MENTRADISIKAN KESANTUNAN BERBAHASA: UPAYA MEMBENTUK GENERASI BANGSA YANG BERKARAKTER Ika Mustika STKIP Siliwangi, Bandung Alamat Kontak:Jln.Terusan Jenderal Sudirman, Kebon Rumput Cimahi-Bandung (022)6658680. pos-el:[email protected] Abstrak Pembentukkan karakter menjadi hal yang sangat penting saat ini karena banyak perilaku bangsa yang dipertanyakan keabsahannya sebagai karakter bangsa terlebih adanya pergeseran zaman menuju arus globalisasi semakin deras. Kehidupan berbangsa menjadi semakin kehilangan jatidirinya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan karakter bangsa tersebut agar kehidupan berbangsa menjadi kukuh kembali. Salah satu cara melalui penggunaan bahasa yang santun (kesantunan berbahasa). Bahasa Indonesia saat ini selain sebagai alat pemersatu juga menjadi jatidiri dan karakter dari bangsa Indonesia. Jatidiri dan karakter ini akan berubah menjadi kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa. Tulisan ini, menyajikan sebuah pemikiran sederhana mengenai bentuk-bentuk perilaku kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan di lingkungan pendidikan formal maupun informal. Kata kunci: Kesantunan Berbahasa, Generasi yang Berkarakter Character Building tend to be very important nowadays since the validity of people’s behaviors as the real characters of our nation are questionable, further more due to the shifting of the era toward a complicated globalized era. The real character of this nation is getting biased. Any efforts are committed to return such a character in order that the life of this nation is getting hefty. One of the efforts is through the use of language politeness. Nowadays, Bahasa Indonesia has two functions namely as a means of uniting the nation and as the character of the nation as well. The genuineness and this character may turn into language politeness. Language politeness refers to an initial aspect of someone’s character building as a reflection of a nation. In order that such a politeness becomes a tradition in Indonesian society, an effort of accustoming character building is needed. To keep obeying the norms of language use may turn the generation to be more obedient to the social order of society enclosed in Bahasa Indonesia. The domain of formal and informal education can be a medium of accustoming language politeness. This paper presents a simple thinking about language politeness realization that can be implemented in the atmosphere of formal and informal education. 1| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Key words: Language Politeness, Characterized Generation 1. PENDAHULUAN Era globalisasi tengah melanda berbagai negara dan merambah segenap kehidupan manusia. Kondisi ini menyebabkan suatu negara harus menjalin kerjasama dengan bangsa lain. Bahasa merupakan sarana yang efektif dalam menjalin kerjasama tersebut. Saat ini, bahasa bukan sekedar sebagai aspek fungsional tetapi memiliki peran sebagai identitas suatu bangsa serta mencerminkan peradaban suatu bangsa. Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia saat ini selain berfungsi sebagai alat pemersatu juga menjadi jatidiri dan karakter dari bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah kesantunan berbahasa berperan membentuk karakter seseorang. Sebuah ungkapan menyebutkan “bahasa mencerminkan kepribadian seseorang”. Artinya, dengan bahasa kita dapat menilai karakter seseorang. Jika penggunaan bahasa kita baik dan penuh kesantunan maka pencitraan diri kita pun sebagai pribadi yang baik dan berbudi, sementara itu apabila penggunaan bahasa kita tidak memenuhi etika berbahasa yang santun maka pencitraan diri kita pun menjadi buruk. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur pribadi yang berkarakter. Sekaitan dengan itu, mentradisikan kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi yang berkarakter diperlukan dalam menghadapi era globalisasi. 2. PEMBAHASAN 2.1 Jatidiri Bangsa dan Karakter Bangsa Jatidiri dan karakter merupakan dua istilah yang berbeda meskipun penggunaannya sering dipertukarkan. Jatidiri memiliki pengertian ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas (KBBI, 2008:570). Karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (KBBI, 2008:623). Jadi, Jatidiri merupakan identitas seseorang dengan segala ciri-cirinya yang merupakan fitrah manusia sebagai 2| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer pemberian dari Tuhan. Sementara itu, karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dan terejawantahkan dalam prilaku yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter merujuk pada tingkah laku seseorang. Sebagai contoh, apabila seseorang berprilaku tidak jujur atau kejam dapatlah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggu jawab, suka menolong tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter baik/mulia. Jadi, Istilah karakter erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku yang bersifat personality. Seseorang disebut berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Soedarsono (2008:97) menjelaskan karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia sehingga menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku. Dengan demikian, karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas tiap individu. Dengan kata lain, karakter tidak muncul dengan sendirinya akan tetapi harus dibentuk. Proses pembentukannya dipengaruhi oleh faktor nature (bawaan, fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan). Artinya potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan (Muslich,2011:97). Dalam hal ini diperlukan pembiasaan. Pembiasaan dalam pemikiran (habits of mind), pembiasaan dalam hati (habits of heart), dan pembiasaan dalam tindakan (habits of action) (Lickona, 2004:7). Lingkungan pendidikan formal maupun lingkungan pendidikan informal dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat dalam melalukan proses pembiasaan ini. Selain dibiasakan juga ditanamkan pada diri individu untuk memiliki keinginan berbuat baik (desiring the good). Muslich (2011:135) menjelaskan keinginan berbuat baik bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan ini sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan moral (moral knowing) dan tindakannya (moral 3| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer action). Aspek ini menyangkut wilayah emosi sehingga sulit diajarkan. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan kesadaran akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Dapat disimpulkan jatidiri merupakan sesuatu yang diberikan Tuhan dan merupakan fitrah manusia. Kemudian jatidiri bangsa merupakan pencerminan atau tampilan dari jatidiri bangsa Indonesia. Sementara itu, karakter merupakan perbuatan yang telah membentuk diri seseorang dan menjadi ciri khas individu. Selanjutnya karakter bangsa merupakan akumulasi dari karakter individu anak bangsa yang berproses secara terus-menerus yang mengelompok menjadi bangsa Indonesia. Dan yang dimaksud dengan generasi bangsa yang berkarakter adalah akumulasi dari anak bangsa yang secara terus-menerus berproses membentuk dirinya menjadi pribadi yang berkarakter yang mengelompok menjadi bangsa yang memiliki identitas dan menjadi penanda yang membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa yang dimaksud adalah bangsa Indonesia. Jadi bangsa Indonesia merupakan identitas dari warga negara Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain. 2.2 Kesantunan Berbahasa dan Karakter Kesantunan berbahasa diperlukan agar kegiatan berkomunikasi dapat terbina dengan baik. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang teori kesantunan berbahasa. Robin Lakof (Chaer, 2010:46) mengisyaratkan setiap penutur diminta untuk menghindarkan diri dari ekspresi yang tidak menyenangkan mitra tuturnya. Terlebih lagi melakukan sesuatu yang dapat mengancam apalagi menghilangkan wajah mitra tutur. Hal ini bertemali dengan kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Brow dan Levinson (Chaer, 2010: 49) yang menjelaskan kesantunan berbahasa berkisar atas nosi muka atau wajah. Kesantunan berbahasa digunakan apabila terdapat tindak tutur mengancam muka. Sekaitan dengan itu kesantunan dapat didefinisikan sebagai tindakan melindungi muka. Bruce Fraser (Chaer, 2010:47) membahas kesantunan berbahasa atas dasar strategi, artinya kesantunan merupakan bagian dari tuturan sehingga lawan tuturlah yang menentukan kesantunan sebuah tuturan dengan 4| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer ketentuan si penutur tidak melampaui haknya dan memenuhi kewajibankewajibannya kepada lawan tutur. Geoffrey Leech (1993:31) menjelaskan teori kesantunan berbahasa akan terpenuhi apabila setiap orang mampu menaati sejumlah maksim yang terkandung dalam prinsip komunikasi. Sementara itu, Pranowo (Chaer,2010:62) mengemukakan bahwa ciri penanda kesantunan berbahasa tercermin dari penggunaan kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang diucapkan seseorang, diantaranya penggunaan piliha kata: tolong, maaf, terima kasih, berkenan, beliau, bapak/Ibu. Teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan para ahli di atas membahas teori kesantunan berbahasa dari sudut pandang yang berbeda-beda meskipun demikian dapat ditarik benang merah yang menyiratkan pada satu pemahaman bahwa kegiatan komunikasi akan berlangsung dengan efektif apabila penutur dan lawan tutur menaati sejumlah aturan yang terkandung dalam prinsip komunikasi sehingga kegiatan komunikasi dapat terhindar dari kesalahpahaman. Sejumlah teori kesantunan berbahasa yang diuraikan di atas dapat dimanfaatkan sebagai landasan dalam melakukan kegiatan berkomunikasi. Manakah teori kesantunan berbahasa yang cocok untuk masyarakat Indonesia? Tentu saja masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan teori-teori tersebut. Selain itu, aturan kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia berpedoman pada aturan budaya yang berlaku dilingkungan masyarakat Indonesia yakni aturan kesantunan berbahasa yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain piranti kesantunan berbahasa selain berpedoman pada substansi bahasa juga bepedoman pada etika berbahasa. Dalam praktik berbahasa kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain. Untuk dapat berkomunikasi dengan harmonis dan mencapai tujuan komunikasi, kesantunan berbahasa dan etika berbahasa harus digunakan secara terpadu. Bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang memiliki keragaman budaya, maka kesantunan berbahasa akan bertemali dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Meskipun demikian, bukan berarti kesantunan berbahasa diukur 5| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer berdasarkan norma-norma masyarakat budayanya masing-masing tetapi kesantunan berbahasa diukur berdasarkan norma-norma nasional yang terkait dengan pilar-pilar karakter baik yakni mencintai Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, memiliki kemandirian dan tanggung jawab, menjunjung nilai kejujuran, melaksanakan amanah, bersikap hormat/santun, memiliki rasa percaya diri, kreatif, dan uket, memiliki jiwa kepemimpinan dan keadilan, bersikap rendah hati, dan bertoleransi pada sesama. Bertemali dengan itu, karakter positif akan termanifestasi dalam bahasa yang santun. Seseorang yang terbiasa berbahasa santun akan senantiasa menjaga kehormatan dan martabat dirinya serta kehormatan dan martabat lawan tuturnya. Ini akan menjadi karakter dirinya. Karakter ini menjadi identitas diri yang membedakannya dengan orang. 2.3 Kesantunan Berbahasa dan Pendidikan Karakter Digariskan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan pribadi yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Artinya pendidikan selain membentuk pribadi yang cerdas juga membentuk pribadi yang berkarakter. Alhasil, pendidikan diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dipandang mampu untuk membentuk manusia seutuhnya yang menyadari keberadaan dirinya, lingkungannya juga Tuhannya. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Sekaitan dengan itu, sistem pendidikan di sekolah harus mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kemampuan berkomunikasi termasuk salah satu bentuk kecerdasan emosional. Kemampuan berkomunikasi yang berlangsung dalam suasana edukatif akan membentuk peserta didik yang dapat berkomunikasi dengan mentaati normanorma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Membiasakan peserta didik berlatih menggunakan bahasa yang santun akan memberikan nilai-nilai positif bagi peserta 6| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer didik. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah harus mampu mewujudkan pendidikan berbahasa yang santun. Untuk itu diperlukan strategi yang terus-menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Seperti yang disampaikan Sauri (Hendaryan, 2011:239) pengembangan strategi pendidikan bahasa santun diartikan sebagai upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru, metode, dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan warga sekolah. Selain pendidikan di sekolah, pendidikan di lingkungan keluarga pun harus mampu mewujudkan pendidikan berbahasa yang santun. Pada bagian selanjutnya akan diuraikan contoh sederhana bentuk-bentuk perilaku kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan di lingkungan pendidikan formal maupun informal. 2.4 Implementasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal dan Informal 2.4.1 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Formal Uraian dimuka memaparkan, kesantunan berbahasa merupakan salah satu parameter generasi yang berkarakter. Kesantunan berbahasa merupakan awal dalam pembentukkan karakter seseorang yang mencerminkan suatu bangsa. Agar kesantunan berbahasa ini menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia, maka perlu upaya pembinaan melalui pembiasaan. Membiasakan diri mematuhi norma-norma berbahasa akan menjadikan generasi bangsa selalu mematuhi tatanan-tatanan yang ada pada bahasa Indonesia. Lingkungan pendidikan formal maupun informal dapat dijadikan sebagai sarana dalam mentradisikan kesantunan berbahasa. Pendidikan formal sebagai rumah kedua peserta didik setelah lingkungan keluarga harus mampu menyediakan praktik-praktik kesantunan berbahasa yang memadai sehingga dapat menghasilkan generasi bangsa yang tidak saja memiliki kecerdasan intelektual akan tetapi menghasilkan generasi bangsa yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Perpaduan ketiga hal ini akan menghasilkan generasi bangsa yang berkarakter. 7| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Implementasi kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam semua mata pelajaran pada semua jenjang pendidikan. Guru harus menjadi contoh teladan dalam mentradisikan kesantunan berbahasa. Berikut contoh sederhana yang dapat dipraktikan guru di kelas. (a) Pemakaian kata sapaan “Wat, Wati bisa bantu Ibu mengambilkan buku ini?” (b) Pemagaran ujaran “Tolong, jangan ribut!” (c) Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh “Ruangan ini terasa panas sekali” (Misalnya ucapan seorang guru kepada para siswa dengan maksud menyuruh membuka jendela dan sebagainya ) Contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang dapat dipraktikan guru di kelas. Mengacu pendapat Oktarina (2010: 425) terdapat beberapa strategi kesantunan berbahasa agar komunikasi dapat terbina dengan harmonis diantaranya: tingkat kelugasan tuturan, pemakaian kata sapaan, pemakaian basa-basi, eufemisme, pilihan jawaban, alasan, pemagaran ujaran, dan penggunaan bahasa nonverbal. Penanaman prinsip-prinsp kesantunan berbahasa sejak dini kepada peserta didik merupakan tugas para guru. Tentu saja penanaman prinsip-prinsip kesantunan berbahasa ini bukan hanya tugas guru Bahasa Indonesia melainkan juga tugas guru bidang studi lain. Penanaman prinsip-prinsip kesantunan berbahasa merupakan perwujudan mencintai bahasa sendiri, Bahasa Indonesia. Ini merupakan kesepakatan yang telah menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. 8| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 2.4.2 Contoh Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Pendidikan Informal Implementasi kesantunan berbahasa di lingkungan pendidikan informal (keluarga) pun dapat ditanamkan sejak dini. Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam proses perkembangan manusia menuju kedewasaan berperan dalam menanamkan kesantunan berbahasa, pada akhirnya berperan dalam proses pembentukkan karakter bangsa. Seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Pendidikan keluarga termasuk pendidikan jalur luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan, dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu keluarga merupakan pendidikan yang sangat utama bagi keberlangsungan pendidikan generasi muda maupun bagi pembinaan bangsa pada umumnya. Sekaitan dengan itu penanaman kesantunan berbahasa di lingkungan pendidikan informal (keluarga) dapat dilakukan dengan membiasakan anak untuk bertutur dan bersikap yang baik. Orang tua harus memberikan contoh tauladan. Seorang anak akan mempersepsikan tradisi yang sering dilihat dan didengarnya itu sebagai sesuatu hal yang diangap benar. Orang tua hendaknya berusaha untuk menanamkan kesantunan berbahasa dengan memberi contoh cara bertutur maupun bersikap yang santun. Seorang anak dapat dibimbing untuk selalu terbiasa menggunakan bahasa yang santun sehingga secara berangsur-angsur hal ini akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya. Jika telah terbiasa, lama kelamaan sikap ini akan terbentuk menjadi kebiasaan yang positif/baik. Berikut contohnya. (a) Pemakaian kata sapaan “Kakak, Ibu mau minta tolong sama Kakak” (b) Pemagaran ujaran 9| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer “Tolong, ambilkan buku di atas meja!” (c) Menggunakan kalimat tidak langsung menyuruh “Nak, Ibu ingin sekali merapikan kamar ini” (Ucapan seorang Ibu kepada anaknya dengan maksud si anak merapikan kamar ini) Untuk menerapkan kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Indonesia (lingkungan pendidikan formal dan informal) selain berpedoman pada kebakuan terhadap norma-norma berbahasa yang dimiliki oleh bahasa Indonesia juga mengacu pada kebakuan terhadap etika/tata krama berbahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia. Artinya, piranti kesantunan berbahasa mengacu pada konsep kesantunan bahasa dan etika berbahasa. Kesantunan berbahasa lebih cenderung berhubungan dengan isi bahasanya (substansi bahasa) sedangkan etika berbahasa lebih cenderung pada perilaku berbahasa (perilaku bertutut). Meskipun diakui kesantunan berbahasa Indonesia belum memiliki piranti yang baku namun norma kebahasaan yang mencerminkan nilai-nilai budaya serta nilai sosial kemasyarakatan dapat dijadikan acuan dalam menerapkan kesantunan berbahasa. 3. SIMPULAN Kesantunan berbahasa menjadi salah satu tolak ukur generasi yang berkarakter. Oleh karena itu mentradisikan kesantunan berbahasa melalui lingkungan pendidikan formal maupun informal merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyiapkan generasi bangsa yang berkarakter. Generasi bangsa yang berkarakter dibutuhkan untuk menghadapi era globalisasi. Para guru dan orang tua dapat menjadi model dalam menanamkan kesantunan berbahasa ini. Wujudnya melalui sikap keteladanan sehingga para peserta didik maupun anak-anak dapat meniru sikap tersebut, pada akhirnya sikap tersebut akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam diri mereka. Piranti yang dapat digunakan untuk menerapkan kesantunan berbahasa 10| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer selain mengacu pada norma-norma berbahasa Indonesia juga mengacu pada etika berbahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Hendaryan, 2011. Menunjukkan Karakter melalui Berbahasa Santun dalam Riksa bahasa 4 Pendidikan Karakter dalam Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Rizqi Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat, 2008. Jakarta: Balai Pustaka. Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Lickona, Thomas. 2004. Character Matters: How To Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. New York, Simon & Schuster. Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Oktarina, Santi. 2010. Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan: Upaya Pembentukan Sikap Generasi Muda Berkarakter dalam IdiosinkrasiPendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Kepel Press Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo. Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Biodata Penulis Ika Mustika dilahirkan di Ciamis pada 04 Maret 1968. Menyelesaikan Program Doktor pada tahun 2012. Ia mengajar sebagai dosen tetap Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Cimahi-Bandung. Ia cukup aktif menulis dan mengikuti berbagai pertemuan ilmiah baik sebagai peserta maupun pemakalah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional terkait pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis dapat dihubungi di nomor telepon 08122389373 atau melalui pos-el [email protected] 11| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 12| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer PENERAPAN MODEL TONGKAT BERBICARA BERORIENTASI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BERDEBAT oleh Deden Sutrisna STIKes Cirebon [email protected] ABSTRAK Penelitian ini berjudul Penerapan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter dalam Pembelajaran Debat (Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Palimanan Kabupaten Cirebon Tahun Ajaran 2013/2014). Latar belakang penelitian ini adalah minimnya kompetensi siswa dalam berbicara terutama kemampuan berdebat. Tujuan penelitian ini adalah memberikan alternatif model pembelajaran berdebat yang meningkatkan kemampuan berdebat sekaligus menanamkan karakter positif kepada peserta didik. Hipotesis penelitian ini yaitu terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dibandingkan dengan peningkatan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model terlangsung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan The Randomized Pretest-Postest Control Group Design. yang diujicobakan kepada popualsi penelitian. Dalam penelitian ini, kelompok eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan model terlangsung. Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh data bahwa t hitung > t tabel = 4,476 > 2,021, sehingga hipotesis yang diajukan penulis dapat diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dibandingkan dengan siswa yang menggunakan model terlangsung. Kata kunci: Model Tongkat Berbicara, Pendidikan Karakter, Pembelajaran Berdebat A. Pendahuluan Dalam pembelajaran bahasa salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara mempunyai kedudukan yang penting karena hampir sebagian besar waktu kita habiskan untuk kegiatan ini. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, kemampuan berbicara menjadi salah satu indikator pemahaman siswa. Siswa yang pandai umumnya pandai ketika mengungkapkan ide atau gagasannya secara lisan dan mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Banyak ahli mendefinisikan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang untuk mengeluarkan ide, gagasan, ataupun pikirannya kepada orang melalui media 13| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer bahasa lisan. Berbicara tidak hanya sekadar menyampaikan pesan tetapi proses melahirkan pesan itu sendiri. Proses melahirkan pesan yang dapat tersampaikan dengan baik memerlukan pelatihan secara berkesinambungan. Seorang pembicara yang baik terlahir dari proses pelatihan dan pengamatan terhadap fenomena kehidupan. Tarigan (2008:1) menjelaskan bahwa keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang saling berhubungan erat yaitu, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Artinya, berbicara juga sangat berkaitan dengan aspek keterampilan yang lain karena proses penangkapan ide ketika berbicara melalui kegiatan mendengar, membaca, melihat, merasakan, meneliti, mencoba, dan sebagainya. Sumber ide tersebut kemudian diolah oleh pembicara menjadi pesan atau gagasan yang disampaikan secara lisan. Berbicara, sebagai suatu keterampilan, hanya akan dimiliki atau dikuasai seseorang apabila dia mau berlatih. Hal ini sejalan dengan penjelasan Nurjamal (2011:23) bahwa tidak ada satu pun keterampilan yang dapat dikuasai seseorang tanpa adanya proses perlatihan yang terus menerus. Untuk terampil berbicara itu pun kita diharuskan berlatih dan terus berlatih. Dengan latihan yang diawasi secara berkesinambungan, kemahiran berbicara siswa akan terbentuk sehingga siswa bisa menjadi pembicara yang kreatif. Sejalan dengan pendapat di atas, Arsjad dan Mukti (1988:1) mengatakan bahwa memiliki keterampilan berbicara tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Ada anggapan mengatakan keterampilan berbicara dengan sendirinya bisa diperoleh tanpa melalui pembinaan. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, hanya saja ketika berbicara terdapat proses melahirkan pesan berupa ide atau gagasan, proses berpikir atau berimajinasi, dan proses mengorganisasikan pembicaraan. Setiap individu pada dasarnya secara alamiah mampu berbicara. Namun, saat dihadapkan pada situasi formal sering timbul rasa gugup. Rasa gugup ini berdampak pada gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur. Akibat lainnya, proses berpikir menjadi terhambat. Dengan demikian, keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan, praktik, dan pengarahan secara intensif. Di sinilah pentingnya pelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang membina keterampilan berbahasa siswa. Keterampilan berbicara dapat dibina melalui pelajaran bahasa Indonesia karena tujuan mata pelajaran ini adalah belajar berkomunikasi (Puskur, 2003). Saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran berbicara dikarenakan adanya anggapan bahwa keterampilan berbicara mudah dan alami perolehannya. Tentu saja anggapan ini keliru karena keterampilan berbicara perlu dibina agar tumbuh keberanian dan kepercayaan diri ketika berbicara. Selain itu, pembelajaran berbicara merupakan saluran pendidikan karakter karena dalam pembelajaran ini terdapat serangkaian aktivitas yang bisa menunjukkan karakter siswa (Abidin, 2012:140). Di lingkungan sekolah, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki kegiatan pembelajaran di dalam kelas memunculkan karakter-karakter 14| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer positif. Inilah yang kemudian dikenal dengan pendidikan karakter yang dalam pelaksanaannya diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, guru bahasa Indonesia bisa memasukan nilai-nilai karakter pada saat pembelajaran berdebat. Menurut Abidin (2012:141) terdapat keterkaitan yang erat antara pembelajaran berbicara dengan pendidikan karakter karana pada tahap berbicara siswa akan terbangun nilai karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, dan sopan serta santun. Melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, siswa akan beroleh pengetahuan, pengalaman, sekaligus pengembangan karakter. Pembelajaran berbicara dapat digunakan sebagai wahana bagi implemantasi karakter. Syarat utamanya adalah pembelajaran berbicara harus dilakukan dalam gamitan pembelajaran aktif dan kreatif. Di antara tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tulisan. (Depdiknas, 2006). Tujuan di atas akan tercapai dengan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran guru memasukkan unsur-unsur pembentukan karakter positif. Pembelajaran aspek keterampilan berbicara di sekolah diarahkan untuk membekali siswa, salah satunya meningkatkan keterampilan berbicara. Arsjad dan Mukti (1988:36) mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara dapat dikembang melalui berbagai bentuk antara lain melalui diskusi kelompok, bercakap-cakap, konversasi, wawancara, pidato, bercerita, sandiwara, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pembelajaran diskusi khususunya kemampuan berdebat. Melalui pembelajaran berdebat, siswa diharapkan mampu menyampaikan gagasan, ide, pikiran, dan perasaan kepada guru, teman, serta orang lain. Selain itu, siswa juga dilatih untuk memiliki keberanian dalam menyampaikan persetujuan maupun penolakan. Diharapkan selain memiliki kemampuan berpendapat dan bekerja sama, akan tumbuh pada diri siswa nilai-nilai positif, seperti sopan santun dan etika. Sesuai dengan kurikulum bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas (SMA), salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa adalah memberikan persetujuan atau dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik. Debat adalah salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk menunjang penguasaan kompetensi dasar tersebut. Sebagai sebuah alternatif, peneliti bermaksud untuk mengangkat model tongkat berbicara berorientasi karakter sebagai wahana bagi implementasi pendidikan karakter dan sebagai alternatif pemecahan masalah rendahnya kemampuan berbicara siswa. Tongkat berbicara pada dasarnya bertujuan untuk menumbuhkan keberanian siswa dalam berbicara dan menumbuhkan karakter-karakter positif, di antararanya karakter disiplin, kepemimpinan, sungguh-sungguh, berorientasi prestasi, sopan serta santun, komunikatif, dan senang bersahabat. Tongkat berbicara pada mulanya digunakan penduduk asli Amerika atau suku Indian untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam 15| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer suatu forum (pertemuan antarsuku). Tongkat ini digunakan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas suatu permasalahan, ia harus memegang tongkat berbicara. Model pembelajaran tongkat berbicara termasuk ke dalam model pembelajaran kooperatif. Penggunaan model ini sangat mudah dan bisa diaplikasikan pada semua mata pelajaran yang membutuhkan keaktifan siswa dalam menyampaikan pendapat. Penggunaan tongkat sebagai tanda giliran berbicara akan melatih kepekaan siswa untuk senantiasa siap mengemukakan pendapat misalnya, pada pembelajaran bahasa Indonesia dengan kompetensi berdebat. Penggunaan model tongkat berbicara yaitu dengan cara siapa saja siswa yang mendapatkan tongkat harus berbicara dan berpendapat saat itu juga. Dengan cara seperti ini, siswa akan terpacu untuk berpikir secara cepat dan bisa menyampaikan ide atau gagasannya dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Semangat siswa juga akan tumbuh dan dia akan mencoba mempertahankan pendapat yang ia yakini kebenarannya. Dengan demikian, akan timbul suasana kelas yang penuh dengan tantangan dan akan timbul antusias belajar yang tinggi pada diri siswa. Di samping itu, model ini akan menumbuhkan karakter positif dalam diri siswa diantaranya karakter berdisiplin dan kerja keras. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah profil pembelajaran berdebat dengan model terlangsung? 2) Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter? 3) Adakah perbedaan yang signifikan antara kemampuan berdebat siswa kelas ekperimen dan siswa kelas kontrol? B. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Dengan kata lain, penelitian ini mencari perlakuan (treatment) tertentu dalam kondisi yang dikendalikan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah model tongkat berbicara berorientasi karakter. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen desain kelompok pretest dan postest dengan kelompok kontrol, The Randomized Pretest-Postest Control Group Design. Menurut Syamsuddin dan Vismaia (2006: 169) penelitian eksperimental merupakan suatu metode yang sistematis dan logis untuk melihat kondisi-kondisi yang dikontrol dengan teliti, dengan memanipulasikan suatu perlakuan, stimulus, atau kondisikondisi tertentu, kemudian mengamati pengaruh atau perubahan yang diakibatkan oleh manipulasi. Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan observasi pendahuluan. Kedua, menyepakati dengan guru tentang pelaksanaan pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada kelas eksperimen. Di dalam penelitian ini, guru melaksanakan proses pembelajarannya sedangkan penulis bertindak sebagai observer dan partner guru. Selanjutnya, pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Ketiga, merencanakan (planning), yakni menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, 16| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer rumusan yang hendak dicapai sesuai dengan penelitian tersebut, dan desain atau langkah-langkah penelitian. Keempat, melakukan uji instrumen, yaitu dengan cara meminta pertimbangan dua orang sebagai penilai (judgement) instrumen yang akan digunakan, satu orang sebagai pakar konsep dan satu lagi sebagai praktisi pembelajaran di kelas. Kelima, memberikan pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Keenam, memperkenalkan model pembelajaran debat, yakni model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan memberikan pelatihan atau penjelasan tentang penggunaannya, langkah-langkah dan cara penggunaannya kepada guru yang akan digunakan pada kelas eksperimen. Ketujuh, pemberian perlakuan (treatment) kepada kelas eksperimen dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dalam pembelajaran debat. Kedelapan, memberikan postest kepada kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan berbicara setelah diberi perlakuan. Kesembilan, menggunakan uji beda setelah sebelumnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas variabel data yang ada untuk menguji apakah perbedaan kemampuan berbicara antara hasil pretest dan postest signifikan atau hanya terjadi secara kebetulan saja. Kesepuluh, melakukan analisis data dari hasil observasi. Kesebelas, menarik simpulan dari hasil penelitian. Untuk memperoleh data yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan dengan penelitian, maka diperlukan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap, yakni (1) pemberian tes awal; (2) pelaksanaan pembelajaran debat dengan model tongkat berbicara berorientasi karakter; dan (3) pemberian tes akhir. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Profil Pembelajaran Berdebat Pembelajaran berbicara adalah pembelajaran yang bertujuan melatih kepekaan, membangun kemampuan menghasilkan ide, melatih kemampuan berbicara, dan membina kreativitas berbicara peserta didik. Namun sayangnya, kondisi pembelajaran berbicara di sekolah jauh dari kondisi yang diharapkan. Hal ini tercermin dari hasil observasi dan angket yang dilakukan oleh penulis di SMAN 1 Palimanan pada saat pembelajaran berbicara khususnya kompetensi berdebat berlangsung. Hasil observasi menunjukkan pembelajaran berbicara kurang mampu membentuk kemampuan komunikatif siswa karena pembelajaran berbicara dilakukan dengan menggunakan teks yang sudah ada dan teks tersebut dibaca oleh siswa. Kondisi ini kurang baik karena siswa belum mampu menyampaikan ide atau gagasan dalam berbagai konteks dan tujuan pembicaraan. Selain itu, ekspresi dan performa siswa ketika berbicara sangat minim. Pembelajaran berdebat di SMAN 1 Palimanan menggunakan model terlangsung. Model ini menitikberatkan pada debat kelas yang berlangsung monoton dan kurang merangsang gairah siswa untuk belajar. Prosedurnya yaitu, siswa dibagi 17| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer beberapa kelompok kecil. Selanjutnya, kelompok kecil berdiskusi untuk kemudian secara bergiliran mereka mempresentasikan hasil diskusi kelompok kecilnya di muka kelas. Di sinilah inti pembelajaran debat berlangsung, siswa secara bergantian menyampaikan argumentasinya baik persetujuan maupun penolakan terhadap permasalahan yang sedang diperdebatkan . Dalam praktik berdebat menggunakan model terlangsung, perdebatan hanya didominasi siswa tertentu saja bahkan tidak ada pembagian giliran berbicara dengan jelas. Selain itu, berdasarkan hasil angket mayoritas siswa menyatakan bahwa pembelajaran debat dengan menggunakan model terlangsung seringkali menimbulkan perdebatan yang berujung pada konflik kelas. Konflik ini berlangsung karena susana pembelajaran berdebat tidak terkendali. Nada bicara siswa yang tinggi pada saat menyampaikan argumentasi membuat siswa lain terpancing untuk melakukan hal yang sama. Adu argumentasi di antara siswa menjadi keluar tema dan menyerempet pada masalah pribadi. Hal ini jika dibiarkan akan berbahaya karena bukan karakter positif yang tumbuh dalam diri siswa, melainkan karakter negatiflah yang kemudian tumbuh pada diri siswa. 2. Proses Pembelajaran Berdebat Menggunakan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter Berikut ini uraian pelaksanaan pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada standar kompetensi mengungkapkan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Standar kompetensi tersebut terdapat di kelas X semester kedua dengan alokasi waktu 4 x 45 menit atau sebanyak dua kali pertemuan. Penelitian ini dilaksanakan di akhir semester dua, sehingga siswa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap standar kompetensi tersebut. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini dilakukan dengan alokasi waktu 2 x 45 menit untuk setiap satu kali pertemuan. Secara keseluruhan penelitian meliputi pretest, pelaksanaan pembelajaran, dan postest. Pertemuan pertama dilakukan pretest atau tes awal sebagai upaya untuk mendapatkan data kemampuan awal siswa dalam berbicara. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian perlakuan. Di kelas ekperimen diberi perlakuan berupa model tongkat berbicara berorientasi karakter, sedangkan di kelas kontrol menggunakan model terlangsung (Model konvensional). Kemudian pertemuan terakhir dilakukan postest sebagai upaya untuk mendapatkan kemampuan akhir siswa dalam berbicara khususnya kemampuan berdebat. Pertemuan pertama Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan ucapan salam, kemudian mempresensi siswa, dan memotivasi siswa agar siap belajar. Sebelum menyampaikan materi pokok, guru mengaitkan kembali pembelajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya. Kemudian guru bertanya jawab tentang pengetahuan dan pengalaman siswa dalam pembelajaran berdebat. Beberapa siswa menjawab tentang pengertian debat, unsur-unsur debat, dan tata cara pelaksanaan debat. Pada saat guru bertanya apakah masih ada kesulitan dalam menyampaikan pendapat ketika berdebat, sebagian siswa mengakui masih ada kesulitan. Menariknya, seorang siswa menyampaikan keluhan tentang pengalamannya mengikuti pembelajaran berdebat di 18| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer kelas, dia mengatakan bahwa pembelajaran berdebat hanya membuat siswa bertengkar. Guru lalu membimbing siswa untuk mengidentifikasi makna dan kegunaan debat dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran. Langkah selanjutnya yaitu kegiatan inti, guru mengeluarkan tongkat berbicara sambil mengatakan dengan suara lantang, “Siapapun berhak berbicara dengan tongkat ini dan siapapun yang mendapatkan tongkat ini harus berbicara saat itu juga!” Guru lalu menjelaskan sejarah singkat tongkat berbicara dan memperkenalkan kegunaan tongkat dalam pembelajaran debat. Guru membagikan siswa teks berjudul, Pro Kontra Ospek dan Manfaatnya. Siswa diberikan waktu untuk membaca teks tersebut. Setelah siswa selesai membaca, guru kembali mengeluarkan tongkat sambil mengatakan, “Siapapun yang mendapatkan tongkat berbicara ini harus berbicara atau menjawab pertanyaan guru berkaitan dengan teks yang telah dibagikan!” Setelah sudah dianggap cukup, guru mengakhiri kegiatan bertanya jawab dengan memberikan penguatan bagaimana menyampaikan kalimat argumentasi yang baik. Guru memberikan beberapa contoh kalimat argumentasi yang berisi pernyataan pembuka, isi berupa kalimat contoh, dan pernyataan penutup. Hal ini dilakukan agar siswa bisa mengemukakan pendapatnya pada saat berdebat. Siswa juga diberikan contoh bagimana membuat kalimat sanggahan yang baik. Guru selanjutnya memberikan perintah siswa membuat kalimat argumentasi yang menyatakan dukungan dan kalimat argumentasi yang menyatakan penolakan. Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan penutup. Pada kegiatan ini guru bersama-sama dengan siswa membuat simpulan pembelajaran, melakukan penilaian, dan refleksi karakter apa yang terbangun dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Guru menutup pembelajaran dan menyampaikan rencana pembelajaran berikutnya. Pertemuan kedua. Kegiatan pendahuluan diawali guru dengan mengucapkan salam, kemudian mempresensi siswa, lalu memotivasi siswa. Sebelum menyampaikan materi pokok guru melakukan apersepsi. Kemudian guru menyampaikan kepada para siswa bahwa hari ini mereka akan melaksanakan simulasi pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter. Tahap pertama guru membentuk kelompok kecil yang beranggotakan empat orang siswa. Kemudian kelompok kecil tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Selanjutnya, guru membagikan teks yang berjudul, “Kontroversi Kehadiran Artis di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” dan memberikan waktu kepada siswa untuk membaca dan mendiskusikannya dengan kelompoknya. Tahap kedua, guru mengeluarkan tiga tongkat berbicara dan memberikan pengarahan aturan debat menggunakan tongkat berbicara berorientasi karakter. Siswa menentukan urutan pembicara pertama s.d. terakhir dari masing-masing kelompok pro dan kontra. 19| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 3. Analisis Kemampuan Berdebat Siswa dengan Menggunakan Model Tongkat Berbicara Berorientasi Karakter Berikut ini akan dipaparkan contoh hasil analisis tes awal dan tes akhir kemampuan bedebat siswa yang telah ditranskrip ulang. Tabel 1 Kutipan Transkrip Pretest Kelas Ekperimen Rsp Kalimat yang Diucapkan Rsp Kalimat yang Diucapkan Pendebat (P) Penyanggah (K) P9 Menyanggah Desi, memang K4 Saya mau mengomentari salah kalau mencari teman kelompok pro. Pertama, baru. Kalau memiliki teman tentang bermunculannya baru kan bisa menambah bahasa baru di sosial media, wawasan, misalnya teman kenapa tidak menggunakan tersebut memiliki informasi bahasa Indonesia sendiri? yang sangat kita butuhkan. Kedua Indonesia terbukti Selain itu, kita juga harus peringkat ketiga besar pinter-pinter mencari pengguna sosial media, itu manpaatnya, terima kasih. bukti tu, memang secara sekilas bagus, tetapi itu nunjukkin orang Indonesia kebanyakan tidak manfaat waktunya untuk bekerja. Ketiga Dalam dunia bisnis di sosial media itu kebanyakannya tipuan contonya Tante saya habis uang banyak tertipu bisnis di sosial media. Keempat dari segi kesehatan mata minus. Kemudian Cicik bilang harus tahu waktu kapan untuk sekolah dsb. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan ketagihan dan tidak mengenal waktu. Dari dunia pendidikan banyak sekolah RSBI menerapkan E-Learning melalui sosial media tetapi pada dunia nyata kebanyakan pelajar kita menggunakan sosial media untuk sesuatu hal yang kurang manfaat. Lebih 20| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer berbahaya lagi sosial media buanyak sekali situs-situs yang menyediakan kencan dengan orang luar itu berbahaya karena bisa merusak mental orang Indonesia.Terima kasih. P16 Saya mau menyanggah K4 pendapat bahwa sosial media menyita waktu, sedikit-dikit update status alay, dsb. Kata siapa sosial media tidak berguna? Saya sendiri di sini SMA 6 kelas akselarasi, tahu kan SMA 6? Saya punya banyak teman di kelas akselarasi jadi yang memiliki sosial media itu bukan hanya untuk kaum alay. Di Facebook contohnya banyak orang yang mengetag ilmu-ilmu yang berguna. Memang banyak menyita informasi untuk gedget dsb., tetapi untuk mencari informasi yang berguna. Askar mengatakan situs porno dll. itu dari luar negeri boy , itu kan budaya asing. Situs porno sudah diblokir sama menteri komunikasi. Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat Interupsi! Sosial media merupakan salah satu bentuk globalisasi yang membunuh kebudayaan kita sendiri cuy. Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh!, masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih. K = Kontra Analisis yang dilakukan berdasarkan sepuluh aspek, yakni memberikan pendapat, menerima pendapat orang lain, menanggapi pendapat orang lain, kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara, kenyaringan berbicara, keberanian berbicara, ketepatan struktur dan kosakata, ekpresi dan gestur, dan penguasaan topik. 21| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel di atas, subjek dengan kode Kontra 4 (K4) mampu mempertahankan pendapatnya pada saat berdebat. Selain itu, argumentasi yang dikemukakan subjek juga sangat sesuai dengan topik perdebatan yaitu tentang Kontroversi Sosial Media di Kalangan Remaja. Apek kedua, subjek mendapatkan nilai rendah untuk aspek ini karena subjek belum bisa menerima pendapat orang lain. “Kemudian Cicik bilang harus tahu waktu kapan untuk sekolah dsb. Sedangkan orang Indonesia kebanyakan ketagihan dan tidak mengenal waktu.” Pendapat di atas menunjukkan subjek belum bisa mengapresiasi pendapat lawan debatnya. Selain itu. pada saat pendapatnya disanggah subjek terlihat seperti tidak terima dan langsung mengatakan dengan nada tinggi, “Interupsi! Sosial media merupakan salah satu bentuk globalisasi…” Subjek juga belum bisa mengontrol emosi pada saat menyampaikan pendapatnya, nada bicara subjek yang tinggi dinilai teman-temanya sebagai pemantik emosi lawan debatnya seperti pada saat subjek mengatakan, “Kemana permainan tradisional seperti engengan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih.” Kelompok lawan berkali-kali mengingatkan subjek agar menurunkan nada bicaranya yang mengeras layaknya seperti orang marah. Aspek ketiga, sebetulnya subjek cukup aktif menanggapi pendapat tim pro hanya saja sikap sopan dan bahasa yang santun belum tampak pada saat dia menyampaikan sanggahan. Berikut kutipan kalimat yang diucapkan subjek, “… globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar!” Meskipun argumentasi yang dikemukakan subjek sangat rasional dan masuk akal tetapi cara subjek dalam menyampaikan argumentasinya belum menunjukkan bahasa yang santun. Kesantunan berbicara sangat penting untuk memanajemen keterampilan berbicara agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan mempertahankan pendapat, argumentasi subjek dinilai cukup baik dalam mempertahankan pendapat. Subjek cukup maksimal mempertahankan pendapatnya dan contoh-contoh yang dikemukakan sangat relevan dengan topik perdebatan. Berikut kutipannya, “… sosial media terdapat situs-situs yang menyediakan kencan dengan orang luar itu berbahaya karena bisa merusak mental orang Indonesia. Terima kasih.” Aspek kelima, subjek cukup lancar berbicara meskipun beberapa kali subjek terlihat terhenti berbicara untuk berpikir. Namun, apa yang dilakukan subjek dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan teman-temannya yang seringkali melihat teks ketika berbicara. Praktik berbicara diorientasikan agar siswa mampu memproduksi ide atau gagasan tanpa melihat teks. Aspek keenam, nada bicara subjek yang tinggi dan keras membuat suara subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga tidak terganggu 22| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut. Kenyaringan suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana kelas ribut sekalipun. Aspek ketujuh keberanian berbicara, subjek mendapatkan nilai cukup dari aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat keberaniannya pun muncul. Subjek tampak tenang meskipun kadang masih terlihat sedikit gugup. Aspek kedelapan, ketepatan struktur dan kosakata subjek masih ada beberapa kata yang tidak mendapatkan imbuhan secara tepat, misalnya kata “manfaat, tipuan, habis, kebanyakan, manfaat, dibunuh, dan banyak.” Perbaikannya seharusnya kata-kata tersebut ditambahkan imbuhan baik berupa prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks sehingga menjadi “Memanfaatkan, penipuan, kehabisan, banyak, bermanfaat, terbunuh, dan kebanyakan. Aspek kesembilan, ekspresi dan gestur subjek masih terdapat kekurangan karena subjek belum bisa menggunakan tangan sebagai isyarat pendukung ketika berbicara. Ekspresi subjek juga teramati masih monoton karena kurangnya kontak mata dengan lawan debatnya. Aspek penguasaan topik, subjek sudah menguasai topik karena beberapa contoh yang dikemukakan subjek sangat sesuai dengan situasi saat ini. Seperti pada kutipan berikut, “...Kemana permainan tradisional seperti eng-engan, gobak sodor, dll. budaya kita banyak yang dibunuh. Karena globalisasi yang di bawa dari luar negeri sono tuh! Masyarakat Indonesia banyak yang lebih condong pada kebudayaan luar! Terima kasih.” Rsp Tabel 2 Kutipan Transkrip Postest Kelas Ekperimen Kalimat yang Diucapkan Rsp Kalimat yang Diucapkan Pendebat (P) Penyanggah (K) K4 Saya mencoba menyimpulkan perdebatan, menurut tim Pro guru spiritual itu ada yang baik. Dari tim Kontra jangan menyekutukan kita punya Allah. Tetapi pada dasarnya seseorang di saat galau butuh sosok figur untuk Memberikan pencerahan. Betul yang dikatakan tim Pro masih ada teman sebagai tempat untuk mencurahkan masalah dan mendapatkan motivasi. Kalau begitu, sudah ada teman 23| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer mengapa harus lari ke guru spiritual? Kemudian, kita harus merenungkan dalam-dalam di hati kita, kan masih banyak orang baik mengapa harus ke guru spiritual? Saya juga mendengar dari tim Pro guru spiritual memberikan motivasi, misalkan seperti itu Mario Teguh juga dibilang sebagai guru spriritual? Kemudian Mamah Dede guru spiritual ya? Teman kita juga bisa disebut guru spiritual? Masalah Adi Bing Slamet, seseorang tidak akan tahu watak hanya dari rupa butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui detail orang tsb. Bagaimana mungkin ada keyakinan kita tidak akan terbawa guru spiritual, tetapi lambat laun makin lama mengobrol merasa nyaman orang tersebut akan terkena sirep. P Berarti Askar membenarkan K4 juga, tadi rizqi mengatakan sudah dewasa mengapa harus terpengaruh. Askar telah membenarkan kelompok Pro. AB: Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah. Mungkin pada awalnya seperti Adi Bing Slamet senang mempunyai guru spiritual, akhirnya kecomot-kecomot habis semua. P5 Interupsi! Seperti yang K4 Faradita katakan guru spiritual itu jangan hanya AB:Intiny siklus hidup tidak selamanya di atas kadang di 24| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer P5 satu, dua juga bisa biar kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Kita membutuhkan sosok guru spiritual karena tidak semua orang dari kecil dibekali orang tuanya dengan bimbingan agama yang memadai. Masih banyak seseorang termasuk artis mungkin yang dari kecil tidak mendapatkan pendidikan agama. bawah. Kita sudah belajar agama dan memiliki Allah. Mengenai seseorang yang K4 dari kecil tidak mendapatkan pendidikan agama bagaimana? Kalau kasusnya seperti ini, seseorang tsb. mendapatkan pendidikan agama hanya dari sekolah, tetapi dalam lingkungan sehari-hari dia tidak mendapatkan pendidikan agama. Yang saya rasakan pendidikan agama di sekolah hanya materi, kemudian di lingkungan kita juga sama saja hanya cara sholat. Jadi, bagaimana aplikasi dalam kehidupan nyata dalam menghadapi persoalan kalau bekalnya hanya materi saja? Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak. Di dunia ada yang namanya sosialisasi, pendidikan agama tidak hanya di dapatkan di sekolah. Di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita buat apa banyak tempat ibadah kalau bukan sebagai tempat pendidikan agama. Keterangan: Rsp = Responden P = Pendebat K = Kontra Berdasarkan analisis terhadap kemampuan berbicara subjek 4 dalam pembelajar debat dengan tema Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis, dia memperoleh nilai 39 dengan kategori A, yaitu sangat baik dan merupakan nilai tertinggi pada hasil Postest di kelas ekperimen. Analisis yang dilakukan berdasarkan sepuluh aspek, yakni memberikan pendapat, menerima pendapat orang lain, 25| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer menanggapi pendapat orang lain, kemampuan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara, kenyaringan berbicara, keberanian berbicara, ketepatan struktur dan kosakata, ekpresi dan gestur, dan penguasaan topik. Aspek pertama, subjek yang masuk tim kontra mendapatkan nilai tertinggi karena aktif memberikan pendapat dan memberikan sanggahan. Hal ini dapat dilihat pada tabel di atas subjek memberikan pendapat dan sanggahan sebanyak empat kali. (1) “Saya mencoba menyimpulkan perdebatan, menurut tim Pro guru spiritual itu ada yang baik. (2) Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah. (3) Intinya siklus hidup tidak selamanya di atas kadang di bawah. (4) Kita sudah belajar agama dan memiliki Allah. Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak.” Selain itu, contoh-contoh yang diberikan subjek sangat relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Apek kedua, subjek yang pada saat pretest belum bisa menerima pendapat orang lain. Hasil postest menunjukkan subjek sudah bisa menerima pendapat orang lain. Hal ini dibuktikan pada saat subjek mengatakan, “Betul yang dikatakan tim pro masih ada teman sebagai tempat untuk mencurahkan masalah dan mendapatkan motivasi.” Selain itu, subjek juga sudah bisa mengontrol emosi pada saat menyampaikan pendapatnya, nada bicara subjek yang tinggi pada saat pretest tidak terjadi pada saat postest. Subjek sudah bisa mengontrol nada suaranya menjadi lebih halus tanpa menghilangkan sikap kritis yang dimiliki subjek. Aspek ketiga, subjek sangat aktif menanggapi pendapat tim pro disertai alasan dan bukti pendukung. Subjek juga sudah menunjukkan sikap sopan-santun saat menyanggah pendapat lawan debatnya. “Sebagai calon orang tua kita berpikir tidak bekal apa yang telah kita berikan untuk kehidupan anak kita kelak? Di dunia ada yang namanya sosialisasi, pendidikan agama tidak hanya di dapatkan di sekolah. Di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita buat apa banyak tempat ibadah kalau bukan sebagai tempat pendidikan agama.” Aspek positif lainnya, subjek dengan inisial AB mampu memberikan motivasi agar kawan-kawan yang lainnya berbicara. Subjek terlihat beberapa kali memberikan kesempatan berbicara kepada teman kelompoknya sehingga pembelajaran berdebat tidak didominasi oleh beberapa siswa saja. Aspek keempat, ditinjau dari segi kemampuan argumentasi subjek dinilai sangat piawai dalam mempertahankan pendapat. Subjek sangat baik dan maksimal dalam mempertahankan pendapatnya. Selain itu, contoh-contoh yang dikemukakan sangat relevan dengan topik perdebatan. “Masalah Adi Bing Slamet, seseorang tidak akan tahu watak hanya dari rupa butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui detail orang tsb. Bagaimana mungkin ada keyakinan kita tidak akan terbawa guru spiritual? tetapi lambat laun makin lama mengobrol merasa nyaman orang tersebut akan terkena sirep.” Aspek kelima, subjek sangat lancar berbicara tanpa melihat teks. Kelancaran ini juga ditunjukkan dengan lafal, intonasi, dan jeda yang tepat pada setiap kalimat yang diucapkan subjek. “Kemudian, kita harus merenungkan dalam-dalam di hati kita, kan masih banyak orang baik mengapa harus ke guru spiritual?” 26| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Aspek keenam, kenyaringan suara. Nada bicara subjek yang tinggi dan keras membuat suara subjek mampu terdengar sampai bangku baris belakang. Subjek juga tidak terganggu konsentrasinya pada saat teman-teman di kelasnya banyak yang ribut. Dapat disimpulkan bahwa suara subjek cukup terdengar meskipun dalam suasana kelas ribut sekalipun. Aspek ketujuh, keberanian berbicara. Subjek mendapatkan nilai baik dari aspek ini karena pembawaan subjek yang tenang dalam berbicara membuat apa yang ia kemukakan mudah dipahami. Subjek tampak tenang dan tanpa gugup menghadapai banyaknya sanggahan dari kelompok pro. “Maksud saya guru spiritual itu tidak perlu karena bisa memengaruhi kita ke jalan yang salah.” Aspek kedelapan, aspek ketepatan struktur dan kosakata masih ada kesalahan pada penggunaan diksi atau pemilihan kosakata daerah pada kata kecomotkecomot yang seharusnya diganti dengan kata terpengaruh, namun kesalahan tersebut jauh berkurang dibandingkan pada saat pretest. Aspek kesembilan ekpresi dan gestur, pandangan mata subjek sudah terfokus dan disertai ekpresi dan isyarat tangan sebagai faktor pendukung subjek juga terlihat serius dalam menyampaikan setiap argumentasi. Aspek terakhir, subjek sudah menguasai topik debat yaitu tentang Kontroversi Guru Spiritual di Kalangan Artis. Hal ini dibuktikan subjek sudah bisa membuat kalimat argumentatif yang disertai contoh teoritis dan contoh praktis. “Tetapi pada dasarnya seseorang di saat galau butuh sosok figur untuk Memberikan pencerahan.” 4. Pengujian Persyaratan Analisis Data Di dalam analisis data ini, penulis menyajikan data hasil penelitian berupa hasil pembelajaran siswa kelompok ekperimen dan siswa kelompok kontrol, uji normalitas, uji homogenitas, uji beda rata-rata, dan uji hipotesis. Tabel 3 Hasil Nilai Kemampuan Berdebat Siswa Parameter Kelompok Kelompok Gain Ekperimen Kontrol Pretes Postest Pretes Postest Ekperimen Kontrol t t Jumlah Siswa 25 25 25 25 25 25 Rata-rata 20,44 33,96 19,52 29,12 13,92 9,6 Standar Deviasi 2,72 3,07 3,28 2,47 2,83 3,34 Nilai Maksimal 25 39 25 33 Nilai Minimal 13 28 11 22 Penulis melakukan pengujian dengan uji normalitas kosmogorof-Smirnov untuk membuktikan kenormalan data yang terdapat di dalam fasilitas SPSS 17.0 27| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dengan kriteria pengujian, yakni jika sig.hitung > alpha (a), data berdistribusi normal. Pada keadaan lain, data tersebut tidak berdistribusi normal. Hasil pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 melalui uji Kolmogorof-Smirnov. Uji ini menggunakan kriteria pengambilan keputusan, yakni apabila nilai sig.hitung > 0,05, dapat dikatakan bahwa data tersebut berdistribusi normal, sebaliknya apabila nilai sig.hitung < 0.50, dapat dikatakan bahwa data tersebut tidak berdistribusi normal. Berikut ini tabel hasil rekapitulasi pengujian normalitas data pretest dan postest dari kelas ekperimen dan kelas kontrol. Tabel 4 Nilai Sig.hitung Uji Normalitas Nilai Pretest Kelas Ekperimen dan Kelas Kontrol Kelompok Sig.hitung Df a+ Keterangan Ekperimen Pretest 0,707 25 0,05 Berdistribusi normal Postest 0,674 25 0,05 Berdistribusi normal Kontrol Pretest 0,785 25 0,05 Berdistribusi normal Postest 0,795 25 0,05 Berdistribusi normal Tabel 5 Uji Homogenitas dengan Sig > 0,05 Parameter Fhitung >0,05 Pretes Kelas Ekperimen dan Kontrol 0,659 Ya Postest Kelas Ekperimen dan Kontrol 0,478 Ya Gain 0,404 Ya Keterangan Homogen Homogen Homogen Berdasarkan tabel di atas diperoleh Sig adalah sebesar 0,659, dan 0,478. Hasil perhitungan di atas memenuhi kriteria sig > 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data nilai pretes, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kelas kontrol memiliki variasi yang homogen. Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenitas yang telah dilakukan diketahui bahwa data nilai pretest, postest, dan gain pada kelas ekperimen dan kontrol berdistribusi normal dan homogen. Langkah selanjutnya adalah dilakukan uji beda rata-rata pada masing-masing kelas dengan menggunakan uji-t. a. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretest dan Postest di Kelas Ekperimen Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 16,454 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05 untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 16,454 dan t tabel sebesar 2,021 atau 16,454 > 2,021. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data signifikan. b. Uji Perbedaan Rata-Rata Pretest dan Postest di Kelas Kontrol Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 11,686 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05 28| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 11,686 dan t tabel sebesar 2,021. Jadi, dapat dikatakan bahwa data signifikan. c. Uji Perbedaan Tes Akhir pada Kelas Eksperimen dengan Kelas Kontrol Berdasarkan uji perbedaan rata-rata yang dilakukan dengan program SPSS 17 diperoleh nilai t hitung 4,476 sementara nilai t tabel dengan taraf signifikasi 0,05 untuk df = 48 yaitu 2,021. Dapat dilihat bahwa t hitung yaitu 4,476 dan t tabel sebesar 2,021. Dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi a.