MARTHEN NAPANG MARTHEN NAPANG TERHADAP KEJAHATAN AGRESI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI PENEGAKAN HUKUM i KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) Perpustakaan Nasional RI Napang, Marthen PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI / Marthen Napang -- Cet. 1 -- Makassar : Yusticia Press, 2014 Bibliografi ISBN 978-979-99208-4-3 Judul : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI Penulis : DR. MARTHEN NAPANG, S.H., M.H., MSi Penerbit : YUSTICIA PRESS Jl. Ince Nurdin No. 11 MAKASSAR 90111 Hak cipta dilindungi Undang-undang ada pada Penulis Hak Penerbitan pada YUSTICIA PRESS MAKASSAR Cetakan Pertama, 2014 ABSTRAK MARTHEN NAPANG, NIM: 0005.DIH.07.2009, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi Berdasarkan Statuta Roma 1998 Tentang Pengadilan Pidana Internasional dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dibawah bimbingan Alma Pattileuw sebagai Promotor, Syamsuddin Pasamai dan Ibrahim masing-masing sebagai Ko-Promotor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan serta menemukan, bahwa Penegakan hukum terhadap kejahatan agresi berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional sesuai Statuta Roma 1998 dan yurisdiksi Peradilan Pidana HAM RI sesuai UU No.26 Tahun 2000 dapat dilaksanakan. Selain itu, untuk mengkaji secara konseptual dan seksama mengenai tuntutan pertanggunjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan agresi yang belum dirumuskan dalam Statuta Roma 1998, mengenai Sistem Peradilan Pidana Internasional untuk diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan HAM di Indonesia, dan tuntutan pertanggungjawaban pidana individual terhadap pelaku kejahatan HAM berat menurut sistem peradilan pidana internasional dan sistem peradilan pidana Indonesia. Penelitian ini memiliki spesifikasi pada penelitian hukum normatif. Sehingga menggunakan pendekatan yuridis normatif (dogmatic), yaitu mengkaji ketentuan hukum yang bersumber dari Undang-Undang, Konvensi, Keputusan Pengadilan, dan tulisan para ahli berkenaan dengan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi Berdasarkan Statuta Roma 1998 Tentang Pengadilan Pidana Internasional dan Undang-Undang Repuiblik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, juga menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang mengandalkan kesahihan data kepustakaan yang akurat, yang didukung pendekatan kuantitatif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif yuridis analitik, Historis Komparatif, Deskriptif-Interpretatif, dan Grounded Research. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa: (1) Kejahatan Agresi yang belum dirumuskan definisi kejahatannya dapat diadili pada Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc dan Pengadilan HAM Indonesia Ad Hoc yang dibentuk dengan cara: (a) Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menerbitkan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc untuk memeriksa dan mengadili Pelaku Kejahatan Agresi tertentu yang direkomendasikan Sekjen PBB. Dewan Keamanan PBB dapat berinisiatif sendiri menerbitkan Resolusi DK PBB membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut. (b) Dewan Perwakilian Rakyat Republik Indonesia mengusulkan kepada Presiden RI untuk menerbitkan Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang mengadili Kejahatan Agresi tertentu yang direkomendasikan DPR RI. Presiden RI dapat berinisiatif sendiri menerbitkan Keppres membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut. Kedua Pengadilan Ad Hoc tersebut diatas mengadili kasus per kasus (case by case) artinya mengadili perkara kejahatan agresi tertentu yang disebutkan secara tegas dalam surat keputusan (Resolusi atau Keppres RI) pembentukannya. (2) Pokok-pokok Sistem Peradilan Pidana Internasional-ICC dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang mengadili kejahatan HAM termasuk kejahatan Agresi, terutama penerapan hukum acara dan pengambilan keputusan melalui metode penemuan hukum: Penafsiran dan konstruksi hukum yang sah dalam keadaan kekosongan hukum. (3) Pelaku Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi dapat dituntut pertanggungjawaban pidana di Indonesia, meskipun yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia hanya meliputi kejahatan Genosida dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Penuntutan pidana ini dapat dilakukan melalui pengadilan Pidana HAM RI Ad Hoc. Sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini, adalah: (1) Sebaiknya Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998, lalu melakukan penyesuaian ketentuan-ketentuan Statuta Roma 1998 kedalam perundang-undangan nasional Indonesia, sehingga Indonesia dapat melaksanakan kewajiban internasionalnya menegakan hukum terhadap kejahatan HAM di Indonesia secara efektif. (2) Sebaiknya Indonesia memelopori perumusan definisi kejahatan agresi sebagai bentuk kemauan dan kesungguhan Indonesia melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan HAM secara efektif, sehingga dapat mendorong negara-negara lain serta ICC melaksanakan kewajiban internasionalnya merumuskan definisi yang sama. i ABSTRACT MARTHEN NAPANG, NIM : 0005.DIH.07.2009, Law Enforcement Against Aggression Crime Based on Rome Statues of 1998 in terms of International Criminal Court and Indonesian Laws No.26 of 2000 regarding Human Rights Court under counseling of Alma Pattileuw as Promotor, Syamsuddin Pasamai and Ibrahahim which of each as Co Promotor. This research is aimed at analyzing and clarifying as well as finding that Law Enforcement against aggression crime being based on both jurisdiction of International Criminal Court is accordance with Rome Statutes of 1998 and jurisdiction of criminal court of Indonesian Human Right is accordance with Laws No.26 of 2000 may be implemented. Additionally, in order to study demand of criminal responsibility against aggression offender having not been formulated in Rome Statutes of 1998, in regard of International Criminal Judicial System to be applied in Indonesia Criminal Judicial System which investigate and judge offender of Human Right in Indonesia, as well as demand of individual criminal responsibility against offender of inconsiderate Human Right in Indonesia according to both International Criminal Judicial System and Indonesia Criminal Judicial System conceptually and accurately. This research has specification of normative law research. So that, it uses normative (dogmatic) juridical approach, it studies law regulation derived from Laws, Convention, Court Award and author’s writing in terms of Law Enforcement against aggression crime being based on both Rome Statutes of 1998 regarding International Criminal Court and Indonesian Laws No.26 of 2000 regarding Human Rights Court. Moreover, also it uses qualitative approach by relying on validity of accurate literatures supported by quantitative approach. Data analysis conducted using analytical juridical description, Comparative History, Descriptive-Interpretative and Grounded Research. Then, based on research it may concluded that : (1) Aggression Crime which of criminal definition had not been formulated it may be judged at Ad hoc International Criminal Court and Ad hoc Indonesian Human Right Court established by : (a) General Secretary of UNO propose to Security Board of UNO for issuing Resolution of Security Board of UNO for designing Ad hoc International Criminal Court in order to investigate and judge certain Aggression Offenders recommended by General Secretary of UNO, By such General Secretary of UNO self they may initiate to issue Resolution of Security Board of UNO for designing such Ad hoc Court; (b) Indonesia Legislative Body may propose to Indonesia President in issuing Presidential Decree of RI on Establishment of Ad hoc Human Right Court to judge certain Aggression Crime recommended by Indonesia Legislative Body. Such self Indonesia President may initiate to issue Presidential Decree which establish such Ad hoc Court. Those two Ad hoc Courts to judge case by case, in other word, to judge certain aggression crime having been stated both in Resolution and/or Presidential Decree of RI in its establishment strictly. (2) Principles of International Criminal Court (ICC) may be applied in Indonesia Criminal Judicial System judging Human Rights crimes including Aggression crime therein, specially, to apply procedure law and decision making by law finding method : Interpretation and construction of valid law in condition of law vacant. (3) In Indonesia war offenders and Aggression Crime may be claimed in terms of its criminal responsibility, although jurisdiction of Indonesia Human Right Court solely, it covers Genocide crimes and inconsiderate violation against Human Right. This criminal award may be implemented by Ad hoc criminal court of Indonesia Human Right. As recommendation from this research is : (1) it Is better that Indonesia ratify Rome Statutes of 1998, subsequently, to adjust Rome Statutes of 1998 to Indonesia legislations, hence, Indonesia may realize international obligation to enforce law against Human Rights in Indonesia effectively. (2). It is better that Indonesia initiate to formulate definition of aggression crime as Indonesia willingness and seriousness to realize law enforcement against Human Rights crime effectively, hence, it may motivate other countries as well as ICC to implement international obligation in order to formulate the same. ii PRAKATA Bagaimanapun, “Takut akan Tuhan adalah awal dari segala ilmu pengetahuan”. Segala ciptaanNya yang maha dahsyat: Manusia, Bumi dan Alam Semesta penuh misteri keimanan dan keilmuan yang menjadi pusat kehidupan dan keslamahatan umat manusia. Sekaligus merupakan objek dan subjek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan disegala bidang, termasuk dibidang ilmu hukum, lebih khusus lagi terkait dengan materi penulisan buku ini yang bertema: Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi. Sehingga pertama-tama patutlah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan dan pengasihanNya yang senantiasa menyertai penulis dalam menggumuli dan menyelesaikan penulisan buku ini. Ada banyak pihak yang membantu penulis menyelesaikan kreatifitas akademik ini, untuk itu pada kesempatan ini patut penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya teristimewa kepada: Prof. Dr. Alma Pattileuw,SH.,MH., Prof. Dr. Syamsuddin Pasamai,SH.,MH., Dr. Ibrahim,SH.,LLM., Prof. Dr. H. Hambali Thalib,SH.,MH, Prof. Dr.H.Laode Husen,SH.MH., Prof. Dr.Sukarno Aburaera,SH.,MH, Dr. Hamzah Baharuddin,SH.,MH. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya seraya berdoa kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan Rachmatnya yang melimpah ruah bagi Bapak dan Ibu beserta keluarga. Semua kritik dan saran untuk kesempurnaan buku ini penulis harapkan dari semua pihak, kiranya karya ilmiah ini berguna bagi pengembangan ilmu hukum dan bagi perjuangan penegakan hukum hak asasi manusia. Adalah kesuksesan bagi orang yang berdoa dan berjuang. Hormat Penulis Marthen Napang iii DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................... i ABSTRACT ............................................................................. ii PRA KATA .............................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................. iv BAB I. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM BERDASARKAN STATUTA ROMA 1998 .... A. Pengadilan Pidana Internasional – ICC ........ B. Yurisdiksi ICC ................................................... 1. Yurisdiksi Pokok Perkara (Subject Matter Jurisdiction/Ratione Material) ................. 2. Yurisdiksi Terkait Waktu (Temporal Jurisdiction / Ratione Temporis) ............. 3. Yurisdiksi Territorial (Territorial Jurisdiction/ Ratione Loci) ...................... 4. Yurisdiksi Personal-Individual (Personal Jurisdiction / Ratione Personae). ............ 5. Yurisdiksi Pelanggaran Administrasi Pengadilan .................................................. 6. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib Pengadilan .................................................. C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM Internasional ... D. Sistem Peradilan Pidana ICC ....................... 1. Prinsip-Prinsip Utama Sistim Peradilan ICC .............................................................. 2. Hukum Acara ICC ....................................... 3. Struktur Organ ICC ..................................... BAB II. 1 1 3 3 44 48 50 55 55 56 126 126 132 144 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 26 TAHUN 2000 ...................................................... 147 A. Pengadilan HAM RI .......................................... B. Yurisdiksi Pengadilan HAM RI ........................ 1. Yurisdiksi Pidana Umum ........................... 2. Yurisdiksi Pidana Khusus HAM RI ........... 147 161 161 167 iv C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI .................... 1. Ketentuan Umum ....................................... 2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI 3. Sistem Peradilan Pidana Indonesia .......... 1. Hukum Acara Pidana Umum ................ 2. Hukum Acara Pidana Khusus HAM RI . 179 179 183 255 255 259 BAB III. PERANAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI YANG DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN PADA HUKUM PIDANA INDONESIA ............................................. 267 A. Sumber Penegakan Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara ...................................... 1. Ajaran Pemisahan Kekuasaan Pemerintahan Negara ................................ a. Thomas Hobbes (1588-1679) ............... b. John Locke (1632-1704) ....................... c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) .. d. Montesquieu ........................................ e. Alexander Hamilton & James Madison - The Federalist Papers ........................ f. Doctrine Dual Federalism .................... 2. Praktek Pemisahan Kekuasaan Pemerintah Negara AS ............................... B. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi di Indonesia. ......................................... 1. Peranan Pengadilan HAM .......................... 2. Penerapan Prinsip Penemuan Hukum terhadap Kejahatan Agresi ........................ a. Penafsiran Hukum ................................ 1) Penafsiran Historis ......................... 2) Penafsiran Sistimatis ...................... 3) Penafsiran Sosiologis .................... 4) Penafsiran Teleologis ..................... 5) Penafsiran Perbandingan ............... 6) Penafsiran ekstensif ....................... b. Konstruksi Hukum ................................ 1) Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam) ...................................... 2) Metode Fiksi Hukum ....................... v 267 267 `267 269 272 275 279 301 307 372 372 373 373 374 375 376 376 377 378 378 378 379 c. Beberapa Penganut Doktrin ................. 1) Penganut Doktrin “Sens-clair”(la doctrine du sensclair). .................... 2) Penganut Penemuan Hukum selalu harus dilakukan. ............................. 3) Konsep Transformasi ..................... C. Beberapa Sumber Tentang Kejahatan Agresi 1. Kejahatan Agresi Menurut Liga BangsaBangsa ......................................................... 2. Kejahatan Agresi Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa ........................................... 3. Kejahatan Agresi Menurut Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo ................ 4. Kejahatan Agresi Menurut Komisi Hukum Internasional PBB ....................................... 5. Kejahatan Agresi Menurut Pendapat Ahli.. a. Menurut J.G. Starke. ............................. b. Menurut Lauterpacht Oppenheim ........ c. Menurut Yoram Dinstein ...................... d. Menurut Thomas M. Franck ................ e. Menurut Tom Ruys ............................... f. Beberapa Sumber Lainnya: ................. D. Rumusan Definisi Prediktif Tentang Kejahatan Agresi .............................................. 1. Rumusan Konvensional ............................. 2. Rumusan Prediktif - Objektif ..................... 380 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ................................... 458 A. Kesimpulan: ..................................................... B. Saran ................................................................. 458 459 vi 380 381 381 382 382 382 389 390 391 391 391 393 403 421 447 452 452 453 BAB I PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM BERDASARKAN STATUTA ROMA 1998 A. Pengadilan Pidana Internasional – ICC Bahwa Pengadilan Pidana Internasional atau The International Criminal of Court – ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Statuta ini disebut Statuta Roma karena diputuskan dalam Konperensi Roma 1998 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau UN Diplomatic Conference of Penipotentiaris on the Establishment of an International Criminal Court yang diselenggarakan di Roma pada tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Statuta ini telah diputuskan dan ditanda tangani oleh negara-negara anggota PBB peserta konperensi. Berdasarkan statuta inilah dibentuk Pengadilan Pidana Internasional yang tetap – ICC. Sehingga dikenal dengan The Rome Statute of International Criminal Court, UN. Doc. A / Conf. 183/9 (July 17, 1998). Dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 ini ditegaskan 4 (empat) jenis kejahatan HAM yang menjadi yurisdiksi criminal dari Pengadilan Pidana Internasional – ICC, yaitu: 1. The Crime of Genocide 2. Crime Against Humanity 3. War Crimes 4. The Crimes of Aggression Ditegaskan pula Pengadilan Pidana Internasional sebagai pengadilan komplementari, dalam pengertian ICC wajib melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan manakala pengadilan pidana nasional suatu 1 negara sungguh-sungguh (genuinely) tidak berkemauan (unwillingness) sesuai pasal 17 (2) atau tidak berkemampuan (inability) sesuai pasal 17 (3) statuta untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam pasal 5 statuta Roma 1998 tersebut di atas. Statuta Roma 1998 telah berlaku efektif sejak tanggal 11 April 2002 karena saat itu telah terpenuhi syarat ratifikasi 60 negara sebagai syarat berlaku sahnya Statuta Roma ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 126 Statuta. Sehingga sejak itu telah menjadi kewajiban internasional bagi ICC dan negara – negara di dunia termasuk Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Walaupun dalam Pasal 5 Statuta telah disebutkan ada 4(empat) jenis kejahatan HAM yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional – ICC namun ternyata belum semua kejahatan HAM tersebut diatur rumusan deliknya. Kejahatan HAM: The Crime of Genocide telah dirumuskan dalam Pasal 6, Crime Against Humanity dalam Pasal 7 dan War Crimes diuraikan dalam Pasal 8. Drmikianpun Unsur-unsur kejahatan dari ketiga jenis kejahatan tersebut telah dirumuskan lengkap. Sedang The Crimes of Aggression (Kejahatan Agresi) akan dirumuskan 7 (tujuh) tahun kemudian sejak berlaku sahnya Statuta sesuai maksud Pasal 5 ayat 2. Akan tetapi ternyata sampai sekaran telah lewat waktu 10 (Sepuluh) tahun Kejkahatan Agresi tersebut belum dirumuskan. Hal ini akan menyebabkan negara –negara akan mendapat kesulitan melaksanakan kewajiban internasionalnya untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan agresi tersebut. 2 Jika terjadi kejahatan agresi siapa yang dapat mengadilinya dan apa dasar hukum mengadilinya?, Bagaimana rumusan kejahatan agresi dalam literature dan praktek penegakan hukumnya? Jawaban atas pertanyaan diatas akan membantu penegakan hukum terhadap kejahatan agresi sebagai salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang berat, sekaligus sebagai sumbang saran bagi ICC maupun negara –negara merumuskan kejahatan agresi yang menjadi yurisdiksinya. Kendala penegakan hukumnya, antara lain dapatkah mengadili suatu perbuatan sebelum dirumuskan sebagai suatu kejahatan, atau bagaimana terobosan hukum yang dapat dilakukan untuk mengadili suatu kejahatan yang belum ada rumusan deliknya? Apalagi pasal 9 statuta menjelaskan, bahwa penafsiran terhadap ketiga kejahatan yang telah mendapat rumusan deliknya dalam pasal 6, 7, dan 8 dilakukan sesuai dengan unsure-unsur kejahatan (elements of crimes) pasal 6.7. dan 8. Sehingga mau tak mau terlebih dahulu perlu dilakukan perumusan delik agresi dan unsure-unsur kejahatan agresi, agar penegakan hukum terhadap kejahatan Agresi dapat dilaksanakan. B. Yurisdiksi ICC 1. Yurisdiksi Pokok Perkara Jurisdiction/Ratione Material) (Subject Matter Dalam pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 ditegaskan yurisdiksi ICC adalah kejahatan atau pelangaran berat HAM yang meliputi: The Crime of Genocide, Crime against humanity, War Crimes,The Crimes of aggression. 3 Selanjutnya kejahatan Kemanusiaan diatas (terkecuali kejahatan agresi) telah dirumuskan secara jelas pada pasal 6, 7 dan 8 statuta Roma 1998, yaitu1 a. The Crime of Genocide Kejahatan genosida diatur dalam pasal 6 Statuta Roma 1998 dengan rumusan, bahwa genocide (pemusnahan etnis) berarti setiap tindakan berikut ini yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti: (a) Pembunuhan para anggota kelompok; (b) Menyebabkan kerusakan/luka-luka tubuh ataupun mental yang sangat serius terhadap para anggota kelompok; (c) Dengan sengaja merugikan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan dapat berakibat pada kerusakan fisik secara keseluruhan ataupun sebagian; (d) Tindakan-tindakan berat yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran kelompok itu; (e) Pemindahan paksa anak-anak kelompok ke kelompok lain; dari suatu Bahwa rumusan kejahatan genosida yang menjadi yurisdiksi ICC diatas adalah sama dengan rumusan kejahatan genosida yang diatur dalam pasal 7a UU RI No.26 tahun 2000, bahkan sebelumnya telah dinyatakan dalam pasal 2 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Convention the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) yang disahkan melalui Resolusi 1 Marthen Napang. Op Cit. hlm 150 4 Majelis Umum PBB No.260 B (III) tgl. 9 Desember 1948. Namun Konvensi Genosida 1948 ini lebih luas sebagaimana diatur pada pasal 3 yang meliputi juga perbuatan-perbuatan yang sehubungan dengan genosida yang dapat dihukum, yaitu: (a) Genosida (b) Persekongkolan untuk melakukan genosida (c) Hasutan langsung dan didepan umum, untuk melakukan genosida (d) Mencoba melakukan genosida (e) Keterlibatan dalam genosida Selain itu dalam pasal 1 Konvensi Genosida 1948 ditegaskan sebagai kejahatan menurut hukum internasional genosida baik yang dilakukan dimasa damai maupun masa perang. Sedang dalam Statuta Roma 1998 tidak secara tegas dinyatakan. Sehingga menurut hemat penulis bahwa genosida yang menjadi yurisdiksi ICC adalah genosida yang dilakukan dimasa damai dan genosida yang dilakukan dimasa perang atau konflik bersenjata merupakan bagian dari kejahatan perang sehingga tunduk pada yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang. Jadi terhadap genosida dimasa damai diberlakukan yurisdiksi ICC tentang genosida sesuai pasal 6 sedang genosida dimasa perang atau konflik bersenjata diberlakukan yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang sesuai pasal 8. Demikian juga pasal 6 Konvensi Genosida 1948 yang mengatur kemungkinan adanya suatu tribunal nasional dan tribunal pidana internasional untuk mengadili kejahatan genosida adalah selaras dengan pasal 1 dan bagian pertimbangan Statuta Roma 1998 tentang prinsip komplementari ICC sebagai peradilan pidana internasional terhadap peradilan pidana 5 nasional suatu negara dalam mengadili kejahatan genosida. Konvensi Genosida 1948 merupakan salah satu konvensi yang secara tegas menginginkan pembentukan suatu peradilan pidana internasional selain peradilan pidana nasional untuk mengadili kejahatan kemanusiaan khususnya genosida. Majelis Umum PBB mendukung prinsip-prinsip Nuremberg sehingga berupaya merumuskan tugas-tugas suatu Dewan Kriminal Internasional. Defenisi dari tugas dewan ini diprakarsai melalui Resolusi 260 B (III) yang disahkan oleh MU PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Dalam Resolusi itu Majelis Umum meminta komisi hukum internasional untuk: Mempelajari keinginan dan kemungkinan pendirian suatu organ pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang dituduh mengadakan pemusnahan suatu suku atau suku bangsa atau melakukan tindakan kriminal lainnya dimana kepada orang tersebut diberikan hak hukum yang diatur dalam konvensi-konvensi internasional. Dengan adanya permintaan MU PBB kepada Komisi Hukum Internasional diatas maka semula berkembang pemikiran memasukkan kejahatan kemanusiaan termasuk genosida menjadi yurisdiksi Mahkamah Internasional (International Courtof Justice) yang telah terbentuk. Namun mendapat kendala diantaranya yang utama adalah hanya negara yang boleh menjadi pihak-berperkara di muka Mahkamah Internasional (pasal 34 (1) Statuta Mahkamah Internasional). Sedang tujuan yang ingin dicapai bagi peradilan kejahatan kemanusiaan adalah untuk menghukum pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan secara individual. 6 Memang dalam kasus terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia selaku utusan khusus perdamaian PBB di Timur Tengah, Mahkamah Internasional dengan Advisory opinion (sesuai pasal 65 Statuta Mahkamah) Memberikan kemungkinan PBB dapat menjadi pihak dihadapan Mahkamah Internasional. Sehingga merupakan pengecualian dari pasal 34 (1) Statuta Mahkamah yang hanya memungkinkan negara sebagai pihak berperkara. Akan tetapi Advisory opinion Mahkamah tersebut belum cukup menjadi dasar hukum bagi yurisdiksi pidana Mahkamah Internasional mengadili individuindividu pelaku kejahatan kemanusiaan. Apalagi ternyata legal opinium tersebut tidak dilaksanakan oleh PBB mengajukan perkara tewasnya Pangeran Bernadotte tersebut ke Mahkamah Internasional. Kendala yang lain adalah menyangkut penerapan yurisdiksi hukumnya yaitu Mahkamah Internasional menerapkan hukum publik-privat sedang peradilan pidana internasional yang diinginkan menerapkan hukum pidana (nasional dan internasional). b. Crime Against Humanity Kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur dalam pasal 7 Statuta Roma 1998 dengan rumusan: 1) Untuk tujuan undang-undang ini, "kejahatan terhadap kemanusiaan" berarti setiap tindakantindakan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari upaya penyerangan yang sistimatis dan menyebar luas yang diarahkan terhadap salah satu kelompok penduduk sipil, dengan penyerangan yang disengaja: 7 (a) Pembunuhan; (b) Pembasmian; (c) Perbudakan ; (d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (e) Pemenjaraan atau tekanan-tekanan kebebasan fisik yang kejam yang melanggar peraturan dasar hukum international; (f) Penyiksaan; (g) Perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk pelanggaran seksual lainnya dengan tingkat keseriusan yang dapat diperbandingkan; (h) Tuntutan terhadap kelompok tertentu yang dapat diidentifikasi atau dilakukan secara bersama-sama dalam bidang politik, ras, bangsa, etnik, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana dijelaskan pada ayat 3, atau dasar-dasar lain yang secara universal dikenal sebagai hal yang tidak dapat diizinkan sesuai dengan hukum international, sehubungan dengan suatu tindakan yang disebutkan pada ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan itu; (i) Penculikan/penghilangan paksa seseorang; (j) Kejahatan apartheid; (k) Tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lain dari sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan yang besar atau kecelakaan yang serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan phisik. 8 2) Untuk tujuan ayat 1: (a) "Penyerangan yang diarahkan terhadap penduduk sipil" berarti suatu tindakan yang melibatkan perbuatan tindakan yang berlipat ganda yang disebutkan pada ayat 1 terhadap penduduk sipil, sesuai dengan atau merupakan kelanjutan dari kebijakan suatu negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan itu: (b) "Pemusnahan" mencakup hukuman atau yang sengaja dari kondisi-kondisi penyiksaan kehidupan, inter alia perampasan akses terhadap makanan dan obat-obatan yang diperhitungkan membawa akibat kerusakan dari bagian suatu populasi; (c) "Perbudakan" yaitu pelaksanaan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan seseorang dan termasuk pelaksanaan kekuasaan itu dalam pelaksanaan perdagangan orang, pada khususnya wanita dan anak-anak; (d) "Deportasi" atau pemindahan penduduk secara paksa" yaitu pemindahan paksa orangorang yang terkait dengan pengusiran atau tindakan-tindakan lain dari daerah dimana mereka secara hukum berada, tanpa dasardasar yang diizinkan sesuai dengan hukum international; (e) "Penyiksaan" yaitu penyiksaan yang sengaja dari rasa sakit yang sangat berat atau menderita, baik secara phisik maupun mental pada seseorang yang berada dalam penjagaan atau di bawah kontrol dari terdakwa; kecuali bahwa penyiksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau menderita yang timbul hanya dari, yang menjadi sifat atau secara tidak disengaja dari sanksi-sanksi hukum; 9 (f) "Kehamilan yang dipaksa" yaitu pengurungan yang tidak berdasar hukum dari seorang wanita yang dipaksa untuk hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu populasi atau melakukan pelanggaranpelanggaran berat lain dari hukum international. Defenisi ini bagaimanapun juga tidak boleh diinterpretasikan mempengaruhi hukum nasional yang berhubungan dengan kehamilan; (g) "Penganiayaan" yaitu perampasan yang disengaja dan kejam dari hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas dari kelompok atau pengelompokkan; (h) "Kejahatan aparheid" yaitu tindakan-tindakan yang disebutkan pada ayat 1, yang dilakukan dalam konteks resim yang dilembagakan dari penekanan sistimatis dan dominasi sistimatis oleh salah satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial lain atau beberapa kelompok dan dilakukan dengan maksud untuk menjaga resim itu; (i) "Penghilangan paksa orang" yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan orang-orang oleh atau dengan kewenangan, dukungan atau pengakuan dari negara atau organisasi politik yang diikuti dengan penolakan untuk mengakui bahwa perampasan kebebasan atau keberadaan dari orang-orang itu, dengan maksud menghilangkannya dari perlindungan hukum untuk jangka waktu yang lama; 10 3) Untuk tujuan undang-undang ini, hal ini dipahami bahwa istilah "jenis kelamin" merujuk pada dua jenis kelamin, pria dan wanita, dalam konteks masyarakat. Istilah "gender" tidak menunjukan adanya pengertian yang berbeda seperti diatas. Yurisdiksi ICC tentang Kejahatan terhadap kemanusiaan ini ditegaskan pula sebagai yurisdiksi Pengadilan HAM di Indonesia sebagai diatur dalam UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam pasal 7b dengan rumusan yang sama. Bahwa rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan ini lebih terinci luas dibanding rumusan yang sama yang terdapat dalam Piagam Perjanjian London 1945 (London Agreement of 1945 for the European Axis) yang disahkan pada tanggal 8 Agustus 1945 oleh AS, Inggris, Perancis dan Uni Soviet selaku pemenang Perang Dunia II. Dalam pasal 6 c dirumuskan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan, membinasakan, memperbudak, pengasingan dan lain-lain kekejaman di luar kemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dijalankan sebelum atau sesudah ada perang, penuntutan berdasarkan alasan-alasan politik, rasialisme, atau keagamaan. Organisasi yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam memformulir atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk menjalankan kejahatan-kejahatan tersebut adalah bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang (oknum-oknum) yang menjalankan rencana-rencana tersebut. 11 Prinsip hukum tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini kemudian menjadi salah satu prinsip hukum internasional yang diterapkan untuk mengadili pelaku kejahatan perang oleh Tribunal Neremberg dan Tokyo. Demikianpun rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebar luas dan berwujud dalam rumusan pelanggaran HAM dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) Resolusi MU PBB 217 A(III) 10 Desember 1948, dan Konvensi Genewa 1945. Berikut ini tersebut berbagai konvensi dan deklarasi internasional tentang HAM :2 A). Instrumen-instrumen Umum: (A.1) Deklarasi Universal Asasi Manusia tentang Hak-hak (A.2). Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (A.3). Protokol Opsional Kovenan tentang Hakhak Sipil dan Politik (A.4). Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang Ditujukan pada Penghapusan Hukuman Mati (A.5). Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (A.6). Proklamasi Teheran (A.7). Piagam tentang Hak-hak dan Kewajibankewajiban Ekonomi Negara,3281 (XXIX), Disetujui oleh Majelis Umum,12 Desember 1974 2 Peter Baehr, Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution dan Leo Zwaak. Instrumen Internasional Pokok Hak Hak Asasi Manusia. Penerbit:Yayasan Obor Indonesia,2001, Jakarta, hlm.viii-xiv 12 (A.8). Resolusi 1503 (XLVIII): Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (A.9). Resolusi 1235 (XLII): Pelanggaran Hakhak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid (A.10). Piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Rakyat (A.11). Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia (A.12). Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia, ditandatangani di San Josepada tanggal 22 November 1969, mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 (A.13). Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (A.14). Piagam Sosial Eropah, ditandatangani di Turin pada tanggal 18 Oktober 1961, mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1965 B). Penentuan Nasib Sendiri: (B.1). Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-negara dan Bangsa-bangsa Jajahan (B.2). Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII) 14 Desember 1962, "Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam" 13 C). Pencegahan Diskriminasi: (C.1). Konvensi Internasional Penghapusan Semua Diskriminasi Rasial (C.2). Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid (C.3). Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Konvensi melawan Diskriminasi dalam Pendidikan (C.5). Protokol yang Membentuk Komisi Konsiliasi dan Jasa baik yang bertanggungjawab atas Pencarian Penyelesaian Perselisihan Apapun yang Mungkin Timbul di antara Negara Peserta Konvensi melawan Diskriminasi dalam Pendidikan (C.6). Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), Konvensi (No.111) tentang Diskriminasi mengenai Pekerjaan dan jabatan (C.4). (C.7). Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk ketidakrukunan dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan (C.8). Deklarasi tentang Ras dan Prasangka Rasial D). Administrasi Peradilan, Penganiayaan (D.1). Penahanan tentang Bentuk dan Peraturan-peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana 14 (D.2). Konvensi melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan (D.3). Konvensi Eropah untuk Pencegahan Penganiayaan dan Perlakuan Tidak manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan (D.4). Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penganiayaan (D.5). Aturan-aturan Tingkah Laku bagi Petugas Penegak hokum (D.6). Prinsip-prinsip Etika Kedokteran, yang Relevan dengan Peran Personel Kesehatan, terutama para Dokter, dalam Perlindungan Narapidana dan Tahanan terhadap Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan (D.7). Prinsip-prinsip Dasar kemandirian Pengadilan (D.8). Kumpulan Prinsip-prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada dibawah Bentuk Penahanan Apa pun atau Pemenjaraan E) Kejahatan Perang, termasuk Genosida Kejahatan tentang Kemanusiaan, (E.1). Konvensi tentang Pencegahan Penghukuman Kejahatan Genosida (E.2). Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan 15 dan F). Perbudakan dan Lembaga dan Praktek-praktek Serupa (F.1). Konvensi Perbudakan (F.2). Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktek Serupa dengan Perbudakan (F.3). Konvensi Kerja Paksa (F.4). Konvensi Penghapusan Kerja Paksa (F.5) Konvensi untuk Menumpas Perdagangan Orang dan Eksploitasi Pelacuran Orang Lain G). Kewarganegaraan, Ketiadaan Kewarganegaraan, Suaka dan Pengungsi (G.1). Konvensi tentang Wanita Kawin Kewarganegaraan (G.2) Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita (Montevideo,tahun 1933) (G.3). Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan (G.4). Konvensi mengenai Status Orang yang Tidak Berkewarganegaraan (G.5). Konvensi mengenai Status Pengungsi (G.6). Protokol mengenai Status Pengungsi (G.7). Deklarasi tentang Suaka Teritorial (G.8). Persetujuan Penghapusan Tahun 1959 (G.9). Persetujuan Eropah tentang Pengalihan Pertanggungjawaban untuk Pengungsi, Tahun 1980 Eropah Visa bagi tentang Pengungsi, (G.10). Konvensi tentang Suaka Politik 16 (G.11). Konvensi tentang Suaka Diplomatik Rancangan Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensi tentang Suaka Diplomatik: (G.12) Konvensi tentang Suaka Teritorial (G.13). Konvensi Organisasi Kesatuan Afrika mengenai Aspek-aspek Khusus Permasalahan Pengungsi di Afrika H). Perkawinan Remaja dan Keluarga, Anak-anak dan (H.1). Konvensi mengenai Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (H.2). Konvensi tentang Hak-hak Anak (H.3). Konvensi Eropah tentang Status Hukum Anak yang Lahir di Luar Ikatan Perkawinan I). Hak untuk Bekerja Berhimpun dan Hak untuk Bebas (I.1). Konvensi tentang Kebebsan Berhimpun dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (I.2). Konvensi tentang Hak Berorganisasi dan Penawaran Kolektif (I.3). Konvensi Tentang Perwakilan Pekerja (I.4). Konvensi Kebijakan Pekerjaan (I.5). Konvensi tentang Penggajian yang Sama (I.6). Konvensi Eropah tentang Status Hukum Pekerja Pendatang 17 J). Kesejahteraan Pembangunan Sosial, Kemajuan (J.1). Deklarasi Universal Pemberantasan Kelaparan kekurangan Gizi (J.2). Deklarasi tentang Pembangunan dan tentang dan Hak atas K). Hak-hak Politik dan Sipil Wanita (K.1). Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita (K.2). Konvensi Pemberian Wanita (K.3). Konvensi Inter-Amerika tentang Pemberian Hak-hak Sipil kepada Wanita Inter-Amerika Hak-hak Politik tentang kepada L). Kebebasan Informasi dan Perlindungan Data (L.1). Konvensi tentang Internasional Hak Koreksi (L.2). Konvensi untuk Perlindungan Individu mengenai Pemrosesan Otomatis Data Pribadi M). Penduduk Asli dan Kelompok Minoritas (M.1). Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di negara-negara Merdeka (M.2). Rancangan Deklarasi tentang hak-hak Orang-orang yang termasuk Kelompok Minoritas Bangsa atau Etnis, Agama, dan Bahasa. 18 Dalam instrumen nasional Indonesia rumusan pelanggaran HAM termuat dalam : 1). UUD 1945 & Amandemen khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 ayat (1) & ayat (3), dan Pasal 34. 2). TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia 3). UU RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia 4). UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 5). Pelbagai UU RI tentang Ratifikasi KonvensiKonvensi Internasional yang terkait dengan HAM. c, War Crime Kejahatan perang dirumuskan secara detail dalam pasal 8 Statuta ICC, sebagai berikut: 1). Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan perang pada khususnya ketika dilakukan sebagai bagian dari perencanaan atau kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai dampak skala luas dari kejahatan itu. 2). Untuk tujuan Undang-undang ini, "kejahatan perang' berarti: (a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini terhadap orang-orang atau kekayaan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan: 19 (i) Pembunuhan yang disengaja; (ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk uji coba biologi; (iii) Kesengajaan yang menyebabkan penderitaan atau rasa sakit yang luar biasa terhadap tubuh atau kesehatan; Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan pemusnahan harta benda/ kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhankebutuhan militer dan dilakukan secara tidak berdasarkan hukum dan tanpa alasan; (iv) Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan pemusnahan harta benda/ kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhankebutuhan militer dan dilakukan secara tidak berdasarkan hukum dan tanpa alasan; (v) Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk melaksanakan secara paksa kekuasaan yang sedang bertempur; (vi) Penyiksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk melaksanakan secara paksa kekuasaan yang sedang bertempur; (vii) Penyiksaan disengaja terhadap tahanan perang atau orang yang dilindungi lainnya dari hak-hak pengadilan yang adil dan reguler; (viii) Deportasi atau pengalihan orang yang tidak berdasarkan hukum atau pengurungan yang tidak berdasarkan hukum; (ix) Penyanderaan. 20 (b) Pelanggaran-pelanggaran berat lainnya terhadap hukum dan hukum adat yang berlaku dalam konflik bersenjata international dalam kerangka kerja yang ditetapkan dari hukum international yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini: (i) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap penduduk sipil seperti atau terhadap penduduk sipil secara individu yang tidak ambil bagian secara langsung dalam kerusuhan/permusuhan itu; (ii) Dengan sengaja mengadakan penyerangan terhadap obyek-obyek sipil yaitu obyek-obyek yang bukan merupakan obyek-obyek militer; (iii) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap personil, instalasi, bahan-bahan, unit atau kendaraan-kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjagaan keamanan sesuai dengan Piagam PBB, sepanjang hal tersebut mendapat perlindungan yang diberikan terhadap orang-orang sipil atau obyekobyek sipil sesuai dengan hukum international dari konflik bersenjata; (iv) Secara sengaja melancarkan serangan yang menurut pengetahuannya bahwa penyerangan itu akan menyebabkan kerugian yang tiba-tiba terhadap jiwa atau kecelakaan terhadap warga sipil atau kerusakan terhadap obyek-obyek sipil atau kerusakan-kerusakan yang luas, jangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang dengan jelas akan berhubungan dengan keuntungankeuntungan militer yang kongkrit dan 21 langsung secara dapat diantisipasi; keseluruhan yang (v) Penyerangan atau bombardir, dengan cara apapun kota-kota, desa-desa, tempat-tempat hunian atau gedunggedung yang tidak dipertahankan dan yang bukan merupakan obyek-obyek militer; (vi) Pembunuhan atau penyiksaan sandera yang telah meletakkan senjatanya atau tidak lagi mempunyai daya pertahanan, telah menyerahkan kebijaksanaannya; (vii) Membuat penggunaaan yang tidak tepat bendera gencatan senjata, bendera atau tanda-tanda militer serta seragam musuh atau PBB, serta perangkat-perangkat Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan kematian atau kecelakaan jiwa yang gawat; (viii) Pengalihan, secara langsung ataupun tidak langsung, dengan penempatan kekuasaan sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah huniannya, atau deportasi atau pengalihan seluruh atau sebagian penduduk dari wilayah yang ditempati di dalam atau di luar wilayahnya; (ix) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap gedung-gedung yang diperuntukkan untuk tujuan agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen-monumen histories, rumah sakit, dan tempattempat dimana orang-orang sakit dan luka dikumpulkan, asal mereka bukan obyek militer; 22 (x) Melakukan pada orang-orang yang berada pada kekuasaan pihak lawan, mutilasi fisik atau eksperimen medis atau ilmiah dari salah satu jenis yang tidak dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau perawatan rumah sakit dari orang yang bersangkutan demi kepentingankepentingannya, dan yang menyebabkan kematian terhadap atau bahaya yang serius terhadap kesehatan orang atau beberapa orang itu; (xi) Pembunuhan atau mengakibatkan luka terhadap individu-individu yang menjadi milik bangsa yang bermusuhan atau angkatan bersenjata; (xii) Menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan; (xiii) Merusak atau menyita harta kekayaan musuh kecuali pengrusakan atau penyitaan itu diminta dengan tegas untuk kebutuhan-kebutuhan perang; (xiv) Menyatakan hilang,berhenti atau tidak dapat diizinkan di pengadilan hukum hak-hak dan tindakan-tindakan pihak nasional maupun pihak yang bermusuhan; (xv) Memaksa bangsa-bangsa dari pihak yang bermusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang diarahkan terhadap negaranya sendiri, bahkan apabila mereka berada dalam layanan belligerent sebelum memulai perang itu; (xvi) Penjarahan kota atau tempat, bahkan apabila dilakukan dengan penyerangan; (xvii) Menggunakan beracun; 23 racun atau senjata (xviii) Menggunakan gas asphyxiating, gas beracun atau gas-gas lain, dan semua bahan-bahan cairan, bahan-bahan dan perangkat-perangkat yang sama; (xix) Menggunakan peluru tajam yang menyebar atau mudah menusuk pada tubuh manusia, seperti peluru-peluru dengan pelindung keras yang intinya tidak tertutup seluruhnya atau diberi incisions; (xx) Menggunakan senjata, proyektil dan bahan-bahan serta metode perang yang sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan yang maha berat atau penderitaan yang tidak diperlukan atau yang secara disengaja tidak membeda-bedakan dalam pelanggaran hak international atau konflik bersenjata, asalkan senjatasenjata, proyektil dan bahan-bahan serta metode perang itu mangacu pada larangan yang komprehensif dan termasuk dalam lampiran Undangundang ini, dengan perubahanperubahannya sesuai dengan ketentuanketentuan yang relevan yang ditetapkan pada pasal 121 dan 123; (xxi) Melakukan kekejaman terhadap harta benda manusia, pada khususnya kemanusiaan dan perlakuan kejam; (xxii) Melakukan pemerkosaan, perbudakan, perbudakan seks, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana yang diidentifikasikan pada pasal 7 ayat 2 (f), sterilisasi paksa atau bentuk-bentuk pelanggaran seksual lain apapun yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; 24 (xxiii) Menggunakan keberadaan masyarakat sipil atau orang yang dilindungi lain untuk tameng titik-titik, daerah-daerah atau kekebalan-kekebalan kekuasaan militer tertentu dari operasi militer; (xxiv) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangunan-bangunan, unit-unit medis dan transportasi dan personilpersonil yang menggunakan perangkat khusus dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum international; (xxv) Sengaja menggunakan kelaparan sipil sebagai metode perang dengan membiarkan mereka menghilangkan obyek-obyek yang tidak dapat diperbaiki bagi kelanjutan hidupnya termasuk dengan sengaja menghambat pasokanpasokan sebagaimana yang diberikan sesuai dengan Konvensi Jenewa; (xxvi) Memaksa atau mengikutsertakan anakanak di bawah umur limabelas tahun dalam kekuatan bersenjata nasional atau menggunakannya untuk berpartisipasi aktif dalam pertempuran. (c) Dalam hal konflik bersenjata bukan bersifat internasional, pelanggaran-pelanggaran serius dari pasal 3 pada Konvensi Jenewa ke empat tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap tindakan berikut ini yang dilakukan terhadap orangorang yang tidak ambil bagian secara aktif dalam pertempuran termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjatanya/menyerah dan mereka yang ditempatkan hors de combat karena sakit, luka, penahanan atau sebab-sebab lain apapun: 25 (i) Pelanggaran terhadap nyawa dan orang, pada khususnya pembunuhan tanpa pandang bulu, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; (ii) Melakukan penyiksaan pada harkat pribadi, khususnya kemanusiaan dan perlakuan kejam; (iii) Penyanderaan; (iv) Memberikan hukuman dan melakukan eksekusi tanpa pengadilan terlebih dahulu yang diumumkan oleh pengadilan yang dilembagakan secara reguler, yang mengupayakan seluruh jaminan yudisial yang secara umum dikenal sangat diperlukan; (d) Ayat 2 © berlaku bagi konflik bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan keteganganketegangan, seperti kerusuhan, tindakantindakan isolasi dan sporadic dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa. (e) Pelanggaran-pelanggaran hukum serius lainnya dan hukum tradisional yang berlaku di dalam konflik bersenjata yang bukan bersifat internasional, dalam kerangka kerja yang ditetapkan pada hukum internasional yaitu setiap tindakan berikut ini: (i) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil seperti atau terhadap warga negara sipil yang tidak ambil bagian secara langsung dalam pertempuran/ permusuhan itu; 26 (ii) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangunan, bahan-bahan, unit medis dan transportasi, dan personil yang menggunakan perangkat khusus dari Konvensi Jenewa seusai dengan hukum internasional; (iii) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil, instalasi, bahanbahan unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga keamanan sesuai dengan Piagam PBB, dan juga mereka berhak mendapat perlindungan yang diberikan kepada warga sipil atau obyek-obyek sipil seusia dengan hukum internasional dari konflik bersenjata; (iv) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap bangunanbangunan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan-tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat dimana oang-orang sakit berada asalkan mereka bukan tujuan militer; (v) Penjarahan kota atau tempat, bahkan apabila dilakukan dengan penyerangan; (vi) Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana dijelaskan pada pasal 7 ayat 2 (f), sterilisasi paksa dan setiap bentuk pelanggaran seksual lainnya dan juga yang merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 sampai dengan Konvensi Jenewa keempat; 27 (vii) Mengikutsertakan atau mendaftarkan anak-anak di bawah umur limabelas tahun dalam angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok atau menggunakannya untuk berpartisipasi aktif dalam kerusuhan; (viii) Memerintahkan pemindahan populasi atau penduduk sipil untuk alasan-alasan yang terkait dengan konflik kecuali menjamin masyarakat sipil yang terlibat atau untuk alasan-alasan militer imperatif yang diminta; (ix) Pembunuhan atau mengakibatkan luka yang hebat; (x) Menyatakan bahwa tidak ada tempat yang akan diberikan; (xi) Menjadikan orang-orang yang berada pada kekuasaan pihak lain yang bertikai sebagai obyek mutilasi fisik atau pada uji coba medis atau ilmiah dari jenis apapun yang tidak dibenarkan oleh medis, kedokteran gigi atau rumah sakit dari orang-orang yang bersangkutan yang tidak dilakukan pada kepentingannya, yang menyebabkan kematian atau bahaya yang serius terhadap kesehatan orang atau beberapa orang itu; (xii) Merusak atau menyita harta benda pihak lain kecuali pengrusakan atau penyitaan itu dituntut dengan tegas oleh kebutuhan konflik; 28 (f) Ayat 2 (e) berlaku bagi konflik bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan ketegangan -ketegangan, seperti kerusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadic dari pelanggaran atau tindakan-tindakan lain dari sifat yang serupa. Ini berlaku bagi konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah suatu Negara apabila ada konflik bersenjata yang terjadi antara pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisir atau antara kelompok-kelompok itu. 3) Tidak ada ketentuan dalam ayat 2 (c) dan (e) yang akan mempengaruhi tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga atau menetapkan kembali undang-undang atau aturan di Negara itu atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas wilayah Negara itu, dengan segala cara yang sah. Dari rumusan diatas dapat disimak pelanggaran berat HAM yang dikategorikan sebagai kejahatan perang tersebut diatas terjadi dalam situasi konflik bersenjata internasional (pasal 8 ayat 2 (b) dan situasi konflik bersenjata non internasional (pasal 8 ayat 2 (c). Dalam situasi konflik bersenjata internasional yang diterapkan adalah keempat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I. Sedang dalam situasi konflik bersenjata non internasional yang diberlakukan adalah Pasal 3 dalam keempat konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II. Yang dimaksud konflik bersenjata internasional adalah perang antar negara. sedang konflik bersenjata non internasional adalah konflik bersenjata yang terjadi antara pemerintah (tentara nasional) dengan kelompok bersenjata terorganisir atau antar kelompok bersenjata teroganisir yang satu dengan yang lainnya (pasal 2 (f). 29 Situasi-situasi gangguan internal dan keteganganketegangan, seperti kerusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadis lainnya tidak termasuk dalam pengertian konflik bersenjata non internasional. Sehingga terhadapnya tidak diberlakukan yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang ini. Namun demikian dalam situasi kekacauankekerasan dalam negeri seperti tersebut diatas yang belum merupakan konflik bersenjata, perlindungan minimal terhadap Hak Asasi Manusia tetap dijamin oleh hukum, karena perlindungan HAM sudah merupakan tekad dan gerakan internasional. Sehubungan dengan itu, menurut Muladi3, ada penemuan yang progresif dari praktek kedua Tribunal Nuremberg dan Tokyo yaitu pandangan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dapat dilakukan dalam keadaan damai (peacetime) dan hakekat kejahatan perang dapat terjadi pada konflik bersenjata internal. Begitupun rumusan kejahatan perang dalam pasal 8 Statuta Roma 1998 atau Statuta ICC tidak terlepas dari sejarah perang dunia kedua dimana merupakan tekad bersama negara-negara sekutu untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan perang Jerman,dan Jepang jika perang telah usai. Untuk itu disepakati Deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943 dilanjutkan Piagam Perjanjian London 1945 dimana dalam pasal 6 diatur bentuk-bentuk kejahatan perang yang dapat dijatuhi hukuman, yaitu: 3 Muladi. Perbandingan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum Pidana menurut Undang-undang No.26 / 2000. Ceramah FH. UNDIP Semarang, 2002 hlm. 4 30 1) Kejahatan terhadap perdamaian yaitu, merencanakan, mempersiapkan, memulai atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan, atau turut serta dalam rencana-rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu dari tujuan perbuatan-perbuatan tersebut diatas. 2) Kejahatan perang yaitu, pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan, perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa atau diwilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka atau memperlakukan mereka yang dilaut secara demikian, merajah milik negara atau perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan semaumaunya atau membinasakannya dengan tidak ada alasan kepentingan militer. 3) Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu, pembunuhan, membinasakan, memperbudak, pengasingan dan lain-lain kekejaman diluar prikemanusiaan terhadap penduduk sipil yang dijalankan sebelum atau selama perang, penuntutan berdasarkan alasan-alasan politik, rasialisme atau keagamaan yang dalam hubungannya dengan suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi mahkamah, atau apakah tidak merupakan pelanggaran dari hukum dalam negeri yang bersangkutan jika tidak dilakukan. Keinginan untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan perang dunia II pada awalnya dinyatakan secara unilateral melalui pelbagai deklarasideklarasi antara lain :4 4 Oebit Sabi T. Hukum Perang dan Humaniter, FH-UNPAD. hlm.18-19 31 a) Secara sendiri-sendiri Presiden AS F.D. Rosevelt dan Perdana Menteri Inggris W. Churchill pada tanggal 25 Oktober 1941 dan deklarasi Menteri Luar Negeri Uni Soviet Molotov pada tanggal 17 November 1941 mengatakan bahwa kekejaman dan kebiadaban Jerman harus diadili sesudah Perang Dunia II selesai; b) Deklarasi St. James tahun 1942, kemudian tanggal 13 Januari 1942 oleh negara-negara Belgia, Chekoslavia, Luxemberg, Norwegia, Polandia, Yugoslavia, Yunani, Belanda dan Perancis yang berada di London secara bersama mengatakan adanya perbuatan-perbuatan Nazi Jerman yang keji dengan konsesi tindakan perang atau kejahatankejahatan politiknya terhadap penduduk sipil yang tak bersalah di Negara-negara yang didudukinya, maka nantinya sesudah perang selesai terhadap pelakupelaku tersebut, harus diberikan hukuman melalui saluran badan-badan peradilan guna menyatakan kesalahan dan atau bertanggungjawab terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. c) Deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943. Dengan adanya Deklarasi Moskow terhadap kekejaman Jerman pada tanggal 30 Oktober 1943, dari Presiden Amerika Serikat Roosevelt, Perdana Menteri Uni Soviet Stalin untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman segera sesudah Perang Dunia II selesai yaitu, perwira-perwira Jerman dan anggotaanggotanya serta pengikut partai Nazi yang bertanggungjawab untuk ini atau yang telah mengambil bagian dalam keganasan-keganasan tersebut, pembunuhan-pembunuhan dan pelaksanaannya, mereka harus diadili dan dihukum sesuai dengan hukum dari negara-negara bebas tersebut, dan atau pemerintah merdeka yang dibentuk nantinya. 32 d) Perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 dan Deklarasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Timur Jauh di Tokyo tanggal 19 Januari 1946. Sesudah Jerman menyerah dan selesainya Perang Dunia II, di London diadakan konperensi atas dasar deklarasi Moskow tanggal 30 Oktober 1943 antara empat negara besar sekutu: AS, Inggris, Uni Soviet dan Perancis yang dimulai sejak tanggal 26 Juni 1945. Hasil konperensi tersebut adalah adanya perjanjian London (London Agreement) tanggal 8 Agustus 1945 tentang penuntutan dan pemidanaan kejahatan perang yang besar dari negara-negara poros Eropah. Berhasilnya disusun prosedur kerja Mahkamah Militer Internasional di Berlin pada tanggal 6 Oktober 1945 (Charter of the International Militery Tribunal). Kemudian proklamasi bersama pada tanggal 26 Juli 1945 oleh Presiden AS Harry S. Truman, PM Uni Soviet Stalin, PM. Inggris W.Churchill dan Presiden Cina Jenderal Chiang Kai Shek atas adanya Postdam Agreement 1945 yang diadakan dari tanggal 17 Juli sampai 2 Agustus 1945 menyatakan bahwa, bangsa Jepang tidak akan dimusnahkan sebagai bangsa, tetapi akan dihukum mereka yang telah melakukan kejahatan perang, termasuk mereka yang melakukan kekejaman terhadap tawanan perang. Selanjutnya dalam literatur hukum humaniter dikenal "kejahatan perang dalam arti sempit" yaitu pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, dalam hal ini pelanggaran terhadap keempat Konvensi Jenewa tahun 1949. Bentuk-bentuk tindakan pelanggaran tersebut terdapat dalam: 33 (a) Pasal 50 Konvensi Jenewa I yang berbunyi: Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi oleh konvensi: pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan dengan semena-mena. (b) Pasal 130 Konvensi Jenewa III menyebutkan: Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh pasal terdahulu adalah pelanggaran yang meliputi perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi oleh konvensi: pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berprikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, memaksa seorang tawanan perang untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh atau dengan sengaja merampas hak-hak tawanan perang atau peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam konvensi ini. (c) Pasal 147 Konvensi Jenewa IV menyebutkan: Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksud oleh pasal terdahulu adalah pelanggaran yang meliputi perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi oleh konvensi: pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berprikemanusiaan, termasuk 34 percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, deportasi, pemindahan atau penahanan seorang yang dilindungi untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh, atau dengan sengaja merampas hak-hak orang yang dilindungi atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam konvensi ini, penyanderaan dan perusakan besarbesaran serta tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang. Pelangaran-pelanggaran dalam konvensi diatas menggambarkan jenis-jenis perbuatan yang lumrah terjadi dalam perang di darat, laut dan udara pada umumnya khususnya dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Menurut GPH. Haryomataram5 kejahatan perang dalam arti luas adalah: 1) Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. 2) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace) 3) Kejahatan terhadap prikemanusiaan (crimes against humanity) 4) Genocide. Sedang kejahatan perang dalam arti sempit adalah pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. Untuk memperjelas perlu pula dikemukakan pendapat beberapa ahli tentang kejahatan perang berikut ini. 5 Haryamataram,GPH. Hukum Humaniter, Penerbit:CV.Rajawali, Jakarta, hlm.96 35 Menurut Wirjono Prodjodikoro6, macam-macam tindakan yang dianggap merupakan kejahatan perang antara lain: 1) Mempergunakan racun atau gas beracun dalam peperangan, 2) Membunuh prajurit-prajurit yang sakit atau luka-luka, 3) Menghancurkan bangunan-bangunan yang tidak boleh dihancurkan seperti hospital, gereja, mesjid, museum, sekolah dan lain-lain sebagainya, 4) Menyerang kota-kota yang dinyatakan terbuka, yaitu yang tidak dilengkapi dengan alat-alat penangkis serangan bersenjata, 5) Merampas kapal-kapal laut swasta yang tidak boleh diserang seperti, kapal-kapal hospital, kapal-kapal dagang. Sementara itu Oppenheim-Lautterpacht7 membedakan jenis-jenis kejahatan perang berdasarkan sifat dari kejahatan-kejahatan itu, yaitu: 1) Violations of recognised rules regarding war fare commited by members of the armed forces, 2) All hostilities in arms commited by individuals who are not members of the enemy armed forces, 3) Espionage and war treason, 4) All Marauding acts. 6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Publik Internasional,1967, Penerbit: PT.Pembimbing Masa, Jakarta, hlm.173 7 Oppenheim-Lauterpacht.International Law.Vol.II: War and Neutrality,Seventh Edition,Longmans,hlm.567 36 Begitupun Ali Sastroamidjojo 8 membagi kejahatan perang dalam empat jenis, yaitu: 1) Pelanggaran-pelanggaran peraturan-peraturan perang yang berlaku dengan sah, oleh anggotaanggota angkatan bersenjata musuh. 2) Semua tindakan permusuhan bersenjata yang dilakukan oleh oknum-oknum yang bukan anggotaanggota bersenjata musuh. 3) Spionase dan penghianatan perang. 4) Tindakan-tindakan (penggedoran). yang merupakan perajahatan Bahwa rumusan kejahatan perang dalam pasal 8 ICC merujuk pada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Konvensi Jenewa ini terdiri dari empat konvensi yang secara bersama-sama dinamakan Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, juga dikenal dengan nama Konvensi Paling Merah tahun 19499 Negara RI telah menerima seluruh Konvensi Jeneswa 1949 tersebut berdasarkan Undang-Undang No.59 Tahun 1958 tanggal 10 September 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang dimuat dalam Lembaran Negara No.109, 1958 dan memori penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara No.1644. Sebenarnya Negara RI bukan peserta konperensi diplomatik yang melahirkan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 tersebut. Namun melalui pernyataan turut serta (tanpa pensyaratan/ reservation) tertanggal 10 September 1958 Republik Indonesia telah menjadi anggota Konvensi Konvensi Jenewa tahun 1949. Pernyataan turut serta semacam ini merupakan salah satu cara mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian 8 Ali Sastroamidjojo. Pengantar Hukum Internasional. Penerbit: Bharata, 1971, Jakarta. hlm.283 9 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. hlm.7 37 atau konvensi internasional yang dikenal dalam hukum internasional.10 Cara penerimaan Konvensi Jenewa 1949 di atas dipergunakan dalam hubungannya dengan klausula formula penerimaan (acceptance formula Clause)11. Kekuatan hukumnya sama dengan ratifikasi dan dibenarkan untuk memudahkan negara-negara bukan penandatangan menjadi anggota konvensi. Cara pengesahan perjanjian internasional semacam ini telah dibakukan kedalam hukum nasional Indonesia melalui UU RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, dimana dalam pasal 1 ayat 2 diatur bentuk-bentuk pengesahan dengan cara ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Dengan demikian maka seharusnya pula Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998 apalagi telah mendapat ratifikasi lebih dari 60 negara pada tanggal 11 April 2002 dan berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2002. Selain itu AS sendiri yang tadinya menolak mentahmentah Statuta Roma 1998 kini telah berobah sikap dengan menandatanganinya. Sebagaimana yang dikemukakan Menteri Kehakiman dan HAM dalam acara pembukaan pelatihan Hakim Ad Hoc tanggal 5 November 2000 dengan menyatakan bahwa, di penghujung tahun 2000 perjuangan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) telah ditandai oleh 2 (dua) perkembangan penting, yaitu Amerika Serikat telah menandatangani Perjanjian Pengadilan Tetap Pidana Internasional (PPTPI) atau Statuta Roma 1998 dan DPR Khmer Merah telah 10 Yudha Bhakti A. Hukum Internasional Suatu Bunga Rampai,2000, Penerbit:Alumni, Bandung, hlm.170 11 Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional. 1986.Penerbit:Justitia Study Group Bandung,hlm.244 38 menyetujui rancangan undang-undang pembentukan Pengadilan Khmer Merah untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan semasa rezim PolPot. Semula AS tidak menyetujui Statuta Roma dengan alasan utama bahwa pengadilan akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima jurisdiksinya. Amerika mendesak agar Pengadilan hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warga negaranya dan negara tersebut telah meratifikasi Statuta12. Selain itu, disebabkan serdadu dan kepentingan militer AS ada dimana-mana di wilayah dunia, maka dikhawatir berbagai konflik bersenjata yang melibatkan militer AS akan dapat menyeret serdadunya kedalam yurisdiksi pengadilan HAM negara setempat maupun ICC. Sesungguhnya kejahatan kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi ICC banyak diatur dalam KUH Pidana seperti pembunuhan berencana, penganiayaan/penyiksaan berat, perbudakan, penggunaan senjata dan berbagai jenis tindak kekerasan terhadap nyawa atau badan orang dan barang/benda lainnya, namun karena dilakukan secara sistimatis dan menyebar luas atau menjadi bagian dari perencanaan atau kebijakan yang berdampak skala luas dari suatu negara atau organisasi maka kejahatan kemanusiaan dalam statuta memperoleh karakteristik tersendiri dan pengaturan tersendiri dalam hukum pidana internasional yang seyogyanya dapat diadopsi kedalam sistim hukum pidana nasional setiap negara. Sehubungan dengan penjelasan kejahatan perang di atas kini menjadi pertanyaan yang menarik, apakah pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 terhadap kasuskasus kejahatan perang yang tunduk pada yurisdiksi ICC tidak bersifat retroaktif ? 12 Soedjono Dirdjosisworo.Pengadilan Hak Hak Asasi Manusia Indonesia.2002. Penerbit:PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.147 & 146 39 Menurut hemat penulis pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 oleh ICC dengan demikian juga oleh pengadilan pidana (HAM) nasional yang menerapkan yurisdiksi ICC tidak bersifat retroaktif atau tidak melanggar prinsip legalitas dalam Statuta ICC karena: 1) Pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 sama dengan pemberlakuan beberapa prinsip-prinsip hukum pidana internasional (universal) yang telah lama dikenal jauh sebelumnya sebagaimana yang disebutkan dianut dalam Statuta ICC, seperti: prinsip Nullum crimen sine lege (pasal 22), Nulla poena sine lege (pasal 23), Non-retroaktivity ratione personae (pasal 24), prinsip tanggungjawab pidana individu (pasal 25), prinsip admissibility (pasal 17), prinsip non-impunity (pasal 27), prinsip tanggungjawab komandan/atasan (pasal 28) dan lain-lain. 2). Dengan disebutkannya secara tegas dalam Statuta ICC tersebut maka Konvensi Jenewa 1949 menjadi bagian tak terpisahkan dari statuta ICC, artinya ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1949 menjadi ketentuan-ketentuan ICC yang keberlakuannya (kekuatan hukumnya) sama dengan ketentuan ICC lainya sepanjang mengenai kejahatan perang di darat, laut dan udara terutama tentang konflik bersenjata internasional dan non internasional. Sehingga Konvensi Jenewa 1949 dapat diberlakukan terhadap kasus-kasus yang menjadi Yurisdiksi ICC yang terjadi setelah Statuta ICC berlaku efektif. 40 d. The Crime of Aggression Tiga dari empat jenis kejahatan kemanusiaan universal yang menjadi yurisdiksi ICC secara berurutan dirumuskan dalam pasal 6,7 dan 8 Statuta Roma 1998. Sedang perumusan yurisdiksi ICC yang keempat tentang kejahatan agressi ini belum dilakukan menunggu selang waktu 7 tahun terhitung sejak 1 Juli 2002 saat mana mulai berlaku efektifnya statuta ini sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 2 yang merujuk pada pasal 121 tentang amandemen dan pasal 123 tentang peninjauan statuta. Statuta Roma berlaku efektif mulai tanggal 1 Juli 2002 karena telah lewat hari ke-60 sejak ratifikasi negara ke-60 pada tanggal 11 April 2002. Namun demikian oleh karena agresi sangat terkait dengan perang atau konflik bersenjata internasional bahkan merupakan bagian awal dari perang itu sendiri maka segala kejahatan kemanusiaan yang berat yang terkait dengan kejahatan agresi dapat terhisap kedalam yurisdiksi ICC tentang kejahatan perang. Kejahatan perang dapat dimulai dari kejahatan agresi, aatu kejahatan agresi dapat berlanjut menjadi kejahatan perang. Tetapi kedua jenis kejahatan ini dapat dibedakan dan diatur sendiri-sendiri karena memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai gambaran kedepan, maka sebaiknya dikemukakan beberapa konsepsi dan kaidah hukum internasional tentang agresi yang sesungguhnya telah lama dikenal dalam literatur hukum internasional. 41 Pada tahun 1954 Komisi Hukum Internasional pernah mengajukan konsep agresi kepada Majelis Umum PBB sebagaimana yang diungkapkan James Barros13), sebagai berikut: Tindakan-tindakan sebagai berikut adalah bertentangan dengan perdamaian dan keamanan umat manusia: 1) Setiap tindakan agresi, termasuk penempatan kekuatan bersenjata oleh penguasa sebuah negara terhadap negara lain dengan tujuan apapun kecuali pembelaan diri baik nasional maupun bersama atau menjalankan keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa atau berdasarkan rekomendasi sebuah organ PBB yang berwenang. 