Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line

advertisement
MENTRADISIKAN KESANTUNAN BERBAHASA:
UPAYA MEMBENTUK GENERASI BANGSA YANG BERKARAKTER
Ika Mustika
STKIP Siliwangi, Bandung
Alamat Kontak:Jln.Terusan Jenderal Sudirman, Kebon Rumput Cimahi-Bandung
(022)6658680. pos-el:[email protected]
Abstrak
Pembentukkan karakter menjadi hal yang sangat penting saat ini karena banyak
perilaku bangsa yang dipertanyakan keabsahannya sebagai karakter bangsa terlebih
adanya pergeseran zaman menuju arus globalisasi semakin deras. Kehidupan
berbangsa menjadi semakin kehilangan jatidirinya. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengembalikan karakter bangsa tersebut agar kehidupan berbangsa menjadi kukuh
kembali. Salah satu cara melalui penggunaan bahasa yang santun (kesantunan
berbahasa). Bahasa Indonesia saat ini selain sebagai alat pemersatu juga menjadi
jatidiri dan karakter dari bangsa Indonesia. Jatidiri dan karakter ini akan berubah
menjadi kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam
pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar
kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu
upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma
berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang
ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat
dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa. Tulisan ini,
menyajikan sebuah pemikiran sederhana mengenai bentuk-bentuk perilaku
kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan di lingkungan pendidikan formal
maupun informal.
Kata kunci: Kesantunan Berbahasa, Generasi yang Berkarakter
Character Building tend to be very important nowadays since the validity of people’s
behaviors as the real characters of our nation are questionable, further more due to
the shifting of the era toward a complicated globalized era. The real character of this
nation is getting biased. Any efforts are committed to return such a character in order
that the life of this nation is getting hefty. One of the efforts is through the use of
language politeness. Nowadays, Bahasa Indonesia has two functions namely as a
means of uniting the nation and as the character of the nation as well. The
genuineness and this character may turn into language politeness. Language
politeness refers to an initial aspect of someone’s character building as a reflection
of a nation. In order that such a politeness becomes a tradition in Indonesian society,
an effort of accustoming character building is needed. To keep obeying the norms of
language use may turn the generation to be more obedient to the social order of
society enclosed in Bahasa Indonesia. The domain of formal and informal education
can be a medium of accustoming language politeness. This paper presents a simple
thinking about language politeness realization that can be implemented in the
atmosphere of formal and informal education.
1|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Key words: Language Politeness, Characterized Generation
1. PENDAHULUAN
Era globalisasi tengah melanda berbagai negara dan merambah segenap
kehidupan manusia. Kondisi ini menyebabkan suatu negara harus menjalin kerjasama
dengan bangsa lain. Bahasa merupakan sarana yang efektif dalam menjalin kerjasama
tersebut. Saat ini, bahasa bukan sekedar sebagai aspek fungsional tetapi memiliki
peran sebagai identitas suatu bangsa serta mencerminkan peradaban suatu bangsa.
Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia saat ini selain
berfungsi sebagai alat pemersatu juga menjadi jatidiri dan karakter dari bangsa
Indonesia. Dalam konteks inilah kesantunan berbahasa berperan membentuk karakter
seseorang.
Sebuah ungkapan menyebutkan “bahasa mencerminkan kepribadian
seseorang”. Artinya, dengan bahasa kita dapat menilai karakter seseorang. Jika
penggunaan bahasa kita baik dan penuh kesantunan maka pencitraan diri kita pun
sebagai pribadi yang baik dan berbudi, sementara itu apabila penggunaan bahasa kita
tidak memenuhi etika berbahasa yang santun maka pencitraan diri kita pun menjadi
buruk. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur pribadi
yang berkarakter. Sekaitan dengan itu, mentradisikan kesantunan berbahasa melalui
lingkungan pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus
dilakukan untuk menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi yang
berkarakter diperlukan dalam menghadapi era globalisasi.
2. PEMBAHASAN
2.1 Jatidiri Bangsa dan Karakter Bangsa
Jatidiri dan karakter merupakan dua istilah yang berbeda meskipun
penggunaannya sering dipertukarkan. Jatidiri memiliki pengertian ciri-ciri, gambaran,
atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas (KBBI, 2008:570).
Karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain; tabiat; watak (KBBI, 2008:623). Jadi, Jatidiri merupakan
identitas seseorang dengan segala ciri-cirinya yang merupakan fitrah manusia sebagai
2|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
pemberian dari Tuhan. Sementara itu, karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dan
terejawantahkan dalam prilaku yang membedakan seseorang dari yang lain.
Karakter merujuk pada tingkah laku seseorang. Sebagai contoh, apabila
seseorang berprilaku tidak jujur atau
kejam dapatlah dikatakan orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur,
bertanggu jawab, suka menolong tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter
baik/mulia. Jadi, Istilah karakter erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku yang
bersifat personality. Seseorang disebut berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai
kaidah moral. Soedarsono (2008:97) menjelaskan karakter merupakan nilai-nilai yang
terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan
pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia sehingga
menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi
pemikiran, sikap dan perilaku.
Dengan demikian, karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, perilaku atau
perbuatan yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas tiap individu.
Dengan kata lain, karakter tidak muncul dengan sendirinya akan tetapi harus dibentuk.
Proses pembentukannya dipengaruhi oleh faktor nature (bawaan, fitrah) dan nurture
(sosialisasi dan pendidikan). Artinya potensi karakter yang baik dimiliki manusia
sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui
sosialisasi dan pendidikan (Muslich,2011:97). Dalam hal ini diperlukan pembiasaan.
Pembiasaan dalam pemikiran (habits of mind), pembiasaan dalam hati (habits of
heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of action) (Lickona, 2004:7).
Lingkungan pendidikan formal maupun lingkungan pendidikan informal dapat
dijadikan sebagai sarana yang tepat dalam melalukan proses pembiasaan ini. Selain
dibiasakan juga ditanamkan pada diri individu untuk memiliki keinginan berbuat baik
(desiring the good). Muslich (2011:135) menjelaskan keinginan berbuat baik
bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan ini
sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter
yang konsisten antara pengetahuan moral (moral knowing) dan tindakannya (moral
3|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
action). Aspek ini menyangkut wilayah emosi sehingga sulit diajarkan. Cara yang
dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan kesadaran akan pentingnya
memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral.
Dapat disimpulkan jatidiri merupakan sesuatu yang diberikan Tuhan dan
merupakan fitrah manusia. Kemudian jatidiri bangsa merupakan pencerminan atau
tampilan dari jatidiri bangsa Indonesia. Sementara itu, karakter merupakan perbuatan
yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas individu. Selanjutnya
karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang
berproses secara terus-menerus yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Dan
yang dimaksud dengan generasi bangsa yang berkarakter adalah akumulasi dari anak
bangsa yang secara terus-menerus berproses membentuk dirinya menjadi pribadi yang
berkarakter yang mengelompok menjadi bangsa yang memiliki identitas dan menjadi
penanda yang membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa yang dimaksud adalah
bangsa Indonesia. Jadi bangsa Indonesia merupakan identitas dari warga negara
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain.
2.2 Kesantunan Berbahasa dan Karakter
Kesantunan berbahasa diperlukan agar kegiatan berkomunikasi dapat terbina
dengan baik. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang teori kesantunan
berbahasa. Robin Lakof (Chaer, 2010:46) mengisyaratkan setiap penutur diminta
untuk menghindarkan diri dari ekspresi yang tidak menyenangkan mitra tuturnya.
Terlebih lagi melakukan sesuatu yang dapat mengancam apalagi menghilangkan
wajah mitra tutur. Hal ini bertemali dengan kesantunan berbahasa yang dikemukakan
oleh Brow dan Levinson (Chaer, 2010: 49) yang menjelaskan kesantunan berbahasa
berkisar atas nosi muka atau wajah. Kesantunan berbahasa digunakan apabila terdapat
tindak tutur mengancam muka. Sekaitan dengan itu kesantunan dapat didefinisikan
sebagai tindakan melindungi muka. Bruce Fraser (Chaer, 2010:47) membahas
kesantunan berbahasa atas dasar strategi, artinya kesantunan merupakan bagian dari
tuturan sehingga lawan tuturlah yang menentukan kesantunan sebuah tuturan dengan
4|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
ketentuan si penutur tidak melampaui haknya dan memenuhi kewajibankewajibannya kepada lawan tutur. Geoffrey Leech (1993:31) menjelaskan teori
kesantunan berbahasa akan terpenuhi apabila setiap orang mampu menaati sejumlah
maksim yang terkandung dalam prinsip komunikasi. Sementara itu, Pranowo
(Chaer,2010:62) mengemukakan bahwa ciri penanda kesantunan berbahasa tercermin
dari penggunaan kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang diucapkan seseorang,
diantaranya penggunaan piliha kata: tolong, maaf, terima kasih, berkenan, beliau,
bapak/Ibu.
Teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan para ahli di atas membahas
teori kesantunan berbahasa dari sudut pandang yang berbeda-beda meskipun
demikian dapat ditarik benang merah yang menyiratkan pada satu pemahaman bahwa
kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan efektif apabila penutur dan lawan tutur
menaati sejumlah aturan yang terkandung dalam prinsip komunikasi sehingga
kegiatan komunikasi dapat terhindar dari kesalahpahaman.
Sejumlah teori
kesantunan berbahasa yang diuraikan di atas dapat
dimanfaatkan sebagai landasan dalam melakukan kegiatan berkomunikasi. Manakah
teori kesantunan berbahasa yang cocok untuk masyarakat Indonesia? Tentu saja
masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan teori-teori tersebut. Selain itu, aturan
kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia berpedoman pada aturan
budaya yang berlaku dilingkungan masyarakat Indonesia yakni aturan kesantunan
berbahasa yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan
kata lain piranti kesantunan berbahasa selain berpedoman pada substansi bahasa juga
bepedoman pada etika berbahasa. Dalam praktik berbahasa kedua hal ini saling
berkaitan satu sama lain. Untuk dapat berkomunikasi dengan harmonis dan mencapai
tujuan komunikasi, kesantunan berbahasa dan etika berbahasa harus digunakan secara
terpadu.
Bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang memiliki keragaman
budaya, maka kesantunan berbahasa akan bertemali dengan kebudayaan masyarakat
penuturnya. Meskipun demikian, bukan berarti kesantunan berbahasa diukur
5|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
berdasarkan norma-norma masyarakat budayanya masing-masing tetapi kesantunan
berbahasa diukur berdasarkan norma-norma nasional yang terkait dengan pilar-pilar
karakter baik yakni mencintai Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, memiliki kemandirian
dan tanggung jawab, menjunjung nilai kejujuran, melaksanakan amanah, bersikap
hormat/santun, memiliki rasa percaya diri, kreatif, dan uket, memiliki jiwa
kepemimpinan dan keadilan, bersikap rendah hati, dan bertoleransi pada sesama.
Bertemali dengan itu, karakter positif akan termanifestasi dalam bahasa yang santun.
Seseorang yang terbiasa berbahasa santun akan senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat dirinya serta kehormatan dan martabat lawan tuturnya. Ini akan menjadi
karakter dirinya. Karakter ini menjadi identitas diri yang membedakannya dengan
orang.
2.3 Kesantunan Berbahasa dan Pendidikan Karakter
Digariskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang secara eksplisit menyebutkan tujuan utama pendidikan adalah
menghasilkan pribadi yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Artinya pendidikan selain membentuk pribadi yang cerdas juga membentuk pribadi
yang berkarakter. Alhasil, pendidikan diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk
memanusiakan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dipandang mampu untuk
membentuk manusia seutuhnya yang menyadari keberadaan dirinya, lingkungannya
juga Tuhannya. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter.
Sekaitan dengan itu, sistem pendidikan di sekolah harus mampu
menghasilkan peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual. Kemampuan berkomunikasi termasuk salah satu bentuk kecerdasan
emosional. Kemampuan berkomunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif
akan membentuk peserta didik yang dapat berkomunikasi dengan mentaati normanorma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Membiasakan peserta didik berlatih
menggunakan bahasa yang santun akan memberikan nilai-nilai positif bagi peserta
6|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
didik. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah harus mampu mewujudkan pendidikan
berbahasa yang santun.
Untuk itu diperlukan strategi yang terus-menerus dikembangkan secara
komprehensif dan terpadu. Seperti yang disampaikan Sauri (Hendaryan, 2011:239)
pengembangan strategi pendidikan bahasa santun diartikan sebagai upaya
mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode, dan
situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah.
Selain pendidikan di sekolah, pendidikan di lingkungan keluarga pun harus mampu
mewujudkan pendidikan berbahasa yang santun. Pada bagian selanjutnya akan
diuraikan contoh sederhana bentuk-bentuk perilaku kesantunan berbahasa yang dapat
diterapkan di lingkungan pendidikan formal maupun informal.
2.4 Implementasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal dan
Informal
2.4.1 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal
Uraian dimuka memaparkan, kesantunan berbahasa merupakan salah satu
parameter generasi yang berkarakter. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam
pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar
kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu
upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma
berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang
ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat
dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa.
Pendidikan formal sebagai rumah kedua peserta didik setelah lingkungan
keluarga harus mampu menyediakan praktik-praktik kesantunan berbahasa yang
memadai sehingga dapat menghasilkan generasi bangsa yang tidak saja memiliki
kecerdasan intelektual akan tetapi menghasilkan generasi bangsa yang memiliki
kecerdasan emosional dan spiritual. Perpaduan ketiga hal ini akan menghasilkan
generasi bangsa yang berkarakter.
7|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Implementasi kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal
dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam semua mata pelajaran pada
semua jenjang pendidikan. Guru harus menjadi contoh teladan dalam mentradisikan
kesantunan berbahasa.
Berikut contoh sederhana yang dapat dipraktikan guru di kelas.
(a)
Pemakaian kata sapaan
“Wat, Wati bisa bantu Ibu mengambilkan buku ini?”
(b)
Pemagaran ujaran
“Tolong, jangan ribut!”
(c)
Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh
“Ruangan ini terasa panas sekali”
(Misalnya ucapan seorang guru kepada para siswa dengan maksud menyuruh
membuka jendela dan sebagainya )
Contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari bentuk-bentuk
kesantunan berbahasa yang dapat dipraktikan guru di kelas. Mengacu pendapat
Oktarina (2010: 425) terdapat beberapa strategi kesantunan berbahasa agar
komunikasi dapat terbina dengan harmonis diantaranya: tingkat kelugasan tuturan,
pemakaian kata sapaan, pemakaian basa-basi, eufemisme, pilihan jawaban, alasan,
pemagaran ujaran, dan penggunaan bahasa nonverbal.
Penanaman prinsip-prinsp kesantunan berbahasa sejak dini kepada peserta
didik merupakan tugas para guru. Tentu saja penanaman prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa ini bukan hanya tugas guru Bahasa Indonesia melainkan juga tugas guru
bidang studi lain. Penanaman prinsip-prinsip kesantunan berbahasa merupakan
perwujudan mencintai bahasa sendiri, Bahasa Indonesia. Ini merupakan kesepakatan
yang telah menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni berbangsa satu bangsa
Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa
Indonesia.
8|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
2.4.2 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Informal
Implementasi kesantunan berbahasa di lingkungan pendidikan informal
(keluarga) pun dapat ditanamkan sejak dini. Keluarga sebagai lingkungan pertama
dan utama dalam proses perkembangan manusia menuju kedewasaan berperan dalam
menanamkan kesantunan berbahasa, pada akhirnya berperan dalam proses
pembentukkan karakter bangsa. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem
pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Pendidikan
keluarga termasuk pendidikan jalur luar sekolah merupakan salah satu upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan
dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai
moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan, dan sikap hidup
yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada
anggota keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu keluarga merupakan pendidikan
yang sangat utama bagi keberlangsungan pendidikan generasi muda maupun bagi
pembinaan bangsa pada umumnya.
Sekaitan dengan itu penanaman kesantunan berbahasa di lingkungan
pendidikan informal (keluarga) dapat dilakukan dengan membiasakan anak untuk
bertutur dan bersikap yang baik. Orang tua harus memberikan contoh tauladan.
Seorang anak akan mempersepsikan tradisi yang sering dilihat dan didengarnya itu
sebagai sesuatu hal yang diangap benar. Orang tua hendaknya berusaha untuk
menanamkan kesantunan berbahasa dengan memberi contoh cara bertutur maupun
bersikap yang santun. Seorang anak dapat dibimbing untuk selalu terbiasa
menggunakan bahasa yang santun sehingga secara berangsur-angsur hal ini akan
menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya. Jika telah terbiasa, lama kelamaan
sikap ini akan terbentuk menjadi kebiasaan yang positif/baik. Berikut contohnya.
(a)
Pemakaian kata sapaan
“Kakak, Ibu mau minta tolong sama Kakak”
(b)
Pemagaran ujaran
9|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
“Tolong, ambilkan buku di atas meja!”
(c)
Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh
“Nak, Ibu ingin sekali merapikan kamar ini”
(Ucapan seorang Ibu kepada anaknya dengan maksud si anak merapikan
kamar ini)
Untuk menerapkan kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat
Indonesia (lingkungan pendidikan formal dan informal) selain berpedoman pada
kebakuan terhadap norma-norma berbahasa yang dimiliki oleh bahasa Indonesia juga
mengacu pada kebakuan terhadap etika/tata krama berbahasa yang berlaku di
lingkungan masyarakat Indonesia. Artinya, piranti kesantunan berbahasa mengacu
pada konsep kesantunan bahasa dan etika berbahasa. Kesantunan berbahasa lebih
cenderung berhubungan dengan isi bahasanya (substansi bahasa) sedangkan etika
berbahasa lebih cenderung pada perilaku berbahasa (perilaku bertutut). Meskipun
diakui kesantunan berbahasa Indonesia belum memiliki piranti yang baku namun
norma kebahasaan yang mencerminkan nilai-nilai budaya serta nilai sosial
kemasyarakatan dapat dijadikan acuan dalam menerapkan kesantunan berbahasa.
3. SIMPULAN
Kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur generasi yang
berkarakter. Oleh karena itu mentradisikan kesantunan berbahasa melalui lingkungan
pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus dilakukan untuk
menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi bangsa yang berkarakter
dibutuhkan untuk menghadapi era globalisasi. Para guru dan orang tua dapat menjadi
model dalam menanamkan kesantunan berbahasa ini. Wujudnya melalui sikap
keteladanan sehingga para peserta didik maupun anak-anak dapat meniru sikap
tersebut, pada akhirnya sikap tersebut akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam
diri mereka. Piranti yang dapat digunakan untuk menerapkan kesantunan berbahasa
10|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
selain mengacu pada norma-norma berbahasa Indonesia juga mengacu pada etika
berbahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Hendaryan, 2011. Menunjukkan Karakter melalui Berbahasa Santun dalam Riksa
bahasa 4 Pendidikan Karakter dalam Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung: Rizqi Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat, 2008. Jakarta: Balai Pustaka.
Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Lickona, Thomas. 2004. Character Matters: How To Help Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. New York, Simon &
Schuster.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Oktarina, Santi. 2010. Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan:
Upaya Pembentukan Sikap Generasi Muda Berkarakter dalam IdiosinkrasiPendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Kepel Press
Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Biodata Penulis
Ika Mustika dilahirkan di Ciamis pada 04 Maret 1968. Menyelesaikan Program
Doktor pada tahun 2012. Ia mengajar sebagai dosen tetap Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Cimahi-Bandung. Ia cukup aktif
menulis dan mengikuti berbagai pertemuan ilmiah baik sebagai peserta maupun
pemakalah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional terkait pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis dapat dihubungi di nomor telepon 08122389373
atau melalui pos-el [email protected]
11|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
12|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
PENERAPAN MODEL TONGKAT BERBICARA BERORIENTASI
KARAKTER
DALAM PEMBELAJARAN BERDEBAT
oleh
Deden Sutrisna
STIKes Cirebon
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Penerapan Model Tongkat Berbicara Berorientasi
Karakter dalam Pembelajaran Debat (Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA
Negeri 1 Palimanan Kabupaten Cirebon Tahun Ajaran 2013/2014). Latar belakang
penelitian ini adalah minimnya kompetensi siswa dalam berbicara terutama
kemampuan berdebat. Tujuan penelitian ini adalah memberikan alternatif model
pembelajaran berdebat yang meningkatkan kemampuan berdebat
sekaligus
menanamkan karakter positif kepada peserta didik.
Hipotesis penelitian ini yaitu terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
berdebat siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter
dibandingkan dengan peningkatan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan
model terlangsung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan rancangan The Randomized Pretest-Postest Control Group
Design. yang diujicobakan kepada popualsi penelitian. Dalam penelitian ini,
kelompok eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan model tongkat
berbicara berorientasi karakter sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan model
terlangsung.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh data bahwa t hitung > t tabel
= 4,476 > 2,021, sehingga hipotesis yang diajukan penulis dapat diterima. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berdebat siswa yang
menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dibandingkan dengan
siswa yang menggunakan model terlangsung.
Kata kunci: Model Tongkat Berbicara, Pendidikan Karakter, Pembelajaran Berdebat
A. Pendahuluan
Dalam pembelajaran bahasa salah satu keterampilan yang harus dikuasai
siswa adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara mempunyai kedudukan
yang penting karena hampir sebagian besar waktu kita habiskan untuk kegiatan ini.
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, kemampuan berbicara menjadi salah satu
indikator pemahaman siswa. Siswa yang pandai umumnya pandai ketika
mengungkapkan ide atau gagasannya secara lisan dan mampu menuangkannya dalam
bentuk tulisan.
Banyak ahli mendefinisikan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan ide, gagasan, ataupun pikirannya kepada orang melalui media
13|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
bahasa lisan. Berbicara tidak hanya sekadar menyampaikan pesan tetapi proses
melahirkan pesan itu sendiri. Proses melahirkan pesan yang dapat tersampaikan
dengan baik memerlukan pelatihan secara berkesinambungan. Seorang pembicara
yang baik terlahir dari proses pelatihan dan pengamatan terhadap fenomena
kehidupan.
Tarigan (2008:1) menjelaskan bahwa keterampilan berbahasa mempunyai
empat komponen yang saling berhubungan erat yaitu, menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Artinya, berbicara juga sangat berkaitan dengan aspek
keterampilan yang lain karena proses penangkapan ide ketika berbicara melalui
kegiatan mendengar, membaca, melihat, merasakan, meneliti, mencoba, dan
sebagainya. Sumber ide tersebut kemudian diolah oleh pembicara menjadi pesan atau
gagasan yang disampaikan secara lisan.
Berbicara, sebagai suatu keterampilan, hanya akan dimiliki atau dikuasai
seseorang apabila dia mau berlatih. Hal ini sejalan dengan penjelasan Nurjamal
(2011:23) bahwa tidak ada satu pun keterampilan yang dapat dikuasai seseorang tanpa
adanya proses perlatihan yang terus menerus. Untuk terampil berbicara itu pun kita
diharuskan berlatih dan terus berlatih. Dengan latihan yang diawasi secara
berkesinambungan, kemahiran berbicara siswa akan terbentuk sehingga siswa bisa
menjadi pembicara yang kreatif.
Sejalan dengan pendapat di atas, Arsjad dan Mukti (1988:1) mengatakan
bahwa memiliki keterampilan berbicara tidak semudah yang dibayangkan banyak
orang. Ada anggapan mengatakan keterampilan berbicara dengan sendirinya bisa
diperoleh tanpa melalui pembinaan. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja
ketika berbicara terdapat proses melahirkan pesan berupa ide atau gagasan, proses
berpikir atau berimajinasi, dan proses mengorganisasikan pembicaraan.
Setiap individu pada dasarnya secara alamiah mampu berbicara. Namun, saat
dihadapkan pada situasi formal sering timbul rasa gugup. Rasa gugup ini berdampak
pada gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur. Akibat lainnya, proses
berpikir menjadi terhambat. Dengan demikian, keterampilan berbicara secara formal
memerlukan latihan, praktik, dan pengarahan secara intensif. Di sinilah pentingnya
pelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang membina
keterampilan berbahasa siswa.
Keterampilan berbicara dapat dibina melalui pelajaran bahasa Indonesia
karena tujuan mata pelajaran ini adalah belajar berkomunikasi (Puskur, 2003). Saat
ini, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Kurangnya perhatian terhadap
pembelajaran berbicara dikarenakan adanya anggapan bahwa keterampilan berbicara
mudah dan alami perolehannya. Tentu saja anggapan ini keliru karena keterampilan
berbicara perlu dibina agar tumbuh keberanian dan kepercayaan diri ketika berbicara.
Selain itu, pembelajaran berbicara merupakan saluran pendidikan karakter karena
dalam pembelajaran ini terdapat serangkaian aktivitas yang bisa menunjukkan
karakter siswa (Abidin, 2012:140).
Di lingkungan sekolah, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menghendaki kegiatan pembelajaran di dalam kelas memunculkan karakter-karakter
14|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
positif. Inilah yang kemudian dikenal dengan pendidikan karakter yang dalam
pelaksanaannya diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Pelajaran bahasa
Indonesia, misalnya, guru bahasa Indonesia bisa memasukan nilai-nilai karakter pada
saat pembelajaran berdebat.
Menurut Abidin (2012:141) terdapat keterkaitan yang erat antara
pembelajaran berbicara dengan pendidikan karakter karana pada tahap berbicara
siswa akan terbangun nilai karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh,
berorientasi prestasi, dan sopan serta santun. Melalui aktivitas-aktivitas yang
dilakukan, siswa akan beroleh pengetahuan, pengalaman, sekaligus pengembangan
karakter. Pembelajaran berbicara dapat digunakan sebagai wahana bagi implemantasi
karakter. Syarat utamanya adalah pembelajaran berbicara harus dilakukan dalam
gamitan pembelajaran aktif dan kreatif.
Di antara tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata
pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara
lisan maupun tulisan. (Depdiknas, 2006). Tujuan di atas akan tercapai dengan baik
apabila dalam pelaksanaan pembelajaran guru memasukkan unsur-unsur
pembentukan karakter positif.
Pembelajaran aspek keterampilan berbicara di sekolah diarahkan untuk
membekali siswa, salah satunya meningkatkan keterampilan berbicara. Arsjad dan
Mukti (1988:36) mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara dapat dikembang
melalui berbagai bentuk antara lain melalui diskusi kelompok, bercakap-cakap,
konversasi, wawancara, pidato, bercerita, sandiwara, dan sebagainya. Dalam
penelitian ini, peneliti berfokus pada pembelajaran diskusi khususunya kemampuan
berdebat.
Melalui pembelajaran berdebat, siswa diharapkan mampu menyampaikan
gagasan, ide, pikiran, dan perasaan kepada guru, teman, serta orang lain. Selain itu,
siswa juga dilatih untuk memiliki keberanian dalam menyampaikan persetujuan
maupun penolakan. Diharapkan selain memiliki kemampuan berpendapat dan bekerja
sama, akan tumbuh pada diri siswa nilai-nilai positif, seperti sopan santun dan etika.
Sesuai dengan kurikulum bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas (SMA),
salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa adalah memberikan persetujuan
atau dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik.
Debat adalah salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk
menunjang penguasaan kompetensi dasar tersebut.
Sebagai sebuah alternatif, peneliti bermaksud untuk mengangkat model
tongkat berbicara berorientasi karakter sebagai wahana bagi implementasi pendidikan
karakter dan sebagai alternatif pemecahan masalah rendahnya kemampuan berbicara
siswa. Tongkat berbicara pada dasarnya bertujuan untuk menumbuhkan keberanian
siswa dalam berbicara dan menumbuhkan karakter-karakter positif, di antararanya
karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, sopan serta
santun, komunikatif, dan senang bersahabat.
Tongkat berbicara pada mulanya digunakan penduduk asli Amerika atau suku
Indian untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam
15|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
suatu forum (pertemuan antarsuku). Tongkat ini digunakan untuk memutuskan siapa
yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan
membahas suatu permasalahan, ia harus memegang tongkat berbicara.
Model pembelajaran tongkat berbicara termasuk ke dalam model
pembelajaran kooperatif. Penggunaan model ini sangat mudah dan bisa diaplikasikan
pada semua mata pelajaran yang membutuhkan keaktifan siswa dalam menyampaikan
pendapat. Penggunaan tongkat sebagai tanda giliran berbicara akan melatih kepekaan
siswa untuk senantiasa siap mengemukakan pendapat misalnya, pada pembelajaran
bahasa Indonesia dengan kompetensi berdebat.
Penggunaan model tongkat berbicara yaitu dengan cara siapa saja siswa yang
mendapatkan tongkat harus berbicara dan berpendapat saat itu juga. Dengan cara
seperti ini, siswa akan terpacu untuk berpikir secara cepat dan bisa menyampaikan ide
atau gagasannya dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Semangat siswa
juga akan tumbuh dan dia akan mencoba mempertahankan pendapat yang ia yakini
kebenarannya. Dengan demikian, akan timbul suasana kelas yang penuh dengan
tantangan dan akan timbul antusias belajar yang tinggi pada diri siswa. Di samping
itu, model ini akan menumbuhkan karakter positif dalam diri siswa diantaranya
karakter berdisiplin dan kerja keras.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah
profil pembelajaran berdebat dengan model terlangsung? 2) Bagaimanakah
pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara
berorientasi karakter? 3) Adakah perbedaan yang signifikan antara kemampuan
berdebat siswa kelas ekperimen dan siswa kelas kontrol?
