ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PENGUJI TAMU DR. DEWAYANY SUSTRISNO, M. App.Sc ABSTRACT MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Ecological Spatial Analisys for Zona Group of Seaweedculture Development in Waworada Bay Bima Rigency under direction Bambang Widigdo and Agustinus Samosir. One of the potential area for developing mariculture in West Nusatenggara Province which has been decline recently is Waworada Bay of Bima regency. The aim of this research is to find out management measures that could revitalize the coastal area in waworada bay for sustainable seaweed culture. PCA (Principal Components Analysis), analyze were used in this research to explore the main biophysics parameters of growth seaweed culture, and explore the relationship between seaweed production and carragenan with biophysics parameters. In addition GIS analyses was applied to determine the suitable area. Analyze result were using PCA that main parameter of growth seaweedculture was salinity (20.21%), pest (20.14%), braigtness (19.94%), deepness (19.87%), and current (19.83%). Based on GIS Analyze, there are 20.135,94 ha potential and not potential area for seaweedculture that consist of 12.26 ha (0.06%) was very suitable, 19.287,94 ha (95,79%) was suitablel and 835,04 ha (4,15%) wasnot suitable. Key words : seaweed, carragenan, spacial ecology, zonasi, PCA, GIS, waworada bay Judul Tesis : Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nama NRP : Muhammad Sirajuddin : C251060031 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bambang Widigdo, M.Sc Ketua Ir. Agustinus, M. Samosir, M.Phil Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Tanggal Ujian : 01 Nopember 2008 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus : 12 Januari 2009 © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB. RINGKASAN MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima. Dibimbing oleh Bambang Widigdo dan Agustinus Samosir. Salah satu wilayah yang diketahui cukup potensial dan strategis untuk pengembangan budidaya laut di Kabupaten Bima adalah teluk Waworada. Wilayah ini potensial karena kaya akan potensi sumberdaya pesisir dan lautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan teluk waworada Kabupaten Bima untuk pengembangan budidaya rumput laut. PCA (Prinsipal Componen Analysis) digunakan untuk mengetahui parameter utama pertumbuhan rumput laut dan korelasi parameter biofisik dengan produksi, dan kandungan keraginan rumput laut. Sedangkan GIS (Geography Information System) untuk mengkaji kelayakan lokasi. Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak. Hasil penelitian ini dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan bahwa parameter utama pertumbuhan rumput laut adalah salinitas (20.21%), hama (20,14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan arus (19.83%). Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa peta tematik, luas wilayah perairan teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut adalah 20.135,24 ha, yang terdiri dari 12,26 ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, 19.287,94 ha (95,79%) sesuai, dan 835,04 ha (4,15%) tidak sesuai. Kata kunci : rumput laut, karaginan, ruang ekologi, zonasi, PCA, GIS, teluk waworada PRAKATA Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang sangat perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberikan manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi dan industri makanan. Produksi rumput laut selama ini cenderung menurun sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah belum dimanfaatkannya semua potensi laut, lemahnya teknologi budidaya dan regulasi pemerintah. Seiring dengan munculnya persoalan-persoalan tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya pencarian solusi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengkajian yang sistimatis guna menjawab setiap persoalan yang ada. Kegelisahan penulis atas isu tersebut merupakan titik awal ide penulisan tesis ini. Dalam rangka menjawab persoalan krisis sumberdaya, penulis berupaya memberikan secuil kontribusi melalui penulisan tesis ini yang mungkin akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungan. Dalam tesis ini membahas tentang perlunya mempelajari aspek fisika, kimia dan biologi perairan serta pengaturan ruang ekologis sehingga dapat menghasilkan produksi secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu intervensi dari pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sehingga kerugian bisa diminimalisir. Pemikiran seperti ini sangat tepat diterapkan di dalam setiap aktivitas yang bersentuhan langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini merupakan bagian dari proses belajar yang tak berujung. Semoga ketidaksempurnaan ini akan menjadi pemicu bagi penulis dalam upaya mencari kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini. Bogor, Penulis Oktober 2008 UCAPAPAN TERIMA Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul “Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworada Kabupaten Bima” Dengan hati yang tulus dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Widigdo dan Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan kritikan, masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor, Team Komisi Akademik dan Bapak Prof. Dr. Ir. Rohmin Dahuri, MS dan Dosen-dosen Pasca Sarjana yang yang telah banyak memberikan pencerahan ilmu perikanan khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc atas kritikan, sumbang saran untuk kesempurnaan tesis ini. Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Ibu Ida Nurlaila, SE, MM yang banyak membantu di Pemda Bima. Gubernur NTB, Direktur Yayasan Danamandiri, dan Direktur Coremap II atas dukungan dana dalam penyelesaian Tesis ini. Teman-teman angkatan XIII SPL terima kasih juga atas kerjasama yang baik selama mengikuti pendidikan. Ungkapan terima kasih dan doa yang tak terhingga disampaikan kepada almarhum (Ayahanda H. M. Said) yang telah mendorong untuk melanjutkan studi pascasarjana di IPB, ibu, mertua serta seluruh keluarga terutama istriku tercinta Irma Suryani, SP dan anak-anakku tersayang Nadira Khairunnisa (Anis) dan Muhammad Rafi’ Maulana atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2008 Penyusun RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di desa Dodu Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima pada tanggal, 11 Juli 1972 dari pasangan almarhum H. Muh. Said dan Hj. St. Kalisom. Penulis merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD.Inpres Dodu 1 tamat tahun 1985. SMPN 3 Bima tamat tahun 1988 dan SMAN 2 Bima tamat tahun 1991. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Universitas ’45 Mataram dan tamat pada tahun 1996. Setamat perguruan tinggi penulis bekerja di PT. Nener Bina Hayati Singaraja Bali sebagai staf teknis pembenihan bandeng (1996 – 1997), PT. Multi Mina Mertasari Rhee Sumbawa Besar sebagai staf teknis pembenihan bandeng (1997 – 1998). Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kanwil Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS). Pada tahun 2000 penulis ditempatkan di Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanin (BIPP Kab. Dompu), kemudian pada tahun yang sama penulis dipindahkan ke Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP Kab. Bima) hingga tahun 2002. Dengan berubahnya status BIPP menjadi BUKPPP (Badan Urusan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian), maka penulis tetap sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS) hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis dipindahkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima sebagai Kepala Seksi Perlindungan Sumberdaya Hayati dan Perikanan hingga tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bima untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana di IPB, penulis juga aktif sebagai Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana Pesisir dan Lautan) IPB sebagai ketua II (2006 – 2007) dan anggota bidang pelatihan dan pengembangan (2007 – 2008). Selain itu, penulis aktif menulis di buletin Bima Akbar tentang pesisir yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Mengikuti kegiatan seminar dan penyampaian makalah. Semoga segala yang pernah dilakukan penulis diridhoi oleh Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... iv v xiii I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian ..................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5. Kerangka Pendekatan Masalah .................................................... 1 1 2 3 4 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut ............................................... 2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Berkelanjutan ............................. 2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut ............................................................................................. 2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ................................. 2.5. Produktivitas Rumput Laut ......................................................... 2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut ............................................ 2.7. Apikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya ... 2.7. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir .............................. 6 6 7 8 15 19 19 20 22 III. METODELOGI PENELITIAN .......................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2. Penelitian Pendahuluan ................................................................ 3.3. Penelitian Utama .......................................................................... 3.4. Analisa Data ................................................................................. 25 25 26 30 35 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian ........................................................... 4.2. Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang .................... 40 40 46 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut ............... 5.2. Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut .................... 5.3. Produktivitas dan Kandungan Karaginan Rumput Laut .............. 5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis .. 50 50 53 61 65 5.6. Rekomendasi ............................................................................. 71 Halaman VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 6.1. Kesimpulan ................................................................................ 6.2. Saran .......................................................................................... 72 72 73 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN-LAMPIRAN........................................................................... 74 83 DAFTAR TABEL Halaman 1. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ............................. 17 2. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ............................. 17 3. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ............................. 17 4. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ............................. 18 5. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut.............................. 18 6. Kandungan Karaginan Beberapa Rumput Laut Jenis Eucheuma yang dinyatakan dalam persen ............................................................ 20 Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima .................................................................................................... 28 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi yang Diamati Selama Penelitian ............................................................................................. 30 Matrik Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya Rumput Laut ....................................................................... 36 Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ...................................................................................................... 38 Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama ..................... 51 Kontribusi Variabel Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ........ 51 Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Terhadap Produksi Biomas dan Karaginan Rumput Laut ................... 52 14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA) ................. 53 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 15. 16 Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ...................................................................................................... 53 Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identivikasi di Lokasi Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima ............................... 61 Halaman 17 18 19 Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima ................................................................ 62 Rata-rata produksi rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima .......................................... 63 Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima ....................... 64 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima ........................ 5 2. Morfologi Rumput Laut Eucheuma cottonii .................................... 7 3. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................... 25 4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan Teluk Waworada Kabupaten Bima .................................................. 27 Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama Teluk Waworada Kabupaten Bima ............................................................. 29 5. 6. Metode Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan long line .................................................................................................... 33 7a. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 Maret 2003 ......... 41 7b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 April 2003 ......... 41 7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Maret – April 2003 ............... 42 8. Suhu Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa .................................. 43 9. Sebaran pH Air Laut Selatan Sumbawa ........................................... 43 10. Kelarutan Oksigen (DO) Air Laut Selatan Sumbawa ...................... 44 11. Kosentrasi Timbal (Pb) Air Laut Selatan Sumbawa ........................ 44 12. Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa ............................ 45 13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut .............................. 47 14. Distribusi Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Pada Sumbu Utama ........................................................ 51 15. Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima ............. 54 16. Peta Tematik Hama Teluk Waworada Kabupaten Bima ................. 55 17. Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima .......... 55 Halaman 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima ......... 56 19. Peta Tematik Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ................... 56 20 Peta Arah Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ........................ 57 21. Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima ............................................................. 57 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. . Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ............ 84 Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Wawo-rada Kabupaten Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret – April 2007 ................... 85 Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima 86 Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di Teluk Waworada Kabupaten Bima (Satuan kg/unit ........................... 87 Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara Dengan Petani Pada Musim Hujan dan Kemarau di Teluk Waworada ............................... 88 Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara Dengan Petani pada Musim yang Berbeda ........................................ 89 Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan Pada Musim Kemarau di Teluk Waworada ........................................ 90 Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Akuakultur Indonesia, 8 (1) : 1 – 10 (2009) ............................. 