TANGGUNGJAWAB INDIVIDU, PRINSIP MANDUL DALAM MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL? Ria Wulandari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura No Hp : 085245421979 Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menelusuri asas Tanggungjawab Individu dalam Statuta Roma 1998. Artikel ini akan membahas bagaimana asas ini membawa harapan baru karena menghapus kekebalan pada pejabat tinggi Negara sehingga dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional. Namun ternyata berdasarkan Statuta Roma 1998 hal tersebut harus dengan persetujuan Negara. Ini berarti bahwa prinsip Tanggungjawab Individu tidak berlaku mutlak. Pada akhirnya prinsip ini akan menjadi mandul. Kata kunci : Asas, Tanggungjawab Individu, Mahkamah Pidana Internasional Abstrac This article aims to explore the principle of Personal Responsibility in the Roma Statute 1998. It will explore how this principle bringing a new hope ‘cause delete authorities imunity. So, they can surrender to the international criminal court.but, according Roma Statute 1998, the court obtain the cooperation of the sending state for the giving of consent for the surrender. It mean the principle of personal responsibility is not absolute. Finally, this principle will be infertile. Key Word : Principles, Personal Responsibility, International Criminal Court I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pertanggung jawaban individu merupakan prinsip yang baru didalam hukum internasional yang pada beberapa dekade lebih menerapkan prinsip pertanggungjawaban Negara. Dapat diadilinya (kembali) individu ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)1telah membuka babak baru dalam hukum internasional yang akan mempengaruhi tindakan Negara sekaligus tindakan manusia 2 atau individu yang harus memikul pertanggungjawaban pidana secara pribadi atas apa yang sebelumnya dianggap sebagai pertanggungjawaban yang harus dipikul Negara. 3 Dalam hal pertanggunggjawaban individu, Mahkamah Pidana Internasional menutup mata terhadap kedudukan individu sebagai pejabat Negara atau personel militer dalam penjatuhan pidana4atau dengan kata lain prinsip pertanggungjawaban individu ini secara otomatis akan menggugurkan prinsip imunitas yang selama ini dinikmati oleh para pejabat Negara atau personel militer yang menghalangi mereka untuk diadili ke Mahmakah Pidana Internasional. Dengan diakuinya prinsip tanggung jawab individu dalam Statuta Roma jelas Statuta ini berupaya untuk menerobos prinsip-prinsip nasionalisme dan kedaulatan Negara yang merupakan prinsip klasik dan universal dalam hukum internasional. Namun dalam perjuangan Hak Asasi Manusia sedunia sejak berakhirnya perang dunia II yang ditandai dengan keberhasilan mengadopsi Statuta Mahkamah Pidana Internasional pada bulan Juli 1998 di Roma (Statuta Roma, 1998), beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti terhadap para penjahat perang dunia II tidak 1 Sebelumnya tanggung jawab individu telah dikenal pada Mahkamah PidanaIinternasional terdahulu misalnya Mahkamah Leipzig, Mahkamah Nuremberg dan Tokyo serta Mahkamah Yugoslavia dan Rwanda, namun mahkamah-mahkamah ini bersifat ad hoc 2 Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm 3 3 Arie Siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia 4 Ibid seutuhnya dituntaskan seperti kaisar Hirohito selaku penanggung jawab mesin perang dunia II di Asia dan Pasifik tidak pernah dituntut untuk diadili sejalan dengan asas non impunity, begitupula beberapa ahli atom jerman jerman yang kini menikmati hidup mewah dibawah perlindungan Negara-negara maju seperti AS, Inggris dan Prancis. 5 Dunia juga telah menyaksikan bagaimana Sekjen PBB pada waktu itu Boutras-Boutras Gali memeluk Heng Samrin, salah-satu tokoh Khmer Merah yang membantai ratusan ribu penduduk Kamboja setelah ia turun dari persembunyiannya dan tidak pernah diadili. 