131 BAB V PENGELOLAAN PEMBELAJARAN KIMIA PADA SMAN 1 SINGARAJA DAN SMAN 1 GIANYAR 5.1 Perencanaan Pembelajaran Kimia Informasi utama yang digunakan untuk memperoleh jawaban terhadap masalah perencanaan pembelajaran kimia adalah dokumen perangkat pembelajaran diperoleh dari dokumentasi, dan hasil wawancara diperoleh dari wawancara. Dokumen perangkat pembelajaran dicermati dengan beracuan pedoman pembuatan perangkat pembelajaran kemudian dilakukan interpretasi. Hasil wawancara yang terkait perencanaan pembelajaran di interpretasi dan disandingkan dengan data dokumen. Dua informasi ini sebagai acuan untuk melakukan interpretasi dan membuat simpulan. Wawancara dilakukan pada guru kimia, kepala sekolah, dan pengawas. Dasar pemikiran yang dipakai mewawancarai guru kimia, kepala sekolah, dan pengawas karena guru kimia sebagai pembuat perencanaan pembelajaran, sementara itu kepala sekolah dan pengawas berperan sebagai pengawas dan supervisor yang bertugas memantau, memeriksa, dan menilai perangkat pembelajaran yang dibuat oleh guru. Pada penilaian dokumen dilakukan dengan mencermati perangkat pembelajaran berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru. Di dalam wawancara, pertanyaan-pertanyaan difokuskan tentang mekanisme kerja penyusunan silabus dan program pembelajaran, kesulitan yang dialami dalam membuat perencanaan, serta hal-hal, baik yang mendukung maupun menghambat, 132 penyusunan perencanaan pembelajaran. Pedoman wawancara disajikan pada Lampiran 3. Pada sajian selanjutnya penulisan informan dilakukan pengkodean, untuk mempersingkat sumber informasi. Pengkodean informan yang dimaksud disajikan pada daftar informan. Proses perencanaan pembelajaran kimia dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni sosialisasi, kegiatan pembinaan teknis (bintek), workshop, diskusi, dan penulisan perangkat pembelajaran. Diskusi dan penulisan perangkat pembelajaran dilakukan di tingkat MGMP sekolah. Pembuatan perangkat pembelajaran dilakukan dengan lancar karena dukungan fasilitas, dukungan sarana, dan termasuk dana dari pihak manajemen sekolah. Pernyataan yang diambil dari petikan hasil wawancara terhadap guru sebagai berikut. “Tetap lewat workshop, diawali dengan pemberian pandangan umum dan penjelasan-penjelasan oleh kasek dan wakasek kurikulum. Setelah itu langsung bekerja dalam kelompok bidang studi dengan membagi-bagi tugas” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011). Pernyataan yang dikemukakan di atas di dukung oleh pernyataan guru di gianyar yang menuturkan sebagai berikut. “Secara umum ada workshop dulu, di kegiatan workshop itu diberikan panduan-panduan oleh bagian manajemen mutu (waka), format ini di silabus apa saja, di RPP apa saja…kemudian di kimia kita melakukan analisis dulu, dari sana kita tuangkan nanti ke silabus ke RPP, pembagian jam mengajar, pemilihan metode juga, karakteristiknya pada mata pelajaran” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011). Informasi tersebut diperkuat lagi dengan ungkapan yang disampaikan oleh kepala sekolah sebagai berikut. 133 “Nah untuk perencanaan pembelajaran di awal kita lakukan pembagian tugas, kemudian dilakukan workshop selama 3 hari, untuk menyamakan arah, dia bekerja di mgmp, kalau ada hal yang belum sempurna kita sempurnakan, kita tidak membuat dari nol lagi, kita mengevaluasi yang sudah dilakukan di bagian mana yang sulit, di bagian mana yang bisa dipercepat, itu kajiannya di tingkat guru mata pelajaran” (wawancara KS, tanggal 11 Januari 2012). Pernyataan guru dan kepala sekolah mengenai proses perencanaan pembelajaran seperti disebutkan di atas diperkuat lagi dengan pernyataan yang disampaikan oleh pengawas sebagai berikut. “Sebelum membuat perencanaan, memang diadakan suatu workshop, sosialisasi secara umum dulu dan kemudian mengarah ke MGMP, setelah kegiatan terbimbing selanjutnya guru membuat perencanaan secara mandiri, dan SMA 1 memang sudah mempunyai nilai plus, di samping membuat dalam bahasa Indonesia juga membuat dalam bahasa Inggris. Saya lihat perencanaan itu terkait dengan pelaksanaan. Nanti bagaimana perencanaan itu dilaksanakan di situ saya lihat juga evaluasinya. Memang SMA1 selalu kontak bila ada permasalahan, memang dia kooperatif dan bagus. Disana saya sering pinjam tempatnya untuk pertemuan MGMP, kemarin sempat kegiatan menyusun PTK” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Dengan memerhatikan beberapa informasi di atas, jika dilihat dari sisi proses penyusunan silabus dan produk perangkat pembelajaran, sudah dilakukan dengan baik dan terprogram secara teratur. Hal ini berarti bahwa proses perencanaan pembelajaran sudah dilakukan dengan baik. Kegiatan perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia, melalui kegiatan workshop, dilanjutkan dengan diskusi di dalam kelompok mata pelajaran. Workshop dan diskusi yang dilakukan dalam rangka membuat silabus, melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar, kemudian dilanjutkan dengan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang di 134 dalamnya berisi indikator, tujuan pembelajaran, media yang direncanakan, dan alat evaluasi dengan berbagai pengembangannya menjadi sebuah produk perangkat pembelajaran. Kegiatan perencanaan yang dilakukan oleh guru kimia, dilihat dari Permendiknas No. 41, Tahun 2007 tentang standar proses, maka untuk kegiatan perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar (Permendiknas No. 41, Tahun 2007). Pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia sesuai dengan pedoman implementasi kurikulum. Menurut Mulyasa (2008:153--154) menyatakan, bahwa perencanaan merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam implementasi KTSP, yang akan menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan dan menentukan kualitas pendidikan serta kualitas SDM, baik di masa sekarang maupun di masa depan. Dalam implementasi KTSP, guru diberikan kewenangan secara leluasa untuk menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolah, serta kemampuan guru itu sendiri dalam menjabarkan menjadi silabus dan RPP. Kegiatan perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, sejalan dengan prinsip implementasi 135 kurikulum KTSP. Guru kimia membuat penjabaran dan pengembangan silabus dan RPP sesuai dengan kondisi sekolah dalam status RSBI saat itu. Pengembangan yang dilakukan adalah dengan mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum dari luar dan mengembangkan model-model evaluasi yang diambil dari model tes di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Pengembangan silabus dan RPP yang dilakukan tersebut sesuai dengan pernyataan informan sebagai berikut. ”Kalau pembuatan perangkat kita juga adaptasi pada kurikulum Cambridge ya, jadi kita sesuaikan dari kurikulum nasional, kalau ada yang perlu diadopsi dari Cambridge, kita ambil” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011) Informasi tentang pengembangan kurikulum diperkuat lagi oleh guru lain yang menuturkan sebagai berikut. ”RSBI itu kan kurikulum nasional plus kan gitu, kita mengadopsi, yang sudah ada kita adaptasi, yang belum ada kita kembangkan kita adaptasi dari Cambridge, ada juga dari Singapura. Memang juga disarankan adopsi dari kurikulum perguruan tinggi yang favorit, misalnya UI, ITB, UGM, dilihat dari soal-soal, oo ini soal yang dikeluarkan, kalau ITB begini tesnya, kalau UGM begini tesnya, kita adopsi kemudian kita berikan pengayaan di sore itu” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011). Kemampuan guru membuat RPP merupakan langkah awal yang wajib dimiliki guru, dan sebagai muara dari segala pengetahuan, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pembelajaran. RPP merupakan suatu perkiraan atau proyeksi guru mengenai seluruh kegiatan yang akan dilakukan baik oleh guru maupun siswa, terutama kaitannya dengan pembentukan kompetensi dan pencapaian tujuan pembelajaran. 136 Pembuatan perangkat pembelajaran dilakukan dengan lancar karena dukungan fasilitas, dukungan sarana, dan termasuk dana dari pihak manajemen sekolah. Namun demikian, ada beberapa kendala dan kesulitan yang dialami oleh guru dalam menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yaitu terkait dengan pembuatan perencanaan dalam bahasa Inggris dan pengklasifikasian ranah- ranah pengetahuan yang didasarkan atas taksonomi Bloom. Hal ini dinyatakan oleh guru seperti pernyataan berikut. ”Kendalanya ketika penentuan ranah C1, C2, C3, kaitannya dengan materi, apakah materi ini termasuk C1, C2, C3 jadi dalam analisis taksonominya. di silabus juga sudah lengkap. Untuk psikomotor juga ada P1, P2, P3 kita juga belum paham. Karena kan berbeda karakternya pak, kelas yang satu dengan yang lain, kan untuk kelas ini cocok C1, kelas yang lain mungkin C2. Untuk menyamakan persepsi itu kan ada perbedaan pendapat (wawancara GG, tanggal 4 Oktober 2011) Taksonomi mengandung pengertian prinsip pengklasifikasian objek. Taksonomi didasarkan pada asumsi bahwa program pendidikan dapat dipandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa mata pelajaran. Taksonomi dibagi atas tiga ranah (domain) yaitu (1) kognitif, (2) afektif, dan (3) psikomotor. Domain kognitif meliputi tujuan yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi. Domain psikomotor meliputi tujuan-tujuan yang berhubungan dengan keterampilan manual dan motorik (Roestiyah, 1982; Kunandar, 2007). Menurut Bloom (dalam Roestiyah, 1982: 139--140) menyatakan bahwa rumusan tujuan-tujuan belajar mengenai kognitif 137 domain diklasifikasikan menjadi pengetahuan (C1), pengertian (C2), aplikasi (C3), analisa (C4), sintesa (C5), dan evaluasi (C6). Hal yang senada juga ada pengklasifikasian domain afektif menurut David Krathwohl dan domain psikomotor menurut Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay.ds (dalam Roestiyah, 1982). Rumusan tujuan belajar mengenai domain afektif yaitu menerima, menjawab, menilai, mengorganisasi, dan konsisten serta prediktabel. Rumusan tujuan belajar mengenai domain psikomotor meliputi persepsi (P1), kesiapan (P2), respon terpimpin (P3), mekanisme (penggunaan sejumlah skill dalam aktifitas yang kompleks) (P4), dan respon yang kompleks menggunakan sikap dan pengalaman (P5). Kesulitan guru dalam mengklasifikasikan ranah-ranah tersebut di atas disebabkan oleh kompetensi profesionalnya yang belum optimal. Guru senantiasa diharapkan meningkatkan kompetensi yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Menurut Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti dan Direktorat Profesi Pendidik Depdiknas (dalam Kunandar, 2007: 75--77) menyatakan sebagai berikut. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perqancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktaulisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata 138 pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Sebagai data tambahan mengenai perencanaan pembelajaran dilakukan pencermatan dokumen berupa perangkat pembelajaran. Di dalam penilaian dokumen, dilakukan dengan mencermati dan mengevaluasi perangkat pembelajaran berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru. Acuan yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap dokumen perangkat pembelajaran adalah Permendiknas No. 41, Tahun 2007 pada unsur standar perencanaan proses pembelajaran. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Penilaian terhadap kesesuaian antara komponen dan isi yang diuraikan di dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dilakukan oleh peneliti. Hasil pencermatan terhadap beberapa perangkat pembelajaran berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dihasilkan melalui proses workshop dan diskusi dipaparkan sebagai berikut. Di dalam silabus, komponen-komponen yang ada beserta isinya sudah sesuai dengan standar. Rencana pelaksanaan pembelajaran ketika 139 dilihat dari komponen-komponen yang ada sudah sesuai dengan standar. Hubungan antara komponen yang satu dan yang lain yaitu standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran sudah tepat. Demikian juga dengan komponen materi pembelajaran, sumber dan alat, metode, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian sudah sesuai, tepat, dan lengkap. Beberapa perencanaan pembelajaran ada yang sudah melebihi standar karena dilengkapi dengan lembar diskusi siswa, ada juga dengan lembar kerja siswa, dan ada yang dilengkapi dengan petunjuk praktikum. Silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru sudah benar sangat sesuai dengan yang diharapkan. Contoh silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada Lampiran 4. Jadi, perangkat perencanaan pembelajaran oleh guru kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar telah dilakukan dengan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan. Perangkat pembelajaran yang lengkap dan sesuai dengan standar ini dibuat oleh guru karena adanya tuntutan kelengkapan administrasi sekolah. Kelengkapan perangkat pembelajaran ini sebagai persyaratan penilaian administrasi dalam rangka mendapatkan sertifikat manajemen ISO di samping sebagai kelengkapan administrasi guru. Kondisi ini yang menyebabkan pihak sekolah mengharuskan guru untuk membuat perangkat pembelajaran yang lengkap sesuai dengan standar, dan diharapkan berkualitas. Jika dilihat dari unsur perencanaan proses pembelajaran yang merupakan salah satu bagian dari standar proses, perencanaan pembelajaran sudah dilaksanakan 140 dengan baik. Proses atau kegiatan dalam membuat perencanaan pembelajaran dilakukan dengan benar. Produk berupa perangkat pembelajaran yang dihasilkan dilihat dari struktur, hubungan antara komponen dan isi beserta kelengkapannya sudah baik dan tepat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran kimia kualitasnya baik. 5.2 Pelaksanaan Pembelajaran Kimia Data utama yang digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran adalah hasil observasi pembelajaran. Karena ketebatasan, maka tidak seluruh pembelajaran di observasi, tetapi hanya enam kali observasi pembelajaran yang terdiri atas, tiga kali obseravasi di kelas dan tiga kali observasi praktikum di laboratorium. Sebagai informasi pendukung pelaksanaan pembelajaran adalah hasil wawancara. Wawancara dilakukan pada guru kimia, siswa, kepala sekolah, dan pengawas. Guru kimia diwawancarai karena mereka yang melaksanakan pembelajaran, baik di kelas maupun di laboratorium. Sementara itu, siswa diwawancarai karena mereka yang memeroleh pembelajaran secara langsung, baik di kelas maupun di laboratorium. Selain itu, kepala sekolah, dan pengawas juga diwawancarai karena mereka memiliki kewajiban melakukan pengawasan pembelajaran sehingga mereka memiliki informasi/data yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kegiatan mengobservasi guru mengajar berpedoman pada standar proses pada aspek pelaksanaan proses 141 pembelajaran dengan mengamati kesesuaian antara perencanaan pelaksanaan pembelajaran dan proses mengajar yang dilakukan. Di dalam wawancara pertanyaan difokuskan pada aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru, pengembangan dan inovasi pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran praktikum kimia, kesulitan dan daya dukung yang ada. Wawancara dilaksanakan secara mengalir dan mendalam tidak kaku, senantiasa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, tetapi tidak ke luar dari fokus persoalan yang digali. Dari wawancara yang dilaksanakan dengan cara seperti itu diperoleh informasi tambahan yang sangat berguna untuk keperluan pembahasan dan pemberian makna sebuah persoalan. Dari informasi yang diperoleh diketahui bahwa, pelaksanaan proses pembelajaran kimia dapat dipilah menjadi dua kegiatan, yaitu pembelajaran yang dilakukan di kelas dan pembelajaran praktikum di laboratorium. Mengelaborasi informasi yang disampaikan oleh guru, siswa, kepala sekolah, dan pengawas bahwa proses pembelajaran kimia di kelas telah diusahakan untuk dilakukan dengan baik dan menyenangkan. Beberapa guru menyatakan melaksanakan pembelajaran dengan meminimalkan ceramah, ada guru yang menggunakan berbagai metode yang disesuaikan dengan keadaan siswa, dan ada guru yang menyatakan melakukan pembelajaran dengan diskusi kelompok dan latihan soal. Pernyataan guru dari hasil wawancara sebagai berikut. “Siswanya bagus Pak, cara mengajar saya berbeda di kelas yang satu dengan yang lain berdasarkan kualitas siswa di kelas, tergantung input nya Pak. Di kelas yang bagus saya mengajar dengan LKS, dia kerjakan sambil diskusi 142 dengan temannya nyambung dia, namun di kelas lain jika dikasi LKS, masih aja ngobrol dia. Kalau dikasi praktikum nyambung, jadi yang jelas berbeda cara mengajar kita” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011). Pembelajaran yang dilakukan guru dengan mengurangi metode ceramah dikemukakan pula oleh guru yang lain dengan tuturan sebagai berikut. “Kalau di kelas yang saya ajar, siswanya lumayan bagus aktivitasnya, karena input nya bagus dan agar anak itu aktif, kita buat work sheet, walaupun belum sempat kita print, dalam bentuk soft copy kita tayangkan, anak-anak yang mencari lebih lanjut, kemudian dia presentasi. Siswanya aktif pak, karena saya lebih sering diskusi kelompok, sehingga anak-anak yang menemukan konsep, dan lebih cenderung praktikum, sehingga saya jarang memberikan ceramah, anak-anak aktif, ini rasanya yang lebih bagus. Seperti biasanya Pak, pagi jam 7.30 sampai jam 13.15 program reguler, kemudian ada lagi program akselerasi (penguatan pendalaman materi) dilakukan setiap hari Senin sampai Rabu,dijadwalkan jam 13.30 sampai jam 15.00, untuk pelajaran yang di-UN- kan” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011). Siswa menyatakan senang belajar kimia karena gurunya sudah mengajar dengan baik, semua siswa yang diwawancarai menyatakan guru melaksanakan pembelajaran di kelas dengan menyenangkan dan ramah. Pernyataan yang dikemukakan siswa sebagai berikut. “Karena waktu smp dapat kimia pengenalan saja, waktu di sma, saya merasa senang, karena alat-alatnya memadai dan kita belajarnya itu berkelompok, bareng-bareng, yang ndak tahu jadi tahu, lebih nyaman kita bila belajar itu praktik, dari pada teori aja di papan, kita praktik kita bisa lihat langsung, pembelajaran kan ada banyak, visual, fisik, ada gini dari cara melihat, lebih senang praktik daripada teori aja” (wawancara SS, tanggal 27 Oktober 2011). Siswa yang lain dalam ungkapannya menyatakan kesenangannya dalam pembelajaran kimia sebagai berikut. 143 Bapaknya bagus mengajar, santai menurut saya bagus, kita juga mempersiapkan diri dan membaca buku di rumah. Bagus mengajar menggunakan power point, memberikan konsep, memberikan latihan-latihan, terus kita mengerjakan LKS, kalau ada yang tidak mengerti dibahas bersama, berdiskusi (wawancara SG, tanggal 12 Oktober 2011). Informasi dari pengawas mengemukakan bahwa pembelajaran kimia di kelas sudah dilakukan dengan baik dan ada pengembangan. Pernyataan yang disampaikan dalam wawancara sebagai berikut. “Memang dalam proses pembelajaran selalu ada kelebihan dan kelemahan, tetapi saya lihat secara umum baik Pak, dibandingkan dengan guru di sekolah lain, tepat waktunya, prosesnya, dan itu karena tuntutan siswa Pak. Saya yang mantan guru di sana, kita tidak hanya dituntut membuat persiapan tapi memang action nya memang lebih di sana, karena siswa yang menuntut untuk persiapan menghadapi ujian dan juga setelah tamat” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Sementara itu, informasi dari kepala sekolah mengemukakan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas belum sesuai antara yang ada dalam rencana pembelajaran dan yang dilaksanakan di dalam kelas. Pernyataan kepala sekolah dari petikan wawancara sebagai berikut. ”Nah terkait dengan ini, dari hasil observasi saya melihat antara apa yang ditulis dalam perencanaan dengan apa yang dilakukan di kelas itu berbeda, dia jarang melihat perencanaannya, jadi tidak match, memang pada saat ada evaluasi, pengawasan memang dilihat perencanaannya sudah oke, tapi saya tidak hanya melihat itu, kesehariannya seperti apa? Bukan hanya ketika di awasi tapi agar alami, itu yang saya harapkan. Jadi, kurang match antara apa yang dipersiapkan dengan apa yang dilakukan” (wawancara KS, tanggal 11 Januari 2011). 144 Informasi tentang pembelajaran kimia di laboratorium atau kegiatan praktikum cukup beragam, yaitu ada guru mengatakan melaksanakan praktikum secara penuh dan beberapa guru lain mengatakan praktikum kimia sangat terbatas, guru memilih materi-materi pelajaran yang bisa dipraktikumkan. Pernyataan yang disampaikan sebagai berikut. ”Nah kalau di praktikum kita laksanakan di laboratorium, memang tidak semua topik bisa dipraktikumkan, ada beberapa misalnya elektrolisis, sebagian kita praktikumkan, dan juga melakukan observasi ke tukang sepuh, kemudian anak-anak mempresentasikan” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011). Pernyataan tentang pembelajaran praktikum dikemukakan oleh guru yang lain sebagai berikut. ”Kebetulan saya tim dengan Pak Madra, setelah praktikum juga diberikan diskusi sesuai dengan karakteristik materi. Kasi tugas kita berikan ramburambunya. Begitu diumumkan akan praktikum anak-anak senang sekali, kalau dulu labnya masih gabung dengan biologi sehingga berbagi dengan biologi, tapi sekarang sudah ada lab kimia tersendiri, kita hanya berbagi dengan kimia saja” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011). Informasi dari siswa diperoleh bahwa pernah praktikum hanya beberapa kali sampai dia duduk di kelas XII (atau tahun ke 3), sementara itu ada siswa yang menyatakan belum pernah praktikum. Pernyataan siswa dari petikan wawancara sebagai berikut. ”Waktu di kelas 1 juga sama praktik perubahan kimia dan perubahan fisika, mencari moralitas, di kelas 2 juga sudah praktikum. Untuk kelas 3 karena sudah akan persiapan ujian kita tidak praktikum di lab, langsung ke masyarakat, misalnya tentang penyepuhan, oleh Ibu Oka kita disuruh datang ke pengrajin penyepuhan, untuk membuat laporan, direkam juga, bagaimana 145 sih fungsi penyepuhan, apa tujuannya, apa alatnya, apa yang mempengaruhi, kita mengamati, membuat laporan, kemudian kita presentasi dengan power point, beserta videonya. Praktikum sudah pernah, mencari perubahan kimia, dan perubahan fisika, kemudian mencari molaritas” (wawancara SS, tanggal 27 Oktober 2011). Ungkapan siswa mengenai pelaksanaan praktikum yang sangat terbatas dilakukan dengan tuturan sebagai berikut. ”Kalau kami belum pernah praktikum Pak. Kalau saya sudah pernah pak sekali praktikum minggu lalu. Kalau saya pernah hanya beberapa kali praktikum sampai kelas tiga” (wawancara SG, tanggal 12 Oktober 2011) Pernyataan dari pihak pengawas bahwa memang praktikumnya sangat terbatas, guru memilih pokok bahasan yang dipraktikumkan tidak bisa semua dipraktikumkan seperti tuntutan kurikulum. ”Di sana banyak kegiatan untuk kajiannya lulus tes, karena terbentur waktu tidak bisa bereksperimen dengan semua program itu, jadi mana yang lebih penting itu yang didahulukan, jadi kegiatan jalan. Praktikum memang dilaksanakan tetapi tidak maksimal, yaa karena keterbatasan alat dan waktu, tapi ada praktikum, karena juga harus menyiapkan ujian nasional, jadi waktunya harus diatur” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Hasil wawancara dengan kepala sekolah juga menyatakan hal yang senada bahwa memang dalam praktikum ada masalah, dan kepala sekolah masih melakukan evaluasi mengenai praktikum yang bermasalah. Adapun pernyataan kepala sekolah adalah sebagai berikut. “Dari bukti fisik yang saya terima, dan fokus di IPA saya melihat temanteman masih kurang di praktikum, kita lihat dari kompetensi anak, ketika dia mengikuti lomba-lomba, anak-anak itu kalahnya di praktikum, seluruh pengalaman seperti itu” (wawancara KSG tanggal 11 Januari 2012). 146 Berdasarkan informasi yang disebutkan di atas diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas menurut penilaian guru sudah dilakukan dengan baik, guru telah berusaha mengaktifkan siswa dengan memperbanyak latihan soal. Sementara itu, siswa yang mendapatkan pembelajaran merasakan nyaman diajarkan dengan cara yang dilakukan gurunya. Sementara itu, untuk pembelajaran praktikum sangat minim dilakukan tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum. Minimnya kegiatan praktikum karena guru lebih mengutamakan siswa menyiapkan diri untuk menempuh ujian nasional. Untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan proses pembelajaran yang lebih akurat maka dilakukan juga dengan observasi. Data rekaman/catatan hasil observasi proses pelaksanaan pembelajaran di kelas dan di laboratorium disajikan pada Lampiran 5. Hasil observasi proses pembelajaran di kelas dan di laboratorium yang dilakukan pada enam guru kimia diperoleh gambaran seperti berikut. Pada pembelajaran di kelas secara umum guru mengikuti alur pembelajaran mulai dari pembukaan, kegiatan inti, dan penutup. Pada kegiatan pembukaan guru memulai dengan apersepsi dan eksplorasi, kemudian pada kegiatan inti dengan elaborasi, penanaman konsep melalui ceramah, latihan soal, diskusi kelompok, pemberian bimbingan, penguatan-penguatan, memberikan kesempatan untuk bertanya sesuai dengan situasi kelas. Kegiatan dalam menutup pembelajaran diawali dengan penegasan-penegasan konsep, memberikan informasi tentang materi berikutnya, dan 147 diakhiri dengan pemberian tugas rumah. Situasi belajar yang terjadi cukup akrab, siswa antusias, aktif, dan disiplin mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Motivasi belajar dan kesiapan belajar siswa cukup baik dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Penelusuran lebih mendalam pada tiap-tiap pembelajaran yang dilakukan dicermati dengan saksama. Pada saat observasi pembelajaran salah satu guru yang menjelaskan konsep koloid, guru pada saat itu menggunakan perencanaaan pembelajaran yang ada di dalam laptop. Strategi pembelajaran yang dilakukan lebih didominasi dengan metode ceramah, dan disertai dengan teknik tanya jawab. Informasi yang disampaikan dalam pembelajaran datar, kurang mengajak siswa untuk belajar yang lebih bermakna mengenai konsep koloid. Pembelajaran yang dilakukan kurang memberikan tantangan untuk pemecahan masalah yang berkaitan dengan materi. Padahal, kalau dilihat dari pokok bahasan koloid sesuai dengan kurikulum mestinya ada eksperimen yang harus dilakukan ketika membahas sifat koloid. Demikian pula konsep koloid sangat banyak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang sifatnya kontekstual. Pembelajaran dilakukan hanya menjelaskan hal-hal yang tertera di dalam buku, kebermaknaan belum tampak. Pencermatan pada pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia yang lain pada saat menjelaskan materi tentang kimia unsur. Guru melakukan alur pembelajaran dengan membuka pembelajaran melalui eksplorasi. Kemudian kegiatan inti dengan berceramah dan teknik tanya-jawab, dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Pada saat menutup pembelajaran dengan penguatan-penguatan konsep 148 yang sudah dijelaskan serta pemberian tugas rumah. Di dalam kegiatan inti penjelasan lebih menekankan pada konsep-konsep yang sering muncul di dalam ujian nasional seperti yang disampaikan oleh guru bersangkutan. Pembelajaran yang dilakukan belum terlihat memberikan pemaknaan untuk konsep tersebut dan tidak memberikan tantangan kepada siswa. Padahal, jika dilihat dari pokok bahasan yang disajikan, dapat diperdalam dengan manfaat dari penguasaan konsep tersebut dan kaitannya dengan konsep-konsep yang lain. Usaha mengaktifkan siswa dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan yang dikerjakan melalui diskusi kelompok. Pada pembelajaran di kelas yang lain tentang konsep stoikiometri atau hitungan kimia, alur pembelajaran sesuai dengan standar, tidak jauh berbeda dengan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia yang lain. Dalam kegiatan inti guru menjelaskan konsep, kemudian memberikan contoh soal untuk dibahas bersama, disertai dengan kegiatan tanya-jawab. Kegiatan selanjutnya adalah diskusi kelompok untuk mengerjakan latihan soal-soal hitungan. Guru memberikan bimbingan pada setiap kelompok secara bergilir. Siswa yang sudah berhasil menjawab soal latihan, diberikan kesempatan untuk mengerjakan jawabannya di papan tulis. Latihan soal seperti ini dilakukan berulang-ulang, sampai pada saat akan mengakhiri pembelajaran diberikan soal untuk dikerjakan di rumah. Kegiatan pembelajaran dengan latihan soal seperti ini menjadikan siswa aktif karena disibukkan oleh latihan soal-soal, dengan berbagai variasi soal yang dibuat oleh guru. Guru, dalam pembelajaran mengenai hitungan kimia, selain memberikan pendalaman dengan latihan soal-soal, juga melakukan bimbingan pada setiap kelompok. Namun, tidak diperdalam dengan 149 menjelaskan manfaat dan aplikasi dari konsep-konsep tersebut sehingga kebermaknaannya belum diketahui oleh siswa. Berdasarkan observasi pembelajaran di kelas terhadap tiga guru kimia, hasil pengamatan dapat diinterpretasi sebagai berikut. Dilihat dari alur pembelajaran yang diawali dengan membuka pembelajaran mulai dengan penataan kelas, menginformasikan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan materi yang akan dibahas, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan inti dengan subkegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kemudian dilakukan kegiatan penutupan pembelajaran sudah sesuai dengan standar proses pembelajaran. Namun, belum tampak inovasiinovasi dan penjelasan kebermaknaan konsep dilakukan oleh guru untuk membangkitkan kreativitas siswa. Pelaksanaan proses pembelajaran diabadikan dalam gambar-gambar berikut. Gambar 5.11 Bagian proses pembelajaran di kelas (Dokumen: Wiratma, September 2011) 150 Gambar 5. 12 Bagian proses pembelajaran di kelas (Dokumen: Wiratma, September 2011) Gambar 5. 