B.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen. Dengan kata lain, penelitian ini mencari perlakuan (treatment) tertentu
dalam kondisi yang dikendalikan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah model
tongkat berbicara berorientasi karakter. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kuasi eksperimen desain kelompok pretest dan postest dengan
kelompok kontrol, The Randomized Pretest-Postest Control Group Design. Menurut
Syamsuddin dan Vismaia (2006: 169) penelitian eksperimental merupakan suatu
metode yang sistematis dan logis untuk melihat kondisi-kondisi yang dikontrol
dengan teliti, dengan memanipulasikan suatu perlakuan, stimulus, atau kondisikondisi tertentu, kemudian mengamati pengaruh atau perubahan yang diakibatkan
oleh manipulasi. Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, melakukan observasi pendahuluan. Kedua, menyepakati dengan
guru tentang pelaksanaan pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat
berbicara berorientasi karakter pada kelas eksperimen. Di dalam penelitian ini, guru
melaksanakan proses pembelajarannya sedangkan penulis bertindak sebagai observer
dan partner guru. Selanjutnya, pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
telah direncanakan.
Ketiga, merencanakan (planning), yakni menyusun rencana penelitian,
meliputi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian,
16|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
rumusan yang hendak dicapai sesuai dengan penelitian tersebut, dan desain atau
langkah-langkah penelitian. Keempat, melakukan uji instrumen, yaitu dengan cara
meminta pertimbangan dua orang sebagai penilai (judgement) instrumen yang akan
digunakan, satu orang sebagai pakar konsep dan satu lagi sebagai praktisi
pembelajaran di kelas.
Kelima, memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Keenam, memperkenalkan model pembelajaran debat, yakni model tongkat berbicara
berorientasi karakter dengan memberikan pelatihan atau penjelasan tentang
penggunaannya, langkah-langkah dan cara penggunaannya kepada guru yang akan
digunakan pada kelas eksperimen.
Ketujuh, pemberian perlakuan (treatment) kepada kelas eksperimen dengan
menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dalam pembelajaran
debat. Kedelapan, memberikan postest kepada kelas eksperimen untuk mengetahui
kemampuan berbicara setelah diberi perlakuan.
Kesembilan, menggunakan uji beda setelah sebelumnya dilakukan uji
normalitas dan homogenitas variabel data yang ada untuk menguji apakah perbedaan
kemampuan berbicara antara hasil pretest dan postest signifikan atau hanya terjadi
secara kebetulan saja.
Kesepuluh, melakukan analisis data dari hasil observasi.
Kesebelas, menarik simpulan dari hasil penelitian.
Untuk memperoleh data yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan yang
berkaitan dengan penelitian, maka diperlukan teknik pengumpulan data yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data penelitian dilaksanakan dalam
tiga tahap, yakni (1) pemberian tes awal; (2) pelaksanaan pembelajaran debat dengan
model tongkat berbicara berorientasi karakter; dan (3) pemberian tes akhir.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Profil Pembelajaran Berdebat
Pembelajaran berbicara adalah pembelajaran yang bertujuan melatih
kepekaan, membangun kemampuan menghasilkan ide, melatih kemampuan
berbicara, dan membina kreativitas berbicara peserta didik. Namun sayangnya,
kondisi pembelajaran berbicara di sekolah jauh dari kondisi yang diharapkan. Hal ini
tercermin dari hasil observasi dan angket yang dilakukan oleh penulis di SMAN 1
Palimanan pada saat pembelajaran berbicara khususnya kompetensi berdebat
berlangsung.
Hasil observasi menunjukkan pembelajaran berbicara kurang mampu
membentuk kemampuan komunikatif siswa karena pembelajaran berbicara dilakukan
dengan menggunakan teks yang sudah ada dan teks tersebut dibaca oleh siswa.
Kondisi ini kurang baik karena siswa belum mampu menyampaikan ide atau gagasan
dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Selain itu, ekspresi dan performa
siswa ketika berbicara sangat minim.
Pembelajaran berdebat di SMAN 1 Palimanan menggunakan model
terlangsung. Model ini menitikberatkan pada debat kelas yang berlangsung monoton
dan kurang merangsang gairah siswa untuk belajar. Prosedurnya yaitu, siswa dibagi
17|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
beberapa kelompok kecil. Selanjutnya, kelompok kecil berdiskusi untuk kemudian
secara bergiliran mereka mempresentasikan hasil diskusi kelompok kecilnya di muka
kelas. Di sinilah inti pembelajaran debat berlangsung, siswa secara bergantian
menyampaikan argumentasinya baik persetujuan maupun penolakan terhadap
permasalahan yang sedang diperdebatkan .
Dalam praktik berdebat menggunakan model terlangsung, perdebatan hanya
didominasi siswa tertentu saja bahkan tidak ada pembagian giliran berbicara dengan
jelas. Selain itu, berdasarkan hasil angket mayoritas siswa menyatakan bahwa
pembelajaran debat dengan menggunakan model terlangsung seringkali menimbulkan
perdebatan yang berujung pada konflik kelas. Konflik ini berlangsung karena susana
pembelajaran berdebat tidak terkendali. Nada bicara siswa yang tinggi pada saat
menyampaikan argumentasi membuat siswa lain terpancing untuk melakukan hal
yang sama. Adu argumentasi di antara siswa menjadi keluar tema dan menyerempet
pada masalah pribadi. Hal ini jika dibiarkan akan berbahaya karena bukan karakter
positif yang tumbuh dalam diri siswa, melainkan karakter negatiflah yang kemudian
tumbuh pada diri siswa.
2.
Proses Pembelajaran Berdebat Menggunakan Model Tongkat Berbicara
Berorientasi Karakter
Berikut ini uraian pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan
model tongkat berbicara berorientasi karakter pada standar kompetensi
mengungkapkan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Standar
kompetensi tersebut terdapat di kelas X semester kedua dengan alokasi waktu 4 x 45
menit atau sebanyak dua kali pertemuan. Penelitian ini dilaksanakan di akhir semester
dua, sehingga siswa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap standar
kompetensi tersebut. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini dilakukan dengan
alokasi waktu 2 x 45 menit untuk setiap satu kali pertemuan.
Secara keseluruhan penelitian meliputi pretest, pelaksanaan pembelajaran,
dan postest. Pertemuan pertama dilakukan pretest atau tes awal sebagai upaya untuk
mendapatkan data kemampuan awal siswa dalam berbicara. Kemudian dilanjutkan
dengan pemberian perlakuan. Di kelas ekperimen diberi perlakuan berupa model
tongkat berbicara berorientasi karakter, sedangkan di kelas kontrol menggunakan
model terlangsung (Model konvensional). Kemudian pertemuan terakhir dilakukan
postest sebagai upaya untuk mendapatkan kemampuan akhir siswa dalam berbicara
khususnya kemampuan berdebat.
Pertemuan pertama Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan ucapan
salam, kemudian mempresensi siswa, dan memotivasi siswa agar siap belajar.
Sebelum menyampaikan materi pokok, guru mengaitkan kembali pembelajaran yang
telah dilaksanakan sebelumnya. Kemudian guru bertanya jawab tentang pengetahuan
dan pengalaman siswa dalam pembelajaran berdebat. Beberapa siswa menjawab
tentang pengertian debat, unsur-unsur debat, dan tata cara pelaksanaan debat. Pada
saat guru bertanya apakah masih ada kesulitan dalam menyampaikan pendapat ketika
berdebat, sebagian siswa mengakui masih ada kesulitan. Menariknya, seorang siswa
menyampaikan keluhan tentang pengalamannya mengikuti pembelajaran berdebat di
18|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
kelas, dia mengatakan bahwa pembelajaran berdebat hanya membuat siswa
bertengkar. Guru lalu membimbing siswa untuk mengidentifikasi makna dan
kegunaan debat dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, guru menyampaikan standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran.
Langkah selanjutnya yaitu kegiatan inti, guru mengeluarkan tongkat
berbicara sambil mengatakan dengan suara lantang, “Siapapun berhak berbicara
dengan tongkat ini dan siapapun yang mendapatkan tongkat ini harus berbicara saat
itu juga!” Guru lalu menjelaskan sejarah singkat tongkat berbicara dan
memperkenalkan kegunaan tongkat dalam pembelajaran debat. Guru membagikan
siswa teks berjudul, Pro Kontra Ospek dan Manfaatnya. Siswa diberikan waktu untuk
membaca teks tersebut. Setelah siswa selesai membaca, guru kembali mengeluarkan
tongkat sambil mengatakan, “Siapapun yang mendapatkan tongkat berbicara ini harus
berbicara atau menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan teks yang telah
dibagikan!” Setelah sudah dianggap cukup, guru mengakhiri kegiatan bertanya jawab
dengan memberikan penguatan bagaimana menyampaikan kalimat argumentasi yang
baik. Guru memberikan beberapa contoh kalimat argumentasi yang berisi pernyataan
pembuka, isi berupa kalimat contoh, dan pernyataan penutup. Hal ini dilakukan agar
siswa bisa mengemukakan pendapatnya pada saat berdebat. Siswa juga diberikan
contoh bagimana membuat kalimat sanggahan yang baik. Guru selanjutnya
memberikan perintah siswa membuat kalimat argumentasi yang menyatakan
dukungan dan kalimat argumentasi yang menyatakan penolakan.
Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan penutup. Pada kegiatan ini guru
bersama-sama dengan siswa membuat simpulan pembelajaran, melakukan penilaian,
dan refleksi karakter apa yang terbangun dari kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan. Guru menutup pembelajaran dan menyampaikan rencana pembelajaran
berikutnya.
Pertemuan kedua. Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan
mengucapkan salam, kemudian mempresensi siswa, lalu memotivasi siswa. Sebelum
menyampaikan materi pokok guru melakukan apersepsi. Kemudian guru
menyampaikan kepada para siswa bahwa hari ini mereka akan melaksanakan simulasi
pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi
karakter.
Tahap pertama guru membentuk kelompok kecil yang beranggotakan empat
orang siswa. Kemudian kelompok kecil tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Selanjutnya, guru membagikan teks yang
berjudul, “Kontroversi Kehadiran Artis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” dan
memberikan waktu kepada siswa untuk membaca dan mendiskusikannya dengan
kelompoknya.
Tahap kedua, guru mengeluarkan tiga tongkat berbicara dan memberikan
pengarahan aturan debat menggunakan tongkat berbicara berorientasi karakter. Siswa
menentukan urutan pembicara pertama s.d. terakhir dari masing-masing kelompok pro
dan kontra.
19|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
3.
Analisis Kemampuan Berdebat Siswa dengan Menggunakan Model
Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter
Berikut ini akan dipaparkan contoh hasil analisis tes awal dan tes akhir
kemampuan bedebat siswa yang telah ditranskrip ulang.
Tabel 1
Kutipan Transkrip Pretest Kelas Ekperimen
Rsp
Kalimat yang Diucapkan
Rsp
Kalimat yang Diucapkan
Pendebat (P)
Penyanggah (K)
P9
Menyanggah Desi, memang K4
Saya mau mengomentari
salah kalau mencari teman
kelompok
pro.
Pertama,
baru. Kalau memiliki teman
tentang
bermunculannya
baru kan bisa menambah
bahasa baru di sosial media,
wawasan, misalnya teman
kenapa tidak menggunakan
tersebut memiliki informasi
bahasa Indonesia sendiri?
yang sangat kita butuhkan.
Kedua Indonesia terbukti
Selain itu, kita juga harus
peringkat
ketiga
besar
pinter-pinter
mencari
pengguna sosial media, itu
manpaatnya, terima kasih.
bukti tu, memang secara sekilas
bagus, tetapi itu nunjukkin
orang Indonesia kebanyakan
tidak manfaat waktunya untuk
bekerja. Ketiga Dalam dunia
bisnis di sosial media itu
kebanyakannya
tipuan
contonya Tante saya habis
uang banyak tertipu bisnis di
sosial media. Keempat dari segi
kesehatan
mata
minus.
Kemudian Cicik bilang harus
tahu waktu kapan untuk
sekolah dsb. Sedangkan orang
Indonesia
kebanyakan
ketagihan dan tidak mengenal
waktu. Dari dunia pendidikan
banyak
sekolah
RSBI
menerapkan
E-Learning
melalui sosial media tetapi
pada dunia nyata kebanyakan
pelajar kita menggunakan
sosial media untuk sesuatu hal
yang kurang manfaat. Lebih
20|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
berbahaya lagi sosial media
buanyak sekali situs-situs yang
menyediakan kencan dengan
orang luar itu berbahaya
karena bisa merusak mental
orang Indonesia.Terima kasih.
P16
Saya mau menyanggah K4
pendapat bahwa sosial
media
menyita
waktu,
sedikit-dikit update status
alay, dsb. Kata siapa sosial
media tidak berguna? Saya
sendiri di sini SMA 6 kelas
akselarasi, tahu kan SMA 6?
Saya punya banyak teman di
kelas akselarasi jadi yang
memiliki sosial media itu
bukan hanya untuk kaum
alay. Di Facebook contohnya
banyak
orang
yang
mengetag ilmu-ilmu yang
berguna. Memang banyak
menyita informasi untuk
gedget dsb., tetapi untuk
mencari informasi yang
berguna. Askar mengatakan
situs porno dll. itu dari luar
negeri boy , itu kan budaya
asing. Situs porno sudah
diblokir
sama
menteri
komunikasi.
Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat
Interupsi!
Sosial
media
merupakan salah satu bentuk
globalisasi yang membunuh
kebudayaan kita sendiri cuy.
Kemana permainan tradisional
seperti eng-engan, gobak
sodor, dll. budaya kita banyak
yang
dibunuh.
Karena
globalisasi yang di bawa dari
luar
negeri
sono
tuh!,
masyarakat Indonesia banyak
yang lebih condong pada
kebudayaan luar! Terima kasih.
K = Kontra
Analisis yang dilakukan berdasarkan sepuluh aspek, yakni memberikan
pendapat, menerima pendapat orang lain, menanggapi pendapat orang lain,
kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara, kenyaringan berbicara,
keberanian berbicara, ketepatan struktur dan kosakata, ekpresi dan gestur, dan
penguasaan topik.
21|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi
karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat
pada tabel di atas, subjek dengan kode Kontra 4 (K4) mampu mempertahankan
pendapatnya pada saat berdebat. Selain itu, argumentasi yang dikemukakan subjek
juga sangat sesuai dengan topik perdebatan yaitu tentang Kontroversi Sosial Media di
Kalangan Remaja.
Apek kedua, subjek mendapatkan nilai rendah untuk aspek ini karena subjek
belum bisa menerima pendapat orang lain. “Kemudian Cicik bilang harus tahu waktu
kapan untuk sekolah dsb. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan ketagihan dan
tidak mengenal waktu.” Pendapat di atas menunjukkan subjek belum bisa
mengapresiasi pendapat lawan debatnya. Selain itu. pada saat pendapatnya disanggah
subjek terlihat seperti tidak terima dan langsung mengatakan dengan nada tinggi,
“Interupsi! Sosial media merupakan salah satu bentuk globalisasi…” Subjek juga
belum bisa mengontrol emosi pada saat menyampaikan pendapatnya, nada bicara
subjek yang tinggi dinilai teman-temanya sebagai pemantik emosi lawan debatnya
seperti pada saat subjek mengatakan, “Kemana permainan tradisional seperti engengan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang
di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong
pada kebudayaan luar! Terima kasih.” Kelompok lawan berkali-kali mengingatkan
subjek agar menurunkan nada bicaranya yang mengeras layaknya seperti orang
marah.
Aspek ketiga, sebetulnya subjek cukup aktif menanggapi pendapat tim pro
hanya saja sikap sopan dan bahasa yang santun belum tampak pada saat dia
menyampaikan sanggahan. Berikut kutipan kalimat yang diucapkan subjek, “…
globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak
yang lebih condong pada kebudayaan luar!” Meskipun argumentasi yang
dikemukakan subjek sangat rasional dan masuk akal tetapi cara subjek dalam
menyampaikan argumentasinya belum menunjukkan bahasa yang santun. Kesantunan
berbicara sangat penting untuk memanajemen keterampilan berbicara agar tidak
menyakiti perasaan orang lain.
Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan mempertahankan pendapat,
argumentasi subjek dinilai cukup baik dalam mempertahankan pendapat. Subjek
cukup maksimal
mempertahankan pendapatnya dan contoh-contoh yang
dikemukakan sangat relevan dengan topik perdebatan. Berikut kutipannya, “… sosial
media terdapat situs-situs yang menyediakan kencan dengan orang luar itu
berbahaya karena bisa merusak mental orang Indonesia. Terima kasih.”
Aspek kelima, subjek cukup lancar berbicara meskipun beberapa kali subjek
terlihat terhenti berbicara untuk berpikir. Namun, apa yang dilakukan subjek dinilai
lebih baik jika dibandingkan dengan teman-temannya yang seringkali melihat teks
ketika berbicara. Praktik berbicara diorientasikan agar siswa mampu memproduksi
ide atau gagasan tanpa melihat teks.
Aspek keenam, nada bicara subjek yang tinggi dan keras membuat suara
subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga tidak terganggu
22|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut. Kenyaringan
suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana kelas ribut sekalipun.
Aspek ketujuh keberanian berbicara, subjek mendapatkan nilai cukup dari
aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat
keberaniannya pun muncul. Subjek tampak tenang meskipun kadang masih terlihat
sedikit gugup.
Aspek kedelapan, ketepatan struktur dan kosakata subjek masih ada
beberapa kata yang tidak mendapatkan imbuhan secara tepat, misalnya kata “manfaat,
tipuan, habis, kebanyakan, manfaat, dibunuh, dan banyak.”
Perbaikannya
seharusnya kata-kata tersebut ditambahkan imbuhan baik berupa prefiks, infiks,
sufiks, maupun konfiks sehingga menjadi “Memanfaatkan, penipuan, kehabisan,
banyak, bermanfaat, terbunuh, dan kebanyakan.
Aspek kesembilan, ekspresi dan gestur subjek masih terdapat kekurangan
karena subjek belum bisa menggunakan tangan sebagai isyarat pendukung ketika
berbicara. Ekspresi subjek juga teramati masih monoton karena kurangnya kontak
mata dengan lawan debatnya.
Aspek penguasaan topik, subjek sudah menguasai topik karena beberapa
contoh yang dikemukakan subjek sangat sesuai dengan situasi saat ini. Seperti pada
kutipan berikut, “...Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor,
dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar
negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan
luar! Terima kasih.”
Rsp
Tabel 2
Kutipan Transkrip Postest Kelas Ekperimen
Kalimat yang Diucapkan
Rsp
Kalimat yang Diucapkan
Pendebat (P)
Penyanggah (K)
K4
Saya mencoba menyimpulkan
perdebatan, menurut tim Pro
guru spiritual itu ada yang baik.
Dari tim Kontra jangan
menyekutukan kita punya
Allah. Tetapi pada dasarnya
seseorang di saat galau butuh
sosok figur untuk Memberikan
pencerahan.
Betul
yang
dikatakan tim Pro masih ada
teman sebagai tempat untuk
mencurahkan masalah dan
mendapatkan motivasi. Kalau
begitu, sudah ada teman
23|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
mengapa harus lari ke guru
spiritual?
Kemudian,
kita harus
merenungkan dalam-dalam di
hati kita, kan masih banyak
orang baik mengapa harus ke
guru spiritual? Saya juga
mendengar dari tim Pro guru
spiritual memberikan motivasi,
misalkan seperti itu Mario
Teguh juga dibilang sebagai
guru spriritual? Kemudian
Mamah Dede guru spiritual
ya? Teman kita juga bisa
disebut guru spiritual?
Masalah Adi Bing Slamet,
seseorang tidak akan tahu
watak hanya dari rupa butuh
waktu yang sangat lama untuk
mengetahui detail orang tsb.
Bagaimana mungkin ada
keyakinan kita tidak akan
terbawa guru spiritual, tetapi
lambat laun makin lama
mengobrol merasa nyaman
orang tersebut akan terkena
sirep.
P
Berarti Askar membenarkan K4
juga, tadi rizqi mengatakan
sudah dewasa mengapa
harus terpengaruh. Askar
telah
membenarkan
kelompok Pro.
AB: Maksud saya guru spiritual
itu tidak perlu karena bisa
memengaruhi kita ke jalan
yang salah. Mungkin pada
awalnya seperti Adi Bing
Slamet senang mempunyai
guru
spiritual,
akhirnya
kecomot-kecomot
habis
semua.
P5
Interupsi!
Seperti
yang K4
Faradita
katakan
guru
spiritual itu jangan hanya
AB:Intiny siklus hidup tidak
selamanya di atas kadang di
24|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
P5
satu, dua juga bisa biar kita
tahu mana yang baik dan
mana yang buruk. Kita
membutuhkan sosok guru
spiritual karena tidak semua
orang dari kecil dibekali orang
tuanya dengan bimbingan
agama yang memadai. Masih
banyak seseorang termasuk
artis mungkin yang dari kecil
tidak
mendapatkan
pendidikan agama.
bawah. Kita sudah belajar
agama dan memiliki Allah.
Mengenai seseorang yang K4
dari kecil tidak mendapatkan
pendidikan
agama
bagaimana?
Kalau kasusnya seperti ini,
seseorang tsb. mendapatkan
pendidikan agama hanya dari
sekolah,
tetapi
dalam
lingkungan sehari-hari dia
tidak
mendapatkan
pendidikan agama. Yang saya
rasakan pendidikan agama di
sekolah
hanya
materi,
kemudian di lingkungan kita
juga sama saja hanya cara
sholat.
Jadi, bagaimana
aplikasi dalam kehidupan
nyata dalam menghadapi
persoalan kalau bekalnya
hanya materi saja?
Sebagai calon orang tua kita
berpikir tidak bekal apa yang
telah kita berikan untuk
kehidupan anak kita kelak. Di
dunia ada yang namanya
sosialisasi, pendidikan agama
tidak hanya di dapatkan di
sekolah. Di masjid-masjid
sekitar tempat tinggal kita buat
apa banyak tempat ibadah
kalau bukan sebagai tempat
pendidikan agama.
Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat
K = Kontra
Berdasarkan analisis terhadap kemampuan berbicara subjek 4 dalam
pembelajar debat dengan tema Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis, dia
memperoleh nilai 39 dengan kategori A, yaitu sangat baik dan merupakan nilai
tertinggi pada hasil Postest di kelas ekperimen. Analisis yang dilakukan berdasarkan
sepuluh aspek, yakni memberikan pendapat, menerima pendapat orang lain,
25|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
menanggapi pendapat orang lain, kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran
berbicara, kenyaringan berbicara, keberanian berbicara, ketepatan struktur dan
kosakata, ekpresi dan gestur, dan penguasaan topik.
Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi
karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat
pada tabel di atas subjek memberikan pendapat dan sanggahan sebanyak empat kali.
(1) “Saya mencoba menyimpulkan perdebatan, menurut tim Pro guru spiritual itu ada
yang baik. (2) Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi
kita ke jalan yang salah. (3) Intinya siklus hidup tidak selamanya di atas kadang di
bawah. (4) Kita sudah belajar agama dan memiliki Allah. Sebagai calon orang tua
kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita
kelak.” Selain itu, contoh-contoh yang diberikan subjek sangat relevan dengan situasi
dan kondisi saat ini.
Apek kedua, subjek yang pada saat pretest belum bisa menerima pendapat
orang lain. Hasil postest menunjukkan subjek sudah bisa menerima pendapat orang
lain. Hal ini dibuktikan pada saat subjek mengatakan, “Betul yang dikatakan tim pro
masih ada teman sebagai tempat untuk mencurahkan masalah dan mendapatkan
motivasi.” Selain itu, subjek juga sudah bisa mengontrol emosi pada saat
menyampaikan pendapatnya, nada bicara subjek yang tinggi pada saat pretest tidak
terjadi pada saat postest. Subjek sudah bisa mengontrol nada suaranya menjadi lebih
halus tanpa menghilangkan sikap kritis yang dimiliki subjek.
Aspek ketiga, subjek sangat aktif menanggapi pendapat tim pro disertai alasan
dan bukti pendukung. Subjek juga sudah menunjukkan sikap sopan-santun saat
menyanggah pendapat lawan debatnya. “Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak
bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak? Di dunia ada
yang namanya sosialisasi, pendidikan agama tidak hanya di dapatkan di sekolah. Di
masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita buat apa banyak tempat ibadah kalau bukan
sebagai tempat pendidikan agama.” Aspek positif lainnya, subjek dengan inisial AB
mampu memberikan motivasi agar kawan-kawan yang lainnya berbicara. Subjek
terlihat beberapa kali memberikan kesempatan berbicara kepada teman kelompoknya
sehingga pembelajaran berdebat tidak didominasi oleh beberapa siswa saja.
Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan argumentasi subjek dinilai
sangat piawai dalam mempertahankan pendapat. Subjek sangat baik dan maksimal
dalam mempertahankan pendapatnya. Selain itu, contoh-contoh yang dikemukakan
sangat relevan dengan topik perdebatan. “Masalah Adi Bing Slamet, seseorang tidak
akan tahu watak hanya dari rupa butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui
detail orang tsb. Bagaimana mungkin ada keyakinan kita tidak akan terbawa guru
spiritual? tetapi lambat laun makin lama mengobrol merasa nyaman orang tersebut
akan terkena sirep.”
Aspek kelima, subjek sangat lancar berbicara tanpa melihat teks. Kelancaran
ini juga ditunjukkan dengan lafal, intonasi, dan jeda yang tepat pada setiap kalimat
yang diucapkan subjek. “Kemudian, kita harus merenungkan dalam-dalam di hati
kita, kan masih banyak orang baik mengapa harus ke guru spiritual?”
26|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Aspek keenam, kenyaringan suara. Nada bicara subjek yang tinggi dan keras
membuat suara subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga
tidak terganggu konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut.
Dapat disimpulkan bahwa suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana
kelas ribut sekalipun.
Aspek ketujuh, keberanian berbicara. Subjek mendapatkan nilai baik dari
aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat apa yang
ia kemukakan mudah dipahami. Subjek tampak tenang dan tanpa gugup menghadapai
banyaknya sanggahan dari kelompok pro. “Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu
karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah.”
Aspek kedelapan, aspek ketepatan struktur dan kosakata masih ada
kesalahan pada penggunaan diksi atau pemilihan kosakata daerah pada kata kecomotkecomot yang seharusnya diganti dengan kata terpengaruh, namun kesalahan tersebut
jauh berkurang dibandingkan pada saat pretest.
Aspek kesembilan ekpresi dan gestur, pandangan mata subjek sudah
terfokus dan disertai ekpresi dan isyarat tangan sebagai faktor pendukung subjek juga
terlihat serius dalam menyampaikan setiap argumentasi.
Aspek terakhir, subjek sudah menguasai topik debat yaitu tentang
Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis. Hal ini dibuktikan subjek sudah bisa
membuat kalimat argumentatif yang disertai contoh teoritis dan contoh praktis.
“Tetapi pada dasarnya seseorang di saat galau butuh sosok figur untuk Memberikan
pencerahan.”
4.
Pengujian Persyaratan Analisis Data
Di dalam analisis data ini, penulis menyajikan data hasil penelitian berupa
hasil pembelajaran siswa kelompok ekperimen dan siswa kelompok kontrol, uji
normalitas, uji homogenitas, uji beda rata-rata, dan uji hipotesis.
Tabel 3
Hasil Nilai Kemampuan Berdebat Siswa
Parameter
Kelompok
Kelompok
Gain
Ekperimen
Kontrol
Pretes Postest Pretes Postest Ekperimen Kontrol
t
t
Jumlah Siswa
25
25
25
25
25
25
Rata-rata
20,44
33,96
19,52
29,12
13,92
9,6
Standar Deviasi 2,72
3,07
3,28
2,47
2,83
3,34
Nilai Maksimal
25
39
25
33
Nilai Minimal
13
28
11
22
Penulis melakukan pengujian dengan uji normalitas kosmogorof-Smirnov
untuk membuktikan kenormalan data yang terdapat di dalam fasilitas SPSS 17.0
27|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dengan kriteria pengujian, yakni jika sig.hitung > alpha (a), data berdistribusi normal.
Pada keadaan lain, data tersebut tidak berdistribusi normal.
Hasil pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan program
SPSS 17.0 melalui uji Kolmogorof-Smirnov. Uji ini menggunakan kriteria
pengambilan keputusan, yakni apabila nilai sig.hitung > 0,05, dapat dikatakan bahwa
data tersebut berdistribusi normal, sebaliknya apabila nilai sig.hitung < 0.50, dapat
dikatakan bahwa data tersebut tidak berdistribusi normal. Berikut ini tabel hasil
rekapitulasi pengujian normalitas data pretest dan postest dari kelas ekperimen dan
kelas kontrol.
Tabel 4
Nilai Sig.hitung Uji Normalitas Nilai Pretest Kelas Ekperimen dan Kelas
Kontrol
Kelompok
Sig.hitung Df
a+
Keterangan
Ekperimen Pretest 0,707
25
0,05 Berdistribusi normal
Postest 0,674
25
0,05 Berdistribusi normal
Kontrol
Pretest 0,785
25
0,05 Berdistribusi normal
Postest 0,795
25
0,05 Berdistribusi normal
Tabel 5
Uji Homogenitas dengan Sig > 0,05
Parameter
Fhitung >0,05
Pretes Kelas Ekperimen dan Kontrol
0,659
Ya
Postest Kelas Ekperimen dan Kontrol
0,478
Ya
Gain
0,404
Ya
Keterangan
Homogen
Homogen
Homogen
Berdasarkan tabel di atas diperoleh Sig adalah sebesar 0,659, dan 0,478.