2) Setiap ancaman oleh penguasa sebuah negara untuk terpaksa mengambil tindakan agresi terhadap negara lain. Selain itu J.G. Starke14 menyatakan bahwa Komisi Khusus yang dibentuk PBB merumuskan defenisi agresi yang menggambarkan Agresi adalah penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kebebasan politik negara lain atau cara lain yang bertentangan dengan Piagam PBB sebagaimana diterapkan dalam defenisi ini. Dalam penerapannya, Tribunal Nuremberg dalam putusannya membedakan antara tindakan agresi seperti tindakan pendudukan Jerman atas Austria pada tahun 1938 dan Cekoslowakia pada tahun 1939 tanpa adanya perlawanan bersenjata yang berarti dengan perang agresi seperti 13 James Barros .PBB Dulu, Kini dan Esok. Alih Bahasa D.H.Gulo. Penerbit: Bumi Aksara, hlm.210 14 Starke,J.G. Op.cit. hlm.222 42 pendudukan Jerman atas Polandia sejak 1 September 1939 yang mendapat perlawanan bersenjata yang sengit. Tetapi Tribunal Tokyo dalam putusannya sama sekali tidak mengadakan pembedaan antara tindakan agresi dan perang agresi. Jadi agresi adalah setiap ancaman kekuatan bersenjata suatu negara terhadap negara lain yang tidak berdasarkan pada upaya pembelaan diri (sesuai pasal 51 Piagam PBB) atau bukan keputusan atau saran organ PBB yang berwenang yaitu Dewan Keamanan PBB (sesuai pasal 39 jo. pasal 41 & pasal 42 Piagam PBB). Kesulitan utama merumuskan agresi 15 sebagaimana dikemukakan J.G. Starke adalah bagaimana menentukan adanya perang agresi atau kapan permusuhan-permusuhan bukan perang menimbulkan tindakan agresi. Kesulitan ini dialami oleh komisi hukum internasional PBB dalam mempersiapkan suatu rancangan keputusan bagi yurisdiksi ICC tentang kejahatan agresi sehingga perumusannya masih memerlukan waktu 7 (tujuh) tahun setelah berlaku efektifnya ICC melalui upaya amandemen dan peninjauan statuta (pasal 121 jo 123 statuta ICC). Amerika Serikat juga menolak yurisdiksi ICC tentang kejahatan agresi, mengingat serdadu dan kepentingan militernya ada dimanamana dimuka bumi ini. Sesungguhnya sejak berlakunya Piagam PBB terutama berdasarkan pasal 2 ayat 3 & 4 yang menegaskan prinsip penyelesaian sengketa tanpa kekerasan bersenjata serta pasal 33 yang menyebutkan cara-cara penyelesaian damai yang dapat ditempuh pihak bersengketa maka perang tidak lagi dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan suatu 15 Starke,J.G. Op.cit. hlm.296 43 sengketa internasional. Piagam PBB hanya membenarkan penggunaan kekerasan/kekuatan militer dalam menyelesaikan suatu sengketa internasional dalam dua hal yaitu: 1) Pembelaan diri suatu negara dari ancaman/ serangan militer negara lain sesuai pasal 51 Piagam PBB 2) Tindakan Militer Pasukan Perdamaian PBB yang terdiri dari berbagai negara sesuai pasal 39 jo. pasal 41 & pasal 42 Piagam PBB. Dengan demikian semua aksi militer suatu negara yang mengancam atau menyerang negara lain yang dilakukan tidak berdasarkan pasal 51 dan pasal 39 jo. pasal 41 & 42 Piagam PBB adalah tindakan agresi atau perang agresi. Prinsip inilah yang dapat menjadi kriteria utama dalam penyusunan rumusan agresi yang dapat menjadi yurisdiksi ICC yang keempat dikemudian hari. 2. Yurisdiksi Terkait Waktu (Temporal Jurisdiction / Ratione Temporis) Yurisdiksi temporal ini ditegaskan dalam pasal 11 ayat 1 dan pasal 24 statuta ICC serta saling terkait dengan pasal 22 , pasal 23 dan pasal 12 ayat 3 jo. pasal 11 ayat 2 Statuta ICC. Pasal 11 ayat 1 secara tegas menyebutkan yurisdiksi ratione temporis ICC hanya berkaitan dengan kejahatankejahatan yang terjadi setelah berlakunya statuta ICC. Kemudian pasal 24 menegaskan Prinsip Nonretroactivity, bahwa tidak seorangpun dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana atas tindakan-tindakan 44 yang dilakukan sebelum berlakunya statuta ICC. Dikuatkan lagi dalam pasal 22 yang menegaskan pemberlakuan prinsip Nullum crimen sine lege, bahwa seseorang tidak bertanggung-jawab secara pidana kecuali tindakan yang dilakukannya merupakan kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Penegasan mana juga terdapat dalam pasal 23 yang memberlakukan prinsip Nulla poena sene lege, bahwa seseorang hanya dapat dihukum oleh ICC berdasarkan statuta ICC ini. Selanjutnya pasal 12 ayat 3 jo Pasal 11 ayat 2 mengatur adanya pengecualian pelaksanaan yurisdiksi temporis dalam pra-konsidi. Sehubungan dengan hal ini Muladi16 menyatakan, berlakunya asas legalitas tersebut mengandung perkecualian yang diatur dalam pasal 12 ayat 3 Jo. pasal 11 ayat 2 yaitu apabila negara yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (ad hoc declaration) yang diajukan pada Panitera bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh Pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan yang bersangkutan yang dilakukan pada masa lalu, sesuai dengan Bagian 9 Statuta (International Cooperation and Judicial Assistance). Ditambahkannya lagi, bahwa asas legalitas ini dalam konteks yang berbeda juga tersurat dan tersirat dalam pasal 22 dan pasal 23 Statuta ICC. Terhadap kejahatankejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya (continuous crimes), maka penyelesaiannya sepenuhnya pada pertimbangan Pengadilan. Hal yang terpenting pula, bahwa segala perubahan Aturan-aturan Prosedur dan Pembuktian serta Aturanaturan sementara tidak akan diterapkan secara retroaktif (pasal 51 ayat 4 Statuta ICC). 16 Muladi 2002. Op Cit, hlm. 9 45 Akan tetapi terhadap Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc diberlakukan asas retroaktif yang sangat bertentangan dengan asas legalitas. Tentang hal ini, Indiyanto Seno Adji 17 menyarankan, bahwa makna yang terkandung dalam asas legalitas yang universalitas sifatnya, baik ilmu hukum, doktrin maupun yurisprudensi, adalah bahwa (1) tiada pidana tanpa peraturan Undang-undang terlebih dahulu, (2) larangan adanya analogi hukum, dan (3) larangan berlaku surut suatu Undang-undang atau yang dikenal sebagai larangan berlakunya asas retroaktif. Artikulasi yang terakhir inilah yang menimbulkan polemik dalam kerangka penyusunan (rancangan) UU Pengadilan HAM, sehingga untuk memahami effektifitasnya perlu dilakukan suatu historical approach dalam wacana sistim hukum pidana Indonesia, yang sejak pengaruh konkordansi hukum pidana Indonesia selalu menolak keberadaan asas retroaktif. Selanjutnya dikatakannya18, bahwa dari pendekatan historis tersebut, keberadaan asas retroaktif haruslah memenuhi kriteria yang rigid dan limitatif, antara lain: (1) Adanya korelasi antara Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht) dengan hukum pidana, artinya asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal)dengan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormaalrecht), karena sifatnya penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang sangat limitatif, (2) Asas retroaktif tidak diperkenankan bertentangan dengan pasal 1 ayat 2 KUHPidana yang imperatif sifatnya, artinya sifat darurat keberlakuan asas 17 Indriyanto Seno Adji. Catatan Tentang Pengadilan HAM & Masalahnya. Talk Show IKA UNAIR,6 Mei 2000, Jakarta, hlm.6 18 Indriyanto Seno Adji, ibid. hlm.9 46 retroaktif ini tidak berada dalam keadaan yang merugikan seorang tersangka/terdakwa, dan 47 (3) Substansiel dari suatu aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substansiel suatu aturan secara tegas dan tidak menimbulkan multi-interperatif, sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan abuse of power. Pemberlakuan asas retroaktif terhadap peradilan HAM Internasional maupun nasional ad hoc tidak bijaksana untuk dipertentangkan dengan asas legalitas karena pada hakekatnya kedua asas tersebut bersumber dari asas yang lebih mendasar yaitu asas keadilan. Tidaklah adil jika suatu kejahatan HAM yang begitu menggugah hati nurani tidak mendapat penghakiman. Apalagi dilakukan oleh aparat pemerintah/ negara yang seharusnya melayani dan melindungi rakyatnya dan orang asing dinegaranya. Pemberlakuan asas retroaktif secara eksklusif-khusus terhadap kasuskasus HAM berat dimasa lalu melalui peradilan HAM ad hoc tidaklah melanggar asas keadilan. Penekanan tujuan peradilan HAM ad hoc adalah bukan pada penegakan asasnya melainkan pemberantasan kejahatannya yang tidak berkesan balas dendam (lex talionis). 3. Yurisdiksi Territorial (Territorial Jurisdiction/ Ratione Loci) Menyimak pasal 12 ayat 2 Statuta ICC, dapat dilihat yurisdiksi territorial ICC berlaku terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada: a). Wilayah negara peserta konvensi/Statuta Roma 1998 tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku. b). Wilayah negara yang menerima yurisdiksi ICC berdasarkan pernyataan ad hoc (ad hoc declaration). c). Wilayah yang ditentukan Dewan Keamanan PBB. 48 d). Wilayah negara bendera atas Kapal Laut dan Pesawat Udara. Sejak lahirnya negara-negara moderen yang dimulai dan ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian-perjanjian West Phalia tahun 1648 suatu perjanjian yang mengakhiri perang 30 tahun di Eropa (1618-1648) praktek bendera sebagai simbol identitas negara sudah berkembang (bahkan jauh sebelumnya di zaman kerajaankerajaan di masa lalu bendera sebagai simbol identitas kerajaan sudah ada). Selanjutnya di negara-negara yang lahir setelah Perang Dunia II lebih cenderung mencantumkan bendera kebangsaannya ke dalam UUD Negara. Kemudian negara Indonesia menegaskannya dalam Pasal 35 UUD 45. Sebagai identitas negara bendera juga dipandang sebagai “bayangan positif” dari kemerdekaan, kedaulatan, dan yurisdiksi negara bendera, juga harkat dan martabat masyarakat/bangsanya, sehingga bendera mempunyai nilai sakral, suci dan kramat terutama bagi negara yang lahir dari hasil perjuangan panjang segenap banga dan msyarakat pendahulunya seperti Indonesia. Bahwa hubungan erat dan esensial antara bendera dan keberadaan negara antara lain dapat dilihat dalam praktek negara sejak abad 18 tentang Flag of convenience yang mengandung prinsip umum bahwa bendera yang menentukan yurisdiksi negara yang berlaku di atas sebuah kapal artinya hukum dan perundang-undangan serta kebijaksanaan pemerintah negara bendera yang berlaku/diperlakukan di atas kapal tersebut dimanapun kapal itu berada baik di laut bebas maupun di laut teritorial negara lain. Juga praktek di masa perang sejak lama telah menjadi kebiasaan internasional penurunan atau pengibaran bendera merupakan simbol kekalahan atau kemenangan suatu pihak (negara atau kerajaan). 49 Dalam hukum dan kebiasaan perang, juga bendera merupakan salah satu lambang tanda pembeda utama pihak-pihak yang berperan maupun pihak-pihak terkait lainnya seperti organisasi Palang erah Internasional dan pasukan perdamaian (PBB). Lebih khusus lagi dalam membedakan status kombatan dan non kombatan serta kelompok-kelompok non kombatan yang dalam hal-hal tertentu diperlakukan sama dengan kombatan sebagaimana antara lain yang diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan kebiasaan perang di darat dan Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang. 4. Yurisdiksi Personal-Individual (Personal Jurisdiction / Ratione Personae). Yurisdiksi personal-individual ICC diatur dalam beberapa pasal yaitu: pasal 12 ayat 2 b, pasal 12 ayat 3, pasal 27 ayat 1 dan 2 , pasal 28 ayat 1 dan 2 serta pasal 26 dan pasal 25 statuta ICC. Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, yurisdiksi Individual ICC meliputi: a. Warga negara peserta Konvensi Roma 1998 b. Warga negara penerima yurisdiksi ICC c. Warga negara manapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan di wilayah negara peserta dan penerima yurisdiksi ICC. d. Warga negara manapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan diatas Kapal Laut dan Pesawat Udara. e. Warga negara manapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan sesuai keputusan DK-PBB. 50 f. Siapa saja yang melakukan kejahatan kemanusiaan tanpa memandang jabatan kenegaraan/pemerintahan yang dipangkunya. g. Komandan dan atasan militer lainnya. h. Siapa saja yang telah mencapai usia 18 tahun atau lebih. Bahwa sistim pertanggungjawaban pidana tanpa memandang kapasitas-jabatannya yang dianut Statuta ICC merupakan pembatasan ekslusif terhadap teori imputation yang dikenal dalam literatur hukum internasional selama ini. Menurut paham imputation, pertanggungjawaban atas pelanggaran/kejahatan yang dilakukan aparat/badan negara dapat berpindah ke negara, selama tindakan tersebut dilakukan sesuai kewenangannya. Berarti aparat badan negara secara individual dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban pidana. Hanya dalam hal aparat badan negara melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya sehingga organ negara melakukan ultra vires, maka aparat badan negara tersebut secara individual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tetapi menurut J.G.Starke19, namun juga dalam hal peristiwa-peristiwa ultra vires negara dapat dipertanggung-jawabkan apabila karena peristiwaperistiwa tersebut telah melanggar kewajiban-kewajiban yang berdiri sendiri, misalnya kewajiban mengambil langkah-langkah menghentikan tindakan-tindakan yang salah dan sebagainya. Jadi negara dapat secara tidak langsung bertanggungjawab karena tindakan-tindakan ultra vires. 19 Starke,J.G. Op.cit. hlm.176 51 Dengan demikian menurut hemat penulis pemindahan pertanggungjawaban dari aparat badan negara kepada negara bukan pemindahan pertanggungjawaban pidana individualnya melainkan terbatas secara ekslusif hanya pada pertanggungjawaban perdata/privat berupa pemberian ganti-rugi atas kesalahan/kelalaian aparat negara yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga, dapat pula berupa pertanggungjawaban politis-diplomatik berupa permintaan maaf pemerintah/negara, atau pemutusan hubungan diplomatik atau tindakan persona non grata terhadap individu yang bersangkutan. Pelaksanaan yurisdiksi individual diatas mendapat pembatasan ekslusif atas dasar: a) Security Council Veto of Prosecution oleh DK-PBB yaitu sesuai pasal 16 Statuta ICC, DK-PBB dapat meminta ICC menunda/menangguhkan penyidikan dan penuntutan suatu kasus selama dua belas bulan yang dapat diperpanjang sehubungan dengan kewenangan DK-PBB dalam Bab VII Piagam PBB tentang tindakan-tindakan yang berkenaan dengan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, pengacauan terhadap perdamaian dan tindakan tindakan agresi. b) Penegasan pasal 26 Statuta ICC yang menyatakan yurisdiksi personal ICC tidak menjangkau seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat melakukan kejahatan yang dituduhkan. Menurut hemat penulis, ketentuan ini akan menyulitkan penerapan yurisidksi ICC tentang kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan diadopsi pula kedalam Statuta ICC yang masih memungkinkan perekrutan anak-anak berusia 15 tahun untuk menjadi anggota kombatan. Karena merupakan anggota kombatan meskipun konvensi Jenewa melarang ditempatkannya digaris depan pertempuran, maka anak-anak berusia 15 tahun/di bawah 18 tahun 52 tersebut dapat saja terlibat dalam suatu kejahatan perang yang sudah menjadi yurisdiksi ICC. Bahwa ketentuan-ketentuan Statuta ICC diatas mencerminkan prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual sesuai pasal 25 Statuta ICC terhadap siapapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan yang selama ini dituntut untuk diadili dan dihukum melalui suatu pengadilan. Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo serta Pengadilan HAM Ad Hoc ex Yugoslavia dan Pengadilan HAM Ad Hoc Rwanda serta Pengadilan Ad Hoc Nasional Indonesia telah dan sedang mengadili dan memvonis para terdakwa kejahatan kemanusiaan berdasarkan prinsip pertanggungjawaban pidana Individual. Bahwa terdapat perbedaan yang tajam antara Tribunal Nuremberg, Tribunal Tokyo dan Pengadilan Internasional HAM Ex Yogoslavia dan Rwanda termasuk Pengadilan HAM Ad Hoc Nasional RI disatu pihak dengan ICC dan pengadilan HAM (permanen) nasional RI dilain pihak, yaitu kelompok yang pertama menerapkan asas hukum Retroaktif dan yang lainnya menerapkan asas hukum legalitas. Selain itu Tribunal Nuremberg dan Tokyo menempatkan peradilannya sebagai peradilan internasional yang berada diatas (superior atau primacy) dari pengadilan nasional. Sementara ICC menempatkan peradilannya dalam hubungan komplementari (pelengkap) dari pengadilan HAM nasional. Hal ini sama dengan Konvensi Jenewa yang memungkinkan adanya pengadilan nasional disamping pengadilan pidana internasional. 53 Tentang peralihan penanganan kasus kejahatan kemanusiaan dari pengadilan internasional (tribunal) ke Pengadilan HAM Nasional diatas, Mochtar Kusumaadmadja20 menyatakan: dari ketentuanketentuan ini ternyata bahwa konvensi tidak mengikuti sistim peradilan penjahat-penjahat perang dunia kedua yang telah menjdi terkenal karena pengadilanpengadilan penjahat perang Nuremberg dan Tokyo. Ketentuan ini sebaliknya menyerahkan peradilan pidana dari pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuanketentuan hukum internasional yakni ketentuanketentuan konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949, kepada peradilan nasional pihak penandatangan. Sebagai sistim peradilan penjahat perang, sistim konvensi Jenewa 1949 ini jadinya merupakan suatu tingkat peralihan dari peradilan kejahatan-kejahatan internasional oleh pengadilan-pengadilan nasional yang dikenal dalam hukum perang tradisional dan peradilan internasional daripada penjahat perang model Nuremberg dan Tokyo sesudah perang dunia kedua. Dengan demikian sama dengan ICC, setiap negara berdaulat diberi wewenang hukum untuk mengadili kejahatan kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam Statuta ICC. Bahwa kejahatan kemanusiaan yang belum diatur dalam Statuta ICC seperti yurisdiksi terhadap kejahatan agresi, sebaiknya diadili melalui pengadilan HAM Ad Hoc Internasional maupun Nasional dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum dalam Konvensi Jenewa 1949 maupun yang tersebar dalam pelbagai Konvensi HAM lainnya. Sambil menuggu penyempurnaan yurisdiksi ICC yang dimaksud tujuh tahun mendatang 20 Muchtar Kusumaatmadja, ibid. hlm. 42 54 5. Yurisdiksi Pelanggaran Administrasi Pengadilan Yurisdiksi ICC terhadap pelanggaran administrasi pengadilan diatur dalam pasal 70 Statuta ICC yang antara lain mengatur tentang: (a) Pemberian pengakuan palsu sehubungan dengan kebenaran bukti yang diberikan saksi. (b) Mengajukan bukti palsu atau dipalsukan. (c) Mempengaruhi baik melalui bujukan seperti suap maupun ancaman kepada saksi dalam memberikan kesaksian atau kepada petugas pengadilan dalam melaksanakan tugasnya. (d) Meminta pengiriman suatu kasus kepada pihak yang berkompeten melakukan penuntutan. (e) Menjatuhkan pidana penjara setinggi-tingginya lima tahun dan/atau denda. 6. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib Pengadilan. Yurisdiksi ICC terhadap pelanggaran tata tertib di muka pengadilan diatur dalam pasal 71 Statuta ICC yang meliputi: (a) Menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melanggar tata tertib dalam ruang persidangan, termasuk mengganggu persidangan dan menolak mematuhi aturan-aturannya. (b) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi, pemenjaraan, mengeluarkan sementara waktu atau selamanya dari ruang sidang serta menjatuhkan denda atau tindakan serupa yang ditetapkan dalam peraturan dan bukti. 55 C. Unsur – Unsur Kejahatan HAM Internasional 1. Ketentuan Umum a) Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 jo. Pasal 21, bahwa Unsur-unsur Kejahatan Bersamaan ini harus digunakan Pengadilan secara konsisten dalam melakukan penegakan hukum terhadap Pasal 6 Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan Perang. Sehingga Pengadilan tidak boleh melakukan interpretasi dan aplikasi lain selain berdasarkan rumusan Unsur-Unsur Kejahatan Bersamaan ini. b) Unsur-Unsur Kejahatan Bersamaan ini dirumuskan sesuai dengan masing-masing kejahatan HAM yang telah dirumuskan definisi kejahatannya dalam Pasal 6 Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan Perang. Sedang untuk Kejahatan HAM Agresi belum dapat dibuatkan rumusan UnsurUnsur Kejahatan karena definisi kejahatan Agresi belum dirumuskan. c) Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 30, kecuali ditetapkan sebaliknya, seseorang harus bertanggung jawab secara kriminal dan bertanggung jawab atas hukuman untuk suatu kejahatan dalam yurisdiksi suatu Pengadilan, hanya bila materi unsur-unsur tersebut dikerjakan dengan maksud (intent) dan pengetahuan. Tidak ada rujukan yang dibuat di dalam unsur-unsur Kejahatan untuk unsur mental bagi tindakan tertentu, akibat atau keadaan telah didaftar, hal ini dimengerti sebagai unsur mental yang relevan, yaitu maksud, pengetahuan atau keduanya, ditampilkan dalam terapan Pasal 30. Perkecualian bagi standar-standar Pasal 30, berdasarkan UndangUndang, termasuk hukum terapan di bawah ketetapannya yang relevan, ditunjukkan di bawah ini. 56 d) Keberadaan akan maksud dan pengetahuan dapat disimpulkan dari fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang relevan. e) Mengenai unsur-unsur mental yang berhubungan dengan unsur-unsur yang terlibat dengan nilai pengadilan, seperti pemakaian istilah ‘inhumane’ (tidak manusiawi) atau ‘severe’ (parah), tidaklah penting bahwa pelaku kejahatan secara pribadi menyelesaikan (penilaian) pengadilan tertentu, kecuali bila ditunjuk sebaliknya. f) Dasar-dasar untuk menyingkirkan tanggung jawab atau ketiadaan kriminal secara umum tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari kejahatan yang diurutkan untuk setiap kejahatan. g) Perlunya ‘unlawfulness’ (keadaan tanpa hukum) ditemukan dalam Undang-Undang atau dalam bagian lain dari hukum internasional, dalam hukum humaniter internasional khusus, secara umum tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari Kejahatan. h) Unsur-unsur dari kejahatan secara umum terstruktur secara berurut dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: - Dengan adanya unsur-unsur dari kejahatan berfokus pada tindakan, akibat dan keadaan yang berkaitan dengan masing-masing kejahatan, semua itu secara umum terdaftar dengan urutan seperti itu. - Ketika diperlukan, suatu unsur mental khusus diurutkan setelah tindakan yang terpengaruhi, akibat atau keadaan. - Keadaan-keadaan yang kontekstual diurutkan terakhir. i) Karena dipakai dalam unsur-unsur dari Kejahatan, istilah “perpetrator” (pelaku kejahatan) adalah netral seperti halnya bersalah atau tidak berdosa. Unsurunsur tersebut, termasuk unsur mental yang sesuai, menerapkan mutatis mutandis pada semua yang 57 mempunyai tanggung jawab kriminal, terdapat pada pasal 25 dan 26 dari Undang-Undang. j). Tindakan tertentu dapat membentuk satu atau lebih kejahatan-kejahatan. k). Penggunaan hak-hak singkat (short) untuk kejahatankejahatan tidak mempunyai efek legal. l) Mempertimbangkan unsur-unsur element of crime) yang utama: kejahatan (the (1) unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaankeadaan (circumstances) yang menyertai perbuatan, (2) unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya (Pasal 30 Statuta Roma) yang mengatur "mental element", m). Unsur Mental (Mental Element) dalam pengertian: Kesengajaan (intent) terjadi apabila perbuatan (conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat atau keinginan untuk melakukan/turut serta melakukannya, yang menimbulkan akibat (consequences). Perbuatan tersebut menimbulkan akibat (consequences), apabila pelaku mengetahui (knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya tersebut akan menimbulkan akibat. Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa perbuatan dan akibat terdapat hubungan sebab-akibat. perbuatan awal menimbulkan kejadian sebab, dan kejadian sebab menimbulkan kejadian akibat. Pengertian tahu (know) dan mengetahui (knowingly) ditafsirkan dalam kerangka hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut. 58 n) Unsur Perbuatan : (1) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) dan sistematik (systematic) ditujukan pada penduduk sipil; dan (2) keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. 2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM Internasional a. Genocide (Pemusnahan Suatu Bangsa) Pasal 6 Pendahuluan Dengan memandang ayat terakhir yang terurut untuk setiap kejahatan: - Istilah “in the context of” (dalam konteks dari) akan meliputi tindakan-tindakan awal dalam pola yang baru bermunculan; - Istilah “manifest” (penampakan) adalah kualifikasi yang obyektif; - Tanpa menentang persyaratan normal untuk unsur mental yang ditetapkan dalam pasal 30, dan mengenali bahwa pengetahuan mengenai keadaan-keadaan biasanya akan ditujukan untuk membuktikan maksud genocide, persyaratan yang sesuai, bila ada, untuk unsur mental merujuk pada keadaan ini akan perlu diputuskan oleh Pengadilan dengan dasar kasus per kasus 59 Pasal 6 (a) Pemusnahan bangsa-bangsa melalui Pembunuhan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah membunuh (2) satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tersebut. 4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (b) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan melukai secara fisik maupun mental Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melukai secara fisik atau mental dengan serius terhadap satu orang atau lebih. (3) 2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tersebut. 60 4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (c) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan membuat kondisi-kondisi perhitungan jiwa secara sengaja untuk menimbulkan penghancuran fisik Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kondisi-kondisi tertentu atas jiwa satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Kondisi-kondisi atas jiwa tersebut diperhitungkan untuk menimbulkan penghancuran fisik atas kelompok tersebut, secara keseluruhan atau sebagian. (4) 5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. 61 Pasal 6 (d) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan memberlakukan langkah-langkah untuk mencegah kelahiran. Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memberlakukan langkahlangkah tertentu atas satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Tindakan-tindakan tersebut diberlakukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu. 5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (e) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan pemindahan anak-anak dengan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa untuk memindahkan satu orang atau lebih.(5) 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 62 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Pemindahan tersebut adalah dari satu kelompok ke kelompok lain 5. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 18 tahun 6. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui, bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 18 tahun 7. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. b. Crime Againts Humanity (Kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan) Pasal 7 Pendahuluan 1. Oleh karena pasal 7 menyinggung tentang hukum kriminal internasional, ketetapan-ketetapannya, konsisten dengan pasal 22, maka harus ditafsirkan dengan baik, diperhitungkan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang didefinisikan dalam pasal 7 adalah salah satu di antara kejahatan yang paling serius yang mengkhawatirkan dunia internasional sebagai tanggung jawab kriminal dari individu secara keseluruhan, terjamin, dan dibutuhkan, dan memerlukan tindakan yang tidak diijinkan oleh hukum internasional terapan umum, seperti yang dikenali oleh sistem-sistem legal utama dunia. 63 2. Dua unsur terakhir untuk masing-masing kejahatan terhadap kemanusiaan mendeskripsikan dalam konteks di mana tindakan harus mendapat tempat. Unsur-unsur ini mempertegas syarat-syarat partisipasi dalam dan akan pengetahuan tentang pernyebaran atau serangan sistematis terhadap penduduk sipil. Bagaimanapun juga, unsur terakhir tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai memerlukan bukti bahwa pelaku kejahatan memiliki pengetahuan atas semua karakteristik suatu serangan atau rincian yang tepat dari suatu rencana atau kebijakan suatu Negara atau organisasi. Dalam kasus dari munculnya serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil, maksud ketentuan dari ayat terakhir menunjukkan bahwa pemikiran ayat ini akan dipenuhi bila pelaku kejahatan bermaksud untuk bertindak lebih jauh atas serangan semacam itu. 3. “Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil.” Dalam konteks ini unsur-unsur dipahami sebagai perjalanan tindakan yang melibatkan komisi multipel dari aksi-aksi merujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-Undang terhadap penduduk sipil apa pun, menurut atau di dalam keterlibatan lebih jauh dari kebijakan Negara atau organisasi untuk menetapkan serangan semacam itu. Tindakan-tindakan tersebut tidak membutuhkan adanya unsur serangan militer. Dipahami bahwa “kebijakan yang menetapkan serangan semacam itu” memerlukan Negara atau organisasi untuk secara aktif meningkatkan atau memberanikan serangan semacam itu terhadap penduduk sipil. (6). 64 Pasal 7 (1) (a) Kejahatan terhadap kemanusiaan atas pembunuhan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh (7) satu orang atau lebih 2. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil 3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil Artikel 7 (1) (b) Kejahatan terhadap pemusnahan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh (8) satu orang atau lebih, termasuk dengan cara membuat kondisikondisi yang mengancam jiwa yang menimbulkan penghancuran sebagian dari penduduk. (9) 2. Tindakan tersebut terdiri dari atau sebagai bagian dari, (10) pembunuhan massal dari anggotaanggota penduduk sipil 3. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 65 Pasal 7 (1) (c) Kejahatan terhadap perbudakan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukarkan orang atau orang-orang semacam itu atau dengan membebani mereka dengan perampasan kebebasan dan sejenisnya. (11) 2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (d) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai deportasi atau pemindahan paksa atas suatu penduduk 1. Pelaku kejahatan mendeportasi atau memindahkan (13) secara paksa (12) tanpa dasar yang diijinkan oleh hukum internasional, bagi satu orang atau lebih ke Negara lain atau lokasi lain, dengan tindakan pengusiran atau tindakan paksa lainnya. 2. Orang atau orang-orang semacam itu berada secara hukum di daerah di mana mereka dideportasikan atau dipindahkan 66 3. Pelaku menyadari keadaan yang sebenarnya yang ada dalam keberadaan hukum seperti itu. 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (e) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai pemenjaraan atau berbagai perampasan kebebasan fisik lainnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memenjarakan satu orang atau lebih atau sebaliknya merampas kebebasan fisik satu orang atau lebih dengan parahnya. 2. Kegawatan dari tindakan itu adalah karena tindakan itu merupakan pelanggaran atas aturanaturan dasar hukum internasional 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan yang sebenanya terjadi yang menimbulkan kegawatan tindakan tersebut 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 67 Pasal 7 (1) (f) Kejahatan atas kemanusiaan mengenai penyiksaan (14) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau derita fisik atau mental yang parah atas satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang tersebut adalah sebagai tahanan atau di bawah kendali pelaku kejahatan 3. Sakit atau derita semacam itu tidak hanya berasal dari dan tidak melekat atau insidentil terhadap sanksi hukum. 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-1 Kejahatan terhadap pemerkosaan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang (15) tubuh seseorang dengan tindakan yang menyebabkan penetrasi dari organ seks pelaku kejahatan, betapa pun ringannya, terhadap bagian tubuh apapun dari tubuh korban, atau dari bukaan anus atau kelamin dari korban dengan obyek apapun atau dengan bagian tubuh apapun 68 2. Penyerangan ini dilakukan dengan paksa, atau dengan ancaman atau kekuatan atau tindakan pemaksaan, dan tindakan semacam itu yang disebabkan oleh ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kuasa, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (16) 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-2 Kejahatan terhadap perbudakan seks (17) kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukarkan orang atau orang-orang semacam itu atau dengan membebani mereka dengan perampasan kebebasan dan sejenisnya. (18) 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih tindakan-tindakan seks alami. 69 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-3 Kejahatan terhadap pelacuran paksa kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu keadaan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan uang atau keuntungan lainnya yang ditukarkan dalam hubungannya dengan tindakan kegiatan seksual . 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 70 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-4 Kejahatan atas kemanusiaan mengenai kehamilan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan satu orang wanita atau lebih dan memaksanya hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnik dari penduduk apa pun atau untuk menyelenggarakan pelanggaran berat lainnya dari hukum internasional 2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-5 Kejahatan terhadap kemanusiaan sterilisasi yang dipaksakan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduksi biologis dari satu orang atau lebih. (19) 71 2. Tindakan ini baik dinilai secara tatalaksana medis atau rumah sakit dari orang atau orang-orang tersebut maupun diselenggarakan dengan persetujuan tertulis dari mereka. (20) 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-6 Kejahatan terhadap kekerasan seksual kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran lain dalam pasal 7 paragraf 1 (g) dalam UndangUndang. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan sebenarnya yang membentuk kegawatan dari tindakan tersebut 72 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (h) Kejahatan penyiksaan terhadap kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melakukan pelanggaran berat berupa penghilangan hak-hak dasar satu orang atau lebih, yang berlawanan dengan hukum internasional, (21) 2. Pelaku kejahatan membuat sasaran atas satu orang atau lebih tersebut dengan alasan demi identitas suatu kelompok atau secara kolektif atau membuat sasaran atas kelompok itu atau secara kolektif. 3. Pembuatan sasaran seperti itu didasarkan pada politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama dan jenis kelamin seperti yang didefinisikan pada pasal 7, paragraf 3, dari Undang-Undang, atau dasar lain yang secara universal dikenali sebagi hal yang tidak diijinkan oleh hukum internasional 4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam kaitanya dengan tindakan apapun merujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-undang atau kejahatan apa pun dalam yurisdiksi Pengadilan. (22) 5. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 73 6. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (i) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai penghilangan orang secara paksa (23) (24) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan: (a) Menangkap, menahan (25) (26) atau menculik satu orang atau lebih; atau (b) Menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut atau untuk memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut. 2. (a) Penangkapan, penahanan, penculikan tersebut diikuti atau disertai oleh penolakan untuk mengakui bahwa hal itu adalah perampasan atas kebebasan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut (b) Penolakan tersebut diikuti atau disertai oleh perampasan kebebasan 3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa: (27) (a) Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut dapat diikuti secara alami dari suatu kejadian dengan suatu penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan atau menolak untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang. (28) atau (b) Penolakan tersebut didahului atau disertai oleh perampasan kebebasan 74 4. Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut diselesaikan oleh atau dengan otorisasi, dukungan atau akuisisi dari Negara atau suatu organisasi politik 5. Penolakan tersebut untuk mengakui perampasan kebebasan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut diselesaikan oleh atau dengan otorisasi atau dukungan, dari Negara atau organisasi politik tersebut 6. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memindahkan orang atau orang-orang tersebut dari perlindungan hukum untuk periode waktu yang lama. 7. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 8. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (j) Kejahatan apartheid. terhadap kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan tidak manusiawi terhadap satu orang atau lebih. 2. Aksi tersebut merupakan tindakan seperti yang dirujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari UndangUndang atau merupakan suatu tindakan dengan ciri-ciri yang mirip dengan salah satu dari tindakan-tindakan tersebut. (29) 75 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan sebenarnya yang menjadi ciri dari tindakan tersebut 4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam konteks dari rezim terinstitusi dari penindasan dan odminasi dari satu kelompok ras terhadap kelompok atau kelompok-kelompok ras lainnya. 5. Pelaku kejahatan bermaksud untuk tetap mempertahankan rezim semacam itu dengan tindakan tersebut 6. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 7. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (k) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat penderitaan besar atau luka serius terhadap kesehatan tubuh atau jiwa atau fisik, dengan sarana suatu tindakan tidak manusiawi. 2. Tindakan tersebut merupakan ciri yang mirip dengan salah satu dari tindakan-tindakan lain seperti yang disebut pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-Undang. (30) 3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadankeadaan sebenarnya yang menjadi ciri tindakan tersebut. 76 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau4. sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. c. War Crime (Kejahatan-kejahatan Perang) Pasal 8 Pendahuluan Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8, paragraf 2 (c) dan (e) tunduk pada pembatasanpembatasan yang terdapat dalam pasal 8, paragraf 2 (d) dan (f), yang merupakan bukan unsur-unsur kejahatan. Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8, paragraf 2, dari Undang-Undang harus diinterpretasikan dalam kerangka kerja yang matang dari hukum internasional termasuk konflik bersenjata, yang sesuai dengan hukum internasional dari konflik bersenjata yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata di laut. Menurut dua unsur terakhir yang terurut untuk setiap kejahatan: Tidak ada persyaratan untuk evaluasi legal oleh Pelaku kejahatan yang menentukan suatu konflik bersenjata atau ciri-cirinya baik internasional atau non internasional. Dalam konteks tersebut tidak ada persyaratan untuk kesadaran bagi pelaku kejahatan berdasarkan fakta yang menentukan ciri-ciri dari konflik bersenjata baik internasional atau non internasional 77 Hanya ada satu persyaratan untuk kesadaran atas keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata yang mempunyai makna implisit dalam istilah “mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan.” Pasal 8 (2) (a) Pasal 8 (2) (a) (i) Kejahatan perang mengenai pembunuhan yang dikehendaki Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau lebih. (31) 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status terlindungi (32) (33) 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dari dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. (34) 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (ii)-1 Kejahatan perang mengenai penyiksaan Unsur-unsur (35) 1. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau penderitaan baik secara fisik atau mental yang berat atas seseorang atau lebih. 78 2. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau penderitaan untuk tujuan-tujuan tertentu seperti: memperoleh infromasi atau pengakuan, hukuman, intimidasi, atau pemaksaan atau untuk berbagai alasan lain berdasarkan pada berbagai macam bentuk diskriminasi 3. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (ii)-2 Kejahatan perang manusiawi atas perlakuan yang tidak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan baik fisik maupun mental terhadap satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata 79 Pasal 8 (2) (a) (iii)-3 Kejahatan perang atas eksperimen biologis Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih dalam suatu eksperimen biologis tertentu. 2. Eksperimen tersebut secara serius membahayakan kesehatan fisik atau mental atau integritas dari orang atau orang-orang tersebut 3. Maksud dari eksperimen tersebut tidak bersifat mengobati dan tidak pernah dinilai dengan alasan-alasan medis atau diselesaikan demi rasa ingin tahu seseorang atau sekelompok orang. 4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi 6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (iii) Kejahatan Perang atas perbuatan menyebabkan penderitaan yang disengaja yang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan baik fisik maupun mental terhadap satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa tahun 1949 80 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (iv) Kejahatan perang atas penghancuran dan penyisihan milik tertentu Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghancurkan menyisihkan milik tertentu atau 2. Penghancuran atau penyisihan tersebut tidak melibatkan kepentingan militer 3. Penghancuran atau penyisihan tersebut diselenggarakan secara luas dan tanpa alasan 4. Milik tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 81 Pasal 8 (2) (a) (v) Kejahatan perang atas pemaksaan pelayanan untuk kekuatan musuh Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih, dengan tindakan atau ancaman, untuk mengambil bagian dalam suatu operasi militer menentang negara atau kekuatannya sendiri atau sebaliknya melayani kekuatan dan kekuasan musuh 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindugi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (vi) Kejahatan perang atas pengadilan yang adil penyangkalan terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih atas pengadilan umum dan adil dengan menyangkal jaminan yudisial seperti yang didefinisikan, secara khusus, dalam Konvensi Jenewa Ketiga dan Keempat tahun 1949 2. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 82 3. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (vii)-1 Kejahatan perang atas deportasi dan pemindahan tanpa berdasar hukum Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan mendeportasi atau memindahkan satu orang atau lebih ke Negara lain atau ke lokasi lain 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (vii)-2 Kejahatan perang atas pemenjaraan tanpa berdasar hukum Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memenjarakan atau memenjarakan secara terus menerus satu orang atau lebih di lokasi tertentu 83 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (viii) Kejahatan Perang atas Penyanderaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas dan menahan atau bila tidak, menahan sandera atas satu orang atau lebih 2. Pelaku mengancam untuk membunuh untuk melukai, mencelakai atau terus menahan orang atau orang-orang tersebut. 3. Pelaku bermaksud untuk suatu Negara, suatu organisasi internasional, suatu pihak atau orang atau sekelompok orang yang legal dan natural untuk bertindak menahan diri sebagai persyaratan eksplisit atau implisit demi keselamatan atau pembebasan dari orang atau orang-orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status proteksi. 84 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) Pasal 8 (2) (b) (i) Kejahatan perang penduduk sipil atas penyerangan terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek penyerangan merupakan penduduk sipil layaknya atau individu sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan penduduk sipil layaknya atau individu sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan sebagai obyek dari suatu serangan tersebut. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 85 Pasal 8 (2) (b) (ii) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek penduduk sipil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan. 2. Obyek dari serangan tersebut adalah obyekobyek penduduk sipil, yaitu, obyek-obyek yang bukan merupakan obyek-obyek militer. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan obyek-obyek penduduk sipil sebagai obyek penyerangan. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (iii) Kejahatan perang atas penyerangan personel atau obyek-obyek yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan penyerangan melancarkan suatu 2. Obyek-obyek yang diserang merupakan personil, instalasi, material, unit-unit atau termasuk peralatan untuk kemanusiaan atau misi perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan personil, instalasi, material, unit-unit atau termasuk peralatan yang terlibat sebagai obyek dari serangan tersebut. 86 4. Personil, instalasi, material, unit-unit atau peralatan tersebut berhak atas perlindungan yang diberikan bagi penduduk sipil atau obyek-obyek sipil di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan suatu proteksi. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (iv) Kejahatan perang atas insiden kematian berkelebihan, luka-luka, atau kerusakan yang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan. 2. Penyerangan seperti yang dapat menyebabkan insiden kematian atau luka terhadap penduduk sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan berat terhadap alam lingkungan dan kematian tersebut, luka-luka atau kerusakan akan menjadi tingkatan yang jelas berkelebihan dalam suatu hubungan yang konkrit dan keuntungan militer yang terantisipasi secara langsung dan menyeluruh.(36) 3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa penyerangan akan menyebabkan insiden kematian atau luka-luka terhadap penduduk sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan berat terhadap alam lingkungan dan kematian tersebut, luka-luka atau kerusakan akan menjadi tingkatan 87 yang jelas berkelebihan dalam suatu hubungan yang konkrit dan keuntungan militer yang terantisipasi secara langsung dan menyeluruh.(37) 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (v) Kejahatan perang atas penyerangan tempat yang tanpa pertahanan (38) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu atau lebih kotakota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunanbangunan. 2. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunan-bangunan tersebut untuk pendudukan yang tanpa perlawanan. 3. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunan-bangunan tersebut bukan merupakan obyek-obuek militer. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 88 Pasal 8 (2) (b) (vi) Kejahatan perang atas pembunuhan atau melukai seseorang hors de combat Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai satu atau lebih orang-orang. 2. Seseorang atau orang-orang tersebut merupakan hors de combat. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status ini. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-1 Kejahatan perang atas penggunaan gencatan senjata yang tidak sepantasnya bendera Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan gencatan senjata. menggunakan bendera 2. Pelaku kejahatan menggunakan bendera tersebut untuk tujuan pura-pura negoisasi ketika tidak ada tujuan tersebut dalam peranan Pelaku kejahatan. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu (39) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 89 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-2 Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana atau seragam dari pihak musuh yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana atau seragam dari pihak musuh. 2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata ketika terlibat dalam suatu penyerangan. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu (40) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 90 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-3 Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa. 2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu. (41) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 91 Pasal 8 (2) (b) (vii)-4 Kejahatan perang atas penggunaan simbol-simbol khusus dari Konvensi Genewa yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan emblem-emblem khusus dari Konvensi Genewa. 2. Pelaku kejahatan menggunakan untuk semacam tujuan-tujuan perjuangan (42) dengan cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu. (43) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (viii) Pemindahan, langsung atau tidak langsung, dengan Memiliki Kekuasan atas bagian-bagian dari milik penduduk-penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang dimilikinya, atau deportasi atau pemindahan dari seluruh bagian dari penduduk atas wilayah yang di miliki ke dlam atau ke luar wilayah ini. 92 Ayat-Ayat 1. Pelaku kejahatan: (a) Memindahkan, (44) secara langsung atau tidak langsung, sebagaian dari penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang dimilikinya; atau (b) Mendeportasi atau memindhkan seluruh atau sebagian dari penduduk dari wilayah yang dimiliki ke dalam atau ke luar wilayah ini. 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (ix) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyekobyek yang dilindungi (45) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah suatu atau beberapa bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit atau tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek militer 3. Pelaku kejahatan bermaksud agar suatu atau beberapa bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit atau tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek militer tersebut menjadi obyek dari serangan tersebut. 93 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (x)-1 Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut.(46) 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak musuh 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 94 Pasal 8 (2) (b) (x)-2 Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu eksperimen medis atau ilmiah 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan atau integritas fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak musuh 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xi) Kejahatan perang atas pembunuhan atau tindakan melukai yang berbahaya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau keyakinan dari satu atau beberapa pejuang musuh bahwa mereka berhak untuk atau diwajibkan untuk menyetujui, memberi perlindungan di bawah aturan hukum internasional yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata. 95 2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati kepercayaan atau keyakinan tersebut 3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik pihak musuh 6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xii) Kejahatan perang atas penyangkalan tentang tempat tinggal sementara Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memerintahkan bahwa selamat menyatakan atau harus tidak ada yang 2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan untuk mengancam lawan atau tindakan permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya tidak ada yang selamat. 3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif untuk memerintahkan atau mengendalikan tenaga bawahan dimana pernyataan atau perintah dapat diarahkan 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 96 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xiii) Kejahatan perang atas penghancuran perampasan milik milik musuh atau Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghancurkan atau merampas milik tertentu 2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh 3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau perampasan di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dari milik tersebut 5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak dibutuhkan oleh kebutuhan militer 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xiv) Kejahatan perang atas pencabutan kebangsaan dari kekuasaan atas hak atau tindakan permusuhan Ayat-Ayat 1. Pelaku kejahatn mempengaruhi abolisi, suspensi dan terminasi dari penerimaan di dalam hukum pengadilan atas hak-hak atau tindakan-tindakan tertentu 97 2. Abolisi, suspensi atau terminasi tersebut diarahkan terhadap kebangsaan dari pihak musuh 3. Pelaku kejahatan bermaksud menjadikan abolisi, suspensi dan terminasi terarah pada kebangsaan dari pihak musuh 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xv) Kejahatan perang atas pemaksaan partisipasi dalam operasi militer Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang dengan tindakan atau ancaman untuk mengambil bgian di dalam operasi militer yang melawan negeri atau kekuatan orang itu sendiri. 2. Orang atau orang-orang tersebut merupakan warga negara dari pihak musuh 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata 98 Pasal 8 (2) (b) (vi) Kejahatan perang atas perampasan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk mencabut kepemilikan dari milik tersebut dan menyisihkannya untuk kepentingan sendiri atau pribadi. (47) 3. Penyisihan tersebut adalah tanpa persetujuan dari sang pemilik. 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xvii) Kejahatan perang atas kepemilikan racun atau senjata-senjata beracun Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memiliki bahan atau suatu senjata yang melepaskan bahan tersebut sebagai hasil kepemilikannya. 2. Bahan tersebut dapat menyebabkan kematian atau kerusakan serius terhadap kesehatan dengan jalan kejadian biasa, oleh karena potensi toksiknya. 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata 99 Pasal 8 (2) (b) (xviii) Kejahatan perang atas kepemilikan materi-materi atau peralatan gas, cair terlarang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memiliki gas atau bahan analog lainnya atau peralatan. 2. Gas, bahan atau peralatan tersebut dapat menyebabkan kematian atau kerusakan serius akan kesehatan dengan jalan kejadian biasa, melalui kemampuan toksik yang terhirup. (48) 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xix) Kejahatan perang atas terlarang kepemilikan peluru-peluru Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memiliki peluru-peluru tertentu 2. Peluru-peluru tersebut sebegitu rupa sehingga penggunaanya melanggar hukum internasional tentang konflik bersenjata karena dapat meluas atau memipih degan mudah dalam tubuh manusia 3. Pelaku kejahatan menyadari sifat alami pelurupeluru tersebut sebegitu rupa sehingga kepemilikanya hanya akan tidak berguna dan memberikan efek luka atau penderitaan 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata 100 Pasal 8 (2) (b) (xx) Kejahatan perang atas kepemilikan senjata-senjata, proyektil atau materi-materi atau metode-metode perang seperti yang didaftar dalam lampiran terhadap Undang-Undang Unsur-unsur [Unsur-unsur akan dirancang ketika senjata-senjata, proyektil atau materi atau metode-metode berperang telah termasuk dalam lampiran Undang-Undang.] Pasal 8 (2) (b) (xxi) Kejahatan perang atas kehormatan seseorang kebiadaban terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau bahkan melanggar derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. (49) 2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut, perendahan dan pelanggaran atas derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 101 Pasal 8 (2) (b) (xxii)-1 Kejahatan perang atas pemerkosaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menginvasi (menyerang) (50) tubuh seseorang dengan tindakan yang menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya, pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau bukaan anus dan kelamin dari korban dengan berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya 2. Invasi (serangan) tersebut terlaksana dengan paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (51) 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b (xxii)-2 Kejahatan perang atas perbudakan seks (52) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukar orang atau orang-orang tersebut 102 atau dengan membebani mereka semacam perampasan kebebasan. (53) dengan 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih kegiatan seks 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxii)-3 Kejahatan perang atas pelacuran yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terlibat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti yang disebabkan oleh rasa takut terhadap kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang atau orang-orang atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau ketidakberdayaan orang atau orang-orang tersebut untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan berupa uang atau keuntungan lain sebagai pertukaran yang berkaitan dengan tindakan-tindakan dari kegiatan seks tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 103 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xxii)-4 Kejahatan perang atas kehamilan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas hukum internasional 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xxii)-5 Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif biologis dari satu orang atau lebih. (54) 2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk pengobatan medis atau rumah sakit dan orang atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang sesungguhnya. (55) 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 104 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxii)-6 Kejahatan perang atas kekerasan seksual Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu aksi kegiatan seksual terhadap satu orang atau lebih atau disebabkan oleh orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam tindakan kegiatan seksual dengan paksa, atau ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti halnya disebabkan oleh ketakutan terhadap kekerasan, kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang atau orang-orang atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau ketidakberdayaan orang atau orang-orang tersebut untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran yang berbahaya dari Konvensi Jenewa 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 105 Pasal 8 (2) (b) (xxiii) Kejahatan perang atas menggunakan orang-orang sebagai pelindung Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memindahkan atau bila tidak, mengambil kesempatan atas lokasi dari satu atau lebih penduduk sipil atau orang-orang lain yang dilindungi di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk melindungi obyek-obyek militer dari serangan atau perlindungan, pertolongan atau menghalangi operasi-operasi militer. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxiv) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek atau orang-orang dengan menggunakan simbolsimbol yang istimewa dari Konvensi Jenewa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan atau transportasi atau obyek-obyek berguna lainnya, dengan tata cara yang sesuai dengan hukum internasional, suatu simbol-simbol yang istimewa atau metode identifikasi lain yang menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 106 2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orang-orang, bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek yang berguna dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari penyerangan tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxv) Kejahatan perang atas kelaparan sebagai cara berperang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas obyek-obyek penduduk sipil yang tidak penting bagi pertahanan hidupnya 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk membuat penduduk-penduduk sipil kelaparan sebagai cara untuk berperang 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 107 Pasal 8 (2) (b) (xxvi) Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa bagi anak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau masuk sebagai tentara militer bagi seseorang atau beberapa orang untuk masuk ke dalam kekuatan militer nasional atau memanfaatkan seseorang atau beberapa orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan 2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) Pasal 8 (2) (c) (I)-1 Kejahatan perang atas pembunuhan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 108 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan tentang internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (i)-2 Kejahatan perang atas mutilasi Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 109 Pasal 8 (2) (c) (i)-3 Kejahatan perang atas perlakuan kejam Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan fisik atau mental atas seseorang atau beberapa orang 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (i)-4 Kejahatan perang atas penyiksaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit dan penderitaan fisik atau mental yang dahsyat atas seseorang atau lebih 2. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan tersebut dengan maksud memperoleh informasi atau pengakuan, hukuman, intimidasi atau pemaksaan atau untuk berbagai alasan berdasarkan diskriminasi atas beberapa hal. 110 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (ii) Kejahatan perang atas kehormatan seseorang kebiadaban terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. (57) 2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut, perendahan dan kekerasan atas derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 111 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (iii) Kejahatan perang atas penyanderaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menangkap, menahan atau bahkan menyandera seseorang atau lebih 2. Pelaku kejahatan mengancam akan membunuh, melukai atau akan terus menahan orang atau orang-orang tersebut 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memaksa Negara, suatu organisasi internasional, suatu pihak atau orang atau sekelompok orang yang legal dan mendasar untuk bertindak menahan diri sebagai persyaratan eksplisit atau implisit demi keselamatan atau pembebasan dari orang atau orang-orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 112 Pasal 8 (2) (c) (iv) Kejahatan perang atas hukuman atau hukuman mati tanpa proses pengadilan yang layak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghukum atau menghukum mati satu orang atau lebih . (58) 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tidak pernah ada peradilan sebelumnya yang diumumkan oleh pengadilan atau pengadilan yang memberikan peradilan tidak “biasanya terdapat”, yaitu, tidak menyelenggarakan jaminan esensial dari kebebasan dan kejujuran, atau pengadilan memberikan peradilan yang tidak mampu mencakup jaminan yudisial lainnya secara umum dikenal sebagai kepentingan di bawah hukum internasional. (59) 5. Pelaku kejahatan menyadari tidak adanya peradilan sebelumnya atau penyangkalan atas jaminan relevan dan fakta bahwa hal itu esensial atau penting terhadap pengadilan yang jujur 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 113 Pasal 8 (2) (e) Pasal 8 (2) (e) (i) Kejahatan perang penduduk sipil atas penyerangan terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah penduduk sipil seperti juga individu sipil yang tidak mempunyai peran langsung dalam permusuhan 3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud terhadap penduduk sipil, seperti juga individu sipil yang tidak mempunyai peran langsung dalam permusuhan, untuk dijadikan obyek dari serangan 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (ii) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek atau orang-orang dengan menggunakan simbol khusus dari Konvensi Jenewa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan atau sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek lain yang berguna, dengan tata cara yang sesuai dengan hukum internasional, suatu simbol-simbol yang istimewa atau metode identifikasi lain yang menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 114 2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orang-orang, bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek yang berguna dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari penyerangan tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (iii) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap personil atau obyek-obyek yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan dan misi perdamaian Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah personil, instalasi, material, unit atau kendaraan-kendaraan yang terlibat di dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian yang sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud atas personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau kendaraan-kendaraan tersebut untuk menjadi terlibat dan menjadi obyek dari serangan tersebut 4. Personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau kendaraan-kendaraan tersebut berhak untuk mendapatkan perlindungan yang diberikan kepada penduduk atau obyek-obyek penduduk di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan perlindungan 115 6. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (iv) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyekobyek yang dilindungi (60) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek dari serangan adalah salah satu gedung atau lebih yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit-rumah sakit atau tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek militer. 3. Pelaku kejahatan bermaksud agar salah satu gedung atau lebih yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakitrumah sakit atau tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek militet, dijadikan obyek dari serangan tersebut 4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. 116 Pasal 8 (2) (e) (v) Kejahatan perang atas perampasan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk merampas kepemilikan milik tersebut dan menyisihkannya untuk penggunaan sendiri atau pribadi. (61) 3. Penyisihan tersebut terjadi tanpa persetujuan dari sang pemilik 4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-1 Kejahatan perang atas pemerkosaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menginvasi / menyerang (62) tubuh seseorang dengan tindakan yang menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya, pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau bukaan anus dan kelamin dari korban dengan berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya 2. Serangan / Invasi tersebut terlaksana dengan paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu 117 memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (63) 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-2 Kejahatan perang atas perbudakan seks (64) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukar orang atau orang-orang tersebut atau dengan membebani mereka dengan semacam perampasan kebebasan. (65) 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih kegiatan seks 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. 118 Pasal 8 (2) (e) (vi)-3 Kejahatan perang atas pelacuran yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih terlibat dalam satu atau beberapa tindakan dari kegiatan seks dengan paksaan atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan uang atau keuntungan lain sebagai pertukaran yang terkait dengan tindakan-tindakan dari kegiatan seksual 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-4 Kejahatan perang atas kehamilan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas hukum internasional 119 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (e) (vi)-5 Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif biologis dari satu orang atau lebih. (66) 2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk pengobatan medis atau rumah sakit dan orang atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang sesungguhnya. (67) 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konlik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-6 Kejahatan perang atas kekerasan seksual Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan dari kegiatan seksual terhadap seseorang atau beberapa orang atau menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam tindakan dari kegiatan seksual dengan paksa, atau dengan ancaman kekuatan atau paksaan, seperti juga disebabkan oleh ketakutan atas 120 kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran serius pada pasal 3 sesuai dengan Konvensi Jenewa Keempat. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan kegawatan suatu tindakan 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vii) Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa bagi anak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau masuk sebagai tentara militer bagi seseorang atau beberapa orang untuk masuk ke dalam kekuatan militer nasional atau memanfaatkan seseorang atau beberapa orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan 2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 121 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vii) Kejahatan perang penduduk sipil atas pemindahan penduduk- Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memerintahkan pemindahan dari penduduk sipil 2. Perintah tersebut tidak dinilai berdasarkan keamanan penduduk sipil yang terlibat atau oleh karena keperluan militer 3. Pelaku kejahatan berada dalam posisi yang dapat memberikan efek pemindahan penduduk dengan memberikan perintah semacam itu 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata 122 Pasal 8 (2) (e) (ix) Kejahatan perang atas pembunuhan atau tindakan melukai yang berbahaya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau keyakinan dari satu atau beberapa pejuang musuh bahwa mereka berhak untuk atau diwajibkan untuk menyetujui, memberi perlindungan di bawah aturan hukum internasional yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata 2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati kepercayaan atau keyakinan tersebut 3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik pihak musuh 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (e) (x) Kejahatan perang atas tempat tinggal sementara penyangkalan terhadap Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyatakan atau memerintahkan bahwa tidak akan ada yang selamat 123 2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan untuk mengancam lawan atau tindakan permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya tidak akan ada yang selamat. 