1 A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 2000, Amerika Serikat di bawah Pemerintahan Presiden Clinton menandatangani Statuta Roma. Statuta yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC) ini dibentuk melalui suatu konferensi internasional yang berlangsung di Roma pada tanggal 15 Juni hingga 17 Juli 1998. Statuta ini disahkan pada tanggal 17 Juli 1998. Sebanyak 120 negara menandatanginya, 7 menolak (Amerika Serikat, China, Irak, Israel, Yaman, Qatar, Libya), dan 21 negara lainnya abstain. Untuk berlakunya statuta ini dibutuhkan 60 ratifikasi dari negara peserta. 1 Syarat tersebut terpenuhi pada tanggal 11 April 2002 karena pada tanggal tersebut sebanyak 66 negara telah meratifikasi statuta tersebut. Oleh karenanya ICC mulai bekerja sejak 1 Juli 2002. Maka sejak saat itulah ICC resmi berdiri dan hadir melengkapi sistem hukum internasional. Pada tanggal 6 Mei 2002 Amerika Serikat menarik diri dari Statuta Roma. Alasan utama penarikan diri tersebut karena dianggap bertentangan dengan kedaulatan negara dan kepentingan keamanan nasional. Kedua aspek ini yang masih menjadi alasan kuat mengapa Amerika Serikat tidak sampai meratifikasi Statuta Roma. Iman Prihandono 2 dalam tulisannya menyatakan isu tentang penegakan HAM menjadi penting bagi Amerika Serikat sejak terkuaknya berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap tahanan di penjara Guantanamo Bay. Oleh banyak pengamat, penarikan tandatangan pada Statuta Roma oleh Presiden Bush, dianggap sebagai langkah Amerika Serikat untuk menghindari penyelidikan dan yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Bagaimana sikap Obama? Menjawab pertanyaan tentang apakah Amerika Serikat harus meratifikasi Statuta Roma pada sebuah questioner yang diajukan kepada kandidat presiden, Obama menyatakan bahwa: “Yes. The United States should cooperate with ICC investigations in a way that reflects American sovereignty and promotes our national security interests”. 1 Pasal 126 ayat (2) Rome Statute of the International Criminal Court 1998. Iman Prihandono, S.H., MH., LL.M , “Obama dan Hukum Internasional”, www.hukumonline.com, 19 November 2008, diakses pada 5 Februari 2014. 2 2 Bila diamati, jawaban Obama diatas nampak sebagai jawaban khas seorang politisi yang diplomatis. Namun secara hukum, keikutsertaan negara kedalam sebuah perjanjian internasional berarti pula menyerahkan sebagian dari kedaulatannya, sehingga tentunya ratifikasi akan sulit terwujud bila Obama masih mengedepankan aspek “sovereignty” dan “national security interests” sebagai syarat utama.3 Ketentuan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 di mana Amerika Serikat telah menjadi pihak dalam konvensi ini yaitu pada tanggal 24 April 1970 semakin memperkuat keraguan akan keterlibatan Amerika Serikat kedalam Statuta Roma. Konvensi ini mengatur bahwa sebuah negara tidak dapat menggunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalih untuk menghindar dari kewajibannya dalam sebuah perjanjian internasional. 4 Artinya, bila Obama masih mengedepankan isu “sovereignty” dan “national security interests”, maka penerimaan Amerika Serikat terhadap yurisdiksi ICC mungkin masih akan jauh dari kenyataan. B. Rumusan masalah 1. Apakah tindakan penarikan diri secara unilateral oleh Amerika Serikat tersebut bertentangan dengan asas good faith? 2. Bagaimanakah konsekuensi atas penarikan diri secara unilateral Amerika Serikat terhadap Statuta Roma ? C. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti ialah penelitian hukum normatif berdasarkan kerangka hukum internasional. Penelitian hukum normatif ialah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Logika keilmuan yang ada dalam penelitian hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.5 3 Ibid. Pasal 27 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 5 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,Malang, hlm. 4 7. 3 2. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan. Bahan kepustakaan ini lazimnya disebut data sekunder. 6 Data sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. 7 Dalam hal ini berupa ketentuan-ketentuan hukum internasional yang tertuang dalam konvensi internasional yaitu: Statuta Roma 1998, Vienna Convention on the Law of Treaty 1969 , hukum kebiasaan (customary international law), prinsip-prinsip hukum umum (the general principles of law), dan deklarasi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para ahli yang kompeten yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah,buku dan dokumen-dokumen yang terkait. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan sekunder yakni: Kamus Inggris-Indonesia, Kamus IndonesiaInggris, Terminologi Hukum, Oxford Dictionary dan Black’s Law Dictionary. 3. Cara Mencari Data Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan variabel penelitian. Dengan melihat tempat pengumpulan data yang diperlukan dalam suatu penelitian, maka penelitian hukum dapat dibedakan menjadi: penelitian hukum lapangan, penelitian hukum pustaka dan penelitian hukum laboratorium.8 Sebagai penelitian pustaka, pengungkapan kebenaran dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang akan dikumpulkan dan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini adalah data yang 6 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 12. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 141. 8 Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm.57. 7 4 relevan dengan permasalahan. Karena penelitian ini merupakan penelitian yang akan mengkaji permasalahan yang ada dalam lingkup hukum internasional, bahan-bahan penelitian yang berupa data dan informasi tentang: fakta-fakta dan ketentuan hukum yang relevan dengan penarikan diri secara unilateral suatu negara yang telah menandatangani perjanjian internasional. 4. Cara Menganalisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yang artinya analisis ini hendak mencari kebenaran berdasarkan nilai atau kualitas data yang diperoleh. Untuk melakukan analisis secara kualitatif ini melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Mengumpulkan data; b. Data yang diperoleh selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan obyek penelitian; c. Data yang telah dikelompokkan tadi, kemudian diuraikan dan dijelaskan; d. Data yang dijelaskan selanjutnya dievaluasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku untuk melihat kesesuaian atau sebaliknya, dan kemudian dibandingkan; e. Menetapkan kesimpulan untuk menjawab/menyelesaikan permasalahan penelitian.9 5. Analisis Data Pengolahan data adalah suatu kegiatan mengartikan, membandingbandingkan, menghubung-hubungkan dan mencari kesesuaian antara data yang terkumpul satu sama lain dalam rangka mengungkapkan suatu kebenaran yang dipermasalahkan. 10 Akhir pengolahan data ini adalah penarikan suatu kesimpulan. Dalam penelitian, pengolahan data merupakan bagian terpenting. Dalam penenlitian hukum, pengolahan data dilaksanakan untuk menenukan 9 Ibid., hlm. 58-60. Ibid., hlm. 26. 10 5 kebenaran hukum. Pengolahan data merupakan kegiatan ilmiah yang menentukan kebenaran jawaban permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian hukum, pengolahan data mencakup kegiatan: sistematisasi data yang terkumpul, interpretasi dan evaluasi data yang telah disistematisasi, dan penarikan kesimpulan berdasarkan interpretasi dan evaluasi data tersebut. Dalam kesimpulan itu dikemukakan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Untuk mempermudah analisis data dan uraian hasil penelitian, data penelitian yang diperoleh melalui studi dokumen dan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan klasifikasi dan sistematisasi. Klasifikasi dan sistematisasi dilakukan untuk memilah bahan-bahan penelitian yang berupa ketentuan-ketentuan hukum (das Sollen) dan fakta-fakta (das Sein) tentang: perjanjian internasional; ketentuan-ketentuan hukum internasional. Pembahasan tentang fakta-fakta (das Sein) dan ketentuan-ketentuan hukum (das Sollen) yang relevan tersebut dilakukan dengan mengacu pada metode interpretasi hukum yang berlaku dalam hukum internasional. Klasifikasi dan sistematisasi yang dilakukan dengan mempertimbangkan permasalahan penelitian dan variabel yang terkait di dalamnya yakni: (1) hubungan penarikan diri secara unilateral suatu negara dari perjanjian internasional dengan asas good faith; (2) konsekuensi terhadap tindakan penarikan diri secara unilateral suatu negara dari perjanjian internasional. Setelah dilakukan klasifikasi dan sistematisasi terhadap data penelitian, berikutnya dilakukan interpretasi dan evaluasi. Interpretasi dan evaluasi dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain selaras dengan rumusan permasalahan. Interpretasi dan evaluasi dimaksudkan untuk mengkaji hubungan penarikan diri secara unilateral suatu negara dari perjanjian internasional dengan asas good faith; konsekuensi terhadap tindakan penarikan diri secara unilateral suatu negara dari perjanjian internasional dilakukan dengan metode deduksi. 6 Berdasarkan interpretasi dan evaluasi terhadap bahan-bahan penelitian tersebut, dilanjutkan dengan preskripsi. Dalam penelitian ini preskripsi dimaksudkan untuk merumuskan kejelasan tentang konteks situasi yang relevan, kerangka hukum internasional yang relevan, dan prinsip-prinsip umum dalam perjanjian internasional. Preskripsi yang disajikan dalam penelitian ini mempertimbangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan. D. Pembahasan 1. Rome Statute of the International Criminal Court 1998 a. Latar Belakang Pembentukan Rome Statute of the International Criminal Court 1998 Latar belakang pembentukan International Criminal Court (ICC) tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan mahkamah-mahkamah kejahatan internasional sebelumnya. Sejarah yang pertama adalah pembentukan mahkamah kejahatan internasional pasca Perang Dunia II, yaitu International Military Tribunal Nuremberg (Mahkamah Nuremberg) tahun 1945 dan International Tribunal for the Far East (Mahkamah Tokyo) tahun 1946. Pembentukan Mahkamah Nuremberg didasarkan pada inisiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946. Catatan sejarah yang kedua adalah pembentukan mahkamah kejahatan internasional usai Perang Dingin yaitu International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda. ICTY dibentuk berdasarkan Resolusi Nomor 827 DK PBB tanggal 25 Mei 1993 untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di wilayah bekas Yugoslavia. Sedangkan ICTR dibentuk berdasarkan 7 Resolusi Nomor 995 DK PBB tanggal 8 November 1994 untuk mengadili para pelaku kejahatan perang dan genosida di Rwanda. Belajar dari sejarah pembentukan empat mahkamah sebelumnya yang kesemuanya ad hoc itu ternyata semakin membuka mata masyarakat internasional tentang perlunya suatu pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Melalui serangkaian pembicaraan panjang di tingkat internasional, hasil kerja PrepCom pada akhirnya dibicarakan dalam suatu konferensi internasional yang berlangsung di Roma pada tanggal 15 Juni hingga 17 Juli 1998. Sebagai hasil dari konferensi tersebut, tersusunlah Satuta Roma yang akan menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC) permanen. Statuta ini disahkan pada tanggal 17 Juli 1998. International Criminal Court (ICC) atau biasa disebut dengan Mahkamah Pidana Internasional yang berada di bawah naungan PBB mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orangorang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional11 diantaranya genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crime (kejahatan perang) dan the crime of aggression (kejahatan agresi). 12 Lembaga ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal. 13 Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan akan mempunyai peran penting dalam operasional lembaga ini atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan.14 b. Dasar Filosofis Rome Statute of the International Criminal Court 1998 Statuta Roma didasari kontroversi bagaimana kehadiran manusia dalam kehidupan di bumi harus didefinisikan dan dimaknakan sehingga 11 Pasal 1 Rome Statute of the International Criminal Court 1998. Pasal 5 ayat (1), ibid. 13 Pasal 2, ibid. 14 Pasal 13 & Pasal 16, ibid. 12 8 nantinya akan berujung pada suatu konsep penghargaan terhadap hak asasi manusia. Manusia dilahirkan bebas dan setara dalam hal kehormatan serta hak-hak yang melekat padanya. Mereka dianugerahi nalar dan hati nurani dan antara satu dengan lainnya harus berperilaku dalam semangat persaudaraan. 15 Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia 1948 ini menegaskan asumsi dasar dari deklarasi internasional ini bahwa hak atas kebebasan dan kesetaraan merupakan hak yang melekat pada setiap manusia sejak lahir dan tidak boleh diambil darinya. Dalam preamble Rome Statute of the International Criminal Court 1998 disebutkan bahwa “mindful that during this century millions of children, women and men have been victims of unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of humanity, recognizing that such grave crimes threaten the peace, security and well-being of the world ”.16 hal ini mensiratkan bahwa telah banyak terjadi pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk sehingga para korban tidak lagi bisa menikmati haka-hak meeka. ICC sebagai lembaga penegakan hak asasi manusia wajib untuk melaksanakan amanah tersebut sebagai cerminan komitmen dan kepedulian terhadap nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. 2. Penarikan diri Secara Unilateral Oleh Amerika Serikat terhadap Rome Statute of the International Criminal Court 1998 a. Latar Belakang Penarikan Diri Oleh Amerika Serikat Amerika Amerika Serikat, di bawah Presiden Clinton menandatangani Statuta Roma pada tanggal 31 Desember 2000. Penandatanganan ini merupakan langkah pertama menuju ratifikasi. Penandatanganan yang dilakukan suatu negara dalam Statuta Roma tidak mengikat secara hukum sampai perjanjian tersebut diratifikasi. 17 Bagi Amerika Serikat untuk menjadi pihak dalam perjanjian dengan penandatanganan dan ratifikasi, Presiden harus mengajukan perjanjian ke Senat Amerika Serikat untuk saran dan persetujuan. Senat harus menyetujui dengan 2/3 suara 15 The Universal Declaration of Human Rights 1948, Pasal 1. Preamble,p.2 & p.3 Rome Statute of the International Criminal Court 1998. 17 Pasal 125 ayat (2), ibid. 16 9 mayoritas. 