Hasil perhitungan di atas memenuhi kriteria sig > 0,05. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa data nilai pretes, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kelas
kontrol memiliki variasi yang homogen.
Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenitas yang telah dilakukan
diketahui bahwa data nilai pretest, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kontrol
berdistribusi normal dan homogen. Langkah selanjutnya adalah dilakukan uji beda
rata-rata pada masing-masing kelas dengan menggunakan uji-t.
a. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretest dan Postest di Kelas Ekperimen
Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS
17 diperoleh nilai t hitung 16,454 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05
untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 16,454 dan t tabel sebesar
2,021 atau 16,454 > 2,021. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data signifikan.
b. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretest dan Postest di Kelas Kontrol
Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS
17 diperoleh nilai t hitung 11,686 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05
28|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 11,686 dan t tabel sebesar
2,021. Jadi, dapat dikatakan bahwa data signifikan.
c. Uji Perbedaan Tes Akhir pada Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol
Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS
17 diperoleh nilai t hitung 4,476 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05
untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 4,476 dan t tabel sebesar
2,021.
Dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi
a.=0,05, maka dicari pada t tebel yaitu 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung >
t tabel, artinya signifikan atau hipotesis tersebut benar atau diterima.
Ternyata t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil
pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi
karakter sebagai bukti hipotesis bahwa terdapat perbedaan signifikan antara
kemampuan berdebat siswa memperoleh model tongkat berbicara berorientasi
karakter dengan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model terlangsung.
D. SIMPULAN
Temuan hasil penelitian, pertama, pembelajaran berbicara khususnya
kemampuan berdebat siswa masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan
guru memperlakukan sama antara pembelajaran berbicara dengan pembelajaran
membaca nyaring. Siswa sendiri cenderung menghafal teks yang disajikan guru bukan
menyampaikan isi teks dengan bahasa sendiri. Selain itu, pembelajaran berdebat
kurang memberikan pembagian giliran berbicara secara adil sehingga hanya siswa
tertentu saja yang aktif berbicara. Dari segi model pembelajaran, penggunaan model
terlangsung belum mampu mengukur, mengkoreksi, dan menumbuhkan karakter pada
siswa.
Kedua, perlakuan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada
pembelajaran debat bertujuan membuat siswa memiliki kemampuan berbicara
sekaligus akan beroleh pengembangan karakter sehingga pada akhirnya karakter
positif akan membudaya pada diri siswa. Karakter-karakter positif sudah ditunjukkan
siswa baik pada saat latihan berdebat maupun praktik berdebat menggunakan model
tongkat berbicara berorientasi karakter. Hal ini telihat dari sikap sopan serta
kesantunan bahasa yang ditunjukkan siswa.
Ketiga, hasil pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat
berbicara berorientasi karakter lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran debat
dengan menggunakan model terlangsung. Hal ini dapat dilihat pada hasil tes awal dan
akhir di kelas ekperimen dengan kelas kontrol yang menunjukkan perbedaan. Artinya
sebelum penerapan model dan sesudah penerapan model baik kelas ekperimen
maupun kelas kontrol menunjukkan peningkatan.
Hasil analisisis uji beda berdasarkan tes akhir di kelas ekperimen dan kelas
kontrol dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi a
= 0,05, maka dicari pada t tabel = 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung > t
tabel, artinya signifikasi atau hipotesis tersebut benar dan diterima.
29|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Ternyata t hitung > t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil pembelajaran
debat di kelas X SMAN 1 Palimanan Kabupaten Cirebon sebagai bukti hipotesis
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang menggunakan
model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan hasil belajar siswa yang diberi
pembelajaran model terlangsung.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan beberapa
saran sebagai upaya meningkatkan kemampuan berbicara khususnya kemampuan
berdebat sebagai berikut.
Pertama, guru hendaknya melakukan berbagai kegiatan berbicara yang
dapat dilakukan siswa. Kegiatan berbicara spontan sangat baik dijadikan sebagai
latihan sebelum kegiatan berdebat dilakukan karena berbicara spontan bisa menggali
kemampuan (skema) siswa berbicara dalam berbagai kondisi.
Kedua, pembelajaran berbicara dengan menggunakan teks boleh saja
dilakukan dengan syarat teks tersebut adalah teks yang disusun oleh siswa sehingga
siswa terbiasa mengolah, mengemas, dan menyampaikan gagasannya secara lisan.
Selain itu, teks yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pemahaman
siswa.
Ketiga, walaupun keteterampilan berbicara bukanlah bagian dari Ujian
Nasioanal, kemampuan berbicara merupakan atribut siswa yang akan digunakannya
secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting sekali
pembinaan terhadap keterampilan ini terutama kaitannya dengan pembentukkan
karakter positif .
Daftar Pustaka
Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter.
Bandung: Refika Aditama.
Arsjad, Maidar G dan Mukti U.S. (1988). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai
Pustaka.
Nurjamal, Daeng dkk. (2011). Terampil Berbahasa. Bandung: Alfabeta.
Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti. (2006). Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: Rosdakarya.
Tarigan, H.G. (2008). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN EKSPOSISI ANALISIS
PROSES
30|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
BERBASIS KECAKAPAN VOKASIONAL DENGAN METODE
KOLABORASI
oleh
Elis Nurfatia Agung
SMK Farmasi Bekasi 1
Abstrak:
Penelitian ini berjudul “Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses
Berbasis Kecakapan Vokasional dengan Metode Kolaborasi” (Eksperimen terhadap
Siswa Kelas XI SMK Mutiara Baru Kota Bekasi Tahun Ajaran 2013/2014). Penelitian
ini berlatar belakang pada adanya kebutuhan siswa terhadap pembelajaran menulis
yang dapat mendukung kompetensi dasar siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk:
(1) mendeskripsikan profil kemampuan menulis siswa kelas XI SMK Mutiara Kota
Bekasi, (2) mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran menulis karangan
eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan metode kolaborasi,
(3) mendeskripsikan keefektifan metode kolaborasi dalam pembelajaran menulis
karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hipotesis penelitian, yaitu
metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi
analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Berdasarkan hasil perhitungan statistik
diperoleh data bahwa t0 = 5,24 ? t (0,05) (58) = 2,00, sehingga hipotesis yang diajukan
penulis dapat diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode kolaborasi efektif
digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis
kecakapan vokasional.
Kata kunci: Karangan eksposisi analisis proses, kecakapan vokasional, keefektifan,
metode kolaborasi
A. PENDAHULUAN
Globalisasi menuntut segala aspek kehidupan untuk dapat meningkatkan
sumber daya manusia agar dapat bersaing baik nasional maupun internasional.
Mengingat hal tersebut, maka diperlukanlah penciptaan kompetensi sumber daya
manusia yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi sesuai dengan kebutuhan di
lapangan.
Salah satu aspek yang dapat meningkatkan kompetensi sumber daya manusia
adalah pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai
lembaga pendidikan memiliki struktur kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan kompetensi dunia kerja. Begitu pula dengan bahasa Indonesia. Sebagai mata
pelajaran normatif, bahasa Indonesia dikhususkan agar siswa terampil berbahasa
dalam berkomunikasi di dunia kerja. Melalui penguasaan kompetensi mata pelajaran
bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu agar mampu
berkomunikasi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada era global, penggunaan
31|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
bahasa secara baik dan benar merupakan syarat mutlak di dunia kerja (BNSP,
2006:105).
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dijelaskan bahwa salah
satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia yaitu siswa terampil menulis wacana yang bercorak naratif, deskriptif,
ekspositoris, dan argumentatif. Semua karangan tersebut disesuaikan dengan
kompetensi keahlian peserta didik dalam konteks bekerja. Dalam pengertian, jenis
karangan yang dihasilkan berkaitan dengan kecakapan vokasional atau keterampilan
kerja yang mereka geluti.
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru
bahasa Indonesia SMK, maka diperoleh kesimpulan bahwa jenis tulisan yang
diperlukan oleh siswa SMK adalah jenis tulisan yang berisi paparan mengenai suatu
prosedur kerja, terutama yang berkaitan dengan kecakapan vokasional yang digeluti
oleh siswa. Secara substansi, kecakapan vokasional (vocational skill) sering kali
disebut dengan keterampilan kerja. Dalam hal ini, kecakapan vokasional dikaitkan
dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat dan dunia kerja. Sebab,
dalam menghadapi kehidupan pada masa depan, mereka akan dihadapkan pada
tuntutan untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terutama masalahmasalah keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja (Illahi, 2012: 134). Oleh
karena itu, penentuan jenis karangan yang tepat sangat dibutuhkan siswa dalam
menuangkan ide kecakapan vokasional. Dalam hal ini, karangan eksposisi analisis
proses dinilai tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Dalam karangan eksposisi analisis proses, siswa dapat menjelaskan prosedur
keterampilan kerja mulai dari tahap awal sampai tahap akhir secara detail. Analisis
proses biasanya disusun secara kronologis: yang pertama dilaksanakan ini, kemudian
itu, dan seterusnya. Kepintaran mengatur tahap-tahap yang berurutan logis serta
kecakapan menjalankan langkah-langkah dengan baik dan konsekuen merupakan
kunci keberhasilan seseorang untuk menulis sebuah karangan eksposisi analisis proses
(Tarigan, 1982:79).
Kegiatan menulis merupakan suatu aktivitas yang kompleks. Hal ini
disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur
kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi tulisan. Baik
unsur bahasa maupun unsur isi harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan
tulisan yang runtut dan padu (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008: 248). Kegiatan
menulis tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam aktivitas siswa dalam pembelajaran.
Selama siswa berada dalam ruang lingkup pendidikan, maka selama itu pula siswa
harus mampu menulis sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki wawasan yang
luas dan mendalam mengenai topik yang ditulisnya (Akhadiah, 1988: 1).
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sebuah metode pembelajaran
menulis yang dapat memfasilitasi siswa. Dengan kata lain, metode pembelajaran
menulis yang digunakan harus terpusat pada siswa (student centered). Siswa harus
dilibatkan dalam proses pembelajaran menulis agar pembelajaran yang dilakukan
32|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dapat bermakna bagi siswa. Salah satu metode pembelajaran menulis yang tepat
diterapkan pada siswa yaitu metode kolaborasi.
Dalam metode ini, siswa dapat bekerja sama untuk merancang, menyusun ide,
bertukar pikiran, dan saling mengoreksi antarteman sejawat mengenai tulisan
eksposisi analisis proses yang telah dibuat (Alwasilah dan Susanna, 2005: 21).
Melalui metode ini pula, siswa akan terbantu untuk mengemukakan ide-ide sehingga
tak lagi merasa kesulitan dalam menulis. Dengan demikian, pembelajaran yang
dilakukan pun akan bermakna bagi siswa sehingga mampu menghasilkan spektrum
manusia berkualitas, handal, dan berdaya saing tinggi.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. (a)
Bagaimanakah profil kemampuan menulis siswa kelas XI Akuntansi SMK Mutiara
Baru Kota Bekasi?; (b) Bagaimanakah proses pembelajaran menulis karangan
eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan metode
kolaborasi?; dan (c) Apakah metode kolaborasi efektif dalam pembelajaran menulis
karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional?
Adapun tujuan yang telah dicapai dalam penelitian ini, yaitu profil kemampuan
menulis siswa sudah tergambarkan dengan jelas. Dalam profil kemampuan menulis
siswa, diketahui bahwa kemampuan menulis siswa masih sangat rendah. Hal ini
disebabkan oleh motivasi yang kurang. Selain itu pula, siswa masih belum dapat
menulis dengan ejaan yang baik. Masih banyak siswa yang menulis dengan kesalahan
penulisan huruf kapital dan tanda baca. Selain itu, banyak pula siswa yang menulis
dengan bentuk kata yang disingkat dan terkadang masih ada pula siswa yang
mencampuradukkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke dalam tulisannya.
Tujuan kedua dari penelitian ini yaitu pada gambaran proses pembelajaran, sudah
dapat diidentifikasi bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses
berbasis kecakapan vokasional dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Hal ini
disebabkan bahwa dalam metode kolaborasi membutuhkan proses yang sangat
panjang. Selain itu, dalam pembelajaran menulis ini pula, diperlukan sebuah
penyadaran terhadap kecakapan vokasional siswa agar dapat memberikan kontribusi
pada saat menuliskannya ke dalam karangan eksposisi analisis proses.
Tujuan ketiga dari penelitian ini, yaitu adanya efektivitas penggunaan metode
kolaborasi dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis
kecakapan vokasional. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa t0 =5,24 > t(0,05) (58) =
2,00. Hal ini membuktikan bahwa metode kolaborasi terbukti efektif dalam
pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan
vokaisonal.
B.
METODE PENELITIAN
Fokus utama penelitian ini adalah efektivitas penerapan metode kolaborasi
terhadap peningkatan kemampuan menulis dalam bentuk karangan eksposisi analisis
proses berbasis kecakapan vokasional. Untuk itu, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitian pretest-posttest control
group design (Darmadi, 2011: 56). Dalam rancangan penelitian ini, perlakuan
33|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
diberikan kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol yang
digambarkan sebagai berikut.
Langkah-langkah penerapan desain pretest- posttest control group di atas adalah
sebagai berikut, (a) tes awal (pretest) merupakan tes keterampilan menulis karangan
eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional yang diberikan kepada kelas
eksperimen, untuk mengetahui kemampuan awal siswa (O1) sebelum diberi
perlakuan; (b) perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan metode
kolaborasi; dan (c) tes akhir (posttest) untuk mengetahui hasil belajar siswa sebagai
efek penggunaan metode kolaborasi.
Adapun populasi yang diambil dalam penelitian ini, yaitu keseluruhan siswa kelas
XI Akuntansi SMK Mutiara Baru Kota Bekasi sedangkan sampel dalam penelitian
ini, yaitu XI Akuntansi 1 sebagai kelas eksperimen dan XI Akuntansi 2 sebagai kelas
kontrol yang diambil secara random kelas.
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) instrumen tes;
(b) instrumen angket: (c) instrumen observasi: dan (d) instrumen wawancara.
Sementara itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
(a) tes keterampilan menulis karangan eksposisi. Teknik tes tersebut dilakukan
sebanyak dua tahap. Pretest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi
analisis proses yang dilakukan sebelum diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan
awal menulis siswa. Posttest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi
analisis proses yang dilakukan setelah diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan
akhir menulis siswa; (b) angket, digunakan untuk mengetahui pendapat siswa tentang
pelajaran bahasa Indonesia terutama selama pembelajaran menulis karangan eksposisi
analisis proses diberlakukan. Tipe atau bentuk pertanyaan yang digunakan adalah
pertanyaan tertutup yang mengharapkan jawaban singkat atau mengharapkan
responden untuk memilih salah satu alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang
tersedia; (c) observasi, dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap dan perilaku
siswa dan guru, kegiatan yang dilakukan, tingkat partisipasi dalam suatu kegiatan, dan
hasil yang diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini,
digunakan observasi langsung yaitu pengamatan yang dilakukan terhadap gejala atau
proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya dan langsung diamati oleh
pengamat; (d) wawancara, dilakukan untuk mengetahui bagaimana profil kemampuan
menulis siswa. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mengetahui respon guru
dan siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran menulis dengan menggunakan metode
kolaborasi.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Profil Kemampuan Menulis Siswa
Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa kurang menyukai pembelajaran
menulis. Salah satunya adalah kesulitan siswa dalam menentukan ide karangan.
Hampir sebagian besar siswa mengatakan bahwa mereka kurang atau susah sekali
berimajinasi dan memikirkan ide yang tepat untuk menulis. Hal inilah yang menjadi
faktor utama dalam masalah menulis.
34|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Ada hal lain yang juga menyebabkan siswa malas untuk menulis, yaitu kesulitan
dalam mengorganisasikan ide. Hampir sebagian besar siswa mengatakan bahwa
mereka kesulitan dalam mengembangkan ide ke dalam tulisan. Keterbatasan dalam
kosakata juga mempengaruhi hal tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya
latihan menulis dan kurangnya minat membaca siswa.
Selain itu, ada juga kendala lain yang mereka hadapi dalam menulis. Mereka
mengatakan bahwa dalam menulis itu banyak sekali aturan penulisan seperti tanda
baca dan penulisan huruf. Mereka mengatakan bahwa kesalahan yang sering sekali
dilakukan yaitu penulisan huruf kapital di tengah kalimat. Selain itu, kesalahan lain
yang sering mereka lakukan dalam menulis yaitu menempatkan tanda baca titik dan
tanda baca koma. Kesalahan lain yang juga masih sering dilakukan adalah penulisan
kata depan di, ke, dan dari.
Dalam hal pembentukan kata, mereka juga masih mengalami kendala seperti kata
imbuhan yang penulisannya masih salah. Mereka juga kerap kali menyingkat
penulisan bentuk kata. Hampir sebagian besar siswa pun mengatakan bahwa mereka
jarang melakukan latihan menulis di luar jam pelajaran. Mereka mengatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh faktor malas yang meliputi diri mereka.
2. Proses Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses Berbasis
Kecakapan Vokasional dengan Metode Kolaborasi
Dalam penelitian ini, proses pembelajaran dilakukan dalam dua kali pertemuan
mengingat penerapan metode kolaborasi membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Adanya bidang kecakapan vokasional yang membutuhkan perancangan keterampilan
kerja membuat proses pembelajaran ini tidak dapat dilakukan hanya dalam satu kali
pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan untuk menguatkan dan memberikan
pelatihan dasar kecakapan vokasional (praktik kerja) siswa agar dapat memberikan
kontribusi ketika menulis karangan eksposisi analisis proses. Sebelum melakukan
proses pembelajaran, guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Dalam tahap
ini, guru telah menyiapkan daftar kelompok-kelompok siswa. Dalam satu kelompok
terdiri atas lima orang siswa yang kemampuannya heterogen (asor, menengah, dan
tinggi).
Setelah guru membentuk kelompok, kegiatan selanjutnya yaitu pemberian
pelatihan praktik kerja kepada siswa. Dalam tahap ini, ada beberapa langkah yang
harus dilakukan oleh siswa. Pertama, masing-masing kelompok siswa diberikan
beberapa soal cerita yang berkaitan dengan kecakapan vokasional mereka, yaitu
berupa keuangan perusahaan dagang atau jasa. Dalam langkah pertama ini, guru telah
menyiapkan beberapa soal yang berbeda agar masing-masing kelompok dapat
berkolaborasi menyusun keterampilan kerja. Dalam hal ini, guru produktif membuat
bentuk soal sedangkan guru normatif memeriksa pemakaian bahasa.
Setelah soal kecakapan vokasional diberikan, kemudian masing-masing
kelompok siswa mencermati soal tersebut dengan bantuan instruksi guru. Langkah
ketiga, yaitu siswa mengidentifikasi inti permasalahan yang ada dalam soal kecakapan
vokasional tersebut. Hal ini dilakukan untuk menentukan jenis keterampilan kerja apa
yang dimaksudkan dalam soal tersebut. Dalam langkah ini, guru menyiapkan
beberapa kertas kerja yang akan dipakai oleh masing-masing kelompok siswa.
35|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Langkah keempat, yaitu masing-masing kelompok siswa membuat penyelesaian
rangkaian kerja berdasarkan identifikasi keterampilan kerja yang dimaksudkan dalam
soal. Dalam langkah ini, guru membagikan kertas kerja kepada masing-masing
kelompok yang akan digunakan untuk mengerjakan soal.
Setelah beberapa langkah dalam tahap kedua dilakukan, tahap ketiga yaitu
masing-masing kelompok siswa mempresentasikan hasil praktik kerjanya. Dalam
tahap ini, guru memandu jalannya presentasi. Presentasi ini dilakukan dengan tujuan
adanya komentar dari kelompok siswa yang lain. Tahap terakhir yaitu setelah masingmasing kelompok siswa mempresentasikan hasil praktik kerjanya, kemudian
diberikan kepada guru untuk dikumpulkan.
Pertemuan kedua dilakukan untuk menulis karangan eksposisi analisis proses
berbasis kecakapan vokasional berdasarkan pengalaman praktik yang telah dilakukan
pada pertemuan sebelumnya. Ada beberapa tahapan dalam menuangkan pengalaman
praktiknya menjadi karangan eksposisi analisis proses. Tahap pertama yaitu guru
membagikan hasil praktik kerja yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya
kepada masing-masing anggota kelompok. Pada tahap kedua, masing-masing
kelompok melakukan kolaborasi intersiswa untuk membuat draft tulisan karangan
eksposisi analisis proses berdasarkan pengalaman praktik kerja yang telah dilakukan.
Dalam tahap ini pula, guru menyiapkan lembar kerja siswa dan memandu pembuatan
draft tulisan eksposisi analisis proses.
Setelah siswa menuliskan secara detail dan lengkap draft tulisan, tahap
selanjutnya yaitu masing-masing kelompok siswa melakukan kolaborasi intersiswa
untuk mengembangkan draft tulisan menjadi karangan eksposisi analisis proses.
Dalam tahap ini, guru menyiapkan beberapa kertas folio yang akan digunakan
kelompok siswa untuk menulis. Dalam kertas tersebut, sudah tertera kolom kecil pada
halaman ketiga di kertas folio tersebut yang akan digunakan untuk menuliskan
komentar. Dalam tahap ini, masing-masing kelompok siswa harus sudah mulai
menulis dengan memperhatikan tatacara penulisan yang baik.
Setelah membuat karangan eksposisi analisis proses, kelompok siswa
berkolaborasi dengan kelompok lain. Dalam tahap ini, kelompok yang menulis
karangan disebut kelompok penulis atau kelompok asal sedangkan kelompok yang
memeriksa disebut dengan kelompok kolaborator. Pada tahap ini, guru memasangkan
kelompok penulis dengan kelompok kolaborator sehingga terjadi saling tukar
karangan. Kemudian, kelompok penulis memberikan hasil tulisannya dengan
kelompok kolaborator untuk diperiksa dan ditandai kesalahannya. Karangan yang
telah diterima oleh kelompok kolaborator kemudian dibaca dan diperiksa secara
menyeluruh dari segi isi, organisasi isi, ejaan, bahasa, dan kosakata. Kelompok
kolaborator kemudian memberikan komentar terhadap isi dan organisasi isi karangan
pada kolom yang terdapat pada halaman ketiga kertas folio. Kemudian, kelompok
kolaborator juga menandai kesalahan-kesalahan dalam penulisan seperti ejaan,
kosakata, dan bahasa dengan pena merah.
Setelah kelompok kolaborator memeriksa tulisan karangan eksposisi analisis
proses, maka masing-masing kelompok kolaborator membacakan hasil
pemeriksaannya di depan kelas. Guru pun mengatur jalannya presentasi agar
36|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
berlangsung dengan tertib. Setelah semua kelompok kolaborator membacakan hasil
pemeriksaan, karangan tersebut dikembalikan kepada kelompok penulis untuk
direvisi. Kelompok penulis pun berkolaborasi untuk memperbaiki karangannya
berdasarkan komentar kelompok kolaborator.
Dari hasil revisi, kemudian masing-masing kelompok siswa membacakan
karangan yang telah direvisi. Kembali guru mengatur jalannya presentasi agar dapat
berjalan dengan baik. Setelah karangan dipresentasikan, kemudian diberikan kepada
guru untuk mendapatkan penilaian dan umpan balik. Dalam tahap ini, guru
mengumpulkan karangan siswa dan memberikan penilaian terhadap karangan siswa
yang telah direvisi.
3. Analisis Tes Kemampuan Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses
Berbasis Kecakapan Vokasional Siswa
Berikut ini akan dipaparkan contoh hasil analisis tes awal dan tes akhir
kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan
vokasional siswa yang telah disalin ulang.
Berikut merupakan data tes awal kemampuan menulis karangan eksposisi
analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa.
Langkah memulai Siklus Akuntansi adalah dengan bukti transaksi yang akan
kita terima Pada Saat kita melakukan Pembelian barang Seperti Faktur,
kwintansi, Nota Debet dll. Kemudian transaksiII yang dilakukan kita Pindahkan
ke jurnal transaksi yang mana berisi transaksiII yg kita lakukan Setelah selesai
kita pindahkan AkunII itu ke dalam Buku Besar Satu Persatu akunIInya.
Kemudian kita membuat Buku Besar Pembantu untuk sahap Perusahaan /PT.
Langkah selanjutnya adalah membuat neraca Saldo yang mana berisi
Sekelompok akun yang ada di Buku Besar. lalu akunII neraca Saldo yang
disesuaikan dipindahkan ke Jurnal Penyesuaian kemudian kita membuat
Neraca Lajur yg berisi ikhtisar Laba/Rugi, Neraca, Neraca Saldo, Penyesuaian
dan langkah terakhir membuat Laporan Keuangan, ada 3 Laporan yaitu ;
Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Modal dan Laporan Neraca
Hasil analisis kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis
kecakapan vokasional siswa adalah sebagai berikut.
Karangan ini mengandung kecukupan informasi dan substansi. Alur kegiatan
masih dijelaskan secara umum, belum detail. Meskipun demikian, informasi
kecakapan kerja yang disampaikan melalui tulisan ini masih cukup dapat dipahami
dengan baik. Selain itu, dari pola pengembangan prosedural kerja, belum
dikembangkan secara detail dan rinci. Oleh karena itu, karangan ini tergolong cukup
tuntas dalam pengembangan prosedural kerja. Sementara itu, jika direlevansikan
dengan kebutuhan dunia kerja, karangan yang ditulis cukup relevan.
Dalam karangan ini terlihat sekali bahwa karangan ini tergolong cukup jelas dan
diungkapkan dengan ekspresi yang cukup lancar sehingga inti keterampilan kerja
dapat dipahami dengan cukup baik. Jika diperhatikan dari segi pola penyusunan
pemikiran atau gagasan, karangan ini sudah memiliki pola penyusunan pemikiran dan
gagasan yang cukup baik, tidak ada gagasan yang terpotong. Hanya butuh sedikit
37|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
pengembangan gagasan yang lebih mendalam lagi sehingga penjelasan yang
diberikan pun semakin jelas. Jika dilihat dari pola penyusunan prosedur kerja, terlihat
sangat logis, cukup jelas, dan berurut.
Sementara itu, jika dilihat dari aspek pemakaian kosakata khusus dunia kerja,
karangan ini sebenarnya sudah memunculkan istilah-istilah bidang akuntansi dengan
potensial dan sering digunakan. Jika dilihat dari pilihan katanya, karangan ini sudah
ditulis dengan pilihan kata yang sesuai. Hanya ada satu kata yang salah dalam
penulisannya, tetapi hal tersebut tidak mengubah makna yang ingin disampaikan.
Selain itu, karangan ini juga ternyata masih ditulis dengan menggunakan kata tidak
baku. Meskipun demikian, hal itu tidak mengubah makna yang ingin disampaikan.
Sementara itu, dari pembentukan kata yang ditulis, karangan ini masih ditulis dengan
bentukan kata yang disingkat sehingga dapat merusak bahasa, terutama bahasa
tulisan.
Jika dilihat dari pola keefektifan kalimat yang digunakan, karangan ini ditulis
dengan pola kalimat yang kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh
pemakaian bahasa Inggris. Jelas sekali, bentuk penggunaan kata yang seperti itu dapat
merusak bahasa. Jika dilihat dari penggunaan ragam bahasa bisnis, karangan ini ditulis
dengan ragam bahasa bisnis yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh adanya
kesalahan dalam penulisan pilihan kata, penulisan kata tidak baku, dan juga adanya
penggunaan kalimat yang kurang efektif sehingga makna rusak.
Jika dilihat dari segi ejaan, karangan ini ditulis dengan ejaan yang kurang baik.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kalimat yang tidak membubuhi tanda baca pada
salah satu kalimat sehingga maknanya pun rusak. Dalam karangan ini pun masih
menggunakan penulisan huruf kapital yang kurang tepat. Adanya penggunaan huruf
kapital di tengah kalimat membuktikan hal ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak
mengubah makna. Selain itu, ada pula kalimat yang tidak menggunakan huruf kapital
di awal kalimat. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengubah makna.
Berikut merupakan data tes akhir kemampuan menulis karangan eksposisi analisis
proses berbasis kecakapan vokasional siswa yang telah disalin ulang.
Pembuatan Laporan Keuangan di Ms.Excel
Ada beberapa langkah dalam pembuatan laporan keuangan dengan
bantuan Ms.Excel. Pertama, kita harus membuat daftar akun untuk
mengidentifikasi jurnal-jurnal yang akan kita lakukan nantinya pada sebuah
jurnal. Buatlah tabel daftar akun pada sheet 1 dan isikan di dalamnya nomor
akun, nama akun, dan saldo awal akun. Lengkapi pula kolom pos untuk tiaptiap kelompok akun sebagai berikut: kelompok aktiva (debet), hutang (kredit),
ekuitas (kredit), harga pokok (debet), pendapatan (kredit), biaya (debet).
Jumlahkan sisi debet dan kredit. Jumlah kedua sisi tersebut harus seimbang
dengan laporan keuangan sebelumnya.
Selanjutnya, buatlah jurnal umum pada sheet 2 sekaligus isikan transaksi
di dalamnya. Sebaiknya kelompokkan untuk tiap transaksi berdasarkan jenis
transaksi seperti penerimaan kas, pengeluaran kas, penjualan, pembelian,
dan memorial.