3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif untuk memerintahkan atau mengendalikan tenaga bawahan dimana pernyataan atau perintah dapat diarahkan 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (xi)-1 Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. (68) 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik. 124 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (xi)-2 Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu eksperimen medis atau ilmiah Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. 3. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 125 Pasal 8 (2) (e) (xii) Kejahatan perang atas penghancuran perampasan milik milik musuh atau Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghancurkan atau merampas milik tertentu 2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh 3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau perampasan di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan status dari milik tersebut 5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak dibutuhkan oleh kebutuhan militer 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. D. Sistem Peradilan Pidana ICC 1. Prinsip-Prinsip Utama Sistim Peradilan ICC Bahwa Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan suatu sistim penanggulangan kejahatan yang mula-mula berkembang di Amerika pada masa pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson di era 1960-an. Pada masa itu kejahatan semakin berkembang, merajalela dan memprihatinkan di berbagai tempat dan kota di AS, sehingga Presiden L.B. Johnsons mencanangkan satu program nasional tentang 126 penanggulangan kejahatan yang kemudian dikenal dengan konsep Criminal Justice System. Sejak itu dalam literatur muncul beberapa pemikiran dikalangan para ahli tentang criminal justice system. Remington dan Ohli21 mengemukakan, bahwa Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistim terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistim merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistim itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. Sementara itu Hagan (1987) membedakan pengertian antara "criminal justice process" dan "criminal justice system". "Criminal justice process" adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan "criminal justice system" adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Beberapa pakar di Indonesia juga memberikan penjelasan tentang hal yang sama. Mardjono Reksodipoetro22 memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistim peradilan pidana adalah, sistim pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 21 Romli Atmasasmita. Sistim Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Penerbit:Putra Bardin,Cetakan Kedua,1996, hlm.14 22 Mardjono Reksodipoetra. Sistim Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-batas toleransi); Pidato Pengukuhan Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada FH-UI 1993:1, dikutip dari Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, hlm.14. 127 Sementara itu Romli Atmasasmita (yang sependapat dengan Sanford Kadish) mengatakan, bahwa pengertian sistim peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga bentuk pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah: a) Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata. b) Pendekatan administrasi memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur or ganisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistim yang dipergunakan adalah sistim administrasi. c). Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial. 23 23 Romli Atmasasmita, Op.cit. hlm.16-17 128 Dalam hal pendekatan normatif sub.a. diatas dikenal lagi dua model yaitu Crime Control Model dan Due process Model yang mempunyai karakteristik nilai yang sama dan berbeda. Tetapi oleh Muladi24) mengemukakan kelemahan-kelemahan model-model sistim peradilan pidana tersebut bagi Indonesia, yaitu: a) Crime control model: tidak cocok karena model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. b) Due process model: tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat "antiauthoritarian values". c) Model family atau "family model": (griffits) kurang memadai karena terlalu "offender oriented" karena masih terdapat korban (victims) yang juga memerlukan perhatian serius. Selain itu, sistem perlawanan (adversary model) seperti yang dikenal di Amerika Serikat, baik yang bersifat "crime control model" maupun yang bersifat "due process model" nampaknya agak sulit untuk menerima peranan pihak ke tiga, yaitu si korban, dalam proses peradilan pidana. Hal ini disebabkan karena pada model perlawanan secara filosofis hanya dikenal adanya kontes antara dua pihak yang berlawanan yakni terdakwa bersama penasihat hukumnya dan negara dalam hal ini diwakili oleh Jaksa. Dalam model ini yang paling penting adalah "publik order" dan "efisiensi". Proses kriminal pada hakekatnya merupakan perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali, yakni kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa). Karena itu model ini juga sering disebut ""The Battle Model" Model perlindungan hak (due process model) yang mulai mengedepankan perlindungan hak-hak individu guna mengendalikan maksimal efisiensi pada hakekatnya 24 Muladi, dikutip dari Romli Atmasasmita Sistem Peradilan Pidana, hlm.22 129 tetap berada dalam kerangka sistem perlawanan yang didasarkan atas perimbangan kepentingan dan ketiadaan hubungan harmoni antara negara dan pelaku tindak pidana. Terhadap adversary model, berkembang model ketiga sistem peradilan pidana yang disebut "Model Kekeluargaan" (Family Model) yang diperkenalkan oleh John Griffith. Dalam model ini pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musuh masyarakat melainkan dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna pengendalian kontrol pribadinya, tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan. Semuanya dilandasi oleh semangat cinta kasih.25 Selanjutnya Muladi mengemukakan bahwa model sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada: "daad-dader strafrecht" yang disebut: model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Pemahaman yang sama dikemukakan juga oleh Indriyanto Seno Adji yang memberikan abstraksi berdasarkan pendapat Mardjono Reksodiputro, bahwa keterpaduan (integrated) diantara operasionalisasi subsistim tersebut sangat menentukan keberhasilan mekanisme sistim peradilan pidana ini. Pola kerja sistim ini layaknya suatu "bejana berhubungan" yang memerlukan korelasi dan kooperasi di antaranya, sehingga secara a contrario, hasil kerja satu sub-sistim akan mempengaruhi kerja sub-sistim lainnya. Hambatan keberhasilan suatu "Integrated Criminal Justice System" 25 Muladi. Hak Asasi manusia,Politik dan Sistem Peradilan Pidana.2002.Badan Penerbit UNDIP,Semarang,hlm.181-182 130 terletak pada arogansi sektoral di antara pola kerja subsistim tersebut. 26 Dengan demikian criminal justice system (sistim peradilan pidana) sangat terkait dengan: 1) Pengendalian kejahatan sampai batas batas minimal. 2) Sistim hukum yang berlaku dan kesadaran hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakatnya 3) Keberadaan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan ( termasuk peran Penasihat Hukum) 4) Kehidupan sosial-budaya-masyarakat yang hidup dan berkembang disekitarnya. Selanjutnya yang dimaksud hukum acara pidana adalah peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai pedoman dalam proses pemeriksaan perkara pidana melalui satu sistim pemeriksaan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan putusan yang melibatkan instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sehingga pembahasan berikut ini adalah aturan-aturan yang berlaku sebagai pedoman bagi Kepolisian Jaksa, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan serta negara dan lembaga organisasi internasional, terdakwa dan penasihat hukumnya melaksanakan tugas, tanggungjawab, hak dan kewajibannya masing-masing sesuai keberadaannya masing-masing pada semua tingkat pemeriksaan dan peradilan, dari penyelidikan, penyidikan penuntutan, penjatuhan putusan sampai pelaksanaan putusan; dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat lebih tinggi (Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Termasuk didalamnya mengenai bantuan hukum atau pembelaan terhadap terdakwa. 26 Indriyanto Seno Adji. Op.cit. hlm. Abstraksi 131 Dalam hukum nasional Indonesia hukum acara diatur dalam UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Sedang Statuta ICC menggunakan istilah Peraturan Prosedur dan Pembuktian (pasal 51 Statuta ICC) yang tersebar dalam berbagai pasal menyangkut kewenangan penyelidikan, pra penyidikan/peradilan, penuntutan, penangkapan, penahanan, putusan, menjalankan hukuman, banding, gantirugi, kerjasama internasional, pemberian bantuan hukum, perlindungan terhadap saksi, pengajuan alat bukti, perkara pengakuan bersalah, pemeriksaan biasa, dan pemeriksaan khusus. 2. Hukum Acara ICC Dalam sistem peradilan pidana, hukum acara dalam keseluruhan prose penegakan hukum memegang peranan penting. Sebagaimana yang diterapkan oleh pengadilan pidana internasional – ICC, meliputi: 27 a. Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan di pengadilan (ICC) yang dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pengajuan perkara di pengadilan). Dalam proses ini Jaksa dan Dewan Pra-Penyidikan/Dewan Pra-Peradilan (the Pre-Trial Chamber) yang terdiri dari Hakim Tunggal/Anggota-Anggota Majelis Hakim ICC memegang peranan utama, terutama dalam hal menentukan apakah suatu informasi atau hasil penyelidikan/penyidikan sudah memenuhi syarat diajukan sebagai perkara tindak pidana di pengadilan ICC. Fungsi dan Tugas Dewan Pra-Penyidikan ini secara luas diatur dalam pasal 57 yang dapat mengeluarkan segala perintah dan aturan dalam 27 Marthen Napang. Op Cit. hlm. 188 132 bentuk keputusan atau penetapan berdasarkan pasal 15, 18, 19, 54 (2), 62 (7), 72, 58, 56 Bagian 9, 93 ayat 1 (j). Kewenagan tersebut meliputi meneliti dan memutuskan apakah permintaan melakukan penyelidikan oleh Penuntut beralasan atau tidak, atau apakah hasil penyelidikan Penuntut telah memenuhi syarat untuk diajukan ke muka pengadilan, pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan, dan hal lain yang mendukung kelancaran proses penyelidikan dan penyidikan dalam rangka penuntutan di muka pengadilan oleh Penuntut. Permulaan penyelidikan atas informasi atau laporan terjadinya kejahatan kemanusiaan (Genocide, Crime against humanity dan war crime) dilakukan oleh Jaksa (penuntut) yang terbentuk berdasarkan pasal 42 Statuta ICC. Informasi atau laporan dapat saja berasal dari suatu negara (pasal 14), DK-PBB (pasal 13 b), atau pihak lain seperti organisasi internasional, individu/kelompok individu lainnya. Berdasarkan pasal 15 jo 53 Statuta ICC, penuntut dapat melakukan penyelidikan "proprio mutu (pengujian awal informasi) suatu informasi terjadinya kejahatan kemanusiaan, menganalisanya, dan menyimpulkannya dengan dua kemungkinan: 1) Jika disimpulkan informasi tersebut mempunyai dasar yang kuat untuk ditindak-lanjuti maka penuntut meminta kewenangan melakukan investigasi kepada Majelis Pra-Peradilan (the PreTrial Chamber). 2) Jika disimpulkan informasi tersebut tidak berdasar, maka penuntut akan memberitahukan kepada pemberi-informasi tentang hal tersebut. Kecuali jika kemudian ditemukan fakta-fakta atau bukti-bukti baru kuat untuk hal yang sama, maka penuntut dapat kembali melakukan "proprio mutu" dengan dua kemungkinan diatas. 133 Dalam hal Penuntut ingin mengawali penyelidikan atas suatu informasi yang diterimanya, Penuntut terikat dengan kriteria (pasal 53 ayat 1): 1) Informasi tersebut meyakinkan, harus benar-benar 2) Kasusnya dapat diselesaikan sesuai pasal 17 3) Mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan dan kepentingan korban yang ditimbulkan. Sedang kriteria untuk tidak cukup dasar melakukan penuntutan setelah diadakan penyelidikan yang mengikat penuntut (pasal 53 ayat 2) adalah: 1) Ketiadaan dasar hukum dan fakta yang memadai untuk mendapat jaminan melakukan penahanan atau panggilan sesuai pasal 58. 2) Kasusnya pasal 17 tidak memenuhi syarat-syarat 3) Secara keseluruhan tuntutan bukan dalam kepentingan peradilan. Selanjutnya pasal 54 mengatur Tugas-tugas dan Kekuasaan Penuntut berkaitan dengan penyelidikan yaitu: 1). Mengambil semua tindakan penyelidikan yang dipandang perlu dan efektif dalam arti seluasluasnya dalam memperoleh dan mengumpulkan fakta dan bukti suatu kejahatan kemanusiaan, termasuk memanggil dan memeriksa para saksi, korban dan pihak lainnya, melakukan kerjasama dengan negara atau organisasi lainnya, menjaga kerahasiaan sumber informasi, mengupayakan perlindungan terhadap setiap orang pemberi informasi dan perlindungan bukti-bukti. 134 2). Menjalankan investigasi dalam wilayah suatu negara sesuai ketentuan Bagian 9 atau yang disahkan oleh Dewan Pra-Penyidikan berdasarkan pasal 57 ayat 3 (d). b. Pemeriksaan Persidangan Selanjutnya, dalam peningkatan pemeriksaan penyelidikan menjadi penyidikan dalam rangka penuntutan di muka Pengadilan, Penuntut tetap memegang peranan penting atas persetujuan dan pengawasan Majelis Penyidik/Majelis Hakim dengan segala fungsi dan kewenangannya yang termuat dalam pasal 64. Sebelum diadakan peningkatan pemeriksaan dari penyelidikan ke penyidikan, terlebih dahulu diadakan konfirmasi tuntutan dihadapan Dewan Pra Penyidikan, setelah itu Pejabat Presiden ICC mengangkat Majelis Hakim yang bertanggungjawab dalam proses persidangan pengadilan selanjutnya, dan mengambil-alih semua fungsi dan kewenangan Majelis Pra-Penyidikan sebagaimana dimaksud pasal 61. Pada awal pemeriksaan (penyidikan) di muka persidangan, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Terdakwa untuk menyampaikan pengakuan bersalah atau pengakuan tidak bersalah. Majelis Hakim tidak terikat dengan pengakuan bersalah yang dilakukan terdakwa. Jika Majelis hakim mengangap pengakuan bersalah oleh terdakwa tidak didukung fakta-fakta dan bukti-bukti kasus yang termuat dalam surat tuntutan dan diakui sebelumnya oleh Terdakwa dan para saksi maka Majelis Hakim dapat memerintahkan perkara dilanjutkan dengan acara pemeriksaan biasa (pasal 65 ayat 1 (c), ayat 3 dan 4). 135 Selama masa penyidikan dan pemeriksaan di pengadilan, hak-hak terdakwa tetap dilindungi sesuai pasal 67. Terdakwa diperiksa dan diadili di tempat kedudukan pengadilan (terkecuali ditentukan lain) sesuai pasal 62 dan diperlakukan sesuai asas Praduga tak bersalah, sehingga merupakan tanggungjawab Penuntut untuk membuktikan kesalah Terdakwa sesuai pasal 66. Oleh karena itu sistim pembuktian yang digunakan adalah sistim pembuktian biasa bukan sistim pembuktian terbalik. Penuntut berhak mengajukan semua alat bukti, sebaliknya Terdakwa dapat menolak atau menerima alat-alat bukti tersebut atau dapat mengajukan alat bukti lainnya. Akan tetapi penilaian akhir dari kebenaran alat bukti tersebut merupakan kewenangan Majelis hakim untuk digunakan sebagai pertimbangan mengambil keputusan akhir. Dalam mengambil keputusan, Majelis hakim ICC harus memenuhi syarat pasal 74, pasal 66 ayat 3 , pasal 77 dan pasal 78 yaitu : 1) Menghadiri semua tahap penyidikan di persidangan. pemeriksaan 2) Mengevaluasi bukti-bukti dan segala yang terungkap dalam persidangan. 3) Tidak melebihi apa yang dituntut oleh Penuntut 4) Mendahulukan pengambilan putusan secara bulat/aklamasi, kemudian pengambilan putusan berdasarkan suara mayoritas (voting). 5) Putusan secara tertulis dan memuat pandangan dari mayoritas hakim dan minoritas hakim dalam hal pengambilan putusan secara Voting. 6) Pertimbangan Majelis Hakim bersifat rahasia sampai putusan dibacakan secara terbuka dalam persidangan untuk itu 136 7) Harus yakin akan kesalahan terdakwa di luar keraguan yang masuk akal, jika menjatuhkan putusan yang bersifat menghukum Terdakwa. 8) Menjatuhkan hukuman penjara maksimal 30 tahun atau hukuman seumur hidup. 9) Menjatuhkan hukuman denda dan penebusan harta/asset hasil kejahatan. 10)Mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari keadaan Terdakwa. 11)Mengurangi masa hukuman penjara dengan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa. 12)Mengumumkan hukuman untuk tiap-tiap kejahatan dan gabungan hukuman yang menjelaskan lamanya masa hukuman, tetapi tidak boleh melebihi masa 30 tahun penjara atau seumur hidup sesuai pasal 77 ayat 1 (b). Sedang sumber hukum yang wajib diterapkan ICC (pasal 21) adalah: 1) Statuta ICC dan elemen-elemen kejahatan serta hukum acara (prosedur dan pembuktian) yang diatur juga dalam statuta ICC. 2) Fakta-fakta, prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional yang terkait termasuk tentang konflik bersenjata. 3) Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana dari sistem hukum nasional (pengadilan nasional) dan sistem hukum dunia, asal tidak bertentangan dengan Statuta ICC. 4) Sistem Yurisprudensi dari putusan-putusan sebelumnya. 5) Interpretasi hukum yang konsisten dengan hak asasi manusia yang dikenal secara internasional tanpa diskriminasi. 137 Jika mengacuh pada tata urutan pasal 38 statuta Mahkamah Internasional adalah : 1) Semua ketentuan dalam Statuta ICC termasuk didalamnya Konvensi Jenewa 1949 dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana yang tersebut secara jelas. Kemudian Konvensi-Konvensi atau Perjanjian Inetrnasional lainnya yang terkait khususnya dengan kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC. 2) Kebiasaan Internasional yang sudah umum dipraktekkan, (terutama yang terkait dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi ICC, seperti kebiasaankebiasaan dalam perang dan pertempuran di darat, laut dan udara). 3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa-bangsa yang beradab, (terutama yang terkait dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi ICC). 4) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran (doktrin) dari para ahli dari berbagai bangsa, sebagai alat bantu dalam menetapkan kaidah hukum. Menurut hemat penulis, prinsip-prinsip umum hukum pidana yang diatur dalam Bagian 3 dan beberapa pasal lainnya penerapan hukumnya ditempatkan pada urutan pertama disamakan dengan konvensi atau perjanjian internasional karena prinsipprinsip umum hukum pidana tersebut merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan Statuta Roma 1998. Jadi dibedakan dengan prinsip-prinsip hukum umum lainnya yang tidak disebutkan dalam Statuta ICC, yang ditempatkan pada urutan ketiga. 138 Prinsip-prinsip umum hukum pidana yang wajib diterapkan ICC adalah: 1) Prinsip Nullum crimen sine lege (pasal 22 statuta ICC) 2) Prinsip Nulla poena sine lege (pasal 23) 3) Prinsip Non-retroactivity (pasal 24) 4) Prinsip Tanggungjawab pasal 25) ratione personae pidana individu ( 5) Prinsip Non-yurisdiksi terhadap orang berusia di bawah 18 tahun. (pasal 26) 6) Prinsip tidak memandang Jabatan Resmi atau NonImpunity (pasal 27) 7) Prinsip Tanggungjawab Komandan dan atasan lainnya (pasal 28) 8) Prinsip Tidak berlakunya pembatasan (pasal 29) ketentuan 9) Prinsip Elemen mental (pasal 30) 10)Prinsip Penghapusan Tanggungjawab Pidana (pasal 31) 11)Prinsip Perintah Atasan dan Kesalahan Hukum (pasal 32 dan pasal 33) 12)Prinsip Ne bis in idem (pasal 20) 13)Prinsip Komplementri (pasal 1) 14)Prinsip Inadmissibility (pasal 17) 15)Prinsip Non-Lapse of ketidakberlakuan Kadaluarsa. 139 Time atau Selain itu asas-asas lainnya dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh ICC adalah: 1) Asas "Au Dedere Au Punere" 2) Asas "Au Dedere Au Judicare" 3) Asas "Primacy" (secara terbatas). Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 terhadap kasus-kasus kejahatan perang yang tunduk pada yurisdiksi ICC tidak bersifat retroaktif ? Menurut hemat penulis pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 oleh ICC dengan demikian juga oleh pengadilan pidana (HAM) nasional yang menerapkan yurisdiksi kriminal ICC tidak bersifat retroaktif atau tidak melanggar prinsip legalitas dalam Statuta ICC, karena: 1) Pemberlakuan Konvensi Jenewa 1949 sama dengan pemberlakuan beberapa prinsipprinsip hukum pidana internasional yang telah dikenal jauh sebelumnya sebagaimana yang disebutkan dianut dalam Statuta ICC seperti : prinsip Nullum crimen sine lege (pasal 22), prinsip Nulla poena sine lege (pasal 23), prinsip non retroactivity ratione personae (pasal 24), prinsip tanggungjawab individu (pasal 28) dan lain-lain. 2) Dengan penyebutannya dalam Statuta ICC tersebut maka Konvensi Jenewa 1949 menjadi bagian dari ketentuan-ketentuan Statuta ICC yang keberlakuannya sama dengan ketentuan ICC lainnya sepanjang mengenai kejahatan perang terutama tentang konflik bersenjata internasional dan non internasional. 140 c. Upaya Hukum Banding dan Revisi Terhadap putusan pengadilan diatas dapat ditolak oleh Terdakwa maupun Penuntut melalui upaya hukum banding (appeal) sesuai pasal 81-83 dan peninjauan (revision) sesuai pasal 84. Terdapat perbedaan alasan banding terhadap Penuntut dan Terdakwa yaitu: Alasan banding bagi Penuntut (pasal 81 ayat 1 (a) adalah: (a) Kesalahan prosedur (b) Kesalahan fakta; atau (c) Kesalahan hukum. Sedang alasan banding bagi Terdakwa (pasal 81 ayat 2) adalah: (a) Kesalahan prosedur; (b) Kesalahan fakta; (c) Kesalahan hukum; atau (d) Alasan-alasan lain yang mempengaruhi kejujuran dan kepercayaan proses peradilan atau keputusan. Pasal 81 ayat 2 memungkinkan pula pengajuan banding oleh Penuntut maupun Terdakwa terhadap hukuman dengan alasan antara hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Jika Majelis banding menganggap terdapat alasan untuk membatalkan hukuman baik sebagian maupun seluruhnya, maka Majelis Banding dapat mengundang Penuntut dan Terdakwa untuk mengajukan alasan menurut pasal 81 ayat 1(a) atau (b). 141 Begitupun Penuntut dan Terdakwa atau keluarganya (anak pasangan hidupnya dan orangtuanya) dapat mengajukan peninjauan/revisi terhadap putusan penghukuman dengan dasar alasan telah ditemukannya alat bukti baru, telah ditemukan/diketahuinya bukti yang menentukan penyidikan dan penuntutan ternyata salah, terlupakan atau dipalsukan. Majelis Hakim (revisi) dapat menolak atau mengabulkan permohonan revisi. Dalam hal permohonan revisi dianggap berguna dan beralasan untuk dikabulkan maka Majelis Hakim (revisi) mengundang kembali Majelis Hakim Banding sebelumnya untuk mendapatkan masukan perlu tidaknya revisi dilakukan. d. Pelaksanaan Putusan Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dilakukan pelaksanaan putusan (eksekusi) sebagaimana yang diatur dalam pasal 103 - pasal 111. Pengadilan menentukan di negara mana dari negara-negara yang bersedia sebagai tempat pelaksanaan hukuman sesuai putusan, termasuk menentukan pemindahan pemenjaraan ke negara lain. Negara pelaksana terikat dan tidak dapat merobah isi putusan yang dilaksanakan. Tetapi syarat-syarat penahanan pemenjaraan dilakukan berdasarkan hukum nasional negara pelaksana dengan tetap menghormati syarat-syarat standar internasional serta tidak boleh melakukan diskriminasi antara narapidana ICC dengan narapidana domestik dalam arti narapidana ICC tidak boleh diperlakukan lebih buruk dari narapidana lokal. Negara pelaksana dapat melakukan ekstradisi atau penyerahan atau mengirim seseorang berdasarkan 142 hukum nasionalnya ke negara lain untuk tujuan penyidikan atau pelaksanaan putusan, termasuk yang melarikan diri tetapi atas persetujuan atau perintah Pengadilan ICC. Pelaksanaan putusan yang dimaksud selain menyangkut pelaksanaan hukuman penjaranya, juga meliputi pelaksanaan hukuman denda dan penebusan asset-asset atau harta benda yang diperintahkan oleh Pengadilan sesuai pasal 109. Statuta ICC juga mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 86 - pasal 102. Kerjasama internasional tersebut meliputi berbagai bentuk kerjasama dengan pengadilan dalam investigasi dan penuntutan kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC didalamnya tercakup penangkapan, pengiriman orang, penahanan, pemberian data dan bukti, pemeriksaan orang, dan tindakan lainnya yang terkait dengan mutual legal assistance. Dalam rangkaian kerjasama internasional antara negara-negara penandatangan/penerima statuta ICC dan atau dengan ICC tersebut diatas lembaga pemasyarakatan dan kepolisian nasional memegang peranan penting berdasarkan hukum nasional negara yang bersangkutan. Untuk itu para negara penandatangan menjamin adanya hukum nasional yang mengatur prosedur untuk seluruh bentuk kerjasama internasional tersebut (pasal 88). 143 3. Struktur Organ ICC Komposisi kelembagaan ICC di atur dalam bagian 4 pasal 34 sampai dengan pasal 52 Statuta, yaitu: 1. Badan-badan ICC terdiri dari: a. Dewan Ketua. b. Divisi Banding yang terdiri dari: 1) seorang Ketua, 2) empat orang Hakim,. 3) melaksanakan sidang ditingkat banding, 4) sidang ditingkat banding harus dihadiri semua hakim divisi banding. 5) upaya banding terhadap putusan yang dijatuhkan Divisi Pengadilan (pasal 74 statuta) dapat diajukan Penuntut Umum berdasar pasal 81 ayat 1 (a). 6) Upaya banding terhadap putusan yang diajuhkan Divisi Pengadilan dapat diajukan oleh Terdakwa berdasarkan alasan-alasan dalam pasal 81 ayat 1 (b). 7) Hakim Divisi Banding tidak dapat diperbantukan ke Divisi Pengadilan maupun Divisi Pra-Peradilan. c. Divisi Pengadilan yang terdiri dari: 1) minimal enam orang hakim, 2) melaksanakan pertama, proses peradilan ditingkat 3) persidangan dilaksanakan oleh tiga orang hakim, 4) upaya banding terhadap putusan yang dijatuhkan Divisi Pengadilan (pasal 74 statuta) dapat diajukan Penuntut Umum berdasar pasal 81 ayat 1 (a). 144 5) Upaya banding terhadap putusan yang diajuhkan Divisi Pengadilan dapat diajukan oleh Terdakwa berdasarkan alasan-alasan dalam pasal 81 ayat 1 (b). 6) Hakim Divisi Pengadilan dapat diperbantukan melaksanakan tugas hakim Divisi PraPeradilan, tetapi tidak boleh mengadili perkara yang ditanganinya di divisi Pra-Peradilan yang diadili di Divisi Pengadilan. d. Divisi Pra-Pengadilan yang terdiri dari: 1) minimal enam orang hakim, 2) melaksanakan sidang pendahuluan yang memutuskan kewenangan Penuntut Umum melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu dugaan tindak pidana. 3) persidangan Pra-Peradilan data dlaksanakan oleh hakim tunggal atau tiga orang hakim. 4) Upaya banding terhadap putusan yang dijatuhkan Divisi Pra-Peradilan (pasal 57 Statuta) dapat diajukan para pihak terkait: Penuntut Umum, Individu-individu terlapor, atau suatu Negara. 5) Hakim Divisi Pra-Peradilan dapat diperbantukan menjadi hakim Divisi Pengadilan, tetai tidak menangani perkara yang ditanganinyan di Divisi Pra-Peradilan. e. Kepaniteraan dan Staf 2. Hakim ICC terdiri dari: a. delapan belas orang yang dapat ditambah sesuai kebutuhan, b. hakim-hakim dipilih dari dan oleh Majelis Negara Pihak atau negara-negara yang meratifikasi Statuta, 145 c. hakim-hakim dipilih dengan mempertimbangkan kecakapan yang dibutuhkan, perwakilan sistemsistem hkum utama dnia, geogafis dan genjer, d. masa jabatan hakim selama sembilan tahun, dan tidak dapat dipilih kembali, e. hasil pemilihan hakim yang pertama diundi menjadi tiga kelompok masa jabatan, yaitu kelompok kesatu menjabat masa jabatan tiga tahun, kelompok kedua menjabat masa jabatan enam tahun, dan kelompok ketiga menjabat masa jabatan sembilan tahun. Hakim-hakim pada kelompok kesatu dapat dipilih kembali untuk masa jabatan enam tahun lagi, dan hakim ada kelompok kedua dapat dipilih kembali untuk masa jabatan tiga tahun lagi. Tidak ada seorangpun yang dapat memegang jabatan lebih dari sembilan tahun. f. untuk maksud di atas, pemlihan hakim berikutnya dilakukan secara regular setiap tiga tahun untuk memilih sepertiga hakim yang berakhir masa jabatannya. g. pemilihan hakim karena kekosongan dapat dilakukan secara irregular sesuai kebutuhan. h. Hakim melaksnkan tugas secara penuh waktu dan tidak boleh memegang jabatan atau profesi lainnya. i. Hakim melaksanakan tugas yudisialnya secara mandiri dan bebas dari pengaruh siapapun juga. 146 BAB II PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN HAM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NO. 26 TAHUN 2000 A. Pengadilan HAM RI Peradilan Hak Asasi Manusia di Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam bagian konsiderannya disebutkan pembentukan pengadilan HAM RI dilakukan dalam rangka melindungi, menghormati mempertahankan hak asasi manusia sebagai hak dasar yang universal dan langgeng secara kodrati melekat pada diri manusia, oleh karena itu tidak dapat diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai perwujudan Negara Indonesia ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan, perlindungan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman kepada setiap orang-perorangan dan masyarakat akan hak asasinya, serta sebagai perwujudan tanggungjawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Pasal 1 UU No.26 Tahun 2000 menjelaskan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tingg dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selanjutnya dijelaskan, bahwa penegakan hukum melalui peradilan HAM ini dilakukan terhadap hak asasi manusia yang tercantum dalam: 147 1) Undang-Undang Dasar 1945, 2) Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, 3) Ketetapan MPR-RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, 4) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penegakan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan falsafah yang terkadung dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional. Ditegaskan pula, bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk ini merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kekhususannya ini nampak dalam upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaannya, yaitu: a. diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc; b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengadual sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan; d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi; e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 148 Kekhususan ini dilakukan atas pertimbangan, bahwa pelanggaran hak asasi yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sifatnya yang “extra ordinary crimes” menyebabkan diperlukannya membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc yang berwenang memeriksa dan mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimasa lalu sebelum diundangkannya UU No.26 Tahun 2000. Oleh karena diberlakukan asas retroaktif secara terbatas hanya terhadap kejahatan kemanusiaan yang berat. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk sesuai kebutuhan berdasarkan Keputusan Presiden atas usul DPR RI dan berada dilingkungan Peradilan Umum. Pembatasan penggunaan asas retroaktif dengan undang-undang ini dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 149 Diakui bahwa hak asasi manusia yang perlu ditegakkan dan dilindungi oleh pengadilan hak asasi manusia Indonesia adalah bersifat universal dan melekat secara kodrati pada diri setiap manusia, sehingga dapat ditemukan dalam berbagai deklarasi maupun konvensi nasional maupun internasional. Namun demikian tidak boleh bertentangan dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan Pembukaan UUD’45 merupakan dasar filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai ideologi negara Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD’45 merupakan Roh dan Jiwa dari kerangka tubuh NKRI. Sebagai Roh dan Jiwa bangsa, Pancasila telah menuntun kehidupan sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia dari masa ke masa dengan pelbagai nilai-nilai kehidupan bersama, yaitu: Kebhinnekaan Tunggal Ika, Gotong- royong, Senasibsepenanggungan, Kesetiakawanan Sosial, Tolongmenolong, Musyawarah-Kekeluargaan, Untuk itu perlu kiranya di inventarisir nilai – nilai hak asasi manusia yang dapat ditemukan dalam UUD 1945, yaitu: a. PANCASILA, sebagai sumber nilai-nilai filosofis ideologis. Nilai-nilai utama dalam Pancasila sebagai nilai-nilai hidup dan menghidupi kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain: 1) Kemerdekaan, 2) Kebebasan, 3) Kebangsaan, 4) Kemanusiaan, 5) Keadilan, 6) Persatuan dan Kesatuan, 7) Kedaulatan Rakyat, 8) Kemakmuran dan Kesejahteraan, 150 9) Pendidikan, 10) Perdamaian, 11) Pengayoman. b. UUD 1945, sebagai sumber nilai fundamental – konstitusional. Berbagai nilai yang terpatri dalam pembukaan dan pasal-pasal batang tubuh UUD’45, diantaranya: a. NKRI, b. Pemerintahan Presidensial, c. Pembagian Kekuasaan: Eksekutif, Legislatif, dan Judikatif, d. Pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat, e. Hak-hak dan kebebasan individual yang tidak dapat dicabut: i. Hak dan kebebasan untuk beribadah sesuai ajaran agama dan keyakinannya, ii. Hak dan kebebasan berkumpul dan berpartai, iii. Hak dan kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat, iv. Hak dan kebebasan mendapat pekerjaan, v. Hak dan kebebasan mengejar kesejahteraan, vi. Hak dan kebebasan mendapat pendidikan, vii. Hak dan kebebasan mendapat perlindungan. Dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, tertib dan damai, maka hak, kewajiban dan tanggungjawab warga negara dan pemerintah diatur didalam pasal-pasal UUD’45. Ketentuanketentuan UUD’45 ini merupakan pedoman yang wajib ditaati, dilaksanakan, dijamin, dilindungi, dan ditegakkan sebagai nilai-nilai hak asasi manusia, antara lain: 151 1) Pasal 27 ayat (1) : Hak Setiap WNI dipersamakan dalam hukum pemerintahan.EE untuk dan 2) Pasal 27 ayat (1): Kewajiban Setiap WNI untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. 3) Pasal 27 ayat (2): Hak dan kebebasan setiap WNI untuk mendapat pekerjaan yang menghidupinya secara layak bagi kemanusiaan. 4) Pasal 27 ayat (3): Hak dan Kewajiban Setiap WNI untuk membela dan mempertahankan NKRI. 5) Pasal 28: Hak Setiap WNI untuk bebas berserikat, berkumpul, menyatakan pikiran dan pendapat. 6) Pasal 28 AJ: Hak Setiap WNI untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi. 7) Pasal 28 B ayat (1): Hak dan Kebebasan Setiap WNI untuk menikah, membentuk satu keluarga, dan mendpatkan keturunan. 8) Pasal 28 B ayat (2): Hak Setiap Anak di Indonesia untuk hidup bebas dari tindakan kekerasan dan diskriminasi. 9) Pasal 28 C ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mendapatkan dan memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi bagi meningkatkan kualitas dan kesejahteraannya. 10) Pasal 28 C ayat (2): Hak Setiap WNI untuk mempertahan, memajukan dan melestarikan keberadaan pribadi dan kolektifnya sebagai bagian dari pembangunan masyarakat, bangsa dan NKRI. 11) Pasal 28 C ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk mendapat pengakuan, perlindungan, kepastian, keadilan, kesamaan dihadapan hukum. 12) Pasal 28 D ayat (2): Hak WNI dan penduduk untuk bekerja dengan penghasilan yang layak dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. 152 13) Pasal 28 D ayat (3): Hak Setiap WNI dan penduduk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 14) Pasal 28 D ayat (4): Hak Setiap WNI dan penduduk memperoleh status kewarganegaraa. 15) Pasal 28 E ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya, memilih pe ndidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 16) Pasal 28 E ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. 17) Pasal 28 E ayat (3): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 18) Pasal 28 F: Hak Setiap WNI dan penduduk untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta dapat mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengubah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 19) Pasal 28 G ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada dalam kekuasaannya, serta memperoleh rasa aman dan memperoleh perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 153 20) Pasal 28 G ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajad martabat manusia dan bebas memperoleh suaka politik dari negara lain. 21) Pasal 28 H ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. 22) Pasal 28 H ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 23) Pasal 28 H ayat (3): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk memperoleh jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 24) Pasal 28 H ayat (4): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang wenang oleh siapapun. 25) Pasal 28 I ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk dalam keadaan apapun tidk dikurangi hak asasinya, yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 26) Pasal 28 I ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk tidak diperlakukan diskriminatif dan dilindungi dari perlakuan diskriminatif dengan dasar dan alasan apapun. 154 27) Pasal 28 I ayat (3): Hak setiap WNI dan penduduk untuk mendapat perlindungan atas identitas budaya dan masyarakat tradisionalnya. 28) Pasal 28 I ayat (4): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mendapat penyeleggaraan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia. 29) Pasal 28 I ayat (5): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mendapat perlindungan hak asasi manusia melalui peraturan perundangundangan sesuai negara hukum yang demokratis. 30) Pasal 28 J ayat (1): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk dihormati hak asasinya dari sesama WNI dan penduduk lainnya. 31) Pasal 28 J ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk mendapat pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasannya dari sesama WNI dan penduduk lainnya berdasarkan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis sebagaimana ditetapkan peraturan perundang-undangan. 32) Pasal 29 ayat (2): Hak Setiap WNI dan penduduk untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. 33) Pasal 30 ayat (1): Hak dan kewajiban Setiap WNI untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. 34) Pasal 30 ayat (2): Hak dan Kewajiban Setiap WNI untuk menjadi kekuatan pendukung dalam sistim pertahanan dan keamanan rakyat semesta. 35) Pasal 31 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk memperoleh pendidikan. 36) Pasal 31 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk memperoleh pendidikan dasar atas biaya pemerintah. 155 37) Pasal 31 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dan kecerdasannya dari satu sistim pendidikan nasional yang diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah. 38) Pasal 31 ayat (4): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan pendidikan dari pendidikan nasional dengan anggaran 20% dari APBN dan APBD. 39) Pasal 31 ayat (5): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan jaminan terhadap pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, persatuan bangsa, kemajuan peradaban, dan kesejahteraan tanpa diskriminasi. 40) Pasal 32 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya dalam rangka memajukan kebudayaan nasional ditengan-tengah perkembangan peradaban dunia. 41) Pasal 32 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk memelihara dan menghormati bahasa daerahnya sebagai kekayaan budaya nasional. 42) Pasal 33 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat atas satu sistim perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang disusun pemerintah berdasarkan undang-undang. 43) Pasal 33 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat bersama WNI lainnya atas cabang-cabang produksi yang penting yang dikuasai dan diolah pemerintah. 44) Pasal 33 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan kemakmuran bersama WNI lainnya atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang dikuasai pemerintah. 156 45) Pasal 33 ayat (4): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat bersama WNI lainnya atas perekonomian nasional yang diselenggarakan pemerintah berdasarkan atas demokrasi ekonomidengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan linglkungan, kemandirian, serta keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 46) Pasal 34 ayat (1): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat atas pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar yang dilaksanakan pemerintah. 47) Pasal 34 ayat (2): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat atas sistim jaminan sosial sesuai kemampuan ekonomi dan martabat kemanusiaan yang diselenggarakan pemerintah. 48) Pasal 34 ayat (3): Hak Setiap WNI untuk mendapatkan manfaat yang layak atas fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang diselenggarakan pemerintah. Dengan demikian berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan di atas, setiap warga negara Indonesia dalam berbagai kehidupan sosial, politik, pemerintahan, dan negara maupun dalam pergaulan Internasional wajib memelihara, mempertahankan dan melaksanakan nilainilai ideologis dan fundamental tersebut di atas dalam sikap prilaku: 1) Cinta tanah Air, 2) Setia kepada Pancasila, UUD’45, dan NKRI, 3) Rela berkorban tanpa pamrih membela dan mempertahankan Pancasila, UUD’45 dan NKRI. 4) Mengutamakan kepentingan negara dan rakyat dari kepentingan pribadi dan golongan, 5) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, 6) Bersikap arif dan bijaksana serta adil dan jujur, 157 7) Taat pada hukum dan peraturan perundangundangan, 8) Mencela segala perbuatan yang melemahkan dan merugikan keuangan negara dan perekonomian rakyat. UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini bukan Undang-Undang Ratifikasi Indonesia terhadap Statuta Roma 1998. Keberlakuan Statuta Roma 1998 sebagai perjanjian internasional kedalam yurisdiksi pengadilan Indonesia harus melalui upaya ratifikasi. Hingga sekarang Indonesia belum meratifikasinya. Namun demikian Pembentukan Pengadilan HAM RI walaupu masih terbatas pada kejahatan genosida dan kejahatan terhadap HAM berat, sudah dapat menjadi pertanda akan kesungguhan (genuinely) Indonesia yang berkeinginan (willing) dan berkemampuan (ability) memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Jo. Pasal 7 UU No.2 6 tahun 2000, Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum dengan tugas dan wewenang (yang merupakan yurisdiksi kriminalnya) memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat : Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang sama terdapat dalam pasal 6 dan pasal 7 Statuta Roma 1998 (Roma Statute of the International Criminal Court). Hal ini merupakan bentuk pengakuan diam-diam - tersirat negara Indonesia terhadap statuta ICC setidaknya pada yurisdiksi ICC tentang kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun secara terbatas pada kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berat, namun melalui upaya penemuan hukum Pengadilan HAM RI dapat memperluas yurisdiksi pidananya yang menjangkau 2(dua) jenis kejahatan HAM lainnya yang ada dalam Statute Roma 1998: Kejahatan Perang dan Kejkahatan Agresi. Hal ini 158 disebabkan oleh karena Indonesia telah ikut serta dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 Tentang Perlindungan Korban Perang melalui pernyataan turut serta tertanggal 10 September 1958 berdasarkan UU No.59 tahun 1958, sementara yurisdiksi kejahatan perang (war Crimes) ICC merujuk pada Konvensi Jenewa 1949 tersebut. Memang sangat diperlukan upaya ratifikasi Statuta Roma 1998 sebagai dasar hukum lebih lanjut melakukan upaya kriminalisasi Statuta ICC ini ke dalam sistim hukum pidana khusus Indonesia, antara lain: a) penyesuaian beberapa pasal dalam UU No.26/2000 diantaranya perluasan yurisdiksi kriminal Pengadilan HAM tetap maupun ad hoc yang juga meliputi kejahatan perang, b) meniadakan komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau komisi ini diberi kewenangan penyelidikan yang lebih bersifat politis melengkapi Komnas HAM yang menekankan pada aspek yuridis sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Selanjutnya, untuk hukum, antara lain: memperkuat upaya penegakan a) diperlukan pengadilan HAM yang otonom terlepas dari lingkungan peradilan umum untuk menghindari operasionalisasi yang semi-permanen dengan sistim majelis hakim yang terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim ad hoc. b) Pengadilan HAM tetap yang otonom ini diberi kewenangan untuk membentuk pengadilan ad hoc sesuai kebutuhan yang selalu bersifat mendesak, sehingga pembentukannya tidak perlu lagi melalui Keputusan Presiden atas usul DPR RI yang berbelitbelit dan memakan waktu. Juga karena kejahatan HAM begitu luas dan kompleks dengan karakteristik universal dan transnasionalnya, 159 c) diperlukan Hakim yang memiliki pengetahuan khusus untuk itu yang dapat berfungsi pada pengadilan HAM tetap dan juga pada pengadilan ad hoc. d) Putusan secara tertulis dan memuat pandangan dari mayoritas hakim dan minoritas hakim dalam hal pengambilan putusan secara voting ; e) Mempertimbangkan unsur-unsur element of crime) yang utama: kejahatan (the 1) unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaankeadaan (circumstances) yang menyertai perbuatan, 2) unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya (Pasal 30 Statuta Roma) yang mengatur "mental element", f) Unsur Mental (Mental Element) dalam pengertian: Kesengajaan (intent) terjadi apabila perbuatan (conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat atau keinginan untuk melakukan/turut serta melakukannya, yang menimbulkan akibat (consequences). Perbuatan tersebut menimbulkan akibat (consequences), apabila pelaku mengetahui (knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya tersebut akan menimbulkan akibat. Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa perbuatan dan akibat terdapat hubungan sebab-akibat. perbuatan awal menimbulkan kejadian sebab, dan kejadian sebab menimbulkan kejadian akibat. Pengertian tahu (know) dan mengetahui (knowingly) ditafsirkan dalam kerangka hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut. 160 g) Unsur Perbuatan : (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) dan sistematik (systematic) ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. B. Yurisdiksi Pengadilan HAM RI 1. Yurisdiksi Pidana Umum a. Prinsip Territorialitas Prinsip ini ditegaskan dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan: bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia. Jadi yurisdiksi territorial peradilan pidana Indonesia meliputi semua wilayah Republik Indonesia. Sehingga siapapun baik warga negara Indonesia maupun penduduk asing yang melakukan kejahatan dalam wilayah RI dapat diajukan dan diadili di muka pengadilan Indonesia. Konsep wilayah negara dalam hukum internasional yang telah baku dalam perundangundangan nasional negara-negara meliputi pula wilayah ekstra-territorial pada kedutaan besar di luar negeri, kapal laut dan kapal terbang yang berbendera nasional suatu negara. Dengan demikian yurisdiksiteritorial peradilan pidana Indonesia meliputi pula 161 wilayah ekstra teritorial pada semua kedutaan besar RI di negara lain, Kapal Laut dan Kapal Terbang berbendera merah-putih RI (pasal 9 KUHAP). b. Prinsip Nasional Aktif. Pasal 5 KUHP mengatur prinsip ini dengan penegasan: (1) Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia, yang di luar wilayah negara Indonesia bersalah melakukan: Kesatu: salah satu dari kejahatankejahatan yang termuat dalam titel 1 dan 2 Buku II dan dalam pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Kedua: suatu tindak pidana yang menurut hukum pidana Indonesia masuk golongan "kejahatan", dan yang menurut hukum pidana dari negara tempat pidana itu dilakukan, diancam pula dengan hukuman pidana. (2) Penuntutan kejahatan-kejahatan tersebut dalam sub kedua juga dapat dilakukan apabila si tersangka baru setelah melakukan tindak pidana menjadi warga negara Indonesia. Dalam pasal 5 KUHP diatas, yurisdiksi peradilan pidana Indonesia meliputi: (1) Warga Negara Indonesia yang melakukan kejahatan di luar yurisdiksi-teritorial Indonesia. (2) Pelaku kejahatan yang mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia. 162 (3) Kejahatan yang dilakukan adalah salah satu dari kejahatan-kejahatan dalam titel 1 dan 2 Buku II dan dalam pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451. (4) Kejahatan yang dilakukan menurut hukum pidana Indonesia dan menurut pula hukum pidana negara tempat kejadian adalah tindakan yang diancam dengan hukuman pidana, dengan pengecualian tidak dapat dijatuhi hukuman mati jika hukum pidana negara tempat kejadian tidak mengancamnya dengan hukuman mati (pasal 6). Selanjutnya disebut sebagai prinsip nasional "aktif" karena yang melakukan kejahatan adalah warga negara Indonesia dan juga yang kemudian menjadi warga negara Indonesia. "Perbuatan melakukan" adalah sesuatu yang bersifat "aktif". c. Prinsip Nasional Aktif (Perluasan) Pasal 7 KUHP memperluas prinsip nasional aktif sehingga disebut pula perluasan prinsip nasional aktif menjangkau sampai pada semua pegawai negeri Indonesia yang melakukan "kejahatan-kejahatan jabatan (ambtsmisdrijven)" yang termuat dalam titel XXVIII dari Buku II KUHP di luar yurisdiksi-teritorial peradilan pidana Indonesia termasuk didalamnya warga negara asing yang bekerja sebagai pegawai pada instansi pemerintahan RI di negara lain, seperti di Kantor Konsulat dan kedutaan RI, Badan Usaha Milik Negara RI : Bank Negara Indonesia dan lainnya. 163 d. Prinsip Nasional Pasif Prinsip ini diatur dalam pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP yang menegaskan: "Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, yang di luar wilayah Indonesia telah melakukan: ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111 bis sub 1, 127, 130-133; ke-2: suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau merk yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; ke-3: suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang (schuldbrieven) atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda tangan dividen atau bunga dari suratsurat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu. Selanjutnya pasal 8 KUHP memperluas lagi pemberlakuan prinsip nasional pasif ini sampai meliputi pengemudi dan para penumpang kapal Indonesia yang di luar wilayah Indonesia dan di luar kapal, yaitu di daratan wilayah negara asing, melakukan kejahatan pelayaran (scheepvaartmisdrijven) yang termuat dalam titel XXIX Buku II KUHP, dan pelanggaran pelayaran (scheepvaartovertredingen), yang termuat dalam titel IX Buku III KUHP. Kemudian pasal 93 ayat 2 KUHP mengartikan "penumpang (opvarenden)"meliputi semua semua orang yang ada di suatu kapal, yang terdiri dari awak kapal (schepelingen) dan orang-orang yang harus diangkut sebagai penumpang menuju tujuanpengangkutannya. Perluasan prinsip nasional pasif 164 ini berkaitan dengan kepentingan pelayaran kapal Indonesia dan mereka yang perlu dilindungi oleh hukum pidana nasional Indonesia di wilayah negara lain. e. Prinsip Universalitas (Universaliteits-Beginsel) Prinsip ini diatur dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menyatakan: "Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di luar Indonesia: 4e. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446 tentang pembajak laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil". Melalui pasal 4 sub 4e yang mengatur prinsip Universalitas ini, nampaknya hukum pidana Indonesia (KUHP) dapat di "internasionalisasi" terhadap kejahatan-kejahatan Internasional setidaknya terhadap kejahatan-kejahatan di laut dan di udara seperti : pembajakan kapal laut dan pesawat udara yang sejak lama sudah menjadi kejahatan internasional. Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi pengadilan diatas maka menurut hemat penulis yurisdiksi peradilan pidana Indonesia bersifat terbuka untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan hukum pidana internasional bahkan hukum pidana nasional Indonesia dapat diinternasionalisasikan terhadap kejahatan-kejahatan yang memiliki karakter universal-internasional. Selain 165 itu hukum pidana internasional dapat dinasionalisasikan-diadopsikan-dikriminalisasikan kedalam hukum pidana nasional Indonesia melalui peraturan perundang-undangan antara lain seperti: UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, yang diundangkan sehubungan dengan UU RI No.8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) dan pengaruh Convention Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988), Undang-undang tentang Pencucian Uang (Money Laundryng), dan lain-lainnya termasuk UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dalam pembahasan legislatif merupakan komitmen RI mewujudkan ketentuan pasal 3 Convention Against Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999)., yang mana kesemuanya digolongkan sebagai delik-delik khusus yang tersebar di luar KUHP. Sementara itu, perlu pula dipahami pengertian dari 'yurisdiksi peradilan pidana" (Indonesia) itu sendiri. Dalam yurisdiksi peradilan pidana dapat ditarik dua yurisdiksi daripadanya yaitu: a. Yurisdiksi peradilan yang disebut pula yurisdiksi yudikatif (Judicative jurisdiction), yang oleh I Wayan Parthiana28 diartikannya sebagai yurisdiksi suatu negara untuk mengadili dan atau menghukum si pelanggar peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh negara yang bersangkutan. 28 I Wayan Parthiana, Op.cit. hlm.301 166 b. Yurisdiksi kriminal (criminal jurisdiction) adalah yurisdiksi (hak, kekuasaan, kewenangan menurut hukum) suatu negara untuk dapat melaksanakan hukum pidana nasionalnya terhadap suatu kasus baik yang berdimensi nasional maupun internasional. Dengan demikian, menurut hemat penulis yurisdiksi peradilan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain didalam memberantas suatu tindak pidana (kejahatan) baik yang berskala nasional maupun transnasional-internasional. Yurisdiksikriminal bersifat melekat (assesoir) mengikuti yurisdiksi peradilan pidana sebagai induk. 2. Yurisdiksi Pidana Khusus HAM RI a. Subject Matter (Pokok Perkara) Jurisdictial/Ratione Material Dalam Pasal 4 jo. Pasal 7 UU No.26 Tahun 2000 menegaskan yurisdiksi pokok perkara Pengadilan HAM (tetap) adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kemudian dalam bagian penjelasan pasal 7 ditegaskan, Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian dalam ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of The International Criminal Court” (pasal 6 dan Pasal 7). Pada pasal 4 ditegaskan jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi pokok perkara, dengan menegaskan: 167 Pasal 4 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selanjutnya rumusan delik kejahatan HAM berupa kejahatan genosida diuraikan dalam Pasal 8 UU No.26 Tahun 2000, sebagai berikut: Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Selanjutnya rumusan delik kejahatan HAM berupa kejahatan terhadap kemanusiaan diuraikan dalam Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000, sebagai berikut: 168 Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau. alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid; 169 Sedang Yurisdiksi Pengadilan HAM Ad hoc diatur dalam pasal 43 dan 44, sebagai berikut: Pasal 43 (1) Pelanggaran hak asasi manusia, yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Pasal 44 Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. 3. Individual Jurisdiction/Ratione Personal (Yurisdiksi Perorangan) Pengaturan yurisdiksi individual ini diatur tersebar dalam beberapa pasal dalam UU No.26 Tahun 2000, yaitu: Pasal 36 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 170 Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 38 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 39 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 40 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. 171 Penjelasan Pasal 41: Yang dimaksud dengan “permufakatan jahat adalah apabila 2 (dua) orang atau lebih sepakat akan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 49 Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini. Penjelasan Pasal 49 Cukup jelas. Dalam ketentuan ini dimaksudkan hanya berlaku untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan yurisdiksinya berlaku bagi siapa saja baik sipil maupun militer. Berdasarkan ketentuan di atas peradilan HAM RI berlaku bagi setiap orang siapapun juga sipil maupun militer dan polisi, pejabat pemerintah/negara ataupun bukan, warga negara Indonesia atau bukan. Juga meskipun tidak diatur secara tegas termasuk juga setiap organisasi yang digunakan sebagai wahana mengorganisir persiapan, perencanaan dan pelaksanaan kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 4 yang menyatakan: 4. Setiap orang adalah orang perorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 172 Namun demikian terdapat pembatasan usia hanya pada setiap orang yang berusian 18 tahun ke atas, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UU No.26 Tahun 2000, yang menyatakan: Pasal 6 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. 4. Temporal Jurisdiction/Ratione Temporis (Yurisdiksi Waktu) Undang-Undang No.26 Tahun 2000 diundangkan sebagai undang-undang tentang Pengadilan HAM, tetapi juga mengatur mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc, sehingga dapat disimpulkan, terdapat dua jenis pengadilan HAM yang diatur dan dapat dibentuk berdasarkan undang-undang ini, yaitu: 1} Pengadilan HAM (tetap), yang diatur sebagai pengadilan tetap dilingkungan peradilan umum. Meskipun tidak disebutkan sebagai pengadilan tetap (permanent), tetapi dapat digunakan sebagai konsekuensi pembedaan dengan pengadilan HAM ad hoc yang di atur dalam Bab VIII Pasal 43 dan pasal 44. Sifat tetap pada pengadilan HAM ini tidak terpengaruh dengan keberadaan tiga dari lima anggota Majelis Hakim yang berstatus ad hoc. Sehingga meskipun Majelis Hakimnya terdiri dari hakim ad hoc atau hakim yang diangkat untuk masa jabatan tertentu yaitu lima tahun dan dapat dipilih untuk satu masa jabatan lagi (pasal 27 dan pasal 28), namun secara kelembagaan pengadilannya bersifat tetap atau permanent. 173 2} Pengadilan HAM ad hoc, yang diatur sebagai pengadilan HAM yang tidak tetap atau secara kelembagaan atau badan dibentuk setiap kali ada kasus pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk dengan Surat Keputusan Presiden atas usul DPR RI dan juga berada dilingkungan peradilan umum (pasal 43). Selanjutnya berdasarkan pasal 44, Majelis Hakim pada pengadilan ad hoc sama dengan Majelis Hakim pada Pengadilan HAM tetap (permanent), yaitu sebanyak lima orang yang terdiri dari dua hakim pada peradilan umum dan tiga hakim ad hoc (pasal 27 dan pasal 28). Meskipun Majelis hakimnya diambil dari Majelis Hakim Pengadilan HAM tetap, secara kelembagaan Pengadilan HAM ad hoc tetap merupakan pengadilan yang bersifat sementara yang dibentuk secara kasuistis atau kasus per kasus (case by case). Demikian juga, meski undang-undang tidak mengatur secara tegas batasan sifat ad hoc dari pengadilan HAM ad hoc ini, namun dapat dimengerti jika keberadaan pengadilan ad hoc ini berakhir setelah perkara yang diadilinya telah mendapat kekuatan hukum yang tetap dan telah dilaksanakan atau dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum ad hoc yang bersangkutan. Hal ini disebabkan sistim peradilan pidana Indonesia, dimana pengadilan yang lebih tinggi (banding dan kasasi) berwenang untuk memerintahkan Majelis Hakim tingkat pertama mengadakan sidang untuk melakukan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diperlukan. 174 5. Territorial Jurisdiction/Ratione Loci ( Yurisdiksi Territorial) Kewenangan mengadili Peradilan HAM RI meliputi semua kejahatan HAM yang terjadi di wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun bukan, dan diluar wilayah RI dengan pembatasan hanya terhadap pelaku kejahatan yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia. Kewenangan Peradilan HAM RI terhadap kejahatan HAM yang terjadi didalam negeri yang dilakukan baik warga negara Indonesia maupun bukan, merupakan bagian dari kewenangan negara RI sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Untuk itu yurisdiksi pidana negara Indonesia menganut prinsip territorialitas, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan: bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia. Kemudian dalam UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara di jelaskan arti dan batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan: “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.” Begitupun ditegaskan kembali dalam Pasal 4, yang menyatakan: “Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.” 175 Selanjutnya Pasal 6 lebih mengkonkritkan lagi ruang lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menegaskan batas-batas wilayah negara RI dengan negara tetangga dan yang tidak berbatas dengan negara lain, dengan menegaskan: Pasal 6 Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, meliputi: di darat berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, dan Timur Leste; di laut berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timur Leste; dan di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional; Batas Wilayah Negar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral. Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Selain mengatur batas wilayah, UU No. 43 Tahun 2008 juga mengatur mengenai batas wilayah yurisdiksi dalam pasal 7 dan pasal 8. Dalam kedua wilayah ini Negara Indonesia memiliki kewenangan-kewenangan atau kekuasaan-kekuasaan hukum yang berbeda, yaitu: Dalam wilayah negara Negara Indonesia berdaulat penuh dan merupakan satu satu unsure dari tiga unsur keberadaan sebuah negara disamping unsur Pemerintah dan Rakyat. Sedang dalam wilayah yurisidksi, Negara Indonesia memiliki hak hak berdaulat. Hak-hak berdaulat ini merupakan hak-hak khusus atau yurisdiksi 176 khusus yang dapat dijalankan atau dilaksanakan Negara Indonesia dalam wilayah tersdebut. Hak-hak khusus atau yurisdiksi khusus ini bersumber dari hukum internasional dan Undang-Undang Nasional Indonesia yang diundangkan karena hukum Internasional. Sehubungan dengan konsep wilayah negara dan wilayah yurisdiksi tersebut di atas, dikenal pula wilayah ekstra-territorial Indonesia yang melekat pada: Keduataan Besar RI di negara lain, Kapal Laut dan Kapal Terbang berbendera Indonesia. Sesuai Pasal 9 KUHAP Indonesia memiliki kewenangan mengadili atas semua peristiwa hukum yang terjadi dalam wilayah ekstra territorial ini, termasuk kejahatan HAM. Jadi meskipun wilayah ekstra-teritorial itu berada terpisah dari wilayah negara, namun karena diberlakukan sebagai bagian dari wilayah negara, maka berlaku yurisdiksi pidana Indonesia atas semua kejahatan yang dilakukan baik warga negara Indonesia maupun bukan, termasuk kejahatan HAM. Dengan demikian wilayah ekstra territorial ini tidak digolongkan sebagai wilayah diluar batas territorial wilayah negara Indonesia sebagaimana yang dikenal dalam pasal 5 UU No.43 Tahun 2008. Dalam Pasal 5 ini ditegaskan kewenangan Peradilan HAM RI terhadap kejahatan HAM yang terjadi diluar kedaulatan negara RI yang dilakukan warga negara Indonesia, dengan menegaskan: Pasal 5 Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia 177 Dengan demikian, yurisdiksi territorial pidana Indonesia dalam wilayah ekstra territorial diberlakukan terhadp kejahatan HAM yang dilakukan baik oleh warga negara Indonesia maupun bukan. Sedang terhadap kejahatan HAM yang terjadi di luar batas territorial wilayah negara Indonesia yang dimaksud Pasal 5 UU No.43 Tahun 2008, negara Indonesia hanya dapat melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan HAM yang dilakukan oleh Warga negara Indonesia. 6. Yurisdiksi Pelanggaran Administrasi Peradilan Yurisidiksi ini merupakan yurisdiksi yang terkait dengan semua administrasi suatu kasus yang sedang dalam proses penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, persidangan, dan upaya hukum pada semua tingkat peradilan serta eksekusi, antara lain meliputi: surat penangkapan, penahanan, penggeledaan, penyitaan, permohonan-permohonan, penyerahan tersangka atau terdakwa, penyerahan berkas perkara, bukti-bukti, berita acara persidangan dan surat-persuratan lainnya. Semua tindakan pemalsuan, pengrusakan, penghilangan, penggantian tidak sah, atau bentuk penyalahgunaan lainnya merupakan pelanggaran administrasi peradilan yang dapat dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik terhadap pihak pengadilan, penyidik dan penuntut umum, pengacara, tersangka/terdakwa, saksi, maupun pihak ketiga lainnya. Berbeda dengan Statuta Roma 1998 yang mengatur yurisdiksi administrasi peradilan dalam Pasal 70, UU No.26 Tahun 2000 tidak mengatur yurisdiksi ini secara khusus. Sehingga berdasarkan 10 UU No.26 Tahun 2000, pelaksanaan yurisdiksi administrasi peradilan HAM dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan beracara yang terdapat dalam KUHAP. 178 7. Yurisdiksi Pelanggaran Tata Tertib Pengadilan Yurisdiksi ini merupakan yurisidiksi Contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), yaitu semua tindakan-tindakan yang mengganggu dan/atau diduga dapat mengganggu jalannya persidangan yang terbuka bebas, cepat dan sederhana. Semua tindakan-tindakan yang melanggar tata tertib selama persidangan berlangsung baik yang diumumkan maupun yang diucapkan Majelis Hakim termasuk dalam persidangan di lapangan merupakan pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan yang dapat diberikan tindakan penertiban seketika oleh pihak pengadilan berdasarkan yurisdiksi ini. Tindakan penertiban ini antara lain berupa: melarang masuk atau memerintahkan yang bersangkutan meninggalkan ruang sidang. Juga berbeda dengan Statuta Roma 1998 yang mengatur yurisdiksi administrasi peradilan dalam Pasal 71, UU No.26 Tahun 2000 tidak mengatur yurisdiksi ini secara khusus. Semua ketentuan tehnis tata tertib persidangan di atur langsung oleh pihak pengadilan. C. Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI 1. Ketentuan Umum Bahwa Yurisdiksi pokok perkara Pengadilan HAM RI ditetapkan dalam Pasal 4 jo. Pasal 7 dan penjelasannya Undang Undang RI No.26 Tahun 2000 terdiri dari: kejahatan genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan “Rome Statute of The International Criminal Court” (pasal 6 dan Pasal 7). Oleh karena itu dalam upaya penegakan hukumnya Pengadilan HAM RI mempunyai kewajiban internasional untuk menerapkan ketentuan-ketentuan umum dan unsur-unsur kejahatan HAM yang telah dirumuskan berdasarkan Statuta Roma 1998. Rumusan-rumusannya terurai berikut ini: 179 1) Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 jo. Pasal 21, bahwa Unsur-unsur Kejahatan Bersamaan ini harus digunakan Pengadilan secara konsisten dalam melakukan penegakan hukum terhadap Pasal 6 Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan Perang. Sehingga Pengadilan tidak boleh melakukan interpretasi dan aplikasi lain selain berdasarkan rumusan Unsur-Unsur Kejahatan Bersamaan ini. 2) Unsur-Unsur Kejahatan Bersamaan ini dirumuskan sesuai dengan masing-masing kejahatan HAM yang telah dirumuskan definisi kejahatannya dalam Pasal 6 Tentang Kejahatan Genosida, Pasal 7 tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dan Pasal 8 Tentang Kejahatan Perang. Sedang untuk Kejahatan HAM Agresi belum dapat dibuatkan rumusan Unsur-Unsur Kejahatan karena definisi kejahatan Agresi belum dirumuskan. 3) Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 30, kecuali ditetapkan sebaliknya, seseorang harus bertanggung jawab secara kriminal dan bertanggung jawab atas hukuman untuk suatu kejahatan dalam yurisdiksi suatu Pengadilan, hanya bila materi unsur-unsur tersebut dikerjakan dengan maksud (intent) dan pengetahuan. Tidak ada rujukan yang dibuat di dalam unsur-unsur Kejahatan untuk unsur mental bagi tindakan tertentu, akibat atau keadaan telah didaftar, hal ini dimengerti sebagai unsur mental yang relevan, yaitu maksud, pengetahuan atau keduanya, ditampilkan dalam terapan Pasal 30. Perkecualian bagi standar-standar Pasal 30, berdasarkan Undang-Undang, termasuk hukum terapan di bawah ketetapannya yang relevan, ditunjukkan di bawah ini. 180 4) Keberadaan akan maksud dan pengetahuan dapat disimpulkan dari fakta-fakta dan keadaankeadaan yang relevan. 5) Mengenai unsur-unsur mental yang berhubungan dengan unsur-unsur yang terlibat dengan nilai pengadilan, seperti pemakaian istilah ‘inhumane’ (tidak manusiawi) atau ‘severe’ (parah), tidaklah penting bahwa pelaku kejahatan secara pribadi menyelesaikan (penilaian) pengadilan tertentu, kecuali bila ditunjuk sebaliknya. 6) Dasar-dasar untuk menyingkirkan tanggung jawab atau ketiadaan kriminal secara umum tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari kejahatan yang diurutkan untuk setiap kejahatan. 7) Perlunya ‘unlawfulness’ (keadaan tanpa hukum) ditemukan dalam Undang-Undang atau dalam bagian lain dari hukum internasional, dalam hukum humaniter internasional khusus, secara umum tidak dispesifikasi dalam unsur-unsur dari Kejahatan. 8) Unsur-unsur dari kejahatan secara umum terstruktur secara berurut dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: - Dengan adanya unsur-unsur dari kejahatan berfokus pada tindakan, akibat dan keadaan yang berkaitan dengan masing-masing kejahatan, semua itu secara umum terdaftar dengan urutan seperti itu. - Ketika diperlukan, suatu unsur mental khusus diurutkan setelah tindakan yang terpengaruhi, akibat atau keadaan. - Keadaan-keadaan diurutkan terakhir. 181 yang kontekstual 9) Karena dipakai dalam unsur-unsur dari Kejahatan, istilah “perpetrator” (pelaku kejahatan) adalah netral seperti halnya bersalah atau tidak berdosa. Unsur-unsur tersebut, termasuk unsur mental yang sesuai, menerapkan mutatis mutandis pada semua yang mempunyai tanggung jawab kriminal, terdapat pada pasal 25 dan 26 dari UndangUndang. 10). Tindakan tertentu dapat membentuk satu atau lebih kejahatan-kejahatan. 11). Penggunaan hak-hak singkat (short) untuk kejahatan-kejahatan tidak mempunyai efek legal. 12) Mempertimbangkan unsur-unsur kejahatan (the element of crime) yang utama: 1) unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaan-keadaan (circumstances) yang menyertai perbuatan, 2) unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya (Pasal 30 Statuta Roma) yang mengatur "mental element", 13. Unsur Mental pengertian: (Mental Element) dalam Kesengajaan (intent) terjadi apabila perbuatan (conduct) tersebut si pelaku mempunyai niat atau keinginan untuk melakukan/turut serta melakukannya, yang menimbulkan akibat (consequences). Perbuatan tersebut menimbulkan akibat (consequences), apabila pelaku mengetahui (knowledge) atau sadar (aware) perbuatannya tersebut akan menimbulkan akibat. 182 Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa perbuatan dan akibat terdapat hubungan sebab-akibat. perbuatan awal menimbulkan kejadian sebab, dan kejadian sebab menimbulkan kejadian akibat. Pengertian tahu (know) dan mengetahui (knowingly) ditafsirkan dalam kerangka hubungan sebab-akibat antara perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut. 14) Unsur Perbuatan : (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) dan sistematik (systematic) ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. 