6 Beberapa kasus yang dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional adalah kasus-kasus dari Negara-negara Afrika dan dunia ke tiga bahkan ada beberapa kasus yang merupakan permintaan pemerintah mereka sendiri agar warga mereka dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Negara-negara tersebut adalah Kongo, Uganda,Republik Afrika Tengah dan Mali. Tentu saja isu dalam kasus-kasus ini tidak sebesar kasus-kasus yang melibatkan Negara-negara adidaya yang belum tersentuh oleh Mahkamah Pidana Internasional. B.Permasalahan Melihat kasus-kasus yang ditangani Mahkamah Pidana Internasional hanyalah kasus-kasus dari Negara-negara dunia ketiga dan bahkan diantaranya karena permintaan Negara sendiri maka menimbulkan pertanyaan : 1. Apakah prinsip pertanggungjawaban individu dalam Statuta Roma bersifat tidak absolute? 2. Apakah prinsip pertanggungjawaban individu mampu menerobos dinding “Kedaulatan Negara” yang merupakan prinsip klasik dan universal dalam hukum internasional? 5 Romli Atasasmita, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jilid II, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, hlm 22 6 Ibid II. PEMBAHASAN A. Pengertian Tanggung Jawab, Tanggung Jawab Negara Dan Tanggung Jawab Individu Sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu bahwa tanggung jawab secara individu baru diterapkan kembali di dalam Statuta Roma 1998 yang mana sebelumnya dalam hukum internasional lebih menerapkan tanggung jawab Negara. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tanggung jawab individu ada baiknya diuraikan terlebih dahlu pengertian tanggung jawab, tanggung jawab Negara dan kemudian tanggung jawab individu. Menurut Sugeng Istanto pertanggung jawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Sementara menurut Dixon dalam Sefriani, pelanggaran kewajiban/kelalaian dapat muncul dari treaty, hukum kebiasaan internasional atau akibat tidak memenuhi kewajiban yang muncul dari putusan pengadilan. Beberapa dekade belakangan ini hukum internasional lebih mengenal pertanggung jawaban Negara atas suatu pelanggaran kewajiban oleh Negara. Hal ini juga tergambar dari putusan Majelis Umum PBB pada tahun 1970 yang berpendirian bahwa pelanggaran yang sifatnya serius diantaranya melakukan perbudakan, genocide, apartheid maka Negara tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban Negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatar belakangi pemikiran bahwa tidak ada satupun Negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak Negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak Negara lain menyebabkan Negara tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan kata lain mempertanggungjawabkannya. 7 7 Hingorani, dalam Sefriani, 2010, Hukum Internasional, Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: hlm 266 Sementara menurut Starke, tanggung jawab Negara dibatasi pada pertanggungjawaban Negara bagi tindakan –tindakan yang secara internasional tidak sah. Selanjutnya menurut Jawahir Thontowi pertanggungjawaban Negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban Negara yang diembannya atau besar dari kerugian yang ditimbulkan. Setelah Perang Dunia II, para sekutu yang merupakan pemenang perang mendirikan suatu pengadilan yang khusus mengadili individu pelaku kejahatan internasional. d asar pemikiran diadilinya individu adalah bahwa hukum internasional membebankan tugas dan kewajiban pada individu maupun pada Negara karena kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh wujud yang abstrak dan hanya dengan menghukum individu yang melakukan kejahatan tersebut ketentuan hukum internasional bisa ditegakkan.8 Prinsip tanggung jawab individu merupakan prinsip yang telah lama dikenal dalam hukum nasional dan telah diakui sebagai prinsip universal. Hans Kelsen dalam pendapatnya tentang tanggung jawab didalam hukum nasional membagi tanggung jawab menjadi tanggung jawab individu dan tanggung jawab kolektif. Menurut Kelsen, tanggung jawab individu adalah pada saat sanksi dikenakan hanya pada delinquent (pelaku) sedangkan tanggung jawab kolektif adalah ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan pada delinquent tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya. Baik pertanggungjawaban individu maupun kolektif dapat diberlakukan mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya independen. 