=0,05, maka dicari pada t tebel yaitu 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung > t tabel, artinya signifikan atau hipotesis tersebut benar atau diterima. Ternyata t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil pembelajaran berdebat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter sebagai bukti hipotesis bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan berdebat siswa memperoleh model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan kemampuan berdebat siswa yang menggunakan model terlangsung. D. SIMPULAN Temuan hasil penelitian, pertama, pembelajaran berbicara khususnya kemampuan berdebat siswa masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan guru memperlakukan sama antara pembelajaran berbicara dengan pembelajaran membaca nyaring. Siswa sendiri cenderung menghafal teks yang disajikan guru bukan menyampaikan isi teks dengan bahasa sendiri. Selain itu, pembelajaran berdebat kurang memberikan pembagian giliran berbicara secara adil sehingga hanya siswa tertentu saja yang aktif berbicara. Dari segi model pembelajaran, penggunaan model terlangsung belum mampu mengukur, mengkoreksi, dan menumbuhkan karakter pada siswa. Kedua, perlakuan model tongkat berbicara berorientasi karakter pada pembelajaran debat bertujuan membuat siswa memiliki kemampuan berbicara sekaligus akan beroleh pengembangan karakter sehingga pada akhirnya karakter positif akan membudaya pada diri siswa. Karakter-karakter positif sudah ditunjukkan siswa baik pada saat latihan berdebat maupun praktik berdebat menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter. Hal ini telihat dari sikap sopan serta kesantunan bahasa yang ditunjukkan siswa. Ketiga, hasil pembelajaran debat dengan menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran debat dengan menggunakan model terlangsung. Hal ini dapat dilihat pada hasil tes awal dan akhir di kelas ekperimen dengan kelas kontrol yang menunjukkan perbedaan. Artinya sebelum penerapan model dan sesudah penerapan model baik kelas ekperimen maupun kelas kontrol menunjukkan peningkatan. Hasil analisisis uji beda berdasarkan tes akhir di kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan membandingkan t hitung dengan nilai t tabel untuk taraf signifikasi a = 0,05, maka dicari pada t tabel = 2,021 dengan kriteria pengujian jika t hitung > t tabel, artinya signifikasi atau hipotesis tersebut benar dan diterima. 29| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Ternyata t hitung > t tabel, atau 4,476 > 2,021, maka data hasil pembelajaran debat di kelas X SMAN 1 Palimanan Kabupaten Cirebon sebagai bukti hipotesis bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang menggunakan model tongkat berbicara berorientasi karakter dengan hasil belajar siswa yang diberi pembelajaran model terlangsung. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai upaya meningkatkan kemampuan berbicara khususnya kemampuan berdebat sebagai berikut. Pertama, guru hendaknya melakukan berbagai kegiatan berbicara yang dapat dilakukan siswa. Kegiatan berbicara spontan sangat baik dijadikan sebagai latihan sebelum kegiatan berdebat dilakukan karena berbicara spontan bisa menggali kemampuan (skema) siswa berbicara dalam berbagai kondisi. Kedua, pembelajaran berbicara dengan menggunakan teks boleh saja dilakukan dengan syarat teks tersebut adalah teks yang disusun oleh siswa sehingga siswa terbiasa mengolah, mengemas, dan menyampaikan gagasannya secara lisan. Selain itu, teks yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa. Ketiga, walaupun keteterampilan berbicara bukanlah bagian dari Ujian Nasioanal, kemampuan berbicara merupakan atribut siswa yang akan digunakannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting sekali pembinaan terhadap keterampilan ini terutama kaitannya dengan pembentukkan karakter positif . Daftar Pustaka Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Arsjad, Maidar G dan Mukti U.S. (1988). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Nurjamal, Daeng dkk. (2011). Terampil Berbahasa. Bandung: Alfabeta. Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosdakarya. Tarigan, H.G. (2008). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN EKSPOSISI ANALISIS PROSES 30| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer BERBASIS KECAKAPAN VOKASIONAL DENGAN METODE KOLABORASI oleh Elis Nurfatia Agung SMK Farmasi Bekasi 1 Abstrak: Penelitian ini berjudul “Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses Berbasis Kecakapan Vokasional dengan Metode Kolaborasi” (Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI SMK Mutiara Baru Kota Bekasi Tahun Ajaran 2013/2014). Penelitian ini berlatar belakang pada adanya kebutuhan siswa terhadap pembelajaran menulis yang dapat mendukung kompetensi dasar siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan profil kemampuan menulis siswa kelas XI SMK Mutiara Kota Bekasi, (2) mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan metode kolaborasi, (3) mendeskripsikan keefektifan metode kolaborasi dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hipotesis penelitian, yaitu metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh data bahwa t0 = 5,24 ? t (0,05) (58) = 2,00, sehingga hipotesis yang diajukan penulis dapat diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Kata kunci: Karangan eksposisi analisis proses, kecakapan vokasional, keefektifan, metode kolaborasi A. PENDAHULUAN Globalisasi menuntut segala aspek kehidupan untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia agar dapat bersaing baik nasional maupun internasional. Mengingat hal tersebut, maka diperlukanlah penciptaan kompetensi sumber daya manusia yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Salah satu aspek yang dapat meningkatkan kompetensi sumber daya manusia adalah pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai lembaga pendidikan memiliki struktur kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kompetensi dunia kerja. Begitu pula dengan bahasa Indonesia. Sebagai mata pelajaran normatif, bahasa Indonesia dikhususkan agar siswa terampil berbahasa dalam berkomunikasi di dunia kerja. Melalui penguasaan kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu agar mampu berkomunikasi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada era global, penggunaan 31| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer bahasa secara baik dan benar merupakan syarat mutlak di dunia kerja (BNSP, 2006:105). Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dijelaskan bahwa salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu siswa terampil menulis wacana yang bercorak naratif, deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif. Semua karangan tersebut disesuaikan dengan kompetensi keahlian peserta didik dalam konteks bekerja. Dalam pengertian, jenis karangan yang dihasilkan berkaitan dengan kecakapan vokasional atau keterampilan kerja yang mereka geluti. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru bahasa Indonesia SMK, maka diperoleh kesimpulan bahwa jenis tulisan yang diperlukan oleh siswa SMK adalah jenis tulisan yang berisi paparan mengenai suatu prosedur kerja, terutama yang berkaitan dengan kecakapan vokasional yang digeluti oleh siswa. Secara substansi, kecakapan vokasional (vocational skill) sering kali disebut dengan keterampilan kerja. Dalam hal ini, kecakapan vokasional dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat dan dunia kerja. Sebab, dalam menghadapi kehidupan pada masa depan, mereka akan dihadapkan pada tuntutan untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terutama masalahmasalah keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja (Illahi, 2012: 134). Oleh karena itu, penentuan jenis karangan yang tepat sangat dibutuhkan siswa dalam menuangkan ide kecakapan vokasional. Dalam hal ini, karangan eksposisi analisis proses dinilai tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam karangan eksposisi analisis proses, siswa dapat menjelaskan prosedur keterampilan kerja mulai dari tahap awal sampai tahap akhir secara detail. Analisis proses biasanya disusun secara kronologis: yang pertama dilaksanakan ini, kemudian itu, dan seterusnya. Kepintaran mengatur tahap-tahap yang berurutan logis serta kecakapan menjalankan langkah-langkah dengan baik dan konsekuen merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk menulis sebuah karangan eksposisi analisis proses (Tarigan, 1982:79). Kegiatan menulis merupakan suatu aktivitas yang kompleks. Hal ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi tulisan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan yang runtut dan padu (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008: 248). Kegiatan menulis tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selama siswa berada dalam ruang lingkup pendidikan, maka selama itu pula siswa harus mampu menulis sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki wawasan yang luas dan mendalam mengenai topik yang ditulisnya (Akhadiah, 1988: 1). Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan sebuah metode pembelajaran menulis yang dapat memfasilitasi siswa. Dengan kata lain, metode pembelajaran menulis yang digunakan harus terpusat pada siswa (student centered). Siswa harus dilibatkan dalam proses pembelajaran menulis agar pembelajaran yang dilakukan 32| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dapat bermakna bagi siswa. Salah satu metode pembelajaran menulis yang tepat diterapkan pada siswa yaitu metode kolaborasi. Dalam metode ini, siswa dapat bekerja sama untuk merancang, menyusun ide, bertukar pikiran, dan saling mengoreksi antarteman sejawat mengenai tulisan eksposisi analisis proses yang telah dibuat (Alwasilah dan Susanna, 2005: 21). Melalui metode ini pula, siswa akan terbantu untuk mengemukakan ide-ide sehingga tak lagi merasa kesulitan dalam menulis. Dengan demikian, pembelajaran yang dilakukan pun akan bermakna bagi siswa sehingga mampu menghasilkan spektrum manusia berkualitas, handal, dan berdaya saing tinggi. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. (a) Bagaimanakah profil kemampuan menulis siswa kelas XI Akuntansi SMK Mutiara Baru Kota Bekasi?; (b) Bagaimanakah proses pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan metode kolaborasi?; dan (c) Apakah metode kolaborasi efektif dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional? Adapun tujuan yang telah dicapai dalam penelitian ini, yaitu profil kemampuan menulis siswa sudah tergambarkan dengan jelas. Dalam profil kemampuan menulis siswa, diketahui bahwa kemampuan menulis siswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang kurang. Selain itu pula, siswa masih belum dapat menulis dengan ejaan yang baik. Masih banyak siswa yang menulis dengan kesalahan penulisan huruf kapital dan tanda baca. Selain itu, banyak pula siswa yang menulis dengan bentuk kata yang disingkat dan terkadang masih ada pula siswa yang mencampuradukkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke dalam tulisannya. Tujuan kedua dari penelitian ini yaitu pada gambaran proses pembelajaran, sudah dapat diidentifikasi bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Hal ini disebabkan bahwa dalam metode kolaborasi membutuhkan proses yang sangat panjang. Selain itu, dalam pembelajaran menulis ini pula, diperlukan sebuah penyadaran terhadap kecakapan vokasional siswa agar dapat memberikan kontribusi pada saat menuliskannya ke dalam karangan eksposisi analisis proses. Tujuan ketiga dari penelitian ini, yaitu adanya efektivitas penggunaan metode kolaborasi dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa t0 =5,24 > t(0,05) (58) = 2,00. Hal ini membuktikan bahwa metode kolaborasi terbukti efektif dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokaisonal. B. METODE PENELITIAN Fokus utama penelitian ini adalah efektivitas penerapan metode kolaborasi terhadap peningkatan kemampuan menulis dalam bentuk karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Untuk itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan penelitian pretest-posttest control group design (Darmadi, 2011: 56). Dalam rancangan penelitian ini, perlakuan 33| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer diberikan kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol yang digambarkan sebagai berikut. Langkah-langkah penerapan desain pretest- posttest control group di atas adalah sebagai berikut, (a) tes awal (pretest) merupakan tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional yang diberikan kepada kelas eksperimen, untuk mengetahui kemampuan awal siswa (O1) sebelum diberi perlakuan; (b) perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan metode kolaborasi; dan (c) tes akhir (posttest) untuk mengetahui hasil belajar siswa sebagai efek penggunaan metode kolaborasi. Adapun populasi yang diambil dalam penelitian ini, yaitu keseluruhan siswa kelas XI Akuntansi SMK Mutiara Baru Kota Bekasi sedangkan sampel dalam penelitian ini, yaitu XI Akuntansi 1 sebagai kelas eksperimen dan XI Akuntansi 2 sebagai kelas kontrol yang diambil secara random kelas. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) instrumen tes; (b) instrumen angket: (c) instrumen observasi: dan (d) instrumen wawancara. Sementara itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (a) tes keterampilan menulis karangan eksposisi. Teknik tes tersebut dilakukan sebanyak dua tahap. Pretest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses yang dilakukan sebelum diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan awal menulis siswa. Posttest, yaitu tes keterampilan menulis karangan eksposisi analisis proses yang dilakukan setelah diberi perlakuan untuk mengukur kemampuan akhir menulis siswa; (b) angket, digunakan untuk mengetahui pendapat siswa tentang pelajaran bahasa Indonesia terutama selama pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses diberlakukan. Tipe atau bentuk pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup yang mengharapkan jawaban singkat atau mengharapkan responden untuk memilih salah satu alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang tersedia; (c) observasi, dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap dan perilaku siswa dan guru, kegiatan yang dilakukan, tingkat partisipasi dalam suatu kegiatan, dan hasil yang diperoleh dari kegiatan yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini, digunakan observasi langsung yaitu pengamatan yang dilakukan terhadap gejala atau proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya dan langsung diamati oleh pengamat; (d) wawancara, dilakukan untuk mengetahui bagaimana profil kemampuan menulis siswa. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mengetahui respon guru dan siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran menulis dengan menggunakan metode kolaborasi. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Profil Kemampuan Menulis Siswa Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa kurang menyukai pembelajaran menulis. Salah satunya adalah kesulitan siswa dalam menentukan ide karangan. Hampir sebagian besar siswa mengatakan bahwa mereka kurang atau susah sekali berimajinasi dan memikirkan ide yang tepat untuk menulis. Hal inilah yang menjadi faktor utama dalam masalah menulis. 34| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Ada hal lain yang juga menyebabkan siswa malas untuk menulis, yaitu kesulitan dalam mengorganisasikan ide. Hampir sebagian besar siswa mengatakan bahwa mereka kesulitan dalam mengembangkan ide ke dalam tulisan. Keterbatasan dalam kosakata juga mempengaruhi hal tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya latihan menulis dan kurangnya minat membaca siswa. Selain itu, ada juga kendala lain yang mereka hadapi dalam menulis. Mereka mengatakan bahwa dalam menulis itu banyak sekali aturan penulisan seperti tanda baca dan penulisan huruf. Mereka mengatakan bahwa kesalahan yang sering sekali dilakukan yaitu penulisan huruf kapital di tengah kalimat. Selain itu, kesalahan lain yang sering mereka lakukan dalam menulis yaitu menempatkan tanda baca titik dan tanda baca koma. Kesalahan lain yang juga masih sering dilakukan adalah penulisan kata depan di, ke, dan dari. Dalam hal pembentukan kata, mereka juga masih mengalami kendala seperti kata imbuhan yang penulisannya masih salah. Mereka juga kerap kali menyingkat penulisan bentuk kata. Hampir sebagian besar siswa pun mengatakan bahwa mereka jarang melakukan latihan menulis di luar jam pelajaran. Mereka mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh faktor malas yang meliputi diri mereka. 2. Proses Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses Berbasis Kecakapan Vokasional dengan Metode Kolaborasi Dalam penelitian ini, proses pembelajaran dilakukan dalam dua kali pertemuan mengingat penerapan metode kolaborasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Adanya bidang kecakapan vokasional yang membutuhkan perancangan keterampilan kerja membuat proses pembelajaran ini tidak dapat dilakukan hanya dalam satu kali pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan untuk menguatkan dan memberikan pelatihan dasar kecakapan vokasional (praktik kerja) siswa agar dapat memberikan kontribusi ketika menulis karangan eksposisi analisis proses. Sebelum melakukan proses pembelajaran, guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Dalam tahap ini, guru telah menyiapkan daftar kelompok-kelompok siswa. Dalam satu kelompok terdiri atas lima orang siswa yang kemampuannya heterogen (asor, menengah, dan tinggi). Setelah guru membentuk kelompok, kegiatan selanjutnya yaitu pemberian pelatihan praktik kerja kepada siswa. Dalam tahap ini, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh siswa. Pertama, masing-masing kelompok siswa diberikan beberapa soal cerita yang berkaitan dengan kecakapan vokasional mereka, yaitu berupa keuangan perusahaan dagang atau jasa. Dalam langkah pertama ini, guru telah menyiapkan beberapa soal yang berbeda agar masing-masing kelompok dapat berkolaborasi menyusun keterampilan kerja. Dalam hal ini, guru produktif membuat bentuk soal sedangkan guru normatif memeriksa pemakaian bahasa. Setelah soal kecakapan vokasional diberikan, kemudian masing-masing kelompok siswa mencermati soal tersebut dengan bantuan instruksi guru. Langkah ketiga, yaitu siswa mengidentifikasi inti permasalahan yang ada dalam soal kecakapan vokasional tersebut. Hal ini dilakukan untuk menentukan jenis keterampilan kerja apa yang dimaksudkan dalam soal tersebut. Dalam langkah ini, guru menyiapkan beberapa kertas kerja yang akan dipakai oleh masing-masing kelompok siswa. 35| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Langkah keempat, yaitu masing-masing kelompok siswa membuat penyelesaian rangkaian kerja berdasarkan identifikasi keterampilan kerja yang dimaksudkan dalam soal. Dalam langkah ini, guru membagikan kertas kerja kepada masing-masing kelompok yang akan digunakan untuk mengerjakan soal. Setelah beberapa langkah dalam tahap kedua dilakukan, tahap ketiga yaitu masing-masing kelompok siswa mempresentasikan hasil praktik kerjanya. Dalam tahap ini, guru memandu jalannya presentasi. Presentasi ini dilakukan dengan tujuan adanya komentar dari kelompok siswa yang lain. Tahap terakhir yaitu setelah masingmasing kelompok siswa mempresentasikan hasil praktik kerjanya, kemudian diberikan kepada guru untuk dikumpulkan. Pertemuan kedua dilakukan untuk menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional berdasarkan pengalaman praktik yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya. Ada beberapa tahapan dalam menuangkan pengalaman praktiknya menjadi karangan eksposisi analisis proses. Tahap pertama yaitu guru membagikan hasil praktik kerja yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya kepada masing-masing anggota kelompok. Pada tahap kedua, masing-masing kelompok melakukan kolaborasi intersiswa untuk membuat draft tulisan karangan eksposisi analisis proses berdasarkan pengalaman praktik kerja yang telah dilakukan. Dalam tahap ini pula, guru menyiapkan lembar kerja siswa dan memandu pembuatan draft tulisan eksposisi analisis proses. Setelah siswa menuliskan secara detail dan lengkap draft tulisan, tahap selanjutnya yaitu masing-masing kelompok siswa melakukan kolaborasi intersiswa untuk mengembangkan draft tulisan menjadi karangan eksposisi analisis proses. Dalam tahap ini, guru menyiapkan beberapa kertas folio yang akan digunakan kelompok siswa untuk menulis. Dalam kertas tersebut, sudah tertera kolom kecil pada halaman ketiga di kertas folio tersebut yang akan digunakan untuk menuliskan komentar. Dalam tahap ini, masing-masing kelompok siswa harus sudah mulai menulis dengan memperhatikan tatacara penulisan yang baik. Setelah membuat karangan eksposisi analisis proses, kelompok siswa berkolaborasi dengan kelompok lain. Dalam tahap ini, kelompok yang menulis karangan disebut kelompok penulis atau kelompok asal sedangkan kelompok yang memeriksa disebut dengan kelompok kolaborator. Pada tahap ini, guru memasangkan kelompok penulis dengan kelompok kolaborator sehingga terjadi saling tukar karangan. Kemudian, kelompok penulis memberikan hasil tulisannya dengan kelompok kolaborator untuk diperiksa dan ditandai kesalahannya. Karangan yang telah diterima oleh kelompok kolaborator kemudian dibaca dan diperiksa secara menyeluruh dari segi isi, organisasi isi, ejaan, bahasa, dan kosakata. Kelompok kolaborator kemudian memberikan komentar terhadap isi dan organisasi isi karangan pada kolom yang terdapat pada halaman ketiga kertas folio. Kemudian, kelompok kolaborator juga menandai kesalahan-kesalahan dalam penulisan seperti ejaan, kosakata, dan bahasa dengan pena merah. Setelah kelompok kolaborator memeriksa tulisan karangan eksposisi analisis proses, maka masing-masing kelompok kolaborator membacakan hasil pemeriksaannya di depan kelas. Guru pun mengatur jalannya presentasi agar 36| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer berlangsung dengan tertib. Setelah semua kelompok kolaborator membacakan hasil pemeriksaan, karangan tersebut dikembalikan kepada kelompok penulis untuk direvisi. Kelompok penulis pun berkolaborasi untuk memperbaiki karangannya berdasarkan komentar kelompok kolaborator. Dari hasil revisi, kemudian masing-masing kelompok siswa membacakan karangan yang telah direvisi. Kembali guru mengatur jalannya presentasi agar dapat berjalan dengan baik. Setelah karangan dipresentasikan, kemudian diberikan kepada guru untuk mendapatkan penilaian dan umpan balik. Dalam tahap ini, guru mengumpulkan karangan siswa dan memberikan penilaian terhadap karangan siswa yang telah direvisi. 3. Analisis Tes Kemampuan Menulis Karangan Eksposisi Analisis Proses Berbasis Kecakapan Vokasional Siswa Berikut ini akan dipaparkan contoh hasil analisis tes awal dan tes akhir kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa yang telah disalin ulang. Berikut merupakan data tes awal kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa. Langkah memulai Siklus Akuntansi adalah dengan bukti transaksi yang akan kita terima Pada Saat kita melakukan Pembelian barang Seperti Faktur, kwintansi, Nota Debet dll. Kemudian transaksiII yang dilakukan kita Pindahkan ke jurnal transaksi yang mana berisi transaksiII yg kita lakukan Setelah selesai kita pindahkan AkunII itu ke dalam Buku Besar Satu Persatu akunIInya. Kemudian kita membuat Buku Besar Pembantu untuk sahap Perusahaan /PT. Langkah selanjutnya adalah membuat neraca Saldo yang mana berisi Sekelompok akun yang ada di Buku Besar. lalu akunII neraca Saldo yang disesuaikan dipindahkan ke Jurnal Penyesuaian kemudian kita membuat Neraca Lajur yg berisi ikhtisar Laba/Rugi, Neraca, Neraca Saldo, Penyesuaian dan langkah terakhir membuat Laporan Keuangan, ada 3 Laporan yaitu ; Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Modal dan Laporan Neraca Hasil analisis kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa adalah sebagai berikut. Karangan ini mengandung kecukupan informasi dan substansi. Alur kegiatan masih dijelaskan secara umum, belum detail. Meskipun demikian, informasi kecakapan kerja yang disampaikan melalui tulisan ini masih cukup dapat dipahami dengan baik. Selain itu, dari pola pengembangan prosedural kerja, belum dikembangkan secara detail dan rinci. Oleh karena itu, karangan ini tergolong cukup tuntas dalam pengembangan prosedural kerja. Sementara itu, jika direlevansikan dengan kebutuhan dunia kerja, karangan yang ditulis cukup relevan. Dalam karangan ini terlihat sekali bahwa karangan ini tergolong cukup jelas dan diungkapkan dengan ekspresi yang cukup lancar sehingga inti keterampilan kerja dapat dipahami dengan cukup baik. Jika diperhatikan dari segi pola penyusunan pemikiran atau gagasan, karangan ini sudah memiliki pola penyusunan pemikiran dan gagasan yang cukup baik, tidak ada gagasan yang terpotong. Hanya butuh sedikit 37| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer pengembangan gagasan yang lebih mendalam lagi sehingga penjelasan yang diberikan pun semakin jelas. Jika dilihat dari pola penyusunan prosedur kerja, terlihat sangat logis, cukup jelas, dan berurut. Sementara itu, jika dilihat dari aspek pemakaian kosakata khusus dunia kerja, karangan ini sebenarnya sudah memunculkan istilah-istilah bidang akuntansi dengan potensial dan sering digunakan. Jika dilihat dari pilihan katanya, karangan ini sudah ditulis dengan pilihan kata yang sesuai. Hanya ada satu kata yang salah dalam penulisannya, tetapi hal tersebut tidak mengubah makna yang ingin disampaikan. Selain itu, karangan ini juga ternyata masih ditulis dengan menggunakan kata tidak baku. Meskipun demikian, hal itu tidak mengubah makna yang ingin disampaikan. Sementara itu, dari pembentukan kata yang ditulis, karangan ini masih ditulis dengan bentukan kata yang disingkat sehingga dapat merusak bahasa, terutama bahasa tulisan. Jika dilihat dari pola keefektifan kalimat yang digunakan, karangan ini ditulis dengan pola kalimat yang kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh pemakaian bahasa Inggris. Jelas sekali, bentuk penggunaan kata yang seperti itu dapat merusak bahasa. Jika dilihat dari penggunaan ragam bahasa bisnis, karangan ini ditulis dengan ragam bahasa bisnis yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh adanya kesalahan dalam penulisan pilihan kata, penulisan kata tidak baku, dan juga adanya penggunaan kalimat yang kurang efektif sehingga makna rusak. Jika dilihat dari segi ejaan, karangan ini ditulis dengan ejaan yang kurang baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kalimat yang tidak membubuhi tanda baca pada salah satu kalimat sehingga maknanya pun rusak. Dalam karangan ini pun masih menggunakan penulisan huruf kapital yang kurang tepat. Adanya penggunaan huruf kapital di tengah kalimat membuktikan hal ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengubah makna. Selain itu, ada pula kalimat yang tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengubah makna. Berikut merupakan data tes akhir kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa yang telah disalin ulang. Pembuatan Laporan Keuangan di Ms.Excel Ada beberapa langkah dalam pembuatan laporan keuangan dengan bantuan Ms.Excel. Pertama, kita harus membuat daftar akun untuk mengidentifikasi jurnal-jurnal yang akan kita lakukan nantinya pada sebuah jurnal. Buatlah tabel daftar akun pada sheet 1 dan isikan di dalamnya nomor akun, nama akun, dan saldo awal akun. Lengkapi pula kolom pos untuk tiaptiap kelompok akun sebagai berikut: kelompok aktiva (debet), hutang (kredit), ekuitas (kredit), harga pokok (debet), pendapatan (kredit), biaya (debet). Jumlahkan sisi debet dan kredit. Jumlah kedua sisi tersebut harus seimbang dengan laporan keuangan sebelumnya. Selanjutnya, buatlah jurnal umum pada sheet 2 sekaligus isikan transaksi di dalamnya. Sebaiknya kelompokkan untuk tiap transaksi berdasarkan jenis transaksi seperti penerimaan kas, pengeluaran kas, penjualan, pembelian, dan memorial. 38| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Terakhir yaitu buat laporan neraca dan laba rugi pada sheet 3. Akan tetapi, kita harus membuat rumus-rumus untuk setiap kolom debit dan kredit. Copy rumus itu untuk baris berikutnya. Lalu, jumlahkan kolom debet/kredit neraca maupun laba – rugi. Selisihkan antara jumlah debet dan kredit laba rugi sebagai laba bersih, kemudian nilai laba bersih tersebut bersih tersebut letakkan ke dalam neraca sebagai pos laba bersih. (disalin sesuai aslinya) Jika dilihat dari kualitas isi kecakapan kerja, karangan ini sangat informatif dan sangat substantif. Dalam karangan ini, proses kerja sudah dijelaskan dengan sangat detail dan rinci. Dengan demikian, informasi kecakapan kerja yang disampaikan melalui tulisan ini dapat dipahami dengan baik. Selain itu, pola pengembangan prosedural kerja dalam karangan ini, sudah dikembangkan dengan sangat baik. Setiap tahapan dalam prosedur kerja dijelaskan dengan cukup baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya pembuatan dan petunjuk proses kerja yang sangat jelas di setiap tahapan mulai dari bagaimana cara melakukan pekerjaan langkah demi langkah sampai dengan apa saja yang diperlukan dalam setiap langkah pekerjaan. Oleh karena itu, karangan ini dikatakan sangat tuntas dalam mengembangkan prosedural kerja. Sementara itu, jika direlevansikan dengan kebutuhan dunia kerja, karangan yang ditulis dapat dikatakan sangat relevan dengan kecakapan vokasional, terlebih lagi karangan ini berisi kecakapan dalam bidang computer akuntansi yang memang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja. Pengambilan ide yang inovatif dan pengembangan prosedural kerja yang dijelaskan dengan sangat detail di setiap tahapannya, membuat kecakapan kerja ini dapat dimanfaatkan dalam dunia kerja. Dalam karangan ini, terlihat sekali bahwa karangan ini sangat jelas dan diungkapkan dengan ekspresi yang sangat lancar sehingga inti kecakapan kerja dapat dipahami dengan baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya keruntutan, kelengkapan, dan kerapihan dalam menuliskan prosedural kerja pembuatan laporan keuangan di Microsoft Excel sehingga makna yang ingin disampaikan tak kabur. Jika diperhatikan dari segi pola penyusunan pemikiran atau gagasan, karangan ini sudah memiliki pola penyusunan pemikiran dan gagasan yang sangat baik. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya keteraturan menuliskan ide-ide kecakapan kerja dalam pembuatan laporan keuangan di Microsoft Excel pada setiap tahapannya. Dengan demikian, uraian ide yang diberikan dapat dipahami dengan baik. Jika dilihat dari pola penyusunan prosedur kerja, karangan ini sudah disusun dan dijelaskan dengan prosedur kerja yang sangat lengkap, logis, berurut, dan baik. Dengan demikian, tahapan dalam prosedur kerja dapat dipahami dengan baik. Sementara itu, jika dilihat dari aspek pemakaian kosakata khusus dunia kerja, karangan ini sebenarnya sudah memunculkan istilah-istilah bidang akuntansi. Istilahistilah yang digunakan dalam karangan ini potensial dan sering dimunculkan. Jika dilihat dari pilihan katanya, karangan ini sudah ditulis dengan pilihan kata yang sesuai. Tidak ada lagi kata yang ditulis dengan bentuk kata tidak baku, kata yang penulisannya disingkat, dan kata ulang yang penulisannya disingkat. 39| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Selain itu, karangan ini juga ternyata menggunakan satu istilah computer karena kecakapan ini berkaitan dengan komputer akuntansi. Adanya kata copy dalam karangan ini membuktikan hal tersebut. Sementara itu, dari pembentukan kata yang ditulis, karangan ini sudah ditulis dengan bentukan kata yang tepat. Sudah tidak ada lagi bentukan kata yang salah. Dengan demikian, makna yang ingin disampaikan dalam kecakapan kerja benar-benar dipahami dengan baik. Jika dilihat dari pola keefektifan kalimat yang digunakan, karangan ini ditulis dengan pola kalimat yang kompleks dan efektif. Tidak ada kalimat yang ditulis dengan tidak efektif sehingga makna yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan baik. Jika dilihat dari penggunaan ragam bahasa bisnis, karangan ini ditulis dengan ragam bahasa bisnis yang sangat baik. Hal ini disebabkan oleh pilihan kata, pembentukan kata, dan keefektifan kalimat yang sudah tepat. Dengan demikian, kecakapan kerja yang ditulis dapat dipahami dengan baik pula. Jika dilihat dari segi ejaan, karangan ini sudah mulai ditulis dengan ejaan yang baik. Karangan ini pun sudah menggunakan penulisan huruf kapital yang tepat. Sudah tidak ada lagi penggunaan huruf kapital di tengah kalimat. Selain itu, tidak ada lagi kalimat yang tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Penggunaan huruf secara keseluruhan sudah tepat. Berikut adalah tabel yang diperoleh dari nilai rata-rata tes awal dan tes akhir kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa kelas eksperimen. Tabel 1 Nilai Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen Keterampilan Berbicara Rata-Rata Tes awal (Pretest) 71,27 Tes akhir (Posttest) 87,77 Berikut adalah tabel yang diperoleh dari nilai rata-rata tes awal dan tes akhir kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa kelas kontrol. Tabel 2 Nilai Rata-Rata Tes Awal dan Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol Keterampilan Berbicara Rata-Rata Tes awal (Pretest) 72,47 Tes akhir (Posttest) 78,67 Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata siswa di kelas eksperimen pada pelaksanaan tes awal, yaitu sebesar 71,27. Selain itu, dari tabel di atas juga diperoleh nilai rata-rata siswa pada pelaksanaan tes akhir, yaitu sebesar 87,77. Dari hasil penghitungan nilai rata-rata tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa ketika tes akhir lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa ketika tes awal. Hal itu 40| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan terhadap kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa. Selain itu, pada tabel kedua merupakan nilai rata-rata siswa di kelas kontrol pada pelaksanaan tes awal, yaitu sebesar 72,47 sedangkan nilai rata-rata siswa pada pelaksanaan tes akhir, yaitu sebesar 78,67. Sama dengan kelas eksperimen, kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa di kelas kontrol pun mengalami peningkatan. Dari hasil penghitungan nilai rata-rata tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa ketika tes akhir lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa ketika tes awal. Akan tetapi, peningkatan nilai tidak sebesar kelas eksperimen. Perbedaan kenaikan nilai rata-rata tersebut belum dapat membuktikan bahwa metode kolaborasi efektif untuk pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa. Kepastian keefektifan akan terlihat jika nilai tersebut sudah digunakan dalam penghitungan pembuktian hipotesis. Dari hasil data yang telah dianalisis, diperoleh t hitung sebesar 5,24 dengan menggunakan taraf signifikasi 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) serta derajat kebebasan 58 diperoleh t tabel sebesar 2,00. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa t0 = (5,24) > t(0,05) (58) = (2,00). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata nilai tes awal dan tes akhir terbukti signifikan. Hal ini sekaligus membuktikan hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini, yaitu metode kolaborasi efektif dalam meningkatkan kemampuan menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional siswa SMK Mutiara Baru Kota Bekasi kelas XI Akuntansi, terbukti diterima. D. SIMPULAN Berdasarkan hasil wawancara mengenai profil kemampuan menulis siswa kelas XI SMK Mutiara Baru Kota Bekasi, diperoleh sebuah data bahwa kemampuan menulis siswa masih rendah. Siswa banyak yang tidak menyukai pembelajaran menulis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi kendala utama dalam menulis. Kendala pertama yaitu kesulitan dalam menentukan ide karangan. Selain itu, kendala lain yang timbul adalah kesulitan dalam mengorganisasikan ide. Keterbatasan dalam kosakata juga mempengaruhi hal tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya latihan menulis dan kurangnya minat membaca siswa. Begitu pula dalam tata cara penulisan. Hal yang sama juga terjadi pada pembentukan kata, misalnya kata berimbuhan. Terkadang siswa juga masih sering menyingkat penulisan kata. Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan, diperoleh sebuah simpulan bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan metode kolaborasi dilakukan dalam dua kali pertemuan. Hal ini disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode kolaborasi cukup panjang sehingga tidak mungkin dilakukan hanya dalam satu kali pertemuan. Pada pertemuan pertama, pembelajaran lebih difokuskan pada kecakapan vokasional siswa. Hal ini dilakukan agar timbul kesadaran dalam diri siswa terhadap kecakapan vokasional yang mereka pelajari. Pada pertemuan kedua, masing-masing kelompok melakukan kolaborasi 41| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer intersiswa untuk membuat draft tulisan karangan eksposisi analisis proses berdasarkan pengalaman praktik kerja yang telah dilakukan pada pertemuan sebelumnya. Berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh data bahwa t hitung sebesar 5,24 dan dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) serta derajat kebebasan 58 diperoleh t tabel 2,00. Ini berarti t0 = (5,24) > t(0,05)(58) = (2,00). Mengacu pada kriteria pengujian bahwa jika t hitung lebih besar dari t tabel, maka hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini diterima. Hal ini membuktikan bahwa metode kolaborasi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan eksposisi analisis proses berbasis kecakapan vokasional. Daftar Pustaka Akhadiah, S. dkk. (1988). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Alwasilah, A. C. dan Susanna, S. (2005). Pokoknya Menulis: Cara Baru! Menulis dengan Metode Kolaborasi. Bandung: Kiblat. Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMK/MAK. Jakarta: BSNP. Darmadi, H. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Illahi, M. T. (2012). Pembelajaran Discovery Strategy dan Mental Vocational Skill. Yogyakarta: Diva Press. Iskandarwassid dan Sunendar, D. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda. Tarigan, H. G. (1982). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. TEKNIK BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN (Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IX SMA) 42| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Oleh R. Mekar Ismayani STKIP Siliwangi Bandung [email protected] ABSTRAK Penelitian ini berjudul "Teknik Bermain Peran dalam Pembelajaran Apresiasi Cerpen” Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IX SMA. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen sebelum menggunakan teknik bermain peran; 2) mengetahui hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran; 3) mengetahui perbedaan yang signifikan dalam pembelajaran apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi yang mengujicobakan teknik bermain peran dengan sampel penelitian berjumlah 44 orang siswa yang terdiri dari 21 orang siswa laki-laki dan 23 orang siswa perempuan. Adapun instrumen yang digunakan adalah hasil apresiasi cerpen melalui prates dan pascates. Berdasarkan hasil pengolahan dan perhitungan data prates dan pascates diketahui bahwa terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 12,727 atau 28,93 %. Pada prates diperoleh nilai dengan rata-rata 75 sedangkan pada pascates diperoleh nilai rata-rata sebesar 87,727 maka hipotesis penelitian yang berbunyi "Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran" terbukti kebenarannya. Kenyataan ini dapat dibuktikan dari hasil perhitungan t-score mencapai 13, 744. Nilai thitung lebih besar dari ttabel yaitu 13,744 > 2,00. Dengan kata lain hipotesis kerja (Ha) diterima dan hipotesis Nol (Ho) ditolak. Kata Kunci: teknik bermain peran, pembelajaran apresiasi cerpen A. PENDAHULUAN Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi. Dalam dunia pendidikan, sastra merupakan salah satu aspek dalam pembelajaran bahasa yang harus disampaikan. Pengajaran sastra merupakan pengajaran yang sangat penting karena sampai sekarang sastra tetap bertahan dalam kurikulum sekolah dan merupakan bahan pembelajaran yang wajib diikuti oleh siswa di sekolah, sebagaimana yang dikemukakan Rusyana (1982:5-6) di bawah ini. Pengajaran sastra termasuk ke dalam pengajaran yang sudah tua umurnya, dan hingga sekarang tetap bertahan dalam kurikulum pengajaran di sekolah. 43| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Bertahannya pengajaran sastra dalam kurikulum sekolah, tentulah disebabkan oleh nilai pengajaran sastra untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dan tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan. Dalam mencapai berbagai aspek tujuan pendidikan di atas, pembelajaran sastra sudah tentu dianggap penting kehadirannya dalam kurikulum sekolah karena sebagai bahan pelajaran sastra dapat membina manusia ke arah kehidupan yang merangsang kreativitas, memperkaya wawasan tentang hidup, menggugah kecintaan kepada hidup, dan menumbuhkan kepercayaan diri. Selain itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang selanjutnya berkembang menjadi Kurikulum 2006, dijelaskan bahwa yang menjadi standar kompetensi bahan kajian bahasa adalah mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan berbagai masalah kehidupan. Dengan kemampuan kreativitas bahasanya, pengarang mencoba menyajikannya kembali kepada pembaca untuk lebih memahami kehidupan melalui karya sastra juga digambarkan tingkat kemajuan budaya, tradisi yang berlaku di masyarakat, norma agama, kehidupan sosial dan politik seperti yang diungkapkan Boulton (Aminuddin, 2002:37) berikut ini. Data sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan sastra, paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai problem yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Menyadari pentingnya pembelajaran sastra, maka tidaklah mengherankan apabila timbul tanggapan dari berbagai pihak tatkala melihat kurang berhasilnya pengajaran apresiasi sastra di sekolah-sekolah. Dikatakan kurang berhasil karena kenyataannya pembelajaran apresiasi sastra belum mampu mengarahkan siswa kepada pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan. Salah satu sebab kurang berhasilnya pengajaran sastra di sekolah-sekolah karena terbatasnya sumber penuntun apresiasi sastra. Siswa lebih banyak dijejali teoriteori sastra yang bersifat hafalan, tahun, nama pengarang, dan karya-karyanya, jarang sekali diberi pembelajaran yang bersifat apresiatif. Tujuan pengajaran sastra adalah mengembangkan akal budi peserta didik melalui kegiatan berapresiasi dan berekspresi sehingga siswa dapat menjiwai isi sebuah karya sastra bukan hanya teori-teori yang bersifat definitif seperti yang diungkapkan Suyitno (1985:8) sebagai berikut. Pengajaran sastra sebenarnya jauh dari maksud atau tujuan sekadar anak mampu menghafal definisi kesusastraan, deretan nama pengarang, ataupun penyair serta periodisasi sastra. Tujuan pengajaran sastra termasuk tujuan pendidikan dalam bidang afektif. Oleh karena itu, ia akan mempersoalkan perasaan-perasaan senang, kehalusan serta nilai-nilai yang berhubungan dengan rasa. Bidang afektif yaitu bidang yang mencakup tujuan yang berhubungan dengan perubahan minat, sikap mental, nilai, dan perkembangan apresiasi. Sesuai dengan sifatnya yang afektif maka pengajaran sastra harus sampai pada tujuan membina kepekaan estetis dan sikap batin 44| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer yang positif terhadap hasil-hasil kesusastraan, serta membina kemampuan apresiasi anak. Selanjutnya dalam pengajaran sastra diperlukan proses belajar mengajar yang sekaligus melibatkan pengalaman, pengetahuan, dan penilaian peserta didik terhadap masalah sastra langsung. Karena itu, apresiasi fiksi pada khususnya perlu ditingkatkan sehingga masyarakat kita menghadapi hal itu sebagai hidupnya (Tarigan, 2011:18) Prosa fiksi adalah kiasan atau cerita yang diemban oleh pelaku tertentu dengan pemeranan layar serta tahapan dan rangkaian cerita yang dimuat berdasarkan hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjadi suatu cerita. Salah satu bentuk dari prosa fiksi adalah cerita pendek. Sebagaimana yang dikemukakan Nurgiyantoro (2010:9), novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Menurut Sumardjo dan Saini K. M (1986:37), cerita pendek adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek. Untuk dapat menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra khususnya cerita pendek, tidak dapat hanya dengan membaca sekilas saja. Sebagaimana sebuah fiksi, cerpen memiliki unsur-unsur pembangun yang terdiri dari unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Salah satu cara untuk memahami sebuah karya sastra dalam hal ini cerita pendek adalah dengan mengapresiasi cerita pendek tersebut. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguhsungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang lebih baik terhadap karya sastra, Effendi (Aminuddin, 2002:35). Dengan mengapresiasi cerita pendek siswa diharapkan dapat memahami unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita pendek tersebut serta mampu menangkap nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya sehingga menimbulkan perasaan kritis atau pikiran pada diri siswa. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, seorang guru bahasa dan sastra Indonesia harus mampu mendaptakan iklim belajar yang dapat membina dan membimbing siswa dalam kegiatan mengapresiasi karya sastra. Seorang guru bahasa dapat menggunakan berbagai metode dan teknik pengajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra sehingga dapat tercipta suasana belajar yang baik sekaligus dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Guru yang kreatif senantiasa mencari metode dan teknik baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih metode dan teknik yang bervariasi agar kegiatan belajar dapat menarik, menantang, dan menggairahkan. Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak 45| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka "Teknik Bermain Peran dalam Model Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek" merupakan model pembelajaran yang dipilih dengan tujuan meningkatkan hasil belajar siswa dalam mengapresiasi cerita pendek. Teknik bermain peran digunakan dalam mengapresiasi cerita pendek dengan harapan siswa dapat berpikir secara aktif dan kreatif. Dengan mengajarkan apresiasi sastra akan diketahui sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan pengajaran apresiasi cerita pendek dengan menggunakan teknik bermain peran secara tepat guna dan berhasil guna. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Hasil Penelitian Data hasil penelitian ini berbentuk skor siswa kelas X.5 SMA sebelum dan sesudah siswa mendapat perlakuan. yang diperoleh melalui analisis data kemampuan setiap siswa yakni dari hasil prates dan pascates dengan perhitungan secara statistik. Data tersebut dapat di lihat pada tabel berikut. No 1 2 3 Skor Nilai tertinggi Nilai terendah Rata-rata Prates 90 60 75 Pascates 95 75 87,727 Dari tabel di atas terlihat bahwa masing-masing skor nilai tertinggi, terendah, dan rata-rata (mean) pada prates dan pascates mengalami kenaikan. Pada prates nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 60 dengan rata-rata 75 sedangkan pada pascates nilai tertinggi 95 dan nilai terendah 75 dengan rata-rata mencapai 87,727. Setelah didapatkan nilai prates dan pascates, kemudian kedua nilai tersebut dibandingkan untuk mengetahui perbedaan nilai dari setiap siswa. Untuk menganalisis hasil eksperimen yang menggunakan pre test and post test one group design maka rumus yang digunakan menurut Arikunto (2010:349) adalah sebagai berikut. ?±?± ?+= ?<x ?ád ?Ù ?y(?y-y 1) Keterangan: Md : mean dari perbedaan prates dengan pascates xd : deviasi masing-masing subjek (d-Md) x2d : jumlah kuadrat deviasi N : subjek pada sampel 46| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer d.b : derajat kebebasan (N-1) Dari hasil data perbedaan prates dan pascates dapat diketahui nilai mean (Md) kedua tes tersebut dengan perhitungan sebagai berikut. ?É?É ?†?†= ?J 560 ?á?¾= = 12,727 44 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil Md sebesar 12,727. Dengan demikian pembelajaran apresiasi cerpen dengan menggunakan teknik bermain peran mengalami hasil belajar siswa sebesar 12.727 atau 28,925%. Maka hipotesis penelitian yang berbunyi “Hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran sangat baik” terbukti berhasil. Langkah selanjutnya adalah menghitung perbedaan dua rata-rata (uji t) untuk menguji signifikansi perbedaan. Langkah pertama dalam perhitungan nilai t ini adalah dengan membuat tabel deviasi dan jumlah kuadrat deviasi. Dari tabel deviasi dan jumlah kuadrat deviasi diperoleh data N=44, d=560, Md=12,727, dan ?@ x2d=1622,727. Maka t hitung adalah: ?n= ?õ?õ ?€x ?ád ? ?¼ (?¼-¼1) 12,727 = ?| 1622,727 44(44 -$ 1) = 12,727 ?Ñ0,8576781 = 12,727 = 13,744 0,926 Setelah nilai t hitung diketahui, langkah selanjutnya menghitung derajat kebebasan (d.b), maka diperoleh d.b = N-1 = 44-1 = 43 dan dilanjutkan dengan menghitung nilai signifikansi dengan taraf signifikan (a2) = 0,05 diperoleh hasil t tabel = (0,975) (43) = 2,00. Berdasarkan perhitungan nilai t di atas, dapat disimpulkan bahwa thitung (13,744) lebih besar daripada ttabel (2,00), pada taraf signifikan 5% dan tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi “Terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar siswa terhadap pembelajaran apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran” dinyatakan terbukti kebenarannya, hal ini berarti hipotesis kerja (Ha) diterima dan hipotesis nol (Ho) ditolak. Dengan kata lain teknik bermain peran dalam pembelajaran apresiasi cerpen dapat meningkatkan hasil belajar. Maka teknik bermain peran efektif bila digunakan pada pembelajaran apresiasi cerpen. 2) Pembahasan Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Leuwiliang Bogor, populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Leuwiliang Bogor yang berjumlah 7 kelas terdiri dari kelas X.1, X.2, X.3, X.4,X.5, X.6, dan X.7. Setiap kelas berbeda 47| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer jumlahnya. Dari populasi tersebut diambil 1 kelas untuk dijadikan sampel penelitian, yaitu kelas X.5 dengan jumlah siswa 44 orang, terdiri dari 21 siswa laki-laki dan 23 siswa perempuan. Penarikan sampel dilakukan secara random sehingga setiap kelas memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Setiap penelitian tentu saja harus menggunakan metode untuk mencapai hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, lebih tepatnya pre experimental design atau lebih dikenal dengan eksperimen kuasi atau eksperimen semu. Dikatakan demikian karena tidak ada kelompok eksperimen pembanding atau kelas kontrol dalam penelitian ini. Desain penelitian ini menggunakan pre test and post test one group design. Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu teknik uji coba, yakni mengujicobakan teknik bermain peran dalam pembelajaran apresiasi cerpen dengan cara siswa mementaskan peran yang ide ceritanya diangkat dari sebuah cerpen. Selain uji coba juga menggunakan teknik tes yaitu prates dan pascates untuk mengukur dan menilai kemampuan apresiasi cerpen siswa sebelum dan sesudah perlakuan, sedangkan untuk teknik pengolahan data menggunakan teknik statistik walaupun dalam bentuk sederhana. Data yang diperoleh melalui tes adalah data kuantitatif yang bersifat numerikal. Data tersebut masih mentah dan masih harus diolah. Adapun langkahlangkah dalam pengolahan data ini adalah sebagai berikut. 1. Memeriksa dan menganalisis data yang masuk (data hasil prates dan pascates). 2. Membuat tabel persiapan penelitian perbedaan hasil prates dan pascates. 3. Menentukan perbedaan signifikansi hasil prates dan pascates dengan mencari nilai t. Rumus yang digunakan adalah: ?Þ= ?d?d ?ðx ?ád ?Œ ?, (?, -, 1) Keterangan: Md : mean dari deviasi antara pascates dan prates xd : perbedaan deviasi dengan mean deviasi N : banyaknya subjek d.b : derajat kebebasan (N-1) Salah satu kegiatan dalam perencanaan suatu penilaian adalah menyusun instrumen penelitian atau alat pengumpul data, sesuai dengan masalah yang diteliti. Adapun instrumen penelitian ini meliputi instrumen pembelajaran dan lembar evaluasi. Instrumen pembelajaran dalam penelitian ini berupa persiapan mengajar dalam bentuk silabus dan skenario pembelajaran berupa RPP yang dijadikan acuan 48| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dalam proses pembelajaran. Sedangkan untuk instrumen lembar evaluasi berbentuk soal tes pilihan ganda sebanyak 20 soal yang diujikan pada saat prates dan pascates. 3) 1. Langkah-langkah Pembelajaran Persiapan pembelajaran Persiapan mengajar pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan. Dengan demikian, persiapan mengajar merupakan upaya untuk memperkirakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Persiapan mengajar merupakan hal yang penting dalam pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan Callahn dan Clark, persiapan mengajar memiliki kedudukkan yang esensial dalam pembelajaran yang efektif karena akan membantu membuat disiplin kerja yang baik, suasana yang menarik, dan pembelajaran yang diorganisasikan secara baik, relevan dan akurat (Mulyasa, 2004:83). Salah satu syarat untuk menjadi guru profesional adalah mempunyai persiapan pembelajaran sebelum mengadakan kegiatan pembelajaran. Maka untuk merealisasikan dari persiapan pembelajaran tersebut, dalam penelitian ini dilakukan persiapan pembelajaran yang mencakup delapan kegiatan sebagai berikut. a. menentukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar b. merumuskan indikator pembelajaran c. memilih bahan pembelajaran d. pengalaman belajar e. menentukan alokasi waktu f. menyiapkan media dan sumber belajar g. menyusun alat evaluasi h. menyiapkan administrasi pembelajaran berupa silabus dan RPP sebagai bentuk konkret dari ketujuh langkah persiapan pembelajaran sebelumnya. 2. Pelaksanaan Uji Coba Dalam pelaksanaan uji coba dilakukan dua kali pertemuan, masing-masing pertemuan berlangsung 45 menit. Pelaksanan uji coba dapat dilihat dalam tabel berikut. No Kegiatan Skenario Pembelajaran Alokasi Waktu 49| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Pertemuan pertama a. Kegiatan Awal b. Kegiatan Inti 1 c. Kegiatan Akhir Pertemuan kedua a. Kegiatan Awal b. Kegiatan Inti 2 c. Kegiatan Akhir • Guru memberikan penjelasan mengenai tujuan pembelajaran dan melakukan apersepsi • Siswa mendengarkan penjelasan materi cerpen dan unsur-unsur pembangun cerpen serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam mementaskan sebuah drama (metode yang digunakan dalam penyampaian materi metode ceramah dan tanya jawab). • Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan materi. • Siswa melaksanakan prates (untuk mengukur kemampuan awal sebelum dilakukan perlakuan”teknik bermain peran”). • Mengkondisikan kesiapan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran dan mempersiapkan siswa yang diberi tugas untuk memerankan tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen yang telah dipilih. • Siswa mementaskan drama sesuai dengan peran masing-masing sedangkan siswa yang tidak mendapat bagian dalam pementasan bertugas sebagai pengamat (suasana pembelajaran begitu aktif, penuh kegairahan, dan menyenangkan). • Guru dan siswa melakukan tanya jawab mengenai perasaan, pesan dan kesan siswa terhadap proses pembelajaran. • Akhir pembelajaran ditutup dengan evaluasi akhir yakni 5 menit 30 menit 10 menit 5 menit 25 menit 15 50| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer pascates untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan terhadap hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan teknik bermain peran. 3. Analisis hasil pembelajaran Analisis hasil pembelajaran dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. menganalisis hasil prates dan pascates b. membandingkan nilai prates dengan pascates c. menghitung uji perbedaan dua rata-rata (Uji t). C. PENUTUP 1) Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data penelitian, maka simpulan yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Tingkat pemahaman siswa terhadap unsur-unsur intrinsik cerpen sebelum menggunakan teknik bermain peran dapat dilihat dari perolehan nilai prates siswa. Dari analisis hasil prates siswa diperoleh nilai tertinggi sebesar 90 sedangkan nilai terendah yaitu 60 dengan rata-rata sebesar 75. 2. Pemahaman siswa terhadap unsur-unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tampak pada nilai yang diperoleh dari hasil kedua tes yaitu hasil prates dan pascates. Pada prates diperoleh skor rata-rata sebesar 75 dengan nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 60 sedangkan skor rara-rata pascates adalah sebesar 87,727 dengan nilai teninggi yang diperoieh siswa sebesar 95 dan nilai terendah adalah 7 5. Hal ini berani menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar sebesar 12,727 arau 28,925%. Dengan adanya peningkatan hasil belajar maka hipotesis penelitian yang berbunyi "Hasil belajar siswa dalam memahami unsur- unsur intrinsik cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran sangat baik" terbukti kebenarannya. Dengan demikian teknik bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik cerpen. 3. Hipotesis (Ha) yang menyatakan "Terdapat perbedaan yang signifikan pada pembelajaran apresiasi cerpen sebelum dan sesudah menggunakan teknik bermain peran terbukti kebenarannya. Hal ini berdasarkan hasil perhitungan perbedaan dua rata-rata data prates dengan pascates diperoleh hasil t hitung sebesar 13,744 lebih besar dari t tabel sebasar 2,00 pada taraf signifikan 5 % atau tingkat kepercayaan 95 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada pembelajaran apresiasi cerpen sesudah menggunakan teknik bermain peran secara signifikan lebih baik daripada sebelum menggunakan teknik bermain peran. Jadi, teknik bermain peran efektif bila digunakan pada pembelajaran apresiasi cerpen. 2) Saran 51| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Berikut ini ada beberapa saran sederhana yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hasil penelitian ini, sebagai masukan atau penimbangan bagi guru khususnya guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam melaksanakan pembelajaran. 1. Hendaknya guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang lebih menarik, lebih bervariasi, karena pembelajaran yang menarik dan bervariasi akan menimbulkan minat belajar siswa meningkat. Dalam hal ini para guru hendaknya mengetahui aneka metode atau teknik pembelajaran. 2. Dalam pembelajaran apresiasi cerpen, teknik bermain peran dapat dijadikan salah satu alternatif dalam memilih teknik pembelajaran untuk mendaptakan proses pembelajaran yang aktif kreatif dan apresiatif. 3. Guru sebaiknya menyusun persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan lancar dan berhasil dengan baik. 4. Perpustakaan sekolah sebaiknya menyediakan buku-buku yang memadai khususnya buku-buku sastra yang dapat memudahkan siswa dalam mencari, membaca, dan memahami hal tentang sastra dan karya sastra sehingga wawasan siswa dalam bidang apresiasi sastra bertambah. 5. Pembelajaran sastra harus terus diupayakan dan ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Demikian simpulan dan saran yang dapat dikemukakan, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang positif terhadap keberlangsungan pembelajaran sastra khususnya dan umumnya untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Agesindo. Dawud, dkk. 2004. Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Iindonesia untuk SMA Kelas X. Malang: Erlangga. Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, B. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Rusyana, Y. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sumardjo dan Saini K. M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suyitno. 1985. .......... Tarigan, H. G. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 52| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI oleh Nofiyanti STKIP Siliwangi Bandung pos-el: [email protected] Abstrak Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara bertatap muka dengan orang lain. Keterampilan menulis merupakan kemampuan mengekspresikan, pikiran, perasaan, pengalaman dalam bentuk tulisan yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga tulisanya dapat dipahami oleh pembaca. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa pembelajaran menulis di sekolah selama ini belum optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Metode dan media pembelajaran menulis yang digunakan oleh guru tidak menarik dan tidak bervariatif. Akibatnya menjadikan siswa sulit mencari dan mengembangkan ide untuk menulis. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen kuasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi efektif digunakan dalam pembelajaran menulis narasi. Angket dan wawancara menunjukkan respon positif atas penggunaan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dalam pembelajaran menulis narasi. Begitu pula hasil akhir penelitian menunjukan bahwa setelah perlakuan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, kemampuan menulis narasi siswa mengalami peningkatan rata-rata yang cukup signifikan yakni 70,63 menjadi 78,17; dengan thitung (4,895) > ttabel(1,668). Kata Kunci: Pembelajaran Menulis, Karangan Narasi, Metode Pengelompokan Ide (Clustering), Media Gambar Fotografi A. Pendahuluan Dalam kehidupan modern, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Hal ini terlihat dari banyaknya alat komunikasi yang sangat memerlukan keterampilan menulis karena dunia modern sangat identik dengan dunia ilmiah yang memerlukan keterampilan menulis dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran. Pemikiranpemikiran yang cemerlang dituangkan ke dalam tulisan-tulisan agar dapat dibaca oleh orang banyak. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa keterampilan menulis merupakan ciri-ciri terpelajar. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara bertatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan kegiatan produktif dan ekspresif. Keterampilan menulis merupakan kemampuan mengekspresikan, pikiran, perasaan, pengalaman dalam bentuk tulisan yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga tulisanya dapat 53| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dipahami oleh pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Badudu (2000:10) menulis merupakan suatu keterampilan yang produktif dan ekspresif, artinya selalu diperlukan dalam berbagai kepentingan dalam berbagai kehidupan dan dapat mengungkapkan gagasan/ ide, pikiran dan perasaan kepada orang lain secara tidak langsung atau tidak bertatap muka dengan lawan bicara”. Berkenaan dengan paparan di atas, pembelajaran menulis di sekolah sebagai salah satu pijakan dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa perlu mendapatkan perhatian ekstra. Apalagi, secara gamblang keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yaitu pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis. Ini artinya mau tidak mau setiap siswa dituntut untuk dapat menguasai keterampilan tersebut. Dari beberapa sekolah, khususnya untuk tingkat SMP, sering sekali pembelajaran menulis, tidak berjalan secara optimal dan belum pada standar yang diharapkan, hal ini dikarenakan adanya beberapa alasan. Pertama, guru lebih banyak menekankan teori dan pengetahuan bahasa dari pada mengutamakan keterampilan berbahasa (menulis). Kedua, proses belajar mengajar lebih banyak didominasi oleh guru, guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan serta. Ketiga, kebanyakan siswa menganggap menulis sebagai beban karena merasa kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Keempat, guru umumnya kurang bervariasi dalam memilih metode dan strategi pembelajaran. Menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa yang dipelajari di sekolah memerlukan pembelajaran yang menekankan bagaimana menulis itu sendiri, bukan hanya teoriteori tentang menulis. Teori-teori bagaimana menulis yang baik memang penting, tetapi praktik menulis itu sendiri lebih penting. Dalam kegiatan belajar mengajar, keterampilan menulis bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui penjelasan saja. Siswa tidak dapat memperoleh keterampilan menulis hanya dengan menunggu, mendengarkan, atau mencatat uraian guru. Keterampilan menulis memerlukan latihan dan praktik yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar siswa harus langsung berlatih menulis. Tanpa adanya proses berlatih tidak mungkin keterampilan atau kemampuan menulis pada diri siswa akan muncul. Untuk dapat mengoptimalkan pembelajaran menulis, jalan yang harus ditempuh tentulah dengan cara mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul seperti yang telah diuraikan di atas. Sesuai dengan permasalahan yang muncul, hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih metode dan media pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut. Sebagai upaya untuk mencari alternatif dalam pembelajaran menulis, khususnya kemampuan menulis karangan narasi salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis adalah dengan menggunakan metode pengelompokan ide (clustering). Metode pengelompokan ide (Clustering) akan membantu siswa dalam memanfaatkan potensi kedua belah otaknya. Adanya interaksi yang luar biasa antara kedua belahan otak dapat memicu kreativitas yang memberikan kemudahan dalam proses menulis. Terbiasanya siswa menggunakan dan mengembangkan potensi kedua otaknya, akan dicapai peningkatan 54| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer beberapa aspek, yaitu konsentrasi, kreativitas, dan pemahaman sehingga siswa dapat mengembangkan tulisannya melalui pengelompokan ide (clustering). Selain metode yang inovatif dan variatif, salah satu cara untuk meningkatkan minat dan gairah belajar siswa dalam menulis karangan narasi, yaitu dengan menggunakan media yang menarik. Karena media adalah sarana sebagai penyampai informasi (materi pelajaran) kepada penerima (siswa). Dengan penggunaan media yang menarik, pembelajaran menulis narasi diharapkan lebih menyenangkan dan dapat membantu kesulitan siswa dalam memperoleh ide (inspirasi) ketika menulis karangan narasi. Pada umumnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran akan tahan lama sehingga kualitas pembelajaran mempunyai nilai tinggi, karena media pembelajaran meletakan dasar-dasar yang kongkrit untuk berfikir dan dapat mengurangi verbalisme. B. Pembelajaran Menulis, Karangan Narasi, Metode Pengelompokan Ide (Clustering), Media Gambar Fotografi Pembelajaran menulis, karangan narasi, metode pengelompokan ide (clustering), dan media gambar fotografi merupakan dasar dalam penelitian ini. Oleh karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar tersebut, berikut ini diuraikan mengenai teori keempat hal tersebut. 1. Pembelajaran menulis Keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, perasaan kepada pihak lain melalui bahasa tulis. Ketepatan pengungkapan gagasan harus didukung oleh ketepatan bahasa yang digunakan. Selain komponen kosa kata dan gramatikal, ketepatan kebahasaan juga sebaiknya didukung oleh konteks dan penggunaan ejaan. Menulis menurut Rusyana (1984:191) adalah kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan”. Selanjutnya Tarigan (1994:20) mengatakan menulis ialah “menurunkan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut, kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu”. Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis seseorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan memengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata struktur kalimat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa melalui tulisan dapat terjadi proses komunikasi antara penulis dan pembaca. Hal tersebut terjadi karena antara penulis dan pembaca memiliki kesepakatan akan makna lambang-lambang yang digunakan dalam tulisan tersebut. Dengan kemampuan mengolah unsur-unsur bahasa dalam tulisan, pembaca akan mudah memahami isi tulisan tersebut. Dengan kata lain penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, pola-pola bahasa, dan kosakata, 55| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer karena keterampilan menulis tidak didapat secara tradisi melainkan harus dipelajari terlebih dahulu. Menuangkan bahasa melalui tulisan tidaklah mudah dan tidak dapat disajikan secara sembarangan, karena seperti yang telah diungkapkan sebelumnya untuk kegiatan menulis diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik. Uraian tersebut diperkuat dengan pendapat Rusyana (1994:191) bahwa menulis kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Kemampuan menulis itu mencakup berbagai kemampuan seperti kemampuan menguasai gagasan yang dikemukakan, kemampuan menggunakan unsur-unsur bahasa, kemampuan menggunakan bentuk karangan, kemampuan menggunakan gaya, dan kemampuan menggunakan ejaan serta tanda baca. Berkenaan dengan pembelajaran menulis, menulis merupakan proses kreatif yang dilakukan secara bertahap sampai terwujudnya sebuah karya tulis. Yang terpenting dalam menulis adalah proses penulisan bukan hasil akhirnya. Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis; (2) pembuatan draft; (3) merevisi; (4) menyunting; dan (5) berbagi (sharing). Tahap-tahap proses menulis yang diuraikan di atas tidaklah selalu berjalan liniar. Setiap tahap mungkin dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya, penulis mungkin saja membuat draf kembali dan mengedit kembali hal ini mungkin saja dilakukan karena penulis mengubah pemikiran/ gagasan mereka sehingga melakukan proses menulis ini dari awal kembali. Hal yang harus diperhatikan adalah berapapun besarnya perhatian kita berikan pada setiap tahap, akan bergantung pada jenis tulisan, dan pembacanya. Pada intinya, proses menulis merupakan proses mengolah sesuatu menjadi sebuah informasi yang dapat dibaca oleh orang lain. Selanjutnya, setiap penulis pasti memiliki tujuan yang hendak di sampaikan kepada pembaca. Tujuan menulis yang paling utama adalah dapat menyampaikan pesan dari penulis itu sendiri kepada pembaca sehingga pembaca memahami maksud penulis yang disampaikan dalam tulisannya. Setiap penulis menggambarkan sesuatu mengenai dirinya ke dalam tulisannya. Bahkan dalam tulisan yang objektif atau tidak objektif, si penulis tampak sebagai seorang pribadi tertentu, mengandung nada yang sesuai dengan maksud dan tujuannya. Sehubungan dengan hal tersebut, macammacam tujuan menulis menurut Hipple (1973: 309-311) adalah sebagai berikut: a) Assigment purpose (tujuan penugasan); b) Altruistic purpose (tujuan altruistik); c) Persuasive purpose (tujuan persuasif); d) Informatial purpose (tujuan informasi, tujuan penerangan); e) Self-ekspressive purpose (tujuan pernyataan diri); f) Creative purpose (tujuan kreatif). 2. Karangan narasi Ada beberapa jenis karangan, salah satunya adalah narasi. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Narasi berasal dari bahasa Inggris narration yang berarti cerita yang terdiri atas kumpulan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu (secara kronologis) sehingga merupakan uraian peristiwa yang menarik. Menurut Rusyana (1984: 135) karangan jenis ini dinamakan karangan kisahan, yakni 56| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer karangan yang memaparkan peristiwa, yang mengandung unsur pelaku, tindakan, ruang, dan waktu. Berdasarkan peristiwa yang dipaparkan di dalam karangan ini, pengisahan dalam narasi dapat dibedakan ke dalam kisahan nyata(faktual) dan kisahan rekaan. Dalam hal ini narasi cenderung dinamakan sebagai cerita dari suatu peristiwa. Menulis karangan narasi merupakan keterampilan berbahasa yang perlu mendapat perhatian sunguh-sungguh, karena keterampilan menuangkan bahasa dalam bentuk tulisan tidaklah mudah serta tidak dapat disajikan secara seimbang. Karangan narasi berbeda dengan karangan deskripsi karena pada karangan narasi tidak hanya menyampaikan atau menceritakan suatu kejadian atau peristiwa melainkan juga harus diperjelas dengan unsur waktu. Dengan demikian pengertian narasi mencakup dua unsur dasar yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu urutan atau rangkaian waktu. Menurut Keraf (2004:136) Narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara lain: Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Selanjutnya berdasarkan pengertian narasi di atas dapat diketahui ciri-ciri karangan narasi. Adapun ciri-ciri karangan narasi adalah sebagai berikut: (1) merupakan karangan prosa; (2) merupakan kisahan/ gambaran sebuah peristiwa/ kejadian; (3) menimbulkan pesan hidup; (4) pembaca seolah-olah melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. (5) mempunyai dua unsur inti/ dasar/ tidakan dan unsur rangkaian waktu. Berkenaan dengan karangan narasi, Untuk menyusun sebuah karangan narasi diperlukan berbagai unsur pembentuknya. Unsur pembentuk atau pembangun narasi ialah: tema, alur, watak, ketegangan, unsur pembayang, suasana, sudut pandang, pusat dan kesatuan. Dalam karangan narasi, Keraf (2007:136-138) menyatakan bahwa jenis narasi dibagi menjadi narasi ekspositori dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris adalah narasi yang bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Sedangkan Narasi sugestif bertujuan untuk memberikan makna atas peristiwa atau kejadian sebagai sebuah pengalaman. Sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif melibatkan daya khayal (imajinasi). Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Selanjutnya untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam pembelajaran menulis, Jacobs, dkk. (1981) menjelaskan kemampuan menulis berupa karangan dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek: a) kemampuan mengorganisasi ide karangan; b) organisasi; c) kemampuan menggunakan pilihan kosa kata ; d) kemampuan menggunaan bahasa; dan e) kemampuan menggunakan pilihan kata. 3. Metode pengelompokan ide (clustering) 57| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Pengelompokan ide (clustering) merupakan salah satu metode dalam buku Quantum Learning yang memberikan kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan daya ingat dan membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Strategi ini dirancang untuk menyemarakan kelas dan membentuk suasana pengalaman belajar aktif dan menakjubkan. Pengelompokan ide (clustering) dalam buku Quantum Learning yang dikemukakan oleh Bobbi Deporter dan Mike Hernacki bertolak pada konsep suggestopedia (eksperimen seorang ahli pendidikan berkebangsaan Bulgaria bernama Dr. Georgi Lozanov), bahwa pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar (DePorter, 1999:14). Teknik pengelompokan ide merupakan salah satu bentuk spesifikasi dari tiga teknik yang disebut Hernowo (2004) sebagai menulis sinergis, di samping teknik menulis cepat dan teknik menunjukkan bukan memberitahukan. Mengingat pentingnya pembelajaran menulis ini, diperlukan strategi yang tepat dalam pembelajaranya. Menurut Weinsten dan Meyer (Trianto, 2007:143) pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, strategi belajar dalam pembelajaran adalah strategi yang dapat membantu siswa untuk berpikir dan memahami materi. Metode pengelompokan ide (clustering) adalah suatu teknik menulis yang mengalir bebas dengan mengumpulkan dan memilah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan dan membuat percabangannya ke berbagai arah tanpa mempertimbangkan struktur atau pun nilainya. Sebuah pengelompokan dapat membantu penulis mencari ide-ide yang berhubungan dan cara-cara menghubungkan pemikiran dengan ide. Selain itu, pengelompokan dapat membantu penulis untuk mengumpulkan materi dan menemukan asosiasi-asosiasi baru dan cara mengkombinasikannya. Istilah pengelompokan ide (clustering) ini dikemukakan oleh Gabriele Lusser Rico. Rico (dalam Hernowo, 2003:142) menyatakan bahwa bagian paling sulit dalam menulis adalah sulitnya menuangkan ide ke dalam tulisan, tidak mengetahui apa yang akan ditulis, yaitu apa temanya, dan bagaimana memulainya. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menanggulangi kesulitan ini, anatara lain dengan membuat pengelompokan ide (clustering). Setiap orang memiliki ide dalam benaknya, yang sulit adalah menuangkanya dalam tulisan. Dengan membuat pengelompokan ide (clustering), Anda dipaksa mengidentifikasi ide-ide pokok dan ide-ide penunjangnya. Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan pengelompokan (clustering). Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang yang dihasilkan itu benar atau salah, penting tidak penting, dapat dipraktikan atau tidak, dan sebagainya. Yang terpenting dalam proses ini adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik itu sebanyak-banyaknya. Kedua, terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena memang belum dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali sekaligus ide-ide yang yang terkumpul itu akan dievaluasi dalam kesempatan berikutnya (Darmadi, 1996:43). Pengelompokan ide (clustering) merupakan prosedur yang dapat membantu mengorganisasir informasi sebelum informasi dituliskan. Clustering (pengelompokan 58| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer ide) memberikan siswa berkesempatan untuk berhubungan dengan pikiran bawah sadarnya sehingga tulisan lebih mengandung emosi. Proses pembelajaran menulis lebih mudah jika sebelumnya siswa telah menuangkan gagasan atau ide melalui pengelompokan ide. Menurut Deporter (2004: 182-183) Adapun cara membuat pengelompokan ide adalah sebagai berikut: (1) Menuliskan topik/ gagasan utama ditengah-tengah selembar kertas kosong tak bergaris dengan huruf kapital dan tulisan tebal, kemudian melingkupinya dengan lingkaran; (2) Menuliskan asosisi atau hubungan-hubungan yang terkait dari gagasan utama dan kelompokan di sekitar kata primer (gagasan utama/ topik) yang berada di pusat; (3) Melingkari setiap kata yang telah dikelompokan disekitar gagasan utama dan menghubungkannya dengan lingkaran yang berada di pusat dengan menarik garis; (4) Meneruskan membuat asosiasi-asosiasi dari kata-kata sekunder tadi yang memicu satu rantai atau asosiasi lain, menuliskan serta melingkarinya sekalipun terlihat tidak berhubungan; (5) Kembali pada kata primer (gagasan utama) yang teletak di pusat dan meneruskan membuat asosiasi yang terlintas dalam benak, kemudian melingkarinya dan menghubungkanya dengan menarik garis; (6) Memperhatikan semua gagasan yang muncul dari satu kata setelah pengelompokan terasa lengkap dan semua asosiasi telah terkumpul; (7) Mencoret gagasan –gagasan yang dianggap tidak berhubungan atau yang tidak ingin ditelusuri; (8) Menemukan “AHA” (desakan untuk mulai menulis) dan memberi nomor urut yang tampaknya logis pada setiap kata atau gagasan dalam pengelompokan tersebut; dan (9) Mengembangkan gagasan berdasarkan urutan yang telah dibuat dalam bentuk tulisan. Tidak perlu menggunakan semua kata/gagasan yang terdapat dalam pengelompokan, cukup gagasan yang ingin dipergunakan. 4. Media gambar fotografi Dalam proses belajar mengajar, salah satu unsur yang sangat penting adalah media pembelajaran. Gene L. Wilkinson terjemahan Bachtiar (1984:5) mengatakan bahwa media pangajaran adalah segala alat dan bahan selain buku teks, yang dapat dipakai untuk menyampaikan informasi dalam situasi belajar mengajar. Dengan demikian, media pembelajaran bukan hanya sekedar membantu pekerjaan guru saja dalam mengajar, melainkan lebih jauh dari itu bahwa media pembelajaran lebih banyak berguna membantu siswa dalam belajar. Itu sebabnya mempelajari sebuah media pembelajaran tidak bisa asal - asalan. Penggunaan media pembelajaran terpusat pada siswa, sebab media pembelajaran membantu siswa dalam belajar agar lebih berhasil. Menurut Muchyidin dan Fathoni (2002:2) media pembelajaran memberikan penekanan pada posisi media sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar, sehingga mengkondisikan seseorang untuk belajar. Disadari atau tidak, sebuah media dalam proses pembelajaran memiliki pengaruh yang cukup besar, karena melalui media inilah pembelajaran akan lebih bermakna dan tujuan pembelajaran akan lebih mudah disampaikan dan dipahami oleh siswa. Sementara itu, menurut Sudjana dan Rivai (2002:2) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu; (1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami siswa dan 59| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran lebih baik; (3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi guru mengajar untuk setiap jam pelajaran; (4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengar uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti itu, mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain - lain. Pemilihan media pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak dan tujuan pembelajaran. Media gambar adalah salah satu media yang sering digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di setiap jenjang pendidikan terutama dalam keterampilan menulis. Dengan gambar dapat membantu mempermudah anak untuk menuangkan gagasan – gagasan kedalam bentuk bahasa, karena gambar akan memberikan inspirasi dan panduan tentang apa dan bagaimana yang harus ditulis. Selain itu, gambar juga dapat menimbulkan daya tarik pada diri siswa mempermudah pengertian dan memperjelas bagian–bagian yang penting yang akan ditulisnya. (Hermawati, 2001:8). Salah satu media gambar yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis adalah media gambar fotografi. Berkenaan dengan media gambar fotografi, Sudjana (2007:7) Mengungkapkan bahwa media gambar fotografi adalah media berupa gambar, lukisan, kartun, dan ilustrasi yang dapat digunakan oleh guru secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar, pada setiap jenjang pendidikan. Gambar fotografi ini membantu para siswa dan dapat membangkitkan minat para siswa pada pelajaran. Selanjutnya, menurut Asnawir dan Basyirudin (2002:49-50) dalam memilih gambar yang baik perlu memperhatikan hal–hal sebagai berikut: (1) Keaslian gambar, sumber yang digunakan hendaklah menunjukan keaslian atas situasi yang sangat sederhana; (2) Kesederhanaan, terutama dalam menentukan warna akan menimbulkan kesan tertentu, mempunyai nilai estetis dan mengandung nilai praktis; (3) Bentuk item diusahakan agar anak memperoleh tanggapan yang tepat tentang objek–objek dalam gambar; (4) Gambar yang digunakan hendaklah menunjukan hal yang sedang dibicarakan atau yang sedang dilakukan. (5) Harus diperhatikan nilai fotografinya; (6) Segi artistik juga perlu diperhatikan. Penggunanya harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai; (7) Gambar harus cukup popular, gambar tersebut telah cukup dikenal oleh anak-anak secara sebagian atau keseluruhannya; (8) Gambar harus dinamis, yaitu menunjukan aktifitas tertentu; (9) Gambar harus membawa pesan yang cocok untuk tujuan pengajaran yang sedang dibahas. C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain penelitian yang digunakan adalah the randomized pretest-postest contol group design (rancangan secara acak dengan tes awal dan tes akhir kelompok kontrol) (Syamsuddin dan Vismaia, 2007:160). Pengaruh perlakuan diperhitungkan melalui perbedaan antara tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Rancangan penelitian ini melibatkan dua kelompok yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang ditentukan secara random atau acak. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang akan melakukan 60| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer proses pembelajaran menulis karangan narasi dengan menggunakan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang akan melakukan proses pembelajaran menulis karangan narasi dengan menggunakan metode ceramah. Kedua kelompok tersebut, baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol diberikan tes awal dan akhir. Tes awal diberikan untuk mengukur kemampuan awal dari masing-masing kelompok tersebut sedangkan tes akhir diberikan setelah perlakuan untuk mengukur signifikansi peningkatan yang terjadi dalam kelompok eksperimen.Pemilihan metode eksperimen ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keefektifan model pembelajaran menulis karangan narasi dengan menggunakan metode pengelompokan ide (clustering) bebasis media gambar fotografi yang peneliti eksperimenkan terhadap hasil belajar siswa. Sebagai langkah pertama dalam penelitian ini dilakukan studi pendahuluan yang meliputi studi literatur dan studi pendahuluan di kelas pada waktu pembelajaran menulis. Hasilnya dipakai untuk menentukan konsep-konsep yang akan diteliti dan menentukan variable penelitian, yaitu kemampuan menulis karangan narasi dan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Langkah selanjutnya memperhatikan materi dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar bahasa Indonesia kelas VII sekolah menengah pertama sehingga diperoleh materi pokok, yaitu tentang menulis karangan narasi. Kajian lebih lanjut tentang indikator penilaian menulis dari teori yang sudah ada serta cara-cara menganalisi karangan. Akhirnya dirumuskan suatu rencana pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Proses pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dilaksanakan dengan mengadakan pretes (tes awal), baik terhadap kelas eksperimen maupun terhadap kelas kontrol. Selanjutnya memberikan treatment yaitu melaksanakan pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi pada kelas eksperimen yang dilakukan oleh guru. Kemudian mengadakan postes (tes akhir), baik terhadap kelas eksperimen maupunn kelas kontrol. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik studi dokumentasi, observasi, angket, wawancara, dan tes menulis. Pengolahan data dilakukan dengan cara analisis kuantitatif namun ditunjang juga dengan analisis kualitatif sesuai dengan karakteristik setiap data. D. Hasil Penelitian Kajian empiris sebagai dasar analisis kebutuhan menunjukkan bahwa pembelajaran menulis perlu dioptimalkan, baik dari segi persiapan guru, kesempatan dan kebiasaan siswa, metode dan media pembelajaran maupun dari bahan pembelajaranya. Hal ini dilakukan agar pembelajaran menulis dapat meningkat. Proses penelitian dilakukan di kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Penelitian ini dilakukan dalam lima pertemuan. Satu kali pertemuan digunakan untuk melakukan uji awal kemampuan siswa (prates) untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam menulis karangan narasi sebelum pembelajaran menulis karangan narasi 61| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dilakukan. Pada saat kegiatan prates berlangsung, berdasarkan hasil observasi pada saat prates ada beberapa siswa tampak kebingungan dan melamun. Tetapi ada juga siswa yang tampak antusias dan langsung dapat menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Sebagian besar siswa mengatakan bahwa kendala yang dihadapi terutama adalah ketika mencari ide tulisan. Mereka tidak dapat langsung menemukan ide untuk dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Beberapa siswa juga merasa kesulitan untuk mengembangkan ide. Selain kendala yang dihadapi siswa, kendala yang dihadapi guru pada saat kegiatan pembelajaran menulis adalah sulitnya menimbulkan minat siswa dalam kegiatan menulis, media pembelajaran, dan menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran. Selanjutnya dalam pertemuan ke dua sampai keempat dilakukan perlakuan (treatmen) pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Pertemuan kedua sampai keempat tersebut, dilakukan sebagai bentuk latihan dari metode yang diujicobakan. Pada tahap pertama, guru menyampaikan materi pembelajaran tentang narasi. Pada tahap kedua guru memberikan sebuah gambar fotografi kemudian guru bertanya berdasarkan gambar dan membaca gambar itu bersama-sama dengan siswa. Setelah mengamati gambar siswa menentukan gagasan pokok. Selanjutnya pada tahap ketiga guru menyampaikan langkah-langkah metode pengelompokan Ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Guru menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi ini untuk membantu siswa dalam mencari ide dan mengembangkan ide ke dalam tulisan (karangan narasi). Selanjutnya, guru menjelaskan langkah-langkah metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Guru melakukan pemodelan menulis karangan narasi menggunakan metode clustering dengan menggunakan media gambar. Pada tahap awal penerapan metode pengelompokan ide (clustering) guru menyajikan contoh langkah- langkah membuat pengelompokan ide (clustering) secara konkret di papan tulis.Guru menentukantopik yang menarik berdasarkan gambar, kemudian guru menuliskan topik tersebut di papan tulis, kemudian melingkari topik dan menarik garis dari lingkaran tersebut. Selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan dengan imajinasinya dan dihubungkan dengan pengalaman mereka masing-masing ide-ide yang berkaitan dengan topik berdasarkan gambar. Guru memberikan arahan kepada siswa untuk mengembangkan pengelompokan idenya.Kemudian berdasarkan pengelompokan ide tersebut guru memberikan contoh cara mengorganisasikan ide-ide tersebut yang telah dibuat menjadi sebuah karangan narasi berdasarkan ide-ide yang terdapat dalam clustering. Siswa menyimak setiap langkah yang dijelaskan guru dengan cermat. Guru dan siswa bertanya jawab mengenai langkah-langkah membuat pengelompokan ide (clustering). Pada saat guru menjelaskan langkah-langkah metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi terlihat siswa sangat antusias mengikuti arahan dari guru. Demikian pula, siswa mengikuti setiap langkah dalam pembuatan pengelompokan ide (clustering). Sebagian besar siswa melaksanakan semua rangkaian kegiatan dengan baik walaupun ada beberapa siswa yang kurang maksimal 62| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dalam melaksanakan. Selanjutnya pada pertemuan terakhir atau kelima, digunakan untuk mengetahui kemampuan menulis karangan narasi siswa setelah diberi perlakuan (treatmen) melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, serta untuk melihat apakah terjadi perubahan yang signifikan setelah diberikan perlakuan atau bahkan tidak mengalami perubahan apapun. Uji coba pembelajaran menulis melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dilakukan di kelas VII tingkat SMP. Hasil uji coba menunjukkan bahwa penerapan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi tersebut mampu meningkatkan kemampuan menulis siswa. Dari hasil penilaian, rata-rata nilai kemampuan menulis siswa mengalami peningkatan, yakni kemampuan awal siswa dalam menulis karangan narasi sebelum perlakuan (prates) memperoleh nilai rata-rata sebesar 70,63 dengan kategori sedang sedangkan setelah perlakuan dengan menggunakan metode pengelompokan ide (clustering) dengan menggunakan media gambar fotografi (pascates) memperoleh nilai rata-rata sebesar 84 dengan kategori baik. Jika divisualisasikan dalam bentuk gambar, maka perbandingan siswa berdasarkan kategori adalah sebagai berikut. Perbandingan Nilai Pretes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol 40 Kelas Eksperimen 20 0 Cukup Baik Kelas Kontrol Perbandingan Nilai Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol 40 Pretes 20 0 Postes Cukup Baik 63| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Perbandingan Nilai Pretes dan Postes Kelas Kontrol 40 30 20 Pretes 10 Postes 0 Cukup Baik Beradasarkan hasil analisis profil kemampuan akhir siswa dalam menulis karangan narasi, diperoleh simpulan bahwa pada umumnya siswa telah mampu meningkatkan kemampuanya dalam berbagai aspek. Dari segi aspek isi pada saat prates rata-rata nilai siswa 17 Atau sekitar 68% menjadi 20 atau 80%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa telah mampu memahami dalam menuliskan kesesuaian antara isi cerita dengan tema dan judul dengan tepat. Dari aspek struktur narasi dari rata-rata nilai 17 atau 68% menjadi 18 atau 72%, hal ini artinya siswa telah memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai unsur narasi sehingga mampu menggambarkan keseluruhan isi cerita dengan baik. Dari aspek organisasi dari ratarata nilai prates 15 atau 75% menjadi 16 atau 80%. Artinya, siswa telah mampu menuliskan struktur organisasi yang teratur, sistematis dan urutanya logis sehingga pesan yang didalamnya dapat dipahami. Selanjutnya, dari aspek kosakata dari nilai rata-rata 15 atau 75% menjadi 18 atau 90%. Hal ini menunjukan bahwa siswa telah menguasai kosa kata yang luas, hal ini terlihat dalam penggunaan perbendaharaan kosa kata yang sangat variatif; sangat sesuai dan pemililhan kata yang tepat sesuai dengan situasi. Sementara dari aspek penulisan dari nilai rata-rata pretes 7 atau 70% setelah pascates menjadi 80%, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah mampu menguasai kaidah penulisan kata dan ejaan, kelengkapan huruf, tanda baca, huruf kapital dengan sedikit kesalahan. Sementara itu, penilaian berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dan siswa selama pelaksanaan proses pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi yang dilakukan oleh observer, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi yang diterapkan mampu mengembangkan beberapa kemampuan mengelola pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun menumbuhkan ketertarikan siswa terhadap pembelajaran. Guru telah mampu mengelola pembelajaran dan ini dapat dilihat pada tahap awal pembelajaran, diketahui guru sudah mampu membuka pembelajaran dengan baik. Ini terbukti dengan perolehan nilai rata-rata 4,0 dengan kategori baik. Begitu pula dengan penguasaan dan pemberian materi pembelajaran, 64| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer guru juga memperoleh nilai rata-rata 4,7 dengan kategori sangat baik. Pada pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, guru sudah mampu melakukan dengan baik. Hal ini terlihat dalam penggunaan media pembelajaran dan penerapan metode yang digunakan serta kemampuan guru dalam memberikan ilustrasi terhadap gambar untuk merangsang pemikiran siswa sehingga meningkatkan kreativitas siswa untuk mencari ide dalam menulis. Hal ini juga ditandai dengan perolehan nilai ratarata 4,7 dengan kategori sangat baik. Nilai ini sama dengan perolehan nilai rata-rata guru pada saat melaksanakan evaluasi. Untuk aktivitas menutup pembelajaran, guru memperoleh nilai rata-rata 4,7 dengan kategori sangat baik. Jadi, nilai rata-rata total yang diperoleh guru selama pelaksanaan pembelajaran menulis melalui metode pengelompokan (clustering) berbasis media gambar fotografi mencapai 4,56 dengan kategori baik. Berdasarkan tanggapan siswa yang terjaring melalui angket, dari 15 pertanyaan positif terhadap pembelajaran menulis melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi yang diusung, diperoleh 42% jawaban sangat setuju, 27% setuju, 16% tidak setuju dan 15% sangat tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif atas pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Hal ini karena siswa memandang, bahwa pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) sangat bermanfaat bagi mereka untuk lebih meningkatkan kreativitas mereka dalam menulis karangan narasi. E. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama,Penerapan metode pengelompokan ide (clustering ) berbasis media gambar fotografi dalam pembelajaran menulis narasi lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional (metode yang biasa digunakan oleh guru pada kelas kontrol) karena dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis narasi. Hal ini terlihat dari nilai ratarata tes awal kelas eksperimen adalah 70,63 dan kelas kontrol memiliki nilai rata-rata 70,43. Hasil tes akhir siswa kelas eksperimen mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata 78,17 lebih tinggi daripada nilai rata-rata tes akhir siswa kelas kontrol dengan rata-rata 74,20. Kedua, Setiap pertemuan dalam kegiatan pembelajaran menunjukkan keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi. Siswa mengikuti setiap tahap pembelajaran dengan baik. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis terhadap observasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan terhadap kegiatan guru dan siswa yang semuanya dilaksanakan dan diikuti dengan baik. Hasil observasi membuktikan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh guru dari pertemuan satu sampai pertemuan tiga saat perlakuan metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi adalah 4,42 dengan kategori baik. Adapun nilai rata- 65| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer rata yang diperoleh siswa selama perlakuan tiga kali pertemuan adalah 4,6 dengan kategori sangat baik. Pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, yaitu siswa dapat mencari gagasan atau ide, mengembangkan, dan menyusun gagasan atau ide tersebut menjadi sebuah tulisan (karangan) yang sistematis, utuh, dan padu. Hal ini terlihat dari peningkatan kemampuan menulis (karangan) mereka. Pada tahap awal penerapan metode pengelompokan ide (clustering) guru menyajikan contoh langkah- langkah membuat pengelompokan ide (clustering) secara konkret di papan tulis. Guru menentukan topik yang menarik berdasarkan gambar, kemudian guru menuliskan topik tersebut di papan tulis, kemudian melingkari topik dan menarik garis dari lingkaran tersebut. Selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan dengan imajinasinya dan dihubungkan dengan pengalaman mereka masing-masing ide-ide yang berkaitan dengan topik berdasarkan gambar. Guru memberikan arahan kepada siswa untuk mengembangkan pengelompokan idenya. Kemudian berdasarkan pengelompokan ide tersebut guru memberikan contoh cara mengorganisasikan ide-ide tersebut yang telah dibuat menjadi sebuah karangan narasi berdasarkan ide-ide yang terdapat dalam clustering. Siswa menyimak setiap langkah yang dijelaskan guru dengan cermat. Guru dan siswa bertanya jawab mengenai langkah-langkah membuat pengelompokan ide (clustering). Ketiga, Secara keseluruhan proses pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi dapat meningkatkan aspek keterampilan menulis. Hal ini terbukti di kelas eksperimen kemampuan siswa secara umum mengalami kenaikan dari nilai rata-rata prates 70,63 menjadi nilai rata-rata pascates 78, 17. Metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi memiliki keunggulan secara komparatif terhadap pelajaran yang biasa digunakan guru dengan menggunakan metode konvensional sehingga metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi mempunyai perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan kelas eksperimen. Dari perhitungan statistik di dapat t hitung yaitu 4,895 dari t tabel di dapat 1,667 karena t hitung > t tabel maka H0 ditolak atau dengan kata lain rata-rata nilai postes kelas eksperimen lebih baik bila dibandingkan dengan rata-rata kelas kontrol, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan yang diberikan kepada kelas eksperimen memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hasil kelas kontrol yang tidak mendapat perlakuan pembelajaran dengan metode pengelompokan ide (clustering). Daftar Rujukan Badudu, JS. 2000. Pelajaran Mengarang Dianaktirikan. Jakarta: tp. DePorter, Bobbi, dkk. 2000. Quantum Teaching Mempraktikan Quantum Teaching di Ruang-ruang kelas. Bandung. Mizan Media Utama. DePorter, Bobbi & Hernacki. 2007. Quantum Learning. Abdurahman, A. Bandung: Kaifa. Hernowo. 2005. Quantum Writing. Bandung: MCL. 66| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Rusyana, Y. 1988. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: cv. Diponegoro. Syamsuddin, A.R dan Vismaia, S. Damaianti. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Trianto. 2007. Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. 67| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer JIWA LIAR SUTARDJI DALAM PUISI “KUCING” (ANALISIS PUISI DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL DAN SEMIOTIK) oleh Yeni Rostikawati, S.Pd. STKIP Siliwangi [email protected] 1. PENDAHULUAN 68| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Kehidupan sifatnya dinamis, senatiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan tersebut tidak lepaas dari interaksi sosial antarindividu sehingga melahirkan suatu budaya. Lahirnya suatu budaya dipengaruhi oleh bahasa dalam proses komunikasi. Dalam dunia komunikasi, peran tanda tidak dapat dipisahkan, karena sebagaimana pendapat Ratna (2013 : 97) bahwa kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Oleh karena manusia disebut juga homo semioticus, maka ada juga manusia yang manafsirkan perjalanan ataupun menggambarkan suatu kehidupan melalui tanda-tanda. Penggambaran kehidupan melalui tanda tersebut salah satunya ada yang dituangkan dalam bentuk karya seni, misalnya puisi. Puisi dikategorikan sebagai karya seni karena mengandung unsur keindahan atau puitis. Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. menurut Pradopo (2007 : 13) sesuatu disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Hal yang menimbulkan keharuan itu bermacam-macam, maka kepuitisan pun bermacam-macam. Sifat puisi yang menimbulkan keharuan itulah yang dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh pembaca, sehingga dapat memunculkan multitafsir. Seorang penyair bebas mengungkapkan perasaan dan menyembunyikan privasi-nya di balik syair-syair yang dikemas apik dan unik. Keunikan itulah, baik unik bentuk ataupun isi, yang membuat sebuah puisi menarik untuk dibahas. Keunikan karya puisi tentunya berbeda-beda sesuai aliran ataupun gaya penyair masing-masing. Adapun dalam makalah ini, penulis membahas karya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Kucing”. Penyair kelahiran 24 Juni 1941 ini memiliki gelar ‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, dan kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi. Karya-karyanya berbeda dari puisi-puisi yang masa itu berkembang. Beliau mencoba keluar dari suatu karya yang bersifat standar sehingga memiliki warna tersendiri. Bagi Sutardji, menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dan mengembalikan kata pada awal mulanya yaitu berupa mantera. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengapresiasi puisi karya Sutardji ini dengan menggunakan pendekatan semiotik dan termasuk juga di dalamnya analisis struktural. Pendekatan semiotik ini dipilih karena puisi Sutardji sarat dengan tanda-tanda bunyi yang tidak dapat dijelaskan maknanya secara harfiah. B. KAJIAN TEORI 1. Biografi Sutardji Calzoum Bachri 69| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Riau, pada 24 Juni 1941. Setamat SMA, putra pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum ini melanjutkan studinya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat masih menjadi mahasiswa di kota berjuluk Kota Kembang itulah, anak kelima dari sebelas bersaudara ini merintis karirnya di dunia sastra diawali dengan menulis di berbagai media massa. Ia mengirimkan sajak-sajak dan esai karangannya ke berbagai media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah Horison, dan Budaya Jaya. Ia juga mengirimkan sajaksajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itulah, nama Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai seorang seorang penyair. Untuk mempertajam kemampuan menulisnya, pada musim panas 1974, ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Terhitung sejak Oktober 1974 hingga April 1975, Sutardji mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian di tahun 1979, Sutardji Calzoum Bachri diangkat menjadi redaktur majalah sastra Horison. Setelah bertahun-tahun bekerja, Sutardji akhirnya memutuskan untuk keluar dari Horison. Pada tahun 2000 hingga 2002, ia menjadi penjaga ruangan seni "Bentara", terutama menangani puisi pada harian Kompas. Karyanya yang pertama dibuat pada tahun 1973 dengan judul O. Tiga tahun setelah dipublikasikan, sajak tersebut mendapat Hadiah Puisi DKJ. Karya Sutadji lainnya adalah Amuk (1977), Kapak (1979), kemudian pada tahun 1981, ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Ada pula kumpulan esai berjudul Isyarat, dan kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam. Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi "Bentara". Selain itu, sejumlah puisinya telah diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (Calcutta), 1976; Writing from the World (Amerika Serikat); Westerly Review (Australia); dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975); dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Di dunia persajakan, ia dikenal dengan ciri khas gayanya yang "edan" saat membacakan puisi yang berbeda dari penyair kebanyakan. Kadang kala ia jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap. Menurutnya,'Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna. Lewat karya-karyanya, suami Mariham Linda ini banyak meraup penghargaan. Pada tahun 1979, ia dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand atas prestasinya dalam dunia sastra. Kemudian di tahun 1988, ia mendapat 70| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia yakni Penghargaan Sastra yang sebelumnya diraih Mochtar Lubis. Ayah satu putri bernama Mila Seraiwangi ini juga kerap mendapat undangan dari berbagai negara. Ia pernah menghadiri Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak; membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia atas undangan Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim; mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN; Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam; serta membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia, pada tahun 1997. Menurut Bung Tardji, menulis baginya adalah panggilan alam. Ia mengakui bahwa di saat menulis ia bisa merasakan kebebasan. 2. Pendekatan Semiotik dan struktural dalam menganalisis puisi Puisi merupakan salah satu karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Aspek kajian puisi meliputi unsur dan strukturnya, jenis atau ragamnya, atau bahkan dari segi kesejarahannya. Untuk memahami makna secara keseluruhan, sajak perlu dianalisis secara keseluruhan. Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsurunsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya. Di samping itu, karena sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotik (Pradopo, 2007 : 118). Senada dengan Pradopo, Culler (1977 : 6) menyatakan bahwa strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Dari kedua pendapat tersebut, semakin memperjelas bahwa analisis semiotika sastra tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. Analisis struktur dalam sebuah karya sastra sangat penting karena karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur tersebut tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya (Culler dalam Pradopo, 2007 : 120). Jadi, untuk memahami sajak, harus memerhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan. Adapun gambaran mengenai analisis semiotik diungkapkan oleh Santosa (1993 : 6), bahwa bahasa merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda dan petandanya. Penanda adalah yang menandai dan sesuatu yang segera terserap atau teramati. Petanda adalah sesuatu yang tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun nonbahasa. Hubungan antara penanda dan petanda terdapat berbagai kemungkinan dalam penggunaan bahasanya. Pemahaman akan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan bahasa akan menjadi 71| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dasar struktur semiosis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam suatu segi pandang. Penanda itu dapat bertindak menggantikan sesuatu, sesuatu itu petandanya. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi seseorang, seseorang ini adalah penafsir. Penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari suatu segi pandangan, segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam komponen dasar semiotika ini akan dikenal empat istilah dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar. Gejala hubungan antara keempat hal tersebut akan menentukan hakikat yang tepat mengenai semiosis sehingga dalam menghadapi berbagai persoalan susastra, baik yang secara wajar berdasarkan konvensi maupun yang tidak secara wajar (penyimpangan kaidah) dapat diatasi dengan baik melalui ancangan semiotika. Jadi, jelaslah bahwa analisis semiotik suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan analisis struktural. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna (Pradopo, 2008 : 108). Kedua jenis analisis tersebut saling memengaruhi karena tanda struktur dalam puisi memiliki makna yang dapat ditelaah oleh pendekatan semiotik. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Telaah Puisi “KUCING” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Pendekatan Semiotik dan Struktural Sutardji memiliki landasan atau dasar keyakinan saat membuat karya puisi, hal tersebut beliau tulis dalam pembukaan puisi “O Amuk Kapak”. Berikut isi kredo puisinya: KREDO PUISI Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan 72| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973 Sutardji berkeyakinan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari aturan-aturan gramatika, ketika kata-kata dibiarkan bebas, maka akan muncul kreativitas yang tak terbatas. Namun, walaupun prinsip Sutardji menulis adalah membebaskan kata-kata, bukan berarti Sutardji menulis karya yang “kosong” tanpa makna. Justru karya-karya yang ditulisnya sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan serta petualangan spiritual dalam memahami hakikat ketuhanan. Salah satu puisi Sutardji yang penulis analisis adalah puisi “Kucing”. Penulis melihat ada makna yang sangat kental dengan kehidupan religi Sutardji dalam puisi ini, walaupun puisi ini bukan satu-satunya puisi yang sarat makna religi. Puisi ini diambil dari kumpulan puisi Sutardji berjudul “O Amuk Kapak”. Berikut syair puisinya: KUCING 73| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Oleh : Sutardji Calzoum Bachri ngiau! Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu kan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau ku cing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar 0 a langkah lapar ngiau berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar ku cingku berapa abad dia mencari menca kar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri da ging jangan beri nasi tuhan mencipta nya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang seha ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi ngiau! Dia meraung dia menge rang hei berapa tuhan yang kalian pu nya beri aku satu sekedar pemuas ku cingku hari ini ngiau huss puss diam lah aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untuk aku ngiau huss puss diamlah 1973 .Dari segi tipografi, puisi tersebut ditulis dengan tipografi tidak beraturan, kesan tidak beraturan atau acak-acakan tersebut penulis maknai sebagai gambaran jiwa yang sedang mengalami kekacauan, kegundahan, dan tak tentu arah. Kekacauan tersebut pasti ada suatu sebab. Oleh karena itu, 74| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer untuk pemaknaan lebih dalam, penulis uraikan dari judul puisi terlebih dahulu. Dalam puisi tersebut ada banyak tanda yang digunakan oleh pengarang. Judul puisi adalah “kucing”, arti kucing secara istilah KBBI adalah binatang semacam harimau kecil yang biasanya dipiara orang atau hewan piaraan. Sifat kucing pada dasarnya liar karena termasuk jenis hewan pemakan daging, suka berburu tikus, pemalas, apalagi ketika kucing tersebut dalam keadaan lapar. Namun, kucing akan menjadi seekor binatang penurut bahkan manja apabila dia dipelihara dengan baik karena kucing merupakan salah satu jenis binatang peliharaan. “kucing” dalam puisi tersebut dapat berupa penanda yang penulis maknai sebagai penggambaran jiwa pengarang yang sedang “kelaparan”. Simbol kucing ini pun digunakan Sutardji dalam puisinya yang lain, di antaranya puisi “Amuk” dan “Ngiau”. Berikut penggalan syairnya. NGIAU “...Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang...” AMUK “...kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba itasatali tutulita...” Simbol “kucing” yang terdapat dalam kedua penggalan syair di atas menurut tafsiran penulis, rujukannya sama yaitu tentang suatu keadaan jiwa seseorang. Pemilihan simbol kucing untuk menggambarkan keadaan jiwa, pasti tidak akan lepas dari suatu makna. Kucing dalam masyarakat selalu identik dengan ‘laki-laki’ gambaran laki-laki yang cenderung memiliki hawa nafsu lebih tinggi, seperti ada istilah dalam bahasa Sunda yaitu “sabageurbageurna lalaki tetep we Ucing!” (sebaik-baiknya lelaki tetap saja dia “kucing”), atau ada juga penggambaran laki-laki seperti “kucing garong” dalam salah satu syair lagu dangdut. Selain itu, simbol “kucing” ini lebih memiliki nilai rasa positif dibandingkan dengan binatang peliharaan seperti anjing atau babi. Seekor kucing liar masih dapat diarahkan jika dipelihara dengan benar dan baik, dibandingkan dengan seekor anjing yang dipandang najis. Nampaknya, dari pemilihan judul tersebut, pengarang ingin menyampaikan bahwa isi puisi tersebut berhubungan erat dengan sesuatu 75| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer yang liar namun sifat liarnya itu dikarenakan suatu sebab sehingga ketika sebabnya itu sudah ditemukan, maka jiwa yang liar karena “kelaparan” tersebut akan kembali tenang. Dalam isi puisi pengarang menegaskan bahwa kucing itu bukan “harimau, leopar, hiena, ataupun singa”, seperti dalam kutipan “...dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing...”. Perbandingan kucing dengan keempat jenis binatang buas tersebut bukan tanpa maksud. Keempat binatang buas tersebut hidup dalam rimba belantara dan tidak termasuk binatang peliharaan karena jarang sekali orang yang tertarik untuk memelihara binatang-binatang tersebut atau dengan kata lain keempat binatang tersebut berbeda dengan kucing dari segi kepemilikan. Dia (kucing yang dimaksud) semacam kucing (yang memiliki sifat liar) namun bukan kucing (yang sifatnya buas seperti harimau, singa, hiena, dan leopar) tapi kucing (yang meronta-ronta kelaparan karena mencari majikan agar dapat makanan). Tokoh dalam puisi digambarkan kelaparan, terlihat dalam penggalan syair “...dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang...”. Tertera secara eksplisit bahwa dia (kucing) lapar dan merambah “rimba afrikaku”. Pengarang menggambarkan dalam dirinya terdapat “rimba afrika”, yaitu suatu rimba/hutan yang ada di Afrika dan hutan tersebut terkenal masih belum banyak manusia yang menjamahnya. Hutan yang dipenuhi banyak pepohonan lebat dan banyak binatang berbahaya/buas di dalamnya, sehingga dapat dibayangkan betapa gelap dan menakutkan keadaan hutan tersebut. Suasana gelap tersebut pengarang gambarkan pada dirinya, bahwa ada sisi gelap dalam dirinya sehingga sisi lain yang digambarkan sebagai kucing terus meronta, mencakar, mengamuk ingin keluar dari kegelapan tersebut. Dari kedua penggalan larik puisi di awal tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kucing adalah gambaran dari jiwa tokoh yang kering kerontang dan kelaparan tanpa petunjuk sehingga liar mencari-cari “majikan” atau “pemilik” (Tuhan) untuk mendapatkan “makanan” jiwa berupa ilmu (agama) di tengah kegelapan dan kehampaan jiwanya. Tokoh dalam puisi merasa kelaparan, namun lapar bukan karena kekurangan makanan (dalam arti sebenarnya), karena dalam penggalan larik, “... jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku...” Si kucing tidak mau roti ataupun daging. Kemudian dalam penggalan tersebut disebut-sebut “Jesus”, Jesus dalam pandangan Islam adalah Nabi Isa a.s. yang dianugerahi mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti yang tertera dalam Alquran surat Ali-Imran ayat 49 berikut: 76| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman. Ungkapan Jesus dalam puisi tersebut menggambarkan seorang yang hebat dan dapat diandalkan karena dalam pemahaman Islam, Jesus adalah seorang nabi, sedangkan dalam pemahaman Kristen, Jesus dipandang sebagai Tuhan yang disembah. Namun, pandangan penulis, ungkapan Jesus dalam penggalan tersebut lebih merujuk pada Nabi Isa a.s. yang memiliki mukjizat, yaitu salah satunya dapat membantu orang yang kelaparan. Dasar penafsiran lain adalah bahwa simbol “roti dan daging” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya materi atau keduniaan. Bukan materi yang dapat menghilangkan rasa lapar “si kucing”, namun sesuatu yang bersifat imateri. Akibat kelaparan tersebut si kucing terus meraung dan meronta hingga merambah “barah darah”. Arti “barah” dalam KBBI adalah bengkak yang mengandung nanah atau bisul, sedangkan “darah” penulis menafsirkannya sebagai simbol kehidupan. Jadi, maksud barah dalam darah adalah suatu cela atau keburukan dalam kehidupan si aku. Jiwa yang kelaparan tersebut terus meronta-ronta dalam kehidupan tokoh yang penuh cela. “Kelaparan” (kekeringan jiwa) yang dialami tokoh dalam puisi akibat terlalu lama dia dalam masa pencarian keyakinan akan Tuhan. Waktu pencarian keyakinan yang panjang tersebut tergambar dalam penggalan syair berikut, “...berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu...”. Dalam waktu yang panjang tersebut dia pada dasarnya berada dalam kegelisahan, dia menyadari betul bahwa apa yang dia rasakan adalah fitrah karena fitrah itu sengaja diciptakan Tuhan tanpa diminta makhluknya. Fitrah yang dimaksud adalah kecenderungan manusia beriman kepada Sang Pencipta. Maksud tersebut tergambar dalam penggalan “...tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk 77| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer tenang di bumi..”. Keadaan yang fitrah itu menuntut untuk merasakan ketenangan walau “sejemput” atau dengan kata lain ‘walau sebanyak yang dapat diambil dengan ujung jari tangan’. Hal tersebut memberikan kesan bahwa jiwa tokoh begitu gelisah dan sangat membutuhkan asupan spiritual. Dalam proses pencarian ketenangan tersebut, tokoh mendapatkan berbagai rintangan tentunya, salah satunya adalah berbagai keyakinan dalam berketuhanan. Berbagai keyakinan terhadap Tuhan tersebut tergambar dalam larik “hei berapa tuhan yang kalian punya”, sehingga gambaran tentang banyaknya Tuhan yang dimaksud adalah gambaran betapa tokoh sedang berusaha keras mencari kebenaran yang akan dia yakini karena dari sekian kepercayaan terhadap Tuhan, tokoh belum menemukan satu keyakinan yang benar-benar dia yakini. Hal tersebut tersirat dari larik yang cenderung bernada ironi yaitu “...beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah...”. Larik terakhir puisi ada satu citraan yang menggambarkan pencarian yang sungguh-sungguh, tokoh aku kembali lagi menelisik jiwanya yang terdalam yang penuh dengan kegelapan yang digambarkan dengan “Afrika, Amazon, dan Riau” dan bahkan di kota-kota sebagai simbol suatu tempat yang menjadi pusat perhatian orang-orang karena kota identik dengan tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Barangkali tokoh menemukan setitik pencerahan yang dia gambarkan sebagai “tuhan”. Penggalan larik terakhir berbunyi, “...aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untukku ngiau huss puss diamlah...”. Namun, tampaknya pernyataan “sekerat untuk kau” itu mengandung makna bahwa apa yang tokoh alami bisa jadi dialami oleh pembaca yang disebut sebagai “kau”. Jika dirunut dari larik awal sampai larik akhir puisi “Kucing” tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa Sutardji menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Muara dari ketenangan itu sebenarnya ada pada keyakinan pada Tuhan atau Allah SWT. dalam analisis ini penulis lebih cenderung melihat keyakinan yang dimaksud oleh Sutardji adalah keyakinan Islam. Dasar yang dijadikan acuan oleh penulis adalah sebuah puisi yang ditulis Sutardji pada masa kekinian. Dalam puisi tersebut tergambar bahwa seorang “Tardji” (disebut dalam lirik) berada dalam titik kepasrahan diri terhadap Allah SWT, mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat semasa muda (termasuk mabuk-mabukan), dan menggantinya dengan perjalanan hidup yang berusaha lurus kepada Tuhan, beribadah dimana saja berada hingga mencapai titik ‘kembali kepada kesucian jiwa’ yaitu ”Idul Fitri” sesuai judul puisinya. Berikut adalah syairnya: 78| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Idul Fitri Lihat Pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia Telah kulaksanakan puasa ramadhanku, telah kutegakkan shalat malam telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang Telah kuhamparkan sajadah Yang tak hanya nuju Ka’bah tapi ikhlas mencapai hati dan darah Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janji-Nya Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya Dan semakin dekat semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu di ujung sisa usia O usia lalai yang berkepanjangan Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illAllah aku pakai sepatu sirathal mustaqim aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat 79| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Dan kurayakan kelahiran kembali di sana D. SIMPULAN Sebuah karya sastra diciptakan dengan estetika dan makna yang mendalam karena berhubungan dengan emosi penulis. Salah satu jenis karya sastra yang memunculkan berbagai interpretasi perasaan/emosi adalah karya puisi. Ada banyak simbol atau tanda yang digunakan dalam puisi untuk menyampaikan sebuah maksud pada penulis. Pemakaian simbol tersebut menimbulkan banyak persepsi sesuai dengan daya analisis tiap orang ketika menginterpretasikannya. Akibatnya, sebuah puisi dapat diinterpretasikan macam-macam oleh pembaca. Namun, semakin multiinterpretasi suatu puisi, maka semakin baguslah puisi tersebut karena semakin merangsang daya analisis pembaca terhadap makna puisi. Adapun karya sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Puisi tersebut ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1973 yang berjudul “Kucing”. Puisi-puisi Tardji beraliran mantra namun begitu sarat dengan kisah-kisah perjalanan hidup sosial maupun spiritual yang semua itu menurut anggapan penulis bermuara pada proses pencarian jati diri penyair. Daftar Pustaka Bachri, Sutardji Calzoum. 