91 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Namun pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade 1980 - 1990 antara lain karena tersedianya teknologi pembenihan, berumur pendek dan merupakan komoditi ekspor bernilai jual tinggi. Namun pada tahun 1990-an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh merebahnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan diversifikasi usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah budidaya rumput laut (Aderhold, et al. 1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006). Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatanobatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan) Wang dan Chiang (1994). Namun bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia yang semakin tinggi, ekspor rumput laut Indonesia rendah dan tahun 1995 – 1998 cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton dengan nilai ekspor 21.307.593 U$ pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Sementara itu produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton basah (Ditjenkanbud, 2005). Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah karena belum dimanfaatkan semua potensi laut. Tercatat areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900 ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005). Demikian juga sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi 2 Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000). Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005). Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut. 1.2. Perumusan masalah Usaha budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima mengalami ekspansi yang pesat namun produksinya justru malah menurun. 3 Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada meliputi : 1. Penataaan ruang; regulasi pemerintah khususnya ketetapan lokasi dan pengaturan ruang yang belum jelas, karena belum adanya aturan/aspek hukum yang pasti dan jelas dalam pemanfaatan kawasan teluk Waworada sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya berdampak kepada kinerja dan kontinuitas produksi budidaya rumput laut di teluk Waworada tersebut. Ketidaksesuaian lokasi yang dilakukan petani/nelayan diduga berdampak pada menurunnya produksi dan rendahnya kualitas rumput laut. 2. Teknologi pengelolaan budidaya khususnya aspek penyediaan bibit, metode budidaya, umur panen dan pasca panen yang tidak sesuai teknis, hal ini sangat penting karena merupakan salah satu input penting dalam kegiatan budidaya rumput laut. 3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi baik biomas maupun kandungan karaginan rumput laut. Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan dan pengembangan budidaya rumput laut yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam rangka meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di wilayah tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima". 1.3. Tujuan dan sasaran penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir teluk Waworada Kabupaten Bima untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (dua) langkah penelitian yaitu : 1. Model hubungan antara faktor lingkungan (biofisik) dengan pengembangan usaha budidaya rumput laut ditinjau dari produksi dan kandungan karaginan. 4 2. Pengelompokan kawasan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima berdasarkan karakteristik biofisik dengan pendekatan indek tumpang susun (model SIG). 1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam perencanaan pemanfaatan kawasan untuk budidaya rumput laut khususnya di teluk Waworada Kabupaten Bima, sehingga proses aplikasinya dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. 1.5. Kerangka Pendekatan Masalah Berdasarkan potensi dan permasalahan teluk Waworada tersebut, maka dalam proses untuk memenuhi target produksi dan tujuan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan yang meliputi : persyaratan kondisi lingkungan perairan (aspek fisika, kimia dan biologi), persyaratan kualitas akhir (karaginan) untuk kesesuaian lokasi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya rumput laut. Untuk mencapai tujuan dan sasaran untuk pengembangan budidaya rumput laut maka dilakukan pendekatan diantaranya penentuan parameter utama pertumbuhan budidaya rumput laut dengan menggunakan analisa Principle Component Analysis (PCA), analisis keruangan dengan menggunakan Geografis Information System (GIS). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima. Setelah berhasil menempatkan kegiatan budidaya rumput laut pada kawasan yang sesuai dengan parameter lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi). Hasilnya kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan kondisi perairan teluk Waworada itu sendiri. Secara sederhana kerangka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1. 5 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir Teluk Waworada Kabupaten Bima Studi Pustaka Kondisi Lingkungan perairan Survey lapangan Produksi biomas dan Kandungan Karaginan Penentuan Parameter Utama Lingkungan Perairan (Analisis PCA) Kriteria Kesesuaian Perairan Analisis Spasial (Analisis GIS) Pemanfaatan Lokasi Saat ini Evaluasi Pemanfaatan Pemanfaatan Tahun Sebelumnya Pengelompokan Zona Budidaya Rumput Laut Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari ”seagrass” atau nama lokalnya padang lamun. Rumput laut tergolong tanaman yang berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999). Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktorfaktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005). Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosom, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thalli bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus. Dawes (1981), menjelaskan sistematika rumput laut Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut : Kelas : Florideophycidae Ordo : Gigartinales Family : Solieriaceae Genus : Eucheuma Species : E. cottonii. 7 Gambar : 2. Morfologi rumput laut cotoni (Eucheuma cottonii) Menurut (Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004), bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. 2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka 8 kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Selanjutnya Kadi dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya. Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu pemeliharaan 1,5 – 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering (Aslan, 1988). 2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C (Luning, 1990). Menurut Lee, et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi 9 beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C. Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27 - 30°C dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa kisaran suhu yang demikian masih cukup ideal untuk pertumbuhan biota laut. Suhu yang terlalu rendah dan suhu yang terlalu tinggi sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme. Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer, et al. (2004), bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L. Saccharina) 10% / hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C dapat mematikan. Kecerahan Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988). Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan 10 cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut (Kadi dan Atmadja, 1988). Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. Sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm – 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 – 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984; Jones 1993; Msuya dan Neori, 2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut. Arus Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu. 11 Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/dtk. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang. Kedalaman Perairan Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman. Salinitas Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17 ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988). pH Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987), pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990). 12 Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Nutrien Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981). Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991). Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara 13 di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Phytoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988). Perairan yang memiliki COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (UNISCO/WHO/UNEF, 1992). Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2.46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan bahan organik. Hal ini juga membuktikan bahwa budidaya ikan di tambak dan limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD. Sedangkan 14 konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan. Timbal (Pb) Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah (P. Colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999). Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983). Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadnium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et. al. (2002), bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian 15 kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wrigh dan Mason (1999), melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akomulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb). Hama dan Penyakit Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.), ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006). Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat iceice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005). 2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter. Menurut Aslan (1988) 16 dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi. Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 1). Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan pH memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 2). Sedangkan Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot (10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja memperoleh bobot (5%) (Tabel 3). Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 4). Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan. Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 5). Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat, 17 sedangkan parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, pH, substrat dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan parameter penunjang, namun saling melengkapai artinya tanpa parameter penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil. Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Arus Kecerahan Keterlindungan Suhu Kedalaman Gelombang Salinitas Nitrat Phosfat Substrat Pencemaran Jumlah m/dtk cm ºC m cm ppt mg/l mg/l - Tidak sesuai 1 < 10 atau > 40 <3 Terbuka < 20 atau > 30 < 2 atau > 15 > 30 < 28 atau > 37 < 0,01 atau > 1,0 < 0,01 atau >0,30 Lumpur - Skor (S) Sesuai 2 10 – 20 atau 30- 40 3–5 Agak terlindung 20 – 24 1–2 10 – 30 34 – 37 0,8 – 1,0 0.21 – 0.30 pasir berlumpur sedang Sangat sesuai 3 20 – 30 >5 Terlindung 24 – 30 2–5 < 10 28 – 34 0,01 – 0,07 0,10 – 0,20 pasir tidak ada Bobot (%) 5 8 12 8 8 8 4 12 12 12 8 8 100 Sumber : Aslan (1988) Tabel 2. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Kedalaman Oksigen (DO) Salinitas Suhu Kecerahan pH Jumlah M mg/l ppt °C % - S1 80 1–5 >6 28 – 36 26 – 31 > 75 7,5 – 8,5 Skor (S) S2 S3 60 40 >5–6 4–5 > 20 – 28 20 - < 24 > 31 – 33 > 33 – 35 50 – 75 25 - < 50 > 8,5 – 8,7 6,5 - < 7 N 10 <4 < 20 > 35 < 25 > 8,8 Bobot (%) 35 10 10 10 25 10 100 Sumber : Bakosurtanal (2005) Tabel 3. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Skor (S) Parameter Kecerahan Kedalaman Arus Gelombang Jumlah Satuan M M cm/s Cm S1 4 1 ¾ ½ ¼ S2 3 4/3 1 2/3 1/3 S3 2 2 3/2 1 ½ N 1 4 3 2 1 Bobot (%) 0.4 0.3 0.2 0.1 1.0 Sumber : Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) 18 Tabel 4. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Morfologi Kedalaman Arus Substrat dasar Kecerahan Salinitas Pencemar Hewan herbivora Keamanan Keterjangkauan Tenaga kerja Jumlah Bobot (%) 15 M Cm/dtk 15 10 10 M Ppt 10 10 10 5 Ekor 1 – 10 20 – 30 Pasir dan pecahan >3 28 - 31 Tidak ada Tidak ada Nilai (value) 20 Cukup terlindung 11 – 15 31 – 40 Pasir berlumpur 1–3 32 – 34 Sedang Sedang Aman Mudah Mudah Agak aman Agak sulit Agak sulit 30 Terlindung 5 5 5 100 10 Terbuka < 1 & > 15 < 20 & > 40 Lumpur <1 < 28 & > 34 Tinggi Tinggi Tidak aman Sulit Sulit Sumber : Radiarta et al. (2005) Tabel 5. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Morfologi Substrat dasar Bobot (%) 0.1 0.1 4 Terlindung Nilai (value) 3 2 Agak Terlindung terlindung sesaat Pasir sedikit Pasir berlumpur berlumpur sedang 70 – 79 60 – 69 0.01 – 0.04 0.03 – 0.06 31 – 40 41-50 11 – 15 16 – 20 Kecerahan Logam berat Arus Kedalaman % mg/l cm/s M 0.1 0.1 0.09 0.09 Pasir dan pecahan karang 80 – 100 < 0.01 20 – 30 5 – 10 Salinitas Hewan air Ppt Ekor 0.09 0.08 31 – 35 Tidak ada 28 – 30 Kurang 25 – 27 Banyak Keterjangkauan 0.07 Lancar Tenaga kerja 0.06 Banyak Keamanan 0.06 Aman Cukup lancar Cukup tersedia Cukup aman Kurang lancar Kurang tersedia Insidentil Pemasaran 0.06 Lancar Cukup lancar Kurang lancar Jumlah 1.00 Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) 1 Tidak terlindung Pasir berlumpur banyak < 60 < 0.06 < 20&>50 <5&> 20 <25&>35 Sangat banyak Tidak lancar Tidak tersedia Tidak aman Tidak lancar 19 2.5. Produktivitas Rumput Laut Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas 292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari (15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer, 2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 – 8 mm setelah dipelihara 40 – 60 hari mencapai 10 mm. Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara dengan pH dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai 600 – 900 gram / m2 dengan berat awal 2 – 3 gram. Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata 18,1°C (musim dingin) dan 31,2°C (musim panas), salinitas 41 ppt, pH (8,5 -8,9) dan DO (8,9 – 9.07 mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau 78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14 kg/tahun. Demikian juga Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 – 1,2 kg/musim pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6 kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006) bahwa rumput laut yang dipelihara pada suhu 17°C dan 21°C, pH 8.46, DO 8 – 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari. 2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan 20 rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 6). Tabel 6. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Eucheuma yang dinyatakan dalam persen. Kandungan No Jenis karaginan Lokasi Keterangan (%) 1 72,8 Tanzania Eucheuma spinosum 2. Eucheuma striatum 69,0 Tanzania 3. Eucheuma platycladum 85,0 Tanzania 4. Eucheuma okamurai 58,0 Tanzania 5. Eucheuma spinosum 54,0 Tanzania 6. Eucheuma spinosum 65,7 – 67,5 Indonesia 7. Eucheuma cottonii 61,5 Indonesia Sumber : Gliksman (1983). Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rmput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut. 2.7. Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan, 21 1998). Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika, Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi. Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk analisa daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003). Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk. Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5. Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oceanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk 3.000 ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll). 22 Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas. 2.8. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan dengan pemeliharaan kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarkhi dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang yang selama ini disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tata ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana 23 Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut. Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997).. Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bagda Depdagri, 1998). 24 Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan (Odum, 1989). Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan (Sugandhy, 1993). 25 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007. Gambar : 3. Peta Lokasi Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik 26 pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada pukul 08.00 – 17.00 WITA. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak. 3.2. Penelitian Pendahuluan Sebelum penelitian inti dilakukan survei pendahuluan lebih dahulu dengan melakukan survei langsung ke lapangan. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan yaitu keterlindungan/ketidakterlindungan dari ombak, kuat lemahnya arus, kedalaman, kecerahan dan habitat yang berbeda (berkarang, karang campur pasir dan pasir). Selain faktor internal di atas juga dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan perairan seperti adanya pengaruh sungai, pertambakan dan aktivitas pemukiman dan pelabuhan perikanan. 27 Gambar : 4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan Hasil pengamatan pendahuluan menunjukan bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak, karena di mulut teluk Waworada terdapat lekukanlekukan garis pantai dan luas mulut teluk Waworada lebih kecil dibandingkan dengan luasan teluknya sehingga mampu mengurangi arus deras dan gelombang besar yang datang dari Samudra Hindia. Hasil pengamatan parameter fisika dan kimia di 10 (sepuluh) stasiun pengamatan (Gambar 4) yang tersebar di teluk Waworada yang meliputi kecepatan arus berkisar antara 0,15 – 0,35 m/dtk (standar deviasi 0.01 – 0.03 m/dtk), suhu berkisar antara 28 - 32ºC (standar deviasi 0.58 – 1.00 °C), pH berkisar antara 7 – 9 (standar deviasi 0.58 – 1.00), dan salinitas berkisar antara 32 – 36 ppt (standar deviasi 0.58 – 1.00 ppt). Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan sedikit berbeda yaitu berkisar antara 2 - 24 m (standar deviasi 1.50 – 3.61 m) dan kecerahan berkisar antara 1 – 7 m (standar deviasi 0.58 – 1.15 m). Demikian juga habitat perairan seperti berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di 10 (sepuluh stasiun) atau 30 (tiga puluh) titik pengamatan yang juga hampir sama (Tabel 7). 28 Tabel 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Stasiun Arus (m/dtk) I Suhu (°C) pH 0.18 ± 29.67 ± 8.00 ± 0.03 0.58 1.00 II 0.20 ± 30.67 ± 8.67 ± 0.01 0.58 0.58 III 0.35 ± 31.00 ± 8.67 ± 0.01 1.00 0.58 IV 0.34 ± 29.67 ± 8.33 ± 0.01 0.58 0.58 V 0.34 ± 30.67 ± 8.33 ± 0.01 0.58 0.58 VI 0.18 ± 29.67 ± 8.00 ± 0.01 0.58 1.00 VII 0.20 ± 29.67 ± 8.67 ± 0.01 0.58 0.58 VIII 0.35 ± 30.00 ± 8.67 ± 0.01 1.00 0.58 IX 0.35 ± 30.33 ± 8.33 ± 0.01 0.58 0.58 X 0.35 ± 29.33 ± 8.67 ± 0.01 0.58 0.58 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Salinitas (ppt) Kedalaman (m) Kecerahan (m) 32.67 ± 0.58 34.00 ± 1.00 34.67 ± 0.58 34.67 ± 0.58 34.33 ± 0.58 32.67 ± 0.58 32.67 ± 0.58 34.67 ± 0.58 35.00 ± 1.00 34.67 ± 0.58 3.33 ± 1.50 4.67 ± 1.53 5.33 ± 1.15 9.67 ± 2.52 13.33 ± 1.53 21.33 ± 1.53 20.67 ± 3.06 4.00 ± 1.00 5.00 ± 1.00 8.00 ± 3.61 1.33± 0.58 2.67 ± 1.15 3.67 ± 0.58 5.33 ± 0.58 5.67 ± 0.58 7.00 ± 0.00 7.00 ± 0.00 3.67 ± 0.58 5.00 ± 1.00 6.67 ± 0.58 Dari pengamatan tersebut dapat diambil suatu gambaran bahwa teluk Waworada termasuk tipe teluk yang terlindung dari ombak dan arus yang deras, dengan parameter fisika dan kimia meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas dan pH perairan di stasiun pengamatan yang homogen. Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan heterogen. Habitat perairan yang bertipe berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di seluruh stasiun pengamatan juga masih tergolong homogen. Mengingat kondisi fisika dan kimia perairan teluk Waworada yang homogen, maka dalam penentuan stasiun pengamatan dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang sekiranya dapat mempengaruhi kondisi biofisik teluk Waworada yaitu meliputi 5 (lima) kelompok, yaitu : 1. Kelompok satu (St1) adanya pengaruh sungai yang membawa limpasan air tawar yang akan mempengaruhi kondisi fisika dan kimia perairan seperti suhu, salinitas dan pH. 29 2. Kelompok dua (St2) adanya tambak akan mempengaruhi kondisi perairan karena limpasan sisa air tambak yang banyak membawa partikel organik (kimia) yang dapat mempengaruhi kandungan kimia perairan. 3. Kelompok tiga (St3) adanya aktivitas manusia seperti pemukiman yang dapat menghasilkan limbah sehingga menurunkan kualitas perairan. 4. Kelompok empat (St4) adanya aktivitas manusia seperti pelabuhan yang dapat menghasilkan limbah cair seperti minyak juga dapat menurunkan kualitas perairan. 5. Kelompok lima (St5) adalah titik yang mewakili daerah dengan kegiatan yang minim ataupun tidak ada kegiatan sama sekali. Sehingga penentuan stasiun pengamatan pada penelitian ini yang hanya meliputi 5 (lima) stasiun pengamatan dan 15 (lima belas) titik sampling yang letaknya berderet di bagian utara teluk dianggap cukup mewakili keseluruhan perairan teluk Waworada Kabupaten Bima (Gambar 5). Dalam kegiatan penentuan stasiun pengamatan ini juga dibantu dengan alat GPS (Global Positioning System). Gambar : 5. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama 30 3.3. Penelitian Utama Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun. Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian No 1. 2. 3. Parameter Alat Pengukuran Frekwensi (Kali) Keterangan Fisika • Kecerahan • Suhu • Kecepatan Arus • Kedalaman Secchi disk Termometer Floating roach dan stopwatch Tali penduga dan meteran 3 3 3 3 Insitu Insitu Insitu Insitu Kimia • Salinitas • pH • Fosfat • Nitrat • DO • COD • Logam berat (Pb) Refraktometer Kertas lakmus merah Spektrofotometer Spektrofotometer Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer 3 3 3 3 3 3 3 Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Biologi • Hama Pengganggu Visual dan Wawancara - Insitu Frekwensi : 3 kali/42 hari (Minggu kedua, keempat dan keenam). a. Parameter Fisika Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m) : alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas penglihatan. Suhu permukaan (°C) : alat yang digunakan adalah termometer dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik) : alat yang digunakan adalah floating roach dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30 cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah tali yang diikatkan pada floating roach. Apabila floating roach tersebut berpindah atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian dapat ketahui bahwa floating roach tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa 31 menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/dtk), L = jarak tempuh (m), dan S = waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan. b. Parameter Kimia Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30 cm dari dasar). Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur salinitasnya; pH diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas lakmus merah ke dalam air kemudian dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat (Pb), contoh air diambil langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Manajemen Produktivitas Lingkungan IPB Bogor. c. Parameter Biologi Hama pengganggu Pengamatan hama pengganggu dilakukan dengan metode visual sensus dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan. Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel 32 pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan sensus ini diawali dengan pemasangan garis transect dengan ukuran 50 m dengan menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m (English, et al, 1994). Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas 1.000 m2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun) pengamatan. Selama pengamatan berlangsung dicatat apa yang diamati meliputi hama mikro seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang yang menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan hama makro seperti ikan beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), bintang laut (Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus ke depan sampai sejauh 50 m. Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan alat bantu pernapasan. Untuk lokasi (stasiun) pengamatan yang kedalamannya > 5 m, maka digunakan metode wawancara dengan nelayan sebanyak 15 orang yang berpengalaman menyelam dan menangkap ikan di sekitar stasiun pengamatan yang telah ditetapkan pada waktu penelitian berlangsung. d. Produksi Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m, panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris (tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm. Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan biasanya memiliki 5 – 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 – 42 33 hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m2 atau satu unit budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m2 (Gambar 6). Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen. Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau 2.000 rumpun/1.000 m2. Dalam satu stasiun, pengambilan sampel hanya diwakili oleh satu nelayan dan diambil 10 (sepuluh) tali ris dan dari masing-masing tali ris diambil untuk ditimbang secara keseluruhan. Untuk menghitung produksi rumput laut maka rumput laut tersebut terlebih dahulu ditimbang dalam keadaan basah sebelum dibudidayakan sebagai berat awal (B0). Berat awal (B0) adalah berat rumput laut sebelum dibudidayakan. Setelah ditimbang rumput laut tersebut diikatkan pada tali ris, dan tali ris (tali pemeliharaan) tersebut diikatkan pada tali induk. 34 Untuk menjaga kemungkinan kematian atau rusak pada rumput laut yang telah diikatkan sebagai sampel maka dipersiapkan 1 (satu) tali ris sebagai pengganti (yang sebelumnya juga sudah ditimbang) yang ditempatkan pada lokasi yang berdekatan. Hal ini dimaksudkan supaya memudahkan dalam pengukuran berat panen (B42). Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya. Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : Berat panen total (Bt) / tali ris dibagi dengan luas panen budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut: P= Bp Lp ...................................................... (1) Keterangan : P = Produksi total (kg/ha) Bp = Berat panen ( kg) Lb = Luas panen (ha) e. Kandungan karaginan Untuk mendapatkan data kandungan karaginan rumput laut, maka diambil sampel rumput laut pada umur 42 hari setelah tanam (HST). Pengambilan sampel untuk diuji kandungan karaginannya diambil secara acak di 10 tali. Masingmasing tali diambil 10 rumpun. Setelah sampel diambil, kemudian dicuci supaya bersih dari kotoran kemudian ditimbang dengan berat berkisar antara 100 – 200 gram berat basah/rumpun dan dijemur selama 2-3 hari sampai kering. Penjemuran dilakukan di atas para-para dan selama penjemuran terus dijaga agar sampel uji tidak rusak atau kena hujan. Sampel uji yang telah dijemur dan telah kering dilakukan analisa kadar air di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Perhitungan kadar air dengan rumus sebagai berikut : KadarAir (% ) = KehilanganBobot x100% ............................... BobotSampel (2) Penentuan kandungan karaginan dilakukan untuk setiap sampel dengan menggunakan metode Ainsworth dan Blanshard (1980). Selanjutnya penentuan 35 kandungan karaginan dapat diukur berdasarkan rumus sebagai berikut (Syaputra, 2005) : Karaginan(% ) = BeratKaraginan x100% BeratSampel .............................. (3) Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder antara lain diperoleh dari hasil-hasil penelitian, literaturliteratur penunjang dan peta-peta yang berhubungan dengan lokasi penelitian. 3.4. Analisa Data Analisis Komponen Utama Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) (Lagendre dan Lengendre, 1984; Foucart, 1985; Tabachnich dan Fidell, 1996). Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan komponen utama dan bobot matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. Bobot matrik kesesuaian tersebut akan diperoleh dari besarnya korelasi dari beberapa parameter biofisik yang meliputi parameter fisika (kecerahan, suhu, kecepatan arus dan kedalaman); kimia (salinitas, pH, fosfat, nitrat, DO, COD dan Pb); biologi (hama pengganggu). Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak (software) XL Statistica 4.4 dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menetapkan variabel 2. Menyusun struktur data asal (kualitatif) ke dalam data kuantitatif 3. Menginput data kuantitatif ke dalam software XL Statistica 4.4 4. Menentukan jumlah faktor utama berdasarkan nilai eigen values tertinggi 5. Menyederhanakan variabel berdasarkan kontribusi tertinggi dari masingmasing variabel terhadap faktor utama yaitu (≥ 0,90). 6. Menyimpulkan hasil analisis komponen utama Nilai bobot matrik kesesuaian lokasi pengembangan budidaya rumput diperoleh dengan mengambil hasil analisis dari parameter yang diamati misalnya suhu, DO, pH, COD, salinitas, arus, nitrat, fosfat, Pb, kecerahan, kedalaman, 36 hama, produksi biomas dan karaginan rumput laut. Hasil analisis dari masingmasing parameter biofisik dengan PCA (Prinsipil Component Analisis) tersebut akan diperoleh nilai parameter utama (Faktor utama ke-i) (kolom 3 Tabel 9). Untuk mendapatkan nilai prosentase (%) (kolom 4 Tabel 9) maka nilai parameter faktor utama ke-i (kolom 3 Tabel 9) dijumlahkan dan dibagi dengan nilai total parameter ke-i (Σ Faktor utama ke-i ) dan dikalikan 100% (Tabel 9) : Tabel 9. Matrik, Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Teluk Waworada Kabupaten Bima. Parameter Sumber Faktor utama ke-i Prosentase (%) Bobot DO 10*** pH 10**** ** Salinitas 10 Suhu 10**** * Nitrat 12 Fosfat 12* *** COD 10 ** Pb 10 Arus 10** ** Kecerahan 10 Kedalaman 15** ** Hama 5 Jumlah Σ Faktor utama ke-i 100.00 * Sumber : Aslan (1988), **Radiarta et al. (2005), ***KLH (1988), **** Bakosurtanal (2005). Prosentase faktor utama ke-i secara kuantitatif menggunakan pendekatan sebagai berikut : βi = FUi x100% ∑ FUi ........................................................... (4) Keterangan : ßi = Faktor pembobot (%) FUi = Faktor utama ke-i Σ FUi = Jumlah total faktor utama ke-i Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Tahap awal dari analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi penyusunan matrik kesesuaian yang merupakan dasar untuk analisa keruangan. Matrik ini disusun melalui studi pustaka sehingga sapat diketahui 37 parameter-parameter yang diperlukan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut mengacu pada kriteria yang telah disusun oleh Aslan (1988); KLH (1988); Bakosurtanal (2005) dan Radiartha, et al. (2005) Tabel 10. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk kesesuaian budidaya rumput laut. 1. Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan ke dalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominannya. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (GIS), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui : - Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan budidaya rumput laut, dan kawasan mana saja yang dijadikan sebgai kawasan lindung. - Hasil penyusunan peta kawasan yang sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2. Penyusunan matrik kesesuaian Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut berdasarkan hasil studi pustaka. Matrik ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matrik tersebut akan dapat diketahui data dari berbagai parameter dan cara analisisnya. Kategori kesesuaian pada matrik ini menggambarkan tingkat kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kategori yang didefinisikan sebagai berikut : Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata 38 terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan. Kategori (S2) : Sesuai (suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan. Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut yang digunakan adalah sebagai berikut (Tabel 10). Tabel 10. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture). Parameter Bobot (ßi) 1 2 Kecerahan Arus Kedalaman Hama Salinitas Nitrat Pb Suhu COD DO Fosfat S2 (20) ßi . xi Kriteria Skor klas (xi) ßi . xi S3 (10) Skor klas Kriteria (xi) 9 10 5 6 7 8 - >3 30 - 1–3 20 - <1 10 - 0.20 – 0.30 30 - 0.31 – 0.40 20 - < 0.20 & 0.40 10 - 1 – 10 30 - 11 – 15 20 - <1&> 15 10 - < 10 30 - 10 – 70 20 - > 70 10 20 - < 28 & > 34 10 20 - < 0.01 & > 1.0 10 20 - >1 10 - 28 – 31 30 - - 0.010.07 30 - - < 0.01 30 - - 26 - 31 30 - - 10 - 90 30 - - >6 0.10 – 0.20 30 - - pH S1 (30) Skor klas Kriteria (xi) 3 4 Total 7.5 – 8.0 S1 30 - 30 - 32 – 34 0.8 – 1.0 > 0.01 –1 32 - 35 20 - < 26 & > 35 10 91 100 4-5 0.21 – 0.30 20 - > 100 10 20 - 10 20 - <4 < 0.01 & > 0.30 8.0 20 - Σßi xi S2 12 - ** - 10 N Σßi xi Sumber : *Aslan (1988), **Radiarta et al. (2005), ***KLH (1988), ****Bakosurtanal (2005) 3. Pembobotan dan pengharkatan Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter Sumber 11 10 < 7.5 & > 0.8 Σßi xi ßi . xi ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. ** ** ** ** * ** **** *** **** * **** 39 Besarnya pembobotan ditunjukan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lokasi. Nilai bobot (ßi) (kolom 2 Tabel 10) diperoleh dari hasil parameter utama pertumbuhan rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada Kabupaten Bima yang dianalisa dengan Analisa Komponen Utama (Principal Component Analysis). Untuk setiap parameter dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas yaitu sangat sesuai (S1) diberi skor klas (30), sesuai (S2) diberi skor klas 20, dan tidak sesuai (N) diberi skor klas 10. Untuk menyimpulkan tingkat kesesuaian lokasi (stasiun) maka dilakukan penjumlahan nilai akhir seluruh parameter pada stasiun yang bersangkutan (Y = Σ Nilai Bobot x Skor). Untuk mendapatkan nilai selang kelas (X), maka nilai S1 ditambah S2 dibagi dua, nilai S2 ditambah N dibagi dua. Dengan demikian untuk kategori kesesuaian lokasi budidaya rumput laut berada pada kisaran sebagai berikut : Kategori Sangat Sesuai (S1) : Y > 2500 Kategori Sesuai (S2) : Y = 1500 - 2500 Kategori Tidak sesuai (N) : Y < 1500 4. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter masing-masing jenis kesesuaian lokasi. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk polygon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lokasi. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lokasi tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcView GIS Version 3.3. 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak pada posisi 118º44’ - 119º10’ Bujur Timur dan 08º08” - 08º57” Lintang Selatan, memiliki wilayah pesisir seluas 2.967,40 km² dari 4.596,9 km² luas wilayah Kabupaten Bima. Sedangkan panjang garis pantai Kabupaten Bima yaitu 711,76 km, dengan batasan wilayah sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan berbatasan dengan laut Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan selat Sape dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Menurut Sumiono, et al. (1991), bahwa teluk Waworada terletak di pantai selatan Pulau Sumbawa dan secara geografis terletak pada posisi 8° 42’- 8° 46’ LS dan 118° 42’ - 118° 54’ BT. Keadaan perairannya relatif tenang sepanjang tahun karena terlindung dari pengaruh Samudra Indonesia. Berdasarkan perhitungan dari peta laut, luas perairan sampai kedalaman 60 m sekitar 201 km², dasar perairannya relatif rata, banyak mengandung lumpur atau lumpur campur pasir karena pengaruh muara-muara sungai di sekitarnya. Beberapa ekosistem sumberdaya pesisir yang ada di teluk Waworada adalah hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Luas hutan mangrove diperkirakan ± 194,5 Ha dengan luas 106,5 Ha kondisi baik dan 88 Ha kondisi rusak, dan jenis yang banyak di sekitar teluk Waworada ini adalah Sonneratia sp., dan Rhizopora sp. (Anonymous, 2003). Selanjutnya kondisi terumbu karang dan padang lamun, dengan luas terumbu karang ± 1.119,8 Ha, yaitu ± 626,8 Ha rusak parah dan ± 392 Ha rusak sedang dan 101 tidak ada keterangan. Sedangkan padang lamun di teluk Waworada seluas ± 121,9 Ha. Jenis yang dominan adalah Halophila spinulosa dan Thalassodendron ciliatum (Anonymous, 2003). Menurut Ismail, et al. (2003) bahwa luas areal padang lamun di teluk Bima 2 ha dengan species dominan Enhallus acoroides, teluk Saleh Dompu 10 ha dengan species dominan yang sama (kepadatan < 20 m2), dan teluk Sepi Lombok luasnya 1,6 Ha dengan species dominan yang sama pula (kepadatan 32 m2). 41 Batimetri Lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) wilayah perairan utama yaitu Laut Flores di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Kedua perairan tersebut dihubungkan satu sama lain oleh Selat Sape (antara Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba). Selat Sape mempunyai kedalaman air yang menurun dari 1.050 m di bagian selatan menjadi kurang dari 300 m di bagian barat laut, yaitu di lokasi ambang Pulau Gili Banta. Menurut Bakosurtanal dan Dishidros (1992), bahwa kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 1 – 69 m. Sedangkan DEM (2008) melaporkan bahwa kedalaman wilayah pesisir teluk Waworada berkisar antara 1 – 8 m. Pasang Surut Pasang surut di wilayah penelitian antara 1 – 1,5 m (Anonymous, 2003). Pasang surut di Selat Sape mempunyai karakteristik yang unik akibat dipengaruhi oleh dua rambatan gelombang pasang surut yang berasal dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April, 2002 dan 2003 berkisar antara 1 – 16 dm (Dinas Dehidros Jakarta, 2002; 2003). Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April 2003 terlihat pada (Gambar 7a, 7b dan 7c) berikut : a b Pasang Surut (1 April 2003) Pasang Surut (1 Maret 2003) T in g g i A ir (d m ) 10 8 6 4 Series1 2 0 0 5 10 15 Waktu (Jam) 20 25 30 T i n g g i A ir (d m ) 14 12 14 12 10 8 6 4 Series1 2 0 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (Jam) Gambar : 7a.b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima (01Maret dan 01 April 2003) 42 Tinggi Air (Water high) (dm) Pasang Surut (Maret - April 2003) 20 15 10 Series1 5 0 0 20 40 60 80 Waktu (Bulan) Gambar : 7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima pada Bulan Maret – April 2003 Parameter Ekologi Manurung dan Simbolon (1997) melaporkan bahwa suhu permukaan laut selama 3 tahun di perairan Selatan Jawa – Sumbawa (NTB) berkisar antara 27 29 ºC pada musim barat (Desember – Pebruari), 28 - 30 ºC pada musim pancaroba I (Maret – April), 24 - 26 ºC pada musim tenggara (Mei – September), dan 26 - 29 ºC pada musim pancaroba II (Oktober – Nopember). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007) melaporkan bahwa suhu permukaan air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara 26 - 29°C (Gambar, 8). Menurut Radiarta, et al. (2003), suhu air di teluk ekas Lombok berkisar antara 24 - 30 ºC. Menurut Martono (2002; Halid, et al. 2002), suhu permukaan laut di selatan pulau Bali dan Lombok berkisar antara 27 - 29 ºC pada bulan Juli – September (Musim Timur), dan 26 - 28 ºC pada bulan Desember – Pebruari (Musim Barat). Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa suhu berkisar 28 33ºC masih cukup layak untuk pertumbuhan biota laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (2007), melaporkan bahwa pH air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara 6 – 8,3 (Gambar 9); Menurut Kep-Men.KLH/2/KLH/1988, nilai pH pada kisaran 6,5 – 8,5 masih cukup layak 43 bagi kehidupan rumput laut dan biota lainnya. DO berkisar antara 5,4 – 6.0 mg/l (Gambar, 10); dan Pb berkisar antara 0.0006 – 0.001 mg/l (Gambar, 11). Palupi (1994), melaporkan bahwa standar timbal (Pb) dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter. 30 29 28 27 26 25 24 Ja n. 05 M ar .0 5 M ei .0 5 Ju l.0 5 Se p. 05 N op .0 5 Ja n. 06 M ar .0 6 M ei 06 Ju l.0 6 Se p. 06 N op .0 6 Suhu (derajat celsius) Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa Bulan/Tahun (2005 - 2006) Gambar : 8 Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007). Bulan/Tahun (2005 - 2006) Gambar 9. Sebaran pH Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 S ep .0 6 N op .0 6 Ju l.0 6 S ep .0 5 N op .0 5 Ja n. 06 M ar .0 6 M ei .0 6 Ju l.0 5 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ja n. 05 M ar .0 5 M ei .0 5 pH Sebaran pH Laut Selatan Sumbawa 44 O kt .0 6 Ju l.0 6 A pr .0 6 Ja n. 06 O kt .0 5 Ju l.0 5 A pr .0 5 6.2 6 5.8 5.6 5.4 5.2 5 Ja n. 05 DO(mg/l) Ke larutan Ok s ige n (DO) Laut Se latan Sum baw a Bulan/Tahun (2005 - 2006) Gambar 10. Kelarutan Oksigen (DO) Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 O kt .0 6 Ju l.0 6 A pr .0 6 Ja n. 06 O kt .0 5 Ju l.0 5 A pr .0 5 0.0012 0.001 0.0008 0.0006 0.0004 0.0002 0 Ja n. 05 Pb(mg/l) Kos e ntr as i Tim bal (Pb) Laut Se latan Sum baw a Bulan/Tahun (2005 - 2006) Gambar 11. Kosentrasi Timbal (Pb) Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 Menurut Radiarta, et al. (2003), salinitas di teluk ekas Lombok berkisar 25 – 41 ppt. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007), melaporkan bahwa salinitas air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara 33 – 34.5 ppt (Gambar, 12). Menurut (Guanzon dan De Castro, 1992; De Castro dan Guanzon, 1993), bahwa rumput laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 – 34,5 ppt. 45 35 34.5 34 33.5 33 32.5 32 Ja n. 05 M ar .0 5 M ei .0 5 Ju l.0 Se 5 p. 0 N 5 op .0 5 Ja n. 06 M ar .0 6 M ei 06 Ju l.0 Se 6 p. 0 N 6 op .0 6 Salinitas (ppt) Salinitas Perm ukaan Air Laut Selatan Sum baw a Bulan/Tahun (2005 - 2006) Gambar 12. Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 Pergerakan arus permukaan (Maret – April) dari perairan laut Flores menuju Samudra Hindia melalui Selat Lombok dan Selat Sumbawa dengan kecepatan yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 37,4 – 41,4 cm/detik yang mengarah ke arah barat. Sedangkan pada musim barat (Desember – Pebruari), arus bergerak dari arah barat (Selat Karimata) melalui laut Jawa dan masuk di bagian selatan Selat Makasar di bagian utara dan arus bergerak mengarah ke selatan (Atmadipoera, 1990). Di laut Flores kecepatan arus pada bulan Pebruari lebih tinggi dibandingkan pada bulan Agustus dan pola arusnya menuju ke timur dan pada bulan Agustus berbalik arah dari timur menuju ke barat di Samudra Hindia dengan kecepatan 0,9393 m/detik (Harimi, et al. 2004). Menurut Utojo, et al. (2004), bahwa kecepatan arus di teluk saleh Dompu (NTB) berkisar antara 3,2 – 23,8 cm/detik. Selanjutnya Ismail, et al. (1996) melaporkan bahwa di teluk sepi (Lombok) kecepatan arus 13,9 cm/detik. Sedangkan di teluk saleh (Dompu-NTB) kecepatan arus 10,9 – 17,9 cm/detik. Hasil pengamatan (Pra Penelitian, 2006) bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak karena di mulut teluk terdapat lekukan-lekukan dan di dalamnya terdapat pulau-pulau kecil yang sangat berpotensi menahan ombak dan pergerakan arus deras dan suhu berkisar antara 28 - 31ºC, kecepatan arus berkisar antara 0,12 – 0,32 cm/dtk dan salinitas berkisar antara 32 – 36 ppt. 46 Pada umunya Propinsi Nusa Tenggara Barat beriklim tropis, dimana musim timur terjadi dari bulan Oktober – Maret bertepatan dengan musim hujan dan kondisi angin tertiup dari arah timur ke arah barat yang umumnya berkekuatan kecil sampai sedang. Sedangkan musim barat terjadi pada bulan April – September bertepatan dengan musim kemarau dan kondisi angin tertiup dari arah barat ke timur yang umumnya berkekuatan besar. Kondisi angin tersebut sangat berpengaruh terhadap pergerakan ombak, arus (Utojo, et al. 2004). Dengan memperhatikan gambaran umum tentang kondisi biofisik Kabupaten Bima dan wilayah perairan sekitarnya maka dapat disimpulkan bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak besar dan arus yang deras sehingga sangat besar potensinya untuk pengembangan budidaya laut khususnya rumput laut. Dari gambaran data tersebut di atas, secara teknis kondisi biofisik teluk Waworada pada musim barat maupun musim timur relatif stabil, sehingga rencana zonasi untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk tersebut dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan para nelayan dan kondisi ril di lapangan bahwa budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima dilakukan secara terus-menerus di kedua musim baik musim hujan maupun panas (Pra Penelitian, 2006). 4.2. Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang Kawasan teluk Waworada merupakan salah satu kawasan sentra produksi perikanan yang potensial di Kabupaten Bima, meliputi tambak udang, kerang mutiara dan KJA. Pada tambak TIR TRANS sebelumnya pernah diusahakan dengan komoditi utama udang windu yang perkembangannya mengalami pasang surut karena tersandung oleh berbagai masalah baik teknis, sosial dan manajemen pengelolaannya sehingga sejak tahun 2000 sampai sekarang usaha tersebut mengalami kefakuman. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas dan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah daerah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan teluk Waworada maka pada tahun 2001 pemerintah daerah bekerja sama dengan Dinas Perikanan Propinsi NTB memperkenalkan sekaligus demplot budidaya rumput laut dengan sistem long line. Usaha pemerintah tersebut tidak sia-sia, 47 bahkan berdampak pada pengembangan budidaya rumput laut yang cukup pesat (Gambar 13) Gambar 13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Mengingat usaha budidaya rumput laut mudah dilakukan, biayanya murah dengan pangsa pasar cukup menjanjikan, maka usaha tersebut terus berlanjut bahkan usaha budidaya rumput laut dijadikan sumber pendapatan utama selain usaha penangkapan ikan. Dampak dari semua kegiatan tersebut adalah terjadinya pemanfaatannya yang melebihi daya dukung (Carryng capacity) di teluk Waworada Kabupaten Bima. Menurut perhitungan dengan menggunakan GIS, luasan usaha budidaya rumput laut ± 9.094 Ha (45,16 %) meliputi ujung barat menyisir bagian utara, bagian selatan sampai ke mulut teluk Waworada yang letaknya tidak teratur, tertumpu pada beberapa tempat bahkan ditempat yang tidak sesuaipun dimanfaatkan. Untuk mengantisipasi adanya efek negatif dan menciptakan usaha budidaya rumput laut yang berkelanjutan maka perlu dilakukan zonasi. 48 Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bima Tahun 2003 – 2013, Pemerintah setempat telah menetapkan beberapa kebijakan strategis yang perlu dikembangkan, antara lain penataan ruang wilayah, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana pendukung pengembangan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam, dan lingkungan serta peningkatan peran kelembagaan. Kebijakan strategis ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya penyediaan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pemekaran wilayah. Selanjutnya berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi NTB Tahun 2006 – 2020 bahwa teluk Waworada ditetapkan sebagai tempat pengembangan perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, area konservasi serta jalur pelayaran. Berdasarkan RTRW Propinsi NTB tersebut maka perlu adanya pengaturan pemanfaatan (Bappeda Propinsi NTB, 2006). Khusus untuk masalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, hal tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Strategi Bidang Pembangunan yang meliputi Bidang Ekonomi Khususnya Sub Bidang Perikanan dan Kelautan serta Bidang Pembangunan Daerah khususnya Sub Bidang Penataan Ruang. Arahan yang diambil adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, terpadu dan berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Berdasarkan uraian di atas maka hal penting yang merupakan kebutuhan esensial adalah adanya suatu rencana tata ruang wilayah yang baik termasuk di wilayah pesisir, kebijakan yang dilakukan harus transparan, berkeadilan dan akomodatif terhadap kepentingan berbagai lapisan masyarakat dimana memerlukan keterlibatan berbagai stakeholders dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Untuk itu diperlukan suatu konsep perencanaan dalam 49 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir bagi daerah-daerah potensial seperti di teluk Waworada Kabupaten Bima yang diawali dengan membangun kesepakatan ilmiah tentang alokasi ruang yang ada. Dalam pelaksanaan zonasi perairan teluk Waworada, dibutuhkan data baik data primer maupun data sekunder. Data primer dapat diambil secara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Namun karena keterbatasan data, maka digunakan data hasil penelitian terdahulu yang berlokasi di sekitar perairan teluk Waworada. Data tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam zonasi teluk Waworada Kabupaten Bima. 50 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut Sebelum dilakukan analisa kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut maka terlebih dahulu dilakukan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk mendapatkan bobot matrik kesesuaian. Hasil Analisis Komponen Utama pada beberapa parameter biofisik teluk Waworada meliputi DO, pH, Salinitas, Suhu, Nitrat, Fosfat, COD, Pb, Arus, Kecerahan, Kedalaman, Hama, Produksi biomas dan Karaginan memperlihatkan bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya masingmasing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen, dan 17 persen dengan ragam totalnya 79 persen (Gambar 14; Tabel 11). Hal ini berarti bahwa 79 persen data hasil analisis dapat dijelaskan hingga sumbu utama kedua (Tabel 12). Distribusi stasiun pengamatan terhadap sumbu utama sangat ditentukan oleh parameter kualitas perairan. Variabel hama pengganggu, COD, dan pH yang memberikan kontribusi pembentukan sumbu pertama (F1) merupakan penciri stasiun pertama (St1) yang ditandai oleh tingginya hama pengganggu, COD, dan pH. Stasiun dua (St2) dicirikan oleh tingginya Pb. Stasiun tiga (St3) dicirikan oleh tingginya fosfat. Stasiun empat (St4) dicirikan oleh tingginya DO, dan Stasiun (St5) dicirikan oleh tingginya nitrat, produksi biomas, karaginan, kedalaman, kecerahan, dan arus yang juga memberikan kontribusi pembentukan sumbu pertama (F1) (Gambar 14). 