18 Presiden kemudian harus menyelesaikan proses ratifikasi dengan menyimpan perjanjian kepada Sekretaris Jenderal PBB, penyimpanan perjanjian, mengekspresikan Amerika Serikat setuju untuk terikat dengan perjanjian tersebut.19 Presiden Clinton menandatangani Statuta Roma untuk terlibat dengan pengadilan dan mempengaruhi evolusinya. Penandatanganan perjanjian juga menegaskan kembali dukungan Amerika Serikat bagi akuntabilitas internasional dan untuk membawa para pelaku genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Presiden Clinton, bagaimanapun, tidak menyerahkan perjanjian ke Senat untuk persetujuan ratifikasi karena kekhawatiran tentang Pengadilan dan karena ia tidak ingin warga Amerika Serikat tunduk pada yurisdiksi Pengadilan. Sebuah perhatian utama dari pemerintahan Clinton dan pemerintahan Bush adalah takut penuntutan dipolitisasi terhadap personil militer dan pejabat pemerintah.20 Hingga akhirnya, pada tanggal 6 Mei 2002, Amerika Serikat, di bawah Presiden Bush, menyerahkan catatan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai penandatanganan Statuta Roma. Catatan menyatakan bahwa: "this is to inform you, in connection with the Rome Statute of the International Criminal Court adopted on July, 1998, that the United States does not intend to become a party to the treaty. Accordingly, the United States has no legal obligations arising from its signature on December 31, 2000. The United States requests that its intention no to become a party, as expressed in this latter, be reflected in the depositary’s status lists listening to this treaty”.21 18 Pasal 1 s.7 Constitution of the United States yang menyatakan: All Bills for raising Revenue shall originate in the House of Representatives; but the Senate may propose or concur with Amendments as on other Bills. Every Bill which shall have passed the House of Representatives and the Senate, shall, before it become a Law, be presented to the President of the United States: If he approve he shall sign it, but if not he shall return it, with his Objections to that House in which it shall have originated, who shall enter the Objections at large on their Journal, and proceed to reconsider it. If after such Reconsideration two thirds of that House shall agree to pass the Bill, it shall be sent, together with the Objections, to the other House, by which it shall likewise be reconsidered, and if approved by two thirds of that House, it shall become a Law. 19 Aurelie Coppin, 2008, Status of the US Signature of the Rome Statute of the International Criminal Court, http://www.amicc.org/usicc/bush, diakses tanggal 21 Agustus 2014. 20 Ibid. 21 Under Secretary of State for Arms Control and International Security John Bolton, Letter to the UN Secretary-General, 2002, http://www.amicc.org/usicc/bush, diakses tanggal 27 Agustus 2014. 10 Inti dari pernyataan Amerika Serikat tersebut bahwa Amerika Serikat tidak berniat untuk menjadi pihak dalam perjanjian. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak memiliki kewajiban hukum yang timbul dari penandatanganan pada 31 Desember 2000. b. Dasar Pertimbangan Penarikan Diri Amerika Serikat Dalam pidatonya, Wakil Menteri Luar Negeri Marc Grossman menyampaikan dasar pertimbangan penolakan Amerika Serikat terhadap Statuta Roma.22 Pertama, ICC dianggap telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Kedua, ICC dibangun berlandaskan sistem yang cacat, sehingga memungkinkan adanya eksploitasi dan penuntutan bermotif politik. Ketiga, bahwa ICC dibangun tanpa pengawasan. Keempat, ICC dianggap mengancam kedaulatan Amerika Serikat. Atas dasar pertimbangan itulah sehingga pada tanggal 6 Mei 2002 Pemerintah Amerika Serikat mengirimkan pemberitahuan resmi kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai tempat penyimpanan untuk Statuta Roma, menyatakan Amerika Serikat tidak akan menjadi pihak dalam perjanjian pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. c. Implikasi Penarikan Diri Amerika Serikat 1. Internal Sebagai negara bukan peserta Statuta, Amerika Serikat tidak akan memiliki suara di Majelis Negara Pihak (ASP) dan pada saat Konferensi Peninjauan. Namun, ia akan bisa berpartisipasi sebagai observer.23 Peran observer akan ditentukan oleh aturan prosedur yang diadopsi dari dua badan ini.24 Jika rancangan aturan selesai diadopsi, observer akan berhak berpartisipasi dalam musyawarah ASP dan setiap badan pendukung 22 Marc Grossman, 2002, American Foreign Policy and the International Criminal Court, http://www.amicc.org/usicc/bush, diakses tanggal 21 Agustus 2014. 23 Pasal 112 ayat (1), Rome Statute of the International Criminal Court 1998. 24 U.N. Doc.,PCNICC/2001/1/Add.4, Draft Rules of Procedure of the Assembly of States Parties (2002), dalam tulisan Jennifer Elsea, 2002, Congressional Research Service,US Policy Regarding the International Criminal Court, hlm. 20, http://www.amicc.org/usicc/bush, diakses tanggal 21 Agustus 2014. 11 yang bisa dibentuk. Negara observer akan menerima pemberitahuan semua proses pertemuan dan catatan ASP atas dasar yang sama dengan negaranegara anggota. Mereka tidak akan diijinkan untuk mengusulkan sesuatu selama pertemuan berlangsung, seperti perintah atau usulan untuk suatu penundaan. Dengan demikian, Amerika Serikat mungkin dapat berpartisipasi secara substansial dalam pertemuan ASP, walau ia tidak menjadi pihak dalam Statuta. Amerika Serikat juga dapat menggunakan posisinya di PBB untuk berkomunikasi dengan ASP.25 Amerika Serikat tidak akan bisa memberikan suara dalam ASP jika tidak meratifikasi Statuta Roma. Ia tidak bisa mencalonkan warganya untuk menjadi hakim atau memberikan suara dalam pemilihan para hakim atau jaksa (atau penghapusan mereka). Amerika Serikat tidak bisa memberikan suara untuk anggaran ICC. Ia bahkan tidak bisa memberikan suara untuk mendefinisikan kejahatan agresi atau dimasukkan dalam yurisdiksi ICC, ketika hal ini dipertimbangkan dalam Konferensi Peninjauan Awal, atau pada setiap perubahan lain untuk Statuta Roma.26 Amerika Serikat, sebagai non-party tidak akan memiliki hak untuk merujuk ke Jaksa Penuntut terkait penyelidikan; sebagai anggota tetap Dewan Keamanan, bagaimanapun Amerika Serikat bisa berusaha mempengaruhi melalui Dewan Keamanan. 