1973. O Amuk Kapak:Tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bachri. Bandung : Sinar Harapan. Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2012. Pembebas Kata dari Belenggu. Tersedia di http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/3623sutardji-calzoum-bachri Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa. 80| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 81| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer THE STUDENTS’ DIFFICULTIES IN WRITING THESIS STATEMENT Dini Hadiani Politeknik Manufaktur Negeri Bandung [email protected] ABSTRACT This study is aimed at identifying the students’ ability in writing thesis statement. By implementing descriptive method, twelve students’ texts were analyzed and the focus was on the introduction section of their essays. Interview was conducted to justify the result of students’ text analysis, and also to find out the problems they faced in the process of writing and the possible solutions. The result showed that the main problems were on the grammar rules of the essay and how the ideas were delivered. These were mostly caused by the low capacity of the students’ grammatical competence. It is therefore suggested that the teacher should give various exercises in the use of grammar of essay writing and how the ideas could be delivered well. 82| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Keywords: writing, thesis statement, grammar rules A. INTRODUCTION Writing is a process of organizing and expressing your thoughts. Since writing is a process, there is no one or single manner of writing. However, "experienced writers pass through certain stages that overlap and circle back on each other" (Fowler et.al, 2007). These stages include (1) developing or planning through brainstorming, clustering, free writing, etc., (2) drafting, and (3) revising. In essay writing, the development of ideas is determined by thesis statement. The thesis statement tells the reader what to the essay is about, and what point you, the author, will be making, and as it is stated by Sullivan (1984) “thesis statement or thesis sentence (the terms are synonymous) states the purpose of the composition. It conveys the central or main idea of the composition and often indicates how the main idea will be supported. Ideally, it is a one sentence summary of the whole composition. (Sullivan, 1984:125) Besides having a skill in organizing and developing ideas, a writer should also have a skill in grammar rules. Based on the writer’s experience in teaching writing to the students, the most frequent problems the students face during the process of writing are on the grammar rules. Based on the problems proposed earlier, this study concerns on the followings: 1. What are the students’ difficulties in writing thesis statement? 2. What factors cause the difficulties? 3. What are the possible solutions to overcome the problem? B. THEORETICAL REVIEW As it was explained in the previous section, thesis statement plays a vital role in an essay because its function which informs readers about the contents of the essay and points out the sub-topics that will be developed in it. But, in reality a writer often makes mistakes in writing a thesis statement. As it is stated by Langan (1996:42) who explains the common mistakes people make in writing thesis statement. The mistakes are: (1) It is usually an announcement of a subject, not a statement (2) The statement is either too broad or too specific; and (3) The statement has more than one idea. The explanation shows that writing a thesis statement requires a specific skill and a continuous exercise. The good thesis statements can be seen in the following examples: (1).Women generally live longer than man for two reasons: they tend to take better care of their health, and they have better resistance to stress. (2).Capital punishment should be abolished not only because it deprives another person of life but also because it does not stop crime. (Oshima & Hogue, 1998: 106) 83| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Apart from having the ability to develop ideas into writing, a writer should have a grammatical competence. Canale and Swain in Gao (2001) states that grammatical competence focuses on command of the language code, including such things as the rules of word and sentence formation, meanings, spelling and pronunciation (Gao, 2001). The goal is to acquire knowledge of, and ability to use, forms of expression that are grammatically correct and accurate (Díaz-Rico & Weed, 2010; Gao, 2001). It can be said that someone’s grammatical competence can be seen from his ability in using a language orally or in written. In someone’s writing, we can find out his grammatical competence in his sentences which covers syntax (word and sentence formation, and meaning (semantics). Syntax is the study of the rules that govern the ways words combine to form phrases, clauses, and sentences. Syntax deals with how a linguistic unit is arranged to form a meaningful sentence (Thomas, 1993). There are many clause patterns that can be used to guide someone to make a coherence sentence both syntactically and semantically . To form correct sentences, there are seven types of clauses (Quirk et.al, 1985:53). They are SV, SVO, SVC, SVA, SVOO, SVOC, and SVOA. Subjects (S) are nouns, pronouns, or noun phrase; Verbal (V) are verbs or verb phrase; Objects (O) are noun, pronoun, or noun phrase; Complements (C) are noun/ adjective/ prepositional phrase; adverbs (A) are adverbs or prepostional phrase. To form a subject or object in sentences needs specific noun phrase structure. If the students have difficulties in mastering the rules of forming phrase structures, they will have difficulties in forming a phrase, a clause, a sentence, and a passage. C. METHODS This research analyzed twelve introduction section of essays taken from students’ essays. Before they started writing their essays, the students were given explanation and examples on how to make good thesis statements. The examples can be seen below: 1. My two sisters are as different as day and night not only in their looks but also in their characters. 2. An architect should be both an artist and an engineer. (Oshima & Hogue, 1998: 106) The students were also given the explanation that a thesis statement is a form of statement which is neither too broad nor too specific, and the function is to state a specific opinion of the writer. After having the explanation on how to make a good thesis statement, the students were asked to make a draft of their essays and write the introduction section of their essays. When the students have collected the introduction section of their essays, their writing were analyzed based on their problems in grammatical competence, and the 84| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer development of thesis statements. To justify the data obtained from students’ text analysis, interview was conducted. D. RESULTS AND DISCUSSIONS The students texts were analyzed and then classified based on their difficulties in developing ideas in their essay, and using grammar rules. The result of the students’ text analysis were then justified by the result of interview. 4.1 Results of students’ text analysis The result of students’ text analysis shows that students’ difficulties in writing thesis statement covers two things, they are the difficulties in delivering ideas, and the difficulties in using the grammar rules. 4.1.1 Difficulties in delivering ideas Most students have difficulties in delivering ideas of their writing. It can be seen from the extracts below: 1. Many people like smoking even they know it is bad for our healthy, tobacco is cause of nasty disease, and to stop smoking is so difficult. 2. Playing football is interesting, that is why a lot of people like it, and it is also a cheap game. 3. Maintaning a machine is not difficult if you know the ways because it is not complicated, even it is so simple. Thesis statement (1) has four clauses, therefore the main idea is not clear. This student will have difficulties in writing his essay because of the unclear thesis statement he made. To write an essay, only one of the ideas is needed and he should focus on the idea. The idea that can be developed into essay is reasons why to stop smoking are difficult (to stop smoking is so difficult). In thesis statement (2), the student shoud look for a correct sentence structure so the ideas that he would put forward can be delivered in his writing. If he used this sentence (2) he would have difficulty in developing his writing. It is better if he change his sentence into A lot of people like playing football because it is not only an interesting but also inexpensive game. Similar with thesis statement (1), thesis statement (3) also consists of four clauses. Therefore the writer will be difficult to develop his thesis statement into an essay. It is recommended that the idea that can be developed into an essay is the reasons why maintaining a machine are not difficult (maintaining a machine is not difficult). 4.1.2 Difficulties in using grammar rules The students’ difficulties in using grammar rules are classified into several categories that will elaborated below. 85| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 4.1.2.1 Difficulties in determining singular and plural noun Some students found difficulties in determining the singular and plural nouns. The example can be seen from the extract below. 4. Technology affects almost all of our life’s aspects such as the jobs, educations, and informations. Thesis statement (4) shows that the students used the word ‘informations’ in his sentence. ‘Information’ belongs to the uncountable nouns, so it is always considered singular. Therefore it will not have a form of plural noun by adding a suffix ‘s'. It could be said that this student did not know that the word information is an uncountable noun. It also indicates that this student made a parallelism with other nouns in his sentence such as ‘jobs’ and ‘educations’. The words jobs and education belong to the countable nouns, so they will form either a singular or plural noun. If they form plural nouns, the words are added suffix ‘s’. 4.1.2.2 Difficulties in using determiner and verbs Some students faced difficulties in using determiner and verbs. It can be illustrated by the extract below. 5. By having many knowledges, we can doing many things such as studying, and finding a job easily. The use of determiner many before the noun ‘knowledge’ shows the incorrect use of determiner because the noun knowledge belongs to uncountable things which cannot be formed plural. It should be replaced by determiner ‘much’. Besides that, there is other incorrect use of main verb ‘doing’ preceded modal auxiliary ‘can’ (can doing and finding). This indicates that the student does not know the structure of modal auxiliary that should be followed by bare infinitive (can do and find). 4.1.2.3 Difficulties in parallelism Almost all students found difficulties in parallelism. The examples of thesis statement that are not parallel can be seen from the following extracts. 6. I did many things on my holiday, met many people and happy. In thesis statement (6) the syntax units that are not parallel are ‘met many people and happy’. The student put the adjective ‘happy’ after the conjuction ‘and’ to combine the first idea which is the verb ‘met’. This makes the statement not parallel because what is needed after the conjuction ‘and’ is another form of verb. The correct one is ‘met many people and felt happy’. This indicates that the students did not know how to make the sentences parallel. 7. Running is a kind of sport that makes my body healthier and save money. Thesis statement (7) shows the in parallel of syntax unit which is combined by conjunction ‘and’ (that makes my body healtier and save money). The verb ‘save’ should have a suffix ‘s’ (saves) which makes it parallel with the previous verb 86| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer ‘makes’. This shows that the student did not undertand parallelism so he did not pay attention the other idea in his sentence to make it parallel with ‘makes my body healtier’. 4.2 Result from Interview In general the results from interview support the data obtained from the students’ text analysis. Most students stated that the main difficulty they encountered in writing thesis statement is determining the main idea which will be developed into an essay. They often mixed many ideas into one sentence, therefore it made them difficult to develop their ideas. The main problem of determining ideas that will be developed into an essay can be found from the following extracts: (1). I often have several ideas that I would like to deliver in my thesis statement, but then I am confused which idea that can be developed into an essay (R2). (2). I know that to make a thesis statement needs main idea that will be developed into an essay, but I always feel difficult to determine the main idea.(R5). (3). I know the theory of making a thesis statement but I have a difficulty in making a good thesis statement (R7) (4). In my opinion thesis statement is important because it consists of main idea that will be developed ito an essay. I will have no difficulty if I could find the main idea that will developed (R1). The extracts show that most students still have difficulties in making thesis statement especially when they have to determine the main idea that will be developed into an essay. It indicates that they still have low capacity in making the thesis statement. It is therefore recommended for teacher to give explicit teaching about how to make a good thesis statement. The students should also be guided by being given a lot of exercises about making a good thesis statement. Reffering to the students’ difficulty in grammatical competence, the following extracts are taken from the students’ responses. (1) When I was asked to make a sentence, I always had difficulty in determining the correct form noun whether it is singular or plural (10). (2) I am always confused when to use articles a, an, the, much dan many (R11). (3). I did not know when to use the correct form of verb/ tense (R12). The extracts show that some students have difficulty in determining and applying grammatical rules in their writing. This mostly caused by their limited capasity in 87| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer understanding the grammatical rules. It is therefore recommended for teacher to give explicit teaching in terms of grammar rules. 5. CONCLUSIONS Based on data obtained from students’ text analysis and interview, it can be concluded that the students’ difficulties in writing thesis statement are in terms of delivering ideas and implementing the correct grammar rules. These are mostly because they do not have clear understanding in grammatical competence to be able to make a good thesis statement that can be developed into an essay. The students’ difficultes in delevering ideas could be caused by their low capacity in determining a specific main idea that will be developed into an essay. The students’ difficulties in terms of grammar rules include the difficulties in using singular and plural nouns, determiner, verbs, and parallelism. These could be caused by the students’ low capacity in using the grammarrules in their writing. Based on the findings and discussions, it is advisasble for teacher to do many things to solve the students’ difficulties in writing thesis statement. Giving students explicit teaching about the theory of making good thesis statements should be done regularly. The teacher should also know factors that cause the students’ difficultes in making thesis statement, so he will be able to find solutions for the problems. The teacher should pay attention to improve the students’ understanding in writing a good thesis statement not only in terms of grammar rules , but also in terms of delivering their ideas by focusing on one specific main idea that will be developed into an essay. 5. REFERENCES Blanchard K. and Root C. (2004). Ready to Write. Longman. New York. Díaz-Rico, L. T. & Weed, K. Z. (2010). The crosscultural, language, and academic development handbook: A complete K-12 reference guide (4th ed.). Allyn & Bacon.Boston. Fowler, H Ramsey et. al. The Litle, Brown Handbook. 10eds. Longman. New York Gao, C. Z. (2001). Second language learning and the teaching of grammar. Education, 2, 326- 336. Langan, J. (1996). College Writing Skills. The McGraw-Hill Companies Inc. New York Oshima, A and Hogue, A.(1998). Writing Academic English Third Edition. Longman. New York. 88| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Quirk, R, et al (1985). A Comprehensive Grammar of The English Language. Longman. London. Sullivan, Kathleen (1984). Paragraph and the short composition. London: Collier Macmillan publishers. Thomas, Linda (1993). Beginning Syntax. Oxford: Blackwell Publishers Ltd 89| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer THE USE OF REFUSAL STRATEGIES IN WORK PLACE SETTING IN STIA LAN BANDUNG Khaerunnisa S.pd Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] ABSTRACT This study was conducted to find out the refusal strategies in work place setting by 10 employees of STIA LAN Bandung. The questionnaire used was Discourse Comprehension Test (DCT) developed by Beebe et al (1990) in 12 different situations. The participants were asked to refusing 12 different situations to someone who comes from higher, equal, and lower status. The findings of this study show that the participants mostly used indirect strategies in refusing someone’s request depend on the status in the work place. The findings also shown that the participants use 6 different strategies relate with ‘saving face’ and the highest percentage is regret strategy and the lowest percentage is ‘other’ strategy. In conclusion, the participants 90| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer use different strategies; direct strategies to the lower status and indirect strategies to the equal and higher status. Keywords: refusal strategies, Discourse Comprehension Test 1. INTRODUCTION Most people have difficulties in refusing someone’s order, especially in workplace setting. The difficulties happened because of the situation and the power relation between people in the work place. Besides the situation and the power relation, politeness also takes place. According to Brown and Levinson (1987) politeness is one of the most important symbolic values to be socialized in our daily encounters as all cultures value politeness. Politeness theory as proposed by Brown and Levinson (1987) provides one perspective on face work and face-threatening acts. Politeness is defined as behavior which takes into account a person’s “face needs”, a concept which derived from the work of Goffman (1967) and developed by Brown and Levinson (1987). According to Brown and Levinson’s theory (1987), politeness involves showing concern for two different kinds of face needs. First is negative face needs, or the need for privacy and distance from others, and second, positive face needs, the need to be approved of, liked, and admired. Relate with “face needs”, many investigations have been conducted about the strategy of refusing as a politeness strategy or an attempt to ‘save face’ when refusing, e.g. Beebe et al, 1990; Nelson et al, 2002; Johnson, Roloff, et al 2004. In ‘saving face’ person do in different ways, especially when he or she is in the workplace setting. This study investigates the using of refusing strategy as a politeness strategy in workplace by employee in workplace. 2. METHODOLOGY Subject The participants of this study were 10 employees of STIA LAN Bandung. The participants were given a questionnaire consist of 12 situations, where in each situation, the participants should made a refusal to someone in higher status, equal status, and lower status in working situation. Procedure All the participants were asked 12 different situations in a questionnaire in a form of Discourse Completion Test (DCT). The DCT is a form of questionnaire depicting some natural situations which the participants are expected to respond making refusals. This test was originally designed by Blum-Kulka in 1982. The questionnaire used in this study was divided into twelve different situations 91| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer where the situation was based on the refusal made to someone in higher status, equal status and lower status in work place situation. Data Analysis The data collected through the Discourse Completion Test are analyzed based on independent examination of each response. The answer to the questions filled in the questionnaire by the participants have been conceived based on their values, understanding of social contexts, rules, and appropriateness (cited in Okto 2006) which would most likely be the basis of their actual responses. The data analysis was conducted by marking each answer with the classification of strategies suggested by Beebe et al:1990 (cited in Okto, 2008). The classification categories are: 1. Direct refusal (e.g., I can’t, I don’t want to, no) 2. Indirect strategies a. Reason (e.g. I have another appointment, I have to finish my homework) b. White lie; A reason which is not in accordance with the true reason or situation given in the DCT c. Consideration of interlocutor’s feelings (e.g., thank you) d. Suggestion of willingness (e.g., I’ll do it next time, make it next time) e. Suggestion (of solution) (e.g., why don’t you ask B? I think he’ll love togo. You can try and get a loan from the bank) f. Let interlocutor (e.g., it’s ok, don’t bother) g. Statement of regret (e.g., I’m so sorry) h. Hedging (e.g., oh, I’m not sure) i. Statement of Principle (e.g., I don’t believe in dieting) j. Criticize the request/requester (e.g., you know I don’t like jazz, why did you buy me a ticket?!) k. Request (e.g., I’m sorry I can’t watch the concert, but may I have the ticket and give it to my sister? Or I’m sorry, I am not interested in Multi level marketing, can you just loan me some money?) l. Other (e.g., wah, waduh, walah, aduh, particles used to intensify surprise, appreciation or criticism) Then, I coded the answer using those categories and I percentage it. The table of calculations uses to reveal the similarities and differences in refusal strategies used by the participants when they are make refusal to the same or different status. 3. FINDINGS AND DISCUSSIONS Table 1 Direct and Indirect Strategies used in refusal in workplace setting Participants Direct Refusal Indirect Refusal 92| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 10 Employees 9.72% 82.37% From the table above, we can see that most participants were used indirect strategies in refusing in work place setting. In the table 2, it clearer that the highest percentage of indirect strategies used is the strategy in showing regret. It is similar to the findings on Nelson et al (2002) as cited in Okto (2006) on Americans, most Indonesian respondents use expressions of regret such as ‘maaf’ (I’m sorry), ‘sori banget’ (I’m so sorry) as a ‘Face-saving’ strategy when refusing. In Nelson et al findings, Egyptians and Americans primarily use five indirect strategies in refusing. But in this study, the participants used 6 indirect strategies; regret, reason, suggestion of willingness, suggestion of solution, requesting, and the last is ‘other’, which is the highest indirect strategies is in showing regret, and the lowest strategy used is ‘other’ strategy. The Direct Strategies Used As seen in the table 2 (appendix), the participants less in using the direct strategies. speakers use direct strategies when they refuse the request from the interlocutor who comes from lower status. The speaker uses his or her power to refuse the request directly. As cited in Aziz (2000) the term relative power refers to the degree of power which a speaker can impose on a hearer. According to Brown and Gilman “one person may be said to have power over another in the degree that he is able to control the behavior of the other. Power is a relationship between at least two persons, and it is nonreciprocal in the sense that both cannot have power in the same area of behavior” (1960:255). e.g. Situasi 3 Kerjakan saja sendiri! (Do it yourself!) Saya ga bisa bantu, lagi ada pekerjaan, sibuk! (I can’t help you, I have work to do, I’m busy) Coba saya lihat, wah ini sih gampang! Kamu kerjain sendiri aja ya. Saya mau pulang klo sekarang. (May I see, oh it is very easy! Do by yourself. I want to go home now) The Indirect Strategies Used First Strategy: Regret Most the participants use expressions ‘maaf pak’, ‘duh, sori..’to express apologize before they refuse the request. e.g. Situation 1 ‘maaf, Pak’ 93| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer (Sorry, Sir). Apakah pekerjaan ini boleh saya kerjakan dirumah? Karena saya ada acara yang sangat penting. (Can I do this job in my house? Because I have an important occasion) From this example, it can take conclusion that the participants use expression of apologize before they do refusal. An expression of regret, helps people to ‘save face’ when refusing since the interlocutor may not interpret the refusal as a rejection. Usually, after the speaker use ‘maaf’ (sorry), the speaker followed the expression by given an explanation to the interlocutor. The Second Strategy: Reason In general, giving reason is the most strategy used in refusing the interlocutor’s request. Giving reason is considered very important when refusing. Most participants used giving reason strategy in refusing the interlocutor’s request. e.g. Situation 7 Sebenarnya saya akan membayar tagihan telepon dan harus hari ini dibayarkan karna dah nunggak selama 2 bulan dan kalau tidak dibayar hari ini jalur telepon akan dicabut. (Actually I’m going to pay the telephone bill and it should be paid today because it hasn’t been paid for 2 months and if I don’t pay today it will be disconnected) The Third Strategy: Suggestion of Willingness The fourth most frequently used among the participants is communicating willingness. e.g. Situation 8 Seandainya saya bisa membantumu. Untuk saat ini saya belum bisa membantumu. (I wish I can help you. But for now, I can’t help you) In this strategy, the participant use expressing of willingness to ‘save face’, because it is important for the speaker to give understanding to the interlocutor that the refusal is caused by the speaker’s inability to fulfill the interlocutor’s request. The Fourth Strategy: Suggestion of Solution In this fourth strategy, the participants refuse the interlocutor’s request by giving solution to the problem. Most the participants seen the suggestion of solution as the effective strategy in refusing the interlocutor’s request without losing ‘face’. e.g. Situation 3 94| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Saya harus segera pulang, jikalau anda mengalami kesulitan dalam mengerjakan rancangan project ini, coba anda minta bantuan rekan anda ya! I need to go home now, if you find some difficulties in doing this design project, please try to ask for help to your partner! The Fifth Strategy: Requesting This indirect strategy used by the speaker to avoid directly says ‘no’ to the interlocutor’s request, so the speaker pretends not understand of the interlocutor’s request. As Aziz (2000) said that the speaker uses this strategy generally as a means of ensuring whether or not what he/she has heard is correct. e.g. Situation 9 Untuk apa? (For what?) Penting ga pak? (Is it important?) The Sixth Strategy: ‘Other’ This strategy mostly used discourse marker or pragmatic particle such as ‘wah, ah, aduh, waduh, ihh, idih.’ Beside that, the speaker sometimes uses their mother language in refusing the interlocutor’s request when the speaker feels he/she has close relationship. e.g. Situation 8 Waduh,,saya lagi gak ada uang nih. Coba pinjem ke yang lain. (Oh..I don’t have any money. Please try to somebody else) Percanten ah bapak mah.. (I believe in you..) The word ‘waduh’ does not change the meaning of the response, as any pragmatic particle does (Holker, 1991 as cited in Okto, 2006). It adds an expression of emotion of the speaker to the interlocutor that may intensify the degree of regret or surprise. The mother language used by the speaker as a response in refusing interlocutor’s request also seen as one of the close relationship between the speaker and the interlocutor. 4. CONCLUSION In refusing, especially in work place setting, people use different strategies. Most people use indirect strategies to interlocutor who comes from higher status, but for interlocutor who come from equal status or lower status, the speaker use direct strategies. The highest strategy used by the participants in this study is expression of regret, where most Indonesian, and participants in particular to express their regret or to apologize before they refuse the requests or offers. 95| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer The last strategy used by the participants in this study is ‘other’ strategy. In this strategy, the participants used particle expression to show their uncertainty of their response. This strategy also shows that the speaker is unable to refuse directly. The findings show that direct refusals may not always be interpreted as impolite, since in some cases the degree of politeness are varies depend on the intonation, context, and the degree of closeness of the speaker and the interlocutor relationship. 5. REFERENCES Aziz, E. Aminudin. (2000). Refusing in Indonesian:Strategies and Politeness Implications. A Disertation. Monash University:Australia. Brown, P. and S.C. levinson. (1987). Politeness, some Universals in Language Use. Cambridge University Press: Cambridge. Jaworowska, Joanna. (2010). ‘Speech Act Theory’. In http://instructional1.calstatela.edu/lkamhis/tesl565_sp04/troy/spchact.ht m Accessed on 7th of Mei 2010. 96| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 97| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer \ 98| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DALAM PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN ARGUMENTASI Dr. Hj. Teti Sobari, M.Pd. STKIP Siliwangi [email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan peningkatan kemampuan menulis karangan argumentasi siswa SMK. Menulis merupakan aktivitas yang membutuhkan aktivitas dan kreativitas berfikir. Model yang dapat menumbuhkan aktivitas dan kreativias berfikir adalah metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Teknik jigsaw adalah suatu teknik pembelajaran yang menekankan pada aspek kerjasama dengan pola belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang yang anggotanya dipilih secara heterogen. Siswa bekerja sama saling ketergantungan secara positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode quasi eksperimen dengan ujicoba metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran menulis paragraf pada karangan argumentasi. Dengan rancangan penelitian Preetest-Posttest With Control Group Design yaitu memberikan suatu perlakuan kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol. Hasil penelitian membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw efektif digunakan dalam pembelajaran menulis karangan argumentasi. Model ini juga dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan argumentasi siswa SMK Kata kunci: karangan argumentasi, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw I. Pendahuluan Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. mempunyai kelebihan dari makhluk lainnya yaitu dapat berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi merupakan alat yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa dapat bertukar informasi, bertukar pikiran, saling berbagi pengalaman, dan dapat saling belajar antarsatu dengan lainnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan bahasa pula manusia dapat mengekspresikan diri dalam lingkungan kehidupan sosialnnya. Kualitas pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih dikatagorikan sebagai negara yang kualitas pendidikannya rendah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam pendidikan yaitu masalah peningkatan kualitas pendidikan. Upaya-upaya yang selalu menjadi bahan penyempurnaan adalah kurikulum, peningkatan kualifikasi guru, penataran-penataran, penyempurnaan pengelolaan sistem pendidikan, dan pengadaan bahan ajar. 99| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Segala upaya yang dilakukan itu bermuara pada peningkatan kualitas proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan lulusan yang bermutu. Bidang garapan penelitian ini adalah proses pembelajaran, yakni proses pembelajaran keterampilan menulis di SMK. Model pembelajaran yang digunakan adalah model kooperatif tipe jigsaw yaitu suatu pembelajaran kelompok yang melibatkan setiap anggota kelompok untuk mengerjakan tugas tertentu yang dikerjakan dalam kelompok ahli (expert group) dan disosialisasikan pada kelompok asalnya (home group). (Achyar, 1998:31). Tugas yang diberikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah tugas menulis karangan argumentasi. Lingkup menulis dibatasi pada pengertian menulis karangan argumentasi. Keterampilan menulis adalah kemampuan menulis dengan cara mengembangkan konsep, pikiran, dan pendapat dalam suatu karangan argumentasi. Karangan argumentasi adalah suatu bentuk karangan yang berisikan uraian yang disertai alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Efektifkah model pembelajaran keterampilan menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw pada siswa kelas 2 SMK ? 2) Apakah pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw lebih efektif daripada pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori? 3) Seberapa besar perbedaan peningkatan hasil belajar siswa dalam menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran ekspositori? 4) Apakah kualitas pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berlangsung lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori ? Tujuan penelitiannya adalah ingin mengetahui 1) keefektifan model kooperatif tipe jigsaw dalam meningkatkan keterampilan menulis karangan argumentasi daripada pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori, 2) hasil belajar siswa dalam menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, 3) kualitas pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II. Tinjauan Pustaka Teori konstruktivisme adalah teori yang melandasi pembelajaran kooperatif. Pada dasarnya pendekatan kontruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan mentranformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada, dan merevisinya bila perlu (Soedjadi dalam Widada, 1999 : 24). Dengan demikian guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya 100| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar. Pendekatan konstruktivisme lebih mengutamakan siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan baru kemudian dengan petunjuk guru diharapkan dapat menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana atau keterampilan dasar yang dituntut. Sehubungan dengan hal tersebut Berg ( 1991:12) menyatakan bahwa menurut teori konstruktivisme, materi atau pelajaran baru harus disambungkan dengan konsepsi awal siswa yang sudah ada atau membongkar konsepsi lama dan membangun kembali (jika konsepsi terlalu menyimpang dari konsep ilmuan). Oleh karena itu, dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, mempelajari pokok bahasan baru dimulai dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerangkan ide-idenya agar mereka lebih sadar mengenai konsep yang dimilikinya. Kemudian masingmasing konsepsi siswa dikembangkan ke arah yang benar. Dalam meluruskan konsepsi awal siswa yang salah atau menyimpang dari konsep yang benar, kadang-kadang perlu diperhatikan materi prasyarat yang dimiliki siswa sehubungan dengan materi yang akan dipelajari Model pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak (dalam Ratna W.D., 1988:181). Guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator yang menjembatani siswa ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang melaluinya (Slavin, 1994). Dengan demikian guru tidak sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa diberikan kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam menerapkan ide-ide mereka. Agar siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Piaget dan Vygotsky mengemukakan adanya hakikat sosial dari proses belajar dan juga mengemukakan tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual. Piaget menekankan bahwa belajar adalah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Oleh karena itu belajar adalah tindakan kreatif dimana konsep dan kesan dibentuk dengan memikirkan obyek dan peristiwa dan bereaksi pada obyek dan peristiwa tersebut. Pandangan Piaget (dalam Dahar, 1996 : 150) menyatakan bahwa struktur kognitif (skema) terbentuk pada waktu seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Skema berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan 101| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer equilibrasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan skema yang sudah ada untuk menghadapi pengetahuan baru yang diterima. Vygotsky (dalam Paul S., 1997:45) belajar merupakan pengembangan suatu pengertian, baik pengertian spontan maupun pengertian ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang diperoleh dari pengalaman seseorang terhadap fenomena alam sehari-hari biasanya diperoleh di luar sekolah. Pengertian ilmiah adalah Pengertian yang didapat dari sekolah dan sifatnya logis. Proses belajar merupakan perkembangan dari pengertian spontan menjadi pengertian ilmiah Pengertian ilmiah tidak datang dalam bentuk “barang jadi” terhadap seseorang tetapi pembentukan pengertian ilmiah memerlukan kemampuan intelektual dari orang tersebut (Vygotsky dalam Paul S., 1997). Oleh karena itu, seseorang memerlukan proses berpikir. Alat yang digunakan dalam proses berfikir adalah bahasa. Bahasa lahir dari aspek sosial seseorang. Bahasa dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh diri sendiri dan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Seseorang akan terus berusaha untuk mengungkapkan suatu pengertian melalui bahasa yang sesuai sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain. Melalui interaksi verbal dengan “orang dewasa”, seseorang ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontannya. Dalam kesempatan itu ia akan berusaha merekonstruksi pengetahuannya yang lebih sesuai dengan konstruksi “orang dewasa”. Proses pembentukan pengetahuan seperti ini disebut dengan proses eksternal. Pandangan konstruktivisme Piaget dan Vygotsky dapat berjalan berdampingan dalam proses belajar. Konstruktivisme Piaget menekankan pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman yang dimiliki orang tersebut, sedangkan konstruktivisme Vygotsky menekankan pada interaksi sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari lingkungan sosialnya. Kerangka pemikiran ini dapat dituangkan dalam bentuk bagan seperti pada Gambar 1 Kemampuan Individual Bahasa Interaksi Sosial Belajar Proses Eksternal 102| Proses Internal Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Gambar 1 Proses Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme ( Sumber : Lorning, 1993) Berkaitan dengan karya Vygotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivis menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar. Von Glasesfeld (dalam Suparno, 1997 : 63) berpendapat bahwa dengan melalui kelompok belajar memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif membuat abstraksi. Kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan siswa kepada teman akan membantunya untuk melihat sesuatu dengan lebih jelas bahkan melihat ketidaksesuaian pandangan mereka sendiri. Model Pembelajaran Kooperatif Suatu model pembelajaran perlu direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Dahlan, 1990 : 21). Menurut Slavin (dalam Lasmawan, 1997 : 10) belajar kooperatif (cooperatif learning) merupakan model pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Struktur pembelajaran kooperatif mengembangkan sistem tutor sebaya (peer tutoring) diantara sesama anggota kelompok, karena sistem ini membantu siswa memahami materi pelajaran yang lebih memungkinkan, melalui bimbingan dan penjelasan rekannya yang secara psikologis dapat meningkatkan interaksi diantara sesama anggota kelompok Partnershif (mitra belajar) merupakan pola hubungan antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran kooperatif, artinya guru dan siswa sama-sama sebagai manusia yang aktif mengupayakan peningkatan pengertian dan pengorganisasian pengetahuan. Oleh karena itu, peran guru dalam model pembelajaran kooperatif lebih dominan sebagai organisator dan fasilitator. Stahl (1994 : 25) menyatakan cooperatif learning dapat meningkatkan belajar siswa menuju belajar yang lebih baik dan dapat meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Dengan demikian, diskusi kelompok dengan teman sebaya efektif dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar siswa. Johnson dan Johnson (dalam Lie, 1999 : 30) mengemukakan empat dasar dalam belajar kooperatif yaitu a. Saling ketergantungan 103| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Dalam interaksi kooperatif guru menciptakan suasana belajar yang mendorong anak-anak untuk saling membutuhkan. Interaksi yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif b. Interaksi tatap muka Dalam interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien c. Akuntabilitas individual Dalam kelompok belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk memberikan andil bagi keberhasilan kelompoknya d. Keterampilan menjalin hubungan interpersonal Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggang rasa, bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide orang lain, berani mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang bermanfaat untuk menjalin interpersonal secara sengaja diajarkan dan dilatihkan Berdasarkan lima komponen dasar dalam pembelajaran kooperatif diharapkan siswa memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu dan sebagai anggota kelompok untuk bekerja sama pada suatu tugas untuk mencapai tujuan bersama. Belajar kooperatif (cooperatif learning) merupakan salah satu strategi belajar alternatif yang merupakan perbaikan dari kelemahan pengajaran klasikal, tujuannya adalah : 1) memberi kesempatan setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; 2) mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong royong dalam kehidupan; 3) mendinamiskan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian kelompok yang unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang perlu ditanamkan pada siswa sebagai berikut : a) para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama-sama” b) para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam memperlajari materi yang dihadapi c) para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua harus memiliki tujuan yang sama d) para siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompok e) para siswa akan diberi suatu evaluasi atau penghargaan yang akan berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok f) para siswa akan diberi pertanggungjawaban individual, tentang materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif (Lundgren, 1995) 104| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Beberapa hal yang perlu dimunculkan dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif adalah (1) menciptakan suasana belajar yang bebas dan terbuka, agar siswa merasa leluasa dalam mengemukakan ide atau gagasan, (2) memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan bebas bertanya kepada sesama teman dengan dasar saling menghormati dan tanggung jawab, (3) guru memberikan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena alam dan kehidupan sehari-hari yang erat hubungannya dengan materi yang sedang dipelajari, (4) guru memberi tugas lembar kegiatan siswa (LKS) sebagai pedoman siswa dalam menggali gagasan, dan (5) memberikan pujian kepada kelompok yang menunjukkan kerja sama yang baik. Pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya antara lain (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep sendiri dan memecahkan masalah, (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk kreativitas dalam melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya, (3) membiasakan siswa untuk bersikap terbuka namun tegas, (4) meningkatkan motivasi belajar siswa, karena interaksi yang borkembang adalah siswa dengan siswa. (5) membantu guru dalam pencapaian tujuan pembelajaran karena langkah-langkah pembelajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah, (6) mendorong inovasi guru untuk menciptakan media pengajaran, karena media begitu penting dalam pembelajaran kooperatif. Sedangkan yang menjadi kelemahannya adalah (1) diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan diskusi, (2) seperti belajar kelompok biasa, siswa yang pandai lebih banyak menguasai jalannya diskusi, sehingga siswa yang kurang pandai kurang kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, (3) siswa yang tidak biasa dengan belajar kelompok merasa asing dan sulit untuk bekerja sama. Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil. a. Penghargaan kelompok Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan b. Pertanggungjawaban individu Keberhasilan kelompok tergantung pada pertanggunjawaban individu dari semua anggota kelompok. Adanya pertanggungjawaban secara individu, menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya, tanpa bantuan teman sekelompoknya c. Kesempatan yang sama untuk berhasil Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya (Slavin, 1995 : 6) Arend (1997:111) mengemukakan tujuan pengembangan model pembelajaran kooperatif yaitu untuk mencapai prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan 105| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer dan pengembangan keterampilan sosial. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif siswa harus dilatih terlebih dahulu tentang keterampilan kooperatif, karena keterampilan kooperatif itu berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antaranggota kelompok, sedangkan pelaksanaan tugas dilakukan dengan membagi tugas antaranggota kelompok selama kegiatan berlangsung. Dengan demikian, cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu perilaku bekerja membantu sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok terdiri dari dua orang atau lebih dengan keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap individu dalam kelompok itu sendiri. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Istilah jigsaw dalam bahasa Inggris adalah gergaji ukir atau juga disebut sebagai puzzle yaitu teka teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji, yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri (Lie, 1999:73). Siswa bekerja dengan sesama anggota kelompok dalam suasana kooperatif dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah infomasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikannya kepada anggota kelompok yang lain. Gambaran pelaksanaan model belajar kooperatif yaitu siswa diberi soal terdiri dari topik soal yang berbeda untuk masing-masing anggota kelompok. Setelah setiap anggota kelompok selesai membaca, siswa dari kelompok yang berbeda bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik yang diberikan selama kurang lebih 30 menit, kemudian ahli-ahli tersebut kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan hasil diskusinya. Pengertian karangan argumentasi Karangan argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain agar mereka percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh penulis atau pembicara (Keraf, 2001:3). Karangan argumentasi pada pengertian tersebut bertujuan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara mengemukakan bukti konkret atau faktual sesuai dengan kenyataan sehingga pembaca akan terpengaruh dan percaya terhadap apa yang dikemukakan oleh pengarang. Rusyana (1986:30) mengemukakan bahwa karangan argumentasi disebut karangan hujan adalah karangan yang mengutarakan alasan untuk membuktikan sesuatu dengan maksud meyakinkan pembaca akan sesuatu atau mendorong untuk 106| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer berbuat sesuai dengan keyakinan itu. Karangan argumentasi adalah suatu bentuk tulisan yang mengandung inferensi, implikasi, dan evidensi yang bertujuan mempengaruhi sikap, keyakinan, dan pendapat pembaca agar bertindak sesuai keyakinan penulis. Ciri-ciri karangan argumentasi Sesuai dengan pengertiannya maka untuk membedakan karangan argumentasi dengan karangan lainnya dapat dilihat dari ciri-ciri karangan argumentasi berikut ini. a. Berisi argumen-argumen sebagai upaya pembuktian dalam mempertahankan atau menyanggah suatu pendapat atau sikap b. Bertujuan meyakinkan pembaca agar mengikuti apa yang dikemukakan penulis c. Menggunakan logika atau penalaran sebagai landasan berfikir d. Bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi e. Bersifat mendesakkan pendapat atau sikap kepada pembaca f. Merupakan bentuk retorika yang sering digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah 3. Syarat-syarat karangan argumentasi Untuk menghasilkan karangan argumentasi yang baik, penulis perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu : Harus mengetahui benar pokok persoalan yang akan diargumentasikan berikut argumen-argumennya Harus berusaha mengemukakan permasalahan dengan sejelas-jelasnya sehingga mudah dipahami pembaca Menggunakan kata-kata denotatif dan susun dalam kalimat efektif sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk mencapai logis dan benar Evidensi, baik bukti, contoh atau alasan-alasan harus dikemukakan berdasarkan logika atau penalaran budi akal sehingga tersusunlah sebuah karangan argumentasi yang logis dan sistematis 3. Langkah-langkah karangan argumentasi Menurut Rusyana dalam materi pokok keterampilan menulis, langkahlangkah menulis karangan argumentasi adalah : 1) Memilih menentukan pokok pembicaraan 2) Merumuskan pokok kalimat yang jelas dan membuat garis besar 3) Menetapkan tujuan 4) Mengumpulkan bahan yang berupa fakta, keterangan, kesaksian orang lain / ahli, dan lain-lain 5) Mempelajari pustaka, membuat catatan, kutipan, dan lain-lain 6) Menganalisis, menguji, membandingkan, menghubung-hubungkan fakta keterangan, kesaksian, catatan, kutipan, menguraikan, dan menyusun karangan dengan menarik dan logis, serta membuat kesimpulan atau ringkasan. 107| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer 7) Membuat ulangan naskah karangan argumentasi guna perbaikan dan penyempurnaan (Rusyana, 1986:423) Berdasarkan langkah-langkah menulis karangan argumentasi maka dapat dirumuskan sebagai berikut 1) memilih dan menentukan topik atau pokok pembicaraan 2) menentukan tujuan 3) mengumpulkan bahan 4) menyusun kerangka karangan 5) menyusun karangan (mengembangkan kerangka karangan menjadi sebuah karangan) III. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen kuasi yaitu metode penelitian yang menekankan pada aspek ujicoba pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam pembelajaran menulis karangan argumentasi. Rancangan atau desain penelitian Preetest-Posttest With Control Group Design yaitu memberikan suatu perlakuan kepada subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelas kontrol yang digambarkan sebagai berikut Kelompok Pretest Perlakuan Post test A 01 T 02 B 01 02 (Fraenkel & Wallen, 1990; 122) Keterangan : X1 = kelompok eksperimen X2 = kelompok kontrol 01 = pretest dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal dan siswa tentang kemampuan menulis karangan argumentasi T = Setelah ada gambaran kemampuan menulis siswa kepada subjek penelitian diberi perlakuan berupa pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah penerapan desain pretest dan postest group di atas adalah sebagai berikut: 1. Tes awal (pretest) merupakan test keterampilan menulis karangan argumentasi yang diberikan kepada kelas eksperimen, untuk mengetahui kemampuan awal siswa (01) sebelum diberi perlakuan. 2. Memberi perlakuan (T) terhadap subjek penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dengan prosedur pembelajarannya sebagai berikut: a. Kelas dibagi-bagi atas kelompok-kelompok kecil, terdiri dan 4 atau 6 orang siswa gabungan dari siswa yang pandai, sedang, dan kurang pandai. Kelompok yang terbentuk ini disebut home group (kelompok asal) b. Kepada anggota kelompok yang bernomor sama, diberi tugas untuk 108| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer melakukan suatu kegiatan; menjawab soal pilihan ganda dan uraian pada lembar kerja siswa. Dengan adanya tugas ini, maka anggota kelompok yang bernomor sama akan membentuk kelompok baru yang disebut expert group (kelompok ahli). Waktu yang diberikan kepada expert group untuk menyelesaikan tugas ini hanya 15 menit. c. Setelah bekerja di expert group kemudian kembali ke home group untuk menyampaikan kepada rekan sekelompoknya. Mereka diskusi / tukar pengalaman selama 45 menit. Selama siswa diskusi, guru berperan sebagai observer dan fasilitator, mengawasi anggotaanggota kelompok agar semuanya aktif, serta mengarahkan mereka di dalam belajar. Pembelajaran kooperatif dilaksanakan selama tiga pertemuan (satu pertemuan = dua jam pelajaran = 90 menit) d. Di setiap akhir pertemuan, siswa diberi soal keterampilan menulis karangan argumentasi untuk mengetahui tingkat penguasaan keterampilan menulis karangan argumentasi. 3. Setelah pembelajaran keterampilan menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw kemudian dilaksanakan tes akhir (post test) untuk mengetahui hasil belajar siswa sebagai efek penggunaan model pembelajaran kooperatif Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Teknik Tes Jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan bentuk soal uraian dan soal objektif pilihan berganda dengan empat alternatif jawaban. Teknik tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa atau hasil belajar siswa dalam menulis paragraf dengan menggunakan model jigsaw di kelas eksperimen. b. Observasi Observasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas pembelajaran menulis paragraf dengan menggunakan model jigsaw. c. Angket Angket yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket respon siswa Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh karangan siswa kelas X SMK PGII 2 Bandung yang terdiri dari 4 kelas dengan jumlah siswa 163 orang. Sampel penelitian ini diambil secara acak dua dari 4 kelas paralel yang ada di SMK PGII 2 Bandung. Kemudian dari dua kelas yang dipilih diadakan undian secara acak, selanjutnya ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Diperoleh kelas 2-1 sebagai kelas eksperimen dan 2-3 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen (2-1) sebanyak 40 orang sedangkan kelas kontrol (2-3) sebanyak 42 orang. Dari 4 kelas paralel, satu kelas termasuk berprestasi baik yaitu kelas 2.1 dan satu kelas termasuk kelas katagori 109| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer kurang yaitu kelas 2.3. undian secara acak hanya dilakukan pada 4 kelas yaitu kelas 2.1, 2.2, 2.3, dan 2.4. IV. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil data pretes menulis karangan argumentasi dengan menggunakan teknik jigsaw kelompok eksperimen berdistribusi normal, karena X2hitung (20.80) < X2tabel (55.8) pada p < 0.01. Artinya data hasil pretes menulis karangan argumentasi dengan menggunakan teknik jigsaw siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal. Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasin kelompok eksperimen dengan menggunakan teknik jigsaw berdistribusi normal karena X2 hitung (0.33)< X2 tabel (5.58) pada p<0.01, artinya data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok eksperimen dengan menggunakan teknik jigsaw di SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal. Data pretes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung (6.90)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data pretes hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal Data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi kelompok kontrol dengan menggunakan ekspositori berdistribusi normal, karena X2 hitung (1.585)< X2 tabel (55.8) pada p < 0.01, artinnya data postes hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan ekspositori siswa SMK PGII 2 Bandung berdistribusi normal Pengujian hipotesis Hipotesis yang diuji dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata antara hasil pretes dan postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebagai berikut. Pasangan Variabel df thitung ttabel Tafsiran Pretes kel. eksperimen – kel 82 0.37 1.64 Signifikan kontrol menulis karangan argumentasi Postes kel. eksperimen – kel 82 1.63 1.67 Signifikan kontrol menulis karangan argumentasi V. Kesimpulan dan Saran Pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori. 110| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Hasil belajar menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori Kualitas pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model jigsaw lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan model ekspositori Saran penulis mengenai model pembelajaran menulis karangan argumentasi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw layak dipertimbangkan sebagai model pembelajaran alternatif karena model ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan argumentasi. VI. Daftar Pustaka Achyar,dkk.1998. Cooperative Learning Strategies in The Teaching of General Science at Lower Secondary Level.Bandung. PPPGT Arend, R.I. 1997. Classroom Instructional and Management. New York: Mc. Graw Hill Berg, Euwe Van Den (Ed).1991. Salah konsep Fisika dan Remidiasi. UKSW: Salatiga Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. 1990. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: Mc Graw-Hill Publishing Company. Keraf, G. 2001. Komposisi. Ende Flores : Nusa Indah Paul, S. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius Lasmawan, Wayan. 1997. Pengembangan Model Belajar Cooperatif Learning Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah dasar (SD) Studi Pembelajaran Pada Siswa Kelas V SD Di Kota Bangli Provinsi Bali. Tesis. PPS IKIP Bandung Laundgren, L. 1995. Cooperative Learning in The Science Classroom Glencoe New York: Mc. Graw Hill Lie, Anita. 1999. Metode Pembelajaran Gotong Royong. Universitas Kristen Petra Surabaya. Surabaya. Ratna, W.D. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga Rusyana, Yus. 1986. Materi Pokok Keterampilan Menulis. Jakarta : Karunika UT Slavin, Robert. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Massachusetts, USA : Allyn & Bacon Stahl, R.J. 1994. Cooperative Learning and Social Studies. Hanbook for Teacher. USA : Kane Publishing Service. Inc 111| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Widada, P. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMUyang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya 112| Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer