ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK

advertisement
ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN
ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA
KABUPATEN BIMA
MUHAMMAD SIRAJUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN
ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA
KABUPATEN BIMA
MUHAMMAD SIRAJUDDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magíster Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PENGUJI TAMU
DR. DEWAYANY SUSTRISNO, M. App.Sc
ABSTRACT
MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Ecological Spatial Analisys for Zona Group of
Seaweedculture Development in Waworada Bay Bima Rigency under direction
Bambang Widigdo and Agustinus Samosir.
One of the potential area for developing mariculture in West Nusatenggara
Province which has been decline recently is Waworada Bay of Bima regency.
The aim of this research is to find out management measures that could revitalize
the coastal area in waworada bay for sustainable seaweed culture. PCA (Principal
Components Analysis), analyze were used in this research to explore the main
biophysics parameters of growth seaweed culture, and explore the relationship
between seaweed production and carragenan with biophysics parameters. In
addition GIS analyses was applied to determine the suitable area. Analyze result
were using PCA that main parameter of growth seaweedculture was salinity
(20.21%), pest (20.14%), braigtness (19.94%), deepness (19.87%), and current
(19.83%). Based on GIS Analyze, there are 20.135,94 ha potential and not
potential area for seaweedculture that consist of 12.26 ha (0.06%) was very
suitable, 19.287,94 ha (95,79%) was suitablel and 835,04 ha (4,15%) wasnot
suitable.
Key words : seaweed, carragenan, spacial ecology, zonasi, PCA, GIS, waworada
bay
Judul Tesis
:
Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona
Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
di Teluk Waworada Kabupaten Bima
Nama
NRP
: Muhammad Sirajuddin
: C251060031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Widigdo, M.Sc
Ketua
Ir. Agustinus, M. Samosir, M.Phil
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 01 Nopember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus : 12 Januari 2009
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.
RINGKASAN
MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan
Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk
Waworada Kabupaten Bima. Dibimbing oleh Bambang Widigdo dan Agustinus
Samosir.
Salah satu wilayah yang diketahui cukup potensial dan strategis untuk
pengembangan budidaya laut di Kabupaten Bima adalah teluk Waworada.
Wilayah ini potensial karena kaya akan potensi sumberdaya pesisir dan lautan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan teluk waworada Kabupaten
Bima untuk pengembangan budidaya rumput laut. PCA (Prinsipal Componen
Analysis) digunakan untuk mengetahui parameter utama pertumbuhan rumput laut
dan korelasi parameter biofisik dengan produksi, dan kandungan keraginan
rumput laut. Sedangkan GIS (Geography Information System) untuk mengkaji
kelayakan lokasi.
Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan
stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan
Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh)
stasiun pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan
pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari
garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian
lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu
pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang
dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi
pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling)
(Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang
digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Pengamatan
parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu,
salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan.
Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat,
fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di
15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan
kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun
pada 15 titik secara acak.
Hasil penelitian ini dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA)
memperlihatkan bahwa parameter utama pertumbuhan rumput laut adalah
salinitas (20.21%), hama (20,14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%),
dan arus (19.83%). Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah
dioverlay beberapa peta tematik, luas wilayah perairan teluk Waworada
berdasarkan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut adalah 20.135,24 ha,
yang terdiri dari 12,26 ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, 19.287,94 ha
(95,79%) sesuai, dan 835,04 ha (4,15%) tidak sesuai.
Kata kunci : rumput laut, karaginan, ruang ekologi, zonasi, PCA, GIS, teluk
waworada
PRAKATA
Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang sangat
perlu
dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberikan manfaat yang
cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi dan industri
makanan. Produksi rumput laut selama ini cenderung menurun sehingga belum
mampu mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Salah satu alasan
rendahnya produksi rumput laut adalah belum dimanfaatkannya semua potensi
laut, lemahnya teknologi budidaya dan regulasi pemerintah.
Seiring dengan munculnya persoalan-persoalan tersebut di atas, maka
perlu dilakukan upaya pencarian solusi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pengkajian yang sistimatis guna menjawab setiap persoalan yang ada.
Kegelisahan penulis atas isu tersebut merupakan titik awal ide penulisan tesis ini.
Dalam rangka menjawab persoalan krisis sumberdaya, penulis berupaya
memberikan secuil kontribusi melalui penulisan tesis ini yang mungkin akan
bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungan.
Dalam tesis ini membahas tentang perlunya mempelajari aspek fisika,
kimia dan biologi perairan serta pengaturan ruang ekologis sehingga dapat
menghasilkan produksi secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu intervensi
dari pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sehingga
kerugian bisa diminimalisir. Pemikiran seperti ini sangat tepat diterapkan di dalam
setiap aktivitas yang bersentuhan langsung dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
merupakan
bagian
dari
proses
belajar
yang
tak
berujung.
Semoga
ketidaksempurnaan ini akan menjadi pemicu bagi penulis dalam upaya mencari
kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran
maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini.
Bogor,
Penulis
Oktober 2008
UCAPAPAN TERIMA
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
berkah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul
“Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworada Kabupaten Bima”
Dengan hati yang tulus dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Widigdo dan Bapak
Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan kritikan, masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Bapak
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB Bogor, Team Komisi Akademik dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Rohmin Dahuri, MS dan Dosen-dosen Pasca Sarjana yang yang telah banyak
memberikan pencerahan ilmu perikanan khususnya yang berhubungan dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Tidak lupa disampaikan terima kasih
kepada Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc atas kritikan, sumbang saran untuk
kesempurnaan tesis ini.
Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana
bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana (S2)
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. Ibu Ida Nurlaila, SE, MM yang banyak membantu di Pemda Bima.
Gubernur NTB, Direktur Yayasan Danamandiri, dan Direktur Coremap II atas
dukungan dana dalam penyelesaian Tesis ini. Teman-teman angkatan XIII SPL
terima kasih juga atas kerjasama yang baik selama mengikuti pendidikan.
Ungkapan terima kasih dan doa yang tak terhingga disampaikan kepada
almarhum (Ayahanda H. M. Said) yang telah mendorong untuk melanjutkan studi
pascasarjana di IPB, ibu, mertua serta seluruh keluarga terutama istriku tercinta
Irma Suryani, SP dan anak-anakku tersayang Nadira Khairunnisa (Anis) dan
Muhammad Rafi’ Maulana atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2008
Penyusun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Dodu Kecamatan Rasanae Timur
Kota Bima pada tanggal, 11 Juli 1972 dari pasangan
almarhum H. Muh. Said dan Hj. St. Kalisom. Penulis
merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD.Inpres
Dodu 1 tamat tahun 1985. SMPN 3 Bima tamat tahun 1988
dan SMAN 2 Bima tamat tahun 1991. Kemudian penulis
melanjutkan studi di Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya
Perairan Universitas ’45 Mataram dan tamat pada tahun 1996.
Setamat perguruan tinggi penulis bekerja di PT. Nener Bina Hayati
Singaraja Bali sebagai staf teknis pembenihan bandeng (1996 – 1997), PT. Multi
Mina Mertasari Rhee Sumbawa Besar sebagai staf teknis pembenihan bandeng
(1997 – 1998). Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) di Kanwil Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat sebagai
penyuluh pertanian spesialis (PPS). Pada tahun 2000 penulis ditempatkan di Balai
Informasi dan Penyuluhan Pertanin (BIPP Kab. Dompu), kemudian pada tahun
yang sama penulis dipindahkan ke Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian
(BIPP Kab. Bima) hingga tahun 2002. Dengan berubahnya status BIPP menjadi
BUKPPP (Badan Urusan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian), maka
penulis tetap sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS) hingga tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis dipindahkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Bima sebagai Kepala Seksi Perlindungan Sumberdaya Hayati dan
Perikanan hingga tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Bima untuk melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa pascasarjana di IPB, penulis juga aktif sebagai
Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana Pesisir dan Lautan) IPB sebagai ketua II
(2006 – 2007) dan anggota bidang pelatihan dan pengembangan (2007 – 2008).
Selain itu, penulis aktif menulis di buletin Bima Akbar tentang pesisir yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Mengikuti kegiatan seminar
dan penyampaian makalah. Semoga segala yang pernah dilakukan penulis diridhoi
oleh Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
iv
v
xiii
I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian .....................................................
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
1.5. Kerangka Pendekatan Masalah ....................................................
1
1
2
3
4
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut ...............................................
2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Berkelanjutan .............................
2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput
Laut .............................................................................................
2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut .................................
2.5. Produktivitas Rumput Laut .........................................................
2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut ............................................
2.7. Apikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya ...
2.7. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir ..............................
6
6
7
8
15
19
19
20
22
III. METODELOGI PENELITIAN ..........................................................
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................
3.2. Penelitian Pendahuluan ................................................................
3.3. Penelitian Utama ..........................................................................
3.4. Analisa Data .................................................................................
25
25
26
30
35
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .......................................
4.1. Kondisi Lokasi Penelitian ...........................................................
4.2. Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang ....................
40
40
46
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut ...............
5.2. Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ....................
5.3. Produktivitas dan Kandungan Karaginan Rumput Laut ..............
5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis ..
50
50
53
61
65
5.6. Rekomendasi .............................................................................
71
Halaman
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
6.1. Kesimpulan ................................................................................
6.2. Saran ..........................................................................................
72
72
73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN...........................................................................
74
83
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut .............................
17
2.
Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut .............................
17
3.
Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut .............................
17
4.
Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut .............................
18
5.
Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut..............................
18
6.
Kandungan Karaginan Beberapa Rumput Laut Jenis Eucheuma
yang dinyatakan dalam persen ............................................................
20
Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten
Bima ....................................................................................................
28
Parameter Fisika, Kimia dan Biologi yang Diamati Selama
Penelitian .............................................................................................
30
Matrik Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha
Budidaya Rumput Laut .......................................................................
36
Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput
Laut ......................................................................................................
38
Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan
Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama .....................
51
Kontribusi Variabel Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika,
Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ........
51
Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi
Terhadap Produksi Biomas dan Karaginan Rumput Laut ...................
52
14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada
Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA) .................
53
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
15.
16
Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput
Laut ......................................................................................................
53
Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identivikasi di Lokasi Budidaya
Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima ...............................
61
Halaman
17
18
19
Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk
Waworada Kabupaten Bima ................................................................
62
Rata-rata produksi rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada
dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima ..........................................
63
Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima .......................
64
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya
Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima ........................
5
2.
Morfologi Rumput Laut Eucheuma cottonii ....................................
7
3.
Peta Lokasi Penelitian ......................................................................
25
4.
Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan
Teluk Waworada Kabupaten Bima ..................................................
27
Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama Teluk
Waworada Kabupaten Bima .............................................................
29
5.
6.
Metode Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan long
line ....................................................................................................
33
7a.
Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 Maret 2003 .........
41
7b.
Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 April 2003 .........
41
7c.
Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Maret – April 2003 ...............
42
8.
Suhu Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa ..................................
43
9.
Sebaran pH Air Laut Selatan Sumbawa ...........................................
43
10.
Kelarutan Oksigen (DO) Air Laut Selatan Sumbawa ......................
44
11.
Kosentrasi Timbal (Pb) Air Laut Selatan Sumbawa ........................
44
12.
Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa ............................
45
13.
Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut ..............................
47
14.
Distribusi Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk
Waworada Pada Sumbu Utama ........................................................
51
15.
Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima .............
54
16.
Peta Tematik Hama Teluk Waworada Kabupaten Bima .................
55
17.
Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima ..........
55
Halaman
18.
Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima .........
56
19.
Peta Tematik Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ...................
56
20
Peta Arah Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ........................
57
21.
Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut di Teluk
Waworada Kabupaten Bima .............................................................
57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
.
Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian
Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ............
84
Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Wawo-rada Kabupaten
Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret – April 2007 ...................
85
Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) pada
Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima
86
Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di
Teluk Waworada Kabupaten Bima (Satuan kg/unit ...........................
87
Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara Dengan Petani Pada
Musim Hujan dan Kemarau di Teluk Waworada ...............................
88
Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara
Dengan Petani pada Musim yang Berbeda ........................................
89
Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan
Pada Musim Kemarau di Teluk Waworada ........................................
90
Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk
Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii).
Jurnal Akuakultur Indonesia, 8 (1) : 1 – 10 (2009) .............................
91
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan
panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi
yang besar untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Namun pemanfaatan
wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama
pada dekade 1980 - 1990 antara lain karena tersedianya teknologi pembenihan,
berumur pendek dan merupakan komoditi ekspor bernilai jual tinggi. Namun pada
tahun 1990-an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh
merebahnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan diversifikasi usaha budidaya yang
ramah lingkungan, salah satunya adalah budidaya rumput laut (Aderhold, et al.
1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung
dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006).
Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu
dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup
besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatanobatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan) Wang dan Chiang
(1994). Namun bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia
yang semakin tinggi, ekspor rumput laut Indonesia rendah dan tahun 1995 – 1998
cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton dengan nilai ekspor 21.307.593 U$
pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun
1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Sementara itu produksi rumput laut Indonesia
pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton
basah (Ditjenkanbud, 2005).
Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah karena belum
dimanfaatkan semua potensi laut. Tercatat areal strategis yang dapat digunakan
untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900
ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005).
Demikian juga sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut
masih terbatas pada daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi
2
Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau
Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan,
Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et
al. 2000).
Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah
cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama
terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah
berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan
meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan
skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi
pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada
tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005).
Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya
teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca
panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan
yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara
lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti
ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte,
1996).
Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan
kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan
pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi
budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan
dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004),
terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap
kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama
lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang
selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.
1.2. Perumusan masalah
Usaha budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima
mengalami ekspansi yang pesat namun produksinya justru malah menurun.
3
Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk
pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada meliputi :
1. Penataaan ruang; regulasi pemerintah khususnya ketetapan lokasi dan
pengaturan ruang yang belum jelas, karena belum adanya aturan/aspek hukum
yang pasti dan jelas dalam pemanfaatan kawasan teluk Waworada sehingga
menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya berdampak kepada kinerja
dan kontinuitas produksi budidaya rumput laut di teluk Waworada tersebut.
Ketidaksesuaian lokasi yang dilakukan petani/nelayan diduga berdampak pada
menurunnya produksi dan rendahnya kualitas rumput laut.
2. Teknologi pengelolaan budidaya khususnya aspek penyediaan bibit, metode
budidaya, umur panen dan pasca panen yang tidak sesuai teknis, hal ini sangat
penting karena merupakan salah satu input penting dalam kegiatan budidaya
rumput laut.
3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi baik biomas maupun kandungan
karaginan rumput laut.
Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam
penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan dan pengembangan budidaya
rumput laut yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara
optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam rangka meminimalkan
kerusakan dan tekanan ekologis perairan untuk pengembangan budidaya rumput
laut di wilayah tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisa Ruang
Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut
(Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima".
1.3. Tujuan dan sasaran penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah
pesisir teluk Waworada Kabupaten Bima untuk budidaya rumput laut melalui
pengalokasian kawasan yang sesuai.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (dua) langkah
penelitian yaitu :
1. Model hubungan antara faktor lingkungan (biofisik) dengan pengembangan
usaha budidaya rumput laut ditinjau dari produksi dan kandungan karaginan.
4
2. Pengelompokan kawasan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten
Bima berdasarkan karakteristik biofisik dengan pendekatan indek tumpang
susun (model SIG).
1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam
perencanaan pemanfaatan kawasan untuk budidaya rumput laut khususnya di
teluk Waworada Kabupaten Bima, sehingga proses aplikasinya dapat berlangsung
secara optimal dan berkelanjutan.
1.5. Kerangka Pendekatan Masalah
Berdasarkan potensi dan permasalahan teluk Waworada tersebut, maka
dalam proses untuk memenuhi target produksi dan tujuan pengembangan
budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kriteria yang digunakan dalam
mengambil keputusan yang meliputi : persyaratan kondisi lingkungan perairan
(aspek fisika, kimia dan biologi), persyaratan kualitas akhir (karaginan) untuk
kesesuaian lokasi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya rumput
laut. Untuk mencapai tujuan dan sasaran untuk pengembangan budidaya rumput
laut maka dilakukan pendekatan diantaranya penentuan parameter utama
pertumbuhan budidaya rumput laut dengan menggunakan analisa Principle
Component Analysis (PCA), analisis keruangan dengan menggunakan Geografis
Information System (GIS). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut diharapkan
dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan budidaya rumput
laut di teluk Waworada Kabupaten Bima.
Setelah berhasil
menempatkan kegiatan budidaya rumput laut
pada
kawasan yang sesuai dengan parameter lingkungan perairan (fisika, kimia dan
biologi). Hasilnya kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan kondisi perairan
teluk Waworada itu sendiri. Secara sederhana kerangka pendekatan masalah yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
5
Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir
Teluk Waworada Kabupaten Bima
Studi
Pustaka
Kondisi Lingkungan
perairan
Survey lapangan
Produksi biomas dan
Kandungan Karaginan
Penentuan Parameter
Utama Lingkungan
Perairan (Analisis PCA)
Kriteria Kesesuaian
Perairan
Analisis Spasial
(Analisis GIS)
Pemanfaatan
Lokasi Saat ini
Evaluasi
Pemanfaatan
Pemanfaatan
Tahun Sebelumnya
Pengelompokan Zona
Budidaya Rumput Laut
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya
Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut
Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional
untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari ”seagrass” atau nama lokalnya padang
lamun. Rumput laut tergolong tanaman yang berderajat rendah, umumnya tumbuh
melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati
tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam
dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras
lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999).
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktorfaktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut
mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding
thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara
gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui
vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005).
Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya
pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosom,
patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan
ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam
mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan
Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thalli bulat
silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang
tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus
dan atau kartilagenus.
Dawes (1981), menjelaskan sistematika rumput laut Eucheuma cottonii
adalah sebagai berikut :
Kelas
: Florideophycidae
Ordo
: Gigartinales
Family
: Solieriaceae
Genus
: Eucheuma
Species
: E. cottonii.
7
Gambar : 2. Morfologi rumput laut cotoni (Eucheuma cottonii)
Menurut (Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004), bahwa pantai yang
berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar
spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan
berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling
umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya
(Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi
pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau
pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh
arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut.
2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan
Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species,
muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan
penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar
dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas
produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka
8
kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber
perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988).
Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat
pada tali ris (lihat gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988),
bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat
pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Selanjutnya Kadi
dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa untuk metode rakit jarak tanam antar
rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar
rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka
perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode
budidaya. Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut
telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu
pemeliharaan 1,5 – 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut
untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500
– 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %. Jika dilakukan 6
kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut
basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering (Aslan, 1988).
2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut
Suhu
Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana
semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur,
maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar
matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan
nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan
pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang
spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai
dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C (Luning, 1990).
Menurut Lee, et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa
rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan
oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan
Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi
9
beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan
terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C.
Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27 - 30°C
dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu
untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga
biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan
pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi
fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan
dan reproduksi (Dawes, 1981).
Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa kisaran suhu yang demikian
masih cukup ideal untuk pertumbuhan biota laut. Suhu yang terlalu rendah dan
suhu yang terlalu tinggi sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme. Dawes
(1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik
karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang
terlalu dingin maupun terlalu panas. Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang
dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC.
Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC
Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer,
et al. (2004), bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan
jaringan rumput laut (L. Saccharina) 10% / hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh
15% /hari pada rumput laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995),
bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C
dapat mematikan.
Kecerahan
Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke
dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah
yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik
dengan kekeruhan (Nybakken, 1988). Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah
ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan
secchi disk
atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan
dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan
10
cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian
orang yang melakukan pengukuran.
Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan
pertumbuhan rumput laut (Kadi dan Atmadja, 1988). Menurut Archibold (1995),
bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling
penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya
tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan,
kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan,
kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.
Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. Sacharina) dapat
tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3
mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm – 8 mm).
Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 – 80 mm) dapat
tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984; Jones 1993; Msuya dan Neori, 2002),
bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut.
Arus
Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi,
transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap
keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes,
1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang
melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin
kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien
ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat
(Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al.
(2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi
pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam
perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987),
bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan
terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun
terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat
tertentu.
11
Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi
Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/dtk. Selain itu
penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah
terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada
substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang
tenang.
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput
laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan
Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di
Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut
terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.
Salinitas
Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya
dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran
rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai.
Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species
rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut
(Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50
ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17
ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai
salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988).
pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat
keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp.
berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987),
pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh
terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan
adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990).
12
Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah
alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan
rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui
karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu.
Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi
memiliki tingkat keasaman yang tinggi.
Nutrien
Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai
bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi
pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut
dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit
maupun amonium (Dawes, 1981). Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan
nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah
lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005)
bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong
perairan dengan kriteria subur.
Kandungan Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan
hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen
terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses
respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut
(disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan
akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut
(Levina, 1984).
Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput
laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991). Selanjutnya menyatakan bahwa
oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang
dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut
dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh
pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat
menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut (DO) pada umumnya
banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara
13
di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Phytoplankton juga
membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan
diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen
sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di
dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut,
walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen
terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air.
Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi
keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen
dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya
oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya
proses pertukaran dengan udara di atasnya.
Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di
perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung
konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan
Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah
total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik
baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar
degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada
prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah
dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988).
Perairan yang memiliki COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar
melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter
(UNISCO/WHO/UNEF, 1992). Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al.
(2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2.46 ton per
musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005),
bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan
bahan organik. Hal ini juga membuktikan bahwa budidaya ikan di tambak dan
limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD. Sedangkan
14
konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung
menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan.
Timbal (Pb)
Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al.
2004). Logam berat (Pb) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air
secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang
disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat
(Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico
ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd)
dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan
peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah
(P. Colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan
logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999).
Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut
mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual
bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal
dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter
Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan
untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang
ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar
0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi
menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung
Pb < 10 mg/liter (King, 1983).
Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang
berbahaya antara lain cadnium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury
(Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et. al.
(2002), bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada
berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan
Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan
(Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan
sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama
mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian
15
kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan
(Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya
Wrigh dan Mason (1999), melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga
laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa
pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akomulasi dengan logam berat (cu,
cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb).
Hama dan Penyakit
Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan
penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme
pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri
pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.),
ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu
hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan
dapat
berpengaruh
terhadap
persporaan
rumput
laut
dan
menghambat
pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan
pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006).
Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis
Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman
tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan
kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat iceice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama.
Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton
yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik,
fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari
kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti
Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005).
2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut
Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari
beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing
parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya
kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter. Menurut Aslan (1988)
16
dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian
budidaya rumput laut
tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan
budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter
tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan
bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling
melengkapi. Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa
kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan
arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai
bobotnya (8%) (Tabel 1). Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot
yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas,
suhu dan pH memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 2). Sedangkan
Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan
kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot
(10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja
memperoleh bobot (5%) (Tabel 3).
Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan
Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang
tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan
gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 4).
Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa
pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada
dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya
laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor
pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu
peruntukan. Selanjutnya
Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007)
memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan
dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora
(0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya
yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 5).
Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel
1, 2, 3, 4 dan 5) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang
perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi
adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat,
17
sedangkan parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, pH, substrat
dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan
parameter penunjang, namun saling melengkapai artinya tanpa parameter
penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil.
Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Parameter
Satuan
Arus
Kecerahan
Keterlindungan
Suhu
Kedalaman
Gelombang
Salinitas
Nitrat
Phosfat
Substrat
Pencemaran
Jumlah
m/dtk
cm
ºC
m
cm
ppt
mg/l
mg/l
-
Tidak sesuai
1
< 10 atau > 40
<3
Terbuka
< 20 atau > 30
< 2 atau > 15
> 30
< 28 atau > 37
< 0,01 atau > 1,0
< 0,01 atau >0,30
Lumpur
-
Skor (S)
Sesuai
2
10 – 20 atau 30- 40
3–5
Agak terlindung
20 – 24
1–2
10 – 30
34 – 37
0,8 – 1,0
0.21 – 0.30
pasir berlumpur
sedang
Sangat sesuai
3
20 – 30
>5
Terlindung
24 – 30
2–5
< 10
28 – 34
0,01 – 0,07
0,10 – 0,20
pasir
tidak ada
Bobot (%)
5
8
12
8
8
8
4
12
12
12
8
8
100
Sumber : Aslan (1988)
Tabel 2. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Parameter
Satuan
Kedalaman
Oksigen (DO)
Salinitas
Suhu
Kecerahan
pH
Jumlah
M
mg/l
ppt
°C
%
-
S1
80
1–5
>6
28 – 36
26 – 31
> 75
7,5 – 8,5
Skor (S)
S2
S3
60
40
>5–6
4–5
> 20 – 28
20 - < 24
> 31 – 33
> 33 – 35
50 – 75
25 - < 50
> 8,5 – 8,7
6,5 - < 7
N
10
<4
< 20
> 35
< 25
> 8,8
Bobot
(%)
35
10
10
10
25
10
100
Sumber : Bakosurtanal (2005)
Tabel 3. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Skor (S)
Parameter
Kecerahan
Kedalaman
Arus
Gelombang
Jumlah
Satuan
M
M
cm/s
Cm
S1
4
1
¾
½
¼
S2
3
4/3
1
2/3
1/3
S3
2
2
3/2
1
½
N
1
4
3
2
1
Bobot
(%)
0.4
0.3
0.2
0.1
1.0
Sumber : Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et
al. (2007)
18
Tabel 4. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Parameter
Satuan
Morfologi
Kedalaman
Arus
Substrat dasar
Kecerahan
Salinitas
Pencemar
Hewan
herbivora
Keamanan
Keterjangkauan
Tenaga kerja
Jumlah
Bobot
(%)
15
M
Cm/dtk
15
10
10
M
Ppt
10
10
10
5
Ekor
1 – 10
20 – 30
Pasir dan
pecahan
>3
28 - 31
Tidak ada
Tidak ada
Nilai (value)
20
Cukup
terlindung
11 – 15
31 – 40
Pasir
berlumpur
1–3
32 – 34
Sedang
Sedang
Aman
Mudah
Mudah
Agak aman
Agak sulit
Agak sulit
30
Terlindung
5
5
5
100
10
Terbuka
< 1 & > 15
< 20 & > 40
Lumpur
<1
< 28 & > 34
Tinggi
Tinggi
Tidak aman
Sulit
Sulit
Sumber : Radiarta et al. (2005)
Tabel 5. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Parameter
Satuan
Morfologi
Substrat dasar
Bobot
(%)
0.1
0.1
4
Terlindung
Nilai (value)
3
2
Agak
Terlindung
terlindung
sesaat
Pasir sedikit
Pasir
berlumpur
berlumpur
sedang
70 – 79
60 – 69
0.01 – 0.04
0.03 – 0.06
31 – 40
41-50
11 – 15
16 – 20
Kecerahan
Logam berat
Arus
Kedalaman
%
mg/l
cm/s
M
0.1
0.1
0.09
0.09
Pasir dan
pecahan
karang
80 – 100
< 0.01
20 – 30
5 – 10
Salinitas
Hewan air
Ppt
Ekor
0.09
0.08
31 – 35
Tidak ada
28 – 30
Kurang
25 – 27
Banyak
Keterjangkauan
0.07
Lancar
Tenaga kerja
0.06
Banyak
Keamanan
0.06
Aman
Cukup
lancar
Cukup
tersedia
Cukup aman
Kurang
lancar
Kurang
tersedia
Insidentil
Pemasaran
0.06
Lancar
Cukup
lancar
Kurang
lancar
Jumlah
1.00
Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007)
1
Tidak
terlindung
Pasir
berlumpur
banyak
< 60
< 0.06
< 20&>50
<5&>
20
<25&>35
Sangat
banyak
Tidak
lancar
Tidak
tersedia
Tidak
aman
Tidak
lancar
19
2.5. Produktivitas Rumput Laut
Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari
musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas
292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari
(15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer,
2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami
maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 – 8 mm
setelah dipelihara 40 – 60 hari mencapai 10 mm.
Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara
dengan pH dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai 600 – 900 gram /
m2 dengan berat awal 2 – 3 gram. Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan
bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata
18,1°C (musim dingin) dan 31,2°C (musim panas), salinitas 41 ppt, pH (8,5 -8,9)
dan DO (8,9 – 9.07 mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau
78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14
kg/tahun. Demikian juga Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi
biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 – 1,2 kg/musim
pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6
kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006)
bahwa rumput laut yang dipelihara pada suhu 17°C dan 21°C, pH 8.46, DO 8 – 10
mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram
berat kering /hari.
2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut
Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga.
Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya
sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968).
Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat
molekul di atas 100 kDa. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan
merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust
dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan
20
rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan
metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 6).
Tabel 6. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Eucheuma yang
dinyatakan dalam persen.
Kandungan
No
Jenis
karaginan
Lokasi
Keterangan
(%)
1
72,8
Tanzania
Eucheuma spinosum
2.
Eucheuma striatum
69,0
Tanzania
3.
Eucheuma platycladum
85,0
Tanzania
4.
Eucheuma okamurai
58,0
Tanzania
5.
Eucheuma spinosum
54,0
Tanzania
6.
Eucheuma spinosum
65,7 – 67,5
Indonesia
7.
Eucheuma cottonii
61,5
Indonesia
Sumber : Gliksman (1983).
Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam
rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya.
Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh
musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan
karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut
Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat
kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rmput laut.
Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan
kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim
pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut.
2.7. Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang
mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan
data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990;
Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita
dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis)
dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan,
21
1998). Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan
diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika,
Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi.
Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk
analisa daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et
al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003).
Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk
menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain :
kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil
analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas
Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan
tengah bagian selatan teluk.
Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat
didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan
padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk,
keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan
Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi
(4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti
benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis
meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan
mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan
pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi
yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor
paling tinggi yaitu 512,5.
Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oceanografi
dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya
dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari
luas teluk 3.000 ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha
tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi
untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas
perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll).
22
Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk
pengembangan budidaya laut di teluk Ekas.
2.8. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi
ruang daratan, ruang laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan
benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk
hidup lainnya melakukan kegiatan dengan pemeliharaan kelangsungan hidupnya.
Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan
ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan
ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan
adanya hirarkhi dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang yang
selama ini disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan
belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang tata ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal
perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat
dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari
pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan
pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial
sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam
pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk
itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka
pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari
pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi
pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana
23
Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan
dalam optimalisasi pemanfaatan ruang.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat
rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat
dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup
potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena
wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi
manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di
suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian,
perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa
kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah
pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti
erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak
terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga
pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut.
Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di
wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya
segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai
macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan
cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi
perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa
mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih
realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola
pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian
lahan (Dahuri, et al. 1997)..
Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke
dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap
zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang
dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang
didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu
kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan
ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bagda Depdagri, 1998).
24
Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan
spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya
diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi
zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak
dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan
penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya
pembangunan
namun
dilakukan
dengan
memperhatikan
kaidah-kaidah
berkelanjutan (Odum, 1989).
Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut
memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan
(Sugandhy, 1993).
25
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nusa
Tenggara Barat. Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan
10 (sepuluh) pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun
pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ±
1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km.
Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga)
bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007.
Gambar : 3. Peta Lokasi Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang
dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi
pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling)
(Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang
digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Menurut Hadi
(2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada
kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah
pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik
26
pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan
0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Pengambilan sampel kualitas air
dilakukan pada pukul 08.00 – 17.00 WITA. Pengamatan parameter fisika dan
kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH,
kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter
fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat,
COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik
pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan
karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik
secara acak.
3.2. Penelitian Pendahuluan
Sebelum penelitian inti dilakukan survei pendahuluan lebih dahulu dengan
melakukan survei langsung ke lapangan. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan
untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik
biofisik perairan yaitu keterlindungan/ketidakterlindungan dari ombak, kuat
lemahnya arus, kedalaman, kecerahan dan habitat yang berbeda (berkarang,
karang campur pasir dan pasir). Selain faktor internal di atas juga dilakukan
pengamatan terhadap faktor eksternal yang diperkirakan akan berpengaruh
terhadap kondisi lingkungan perairan seperti adanya pengaruh sungai,
pertambakan dan aktivitas pemukiman dan pelabuhan perikanan.
27
Gambar : 4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan
Hasil
pengamatan pendahuluan menunjukan bahwa teluk Waworada
sangat terlindung dari ombak, karena di mulut teluk Waworada terdapat lekukanlekukan garis pantai dan luas mulut teluk Waworada lebih kecil dibandingkan
dengan luasan teluknya sehingga mampu mengurangi arus deras dan gelombang
besar yang datang dari Samudra Hindia. Hasil pengamatan parameter fisika dan
kimia di 10 (sepuluh) stasiun pengamatan (Gambar 4) yang tersebar di teluk
Waworada yang meliputi kecepatan arus berkisar antara 0,15 – 0,35 m/dtk
(standar deviasi 0.01 – 0.03 m/dtk), suhu berkisar antara 28 - 32ºC (standar
deviasi 0.58 – 1.00 °C), pH berkisar antara 7 – 9 (standar deviasi 0.58 – 1.00),
dan salinitas berkisar antara 32 – 36 ppt (standar deviasi 0.58 – 1.00 ppt). Namun
kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan sedikit berbeda
yaitu berkisar antara 2 - 24 m (standar deviasi 1.50 – 3.61 m) dan kecerahan
berkisar antara 1 – 7 m (standar deviasi 0.58 – 1.15 m). Demikian juga habitat
perairan seperti berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di 10 (sepuluh
stasiun) atau 30 (tiga puluh) titik pengamatan yang juga hampir sama (Tabel 7).
28
Tabel 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Stasiun
Arus
(m/dtk)
I
Suhu
(°C)
pH
0.18 ±
29.67 ±
8.00 ±
0.03
0.58
1.00
II
0.20 ±
30.67 ±
8.67 ±
0.01
0.58
0.58
III
0.35 ±
31.00 ±
8.67 ±
0.01
1.00
0.58
IV
0.34 ±
29.67 ±
8.33 ±
0.01
0.58
0.58
V
0.34 ±
30.67 ±
8.33 ±
0.01
0.58
0.58
VI
0.18 ±
29.67 ±
8.00 ±
0.01
0.58
1.00
VII
0.20 ±
29.67 ±
8.67 ±
0.01
0.58
0.58
VIII
0.35 ±
30.00 ±
8.67 ±
0.01
1.00
0.58
IX
0.35 ±
30.33 ±
8.33 ±
0.01
0.58
0.58
X
0.35 ±
29.33 ±
8.67 ±
0.01
0.58
0.58
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
Salinitas
(ppt)
Kedalaman
(m)
Kecerahan
(m)
32.67 ±
0.58
34.00 ±
1.00
34.67 ±
0.58
34.67 ±
0.58
34.33 ±
0.58
32.67 ±
0.58
32.67 ±
0.58
34.67 ±
0.58
35.00 ±
1.00
34.67 ±
0.58
3.33 ±
1.50
4.67 ±
1.53
5.33 ±
1.15
9.67 ±
2.52
13.33 ±
1.53
21.33 ±
1.53
20.67 ±
3.06
4.00 ±
1.00
5.00 ±
1.00
8.00 ±
3.61
1.33±
0.58
2.67 ±
1.15
3.67 ±
0.58
5.33 ±
0.58
5.67 ±
0.58
7.00 ±
0.00
7.00 ±
0.00
3.67 ±
0.58
5.00 ±
1.00
6.67 ±
0.58
Dari pengamatan tersebut dapat diambil suatu gambaran bahwa teluk
Waworada termasuk tipe teluk yang terlindung dari ombak dan arus yang deras,
dengan parameter fisika dan kimia meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas dan pH
perairan di stasiun pengamatan yang homogen. Namun kedalaman dan kecerahan
di masing-masing stasiun pengamatan heterogen. Habitat perairan yang bertipe
berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di seluruh stasiun pengamatan
juga masih tergolong homogen. Mengingat kondisi fisika dan kimia perairan teluk
Waworada yang homogen, maka dalam penentuan stasiun pengamatan dilakukan
pengamatan terhadap faktor eksternal yang sekiranya dapat mempengaruhi
kondisi biofisik teluk Waworada yaitu meliputi 5 (lima) kelompok, yaitu :
1. Kelompok satu (St1) adanya pengaruh sungai yang membawa limpasan air
tawar yang akan mempengaruhi kondisi fisika dan kimia perairan seperti suhu,
salinitas dan pH.
29
2. Kelompok dua (St2) adanya tambak akan mempengaruhi kondisi perairan
karena limpasan sisa air tambak yang banyak membawa partikel organik
(kimia) yang dapat mempengaruhi kandungan kimia perairan.
3. Kelompok tiga (St3) adanya aktivitas manusia seperti pemukiman yang dapat
menghasilkan limbah sehingga menurunkan kualitas perairan.
4. Kelompok empat (St4) adanya aktivitas manusia seperti pelabuhan yang dapat
menghasilkan limbah cair seperti minyak juga dapat menurunkan kualitas
perairan.
5. Kelompok lima (St5) adalah titik yang mewakili daerah dengan kegiatan yang
minim ataupun tidak ada kegiatan sama sekali.
Sehingga penentuan stasiun pengamatan pada penelitian ini yang hanya
meliputi 5 (lima) stasiun pengamatan dan 15 (lima belas) titik sampling yang
letaknya berderet di bagian utara teluk dianggap cukup mewakili keseluruhan
perairan teluk Waworada Kabupaten Bima (Gambar 5). Dalam kegiatan
penentuan stasiun pengamatan ini juga dibantu dengan alat GPS (Global
Positioning System).
Gambar : 5. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama
30
3.3. Penelitian Utama
Pengumpulan Data Primer
Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun.
Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi.
Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian
No
1.
2.
3.
Parameter
Alat
Pengukuran
Frekwensi
(Kali)
Keterangan
Fisika
• Kecerahan
• Suhu
• Kecepatan Arus
• Kedalaman
Secchi disk
Termometer
Floating roach dan stopwatch
Tali penduga dan meteran
3
3
3
3
Insitu
Insitu
Insitu
Insitu
Kimia
• Salinitas
• pH
• Fosfat
• Nitrat
• DO
• COD
• Logam berat (Pb)
Refraktometer
Kertas lakmus merah
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Titrimetrik
Spektrofotometer
Spektrofotometer
3
3
3
3
3
3
3
Insitu
Insitu
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Biologi
• Hama
Pengganggu
Visual dan Wawancara
-
Insitu
Frekwensi : 3 kali/42 hari (Minggu kedua, keempat dan keenam).
a. Parameter Fisika
Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m) : alat yang
digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan
sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas
penglihatan. Suhu permukaan (°C) : alat yang digunakan adalah termometer
dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik) : alat
yang digunakan adalah floating roach dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan
menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30
cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung
sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah
tali yang diikatkan pada floating roach. Apabila floating roach tersebut berpindah
atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian
dapat ketahui bahwa floating roach tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang
telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa
31
menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan
rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/dtk), L = jarak tempuh (m), dan S =
waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan
menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan
parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan.
b. Parameter Kimia
Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada
minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan
kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas
permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30
cm dari dasar).
Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan
adalah refraktometer dengan mengambil
contoh air permukaan lalu diukur
salinitasnya; pH diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas lakmus
merah ke dalam air kemudian dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan
oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode
winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat (Pb), contoh air diambil
langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water
sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan
pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang
berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Manajemen Produktivitas
Lingkungan IPB Bogor.
c. Parameter Biologi
Hama pengganggu
Pengamatan hama pengganggu dilakukan dengan metode visual sensus
dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu
pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel
langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan.
Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan
melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar
area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan
menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel
32
pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar
perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan
sensus ini diawali dengan pemasangan garis transect dengan ukuran 50 m dengan
menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu
snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m
(English, et al, 1994).
Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas
1.000 m2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan
untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun)
pengamatan. Selama pengamatan berlangsung dicatat apa yang diamati meliputi
hama mikro seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang yang
menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan hama makro seperti
ikan
beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), bintang laut
(Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode
snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus
ke depan sampai sejauh 50 m.
Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan
alat bantu pernapasan. Untuk lokasi (stasiun) pengamatan yang kedalamannya > 5
m, maka digunakan metode wawancara dengan nelayan sebanyak 15 orang yang
berpengalaman menyelam dan menangkap ikan di sekitar stasiun pengamatan
yang telah ditetapkan pada waktu penelitian berlangsung.
d. Produksi
Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan
sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut
biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk
budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama
tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut
diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m,
panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris
(tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm.
Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan
biasanya memiliki 5 – 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 – 42
33
hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m2 atau satu unit
budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m2 (Gambar 6).
Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil
dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen.
Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya
terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi
secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau 2.000
rumpun/1.000 m2. Dalam satu stasiun, pengambilan sampel hanya diwakili oleh
satu nelayan dan diambil 10 (sepuluh) tali ris dan dari masing-masing tali ris
diambil untuk ditimbang secara keseluruhan. Untuk menghitung produksi rumput
laut maka rumput laut tersebut terlebih dahulu ditimbang dalam keadaan basah
sebelum dibudidayakan sebagai berat awal (B0). Berat awal (B0) adalah berat
rumput laut sebelum dibudidayakan. Setelah ditimbang rumput laut tersebut
diikatkan pada tali ris, dan tali ris (tali pemeliharaan) tersebut diikatkan pada tali
induk.
34
Untuk menjaga kemungkinan kematian atau rusak pada rumput laut yang
telah diikatkan sebagai sampel maka dipersiapkan 1 (satu) tali ris sebagai
pengganti (yang sebelumnya juga sudah ditimbang) yang ditempatkan pada lokasi
yang berdekatan. Hal ini dimaksudkan supaya memudahkan dalam pengukuran
berat panen (B42). Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan
menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya.
Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan
sebagai berikut : Berat panen total (Bt) / tali ris dibagi dengan luas panen
budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut:
P=
Bp
Lp
......................................................
(1)
Keterangan :
P = Produksi total (kg/ha)
Bp = Berat panen ( kg)
Lb = Luas panen (ha)
e. Kandungan karaginan
Untuk mendapatkan data kandungan karaginan rumput laut, maka diambil
sampel rumput laut pada umur 42 hari setelah tanam (HST). Pengambilan sampel
untuk diuji kandungan karaginannya diambil secara acak di 10 tali. Masingmasing tali diambil 10 rumpun. Setelah sampel diambil, kemudian dicuci supaya
bersih dari kotoran kemudian ditimbang dengan berat berkisar antara 100 – 200
gram berat basah/rumpun dan dijemur selama 2-3 hari sampai kering. Penjemuran
dilakukan di atas para-para dan selama penjemuran terus dijaga agar sampel uji
tidak rusak atau kena hujan. Sampel uji yang telah dijemur dan telah kering
dilakukan analisa kadar air di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati
dan Bioteknologi. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut
Pertanian Bogor. Perhitungan kadar air dengan rumus sebagai berikut :
KadarAir (% ) =
KehilanganBobot
x100% ...............................
BobotSampel
(2)
Penentuan kandungan karaginan dilakukan untuk setiap sampel dengan
menggunakan metode Ainsworth dan Blanshard (1980). Selanjutnya penentuan
35
kandungan karaginan dapat diukur berdasarkan rumus sebagai berikut (Syaputra,
2005) :
Karaginan(% ) =
BeratKaraginan
x100%
BeratSampel
..............................
(3)
Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder antara lain diperoleh dari hasil-hasil penelitian, literaturliteratur penunjang dan peta-peta yang berhubungan dengan lokasi penelitian.
3.4. Analisa Data
Analisis Komponen Utama
Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun
pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu
Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) (Lagendre dan
Lengendre, 1984; Foucart, 1985; Tabachnich dan Fidell, 1996). Analisis ini
dimaksudkan untuk mendapatkan komponen utama dan bobot matrik kesesuaian
lokasi budidaya rumput laut. Bobot matrik kesesuaian tersebut akan diperoleh dari
besarnya korelasi dari beberapa parameter biofisik yang meliputi parameter fisika
(kecerahan, suhu, kecepatan arus dan kedalaman); kimia (salinitas, pH, fosfat,
nitrat, DO, COD dan Pb); biologi (hama pengganggu). Analisis PCA dalam
penelitian ini menggunakan perangkat lunak (software) XL Statistica 4.4 dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Menetapkan variabel
2. Menyusun struktur data asal (kualitatif) ke dalam data kuantitatif
3. Menginput data kuantitatif ke dalam software XL Statistica 4.4
4. Menentukan jumlah faktor utama berdasarkan nilai eigen values tertinggi
5. Menyederhanakan variabel berdasarkan kontribusi tertinggi dari masingmasing variabel terhadap faktor utama yaitu (≥ 0,90).
6. Menyimpulkan hasil analisis komponen utama
Nilai bobot matrik kesesuaian lokasi pengembangan budidaya rumput
diperoleh dengan mengambil hasil analisis dari parameter yang diamati misalnya
suhu, DO, pH, COD, salinitas, arus, nitrat, fosfat, Pb, kecerahan, kedalaman,
36
hama, produksi biomas dan karaginan rumput laut. Hasil analisis dari masingmasing parameter biofisik dengan PCA (Prinsipil Component Analisis) tersebut
akan diperoleh nilai parameter utama (Faktor utama ke-i) (kolom 3 Tabel 9).
Untuk mendapatkan nilai prosentase (%) (kolom 4 Tabel 9) maka nilai parameter
faktor utama ke-i (kolom 3 Tabel 9) dijumlahkan dan dibagi dengan nilai total
parameter ke-i (Σ Faktor utama ke-i ) dan dikalikan 100% (Tabel 9) :
Tabel 9. Matrik, Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Teluk Waworada Kabupaten Bima.
Parameter
Sumber
Faktor utama ke-i
Prosentase (%)
Bobot
DO
10***
pH
10****
**
Salinitas
10
Suhu
10****
*
Nitrat
12
Fosfat
12*
***
COD
10
**
Pb
10
Arus
10**
**
Kecerahan
10
Kedalaman
15**
**
Hama
5
Jumlah
Σ Faktor utama ke-i
100.00
*
Sumber :
Aslan (1988), **Radiarta et al. (2005), ***KLH (1988),
****
Bakosurtanal (2005).
Prosentase faktor utama ke-i secara kuantitatif menggunakan pendekatan
sebagai berikut :
βi =
FUi
x100%
∑ FUi
...........................................................
(4)
Keterangan :
ßi
= Faktor pembobot (%)
FUi = Faktor utama ke-i
Σ FUi = Jumlah total faktor utama ke-i
Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut
Tahap awal dari analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut
meliputi penyusunan matrik kesesuaian yang merupakan dasar untuk analisa
keruangan. Matrik ini disusun melalui studi pustaka sehingga sapat diketahui
37
parameter-parameter yang diperlukan untuk kegiatan budidaya rumput laut.
Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik untuk menentukan kelayakan
lokasi budidaya rumput laut mengacu pada kriteria yang telah disusun oleh Aslan
(1988); KLH (1988); Bakosurtanal (2005) dan Radiartha, et al. (2005) Tabel 10.
Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu
(1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan
dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk kesesuaian budidaya
rumput laut.
1. Penyusunan peta kawasan
Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan
tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada
jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang
memiliki kesamaan karakteristik digolongkan ke dalam satu kategori dan dapat
diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominannya. Penyusunan peta kawasan
dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (GIS), yaitu dengan melakukan
query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga
informasi spasialnya dapat diketahui :
-
Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan budidaya rumput laut, dan
kawasan mana saja yang dijadikan sebgai kawasan lindung.
-
Hasil penyusunan peta kawasan yang sesuai dengan peruntukannya dapat saja
berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang.
2. Penyusunan matrik kesesuaian
Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut berdasarkan hasil
studi pustaka. Matrik ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matrik
tersebut akan dapat diketahui data dari berbagai parameter dan cara analisisnya.
Kategori kesesuaian pada matrik ini menggambarkan tingkat kesesuaian lokasi
untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, kelas
kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kategori yang didefinisikan sebagai berikut :
Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable).
Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk
menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai
pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata
38
terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan
tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kategori (S2) : Sesuai (suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas
ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan.
Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah
segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut yang digunakan
adalah sebagai berikut (Tabel 10).
Tabel 10. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
(seaweed culture).
Parameter
Bobot
(ßi)
1
2
Kecerahan
Arus
Kedalaman
Hama
Salinitas
Nitrat
Pb
Suhu
COD
DO
Fosfat
S2 (20)
ßi . xi
Kriteria
Skor klas
(xi)
ßi . xi
S3 (10)
Skor
klas
Kriteria
(xi)
9
10
5
6
7
8
-
>3
30
-
1–3
20
-
<1
10
-
0.20 –
0.30
30
-
0.31 –
0.40
20
-
< 0.20 &
0.40
10
-
1 – 10
30
-
11 – 15
20
-
<1&>
15
10
-
< 10
30
-
10 – 70
20
-
> 70
10
20
-
< 28 & >
34
10
20
-
< 0.01 &
> 1.0
10
20
-
>1
10
-
28 – 31
30
-
-
0.010.07
30
-
-
< 0.01
30
-
-
26 - 31
30
-
-
10 - 90
30
-
-
>6
0.10 –
0.20
30
-
-
pH
S1 (30)
Skor
klas
Kriteria
(xi)
3
4
Total
7.5 – 8.0
S1
30
-
30
-
32 – 34
0.8 –
1.0
> 0.01
–1
32 - 35
20
-
< 26 & >
35
10
91 100
4-5
0.21 –
0.30
20
-
> 100
10
20
-
10
20
-
<4
< 0.01 &
> 0.30
8.0
20
-
Σßi xi
S2
12
-
**
-
10
N
Σßi
xi
Sumber : *Aslan (1988), **Radiarta et al. (2005), ***KLH (1988), ****Bakosurtanal
(2005)
3. Pembobotan dan pengharkatan
Pembobotan
pada
setiap
faktor
pembatas/parameter
Sumber
11
10
< 7.5 &
> 0.8
Σßi xi
ßi .
xi
ditentukan
berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan.
**
**
**
**
*
**
****
***
****
*
****
39
Besarnya pembobotan ditunjukan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi
lokasi. Nilai bobot (ßi) (kolom 2 Tabel 10) diperoleh dari hasil parameter utama
pertumbuhan rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada Kabupaten Bima
yang dianalisa dengan Analisa Komponen Utama
(Principal Component
Analysis). Untuk setiap parameter dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas yaitu
sangat sesuai (S1) diberi skor klas (30), sesuai (S2) diberi skor klas 20, dan tidak
sesuai (N) diberi skor klas 10.
Untuk menyimpulkan tingkat kesesuaian lokasi (stasiun) maka dilakukan
penjumlahan nilai akhir seluruh parameter pada stasiun yang bersangkutan (Y = Σ
Nilai Bobot x Skor). Untuk mendapatkan nilai selang kelas (X), maka nilai S1
ditambah S2 dibagi dua, nilai S2 ditambah N dibagi dua. Dengan demikian untuk
kategori kesesuaian lokasi budidaya rumput laut berada pada kisaran sebagai
berikut :
Kategori Sangat Sesuai (S1) : Y > 2500
Kategori Sesuai (S2)
: Y = 1500 - 2500
Kategori Tidak sesuai (N) : Y < 1500
4. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam
bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format
digital sesuai kebutuhan/parameter masing-masing jenis kesesuaian lokasi.
Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang
susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk polygon. Proses overlay
dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap
jenis kesesuaian lokasi. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan
melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lokasi tersebut.
Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcView GIS Version 3.3.
40
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Kondisi Lokasi Penelitian
Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang
terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak pada posisi
118º44’ - 119º10’ Bujur Timur dan 08º08” - 08º57” Lintang Selatan, memiliki
wilayah pesisir seluas 2.967,40 km² dari 4.596,9 km² luas wilayah Kabupaten
Bima. Sedangkan panjang garis pantai Kabupaten Bima yaitu 711,76 km, dengan
batasan wilayah sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan
berbatasan dengan laut Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan selat Sape
dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dompu.
Menurut Sumiono, et al. (1991), bahwa teluk Waworada terletak di pantai
selatan Pulau Sumbawa dan secara geografis terletak pada posisi 8° 42’- 8° 46’
LS dan 118° 42’ - 118° 54’ BT. Keadaan perairannya relatif tenang sepanjang
tahun karena terlindung dari pengaruh Samudra Indonesia. Berdasarkan
perhitungan dari peta laut, luas perairan sampai kedalaman 60 m sekitar 201 km²,
dasar perairannya relatif rata, banyak mengandung lumpur atau lumpur campur
pasir karena pengaruh muara-muara sungai di sekitarnya.
Beberapa ekosistem sumberdaya pesisir yang ada di teluk Waworada
adalah hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Luas hutan mangrove
diperkirakan ± 194,5 Ha dengan luas 106,5 Ha kondisi baik dan 88 Ha kondisi
rusak, dan jenis yang banyak di sekitar teluk Waworada ini adalah Sonneratia sp.,
dan Rhizopora sp. (Anonymous, 2003). Selanjutnya kondisi terumbu karang dan
padang lamun, dengan luas terumbu karang ± 1.119,8 Ha, yaitu ± 626,8 Ha rusak
parah dan ± 392 Ha rusak sedang dan 101 tidak ada keterangan. Sedangkan
padang lamun di teluk Waworada seluas ± 121,9 Ha. Jenis yang dominan adalah
Halophila spinulosa dan Thalassodendron ciliatum (Anonymous, 2003). Menurut
Ismail, et al. (2003) bahwa luas areal padang lamun di teluk Bima 2 ha dengan
species dominan Enhallus acoroides, teluk Saleh Dompu 10 ha dengan species
dominan yang sama (kepadatan < 20 m2), dan teluk Sepi Lombok luasnya 1,6 Ha
dengan species dominan yang sama pula (kepadatan 32 m2).
41
Batimetri
Lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) wilayah perairan utama yaitu Laut
Flores di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Kedua perairan
tersebut dihubungkan satu sama lain oleh Selat Sape (antara Pulau Sumbawa dan
Pulau Sumba). Selat Sape mempunyai kedalaman air yang menurun dari 1.050 m
di bagian selatan menjadi kurang dari 300 m di bagian barat laut, yaitu di lokasi
ambang Pulau Gili Banta. Menurut Bakosurtanal dan Dishidros (1992), bahwa
kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 1 – 69 m. Sedangkan DEM
(2008) melaporkan bahwa kedalaman wilayah pesisir teluk Waworada berkisar
antara 1 – 8 m.
Pasang Surut
Pasang surut di wilayah penelitian antara 1 – 1,5 m (Anonymous, 2003).
Pasang surut di Selat Sape mempunyai karakteristik yang unik akibat dipengaruhi
oleh dua rambatan gelombang pasang surut yang berasal dari Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April,
2002 dan 2003 berkisar antara 1 – 16 dm (Dinas Dehidros Jakarta, 2002; 2003).
Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April 2003 terlihat pada
(Gambar 7a, 7b dan 7c) berikut :
a
b
Pasang Surut (1 April 2003)
Pasang Surut (1 Maret 2003)
T in g g i A ir (d m )
10
8
6
4
Series1
2
0
0
5
10
15
Waktu (Jam)
20
25
30
T i n g g i A ir (d m )
14
12
14
12
10
8
6
4
Series1
2
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (Jam)
Gambar : 7a.b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima (01Maret dan 01 April
2003)
42
Tinggi Air (Water high)
(dm)
Pasang Surut (Maret - April 2003)
20
15
10
Series1
5
0
0
20
40
60
80
Waktu (Bulan)
Gambar : 7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima pada Bulan Maret – April
2003
Parameter Ekologi
Manurung dan Simbolon (1997) melaporkan bahwa suhu permukaan laut
selama 3 tahun di perairan Selatan Jawa – Sumbawa (NTB) berkisar antara 27 29 ºC pada musim barat (Desember – Pebruari), 28 - 30 ºC pada musim pancaroba
I (Maret – April), 24 - 26 ºC pada musim tenggara (Mei – September), dan 26 - 29
ºC pada musim pancaroba II (Oktober – Nopember). Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007)
melaporkan bahwa suhu permukaan air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun
(Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara 26 - 29°C (Gambar, 8).
