131 BAB V PENGELOLAAN PEMBELAJARAN KIMIA

advertisement
131
BAB V
PENGELOLAAN PEMBELAJARAN KIMIA PADA
SMAN 1 SINGARAJA DAN SMAN 1 GIANYAR
5.1 Perencanaan Pembelajaran Kimia
Informasi utama yang digunakan untuk memperoleh jawaban terhadap
masalah perencanaan pembelajaran kimia adalah dokumen perangkat pembelajaran
diperoleh dari dokumentasi, dan hasil wawancara diperoleh dari wawancara.
Dokumen perangkat pembelajaran dicermati dengan beracuan pedoman pembuatan
perangkat pembelajaran kemudian dilakukan interpretasi. Hasil wawancara yang
terkait perencanaan pembelajaran di interpretasi dan disandingkan dengan data
dokumen. Dua informasi ini sebagai acuan untuk melakukan interpretasi dan
membuat simpulan.
Wawancara dilakukan pada guru kimia, kepala sekolah, dan pengawas. Dasar
pemikiran yang dipakai mewawancarai guru kimia, kepala sekolah, dan pengawas
karena guru kimia sebagai pembuat perencanaan pembelajaran, sementara itu kepala
sekolah dan pengawas berperan sebagai pengawas dan supervisor yang bertugas
memantau, memeriksa, dan menilai perangkat pembelajaran yang dibuat oleh guru.
Pada penilaian dokumen dilakukan dengan mencermati perangkat pembelajaran
berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru.
Di dalam wawancara, pertanyaan-pertanyaan difokuskan tentang mekanisme
kerja penyusunan silabus dan program pembelajaran, kesulitan yang dialami dalam
membuat perencanaan, serta hal-hal, baik yang mendukung maupun menghambat,
132
penyusunan perencanaan pembelajaran. Pedoman wawancara disajikan pada
Lampiran 3. Pada sajian selanjutnya penulisan informan dilakukan pengkodean,
untuk mempersingkat sumber informasi. Pengkodean informan yang dimaksud
disajikan pada daftar informan.
Proses perencanaan pembelajaran kimia dilakukan melalui beberapa tahapan,
yakni sosialisasi, kegiatan pembinaan teknis (bintek), workshop, diskusi, dan
penulisan perangkat pembelajaran. Diskusi dan penulisan perangkat pembelajaran
dilakukan di tingkat MGMP sekolah. Pembuatan perangkat pembelajaran dilakukan
dengan lancar karena dukungan fasilitas, dukungan sarana, dan termasuk dana dari
pihak manajemen sekolah.
Pernyataan yang diambil dari petikan hasil wawancara terhadap guru sebagai
berikut.
“Tetap lewat workshop, diawali dengan pemberian pandangan umum dan
penjelasan-penjelasan oleh kasek dan wakasek kurikulum. Setelah itu
langsung bekerja dalam kelompok bidang studi dengan membagi-bagi tugas”
(wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011).
Pernyataan yang dikemukakan di atas di dukung oleh pernyataan guru di
gianyar yang menuturkan sebagai berikut.
“Secara umum ada workshop dulu, di kegiatan workshop itu diberikan
panduan-panduan oleh bagian manajemen mutu (waka), format ini di silabus
apa saja, di RPP apa saja…kemudian di kimia kita melakukan analisis dulu,
dari sana kita tuangkan nanti ke silabus ke RPP, pembagian jam mengajar,
pemilihan metode juga, karakteristiknya pada mata pelajaran” (wawancara
GG, tanggal 18 Oktober 2011).
Informasi tersebut diperkuat lagi dengan ungkapan yang disampaikan oleh
kepala sekolah sebagai berikut.
133
“Nah untuk perencanaan pembelajaran di awal kita lakukan pembagian tugas,
kemudian dilakukan workshop selama 3 hari, untuk menyamakan arah, dia
bekerja di mgmp, kalau ada hal yang belum sempurna kita sempurnakan, kita
tidak membuat dari nol lagi, kita mengevaluasi yang sudah dilakukan di
bagian mana yang sulit, di bagian mana yang bisa dipercepat, itu kajiannya di
tingkat guru mata pelajaran” (wawancara KS, tanggal 11 Januari 2012).
Pernyataan guru dan kepala sekolah mengenai proses perencanaan pembelajaran
seperti disebutkan di atas diperkuat lagi dengan pernyataan yang disampaikan oleh
pengawas sebagai berikut.
“Sebelum membuat perencanaan, memang diadakan suatu workshop,
sosialisasi secara umum dulu dan kemudian mengarah ke MGMP, setelah
kegiatan terbimbing selanjutnya guru membuat perencanaan secara mandiri,
dan SMA 1 memang sudah mempunyai nilai plus, di samping membuat dalam
bahasa Indonesia juga membuat dalam bahasa Inggris. Saya lihat perencanaan
itu terkait dengan pelaksanaan. Nanti bagaimana perencanaan itu dilaksanakan
di situ saya lihat juga evaluasinya. Memang SMA1 selalu kontak bila ada
permasalahan, memang dia kooperatif dan bagus. Disana saya sering pinjam
tempatnya untuk pertemuan MGMP, kemarin sempat kegiatan menyusun
PTK” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).
Dengan memerhatikan beberapa informasi di atas, jika dilihat dari sisi proses
penyusunan silabus dan produk perangkat pembelajaran, sudah dilakukan dengan
baik dan terprogram secara teratur. Hal ini berarti bahwa proses perencanaan
pembelajaran sudah dilakukan dengan baik. Kegiatan perencanaan pembelajaran
yang dilakukan oleh guru kimia, melalui kegiatan workshop, dilanjutkan dengan
diskusi di dalam kelompok mata pelajaran. Workshop dan diskusi yang dilakukan
dalam rangka membuat silabus, melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar,
kemudian dilanjutkan dengan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang di
134
dalamnya berisi indikator, tujuan pembelajaran, media yang direncanakan, dan alat
evaluasi dengan berbagai pengembangannya menjadi sebuah produk perangkat
pembelajaran. Kegiatan perencanaan yang dilakukan oleh guru kimia, dilihat dari
Permendiknas No. 41, Tahun 2007 tentang standar proses, maka untuk kegiatan
perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia sudah memenuhi standar
yang ditetapkan. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran, materi
ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar (Permendiknas No. 41,
Tahun 2007).
Pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru
kimia sesuai dengan pedoman implementasi kurikulum. Menurut Mulyasa
(2008:153--154) menyatakan, bahwa perencanaan merupakan bagian penting yang
harus diperhatikan dalam implementasi KTSP, yang akan menentukan kualitas
pembelajaran secara keseluruhan dan menentukan kualitas pendidikan serta kualitas
SDM, baik di masa sekarang maupun di masa depan. Dalam implementasi KTSP,
guru diberikan kewenangan secara leluasa untuk menganalisis standar kompetensi
dan kompetensi dasar (SKKD) sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolah, serta
kemampuan guru itu sendiri dalam menjabarkan menjadi silabus dan RPP.
Kegiatan perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia di
SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, sejalan dengan prinsip implementasi
135
kurikulum KTSP. Guru kimia membuat penjabaran dan pengembangan silabus dan
RPP sesuai dengan kondisi sekolah dalam status RSBI saat itu. Pengembangan yang
dilakukan adalah dengan mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum dari luar dan
mengembangkan model-model evaluasi yang diambil dari model tes di perguruan
tinggi terkemuka di Indonesia. Pengembangan silabus dan RPP yang dilakukan
tersebut sesuai dengan pernyataan informan sebagai berikut.
”Kalau pembuatan perangkat kita juga adaptasi pada kurikulum Cambridge
ya, jadi kita sesuaikan dari kurikulum nasional, kalau ada yang perlu diadopsi
dari Cambridge, kita ambil” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011)
Informasi tentang pengembangan kurikulum diperkuat lagi oleh guru lain
yang menuturkan sebagai berikut.
”RSBI itu kan kurikulum nasional plus kan gitu, kita mengadopsi, yang sudah
ada kita adaptasi, yang belum ada kita kembangkan kita adaptasi dari
Cambridge, ada juga dari Singapura. Memang juga disarankan adopsi dari
kurikulum perguruan tinggi yang favorit, misalnya UI, ITB, UGM, dilihat dari
soal-soal, oo ini soal yang dikeluarkan, kalau ITB begini tesnya, kalau UGM
begini tesnya, kita adopsi kemudian kita berikan pengayaan di sore itu”
(wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011).
Kemampuan guru membuat RPP merupakan langkah awal yang wajib
dimiliki guru, dan sebagai muara dari segala pengetahuan, keterampilan dasar, dan
pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pembelajaran. RPP
merupakan suatu perkiraan atau proyeksi guru mengenai seluruh kegiatan yang akan
dilakukan baik oleh guru maupun siswa, terutama kaitannya dengan pembentukan
kompetensi dan pencapaian tujuan pembelajaran.
136
Pembuatan perangkat pembelajaran dilakukan dengan lancar karena dukungan
fasilitas, dukungan sarana, dan termasuk dana dari pihak manajemen sekolah. Namun
demikian, ada beberapa kendala dan kesulitan yang dialami oleh guru dalam
menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yaitu terkait dengan
pembuatan perencanaan dalam bahasa Inggris dan pengklasifikasian ranah- ranah
pengetahuan yang didasarkan atas taksonomi Bloom. Hal ini dinyatakan oleh guru
seperti pernyataan berikut.
”Kendalanya ketika penentuan ranah C1, C2, C3, kaitannya dengan materi,
apakah materi ini termasuk C1, C2, C3 jadi dalam analisis taksonominya. di
silabus juga sudah lengkap. Untuk psikomotor juga ada P1, P2, P3 kita juga
belum paham. Karena kan berbeda karakternya pak, kelas yang satu dengan
yang lain, kan untuk kelas ini cocok C1, kelas yang lain mungkin C2. Untuk
menyamakan persepsi itu kan ada perbedaan pendapat (wawancara GG,
tanggal 4 Oktober 2011)
Taksonomi
mengandung
pengertian
prinsip
pengklasifikasian
objek.
Taksonomi didasarkan pada asumsi bahwa program pendidikan dapat dipandang
sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan beberapa
mata pelajaran. Taksonomi dibagi atas tiga ranah (domain) yaitu (1) kognitif, (2)
afektif, dan (3) psikomotor. Domain kognitif meliputi tujuan yang berhubungan
dengan berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Domain afektif mencakup
tujuan-tujuan yang berkaitan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi. Domain
psikomotor meliputi tujuan-tujuan yang berhubungan dengan keterampilan manual
dan motorik (Roestiyah, 1982; Kunandar, 2007). Menurut Bloom (dalam Roestiyah,
1982: 139--140) menyatakan bahwa rumusan tujuan-tujuan belajar mengenai kognitif
137
domain diklasifikasikan menjadi pengetahuan (C1), pengertian (C2), aplikasi (C3),
analisa (C4), sintesa (C5), dan evaluasi (C6). Hal yang senada juga ada
pengklasifikasian domain afektif menurut David Krathwohl dan domain psikomotor
menurut Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay.ds (dalam Roestiyah, 1982).
Rumusan tujuan belajar mengenai domain afektif yaitu menerima, menjawab,
menilai, mengorganisasi, dan konsisten serta prediktabel. Rumusan tujuan belajar
mengenai domain psikomotor meliputi persepsi (P1), kesiapan (P2), respon terpimpin
(P3), mekanisme (penggunaan sejumlah skill dalam aktifitas yang kompleks) (P4),
dan respon yang kompleks menggunakan sikap dan pengalaman (P5).