13 Bagian proses pembelajaran di kelas (Dokumen: Wiratma, Oktober 2011) 151 Jika dipotret dari standar proses (Permendiknas No. 41 Tahun 2007), ternyata pelaksanaan pembelajaran di kelas tampak sesuai dari sisi alur pembelajaran, yakni ada pembukaan, kegiatan inti, dan penutup dengan berbagai komponennya sudah muncul di dalam pembelajaran yang dilakukan. Di dalam kegiatan inti pembelajaran, sesungguhnya ada banyak peluang yang bisa dilakukan oleh guru untuk melakukan kreasi untuk menjadikan pembelajaran tersebut inovatif dan bermakna. Ada beberapa pengembangan informasi dan pendalaman materi semestinya dapat dilakukan oleh guru, misalnya mengaitkan konsep yang sedang dibahas dengan manfaatnya atau mengaitkan konsep dengan aplikasi di masyarakat sehingga kebermaknaan materi yang sedang dipelajari dipahami oleh siswa. Di dalam pembelajaran, ketika makna dari informasi yang diperoleh itu dipahami oleh siswa, maka rasa ingin tahu (curiosity) muncul yang mengakibatkan aktivitas belajar meningkat. Melaksanakan pembelajaran yang inovatif diperlukan pemahaman mengenai pedagogik, penguasaan materi yang diajarkan, kreativitas, dan kemauan atau motivasi guru. Jika dicermati proses pembelajaran yang dilakukan oleh beberapa guru kimia di kelas, ternyata dasar teori belajar yang digunakan adalah kombinasi dari teori belajar perilaku, sosial, dan kognitif. Teori belajar perilaku diterapkan ketika guru berusaha memberikan stimulus berupa pertanyaan atau menuliskan soal di papan tulis agar diberikan respons oleh pebelajar. E.L. Thorndike (dalam Nasution, 1982) meyatakan stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respons-respons. Sementara itu ketika guru berusaha untuk menarik perhatian dengan kalimat tertentu atau peristiwa atau contoh kejadian tertentu yang dirasakan penting yang perlu diingat dan untuk 152 membangkitkan motivasi, hal ini berarti guru menerapkan prinsip dari teori belajar sosial. Konsep utama teori belajar sosial menurut Bandura (dalam Crain, 2007) adalah pemodelan. Dalam pemodelan ada empat fase belajar, yaitu fase perhatian, fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi. Penerapan teori belajar kognitif juga terjadi dalam proses pembelajaran terutama ketika guru menjelaskan konsep-konsep baru yang diawali dengan mengingatkan kembali konsep-konsep yang mendahului yang berhubungan dengan konsep baru yang akan dijelaskan. Demikian juga, ketika guru memberikan latihan untuk pemecahan masalah (problem solving), tergolong dalam penerapan teori belajar kognitif. Menurut Robert M. Gagne (dalam Nasution, 1982), ada beberapa tipe belajar, di antaranya adalah concept learning (belajar konsep), dan problem solving (pemecahan masalah). Pandangan belajar menurut Piaget (dalam Dimyati, 1994), sebagai tokoh teori belajar kognitif bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran. Belajar pengetahuan meliputi tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi siswa mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala, sementara itu dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lebih lanjut. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru cenderung seperti yang dikemukakan di atas mengalir sedemikian rupa tanpa dipahami dengan pasti teori belajar yang melandasi pembelajaran yang dilakukan. Pemahaman guru tentang teori belajar sangat penting agar dalam penerapannya tepat sesuai dengan situasi dan kondisi, sesuai dengan konsep yang dijelaskan serta sarana dan prasarana yang ada sebagai 153 media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nasution (1982) bahwa untuk suatu aspek tertentu salah satu teori belajar lebih bermanfaat, sementara itu, untuk aspek lain penggunaan teori belajar yang lain lebih sesuai. Pelaksanaan pembelajaran kimia di kelas yang dilakukan oleh guru belum sepenuhnya mengikuti teori belajar yang mengarah pada pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif pada intinya menampakkan kebaruan dalam arti bahwa aktivitas belajar lebih terpusat pada siswa dan bermakna. Pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa sesuai dengan teori belajar kognitif. Menurut teoriteori belajar kognitif (teori-teori Gestalt-field), belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan insait-insait (insight), pandangan-pandangan (outlooks), harapan-harapan, atau pola berpikir. Dalam teori belajar kognitif dikatakan juga terjadi proses elaborasi. Elaborasi ialah suatu proses penambahan pengetahuan yang berhubungan pada pengetahuan baru. Penambahan-penambahan ini menyediakan cara-cara lain untuk pemanggilan dan informasi tambahan untuk konstruksi. Di samping proses elaborasi juga terjadi proses organisasi (pengorganisasian). Pengorganisasian merupakan suatu proses menempatkan deklaratif ke dalam sub-sub himpunan untuk menolong dalam pengingatan informasi (Dahar, 1989). Belajar bermakna menurut Ausubel (dalam Dahar, 1989) ada dua dimensi belajar, yaitu dimensi belajar penerimaan/penemuan dan dimensi belajar bermakna/hafalan, yang merupakan suatu kontinum, bukan suatu dikotomi. Seseorang dapat belajar melalui penerimaan kemudian bermakna atau hanya hafalan atau seseorang dapat belajar melalui penemuan kemudian bermakna atau hafalan. 154 Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi baru dapat dikaitkan pada subsumer yang ada dalam struktur kognitif. Sebaliknya, belajar hafalan terjadi bila informasi baru tidak dapat dikaitkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif karena konsep-konsep ini tidak mirip dengan informasi baru tersebut. Faktor yang berpengaruh terjadinya belajar bermakna, yaitu struktur kognitif yang ada serta kesiapan dan niat anak untuk belajar bermakna dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial. Observasi yang dilakukan di dalam pembelajaran praktikum, ternyata guru telah menyiapkan petunjuk kerja, kemudian siswa membentuk kelompok. Guru mengawali praktikum dengan memberikan petunjuk, pengarahan, dan penjelasan mengenai materi praktikum yang akan dikerjakan. Peralatan praktikum dan bahan sudah disiapkan di atas meja oleh laboran atas petunjuk guru. Pada saat siswa akan memulai mengerjakan tugas dengan penuntun praktikum yang sudah mereka bawa, ternyata ada keraguan untuk melakukan, seperti tidak percaya diri. Hasil observasi perilaku siswa dan keadaan dalam praktikum yang diperoleh bahwa keterampilan anak dalam hal memegang alat, melakukan pengamatan, dan pencatatan data sangat kurang. Penataan meja kerja praktikum belum ditata dengan baik karena masih ada buku dan tas siswa yang diletakkan di atas meja kerja, yang membuat keleluasaan bekerja kurang nyaman dan ada risiko tidak aman, misalnya terbakar atau tertumpah zat kimia yang berbahaya. Siswa dalam praktikum tidak menggunakan jas laboratorium atau baju untuk praktik. Guru yang mendampingi siswa praktikum tidak memerhatikan keadaan itu. Guru lebih memfokuskan agar hal-hal yang direncanakan 155 dalam praktikum tercapai, mengharapkan hasil pengamatan anak sesuai dengan data yang diharapkan. Pada observasi kegiatan praktikum di laboratorium pada kesempatan berbeda, diperoleh gambaran yang relatif sama dengan hasil pengamatan praktikum sebelumnya. Penataan meja kerja praktikum kurang karena masih ada buku dan tas siswa berada di atas meja kerja. Siswa tidak menggunakan jas laboratorium sebagai baju praktikum. Guru tidak melakukan penataan awal kelas sehingga kesan yang diperoleh tidak nyaman dan tidak aman untuk praktikum. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada materi dan langkah-langkah kerja yang direncanakan agar dapat dikerjakan oleh siswa dengan benar dan hasil yang diharapkan sesuai dengan yang direncanakan. Pada saat akan memulai praktikum siswa tampak kebingungan, suasana kelas agak ribut karena siswa tidak paham dengan hal-hal yang harus dikerjakan. Pada saat siswa mulai bekerja dengan mengikuti petunjuk yang ada, ternyata keterampilan memegang alat, menggunakan alat, keterampilan melakukan percobaan, keterampilan mengamati hasil percobaan sangat rendah. Pelaksanaan proses pembelajaran praktikum diabadikan dalam gambargambar berikut. 156 Gambar 5. 14 Bagian proses pembelajaran praktikum (Dokumen: Wiratma, November 2011) Gambar 5.15 Bagian proses pembelajaran praktikum (Dokumen: Wiratma, November 2011) 157 Gambar 5. 16 Bagian proses pembelajaran praktikum (Dokumen: Wiratma, November 2011) Data hasil observasi seperti yang dikemukakan di atas menandakan bahwa praktikum sangat jarang dilakukan, keterampilan guru dalam mengelola praktikum kurang baik, demikian juga keterampilan siswa dalam kegiatan praktikum sangat kurang. Sikap siswa yang belum percaya diri ketika akan mulai bekerja mengindikasikan bahwa mereka belum memahami maksud atau makna langkahlangkah kerja yang tertera di dalam petunjuk praktikum. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan guru, yaitu sebagai berikut. “Kalau dalam praktikum, anak belum disiplin, anak ada sedikit mainnya, tergantung kita juga dalam mengelola kelas, kalau pas kita arahkan ada zat yang berbahaya, yaa masih wajarlah anak-anak ada sedikit kurang serius” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011). Penataan awal kelas sebelum memulai praktikum sangat diperlukan karena sangat berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan bekerja, memupuk sikap 158 disiplin, rapi, dan terampil. Penjelasan awal tentang cara menggunakan alat, cara mengambil zat kimia, jenis alat yang harus digunakan sangat penting diberikan kepada siswa untuk membangkitkan rasa percaya dirinya. Gambaran umum praktik yang akan dilakukan, tujuan praktik, serta beberapa kemungkinan yang akan terjadi mestinya dikemukakan untuk memberikan arah dan memantapkan konsep materi praktikum yang akan dilakukan. Kegiatan seperti yang dikemukakan di atas tidak muncul. Dari hal seperti ini dapat diindikasikan bahwa keterampilan guru dalam pengelolaan praktikum rendah. Keterampilan sangat erat hubungannya dengan pembiasaan. Jika kegiatan yang berkaitan dengan psikomotor sering dilakukan atau dibiasakan, maka keterampilan akan semakin baik. Pembelajaran praktikum sangat banyak memerlukan aspek keterampilan. Oleh karena itu diperlukan intensitas kegiatan yang sering dilakukan. Pembelajaran ilmu kimia sebagai bagian dari IPA tidak bisa lepas dari kegiatan praktikum untuk mengenal gejala alam yang sebenarnya. Di dalam kurikulum dan silabus kimia yang disusun guru, sudah dicanangkan konsep-konsep yang harus dilakukan dengan praktikum. Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan praktikum tidak bisa dilaksanakan optimal sesuai dengan yang direncanakan. Di dalam Permendiknas No. 22, Tahun 2006 tentang standar isi, dalam hal pelajaran kimia di SMA/MA disebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, melainkan juga merupakan suatu proses penemuan. 159 Disebutkan juga bahwa ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memerhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa pembelajaran praktikum dalam belajar ilmu kimia tidak bisa diabaikan karena merupakan hal yang sangat prinsip sesuai dengan karakteristik ilmu kimia sebagai proses. Secara teoretis semestinya kegiatan praktikum yang tertera di dalam silabus dilakukan dengan sesungguhnya untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa dan sekaligus merupakan hak peserta didik untuk memeroleh layanan belajar yang benar. Namun, dalam kenyataan di lapangan kegiatan praktikum tidak diberikan seperti yang diharapkan oleh kurikulum. Hal ini diakui, baik oleh guru, pengawas, kepala sekolah maupun siswa sesuai dengan pernyataan yang diambil dari petikan wawancara berikut. “Nah kalau di praktikum kita laksanakan di laboratorium, memang tidak semua topik bisa dipraktikumkan, ada beberapa misalnya elektrolisis, sebagian kita praktikumkan, dan juga melakukan observasi ke tukang sepuh, kemudian anak-anak mempresentasikan” (wawancara GS4, tanggal 5 Januari 2012). Tuturan yang sejenis juga disampaikan oleh pengawas yang mendukung pernyataan guru sebagai berikut. 