51 Biplot on axes 1 and 2 (79% ) 2.5 2 I V -- axe2(17%) --> 1.5 1 pH COD Hama 0.5 0 Pb -0.5 Suhu Kedalama Karaginan Nitrat Arus Keceraha Produksi n Salinitas n Fosfat DO III -1 IV II -1.5 -2 -6 -4 -2 0 2 4 6 -- axe 1 (62% ) --> Gambar 14. Distribusi parameter fisika, kimia dan biologi pada stasiun pengamatan sumbu 1 dan 2 Tabel 11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama. Eigenvaluae % Total Cumulative Cumulative 8.70 0.62 8.70 0.62 2.36 0.17 11.06 0.79 1.99 0.14 13.05 0.93 0.94 0.06 13.99 1.00 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Tabel 12. Kontribusi variable Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i DO 0.7431 -0.5865 PH -0.1525 0.8229 Salinitas 0.9584 -0.2271 Suhu 0.5614 0.5046 Nitrat 0.8749 0.3104 Fosfat -0.0269 -0.4619 COD -0.8153 0.5473 Pb -0.7496 -0.2716 Arus 0.9403 0.2644 Kecerahan 0.9456 -0.0805 Kedalaman 0.9423 0.2403 Hama -0.9550 0.2460 Produksi Biomas 0.9892 0.0587 Karaginan 0.5878 0.3951 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 52 Dari Tabel 11 terlihat bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua sumbu utama. Mengingat nilai kontribusi faktor utama ke-i sebesar 62 persen (kolom 2 Tabel 12) maka faktor utama yang dijadikan bobot matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut cukup faktor utama ke-i (kolom 2 Tabel 13). Tabel 13. Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika dan Kimia terhadap Produksi dan Karaginan Rumput Laut. Parameter Faktor Utama Salinitas 0.9584 Arus 0.9403 Kecerahan 0.9456 Kedalaman 0.9423 Hama -0.9550 Produksi Biomas 0.9892 Karaginan 0.5878 Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Dari tampilan Tabel 13 terlihat bahwa salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman berkorelasi positif dengan produksi dan karaginan rumput laut. Sedangkan hama berkorelasi negatif dengan produksi dan karaginan rumput laut. Hal ini berarti bahwa tingginya produksi biomas rumput laut dipengaruhi oleh tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman perairan. Tingginya salinitas sebesar (0.96%), arus (0.94%), kecerahan (0.95%), kedalaman (0.94%) dan berkurangnya hama sebesar (-0.96%) maka dapat meningkatkan produksi sebesar (0.99%). Namun tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman tentu ada batas optimalnya. Batasan tesebut telah ditentukan berdasarkan matrik (Kolom 3; 6; 9 Tabel 15). Selanjutnya nilai kontribusi parameter utama yang diambil untuk dijadikan bobot adalah nilai kontribusi yang nilainya sebesar (ά ≥ 0,90). Nilai kontribusi parameter utama tersebut meliputi salinitas, arus, kecerahan, kedalaman, dan hama (Tabel 14). Dari tampilan Tabel 14 di bawah ini terlihat bahwa salinitas merupakan parameter yang paling tinggi nilai bobotnya yaitu sebesar 20.21%, kemudian disusul oleh hama (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan arus (19.83%). Nilai prosentase (%) faktor utama tersebut di atas (Tabel 10) dapat dijadikan bobot (Tabel 15) : untuk matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut 53 Tabel 14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA). Parameter Faktor Utama ke-i Prosentase (%) Salinitas 0.96 20.21 Arus 0.94 19.83 Kecerahan 0.95 19.94 Kedalaman 0.94 19.87 Hama -0.95 20.14 Jumlah 4.74 100.00 Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut hasil penelitian ini (Tabel 15), besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter meliputi salinitas (20.21%), hama (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%) dan arus (19.83%). Tabel 15. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) di Teluk Waworada S1 S2 S3 Parameter 1 Salinitas Hama Kecerahan Kedalaman Arus Bobot Skor (ßi) Kriteria klas (xi) 2 3 4 ßi x xi Kriteria 5 6 Skor klas (xi) 7 ßi x xi Kriteria 8 9 < 28 & > 34 > 70 <1 <1& > 15 < 0.20 & 0.40 20.21 32 – 34 30 606.3 28 – 31 20 404.2 20.14 19.94 < 10 >3 30 30 604.2 598.2 10 – 70 1–3 20 20 402.8 398.8 19.87 1 – 10 30 596.1 11 – 15 20 397.4 30 594.9 20 396.6 19.83 Total 0.20 – 0.30 S1 2.999.7 0.31 – 0.40 S2 1999.8 Skor klas (xi) 10 10 10 10 10 10 N Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 5.2. Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Pada awalnya penelitian ini menghasilkan rumusan untuk kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Tabel 15). Analisis ini dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Analisis didasarkan atas faktor pembatas ditinjau dari aspek biofisik. Setelah itu melalui matrik ini dapat diasumsikan bahwa perairan teluk Waworada merupakan areal yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. ßi x xi 11 202.1 201.4 199.4 198.7 198.3 999.9 54 Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut. Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi 4 (empat) parameter (Tabel 15) meliputi yaitu salinitas dengan bobot (20.21%), hama pengganggu (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan kecepatan arus (19.83%). Hasil overlay dengan menggunakan software Arc View GIS 3,3 dari beberapa peta tematik meliputi salinitas, hama, kecerahan, kedalaman dan arus (Gambar 15; 16; 17; 18; 19), sehingga diperoleh luas wilayah perairan teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas sebesar 20.135,24 ha, maka 12.26 ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, 19.287,94 ha (95,79%) dikategorikan sesuai, dan 836.48 ha (3,97%) dikategorikan tidak sesuai (Gambar 21). Gambar 15. Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima 55 Gambar 16. Peta Tematik Hama Pengganggu Teluk Waworada Kabupaten Bima Gambar : 17. Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima 56 Gambar 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima Gambar 19. Peta Tematik Kecepatan Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima 57 Gambar 20. Arah Arus Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima (Waktu Pasang Bulan Maret 2007). Gambar 21. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima 58 Adapun tingkat kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut dapat dirinci sebagai berikut : Sangat Sesuai (S1) Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas khusus yang menghambat perlakuan yang diberikan. Seluruh parameter fisika, kimia dan biologi yang ada membuat daerah ini sangat sesuai untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa ternyata lokasi yang sangat sesuai berada pada stasiun 5 (lima) yang arahnya mendekati garis pantai. Total luasan lokasi yang sangat sesuai adalah 12.26 ha. Perairan yang sangat sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas cukup optimal yaitu berkisar antara 28 – 31 ppt, hama relatif sedikit yaitu kurang dari 10 ekor, kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 3 meter, kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 1 – 10 m, dan kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0.21 – 0.35 m/dtk. Sesuai (S2) Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan adanya faktor-faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang diterapkan. Dalam hal ini faktor pembatas yang ditemukan tersebar di 10 stasiun pengamatan. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas relatif tinggi yaitu berkisar antara 32 – 39 ppt, kecerahan sedang yaitu berkisar antara 1 – 3 m, kedalaman tinggi yaitu berkisar antara 11 – 15 m dan kecepatan arus sedang yaitu berkisar antara 0.10 – 0.20 m/dtk. Untuk kategori sesuai, total luasan perairan adalah 19.287,94 ha. Tidak Sesuai (N) Daerah-daerah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan masukan/perlakuan yang diberikan pada daerah-daerah tersebut. Semua parameter yang ada mempunyai batasan-batasan/hambatan-hambatan untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Sebaran kategori ini hampir di seluruh stasiun pengamatan yang letaknya berada di dekat pantai. Untuk kategori tidak sesuai, total luasan perairannya 836.48 ha. Perairan ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas 59 cukup tinggi yaitu > 32 ppt, kecerahan sangat kurang yaitu < 1 m, kedalaman juga relatif dangkal yaitu < 1 m, dan kecepatan arus sangat kurang yaitu < 0.10 m/dtk. Faktor-Faktor Pembatas Sebagaimana telah dijelaskan pada hasil analisa spasial/keruangan di atas, untuk kelas kesesuaian S2 (sesuai) dan N (tidak sesuai) terdapat faktor-faktor pembatas yang harus dipertimbangkan baik perlakuan maupun dampak dari perlakuan tersebut. Faktor-faktor pembatas ini merupakan jabaran dari batasanbatasan nilai yang ada dari setiap parameter-parameter yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup rumput laut. Pada daerah dengan kategori S2, syarat hidup rumput laut relatif belum mencukupi batasan nilai optimal yang dibutuhkan untuk perkembangan rumput laut. Oleh karena itu, masukan-masukan tertentu masih dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang optimal, seperti misalnya salinitas yang merupakan faktor alami yang sukar diubah/diberi masukan untuk meningkatkan kemampuannya. Salinitas merupakan salah satu parameter yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut untuk menjalankan proses metabolisme penting seperti osmoregulasi, proses reproduksi, dan pertumbuhan rumput laut. Salinitas di perairan teluk Waworada berkisar antara 32 – 36 ppt dengan salinitas rata-rata berkisar antara 32,33 - 35,33 ppt (Gambar 15). Kondisi salinitas perairan tersebut masih cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Lin, (1974), bahwa rumput laut (Gracillaria) tumbuh paling cepat pada salinitas 25 ppt. Sedangkan Chen, (1976) melaporkan bahwa rumput laut (Gracillaria) tumbuh paling cepat pada salinitas antara 18 dan 30 ppt. Salinitas optimum untuk rumput laut adalah 15 sampai 25 ppt (Anonymous, 1991). Sedangkan (Guanzon dan De Castro, 1992; De Castro dan Guanzon, 1993) menyatakan bahwa rumput laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 – 34,5 ppt. Dalam kaitannya dengan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, kondisi salinitas di daerah ini berada pada kisaran sedikit di atas batasan minimal syarat hidup rumput laut dan merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam rencana pengembangan budidaya rumput laut. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan pertumbuhan rumput laut yang optimal adalah tidak melakukan penanaman pada 60 musim kemarau karena salinitasnya cenderung tinggi. Sebaiknya penanaman rumput laut dilakukan pada musim hujan saja. Kecerahan merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumpt laut. Kecerahan air di teluk Waworada berkisar 1 – 7 m (Gambar 17), hal ini diduga karena dipengaruhi oleh kondisi perairan yang belum tercemar sehingga cahaya matahari dapat menembus sampai kedalaman tertentu dan bahkan dapat menembus sampai dasar perairan. Namun ditinjau dari sudut kecerahan sebenarnya belum mencapai titik optimum karena di beberapa stasiun pengamatan kecerahan masih banyak < 3 m. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap intensitas atau besarnya penyinaran cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Untuk memenuhi syarat yang paling layak, pada kecerahan < 3 m rumput laut dapat digantungkan pada kedalaman ± 20 cm dari permukaan laut, hal ini dimaksudkan rumput laut dapat memperoleh sinar matahari yang cukup tinggi. Kedalaman perairan adalah faktor yang penting bagi budidaya rumput laut terutama berkaitan dengan pembuatan media budidaya. Secara keseluruhan kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 2 – 15 m dengan rata-rata 3,33 – 13,33 m (Gambar 18). Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman. Kedalaman perairan teluk Waworada di beberapa stasiun pengamatan masih banyak > 10 m. Dengan kedalaman yang demikian maka akan menyulitkan dalam penempatan rakit terutama jangkar. Menurut Radiarta, et al. (2007), bahwa pemilihan lokasi dengan kedalaman yang sesuai sekitar (1 – 10 m) akan memudahkan untuk melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian solusi yang paling baik yang bisa dilakukan adalah tidak menempatkan rakit/long line pada derah yang mempunyai kedalaman > 10 m. Arus merupakan parameter yang sangat penting untuk dijadikan tolok ukur dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut. Kecepatan arus di sekitar teluk Waworada berkisar antara 0,12 – 0,32 m/detik dengan (Gambar 19). Dengan demikian kecepatan arus pada saat penelitian kurang optimum, karena masih di bawah nilai optimal sangat layak. Ini sesuai dengan pendapat Trono dan Fortes (1980), bahwa kecepatan arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 0,08 – 0,17 m/detik. Kadi dan Atmaja (1988) menyatakan bahwa kecepatan arus yang paling baik untuk budidaya Eucheuma 61 adalah 20 – 40 cm/detik. Adanya arus yang baik dapat menjamin tersedianya makanan yang tetap bagi rumput laut sehingga rumput laut dapat tumbuh dengan sempurna dan mencapai produksi yang optimal. Untuk mendapatkan nilai produksi yang tinggi maka perlu dipertimbangkan untuk tidak menanam rumput laut pada lokasi yang memiliki kecepatan arus < 0.10 m/dtk. Hama pengganggu dalam penelitian bukan merupakan faktor pembatas dalam usaha budidaya rumput laut karena jumlahnya sangat sedikit yaitu < 20 ekor. Hama pengganggu budidaya rumput laut di perairan teluk Waworada terdiri dari ikan beronang berukuran besar hasil tangkapan nelayan sekitar. Ikan kerapu, bintang laut, bulu babi, dan penyu hijau tidak ditemukan di lokasi tersebut. Jumlah hama pengganggu terbanyak ditemui di stasiun satu (St1) dengan jumlah 32 ekor, diikuti stasiun dua (St2) berjumlah 26 ekor, stasiun tiga (St3) berjumlah 21 ekor, stasiun empat (St4) berjumlah 19 ekor dan stasiun lima (St5) dijumpai 18 ekor hama pengganggu (Tabel 16; Lampiran 3). Tabel 16. Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identifikasi di Lokasi Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima. Stasiun Ikan Beronang (ekor) Ikan Kerapu (ekor) Bintang Laut (ekor) I 32 II 26 III 21 IV 19 V 18 Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Bulu babi dan bulu babi duri pendek (ekor) Jumlah (ekor) - 32 26 21 19 18 Menurut Russ, (1985) dalam English, et al. (1994) bahwa kelimpahan species ikan karang yang banyak yaitu dengan jumlah species berkisar antara 1.025 – 16.384 ekor. Dengan demikian kelimpahan hama di lokasi penelitian sangat rendah sehingga tidak berpengaruh bagi pertumbuhan rumput laut. 5.3. Produksiktivitas dan Kandungan Karaginan Produktivitas Pengukuran produktivitas rumput laut hasil pengamatan dilakukan pada umur 42 hari setelah tanam. Produksi rumput laut per rumpun, tali dan ha hasil 62 budidaya di teluk Waworada Kabupaten Bima pada masing-masing stasiun pengamatan (Tabel 17). Tabel 17. Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima Produksi Produksi Produksi Stasiun (gram/ rumpun) (Kg/10 tali) (Kg/ha) I 1.630 3.260 32.600 II 1.824 3.648 36.480 III 1.964 3.928 39.280 IV 2.144 4.288 42.880 V 2.440 4.880 48.800 Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Dari Tabel 17 terlihat bahwa hasil produksi rumput laut tertinggi diperoleh pada stasiun lima (St5) dengan nilai 4.880 kg/10 tali (48.800 kg/ha), disusul stasiun empat (St4) sebesar 4.288 kg/10 tali (42.880 kg/ha), stasiun tiga (St3) sebesar 3.928 kg/10 tali (39.280 kg/ha), stasiun dua (St2) senilai 3.648 kg/10 tali (36.480 kg/ha) dan stasiun satu (St1) mempunyai hasil produksi terendah yaitu 3.260 kg/10 tali (32.600 kg/ha) (Lampiran 4). Hasil produksi tersebut tergolong rendah apabila dibandingkan dengan pernyataan dari Ditjenkanbud (2005) bahwa bibit 50 – 100 gram apabila dipanen pada umur 45 hari dapat menghasilkan produksi 8 kali lipat atau 1,25 – 2,56 kg/rumpun (25.000 – 51.200 kg/ha). Tapi bila dibandingkan dengan pendapat Syahputra (2005) yang melaporkan bahwa rumput laut yang ditanam dengan berat awal 50 – 150 gram dapat menghasilkan berat basah pada minggu ke 6 rata-rata sebesar 1.618,3 gram, maka hasil produksi petani nelayan di teluk Waworada Kabupaten Bima tergolong tinggi. Selain data produksi rumput laut di beberapa stasiun di teluk Waworada di atas, sebagai pembanding dilakukan juga perhitungan produksi di beberapa desa di Kecamatan Langgudu, Monta, Wera dan Sape. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang nelayan di desa sampel. Produksi rumput laut di desa-desa sampel sangat bervariasi. Di 2 (dua) desa sampel yaitu di desa Bajo Pulo Kecamatan Sape dan desa Pai Kecamatan Wera, produksi rumput laut sangat tinggi yaitu masing-masing memiliki rata-rata produksi 30.360 kg/1.000 m2 atau 303.600 kg/ha dan 31.350 kg/1.000 m2 atau 313.500 kg/ha. Sedangkan rata-rata produksi di desa sampel lain jauh lebih rendah dibandingkan kedua desa di atas, yaitu desa Tanjung Mas Kecamatan Monta 63 (7.920 kg/1.000 m2 atau 79.200 kg/ha), desa Laju Kecamatan Langgudu (6.600 kg/1.000 m2 atau 66.000 kg/ha), desa Doro O’o dan Rupe Kecamatan Langgudu (7.260 kg/1.000 m2 atau 72.600 kg/ha), desa Karampi Kecamatan Langgudu (7.590 kg/1.000 m2 atau 75.900 kg/ha) dan desa Dumu Kecamatan Langgudu (8.250 kg/1.000 m2 atau 82.500 kg/ha). Data produksi rumput laut selengkapnya di beberapa desa sampel termuat pada Lampiran 5. Di bawah ini ditampilkan perbandingan produktivitas hasil pengukuran dan wawancara di teluk Waworada dan beberapa lokasi lain di Kabupaten Bima (Tabel 18). Tabel 18. Rata-rata produktivitas rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima Rata-rata Produksi Musim Hujan (kg/ha) Hasil pengukuran di 5 stasiun pengamatan 40.008 Musim Kemarau (kg/ha) Hasil pengukuran di 5 stasiun pengamatan 2.180 Musim Hujan dan Kemarau (kg/ha) Hasil wawancara dg petani di 8 desa lokasi lain 373.833 Sumber : Data diolah hasil penelitian Tahun 2008 Dari tampilan Tabel 18; Lampiran 6 terlihat bahwa produktivitas rumput laut dari lima stasiun pengamatan pada musim hujan sebesar 32.600 – 48.800 kg/ha (dengan rata-rata produksi 40.008 kg/ha), hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas rumput laut pada musim kemarau (Lampiran 7) yaitu berkisar antara 1.400 – 2.800 kg/ha (rata-rata produksi 2.180 kg/ha). Rendahnya produktivitas pada musim kemarau ini diduga karena berat bibit yang digunakan lebih kecil yaitu 20 gram/rumpun, sedangkan pada musim hujan berat bibit berkisar antara 100 – 125 gram/rumpun. Selanjutnya produktivitas rumput laut hasil wawancara dengan petani dari 8 (delapan) lokasi, baik pada musim hujan maupun musim kemarau menunjukkan nilai produktivitas yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 330.000 – 1.567.500 kg/ha (rata-rata produksi 373.833 kg/ha) dibandingkan dengan produktivitas rumput laut hasil pengukuran di lokasi penelitian (baik pada musim hujan dan kemarau). Tingginya produktivitas rumput laut hasil wawancara ini diduga karena jumlah bibit rumpun/tali ris yang digunakan lebih banyak yaitu 330 rumpun/tali atau 16.500 rumpun/50 tali (165.000/500 tali/ha), sedangkan di lokasi penelitian 64 (5 stasiun pengamatan) jumlah rumpun/tali ris hanya sekitar 200 rumpun, meskipun berat rumpun bibitnya lebih besar yaitu ± 100 gram/rumpun pada musim hujan. Penyebab lain adalah tingginya nilai produktivitas di luar lokasi (hasil wawancara) juga diduga karena pengaruh faktor lingkungan perairan baik fisik, kimia dan biologi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Karaginan Hasil analisa kandungan air dan karaginan rumput laut hasil budidaya di teluk Waworada Kabupaten Bima pada 5 stasiun pengamatan adalah (Tabel 19). Tabel 19. Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kandungan Kandungan Stasiun Air/100 gram Karaginan/100 gram (%) (%) I 15.52 25.94 II 19.15 19.73 III 13.86 26.87 IV 16.80 28.92 V 16.44 29.76 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Dari Tabel 19 terlihat bahwa pada stasiun satu (St1) kandungan karaginan rumput laut berkisar antara 25.26 – 26.43 persen (rata-rata 25.94 persen) dengan kandungan air 15.52 persen, stasiun dua (St2) antara 19.13 – 20.04 persen (ratarata 19.73 persen) dengan kandungan air 19.15 persen, stasiun tiga (St3) antara 26.47 – 27.13 persen (rata-rata 26.87 persen) dengan kandungan air 13.86 persen, stasiun empat (St4) berkisar antara 28.28 – 29.32 persen (rata-rata 28.92 persen) dengan kandungan air 16.80 persen dan stasiun lima (St5) berkisar antara 29.23 – 30.05 persen (rata-rata 29.76 persen) dengan kandungan air 16.44 persen. Stasiun lima (St5) mempunyai kandungan karaginan tertinggi dibanding stasiun lainnya, hal ini diduga karena stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa dan ruang gerak arus yang cukup besar, sehingga dapat mempercepat difusi unsur hara untuk pertumbuhan, pertambahan panjang dan jumlah cabang thallus, karena keraginan terbentuk pada dinding sel dari rumput laut terutama pada thallus yang cukup umur tanam. Oleh karena itu, thallus dan cabang semakin panjang dan banyak 65 yang cukup umur, sehingga mampu menghasilkan kandungan keraginan yang tinggi. Kandungan karaginan yang rendah terjadi pada stasiun satu (S1) dan stasiun dua (S2). Pada stasiun satu (St1) hal ini diduga terjadi karena kondisi perairan yang didominasi substrat berlumpur, sehingga terkadang terjadi pengadukan yang menyebabkan penetrasi cahaya tidak optimal sehingga proses fotosintesis dan difusi unsur hara menjadi berkurang. Sedang pada stasiun dua (St2) diduga karena lokasi terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga terdapat limbah yang mencemari perairan dan mengganggu pertumbuhan rumput laut. Kadar keraginan kelima stasiun tersebut di atas diukur pada minggu ke 6 (42 hari) setelah penanaman, yang merupakan umur panen optimal untuk memperoleh kadar keraginan rumput laut. Beberapa penelitian kadar keraginan yang dilakukan di Indonesia menunjukan hasil yang beragam untuk lokasi yang berbeda. Kandungan karaginan yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Supit (1990) sebesar 60,61% - 82,27%, dan Syahputra (2005) di Lhokseude Aceh sebesar 50,09%. Menurut Soviety (1990), bahwa kandungan karaginan rumput laut E. denticulatum yang ditanam di Bali berkisar antara 61.52 – 67.51%. Sementara rumput laut yang ditanam di lepas dasar kandungan karaginannya berkisar antara 45,47 – 49,47%, dan Puspita (1991) melaporkan bahwa kandungan karaginan rata-rata 42,40%. 5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis Teluk Waworada merupakan perairan umum yang bersifat terbuka (open access), milik umum (common property), sehingga akan muncul persoalan dalam penanganan para pengguna lokasi tanpa pembatasan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak memanfaatkan lokasi tersebut (difficulty of exclusion). Sehingga akan berkembang budidaya laut yang melebihi kapasitas daya dukung perairan tersebut sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan perairan (kualitas perairan). Untuk mencegah terjadinya penurunan mutu lingkungan (purifyng and protecting the marine environment) perlu dilakukan budidaya laut yang ramah 66 lingkungan dan sesuai dengan daya dukung secara ekologis. Menurut Turner (1988; Quano, 1993; UNEP, 1993), bahwa daya dukung adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan. Sedangkan Gang et al. (1998) menjelaskan, daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi. Menurut Widigdo, et al. (2000; Krom, 1996), bahwa daya dukung ekologis adalah kemampuan badan air di suatu kawasan dalam menerima limbah organik, termasuk di dalamnya kemampuan untuk melakukan asimilasi atau mendaur ulang limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan. Penentuan daya dukung lingkungan secara ekologis ini (Monte, 2004) akan mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisis spasial dapat menghitung luasan dan kapasitas jumlah tali/long line maksimum dengan mempertimbangkan kawasan alur pelayaran, pelabuhan perikanan, budidaya Karamba Jaring Apung (KJA) dan budidaya kerang mutiara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai kegiatan budidaya rumput laut akan mengganggu alur pelayaran, membatasi akses nelayan sehingga terhindar dari konflik kepentingan antar pengguna perairan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekologis perairan teluk Waworada Kabupaten Bima pada saat penelitian masih dalam batas toleransi untuk budidaya rumput laut. Menurut Ditjenkanbud (2005), bahwa suatu kegiatan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dikatakan baik jika laju pertumbuhan harian minimal > 3%. Namun dari segi produksi dan kandungan karaginan masih dibawah standar mutu, hal ini diduga terjadi karena pemanfaatan usaha rumput laut yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan, teknik budidaya, umur panen dan kualitas bibit yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi yang dianjurkan. Berdasarkan hasil overlay, luas lahan di teluk Waworada yang tidak sesuai 836.48 ha (3.97%), meliputi perairan yang dangkal dan pesisir yang terdiri atas beragam habitat dan komunitas yang secara ekologis penting dipertahankan keberadaannya. Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rakit/long line 1000 m2/unit. setiap unit panjangnya 50 meter dan lebar 20 meter (10 tali/unit). Berdasarkan analisis pemanfaatan lokasi 67 yang optimal perairan teluk Waworada dari luas lokasi yang layak sebesar 19.300 ha. Menurut Soselisa (2006), apabila lokasi yang layak dimanfaatkan 80 % untuk usaha budidaya laut maka pemanfaatannya 15.440 ha (80 %). Mengacu pada luasan lahan yang efektif untuk pemanfaatan budidaya rumput laut sebesar 15.440 ha (80%), apabila rakit/long line 50 meter dan lebar 20 meter dengan banyaknya tali 10 unit/1.000 m2, maka total jumlah unit yang dapat ditampung sebanyak 15.440 unit. Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh para petani di teluk Waworada Kabupaten Bima adalah metode tali rakit/long line. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pada saat terjadi arus, gelombang dan angin kencang, tali-tali tersebut merapat dan bersentuhan sehingga bisa terjadi thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut putus. Hal ini akan berpengaruh kepada produksi dan kandungan karaginan rumput laut. Selain itu dengan bentangan long line yang terlalu panjang dan letaknya tidak teratur maka akan menyulitkan untuk pengontrolan baik gangguan hama dan binatang penempel lainnya maupun arus lalu lintas pada saat kegiatan penanaman dan pemanenan rumput laut. Strategi yang diperlukan dalam penataan kawasan adalah berupa pembenahan keharmonisan antar ruang untuk berbagai kegiatan lainnya seperti budidaya mutiara, kawasan pelabuhan perikanan dan alur lalu lintas kapal. Diharapkan budidaya laut dengan menerapkan budidaya beberapa komoditas secara sekaligus seperti pemeliharaan ikan dalam KJA (Karamba Jaring Apung), pemeliharaan rumput laut dan kerang hijau/kima di sekitar karamba secara proporsional yang sekaligus meningkatkan probabilitas usaha secara berkelanjutan (Hanafi, et al. 2001) dalam (Radiarta, et al. 2005). Dengan demikian untuk pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan di teluk Waworada maka pemanfaatannya tidak lebih dari 30% dari luas lokasi yang layak. Sedangkan 70% lagi dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain. Untuk budidaya rumput laut apabila pemanfaatannya 30 % dari lokasi yang layak 15.440 ha maka luas lahan yang digunakan sebesar 4.632 ha. Menurut Mubarak et al. (1990) dalam Radiarta, et al. (2005), pemanfaatan lahan untuk pengembangan budidaya rumput laut tergantung dari metode yang digunakan. 68 Jika metode rakit/long line yang digunakan maka 1 ha lahan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk 20 unit usaha dengan menggunakan ukuran 2,5 x 5 m2. Namun apabila metode lepas dasar yang digunakan maka 1 ha lahan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk 60 unit usaha dengan menggunakan ukuran 10 x 10 m2. Dengan demikian untuk luas lokasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha (80%), sehingga jumlah rakit/long line berukuran 2,5 x 5 m2 yang dapat dioperasikan mencapai 92.640 unit dan 277.920 unit dengan rakit berukuran 10 x 10 m2 pada metode lepas dasar. Sedangkan untuk budidaya ikan dalam KJA, jika 1 unit karamba terdiri atas 4 karamba dengan ukuran 2x2x2 m3 maka 1 ha lahan pengembangan budidaya dapat dimanfaatkan sebanyak 60 unit karamba. Dengan memperhatikan luasan lokasi budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha (80%), apabila dimanfaatkan hanya 20% Hanafi et al, (2001) dalam Radiarta, et al. (2005), maka luasan lahan budidaya sebesar 3.088 ha maka jumlah karamba (KJA) dengan ukuran 2x2x2 yang dapat dioperasikan adalah mencapai 185.280 unit. Kepadatan tebar ikan yang disarankan menurut APEC/SEAFDEC (2001) dalam Radiarta, et al. (2005) adalah 5 – 20 ekor/m3. Untuk budidaya kerang mutiara, jika pemanfaatannya 10 % dari lokasi yang layak 15.440 ha maka luasan area yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 1.544 ha. Metode yang digunakan adalah metode rakit /long line. Metode rakit digunakan di lokasi yang cukup terlindung sedangkan lokasi yang agak terbuka penggunaan metode long line lebih sesuai. Ukuran rakit yang biasa digunakan adalah 6 x 5 m2. Mengingat hasil penelitian ini bahwa lokasi yang tidak sesuai berada dipinggir teluk. Maka lokasi tersebut direkomendasikan untuk hutan mangrove, terumbu karang dan dibagian tengah merupakan lokasi penangkapan ikan. Demikian juga disekitar lokasi pelabuhan / pelabuhan perikanan pantai tidak diperuntukkan untuk lokasi budidaya rumput laut meskipun lokasi tersebut layak untuk pengembangan budidaya rumput laut. kapal dan lain-lain akan menyebar terbawa arus sampai ke lokasi budidaya tersebut. 69 Untuk lokasi pengembangan budidaya rumput laut ditempatkan ± 1 km dari lokasi yang tidak sesuai. Hal ini sesuai dengan rencana zonasi yang telah direkomendasikan oleh Bappeda Propinsi NTB melalui RTRW Tahun 2006 – 2020. Mengingat wilayah pesisir teluk Waworada merupakan daerah yang sangat potensial dan strategis untuk berbagai kegiatan pembangunan, maka untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan terutama ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang tersebut dalam kaitan dengan fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah atau berkembang biak (spawning ground) dan tempat tumbuh besar atau pengasuhan (nursery ground) bagi sebagian besar biota laut. 5.5. Rekomendasi Hasil penelitian tidak bisa diacu sepenuhnya untuk pengelompokan zonasi budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima karena masih banyak kelemahan terutama sekali dalam pengambilan titik sampel. Penelitian ini hanya menggunakan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan dan 30 titik sampel pada penelitian pendahuluan dan pada penelitian utama dengan 5 (lima) stasiun pengamatan dan 15 titik sampel. Mengingat hasil perhitungan dengan menggunakan GIS bahwa luasan teluk Waworada ± 20.135,24 ha, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil titik sampel yang lebih banyak dan dilakukan pada tiap musim yang berbeda. 70 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi teluk Wawaroda cukup mendukung (sesuai dengan baku mutu) bagi pertumbuhan rumput laut, kecuali pada stasiun satu (St1) yang mempunyai nilai COD melebihi baku mutu. 2. Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukkan bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya masing-masing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen, dan 17 persen dengan ragam totalnya 79 persen. 3. Korelasi positif terjadi antara produksi biomas dengan DO, salinitas, suhu, nitrat, fosfat, arus, kecerahan, kedalaman dan berkorelasi negatif terjadi antara produksi biomas dengan pH, COD, Pb, dan hama. Sedangkan karaginan berkorelasi positif dengan DO, pH, salinitas, suhu, nitrat, fosfat, Pb, arus, kecerahan, kedalaman dan yang berkorelasi negatif antara karaginan dengan COD, Pb dan hama. 4. Hasil pengukuran rata-rata produksi rumput laut dari hasil pengamatan pada minggu ke-6 (42 hst) berkisar antara 3.260 – 4.880 kg/10 tali (32.600 – 48.800 kg/ha) dengan kandungan karaginan berkisar antara 19.13 – 30.05 persen. Stasiun lima (St5) mempunyai kandungan karaginan tertinggi, diduga karena stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi dan ruang gerak arus yang cukup besar sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa. 5. Pengelompokan zona pengembangan budidaya rumput laut terdiri dari dua yaitu zona sangat sesuai yaitu di stasiun lima (St5) yang mengarah dekat pantai dan zona sesuai yaitu meliputi seluruh stasiun pengamatan. 