27 Demikian pula, Amerika Serikat masih bisa berpartisipasi dalam permohonan Dewan Keamanan kepada Jaksa untuk menunda penyelidikan atau penuntutan 28 dan PreTrial Chamber (Kamar Pra-Peradilan) untuk meninjau kembali keputusan dari Jaksa untuk tidak menyelidiki atau mengadili. 29 Sebagai non-party dalam perjanjian, Amerika Serikat bisa, tetapi tidak akan diwajibkan untuk, bekerja sama dalam hal investigasi dan penuntutan ICC 30; dan di 25 U.N. Doc., PCNICC/2001/1/Add.1,Draft Relationship Agreement between the Court and the United Nations, dalam tulisan Jennifer Elsea, ibid. 26 Jennifer Elsea, ibid, hlm.21. 27 Pasal 13b Rome Statute of the International Criminal Court 1998. 28 Pasal 16 , ibid. 29 Pasal 53 ibid.. 30 Pasal 86, 87,93, ibid. 12 bawah Statuta, Amerika Serikat bisa, tetapi tidak akan diwajibkan untuk, menangkap orang yang dimaksud dalam permintaan untuk penahanan sementara atau penangkapan dan penyerahan dari ICC.31 Amerika Serikat juga akan mempertahankan hak untuk tidak memberikan informasi atau dokumen pengungkapan yang akan merugikan kepentingan keamanan nasional32 dan menolak untuk menyetujui pengungkapan oleh suatu negara peserta dari informasi atau dokumen yang diberikan kepada negara secara rahasia.33 2. Eksternal Satu Satu bulan setelah ICC resmi muncul pada tanggal 1 Juli 2002, Presiden Amerika Serikat menandatangani American Servicemembers Protection Act of 2002 (ASPA) yang membatasi dukungan dan bantuan pemerintah Amerika Serikat kepada ICC, membatasi bantuan militer ke berbagai negara yang telah meratifikasi Statuta Roma yang membentuk ICC, dan yang paling kontroversial di antara sekutu Eropa, kewenangan Presiden untuk menggunakan "segala cara yang diperlukan dan untuk membebaskan personil Amerika Seikat dan orang-orang sekutu yang mungkin ditahan atau diadili oleh ICC.34 Pemerintah Amerika Serikat awalnya memveto resolusi PBB untuk memperpanjang misi penjaga perdamaian di Bosnia karena tidak mengandung jaminan bahwa personil Amerika Serikat akan kebal terhadap penuntutan oleh ICC. Pada akhirnya, Dewan Keamanan dan delegasi Amerika Serikat mampu mencapai kompromi yang menunda selama satu tahun segala tuntutan dari pasukan yang terlibat dalam misi penjaga perdamaian PBB, terlebih kepada negara-negara yang belum meratifikasi Statuta Roma.35 31 Pasal 59, 89, ibid. Pasal 72, ibid. 33 Pasal 73, ibid. 34 Jennifer Elsea, op.cit, hlm.1. 35 Ibid. 32 13 Dengan menuntut perlakuan khusus dalam bentuk kekebalan dari ICC, makin memperkuat persepsi terhadap keengganan untuk mematuhi hukum yang sama yang berlaku untuk negara-negara lain. Persepsi ini, bisa merusak upaya internasional Amerika terhadap Serikat untuk upayanya melawan mendapatkan dukungan terorisme serta upaya internasional di masa mendatang.36 d. Praktik Negara terhadap Penarikan Diri dari Perjanjian Internasional 1. Upaya Penarikan Diri Kenya Terhadap Statuta Roma Kenya merupakan negara penandatangan dan peratifikasi Statuta Roma. 37 Pada tanggal 6 September 2013 mayoritas suara Majelis Nasional Kenya mendukung gerakan yang diperkenalkan oleh Pemimpin Partai Mayoritas, Aden Duale, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkahlangkah untuk segera menarik diri dari Rome Statute of the International Criminal Court 1998. Gerakan ini menyatakan bahwa telah terjadi "perubahan mendasar dalam situasi yang berkaitan dengan pemerintahan negara” mengingat bahwa Presiden Uhuru Kenyatta dan Wakil Presiden William Ruto, keduanya berada di bawah dakwaan oleh ICC karena dituduh terlibat dengan kejahatan terhadap kemanusiaan di Kenya pasca pemilu tahun 2007.38 Adapun langkah Kenya untuk menarik diri dari Statuta ini tidak akan memiliki efek penghentian pada kasus yang sedang berlangsung di International Criminal Court (ICC). Ada beberapa alasan, pertama, memang benar di dalam Pasal 127 ayat (1) dari Statuta ini suatu negara peserta, dengan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB, dapat menarik diri dari Statuta ini. Namun penarikan diri akan berlaku tidak lebih awal dari satu tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan. Dan penekanan yang 36 Ibid, hlm. 22. Pada tanggal 11 Agustus 1999, Kenya merupakan negara yang menandatangani Rome Statute of the International Criminal Court 1998. Untuk selanjutnya pada tanggal 15 Maret 2005, Kenya meratifikasi Statuta ini. 38 Charles Jalloh, 2013, Kenya Should Reconsider Proposed Withdrawal from the ICC, www.ejiltalk.org/kenya-should-reconsider-proposed-withdrawal-from-the-icc/, diakses pada tanggal 14 Maret 2014. 