38|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Terakhir yaitu buat laporan neraca dan laba rugi pada sheet 3. Akan
tetapi, kita harus membuat rumus-rumus untuk setiap kolom debit dan kredit.
Copy rumus itu untuk baris berikutnya. Lalu, jumlahkan kolom debet/kredit
neraca maupun laba – rugi. Selisihkan antara jumlah debet dan kredit laba
rugi sebagai laba bersih, kemudian nilai laba bersih tersebut bersih tersebut
letakkan ke dalam neraca sebagai pos laba bersih.
(disalin sesuai aslinya)
Jika dilihat dari kualitas isi kecakapan kerja, karangan ini sangat informatif dan
sangat substantif. Dalam karangan ini, proses kerja sudah dijelaskan dengan sangat
detail dan rinci. Dengan demikian, informasi kecakapan kerja yang disampaikan
melalui tulisan ini dapat dipahami dengan baik. Selain itu, pola pengembangan
prosedural kerja dalam karangan ini, sudah dikembangkan dengan sangat baik. Setiap
tahapan dalam prosedur kerja dijelaskan dengan cukup baik. Hal ini dapat dijelaskan
dengan adanya pembuatan dan petunjuk proses kerja yang sangat jelas di setiap
tahapan mulai dari bagaimana cara melakukan pekerjaan langkah demi langkah
sampai dengan apa saja yang diperlukan dalam setiap langkah pekerjaan. Oleh karena
itu, karangan ini dikatakan sangat tuntas dalam mengembangkan prosedural kerja.
Sementara itu, jika direlevansikan dengan kebutuhan dunia kerja, karangan yang
ditulis dapat dikatakan sangat relevan dengan kecakapan vokasional, terlebih lagi
karangan ini berisi kecakapan dalam bidang computer akuntansi yang memang sangat
dibutuhkan dalam dunia kerja. Pengambilan ide yang inovatif dan pengembangan
prosedural kerja yang dijelaskan dengan sangat detail di setiap tahapannya, membuat
kecakapan kerja ini dapat dimanfaatkan dalam dunia kerja.
Dalam karangan ini, terlihat sekali bahwa karangan ini sangat jelas dan
diungkapkan dengan ekspresi yang sangat lancar sehingga inti kecakapan kerja dapat
dipahami dengan baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya keruntutan,
kelengkapan, dan kerapihan dalam menuliskan prosedural kerja pembuatan laporan
keuangan di Microsoft Excel sehingga makna yang ingin disampaikan tak kabur.
Jika diperhatikan dari segi pola penyusunan pemikiran atau gagasan, karangan
ini sudah memiliki pola penyusunan pemikiran dan gagasan yang sangat baik. Hal ini
dapat dijelaskan dengan adanya keteraturan menuliskan ide-ide kecakapan kerja
dalam pembuatan laporan keuangan di Microsoft Excel pada setiap tahapannya.
Dengan demikian, uraian ide yang diberikan dapat dipahami dengan baik. Jika dilihat
dari pola penyusunan prosedur kerja, karangan ini sudah disusun dan dijelaskan
dengan prosedur kerja yang sangat lengkap, logis, berurut, dan baik. Dengan
demikian, tahapan dalam prosedur kerja dapat dipahami dengan baik.
Sementara itu, jika dilihat dari aspek pemakaian kosakata khusus dunia kerja,
karangan ini sebenarnya sudah memunculkan istilah-istilah bidang akuntansi. Istilahistilah yang digunakan dalam karangan ini potensial dan sering dimunculkan. Jika
dilihat dari pilihan katanya, karangan ini sudah ditulis dengan pilihan kata yang
sesuai. Tidak ada lagi kata yang ditulis dengan bentuk kata tidak baku, kata yang
penulisannya disingkat, dan kata ulang yang penulisannya disingkat.
39|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Selain itu, karangan ini juga ternyata menggunakan satu istilah computer
karena kecakapan ini berkaitan dengan komputer akuntansi. Adanya kata copy dalam
karangan ini membuktikan hal tersebut. Sementara itu, dari pembentukan kata yang
ditulis, karangan ini sudah ditulis dengan bentukan kata yang tepat. Sudah tidak ada
lagi bentukan kata yang salah. Dengan demikian, makna yang ingin disampaikan
dalam kecakapan kerja benar-benar dipahami dengan baik.
Jika dilihat dari pola keefektifan kalimat yang digunakan, karangan ini ditulis
dengan pola kalimat yang kompleks dan efektif. Tidak ada kalimat yang ditulis
dengan tidak efektif sehingga makna yang disampaikan dapat diterima dan dipahami
dengan baik. Jika dilihat dari penggunaan ragam bahasa bisnis, karangan ini ditulis
dengan ragam bahasa bisnis yang sangat baik. Hal ini disebabkan oleh pilihan kata,
pembentukan kata, dan keefektifan kalimat yang sudah tepat. Dengan demikian,
kecakapan kerja yang ditulis dapat dipahami dengan baik pula.
Jika dilihat dari segi ejaan, karangan ini sudah mulai ditulis dengan ejaan yang
baik. Karangan ini pun sudah menggunakan penulisan huruf kapital yang tepat. Sudah
tidak ada lagi penggunaan huruf kapital di tengah kalimat. Selain itu, tidak ada lagi
kalimat yang tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Penggunaan huruf
secara keseluruhan sudah tepat.
Berikut adalah tabel yang diperoleh dari nilai rata-rata tes awal dan tes akhir
kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan
vokasional siswa kelas eksperimen.
Tabel 1
Nilai Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen
Keterampilan Berbicara
Rata-Rata
Tes awal (Pretest)
71,27
Tes akhir (Posttest)
87,77
Berikut adalah tabel yang diperoleh dari nilai rata-rata tes awal dan tes akhir
kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan
vokasional siswa kelas kontrol.
Tabel 2
Nilai Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol
Keterampilan Berbicara
Rata-Rata
Tes awal (Pretest)
72,47
Tes akhir (Posttest)
78,67
Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata siswa di kelas eksperimen pada
pelaksanaan tes awal, yaitu sebesar 71,27. Selain itu, dari tabel di atas juga diperoleh
nilai rata-rata siswa pada pelaksanaan tes akhir, yaitu sebesar 87,77. Dari hasil
penghitungan nilai rata-rata tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa ketika
tes akhir lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa ketika tes awal. Hal itu
40|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan terhadap kemampuan menulis
karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa.
Selain itu, pada tabel kedua merupakan nilai rata-rata siswa di kelas kontrol pada
pelaksanaan tes awal, yaitu sebesar 72,47 sedangkan nilai rata-rata siswa pada
pelaksanaan tes akhir, yaitu sebesar 78,67. Sama dengan kelas eksperimen,
kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan
vokasional siswa di kelas kontrol pun mengalami peningkatan. Dari hasil
penghitungan nilai rata-rata tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa ketika
tes akhir lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa ketika tes awal. Akan
tetapi, peningkatan nilai tidak sebesar kelas eksperimen.
Perbedaan kenaikan nilai rata-rata tersebut belum dapat membuktikan bahwa
metode kolaborasi efektif untuk pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis
proses berbasis kecakapan vokasional siswa. Kepastian keefektifan akan terlihat jika
nilai tersebut sudah digunakan dalam penghitungan pembuktian hipotesis.
Dari hasil data yang telah dianalisis, diperoleh t hitung sebesar 5,24 dengan
menggunakan taraf signifikasi 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) serta derajat
kebebasan 58 diperoleh t tabel sebesar 2,00. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa
t0 = (5,24) > t(0,05) (58) = (2,00). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan
rata-rata nilai tes awal dan tes akhir terbukti signifikan. Hal ini sekaligus
membuktikan hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini, yaitu metode
kolaborasi efektif dalam meningkatkan kemampuan menulis karangan eksposisi
analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa SMK Mutiara Baru Kota Bekasi
kelas XI Akuntansi, terbukti diterima.
D. SIMPULAN
Berdasarkan hasil wawancara mengenai profil kemampuan menulis siswa kelas XI
SMK Mutiara Baru Kota Bekasi, diperoleh sebuah data bahwa kemampuan menulis
siswa masih rendah. Siswa banyak yang tidak menyukai pembelajaran menulis. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi kendala utama dalam menulis.
Kendala pertama yaitu kesulitan dalam menentukan ide karangan. Selain itu, kendala
lain yang timbul adalah kesulitan dalam mengorganisasikan ide. Keterbatasan dalam
kosakata juga mempengaruhi hal tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya
latihan menulis dan kurangnya minat membaca siswa. Begitu pula dalam tata cara
penulisan. Hal yang sama juga terjadi pada pembentukan kata, misalnya kata
berimbuhan. Terkadang siswa juga masih sering menyingkat penulisan kata.
Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan, diperoleh sebuah
simpulan bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis
kecakapan vokasional dengan menggunakan metode kolaborasi dilakukan dalam dua
kali pertemuan. Hal ini disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan metode kolaborasi cukup panjang sehingga tidak
mungkin dilakukan hanya dalam satu kali pertemuan. Pada pertemuan pertama,
pembelajaran lebih difokuskan pada kecakapan vokasional siswa. Hal ini dilakukan
agar timbul kesadaran dalam diri siswa terhadap kecakapan vokasional yang mereka
pelajari. Pada pertemuan kedua, masing-masing kelompok melakukan kolaborasi
41|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
intersiswa untuk membuat draft tulisan karangan eksposisi analisis proses berdasarkan
pengalaman praktik kerja yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh data bahwa t hitung sebesar 5,24 dan
dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) serta derajat
kebebasan 58 diperoleh t tabel 2,00. Ini berarti t0 = (5,24) > t(0,05)(58) = (2,00). Mengacu
pada kriteria pengujian bahwa jika t hitung lebih besar dari t tabel, maka hipotesis yang
diajukan penulis dalam penelitian ini diterima. Hal ini membuktikan bahwa metode
kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis
proses berbasis kecakapan vokasional.
Daftar Pustaka
Akhadiah, S. dkk. (1988). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Alwasilah, A. C. dan Susanna, S. (2005). Pokoknya Menulis: Cara Baru! Menulis
dengan Metode Kolaborasi. Bandung: Kiblat.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi: Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar SMK/MAK. Jakarta: BSNP.
Darmadi, H. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Illahi, M. T. (2012). Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental Vocational Skill.
Yogyakarta: Diva Press.
Iskandarwassid dan Sunendar, D. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
Rosda.
Tarigan, H. G. (1982). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
TEKNIK BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI
CERPEN
(Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IX SMA)
42|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Oleh
R. Mekar Ismayani
STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul "Teknik Bermain Peran dalam Pembelajaran Apresiasi
Cerpen” Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IX SMA. Penelitian ini bertujuan
untuk: 1) mengetahui hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik
cerpen sebelum menggunakan teknik bermain peran; 2) mengetahui hasil belajar
siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik
bermain peran; 3) mengetahui perbedaan yang signifikan dalam pembelajaran
apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi yang
mengujicobakan teknik bermain peran dengan sampel penelitian berjumlah 44 orang
siswa yang terdiri dari 21 orang siswa laki-laki dan 23 orang siswa perempuan.
Adapun instrumen yang digunakan adalah hasil apresiasi cerpen melalui prates dan
pascates. Berdasarkan hasil pengolahan dan perhitungan data prates dan pascates
diketahui bahwa terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 12,727 atau 28,93 %. Pada
prates diperoleh nilai dengan rata-rata 75 sedangkan pada pascates diperoleh nilai
rata-rata sebesar 87,727 maka hipotesis penelitian yang berbunyi "Terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran apresiasi cerpen
sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran" terbukti kebenarannya.
Kenyataan ini dapat dibuktikan dari hasil perhitungan t-score mencapai 13, 744. Nilai
thitung lebih besar dari ttabel yaitu 13,744 > 2,00. Dengan kata lain hipotesis kerja (Ha)
diterima dan hipotesis Nol (Ho) ditolak.
Kata Kunci: teknik bermain peran, pembelajaran apresiasi cerpen
A. PENDAHULUAN
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam
peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban
manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu
realitas sosial budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya
seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu
karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi
emosi.
Dalam dunia pendidikan, sastra merupakan salah satu aspek dalam
pembelajaran bahasa yang harus disampaikan. Pengajaran sastra merupakan
pengajaran yang sangat penting karena sampai sekarang sastra tetap bertahan dalam
kurikulum sekolah dan merupakan bahan pembelajaran yang wajib diikuti oleh siswa
di sekolah, sebagaimana yang dikemukakan Rusyana (1982:5-6) di bawah ini.
Pengajaran sastra termasuk ke dalam pengajaran yang sudah tua umurnya,
dan hingga sekarang tetap bertahan dalam kurikulum pengajaran di sekolah.
43|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Bertahannya pengajaran sastra dalam kurikulum sekolah, tentulah disebabkan oleh
nilai pengajaran sastra untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran sastra
mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dan tujuan pendidikan dan
pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan
keagamaan.
Dalam mencapai berbagai aspek tujuan pendidikan di atas, pembelajaran
sastra sudah tentu dianggap penting kehadirannya dalam kurikulum sekolah karena
sebagai bahan pelajaran sastra dapat membina manusia ke arah kehidupan yang
merangsang kreativitas, memperkaya wawasan tentang hidup, menggugah kecintaan
kepada hidup, dan menumbuhkan kepercayaan diri.
Selain itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang selanjutnya
berkembang menjadi Kurikulum 2006, dijelaskan bahwa yang menjadi standar
kompetensi bahan kajian bahasa adalah mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan apresiasi sastra. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan
berbagai masalah kehidupan. Dengan kemampuan kreativitas bahasanya, pengarang
mencoba menyajikannya kembali kepada pembaca untuk lebih memahami kehidupan
melalui karya sastra juga digambarkan tingkat kemajuan budaya, tradisi yang berlaku
di masyarakat, norma agama, kehidupan sosial dan politik seperti yang diungkapkan
Boulton (Aminuddin, 2002:37) berikut ini.
Data sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan sastra, paparan peristiwa
yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya juga mengandung pandangan
yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai
problem yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Menyadari
pentingnya pembelajaran sastra, maka tidaklah mengherankan apabila timbul
tanggapan dari berbagai pihak tatkala melihat kurang berhasilnya pengajaran apresiasi
sastra di sekolah-sekolah. Dikatakan kurang berhasil karena kenyataannya
pembelajaran apresiasi sastra belum mampu mengarahkan siswa kepada pencapaian
tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Salah satu sebab kurang berhasilnya pengajaran sastra di sekolah-sekolah
karena terbatasnya sumber penuntun apresiasi sastra. Siswa lebih banyak dijejali teoriteori sastra yang bersifat hafalan, tahun, nama pengarang, dan karya-karyanya, jarang
sekali diberi pembelajaran yang bersifat apresiatif. Tujuan pengajaran sastra adalah
mengembangkan akal budi peserta didik melalui kegiatan berapresiasi dan berekspresi
sehingga siswa dapat menjiwai isi sebuah karya sastra bukan hanya teori-teori yang
bersifat definitif seperti yang diungkapkan Suyitno (1985:8) sebagai berikut.
Pengajaran sastra sebenarnya jauh dari maksud atau tujuan sekadar anak
mampu menghafal definisi kesusastraan, deretan nama pengarang, ataupun penyair
serta periodisasi sastra. Tujuan pengajaran sastra termasuk tujuan pendidikan dalam
bidang afektif. Oleh karena itu, ia akan mempersoalkan perasaan-perasaan senang,
kehalusan serta nilai-nilai yang berhubungan dengan rasa. Bidang afektif yaitu bidang
yang mencakup tujuan yang berhubungan dengan perubahan minat, sikap mental,
nilai, dan perkembangan apresiasi. Sesuai dengan sifatnya yang afektif maka
pengajaran sastra harus sampai pada tujuan membina kepekaan estetis dan sikap batin
44|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
yang positif terhadap hasil-hasil kesusastraan, serta membina kemampuan apresiasi
anak.
Selanjutnya dalam pengajaran sastra diperlukan proses belajar mengajar yang
sekaligus melibatkan pengalaman, pengetahuan, dan penilaian peserta didik terhadap
masalah sastra langsung. Karena itu, apresiasi fiksi pada khususnya perlu ditingkatkan
sehingga masyarakat kita menghadapi hal itu sebagai hidupnya (Tarigan, 2011:18)
Prosa fiksi adalah kiasan atau cerita yang diemban oleh pelaku tertentu
dengan pemeranan layar serta tahapan dan rangkaian cerita yang dimuat berdasarkan
hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjadi suatu cerita. Salah satu bentuk dari
prosa fiksi adalah cerita pendek. Sebagaimana yang dikemukakan Nurgiyantoro
(2010:9), novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus
disebut fiksi. Menurut Sumardjo dan Saini K. M (1986:37), cerita pendek adalah cerita
atau narasi (bukan analisis argumentatif yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi
tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek.
Untuk dapat menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra khususnya
cerita pendek, tidak dapat hanya dengan membaca sekilas saja. Sebagaimana sebuah
fiksi, cerpen memiliki unsur-unsur pembangun yang terdiri dari unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Salah satu cara untuk memahami sebuah karya sastra dalam hal ini
cerita pendek adalah dengan mengapresiasi cerita pendek tersebut.
Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguhsungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, pikiran kritis, dan
kepekaan perasaan yang lebih baik terhadap karya sastra, Effendi (Aminuddin,
2002:35). Dengan mengapresiasi cerita pendek siswa diharapkan dapat memahami
unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek tersebut serta mampu
menangkap nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya sehingga
menimbulkan perasaan kritis atau pikiran pada diri siswa.
Dalam pembelajaran apresiasi sastra, seorang guru bahasa dan sastra
Indonesia harus mampu mendaptakan iklim belajar yang dapat membina dan
membimbing siswa dalam kegiatan mengapresiasi karya sastra. Seorang guru bahasa
dapat menggunakan berbagai metode dan teknik pengajaran yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran sastra sehingga dapat tercipta suasana belajar yang baik sekaligus
dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Guru yang kreatif senantiasa mencari metode dan teknik baru dalam
memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan
memilih metode dan teknik yang bervariasi agar kegiatan belajar dapat menarik,
menantang, dan menggairahkan. Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang
dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli
menunjukan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan
secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini bermain peran diarahkan pada
pemecahan masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara manusia, terutama
yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan
masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis,
pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak
45|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu
menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi
dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang
dipilih
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka "Teknik
Bermain Peran dalam Model Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek" merupakan
model pembelajaran yang dipilih dengan tujuan meningkatkan hasil belajar siswa
dalam mengapresiasi cerita pendek. Teknik bermain peran digunakan dalam
mengapresiasi cerita pendek dengan harapan siswa dapat berpikir secara aktif dan
kreatif. Dengan mengajarkan apresiasi sastra akan diketahui sejauh mana hasil yang
dicapai dalam pelaksanaan pengajaran apresiasi cerita pendek dengan menggunakan
teknik bermain peran secara tepat guna dan berhasil guna.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Hasil Penelitian
Data hasil penelitian ini berbentuk skor siswa kelas X.5 SMA sebelum dan
sesudah siswa mendapat perlakuan. yang diperoleh melalui analisis data kemampuan
setiap siswa yakni dari hasil prates dan pascates dengan perhitungan secara statistik.
Data tersebut dapat di lihat pada tabel berikut.
No
1
2
3
Skor
Nilai tertinggi
Nilai terendah
Rata-rata
Prates
90
60
75
Pascates
95
75
87,727
Dari tabel di atas terlihat bahwa masing-masing skor nilai tertinggi, terendah,
dan rata-rata (mean) pada prates dan pascates mengalami kenaikan. Pada prates nilai
tertinggi 90 dan nilai terendah 60 dengan rata-rata 75 sedangkan pada pascates nilai
tertinggi 95 dan nilai terendah 75 dengan rata-rata mencapai 87,727.
Setelah didapatkan nilai prates dan pascates, kemudian kedua nilai tersebut
dibandingkan untuk mengetahui perbedaan nilai dari setiap siswa. Untuk
menganalisis hasil eksperimen yang menggunakan pre test and post test one group
design maka rumus yang digunakan menurut Arikunto (2010:349) adalah sebagai
berikut.
?±?±
?+=
?<x ?ád
?Ù
?y(?y-y 1)
Keterangan:
Md
: mean dari perbedaan prates dengan pascates
xd
: deviasi masing-masing subjek (d-Md)
x2d
: jumlah kuadrat deviasi
N
: subjek pada sampel
46|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
d.b
: derajat kebebasan (N-1)
Dari hasil data perbedaan prates dan pascates dapat diketahui nilai mean (Md)
kedua tes tersebut dengan perhitungan sebagai berikut.
?É?É
?†?†=
?J
560
?á?¾=
= 12,727
44
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil Md sebesar 12,727.
Dengan demikian pembelajaran apresiasi cerpen dengan menggunakan teknik
bermain peran mengalami hasil belajar siswa sebesar 12.727 atau 28,925%. Maka
hipotesis penelitian yang berbunyi “Hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur
intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran sangat baik” terbukti
berhasil.
Langkah selanjutnya adalah menghitung perbedaan dua rata-rata (uji t) untuk
menguji signifikansi perbedaan.
Langkah pertama dalam perhitungan nilai t ini adalah dengan membuat tabel
deviasi dan jumlah kuadrat deviasi. Dari tabel deviasi dan jumlah kuadrat deviasi
diperoleh data N=44, d=560, Md=12,727, dan ?@
x2d=1622,727. Maka t hitung adalah:
?n=
?õ?õ
?€x ?ád
?
?¼
(?¼-¼1)
12,727
=
?|
1622,727
44(44 -$ 1)
=
12,727
?Ñ0,8576781
=
12,727
= 13,744
0,926
Setelah nilai t hitung diketahui, langkah selanjutnya menghitung derajat
kebebasan (d.b), maka diperoleh d.b = N-1 = 44-1 = 43 dan dilanjutkan dengan
menghitung nilai signifikansi dengan taraf signifikan (a2) = 0,05 diperoleh hasil t tabel
= (0,975) (43) = 2,00.
Berdasarkan perhitungan nilai t di atas, dapat disimpulkan bahwa thitung
(13,744) lebih besar daripada ttabel (2,00), pada taraf signifikan 5% dan tingkat
kepercayaan 95%. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi “Terdapat
perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa terhadap pembelajaran apresiasi
cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran” dinyatakan terbukti
kebenarannya, hal ini berarti hipotesis kerja (Ha) diterima dan hipotesis nol (Ho)
ditolak. Dengan kata lain teknik bermain peran dalam pembelajaran apresiasi cerpen
dapat meningkatkan hasil belajar. Maka teknik bermain peran efektif bila digunakan
pada pembelajaran apresiasi cerpen.
2) Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Leuwiliang Bogor, populasi dalam
penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Leuwiliang Bogor yang berjumlah
7 kelas terdiri dari kelas X.1, X.2, X.3, X.4,X.5, X.6, dan X.7. Setiap kelas berbeda
47|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
jumlahnya. Dari populasi tersebut diambil 1 kelas untuk dijadikan sampel penelitian,
yaitu kelas X.5 dengan jumlah siswa 44 orang, terdiri dari 21 siswa laki-laki dan 23
siswa perempuan. Penarikan sampel dilakukan secara random sehingga setiap kelas
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian ini.
Setiap penelitian tentu saja harus menggunakan metode untuk mencapai hasil
yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen, lebih tepatnya pre experimental design atau
lebih dikenal dengan eksperimen kuasi atau eksperimen semu. Dikatakan demikian
karena tidak ada kelompok eksperimen pembanding atau kelas kontrol dalam
penelitian ini. Desain penelitian ini menggunakan pre test and post test one group
design.
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik
pengumpulan data dan teknik pengolahan data. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu teknik uji coba, yakni mengujicobakan teknik bermain peran
dalam pembelajaran apresiasi cerpen dengan cara siswa mementaskan peran yang ide
ceritanya diangkat dari sebuah cerpen. Selain uji coba juga menggunakan teknik tes
yaitu prates dan pascates untuk mengukur dan menilai kemampuan apresiasi cerpen
siswa sebelum dan sesudah perlakuan, sedangkan untuk teknik pengolahan data
menggunakan teknik statistik walaupun dalam bentuk sederhana.
Data yang diperoleh melalui tes adalah data kuantitatif yang bersifat
numerikal. Data tersebut masih mentah dan masih harus diolah. Adapun langkahlangkah dalam pengolahan data ini adalah sebagai berikut.
1. Memeriksa dan menganalisis data yang masuk (data hasil prates dan pascates).
2. Membuat tabel persiapan penelitian perbedaan hasil prates dan pascates.
3. Menentukan perbedaan signifikansi hasil prates dan pascates dengan mencari nilai
t. Rumus yang digunakan adalah:
?Þ=
?d?d
?ðx ?ád
?Œ
?, (?, -, 1)
Keterangan:
Md
: mean dari deviasi antara pascates dan prates
xd
: perbedaan deviasi dengan mean deviasi
N
: banyaknya subjek
d.b
: derajat kebebasan (N-1)
Salah satu kegiatan dalam perencanaan suatu penilaian adalah menyusun
instrumen penelitian atau alat pengumpul data, sesuai dengan masalah yang diteliti.
Adapun instrumen penelitian ini meliputi instrumen pembelajaran dan lembar
evaluasi. Instrumen pembelajaran dalam penelitian ini berupa persiapan mengajar
dalam bentuk silabus dan skenario pembelajaran berupa RPP yang dijadikan acuan
48|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dalam proses pembelajaran. Sedangkan untuk instrumen lembar evaluasi berbentuk
soal tes pilihan ganda sebanyak 20 soal yang diujikan pada saat prates dan pascates.
3)
1.
Langkah-langkah Pembelajaran
Persiapan pembelajaran
Persiapan mengajar pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek
untuk memperkirakan atau memproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan.
Dengan demikian, persiapan mengajar merupakan upaya untuk memperkirakan
tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.
Persiapan mengajar merupakan hal yang penting dalam pembelajaran.
Sebagaimana dikemukakan Callahn dan Clark, persiapan mengajar memiliki
kedudukkan yang esensial dalam pembelajaran yang efektif karena akan
membantu membuat disiplin kerja yang baik, suasana yang menarik, dan
pembelajaran yang diorganisasikan secara baik, relevan dan akurat (Mulyasa,
2004:83).
Salah satu syarat untuk menjadi guru profesional adalah mempunyai
persiapan pembelajaran sebelum mengadakan kegiatan pembelajaran. Maka untuk
merealisasikan dari persiapan pembelajaran tersebut, dalam penelitian ini
dilakukan persiapan pembelajaran yang mencakup delapan kegiatan sebagai
berikut.
a. menentukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
b. merumuskan indikator pembelajaran
c. memilih bahan pembelajaran
d. pengalaman belajar
e. menentukan alokasi waktu
f. menyiapkan media dan sumber belajar
g. menyusun alat evaluasi
h. menyiapkan administrasi pembelajaran berupa silabus dan RPP sebagai
bentuk konkret dari ketujuh langkah persiapan pembelajaran sebelumnya.
2. Pelaksanaan Uji Coba
Dalam pelaksanaan uji coba dilakukan dua kali pertemuan, masing-masing
pertemuan berlangsung 45 menit. Pelaksanan uji coba dapat dilihat dalam tabel
berikut.
No
Kegiatan
Skenario Pembelajaran
Alokasi
Waktu
49|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Pertemuan pertama
a. Kegiatan Awal
b. Kegiatan Inti
1
c. Kegiatan Akhir
Pertemuan kedua
a. Kegiatan Awal
b. Kegiatan Inti
2
c. Kegiatan Akhir
• Guru memberikan penjelasan
mengenai tujuan pembelajaran
dan melakukan apersepsi
• Siswa mendengarkan penjelasan
materi cerpen dan unsur-unsur
pembangun cerpen serta hal-hal
yang harus diperhatikan dalam
mementaskan sebuah drama
(metode yang digunakan dalam
penyampaian materi metode
ceramah dan tanya jawab).
• Guru bersama-sama dengan siswa
menyimpulkan materi.
• Siswa melaksanakan prates (untuk
mengukur kemampuan awal
sebelum
dilakukan
perlakuan”teknik
bermain
peran”).
• Mengkondisikan kesiapan siswa
dalam
melaksanakan
proses
pembelajaran dan mempersiapkan
siswa yang diberi tugas untuk
memerankan tokoh-tokoh yang
terdapat dalam cerpen yang telah
dipilih.
• Siswa mementaskan drama sesuai
dengan peran masing-masing
sedangkan siswa yang tidak
mendapat
bagian
dalam
pementasan bertugas sebagai
pengamat (suasana pembelajaran
begitu aktif, penuh kegairahan,
dan menyenangkan).
• Guru dan siswa melakukan tanya
jawab mengenai perasaan, pesan
dan kesan siswa terhadap proses
pembelajaran.
• Akhir
pembelajaran
ditutup
dengan evaluasi akhir yakni
5 menit
30 menit
10 menit
5 menit
25 menit
15
50|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
pascates untuk mengetahui apakah
terjadi peningkatan terhadap hasil
belajar siswa setelah dilakukan
pembelajaran
dengan
menggunakan teknik bermain
peran.
3. Analisis hasil pembelajaran
Analisis hasil pembelajaran dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. menganalisis hasil prates dan pascates
b. membandingkan nilai prates dengan pascates
c. menghitung uji perbedaan dua rata-rata (Uji t).