2. Rumusan Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI Bahwa unsure-unsur kejahatan HAM Genosida dan Kejhatan HAM Pelanggaran tehadap kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM RI telah diuraikan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000, sebagai berikut: Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: 183 a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak kelompok tertentu ke kelompok lain. dari Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d pengusiran paksa; atau pemindahan penduduk secara e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; 184 h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau. alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid; Namun demikian oleh karena Kejahtan HAM yang menjadi wewenang Pengadilan HAM RI merujuk pada kejahatan HAM yang ditegaskan dalam Statuta Roma 1998, maka Unsur-Unsur Kejahatan HAM yang melengkapi Statuta Roma tersebut seharusnya pula melengkapi Unsur-Unsur Kejahatan HAM RI tersebut di atas, Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan HAM yang dilakukan Pengadilan HAM RI juga memenuhi standar Statuta Roma yang menjadi kewajiban internasional Indonesia. Bahwa Unsur-Unsur Kejahatan HAM yang menjadi kewajiban internasional untuk ditegakkan oleh Pengadilan HAM RI berdasarkan Pasal 4 jo. Pasal 7 UU No.26 Tahun 2000 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma 1998 adalah Unsur-Unsur Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Namun demikian terbuka peluang bagi Pengadilan HAM RI memperluas yurisidiksi pidananya menjangkau Kejahatan Perang (Pasal 8 Statuta Roma 1998) berdasarkan Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 Tentamg Perlindungan Korban Perang. Hal ini disebabkan karena berdasarkan UU RI No.59 Tahun 1958 Indonesia telah menyatakan turut serta terhadap Konvensi Jenewa 1949 tersebut. Sehingga Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perang yang juga merupakan kejahatan HAM. 185 Berikut ini selengkapnya diuraikan unsur-unsur kejahatan dari ketiga kejahatan HAM menurut Statuta Roma 1998 tersebut. a. Genocide Pasal 6 (Pemusnahan Suatu Bangsa) Pendahuluan Dengan memandang ayat terakhir yang terurut untuk setiap kejahatan: - Istilah “in the context of” (dalam konteks dari) akan meliputi tindakan-tindakan awal dalam pola yang baru bermunculan; - Istilah “manifest” (penampakan) kualifikasi yang obyektif; - Tanpa menentang persyaratan normal untuk unsur mental yang ditetapkan dalam pasal 30, dan mengenali bahwa pengetahuan mengenai keadaan-keadaan biasanya akan ditujukan untuk membuktikan maksud genocide, persyaratan yang sesuai, bila ada, untuk unsur mental merujuk pada keadaan ini akan perlu diputuskan oleh Pengadilan dengan dasar kasus per kasus adalah Pasal 6 (a) Pemusnahan Pembunuhan bangsa-bangsa melalui Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah membunuh (2) satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu. 186 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tersebut. 4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (b) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan melukai secara fisik maupun mental Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melukai secara fisik atau mental dengan serius terhadap satu orang atau lebih. (3) 2. Orang atau orang-orang seperti itu adalah milik bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tersebut. 4. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. 187 Pasal 6 (c) Pemusnahan bangsa-bangsa dengan membuat kondisi-kondisi perhitungan jiwa secara sengaja untuk menimbulkan penghancuran fisik Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kondisi-kondisi tertentu atas jiwa satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Kondisi-kondisi atas jiwa tersebut diperhitungkan untuk menimbulkan penghancuran fisik atas kelompok tersebut, secara keseluruhan atau sebagian. (4) 5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (d) Pemusnahan bangsa-bangsa memberlakukan langkah-langkah mencegah kelahiran. dengan untuk Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memberlakukan langkahlangkah tertentu atas satu orang atau lebih 188 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Tindakan-tindakan tersebut diberlakukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu. 5. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. Pasal 6 (e) Pemusnahan bangsa-bangsa pemindahan anak-anak dengan paksa dengan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa untuk memindahkan satu orang atau lebih.(5) 2. Orang atau orang-orang tersebut dimiliki oleh bangsa, etnis, ras atau kelompok agama tertentu 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian dari kelompok bangsa, etnis, ras atau agama tersebut. 4. Pemindahan tersebut adalah kelompok ke kelompok lain dari satu 5. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 18 tahun 6. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui, bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 18 tahun 189 7. Tindakan tersebut berada dalam konteks dari pola penampakan dari tindakan serupa yang ditujukan terhadap kelompok itu atau merupakan tindakan tersendiri yang berefek pada penghancuran semacam itu. b. Crime Againts Humanity (Kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan) Pasal 7 Pendahuluan 1. Oleh karena pasal 7 menyinggung tentang hukum kriminal internasional, ketetapanketetapannya, konsisten dengan pasal 22, maka harus ditafsirkan dengan baik, diperhitungkan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang didefinisikan dalam pasal 7 adalah salah satu di antara kejahatan yang paling serius yang mengkhawatirkan dunia internasional sebagai tanggung jawab kriminal dari individu secara keseluruhan, terjamin, dan dibutuhkan, dan memerlukan tindakan yang tidak diijinkan oleh hukum internasional terapan umum, seperti yang dikenali oleh sistem-sistem legal utama dunia. 2. Dua unsur terakhir untuk masing-masing kejahatan terhadap kemanusiaan mendeskripsikan dalam konteks di mana tindakan harus mendapat tempat. Unsurunsur ini mempertegas syarat-syarat partisipasi dalam dan akan pengetahuan tentang pernyebaran atau serangan sistematis terhadap penduduk sipil. Bagaimanapun juga, unsur terakhir tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai memerlukan bukti bahwa pelaku kejahatan memiliki pengetahuan atas semua karakteristik suatu serangan atau rincian yang tepat dari suatu rencana atau 190 kebijakan suatu Negara atau organisasi. Dalam kasus dari munculnya serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil, maksud ketentuan dari ayat terakhir menunjukkan bahwa pemikiran ayat ini akan dipenuhi bila pelaku kejahatan bermaksud untuk bertindak lebih jauh atas serangan semacam itu. 3. “Serangan ditujukan terhadap penduduk sipil.” Dalam konteks ini unsur-unsur dipahami sebagai perjalanan tindakan yang melibatkan komisi multipel dari aksi-aksi merujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-Undang terhadap penduduk sipil apa pun, menurut atau di dalam keterlibatan lebih jauh dari kebijakan Negara atau organisasi untuk menetapkan serangan semacam itu. Tindakan-tindakan tersebut tidak membutuhkan adanya unsur serangan militer. Dipahami bahwa “kebijakan yang menetapkan serangan semacam itu” memerlukan Negara atau organisasi untuk secara aktif meningkatkan atau memberanikan serangan semacam itu terhadap penduduk sipil. (6). Pasal 7 (1) (a) Kejahatan terhadap pembunuhan kemanusiaan atas Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh (7) satu orang atau lebih 2. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil 191 3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil Artikel 7 (1) (b) Kejahatan terhadap pemusnahan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh (8) satu orang atau lebih, termasuk dengan cara membuat kondisi-kondisi yang mengancam jiwa yang menimbulkan penghancuran sebagian dari penduduk. (9) 2. Tindakan tersebut terdiri dari atau sebagai bagian dari, (10) pembunuhan massal dari anggota-anggota penduduk sipil 3. Tindakan itu ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (c) Kejahatan terhadap perbudakan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti membeli, menjual, 192 meminjamkan atau menukarkan orang atau orang-orang semacam itu atau dengan membebani mereka dengan perampasan kebebasan dan sejenisnya. (11) 2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (d) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai deportasi atau pemindahan paksa atas suatu penduduk 1. Pelaku kejahatan mendeportasi atau memindahkan (13) secara paksa (12) tanpa dasar yang diijinkan oleh hukum internasional, bagi satu orang atau lebih ke Negara lain atau lokasi lain, dengan tindakan pengusiran atau tindakan paksa lainnya. 2. Orang atau orang-orang semacam itu berada secara hukum di daerah di mana mereka dideportasikan atau dipindahkan 3. Pelaku menyadari keadaan yang sebenarnya yang ada dalam keberadaan hukum seperti itu. 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 193 Pasal 7 (1) (e) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai pemenjaraan atau berbagai perampasan kebebasan fisik lainnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memenjarakan satu orang atau lebih atau sebaliknya merampas kebebasan fisik satu orang atau lebih dengan parahnya. 2. Kegawatan dari tindakan itu adalah karena tindakan itu merupakan pelanggaran atas aturan-aturan dasar hukum internasional 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan yang sebenanya terjadi yang menimbulkan kegawatan tindakan tersebut 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (f) Kejahatan atas penyiksaan (14) kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau derita fisik atau mental yang parah atas satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang tersebut adalah sebagai tahanan atau di bawah kendali pelaku kejahatan 194 3. Sakit atau derita semacam itu tidak hanya berasal dari dan tidak melekat atau insidentil terhadap sanksi hukum. 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-1 Kejahatan terhadap pemerkosaan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang (15) tubuh seseorang dengan tindakan yang menyebabkan penetrasi dari organ seks pelaku kejahatan, betapa pun ringannya, terhadap bagian tubuh apapun dari tubuh korban, atau dari bukaan anus atau kelamin dari korban dengan obyek apapun atau dengan bagian tubuh apapun 2. Penyerangan ini dilakukan dengan paksa, atau dengan ancaman atau kekuatan atau tindakan pemaksaan, dan tindakan semacam itu yang disebabkan oleh ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kuasa, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (16) 195 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-2 Kejahatan terhadap perbudakan seks (17) kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan telah memanfaatkan atas beberapa atau keseluruhan kekuasaan yang berkenaan dengan kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukarkan orang atau orang-orang semacam itu atau dengan membebani mereka dengan perampasan kebebasan dan sejenisnya. (18) 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih tindakan-tindakan seks alami. 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 196 Pasal 7 (1) (g)-3 Kejahatan terhadap pelacuran paksa kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu keadaan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan uang atau keuntungan lainnya yang ditukarkan dalam hubungannya dengan tindakan kegiatan seksual . 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 197 Pasal 7 (1) (g)-4 Kejahatan atas kehamilan paksa kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan satu orang wanita atau lebih dan memaksanya hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnik dari penduduk apa pun atau untuk menyelenggarakan pelanggaran berat lainnya dari hukum internasional 2. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 3. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-5 Kejahatan terhadap kemanusiaan sterilisasi yang dipaksakan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduksi biologis dari satu orang atau lebih. (19) 2. Tindakan ini baik dinilai secara tatalaksana medis atau rumah sakit dari orang atau orangorang tersebut maupun diselenggarakan dengan persetujuan tertulis dari mereka. (20) 3. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 198 4. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (g)-6 Kejahatan terhadap kekerasan seksual kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terikat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman atau tindakan paksa, yang disebabkan ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan dan penindasan psikologis atau penganiayaan atas kekuasaan, terhadap orang tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan atas suatu lingkungan keterpaksaan, atau penyerangan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan kegawatan dibandingkan dengan pelanggaranpelanggaran lain dalam pasal 7 paragraf 1 (g) dalam Undang-Undang. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan sebenarnya yang membentuk kegawatan dari tindakan tersebut 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 199 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (h) Kejahatan terhadap penyiksaan kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melakukan pelanggaran berat berupa penghilangan hak-hak dasar satu orang atau lebih, yang berlawanan dengan hukum internasional, (21) 2. Pelaku kejahatan membuat sasaran atas satu orang atau lebih tersebut dengan alasan demi identitas suatu kelompok atau secara kolektif atau membuat sasaran atas kelompok itu atau secara kolektif. 3. Pembuatan sasaran seperti itu didasarkan pada politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama dan jenis kelamin seperti yang didefinisikan pada pasal 7, paragraf 3, dari Undang-Undang, atau dasar lain yang secara universal dikenali sebagi hal yang tidak diijinkan oleh hukum internasional 4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam kaitanya dengan tindakan apapun merujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-undang atau kejahatan apa pun dalam yurisdiksi Pengadilan. (22) 5. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 200 6. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Pasal 7 (1) (i) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai penghilangan orang secara paksa (23) (24) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan: (a) Menangkap, menahan (25) (26) menculik satu orang atau lebih; atau atau (b) Menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut atau untuk memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut. 2. (a) Penangkapan, penahanan, penculikan tersebut diikuti atau disertai oleh penolakan untuk mengakui bahwa hal itu adalah perampasan atas kebebasan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut (b) Penolakan tersebut diikuti atau disertai oleh perampasan kebebasan 201 3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa: (27) (a) Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut dapat diikuti secara alami dari suatu kejadian dengan suatu penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan atau menolak untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang. (28) atau (b) Penolakan tersebut didahului atau disertai oleh perampasan kebebasan 4. Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut diselesaikan oleh atau dengan otorisasi, dukungan atau akuisisi dari Negara atau suatu organisasi politik 5. Penolakan tersebut untuk mengakui perampasan kebebasan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang tersebut diselesaikan oleh atau dengan otorisasi atau dukungan, dari Negara atau organisasi politik tersebut 6. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memindahkan orang atau orang-orang tersebut dari perlindungan hukum untuk periode waktu yang lama. 7. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 8. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 202 Pasal 7 (1) (j) Kejahatan apartheid terhadap kemanusiaan mengenai Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan tidak manusiawi terhadap satu orang atau lebih. 2. Aksi tersebut merupakan tindakan seperti yang dirujuk pada pasal 7, paragraf 1, dari UndangUndang atau merupakan suatu tindakan dengan ciri-ciri yang mirip dengan salah satu dari tindakan-tindakan tersebut. (29) 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan sebenarnya yang menjadi ciri dari tindakan tersebut 4. Tindakan tersebut ditetapkan dalam konteks dari rezim terinstitusi dari penindasan dan odminasi dari satu kelompok ras terhadap kelompok atau kelompok-kelompok ras lainnya. 5. Pelaku kejahatan bermaksud untuk tetap mempertahankan rezim semacam itu dengan tindakan tersebut 6. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis terhadap penduduk sipil 7. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan atas tindakan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. 203 Pasal 7 (1) (k) Kejahatan terhadap kemanusiaan mengenai tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat penderitaan besar atau luka serius terhadap kesehatan tubuh atau jiwa atau fisik, dengan sarana suatu tindakan tidak manusiawi. 2. Tindakan tersebut merupakan ciri yang mirip dengan salah satu dari tindakan-tindakan lain seperti yang disebut pada pasal 7, paragraf 1, dari Undang-Undang. (30) 3. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadankeadaan sebenarnya yang menjadi ciri tindakan tersebut. 4. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bagian dari serangan tersebar atau4. sistematis terhadap penduduk sipil 5. Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakan tersebut sebagai bagian atau dimaksudkan untuk menjadi sebagai bagian dari serangan tersebar atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. c. War Crime Pasal 8 (Kejahatan-kejahatan Perang) Pendahuluan Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8, paragraf 2 (c) dan (e) tunduk pada pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam pasal 8, paragraf 2 (d) dan (f), yang merupakan bukan unsur-unsur kejahatan. 204 Unsur-unsur dari kejahatan perang di dalam pasal 8, paragraf 2, dari Undang-Undang harus diinterpretasikan dalam kerangka kerja yang matang dari hukum internasional termasuk konflik bersenjata, yang sesuai dengan hukum internasional dari konflik bersenjata yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata di laut. Menurut dua unsur terakhir yang terurut untuk setiap kejahatan: Tidak ada persyaratan untuk evaluasi legal oleh Pelaku kejahatan yang menentukan suatu konflik bersenjata atau ciri-cirinya baik internasional atau non internasional. Dalam konteks tersebut tidak ada persyaratan untuk kesadaran bagi pelaku kejahatan berdasarkan fakta yang menentukan ciri-ciri dari konflik bersenjata baik internasional atau non internasional Hanya ada satu persyaratan untuk kesadaran atas keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata yang mempunyai makna implisit dalam istilah “mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan.” Pasal 8 (2) (a) Pasal 8 (2) (a) (i) Kejahatan perang mengenai pembunuhan yang dikehendaki Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau lebih. (31) 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 205 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status terlindungi (32) (33) 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dari dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. (34) 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (ii)-1 Kejahatan perang mengenai penyiksaan Unsur-unsur (35) 1. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau penderitaan baik secara fisik atau mental yang berat atas seseorang atau lebih. 2. Pelaku kejahatan menyebabkan sakit atau penderitaan untuk tujuan-tujuan tertentu seperti: memperoleh infromasi atau pengakuan, hukuman, intimidasi, atau pemaksaan atau untuk berbagai alasan lain berdasarkan pada berbagai macam bentuk diskriminasi 3. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata 206 Pasal 8 (2) (a) (ii)-2 Kejahatan perang atas perlakuan yang tidak manusiawi Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan baik fisik maupun mental terhadap satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (iii)-3 Kejahatan perang atas eksperimen biologis Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih dalam suatu eksperimen biologis tertentu. 2. Eksperimen tersebut secara serius membahayakan kesehatan fisik atau mental atau integritas dari orang atau orang-orang tersebut 3. Maksud dari eksperimen tersebut tidak bersifat mengobati dan tidak pernah dinilai dengan alasan-alasan medis atau diselesaikan demi rasa ingin tahu seseorang atau sekelompok orang. 207 4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi 6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (a) (iii) Kejahatan Perang atas perbuatan menyebabkan penderitaan yang disengaja yang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan baik fisik maupun mental terhadap satu orang atau lebih. 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih dari Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari bahwa keadaankeadaan faktual menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata 208 Pasal 8 (2) (a) (iv) Kejahatan perang atas penghancuran penyisihan milik tertentu dan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghancurkan menyisihkan milik tertentu atau 2. Penghancuran atau penyisihan tersebut tidak melibatkan kepentingan militer 3. Penghancuran atau penyisihan tersebut diselenggarakan secara luas dan tanpa alasan 4. Milik tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (v) Kejahatan perang atas pemaksaan pelayanan untuk kekuatan musuh Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih, dengan tindakan atau ancaman, untuk mengambil bagian dalam suatu operasi militer menentang negara atau kekuatannya sendiri atau sebaliknya melayani kekuatan dan kekuasan musuh 209 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindugi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (vi) Kejahatan perang atas penyangkalan terhadap pengadilan yang adil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa satu orang atau lebih atas pengadilan umum dan adil dengan menyangkal jaminan yudisial seperti yang didefinisikan, secara khusus, dalam Konvensi Jenewa Ketiga dan Keempat tahun 1949 2. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 3. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 210 Pasal 8 (2) (a) (vii)-1 Kejahatan perang atas deportasi dan pemindahan tanpa berdasar hukum Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan mendeportasi atau memindahkan satu orang atau lebih ke Negara lain atau ke lokasi lain 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (vii)-2 Kejahatan perang berdasar hukum atas pemenjaraan tanpa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memenjarakan atau memenjarakan secara terus menerus satu orang atau lebih di lokasi tertentu 2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 211 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (a) (viii) Kejahatan Perang atas Penyanderaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas dan menahan atau bila tidak, menahan sandera atas satu orang atau lebih 2. Pelaku mengancam untuk membunuh untuk melukai, mencelakai atau terus menahan orang atau orang-orang tersebut. 3. Pelaku bermaksud untuk suatu Negara, suatu organisasi internasional, suatu pihak atau orang atau sekelompok orang yang legal dan natural untuk bertindak menahan diri sebagai persyaratan eksplisit atau implisit demi keselamatan atau pembebasan dari orang atau orang-orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi di bawah satu atau lebih Konvensi Jenewa tahun 1949 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status proteksi. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 212 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) Pasal 8 (2) (b) (i) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap penduduk sipil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek penyerangan merupakan penduduk sipil layaknya atau individu sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan penduduk sipil layaknya atau individu sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan sebagai obyek dari suatu serangan tersebut. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (ii) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek penduduk sipil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan serangan. melancarkan suatu 2. Obyek dari serangan tersebut adalah obyekobyek penduduk sipil, yaitu, obyek-obyek yang bukan merupakan obyek-obyek militer. 213 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan obyek-obyek penduduk sipil sebagai obyek penyerangan. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (iii) Kejahatan perang atas penyerangan personel atau obyek-obyek yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan penyerangan melancarkan suatu 2. Obyek-obyek yang diserang merupakan personil, instalasi, material, unit-unit atau termasuk peralatan untuk kemanusiaan atau misi perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk menjadikan personil, instalasi, material, unit-unit atau termasuk peralatan yang terlibat sebagai obyek dari serangan tersebut. 4. Personil, instalasi, material, unit-unit atau peralatan tersebut berhak atas perlindungan yang diberikan bagi penduduk sipil atau obyekobyek sipil di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan suatu proteksi. 214 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (iv) Kejahatan perang atas insiden kematian yang berkelebihan, luka-luka, atau kerusakan. Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan serangan. melancarkan suatu 2. Penyerangan seperti yang dapat menyebabkan insiden kematian atau luka terhadap penduduk sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan berat terhadap alam lingkungan dan kematian tersebut, luka-luka atau kerusakan akan menjadi tingkatan yang jelas berkelebihan dalam suatu hubungan yang konkrit dan keuntungan militer yang terantisipasi secara langsung dan menyeluruh.(36). 3. Pelaku kejahatan mengetahui bahwa penyerangan akan menyebabkan insiden kematian atau luka-luka terhadap penduduk sipil atau kerusakan obyek-obyek sipil atau tersebar luas, waktu yang lama dan kerusakan berat terhadap alam lingkungan dan kematian tersebut, luka-luka atau kerusakan akan menjadi tingkatan yang jelas berkelebihan dalam suatu hubungan yang konkrit dan keuntungan militer yang terantisipasi secara langsung dan menyeluruh.(37). 215 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (v) Kejahatan perang atas penyerangan tempat yang tanpa pertahanan (38) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu atau lebih kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunan-bangunan. 2. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunan-bangunan tersebut untuk pendudukan yang tanpa perlawanan. 3. Kota-kota, desa-desa, tempat tinggal atau bangunan-bangunan tersebut bukan merupakan obyek-obuek militer. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vi) Kejahatan perang atas pembunuhan atau melukai seseorang hors de combat Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai satu atau lebih orang-orang. 216 2. Seseorang atau orang-orang merupakan hors de combat. tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status ini. 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-1 Kejahatan perang atas penggunaan bendera gencatan senjata yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan gencatan senjata. menggunakan bendera 2. Pelaku kejahatan menggunakan tersebut untuk tujuan bendera pura-pura negoisasi ketika tidak ada tujuan tersebut dalam peranan Pelaku kejahatan. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu (39) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 217 Pasal 8 (2) (b) (vii)-2 Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana atau seragam dari pihak musuh yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana atau seragam dari pihak musuh. 2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata ketika terlibat dalam suatu penyerangan. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu (40) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-3 Kejahatan perang atas penggunaan bendera, lencana atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan bendera, lencana atau seragam Perserikatan Bangsa Bangsa. 218 2. Pelaku kejahatan menggunakan semacam cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu. (41) 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (vii)-4 Kejahatan perang atas penggunaan simbol-simbol khusus dari Konvensi Genewa yang tidak sepantasnya Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menggunakan emblememblem khusus dari Konvensi Genewa. 2. Pelaku kejahatan menggunakan untuk semacam tujuan-tujuan perjuangan (42) dengan cara yang dilarang oleh Undang Undang Internasional tentang konflik bersenjata. 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau seharusnya tahu larangan pada dasarnya larangan penggunaan seperti itu. (43) 219 4. Tindakan yang mengakibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 5. Pelaku kejahatan tahu bahwa tindakan itu dapat mengkibatkan kematian atau luka yang serius terhadap seseorang. 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan suatu konflik bersenjata internasional. 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (viii) Pemindahan, langsung atau tidak langsung, dengan Memiliki Kekuasan atas bagian-bagian dari milik penduduk-penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang dimilikinya, atau deportasi atau pemindahan dari seluruh bagian dari penduduk atas wilayah yang di miliki ke dlam atau ke luar wilayah ini. Ayat-Ayat 1. Pelaku kejahatan: (a) Memindahkan, (44) secara langsung atau tidak langsung, sebagaian dari penduduknya sendiri ke dalam wilayah yang dimilikinya; atau (b) Mendeportasi atau memindhkan seluruh atau sebagian dari penduduk dari wilayah yang dimiliki ke dalam atau ke luar wilayah ini. 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 220 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (ix) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyek-obyek yang dilindungi (45) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah suatu atau beberapa bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit atau tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek militer 3. Pelaku kejahatan bermaksud agar suatu atau beberapa bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit atau tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek-obyek militer tersebut menjadi obyek dari serangan tersebut. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata 221 Pasal 8 (2) (b) (x)-1 Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut.(46) 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak musuh 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 222 Pasal 8 (2) (b) (x)-2 Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu eksperimen medis atau ilmiah 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan atau integritas fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak musuh 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xi) Kejahatan perang atas pembunuhan tindakan melukai yang berbahaya atau Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau keyakinan dari satu atau beberapa pejuang musuh bahwa mereka berhak untuk atau diwajibkan untuk menyetujui, memberi perlindungan di bawah aturan hukum 223 internasional yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata. 2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati kepercayaan atau keyakinan tersebut 3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik pihak musuh 6. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xii) Kejahatan perang atas penyangkalan tentang tempat tinggal sementara Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyatakan atau memerintahkan bahwa harus tidak ada yang selamat 2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan untuk mengancam lawan atau tindakan permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya tidak ada yang selamat. 3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif untuk memerintahkan atau mengendalikan tenaga bawahan dimana pernyataan atau perintah dapat diarahkan 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 224 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xiii) Kejahatan perang atas penghancuran perampasan milik milik musuh atau Unsur-unsur: 1. Pelaku kejahatan menghancurkan merampas milik tertentu atau 2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh 3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau perampasan di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status dari milik tersebut 5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak dibutuhkan oleh kebutuhan militer 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 225 Pasal 8 (2) (b) (xiv) Kejahatan perang atas pencabutan kebangsaan dari kekuasaan atas hak atau tindakan permusuhan Ayat-Ayat 1. Pelaku kejahatn mempengaruhi abolisi, suspensi dan terminasi dari penerimaan di dalam hukum pengadilan atas hak-hak atau tindakan-tindakan tertentu 2. Abolisi, suspensi atau terminasi tersebut diarahkan terhadap kebangsaan dari pihak musuh 3. Pelaku kejahatan bermaksud menjadikan abolisi, suspensi dan terminasi terarah pada kebangsaan dari pihak musuh 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xv) Kejahatan perang atas pemaksaan partisipasi dalam operasi militer Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang dengan tindakan atau ancaman untuk mengambil bgian di dalam operasi militer yang melawan negeri atau kekuatan orang itu sendiri. 2. Orang atau orang-orang tersebut merupakan warga negara dari pihak musuh 226 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjat Pasal 8 (2) (b) (vi) Kejahatan perang atas perampasan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk mencabut kepemilikan dari milik tersebut dan menyisihkannya untuk kepentingan sendiri atau pribadi. (47) 3. Penyisihan tersebut adalah tanpa persetujuan dari sang pemilik. 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xvii) Kejahatan perang atas kepemilikan racun atau senjata-senjata beracun Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memiliki bahan atau suatu senjata yang melepaskan bahan tersebut sebagai hasil kepemilikannya. 227 2. Bahan tersebut dapat menyebabkan kematian atau kerusakan serius terhadap kesehatan dengan jalan kejadian biasa, oleh karena potensi toksiknya. 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xviii) Kejahatan perang atas kepemilikan materi-materi atau peralatan gas, cair terlarang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memiliki gas atau bahan analog lainnya atau peralatan. 2. Gas, bahan atau peralatan tersebut dapat menyebabkan kematian atau kerusakan serius akan kesehatan dengan jalan kejadian biasa, melalui kemampuan toksik yang terhirup. (48) 3. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xix) Kejahatan perang atas kepemilikan peluru-peluru terlarang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan tertentu 228 memiliki peluru-peluru 2. Peluru-peluru tersebut sebegitu rupa sehingga penggunaanya melanggar hukum internasional tentang konflik bersenjata karena dapat meluas atau memipih degan mudah dalam tubuh manusia 3. Pelaku kejahatan menyadari sifat alami pelurupeluru tersebut sebegitu rupa sehingga kepemilikanya hanya akan tidak berguna dan memberikan efek luka atau penderitaan 4. Tindakan ini mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xx) Kejahatan perang atas kepemilikan senjatasenjata, proyektil atau materi-materi atau metodemetode perang seperti yang didaftar dalam lampiran terhadap Undang-Undang Unsur-unsur [Unsur-unsur akan dirancang ketika senjatasenjata, proyektil atau materi atau metode-metode berperang telah termasuk dalam lampiran Undang-Undang.] 229 Pasal 8 (2) (b) (xxi) Kejahatan perang atas kebiadaban terhadap kehormatan seseorang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau bahkan melanggar derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. (49) 2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut, perendahan dan pelanggaran atas derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxii)-1 Kejahatan perang atas pemerkosaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menginvasi (menyerang) (50) tubuh seseorang dengan tindakan yang menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya, pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau bukaan anus dan kelamin dari korban dengan berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya 230 2. Invasi (serangan) tersebut terlaksana dengan paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (51) 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b (xxii)-2 Kejahatan perang atas perbudakan seks (52) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukar orang atau orangorang tersebut atau dengan membebani mereka dengan semacam perampasan kebebasan. (53) 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih kegiatan seks 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dan berkaitan dengan konflik bersenjata internasional 231 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxii)-3 Kejahatan perang dipaksakan atas pelacuran yang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih untuk terlibat dalam satu tindakan atau lebih dari kegiatan seks dengan paksa, atau dengan ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti yang disebabkan oleh rasa takut terhadap kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang atau orang-orang atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau ketidakberdayaan orang atau orang-orang tersebut untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan berupa uang atau keuntungan lain sebagai pertukaran yang berkaitan dengan tindakan-tindakan dari kegiatan seks tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional. 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata 232 Pasal 8 (2) (b) (xxii)-4 Kejahatan perang atas kehamilan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas hukum internasional 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (b) (xxii)-5 Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif biologis dari satu orang atau lebih. (54) 2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk pengobatan medis atau rumah sakit dan orang atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang sesungguhnya. (55) 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 233 Pasal 8 (2) (b) (xxii)-6 Kejahatan perang atas kekerasan seksual Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu aksi kegiatan seksual terhadap satu orang atau lebih atau disebabkan oleh orang atau orangorang tersebut untuk terlibat dalam tindakan kegiatan seksual dengan paksa, atau ancaman kekuatan atau pemaksaan, seperti halnya disebabkan oleh ketakutan terhadap kekerasan, kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap seseorang atau orangorang atau orang lain, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau ketidakberdayaan orang atau orang-orang tersebut untuk memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran yang berbahaya dari Konvensi Jenewa 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxiii) Kejahatan perang atas menggunakan orangorang sebagai pelindung Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memindahkan atau bila tidak, mengambil kesempatan atas lokasi dari satu atau lebih penduduk sipil atau orangorang lain yang dilindungi di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 234 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk melindungi obyek-obyek militer dari serangan atau perlindungan, pertolongan atau menghalangi operasi-operasi militer. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxiv) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek atau orang-orang dengan menggunakan simbolsimbol yang istimewa dari Konvensi Jenewa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan atau transportasi atau obyek-obyek berguna lainnya, dengan tata cara yang sesuai dengan hukum internasional, suatu simbolsimbol yang istimewa atau metode identifikasi lain yang menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orangorang, bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek yang berguna dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari penyerangan tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. 235 Pasal 8 (2) (b) (xxv) Kejahatan perang atas kelaparan sebagai cara berperang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas obyek-obyek penduduk sipil yang tidak penting bagi pertahanan hidupnya 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk membuat penduduk-penduduk sipil kelaparan sebagai cara untuk berperang 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (b) (xxvi) Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa bagi anak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau masuk sebagai tentara militer bagi seseorang atau beberapa orang untuk masuk ke dalam kekuatan militer nasional atau memanfaatkan seseorang atau beberapa orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan 2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 236 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) Pasal 8 (2) (c) (I)-1 Kejahatan perang atas pembunuhan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membunuh satu orang atau lebih 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan tentang internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 237 Pasal 8 (2) (c) (i)-2 Kejahatan perang atas mutilasi Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (i)-3 Kejahatan perang atas perlakuan kejam Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan fisik atau mental atas seseorang atau beberapa orang 238 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (i)-4 Kejahatan perang atas penyiksaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat sakit dan penderitaan fisik atau mental yang dahsyat atas seseorang atau lebih 2. Pelaku kejahatan membuat sakit atau penderitaan tersebut dengan maksud memperoleh informasi atau pengakuan, hukuman, intimidasi atau pemaksaan atau untuk berbagai alasan berdasarkan diskriminasi atas beberapa hal. 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 239 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (c) (ii) Kejahatan perang atas kebiadaban terhadap kehormatan seseorang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghina, merendahkan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. (57) 2. Derajat keparahan dari penghinaan tersebut, perendahan dan kekerasan atas derajat kemanusiaan yang secara umum dikenal sebagai kebiadaban terhadap kehormatan seseorang. 3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 240 Pasal 8 (2) (c) (iii) Kejahatan perang atas penyanderaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menangkap, menahan atau bahkan menyandera seseorang atau lebih 2. Pelaku kejahatan mengancam akan membunuh, melukai atau akan terus menahan orang atau orang-orang tersebut 3. Pelaku kejahatan bermaksud untuk memaksa Negara, suatu organisasi internasional, suatu pihak atau orang atau sekelompok orang yang legal dan mendasar untuk bertindak menahan diri sebagai persyaratan eksplisit atau implisit demi keselamatan atau pembebasan dari orang atau orang-orang tersebut. 4. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan (56) tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 241 Pasal 8 (2) (c) (iv) Kejahatan perang atas hukuman atau hukuman mati tanpa proses pengadilan yang layak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghukum atau menghukum mati satu orang atau lebih . (58) 2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, atau penduduk sipil, personil kesehatan, atau personil keagamaan tidak mempunyai peran aktif dalam permusuhan tersebut 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual dan menentukan status ini. 4. Tidak pernah ada peradilan sebelumnya yang diumumkan oleh pengadilan atau pengadilan yang memberikan peradilan tidak “biasanya terdapat”, yaitu, tidak menyelenggarakan jaminan esensial dari kebebasan dan kejujuran, atau pengadilan memberikan peradilan yang tidak mampu mencakup jaminan yudisial lainnya secara umum dikenal sebagai kepentingan di bawah hukum internasional. (59) 5. Pelaku kejahatan menyadari tidak adanya peradilan sebelumnya atau penyangkalan atas jaminan relevan dan fakta bahwa hal itu esensial atau penting terhadap pengadilan yang jujur 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 242 Pasal 8 (2) (e) Pasal 8 (2) (e) (i) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap penduduk sipil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah penduduk sipil seperti juga individu sipil yang tidak mempunyai peran langsung dalam permusuhan 3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud terhadap penduduk sipil, seperti juga individu sipil yang tidak mempunyai peran langsung dalam permusuhan, untuk dijadikan obyek dari serangan 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (ii) Kejahatan perang atas penyerangan obyek-obyek atau orang-orang dengan menggunakan simbol khusus dari Konvensi Jenewa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyerang satu orang atau lebih, bangunan-bangunan, unit-unit kesehatan atau sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek lain yang berguna, dengan tata cara yang sesuai dengan hukum internasional, suatu simbol-simbol yang istimewa atau metode identifikasi lain yang menunjukkan perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 243 2. Pelaku kejahatan bermaksud agar orangorang, bangunan-bangunan, unit-unit dan sarana-sarana transportasi atau obyek-obyek yang berguna dalam identifikasi tersebut menjadi obyek dari penyerangan tersebut. 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (iii) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap personil atau obyek-obyek yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan dan misi perdamaian Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan serangan 2. Obyek dari serangan tersebut adalah personil, instalasi, material, unit atau kendaraankendaraan yang terlibat di dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian yang sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 3. Pelaku kejahatan mempunyai maksud atas personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau kendaraan-kendaraan tersebut untuk menjadi terlibat dan menjadi obyek dari serangan tersebut 4. Personil, instalasi-instalasi, material, unit-unit atau kendaraan-kendaraan tersebut berhak untuk mendapatkan perlindungan yang diberikan kepada penduduk atau obyek-obyek penduduk di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 244 5. Pelaku kejahatan keadaan faktual perlindungan menyadari keadaanyang menentukan 6. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaan-keadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (iv) Kejahatan perang atas penyerangan terhadap obyek-obyek yang dilindungi (60) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melancarkan suatu serangan 2. Obyek dari serangan adalah salah satu gedung atau lebih yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit-rumah sakit atau tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek militer. 3. Pelaku kejahatan bermaksud agar salah satu gedung atau lebih yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, kesenian, pengetahuan atau tujuan amal, monumen sejarah, rumah sakit-rumah sakit atau tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka berkumpul, yang bukan merupakan obyek militet, dijadikan obyek dari serangan tersebut 4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. 245 Pasal 8 (2) (e) (v) Kejahatan perang atas perampasan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyisihkan milik tertentu 2. Pelaku kejahatan bermaksud untuk merampas kepemilikan milik tersebut dan menyisihkannya untuk penggunaan sendiri atau pribadi. (61) 3. Penyisihan tersebut terjadi tanpa persetujuan dari sang pemilik 4. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-1 Kejahatan perang atas pemerkosaan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menginvasi / menyerang (62) tubuh seseorang dengan tindakan yang menghasilkan penetrasi, betapa pun ringannya, pada bagian tubuh manapun dari korban atau dari Pelaku kejahatan dengan organ seksual atau bukaan anus dan kelamin dari korban dengan berbagai obyek atau bagian tubuh lainnya 2. Serangan / Invasi tersebut terlaksana dengan paksa, atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang 246 memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (63) 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-2 Kejahatan perang atas perbudakan seks (64) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan melaksanakan sebagian atau keseluruhan kuasa yang berhubungan dengan hak kepemilikan atas seseorang atau beberapa orang, seperti membeli, menjual, meminjamkan atau menukar orang atau orangorang tersebut atau dengan membebani mereka dengan semacam perampasan kebebasan. (65) 2. Pelaku kejahatan menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam satu atau lebih kegiatan seks 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. 247 Pasal 8 (2) (e) (vi)-3 Kejahatan perang dipaksakan atas pelacuran yang Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyebabkan satu orang atau lebih terlibat dalam satu atau beberapa tindakan dari kegiatan seks dengan paksaan atau dengan ancaman terhadap kekuatan atau paksaan, seperti juga yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelaku kejahatan atau orang lain memperoleh atau mengharapkan untuk memperoleh keuntungan uang atau keuntungan lain sebagai pertukaran yang terkait dengan tindakan-tindakan dari kegiatan seksual 3. Tindakan yang mengambil tempat dalam konteks dari dan berkaitan dengan konflik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan dari suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-4 Kejahatan perang atas kehamilan paksa Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menahan seorang wanita atau lebih dan dipaksa hamil, dengan maksud untuk mempengaruhi komposisi etnis dari penduduk apapun atau mengadakan pelanggaran berat atas hukum internasional 248 2. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (e) (vi)-5 Kejahatan perang atas sterilisasi yang dipaksakan Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan merampas kapasitas reproduktif biologis dari satu orang atau lebih. (66) 2. Tindakan tersebut tidak pernah ditujukan untuk pengobatan medis atau rumah sakit dan orang atau orang-orang yang diperhatikan juga tidak diselenggarakan tanpa persetujuan mereka yang sesungguhnya. (67) 3. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konlik bersenjata bukan internasional 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vi)-6 Kejahatan perang atas kekerasan seksual Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menetapkan suatu tindakan dari kegiatan seksual terhadap seseorang atau beberapa orang atau menyebabkan orang atau orang-orang tersebut untuk terlibat dalam tindakan dari kegiatan seksual dengan paksa, atau dengan ancaman kekuatan atau paksaan, 249 seperti juga disebabkan oleh ketakutan atas kekerasan, ancaman, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan terhadap orang tersebut atau orang lain atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa atau invasi yang dilaksanakan terhadap orang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Tindakan tersebut merupakan suatu kegawatan dibandingkan dengan pelanggaran serius pada pasal 3 sesuai dengan Konvensi Jenewa Keempat. 3. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan kegawatan suatu tindakan 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vii) Kejahatan perang atas pemanfaatan, pemaksaan wajib militer atau pendaftaran militer secara paksa bagi anak Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksakan wajib militer atau masuk sebagai tentara militer bagi seseorang atau beberapa orang untuk masuk ke dalam kekuatan militer nasional atau memanfaatkan seseorang atau beberapa orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan 250 2. Orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 3. Pelaku kejahatan mengetahui atau telah mengetahui bahwa orang atau orang-orang tersebut berusia di bawah 15 tahun 4. Tindakan tersebut mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan suatu konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (vii) Kejahatan perang atas pemindahan pendudukpenduduk sipil Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memerintahkan pemindahan dari penduduk sipil 2. Perintah tersebut tidak dinilai berdasarkan keamanan penduduk sipil yang terlibat atau oleh karena keperluan militer 3. Pelaku kejahatan berada dalam posisi yang dapat memberikan efek pemindahan penduduk dengan memberikan perintah semacam itu 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata 251 Pasal 8 (2) (e) (ix) Kejahatan perang atas pembunuhan tindakan melukai yang berbahaya atau Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan membuat kepercayaan atau keyakinan dari satu atau beberapa pejuang musuh bahwa mereka berhak untuk atau diwajibkan untuk menyetujui, memberi perlindungan di bawah aturan hukum internasional yang dapat diterapkan pada konflik bersenjata 2. Pelaku kejahatan berniat untuk mengkhianati kepercayaan atau keyakinan tersebut 3. Pelaku kejahatan membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 4. Pelaku kejahatan memanfaatkan kepercayaan atau keyakinan tersebut dalam membunuh atau melukai orang atau orang-orang tersebut 5. Orang atau orang-orang tersebut adalah milik pihak musuh 6. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (e) (x) Kejahatan perang atas penyangkalan terhadap tempat tinggal sementara Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menyatakan atau memerintahkan bahwa tidak akan ada yang selamat 252 2. Pernyataan atau perintah tersebut diberikan untuk mengancam lawan atau tindakan permusuhan dengan dasar bahwa seharusnya tidak akan ada yang selamat. 3. Pelaku kejahatan berada pada posisi yang efektif untuk memerintahkan atau mengendalikan tenaga bawahan dimana pernyataan atau perintah dapat diarahkan 4. Tindakan mengambil tempat dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional. 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata Pasal 8 (2) (e) (xi)-1 Kejahatan perang atas mutilasi (pemotongan) Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau lebih dalam suatu tindakan mutilasi, khususnya dengan merusak bentuk tubuh seseorang atau beberapa orang secara permanen, atau dengan melumpuhkan atau memindahkan organ tubuh atau anggota tubuh tertentu secara permanen 2. Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 3. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. (68) 253 4. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik. 5. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan tentang ciri-ciri internasional 6. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. Pasal 8 (2) (e) (xi)-2 Kejahatan perang atas eksperimen medis atau ilmiah Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan memaksa seseorang atau beberapa orang untuk ikut serta dalam suatu eksperimen medis atau ilmiah Tindakan tersebut menyebabkan kematian atau membahayakan kesehatan fisik atau mental orang atau orang-orang tersebut secara serius. 2. Tindakan tersebut tidak dinilai atas kepentingan kesehatan, kesehatan gigi atau pengobatan rumah sakit atas perhatian terhadap orang atau orang tersebut juga tidak demi kepentingan orang atau orang tersebut. 3. Orang atau orang-orang tersebut berada dalam kekuasaan pihak lain terhadap konflik. 4. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 5. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 254 Pasal 8 (2) (e) (xii) Kejahatan perang atas penghancuran perampasan milik milik musuh atau Unsur-unsur 1. Pelaku kejahatan menghancurkan merampas milik tertentu atau 2. Milik tersebut merupakan milik dari pihak musuh 3. Milik tersebut dilindungi dari penghancuran atau perampasan di bawah hukum internasional tentang konflik bersenjata 4. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan status dari milik tersebut 5. Penghancuran atau perampasan tersebut tidak dibutuhkan oleh kebutuhan militer 6. Tindakan tersebut mengambil tempat di dalam konteks dan terkait dengan konflik bersenjata bukan internasional 7. Pelaku kejahatan menyadari keadaankeadaan faktual yang menentukan keberadaan konflik bersenjata. 3. Sistem Peradilan Pidana Indonesia 1. Hukum Acara Pidana Umum Sistim peradilan pidana yang berlaku di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. 255 Hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang dikenal dengan nama Het Herziene Inlandsch Reglement disingkat H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44). Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 diadakan unifikasi hukum acara pidana yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan raad van justitie. Pembedaan hukum acara pidana ini merupakan konsekuensi dari pemerintahan penjajahan Hindia Belanda yang mengadakan pembedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropah (termasuk Timur Asing) sebagaimana yang dipertahankan dalam Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16), kemudian dirubah dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.). Selanjutnya oleh karena Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.) dipandang belum memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak-hak asasi manusia, harkat dan martabatnya sebagai manusia yang seharusnya mendapat perlindungan di negara hukum seperti di Indonesia, maka dirumuskan lagi hukum acara pidana yang baru sebagaimana diatur dalam KUHAP yang kini sedang berlaku dengan meletakkan jaminan perlindungan mendasar hak-hak asasi manusia (humanisme) sebagai pijakannya. Jika diteliti secara saksama, maka menurut hemat penulis nampaknya KUHAP sudah cukup memadai menampung ide-ide dasar dari sistim peradilan pidana yang modern karena:29 a. Terdapat pembagian kewenangan pada semua tahap yang saling "berketergantungan" dalam arti saling terkait dan menunjang secara serasi dan seimbang 29 Marthen Napang, Op Cit. hlm.179 256 sesuai peran dari masing-masing instansi kepolisian, kejaksaan (pasal 4 s/d 15), pengadilan (77 s/d 88) dan lembaga pemasyarakatan (pasal 22 , pasal 278 dan pasal 280 ayat 2 s/d pasal 282) sebagai pilar utama dari sistim peradilan pidana. b. Terdapat pengaturan secara tegas dan jelas serta mempertimbangkan aspek hak-hak asasi manusia tentang penyelidikan (pasal 102 s/d 105), penyidikan (pasal 106 s/d 136), penuntutan (pasal 137 s/d 144) pemeriksaan pengadilan (pasal 145 s/d pasal 232), penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat (pasal 16 s/d pasal 49), Tersangka dan Terdakwa (Pasal 50 s/d 68), pemberian bantuan hukum (pasal 69 s/d 74 KUHAP), praperadilan (pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP), upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 233 s/d pasal 269), dan pelaksanaan putusan (pasal 270 s/d 276 jo. Pasal 277 s/d 283). c. Bersikap terbuka untuk memungkinkan mengikuti perkembangan kejahatan atau munculnya jenis-jenis kejahatan baru sebagai akibat dari perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang semakin canggih dan tak terduga sebelumnya. Dalam hal demikian KUHAP menempatkan diri sebagai legi generali (aturan umum) dari Undang-undang yang mengatur jenis-jenis kejahatan baru yang membutuhkan penanganan khusus sebagai lex specialis (aturan khusus). Dengan asas "lex specialis derogat legi generali" (aturan khusus menyingkirkan aturan umum") memungkinkan KUHAP dapat "fleksible" membuka diri terhadap pembaharuan akibat perubahan dan perkembangan zaman. Penerapan asas ini dimungkinkan oleh pasal 284 ayat 2 KUHAP dan pasal 103 KUHP 257 sebagai "ketentuan induk" dari KUHAP. Penyebutan 'ketentuan induk" oleh penulis karena tanpa KUHP tidak perlu ada KUHAP. Meskipun demikian masih terdapat kelemahankelemahan yang perlu disempurnakan. Sebagaimana yang digambarkan Romli Atmasasmita30 antara lain: a. Bahwa pada tahap penyelidikan oleh penyilidik tunggal kepolisian masih belum diperlukan kehadiran seorang pembela atau penasihat hukum untuk mendampingi tersangka atau orang yang dicurigai untuk disuruh berhenti lalu diperiksa identitas pribadinya. Atau dikenakan tindakan lainnya (pasal 5 ayat 1 sub a, dan b ), padahal pada saat itu tindakan penyelidik sudah menyentuh kemerdekaan pribadi seseorang. b. KUHAP hanya mengatur motivasi penangkapan tanpa menyebutkan alasanalasan umum untuk sahnya suatu penangkapan. c. Praperadilan sebagai lembaga baru dalam sistim peradilan pidana di Indonesia memiliki kewenangan untuk memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta gantirugi dan/atau rehabilitasi bagi orang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (pasal 77 KUHAP), tetapi tidak memiliki kewenangan apapun terhadap tindakan penyelidik pada tahapan penyelidikan. Padahal tindakan penyelidikan sudah menyentuh kemerdekaan, harkat dan martabat sesorang yang merupakan hak-hak asasi yang dimiliki setiap orang. 30 Romli Atmasasmita, Op.cit. hlm.34 258 2. Hukum Acara Pidana Khusus HAM RI Sebagaimana diketahui bahwa penerapan asas lex specialis derogat legi generali (aturan khusus menyingkirkan aturan umum) sehubungan dengan hukum acara pidana sebagai bagian dari sistim peradilan pidana dimungkinkan oleh pasal 284 ayat 2 KUHAP dan pasal 103 KUHP. Dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP ditegaskan: (1) Dalam waktu dua tahun setelah undangundang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara menegaskan: itu pasal 103 KUHPidana "Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain." Sehubungan dengan penegasan Pasal 284 KUHAP dan Pasal 103 KUHP diatas maka hukum pidana dibagi kedalam hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, yang oleh Andi Hamzah 31 lebih cenderung menggunakan istilah perundangundangan pidana umum dan khusus. 31 Andi Hamzah. Delik Delik Tersebar Diluar KUHP dengan komentar. 1995. Penerbit :PT.Pradnya Paramita, Jakarta. hlm.7 259 Perundang-undangan Pidana Umum ialah KUHP dan semua Undang-Undang yang mengubah, menambah KUHP seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958, Undang-Undang (Prp) Nomor 18 tahun 1960 dan lain-lain. Perundang-undangan pidana khusus ialah perundang-undangan pidana diluar KUHP dan yang berkaitan dengan KUHP tersebut, yang dapat dibagi lagi atas: a. Perundang-undangan pidana khusus seperti ekonomi, subversi, korupsi, imigrasi dan lainlain. b. Perundang-undangan bukan pidana yang bersanksi pidana (seperti yang dimaksud Scholten dengan hukum pidana pemerintahan), misalnya Undang-Undang tenaga kerja, atom, arsip, agraria, narkotika, tera dan lain-lain. Bahwa fleksibilitas KUHAP melalui pasal 284 dan KUHP melalui pasal 103 terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat dan kompleks menyebabkan semakin banyak perundangundangan yang mengatur delik-delik di luar KUHP. Untuk hal ini, Andi Hamzah32 memberikan alasan-alasan mengapa semakin banyak delik-delik yang terpencar di luar KUHP, antara lain disebabkan: a. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum pula dengan sanksi pidana. Hukum disini telah berfungsi sebagai "Social engineering" maupun "social control". 32 Andi Hamzah. Ibid. hlm.1 260 b. Kehidupan modern semakin kompleks, sehingga disamping adanya peraturan hukum (pidana) berupa unifikasi yang tahan lama (KUHP) diperlukan pula peraturan pidana yang bersifat temporer. c. Banyak peraturan hukum berupa perundangundangan di lapangan perdata, tata negara, dan terutama administrasi negara, perlu dikaitkan dengan sanksi-sanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu supaya ditaati. Hal ini nyata pada peraturan-peraturan perburuhan, agraria, kehutanan, perbankan, perdagangan, perindustrian, pertanian, perkawinan, pemilihan umum, perikanan, perhubungan, kemaritiman, perkoperasian dan seterusnya. Selain itu, terdapat hubungan erat antara perubahan kehidupan sosial dan perubahan hukum yang begitu cepat sebagaimana dijelaskan oleh Friedman33 bahwa hukum adalah cermin masyarakat, perubahan sosial yang cepat berarti pula perubahan hukum yang cepat. Perubahan besar dalam hubungan sosial dan dalam perekonomian hampir pasti menghasilkan perubahan hukum. Kemudian mencontohkan, bahwa sistim hukum menjadi pemain kunci dalam kemajuan masyarakat dan perekonomian Amerika yang dramatis selama bertahun-tahun. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan diatas hukum acara pidana yang diberlakukan dalam peradilan HAM di Indonesia adalah sebagaimana yang diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 33 Friedman M.Lawrence. American Law. New York: W.W.Norton & Company. 1984. hlm.361,364 & 366. 261 Jika dikaji secara saksama, menurut hemat penulis hukum acara pidana yang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 sudah cukup memadai memenuhi unsur-unsur utama minimal sistem peradilam pidana HAM yang dibutuhkan, karena: a. Terdapat pengaturan tentang Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik (pasal 18 s/d pasal 20), Jaksa Agung yang dapat mengangkat Jaksa/Penuntut Umum Ad Hoc sebagai lembaga penyidikan dan penuntutan (pasal 21 s/d pasal 25), Hakim Tetap dan Hakim Ad Hoc sebagai lembaga pengadilan (pasal 27 s/d pasal 31), penangkapan (pasal 11), penahanan (pasal 12), Lingkup kewenangan-Yurisdiksi (pasal4 s/d 9). Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai lembaga peradilan terhadap kasus-kasus HAM yang terjadi sebelum UU No.26/2000 diundangkan (pasal 43 dan pasal 44), Acara pemeriksaanupaya hukum (pasal 31 s/d pasal 33). b. Ketentuan pasal 10 memberi akses kepada KUHAP untuk melengkapi segala sistim peradilan pidana yang tidak diatur dalam UU No.26 tahun 2000 seperti antara lain: peranan lembaga kepolisian dan lembaga pemasyarakat yang merupakan dua pilar utama dari suatu sistim peradilan pidana disamping lembaga kejaksaan dan pengadilan. Juga tentang hak-hak Tersangka & Terdakwa , bantuan hukum serta pelaksanaan putusan. Terdapat dua lembaga peradilan yang diatur bersamaan dalam UU No.26 tahun 2000 ini dengan hukum acara yang sama, yaitu: a. Lembaga Pengadilan HAM (permanen) b. Lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc. 262 Dalam pasal 1 ayat 3 dijelaskan pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sedang lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc tidak diberi pengertian. Hanya saja melalui makna pasal 43 dapat dibedakan bahwa pengadilan HAM Ad Hoc hanya berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang No.26/2000, serta pembentukannya melalui Keputusan Presiden atas usul DPR. Tetapi pemeriksaan dan upaya hukumnya sama dengan ketentuan yang diberlakukan terhadap lembaga pengadilan HAM. Dengan demikian Pengadilan HAM adalah lembaga pengadilan HAM yang bersifat tetap/permanen sebagaimana ICC. Sedang Pengadilan HAM Ad hoc adalah lembaga pengadilan HAM yang bersifat tidak tetap (insidentil) seperti Tribunal Nuremberg dan Tokyodan Pengadilan HAM Ad Hoc ex Yugoslavia dan Rwanda pada skala internasional. Perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya adalah pada Pengadilan HAM (permanen) diberlakukan secara tajam asas legalitas. Sebaliknya pada pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan asas retroaktif. Menurut hemat penulis, pemberlakuan kedua asas yang berbeda ini membawa konsekuensi yuridis yang berbeda pula sehubungan dengan yurisdiksi kriminal, yaitu: Pada Pengadilan HAM (permanen) karena diberlakukan asas legalitas maka yurisdiksikriminalnya hanya meliputi Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang 263 telah diatur dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 9. Tidak termasuk kejahatan perang dan agresi yang menjadi yurisdiksi-kriminal ICC. Pada Pengadilan HAM Ad Hoc terdapat dua kemungkinan: a. Dalam pengertian yang terbatas mengikuti pasal 44, maka yurisdiksi-kriminal Pengadilan HAM Ad Hoc hanya meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai pasal 7, pasal 8 dan pasal 9. Tidak menjangkau kejahatan perang dan agresi yang menjadi yurisdiksi-kriminal ICC. b. Dalam pengertian yang meluas mengikuti asas retroaktif berarti tidak mengikuti UU No.26/2000, maka yurisdiksi-kriminal Pengadilan HAM Ad Hoc selain kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga dapat meliputi kejahatan perang dan agresi yang terjadi sebelum diundangkannya UU No.26/2000. Jadi dengan asas retroaktif tersebut yurisdiksikriminal Pengadilan HAM Ad Hoc dapat menjadi tidak terbatas hanya pada dua jenis kejahatan-pelanggaran HAM yang berat dalam UU No.26/2000 tersebut, tapi dapat meluas menjangkau yurisdiksi kejahatan perang dan agresi yang juga menjadi yurisdiksi ICC. Kemudian Dalam instrument perundangan nasional Indonesia rumusan pelanggaran HAM dapat ditemukan dalam: 1) UUD 1945 & Amandemen khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 ayat (1) & ayat (3), dan Pasal 34. 264 2) TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia 3) UU RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia 4) UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 5) Pelbagai UU RI tentang Ratifikasi KonvensiKonvensi Internasional yang terkait dengan HAM. Sedang kriteria untuk menentukan telah terjadi kegagalan lembaga dan sistem peradilan pidana nasional secara menyeluruh atau substansial menangani pelanggaran HAM yang berat, adalah: 1). Tidak ada lembaga dan sistem peradilan pidana nasional yang dapat menangani kasus tersebut; 2). Lembaga dan sistem peradilan pidana nasional yang ada tidak bersedia mencari/menemukan tersangka, atau saksi, atau bukti-bukti; 3). Lembaga dan sistem peradilan pidana nasional menyelenggarakan proses peradilan yang sengaja melindungi pelaku kejahatan (tersangka/terdakwa) dari ancaman hukuman; 4). Lembaga dan sistem peradilan pidana nasional tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan pidana yang adil dan patut, seperti: tidak independen, bersifat memihak, bersifat apriori, diskriminasi, mengabaikan hak-hak tersangka / terdakwa atau korban, dan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip "denial of justice" (penyangkalan terhadap keadilan) lainnya; 265 Kewenangan untuk menentukan terpenuhitidaknya kriteria tersebut diatas ada pada Dewan Keamanan PBB selaku lembaga yang berwenang membentuk tribunal internasional ad hoc. Berbeda pada ICC, yang menentukan ada tidaknya kesungguhan (genuinely), ketidakmauan (unwillingness), dan ketidakmampuan (inability) lembaga dan sistem peradilan pidana nasional menangani kasus pelanggaran HAM yang berat adalah ICC itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan prinsip Admissibility ICC dalam pasal 17 Statuta ICC. Dalam hal ini menurut Muladi lembaga peradilan pidana nasional seringkali tidak mau atau tidak mampu berbuat, baik karena harus mengadili warga negaranya sendiri yang kadang-kadang posisinya sangat tinggi ataupun karena ketidakberdayaan (collapsed) lembaga peradilan tersebut seperti yang terjadi di Rwanda.34 Sebagaimana diketahui, istilah "tribunal" digunakan bagi pengadilan pidana internasional ad hoc. Sedang "court" digunakan bagi ICC yang bersifat permanen. 