Kesulitan guru dalam mengklasifikasikan ranah-ranah tersebut di atas
disebabkan oleh kompetensi profesionalnya yang belum optimal. Guru senantiasa
diharapkan meningkatkan kompetensi yang meliputi kompetensi kepribadian,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Menurut
Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti dan Direktorat Profesi Pendidik Depdiknas
(dalam Kunandar, 2007: 75--77) menyatakan sebagai berikut. Kompetensi
kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perqancangan,
dan
pelaksanaan
pembelajaran,
evaluasi
hasil
belajar,
dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktaulisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya. Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata
138
pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta
penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Kompetensi sosial
merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali siswa, dan
masyarakat sekitar.
Sebagai data tambahan mengenai perencanaan pembelajaran dilakukan
pencermatan dokumen berupa perangkat pembelajaran. Di dalam penilaian dokumen,
dilakukan dengan mencermati dan mengevaluasi perangkat pembelajaran berupa
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru. Acuan yang
digunakan untuk melakukan penilaian terhadap dokumen perangkat pembelajaran
adalah Permendiknas No. 41, Tahun 2007 pada unsur standar perencanaan proses
pembelajaran. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran,
materi
ajar,
alokasi
waktu, metode pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Penilaian terhadap
kesesuaian antara komponen dan isi yang diuraikan di dalam silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran dilakukan oleh peneliti.
Hasil pencermatan terhadap beberapa perangkat pembelajaran berupa silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dihasilkan melalui proses workshop dan
diskusi dipaparkan sebagai berikut. Di dalam silabus, komponen-komponen yang ada
beserta isinya sudah sesuai dengan standar. Rencana pelaksanaan pembelajaran ketika
139
dilihat dari komponen-komponen yang ada sudah sesuai dengan standar. Hubungan
antara komponen yang satu dan yang lain yaitu standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran sudah tepat. Demikian juga dengan
komponen materi pembelajaran, sumber dan alat, metode, langkah-langkah
pembelajaran, dan penilaian sudah sesuai, tepat, dan lengkap. Beberapa perencanaan
pembelajaran ada yang sudah melebihi standar karena dilengkapi dengan lembar
diskusi siswa, ada juga dengan lembar kerja siswa, dan ada yang dilengkapi dengan
petunjuk praktikum.
Silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru sudah
benar sangat sesuai dengan yang diharapkan. Contoh silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran dapat dilihat pada Lampiran 4. Jadi, perangkat perencanaan
pembelajaran oleh guru kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar telah
dilakukan dengan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan. Perangkat
pembelajaran yang lengkap dan sesuai dengan standar ini dibuat oleh guru karena
adanya tuntutan kelengkapan administrasi sekolah. Kelengkapan perangkat
pembelajaran ini sebagai persyaratan penilaian administrasi dalam rangka
mendapatkan sertifikat manajemen ISO di samping sebagai kelengkapan administrasi
guru. Kondisi ini yang menyebabkan pihak sekolah mengharuskan guru untuk
membuat perangkat pembelajaran yang lengkap sesuai dengan standar, dan
diharapkan berkualitas.
Jika dilihat dari unsur perencanaan proses pembelajaran yang merupakan
salah satu bagian dari standar proses, perencanaan pembelajaran sudah dilaksanakan
140
dengan baik. Proses atau kegiatan dalam membuat perencanaan pembelajaran
dilakukan dengan benar. Produk berupa perangkat pembelajaran yang dihasilkan
dilihat dari struktur, hubungan antara komponen dan isi beserta kelengkapannya
sudah baik dan tepat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perencanaan proses
pembelajaran kimia kualitasnya baik.
5.2 Pelaksanaan Pembelajaran Kimia
Data utama yang digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran
adalah hasil observasi pembelajaran. Karena ketebatasan, maka tidak seluruh
pembelajaran di observasi, tetapi hanya enam kali observasi pembelajaran yang
terdiri atas, tiga kali obseravasi di kelas dan tiga kali observasi praktikum di
laboratorium. Sebagai informasi pendukung pelaksanaan pembelajaran adalah hasil
wawancara. Wawancara dilakukan pada guru kimia, siswa, kepala sekolah, dan
pengawas.
Guru
kimia
diwawancarai
karena
mereka
yang
melaksanakan
pembelajaran, baik di kelas maupun di laboratorium. Sementara itu, siswa
diwawancarai karena mereka yang memeroleh pembelajaran secara langsung, baik di
kelas maupun di laboratorium. Selain itu, kepala sekolah, dan pengawas juga
diwawancarai
karena
mereka
memiliki
kewajiban
melakukan
pengawasan
pembelajaran sehingga mereka memiliki informasi/data yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kegiatan mengobservasi guru
mengajar berpedoman pada standar proses pada aspek pelaksanaan proses
141
pembelajaran dengan mengamati kesesuaian antara perencanaan pelaksanaan
pembelajaran dan proses mengajar yang dilakukan.
Di dalam wawancara pertanyaan difokuskan pada aktivitas pembelajaran yang
dilakukan oleh guru, pengembangan dan inovasi pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran praktikum kimia, kesulitan dan daya dukung yang ada. Wawancara
dilaksanakan secara mengalir dan mendalam tidak kaku, senantiasa menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi, tetapi tidak ke luar dari fokus persoalan yang digali. Dari
wawancara yang dilaksanakan dengan cara seperti itu diperoleh informasi tambahan
yang sangat berguna untuk keperluan pembahasan dan pemberian makna sebuah
persoalan.
Dari informasi yang diperoleh diketahui bahwa, pelaksanaan proses
pembelajaran kimia dapat dipilah menjadi dua kegiatan, yaitu pembelajaran yang
dilakukan di kelas dan pembelajaran praktikum di laboratorium. Mengelaborasi
informasi yang disampaikan oleh guru, siswa, kepala sekolah, dan pengawas bahwa
proses pembelajaran kimia di kelas telah diusahakan untuk dilakukan dengan baik
dan menyenangkan. Beberapa guru menyatakan melaksanakan pembelajaran dengan
meminimalkan ceramah, ada guru yang menggunakan berbagai metode yang
disesuaikan dengan keadaan siswa, dan ada guru yang menyatakan melakukan
pembelajaran dengan diskusi kelompok dan latihan soal. Pernyataan guru dari hasil
wawancara sebagai berikut.
“Siswanya bagus Pak, cara mengajar saya berbeda di kelas yang satu dengan
yang lain berdasarkan kualitas siswa di kelas, tergantung input nya Pak. Di
kelas yang bagus saya mengajar dengan LKS, dia kerjakan sambil diskusi
142
dengan temannya nyambung dia, namun di kelas lain jika dikasi LKS, masih
aja ngobrol dia. Kalau dikasi praktikum nyambung, jadi yang jelas berbeda
cara mengajar kita” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011).
Pembelajaran yang dilakukan guru dengan mengurangi metode ceramah
dikemukakan pula oleh guru yang lain dengan tuturan sebagai berikut.
“Kalau di kelas yang saya ajar, siswanya lumayan bagus aktivitasnya, karena
input nya bagus dan agar anak itu aktif, kita buat work sheet, walaupun belum
sempat kita print, dalam bentuk soft copy kita tayangkan, anak-anak yang
mencari lebih lanjut, kemudian dia presentasi. Siswanya aktif pak, karena saya
lebih sering diskusi kelompok, sehingga anak-anak yang menemukan konsep,
dan lebih cenderung praktikum, sehingga saya jarang memberikan ceramah,
anak-anak aktif, ini rasanya yang lebih bagus.
Seperti biasanya Pak, pagi jam 7.30 sampai jam 13.15 program reguler,
kemudian ada lagi program akselerasi (penguatan pendalaman materi)
dilakukan setiap hari Senin sampai Rabu,dijadwalkan jam 13.30 sampai jam
15.00, untuk pelajaran yang di-UN- kan” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober
2011).
Siswa menyatakan senang belajar kimia karena gurunya sudah mengajar
dengan baik, semua siswa yang diwawancarai menyatakan guru melaksanakan
pembelajaran di kelas dengan menyenangkan dan ramah. Pernyataan yang
dikemukakan siswa sebagai berikut.
“Karena waktu smp dapat kimia pengenalan saja, waktu di sma, saya merasa
senang, karena alat-alatnya memadai dan kita belajarnya itu berkelompok,
bareng-bareng, yang ndak tahu jadi tahu, lebih nyaman kita bila belajar itu
praktik, dari pada teori aja di papan, kita praktik kita bisa lihat langsung,
pembelajaran kan ada banyak, visual, fisik, ada gini dari cara melihat, lebih
senang praktik daripada teori aja” (wawancara SS, tanggal 27 Oktober 2011).
Siswa yang lain dalam ungkapannya menyatakan kesenangannya dalam
pembelajaran kimia sebagai berikut.
143
Bapaknya bagus mengajar, santai menurut saya bagus, kita juga
mempersiapkan diri dan membaca buku di rumah. Bagus mengajar
menggunakan power point, memberikan konsep, memberikan latihan-latihan,
terus kita mengerjakan LKS, kalau ada yang tidak mengerti dibahas bersama,
berdiskusi (wawancara SG, tanggal 12 Oktober 2011).
Informasi dari pengawas mengemukakan bahwa pembelajaran kimia di kelas
sudah dilakukan dengan baik dan ada pengembangan. Pernyataan yang disampaikan
dalam wawancara sebagai berikut.
“Memang dalam proses pembelajaran selalu ada kelebihan dan kelemahan,
tetapi saya lihat secara umum baik Pak, dibandingkan dengan guru di sekolah
lain, tepat waktunya, prosesnya, dan itu karena tuntutan siswa Pak. Saya yang
mantan guru di sana, kita tidak hanya dituntut membuat persiapan tapi
memang action nya memang lebih di sana, karena siswa yang menuntut untuk
persiapan menghadapi ujian dan juga setelah tamat” (wawancara PWS,
tanggal 18 Januari 2012).
Sementara itu, informasi dari kepala sekolah mengemukakan bahwa
pelaksanaan pembelajaran di kelas belum sesuai antara yang ada dalam rencana
pembelajaran dan yang dilaksanakan di dalam kelas. Pernyataan kepala sekolah dari
petikan wawancara sebagai berikut.
”Nah terkait dengan ini, dari hasil observasi saya melihat antara apa yang
ditulis dalam perencanaan dengan apa yang dilakukan di kelas itu berbeda, dia
jarang melihat perencanaannya, jadi tidak match, memang pada saat ada
evaluasi, pengawasan memang dilihat perencanaannya sudah oke, tapi saya
tidak hanya melihat itu, kesehariannya seperti apa? Bukan hanya ketika di
awasi tapi agar alami, itu yang saya harapkan. Jadi, kurang match antara apa
yang dipersiapkan dengan apa yang dilakukan” (wawancara KS, tanggal 11
Januari 2011).
144
Informasi tentang pembelajaran kimia di laboratorium atau kegiatan
praktikum cukup beragam, yaitu ada guru mengatakan melaksanakan praktikum
secara penuh dan beberapa guru lain mengatakan praktikum kimia sangat terbatas,
guru memilih materi-materi pelajaran yang bisa dipraktikumkan. Pernyataan yang
disampaikan sebagai berikut.