160 “Guru itu harus pintar-pintar apakah program itu bisa dilaksanakan atau tidak, sesuaikan dengan waktu, apalagi kelas tiga, Januari ini sudah habis waktu sudah mulai untuk mengejar, untuk kegiatan pemantapan, yaa kita masih prioritasnya ke tes Pak/ ke ujian secara umum, tidak bisa semua dilakukan eksperimen” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Ada beberapa alasan disampaikan oleh guru mengenai keterbatasan praktikum yang dilaksanakan, di antaranya keterbatasan alat dan bahan, keterbatasan waktu. Ungkapan guru menyatakan jika melakukan praktikum, pekerjaan lebih banyak terutama dalam persiapan, kemudian ujian nasional tidak terlalu menuntut praktikum. Sementara itu, dinyatakan kelulusan siswa sangat ditentukan oleh hasil ujian nasional yang lebih menekankan penguasaan pengetahuan teori dan soal-soal hitungan. Kondisi ini yang menjadikan kegiatan pengayaan teori, latihan menjawab soal lebih banyak dilakukan, dengan mengurangi perhatian terhadap praktikum. Praktikum dalam kondisi sekarang ini dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran yang tidak populer, baik di mata guru, maupun pimpinan sekolah. Guru, dan pimpinan sekolah lebih mengutamakan persiapan ujian nasional dengan mengurangi pembelajaran praktikum dengan harapan siswa berhasil di dalam ujian nasional untuk memeroleh nilai yang tinggi. Di dalam persiapan ujian nasional, siswa diajak latihan soal-soal, dan dibekali strategi-strategi menjawab soal dengan cepat. Kondisi seperti ini tidak lepas dari tuntutan pihak Pemerintah Daerah melalui Diknas setempat yang mengharapkan keberhasilan siswa dalam menempuh ujian nasional. Salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan bidang pendidikan menurut Pemda adalah keberhasilan siswa di sekolah-sekolah menempuh ujian nasional. 161 Keadaan ini menandakan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang memengaruhi sistem yang lebih kecil. Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan di atas berarti pelaksanaan proses pembelajaran kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI kualitasnya rendah belum optimal. Pedagogik kritis menekankan kepada pembentukan kemampuan analisis serta kemajuan yang dicapai melalui berpikir reflektif. Berpikir kritis tidak bisa menerima status quo, tetapi perubahan yang terus menerus, Sehingga antara pribadi dan lingkungannya terjadi suatu dialog yang dinamis. Dialog yang dinamis hanya terjadi di dalam pengalaman. Oleh sebab itu, kelompok pendidikan progresif menekankan kepada mencari pengalaman, belajar dari pengalaman. Proses pendidikan bukanlah suatu proses menghafal fakta-fakta atau membiasakan diri untuk menempuh ujian akhir, ujian negara. Akan tetapi, merupakan suatu pengalaman hidup yang nyata dengan menghadapi masalah-masalah riil serta memecahkannya yang diikuti dengan tindakan “learning by doing” (Tilaar, 2006). Pembelajaran praktikum dilaksanakan dengan intensitas yang rendah, tidak sesuai dengan yang direncanakan oleh guru, padahal merupakan amanat kurikulum. Pengalihan pembelajaran lebih banyak menekankan pada persiapan menghadapi ujian nasional. Ini berarti bahwa guru telah mengingkari kurikulum, mengebiri hak siswa dalam hal perolehan pengalaman praktikum. Sikap kritis, kemandirian, dan profesionalisme guru, mengalami degradasi hanya untuk memenuhi harapan penguasa dalam motif mempertahankan status quo. 162 Mantan Menteri Pendidikan, Fuad Hassan, pernah menyatakan bahwa tanpa guru yang kreatif dan dapat diandalkan penguasaan materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil yang diidealkan. Kurikulum memang penting, tetapi bisa berhenti sebagai perangkat mati yang masih membutuhkan sosok-sosok guru untuk menerjemahkannya dalam praksis pendidikan (Kartono, 2009). Jadi, dalam konteks ini, agar penerapan kurikulum mencapai hasil yang ideal, diperlukan guru yang kreatif, kritis, berani, dan kompeten. 5.3 Penilaian Pembelajaran Kimia Tugas utama guru di samping membuat perencanaan pembelajaran, dan melaksanakan kegiatan pembelajaran juga wajib melakukan asesmen. Asesmen pada hakikatnya adalah proses pengumpulan data secara sistematis tentang kinerja siswa, program pendidikan, dan kebijakan pendidikan yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Kegiatan asesmen yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar adalah pengumpulan data atau informasi tentang kinerja siswa untuk pengambilan keputusan mengenai pebelajar. Jenis asesmen yang dilakukan oleh guru, antara lain asesmen proses dan hasil belajar. Asesmen proses dilakukan dengan portofolio, asesmen perilaku dalam pembelajaran mestinya dilakukan dengan observasi, tetapi sangat terbatas. Asesmen hasil belajar dilakukan dengan tes harian, tes tengah semester, dan tes akhir semester. Berdasarkan data hasil asesmen selanjutnya diolah kemudian dilakukan penilaian. 163 Guru melakukan penilaian dengan maksud melihat apakah usaha yang dilakukan melalui pembelajaran sudah mencapai tujuan. Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik. Di samping itu, juga digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Kualitas proses penilaian pembelajaran kimia mengacu pada Permendiknas No 41, Tahun 2007 tentang standar proses pada unsur penilaian proses pembelajaran. Untuk mengetahui aspek penilaian pembelajaran kimia dilakukan dengan pencermatan/penilaian dokumen, wawancara, dan observasi. Pencermatan dokumen dilakukan dengan cara mencermati, dan menilai dokumen rencana pelaksanaan pembelajaran yang berkaitan dengan aspek evaluasi dan rubrik penilaian. Wawancara dilakukan kepada guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa dengan pertimbangan bahwa guru sebagai pelaksana penilaian pembelajaran, kepala sekolah sebagai pengawas internal di sekolah, pengawas adalah petugas yang mengawasi dan membina guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, dan siswa sebagai subyek yang menghadapi proses penilaian tersebut. Observasi di kelas atau di laboratorium dimaksudkan untuk melihat guru melakukan asesmen proses pembelajaran. Guru dalam melakukan proses penilaian sudah berusaha melakukan dalam tiga domain, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Proses penilaian dilakukan dalam bentuk tes harian, tes tengah semester dan tes akhir semester. Guru juga melakukan penilaian portofolio. Hal yang diuraikan tersebut di atas seperti pernyataan guru berikut yang diambil dari hasil wawancara. 164 “Kalau saya, penilain itu dikategorikan menjadi dua, yaitu selama proses pembelajaran dan setelah proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran kita lebih banyak ke ranah kognitif dan psikomotor, kalau setelah proses pembelajaran baru penilaian kognitifnya. Jenisnya seperti ulangan harian, ulangan tengah semester, kuis, pretes, postes, kalau bentuknya, ada tes dan nontes seperti observasi dan bertanya langsung” (wawancara GS1, tanggal 4 Oktober 2011 dan wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011). Pernyataan tersebut di atas diperkuat lagi dengan hasil wawancara dengan guru lain yang menuturkan sebagai berikut. “Penilaian ada tiga, yakni penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk kognitif kita gunakan tes tulis, ada ulangan harian, ada ulangan blok, ada ulangan semester. Penilaian afektif dilihat dalam keseharian, minatnya, responsnya. Kalau psikomotor, kita gunakan rubrik penilaian psikomotor dan pembuatan laporan, dalam praktikum” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober 2011). Berkaitan dengan jenis penilaian guru menyatakan dari petikan wawancara sebagai berikut. ”Kalau penilaian proses pembelajaran, melalui pengamatan, aktivitasnya. Pertama aktivitas di kelas, kemudian dari tugas-tugas dan hasil tes. Kalau ulangan harian, kita pakai tes esei, kalau tes tengah semester, tes obyektif (pilihan). Kadang-kadang kita ambil juga tes-tes pendalaman yang menggali pada nalar atau mungkin yang berkaitan dengan aplikasi” (wawancara GS3, tanggal 4 Oktober 2011). Hal senada juga dikemukakan oleh kepala sekolah dan pengawas mengenai proses penilaian yang dilakukan di sekolah. Penilaian untuk bidang studi sepenuhnya diberikan kepada guru. Pernyataan yang disampaikan sebagai berikut. ”Tes di sekolah ada tes harian diserahkan sepenuhnya kepada guru kemudian ada tes tengah semester dan tes akhir semester” (wawancara KSG, tanggal 11 Januari 2012). Kalau dari segi penilaian sudah dilakukan baik tes maupun nontes, ada tes tengah semester, tes akhir semester, dan sifatnya komplit ada kognitif, 165 afektifnya nanti dengan penilaian karakter langsung ada penilaian sikap” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Menurut informasi dari siswa bahwa penilaian dilakukan dari beragam cara yaitu nilai harian, nilai tugas, nilai interaksi, nilai ulangan, nilai ulangan tengah semester dan nilai ulangan akhir semester. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan siswa berikut ini. ”Ada penilaian tugas, nilai interaksi, jadi interaksi itu paling mempengaruhi, ada ulangan juga. Kalau nilai ulangan dikasi tahu, kalau nilai kita kecil kita termotivasi untuk menjadi lebih baik. Kalau guru memberikan tugas kan pasti dinilai untuk membantu nilai-nilai ulangan yang jelek” (wawancara SG1, SG2, tanggal 12 Oktober 2011). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil wawancara pada siswa lain dengan ungkapan sebagai berikut. ”Penilaian dilakukan dari tes, dari keaktifan di kelas, sering kita nanya sama guru, dari tugas keseharian, laporan juga dan ketepatan kita mengumpul juga dinilai. Kalau mengumpul tugas tepat waktu dan bagus, nilainya pasti besar. Kalau saya pengalaman dari kelas X dan kelas XI nilai keseharian kita, nilai keaktifan di kelas, dari nilai laporan, dari nilai praktikum, tugas” (wawancara SS2, SS3, tanggal 27 Oktober 2011). Rangkuman informasi mengenai penilaian yang dilakukan guru kimia yang disampaikan oleh beberapa informan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa sebagai berikut. Penilaian dilakukan dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Penilaian kognitif cukup bervariasi, dilihat dari bentuk dan jenis penilaian. Guru melakukan penilaian dalam bentuk tes dan nontes. Penilaian dalam bentuk tes dilakukan dalam pembelajaran keseharian sebagai tes harian, tes tengah semester, dan tes akhir semester. Penilaian nontes diberikan dalam bentuk tugas-tugas, dan pekerjaan rumah sebagai penilaian portofolio, yang dikerjakan dalam 166 buku khusus kumpulan tugas siswa. Hasil penilaian digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan remedi, perbaikan pembelajaran, dan laporan hasil studi peserta didik. Pencermatan terhadap dokumen yang terkait dengan penilaian, di antaranya rencana pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut. Di dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, ada bagian yang memaparkan alat evaluasi dan rubrik penilaian. Secara teoretis soal-soal yang tertera di dalam alat evaluasi tersebut harus terkait dan merupakan alat ukur tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, yang diturunkan dalam bentuk indikator hasil belajar dan tujuan pembelajaran. Soal-soal yang dipaparkan dalam alat evaluasi tersebut sesuai dengan konsep materi pelajaran. Hasil pencermatan terhadap dokumen perangkat pembelajaran yang terkait dengan penilaian, ternyata bahwa alat penilaian yang dibuat oleh guru sudah sesuai dengan apa yang mestinya dinilai. Soal-soal yang dibuat telah mencerminkan alat ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. Keseluruhan soal yang dibuat sudah sesuai dan dapat dipakai mengukur tercapainya kompetensi dasar, dalam pokok bahasan yang dibelajarkan. Penilaian domain afektif yang direncanakan di dalam perangkat pembelajarannya antara guru yang satu dan guru lain beragam, baik dari segi format maupun aspek-aspek yang dinilai. Aspek-aspek yang dinilai pada salah satu rencana pelaksanaan pembelajaran, yaitu aspek disiplin, aktivitas, kerja sama, kejujuran, dan etika. Di dalam rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru lain aspekaspek yang dinilai adalah aspek kerja sama kelompok (pengelolaan), prakarsa dalam 167 melakukan praktikum (penilaian), kemauan bertanya (penerimaan), menunjukkan hasil yang positif (penghayatan), dan mempresentasikan hasil praktikum (penanggapan). Penilaian domain psikomotor di dalam perangkat pembelajarannya antara guru yang satu dan guru lain beragam, baik dari segi format maupun aspek-aspek yang dinilai. Aspek-aspek yang dinilai pada salah satu format penilaian psikomotor, yaitu aspek menggunakan alat dan bahan, penggunaan prosedur kerja, cara melakukan pengamatan, cara mengakhiri proses, mengembalikan alat dan bahan. Di dalam rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru lain, aspek-aspek psikomotor dalam kegiatan diskusi kecil, yaitu melakukan diskusi dengan aktif, berani mengemukakan pendapat, tidak mengganggu jalannya diskusi, mempresentasikan hasil diskusi secara terstruktur, ilmiah, dan terbuka. Pada saat dilakukan observasi pembelajaran di kelas penilaian domain afektif tidak dilakukan dan guru juga tidak membawa pedoman penilaian. Penilaian domain afektif semestinya berlangsung, baik ketika dalam proses pembelajaran di kelas maupun tidak dalam keadaan di kelas. Guru ketika melakukan penilaian domain afektif seharusnya menggunakan pedoman atau rubrik penilaian yang dikembangkan sendiri sesuai dengan persepsi setiap guru. Beberapa guru yang diobservasi pada saat melaksanakan praktikum tidak melakukan penilaian domain psikomotor. Penilaian domain psikomotor semestinya dilakukan, pada saat pembelajaran di laboratorium. Ketika melakukan penilaian domein psikomotor guru seharusnya menggunakan pedoman atau rubrik penilaian 168 yang dikembangkan sendiri sesuai dengan persepsi setiap guru. Namun, dalam kenyataan di kelas tidak dilakukan, tetapi nilai psikomotor di dalam raport siswa ada. Secara konseptual yang ada dalam pikiran guru tentang kegiatan penilaian sudah bagus dan sesuai dengan standar yang ditetapkan, tetapi hal tersebut baru terlihat dalam perencanaan pembelajaran. Dalam kenyataan praktik penilaian, baik di kelas maupun di laboratorium, tidak semua jenis asesmen dan penilaian yang direncanakan dapat dilakukan dengan baik. Guru belum melakukan asesmen sikap dan kinerja seperti yang direncanakan. Namun, guru telah melakukan asesmen hasil belajar dengan baik untuk menilai domain kognitif siswa. Di dalam Permendiknas No. 41, Tahun 2007 disebutkan bahwa penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik. Di samping itu, digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Kunandar (2007) mengemukakan bahwa penilaian dalam pembelajaran meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Ranah afektif mencakup watak perilaku, seperti perasaan, minat, 169 sikap, emosi, dan nilai. Kompetensi siswa pada ranah afektif terkait dengan kemampuan menerima, merespon, menilai, mengorganisasi, dan memiliki karakter. Kompetensi siswa pada ranah psikomotor menyangkut kemampuan melakukan gerakan refleks, gerakan dasar, gerakan persepsi, gerakan berkemampuan fisik, gerakan terampil, gerakan indah dan kreatif. Dalam hubungannya dengan penilaian psikomotor, Leighbody (dalam Mulyasa, 2008) mengemukakan elemen-elemen keterampilan yang dapat diukur yaitu, (1) kualitas penyelesaian pekerjaan, (2) keterampilan menggunakan alat-alat, (3) kemampuan menganalisis dan merencanakan prosedur kerja sampai selesai, (4) kemampuan mengambil keputusan berdasarkan aplikasi informasi yang diberikan, dan (5) kemampuan membaca, menggunakan diagram, gambar-gambar, dan simbol-simbol. Beberapa indikator kompetensi ranah kognitif di antaranya mengemukakan arti, membuat daftar, mendeskripsikan sesuatu, menceritakan sesuatu, menguraikan sesuatu yang terjadi, memgungkapkan gagasan, membedakan, membandingkan, menginterpretasi data, menjelaskan gagasan pokok, menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri, mengidentifikasi, merumuskan masalah, menemukan penyelesaian masalah, memprediksi, menyusun kriteria penilaian, memilih solusi terbaik, dan menyarankan strategi baru. Indikator kompetensi ranah afektif, misalnya senang membaca, senang mengerjakan soal, senang menulis, bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas, menaati aturan, mengungkapkan perasaan, menanggapi pendapat, meminta maaf atas sesuatu kesalahan, menunjukkan empati, melakukan perenungan, dan melakukan introspeksi. Indikator ranah afektif yang lain, yaitu mengapresiasi, 170 menghargai peran, menerima kekurangan dan kelebihan diri, memiliki karakter yang ditunjukkan dengan rajin, tepat waktu, disiplin, mandiri, objektif dalam melihat dan memecahkan masalah. Indikator dalam kompetensi ranah psikomotorik disesuaikan dengan jenis pembelajaran/kegiatan yang dilakukan, seperti olahraga, menari, kerja bengkel atau kerja laboratorium. Keterampilan dasar bermain bola berbeda dengan menari atau kerja laboratorium. Oleh karena itu, indikatornya dapat dikembangkan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan yang menyangkut gerakan refleks, gerakan dasar, gerakan terampil, gerakan indah dan kreatif (Kunandar, 2007). Mengomparasi antara yang dituangkan di dalam standar penilaian dan teori, dengan kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru, diinterpretasi bahwa kalau dilihat dari sisi bentuk penilaian, program penilaian, jenis alat evaluasi, dan tujuan penilaian dalam penilaian ranah kognitif, sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan standar. Namun, penilaian pada ranah afektif dan psikomotor belum dilakukan secara maksimal. Jadi, dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran pada domain kognitif yang dilakukan guru kualitasnya baik, tetapi penilaian pembelajaran pada domain afektif dan psikomotor kualitasnya masih rendah. Pernyataan guru berikut ini sebagai pertanda belum optimalnya penilaian afektif dan psikomotor dilakukan. ”Ada 18 karakter, sebenarnya sudah ada di dalamnya sekarang cuma diekspos keluar, oleh pengawas juga masih berbeda yang mana yang benar, ada yang menulis dalam kurung setelah indikator, ada yang dibuat dalam kolom tersendiri. Penilaian praktikum pasti dengan karakter, tidak mungkin tanpa karakter, kami ada kesulitan dalam membuat rubriknya. Untuk psikomotor juga ada p1, p2, p3 kita juga belum paham” (wawancara GS1, GS2, tanggal 4 Oktober 2011). 171 Guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN1 Gianyar lebih mengutamakan penilaian pada ranah kognitif. Pengutamaan penilaian ranah kognitif dilakukan karena adanya tuntutan agar siswa memeroleh nilai tinggi ketika menghadapi ujian nasional. Tuntutan ini datang dari pihak pemerintah melalui pimpinan di sekolah. Harapan keberhasilan siswa pada ujian nasional juga datang dari masyarakat terutama orang tua siswa. Pengutamaan penilaian ranah kognitif yang dilakukan guru berkaitan dengan keinginan dalam mempertahankan keunggulan siswa pada ajang lomba-lomba akademik, misalnya olimpiade sains, olimpiade kimia, dan sejenisnya. Pada ujian nasional dan ajang lomba akademik, ukuran keberhasilan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kognitif. Guru, dan pihak sekolah di SMA yang sudah mempunyai keunggulan ketika mengikuti lomba-lomba akademik dan ujian nasional, senantiasa ingin mempertahankan citra unggul tersebut di masyarakat. Kondisi dan pola berpikir guru dan pimpinan sekolah yang mengutamakan kemampuan kognitif menyebabkan adanya pengebirian penilaian kemampuan afektif dan psikomotor. Padahal, dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa perlu mengasah seluruh potensi yang dimiliki siswa sehingga memiliki kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang seimbang. 