37 14 lebih penting adalah penarikan diri tidak dapat digunakan untuk merusak investigasi dan penuntutan yang berlaku di ICC. Dengan demikian tidak akan serta merta terlepas dari kewajiban yang timbul dari Statuta ini. Kedua, bahkan jika jaksa ICC memutuskan untuk memulai kasus tambahan sebelum tanggal bahwa penarikan satu tahun menjadi efektif , proses tersebut akan juga memerlukan tugas lanjutan bagi Kenya untuk bekerja sama dengan pengadilan. 2. Penarikan Diri Amerika Serikat Terhadap Protokol Kyoto Penarikan diri Amerika Serikat dari Protokol Kyoto terjadi pada tanggal 13 Maret 2001. Pemerintahan Bush memberikan tiga alasan penarikan dirinya. Pertama, pemerintah menyebutkan "incomplete state of scientific knowledge" yang dapat digunakan untuk bekerja dalam hal membatasi pemanasan. Kedua, pemerintah mengklaim bahwa Amerika Serikat tidak akan menjadi pihak untuk setiap undang-undang lingkungan internasional yang merugikan ekonomi Amerika Serikat. Ketiga, pemerintah menyatakan fakta bahwa negara-negara berkembang seperti China dan India dibebaskan dari jadwal wajib Protokol Kyoto dan sebagai target pembenaran untuk penarikan, Amerika Serikat memberikan alasan bahwa negara-negara berkembang harus terikat jika Amerika Serikat diwajibkan untuk terikat.39 Tindakan penarikan diri Amerika Serikat tidak menimbulkan akibat hukum yang berarti karena dalam Pasal 27 Protokol disebutkan bahwa: “(1) pada suatu saat setelah 3 tahun sejak protokol ini berlaku bagi suatu pihak, pihak itu boleh mengundurkan diri dari protokol ini dengan memberikan pemberitahuan tertulis kepada Depositori; (2) setiap pengunduran diri harus berlaku setelah satu tahun kadaluarsa terhitung dari tanggal penerimaan oleh Depositori, tentang pemberitahuan pengunduran diri atau pada tanggal yang lebih dulu mundur yang ditentukan dalam pemberitahuan pengunduran diri; 39 Paul Kevin Waterman, 2003, From Kyoto To Anwr: Critiquing The Bush Administration's Withdrawalfrom The Kyoto Protocol To The Framework Convention On Climate Change, hlm. 758, 15 (3) setiap pihak yang mengundurkan diri dari Konvensi harus juga dianggap telah mengundurkan diri dari protokol ini”. Tindakan Amerika Serikat ini secara normatif diperbolehkan, akan tetapi dengan penarikan dirinya ini, Amerika Serikat dianggap telah mengabaikan ancaman pemanasan global dan penipisan lapisan ozon. Padahal sebagai salah satu negara penghasil polusi terbesar di dunia, seharusnya Amerika Serikat membuat kebijakan-kebijakan yang lebih bersahabat dengan lingkungan. 3. Pengaturan Penarikan Diri dalam Hukum Internasional a. Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta Roma) Pengaturan penarikan diri suatu negara diatur berdasarkan ketentuan dalam Pasal 127 Statuta yang menyatakan bahwa: “(1) suatu negara peserta, dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat menarik dari dari Statuta ini. Penarikan diri itu mulai berlaku satu tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut, kecuali kalau pemberitahuan itu menetapkan suatu tanggal yang lebih kemudian; (2) suatu negara tidak akan dikeluarkan, dengan alasan penarikan dirinya, dari kewajiban yang timbul dari Statuta ini ketika negara itu masih menjadi peserta pada Statuta ini, termasuk setiap kewajiban keuangan yang mungkin terkumpul. Penarikan dirinya tidak mempengaruhi setiap kerjasama dengan Mahkamah dalam hubungan dengan investigasi dan penuntutan pidana yang mengenai hal itu. Negara yang menarik diri sebelumnya mempunyai kewajiban untuk bekerjasama dan dimulai sebelum tanggal dimana penarikan diri itu menjadi efektif, ataupun hal itu tidak akan merugikan dengan cara apapun pertimbangan yang berkelanjutan mengenai setiap hal yang sudah dipertimbangkan oleh Mahkamah sebelum tanggal dimana penarikan diri itu menjadi efektif.” b. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Konvensi Wina 1969) Konvensi Wina 1969 menetapkan ketentuan berakhirnya dan penangguhan berlakunya suatu perjanjian yaitu terdapat dalam Pasal 54 hingga Pasal 72 Konvensi. 16 Yang dimaksud dengan berakhirnya suatu perjanjian adalah punahnya atau lenyapnya suatu perjanjian internasional karena sebab-sebab tertentu. Pada umumnya, sebab-sebab berakhirnya suatu perjanjian internasional disebabkan karena:40 (1) Telah tercapainya tujuan dari perjanjian tersebut; (2) Habis waktu berlakunya perjanjian tersebut; (3) Punahnya salah satu pihak peserta perjanjian; (4) Punahnya objek perjanjian; (5) Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian; (6) Diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian meniadakan perjanjian terdahulu; (7) Dipenuhinya syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian itu sendiri; (8) Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh suatu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain. Sedangkan penangguhan berlakunya suatu perjanjian adalah suatu penundaan pelaksanaan atau kelangsungan atau berlakunya suatu perjanjian internasional untuk sebahagian atau seluruh isi perjanjian karena sebab-sebab atau alasan-alasan tertentu yang sah. Adapun sebabsebab ditangguhkan berlakunya suatu perjanjian internasional yaitu:41 (1) Pembatalan sepihak (denunciation) oleh salah satu peserta atau penarikan diri dari suatu perjanjian internasional, yang tidak diatur dalam perjanjian itu sendiri; (2) Pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak; (3) Ketidakmungkinan salah satu pihak peserta untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban menurut perjanjian (impossibility of performance); (4) Adanya perubahan fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian (fundamental change of circumstances); (5) Adanya pemutusan hubungan diplomatik atau hubungan konsuler; (6) Pecahnya perang antara peserta perjanjian. 