”Nah kalau di praktikum kita laksanakan di laboratorium, memang tidak
semua topik bisa dipraktikumkan, ada beberapa misalnya elektrolisis,
sebagian kita praktikumkan, dan juga melakukan observasi ke tukang sepuh,
kemudian anak-anak mempresentasikan” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober
2011).
Pernyataan tentang pembelajaran praktikum dikemukakan oleh guru yang lain
sebagai berikut.
”Kebetulan saya tim dengan Pak Madra, setelah praktikum juga diberikan
diskusi sesuai dengan karakteristik materi. Kasi tugas kita berikan ramburambunya. Begitu diumumkan akan praktikum anak-anak senang sekali, kalau
dulu labnya masih gabung dengan biologi sehingga berbagi dengan biologi,
tapi sekarang sudah ada lab kimia tersendiri, kita hanya berbagi dengan kimia
saja” (wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011).
Informasi dari siswa diperoleh bahwa pernah praktikum hanya beberapa kali
sampai dia duduk di kelas XII (atau tahun ke 3), sementara itu ada siswa yang
menyatakan belum pernah praktikum. Pernyataan siswa dari petikan wawancara
sebagai berikut.
”Waktu di kelas 1 juga sama praktik perubahan kimia dan perubahan fisika,
mencari moralitas, di kelas 2 juga sudah praktikum. Untuk kelas 3 karena
sudah akan persiapan ujian kita tidak praktikum di lab, langsung ke
masyarakat, misalnya tentang penyepuhan, oleh Ibu Oka kita disuruh datang
ke pengrajin penyepuhan, untuk membuat laporan, direkam juga, bagaimana
145
sih fungsi penyepuhan, apa tujuannya, apa alatnya, apa yang mempengaruhi,
kita mengamati, membuat laporan, kemudian kita presentasi dengan power
point, beserta videonya. Praktikum sudah pernah, mencari perubahan kimia,
dan perubahan fisika, kemudian mencari molaritas” (wawancara SS, tanggal
27 Oktober 2011).
Ungkapan siswa mengenai pelaksanaan praktikum yang sangat terbatas
dilakukan dengan tuturan sebagai berikut.
”Kalau kami belum pernah praktikum Pak. Kalau saya sudah pernah pak
sekali praktikum minggu lalu. Kalau saya pernah hanya beberapa kali
praktikum sampai kelas tiga” (wawancara SG, tanggal 12 Oktober 2011)
Pernyataan dari pihak pengawas bahwa memang praktikumnya sangat
terbatas, guru memilih pokok bahasan yang dipraktikumkan tidak bisa semua
dipraktikumkan seperti tuntutan kurikulum.
”Di sana banyak kegiatan untuk kajiannya lulus tes, karena terbentur waktu
tidak bisa bereksperimen dengan semua program itu, jadi mana yang lebih
penting itu yang didahulukan, jadi kegiatan jalan. Praktikum memang
dilaksanakan tetapi tidak maksimal, yaa karena keterbatasan alat dan waktu,
tapi ada praktikum, karena juga harus menyiapkan ujian nasional, jadi
waktunya harus diatur” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).
Hasil wawancara dengan kepala sekolah juga menyatakan hal yang senada
bahwa memang dalam praktikum ada masalah, dan kepala sekolah masih melakukan
evaluasi mengenai praktikum yang bermasalah. Adapun pernyataan kepala sekolah
adalah sebagai berikut.
“Dari bukti fisik yang saya terima, dan fokus di IPA saya melihat temanteman masih kurang di praktikum, kita lihat dari kompetensi anak, ketika dia
mengikuti lomba-lomba, anak-anak itu kalahnya di praktikum, seluruh
pengalaman seperti itu” (wawancara KSG tanggal 11 Januari 2012).
146
Berdasarkan informasi yang disebutkan di atas diketahui bahwa pelaksanaan
pembelajaran di kelas menurut penilaian guru sudah dilakukan dengan baik, guru
telah berusaha mengaktifkan siswa dengan memperbanyak latihan soal. Sementara
itu, siswa yang mendapatkan pembelajaran merasakan nyaman diajarkan dengan cara
yang dilakukan gurunya. Sementara itu, untuk pembelajaran praktikum sangat minim
dilakukan tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum. Minimnya kegiatan praktikum
karena guru lebih mengutamakan siswa menyiapkan diri untuk menempuh ujian
nasional.
Untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan proses pembelajaran
yang lebih akurat maka dilakukan juga dengan observasi. Data rekaman/catatan hasil
observasi proses pelaksanaan pembelajaran di kelas dan di laboratorium disajikan
pada Lampiran 5.
Hasil observasi proses pembelajaran di kelas dan di laboratorium yang
dilakukan pada enam guru kimia diperoleh gambaran seperti berikut. Pada
pembelajaran di kelas secara umum guru mengikuti alur pembelajaran mulai dari
pembukaan, kegiatan inti, dan penutup. Pada kegiatan pembukaan guru memulai
dengan apersepsi dan eksplorasi, kemudian pada kegiatan inti dengan elaborasi,
penanaman konsep melalui ceramah, latihan soal, diskusi kelompok, pemberian
bimbingan, penguatan-penguatan, memberikan kesempatan untuk bertanya sesuai
dengan situasi kelas. Kegiatan dalam menutup pembelajaran diawali dengan
penegasan-penegasan konsep, memberikan informasi tentang materi berikutnya, dan
147
diakhiri dengan pemberian tugas rumah. Situasi belajar yang terjadi cukup akrab,
siswa antusias, aktif, dan disiplin mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Motivasi belajar dan kesiapan belajar siswa cukup baik dengan rasa ingin tahu yang
tinggi.
Penelusuran lebih mendalam pada tiap-tiap pembelajaran yang dilakukan
dicermati dengan saksama. Pada saat observasi pembelajaran salah satu guru yang
menjelaskan konsep koloid, guru pada saat itu menggunakan perencanaaan
pembelajaran yang ada di dalam laptop. Strategi pembelajaran yang dilakukan lebih
didominasi dengan metode ceramah, dan disertai dengan teknik tanya jawab.
Informasi yang disampaikan dalam pembelajaran datar, kurang mengajak siswa untuk
belajar yang lebih bermakna mengenai konsep koloid. Pembelajaran yang dilakukan
kurang memberikan tantangan untuk pemecahan masalah yang berkaitan dengan
materi. Padahal, kalau dilihat dari pokok bahasan koloid sesuai dengan kurikulum
mestinya ada eksperimen yang harus dilakukan ketika membahas sifat koloid.
Demikian pula konsep koloid sangat banyak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
yang sifatnya kontekstual. Pembelajaran dilakukan hanya menjelaskan hal-hal yang
tertera di dalam buku, kebermaknaan belum tampak.
Pencermatan pada pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia yang lain
pada saat menjelaskan materi tentang kimia unsur. Guru melakukan alur
pembelajaran dengan membuka pembelajaran melalui eksplorasi. Kemudian kegiatan
inti dengan berceramah dan teknik tanya-jawab, dilanjutkan dengan diskusi
kelompok. Pada saat menutup pembelajaran dengan penguatan-penguatan konsep
148
yang sudah dijelaskan serta pemberian tugas rumah. Di dalam kegiatan inti
penjelasan lebih menekankan pada konsep-konsep yang sering muncul di dalam ujian
nasional seperti yang disampaikan oleh guru bersangkutan. Pembelajaran yang
dilakukan belum terlihat memberikan pemaknaan untuk konsep tersebut dan tidak
memberikan tantangan kepada siswa. Padahal, jika dilihat dari pokok bahasan yang
disajikan, dapat diperdalam dengan manfaat dari penguasaan konsep tersebut dan
kaitannya dengan konsep-konsep yang lain. Usaha mengaktifkan siswa dilakukan
dengan memberikan beberapa pertanyaan yang dikerjakan melalui diskusi kelompok.
Pada pembelajaran di kelas yang lain tentang konsep stoikiometri atau
hitungan kimia, alur pembelajaran sesuai dengan standar, tidak jauh berbeda dengan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru kimia yang lain. Dalam kegiatan inti guru
menjelaskan konsep, kemudian memberikan contoh soal untuk dibahas bersama,
disertai dengan kegiatan tanya-jawab. Kegiatan selanjutnya adalah diskusi kelompok
untuk mengerjakan latihan soal-soal hitungan. Guru memberikan bimbingan pada
setiap kelompok secara bergilir. Siswa yang sudah berhasil menjawab soal latihan,
diberikan kesempatan untuk mengerjakan jawabannya di papan tulis. Latihan soal
seperti ini dilakukan berulang-ulang, sampai pada saat akan mengakhiri pembelajaran
diberikan soal untuk dikerjakan di rumah. Kegiatan pembelajaran dengan latihan soal
seperti ini menjadikan siswa aktif karena disibukkan oleh latihan soal-soal, dengan
berbagai variasi soal yang dibuat oleh guru. Guru, dalam pembelajaran mengenai
hitungan kimia, selain memberikan pendalaman dengan latihan soal-soal, juga
melakukan bimbingan pada setiap kelompok. Namun, tidak diperdalam dengan
149
menjelaskan
manfaat
dan
aplikasi
dari
konsep-konsep
tersebut
sehingga
kebermaknaannya belum diketahui oleh siswa.
Berdasarkan observasi pembelajaran di kelas terhadap tiga guru kimia, hasil
pengamatan dapat diinterpretasi sebagai berikut. Dilihat dari alur pembelajaran yang
diawali
dengan
membuka
pembelajaran
mulai
dengan
penataan
kelas,
menginformasikan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan materi yang akan
dibahas, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan inti dengan subkegiatan eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi. Kemudian dilakukan kegiatan penutupan pembelajaran
sudah sesuai dengan standar proses pembelajaran. Namun, belum tampak inovasiinovasi dan penjelasan kebermaknaan konsep dilakukan oleh guru untuk
membangkitkan kreativitas siswa.
Pelaksanaan proses pembelajaran diabadikan dalam gambar-gambar berikut.
Gambar 5.11 Bagian proses pembelajaran di kelas
(Dokumen: Wiratma, September 2011)
150
Gambar 5. 12 Bagian proses pembelajaran di kelas
(Dokumen: Wiratma, September 2011)
Gambar 5. 13 Bagian proses pembelajaran di kelas
(Dokumen: Wiratma, Oktober 2011)
151
Jika dipotret dari standar proses (Permendiknas No. 41 Tahun 2007), ternyata
pelaksanaan pembelajaran di kelas tampak sesuai dari sisi alur pembelajaran, yakni
ada pembukaan, kegiatan inti, dan penutup dengan berbagai komponennya sudah
muncul di dalam pembelajaran yang dilakukan. Di dalam kegiatan inti pembelajaran,
sesungguhnya ada banyak peluang yang bisa dilakukan oleh guru untuk melakukan
kreasi untuk menjadikan pembelajaran tersebut inovatif dan bermakna. Ada beberapa
pengembangan informasi dan pendalaman materi semestinya dapat dilakukan oleh
guru, misalnya mengaitkan konsep yang sedang dibahas dengan manfaatnya atau
mengaitkan konsep dengan aplikasi di masyarakat sehingga kebermaknaan materi
yang sedang dipelajari dipahami oleh siswa. Di dalam pembelajaran, ketika makna
dari informasi yang diperoleh itu dipahami oleh siswa, maka rasa ingin tahu
(curiosity) muncul yang mengakibatkan aktivitas belajar meningkat. Melaksanakan
pembelajaran yang inovatif diperlukan pemahaman mengenai pedagogik, penguasaan
materi yang diajarkan, kreativitas, dan kemauan atau motivasi guru.