9 Didalam hukum internasional tidak dikenal pembedaan antara tanggungjawab individu maupun kolektif seperti yang dikemukakan Hans Kelsen, karena didalam hukum internasional tanggung jawab kolektif juga disebut tanggung jawab individu. Contoh tanggung jawab kolektif 8 9 Malcolm.Shaw QC, 2013, Hukum Internasional, Bandung: Nusa Media, hlm 393 Hans Kelsen, 2012, Teori Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, hlm 58 yang serupa dengan pengertian dari Hans Kelsen adalah seorang bawahan yang melakukan kejahatan karena melaksanakan perintah atasan harus pula mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi, baik yang memerintahkan atau yang melaksanakan suatu kejahatan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya (pasal 28 dan 33 Statuta Roma) pertanggungjawaban yang demikian dalam hukum internasional disebut juga pertanggungjawaban individu. Pertanggungjawaban Individual sebenarnya telah dikemukakan oleh Hugo Grotius sejak tahun 1625 dalam bukunya “De Jure Belli Ac Pacis Libri Tres (The Law of War and Peace In Three Books)”. Dalam bukunya tersebut, Grotius menegaskan bahwa sekalipun jenderal atau prajurit yang sesungguhnya dapat mencegah kejadian/ kerugian sepenuhnya dapat dipertangguungjawabkan atas tindakannya. 10 Meski ide pertanggungjawaban secara individual telah muncul pada tahun 1625 namun baru pada tahun 2002 konsep ini mendapat tempatnya didalam Statuta Roma 1998 yang menjadi hukum internasional positif bagi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang sifatnya permanen. B. Tanggung Jawab Individu, Prinsip Mandul Dalam Mahkamah Pidana Internasional ? Hukum internasional merupakan system norma hukum yang terbentuk baik oleh kebiasaan Negara-negara, putusan pengadilan maupun perjanjian internasional. Namun berlakunya hukum internasional tergantung pada kehendak Negara dikarena kedaulatannya. Kedaulatan berdasarkan pandangan Jean Bodin merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari Negara, tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi.11 10 Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jilid I, Bandung: PT Refika Aditama, hlm 3 11 Yudha Bhakti Ardiwisastra, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing, Bandung; PT Alumni, hlm 13 Dengan kedaulatannya Negara dapat menentukan pada perjanjian internasional mana ia akan terikat. Ketika suatu Negara telah setuju untuk terikat pada suatu perjanjian internasional maka Negara telah menyerahkan secara penuh atau sebagian kedaulatannya. Hal ini berarti pula bahwa hukum internasional tidak mungkin mengikat Negara-negara apabila Negara yang berdaulat tidak mengakui adanya suatu kekuasaan lain yang lebih tinggi diatasnya.12 Meski prinsip kedaulatan ini mulai dikritik pada pasca Perang Dunia II karena dianggap sebagai penghalang perkembangan hukum internasional namun prinsip kedaulatan ini dianut sampai sekarang meskipun daya berlakunya lebih sempit dibandingkan pada abad ke 18 dan 19. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan Negaranegara nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan-pembatasan terhadap otonomi Negara. Pada waktu sekarang dapat dikatakan hampir tidak terdapat lagi Negara yang menolak pembatasan terhadap kebebasan negaranya demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. 13Dikatakan demikian karena Negara-negara itu adalah anggota masyarakat internasional dan juga sebagian besar adalah anggota organisasi internasional-organisasi internasional seperti PBB. 14 Kepada mereka diberikan kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya membatasi kebebasan mereka yang pada mulanya leluasa dalam melaksanakan kebijakan internasionalnya. 15 Sebagai anggota masyarakat internasional (dan juga organisasi internasional) Negara berkomitmen dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana telah tertuang dalam piagam PBB. Komitmen Negara diwujudkan dalam bentuk keikutsertaannya dalam berbagai perjanjian internasional yang mendukung ketertiban dan perdamaian dunia. 