C. PENUTUP
1) Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data penelitian, maka simpulan
yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Tingkat pemahaman siswa terhadap unsur-unsur intrinsik cerpen sebelum
menggunakan teknik bermain peran dapat dilihat dari perolehan nilai prates siswa.
Dari analisis hasil prates siswa diperoleh nilai tertinggi sebesar 90 sedangkan nilai
terendah yaitu 60 dengan rata-rata sebesar 75.
2. Pemahaman siswa terhadap unsur-unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan
teknik bermain peran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa,
tampak pada nilai yang diperoleh dari hasil kedua tes yaitu hasil prates dan
pascates. Pada prates diperoleh skor rata-rata sebesar 75 dengan nilai tertinggi 90
dan nilai terendah 60 sedangkan skor rara-rata pascates adalah sebesar 87,727
dengan nilai teninggi yang diperoieh siswa sebesar 95 dan nilai terendah adalah 7
5. Hal ini berani menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar sebesar 12,727
arau 28,925%. Dengan adanya peningkatan hasil belajar maka hipotesis penelitian
yang berbunyi "Hasil belajar siswa dalam memahami unsur- unsur intrinsik cerpen
sesudah menggunakan teknik bermain peran sangat baik" terbukti kebenarannya.
Dengan demikian teknik bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen.
3. Hipotesis (Ha) yang menyatakan "Terdapat perbedaan yang signifikan pada
pembelajaran apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain
peran terbukti kebenarannya. Hal ini berdasarkan hasil perhitungan perbedaan dua
rata-rata data prates dengan pascates diperoleh hasil t hitung sebesar 13,744 lebih
besar dari t tabel sebasar 2,00 pada taraf signifikan 5 % atau tingkat kepercayaan
95 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada
pembelajaran apresiasi cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran secara
signifikan lebih baik daripada sebelum menggunakan teknik bermain peran. Jadi,
teknik bermain peran efektif bila digunakan pada pembelajaran apresiasi cerpen.
2) Saran
51|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Berikut ini ada beberapa saran sederhana yang dapat dikemukakan berkaitan
dengan hasil penelitian ini, sebagai masukan atau penimbangan bagi guru khususnya
guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam melaksanakan pembelajaran.
1. Hendaknya guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menggunakan metode dan
teknik pembelajaran yang lebih menarik, lebih bervariasi, karena pembelajaran
yang menarik dan bervariasi akan menimbulkan minat belajar siswa meningkat.
Dalam hal ini para guru hendaknya mengetahui aneka metode atau teknik
pembelajaran.
2. Dalam pembelajaran apresiasi cerpen, teknik bermain peran dapat dijadikan salah
satu alternatif dalam memilih teknik pembelajaran untuk mendaptakan proses
pembelajaran yang aktif kreatif dan apresiatif.
3. Guru sebaiknya menyusun persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran
berjalan lancar dan berhasil dengan baik.
4. Perpustakaan sekolah sebaiknya menyediakan buku-buku yang memadai
khususnya buku-buku sastra yang dapat memudahkan siswa dalam mencari,
membaca, dan memahami hal tentang sastra dan karya sastra sehingga wawasan
siswa dalam bidang apresiasi sastra bertambah.
5. Pembelajaran sastra harus terus diupayakan dan ditingkatkan, baik kuantitas
maupun kualitasnya.
Demikian simpulan dan saran yang dapat dikemukakan, semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang positif terhadap
keberlangsungan pembelajaran sastra khususnya dan umumnya untuk pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Agesindo.
Dawud, dkk. 2004. Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Iindonesia untuk SMA Kelas
X. Malang: Erlangga.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, B. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rusyana, Y. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.
Sumardjo dan Saini K. M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Suyitno. 1985. ..........
Tarigan, H. G. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
52|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI
METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA
GAMBAR FOTOGRAFI
oleh Nofiyanti
STKIP Siliwangi Bandung
pos-el: [email protected]
Abstrak
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara bertatap muka dengan orang lain.
Keterampilan menulis merupakan kemampuan mengekspresikan, pikiran, perasaan,
pengalaman dalam bentuk tulisan yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga
tulisanya dapat dipahami oleh pembaca. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa
pembelajaran menulis di sekolah selama ini belum optimal baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Metode dan media pembelajaran menulis yang digunakan oleh guru
tidak menarik dan tidak bervariatif. Akibatnya menjadikan siswa sulit mencari dan
mengembangkan ide untuk menulis. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen
kuasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi efektif digunakan dalam pembelajaran
menulis narasi. Angket dan wawancara menunjukkan respon positif atas penggunaan
metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dalam
pembelajaran menulis narasi. Begitu pula hasil akhir penelitian menunjukan bahwa
setelah perlakuan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar
fotografi, kemampuan menulis narasi siswa mengalami peningkatan rata-rata yang
cukup signifikan yakni 70,63 menjadi 78,17; dengan thitung (4,895) > ttabel(1,668).
Kata Kunci: Pembelajaran Menulis, Karangan Narasi, Metode Pengelompokan Ide
(Clustering), Media Gambar Fotografi
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan modern, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Hal ini
terlihat dari banyaknya alat komunikasi yang sangat memerlukan keterampilan
menulis karena dunia modern sangat identik dengan dunia ilmiah yang memerlukan
keterampilan menulis dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran. Pemikiranpemikiran yang cemerlang dituangkan ke dalam tulisan-tulisan agar dapat dibaca oleh
orang banyak. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa
keterampilan menulis merupakan ciri-ciri terpelajar.
Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara bertatap muka dengan orang lain.
Menulis merupakan kegiatan produktif dan ekspresif. Keterampilan menulis
merupakan kemampuan mengekspresikan, pikiran, perasaan, pengalaman dalam
bentuk tulisan yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga tulisanya dapat
53|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dipahami oleh pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Badudu (2000:10) menulis
merupakan suatu keterampilan yang produktif dan ekspresif, artinya selalu diperlukan
dalam berbagai kepentingan dalam berbagai kehidupan dan dapat mengungkapkan
gagasan/ ide, pikiran dan perasaan kepada orang lain secara tidak langsung atau tidak
bertatap muka dengan lawan bicara”.
Berkenaan dengan paparan di atas, pembelajaran menulis di sekolah sebagai
salah satu pijakan dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa perlu
mendapatkan perhatian ekstra. Apalagi, secara gamblang keterampilan menulis
merupakan salah satu kompetensi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), yaitu pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Ini artinya mau tidak
mau setiap siswa dituntut untuk dapat menguasai keterampilan tersebut.
Dari beberapa sekolah, khususnya untuk tingkat SMP, sering sekali
pembelajaran menulis, tidak berjalan secara optimal dan belum pada standar yang
diharapkan, hal ini dikarenakan adanya beberapa alasan. Pertama, guru lebih banyak
menekankan teori dan pengetahuan bahasa dari pada mengutamakan keterampilan
berbahasa (menulis). Kedua, proses belajar mengajar lebih banyak didominasi oleh
guru, guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan serta. Ketiga,
kebanyakan siswa menganggap menulis sebagai beban karena merasa kurang mampu
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Keempat, guru umumnya
kurang bervariasi dalam memilih metode dan strategi pembelajaran. Menulis sebagai
salah satu keterampilan berbahasa yang dipelajari di sekolah memerlukan
pembelajaran yang menekankan bagaimana menulis itu sendiri, bukan hanya teoriteori tentang menulis. Teori-teori bagaimana menulis yang baik memang penting,
tetapi praktik menulis itu sendiri lebih penting. Dalam kegiatan belajar mengajar,
keterampilan menulis bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui penjelasan saja.
Siswa tidak dapat memperoleh keterampilan menulis hanya dengan menunggu,
mendengarkan, atau mencatat uraian guru. Keterampilan menulis memerlukan latihan
dan praktik yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar
siswa harus langsung berlatih menulis. Tanpa adanya proses berlatih tidak mungkin
keterampilan atau kemampuan menulis pada diri siswa akan muncul.
Untuk dapat mengoptimalkan pembelajaran menulis, jalan yang harus
ditempuh tentulah dengan cara mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul
seperti yang telah diuraikan di atas. Sesuai dengan permasalahan yang muncul, hal
pertama yang harus dilakukan adalah memilih metode dan media pembelajaran yang
sesuai untuk mengatasi masalah tersebut. Sebagai upaya untuk mencari alternatif
dalam pembelajaran menulis, khususnya kemampuan menulis karangan narasi salah
satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis adalah dengan
menggunakan metode pengelompokan ide (clustering). Metode pengelompokan ide
(Clustering) akan membantu siswa dalam memanfaatkan potensi kedua belah
otaknya. Adanya interaksi yang luar biasa antara kedua belahan otak dapat memicu
kreativitas yang memberikan kemudahan dalam proses menulis. Terbiasanya siswa
menggunakan dan mengembangkan potensi kedua otaknya, akan dicapai peningkatan
54|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
beberapa aspek, yaitu konsentrasi, kreativitas, dan pemahaman sehingga siswa dapat
mengembangkan tulisannya melalui pengelompokan ide (clustering). Selain metode
yang inovatif dan variatif, salah satu cara untuk meningkatkan minat dan gairah
belajar siswa dalam menulis karangan narasi, yaitu dengan menggunakan media yang
menarik. Karena media adalah sarana sebagai penyampai informasi (materi pelajaran)
kepada penerima (siswa). Dengan penggunaan media yang menarik, pembelajaran
menulis narasi diharapkan lebih menyenangkan dan dapat membantu kesulitan siswa
dalam memperoleh ide (inspirasi) ketika menulis karangan narasi. Pada umumnya
hasil belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran akan tahan lama
sehingga kualitas pembelajaran mempunyai nilai tinggi, karena media pembelajaran
meletakan dasar-dasar yang kongkrit untuk berfikir dan dapat mengurangi
verbalisme.
B. Pembelajaran Menulis, Karangan Narasi, Metode Pengelompokan Ide
(Clustering), Media Gambar Fotografi
Pembelajaran menulis, karangan narasi, metode pengelompokan ide
(clustering), dan media gambar fotografi merupakan dasar dalam penelitian ini. Oleh
karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar tersebut, berikut ini diuraikan mengenai
teori keempat hal tersebut.
1. Pembelajaran menulis
Keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan,
pendapat, perasaan kepada pihak lain melalui bahasa tulis. Ketepatan pengungkapan
gagasan harus didukung oleh ketepatan bahasa yang digunakan. Selain komponen
kosa kata dan gramatikal, ketepatan kebahasaan juga sebaiknya didukung oleh
konteks dan penggunaan ejaan. Menulis menurut Rusyana (1984:191) adalah
kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis
untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan”. Selanjutnya Tarigan (1994:20)
mengatakan menulis ialah “menurunkan
lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain
dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut, kalau mereka memahami bahasa
dan gambaran grafik itu”. Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang
produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis seseorang penulis harus terampil
memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis
digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan,
dan memengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai
dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran,
organisasi, pemakaian dan pemilihan kata struktur kalimat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa melalui tulisan dapat terjadi proses
komunikasi antara penulis dan pembaca. Hal tersebut terjadi karena antara penulis dan
pembaca memiliki kesepakatan akan makna lambang-lambang yang digunakan dalam
tulisan tersebut. Dengan kemampuan mengolah unsur-unsur bahasa dalam tulisan,
pembaca akan mudah memahami isi tulisan tersebut. Dengan kata lain penulis harus
terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, pola-pola bahasa, dan kosakata,
55|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
karena keterampilan menulis tidak didapat secara tradisi melainkan harus dipelajari
terlebih dahulu.
Menuangkan bahasa melalui tulisan tidaklah mudah dan tidak dapat disajikan
secara sembarangan, karena seperti yang telah diungkapkan sebelumnya untuk
kegiatan menulis diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik. Uraian
tersebut diperkuat dengan pendapat Rusyana (1994:191) bahwa menulis kemampuan
menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk
mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Kemampuan menulis itu mencakup
berbagai kemampuan seperti kemampuan menguasai gagasan yang dikemukakan,
kemampuan menggunakan unsur-unsur bahasa, kemampuan menggunakan bentuk
karangan, kemampuan menggunakan gaya, dan kemampuan menggunakan ejaan serta
tanda baca.
Berkenaan dengan pembelajaran menulis, menulis merupakan proses kreatif
yang dilakukan secara bertahap sampai terwujudnya sebuah karya tulis. Yang
terpenting dalam menulis adalah proses penulisan bukan hasil akhirnya. Berkaitan
dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap,
yaitu: (1) pramenulis; (2) pembuatan draft; (3) merevisi; (4) menyunting; dan (5)
berbagi (sharing). Tahap-tahap proses menulis yang diuraikan di atas tidaklah selalu
berjalan liniar. Setiap tahap mungkin dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya, penulis
mungkin saja membuat draf kembali dan mengedit kembali hal ini mungkin saja
dilakukan karena penulis mengubah pemikiran/ gagasan mereka sehingga melakukan
proses menulis ini dari awal kembali. Hal yang harus diperhatikan adalah berapapun
besarnya perhatian kita berikan pada setiap tahap, akan bergantung pada jenis tulisan,
dan pembacanya. Pada intinya, proses menulis merupakan proses mengolah sesuatu
menjadi sebuah informasi yang dapat dibaca oleh orang lain.
Selanjutnya, setiap penulis pasti memiliki tujuan yang hendak di sampaikan
kepada pembaca. Tujuan menulis yang paling utama adalah dapat menyampaikan
pesan dari penulis itu sendiri kepada pembaca sehingga pembaca memahami maksud
penulis yang disampaikan dalam tulisannya. Setiap penulis menggambarkan sesuatu
mengenai dirinya ke dalam tulisannya. Bahkan dalam tulisan yang objektif atau tidak
objektif, si penulis tampak sebagai seorang pribadi tertentu, mengandung nada yang
sesuai dengan maksud dan tujuannya. Sehubungan dengan hal tersebut, macammacam tujuan menulis menurut Hipple (1973: 309-311) adalah sebagai berikut: a)
Assigment purpose (tujuan penugasan); b) Altruistic purpose (tujuan altruistik); c)
Persuasive purpose (tujuan persuasif); d) Informatial purpose (tujuan informasi,
tujuan penerangan); e) Self-ekspressive purpose (tujuan pernyataan diri); f) Creative
purpose (tujuan kreatif).
2. Karangan narasi
Ada beberapa jenis karangan, salah satunya adalah narasi. Narasi biasanya
ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Narasi berasal dari bahasa Inggris narration
yang berarti cerita yang terdiri atas kumpulan peristiwa yang disusun berdasarkan
urutan waktu (secara kronologis) sehingga merupakan uraian peristiwa yang menarik.
Menurut Rusyana (1984: 135) karangan jenis ini dinamakan karangan kisahan, yakni
56|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
karangan yang memaparkan peristiwa, yang mengandung unsur pelaku, tindakan,
ruang, dan waktu. Berdasarkan peristiwa yang dipaparkan di dalam karangan ini,
pengisahan dalam narasi dapat dibedakan ke dalam kisahan nyata(faktual) dan
kisahan rekaan. Dalam hal ini narasi cenderung dinamakan sebagai cerita dari suatu
peristiwa. Menulis karangan narasi merupakan keterampilan berbahasa yang perlu
mendapat perhatian sunguh-sungguh, karena keterampilan menuangkan bahasa dalam
bentuk tulisan tidaklah mudah serta tidak dapat disajikan secara seimbang. Karangan
narasi berbeda dengan karangan deskripsi karena pada karangan narasi tidak hanya
menyampaikan atau menceritakan suatu kejadian atau peristiwa melainkan juga harus
diperjelas dengan unsur waktu. Dengan demikian pengertian narasi mencakup dua
unsur dasar yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu urutan atau
rangkaian waktu. Menurut Keraf (2004:136) Narasi adalah suatu bentuk wacana yang
sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah
peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara
lain: Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan
sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.
Selanjutnya berdasarkan pengertian narasi di atas dapat diketahui ciri-ciri
karangan narasi. Adapun ciri-ciri karangan narasi adalah sebagai berikut: (1)
merupakan karangan prosa; (2) merupakan kisahan/ gambaran sebuah peristiwa/
kejadian; (3) menimbulkan pesan hidup; (4) pembaca seolah-olah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa itu. (5) mempunyai dua unsur inti/ dasar/ tidakan dan
unsur rangkaian waktu.
Berkenaan dengan karangan narasi, Untuk menyusun sebuah karangan
narasi diperlukan berbagai unsur pembentuknya. Unsur pembentuk atau
pembangun narasi ialah: tema, alur, watak, ketegangan, unsur pembayang,
suasana, sudut pandang, pusat dan kesatuan. Dalam karangan narasi, Keraf
(2007:136-138) menyatakan bahwa jenis narasi dibagi menjadi narasi ekspositori dan
narasi sugestif. Narasi ekspositoris adalah narasi yang bertujuan untuk menggugah
pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya
adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca
kisah tersebut. Sedangkan Narasi sugestif bertujuan untuk memberikan makna atas
peristiwa atau kejadian sebagai sebuah pengalaman. Sasarannya adalah makna
peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif melibatkan daya khayal (imajinasi).
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam
sehingga merangsang daya khayal para pembaca.
Selanjutnya untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam pembelajaran
menulis, Jacobs, dkk. (1981) menjelaskan kemampuan menulis berupa karangan
dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek: a) kemampuan mengorganisasi ide
karangan; b) organisasi; c) kemampuan menggunakan pilihan kosa kata ; d)
kemampuan menggunaan bahasa; dan e) kemampuan menggunakan pilihan kata.
3. Metode pengelompokan ide (clustering)
57|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Pengelompokan ide (clustering) merupakan salah satu metode dalam buku
Quantum Learning yang memberikan kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses
yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan daya ingat dan
membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Strategi
ini dirancang untuk menyemarakan kelas dan membentuk suasana pengalaman belajar
aktif dan menakjubkan. Pengelompokan ide (clustering) dalam buku Quantum
Learning yang dikemukakan oleh Bobbi Deporter dan Mike Hernacki bertolak pada
konsep suggestopedia (eksperimen seorang ahli pendidikan berkebangsaan Bulgaria
bernama Dr. Georgi Lozanov), bahwa pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti
mempengaruhi hasil situasi belajar (DePorter, 1999:14). Teknik pengelompokan ide
merupakan salah satu bentuk spesifikasi dari tiga teknik yang disebut Hernowo (2004)
sebagai menulis sinergis, di samping teknik menulis cepat dan teknik menunjukkan
bukan memberitahukan.
Mengingat pentingnya pembelajaran menulis ini, diperlukan strategi yang
tepat dalam pembelajaranya. Menurut Weinsten dan Meyer (Trianto, 2007:143)
pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana berpikir, dan bagaimana
memotivasi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, strategi belajar dalam pembelajaran
adalah strategi yang dapat membantu siswa untuk berpikir dan memahami materi.
Metode pengelompokan ide (clustering) adalah suatu teknik menulis yang
mengalir bebas dengan mengumpulkan dan memilah pemikiran-pemikiran yang
saling berkaitan dan membuat percabangannya ke berbagai arah tanpa
mempertimbangkan struktur atau pun nilainya. Sebuah pengelompokan dapat
membantu penulis mencari ide-ide yang berhubungan dan cara-cara menghubungkan
pemikiran dengan ide. Selain itu, pengelompokan dapat membantu penulis untuk
mengumpulkan materi dan menemukan asosiasi-asosiasi baru dan cara
mengkombinasikannya.
Istilah pengelompokan ide (clustering) ini dikemukakan oleh Gabriele Lusser
Rico. Rico (dalam Hernowo, 2003:142) menyatakan bahwa bagian paling sulit dalam
menulis adalah sulitnya menuangkan ide ke dalam tulisan, tidak mengetahui apa yang
akan ditulis, yaitu apa temanya, dan bagaimana memulainya. Banyak cara yang dapat
ditempuh untuk menanggulangi kesulitan ini, anatara lain dengan membuat
pengelompokan ide (clustering). Setiap orang memiliki ide dalam benaknya, yang
sulit adalah menuangkanya dalam tulisan. Dengan membuat pengelompokan ide
(clustering), Anda dipaksa mengidentifikasi ide-ide pokok dan ide-ide penunjangnya.
Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan pengelompokan
(clustering). Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang yang dihasilkan itu benar atau
salah, penting tidak penting, dapat dipraktikan atau tidak, dan sebagainya. Yang
terpenting dalam proses ini adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik
itu sebanyak-banyaknya. Kedua, terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai
sesuatu yang wajar karena memang belum dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali
sekaligus ide-ide yang yang terkumpul itu akan dievaluasi dalam kesempatan
berikutnya (Darmadi, 1996:43).
Pengelompokan ide (clustering) merupakan prosedur yang dapat membantu
mengorganisasir informasi sebelum informasi dituliskan. Clustering (pengelompokan
58|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
ide) memberikan siswa berkesempatan untuk berhubungan dengan pikiran bawah
sadarnya sehingga tulisan lebih mengandung emosi. Proses pembelajaran menulis
lebih mudah jika sebelumnya siswa telah menuangkan gagasan atau ide melalui
pengelompokan ide. Menurut Deporter (2004: 182-183) Adapun cara membuat
pengelompokan ide adalah sebagai berikut: (1) Menuliskan topik/ gagasan utama
ditengah-tengah selembar kertas kosong tak bergaris dengan huruf kapital dan tulisan
tebal, kemudian melingkupinya dengan lingkaran; (2) Menuliskan asosisi atau
hubungan-hubungan yang terkait dari gagasan utama dan kelompokan di sekitar kata
primer (gagasan utama/ topik) yang berada di pusat; (3) Melingkari setiap kata yang
telah dikelompokan disekitar gagasan utama dan menghubungkannya dengan
lingkaran yang berada di pusat dengan menarik garis; (4) Meneruskan membuat
asosiasi-asosiasi dari kata-kata sekunder tadi yang memicu satu rantai atau asosiasi
lain, menuliskan serta melingkarinya sekalipun terlihat tidak berhubungan; (5)
Kembali pada kata primer (gagasan utama) yang teletak di pusat dan meneruskan
membuat asosiasi yang terlintas dalam benak, kemudian melingkarinya dan
menghubungkanya dengan menarik garis; (6) Memperhatikan semua gagasan yang
muncul dari satu kata setelah pengelompokan terasa lengkap dan semua asosiasi telah
terkumpul; (7) Mencoret gagasan –gagasan yang dianggap tidak berhubungan atau
yang tidak ingin ditelusuri; (8) Menemukan “AHA” (desakan untuk mulai menulis)
dan memberi nomor urut yang tampaknya logis pada setiap kata atau gagasan dalam
pengelompokan tersebut; dan (9) Mengembangkan gagasan berdasarkan urutan yang
telah dibuat dalam bentuk tulisan. Tidak perlu menggunakan semua kata/gagasan yang
terdapat dalam pengelompokan, cukup gagasan yang ingin dipergunakan.
4. Media gambar fotografi
Dalam proses belajar mengajar, salah satu unsur yang sangat penting adalah
media pembelajaran. Gene L. Wilkinson terjemahan Bachtiar (1984:5) mengatakan
bahwa media pangajaran adalah segala alat dan bahan selain buku teks, yang dapat
dipakai untuk menyampaikan informasi dalam situasi belajar mengajar. Dengan
demikian, media pembelajaran bukan hanya sekedar membantu pekerjaan guru saja
dalam mengajar, melainkan lebih jauh dari itu bahwa media pembelajaran lebih
banyak berguna membantu siswa dalam belajar. Itu sebabnya mempelajari sebuah
media pembelajaran tidak bisa asal - asalan. Penggunaan media pembelajaran terpusat
pada siswa, sebab media pembelajaran membantu siswa dalam belajar agar lebih
berhasil. Menurut Muchyidin dan Fathoni (2002:2) media pembelajaran memberikan
penekanan pada posisi media sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar,
sehingga mengkondisikan seseorang untuk belajar. Disadari atau tidak, sebuah media
dalam proses pembelajaran memiliki pengaruh yang cukup besar, karena melalui
media inilah pembelajaran akan lebih bermakna dan tujuan pembelajaran akan lebih
mudah disampaikan dan dipahami oleh siswa.
Sementara itu, menurut Sudjana dan Rivai (2002:2) mengemukakan manfaat
media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu; (1) Pengajaran akan lebih
menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2) Bahan
pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami siswa dan
59|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran lebih baik; (3) Metode
mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui
penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan
tenaga, apalagi guru mengajar untuk setiap jam pelajaran; (4) Siswa lebih banyak
melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengar uraian guru, tetapi juga
aktivitas lain seperti itu, mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain - lain.
Pemilihan media pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak dan tujuan pembelajaran. Media gambar adalah salah satu
media yang sering digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di
setiap jenjang pendidikan terutama dalam keterampilan menulis. Dengan gambar
dapat membantu mempermudah anak untuk menuangkan gagasan – gagasan kedalam
bentuk bahasa, karena gambar akan memberikan inspirasi dan panduan tentang apa
dan bagaimana yang harus ditulis. Selain itu, gambar juga dapat menimbulkan daya
tarik pada diri siswa mempermudah pengertian dan memperjelas bagian–bagian yang
penting yang akan ditulisnya. (Hermawati, 2001:8). Salah satu media gambar yang
dapat digunakan dalam pembelajaran menulis adalah media gambar fotografi.
Berkenaan dengan media gambar fotografi, Sudjana (2007:7)
Mengungkapkan bahwa media gambar fotografi adalah media berupa gambar,
lukisan, kartun, dan ilustrasi yang dapat digunakan oleh guru secara efektif dalam
kegiatan belajar mengajar, pada setiap jenjang pendidikan. Gambar fotografi ini
membantu para siswa dan dapat membangkitkan minat para siswa pada pelajaran.
Selanjutnya, menurut Asnawir dan Basyirudin (2002:49-50) dalam memilih
gambar yang baik perlu memperhatikan hal–hal sebagai berikut: (1) Keaslian gambar,
sumber yang digunakan hendaklah menunjukan keaslian atas situasi yang sangat
sederhana; (2) Kesederhanaan, terutama dalam menentukan warna akan menimbulkan
kesan tertentu, mempunyai nilai estetis dan mengandung nilai praktis; (3) Bentuk item
diusahakan agar anak memperoleh tanggapan yang tepat tentang objek–objek dalam
gambar; (4) Gambar yang digunakan hendaklah menunjukan hal yang sedang
dibicarakan atau yang sedang dilakukan. (5) Harus diperhatikan nilai fotografinya; (6)
Segi artistik juga perlu diperhatikan. Penggunanya harus disesuaikan dengan tujuan
yang ingin dicapai; (7) Gambar harus cukup popular, gambar tersebut telah cukup
dikenal oleh anak-anak secara sebagian atau keseluruhannya; (8) Gambar harus
dinamis, yaitu menunjukan aktifitas tertentu; (9) Gambar harus membawa pesan yang
cocok untuk tujuan pengajaran yang sedang dibahas.
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen
dengan desain penelitian yang digunakan adalah the randomized pretest-postest
contol group design (rancangan secara acak dengan tes awal dan tes akhir kelompok
kontrol) (Syamsuddin dan Vismaia, 2007:160). Pengaruh perlakuan diperhitungkan
melalui perbedaan antara tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Rancangan penelitian ini melibatkan dua
kelompok yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang ditentukan secara
random atau acak. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang akan melakukan
60|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
proses pembelajaran menulis karangan narasi dengan menggunakan metode
pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, sedangkan
kelompok kontrol adalah kelompok yang akan melakukan proses pembelajaran
menulis karangan narasi dengan menggunakan metode ceramah.
Kedua kelompok tersebut, baik kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol diberikan tes awal dan akhir. Tes awal diberikan untuk mengukur kemampuan
awal dari masing-masing kelompok tersebut sedangkan tes akhir diberikan setelah
perlakuan untuk mengukur signifikansi peningkatan yang terjadi dalam kelompok
eksperimen.Pemilihan metode eksperimen ini dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa besar keefektifan model pembelajaran menulis karangan narasi dengan
menggunakan metode pengelompokan ide (clustering) bebasis media gambar
fotografi yang peneliti eksperimenkan terhadap hasil belajar siswa.
Sebagai langkah pertama dalam penelitian ini dilakukan studi pendahuluan
yang meliputi studi literatur dan studi pendahuluan di kelas pada waktu pembelajaran
menulis. Hasilnya dipakai untuk menentukan konsep-konsep yang akan diteliti dan
menentukan variable penelitian, yaitu kemampuan menulis karangan narasi dan
metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Langkah
selanjutnya memperhatikan materi dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar
bahasa Indonesia kelas VII sekolah menengah pertama sehingga diperoleh materi
pokok, yaitu tentang menulis karangan narasi. Kajian lebih lanjut tentang indikator
penilaian menulis dari teori yang sudah ada serta cara-cara menganalisi karangan.
Akhirnya dirumuskan suatu rencana pembelajaran menulis karangan narasi melalui
metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Proses
pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi dilaksanakan dengan mengadakan pretes
(tes awal), baik terhadap kelas eksperimen maupun terhadap kelas kontrol.
Selanjutnya memberikan treatment yaitu melaksanakan pembelajaran menulis
karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media
gambar fotografi pada kelas eksperimen yang dilakukan oleh guru. Kemudian
mengadakan postes (tes akhir), baik terhadap kelas eksperimen maupunn kelas
kontrol.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik studi
dokumentasi, observasi, angket, wawancara, dan tes menulis. Pengolahan data
dilakukan dengan cara analisis kuantitatif namun ditunjang juga dengan analisis
kualitatif sesuai dengan karakteristik setiap data.