Jika dicermati proses pembelajaran yang dilakukan oleh beberapa guru kimia
di kelas, ternyata dasar teori belajar yang digunakan adalah kombinasi dari teori
belajar perilaku, sosial, dan kognitif. Teori belajar perilaku diterapkan ketika guru
berusaha memberikan stimulus berupa pertanyaan atau menuliskan soal di papan tulis
agar diberikan respons oleh pebelajar. E.L. Thorndike (dalam Nasution, 1982)
meyatakan stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respons-respons. Sementara itu
ketika guru berusaha untuk menarik perhatian dengan kalimat tertentu atau peristiwa
atau contoh kejadian tertentu yang dirasakan penting yang perlu diingat dan untuk
152
membangkitkan motivasi, hal ini berarti guru menerapkan prinsip dari teori belajar
sosial. Konsep utama teori belajar sosial menurut Bandura (dalam Crain, 2007)
adalah pemodelan. Dalam pemodelan ada empat fase belajar, yaitu fase perhatian,
fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi. Penerapan teori belajar kognitif juga
terjadi dalam proses pembelajaran terutama ketika guru menjelaskan konsep-konsep
baru yang diawali dengan mengingatkan kembali konsep-konsep yang mendahului
yang berhubungan dengan konsep baru yang akan dijelaskan. Demikian juga, ketika
guru memberikan latihan untuk pemecahan masalah (problem solving), tergolong
dalam penerapan teori belajar kognitif. Menurut Robert M. Gagne (dalam Nasution,
1982), ada beberapa tipe belajar, di antaranya adalah concept learning (belajar
konsep), dan problem solving (pemecahan masalah). Pandangan belajar menurut
Piaget (dalam Dimyati, 1994), sebagai tokoh teori belajar kognitif bahwa
pengetahuan dibangun dalam pikiran. Belajar pengetahuan meliputi tiga fase, yaitu
fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi siswa
mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa
mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala, sementara itu dalam fase
aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lebih lanjut.
Pembelajaran yang dilakukan oleh guru cenderung seperti yang dikemukakan
di atas mengalir sedemikian rupa tanpa dipahami dengan pasti teori belajar yang
melandasi pembelajaran yang dilakukan. Pemahaman guru tentang teori belajar
sangat penting agar dalam penerapannya tepat sesuai dengan situasi dan kondisi,
sesuai dengan konsep yang dijelaskan serta sarana dan prasarana yang ada sebagai
153
media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nasution (1982)
bahwa untuk suatu aspek tertentu salah satu teori belajar lebih bermanfaat, sementara
itu, untuk aspek lain penggunaan teori belajar yang lain lebih sesuai.
Pelaksanaan pembelajaran kimia di kelas yang dilakukan oleh guru belum
sepenuhnya mengikuti teori belajar yang mengarah pada pembelajaran inovatif.
Pembelajaran inovatif pada intinya menampakkan kebaruan dalam arti bahwa
aktivitas belajar lebih terpusat pada siswa dan bermakna. Pembelajaran yang
berorientasi pada aktivitas siswa sesuai dengan teori belajar kognitif. Menurut teoriteori belajar kognitif (teori-teori Gestalt-field), belajar merupakan suatu proses
perolehan atau perubahan insait-insait (insight), pandangan-pandangan (outlooks),
harapan-harapan, atau pola berpikir. Dalam teori belajar kognitif dikatakan juga
terjadi proses elaborasi. Elaborasi ialah suatu proses penambahan pengetahuan yang
berhubungan pada pengetahuan baru. Penambahan-penambahan ini menyediakan
cara-cara lain untuk pemanggilan dan informasi tambahan untuk konstruksi. Di
samping proses elaborasi juga terjadi proses organisasi (pengorganisasian).
Pengorganisasian merupakan suatu proses menempatkan deklaratif ke dalam sub-sub
himpunan untuk menolong dalam pengingatan informasi (Dahar, 1989).
Belajar bermakna menurut Ausubel (dalam Dahar, 1989) ada dua dimensi
belajar,
yaitu
dimensi
belajar
penerimaan/penemuan
dan
dimensi
belajar
bermakna/hafalan, yang merupakan suatu kontinum, bukan suatu dikotomi.
Seseorang dapat belajar melalui penerimaan kemudian bermakna atau hanya hafalan
atau seseorang dapat belajar melalui penemuan kemudian bermakna atau hafalan.
154
Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi baru dapat dikaitkan pada subsumer
yang ada dalam struktur kognitif. Sebaliknya, belajar hafalan terjadi bila informasi
baru tidak dapat dikaitkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif
karena konsep-konsep ini tidak mirip dengan informasi baru tersebut. Faktor yang
berpengaruh terjadinya belajar bermakna, yaitu struktur kognitif yang ada serta
kesiapan dan niat anak untuk belajar bermakna dan kebermaknaan materi pelajaran
secara potensial.
Observasi yang dilakukan di dalam pembelajaran praktikum, ternyata guru
telah menyiapkan petunjuk kerja, kemudian siswa membentuk kelompok. Guru
mengawali praktikum dengan memberikan petunjuk, pengarahan, dan penjelasan
mengenai materi praktikum yang akan dikerjakan. Peralatan praktikum dan bahan
sudah disiapkan di atas meja oleh laboran atas petunjuk guru. Pada saat siswa akan
memulai mengerjakan tugas dengan penuntun praktikum yang sudah mereka bawa,
ternyata ada keraguan untuk melakukan, seperti tidak percaya diri. Hasil observasi
perilaku siswa dan keadaan dalam praktikum yang diperoleh bahwa keterampilan
anak dalam hal memegang alat, melakukan pengamatan, dan pencatatan data sangat
kurang. Penataan meja kerja praktikum belum ditata dengan baik karena masih ada
buku dan tas siswa yang diletakkan di atas meja kerja, yang membuat keleluasaan
bekerja kurang nyaman dan ada risiko tidak aman, misalnya terbakar atau tertumpah
zat kimia yang berbahaya. Siswa dalam praktikum tidak menggunakan jas
laboratorium atau baju untuk praktik. Guru yang mendampingi siswa praktikum tidak
memerhatikan keadaan itu. Guru lebih memfokuskan agar hal-hal yang direncanakan
155
dalam praktikum tercapai, mengharapkan hasil pengamatan anak sesuai dengan data
yang diharapkan.
Pada observasi kegiatan praktikum di laboratorium pada kesempatan berbeda,
diperoleh gambaran yang relatif sama dengan hasil pengamatan praktikum
sebelumnya. Penataan meja kerja praktikum kurang karena masih ada buku dan tas
siswa berada di atas meja kerja. Siswa tidak menggunakan jas laboratorium sebagai
baju praktikum. Guru tidak melakukan penataan awal kelas sehingga kesan yang
diperoleh tidak nyaman dan tidak aman untuk praktikum. Guru lebih banyak
memfokuskan
perhatiannya
pada
materi
dan
langkah-langkah
kerja
yang
direncanakan agar dapat dikerjakan oleh siswa dengan benar dan hasil yang
diharapkan sesuai dengan yang direncanakan. Pada saat akan memulai praktikum
siswa tampak kebingungan, suasana kelas agak ribut karena siswa tidak paham
dengan hal-hal yang harus dikerjakan. Pada saat siswa mulai bekerja dengan
mengikuti petunjuk yang ada, ternyata keterampilan memegang alat, menggunakan
alat, keterampilan melakukan percobaan, keterampilan mengamati hasil percobaan
sangat rendah.
Pelaksanaan proses pembelajaran praktikum diabadikan dalam gambargambar berikut.
156
Gambar 5. 14 Bagian proses pembelajaran praktikum
(Dokumen: Wiratma, November 2011)
Gambar 5.15 Bagian proses pembelajaran praktikum
(Dokumen: Wiratma, November 2011)
157
Gambar 5. 16 Bagian proses pembelajaran praktikum
(Dokumen: Wiratma, November 2011)
Data hasil observasi seperti yang dikemukakan di atas menandakan bahwa
praktikum sangat jarang dilakukan, keterampilan guru dalam mengelola praktikum
kurang baik, demikian juga keterampilan siswa dalam kegiatan praktikum sangat
kurang. Sikap siswa yang belum percaya diri ketika akan mulai bekerja
mengindikasikan bahwa mereka belum memahami maksud atau makna langkahlangkah kerja yang tertera di dalam petunjuk praktikum. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan guru, yaitu sebagai berikut.
“Kalau dalam praktikum, anak belum disiplin, anak ada sedikit mainnya,
tergantung kita juga dalam mengelola kelas, kalau pas kita arahkan ada zat
yang berbahaya, yaa masih wajarlah anak-anak ada sedikit kurang serius”
(wawancara GG, tanggal 18 Oktober 2011).
Penataan awal kelas sebelum memulai praktikum sangat diperlukan karena
sangat berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan bekerja, memupuk sikap
158
disiplin, rapi, dan terampil. Penjelasan awal tentang cara menggunakan alat, cara
mengambil zat kimia, jenis alat yang harus digunakan sangat penting diberikan
kepada siswa untuk membangkitkan rasa percaya dirinya. Gambaran umum praktik
yang akan dilakukan, tujuan praktik, serta beberapa kemungkinan yang akan terjadi
mestinya dikemukakan untuk memberikan arah dan memantapkan konsep materi
praktikum yang akan dilakukan. Kegiatan seperti yang dikemukakan di atas tidak
muncul. Dari hal seperti ini dapat diindikasikan bahwa keterampilan guru dalam
pengelolaan praktikum rendah. Keterampilan sangat erat hubungannya dengan
pembiasaan. Jika kegiatan yang berkaitan dengan psikomotor sering dilakukan atau
dibiasakan, maka keterampilan akan semakin baik. Pembelajaran praktikum sangat
banyak memerlukan aspek keterampilan. Oleh karena itu diperlukan intensitas
kegiatan yang sering dilakukan.
Pembelajaran ilmu kimia sebagai bagian dari IPA tidak bisa lepas dari
kegiatan praktikum untuk mengenal gejala alam yang sebenarnya. Di dalam
kurikulum dan silabus kimia yang disusun guru, sudah dicanangkan konsep-konsep
yang harus dilakukan dengan praktikum. Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan
praktikum tidak bisa dilaksanakan optimal sesuai dengan yang direncanakan. Di
dalam Permendiknas No. 22, Tahun 2006 tentang standar isi, dalam hal pelajaran
kimia di SMA/MA disebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan
dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis sehingga IPA bukan
hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja, melainkan juga merupakan suatu proses penemuan.
159
Disebutkan juga bahwa ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak
terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta,
konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja
ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus
memerhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Penjelasan di atas
mengisyaratkan bahwa pembelajaran praktikum dalam belajar ilmu kimia tidak bisa
diabaikan karena merupakan hal yang sangat prinsip sesuai dengan karakteristik ilmu
kimia sebagai proses.
Secara teoretis semestinya kegiatan praktikum yang tertera di dalam silabus
dilakukan dengan sesungguhnya untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa
dan sekaligus merupakan hak peserta didik untuk memeroleh layanan belajar yang
benar. Namun, dalam kenyataan di lapangan kegiatan praktikum tidak diberikan
seperti yang diharapkan oleh kurikulum. Hal ini diakui, baik oleh guru, pengawas,
kepala sekolah maupun siswa sesuai dengan pernyataan yang diambil dari petikan
wawancara berikut.
