaimana dengan Hobbes tetapi lebih kepada
suatu fungsi terhadap masyarakat, yang ada oleh
persetujuan dan tanggung jawab mereka kepada
masyarakat
untuk
tindakan-tindakannya.
Jika
pemerintah melanggar kepercayaannya melalui
korupsi, inkompetensi, atau tirani, kontrak tersebut
otomatis batal, atau persetujuan dari masyarakat
ditiadakan. Begitulah Locke membantah ide
tradisional dari supremasi negara dan hak yang besar
dari monarki dan mengangkat konsep pemerintah
sebagai pelayan dari masyarakat bukan tuan
mereka, suatu instrumen yang diciptakan secara
bebas oleh suatu mayoritas dari yang mempunyai
hak pilih dan didekasikan untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan semua. Dengan dasar tersebut,
pemerintah bukanlah kedaulatan tetapi pemegang
kepercayaan; ia adalah agen yang terbatas
kekuasaannya
dengan
kontrak
dan
sangat
bertanggung jawab kepada masyarakat.
Semua manusia, kata Locke, memiliki tiga insting
alami untuk hidup, kebebasan, dan kepemilikan.
Insting alami yang pertama: untuk hidup dan yang
270
kedua: kebebasan secara umum sama dengan
insting alami hewan-hewan buas, tetapi insting alami
yang ketiga: kepemilikan hanya khusus untuk
manusia dan dibenarkan oleh Tuhan sendiri, dimana
manusia diberi tahu bahwa ”Tuhan telah memberikan
bumi untuk anak-anak manusia.” Insting-insting ini,
yang menjadi bagian hukum alam, adalah baik dan
cocok dengan hak-hak natural dari kemanusiaan;
pencapaian kebahagiaan manusia tergantung dari
penjagaan terhadap karunia prerogatif Tuhan ini. Hak
untuk kehidupan dan kebebasan diperoleh secara
alami dalam negara, tapi hak kepemilikan dijamin
hanya di bawah pemerintah. Dalam menetapkan
pemerintah,
manusia
menyerahkan
beberapa
kebebasannya untuk manfaat lebih besar atau
keamanan kepemilikannya; ”raja-raja berakhir,
karena itu, manusia-manusia bersatu ke dalam
persemakmuran dan menaruh diri mereka sendiri di
bawah pemerintah yang dibatasi oleh kontrak sosial
untuk melindungi hak tersebut dan tidak boleh
membatalkannya tanpa persetujuan dari pemilik
kepemilikan. Dalam masa peperangan dan keadaan
darurat lain, negara mengerahkan kehidupan dan
membatasi kebebasan dari individu, tetapi ia tidak
boleh
secara
sewenang-wenang
meniadakan
kepemilikannya. Begitulah dalam membangun teori
Hak-hak Alami, Locke menset permanen prinsip
dasar
kapitalisme
modern;
tetapi
dengan
mengagungkan tiga hak dari kehidupan, kebebasan
dan kepemilikan, dia membuat jelas bahwa yang
paling besar dari semua itu adalah kepemilikan.
Format pemerintah yang didukung oleh Locke
sebagai yang paling mungkin untuk mencapai tujuantujuan ini adalah negara konstitusional di mana
peraturan secara jelas dan secara spesifik terbatas
dalam kekuasaannya dan di mana keadilan adalah
satu-satunya basis otoritas. Fungsi negara dipecah
ke dalam tiga badan: legislatif, eksekutif dan
yudikatif, dengan mayoritas mengatur dalam semua
271
hal. Dan meskipun dia tidak spesifik, Locke
mengindikasikan bahwa dia lebih menyukai suatu
pemerintah yang relatif permanen seperti yang
ditemukan dalam monarki terbatas dibandingkan
yang secara konstan berubah dengan damai ataupun
tidak damai. Kesemua kecuali yang terakhir dari
rekomendasi-rekomendasi ini sebagai prinsip-prinsip
dasar Konstitusi Amerika, sementara teori Hak-hak
Alami
memberi inspirasi untuk Deklarasi
Kemerdekaan.
Dalam teorinya, John Locke menjelaskan
pembagian kekuasaan pemerintahan yang terbagi
dalam tiga cabang kekuasaan,yaitu:
1. Legislatif,
yang
memegang
membuat Undang-undang.
kekuasaan
2. Eksekutif,
yang
memegang
kekuasaan
melaksanakan Undang-undang, termasuk
didalam kekuasaan mengadili (yudikatif).
Kekuasaan mengadili dipandang John Locke
sebagai kekuasaan menjalankan Undangundang yang dibuat legislative.
3. Federatif,
yang
memegang
kekuasaan
menyatakan perang, damai dan mengadakan
perjanjian dengan negara lain. Kekuasaan
federatif ini juga sering disebut kekuasaan
untuk mengadakan hubungan dengan luar
negeri.
c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Meskipun sebagai Seorang murid Locke,
Rousseau
jauh lebih revolusioner dibandingkan
gurunya dan lebih jauhdalam kajian kebaikan natural
manusia. Lebih jauh lagi, ketika dia menyetujui
272
keperluannya akan pemerintah dengan kontrak, dia
menganggap semua pemerintah sebagai seorang
yang bijaksana dibandingkan seorang yang baik dan
mengutuknya ketika hasrat egois manusia untuk
kepemilikan telah menyebabkan dia menolak negara
alam untuk legalitas kejahatan ”peradaban.”
Rousseau yang pertama memperoleh suatu nama
untuk dirinya dengan menulis essay anti intelektual
Diskursus Seni dan Sains (1750), dimana dia
menyatakan bahwa studi sains, jauh dari membuat
manusia lebih bahagia, yang melulu mempersulit
kehidupannya dan membawanya pada kekurangan
lebih jauh. Manusia dalam suatu negara primitif
adalah senang, kata dia, dan belajar hanya yang
akan mengacaukan kebaikan alaminya. Lebih jauh
lagi, seni telah membuat ketertarikan dia akan
kemewahan dan dengan demikian egois dan tamak.
Semua ini telah membawa pada ketidaksetaraan
sosial, satu-satunya penyebab paling besar dari
ketidak bahagiaan manusia. Karena itu, ”pikiran kami
telah dikorupsi dengan proporsi sebagaimana seni
dan sains telah meningkatkan”; manusia telah
mencoba untuk menemukan dalam hukum sains
petunjuk bagaimana dia dapat memperoleh lebih
banyak dan lebih mudah dengan memperhatikan sifat
alaminya.
Dari poin ini Rousseau, dalam Diskursus
Ketidaksetaraan
(1755),
berangkat
menuju
kemenangan ”negara alam,” dimana buah-buah bumi
adalah tersedia untuk semua manusia, ”seorang liar
yang mulia,” adalah bodoh, memuaskan, dan bebas
secara sempurna. Ini hanya ketika kepemilikan
pribadi diperkenalkan, manusia tersebut mulai untuk
memperbudak dirinya sendiri dan kehilangan
kebaikan alaminya. Pemerintah adalah institusi yang
ditemukan untuk melindungi kepemilikan pribadi, dan
ia memiliki asalnya dalam bentuk jahat dan ada untuk
mempromosikan ketidak setaraan. Ini hanya ketika
273
pemerintah dihancurkan dan manusia kembali pada
negara alam dimana kesetaraan dapat dikembalikan.
Secara alamiah, Rousseau menyadari bahwa
”negara alam” adalah hanya satu abstraksi filosofis
dan manusia tersebut tidak pernah dapat ”kembali”
pada keselamatan dalam pengertian yang relatif.
Dalam karya terpentingnya, Kontrak Sosial (1762),
Rousseau meningkatkan solusi praktisnya terhadap
masalah dengan mengadvokasi suatu bentuk
pemerintahan demokratis yang akan berfungsi
hanya sebagai pelayan orang-orang dan akan
memperoleh
otoritasnya
dari
persetujuan
masyarakat. Kedaulatan bertahan tidak terasing dari
masyarakat, dia menunjukkan; pemerintahan absolut
dan koersif adalah berlawanan dengan hukum alam
dan seharusnya dibuang atau tidak dipakai. Bentuk
terbaik dari pemerintahan adalah di mana semua
orang berpartisipasi, tetapi dalam negara besar
prosedur ini adalah tidak mungkin, bentuk terbaik
selanjutnya
adalah
pemerintahan
dengan
perwakilan yang bertanggung jawab pada orangorang dan terpilih oleh pemilihan umum.
Begitulah, pemerintah seharusnya suatu kontrak
antara orang-orang dan para pemimpin, dimana
pendiri (rakyat) menyewa yang kedua (para
pemimpin)
untuk
menjalankan
negara
dan
memerintah atas pertimbangan suatu porsi dari
kebebasan alami mereka. Orang-orang menyerahkan
kedaulatan mereka kepada orang-orang yang terpilih
melalui sebuah pemilihan untuk memerintah, tetapi
pemerintah yang terbentuk merupakan seorang
pelayan masyarakat untuk kemakmuran umum.
Dalam hal ini semua tindakan yang berlawanan
dengan kemakmuran umum dilarang.
Kontrak Sosial karya J.J. Rosseau ini mengangkat
tema: Liberte, Egalite, dan Fraternite, yang
mendorong pembentukan fusi untuk Revolusi
Preancis. Tetapi pengaruh Rosseau di Amerika lebih
274
secara imajinatif yang menginspirasi beberapa spirit
Revolusi Amerika, pengaruhnya pada Konstitusi
tidak banyak. Para Pendiri Amerika secara umum
sangat setuju terhadap kesucian kepemilikan, dan
pandangan
Rousseau
mengenai
kepemilikan
personal dan kebaikan umum lebih penting daripada
proteksi kepemilikan. Para pendiri dan revolusiner
Amerika setuju dengan banyak hal dalam Kontrak
Sosial. Tetapi tidak setuju dalam kepercayaannya
pada basis kekhawatiran massa, kecurigaannya pada
industri dan konsekuensinya pemuliaan kehidupan
agraria, dan advokasinya terhadap pendidikan
masyarakat
yang
tersebar
luas.
Kemudian
mempengaruhi perdebatan tentang pencapaian
kemakmuran berlandaskan ketiga hak alami dan
khusus hak kepemilikan. Kemudian ternyata
perdebatan-perdebatan ini mendorong lahirnya
sistem dua partai nasional yang moderat dan tidak
ideologis. Menjadi moderat karena dipersatukan
oleh hak-hak alami: kehidupan, kebebasan, dan
kepemilikan (pencapaian kemakmuran) sebagai
tujuan bersama. Tidak ideologis karena konstitusi
sudah final dan merupakan harga mati yang
harus dipertahankan bersama.
d. Montesquieu
Sedang Montesquieu mengedepankan teori Trias
Politika mengenai pemisahan kekuasaan pemerintah
kedalam tiga cabang, yaitu:
1. Legislatif,
yang
memegang
membuat Undang-undang.
kekuasaan
2. Eksekutif,
yang
memegang
melaksanakan Undang-undang.
kekuasaan
275
3. Yudikatif,
yang
memegang
kekuasaan
kehakiman yang menimbang dan mengadili.
Akan tetapi pemisahan kekuasaan yang
dimaksudkan bukan pemisahaan kekuasaan yang
bersifat kaku dan mutlak, melainkan ketiga cabang
kekuasaan (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif) saling
tumpang
tindih.
Sebagaimana
pengamatan
Montesquieu terhadap sistem pemerintahan di
Inggris, bahwa pada hakekatnya kekuasaan Raja
untuk memveto adalah termasuk dalam cabang
legislative, dan hak Parlemen untuk menyelidiki
bagaimana hukum dilaksanakan dan hak untuk
meminta pertanggungjawaban para menteri raja
menyebabkan tumpang tindih dengan kekuasaan
eksekutif. Lebih jauh lagi, Majelis Tinggi para
bangsawan berfungsi sebagai sidang pengadilan
dalam dengan pendapat pertanggungjawaban itu,
mengadili salah satu anggota mereka sendiri yang
dtuduh atas kejahatan tertentu, atau memperlunak
suatu hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan
rendah (XI,6(49-50). Meski begitu, Montesquieu jelas
bermaksud untuk menyatakan bahwa dibandingkan
pemerintah despotic di mana semua kekuasaan
berada pada satu orang, pemerintahan Inggris
menggambarkan pemisahan kekuasaan yang
mendasar dan jelas. Meski kekuasaan Raja,
Parlemen, dan Majelis saling bertumpang tindih,
namun badan-badan ini tetap merupakan badan
terpisah yang memiliki hak dan kekuasaan yang jelas
dan juga personilnya masing-masing. Berbeda sekali
dengan situasi Perancis di bawah Louis XIV, di mana
Raja memadukan kekuasaan eksekutif dan
legislative,
membiarkan
parlemen
bergulat
mendapatkan jatah kekuasaan legislative melalui hak
mereka untuk mensahkan semua rancangan
maklumat sebelum menjadi undang-undang. Dengan
demikian Montesquieu benar-benar melihat dalam
pemerintahan Inggris adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan diantara badan yang berbeda
276
yang secara memadai diberi perhatian tersendiri
untuk mendapatkan komentar serius. James Madison
memahami betul maksud Montesquieu dengan
menyatakan bahwa “Montesquieu tidak bermaksud
menyatakan bahwa semua departemen ini (
eksekutif, legislative, dan yudikatif) tidak boleh
memiliki perwakilan parsial dengan atau tanpa
kendali atas tindakan departemen lainnya.” Ia hanya
bermaksud bahwa “dimana seluruh kekuasaan dari
satu departemen dijalankan oleh tangan yang sama
yang juga memiliki seluruh kekuasaan dari
departemen
lainnya,
maka
prinsip-prinsip
fundamental suatu konstitusi yang bebas pun
roboh”.35
Kemudian Montesquieu membagi bentuk-bentuk
ideal pemerintahan kedalam
tiga bentuk
pemerintahan, yaitu:
1. Republic, yang terbagi lagi ke dalam dua
bentuk, yaitu:
a. Demokrasi,
b. Aristokrasi,
2. Monarki, dan
3. Despotisme.
Pemerintahan demokratis bersandar pada tiga
dukungan
utama:
Kebajikan
(virtue)
politik,
kesetaraan, dan kesederhanaan. Kebajikan politik
mendorong warga negara untuk menempatkan
kebutuhan public di atas kepentingan pribadi,
kesetaraan dalam kadar tertentu dijaga, dan
konsumsi dilaksanakan secara sederhana sehingga
ketamakan tidak menggerogoti loyalitas kepada
negara.
35 Monstesquieu. The Spirit of Laws. Cetakan I, September 2007, Penerbit
Nusamedia Bandung, hlm 65
277
Di negara-negara monarki, stabilitas berasal dari
adanya
kehormatan,
ketidaksetaraan,
dan
kemewahan. Mereka yang derajat dan kedudukannya
tinggi berusaha menjunjung tinggi kekhasan dan hak
istimewa mereka, ketidak setaraan tidak tergoyahkan,
dan konsumsi dijaga pada level yang mencolok.
Akhirnya, di negara-negara despotic, seperti
halnya di negara-negara demokrasi, ada kesetaraan
dalam kadar tertentu, tetapi itu hanyalah kesetaraan
di antara warga negara. Despot adalah segalagalanya dan warga negara tidak ada artinya sama
sekali. Menurut Montesquieu, kekuasan despotic
tidak bisa diawasi kecuali oleh ajaran-ajaran agama.
OLeh karena itu, ketiga bentuk pemerintahan
tersebut di atas oleh Montesquieu dipandangnya
sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang ideal,
artinya
ketiganya
mempunyai
keunggulankeunggulan masing-masing, dan tidak ada yang lebih
baik dari yang lainnya.
Demikian pernyataan Montesquieu, bahwa
pemerintah yang terbaik adalah yang cocok dengan
orang-orang tertentu yang dituju oleh pemerintah itu.
Dan dalam The Spirit of Laws dengan berapi-api ia
menolak untuk mengistimewakan satu bentuk
pemerintahan atas bentuk lainnya .36
Bahwa filosofis hukum, politik dan pemerintahan
Amerika Serikat tidak terlepas dari empat tokoh
kunci: John Locke, Montesquieu, Thomas Hobbes
dan J.J. Rousseau. Ajaran-ajaran mereka begitu kuat
mempengaruhi para pendiri bangsa, antara lain:
Thomas Jefferson, Washington, James Madison,
Alexander Hamilton, dan Benyamin Franklin.
Sehingga lahirlah Amerika Serikat sebagai negara
Republik dengan sistem pemerintahan: Demokrasi
36 Ibid hlm 70
278
Konstitusional, Federalist, Presidential, Pemisahan
tiga cabang kekuasaan pemerintahan, yaitu: Legislatif
(becameral: Senat dan The House of Representatif),
Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung.
Dalam hal ini Washington begitu teguh
memelihara
Republik
Amerika
Serikat
dari
perpecahan tanpa diiringi ambisi untuk terus
berkuasa. Dia tidak berkeinginan menjadi raja
maupun dictator. Dialah orang yang menanamkan
kaidah perlunya perpindahan kekuasaan dari satu
tangan ke tangan yang lain dengan cara damai.
Kaidah ini tetap dianut di Amerika hingga saat ini. 37
Selain itu, ia juga yang pertama melakukan
pembatasan masa jabatan presiden cukup dua
periode, sehingga tidak bersedia mencalonkan diri
lagi untuk masa jabatan yang ketiga. Meskipun saat
itu belum ada undang-undang pembatasan masa
jabatan presiden. Peranannya sebagai ketua
Konvensi Konstitusi sangat cemerlang, sehingga
begitu membantu disetujuinya Konstitusi Amerika
Serikat tahun 1787 menggantikan Article of
Confederation.
e. Alexander Hamilton & James Madison Federalist Papers
The
Pada tanggal 7 Juni 1776, di Kongres kontinetal ,
Richard Henry Lee, wakil masyarakat Virginia,
mengusulkan pembentukan Federasi Amerika yang
merdeka. Panitia yang beranggotakan lima orang dan
dipimpin oleh Thomas Jefferson, mempersiapkan
proklamasi kemerdekaan yang ditetapkan oleh
Kongres pada tanggal 4 Juli 177638, maka lahirlah
37 Michael H. Hart. 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa. Karisma
Publishng Group,2005. hlm 132.
38 Jacques Godechot. Revolusi Di Dunia Barat (1770 – 1799). Penerbit Gadjah
Mada University Press,1989. hlm.17
279
sebuah negara baru I benua Amerika sebelah utara,
Negara Fedrasi Amerika Serikat. Itulah awal dari
perdebatan dan perjalanan panjang tentang
federalisme Amerika Serikat yang terus menerus
berkembang dan telah melewati waktu dua abad
mencari bentuknya yang paling ideal sesuai
perkembangan kebutuhan bangsa dan negara.
Pada mulanya federalisme Amerika dikemukakan
dan diperdebatkan dalam Kongres Kontinental yang
diselenggarakan untuk mempersiapkan kemerdekaan
koloni-koloni Inggris di benua Amerika Utara.
Peristiwa ini juga dapat dipandang merupakan titik
kulminasi Revolusi Amerika, yaitu sebuah perjuangan
para kolonis yang ingin membebaskan diri dari
campur tangan kerajaan Inggris, dan membangun
sebuah negara yang merdeka, demokratis dan
beradab sesuai kodrati kemanusiaannya.
Semua gagasan awal federalisme dari para
pendiri bangsa dan negara dirangkum dalam “ The
Federalist Papers”. Oleh karena itu pula merupakan
dokumen tertulis tertua tentang federalisme negara.
Ada banyak pendapat
tentang federalisme,
bahkan ada yang menyatakan sebanyak 267
defenisi, ….One sholar counted 267 defenitions 39.
Namun demikian pada dasarnya federalisme
dapat
didefenisikan
sebagai
suatu
bentuk
pemerintahan
yang
membagi
kekuasaan
berdasarkan konstitusi antara kekuasaan pemerintah
di pusat dan pemerintah di daerah: negara bagian
atau propinsi, termasuk didalamnya kekuasaan dan
tanggungjawab menegakkan peraturan hukum dan
memungut pajak terhadap setiap penduduk.
39 James McGregor Burns Cs. op.cit. hlm.28
280
Sebagaimana penjelasan James McGregor Burn
cs40, Federalism, as we define it, it’s a form of
government in which a constitution distributes powers
between a central government and subdivisional
governments-usually called states or provinces or
republics-giving to both the national government and
the regional governments substantial responsibilities
and powers, including the power to collect taxes and
to pass and enforce laws regulating the conduct of
individuals.
Patut pula dikemukakan pendapat Lawrence M.
Friedman41, bahwa Sistem federal adalah sistem
pemerintahan dan hukum dimana pemerintah
nasional yang terpusat berbagi kekuasaan dengan
negar bagian, propinsi, atau wilayah yang dalam
batas-batas tertentu masing-masing berdaulat
dengan hak-haknya sendiri.
Pada dasarnya terdapat tiga sistem pemerintahan
yang terkait dengan hubungan antara pemerintahan
pusat dan bagian-bagian pemerintahan di daerah :
1. Sistem Kesatuan,
2. Sistem Konfederal, dan
3. Sistem Federal.
Dari ketiga sistem di atas yang paling banyak
dipraktekkan selama ini adalah
adalah Sistem
Kesatuan.
40 James McGregor Burns Cs. ibid., op.cit. hlm.28
41 Lawrence M. Friedman. HUKUM A,MERIKA Sebuah Pengantar. PT. Tatanusa,
2001. hlm.168
281
Ad.1. Sistem Kesatuan
Dalam sistem kesatuan ini pemerintah
pusat memegang kewenangan
menangani
semua kepentingan-kepentingan nasional baik
didalam maupun diluar negeri. Kemudian
pemerintah
pusat
dapat
mendelegasikan
kewenangannya kepada unit-unit pemerintahan
di daerah. Pemerintahan di daerah pada dasarnya
menjalankan kebijakan-kebijakan dan keputusankeputusan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Sehingga pemerintah pusat dapat
mengawasi, menangguhkan, membatalkan atau
menganulir kebijakan-kebijakan dan keputusankeputusan pemerintah daerah yang dianggap
bertentangan
dengan
pemerintah
pusat.
Pendelegasian kewenangan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dapat dilakukan
secara keseluruhan atau sebagian sesuai
kebutuhannya. Kewenangan-kewenangan yang
telah didelegasikan dapat ditarik, diganti,
diperluas atau dikurangi oleh pemerintah pusat.
Kewenangan yang telah didelegasikan menjadi
hak, kewajiban dan tanggungjawab unit
pemerintah daerah untuk dijalankan. Akan tetapi
pada umumnya dalam praktek kewenangankewenangan yang telah didelegasikan merupakan
kewenangan-kewenangan yang telah disepakati
bersama oleh pemerintah pusat dan unit
pemerintahan di bawahnya. Secara structural
pemerintah pusat berada di atas pemerintahan
daerah, dan sebagai simpul pusat kesatuan
pemerintahan
negara.
Sebagian
pejabat
pemerintahan di daerah diangkat oleh pemerintah
pusat, dan sebagian lagi dipilih di daerah tetapi
pemerintah pusat dapat menganulirnya karena
kondisi-kondisi tertentu.
282
Sistem
kesatuan
memungkinkan
wewenang pemerintahan yang pokok untuk
menangani masalah nasional, atau pemerintahan
pusat.
Mempertimbangkan
sebuah
sistem
kesatuan
yang
khusus-Prancis.
Terdapat
departemen-departemen dan kotamadya di
Perancis. Didalam departemen-departemen dan
kotamadya ada pemerintahan yang terpisah
kesatuan yang lahir dengan pemilihan dan
pejabat yang ditunjuk. Sejauh ini, sistem yang
muncul di Perancis terlihat serupa dengan sistem
di Amerika Serikat, namun kesamaan hanya pada
permukaan. Dibawah sistem kesatuan Perancis,
keputusan-keputusan
pemerintahan
dari
departemen-departemen dan kotamadya dapat
ditolak oleh Pemerintah Nasional. Pemerintah
Nasional juga dapat menghentikan pendanaan
dari banyak departemen dan aktivitas pemerintah
kotamadya. Lebih lanjut, dalam sebuah sistem
kesatuan seperti di Perancis, semua pertanyaan
yang berhubungan dengan pendidikan, polisi,
penggunaan lahan, dan kesejahteraan ditangani
oleh Pemerintah Nasional. Inggris Raya, Swedia,
Israel, Mesir, Ghana dan Filipina juga memiliki
pemerintahan sistem kesatuan, seperti yang
dilakukan banyak negara saat ini.42
Ad.2. Sistem Konfederasi
Kebalikan dari sistem kesatuan, sistem
konfederasi ini berbentuk sebuah liga negara
merdeka. Liga ini terdiri dari utusan-utusan
negara-negara anggota liga yang bertindak
sebagai pemerintahan pusat dengan kekuasaan
yang sangat terbatas yaitu hanya berkuasa untuk
menangani berbagai persoalan umum yang
42 ………….. Federalisme
283
diberikan oleh negara-negara anggota liga secara
jelas
dan
tegas.
Semua
peraturan
perundangundangan yang dibuat pemerintahan
pusat tidak dapat secara langsung diterapkan
kepada individu-individu sebelum negara-negara
anggota secara eksplisit menyetujuinya. Pada
awalnya kemerdekaannya antara tahun 17811789 Amerika Serikat menerapkan sistem
konfederasi. Saat itu pemerintah pusat Amerika
Serikat berbentuk liga yang beranggotakan
seluruh negara bagian sebanyak tiga belas
negara
bagian.
Berdasarkan
Articles
of
Confederation pemerintah pusat Amerika Serikat
ada ditangan Kongres. Kongres terdiri dari
delegasi delegasi yang yang ditunuk setiap tahun
oleh negara bagian – negara bagian melalui
persetujuan legislatif masing-masing negara
bagian. Setiap negara bagian mempunyai hak dan
kedudukan yang sama tanpa membedakan
populasi atau potensi kekayaan alamnya.
Sehingga
masing-masing
negara
bagian
mempunyai satu suara di Kongres. Setiap
keputusan Kongres memerlukan persetujuan
minimal sembilan suara negara bagian. Setiap
tahun anggota Kongres memilih salah satu
diantara mereka menjadi Ketua yang berfungsi
sebagai moderator. Ketua Kongres hanya
merupakan Presiden Kongres, bukan Presiden
Amerika Serikat. Masa itu belum ada seorangpun
yang dipilih atau diangkat sebagai Presiden
terhadap tiga belas negara bagian yang masih
mempertahankan kedaulatannya masing-masing.
Meskipun
mereka
telah
bersama-sama
menyatakan kemerdekaan Amerika Serikat
sebagai satu negara merdeka. Negara Amerika
Serikat yang mereka nyatakan sebagai negara
merdeka saat itu belum berdaulat karena
kedaulatan masih dipertahankan oleh masingmasing negara bagian tersebut.
284
Selanjutnya Kongres membentuk KomiteKomite untuk menangani masalah-masalah
Eksekutif dan Yudisial. Kemudian Kongres juga
menunjuk pejabat-pejabat sipil yang dibutuhkan.
Terdapat tiga ciri konfederasi Amerika
Serikat berdasarkan Articles of Confederation,
yaitu:
1. Pengakuan terhadap kedaulatan negara
bagian-negara bagian yang lengkap dan tidak
dapat diganggu-gugat. Oleh karena itu
Kongres sebagai pemerintah pusat/ nasional
tidak berhubungan langsung dengan individu
atau
penduduk,
melainkan
terbatas
berhubungan dengan negara bagian dalam
kapasitas sebagai anggota aliansi dalam
Kongres.
2. Pemerintah pusat berbentuk organ tunggal
yang disebut Kongres yang beranggotakan
delegasi-delegasi dari masing-masing negara
bagian.
3. Pembatasan
kekuasaan
pemerintah
pusat/nasional, yaitu hanya kekuasaan
disebutkan secara tegas dan jelas diberikan
oleh tiga belas negara bagian, yang menjadi
kekuasaan pemerintah pusat/nasional. Pada
awalnya terdaftar sembilan belas kekuasaan
yang diberikan kepada Kongres sebagai
pemerintah pusat/nasional, diantaranya adalah
kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan
perang, mengutus dan menerima duta besar,
membuat perjanjian, menetapkan standard
berat dan ukuran, mengatur campuran dan
nilai, mengatur perdagangan dan mengelola
urusan-urusan
dengan
orang
Indian,
mendirikan Kantor Pos, meminjam uang,
membangun dan melengkapi Angkatan Laut,
menyetujui besarnya kekuatan angkatan darat
285
dan membuat permintaan kuota bagi beberapa
negara bagian.
Ketiga belas negara bagian tersebut tidak
memberikan kepada Kongres sebagai pemerintah
pusat/nasional kekuasaan untuk mengatur
perdagangan dan keuasaan untuk memungut
pajak.
Kongres
sebagai
pemerintah
pusat/nasional diberi kekuasaan untuk mengatur
kekuangannya. Tetapi Negara bagian tidak
diharuskan mengabulkan permohonan keuangan
yang diajukan Kongres.
John
Adams
menggambarkan
pemerintahan sistem konfederal ini sebagai
perwakilan pusat dari suatu aliansi, suatu majelis
diplomasi. 43 Sedang Sayes Allum menyebutnya
sebagai “firm leaque of friendship”.44
Ad.3. Sistem Federal
Sistem
Federal
merupakan
sistem
pemerintahan yang memadukan unsur – unsur
sistem kesatuan dan sistem konfederal, atau
sistem ini berada diantara kedua bentuk sistem
pemerintahan tersebut. Dalam sebuah sistem
pemerintahan, wewenang dipisahkan, biasanya
dengan sebuah konstitusi tertulis, antara sebuah
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah,
atau sub divisi pemerintahan yang juga sering
disebut pemerintahan konstituante. Pemerintah
pusat dan pemerintah konstituante keduanya
bertindak secara langsung kepada rakyat melalui
undang-undang dan melalui tindakan-tindakan
dari pejabat pemerintah yang dipilih dan ditunjuk.
Didalam masing-masing wewenang lapisan
43 Sayes Allums. Principles of American Government… hlm. 17
44 Ibid hlm, 16
286
pemerintahan, masing-masing adalah tertinggi.
Penerapan federalisme di Amerika Serikat
tergambar jelas, dimana masing-masing negara
bagian mempunyai Undang-undang Dasar sendiri,
yang tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi
Federal/nasional.
Namun
demikian
setiap
perubahan
Konstitusi
harus
mendapat
pengesahan (ratifikasi) mayoritas dari NegaraNegara Bagian, berarti ada satu Konstitusi
Amerika Serikat (Federal/Nasional) dan 50
Undang Undang Dasar dari 50 Negara Bagian.
Kedua Konstitusi ini berlaku dan mengikat
individu-individu warga negara atau penduduk di
negara bagian masing-masing. Mahkamah Agung
Federal/Nasional melalui upaya hukum Judicial
Review memegang peranan sangat penting dalam
menyelaraskan pelaksanaan kedua konstitusi
tersebut. Melalui upaya hukum Judicial Review ini
Mahkamah Agung Federal/Nasional berwenang
menyatakan
suatu
peristiwa:
sosial
kemasyarakatan, budaya, hukum, politik, ekonomi
dan aspek kehidupan lainnya, serta kebijakan dan
perundang
undangan
baik
yang
dibuat
pemerintahan federal maupun pemerintahan
konstituen dinyatakan bertentangan dengan
Konstitusi Amerika Serikta (Federal/Nasional).
Tidak ada suatu peristiwa dalam kehidupan
rakyat dan penguasa yang tidak dapat di
judisialkan, semua dapat dijangkau oleh lembaga
pengadilan pada semua level terutama oleh
Mahkamah Agung Federal di level pemerintahan
nasional.
Menurut
Lawrence
M.
Friedman,45
Amerika Serikat adalah negara federal yang
sepenuhnya menekuni federalismenya secara
45 Lawrence M. Friedman. HUKUM A,MERIKA Sebuah Pengantar. PT. Tatanusa,
2001. hlm.169
287
sungguh-sungguh.
Pemerintah
nasional
berkedudukan di Washington, namun lima puluh
negara bangiannya bukan sekedar bayangbayang hampa. Negara bagian mempunyai
pemerintahan sendiri dan ibu kota sendiri, dan
mereka pasti “berdaulat” atas wilayahnya, yakni
dengan kuasa penuh. Dalam banyak hal, negara
bagian mempunyai undang-undang dasar dan
undang-undang dasar ini sangat berbeda dengan
Undang-Undang
Dasar
Federal.
Mereka
mempunyai badan legislative dengan dua majelis
di setiap negara bagian kecuali satu negara
bagian.
Masing-masing
negara
bagian
mempunyai kepala, Gubernur. Masing-masing
negara bagian mempunyai sistem pengadilan
sendiri.
Masing-masing
negara
bagian
mempunyai cabinet, staf eksekutif, dan sejumlah
badan administrasi. Negara bagian memang
berdaulat atau independent dalam batas tertentu.
Namun pemerintah nasional (federal) lebih
berkuasa.
Penjelasan lengkap federalisme Amerika
Serikat terdapat dalam “Federalist Papers”.
Dokumen ini terdiri dari 85 esai atau tulisan
pendek (1787 – 1788). Diantaranya 51 surat
disusun oleh Alexander Hamilton, dan ada 29
surat merupakan karya tulis dari James Madison
sendiri. Keduanya masih sangat relative muda
ketika menulis dan menyusun Federalist Papers,
Hamilton masih berusia 32 tahun dari negara
bagian New York dan Madison 36 tahun dari
negara bagian Virginia. Menurut Thomas
Jefferson sebagai salah satu Bapak Bangsa (The
Founding Father), kemudian menjadi Presiden
Amerika Serikat ke-3, bahwa The Federalist
Papers adalah penjelasan terbaik mengenai
prinsip-prinsip pemerintahan yang pernah ditulis.
Bagi John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-19,
The Federalist Papers merupakan risalah yang
288
sangat memberi pelajaran mengenai bentuk
pemerintahan federal. Sementara Alexis de
Tocqueville pada tahun 1835 mengatakan The
Federalist Papers adalah sebuah buku yang luar
biasa, sudah selayaknya dibaca oleh para
negarawan di berbagai negeri.”
Selanjutnya, para sejarawan kontemporer,
juri dan ilmuwan politik pada umumnya sepakat
bahwa The Federalist Papers merupakan sebuah
karya penting mengenai filsafat politik dan
pemerintahan yang pernah ditulis di Amerika
Serikat. The Federalist disetarakan dengan
Republik-nya Plato, Politics-nya Aristoteles, dan
Leviathan karya Thomaas Hobbes. Dan The
Federalist telah menjadi acuan bagi banyak
pemimpin dari negara-negara baru di Amerika
Latin, Asia dan Afrika guna menyiapkan UndangUndang Dasar mereka sendiri.46
Pandangan Madison tentang federalisme
berfokus pada prinsip-prinsip keterbukaan,
keseimbangan,
dan
kekuatan
penalaran
(kebajikan) terkait politik dan pemerintahan.
Sehingga melalui The Federalist Papers untuk
pertama kali gagasan mengenai pengawasan dan
kesimbangan (Checks and Balances) ditemukan
dalam literature politik sebagai suatu cara
membatasi dan mencegah penyelewengan
kekuasaan pemerintah. Pada awalnya mengacu
pada bentuk legislative bicameral: Senat dan
House of Representatif. Bagi Hamilton dan
Madison legislative bicameral ini merupakan
cabang
kekuasaan
yang
paling
kuat,
sebagaimana rancangan semula dimana anggota
House of Representatif dipilih oleh public, tetapi
akan diawasi dan diimbangi oleh sebuah Senat
yang dipilih oleh ledislatif negara bagian
46 Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Office of International Information
Program United State Department of State. Hlm. 38.
289
(kemudian sejak amandemen ke-17 tahun 1913
dipilih oleh rakyat di masing-masing negara
bagian). Substansinya menurut Madison, bahwa
suatu jabatan seharusnya mengawasi jabatan
lainnya. Dan penegasan Hamilton, bahwa sebuah
majelis yang demokratis harus diawasi oleh senat
yang demokratis dan keduanya oleh prresiden
yang demokratis pula. Kemudian Hamilton
melengkapi prinsip Checks and Balances dalam
The Federalist Papers ini melalui salah satu
tulisannya yang membela hak Mahkamah Agung
untuk berperan di atas hukum konstitusional yang
disahkan oleh legislative nasional atau negara
bagian. Menurut Hamilton, Mahkamah Agung
mempunyai
kekuasaan
untuk
berperan
melakukan pengawasan terhadap legislative
dengan cara melakukan Judicial Review yang
dimaksudnya sebagai upaya penibnjauan hukum
kembali. Menurut Hamolton,47 pengawasan yang
tepat terhadap legislative, seumpama “nafas
sekelompok orang yang sudah terinfeksi bisa
meracuni sumber air keadilan”. Mahkamah Agung
dipandangnya sebagai benteng dari UndangUndang Dasar yang terbatas dalam menghadapi
legislative yang bertindak melampaui batas.
Pendapat Hamilton ini dpandang sangat
cemerlang dan bersejarah karena untuk pertama
kali upaya hukum Judicial Review ditampilkan,
dan sangat bertolak belakang dengan sistem
Inggris yang membenarkan Parlemen dapat
mengesampingkan setiap keputusan pengadilan
yang dianggap tidak menyenangkan mayoritas
suara di Parlemen.
Selanjutnya pikiran-pikiran Madison dan
Hamilton dalam The Federalist Papers tersebut di
atas menjadi dasar terbentuknya prinsip-prinsip
pengawasan dan keseimbangan (Checks and
47 Ibid hlm 41
290
Balances) diantara tiga cabang pemerintahan:
Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif baik dilevel
Nasional maupun dilevel Negara Bagian. Dilevel
Nasional antara Kongres: Senat dan The House
of Representatif), Presiden dan Mahkamah Agung
Federal. Sedang dilevel Negara bagian antara
Legislatif Negara Bagian: Senat dan The House of
Representatif, Gubernur, dan Mahkamah Agung
Negara Bagian. Prinsip ini mengatur hubungan
pemisahan kekuasaan dan control diantara
Presiden Congress dan Supreme Court yang
sederajat dan serasi yaitu:
a. President mempunyai:
1) Kekuasaan:
(a) Enforces Laws
(b) Can Veto Bills
(c) Can Appoint Judges and Other Officials
2) Hak Kontrol:
(a) Can Appoint Judges and Other Officials
(b) Can be remove by Congress
(c) Congress can override veto
(d) Appointments must first be approved by
Congress
b. Congress mempunyai:
1) Kekuasaan:
(a) Makes the laws
(b) By a two veto of members congress can
pass a law over President’s veto
(c) Must approve President’s appointment
of judges and other officials
291
2) Hak Kontrol:
(a) President can veto a bill passed by
congress
(b) Laws passed by congress can be
declared unconstitutional by supreme
court
c. Supreme Court mempunyai:
1) Kekuasaan:
(a) Interprets the law
(b) Can declare laws unconstitutional
(c) Judicial review
2) Hak Kontrol:
(a) Judges appointed for life by President
(b) Appointments must first be approved by
congress
(c)Judges can be remove by congress for
improver behavior
Penerapan prinsip pengawasan dan
keseimbangan (Checks and Balances) tidak
terlepas dengan gagasan pemisahan kekuasaan
pemerintahan yang menjadi pilihan. Pada
dasarnya pemisahan kekuasaan pemerintahan
yang terbagi menjadi tiga lembaga: Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif dimaksudkan untuk
menghindari tirani dan pemusatan kekuasaan
pada satu atau beberapa orang. Namun demikian
dalam dokumen The Federalist Papers, Madison
dan Hamilton menambahkan keunggulan lainnya,
yaitu dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pemerintahan. Karena dibatasi untuk berfungsi
secara
spesifik,
maka
lembaga-lembaga
pemerintahan yang berbeda itu mengembangkan
keahlian dan kebanggaan akan peran mereka
masing-masing. Hal yang sukar terjadi jika
mereka digabung b ersama-sama atau saling
292
tumpang tindih pada tingkatan tertentu. Kualitas
yang mungkin penting bagi satu fungsi, tapi bisa
tidsak sesuai bagi yang lainnya. Lalu Hamilton
memberi istilah “energi pada eksekutif” sebagai
hal yang mendasar untuk mempertahankan
negqara melawan serangan asing, menjalankan
hukum secara adil, dan melindungi hak milik dan
kemerdekaan individu yang dilihat sebagai hak.
Disisi lain, bukanlah enegi tetapi “pertimbangan
dan kebijaksanaan” –lah yang merupakan
kualifikasi bagi seorang legislator, yang harus
mendapatkan
kepercayaan
rakyat
dan
mendamaikan kepentingan yang beragam.
Perbedaan kebutuhan ini sekaligus menjelaskan
mengapa kekuasaan eksekutif ditempatkan
ditangan seorang individu, Presiden, karena jika
eksekutif bersifat plural akan mendatangkan
kelumpuhan dan “menghalangi tindakan-tindakan
penting pemerintah, pada titik yang paling genting
daripada negara.” Karena, jika legislative
merefleksikan kehendak rakyat telah memberikan
pertimbangan dan benar-benar memperdebatkan
keputusan sebelum mensahkan sebuah undangundang, eksekutif harus benar-benar menjalankan
hukum tanpa pilih kasih, menolak setiap
kepentingfan diri berdalih pengecualian. Dan saat
mendapat serangan dari negara lain, eksekutif
harus memiliki kekuatan dan energi untuk
merespons sesegera dan sekuat mungkin.
Sementara bagi Yudikatif, kualitas yang
diperlukan bukanlah energi dan otoritas
memerintah seperti yang dimiliki eksekutif, tidak
pula sifat responsive terhadap perasaan rakyat
atau kemampuan untuk berkompromi yang dimiliki
oleh legislative, tetapi “integritas dan sikap
moderat”. Dan karena ditunjuk seumur hidup,
hakim bebas dari tekanan rakyat banyak,
eksekutif dan legislatif.48
48 Ibid hlm 44
293
Bahwa gagasan pemisahan kekuasaan
pemerintahan sebagaimana yang ada dalam The
Federalist Papers sudah ada sebelumnya.
Setidaknya sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh John Locke, Montesquieu, dan J.J.
Rousseau.
Dalam Hobbes, Locke, Montesquieu, dan
Rousseau dapat dilihat
kerangka prinsip
absolutisme, republikanisme, dan demokrasi –
Hak Asasi Manusia. Meskipun pada awal Amerika
Serikat, yang absulutisme secara umum ditolak
sebab merupakan bagian dari monarkisme,
namun keempat paham tersebut berpengaruh
dalam latar belakang pertumbuhan politik (partai
politik) dan pemerintahan Amerika, yang menjadi
referensi bagi para pendiri negara -negara yang
terbentuk kemudian, baik yang terbentuk melalui
perjuangan
kemerdekaan,
pemberian
kemerdekaan, maupun revolusi dalam negeri.
Semua orang Amerika setuju pada doktrin
Locke tentang hak-hak alami dan semua
menegakkan kesucian kepemilikan pribadi. Hal ini
mendorong hasrat menjadi orang kaya atau
perusahaan bermodal besar. Kemudian berada
pada masalah jenis kepemilikan yang mana yang
paling membutuhkan keamanan negara. Apakah
ekonomi masa depan kita didorong untuk
berkembang pada sektor agraria atau komersial
dan industrial? Apakah hukum-hukum kita akan
ke kota besar favorit atau daerah-daerah
pedesaan, perusahaan besar atau kecil, kaya
atau
miskin?
Pertanyaan-pertanyaan
ini
membentuk hal sangat penting dari perdebatan
dalam Konvensi Konstitusional, dan dari
perdebatan ini muncul kedua sistem partai
nasional kita dan pola-pola perjuangan ekonomi
dan politik kita untuk abad berikutnya.
294
Akhirnya, harus dicatat bahwa masih ada di
antara para delegasi suatu konsistensi perangai
yang luar biasa. Orang-orang ini tidak berteori,
pemimpi-pemimpi visioner, melainkan mereka
orang-orang-orang lugu negeri yang setengah
terdidik yang terlibat secara berlebihan dalam
suatu tugas yang terlalu besar bagi pembatasan
provinsial mereka. Konvensi Federal terdiri dari
hampir seluruhnya manusia-manusia dengan
pembelajaran, pertimbangan, dan integritas, yang
diwarisi dengan satu kepedulian akan kebaikan
umum yang belum pernah berlebih. Di atas
semuanya, mereka keras kepala, praktikal, dan
hati-hati untuk rencana-rencana yang utopia. John
Dickenson, seorang delegasi dari Pennsylvania,
membuang sikap grup ketika dia menyatakan:
”Pengalaman
harus
menjadi
satu-satunya
pedoman kita. Logika bisa menyesatkan kita.”
Satu-satunya kelemahan pada kepercayaan
terhadap pengalaman ini adalah bahwa
kebanyakan pengalaman tersebut mengikuti
aliran-aliran Eropa. Kebanyakan perdebatan
Konvensi membuang-buang waktu; banyak
ketakutan
para
delegasi
muncul
suatu
kebingungan akan pola-pola Eropa yang mapan
dengan
potensialitas-potensialitas
Amerika
Serikat yang belum terbentuk. Tetapi yang lebih
berpengaruh adalah cara pandang Eropa yang
berurat akar secara mendalam bahwa mayoritas
harus dikontrol dalam rangka menjaga integritas
kepemilikan, dan yang lebih gigih lagi adalah ide
bahwa peraturan harus berpusat pada yang ”lebih
baik” - yang itu adalah kelas orang berpunya-.
Dari dominasi sikap ini yang kita boleh menarik
signifikansi yang paling kronis dari sejarah awal
kita. Di samping peringatan para negarawan
terkenal itu seperti Benjamin Franklin dan Charles
Pinckney dari California Selatan, tendensi
aristrokatik tetap berlaku, membawa konvensi,
dan, di bawah panji Federalisme, adalah kekuatan
295
dominan yang mengarahkan tahap-tahap pertama
dari bangsa baru.
Ini bukan dalam cakupan muatan ini untuk
menguji
hal-hal
terinci
dari
perdebatan
konstitusional. Agaknya kita akan bersandar pada
hipotesis yang dari perdebatan itu muncul tidak
hanya sistem dua partai Amerika tetapi juga
premis utama dari mana telah membangun tekstur
berikutnya dari kehidupan politik kita. Kita tidak
dapat menekankan terlalu kuat kebutuhan akan
melihat divisi politik kita sebagai yang didasarkan
secara fundamental tidak pada negara atau sekatsekat kepentingan, perjuangan kelas, atau radikal
vs konservatif, tetapi pada ekonomi. Dalam
analisa terakhir isu-isu politik kita, melalui abad
ke-sembilan belas paling tidak, menyajikan suatu
benturan antara kepentingan agraria dan industri
atau, untuk meletakkannya dalam cara lain,
antara demokrasi sosial dan kapitalisme kelas
menengah. Penting dan dramatis sebagaimana
mereka sendiri, semua sekat, rasial, teritorial, dan
kebanyakan kontroversi internasional yang telah
sampai saat ini menghasut halaman-halaman
sejarah kita meskipun begitu dapat dilihat sebagai
muatan dengan kerangka persaingan antara
pertanian dan industri. Mari kita kembali,
kemudian, pada asal usul persaingan ini dan
mensurvey partai-partai politik kita masa lalu dan
orang-orang yang tindakan-tindakan dan ucapanucapannya paling dekat mewakili kekuatankekuatan menentukan dalam ekonomi polik kita.
Demikian, para pemikir dan pendiri negara
di Amerika, menjadikan pemikiran-pemikiran
filosofis Eropah sebagai referensi mendirikan dan
mengembangkan satu sistem negara dan
pemerintahan terpadu yang relatif baru, sebagai
penemuan suatu sistem negara dan pemerintahan
yang
baru
dalam
bentuk
negara
dan
296
pemerintahan negara baru Amerika Serikat.
Terpadu dari prinsip absolutisme, republikanisme,
dan demokrasi, atau terpadu dari unsur-unsur
Despotisme, Monarki, dan Republik: Demokrasi
dan Aristocrasi. Terpadu dalam kemasan negara
dengan sistem pemerintahan demokratis: dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; yang
berintikan
pemerintah
adalah
pelayan
masyarakat, bukan tuan mereka.
Pelbagai pendapat di atas memberikan
gambaran, setidaknya ada tiga hal yang terkait
langsung dengan negera federal, yaitu:
1. Konstitusi,
2. Pembagian Kekuasaan Pemerintahan: Pusat
(Federal) dan Daerah (Negara Bagian/State),
3. Hubungan pemerintah di Pusat dan di Daerah
(Negara Bagian/State) dengan penduduk.
Ad.1. Konstitusi.
Ketika
Amerika
Serikat
memproklamirkan
kemerdekaannya
pada
tanggal 4 Juli 1776, Articles of Confederation
and Perpetual Union (Pasal-Pasal Konfederasi
dan Perserikatan Abadi) yang dususun oleh
John Dickinson tahun 1776 dan disahkan
dalam Kongres Kontinental pada November
1777, kemudian berlaku sah sebagai
Konstitusi Nasional pada tahun 1781 setelah
mendapat ratifikasi (pengesahan) oleh semua
negara bagian sebanyak 13 negara bagian
bekas 13 negara bagian.
297
Artikel Konfederasi ini menggambarkan
bagaimana tahap awal dari negara Amerika
Serikat yang baru merdeka. Dalam Artikel
Konfederasi tersebut, kekuasaan negara
bagian (states) masih sangat kuat (dominant)
dibanding
pemerintah
pusat
(Federal).
Sehingga Pemerintah Pusat/Federal sangat
lemah untuk membuat kebijakan dibidang
fiscal dan moneter, perdaganagan dan
hubungan internasional, keuangan dan
perbankan trmasuk dalam menntukan satu
jenis mata uang yang berlaku nasional.
Masing-masing
negara
bagian
mempertahankan kedaulatannya yang terlebih
dahulu diaturnya dalam konstitusi negara
bagiannya masing-masing. Sehingga nampak
konstitusi negara bagian dari 13 negara bagian
tersebut tidak memperkuat keberadaan Artikel
Konfederasi sebagai konstitusi nasional.
Apalagi ternyata konstitusi negara
bagian lebih lengkap dibanding artikel
konfederasi. Setiap konstitusi negara bagian
dimulai dengan sebuah deklarasi atau
pernyataan hak-hak asasi manusia dan
prinsip-prinsip dasar pemerintahan demokrasi:
kedaulatan rakyat, pergantian pejabat-pejabat
pemerintahan/public, kebebasan memilih, dan
sejumlah kebebasan mendasar lainnya: uang
jaminan dalam jumlah kecil dan hukuman yang
berprikemanusiaan,
pelaksanaan
sidang
pengadilan
yang
cepat
dengan
Juri,
kebebasan pers dan suara hati, serta hak
mayoritas untuk mereformasi atau mengganti
pemerintahan. Bahkan negara-negara bagian
yang lainnya memperluas daftar kebebasan ini
untuk
menjamin
kebebasan
berbicara,
berkumpul dan mengajukan petisi, dan serin
gkali termasuk ketentuan seperti hak untuk
membawa senjata apai, hak untuk diperiksa di
298
muka hakim, tidak dipermasalahkan tempat
tinggalnya, dan perlindungan yang sama
dimuka hukum. Selain itu semua konstitusi
setia pada struktur pemerintahan dengan tiga
cabang: ekeskutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketiga cabang pemerintahan ini saling
mengawasi dan seimbang.49 Prinsip checks
and balances sangat dijunjung tinggi oleh
ketiga cabang pemerintahan tersebut.
Ad.2. Pembagian Kekuasaan
Pemerintahan: Pusat (Federal) dan
Daerah (Negara Bagian/State).
Pembagian
kekuasaan
antara
pemerintah pusat dan daerah ini sangat
diperlukan, tetapi penuh kerumitan dalam
mewujudkannya karena:
Masing-masing dari tiga belas negara
bagian
(state)
mempertahankan
sifat
kedaulatannya sebagai kekuasaan yang
mutlak dan alamiah. Kekuasaan yang mutlak
dan alamiah ini dimilikinya sebagai satu koloni
(daerah Jajahan) yang dibangun, hidup dan
berkembang secara mandiri, terlepas dari
koloni-koloni lainnya. Kemandirian ini menjadi
sumber kepercayaan diri yang luar biasa bagi
masing-masing
koloni
untuk
bebas
berkembang dengan segala potensi sumber
daya alam dan manusianya untuk mengejar
dan
menggapai
kemakmuran
dan
kesejahteraan, tanpa perlu campur tangan
kekuasaan lainnya.
49
Departemen Luar
Amerika.2004.hlm.93
Negeri
Amerika
299
Serikat.
Garis Bersar
Sejarah
Sementara kemerdekaan yang berhasil
diperjuangkannya bersama koloni lainnya,
dipandang sebagai symbol kebebasan yang
memang secara kodratiah milik mereka
masing-masing secara kodratiah. Sehingga
pemerintah pusat dibutuhkan sekedar untuk
mempertahankan
kebebasan
ini
dari
kemungkinan ancaman dari luar, terutama dari
kerajaan Inggris sebagai pemerintah induk
yang berusaha memulihkan kekuasaannya di
bekas koloni. Kemerdekaan sebagai satu
negara tidak menjadi alasan berpindahnya
kedaulatan rakyat di negara bagian (state)
berpindah ke tangan pemerintah pusat.
Terdapat peta geografi, demografi,
sumber daya alam dan sumberdaya manusia
yang berbeda diantara 13 negara bagian
(state). Hal ini menimbulkan kecurigaan dari
negara bagian (state) yang kecil akan
didominasi oleh negara bagian (state) yang
besar. Dominasi negara bagian (state) yang
besar ini menjadi ancaman terhadap
kebebasan dan kedaulatan negara bagian
(state) yang kecil. Sehingga negara bagian
(state)
yang
kecil
lebih
cenderung
mempertahankan
kebebasan
dan
kedaulatannya, dan enggan menerima suatu
pemerintahan pusat yang memiliki kekuasaan
yang lebih besar dari mereka. Apalagi Negara
Bagian (state) yang besar seperti Virginia
ketika itu cenderung mempertahankan sistem
perwakilan proporsional berdasarkan jumlah
penduduk dipemerintahan nasional, sehingga
negara bagian (state) yang lebih besar
populasinya memiliki hak suara yang lebih
banyak dengan demikian kekuasaan lebih
besar dari negara bagian (state) yang kecil
populasinya seperti Rhode Island.
300
Ad.3. Hubungan pemerintah di Pusat dan
di Daerah (Negara Bagian/State)
dengan penduduk.
Bahwa sikap negara bagian (state)
yang
cenderung
mempertahankan
kedaulatannya masing-masing mempengaruhi
pola
hubungan
penduduk
dengan
pemerintahan negara. Pada masa awal ini
penduduk mempunyai hubungan hukm
langsung dengan negara bagiannya masingmasing. Pemerintah pusat (federal) tidak dapat
menjangkau langsung kepada penduduk,
melainkan harus melalui negara bagian
dimana penduduk itu berada. Sehingga
penduduk menjadi warga negara di negara
bagiannya masing-masing, dan negara
bagiannya itu menjadi anggota dari negara
Amerika Serikat.
f. Doctrine Dual Federalism
Bahwa pengaturan kekuasaan pemerintahan
diantara pemerintah pusat (federal) dan negara
bangian (states), termasuk didalamnya posisi warga
negara dalam kerangka federalisme Amerika Serikat,
mengalami perkembangan yang serba kompleks.
Akan tetapi ternyata dapat teratasi oleh kejelian dan
kecermerlangan para pendiri dan pemikir Amerika
Serikat yang memberikan kekuasan Judicial Review
kepada Mahkamah Agung Federal untuk melakukan
pengujian hukum terhadap semua permasalahan
berdasarkan Konstitusi Nasional. Dengan demikian
melalui upaya judicial Mahkamah Agung Federal
dapat menyatakan suatu undang-undang atau
301
permasalahan apa saja yang dijudisialkan adalah
konstitusional atau inkonstitusional.
Sehubungan dengan hal di atas sejak 1890 –
1987, Mahkamah Agung Federal mengembangkan
Doctrine “dual federalism” dalam memutus perkaraperkara menyangkut , sejauhmana batas - batas
kewenangan pemerintah nasional (federal) dan
Negara Bagian (States) terhadap suatu peristiwa. Itu
berarti
menyangkut
penerapan
prinsip-prinsip
federalisme. Doctrine ini menjelaskan, bahwa
pemerintah nasional (federal) dan pemerintah negara
bagian memiliki kekuasaan otonom di wilayah
kekuasaannya masing-masing. Secara khusus lagi
doktrin ini digunakan untuk menyatakan perundangundangan federal yang melanggar hak-hak negara
bagian adalah tidak konstitusional.
According to Max J. Skidmore, that under the
leadership of Chief Justice Roger B. Taney,
developed the notion of “dual federalism,” with each
level of government being sovereign in its own
sphere. From 1890 until 1987, the Supreme Court
used this doctrine to strike down federal legislations
as an infringement on states rights.50
Selanjutnya
dijelaskannya
lagi
dengan
menyatakan, that the Tenth Amendment protected a
core of “state sovereignty” against by the national
government and thereby declared then an
amendment to the Fair Labor Standards Act that
required states to observe federal minimum wageandhour regulations for their employess was
unconstitusional. 51
50 Max J. Skiedmore & Marshall Carter Tripp. American Government A Brief
Introduction. St. Martin”s Press, New York. 1989. hlm.70.
51 Ibid hlm 70
302
Hal yang sama dijelaakan juga oleh Ellen
Aldermen & Caroline Kennedy,52 bahwa meskipun
prinsip-prinsip hak negara bagian telah pernah
digunakan untuk tujuan-tujuan destruktif, namun
prinsip itu juga memiliki segi-seg- yang mengandung
kebaikan. Pemerintah negara bagian mewakili rakyat
secara lebih langsung dibanding Pemerintah Federal.
Kadang-kadang mereka sudah bertindak lebih dulu
dan sudah jauh melangkah untuk melindungi individu,
sementara bisa di saat lainnya Pemerintah Federal
membela orang tersebut menentang negara bagian.
Sebagai contoh, di masa sekitar pergantian abad ini,
banyak negara yang memberlakukan peraturanperaturan yang menghebohkan, guna meningkatkan
knodisi kerjapada saat itu. Ternyata mereka
dijatuhklan oleh Mhkamah Agung. Belakangan, di
tahun 1960-an, Pemerintah Federal dengan didukung
oleh Mahkamah Agung, menjadi pelopor dalam hal
pembuatan undang-undang mengenai Hak-Hak Sipil
dan Kesejahteraan Sosial, mnentang perlawanan
kuat dari negara bagian, khussnya dalam usaha
untuk menghilangkan perbedaan sekolah-sekolah
negeri. Dalam beberapa hal, masalah yang sama
mencuat lagi 20 tahun kemudian dalam “Revolusi
Reagen” ditahun 1980-an, ketika Pemerintah Federal
memperkecil ruang lingkupnya, dan Mahkamah
Agung membatasi hak-hak individu tersebut. Sebagai
akibatnya, beberapa negara bagian menjadikan
peraturan dan konstitusi milik mereka sebagai
sumber perlindungan yang lebih besar dari yang ingin
disediakan oleh Pemerintah Federal.
Pada awal pendirian negara, James Madison,
“Bapak Bill of Rights” menjelaskan, bahwa
“Wewenang yang didelegasikan oleh konstitusi yang
berlaku pada Pemerintah Federal hanya sedikit serta
sudah ditentukan. Sementara wewenang
bagi
52 Ellen Aldermen & Caroline Kennedy. In Our Defense The Bill of
Rights In Action. Makna dan Tantangan Bill of Rights Amerika. Terj.
Lia Yuliawati, Percetakan Angkasa Bandung, 1998. hlm.388.
303
pemerintah negara bagian banyak dan tidak
ditentukan. Wewenang Pemerintah Federal pada
prinsipnya
diterapkan
pada
masalah-masalah
eksternal seperti perang, perdamaian, perundingan
serta perdagangan luar negeri,.. wewenang yang
tersisa bagi negara bagian akan meluas keberbagai
masalah, yang dalam urusan-urusan umum,
berkaitan dengan masalah kehidupan, kebebasan
serta kesejahteraan masyarakat.53
Namun demikian perkembangan ketatanegaran
menuntut porsi kekuasaan Pemerintah Federal lebih
banyak dan luas daripada negara bagian. Semakin
besar jangkauan Amerika Serikat ditengah-tengah
percaturan politik dan diplomasi Internasional dan
semakin mengglobalnya sistem-sistem kehidupan
antar bangsa, semakin besar pula kewenangan yang
dibutuhkan Pemerintah Pusat (Federal) ketimbang
negara bagian.
Sejarah perkembangan federalism di Amerika
Serikjat telah menghasilkan banyak keuntungankeuntungan. Pemerintahan negara bagian yang lama
telah mendapatkan sebuah pelatihan dasar untuk
pemimpin nasional masa depan. Bagaimanapun
seorang Gubernur, Senator, dan Anggota DPR (The
House of Representatif) berasal dari negara bagian.
Secara traidisi jabatan-jabatan tersebut merupakan
jabatan karier yang berjenjang untuk mencapai
puncak
sebagai
Presiden.
Reputasi-reputasi
cemerlang melalui jabatan-jabatan tersebut membuka
peluang bagi partai nasional: Republik dan Demokrat
untuk merekrut dan menominasi mereka sebagai
kandidat Presiden. Sehingga siapapun yang terpilih
sebagai
presiden,
pengelaman-pengalaman
kepemimpinan
di
negara
bagian
menjadi
pengalaman-pengalaman
kepeminpinan
yang
memperkuat kepeminpinan nasionalnya. Disinilah
53 Ibid hlm.389.
304
letak kunci keunggulan federalisme Amerika Serikat
yang memperkuat sistem federalisme itu sendiri.
Semacam kekuatan antibody, sebuah kekuatn dari
dalam federalisme untuk memperkuat sistem federal
itu sendiri. Sebagaimana diperlihatkan dalam diri
Presiden Ronald Reagan, Bill Clinton, George W.
Bush sebagai Gubernur negara bagian dan Presiden
Barack H. Obama sebagai Senator.
membuat
sasaran politik mereka
mulai dari pengalamanpengalaman kepeminpinan di negara bagian mereka.
Negara-negara bagian sendiri telah mendapatkan
pengujian dasar untuk inisiatif pemerintahan baru.
Sebagaimana pengamatan Louis Brandeis dari
Mahkamah
Agung
Amerika
Serikat,
yang
54
mengatakan:
Ini
adalah
salah
satu
peristiwa
yang
menggembirakan dari sistem federal dimana
keberanian sebuah negara bagian adalah mungkin,
jika warganegaranya memilih, disajikan sebagai
sebuah laboratorium dan mencoba untuk ide sosial
dan percobaan ekonomi tanpa resiko terhadap
negara bagian yang lain.
Contoh dari program-program sebelumnya pada
level negara bagian termasuk kompensasi pada yang
tidak memiliki pekerjaan, yang mana dimulai di
Wisconsin, dan control polusi udara, yang mana
diprakarsai oleh California, saat ini, negara-negara
bagian bereksperimen dengan kebijakan-kebijakan
yang berkisar antara reformasi pendidikan hingga
penggunaan marijuana untuk pengobatan. Setelah
melewati tahun 1996 Penetapam Reformasi
Kesejahteraan, yang mana memberikan control yang
lebih besar pada program-program kesejahteraan
kepada pemerintahan negara bagian, negara-negara
bagian juga bereksperimen dengan metode-metode
54 …… federalisme.
305
yang
lain
untuk
kesejahteraan.55
memberikan
bantuan
Apalagi, karakteristik sejarah kehidupan Amerika
sangat erat dengan sejumlah sub kultur politik, yang
mana dipisahkan disepanjang garis ras dan etnik
asli, kesejahteraan, pendidikan dan yang paling baru,
usia, tingkatan dari fundamental keagamaan, dan
pilihan jenis kelamin. Keberadaan dari sub kultur
politik yang berbeda akan nampak seperti berselisih
dengan wewenang politik yang terkonsetrasi sematamata pada pemerintah pusat. Amerika Serikat telah
dikembangkan kedalam sebuah sistem kesatuan,
subkultur
politik
yang
beragam
mampu
mempengaruhi prilaku pemerintah (yang tergantung
pada daerah dan kepentingan mereka sendiri) dari
pada yang pernah mereka lakukan, dan berlanjut ,
pada sistem federal.
Akan tetapi sismtem federal Amerika juga tidak
luput
dari
pendapat-pendapat
yang
tidak
memuaskan.
Tidak semua orang berfikir federalism adalah
sebuah ide yang baik. Beberapa melihat bahwa ini
adalah cara untuk negara bagian yang kuat dan
kepentingan lokal akan memblok perkembangan dan
menghalangi rencana nasional. Yang lainnya melihat
bahaya pada ekspansi kekuatan nasional atas biaya
negara bagian. Presiden Ronald Reagen berkata.
“Bapak Pendiri melihat penganut sistem asas federal
seperti membangun sesuatu seperti sebuah dinding
bangunan. Negara-negara bagian adalah baik,
pemerintahan nasional adalah mortar . . . Sayangnya,
selama beberapa tahun, banyak orang dan
55 Ibid… Federalisme
306
jumlahnya terus bertambah mempercayai bahwa
Washington adalah dinding yang utuh.”56
Unit-unit politik yang lebih kecil lebih mungkin
untuk didominasikan oleh sebuah kelompok politik
tunggal dan kelompok dominan di beberapa kota dan
negara bagian yang telah menentang diterapkannya
hak-hak yang sederajat untuk banyak kelompok
minoritas.
Yang lainnya menunjuk, bagaimana,
kelompok-kelompok pada partai-partai politik di
negara bagian lain menjadi lebih progresif dari pada
pemerintah nasional pada banyak bidang, seperti
pada lingkungan.
2. Praktek Pemisahan Kekuasaan Pemerintah Negara
AS
Penegasan tujuan “sistem federal” tidak ditemukan
dalam Konstitusi Amerika Serikat. Juga tidak ditemukan
sebuah divisi sistematik dari wewenang pemerintahan
antara pemerintahan nasional dan pemerintahan negara
bagian pada dokumen tersebut. Namun demikian
konstitusi memberikan gambaran federalisme dengan
melakukan klasifikasi kekuasaan, seperti (1) kekuasaan
dari pemerintah nasional, (2) kekuasaan dari negara
bagian, dan (3) kekuatan yang dihalangi. Konstitusi juga
membuat hal ini jelas bahwa jika sebuah negara bagian
atau konflik hukum setempat dengan hukum nasional,
hukum nasional akan berlaku.
Kekuasaan pemerintah pusat (Federal) disebut
terperinci dalam Pasal I, bagian 8 Konstitusi,yaitu:
56 … federalisme… pendapat berbeda.
307
Kongres akan mempunyai kekuasan:
(1)
Untuk mengenakan dan memungut pajak, bea,
pungutan, dan cukai, untuk membayar hutanghutang, dan menyelengarakan pertahanan
bersama dan kesejahteraan umum Amerika
Serikat; tetapi semua pajak, pungutan, dan atau
cukai harus seragam di seluruh Amerika Serikat;
(2)
Untuk meminjam uang atas kredit Amerika
Serikat;
(3)
Untuk mengatur perdagangan dengan negara
asing, dan antara berbagai negara bagian, dan
dengan suku-suku Indian;
(4)
Untuk membuat peraturan yang seragam
mengenai naturalisasi, dan undang-undang
yang seragam mengenai soal kebangkrutan di
seluruh Amerika Serikat;
(5)
Untuk menetapkan hukuman bagi pemalsuan
kertas-kertas berharga dan mata uang Amerika
Serikat yang sedang berlaku;
(6)
Untuk mendirikan kantor pos dan jaringan pos;
(7)
Untuk mendorong kemajuan ilmu dan seni yang
berguna, dengan cara menjamin untuk jangka
waktu terbatas bagi para pengarang dan
penemu hak eksklusif atas tulisan dan
penemuan masing-masing;
(8)
Untuk mendirikan pengadilan-pengadilan
bawah Mahkamah Agung;
(9)
Untuk
mendefinisikan
dan
menghukum
pembajakan dan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di lautan bebas, dan pelanggaran
terhadap hukum bangsa-bangsa;
di
(10) Untuk mengumumkan perang, mengeluarkan
surat sita jaminan dan pembalasan dan
membuat peraturan mengenai penangkapan di
darat dan di laut;
308
(11) Untuk membentuk dan membiayai tentara, akan
tetapi tiada penjatahan uang untuk keperluan
tersebut boleh untuk jangka waktu lebih dari dua
tahun;
(12) Untuk membentuk dan memelihara sebuah
angkatan laut;
(13) Untuk membuat peraturan bagi pemerintah dan
pengaturan angkatan darat dan angkatan laut;
(14) Untuk mengatur pemanggilan milisi untuk
melaksanakan
hukum
uni,
menindas
pemberontakan dan menangkis serangan;
(15) Untuk
mengatur
pengorganisasian,
persenjataan dan pendisiplinan milisia, dan
pengaturan sebagian dari mereka yang dapat
dipekerjakan dalam dinas Amerika Serikat,
dengan menyerahkan kepada masing-masing
negara bagian, hak mengangkat perwiranya,
dan wewenang untuk melatih milisia sesuai
dengan disiplin yang ditentukan oleh Kongres.
(16) Untuk
menjalankan
perundang-undangan
eksklusif dalam hal apapun, atas Distrik (yang
tidak lebih dari sepuluh mil persegi) yang
mungkin, karena diserahkan oleh negara bagian
di mana tempat-tempat itu akan berada, untuk
mendirikan benteng, gudang peluru, gudang
senjata, galangan kapal, dan bangunanbangunan lain yang diperlukan; Dan
(17) Untuk membuat segala undang-undang yang
akan diperlukan dan pantas untuk melakukan
pelaksanaan
wewenang-wewenang
yang
tersebut tadi, dan semua wewenang lainnya
yang dilimpahkan oleh Undang-Undang Dasar
ini kepada pemerintah Amerika Serikat, atau
kepada departemen atau pejabatnya.
309
Kemudian
dilengkapi lagi
dengan dua
amandemen dari sepuluh amandement Bill of
Rights (1791), yaitu amandement IX dan
Amandemen X .
Amandemen IX menyatakan:
“Perincian di dalam Undang-Undang Dasar,
mengenai hak-hak tertentu tidak akan diartikan
untuk mengingkari atau meremehkan hak-hak
lain yang dimiliki rakyat.”
Amandemen X menegaskan:
“Kekuasaan yang tidak diserahkan kepada
Amerika Serikat oleh Undang-Undang Dasar,
atau yang tidak dilarangnya bagi negara bagian,
dipegang oleh masing-masing negara bagian,
atau oleh rakyat.”
Secara konstitusional, kerangka tubuh negara
federal
Amerika
Serikat
terdiri
dari:
pemerintahan nasional dan lima puluh negara
bagian, sebagai suatu kesatuan kedaulatan.
Namun dalam pengertian praktis merupakan
sebuah negara dari hampir 87.000 unit
pemerintahan-dari
pemerintahan
nasional
sampai ke distrik dewan sekolah.
1) Pemerintahan Negara Bagian
Bahwa
pembagian
kekuasaan
antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan negara
bagian dalam konstitusi, menunjukkan adanya
pengakuan hak – hak berdaulat negara bagian di
wilayahnya masing-masing. Disebut hak – hak
berdaulat karena sebagian kedaulatannya telah
diserahkan kepada pemerintah nasional federal,
sehingga negara bagian tidak berdaulat
sepenuhnya lagi. Sebagian kedaulatan yang telah
diserahkannya tersebut antara lain menyangkut
kekuasan mengatur tentang hubungan antara
310
sesame negara bagian dan dengan negara
lainnya, termasuk di bidang pertahan keamanan
nasional, sistem perekonomian nasional, sistem
hukum dan peradilan dimana Mahkamah Agung
Federal memiliki hak uji materil atau judicial
review, politik, dan pemerintahan nasional dimana
negara bagian menjadi bagian daripadanya.
Kedaulatan utama yang masih tersisa adalah
kekuasaan negara bagian untuk melakukan
ratifikasi terhadap setiap Amandemen Konstitusi,
dan sistem pemerintahan tria politika negara
bagian yang mandiri bersandarkan pada konstitusi
masing negara bagian yang terlepas secara
strukturan dari sistem pemerintahan trias politika
di tingkat nasional. Meskipun demikian konstitusi
dan sistem pemerintahan trias politika negar
bagian sedapat mungkin diserasikan dengan level
nasional, sehingga terbentuk suatu sistem baru
pemerintahan,
yaitu
sistem
dua
level
pemerintahan trias politika atau Dual Trias Politika
System. Pada level negra bagian terdapat
lembaga eksekutif yang disebut Gubernur,
legislative yang juga menerapkan sistem dua
kamar (bekameral: Senat & DPR negara bagian,
Yudikatif dengan peradilan negara bagian yang
bertingkat dari tingkat pertama, banding, dan
Mahkamah Agung Negara bagian yang mandiri
secara structural terlepas dari sistem peradilan
nasional/federal.
Pada awal berdirinya Negara Federal Amerika
Serikat, ada tiga belas negara bagian. Kemudian
berkembang menjadi lima puluh negara bagian.
Negara bagian yang baru ini dipengaruhi oleh
sistem pemerintahan negara bagian induknya.
Sebelum merdeka tiga belas negara bagian induk
ini mengalami masa kolonisasi dari Kerajaan
Inggris. Semasa kolonisasi ini masing-masing dari
tiga belas koloni ini
berkembang dengan
pemerintahan
sendiri-sendiri,
kesemuanya
311
terpusat langsung kepada pemerintahan kerajaan
Inggris. Sehingga ketika membentuk Negara
Amerika Serikat yang merdeka, mereka
mempertahankan diri sebagai negara bagian yang
berdaulat, dimana tidak ada satu kekuasaan asing
termasuk negara bagian lainnya yang dapat
melakukan intervensi terhadap pemerintahan dan
wilayahnya.
Kemudian
sejak
disahkannya
Konsitusi Amerika Serikat pada tanggal 4 Maret
1789, tuntutan berdaulat dari masing-masing
negara bagian ini dirangkum menjadi hak-hak
berdaulat dalam sistem negara federalis,
sebagaimana penjelasan para pendiri bangsa
dalam the federalist papers. Akan tetapi secara
garis besarnya diantara negara-negara bagian
semasa kolonisasi terdapat praktek pemerintahan
yang sama, dimana sistem dan kelembagaannya
tetap dipertahankan sampai sekarang. Pada
pokoknya segala urusan yang terjadi dalam batas
negara bagian menjadi urusan pemerintah negara
bagian masing-masing saja, termasuk di
dalamnya komunikasi internal; peraturan tentang
hak milik, industri, bisnis, dan keperluan umum;
undang-undang pidana negara bagian; dan
kondisi kerja di ruang lingkup negara bagian.
Pemerintah pusat berperan secara konstitusi
untuk mengharuskan semuanya berjalan secara
demokrasi dan tidak menerapkan undang-undang
yang bertentangan atau melanggar Konstitusi
atau undang-undang dan perjanjian-perjanjian
Amerika Serikat. Begitu luasnya cakupan urusanurusan
pelayanan
pemerintahan
kepada
warganya, maka tumpang-tindih pelaksanaan
pengurusan dalam bentuk program antara
pemerintah negara bagian dan pemerintah pusat
seringkali terjadi, terutama dalam bidang
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan umum,
transportasi, serta pembangunan perumahan dan
perkotaan. Dalam hal ini pemerintah pusat
biasanya
mengajak
kerja
sama
dengan
312
pemerintah negara bagian dalam menjalankan
program-program tersebut.
Sebagaimana
pemerintahan
nasional,
pemerintah negara bagian juga memiliki tiga
cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fungsi
dan cakupan ketiganya kurang lebih sama dengan
lembaga-lembaga serupa di tingkat nasional.
Kepala pemerintahan negara bagian adalah
gubernur, yang dipilih oleh rakyat dan biasanya
mempunyai masa jabatan empat tahun (di
beberapa negara bagian tertentu masa jabatan
gubernur hanya dua tahun). Kecuali Nebraska, di
mana lembaga legislatifnya hanya satu, seluruh
negara bagian memiliki dua lembaga legislatif.
Dewan yang lebih tinggi biasanya disebut Senat,
sedang dewan di bawahnya disebut Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan, atau
Majelis Umum. Disebagian besar negara bagian,
masa jabatan senator adalah empat tahun,
sedang dewan di bawahnya hanya menjabat
selama dua tahun. 57
Setiap negara bagian mempunyai sebuah
Konstitusi sebagai hukum tertinggi di yurisdiksi
negara bagannya. Kesemuanya mengikuti pola
yang sama dengan Konstitusi Federal yang
berlaku nasional. Terdapat kesamaan pengaturan
terkait hak-hak sipil dan politik rakyat, serta
prinsip-prinsip pemerintahan, yang terpenting
diantaranya adalah pernyataan setiap Negara
Bagian dalam Konstitusinya, bahwa kedaulatan
terletak di tangan rakyat, dan menetapkan standar
dan asas-asas tertentu sebagai landasan pemerintahan. Dalam urusan-urusan terkait bisnis,
perbankan, pelayanan sosial, kesehatan dan
kesejahteraan, Konstitusi Negara Bagian lebih
terinci mengaturnya.
57 Garis Besar Pemerintahan AS hlm 118
313
Sebenarnya sebelum Konstitusi Nasional
dirumuskan, setidaknya setelah revolusi 1 Januari
1776 dan 20 April 1777, sudah ada sepuluh
Konstitusi negara bagian yang berlaku di sepuluh
dari tiga belas negara bagian pendiri negara
Amerika Serikat.58 Antara Konstitusi Negara
Bagian ini dengan Konstitusi Nasional kemudian
saling menyelaraskan. Setidaknya pada saat
Negara Bagian Massachusetts memberikan
persetujuan atau ratifikasi terhadap Konstitusi
Nasional, negara bagian ini mensyaratkan adanya
penambahan
sepuluh
amandemen
yang
menjamin hak – hak asasi manusia, yang
kemudian usulan ini diterima dengan disahkannya
sepuluh amandemen pertama yang dikenal
dengan “Bill of Rights” tahun 1791.
Semasa kolonisasi Negara Bagian merupakan
daerah pedesaan yang mengembangkan sistem
pemerintahan oleh rakyat memalui musyawarah
yang dilakukan dibalai desa. Kini merupakan
wilayah perkotaan metropolitan dan modern,
terdiri dari banyak Kota Besar, Kota Kecil dan
daerah pemukinan pinggi kota. Sebagian besar
penduduk tinggal di perkotaan ini. Sehingga
pemerintahan kota memegang peran sangat
penting dalam pola seluruhan pemerintahan
Amerika. Dalam kesehari-harian Pemerintah kota
yang berinteraksi langsung dengan penduduk
melayani
kebutuhan-kebutuhan
masyarakat
terhadap: penyediaan perlindungan keamanan
dan ketertiban dari kepolisian, serta sarana dan
prasarana pemadam kebakaran, kebersihan,
kesehatan, pendidikan, angkutan umum, dan
perumahan.
58 Ibid hlm.8
314
Beberapa bentuk umum pemerintahan daerah
dan kota yang berada di suatu negara bagian,
yaitu:
a)
Pemerintah Daerah, pemerintahan daerah
yang merupakan cabang pemerintahan
negara
bagian
di
suatu
kawasan
pemukiman perkotaan yang terdiri dari
beberapa pemerintahan kota, seperti, Kota
New York sebegitu luasnya hingga dibagi
menjadi lima sektor daerah: Bronx,
Manhattan, Brooklyn, Queens, dan Staten
Island. Sebaliknya, Arlington County,
Virginia, di seberang sungai Potomac dan
Washington
D.C.,
adalah
kawasan
perkotaan sekaligus pinggiran kota dan
diperintah oleh kesatuan pemerintah
daerah.
b)
Dewan-Walikota.
Bentuk ini adalah
bentuk pemerintahan kota tertua di
Amerika Serikat dan hmgga awal abad ke20 dipakai oleh hampir semua kota di
Amerika. Strukturnya sama dengan yang
ada di pemerintahan negara bagian dan
nasional, di mana seorang walikota terpilih
duduk sebagai kepala cabang eksekutif
dan satu dewan yang mewakili beragam
lingkungan membentuk cabang legislative.
Walikota
mengangkat
para
kepala
departemen kota dan sejumlah pejabat
lainnya, terkadang melalui persetujuan dari
dewan. Walikota mempunyai hak untuk
memveto undang-undang kota dan tak
jarang ikut bertanggungjawab dalam
menyiapkan anggaran kota. Dewan
mengeluarkan peraturan-peraturan kota,
menetapkan tarif pajak kepemilikan, dan
membagi
rata
dalam
keberbagai
departemen kota.
315
c)
Komisi : Komisi adalah gabungan fungsi
lembaga legislatif dan eksekutif dalam satu
kelompok pejabat yang biasanya terdiri dari
tiga orang atau lebih, yang dipilih oleh
warga
kota.
Tiap
anggota
komisi
mengawasi jalannya pekerjaan satu atau
lebih departemen kota. Salah satunya
diangkat sebagai ketua dewan dan sering
juga disebut sebagai walikota, meskipnn
wewenangnya sama dengan anggotaanggota komisi yang lain.
d)
Manajer Kota. Manajer kota merupakan
tanggapan atas masalah-masalah urban
yang makin lama makin kompleks dan
membutuhkan keahlian manajemen yang
tak banyak dimiliki oleh para pejabat
terpilih. Jawaban dari semua ini adalah
dengan memberikan sebagian besar
wewenang eksekutif, termasuk diantaranya
aparat penegak hukum dan kelengkapan
layanan lainnya, kepada seorang manajer
kota yang terlatih dan berpengalaman.
Konsep manajer kota semakin hari
semakin banyak diterapkan. berdasarkan
konsep ini, sebuah dewan kecil terpilih
membuat peraturan kota dan menetapkan
kebijakan, namun menyewa seorang
administrasitrator profesional, yang disebut
manajer
kota,
untuk
menjalankan
keputusan-keputusan mereka. Manajer ini
membuat anggaran kota dan mengawasi
sebagian besar departemen. Masa jabatan
manajer ini biasanya tidak ditentukan,
tergantung tingkat kepuasan dewan
terhadap kinerjanya.
316
e)
Unit Pemerintah Lokal,
Terdapat ribuan yurisdiksi unit
pemerintahan
local
yang
dapat
dikelompokkan kedalam kota kecil atau
desa, yang menangani urusan-urusan yang
murni lokal seperti mengaspal jalan dan
memberi penerangan jalan; menjamin
persediaan
air;
penyediakan aparat
kepolisian dan pemadam kebakaran;
membuat regulasi kesehatan setempat;
mengurus pembuangan sampah, selokan,
dan limbah lainnya; pengumpulan pajak
lokal
untuk
menopang
jalannya
pemerintahan; dan, dengan bekerjasama
dengan pemerintah negara bagian dan
daerah, secara langsung menangani
sistem sekolah setempat.
Pemerintah
ini
biasanya
bertanggungjawab kepada suatu dewan
terpilih, yang dikenal dengan banyak nama:
dewan kota atau desa, dewan orang
pilihan, dewan pengawas, dewan komisi.
Dewan
tersebut
bisa
saja
mempunyai seorang ketua atau
yang
berfungsi sebagai ketua pejabat eksekutif
yang
terpilih.
Juga
para
pegawai
pemerintah di antaranya termasuk jurutulis,
bendahara, perwira polisi dan pemadam
kebakaran, dan para pegawai kesehatan
dan kesejah-teraan umum.
317
Satu aspek unik dari pemerintahan
lokal, yang biasanya banyak dijumpai di
daerah New England, adalah rapat umum
warga kota. Setahun sekali bisa lebih bila
perlu warga dewasa kota tersebut
mengadakan rapat terbuka untuk memilih
pejabat, membahas isu-isu local, dan
mengeluarkan
keputusan-keputusan
sebagi
peraturan-peraturan,
untuk
menjalankan pemerintahan. Sebagai suatu
badan, mereka membuat keputusan
tentang pembagian dan perbaikan jalan,
pembangunan dan perbaikan gedung dan
fasilitas umum, angka pungutan pajak, dan
anggaran kota. Rapat umum warga, yang
sudah ada sejak lebih dan 200 tahun lalu,
sering dianggap sebagai bentuk demokrasi
langsung paling murni, di mana wewenang
pemerintah tidak didelegasikan, telapi
langsuug dijalankan secara tetap oleh
seluruh rakyat.
Selain bentuk pemerintah local
tersebut di atas, masih terdapat lagi unit
pemerintahan local lainnya. Biro Sensus
AS (yang merupakan bagian dari
Departemen
Perdagangan)
telah
mengidentifikasi tak kurang dari 84.955 unit
pemerintahan lokal di Amerika Serikat.
termasuk kabupaten, kotapraja, kota-kota
kecil, distrik sekolah. dan daerah
istimewa.59
59 Ibid …Garis Besar Pemerintahan AS hlm 118 – 122.
318
Berikut ini lima puluh negara bagian
beserta ibukota:
Negara Bagian
Ibukota
Alabama
Alaska
Arizona
Arkansas
California
Colorado
Connecticut
Delaware
Florida
Georgia
Hawaii
Idaho
Illinois
Indiana
Iowa
Kansas
Kentucky
Louisiana
Maine
Maryland
Massachussetts
Michigan
Minnesota
Mississippi
Missouri
Montana
Nebraska
Nevada
New Hampshire
New Jersey
New Mexico
New York
North Carolina
North Dakota
Ohio
Oklahoma
Montgomery
Juneau
Phoenix
Little Rock
Sacramento
Denver
Hartford
Dover
Tallahassee
Atlanta
Honolulu
Boise
Springfield
Indianapolis
Des Moines
Topeka
Frankfort
Baton Rouge
Augusta
Annapolis
Boston
Lansing
St. Paul
Jackson
Jefferson City
Helena
Lincoln
Carson City
Concord
Trenton
Santa Fe
Albany
Raleigh
Bismarck
Columbus
Oklahoma City
319
Oregon
Pennsylvania
Rhode Island
South Carolina
South Dakota
Tennessee
Texas
Utah
Vermont
Virginia
Washington
West Virginia
Wisconsin
Wyoming
Salem
Harrisburg
Providence
Columbia
Pierre
Nashville
Austin
Salt Lake City
Montpelier
Richmond
Olympia
Charleston
Madison
Cheyenne
2) Organ Pemerintahan Federal
Bahwa para pendiri dan pemikir bangsa Amerika
ketika mendirikan negara Amerika dipengaruhi oleh
pemikir-pemikir Eropah, antara lain
Montesquieu
dan John Locke tentang perimbangan kekuasaan
politik dan pemerintahan. Sehingga pada abad ke-18
saat pertemuan di Philadelphia, mereka meyakini,
bahwa bentuk pemerintahan yang akan didirikan
terdiri dari tiga cabang kekuasaan yang setara dan
terkoordinasi. Tiga cabang kekuasaan yang
dimaksud adalah: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Ketiga kekuasaan ini harus saling mengimbangi
secara harmonis, sehingga tak seorang pun yang
bisa jadi penguasa. Para delegasi pertemuan juga
terpengaruh oleh praktek pemerintahan koloni dan
Inggris. Sehingga mereka setuju jika cabang
legislative yang diinginkan terdiri dari dua majelis
(bicameral) mencontoh pada
dewan legislative
colonial dan Parlemen Inggris, terdiri dari dua majelis:
The House of Representatif dan Senat. Dengan
demikian Kongres terdiri dari: The House of
Representatif (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Senat.
Namun demikian mereka memperdebatkan sangat
320
tajam tentang cara pengisian atau rekruitmen
anggota kedua majelis tersebut. Wakil-wakil negara
bagian yang besar condong pada pola rekruitmen
dengan sistem perwakilan proporsional untuk kedua
majelis. Perwakilan proporsional ini didasarkan pada
jumlah penduduk dan bukannya per negara bagian
seperti
yang
tercantum
dalam
Pasal-Pasal
Konfederasi. Tetapi wakil-wakil negara bagian yang
kecil seperti New Jersey saangat berkeberatan,
karena merasa dominasi negara bagian yang besar
populasinya akan mendominasi kedua majelis
sehingga posisi dan pengaruh mereka sangat lemah
dalam pemerintahan nasional. Akhirnya perdebatan
ini terselesaikan dengan usul Roger Sherman, bahwa
anggota The House of Representatif (DPR) dipilih
dengan sistem perwakilan proporsional dengan
jumlah penduduk negara bagian, dan Senat dipilih
berdasarkan penjatahan yang sama besar yaitu
masing-masing negara bagian memperoleh dua
orang senat yang dipilih di negara bagian masingmasing. Semula dipilih oleh legislative negara bagian
masing-masing, tetapi kemudian dipilih oleh rakyat
secara
langsung
dalam
sebuah
pemilihan
(berdasarkan amandemen XVII (1913).
Sistem pemisahan tiga cabang kekuasaan di level
nasional ini, juga diterapkan di negara bagian.
Sehingga dapat dikatakan prinsip pemisahan
kekuasaan “Trias Politika” diberlakukan secara ganda
(“Dual Trias Politika System), yaitu terdapat lembaga
kekuasaan pemerintahan Legislatif, Eksekutif, dan
Yudikatif di level nasional dan di level negara bagian.
Masing-masing berkuasa di levelnya sendiri-sendiri.
Delegasi Konvensi Konstitusi yang dilaksanakan
di Philadelphia Mei 1787 telah memutuskan satu
Konstitusi
yang
merefleksikan
prinsip-prinsip
pemisahan kekuasaan
sebagaimana pemikiran
Montesquieu dengan teorinya yang terkenal Trias
Politika.
Namun
demikian
Konstitusi
tidak
321
menyebutnya secara spesifik.. Ketiga cabang
pemerintahan tersebut, ditunjukkan di dalam kalimat
pembukaan dari tiga pasal pertama:
Pasal I, Bagian Satu: “Semua kekuasaan legislatif
yang diberikan akan diberikan di Kongres Amerika
Serikat, yang akan terdiri dari Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Pasal II, Bagian Satu (1): “Kekuasaan eksekutif
akan diberikan pada Presiden Amerika Serikat.”
Pasal III, Bagian Satu : “Kekuasaan yudisial
Amerika Serikat akan diberikan di Mahkamah Agung,
dan di dalam pengadilan rendah yang demikian
seperti yang mungkin ditetapkan oleh Kongres dari
waktu ke waktu.
1)
Separation of Power
Dengan demikian, teori “Trias Politika” dari
Montesquieu dan pemikiran John Locke
tentang
pemisahan
kekuasaan
pemerintahan, dalam konstitusi Amerika
Serikat terpadu dalam prinsip Separation of
Power, yaitu
pemisahan kekuasaan
diantara kekuasaan Legislatif, Eksekutif,
dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif terdiri
dari Senat dan DPR (The House of
Representatif).
Ketiga
kekuasaan
pemerintahan tersebut saling mengawasi
dan seimbang dalam menjalankan tugas,
fungsi dan kewenangannya sesuai prinsip
Checks and Balances.
Dalam konstitusi dicantumkan secara tegas
dan jelas ketiga kekuasaan pemerintahan
tersebut, yaitu:
322
a) Legislative Departement: Kongres yang
terdiri dari Senat dan DPR (The house
of
representative)
memegang
kekuasaan
membentuk
Undangundang, diatur dalam Pasal I yang
terdiri dari 10 Bagian.