5.4 Pengawasan Pembelajaran Kimia Pengawasan adalah salah satu unsur dalam pengelolaan pembelajaran di kelas. Pengawasan dalam pembelajaran dilakukan oleh pengawas dari Diknas setempat dan kepala sekolah atau pimpinan lain di sekolah. Mekanisme pengawasan yang mesti 172 dilakukan, yaitu pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Untuk mengetahui pengawasan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar ditelusuri dengan wawancara kepada guru, kepala sekolah, dan pengawas. Dasar pertimbangan mewawancarai guru karena guru yang dikenai objek diawasi, sementara itu kepala sekolah dan pengawas adalah orang yang berkewajiban melakukan pengawasan pembelajaran. Materi wawancara difokuskan pada bentuk pengawasan, intensitas pengawasan, dan hal-hal yang terkait. Menurut pandangan guru kimia bahwa pengawasan dari pihak luar dalam hal ini yang ditugaskan oleh Diknas belum optimal. Pengawas lebih menekankan pada administrasi berupa perangkat pembelajaran. Sementara itu pengawasan ke kelas dalam proses pembelajaran sangat terbatas, hampir tidak ada. Proses pembimbingan dilakukan secara umum yang terkait dengan aturan atau kebijakan yang baru dari pemerintah, dan lebih banyak bersifat informasi. Ada yang sangat mengecewakan guru ketika pengawas yang ditugaskan bukan dari bidang studi yang sesuai dengan bidang kimia. Pernyataan guru mengenai pengawasan dari hasil wawancara sebagai berikut. ”Pengawas di sini pak Sumara, satu semester paling satu kali Pak. Lebih dulu dia menyampaikan perangkat pembelajaran yang disiapkan, kalau ada informasi baru, disampaikan kepada kita” (wawancara GS1, tanggal 4 Oktober 2011). Pernyataan tersebut di atas diperkuat lagi dengan ungkapan guru yang lain, yang menyatakan sebagai berikut. 173 ”Pengawasan dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah dan wakasek bidang kurikulum. Untuk pengawasan tidak semua guru bisa diawasi saat pembelajaran, hanya satu orang yang diawasi, terutama yang persiapan sertifikasi (wawancara GS3 tanggal 4 Oktober 2011). Terbatasnya pengawasan eksternal juga disampaikan oleh guru lain dari hasil wawancara dengan tuturan sebagai berikut. ”Pengawasan dari pihak pengawas sangat minim Pak, kita maklumi karena pengawasnya yang dulunya guru SD, beliau jurusan pendidikan kewarganegaraan, tidak maksimum jadinya” (wawncara GG1, tanggal 18 Oktober 2011). Pernyataan tersebut di atas didukung oleh ungkapan yang disampaikan guru lain sebagai berikut. “Saya berharap agar rutinlah diadakan pengawasan Pak, misalnya dalam satu semester dua kali, tidak hanya sekedar datang kita hanya diminta mengisi form, tolong diisi namanya, untuk supervisi, padahal tidak ada dilakukan. Memang benar-benar mengawasi pembelajaran, jadi ada hal yang bisa ditemukan, kita sering tidak tahu dimana kekurangan kita kalau tidak ada yang mengawasi, perlu dinilai agar ada timbal baliknya” (wawncara GS2, tanggal 4 Oktober 2011). Menurut guru pengawasan lebih dirasakan manfaatnya yang dilakukan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah melakukan pengawasan secara tidak langsung melalui cctv, melalui informasi dari siswa dan masyarakat. Kepala sekolah sering memberikan bimbingan, peringatan, motivasi ketika dalam pertemuan mingguan di sekolah. Keteladanan kepala sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap aktifitas guru dalam pembelajaran. Hal ini seperti yang dikemukakan guru seperti berikut. ”Pengawasan lebih banyak dilakukan oleh pimpinan dan diri sendiri, jadi pengawasan internal” (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011). 174 Pernyataan yang disampaikan di atas didukung juga oleh guru lain dalam suatu wawancara dengan ungkapan sebagai berikut. ”Pengawasan oleh kepala sekolah, beliau jalan-jalan keliling kelas, kadang dilihat lewat kamera “cctv” layarnya ada di ruang kepala sekolah. Saat ada pertemuan guru dengan pimpinan diberikan pengarahan, misalnya jangan terlalu banyak ceramahnya, gurunya ngomong di depan, siswanya lain-lain. Kalau misalnya dalam lomba-lomba mata pelajaran tertentu kita tidak masuk final, atau kalah dengan sekolah lain, guru-guru dikumpulkan oleh kepala sekolah ditanya kenapa dalam lomba kita tidak masuk final atau kalah dengan sekolah lain, dilakukan pengkajian bersama, diberikan pengarahan oleh kepala sekolah” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011). Hal senada juga diakui oleh kepala sekolah bahwa selalu berusaha memantau dan melakukan pembinaan kepada guru, agar melaksanakan kewajiban dengan baik dan berkualitas, seperti yang diungkapkan berikut ini. ”Di awal saya melihat perencanaannya, dibantu oleh teman-teman di bagian kurikulum, dan teman di jaminan mutu dalam observasi kelas untuk melihat pembelajaran yang dilakukan guru. Terkait dengan proses yang lain, temanteman di jaminan mutu yang mengecek misalnya ada piket, ada hal lain, itu di rekap oleh bagian manajemen mutu, masukan-masukan guru yang tidak mengisi, ada jam kosong, kalau memang ada teman-teman guru yang berada di ambang batas normal, kita sikapi dengan melakukan pembinaan khusus, kemudian yang normal normal kita lakukan pembinaan secara umum saja” (wawancara KSG, tanggal 11 Januari 2012). Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah seperti pernyataan di atas diperkuat lagi dari tuturan kepala sekolah lain sebagai berikut. ”Saya selalu melakukan observasi, dari hasil observasi itu saya berharap mendapatkan profesionalisme, ketika saya menugaskan seseorang, dasar saya adalah profesionalisme, tidak berdasarkan konsep senior maupun yunior, memang pada awalnya agak susah, yang senior protes kenapa orang baru kemarin sore dijadikan koordinator ini? Pelan-pelan kita tanamkan bahwa yang dipentingkan adalah profesionalisme, bukan senioritas. Setiap saat kita mendapat informasi, bisa dari siswa, bisa dari masyarakat, di sini kita punya pengaduan lewat sms. Misalnya kita melihat profesionalisme dalam mengajar, 175 kita dapat melihat seberapa banyak pengaduan dari siswa, bagaimana kemampuan guru itu membuat murid senang untuk belajar. Kemudian pengaduan dari orang tua” (wawancara KSS, tanggal 5 Januari 2012). Dari pengawas sendiri mengakui proses pengawasan yang dilakukan sangat jarang, karena harus bertugas di beberapa sekolah. Pernyataan yang disampaikan sebagai berikiut. ”Saya biasanya memantau sebulan sekali, kecuali memang ada permintaan khusus, ada keluhan-keluhan, atau ada hal yang perlu didiskusikan. Saya juga membinanya dengan pembelajaran orang dewasa tidak mendikte, tidak ketat yaa sebagai sahabatlah, kalau memang tidak ada yang urgen sekali, atau ada hal yang sangat penting, kami datang sebulan sekali. Sering kalau kami ke SMA 1 seperti ke rumah sendiri, nanti bisa bertanya ke guru-guru di sana. Saya sering mengumpulkan guru-guru kimia se kabupaten di SMA 1 untuk membuat sesuatu untuk keperluan pembelajaran kimia dalam bentuk seminar di antara kita” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Merangkum informasi dari beberapa informan yang diwawancarai, yaitu guru, kepala sekolah, dan pengawas dapat dipilah menjadi beberapa hal menurut bidang keahlian pengawas, intensitas pengawasan, dan tindak lanjut pengawasan. Bidang keahlian pengawas yang mengawasi guru kimia di SMAN 1 Singaraja adalah bidang keahlian pendidikan kimia, dan pernah mengajar pelajaran kimia di SMA. Pengawas guru kimia di SMAN 1 Gianyar dengan bidang keahlian pendidikan kewarganegaraan, beliau mantan guru sekolah dasar. Kompetensi pengawas satuan pendidikan di SMAN 1 Singaraja sudah sesuai dengan guru bidang studi yang diawasi, sedangkan pengawas satuan pendidikan di SMAN 1 Gianyar tidak sesuai dengan guru bidang studi yang diawasi. 176 Mengenai intensitas pengawasan pembelajaran kimia, oleh pengawas satuan pendidikan menurut guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar sangat rendah. Guru berharap agar rutin diadakan pengawasan, tidak hanya sekadar datang kemudian guru diminta untuk mengisi form, sebagai tanda bukti melakukan supervisi, padahal tidak ada kegiatan itu dilakukan. Guru menyatakan bahwa pengawasan sangat minim dilakukan karena pengawas yang bertugas mengawasi pembelajaran kimia bukan bidang keahliannya. Tindak lanjut proses pengawasan bagi yang sempat diawasi dalam proses pembelajaran, untuk di SMAN 1 Singaraja diadakan diskusi, diberikan masukan tentang materi, cara mengajar, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Namun, kegiatan ini sangat minim dilakukan dengan alasan pengawas sudah percaya dengan guru sehingga diharapkan untuk menilai diri sendiri. Pengawas lebih mementingkan kelengkapan administrasi dibandingkan dengan pengawasan proses pembelajaran. Kondisi di SMAN 1 Gianyar tidak pernah dilakukan pengawasan proses pembelajaran kimia, sehingga tidak ada tindak lanjut yang jelas. Pengawas hanya meminta kelengkapan administrasi, padahal guru berharap mendapatkan masukan, atau pembinaan dari hasil pengawasan. Jadi, tindak lanjut proses pengawasan tidak tampak dengan jelas. Standar proses pengawasan yang tertera menurut Permendiknas No. 41, Tahun 2007 yang intinya sebagai berikut. Pengawasan proses pembelajaran meliputi kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian 177 hasil pembelajaran. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara (a) membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar proses, (b) mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran. Dalam proses pelaporan hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan. Tindak lanjut kegiatan pengawasan sebagai berikut. 