D. Hasil Penelitian
Kajian empiris sebagai dasar analisis kebutuhan menunjukkan bahwa
pembelajaran menulis perlu dioptimalkan, baik dari segi persiapan guru, kesempatan
dan kebiasaan siswa, metode dan media pembelajaran maupun dari bahan
pembelajaranya. Hal ini dilakukan agar pembelajaran menulis dapat meningkat.
Proses penelitian dilakukan di kelas VII Sekolah Menengah Pertama.
Penelitian ini dilakukan dalam lima pertemuan. Satu kali pertemuan digunakan untuk
melakukan uji awal kemampuan siswa (prates) untuk mengetahui kemampuan awal
siswa dalam menulis karangan narasi sebelum pembelajaran menulis karangan narasi
61|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi
dilakukan. Pada saat kegiatan prates berlangsung, berdasarkan hasil observasi pada
saat prates ada beberapa siswa tampak kebingungan dan melamun. Tetapi ada juga
siswa yang tampak antusias dan langsung dapat menuangkan apa yang dipikirkan dan
dirasakan. Sebagian besar siswa mengatakan bahwa kendala yang dihadapi terutama
adalah ketika mencari ide tulisan. Mereka tidak dapat langsung menemukan ide untuk
dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Beberapa siswa juga merasa kesulitan untuk
mengembangkan ide. Selain kendala yang dihadapi siswa, kendala yang dihadapi guru
pada saat kegiatan pembelajaran menulis adalah sulitnya menimbulkan minat siswa
dalam kegiatan menulis, media pembelajaran, dan menentukan metode yang tepat
dalam pembelajaran. Selanjutnya dalam pertemuan ke dua sampai keempat dilakukan
perlakuan (treatmen) pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode
pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Pertemuan kedua
sampai keempat tersebut, dilakukan sebagai bentuk latihan dari metode yang
diujicobakan. Pada tahap pertama, guru menyampaikan materi pembelajaran tentang
narasi. Pada tahap kedua guru memberikan sebuah gambar fotografi kemudian guru
bertanya berdasarkan gambar dan membaca gambar itu bersama-sama dengan siswa.
Setelah mengamati gambar siswa menentukan gagasan pokok. Selanjutnya pada tahap
ketiga guru menyampaikan langkah-langkah metode pengelompokan Ide (clustering)
berbasis media gambar fotografi. Guru menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran
melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi ini
untuk membantu siswa dalam mencari ide dan mengembangkan ide ke dalam tulisan
(karangan narasi). Selanjutnya, guru menjelaskan langkah-langkah metode
pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Guru melakukan
pemodelan menulis karangan narasi menggunakan metode clustering dengan
menggunakan media gambar.
Pada tahap awal penerapan metode pengelompokan ide (clustering) guru
menyajikan contoh langkah- langkah membuat pengelompokan ide (clustering)
secara konkret di papan tulis.Guru menentukantopik yang menarik berdasarkan
gambar, kemudian guru menuliskan topik tersebut di papan tulis, kemudian
melingkari topik dan menarik garis dari lingkaran tersebut. Selanjutnya guru meminta
siswa untuk memikirkan dengan imajinasinya dan dihubungkan dengan pengalaman
mereka masing-masing ide-ide yang berkaitan dengan topik berdasarkan gambar.
Guru memberikan arahan kepada siswa untuk mengembangkan pengelompokan
idenya.Kemudian berdasarkan pengelompokan ide tersebut guru memberikan contoh
cara mengorganisasikan ide-ide tersebut yang telah dibuat menjadi sebuah karangan
narasi berdasarkan ide-ide yang terdapat dalam clustering. Siswa menyimak setiap
langkah yang dijelaskan guru dengan cermat. Guru dan siswa bertanya jawab
mengenai langkah-langkah membuat pengelompokan ide (clustering).
Pada saat guru menjelaskan langkah-langkah metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi terlihat siswa sangat antusias mengikuti
arahan dari guru. Demikian pula, siswa mengikuti setiap langkah dalam pembuatan
pengelompokan ide (clustering). Sebagian besar siswa melaksanakan semua
rangkaian kegiatan dengan baik walaupun ada beberapa siswa yang kurang maksimal
62|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dalam melaksanakan. Selanjutnya pada pertemuan terakhir atau kelima, digunakan
untuk mengetahui kemampuan menulis karangan narasi siswa setelah diberi perlakuan
(treatmen) melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar
fotografi, serta untuk melihat apakah terjadi perubahan yang signifikan setelah
diberikan perlakuan atau bahkan tidak mengalami perubahan apapun.
Uji coba pembelajaran menulis melalui metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi dilakukan di kelas VII tingkat SMP.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa penerapan metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi tersebut mampu meningkatkan
kemampuan menulis siswa. Dari hasil penilaian, rata-rata nilai kemampuan menulis
siswa mengalami peningkatan, yakni kemampuan awal siswa dalam menulis karangan
narasi sebelum perlakuan (prates) memperoleh nilai rata-rata sebesar 70,63 dengan
kategori sedang sedangkan setelah perlakuan dengan menggunakan metode
pengelompokan ide (clustering) dengan menggunakan media gambar fotografi
(pascates) memperoleh nilai rata-rata sebesar 84 dengan kategori baik. Jika
divisualisasikan dalam bentuk gambar, maka perbandingan siswa berdasarkan
kategori adalah sebagai berikut.
Perbandingan Nilai Pretes Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol
40
Kelas
Eksperimen
20
0
Cukup
Baik
Kelas
Kontrol
Perbandingan Nilai Postes Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol
40
Pretes
20
0
Postes
Cukup
Baik
63|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Perbandingan Nilai Pretes dan
Postes Kelas Kontrol
40
30
20
Pretes
10
Postes
0
Cukup
Baik
Beradasarkan hasil analisis profil kemampuan akhir siswa dalam menulis
karangan narasi, diperoleh simpulan bahwa pada umumnya siswa telah mampu
meningkatkan kemampuanya dalam berbagai aspek. Dari segi aspek isi pada saat
prates rata-rata nilai siswa 17 Atau sekitar 68% menjadi 20 atau 80%. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa telah mampu memahami dalam menuliskan kesesuaian
antara isi cerita dengan tema dan judul dengan tepat. Dari aspek struktur narasi dari
rata-rata nilai 17 atau 68% menjadi 18 atau 72%, hal ini artinya siswa telah memiliki
pemahaman yang cukup baik mengenai unsur narasi sehingga mampu
menggambarkan keseluruhan isi cerita dengan baik. Dari aspek organisasi dari ratarata nilai prates 15 atau 75% menjadi 16 atau 80%. Artinya, siswa telah mampu
menuliskan struktur organisasi yang teratur, sistematis dan urutanya logis sehingga
pesan yang didalamnya dapat dipahami. Selanjutnya, dari aspek kosakata dari nilai
rata-rata 15 atau 75% menjadi 18 atau 90%. Hal ini menunjukan bahwa siswa telah
menguasai kosa kata yang luas, hal ini terlihat dalam penggunaan perbendaharaan
kosa kata yang sangat variatif; sangat sesuai dan pemililhan kata yang tepat sesuai
dengan situasi. Sementara dari aspek penulisan dari nilai rata-rata pretes 7 atau 70%
setelah pascates menjadi 80%, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah mampu
menguasai kaidah penulisan kata dan ejaan, kelengkapan huruf, tanda baca, huruf
kapital dengan sedikit kesalahan.
Sementara itu, penilaian berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru
dan siswa selama pelaksanaan proses pembelajaran menulis karangan narasi melalui
metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi yang
dilakukan oleh observer, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran menulis karangan
narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar
fotografi yang diterapkan mampu mengembangkan beberapa kemampuan mengelola
pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun menumbuhkan ketertarikan siswa
terhadap pembelajaran. Guru telah mampu mengelola pembelajaran dan ini dapat
dilihat pada tahap awal pembelajaran, diketahui guru sudah mampu membuka
pembelajaran dengan baik. Ini terbukti dengan perolehan nilai rata-rata 4,0 dengan
kategori baik. Begitu pula dengan penguasaan dan pemberian materi pembelajaran,
64|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
guru juga memperoleh nilai rata-rata 4,7 dengan kategori sangat baik. Pada
pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan
ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, guru sudah mampu melakukan
dengan baik. Hal ini terlihat dalam penggunaan media pembelajaran dan penerapan
metode yang digunakan serta kemampuan guru dalam memberikan ilustrasi terhadap
gambar untuk merangsang pemikiran siswa sehingga meningkatkan kreativitas siswa
untuk mencari ide dalam menulis. Hal ini juga ditandai dengan perolehan nilai ratarata 4,7 dengan kategori sangat baik. Nilai ini sama dengan perolehan nilai rata-rata
guru pada saat melaksanakan evaluasi. Untuk aktivitas menutup pembelajaran, guru
memperoleh nilai rata-rata 4,7 dengan kategori sangat baik. Jadi, nilai rata-rata total
yang diperoleh guru selama pelaksanaan pembelajaran menulis melalui metode
pengelompokan (clustering) berbasis media gambar fotografi mencapai 4,56 dengan
kategori baik. Berdasarkan tanggapan siswa yang terjaring melalui angket, dari 15
pertanyaan positif terhadap pembelajaran menulis melalui metode pengelompokan ide
(clustering) berbasis media gambar fotografi yang diusung, diperoleh 42% jawaban
sangat setuju, 27% setuju, 16% tidak setuju dan 15% sangat tidak setuju. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif atas pembelajaran menulis
karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media
gambar fotografi. Hal ini karena siswa memandang, bahwa pembelajaran menulis
karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) sangat bermanfaat
bagi mereka untuk lebih meningkatkan kreativitas mereka dalam menulis karangan
narasi.
E. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pertama,Penerapan metode pengelompokan ide (clustering )
berbasis media gambar fotografi dalam pembelajaran menulis narasi lebih efektif
dibandingkan dengan pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional
(metode yang biasa digunakan oleh guru pada kelas kontrol) karena dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis narasi. Hal ini terlihat dari nilai ratarata tes awal kelas eksperimen adalah 70,63 dan kelas kontrol memiliki nilai rata-rata
70,43. Hasil tes akhir siswa kelas eksperimen mengalami peningkatan dengan nilai
rata-rata 78,17 lebih tinggi daripada nilai rata-rata tes akhir siswa kelas kontrol dengan
rata-rata 74,20.
Kedua, Setiap pertemuan dalam kegiatan pembelajaran menunjukkan
keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis karangan narasi melalui
metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Siswa
mengikuti setiap tahap pembelajaran dengan baik. Hal ini dapat diketahui dari hasil
analisis terhadap observasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan terhadap
kegiatan guru dan siswa yang semuanya dilaksanakan dan diikuti dengan baik. Hasil
observasi membuktikan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh guru dari pertemuan satu
sampai pertemuan tiga saat perlakuan metode pengelompokan ide (clustering)
berbasis media gambar fotografi adalah 4,42 dengan kategori baik. Adapun nilai rata-
65|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
rata yang diperoleh siswa selama perlakuan tiga kali pertemuan adalah 4,6 dengan
kategori sangat baik. Pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode
pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai, yaitu siswa dapat mencari gagasan atau ide,
mengembangkan, dan menyusun gagasan atau ide tersebut menjadi sebuah tulisan
(karangan) yang sistematis, utuh, dan padu. Hal ini terlihat dari peningkatan
kemampuan menulis (karangan) mereka. Pada tahap awal penerapan metode
pengelompokan ide (clustering) guru menyajikan contoh langkah- langkah membuat
pengelompokan ide (clustering) secara konkret di papan tulis. Guru menentukan topik
yang menarik berdasarkan gambar, kemudian guru menuliskan topik tersebut di papan
tulis, kemudian melingkari topik dan menarik garis dari lingkaran tersebut.
Selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan dengan imajinasinya dan
dihubungkan dengan pengalaman mereka masing-masing ide-ide yang berkaitan
dengan topik berdasarkan gambar. Guru memberikan arahan kepada siswa untuk
mengembangkan pengelompokan idenya. Kemudian berdasarkan pengelompokan ide
tersebut guru memberikan contoh cara mengorganisasikan ide-ide tersebut yang telah
dibuat menjadi sebuah karangan narasi berdasarkan ide-ide yang terdapat dalam
clustering. Siswa menyimak setiap langkah yang dijelaskan guru dengan cermat. Guru
dan siswa bertanya jawab mengenai langkah-langkah membuat pengelompokan ide
(clustering).
Ketiga, Secara keseluruhan proses pembelajaran menulis karangan narasi
melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi
dapat meningkatkan aspek keterampilan menulis. Hal ini terbukti di kelas eksperimen
kemampuan siswa secara umum mengalami kenaikan dari nilai rata-rata prates 70,63
menjadi nilai rata-rata pascates 78, 17. Metode pengelompokan ide (clustering)
berbasis media gambar fotografi memiliki keunggulan secara komparatif terhadap
pelajaran yang biasa digunakan guru dengan menggunakan metode konvensional
sehingga metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi
mempunyai perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan kelas
eksperimen. Dari perhitungan statistik di dapat t hitung yaitu 4,895 dari t tabel di dapat
1,667 karena t hitung > t tabel maka H0 ditolak atau dengan kata lain rata-rata nilai postes
kelas eksperimen lebih baik bila dibandingkan dengan rata-rata kelas kontrol,
sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan yang diberikan kepada kelas eksperimen
memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hasil kelas kontrol yang
tidak mendapat perlakuan pembelajaran dengan metode pengelompokan ide
(clustering).
Daftar Rujukan
Badudu, JS. 2000. Pelajaran Mengarang Dianaktirikan. Jakarta: tp.
DePorter, Bobbi, dkk. 2000. Quantum Teaching Mempraktikan Quantum Teaching di
Ruang-ruang kelas. Bandung. Mizan Media Utama.
DePorter, Bobbi & Hernacki. 2007. Quantum Learning. Abdurahman, A. Bandung:
Kaifa.
Hernowo. 2005. Quantum Writing. Bandung: MCL.
66|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Rusyana, Y. 1988. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: cv.
Diponegoro.
Syamsuddin, A.R dan Vismaia, S. Damaianti. 2007. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Trianto. 2007. Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
67|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
JIWA LIAR SUTARDJI DALAM PUISI “KUCING”
(ANALISIS PUISI DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL DAN
SEMIOTIK)
oleh
Yeni Rostikawati, S.Pd.
STKIP Siliwangi
[email protected]
1. PENDAHULUAN
68|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Kehidupan sifatnya dinamis, senatiasa mengalami perubahan dari waktu ke
waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan tersebut tidak lepaas dari
interaksi sosial antarindividu sehingga melahirkan suatu budaya. Lahirnya suatu
budaya dipengaruhi oleh bahasa dalam proses komunikasi. Dalam dunia
komunikasi, peran tanda tidak dapat dipisahkan, karena sebagaimana pendapat
Ratna (2013 : 97) bahwa kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan
perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan
perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya,
sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan
demikian manusia adalah homo semioticus. Oleh karena manusia disebut juga
homo semioticus, maka ada juga manusia yang manafsirkan perjalanan ataupun
menggambarkan suatu kehidupan melalui tanda-tanda. Penggambaran
kehidupan melalui tanda tersebut salah satunya ada yang dituangkan dalam
bentuk karya seni, misalnya puisi. Puisi dikategorikan sebagai karya seni karena
mengandung unsur keindahan atau puitis.
Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai
keindahan yang khusus untuk puisi. menurut Pradopo (2007 : 13) sesuatu disebut
puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan
tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut
puitis. Hal yang menimbulkan keharuan itu bermacam-macam, maka kepuitisan
pun bermacam-macam.
Sifat puisi yang menimbulkan keharuan itulah yang dapat ditafsirkan
berbeda-beda oleh pembaca, sehingga dapat memunculkan multitafsir. Seorang
penyair bebas mengungkapkan perasaan dan menyembunyikan privasi-nya di
balik syair-syair yang dikemas apik dan unik. Keunikan itulah, baik unik bentuk
ataupun isi, yang membuat sebuah puisi menarik untuk dibahas. Keunikan karya
puisi tentunya berbeda-beda sesuai aliran ataupun gaya penyair masing-masing.
Adapun dalam makalah ini, penulis membahas karya puisi Sutardji Calzoum
Bachri berjudul “Kucing”. Penyair kelahiran 24 Juni 1941 ini memiliki gelar
‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan
Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, dan kucing
yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan
membisu setelah Chairil Anwar pergi. Karya-karyanya berbeda dari puisi-puisi
yang masa itu berkembang. Beliau mencoba keluar dari suatu karya yang bersifat
standar sehingga memiliki warna tersendiri. Bagi Sutardji, menulis puisi adalah
membebaskan kata-kata dan mengembalikan kata pada awal mulanya yaitu
berupa mantera.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengapresiasi puisi karya Sutardji ini
dengan menggunakan pendekatan semiotik dan termasuk juga di dalamnya
analisis struktural. Pendekatan semiotik ini dipilih karena puisi Sutardji sarat
dengan tanda-tanda bunyi yang tidak dapat dijelaskan maknanya secara harfiah.
B. KAJIAN TEORI
1. Biografi Sutardji Calzoum Bachri
69|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Riau, pada 24 Juni 1941.
Setamat SMA, putra pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum ini
melanjutkan studinya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara,
Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat masih menjadi
mahasiswa di kota berjuluk Kota Kembang itulah, anak kelima dari sebelas
bersaudara ini merintis karirnya di dunia sastra diawali dengan menulis di
berbagai media massa. Ia mengirimkan sajak-sajak dan esai karangannya ke
berbagai media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita
Buana, majalah Horison, dan Budaya Jaya. Ia juga mengirimkan sajaksajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan
di Padang. Sejak itulah, nama Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan
sebagai seorang seorang penyair.
Untuk mempertajam kemampuan menulisnya, pada musim panas
1974, ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Terhitung
sejak Oktober 1974 hingga April 1975, Sutardji mengikuti seminar
International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama Kiai
Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian di tahun 1979,
Sutardji Calzoum Bachri diangkat menjadi redaktur majalah sastra Horison.
Setelah bertahun-tahun bekerja, Sutardji akhirnya memutuskan untuk keluar
dari Horison. Pada tahun 2000 hingga 2002, ia menjadi penjaga ruangan seni
"Bentara", terutama menangani puisi pada harian Kompas.
Karyanya yang pertama dibuat pada tahun 1973 dengan judul O. Tiga
tahun setelah dipublikasikan, sajak tersebut mendapat Hadiah Puisi DKJ.
Karya Sutadji lainnya adalah Amuk (1977), Kapak (1979), kemudian pada
tahun 1981, ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O,
Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Ada pula kumpulan esai
berjudul Isyarat, dan kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam.
Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001
dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi "Bentara".
Selain itu, sejumlah puisinya telah diterjemahkan Harry Aveling dan
dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (Calcutta),
1976; Writing from the World (Amerika Serikat); Westerly Review
(Australia); dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in
Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975); dan Ik wil nog duizend jaar
leven, negen moderne Indonesische dichters (1979).
Di dunia persajakan, ia dikenal dengan ciri khas gayanya yang "edan"
saat membacakan puisi yang berbeda dari penyair kebanyakan. Kadang kala
ia jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Menurutnya,'Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya
sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna. Lewat karya-karyanya,
suami Mariham Linda ini banyak meraup penghargaan. Pada tahun 1979, ia
dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand
atas prestasinya dalam dunia sastra. Kemudian di tahun 1988, ia mendapat
70|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia yakni
Penghargaan Sastra yang sebelumnya diraih Mochtar Lubis.
Ayah satu putri bernama Mila Seraiwangi ini juga kerap mendapat
undangan dari berbagai negara. Ia pernah menghadiri Pertemuan
International Para Pelajar di Bagdad, Irak; membaca puisi di Departemen
Keuangan Malaysia atas undangan Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar
Ibrahim; mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN; Pertemuan
Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam; serta
membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia, pada
tahun 1997. Menurut Bung Tardji, menulis baginya adalah panggilan alam.
Ia mengakui bahwa di saat menulis ia bisa merasakan kebebasan.
2. Pendekatan Semiotik dan struktural dalam menganalisis puisi
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang dapat dikaji dari
berbagai macam aspeknya. Aspek kajian puisi meliputi unsur dan
strukturnya, jenis atau ragamnya, atau bahkan dari segi kesejarahannya.
Untuk memahami makna secara keseluruhan, sajak perlu dianalisis secara
keseluruhan. Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsurunsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan
artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya terlepas
dari unsur-unsur lainnya. Di samping itu, karena sajak itu merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga
disatukan dengan analisis semiotik (Pradopo, 2007 : 118). Senada dengan
Pradopo, Culler (1977 : 6) menyatakan bahwa strukturalisme dan semiotika
sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada
karya sedangkan semiotika pada tanda. Dari kedua pendapat tersebut,
semakin memperjelas bahwa analisis semiotika sastra tidak dapat
dipisahkan dari analisis struktural.
Analisis struktur dalam sebuah karya sastra sangat penting karena
karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan merupakan
susunan keseluruhan yang utuh. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada
koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur tersebut tidak otonom,
melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya
dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya (Culler dalam
Pradopo, 2007 : 120). Jadi, untuk memahami sajak, harus memerhatikan
jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.
Adapun gambaran mengenai analisis semiotik diungkapkan oleh
Santosa (1993 : 6), bahwa bahasa merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan antara penanda dan petandanya. Penanda adalah yang menandai
dan sesuatu yang segera terserap atau teramati. Petanda adalah sesuatu yang
tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa
maupun nonbahasa. Hubungan antara penanda dan petanda terdapat
berbagai kemungkinan dalam penggunaan bahasanya. Pemahaman akan
berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan bahasa akan menjadi
71|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dasar struktur semiosis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari seseorang
bagi sesuatu (yang lain) dalam suatu segi pandang. Penanda itu dapat
bertindak menggantikan sesuatu, sesuatu itu petandanya. Penanda itu
menggantikan sesuatu bagi seseorang, seseorang ini adalah penafsir.
Penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari suatu segi
pandangan, segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam komponen
dasar semiotika ini akan dikenal empat istilah dasar, yaitu penanda,
petanda, penafsir, dan dasar. Gejala hubungan antara keempat hal tersebut
akan menentukan hakikat yang tepat mengenai semiosis sehingga dalam
menghadapi berbagai persoalan susastra, baik yang secara wajar
berdasarkan konvensi maupun yang tidak secara wajar (penyimpangan
kaidah) dapat diatasi dengan baik melalui ancangan semiotika.
Jadi, jelaslah bahwa analisis semiotik suatu karya sastra tidak dapat
dipisahkan dengan analisis struktural. Hal ini mengingat bahwa karya sastra
itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna (Pradopo, 2008
: 108). Kedua jenis analisis tersebut saling memengaruhi karena tanda
struktur dalam puisi memiliki makna yang dapat ditelaah oleh pendekatan
semiotik.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Telaah Puisi “KUCING” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Pendekatan
Semiotik dan Struktural
Sutardji memiliki landasan atau dasar keyakinan saat membuat karya
puisi, hal tersebut beliau tulis dalam pembukaan puisi “O Amuk Kapak”.
Berikut isi kredo puisinya:
KREDO PUISI
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang
menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan
alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk
menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan
pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam
puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti
kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
72|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan
gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan
kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang
biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena
kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang
tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya
karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas
kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah
dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk
memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas,
saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat
semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa
menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya
agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa
mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah
membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada
mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi
saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973
Sutardji berkeyakinan bahwa menulis puisi adalah membebaskan
kata-kata dari aturan-aturan gramatika, ketika kata-kata dibiarkan bebas,
maka akan muncul kreativitas yang tak terbatas. Namun, walaupun prinsip
Sutardji menulis adalah membebaskan kata-kata, bukan berarti Sutardji
menulis karya yang “kosong” tanpa makna. Justru karya-karya yang
ditulisnya sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan serta petualangan
spiritual dalam memahami hakikat ketuhanan.
Salah satu puisi Sutardji yang penulis analisis adalah puisi “Kucing”.
Penulis melihat ada makna yang sangat kental dengan kehidupan religi
Sutardji dalam puisi ini, walaupun puisi ini bukan satu-satunya puisi yang
sarat makna religi. Puisi ini diambil dari kumpulan puisi Sutardji berjudul “O
Amuk Kapak”. Berikut syair puisinya:
KUCING
73|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku
cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau! Dia meraung dia menge
rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku
cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku
pasang perangkap di amazon aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota kota siapa tahu nanti ada satu
tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah
1973
.Dari segi tipografi, puisi tersebut ditulis dengan tipografi tidak
beraturan, kesan tidak beraturan atau acak-acakan tersebut penulis maknai
sebagai gambaran jiwa yang sedang mengalami kekacauan, kegundahan, dan
tak tentu arah. Kekacauan tersebut pasti ada suatu sebab. Oleh karena itu,
74|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
untuk pemaknaan lebih dalam, penulis uraikan dari judul puisi terlebih
dahulu.
Dalam puisi tersebut ada banyak tanda yang digunakan oleh
pengarang. Judul puisi adalah “kucing”, arti kucing secara istilah KBBI
adalah binatang semacam harimau kecil yang biasanya dipiara orang atau
hewan piaraan. Sifat kucing pada dasarnya liar karena termasuk jenis hewan
pemakan daging, suka berburu tikus, pemalas, apalagi ketika kucing tersebut
dalam keadaan lapar. Namun, kucing akan menjadi seekor binatang penurut
bahkan manja apabila dia dipelihara dengan baik karena kucing merupakan
salah satu jenis binatang peliharaan. “kucing” dalam puisi tersebut dapat
berupa penanda yang penulis maknai sebagai penggambaran jiwa pengarang
yang sedang “kelaparan”. Simbol kucing ini pun digunakan Sutardji dalam
puisinya yang lain, di antaranya puisi “Amuk” dan “Ngiau”. Berikut
penggalan syairnya.
NGIAU
“...Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya.
Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang
mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang...”
AMUK
“...kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau
dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba
itasatali tutulita...”
Simbol “kucing” yang terdapat dalam kedua penggalan syair di atas
menurut tafsiran penulis, rujukannya sama yaitu tentang suatu keadaan jiwa
seseorang. Pemilihan simbol kucing untuk menggambarkan keadaan jiwa,
pasti tidak akan lepas dari suatu makna. Kucing dalam masyarakat selalu
identik dengan ‘laki-laki’ gambaran laki-laki yang cenderung memiliki hawa
nafsu lebih tinggi, seperti ada istilah dalam bahasa Sunda yaitu “sabageurbageurna lalaki tetep we Ucing!” (sebaik-baiknya lelaki tetap saja dia
“kucing”), atau ada juga penggambaran laki-laki seperti “kucing garong”
dalam salah satu syair lagu dangdut. Selain itu, simbol “kucing” ini lebih
memiliki nilai rasa positif dibandingkan dengan binatang peliharaan seperti
anjing atau babi. Seekor kucing liar masih dapat diarahkan jika dipelihara
dengan benar dan baik, dibandingkan dengan seekor anjing yang dipandang
najis.
Nampaknya, dari pemilihan judul tersebut, pengarang ingin
menyampaikan bahwa isi puisi tersebut berhubungan erat dengan sesuatu
75|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
yang liar namun sifat liarnya itu dikarenakan suatu sebab sehingga ketika
sebabnya itu sudah ditemukan, maka jiwa yang liar karena “kelaparan”
tersebut akan kembali tenang.
Dalam isi puisi pengarang menegaskan bahwa kucing itu bukan
“harimau, leopar, hiena, ataupun singa”, seperti dalam kutipan
“...dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing...”.
Perbandingan kucing dengan keempat jenis binatang buas tersebut
bukan tanpa maksud. Keempat binatang buas tersebut hidup dalam rimba
belantara dan tidak termasuk binatang peliharaan karena jarang sekali orang
yang tertarik untuk memelihara binatang-binatang tersebut atau dengan kata
lain keempat binatang tersebut berbeda dengan kucing dari segi kepemilikan.
Dia (kucing yang dimaksud) semacam kucing (yang memiliki sifat liar)
namun bukan kucing (yang sifatnya buas seperti harimau, singa, hiena, dan
leopar) tapi kucing (yang meronta-ronta kelaparan karena mencari majikan
agar dapat makanan).
Tokoh dalam puisi digambarkan kelaparan, terlihat dalam penggalan
syair “...dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan
amuknya dia meraung dia mengerang...”. Tertera secara eksplisit bahwa dia
(kucing) lapar dan merambah “rimba afrikaku”. Pengarang menggambarkan
dalam dirinya terdapat “rimba afrika”, yaitu suatu rimba/hutan yang ada di
Afrika dan hutan tersebut terkenal masih belum banyak manusia yang
menjamahnya. Hutan yang dipenuhi banyak pepohonan lebat dan banyak
binatang berbahaya/buas di dalamnya, sehingga dapat dibayangkan betapa
gelap dan menakutkan keadaan hutan tersebut. Suasana gelap tersebut
pengarang gambarkan pada dirinya, bahwa ada sisi gelap dalam dirinya
sehingga sisi lain yang digambarkan sebagai kucing terus meronta,
mencakar, mengamuk ingin keluar dari kegelapan tersebut. Dari kedua
penggalan larik puisi di awal tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kucing
adalah gambaran dari jiwa tokoh yang kering kerontang dan kelaparan tanpa
petunjuk sehingga liar mencari-cari “majikan” atau “pemilik” (Tuhan) untuk
mendapatkan “makanan” jiwa berupa ilmu (agama) di tengah kegelapan dan
kehampaan jiwanya.
Tokoh dalam puisi merasa kelaparan, namun lapar bukan karena
kekurangan makanan (dalam arti sebenarnya), karena dalam penggalan larik,
“... jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau
roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah
darahku...”
Si kucing tidak mau roti ataupun daging. Kemudian dalam penggalan
tersebut disebut-sebut “Jesus”, Jesus dalam pandangan Islam adalah Nabi Isa
a.s. yang dianugerahi mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti yang tertera
dalam Alquran surat Ali-Imran ayat 49 berikut:
76|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada
mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan
membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku
membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku
meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan
aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan
seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan
apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang
demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu,
jika kamu sungguh-sungguh beriman.
Ungkapan Jesus dalam puisi tersebut menggambarkan seorang yang
hebat dan dapat diandalkan karena dalam pemahaman Islam, Jesus adalah
seorang nabi, sedangkan dalam pemahaman Kristen, Jesus dipandang
sebagai Tuhan yang disembah. Namun, pandangan penulis, ungkapan Jesus
dalam penggalan tersebut lebih merujuk pada Nabi Isa a.s. yang memiliki
mukjizat, yaitu salah satunya dapat membantu orang yang kelaparan. Dasar
penafsiran lain adalah bahwa simbol “roti dan daging” dapat dimaknai
sebagai sesuatu yang sifatnya materi atau keduniaan. Bukan materi yang
dapat menghilangkan rasa lapar “si kucing”, namun sesuatu yang bersifat
imateri. Akibat kelaparan tersebut si kucing terus meraung dan meronta
hingga merambah “barah darah”. Arti “barah” dalam KBBI adalah bengkak
yang mengandung nanah atau bisul, sedangkan “darah” penulis
menafsirkannya sebagai simbol kehidupan. Jadi, maksud barah dalam darah
adalah suatu cela atau keburukan dalam kehidupan si aku. Jiwa yang
kelaparan tersebut terus meronta-ronta dalam kehidupan tokoh yang penuh
cela.
“Kelaparan” (kekeringan jiwa) yang dialami tokoh dalam puisi akibat
terlalu lama dia dalam masa pencarian keyakinan akan Tuhan. Waktu
pencarian keyakinan yang panjang tersebut tergambar dalam penggalan syair
berikut,
“...berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari
mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan
sekarang dia meraung mencariMu...”.
Dalam waktu yang panjang tersebut dia pada dasarnya berada dalam
kegelisahan, dia menyadari betul bahwa apa yang dia rasakan adalah fitrah
karena fitrah itu sengaja diciptakan Tuhan tanpa diminta makhluknya. Fitrah
yang dimaksud adalah kecenderungan manusia beriman kepada Sang
Pencipta. Maksud tersebut tergambar dalam penggalan
“...tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk
77|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
tenang di bumi..”. Keadaan yang fitrah itu menuntut untuk merasakan
ketenangan walau “sejemput” atau dengan kata lain ‘walau sebanyak yang
dapat diambil dengan ujung jari tangan’. Hal tersebut memberikan kesan
bahwa jiwa tokoh begitu gelisah dan sangat membutuhkan asupan spiritual.
Dalam proses pencarian ketenangan tersebut, tokoh mendapatkan
berbagai rintangan tentunya, salah satunya adalah berbagai keyakinan dalam
berketuhanan. Berbagai keyakinan terhadap Tuhan tersebut tergambar dalam
larik “hei berapa tuhan yang kalian punya”, sehingga gambaran tentang
banyaknya Tuhan yang dimaksud adalah gambaran betapa tokoh sedang
berusaha keras mencari kebenaran yang akan dia yakini karena dari sekian
kepercayaan terhadap Tuhan, tokoh belum menemukan satu keyakinan yang
benar-benar dia yakini. Hal tersebut tersirat dari larik yang cenderung
bernada ironi yaitu “...beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini
ngiau huss puss diamlah...”.
Larik terakhir puisi ada satu citraan yang menggambarkan pencarian
yang sungguh-sungguh, tokoh aku kembali lagi menelisik jiwanya yang
terdalam yang penuh dengan kegelapan yang digambarkan dengan “Afrika,
Amazon, dan Riau” dan bahkan di kota-kota sebagai simbol suatu tempat
yang menjadi pusat perhatian orang-orang karena kota identik dengan tempat
untuk mencari penghidupan yang layak. Barangkali tokoh menemukan
setitik pencerahan yang dia gambarkan sebagai “tuhan”. Penggalan larik
terakhir berbunyi,
“...aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di
amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota
siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untukku ngiau huss puss diamlah...”.
Namun, tampaknya pernyataan “sekerat untuk kau” itu mengandung
makna bahwa apa yang tokoh alami bisa jadi dialami oleh pembaca yang
disebut sebagai “kau”.
Jika dirunut dari larik awal sampai larik akhir puisi “Kucing”
tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa Sutardji menggambarkan
satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di
tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Muara dari
ketenangan itu sebenarnya ada pada keyakinan pada Tuhan atau Allah SWT.
dalam analisis ini penulis lebih cenderung melihat keyakinan yang dimaksud
oleh Sutardji adalah keyakinan Islam. Dasar yang dijadikan acuan oleh
penulis adalah sebuah puisi yang ditulis Sutardji pada masa kekinian. Dalam
puisi tersebut tergambar bahwa seorang “Tardji” (disebut dalam lirik) berada
dalam titik kepasrahan diri terhadap Allah SWT, mengakui segala kesalahan
yang pernah diperbuat semasa muda (termasuk mabuk-mabukan), dan
menggantinya dengan perjalanan hidup yang berusaha lurus kepada Tuhan,
beribadah dimana saja berada hingga mencapai titik ‘kembali kepada
kesucian jiwa’ yaitu ”Idul Fitri” sesuai judul puisinya. Berikut adalah
syairnya:
78|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Idul Fitri
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
79|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana
D. SIMPULAN
Sebuah karya sastra diciptakan dengan estetika dan makna yang mendalam
karena berhubungan dengan emosi penulis. Salah satu jenis karya sastra yang
memunculkan berbagai interpretasi perasaan/emosi adalah karya puisi. Ada
banyak simbol atau tanda yang digunakan dalam puisi untuk menyampaikan
sebuah maksud pada penulis. Pemakaian simbol tersebut menimbulkan banyak
persepsi sesuai dengan daya analisis tiap orang ketika menginterpretasikannya.
Akibatnya, sebuah puisi dapat diinterpretasikan macam-macam oleh pembaca.
Namun, semakin multiinterpretasi suatu puisi, maka semakin baguslah puisi
tersebut karena semakin merangsang daya analisis pembaca terhadap makna
puisi.
Adapun karya sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah sebuah puisi.
Puisi yang menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari
keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan
dunia. Puisi tersebut ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1973 yang
berjudul “Kucing”. Puisi-puisi Tardji beraliran mantra namun begitu sarat
dengan kisah-kisah perjalanan hidup sosial maupun spiritual yang semua itu
menurut anggapan penulis bermuara pada proses pencarian jati diri penyair.
Daftar Pustaka
Bachri, Sutardji Calzoum. 1973. O Amuk Kapak:Tiga Kumpulan Sajak Sutardji
Calzoum Bachri. Bandung : Sinar Harapan.
Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2012. Pembebas Kata dari Belenggu. Tersedia di
http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/3623sutardji-calzoum-bachri
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Angkasa.
80|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
81|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
THE STUDENTS’ DIFFICULTIES IN WRITING THESIS STATEMENT
Dini Hadiani
Politeknik Manufaktur Negeri Bandung
[email protected]
ABSTRACT
This study is aimed at identifying the students’ ability in writing thesis statement. By
implementing descriptive method, twelve students’ texts were analyzed and the focus
was on the introduction section of their essays. Interview was conducted to justify the
result of students’ text analysis, and also to find out the problems they faced in the
process of writing and the possible solutions. The result showed that the main
problems were on the grammar rules of the essay and how the ideas were delivered.
These were mostly caused by the low capacity of the students’ grammatical
competence. It is therefore suggested that the teacher should give various exercises
in the use of grammar of essay writing and how the ideas could be delivered well.
82|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Keywords: writing, thesis statement, grammar rules
A. INTRODUCTION
Writing is a process of organizing and expressing your thoughts. Since writing is a
process, there is no one or single manner of writing. However, "experienced writers
pass through certain stages that overlap and circle back on each other" (Fowler et.al,
2007). These stages include (1) developing or planning through brainstorming,
clustering, free writing, etc., (2) drafting, and (3) revising.
In essay writing, the development of ideas is determined by thesis statement. The
thesis statement tells the reader what to the essay is about, and what point you, the
author, will be making, and as it is stated by Sullivan (1984) “thesis statement or thesis
sentence (the terms are synonymous) states the purpose of the composition. It conveys
the central or main idea of the composition and often indicates how the main idea will
be supported. Ideally, it is a one sentence summary of the whole composition.
(Sullivan, 1984:125)
Besides having a skill in organizing and developing ideas, a writer should also have a
skill in grammar rules. Based on the writer’s experience in teaching writing to the
students, the most frequent problems the students face during the process of writing
are on the grammar rules.
Based on the problems proposed earlier, this study concerns on the followings:
1. What are the students’ difficulties in writing thesis statement?
2. What factors cause the difficulties?
3. What are the possible solutions to overcome the problem?
B. THEORETICAL REVIEW
As it was explained in the previous section, thesis statement plays a vital role in an
essay because its function which informs readers about the contents of the essay and
points out the sub-topics that will be developed in it.
But, in reality a writer often makes mistakes in writing a thesis statement. As it is
stated by Langan (1996:42) who explains the common mistakes people make in
writing thesis statement. The mistakes are: (1) It is usually an announcement of a
subject, not a statement (2) The statement is either too broad or too specific; and (3)
The statement has more than one idea. The explanation shows that writing a thesis
statement requires a specific skill and a continuous exercise. The good thesis
statements can be seen in the following examples:
(1).Women generally live longer than man
for two reasons: they tend to take
better
care of their health, and they have better
resistance to stress.
(2).Capital punishment should be abolished not only because it deprives another
person of life but also because it does not stop crime. (Oshima & Hogue, 1998: 106)
83|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Apart from having the ability to develop ideas into writing, a writer should have a
grammatical competence. Canale and Swain in Gao (2001) states that grammatical
competence focuses on command of the language code, including such things as the
rules of word and sentence formation, meanings, spelling and pronunciation (Gao,
2001). The goal is to acquire knowledge of, and ability to use, forms of expression
that are grammatically correct and accurate (Díaz-Rico & Weed, 2010; Gao, 2001). It
can be said that someone’s grammatical competence can be seen from his ability in
using a language orally or in written. In someone’s writing, we can find out his
grammatical competence in his sentences which covers syntax (word and sentence
formation, and meaning (semantics).
Syntax is the study of the rules that govern the ways words combine to form phrases,
clauses, and sentences.
Syntax deals with how a linguistic unit is arranged to form a meaningful sentence
(Thomas, 1993). There are many clause patterns that can be used to guide someone to
make a coherence sentence both syntactically and semantically .
To form correct sentences, there are seven types of clauses (Quirk et.al, 1985:53).
They are SV, SVO, SVC, SVA, SVOO, SVOC, and SVOA. Subjects (S) are nouns,
pronouns, or noun phrase; Verbal (V) are verbs or verb phrase; Objects (O) are noun,
pronoun, or noun phrase; Complements (C) are noun/ adjective/ prepositional phrase;
adverbs (A) are adverbs or prepostional phrase. To form a subject or object in
sentences needs specific noun phrase structure. If the students have difficulties in
mastering the rules of forming phrase structures, they will have difficulties in forming
a phrase, a clause, a sentence, and a passage.
C. METHODS
This research analyzed twelve introduction section of essays taken from students’
essays. Before they started writing their essays, the students were given explanation
and examples on how to make good thesis statements. The examples can be seen
below:
1. My two sisters are as different as day and night not only in their looks but
also in their characters.
2. An architect should be both an artist and an engineer. (Oshima & Hogue,
1998: 106)
The students were also given the explanation that a thesis statement is a form of
statement which is neither too broad nor too specific, and the function is to state a
specific opinion of the writer. After having the explanation on how to make a good
thesis statement, the students were asked to make a draft of their essays and write the
introduction section of their essays.
When the students have collected the introduction section of their essays, their writing
were analyzed based on their problems in grammatical competence, and the
84|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
development of thesis statements. To justify the data obtained from students’ text
analysis, interview was conducted.
D. RESULTS AND DISCUSSIONS
The students texts were analyzed and then classified based on their difficulties in
developing ideas in their essay, and using grammar rules. The result of the students’
text analysis were then justified by the result of interview.
4.1 Results of students’ text analysis
The result of students’ text analysis shows that students’ difficulties in writing thesis
statement covers two things, they are the difficulties in delivering ideas, and the
difficulties in using the grammar rules.
4.1.1 Difficulties in delivering ideas
Most students have difficulties in delivering ideas of their writing. It can be seen from
the extracts below:
1.
Many people like smoking even they know it is bad for our healthy,
tobacco is cause of nasty disease, and to stop smoking is so difficult.
2.
Playing football is interesting, that is why a lot of people like it, and it is
also a cheap game.
3.
Maintaning a machine is not difficult if you know the ways because it is
not complicated, even it is so simple.
Thesis statement (1) has four clauses, therefore the main idea is not clear. This student
will have difficulties in writing his essay because of the unclear thesis statement he
made. To write an essay, only one of the ideas is needed and he should focus on the
idea. The idea that can be developed into essay is reasons why to stop smoking are
difficult (to stop smoking is so difficult).
In thesis statement (2), the student shoud look for a correct sentence structure so the
ideas that he would put forward can be delivered in his writing. If he used this sentence
(2) he would have difficulty in developing his writing. It is better if he change his
sentence into A lot of people like playing football because it is not only an interesting
but also inexpensive game.
Similar with thesis statement (1), thesis statement (3) also consists of four clauses.
Therefore the writer will be difficult to develop his thesis statement into an essay. It
is recommended that the idea that can be developed into an essay is the reasons why
maintaining a machine are not difficult (maintaining a machine is not difficult).
4.1.2 Difficulties in using grammar rules
The students’ difficulties in using grammar rules are classified into several categories
that will elaborated below.
85|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
4.1.2.1 Difficulties in determining singular and plural noun
Some students found difficulties in determining the singular and plural nouns. The
example can be seen from the extract below.
4.
Technology affects almost all of our life’s aspects such as the jobs,
educations, and informations.
Thesis statement (4) shows that the students used the word ‘informations’ in his
sentence. ‘Information’ belongs to the uncountable nouns, so it is always considered
singular. Therefore it will not have a form of plural noun by adding a suffix ‘s'. It
could be said that this student did not know that the word information is an
uncountable noun. It also indicates that this student made a parallelism with other
nouns in his sentence such as ‘jobs’ and ‘educations’. The words jobs and education
belong to the countable nouns, so they will form either a singular or plural noun. If
they form plural nouns, the words are added suffix ‘s’.
4.1.2.2 Difficulties in using determiner and verbs
Some students faced difficulties in using determiner and verbs. It can be illustrated by
the extract below.
5.
By having many knowledges, we can doing many things such as studying,
and finding a job easily.
The use of determiner many before the noun ‘knowledge’ shows the incorrect use of
determiner because the noun knowledge belongs to uncountable things which cannot
be formed plural. It should be replaced by determiner ‘much’. Besides that, there is
other incorrect use of main verb ‘doing’ preceded modal auxiliary ‘can’ (can doing
and finding). This indicates that the student does not know the structure of modal
auxiliary that should be followed by bare infinitive (can do and find).
4.1.2.3 Difficulties in parallelism
Almost all students found difficulties in parallelism. The examples of thesis statement
that are not parallel can be seen from the following extracts.
6.
I did many things on my holiday, met many people and happy.
In thesis statement (6) the syntax units that are not parallel are ‘met many people and
happy’. The student put the adjective ‘happy’ after the conjuction ‘and’ to combine
the first idea which is the verb ‘met’. This makes the statement not parallel because
what is needed after the conjuction ‘and’ is another form of verb. The correct one is
‘met many people and felt happy’. This indicates that the students did not know how
to make the sentences parallel.
7.
Running is a kind of sport that makes my body healthier and save money.
Thesis statement (7) shows the in parallel of syntax unit which is combined by
conjunction ‘and’ (that makes my body healtier and save money). The verb ‘save’
should have a suffix ‘s’ (saves) which makes it parallel with the previous verb
86|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
‘makes’. This shows that the student did not undertand parallelism so he did not pay
attention the other idea in his sentence to make it parallel with ‘makes my body
healtier’.
4.2 Result from Interview
In general the results from interview support the data obtained from the students’ text
analysis.
Most students stated that the main difficulty they encountered in writing thesis
statement is determining the main idea which will be developed into an essay. They
often mixed many ideas into one sentence, therefore it made them difficult to develop
their ideas. The main problem of determining ideas that will be developed into an
essay can be found from the following extracts:
(1). I often have several ideas that I would like to deliver in my thesis statement, but
then I am confused which idea that can be developed into an essay (R2).
(2). I know that to make a thesis statement needs main idea that will be developed into
an essay, but I
always feel difficult to determine the main idea.(R5).
(3). I know the theory of making a thesis statement but I have a difficulty in making
a good thesis statement (R7)
(4). In my opinion thesis statement is important because it consists of main idea that
will be developed ito an essay. I will have no difficulty if I could find the main idea
that will developed (R1).
The extracts show that most students still have difficulties in making thesis statement
especially when they have to determine the main idea that will be developed into an
essay. It indicates that they still have low capacity in making the thesis statement. It
is therefore recommended for teacher to give explicit teaching about how to make a
good thesis statement. The students should also be guided by being given a lot of
exercises about making a good thesis statement.
Reffering to the students’ difficulty in grammatical competence, the following
extracts are taken from the students’ responses.
(1) When I was asked to make a sentence, I always had difficulty in determining the
correct form noun whether it is singular or plural (10).
(2) I am always confused when to use articles a, an, the,
much dan many (R11).
(3). I did not know when to use the correct form of verb/ tense (R12).
The extracts show that some students have difficulty in determining and applying
grammatical rules in their writing. This mostly caused by their limited capasity in
87|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
understanding the grammatical rules. It is therefore recommended for teacher to give
explicit teaching in terms of grammar rules.
5. CONCLUSIONS
Based on data obtained from students’ text analysis and interview, it can be concluded
that the students’ difficulties in writing thesis statement are in terms of delivering
ideas and implementing the correct grammar rules. These are mostly because they do
not have clear understanding in grammatical competence to be able to make a good
thesis statement that can be developed into an essay. The students’ difficultes in
delevering ideas could be caused by their low capacity in determining a specific main
idea that will be developed into an essay.
The students’ difficulties in terms of grammar rules include the difficulties in using
singular and plural nouns, determiner, verbs, and parallelism. These could be caused
by the students’ low capacity in using the grammarrules in their writing.
Based on the findings and discussions, it is advisasble for teacher to do many things
to solve the students’ difficulties in writing thesis statement. Giving students explicit
teaching about the theory of making good thesis statements should be done regularly.
The teacher should also know factors that cause the students’ difficultes in making
thesis statement, so he will be able to find solutions for the problems. The teacher
should pay attention to improve the students’ understanding in writing a good thesis
statement not only in terms of grammar rules , but also in terms of delivering their
ideas by focusing on one specific main idea that will be developed into an essay.
5. REFERENCES
Blanchard K. and Root C. (2004). Ready to Write. Longman. New York.
Díaz-Rico, L. T. & Weed, K. Z. (2010). The crosscultural, language, and academic
development handbook: A complete K-12 reference guide (4th ed.). Allyn &
Bacon.Boston.
Fowler, H Ramsey et. al. The Litle, Brown Handbook. 10eds. Longman. New York
Gao, C. Z. (2001). Second language learning and the teaching of grammar.
Education, 2, 326- 336.
Langan, J. (1996). College Writing Skills. The McGraw-Hill Companies Inc. New
York
Oshima, A and Hogue, A.(1998). Writing Academic English Third Edition.
Longman. New York.
88|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Quirk, R, et al (1985). A Comprehensive Grammar of The English Language.
Longman. London.
Sullivan, Kathleen (1984). Paragraph and the short composition. London: Collier
Macmillan publishers.
Thomas, Linda (1993). Beginning Syntax. Oxford: Blackwell Publishers Ltd
89|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
THE USE OF REFUSAL STRATEGIES IN WORK PLACE SETTING IN
STIA LAN BANDUNG
Khaerunnisa S.pd
Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
ABSTRACT
This study was conducted to find out the refusal strategies in work place setting by 10
employees of STIA LAN Bandung. The questionnaire used was Discourse
Comprehension Test (DCT) developed by Beebe et al (1990) in 12 different situations.
The participants were asked to refusing 12 different situations to someone who comes
from higher, equal, and lower status. The findings of this study show that the
participants mostly used indirect strategies in refusing someone’s request depend on
the status in the work place. The findings also shown that the participants use 6
different strategies relate with ‘saving face’ and the highest percentage is regret
strategy and the lowest percentage is ‘other’ strategy. In conclusion, the participants
90|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
use different strategies; direct strategies to the lower status and indirect strategies to
the equal and higher status.
Keywords: refusal strategies, Discourse Comprehension Test
1.
INTRODUCTION
Most people have difficulties in refusing someone’s order, especially in
workplace setting. The difficulties happened because of the situation and the
power relation between people in the work place. Besides the situation and the
power relation, politeness also takes place. According to Brown and Levinson
(1987) politeness is one of the most important symbolic values to be socialized
in our daily encounters as all cultures value politeness.
Politeness theory as proposed by Brown and Levinson (1987) provides one
perspective on face work and face-threatening acts. Politeness is defined as
behavior which takes into account a person’s “face needs”, a concept which
derived from the work of Goffman (1967) and developed by Brown and Levinson
(1987).
According to Brown and Levinson’s theory (1987), politeness involves showing
concern for two different kinds of face needs. First is negative face needs, or the
need for privacy and distance from others, and second, positive face needs, the
need to be approved of, liked, and admired.
Relate with “face needs”, many investigations have been conducted about the
strategy of refusing as a politeness strategy or an attempt to ‘save face’ when
refusing, e.g. Beebe et al, 1990; Nelson et al, 2002; Johnson, Roloff, et al 2004.
In ‘saving face’ person do in different ways, especially when he or she is in the
workplace setting. This study investigates the using of refusing strategy as a
politeness strategy in workplace by employee in workplace.
2.
METHODOLOGY
Subject
The participants of this study were 10 employees of STIA LAN Bandung. The
participants were given a questionnaire consist of 12 situations, where in each
situation, the participants should made a refusal to someone in higher status,
equal status, and lower status in working situation.
Procedure
All the participants were asked 12 different situations in a questionnaire in a form
of Discourse Completion Test (DCT). The DCT is a form of questionnaire
depicting some natural situations which the participants are expected to respond
making refusals. This test was originally designed by Blum-Kulka in 1982. The
questionnaire used in this study was divided into twelve different situations
91|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
where the situation was based on the refusal made to someone in higher status,
equal status and lower status in work place situation.
Data Analysis
The data collected through the Discourse Completion Test are analyzed based on
independent examination of each response. The answer to the questions filled in
the questionnaire by the participants have been conceived based on their values,
understanding of social contexts, rules, and appropriateness (cited in Okto 2006)
which would most likely be the basis of their actual responses. The data analysis
was conducted by marking each answer with the classification of strategies
suggested by Beebe et al:1990 (cited in Okto, 2008). The classification categories
are:
1. Direct refusal (e.g., I can’t, I don’t want to, no)
2. Indirect strategies
a. Reason (e.g. I have another appointment, I have to finish my homework)
b. White lie; A reason which is not in accordance with the true reason or
situation given in the DCT
c. Consideration of interlocutor’s feelings (e.g., thank you)
d. Suggestion of willingness (e.g., I’ll do it next time, make it next time)
e. Suggestion (of solution) (e.g., why don’t you ask B? I think he’ll love togo.
You can try and get a loan from the bank)
f. Let interlocutor (e.g., it’s ok, don’t bother)
g. Statement of regret (e.g., I’m so sorry)
h. Hedging (e.g., oh, I’m not sure)
i. Statement of Principle (e.g., I don’t believe in dieting)
j. Criticize the request/requester (e.g., you know I don’t like jazz, why did
you buy me a ticket?!)
k. Request (e.g., I’m sorry I can’t watch the concert, but may I have the ticket
and give it to my sister? Or I’m sorry, I am not interested in Multi level
marketing, can you just loan me some money?)
l. Other (e.g., wah, waduh, walah, aduh, particles used to intensify surprise,
appreciation or criticism)
Then, I coded the answer using those categories and I percentage it. The table
of calculations uses to reveal the similarities and differences in refusal
strategies used by the participants when they are make refusal to the same or
different status.
3.
FINDINGS AND DISCUSSIONS
Table 1
Direct and Indirect Strategies used in refusal in workplace setting
Participants
Direct Refusal
Indirect Refusal
92|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
10 Employees
9.72%
82.37%
From the table above, we can see that most participants were used indirect
strategies in refusing in work place setting. In the table 2, it clearer that the
highest percentage of indirect strategies used is the strategy in showing regret.
It is similar to the findings on Nelson et al (2002) as cited in Okto (2006) on
Americans, most Indonesian respondents use expressions of regret such as ‘maaf’
(I’m sorry), ‘sori banget’ (I’m so sorry) as a ‘Face-saving’ strategy when
refusing. In Nelson et al findings, Egyptians and Americans primarily use five
indirect strategies in refusing.
But in this study, the participants used 6 indirect strategies; regret, reason,
suggestion of willingness, suggestion of solution, requesting, and the last is
‘other’, which is the highest indirect strategies is in showing regret, and the
lowest strategy used is ‘other’ strategy.
The Direct Strategies Used
As seen in the table 2 (appendix), the participants less in using the direct
strategies. speakers use direct strategies when they refuse the request from the
interlocutor who comes from lower status. The speaker uses his or her power to
refuse the request directly. As cited in Aziz (2000) the term relative power refers
to the degree of power which a speaker can impose on a hearer.
According to Brown and Gilman “one person may be said to have power over
another in the degree that he is able to control the behavior of the other. Power is
a relationship between at least two persons, and it is nonreciprocal in the sense
that both cannot have power in the same area of behavior” (1960:255).
e.g. Situasi 3
Kerjakan saja sendiri!
(Do it yourself!)
Saya ga bisa bantu, lagi ada pekerjaan, sibuk!
(I can’t help you, I have work to do, I’m busy)
Coba saya lihat, wah ini sih gampang! Kamu kerjain sendiri aja ya. Saya
mau pulang klo sekarang.
(May I see, oh it is very easy! Do by yourself. I want to go home now)
The Indirect Strategies Used
First Strategy: Regret
Most the participants use expressions ‘maaf pak’, ‘duh, sori..’to express
apologize before they refuse the request.
e.g. Situation 1
‘maaf, Pak’
93|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
(Sorry, Sir).
Apakah pekerjaan ini boleh saya kerjakan dirumah? Karena saya ada acara
yang sangat penting.
(Can I do this job in my house? Because I have an important occasion)
From this example, it can take conclusion that the participants use expression of
apologize before they do refusal. An expression of regret, helps people to ‘save
face’ when refusing since the interlocutor may not interpret the refusal as a
rejection. Usually, after the speaker use ‘maaf’ (sorry), the speaker followed the
expression by given an explanation to the interlocutor.
The Second Strategy: Reason
In general, giving reason is the most strategy used in refusing the interlocutor’s
request. Giving reason is considered very important when refusing. Most
participants used giving reason strategy in refusing the interlocutor’s request.
e.g. Situation 7
Sebenarnya saya akan membayar tagihan telepon dan harus hari ini dibayarkan
karna dah nunggak selama 2 bulan dan kalau tidak dibayar hari ini jalur telepon
akan dicabut.
(Actually I’m going to pay the telephone bill and it should be paid today because
it hasn’t been paid for 2 months and if I don’t pay today it will be disconnected)
The Third Strategy: Suggestion of Willingness
The fourth most frequently used among the participants is communicating
willingness.
e.g. Situation 8
Seandainya saya bisa membantumu. Untuk saat ini saya belum bisa
membantumu.
(I wish I can help you. But for now, I can’t help you)
In this strategy, the participant use expressing of willingness to ‘save face’,
because it is important for the speaker to give understanding to the interlocutor
that the refusal is caused by the speaker’s inability to fulfill the interlocutor’s
request.
The Fourth Strategy: Suggestion of Solution
In this fourth strategy, the participants refuse the interlocutor’s request by giving
solution to the problem. Most the participants seen the suggestion of solution as
the effective strategy in refusing the interlocutor’s request without losing ‘face’.
e.g. Situation 3
94|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Saya harus segera pulang, jikalau anda mengalami kesulitan dalam
mengerjakan rancangan project ini, coba anda minta bantuan rekan anda ya!
I need to go home now, if you find some difficulties in doing this design project,
please try to ask for help to your partner!