“Nah kalau di praktikum kita laksanakan di laboratorium, memang tidak
semua topik bisa dipraktikumkan, ada beberapa misalnya elektrolisis,
sebagian kita praktikumkan, dan juga melakukan observasi ke tukang sepuh,
kemudian anak-anak mempresentasikan” (wawancara GS4, tanggal 5 Januari
2012).
Tuturan yang sejenis juga disampaikan oleh pengawas yang mendukung
pernyataan guru sebagai berikut.
160
“Guru itu harus pintar-pintar apakah program itu bisa dilaksanakan atau tidak,
sesuaikan dengan waktu, apalagi kelas tiga, Januari ini sudah habis waktu
sudah mulai untuk mengejar, untuk kegiatan pemantapan, yaa kita masih
prioritasnya ke tes Pak/ ke ujian secara umum, tidak bisa semua dilakukan
eksperimen” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).
Ada beberapa alasan disampaikan oleh guru mengenai keterbatasan praktikum
yang dilaksanakan, di antaranya keterbatasan alat dan bahan, keterbatasan waktu.
Ungkapan guru menyatakan jika melakukan praktikum, pekerjaan lebih banyak
terutama dalam persiapan, kemudian ujian nasional tidak terlalu menuntut praktikum.
Sementara itu, dinyatakan kelulusan siswa sangat ditentukan oleh hasil ujian nasional
yang lebih menekankan penguasaan pengetahuan teori dan soal-soal hitungan.
Kondisi ini yang menjadikan kegiatan pengayaan teori, latihan menjawab soal lebih
banyak dilakukan, dengan mengurangi perhatian terhadap praktikum.
Praktikum dalam kondisi sekarang ini dapat dikatakan sebagai proses
pembelajaran yang tidak populer, baik di mata guru, maupun pimpinan sekolah.
Guru, dan pimpinan sekolah lebih mengutamakan persiapan ujian nasional dengan
mengurangi pembelajaran praktikum dengan harapan siswa berhasil di dalam ujian
nasional untuk memeroleh nilai yang tinggi. Di dalam persiapan ujian nasional, siswa
diajak latihan soal-soal, dan dibekali strategi-strategi menjawab soal dengan cepat.
Kondisi seperti ini tidak lepas dari tuntutan pihak Pemerintah Daerah melalui Diknas
setempat yang mengharapkan keberhasilan siswa dalam menempuh ujian nasional.
Salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan bidang pendidikan menurut
Pemda adalah keberhasilan siswa di sekolah-sekolah menempuh ujian nasional.
161
Keadaan ini menandakan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang memengaruhi
sistem yang lebih kecil. Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan di atas berarti
pelaksanaan proses pembelajaran kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar
dalam status RSBI kualitasnya rendah belum optimal.
Pedagogik kritis menekankan kepada pembentukan kemampuan analisis serta
kemajuan yang dicapai melalui berpikir reflektif. Berpikir kritis tidak bisa menerima
status quo, tetapi perubahan yang terus menerus, Sehingga antara pribadi dan
lingkungannya terjadi suatu dialog yang dinamis. Dialog yang dinamis hanya terjadi
di dalam pengalaman. Oleh sebab itu, kelompok pendidikan progresif menekankan
kepada mencari pengalaman, belajar dari pengalaman. Proses pendidikan bukanlah
suatu proses menghafal fakta-fakta atau membiasakan diri untuk menempuh ujian
akhir, ujian negara. Akan tetapi, merupakan suatu pengalaman hidup yang nyata
dengan menghadapi masalah-masalah riil serta memecahkannya yang diikuti dengan
tindakan “learning by doing” (Tilaar, 2006).
Pembelajaran praktikum dilaksanakan dengan intensitas yang rendah, tidak
sesuai dengan yang direncanakan oleh guru, padahal merupakan amanat kurikulum.
Pengalihan pembelajaran lebih banyak menekankan pada persiapan menghadapi ujian
nasional. Ini berarti bahwa guru telah mengingkari kurikulum, mengebiri hak siswa
dalam hal perolehan pengalaman praktikum. Sikap kritis, kemandirian, dan
profesionalisme guru, mengalami degradasi hanya untuk memenuhi harapan
penguasa dalam motif mempertahankan status quo.
162
Mantan Menteri Pendidikan, Fuad Hassan, pernah menyatakan bahwa tanpa
guru yang kreatif dan dapat diandalkan penguasaan materinya mustahil suatu sistem
pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil yang
diidealkan. Kurikulum memang penting, tetapi bisa berhenti sebagai perangkat mati
yang masih membutuhkan sosok-sosok guru untuk menerjemahkannya dalam praksis
pendidikan (Kartono, 2009). Jadi, dalam konteks ini, agar penerapan kurikulum
mencapai hasil yang ideal, diperlukan guru yang kreatif, kritis, berani, dan kompeten.
5.3 Penilaian Pembelajaran Kimia
Tugas utama guru di samping membuat perencanaan pembelajaran, dan
melaksanakan kegiatan pembelajaran juga wajib melakukan asesmen. Asesmen pada
hakikatnya adalah proses pengumpulan data secara sistematis tentang kinerja siswa,
program pendidikan, dan kebijakan pendidikan yang digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Kegiatan asesmen yang
dilakukan oleh guru berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar adalah pengumpulan
data atau informasi tentang kinerja siswa untuk pengambilan keputusan mengenai
pebelajar.
Jenis asesmen yang dilakukan oleh guru, antara lain asesmen proses dan hasil
belajar. Asesmen proses dilakukan dengan portofolio, asesmen perilaku dalam
pembelajaran mestinya dilakukan dengan observasi, tetapi sangat terbatas. Asesmen
hasil belajar dilakukan dengan tes harian, tes tengah semester, dan tes akhir semester.
Berdasarkan data hasil asesmen selanjutnya diolah kemudian dilakukan penilaian.
163
Guru melakukan penilaian dengan maksud melihat apakah usaha yang dilakukan
melalui pembelajaran sudah mencapai tujuan. Penilaian dilakukan oleh guru terhadap
hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik. Di
samping itu, juga digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil
belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Kualitas proses penilaian pembelajaran
kimia mengacu pada Permendiknas No 41, Tahun 2007 tentang standar proses pada
unsur penilaian proses pembelajaran.
Untuk mengetahui aspek penilaian pembelajaran kimia dilakukan dengan
pencermatan/penilaian dokumen, wawancara, dan observasi. Pencermatan dokumen
dilakukan dengan cara mencermati, dan menilai dokumen rencana pelaksanaan
pembelajaran yang berkaitan dengan aspek evaluasi dan rubrik penilaian. Wawancara
dilakukan kepada guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa dengan pertimbangan
bahwa guru sebagai pelaksana penilaian pembelajaran, kepala sekolah sebagai
pengawas internal di sekolah, pengawas adalah petugas yang mengawasi dan
membina guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, dan siswa sebagai subyek
yang menghadapi proses penilaian tersebut. Observasi di kelas atau di laboratorium
dimaksudkan untuk melihat guru melakukan asesmen proses pembelajaran.
Guru dalam melakukan proses penilaian sudah berusaha melakukan dalam
tiga domain, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Proses penilaian dilakukan
dalam bentuk tes harian, tes tengah semester dan tes akhir semester. Guru juga
melakukan penilaian portofolio. Hal yang diuraikan tersebut di atas seperti
pernyataan guru berikut yang diambil dari hasil wawancara.
164
“Kalau saya, penilain itu dikategorikan menjadi dua, yaitu selama proses
pembelajaran dan setelah proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran
kita lebih banyak ke ranah kognitif dan psikomotor, kalau setelah proses
pembelajaran baru penilaian kognitifnya. Jenisnya seperti ulangan harian,
ulangan tengah semester, kuis, pretes, postes, kalau bentuknya, ada tes dan
nontes seperti observasi dan bertanya langsung” (wawancara GS1, tanggal 4
Oktober 2011 dan wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011).
Pernyataan tersebut di atas diperkuat lagi dengan hasil wawancara dengan
guru lain yang menuturkan sebagai berikut.
“Penilaian ada tiga, yakni penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk
kognitif kita gunakan tes tulis, ada ulangan harian, ada ulangan blok, ada
ulangan semester. Penilaian afektif dilihat dalam keseharian, minatnya,
responsnya. Kalau psikomotor, kita gunakan rubrik penilaian psikomotor dan
pembuatan laporan, dalam praktikum” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober
2011).
Berkaitan dengan jenis penilaian guru menyatakan dari petikan wawancara
sebagai berikut.
”Kalau penilaian proses pembelajaran, melalui pengamatan, aktivitasnya.
Pertama aktivitas di kelas, kemudian dari tugas-tugas dan hasil tes. Kalau
ulangan harian, kita pakai tes esei, kalau tes tengah semester, tes obyektif
(pilihan). Kadang-kadang kita ambil juga tes-tes pendalaman yang menggali
pada nalar atau mungkin yang berkaitan dengan aplikasi” (wawancara GS3,
tanggal 4 Oktober 2011).
Hal senada juga dikemukakan oleh kepala sekolah dan pengawas mengenai
proses penilaian yang dilakukan di sekolah. Penilaian untuk bidang studi sepenuhnya
diberikan kepada guru. Pernyataan yang disampaikan sebagai berikut.
”Tes di sekolah ada tes harian diserahkan sepenuhnya kepada guru kemudian
ada tes tengah semester dan tes akhir semester” (wawancara KSG, tanggal 11
Januari 2012).
Kalau dari segi penilaian sudah dilakukan baik tes maupun nontes, ada tes
tengah semester, tes akhir semester, dan sifatnya komplit ada kognitif,
165
afektifnya nanti dengan penilaian karakter langsung ada penilaian sikap”
(wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).
Menurut informasi dari siswa bahwa penilaian dilakukan dari beragam cara
yaitu nilai harian, nilai tugas, nilai interaksi, nilai ulangan, nilai ulangan tengah
semester dan nilai ulangan akhir semester. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan
siswa berikut ini.
”Ada penilaian tugas, nilai interaksi, jadi interaksi itu paling mempengaruhi,
ada ulangan juga. Kalau nilai ulangan dikasi tahu, kalau nilai kita kecil kita
termotivasi untuk menjadi lebih baik. Kalau guru memberikan tugas kan pasti
dinilai untuk membantu nilai-nilai ulangan yang jelek” (wawancara SG1,
SG2, tanggal 12 Oktober 2011).
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil wawancara pada siswa lain dengan
ungkapan sebagai berikut.
”Penilaian dilakukan dari tes, dari keaktifan di kelas, sering kita nanya sama
guru, dari tugas keseharian, laporan juga dan ketepatan kita mengumpul juga
dinilai. Kalau mengumpul tugas tepat waktu dan bagus, nilainya pasti besar.
Kalau saya pengalaman dari kelas X dan kelas XI nilai keseharian kita, nilai
keaktifan di kelas, dari nilai laporan, dari nilai praktikum, tugas” (wawancara
SS2, SS3, tanggal 27 Oktober 2011).