34 Muladi, 2001 op cit hlm 5 266 BAB III PERANAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN AGRESI YANG DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN PADA HUKUM PIDANA INDONESIA A. Sumber Penegakan Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara 1. Ajaran Pemisahan Kekuasaan Pemerintahan Negara a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Leviathan, Hobbes menggambarkan despotisme sebagai bentuk pemerintahan yang paling natural dan efektif. Alasanya karena dalam diri manusia terdapat suatu hasrat yang begitu kuat untuk melindungi diri sendiri, sehingga terdorong untuk mencari kekuatan dalam semua bentuk. Dia seluruhnya menjadi egois, hanya tertarik pada masyarakat atau mengikutinya sejauh dapat bekerja sama dengannya dalam pencarian dirinya. Sekalipun begitu manusia dilihatnya bukanlah seekor hewan buas di hutan, dan menyadari secara baik dan penuh bahwa negara alami adalah ekuivalen hanya untuk anarki, dimana kekuatan bengis berlaku dominan. Begitulah, dalam rangka menjaga dirinya sendiri dari suatu masyarakat dimana kecerdikan bukannya kekuatan adalah bagian esensi, manusia menyerahkan beberapa hak-haknya pada pemerintah sebagai kompensasi memperoleh perlindungan dan stabilitas. Dalam kaitan itu menurut Hobbes format pemerintahan monarki absulut yang paling sesuai untuk memelihara stabilitas dan menekan insting mentah dari manusia. Demokrasi rapat kota adalah 267 tidak mungkin dalam skala besar, dan aturan representatif tunduk pada segala rupa keterlibatan, kebingungan dan inefisiensi. Lebih baik dari manusia yang harus mendelegasikan hak-haknya kepada seorang wakil, monarki sendiri, yang kelemahannya paling tidak, tidak lebih besar dibandingkan mereka para anggota parlemen atau dewan perwakilan yang populer dan siapa yang potensinya untuk bertindak cepat dan menentukan adalah jauh superior dengan yang memperoleh di bawah format peraturan tersebut. Lebih jauh, monarki secara teoritis berada di atas faksionalisme atau bias, sejak dalam posisinya dia telah memuaskan secara penuh hasratnya pada kekuasaan dan tidak dapat memperoleh lagi. Dia dengan demikian terbatas untuk bertindak hanya pada benda publik, dimana dia akan pastinya mengerjakan karena, dengan sendirian, dia dapat secara mudah dan secara tepat dipecat jika dia menggunakan kekuasaannya dengan cara yang tak beralasan atau tidak bijaksana. Prinsip-prinsip monarki yang agak sinis ini dapat sangat diharapkan menjadi populer dalam Amerika revolusioner, dan sekalipun begitu sikap Hobbes menuju alam manusia memiliki beberapa penerimaan dalam koloni. Pada tempat pertama ia bersamaan waktu dengan doktrin Puritan kuno tentang perbuatan jahat manusia dan kedua, ia meluas pada justifikasi pihak kiri tentang kesadaran hak milik manusia yang sesuai dengan khayalan masyarakat muda yang tamak. Bahwa konsep Leviathan ini menjiwai argumen-argumen partai Federalist dan secara khusus dalam ucapan-ucapan Federalisme, Alexander Hamilton. Sebagaimana Hobbes, Hamilton secara politis mengutip diktum Hume, bahwa setiap manusia hendaknya dianggap seorang bajingan yang hanya mementingkan diri sendiri dengan segala cara. Iri dengki merupakan sumber sifat jahat manusia yang terbesar, sehingga dipandang sebagai suatu penderitaan utama dari sifat alami manusia. Sifat 268 alami manusia adalah suka menentang secara natural, begitu korup, begitu malas, begitu egois dan iri dengki, dimana dia tidak pernah baik kecuali ada keperluan. Sehingga pemerintah harus dilembagakan un tuk melindungi manusia dari bakat jahat alaminya. Lebih konkrit lagi pemerintah berfungsi untuk melindungi kepemilikan individu dan minoritas dari tindakan rakyat banyak yang tidak patuh pada hukum. Untuk itu secara natural Federalist menyukai suatu pemerintahan yang kuat dan sangat terpusat, yang otoritasnya akan sangat kuat untuk ditantang oleh massa dan mereka yang bersifat serakah menumpuk kekayaan pribadi. b. John Locke (1632-1704) Antara Hobbes dan John Locke (1632-1704) terdapat sangat sedikit persamaan dan kebanyakan bertentangan dalam pendapat umum. Mereka setuju akan tendensi manusia untuk menjadi jahat dan predator dan setuju bahwa pemerintah perlu untuk mencegah anarki. Mereka juga setuju bahwa pemerintah yang tidak membawa manfaat publik harus diturunkan. Selain dari itu keduanya sangatr berbeda. Locke adalah seorang Whig yang tidak sependapat dengan Hobbes dan Stuarts karena menganggapnya pemerintahan mereka seperti memiliki justifikasi yang bukan hukum ataupun moral. Setelah bergesernya raja Stuart terakhir pada tahun 1688, Locke bebas untuk menerbitkan pandangan politiknya dalam Dua Risalah Pemerintah (1690). Dalam essay-essay ini dia membenarkan Revolusi Agung dan menegakkan pemerintahan parlementer baru, dan tanpa disadari menjadi dasar Konstitusi Amerika Serikat. Pemikiran politik Locke bersandar pada konsep kontrak sosial, suatu teori pemerintahan yang tidak 269 sama sekali asli dari dia tetapi sesuatu hal untuk mana ia memberi suatu interpretasi yang baru dan sangat signifikan. Menurutnya hukum alam, adalah baik dan didesain untuk kebahagiaan manusia, tetapi manusia dalam negara alam tidak makmur. Tendensi predatornya menentukan apa yang seharusnya menjadi suatu masyarakat damai menjadi sesuatu yang anarkis dan diatur hanya oleh hukum rimba. Untuk muncul di atas situasi yang tidak menggembirakan ini dan untuk menahan sikap suka menantang dari sifat alaminya, manusia menciptakan pemerintah dan, dengan sepenuh hati menyerahkan beberapa hak-hak alami untuk mengembalikan keamanan orang dan kepemilikan. Dalam membuat pemerintahan protektif seperti ini, manusia tidak menandatangani cek kosong. Pemerintah bukanlah suatu kekuatan terpisah, sewenang-wenang sebagaimana dengan Hobbes tetapi lebih kepada suatu fungsi terhadap masyarakat, yang ada oleh persetujuan dan tanggung jawab mereka kepada masyarakat untuk tindakan-tindakannya. Jika pemerintah melanggar kepercayaannya melalui korupsi, inkompetensi, atau tirani, kontrak tersebut otomatis batal, atau persetujuan dari masyarakat ditiadakan. Begitulah Locke membantah ide tradisional dari supremasi negara dan hak yang besar dari monarki dan mengangkat konsep pemerintah sebagai pelayan dari masyarakat bukan tuan mereka, suatu instrumen yang diciptakan secara bebas oleh suatu mayoritas dari yang mempunyai hak pilih dan didekasikan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua. Dengan dasar tersebut, pemerintah bukanlah kedaulatan tetapi pemegang kepercayaan; ia adalah agen yang terbatas kekuasaannya dengan kontrak dan sangat bertanggung jawab kepada masyarakat. Semua manusia, kata Locke, memiliki tiga insting alami untuk hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Insting alami yang pertama: untuk hidup dan yang 270 kedua: kebebasan secara umum sama dengan insting alami hewan-hewan buas, tetapi insting alami yang ketiga: kepemilikan hanya khusus untuk manusia dan dibenarkan oleh Tuhan sendiri, dimana manusia diberi tahu bahwa ”Tuhan telah memberikan bumi untuk anak-anak manusia.” Insting-insting ini, yang menjadi bagian hukum alam, adalah baik dan cocok dengan hak-hak natural dari kemanusiaan; pencapaian kebahagiaan manusia tergantung dari penjagaan terhadap karunia prerogatif Tuhan ini. Hak untuk kehidupan dan kebebasan diperoleh secara alami dalam negara, tapi hak kepemilikan dijamin hanya di bawah pemerintah. Dalam menetapkan pemerintah, manusia menyerahkan beberapa kebebasannya untuk manfaat lebih besar atau keamanan kepemilikannya; ”raja-raja berakhir, karena itu, manusia-manusia bersatu ke dalam persemakmuran dan menaruh diri mereka sendiri di bawah pemerintah yang dibatasi oleh kontrak sosial untuk melindungi hak tersebut dan tidak boleh membatalkannya tanpa persetujuan dari pemilik kepemilikan. Dalam masa peperangan dan keadaan darurat lain, negara mengerahkan kehidupan dan membatasi kebebasan dari individu, tetapi ia tidak boleh secara sewenang-wenang meniadakan kepemilikannya. Begitulah dalam membangun teori Hak-hak Alami, Locke menset permanen prinsip dasar kapitalisme modern; tetapi dengan mengagungkan tiga hak dari kehidupan, kebebasan dan kepemilikan, dia membuat jelas bahwa yang paling besar dari semua itu adalah kepemilikan. Format pemerintah yang didukung oleh Locke sebagai yang paling mungkin untuk mencapai tujuantujuan ini adalah negara konstitusional di mana peraturan secara jelas dan secara spesifik terbatas dalam kekuasaannya dan di mana keadilan adalah satu-satunya basis otoritas. Fungsi negara dipecah ke dalam tiga badan: legislatif, eksekutif dan yudikatif, dengan mayoritas mengatur dalam semua 271 hal. Dan meskipun dia tidak spesifik, Locke mengindikasikan bahwa dia lebih menyukai suatu pemerintah yang relatif permanen seperti yang ditemukan dalam monarki terbatas dibandingkan yang secara konstan berubah dengan damai ataupun tidak damai. Kesemua kecuali yang terakhir dari rekomendasi-rekomendasi ini sebagai prinsip-prinsip dasar Konstitusi Amerika, sementara teori Hak-hak Alami memberi inspirasi untuk Deklarasi Kemerdekaan. Dalam teorinya, John Locke menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan yang terbagi dalam tiga cabang kekuasaan,yaitu: 1. Legislatif, yang memegang membuat Undang-undang. kekuasaan 2. Eksekutif, yang memegang kekuasaan melaksanakan Undang-undang, termasuk didalam kekuasaan mengadili (yudikatif). Kekuasaan mengadili dipandang John Locke sebagai kekuasaan menjalankan Undangundang yang dibuat legislative. 3. Federatif, yang memegang kekuasaan menyatakan perang, damai dan mengadakan perjanjian dengan negara lain. Kekuasaan federatif ini juga sering disebut kekuasaan untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri. c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Meskipun sebagai Seorang murid Locke, Rousseau jauh lebih revolusioner dibandingkan gurunya dan lebih jauhdalam kajian kebaikan natural manusia. Lebih jauh lagi, ketika dia menyetujui 272 keperluannya akan pemerintah dengan kontrak, dia menganggap semua pemerintah sebagai seorang yang bijaksana dibandingkan seorang yang baik dan mengutuknya ketika hasrat egois manusia untuk kepemilikan telah menyebabkan dia menolak negara alam untuk legalitas kejahatan ”peradaban.” Rousseau yang pertama memperoleh suatu nama untuk dirinya dengan menulis essay anti intelektual Diskursus Seni dan Sains (1750), dimana dia menyatakan bahwa studi sains, jauh dari membuat manusia lebih bahagia, yang melulu mempersulit kehidupannya dan membawanya pada kekurangan lebih jauh. Manusia dalam suatu negara primitif adalah senang, kata dia, dan belajar hanya yang akan mengacaukan kebaikan alaminya. Lebih jauh lagi, seni telah membuat ketertarikan dia akan kemewahan dan dengan demikian egois dan tamak. Semua ini telah membawa pada ketidaksetaraan sosial, satu-satunya penyebab paling besar dari ketidak bahagiaan manusia. Karena itu, ”pikiran kami telah dikorupsi dengan proporsi sebagaimana seni dan sains telah meningkatkan”; manusia telah mencoba untuk menemukan dalam hukum sains petunjuk bagaimana dia dapat memperoleh lebih banyak dan lebih mudah dengan memperhatikan sifat alaminya. Dari poin ini Rousseau, dalam Diskursus Ketidaksetaraan (1755), berangkat menuju kemenangan ”negara alam,” dimana buah-buah bumi adalah tersedia untuk semua manusia, ”seorang liar yang mulia,” adalah bodoh, memuaskan, dan bebas secara sempurna. Ini hanya ketika kepemilikan pribadi diperkenalkan, manusia tersebut mulai untuk memperbudak dirinya sendiri dan kehilangan kebaikan alaminya. Pemerintah adalah institusi yang ditemukan untuk melindungi kepemilikan pribadi, dan ia memiliki asalnya dalam bentuk jahat dan ada untuk mempromosikan ketidak setaraan. Ini hanya ketika 273 pemerintah dihancurkan dan manusia kembali pada negara alam dimana kesetaraan dapat dikembalikan. Secara alamiah, Rousseau menyadari bahwa ”negara alam” adalah hanya satu abstraksi filosofis dan manusia tersebut tidak pernah dapat ”kembali” pada keselamatan dalam pengertian yang relatif. Dalam karya terpentingnya, Kontrak Sosial (1762), Rousseau meningkatkan solusi praktisnya terhadap masalah dengan mengadvokasi suatu bentuk pemerintahan demokratis yang akan berfungsi hanya sebagai pelayan orang-orang dan akan memperoleh otoritasnya dari persetujuan masyarakat. Kedaulatan bertahan tidak terasing dari masyarakat, dia menunjukkan; pemerintahan absolut dan koersif adalah berlawanan dengan hukum alam dan seharusnya dibuang atau tidak dipakai. Bentuk terbaik dari pemerintahan adalah di mana semua orang berpartisipasi, tetapi dalam negara besar prosedur ini adalah tidak mungkin, bentuk terbaik selanjutnya adalah pemerintahan dengan perwakilan yang bertanggung jawab pada orangorang dan terpilih oleh pemilihan umum. Begitulah, pemerintah seharusnya suatu kontrak antara orang-orang dan para pemimpin, dimana pendiri (rakyat) menyewa yang kedua (para pemimpin) untuk menjalankan negara dan memerintah atas pertimbangan suatu porsi dari kebebasan alami mereka. Orang-orang menyerahkan kedaulatan mereka kepada orang-orang yang terpilih melalui sebuah pemilihan untuk memerintah, tetapi pemerintah yang terbentuk merupakan seorang pelayan masyarakat untuk kemakmuran umum. Dalam hal ini semua tindakan yang berlawanan dengan kemakmuran umum dilarang. Kontrak Sosial karya J.J. Rosseau ini mengangkat tema: Liberte, Egalite, dan Fraternite, yang mendorong pembentukan fusi untuk Revolusi Preancis. Tetapi pengaruh Rosseau di Amerika lebih 274 secara imajinatif yang menginspirasi beberapa spirit Revolusi Amerika, pengaruhnya pada Konstitusi tidak banyak. Para Pendiri Amerika secara umum sangat setuju terhadap kesucian kepemilikan, dan pandangan Rousseau mengenai kepemilikan personal dan kebaikan umum lebih penting daripada proteksi kepemilikan. Para pendiri dan revolusiner Amerika setuju dengan banyak hal dalam Kontrak Sosial. Tetapi tidak setuju dalam kepercayaannya pada basis kekhawatiran massa, kecurigaannya pada industri dan konsekuensinya pemuliaan kehidupan agraria, dan advokasinya terhadap pendidikan masyarakat yang tersebar luas. Kemudian mempengaruhi perdebatan tentang pencapaian kemakmuran berlandaskan ketiga hak alami dan khusus hak kepemilikan. Kemudian ternyata perdebatan-perdebatan ini mendorong lahirnya sistem dua partai nasional yang moderat dan tidak ideologis. Menjadi moderat karena dipersatukan oleh hak-hak alami: kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan (pencapaian kemakmuran) sebagai tujuan bersama. Tidak ideologis karena konstitusi sudah final dan merupakan harga mati yang harus dipertahankan bersama. d. Montesquieu Sedang Montesquieu mengedepankan teori Trias Politika mengenai pemisahan kekuasaan pemerintah kedalam tiga cabang, yaitu: 1. Legislatif, yang memegang membuat Undang-undang. kekuasaan 2. Eksekutif, yang memegang melaksanakan Undang-undang. kekuasaan 275 3. Yudikatif, yang memegang kekuasaan kehakiman yang menimbang dan mengadili. Akan tetapi pemisahan kekuasaan yang dimaksudkan bukan pemisahaan kekuasaan yang bersifat kaku dan mutlak, melainkan ketiga cabang kekuasaan (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif) saling tumpang tindih. Sebagaimana pengamatan Montesquieu terhadap sistem pemerintahan di Inggris, bahwa pada hakekatnya kekuasaan Raja untuk memveto adalah termasuk dalam cabang legislative, dan hak Parlemen untuk menyelidiki bagaimana hukum dilaksanakan dan hak untuk meminta pertanggungjawaban para menteri raja menyebabkan tumpang tindih dengan kekuasaan eksekutif. Lebih jauh lagi, Majelis Tinggi para bangsawan berfungsi sebagai sidang pengadilan dalam dengan pendapat pertanggungjawaban itu, mengadili salah satu anggota mereka sendiri yang dtuduh atas kejahatan tertentu, atau memperlunak suatu hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan rendah (XI,6(49-50). Meski begitu, Montesquieu jelas bermaksud untuk menyatakan bahwa dibandingkan pemerintah despotic di mana semua kekuasaan berada pada satu orang, pemerintahan Inggris menggambarkan pemisahan kekuasaan yang mendasar dan jelas. Meski kekuasaan Raja, Parlemen, dan Majelis saling bertumpang tindih, namun badan-badan ini tetap merupakan badan terpisah yang memiliki hak dan kekuasaan yang jelas dan juga personilnya masing-masing. Berbeda sekali dengan situasi Perancis di bawah Louis XIV, di mana Raja memadukan kekuasaan eksekutif dan legislative, membiarkan parlemen bergulat mendapatkan jatah kekuasaan legislative melalui hak mereka untuk mensahkan semua rancangan maklumat sebelum menjadi undang-undang. Dengan demikian Montesquieu benar-benar melihat dalam pemerintahan Inggris adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara badan yang berbeda 276 yang secara memadai diberi perhatian tersendiri untuk mendapatkan komentar serius. James Madison memahami betul maksud Montesquieu dengan menyatakan bahwa “Montesquieu tidak bermaksud menyatakan bahwa semua departemen ini ( eksekutif, legislative, dan yudikatif) tidak boleh memiliki perwakilan parsial dengan atau tanpa kendali atas tindakan departemen lainnya.” Ia hanya bermaksud bahwa “dimana seluruh kekuasaan dari satu departemen dijalankan oleh tangan yang sama yang juga memiliki seluruh kekuasaan dari departemen lainnya, maka prinsip-prinsip fundamental suatu konstitusi yang bebas pun roboh”.35 Kemudian Montesquieu membagi bentuk-bentuk ideal pemerintahan kedalam tiga bentuk pemerintahan, yaitu: 1. Republic, yang terbagi lagi ke dalam dua bentuk, yaitu: a. Demokrasi, b. Aristokrasi, 2. Monarki, dan 3. Despotisme. Pemerintahan demokratis bersandar pada tiga dukungan utama: Kebajikan (virtue) politik, kesetaraan, dan kesederhanaan. Kebajikan politik mendorong warga negara untuk menempatkan kebutuhan public di atas kepentingan pribadi, kesetaraan dalam kadar tertentu dijaga, dan konsumsi dilaksanakan secara sederhana sehingga ketamakan tidak menggerogoti loyalitas kepada negara. 35 Monstesquieu. The Spirit of Laws. Cetakan I, September 2007, Penerbit Nusamedia Bandung, hlm 65 277 Di negara-negara monarki, stabilitas berasal dari adanya kehormatan, ketidaksetaraan, dan kemewahan. Mereka yang derajat dan kedudukannya tinggi berusaha menjunjung tinggi kekhasan dan hak istimewa mereka, ketidak setaraan tidak tergoyahkan, dan konsumsi dijaga pada level yang mencolok. Akhirnya, di negara-negara despotic, seperti halnya di negara-negara demokrasi, ada kesetaraan dalam kadar tertentu, tetapi itu hanyalah kesetaraan di antara warga negara. Despot adalah segalagalanya dan warga negara tidak ada artinya sama sekali. Menurut Montesquieu, kekuasan despotic tidak bisa diawasi kecuali oleh ajaran-ajaran agama. OLeh karena itu, ketiga bentuk pemerintahan tersebut di atas oleh Montesquieu dipandangnya sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang ideal, artinya ketiganya mempunyai keunggulankeunggulan masing-masing, dan tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Demikian pernyataan Montesquieu, bahwa pemerintah yang terbaik adalah yang cocok dengan orang-orang tertentu yang dituju oleh pemerintah itu. Dan dalam The Spirit of Laws dengan berapi-api ia menolak untuk mengistimewakan satu bentuk pemerintahan atas bentuk lainnya .36 Bahwa filosofis hukum, politik dan pemerintahan Amerika Serikat tidak terlepas dari empat tokoh kunci: John Locke, Montesquieu, Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau. Ajaran-ajaran mereka begitu kuat mempengaruhi para pendiri bangsa, antara lain: Thomas Jefferson, Washington, James Madison, Alexander Hamilton, dan Benyamin Franklin. Sehingga lahirlah Amerika Serikat sebagai negara Republik dengan sistem pemerintahan: Demokrasi 36 Ibid hlm 70 278 Konstitusional, Federalist, Presidential, Pemisahan tiga cabang kekuasaan pemerintahan, yaitu: Legislatif (becameral: Senat dan The House of Representatif), Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung. Dalam hal ini Washington begitu teguh memelihara Republik Amerika Serikat dari perpecahan tanpa diiringi ambisi untuk terus berkuasa. Dia tidak berkeinginan menjadi raja maupun dictator. Dialah orang yang menanamkan kaidah perlunya perpindahan kekuasaan dari satu tangan ke tangan yang lain dengan cara damai. Kaidah ini tetap dianut di Amerika hingga saat ini. 37 Selain itu, ia juga yang pertama melakukan pembatasan masa jabatan presiden cukup dua periode, sehingga tidak bersedia mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan yang ketiga. Meskipun saat itu belum ada undang-undang pembatasan masa jabatan presiden. Peranannya sebagai ketua Konvensi Konstitusi sangat cemerlang, sehingga begitu membantu disetujuinya Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787 menggantikan Article of Confederation. e. Alexander Hamilton & James Madison Federalist Papers The Pada tanggal 7 Juni 1776, di Kongres kontinetal , Richard Henry Lee, wakil masyarakat Virginia, mengusulkan pembentukan Federasi Amerika yang merdeka. Panitia yang beranggotakan lima orang dan dipimpin oleh Thomas Jefferson, mempersiapkan proklamasi kemerdekaan yang ditetapkan oleh Kongres pada tanggal 4 Juli 177638, maka lahirlah 37 Michael H. Hart. 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa. Karisma Publishng Group,2005. hlm 132. 38 Jacques Godechot. Revolusi Di Dunia Barat (1770 – 1799). Penerbit Gadjah Mada University Press,1989. hlm.17 279 sebuah negara baru I benua Amerika sebelah utara, Negara Fedrasi Amerika Serikat. Itulah awal dari perdebatan dan perjalanan panjang tentang federalisme Amerika Serikat yang terus menerus berkembang dan telah melewati waktu dua abad mencari bentuknya yang paling ideal sesuai perkembangan kebutuhan bangsa dan negara. Pada mulanya federalisme Amerika dikemukakan dan diperdebatkan dalam Kongres Kontinental yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kemerdekaan koloni-koloni Inggris di benua Amerika Utara. Peristiwa ini juga dapat dipandang merupakan titik kulminasi Revolusi Amerika, yaitu sebuah perjuangan para kolonis yang ingin membebaskan diri dari campur tangan kerajaan Inggris, dan membangun sebuah negara yang merdeka, demokratis dan beradab sesuai kodrati kemanusiaannya. Semua gagasan awal federalisme dari para pendiri bangsa dan negara dirangkum dalam “ The Federalist Papers”. Oleh karena itu pula merupakan dokumen tertulis tertua tentang federalisme negara. Ada banyak pendapat tentang federalisme, bahkan ada yang menyatakan sebanyak 267 defenisi, ….One sholar counted 267 defenitions 39. Namun demikian pada dasarnya federalisme dapat didefenisikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang membagi kekuasaan berdasarkan konstitusi antara kekuasaan pemerintah di pusat dan pemerintah di daerah: negara bagian atau propinsi, termasuk didalamnya kekuasaan dan tanggungjawab menegakkan peraturan hukum dan memungut pajak terhadap setiap penduduk. 39 James McGregor Burns Cs. op.cit. hlm.28 280 Sebagaimana penjelasan James McGregor Burn cs40, Federalism, as we define it, it’s a form of government in which a constitution distributes powers between a central government and subdivisional governments-usually called states or provinces or republics-giving to both the national government and the regional governments substantial responsibilities and powers, including the power to collect taxes and to pass and enforce laws regulating the conduct of individuals. Patut pula dikemukakan pendapat Lawrence M. Friedman41, bahwa Sistem federal adalah sistem pemerintahan dan hukum dimana pemerintah nasional yang terpusat berbagi kekuasaan dengan negar bagian, propinsi, atau wilayah yang dalam batas-batas tertentu masing-masing berdaulat dengan hak-haknya sendiri. Pada dasarnya terdapat tiga sistem pemerintahan yang terkait dengan hubungan antara pemerintahan pusat dan bagian-bagian pemerintahan di daerah : 1. Sistem Kesatuan, 2. Sistem Konfederal, dan 3. Sistem Federal. Dari ketiga sistem di atas yang paling banyak dipraktekkan selama ini adalah adalah Sistem Kesatuan. 40 James McGregor Burns Cs. ibid., op.cit. hlm.28 41 Lawrence M. Friedman. HUKUM A,MERIKA Sebuah Pengantar. PT. Tatanusa, 2001. hlm.168 281 Ad.1. Sistem Kesatuan Dalam sistem kesatuan ini pemerintah pusat memegang kewenangan menangani semua kepentingan-kepentingan nasional baik didalam maupun diluar negeri. Kemudian pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangannya kepada unit-unit pemerintahan di daerah. Pemerintahan di daerah pada dasarnya menjalankan kebijakan-kebijakan dan keputusankeputusan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat dapat mengawasi, menangguhkan, membatalkan atau menganulir kebijakan-kebijakan dan keputusankeputusan pemerintah daerah yang dianggap bertentangan dengan pemerintah pusat. Pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilakukan secara keseluruhan atau sebagian sesuai kebutuhannya. Kewenangan-kewenangan yang telah didelegasikan dapat ditarik, diganti, diperluas atau dikurangi oleh pemerintah pusat. Kewenangan yang telah didelegasikan menjadi hak, kewajiban dan tanggungjawab unit pemerintah daerah untuk dijalankan. Akan tetapi pada umumnya dalam praktek kewenangankewenangan yang telah didelegasikan merupakan kewenangan-kewenangan yang telah disepakati bersama oleh pemerintah pusat dan unit pemerintahan di bawahnya. Secara structural pemerintah pusat berada di atas pemerintahan daerah, dan sebagai simpul pusat kesatuan pemerintahan negara. Sebagian pejabat pemerintahan di daerah diangkat oleh pemerintah pusat, dan sebagian lagi dipilih di daerah tetapi pemerintah pusat dapat menganulirnya karena kondisi-kondisi tertentu. 282 Sistem kesatuan memungkinkan wewenang pemerintahan yang pokok untuk menangani masalah nasional, atau pemerintahan pusat. Mempertimbangkan sebuah sistem kesatuan yang khusus-Prancis. Terdapat departemen-departemen dan kotamadya di Perancis. Didalam departemen-departemen dan kotamadya ada pemerintahan yang terpisah kesatuan yang lahir dengan pemilihan dan pejabat yang ditunjuk. Sejauh ini, sistem yang muncul di Perancis terlihat serupa dengan sistem di Amerika Serikat, namun kesamaan hanya pada permukaan. Dibawah sistem kesatuan Perancis, keputusan-keputusan pemerintahan dari departemen-departemen dan kotamadya dapat ditolak oleh Pemerintah Nasional. Pemerintah Nasional juga dapat menghentikan pendanaan dari banyak departemen dan aktivitas pemerintah kotamadya. Lebih lanjut, dalam sebuah sistem kesatuan seperti di Perancis, semua pertanyaan yang berhubungan dengan pendidikan, polisi, penggunaan lahan, dan kesejahteraan ditangani oleh Pemerintah Nasional. Inggris Raya, Swedia, Israel, Mesir, Ghana dan Filipina juga memiliki pemerintahan sistem kesatuan, seperti yang dilakukan banyak negara saat ini.42 Ad.2. Sistem Konfederasi Kebalikan dari sistem kesatuan, sistem konfederasi ini berbentuk sebuah liga negara merdeka. Liga ini terdiri dari utusan-utusan negara-negara anggota liga yang bertindak sebagai pemerintahan pusat dengan kekuasaan yang sangat terbatas yaitu hanya berkuasa untuk menangani berbagai persoalan umum yang 42 ………….. Federalisme 283 diberikan oleh negara-negara anggota liga secara jelas dan tegas. Semua peraturan perundangundangan yang dibuat pemerintahan pusat tidak dapat secara langsung diterapkan kepada individu-individu sebelum negara-negara anggota secara eksplisit menyetujuinya. Pada awalnya kemerdekaannya antara tahun 17811789 Amerika Serikat menerapkan sistem konfederasi. Saat itu pemerintah pusat Amerika Serikat berbentuk liga yang beranggotakan seluruh negara bagian sebanyak tiga belas negara bagian. Berdasarkan Articles of Confederation pemerintah pusat Amerika Serikat ada ditangan Kongres. Kongres terdiri dari delegasi delegasi yang yang ditunuk setiap tahun oleh negara bagian – negara bagian melalui persetujuan legislatif masing-masing negara bagian. Setiap negara bagian mempunyai hak dan kedudukan yang sama tanpa membedakan populasi atau potensi kekayaan alamnya. Sehingga masing-masing negara bagian mempunyai satu suara di Kongres. Setiap keputusan Kongres memerlukan persetujuan minimal sembilan suara negara bagian. Setiap tahun anggota Kongres memilih salah satu diantara mereka menjadi Ketua yang berfungsi sebagai moderator. Ketua Kongres hanya merupakan Presiden Kongres, bukan Presiden Amerika Serikat. Masa itu belum ada seorangpun yang dipilih atau diangkat sebagai Presiden terhadap tiga belas negara bagian yang masih mempertahankan kedaulatannya masing-masing. Meskipun mereka telah bersama-sama menyatakan kemerdekaan Amerika Serikat sebagai satu negara merdeka. Negara Amerika Serikat yang mereka nyatakan sebagai negara merdeka saat itu belum berdaulat karena kedaulatan masih dipertahankan oleh masingmasing negara bagian tersebut. 284 Selanjutnya Kongres membentuk KomiteKomite untuk menangani masalah-masalah Eksekutif dan Yudisial. Kemudian Kongres juga menunjuk pejabat-pejabat sipil yang dibutuhkan. Terdapat tiga ciri konfederasi Amerika Serikat berdasarkan Articles of Confederation, yaitu: 1. Pengakuan terhadap kedaulatan negara bagian-negara bagian yang lengkap dan tidak dapat diganggu-gugat. Oleh karena itu Kongres sebagai pemerintah pusat/ nasional tidak berhubungan langsung dengan individu atau penduduk, melainkan terbatas berhubungan dengan negara bagian dalam kapasitas sebagai anggota aliansi dalam Kongres. 2. Pemerintah pusat berbentuk organ tunggal yang disebut Kongres yang beranggotakan delegasi-delegasi dari masing-masing negara bagian. 3. Pembatasan kekuasaan pemerintah pusat/nasional, yaitu hanya kekuasaan disebutkan secara tegas dan jelas diberikan oleh tiga belas negara bagian, yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat/nasional. Pada awalnya terdaftar sembilan belas kekuasaan yang diberikan kepada Kongres sebagai pemerintah pusat/nasional, diantaranya adalah kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan perang, mengutus dan menerima duta besar, membuat perjanjian, menetapkan standard berat dan ukuran, mengatur campuran dan nilai, mengatur perdagangan dan mengelola urusan-urusan dengan orang Indian, mendirikan Kantor Pos, meminjam uang, membangun dan melengkapi Angkatan Laut, menyetujui besarnya kekuatan angkatan darat 285 dan membuat permintaan kuota bagi beberapa negara bagian. Ketiga belas negara bagian tersebut tidak memberikan kepada Kongres sebagai pemerintah pusat/nasional kekuasaan untuk mengatur perdagangan dan keuasaan untuk memungut pajak. Kongres sebagai pemerintah pusat/nasional diberi kekuasaan untuk mengatur kekuangannya. Tetapi Negara bagian tidak diharuskan mengabulkan permohonan keuangan yang diajukan Kongres. John Adams menggambarkan pemerintahan sistem konfederal ini sebagai perwakilan pusat dari suatu aliansi, suatu majelis diplomasi. 43 Sedang Sayes Allum menyebutnya sebagai “firm leaque of friendship”.44 Ad.3. Sistem Federal Sistem Federal merupakan sistem pemerintahan yang memadukan unsur – unsur sistem kesatuan dan sistem konfederal, atau sistem ini berada diantara kedua bentuk sistem pemerintahan tersebut. Dalam sebuah sistem pemerintahan, wewenang dipisahkan, biasanya dengan sebuah konstitusi tertulis, antara sebuah pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, atau sub divisi pemerintahan yang juga sering disebut pemerintahan konstituante. Pemerintah pusat dan pemerintah konstituante keduanya bertindak secara langsung kepada rakyat melalui undang-undang dan melalui tindakan-tindakan dari pejabat pemerintah yang dipilih dan ditunjuk. Didalam masing-masing wewenang lapisan 43 Sayes Allums. Principles of American Government… hlm. 17 44 Ibid hlm, 16 286 pemerintahan, masing-masing adalah tertinggi. Penerapan federalisme di Amerika Serikat tergambar jelas, dimana masing-masing negara bagian mempunyai Undang-undang Dasar sendiri, yang tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi Federal/nasional. Namun demikian setiap perubahan Konstitusi harus mendapat pengesahan (ratifikasi) mayoritas dari NegaraNegara Bagian, berarti ada satu Konstitusi Amerika Serikat (Federal/Nasional) dan 50 Undang Undang Dasar dari 50 Negara Bagian. Kedua Konstitusi ini berlaku dan mengikat individu-individu warga negara atau penduduk di negara bagian masing-masing. Mahkamah Agung Federal/Nasional melalui upaya hukum Judicial Review memegang peranan sangat penting dalam menyelaraskan pelaksanaan kedua konstitusi tersebut. Melalui upaya hukum Judicial Review ini Mahkamah Agung Federal/Nasional berwenang menyatakan suatu peristiwa: sosial kemasyarakatan, budaya, hukum, politik, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya, serta kebijakan dan perundang undangan baik yang dibuat pemerintahan federal maupun pemerintahan konstituen dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikta (Federal/Nasional). Tidak ada suatu peristiwa dalam kehidupan rakyat dan penguasa yang tidak dapat di judisialkan, semua dapat dijangkau oleh lembaga pengadilan pada semua level terutama oleh Mahkamah Agung Federal di level pemerintahan nasional. Menurut Lawrence M. Friedman,45 Amerika Serikat adalah negara federal yang sepenuhnya menekuni federalismenya secara 45 Lawrence M. Friedman. HUKUM A,MERIKA Sebuah Pengantar. PT. Tatanusa, 2001. hlm.169 287 sungguh-sungguh. Pemerintah nasional berkedudukan di Washington, namun lima puluh negara bangiannya bukan sekedar bayangbayang hampa. Negara bagian mempunyai pemerintahan sendiri dan ibu kota sendiri, dan mereka pasti “berdaulat” atas wilayahnya, yakni dengan kuasa penuh. Dalam banyak hal, negara bagian mempunyai undang-undang dasar dan undang-undang dasar ini sangat berbeda dengan Undang-Undang Dasar Federal. Mereka mempunyai badan legislative dengan dua majelis di setiap negara bagian kecuali satu negara bagian. Masing-masing negara bagian mempunyai kepala, Gubernur. Masing-masing negara bagian mempunyai sistem pengadilan sendiri. Masing-masing negara bagian mempunyai cabinet, staf eksekutif, dan sejumlah badan administrasi. Negara bagian memang berdaulat atau independent dalam batas tertentu. Namun pemerintah nasional (federal) lebih berkuasa. Penjelasan lengkap federalisme Amerika Serikat terdapat dalam “Federalist Papers”. Dokumen ini terdiri dari 85 esai atau tulisan pendek (1787 – 1788). Diantaranya 51 surat disusun oleh Alexander Hamilton, dan ada 29 surat merupakan karya tulis dari James Madison sendiri. Keduanya masih sangat relative muda ketika menulis dan menyusun Federalist Papers, Hamilton masih berusia 32 tahun dari negara bagian New York dan Madison 36 tahun dari negara bagian Virginia. Menurut Thomas Jefferson sebagai salah satu Bapak Bangsa (The Founding Father), kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke-3, bahwa The Federalist Papers adalah penjelasan terbaik mengenai prinsip-prinsip pemerintahan yang pernah ditulis. Bagi John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-19, The Federalist Papers merupakan risalah yang 288 sangat memberi pelajaran mengenai bentuk pemerintahan federal. Sementara Alexis de Tocqueville pada tahun 1835 mengatakan The Federalist Papers adalah sebuah buku yang luar biasa, sudah selayaknya dibaca oleh para negarawan di berbagai negeri.” Selanjutnya, para sejarawan kontemporer, juri dan ilmuwan politik pada umumnya sepakat bahwa The Federalist Papers merupakan sebuah karya penting mengenai filsafat politik dan pemerintahan yang pernah ditulis di Amerika Serikat. The Federalist disetarakan dengan Republik-nya Plato, Politics-nya Aristoteles, dan Leviathan karya Thomaas Hobbes. Dan The Federalist telah menjadi acuan bagi banyak pemimpin dari negara-negara baru di Amerika Latin, Asia dan Afrika guna menyiapkan UndangUndang Dasar mereka sendiri.46 Pandangan Madison tentang federalisme berfokus pada prinsip-prinsip keterbukaan, keseimbangan, dan kekuatan penalaran (kebajikan) terkait politik dan pemerintahan. Sehingga melalui The Federalist Papers untuk pertama kali gagasan mengenai pengawasan dan kesimbangan (Checks and Balances) ditemukan dalam literature politik sebagai suatu cara membatasi dan mencegah penyelewengan kekuasaan pemerintah. Pada awalnya mengacu pada bentuk legislative bicameral: Senat dan House of Representatif. Bagi Hamilton dan Madison legislative bicameral ini merupakan cabang kekuasaan yang paling kuat, sebagaimana rancangan semula dimana anggota House of Representatif dipilih oleh public, tetapi akan diawasi dan diimbangi oleh sebuah Senat yang dipilih oleh ledislatif negara bagian 46 Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Office of International Information Program United State Department of State. Hlm. 38. 289 (kemudian sejak amandemen ke-17 tahun 1913 dipilih oleh rakyat di masing-masing negara bagian). Substansinya menurut Madison, bahwa suatu jabatan seharusnya mengawasi jabatan lainnya. Dan penegasan Hamilton, bahwa sebuah majelis yang demokratis harus diawasi oleh senat yang demokratis dan keduanya oleh prresiden yang demokratis pula. Kemudian Hamilton melengkapi prinsip Checks and Balances dalam The Federalist Papers ini melalui salah satu tulisannya yang membela hak Mahkamah Agung untuk berperan di atas hukum konstitusional yang disahkan oleh legislative nasional atau negara bagian. Menurut Hamilton, Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan untuk berperan melakukan pengawasan terhadap legislative dengan cara melakukan Judicial Review yang dimaksudnya sebagai upaya penibnjauan hukum kembali. Menurut Hamolton,47 pengawasan yang tepat terhadap legislative, seumpama “nafas sekelompok orang yang sudah terinfeksi bisa meracuni sumber air keadilan”. Mahkamah Agung dipandangnya sebagai benteng dari UndangUndang Dasar yang terbatas dalam menghadapi legislative yang bertindak melampaui batas. Pendapat Hamilton ini dpandang sangat cemerlang dan bersejarah karena untuk pertama kali upaya hukum Judicial Review ditampilkan, dan sangat bertolak belakang dengan sistem Inggris yang membenarkan Parlemen dapat mengesampingkan setiap keputusan pengadilan yang dianggap tidak menyenangkan mayoritas suara di Parlemen. Selanjutnya pikiran-pikiran Madison dan Hamilton dalam The Federalist Papers tersebut di atas menjadi dasar terbentuknya prinsip-prinsip pengawasan dan keseimbangan (Checks and 47 Ibid hlm 41 290 Balances) diantara tiga cabang pemerintahan: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif baik dilevel Nasional maupun dilevel Negara Bagian. Dilevel Nasional antara Kongres: Senat dan The House of Representatif), Presiden dan Mahkamah Agung Federal. Sedang dilevel Negara bagian antara Legislatif Negara Bagian: Senat dan The House of Representatif, Gubernur, dan Mahkamah Agung Negara Bagian. Prinsip ini mengatur hubungan pemisahan kekuasaan dan control diantara Presiden Congress dan Supreme Court yang sederajat dan serasi yaitu: a. President mempunyai: 1) Kekuasaan: (a) Enforces Laws (b) Can Veto Bills (c) Can Appoint Judges and Other Officials 2) Hak Kontrol: (a) Can Appoint Judges and Other Officials (b) Can be remove by Congress (c) Congress can override veto (d) Appointments must first be approved by Congress b. Congress mempunyai: 1) Kekuasaan: (a) Makes the laws (b) By a two veto of members congress can pass a law over President’s veto (c) Must approve President’s appointment of judges and other officials 291 2) Hak Kontrol: (a) President can veto a bill passed by congress (b) Laws passed by congress can be declared unconstitutional by supreme court c. Supreme Court mempunyai: 1) Kekuasaan: (a) Interprets the law (b) Can declare laws unconstitutional (c) Judicial review 2) Hak Kontrol: (a) Judges appointed for life by President (b) Appointments must first be approved by congress (c)Judges can be remove by congress for improver behavior Penerapan prinsip pengawasan dan keseimbangan (Checks and Balances) tidak terlepas dengan gagasan pemisahan kekuasaan pemerintahan yang menjadi pilihan. Pada dasarnya pemisahan kekuasaan pemerintahan yang terbagi menjadi tiga lembaga: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dimaksudkan untuk menghindari tirani dan pemusatan kekuasaan pada satu atau beberapa orang. Namun demikian dalam dokumen The Federalist Papers, Madison dan Hamilton menambahkan keunggulan lainnya, yaitu dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Karena dibatasi untuk berfungsi secara spesifik, maka lembaga-lembaga pemerintahan yang berbeda itu mengembangkan keahlian dan kebanggaan akan peran mereka masing-masing. Hal yang sukar terjadi jika mereka digabung b ersama-sama atau saling 292 tumpang tindih pada tingkatan tertentu. Kualitas yang mungkin penting bagi satu fungsi, tapi bisa tidsak sesuai bagi yang lainnya. Lalu Hamilton memberi istilah “energi pada eksekutif” sebagai hal yang mendasar untuk mempertahankan negqara melawan serangan asing, menjalankan hukum secara adil, dan melindungi hak milik dan kemerdekaan individu yang dilihat sebagai hak. Disisi lain, bukanlah enegi tetapi “pertimbangan dan kebijaksanaan” –lah yang merupakan kualifikasi bagi seorang legislator, yang harus mendapatkan kepercayaan rakyat dan mendamaikan kepentingan yang beragam. Perbedaan kebutuhan ini sekaligus menjelaskan mengapa kekuasaan eksekutif ditempatkan ditangan seorang individu, Presiden, karena jika eksekutif bersifat plural akan mendatangkan kelumpuhan dan “menghalangi tindakan-tindakan penting pemerintah, pada titik yang paling genting daripada negara.” Karena, jika legislative merefleksikan kehendak rakyat telah memberikan pertimbangan dan benar-benar memperdebatkan keputusan sebelum mensahkan sebuah undangundang, eksekutif harus benar-benar menjalankan hukum tanpa pilih kasih, menolak setiap kepentingfan diri berdalih pengecualian. Dan saat mendapat serangan dari negara lain, eksekutif harus memiliki kekuatan dan energi untuk merespons sesegera dan sekuat mungkin. Sementara bagi Yudikatif, kualitas yang diperlukan bukanlah energi dan otoritas memerintah seperti yang dimiliki eksekutif, tidak pula sifat responsive terhadap perasaan rakyat atau kemampuan untuk berkompromi yang dimiliki oleh legislative, tetapi “integritas dan sikap moderat”. Dan karena ditunjuk seumur hidup, hakim bebas dari tekanan rakyat banyak, eksekutif dan legislatif.48 48 Ibid hlm 44 293 Bahwa gagasan pemisahan kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang ada dalam The Federalist Papers sudah ada sebelumnya. Setidaknya sebagaimana yang telah dikemukakan oleh John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau. Dalam Hobbes, Locke, Montesquieu, dan Rousseau dapat dilihat kerangka prinsip absolutisme, republikanisme, dan demokrasi – Hak Asasi Manusia. Meskipun pada awal Amerika Serikat, yang absulutisme secara umum ditolak sebab merupakan bagian dari monarkisme, namun keempat paham tersebut berpengaruh dalam latar belakang pertumbuhan politik (partai politik) dan pemerintahan Amerika, yang menjadi referensi bagi para pendiri negara -negara yang terbentuk kemudian, baik yang terbentuk melalui perjuangan kemerdekaan, pemberian kemerdekaan, maupun revolusi dalam negeri. Semua orang Amerika setuju pada doktrin Locke tentang hak-hak alami dan semua menegakkan kesucian kepemilikan pribadi. Hal ini mendorong hasrat menjadi orang kaya atau perusahaan bermodal besar. Kemudian berada pada masalah jenis kepemilikan yang mana yang paling membutuhkan keamanan negara. Apakah ekonomi masa depan kita didorong untuk berkembang pada sektor agraria atau komersial dan industrial? Apakah hukum-hukum kita akan ke kota besar favorit atau daerah-daerah pedesaan, perusahaan besar atau kecil, kaya atau miskin? Pertanyaan-pertanyaan ini membentuk hal sangat penting dari perdebatan dalam Konvensi Konstitusional, dan dari perdebatan ini muncul kedua sistem partai nasional kita dan pola-pola perjuangan ekonomi dan politik kita untuk abad berikutnya. 294 Akhirnya, harus dicatat bahwa masih ada di antara para delegasi suatu konsistensi perangai yang luar biasa. Orang-orang ini tidak berteori, pemimpi-pemimpi visioner, melainkan mereka orang-orang-orang lugu negeri yang setengah terdidik yang terlibat secara berlebihan dalam suatu tugas yang terlalu besar bagi pembatasan provinsial mereka. Konvensi Federal terdiri dari hampir seluruhnya manusia-manusia dengan pembelajaran, pertimbangan, dan integritas, yang diwarisi dengan satu kepedulian akan kebaikan umum yang belum pernah berlebih. Di atas semuanya, mereka keras kepala, praktikal, dan hati-hati untuk rencana-rencana yang utopia. John Dickenson, seorang delegasi dari Pennsylvania, membuang sikap grup ketika dia menyatakan: ”Pengalaman harus menjadi satu-satunya pedoman kita. Logika bisa menyesatkan kita.” Satu-satunya kelemahan pada kepercayaan terhadap pengalaman ini adalah bahwa kebanyakan pengalaman tersebut mengikuti aliran-aliran Eropa. Kebanyakan perdebatan Konvensi membuang-buang waktu; banyak ketakutan para delegasi muncul suatu kebingungan akan pola-pola Eropa yang mapan dengan potensialitas-potensialitas Amerika Serikat yang belum terbentuk. Tetapi yang lebih berpengaruh adalah cara pandang Eropa yang berurat akar secara mendalam bahwa mayoritas harus dikontrol dalam rangka menjaga integritas kepemilikan, dan yang lebih gigih lagi adalah ide bahwa peraturan harus berpusat pada yang ”lebih baik” - yang itu adalah kelas orang berpunya-. Dari dominasi sikap ini yang kita boleh menarik signifikansi yang paling kronis dari sejarah awal kita. Di samping peringatan para negarawan terkenal itu seperti Benjamin Franklin dan Charles Pinckney dari California Selatan, tendensi aristrokatik tetap berlaku, membawa konvensi, dan, di bawah panji Federalisme, adalah kekuatan 295 dominan yang mengarahkan tahap-tahap pertama dari bangsa baru. Ini bukan dalam cakupan muatan ini untuk menguji hal-hal terinci dari perdebatan konstitusional. Agaknya kita akan bersandar pada hipotesis yang dari perdebatan itu muncul tidak hanya sistem dua partai Amerika tetapi juga premis utama dari mana telah membangun tekstur berikutnya dari kehidupan politik kita. Kita tidak dapat menekankan terlalu kuat kebutuhan akan melihat divisi politik kita sebagai yang didasarkan secara fundamental tidak pada negara atau sekatsekat kepentingan, perjuangan kelas, atau radikal vs konservatif, tetapi pada ekonomi. Dalam analisa terakhir isu-isu politik kita, melalui abad ke-sembilan belas paling tidak, menyajikan suatu benturan antara kepentingan agraria dan industri atau, untuk meletakkannya dalam cara lain, antara demokrasi sosial dan kapitalisme kelas menengah. Penting dan dramatis sebagaimana mereka sendiri, semua sekat, rasial, teritorial, dan kebanyakan kontroversi internasional yang telah sampai saat ini menghasut halaman-halaman sejarah kita meskipun begitu dapat dilihat sebagai muatan dengan kerangka persaingan antara pertanian dan industri. Mari kita kembali, kemudian, pada asal usul persaingan ini dan mensurvey partai-partai politik kita masa lalu dan orang-orang yang tindakan-tindakan dan ucapanucapannya paling dekat mewakili kekuatankekuatan menentukan dalam ekonomi polik kita. Demikian, para pemikir dan pendiri negara di Amerika, menjadikan pemikiran-pemikiran filosofis Eropah sebagai referensi mendirikan dan mengembangkan satu sistem negara dan pemerintahan terpadu yang relatif baru, sebagai penemuan suatu sistem negara dan pemerintahan yang baru dalam bentuk negara dan 296 pemerintahan negara baru Amerika Serikat. Terpadu dari prinsip absolutisme, republikanisme, dan demokrasi, atau terpadu dari unsur-unsur Despotisme, Monarki, dan Republik: Demokrasi dan Aristocrasi. Terpadu dalam kemasan negara dengan sistem pemerintahan demokratis: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; yang berintikan pemerintah adalah pelayan masyarakat, bukan tuan mereka. Pelbagai pendapat di atas memberikan gambaran, setidaknya ada tiga hal yang terkait langsung dengan negera federal, yaitu: 1. Konstitusi, 2. Pembagian Kekuasaan Pemerintahan: Pusat (Federal) dan Daerah (Negara Bagian/State), 3. Hubungan pemerintah di Pusat dan di Daerah (Negara Bagian/State) dengan penduduk. Ad.1. Konstitusi. Ketika Amerika Serikat memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776, Articles of Confederation and Perpetual Union (Pasal-Pasal Konfederasi dan Perserikatan Abadi) yang dususun oleh John Dickinson tahun 1776 dan disahkan dalam Kongres Kontinental pada November 1777, kemudian berlaku sah sebagai Konstitusi Nasional pada tahun 1781 setelah mendapat ratifikasi (pengesahan) oleh semua negara bagian sebanyak 13 negara bagian bekas 13 negara bagian. 297 Artikel Konfederasi ini menggambarkan bagaimana tahap awal dari negara Amerika Serikat yang baru merdeka. Dalam Artikel Konfederasi tersebut, kekuasaan negara bagian (states) masih sangat kuat (dominant) dibanding pemerintah pusat (Federal). Sehingga Pemerintah Pusat/Federal sangat lemah untuk membuat kebijakan dibidang fiscal dan moneter, perdaganagan dan hubungan internasional, keuangan dan perbankan trmasuk dalam menntukan satu jenis mata uang yang berlaku nasional. Masing-masing negara bagian mempertahankan kedaulatannya yang terlebih dahulu diaturnya dalam konstitusi negara bagiannya masing-masing. Sehingga nampak konstitusi negara bagian dari 13 negara bagian tersebut tidak memperkuat keberadaan Artikel Konfederasi sebagai konstitusi nasional. Apalagi ternyata konstitusi negara bagian lebih lengkap dibanding artikel konfederasi. Setiap konstitusi negara bagian dimulai dengan sebuah deklarasi atau pernyataan hak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip dasar pemerintahan demokrasi: kedaulatan rakyat, pergantian pejabat-pejabat pemerintahan/public, kebebasan memilih, dan sejumlah kebebasan mendasar lainnya: uang jaminan dalam jumlah kecil dan hukuman yang berprikemanusiaan, pelaksanaan sidang pengadilan yang cepat dengan Juri, kebebasan pers dan suara hati, serta hak mayoritas untuk mereformasi atau mengganti pemerintahan. Bahkan negara-negara bagian yang lainnya memperluas daftar kebebasan ini untuk menjamin kebebasan berbicara, berkumpul dan mengajukan petisi, dan serin gkali termasuk ketentuan seperti hak untuk membawa senjata apai, hak untuk diperiksa di 298 muka hakim, tidak dipermasalahkan tempat tinggalnya, dan perlindungan yang sama dimuka hukum. Selain itu semua konstitusi setia pada struktur pemerintahan dengan tiga cabang: ekeskutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga cabang pemerintahan ini saling mengawasi dan seimbang.49 Prinsip checks and balances sangat dijunjung tinggi oleh ketiga cabang pemerintahan tersebut. Ad.2. Pembagian Kekuasaan Pemerintahan: Pusat (Federal) dan Daerah (Negara Bagian/State). Pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah ini sangat diperlukan, tetapi penuh kerumitan dalam mewujudkannya karena: Masing-masing dari tiga belas negara bagian (state) mempertahankan sifat kedaulatannya sebagai kekuasaan yang mutlak dan alamiah. Kekuasaan yang mutlak dan alamiah ini dimilikinya sebagai satu koloni (daerah Jajahan) yang dibangun, hidup dan berkembang secara mandiri, terlepas dari koloni-koloni lainnya. Kemandirian ini menjadi sumber kepercayaan diri yang luar biasa bagi masing-masing koloni untuk bebas berkembang dengan segala potensi sumber daya alam dan manusianya untuk mengejar dan menggapai kemakmuran dan kesejahteraan, tanpa perlu campur tangan kekuasaan lainnya. 49 Departemen Luar Amerika.2004.hlm.93 Negeri Amerika 299 Serikat. Garis Bersar Sejarah Sementara kemerdekaan yang berhasil diperjuangkannya bersama koloni lainnya, dipandang sebagai symbol kebebasan yang memang secara kodratiah milik mereka masing-masing secara kodratiah. Sehingga pemerintah pusat dibutuhkan sekedar untuk mempertahankan kebebasan ini dari kemungkinan ancaman dari luar, terutama dari kerajaan Inggris sebagai pemerintah induk yang berusaha memulihkan kekuasaannya di bekas koloni. Kemerdekaan sebagai satu negara tidak menjadi alasan berpindahnya kedaulatan rakyat di negara bagian (state) berpindah ke tangan pemerintah pusat. Terdapat peta geografi, demografi, sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang berbeda diantara 13 negara bagian (state). Hal ini menimbulkan kecurigaan dari negara bagian (state) yang kecil akan didominasi oleh negara bagian (state) yang besar. Dominasi negara bagian (state) yang besar ini menjadi ancaman terhadap kebebasan dan kedaulatan negara bagian (state) yang kecil. Sehingga negara bagian (state) yang kecil lebih cenderung mempertahankan kebebasan dan kedaulatannya, dan enggan menerima suatu pemerintahan pusat yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dari mereka. Apalagi Negara Bagian (state) yang besar seperti Virginia ketika itu cenderung mempertahankan sistem perwakilan proporsional berdasarkan jumlah penduduk dipemerintahan nasional, sehingga negara bagian (state) yang lebih besar populasinya memiliki hak suara yang lebih banyak dengan demikian kekuasaan lebih besar dari negara bagian (state) yang kecil populasinya seperti Rhode Island. 300 Ad.3. Hubungan pemerintah di Pusat dan di Daerah (Negara Bagian/State) dengan penduduk. Bahwa sikap negara bagian (state) yang cenderung mempertahankan kedaulatannya masing-masing mempengaruhi pola hubungan penduduk dengan pemerintahan negara. Pada masa awal ini penduduk mempunyai hubungan hukm langsung dengan negara bagiannya masingmasing. Pemerintah pusat (federal) tidak dapat menjangkau langsung kepada penduduk, melainkan harus melalui negara bagian dimana penduduk itu berada. Sehingga penduduk menjadi warga negara di negara bagiannya masing-masing, dan negara bagiannya itu menjadi anggota dari negara Amerika Serikat. f. Doctrine Dual Federalism Bahwa pengaturan kekuasaan pemerintahan diantara pemerintah pusat (federal) dan negara bangian (states), termasuk didalamnya posisi warga negara dalam kerangka federalisme Amerika Serikat, mengalami perkembangan yang serba kompleks. Akan tetapi ternyata dapat teratasi oleh kejelian dan kecermerlangan para pendiri dan pemikir Amerika Serikat yang memberikan kekuasan Judicial Review kepada Mahkamah Agung Federal untuk melakukan pengujian hukum terhadap semua permasalahan berdasarkan Konstitusi Nasional. Dengan demikian melalui upaya judicial Mahkamah Agung Federal dapat menyatakan suatu undang-undang atau 301 permasalahan apa saja yang dijudisialkan adalah konstitusional atau inkonstitusional. Sehubungan dengan hal di atas sejak 1890 – 1987, Mahkamah Agung Federal mengembangkan Doctrine “dual federalism” dalam memutus perkaraperkara menyangkut , sejauhmana batas - batas kewenangan pemerintah nasional (federal) dan Negara Bagian (States) terhadap suatu peristiwa. Itu berarti menyangkut penerapan prinsip-prinsip federalisme. Doctrine ini menjelaskan, bahwa pemerintah nasional (federal) dan pemerintah negara bagian memiliki kekuasaan otonom di wilayah kekuasaannya masing-masing. Secara khusus lagi doktrin ini digunakan untuk menyatakan perundangundangan federal yang melanggar hak-hak negara bagian adalah tidak konstitusional. According to Max J. Skidmore, that under the leadership of Chief Justice Roger B. Taney, developed the notion of “dual federalism,” with each level of government being sovereign in its own sphere. From 1890 until 1987, the Supreme Court used this doctrine to strike down federal legislations as an infringement on states rights.50 Selanjutnya dijelaskannya lagi dengan menyatakan, that the Tenth Amendment protected a core of “state sovereignty” against by the national government and thereby declared then an amendment to the Fair Labor Standards Act that required states to observe federal minimum wageandhour regulations for their employess was unconstitusional. 51 50 Max J. Skiedmore & Marshall Carter Tripp. American Government A Brief Introduction. St. Martin”s Press, New York. 1989. hlm.70. 51 Ibid hlm 70 302 Hal yang sama dijelaakan juga oleh Ellen Aldermen & Caroline Kennedy,52 bahwa meskipun prinsip-prinsip hak negara bagian telah pernah digunakan untuk tujuan-tujuan destruktif, namun prinsip itu juga memiliki segi-seg- yang mengandung kebaikan. Pemerintah negara bagian mewakili rakyat secara lebih langsung dibanding Pemerintah Federal. Kadang-kadang mereka sudah bertindak lebih dulu dan sudah jauh melangkah untuk melindungi individu, sementara bisa di saat lainnya Pemerintah Federal membela orang tersebut menentang negara bagian. Sebagai contoh, di masa sekitar pergantian abad ini, banyak negara yang memberlakukan peraturanperaturan yang menghebohkan, guna meningkatkan knodisi kerjapada saat itu. Ternyata mereka dijatuhklan oleh Mhkamah Agung. Belakangan, di tahun 1960-an, Pemerintah Federal dengan didukung oleh Mahkamah Agung, menjadi pelopor dalam hal pembuatan undang-undang mengenai Hak-Hak Sipil dan Kesejahteraan Sosial, mnentang perlawanan kuat dari negara bagian, khussnya dalam usaha untuk menghilangkan perbedaan sekolah-sekolah negeri. Dalam beberapa hal, masalah yang sama mencuat lagi 20 tahun kemudian dalam “Revolusi Reagen” ditahun 1980-an, ketika Pemerintah Federal memperkecil ruang lingkupnya, dan Mahkamah Agung membatasi hak-hak individu tersebut. Sebagai akibatnya, beberapa negara bagian menjadikan peraturan dan konstitusi milik mereka sebagai sumber perlindungan yang lebih besar dari yang ingin disediakan oleh Pemerintah Federal. Pada awal pendirian negara, James Madison, “Bapak Bill of Rights” menjelaskan, bahwa “Wewenang yang didelegasikan oleh konstitusi yang berlaku pada Pemerintah Federal hanya sedikit serta sudah ditentukan. Sementara wewenang bagi 52 Ellen Aldermen & Caroline Kennedy. In Our Defense The Bill of Rights In Action. Makna dan Tantangan Bill of Rights Amerika. Terj. Lia Yuliawati, Percetakan Angkasa Bandung, 1998. hlm.388. 303 pemerintah negara bagian banyak dan tidak ditentukan. Wewenang Pemerintah Federal pada prinsipnya diterapkan pada masalah-masalah eksternal seperti perang, perdamaian, perundingan serta perdagangan luar negeri,.. wewenang yang tersisa bagi negara bagian akan meluas keberbagai masalah, yang dalam urusan-urusan umum, berkaitan dengan masalah kehidupan, kebebasan serta kesejahteraan masyarakat.53 Namun demikian perkembangan ketatanegaran menuntut porsi kekuasaan Pemerintah Federal lebih banyak dan luas daripada negara bagian. Semakin besar jangkauan Amerika Serikat ditengah-tengah percaturan politik dan diplomasi Internasional dan semakin mengglobalnya sistem-sistem kehidupan antar bangsa, semakin besar pula kewenangan yang dibutuhkan Pemerintah Pusat (Federal) ketimbang negara bagian. Sejarah perkembangan federalism di Amerika Serikjat telah menghasilkan banyak keuntungankeuntungan. Pemerintahan negara bagian yang lama telah mendapatkan sebuah pelatihan dasar untuk pemimpin nasional masa depan. Bagaimanapun seorang Gubernur, Senator, dan Anggota DPR (The House of Representatif) berasal dari negara bagian. Secara traidisi jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan karier yang berjenjang untuk mencapai puncak sebagai Presiden. Reputasi-reputasi cemerlang melalui jabatan-jabatan tersebut membuka peluang bagi partai nasional: Republik dan Demokrat untuk merekrut dan menominasi mereka sebagai kandidat Presiden. Sehingga siapapun yang terpilih sebagai presiden, pengelaman-pengalaman kepemimpinan di negara bagian menjadi pengalaman-pengalaman kepeminpinan yang memperkuat kepeminpinan nasionalnya. Disinilah 53 Ibid hlm.389. 304 letak kunci keunggulan federalisme Amerika Serikat yang memperkuat sistem federalisme itu sendiri. Semacam kekuatan antibody, sebuah kekuatn dari dalam federalisme untuk memperkuat sistem federal itu sendiri. Sebagaimana diperlihatkan dalam diri Presiden Ronald Reagan, Bill Clinton, George W. Bush sebagai Gubernur negara bagian dan Presiden Barack H. Obama sebagai Senator. membuat sasaran politik mereka mulai dari pengalamanpengalaman kepeminpinan di negara bagian mereka. Negara-negara bagian sendiri telah mendapatkan pengujian dasar untuk inisiatif pemerintahan baru. Sebagaimana pengamatan Louis Brandeis dari Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang 54 mengatakan: Ini adalah salah satu peristiwa yang menggembirakan dari sistem federal dimana keberanian sebuah negara bagian adalah mungkin, jika warganegaranya memilih, disajikan sebagai sebuah laboratorium dan mencoba untuk ide sosial dan percobaan ekonomi tanpa resiko terhadap negara bagian yang lain. Contoh dari program-program sebelumnya pada level negara bagian termasuk kompensasi pada yang tidak memiliki pekerjaan, yang mana dimulai di Wisconsin, dan control polusi udara, yang mana diprakarsai oleh California, saat ini, negara-negara bagian bereksperimen dengan kebijakan-kebijakan yang berkisar antara reformasi pendidikan hingga penggunaan marijuana untuk pengobatan. Setelah melewati tahun 1996 Penetapam Reformasi Kesejahteraan, yang mana memberikan control yang lebih besar pada program-program kesejahteraan kepada pemerintahan negara bagian, negara-negara bagian juga bereksperimen dengan metode-metode 54 …… federalisme. 305 yang lain untuk kesejahteraan.55 memberikan bantuan Apalagi, karakteristik sejarah kehidupan Amerika sangat erat dengan sejumlah sub kultur politik, yang mana dipisahkan disepanjang garis ras dan etnik asli, kesejahteraan, pendidikan dan yang paling baru, usia, tingkatan dari fundamental keagamaan, dan pilihan jenis kelamin. Keberadaan dari sub kultur politik yang berbeda akan nampak seperti berselisih dengan wewenang politik yang terkonsetrasi sematamata pada pemerintah pusat. Amerika Serikat telah dikembangkan kedalam sebuah sistem kesatuan, subkultur politik yang beragam mampu mempengaruhi prilaku pemerintah (yang tergantung pada daerah dan kepentingan mereka sendiri) dari pada yang pernah mereka lakukan, dan berlanjut , pada sistem federal. Akan tetapi sismtem federal Amerika juga tidak luput dari pendapat-pendapat yang tidak memuaskan. Tidak semua orang berfikir federalism adalah sebuah ide yang baik. Beberapa melihat bahwa ini adalah cara untuk negara bagian yang kuat dan kepentingan lokal akan memblok perkembangan dan menghalangi rencana nasional. Yang lainnya melihat bahaya pada ekspansi kekuatan nasional atas biaya negara bagian. Presiden Ronald Reagen berkata. “Bapak Pendiri melihat penganut sistem asas federal seperti membangun sesuatu seperti sebuah dinding bangunan. Negara-negara bagian adalah baik, pemerintahan nasional adalah mortar . . . Sayangnya, selama beberapa tahun, banyak orang dan 55 Ibid… Federalisme 306 jumlahnya terus bertambah mempercayai bahwa Washington adalah dinding yang utuh.”56 Unit-unit politik yang lebih kecil lebih mungkin untuk didominasikan oleh sebuah kelompok politik tunggal dan kelompok dominan di beberapa kota dan negara bagian yang telah menentang diterapkannya hak-hak yang sederajat untuk banyak kelompok minoritas. Yang lainnya menunjuk, bagaimana, kelompok-kelompok pada partai-partai politik di negara bagian lain menjadi lebih progresif dari pada pemerintah nasional pada banyak bidang, seperti pada lingkungan. 2. Praktek Pemisahan Kekuasaan Pemerintah Negara AS Penegasan tujuan “sistem federal” tidak ditemukan dalam Konstitusi Amerika Serikat. Juga tidak ditemukan sebuah divisi sistematik dari wewenang pemerintahan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan negara bagian pada dokumen tersebut. Namun demikian konstitusi memberikan gambaran federalisme dengan melakukan klasifikasi kekuasaan, seperti (1) kekuasaan dari pemerintah nasional, (2) kekuasaan dari negara bagian, dan (3) kekuatan yang dihalangi. Konstitusi juga membuat hal ini jelas bahwa jika sebuah negara bagian atau konflik hukum setempat dengan hukum nasional, hukum nasional akan berlaku. Kekuasaan pemerintah pusat (Federal) disebut terperinci dalam Pasal I, bagian 8 Konstitusi,yaitu: 56 … federalisme… pendapat berbeda. 307 Kongres akan mempunyai kekuasan: (1) Untuk mengenakan dan memungut pajak, bea, pungutan, dan cukai, untuk membayar hutanghutang, dan menyelengarakan pertahanan bersama dan kesejahteraan umum Amerika Serikat; tetapi semua pajak, pungutan, dan atau cukai harus seragam di seluruh Amerika Serikat; (2) Untuk meminjam uang atas kredit Amerika Serikat; (3) Untuk mengatur perdagangan dengan negara asing, dan antara berbagai negara bagian, dan dengan suku-suku Indian; (4) Untuk membuat peraturan yang seragam mengenai naturalisasi, dan undang-undang yang seragam mengenai soal kebangkrutan di seluruh Amerika Serikat; (5) Untuk menetapkan hukuman bagi pemalsuan kertas-kertas berharga dan mata uang Amerika Serikat yang sedang berlaku; (6) Untuk mendirikan kantor pos dan jaringan pos; (7) Untuk mendorong kemajuan ilmu dan seni yang berguna, dengan cara menjamin untuk jangka waktu terbatas bagi para pengarang dan penemu hak eksklusif atas tulisan dan penemuan masing-masing; (8) Untuk mendirikan pengadilan-pengadilan bawah Mahkamah Agung; (9) Untuk mendefinisikan dan menghukum pembajakan dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan di lautan bebas, dan pelanggaran terhadap hukum bangsa-bangsa; di (10) Untuk mengumumkan perang, mengeluarkan surat sita jaminan dan pembalasan dan membuat peraturan mengenai penangkapan di darat dan di laut; 308 (11) Untuk membentuk dan membiayai tentara, akan tetapi tiada penjatahan uang untuk keperluan tersebut boleh untuk jangka waktu lebih dari dua tahun; (12) Untuk membentuk dan memelihara sebuah angkatan laut; (13) Untuk membuat peraturan bagi pemerintah dan pengaturan angkatan darat dan angkatan laut; (14) Untuk mengatur pemanggilan milisi untuk melaksanakan hukum uni, menindas pemberontakan dan menangkis serangan; (15) Untuk mengatur pengorganisasian, persenjataan dan pendisiplinan milisia, dan pengaturan sebagian dari mereka yang dapat dipekerjakan dalam dinas Amerika Serikat, dengan menyerahkan kepada masing-masing negara bagian, hak mengangkat perwiranya, dan wewenang untuk melatih milisia sesuai dengan disiplin yang ditentukan oleh Kongres. (16) Untuk menjalankan perundang-undangan eksklusif dalam hal apapun, atas Distrik (yang tidak lebih dari sepuluh mil persegi) yang mungkin, karena diserahkan oleh negara bagian di mana tempat-tempat itu akan berada, untuk mendirikan benteng, gudang peluru, gudang senjata, galangan kapal, dan bangunanbangunan lain yang diperlukan; Dan (17) Untuk membuat segala undang-undang yang akan diperlukan dan pantas untuk melakukan pelaksanaan wewenang-wewenang yang tersebut tadi, dan semua wewenang lainnya yang dilimpahkan oleh Undang-Undang Dasar ini kepada pemerintah Amerika Serikat, atau kepada departemen atau pejabatnya. 309 Kemudian dilengkapi lagi dengan dua amandemen dari sepuluh amandement Bill of Rights (1791), yaitu amandement IX dan Amandemen X . Amandemen IX menyatakan: “Perincian di dalam Undang-Undang Dasar, mengenai hak-hak tertentu tidak akan diartikan untuk mengingkari atau meremehkan hak-hak lain yang dimiliki rakyat.” Amandemen X menegaskan: “Kekuasaan yang tidak diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Undang-Undang Dasar, atau yang tidak dilarangnya bagi negara bagian, dipegang oleh masing-masing negara bagian, atau oleh rakyat.” Secara konstitusional, kerangka tubuh negara federal Amerika Serikat terdiri dari: pemerintahan nasional dan lima puluh negara bagian, sebagai suatu kesatuan kedaulatan. Namun dalam pengertian praktis merupakan sebuah negara dari hampir 87.000 unit pemerintahan-dari pemerintahan nasional sampai ke distrik dewan sekolah. 1) Pemerintahan Negara Bagian Bahwa pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan negara bagian dalam konstitusi, menunjukkan adanya pengakuan hak – hak berdaulat negara bagian di wilayahnya masing-masing. Disebut hak – hak berdaulat karena sebagian kedaulatannya telah diserahkan kepada pemerintah nasional federal, sehingga negara bagian tidak berdaulat sepenuhnya lagi. Sebagian kedaulatan yang telah diserahkannya tersebut antara lain menyangkut kekuasan mengatur tentang hubungan antara 310 sesame negara bagian dan dengan negara lainnya, termasuk di bidang pertahan keamanan nasional, sistem perekonomian nasional, sistem hukum dan peradilan dimana Mahkamah Agung Federal memiliki hak uji materil atau judicial review, politik, dan pemerintahan nasional dimana negara bagian menjadi bagian daripadanya. Kedaulatan utama yang masih tersisa adalah kekuasaan negara bagian untuk melakukan ratifikasi terhadap setiap Amandemen Konstitusi, dan sistem pemerintahan tria politika negara bagian yang mandiri bersandarkan pada konstitusi masing negara bagian yang terlepas secara strukturan dari sistem pemerintahan trias politika di tingkat nasional. Meskipun demikian konstitusi dan sistem pemerintahan trias politika negar bagian sedapat mungkin diserasikan dengan level nasional, sehingga terbentuk suatu sistem baru pemerintahan, yaitu sistem dua level pemerintahan trias politika atau Dual Trias Politika System. Pada level negra bagian terdapat lembaga eksekutif yang disebut Gubernur, legislative yang juga menerapkan sistem dua kamar (bekameral: Senat & DPR negara bagian, Yudikatif dengan peradilan negara bagian yang bertingkat dari tingkat pertama, banding, dan Mahkamah Agung Negara bagian yang mandiri secara structural terlepas dari sistem peradilan nasional/federal. Pada awal berdirinya Negara Federal Amerika Serikat, ada tiga belas negara bagian. Kemudian berkembang menjadi lima puluh negara bagian. Negara bagian yang baru ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara bagian induknya. Sebelum merdeka tiga belas negara bagian induk ini mengalami masa kolonisasi dari Kerajaan Inggris. Semasa kolonisasi ini masing-masing dari tiga belas koloni ini berkembang dengan pemerintahan sendiri-sendiri, kesemuanya 311 terpusat langsung kepada pemerintahan kerajaan Inggris. Sehingga ketika membentuk Negara Amerika Serikat yang merdeka, mereka mempertahankan diri sebagai negara bagian yang berdaulat, dimana tidak ada satu kekuasaan asing termasuk negara bagian lainnya yang dapat melakukan intervensi terhadap pemerintahan dan wilayahnya. Kemudian sejak disahkannya Konsitusi Amerika Serikat pada tanggal 4 Maret 1789, tuntutan berdaulat dari masing-masing negara bagian ini dirangkum menjadi hak-hak berdaulat dalam sistem negara federalis, sebagaimana penjelasan para pendiri bangsa dalam the federalist papers. Akan tetapi secara garis besarnya diantara negara-negara bagian semasa kolonisasi terdapat praktek pemerintahan yang sama, dimana sistem dan kelembagaannya tetap dipertahankan sampai sekarang. Pada pokoknya segala urusan yang terjadi dalam batas negara bagian menjadi urusan pemerintah negara bagian masing-masing saja, termasuk di dalamnya komunikasi internal; peraturan tentang hak milik, industri, bisnis, dan keperluan umum; undang-undang pidana negara bagian; dan kondisi kerja di ruang lingkup negara bagian. Pemerintah pusat berperan secara konstitusi untuk mengharuskan semuanya berjalan secara demokrasi dan tidak menerapkan undang-undang yang bertentangan atau melanggar Konstitusi atau undang-undang dan perjanjian-perjanjian Amerika Serikat. Begitu luasnya cakupan urusanurusan pelayanan pemerintahan kepada warganya, maka tumpang-tindih pelaksanaan pengurusan dalam bentuk program antara pemerintah negara bagian dan pemerintah pusat seringkali terjadi, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan umum, transportasi, serta pembangunan perumahan dan perkotaan. Dalam hal ini pemerintah pusat biasanya mengajak kerja sama dengan 312 pemerintah negara bagian dalam menjalankan program-program tersebut. Sebagaimana pemerintahan nasional, pemerintah negara bagian juga memiliki tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fungsi dan cakupan ketiganya kurang lebih sama dengan lembaga-lembaga serupa di tingkat nasional. Kepala pemerintahan negara bagian adalah gubernur, yang dipilih oleh rakyat dan biasanya mempunyai masa jabatan empat tahun (di beberapa negara bagian tertentu masa jabatan gubernur hanya dua tahun). Kecuali Nebraska, di mana lembaga legislatifnya hanya satu, seluruh negara bagian memiliki dua lembaga legislatif. Dewan yang lebih tinggi biasanya disebut Senat, sedang dewan di bawahnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan, atau Majelis Umum. Disebagian besar negara bagian, masa jabatan senator adalah empat tahun, sedang dewan di bawahnya hanya menjabat selama dua tahun. 