12 Ibid, hlm 45 Ibid, hlm 47 14 Ibid 15 Ibid 13 Salah-satu isu yang selalu menjadi masalah aktual dalam dalam hukum internasional adalah isu tentang hak asasi manusia. Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian internasional tentang Mahkamah Pidana Internasional Permananen yang khusus mengadili orang/individu pelaku kejahatan internasional. Hal ini tercantum dalam pasal 27 dan 28 yang tidak mengecualikan siapapun dari tanggungjawab pidana meskipun yang bersangkutan menikmati hak istimewa dan kekebalan yang terkait dengan jabatan resmi yang dipegangnya pada waktu itu.Terhadap bawahan yang melakukan kejahatan karena melaksanakan perintah atasan juga tidak dapat lepas dari tanggungjawab pidana atas perbuatannya (pasal 33).Dari pasal-pasal tersebut terlihat bahwa Statuta Roma 1998 menganut prinsip tanggungjawab individu yang serta-merta menggugurkan prinsip imunitas bagi pejabat Negara, komandan militer dan atasan sipil. Mahkamah Pidana Internasional Permanen juga diberi kewenangan untuk meminta kepada Negara pelaku agar pelaku diadili di mahkamah ketika mahkamah menilai Negara tersebut tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengadili si pelaku. Kewenangan mahkamah tersebut adalah untuk memastikan tanggungjawab individu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.Besarnya kewenangan mahkamah dianggap sebagai intervensi atas kedaulatan Negara sehingga banyak Negara yang kemudian lebih berhati-hati untuk melakukan ratifikasi atas Statuta Roma 1998. Namun benarkah prinsip Kedaulatan Negara telah diintervensi (hilang) sehingga Tanggungjawab Individu ini bersifat absolute? Apabila diperhatikan pasal selanjutnya yakni pasal 98 Statuta Roma yang berbunyi : 1. The court may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested state to act inconsistently with its obligations under international law with respect to the state or diplomatic immunity of a person or property of a third state, unless the court can first obtain the cooperation of that third state for the waifer of the immunity. 2. The court may not proceed with a request for surrender which would require the requested state to act inconsistently with its obligation under international agreements pursuant to which the consent of a sending state is required to surrender a person of that state to the court, unless the court can first obtain the cooperation of the sending state for the giving of consent for the surrender. Yang apabila diterjemahkan secara bebas menjadi : 16 1. Pengadilan (ICC) tidak dapat melanjutkan permintaan untuk menyerahkan seseorang atau bantuan untuk menyerahkan seseorang yang akan menyebabkan Negara tersebut untuk bertindak tidak konsisten dengan kewajibannya menurut hukum internasional yang berhubungan dengan imunitas diplomatik Negara, seseorang ataupun properti pihak ketiga (Negara Lain), kecuali ICC mendapatkan persetujuan kerjasama dari Negara lain tersebut untuk melepaskan hak imunitasnya. 2. Pengadilan (ICC) tidak dapat melanjutkan permintaan untuk menyerahkan seseorang atau bantuan untuk menyerahkan seseorang yang akan menyebabkan Negara tersebut untuk bertindak tidak konsisten dengan kewajibannya menurut perjanjian internasional yang mengatur bahwa persetujuan Negara yang mengirimkan orang tersebut dibutuhkan untuk menyerahkan seseorang kepada ICC, kecuali ICC mendapatkan persetujuan kerjasama dari Negara tersebut untuk menyerahkan. Pasal 98 Statuta Roma 1998 yang pada intinya menyatakan pelepasan hak imunitas seseorang dan permintaan untuk menyerahkan seseorang agar dapat diadili di Mahkamah 16 Aristo M.A Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), Jakarta: Papas Sinar Sinanti dan FHUI, hlm 107 Pidana Internasional harus mendapat persetujuan Negara menunjukkan bahwa Mahkamah mengakui prinsip Kedaulatan Negara sekaligus menunjukkan ketidakberdayaan dihadapan prinsip Kedaulatan Negara dikarenakan baik masalah imunitas maupun penyerahan pelaku sepenuhnya bergantung