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa peta tematik, luas wilayah pesisir bagian utara teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut sebesar 20.135,24 ha meliputi 12.26 ha (0.06%) tergolong sangat sesuai, 19.287,94 ha (95.79%) dikategorikan sesuai, 835,04 ha (4.15%) tergolong tidak sesuai. 71 7. Kegiatan budidaya rumput laut yang berkelanjutan di teluk Waworada dapat terlaksana apabila pemanfaatannya untuk budidaya rumput laut hanya 30% yaitu seluas 4.632 ha dari total luas lokasi yang sesuai sebesar 15.440 ha (80 %) dengan jumlah rakit/long line yang dioperasikan sebanyak 92.640 unit. 8. Parameter utama yang berpengaruh pada produksi biomas rumput laut adalah salinitas, hama, kecerahan, kedalaman dan arus. 6.2. Saran Penelitian ini merupakan simulasi, untuk mendapatkan hasil yang akurat maka perlu diberikan saran sebagai berikut : 1. Untuk lebih akuratnya data kualitas perairan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan frekwensi pengukuran lebih tinggi dan sepanjang tahun, titik sampling lebih banyak dan cakupan daerah lebih luas serta menggunakan alat yang lebih canggih. 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan karaginan rumput laut pada umur tiap minggu untuk melihat perubahan kandungan karaginan. 3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kelayakan lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut dengan mengambil lebih banyak titik sampel untuk memperoleh nilai yang akurat dan dilakukan dalam 3 – 4 musim tanam. 72 DAFTAR PUSTAKA Aderhold, D. Williams, CJ. and Edyvean, GJ. 1996. The Removal of Heavy Metal Ions by Seaweeds and Their Derivatives Bioresource Tecnology. Science Limited Printed in Great Britain, pp. 1 – 6. Ainsworth, PA. and Blanchard, JMV. 1980. Effect of Thermal Processing on Structure and Theogical of Carragenan/Carob Gum Gels. Journal of Texture Studies, 149p. Anonymous, 1991. Mariculture of Seaweeds. Aquaculture in Tropical Areas. Midori Co. Ltd. Tokyo. p 31 – 95. Anonymous, 2003. Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Bima 2003 – 2013. Anonymous, 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Karaginan Rumput Laut Kappaphyen Ttriatum. Aquacultutur Unhas. Anggadiredja, J. Jatnika, A. Purwoto, H. dan Istini, S. 2006. Rumput Laut. Pembudidayaan, Pengolahan, dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial Seri Agribisnis. Penerbit Penebar Swadaya Jakarta hal 1 – 147. Archibold, O.W. 1995. Ecology of World Vegetation. Chapmann & Hall. New York 510 p. Aslan, LM. 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yokyakarta. 96 hal. Atmadipoera, A.S., Purba, M., Nurjaya, W.I., Illahude, A.G. 1990. Suatu Studi Tentang Topografi Dinamik di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa pada Bulan Maret-April 1990 hal. 1 – 14. Badan Pusat Statistik, 2005. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima. Bakosurtanal dan Dishidros TNI-AL. (1992). Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN-22) Nusa Tenggara Barat Termasuk NTT. Edisi 1992 Bakosurtanal, 2005. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal Cibinong Bogor : 1 – 36 hal. Bappeda Propinsi NTB, 2006. Draf Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi NTB 2006 – 2020. Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Badan Perencana Pembangunan Daerah. 73 Biro Pusat Statistik, 2000. Ekspor Statistik Perdagangan Hasil Laut Negeri Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Pond for Aquaculture. Aquaculture Experiment Station, Auburn University Auburn, Alabana, USA. 462 p. Buchmann, AH. Lopez, AD. and Medina, A. 1996. A Review of the Environmental Effects and Alternative Production Strategies of Marine Aquaculture in Chile. Aquaculture Engineering Vol. 15 No. 6 : 397 – 421. Burrough, PA. 1986. Principles of Geographical Information System for Land Resources Assasement. Calredon Press. Oxford, 136 p. Burrough, PA. and McDonnel, RA. 1998. Principle of Geographical Information System. Oxford University Press, 327 pp. Carte, BK. 1996. Biomedical Potensial of Marine Natural Products. Bioscience 46 : 271 – 286. Chen L.C. McLachlan J, Neish AC and Shocklock PE. 1973. The Rasio of Kappa – to – Lamda – Carragenan in Nucleas Phases of the Rhodophyceae Algae (Chondrus crispus and Gigartinales stellata). Journal Mar. Bio. Ass. U.K. 53 : 11 – 16. Chen, TP. 1976. Culture of Gracillaria. Aquaculture Practices in Taiwan. Page Bros. London. p 145 – 149. Chou, CL. Paon, LA. Moffatt, JD. Buzeta, MI. Fenton, D. and Ruther Ford, RJ. 2004. Distribution Contamination in Biota and Sediments in the Musquash Estuary Atlantic Canada, Marine Protected Area Site Initiative and Contaminant Exclusion Zona. Marine Pollution Bulletin 48 : 884 – 893. Chua, TE. 1992. Coastal Aquaculture Development and the Environment. The Role of Coastal Area Management. International Center for Living Aquatic Resources Management M.C. P.O. Box 1501, Makati Metro Manila, Philippines. Chung, LK. and Y.H. Kang. 2004. Roles of Seaweed cultivation in sustainable mariculture industri in China. Institut of Hydrology, Jinan University. Guangzhou. http//www.cae.cu/forum/forum_posis. Jsp? Clark, W.A.V. and Hosking, P.L. 1986. Statistical Methods for Geographers. John Wiley & Sons, Inc. 513 pp. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J Sitepu, 1997. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita Jakarta. 74 Dawes. CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley Dawson University of South Florida New York. 268 hal. Dawson, E.Y. 1956. How to Know the Seaweed. W.MC. Brown Company Publisher. Dubuque, Lowa 270 p. De Castro, TR. and Guanzon, NG. 1993. Growth of Gracilaria sp. (Gracillariales, Rhodophyta) in Brackiswater Ponds at Different Stocking Densities. The Israel Journal of Aquaculture Bamidgeh 49 : 89 – 94. Digital Elevation Model (DEM) 2008. Download, 5 Nopember 2008. ftp://eosrp01v.ecs.nasa.gov/srtm/. Dinas Dehidros, 2002. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret – April 2002. Dinas Dehidros Jakarta. Dinas Dehidros, 2003. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret – April 2003. Dinas Dehidros Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima, 2003. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kerjasama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Ditjenkan Budidaya, 2005. Profil Rumput Laut Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Perikanan dan Kelautan Jakarta. English, S. Wilkinson, C. and Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science Townsville,pp.368. Esri, 1990. Understending GIS the Arc/Info Method Enviroment All Sistem Recearch Institute FAO Soil Bull : 1 (1) : 1 – 12 Effendie, H., 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. 259 hal. Fritz GJ. 1986. The Strukture and Reproduction of the Algae Vol. 2 VICAS Puslishing House. Food Chemical Codex, 1981. Carrageenan National Academy Fress, Washington, pp 74 - 75. Foucart, T., 1987. Analyse Factorielle Programmation Surmicro Ordinateur. Masson Paris 249p. 75 Gang, Chen, L Shaojing, Y Shengyum. 1998. Estimation of carrying capacity for mariculture Development in Xiamen, in The Regional Workshop on Partnership in the Aplication of Integrated Coastal Management, Chonburi, Thailand, pp. 81-90. Gurno, Y.S. 2004. Biofilter Biomanipulasi, Paradigma Baru Dalam Pengendalian Limbah Organik Budidaya perikanan di waduk dan tambak. Orasi Ilmiah dalam Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Managemen kualitas Perairan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta Glicksman, M. 1983. Food Hidrocolloid, Vol.2 CRD Press. Inc. Florida. Guanzon, NG.Gr. and De Castro, TR. 1992. The Effect of Different Stocking Densities and Some Abiotic Factors on Cage Culture of Gracillaria sp. (Rhodophyta, Gigartinales). Botanica Marina 35 : 239 – 243 Gunawan , 1998. Typical Geographic Information Resources Management Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Hadi, A. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005 134 hal. Halid, I., Siregar, P.V. dan Indya 2004. Analisis Spasial dan Temporal Daerah Potensi Penangkapan Ikan di Perairan Selat Makasar Bagian Selatan. Ritek vol. 4 No. 1 Hal. 27 – 39. Harimi, W.S., Siregar, V.P., Jaya, I. dan Khafid 2004. Studi Pola Arus Permukaan di Perairan Indonesia dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri TOPEX/POSEIDON. Maritek Vol.4 No.2 hal. 47 – 62. Hellebust, JA. and Cragie, JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. London : Cambridge University Press. Huang, YM. Maliakal, S. Cheney, DP. Rorrer, GL. 1998. Comparison of Development and Photosyntetic Gowth for Filamen Clump and Regenerated Microplanlet Cultures of Agardhiella subulata (Rodophyta, Gigartinales) Journal Phycological 34 : 893 – 901. Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta Oseana. LON-LIPI Jakarta Vol. 13 Hal : 153 – 163. Hutagalung, 1997. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air Laut dalam Hutagalung, Deddy Setiapermana, Hadi Riyono (eds). Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota Buku 2 Jakarta. Pusat Litbang Oseanologi LIPI. 76 Idris, I. Ginting, SP. dan Budiman, 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi. Sebuah Kajian Terhadap Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer PT. Sarana Komunikasi Utama 296 hal. Ismail, W. Wardoyo, SE. Dan Priono, B. 1998. Lokasi-lokasi Potensial bagi Panti Benih Terapung Ikan Karang di Selatan Pulau Bintang dan Karimun Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume IV No.4, Edisi Akuakultur. BRKP-DKP Jakarta. Ismail, W., Imanto, T.P., Priono, B., dan Praseno 2003. Pemilihan Lokasi Ideal Bagi Penempatan KJA Reservat di Kepulauan Riau, Lombok dan Sumbawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.4 hal. 1 – 16. Jones, AB. 1993. Macroalgal Nutrient Relationships. Departemen of Botany, Universitas of Queensland. Jones, AB. Preston, NP. and Dennison WC. 2003. The Efficiency and Condition of Oysters and Macroalgal Used as Biological Filters of Shrimp Pond Effluent. Aquaculture 33 : 1 – 19. Kadi A.dan Atmaja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdya Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI Jakarta. 71 hal. Kaur, S. Walia, TPS. and Mahajan, 2008. Compative Studies of Zinc, Cadnium, Lead, and Copper on Economically Viable Adsorbents. Journal Environmment Eng. Sci. 7 : 83 – 90. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) 1988. Keputusan Menteri KLH No. 02/1988 Tentang Baku Mutu Lingkungan. KLH Jakarta. King, A.H., 1983. Brown Seaweed Extract (Alginat). in Glickman, M.(Ed.). Food Hydrocolloids, Volume 11 CRC Press, Inc. Florida : 118 – 130. Krom, MD. 1986. Evaluation of the Concepts of Assimilative Capacity as Applied to Marine Waters . Ambio 15 (4). Langdo, C. Evans, F. And Demetropoulos, C. 2004. An Environmentally Sustainable, Integrated Co-Culture System for Dulse and Abalone Production. Aquacultural Engineering 32 : 43 – 56. Lee, TM. Chang, YC. Lin, YH. 1999. Differences in Physyiological Responses between Winter and Summer (Gracilaria) Tenuistipitaa to Varying Temperatur. Bot. Bull. Acad. Sin. 49 : 93 – 100. 77 Legendre, L. dan Lengendre, P. 1984. Numerical Ecology Elsevier. Sc Publ. Inc. New York. 419p. Levina, HG. 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as Ecological Indicator, Academic Press London. Lin, MN. 1974. Culture of Gracillaria. Fish Research Institute. Keelung Taipei. p 1-8. Luning K. 1990. Seaweed. The Enviromental Biogeografy and Ecophysiology. Charles Yarish and Hugh Kirkman (Editor). John Wiley & Son, Inc. Canada 527 p. Manurung, D. dan Simbolon, D. 1997. Sebaran Suhu Permukaan Laut di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa dan Hubungannya dengan Pembentukan Penangkapan Ikan Tuna. Buletin PSP Vol. VI No.1. Maquire, 1991. An Over View and Defenition of GIS. p 9 – 20 In D.J. Maquire, M.F. Good Child and D.W. Rhind eds). Geografical Information Sistem. Loongman Scientific and Technical and John Wilen New York. Martono, 2002. Analisis Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Citra Satelit NOAA11/AVHRR2 di Perairan Selatan Jawa Timur Hingga Pulau Lombok. Neptunus Vol. 9 No.2 Hal. 89 – 97. Matos, JS. Costa, A. Rodrigues, Pereira, R. and Pinto, IS. 2006. Experimental integrated aquaculture of fish and red seaweed in Northern Portugal. . Aquaculture (252): 3 1 -42. Meade, JM. 1991. Aquaculture Management. Van Nostrand Reinhold. New York. Moll, B. and Deikman, J. 1995. Enteromorpha clatrat : A Potencial SeawaterIrrigated Crop. Bioresource Technology 52 : 225 – 260. Morain, S. 1999. GIS Solution in Natural Resource Management : Balancing the Technical-Political Equation . On Worrd Press. USA, 361 pp Monte, LP. Brook, BW. Manuel, J. Rezon, Z. and Escalona, VHC. 2004. The Carryng Capacity of Ecosystem. Global Ecology and Biogeography 13 : 485 – 495. Muse, JO. Stripeikis, JD. Fernandez, FM., d’Huicque, L. Tudino, MB.Corducci, CN. Troccoli, OE. 1999. Seaweeds in the Assessment of Heavy Metal Pollution in the Gulf San Jorge Argentina. Environmental Pollution 104 : 315 – 322. 78 Msuya, FE. And Neori, AM. 2002. Ulva Reticulata and Gracilaria Crassa Macroalgae that Can Biofilter Effluent from Tidal Fishponds in Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci 1 (2) : 117 – 126. Neori, A. Krom, MD. Ellner, SP. Boyd, CE. Popper, D. Rabinovitch, R. Davison, PJ. Orit, D. Zuber, D. Ucko, M. Angel, D. and Gordin, H. 1996. Seaweed Biofilters as Regulators of water Quality in Integrated Fish, Seaweed Culture Units. Aquaculture 141 : 183 199 Neori, A. Ragg, LC. and Shpigel, M. 1998. The Integrated Culture of Seaweed, Abalone, Fish, and Clems in Modular Intensive Land-Based System : II. Performance and Nitrogen Partitioning Within an Abalone (Haliotis tuberculata) and Macroalgae Culture Syastem. Aquacultural Engineering 17 : 215 – 239. Neori, A. Shpigel, and Ezra, DB. 2000. A Sustainable Integrated System for Culture of Fish, Seaweed and Abalone. Aquaculture 186 : 279-291. Nybakken, J. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. 459 hal. Odum, E.P, 1989. Ecology and Our Endagered Life Support Systems. Sinaeur Associates, Inc., Publ. Sunderland Massachusetts. Palupi, K. 1994. Cisadane River Water Pollution. Buletin Penelitian Kesehatan 22 (1) : 41 – 47. Percival E. 1968. Marine Algae Carbohydrates dalam Marine Biology. Editor H. Bames. George Allen and Unein Ltd London, pp. 137 – 161. Peira, P. 2002. Beach Carryng Capacity Assesment : How Important it is ?. Journal of Coastal Recearch, Special Issue 36 : 190 – 197. PKSPL dan Enesar, 2007. Penempatan Tailing di Dasar Laut dalam Laporan Pemantauan Lingkungan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar Consulting Pty Ltd Australia. Penerbit PT. Newmont Nusa Tenggara. Mataram 1 – 54 hal. Puspita, N. 1991. Laju Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut E. denticulatum yang di Tanam di Pantai Geger Nusa Dua Bali. Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Quano.1993. Training manual on assessment of the quantity and type of land based pollutant discharge into the marine and coastal environment. UNEF. Bangkok. 79 Radiarta, N. Wardoyo, S. Priono, B. dan Praseno 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 hal.67 – 77. Radiarta, N. Adang Saputra, dan Ofri Johan, 2005. Penentuan Kelayakan Lahan untuk Mengembangkan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.1 : 1 – 14. Radiarta, N. Prihadi, TH. Saputra, A. Haryadi, J. Dan Ofri Johan, 2007. Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma, spp.) Berdasarkan Parameter Lingkungan di Perairan Kecamatan Moro Propinsi Kepualauan Riau. Jurnal Riset Akuakultur Vol.2 No.3 : 319 – 328. Rahayu, S. 1991. Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) dalam Air Bagi Kehidupan Ikan. BPPTP No. XLV/91 Jakarta. 