57 Setiap negara bagian mempunyai sebuah Konstitusi sebagai hukum tertinggi di yurisdiksi negara bagannya. Kesemuanya mengikuti pola yang sama dengan Konstitusi Federal yang berlaku nasional. Terdapat kesamaan pengaturan terkait hak-hak sipil dan politik rakyat, serta prinsip-prinsip pemerintahan, yang terpenting diantaranya adalah pernyataan setiap Negara Bagian dalam Konstitusinya, bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, dan menetapkan standar dan asas-asas tertentu sebagai landasan pemerintahan. Dalam urusan-urusan terkait bisnis, perbankan, pelayanan sosial, kesehatan dan kesejahteraan, Konstitusi Negara Bagian lebih terinci mengaturnya. 57 Garis Besar Pemerintahan AS hlm 118 313 Sebenarnya sebelum Konstitusi Nasional dirumuskan, setidaknya setelah revolusi 1 Januari 1776 dan 20 April 1777, sudah ada sepuluh Konstitusi negara bagian yang berlaku di sepuluh dari tiga belas negara bagian pendiri negara Amerika Serikat.58 Antara Konstitusi Negara Bagian ini dengan Konstitusi Nasional kemudian saling menyelaraskan. Setidaknya pada saat Negara Bagian Massachusetts memberikan persetujuan atau ratifikasi terhadap Konstitusi Nasional, negara bagian ini mensyaratkan adanya penambahan sepuluh amandemen yang menjamin hak – hak asasi manusia, yang kemudian usulan ini diterima dengan disahkannya sepuluh amandemen pertama yang dikenal dengan “Bill of Rights” tahun 1791. Semasa kolonisasi Negara Bagian merupakan daerah pedesaan yang mengembangkan sistem pemerintahan oleh rakyat memalui musyawarah yang dilakukan dibalai desa. Kini merupakan wilayah perkotaan metropolitan dan modern, terdiri dari banyak Kota Besar, Kota Kecil dan daerah pemukinan pinggi kota. Sebagian besar penduduk tinggal di perkotaan ini. Sehingga pemerintahan kota memegang peran sangat penting dalam pola seluruhan pemerintahan Amerika. Dalam kesehari-harian Pemerintah kota yang berinteraksi langsung dengan penduduk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap: penyediaan perlindungan keamanan dan ketertiban dari kepolisian, serta sarana dan prasarana pemadam kebakaran, kebersihan, kesehatan, pendidikan, angkutan umum, dan perumahan. 58 Ibid hlm.8 314 Beberapa bentuk umum pemerintahan daerah dan kota yang berada di suatu negara bagian, yaitu: a) Pemerintah Daerah, pemerintahan daerah yang merupakan cabang pemerintahan negara bagian di suatu kawasan pemukiman perkotaan yang terdiri dari beberapa pemerintahan kota, seperti, Kota New York sebegitu luasnya hingga dibagi menjadi lima sektor daerah: Bronx, Manhattan, Brooklyn, Queens, dan Staten Island. Sebaliknya, Arlington County, Virginia, di seberang sungai Potomac dan Washington D.C., adalah kawasan perkotaan sekaligus pinggiran kota dan diperintah oleh kesatuan pemerintah daerah. b) Dewan-Walikota. Bentuk ini adalah bentuk pemerintahan kota tertua di Amerika Serikat dan hmgga awal abad ke20 dipakai oleh hampir semua kota di Amerika. Strukturnya sama dengan yang ada di pemerintahan negara bagian dan nasional, di mana seorang walikota terpilih duduk sebagai kepala cabang eksekutif dan satu dewan yang mewakili beragam lingkungan membentuk cabang legislative. Walikota mengangkat para kepala departemen kota dan sejumlah pejabat lainnya, terkadang melalui persetujuan dari dewan. Walikota mempunyai hak untuk memveto undang-undang kota dan tak jarang ikut bertanggungjawab dalam menyiapkan anggaran kota. Dewan mengeluarkan peraturan-peraturan kota, menetapkan tarif pajak kepemilikan, dan membagi rata dalam keberbagai departemen kota. 315 c) Komisi : Komisi adalah gabungan fungsi lembaga legislatif dan eksekutif dalam satu kelompok pejabat yang biasanya terdiri dari tiga orang atau lebih, yang dipilih oleh warga kota. Tiap anggota komisi mengawasi jalannya pekerjaan satu atau lebih departemen kota. Salah satunya diangkat sebagai ketua dewan dan sering juga disebut sebagai walikota, meskipnn wewenangnya sama dengan anggotaanggota komisi yang lain. d) Manajer Kota. Manajer kota merupakan tanggapan atas masalah-masalah urban yang makin lama makin kompleks dan membutuhkan keahlian manajemen yang tak banyak dimiliki oleh para pejabat terpilih. Jawaban dari semua ini adalah dengan memberikan sebagian besar wewenang eksekutif, termasuk diantaranya aparat penegak hukum dan kelengkapan layanan lainnya, kepada seorang manajer kota yang terlatih dan berpengalaman. Konsep manajer kota semakin hari semakin banyak diterapkan. berdasarkan konsep ini, sebuah dewan kecil terpilih membuat peraturan kota dan menetapkan kebijakan, namun menyewa seorang administrasitrator profesional, yang disebut manajer kota, untuk menjalankan keputusan-keputusan mereka. Manajer ini membuat anggaran kota dan mengawasi sebagian besar departemen. Masa jabatan manajer ini biasanya tidak ditentukan, tergantung tingkat kepuasan dewan terhadap kinerjanya. 316 e) Unit Pemerintah Lokal, Terdapat ribuan yurisdiksi unit pemerintahan local yang dapat dikelompokkan kedalam kota kecil atau desa, yang menangani urusan-urusan yang murni lokal seperti mengaspal jalan dan memberi penerangan jalan; menjamin persediaan air; penyediakan aparat kepolisian dan pemadam kebakaran; membuat regulasi kesehatan setempat; mengurus pembuangan sampah, selokan, dan limbah lainnya; pengumpulan pajak lokal untuk menopang jalannya pemerintahan; dan, dengan bekerjasama dengan pemerintah negara bagian dan daerah, secara langsung menangani sistem sekolah setempat. Pemerintah ini biasanya bertanggungjawab kepada suatu dewan terpilih, yang dikenal dengan banyak nama: dewan kota atau desa, dewan orang pilihan, dewan pengawas, dewan komisi. Dewan tersebut bisa saja mempunyai seorang ketua atau yang berfungsi sebagai ketua pejabat eksekutif yang terpilih. Juga para pegawai pemerintah di antaranya termasuk jurutulis, bendahara, perwira polisi dan pemadam kebakaran, dan para pegawai kesehatan dan kesejah-teraan umum. 317 Satu aspek unik dari pemerintahan lokal, yang biasanya banyak dijumpai di daerah New England, adalah rapat umum warga kota. Setahun sekali bisa lebih bila perlu warga dewasa kota tersebut mengadakan rapat terbuka untuk memilih pejabat, membahas isu-isu local, dan mengeluarkan keputusan-keputusan sebagi peraturan-peraturan, untuk menjalankan pemerintahan. Sebagai suatu badan, mereka membuat keputusan tentang pembagian dan perbaikan jalan, pembangunan dan perbaikan gedung dan fasilitas umum, angka pungutan pajak, dan anggaran kota. Rapat umum warga, yang sudah ada sejak lebih dan 200 tahun lalu, sering dianggap sebagai bentuk demokrasi langsung paling murni, di mana wewenang pemerintah tidak didelegasikan, telapi langsuug dijalankan secara tetap oleh seluruh rakyat. Selain bentuk pemerintah local tersebut di atas, masih terdapat lagi unit pemerintahan local lainnya. Biro Sensus AS (yang merupakan bagian dari Departemen Perdagangan) telah mengidentifikasi tak kurang dari 84.955 unit pemerintahan lokal di Amerika Serikat. termasuk kabupaten, kotapraja, kota-kota kecil, distrik sekolah. dan daerah istimewa.59 59 Ibid …Garis Besar Pemerintahan AS hlm 118 – 122. 318 Berikut ini lima puluh negara bagian beserta ibukota: Negara Bagian Ibukota Alabama Alaska Arizona Arkansas California Colorado Connecticut Delaware Florida Georgia Hawaii Idaho Illinois Indiana Iowa Kansas Kentucky Louisiana Maine Maryland Massachussetts Michigan Minnesota Mississippi Missouri Montana Nebraska Nevada New Hampshire New Jersey New Mexico New York North Carolina North Dakota Ohio Oklahoma Montgomery Juneau Phoenix Little Rock Sacramento Denver Hartford Dover Tallahassee Atlanta Honolulu Boise Springfield Indianapolis Des Moines Topeka Frankfort Baton Rouge Augusta Annapolis Boston Lansing St. Paul Jackson Jefferson City Helena Lincoln Carson City Concord Trenton Santa Fe Albany Raleigh Bismarck Columbus Oklahoma City 319 Oregon Pennsylvania Rhode Island South Carolina South Dakota Tennessee Texas Utah Vermont Virginia Washington West Virginia Wisconsin Wyoming Salem Harrisburg Providence Columbia Pierre Nashville Austin Salt Lake City Montpelier Richmond Olympia Charleston Madison Cheyenne 2) Organ Pemerintahan Federal Bahwa para pendiri dan pemikir bangsa Amerika ketika mendirikan negara Amerika dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Eropah, antara lain Montesquieu dan John Locke tentang perimbangan kekuasaan politik dan pemerintahan. Sehingga pada abad ke-18 saat pertemuan di Philadelphia, mereka meyakini, bahwa bentuk pemerintahan yang akan didirikan terdiri dari tiga cabang kekuasaan yang setara dan terkoordinasi. Tiga cabang kekuasaan yang dimaksud adalah: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiga kekuasaan ini harus saling mengimbangi secara harmonis, sehingga tak seorang pun yang bisa jadi penguasa. Para delegasi pertemuan juga terpengaruh oleh praktek pemerintahan koloni dan Inggris. Sehingga mereka setuju jika cabang legislative yang diinginkan terdiri dari dua majelis (bicameral) mencontoh pada dewan legislative colonial dan Parlemen Inggris, terdiri dari dua majelis: The House of Representatif dan Senat. Dengan demikian Kongres terdiri dari: The House of Representatif (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Senat. Namun demikian mereka memperdebatkan sangat 320 tajam tentang cara pengisian atau rekruitmen anggota kedua majelis tersebut. Wakil-wakil negara bagian yang besar condong pada pola rekruitmen dengan sistem perwakilan proporsional untuk kedua majelis. Perwakilan proporsional ini didasarkan pada jumlah penduduk dan bukannya per negara bagian seperti yang tercantum dalam Pasal-Pasal Konfederasi. Tetapi wakil-wakil negara bagian yang kecil seperti New Jersey saangat berkeberatan, karena merasa dominasi negara bagian yang besar populasinya akan mendominasi kedua majelis sehingga posisi dan pengaruh mereka sangat lemah dalam pemerintahan nasional. Akhirnya perdebatan ini terselesaikan dengan usul Roger Sherman, bahwa anggota The House of Representatif (DPR) dipilih dengan sistem perwakilan proporsional dengan jumlah penduduk negara bagian, dan Senat dipilih berdasarkan penjatahan yang sama besar yaitu masing-masing negara bagian memperoleh dua orang senat yang dipilih di negara bagian masingmasing. Semula dipilih oleh legislative negara bagian masing-masing, tetapi kemudian dipilih oleh rakyat secara langsung dalam sebuah pemilihan (berdasarkan amandemen XVII (1913). Sistem pemisahan tiga cabang kekuasaan di level nasional ini, juga diterapkan di negara bagian. Sehingga dapat dikatakan prinsip pemisahan kekuasaan “Trias Politika” diberlakukan secara ganda (“Dual Trias Politika System), yaitu terdapat lembaga kekuasaan pemerintahan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif di level nasional dan di level negara bagian. Masing-masing berkuasa di levelnya sendiri-sendiri. Delegasi Konvensi Konstitusi yang dilaksanakan di Philadelphia Mei 1787 telah memutuskan satu Konstitusi yang merefleksikan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan sebagaimana pemikiran Montesquieu dengan teorinya yang terkenal Trias Politika. Namun demikian Konstitusi tidak 321 menyebutnya secara spesifik.. Ketiga cabang pemerintahan tersebut, ditunjukkan di dalam kalimat pembukaan dari tiga pasal pertama: Pasal I, Bagian Satu: “Semua kekuasaan legislatif yang diberikan akan diberikan di Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal II, Bagian Satu (1): “Kekuasaan eksekutif akan diberikan pada Presiden Amerika Serikat.” Pasal III, Bagian Satu : “Kekuasaan yudisial Amerika Serikat akan diberikan di Mahkamah Agung, dan di dalam pengadilan rendah yang demikian seperti yang mungkin ditetapkan oleh Kongres dari waktu ke waktu. 1) Separation of Power Dengan demikian, teori “Trias Politika” dari Montesquieu dan pemikiran John Locke tentang pemisahan kekuasaan pemerintahan, dalam konstitusi Amerika Serikat terpadu dalam prinsip Separation of Power, yaitu pemisahan kekuasaan diantara kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif terdiri dari Senat dan DPR (The House of Representatif). Ketiga kekuasaan pemerintahan tersebut saling mengawasi dan seimbang dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya sesuai prinsip Checks and Balances. Dalam konstitusi dicantumkan secara tegas dan jelas ketiga kekuasaan pemerintahan tersebut, yaitu: 322 a) Legislative Departement: Kongres yang terdiri dari Senat dan DPR (The house of representative) memegang kekuasaan membentuk Undangundang, diatur dalam Pasal I yang terdiri dari 10 Bagian. b) Executive Departement: Presiden, yang memegang kekuasaan menjalankan Undang-undang diatur dalam Pasal II yang terdiri dari 4 Bagian. c) Judicial Departement: Mahkamah Agung, yang memegang kekuasaan dibidang hukum atau kehakiman diatur dalam Pasal III yang terdiri dari 3 Bagian. 2) Presiden Sebagaimana tersebut dalam Konstitusi bahwa Kekuasaan Eksekutif (Executive Departement) yang memegang kekuasaan menjalankan Undang-undang diatur dalam Pasal II yang terdiri dari 4 Bagian . Lebih konkrit lagi dalam Pasal II, Bagian Satu (1) ditegaskan: “Kekuasaan eksekutif akan diberikan pada Presiden Amerika Serikat.” Juga dalam Pasal II Konstitusi tergambar jelas bahwa Amerika Serikat menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana Presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan menerima mandat dari Rakyat melalui pemilihan langsung dengan sistem electoral college. Sehingga Presiden tidak bertanggungjawab kepada Parlemen dalam hal ini Kongres atas semua bijaksanaan pemerintahannya baik secara politis maupun administratif. Akan tetapi jika Presiden melakukan kejahatankejahatan sebagaimana yang ditentukan 323 dalam Konstitusi Bab II pasal 4, yaitu: pengkhianatan, penyuapan, dan kejahatankejahatan besar lainnya, maka Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya (Impeachment). Pemberhentian dilakukan dalam sidang Senat yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Federal, atas tuntutan DPR (The House of Representative). Dalam sistem pemerintahan presidensial ini, cabinet dibentuk oleh Senat berdasarkan Undang-undang, dan para Menteri dan Jaksa Agung diangkat atas usulan Presiden dan persetujuan Senat. Pembentukan kelembagaan cabinet ini bersifat tetap, sehingga Presiden yang baru cukup mengusulkan kepada Senat untuk mendapat persetujuan terhadap personilpersonil yang dicalonkan menjadi Menteri dan Jaksa Agung anggota Kabinet. Presiden memangku masa jabatan selama 4 Tahun dengan pembatasan seseorang hanya dapat memegang jabatan presiden selama 2 masa jabatan (pembatasan masa jabatan ini ditegaskan dalam amandemen XXI (1951), dan dipilih dalam suatu pemilihan akbar 4 tahunan (General Election). Rekruitmen kandidat lewat partai politik dan terbuka pula bagi indivual independen, secara tradisi melalui Partai Republik dan Demokrat serta Partai/individual Independen. Para Kandidat Presiden dan Wakl Presiden bertarung dalam satu paket. Kandidat Presiden yang menetapkan kandidat Wakil Presiden pasangannya, tetapi tidak berasal dari negara bagian yang sama dengan negara bagian kandidat Presiden. Meskipun kandidat Presiden umumnya memilih kandidat Wakil Presiden 324 pasangannya dari Partai Politik yang sama. Oleh karena itu Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih berasal dari partai yang sama. Namun demikian dalam hal para kandidat Presiden dan Wakil Presiden memperoleh suara electoral college yang sama banyaknya atau tidak satupun diantara mereka memperoleh mayoritas suara electoral college, maka Presiden dipilih oleh DPR (The House of Representatif) dan Wakil Presiden dipilih oleh Senat. Dalam keadaan demikian dapat saja terpilih Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Politik yang berbeda. Dalam pemilihan Presiden 1796 Kandidat Presiden John Adams memenangkan kursi Presiden ke 2, tetapi kandidat Presiden Thomas Jefferson dari Partai Republik yang kalah menjadi Wakil Presiden. Pada saat itu pemilihan presiden belum disertakan pemilihan Wakil Presiden. Dalam pemilihan berikutnya 1800 Thomas Jefferson terpilih sebagai Presiden ke-3. Dalam pemilihan ini untuk pertama kali presiden dipilih oleh DPR karena para kandidat mendapat suara yang seimbang. a. Kabinet Kekuasaan Presiden sebagai kekuasaan eksekutif di atur dalam Konstitusi yang disahkan dan mulai berlaku tanggal 4 Maret 1789. Dalam Pasal II Bagian Satu (1) ditegaskan masa jabatan presiden (bersama wakil presiden) selama empat tahun. Pengaturan pembatasan masa jabatan, yaitu selama empat tahun, saat itu dianggap sebagai konsep baru yang revolusioner tentang masa jabatan pemerintah yang berkuasa, karena pada masa itu hampir seluruh negara325 negara besar di Eropa (termasuk di bagian dunia lainnya: Tiongkok, Jepang, India, dan NusantaraIndonesia) memakai sistem monarki keturunan, dimana masa jabatan kepala pemerintahan adalah selama kepala pemerintahannya masih hidup, masa jabatan mengikuti usia pejabatnya. Kepala pemerintahan disebut Raja, Ratu, Kaisar, Firaun, Pangeran. Revolusionalitas pembatasan masa jabatan ini, kemudian dilengkapi dengan sikap Presiden pertama George Washington yang tidak bersedia diplih lagi sebagai presiden untuk masa jabatan yang ketiga dalam pemilihan presiden tahun 1796. Kemudian diikuti oleh presiden-presiden berikutnya, yang pada akhirnya preseden yang telah berlangsung 155 tahun (1796 – 1951) ini dikonstitusionalkan dengan Amandemen XXI yang diratifikasi tahun 1951. Cuma ada satu pengecualian dimana Presiden Franklin Delano Roosevelt terpilih selama empat masa jabatan presiden (1933 - 1945), ia terkenal dengan program “New Deal atau Nasib Baru” dan amanatnya dalam pidato pelantikannya, bahwa satusatunya yang harus ditakuti adalah rasa takut itu sendiri. Kemudian membawa Amerika Serikat keluar dari masa resesi dan depresi yang memuncak. Perkembangan selanjutnya, memperlihatkan revolusionalitas konsep baru pembatasan masa jabatan ini mempengaruhi negara-negara yang lahir kemudian termasuk negara-negara di Asia Afrika yang menyatakan 326 proklamasi kemerdekaannya setelah berakhirnya Perang Dunia kedua. Juga dalam Konstitusi di atur tentang pemilihan Wakil Presiden, akan tetapi Konstitusi tidak mendelegasikan kekuasaan eksekutif secara spesifik atau terinci untuknya. Hanya ditegaskan untuk bertugas menggantikan presiden jika la meninggal, mengundurkan diri atau tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, serta menjadi Ketua Senat secara jabatan (ex officio). Demikian juga Konstitusi tidak menyebutkan secara spesifik dan terinci tugas dan tanggungjawab anggota kabinet presiden yang terdiri atas menterimenteri departemen federal, atau ke pejabat federal lainnya. Konstitusi menyebutkan Departemen-Departemen dibentuk oleh Kongres dengan undangundang, sedang para Menteri dan Jaksa Agung yang memimpin Departemen Kehakiman dipilih oleh Presiden atas persetujuan Senat. Kabinet yang terdiri dari para Menteri dan Jaksa Agung merupakan sebuah dewan penasihat presiden. Dalam Konstitusi disebutkan, bahwa presiden menanyakan pendapat tertulis dari pejabat penting dari tiap departemen berkenaan dengan ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya. Kualifikasi dan job discribtion para anggota cabinet tidak di atur dalam Konstitusi. Mereka dibagi dalam berbagai divisi, biro, jabatan dan dinas dengan tugas dan tanggungjawab yang terperinci dan spesifik untuk mengarahkan pelaksanaan kegiatan pemerintahan 327 sesuai pembentukannya. Sehingga kabinet merupakan gambaran lengkap yang hidup dari organ tubuh seorang presiden. Meskipun Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif atau sebagai Kepala Kekuasaan Eksekutif yang memimpin kabinet yang terdiri dari menteri-menteri, kekuasaan membentuk departemen dengan undang-undang sesuai kebutuhan ada ditangan Kongres, Pada tahap awal dibentuk empat departemen, kemudian bertambah menjadi sepuluh dan kini mencapai empat belas departemen yang terdiri dari: a) Departemen Luar Negeri, dibentuk tahun 1789. b) Departemen Keuangan, dibentuk tahun 1789. Departemen Pertahanan, dibentuk tahun 1947 (sebelumnya dari Departemen Peperangan yang dibentuk tahun 1789 tergabung didalamnya Departemen Angkatan Darat, Departemen Angkatan Laut dan Departemen Angkatan Udara. d) Departemen Kehakiman, dibentuk tahun 1789 (antara tahun 1789 – 1870 Jaksa Agung merupakan anggota cabinet tetapi tidak mengepalai sebuah departemen, setelah baru mengepalai Departemen Kehakiman). c) 328 e) f) g) h) i) j) k) l) m) Departemen Transportasi, dibentuk tahun 1966. (sebelumnya merupakan Departemen Pos yang dibentuk tahun 1789). Departemen Dalam Negeri, dibentuk tahun 1849. Departemen Pertanian, dibentuk tahun 1862. Departemen Perdagangan, dibentuk tahun 1913 (Sebelumnya merupakan Deprtemen Perdagangan dan Tenaga Kerja yang dibentuk tahun 1903) Departemen Tenaga Kerja (Perburuhan), dibentuk tahun 1913 (Sebelumnya merupakan bagian dari Departemen Perdagangan dan Tenaga Kerja, yang dibentuk tahun 1903). Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan, dibentik tahun 1979 (sebelumnya disebut Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan, yang dibentuk tahun 1953) Departemen Pendidikan, dibentuk tahun 1979 (sebelumnya menjadi bagian dari Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan, yang dibentuk tahun 1953). Departemen Perumahan dan Pengembangan Urban, dibentuk tahun 1965. Departemen Energi, dibentuk tahun 1977. n) Departemen Urusan Veteran, dibentuk tahun 1989 ketika administasi Veteran dinaikkan ke tingkat Kabinet. 329 Meskipun tidak memiliki kekuasaan membentuk departemen, dan pengangkatan para menteri dan Jaksa Agung harus mendapat saran dan persetujuan dari Senat, presiden tetap memiliki kebebasaniang seluas-luasnya menentukan politik pemerintahannya. Kebebasan bersumber dari mandate yang langsung diterima presiden dari Rakyat dalam pemilihan langsung melalui Electoral College atau Dewan Pemilih. Sehingga tidak ada pertanggungjawaban yang dapat dituntut oleh badan manapun yang terkait dengan dasar politik kebijaksanaannya. Jika terdapat kesalahan presiden dalam kebijakan politik pemerintahannya yang tidak popular, maka satu-satunya sanksi moral yang diterimanya adalah kemungkinan tidak dipilihnya lagi dalam pemilihan berikutnya, atau tidak memilih kandidat presiden yang diajukan partainya dalam pemilihan berikutnya. Selain departemen-departemen, Kantor Kepresidenan (Executive Office) yang terdiri dari beberapa unit kerja, termasuk staf Gedung Putih, Dewan Keamanan Nasional (National Security Council), Kantor Manajemen dan Anggaran (The Office of Management and budget), Dewan Penasehat Ekonomi (Council of Economic Advisers), Kantor Perwakilan Dagang AS (Office of the U.S. Trade Representative), dan Kantor Kebijakan Iptek (Office of Science and Technology Policy). Kemudian masih terdapat berbagai unit kerja lainnya di bawah kekuasan eksekutif/presiden dalam 330 bentuk Dewan, Komisi, Dinas, Lembaga, Perusahaan, Jawatan, atau Agensi dengan tugas-tugas dan wewenang khusus di bidangnya. Presiden berkantor dan sekaligus berkediaman resmi di Gedung Putih (White House) yang terletak pusat pemerintahan Wangshington DC (Distrik Colulombia), sebuah lokasi federal yang terletak diantara Negara bagian Maryland, dan Virginia di pesisir timur. Semasa pemerintahan Presiden pertama George Washington selama dua periode 1789 – 1797, Ibukota pemerintahan nasional berkedudukan di Philadelphia. Presiden memulai masa empat tahun jabatannya dimulai pada tanggal 20 Januari (sebelumnya dimulai dari Maret, kem,udian diubah menjadi 20 Januari dengan Amandemen kedua puluh yang diratifikasi tahun 1933) mengikuti pemilu di bulan November. Upacara pelantikan presiden biasanya diadakan di tangga gedung pertemuan Kongres, U.S. Capitol. Ditempat itu presiden secara terbuka menyatakan sumpah jabatannya, yang secara tradisional diambil oleh Hakim Ketua Mahkamah Agung Federal. Sumpah yang diucapkan sebagimana yang tertulis dalam Pasal II Bagian Satu (8) Konstitusi: "Dengan khidmat Saya bersumpah (atau berjanji) bahwa saya akan melaksanakan dengan setia jabatan presiden Amerika Serikat, dan dengan segenap kemampuan saya akan menjaga dan melindungi dan mempertahankan Konstitusi Amerika Serikat." Segera setelah pengambilan 331 sumpah, Presiden baru mengucapkan pidato pelantikannya, yang berisi garisgaris besar kebijakan dan program kerja pemerintahannya. Pada umumnya merupakan penegasan kembali dari janji-janji masa kampanye. Secara kelembagaan memang presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif terpisah dengan dua cabang kekuasaan lainnya, yaitu Legislatif dan Yudikatif. Namun secara fungsional, yaitu dalam rangka fungsi keseimbangan (balances dari prinsip Chekck and balances), presiden mempunyai kewenangankewenangan di bidang legislative dan yudikatif, yaitu: 60 a) Kekuasaan Administratif Presiden Dalam jajaran eksekutif sendiri, presiden memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur masalahmasalah nasional dan menjaga jalannya pemerintahan federal, Presiden bisa mengeluarkan ketetapan-ketetapan, berbagai peraturan dan instruksi yang seluruhnya disebut penntah eksekutif (executive orders). Perintah mi tidak memerlukan persetujuan Kongres namun memiliki kekuatan hukum yang mengikat atas perwakilan federal. Sebagai panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, presiden juga dapat menugaskan Tentara Nasional (National Guard) untuk bertugas di pemerintahan federal. Dalam keadaan perang atau 60 Garis Besar PEMERINTAHAN AMERIKA SERIKAT, Deplu AS, hlm.52-54 332 darurat nasional, Kongres dapat memberikan presiden kekuasaan yang lebih besar lagi untuk mengatur ekonomi nasional dan melindungi keamanan Amerika Serikat. Presiden mencalonkan para men-teri departemen dan pera eksekutif, juga ratusan pejabat tinggi federal lainnya dan Senat yang mengukuhkannya. Meskipun begitu, sebagian besar pegawai federal dipilih melalui sistem Civil Service, di mana penunjukan kerja dan| promosi didasarkan atas kemampuan dan pengalaman. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, suatu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar, maka Presiden memegang kekuasaan yang startegis dalam mengendalikan dan memimpin roda pemerintahan. Presiden berkuasa untuk menjalankan dan mengawasi kegiatan sehari-hari cabang eksekutif yang didelegasikan kepada para aparatur pemerintahan di berbagai kementrian anggota kabinet, unit kerja atau komisikomisi. Presiden berhak memilih pejabat-pejabat tinggi eksekutif setelah mendapat nasihat dan persetujuan Senat, pula untuk memecat pembesar-pembesar Pemerintah yang tidak menjalankan hukum dengan setia. Kekuasaaan presiden ntuk memecat atau memberhentikan pejabat-pejabatnya 333 tidak di atur dalam Konstitusi. Konstitusi hanya mengatur tentang pemecatan atau pemberhentian presiden sebelum masa jabatannya berakhir (Impeachment). Berdasarkan Undang-undang tahun 1876, pemecatan atau pemberhentian pejabat-pejabat federal terlebih dahulu arus mendapat persetujuan Senat. Namun dalam perkara pemecatan Myer sebagai Kepala Kantor Pos Oregon oleh Presiden Wilson karena tanpa persetujuan senat, Mahkamah Agung memberikan keputusan (tahun 1926), bahwa Undang-undang yang mensyaratkan adanya persetujuan Senat untuk memecat pejabatnya adalah inkonstituional. Sebab Konstitusi tidak menentukan suatu pun tentang pemecatan seorang pegawai oleh Presiden. Mantan Presiden Taft, sebagai Ketua Mahkamah Agung, juga menerangkan bahwa kekuasaan presiden untuk memecat para pegawai eksekutif adalah sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya, melaksanakan hukum dengan sesungguhsungguhnya. Dengan demikian, setiap undang-undang yang melarang kekuasaan presiden melakukan pemecatan tanpa persetujuan senat tersebut adalah inkonstitusional. 334 Terhadap pemilihan pejabatpejabat federal yang ditugaskan di negara bagian, dilakukan presiden dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi – konsultasi sebelum mendapat persetujuan dengan anggota Senat di negara bagian yang bersangkutan. Pada umumnya pejabat-pejabat federal yang diajukan presiden yang mendapat dukungan mayoritas dari para Senator negara bagian yang bersangkutan yang diangkat. Sehingga pada akhirnya Senat inilah yang sesungguhnya lebih menentukan penugasan aparat pemerintah pusat yang ditempatkan di suatu negara bagian. Cara pemilihan dan pengangkatan pejabat seperti ini sebagai suatu kebiasaan atau tradisi yang dikenal dengan “Senatorial Courtesy”. Suatu tradisi penghormatan terhadap para Senator di negara bagian, atau juga sebagai symbol pengakuan terhadap kedaulatan yang dimiliki negara bagian, sebagaimana negara bagian – negara bagian mempunyai kekuasaan (kekuasaan yang diatur dalam Konstitusi) untuk melakukan pengesahan (ratifikasi) terhadap setiap Amandemen Konstitusi. Presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan-peraturan, perintahperintah atau ketetapan-ketetapan yang disebut sebagai “Ordinance power". Disebut sebagai "Presidensial regulations" (Peraturan-peraturan Presiden), 335 manakala Presiden sendiri yang menerbitkannya, dan disebut sebagai "administrative regulations" (ketetapan-ketetapan administratif) bilamana dikeluarkan oleh pejabatpejabat bawahan presiden. Peraturan dan ketetapan ini bersifat tehnis dan detail. Diperlukan karena Kongres tidak mungkin mengatur hal-hal yang bersifat tehnis dan detail untuk pelaksanaan Konstitusi dan Undang-undang yang dibuatmya. sehingga Peraturan Presiden dan ketetapan administratif tersebut sebatas administratif belaka yang tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi atau undang-undang pokoknya. b) Kekuasaan Legislasi Presiden Meski dalam ketentuan konstitusional "seluruh kekuasaan legislatif" dipegang oleh Kongres, presiden sebagai penentu utama kebijakan public memiliki peran legislative yang besar. Presiden dapat memveto tiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Kongres, dan rancangan tersebut hanya akan dapat disahkan menjadi undang-undang bila dua pertiga anggota majelis setuju untuk menolak veto tersebut. Banyak perundang-undangan yang ditangani oleh Kongres didaftarkan atas inisiatif dari pihak eksekutif. Dalam pidato tahunan dan pidato khususnya, presiden dapat mengajukan perundangan yang ia anggap perlu. Jika kemudian 336 Kongres menunda dengan tanpa memproses proposal tersebut, presiden mempunyai kekuasaan unruk mengadakan sesi khusus. Akan tetapi, diluar tugas resminya ini, presiden sebagat ketua partai politik dan kepala pemerintahan eksekutif di Amerika Serikat mempunyai posisi untuk mempengaruhi opini publik dan karena itu dapat mempengaruhi jalannya proses perundangan di Kongres. Untuk memperlancar kerjasamanya dengan Kongres, para presiden Amerika belakang ini memiliki Kantor Perantara Kongres (Congressional Liasion Office) di Gedung Putih. Para pembantu presiden terus mengikuti seluruh kegiatan penting legislatif dan mencoba untuk melobi para senator dan perwakilan/DPR dari kedua belah partai untuk mendukung kebijakan kebijakan politiknya. Kekuasaan legislasi presiden ditetapkan dalam bab I pasal 7 ayat 2 Undang-undang Dasar Amerika Serikat, yang menerangkan bahwa setiap rancangan Undang-undang yang telah melewati House of Representative dan Senat sebelum menjadi Undang-undang harus dimajukan dulu kepada Presiden. Jika Presiden menyetujui, maka ia akan menandantanganinya. Tetapi jika ia tidak menyetujui ia akan ngembalikannya dengan menyatakan keberatan-keberatan kepada badan perwakilan yang 337 mengeluarkan rancangan Undangundang itu. Kemudian memasukkan keberatan-keberatan itu dalam Nota keberatannya, selanjutnya Kongres mengadakan sidang untuk membahasnya. Jika dalam sidang tersebut ternyata 2/3 jumlah anggota Kongres setuju untuk mengesahkannya, maka rancangan Undang-undang tersebut akan menjadi Undang-undang walaupun Presiden tidak menyetujuinya. Demikian juga jika suatu rancangan Undang-undang tidak dikembalikan oleh Presiden kepada Kongres dalam waktu 10 hari (kecuali hari minggu) sesudah rancangan tadi diajukan kepadanya, maka rancangan Undang-undang itu akan menjadi Undang-undang dan dianggap Presiden telah menandatanganinya, terkecuali jika Kongres sedang menunda sidang, sehingga Undang-undang tersebut tidak dapat dikembalikan kepada Kongres. Dalam hal ini rancangan Undangundang itu belum menjadi Undangundang. Jadi dalam menerima rancangan Undang-undang yang telah disetujui Kongres, Presiden dapat menentukan sikapnya, apakah ia menerima atau menolak. Mengenai cara Presiden menolak/memveto Undang-undang ini ada dua macam : a) Veto kantong (pocket veto), yaitu bila Presiden tidak menanda tangani suatu rancangan Undang-undang, tetapi juga tidak dapat mengembalikan kepada 338 badan Kongres karena Kongres telah tidak bersidang (masa reses). Pocket veto ini sifatnya mutlak, jadi rancangan Undangundang itu tidak dapat menjadi Undang-undang. b) Veto terbatas (qualified veto), yaitu bila Presiden dalam tempo 10 hari dengan memberikan alasan penolakannya, kemudian mengembalikannya kepada badan Kongres yang telah mengambil inisiatif rancangan Undang-undang tadi. Veto ini sifatnya tidak mutlak, melainkan hanya “suspensif” atau menunda saja, sebab bila anggota-anggota Kongres pada tiap-tiap kamarnya dengan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah suara tetap menyetujui rancangan Undang-undang tadi, maka rancangan tadi terus menjadi Undang-undang walaupun Presiden tidak menanda tanganinya. Dapat ditambahkan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk menganjurkan kepada Kongres agar menerima suatu rancangan Undang-undang (“Power to recommended legislation”). Kekuasaan ini dipergunakan Presiden pada waktu memberikan amanatnya kepada Kongres tiap-tiap tahun permulaan persidangan. Sedangkan rancangan Undangundang itu sendiri telah disiapkan oleh Presiden dalam Departemennya. Kemudian melalui kawan-kawan separtainya yang 339 duduk sebagai anggota Kongres diusulkan rancangan Undangundang itu. Pada umumnya rancangan Undang-undang dibuat sendiri oleh anggota-anggota Kongres, tetapi lainnya berasal dari Pemerintah, bahkan ada dari warga Negara perseorangan, maupun dari organisasi-organisasi dalam masyarakat, antara lain organisasi buruh, organisasi keagamaan dan sebagainya. Namun demikian secara formal semua rancangan Undang-undang itu harus diusulkan sendiri dan/atau melalui anggota Kongres walaupun berasal dari luar Kongres. Suatu rancangan Undangundang melalui anggota House of Representative atau Senat, terlebih dahulu didaftar dan memperoleh nomor urut, kemudian rancangan Undang-undang diteruskan ke komisi dari masing-masing dewan dan komisi inilah yang menentukan diteruskan tidaknya suatu rancangan Undang-undang. Jika telah mendapatkan persetujuan komisi, kemudian dilanjutkan dalam pembahasan masing-masing dewan. Selanjutnya kedua dewan mengadakan rapat gabungan untuk mencapai persetujuan. Rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan mayoritas Kongres dikirimkan kepada Presiden untuk ditanda tangani. Dengan penanda-tangan Presiden, rancangan Undang-undang tersebut sah menjadi Undang-undang. 340 c) Kekuasaan Yudikasi Presiden. Kekuasaan yudikatif dari presiden nampak dalam nominasi hakim federal, termasuk para anggota Mahkamah Agung oleh presiden, akan tetapi nominasi ini tetap memerlukan persetujuan dari Senat. Selain itu juga tergambar dalam kekuasaan presiden dapat memberikan pengampunan penuh atau bersyarat kepada siapapun yang melanggar hukum federal kecuali dalam kasus impeachment atau tuntutan pertanggungjawaban oleh Senat atas dirinya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal II Bagian Dua (1) Konstitusi. Kekuasaan ini merupakan hak prerogative presiden di bidang yudikatif. Berdasarkan Pasal I Bagian Tiga (6) dan (7) Konstitusi, Senat berwenang tunggal mengadili semua tuntutan pertanggungjawaban atas penyalahgunaan jabatan terhadap semua pejabat termasuk presiden. Namun hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi pemberhentian dari jabatan atau didiskualifikasi memegang jabatan atau mendpat jabatan apapun yang merupakan suatu kehormatan, kepercayaan, atau keuntungan di bawah Amrika Serikat. Kemudian pihak yang dihukum oleh Senat ini dapat dimintakan pertanggungjawaban di muka pengadilan lalu dijatuhkan hukuman oleh hakim sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan itu, terhadap 341 penghukuman yang dijatuhkan senat, Presiden tidak bisa memberikan pengampunan ataupun menunda pelaksanaan hukumannya. Tetapi terhadap penghukuman yang dijatuhkan oleh Hakim, Presiden dapat memberikan pengampunan ataupun menunda pelaksanaan hukuman. Hak prerogative Presiden ini, dilaksanakan oleh Jaksa Agung sebagai Menteri Khakiman atas penugasan presiden untuk memeriksa dan menyelidiki permohonan pembebasan bersyarat, penundaan hukuman serta pengarnpunan, kemudian memberikan nasehat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden terkait dengan permohonan tersebut. Setelah itu presiden memutuskan apakah mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Permohonan dan pemberian pengampunan dari Presiden tersebut dapat dilakukan sebelum atau sesudah hukuman dijatuhkan. Tetapi pada umumnya Presiden memberikan pengampunan setelah hukuman itu dijatuhkan. Pada tahun 1899 Presiden Harrison mengeluarkan pernyataan yang memberikan pengampunan atau amnesty terhadap sekelompok orang Mormon yang melakukan pelanggaran Undang-undang anti poligami di Amerika Serikat. 342 d) Kekuasaan Diplomatik Presiden. Tugas dan tanggungjawab presiden begitu luas, tidak hanya meliputi wilayah dalam negeri, tetapi juga menjangkau pergaulan antara bangsa dan negara lain dalam pergaulan internasional. Justru dalam hubungan internasional inilah kekuasaan eksekutif yang berada ditangan presiden sangat dominant dibanding Kongres (Senat dan DPR) dan Mahkamah Agung Federal. Apa saja yang diucapkan dan diperagakan seorang presiden menyimbolkan demikianlah Amerika Serikat. Salah satu kenyataan pahit yang dihadapi seorang presiden baru adalah fakta bahwa birokrasi yang ia warisi adalah sebuah struktur yang bisa sulit ditangani dan lambat dalam menerima perubahan arah. Kekuasaan presiden hanya mampu menunjuk sekitar 3.000 orang dari sekitar tiga juta pegawai pemerintahan. Sang presiden juga menemukan bahwa mesin pemerintahan kadang berjalan sendiri tanpa intervensi dari pihak kepresidenan; hal ini telah berjalan sepanjang masa pemerintahan sebelumnya dan akan berlanjut seperti ini di masa mendatang. Para presiden baru langsung berhadapan dengan timbunan keputusan dari admimstrasi yang telah demisioner. Mereka mewariskan anggaran yang disusun dan dijalankan sebagai 343 ketetapan ketetapan hukum jauh sebelum para presiden itu bertugas. Hal ini juga termasuk program pengeluaran utama, misalnya dana untuk para veteran, pembayaran Jaminan Sosial, dan Asuransi Kesehatan untuk kaum manula yang diatur oleh undang-undang. Dalam hal hubungan luar negeri, para presiden harus mentaati perjanjianperjanjian dan persetujuan informal yang disepakati oleh presiden terdahulu mereka Seiring memudarnya euphoria kebersamaan pascapemilu, seorang presiden baru menghadapi Kongres yang semakin lama tidak kooperatif lagi, dan media massa yang semakin kritis. Sang presiden setidaknya dipaksa untuk membangun sekutu sementara di antara banyaknya kepentmgan yang kadang saling bertentangan-secara ekonomi, geografi, etnis, dan ideologi. Kompromi-kompromi dengan Kongres harus terus menerus diupayakan agar sebuah undang-undang disahkan. "Sangat mudah untuk menolak sebuah rancangan undang-undang di Kongres," keluh Presiden John F. Kennedy, "Tetapi hal itu lebih sulit untuk disahkan." Walaupun dengan batasanbatasan ini, setiap presiden setidaknya berhasil dalam menggolkan misi legislatifnya dan mencegah pelaksanaan undangundang lain yang dianggapnya bukan untuk kepentingan nasional 344 dengan hak veto. Kewenangan substansial seorang presiden termasuk menyatakan perang dan damai serta perundingan perjanjian-perjanjian. Ditambah lagi, presiden bisa menggunakan posisinya yang unik untuk menglontarkan ide-ide dan menyokong kebijakan-kebijakan, hal yang dapat lebih masuk ke dalam transfaransi kesadaran publik dibanding ide-ide lawan politiknya. Presiden Theodore Roosevelt menyebut aspek ini sebagai "gertakan mimbar" karena ketika seorang presiden mengangkat sebuah isu, maka pastinya ia akan menjadi bahan debat publik. Kekuasaan dan pengaruh seorang presiden boleh saja terbatas, namun tetap saja lebih berpengaruh dari orang Amerika manapun, baik di dalam maupun di luar kantor kepresidenan. Seperti yang tercantum dalam Konstitusi, presiden sebagai pejabat federal bertugas terutama untuk bertanggung jawab terhadap hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara lain. Presiden mengangkat para duta besar, menteri, dan konsulat yang memerlukan persetujuan Senat serta menerima duta besar dan pejabat publik dari negara lain. Presiden mengatur seluruh kontak resmi dengan pemerintahan negara lain bersama dengan sekretaris negara. Terkadang, presiden secara pribadi dapat berpartisipasi dalam 345 konferensi tingkat tmggi di mana para pemimpm negara-negara bertemu untuk berkonsultasi langsung. Karena itulah, presiden Woodrow Wilson langsung mengepalai delegasi Amerika ke konferensi di Paris setelah Perang Dunia I, juga presiden Franklin D. Roosevelt yang bertemu dengan para pemimpm negara-negara sekutu selama Perang Duma II. Setelah itu, para presiden Amerika Serikat ikut berdiskusi bersama dengan para pemimpin dunia lainnya untuk membahas isu-isu politik dan ekonomi agar mencapai kesepakatan bilateral dan multilateral. Melalui Departemen Luar Negeri, presiden bertanggung jawab atas perlindungan warga Amerika yang berada di luar negeri dan warga asing yang tinggal di Amerika. Presiden juga menentukan apakah akan mengakui negara baru dan pemerintahan baru atau tidak, serta merundingkan perjanjian dengan negara lain, dan akan mengikat Amerika jika perjanjian itu telah disetujui oleh dua pertiga anggota Senat. Juga, presiden bisa menegosiasikan "kesepakatankesepakatan eksekutif" dengan negara lain yang tidak memerlukan persetujuan Senat. Kekuasaan Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Tertinggi Angkata Perang yang begitu penting dan popular diluar negeri. Dalam masa damai Presiden mempunyai 346 kekuasaan untuk membangun, melatih mengawasi dan mengatur kedudukan Angkatan Perangnya, tetapi seluruh anggaran yang diperlukan untuk itu ditentukan oleh Kongres. Dalam masa perang atau ketrlibatan dalam konflik bersenjata baik untuk negara sendiri maupun selaku anggota organisasi internasional terutama Dewan Keamanan PBB, kekuasaan Presiden di bidang militer ini sangat besar dan begitu strategis.. Putusanputusan penting strategi dan taktik, bahkan sampai pada tempat dan waktu jenis bom tertentu dijatuhkan (jatuhnya bom atom di Jepang tahun 1945) merupakan keputusan yang diambil Presiden. Untuk menyokong politik Luar Negerinya kadangkadang Presiden melakukan apa yang disebut "perang Presidensial." Yang dimaksud perang Presidensial ini adalah, perang yang dilakukan Presiden Amerika Serikat yang bukan karena permakluman perang oleh Kongres. Sebab di Amerika Serikat secara konstitusional Presiden sendiri tidak berhak untuk memaklumkan perang, sebab hak ini berada di tangan Kongres (Pasal I Bagian 8 (11) . Itulah sebabnya keterlibatan Amerika Serikat dalam perang di Indo Cina/Vietnam dulu akhirnya mendapat tentangan keras dari Kongres, sebab peperangan yang berlangsung bertahun-tahun itu belum pernah dipermaklumkan oleh Kongres, sehingga perang tersebut bagi Amerika Serikat hanyalah 347 perang Presidensial yang dilakukan oleh Presiden untuk mempertahankan politik Luar Negerinya. Kemudian kekuasaan luar negreri dari Presiden adalah kekuasaan untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain melalui nasehat dan persetujuan Senat. Demikian juga mengenai pengangkatan Duta Besar dan Konsul. Walaupun untuk mengadakan hubungan dengan Luar Negeri di Amerika Serikat ditentukan oleh tiga badan, yaitu Presiden, Kongres dan Senat, namun begitu kedudukan Presiden adalah yang terutama, sebab pelaksanaan hubungan Luar Negeri itu seluruhnya adalah urusan eksekutif. Dalam kebanyakan hal pimpinan dari Presiden tentang perumusan kebijaksanaan politik Luar Negeri diterima oleh Kongres/Senat. Tetapi kerjasama itu bisa tidak berhasil, bila secara politis hubungan Kongres dengari Presiden terjadi ketegangan. Misalnya pernah terjadi pada waktu Wodrow Wilson menjadi Presiden, di mana beliau sebagai perencana peserta dan pembela berdirinya Liga Bangsa-bangsa (League of Nations), terpaksa tidak berhasil mengikutsertakan negaranya kedalam Liga Bangsa-bangsa tersebut karena penolakan Kongres terhadap politik Luar Negerinya tersebut. 348 b. Unit Kerja Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa pendelegasian wewenang pemerintahan kepresidenan diberikan kepada berbagai departemen anggota Kabinet. Kemudian dibantu berbagai unit kerja lainnya di bawah kekuasan eksekutif/presiden dalam bentuk Kantor Kepresidenan dan Badan-Badan Usaha Milik Negara dan Instansi Semi-Formal lainnya dalam bentuk: Dewan, Komisi, Dinas, Lembaga, Perusahaan, Jawatan, atau Agensi dengan tugas-tugas dan wewenang khusus di bidangnya. Unit kerja kepresidenan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: 1) Kantor Kepresidenan (Executive Office) terdiri dari beberapa unit kerja, termasuk staf Gedung Putih, Dewan Keamanan Nasional (National Security Council), Kantor Manajemen dan Anggaran (The Office of Management and budget), Dewan Penasehat Ekonomi (Council of Economic Advisers), Kantor Perwakilan Dagang AS (Office of the U.S. Trade Representative), dan Kantor Kebijakan Iptek (Office of Science and Technology Policy). 2) Badan-Badan Usaha Milik Negara dan Instansi Semi-Formal lainnya, terdiri dari: a) Dewan Penasihat Barang Bersejarah, Pelestarian b) Badan Intelijen Pusat (CIA), c) Komisi Hak – Hak Sipil, 349 d) Komisi Penjualan Surat – Surat Kontrak Komoditas, e) Komisi Keamanan Produk Bagi Konsumen, f) Perusahaan Layanan Nasional, g) Badan Perlindungan Lingkungan, h) Komisi Persamaan Kesempatan Kerja, i) Bank Eksport – Import AS, j) Lembaga Kredit Pertanian, k) Komisi Telekomunikasi Federal, l) Perusahaan Asuransi Simpanan Federal, m) Komisi Pemilihan Umum Federal, n) Badan Federal Masalah Darurat, Penanganan o) Otorita Federal Hubungan Buruh, p) Komisi Maritim Federal, q) Komisi Perdagangan Federal, r) Sistem Cadangan Federal, s) Dewan Federal Pensiunan, t) Investasi Badan Tata Usaha Umum, u) Dewan Perlindungfan Penilaian Jasa, Sistem v) Badan Aeronautika dan Luar Angkasa Nasional, w) Badan Arsip Nasional, dan Catatan x) Yayasan Nasional Kesenian dan Sastra, 350 y) Dewan Hubungan Tenaga Kerja Nasional, z) Perusahaan Nasional Penumpang Kereta Api, aa) Lembaga Nasional, Pengulas bb) Lembaga Nasional, Ilmu cc) Dewan Nasional Transportasi, Kinerja Pengetahuan Keselamatan dd) Komisi Pengaturan Nuklir, ee) Komisi Peninjau Penanganan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, ff) Dinas Etika Pemerintahan, gg) Dinas Penasehat Khusus, hh) Perusahaan Investasi Swasta di Luar Negeri, ii) Pasukan Perdamaian, jj) Perusahaan Penjamin Tunjangan Pensiun, kk) Komisi Tarif Pos, ll) Dewan Pensiunan Kereta Api, mm) Komisi Pasar Modsal, nn) Sistem Layanan Terpilih, oo) Dinas Usaha Kecil, pp) Institusi Smithsonian, qq) Badan Jaminan Sosial, rr) Otorita Lembah Tennessee, ss) Lembaga Pembangunan Internasional AS, 351 tt) Komisi Internasional AS, Perdagangan uu) Jawatan Pos, vv) Agensi Pembangunan Perdagangan AS, dan ww) Siaran Suara Amerika. 3) Kongres Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal I, Bagian Satu: dari Konstitusi, bahwa “Semua kekuasaan legislatif yang diberikan akan diberikan di Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.” Kemudian Pasal II, Bagian Satu (1): menyatakan bahwa “Kekuasaan eksekutif akan diberikan pada Presiden Amerika Serikat.” Menyusul Pasal III, Bagian Satu menegaskan, bahwa “Kekuasaan yudisial Amerika Serikat akan diberikan di Mahkamah Agung, dan di dalam pengadilan rendah yang demikian seperti yang mungkin ditetapkan oleh Kongres dari waktu ke waktu. Pasal-pasal Konstitusi tersebut di atas menggambarkan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan pemerintahan atau Separation of Power principle, sebagaimana dikenal dalam konsep Trias Politika dari Montesquieu dan pemikiran John Locke dan J.J. Rousseau tentang pemisahan kekuasaan pemerintahan. Dalam konsep KOnstitusi Amerika, Separation of Power dipahami sebagai pemisahan kekuasaan secara kelembagaan diantara kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif terdiri dari Senat dan DPR (The House of Representatif). Tetapi secara fungsional ketiga kekuasaan 352 pemerintahan tersebut saling mengawasi dan seimbang dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya sesuai prinsip Checks and Balances. Dalam rangka pengawasan dan keseimbangan ini dalam batas-batas tertentu terdapat lintas kekuasaan. Kekuasaan legislative dengan sistem bicameral (dua kamar): Senat dan The House of Representatif (DPR) ini bukan konsep baru Amerika, tetapi diadopsi dari sistem Inggris melalui praktek pemerintahan masa koloni yang memerdekakan diri menjadi negara bagian dari Negara Amerika Serikat. Namun demkian terdapat perbedaan “Spirit”, terutama Kongres dijiwai dengan semangat demokrasi dan hak hak asasi manusia yang bertujuan pada perlindungan hak hak sipil dan politik individual rakyat dan keseimbangan kepentingan diantara pemerintah pusat (Federal) dengan Negara Bagian (State) serta diantara sesama negara bagian (State). Sedang Parlemen memadukan prinsip-prinsip monarchi, aristokrasi, dan demokrasi yang lebih berorientasi pada penguatan eksistensi Raja dan Negara. Bahwa pertimbangan para delegasi di Konvensi Konstitusi terhadap sistem dua kamar (bicameral) ini memberi alasan bahwa undang-undang yang akan dibuat oleh Kongres akan terhindar diundangkannya sebuah undang-undang yang dibuat secara keliru dan tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang matang. Jika proses pembuatan undang-undang tersebut melalui dua kelompok yang berbeda, yaitu: Senat yang mewakili kepentingan negara bagian secara seimbang (masing-masing negara bagian 353 diwakili 2 orang Senator) dan DPR yang mewakili rakyat negara bagian secara proporsional sesuai jumlah rakyat negara bagiannya tersebut , maka akan dihasilkan suatu undang-undang yang aspiratif sesuai kebutuhan. Hal ini pula akan menodorong kedua kelompok perwakilan ini akan bekerja saling mengawasi secara seimbang, seperti yang dipraktekkan di parlemen Inggris. Walaupun Konstitusi maupun Amandemen XVII tidak secara gamblang menyebutkan siapa yang lebih berkuasa di antara kedua dewan tersebut, namun dalam praktek jabatan Senator lebih bergengsi dibanding DPR. Juga kualifikasi menjadi anggota Senat menurut Konstitus, adalah harus berusia minimum 30 tahun, sudah menjadi warga negara Amerika sedikitnya selama sembilan tahun, dan berdomisili di negara bagian yang memilih mereka. Sedang anggota DPR harus berusia minimum 25 lahun, telah menjadi warga negara sedikitnya tujuh tahun, dan berdomisili di negara bagian yang memilih mereka. Tiap negara bagian boleh memberikan syarat tambahan untuk pemilihan anggota Kongres, tetapi Konstitusi memberi kuasa kepada setiap Dewan untuk menetapkan kualifikasi para anggotanya. Keberadaan Kongres dianggap berlangsung 2 tahun karena masa jabatan seluruh anggota DPR sebagai salah satu kamar di Kongres adalah 2 tahun, dan sepertiga dari 100 anggota Senat berakhir masa jabatannya. Menurut Amandemen XX Konstitusi AS menetapkan bahwa Kongres akan bersidang setiap tanggal 3 Januari, kecuali jika Kongres menentukan tanggal lain. Kongres tetap bersidang 354 sampai anggota-anggotanya memberikan suara untuk menunda, biasanya pada akhir tahun. Presiden bisa mengadakan rapat khusus jika ia dianggap perlu. Sidang diadakan di gedung Capitol di Washington DC. Dalam Pasal I Konstitusi disebutkan secara tegas satu persatu wewenang Kongres yang diemban oleh Senat dan DPR, yaitu:  Mengadakan dan memungut pajak;  Meminjam rakyat;  Membuat undang-undang dan peraturan-peraturan untuk mengatur perdagangan di antara negara-negara bagian dan dengan negara-negara asing;  Membuat peraturan-peraturan yang seragam untuk naturalisasi (perwarganegaraan) warga asing;  Membuat mata uang, mencantumkan nilainya, dan menangani hukuman untuk para pemalsu uang;  Menetapkan standar untuk bobot dan langkah-langkah atau tindakan;  Membentuk undang-undang kepailitan bagi negara secara keseluruhan;  Mendirikan kantor-kantor pos dan jalur pos;  Mengeluarkan hak-hak paten dan hak cipta;  Menghukum pelaku pembajakan;  Menyatakan perang;  Meningkatkan militer/tentara; 355 uang untuk dan keuangan mendukung  Membentuk Angkatan Laut;  Mengerahkan wajib militer untuk menegakkan undang-undang federal, menekan pelanggaran hukum atau melawan invasi;  Membuat semua undang-undang ditempatkan di pusat pemerintahan (Washington D.C);  Membuat semua menjadi penopang Konstitusi. undang-undang ditegakkannya Beberapa wewenang ini sekarang sudah ketinggalan jaman, tetapi masih tetap dipakai. Amandemen ke-10 mengatur batas-batas yang jelas mengenai wewenang Kongres dengan cara menetapkan bahwa kekuasaan yang tidak didelegasikan kepada pemerintah nasional akan menjadi wewenang negara bagian atau rakyat. Selain itu, Konstitusi secara khusus melarang Kongres melakukan beberapa tindakan tertentu yaitu Kongres tidak boleh:  Menunda perintah habeas corpus kewajiban untuk mengajukan mereka yang dituduh melakukan kejahatan ke muka pengadilan atau hakim sebelum dihukum kecuali bila terpaksa karena terjadi pemberontakan atau invasi.  Menetapkan undang-undang yang menyalahkan atau menghukum orang lain karena kejahatan atau melakukan tindakan yang tidak sah tanpa proses pengadilan.  Menetapkan undang-undang retroaktif yang menetapkan suatu tindakan tertentu sebagai tindak kejahatan. 356  Mengadakan pemungutan pajak langsung kepada penduduk, kecuali jika berdasarkan pada sensus yang telah dilaksanakan.  Pajak untuk barang-barang ekspor dari salah saru negara bagian.  Memberikan pelayanan khusus yang menguntungkan dalam perdagangan atau perpajakan bagi pelabuhanpelabuhan di negara bagian manapun atau untuk kapal-kapal yang digunakan mereka.  Memberi gelar kebangsawanan. a) SENAT Senat merupakan lembaga perwakilan atau legislative yang terdiri dari seratus orang Senator, kesemuanya berasal dari lima puluh negara bagian. Masa jabatan setiap Senator adalah 6 tahun, akan tetapi para Senator yang berjumlah 100 orang itu tidak berakhir masa jabatannya secara bersamaan. Setiap Negara Bagian mempunyai jatah 2 orang senator dan masingmasing senator mempunyai sat hak suara, ada 50 negara bagian di Amerika Serikat. Setiap 2 tahun terdapat sepertiga dari 100 senator yaitu: 33 atau 34 senator dari 33 atau 34 negara bagian yang berakhir masa jabatannya. Sehingga setiap 2 tahun dlakukan pemilihan Senator baru dari 33 atau 34 negara bagian. Masa jabatan 2 Senator dari masing-masing Negara bagian tidak berakhir secara bersamaan. Pergantian para Senator secara 357 estafet ini bergulir terus menerus secara berkesinambungan setiap 2 tahun dalam pemilihan tengah (Term Election) maupun pemilihan akbar (General Election). Dan tidak ada pembatasan waktu menjadi Senator. Daerah pemilihannya meliputi wilayah Negara Bagiannya masingmasing. Wakil Presiden menjadi Ketua Senat tanpa hak suara, kecuali jika dalam pengambilan suatu keputusan terdapat suara yang berimbang barulah Wakil Presiden sebagai Ketua Senat mempunyai hak suara yang menentukan. Oleh karena hak suara ini timbul dari keadaan berimbang tadi, maka hak suara ini harus digunakan atau tidak boleh abstain agar senat dapat mengambil kepastian akan suatu keputusan dari keadaan berimbang. Manakala Wakil Presiden berhalanagn (absen) dipilih seorang Ketua Sementara. Pemberian jumlah senator yang sama banyaknya yaitu 2 senator bagi semua negara bagian dengan populasi yang berbeda, merupakan “penyeimbang” dari perbedaan jumlah anggota DPR yang dijatahkan secara proporsional sesuai populasi pada masingmasing negara bagian. Dengan demikian meskipun merupakan negara bagian dengan jumlah penduduk yang sedikit sehingga hanya mendapat jatah 3 kursi anggota DPR, namun Maine mempunya jatah 2 kursi Senator yang sama banyaknya dengan 358 California sebagai negara bagian terbanyak penduduknya sehingga memperoleh 53 kursi DPR. Hal ini sesuai dengan kompromi Connecticut yang kemudian menjadi ketentuan dalam Articles of Confederatian yang berlaku sebagai konstitusi di masa pemerintahan konfederasi antara tahun 1781 – 1789, bahwa negara bagian memiliki keterwakilan yang sama, yaitu masing-masing negara bagian diwakili 2 Senator dalam Senat sebagai Majelis Tinggi, dan keterwakilan sesuai populasi dalam DPR sebagai Majelis Rendah. Dimaksudkan pula sebagai symbol kesetaraan kedaulatan 13 negara bagian yang besar dan kecil saat itu, karena secara de facto berbeda luas geografi, populasi, dan sumbersumber kekayaan alamnya , kemudian melambangkan kesetaraan de jure diantara 50 negara bagian. Pada awalnya senat dipilih oleh legislative masingmasing negara bagian, kemudian sejak amandemen XVII (Tahun 1913) dipilih langsung oleh rakyat pemilih negara bagian asalnya dalam sebuah pemilihan. Bilamana terjadi kekosongan kursi ini sebelum masa jabatan habis, eksekutif negara bagian dengan persetujuan legislatifnya mengangkat pejabat sementara sampai terpilihnya Senator defenitif. Pemilihan diselenggarakan khusus atas perintah eksekutif negara bagian tersebut. 359 Lebih dan seratus tahun setelah diterimanya Konstitusi tersebut, para senator (anggota Senat) tidak dipilih melalui pemungutan suara langsung melainkan dipilih oleh para badan pembuat undang-undang negara bagian dan dianggap sebagai perwakilan dari negara-negara bagian mereka. Tugas mereka adalah memastikan bahwa negara bagian yang mereka wakili mendapat perlakuan sama di UU. Kemudian Amandemen ke-17, yang mulai berlaku tahun 1913, mewajibkan pemilihan anggota Senat secara langsung, tidak lagi melalui legislative negaran bagian. Selain wewenang Kongres yang luas dan terinci disebutkan dalam Pasal I Konstitusi tersebut di atas, Senat juga mempunyai wewenang khusus, yaitu: 1) untuk mengajukan rancangan perundang-undangan pada segala hal, kecuali kenaikan penghasilan, yang harus diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Negaranegara bagian. 2) Untuk menolak rancangan undang-undang dalam segala hal termasuk rancangan undangundang tentang penghasilan DPR beserta amandemenamandemen tambahan yang diajukan DPR. Akan tetapi dalam kondisi demikian Kongres membentuk Sebuah Panitia Konferensi yang beranggotakan 360 kedua dewan: Senat & DPR. Panitia ini yang mengupayakan suatu solusi yang dapat ditempuh oleh kedua dewan tersebut sampai rancangan tersebut menjadi undangundang. 3) untuk menyetujui pengangkatan para pejabat tinggi pemerintahan federal dan duta besar yang diusulkan oleh Presiden. 4) untuk mengesahkan semua perjanjian dengan persetujuan dua pertiga (2/3) anggota Senat. Tanpa persetujuan Senat, tidak ada seorang pejabat federal yang diusulkan Presiden dapat diangkat. 5) Untuk mengadili kasus impeachment atau tuntutan pertanggungjawaban politis dari Presiden dan pejabat tinggi pemerintahan federal, tuntutan mana diajukan oleh DPR. Jika terbukti bersalah dapat menjatuhkan putusan pemecatan atau pemberhentian dari jabatannya, termasuk dari jabatan Presiden. Sejauh ini, setidaknya Senat telah memeriksa dan mengadili enam belas kasus Impeachment yang diajukan/dituntut DPR. Keenambelas kasus tersebut melibatkan: dua orang Presiden, Seorang anggota Kabinet, seorang Senator, seorang anggota Mahkamah Agung, dan sebelas hakim federal. Kemudian 361 Senat menjatuhkan hukuman terhadap tujuh orang yang semuanya hakim. 6) untuk membentuk Komisi Tetap, Komisi Khusus, atau Komisi Gabungan yang membahas rancangan undang-undang sebelum diajukan dalam persidangan Senat. 7) Untuk melakukan investigasi atau penyelidikan yang umumnya didelegasikan kepada suatu komisi. 8) Untuk memilih wakil presiden dalam hal Dewan Pemilih (Electoral College) gagal memilih wakil presiden. 9) Untuk memilih Ketua Sementara memimpin Senat yang bersal dari anggota partai politik terbesar di Senat, manakala Wakil Presiden sebagai Ketua Senat berhalangan (absen). 10)Untuk memilih Ketua Fraksi dari partai politknya dan pejabatpejabat lain pada awal masa kerja Kongres, untuk bersamasama Ketua Senat dan Komisi menangani proses pembuatan undang-undang. b. DPR (The House of Representatif) Berbeda dengan anggota Senat, setiap anggota DPR (The House of Representatif) mempunyai masa jabatan 2 tahun dan masa jabatan ini berakhir secara serentak. Juga tidak ada pembatasan masa 362 memangku jabatan wakil rakyat ini. Ada 435 Anggota DPR yang masa jabatannya berakhir secara serentak setiap 2 tahun. Sehingga setiap 2 tahun diadakan pemilihan anggota DPR baik dalam pemilihan tengah (Term Election) maupun pemilihan akbar (General Election). Kursi DPR diperebutkan di setiap distrik. Satu kursi disetiap distrik. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan di satu Negara bagian berbeda dari Negara bagian lainnya. Penjatahan jumlah kursi lebih ditentukan kepadatan penduduk pemegang hak suara. Akan tetapi Negara bagian terkecil minimal mendapat jatah 3 kursi. Distrik dibentuk di wilayah Kota atau Kabupaten sesuai perbandingan jumlah penduduknya dan jatah kursi bagi Negara Bagiannya masingmasing. Konstitusi mengatur adanya sensus penduduk tiap 10 tahun sekali dan adanya distribusi ulang kursi di DPR berdasarkan hasil sensus tersebut. Berdasarkan ketetapan perundang-undangan, untuk pertama kali jumlah para perwakilan tidak lebih dari satu wakil untuk setiap 30.000 penduduk. Ada 65 anggota di Dewan Perwakilan pertama, dan jumlah tersebut naik menjadi 106 setelah sensus yang pertama. Kemudian disesuaikan lagi dengan pertambahan penduduk, dan rasio perwakilan saat ini adalah 1 berbanding 600.000 orang dengan jumlah 435 kursi Dewan Perwakilan 363 Sebagai salah satu dari dua Dewan Kongres, wewenang Kongres dalam Pasal I Konstitusi yang disebutkan secara tegas satu persatu juga merupakan bagian dari wewenang DPR, termasuk semua tindakan terlarang bagi Kongres merupakan tindakan-tindakan yang terlarang bagi DPR Selain itu, DPR juga memiliki wewenang khusus, yaitu: 1) untuk membentuk Komisi Tetap, Komisi Khusus, atau Komisi Gabungan yang membahas rancangan undang-undang sebelum diajukan dalam persidangan. 2) Untuk melakukan investigasi atau penyelidikan yang umumnya didelegasikan kepada suatu komisi 3) untuk mengajukan tuntutan atau dakwaan terhadap Presiden dan pejabat tinggi federal lainnya yang diajukan di Kongres dalam perkara Impeachment atau tuntutan pertanggungjawaban secara politis atas kejahatan tertentu yang dilakukannya. 4) untuk memilih Presiden dalam hal Dewan Pemilih (Electoral College) gagal memilih seorang Presiden. 5) Untuk memilih Ketua Parlemen dari anggota DPR yang berasal dari partai politik terbesar di parlemen. 364 6) Untuk memilih Ketua Fraksi dari partai politknya dan pejabatpejabat lain pada awal masa kerja Kongres, untuk bersamasama Ketua Parlemen dan Komisi menangani proses pembuatan undang-undang. Meskipun Komisi-komisi tidak di atur dalam Konstitusi, namum peran Komisi di Kongres sangat dominan, bahkan merupakan jantung Kongres yang terus berdetak setiap saat dalam melaksanakan tugas dan wewenang legislatifnya. Semua rancangan undang-undang dimulai dari Komisi: persiapan, pendataan, perumusan, sosialisasi, publikasi, mengundang pakar, memanggil saksi dengan sanksi jika saksi tidak memenuhi panggilan, memeriksa saksi di bawah sumpah dengan tuntutan sumpah palsu jika memberi keterangan palsu, merevisi, menolak, merekomendasi, menolak, menyetujui, sampai pada pengadministrasian akhir menjadi undang-undang. Saat ini, Senat mempunyai 17 komisi tetap; DPR mempunyai 19 komisi. Tiap komisi mengkhususkan dari pada bidang khusus pembuatan perundang-undangan: urusan luar negen, pertahanan, perbankan, pertanian, perdagangan, dan bidang-bidang lainnya. Hampir setiap RUU yang diajukan di Dewan harus melalui suatu komisi untuk mempelajari dan memberikan rekomendasi. Komisi boleh menyetujui, merevisi, menolak, atau 365 mengabaikan segala tindakan yang berkenaan dengan RUU tersebut. Hampir mustahil sebuah RUU bisa sampai ke DPR atau Senat tanpa lebih dulu mendapat perserujuan komisi. Dibutuhkan dukungan 218 tandatangan anggota parlemen agar rancangan undang-undang dari Komisi diajukan ke sidang DPR. Sedang di Senat dibutuhkan dukungan mayorotas anggota Senat untuk hak yang sama. Sebagian besar partai di masing masing dewan mengawasi jalannya kerja komisi. Para ketua komisi dipilih dalam suatu rapat anggota partai politik atau anggola kelompok yang dibentuk khusus. Partai-partai minoritas diwakili secara proporsional dalam komisi sesuai kekuatan mereka di masingmasing dewan. Ada beberapa cara pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu: 1) ada yang disusun oleh Komisi Khusus sesuai bidangnya, maupun yang dibentuk khusus untuk suatu masalah tertentu, 2) ada atas saran presiden atau pejabat eksekutif lainnya, 3) ada juga dari warga negara dan organisasi di luar Kongres yang memberikan saran legislatif kepada anggota komisi, 4) ada dari anggota dewan sendiri yang memprakarsai RUU. 366 Setelah pengajuan ke Kongres rancangan undang-undang dikirim ke komisi yang telah dibentuk yang biasanya kemudian menjadwalkan serangkaian acara dengan pendapat terbuka untuk mengijinkan presentasi mengenai pandangan masyarakat yang mendukung atau yang tidak mendukung peraturan yang sedang dibahas. Jalannya dengar pendapat, yang bisa berlangsung beberapa minggu atau bulan, membuka jalan legislatif bagi keikutsertaan masyarakat. Jika suatu komisi mendukung suatu RUU, rancangan tersebut diajukan ke forum untuk dibahas secara terbuka. Di Senat, perdebatan tidak dibatasi. Di DPR, karena jumlah anggotanya lebih banyak, Komisi Peraturan biasanya membuat batasan. Ketika debat berakhir, para anggota memberikan suara baik untuk menyetujui, menolak, maupun menangguhkan RUU tersebut yang menyingkirkan RUU tersebut dan artinya sama saja dengan menolaknya atau mengembalikannya ke komisi. RUU yang diloloskan di salah satu dewan harus dikirim ke dewan satunya lagi untuk ditindak-lanjuti. Bila RUU tersebut diamandemen oleh dewan kedua, maka dibentuk komisi konferensi yang terdiri dari anggotaanggota kedua dewan untuk memhahas perbedaan yang ada. 367 Jika lolos di kedua dewan, RUU dikirim ke presiden. Secara konstitusional, presiden harus menjalankan RUU tersebut untuk menjadikannya sebagai undangundang. Akan tetapi terhadap RUU tersebut Presiden boleh mengambil sikap atau tindakan, sebagai berikut: 1) menyetujui dan menandatangani RUU tersebut, Sehingga UU tersebut resmi berlaku, 2) memvetonya RUU tersebut, tetapi RUU yang diveto presiden resmi menjadi undang-undang, bilamana mendapat persetujuan kembali dari 2/3 anggota masing-masing di Senat dan DPR. 3) Presiden menolak menandatangani atau juga tidak memveto RUU. Sehingga dalam waktu 10 hari tidak termasuk hari minggu sejak RUU tu disampaikan kepadanya, resmi berlku sebagai undang-undang meskipun tidak ditandatanaganinya. 4) Presiden menolak menandatangani atau juga tidak memveto RUU tersebut, tetapi sebelum sampai masa 10 hari RUU disampaikan kepada presiden, Kongres ternyata menunda masa persidangan. Hal ini dapat meniadakan RUU tersebut, satu proses yang dikenal sebagai "pocket veto". 368 Berbeda dengan sistem parlementer Eropa, penyeleksian dan tindak tanduk para pembuat undang-undang tidak ada kaitannya dengan peraturan kedisiplinan partai. Tiap partai politik besar di Amerika merupakan koalisi dari organisasi lokal dan negara bagian yang bergabung sebagai partai nasional Partai Republik atau Partai Demokrat selama pemilihan presiden setiap empat tahun. Jadi para anggota Kongres berhutang budi pada pemilihan lokal atau negara bagian, bukan karena kepemimpinan nasional partai ataupun rekan kerja di Kongres. Walhasil, sikap legislatif para wakil rakyat dan senator cenderung bersifat individualistis dan khas, mencerminkan keragaman para pemilih dan kebebasan yang berasal dari adanya permlih yang setia. Oleh karena itu, Kongres merupakan lembaga yang bersifat setara bukan hirarki. Wewenang bukan dari atas ke bawah, seperti di perusahaan, tetapi datang dan arah dnana saja. Hanya ada sedikit saja kekuasaan terpusat, karena wewenang untuk menghukum atau memberi penghargaan sangat kecil. Kebijakan Kongres dibuat dengan cara melakukan pergantian koalisi yang bisa berbeda-beda dan persoalan satu ke persoalan lain. Kadang-kadang, bila terjadi tekanan yang saling bertentangan dari Gedung Putih dan dari kelompok ekonomi atau etnis penting para 369 pembuat undang-undang akan menggunakan peraturan prosedur untuk menangguhkan keputusan. Dengan begitu, tak ada pihak yang dirugikan. Suatu masalah bisa saja ditangguhkan dengan alasan pemeriksaan terbuka yang dilakukan komisi yang bersangkutan kurang memadai. Atau Kongres bisa juga memerintahkan suatu badan untuk menyiapkan laporan terperinci sebelum sebuah isu dipertimbangkan. Atau suatu tindakan bisa dltangguhkan oleh salah satu dewan, sehingga isu tersebut ditolak lanpa rnembeberkan penilaian terhadap substansinya. Ada norrna-norma yang tidak resmi dan tidak tertulis mengenai sikap yang sering menentukan dalam pemberian tugas dan pengaruh dari seorang anggota tertentu. "Orang dalam," wakil rakyat dan senator yang konsentrasi pada tugas-tugas legislatif mereka, bisa jadi lebih kuat di dalam Kongres dibanding "Orang luar," yang mendapat pengakuan dengan cara mengemukakan isu-isu nasional. Para anggota diharapkan menunjukkan rasa hormat terhadap sesama rekan dan menghindari menyerang secara pribadi, walau jika lawan mereka melakukan kebijakan politik yang tidak menyenangkan sekalipun. Mereka juga diharapkan untuk mengkhususkan diri di kebijakan tertentu saja ketimbang terjun ke segala bidang legislatif. Mereka 370 yang sesuai dan cocok dengan peraturan-peraturan tidak resmi ini berpeluang lebih besar untuk bisa ditarik ke dalam komisi yang prestisius atau setidak-tidaknya ke dalam komisi yang bisa berpengaruh besar. 