40 Frans E.Likadja & Daniel Frans Bessie, 1988, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 123. 41 Ibid., hlm. 124-126. 17 4. Penarikan Diri Secara Unilateral Amerika Serikat terhadap Rome Statute of the International Criminal Court 1998 Dalam Kaitannya dengan Asas Good Faith Asas Good Faith merupakan prinsip dasar dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan Preamble Konvensi Wina 1969 yang menyatakan: “noting that the principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized 42”. Itikad baik untuk melaksanakan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian adalah dasar motivasi untuk menegakkan orde masyarakat internasional yang adil dan lebih baik.43 Kewajiban menurut Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 tidak melarang suatu negara dari penarikan suatu perjanjian. Kewajiban menurut pasal ini adalah untuk menahan diri dari tindakantindakan yang akan menggagalkan maksud dan tujuan perjanjian sebelum berlakunya. Kewajiban ini menyangkut dengan substansi dari suatu perjanjian.44 Ukuran itikad baik dalam sutu perjanjian adalah bagaimana suatu negara melaksanakan perjanjian tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian yang telah dibuat. Statuta Roma 1998 dibentuk sebagai sarana penegakan hukum internasional dan penghormatan terhadap HAM serta pencegahan praktek impunity bagi para pelaku kejahatan.45 Amerika Serikat, dengan penarikan dirinya ini, menjadi suatu bentuk tindakan yang bisa menggagalkan maksud dan tujuan dari Statuta Roma 1998 secara tidak langsung. Walaupun sebenarnya menjadi hak kedaulatan suatu negara untuk menarik diri dari perjanjian setiap saat sebelum akhirnya menjadi mengikat. 46 Namun, ketika maksud dan tujuan suatu perjanjian 42 Preamble, p.3 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, hlm. 16. 44 Anthony Aust, 2000, Modern Treaty Law And Practice, Cambridge University Press, hlm. 96. 45 Preamble, p.2, p.4, p.5 Rome Statute of the International Criminal Court 1998. 46 Anthony Aust, loc.cit. 43 18 bekaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, menjadi kewajiban erga omnes bagi setiap negara. Bertitik tolak dari hal inilah sehingga kemudian tindakan penarikan diri Amerika Serikat secara unilateral terhadap Statuta Roma 1998 ini bertentangan dengan Asas Good Faith. 5. Konsekuensi atas Penarikan Diri Secara Unilateral Amerika Serikat terhadap Rome Statute of the International Criminal Court terhadap Amerika Serikat a. Internal Konsekuensi penarikan diri Amerika Serikat terhadap Statuta Roma dapat dilihat dari bagaiamana yurisdiksi ICC masih bisa menjangkau warga negara yang bukan berasal dari negara anggota Statuta. Telah diketahui bahwa Amerika Serikat bukanlah negara anggota Statuta Roma. Dalam Statuta Roma disebutkan bahwa ICC memiliki yurisdiksi terhadap warga negara yang berasal dari non state party dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:47 1) Dalam kasus yang diserahkan oleh Dewan Keamanan PBB kepada ICC.48 2) Dalam kasus warga negara dari non state party melakukan kejahatan di wilayah atau territorial negara anggota Statuta atau negara yang sudah menerima yurisdiksi ICC berkaitan dengan kejahatan tersebut. 49 3) Dalam kasus negara non state party sudah menyetujui untuk melaksanakan tertentu. yurisdiksi berkaitan dengan kejahatan-kejahatan 50 Selain kondisi-kondisi di atas, dalam menerapkan yurisdiksinya, ICC menerapkan prinsip universal. Artinya bahwa apabila sebuah kejahatan serius yang terjadi dalam suatu negara, bisa dihakimi tanpa perlu 47 Dapo Akande, 2003, The Jurisdiction of International Criminal Court Over Nationals of Non-Parties: Legal Basis and Limits, Journal of International Criminal Justice 1, hlm. 618-650. 48 Pasal 13 Rome Statute of the International Criminal Court 1998. 49 Pasal 12 ayat (2) (a) dan ayat (3) , Ibid. 50 Ibid. 19 memperdulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaan pelakunya dan hal ini tidaklah bertentangan dengan hukum internasional. b. Eksternal Penarikan diri Amerika Serikat dari Rome Statute of the International Criminal Court 1998 bisa dikatakan melemahkan dasawarsa kepemimpinan Amerika Serikat di Peradilan Internasional. 