b) Executive Departement: Presiden, yang
memegang kekuasaan menjalankan
Undang-undang diatur dalam Pasal II
yang terdiri dari 4 Bagian.
c) Judicial
Departement:
Mahkamah
Agung, yang memegang kekuasaan
dibidang hukum atau kehakiman diatur
dalam Pasal III yang terdiri dari 3
Bagian.
2)
Presiden
Sebagaimana tersebut dalam Konstitusi
bahwa Kekuasaan Eksekutif (Executive
Departement) yang memegang kekuasaan
menjalankan Undang-undang diatur dalam
Pasal II yang terdiri dari 4 Bagian . Lebih
konkrit lagi dalam Pasal II, Bagian Satu (1)
ditegaskan: “Kekuasaan eksekutif akan
diberikan pada Presiden Amerika Serikat.”
Juga dalam Pasal II Konstitusi tergambar
jelas bahwa Amerika Serikat menganut
sistem pemerintahan presidensial, dimana
Presiden sebagai kepala negara maupun
kepala pemerintahan menerima mandat
dari Rakyat melalui pemilihan langsung
dengan sistem electoral college. Sehingga
Presiden tidak bertanggungjawab kepada
Parlemen dalam hal ini Kongres atas
semua bijaksanaan pemerintahannya baik
secara politis maupun administratif. Akan
tetapi jika Presiden melakukan kejahatankejahatan sebagaimana yang ditentukan
323
dalam Konstitusi Bab II pasal 4, yaitu:
pengkhianatan, penyuapan, dan kejahatankejahatan besar lainnya, maka Presiden
dapat diberhentikan dari jabatannya
(Impeachment). Pemberhentian dilakukan
dalam sidang Senat yang dipimpin oleh
Ketua Mahkamah Agung Federal, atas
tuntutan
DPR
(The
House
of
Representative).
Dalam sistem pemerintahan presidensial
ini,
cabinet
dibentuk
oleh
Senat
berdasarkan Undang-undang, dan para
Menteri dan Jaksa Agung diangkat atas
usulan Presiden dan persetujuan Senat.
Pembentukan kelembagaan cabinet ini
bersifat tetap, sehingga Presiden yang baru
cukup mengusulkan kepada Senat untuk
mendapat persetujuan terhadap personilpersonil yang dicalonkan menjadi Menteri
dan Jaksa Agung anggota Kabinet.
Presiden memangku masa jabatan selama
4 Tahun dengan pembatasan seseorang
hanya dapat memegang jabatan presiden
selama 2 masa jabatan (pembatasan masa
jabatan ini ditegaskan dalam amandemen
XXI (1951), dan dipilih dalam suatu
pemilihan akbar 4 tahunan (General
Election). Rekruitmen kandidat lewat partai
politik dan terbuka pula bagi indivual
independen, secara tradisi melalui Partai
Republik
dan
Demokrat
serta
Partai/individual
Independen.
Para
Kandidat Presiden dan Wakl Presiden
bertarung dalam satu paket. Kandidat
Presiden yang menetapkan kandidat Wakil
Presiden pasangannya, tetapi tidak berasal
dari negara bagian yang sama dengan
negara
bagian
kandidat
Presiden.
Meskipun kandidat Presiden umumnya
memilih
kandidat
Wakil
Presiden
324
pasangannya dari Partai Politik yang sama.
Oleh karena itu Presiden dan Wakil
Presiden yang terpilih berasal dari partai
yang sama. Namun demikian dalam hal
para kandidat Presiden dan Wakil Presiden
memperoleh suara electoral college yang
sama banyaknya atau tidak satupun
diantara mereka memperoleh mayoritas
suara electoral college, maka Presiden
dipilih oleh DPR (The House of
Representatif) dan Wakil Presiden dipilih
oleh Senat. Dalam keadaan demikian
dapat saja terpilih Presiden dan Wakil
Presiden dari Partai Politik yang berbeda.
Dalam pemilihan Presiden 1796 Kandidat
Presiden John Adams memenangkan kursi
Presiden ke 2, tetapi kandidat Presiden
Thomas Jefferson dari Partai Republik
yang kalah menjadi Wakil Presiden. Pada
saat itu pemilihan presiden belum
disertakan pemilihan Wakil Presiden.
Dalam pemilihan berikutnya 1800 Thomas
Jefferson terpilih sebagai Presiden ke-3.
Dalam pemilihan ini untuk pertama kali
presiden dipilih oleh DPR karena para
kandidat mendapat suara yang seimbang.
a. Kabinet
Kekuasaan
Presiden
sebagai
kekuasaan eksekutif di atur dalam
Konstitusi yang disahkan dan mulai
berlaku tanggal 4 Maret 1789. Dalam
Pasal II Bagian Satu (1) ditegaskan
masa jabatan presiden (bersama wakil
presiden)
selama
empat
tahun.
Pengaturan pembatasan masa jabatan,
yaitu selama empat tahun, saat itu
dianggap sebagai konsep baru yang
revolusioner tentang
masa jabatan
pemerintah yang berkuasa, karena
pada masa itu hampir seluruh negara325
negara besar di Eropa (termasuk di
bagian
dunia
lainnya:
Tiongkok,
Jepang,
India,
dan
NusantaraIndonesia) memakai sistem monarki
keturunan, dimana masa jabatan kepala
pemerintahan adalah selama kepala
pemerintahannya masih hidup, masa
jabatan mengikuti usia pejabatnya.
Kepala pemerintahan disebut Raja,
Ratu,
Kaisar,
Firaun,
Pangeran.
Revolusionalitas pembatasan masa
jabatan ini, kemudian dilengkapi dengan
sikap
Presiden
pertama
George
Washington yang tidak bersedia diplih
lagi sebagai presiden untuk masa
jabatan yang ketiga dalam pemilihan
presiden tahun 1796. Kemudian diikuti
oleh presiden-presiden berikutnya, yang
pada akhirnya preseden yang telah
berlangsung 155 tahun (1796 – 1951)
ini
dikonstitusionalkan
dengan
Amandemen XXI yang diratifikasi tahun
1951. Cuma ada satu pengecualian
dimana Presiden Franklin Delano
Roosevelt terpilih selama empat masa
jabatan presiden (1933 - 1945), ia
terkenal dengan program “New Deal
atau Nasib Baru” dan amanatnya dalam
pidato pelantikannya, bahwa satusatunya yang harus ditakuti adalah rasa
takut itu sendiri. Kemudian membawa
Amerika Serikat keluar dari masa resesi
dan depresi yang memuncak.
Perkembangan
selanjutnya,
memperlihatkan revolusionalitas konsep
baru pembatasan masa jabatan ini
mempengaruhi negara-negara yang
lahir kemudian termasuk negara-negara
di Asia Afrika yang menyatakan
326
proklamasi kemerdekaannya setelah
berakhirnya Perang Dunia kedua.
Juga dalam Konstitusi di atur tentang
pemilihan Wakil Presiden, akan tetapi
Konstitusi
tidak
mendelegasikan
kekuasaan eksekutif secara spesifik
atau
terinci
untuknya.
Hanya
ditegaskan
untuk
bertugas
menggantikan
presiden
jika
la
meninggal, mengundurkan diri atau
tidak mampu lagi melaksanakan
tugasnya, serta menjadi Ketua Senat
secara jabatan (ex officio). Demikian
juga Konstitusi tidak menyebutkan
secara spesifik dan terinci tugas dan
tanggungjawab
anggota kabinet
presiden yang terdiri atas menterimenteri departemen federal, atau ke
pejabat federal lainnya. Konstitusi
menyebutkan Departemen-Departemen
dibentuk oleh Kongres dengan undangundang, sedang para Menteri dan
Jaksa
Agung
yang
memimpin
Departemen Kehakiman dipilih oleh
Presiden atas persetujuan Senat.
Kabinet yang terdiri dari para Menteri
dan Jaksa Agung merupakan sebuah
dewan penasihat presiden. Dalam
Konstitusi disebutkan, bahwa presiden
menanyakan pendapat tertulis dari
pejabat penting dari tiap departemen
berkenaan dengan ruang lingkup tugas
dan tanggungjawabnya. Kualifikasi dan
job discribtion para anggota cabinet
tidak di atur dalam Konstitusi. Mereka
dibagi dalam berbagai divisi, biro,
jabatan dan dinas dengan tugas dan
tanggungjawab yang terperinci dan
spesifik
untuk
mengarahkan
pelaksanaan kegiatan pemerintahan
327
sesuai pembentukannya. Sehingga
kabinet merupakan gambaran lengkap
yang hidup dari organ tubuh seorang
presiden.
Meskipun Presiden adalah pemegang
kekuasaan eksekutif
atau sebagai
Kepala Kekuasaan Eksekutif yang
memimpin kabinet yang terdiri dari
menteri-menteri,
kekuasaan
membentuk
departemen
dengan
undang-undang sesuai kebutuhan ada
ditangan Kongres,
Pada tahap awal dibentuk empat
departemen,
kemudian
bertambah
menjadi sepuluh dan kini mencapai
empat belas departemen yang terdiri
dari:
a) Departemen Luar Negeri, dibentuk
tahun 1789.
b) Departemen Keuangan, dibentuk
tahun 1789.
Departemen Pertahanan, dibentuk
tahun 1947 (sebelumnya dari
Departemen Peperangan yang
dibentuk tahun 1789 tergabung
didalamnya Departemen Angkatan
Darat, Departemen Angkatan Laut
dan Departemen Angkatan Udara.
d) Departemen Kehakiman, dibentuk
tahun 1789 (antara tahun 1789 –
1870 Jaksa Agung merupakan
anggota
cabinet
tetapi
tidak
mengepalai sebuah departemen,
setelah
baru
mengepalai
Departemen Kehakiman).
c)
328
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
Departemen Transportasi, dibentuk
tahun
1966.
(sebelumnya
merupakan Departemen Pos yang
dibentuk tahun 1789).
Departemen
Dalam
Negeri,
dibentuk tahun 1849.
Departemen Pertanian, dibentuk
tahun 1862.
Departemen
Perdagangan,
dibentuk tahun 1913 (Sebelumnya
merupakan
Deprtemen
Perdagangan dan Tenaga Kerja
yang dibentuk tahun 1903)
Departemen
Tenaga
Kerja
(Perburuhan), dibentuk tahun 1913
(Sebelumnya merupakan bagian
dari Departemen Perdagangan dan
Tenaga Kerja, yang dibentuk tahun
1903).
Departemen
Kesehatan
dan
Pelayanan Kemanusiaan, dibentik
tahun 1979 (sebelumnya disebut
Departemen
Kesehatan,
Pendidikan dan Kesejahteraan,
yang dibentuk tahun 1953)
Departemen Pendidikan, dibentuk
tahun 1979 (sebelumnya menjadi
bagian
dari
Departemen
Kesehatan,
Pendidikan
dan
Kesejahteraan, yang dibentuk tahun
1953).
Departemen
Perumahan
dan
Pengembangan Urban, dibentuk
tahun 1965.
Departemen Energi, dibentuk tahun
1977.
n) Departemen
Urusan
Veteran,
dibentuk
tahun
1989
ketika
administasi Veteran dinaikkan ke
tingkat Kabinet.
329
Meskipun tidak memiliki kekuasaan
membentuk
departemen,
dan
pengangkatan para menteri dan Jaksa
Agung harus mendapat saran dan
persetujuan dari Senat, presiden tetap
memiliki kebebasaniang seluas-luasnya
menentukan politik pemerintahannya.
Kebebasan bersumber dari mandate
yang langsung diterima presiden dari
Rakyat dalam pemilihan langsung
melalui Electoral College atau Dewan
Pemilih.
Sehingga
tidak
ada
pertanggungjawaban
yang
dapat
dituntut oleh badan manapun yang
terkait
dengan
dasar
politik
kebijaksanaannya.
Jika
terdapat
kesalahan presiden dalam kebijakan
politik pemerintahannya yang tidak
popular, maka satu-satunya sanksi
moral
yang
diterimanya
adalah
kemungkinan tidak dipilihnya lagi dalam
pemilihan berikutnya, atau tidak memilih
kandidat presiden yang diajukan
partainya dalam pemilihan berikutnya.
Selain departemen-departemen, Kantor
Kepresidenan (Executive Office) yang
terdiri dari beberapa unit kerja,
termasuk staf Gedung Putih, Dewan
Keamanan Nasional (National Security
Council), Kantor Manajemen dan
Anggaran (The Office of Management
and
budget),
Dewan
Penasehat
Ekonomi
(Council
of
Economic
Advisers), Kantor Perwakilan Dagang
AS (Office of the U.S. Trade
Representative), dan Kantor Kebijakan
Iptek (Office of Science and Technology
Policy). Kemudian masih terdapat
berbagai unit kerja lainnya di bawah
kekuasan eksekutif/presiden dalam
330
bentuk
Dewan,
Komisi,
Dinas,
Lembaga, Perusahaan, Jawatan, atau
Agensi
dengan
tugas-tugas
dan
wewenang khusus di bidangnya.
Presiden berkantor dan sekaligus
berkediaman resmi di Gedung Putih
(White House) yang terletak pusat
pemerintahan
Wangshington
DC
(Distrik Colulombia),
sebuah lokasi
federal yang terletak diantara Negara
bagian Maryland, dan Virginia di pesisir
timur. Semasa pemerintahan Presiden
pertama George Washington selama
dua periode 1789 – 1797, Ibukota
pemerintahan nasional berkedudukan di
Philadelphia.
Presiden memulai masa empat tahun
jabatannya dimulai pada tanggal 20
Januari (sebelumnya dimulai dari Maret,
kem,udian diubah menjadi 20 Januari
dengan Amandemen kedua puluh yang
diratifikasi tahun 1933) mengikuti pemilu
di bulan November. Upacara pelantikan
presiden biasanya diadakan di tangga
gedung pertemuan Kongres, U.S.
Capitol. Ditempat itu presiden secara
terbuka
menyatakan
sumpah
jabatannya, yang secara tradisional
diambil oleh Hakim Ketua Mahkamah
Agung
Federal.
Sumpah
yang
diucapkan sebagimana yang tertulis
dalam Pasal II Bagian Satu (8)
Konstitusi: "Dengan khidmat Saya
bersumpah (atau berjanji) bahwa saya
akan melaksanakan dengan setia
jabatan presiden Amerika Serikat, dan
dengan segenap kemampuan saya
akan menjaga dan melindungi dan
mempertahankan Konstitusi Amerika
Serikat." Segera setelah pengambilan
331
sumpah, Presiden baru mengucapkan
pidato pelantikannya, yang berisi garisgaris besar kebijakan dan program kerja
pemerintahannya.
Pada
umumnya
merupakan penegasan kembali dari
janji-janji masa kampanye.
Secara kelembagaan memang presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
terpisah dengan dua cabang kekuasaan
lainnya, yaitu Legislatif dan Yudikatif.
Namun secara fungsional, yaitu dalam
rangka fungsi keseimbangan (balances
dari prinsip Chekck and balances),
presiden mempunyai kewenangankewenangan di bidang legislative dan
yudikatif, yaitu: 60
a) Kekuasaan Administratif Presiden
Dalam
jajaran
eksekutif
sendiri, presiden memiliki kekuasaan
yang luas untuk mengatur masalahmasalah nasional dan menjaga
jalannya
pemerintahan
federal,
Presiden
bisa
mengeluarkan
ketetapan-ketetapan,
berbagai
peraturan
dan
instruksi
yang
seluruhnya
disebut
penntah
eksekutif
(executive
orders).
Perintah mi tidak memerlukan
persetujuan
Kongres
namun
memiliki kekuatan hukum yang
mengikat atas perwakilan federal.
Sebagai panglima tertinggi Angkatan
Bersenjata
Amerika
Serikat,
presiden juga dapat menugaskan
Tentara Nasional (National Guard)
untuk bertugas di pemerintahan
federal. Dalam keadaan perang atau
60 Garis Besar PEMERINTAHAN AMERIKA SERIKAT, Deplu AS, hlm.52-54
332
darurat nasional, Kongres dapat
memberikan presiden kekuasaan
yang lebih besar lagi untuk
mengatur ekonomi nasional dan
melindungi
keamanan
Amerika
Serikat.
Presiden mencalonkan para
men-teri departemen dan pera
eksekutif, juga ratusan pejabat tinggi
federal lainnya dan Senat yang
mengukuhkannya. Meskipun begitu,
sebagian besar pegawai federal
dipilih melalui sistem Civil Service, di
mana
penunjukan
kerja
dan|
promosi
didasarkan
atas
kemampuan dan pengalaman.
Sebagai
pemegang
kekuasaan
eksekutif,
suatu
kekuasaan
untuk
menjalankan
undang-undang
sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang
Dasar, maka Presiden memegang
kekuasaan yang startegis dalam
mengendalikan dan memimpin roda
pemerintahan. Presiden berkuasa
untuk menjalankan dan mengawasi
kegiatan
sehari-hari
cabang
eksekutif yang didelegasikan kepada
para aparatur pemerintahan di
berbagai
kementrian
anggota
kabinet, unit kerja atau komisikomisi. Presiden berhak memilih
pejabat-pejabat
tinggi
eksekutif
setelah mendapat nasihat dan
persetujuan Senat, pula untuk
memecat
pembesar-pembesar
Pemerintah yang tidak menjalankan
hukum dengan setia. Kekuasaaan
presiden
ntuk
memecat
atau
memberhentikan pejabat-pejabatnya
333
tidak di atur dalam Konstitusi.
Konstitusi hanya mengatur tentang
pemecatan atau pemberhentian
presiden sebelum masa jabatannya
berakhir (Impeachment).
Berdasarkan Undang-undang
tahun 1876, pemecatan atau
pemberhentian
pejabat-pejabat
federal
terlebih
dahulu
arus
mendapat
persetujuan
Senat.
Namun dalam perkara pemecatan
Myer sebagai Kepala Kantor Pos
Oregon oleh Presiden Wilson karena
tanpa
persetujuan
senat,
Mahkamah Agung
memberikan
keputusan (tahun 1926), bahwa
Undang-undang yang mensyaratkan
adanya persetujuan Senat untuk
memecat
pejabatnya
adalah
inkonstituional.
Sebab Konstitusi
tidak menentukan suatu pun tentang
pemecatan seorang pegawai oleh
Presiden. Mantan Presiden Taft,
sebagai Ketua Mahkamah Agung,
juga
menerangkan
bahwa
kekuasaan presiden untuk memecat
para pegawai eksekutif adalah
sangat diperlukan untuk mendukung
pelaksanaan kewajiban-kewajiban
konstitusionalnya,
melaksanakan
hukum
dengan
sesungguhsungguhnya.
Dengan demikian,
setiap
undang-undang
yang
melarang
kekuasaan
presiden
melakukan
pemecatan
tanpa
persetujuan senat tersebut adalah
inkonstitusional.
334
Terhadap pemilihan pejabatpejabat federal yang ditugaskan di
negara bagian, dilakukan presiden
dengan terlebih dahulu melakukan
konsultasi – konsultasi
sebelum
mendapat
persetujuan
dengan
anggota Senat di negara bagian
yang bersangkutan. Pada umumnya
pejabat-pejabat
federal
yang
diajukan presiden yang mendapat
dukungan mayoritas dari para
Senator
negara
bagian
yang
bersangkutan
yang
diangkat.
Sehingga pada akhirnya Senat inilah
yang
sesungguhnya
lebih
menentukan
penugasan
aparat
pemerintah pusat yang ditempatkan
di suatu negara bagian. Cara
pemilihan
dan
pengangkatan
pejabat seperti ini sebagai suatu
kebiasaan atau tradisi yang dikenal
dengan “Senatorial Courtesy”. Suatu
tradisi penghormatan terhadap para
Senator di negara bagian, atau juga
sebagai
symbol
pengakuan
terhadap kedaulatan yang dimiliki
negara bagian, sebagaimana negara
bagian – negara bagian mempunyai
kekuasaan (kekuasaan yang diatur
dalam Konstitusi) untuk melakukan
pengesahan (ratifikasi) terhadap
setiap Amandemen Konstitusi.
Presiden
mempunyai
kekuasaan
untuk
menetapkan
peraturan-peraturan,
perintahperintah atau ketetapan-ketetapan
yang disebut sebagai “Ordinance
power".
Disebut
sebagai
"Presidensial
regulations"
(Peraturan-peraturan
Presiden),
335
manakala Presiden sendiri yang
menerbitkannya,
dan
disebut
sebagai "administrative regulations"
(ketetapan-ketetapan administratif)
bilamana dikeluarkan oleh pejabatpejabat
bawahan
presiden.
Peraturan dan ketetapan ini bersifat
tehnis dan detail. Diperlukan karena
Kongres tidak mungkin mengatur
hal-hal yang bersifat tehnis dan
detail untuk pelaksanaan Konstitusi
dan
Undang-undang
yang
dibuatmya.
sehingga
Peraturan
Presiden dan ketetapan administratif
tersebut sebatas
administratif
belaka
yang
tidak
boleh
bertentangan dengan Konstitusi atau
undang-undang pokoknya.
b) Kekuasaan Legislasi Presiden
Meski
dalam
ketentuan
konstitusional "seluruh kekuasaan
legislatif" dipegang oleh Kongres,
presiden sebagai penentu utama
kebijakan public memiliki peran
legislative yang besar.
Presiden
dapat
memveto tiap rancangan
undang-undang yang diajukan oleh
Kongres, dan rancangan tersebut
hanya akan dapat disahkan menjadi
undang-undang bila dua pertiga
anggota
majelis setuju
untuk
menolak veto tersebut.
Banyak perundang-undangan
yang
ditangani
oleh
Kongres
didaftarkan atas inisiatif dari pihak
eksekutif. Dalam pidato tahunan dan
pidato khususnya, presiden dapat
mengajukan perundangan yang ia
anggap perlu. Jika kemudian
336
Kongres menunda dengan tanpa
memproses
proposal
tersebut,
presiden mempunyai kekuasaan
unruk mengadakan sesi khusus.
Akan tetapi, diluar tugas resminya
ini, presiden sebagat ketua partai
politik dan kepala pemerintahan
eksekutif
di
Amerika
Serikat
mempunyai
posisi
untuk
mempengaruhi opini publik dan
karena itu dapat mempengaruhi
jalannya proses perundangan di
Kongres.
Untuk
memperlancar
kerjasamanya dengan Kongres,
para presiden Amerika belakang ini
memiliki Kantor Perantara Kongres
(Congressional Liasion Office) di
Gedung Putih. Para pembantu
presiden terus mengikuti seluruh
kegiatan penting legislatif dan
mencoba untuk melobi para senator
dan perwakilan/DPR dari kedua
belah partai untuk mendukung
kebijakan kebijakan politiknya.
Kekuasaan legislasi presiden
ditetapkan dalam bab I pasal 7 ayat
2 Undang-undang Dasar Amerika
Serikat, yang menerangkan bahwa
setiap rancangan Undang-undang
yang telah melewati House of
Representative dan Senat sebelum
menjadi
Undang-undang
harus
dimajukan dulu kepada Presiden.
Jika Presiden menyetujui, maka ia
akan menandantanganinya. Tetapi
jika ia tidak menyetujui ia akan
ngembalikannya
dengan
menyatakan
keberatan-keberatan
kepada badan perwakilan yang
337
mengeluarkan rancangan Undangundang itu. Kemudian memasukkan
keberatan-keberatan itu dalam Nota
keberatannya, selanjutnya Kongres
mengadakan
sidang
untuk
membahasnya. Jika dalam sidang
tersebut ternyata 2/3 jumlah anggota
Kongres
setuju
untuk
mengesahkannya, maka rancangan
Undang-undang
tersebut
akan
menjadi Undang-undang walaupun
Presiden
tidak
menyetujuinya.
Demikian juga jika suatu rancangan
Undang-undang tidak dikembalikan
oleh Presiden kepada
Kongres
dalam waktu 10 hari (kecuali hari
minggu) sesudah rancangan tadi
diajukan
kepadanya,
maka
rancangan Undang-undang itu akan
menjadi
Undang-undang
dan
dianggap Presiden telah menandatanganinya, terkecuali jika Kongres
sedang menunda sidang, sehingga
Undang-undang tersebut tidak dapat
dikembalikan
kepada
Kongres.
Dalam hal ini rancangan Undangundang itu belum menjadi Undangundang. Jadi dalam menerima
rancangan Undang-undang yang
telah disetujui Kongres, Presiden
dapat menentukan sikapnya, apakah
ia
menerima
atau
menolak.
Mengenai
cara
Presiden
menolak/memveto Undang-undang
ini ada dua macam :
a) Veto kantong (pocket veto), yaitu
bila Presiden tidak menanda
tangani
suatu
rancangan
Undang-undang, tetapi juga tidak
dapat mengembalikan kepada
338
badan Kongres karena Kongres
telah tidak bersidang (masa
reses). Pocket veto ini sifatnya
mutlak, jadi rancangan Undangundang itu tidak dapat menjadi
Undang-undang.
b) Veto terbatas (qualified veto),
yaitu bila Presiden dalam tempo
10 hari dengan memberikan
alasan penolakannya, kemudian
mengembalikannya
kepada
badan Kongres yang telah
mengambil inisiatif rancangan
Undang-undang tadi. Veto ini
sifatnya tidak mutlak, melainkan
hanya “suspensif” atau menunda
saja, sebab bila anggota-anggota
Kongres pada tiap-tiap kamarnya
dengan sekurang-kurangnya 2/3
jumlah suara tetap menyetujui
rancangan Undang-undang tadi,
maka rancangan tadi terus
menjadi
Undang-undang
walaupun
Presiden
tidak
menanda tanganinya.
Dapat ditambahkan bahwa
Presiden mempunyai kekuasaan
untuk
menganjurkan
kepada
Kongres agar menerima suatu
rancangan Undang-undang (“Power
to
recommended
legislation”).
Kekuasaan
ini
dipergunakan
Presiden pada waktu memberikan
amanatnya kepada Kongres tiap-tiap
tahun
permulaan
persidangan.
Sedangkan rancangan Undangundang itu sendiri telah disiapkan
oleh
Presiden
dalam
Departemennya. Kemudian melalui
kawan-kawan separtainya yang
339
duduk sebagai anggota Kongres
diusulkan
rancangan
Undangundang itu.
Pada umumnya rancangan
Undang-undang dibuat sendiri oleh
anggota-anggota Kongres, tetapi
lainnya berasal dari Pemerintah,
bahkan ada dari warga Negara
perseorangan,
maupun
dari
organisasi-organisasi
dalam
masyarakat, antara lain organisasi
buruh, organisasi keagamaan dan
sebagainya.
Namun demikian
secara formal semua rancangan
Undang-undang itu harus diusulkan
sendiri dan/atau melalui
anggota
Kongres walaupun berasal dari luar
Kongres. Suatu rancangan Undangundang melalui anggota House of
Representative atau Senat, terlebih
dahulu didaftar dan memperoleh
nomor urut, kemudian rancangan
Undang-undang
diteruskan
ke
komisi dari masing-masing dewan
dan komisi inilah yang menentukan
diteruskan tidaknya suatu rancangan
Undang-undang.
Jika
telah
mendapatkan persetujuan komisi,
kemudian
dilanjutkan
dalam
pembahasan masing-masing dewan.
Selanjutnya
kedua
dewan
mengadakan rapat gabungan untuk
mencapai persetujuan. Rancangan
Undang-undang
yang
telah
mendapat persetujuan mayoritas
Kongres dikirimkan kepada Presiden
untuk ditanda tangani.
Dengan
penanda-tangan
Presiden,
rancangan Undang-undang tersebut
sah menjadi Undang-undang.
340
c) Kekuasaan Yudikasi Presiden.
Kekuasaan
yudikatif
dari
presiden nampak dalam nominasi
hakim federal, termasuk para
anggota Mahkamah Agung oleh
presiden, akan tetapi nominasi ini
tetap memerlukan persetujuan dari
Senat. Selain itu juga tergambar
dalam kekuasaan presiden dapat
memberikan pengampunan penuh
atau bersyarat kepada siapapun
yang melanggar hukum federal
kecuali dalam kasus impeachment
atau tuntutan pertanggungjawaban
oleh
Senat
atas
dirinya,
sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal II Bagian Dua (1) Konstitusi.
Kekuasaan ini merupakan hak
prerogative presiden di bidang
yudikatif.
Berdasarkan Pasal I Bagian
Tiga (6) dan (7) Konstitusi, Senat
berwenang tunggal mengadili semua
tuntutan pertanggungjawaban atas
penyalahgunaan jabatan terhadap
semua pejabat termasuk presiden.
Namun hukuman yang dijatuhkan
tidak melebihi pemberhentian dari
jabatan
atau
didiskualifikasi
memegang jabatan atau mendpat
jabatan apapun yang merupakan
suatu kehormatan, kepercayaan,
atau keuntungan di bawah Amrika
Serikat. Kemudian pihak yang
dihukum oleh Senat ini dapat
dimintakan pertanggungjawaban di
muka pengadilan lalu dijatuhkan
hukuman
oleh
hakim
sesuai
ketentuan hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan itu, terhadap
341
penghukuman
yang
dijatuhkan
senat,
Presiden
tidak
bisa
memberikan pengampunan ataupun
menunda
pelaksanaan
hukumannya.
Tetapi
terhadap
penghukuman yang dijatuhkan oleh
Hakim, Presiden dapat memberikan
pengampunan ataupun menunda
pelaksanaan hukuman.
Hak prerogative Presiden ini,
dilaksanakan oleh Jaksa Agung
sebagai Menteri Khakiman atas
penugasan
presiden
untuk
memeriksa
dan
menyelidiki
permohonan
pembebasan
bersyarat, penundaan hukuman
serta
pengarnpunan,
kemudian
memberikan nasehat-nasihat atau
pertimbangan-pertimbangan kepada
Presiden
terkait
dengan
permohonan tersebut. Setelah itu
presiden
memutuskan
apakah
mengabulkan
atau
menolak
permohonan tersebut.
Permohonan dan pemberian
pengampunan
dari
Presiden
tersebut dapat dilakukan sebelum
atau sesudah hukuman dijatuhkan.
Tetapi pada umumnya Presiden
memberikan pengampunan setelah
hukuman itu dijatuhkan. Pada tahun
1899
Presiden
Harrison
mengeluarkan pernyataan yang
memberikan pengampunan atau
amnesty
terhadap
sekelompok
orang Mormon yang melakukan
pelanggaran Undang-undang anti
poligami di Amerika Serikat.
342
d) Kekuasaan Diplomatik Presiden.
Tugas dan tanggungjawab
presiden begitu luas, tidak hanya
meliputi wilayah dalam negeri, tetapi
juga menjangkau pergaulan antara
bangsa dan negara lain dalam
pergaulan
internasional.
Justru
dalam hubungan internasional inilah
kekuasaan eksekutif yang berada
ditangan presiden sangat dominant
dibanding Kongres (Senat dan DPR)
dan Mahkamah Agung Federal. Apa
saja
yang
diucapkan
dan
diperagakan
seorang presiden
menyimbolkan demikianlah Amerika
Serikat.
Salah satu kenyataan pahit
yang dihadapi seorang presiden
baru adalah fakta bahwa birokrasi
yang ia warisi adalah sebuah
struktur yang bisa sulit ditangani dan
lambat dalam menerima perubahan
arah. Kekuasaan presiden hanya
mampu menunjuk sekitar 3.000
orang dari sekitar tiga juta pegawai
pemerintahan.
Sang
presiden
juga
menemukan
bahwa
mesin
pemerintahan
kadang
berjalan
sendiri tanpa intervensi dari pihak
kepresidenan; hal ini telah berjalan
sepanjang
masa
pemerintahan
sebelumnya dan akan berlanjut
seperti ini di masa mendatang. Para
presiden baru langsung berhadapan
dengan timbunan keputusan dari
admimstrasi yang telah demisioner.
Mereka mewariskan anggaran yang
disusun dan dijalankan sebagai
343
ketetapan ketetapan hukum jauh
sebelum para presiden itu bertugas.
Hal ini juga termasuk program
pengeluaran utama, misalnya dana
untuk para veteran, pembayaran
Jaminan Sosial, dan Asuransi
Kesehatan untuk kaum manula yang
diatur oleh undang-undang. Dalam
hal hubungan luar
negeri, para
presiden harus mentaati perjanjianperjanjian dan persetujuan informal
yang disepakati oleh presiden
terdahulu mereka
Seiring
memudarnya
euphoria
kebersamaan
pascapemilu, seorang presiden baru
menghadapi Kongres yang semakin
lama tidak kooperatif lagi, dan media
massa yang semakin kritis. Sang
presiden setidaknya dipaksa untuk
membangun sekutu sementara di
antara banyaknya kepentmgan yang
kadang saling bertentangan-secara
ekonomi, geografi, etnis, dan
ideologi.
Kompromi-kompromi
dengan
Kongres
harus
terus
menerus diupayakan agar sebuah
undang-undang disahkan. "Sangat
mudah untuk menolak sebuah
rancangan
undang-undang
di
Kongres," keluh Presiden John F.
Kennedy, "Tetapi hal itu lebih sulit
untuk disahkan."
Walaupun dengan batasanbatasan
ini,
setiap
presiden
setidaknya
berhasil
dalam
menggolkan misi legislatifnya dan
mencegah pelaksanaan undangundang lain yang dianggapnya
bukan untuk kepentingan nasional
344
dengan hak veto.
Kewenangan
substansial
seorang
presiden
termasuk menyatakan perang dan
damai
serta
perundingan
perjanjian-perjanjian. Ditambah lagi,
presiden
bisa
menggunakan
posisinya
yang
unik
untuk
menglontarkan
ide-ide
dan
menyokong kebijakan-kebijakan, hal
yang dapat lebih masuk ke dalam
transfaransi
kesadaran
publik
dibanding ide-ide lawan politiknya.
Presiden
Theodore
Roosevelt
menyebut
aspek
ini
sebagai
"gertakan mimbar" karena ketika
seorang
presiden
mengangkat
sebuah isu, maka pastinya ia akan
menjadi
bahan
debat
publik.
Kekuasaan dan pengaruh seorang
presiden boleh saja terbatas, namun
tetap saja lebih berpengaruh dari
orang Amerika manapun, baik di
dalam maupun di luar kantor
kepresidenan.
Seperti yang tercantum dalam
Konstitusi, presiden sebagai pejabat
federal bertugas terutama untuk
bertanggung
jawab
terhadap
hubungan Amerika Serikat dengan
negara-negara lain.
Presiden
mengangkat para duta besar,
menteri,
dan
konsulat
yang
memerlukan
persetujuan
Senat
serta menerima duta besar dan
pejabat publik dari negara lain.
Presiden mengatur seluruh kontak
resmi dengan pemerintahan negara
lain bersama dengan sekretaris
negara. Terkadang, presiden secara
pribadi dapat berpartisipasi dalam
345
konferensi tingkat tmggi di mana
para
pemimpm
negara-negara
bertemu
untuk
berkonsultasi
langsung. Karena itulah, presiden
Woodrow
Wilson
langsung
mengepalai delegasi Amerika ke
konferensi di Paris setelah Perang
Dunia I, juga presiden Franklin D.
Roosevelt yang bertemu dengan
para
pemimpm
negara-negara
sekutu selama Perang Duma II.
Setelah itu, para presiden Amerika
Serikat ikut berdiskusi bersama
dengan para pemimpin dunia
lainnya untuk membahas isu-isu
politik dan ekonomi agar mencapai
kesepakatan
bilateral
dan
multilateral.
Melalui Departemen Luar
Negeri, presiden bertanggung jawab
atas perlindungan warga Amerika
yang berada di luar negeri dan
warga asing yang tinggal di Amerika.
Presiden juga menentukan apakah
akan mengakui negara baru dan
pemerintahan baru atau tidak, serta
merundingkan perjanjian dengan
negara lain, dan akan mengikat
Amerika jika perjanjian itu telah
disetujui oleh dua pertiga anggota
Senat.
Juga,
presiden
bisa
menegosiasikan
"kesepakatankesepakatan
eksekutif"
dengan
negara lain yang tidak memerlukan
persetujuan Senat.
Kekuasaan Presiden Amerika
Serikat sebagai Panglima Tertinggi
Angkata Perang yang begitu penting
dan popular diluar negeri. Dalam
masa damai Presiden mempunyai
346
kekuasaan
untuk
membangun,
melatih mengawasi dan mengatur
kedudukan Angkatan Perangnya,
tetapi seluruh anggaran yang
diperlukan untuk itu ditentukan oleh
Kongres. Dalam masa perang atau
ketrlibatan dalam konflik bersenjata
baik untuk negara sendiri maupun
selaku
anggota
organisasi
internasional
terutama
Dewan
Keamanan
PBB,
kekuasaan
Presiden di bidang militer ini sangat
besar dan begitu strategis.. Putusanputusan penting strategi dan taktik,
bahkan sampai pada tempat dan
waktu jenis bom tertentu dijatuhkan
(jatuhnya bom atom di Jepang tahun
1945) merupakan keputusan yang
diambil Presiden. Untuk menyokong
politik Luar Negerinya kadangkadang Presiden melakukan apa
yang disebut "perang Presidensial."
Yang dimaksud perang Presidensial
ini adalah, perang yang dilakukan
Presiden Amerika Serikat yang
bukan karena permakluman perang
oleh Kongres. Sebab di Amerika
Serikat
secara
konstitusional
Presiden sendiri tidak berhak untuk
memaklumkan perang, sebab hak ini
berada di tangan Kongres (Pasal I
Bagian 8 (11) . Itulah sebabnya
keterlibatan Amerika Serikat dalam
perang di Indo Cina/Vietnam dulu
akhirnya mendapat tentangan keras
dari Kongres, sebab peperangan
yang berlangsung bertahun-tahun itu
belum pernah dipermaklumkan oleh
Kongres, sehingga perang tersebut
bagi Amerika Serikat hanyalah
347
perang Presidensial yang dilakukan
oleh
Presiden
untuk
mempertahankan
politik
Luar
Negerinya.
Kemudian kekuasaan luar
negreri
dari
Presiden
adalah
kekuasaan
untuk
mengadakan
perjanjian dengan negara lain
melalui nasehat dan persetujuan
Senat. Demikian juga mengenai
pengangkatan Duta Besar dan
Konsul.
Walaupun
untuk
mengadakan hubungan dengan
Luar Negeri di Amerika Serikat
ditentukan oleh tiga badan, yaitu
Presiden, Kongres dan Senat,
namun begitu kedudukan Presiden
adalah yang terutama, sebab
pelaksanaan hubungan Luar Negeri
itu seluruhnya adalah urusan
eksekutif. Dalam kebanyakan hal
pimpinan dari Presiden tentang
perumusan kebijaksanaan politik
Luar
Negeri
diterima
oleh
Kongres/Senat. Tetapi kerjasama itu
bisa tidak berhasil, bila secara politis
hubungan
Kongres
dengari
Presiden
terjadi
ketegangan.
Misalnya pernah terjadi pada waktu
Wodrow Wilson menjadi Presiden, di
mana beliau sebagai perencana
peserta dan pembela berdirinya Liga
Bangsa-bangsa (League of Nations),
terpaksa tidak berhasil mengikutsertakan negaranya kedalam Liga
Bangsa-bangsa tersebut karena
penolakan Kongres terhadap politik
Luar Negerinya tersebut.
348
b. Unit Kerja
Sebagaimana
uraian
sebelumnya
bahwa
pendelegasian
wewenang
pemerintahan kepresidenan diberikan
kepada berbagai departemen anggota
Kabinet. Kemudian dibantu berbagai
unit kerja lainnya di bawah kekuasan
eksekutif/presiden dalam bentuk Kantor
Kepresidenan dan Badan-Badan Usaha
Milik Negara dan Instansi Semi-Formal
lainnya dalam bentuk: Dewan, Komisi,
Dinas, Lembaga, Perusahaan, Jawatan,
atau Agensi dengan tugas-tugas dan
wewenang khusus di bidangnya.
Unit kerja kepresidenan tersebut dapat
disebutkan sebagai berikut:
1) Kantor Kepresidenan (Executive
Office) terdiri dari beberapa unit
kerja, termasuk staf Gedung Putih,
Dewan
Keamanan
Nasional
(National Security Council), Kantor
Manajemen dan Anggaran (The Office of Management and budget),
Dewan Penasehat Ekonomi (Council
of Economic Advisers), Kantor
Perwakilan Dagang AS (Office of the
U.S. Trade Representative), dan
Kantor Kebijakan Iptek (Office of
Science and Technology Policy).
2) Badan-Badan Usaha Milik Negara
dan Instansi Semi-Formal lainnya,
terdiri dari:
a) Dewan Penasihat
Barang Bersejarah,
Pelestarian
b) Badan Intelijen Pusat (CIA),
c) Komisi Hak – Hak Sipil,
349
d) Komisi Penjualan Surat – Surat
Kontrak Komoditas,
e) Komisi Keamanan Produk Bagi
Konsumen,
f)
Perusahaan Layanan Nasional,
g) Badan Perlindungan Lingkungan,
h) Komisi Persamaan Kesempatan
Kerja,
i)
Bank Eksport – Import AS,
j)
Lembaga Kredit Pertanian,
k) Komisi Telekomunikasi Federal,
l)
Perusahaan Asuransi Simpanan
Federal,
m) Komisi Pemilihan Umum Federal,
n) Badan Federal
Masalah Darurat,
Penanganan
o) Otorita Federal Hubungan Buruh,
p) Komisi Maritim Federal,
q) Komisi Perdagangan Federal,
r)
Sistem Cadangan Federal,
s) Dewan
Federal
Pensiunan,
t)
Investasi
Badan Tata Usaha Umum,
u) Dewan Perlindungfan
Penilaian Jasa,
Sistem
v) Badan Aeronautika dan Luar
Angkasa Nasional,
w) Badan
Arsip
Nasional,
dan
Catatan
x) Yayasan Nasional Kesenian dan
Sastra,
350
y) Dewan Hubungan Tenaga Kerja
Nasional,
z) Perusahaan
Nasional
Penumpang Kereta Api,
aa) Lembaga
Nasional,
Pengulas
bb) Lembaga
Nasional,
Ilmu
cc) Dewan Nasional
Transportasi,
Kinerja
Pengetahuan
Keselamatan
dd) Komisi Pengaturan Nuklir,
ee) Komisi Peninjau Penanganan
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja,
ff) Dinas Etika Pemerintahan,
gg) Dinas Penasehat Khusus,
hh) Perusahaan Investasi Swasta di
Luar Negeri,
ii) Pasukan Perdamaian,
jj) Perusahaan Penjamin Tunjangan
Pensiun,
kk) Komisi Tarif Pos,
ll) Dewan Pensiunan Kereta Api,
mm) Komisi Pasar Modsal,
nn) Sistem Layanan Terpilih,
oo) Dinas Usaha Kecil,
pp) Institusi Smithsonian,
qq) Badan Jaminan Sosial,
rr) Otorita Lembah Tennessee,
ss) Lembaga
Pembangunan
Internasional AS,
351
tt) Komisi
Internasional AS,
Perdagangan
uu) Jawatan Pos,
vv) Agensi
Pembangunan
Perdagangan AS,
dan
ww) Siaran Suara Amerika.
3)
Kongres
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal I,
Bagian Satu: dari Konstitusi, bahwa
“Semua kekuasaan legislatif yang diberikan
akan diberikan di Kongres Amerika Serikat,
yang akan terdiri dari Senat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.” Kemudian Pasal II,
Bagian Satu (1): menyatakan bahwa
“Kekuasaan eksekutif akan diberikan pada
Presiden Amerika Serikat.”
Menyusul
Pasal III, Bagian Satu menegaskan, bahwa
“Kekuasaan yudisial Amerika Serikat akan
diberikan di Mahkamah Agung, dan di
dalam pengadilan rendah yang demikian
seperti yang mungkin ditetapkan oleh
Kongres dari waktu ke waktu.
Pasal-pasal Konstitusi tersebut di atas
menggambarkan prinsip-prinsip pemisahan
kekuasaan pemerintahan atau Separation
of Power principle, sebagaimana dikenal
dalam
konsep
Trias
Politika
dari
Montesquieu dan pemikiran John Locke
dan J.J. Rousseau tentang pemisahan
kekuasaan pemerintahan. Dalam konsep
KOnstitusi Amerika, Separation of Power
dipahami sebagai pemisahan kekuasaan
secara kelembagaan diantara kekuasaan
Legislatif,
Eksekutif,
dan
Yudikatif.
Kekuasaan Legislatif terdiri dari Senat dan
DPR (The House of Representatif). Tetapi
secara fungsional
ketiga kekuasaan
352
pemerintahan tersebut saling mengawasi
dan seimbang dalam menjalankan tugas,
fungsi dan kewenangannya sesuai prinsip
Checks and Balances. Dalam rangka
pengawasan dan keseimbangan ini dalam
batas-batas
tertentu
terdapat
lintas
kekuasaan. Kekuasaan legislative dengan
sistem bicameral (dua kamar): Senat dan
The House of Representatif (DPR) ini
bukan konsep baru Amerika, tetapi
diadopsi dari sistem Inggris melalui praktek
pemerintahan
masa
koloni
yang
memerdekakan diri menjadi negara bagian
dari Negara Amerika Serikat. Namun
demkian terdapat perbedaan “Spirit”,
terutama
Kongres dijiwai dengan
semangat demokrasi dan hak hak asasi
manusia yang bertujuan pada perlindungan
hak hak sipil dan politik individual rakyat
dan keseimbangan kepentingan diantara
pemerintah pusat (Federal) dengan Negara
Bagian (State) serta diantara sesama
negara bagian (State). Sedang Parlemen
memadukan
prinsip-prinsip
monarchi,
aristokrasi, dan
demokrasi yang lebih
berorientasi pada penguatan eksistensi
Raja dan Negara.
Bahwa pertimbangan para delegasi di
Konvensi Konstitusi terhadap sistem dua
kamar (bicameral) ini memberi alasan
bahwa undang-undang yang akan dibuat
oleh
Kongres
akan
terhindar
diundangkannya sebuah undang-undang
yang dibuat secara keliru dan tergesa-gesa
tanpa pertimbangan yang matang. Jika
proses
pembuatan
undang-undang
tersebut melalui dua kelompok yang
berbeda, yaitu: Senat yang mewakili
kepentingan
negara
bagian
secara
seimbang (masing-masing negara bagian
353
diwakili 2 orang Senator) dan DPR yang
mewakili rakyat negara bagian secara
proporsional sesuai jumlah rakyat negara
bagiannya tersebut , maka akan dihasilkan
suatu undang-undang yang aspiratif sesuai
kebutuhan. Hal ini pula akan menodorong
kedua kelompok perwakilan ini akan
bekerja
saling
mengawasi
secara
seimbang, seperti yang dipraktekkan di
parlemen Inggris. Walaupun Konstitusi
maupun Amandemen XVII tidak secara
gamblang menyebutkan siapa yang lebih
berkuasa di antara kedua dewan tersebut,
namun dalam praktek jabatan Senator lebih
bergengsi dibanding DPR. Juga kualifikasi
menjadi anggota Senat menurut Konstitus,
adalah harus berusia minimum 30 tahun,
sudah menjadi warga negara Amerika
sedikitnya selama sembilan tahun, dan
berdomisili di negara bagian yang memilih
mereka. Sedang anggota DPR harus
berusia minimum 25 lahun, telah menjadi
warga negara sedikitnya tujuh tahun, dan
berdomisili di negara bagian yang memilih
mereka. Tiap negara bagian boleh
memberikan syarat tambahan untuk
pemilihan
anggota
Kongres,
tetapi
Konstitusi memberi kuasa kepada setiap
Dewan untuk menetapkan kualifikasi para
anggotanya.
Keberadaan
Kongres
dianggap
berlangsung 2 tahun karena masa jabatan
seluruh anggota DPR sebagai salah satu
kamar di Kongres adalah 2 tahun, dan
sepertiga dari 100 anggota Senat berakhir
masa jabatannya. Menurut Amandemen
XX Konstitusi
AS menetapkan bahwa
Kongres akan bersidang setiap tanggal 3
Januari, kecuali jika Kongres menentukan
tanggal lain. Kongres tetap bersidang
354
sampai anggota-anggotanya memberikan
suara untuk menunda, biasanya pada akhir
tahun. Presiden bisa mengadakan rapat
khusus
jika
ia
dianggap
perlu.
Sidang diadakan di gedung Capitol di
Washington DC.
Dalam Pasal I Konstitusi disebutkan secara
tegas satu persatu wewenang Kongres
yang diemban oleh Senat dan DPR, yaitu:

Mengadakan dan memungut pajak;

Meminjam
rakyat;

Membuat
undang-undang
dan
peraturan-peraturan untuk mengatur
perdagangan di antara negara-negara
bagian dan dengan negara-negara
asing;

Membuat peraturan-peraturan yang
seragam
untuk
naturalisasi
(perwarganegaraan) warga asing;

Membuat mata uang, mencantumkan
nilainya, dan menangani hukuman
untuk para pemalsu uang;

Menetapkan standar untuk bobot dan
langkah-langkah atau tindakan;

Membentuk undang-undang kepailitan
bagi negara secara keseluruhan;

Mendirikan kantor-kantor pos dan jalur
pos;

Mengeluarkan hak-hak paten dan hak
cipta;

Menghukum pelaku pembajakan;

Menyatakan perang;

Meningkatkan
militer/tentara;
355
uang
untuk
dan
keuangan
mendukung

Membentuk Angkatan Laut;

Mengerahkan wajib militer untuk
menegakkan undang-undang federal,
menekan pelanggaran hukum atau
melawan invasi;

Membuat
semua
undang-undang
ditempatkan di pusat pemerintahan
(Washington D.C);

Membuat
semua
menjadi
penopang
Konstitusi.
undang-undang
ditegakkannya
Beberapa wewenang ini sekarang sudah
ketinggalan jaman, tetapi masih tetap
dipakai. Amandemen ke-10 mengatur
batas-batas
yang
jelas
mengenai
wewenang
Kongres
dengan
cara
menetapkan bahwa kekuasaan yang tidak
didelegasikan kepada pemerintah nasional
akan menjadi wewenang negara bagian
atau rakyat. Selain itu, Konstitusi secara
khusus melarang Kongres melakukan
beberapa tindakan tertentu yaitu Kongres
tidak boleh:

Menunda perintah habeas corpus kewajiban untuk mengajukan mereka
yang dituduh melakukan kejahatan ke
muka pengadilan atau hakim sebelum
dihukum kecuali bila terpaksa karena
terjadi pemberontakan atau invasi.

Menetapkan undang-undang yang
menyalahkan atau menghukum orang
lain karena kejahatan atau melakukan
tindakan yang tidak sah tanpa proses
pengadilan.

Menetapkan undang-undang retroaktif
yang menetapkan suatu tindakan
tertentu sebagai tindak kejahatan.
356

Mengadakan
pemungutan
pajak
langsung kepada penduduk, kecuali
jika berdasarkan pada sensus yang
telah dilaksanakan.

Pajak untuk barang-barang ekspor dari
salah saru negara bagian.

Memberikan pelayanan khusus yang
menguntungkan dalam perdagangan
atau perpajakan bagi pelabuhanpelabuhan di negara bagian manapun
atau untuk kapal-kapal yang digunakan
mereka.