Rangkuman informasi mengenai penilaian yang dilakukan guru kimia yang
disampaikan oleh beberapa informan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas,
dan siswa sebagai berikut. Penilaian dilakukan dalam tiga domain yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor. Penilaian kognitif cukup bervariasi, dilihat dari bentuk dan
jenis penilaian. Guru melakukan penilaian dalam bentuk tes dan nontes. Penilaian
dalam bentuk tes dilakukan dalam pembelajaran keseharian sebagai tes harian, tes
tengah semester, dan tes akhir semester. Penilaian nontes diberikan dalam bentuk
tugas-tugas, dan pekerjaan rumah sebagai penilaian portofolio, yang dikerjakan dalam
166
buku khusus kumpulan tugas siswa. Hasil penilaian digunakan sebagai pedoman
untuk melaksanakan remedi, perbaikan pembelajaran, dan laporan hasil studi peserta
didik.
Pencermatan terhadap dokumen yang terkait dengan penilaian, di antaranya
rencana pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut. Di dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran, ada bagian yang memaparkan alat evaluasi dan rubrik
penilaian. Secara teoretis soal-soal yang tertera di dalam alat evaluasi tersebut harus
terkait dan merupakan alat ukur tercapainya standar kompetensi dan kompetensi
dasar, yang diturunkan dalam bentuk indikator hasil belajar dan tujuan pembelajaran.
Soal-soal yang dipaparkan dalam alat evaluasi tersebut sesuai dengan konsep materi
pelajaran. Hasil pencermatan terhadap dokumen perangkat pembelajaran yang terkait
dengan penilaian, ternyata bahwa alat penilaian yang dibuat oleh guru sudah sesuai
dengan apa yang mestinya dinilai. Soal-soal yang dibuat telah mencerminkan alat
ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. Keseluruhan soal yang dibuat sudah
sesuai dan dapat dipakai mengukur tercapainya kompetensi dasar, dalam pokok
bahasan yang dibelajarkan.
Penilaian
domain
afektif
yang
direncanakan
di
dalam
perangkat
pembelajarannya antara guru yang satu dan guru lain beragam, baik dari segi format
maupun aspek-aspek yang dinilai. Aspek-aspek yang dinilai pada salah satu rencana
pelaksanaan pembelajaran, yaitu aspek disiplin, aktivitas, kerja sama, kejujuran, dan
etika. Di dalam rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru lain aspekaspek yang dinilai adalah aspek kerja sama kelompok (pengelolaan), prakarsa dalam
167
melakukan praktikum (penilaian), kemauan bertanya (penerimaan), menunjukkan
hasil
yang
positif
(penghayatan),
dan
mempresentasikan
hasil
praktikum
(penanggapan).
Penilaian domain psikomotor di dalam perangkat pembelajarannya antara
guru yang satu dan guru lain beragam, baik dari segi format maupun aspek-aspek
yang dinilai. Aspek-aspek yang dinilai pada salah satu format penilaian psikomotor,
yaitu aspek menggunakan alat dan bahan, penggunaan prosedur kerja, cara
melakukan pengamatan, cara mengakhiri proses, mengembalikan alat dan bahan. Di
dalam rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru lain, aspek-aspek psikomotor
dalam kegiatan diskusi kecil, yaitu melakukan diskusi dengan aktif, berani
mengemukakan pendapat, tidak mengganggu jalannya diskusi, mempresentasikan
hasil diskusi secara terstruktur, ilmiah, dan terbuka.
Pada saat dilakukan observasi pembelajaran di kelas penilaian domain afektif
tidak dilakukan dan guru juga tidak membawa pedoman penilaian. Penilaian domain
afektif semestinya berlangsung, baik ketika dalam proses pembelajaran di kelas
maupun tidak dalam keadaan di kelas. Guru ketika melakukan penilaian domain
afektif seharusnya menggunakan pedoman atau rubrik penilaian yang dikembangkan
sendiri sesuai dengan persepsi setiap guru.
Beberapa guru yang diobservasi pada saat melaksanakan praktikum tidak
melakukan penilaian domain psikomotor. Penilaian domain psikomotor semestinya
dilakukan, pada saat pembelajaran di laboratorium. Ketika melakukan penilaian
domein psikomotor guru seharusnya menggunakan pedoman atau rubrik penilaian
168
yang dikembangkan sendiri sesuai dengan persepsi setiap guru. Namun, dalam
kenyataan di kelas tidak dilakukan, tetapi nilai psikomotor di dalam raport siswa ada.
Secara konseptual yang ada dalam pikiran guru tentang kegiatan penilaian
sudah bagus dan sesuai dengan standar yang ditetapkan, tetapi hal tersebut baru
terlihat dalam perencanaan pembelajaran. Dalam kenyataan praktik penilaian, baik di
kelas maupun di laboratorium, tidak semua jenis asesmen dan penilaian yang
direncanakan dapat dilakukan dengan baik. Guru belum melakukan asesmen sikap
dan kinerja seperti yang direncanakan. Namun, guru telah melakukan asesmen hasil
belajar dengan baik untuk menilai domain kognitif siswa.
Di dalam Permendiknas No. 41, Tahun 2007 disebutkan bahwa penilaian
dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian
kompetensi peserta didik. Di samping itu, digunakan sebagai bahan penyusunan
laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian
dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan
nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap,
penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian
diri.
Kunandar (2007) mengemukakan bahwa penilaian dalam pembelajaran
meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif
berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan
menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan
mengevaluasi. Ranah afektif mencakup watak perilaku, seperti perasaan, minat,
169
sikap, emosi, dan nilai. Kompetensi siswa pada ranah afektif terkait dengan
kemampuan menerima, merespon, menilai, mengorganisasi, dan memiliki karakter.
Kompetensi siswa pada ranah psikomotor menyangkut kemampuan melakukan
gerakan refleks, gerakan dasar, gerakan persepsi, gerakan berkemampuan fisik,
gerakan terampil, gerakan indah dan kreatif. Dalam hubungannya dengan penilaian
psikomotor, Leighbody (dalam Mulyasa, 2008) mengemukakan elemen-elemen
keterampilan yang dapat diukur yaitu, (1) kualitas penyelesaian pekerjaan, (2)
keterampilan
menggunakan
alat-alat,
(3)
kemampuan
menganalisis
dan
merencanakan prosedur kerja sampai selesai, (4) kemampuan mengambil keputusan
berdasarkan aplikasi informasi yang diberikan, dan (5) kemampuan membaca,
menggunakan diagram, gambar-gambar, dan simbol-simbol.
Beberapa indikator kompetensi ranah kognitif di antaranya mengemukakan
arti, membuat daftar, mendeskripsikan sesuatu, menceritakan sesuatu, menguraikan
sesuatu yang terjadi, memgungkapkan gagasan, membedakan, membandingkan,
menginterpretasi data, menjelaskan gagasan pokok, menceritakan kembali dengan
kata-kata sendiri, mengidentifikasi, merumuskan masalah, menemukan penyelesaian
masalah, memprediksi, menyusun kriteria penilaian, memilih solusi terbaik, dan
menyarankan strategi baru. Indikator kompetensi ranah afektif, misalnya senang
membaca, senang mengerjakan soal, senang menulis, bertanggung jawab dalam
mengerjakan tugas, menaati aturan, mengungkapkan perasaan, menanggapi pendapat,
meminta maaf atas sesuatu kesalahan, menunjukkan empati, melakukan perenungan,
dan melakukan introspeksi. Indikator ranah afektif yang lain, yaitu mengapresiasi,
170
menghargai peran, menerima kekurangan dan kelebihan diri, memiliki karakter yang
ditunjukkan dengan rajin, tepat waktu, disiplin, mandiri, objektif dalam melihat dan
memecahkan masalah. Indikator dalam kompetensi ranah psikomotorik disesuaikan
dengan jenis pembelajaran/kegiatan yang dilakukan, seperti olahraga, menari, kerja
bengkel atau kerja laboratorium. Keterampilan dasar bermain bola berbeda dengan
menari atau kerja laboratorium. Oleh karena itu, indikatornya dapat dikembangkan
sesuai dengan kegiatan yang dilakukan yang menyangkut gerakan refleks, gerakan
dasar, gerakan terampil, gerakan indah dan kreatif (Kunandar, 2007).
Mengomparasi antara yang dituangkan di dalam standar penilaian dan teori,
dengan kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru, diinterpretasi bahwa kalau
dilihat dari sisi bentuk penilaian, program penilaian, jenis alat evaluasi, dan tujuan
penilaian dalam penilaian ranah kognitif, sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan
standar. Namun, penilaian pada ranah afektif dan psikomotor belum dilakukan secara
maksimal. Jadi, dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran pada domain kognitif
yang dilakukan guru kualitasnya baik, tetapi penilaian pembelajaran pada domain
afektif dan psikomotor kualitasnya masih rendah. Pernyataan guru berikut ini sebagai
pertanda belum optimalnya penilaian afektif dan psikomotor dilakukan.
”Ada 18 karakter, sebenarnya sudah ada di dalamnya sekarang cuma diekspos
keluar, oleh pengawas juga masih berbeda yang mana yang benar, ada yang
menulis dalam kurung setelah indikator, ada yang dibuat dalam kolom
tersendiri. Penilaian praktikum pasti dengan karakter, tidak mungkin tanpa
karakter, kami ada kesulitan dalam membuat rubriknya. Untuk psikomotor
juga ada p1, p2, p3 kita juga belum paham” (wawancara GS1, GS2, tanggal 4
Oktober 2011).
171
Guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN1 Gianyar lebih mengutamakan
penilaian pada ranah kognitif. Pengutamaan penilaian ranah kognitif dilakukan
karena adanya tuntutan agar siswa memeroleh nilai tinggi ketika menghadapi ujian
nasional. Tuntutan ini datang dari pihak pemerintah melalui pimpinan di sekolah.
Harapan keberhasilan siswa pada ujian nasional juga datang dari masyarakat terutama
orang tua siswa. Pengutamaan penilaian ranah kognitif yang dilakukan guru berkaitan
dengan keinginan dalam mempertahankan keunggulan siswa pada ajang lomba-lomba
akademik, misalnya olimpiade sains, olimpiade kimia, dan sejenisnya. Pada ujian
nasional dan ajang lomba akademik, ukuran keberhasilan lebih banyak ditentukan
oleh kemampuan kognitif. Guru, dan pihak sekolah di SMA yang sudah mempunyai
keunggulan ketika mengikuti lomba-lomba akademik dan ujian nasional, senantiasa
ingin mempertahankan citra unggul tersebut di masyarakat. Kondisi dan pola berpikir
guru dan pimpinan sekolah yang mengutamakan kemampuan kognitif menyebabkan
adanya pengebirian penilaian kemampuan afektif dan psikomotor. Padahal, dalam
konteks mencerdaskan kehidupan bangsa perlu mengasah seluruh potensi yang
dimiliki siswa sehingga memiliki kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang
seimbang.
5.4 Pengawasan Pembelajaran Kimia
Pengawasan adalah salah satu unsur dalam pengelolaan pembelajaran di kelas.
Pengawasan dalam pembelajaran dilakukan oleh pengawas dari Diknas setempat dan
kepala sekolah atau pimpinan lain di sekolah. Mekanisme pengawasan yang mesti
172
dilakukan, yaitu pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Untuk
mengetahui pengawasan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1
Gianyar ditelusuri dengan wawancara kepada guru, kepala sekolah, dan pengawas.
Dasar pertimbangan mewawancarai guru karena guru yang dikenai objek diawasi,
sementara itu kepala sekolah dan pengawas adalah orang yang berkewajiban
melakukan pengawasan pembelajaran. Materi wawancara difokuskan pada bentuk
pengawasan, intensitas pengawasan, dan hal-hal yang terkait.