Menurut Radiarta, et al. (2003), suhu air di teluk ekas Lombok berkisar
antara 24 - 30 ºC. Menurut Martono (2002; Halid, et al. 2002), suhu permukaan
laut di selatan pulau Bali dan Lombok berkisar antara 27 - 29 ºC pada bulan Juli –
September (Musim Timur), dan 26 - 28 ºC pada bulan Desember – Pebruari
(Musim Barat). Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa suhu berkisar 28 33ºC masih cukup layak untuk pertumbuhan biota laut.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan
Enesar (2007), melaporkan bahwa pH air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun
(Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara 6 – 8,3 (Gambar 9); Menurut
Kep-Men.KLH/2/KLH/1988, nilai pH pada kisaran 6,5 – 8,5 masih cukup layak
43
bagi kehidupan rumput laut dan biota lainnya. DO berkisar antara 5,4 – 6.0 mg/l
(Gambar, 10); dan Pb berkisar antara 0.0006 – 0.001 mg/l (Gambar, 11). Palupi
(1994), melaporkan bahwa standar timbal (Pb) dalam air yang direkomendasikan
0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter.
30
29
28
27
26
25
24
Ja
n.
05
M
ar
.0
5
M
ei
.0
5
Ju
l.0
5
Se
p.
05
N
op
.0
5
Ja
n.
06
M
ar
.0
6
M
ei
06
Ju
l.0
6
Se
p.
06
N
op
.0
6
Suhu (derajat celsius)
Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
Gambar : 8 Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa
Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007).
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
Gambar 9. Sebaran pH Laut Selatan Sumbawa
Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007
S
ep
.0
6
N
op
.0
6
Ju
l.0
6
S
ep
.0
5
N
op
.0
5
Ja
n.
06
M
ar
.0
6
M
ei
.0
6
Ju
l.0
5
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Ja
n.
05
M
ar
.0
5
M
ei
.0
5
pH
Sebaran pH Laut Selatan Sumbawa
44
O
kt
.0
6
Ju
l.0
6
A
pr
.0
6
Ja
n.
06
O
kt
.0
5
Ju
l.0
5
A
pr
.0
5
6.2
6
5.8
5.6
5.4
5.2
5
Ja
n.
05
DO(mg/l)
Ke larutan Ok s ige n (DO) Laut Se latan
Sum baw a
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
Gambar 10. Kelarutan Oksigen (DO) Laut Selatan Sumbawa
Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007
O
kt
.0
6
Ju
l.0
6
A
pr
.0
6
Ja
n.
06
O
kt
.0
5
Ju
l.0
5
A
pr
.0
5
0.0012
0.001
0.0008
0.0006
0.0004
0.0002
0
Ja
n.
05
Pb(mg/l)
Kos e ntr as i Tim bal (Pb) Laut Se latan Sum baw a
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
Gambar 11. Kosentrasi Timbal (Pb) Selatan Sumbawa
Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007
Menurut Radiarta, et al. (2003), salinitas di teluk ekas Lombok berkisar 25
– 41 ppt. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor
dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007), melaporkan bahwa salinitas air laut
selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 – Desember 2006) berkisar antara
33 – 34.5 ppt (Gambar, 12). Menurut (Guanzon dan De Castro, 1992; De Castro
dan Guanzon, 1993), bahwa rumput laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 –
34,5 ppt.
45
35
34.5
34
33.5
33
32.5
32
Ja
n.
05
M
ar
.0
5
M
ei
.0
5
Ju
l.0
Se 5
p.
0
N 5
op
.0
5
Ja
n.
06
M
ar
.0
6
M
ei
06
Ju
l.0
Se 6
p.
0
N 6
op
.0
6
Salinitas (ppt)
Salinitas Perm ukaan Air Laut Selatan Sum baw a
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
Gambar 12. Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa
Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007
Pergerakan arus permukaan (Maret – April) dari perairan laut Flores
menuju Samudra Hindia melalui Selat Lombok dan Selat Sumbawa dengan
kecepatan yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 37,4 – 41,4 cm/detik yang
mengarah ke arah barat. Sedangkan pada musim barat (Desember – Pebruari),
arus bergerak dari arah barat (Selat Karimata) melalui laut Jawa dan masuk di
bagian selatan Selat Makasar di bagian utara dan arus bergerak mengarah ke
selatan (Atmadipoera, 1990).
Di laut Flores kecepatan arus pada bulan Pebruari lebih tinggi
dibandingkan pada bulan Agustus dan pola arusnya menuju ke timur dan pada
bulan Agustus berbalik arah dari timur menuju ke barat di Samudra Hindia
dengan kecepatan 0,9393 m/detik (Harimi, et al. 2004). Menurut Utojo, et al.
(2004), bahwa kecepatan arus di teluk saleh Dompu (NTB) berkisar antara 3,2 –
23,8 cm/detik. Selanjutnya Ismail, et al. (1996) melaporkan bahwa di teluk sepi
(Lombok) kecepatan arus 13,9 cm/detik. Sedangkan di teluk saleh (Dompu-NTB)
kecepatan arus 10,9 – 17,9 cm/detik.
Hasil pengamatan (Pra Penelitian, 2006) bahwa teluk Waworada sangat
terlindung dari ombak karena di mulut teluk terdapat lekukan-lekukan dan di
dalamnya terdapat pulau-pulau kecil yang sangat berpotensi menahan ombak dan
pergerakan arus deras dan suhu berkisar antara 28 - 31ºC, kecepatan arus berkisar
antara 0,12 – 0,32 cm/dtk dan salinitas berkisar antara 32 – 36 ppt.
46
Pada umunya Propinsi Nusa Tenggara Barat beriklim tropis, dimana
musim timur terjadi dari bulan Oktober – Maret bertepatan dengan musim hujan
dan kondisi angin tertiup dari arah timur ke arah barat yang umumnya
berkekuatan kecil sampai sedang. Sedangkan musim barat terjadi pada bulan
April – September bertepatan dengan musim kemarau dan kondisi angin tertiup
dari arah barat ke timur yang umumnya berkekuatan besar. Kondisi angin tersebut
sangat berpengaruh terhadap pergerakan ombak, arus (Utojo, et al. 2004). Dengan
memperhatikan gambaran umum tentang kondisi biofisik Kabupaten Bima dan
wilayah perairan sekitarnya maka dapat disimpulkan bahwa teluk Waworada
sangat terlindung dari ombak besar dan arus yang deras sehingga sangat besar
potensinya untuk pengembangan budidaya laut khususnya rumput laut.
Dari gambaran data tersebut di atas, secara teknis kondisi biofisik teluk
Waworada pada musim barat maupun musim timur relatif stabil, sehingga rencana
zonasi untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk tersebut dapat
dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan para nelayan dan
kondisi ril di lapangan bahwa budidaya rumput laut di teluk Waworada
Kabupaten Bima dilakukan secara terus-menerus di kedua musim baik musim
hujan maupun panas (Pra Penelitian, 2006).
4.2. Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang
Kawasan teluk Waworada merupakan salah satu kawasan sentra produksi
perikanan yang potensial di Kabupaten Bima, meliputi tambak udang, kerang
mutiara dan KJA. Pada tambak TIR TRANS sebelumnya pernah diusahakan
dengan komoditi utama udang windu yang perkembangannya mengalami pasang
surut karena tersandung oleh berbagai masalah baik teknis, sosial dan manajemen
pengelolaannya sehingga sejak tahun 2000 sampai sekarang usaha tersebut
mengalami kefakuman.
Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas dan sebagai bentuk tanggung
jawab pemerintah daerah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan
teluk Waworada maka pada tahun 2001 pemerintah daerah bekerja sama dengan
Dinas Perikanan Propinsi NTB memperkenalkan sekaligus demplot budidaya
rumput laut dengan sistem long line. Usaha pemerintah tersebut tidak sia-sia,
47
bahkan berdampak pada pengembangan budidaya rumput laut yang cukup pesat
(Gambar 13)
Gambar 13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada
Mengingat usaha budidaya rumput laut mudah dilakukan, biayanya murah
dengan pangsa pasar cukup menjanjikan, maka usaha tersebut terus berlanjut
bahkan usaha budidaya rumput laut dijadikan sumber pendapatan utama selain
usaha penangkapan ikan. Dampak dari semua kegiatan tersebut adalah terjadinya
pemanfaatannya yang melebihi daya dukung (Carryng capacity) di teluk
Waworada Kabupaten Bima. Menurut perhitungan dengan menggunakan GIS,
luasan usaha budidaya rumput laut ± 9.094 Ha (45,16 %) meliputi ujung barat
menyisir bagian utara, bagian selatan sampai ke mulut teluk Waworada yang
letaknya tidak teratur, tertumpu pada beberapa tempat bahkan ditempat yang tidak
sesuaipun dimanfaatkan. Untuk mengantisipasi adanya efek negatif dan
menciptakan usaha budidaya rumput laut yang berkelanjutan maka perlu
dilakukan zonasi.
48
Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan
spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya
diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi
zona preservasi dan konservasi.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bima Tahun
2003 – 2013, Pemerintah setempat telah menetapkan beberapa kebijakan strategis
yang perlu dikembangkan, antara lain penataan ruang wilayah, peningkatan
sumberdaya
manusia,
peningkatan
sarana
dan
prasarana
pendukung
pengembangan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam, dan lingkungan serta
peningkatan peran kelembagaan. Kebijakan strategis ini diambil berdasarkan
pertimbangan bahwa perlu adanya penyediaan infrastruktur yang memadai untuk
mendukung pemekaran wilayah. Selanjutnya berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi NTB Tahun 2006 – 2020 bahwa teluk Waworada ditetapkan
sebagai tempat pengembangan perikanan baik perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya, area konservasi serta jalur pelayaran. Berdasarkan RTRW
Propinsi NTB tersebut maka perlu adanya pengaturan pemanfaatan (Bappeda
Propinsi NTB, 2006).
Khusus untuk masalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, hal
tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Strategi Bidang Pembangunan yang
meliputi Bidang Ekonomi Khususnya Sub Bidang Perikanan dan Kelautan serta
Bidang Pembangunan Daerah khususnya Sub Bidang Penataan Ruang. Arahan
yang diambil adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan
kelautan
secara
optimal,
terpadu
dan
berkelanjutan
demi
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan akibat berbagai
pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan menurut proporsinya dan penerapan
teknologi yang ramah lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas maka hal penting yang merupakan kebutuhan
esensial adalah adanya suatu rencana tata ruang wilayah yang baik termasuk di
wilayah pesisir, kebijakan yang dilakukan harus transparan, berkeadilan dan
akomodatif
terhadap
kepentingan
berbagai
lapisan
masyarakat
dimana
memerlukan keterlibatan berbagai stakeholders dalam perencanaan, pemanfaatan
dan pengendalian ruang. Untuk itu diperlukan suatu konsep perencanaan dalam
49
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir bagi daerah-daerah potensial
seperti di teluk Waworada Kabupaten Bima yang diawali dengan membangun
kesepakatan ilmiah tentang alokasi ruang yang ada.
Dalam pelaksanaan zonasi perairan teluk Waworada, dibutuhkan data baik
data primer maupun data sekunder. Data primer dapat diambil secara langsung di
lapangan,
sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu.
Namun karena keterbatasan data, maka digunakan data hasil penelitian terdahulu
yang berlokasi di sekitar perairan teluk Waworada. Data tersebut sangat
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam zonasi teluk Waworada Kabupaten
Bima.
50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut
Sebelum dilakukan analisa
kesesuaian lokasi untuk pengembangan
budidaya rumput laut maka terlebih dahulu dilakukan Analisis Komponen Utama
(PCA) untuk mendapatkan bobot matrik kesesuaian. Hasil Analisis Komponen
Utama pada beberapa parameter biofisik teluk Waworada meliputi DO, pH,
Salinitas, Suhu, Nitrat, Fosfat, COD, Pb, Arus, Kecerahan, Kedalaman, Hama,
Produksi biomas dan Karaginan memperlihatkan bahwa korelasi antara variabel
terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya masingmasing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen, dan 17
persen dengan ragam totalnya 79 persen (Gambar 14; Tabel 11). Hal ini berarti
bahwa 79 persen data hasil analisis dapat dijelaskan hingga sumbu utama kedua
(Tabel 12).
Distribusi stasiun pengamatan terhadap sumbu utama sangat ditentukan
oleh parameter kualitas perairan. Variabel hama pengganggu, COD, dan pH yang
memberikan kontribusi pembentukan sumbu pertama (F1) merupakan penciri
stasiun pertama (St1) yang ditandai oleh tingginya hama pengganggu, COD, dan
pH. Stasiun dua (St2) dicirikan oleh tingginya Pb. Stasiun tiga (St3) dicirikan oleh
tingginya fosfat. Stasiun empat (St4) dicirikan oleh tingginya DO, dan Stasiun
(St5) dicirikan oleh tingginya nitrat, produksi biomas, karaginan, kedalaman,
kecerahan, dan arus yang juga memberikan kontribusi pembentukan sumbu
pertama (F1) (Gambar 14).
51
Biplot on axes 1 and 2 (79% )
2.5
2
I
V
-- axe2(17%) -->
1.5
1
pH
COD
Hama
0.5
0
Pb
-0.5
Suhu
Kedalama
Karaginan
Nitrat
Arus
Keceraha
Produksi
n
Salinitas
n
Fosfat
DO
III
-1
IV
II
-1.5
-2
-6
-4
-2
0
2
4
6
-- axe 1 (62% ) -->
Gambar 14. Distribusi parameter fisika, kimia dan biologi pada stasiun
pengamatan sumbu 1 dan 2
Tabel 11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan
Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama.