91 – 101 hal. Rodríguez, SI. Huerta Diaz, MA.. Choumiline, Guinozes, HO. and Gonjalez JA., 2002. Elemental Concentrations in Different Species of Seaweeds from Loreto Bay, Baja California Sur, Mexico. Implication for the Geochemical Control of Metal in Alga Tissue. Environmental Pollution 114 : 145 – 160. Rorrer, GL. Mullikin, RK. Huang, B. Gerwick, WH. Maliakel, S. Cheney, DP. 1998. Production of Bioactive Metabolites by Cell and Tissue Cultures of Marine Macroalga in Bioreactor System. In FU.T.J. Singh, G. Curtis (Eds). Plant Cell and Tissue Cultural for the Production of Food Ingredients, Cluwer Academic/Plenum Publishing New York pp. 165 – 184. Rorrer, GL. 2000. Cell and Tissue Cultures of Marine Seaweeds. In Spier, R.E. (Ed.) Encyclopedia of Cell Technology Willey, pp. 1105 – 1116. Rorrer, GL. and Cheney, DP. 2004. Bioprocess Enginering of Cell and Tissue Cultures for Marine Seaweeds. Aquacultural Engeneering 32 : 11 – 41. Ross, LG. Mendoza EAQM, and Beveridge MCM, 1993. The Application of Geographical Informasi System to Site Selection for Coastal Aquaculture : an Example Based on Salmonid Cage Culture Aquaculture, 112 : 165 – 178. Shpigel, M. and Neori, A. 1996. The Integrated Culture of Seaweed, Abalone, Fish, and Clams in Modular Intensive Land – Based Syistems : I. Proportions of Size and Projected Revenues. Aquacultural Engineering Vol. 15 No. 5 : 313 – 326. 80 Shimoda, T. Suryati, E. and Ahmad, T. 2006. Evaluation in a Shrimp Aquaculture System Using Mangroves, Oysters, and Seweed as Biofilters Based on the Concentration of Nutrients and Chlorophyll a. Jarq 40 (2) : 189 – 193 http://www.jircas.affrc.go.jp. Sitorus, H. Widigdo, B. Bibiana, WL. and Kadarwan Soewardi, 2005. Nitrification in Biodegradation of Shrimp Culture Effluent. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 12 No.1 : 59 – 67. Soegiarto, A, Sulistijo; W.W. Atmadja dan H. Mubarak. 1979. Rumput Laut (Alga), Manfaat, Potensi, dan Usaha Budidaya. LON-LIPI Jakarta 61 hal. Soeviety, B. 1990. Laju Pertumbuhan dan Prosentase Berat Kering Alga Merah pada Metode Penanaman Rakit Terapung dan Lepas Dasar di Perairan Pantai Geger Nusa Dua Bali. Karya Ilmiah Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Soselisa, A. 2006. Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-pulau Padaido, Distrik Padaido Kabupaten Biak Numfor Papua. Disertasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor 258 hal. Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Sumiono, B. Mahiswara, dan Iskandar, B. 1991. Usaha Penangkapan Udang Panaeid dengan Trammel Net dan Jaring Klitik di Teluk Bima dan Teluk Waworada Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.57 : 21 – 32. Supit, SD. 1990. Karakteristik Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut (Eucheuma alvarezii) yang Berwarna Abu Coklat dan Hijau yang di Tanam di Goba Lambungan Pasir Pulau Pari. Karya Ilmiah Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum, D. Utomo, D. Murtini, dan Yunijal 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan Jakarta 1 – 12 hal. Sulistijo, 1987. The Harvest Quality of Alvarezzi Culture by Floating Method in Pari Island Nort Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta. Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan Yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis Program Pascasarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan). 81 Suwirma, S. Surtipanti, S. dan Yatim (1981). Studi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd, dan Cr dalam Beberapa Jenis Hasil Laut Segar. Majalah Batan 14 (1) : 2 – 8. Tabachnick, B.G. dan L.S. Fidell., 1996. Using Multivariate Statistic. Third Sdition Harpercollius College Publishers New York. P : 635 – 707. Tarunamulia, Mustafa, A. dan Hanafi, A. 2001. Penentuan Lokasi Budidaya Keramba Jaring apung dengan Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. P : 43-56. Dalam Sudrajat et al. (Editor). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan-Japan International Cooperation Agency Jakarta. Trono, G.C. and Fortes. 1988. Philippina Seaweed. National Book Store, Inc Metro. Manila 330 p. Turner, G.E., 1988. Codes of practice and manual of procedures for consideration on introductions and transfer of marine and freshwater organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No.23, 44pp. UNISCO/WHO/UNEP, 1992. Water Quality, Principles and Perspective Academic Press, Inc. London 585p. UNEP, 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of LandBased Pollutant Discharges Into the Marine and Coastal Environment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Bangkok, 65p. Utojo, Mansyur, A., Pirjan, AM., Mulia, T., dan Pantjara, B. 2004. Identifikasi Kelayakan Lokasi Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Saleh Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.10 No.5 hal. 1 – 18. Utojo, Mansyur, A. Mustafa, A. Hasnawi, dan Tangko, AM. 2007. Pemilihan Lokasi Budidaya Ikan, Rumput Laut, dan Tiram Mutiara yang Ramah Lingkungan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Jurnal Riset Akuakulture Vol.2 : 303 – 318. Villares, R. Puentre, E. and Carballeira, A. 2002. Seasonal Variation and Background Level of Heavy Metal in Two Greed Seaweeds. Environmental Pollution 119 : 79 – 90. Wang, WL. dan Chiang, YM. 1994. Potential Economic Seaweed of Hengchun Peninsula Taiwan. Economic Botany 48 (2) : 182 – 189. Westermeier, R. Gomez, I. and Rivera, P. 1993. Suspendid Farming of Gracilaria chilensis (Rhodophyta, Gigartinales) at Cariquilda River, Maullin Chile. Aquaculture 113 : 215 – 229. 82 Widigdo, B. et al. 2000. Penyusunan Kriteria Ekologis untuk Pemulihan dan Kelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL Bogor. WHO (World Health Organization), 1999. Safety Evaluation of Certain Food Additive. Genera : International Programme on Chemical Safety. Wright, P. and Mason, CP. 1999. Spacial and Seasonal Variation in Heavy Metal in the Sediments and Biota of Two Adjacent Estuaries, the Orwell and the Stour. In Eastern England. The Science of the Total Environment 226 : 139 – 156. Lampiran 1. Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Stasiun I II III Sampel 1 2 3 SUM RATA2 STDEV Suhu (°C) 29 30 30 89 29.67 0.58 1 2 3 SUM RATA2 STDEV pH 7 9 8 24.00 8.00 1.00 Salinitas (ppt) 32 33 33 98 32.67 0.58 Kedalaman (m) 2 3 5 10.00 3.33 1.53 Kecerahan (m) 1 1 2 4.00 1.33 0.58 Arus (m/dtk) 0.15 0.20 0.20 0.55 0.18 0.03 30 31 31 92 30.67 0.58 9 8 9 26.00 8.67 0.58 33 35 34 102 34.00 1.00 3 5 6 14.00 4.67 1.53 2 2 4 8.00 2.67 1.15 0.21 0.20 0.20 0.61 0.20 0.01 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 30 31 32 93 31 1.00 9 9 8 26.00 8.67 0.58 34 35 35 104 34.67 0.58 4 6 6 16.00 5.33 1.15 3 4 4 11.00 3.67 0.58 0.35 0.34 0.35 1.04 0.35 0.01 1 2 29 30 8 9 34 35 7 10 5 5 0.35 0.34 Stasiun VI VII VIII Sampel 1 2 3 SUM RATA2 STDEV Suhu (°C) 29 30 30 89 29.67 0.58 1 2 3 SUM RATA2 STDEV pH 7 9 8 24 8.00 1.00 Salinitas (ppt) 32 33 33 98 32.67 0.58 Kedalaman (m) 20 21 23 64.00 21.33 1.53 Kecerahan (m) 7 7 7 21.00 7.00 0.00 Arus (m/dtk) 0.15 0.20 0.20 0.55 0.18 0.03 30 30 31 91 30.33 0.58 9 8 9 26.00 8.67 0.58 33 34 34 101 33.67 0.58 20 18 24 62.00 20.67 3.06 7 7 7 21.00 7.00 0.00 0.21 0.20 0.20 0.61 0.20 0.01 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 29 30 31 90 30 1.00 9 9 8 26.00 8.67 0.58 34 35 35 104 34.67 0.58 3 5 4 12.00 4.00 1.00 3 4 4 11.00 3.67 0.58 0.34 0.34 0.36 1.04 0.35 0.01 1 2 30 31 8 9 34 36 6 5 6 5 0.34 0.35 IV V 3 SUM RATA2 STDEV 30 89 29.67 0.58 8 25.00 8.33 0.58 35 104 34.67 0.58 12 29.00 9.67 2.52 6 16.00 5.33 0.58 0.33 1.02 0.34 0.01 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 30 31 31 92 30.67 0.58 8 9 8 25.00 8.33 0.58 34 34 35 103 34.33 0.58 12 13 15 40.00 13.33 1.53 6 5 6 17.00 5.67 0.58 0.35 0.34 0.33 1.02 0.34 0.01 Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan diolah Tahun 2007 IX X 3 SUM RATA2 STDEV 30 91 30.33 0.58 8 25.00 8.33 0.58 35 105 35.00 1.00 4 15.00 5.00 1.00 4 15.00 5.00 1.00 0.35 1.04 0.35 0.01 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 29 29 30 88 29.33 0.58 9 9 8 26.00 8.67 0.58 34 35 35 104 34.67 0.58 12 7 5 24.00 8.00 3.61 7 6 7 20.00 6.67 0.58 0.34 0.35 0.35 1.04 0.35 0.01 Lampiran : 2. Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret - April 2007. STASIUN I II III IV Sampel DO pH Salinitas 1 2 3 SUM RATA2 STDEV (mg/l) 5.50 5.80 5.90 17.20 5.73 0.208 9.00 9.00 8.00 26.00 8.67 0.577 (‰) 32.00 33.00 32.00 97.00 32.33 0.577 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 6.50 6.40 6.40 19.30 6.43 0.058 8.00 7.00 8.00 23.00 7.67 0.577 33.00 34.00 34.00 101.00 33.67 0.577 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 6.10 6.30 6.30 18.70 6.23 0.115 8.00 7.00 7.00 22.00 7.33 0.577 1 2 3 SUM RATA2 6.50 6.40 6.50 19.40 6.45 8.00 8.00 7.00 23.00 8.00 34.00 35.00 35.00 104.00 34.67 0.577 35.00 34.00 35.00 104.00 34.50 Suhu Nitrat Fosfat COD Pb Arus Kecerahan Kedalaman Hama (ºC) 28.00 31.00 32.00 91.00 30.33 2.082 (mg/l) 0.003 0.001 0.002 0.006 0.002 0.001 (mg/l) 0.031 0.029 0.014 0.074 0.02 0.009 (mg/l) 91.61 90.61 91.30 273.52 91.17 0.512 (mg/l) 0.007 0.007 0.006 0.020 0.007 0.001 (m/dtk) 0.12 0.13 0.12 0.37 0.12 0.006 (m) 1.00 2.00 2.00 5.00 1.67 0.577 (m) 2.00 3.00 5.00 10.00 3.33 1.528 (Ekor) 10.00 13.00 9.00 32.00 10.67 2.08 28.00 31.00 32.00 91.00 30.33 2.082 0.026 0.025 0.023 0.07 0.02 0.002 0.046 0.016 0.013 0.08 0.03 0.018 55.29 55.32 55.49 166.10 55.37 0.108 0.005 0.005 0.006 0.016 0.005 0.001 0.13 0.14 0.16 0.43 0.14 0.015 1.00 3.00 3.00 7.00 2.33 1.155 3.00 5.00 6.00 14.00 4.67 1.528 8.00 9.00 9.00 26.00 8.67 0.577 28.00 31.00 33.00 92.00 30.67 2.517 0.080 0.079 0.080 0.24 0.08 0.001 0.016 0.014 0.013 0.04 0.01 0.002 53.22 53.36 53.37 159.95 53.32 0.084 0.009 0.008 0.008 0.025 0.008 0.001 0.16 0.15 0.17 0.48 0.16 0.010 28.00 32.00 33.00 93.00 30.00 0.026 0.024 0.024 0.074 0.025 0.072 0.070 0.068 0.210 0.071 53.22 53.40 53.46 160.08 53.31 0.004 0.005 0.004 0.013 0.005 0.21 0.23 0.23 0.67 0.22 3.00 5.00 5.00 13.00 4.33 1.155 5.00 5.00 6.00 16.00 5.00 4.00 6.00 6.00 16.00 5.33 1.155 7.00 10.00 12.00 29.00 8.50 7.00 7.00 7.00 21.00 7.00 0.000 9.00 5.00 5.00 19.00 7.00 V STDEV 0.058 0.577 0.577 2.646 0.001 0.002 0.125 0.001 0.012 0.577 2.517 2.309 1 2 3 SUM RATA2 STDEV 6.50 6.40 6.40 19.30 6.43 0.058 9.00 8.00 8.00 25 8.33 0.577 36.00 35.00 35.00 106.00 35.33 0.577 28.00 32.00 33.00 93.00 31.00 2.646 0.135 0.193 0.132 0.460 0.153 0.034 0.015 0.013 0.011 0.039 0.013 0.002 49.18 49.31 49.42 147.91 49.30 0.120 0.007 0.007 0.006 0.020 0.007 0.001 0.32 0.31 0.32 0.95 0.32 0.006 6.00 6.00 5.00 17.00 5.67 0.577 12.00 13.00 15.00 40.00 13.33 1.528 3.00 9.00 6.00 18.00 6.00 3.000 Sumber : Data Hasil Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima pada Bulan Maret - April Tahun 2007 Lampiran 3. Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) Pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima STASIUN I Sampel Bulu Babi (Ekor) Bl.Babi D.Pendek (Ekor) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 4 1.33 2.31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SUM RATA2 STDEV 0 0 0 0 0 0 1 2 3 0 0 0 1 2 3 SUM RATA2 STDEV II 1 2 3 SUM RATA2 STDEV III IV Jenis Hama Pengganggu Ikan Beronang Ikan Kerapu (Ekor) (Ekor) 1 2 3 Bintang Laut (Ekor) Penyu Hijau (Ekor) Ikan kecil (Ekor) Jumlah Total (Ekor) 0 0 0 0 0 0.00 0 0 0 0 0 0.00 0 0 0 0 0 0.00 10 9 9 28 9.33 0.58 10 13 9 32 10.7 2.89 0 0 0 0 0 0.00 0 1 0 1 0.33 0.58 1 1 0 2 0.67 0.58 0 0 0 0 0 0.00 7 7 9 23 7.67 1.15 8 9 9 26 8.67 2.31 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0.33 0.58 0 1 0 1 0.33 0.58 1 0 0 1 0.33 0.58 0 0 0 0 0 0.00 5 6 7 18 6 1.00 7 7 7 21 7 2.73 0 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 0 0 0 0 6 5 5 9 5 5 V SUM RATA2 STDEV 0 0 0 0 0 0 0 0 0.00 2 0.67 1.15 1 0.33 0.58 0 0 0.00 16 5.33 0.58 19 6.33 2.31 1 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 3 1 1.00 0 0 0 0 0 0.00 0 2 0 2 0.67 1.15 0 0 0 0 0 0.00 3 5 5 13 4.33 1.15 3 9 6 18 6.0 3.31 SUM RATA2 STDEV Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan diolah Tahun 2007 Lampiran 4. Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di Teluk Waworada STASIUN Berat Bibit (kg)/10 tali Banyaknya rumpun per tali Banyakya rumpun/10 tali Produksi (gram)/rumpun Produksi (Kg/10 tali) Produksi (Kg/ha) I II II IV V 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 2000 2000 2000 2000 2000 1.630 1.824 1.964 2.144 2.440 3.260 3.648 3.928 4.288 4.880 32.600 36.480 39.280 42.880 48.800 Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan yang diolah Tahun 2007 Lampiran 5: Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara dengan Petani di Kabupaten Bima Sampel Berat Bibit Produksi Produksi Produksi Produksi (1.000 M2) (Kg/16.500 rmp/50 tali) 8 4,950.00 9,900.00 8,250.00 6,600.00 9,900.00 39,600.00 7,920.00 2,151.34 Produktivitas Lokasi 1 Desa Tanjung Mas Kec. Monta Petani 2 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV (Gr/rmpun) 3 30 40 30 40 30 170 34.00 5.477 (Gr/rmpun) 5 300 600 500 400 600 2400 480.00 130.384 (Kg/rmp) 6 0.300 0.600 0.500 0.400 0.600 2.4 0.48 0.130 (kg/330 rmp/tali) 7 99 198 165 132 198 792 158.40 43.027 Desa Laju Kec. Langgudu 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV 30 40 30 40 30 170 5.477 5.477 200 500 400 600 300 2000 158.114 158.114 0.200 0.500 0.400 0.600 0.300 2 0.158 0.158 66 165 132 198 99 660 52.178 52.178 3,300.00 8,250.00 6,600.00 9,900.00 4,950.00 33,000.00 2,608.88 2,608.88 33,000.00 82,500.00 66,000.00 99,000.00 49,500.00 330,000.00 26,088.79 26,088.79 Desa Doro O'O Kec. Langgudu 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata 30 40 30 40 30 170 34 600 400 400 400 400 2200 440 0.600 0.400 0.400 0.400 0.400 2.2 0.44 198 132 132 132 132 726 145.2 9,900.00 6,600.00 6,600.00 6,600.00 6,600.00 36,300.00 7,260.00 99,000.00 66,000.00 66,000.00 66,000.00 66,000.00 363,000.00 72,600.00 (Kg/ha) 9 49,500.00 99,000.00 82,500.00 66,000.00 99,000.00 396,000.00 79,200.00 21,513.37 STDEV 5.477 89.443 0.089 29.516 1,475.80 14,758.05 Desa Karampi Kec. Langgudu 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV 30 40 30 40 30 170 34 5.477 200 500 400 600 600 2300 460 167.332 0.200 0.500 0.400 0.600 0.600 2.3 0.46 0.167 66 165 132 198 198 759 151.8 55.220 3,300.00 8,250.00 6,600.00 9,900.00 9,900.00 37,950.00 7,590.00 2,760.98 33,000.00 82,500.00 66,000.00 99,000.00 99,000.00 379,500.00 75,900.00 27,609.78 Desa Rupe Kec. Langgudu 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV 1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV 30 40 30 40 30 170 34 5.477 30 40 30 40 30 170 34 5.477 600 400 400 400 400 2200 440 89.443 400 500 600 500 500 2500 500 70.711 0.600 0.400 0.400 0.400 0.400 2.2 0.44 0.089 0.400 0.500 0.600 0.500 0.500 2.5 0.5 0.071 198 132 132 132 132 726 145.2 29.516 132 165 198 165 165 825 165 23.335 9,900.00 6,600.00 6,600.00 6,600.00 6,600.00 36,300.00 7,260.00 1,475.80 6,600.00 8,250.00 9,900.00 8,250.00 8,250.00 41,250.00 8,250.00 1,166.73 99,000.00 66,000.00 66,000.00 66,000.00 66,000.00 363,000.00 72,600.00 14,758.05 66,000.00 82,500.00 99,000.00 82,500.00 82,500.00 412,500.00 82,500.00 11,667.26 1 2 3 80 90 90 1700 2000 2000 1.700 2.000 2.000 561 660 660 28,050.00 33,000.00 33,000.00 280,500.00 330,000.00 330,000.00 Desa Dumu Kec. Langgudu Ds.Bajo Pulo Kecamatan Sape 4 5 Jumlah Rata-rata STDEV Desa Pai Kecamatan Wera 80 80 420 84 5.477 1 90 2 90 3 90 4 80 5 80 Jumlah 430 Rata-rata 86 STDEV 5.48 Sumber : Hasil Wawancara dengan Petani Rumput Laut Tahun 2008 1900 1600 9200 1840 181.659 1.900 1.600 9.2 1.84 0.182 627 528 3036 607.2 59.947 31,350.00 26,400.00 151,800.00 30,360.00 2,997.37 313,500.00 264,000.00 1,518,000.00 303,600.00 29,973.74 2000 1700 1900 2000 1900 9500 1900 122.47 2.000 1.700 1.900 2.000 1.900 9.5 2 0.12 660 561 627 660 627 3135 627 40.42 33,000.00 28,050.00 31,350.00 33,000.00 31,350.00 156,750.00 31,350.00 2,020.83 330,000.00 280,500.00 313,500.00 330,000.00 313,500.00 1,567,500.00 313,500.00 20,208.29 Lampiran 6. Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara dengan Petani pada musim yang berbeda Produktivitas Stasiun/lokasi Musim Hujan Musim Kemarau Hujan/Kemarau (Kg/Ha) (Kg/Ha) (Kg/Ha) 32.600 1.400 396.000 I 36.480 1.900 330.000 II 39.280 2.200 363.000 III 42.880 2.600 379.000 IV 48.800 2.800 363.000 V 412.000 VI 1.518.000 VII 1.567.500 VIII Jumlah Rata-rata STDEV 200.040 25.005 21.229 10.900 1.363 1.205 2,243.000 373.833 28.743 Lampiran 7. Data produksi rumput laut masing-masing stasiun pengamatan pada musim kemarau di Teluk Waworada STASIUN Berat Bibit Banyaknya Banyakya Produksi Produksi Produksi (kg)/10 tali rumpun/tali rumpun/10 tali (gram)/rumpun (Kg/10 tali) (Kg/ha) I 40 200 2000 70 140 1400 II 40 200 2000 95 190 1900 II 40 200 2000 110 220 2200 IV 40 200 2000 130 260 2600 V 40 200 2000 140 280 2800 Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan yang diolah Tahun 2008