Menurut pandangan guru kimia bahwa pengawasan dari pihak luar dalam hal
ini yang ditugaskan oleh Diknas belum optimal. Pengawas lebih menekankan pada
administrasi berupa perangkat pembelajaran. Sementara itu pengawasan ke kelas
dalam proses pembelajaran sangat terbatas, hampir tidak ada. Proses pembimbingan
dilakukan secara umum yang terkait dengan aturan atau kebijakan yang baru dari
pemerintah, dan lebih banyak bersifat informasi. Ada yang sangat mengecewakan
guru ketika pengawas yang ditugaskan bukan dari bidang studi yang sesuai dengan
bidang kimia. Pernyataan guru mengenai pengawasan dari hasil wawancara sebagai
berikut.
”Pengawas di sini pak Sumara, satu semester paling satu kali Pak. Lebih dulu
dia menyampaikan perangkat pembelajaran yang disiapkan, kalau ada
informasi baru, disampaikan kepada kita” (wawancara GS1, tanggal 4
Oktober 2011).
Pernyataan tersebut di atas diperkuat lagi dengan ungkapan guru yang lain,
yang menyatakan sebagai berikut.
173
”Pengawasan dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah dan wakasek bidang
kurikulum. Untuk pengawasan tidak semua guru bisa diawasi saat
pembelajaran, hanya satu orang yang diawasi, terutama yang persiapan
sertifikasi (wawancara GS3 tanggal 4 Oktober 2011).
Terbatasnya pengawasan eksternal juga disampaikan oleh guru lain dari hasil
wawancara dengan tuturan sebagai berikut.
”Pengawasan dari pihak pengawas sangat minim Pak, kita maklumi karena
pengawasnya yang dulunya guru SD, beliau jurusan pendidikan
kewarganegaraan, tidak maksimum jadinya” (wawncara GG1, tanggal 18
Oktober 2011).
Pernyataan tersebut di atas didukung oleh ungkapan yang disampaikan guru
lain sebagai berikut.
“Saya berharap agar rutinlah diadakan pengawasan Pak, misalnya dalam satu
semester dua kali, tidak hanya sekedar datang kita hanya diminta mengisi
form, tolong diisi namanya, untuk supervisi, padahal tidak ada dilakukan.
Memang benar-benar mengawasi pembelajaran, jadi ada hal yang bisa
ditemukan, kita sering tidak tahu dimana kekurangan kita kalau tidak ada
yang mengawasi, perlu dinilai agar ada timbal baliknya” (wawncara GS2,
tanggal 4 Oktober 2011).
Menurut guru pengawasan lebih dirasakan manfaatnya yang dilakukan oleh
kepala sekolah. Kepala sekolah melakukan pengawasan secara tidak langsung melalui
cctv, melalui informasi dari siswa dan masyarakat. Kepala sekolah sering
memberikan bimbingan, peringatan, motivasi ketika dalam pertemuan mingguan di
sekolah. Keteladanan kepala sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap aktifitas
guru dalam pembelajaran. Hal ini seperti yang dikemukakan guru seperti berikut.
”Pengawasan lebih banyak dilakukan oleh pimpinan dan diri sendiri, jadi
pengawasan internal” (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011).
174
Pernyataan yang disampaikan di atas didukung juga oleh guru lain dalam
suatu wawancara dengan ungkapan sebagai berikut.
”Pengawasan oleh kepala sekolah, beliau jalan-jalan keliling kelas, kadang
dilihat lewat kamera “cctv” layarnya ada di ruang kepala sekolah. Saat ada
pertemuan guru dengan pimpinan diberikan pengarahan, misalnya jangan
terlalu banyak ceramahnya, gurunya ngomong di depan, siswanya lain-lain.
Kalau misalnya dalam lomba-lomba mata pelajaran tertentu kita tidak masuk
final, atau kalah dengan sekolah lain, guru-guru dikumpulkan oleh kepala
sekolah ditanya kenapa dalam lomba kita tidak masuk final atau kalah dengan
sekolah lain, dilakukan pengkajian bersama, diberikan pengarahan oleh kepala
sekolah” (wawancara GS, tanggal 4 Oktober 2011).
Hal senada juga diakui oleh kepala sekolah bahwa selalu berusaha memantau
dan melakukan pembinaan kepada guru, agar melaksanakan kewajiban dengan baik
dan berkualitas, seperti yang diungkapkan berikut ini.
”Di awal saya melihat perencanaannya, dibantu oleh teman-teman di bagian
kurikulum, dan teman di jaminan mutu dalam observasi kelas untuk melihat
pembelajaran yang dilakukan guru. Terkait dengan proses yang lain, temanteman di jaminan mutu yang mengecek misalnya ada piket, ada hal lain, itu di
rekap oleh bagian manajemen mutu, masukan-masukan guru yang tidak
mengisi, ada jam kosong, kalau memang ada teman-teman guru yang berada
di ambang batas normal, kita sikapi dengan melakukan pembinaan khusus,
kemudian yang normal normal kita lakukan pembinaan secara umum saja”
(wawancara KSG, tanggal 11 Januari 2012).
Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah seperti
pernyataan di atas diperkuat lagi dari tuturan kepala sekolah lain sebagai berikut.
”Saya selalu melakukan observasi, dari hasil observasi itu saya berharap
mendapatkan profesionalisme, ketika saya menugaskan seseorang, dasar saya
adalah profesionalisme, tidak berdasarkan konsep senior maupun yunior,
memang pada awalnya agak susah, yang senior protes kenapa orang baru
kemarin sore dijadikan koordinator ini? Pelan-pelan kita tanamkan bahwa
yang dipentingkan adalah profesionalisme, bukan senioritas. Setiap saat kita
mendapat informasi, bisa dari siswa, bisa dari masyarakat, di sini kita punya
pengaduan lewat sms. Misalnya kita melihat profesionalisme dalam mengajar,
175
kita dapat melihat seberapa banyak pengaduan dari siswa, bagaimana
kemampuan guru itu membuat murid senang untuk belajar. Kemudian
pengaduan dari orang tua” (wawancara KSS, tanggal 5 Januari 2012).
Dari pengawas sendiri mengakui proses pengawasan yang dilakukan sangat
jarang, karena harus bertugas di beberapa sekolah. Pernyataan yang disampaikan
sebagai berikiut.
”Saya biasanya memantau sebulan sekali, kecuali memang ada permintaan
khusus, ada keluhan-keluhan, atau ada hal yang perlu didiskusikan. Saya juga
membinanya dengan pembelajaran orang dewasa tidak mendikte, tidak ketat
yaa sebagai sahabatlah, kalau memang tidak ada yang urgen sekali, atau ada
hal yang sangat penting, kami datang sebulan sekali. Sering kalau kami ke
SMA 1 seperti ke rumah sendiri, nanti bisa bertanya ke guru-guru di sana.
Saya sering mengumpulkan guru-guru kimia se kabupaten di SMA 1 untuk
membuat sesuatu untuk keperluan pembelajaran kimia dalam bentuk seminar
di antara kita” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).
Merangkum informasi dari beberapa informan yang diwawancarai, yaitu guru,
kepala sekolah, dan pengawas dapat dipilah menjadi beberapa hal menurut bidang
keahlian pengawas, intensitas pengawasan, dan tindak lanjut pengawasan. Bidang
keahlian pengawas yang mengawasi guru kimia di SMAN 1 Singaraja adalah bidang
keahlian pendidikan kimia, dan pernah mengajar pelajaran kimia di SMA. Pengawas
guru
kimia
di
SMAN
1
Gianyar
dengan
bidang
keahlian
pendidikan
kewarganegaraan, beliau mantan guru sekolah dasar. Kompetensi pengawas satuan
pendidikan di SMAN 1 Singaraja sudah sesuai dengan guru bidang studi yang
diawasi, sedangkan pengawas satuan pendidikan di SMAN 1 Gianyar tidak sesuai
dengan guru bidang studi yang diawasi.
176
Mengenai intensitas pengawasan pembelajaran kimia, oleh pengawas satuan
pendidikan menurut guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar sangat
rendah. Guru berharap agar rutin diadakan pengawasan, tidak hanya sekadar datang
kemudian guru diminta untuk mengisi form, sebagai tanda bukti melakukan supervisi,
padahal tidak ada kegiatan itu dilakukan. Guru menyatakan bahwa pengawasan
sangat minim dilakukan karena pengawas yang bertugas mengawasi pembelajaran
kimia bukan bidang keahliannya.
Tindak lanjut proses pengawasan bagi yang sempat diawasi dalam proses
pembelajaran, untuk di SMAN 1 Singaraja diadakan diskusi, diberikan masukan
tentang materi, cara mengajar, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Namun,
kegiatan ini sangat minim dilakukan dengan alasan pengawas sudah percaya dengan
guru sehingga diharapkan untuk menilai diri sendiri. Pengawas lebih mementingkan
kelengkapan administrasi dibandingkan dengan pengawasan proses pembelajaran.
Kondisi di SMAN 1 Gianyar tidak pernah dilakukan pengawasan proses
pembelajaran kimia, sehingga tidak ada tindak lanjut yang jelas. Pengawas hanya
meminta kelengkapan administrasi, padahal guru berharap mendapatkan masukan,
atau pembinaan dari hasil pengawasan. Jadi, tindak lanjut proses pengawasan tidak
tampak dengan jelas.
Standar proses pengawasan yang tertera menurut Permendiknas No. 41,
Tahun 2007 yang intinya sebagai berikut. Pengawasan proses pembelajaran meliputi
kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Pemantauan
proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
177
hasil pembelajaran. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus,
pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi. Kegiatan
pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan,
dan
penilaian
hasil
pembelajaran.
Supervisi
pembelajaran
diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.
Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala sekolah dan pengawas satuan pendidikan.
Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas
pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Evaluasi proses
pembelajaran
diselenggarakan
dengan
cara
(a)
membandingkan
proses
pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar proses, (b) mengidentifikasi
kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru. Evaluasi
proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses
pembelajaran.
Dalam proses pelaporan hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi
proses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan. Tindak lanjut
kegiatan pengawasan sebagai berikut.
1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi
standar.
2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi
standar.
178
3. Guru diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran lebih lanjut
(Permendiknas No. 41, Tahun 2007).
Pengawasan dari pengawas satuan pendidikan sebagai perpanjangan tangan
dari Diknas kabupaten, kualitasnya sangat rendah baik dari kesesuaian bidang
keahlian, intensitas, maupun tindak lanjutnya. Pengawasan lebih mengutamakan
kelengkapan administrasi berupa perangkat pelajaran. Hal ini disebabkan oleh
kompetensi pengawas yang rendah, pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi
yang kurang, dan berorientasi pada formalitas, tidak pada kinerja. Keseriusan dari
pihak pemerintah melaksanakan pengawasan sesuai dengan standar proses, tampak
kurang serius. Pengawasan jika dilakukan dengan serius, semestinya pihak Diknas
menugasi para pengawas melakukan pengawasan, sesuai dengan bidang keahliannya.
Dengan demikian, pengawas akan berkompeten dalam melakukan evaluasi kinerja
guru yang diawasi. Sangat mustahil seorang pengawas yang melakukan supervisi dan
evaluasi pada guru bidang studi yang tidak dipahami karakter bidang studinya.
Ketidakseriusan dari pihak Diknas ini didukung oleh pernyataan guru yang
diambil dari wawancara sebagai berikut.