Eigenvaluae
% Total
Cumulative
Cumulative
8.70
0.62
8.70
0.62
2.36
0.17
11.06
0.79
1.99
0.14
13.05
0.93
0.94
0.06
13.99
1.00
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
Tabel 12. Kontribusi variable Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia
dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Variabel
Faktor Utama ke-i
Faktor Kedua ke-i
DO
0.7431
-0.5865
PH
-0.1525
0.8229
Salinitas
0.9584
-0.2271
Suhu
0.5614
0.5046
Nitrat
0.8749
0.3104
Fosfat
-0.0269
-0.4619
COD
-0.8153
0.5473
Pb
-0.7496
-0.2716
Arus
0.9403
0.2644
Kecerahan
0.9456
-0.0805
Kedalaman
0.9423
0.2403
Hama
-0.9550
0.2460
Produksi Biomas
0.9892
0.0587
Karaginan
0.5878
0.3951
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
52
Dari Tabel 11 terlihat bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua
sumbu utama. Mengingat nilai kontribusi faktor utama ke-i sebesar 62 persen
(kolom 2 Tabel 12) maka faktor utama yang dijadikan bobot matrik kesesuaian
lokasi budidaya rumput laut cukup faktor utama ke-i (kolom 2 Tabel 13).
Tabel 13. Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika dan Kimia terhadap
Produksi dan Karaginan Rumput Laut.
Parameter
Faktor Utama
Salinitas
0.9584
Arus
0.9403
Kecerahan
0.9456
Kedalaman
0.9423
Hama
-0.9550
Produksi Biomas
0.9892
Karaginan
0.5878
Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Dari tampilan Tabel 13 terlihat bahwa salinitas, arus, kecerahan dan
kedalaman berkorelasi positif dengan produksi dan karaginan rumput laut.
Sedangkan hama berkorelasi negatif dengan produksi dan karaginan rumput laut.
Hal ini berarti bahwa tingginya produksi biomas rumput laut dipengaruhi oleh
tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman perairan. Tingginya salinitas
sebesar (0.96%), arus (0.94%), kecerahan (0.95%), kedalaman (0.94%) dan
berkurangnya hama sebesar (-0.96%) maka dapat meningkatkan produksi sebesar
(0.99%). Namun tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman tentu ada
batas optimalnya. Batasan tesebut telah ditentukan berdasarkan matrik (Kolom 3;
6; 9 Tabel 15).
Selanjutnya nilai kontribusi parameter utama yang diambil untuk dijadikan
bobot adalah nilai kontribusi yang nilainya sebesar (ά ≥ 0,90). Nilai kontribusi
parameter utama tersebut meliputi salinitas, arus, kecerahan, kedalaman, dan
hama (Tabel 14). Dari tampilan Tabel 14 di bawah ini terlihat bahwa salinitas
merupakan parameter yang paling tinggi nilai bobotnya yaitu sebesar 20.21%,
kemudian disusul oleh hama (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%),
dan arus (19.83%). Nilai prosentase (%) faktor utama tersebut di atas (Tabel 10)
dapat dijadikan bobot
(Tabel 15) :
untuk matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut
53
Tabel 14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada
Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA).
Parameter
Faktor Utama ke-i
Prosentase (%)
Salinitas
0.96
20.21
Arus
0.94
19.83
Kecerahan
0.95
19.94
Kedalaman
0.94
19.87
Hama
-0.95
20.14
Jumlah
4.74
100.00
Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut hasil penelitian ini
(Tabel 15), besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda,
karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan
oleh masing-masing parameter meliputi salinitas (20.21%), hama (20.14%),
kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%) dan arus (19.83%).
Tabel 15. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
(seaweed culture) di Teluk Waworada
S1
S2
S3
Parameter
1
Salinitas
Hama
Kecerahan
Kedalaman
Arus
Bobot
Skor
(ßi) Kriteria klas
(xi)
2
3
4
ßi x xi
Kriteria
5
6
Skor
klas
(xi)
7
ßi x xi
Kriteria
8
9
< 28 &
> 34
> 70
<1
<1&
> 15
< 0.20
& 0.40
20.21
32 – 34
30
606.3
28 – 31
20
404.2
20.14
19.94
< 10
>3
30
30
604.2
598.2
10 – 70
1–3
20
20
402.8
398.8
19.87
1 – 10
30
596.1
11 – 15
20
397.4
30
594.9
20
396.6
19.83
Total
0.20 –
0.30
S1
2.999.7
0.31 –
0.40
S2
1999.8
Skor
klas
(xi)
10
10
10
10
10
10
N
Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
5.2. Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut
Pada awalnya
penelitian ini menghasilkan rumusan untuk kesesuaian
lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Tabel 15). Analisis ini
dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya
rumput laut. Analisis didasarkan atas faktor pembatas ditinjau dari aspek biofisik.
Setelah itu melalui matrik ini dapat diasumsikan bahwa perairan teluk Waworada
merupakan areal yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut.
ßi x xi
11
202.1
201.4
199.4
198.7
198.3
999.9
54
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut. Parameter yang digunakan dalam
menganalisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi 4 (empat)
parameter (Tabel 15) meliputi yaitu salinitas dengan bobot (20.21%), hama
pengganggu (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan kecepatan
arus (19.83%).
Hasil overlay dengan menggunakan software Arc View GIS 3,3 dari
beberapa peta tematik meliputi salinitas, hama, kecerahan, kedalaman dan arus
(Gambar 15; 16; 17; 18; 19), sehingga diperoleh luas wilayah perairan teluk
Waworada berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari
total luas sebesar 20.135,24 ha, maka 12.26 ha (0.06%) digolongkan sangat
sesuai, 19.287,94 ha (95,79%) dikategorikan sesuai,
dan 836.48 ha (3,97%)
dikategorikan tidak sesuai (Gambar 21).
Gambar 15. Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima
55
Gambar 16. Peta Tematik Hama Pengganggu Teluk Waworada Kabupaten Bima
Gambar : 17. Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima
56
Gambar 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima
Gambar 19. Peta Tematik Kecepatan Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima
57
Gambar 20. Arah Arus Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima (Waktu
Pasang Bulan Maret 2007).
Gambar 21. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Perairan Teluk
Waworada Kabupaten Bima
58
Adapun tingkat kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut dapat dirinci
sebagai berikut :
Sangat Sesuai (S1)
Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan tidak
adanya faktor pembatas khusus yang menghambat perlakuan yang diberikan.
Seluruh parameter fisika, kimia dan biologi yang ada membuat daerah ini sangat
sesuai untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Hasil analisis spasial yang
dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa ternyata lokasi yang
sangat sesuai berada pada stasiun 5 (lima) yang arahnya mendekati garis pantai.
Total luasan lokasi yang sangat sesuai adalah 12.26 ha. Perairan yang sangat
sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas cukup optimal
yaitu berkisar antara 28 – 31 ppt, hama relatif sedikit yaitu kurang dari 10 ekor,
kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 3 meter, kedalaman cukup memadai
yaitu berkisar antara 1 – 10 m, dan kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar
antara 0.21 – 0.35 m/dtk.
Sesuai (S2)
Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan adanya
faktor-faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan
yang diterapkan. Dalam hal ini faktor pembatas yang ditemukan tersebar di 10
stasiun pengamatan. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik
sebagai berikut : salinitas relatif tinggi yaitu berkisar antara
32 – 39 ppt,
kecerahan sedang yaitu berkisar antara 1 – 3 m, kedalaman tinggi yaitu berkisar
antara 11 – 15 m dan kecepatan arus sedang yaitu berkisar antara 0.10 – 0.20
m/dtk. Untuk kategori sesuai, total luasan perairan adalah 19.287,94 ha.
Tidak Sesuai (N)
Daerah-daerah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai pembatas
permanen sehingga mencegah segala kemungkinan masukan/perlakuan yang
diberikan pada daerah-daerah tersebut. Semua parameter yang ada mempunyai
batasan-batasan/hambatan-hambatan untuk mengembangkan budidaya rumput
laut. Sebaran kategori ini hampir di seluruh stasiun pengamatan yang letaknya
berada di dekat pantai. Untuk kategori tidak sesuai, total luasan perairannya
836.48 ha. Perairan ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas
59
cukup tinggi yaitu > 32 ppt, kecerahan sangat kurang yaitu < 1 m, kedalaman
juga relatif dangkal yaitu < 1 m, dan kecepatan arus sangat kurang yaitu < 0.10
m/dtk.
Faktor-Faktor Pembatas
Sebagaimana telah dijelaskan pada hasil analisa spasial/keruangan di atas,
untuk kelas kesesuaian S2 (sesuai) dan N (tidak sesuai) terdapat faktor-faktor
pembatas yang harus dipertimbangkan baik perlakuan maupun dampak dari
perlakuan tersebut. Faktor-faktor pembatas ini merupakan jabaran dari batasanbatasan nilai yang ada dari setiap parameter-parameter yang berpengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup rumput laut.
Pada daerah dengan kategori S2, syarat hidup rumput laut relatif belum
mencukupi batasan nilai optimal yang dibutuhkan untuk perkembangan rumput
laut. Oleh karena itu, masukan-masukan tertentu masih dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil yang optimal, seperti misalnya salinitas yang merupakan faktor
alami yang sukar diubah/diberi masukan untuk meningkatkan kemampuannya.
Salinitas merupakan salah satu parameter yang sangat dibutuhkan oleh rumput
laut untuk menjalankan proses metabolisme penting seperti osmoregulasi, proses
reproduksi, dan pertumbuhan rumput laut.
Salinitas di perairan teluk Waworada berkisar antara 32 – 36 ppt dengan
salinitas rata-rata berkisar antara 32,33 - 35,33 ppt (Gambar 15). Kondisi salinitas
perairan tersebut masih cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Lin,
(1974), bahwa rumput laut (Gracillaria) tumbuh paling cepat pada salinitas 25
ppt. Sedangkan Chen, (1976) melaporkan bahwa rumput laut (Gracillaria)
tumbuh paling cepat pada salinitas antara 18 dan 30 ppt. Salinitas optimum untuk
rumput laut adalah 15 sampai 25 ppt (Anonymous, 1991). Sedangkan (Guanzon
dan De Castro, 1992; De Castro dan Guanzon, 1993) menyatakan bahwa rumput
laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 – 34,5 ppt. Dalam kaitannya dengan
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, kondisi salinitas di daerah ini
berada pada kisaran sedikit di atas batasan minimal syarat hidup rumput laut dan
merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam rencana pengembangan
budidaya rumput laut. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan
pertumbuhan rumput laut yang optimal adalah tidak melakukan penanaman pada
60
musim kemarau karena salinitasnya cenderung tinggi. Sebaiknya penanaman
rumput laut dilakukan pada musim hujan saja.
Kecerahan merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumpt laut.
Kecerahan air di teluk Waworada berkisar 1 – 7 m (Gambar 17), hal ini diduga
karena dipengaruhi oleh kondisi perairan yang belum tercemar sehingga cahaya
matahari dapat menembus sampai kedalaman tertentu dan bahkan dapat
menembus sampai dasar perairan. Namun ditinjau dari sudut kecerahan
sebenarnya belum mencapai titik optimum karena di beberapa stasiun pengamatan
kecerahan masih banyak < 3 m. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap intensitas
atau besarnya penyinaran cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Untuk
memenuhi syarat yang paling layak, pada kecerahan < 3 m rumput laut dapat
digantungkan pada kedalaman ± 20 cm dari permukaan laut, hal ini dimaksudkan
rumput laut dapat memperoleh sinar matahari yang cukup tinggi.
Kedalaman perairan adalah faktor yang penting bagi budidaya rumput laut
terutama berkaitan dengan pembuatan media budidaya. Secara keseluruhan
kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 2 – 15 m dengan rata-rata
3,33 – 13,33 m (Gambar 18). Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan
bagi tanaman. Kedalaman perairan teluk Waworada di beberapa stasiun
pengamatan masih banyak > 10 m. Dengan kedalaman yang demikian maka akan
menyulitkan dalam penempatan rakit terutama jangkar. Menurut Radiarta, et al.
(2007), bahwa pemilihan lokasi dengan kedalaman yang sesuai sekitar (1 – 10 m)
akan memudahkan untuk melakukan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan
demikian solusi yang paling baik yang bisa dilakukan adalah tidak menempatkan
rakit/long line pada derah yang mempunyai kedalaman > 10 m.
Arus merupakan parameter yang sangat penting untuk dijadikan tolok ukur
dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut. Kecepatan arus di sekitar teluk
Waworada berkisar antara 0,12 – 0,32 m/detik dengan (Gambar 19). Dengan
demikian kecepatan arus pada saat penelitian kurang optimum, karena masih di
bawah nilai optimal sangat layak. Ini sesuai dengan pendapat Trono dan Fortes
(1980), bahwa kecepatan arus yang
baik
untuk
pertumbuhan rumput
laut berkisar antara 0,08 – 0,17 m/detik. Kadi dan Atmaja (1988) menyatakan
bahwa kecepatan
arus yang paling baik untuk
budidaya
Eucheuma
61
adalah 20 – 40 cm/detik. Adanya arus yang baik dapat menjamin tersedianya
makanan yang tetap bagi rumput laut sehingga rumput laut dapat tumbuh dengan
sempurna dan mencapai produksi yang optimal. Untuk mendapatkan nilai
produksi yang tinggi maka perlu dipertimbangkan untuk tidak menanam rumput
laut pada lokasi yang memiliki kecepatan arus < 0.10 m/dtk.
Hama pengganggu dalam penelitian bukan merupakan faktor pembatas
dalam usaha budidaya rumput laut karena jumlahnya sangat sedikit yaitu < 20
ekor. Hama pengganggu budidaya rumput laut di perairan teluk Waworada terdiri
dari ikan beronang berukuran besar hasil tangkapan nelayan sekitar. Ikan kerapu,
bintang laut, bulu babi, dan penyu hijau tidak ditemukan di lokasi tersebut.