371 B. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Agresi di Indonesia. 1. Peranan Pengadilan HAM Bahwa Agresi telah dinyatakan sebagai suatu kejahatan HAM dalam Statuta Roma 1998 dan menjadi salah satu yurisdiksi criminal Pengadilan Pidana Internasional – ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) (d). Kemudian berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Statuta, Kejahatan Agresi ini akan dirumuskan defenisinya berserta unsure-unsur deliknya dalam waktu 7 (tujuh) tahun sejak Statuta berlaku secara sah pada tanggal 1 Juli 2002 karena telah 60 hari mendapat ratifikasi dari 60 negara. Akan tetapi hingga sekarang telah lewat waktu 10 tahun, ternyata rumusan delik kejahatan agresi belum dibuat. Sehingga Pengadilan Pidana Internasional – ICC kesulitan melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan agresi ini. Memang menurut mashab positivisme dan ajaran legisme, harus terlebih dahulu dirumuskan kejahatan agresi dan beserta unsure-unsur deliknya, baru upaya penegakan hukumnya efektif dilakukan. Begitupun Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc akan sulit melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan Agresi. Hal ini turut mempengaruhi negara-negara melakukan kewajiban internasionalnya menegakan hukum terhadap pelaku kejahatan agresi yang terkait dengan yurisdiksi pidana nasionalnya, termasuk Pengadilan HAM RI (tetap) dan Pengadilan HAM RI Ad Hoc. Sehingga perumusan definitive kejahatan agresi sangat diperlukan. Namun demikian menurut hemat penulis, oleh karena agresi sudah ditetapkan sebagai salah satu kejahtan HAM, maka setelah lewat waktu 7 (tujuh) tahun yaitu terhitung sejak tanggal 1 Juli 2009 terjadi kekosongan hukum karena ketiadaan rumusan kejahatan agresi. Ketiadaan rumusan kejahatan tidak 372 dapat menjadi alasan untuk tidak melakukan penegakan hukum terhadap suatu kejahtan HAM. Dalam keadaan kekosongan hukum ataupun masa peralihan sambil menunggu sampai adanya perumusan definitive kejahatan seperti ini penegakan hukum terhadap kejahatan agresi dapat diterobos dengan cara melakukan upaya penemuan hukum. Dalam upaya penemuan hukum ini penerapan asas-asas hukum universal maupun ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada dan terkait dapat diterapkan terhadap sebuah kasus, dalam hal ini kasus-kasus kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan HAM. Begitupun dalam situasi peralihan dan kekosongan hukum, asas legalitas dan asas non retroaktif tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Penemuan hukum lebih terkait dengan filosofi dan keilmuan daripada kepastian hukum dan keadilan terhadap suatu peristiwa hukum yang telah terjadi. Lebih praktis: kasuistis, case by case. 2. Penerapan Prinsip Kejahatan Agresi Penemuan Hukum terhadap Dalam upaya penemuan hukum terdapat beberapa metode dan ajaran penafsiran dan konstruksi hukum yang dapat dilakukan, namun demikian sehubungan dengan kejahatan agresi yang belum mendapat rumusan deliknya, dapat digunakan: a. Penafsiran Hukum Upaya Penafsiran hukum yang dapat dilakukan adalah dengan metode penafsiran histories, Penafsiran sistimatis, penafsiran sosiologis, penafsiran teleologis, penafsiran antisipasi atau futuristic dan penafsiran ekstensif, yaitu: 373 1) Penafsiran Historis, yaitu penafsiran yang disesuaikan dengan sejarah pembentukan undang-undang (wetshistorisch). Undang Undang ditafsirkan sesuai dengan kehendak atau tujuan dari para pembentuknya yang dapat dilihat dalam notulen atau catatan-catatan resmi maupun tulisan-tulisan lainnya. Selain itu juga penafsiran dilakukan berdasarkan sejarah daripada hukum itu sendiri (rechtshistorisch) dimana undangundang tersebut diatas menjadi bagian daripadanya dengan memahami makna, asal mula, perkembangan dan penyebaran hukum tersebut di suatu tempat/negara. Penafsiran sejarah hukum (rechtshistorisch) ini jauh lebih luas dan dalam bahasannya dibanding penafsiran terhadap undang-undang (wetshistorisch). Dalam konteks kejahatan agresi, bahwa secara histories Statuta Roma 1998 yang mengatur pembentukan Pengadilan Pidana Internasional – ICC dengan yurisdiksi penegakan hukum terhadap kejahatan kemanusiaan dimana salah satunya adalah kejahatan agresi, merupakan kelanjutan dari perjuangan panjang berbagai pihak baik institusi organisasi, pemimpin negara, maupun para pakar untuk melindungi HAM dan melakukan proses peradilan terhadap pelaku kejahatan HAM dalam situasi konflik bersenjata. Sejarah membuktikan berjuta-juta manusia yang tidak berdosa menjadi korban kejahatan kemanusiaan dalam situasi konflik bersenjata: genosida, perang dan agresi. Sehingga penegakan hukum terhadap agresi sebagai kejahatan HAM secara histories tidak terlepas dari penegakan hukum terhadap kejahatan HAM lainnya: genosida, perang dan kejahatan HAM berat lainnya. 374 2) Penafsiran Sistimatis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara pandang bahwa setiap undang-undang mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain yang membentuk satu kesatuan hukum secara menyeluruh, saling menunjang dan tidak terdapat pertentangan diantara satu peraturan perundang-undangan dengan yang lainnya. Hukum sebagai tatanan merupakan suatu sistim. Sistim inilah yang memerlukan ketertiban dalam hukum. Hukum sebagai sistim adalah kumpulan aturan yang ditetapkan penguasa kepada rakyatnya dalam bentuk perintah atau larangan-larangan. Sistim hukum adalah sistim norma yang dibuat secara baik. Bahkan pandangan yang lebih luas memasukkan budaya hukum kedalam sistim hukum. Dalam hal ini, antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat hubungan sistimatis satu terhadap yang lain sebagaimana antara lain tergambar dalam teori: primat hukum internasional atau primat hukum nasional, ratifikasi perjanjian internasional. Begitu juga diantara Statuta Roma 1998, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam Liga Bangsa-Bangsa, Perjanjian Jenewa 1949, Perjanjian Wina 1816, Perjanjian San Fansisco 1945, Perjanjian Versailles 1919, Perjanjian Perdamaian Westphalia 1648 dan berbagai perjanjian perdamaian yang lainnya merupakan suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, kesepakatan-kesepakatan, persetujuanpersetujuan yang menjadi bagian dari hukum internasional dalam pengertian yang luas. Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan agresi sebagai kejahatan HAM yang terjadi dalam situasi konflik bersenjata dapat dilakukan bersama-sama dengan jenis kejahatan HAM 375 lainnya: genosida, perang, dan ke3jahatan HAM berat lainnya. 3) Penafsiran Sosiologis, yaitu penerapan hukum didasarkan pada penafsiran terhadap realitas sosial yang ada dalam masyarakat saat undangundang itu dibuat, atau terdapat faktor-faktor sosial baru yang mempengaruhi penerapannya. Sejak Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua yang menimbulkan jatuhnya jutaan korban rakyat yang tidak berdosa dan ditemukannya senjata pemusnah nuklir, biologi dan kimia (NUBIKA) yang mengancam keselamatan kehidupan umat manusia beserta peradabannya dikemudian hari, maka sejak itu telah timbul kesadaran bersama ummat manusia untuk mengatur dan menghukum pelaku kejahatan HAM yang timbul dalam situasi konflik bersenjata termasuk kejahatan agresi, selain kejahatan genosida, perang dan jenis kejahatan berat lainnya. Kesadaran bersama negara-negara ini mempengaruhi pula kesadaran nasional di masing-masing negara untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan HAM tersebut. 4) Penafsiran Teleologis, yaitu penafsiran yang diarahkan pada apa yang menjadi motif atau tujuan yang ingin dicapai undang-undang itu. Melihat kedalam pikiran para pembentuk undangundang tentang apa yang diinginkannya dicapai Undang-Undang itu. Maksud dari para penyelenggara (PBB) dan negara-negara peserta sidang sebagai pembuat undang-undang Statuta Roma 1998, beserta perjanjian-perjanjian internasional lainnya adalah untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan HAM: genosida, 376 perang dan kejahatan HAM berat lainnya, termasuk kejahatan agresi. Sehingga walaupun kejahatan agresi belum dirumuskan definisi kejahatannya, penegakan hukumnya dapat dilakukan dengan terobosan penemuan hukum untuk mencapai keinginan atau tujuan para pembuat undang-undang. Para pembuat undangundang/Statuta Roma 1998 beserta negara yang melakukan ratifikasi ataupun penerimaan (reservation) berkeingtian pula penegakan hukum dilakukan dimasing-masing negara melalui perundang-undangan nasional dan peradilan nasional. Bahkan peradilan nasional memegang peranan utama, dan peradilan pidana internasional-icc merupakan peradilan komplementeri (pelengkap) dari peradilan HAM nasional. 5) Penafsiran Perbandingan, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperbandingkan sistim hukum yang satu terhadap yang lain untuk dapat menemukan makna dari suatu undang-undang yang ingin dicapai. Dengan melakukan perbandingan sistem hukum yang dianut dibeberapa region dunia ini baik internasional maupun nasional, baik sistim hukum yang telah diterapkan dalam peradilan internasional maupun nasional terkait kejahatan HAM : genosida, perang, agresi dan jenis kejahatan HAM berat lainnya, maka dapat ditarik makna dari ketentuan-ketentuan terkait kejahatan agresi yang dapat diterapkan dalam rangka penegakan hukum pada situasi keksongan hukum karena kejahatn agresi belum dibuat. 377 6) Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran yang diperluas terhadap gramatikal suatu undangundang. Seperti: istilah “menjual” dalam pasal 1576 KUHPerdata diperluas menjadi “peralihan hak”. Dengan demikian pasal 1576 KUHPerdata dapat diperlakukan terhadap semua perbuatan “peralihan hak” tidak terbatas pada hanya “menjual” saja. Untuk itu pengertian perang dalam kejahatan perang dapat diperluas menjadi kejahatan HAM berat, sehingga menjangkau pula pengetian agresi szebagai kejahatan HAM berat, yang menjangkau pula kejahatan genosida. Kejahatan Perang, Kejahatan Agresi, Kejahatan Genoside merupakan kejahatan-kejahatan HAM berat yang terkait dengan konflik bersenjata dan/atau penggunaan angkatan bersenjata. Sehingga unsure-unsur kejahatan Perang yang terkait dapat pula digunakan sebagai unsur-unsur kejahatan agresi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan agresi pada situasi peralihan dan kekosongan hukum karena definisi kejahatan agresi belum dirumuskan beserta unsure-unsur kejahatannya. . b. Konstruksi Hukum Upaya konstruksi hukum yang dapat dilakukan adalah dengan metode analogi (Argumentum Per Analogiam) dan metode fiksi hukum, yaitu: 1) Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam). Dalam metode analogi ini, penemuan hukum dilakukan melalui penalaran induksi yaitu berpikir dari yang khusus (species) ke yang umum (genus). Mencari esensi umum dari suatu undang- 378 undang untuk dianalogikan dengan kasus kontrit (khusus) yang dihadapi. Dalam hal ini Kejahatn Perang dalam pasal 5 ayat 1 (C) jo Pasal 8 dalam Statuta Roma 1998 sebagai kejahatan HAM berat dalam konflik bersenjata, maka kejahatan agresi juga sebagai kejahatan HAM berat terkait konflik bersenjata. Sehingga kaidah-kaidah perang beserta unsureunsurnya dapat menjadi pedoman penegakan hukum terhadap kejahatan agresi dalam masa peralihan dan kekosongan hukum karena ketiadaan rumusan definisi kejahatan agrsei beserta unsure-unsur kejahatannya. Jadi esseni umum dari “perang” dan “agresi” adalah konflik bersenjata, dengan demikian ditemukan hukum secara analogi, kejahatan agresi adalah kejahatan HAM berat, sama dengan Kejahatan Perang adalah kejahatan HAM berat. 2) Metode Fiksi Hukum, merupakan metode Fiksi dalam penemuan hukum merupakan konsekuensi dari asas in dibio pro reo artinya bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang, dan asas hukum setiap kejahatan (HAM) harus dapat diadili atau Asas Au Dedere Au Punere, Asas Au Dedere Au Judicare, dan Asas Primacy (secara terbatas).. Bahwa Kejahatan Agresi telah ditetapkan dalam Pasal 5 ayat 1 (d) Statuta Roma 1998, namun definisi kejahatannya belum dirumuskan beserta unsure-unsur kejahatannya. Sehingga dilakukan upaya fiksimisasi dengan cara menggambarkan pemahamaan kejahatan agresi itu sedemikian rupa sebagai tindak pidana sesuai tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam masyarakat pada saat terjadinya masa peralihan atau kekosongan hukum tersebut. Penggambaran pemahanan kejkahatan agresi ini dapat 379 dirumuskan sebagai definisi kejahatan HAM beserta unsure-unsur kejahatannya. Akan tetapi ketika telah diterima atau menjadi ketentuan undang-undang, maka fiktimisasi ini berakhir. c. Beberapa Penganut Doktrin Sehubungan dengan penemuan hukum dalam masa peralihan atau kekosongan hukum, pendapat atau doctrine yang paling terkait adalah Penganut Doktrin “Sens-clair” (la doctrine du sensclair), Penganut Paham “Penemuan Hukum Selalu Harus Dilakukan”, dan Konsep transformasi, yaitu: 1) Penganut Doktrin “Sens-clair”(la doctrine du sensclair). Menurut doktrin ini, penemuan hukum hanya diperlukan dalam hal: (1) Peraturan belum ada untuk suatu kasus in konkreto. (2) Peraturan sudah ada, tetapi teksnya tidak jelas. Penemuan hukum baik melalui upaya penafsiran maupun konstruksi hukum tidak lagi diperlukan dalam hal aturan hukum sudah pasti dan jelas.( in claris non est interpretation ). Akan tetapi terhadap kejahatan agresi meskipun sudah ditetapkan sebagai suatu kejahatan, namun menimbulkan ketidakjelasan karena definisi deliknya beserta unsure-unsur kejahatannya belum dirumuskan, sehingga menimbulkan ketidak pastian dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu diperlukan upaya penemuan hukum dalam rangka penegakan hukum agresi. 380 2) Penganut Penemuan Hukum selalu harus dilakukan. Penganut ini berangkat dari pandangan, bahwa bahasa senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa, oleh karena itu kata-kata apapun tidak pernah jelas, selalu membutuhkan penafsiran. Meskipun pemahaman ini dimaksudkan terhadap ketentuan hukum yang sudah ada, namun dapat pula diterapkan dalam ketentuan kejahatan agresi sudah ada, tetapi defenisi deliknya beserta unsure-unsur deliknya belum dirumuskan. Sehingga penafsiran maupun konstruksi hukum dalam rangka penemuan hukum terhadap kejahatan agresi selalu dapat dilakukan. 3) Konsep Transformasi. Selain hal diatas menurut hemat penulis, bahwa transformasi nilai abstrak dari teks ketentuan hukum/UU menjadi suatu tindakan nyata (law in action) berupa keputusan-keputusan hukum yang dapat dijalankan memerlukan penafsiran dan konstruksi sebagai penemuan hukum. Law in action selalu memerlukan proses penalaran melalui penafsiran dan konstruksi hukum dalam tindakan. Hal ini penulis sebut sebagai konsep transformasi law in action. Sesungguhnya kejahatan agresi telah ditegakkan dalam beberapa kasus kejahatan HAM dimasa lalu terutama oleh Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo yang mengadili penjahat perang dunia kedua. Dimana kejahatan agresi dikaitkan dengan kejahatan perang. Transformasi nilai-nilai yuridis tentang kejahatan agresi dari putusan kedua Tribunal tersebut menjadi ketentuan hukum positif dalam Statuta Roma 1998 .sangat diperlukan. Sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan HAM berat menjadi efektif. 381 C. Beberapa Sumber Tentang Kejahatan Agresi 1. Kejahatan Agresi Menurut Liga Bangsa-Bangsa Dalam Pasal 231 Piagam Liga Bangsa-Bangsa (LBB) diatur tentang tanggungjawab terhadap peristiwa perang. Juga ditegaskan tentang Prinsip Non Intervensi dan Non Agresi. Prinsip Non Intervensi ini dimaksudkan sebagai larangan terhadap setiap negara untuk melakukan campur tangan dalam bentuk apapun terutama dengan penggunaan kekeras bersenjata terhadap urusan-urusan dalam negara lain. Sedang Prinsip Non Agresi adalah larangan melakukan perang sebagai alat untuk menyelesaikan pertikaian atau sengketa diantara negara-negara. Kedua larangan ini ditegaskan karena sebelumnya negara-negara yang bertikai lebih cenderung menggunakan perang atau bentuk kekerasan bersenjata lainnya untuk menyelesaian persengketaan mereka. Hal inilah yang memicuh terjadinya peperangan termasuk perang dunia pertama di Eropah yang menimbulkan jatuhnya jutaan korban jiwa penduduk yang tidak berdosa. Berdasarkan Pasal 231 Piagam Liga, Prinsip Non Intervensi dan Prinsip Non Agresi di atas, dapat disimpulkan pemahaman Liga Bangsa-Bangsa tentang kejahatan agresi adalah tindakan suatu negara yang memulai serangan bersenjata terhadap negara lainnya yang menimbulkan perang. 382 2. Kejahatan Agresi Menurut Perserikatan BangsaBangsa Pemahaman PBB tentang kejahatan agresi dilakukan berdasarkan fakta atas agresi Jepang ke Tiongkok (1931), agresi Italia pimpinan Fascic diktator Mussolini di Abesinia (1934) dan agresi Jerman pimpinan NAZI diktator Hitler ke Austria, Cekoslowakia dan Polandia (1939), yang memicu api perang dunia kedua, Sehingga kejahatan agresi diartikan sebagai serangan militer yang pertama kali dilakukan suatu negara terhadap negara lainnya yang menyebabkan terjadinya perang. Pemahaman fakta tersebut di atas mendorong ditegaskannya Prinsip Penyelesaian Sengketa secara Damai tanpa Kekerasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 3 dan 4 Piagam PBB sebagai berikut: Pasal 2 “Ayat 3. Segenap anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional , serta keadilan tidak terancam. Ayat 4. setiap anggota dalam hubungan internasional menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu Negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa”. 383 Prinsip ini pula menggambarkan PBB menganut Prinsip Non Intervensi dan Prinsip Non Agresi, namun secara terbatas-rasional oleh karena berdasarkan Pasal 39 jo. Pasal 41 & 42 Piagam PBB masih dimungkinkan Negara-Negara yang tergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB dapat mengambil tindakan paksaan secara militer terhadap negara yang dianggap telah melakukan: ancaman terhadap perdamaian, pengacauan terhadap perdamaian, dan tindakan agresi. Pasal 39 “Dewan Keamanan Akan menentukan ada tidaknya sesuatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, umtuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional”. Pasal 41 “Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakantindakan apa diluar penggunaan kekuatan senjata harus dilaksanakan agar keputusankeputusannya dapat dijalankan, dan dapat meminta kepada Anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan tindakantindakan itu. Termasuk tindakan-tindakan itu ialah pemutusan seluruhnya atau sebagian hubunganhubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraph, radio dan alat-alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik”. 384 Pasal 42 “Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, maka Dewan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Dalam tindakan itu termasuk pula demontrasi-demonstarsi, blockade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat dari Anggota-anggota Perserikatan BangsaBangsa”. Selain itu, suatu negara dibolehkan juga mengambil tindakan paksa karena alasan pembelaan diri (self Defence) berdasarkan Pasal 51 Piagam, yaitu: Pasal 51 “Tidak ada suatu ketentuan dalam Piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh Anggota-anggota didalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimananpun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggungjawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional”. 385 Dengan demikian tindakan militer yang dilakukan terhadap suatu negara dianggap bukan suatu kejahatan agresi, manakala dilakukan oleh Pasukan Perdamaian PBB dan Pembelaan diri oleh suatu negara. Tindakan paksa tersebut juga dapat dilakukan terhadap kelompok bersenjata bukan negara, sebagaimana dimaksudkan pula oleh Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol Tambahan II tahun 1977. Prinsip Penyelesaian secara damai tanpa kekerasan terlebih dahulu ditegaskan dalam Pasal 2 Perjanjian Paris 1928 The General Treaty for the Renunciation of war, yaitu: Pasal 2 “Negara-Negara Agung yang berjanji setuju bahwa penyelesaian atau pemecahan semua perselisihan atau sengketa apa juapun sifat atau asalnya, tidak akan pernah dicari kecuali dengan cara damai”. Majelis Umum PBB telah menjelaskan dan merumuskan agresi dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) tanggal 14 Desember 1974 dalam beberapa pasal. Defenisi Agresi ditegaskan dalam article 1 : Aggression is the use of armed force by a State against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another State, or in any other manner inconsistent with the Charter of United Nations, as set out in this Definition. Dengan demikian Majelis Umum PBB merumuskan definisi agresi sebagai penggunaan pasukan bersenjata oleh sesuatu negara terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik dari negara lain atau dengan cara-cara lain apapun yang bertentangan dengan Piagam PBB seperti tersebut dalam defenisi ini. 386 Selanjutnya Majelis Umum PBB melengkapi definisi agresi dalam 1 di atas dengan beberapa pasal berikutnya, yaitu: Pasal 2 menjelaskan mengenai penggunaan pasukan bersenjata yang pertama oleh suatu negara, yang tidak sesuai dengan Piagam PBB, akan merupakan bukti dari suatu tindak agresi, meskipun Dewan Keamanan PBB menurut Piagam PBB dapat menentukan bahwa suatu tindak agresi telah dilakukan tidak akan dibenarkan. Dalam Pasal 3 Resolusi tersebut dijelaskan tindakan -tindakan yang harus dianggap tindak agresi tanpa memandang adanya pernyataan perang, meliputi: (a) invasi atau serangan oleh angkatan bersenjata suatu negara dari wilayah negara lain, atau pendudukan militer, namun sementara, akibat invasi atau serangan, atau aneksasi saja dengan penggunaan kekuatan dari wilayah Negara Pihak lainnya atau bagiannya; (b) Pengeboman oleh angkatan bersenjata suatu negara terhadap wilayah negara lain atau penggunaan senjata oleh suatu Negara terhadap wilayah Negara Pihak lainnya; (c) Blokade pelabuhan atau pantai suatu Negara oleh angkatan bersenjata negara lain; (d) serangan oleh angkatan bersenjata suatu Negara pada kekuatan darat, laut atau udara, atau laut dan armada udara negara lain; (e) Penggunaan kekuatan bersenjata dari satu Negara yang berada dalam wilayah Negara Pihak lainnya dengan persetujuan dari Negara penerima, yang bertentangan dengan persyaratan yang diatur dalam perjanjian itu atau perpanjangan kehadiran mereka di wilayah tersebut di luar penghentian perjanjian; 387 (f) Tindakan dari suatu Negara dalam membiarkan wilayahnya, yang telah ditempatkan di tentukan negara lain, untuk digunakan oleh negara lain untuk melakukan tindakan agresi terhadap suatu negara ketiga; (g) Pengiriman oleh atau atas nama suatu Negara kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau tentara bayaran, yang melakukan tindakan kekerasan bersenjata terhadap negara lain atas gravitasi seperti jumlah tindakan yang tercantum di atas, atau keterlibatan substansial di dalamnya. Pasal 4 menyatakan: Tindakan-tindakan yang telah diuraikan diatas belum berarti mencakup keseluruhannya dan dewan keamanan PBB bisa saja menentukan bahwa tindakan-tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Pasal 5 menyatakan: Tidak ada pertimbangan mengenai sifat apapun baik politik, ekonomi, militer, atau lainnya yang dapat dijadikan sebagai pembenaran mengenai agresi. Perang agresi merupakan kejahatan terhadap perdamaian dunia. Agresi tersebut mengakibatkan tanggungjawab internasional dan tidak ada perolehan wilayah atau keuntungan khusus sebagai hasil dari agresi itu diakui secara sah. Pasal 7 menyebutkan: Tidak ada dalam definisi ini khususnya pasal 13 bagaimanapun juga yang dapat merugikan hak penentuan nasib sendiri, kebebasan dan kemerdekaan, sebagaimana tersebut dalam Piagam PBB, menghilangkan hak bangsa-bangsa tersebut dengan paksa sebagaimana tersebut juga dalam deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan bersahabat dan kerjasama antara bangsa bangsa sesuai dengan Piagam PBB, khususnya bangsa-bangsa yang 388 berada dibawah penjajahan dan rezim rasis ataupun bentuk-bentuk dominasi asing lainnya, ataupun hak dari bangsa-bangsa tersebut untuk mencari dan menerima bantuan sesuai dengan prinsip-prinsip piagam dan deklarasi tersebut. Definisi tentang agresi tersebut masih dianggap belum lengkap sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Selain itu lebih bersifat rekomendasi dari Majelis Umum PBB kepada Dewan Keamanan PBB sebagai pihak yang memegang otoritas super body dalam menjalankan, menguji dan menentukan apakah suatu tindakan bersenjata suatu negara terhadap negara lain merupakan tindakan agresi atau pelanggaran terhadap perdamaian atau pengancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. 61 3. Kejahatan Agresi Menurut Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo Bahwa Tribunal Nuremberg dan Tribunal Tokyo ini dibentuk oleh Negara sekutu pemenang perang dunia kedua: Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Perancis untuk mengadili penjahat perang di Jerman dan di Jepang yang kalah perang. Dalam putusan kedua Tribunal Ad Hoc tersebut menjatuhkan putusan berdasarkan pemahaman kejahatan agresi sebagai serangan militer yang pertama kali dilakukan suatu negara terhadap negara lainnya yang menyebabkan terjadinya perang. 61 Lokollo, Albert. Beberapa Catatan Tentang Definisi Agresi. Dalam Piagam PBB Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. 2011. hlm. 5 389 Akan tetapi dalam putusan Tribunal Nuremberg pemahaman agresi diperjelas lagi dengan membedakan antara perang agresi dan tindakan agresi. Perang agresi diartikan sebagai serangan militer suatu negara yang mendapat perlawanan bersenjata dari penduduk yang diserang, seperti pendudukan Jerman atas Polandia sejak tanggal 1 September 1939 yang mendapat perlawanan bersenjata yang sengit dari penduduk Polandia. Sedang Tindakan agresi adalah serangan militer suatu negara yang tidak mendapat perlawanan berarti dari penduduk yang diserang, seperti tindakan pendudukan Jerman atas Austria pada tahun 1938 dan Cekoslowakia pada tahun 1939 tanpa mendapat perlawanan bersenjata yang berarti. 4. Kejahatan Agresi Internasional PBB Menurut Komisi Hukum Pada tahun 1954 Komisi Hukum Internasional PBB telah mengusulkan konsep Agresi kepada Majelis Umum PBB. Konsep agresi ini dikaitkan sebagai tindakantindakan yang bertentangan dengan perdamaian dan keamanan internasional, yaitu: Setiap tindakan Agresi, termasuk penempatan kekuatan bersenjata oleh penguasa sebuah negara terhadap negara lain dengan tujuan apapunkecuali pembelaan diri baik nasional maupun bersama atau menjalankan keputusan PBB atau berdasarkan rekomendasi sebuah organ PBB yang berwenang. Setiap ancaman oleh penguasa sebuah negara untuk terpaksa mengambil tindakan agresi terhadap negara lain. 390 Berdasarkan konsep agresi tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa kejahatan agresi adalah serangan militer ataupun penempatan kekuatan militer atau cara lain yang bertentangan dengan Piagam PBB suatu negara terhadap negara lain yang menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kebebasan politik negara lain tersebut. 5. Kejahatan Agresi Menurut Pendapat Ahli a. Menurut J.G. Starke. Starke tidak memberikan rumusan definisi agresi, tetapi mengambil kesimpulan dari konsep agresi yang dikemukakan oleh Komisi Hukum Internasional PBB, bahwa agresi adalah penggunaan angkata bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan, integritas wilayah, atau kebebasan politik negara lain atau cara lain yang bertentangan dengan Pagam PBB. Kemudian Starge memberikan penjelasan tentang kesulitan memberikan definisi agresi, karena bagaimana menentukan adanya perang agresi atau kapan permusuhan-permusuhan bukan perang menimbulkan tindakan agresi. b. Menurut Lauterpacht Oppenheim. Oppenheim menempatkan agresi sebagai bagian dari perang, dimana definisi perang adalah:” suatu pertikaian (kontensi) antara dua atau lebih Negara dengan menggunakan Angkatan Bersenjata, dengan maksud mengungguli kekuatan satu sama laindan menentukan syaratsyarat damai manakala pemenang menyetujuinya”. 391 Pendapat Oppenheim dan pakar hukum internasional lainnya pada pokoknya sama dengan Konvensi Den Haag III tahun 1907 mengenai permulaan perang., yaitu: bahwa permusuhan atau perang tidak dapat dimulai tanpa pemberitahuan secara eksplisit berupa: (a) pernyataan perang yang mencatat sebab-sebab pernyataan itu, atau, (b) suatu ultimatum perang bersyarat. yang memuat pernyataan Dalam pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa memulai perang tanpa pernyataan perang atau ultimatum perang disertai alasan-alasannya yang sah, merupakan kejahatan agresi sebagai bagian dari kejahatan perang. Pada saat ini perang masih diakui sebagai alat politik menyelesaikan sengketa diantara negara-negara. Namun demikian dalam hal suatu Negara melakukan tindakan bersenjata karena pembelaan diri berdasarkan pasal 51 Piagam PBB atau pasukan multinasional PBB akan melakukan tindakan bersenjata bersenjata berdasarkan pasal 39 jo. Pasal 1 dan pasal 42 Piagam PBB, maka prinsip pernyataan perang atau ultimatum perang ini masih dipraktekkan dalam bentuk pemberitahuan tindakan bersenjata disertai alasan-alasannya kepada Negara atau organisasikelompok bersenjata bukan Negara yang dituju. 392 c. Menurut Yoram Dinstein Yoram Dinstein tidak memberikan rumusan tentang agresi. Tepati tanggapan dan kesimpulannya terhadap agresi dan peran Majelis Umum PBB beserta Dewan Keamanan PBB begitu penting. Dijelaskannya 62 bahwa harus diakui bahwa Definisi Majelis Umum tentang Agresi merupakan definisi yang paling baru dan paling banyak (meskipun tidak universal) diterima. Setidaknya satu paragraf dari Definisi itu, yaitu, Pasal 3 (g), telah diselenggarakan oleh Mahkamah Internasional, dalam kasus Nikaragua tahun 1986, untuk mencerminkan hukum internasional. Bahkan Hakim Schwebel, yang mengingatkan dalam Opini Dissenting-nya untuk tidak memperbesar pentingnya Definisi, mengakui bahwa hukum internasional ini tidak dapat dilepaskan begitu saja. Definisi lain tentang agresi pasti ada, beberapa dari mereka dalam bentuk konvensional (khususnya dalam perjanjian yang disetujui oleh Uni Soviet dengan negara-negara tetangga pada tahun 1933). Namun definisi ini tidak berlaku untuk pihak yang tidak menandatanganinya, dan definisi itu tidak lagi berlawanan dengan kontur kejahatan terhadap perdamaian. Esensi kejahatan terhadap perdamaian harus diambil dari pendapat Majelis Umum. Selain itu, Majelis Umum menggunakan teknik definisi gabungan, yang menggabungkan elemen umum dan enumerative: definisi ini mulai dengan pernyataan abstrak tentang apa arti agresi, dan ditambah dengan katalog ilustrasi tertentu "Bagian umum Definisi ini diwujudkan dalam Pasal 1: 62 Yoram Dinstein. War Aggression And Self-Defence. Third Edition.Cambrige University Press. United Kingdom,2004. hlm.115-118. 393 Agresi adalah penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu Negara terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten dengan Piagam PBB, sebagaimana tercantum dalam Definisi ini. " Dalam sebuah penjelasan, para perumus Definisi inimenjelaskan bahwa istilah `Negara mencakup negara non-Anggota PBB, mencakup sekelompok Negara dan digunakan tanpa mengurangi masalah pengakuan. Pasal 1 Definisi itu mengulangi inti ketentuan dalam Pasal 2 (4) Piagam PBB, yaitu: (a).), dengan beberapa variasi: (i) ancaman kekuatan belaka adalah dikecualikan, (ii) kata sifat “bersenjata (armed)” diselakan sebelum kata benda “kekuatan (force)”, (iii) `kedaulatan (sovereignth)’ disebutkan bersama-sama dengan integritas wilayah dan kemerdekaan politik Negara korban, (iv) korban digambarkan sebagai negara lain (negara manapun), (v) penggunaan kekuatan dilarang manakala tidak konsisten dengan Piagam PBB secara keseluruhan, dan tidak hanya dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, (vi) hubungan (linkage) dibuat bagian akhir Definisi tersebut. Beberapa hal diatas bersifat siginifikan. Sementara hal yang lainnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar. Dengan demikian, rujukan terhadap inkonsistensi Piagam secara keseluruhan (bukan hanya Tujuan PBB) menyiratkan bahwa bahkan ketentuan teknis dari Piagam harus ditaati, sehingga pelanggaran prosedur yang rinci dalam Piagam dapat mengubah penggunaan kekuatan bersenjata menjadi agresi yang melanggar hukum/tidak sah. . 394 Pasal 2 Definisi Agresi menetapkan bahwa `[t] penggunaan pertama kali kekuatan bersenjata oleh suatu Negara bertentangan dengan Piagam PBB akan merupakan bukti prima facie tindakan agresi, tetapi Dewan Keamanan dapat menentukan lain dalam semangat bila ada keadaan (kondisi) lain yang relevan, termasuk fakta bahwa tindakan yang bersangkutan atau konsekuensinya bukan merupakan keadaan kegawatan (gravity) yang cukup. Kondisi lain yang relevan telah meninggalkan margin yang luas untuk interpretasi; tampaknya, margin itu mencakup maksud dan tujuan dari negara yang bertindak. Sementara itu Pasal 2 berorientasi pada Dewan Keamanan, intinya sama erat dengan isu tanggung jawab hukuman (penal responsibility). Penggunaan pertama dari kekuatan bersenjata bukan merupakan bukti konklusif dari komisi kejahatan terhadap perdamaian. Paling tidak pembukaan penembakan menciptakan praduga yang dapat diperdebatkan untuk dapat dikecam. Ketika semua fakta ditimbang, mungkin ada sisi lain yang bertanggung jawab untuk memulai perang agresi. Klausa de minimis dalam Pasal 2 menjelaskan bahwa beberapa peluru nyasar melalui perbatasan ‘tidak dapat disebut sebagai tindakan agresi. Dalam nada yang sama, insiden yang kecil berada di luar lingkup dari kejahatan terhadap perdamaian. Memang, tanggung jawab atas perang agresi mungkin ditanggung oleh Negara target, jika itu memakai kekuatan komprehensif dalam reaksi yang berlebihan terhadap insiden yang kecil. Penghitungan tindakan spesifik agresi muncul dalam Pasal 3. Dalam pasal ini, sejumlah tindakan agresi berikut (terlepas dari deklarasi perang’) mencakup: 395 (a) invasi atau serangan oleh angkatan bersenjata suatu negara dari wilayah negara lain, atau pendudukan militer, namun sementara, akibat invasi atau serangan, atau aneksasi saja dengan penggunaan kekuatan dari wilayah Negara Pihak lainnya atau bagiannya; (b) Pengeboman oleh angkatan bersenjata suatu negara terhadap wilayah negara lain atau penggunaan senjata oleh suatu Negara terhadap wilayah Negara Pihak lainnya; (c) Blokade pelabuhan atau pantai suatu Negara oleh angkatan bersenjata negara lain; (d) serangan oleh angkatan bersenjata suatu Negara pada kekuatan darat, laut atau udara, atau laut dan armada udara negara lain; (e) Penggunaan kekuatan bersenjata dari satu Negara yang berada dalam wilayah Negara Pihak lainnya dengan persetujuan dari Negara penerima, yang bertentangan dengan persyaratan yang diatur dalam perjanjian itu atau perpanjangan kehadiran mereka di wilayah tersebut di luar penghentian perjanjian; (f) Tindakan dari suatu Negara dalam membiarkan wilayahnya, yang telah ditempatkan di tentukan negara lain, untuk digunakan oleh negara lain untuk melakukan tindakan agresi terhadap suatu negara ketiga; (g) Pengiriman oleh atau atas nama suatu Negara kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau tentara bayaran, yang melakukan tindakan kekerasan bersenjata terhadap negara lain atas gravitasi seperti jumlah tindakan yang tercantum di atas, atau keterlibatan substansial di dalamnya. 396 Ketujuh paragrap ini mengidentifikasi contoh agresi yang menyolok. Jelas, beberapa tindakan agresi yang diperinci dalam Pasal 3 dapat terdiri dari langkah-langkah short of war, yang bukan merupakan kejahatan terhadap perdamaian menurut Definisi Agresi tersebut. Namun, seperti yang diamati, kecenderungan saat ini (setidaknya dalam teori) adalah untuk memperluas kejahatan terhadap perdamaian ke tindakan agresi pada umumnya. Fakta bahwa paragrap (g) telah diutarakan oleh Mahkamah Internasional menjadi deklarasi hukum kebiasaan internasional mungkin menjadi indikasi bahwa bagian-bagian lain dari Pasal 3 sama-sama dapat dimasukkan di bawah judul kodifikasi benar. Tapi apa pun status hukum dari paragraf itu, Pasal 3 tidak dimaksudkan untuk menunjukkan seluruh spektrum agresi. Menurut Pasal 4, ketentuan dalam Pasal 3 tidak melemahkan definisi istilah itu, dan Dewan Keamanan dapat menentukan tindakantindakan lain apa yang sama dengan agresi. Namun demikian kelemahan dari definisi agresi dalam resolusi Majelis Umum PBB tersebut terletak pada rumusan agresi yang sebagian besar mengurangi penekanan aspek pidananya dan lebih menekankan pada dimensi politiknya. Kemudian rumusan ini direkomendasikan kepada Dewan Keamanan PBB (Pasal 10 dan 11 (1) Piagam PBB. Sehingga juga mempengaruhi melemahnya peran Dewan Keamanan PBB walaupun memiliki kewenangan penyelidikan untuk menilai apakah suatu tindakan bersenjata merupakan agresi atau tidak. Saat berada dalam penanganan Dewan Keamanan seringkali tujuan-tujuan politis dikedepankan ketimbang penyelidikan yudisial yang menuntut adanya tanggungjawab pidana terhadapnya. 397 Padahal nilai utama dari setiap definisi agresi terletak di bidang pidana/kejahatan. Alasannya adalah bahwa pengadilan yang diberi hak dengan yurisdiksi untuk mengadili kejahatan terhadap perdamaian tidak mungkin mengabaikan tema agresi, yang merupakan inti (gravamen) dari tuntutan: kecuali suatu perang bersifat agresif, tidak ada kejahatan yang telah dilakukan. Sebaliknya, menurut Bab VII Piagam PBB, kekuasaan Dewan Keamanan adalah identik dalam menghadapi agresi, pelanggaran terhadap perdamaian atau ancaman terhadap perdamaian. Hal ini tidak penting bagi Dewan Keamanan untuk menentukan secara spesifik bahwa agresi telah dilakukan. Terlepas dari klasifikasi yang pasti dari kegiatan yang diperiksa oleh Dewan Keamanan - selama mereka dapat dikategorikan sebagai agresi atau sebagai pelanggaran, atau ancaman bagi, perdamaian - Dewan Keamanan berwenang untuk memasukkan efek tindakan keamanan kolektif yang sama. Namun demikian, karena Majelis Umum sebagian besar mengurangi penekanan aspek pidana perumusannya, dan menekankan dimensi politik, Definisi Agresi kurang efektif dalam penegakan hukumnya. Berdasarkan Pasal 10 dan 11 (1) Piagam PBB, Majelis Umum (mengadopsi Definisi Agresi) berwenang untuk membuat rekomendasi kepada Dewan Keamanan. Meskipun Majelis Umum tidak kompeten untuk mendikte definisi agresi kepada Dewan Keamanan, Majelis Umum diberi kekuasaan untuk memberikan panduan dalam bentuk rekomendasi demi kepentingan Dewan Keamanan. Dalam kenyataannya, setelah keberadaanya lebih dari seperempat abad, Definisi Agresi tidak memiliki dampak yang kuat pada pertimbangan Dewan Keamanan. Dewan Keamanan bebas untuk merancang konsep baru tentang agresi. Demikian pula, jika Dewan ini melakukannya – dengan mengabaikan Definisi Majelis Umum serta preseden 398 sebelumnya - tanggung jawab kejahatan tidak boleh terjadi, karena itu prinsip nullum crimen sine lege sekarang diabadikan dalam hukum internasional umum. Pasal 15 (1) Kovenan internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan: `Tidak ada orang yang harus dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang bukan merupakan suatu pelanggaran pidana, menurut hukum nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Pasal 5 (1) Definisi Agresi menyatakan bahwa tidak boleh ada pertimbangan dalam bentuk apapun, baik politik, ekonomi, militer atau lainnya, yang berfungsi sebagai pembenaran untuk agresi. Ayat ini menegaskan bahwa motif tidak menjelaskan: motif yang baik tidak mencegah suatu tindakan menjadi tindakan ilegal. Motif sebaik apapun tidak menghilangkan sifat melawan hukum suatu tindakan. Pasal 6 menambahkan syarat bahwa Definisi ini dapat boleh ditafsirkan sebagai cara apapun untuk memperbesar atau mengurangi ruang lingkup Piagam PBB, termasuk ketentuan-ketentuannya tentang kasus di mana penggunaan kekuatan adalah sah. Jadi, jika suatu tindakan yang dijelaskan dalam Pasal 3 secara sah dapat diklasifikasikan sebagai pembelaan diri secara sendiri atau kolektif maka tindakan bersenjata tersebut adalah sah. Selanjutnya Yoram Dinstein menguraikan63 ketentuan pasal 7 tentang definisi agresi yang dipandangnya paling kontroversial. Dalam Definisi ini, dan khususnya pasal 3, dengan cara apapun tidak boleh mengurangi hak untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan kemerdekaan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Piagam PBB, dari masyarakat yang secara paksa dirampas haknya, 63 Yoram Dinstein. Ibid. hlm. 119-120 399 dan dimaksud dalam Deklarasi tentang Prinsipprinsip HUkum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam PBB, khususnya masyarakat di bawah rezim kolonial dan rasis atau bentuk lain dari dominasi asing, maupun hak orang-orang yang berjuang untuk itu dan untuk mencari dan menerima dukungan, sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam PBB dan sesuai dengan Deklarasi yang disebutkan di atas. Secara tekstual, istilah yang tersirat dalam Pasal 7 mencerminkan kompromi antara pandangan yang tidak bisa didamaikan. Secara politis, penerapan klausul tersebut memberikan dorongan kepada konsep bahwa perang pembebasan nasional adalah perang yang adil . Secara hukum, hak untuk menerima (dan mungkin untuk memberikan) dukungan dari luar untuk perang pembebasan nasional adalah subordinasi dari Prinsip Piagam PBB. Subordinasi semacam ini tersirat dalam setiap resolusi Majelis Umum, yang jika bertentangan dengan Prinsip-prinsip Piagam PBB - dapat dianggap sebagai ultra vires. Tapi dalam hal apapun, keunggulan Piagam ini telah disebutkan, baik dalam ketentuan umum Pasal 6 dan (supaya jangan ada kesalahpahaman tentang bagaimana Pasal 6 dan Pasal 7 saling berhubungan, dengan mengingat bahwa keduanya dimulai dengan pernyataan yang sama “tak satupun dalam Definisi ini [nothing in this definition]” dapat ditafsirkan sebagai mengurangi efek klausul) yang lebih konkret dalam Pasal 7 itu sendiri. Piagam ini tidak mengizinkan penggunaan kekuatan antar Negara, kecuali dalam latihan keamanan pertahanan secara sendiri atau kolektif, (a). Jika Pasal 7 dipahami sebagai jalan lain untuk memungkinkan kekuatan bersenjata oleh satu negara terhadap yang lain demi memperkuat hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri, dalam keadaan yang melebihi batas-batas keamanan sendiri atau 400 kolektif, maka dispensasi tersebut menjadi tidak konsisten dengan piagam PBB.64 Pada akhirnya, disimpulkannya bahwa perang agresif saat ini dilarang oleh hukum kebiasaan internasional dan hukum konvensional internasional, dan bahkan merupakan kejahatan terhadap perdamaian. Larangan hukum perang membentuk landasan sistem hukum internasional kontemporer. Diakui, sampai saat ini, larangan tersebut tidak memiliki dampak besar pada perilaku aktual Negaranegara. Sampai sekarang, jejaknya yang lebih nyata dalam kosa kata Negara. Sebuah iklim internasional telah dihasilkan di mana istilah `perang’ memiliki konotasi buruk. Oleh karena itu, sementara Negaranegara masih terus berperang, ‘mereka lebih suka memperhatikan alasan moral yang tinggi dan menggambarkan kegiatan mereka dalam bentuk eufemisme yang sesuai. Kita mungkin mengatakan, dalam kombinasi sinisme dan realisme, bahwa sejauh ini penghapusan perang yang legal tidak membasmi perang tetapi deklarasi perang. Lipservice terhadap penyebab perdamaian ini mungkin bersifat hipokrit (munafik). Namun, seperti yang disampaikan penuh arti oleh La Rochefoucauld, I hypocrisie est un hommage que le rend ala vertu (kemunafikan adalah penghargaan yang membuat kebijakan)’. ‘Pengakuan kebajikan adalah langkah awal yang sangat diperlukan yang tanpanya sifat buruk tidak bisa dihapuskan. Namun demikian, tabu pada penggunaan kata “perang” dalam analisis hukum tidak masuk akal sama sekali. Kenyataan bahwa perang dibuang secara linguistik tidak akan membuatnya lenyap secara empiris. Apakah kita menggunakan frase ini atau frase itu tidak mengubah kebenaran tak terbantahkan bahwa konflik bersenjata yang 64 Yoram Dinstein. Ibid. hlm.283. 401 komprehensif masih menyelubungi hubungan internasional. Jika fenomena perang harus diberantas, maka fenomena ini harus dihadapi dan bukannya diabaikan. Jika tidak, semua yang kita dibiarkan menjadi kemunafikan. Agar perang agresif (dan juga penggunaan kekuatan short of war yang melanggar hukum) menghilang, masyarakat internasional harus menetapkan langkah-langkah keamanan kolektif yang efektif. Pemanfaatan kekuatan untuk prosedur hukum dan ketertiban internasional merupakan tantangan nyata di zaman kita. Sayangnya, kinerja yang lemah dari Dewan Keamanan PBB (yang telah dipercayakan dengan tugas ini oleh Piagam PBB) telah menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan yang meluas. Mekanisme penegakan yang mengikat dari PBB – yang tertuang dalam Pasal 42 Piagam PBB belum diaktifkan meskipun Perang Dingin telah berakhir (dan meskipun usulan konkret telah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1992, sebagai jawaban atas undangan Dewan Keamanan). Kebijakan Dewan Keamanan mengenai tindakan penegakan hukum yang permisif berdasarkan pada subkontrak ke organisasi regional NATO di Bosnia-Herzegovina telah menyebabkan preseden yang menggelisahkan dari NATO yang memberlakukan/menegakkan hukum dan ketertiban di Kosovo, pada tahun 1999, tanpa otorisasi dari Dewan. Selama skema Piagam PBB tentang keamanan kolektif gagal berfungsi secara memadai, Negaranegara dibiarkan dengan perangkat mereka sendiri saat berhadapan dengan penggunaan kekuatan yang melanggar hukum. Lagi-lagi, mereka meminta hak (individu atau kolektif) pertahanan diri dalam merespon serangan bersenjata. Jadi, bukan menjadi waktu tunggu sambil menunggu pelaksanaan keamanan kolektif, pertahanan diri (individual 402 maupun kolektif) telah mengambil tempat keamanan kolektif. Selama Perang Dingin, gavitas sentral dalam PBB telah berayun dari Pasal 39 ke Pasal 51. Meskipun perubahan telah terasa dalam lanskap dunia politik sejak berakhirnya Perang Dingin, hak membela diri - individu dan kolektif - tetap menjadi perisai utama terhadap serangan bersenjata . d. Menurut Thomas M. Franck Walaupun tidak memberikan definisi kejahatan agresi, namun kritikan dan kesimpulan Thomas M. Franck tentang pelaksanaan wewenang polisional Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal 42 dan 43 Piagam PBB dapat memberi gambaran yang jelas dan lengkap tentang pengertian agresi dan upaya penanggulangannya dalam beberapa peristiwa konflik bersenjata. Menurutnya,65 Berdasarkan pasal 43 Piagam PBB, Dewan Keamanan diberi wewenang untuk membentuk milisi polisi internasional yang bersifat tetap. Tetapi dalam kenyataannya mengalami kegagalan. Diperhadapkan dengan kegagalan ini Dewan Keamanan telah mengadaptasi dengan menggunakan, atau memberi wewenang negara untuk menggunakan, pasukan ad hoc yang disatukan bersama untuk tujuan menanggapi krisis tertentu, bukannya seperti yang diusulkan Hull pada tahun 1943.Jauh dari lumpuh karena kegagalan untuk menyadari potensi Pasal 43, sistem tersebut, dalam prakteknya, telah mengembangkan cara baru untuk menyebarkan kekuatan untuk mengamankan perdamaian dan melawan agresi. 65 Thomas M. Franck. Recourse to Force State Action Against Threats and Armed Attacks. Cambrige University Press. United Kingdom 2004. Hlm. 24-25. 403 Pemberian wewenang tindakan kolektif ad hoc Dewan Keamanan tersebut pertama kali dilakukan pada Perang Korea, menyusul pergolakan bersenjata di Kongo tahun 1960, pemberian sanksi PBB terhadap rezim kulit putih Ian Smit di Crown Colony Rhodesia tahun 1966, peperangan di Timur Tengah antara Israel – Palestina, Mesir, Libanon, Suriah tahun 1957 – 1960-an, operasi “Desert Storm” setelah invasi Irak ke Kuwait 1992, dalam Perang di Balkan, Bosnia-Herzegovina dan Kosovo tahun 1992 – 1994, dan terkini konflik bersenjata dalam negeri Libya 2010 dan Suriah tahun 2011. Sebagaimana dalam perang Korea, penggunaan kekuatan bersenjata negara-negara yang diberi mandat oleh Dewan Keamanan PBB secara Ad Hoc digambarkan sebagai berikut. Pada tanggal 25 Juni 1950, Sekretaris Jenderal Trygve Lie melaporkan serangan malam sebelumnya oleh Korea Utara ke Korea Selatan. Dengan memberikan kualifikasi situasi tersebut sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, ia meminta Dewan Keamanan sebagai "organ yang berwenang" untuk bertindak sekaligus dengan menentukan bahwa serangan itu merupakan pelanggaran perdamaian, menyerukan penghentian permusuhan, mengembargo semua bantuan ke otoritas Korea Utara, dan menyerukan semua Anggota untuk memberikan bantuan kepada PBB dalam pelaksanaan resolusi ini. Inilah adalah respon yang dipilih oleh Dewan Keamanan. Resolusinya menetapkan bahwa telah terjadi "pelanggaran perdamaian" dan dengan demikian menuntut Pasal 39, prasyarat untuk langkah-langkah kolektif menurut Bab VII Piagam PBB. Tindakan militer kolektif - setidaknya dalam arti sebagaimana yang digambarkan Pasal 43 – menjadi tidak tersedia, Resolusi 83 tanggal 27 Juni (yang ditetapkan dengan hanya Yugoslavia yang menentang dengan Uni Soviet absen) merekomendasikan bahwa Anggota PBB 404 memberikan bantuan kepada Republik Korea yang dianggap perlu untuk mengusir serangan bersenjata dan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional di kawasan tersebut. Pada tanggal 7 Juli, dengan abstain Soviet masih absen dan tiga negara yang absen (Mesir, India, dan Yugoslavia), Dewan Keamanan merekomendasikan bahwa semua anggota yang memberikan bantuan militer membuat kekuatan-kekuatan itu tersedia bagi komando militer terpadu yang dipimpin oleh AS, yang di beri wewenang bahwa perintah untuk menggunakan bendera PBB, dan meminta AS untuk melaporkannya kepada Dewan Keamanan. Oleh karena Piagam PBB tidak membuat ketentuan untuk respon militer PBB kecuali dengan kekuatan sesuai Pasal 43, pemberian wewenang untuk bertindak oleh Dewan Keamanan atas namanya oleh kontingen ad hoc nasional - yang sejak itu menjadi dikenal sebagai "coalition of the willing " merupakan adaptasi kreatif dari teks tersebut. Praktek pemberian wewenang (otorisasi) oleh Dewan Keamanan atas tindakan koalisi semacam ini yang bersedia kemudian menjadi bagian yang mapan dari sistem keamanan kolektif PBB. Dalam pengalaman pertama ini, pasukan PBB dibentuk oleh pasukan sukarela oleh sepuluh negara, unit angkatan laut dari delapan negara, dan unit udara dari lima negara. Sementara boikot Soviet terhadap Dewan keamanan telah memfasilitasi inovasi ini, sehingga demikian pula kehadiran di Seoul wakil di lapangan Komisi PBB di Korea. Merekalah yang mampu melaporkan fakta yang segera dan kredibel kepada Sekretaris Jenderal, yang memungkinkannya, pada gilirannya, untuk berkomunikasi secara otoritatif bahwa adalah Korea Utara yang telah memicu konflik. Mereka dengan demikian membantah Korea Utara dan kepura-puraan satelit Soviet bahwa Korut hanya merespon untuk membela diri dengan melawan agresi oleh Korea Selatan. 405 Pada saat Irak menyerang dan menduduki Kuwait, Dewan keamanan, sesuai dengan Pasal 39 Piagam PBB, mengeluarkan resolusi yang menentukan bahwa tindakan Irak merupakan pelanggaran perdamaian di mana untuk meresponnya tindakan militer kolektif dibenarkan. Keputusan itu dibuat dengan suara 14 banding 0 dengan hanya Yaman yang abstain. Resolusi menuntut dilaksanakannya Bab VII Piagam PBB dan meminta negara anggota untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk meredam agresi Irak, yang ditetapkan dengan hanya Kuba dan Yaman yang menentang dan dengan Cina yang abstain tapi tidak mengajukan hak veto. Para perancang Piagam, tidak memandang penggunaan kekuatan yang diamanatkan Dewan Keamanan ketika adanya kemampuan militer yang berdasarkan Pasal 43. Tidak ada alasan, bagaimanapun, mengapa respon Dewan Keamanan terhadap agresi tidak dapat dipahami sebagai penggunaan yang kreatif pasal 42, yang terputus dari, dan tidak terbebani oleh, Pasal 43 yang gagal. Meskipun negosiator di Dumbarton Oaks dan San Francisco secara ragu-ragu telah menyimpulkan bahwa Pasal 42 akan beroperasi hanya dalam ketergantungan pada kekuatan-kekuatan yang dijanjikan oleh anggota berdasarkan Pasal 43, Piagam PBB ini tidak membuat kesalingtergantungan ini menjadi eksplisit. Sebaliknya, Pasal 42 sepenuhnya memberi wewenang Dewan keamanan untuk mengambil tindakan melalui pasukan udara, laut, atau darat yang diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan tersebut dapat mencakup demonstrasi, blokade, dan operasi lainnya dengan pasukan udara, laut atau darat dari Anggota PBB. Secara tekstual, Pasal 42 dapat berdiri di atas kaki sendiri dan sekarang dapat dikatakan demikian sebagai akibat dari praktek Dewan Keamanan. 406 Praktek ini, apalagi, ketika tidak diantisipasi oleh para perancang, tidak akan melanggar rancangannya. Pasal 39 menyatakan:Dewan Keamanan akan menentukan eksistensi setiap ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 dan 42, untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 39 dengan demikian memberi wewenang Dewan Keamanan untuk "mengambil tindakan" berdasarkan Pasal 42 tanpa mengacu pada Pasal 43, sehingga menciptakan ruang bagi Dewan Keamanan untuk memerintahkan - atau, lebih mungkin, untuk meminta - partisipasi negara dalam langkah-langkah keamanan kolektif apakah mereka telah mengadakan perjanjian khusus dengan Dewan Keamanan sesuai Pasal 43 atau tidak. Jika Dewan Keamanan akan memerintahkan negara-negara untuk menggunakan kekuatan, Pasal 25 mewajibkan semua anggota untuk "menyetujui dan melaksanakan" keputusan itu. Sampai saat ini, bagaimanapun, semua keputusan pemberia wewenang penggunaan kekuatan militer add hanya "meminta" atau "memberi wewenang " negara-negara anggota untuk menggunakan kekuatan. Sementara partisipasi dalam tindakan militer demikian bersifat sukarela, wewenang dan tujuan pasukan ad hoc tersebut memiliki biasanya dirumuskan dalam term wajib. Sebagai contoh, dalam resolusi 678, Dewan Keamanan membicarakan tentang "kewajiban" Irak untuk "mematuhi" tuntutan Dewan Keamanan untuk memulihkan kedaulatan Kuwait dan memberi kewenangan penggunaan kekuatan "untuk menerapkan" tuntutan itu. Selain itu, perang diakhir bukan dengan perjanjian antara para peserta tetapi dengan keputusan Dewan Keamanan yang menetapkan persyaratan wajib di mana negara407 negara anggota PBB akan menghadirkan kekuatan militer di Irak untuk mengakhiri invasi Irak..." Ini, jelas, merupakan pelaksanaan kekuasaan Dewan Keamanan untuk membuat keputusan yang mengikat berdasarkan Bab VII , sekalipun jika ditegakkan oleh "koalisi atas dasar kemauan sukarela." Ada beberapa kesempatan di kemudian hari di mana Dewan Keamanan telah resmi memberikan wewenang penggunaan kekuatan oleh negaranegara anggota dalam koalisi: kontingen militer nasional dikumpulkan secara ad hoc untuk suatu tugas tertentu. Dewan Keamanan juga telah memberi wewenang satu negara anggota atau organisasi regional untuk memimpin operasi militer tertentu. Apa pun komposisinya, bagaimanapun, operasi ini telah banyak mengisi kekosongan yang diciptakan oleh Pasal 43. Sehingga, pada tanggal 30 November 1992, Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan memberi tahu bahwa "situasi di Somalia telah memburuk di luar titik yang rentan terhadap penjagaan perdamaian." Oleh karena itu, ia melaporkan, "Saya lebih yakin dari sebelumnya akan kebutuhan pasukan militer internasional untuk digunakan di Somalia" (ditambahkan penekanan). Dia menyimpulkan bahwa "Dewan Keamanan sekarang tidak memiliki pilihan lain kecuali memutuskan untuk mengadopsi langkahlangkah yang lebih tegas untuk mengamankan operasi kemanusiaan ... Karena itu Dewan Keamanan perlu membuat penentuan berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB bahwa ada ancaman terhadap perdamaian.. Dewan Keamanan juga harus menentukan bahwa langkah-langkah non-militer sebagaimana dimaksud dalam Bab VII tidak mampu memberi efek terhadap keputusan Dewan Keamanan. Segera, Dewan Keamanan membuat pertemuan yang diperlukan menurut Bab VII dan memberi wewenang AS, dan negara yang lainya 408 "yang bersedia," untuk "menggunakan segala cara yang diperlukan" melalui ad hoc Unified Task Force (UNITAF) untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut. Ini diputuskan dengan suara bulat, yang menunjukkan persetujuan dari semua anggota terhadap koalisi kesediaan (coalition of willingness) yang diberi wewenang Dewan Keamanan tersebut. Perlu dicatat bahwa Dewan Keamanan, dalam memberi wewenang/kuasa intervensi militer di Somalia, yang diikuti syarat Pasal 42. Dewan Keamanan terlebih dahulu menentukan bahwa langkah-langkah penggunaan kekuatan bersenjata (Pasal 41) telah gagal untuk mencapai tujuan memulihkan ketertiban dan menghapus ancaman bagi perdamaian (Pasal 39). Hal ini membuat operasi, meskipun dilakukan oleh negara-negara anggota yang ditunjuk, masih tunduk pada kerangka acuan yang ditetapkan dalam pemberian wewenang resolusi. Ini bukan operasi yang sepele. UNITAF melibatkan 37.000 pasukan (terutama Amerika). Penggantinya yang berasal dari banyak negara (multinasional), UNOSOM II, mengerahkan 30.000 personil militer, yang ditempatkan oleh Dewan Keamanan bawah kendali Sekretaris Jenderal PBB dan diberi tanggung jawab dengan kekuatan penegakan hukum dan tugas menciptakan perdamaian, demokrasi dan persatuan di negara yang terpecah belah itu. Hal yang lebih signifikan yang layak dicatat bahwa kedua operasi itu – yang melibatkan PBB dalam intervensi kemanusiaan secara esensial dengan pasukan ad hoc dan melakukan hal demikian tanpa adanya krisis yang jelas secara internasional atau persetujuan Somalia seharusnya menerima persetujuan anggota Dewan Keamanan. Meskipun beberapa anggota Dewan Keamanan pikir bijaksana untuk menguraikan prinsip409 prinsip umum yang mendasari Piagam PBB – penafsiran yang mendasari penggunaan kekuatan kolektif ini dan, memang, dalam Resolusi 794 negaranegara anggota memperhatikan untuk mencatat "karakter yang unik" dari krisis yang mereka respon – tindakan Dewan Keamanan tidak bisa tetapi dilihat sebagai pengaturan preseden. Contoh lain dari perluasan praktek penggelaran koalisi atas dasar kemauan adalah pemberian wewenang oleh Dewan Keamanan - lagi, yang secara tegas "luar biasa" - pada tahun 1994, dari pasukan multinasional di bawah "komando dan kontrol" untuk "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk memfasilitasi pelengseran dari Haiti kepemimpinan militer yang telah menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Pada kesempatan ini resolusi disahkan dengan 13 banding 0 dengan Brasil dan China abstain. (Abstainnya Cina sekali lagi tidak dilihat sebagai hak veto.) Namun contoh lain adalah mandat yang diberikan oleh Dewan Keamanan kepada pasukan ad hoc lainnya, UNPROFOR, di bekas negara Yugoslavia dan perluasan bertahap dari mandat militer itu untuk memasukkan pertahanan "daerah aman" Bosnia. Ketika daerah-daerah yang aman dan personil PBB daerah itu diserang, Dewan Keamanan memberi wewnang serangan udara oleh NATO terhadap senjata berat Serbia. Kerjasama PBB dengan NATO ini, pendekatan "kunci ganda" untuk serangan udara, kemudian diperpanjang oleh Dewan Keamanan untuk operasi UNPROFOR di Kroasia. Resolusi ini juga diadopsi dengan persetujuan bulat dari anggota Dewan Keamanan dan persetujuan luas dari negaranegara anggota Keamanan dan negara-negara di luar anggota Dewan Keamanan. Meskipun protes pro forma dari Federasi Rusia, terjadinya "pengeboman pada bulan Agustus" merupakan kemitraan militer pertama yang efektif antara organisasi militer regional dan pasukan multinasional ad hoc PBB, kerja sama 410 yang pada akhirnya menyebabkan kekalahan pasukan Serbia dan, pada gilirannya, menghasilkan negosiasi perdamaian Dayton. Berkaca pada kampanye udara dan darat dari perspektif Washington, Richard Holbrooke, kemudian Asisten Menteri Luar Negeri dengan tanggung jawab khusus untuk situasi Yugoslavia, telah menulis kualitas yang rumit dan bersejarah dari upaya kerja sama antara AS, NATO, dan PBB. Kualitas yang rumit atau tidak, kerja sama ini menandai contoh lain dalam adaptasi Piagam PBB untuk memberi PBB peran yang fleksibel dalam situasi yang menuntut respons militer terhadap ancaman kepada perdamaian dan tindakan agresi, meskipun sangat mungkin dengan cara dan dengan mandat operasional yang tidak dibayangkan oleh para perancangnya di San Francisco pada setengah abad sebelumnya. Ada yang lain, bahkan contoh yang lebih baru dari koalisi negara-negara anggota yang bersedia atau individual negara yang diberi wewenang oleh Dewan Keamanan untuk menggunakan kekuatan yang diperlukan, biasanya tetapi tidak selalu berdasarkan Bab VII. Dengan demikian, Dewan Keamanan pada tahun 1994 memberi wewenang Perancis untuk menggunakan "segala cara yang diperlukan" untuk tujuan keamanan dan kemanusiaan selama kekacauan sipil di Rwanda dan pada tahun 1997 memberi wewenang Italia, dengan negara lain, untuk mengerahkan pasukan guna mencegah perang saudara di Albania dan menciptakan INTERFET di bawah kepemimpinan Australia untuk membangun keamanan di Timor Timor. Dalam upaya menahan perang saudara di Sierra Leone Dewan Keamanan, pada tahun 1999, membuat UNAMSIL, dengan kekuatan 11.000 personil dengan otoritas, berdasarkan Bab VII, untuk menggunakan kekuatan "untuk memberi perlindungan kepada warga sipil 411 yang berada di bawah ancaman kekerasan fisik" serta" membantu ... otoritas penegak hukum Sierra Leone dalam melaksanakan tanggung jawab mereka." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegagalan untuk melaksanakan Pasal 43 belum secara serius menghambat PBB dalam menjalankan misi untuk memberikan keamanan kolektif. Sebaliknya, koalisi ad hoc (ad hoc coalition of willing), dalam berbagai konfigurasi logistik, atau wakil yang ditunjuk, tidak hanya mengisi celah yang ditinggalkan oleh keengganan negara-negara anggota ‘untuk membuat komitmen jangka panjang pasukan yang siap siaga tetapi telah dikerahkan dengan mandat, termasuk intervensi di dalam konflik domestik yang esensial terutama untuk tujuan kemanusiaan, yang tidak pernah dibayangkan dan mungkin tidak akan disetujui di San Francisco. Bagaimanapun, ini tidak berarti bahwa Organisasi ini telah menjadi "polisi yang nakal," yang beroperasi tanpa izin. Ini merupakan niat dari para pendirinya di San Francisco untuk menciptakan institusi yang hidup, yang dilengkapi dengan organ politik, administratif dan yuridis yang dinamis, yang kompeten untuk menafsirkan kekuatan mereka sendiri di bawah instrumen konstituen yang fleksibel dalam merespon tantangan baru. PBB telah memenuhi mandat itu.66 Kemudian dapat disimpulkan, merupakan praktek umum, bahwa ketika terdapat fakta dan konteks politiknya meluas meliputi adanya ancaman sedemikian rupa terhadap keselamatan terhadap warga negaranya sendiri di luar negeri atau dalam wilayah negara lain, dan pada saat bersamaan PBB sendiri tidak dapat bertindak karena alasan politis, maka beberapa penggunaan kekuatan oleh suatu negara dapat diterima sebagai pembelaan diri yang 66 Thomas M. Franck. Ibid. Hlm.29 412 sah dalam pengertian Pasal 51. Aksi militer lebih mungkin dipahami jika ancaman terhadap warga negara terbukti nyata dan serius, jika motif dari negara yang melakukan intervensi dipahami sebagai perlindungan yang murni, dan jika intervensi itu proporsional dan durasinya pendek dan mungkin mencapai tujuannya dengan kerusakan yang minimal. Dalam prakteknya, apakah suatu tindakan dianggap sah atau tidak tergantung pada keadaan khusus dari setiap kasus, seperti yang ditunjukkan pada, dan dipahami oleh, lembaga-lembaga politik dan hukum dari sistem internasional. Dapat saja dalam setiap perdebatan tentang penggunaan kekuatan, beberapa negara akan merespon pada faktor ideologi, keselarasan politik, kepentingan nasional, atau keharusan sejarah. Banyak negara lain, yang akan mempertimbangkan bukti keadaan dan cara di mana kekuatan atau pasukan itu dikerahkan. Contoh praktek negara yang didasari piagam PBB ini dapat dianggap aneh, membiarkan ketidakpastian hukum. Namun, praktek ini juga dapat dipahami untuk menghasilkan klarifikasi hukum yang berlaku secara luas atau sempit. Yang berlaku sempit, wacana kekuatan bersenjata untuk melindungi warga negara di luar negeri dapat dikatakan telah dimengerti sebagai sah dalam keadaan batas-batas tertentu, meskipun bahwa cara ini diakui secara teknis ilegal. Atau, dalam interpretasi praktek yang lebih luas, sistem dapat dikatakan telah mengadaptasi konsep pertahanan diri, berdasarkan Pasal 51, untuk memasukkan hak untuk menggunakan kekuatan (pasukan) dalam merespon serangan terhadap warga negara, dengan catatan ada bukti kebutuhan ekstrim yang jelas dan sarana yang dipilih adalah proporsional. Dalam konteks ini intervensi kemanusiaan menjadi pertimbangan utama. 413 Selanjutnya ketika pemerintah berubah kejam terhadap rakyatnya sendiri, apa yang mungkin atau harus dilakukan pemerintah lain? Jika perbuatan salah yang dilakukan dalam suatu negara terhadap sebagian penduduknya sendiri merupakan jenis perbuatan yang secara khusus dilarang oleh perjanjian internasional (misalnya Konvensi Genosida dan perjanjian mengenai diskriminasi rasial, penyiksaan, hak-hak perempuan dan anak, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik, serta perjanjian tentang hukum kemanusiaan yang berlaku di dalam konflik sipil), maka intervensi kemanusiaan terhadap tindakan-tindakan yang dilarang itu dapat dianggap sebagai subspesies dari jenis bantuan swadaya ini. Tindakan ini secara konseptual lebih bersifat persuasif jika tindakan yang salah itu telah dijelaskan secara eksplisit maupun implisit oleh perjanjian universal yang berlaku tentang pelanggaran erga omnes: yaitu, terhadap setiap dan semua negara yang menjadi pihak dalam perjanjian yang mendefinisikan dan melarang perbuatan yang salah. Dalam keadaan seperti itu, adalah mungkin untuk menyatakan bahwa setiap negara dapat mengklaim hak self-help sebagai korban dari pelanggaran, setidaknya setelah kehabisan perbaikan kelembagaan dan diplomatik. Hak-hak universal analog untuk self-help juga mungkin timbul dalam hal terjadi pelanggaran aturan-aturan tertentu dari hukum adat. Bahwa pasal 2 (4) dan 51 dari Piagam tersebut dimaksudkan untuk membatasi, dan bahkan mungkin membatalkan, untuk memaksa secara sepihak kecuali dalam merespon serangan bersenjata oleh satu negara kepada negara lain. Hal ini membuat sulit untuk menafsirkan teks-teks sebagai sesuatu kecuali larangan intervensi kemanusiaan yang melibatkan penggunaan kekuatan militer, karena 414 pelanggaran yang mengerikan oleh pemerintah terhadap hak asasi manusia warga negaranya sendiri secara jelas tidak melewati ambang batas serangan " bersenjata " .Namun demikian, "intervensi kemanusiaan" telah digunakan oleh negara-negara anggota, dan oleh organisasi regional, untuk menjustifikasi penggunaan kekuatan (tanpa otorisasi Dewan Keamanan ) dalam berbagai keadaan. Intervensi tersebut telah menyingkirkan suatu negara yang secara lalim melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri, mengakhiri perang saudara yang berdarah, dan menghentikan genosida terhadap suatu kelompok, suku, atau golongan.Dalam beberapa situasi, beberapa tragedi semacam ini tampaknya terjadi secara bersamaan. "Hak intervensi kemanusiaan" diperdebatkan di San Francisco dan banyak dibahas di dalam literatur hukum. Namun, tidak ada hak tersebut dalam Piagam PBB. Meskipun teksnya "menegaskan kembali keyakinan akan hak manusia yang fundamental," teksnya tidak membuat ketentuan untuk menggunakan kekuatan (pasukan) untuk melaksanakan komitmen tersebut. Apakah ini telah dimodifikasi dalam prakteknya? Pada awalnya, perbedaan harus dibuat antara intervensi kemanusiaan kolektif yang diotorisasi oleh Dewan Keamanan dan intervensi oleh negara-negara anggota atau kelompok negara-negara anggota yang bertindak atas kebijakannya sendiri. Meskipun teks Piagam PBB tidak secara khusus memberi wewenang Dewan Keamanan untuk menerapkan sistem langkah-langkah kolektif yang dijelaskan dalam Bab VII untuk mencegah pelanggaran berat hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia, dalam prakteknya Dewan Keamanan telah melakukannya sesekali, misalnya dengan memberi wewenang anggota untuk menggunakan tindakan koersif guna melawan apartheid di Afrika Selatan dan mencabut 415 Deklarasi Kemerdekaan Unilateral Rhodesia (UDI) yang dimotivasi oleh semangat rasial, serta untuk membantu mengakhiri konflik etnis yang mengerikan di Yugoslavia, Somalia, dan Kosovo dan untuk membalikkan kudeta militer Haiti yang berusaha untuk membatalkan pemilihan demokratis yang diawasi PBB. Meminjam Pasal 39 di masing-masing kasus, Dewan Keamanan menemukan "ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi" yang cukup untuk menjamin dibenarkannya pengambilan langkah-langkah kolektif. Namun demikian, tidak ada pembenaran kemanusiaan berdiri sebagai tindakan sendiri. Faktor tambahan dimaksudkan untuk melegitimasi tindakan Dewan Keamanan, termasuk ancaman terhadap perdamaian yang disebabkan oleh arus besar pengungsi dan bahaya keterlibatan yang lebih luas oleh negaranegara anggota lain sebagai respon atas tindakan salah yang dilakukan oleh rezim atau faksi yang melakukan pelanggaran. Beberapa pemberian wewenang (otorisasi) oleh Dewan Keamanan untuk menggunakan pasukan melanggar ketentuan Bab VII, tetapi otorisasi itu secara eksplisit tidak melanggar larangan Piagam PBB. Meskipun Pasal 2 (7) dimaksudkan untuk mengecualikan "intervensi dalam masalah yang pada dasarnya dalam jurisdksi setiap negara-negara anggota PBB..." kendala yang tidak dapat diterapkan ketika Organisasi terlibat dalam "langkah-langkah penegakan berdasarkan Bab VII." Dengan demikian, masing-masing contoh di mana Dewan Keamanan telah menggunakan, atau memberi wewenang kepada koalisi yang bersedia (coalition of willing) untuk menggunakan langkah-langkah kolektif dalam situasi perang sipil atau terhadap rezim yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dapat disesuaikan ke dalam teks Piagam PBB tersebut. Bahkan ketika terjadi sepenuhnya dalam satu negara, perang sipil/saudara, penindasan, 416 atau kemarahan kemanusiaan, serta akibat sampingan seperti arus besar pengungsi ke negaranegara anggota tetangga, atau keterlibatan intervenors eksternal, cukup dapat dinilai oleh Dewan Keamanan mengancam perdamaian dan keamanan internasional, sehingga melegitimasi tindakan pasukan oleh PBB, atau koalisi (coalition of willing) yang diotorisasi PBB. Adalah jauh lebih sulit untuk secara konseptual dibenarkan dalam hal Piagam penggunaan kekuatan oleh satu atau beberapa negara-negara anggota yang bertindak tanpa otorisasi Dewan Keamanan sebelumnya, bahkan ketika tindakan tersebut diambil untuk menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pasal 2 (4) piagam PBB, yang ditafsirkan secara ketat, melarang penggunaan pasukan secara sepihak oleh negara anggota. Teks itu tidak membuat pengecualian untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia yang masif atau hukum kemanusiaan ketika pelanggaran itu terjadi karena tidak adanya agresi internasional terhadap negara-negara anggota lain. Dalam skema Piagam yang ketat, negara-negara anggota tidak boleh menggunakan kekuatan (pasukan) kecuali dalam mempertahankan diri (self-defense) dan organisasi regional tidak boleh mengambil tindakan yang serupa. Sir Hersch Lauterpacht membayangkan suatu dunia yang tertib, damai, dan beradab dalam hubungan internasional, sebagaimana kehidupan di Inggris yang dicontohkannya. Namun kehidupan masyarakat internasional tetap saja diliputi peristiwaperistiwa aksi kekerasan bersenjata terutama agresi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Sehingga berbagai upaya dari berbagai pihak dan organisasi internasional mengambil peran melakukan penegakan hukum terhadap aksi kekerasan bersenjata yang tidak sah. 417 Dalam hal ini menurut Thomas M. Franck 67 terdapat tiga peluang menjanjikan. Pertama, meskipun ada lebih banyak kekerasan, sebagian negara-negara anggota telah berhasil menciptakan kerangka kelembagaan untuk mengatasi masalah kolektif. Ini akan mengejutkan hakim Lauterpacht sebagai hal yang penting - meskipun beberapa spot - kemajuan dalam mengembangkan rezim penjaga perdamaian berbasis institusi global. Kedua, meskipun banyak rezim berdasarkan Piagam PBB telah dibuat menjadi usang selama setengah abad perkembangan teknologi dan politik, sistem ini juga menunjukkan kelincahan dan ketahanan fungsional yang luar biasa. Bisa dikatakan, dari perspektif abad baru, sistem telah berhasil menemukan kembali dirinya sendiri, lagi dan lagi, dengan cara yang agak mengingatkan kita pada konstitusi nasional yang tahan lama. Ketahanan ini terutama berguna dalam merancang cara-cara operasional baru untuk sistem PBB dalam rangka menggunakan kekuatan kolektif dan parameter baru yang membatasi ketika kekuatan harus dikerahkan. Ketiga, meskioun sistem PBB bertujuan untuk menggantikan keamanan kolektif atas ketergantungan negara-negara anggota tradisional pada kekuatan sepihak, sistem telah memiliki beberapa keberhasilan dalam menyesuaikan diri dengan realitas yang lebih keras. Secara khusus,sistem telah menyesuaikan diri, yang kadang-kadang secara aktif, kadang secara pasif, dalam ekspansi yang terukur untuk tindakan negaranegara anggota secara diskresi dan telah melakukannya tanpa meninggalkan sama sekali upaya nyata dalam Pasal 2 (4) untuk memasukkan kekuatan unilateral. Sistem telah mencari keseimbangan, bukan pelarangan mutlak atau perizinan. 