“...misalnya pernah dipanggil untuk pelatihan dilaksanakan, itu itu lagi
diomongkan, itu bagi-bagi duit, yang wajarlah itu yang ndak bisa kita terima,
bayangkan kalau di sini ada audit, di sana pernah ndak diaudit, sehingga saya
kalau datang ke sana tidak ingin lagi, apa yang dicari ke sana, kehilangan
waktu, uang berapa juta sebenarnya kita rugi, ujung-ujungnya duit. Yang
paling jelek sekarang di Provinsi, dalam era otonomi, seperti tidak ada link,
asal sudah mengadakan pelatihan “jeg ngoyong” (diam bengong di tempat
latihan/seperti program tidak serius) mula-mula mendaftar setelah itu ndak
ada yang “ngerunguang” (memperhatikan)”. Pelatihan dilaksanakan oleh
Diknas provinsi, sampai di sana, banyak jam kosong, jadi pelaksanaannya
179
tidak serius, terkesan hanya menghabiskan duit saja” (wawancara GG3,
tanggal 18 Oktober 2011).
Pelaksanaan sebuah program oleh pelaksana kebijakan yang tidak dilakukan
dengan serius dan tidak dapat dirasakan manfaatnya akan memengaruhi kinerja
struktur yang ada di bawahnya. Profesionalisme dan keteladanan sangat diperlukan
pada struktur di atas agar dapat ditiru oleh struktur yang di bawah. Kinerja struktur
yang di atas sangat besar pengaruhnya pada kinerja struktur yang di bawah.
Pengawas
satuan
pendidikan,
secara
teoretis
bertugas
melakukan
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Pengawas satuan
pendidikan melakukan tugas pokok mengawasi proses pembelajaran. Pengawasan
proses pembelajaran memerlukan keahlian dalam bidang yang diawasi. Kegiatan
supervisi dan evaluasi memerlukan kompetensi yang sesuai dengan bidang studi guru
yang diawasi. Pengawasan untuk proses pembelajaran kimia, semestinya dilakukan
oleh pengawas yang kompeten dalam bidang pembelajaran kimia.
Pemahaman guru tentang pengawasan secara sederhana, yakni apabila guru
melakukan kegiatan pembelajaran di kelas atau di laboratorium, ada pengawas yang
datang untuk melihat kegiatannya. Mekanisme kerja yang dilakukan pengawas mulai
dari pengarahan untuk persiapan pembuatan silabus dan rencana persiapan
pembelajaran. Selanjutnya, pada saat meminta kelengkapan administrasi dan
termasuk datang bertemu kepala sekolah atau pimpinan yang lain untuk mendapat
informasi dan sekaligus berdiskusi mengenai permasalahan pengelolaan pembelajaran
di sekolah. Tindak lanjut dari pengawasan dilakukan dengan berdiskusi dengan guru,
180
kemudian diberikan masukan dan arahan sehingga beberapa kelemahan yang
ditemukan dapat diperbaiki. Tindak lanjut berupa penguatan dan penghargaan belum
pernah dirasakan oleh guru, kalau teguran biasanya dilakukan secara umum dan
kegiatan pelatihan/penataran guru dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pengawasan internal yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pimpinan lain
cukup intensif untuk seluruh guru, dengan melakukan pengawasan secara umum.
Pemantauan, supervisi, evaluasi, dan tindak lanjut dilakukan secara umum dan
dilakukan pembinaan pada saat rapat guru dan pertemuan-pertemuan lain.
Pengawasan yang paling menonjol adalah evaluasi terhadap kelengkapan administrasi
guru, catatan aktivitas, jurnal kegiatan, jurnal pembelajaran yang tercatat dengan
format yang telah disediakan oleh bagian manajemen mutu.
Motivasi dan pembinaan oleh kepala sekolah memberikan arti yang lebih
bermakna bagi guru. Pengarahan yang dilakukan oleh kepala sekolah menjadikan
guru bangkit dan termotivasi ”jengah” untuk melakukan kewajiban yang baik. Hal ini
seperti dikemukakan guru yaitu sebagai berikut.
”Pak Man Darta (kepala sekolah) yang mampu memberikan motivasi kepada
guru-guru, di awal beliau yang memberikan contoh seperti itu. Contohnya
yang begitu dari Pak Darta, sehingga kami malu jika tidak berbuat.
Keteladanannya bagus dari beliau, nasehatnya bagus. Kalau di belakang
panggung ada beberapa yang “ngeremon” (mengeluh), terutama yang terkait
insentif-insentif, ia membandingkan dengan sekolah lain. Tapi Pak Darta
sangat bijak menyampaikan, toh juga kita selalu lebih baik, jangan lihat itu,
nanti pahalanya di belakang, he he, tetap motivasinya seperti itu” (wawancara
GS1, tanggal 4 Oktober 2011).
181
Berdasarkan informasi tentang proses pengawasan yang dilakukan oleh pihak
sekolah dapat dikatakan bahwa kegiatan pengawasan secara umum sudah dilakukan
dengan cukup baik. Pengawasan yang cukup baik ini terutama dilakukan oleh
pengawas internal sekolah, yaitu kepala sekolah, wakil pimpinan. Kegiatan
pengawasan ini terutama dalam rangka penerapan manajemen ISO 2000. Penerapan
model manajemen ISO ini menuntut setiap kegiatan tercatat dan teradministrasi
dengan baik, dengan mekanisme yang jelas. Setiap kegiatan yang dilakukan harus
terukur sesuai dengan pedoman jaminan mutu yang telah ditetapkan. Namun,
pengawasan khusus mengenai pengelolaan pembelajaran kimia tidak dilakukan
secara terstruktur karena model pengawasannya bersifat umum.
5.5 Pembahasan
Berdasarkan kajian terhadap proses pengelolaan pembelajaran kimia yang
meliputi
perencanaan
pembelajaran,
pelaksanaan
pembelajaran,
penilaian
pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat dinyatakan
bahwa pelaksanaan standar proses dalam pengelolaan pembelajaran kimia dipilah
menjadi bagian yang kualitasnya sudah memenuhi standar dan ada bagian yang
kualitasnya belum memenuhi standar. Penerapan standar proses yang kualitasnya
sudah memenuhi standar, yaitu aspek perencanaan pembelajaran, penilaian dalam
ranah kognitif, dan pengawasan internal oleh kepala sekolah. Kegiatan perencanaan
pembelajaran kualitasnya memenuhi standar, baik dari segi proses maupun produk
yang dihasilkan.
182
Penerapan standar proses yang belum memenuhi standar dengan kualitas yang
rendah yaitu, aspek pelaksanaan proses pembelajaran, aspek penilaian dalam ranah
afektif dan psikomotor, serta aspek pengawasan eksternal. Jadi, dari empat komponen
yang tertera di dalam standar proses, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan proses pembelajaran ternyata hanya dalam aspek perencanaan yang
memenuhi standar dengan kualitas yang baik. Aspek pelaksanaan pembelajaran,
penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran belum memenuhi standar dan
kualitasnya rendah.
Dekonstruksi sebagai metode interpretasi mungkin berimplikasi bahwa teks
yang
terdekonstruksi
tersebut
sesungguhnya
menghapus
kekacauan
dan
ketakmenentuan dengan teknik dekonstruktif. Dekonstruksi adalah strategi mengurai
teks yang berarti mengurai, melepaskan, membuka, lebih dimaksudkan sebagai
strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks. Berdasarkan hal
tersebut maka interpretasi dari fenomena yang diperoleh mengenai pengelolaan
pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status
RSBI sebagai berikut.
Kualitas pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal ini disebabkan oleh
pola berpikir guru yang lebih berorientasi pada ranah kognitif dan pemenuhan
kelengkapan administrasi. Pola berpikir guru yang berorientasi pada ranah kognitif
dipengaruhi oleh pola berpikir dan tuntutan dari struktur yang lebih di atas yaitu
pimpinan di sekolah dan dari pihak pemerintah. Hal lain yang menyebabkan belum
optimalnya pengelolaan pembelajaran kimia adalah profesionalisme guru yang
183
rendah, profesionalisme pengawas juga rendah. Artinya kepercayaan diri sebagai
seorang profesional yang mandiri, kreatif, dan memahami tugas pokok dan fungsi
belum optimal.
Pola berpikir guru yang senantiasa patuh dengan struktur di atas, terkait
dengan permainan kekuasaan yang hegemonik. Titik awal konsep Antonio Gramsci
tentang hegemoni dinyatakan bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Di
dalam permasalahan di atas sangat jelas terlihat bahwa siswa terhegemoni dan
mengalami kekerasan simbolik dan persuasif oleh guru, kemudian guru terhegemoni
oleh kepala sekolah, sementara itu, kepala sekolah terhegemoni oleh pihak
pemerintah. Di sini telah terjadi hegemoni terstruktur yang tidak kasat mata, sebagai
sebuah kesepakatan bersama. Kondisi ini mengakibatkan siswa telah kehilangan
sebagian haknya untuk memeroleh pengalaman belajar yang lengkap, dalam rangka
pengembangan potensi dirinya secara menyeluruh dan seimbang.
Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya ada nilai dan kepentingan
kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya, sebagai telah menjadi milik
mereka sendiri dan telah disetujui. Dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas
lainnya, lewat keberhasilannya menanamkan pandangan hidup, relasi sosial, serta
hubungan kemanusiaannya sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar
atau alamiah oleh orang-orang yang sebetulnya tersubordinasi. Pelaksanaan hegemoni
dan keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan terjadi
melalui proses belajar atau dapat terjadi karena hubungan pendidikan (educational
184
relationship). Hubungan pendidikan ini yang membentuk masyarakat madani yang di
dalamnya terletak dasar dari kekuasaan. Di sinilah terletak peran lembaga-lembaga
sosial ideologis, seperti hukum, pendidikan, media massa, agama, dan yang lain
sebagai arena pergulatan hegemoni. Dilihat dari segi ini, ternyata bahwa lembagalembaga sosial, seperti sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya tidak akan
pernah netral, tetapi merupakan perekat dari hegemoni dalam masyarakat. Dengan
kata lain, hegemoni terikat kepada kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Teori
Gramsci mengenai hegemoni sangat berpengaruh dalam perumusan kebijakan
pendidikan, yaitu (1) perang posisi dan (2) demokratisasi kehidupan sosial (Tilaar dan
Nugroho, 2009).
Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi di
sini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat
pribadi, sosial, maupun akademis. Dengan kata lain guru yang profesional adalah
orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan
maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik
serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar, 2007:50).
Kemampuan dasar profesionalisme guru meliputi menguasai bahan mata
pelajaran dan kurikulum, mengelola program belajar, mengelola kelas, menggunakan
media dan sumber belajar, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi
belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal
185
fungsi
dan
program
pelayanan
bimbingan
konseling,
mengenal
dan
menyelenggarakan administrasi sekolah, serta memahami prinsip-prinsip dan
menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk keperluan pengajaran.
Keberhasilan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan di sekolah
sangat ditentukan oleh guru karena bagaimanapun baiknya sarana pendidikan jika
guru tidak memahami dan melaksanakan tugasnya dengan baik, hasil implementasi
kurikulum (pembelajaran) tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, peningkatan
kompetensi dan profesionalisme guru akan mendukung suksesnya implementasi
KTSP (Mulyasa, 2008:180). Dalam hubungannya dengan usaha meningkatkan
profesionalisme, di samping peningkatan kompetensi diri diperlukan keberanian
untuk mengatakan yang benar yang diyakini sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Download