1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar. 2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar. 178 3. Guru diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran lebih lanjut (Permendiknas No. 41, Tahun 2007). Pengawasan dari pengawas satuan pendidikan sebagai perpanjangan tangan dari Diknas kabupaten, kualitasnya sangat rendah baik dari kesesuaian bidang keahlian, intensitas, maupun tindak lanjutnya. Pengawasan lebih mengutamakan kelengkapan administrasi berupa perangkat pelajaran. Hal ini disebabkan oleh kompetensi pengawas yang rendah, pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi yang kurang, dan berorientasi pada formalitas, tidak pada kinerja. Keseriusan dari pihak pemerintah melaksanakan pengawasan sesuai dengan standar proses, tampak kurang serius. Pengawasan jika dilakukan dengan serius, semestinya pihak Diknas menugasi para pengawas melakukan pengawasan, sesuai dengan bidang keahliannya. Dengan demikian, pengawas akan berkompeten dalam melakukan evaluasi kinerja guru yang diawasi. Sangat mustahil seorang pengawas yang melakukan supervisi dan evaluasi pada guru bidang studi yang tidak dipahami karakter bidang studinya. Ketidakseriusan dari pihak Diknas ini didukung oleh pernyataan guru yang diambil dari wawancara sebagai berikut. “...misalnya pernah dipanggil untuk pelatihan dilaksanakan, itu itu lagi diomongkan, itu bagi-bagi duit, yang wajarlah itu yang ndak bisa kita terima, bayangkan kalau di sini ada audit, di sana pernah ndak diaudit, sehingga saya kalau datang ke sana tidak ingin lagi, apa yang dicari ke sana, kehilangan waktu, uang berapa juta sebenarnya kita rugi, ujung-ujungnya duit. Yang paling jelek sekarang di Provinsi, dalam era otonomi, seperti tidak ada link, asal sudah mengadakan pelatihan “jeg ngoyong” (diam bengong di tempat latihan/seperti program tidak serius) mula-mula mendaftar setelah itu ndak ada yang “ngerunguang” (memperhatikan)”. Pelatihan dilaksanakan oleh Diknas provinsi, sampai di sana, banyak jam kosong, jadi pelaksanaannya 179 tidak serius, terkesan hanya menghabiskan duit saja” (wawancara GG3, tanggal 18 Oktober 2011). Pelaksanaan sebuah program oleh pelaksana kebijakan yang tidak dilakukan dengan serius dan tidak dapat dirasakan manfaatnya akan memengaruhi kinerja struktur yang ada di bawahnya. Profesionalisme dan keteladanan sangat diperlukan pada struktur di atas agar dapat ditiru oleh struktur yang di bawah. Kinerja struktur yang di atas sangat besar pengaruhnya pada kinerja struktur yang di bawah. Pengawas satuan pendidikan, secara teoretis bertugas melakukan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Pengawas satuan pendidikan melakukan tugas pokok mengawasi proses pembelajaran. Pengawasan proses pembelajaran memerlukan keahlian dalam bidang yang diawasi. Kegiatan supervisi dan evaluasi memerlukan kompetensi yang sesuai dengan bidang studi guru yang diawasi. Pengawasan untuk proses pembelajaran kimia, semestinya dilakukan oleh pengawas yang kompeten dalam bidang pembelajaran kimia. Pemahaman guru tentang pengawasan secara sederhana, yakni apabila guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas atau di laboratorium, ada pengawas yang datang untuk melihat kegiatannya. Mekanisme kerja yang dilakukan pengawas mulai dari pengarahan untuk persiapan pembuatan silabus dan rencana persiapan pembelajaran. Selanjutnya, pada saat meminta kelengkapan administrasi dan termasuk datang bertemu kepala sekolah atau pimpinan yang lain untuk mendapat informasi dan sekaligus berdiskusi mengenai permasalahan pengelolaan pembelajaran di sekolah. Tindak lanjut dari pengawasan dilakukan dengan berdiskusi dengan guru, 180 kemudian diberikan masukan dan arahan sehingga beberapa kelemahan yang ditemukan dapat diperbaiki. Tindak lanjut berupa penguatan dan penghargaan belum pernah dirasakan oleh guru, kalau teguran biasanya dilakukan secara umum dan kegiatan pelatihan/penataran guru dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi. Pengawasan internal yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pimpinan lain cukup intensif untuk seluruh guru, dengan melakukan pengawasan secara umum. Pemantauan, supervisi, evaluasi, dan tindak lanjut dilakukan secara umum dan dilakukan pembinaan pada saat rapat guru dan pertemuan-pertemuan lain. Pengawasan yang paling menonjol adalah evaluasi terhadap kelengkapan administrasi guru, catatan aktivitas, jurnal kegiatan, jurnal pembelajaran yang tercatat dengan format yang telah disediakan oleh bagian manajemen mutu. Motivasi dan pembinaan oleh kepala sekolah memberikan arti yang lebih bermakna bagi guru. Pengarahan yang dilakukan oleh kepala sekolah menjadikan guru bangkit dan termotivasi ”jengah” untuk melakukan kewajiban yang baik. Hal ini seperti dikemukakan guru yaitu sebagai berikut. ”Pak Man Darta (kepala sekolah) yang mampu memberikan motivasi kepada guru-guru, di awal beliau yang memberikan contoh seperti itu. Contohnya yang begitu dari Pak Darta, sehingga kami malu jika tidak berbuat. Keteladanannya bagus dari beliau, nasehatnya bagus. Kalau di belakang panggung ada beberapa yang “ngeremon” (mengeluh), terutama yang terkait insentif-insentif, ia membandingkan dengan sekolah lain. Tapi Pak Darta sangat bijak menyampaikan, toh juga kita selalu lebih baik, jangan lihat itu, nanti pahalanya di belakang, he he, tetap motivasinya seperti itu” (wawancara GS1, tanggal 4 Oktober 2011). 181 Berdasarkan informasi tentang proses pengawasan yang dilakukan oleh pihak sekolah dapat dikatakan bahwa kegiatan pengawasan secara umum sudah dilakukan dengan cukup baik. Pengawasan yang cukup baik ini terutama dilakukan oleh pengawas internal sekolah, yaitu kepala sekolah, wakil pimpinan. Kegiatan pengawasan ini terutama dalam rangka penerapan manajemen ISO 2000. Penerapan model manajemen ISO ini menuntut setiap kegiatan tercatat dan teradministrasi dengan baik, dengan mekanisme yang jelas. Setiap kegiatan yang dilakukan harus terukur sesuai dengan pedoman jaminan mutu yang telah ditetapkan. Namun, pengawasan khusus mengenai pengelolaan pembelajaran kimia tidak dilakukan secara terstruktur karena model pengawasannya bersifat umum. 5.5 Pembahasan Berdasarkan kajian terhadap proses pengelolaan pembelajaran kimia yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan standar proses dalam pengelolaan pembelajaran kimia dipilah menjadi bagian yang kualitasnya sudah memenuhi standar dan ada bagian yang kualitasnya belum memenuhi standar. Penerapan standar proses yang kualitasnya sudah memenuhi standar, yaitu aspek perencanaan pembelajaran, penilaian dalam ranah kognitif, dan pengawasan internal oleh kepala sekolah. Kegiatan perencanaan pembelajaran kualitasnya memenuhi standar, baik dari segi proses maupun produk yang dihasilkan. 182 Penerapan standar proses yang belum memenuhi standar dengan kualitas yang rendah yaitu, aspek pelaksanaan proses pembelajaran, aspek penilaian dalam ranah afektif dan psikomotor, serta aspek pengawasan eksternal. Jadi, dari empat komponen yang tertera di dalam standar proses, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran ternyata hanya dalam aspek perencanaan yang memenuhi standar dengan kualitas yang baik. Aspek pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran belum memenuhi standar dan kualitasnya rendah. Dekonstruksi sebagai metode interpretasi mungkin berimplikasi bahwa teks yang terdekonstruksi tersebut sesungguhnya menghapus kekacauan dan ketakmenentuan dengan teknik dekonstruktif. Dekonstruksi adalah strategi mengurai teks yang berarti mengurai, melepaskan, membuka, lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks. Berdasarkan hal tersebut maka interpretasi dari fenomena yang diperoleh mengenai pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI sebagai berikut. Kualitas pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal ini disebabkan oleh pola berpikir guru yang lebih berorientasi pada ranah kognitif dan pemenuhan kelengkapan administrasi. Pola berpikir guru yang berorientasi pada ranah kognitif dipengaruhi oleh pola berpikir dan tuntutan dari struktur yang lebih di atas yaitu pimpinan di sekolah dan dari pihak pemerintah. Hal lain yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan pembelajaran kimia adalah profesionalisme guru yang 183 rendah, profesionalisme pengawas juga rendah. Artinya kepercayaan diri sebagai seorang profesional yang mandiri, kreatif, dan memahami tugas pokok dan fungsi belum optimal. Pola berpikir guru yang senantiasa patuh dengan struktur di atas, terkait dengan permainan kekuasaan yang hegemonik. Titik awal konsep Antonio Gramsci tentang hegemoni dinyatakan bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Di dalam permasalahan di atas sangat jelas terlihat bahwa siswa terhegemoni dan mengalami kekerasan simbolik dan persuasif oleh guru, kemudian guru terhegemoni oleh kepala sekolah, sementara itu, kepala sekolah terhegemoni oleh pihak pemerintah. Di sini telah terjadi hegemoni terstruktur yang tidak kasat mata, sebagai sebuah kesepakatan bersama. Kondisi ini mengakibatkan siswa telah kehilangan sebagian haknya untuk memeroleh pengalaman belajar yang lengkap, dalam rangka pengembangan potensi dirinya secara menyeluruh dan seimbang. Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya ada nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya, sebagai telah menjadi milik mereka sendiri dan telah disetujui. Dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya, lewat keberhasilannya menanamkan pandangan hidup, relasi sosial, serta hubungan kemanusiaannya sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar atau alamiah oleh orang-orang yang sebetulnya tersubordinasi. Pelaksanaan hegemoni dan keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan terjadi melalui proses belajar atau dapat terjadi karena hubungan pendidikan (educational 184 relationship). Hubungan pendidikan ini yang membentuk masyarakat madani yang di dalamnya terletak dasar dari kekuasaan. Di sinilah terletak peran lembaga-lembaga sosial ideologis, seperti hukum, pendidikan, media massa, agama, dan yang lain sebagai arena pergulatan hegemoni. Dilihat dari segi ini, ternyata bahwa lembagalembaga sosial, seperti sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya tidak akan pernah netral, tetapi merupakan perekat dari hegemoni dalam masyarakat. Dengan kata lain, hegemoni terikat kepada kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Teori Gramsci mengenai hegemoni sangat berpengaruh dalam perumusan kebijakan pendidikan, yaitu (1) perang posisi dan (2) demokratisasi kehidupan sosial (Tilaar dan Nugroho, 2009). Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi di sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis. Dengan kata lain guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar, 2007:50). Kemampuan dasar profesionalisme guru meliputi menguasai bahan mata pelajaran dan kurikulum, mengelola program belajar, mengelola kelas, menggunakan media dan sumber belajar, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal 185 fungsi dan program pelayanan bimbingan konseling, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, serta memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk keperluan pengajaran. Keberhasilan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh guru karena bagaimanapun baiknya sarana pendidikan jika guru tidak memahami dan melaksanakan tugasnya dengan baik, hasil implementasi kurikulum (pembelajaran) tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru akan mendukung suksesnya implementasi KTSP (Mulyasa, 2008:180). Dalam hubungannya dengan usaha meningkatkan profesionalisme, di samping peningkatan kompetensi diri diperlukan keberanian untuk mengatakan yang benar yang diyakini sesuai dengan peraturan yang berlaku.