pada persetujuan Negara. Pasal 98 juga memperlihatkan suatu paham monisme primat hukum nasional yakni suatu paham yang menganggap hukum nasional sebagai sumber dari hukum internasional. Alasan utama dari paham ini adalah bahwa tidak ada satu organisasi diatas Negara-negara yang mengatur kehidupan Negaranegara didunia ini dikarenakan prinsip kedaulatan yang dimiliki Negara.Padahal setiap Negara bertanggung jawab dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia baik yang telah diatur secara jelas dan tegas dalam hukum internasional positif maupun dalam kebiasaan-kebiasaan internasional. Kelemahan yang timbul dari paham monisme primat hukum nasional ialah apabila terikatnya Negara pada hukum internasional digantungkan pada hukum nasional, hal ini sama dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional pada kemauan Negara itu sendiri.17Besarnya kewenangan yang dimiliki Mahkamah Pidana Internasional Permanen untuk menerobos prinsip Kedaulatan Negara menjadi mandul disaat Mahkamah harus mendapat persetujuan Negara agar seorang individu digugurkan hak imunitasnya dan menyeretnya ke Mahkamah Pidana Internasional Permanen. III. PENUTUP Hukum internasional tidak hanya mengatur prilaku Negara-negara tetapi juga secara tidak langsung mengatur prilaku individu-individu. Bahkan individu merupakan subjek yang paling pertama dalam kajian Hukum Pidana Internasional. Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian internasional mengenai Mahkamah Pidana Internasional Permanen/International Criminal Court (ICC) yang menganut prinsip 17 Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : PT Alumni, hlm 62 tanggungjawab individu. Selain prinsip tanggungjawab individu, Statuta juga menganut prinsip non imunity bagi pejabat tinggi Negara, komandan militer/atasan sipil. Mahkamah juga memiliki kewenanangan untuk meminta kepada Negara pelaku agar pelaku kejahatan internasional diadili oleh Mahkamah sepanjang Negara memenuhi dua kriteria yakni tidak mampu (Unable) dan tidak mau (Unwilling). Namun prinsip Tanggungjawab Individu sebagaimana tertuang dalam pasal 28 dan 33 Statuta Roma ternyata tidak berlaku mutlak. Kewenangan Mahkamah dibatasi oleh persetujuan Negara yang merupakan wujud dari prinsip klasik dan universal: “Kedaulatan Negara” seperti tercermin dalam pasal 98 ayat 1 dan 2. Dikedepankannya Kedaulatan Negara dalam pelaksanaan Statuta Roma menunjukkan bahwa Statuta sebagai hukum internasional positif justru berpahamkan Monisme Primat nasional yaitu suatu paham dimana hukum nasional melebihi hukum internasional. ketidakmampuan dalam menerobos prinsip Kedaulatan Negara dapat berakibat pada mandulnya pelaksanaan prinsip Tanggungjawab Individu sebagai salah-satu prinsip dalam Statuta Roma. DAFTAR PUSTAKA A. Daftar Buku 1. Ardwisastra, Yudha Bhakti, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara Di Forum Pengadilan Asing, Bandung, PT Alumni 2. Atmasasmita, Romli, 2003, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jilid I, Bandung, PT Refika Aditama 3. Atmasasmita, Romli, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jilid II, Jakarta, hecca Press 4. Istanto, Sugeng, 1998, Hukum Internasional, Jogjakarta, Universitas Atmajaya 5. Kelsen, Hans, 2012, Teori Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press 6. Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar hukum Internasional, Bandung, PT Alumni 7. Lubis, Todung Mulya, 2005, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Parthiana 8. Pangaribuan, Aristo M.A, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), Jakarta, Papas Sinar Sinanti dan FHUI 9. Sefriani, 2010, Hukum Internasional, Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 10. Shaw QC, Malcolm,N, 2013, Hukum Internasional, Bandung, Nusamedia 11. Siswanto, Arie, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Bogor, PT Ghalia Indonesia 12. Starke, J.G, 2001, Pengantar Hukum Internasional Jilid I, Jakarta, Sinar Grafika 13. Thontowi, Jawahir, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bamdung, PT Refika Aditama