The Fifth Strategy: Requesting
This indirect strategy used by the speaker to avoid directly says ‘no’ to the
interlocutor’s request, so the speaker pretends not understand of the interlocutor’s
request. As Aziz (2000) said that the speaker uses this strategy generally as a
means of ensuring whether or not what he/she has heard is correct.
e.g. Situation 9
Untuk apa?
(For what?)
Penting ga pak?
(Is it important?)
The Sixth Strategy: ‘Other’
This strategy mostly used discourse marker or pragmatic particle such as ‘wah,
ah, aduh, waduh, ihh, idih.’ Beside that, the speaker sometimes uses their mother
language in refusing the interlocutor’s request when the speaker feels he/she has
close relationship.
e.g. Situation 8
Waduh,,saya lagi gak ada uang nih. Coba pinjem ke yang lain.
(Oh..I don’t have any money. Please try to somebody else)
Percanten ah bapak mah..
(I believe in you..)
The word ‘waduh’ does not change the meaning of the response, as any pragmatic
particle does (Holker, 1991 as cited in Okto, 2006). It adds an expression of
emotion of the speaker to the interlocutor that may intensify the degree of regret
or surprise. The mother language used by the speaker as a response in refusing
interlocutor’s request also seen as one of the close relationship between the
speaker and the interlocutor.
4.
CONCLUSION
In refusing, especially in work place setting, people use different strategies. Most
people use indirect strategies to interlocutor who comes from higher status, but
for interlocutor who come from equal status or lower status, the speaker use direct
strategies. The highest strategy used by the participants in this study is expression
of regret, where most Indonesian, and participants in particular to express their
regret or to apologize before they refuse the requests or offers.
95|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
The last strategy used by the participants in this study is ‘other’ strategy. In this
strategy, the participants used particle expression to show their uncertainty of
their response. This strategy also shows that the speaker is unable to refuse
directly. The findings show that direct refusals may not always be interpreted as
impolite, since in some cases the degree of politeness are varies depend on the
intonation, context, and the degree of closeness of the speaker and the
interlocutor relationship.
5.
REFERENCES
Aziz, E. Aminudin. (2000). Refusing in Indonesian:Strategies and Politeness
Implications. A Disertation. Monash University:Australia.
Brown, P. and S.C. levinson. (1987). Politeness, some Universals in Language
Use. Cambridge University Press: Cambridge.
Jaworowska,
Joanna.
(2010).
‘Speech
Act
Theory’.
In
http://instructional1.calstatela.edu/lkamhis/tesl565_sp04/troy/spchact.ht
m Accessed on 7th of Mei 2010.
96|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
97|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
\
98|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DALAM
PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN ARGUMENTASI
Dr. Hj. Teti Sobari, M.Pd.
STKIP Siliwangi
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan peningkatan kemampuan menulis
karangan argumentasi siswa SMK. Menulis merupakan aktivitas yang
membutuhkan aktivitas dan kreativitas berfikir. Model yang dapat menumbuhkan
aktivitas dan kreativias berfikir adalah metode pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw. Teknik jigsaw adalah suatu teknik pembelajaran yang menekankan pada
aspek kerjasama dengan pola belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari
empat sampai enam orang yang anggotanya dipilih secara heterogen. Siswa
bekerja sama saling ketergantungan secara positif dan bertanggung jawab secara
mandiri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode quasi eksperimen
dengan ujicoba metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran
menulis paragraf pada karangan argumentasi. Dengan rancangan penelitian
Preetest-Posttest With Control Group Design yaitu memberikan suatu perlakuan
kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol.
Hasil penelitian membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan argumentasi. Model ini
juga dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan argumentasi siswa SMK
Kata kunci: karangan argumentasi, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
I. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. mempunyai kelebihan dari
makhluk lainnya yaitu dapat berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan
bahasa. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi merupakan alat yang
sangat vital dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa dapat bertukar
informasi, bertukar pikiran, saling berbagi pengalaman, dan dapat saling
belajar antarsatu dengan lainnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan bahasa pula manusia dapat mengekspresikan diri dalam lingkungan
kehidupan sosialnnya.
Kualitas pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih dikatagorikan sebagai
negara yang kualitas pendidikannya rendah. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh pemerintah dalam pendidikan yaitu masalah peningkatan kualitas
pendidikan. Upaya-upaya yang selalu menjadi bahan penyempurnaan adalah
kurikulum,
peningkatan
kualifikasi
guru,
penataran-penataran,
penyempurnaan pengelolaan sistem pendidikan, dan pengadaan bahan ajar.
99|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Segala upaya yang dilakukan itu bermuara pada peningkatan kualitas proses
belajar mengajar yang dapat menghasilkan lulusan yang bermutu.
Bidang garapan penelitian ini adalah proses pembelajaran, yakni proses
pembelajaran keterampilan menulis di SMK. Model pembelajaran yang
digunakan adalah model kooperatif tipe jigsaw yaitu suatu pembelajaran
kelompok yang melibatkan setiap anggota kelompok untuk mengerjakan
tugas tertentu yang dikerjakan dalam kelompok ahli (expert group) dan
disosialisasikan pada kelompok asalnya (home group). (Achyar, 1998:31).
Tugas yang diberikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
adalah tugas menulis karangan argumentasi.
Lingkup menulis dibatasi pada pengertian menulis karangan argumentasi.
Keterampilan menulis adalah kemampuan menulis dengan cara
mengembangkan konsep, pikiran, dan pendapat dalam suatu karangan
argumentasi. Karangan argumentasi adalah suatu bentuk karangan yang
berisikan uraian yang disertai alasan untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian, atau gagasan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Efektifkah model
pembelajaran keterampilan menulis karangan argumentasi dengan
menggunakan model kooperatif tipe jigsaw pada siswa kelas 2 SMK ? 2)
Apakah pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan
model kooperatif tipe jigsaw lebih efektif daripada pembelajaran menulis
karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran
ekspositori? 3) Seberapa besar perbedaan peningkatan hasil belajar siswa
dalam menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dibandingkan dengan menggunakan
pembelajaran ekspositori? 4) Apakah kualitas pembelajaran menulis
karangan argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw berlangsung lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model
pembelajaran ekspositori ?
Tujuan penelitiannya adalah ingin mengetahui 1) keefektifan model
kooperatif tipe jigsaw dalam meningkatkan keterampilan menulis karangan
argumentasi daripada pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan
menggunakan model pembelajaran ekspositori, 2) hasil belajar siswa dalam
menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw, 3) kualitas pembelajaran menulis karangan
argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
II. Tinjauan Pustaka
Teori konstruktivisme adalah teori yang melandasi pembelajaran kooperatif.
Pada dasarnya pendekatan kontruktivisme dalam belajar adalah suatu
pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan
mentranformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan
aturan yang ada, dan merevisinya bila perlu (Soedjadi dalam Widada, 1999 :
24). Dengan demikian guru harus dapat merangsang dan memberikan
dorongan untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya
100|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
(aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di
dalam proses belajar mengajar.
Pendekatan konstruktivisme lebih mengutamakan siswa yang dihadapkan
pada masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan baru kemudian
dengan petunjuk guru diharapkan dapat menemukan bagian-bagian yang
lebih sederhana atau keterampilan dasar yang dituntut. Sehubungan dengan
hal tersebut Berg ( 1991:12) menyatakan bahwa menurut teori
konstruktivisme, materi atau pelajaran baru harus disambungkan dengan
konsepsi awal siswa yang sudah ada atau membongkar konsepsi lama dan
membangun kembali (jika konsepsi terlalu menyimpang dari konsep ilmuan).
Oleh karena itu, dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme, mempelajari pokok bahasan baru dimulai dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerangkan ide-idenya agar
mereka lebih sadar mengenai konsep yang dimilikinya. Kemudian masingmasing konsepsi siswa dikembangkan ke arah yang benar. Dalam meluruskan
konsepsi awal siswa yang salah atau menyimpang dari konsep yang benar,
kadang-kadang perlu diperhatikan materi prasyarat yang dimiliki siswa
sehubungan dengan materi yang akan dipelajari
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar
konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan
penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu
dibangun dalam pikiran anak (dalam Ratna W.D., 1988:181). Guru dalam hal
ini hanya sebagai fasilitator yang menjembatani siswa ke arah pemahaman
yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang melaluinya (Slavin,
1994). Dengan demikian guru tidak sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa
diberikan kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam menerapkan
ide-ide mereka. Agar siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri, guru
hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Piaget dan Vygotsky mengemukakan adanya hakikat sosial dari proses belajar
dan juga mengemukakan tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar
dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk
mengupayakan perubahan konseptual.
Piaget menekankan bahwa belajar adalah proses aktif dan pengetahuan
disusun di dalam pikiran siswa. Oleh karena itu belajar adalah tindakan kreatif
dimana konsep dan kesan dibentuk dengan memikirkan obyek dan peristiwa
dan bereaksi pada obyek dan peristiwa tersebut.
Pandangan Piaget (dalam Dahar, 1996 : 150) menyatakan bahwa struktur
kognitif (skema) terbentuk pada waktu seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya. Skema berkembang seiring dengan perkembangan kognitif
yang dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan
101|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
equilibrasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan skema yang
sudah ada untuk menghadapi pengetahuan baru yang diterima.
Vygotsky (dalam Paul S., 1997:45) belajar merupakan pengembangan suatu
pengertian, baik pengertian spontan maupun pengertian ilmiah. Pengertian
spontan adalah pengertian yang diperoleh dari pengalaman seseorang
terhadap fenomena alam sehari-hari biasanya diperoleh di luar sekolah.
Pengertian ilmiah adalah Pengertian yang didapat dari sekolah dan sifatnya
logis. Proses belajar merupakan perkembangan dari pengertian spontan
menjadi pengertian ilmiah
Pengertian ilmiah tidak datang dalam bentuk “barang jadi” terhadap
seseorang tetapi pembentukan pengertian ilmiah memerlukan kemampuan
intelektual dari orang tersebut (Vygotsky dalam Paul S., 1997). Oleh karena
itu, seseorang memerlukan proses berpikir. Alat yang digunakan dalam proses
berfikir adalah bahasa. Bahasa lahir dari aspek sosial seseorang. Bahasa dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh
diri sendiri dan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Seseorang akan
terus berusaha untuk mengungkapkan suatu pengertian melalui bahasa yang
sesuai sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Melalui interaksi verbal dengan “orang dewasa”, seseorang ditantang untuk
lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian
spontannya. Dalam kesempatan itu ia akan berusaha merekonstruksi
pengetahuannya yang lebih sesuai dengan konstruksi “orang dewasa”. Proses
pembentukan pengetahuan seperti ini disebut dengan proses eksternal.
Pandangan konstruktivisme Piaget dan Vygotsky dapat berjalan
berdampingan dalam proses belajar. Konstruktivisme Piaget menekankan
pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman
yang dimiliki orang tersebut, sedangkan konstruktivisme Vygotsky
menekankan pada interaksi sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari
lingkungan sosialnya. Kerangka pemikiran ini dapat dituangkan dalam bentuk
bagan seperti pada Gambar 1
Kemampuan
Individual
Bahasa
Interaksi
Sosial
Belajar
Proses
Eksternal
102|
Proses Internal
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Gambar 1
Proses Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
( Sumber : Lorning, 1993)
Berkaitan dengan karya Vygotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivis
menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan
kelompok belajar. Von Glasesfeld (dalam Suparno, 1997 : 63) berpendapat
bahwa dengan melalui kelompok belajar memberikan kesempatan kepada siswa
secara aktif membuat abstraksi. Kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu yang
dipikirkan siswa kepada teman akan membantunya untuk melihat sesuatu dengan
lebih jelas bahkan melihat ketidaksesuaian pandangan mereka sendiri.
Model Pembelajaran Kooperatif
Suatu model pembelajaran perlu direncanakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan (Dahlan, 1990 : 21). Menurut Slavin (dalam
Lasmawan, 1997 : 10) belajar kooperatif (cooperatif learning) merupakan model
pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang,
dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Struktur pembelajaran kooperatif mengembangkan sistem tutor sebaya (peer
tutoring) diantara sesama anggota kelompok, karena sistem ini membantu siswa
memahami materi pelajaran yang lebih memungkinkan, melalui bimbingan dan
penjelasan rekannya yang secara psikologis dapat meningkatkan interaksi
diantara sesama anggota kelompok
Partnershif (mitra belajar) merupakan pola hubungan antara guru dengan siswa
dalam proses pembelajaran kooperatif, artinya guru dan siswa sama-sama
sebagai manusia yang aktif mengupayakan peningkatan pengertian dan
pengorganisasian pengetahuan. Oleh karena itu, peran guru dalam model
pembelajaran kooperatif lebih dominan sebagai organisator dan fasilitator.
Stahl (1994 : 25) menyatakan cooperatif learning dapat meningkatkan belajar
siswa menuju belajar yang lebih baik dan dapat meningkatkan sikap tolong
menolong dalam perilaku sosial. Dengan demikian, diskusi kelompok dengan
teman sebaya efektif dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar siswa.
Johnson dan Johnson (dalam Lie, 1999 : 30) mengemukakan empat dasar dalam
belajar kooperatif yaitu
a. Saling ketergantungan
103|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Dalam interaksi kooperatif guru menciptakan suasana belajar yang
mendorong anak-anak untuk saling membutuhkan. Interaksi yang saling
membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif
b. Interaksi tatap muka
Dalam interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok
belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog
dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien
c. Akuntabilitas individual
Dalam kelompok belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk
memberikan andil bagi keberhasilan kelompoknya
d. Keterampilan menjalin hubungan interpersonal
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggang rasa,
bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide orang lain, berani
mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang
bermanfaat untuk menjalin interpersonal secara sengaja diajarkan dan
dilatihkan
Berdasarkan lima komponen dasar dalam pembelajaran kooperatif diharapkan
siswa memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu dan sebagai
anggota kelompok untuk bekerja sama pada suatu tugas untuk mencapai tujuan
bersama.
Belajar kooperatif (cooperatif learning) merupakan salah satu strategi belajar
alternatif yang merupakan perbaikan dari kelemahan pengajaran klasikal,
tujuannya adalah :
1) memberi kesempatan setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah;
2) mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong royong dalam
kehidupan;
3) mendinamiskan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga tiap anggota
merasa diri sebagai bagian kelompok yang unsur-unsur dasar pembelajaran
kooperatif yang perlu ditanamkan pada siswa sebagai berikut :
a) para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama-sama”
b) para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam
kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam
memperlajari materi yang dihadapi
c) para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua harus memiliki
tujuan yang sama
d) para siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara
anggota kelompok
e) para siswa akan diberi suatu evaluasi atau penghargaan yang akan
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok
f) para siswa akan diberi pertanggungjawaban individual, tentang materi
yang dipelajari dalam kelompok kooperatif (Lundgren, 1995)
104|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Beberapa hal yang perlu dimunculkan dalam melaksanakan pembelajaran
kooperatif adalah (1) menciptakan suasana belajar yang bebas dan terbuka, agar
siswa merasa leluasa dalam mengemukakan ide atau gagasan, (2) memberikan
kesempatan kepada setiap siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan bebas
bertanya kepada sesama teman dengan dasar saling menghormati dan tanggung
jawab, (3) guru memberikan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena
alam dan kehidupan sehari-hari yang erat hubungannya dengan materi yang
sedang dipelajari, (4) guru memberi tugas lembar kegiatan siswa (LKS) sebagai
pedoman siswa dalam menggali gagasan, dan (5) memberikan pujian kepada
kelompok yang menunjukkan kerja sama yang baik.
Pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya
antara lain (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep
sendiri dan memecahkan masalah, (2) memberikan kesempatan kepada siswa
untuk kreativitas dalam melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya,
(3) membiasakan siswa untuk bersikap terbuka namun tegas, (4) meningkatkan
motivasi belajar siswa, karena interaksi yang borkembang adalah siswa dengan
siswa. (5) membantu guru dalam pencapaian tujuan pembelajaran karena
langkah-langkah pembelajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah, (6)
mendorong inovasi guru untuk menciptakan media pengajaran, karena media
begitu penting dalam pembelajaran kooperatif.
Sedangkan yang menjadi kelemahannya adalah (1) diperlukan waktu yang cukup
lama untuk melakukan diskusi, (2) seperti belajar kelompok biasa, siswa yang
pandai lebih banyak menguasai jalannya diskusi, sehingga siswa yang kurang
pandai kurang kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, (3) siswa yang
tidak biasa dengan belajar kelompok merasa asing dan sulit untuk bekerja sama.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu
penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang
sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria
yang ditentukan
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung pada pertanggunjawaban individu dari semua
anggota kelompok. Adanya pertanggungjawaban secara individu, menjadikan
setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya, tanpa bantuan
teman sekelompoknya
c. Kesempatan yang sama untuk berhasil
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang
terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang
berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk
berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya (Slavin, 1995 : 6)
Arend (1997:111) mengemukakan tujuan pengembangan model pembelajaran
kooperatif yaitu untuk mencapai prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan
105|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dan pengembangan keterampilan sosial. Dengan demikian, dalam pelaksanaan
pembelajaran kooperatif siswa harus dilatih terlebih dahulu tentang keterampilan
kooperatif, karena keterampilan kooperatif itu berfungsi melancarkan hubungan
kerja dan tugas. Hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan
komunikasi antaranggota kelompok, sedangkan pelaksanaan tugas dilakukan
dengan membagi tugas antaranggota kelompok selama kegiatan berlangsung.
Dengan demikian, cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu
perilaku bekerja membantu sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam
kelompok terdiri dari dua orang atau lebih dengan keberhasilan kerja sangat
dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap individu dalam kelompok itu sendiri.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Istilah jigsaw dalam bahasa Inggris adalah gergaji ukir atau juga disebut sebagai
puzzle yaitu teka teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji, yaitu siswa melakukan
suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai
tujuan bersama.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model belajar kooperatif
dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai
enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif
dan bertanggung jawab secara mandiri (Lie, 1999:73). Siswa bekerja dengan
sesama anggota kelompok dalam suasana kooperatif dan mempunyai banyak
kesempatan untuk mengolah infomasi dan meningkatkan keterampilan
berkomunikasi. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan
bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikannya kepada
anggota kelompok yang lain.
Gambaran pelaksanaan model belajar kooperatif yaitu siswa diberi soal terdiri dari
topik soal yang berbeda untuk masing-masing anggota kelompok. Setelah setiap
anggota kelompok selesai membaca, siswa dari kelompok yang berbeda bertemu
dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik yang diberikan selama kurang
lebih 30 menit, kemudian ahli-ahli tersebut kembali pada kelompok asal untuk
menjelaskan hasil diskusinya.
Pengertian karangan argumentasi
Karangan argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk
mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain agar mereka percaya dan akhirnya
bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh penulis atau pembicara (Keraf,
2001:3). Karangan argumentasi pada pengertian tersebut bertujuan untuk
mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara
mengemukakan bukti konkret atau faktual sesuai dengan kenyataan sehingga
pembaca akan terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dikemukakan oleh
pengarang.
Rusyana (1986:30) mengemukakan bahwa karangan argumentasi disebut
karangan hujan adalah karangan yang mengutarakan alasan untuk membuktikan
sesuatu dengan maksud meyakinkan pembaca akan sesuatu atau mendorong untuk
106|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
berbuat sesuai dengan keyakinan itu. Karangan argumentasi adalah suatu bentuk
tulisan yang mengandung inferensi, implikasi, dan evidensi yang bertujuan
mempengaruhi sikap, keyakinan, dan pendapat pembaca agar bertindak sesuai
keyakinan penulis.
Ciri-ciri karangan argumentasi
Sesuai dengan pengertiannya maka untuk membedakan karangan argumentasi
dengan karangan lainnya dapat dilihat dari ciri-ciri karangan argumentasi berikut
ini.
a. Berisi argumen-argumen sebagai upaya pembuktian dalam
mempertahankan atau menyanggah suatu pendapat atau sikap
b. Bertujuan meyakinkan pembaca agar mengikuti apa yang dikemukakan
penulis
c. Menggunakan logika atau penalaran sebagai landasan berfikir
d. Bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi
e. Bersifat mendesakkan pendapat atau sikap kepada pembaca
f. Merupakan bentuk retorika yang sering digunakan dalam tulisan-tulisan
ilmiah
3. Syarat-syarat karangan argumentasi
Untuk menghasilkan karangan argumentasi yang baik, penulis perlu
memperhatikan beberapa hal, yaitu :
Harus mengetahui benar pokok persoalan yang akan diargumentasikan
berikut argumen-argumennya
Harus berusaha mengemukakan permasalahan dengan sejelas-jelasnya
sehingga mudah dipahami pembaca
Menggunakan kata-kata denotatif dan susun dalam kalimat efektif sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman
Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk mencapai logis dan benar
Evidensi, baik bukti, contoh atau alasan-alasan harus dikemukakan
berdasarkan logika atau penalaran budi akal sehingga tersusunlah sebuah
karangan argumentasi yang logis dan sistematis
3. Langkah-langkah karangan argumentasi
Menurut Rusyana dalam materi pokok keterampilan menulis, langkahlangkah menulis karangan argumentasi adalah :
1) Memilih menentukan pokok pembicaraan
2) Merumuskan pokok kalimat yang jelas dan membuat garis besar
3) Menetapkan tujuan
4) Mengumpulkan bahan yang berupa fakta, keterangan, kesaksian orang
lain / ahli, dan lain-lain
5) Mempelajari pustaka, membuat catatan, kutipan, dan lain-lain
6) Menganalisis, menguji, membandingkan, menghubung-hubungkan fakta
keterangan, kesaksian, catatan, kutipan, menguraikan, dan menyusun
karangan dengan menarik dan logis, serta membuat kesimpulan atau
ringkasan.
107|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
7) Membuat ulangan naskah karangan argumentasi guna perbaikan dan
penyempurnaan (Rusyana, 1986:423)
Berdasarkan langkah-langkah menulis karangan argumentasi maka dapat
dirumuskan sebagai berikut
1) memilih dan menentukan topik atau pokok pembicaraan
2) menentukan tujuan
3) mengumpulkan bahan
4) menyusun kerangka karangan
5) menyusun karangan (mengembangkan kerangka karangan menjadi
sebuah karangan)
III. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen kuasi yaitu
metode penelitian yang menekankan pada aspek ujicoba pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran menulis karangan argumentasi.
Rancangan atau desain penelitian Preetest-Posttest With Control Group
Design yaitu memberikan suatu perlakuan kepada subjek penelitian dan
dibandingkan dengan kelas kontrol yang digambarkan sebagai berikut
Kelompok
Pretest
Perlakuan
Post test
A
01
T
02
B
01
02
(Fraenkel & Wallen, 1990; 122)
Keterangan :
X1 = kelompok eksperimen
X2 = kelompok kontrol
01 = pretest dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal dan
siswa tentang kemampuan menulis karangan argumentasi
T = Setelah ada gambaran kemampuan menulis siswa kepada subjek
penelitian diberi perlakuan berupa pembelajaran kooperatif.
Langkah-langkah penerapan desain pretest dan postest group di atas adalah
sebagai berikut:
1. Tes awal (pretest) merupakan test keterampilan menulis karangan
argumentasi yang diberikan kepada kelas eksperimen, untuk mengetahui
kemampuan awal siswa (01) sebelum diberi perlakuan.
2. Memberi perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dengan prosedur
pembelajarannya sebagai berikut:
a. Kelas dibagi-bagi atas kelompok-kelompok kecil, terdiri dan 4 atau 6
orang siswa gabungan dari siswa yang pandai, sedang, dan kurang
pandai. Kelompok yang terbentuk ini disebut home group (kelompok
asal)
b. Kepada anggota kelompok yang bernomor sama, diberi tugas untuk
108|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
melakukan suatu kegiatan; menjawab soal pilihan ganda dan uraian
pada lembar kerja siswa. Dengan adanya tugas ini, maka anggota
kelompok yang bernomor sama akan membentuk kelompok baru
yang disebut expert group (kelompok ahli). Waktu yang diberikan
kepada expert group untuk menyelesaikan tugas ini hanya 15 menit.
c. Setelah bekerja di expert group kemudian kembali ke home group
untuk menyampaikan kepada rekan sekelompoknya. Mereka diskusi
/ tukar pengalaman selama 45 menit. Selama siswa diskusi, guru
berperan sebagai observer dan fasilitator, mengawasi anggotaanggota kelompok agar semuanya aktif, serta mengarahkan mereka
di dalam belajar. Pembelajaran kooperatif dilaksanakan selama tiga
pertemuan (satu pertemuan = dua jam pelajaran = 90 menit)
d. Di setiap akhir pertemuan, siswa diberi soal keterampilan menulis
karangan argumentasi untuk mengetahui tingkat penguasaan
keterampilan menulis karangan argumentasi.
3. Setelah pembelajaran keterampilan menulis karangan argumentasi
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
kemudian dilaksanakan tes akhir (post test) untuk mengetahui hasil
belajar siswa sebagai efek penggunaan model pembelajaran kooperatif
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. Teknik Tes
Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan
bentuk soal uraian dan soal objektif pilihan berganda dengan empat
alternatif jawaban. Teknik tes digunakan untuk mengukur kemampuan
siswa atau hasil belajar siswa dalam menulis paragraf dengan
menggunakan model jigsaw di kelas eksperimen.
b. Observasi
Observasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas
pembelajaran menulis paragraf dengan menggunakan model jigsaw.
c. Angket
Angket yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket respon siswa
Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh karangan siswa kelas X
SMK PGII 2 Bandung yang terdiri dari 4 kelas dengan jumlah siswa 163
orang.
Sampel penelitian ini diambil secara acak dua dari 4 kelas paralel yang ada
di SMK PGII 2 Bandung. Kemudian dari dua kelas yang dipilih diadakan
undian secara acak, selanjutnya ditentukan kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Diperoleh kelas 2-1 sebagai kelas eksperimen dan 2-3 sebagai kelas
kontrol. Kelas eksperimen (2-1) sebanyak 40 orang sedangkan kelas kontrol
(2-3) sebanyak 42 orang. Dari 4 kelas paralel, satu kelas termasuk
berprestasi baik yaitu kelas 2.1 dan satu kelas termasuk kelas katagori
109|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
kurang yaitu kelas 2.3. undian secara acak hanya dilakukan pada 4 kelas
yaitu kelas 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4.
IV. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil data pretes menulis karangan argumentasi dengan
menggunakan teknik jigsaw kelompok eksperimen berdistribusi normal,
karena X2hitung (20.80) < X2tabel (55.8) pada p < 0.01. Artinya data hasil pretes
menulis karangan argumentasi dengan menggunakan teknik jigsaw siswa
SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal.
Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasin kelompok
eksperimen dengan menggunakan teknik jigsaw berdistribusi normal karena
X2 hitung (0.33)< X2 tabel (5.58) pada p<0.01, artinya data postes hasil
belajar menulis karangan argumentasi kelompok eksperimen dengan
menggunakan teknik jigsaw di SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal.
Data pretes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol
dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung
(6.90)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data pretes hasil belajar
menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa
SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal
Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol
dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung
(1.585)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data postes hasil belajar
menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa
SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal
Pengujian hipotesis
Hipotesis yang diuji dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata antara
hasil pretes dan postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebagai
berikut.
Pasangan Variabel
df
thitung ttabel
Tafsiran
Pretes kel. eksperimen – kel 82
0.37
1.64
Signifikan
kontrol
menulis
karangan
argumentasi
Postes kel. eksperimen – kel 82
1.63
1.67
Signifikan
kontrol
menulis
karangan
argumentasi
V.
Kesimpulan dan Saran
Pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model
kooperatif tipe jigsaw lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran
menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori.
110|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model
ekspositori
Kualitas pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan
model jigsaw lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran menulis
karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori
Saran penulis mengenai model pembelajaran menulis karangan argumentasi
dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw layak
dipertimbangkan sebagai model pembelajaran alternatif karena model ini
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan
argumentasi.
VI. Daftar Pustaka
Achyar,dkk.1998. Cooperative Learning Strategies in The Teaching of
General Science at Lower Secondary Level.Bandung. PPPGT
Arend, R.I. 1997. Classroom Instructional and Management. New York:
Mc. Graw Hill
Berg, Euwe Van Den (Ed).1991. Salah konsep Fisika dan Remidiasi.
UKSW: Salatiga
Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. 1990. How to Design and Evaluate
Research in Education. New York: Mc Graw-Hill Publishing
Company.
Keraf, G. 2001. Komposisi. Ende Flores : Nusa Indah
Paul, S. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius
Lasmawan, Wayan. 1997. Pengembangan Model Belajar Cooperatif
Learning
Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah dasar (SD) Studi Pembelajaran Pada
Siswa Kelas V SD Di Kota Bangli Provinsi Bali. Tesis. PPS IKIP
Bandung Laundgren, L. 1995. Cooperative Learning in The
Science Classroom Glencoe New York: Mc. Graw Hill
Lie, Anita. 1999. Metode Pembelajaran Gotong Royong. Universitas
Kristen Petra Surabaya. Surabaya.
Ratna, W.D. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Rusyana, Yus. 1986. Materi Pokok Keterampilan Menulis. Jakarta :
Karunika UT
Slavin, Robert. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice.
Massachusetts, USA : Allyn & Bacon
Stahl, R.J. 1994. Cooperative Learning and Social Studies. Hanbook for
Teacher. USA : Kane Publishing Service. Inc
111|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius
Widada, P. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
SMUyang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya
112|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Download