Memberi gelar kebangsawanan.
a)
SENAT
Senat
merupakan
lembaga
perwakilan atau legislative yang
terdiri dari seratus orang Senator,
kesemuanya berasal dari lima puluh
negara bagian. Masa jabatan setiap
Senator adalah 6 tahun, akan tetapi
para Senator yang berjumlah 100
orang itu tidak berakhir masa
jabatannya
secara
bersamaan.
Setiap Negara Bagian mempunyai
jatah 2 orang senator dan masingmasing senator mempunyai sat hak
suara, ada 50 negara bagian di
Amerika Serikat. Setiap 2 tahun
terdapat sepertiga dari 100 senator
yaitu: 33 atau 34 senator dari 33
atau 34 negara bagian yang berakhir
masa jabatannya. Sehingga setiap
2 tahun dlakukan pemilihan Senator
baru dari 33 atau 34 negara bagian.
Masa jabatan 2 Senator dari
masing-masing Negara bagian tidak
berakhir
secara
bersamaan.
Pergantian para Senator secara
357
estafet ini bergulir terus menerus
secara berkesinambungan setiap 2
tahun dalam pemilihan tengah (Term
Election) maupun pemilihan akbar
(General Election). Dan tidak ada
pembatasan waktu menjadi Senator.
Daerah
pemilihannya
meliputi
wilayah Negara Bagiannya masingmasing. Wakil Presiden menjadi
Ketua Senat tanpa hak suara,
kecuali jika dalam pengambilan
suatu keputusan terdapat suara
yang berimbang barulah Wakil
Presiden sebagai Ketua Senat
mempunyai
hak
suara
yang
menentukan.
Oleh karena hak
suara ini timbul dari keadaan
berimbang tadi, maka hak suara ini
harus digunakan atau tidak boleh
abstain agar senat dapat mengambil
kepastian akan suatu keputusan dari
keadaan
berimbang.
Manakala
Wakil Presiden berhalanagn (absen)
dipilih seorang Ketua Sementara.
Pemberian jumlah senator yang
sama banyaknya yaitu 2 senator
bagi semua negara bagian dengan
populasi yang berbeda, merupakan
“penyeimbang”
dari
perbedaan
jumlah
anggota
DPR
yang
dijatahkan
secara
proporsional
sesuai populasi pada masingmasing negara bagian. Dengan
demikian
meskipun
merupakan
negara bagian dengan jumlah
penduduk yang sedikit sehingga
hanya mendapat jatah 3 kursi
anggota
DPR,
namun
Maine
mempunya jatah 2 kursi Senator
yang sama banyaknya dengan
358
California sebagai negara bagian
terbanyak penduduknya sehingga
memperoleh
53 kursi DPR. Hal ini sesuai dengan
kompromi
Connecticut
yang
kemudian menjadi ketentuan dalam
Articles of Confederatian yang
berlaku sebagai konstitusi di masa
pemerintahan konfederasi antara
tahun 1781 – 1789, bahwa negara
bagian memiliki keterwakilan yang
sama, yaitu masing-masing negara
bagian diwakili 2 Senator dalam
Senat sebagai Majelis Tinggi, dan
keterwakilan sesuai populasi dalam
DPR sebagai Majelis Rendah.
Dimaksudkan pula sebagai symbol
kesetaraan kedaulatan 13 negara
bagian yang besar dan kecil saat itu,
karena secara de facto berbeda luas
geografi, populasi, dan sumbersumber
kekayaan
alamnya
,
kemudian
melambangkan
kesetaraan de jure diantara 50
negara bagian. Pada awalnya senat
dipilih oleh legislative masingmasing negara bagian, kemudian
sejak amandemen XVII (Tahun
1913) dipilih langsung oleh rakyat
pemilih negara bagian asalnya
dalam sebuah pemilihan. Bilamana
terjadi kekosongan kursi ini sebelum
masa jabatan habis, eksekutif
negara bagian dengan persetujuan
legislatifnya mengangkat pejabat
sementara
sampai
terpilihnya
Senator
defenitif.
Pemilihan
diselenggarakan
khusus
atas
perintah eksekutif negara bagian
tersebut.
359
Lebih dan seratus tahun setelah
diterimanya Konstitusi tersebut, para
senator (anggota Senat) tidak dipilih
melalui pemungutan suara langsung
melainkan dipilih oleh para badan
pembuat undang-undang negara
bagian dan dianggap sebagai
perwakilan
dari
negara-negara
bagian mereka. Tugas mereka
adalah memastikan bahwa negara
bagian
yang
mereka
wakili
mendapat perlakuan sama di UU.
Kemudian Amandemen ke-17, yang
mulai
berlaku
tahun
1913,
mewajibkan
pemilihan
anggota
Senat secara langsung, tidak lagi
melalui legislative negaran bagian.
Selain wewenang Kongres yang
luas dan terinci disebutkan dalam
Pasal I Konstitusi tersebut di atas,
Senat juga mempunyai wewenang
khusus, yaitu:
1) untuk mengajukan rancangan
perundang-undangan
pada
segala hal, kecuali kenaikan
penghasilan,
yang
harus
diusulkan
oleh
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Negaranegara bagian.
2) Untuk
menolak
rancangan
undang-undang dalam segala hal
termasuk rancangan undangundang tentang penghasilan
DPR
beserta
amandemenamandemen tambahan yang
diajukan DPR. Akan tetapi dalam
kondisi
demikian
Kongres
membentuk
Sebuah
Panitia
Konferensi yang beranggotakan
360
kedua dewan: Senat & DPR.
Panitia ini yang mengupayakan
suatu
solusi
yang
dapat
ditempuh oleh kedua dewan
tersebut
sampai
rancangan
tersebut
menjadi undangundang.
3) untuk menyetujui pengangkatan
para pejabat tinggi pemerintahan
federal dan duta besar yang
diusulkan oleh Presiden.
4) untuk
mengesahkan
semua
perjanjian dengan persetujuan
dua pertiga (2/3) anggota Senat.
Tanpa persetujuan Senat, tidak
ada seorang pejabat federal
yang diusulkan Presiden dapat
diangkat.
5) Untuk
mengadili
kasus
impeachment
atau
tuntutan
pertanggungjawaban politis dari
Presiden dan pejabat tinggi
pemerintahan federal, tuntutan
mana diajukan oleh DPR. Jika
terbukti
bersalah
dapat
menjatuhkan putusan pemecatan
atau
pemberhentian
dari
jabatannya,
termasuk
dari
jabatan Presiden.
Sejauh ini, setidaknya Senat
telah memeriksa dan mengadili
enam belas kasus Impeachment
yang
diajukan/dituntut
DPR.
Keenambelas kasus tersebut
melibatkan: dua orang Presiden,
Seorang
anggota
Kabinet,
seorang
Senator,
seorang
anggota Mahkamah Agung, dan
sebelas hakim federal. Kemudian
361
Senat menjatuhkan hukuman
terhadap tujuh orang yang
semuanya hakim.
6) untuk membentuk Komisi Tetap,
Komisi Khusus, atau Komisi
Gabungan
yang
membahas
rancangan
undang-undang
sebelum
diajukan
dalam
persidangan Senat.
7) Untuk melakukan investigasi
atau
penyelidikan
yang
umumnya didelegasikan kepada
suatu komisi.
8) Untuk memilih wakil presiden
dalam hal Dewan Pemilih
(Electoral College) gagal memilih
wakil presiden.
9) Untuk memilih Ketua Sementara
memimpin Senat yang bersal
dari
anggota
partai
politik
terbesar di Senat, manakala
Wakil Presiden sebagai Ketua
Senat berhalangan (absen).
10)Untuk memilih Ketua Fraksi dari
partai politknya dan pejabatpejabat lain pada awal masa
kerja Kongres, untuk bersamasama Ketua Senat dan Komisi
menangani proses pembuatan
undang-undang.
b.
DPR (The House of Representatif)
Berbeda dengan anggota Senat,
setiap anggota DPR (The House of
Representatif) mempunyai masa
jabatan 2 tahun dan masa jabatan
ini berakhir secara serentak. Juga
tidak
ada
pembatasan
masa
362
memangku jabatan wakil rakyat ini.
Ada 435 Anggota DPR yang masa
jabatannya berakhir secara serentak
setiap 2 tahun. Sehingga setiap 2
tahun diadakan pemilihan anggota
DPR baik dalam pemilihan tengah
(Term Election) maupun pemilihan
akbar (General Election). Kursi DPR
diperebutkan di setiap distrik. Satu
kursi disetiap distrik. Jumlah kursi
DPR yang diperebutkan di satu
Negara bagian berbeda dari Negara
bagian lainnya. Penjatahan jumlah
kursi lebih ditentukan kepadatan
penduduk pemegang hak suara.
Akan tetapi Negara bagian terkecil
minimal mendapat jatah 3 kursi.
Distrik dibentuk di wilayah Kota atau
Kabupaten sesuai perbandingan
jumlah penduduknya dan jatah kursi
bagi Negara Bagiannya masingmasing.
Konstitusi mengatur adanya
sensus penduduk tiap 10 tahun
sekali dan adanya distribusi ulang
kursi di DPR berdasarkan hasil
sensus
tersebut.
Berdasarkan
ketetapan
perundang-undangan,
untuk pertama kali jumlah para
perwakilan tidak lebih dari satu wakil
untuk setiap 30.000 penduduk. Ada
65 anggota di Dewan Perwakilan
pertama, dan jumlah tersebut naik
menjadi 106 setelah sensus yang
pertama. Kemudian disesuaikan lagi
dengan pertambahan penduduk,
dan rasio perwakilan saat ini adalah
1 berbanding 600.000 orang dengan
jumlah 435 kursi Dewan Perwakilan
363
Sebagai salah satu dari dua
Dewan
Kongres,
wewenang
Kongres dalam Pasal I Konstitusi
yang disebutkan secara tegas satu
persatu juga merupakan bagian dari
wewenang DPR, termasuk semua
tindakan terlarang bagi Kongres
merupakan tindakan-tindakan yang
terlarang bagi DPR
Selain itu, DPR juga memiliki
wewenang khusus, yaitu:
1) untuk membentuk Komisi Tetap,
Komisi Khusus, atau Komisi
Gabungan
yang
membahas
rancangan
undang-undang
sebelum
diajukan
dalam
persidangan.
2) Untuk melakukan investigasi
atau
penyelidikan
yang
umumnya didelegasikan kepada
suatu komisi
3) untuk mengajukan tuntutan atau
dakwaan terhadap Presiden dan
pejabat tinggi federal lainnya
yang diajukan di Kongres dalam
perkara
Impeachment
atau
tuntutan
pertanggungjawaban
secara politis atas kejahatan
tertentu yang dilakukannya.
4) untuk memilih Presiden dalam
hal Dewan Pemilih (Electoral
College) gagal memilih seorang
Presiden.
5) Untuk memilih Ketua Parlemen
dari anggota DPR yang berasal
dari partai politik terbesar di
parlemen.
364
6) Untuk memilih Ketua Fraksi dari
partai politknya dan pejabatpejabat lain pada awal masa
kerja Kongres, untuk bersamasama Ketua Parlemen dan
Komisi
menangani
proses
pembuatan undang-undang.
Meskipun Komisi-komisi tidak di
atur dalam Konstitusi, namum peran
Komisi di Kongres sangat dominan,
bahkan merupakan jantung Kongres
yang terus berdetak setiap saat
dalam melaksanakan tugas dan
wewenang legislatifnya. Semua
rancangan undang-undang dimulai
dari Komisi: persiapan, pendataan,
perumusan, sosialisasi, publikasi,
mengundang pakar, memanggil
saksi dengan sanksi jika saksi tidak
memenuhi panggilan, memeriksa
saksi di bawah sumpah dengan
tuntutan sumpah palsu jika memberi
keterangan palsu,
merevisi,
menolak, merekomendasi, menolak,
menyetujui,
sampai
pada
pengadministrasian akhir menjadi
undang-undang.
Saat ini, Senat mempunyai 17
komisi tetap; DPR mempunyai 19
komisi. Tiap komisi mengkhususkan
dari pada bidang khusus pembuatan
perundang-undangan: urusan luar
negen, pertahanan, perbankan,
pertanian,
perdagangan,
dan
bidang-bidang
lainnya.
Hampir
setiap RUU yang diajukan di Dewan
harus melalui suatu komisi untuk
mempelajari
dan
memberikan
rekomendasi.
Komisi
boleh
menyetujui, merevisi, menolak, atau
365
mengabaikan segala tindakan yang
berkenaan dengan RUU tersebut.
Hampir mustahil sebuah RUU bisa
sampai ke DPR atau Senat tanpa
lebih dulu mendapat perserujuan
komisi. Dibutuhkan dukungan 218
tandatangan anggota parlemen agar
rancangan undang-undang dari
Komisi diajukan ke sidang DPR.
Sedang
di
Senat
dibutuhkan
dukungan mayorotas anggota Senat
untuk hak yang sama.
Sebagian besar partai di masing
masing dewan mengawasi jalannya
kerja komisi. Para ketua komisi
dipilih dalam suatu rapat anggota
partai politik atau anggola kelompok
yang dibentuk khusus.
Partai-partai minoritas diwakili
secara proporsional dalam komisi
sesuai kekuatan mereka di masingmasing dewan.
Ada beberapa cara pengajuan
sebuah Rancangan Undang-Undang
(RUU), yaitu:
1) ada yang disusun oleh Komisi
Khusus
sesuai
bidangnya,
maupun yang dibentuk khusus
untuk suatu masalah tertentu,
2) ada atas saran presiden atau
pejabat eksekutif lainnya,
3) ada juga dari warga negara dan
organisasi di luar Kongres yang
memberikan
saran
legislatif
kepada anggota komisi,
4) ada dari anggota dewan sendiri
yang memprakarsai RUU.
366
Setelah pengajuan ke Kongres
rancangan undang-undang dikirim
ke komisi yang telah dibentuk yang
biasanya kemudian menjadwalkan
serangkaian acara dengan pendapat
terbuka
untuk
mengijinkan
presentasi mengenai pandangan
masyarakat yang mendukung atau
yang tidak mendukung peraturan
yang sedang dibahas.
Jalannya
dengar
pendapat,
yang
bisa
berlangsung beberapa minggu atau
bulan, membuka jalan legislatif bagi
keikutsertaan masyarakat.
Jika suatu komisi mendukung
suatu RUU, rancangan tersebut
diajukan ke forum untuk dibahas
secara
terbuka.
Di
Senat,
perdebatan tidak dibatasi. Di DPR,
karena jumlah anggotanya lebih
banyak, Komisi Peraturan biasanya
membuat batasan. Ketika debat
berakhir, para anggota memberikan
suara baik untuk menyetujui,
menolak, maupun menangguhkan
RUU tersebut yang menyingkirkan
RUU tersebut dan artinya sama saja
dengan
menolaknya
atau
mengembalikannya ke komisi. RUU
yang diloloskan di salah satu dewan
harus dikirim ke dewan satunya lagi
untuk ditindak-lanjuti. Bila RUU
tersebut diamandemen oleh dewan
kedua, maka
dibentuk komisi
konferensi yang terdiri dari anggotaanggota
kedua
dewan
untuk
memhahas perbedaan yang ada.
367
Jika lolos di kedua dewan, RUU
dikirim
ke
presiden.
Secara
konstitusional,
presiden
harus
menjalankan RUU tersebut untuk
menjadikannya sebagai undangundang. Akan tetapi terhadap RUU
tersebut Presiden boleh mengambil
sikap atau tindakan, sebagai berikut:
1) menyetujui dan menandatangani
RUU tersebut, Sehingga UU
tersebut resmi berlaku,
2) memvetonya RUU tersebut,
tetapi RUU yang diveto presiden
resmi menjadi undang-undang,
bilamana mendapat persetujuan
kembali
dari
2/3
anggota
masing-masing di Senat dan
DPR.
3) Presiden
menolak
menandatangani atau juga tidak
memveto RUU. Sehingga dalam
waktu 10 hari tidak termasuk
hari minggu sejak RUU tu
disampaikan kepadanya, resmi
berlku sebagai undang-undang
meskipun
tidak
ditandatanaganinya.
4) Presiden
menolak
menandatangani atau juga tidak
memveto RUU tersebut, tetapi
sebelum sampai masa 10 hari
RUU
disampaikan
kepada
presiden,
Kongres
ternyata
menunda masa persidangan.
Hal ini dapat meniadakan RUU
tersebut,
satu proses yang
dikenal sebagai "pocket veto".
368
Berbeda
dengan
sistem
parlementer Eropa, penyeleksian
dan tindak tanduk para pembuat
undang-undang tidak ada kaitannya
dengan
peraturan
kedisiplinan
partai. Tiap partai politik besar di
Amerika merupakan koalisi dari
organisasi lokal dan negara bagian
yang bergabung sebagai partai
nasional Partai Republik atau Partai
Demokrat
selama
pemilihan
presiden setiap empat tahun. Jadi
para anggota Kongres berhutang
budi pada pemilihan lokal atau
negara bagian, bukan karena
kepemimpinan
nasional
partai
ataupun rekan kerja di Kongres.
Walhasil, sikap legislatif para wakil
rakyat dan senator cenderung
bersifat individualistis dan khas,
mencerminkan keragaman para
pemilih dan kebebasan yang berasal
dari adanya permlih yang setia.
Oleh
karena
itu,
Kongres
merupakan lembaga yang bersifat
setara bukan hirarki. Wewenang
bukan dari atas ke bawah, seperti di
perusahaan, tetapi datang dan arah
dnana saja. Hanya ada sedikit saja
kekuasaan terpusat, karena wewenang untuk menghukum atau
memberi penghargaan sangat kecil.
Kebijakan Kongres dibuat dengan
cara melakukan pergantian koalisi
yang bisa berbeda-beda dan
persoalan satu ke persoalan lain.
Kadang-kadang, bila terjadi tekanan
yang saling bertentangan dari
Gedung Putih dan dari kelompok
ekonomi atau etnis penting para
369
pembuat
undang-undang
akan
menggunakan peraturan prosedur
untuk menangguhkan keputusan.
Dengan begitu, tak ada pihak yang
dirugikan. Suatu masalah bisa saja
ditangguhkan
dengan
alasan
pemeriksaan terbuka yang dilakukan
komisi yang bersangkutan kurang
memadai. Atau Kongres bisa juga
memerintahkan suatu badan untuk
menyiapkan
laporan
terperinci
sebelum
sebuah
isu
dipertimbangkan.
Atau
suatu
tindakan bisa dltangguhkan oleh
salah satu dewan, sehingga isu
tersebut ditolak lanpa rnembeberkan
penilaian terhadap substansinya.
Ada norrna-norma yang tidak
resmi dan tidak tertulis mengenai
sikap yang sering menentukan
dalam
pemberian
tugas
dan
pengaruh dari seorang anggota
tertentu. "Orang dalam," wakil rakyat
dan senator yang konsentrasi pada
tugas-tugas legislatif mereka, bisa
jadi lebih kuat di dalam Kongres
dibanding "Orang luar," yang
mendapat pengakuan dengan cara
mengemukakan isu-isu nasional.
Para
anggota
diharapkan
menunjukkan rasa hormat terhadap
sesama rekan dan menghindari
menyerang secara pribadi, walau
jika lawan mereka melakukan
kebijakan
politik
yang
tidak
menyenangkan sekalipun. Mereka
juga
diharapkan
untuk
mengkhususkan diri di kebijakan
tertentu saja ketimbang terjun ke
segala bidang legislatif. Mereka
370
yang sesuai dan cocok dengan
peraturan-peraturan tidak resmi ini
berpeluang lebih besar untuk bisa
ditarik ke dalam komisi yang
prestisius atau setidak-tidaknya ke
dalam komisi yang bisa berpengaruh
besar.
371
B. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi di
Indonesia.
1. Peranan Pengadilan HAM
Bahwa Agresi telah dinyatakan sebagai suatu
kejahatan HAM dalam Statuta Roma 1998 dan menjadi
salah satu yurisdiksi criminal Pengadilan Pidana
Internasional – ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 5
ayat (1) (d). Kemudian berdasarkan Pasal 5 ayat 2
Statuta, Kejahatan Agresi ini akan dirumuskan
defenisinya berserta unsure-unsur deliknya dalam waktu
7 (tujuh) tahun sejak Statuta berlaku secara sah pada
tanggal 1 Juli 2002 karena telah 60 hari mendapat
ratifikasi dari 60 negara. Akan tetapi hingga sekarang
telah lewat waktu 10 tahun, ternyata rumusan delik
kejahatan agresi belum dibuat. Sehingga Pengadilan
Pidana Internasional – ICC kesulitan melakukan
penegakan hukum terhadap kejahatan agresi ini.
Memang menurut mashab positivisme dan ajaran
legisme, harus terlebih dahulu dirumuskan kejahatan
agresi dan beserta unsure-unsur deliknya, baru upaya
penegakan hukumnya efektif dilakukan. Begitupun
Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc akan sulit
melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan
Agresi. Hal ini turut mempengaruhi negara-negara
melakukan kewajiban internasionalnya menegakan
hukum terhadap pelaku kejahatan agresi yang terkait
dengan yurisdiksi pidana nasionalnya, termasuk
Pengadilan HAM RI (tetap) dan Pengadilan HAM RI Ad
Hoc. Sehingga perumusan definitive kejahatan agresi
sangat diperlukan.
Namun demikian menurut hemat penulis, oleh
karena agresi sudah ditetapkan sebagai salah satu
kejahtan HAM, maka setelah lewat waktu 7 (tujuh) tahun
yaitu terhitung sejak tanggal 1 Juli 2009 terjadi
kekosongan hukum karena ketiadaan rumusan
kejahatan agresi. Ketiadaan rumusan kejahatan tidak
372
dapat menjadi alasan untuk tidak melakukan penegakan
hukum terhadap suatu kejahtan HAM. Dalam keadaan
kekosongan hukum ataupun masa peralihan sambil
menunggu sampai adanya perumusan definitive
kejahatan seperti ini penegakan hukum terhadap
kejahatan agresi dapat diterobos dengan cara
melakukan upaya penemuan hukum. Dalam upaya
penemuan hukum ini penerapan asas-asas hukum
universal maupun ketentuan-ketentuan hukum yang
telah ada dan terkait dapat diterapkan terhadap sebuah
kasus, dalam hal ini kasus-kasus kejahatan agresi
sebagai salah satu kejahatan HAM. Begitupun dalam
situasi peralihan dan kekosongan hukum, asas legalitas
dan asas non retroaktif tidak dapat diberlakukan secara
mutlak. Penemuan hukum lebih terkait dengan filosofi
dan keilmuan daripada kepastian hukum dan keadilan
terhadap suatu peristiwa hukum yang telah terjadi. Lebih
praktis: kasuistis, case by case.
2. Penerapan Prinsip
Kejahatan Agresi
Penemuan
Hukum
terhadap
Dalam upaya penemuan hukum terdapat
beberapa metode dan ajaran penafsiran dan konstruksi
hukum yang dapat dilakukan, namun demikian
sehubungan dengan kejahatan agresi yang belum
mendapat rumusan deliknya, dapat digunakan:
a. Penafsiran Hukum
Upaya Penafsiran hukum yang dapat dilakukan
adalah dengan metode penafsiran histories,
Penafsiran
sistimatis,
penafsiran
sosiologis,
penafsiran teleologis, penafsiran antisipasi atau
futuristic dan penafsiran ekstensif, yaitu:
373
1) Penafsiran Historis, yaitu penafsiran yang
disesuaikan dengan sejarah pembentukan
undang-undang (wetshistorisch). Undang Undang
ditafsirkan sesuai dengan kehendak atau tujuan
dari para pembentuknya yang dapat dilihat dalam
notulen atau catatan-catatan resmi maupun
tulisan-tulisan lainnya. Selain itu juga penafsiran
dilakukan berdasarkan sejarah daripada hukum
itu sendiri (rechtshistorisch) dimana undangundang
tersebut
diatas
menjadi
bagian
daripadanya dengan memahami makna, asal
mula, perkembangan dan penyebaran hukum
tersebut di suatu tempat/negara. Penafsiran
sejarah hukum (rechtshistorisch) ini jauh lebih
luas dan dalam bahasannya dibanding penafsiran
terhadap undang-undang (wetshistorisch).
Dalam konteks kejahatan agresi, bahwa
secara histories Statuta Roma 1998 yang
mengatur pembentukan Pengadilan Pidana
Internasional – ICC dengan yurisdiksi penegakan
hukum terhadap kejahatan kemanusiaan dimana
salah
satunya
adalah
kejahatan
agresi,
merupakan kelanjutan dari perjuangan panjang
berbagai pihak baik institusi organisasi, pemimpin
negara, maupun para pakar untuk melindungi
HAM dan melakukan proses peradilan terhadap
pelaku kejahatan HAM dalam situasi konflik
bersenjata. Sejarah membuktikan berjuta-juta
manusia yang tidak berdosa menjadi korban
kejahatan kemanusiaan dalam situasi konflik
bersenjata: genosida, perang dan agresi.
Sehingga penegakan hukum terhadap agresi
sebagai kejahatan HAM secara histories tidak
terlepas dari penegakan hukum terhadap
kejahatan HAM lainnya: genosida, perang dan
kejahatan HAM berat lainnya.
374
2) Penafsiran Sistimatis, yaitu penafsiran yang
dilakukan dengan cara pandang bahwa setiap
undang-undang mempunyai hubungan erat satu
dengan yang lain yang membentuk satu kesatuan
hukum secara menyeluruh, saling menunjang dan
tidak terdapat pertentangan diantara satu
peraturan perundang-undangan dengan yang
lainnya.
Hukum sebagai tatanan merupakan suatu
sistim. Sistim inilah yang memerlukan ketertiban
dalam hukum. Hukum sebagai sistim adalah
kumpulan aturan yang ditetapkan penguasa
kepada rakyatnya dalam bentuk perintah atau
larangan-larangan. Sistim hukum adalah sistim
norma yang dibuat secara baik. Bahkan
pandangan yang lebih luas memasukkan budaya
hukum kedalam sistim hukum.
Dalam hal ini, antara hukum internasional dengan
hukum nasional terdapat hubungan sistimatis satu
terhadap yang lain sebagaimana antara lain
tergambar dalam teori: primat hukum internasional
atau primat hukum nasional, ratifikasi perjanjian
internasional. Begitu juga diantara Statuta Roma
1998, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Piagam Liga Bangsa-Bangsa, Perjanjian Jenewa
1949, Perjanjian Wina 1816, Perjanjian San
Fansisco 1945, Perjanjian Versailles 1919,
Perjanjian Perdamaian Westphalia 1648 dan
berbagai perjanjian perdamaian yang lainnya
merupakan suatu rangkaian ketentuan-ketentuan,
kesepakatan-kesepakatan,
persetujuanpersetujuan yang menjadi bagian dari hukum
internasional dalam pengertian yang luas.
Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan
agresi sebagai kejahatan HAM yang terjadi dalam
situasi konflik bersenjata dapat dilakukan
bersama-sama dengan jenis kejahatan HAM
375
lainnya: genosida, perang, dan ke3jahatan HAM
berat lainnya.
3) Penafsiran Sosiologis, yaitu penerapan hukum
didasarkan pada penafsiran terhadap realitas
sosial yang ada dalam masyarakat saat undangundang itu dibuat, atau terdapat faktor-faktor
sosial baru yang mempengaruhi penerapannya.
Sejak Perang Dunia Pertama dan Perang
Dunia Kedua yang menimbulkan jatuhnya jutaan
korban rakyat yang tidak berdosa dan
ditemukannya senjata pemusnah nuklir, biologi
dan
kimia
(NUBIKA)
yang
mengancam
keselamatan kehidupan umat manusia beserta
peradabannya dikemudian hari, maka sejak itu
telah timbul kesadaran bersama ummat manusia
untuk mengatur dan menghukum pelaku
kejahatan HAM yang timbul dalam situasi konflik
bersenjata termasuk kejahatan agresi, selain
kejahatan genosida, perang dan jenis kejahatan
berat lainnya. Kesadaran bersama negara-negara
ini mempengaruhi pula kesadaran nasional di
masing-masing
negara
untuk
melakukan
penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan
HAM tersebut.
4) Penafsiran Teleologis, yaitu penafsiran yang
diarahkan pada apa yang menjadi motif atau
tujuan yang ingin dicapai undang-undang itu.
Melihat kedalam pikiran para pembentuk undangundang tentang apa yang diinginkannya dicapai
Undang-Undang itu.
Maksud dari para penyelenggara (PBB)
dan negara-negara peserta sidang sebagai
pembuat undang-undang Statuta Roma 1998,
beserta perjanjian-perjanjian internasional lainnya
adalah untuk melakukan penegakan hukum
terhadap pelaku kejahatan HAM: genosida,
376
perang dan kejahatan HAM berat lainnya,
termasuk kejahatan agresi. Sehingga walaupun
kejahatan agresi belum dirumuskan definisi
kejahatannya, penegakan hukumnya dapat
dilakukan dengan terobosan penemuan hukum
untuk mencapai keinginan atau tujuan para
pembuat undang-undang. Para pembuat undangundang/Statuta Roma 1998 beserta negara yang
melakukan
ratifikasi
ataupun
penerimaan
(reservation) berkeingtian pula penegakan hukum
dilakukan dimasing-masing negara melalui
perundang-undangan nasional dan peradilan
nasional. Bahkan peradilan nasional memegang
peranan
utama,
dan
peradilan
pidana
internasional-icc
merupakan
peradilan
komplementeri (pelengkap) dari peradilan HAM
nasional.
5) Penafsiran Perbandingan, yaitu penafsiran yang
dilakukan dengan cara memperbandingkan sistim
hukum yang satu terhadap yang lain untuk dapat
menemukan makna dari suatu undang-undang
yang ingin dicapai.
Dengan melakukan perbandingan sistem
hukum yang dianut dibeberapa region dunia ini
baik internasional maupun nasional, baik sistim
hukum yang telah diterapkan dalam peradilan
internasional maupun nasional terkait kejahatan
HAM : genosida, perang, agresi dan jenis
kejahatan HAM berat lainnya, maka dapat ditarik
makna dari ketentuan-ketentuan terkait kejahatan
agresi yang dapat diterapkan dalam rangka
penegakan hukum pada situasi keksongan hukum
karena kejahatn agresi belum dibuat.
377
6) Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran yang
diperluas terhadap gramatikal suatu undangundang. Seperti: istilah “menjual” dalam pasal
1576 KUHPerdata diperluas menjadi “peralihan
hak”. Dengan demikian pasal 1576 KUHPerdata
dapat diperlakukan terhadap semua perbuatan
“peralihan hak” tidak terbatas pada hanya
“menjual” saja.
Untuk itu pengertian perang dalam
kejahatan perang dapat diperluas menjadi
kejahatan HAM berat, sehingga menjangkau pula
pengetian agresi szebagai kejahatan HAM berat,
yang menjangkau pula kejahatan genosida.
Kejahatan Perang, Kejahatan Agresi, Kejahatan
Genoside merupakan kejahatan-kejahatan HAM
berat yang terkait dengan konflik bersenjata
dan/atau penggunaan angkatan bersenjata.
Sehingga unsure-unsur kejahatan Perang yang
terkait dapat pula digunakan sebagai unsur-unsur
kejahatan agresi dalam proses penegakan hukum
terhadap pelaku kejahatan agresi pada situasi
peralihan dan kekosongan hukum karena definisi
kejahatan agresi belum dirumuskan beserta
unsure-unsur kejahatannya. .
b. Konstruksi Hukum
Upaya konstruksi hukum yang dapat dilakukan
adalah dengan metode analogi (Argumentum Per
Analogiam) dan metode fiksi hukum, yaitu:
1) Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam).
Dalam metode analogi ini, penemuan hukum
dilakukan melalui penalaran induksi yaitu berpikir
dari yang khusus (species) ke yang umum
(genus). Mencari esensi umum dari suatu undang-
378
undang untuk dianalogikan dengan kasus kontrit
(khusus) yang dihadapi.
Dalam hal ini Kejahatn Perang dalam pasal
5 ayat 1 (C) jo Pasal 8 dalam Statuta Roma 1998
sebagai kejahatan HAM berat dalam konflik
bersenjata, maka kejahatan agresi juga sebagai
kejahatan HAM berat terkait konflik bersenjata.
Sehingga kaidah-kaidah perang beserta unsureunsurnya dapat menjadi pedoman penegakan
hukum terhadap kejahatan agresi dalam masa
peralihan dan kekosongan hukum karena
ketiadaan rumusan definisi kejahatan agrsei
beserta unsure-unsur kejahatannya.
Jadi esseni umum dari “perang” dan
“agresi” adalah konflik bersenjata, dengan
demikian ditemukan hukum secara analogi,
kejahatan agresi adalah kejahatan HAM berat,
sama dengan Kejahatan Perang adalah kejahatan
HAM berat.
2) Metode Fiksi Hukum, merupakan metode Fiksi
dalam penemuan hukum merupakan konsekuensi
dari asas in dibio pro reo artinya bahwa setiap
orang dianggap mengetahui undang-undang, dan
asas hukum setiap kejahatan (HAM) harus dapat
diadili atau Asas Au Dedere Au Punere, Asas Au
Dedere Au Judicare, dan Asas Primacy (secara
terbatas).. Bahwa Kejahatan Agresi telah
ditetapkan dalam Pasal 5 ayat 1 (d) Statuta Roma
1998, namun definisi kejahatannya belum
dirumuskan beserta unsure-unsur kejahatannya.
Sehingga dilakukan upaya fiksimisasi dengan
cara menggambarkan pemahamaan kejahatan
agresi itu sedemikian rupa sebagai tindak pidana
sesuai tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam
masyarakat pada saat terjadinya masa peralihan
atau kekosongan hukum tersebut. Penggambaran
pemahanan
kejkahatan
agresi ini
dapat
379
dirumuskan sebagai definisi kejahatan HAM
beserta unsure-unsur kejahatannya. Akan tetapi
ketika telah diterima atau menjadi ketentuan
undang-undang, maka fiktimisasi ini berakhir.
c. Beberapa Penganut Doktrin
Sehubungan dengan penemuan hukum dalam
masa peralihan atau kekosongan hukum, pendapat
atau doctrine yang paling terkait adalah Penganut
Doktrin “Sens-clair” (la doctrine du sensclair),
Penganut Paham “Penemuan Hukum Selalu Harus
Dilakukan”, dan Konsep transformasi, yaitu:
1) Penganut Doktrin “Sens-clair”(la doctrine du
sensclair).
Menurut doktrin ini, penemuan hukum
hanya diperlukan dalam hal:
(1)
Peraturan belum ada untuk suatu kasus in
konkreto.
(2)
Peraturan sudah ada, tetapi teksnya tidak
jelas.
Penemuan hukum baik melalui upaya
penafsiran maupun konstruksi hukum tidak lagi
diperlukan dalam hal aturan hukum sudah pasti
dan jelas.( in claris non est interpretation ). Akan
tetapi terhadap kejahatan agresi meskipun sudah
ditetapkan sebagai suatu kejahatan, namun
menimbulkan ketidakjelasan karena definisi
deliknya beserta unsure-unsur kejahatannya
belum dirumuskan, sehingga menimbulkan
ketidak pastian dalam penegakan hukumnya.
Oleh karena itu diperlukan upaya penemuan
hukum dalam rangka penegakan hukum agresi.
380
2) Penganut Penemuan Hukum selalu harus
dilakukan.
Penganut ini berangkat dari pandangan,
bahwa bahasa senantiasa terlalu miskin bagi
pikiran manusia yang sangat bernuansa, oleh
karena itu kata-kata apapun tidak pernah jelas,
selalu membutuhkan penafsiran. Meskipun
pemahaman ini dimaksudkan terhadap ketentuan
hukum yang sudah ada, namun dapat pula
diterapkan dalam ketentuan kejahatan agresi
sudah ada, tetapi defenisi deliknya beserta
unsure-unsur
deliknya
belum
dirumuskan.
Sehingga penafsiran maupun konstruksi hukum
dalam rangka penemuan hukum terhadap
kejahatan agresi selalu dapat dilakukan.
3) Konsep Transformasi.
Selain hal diatas menurut hemat penulis,
bahwa transformasi nilai abstrak dari teks
ketentuan hukum/UU menjadi suatu tindakan
nyata (law in action) berupa keputusan-keputusan
hukum yang dapat dijalankan memerlukan
penafsiran dan konstruksi sebagai penemuan
hukum. Law in action selalu memerlukan proses
penalaran melalui penafsiran dan konstruksi
hukum dalam tindakan. Hal ini penulis sebut
sebagai konsep transformasi law in action.
Sesungguhnya kejahatan agresi telah ditegakkan
dalam beberapa kasus kejahatan HAM dimasa
lalu terutama oleh Tribunal Nuremberg dan
Tribunal Tokyo yang mengadili penjahat perang
dunia kedua. Dimana kejahatan agresi dikaitkan
dengan kejahatan perang. Transformasi nilai-nilai
yuridis tentang kejahatan agresi dari putusan
kedua Tribunal tersebut menjadi ketentuan hukum
positif dalam Statuta Roma 1998 .sangat
diperlukan. Sehingga penegakan hukum terhadap
kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan
HAM berat menjadi efektif.
381
C. Beberapa Sumber Tentang Kejahatan Agresi
1. Kejahatan Agresi Menurut Liga Bangsa-Bangsa
Dalam Pasal 231 Piagam Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
diatur tentang tanggungjawab terhadap peristiwa perang.
Juga ditegaskan tentang Prinsip Non Intervensi dan Non
Agresi. Prinsip Non Intervensi ini dimaksudkan sebagai
larangan terhadap setiap negara untuk melakukan
campur tangan dalam bentuk apapun terutama dengan
penggunaan kekeras bersenjata terhadap urusan-urusan
dalam negara lain. Sedang Prinsip Non Agresi adalah
larangan melakukan perang sebagai alat untuk
menyelesaikan pertikaian atau sengketa diantara
negara-negara. Kedua larangan ini ditegaskan karena
sebelumnya negara-negara yang bertikai lebih
cenderung menggunakan perang atau bentuk kekerasan
bersenjata lainnya untuk menyelesaian persengketaan
mereka. Hal inilah yang memicuh terjadinya peperangan
termasuk perang dunia pertama di Eropah yang
menimbulkan jatuhnya jutaan korban jiwa penduduk
yang tidak berdosa.
Berdasarkan Pasal 231 Piagam Liga, Prinsip Non
Intervensi dan Prinsip Non Agresi di atas, dapat
disimpulkan pemahaman Liga Bangsa-Bangsa tentang
kejahatan agresi adalah tindakan suatu negara yang
memulai serangan bersenjata terhadap negara
lainnya yang menimbulkan perang.
382
2. Kejahatan Agresi Menurut Perserikatan BangsaBangsa
Pemahaman PBB tentang kejahatan agresi dilakukan
berdasarkan fakta atas agresi Jepang ke Tiongkok
(1931), agresi Italia pimpinan Fascic diktator Mussolini di
Abesinia (1934) dan agresi Jerman pimpinan NAZI
diktator Hitler ke Austria, Cekoslowakia dan Polandia
(1939), yang memicu api perang dunia kedua, Sehingga
kejahatan agresi diartikan sebagai serangan militer
yang pertama kali dilakukan suatu negara terhadap
negara lainnya yang menyebabkan terjadinya
perang.
Pemahaman fakta tersebut di atas mendorong
ditegaskannya Prinsip Penyelesaian Sengketa secara
Damai tanpa Kekerasan sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 2 ayat 3 dan 4 Piagam PBB sebagai berikut:
Pasal 2
“Ayat 3. Segenap anggota harus menyelesaikan
persengketaan internasional dengan jalan damai
dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa
sehingga
perdamaian
dan
keamanan
internasional , serta keadilan tidak terancam.
Ayat 4. setiap anggota dalam hubungan
internasional menjauhkan diri dari tindakan
mengancam atau menggunakan kekerasan
terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan
politik sesuatu Negara lain atau dengan cara
apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
383
Prinsip ini pula menggambarkan PBB menganut
Prinsip Non Intervensi dan Prinsip Non Agresi, namun
secara terbatas-rasional oleh karena berdasarkan Pasal
39 jo. Pasal 41 & 42 Piagam PBB masih dimungkinkan
Negara-Negara yang tergabung dalam Pasukan
Perdamaian PBB dapat mengambil tindakan paksaan
secara militer terhadap negara yang dianggap telah
melakukan:
ancaman
terhadap
perdamaian,
pengacauan terhadap perdamaian, dan tindakan agresi.
Pasal 39
“Dewan Keamanan Akan menentukan ada
tidaknya sesuatu ancaman terhadap perdamaian,
pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan
agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan
tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan
pasal 41 dan 42, umtuk memelihara atau
memulihkan
perdamaian
dan
keamanan
internasional”.
Pasal 41
“Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakantindakan apa diluar penggunaan kekuatan senjata
harus
dilaksanakan
agar
keputusankeputusannya dapat dijalankan, dan dapat
meminta kepada Anggota-anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan tindakantindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan itu ialah
pemutusan seluruhnya atau sebagian hubunganhubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta
api, laut, udara, pos, telegraph, radio dan alat-alat
komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan
diplomatik”.
384
Pasal 42
“Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa
tindakan-tindakan yang ditentukan dalam pasal
41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak
mencukupi, maka Dewan dapat mengambil
tindakan dengan mempergunakan angkatan
udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan
untuk memelihara atau memulihkan perdamaian
serta keamanan internasional. Dalam tindakan itu
termasuk
pula
demontrasi-demonstarsi,
blockade, dan tindakan-tindakan lain dengan
mempergunakan angkatan udara, laut atau darat
dari Anggota-anggota Perserikatan BangsaBangsa”.
Selain itu, suatu negara dibolehkan juga mengambil
tindakan paksa karena alasan pembelaan diri (self
Defence) berdasarkan Pasal 51 Piagam, yaitu:
Pasal 51
“Tidak ada suatu ketentuan dalam Piagam ini
yang boleh merugikan hak perseorangan atau
bersama untuk membela diri apabila suatu
serangan bersenjata terjadi terhadap suatu
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai
Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk memelihara perdamaian
serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan
yang diambil oleh Anggota-anggota didalam
melaksanakan hak membela diri ini harus segera
dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan
cara bagaimananpun tidak dapat mengurangi
kekuasaan dan tanggungjawab Dewan Keamanan
menurut Piagam ini untuk pada setiap waktu
mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk
memelihara atau memulihkan perdamaian serta
keamanan internasional”.
385
Dengan demikian tindakan militer yang dilakukan
terhadap suatu negara dianggap bukan suatu kejahatan
agresi, manakala dilakukan oleh Pasukan Perdamaian
PBB dan Pembelaan diri oleh suatu negara. Tindakan
paksa tersebut juga dapat dilakukan terhadap kelompok
bersenjata bukan negara, sebagaimana dimaksudkan
pula oleh Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol
Tambahan II tahun 1977.
Prinsip Penyelesaian secara damai tanpa kekerasan
terlebih dahulu ditegaskan dalam Pasal 2 Perjanjian
Paris 1928 The General Treaty for the Renunciation of
war, yaitu:
Pasal 2
“Negara-Negara Agung yang berjanji setuju
bahwa penyelesaian atau pemecahan semua
perselisihan atau sengketa apa juapun sifat atau
asalnya, tidak akan pernah dicari kecuali dengan
cara damai”.
Majelis Umum PBB telah menjelaskan dan
merumuskan agresi dalam Resolusi Majelis Umum PBB
3314 (XXIX) tanggal 14 Desember 1974 dalam beberapa
pasal. Defenisi Agresi ditegaskan dalam article 1 :
Aggression is the use of armed force by a State
against the sovereignty, territorial integrity or political
independence of another State, or in any other manner
inconsistent with the Charter of United Nations, as set
out in this Definition.
Dengan demikian Majelis Umum PBB merumuskan
definisi agresi sebagai penggunaan pasukan bersenjata
oleh sesuatu negara terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah, atau kemerdekaan politik dari negara lain atau
dengan cara-cara lain apapun yang bertentangan
dengan Piagam PBB seperti tersebut dalam defenisi ini.
386
Selanjutnya Majelis Umum PBB melengkapi definisi
agresi dalam 1 di atas dengan beberapa pasal
berikutnya, yaitu:
Pasal 2 menjelaskan mengenai penggunaan pasukan
bersenjata yang pertama oleh suatu negara, yang tidak
sesuai dengan Piagam PBB, akan merupakan bukti dari
suatu tindak agresi, meskipun Dewan Keamanan PBB
menurut Piagam PBB dapat menentukan bahwa suatu
tindak agresi telah dilakukan tidak akan dibenarkan.
Dalam Pasal 3 Resolusi tersebut dijelaskan tindakan
-tindakan yang harus dianggap tindak agresi tanpa
memandang adanya pernyataan perang, meliputi:
(a) invasi atau serangan oleh angkatan bersenjata
suatu negara dari wilayah negara lain, atau
pendudukan militer, namun sementara, akibat
invasi atau serangan, atau aneksasi saja dengan
penggunaan kekuatan dari wilayah Negara Pihak
lainnya atau bagiannya;
(b) Pengeboman oleh angkatan bersenjata suatu
negara terhadap wilayah negara lain atau
penggunaan senjata oleh suatu Negara terhadap
wilayah Negara Pihak lainnya;
(c) Blokade pelabuhan atau pantai suatu Negara oleh
angkatan bersenjata negara lain;
(d) serangan oleh angkatan bersenjata suatu Negara
pada kekuatan darat, laut atau udara, atau laut
dan armada udara negara lain;
(e) Penggunaan kekuatan bersenjata dari satu
Negara yang berada dalam wilayah Negara Pihak
lainnya dengan persetujuan dari Negara
penerima, yang bertentangan dengan persyaratan
yang
diatur
dalam perjanjian
itu
atau
perpanjangan kehadiran mereka di wilayah
tersebut di luar penghentian perjanjian;
387
(f) Tindakan dari suatu Negara dalam membiarkan
wilayahnya, yang telah ditempatkan di tentukan
negara lain, untuk digunakan oleh negara lain
untuk melakukan tindakan agresi terhadap suatu
negara ketiga;
(g) Pengiriman oleh atau atas nama suatu Negara
kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau
tentara bayaran, yang melakukan tindakan
kekerasan bersenjata terhadap negara lain atas
gravitasi seperti jumlah tindakan yang tercantum
di atas, atau keterlibatan substansial di dalamnya.
Pasal 4 menyatakan:
Tindakan-tindakan yang telah diuraikan diatas belum
berarti mencakup keseluruhannya dan dewan
keamanan PBB bisa saja menentukan bahwa
tindakan-tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan
Piagam PBB.
Pasal 5 menyatakan:
Tidak ada pertimbangan mengenai sifat apapun baik
politik, ekonomi, militer, atau lainnya yang dapat
dijadikan sebagai pembenaran mengenai agresi.
Perang agresi merupakan kejahatan terhadap
perdamaian dunia. Agresi tersebut mengakibatkan
tanggungjawab internasional dan tidak ada perolehan
wilayah atau keuntungan khusus sebagai hasil dari
agresi itu diakui secara sah.
Pasal 7 menyebutkan:
Tidak ada dalam definisi ini khususnya pasal 13
bagaimanapun juga yang dapat merugikan hak
penentuan
nasib
sendiri,
kebebasan
dan
kemerdekaan, sebagaimana tersebut dalam Piagam
PBB, menghilangkan hak bangsa-bangsa tersebut
dengan paksa sebagaimana tersebut juga dalam
deklarasi
mengenai
prinsip-prinsip
hukum
internasional yang mengatur hubungan bersahabat
dan kerjasama antara bangsa bangsa sesuai dengan
Piagam PBB, khususnya bangsa-bangsa yang
388
berada dibawah penjajahan dan rezim rasis ataupun
bentuk-bentuk dominasi asing lainnya, ataupun hak
dari bangsa-bangsa tersebut untuk mencari dan
menerima bantuan sesuai dengan prinsip-prinsip
piagam dan deklarasi tersebut.
Definisi tentang agresi tersebut masih dianggap
belum lengkap sehingga dapat menimbulkan berbagai
penafsiran. Selain itu lebih bersifat rekomendasi dari
Majelis Umum PBB kepada Dewan Keamanan PBB
sebagai pihak yang memegang otoritas super body
dalam menjalankan, menguji dan menentukan apakah
suatu tindakan bersenjata suatu negara terhadap negara
lain merupakan tindakan agresi atau pelanggaran
terhadap perdamaian atau pengancaman terhadap
perdamaian dan keamanan internasional. 61
3. Kejahatan Agresi Menurut Tribunal Nuremberg dan
Tribunal Tokyo
Bahwa Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo ini
dibentuk oleh Negara sekutu pemenang perang dunia
kedua:
Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan
Perancis untuk mengadili penjahat perang di Jerman dan
di Jepang yang kalah perang. Dalam putusan kedua
Tribunal Ad Hoc tersebut menjatuhkan putusan
berdasarkan pemahaman kejahatan agresi sebagai
serangan militer yang pertama kali dilakukan suatu
negara terhadap negara lainnya yang menyebabkan
terjadinya perang.
61 Lokollo, Albert. Beberapa Catatan Tentang Definisi Agresi. Dalam Piagam
PBB Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. 2011. hlm. 5
389
Akan tetapi dalam putusan Tribunal Nuremberg
pemahaman agresi diperjelas lagi dengan membedakan
antara perang agresi dan tindakan agresi. Perang agresi
diartikan sebagai serangan militer suatu negara yang
mendapat perlawanan bersenjata dari penduduk yang
diserang, seperti pendudukan Jerman atas Polandia
sejak tanggal 1 September 1939 yang mendapat
perlawanan bersenjata yang sengit dari penduduk
Polandia. Sedang Tindakan agresi adalah serangan
militer suatu negara yang tidak mendapat perlawanan
berarti dari penduduk yang diserang, seperti tindakan
pendudukan Jerman atas Austria pada tahun 1938 dan
Cekoslowakia pada tahun 1939 tanpa mendapat
perlawanan bersenjata yang berarti.
4. Kejahatan
Agresi
Internasional PBB
Menurut
Komisi
Hukum
Pada tahun 1954 Komisi Hukum Internasional PBB
telah mengusulkan konsep Agresi kepada Majelis Umum
PBB. Konsep agresi ini dikaitkan sebagai tindakantindakan yang bertentangan dengan perdamaian dan
keamanan internasional, yaitu:
Setiap tindakan Agresi, termasuk penempatan
kekuatan bersenjata oleh penguasa sebuah negara
terhadap negara lain dengan tujuan apapunkecuali
pembelaan diri baik nasional maupun bersama atau
menjalankan keputusan PBB atau berdasarkan
rekomendasi sebuah organ PBB yang berwenang.
Setiap ancaman oleh penguasa sebuah negara untuk
terpaksa mengambil tindakan agresi terhadap negara
lain.
390
Berdasarkan konsep agresi tersebut diatas dapat
disimpulkan, bahwa kejahatan agresi adalah serangan
militer ataupun penempatan kekuatan militer atau cara
lain yang bertentangan dengan Piagam PBB suatu
negara terhadap negara lain yang menimbulkan
ancaman terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau
kebebasan politik negara lain tersebut.
5. Kejahatan Agresi Menurut Pendapat Ahli
a. Menurut J.G. Starke.
Starke tidak memberikan rumusan definisi
agresi, tetapi mengambil kesimpulan dari konsep
agresi yang dikemukakan oleh Komisi Hukum
Internasional PBB, bahwa agresi adalah penggunaan
angkata bersenjata oleh suatu negara terhadap
kedaulatan, integritas wilayah, atau kebebasan politik
negara lain atau cara lain yang bertentangan dengan
Pagam PBB. Kemudian Starge memberikan
penjelasan tentang kesulitan memberikan definisi
agresi, karena bagaimana menentukan adanya
perang agresi atau kapan permusuhan-permusuhan
bukan perang menimbulkan tindakan agresi.
b. Menurut Lauterpacht Oppenheim.
Oppenheim menempatkan agresi sebagai
bagian dari perang, dimana definisi perang adalah:”
suatu pertikaian (kontensi) antara dua atau lebih
Negara
dengan
menggunakan
Angkatan
Bersenjata,
dengan
maksud
mengungguli
kekuatan satu sama laindan menentukan syaratsyarat
damai
manakala
pemenang
menyetujuinya”.
391
Pendapat Oppenheim dan pakar hukum
internasional lainnya pada pokoknya sama dengan
Konvensi Den Haag III tahun 1907 mengenai
permulaan perang., yaitu: bahwa permusuhan atau
perang tidak dapat dimulai tanpa pemberitahuan
secara eksplisit berupa:
(a) pernyataan perang yang mencatat sebab-sebab
pernyataan itu, atau,
(b) suatu ultimatum
perang bersyarat.
yang
memuat
pernyataan
Dalam pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa memulai perang tanpa pernyataan perang
atau ultimatum perang disertai alasan-alasannya
yang sah, merupakan kejahatan agresi sebagai
bagian dari kejahatan perang. Pada saat ini perang
masih diakui sebagai alat politik menyelesaikan
sengketa diantara negara-negara. Namun demikian
dalam hal suatu Negara melakukan tindakan
bersenjata karena pembelaan diri berdasarkan pasal
51 Piagam PBB atau pasukan multinasional PBB
akan melakukan tindakan bersenjata bersenjata
berdasarkan pasal 39 jo. Pasal 1 dan pasal 42
Piagam PBB, maka prinsip pernyataan perang atau
ultimatum perang ini masih dipraktekkan dalam
bentuk pemberitahuan tindakan bersenjata disertai
alasan-alasannya kepada Negara atau organisasikelompok bersenjata bukan Negara yang dituju.
392
c. Menurut Yoram Dinstein
Yoram Dinstein tidak memberikan rumusan
tentang agresi. Tepati tanggapan dan kesimpulannya
terhadap agresi dan peran Majelis Umum PBB
beserta Dewan Keamanan PBB begitu penting.
Dijelaskannya 62 bahwa harus diakui bahwa Definisi
Majelis Umum tentang Agresi merupakan definisi
yang paling baru dan paling banyak (meskipun tidak
universal) diterima. Setidaknya satu paragraf dari
Definisi itu, yaitu, Pasal 3 (g), telah diselenggarakan
oleh Mahkamah Internasional, dalam kasus
Nikaragua tahun 1986, untuk mencerminkan hukum
internasional. Bahkan Hakim Schwebel, yang
mengingatkan dalam Opini Dissenting-nya untuk
tidak memperbesar pentingnya Definisi, mengakui
bahwa
hukum internasional ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja. Definisi lain tentang agresi
pasti ada, beberapa dari mereka dalam bentuk
konvensional (khususnya dalam perjanjian yang
disetujui oleh Uni Soviet dengan negara-negara
tetangga pada tahun 1933). Namun definisi ini tidak
berlaku untuk pihak yang tidak menandatanganinya,
dan definisi itu tidak lagi berlawanan dengan kontur
kejahatan terhadap perdamaian. Esensi kejahatan
terhadap perdamaian harus diambil dari pendapat
Majelis Umum.
Selain itu, Majelis Umum menggunakan teknik
definisi gabungan, yang menggabungkan elemen
umum dan enumerative: definisi ini mulai dengan
pernyataan abstrak tentang apa arti agresi, dan
ditambah dengan katalog ilustrasi tertentu "Bagian
umum Definisi ini diwujudkan dalam Pasal 1:
62 Yoram Dinstein. War Aggression And Self-Defence. Third Edition.Cambrige
University Press. United Kingdom,2004. hlm.115-118.
393
Agresi adalah penggunaan kekuatan bersenjata
oleh suatu Negara terhadap kedaulatan, integritas
teritorial atau kemerdekaan politik negara lain, atau
dengan cara lain yang tidak konsisten dengan
Piagam PBB, sebagaimana tercantum dalam Definisi
ini. "
Dalam sebuah penjelasan, para perumus
Definisi inimenjelaskan bahwa istilah `Negara
mencakup negara non-Anggota PBB, mencakup
sekelompok
Negara
dan
digunakan
tanpa
mengurangi masalah pengakuan.
Pasal 1 Definisi itu mengulangi inti ketentuan
dalam Pasal 2 (4) Piagam PBB, yaitu: (a).), dengan
beberapa variasi: (i) ancaman kekuatan belaka
adalah dikecualikan, (ii) kata sifat “bersenjata
(armed)” diselakan sebelum kata benda “kekuatan
(force)”, (iii) `kedaulatan (sovereignth)’ disebutkan
bersama-sama dengan integritas wilayah dan
kemerdekaan politik Negara korban, (iv) korban
digambarkan sebagai negara lain (negara manapun),
(v) penggunaan kekuatan dilarang manakala tidak
konsisten dengan Piagam PBB secara keseluruhan,
dan tidak hanya dengan Tujuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, (vi) hubungan (linkage) dibuat
bagian akhir Definisi tersebut. Beberapa hal diatas
bersifat siginifikan. Sementara hal yang lainnya
mempunyai konsekuensi yang lebih besar. Dengan
demikian, rujukan terhadap inkonsistensi Piagam
secara keseluruhan (bukan hanya Tujuan PBB)
menyiratkan bahwa bahkan ketentuan teknis dari
Piagam harus ditaati, sehingga pelanggaran prosedur
yang rinci dalam Piagam dapat mengubah
penggunaan kekuatan bersenjata menjadi agresi
yang melanggar hukum/tidak sah. .
394
Pasal 2 Definisi Agresi menetapkan bahwa `[t]
penggunaan pertama kali kekuatan bersenjata oleh
suatu Negara bertentangan dengan Piagam PBB
akan merupakan bukti prima facie tindakan agresi,
tetapi Dewan Keamanan dapat menentukan lain
dalam semangat bila ada keadaan (kondisi) lain yang
relevan, termasuk fakta bahwa tindakan yang
bersangkutan
atau
konsekuensinya
bukan
merupakan keadaan kegawatan (gravity) yang cukup.
Kondisi lain yang relevan telah meninggalkan margin
yang luas untuk interpretasi; tampaknya, margin itu
mencakup maksud dan tujuan dari negara yang
bertindak. Sementara itu Pasal 2 berorientasi pada
Dewan Keamanan, intinya sama erat dengan isu
tanggung jawab hukuman (penal responsibility).
Penggunaan pertama dari kekuatan bersenjata
bukan merupakan bukti konklusif dari komisi
kejahatan terhadap perdamaian. Paling tidak
pembukaan penembakan menciptakan praduga yang
dapat diperdebatkan untuk dapat dikecam. Ketika
semua fakta ditimbang, mungkin ada sisi lain yang
bertanggung jawab untuk memulai perang agresi.
Klausa de minimis dalam Pasal 2 menjelaskan
bahwa beberapa peluru nyasar melalui perbatasan
‘tidak dapat disebut sebagai tindakan agresi. Dalam
nada yang sama, insiden yang kecil berada di luar
lingkup dari kejahatan terhadap perdamaian.
Memang, tanggung jawab atas perang agresi
mungkin ditanggung oleh Negara target, jika itu
memakai kekuatan komprehensif dalam reaksi yang
berlebihan terhadap insiden yang kecil.
Penghitungan tindakan spesifik agresi muncul
dalam Pasal 3. Dalam pasal ini, sejumlah tindakan
agresi berikut (terlepas dari deklarasi perang’)
mencakup:
395
(a) invasi atau serangan oleh angkatan bersenjata
suatu negara dari wilayah negara lain, atau
pendudukan militer, namun sementara, akibat
invasi atau serangan, atau aneksasi saja dengan
penggunaan kekuatan dari wilayah Negara Pihak
lainnya atau bagiannya;
(b) Pengeboman oleh angkatan bersenjata suatu
negara terhadap wilayah negara lain atau
penggunaan senjata oleh suatu Negara terhadap
wilayah Negara Pihak lainnya;
(c) Blokade pelabuhan atau pantai suatu Negara
oleh angkatan bersenjata negara lain;
(d) serangan oleh angkatan bersenjata suatu Negara
pada kekuatan darat, laut atau udara, atau laut
dan armada udara negara lain;
(e) Penggunaan kekuatan bersenjata dari satu
Negara yang berada dalam wilayah Negara
Pihak lainnya dengan persetujuan dari Negara
penerima,
yang
bertentangan
dengan
persyaratan yang diatur dalam perjanjian itu atau
perpanjangan kehadiran mereka di wilayah
tersebut di luar penghentian perjanjian;
(f) Tindakan dari suatu Negara dalam membiarkan
wilayahnya, yang telah ditempatkan di tentukan
negara lain, untuk digunakan oleh negara lain
untuk melakukan tindakan agresi terhadap suatu
negara ketiga;
(g) Pengiriman oleh atau atas nama suatu Negara
kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau
tentara bayaran, yang melakukan tindakan
kekerasan bersenjata terhadap negara lain atas
gravitasi seperti jumlah tindakan yang tercantum
di atas, atau keterlibatan substansial di
dalamnya.
396
Ketujuh paragrap ini mengidentifikasi contoh
agresi yang menyolok. Jelas, beberapa tindakan
agresi yang diperinci dalam Pasal 3 dapat terdiri dari
langkah-langkah short of war, yang bukan merupakan
kejahatan terhadap perdamaian menurut Definisi
Agresi tersebut. Namun, seperti yang diamati,
kecenderungan saat ini (setidaknya dalam teori)
adalah untuk memperluas kejahatan terhadap
perdamaian ke tindakan agresi pada umumnya.
Fakta bahwa paragrap (g) telah diutarakan oleh
Mahkamah Internasional menjadi deklarasi hukum
kebiasaan internasional mungkin menjadi indikasi
bahwa bagian-bagian lain dari Pasal 3 sama-sama
dapat dimasukkan di bawah judul kodifikasi benar.
Tapi apa pun status hukum dari paragraf itu, Pasal 3
tidak dimaksudkan untuk menunjukkan seluruh
spektrum agresi. Menurut Pasal 4, ketentuan dalam
Pasal 3 tidak melemahkan definisi istilah itu, dan
Dewan Keamanan dapat menentukan tindakantindakan lain apa yang sama dengan agresi.
Namun demikian kelemahan dari definisi agresi
dalam resolusi Majelis Umum PBB tersebut terletak
pada rumusan agresi yang sebagian besar
mengurangi penekanan aspek pidananya dan lebih
menekankan pada dimensi politiknya. Kemudian
rumusan ini direkomendasikan kepada Dewan
Keamanan PBB (Pasal 10 dan 11 (1) Piagam PBB.
Sehingga juga mempengaruhi melemahnya peran
Dewan
Keamanan
PBB
walaupun memiliki
kewenangan penyelidikan untuk menilai apakah
suatu tindakan bersenjata merupakan agresi atau
tidak. Saat berada dalam penanganan Dewan
Keamanan
seringkali
tujuan-tujuan
politis
dikedepankan ketimbang penyelidikan yudisial yang
menuntut
adanya
tanggungjawab
pidana
terhadapnya.
397
Padahal nilai utama dari setiap definisi agresi
terletak di bidang pidana/kejahatan. Alasannya
adalah bahwa pengadilan yang diberi hak dengan
yurisdiksi untuk mengadili kejahatan terhadap
perdamaian tidak mungkin mengabaikan tema agresi,
yang merupakan inti (gravamen) dari tuntutan:
kecuali suatu perang bersifat agresif, tidak ada
kejahatan yang telah dilakukan. Sebaliknya, menurut
Bab VII Piagam PBB, kekuasaan Dewan Keamanan
adalah
identik
dalam
menghadapi
agresi,
pelanggaran terhadap perdamaian atau ancaman
terhadap perdamaian. Hal ini tidak penting bagi
Dewan Keamanan untuk menentukan secara spesifik
bahwa agresi telah dilakukan. Terlepas dari klasifikasi
yang pasti dari kegiatan yang diperiksa oleh Dewan
Keamanan - selama mereka dapat dikategorikan
sebagai agresi atau sebagai pelanggaran, atau
ancaman bagi, perdamaian - Dewan Keamanan
berwenang untuk memasukkan efek tindakan
keamanan kolektif yang sama. Namun demikian,
karena Majelis Umum sebagian besar mengurangi
penekanan aspek pidana perumusannya, dan
menekankan dimensi politik, Definisi Agresi kurang
efektif dalam penegakan hukumnya.
Berdasarkan Pasal 10 dan 11 (1) Piagam PBB,
Majelis Umum (mengadopsi Definisi Agresi)
berwenang untuk membuat rekomendasi kepada
Dewan Keamanan. Meskipun Majelis Umum tidak
kompeten untuk mendikte definisi agresi kepada
Dewan Keamanan, Majelis Umum diberi kekuasaan
untuk
memberikan
panduan
dalam
bentuk
rekomendasi demi kepentingan Dewan Keamanan.
Dalam kenyataannya, setelah keberadaanya lebih
dari seperempat abad, Definisi Agresi tidak memiliki
dampak yang kuat pada pertimbangan Dewan
Keamanan. Dewan Keamanan bebas untuk
merancang konsep baru tentang agresi. Demikian
pula, jika Dewan ini melakukannya – dengan
mengabaikan Definisi Majelis Umum serta preseden
398
sebelumnya - tanggung jawab kejahatan tidak boleh
terjadi, karena itu prinsip nullum crimen sine lege
sekarang diabadikan dalam hukum internasional
umum. Pasal 15 (1) Kovenan internasional 1966
tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan: `Tidak ada
orang yang harus dipersalahkan melakukan tindak
pidana karena perbuatan atau kelalaian yang bukan
merupakan suatu pelanggaran pidana, menurut
hukum nasional atau internasional, ketika perbuatan
tersebut dilakukan.
Pasal 5 (1) Definisi Agresi menyatakan bahwa
tidak boleh ada pertimbangan dalam bentuk apapun,
baik politik, ekonomi, militer atau lainnya, yang
berfungsi sebagai pembenaran untuk agresi. Ayat ini
menegaskan bahwa motif tidak menjelaskan: motif
yang baik tidak mencegah suatu tindakan menjadi
tindakan ilegal. Motif sebaik apapun tidak
menghilangkan sifat melawan hukum suatu tindakan.
Pasal 6 menambahkan syarat bahwa Definisi ini
dapat boleh ditafsirkan sebagai cara apapun untuk
memperbesar atau mengurangi ruang lingkup
Piagam PBB, termasuk ketentuan-ketentuannya
tentang kasus di mana penggunaan kekuatan adalah
sah. Jadi, jika suatu tindakan yang dijelaskan dalam
Pasal 3 secara sah dapat diklasifikasikan sebagai
pembelaan diri secara sendiri atau kolektif maka
tindakan bersenjata tersebut adalah sah.
Selanjutnya Yoram Dinstein menguraikan63
ketentuan pasal 7 tentang definisi agresi yang
dipandangnya paling kontroversial. Dalam Definisi ini,
dan khususnya pasal 3, dengan cara apapun tidak
boleh mengurangi hak untuk menentukan nasib
sendiri, kebebasan dan kemerdekaan, sebagaimana
yang ditegaskan dalam Piagam PBB, dari
masyarakat yang secara paksa dirampas haknya,
63 Yoram Dinstein. Ibid. hlm. 119-120
399
dan dimaksud dalam Deklarasi tentang Prinsipprinsip HUkum Internasional tentang Hubungan Baik
dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam
PBB, khususnya masyarakat di bawah rezim kolonial
dan rasis atau bentuk lain dari dominasi asing,
maupun hak orang-orang yang berjuang untuk itu
dan untuk mencari dan menerima dukungan, sesuai
dengan prinsip-prinsip Piagam PBB dan sesuai
dengan Deklarasi yang disebutkan di atas.
Secara tekstual, istilah yang tersirat dalam Pasal
7 mencerminkan kompromi antara pandangan yang
tidak bisa didamaikan. Secara politis, penerapan
klausul tersebut memberikan dorongan kepada
konsep bahwa perang pembebasan nasional adalah
perang yang adil
. Secara hukum, hak untuk
menerima (dan mungkin untuk memberikan)
dukungan dari luar untuk perang pembebasan
nasional adalah subordinasi dari Prinsip Piagam
PBB. Subordinasi semacam ini tersirat dalam setiap
resolusi Majelis Umum, yang jika bertentangan
dengan Prinsip-prinsip Piagam PBB - dapat dianggap
sebagai ultra vires. Tapi dalam hal apapun,
keunggulan Piagam ini telah disebutkan, baik dalam
ketentuan umum Pasal 6 dan (supaya jangan ada
kesalahpahaman tentang bagaimana Pasal 6 dan
Pasal 7 saling berhubungan, dengan mengingat
bahwa keduanya dimulai dengan pernyataan yang
sama “tak satupun dalam Definisi ini [nothing in this
definition]” dapat ditafsirkan sebagai mengurangi
efek klausul) yang lebih konkret dalam Pasal 7 itu
sendiri. Piagam ini tidak mengizinkan penggunaan
kekuatan antar Negara, kecuali dalam latihan
keamanan pertahanan secara sendiri atau kolektif,
(a). Jika Pasal 7 dipahami sebagai jalan lain untuk
memungkinkan kekuatan bersenjata oleh satu negara
terhadap yang lain demi memperkuat hak masyarakat
untuk menentukan nasib sendiri, dalam keadaan
yang melebihi batas-batas keamanan sendiri atau
400
kolektif, maka dispensasi tersebut menjadi tidak
konsisten dengan piagam PBB.64
Pada akhirnya, disimpulkannya bahwa perang
agresif saat ini dilarang oleh hukum kebiasaan
internasional dan hukum konvensional internasional,
dan bahkan merupakan kejahatan terhadap
perdamaian. Larangan hukum perang membentuk
landasan sistem hukum internasional kontemporer.
Diakui, sampai saat ini, larangan tersebut tidak
memiliki dampak besar pada perilaku aktual Negaranegara. Sampai sekarang, jejaknya yang lebih nyata
dalam kosa kata Negara. Sebuah iklim internasional
telah dihasilkan di mana istilah `perang’ memiliki
konotasi buruk. Oleh karena itu, sementara Negaranegara masih terus berperang, ‘mereka lebih suka
memperhatikan alasan moral yang tinggi dan
menggambarkan kegiatan mereka dalam bentuk
eufemisme yang sesuai. Kita mungkin mengatakan,
dalam kombinasi sinisme dan realisme, bahwa
sejauh ini penghapusan perang yang legal tidak
membasmi perang tetapi deklarasi perang. Lipservice
terhadap penyebab perdamaian ini mungkin bersifat
hipokrit (munafik). Namun, seperti yang disampaikan
penuh arti oleh La Rochefoucauld, I hypocrisie est un
hommage que le rend ala vertu (kemunafikan adalah
penghargaan yang membuat kebijakan)’. ‘Pengakuan
kebajikan adalah langkah awal yang sangat
diperlukan yang tanpanya sifat buruk tidak bisa
dihapuskan.
Namun demikian, tabu pada penggunaan kata
“perang” dalam analisis hukum tidak masuk akal
sama sekali. Kenyataan bahwa perang dibuang
secara linguistik tidak akan membuatnya lenyap
secara empiris. Apakah kita menggunakan frase ini
atau frase itu tidak mengubah kebenaran tak
terbantahkan bahwa konflik bersenjata yang
64 Yoram Dinstein. Ibid. hlm.283.
401
komprehensif
masih
menyelubungi
hubungan
internasional.
Jika
fenomena
perang
harus
diberantas, maka fenomena ini harus dihadapi dan
bukannya diabaikan. Jika tidak, semua yang kita
dibiarkan menjadi kemunafikan.
Agar perang agresif (dan juga penggunaan
kekuatan short of war yang melanggar hukum)
menghilang,
masyarakat
internasional
harus
menetapkan langkah-langkah keamanan kolektif
yang efektif. Pemanfaatan kekuatan untuk prosedur
hukum dan ketertiban internasional merupakan
tantangan nyata di zaman kita. Sayangnya, kinerja
yang lemah dari Dewan Keamanan PBB (yang telah
dipercayakan dengan tugas ini oleh Piagam PBB)
telah menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan
yang meluas. Mekanisme penegakan yang mengikat
dari PBB – yang tertuang dalam Pasal 42 Piagam
PBB belum diaktifkan meskipun Perang Dingin telah
berakhir (dan meskipun usulan konkret telah
disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada
tahun 1992, sebagai jawaban atas undangan Dewan
Keamanan). Kebijakan Dewan Keamanan mengenai
tindakan
penegakan
hukum
yang
permisif
berdasarkan pada subkontrak ke organisasi regional
NATO di Bosnia-Herzegovina telah menyebabkan
preseden yang menggelisahkan dari NATO yang
memberlakukan/menegakkan hukum dan ketertiban
di Kosovo, pada tahun 1999, tanpa otorisasi dari
Dewan.
Selama skema Piagam PBB tentang keamanan
kolektif gagal berfungsi secara memadai, Negaranegara dibiarkan dengan perangkat mereka sendiri
saat berhadapan dengan penggunaan kekuatan yang
melanggar hukum. Lagi-lagi, mereka meminta hak
(individu atau kolektif) pertahanan diri dalam
merespon serangan bersenjata. Jadi, bukan menjadi
waktu tunggu sambil menunggu pelaksanaan
keamanan kolektif, pertahanan diri (individual
402
maupun kolektif) telah mengambil tempat keamanan
kolektif. Selama Perang Dingin, gavitas sentral dalam
PBB telah berayun dari Pasal 39 ke Pasal 51.
Meskipun perubahan telah terasa dalam lanskap
dunia politik sejak berakhirnya Perang Dingin, hak
membela diri - individu dan kolektif - tetap menjadi
perisai utama terhadap serangan bersenjata .
d. Menurut Thomas M. Franck
Walaupun tidak memberikan definisi kejahatan
agresi, namun kritikan dan kesimpulan Thomas M.
Franck tentang pelaksanaan wewenang polisional
Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal 42 dan 43
Piagam PBB dapat memberi gambaran yang jelas
dan lengkap tentang pengertian agresi dan upaya
penanggulangannya dalam beberapa peristiwa
konflik bersenjata. Menurutnya,65
Berdasarkan pasal 43 Piagam PBB, Dewan
Keamanan diberi wewenang untuk membentuk milisi
polisi internasional yang bersifat tetap. Tetapi dalam
kenyataannya mengalami kegagalan. Diperhadapkan
dengan kegagalan ini Dewan Keamanan telah
mengadaptasi dengan menggunakan, atau memberi
wewenang negara untuk menggunakan, pasukan ad
hoc
yang disatukan bersama untuk tujuan
menanggapi krisis tertentu, bukannya seperti yang
diusulkan Hull pada tahun 1943.Jauh dari lumpuh
karena kegagalan untuk menyadari potensi Pasal 43,
sistem
tersebut,
dalam
prakteknya,
telah
mengembangkan cara baru untuk menyebarkan
kekuatan untuk mengamankan perdamaian dan
melawan agresi.
65 Thomas M. Franck. Recourse to Force State Action Against Threats and Armed
Attacks. Cambrige University Press. United Kingdom 2004. Hlm. 24-25.
403
Pemberian wewenang tindakan kolektif ad hoc
Dewan Keamanan tersebut pertama kali dilakukan
pada Perang Korea, menyusul pergolakan bersenjata
di Kongo tahun 1960, pemberian sanksi PBB
terhadap rezim kulit putih Ian Smit di Crown Colony
Rhodesia tahun 1966, peperangan di Timur Tengah
antara Israel – Palestina, Mesir, Libanon, Suriah
tahun 1957 – 1960-an, operasi “Desert Storm”
setelah invasi Irak ke Kuwait 1992, dalam Perang di
Balkan, Bosnia-Herzegovina dan Kosovo tahun 1992
– 1994, dan terkini konflik bersenjata dalam negeri
Libya 2010 dan Suriah tahun 2011.
Sebagaimana
dalam
perang
Korea,
penggunaan kekuatan bersenjata negara-negara
yang diberi mandat oleh Dewan Keamanan PBB
secara Ad Hoc digambarkan sebagai berikut. Pada
tanggal 25 Juni 1950, Sekretaris Jenderal Trygve Lie
melaporkan serangan malam sebelumnya oleh Korea
Utara ke Korea Selatan. Dengan memberikan
kualifikasi situasi tersebut sebagai ancaman terhadap
perdamaian internasional, ia meminta Dewan
Keamanan sebagai "organ yang berwenang" untuk
bertindak sekaligus dengan menentukan bahwa
serangan itu merupakan pelanggaran perdamaian,
menyerukan penghentian permusuhan, mengembargo semua bantuan ke otoritas Korea Utara,
dan menyerukan semua Anggota untuk memberikan
bantuan kepada PBB dalam pelaksanaan resolusi ini.
Inilah adalah respon yang dipilih oleh Dewan
Keamanan. Resolusinya menetapkan bahwa telah
terjadi "pelanggaran perdamaian" dan dengan
demikian menuntut Pasal 39, prasyarat untuk
langkah-langkah kolektif menurut Bab VII Piagam
PBB. Tindakan militer kolektif - setidaknya dalam arti
sebagaimana yang digambarkan Pasal 43 – menjadi
tidak tersedia, Resolusi 83 tanggal 27 Juni (yang
ditetapkan
dengan
hanya
Yugoslavia
yang
menentang
dengan
Uni
Soviet
absen)
merekomendasikan
bahwa
Anggota
PBB
404
memberikan bantuan kepada Republik Korea yang
dianggap perlu untuk mengusir serangan bersenjata
dan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional di kawasan tersebut. Pada tanggal 7
Juli, dengan abstain Soviet masih absen dan tiga
negara yang absen (Mesir, India, dan Yugoslavia),
Dewan Keamanan merekomendasikan bahwa semua
anggota yang memberikan bantuan militer membuat
kekuatan-kekuatan itu tersedia bagi komando militer
terpadu yang dipimpin oleh AS, yang di beri
wewenang bahwa perintah untuk menggunakan
bendera PBB, dan meminta AS untuk melaporkannya
kepada Dewan Keamanan. Oleh karena Piagam PBB
tidak membuat ketentuan untuk respon militer PBB
kecuali dengan kekuatan sesuai Pasal 43, pemberian
wewenang untuk bertindak oleh Dewan Keamanan
atas namanya oleh kontingen ad hoc nasional - yang
sejak itu menjadi dikenal sebagai "coalition of the
willing " merupakan adaptasi kreatif dari teks
tersebut. Praktek pemberian wewenang (otorisasi)
oleh Dewan Keamanan atas tindakan koalisi
semacam ini yang bersedia kemudian menjadi bagian
yang mapan dari sistem keamanan kolektif PBB.
Dalam pengalaman pertama ini, pasukan PBB
dibentuk oleh pasukan sukarela oleh sepuluh negara,
unit angkatan laut dari delapan negara, dan unit
udara dari lima negara.
Sementara boikot Soviet terhadap Dewan
keamanan telah memfasilitasi inovasi ini, sehingga
demikian pula kehadiran di Seoul wakil di lapangan
Komisi PBB di Korea. Merekalah yang mampu
melaporkan fakta yang segera dan kredibel kepada
Sekretaris Jenderal, yang memungkinkannya, pada
gilirannya, untuk berkomunikasi secara otoritatif
bahwa adalah Korea Utara yang telah memicu
konflik. Mereka dengan demikian membantah Korea
Utara dan kepura-puraan satelit Soviet bahwa Korut
hanya merespon untuk membela diri dengan
melawan agresi oleh Korea Selatan.
405
Pada saat Irak menyerang dan menduduki
Kuwait, Dewan keamanan, sesuai dengan Pasal 39
Piagam
PBB,
mengeluarkan
resolusi
yang
menentukan bahwa tindakan Irak merupakan
pelanggaran perdamaian
di mana untuk
meresponnya tindakan militer kolektif dibenarkan.
Keputusan itu dibuat dengan suara 14 banding 0
dengan hanya Yaman yang abstain. Resolusi
menuntut dilaksanakannya Bab VII Piagam PBB dan
meminta negara anggota untuk menggunakan segala
cara yang diperlukan untuk meredam agresi Irak,
yang ditetapkan dengan hanya Kuba dan Yaman
yang menentang dan dengan Cina yang abstain tapi
tidak mengajukan hak veto.
Para perancang Piagam, tidak memandang
penggunaan kekuatan yang diamanatkan Dewan
Keamanan ketika adanya kemampuan militer yang
berdasarkan Pasal 43. Tidak ada alasan,
bagaimanapun, mengapa respon Dewan Keamanan
terhadap agresi tidak dapat dipahami sebagai
penggunaan yang kreatif pasal 42, yang terputus
dari, dan tidak terbebani oleh, Pasal 43 yang gagal.
Meskipun negosiator di Dumbarton Oaks dan San
Francisco secara ragu-ragu telah menyimpulkan
bahwa Pasal 42 akan beroperasi hanya dalam
ketergantungan pada kekuatan-kekuatan yang
dijanjikan oleh anggota berdasarkan Pasal 43,
Piagam PBB ini tidak membuat kesalingtergantungan
ini menjadi eksplisit. Sebaliknya, Pasal 42
sepenuhnya memberi wewenang Dewan keamanan
untuk mengambil tindakan melalui pasukan udara,
laut, atau darat yang diperlukan untuk memelihara
atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. Tindakan tersebut dapat mencakup
demonstrasi, blokade, dan operasi lainnya dengan
pasukan udara, laut atau darat dari Anggota PBB.
Secara tekstual, Pasal 42 dapat berdiri di atas kaki
sendiri dan sekarang dapat dikatakan demikian
sebagai akibat dari praktek Dewan Keamanan.
406
Praktek ini, apalagi, ketika tidak diantisipasi oleh para
perancang, tidak akan melanggar rancangannya.
Pasal 39 menyatakan:Dewan Keamanan akan
menentukan eksistensi setiap ancaman terhadap
perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau
tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi,
atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil
sesuai dengan Pasal 41 dan 42, untuk memelihara
perdamaian dan keamanan internasional.
Pasal 39 dengan demikian memberi wewenang
Dewan Keamanan untuk "mengambil tindakan"
berdasarkan Pasal 42 tanpa mengacu pada Pasal
43, sehingga menciptakan ruang bagi Dewan
Keamanan untuk memerintahkan - atau, lebih
mungkin, untuk meminta - partisipasi negara dalam
langkah-langkah keamanan kolektif apakah mereka
telah mengadakan perjanjian khusus dengan Dewan
Keamanan sesuai Pasal 43 atau tidak.
Jika Dewan Keamanan akan memerintahkan
negara-negara untuk menggunakan kekuatan, Pasal
25 mewajibkan semua anggota untuk "menyetujui
dan melaksanakan" keputusan itu. Sampai saat ini,
bagaimanapun,
semua
keputusan
pemberia
wewenang penggunaan kekuatan militer add hanya
"meminta" atau "memberi wewenang " negara-negara
anggota untuk menggunakan kekuatan. Sementara
partisipasi dalam tindakan militer demikian bersifat
sukarela, wewenang dan tujuan pasukan ad hoc
tersebut memiliki biasanya dirumuskan dalam term
wajib. Sebagai contoh, dalam resolusi 678, Dewan
Keamanan membicarakan tentang "kewajiban" Irak
untuk "mematuhi" tuntutan Dewan Keamanan untuk
memulihkan kedaulatan Kuwait dan memberi
kewenangan
penggunaan
kekuatan
"untuk
menerapkan" tuntutan itu. Selain itu, perang diakhir
bukan dengan perjanjian antara para peserta tetapi
dengan keputusan Dewan Keamanan
yang
menetapkan persyaratan wajib di mana negara407
negara anggota PBB akan menghadirkan kekuatan
militer di Irak untuk mengakhiri invasi Irak..." Ini, jelas,
merupakan
pelaksanaan
kekuasaan
Dewan
Keamanan untuk membuat keputusan yang mengikat
berdasarkan Bab VII , sekalipun jika ditegakkan oleh
"koalisi atas dasar kemauan sukarela."
Ada beberapa kesempatan di kemudian hari di
mana Dewan Keamanan telah resmi memberikan
wewenang penggunaan kekuatan oleh negaranegara anggota dalam koalisi: kontingen militer
nasional dikumpulkan secara ad hoc untuk suatu
tugas tertentu. Dewan Keamanan juga telah memberi
wewenang satu negara anggota atau organisasi
regional untuk memimpin operasi militer tertentu. Apa
pun komposisinya, bagaimanapun, operasi ini telah
banyak mengisi kekosongan yang diciptakan oleh
Pasal 43. Sehingga, pada tanggal 30 November
1992, Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan
memberi tahu bahwa "situasi di Somalia telah
memburuk di luar titik
yang rentan terhadap
penjagaan perdamaian."
Oleh karena itu, ia melaporkan, "Saya lebih
yakin dari sebelumnya akan kebutuhan pasukan
militer internasional untuk digunakan di Somalia"
(ditambahkan penekanan). Dia menyimpulkan bahwa
"Dewan Keamanan sekarang tidak memiliki pilihan
lain kecuali memutuskan untuk mengadopsi langkahlangkah yang lebih tegas untuk mengamankan
operasi kemanusiaan ... Karena itu Dewan
Keamanan perlu membuat penentuan berdasarkan
Pasal 39 Piagam PBB bahwa ada ancaman terhadap
perdamaian.. Dewan Keamanan juga harus
menentukan bahwa langkah-langkah non-militer
sebagaimana dimaksud dalam Bab VII tidak mampu
memberi
efek
terhadap
keputusan
Dewan
Keamanan. Segera, Dewan Keamanan membuat
pertemuan yang diperlukan menurut Bab VII dan
memberi wewenang AS, dan negara yang lainya
408
"yang bersedia," untuk "menggunakan segala cara
yang diperlukan" melalui ad hoc Unified Task Force
(UNITAF) untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan tersebut. Ini diputuskan dengan suara
bulat, yang menunjukkan persetujuan dari semua
anggota terhadap koalisi kesediaan (coalition of
willingness)
yang
diberi
wewenang
Dewan
Keamanan tersebut.
Perlu dicatat bahwa Dewan Keamanan, dalam
memberi wewenang/kuasa intervensi militer di
Somalia, yang diikuti syarat Pasal 42. Dewan
Keamanan terlebih dahulu menentukan bahwa
langkah-langkah penggunaan kekuatan bersenjata
(Pasal 41) telah gagal untuk mencapai tujuan
memulihkan ketertiban dan menghapus ancaman
bagi perdamaian (Pasal 39). Hal ini membuat
operasi, meskipun dilakukan oleh negara-negara
anggota yang ditunjuk, masih tunduk pada kerangka
acuan yang ditetapkan dalam pemberian wewenang
resolusi.
Ini bukan operasi yang sepele. UNITAF
melibatkan 37.000 pasukan (terutama Amerika).
Penggantinya yang berasal dari banyak negara
(multinasional), UNOSOM II, mengerahkan 30.000
personil militer, yang ditempatkan oleh Dewan
Keamanan bawah kendali Sekretaris Jenderal PBB
dan diberi tanggung jawab dengan kekuatan
penegakan
hukum dan
tugas
menciptakan
perdamaian, demokrasi dan persatuan di negara
yang terpecah belah itu. Hal yang lebih signifikan
yang layak dicatat bahwa kedua operasi itu – yang
melibatkan PBB dalam intervensi kemanusiaan
secara esensial dengan pasukan ad hoc dan
melakukan hal demikian tanpa adanya krisis yang
jelas secara internasional atau persetujuan Somalia seharusnya menerima persetujuan anggota Dewan
Keamanan. Meskipun beberapa anggota Dewan
Keamanan pikir bijaksana untuk menguraikan prinsip409
prinsip umum yang mendasari Piagam PBB –
penafsiran yang mendasari penggunaan kekuatan
kolektif ini dan, memang, dalam Resolusi 794 negaranegara anggota memperhatikan untuk mencatat
"karakter yang unik" dari krisis yang mereka respon –
tindakan Dewan Keamanan tidak bisa tetapi dilihat
sebagai pengaturan preseden.
Contoh lain dari perluasan praktek penggelaran
koalisi atas dasar kemauan adalah pemberian
wewenang oleh Dewan Keamanan - lagi, yang
secara tegas "luar biasa" - pada tahun 1994, dari
pasukan multinasional di bawah "komando dan
kontrol" untuk "menggunakan segala cara yang
diperlukan" untuk memfasilitasi pelengseran dari Haiti
kepemimpinan militer yang telah menggulingkan
pemerintah yang dipilih secara demokratis. Pada
kesempatan ini resolusi disahkan dengan 13 banding
0 dengan Brasil dan China abstain. (Abstainnya Cina
sekali lagi tidak dilihat sebagai hak veto.) Namun
contoh lain adalah mandat yang diberikan oleh
Dewan Keamanan kepada pasukan ad hoc lainnya,
UNPROFOR, di bekas negara Yugoslavia dan
perluasan bertahap dari mandat militer itu untuk
memasukkan pertahanan "daerah aman" Bosnia.
Ketika daerah-daerah yang aman dan personil PBB
daerah itu diserang, Dewan Keamanan memberi
wewnang serangan udara oleh NATO terhadap
senjata berat Serbia. Kerjasama PBB dengan NATO
ini, pendekatan "kunci ganda" untuk serangan udara,
kemudian diperpanjang oleh Dewan Keamanan untuk
operasi UNPROFOR di Kroasia. Resolusi ini juga
diadopsi dengan persetujuan bulat dari anggota
Dewan Keamanan dan persetujuan luas dari negaranegara anggota Keamanan dan negara-negara di
luar anggota Dewan Keamanan. Meskipun protes pro
forma dari Federasi Rusia, terjadinya "pengeboman
pada bulan Agustus" merupakan kemitraan militer
pertama yang efektif antara organisasi militer regional
dan pasukan multinasional ad hoc PBB, kerja sama
410
yang pada akhirnya menyebabkan kekalahan
pasukan Serbia dan, pada gilirannya, menghasilkan
negosiasi perdamaian Dayton.
Berkaca pada kampanye udara dan darat dari
perspektif Washington, Richard Holbrooke, kemudian
Asisten Menteri Luar Negeri dengan tanggung jawab
khusus untuk situasi Yugoslavia, telah menulis
kualitas yang rumit dan bersejarah dari upaya kerja
sama antara AS, NATO, dan PBB. Kualitas yang
rumit atau tidak, kerja sama ini menandai contoh lain
dalam adaptasi Piagam PBB untuk memberi PBB
peran yang fleksibel dalam situasi yang menuntut
respons
militer
terhadap
ancaman
kepada
perdamaian dan tindakan agresi, meskipun sangat
mungkin dengan cara dan dengan mandat
operasional yang tidak dibayangkan oleh para
perancangnya di San Francisco pada setengah abad
sebelumnya.
Ada yang lain, bahkan contoh yang lebih baru
dari koalisi negara-negara anggota yang bersedia
atau individual negara yang diberi wewenang oleh
Dewan Keamanan untuk menggunakan kekuatan
yang diperlukan, biasanya tetapi tidak selalu
berdasarkan Bab VII. Dengan demikian, Dewan
Keamanan pada tahun 1994 memberi wewenang
Perancis untuk menggunakan "segala cara yang
diperlukan" untuk tujuan keamanan dan kemanusiaan
selama kekacauan sipil di Rwanda dan pada tahun
1997 memberi wewenang Italia, dengan negara lain,
untuk mengerahkan pasukan guna mencegah perang
saudara di Albania dan menciptakan INTERFET di
bawah kepemimpinan Australia untuk membangun
keamanan di Timor Timor. Dalam upaya menahan
perang saudara di Sierra Leone Dewan Keamanan,
pada tahun 1999, membuat UNAMSIL, dengan
kekuatan
11.000
personil
dengan
otoritas,
berdasarkan Bab VII, untuk menggunakan kekuatan
"untuk memberi perlindungan kepada warga sipil
411
yang berada di bawah ancaman kekerasan fisik"
serta" membantu ... otoritas penegak hukum Sierra
Leone dalam melaksanakan tanggung jawab
mereka."
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kegagalan untuk melaksanakan Pasal 43 belum
secara serius menghambat PBB dalam menjalankan
misi
untuk
memberikan
keamanan
kolektif.
Sebaliknya, koalisi ad hoc (ad hoc coalition of willing),
dalam berbagai konfigurasi logistik, atau wakil yang
ditunjuk, tidak hanya mengisi celah yang ditinggalkan
oleh keengganan negara-negara anggota ‘untuk
membuat komitmen jangka panjang pasukan yang
siap siaga tetapi telah dikerahkan dengan mandat,
termasuk intervensi di dalam konflik domestik yang
esensial terutama untuk tujuan kemanusiaan, yang
tidak pernah dibayangkan dan mungkin tidak akan
disetujui di San Francisco. Bagaimanapun, ini tidak
berarti bahwa Organisasi ini telah menjadi "polisi
yang nakal," yang beroperasi tanpa izin. Ini
merupakan niat dari para pendirinya di San Francisco
untuk menciptakan institusi yang hidup, yang
dilengkapi dengan organ politik, administratif dan
yuridis yang dinamis, yang kompeten untuk
menafsirkan kekuatan mereka sendiri di bawah
instrumen konstituen yang fleksibel dalam merespon
tantangan baru. PBB telah memenuhi mandat itu.66
Kemudian dapat disimpulkan, merupakan
praktek umum, bahwa ketika terdapat fakta dan
konteks politiknya meluas meliputi adanya ancaman
sedemikian rupa terhadap keselamatan terhadap
warga negaranya sendiri di luar negeri atau dalam
wilayah negara lain, dan pada saat bersamaan PBB
sendiri tidak dapat bertindak karena alasan politis,
maka beberapa penggunaan kekuatan oleh suatu
negara dapat diterima sebagai pembelaan diri yang
66 Thomas M. Franck. Ibid. Hlm.29
412
sah dalam pengertian Pasal 51. Aksi militer lebih
mungkin dipahami jika ancaman terhadap warga
negara terbukti nyata dan serius, jika motif dari
negara yang melakukan intervensi dipahami sebagai
perlindungan yang murni, dan jika intervensi itu
proporsional dan durasinya pendek dan mungkin
mencapai tujuannya dengan kerusakan yang
minimal. Dalam prakteknya, apakah suatu tindakan
dianggap sah atau tidak tergantung pada keadaan
khusus dari setiap kasus, seperti yang ditunjukkan
pada, dan dipahami oleh, lembaga-lembaga politik
dan hukum dari sistem internasional. Dapat saja
dalam setiap perdebatan tentang penggunaan
kekuatan, beberapa negara akan merespon pada
faktor ideologi, keselarasan politik, kepentingan
nasional, atau keharusan sejarah. Banyak negara
lain, yang akan mempertimbangkan bukti keadaan
dan cara di mana kekuatan atau pasukan itu
dikerahkan.
Contoh praktek negara yang didasari piagam
PBB ini dapat dianggap aneh, membiarkan
ketidakpastian hukum. Namun, praktek ini juga dapat
dipahami untuk menghasilkan klarifikasi hukum yang
berlaku secara luas atau sempit. Yang berlaku
sempit,
wacana
kekuatan
bersenjata
untuk
melindungi warga negara di luar negeri dapat
dikatakan telah dimengerti sebagai sah dalam
keadaan batas-batas tertentu, meskipun bahwa cara
ini diakui secara teknis ilegal. Atau, dalam interpretasi
praktek yang lebih luas, sistem dapat dikatakan telah
mengadaptasi konsep pertahanan diri, berdasarkan
Pasal
51, untuk memasukkan
hak untuk
menggunakan kekuatan (pasukan) dalam merespon
serangan terhadap warga negara, dengan catatan
ada bukti kebutuhan ekstrim yang jelas dan sarana
yang dipilih adalah proporsional. Dalam konteks ini
intervensi kemanusiaan menjadi pertimbangan
utama.
413
Selanjutnya ketika pemerintah berubah kejam
terhadap rakyatnya sendiri, apa yang mungkin atau
harus dilakukan pemerintah lain?
Jika perbuatan salah yang dilakukan dalam
suatu negara terhadap sebagian penduduknya
sendiri merupakan jenis perbuatan yang secara
khusus dilarang oleh perjanjian internasional
(misalnya Konvensi Genosida dan perjanjian
mengenai diskriminasi rasial, penyiksaan, hak-hak
perempuan dan anak, dan Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Hak Politik, serta perjanjian
tentang hukum kemanusiaan yang berlaku di dalam
konflik sipil), maka intervensi kemanusiaan terhadap
tindakan-tindakan yang dilarang itu dapat dianggap
sebagai subspesies dari jenis bantuan swadaya ini.
Tindakan ini secara konseptual lebih bersifat
persuasif jika tindakan yang salah itu telah dijelaskan
secara eksplisit maupun implisit oleh perjanjian
universal yang berlaku tentang pelanggaran erga
omnes: yaitu, terhadap setiap dan semua negara
yang menjadi pihak dalam perjanjian yang
mendefinisikan dan melarang perbuatan yang salah.
Dalam keadaan seperti itu, adalah mungkin untuk
menyatakan bahwa setiap negara dapat mengklaim
hak self-help sebagai korban dari pelanggaran,
setidaknya
setelah
kehabisan
perbaikan
kelembagaan dan diplomatik. Hak-hak universal
analog untuk self-help juga mungkin timbul dalam hal
terjadi pelanggaran aturan-aturan tertentu dari hukum
adat.
Bahwa pasal 2 (4) dan 51 dari Piagam tersebut
dimaksudkan untuk membatasi, dan bahkan mungkin
membatalkan, untuk memaksa secara sepihak
kecuali dalam merespon serangan bersenjata oleh
satu negara kepada negara lain. Hal ini membuat
sulit untuk menafsirkan teks-teks sebagai sesuatu
kecuali larangan intervensi kemanusiaan yang
melibatkan penggunaan kekuatan militer, karena
414
pelanggaran yang mengerikan oleh pemerintah
terhadap hak asasi manusia warga negaranya sendiri
secara jelas tidak melewati ambang batas serangan "
bersenjata
"
.Namun
demikian,
"intervensi
kemanusiaan" telah digunakan oleh negara-negara
anggota, dan oleh organisasi regional, untuk
menjustifikasi penggunaan kekuatan (tanpa otorisasi
Dewan Keamanan ) dalam berbagai keadaan.
Intervensi tersebut telah menyingkirkan suatu negara
yang secara lalim melakukan pembantaian terhadap
rakyatnya sendiri, mengakhiri perang saudara yang
berdarah, dan menghentikan genosida terhadap
suatu kelompok, suku, atau golongan.Dalam
beberapa situasi, beberapa tragedi semacam ini
tampaknya terjadi secara bersamaan.
"Hak intervensi kemanusiaan" diperdebatkan di
San Francisco dan banyak dibahas di dalam literatur
hukum. Namun, tidak ada hak tersebut dalam Piagam
PBB. Meskipun teksnya "menegaskan kembali
keyakinan akan hak manusia yang fundamental,"
teksnya
tidak
membuat
ketentuan
untuk
menggunakan
kekuatan
(pasukan)
untuk
melaksanakan komitmen tersebut.
Apakah ini telah dimodifikasi dalam prakteknya?
Pada awalnya, perbedaan harus dibuat antara
intervensi kemanusiaan kolektif yang diotorisasi oleh
Dewan Keamanan dan intervensi oleh negara-negara
anggota atau kelompok negara-negara anggota yang
bertindak atas kebijakannya sendiri. Meskipun teks
Piagam PBB tidak secara khusus memberi
wewenang Dewan Keamanan untuk menerapkan
sistem langkah-langkah kolektif yang dijelaskan
dalam Bab VII untuk mencegah pelanggaran berat
hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia, dalam
prakteknya Dewan Keamanan telah melakukannya
sesekali, misalnya dengan memberi wewenang
anggota untuk menggunakan tindakan koersif guna
melawan apartheid di Afrika Selatan dan mencabut
415
Deklarasi Kemerdekaan Unilateral Rhodesia (UDI)
yang dimotivasi oleh semangat rasial, serta untuk
membantu mengakhiri konflik etnis yang mengerikan
di Yugoslavia, Somalia, dan Kosovo dan untuk
membalikkan kudeta militer Haiti yang berusaha
untuk membatalkan pemilihan demokratis yang
diawasi PBB. Meminjam Pasal 39 di masing-masing
kasus, Dewan Keamanan menemukan "ancaman
perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan
agresi" yang cukup untuk menjamin dibenarkannya
pengambilan langkah-langkah kolektif. Namun
demikian, tidak ada pembenaran kemanusiaan berdiri
sebagai
tindakan
sendiri.
Faktor
tambahan
dimaksudkan untuk melegitimasi tindakan Dewan
Keamanan, termasuk ancaman terhadap perdamaian
yang disebabkan oleh arus besar pengungsi dan
bahaya keterlibatan yang lebih luas oleh negaranegara anggota lain sebagai respon atas tindakan
salah yang dilakukan oleh rezim atau faksi yang
melakukan pelanggaran.
Beberapa pemberian wewenang (otorisasi) oleh
Dewan Keamanan untuk menggunakan pasukan
melanggar ketentuan Bab VII, tetapi otorisasi itu
secara eksplisit tidak melanggar larangan Piagam
PBB. Meskipun Pasal 2 (7) dimaksudkan untuk
mengecualikan "intervensi dalam masalah yang pada
dasarnya dalam jurisdksi setiap negara-negara
anggota PBB..." kendala yang tidak dapat diterapkan
ketika Organisasi terlibat dalam "langkah-langkah
penegakan berdasarkan Bab VII." Dengan demikian,
masing-masing contoh di mana Dewan Keamanan
telah menggunakan, atau memberi wewenang
kepada koalisi yang bersedia (coalition of willing)
untuk menggunakan langkah-langkah kolektif dalam
situasi perang sipil atau terhadap rezim yang terlibat
dalam pelanggaran hak asasi manusia yang
mengerikan dapat disesuaikan ke dalam teks Piagam
PBB tersebut. Bahkan ketika terjadi sepenuhnya
dalam satu negara, perang sipil/saudara, penindasan,
416
atau kemarahan kemanusiaan, serta akibat
sampingan seperti arus besar pengungsi ke negaranegara anggota tetangga, atau keterlibatan
intervenors eksternal, cukup dapat dinilai oleh Dewan
Keamanan mengancam perdamaian dan keamanan
internasional,
sehingga
melegitimasi
tindakan
pasukan oleh PBB, atau koalisi (coalition of willing)
yang diotorisasi PBB.
Adalah jauh lebih sulit untuk secara konseptual
dibenarkan dalam hal Piagam penggunaan kekuatan
oleh satu atau beberapa negara-negara anggota
yang bertindak tanpa otorisasi Dewan Keamanan
sebelumnya, bahkan ketika tindakan tersebut diambil
untuk menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan. Pasal 2 (4) piagam PBB, yang
ditafsirkan secara ketat, melarang penggunaan
pasukan secara sepihak oleh negara anggota. Teks
itu tidak membuat pengecualian untuk kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang masif atau
hukum kemanusiaan ketika pelanggaran itu terjadi
karena tidak adanya agresi internasional terhadap
negara-negara anggota lain. Dalam skema Piagam
yang ketat, negara-negara anggota tidak boleh
menggunakan kekuatan (pasukan) kecuali dalam
mempertahankan diri (self-defense) dan organisasi
regional tidak boleh mengambil tindakan yang
serupa.
Sir Hersch Lauterpacht membayangkan suatu
dunia yang tertib, damai, dan beradab dalam
hubungan internasional, sebagaimana kehidupan di
Inggris yang dicontohkannya. Namun kehidupan
masyarakat internasional tetap saja diliputi peristiwaperistiwa aksi kekerasan bersenjata terutama agresi
yang mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.
Sehingga berbagai upaya
dari
berbagai pihak dan organisasi internasional
mengambil peran melakukan penegakan hukum
terhadap aksi kekerasan bersenjata yang tidak sah.
417
Dalam hal ini menurut Thomas M. Franck 67 terdapat
tiga peluang menjanjikan. Pertama, meskipun ada
lebih banyak kekerasan, sebagian negara-negara
anggota telah berhasil menciptakan kerangka
kelembagaan untuk mengatasi masalah kolektif. Ini
akan mengejutkan hakim Lauterpacht sebagai hal
yang penting - meskipun beberapa spot - kemajuan
dalam mengembangkan rezim penjaga perdamaian
berbasis institusi global. Kedua, meskipun banyak
rezim berdasarkan Piagam PBB telah dibuat menjadi
usang selama setengah abad perkembangan
teknologi dan politik, sistem ini juga menunjukkan
kelincahan dan ketahanan fungsional yang luar
biasa. Bisa dikatakan, dari perspektif abad baru,
sistem telah berhasil menemukan kembali dirinya
sendiri, lagi dan lagi, dengan cara yang agak
mengingatkan kita pada konstitusi nasional yang
tahan lama. Ketahanan ini terutama berguna dalam
merancang cara-cara operasional baru untuk sistem
PBB dalam rangka menggunakan kekuatan kolektif
dan parameter baru yang membatasi ketika kekuatan
harus dikerahkan. Ketiga, meskioun sistem PBB
bertujuan untuk menggantikan keamanan kolektif
atas
ketergantungan
negara-negara
anggota
tradisional pada kekuatan sepihak, sistem telah
memiliki beberapa keberhasilan dalam menyesuaikan
diri dengan realitas yang lebih keras. Secara
khusus,sistem
telah menyesuaikan diri, yang
kadang-kadang secara aktif, kadang secara pasif,
dalam ekspansi yang terukur untuk tindakan negaranegara anggota secara diskresi dan telah
melakukannya tanpa meninggalkan sama sekali
upaya nyata dalam Pasal 2 (4) untuk memasukkan
kekuatan
unilateral.
Sistem
telah
mencari
keseimbangan, bukan pelarangan mutlak atau
perizinan.
67 Thomas M. Franck. Ibid. Hlm.135
418
Keseimbangan
ini
sulit
dicapai.
Jika
penggunaan kekuatan oleh NATO di Kosovo
dipandang sebagai preseden untuk reinterpretasi
larangan absolut Pasal 2 (4) tentang penggunaan
diskresi kekuatan oleh negara-negara anggota,
penggantian prinsip yang lebih "masuk akal", prinsip
yang mengakomodasi penggunaan kekuatan oleh
pemerintah manapun untuk menghentikan apa yang
dianggap merupakan pelanggaran ekstrim terhadap
hak asasi manusia di negara-negara anggota lain,
bisa meluncurkan sistem internasional menuju lereng
yang licin menuju jurang anarki. Lauterpacht
menyatakan kekhawatiran ini dalam kalimat yang
dikutip dalam bab 1: "Tidak mungkin, dalam skema
sesuatu yang dirancang untuk mengamankan
pemerintahan hukum, untuk menyediakan mesin
yang dianggap mengabaikan hukum dengan cara
yang mengikat pada pihak bersedia untuk mematuhi
hukum.
Bahaya penggunaan kekuatan NATO dalam
krisis
Kosovo
hanya
sebagai
pengecualian
kemanusiaan, sebuah kebutuhan in extremis, adalah
bahwa
hukum tidak bisa
berharap untuk
mengamankan persetujuan dalam norma yang
memungkinkan pelanggaran atas diskresi sendiri dari
pihak di mana pelanggaran ditangani. Hukum
diperkuat ketika ia menghindari kemutlakan yang
kaku dan absurd misalnya, dengan mengharuskan
sikap pasif dalam menghadapi penghancuran seluruh
penduduk - tetapi hanya jika pengecualian yang
dimaksudkan untuk mencegah reductio ad absurdum
jelas dipahami dan diterapkan dengan cara yang
lugas sesuai dengan gagasan-gagasan prosedural
dan kejujuran yang nyata dan telah disepakati.
419
Akhirnya, keadaan di mana suatu negara atau
kelompok negara telah melakukan intervensi untuk
tujuan kemanusiaan tanpa menimbulkan oposisi yang
signifikan
dari
sistem
internasional
dapat
menunjukkan kemauan tertentu pada bagian dari
masyarakat itu untuk membolehkan beberapa
pelanggaran.hukum dalam keadaan kebutuhan yang
secara nyata ditunjukkan. Bagaimanapun, ini tidak
menunjukkan perubahan mendasar dalam hukum
untuk memberikan izin bagi negara untuk melakukan
hal itu yang dilarang secara tekstual. Bahkan
sebagian kecil menunjukkan bahwa perilaku yang
secara tekstual dilarang, melalui praktek, telah
menjadi hukum wajib. Dalam interpretasi yang paling
luas tentang pentingnya praktek yang sah secara
hukum, tidak bisa dikatakan bahwa hukum sekarang
memerlukan negara-negara anggota untuk campur
tangan dengan atau tanpa otorisasi Dewan
Keamanan, dimanapun dan kapanpun bilamana ada
bukti pelanggaran hukum kemanusiaan atau hak
asasi manusia yang masif. Seperti yang dikatakan
oleh mantan Menteri Luar Negeri Inggris baru-baru
ini:
Ada ruang untuk berargumen banyak tentang
sifat dari kekejaman yang telah atau sedang
ditimbulkan di Chechnya, Tibet dan Wilayah
Pendudukan Palestina. Tapi seberapa besar dan
tidak dapat dibenarkannya kekejaman semacam itu,
masyarakat internasional pasti akan terbukti tidak
mampu atau tidak mau campur tangan untuk
menghentikan kekejaman itu. Distribusi kekuasaan di
dunia membuat intervensi semacam ini menjadi tidak
mungkin ... Fakta bahwa masyarakat internasional
tidak dapat melakukan intervensi untuk melindungi
hak asasi manusia di banyak tempat tidak perlu
menjadi argumen terhadap bantuan mana yang bisa
kita... Ini adalah ... alasan untuk tidak mencoba
membingungkan keputusan kebijakan dengan
kewajiban menurut hukum internasional.
420
Atau, taruh dalam istilah pengacara, penting
untuk tidak merancukan hukum apa dalam beberapa
keadaan terbatas yang mungkin memaafkan atau
memaafkan dengan apa yang dibutuhkan oleh
hukum dalam setiap keadaan.
e. Menurut Tom Ruys
Sama dengan Yoram Dinstein dan Thomas M.
Franck, Tom Ruys juga tidak memberikan rumusan
definisi tentang agresi. Namun pembahasan Tom
Ruys tentang agresi tidak langsung yang
diperdebatkan dalam Komite Khusus Keempat saat
pembahasan masalah definisi agresi, dengan contoh
kasus agresi Nikaragua, memberi gambaran yang
lengkap untuk memahami agresi sebagai suatu
kejahatan kemanusiaan. Apalagi ditambahkan
dengan penjelasan tentang penggunaan kekuatan
dan hak menentrukan nasib sendiri.
Pada awalnya konsep agresi tidak langsung
belum
mendapat
banyak
perhatiandalam
perundingan penyusunan definisi agresi di tahun
1950-an di San Fransisco. Setelah akhir tahun 1960an barulah disadari bahwa agresi tidak langsung
mendatangkan banyak tantangan bagi perdamaian
dan keamanan internasional sebagai bentuk
tradisional dari konflik antara negara,yang meluas.
Setelah ditetapkan Komite Khusus Keempat,
kontroversi itu terbukti menjadi salah satu hambatan
utama menuju kesimpulan perundingan yang sukses.
Penyebab langsung dari masalah ini adalah
dikecualikannya secara eksplisit pertahanan atau
pembelaan diri (self-defence) terhadap agresi tidak
langsung dalam proposal tiga belas kekuatan
(Thirteen Power Proposal). Pasal 3 menekankan
bahwa pertahanan diri dapat dieksekusi hanya
terhadap serangan bersenjata oleh negara. Dan
421
menurut Pasal 7, Ketika suatu negara menjadi korban
di wilayahnya sendiri dari tindak subversif dan / atau
tindak teroris oleh kelompok relawan, bersenjata
yang tidak teratur, yang diorganisir atau didukung
oleh negara lain, ia boleh mengambil semua langkah
yang wajar dan memadai untuk melindungi
keberadaannya dan institusinya, tanpa memandang
memiliki pertahanan diri individu atau kolektif
terhadap negara lainnya berdasarkan Pasal 51
Piagam PBB. Terhadap ini, draf Enam Kekuatan (SixPower) mendefinisikan agresi sebagai penggunaan
kekuatan dalam hubungan internasional, terangterangan atau rahasia, langsung atau tidak langsung,
oleh suatu negara terhadap integritas teritorial atau
kemerdekaan politik setiap negara lain, atau dengan
cara lain yang tidak konsisten dengan tujuan PBB
(Pasal 2 (penekanan ditambahkan)). Pasal 2B (tidak
secara mendalam) mencantumkan contoh agresi
tidak langsung sebagai berikut:68
(1)
mengorganisir, mendukung atau mengarahkan
kelompok bersenjata atau kekuatan yang tidak
teratur atau relawan yang membuat serangan
atau menyusup negara lain;
(2)
mengorganisir, mendukung atau mengarahkan
perselisihan sipil kekerasan atau aksi terorisme
negara lain;
(3)
mengorganisir, mendukung atau mengarahkan
kegiatan subversif yang bertujuan penggulingan
dengan kekerasan Pemerintah negara lain.
68 Tom Ruys. Armed Attack and Article 51 of the UN Charter. Cambrige
University Press. United Kingdom. 2010. Hlm.383
422
Dalam Komite Khusus Keempat dan Komite
Keenam UNGA, Enam Kekuatan (six power) dengan
sangat kuat menolak untuk mengesampingkan
pembelaan diri dalam merespon operasi tak
langsung.
Italia, misalnya, mengamati bahwa
tindakan yang tercantum dalam Pasal 2B, ayat 6
sampai 8, menyiratkan penggunaan kekuatan
pasukan yang dilarang oleh Pasal 2 (4) Piagam PBB.
Pasal ini menjelaskan bahwa proposal Six Power
didasarkan pada gagasan bahwa agresi tidak
langsung harus diperlakukan dengan cara yang sama
dengan agresi langsung’. Poin ini berbeda dari ...
proposal Kekuatan Tiga Belas (Thirteen Power), yang
tidak mengakui hak membela diri suatu negara di
wilayah sendiri terhadap tindakan subversi atau
terorisme oleh kelompok bersenjata atau tidak teratur
atau pasukan relawan yang diorganisir atau didukung
oleh negara lain’. Italia merasakan sulit untuk
memahami mengapa penerapan Pasal 51 Piagam itu
secara sengaja dikecualikan. Tidak jelas, kebetulan,
langkah apa yang wajar dan memadai untuk
melindungi keberadaannya dan institusinya yang bisa
diambil, berdasarkan proposal itu, oleh suatu negara
yang menjadi korban agresi [tak langsung]. Jepang
setuju bahwa tidak dapat dibenarkan untuk menolak
suatu negara yang menjadi korban tindakan subversif
atau tindakan teroris oleh kelompok relawan yang
tidak teratur atau kelompok bersenjata yang
diorganisir, didukung atau diarahkan oleh negara lain,
jalan lain yang sah untuk mendapatkan hak
pertahanan diri. Amerika Serikat menyarankan bahwa
ada jawaban sederhana untuk persoalan ini: "agar
legitimate, penggunaan kekuatan untuk membela diri
harus proporsional; prinsip pokok juga akan berlaku
baik apakah penggunaan kekuatan adalah dengan
cara langsung atau tidak langsung.
423
Sebaliknya, Kekuatan Tiga belas bersikeras
selama perdebatan tersebut bahwa agresi bersenjata
langsung adalah satu-satunya bentuk yang
mengaktifkan Pasal 51 Piagam PBB tersebut.
‘Menurut Ekuador, misalnya, kegiatan yang
tercantum dalam Pasal 2B, ayat 6 sampai 8 dari draft
Kekuatan Enam, seharusnya mendapatkan perhatian
dari PBB: " Untuk menggunakan kekuatan (pasukan)
dalam kasus-kasus itu tidak hanya bertentangan
dengan isi dan semangat dari Piagam, tetapi akan
melanggar kewajiban yang telah ditetapkan dalam
Pasal 51. Meksiko menyatakan bahwa " reaksi suatu
Negara terhadap agresi tidak langsung tidak sama
dengan reaksinya terhadap serangan bersenjata,
karena, dalam kasus serangan bersenjata, negara
diberi wewenang oleh Piagam PBB untuk mengusir
agresi dengan melaksanakan hak pembelaan
/pertahanan diri. Secara lebih khusus. Suatu negara
yang menjadi objek agresi tak langsung harus
mengambil semua tindakan domestik yang diperlukan
untuk menjaga lembaga politiknya. Jika langkahlangkah tersebut terbukti tidak memadai, negara itu
bisa, berdasarkan Bab VI atau VII Piagam PBB,
meminta PBB untuk melakukan campur tangan jika
dianggap bahwa ada ancaman bagi perdamaian.
Posisi Kekuatan Tiga Belas tentang masalah tersebut
memiliki persamaan dengan variasi pada beberapa
negara, seperti Suriah, Republik Persatuan Arab,
Rumania, Uni Soviet dan bahkan Norwegia.69
Dengan gerakan akomodatif, Kekuatan Tiga
belas menyarankan bahwa negara-negara anggota
PBB pertama harus fokus pada negosiasi tentang
definisi agresi langsung dan harus menunda upaya
untuk menyusun definisi (terpisah) agresi tidak
langsung untuk menuju tahap berikutnya. Tidak
mengherankan, bagaimanapun, Kekuatan Enam
menolak gaya pembahasan ini sebagai hal yang
69 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 389
424
absurd: Definisi Agresi yang tidak memasukkan
referensi ke agresi tidak langsung secara
fundamental adalah definisi yang tidak lengkap, tidak
seimbang dan tidak dapat diterima.
Pada awal 1970-an, ada beberapa tanda yang
menunjukkan bahwa deadlock mulai mencair. Ada
kesepakatan umum bahwa agresi yang dimaksud
pada prinsipnya adalah penggunaan kekuatan oleh
satu negara terhadap negara lain – suatu yang
diabadikan dalam Pasal I dari Definisi Agresi Kekuatan Tiga belas, bersama dengan beberapa
negara berkembang lainnya, mulai mengakui bahwa
bentuk tertentu dari agresi tidak langsung sangat
dapat menimbulkan tindakan defensif. Sebaliknya,
Blok atau Kekuatan Tiga belas mengakui bahwa tidak
semua bentuk agresi tidak langsung akan
mengaktifkan Pasal 51.70
Sejumlah
variabel
mengarahkan
diskusi
tersebut. Pertama, ada penerimaan yang semakin
berkembang gagasan bahwa kasus hanya kasus
‘agresi tidak langsung yang nyata yang akan
menimbulkan pertahanan diri. Ini bukan untuk
mengatakan bahwa ‘penilaian intensitas negara yang
diperlukan’ adalah sepenuhnya paralel. Amerika
Serikat, misalnya, cenderung menekankan bahwa
diperbolehkannya pertahanan diri harus ditentukan
melalui ambang batas proporsionalitas, dan
mengakui bahwa tindakan subversi relatif kecil
umumnya dapat dimuat oleh metode lain selain
melalui jalan kekuatan pasukan. negara lainnya
menekankan bahwa sebagian besar kegiatan
subversif dan infiltrasi masuk dalam kategori tindakan
kecil, dan paling buruk merupakan ancaman atau
pelanggaran perdamaian, tapi bukan serangan
bersenjata. Secara keseluruhan, bagaimanapun,
disepakati bahwa gravitasi atau besarnya tindakan
70 Tom Ruys. Ibid. Hlm 390
425
kelompok bersenjata adalah faktor penting. Menurut
Prancis, ‘kasus subversi yang mencolok dan serius
dapat ditempatkan pada pijakan yang sama dengan
serangan bersenjata langsung dalam arti Pasal 51
dari Piagam PBB. Ide ini akhirnya dimasukkan dalam
teks akhir dari Pasal 3 (g) Definisi Agresi, yang
mengharuskan tindakan kekerasan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok bersenjata, kelompok,
laskar atau tentara bayaran menjadi semacam
kegawatan (gravitasi) dengan beberapa berbagai
contoh dari agres (langsung) yang tercantum dalam
paragraf lain dari Pasal 3 .
Aspek kunci kedua menyangkut hubungan
antara negara dan kelompok-kelompok bersenjata.
Memang, negara-negara pada umumnya sepakat
bahwa tindakan yang dimaksud tidak hanya
kegawatan (gravitasi) yang cukup, tetapi juga
menegaskan bahwa partisipasi dari negara lain di
dalamnya harus sepenuhnya terbentuk. Kegiatan
yang m,ana yang akan membentuk hubungan yang
diperlukan,
bagaimanapun,
menjadi
subyek
perselisihan. Pada tahun 1973, AS mulai membuat
konsesi dengan menjatuhkan kutukannya terhadap
pengorganisasian, dorong, bantuan , mengetahui
persetujuan dalam atau memberikan dukungan
kepada kelompok bersenjata, dan siap untuk
menyelesaikan kriteria yang lebih objektif tentang
‘pengiriman’ kelompok bersenjata yang aktual
terhadap negara lain. Di sisi lain, AS menegaskan
bahwa ketentuan tentang agresi tidak langsung juga
merujuk pada kasus-kasus ‘partisipasi terbuka dan
aktif dalam kegiatan terlarang. Sejumlah negara
menyatakan keprihatinan tentang penggunaan
kalimat yang terakhir, yang dianggap tidak tepat dan
rentan terhadap penafsiran yang terlalu luas. Prancis
berargumen bahwa ‘pengiriman oleh atau atas nama
suatu negara adalah mungkin sejauh jika campur
tangan dalam urusan dalam negeri suatu negara
dihindari. Indonesia, di sisi lain, lebih memilih untuk
426
memasukkan dukungan kelompok bersenjata tapi
setuju untuk membuang proposal ini karena kurang
dukungan. Pada akhirnya, kompromi ditemukan
dalam penggantian frase ‘partisipasi terbuka dan aktif
‘oleh keterlibatan ‘substansial’ negara dalam kegiatan
kelompok bersenjata. Versi terakhir dari Pasal 3 (g)
dengan demikian pada dasarnya mencakup dua
situasi. Situasi pertama, yaitu ‘mengirim oleh atau
atas nama Negara, melibatkan tindakan kelompok
bersenjata untuk mana suatu Negara dianggap
bertanggung jawab langsung. Ini mengandaikan
pengiriman aktual kelompok bersenjata; fakta semata
mengatur atau mempersiapkan kelompok bersenjata
tidak dengan sendirinya merupakan suatu tindakan
agresi. Selain itu, konsep “keterlibatan substansial”
memandang jenis interaksi yang agak lebih luas
antara negara dan kelompok bersenjata, harus
ditentukan berdasarkan semua situasi yang relevan.
Keengganan untuk memasukkan ‘bantuan’ atau
‘dukungan’ bagaimanapun, sungguh menunjukkan
bahwa ruang lingkup harus ditafsirkan secara ketat.
Prancis lagi menjelaskan hal ini: tidak bisa menerima
gagasan bahwa fakta bahwa Negara penerima
mengorganisir, membantu untuk mengatur atau
mendorong
pembentukan
kelompok-kelompok
bersenjata merupakan tindakan agresi, terlepas dari
apakah ia juga berpartisipasi dalam mengirimkan
mereka
dalam penyerangan. Juga tidak bisa
menerima bahwa dengan membuat wilayahnya
disediakan untuk kelompok-kelompok bersenjata
suatu negara melakukan tindakan agresi.
Bahkan jika resolusi 3314 (XXIX) menegaskan
bahwa ketentuan ini sama sekali tidak ‘memperbesar
atau mengurangi ruang lingkup’ ketentuan Piagam
tentang penggunaan kekuatan (Pasal 6), kita kita
tidak bisa mengabaikan fakta bahwa diskusi yang
melelahkan tentang ‘agresi tidak langsung’ sebagian
merupakan upaya untuk menemukan kompromi
tentang lingkup Pasal 51 Pagam PBB. Untuk alasan
427
ini, kedua elemen dari teks yang dihasilkan, yaitu
perlunya keterlibatan yang subtantial negara dan
serangan dengan kegawatan, dapat dianggap
mewakili sikap negara ‘vis-a-vis pertahanan diri
dalam merespon serangan oleh aktor non-negara.
Lebih konkretnya, negara-negara anggota PBB pada
umum menerima bahwa serangan bersenjata skala
kecil dan / atau yang terisolasi oleh kelompok tidak
akan membiarkan respon lintas batas secara paksa
oleh negara korban. Selanjutnya, perbedaan antara
daftar kegiatan negara dalam Pasal 3 (g) dan
konstruksi yang yang lebih luas tentang ‘penggunaan
kekuatan tidak langsung’ dalam Deklarasi Hubungan
Ramah tahun 1970 ( mengacu pada ‘mengatur’,
‘mendorong’, ‘menghasut’, ‘membantu’ dan bahkan
‘,menyetujui di dalam wilayahnya’) menunjukkan
bahwa hubungan erat antara Negara dan kelompok
bersenjata dianggap prasyarat menurut Pasal 51
Piagam
PBB.
Kesannya
adalah
bahwa
bentukbantuan yang relatif kecil, dan menoleransi
kehadiran kelompok di dalam wilayah Negara
mungkin merupakan pelanggaran Pasal 2 (4), tetapi
tetap tidak mencukupi untuk membenarkan
pelaksanaan pertahanan diri. Sejauh jenis perilaku
yang terakhir ini, adalah lebih mengejutkan bahwa
usulan Kekuatan Enam tidak pernah mencatatnya
sebagai bentuk agresi tidak langsung (bukan hanya
mengacu pada ‘mengatur, mendukung atau
mengarahkan’).
Akhirnya, untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih komprehensif dari perdebatan itu, sangat
penting untuk menyoroti beberapa masalah yang
terkait, yaitu71 diskusi tentang penggunaan kekuatan
dalam konteks penentuan nasib sendiri. Memang,
selama negosiasi mengenai Deklarasi Hubungan
yang Ramah tahun 1970 ada kekhawatiran di antara
negara berkembang dan banyak negara sosialis
71 Tom Ruys. Ibid. Hlm.390
428
bahwa ayat 8 dan 9 (yang membahas penggunaan
kekuatan tidak langsung) bisa ditafsirkan sebagai
membatasi hak masyarakat untuk menentukan nasib
sendiri. Lebih tepatnya, banyak negara bersikeras
bahwa masyarakat yang tertindas’ dan / atau terjajah
memiliki hak untuk menggunakan kekuatan
bersenjata dalam melaksanakan hak ini serta hak
bersamaan untuk mencari dan menerima dukungan,
mungkin termasuk bantuan bersenjata, dari negara
lain. Dengan demikian, hak ini tidak dapat dibatasi
oleh paragraf tersebut. Dalam bahasa delegasi
Suriah: Ketentuan dalam paragraf kedelapan dan
kesembilan dari prinsip tidak menggunakan kekuatan
... tidak harus diperluas cakupannya sampai pada
abtas ketentuan itu digunakan sebagai dalih untuk
menolak masyarakat yang menderita karena
penjajahan, penindasan militer, pekerjaan atau
bentuk lain dari dominasi asing, hak untuk membela
diri individu dan kolektif dan hak untuk mencari dan
menerima segala bentuk bantuan dalam perjuangan
mereka untuk ... penentuan nasib sendiri.
Delegasi Soviet, dengan mengamati bahwa
perjuangan masyarakat yang terjajah telah dilegitimasi oleh keputusan Majelis Umum dan Dewan
Keamanan, berpendapat bahwa negosiasi mengenai
Deklarasi Hubungan Yang Ramah menawarkan
kesempatan untuk akhirnya’ melegalkan ‘perjuangan’
dalam arti yuridis.
Seperti yang bisa diduga, negara lain tidak
terlalu bersemangat untuk mengakui hak untuk
menggunakan kekuatan dan untuk mencari dan
menerima dukungan bersenjata sebagai akibat wajar
dari penentuan nasib sendiri. Australia dan Inggris
menyatakan bahwa Piagam PBB bersikap netral
dalam hal ini dan tidak memberikan kepada, atau
menolak untuk, hak memberontak masyarakat yang
terjjah. Kedua negara ini yakin bahwa Negara tidak
bisa melakukan intervensi dengan memberikan
429
dukungan militer atau senjata di dalam Pemerintahan
yang Tidak Mengatur Sendiri (Non Self Governing)
atau Wilayah Trust (Trust Territory). AS menekankan
bahwa hak masyarakat untuk mencari dan menerima
dukungan
dalam
pencarian
mereka
untuk
menentukan nasib sendiri ‘tidak merupakan suatu izin
umum untuk lalu lintas internasional dan ‘tidak
memberikan hak Negara untuk campur tangan
dengan cara militer di wilayah terkait. Akhirnya,
menurut Afrika Selatan, Piagam PBB tidak memberi
hak negara untuk campur tangan dengan
memberikan dukungan atau bantuan militer
bersenjata di Non-Self-Governing Territories atau di
tempat lain.
Pada akhirnya, ambiguitas adalah harga yang
harus dibayar untuk mendapatkan konsensus.
Paragrap 5 Bagian (Section) Deklarasi Hubungan
Yang Ramah tentang prinsip `persamaan hak dan
penentuan nasib sendiri menyatakan bahwa: setiap
Negara memiliki kewajiban untuk menahan diri dari
melakukan tindakan yang merampas masyarakat
orang yang disebutkan di atas dalam elaborasi
prinsip hak mereka untuk menentukan nasib sendiri
dan kebebasan dan kemerdekaan. Dalam tindakan
mereka melawan, dan menahan terhadap, tindakan
paksa dalam melaksanakan hak mereka untuk
menentukan nasib sendiri, mereka (masyarakat )
berhak untuk mencari dan menerima dukungan
sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB.72
Meskipun ayat ini menunjukkan simpati yang
cukup besar untuk perjuangan masyarakat yang
terjajah dan menerima secara umum bahwa mereka
berhak ‘untuk mencari dan menerima dukungan’,
frase surat edaran yang dimasukkan di bagian akhir
bersifat incontournable (tidak bisa dihindari): dengan
menuntut bahwa tindakan perlawanan dan dukungan
72 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 391
430
oleh negara lain harus dilakukan ‘sesuai dengan
tujuan dan prinsip Piagam’, ketentuan tersebut pada
akhirnya menahan mengumumkan validitas hukum
dari kemungkinan penggunaan kekuatan bersenjata
dan memberikan dukungan senjara.
Selama perdebatan mengenai Definisi Agresi,
kontroversi mengenai penentuan nasib sendiri
diangkat dalam konteks yang sedikit berbeda. Dalam
hal ini, sejumlah Negara takut bahwa jika ketentuan
mengenai agresi tidak langsung dimasukkan,
dukungan bagi masyarakat yang berjuang untuk
penentuan nasib sendiri secara hipotetis dapat
dibawa dan dianggap sebagai memicu hak untuk
membela diri. Untuk mengecualikan interpretasi kasar
seperti itu, negara berkembang dan beberapa negara
sosialis bersikeras pada ketentuan khusus, yang
membebaskan masyarakat tergantung dan negaranegara yang membantu mereka dari kewajiban untuk
tidak menggunakan kekerasan dalam hubungan
internasional
mereka.
negara
lainnya
memperingatkan risiko aturan eksplisit semacam ini.
Australia,
misalnya,
dengan
agak
profetis
memperingatkan bahwa ‘adalah gegabah untuk
menggunakan formula yang mungkin berbalik
melawan penulisnya dan merupakan ancaman bagi
keamanan dan integritas Negara mana-mana.
Sekali lagi, dalam semangat kompromi, Pasal 7
Definisi Agresi mencoba menjembatani pandangan
yang divergen: tak satupun bagian dalam definisi ini
... bisa dengan cara apapun mengurangi hak untuk
menentukan nasib sendiri ... sebagai bersumber dari
Piagam PBB, masyarakat secara paksa dirampas
haknya dan disebut dalam [Deklarasi Hubungan Baik]
sesuai dengan Piagam PBB, terutama masyarakat
yang berada di bawah rezim kolonial dan rasis atau
bentuk lain dari dominasi asing, maupun hak
masyarakat yang berjuang ini untuk tujuan itu dan
untuk mencari dan menerima dukungan, sesuai
431
dengan prinsip-prinsip Piagam dan sesuai dengan
Deklarasi tersebut di atas.
Sementara itu sejumlah negara secara eksplisit
menyatakan bahwa ketentuan tersebut harus
ditafsirkan sebagai memasukkan hak masyarakat
yang berada di bawa dominasi asing untuk berjuang
dan memperoleh dukungan, termasuk dukungan
bersenjata, dari negara lain, teks itu akhirnya
menahan diri seperti Deklarasi Hubungan Baik dari
sekedar mengenai legalitas jalan aktual untuk
berjuang. Sebaliknya, kata-kata itu dibiarkan begitu
jelas sehingga pihak lawan menafsirkannya untuk
keuntungan mereka sendiri jika ada kebutuhan.
Sekalipun jika negosiasi tidak meyakinkan dalam hal
ini, harus diingat bahwa pencantuman Pasal 7 adalah
penting untuk membujuk khususnya Negara Arab
untuk menyetujui Pasal 3 (g). Seperti yang akan kita
lihat tentang kontroversi penggunaan kekuatan untuk
menentukan nasib sendiri juga muncul dalam
perdebatan PBB mengenai klaim pertahanan diri.73
Selanjutnya Tom Ruys mengkaji agresi secara
tidak langsung tersebut dalam Putusan Mahkamah
Internasional terhadap kasus penggunaan kekeuatan
bersenjata AS terhadap Nikaragua pada tahun 1986.
Menurutnya 74dalam kasus Nikaragua inilah
Mahkamah Internasional pertama kali dihadapkan
dengan permasalahan yang berkaitan dengan agresi
tidak langsung . Dalam hal ini, AS telah, secara
langsung dan tidak langsung, terpaksa untuk
menggunakan kekuatan terhadap Nicaragua dan
diperlukan untuk membenarkan tindakannya dengan
mengacu pada hak untuk membela diri. Untuk tujuan
ini, maka perlu untuk memverifikasi apakah
Nikaragua telah melakukan serangan bersenjata
73 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 394
74 Ibid. hlm. 406
432
`’melawan El Salvador, Honduras dan / atau Kosta
Rika.
Di satu sisi, Mahkamah menemukan bahwa
serangan militer lintas perbatasan ke dalam wilayah
Honduras dan Costa Rica adalah dapat ditujukan ke
Nicaragua (sebagai pelakunya). Namun, karena
kurangnya informasi mengenai keadaan yang tepat,
Pengadilan akhirnya membiarkan terbuka masalah ini
apakah itu bisa dilihat sebagai serangan `besar,
tunggal atau kolektif, sampai serangan bersenjata.
Selanjutnya Pengadilan memeriksa dukungan
Nikaragua kepada oposisi bersenjata di El Salvador.
Dalam Deklarasi Intervensi tanggal 15 Agustus 1984,
El Salvador telah menegaskan bahwa `teroris yang
diarahkan, dipersenjatai, disediakan dan dilatih oleh
Nikaragua ‘berusaha menggulingkan pemerintahnyta.
Nikaragua membantah tuduhan itu dan menolak
bahwa dengan bukti apapun mereka tidak
mendukung. Atas dasar serangkaian indikasi yang
sesuai, Pengadilan memutuskan bahwa antara Juli
1979 dan awal 1981, Nikaragua telah memberikan
dukungan bagi oposisi bersenjata di El Salvador: Ada
aliran senjata dikirim melalui wilayahnya untuk
gerakan kelompok bersenjata. Setelah periode ini
tidak cukup bukti untuk menunjukan adanya bantuan
yang terus menerus.
Masalah berikutnya yang muncul sampai sejauh
mana dukungan ini memenuhi syarat sebagai
serangan
`bersenjata.
Ternyata
Pengadilan
menggunakan Pasal 3 (g) tentang Definisi Agresi,
yang diambil untuk mencerminkan hukum kebiasaan
internasional, sebagai ambang batas hukum yang
relevan. Dengan demikian, serangan bersenjata
harus dipahami sebagai termasuk bukan hanya
tindakan dengan angkatan bersenjata regular lewat
perbatasan internasional, tetapi juga "pengiriman
oleh atau atas nama suatu negara atas kelompok
bersenjata, kelompok, laskar atau tentara bayaran,
433
yang melakukan tindakan kekerasan bersenjata
terhadap negara lain dengan kegawatan (gravitasi)
sampai pada serangan bersenjata yang aktual yang
dilakukan oleh pasukan reguler, "atau keterlibatannya
yang
substansial” di dalamnya. Pengadilan
memberikan pertimbangan yang menekankan
perlunya unsur kegawatan (gravitasi tertentu) dari
`tindakan pasukan bersenjata’ dari kelompok
bersenjata, sesuai Pasal 3 (g) tentang agresi
Dalam kasus Nikaragua di atas, menjelaskan
melakukan penegakan hukum terhadap agresi,
Mahkamah Internasional menjadikan “serangan
Bersenjata” atau “Penggunaan kekuatan bersenjata”
yang menimbulkan “kegawatan” sedemikian rupa
menjadi unsur utama dalam agresi.
Lebih lanjut, Tom Ruys menjelaskan secara luas
tentang “Serangan Bersenjata dan “Agresi” bagai
dua sisi mata uang yang sama (Two Sides of the
Same Coil.
Menurutnya 75 Piagam PBB
menggunakan tiga istilah yang berbeda tentang cara
Negara untuk menangani kekuatan. Pasal 2 (4)
merinci
larangan
terhadap
ancaman
atau
penggunaan kekerasan. Sehubungan dengan
kompetensi Dewan Keamanan untuk mengambil
tindakan penegakan hukum, referensi dibuat dalam
Pasal 39 ke ancaman terhadap perdamaian,
pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi.
Akhirnya, Pasal 51 memberikan hak yang melekat
untuk membela diri jika serangan bersenjata terjadi.
Versi (otentik) bahasa Prancis menggunakan kalimat
‘agression arme.
75 Tom Ruys. Ibid. Hlm 127
434
Penggunaan label
yang
berbeda, dan
kesenjangan yang tidak menguntungkan antara versi
asli, menimbulkan pertanyaan apa ‘hubungan yang
tepat antara serangan bersenjata dan agresi.
Pertanyaan ini memiliki relevansi tertentu jika kita
memperhatikan adopsi secara konsensus oleh
Majelis Umum PBB tahun 1974 tentang Definisi
Agresi. Jika dua konsep itu dianggap identik, resolusi
ini memang akan memberikan interpretasi otoritatif
mengenai kriteria ‘serangan bersenjata’ untuk tujuan
menetapkan lingkup pembelaan diri berdasarkan
Pasal 51. Menariknya, di Nikaragua dan DRC v
Uganda, ICJ menggunakan Pasal 3 (g) dari resolusi
itu sebagai tolok ukur untuk pertahanan diri terhadap
agresi tidak langsung. Beberapa penulis memperluas
persamaan ini ke berbagai contoh lain dari agresi
(langsung) di dalam resolusi itu. Sebelum segera
pada kesimpulan semcam ini, bagaimanapun, perlu
pembahasan latar belakang penerimaan ketentuan
tentang agresi tersebut.
Sebelum Piagam PBB, Brownlie mengatakan
bahwa konsep agresi muncul sebagai hak
memelihara diri yang samar agar tidak dihinakan.
Agresi dan pertahanan diri pada umumnya
dipandang sebagai dua sisi yang berbeda dari satu
mata uang yang sama: penggunaan kekuatan baik itu
tindakan yang dibenarkan untuk membela diri atau
seperti agresi yang melanggar hukum. Dalam
proposal keberatannya, Perancis menyertakan
referensi yang eksplisit terhadap hak untuk membela
diri di dalam Pakta Paris (Pact of Paris), AS mencatat
bahwa: `mengungkapkan pengakuan berdasarkan
perjanjian hak yang tidak dapat dicabut ini,
menimbulkan kesulitan yang sama yang dihadapi
dalam upaya untuk mendefinisikan agresi. Ini adalah
masalah identik yang didekati dari sisi lain. Hal ini
menegaskan bahwa pertahanan diri dan agresi
dipandang sebagai hal yang korelatif. Di sisi lain,
menggambarkan bahwa arti yang tepat dari `agresi ‘
435
masih belum pasti. Memang, sementara perjanjianperjanjian bilateral, regional dan multilateral banyak
mengacu kepada ‘agresi’, mereka melakukan acuan
dengan cara yang berbeda (beberapa negara
membicarakan `perang agresif ‘dan` tindakan agresi’,
negara yang lain menggunakan frase seperti `agresi
eksternal’ atau ‘kebijakan agresi’) dan tanpa
membahas isinya secara jelas. Sepanjang tahun
1930-an, ambiguitas ini menginspirasi serangkaian
perundingan yang dipimpin Soviet yang ditujukan
untuk menentukan konsep hukum agresi. Proposal
yang dikerjakan oleh Uni Soviet dan akhirnya
menerima dukungan dari sejumlah besar Negara,
sangat ditentang oleh negara lain yang meragukan
bahwa tidak mungkin untuk meletakkan kriteria
universal yang berlaku di setiap situasi yang khusus,
dan negara yang takut bahwa Negara yang bertindak
dalam membela diri akan dicap sebagai aggresor.
Menyimak travaux priparatoires Piagam PBB,
beberapa pernyataan lagi menunjukkan bahwa
negara mempertimbangkan agresi dan pertahanan
diri saling melengkapi (komplementer). Beberapa
delegasi membingkai pertahanan diri sebagai represi
`agresi, sedangkan negara yang lain menyamakan
istilah` agresi’ dan serangan bersenjata. Sejumlah
versi draft Pasal 51 lebih mengandalkan pada
gagasan agresi untuk memicu hak untuk membela
diri. Dalam merespon peringatan Inggris bahwa `tidak
ada yang mampu mendefinisikan agresi pada tiga
puluh tahun’, AS menjelaskan bahwa istilah
‘serangan bersenjata’ digunakan secara khusus
dalam upaya untuk menghindari masalah mencoba
mendefinisikan agresi. Rupanya, dipikirkan bahwa
arti yang jelas dari serangan bersenjata akan
menyebabkan lebih sedikit masalah. Beberapa
negara menekankan definisi agresi selama
Konferensi San Francisco. Namun, inisiatif ini
didorong terutama oleh keinginan untuk memperjelas
peran dan kompetensi Dewan Keamanan bukannya
436
untuk mendefinisikan tanggung jawab hukum negaranegara anggota terhadap agresi dan akhirnya gagal
untuk mendapatkan dukungan yang cukup.76
Perdebatan tersebut berlanjut dalam Panitia
Khusus Keempat tentang Masalah Definisi Agresi
sepanjang tahun 1968 – 1974.
Kegagalan PBB mengakomodir perbedaan
pendapat yang menimbulkan perdebatan seru
tentang agresi sebagai bagian dari Piagam PBB,
berlanjut dalam forum ILC dan Majelis Umum,
termasuk ketika diselenggarakannya Konperensi
Roma 1998 oleh PBB yang melahirkan Statuta Roma
1998. Mseki dalam statuta Roma 1998 telah
ditegaskan agresi sebagai salah satu kejahatan Hak
Asasi Manusia yang berat, namun konperensi gagal
merumuskan definisi kejahatan agresi, bahkan
sampai batas waktu 7 tahun masa perumusan yang
disepakati tetap saja definisi tersebut gagal
dirumuskan. Namun demikian penegasan agresi
sebagai salah satu kejahatan HAM dalam Statuta
Roma 1998 tersebut merupakan suatu kemajuan
yang luar biasa dari perjalanan panjang perdebatan
tentang agresi.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang dampak dari Definisi Agresi tahun 1974
(atau Resolusi 3314 (XXIX))
tentang lingkup
pembelaan/pertahanan diri (self-defence), sangat
perlu menelaah walau secara singkat tahap akhir
negosiasi dalam Panitia Khusus Keempat tentang
Masalah Definisi Agresi (1968-1974). Selama periode
ini, waktu dan energi yang diinvestasikan dalam
usaha keseluruhan dan tekanan kuat dari negara
berkembang telah menyebabkan Negara Barat yang
sudah lama mempertanyakan definisi agresi ini tidak
lagi menentang proses ini. Meskipun demikian,
76 Tom Ruys. Ibid. hlm.129
437
negara anggota memegang konsepsi yang secara
luas tentang prinsip yang mendasar dari agresi dan
dampaknya terhadap diperbolehkannya pertahanan
diri. Dalam konteks ini terdapat tiga proposal
perdebatan, yaitu:77
Pertama, proposal atau usulan Kekuatan Tiga
belas, yang diajukan oleh Kolombia, Siprus, Ekuador,
Ghana, Guyana, Haiti, Iran, Madagaskar, Meksiko,
Spanyol, Uganda, Uruguay dan Yugoslavia, dengan
mengarahkan definisi `serangan bersenjata ‘dalam
arti Pasal 51 Piagam PBB. Maksud ini dibuat eksplisit
dalam paragrap kedua pembukaan piagam: `Yakin
bahwa serangan bersenjata (agresi bersenjata)
adalah bentuk agresi yang paling serius dan
berbahaya dan bahwa adalah tepat pada tahap ini
untuk melanjutkan ke definisi tentang bentuk agresi
ini, ...,
Pasal 2 selanjutnya mendefinisikan `agresi
sebagai penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu
negara terhadap negara lain, termasuk wilayah
perarian atau ruang udara, atau dengan cara apapun
mempengaruhi kemerdekaan integritas, kedaulatan
atau politik wilayah negara tersebut, kecuali
[pertahanan diri] atau ketika dilakukan dengan atau
berdasarkan wewenang Dewan Keamanan". Selain
definisi umum ini, proposal Tiga belas-Power
menetapkan sejumlah tindakan, yang, `jika dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain dengan cara
melanggar Piagam PBB akan merupakan tindakan
agresi, termasuk, misalnya, pernyataan perang oleh
satu negara terhadap negara lain. Beberapa
ketentuan lain tentang pertahanan diri:
77 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 130
438
-
Pasal 3 menegaskan bahwa hak yang melekat
pada pertahanan diri suatu negara dapat
dilaksanakan hanya dalam kasus terjadinya
serangan bersenjata (agresi bersenjata) oleh
negara lain sesuai dengan Pasal 51 Piagam
PBB‘;
-
Pasal 6 menegaskan bahwa hak pertahanan diri
tidak memberikan hak negara untuk mengambil
tindakan yang tidak proporsional terhadap
serangan bersenjata itu, dan
-
Terakhir, Pasal 7 menolak pertahanan diri
terhadap apa yang disebut `agresi tidak
langsung ‘.
Secara keseluruhan, meskipun referensi dalam
teks itu ke agresi (bersenjata), proposal tampaknya
lebih peduli dengan mengedepankan interpretasi
yang membatasi pertahanan diri dibandingkan
dengan mengklarifikasi` tindakan agresi dalam
konteks Pasal 39 Piagam PBB. Hal ini, sebaliknya,
merupakan fokus utama dari proposal Kekuatan
Enam.
Kedua, proposal atau usulan Kekuatan Enam
yang disampaikan oleh Australia, Kanada, Italia,
Jepang, Inggris dan AS, sebagai berikut. Pasal 1
menyatakan bahwa: menurut Piagam PBB, ‘agresi’,
adalah istilah yang diterapkan oleh Dewan
Keamanan
ketika waktunya tepat dalam
menjalankan
tanggung
jawab
utama
untuk
pemeliharaan
perdamaian
dan
keamanan
internasional berdasarkan Pasal 24 dan fungsinya
berdasarkan Pasal 39.
Kemudian
agrtesi
didefinisikan
sebagai`
penggunaan
kekuatan
dalam
hubungan
internasional, terang-terangan atau rahasia, langsung
atau tidak langsung, oleh suatu negara terhadap
integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara
lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten
439
dengan tujuan PBB (Pasal 2). Pasal 2 (A)
menghubungkan penggunaan kekuatan dengan
sejumlah tujuan, seperti mengamankan perubahan
dalam pemerintahan negara lain, atau melahirkan
perubahan yang sejenis. Pasal 2 (b) secara
mendalam tidak mencantumkan beberapa cara di
mana penggunaan kekuatan tersebut dapat
dilakukan, termasuk beberapa bentuk agresi tidak
langsung. Satunya referensi ke penggunaan
kekuatan dalam ... pertahanan diri adalah penegasan
sederhana dalam Pasal 3 bahwa penggunaan
kekuatan itu bukan merupakan agresi.
Ketiga, proposal atau usulan Soviet yang
mendefinisikan agresi bersenjata langsung atau tidak
langsung sebagai penggunaan oleh suatu negara
atas kekuatan bersenjata melawan negara lain yang
bertentangan dengan prinsip, tujuan dan ketentuan
Piagam [PBB] (Pasal 1). Setelah membuat daftar
beberapa contoh agresi langsung, Pasal 2 (C)
memberikan definisi agresi tidak langsung. Proposal
ini diakhiri dengan mengakui bahwa tak satupun
ketentuan di atas melarang penggunaan kekuatan
bersenjata sesuai dengan Piagam [PBB]..: (Pasal 6).
Tanggapan konprehensif terhdapa
ketiga
proposal atau usulan diatas dapat dikemukan
sebagai berikut, 78
Pertama, bahwa meskupun pada kenyataanya
negara-negara anggota terlibat dalam proses untuk
menyetujui definisi agresi, negosiasi tak dapat
disangkal telah dipengaruhi oleh kesadaran bahwa
konsepsi yang lebih luas atau lebih sempit
daripadanya bisa berakibat penting pada ruang
lingkup pertahanan diri. Memang, beberapa kendala
utama yang selama bertahun-tahun menghambat
konsensus pada dasarnya berkaitan dengan
78 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 135
440
pertahanan diri, bukannya kompetensi penegakan
Dewan Keamanan. Batu sandungan utama ada
berkenaan dengan pertanyaan tentang sejauh mana
pertahanan diri itu dibolehkan terhadap berbagai
bentuk agresi tidak langsung, seperti tindakan
subversif atau tindakan teroris yang dilakukan oleh
kelompok yang tidak teratur, relawan atau kelompokkelompok bersenjata yang terorganisir, didukung atau
diarahkan oleh negara lain (sebagai lawan dari
serangan langsung oleh pasukan bersenjata negara
lain). Posisi Kekuatan Tiga belas dalam masalah ini
adalah jelas. Pasal 7 dari proposal mereka tidak
memasukkan pelaksanaan pertahanan diri dalam
situasi di mana posisi yang sangat dibela secara
bersemangat dalam seluruh perdebatan Komite.
Sebaliknya, Kekuatan Enam terus-menerus menolak
untuk menyetujui bahwa semua definisi agresi yang
tidak memasukkan (dalam kasus tertentu) agresi
tidak langsung.
Kedua, ruang lingkup pertahanan diri juga
muncul dalam kaitannya dengan proposal Soviet
bahwa Negara yang pertama melakukan tindakan
melanggar hukum yang telah ditetapkan secara
otomatis akan diidentifikasi sebagai agresor, yaitu,
prinsip prioritas atau ‘penggunaan pertama’.
Beberapa
negara mendukung prinsip tersebut
sebagai konfirmasi yang berharga bahwa pertahanan
diri tidak dapat dilaksanakan/dieksekusi secara
preventif. Negara yang lainnya keberatan bahwa
aplikasi yang kaku atas prinsip tersebut dapat
menyebabkan hasil yang tidak diinginkan dalam
keadaan tertentu dan mungkin akan sulit untuk
mengumpulkan bukti yang meyakinkan untuk
menetapkan pihak mana yang pertama untuk
bertindak. Kekuatan Enam terutama menekankan
bahwa dalam menentukan agresor, kita harus melihat
niat negara yang melakukan tindakan tertentu, bukan
terpaku pada prioritas. Pandangan yang terakhir ini
mendapat kritik dari negara yang memilih unsur
441
obyektif atas analisis subjektif dari motif yang dimiliki
suatu negara.
Ketiga, yang memainkan peran cukup besar
dalam
perdebatan
menyangkut
kriteria
proporsionalitas. Pasal 6 dari proposal Kekuatan Tiga
belas menegaskan bahwa hak pertahanan diri tidak
memberikan hak kepada Negara untuk mengambil
tindakan yang tidak ‘cukup proporsional’ terhadap
serangan bersenjata. Namun, seperti
dikaji
sebelumnya, sejumlah Negara, terutama Uni Soviet,
sangat menentang referensi untuk proporsionalitas
sebagai prakondisi untuk pertahanan diri, terutama
karena mereka takut bahwa itu akan terlalu mengikat
tangan korban agresi dan menguntungkan calon
negara agresor.
Keempat, ruang lingkup pertahanan diri juga
diajukan dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain,
seperti kegawatan (gravitasi) yang diperlukan untuk
tindakan memenuhi syarat sebagai tindakan agresi,
atau vis-a-vis tindakan tertentu, seperti deklarasi
perang. Namun demikian, divisi utama adalah definisi
yang tercantum di atas: pertama, pemisahan (partisi)
tentang legalitas pertahanan diri terhadap agresi tidak
langsung, terutama antara Keuatan Tiga belas dan
Kekuatan Enam, kedua, partisi tentang peran
penggunaan `pertama dan kriteria niat, terutama
antara Uni Soviet dan Kuatan Enam, dan ketiga,
partisi tentang prinsip proporsionalitas antara Uni
Soviet dan Kekuatan Tiga belas.
Kelima, mengingat masalah ini kompleks dan
saling terkait, beberapa delegasi menunjukkan bahwa
tidak mungkin ada terobosan, kecuali ada
pemahaman dasar tentang jenis konsep yang hartus
difenisikan oleh Komite: agresi bersenjata /serangan
bersenjata dalam arti Pasal 51 Piagam PBB atau
tindakan agresi dalam arti Pasal 39. Jika beberapa
Negara sesekali bersikeras bahwa konsep-konsep itu
442
adalah satu dan sama, mayoritas negara setuju
bahwa
terdapat
hubungan
yang
berurutan
(cascading) antara istilah penggunaan kekuatan,
agresi dan serangan bersenjata. Seperti yang
dicatat oleh salah satu delegasi: Pasal 2, ayat 4
melarang juga ancaman kekerasan dan karena itu
berkaitan dengan konsep yang lebih luas daripada
penggunaan kekuatan bersenjata. Sebuah konsep
yang lebih terbatas disebutkan dalam Pasal 1 dan 39
Piagam PBB, dan konsep yang lebih terbatas
`serangan bersenjata dalam Pasal 51. Dengan kata
lain, secara umum diterima bahwa konsep yang
digunakan dalam Pasal 39 dan 51 tidak identik dan
bahwa tidak ada definisi tunggal yang dapat
dirancang yang secara bersamaan akan mengkover
keduanya.
Keenam, dengan latar belakang ini, beberapa
jalur terbuka bagi negosiator. Kekuatan Tiga belas
menyarankan bahwa Komite harus,
untuk
sementara, menahan diri dari membahas agresi tidak
langsung yang terbukti terlalu kontroversial - dan
sebaliknya membatasi untuk mendefinisikan agresi
langsung. Mengingat posisi Kekuatan Tiga belas
pada pertahanan diri terhadap agresi tidak langsung,
dan prospek yang tipis untuk memperoleh definisi
yang terpisah pada bebera tahap berikutnya, tidak
mengherankan bahwa Kekuatan Enam menunjukkan
sedikit antusiasme untuk ide tersebut. Sebaliknya,
Kekuatan Enam terus-menerus berargumen bahwa
konsep agresi adalah tak dapat dipisahkan dan tidak
bisa dibagi menjadi dua bagian, satu yang
memungkinkan untuk pertahanan diri dan yang lain
mengecualikannya. Mereka menekankan bahwa
adalah tidak realistis untuk berpikir bahwa definisi
serangan bersenjata itu dapat dicapai. Inggris
terutama dengan tegas menekankan bahwa negara
anggota telah lama terbagi antara dua kelompok
pemikiran - satu kelompok melihat Pasal 51 Piagam
PBB sebagai bagian dari hak kebiasaan yang lebih
443
luas dari pertahanan diri, dan kelompok yang lain
melihat Pasal 51 sebagai peraturan eksklusif tentang
pertahanan diri - dan bahwa definisi agresi harus
diterima oleh kedua kelompok tersebut. Selanjutnya,
dianggap tidak perlu untuk memeriksa ruang lingkup
pertahanan diri secara rinci, karena Komite hanya
dituntut untuk membentuk makna agresi untuk tujuan
mengklarifikasi kompetensi Dewan Keamanan PBB
berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB, ketentuanm
terakhir melayani tujuan yang sepenuhnya berbeda
dari Pasal 51. Pada akhirnya, Kekuatan Enam
mengklaim
bahwa
terlalu
sederhana
untuk
menganggap pertahanan diri sebagai bagian tinjauan
agresi. Pertahanan diri hanya bagian dari relevansi
insidental dengan agresi. Untuk alasan ini, ketentuan
umum yang menyatakan bahwa pertahanan diri
bukan merupakan agresi adalah yang diperlukan.
Ketujuh, perbedaan pendapat vis-a vis hak
pertahanan diri pada akhirnya terbukti terlalu dalam
untuk diatasi. Sebagai bagian dari kompromi yang
lebih luas (yang melibatkan isu-isu kontroversial
lainnya, seperti hak penentuan nasib sendiri),
disepakati bahwa definisi harus mencakup referensi
terhadap agresi tidak langsung (Pasal 3 (g)), dan jika
pada saat yang sama hanya dipahami sebagai
mendefinisikan `tindakan agresi ‘dalam arti Pasal 39
Piagam PBB.
Kedelapan, terkait ruang lingkup pertahanan diri,
resolusi membatasi pada pemahaman bahwa tidak
ada dalam Definisi ini yang dapat ditafsirkan sebagai
cara memperbesar atau mengurangi ruang lingkup
Piagam PBB, termasuk ketentuan-ketentuannya
tentang kasus di mana penggunaan kekuatan berisfat
sah menurut hukum (lawful). Menurut delegasi
Soviet, pencantuman ketentuan yang terakhir
merupakan suatu kesuksesan, terutama mengingat
bahwa masalah ini telah memecah Komite Khusus
selama beberapa tahun ... Komite telah bertindak
444
cukup beralasan dengan membatasi dirinya sendiri
untuk formulasi yang tidak bisa menyebabkan terjadi
perbedaan pandangan.
Kesembilan, Resolusi Majelis Umum PBB
tentang Definisi Agresi semacam ini berfungsi
sebagai pedoman yang tidak mengikat bagi Dewan
Keamanan
untuk menentukan adanya tindakan
agresi dalam arti Pasal 39 Piagam PBB. Pasal 4
memperjelas tidak mengikatnya Resolusi Majelis
Umum PBB terhadap Dewan Keamanan . Apalagi
Resolusi Majelis Umum Nomor 3314 (XXIX) tersebut
secara eksplisit mengacu pada Definisi Agresi hanya
dalam hubungannya dengan pendudukan Namibia
oleh Afrika Selatan dan pendudukan Israel atas
Dataran Tinggi Golan;
Perkembangan yang paling menarik dalam
Konperensi PBB di Roma 1998 negara-negara
peserta konperensi menyetujui Statuta Roma 1998
yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan Pidana
Internasional - ICC (International Criminal Court.
Dalam pasal 5 ayat (1) ditegaskan kejahatan agresi
sebagai salah satu kejahatan hak asasi manusia
yang berat, tetapi perumusan definisinya dibuat
dalam waktu tujuh tahun setelah statuta berlaku sah,
yaitu 60 hari setelah mendapat ratifikasi 60 negara.
Perumusan definisi tersebut melalui mekanisme
amandemen sesuai pasal 121 dan 123 statuta dan
harus bersesuaian dengan Piagam PBB. Walaupun
telah lewat waktu tujuh tahun sejak hari ke 60 statuta
mendapat ratifikasi dari 60 negara dalam hal ini
Statuta Roma 1998 mulai berlaku efektif pada tanggal
1 Juli 2002 karena telah lewat 60 hari sejak
mendapat ratifikasi negara ke-60 pada tanggal 11
April 2002 sesuai maksud pasal 126 Statuta.. Akan
tetapi ternyata sampai sekarang definisi kejahatan
agresi belum juga dibuat. Pengaturan Agresi sebagai
salah satu kejahatan hak asasi manusia yang berat
dan kewajiban hukum internasional merumuskan
445
definisi agresi dalam waktu tujuh tahun tersebut
dalam statuta Roma 1998 merupakan suatu
terobosan menembus kebuntuan anggota PBB
merumuskan definisi agresi. Terobosan ini membuka
jalan selebar-lebarnya mencapai tujuan bersama
merumuskan definisi kejahatan agresi. Dengan
demikian perdebatan tentang definisi agresi yang
lebih bersifat politis telah dibakukan secara yuridis
formil dalam Statuta Roma 1998 sebagai salah satu
kewajiban internasional negara-negara peserta
konperensi untuk merumuskannya. Bagaimanapun
kewajiban hukum harus dilaksanakan
Kesepuluih,
perdebatan
yang
gagal
mertumuskan definisi agresi dapat memberikan
pemahaman bahwa kekuatan Barat telah berhasil
meredakan
perdebatan
dengan
membelokan/mengarahkan dokumen yang mengikat
dengan implikasi hukum menjadi alat politik yang
dapat mereka abaikan dengan sangat mudah. Sekali
lagi, penggunaan frase `tindakan agresi dalam Pasal
2 dan 3, dalam hubungan dengan teks Pasal 6, telah
memperjelas bahwa resolusi konsensus tidak secara
langsung membatasi atau memperluas ruang lingkup
pertahanan diri yang sah, sebuah keyakinan yang
dimiliki bersama oleh mayoritas doktrin hukum.
Implikasinya adalah bahwa setiap serangan
bersenjata dalam arti Pasal 51 biasanya juga
merupakan suatu tindakan agresi dalam pengertian
Pasal 39. Lebih penting lagi, sebaliknya berarti
bahwa setiap pembatasan tindakan agresi yang
diidentifikasi oleh Definisi Agresi akan berlaku untuk
konsep serangan bersenjata.
446
f. Beberapa Sumber Lainnya:
a. (Sumber: http:// abolishment.wordpress.com):
Pada tanggal 14 Desember 1974, Majelis
Umum PBB telah mengadopsi Resolusi 3314
yang menggolongkan tindakan-tindakan yang
termasuk ke dalam tindakan agresi. Perbuatanperbuatan tersebut adalah serangan bersenjata,
pemboman, blokade, pendudukan wilayah,
mengijinkan negara lain untuk menggunakan
wilayah negaranya untuk melakukan tindakan
agresi dan mengerahkan tentara yang tidak resmi
dan tentara bayaran untuk terlibat dalam agresi.
Tindakan agresi merupakan serangkaian tindakan
yang dilakukan berencana dan berkelanjutan.
Berdasarkan Statuta Roma, kejahatan agresi
baru akan dihadapkan di ICC apabila negara telah
menyetujui definisi, kondisi-kondisi dan unsurunsur dari agresi itu sendiri pada suatu Review
Conference. Di samping itu, berdasarkan Piagam
PBB,
Dewan
Keamanan
mempunyai
kewewnangan eksklusif untuk menyatakan bahwa
suatu tindakan agresi telah terjadi.
b. (Sumber:
http://www.unisosdem.
org/kliping_detail.php?
aid=1557
&cold=11&caid=53)
Kejahatan Agresi (crime of agression)
ditemukan dalam Rome Statute of the
International Criminal Court – Statuta Roma 1998
(SR). Namun, anatomi kejahatan agresi itu belum
dirinci dan diyurisdiksikan karena SR menyatakan
akan diatur lebih lanjut melalui amandemen
setelah 7 tahun berlakunya SR (1 Juli 2002). Bisa
jadi tidak diaturnya anatomi kejahatan agresi
dalam SR ini adalah hasil tekanan negara
adikuasa karena ada maksud tersembunyi guna
447
agresi ke berbagai negara dalam kurun satu
dasawarsa ke depan.
Meruntut kebelakang kejahatan agresi
ditemukan dalam Convention for the Definition of
Agression 1933, Charter of the International
Military Tribunal 1945, dan Principles of the
Nuremberg Tribunal 1950. Dua ketentuan terakhir
menyebut istilah kejahatan terhadap perdamaian
(crimes against peace) yaitu merencanakan,
memprakarsai perang atau mulai perangagresi
atau sebuah perang yang melanggar hukum
internasional.
Bush telah merencanakan, memprakarsai
bahkan mengampanyekan perang atas Irak
selama ini. Bush mengabaikan eksistensi PBB
dengan segala perangkat hukumnya sebagai
satu-satunya institusi yang dapat melakukan aksi
militer untuk kepentingan bersama. Perang ini
dikategorikan sebagai perang yang melanggar
hukum dan perjanjian internasional. Karena itu,
aksi militer ini tidak lain termasuk kejahatan
agresi.
c. (Sumber:
http://nuralaw.blogspot.com/2011/01/kejahatan
internasional: pendefinisian.html)
-
Agresi adalah suatu kejahatan internasional
seperti yang terdapat dalam Statuta Roma 1998
yang dibentuk sebagai landasar normatif,
International Criminal Court (ICC) untuk dapat
menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan–
kejahatan internasional.
448
Mengenai definisi dari agresi ini dapat dilihat
dalam Statuta Roma pasal 5 ayat 2 yang
bunyinya” mahkamah melakukan yurisdiksi atas
kejahatan internasional agresi setelah suatu
ketentuan disahkan sesuai dengan pasal 121 dan
123 yang mendefinisikan kejahatan dan
menetapkan kondisi-kondisi dimana mahkamah
menjalankan
yurisdiksi
berkenaan
dengan
kejahatan itu. Ketentuan semacam itu haruslah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dari
piagam
Perserikatan
Bangsa-Bangsa”.
Selanjutnya bila dihubungkan dengan piagam
PBB hal ini terdapat pada Bab VII pasal 42
terkhusus.
Agresi dianggap sebagai suatu bentuk lain
dari penyelesaian sengketa oleh Negara-negara
terlebih lagi negara Amerika Serikat dikarenakan
agresi dibolehkan dengan alasan menciptakan
keamanan & perdamaian dunia internasional,
begitu pula pada saat AS mengagresi IRAK tahun
2004, mereka mengelak dari tuduhan agresi
militernya (intervensi).79
Berdasarkan hal di atas tindakan agresi
merupakan suatu yang dilarang. Ketentuan ini
disepakati
setelah
perang
dunia
kedua
berakhir.Dalam Piagam Pengadilan Militer
Internasional, London, 1945, bagian annex, pasal
6(a) dinyatakan bahwa: “planning, preparation.
Initiatian or waging of a war of agression, or a war
in violation of international treaties, agreements or
assurances, or participation in acommon plan, or
conspiracy for the accomplishment of any
foregoing are crimes against peace entailing
individually responsibility. Leaders, organizers,
instigators and accomplices participating in the
formulation or execution of the common plan or
79 Lokollo, Albert. Ibid. hlm 6
449
conspiracy are responsible for all acts performed
by any person in execution of such plan.”
Ketentuan
tersebut
dengan
jelas
menyatakan bahwa agresi merupakan bagian dari
kejahatan perdamaian (crimes against peace).
Piagam tersebut merupakan penegasan kembali
Kellog- Briand Pact, yang menyatakan bahwa
larangan atas perang sebagai kebijakan luar
negeri yang diambil oleh tiap negara.
Akan tetapi definisi dan ciri dari agresi belum
mendapat kesepakatan masyarakat internasional.
Kesepakatan definisi tersebut baru lahir pada
tahun 1974, melalui resolusi Majelis Umum
No.3314 (XXIX), tentang Definition of Aggression.
Pasal 1 Resolusi tersebut menjelaskan agresi
sebagai, “ is the use of armed force by a state,
against the sovereignty, territorial integrity or
political independence of onather state, or in any
other manner inconsistent with the charter of the
united nations, as set out in this definition.”
Definisi
agresi
tersebut
merupakan
pengulangan apa yang telah diatur dalam pasal 2
(4) Piagam PBB bahwa setiap negara dilarang
untuk menggunakan kekerasan bersenjata dalam
hubungan internasional. Resolusi Majelis Umum
PBB membagi agresi menjadi dua. Definisi agresi
tersebut merupakan pengulangan apa yang telah
diatur dalam pasal 2 (4) Piagam PBB bahwa
setiap negara dilarang untuk menggunakan
kekerasan
bersenjata
dalam
hubungan
internasional. Resolusi Majelis Umum PBB
membagi agresi menjadi dua. Pertama, A war of
agression (perang agresi) yang dikategorikan
sebagai kejahatan perdamaian. Kedua, Agression
(agresi) yang menimbulkan tanggungjawab
internasional (Pasal 5 ayat 2). Konsekuensi dari
pembedaan tersebut adalah jika sebuah negara
450
melakukan perang agresi maka tanggungjawab
dijatuhkan pada pribadi sebagai pelanggaran
pidana internasional, namun jika sebuah negara
hanya melakukan agresi maka tanggungjawabnya
dibebankan kepada negara dengan melakukan
reparasi.
Pembahasan agresi sangat terkait dengan
pembelaan diri. Masyarakat Internasional pada
prinsipnya melarang penggunaan kekerasan
bersenjata
dalam
hubungan
internasional
antarnegara. Akan tetapi, ketentuan pasal 51
Piagam PBB telah memberikan pengecualian
kepada setiap negara untuk melakukan tindakan
bela diri apabila negaranya telah diserang oleh
negara (kekuatan) lain.
Pasal 51 menyatakan bahwa bela diri
merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara.
Hak tersebut timbul apabila negara tersebut telah
disewrang oleh negara lain (if armed attack
occurs). Ketentuan telah terjadinya serangan
bersenjata menurut Louis Henkin adalah terbatas
atas apa yang telah dinyatakan dalam piagam.
Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama,
adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah
terjadi pengiriman tentara ke wilayah negara lain.
Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat
mahkamah internsional dalam kasus Nikaragua,
a986. Kedua, adalah serangan bersenjata telah
terjadi jika telah terjadi tembakan pertama. Akan
tetapi pembuktian untuk menyatakan siapa yang
telah melakukan tembakan pertama sangatlah
sulit.
451
Hukum kebiasaan internasional mengenai
tindakan bela diri dari kasus kapal Caroline
(1837). Kasus tersebut mengenal beberapa
prinsip dalam tindakan bela diri, yaitu: instant,
overwhelming, leaving no choice of means, and
no moment for deliberation. Prinsip-prinsip
tersebut telah menjadi prinsip umum yang dianut
oleh pihak yang ingin melakukan hak bela diri.
Dalam pelaksanaan hak bela diri, hukum
internasional juga mengatur bahwa tindakan
tersebut tidak boleh berlebihan. Hak tersebut
dilaksanakan hanya untuk memulihkan keadaan
seperti semula (Entebee Case). 80
D. Rumusan Definisi Prediktif Tentang Kejahatan Agresi
1. Rumusan Konvensional
Agresi berasal dari kata Aggression
artinya
Penyerangan atau Serangan, yaitu: A country that sends its
army to occupy another country is quilty of aggression.
Dengan demikian defines konvensionil, Agresi adalah
tindakan suatu negara yang mengirim pasukan
bersenjatanya atau angkatan perangnya untuk menyerang
dan menduduki negara lain.
(Negara yang mengirim pasukannya untuk menduduki
negara lain dipersalahkan melakukan agresi)
Pelaku adalah Negara
Korban adalah Negara (kedaulatan, integritas wilayah,
dan kebebsan politik)
80 Lokollo, Albert. Ibid, hlm. 8
452
Modus Operandi adalah menyerang, mengancam,
menduduki wilayah negara korban dengan menggunakan
kekuatan angkatan bersenjata.
Unsur-Unsur Definisi berbagai sumber:
1. Penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu negara
2. penggunaan angkatan bersenjata
terhadap
kedaulatan, integritas wilayah atau kebebasan politik
negara lain
3. penempatan kekuatan
terhadap negara lain.
bersenjata
4. penyerangan dan pendudukan
perlawanan bersenjata,
5. penyerangan dan pendudukan
perlawanan bersenjata.
suatu negara
tanpa
yang
adanya
mendapat
6. ancaman kekuatan bersenjata dari suatu negara
7. ancaman kekuatan bersenjata terhadap negara lain
8. tindakan bersenjata lain yang bertentangan dengan
piagam PBB.
9. ancaman dan penggunaan angkatan bersenjata
bukan karena pembelaan diri (Pasal 51 Piagam PBB)
10. bukan atas nama DK PBB (Pasal 39 jo. Pasal 41 &
Pasal 42 Piagam PBB)
2. Rumusan Prediktif - Objektif
Kejahatan Agresi adalah tindakan penyerangan yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan bersenjata
oleh suatu pasukan bersenjata atau kelompok
bersenjata atas kemauan sendiri atau atas perintah
suatu negara terhadap pasukan atau kelompok
bersenjata lainnya dan/atau penduduk sipil baik yang
melakukan perlawanan bersenjata atau tidak melakukan
perlawanan bersenjata dalam wilayah suatu negara,
453
dengan maksud untuk merebut, menduduki dan
menguasai sebagian atau seluruh wilayah negara
tersebut sampai pasukan bersenjata, atau kelompok
bersenjata atau pemerintah negara tersebut memenuhi
tuntutan-tuntutannya.
Penjelasan Unsur Kejahatan Agresi:
a. penyerangan, artinya pelaku datang mendekat atau
mendatangi atau memasuki wilayah suatu negara agar
dapat menyerang pasukan atau kelompok bersenjata
dan atau penduduk sipil yang berada disitu.
b. dengan kekuatan bersenjata, artinya kekuatan yang
menggunakan persenjataan dan peralatan militer
lainnya dan lazimnya digunakan dalam pertempuran
atau perang atau konflik bersenjata lainnya.
c. pelaku penyerangan adalah suatu pasukan atau
kelompok bersenjata baik nasional suatu negara
maupun organisasi bersenjata bukan negara.
d. atas kemauan sendiri, artinya tindakan penyerangan
dilakukan oleh pelaku atas kesadaran sendiri tanpa
dipaksa oleh suatu kekuatan diluar pelaku sebagai
suatu pasukan atau kelompok bersenjata.
e. atau atas perintah suatu negara, artinya tindakan
penyerangan dilakukan oleh pelaku atas perintah yang
berasal dari aparat pemerintah suatu negara yang
berwenang untuk itu, baik dari negaranya sendiri mauun
negara lainnya.
f. korban penyerangan, adalah pasukan atau kelompok
bersenjata lainnya dan/atau penduduk sipil yang berada
dalam wilayah suatu negara, baik dalam wilayah negara
penyerang sendiri maupun dalam wilayah negara lain.
g. melakukan perlawanan bersenjata, artinya melawan
atau membalas serangan bersenjata penyerang,
sehingga terjadi saling tembak-menembak secara
terbuka atau pertempuran atau konflik bersenjata
diantara yang diserang dan penyerang.
454
h. tidak melakukan perlawanan bersenjata, artinya tidak
terjadi tembak-menembak, atau pertempuran atau
konflik bersenjata diantara yang diseran g dan
penyerang.
i. dalam wilayah suatu negara, artinya semua daerah
atau tempat atau ruang baik di darat, laut dan udara
dimana suatu negara dapat menjalankan atau
melaksanakan kedaulatan dan hak-hak berdaulatnya.
j. merebut, menduduki dan menguasai sebagian atau
seluruh wilayah negara tersebut, artinya penyerangan
dilakukan sedemikian rupa agar sebagian atau seluruh
wilayah negara dimana pasukan atau kelompok
bersenjata
dan/atau
penduduk
sipil
dan
pemerintahannya berada dalam pengawasan dan
pengendalian efektif penyerang.
k. sampai pasukan bersenjata, atau kelompok
bersenjata atau pemerintah negara tersebut
memenuhi tuntutan-tuntutannya, artinya pelaku
berhenti melakukan tindakan penyerangan setelah
semua tuntutannya dikabulkan oleh pasukan bersenjata,
atau kelompok bersenjata, atau pemerintah negara
dimana mereka berada.
Definition Of Aggression.
Crime of aggression is an act of assault committed with
use of armed forces by the armed troops or an armed
group voluntarily or by order of a state to other armed
forces or group and/or civilians either by conducting an
armed resistance or not conducting an armed resistance in
the territory of a state, with the intent to seize, occupy and
control part of or entire territory of the state until the armed
forces or armed group or government of the state meets
their demands.
455
Explanation on Elements of Aggression Crime:
a. assault, means that actors come closer or go to or enter
into the territory of a state in order to be able to attack
the armed forces or group or civilians who are there.
b. by force of arms, meaning the power which uses
weapons and other military equipment and typically used
in battle or war or other armed conflict.
c. perpetrators of the assault is an armed forces or group
both of national armed organization of a state and nonstate armed organization.
d. voluntarily, means assault
action committed by
perpetrators voluntarily without compelled by a force
outside of the perpetrators as an armed forces or group.
e. or by order of a state, meaning that the assault action
committed by the perpetrators by orders from the
government of a state apparatus of a state authorized to
it, either from their own state or other state.
f. victims of assault, are armed forces or other groups
and/or the civilian population residing in the territory of a
state, both in the territory of the attackers themselves
and in the territory of other state.
g. conducting armed resistance, means to fight or
retaliate against armed assault of the attacker, resulting
in an open gunfire exchange or armed fighting or conflict
between the attacked and the attackers.
h. not conducting armed resistance, means no gunfire
exchange, or fighting or armed conflict between the
attacked and the attackers.
i.
within the territory of a state, meaning that all areas or
places or spaces either in the land, sea or air in which a
state may exercise or execute its sovereignty and
sovereign rights.
456
j.
seize, occupy and control part of or entire territory of
the state, means the assault carried out in such a way
that part or entire territory of a state where the armed
forces or groups and/or civilian population and their
government are under effective surveillance and control
of the attackers.
k. until
the armed forces or armed groups or
government
of the state meets their demands,
meaning that the perpetrators stop their offensive actions
after all their demands are granted by the armed forces
or armed group, or government where they are located.
457
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan keseluruhan pembahasan tersebut di atas, pada
Bab penutup ini dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saransaran, sebagai berikut:
A. Kesimpulan:
1. Kejahatan Agresi yang belum dirumuskan definisi
kejahatannya dapat diadili pada Pengadilan Pidana
Internasional Ad Hoc dan Pengadilan HAM Indonesia Ad
Hoc yang dibentuk dengan cara:
a. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengusulkan kepada Dewak Kemanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk menerbitkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB yang membentuk Pengadilan Pidana
Internasional Ad Hoc untuk memeriksa dan mengadili
Pelaku
Kejahatan
Agresi
tertentu
yang
direkomendasikan Sekjen PBB.
Dewan Keamanan PBB dapat berinisiatif sendiri
menerbitkan Resolusi DK PBB membentuk
Pengadilan Ad Hoc tersebut
b. Dewan Perwakilian Rakyat Republik Indonesia
mengusulkan kepada Presiden RI untuk menerbitkan
Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan
Pengadilan HAM Ad Hoc yang mengadili Kejahatan
Agresi tertentu yang direkomendasikan DPR RI.
Presiden RI dapat berinisiatif sendiri menerbitkan
Keppres membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut.
458
Pengadilan Ad Hoc tersebut mengadili kasus per kasus
(case by case) artinya mengadili perkara kejahatan
agresi tertentu yang disebutkan secara tegas dalam
surat keputusan (Resolusi atau Keppres RI)
pembentukannya.
2. Pokok-pokok Sistem Peradilan Pidana Internasional-ICC
dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana
Indonesia yang mengadili kejahatan HAM termasuk
kejahatan Agresi, terutama penerapan hukum acara dan
pengambilan keputusan melalui metode penemuan
hukum: Penafsiran dan konstruksi hukum yang sah
dalam keadaan kekosongan hukum.
3. Pelaku Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi dapat
dituntut pertanggungjawaban pidana di Indonesia,
meskipun yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia hanya
meliputi kejahatan Genosida dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Penuntutan pidana ini dapat
dilakukan melalui pengadilan Pidana HAM RI Ad Hoc.
B. Saran
1. Sebaiknya Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998,
lalu melakukan penyesuaian ketentuan-ketentuan
Statuta Roma 1998 kedalam perundang-undangan
nasional
Indonesia,
sehingga
Indonesia
dapat
melaksanakan kewajiban internasionalnya menegakan
hukum terhadap kejahatan HAM di Indonesia secara
efektif.
2. Sebaiknya Indonesia memelopori perumusan definisi
kejahatan agresi sebagai bentuk kemauan dan
kesungguhan Indonesia melaksanakan penegakan
hukum terhadap kejahatan HAM secara efektif, sehingga
dapat mendorong negara-negara lain serta ICC
melaksanakan kewajiban internasionalnya merumuskan
definisi yang sama.
459
Riwayat Penulis
Marthen Napang: lahir di Makassar,12 Maret 1957,
Alumni Fakultas Hukum UNHAS 1984 Jurusan Hukum
Internasional dengan skripsi: “Penyelesaian Sengketa
Falkland/Malvinas Dalam Hukum Internasional”.
Lawyer dan aktif mengajar kelompok Mata Kuliah Hukum
Internasional di Fakultas Hukum UNHAS tahun 1985 – 1999. Pada awal
tahun 2000 hijrah ke Jakarta melanjutkan studi dan menyelesaikannya pada:
a. Program Ilmu Hukum Pascasarjana UNPAD Wisuda 30 Mei 2003
dengan tesis (lulus Cum Laude): “Prediksi Penerapan Yurisdiksi
Peradilan Pidana Internasional ke Dalam Yurisdiksi Peradilan
Pidana Indonesia Dalam Mengadili Kejahatan Internasional
Menurut Statuta Roma 1998”.
b. Program Kajian Wilayah Amerika Pascasarjana Universitas
Indonesia Wisuda 7 Februari 2004 dengan tesis: “Al Gore Vs.
George W.Bush Dalam Pemilihan Presiden Amerika 2000:
Persengketaan Hasil Pemilihan di Florida”.
Selain itu, mengikuti berbagai penataran dan konvensi nasional diantaranya:
- Penataran Hukum Humaniter dan HAM Depkeh,1989
- Penataran Hukum Humaniter dan HAM di Manado 1999 oleh ICRC
(International Committee of the Red Cross) – UNSRAT, di Surabaya
2001 oleh ICRC – UNAIR dan di Makassar 2002 oleh ICRC –
UNHAS.
- Konvensi Nasional dan Seminar Nasional Asosiasi Studi Amerika
– Indonesia,1993, 1994 & 2000.
- Seminar Nasional (ICMI,PIKI,FCHI,KCBI) Pengembangan
SDM,1992.
- Seminar Nasional Wawasan Nusantara,1990 & Bangun Bangsa
Indonesia,1992.
- Seminar Regional Antar Cendekiawan Beragama,1992.
- Seminar Otonomi Daerah,1999.
- Pelatihan Pengacara Konstitusi oleh Asosiasi Advokat
Indonesia,2003.
Selama studi aktif di organisasi intra & ekstra kurikuler, seperti pernah terpilih
menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS
(BPM FHUH) 1982/1983, Wakil Ketua DPD II KNPI KMUP 1987/1992;
Dewan Penasihat (Wanhat) DPD II KNPI KMUP 1986/1991 dan Dewan
Penasihat (Wanhat) DPD AMPI Sulsel 1993/1997. Pemimpin Redaktur
Bulletin/Majalah: “Moment”, “Presensia”, “Senior”, serta mengasuh klinik
hukum pada Radio Christy di Makassar.
Mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional RI, 1995 dan dianugrahi penghargaan “The Best
Executive 2004” oleh Yayasan Andhika Jakarta.
Pendiri Pusat Bantuan Hukum Yusticia, Counsellor pada Kantor Hukum
Amanah YPK- PLN dan Lembaga Hukum Ammanagappa di Jakarta.
Foto
Download