51 Berawal dari pengadilan Nuremberg 1945 sebagai pengadilan ad hoc, di sini terlihat bagaimana kepemimpinan Amerika Serikat dalam pengembangan keadilan internasional telah menjadi teladan. Juga bisa dilihat dari turut sertanya Amerika Serikat terhadap pengadilan ICTY dan ICTR. Tindakan Amerika Serikat ini, bisa membawa dampak buruk untuk negara-negara peserta Statuta Roma 1998 yang lain. Dengan bercermin terhadap tindakan Amerika Serikat, negara peserta yang lain bisa saja menarik diri dari Statuta ini dengan anggapan bahwa salah satu negara yang tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang tertinggi tidak menjadi peserta dalam Statuta Roma 1998. Hingga pada akhirnya nilai eksistensi suatu keadilan yang ingin diciptakan ICC akan buram di hadapan masyarakat internasional. 6. Aplikasi Rome Statute of the International Criminal Court terhadap Amerika Serikat Aplikasi Rome Statute of the International Criminal Court 1998 di Amerika Serikat bisa dilihat dalam hal penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, kini diakui bahwa setiap negara memiliki kepentingan dan kewajiban untuk melaksanakannya, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan kewajiban erga omnes bagi setiap negara. Suatu negara yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi atas kedaulatannya. Karena ada muncul paradigm 51 Richard J. Goldstone, 2002, US Withdrawal From ICC Undermines Decades of American Ladership in International Justice, International Criminal Court MONITOR, http://www.thirdworldtraveler.com/international_war_crimes/USWithdrawal_ICC_Goldstone.html , diakses pada tanggal 14 Maret 2014. 20 baru dalam masyarakat internasional, bahwa hak asasi manusia lebih utama daripada kedaulatan. Dalam konteks semacam ini, muncul kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan dalam bentuk tata kelola yang bersifat multi-level untuk mewujudkan tanggung jawab masyarakat internasional dalam rangka melestarikan hak asasi manusia dan humanitarianisme.52 Pemberlakuan prinsip universal dalam kerangka kerja ICC merupakan salah satu bentuk tata kelola dalam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Bagaimana sebuah kejahatan serius yang terjadi dalam suatu negara, bisa dihakimi tanpa perlu memperdulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaan pelakunya dan hal ini tidaklah bertentangan dengan hukum internasional. dengan pertimbangan bahwa perlindungan hak asasi manusia menjadi landasan moral dan legal yang sahih bagi tindakan intervensi kemanusiaan dalam sistem hukum saat ini. E. Kesimpulan 1. Penarikan diri Amerika Serikat secara unilateral terhadap Statuta Roma bertentangan dengan prinsip Good Faith (itikad baik). Dalam hukum perjanjian internasional, saat negara telah menandatangani perjanjian internasional sebagai langkah awal pengikatan dirinya, negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan membatalkan maksud dan tujuan perjanjian itu sampai tiba saatnya negara tersebut menjelaskan secara jelas maksudnya untuk tidak menjadi pihak pada perjanjian tersebut. 53 Tindakan penarikan diri ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat ingin menggagalkan pembentukan ICC serta membatasi yurisdiksi ICC sebagai lembaga peradilan. 2. Konsekuensi atas penarikan diri secara unilateral Amerika Serikat terhadap Statuta Roma dapat dikaji dalam 3 hal yaitu: pertama, secara politis, mempengaruhi hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara sekutunya yang sebahagian besar menjadi pihak dalam Statuta Roma dan 52 Sigit Riyanto, 2014, Re-Interpretasi Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 53 Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 21 juga mempengaruhi kedudukan Amerika Serikat di kancah internasional khususnya di peradilan internasional. Kedua, secara prosedural, penarikan diri Amerika Serikat diperbolehkan, akan tetapi dengan penarikan dirinya Amerika Serikat hanya bisa berpartisipasi sebagai negara observer dalam Majelis Negara Pihak (ASP) ICC dan Konferensi Peninjuan tanpa hak suara. Karena hanya negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi Statuta Roma yang memiliki hak untuk memilih maupun memberikan masukan dalam ASP ataupun Konferensi Peninjauan. Ketiga, secara substantif, Statuta Roma dibuat untuk menyelesaikan proses kejahatan yang selama ini belum terjangkau dalam hukum internasional secara universal. Hal ini berarti, tidak perduli apakah suatu negara mennjadi negara pihak atau tidak dalam Statuta Roma, yurisdiksi ICC akan tetap berlaku bagi mereka yang telah melakukan kejahatan yang tertuang di dalam Statuta, sehingga pada akhirnya aturan-aturan yang ada dalam Statuta benar-benar diterapkan. F. Saran 1. Amerika Serikat seharusnya bisa mentaati segala bentuk kewajiban yang tertuang dalam suatu perjanjian dan diharapkan memberikan contoh kepemimpinan yang baik, dengan mengembangkan kerjasama dan upaya untuk memperkuat mekanisme global yang institusional untuk memerangi segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. 2. Dengan adanya prinsip universal yang terkandung dalam Statuta Roma, diharapkan ICC benar-benar bisa melaksanakan tugasnya untuk menangkap dan mengadili pelaku kejahatan baik itu di wilayah negara pihak ataupun non state party.