67 Thomas M. Franck. Ibid. Hlm.135 418 Keseimbangan ini sulit dicapai. Jika penggunaan kekuatan oleh NATO di Kosovo dipandang sebagai preseden untuk reinterpretasi larangan absolut Pasal 2 (4) tentang penggunaan diskresi kekuatan oleh negara-negara anggota, penggantian prinsip yang lebih "masuk akal", prinsip yang mengakomodasi penggunaan kekuatan oleh pemerintah manapun untuk menghentikan apa yang dianggap merupakan pelanggaran ekstrim terhadap hak asasi manusia di negara-negara anggota lain, bisa meluncurkan sistem internasional menuju lereng yang licin menuju jurang anarki. Lauterpacht menyatakan kekhawatiran ini dalam kalimat yang dikutip dalam bab 1: "Tidak mungkin, dalam skema sesuatu yang dirancang untuk mengamankan pemerintahan hukum, untuk menyediakan mesin yang dianggap mengabaikan hukum dengan cara yang mengikat pada pihak bersedia untuk mematuhi hukum. Bahaya penggunaan kekuatan NATO dalam krisis Kosovo hanya sebagai pengecualian kemanusiaan, sebuah kebutuhan in extremis, adalah bahwa hukum tidak bisa berharap untuk mengamankan persetujuan dalam norma yang memungkinkan pelanggaran atas diskresi sendiri dari pihak di mana pelanggaran ditangani. Hukum diperkuat ketika ia menghindari kemutlakan yang kaku dan absurd misalnya, dengan mengharuskan sikap pasif dalam menghadapi penghancuran seluruh penduduk - tetapi hanya jika pengecualian yang dimaksudkan untuk mencegah reductio ad absurdum jelas dipahami dan diterapkan dengan cara yang lugas sesuai dengan gagasan-gagasan prosedural dan kejujuran yang nyata dan telah disepakati. 419 Akhirnya, keadaan di mana suatu negara atau kelompok negara telah melakukan intervensi untuk tujuan kemanusiaan tanpa menimbulkan oposisi yang signifikan dari sistem internasional dapat menunjukkan kemauan tertentu pada bagian dari masyarakat itu untuk membolehkan beberapa pelanggaran.hukum dalam keadaan kebutuhan yang secara nyata ditunjukkan. Bagaimanapun, ini tidak menunjukkan perubahan mendasar dalam hukum untuk memberikan izin bagi negara untuk melakukan hal itu yang dilarang secara tekstual. Bahkan sebagian kecil menunjukkan bahwa perilaku yang secara tekstual dilarang, melalui praktek, telah menjadi hukum wajib. Dalam interpretasi yang paling luas tentang pentingnya praktek yang sah secara hukum, tidak bisa dikatakan bahwa hukum sekarang memerlukan negara-negara anggota untuk campur tangan dengan atau tanpa otorisasi Dewan Keamanan, dimanapun dan kapanpun bilamana ada bukti pelanggaran hukum kemanusiaan atau hak asasi manusia yang masif. Seperti yang dikatakan oleh mantan Menteri Luar Negeri Inggris baru-baru ini: Ada ruang untuk berargumen banyak tentang sifat dari kekejaman yang telah atau sedang ditimbulkan di Chechnya, Tibet dan Wilayah Pendudukan Palestina. Tapi seberapa besar dan tidak dapat dibenarkannya kekejaman semacam itu, masyarakat internasional pasti akan terbukti tidak mampu atau tidak mau campur tangan untuk menghentikan kekejaman itu. Distribusi kekuasaan di dunia membuat intervensi semacam ini menjadi tidak mungkin ... Fakta bahwa masyarakat internasional tidak dapat melakukan intervensi untuk melindungi hak asasi manusia di banyak tempat tidak perlu menjadi argumen terhadap bantuan mana yang bisa kita... Ini adalah ... alasan untuk tidak mencoba membingungkan keputusan kebijakan dengan kewajiban menurut hukum internasional. 420 Atau, taruh dalam istilah pengacara, penting untuk tidak merancukan hukum apa dalam beberapa keadaan terbatas yang mungkin memaafkan atau memaafkan dengan apa yang dibutuhkan oleh hukum dalam setiap keadaan. e. Menurut Tom Ruys Sama dengan Yoram Dinstein dan Thomas M. Franck, Tom Ruys juga tidak memberikan rumusan definisi tentang agresi. Namun pembahasan Tom Ruys tentang agresi tidak langsung yang diperdebatkan dalam Komite Khusus Keempat saat pembahasan masalah definisi agresi, dengan contoh kasus agresi Nikaragua, memberi gambaran yang lengkap untuk memahami agresi sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Apalagi ditambahkan dengan penjelasan tentang penggunaan kekuatan dan hak menentrukan nasib sendiri. Pada awalnya konsep agresi tidak langsung belum mendapat banyak perhatiandalam perundingan penyusunan definisi agresi di tahun 1950-an di San Fransisco. Setelah akhir tahun 1960an barulah disadari bahwa agresi tidak langsung mendatangkan banyak tantangan bagi perdamaian dan keamanan internasional sebagai bentuk tradisional dari konflik antara negara,yang meluas. Setelah ditetapkan Komite Khusus Keempat, kontroversi itu terbukti menjadi salah satu hambatan utama menuju kesimpulan perundingan yang sukses. Penyebab langsung dari masalah ini adalah dikecualikannya secara eksplisit pertahanan atau pembelaan diri (self-defence) terhadap agresi tidak langsung dalam proposal tiga belas kekuatan (Thirteen Power Proposal). Pasal 3 menekankan bahwa pertahanan diri dapat dieksekusi hanya terhadap serangan bersenjata oleh negara. Dan 421 menurut Pasal 7, Ketika suatu negara menjadi korban di wilayahnya sendiri dari tindak subversif dan / atau tindak teroris oleh kelompok relawan, bersenjata yang tidak teratur, yang diorganisir atau didukung oleh negara lain, ia boleh mengambil semua langkah yang wajar dan memadai untuk melindungi keberadaannya dan institusinya, tanpa memandang memiliki pertahanan diri individu atau kolektif terhadap negara lainnya berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Terhadap ini, draf Enam Kekuatan (SixPower) mendefinisikan agresi sebagai penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional, terangterangan atau rahasia, langsung atau tidak langsung, oleh suatu negara terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap negara lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten dengan tujuan PBB (Pasal 2 (penekanan ditambahkan)). Pasal 2B (tidak secara mendalam) mencantumkan contoh agresi tidak langsung sebagai berikut:68 (1) mengorganisir, mendukung atau mengarahkan kelompok bersenjata atau kekuatan yang tidak teratur atau relawan yang membuat serangan atau menyusup negara lain; (2) mengorganisir, mendukung atau mengarahkan perselisihan sipil kekerasan atau aksi terorisme negara lain; (3) mengorganisir, mendukung atau mengarahkan kegiatan subversif yang bertujuan penggulingan dengan kekerasan Pemerintah negara lain. 68 Tom Ruys. Armed Attack and Article 51 of the UN Charter. Cambrige University Press. United Kingdom. 2010. Hlm.383 422 Dalam Komite Khusus Keempat dan Komite Keenam UNGA, Enam Kekuatan (six power) dengan sangat kuat menolak untuk mengesampingkan pembelaan diri dalam merespon operasi tak langsung. Italia, misalnya, mengamati bahwa tindakan yang tercantum dalam Pasal 2B, ayat 6 sampai 8, menyiratkan penggunaan kekuatan pasukan yang dilarang oleh Pasal 2 (4) Piagam PBB. Pasal ini menjelaskan bahwa proposal Six Power didasarkan pada gagasan bahwa agresi tidak langsung harus diperlakukan dengan cara yang sama dengan agresi langsung’. Poin ini berbeda dari ... proposal Kekuatan Tiga Belas (Thirteen Power), yang tidak mengakui hak membela diri suatu negara di wilayah sendiri terhadap tindakan subversi atau terorisme oleh kelompok bersenjata atau tidak teratur atau pasukan relawan yang diorganisir atau didukung oleh negara lain’. Italia merasakan sulit untuk memahami mengapa penerapan Pasal 51 Piagam itu secara sengaja dikecualikan. Tidak jelas, kebetulan, langkah apa yang wajar dan memadai untuk melindungi keberadaannya dan institusinya yang bisa diambil, berdasarkan proposal itu, oleh suatu negara yang menjadi korban agresi [tak langsung]. Jepang setuju bahwa tidak dapat dibenarkan untuk menolak suatu negara yang menjadi korban tindakan subversif atau tindakan teroris oleh kelompok relawan yang tidak teratur atau kelompok bersenjata yang diorganisir, didukung atau diarahkan oleh negara lain, jalan lain yang sah untuk mendapatkan hak pertahanan diri. Amerika Serikat menyarankan bahwa ada jawaban sederhana untuk persoalan ini: "agar legitimate, penggunaan kekuatan untuk membela diri harus proporsional; prinsip pokok juga akan berlaku baik apakah penggunaan kekuatan adalah dengan cara langsung atau tidak langsung. 423 Sebaliknya, Kekuatan Tiga belas bersikeras selama perdebatan tersebut bahwa agresi bersenjata langsung adalah satu-satunya bentuk yang mengaktifkan Pasal 51 Piagam PBB tersebut. ‘Menurut Ekuador, misalnya, kegiatan yang tercantum dalam Pasal 2B, ayat 6 sampai 8 dari draft Kekuatan Enam, seharusnya mendapatkan perhatian dari PBB: " Untuk menggunakan kekuatan (pasukan) dalam kasus-kasus itu tidak hanya bertentangan dengan isi dan semangat dari Piagam, tetapi akan melanggar kewajiban yang telah ditetapkan dalam Pasal 51. Meksiko menyatakan bahwa " reaksi suatu Negara terhadap agresi tidak langsung tidak sama dengan reaksinya terhadap serangan bersenjata, karena, dalam kasus serangan bersenjata, negara diberi wewenang oleh Piagam PBB untuk mengusir agresi dengan melaksanakan hak pembelaan /pertahanan diri. Secara lebih khusus. Suatu negara yang menjadi objek agresi tak langsung harus mengambil semua tindakan domestik yang diperlukan untuk menjaga lembaga politiknya. Jika langkahlangkah tersebut terbukti tidak memadai, negara itu bisa, berdasarkan Bab VI atau VII Piagam PBB, meminta PBB untuk melakukan campur tangan jika dianggap bahwa ada ancaman bagi perdamaian. Posisi Kekuatan Tiga Belas tentang masalah tersebut memiliki persamaan dengan variasi pada beberapa negara, seperti Suriah, Republik Persatuan Arab, Rumania, Uni Soviet dan bahkan Norwegia.69 Dengan gerakan akomodatif, Kekuatan Tiga belas menyarankan bahwa negara-negara anggota PBB pertama harus fokus pada negosiasi tentang definisi agresi langsung dan harus menunda upaya untuk menyusun definisi (terpisah) agresi tidak langsung untuk menuju tahap berikutnya. Tidak mengherankan, bagaimanapun, Kekuatan Enam menolak gaya pembahasan ini sebagai hal yang 69 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 389 424 absurd: Definisi Agresi yang tidak memasukkan referensi ke agresi tidak langsung secara fundamental adalah definisi yang tidak lengkap, tidak seimbang dan tidak dapat diterima. Pada awal 1970-an, ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa deadlock mulai mencair. Ada kesepakatan umum bahwa agresi yang dimaksud pada prinsipnya adalah penggunaan kekuatan oleh satu negara terhadap negara lain – suatu yang diabadikan dalam Pasal I dari Definisi Agresi Kekuatan Tiga belas, bersama dengan beberapa negara berkembang lainnya, mulai mengakui bahwa bentuk tertentu dari agresi tidak langsung sangat dapat menimbulkan tindakan defensif. Sebaliknya, Blok atau Kekuatan Tiga belas mengakui bahwa tidak semua bentuk agresi tidak langsung akan mengaktifkan Pasal 51.70 Sejumlah variabel mengarahkan diskusi tersebut. Pertama, ada penerimaan yang semakin berkembang gagasan bahwa kasus hanya kasus ‘agresi tidak langsung yang nyata yang akan menimbulkan pertahanan diri. Ini bukan untuk mengatakan bahwa ‘penilaian intensitas negara yang diperlukan’ adalah sepenuhnya paralel. Amerika Serikat, misalnya, cenderung menekankan bahwa diperbolehkannya pertahanan diri harus ditentukan melalui ambang batas proporsionalitas, dan mengakui bahwa tindakan subversi relatif kecil umumnya dapat dimuat oleh metode lain selain melalui jalan kekuatan pasukan. negara lainnya menekankan bahwa sebagian besar kegiatan subversif dan infiltrasi masuk dalam kategori tindakan kecil, dan paling buruk merupakan ancaman atau pelanggaran perdamaian, tapi bukan serangan bersenjata. Secara keseluruhan, bagaimanapun, disepakati bahwa gravitasi atau besarnya tindakan 70 Tom Ruys. Ibid. Hlm 390 425 kelompok bersenjata adalah faktor penting. Menurut Prancis, ‘kasus subversi yang mencolok dan serius dapat ditempatkan pada pijakan yang sama dengan serangan bersenjata langsung dalam arti Pasal 51 dari Piagam PBB. Ide ini akhirnya dimasukkan dalam teks akhir dari Pasal 3 (g) Definisi Agresi, yang mengharuskan tindakan kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau tentara bayaran menjadi semacam kegawatan (gravitasi) dengan beberapa berbagai contoh dari agres (langsung) yang tercantum dalam paragraf lain dari Pasal 3 . Aspek kunci kedua menyangkut hubungan antara negara dan kelompok-kelompok bersenjata. Memang, negara-negara pada umumnya sepakat bahwa tindakan yang dimaksud tidak hanya kegawatan (gravitasi) yang cukup, tetapi juga menegaskan bahwa partisipasi dari negara lain di dalamnya harus sepenuhnya terbentuk. Kegiatan yang m,ana yang akan membentuk hubungan yang diperlukan, bagaimanapun, menjadi subyek perselisihan. Pada tahun 1973, AS mulai membuat konsesi dengan menjatuhkan kutukannya terhadap pengorganisasian, dorong, bantuan , mengetahui persetujuan dalam atau memberikan dukungan kepada kelompok bersenjata, dan siap untuk menyelesaikan kriteria yang lebih objektif tentang ‘pengiriman’ kelompok bersenjata yang aktual terhadap negara lain. Di sisi lain, AS menegaskan bahwa ketentuan tentang agresi tidak langsung juga merujuk pada kasus-kasus ‘partisipasi terbuka dan aktif dalam kegiatan terlarang. Sejumlah negara menyatakan keprihatinan tentang penggunaan kalimat yang terakhir, yang dianggap tidak tepat dan rentan terhadap penafsiran yang terlalu luas. Prancis berargumen bahwa ‘pengiriman oleh atau atas nama suatu negara adalah mungkin sejauh jika campur tangan dalam urusan dalam negeri suatu negara dihindari. Indonesia, di sisi lain, lebih memilih untuk 426 memasukkan dukungan kelompok bersenjata tapi setuju untuk membuang proposal ini karena kurang dukungan. Pada akhirnya, kompromi ditemukan dalam penggantian frase ‘partisipasi terbuka dan aktif ‘oleh keterlibatan ‘substansial’ negara dalam kegiatan kelompok bersenjata. Versi terakhir dari Pasal 3 (g) dengan demikian pada dasarnya mencakup dua situasi. Situasi pertama, yaitu ‘mengirim oleh atau atas nama Negara, melibatkan tindakan kelompok bersenjata untuk mana suatu Negara dianggap bertanggung jawab langsung. Ini mengandaikan pengiriman aktual kelompok bersenjata; fakta semata mengatur atau mempersiapkan kelompok bersenjata tidak dengan sendirinya merupakan suatu tindakan agresi. Selain itu, konsep “keterlibatan substansial” memandang jenis interaksi yang agak lebih luas antara negara dan kelompok bersenjata, harus ditentukan berdasarkan semua situasi yang relevan. Keengganan untuk memasukkan ‘bantuan’ atau ‘dukungan’ bagaimanapun, sungguh menunjukkan bahwa ruang lingkup harus ditafsirkan secara ketat. Prancis lagi menjelaskan hal ini: tidak bisa menerima gagasan bahwa fakta bahwa Negara penerima mengorganisir, membantu untuk mengatur atau mendorong pembentukan kelompok-kelompok bersenjata merupakan tindakan agresi, terlepas dari apakah ia juga berpartisipasi dalam mengirimkan mereka dalam penyerangan. Juga tidak bisa menerima bahwa dengan membuat wilayahnya disediakan untuk kelompok-kelompok bersenjata suatu negara melakukan tindakan agresi. Bahkan jika resolusi 3314 (XXIX) menegaskan bahwa ketentuan ini sama sekali tidak ‘memperbesar atau mengurangi ruang lingkup’ ketentuan Piagam tentang penggunaan kekuatan (Pasal 6), kita kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa diskusi yang melelahkan tentang ‘agresi tidak langsung’ sebagian merupakan upaya untuk menemukan kompromi tentang lingkup Pasal 51 Pagam PBB. Untuk alasan 427 ini, kedua elemen dari teks yang dihasilkan, yaitu perlunya keterlibatan yang subtantial negara dan serangan dengan kegawatan, dapat dianggap mewakili sikap negara ‘vis-a-vis pertahanan diri dalam merespon serangan oleh aktor non-negara. Lebih konkretnya, negara-negara anggota PBB pada umum menerima bahwa serangan bersenjata skala kecil dan / atau yang terisolasi oleh kelompok tidak akan membiarkan respon lintas batas secara paksa oleh negara korban. Selanjutnya, perbedaan antara daftar kegiatan negara dalam Pasal 3 (g) dan konstruksi yang yang lebih luas tentang ‘penggunaan kekuatan tidak langsung’ dalam Deklarasi Hubungan Ramah tahun 1970 ( mengacu pada ‘mengatur’, ‘mendorong’, ‘menghasut’, ‘membantu’ dan bahkan ‘,menyetujui di dalam wilayahnya’) menunjukkan bahwa hubungan erat antara Negara dan kelompok bersenjata dianggap prasyarat menurut Pasal 51 Piagam PBB. Kesannya adalah bahwa bentukbantuan yang relatif kecil, dan menoleransi kehadiran kelompok di dalam wilayah Negara mungkin merupakan pelanggaran Pasal 2 (4), tetapi tetap tidak mencukupi untuk membenarkan pelaksanaan pertahanan diri. Sejauh jenis perilaku yang terakhir ini, adalah lebih mengejutkan bahwa usulan Kekuatan Enam tidak pernah mencatatnya sebagai bentuk agresi tidak langsung (bukan hanya mengacu pada ‘mengatur, mendukung atau mengarahkan’). Akhirnya, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dari perdebatan itu, sangat penting untuk menyoroti beberapa masalah yang terkait, yaitu71 diskusi tentang penggunaan kekuatan dalam konteks penentuan nasib sendiri. Memang, selama negosiasi mengenai Deklarasi Hubungan yang Ramah tahun 1970 ada kekhawatiran di antara negara berkembang dan banyak negara sosialis 71 Tom Ruys. Ibid. Hlm.390 428 bahwa ayat 8 dan 9 (yang membahas penggunaan kekuatan tidak langsung) bisa ditafsirkan sebagai membatasi hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Lebih tepatnya, banyak negara bersikeras bahwa masyarakat yang tertindas’ dan / atau terjajah memiliki hak untuk menggunakan kekuatan bersenjata dalam melaksanakan hak ini serta hak bersamaan untuk mencari dan menerima dukungan, mungkin termasuk bantuan bersenjata, dari negara lain. Dengan demikian, hak ini tidak dapat dibatasi oleh paragraf tersebut. Dalam bahasa delegasi Suriah: Ketentuan dalam paragraf kedelapan dan kesembilan dari prinsip tidak menggunakan kekuatan ... tidak harus diperluas cakupannya sampai pada abtas ketentuan itu digunakan sebagai dalih untuk menolak masyarakat yang menderita karena penjajahan, penindasan militer, pekerjaan atau bentuk lain dari dominasi asing, hak untuk membela diri individu dan kolektif dan hak untuk mencari dan menerima segala bentuk bantuan dalam perjuangan mereka untuk ... penentuan nasib sendiri. Delegasi Soviet, dengan mengamati bahwa perjuangan masyarakat yang terjajah telah dilegitimasi oleh keputusan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, berpendapat bahwa negosiasi mengenai Deklarasi Hubungan Yang Ramah menawarkan kesempatan untuk akhirnya’ melegalkan ‘perjuangan’ dalam arti yuridis. Seperti yang bisa diduga, negara lain tidak terlalu bersemangat untuk mengakui hak untuk menggunakan kekuatan dan untuk mencari dan menerima dukungan bersenjata sebagai akibat wajar dari penentuan nasib sendiri. Australia dan Inggris menyatakan bahwa Piagam PBB bersikap netral dalam hal ini dan tidak memberikan kepada, atau menolak untuk, hak memberontak masyarakat yang terjjah. Kedua negara ini yakin bahwa Negara tidak bisa melakukan intervensi dengan memberikan 429 dukungan militer atau senjata di dalam Pemerintahan yang Tidak Mengatur Sendiri (Non Self Governing) atau Wilayah Trust (Trust Territory). AS menekankan bahwa hak masyarakat untuk mencari dan menerima dukungan dalam pencarian mereka untuk menentukan nasib sendiri ‘tidak merupakan suatu izin umum untuk lalu lintas internasional dan ‘tidak memberikan hak Negara untuk campur tangan dengan cara militer di wilayah terkait. Akhirnya, menurut Afrika Selatan, Piagam PBB tidak memberi hak negara untuk campur tangan dengan memberikan dukungan atau bantuan militer bersenjata di Non-Self-Governing Territories atau di tempat lain. Pada akhirnya, ambiguitas adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan konsensus. Paragrap 5 Bagian (Section) Deklarasi Hubungan Yang Ramah tentang prinsip `persamaan hak dan penentuan nasib sendiri menyatakan bahwa: setiap Negara memiliki kewajiban untuk menahan diri dari melakukan tindakan yang merampas masyarakat orang yang disebutkan di atas dalam elaborasi prinsip hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan kebebasan dan kemerdekaan. Dalam tindakan mereka melawan, dan menahan terhadap, tindakan paksa dalam melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, mereka (masyarakat ) berhak untuk mencari dan menerima dukungan sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB.72 Meskipun ayat ini menunjukkan simpati yang cukup besar untuk perjuangan masyarakat yang terjajah dan menerima secara umum bahwa mereka berhak ‘untuk mencari dan menerima dukungan’, frase surat edaran yang dimasukkan di bagian akhir bersifat incontournable (tidak bisa dihindari): dengan menuntut bahwa tindakan perlawanan dan dukungan 72 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 391 430 oleh negara lain harus dilakukan ‘sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam’, ketentuan tersebut pada akhirnya menahan mengumumkan validitas hukum dari kemungkinan penggunaan kekuatan bersenjata dan memberikan dukungan senjara. Selama perdebatan mengenai Definisi Agresi, kontroversi mengenai penentuan nasib sendiri diangkat dalam konteks yang sedikit berbeda. Dalam hal ini, sejumlah Negara takut bahwa jika ketentuan mengenai agresi tidak langsung dimasukkan, dukungan bagi masyarakat yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri secara hipotetis dapat dibawa dan dianggap sebagai memicu hak untuk membela diri. Untuk mengecualikan interpretasi kasar seperti itu, negara berkembang dan beberapa negara sosialis bersikeras pada ketentuan khusus, yang membebaskan masyarakat tergantung dan negaranegara yang membantu mereka dari kewajiban untuk tidak menggunakan kekerasan dalam hubungan internasional mereka. negara lainnya memperingatkan risiko aturan eksplisit semacam ini. Australia, misalnya, dengan agak profetis memperingatkan bahwa ‘adalah gegabah untuk menggunakan formula yang mungkin berbalik melawan penulisnya dan merupakan ancaman bagi keamanan dan integritas Negara mana-mana. Sekali lagi, dalam semangat kompromi, Pasal 7 Definisi Agresi mencoba menjembatani pandangan yang divergen: tak satupun bagian dalam definisi ini ... bisa dengan cara apapun mengurangi hak untuk menentukan nasib sendiri ... sebagai bersumber dari Piagam PBB, masyarakat secara paksa dirampas haknya dan disebut dalam [Deklarasi Hubungan Baik] sesuai dengan Piagam PBB, terutama masyarakat yang berada di bawah rezim kolonial dan rasis atau bentuk lain dari dominasi asing, maupun hak masyarakat yang berjuang ini untuk tujuan itu dan untuk mencari dan menerima dukungan, sesuai 431 dengan prinsip-prinsip Piagam dan sesuai dengan Deklarasi tersebut di atas. Sementara itu sejumlah negara secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan tersebut harus ditafsirkan sebagai memasukkan hak masyarakat yang berada di bawa dominasi asing untuk berjuang dan memperoleh dukungan, termasuk dukungan bersenjata, dari negara lain, teks itu akhirnya menahan diri seperti Deklarasi Hubungan Baik dari sekedar mengenai legalitas jalan aktual untuk berjuang. Sebaliknya, kata-kata itu dibiarkan begitu jelas sehingga pihak lawan menafsirkannya untuk keuntungan mereka sendiri jika ada kebutuhan. Sekalipun jika negosiasi tidak meyakinkan dalam hal ini, harus diingat bahwa pencantuman Pasal 7 adalah penting untuk membujuk khususnya Negara Arab untuk menyetujui Pasal 3 (g). Seperti yang akan kita lihat tentang kontroversi penggunaan kekuatan untuk menentukan nasib sendiri juga muncul dalam perdebatan PBB mengenai klaim pertahanan diri.73 Selanjutnya Tom Ruys mengkaji agresi secara tidak langsung tersebut dalam Putusan Mahkamah Internasional terhadap kasus penggunaan kekeuatan bersenjata AS terhadap Nikaragua pada tahun 1986. Menurutnya 74dalam kasus Nikaragua inilah Mahkamah Internasional pertama kali dihadapkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan agresi tidak langsung . Dalam hal ini, AS telah, secara langsung dan tidak langsung, terpaksa untuk menggunakan kekuatan terhadap Nicaragua dan diperlukan untuk membenarkan tindakannya dengan mengacu pada hak untuk membela diri. Untuk tujuan ini, maka perlu untuk memverifikasi apakah Nikaragua telah melakukan serangan bersenjata 73 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 394 74 Ibid. hlm. 406 432 `’melawan El Salvador, Honduras dan / atau Kosta Rika. Di satu sisi, Mahkamah menemukan bahwa serangan militer lintas perbatasan ke dalam wilayah Honduras dan Costa Rica adalah dapat ditujukan ke Nicaragua (sebagai pelakunya). Namun, karena kurangnya informasi mengenai keadaan yang tepat, Pengadilan akhirnya membiarkan terbuka masalah ini apakah itu bisa dilihat sebagai serangan `besar, tunggal atau kolektif, sampai serangan bersenjata. Selanjutnya Pengadilan memeriksa dukungan Nikaragua kepada oposisi bersenjata di El Salvador. Dalam Deklarasi Intervensi tanggal 15 Agustus 1984, El Salvador telah menegaskan bahwa `teroris yang diarahkan, dipersenjatai, disediakan dan dilatih oleh Nikaragua ‘berusaha menggulingkan pemerintahnyta. Nikaragua membantah tuduhan itu dan menolak bahwa dengan bukti apapun mereka tidak mendukung. Atas dasar serangkaian indikasi yang sesuai, Pengadilan memutuskan bahwa antara Juli 1979 dan awal 1981, Nikaragua telah memberikan dukungan bagi oposisi bersenjata di El Salvador: Ada aliran senjata dikirim melalui wilayahnya untuk gerakan kelompok bersenjata. Setelah periode ini tidak cukup bukti untuk menunjukan adanya bantuan yang terus menerus. Masalah berikutnya yang muncul sampai sejauh mana dukungan ini memenuhi syarat sebagai serangan `bersenjata. Ternyata Pengadilan menggunakan Pasal 3 (g) tentang Definisi Agresi, yang diambil untuk mencerminkan hukum kebiasaan internasional, sebagai ambang batas hukum yang relevan. Dengan demikian, serangan bersenjata harus dipahami sebagai termasuk bukan hanya tindakan dengan angkatan bersenjata regular lewat perbatasan internasional, tetapi juga "pengiriman oleh atau atas nama suatu negara atas kelompok bersenjata, kelompok, laskar atau tentara bayaran, 433 yang melakukan tindakan kekerasan bersenjata terhadap negara lain dengan kegawatan (gravitasi) sampai pada serangan bersenjata yang aktual yang dilakukan oleh pasukan reguler, "atau keterlibatannya yang substansial” di dalamnya. Pengadilan memberikan pertimbangan yang menekankan perlunya unsur kegawatan (gravitasi tertentu) dari `tindakan pasukan bersenjata’ dari kelompok bersenjata, sesuai Pasal 3 (g) tentang agresi Dalam kasus Nikaragua di atas, menjelaskan melakukan penegakan hukum terhadap agresi, Mahkamah Internasional menjadikan “serangan Bersenjata” atau “Penggunaan kekuatan bersenjata” yang menimbulkan “kegawatan” sedemikian rupa menjadi unsur utama dalam agresi. Lebih lanjut, Tom Ruys menjelaskan secara luas tentang “Serangan Bersenjata dan “Agresi” bagai dua sisi mata uang yang sama (Two Sides of the Same Coil. Menurutnya 75 Piagam PBB menggunakan tiga istilah yang berbeda tentang cara Negara untuk menangani kekuatan. Pasal 2 (4) merinci larangan terhadap ancaman atau penggunaan kekerasan. Sehubungan dengan kompetensi Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan penegakan hukum, referensi dibuat dalam Pasal 39 ke ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. Akhirnya, Pasal 51 memberikan hak yang melekat untuk membela diri jika serangan bersenjata terjadi. Versi (otentik) bahasa Prancis menggunakan kalimat ‘agression arme. 75 Tom Ruys. Ibid. Hlm 127 434 Penggunaan label yang berbeda, dan kesenjangan yang tidak menguntungkan antara versi asli, menimbulkan pertanyaan apa ‘hubungan yang tepat antara serangan bersenjata dan agresi. Pertanyaan ini memiliki relevansi tertentu jika kita memperhatikan adopsi secara konsensus oleh Majelis Umum PBB tahun 1974 tentang Definisi Agresi. Jika dua konsep itu dianggap identik, resolusi ini memang akan memberikan interpretasi otoritatif mengenai kriteria ‘serangan bersenjata’ untuk tujuan menetapkan lingkup pembelaan diri berdasarkan Pasal 51. Menariknya, di Nikaragua dan DRC v Uganda, ICJ menggunakan Pasal 3 (g) dari resolusi itu sebagai tolok ukur untuk pertahanan diri terhadap agresi tidak langsung. Beberapa penulis memperluas persamaan ini ke berbagai contoh lain dari agresi (langsung) di dalam resolusi itu. Sebelum segera pada kesimpulan semcam ini, bagaimanapun, perlu pembahasan latar belakang penerimaan ketentuan tentang agresi tersebut. Sebelum Piagam PBB, Brownlie mengatakan bahwa konsep agresi muncul sebagai hak memelihara diri yang samar agar tidak dihinakan. Agresi dan pertahanan diri pada umumnya dipandang sebagai dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama: penggunaan kekuatan baik itu tindakan yang dibenarkan untuk membela diri atau seperti agresi yang melanggar hukum. Dalam proposal keberatannya, Perancis menyertakan referensi yang eksplisit terhadap hak untuk membela diri di dalam Pakta Paris (Pact of Paris), AS mencatat bahwa: `mengungkapkan pengakuan berdasarkan perjanjian hak yang tidak dapat dicabut ini, menimbulkan kesulitan yang sama yang dihadapi dalam upaya untuk mendefinisikan agresi. Ini adalah masalah identik yang didekati dari sisi lain. Hal ini menegaskan bahwa pertahanan diri dan agresi dipandang sebagai hal yang korelatif. Di sisi lain, menggambarkan bahwa arti yang tepat dari `agresi ‘ 435 masih belum pasti. Memang, sementara perjanjianperjanjian bilateral, regional dan multilateral banyak mengacu kepada ‘agresi’, mereka melakukan acuan dengan cara yang berbeda (beberapa negara membicarakan `perang agresif ‘dan` tindakan agresi’, negara yang lain menggunakan frase seperti `agresi eksternal’ atau ‘kebijakan agresi’) dan tanpa membahas isinya secara jelas. Sepanjang tahun 1930-an, ambiguitas ini menginspirasi serangkaian perundingan yang dipimpin Soviet yang ditujukan untuk menentukan konsep hukum agresi. Proposal yang dikerjakan oleh Uni Soviet dan akhirnya menerima dukungan dari sejumlah besar Negara, sangat ditentang oleh negara lain yang meragukan bahwa tidak mungkin untuk meletakkan kriteria universal yang berlaku di setiap situasi yang khusus, dan negara yang takut bahwa Negara yang bertindak dalam membela diri akan dicap sebagai aggresor. Menyimak travaux priparatoires Piagam PBB, beberapa pernyataan lagi menunjukkan bahwa negara mempertimbangkan agresi dan pertahanan diri saling melengkapi (komplementer). Beberapa delegasi membingkai pertahanan diri sebagai represi `agresi, sedangkan negara yang lain menyamakan istilah` agresi’ dan serangan bersenjata. Sejumlah versi draft Pasal 51 lebih mengandalkan pada gagasan agresi untuk memicu hak untuk membela diri. Dalam merespon peringatan Inggris bahwa `tidak ada yang mampu mendefinisikan agresi pada tiga puluh tahun’, AS menjelaskan bahwa istilah ‘serangan bersenjata’ digunakan secara khusus dalam upaya untuk menghindari masalah mencoba mendefinisikan agresi. Rupanya, dipikirkan bahwa arti yang jelas dari serangan bersenjata akan menyebabkan lebih sedikit masalah. Beberapa negara menekankan definisi agresi selama Konferensi San Francisco. Namun, inisiatif ini didorong terutama oleh keinginan untuk memperjelas peran dan kompetensi Dewan Keamanan bukannya 436 untuk mendefinisikan tanggung jawab hukum negaranegara anggota terhadap agresi dan akhirnya gagal untuk mendapatkan dukungan yang cukup.76 Perdebatan tersebut berlanjut dalam Panitia Khusus Keempat tentang Masalah Definisi Agresi sepanjang tahun 1968 – 1974. Kegagalan PBB mengakomodir perbedaan pendapat yang menimbulkan perdebatan seru tentang agresi sebagai bagian dari Piagam PBB, berlanjut dalam forum ILC dan Majelis Umum, termasuk ketika diselenggarakannya Konperensi Roma 1998 oleh PBB yang melahirkan Statuta Roma 1998. Mseki dalam statuta Roma 1998 telah ditegaskan agresi sebagai salah satu kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat, namun konperensi gagal merumuskan definisi kejahatan agresi, bahkan sampai batas waktu 7 tahun masa perumusan yang disepakati tetap saja definisi tersebut gagal dirumuskan. Namun demikian penegasan agresi sebagai salah satu kejahatan HAM dalam Statuta Roma 1998 tersebut merupakan suatu kemajuan yang luar biasa dari perjalanan panjang perdebatan tentang agresi. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang dampak dari Definisi Agresi tahun 1974 (atau Resolusi 3314 (XXIX)) tentang lingkup pembelaan/pertahanan diri (self-defence), sangat perlu menelaah walau secara singkat tahap akhir negosiasi dalam Panitia Khusus Keempat tentang Masalah Definisi Agresi (1968-1974). Selama periode ini, waktu dan energi yang diinvestasikan dalam usaha keseluruhan dan tekanan kuat dari negara berkembang telah menyebabkan Negara Barat yang sudah lama mempertanyakan definisi agresi ini tidak lagi menentang proses ini. Meskipun demikian, 76 Tom Ruys. Ibid. hlm.129 437 negara anggota memegang konsepsi yang secara luas tentang prinsip yang mendasar dari agresi dan dampaknya terhadap diperbolehkannya pertahanan diri. Dalam konteks ini terdapat tiga proposal perdebatan, yaitu:77 Pertama, proposal atau usulan Kekuatan Tiga belas, yang diajukan oleh Kolombia, Siprus, Ekuador, Ghana, Guyana, Haiti, Iran, Madagaskar, Meksiko, Spanyol, Uganda, Uruguay dan Yugoslavia, dengan mengarahkan definisi `serangan bersenjata ‘dalam arti Pasal 51 Piagam PBB. Maksud ini dibuat eksplisit dalam paragrap kedua pembukaan piagam: `Yakin bahwa serangan bersenjata (agresi bersenjata) adalah bentuk agresi yang paling serius dan berbahaya dan bahwa adalah tepat pada tahap ini untuk melanjutkan ke definisi tentang bentuk agresi ini, ..., Pasal 2 selanjutnya mendefinisikan `agresi sebagai penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap negara lain, termasuk wilayah perarian atau ruang udara, atau dengan cara apapun mempengaruhi kemerdekaan integritas, kedaulatan atau politik wilayah negara tersebut, kecuali [pertahanan diri] atau ketika dilakukan dengan atau berdasarkan wewenang Dewan Keamanan". Selain definisi umum ini, proposal Tiga belas-Power menetapkan sejumlah tindakan, yang, `jika dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan cara melanggar Piagam PBB akan merupakan tindakan agresi, termasuk, misalnya, pernyataan perang oleh satu negara terhadap negara lain. Beberapa ketentuan lain tentang pertahanan diri: 77 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 130 438 - Pasal 3 menegaskan bahwa hak yang melekat pada pertahanan diri suatu negara dapat dilaksanakan hanya dalam kasus terjadinya serangan bersenjata (agresi bersenjata) oleh negara lain sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB‘; - Pasal 6 menegaskan bahwa hak pertahanan diri tidak memberikan hak negara untuk mengambil tindakan yang tidak proporsional terhadap serangan bersenjata itu, dan - Terakhir, Pasal 7 menolak pertahanan diri terhadap apa yang disebut `agresi tidak langsung ‘. Secara keseluruhan, meskipun referensi dalam teks itu ke agresi (bersenjata), proposal tampaknya lebih peduli dengan mengedepankan interpretasi yang membatasi pertahanan diri dibandingkan dengan mengklarifikasi` tindakan agresi dalam konteks Pasal 39 Piagam PBB. Hal ini, sebaliknya, merupakan fokus utama dari proposal Kekuatan Enam. Kedua, proposal atau usulan Kekuatan Enam yang disampaikan oleh Australia, Kanada, Italia, Jepang, Inggris dan AS, sebagai berikut. Pasal 1 menyatakan bahwa: menurut Piagam PBB, ‘agresi’, adalah istilah yang diterapkan oleh Dewan Keamanan ketika waktunya tepat dalam menjalankan tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan Pasal 24 dan fungsinya berdasarkan Pasal 39. Kemudian agrtesi didefinisikan sebagai` penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional, terang-terangan atau rahasia, langsung atau tidak langsung, oleh suatu negara terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten 439 dengan tujuan PBB (Pasal 2). Pasal 2 (A) menghubungkan penggunaan kekuatan dengan sejumlah tujuan, seperti mengamankan perubahan dalam pemerintahan negara lain, atau melahirkan perubahan yang sejenis. Pasal 2 (b) secara mendalam tidak mencantumkan beberapa cara di mana penggunaan kekuatan tersebut dapat dilakukan, termasuk beberapa bentuk agresi tidak langsung. Satunya referensi ke penggunaan kekuatan dalam ... pertahanan diri adalah penegasan sederhana dalam Pasal 3 bahwa penggunaan kekuatan itu bukan merupakan agresi. Ketiga, proposal atau usulan Soviet yang mendefinisikan agresi bersenjata langsung atau tidak langsung sebagai penggunaan oleh suatu negara atas kekuatan bersenjata melawan negara lain yang bertentangan dengan prinsip, tujuan dan ketentuan Piagam [PBB] (Pasal 1). Setelah membuat daftar beberapa contoh agresi langsung, Pasal 2 (C) memberikan definisi agresi tidak langsung. Proposal ini diakhiri dengan mengakui bahwa tak satupun ketentuan di atas melarang penggunaan kekuatan bersenjata sesuai dengan Piagam [PBB]..: (Pasal 6). Tanggapan konprehensif terhdapa ketiga proposal atau usulan diatas dapat dikemukan sebagai berikut, 78 Pertama, bahwa meskupun pada kenyataanya negara-negara anggota terlibat dalam proses untuk menyetujui definisi agresi, negosiasi tak dapat disangkal telah dipengaruhi oleh kesadaran bahwa konsepsi yang lebih luas atau lebih sempit daripadanya bisa berakibat penting pada ruang lingkup pertahanan diri. Memang, beberapa kendala utama yang selama bertahun-tahun menghambat konsensus pada dasarnya berkaitan dengan 78 Tom Ruys. Ibid. Hlm. 135 440 pertahanan diri, bukannya kompetensi penegakan Dewan Keamanan. Batu sandungan utama ada berkenaan dengan pertanyaan tentang sejauh mana pertahanan diri itu dibolehkan terhadap berbagai bentuk agresi tidak langsung, seperti tindakan subversif atau tindakan teroris yang dilakukan oleh kelompok yang tidak teratur, relawan atau kelompokkelompok bersenjata yang terorganisir, didukung atau diarahkan oleh negara lain (sebagai lawan dari serangan langsung oleh pasukan bersenjata negara lain). Posisi Kekuatan Tiga belas dalam masalah ini adalah jelas. Pasal 7 dari proposal mereka tidak memasukkan pelaksanaan pertahanan diri dalam situasi di mana posisi yang sangat dibela secara bersemangat dalam seluruh perdebatan Komite. Sebaliknya, Kekuatan Enam terus-menerus menolak untuk menyetujui bahwa semua definisi agresi yang tidak memasukkan (dalam kasus tertentu) agresi tidak langsung. Kedua, ruang lingkup pertahanan diri juga muncul dalam kaitannya dengan proposal Soviet bahwa Negara yang pertama melakukan tindakan melanggar hukum yang telah ditetapkan secara otomatis akan diidentifikasi sebagai agresor, yaitu, prinsip prioritas atau ‘penggunaan pertama’. Beberapa negara mendukung prinsip tersebut sebagai konfirmasi yang berharga bahwa pertahanan diri tidak dapat dilaksanakan/dieksekusi secara preventif. Negara yang lainnya keberatan bahwa aplikasi yang kaku atas prinsip tersebut dapat menyebabkan hasil yang tidak diinginkan dalam keadaan tertentu dan mungkin akan sulit untuk mengumpulkan bukti yang meyakinkan untuk menetapkan pihak mana yang pertama untuk bertindak. Kekuatan Enam terutama menekankan bahwa dalam menentukan agresor, kita harus melihat niat negara yang melakukan tindakan tertentu, bukan terpaku pada prioritas. Pandangan yang terakhir ini mendapat kritik dari negara yang memilih unsur 441 obyektif atas analisis subjektif dari motif yang dimiliki suatu negara. Ketiga, yang memainkan peran cukup besar dalam perdebatan menyangkut kriteria proporsionalitas. Pasal 6 dari proposal Kekuatan Tiga belas menegaskan bahwa hak pertahanan diri tidak memberikan hak kepada Negara untuk mengambil tindakan yang tidak ‘cukup proporsional’ terhadap serangan bersenjata. Namun, seperti dikaji sebelumnya, sejumlah Negara, terutama Uni Soviet, sangat menentang referensi untuk proporsionalitas sebagai prakondisi untuk pertahanan diri, terutama karena mereka takut bahwa itu akan terlalu mengikat tangan korban agresi dan menguntungkan calon negara agresor. Keempat, ruang lingkup pertahanan diri juga diajukan dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain, seperti kegawatan (gravitasi) yang diperlukan untuk tindakan memenuhi syarat sebagai tindakan agresi, atau vis-a-vis tindakan tertentu, seperti deklarasi perang. Namun demikian, divisi utama adalah definisi yang tercantum di atas: pertama, pemisahan (partisi) tentang legalitas pertahanan diri terhadap agresi tidak langsung, terutama antara Keuatan Tiga belas dan Kekuatan Enam, kedua, partisi tentang peran penggunaan `pertama dan kriteria niat, terutama antara Uni Soviet dan Kuatan Enam, dan ketiga, partisi tentang prinsip proporsionalitas antara Uni Soviet dan Kekuatan Tiga belas. Kelima, mengingat masalah ini kompleks dan saling terkait, beberapa delegasi menunjukkan bahwa tidak mungkin ada terobosan, kecuali ada pemahaman dasar tentang jenis konsep yang hartus difenisikan oleh Komite: agresi bersenjata /serangan bersenjata dalam arti Pasal 51 Piagam PBB atau tindakan agresi dalam arti Pasal 39. Jika beberapa Negara sesekali bersikeras bahwa konsep-konsep itu 442 adalah satu dan sama, mayoritas negara setuju bahwa terdapat hubungan yang berurutan (cascading) antara istilah penggunaan kekuatan, agresi dan serangan bersenjata. Seperti yang dicatat oleh salah satu delegasi: Pasal 2, ayat 4 melarang juga ancaman kekerasan dan karena itu berkaitan dengan konsep yang lebih luas daripada penggunaan kekuatan bersenjata. Sebuah konsep yang lebih terbatas disebutkan dalam Pasal 1 dan 39 Piagam PBB, dan konsep yang lebih terbatas `serangan bersenjata dalam Pasal 51. Dengan kata lain, secara umum diterima bahwa konsep yang digunakan dalam Pasal 39 dan 51 tidak identik dan bahwa tidak ada definisi tunggal yang dapat dirancang yang secara bersamaan akan mengkover keduanya. Keenam, dengan latar belakang ini, beberapa jalur terbuka bagi negosiator. Kekuatan Tiga belas menyarankan bahwa Komite harus, untuk sementara, menahan diri dari membahas agresi tidak langsung yang terbukti terlalu kontroversial - dan sebaliknya membatasi untuk mendefinisikan agresi langsung. Mengingat posisi Kekuatan Tiga belas pada pertahanan diri terhadap agresi tidak langsung, dan prospek yang tipis untuk memperoleh definisi yang terpisah pada bebera tahap berikutnya, tidak mengherankan bahwa Kekuatan Enam menunjukkan sedikit antusiasme untuk ide tersebut. Sebaliknya, Kekuatan Enam terus-menerus berargumen bahwa konsep agresi adalah tak dapat dipisahkan dan tidak bisa dibagi menjadi dua bagian, satu yang memungkinkan untuk pertahanan diri dan yang lain mengecualikannya. Mereka menekankan bahwa adalah tidak realistis untuk berpikir bahwa definisi serangan bersenjata itu dapat dicapai. Inggris terutama dengan tegas menekankan bahwa negara anggota telah lama terbagi antara dua kelompok pemikiran - satu kelompok melihat Pasal 51 Piagam PBB sebagai bagian dari hak kebiasaan yang lebih 443 luas dari pertahanan diri, dan kelompok yang lain melihat Pasal 51 sebagai peraturan eksklusif tentang pertahanan diri - dan bahwa definisi agresi harus diterima oleh kedua kelompok tersebut. Selanjutnya, dianggap tidak perlu untuk memeriksa ruang lingkup pertahanan diri secara rinci, karena Komite hanya dituntut untuk membentuk makna agresi untuk tujuan mengklarifikasi kompetensi Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB, ketentuanm terakhir melayani tujuan yang sepenuhnya berbeda dari Pasal 51. Pada akhirnya, Kekuatan Enam mengklaim bahwa terlalu sederhana untuk menganggap pertahanan diri sebagai bagian tinjauan agresi. Pertahanan diri hanya bagian dari relevansi insidental dengan agresi. Untuk alasan ini, ketentuan umum yang menyatakan bahwa pertahanan diri bukan merupakan agresi adalah yang diperlukan. Ketujuh, perbedaan pendapat vis-a vis hak pertahanan diri pada akhirnya terbukti terlalu dalam untuk diatasi. Sebagai bagian dari kompromi yang lebih luas (yang melibatkan isu-isu kontroversial lainnya, seperti hak penentuan nasib sendiri), disepakati bahwa definisi harus mencakup referensi terhadap agresi tidak langsung (Pasal 3 (g)), dan jika pada saat yang sama hanya dipahami sebagai mendefinisikan `tindakan agresi ‘dalam arti Pasal 39 Piagam PBB. Kedelapan, terkait ruang lingkup pertahanan diri, resolusi membatasi pada pemahaman bahwa tidak ada dalam Definisi ini yang dapat ditafsirkan sebagai cara memperbesar atau mengurangi ruang lingkup Piagam PBB, termasuk ketentuan-ketentuannya tentang kasus di mana penggunaan kekuatan berisfat sah menurut hukum (lawful). Menurut delegasi Soviet, pencantuman ketentuan yang terakhir merupakan suatu kesuksesan, terutama mengingat bahwa masalah ini telah memecah Komite Khusus selama beberapa tahun ... Komite telah bertindak 444 cukup beralasan dengan membatasi dirinya sendiri untuk formulasi yang tidak bisa menyebabkan terjadi perbedaan pandangan. Kesembilan, Resolusi Majelis Umum PBB tentang Definisi Agresi semacam ini berfungsi sebagai pedoman yang tidak mengikat bagi Dewan Keamanan untuk menentukan adanya tindakan agresi dalam arti Pasal 39 Piagam PBB. Pasal 4 memperjelas tidak mengikatnya Resolusi Majelis Umum PBB terhadap Dewan Keamanan . Apalagi Resolusi Majelis Umum Nomor 3314 (XXIX) tersebut secara eksplisit mengacu pada Definisi Agresi hanya dalam hubungannya dengan pendudukan Namibia oleh Afrika Selatan dan pendudukan Israel atas Dataran Tinggi Golan; Perkembangan yang paling menarik dalam Konperensi PBB di Roma 1998 negara-negara peserta konperensi menyetujui Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan Pidana Internasional - ICC (International Criminal Court. Dalam pasal 5 ayat (1) ditegaskan kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan hak asasi manusia yang berat, tetapi perumusan definisinya dibuat dalam waktu tujuh tahun setelah statuta berlaku sah, yaitu 60 hari setelah mendapat ratifikasi 60 negara. Perumusan definisi tersebut melalui mekanisme amandemen sesuai pasal 121 dan 123 statuta dan harus bersesuaian dengan Piagam PBB. Walaupun telah lewat waktu tujuh tahun sejak hari ke 60 statuta mendapat ratifikasi dari 60 negara dalam hal ini Statuta Roma 1998 mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002 karena telah lewat 60 hari sejak mendapat ratifikasi negara ke-60 pada tanggal 11 April 2002 sesuai maksud pasal 126 Statuta.. Akan tetapi ternyata sampai sekarang definisi kejahatan agresi belum juga dibuat. Pengaturan Agresi sebagai salah satu kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kewajiban hukum internasional merumuskan 445 definisi agresi dalam waktu tujuh tahun tersebut dalam statuta Roma 1998 merupakan suatu terobosan menembus kebuntuan anggota PBB merumuskan definisi agresi. Terobosan ini membuka jalan selebar-lebarnya mencapai tujuan bersama merumuskan definisi kejahatan agresi. Dengan demikian perdebatan tentang definisi agresi yang lebih bersifat politis telah dibakukan secara yuridis formil dalam Statuta Roma 1998 sebagai salah satu kewajiban internasional negara-negara peserta konperensi untuk merumuskannya. Bagaimanapun kewajiban hukum harus dilaksanakan Kesepuluih, perdebatan yang gagal mertumuskan definisi agresi dapat memberikan pemahaman bahwa kekuatan Barat telah berhasil meredakan perdebatan dengan membelokan/mengarahkan dokumen yang mengikat dengan implikasi hukum menjadi alat politik yang dapat mereka abaikan dengan sangat mudah. Sekali lagi, penggunaan frase `tindakan agresi dalam Pasal 2 dan 3, dalam hubungan dengan teks Pasal 6, telah memperjelas bahwa resolusi konsensus tidak secara langsung membatasi atau memperluas ruang lingkup pertahanan diri yang sah, sebuah keyakinan yang dimiliki bersama oleh mayoritas doktrin hukum. Implikasinya adalah bahwa setiap serangan bersenjata dalam arti Pasal 51 biasanya juga merupakan suatu tindakan agresi dalam pengertian Pasal 39. Lebih penting lagi, sebaliknya berarti bahwa setiap pembatasan tindakan agresi yang diidentifikasi oleh Definisi Agresi akan berlaku untuk konsep serangan bersenjata. 446 f. Beberapa Sumber Lainnya: a. (Sumber: http:// abolishment.wordpress.com): Pada tanggal 14 Desember 1974, Majelis Umum PBB telah mengadopsi Resolusi 3314 yang menggolongkan tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan agresi. Perbuatanperbuatan tersebut adalah serangan bersenjata, pemboman, blokade, pendudukan wilayah, mengijinkan negara lain untuk menggunakan wilayah negaranya untuk melakukan tindakan agresi dan mengerahkan tentara yang tidak resmi dan tentara bayaran untuk terlibat dalam agresi. Tindakan agresi merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan berencana dan berkelanjutan. Berdasarkan Statuta Roma, kejahatan agresi baru akan dihadapkan di ICC apabila negara telah menyetujui definisi, kondisi-kondisi dan unsurunsur dari agresi itu sendiri pada suatu Review Conference. Di samping itu, berdasarkan Piagam PBB, Dewan Keamanan mempunyai kewewnangan eksklusif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan agresi telah terjadi. b. (Sumber: http://www.unisosdem. org/kliping_detail.php? aid=1557 &cold=11&caid=53) Kejahatan Agresi (crime of agression) ditemukan dalam Rome Statute of the International Criminal Court – Statuta Roma 1998 (SR). Namun, anatomi kejahatan agresi itu belum dirinci dan diyurisdiksikan karena SR menyatakan akan diatur lebih lanjut melalui amandemen setelah 7 tahun berlakunya SR (1 Juli 2002). Bisa jadi tidak diaturnya anatomi kejahatan agresi dalam SR ini adalah hasil tekanan negara adikuasa karena ada maksud tersembunyi guna 447 agresi ke berbagai negara dalam kurun satu dasawarsa ke depan. Meruntut kebelakang kejahatan agresi ditemukan dalam Convention for the Definition of Agression 1933, Charter of the International Military Tribunal 1945, dan Principles of the Nuremberg Tribunal 1950. Dua ketentuan terakhir menyebut istilah kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace) yaitu merencanakan, memprakarsai perang atau mulai perangagresi atau sebuah perang yang melanggar hukum internasional. Bush telah merencanakan, memprakarsai bahkan mengampanyekan perang atas Irak selama ini. Bush mengabaikan eksistensi PBB dengan segala perangkat hukumnya sebagai satu-satunya institusi yang dapat melakukan aksi militer untuk kepentingan bersama. Perang ini dikategorikan sebagai perang yang melanggar hukum dan perjanjian internasional. Karena itu, aksi militer ini tidak lain termasuk kejahatan agresi. c. (Sumber: http://nuralaw.blogspot.com/2011/01/kejahatan internasional: pendefinisian.html) - Agresi adalah suatu kejahatan internasional seperti yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 yang dibentuk sebagai landasar normatif, International Criminal Court (ICC) untuk dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan– kejahatan internasional. 448 Mengenai definisi dari agresi ini dapat dilihat dalam Statuta Roma pasal 5 ayat 2 yang bunyinya” mahkamah melakukan yurisdiksi atas kejahatan internasional agresi setelah suatu ketentuan disahkan sesuai dengan pasal 121 dan 123 yang mendefinisikan kejahatan dan menetapkan kondisi-kondisi dimana mahkamah menjalankan yurisdiksi berkenaan dengan kejahatan itu. Ketentuan semacam itu haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dari piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Selanjutnya bila dihubungkan dengan piagam PBB hal ini terdapat pada Bab VII pasal 42 terkhusus. Agresi dianggap sebagai suatu bentuk lain dari penyelesaian sengketa oleh Negara-negara terlebih lagi negara Amerika Serikat dikarenakan agresi dibolehkan dengan alasan menciptakan keamanan & perdamaian dunia internasional, begitu pula pada saat AS mengagresi IRAK tahun 2004, mereka mengelak dari tuduhan agresi militernya (intervensi).79 Berdasarkan hal di atas tindakan agresi merupakan suatu yang dilarang. Ketentuan ini disepakati setelah perang dunia kedua berakhir.Dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional, London, 1945, bagian annex, pasal 6(a) dinyatakan bahwa: “planning, preparation. Initiatian or waging of a war of agression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances, or participation in acommon plan, or conspiracy for the accomplishment of any foregoing are crimes against peace entailing individually responsibility. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or execution of the common plan or 79 Lokollo, Albert. Ibid. hlm 6 449 conspiracy are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan.” Ketentuan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa agresi merupakan bagian dari kejahatan perdamaian (crimes against peace). Piagam tersebut merupakan penegasan kembali Kellog- Briand Pact, yang menyatakan bahwa larangan atas perang sebagai kebijakan luar negeri yang diambil oleh tiap negara. Akan tetapi definisi dan ciri dari agresi belum mendapat kesepakatan masyarakat internasional. Kesepakatan definisi tersebut baru lahir pada tahun 1974, melalui resolusi Majelis Umum No.3314 (XXIX), tentang Definition of Aggression. Pasal 1 Resolusi tersebut menjelaskan agresi sebagai, “ is the use of armed force by a state, against the sovereignty, territorial integrity or political independence of onather state, or in any other manner inconsistent with the charter of the united nations, as set out in this definition.” Definisi agresi tersebut merupakan pengulangan apa yang telah diatur dalam pasal 2 (4) Piagam PBB bahwa setiap negara dilarang untuk menggunakan kekerasan bersenjata dalam hubungan internasional. Resolusi Majelis Umum PBB membagi agresi menjadi dua. Definisi agresi tersebut merupakan pengulangan apa yang telah diatur dalam pasal 2 (4) Piagam PBB bahwa setiap negara dilarang untuk menggunakan kekerasan bersenjata dalam hubungan internasional. Resolusi Majelis Umum PBB membagi agresi menjadi dua. Pertama, A war of agression (perang agresi) yang dikategorikan sebagai kejahatan perdamaian. Kedua, Agression (agresi) yang menimbulkan tanggungjawab internasional (Pasal 5 ayat 2). Konsekuensi dari pembedaan tersebut adalah jika sebuah negara 450 melakukan perang agresi maka tanggungjawab dijatuhkan pada pribadi sebagai pelanggaran pidana internasional, namun jika sebuah negara hanya melakukan agresi maka tanggungjawabnya dibebankan kepada negara dengan melakukan reparasi. Pembahasan agresi sangat terkait dengan pembelaan diri. Masyarakat Internasional pada prinsipnya melarang penggunaan kekerasan bersenjata dalam hubungan internasional antarnegara. Akan tetapi, ketentuan pasal 51 Piagam PBB telah memberikan pengecualian kepada setiap negara untuk melakukan tindakan bela diri apabila negaranya telah diserang oleh negara (kekuatan) lain. Pasal 51 menyatakan bahwa bela diri merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara. Hak tersebut timbul apabila negara tersebut telah disewrang oleh negara lain (if armed attack occurs). Ketentuan telah terjadinya serangan bersenjata menurut Louis Henkin adalah terbatas atas apa yang telah dinyatakan dalam piagam. Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama, adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah terjadi pengiriman tentara ke wilayah negara lain. Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat mahkamah internsional dalam kasus Nikaragua, a986. Kedua, adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah terjadi tembakan pertama. Akan tetapi pembuktian untuk menyatakan siapa yang telah melakukan tembakan pertama sangatlah sulit. 451 Hukum kebiasaan internasional mengenai tindakan bela diri dari kasus kapal Caroline (1837). Kasus tersebut mengenal beberapa prinsip dalam tindakan bela diri, yaitu: instant, overwhelming, leaving no choice of means, and no moment for deliberation. Prinsip-prinsip tersebut telah menjadi prinsip umum yang dianut oleh pihak yang ingin melakukan hak bela diri. Dalam pelaksanaan hak bela diri, hukum internasional juga mengatur bahwa tindakan tersebut tidak boleh berlebihan. Hak tersebut dilaksanakan hanya untuk memulihkan keadaan seperti semula (Entebee Case). 80 D. Rumusan Definisi Prediktif Tentang Kejahatan Agresi 1. Rumusan Konvensional Agresi berasal dari kata Aggression artinya Penyerangan atau Serangan, yaitu: A country that sends its army to occupy another country is quilty of aggression. Dengan demikian defines konvensionil, Agresi adalah tindakan suatu negara yang mengirim pasukan bersenjatanya atau angkatan perangnya untuk menyerang dan menduduki negara lain. (Negara yang mengirim pasukannya untuk menduduki negara lain dipersalahkan melakukan agresi) Pelaku adalah Negara Korban adalah Negara (kedaulatan, integritas wilayah, dan kebebsan politik) 80 Lokollo, Albert. Ibid, hlm. 8 452 Modus Operandi adalah menyerang, mengancam, menduduki wilayah negara korban dengan menggunakan kekuatan angkatan bersenjata. Unsur-Unsur Definisi berbagai sumber: 1. Penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu negara 2. penggunaan angkatan bersenjata terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kebebasan politik negara lain 3. penempatan kekuatan terhadap negara lain. bersenjata 4. penyerangan dan pendudukan perlawanan bersenjata, 5. penyerangan dan pendudukan perlawanan bersenjata. suatu negara tanpa yang adanya mendapat 6. ancaman kekuatan bersenjata dari suatu negara 7. ancaman kekuatan bersenjata terhadap negara lain 8. tindakan bersenjata lain yang bertentangan dengan piagam PBB. 9. ancaman dan penggunaan angkatan bersenjata bukan karena pembelaan diri (Pasal 51 Piagam PBB) 10. bukan atas nama DK PBB (Pasal 39 jo. Pasal 41 & Pasal 42 Piagam PBB) 2. Rumusan Prediktif - Objektif Kejahatan Agresi adalah tindakan penyerangan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan bersenjata oleh suatu pasukan bersenjata atau kelompok bersenjata atas kemauan sendiri atau atas perintah suatu negara terhadap pasukan atau kelompok bersenjata lainnya dan/atau penduduk sipil baik yang melakukan perlawanan bersenjata atau tidak melakukan perlawanan bersenjata dalam wilayah suatu negara, 453 dengan maksud untuk merebut, menduduki dan menguasai sebagian atau seluruh wilayah negara tersebut sampai pasukan bersenjata, atau kelompok bersenjata atau pemerintah negara tersebut memenuhi tuntutan-tuntutannya. Penjelasan Unsur Kejahatan Agresi: a. penyerangan, artinya pelaku datang mendekat atau mendatangi atau memasuki wilayah suatu negara agar dapat menyerang pasukan atau kelompok bersenjata dan atau penduduk sipil yang berada disitu. b. dengan kekuatan bersenjata, artinya kekuatan yang menggunakan persenjataan dan peralatan militer lainnya dan lazimnya digunakan dalam pertempuran atau perang atau konflik bersenjata lainnya. c. pelaku penyerangan adalah suatu pasukan atau kelompok bersenjata baik nasional suatu negara maupun organisasi bersenjata bukan negara. d. atas kemauan sendiri, artinya tindakan penyerangan dilakukan oleh pelaku atas kesadaran sendiri tanpa dipaksa oleh suatu kekuatan diluar pelaku sebagai suatu pasukan atau kelompok bersenjata. e. atau atas perintah suatu negara, artinya tindakan penyerangan dilakukan oleh pelaku atas perintah yang berasal dari aparat pemerintah suatu negara yang berwenang untuk itu, baik dari negaranya sendiri mauun negara lainnya. f. korban penyerangan, adalah pasukan atau kelompok bersenjata lainnya dan/atau penduduk sipil yang berada dalam wilayah suatu negara, baik dalam wilayah negara penyerang sendiri maupun dalam wilayah negara lain. g. melakukan perlawanan bersenjata, artinya melawan atau membalas serangan bersenjata penyerang, sehingga terjadi saling tembak-menembak secara terbuka atau pertempuran atau konflik bersenjata diantara yang diserang dan penyerang. 454 h. tidak melakukan perlawanan bersenjata, artinya tidak terjadi tembak-menembak, atau pertempuran atau konflik bersenjata diantara yang diseran g dan penyerang. i. dalam wilayah suatu negara, artinya semua daerah atau tempat atau ruang baik di darat, laut dan udara dimana suatu negara dapat menjalankan atau melaksanakan kedaulatan dan hak-hak berdaulatnya. j. merebut, menduduki dan menguasai sebagian atau seluruh wilayah negara tersebut, artinya penyerangan dilakukan sedemikian rupa agar sebagian atau seluruh wilayah negara dimana pasukan atau kelompok bersenjata dan/atau penduduk sipil dan pemerintahannya berada dalam pengawasan dan pengendalian efektif penyerang. k. sampai pasukan bersenjata, atau kelompok bersenjata atau pemerintah negara tersebut memenuhi tuntutan-tuntutannya, artinya pelaku berhenti melakukan tindakan penyerangan setelah semua tuntutannya dikabulkan oleh pasukan bersenjata, atau kelompok bersenjata, atau pemerintah negara dimana mereka berada. Definition Of Aggression. Crime of aggression is an act of assault committed with use of armed forces by the armed troops or an armed group voluntarily or by order of a state to other armed forces or group and/or civilians either by conducting an armed resistance or not conducting an armed resistance in the territory of a state, with the intent to seize, occupy and control part of or entire territory of the state until the armed forces or armed group or government of the state meets their demands. 455 Explanation on Elements of Aggression Crime: a. assault, means that actors come closer or go to or enter into the territory of a state in order to be able to attack the armed forces or group or civilians who are there. b. by force of arms, meaning the power which uses weapons and other military equipment and typically used in battle or war or other armed conflict. c. perpetrators of the assault is an armed forces or group both of national armed organization of a state and nonstate armed organization. d. voluntarily, means assault action committed by perpetrators voluntarily without compelled by a force outside of the perpetrators as an armed forces or group. e. or by order of a state, meaning that the assault action committed by the perpetrators by orders from the government of a state apparatus of a state authorized to it, either from their own state or other state. f. victims of assault, are armed forces or other groups and/or the civilian population residing in the territory of a state, both in the territory of the attackers themselves and in the territory of other state. g. conducting armed resistance, means to fight or retaliate against armed assault of the attacker, resulting in an open gunfire exchange or armed fighting or conflict between the attacked and the attackers. h. not conducting armed resistance, means no gunfire exchange, or fighting or armed conflict between the attacked and the attackers. i. within the territory of a state, meaning that all areas or places or spaces either in the land, sea or air in which a state may exercise or execute its sovereignty and sovereign rights. 456 j. seize, occupy and control part of or entire territory of the state, means the assault carried out in such a way that part or entire territory of a state where the armed forces or groups and/or civilian population and their government are under effective surveillance and control of the attackers. k. until the armed forces or armed groups or government of the state meets their demands, meaning that the perpetrators stop their offensive actions after all their demands are granted by the armed forces or armed group, or government where they are located. 457 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan keseluruhan pembahasan tersebut di atas, pada Bab penutup ini dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saransaran, sebagai berikut: A. Kesimpulan: 1. Kejahatan Agresi yang belum dirumuskan definisi kejahatannya dapat diadili pada Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc dan Pengadilan HAM Indonesia Ad Hoc yang dibentuk dengan cara: a. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan kepada Dewak Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menerbitkan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk Pengadilan Pidana Internasional Ad Hoc untuk memeriksa dan mengadili Pelaku Kejahatan Agresi tertentu yang direkomendasikan Sekjen PBB. Dewan Keamanan PBB dapat berinisiatif sendiri menerbitkan Resolusi DK PBB membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut b. Dewan Perwakilian Rakyat Republik Indonesia mengusulkan kepada Presiden RI untuk menerbitkan Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang mengadili Kejahatan Agresi tertentu yang direkomendasikan DPR RI. Presiden RI dapat berinisiatif sendiri menerbitkan Keppres membentuk Pengadilan Ad Hoc tersebut. 458 Pengadilan Ad Hoc tersebut mengadili kasus per kasus (case by case) artinya mengadili perkara kejahatan agresi tertentu yang disebutkan secara tegas dalam surat keputusan (Resolusi atau Keppres RI) pembentukannya. 2. Pokok-pokok Sistem Peradilan Pidana Internasional-ICC dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang mengadili kejahatan HAM termasuk kejahatan Agresi, terutama penerapan hukum acara dan pengambilan keputusan melalui metode penemuan hukum: Penafsiran dan konstruksi hukum yang sah dalam keadaan kekosongan hukum. 3. Pelaku Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi dapat dituntut pertanggungjawaban pidana di Indonesia, meskipun yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia hanya meliputi kejahatan Genosida dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Penuntutan pidana ini dapat dilakukan melalui pengadilan Pidana HAM RI Ad Hoc. B. Saran 1. Sebaiknya Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998, lalu melakukan penyesuaian ketentuan-ketentuan Statuta Roma 1998 kedalam perundang-undangan nasional Indonesia, sehingga Indonesia dapat melaksanakan kewajiban internasionalnya menegakan hukum terhadap kejahatan HAM di Indonesia secara efektif. 2. Sebaiknya Indonesia memelopori perumusan definisi kejahatan agresi sebagai bentuk kemauan dan kesungguhan Indonesia melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan HAM secara efektif, sehingga dapat mendorong negara-negara lain serta ICC melaksanakan kewajiban internasionalnya merumuskan definisi yang sama. 459 Riwayat Penulis Marthen Napang: lahir di Makassar,12 Maret 1957, Alumni Fakultas Hukum UNHAS 1984 Jurusan Hukum Internasional dengan skripsi: “Penyelesaian Sengketa Falkland/Malvinas Dalam Hukum Internasional”. Lawyer dan aktif mengajar kelompok Mata Kuliah Hukum Internasional di Fakultas Hukum UNHAS tahun 1985 – 1999. Pada awal tahun 2000 hijrah ke Jakarta melanjutkan studi dan menyelesaikannya pada: a. Program Ilmu Hukum Pascasarjana UNPAD Wisuda 30 Mei 2003 dengan tesis (lulus Cum Laude): “Prediksi Penerapan Yurisdiksi Peradilan Pidana Internasional ke Dalam Yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia Dalam Mengadili Kejahatan Internasional Menurut Statuta Roma 1998”. b. Program Kajian Wilayah Amerika Pascasarjana Universitas Indonesia Wisuda 7 Februari 2004 dengan tesis: “Al Gore Vs. George W.Bush Dalam Pemilihan Presiden Amerika 2000: Persengketaan Hasil Pemilihan di Florida”. Selain itu, mengikuti berbagai penataran dan konvensi nasional diantaranya: - Penataran Hukum Humaniter dan HAM Depkeh,1989 - Penataran Hukum Humaniter dan HAM di Manado 1999 oleh ICRC (International Committee of the Red Cross) – UNSRAT, di Surabaya 2001 oleh ICRC – UNAIR dan di Makassar 2002 oleh ICRC – UNHAS. - Konvensi Nasional dan Seminar Nasional Asosiasi Studi Amerika – Indonesia,1993, 1994 & 2000. - Seminar Nasional (ICMI,PIKI,FCHI,KCBI) Pengembangan SDM,1992. - Seminar Nasional Wawasan Nusantara,1990 & Bangun Bangsa Indonesia,1992. - Seminar Regional Antar Cendekiawan Beragama,1992. - Seminar Otonomi Daerah,1999. - Pelatihan Pengacara Konstitusi oleh Asosiasi Advokat Indonesia,2003. Selama studi aktif di organisasi intra & ekstra kurikuler, seperti pernah terpilih menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS (BPM FHUH) 1982/1983, Wakil Ketua DPD II KNPI KMUP 1987/1992; Dewan Penasihat (Wanhat) DPD II KNPI KMUP 1986/1991 dan Dewan Penasihat (Wanhat) DPD AMPI Sulsel 1993/1997. Pemimpin Redaktur Bulletin/Majalah: “Moment”, “Presensia”, “Senior”, serta mengasuh klinik hukum pada Radio Christy di Makassar. Mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, 1995 dan dianugrahi penghargaan “The Best Executive 2004” oleh Yayasan Andhika Jakarta. Pendiri Pusat Bantuan Hukum Yusticia, Counsellor pada Kantor Hukum Amanah YPK- PLN dan Lembaga Hukum Ammanagappa di Jakarta. Foto