Jumlah hama pengganggu terbanyak ditemui di stasiun satu (St1) dengan jumlah
32 ekor, diikuti stasiun dua (St2) berjumlah 26 ekor, stasiun tiga (St3) berjumlah
21 ekor, stasiun empat (St4) berjumlah 19 ekor dan stasiun lima (St5) dijumpai 18
ekor hama pengganggu (Tabel 16; Lampiran 3).
Tabel 16. Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identifikasi di Lokasi Budidaya
Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima.
Stasiun
Ikan
Beronang
(ekor)
Ikan
Kerapu
(ekor)
Bintang
Laut
(ekor)
I
32
II
26
III
21
IV
19
V
18
Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Bulu babi
dan bulu babi
duri pendek
(ekor)
Jumlah
(ekor)
-
32
26
21
19
18
Menurut Russ, (1985) dalam English, et al. (1994) bahwa kelimpahan
species ikan karang yang banyak yaitu dengan jumlah species berkisar antara
1.025 – 16.384 ekor. Dengan demikian kelimpahan hama di lokasi penelitian
sangat rendah sehingga tidak berpengaruh bagi pertumbuhan rumput laut.
5.3. Produksiktivitas dan Kandungan Karaginan
Produktivitas
Pengukuran produktivitas rumput laut hasil pengamatan dilakukan pada
umur 42 hari setelah tanam. Produksi rumput laut per rumpun, tali dan ha hasil
62
budidaya di teluk Waworada Kabupaten Bima pada masing-masing stasiun
pengamatan (Tabel 17).
Tabel 17. Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk
Waworada Kabupaten Bima
Produksi
Produksi
Produksi
Stasiun
(gram/ rumpun)
(Kg/10 tali)
(Kg/ha)
I
1.630
3.260
32.600
II
1.824
3.648
36.480
III
1.964
3.928
39.280
IV
2.144
4.288
42.880
V
2.440
4.880
48.800
Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Dari Tabel 17 terlihat bahwa hasil produksi rumput laut tertinggi diperoleh
pada stasiun lima (St5) dengan nilai 4.880 kg/10 tali (48.800 kg/ha), disusul
stasiun empat (St4) sebesar 4.288 kg/10 tali (42.880 kg/ha), stasiun tiga (St3)
sebesar 3.928 kg/10 tali (39.280 kg/ha), stasiun dua (St2) senilai 3.648 kg/10 tali
(36.480 kg/ha) dan stasiun satu (St1) mempunyai hasil produksi terendah yaitu
3.260 kg/10 tali (32.600 kg/ha) (Lampiran 4). Hasil produksi tersebut tergolong
rendah apabila dibandingkan dengan pernyataan dari Ditjenkanbud (2005) bahwa
bibit 50 – 100 gram apabila dipanen pada umur 45 hari dapat menghasilkan
produksi 8 kali lipat atau 1,25 – 2,56 kg/rumpun (25.000 – 51.200 kg/ha). Tapi
bila dibandingkan dengan pendapat Syahputra (2005) yang melaporkan bahwa
rumput laut yang ditanam dengan berat awal 50 – 150 gram dapat menghasilkan
berat basah pada minggu ke 6 rata-rata sebesar 1.618,3 gram, maka hasil produksi
petani nelayan di teluk Waworada Kabupaten Bima tergolong tinggi.
Selain data produksi rumput laut di beberapa stasiun di teluk Waworada di
atas, sebagai pembanding dilakukan juga perhitungan produksi di beberapa desa
di Kecamatan Langgudu, Monta, Wera dan Sape. Data ini diperoleh dari hasil
wawancara dengan beberapa orang nelayan di desa sampel.
Produksi rumput laut di desa-desa sampel sangat bervariasi. Di 2 (dua)
desa sampel yaitu di desa Bajo Pulo Kecamatan Sape dan desa Pai Kecamatan
Wera, produksi rumput laut sangat tinggi yaitu masing-masing memiliki rata-rata
produksi 30.360 kg/1.000 m2 atau 303.600 kg/ha dan 31.350 kg/1.000 m2 atau
313.500 kg/ha. Sedangkan rata-rata produksi di desa sampel lain jauh lebih rendah
dibandingkan kedua desa di atas, yaitu desa Tanjung Mas Kecamatan Monta
63
(7.920 kg/1.000 m2 atau 79.200 kg/ha), desa Laju Kecamatan Langgudu (6.600
kg/1.000 m2 atau 66.000 kg/ha), desa Doro O’o dan Rupe Kecamatan Langgudu
(7.260 kg/1.000 m2 atau 72.600 kg/ha), desa Karampi Kecamatan Langgudu
(7.590 kg/1.000 m2 atau 75.900 kg/ha) dan desa Dumu Kecamatan Langgudu
(8.250 kg/1.000 m2 atau 82.500 kg/ha). Data produksi rumput laut selengkapnya
di beberapa desa sampel termuat pada Lampiran 5.
Di bawah ini ditampilkan perbandingan produktivitas hasil pengukuran
dan wawancara di teluk Waworada dan beberapa lokasi lain di Kabupaten Bima
(Tabel 18).
Tabel 18. Rata-rata produktivitas rumput laut hasil pengukuran di teluk
Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima
Rata-rata Produksi
Musim Hujan
(kg/ha)
Hasil pengukuran di 5
stasiun pengamatan
40.008
Musim Kemarau (kg/ha)
Hasil pengukuran di 5 stasiun
pengamatan
2.180
Musim Hujan dan Kemarau
(kg/ha)
Hasil wawancara dg petani di 8 desa
lokasi lain
373.833
Sumber : Data diolah hasil penelitian Tahun 2008
Dari tampilan Tabel 18; Lampiran 6 terlihat bahwa produktivitas rumput
laut dari lima stasiun pengamatan pada musim hujan sebesar 32.600 – 48.800
kg/ha (dengan rata-rata produksi 40.008 kg/ha), hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan produktivitas rumput laut pada musim kemarau (Lampiran
7) yaitu berkisar antara 1.400 – 2.800 kg/ha (rata-rata produksi 2.180 kg/ha).
Rendahnya produktivitas pada musim kemarau ini diduga karena berat bibit yang
digunakan lebih kecil yaitu 20 gram/rumpun, sedangkan pada musim hujan berat
bibit berkisar antara 100 – 125 gram/rumpun.
Selanjutnya produktivitas rumput laut hasil wawancara dengan petani dari
8 (delapan) lokasi, baik pada musim hujan maupun musim kemarau menunjukkan
nilai produktivitas yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 330.000 – 1.567.500
kg/ha (rata-rata produksi 373.833 kg/ha) dibandingkan dengan produktivitas
rumput laut hasil pengukuran di lokasi penelitian (baik pada musim hujan dan
kemarau). Tingginya produktivitas rumput laut hasil wawancara ini diduga karena
jumlah bibit rumpun/tali ris yang digunakan lebih banyak yaitu 330 rumpun/tali
atau 16.500 rumpun/50 tali (165.000/500 tali/ha), sedangkan di lokasi penelitian
64
(5 stasiun pengamatan) jumlah rumpun/tali ris hanya sekitar 200 rumpun,
meskipun berat rumpun bibitnya lebih besar yaitu ± 100 gram/rumpun pada
musim hujan. Penyebab lain adalah tingginya nilai produktivitas di luar lokasi
(hasil wawancara) juga diduga karena pengaruh faktor lingkungan perairan baik
fisik, kimia dan biologi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan rumput laut.
Karaginan
Hasil analisa kandungan air dan karaginan rumput laut hasil budidaya di
teluk Waworada Kabupaten Bima pada 5 stasiun pengamatan adalah (Tabel 19).
Tabel 19. Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kandungan
Kandungan
Stasiun
Air/100 gram
Karaginan/100 gram
(%)
(%)
I
15.52
25.94
II
19.15
19.73
III
13.86
26.87
IV
16.80
28.92
V
16.44
29.76
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
Dari Tabel 19 terlihat bahwa pada stasiun satu (St1) kandungan karaginan
rumput laut berkisar antara 25.26 – 26.43 persen (rata-rata 25.94 persen) dengan
kandungan air 15.52 persen, stasiun dua (St2) antara 19.13 – 20.04 persen (ratarata 19.73 persen) dengan kandungan air 19.15 persen, stasiun tiga (St3) antara
26.47 – 27.13 persen (rata-rata 26.87 persen) dengan kandungan air 13.86 persen,
stasiun empat (St4) berkisar antara 28.28 – 29.32 persen (rata-rata 28.92 persen)
dengan kandungan air 16.80 persen dan stasiun lima (St5) berkisar antara 29.23 –
30.05 persen (rata-rata 29.76 persen) dengan kandungan air 16.44 persen.
Stasiun lima (St5) mempunyai kandungan karaginan tertinggi dibanding
stasiun lainnya, hal ini diduga karena stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya
yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa dan ruang
gerak arus yang cukup besar, sehingga dapat mempercepat difusi unsur hara untuk
pertumbuhan, pertambahan panjang dan jumlah cabang thallus, karena keraginan
terbentuk pada dinding sel dari rumput laut terutama pada thallus yang cukup
umur tanam. Oleh karena itu, thallus dan cabang semakin panjang dan banyak
65
yang cukup umur, sehingga mampu menghasilkan kandungan keraginan yang
tinggi.
Kandungan karaginan yang rendah terjadi pada stasiun satu (S1) dan
stasiun dua (S2). Pada stasiun satu (St1) hal ini diduga terjadi karena kondisi
perairan yang didominasi substrat berlumpur, sehingga terkadang terjadi
pengadukan yang menyebabkan penetrasi cahaya tidak optimal sehingga proses
fotosintesis dan difusi unsur hara menjadi berkurang. Sedang pada stasiun dua
(St2) diduga karena lokasi terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga
terdapat limbah yang mencemari perairan dan mengganggu pertumbuhan rumput
laut. Kadar keraginan kelima stasiun tersebut di atas diukur pada minggu ke 6 (42
hari) setelah penanaman, yang merupakan umur panen optimal untuk memperoleh
kadar keraginan rumput laut.
Beberapa penelitian kadar keraginan yang dilakukan di Indonesia
menunjukan hasil yang beragam untuk lokasi yang berbeda. Kandungan karaginan
yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan Supit (1990) sebesar 60,61% - 82,27%, dan Syahputra (2005) di
Lhokseude Aceh sebesar 50,09%. Menurut Soviety (1990), bahwa kandungan
karaginan rumput laut E. denticulatum yang ditanam di Bali berkisar antara 61.52
– 67.51%. Sementara rumput laut yang ditanam di lepas dasar kandungan
karaginannya berkisar antara 45,47 – 49,47%, dan Puspita (1991) melaporkan
bahwa kandungan karaginan rata-rata 42,40%.
5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis
Teluk Waworada merupakan perairan umum yang bersifat terbuka (open
access), milik umum (common property), sehingga akan muncul persoalan dalam
penanganan para pengguna lokasi tanpa pembatasan tentang siapa yang berhak
dan tidak berhak memanfaatkan lokasi tersebut (difficulty of exclusion). Sehingga
akan berkembang budidaya laut yang melebihi kapasitas daya dukung perairan
tersebut sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan perairan (kualitas
perairan).
Untuk mencegah terjadinya penurunan mutu lingkungan (purifyng and
protecting the marine environment) perlu dilakukan budidaya laut yang ramah
66
lingkungan dan sesuai dengan daya dukung secara ekologis. Menurut Turner
(1988; Quano, 1993; UNEP, 1993), bahwa daya dukung adalah jumlah populasi
organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume
perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan. Sedangkan Gang et al.
(1998) menjelaskan, daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan
input teknologi. Menurut Widigdo, et al. (2000; Krom, 1996), bahwa daya dukung
ekologis adalah kemampuan badan air di suatu kawasan dalam menerima limbah
organik, termasuk di dalamnya kemampuan untuk melakukan asimilasi atau
mendaur ulang limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan.
Penentuan daya dukung lingkungan secara ekologis ini (Monte, 2004)
akan mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisis spasial dapat
menghitung luasan dan kapasitas jumlah
tali/long line maksimum dengan
mempertimbangkan kawasan alur pelayaran, pelabuhan perikanan, budidaya
Karamba Jaring Apung (KJA) dan budidaya kerang mutiara. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga jangan sampai kegiatan budidaya rumput laut akan mengganggu
alur pelayaran, membatasi akses nelayan sehingga terhindar dari konflik
kepentingan antar pengguna perairan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekologis perairan teluk
Waworada Kabupaten Bima pada saat penelitian masih dalam batas toleransi
untuk budidaya rumput laut. Menurut Ditjenkanbud (2005), bahwa suatu kegiatan
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dikatakan baik jika laju pertumbuhan
harian minimal > 3%. Namun dari segi produksi dan kandungan karaginan masih
dibawah standar mutu, hal ini diduga terjadi karena pemanfaatan usaha rumput
laut yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan, teknik budidaya, umur
panen dan kualitas bibit yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi yang
dianjurkan. Berdasarkan hasil overlay, luas lahan di teluk Waworada yang tidak
sesuai 836.48 ha (3.97%), meliputi perairan yang dangkal dan pesisir yang terdiri
atas beragam habitat dan komunitas yang secara ekologis penting dipertahankan
keberadaannya.
Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya rumput laut dengan
menggunakan metode rakit/long line 1000 m2/unit. setiap unit panjangnya 50
meter dan lebar 20 meter (10 tali/unit). Berdasarkan analisis pemanfaatan lokasi
67
yang optimal perairan teluk Waworada dari luas lokasi yang layak sebesar 19.300
ha. Menurut Soselisa (2006), apabila lokasi yang layak dimanfaatkan 80 % untuk
usaha budidaya laut maka pemanfaatannya 15.440 ha (80 %). Mengacu pada
luasan lahan yang efektif untuk pemanfaatan budidaya rumput laut sebesar 15.440
ha (80%), apabila rakit/long line 50 meter dan lebar 20 meter dengan banyaknya
tali 10 unit/1.000 m2, maka total jumlah unit yang dapat ditampung sebanyak
15.440 unit.
Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan
oleh para petani di teluk Waworada Kabupaten Bima adalah metode tali rakit/long
line. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pada saat terjadi arus,
gelombang dan angin kencang, tali-tali tersebut merapat dan bersentuhan sehingga
bisa terjadi thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut putus. Hal
ini akan berpengaruh kepada produksi dan kandungan karaginan rumput laut.
Selain itu dengan bentangan long line yang terlalu panjang dan letaknya tidak
teratur maka akan menyulitkan untuk pengontrolan baik gangguan hama dan
binatang penempel lainnya maupun arus lalu lintas pada saat kegiatan penanaman
dan pemanenan rumput laut.
Strategi yang diperlukan dalam penataan kawasan adalah berupa
pembenahan keharmonisan antar ruang untuk berbagai kegiatan lainnya seperti
budidaya mutiara, kawasan pelabuhan perikanan dan alur lalu lintas kapal.
Diharapkan budidaya laut dengan menerapkan budidaya beberapa komoditas
secara sekaligus seperti pemeliharaan ikan dalam KJA (Karamba Jaring Apung),
pemeliharaan rumput laut dan kerang hijau/kima di sekitar karamba secara
proporsional
yang
sekaligus
meningkatkan
probabilitas
usaha
secara
berkelanjutan (Hanafi, et al. 2001) dalam (Radiarta, et al. 2005).
Dengan demikian untuk pengembangan budidaya rumput laut yang
berkelanjutan di teluk Waworada maka pemanfaatannya tidak lebih dari 30% dari
luas lokasi yang layak. Sedangkan 70% lagi dimanfaatkan untuk kepentingan
yang lain. Untuk budidaya rumput laut apabila pemanfaatannya 30 % dari lokasi
yang layak 15.440 ha maka luas lahan yang digunakan sebesar 4.632 ha. Menurut
Mubarak et al. (1990) dalam Radiarta, et al. (2005), pemanfaatan lahan untuk
pengembangan budidaya rumput laut tergantung dari metode yang digunakan.
68
Jika metode rakit/long line yang digunakan maka 1 ha lahan dapat dimanfaatkan
secara efektif untuk 20 unit usaha dengan menggunakan ukuran 2,5 x 5 m2.
Namun apabila metode lepas dasar yang digunakan maka 1 ha lahan dapat
dimanfaatkan secara efektif untuk 60 unit usaha dengan menggunakan ukuran 10
x 10 m2. Dengan demikian untuk luas lokasi pengembangan budidaya rumput laut
di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha (80%), sehingga
jumlah rakit/long line berukuran 2,5 x 5 m2 yang dapat dioperasikan mencapai
92.640 unit dan 277.920 unit dengan rakit berukuran 10 x 10 m2 pada metode
lepas dasar.
Sedangkan untuk budidaya ikan dalam KJA, jika 1 unit karamba terdiri
atas 4 karamba dengan ukuran 2x2x2 m3 maka
1 ha lahan pengembangan
budidaya dapat dimanfaatkan sebanyak 60 unit karamba. Dengan memperhatikan
luasan lokasi budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan
sebesar 15.440 ha (80%), apabila dimanfaatkan hanya 20% Hanafi et al, (2001)
dalam Radiarta, et al. (2005), maka luasan lahan budidaya sebesar 3.088 ha maka
jumlah karamba (KJA) dengan ukuran 2x2x2 yang dapat dioperasikan adalah
mencapai 185.280 unit. Kepadatan tebar ikan yang disarankan menurut
APEC/SEAFDEC (2001) dalam Radiarta, et al. (2005) adalah 5 – 20 ekor/m3.
Untuk budidaya kerang mutiara, jika pemanfaatannya 10 % dari lokasi
yang layak 15.440 ha maka luasan area yang dapat dimanfaatkan adalah seluas
1.544 ha. Metode yang digunakan adalah metode rakit /long line. Metode rakit
digunakan di lokasi yang cukup terlindung sedangkan lokasi yang agak terbuka
penggunaan metode long line lebih sesuai. Ukuran rakit yang biasa digunakan
adalah 6 x 5 m2.
Mengingat hasil penelitian ini bahwa lokasi yang tidak sesuai berada
dipinggir teluk. Maka lokasi tersebut direkomendasikan untuk hutan mangrove,
terumbu karang dan dibagian tengah merupakan lokasi penangkapan ikan.
Demikian juga disekitar lokasi pelabuhan / pelabuhan perikanan pantai tidak
diperuntukkan untuk lokasi budidaya rumput laut meskipun lokasi tersebut layak
untuk pengembangan budidaya rumput laut. kapal dan lain-lain akan menyebar
terbawa arus sampai ke lokasi budidaya tersebut.
69
Untuk lokasi pengembangan budidaya rumput laut ditempatkan ± 1 km
dari lokasi yang tidak sesuai. Hal ini sesuai dengan rencana zonasi yang telah
direkomendasikan oleh Bappeda Propinsi NTB melalui RTRW Tahun 2006 –
2020. Mengingat wilayah pesisir teluk Waworada merupakan daerah yang sangat
potensial dan strategis untuk berbagai kegiatan pembangunan, maka untuk
menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan terutama ekosistem mangrove
dan ekosistem terumbu karang tersebut dalam kaitan dengan fungsinya sebagai
tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah atau berkembang biak
(spawning ground) dan tempat tumbuh besar atau pengasuhan (nursery ground)
bagi sebagian besar biota laut.
5.5. Rekomendasi
Hasil penelitian tidak bisa diacu sepenuhnya untuk pengelompokan zonasi
budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima karena masih banyak
kelemahan terutama sekali dalam pengambilan titik sampel. Penelitian ini hanya
menggunakan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan dan 30 titik sampel pada
penelitian pendahuluan dan pada penelitian utama dengan 5 (lima) stasiun
pengamatan dan 15 titik sampel. Mengingat hasil perhitungan dengan
menggunakan GIS bahwa luasan teluk Waworada ± 20.135,24 ha, maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil titik sampel yang lebih
banyak dan dilakukan pada tiap musim yang berbeda.
70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi teluk Wawaroda cukup
mendukung (sesuai dengan baku mutu) bagi pertumbuhan rumput laut, kecuali
pada stasiun satu (St1) yang mempunyai nilai COD melebihi baku mutu.
2. Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukkan bahwa korelasi antara
variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya
masing-masing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen,
dan 17 persen dengan ragam totalnya 79 persen.
3. Korelasi positif terjadi antara produksi biomas dengan DO, salinitas, suhu,
nitrat, fosfat, arus, kecerahan, kedalaman dan berkorelasi negatif terjadi antara
produksi biomas dengan pH, COD, Pb, dan hama. Sedangkan karaginan
berkorelasi positif dengan DO, pH, salinitas, suhu, nitrat, fosfat, Pb, arus,
kecerahan, kedalaman dan yang berkorelasi negatif antara karaginan dengan
COD, Pb dan hama.
4. Hasil pengukuran rata-rata produksi rumput laut dari hasil pengamatan pada
minggu ke-6 (42 hst) berkisar antara 3.260 – 4.880 kg/10 tali (32.600 – 48.800
kg/ha) dengan kandungan karaginan berkisar antara 19.13 – 30.05 persen.
Stasiun lima (St5) mempunyai kandungan karaginan tertinggi, diduga karena
stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi dan ruang gerak
arus yang cukup besar sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa.
5. Pengelompokan zona pengembangan budidaya rumput laut terdiri dari dua
yaitu zona sangat sesuai yaitu di stasiun lima (St5) yang mengarah dekat
pantai dan zona sesuai yaitu meliputi seluruh stasiun pengamatan.
6. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa
peta tematik, luas wilayah pesisir bagian utara teluk Waworada berdasarkan
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut sebesar 20.135,24 ha meliputi
12.26 ha (0.06%) tergolong sangat sesuai, 19.287,94 ha (95.79%)
dikategorikan sesuai, 835,04 ha (4.15%) tergolong tidak sesuai.
71
7. Kegiatan budidaya rumput laut yang berkelanjutan di teluk Waworada dapat
terlaksana apabila pemanfaatannya untuk budidaya rumput laut hanya 30%
yaitu seluas 4.632 ha dari total luas lokasi yang sesuai sebesar 15.440 ha (80
%) dengan jumlah rakit/long line yang dioperasikan sebanyak 92.640 unit.
8. Parameter utama yang berpengaruh pada produksi biomas rumput laut adalah
salinitas, hama, kecerahan, kedalaman dan arus.
6.2. Saran
Penelitian ini merupakan simulasi, untuk mendapatkan hasil yang akurat
maka perlu diberikan saran sebagai berikut :
1.
Untuk lebih akuratnya data kualitas perairan maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan frekwensi pengukuran lebih tinggi dan
sepanjang tahun, titik sampling lebih banyak dan cakupan daerah lebih luas
serta menggunakan alat yang lebih canggih.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan karaginan rumput laut pada
umur tiap minggu untuk melihat perubahan kandungan karaginan.
3.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kelayakan lokasi untuk pengembangan
budidaya rumput laut dengan mengambil lebih banyak titik sampel untuk
memperoleh nilai yang akurat dan dilakukan dalam 3 – 4 musim tanam.
72
DAFTAR PUSTAKA
Aderhold, D. Williams, CJ. and Edyvean, GJ. 1996. The Removal of Heavy Metal
Ions by Seaweeds and Their Derivatives Bioresource Tecnology.
Science Limited Printed in Great Britain, pp. 1 – 6.
Ainsworth, PA. and Blanchard, JMV. 1980. Effect of Thermal Processing on
Structure and Theogical of Carragenan/Carob Gum Gels. Journal of
Texture Studies, 149p.
Anonymous, 1991. Mariculture of Seaweeds. Aquaculture in Tropical Areas.
Midori Co. Ltd. Tokyo. p 31 – 95.
Anonymous, 2003. Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Kabupaten Bima 2003 – 2013.
Anonymous, 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Terhadap Pertumbuhan, Produksi
dan Karaginan Rumput Laut Kappaphyen Ttriatum. Aquacultutur
Unhas.
Anggadiredja, J. Jatnika, A. Purwoto, H. dan Istini, S. 2006. Rumput Laut.
Pembudidayaan, Pengolahan, dan Pemasaran Komoditas Perikanan
Potensial Seri Agribisnis. Penerbit Penebar Swadaya Jakarta hal 1 –
147.
Archibold, O.W. 1995. Ecology of World Vegetation. Chapmann & Hall. New
York 510 p.
Aslan, LM. 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yokyakarta. 96 hal.
Atmadipoera, A.S., Purba, M., Nurjaya, W.I., Illahude, A.G. 1990. Suatu Studi
Tentang Topografi Dinamik di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa pada
Bulan Maret-April 1990 hal. 1 – 14.
Badan Pusat Statistik, 2005. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bima.
Bakosurtanal dan Dishidros TNI-AL. (1992). Peta Lingkungan Laut Nasional
(LLN-22) Nusa Tenggara Barat Termasuk NTT. Edisi 1992
Bakosurtanal, 2005. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian
Budidaya Rumput Laut. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut
Bakosurtanal Cibinong Bogor : 1 – 36 hal.
Bappeda Propinsi NTB, 2006. Draf Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Propinsi NTB 2006 – 2020. Pemerintah Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Badan Perencana Pembangunan Daerah.
73
Biro Pusat Statistik, 2000. Ekspor Statistik Perdagangan Hasil Laut Negeri
Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Pond for Aquaculture. Aquaculture
Experiment Station, Auburn University Auburn, Alabana, USA. 462 p.
Buchmann, AH. Lopez, AD. and Medina, A. 1996. A Review of the
Environmental Effects and Alternative Production Strategies of
Marine Aquaculture in Chile. Aquaculture Engineering Vol. 15 No. 6 :
397 – 421.
Burrough, PA. 1986. Principles of Geographical Information System for Land
Resources Assasement. Calredon Press. Oxford, 136 p.
Burrough, PA. and McDonnel, RA. 1998. Principle of Geographical Information
System. Oxford University Press, 327 pp.
Carte, BK. 1996. Biomedical Potensial of Marine Natural Products. Bioscience
46 : 271 – 286.
Chen L.C. McLachlan J, Neish AC and Shocklock PE. 1973. The Rasio of Kappa
– to – Lamda – Carragenan in Nucleas Phases of the Rhodophyceae
Algae (Chondrus crispus and Gigartinales stellata). Journal Mar. Bio.
Ass. U.K. 53 : 11 – 16.
Chen, TP. 1976. Culture of Gracillaria. Aquaculture Practices in Taiwan. Page
Bros. London. p 145 – 149.
Chou, CL. Paon, LA. Moffatt, JD. Buzeta, MI. Fenton, D. and Ruther Ford, RJ.
2004. Distribution Contamination in Biota and Sediments in the
Musquash Estuary Atlantic Canada, Marine Protected Area Site
Initiative and Contaminant Exclusion Zona. Marine Pollution Bulletin
48 : 884 – 893.
Chua, TE. 1992. Coastal Aquaculture Development and the Environment. The
Role of Coastal Area Management. International Center for Living
Aquatic Resources Management M.C. P.O. Box 1501, Makati Metro
Manila, Philippines.
Chung, LK. and Y.H. Kang. 2004. Roles of Seaweed cultivation in sustainable
mariculture industri in China. Institut of Hydrology, Jinan University.
Guangzhou. http//www.cae.cu/forum/forum_posis. Jsp?
Clark, W.A.V. and Hosking, P.L. 1986. Statistical Methods for Geographers.
John Wiley & Sons, Inc. 513 pp.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J Sitepu, 1997. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita Jakarta.
74
Dawes. CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley Dawson University of South
Florida New York. 268 hal.
Dawson, E.Y. 1956. How to Know the Seaweed. W.MC. Brown Company
Publisher. Dubuque, Lowa 270 p.
De Castro, TR. and Guanzon, NG. 1993. Growth of Gracilaria sp. (Gracillariales,
Rhodophyta) in Brackiswater Ponds at Different Stocking Densities.
The Israel Journal of Aquaculture Bamidgeh 49 : 89 – 94.
Digital
Elevation Model (DEM) 2008.
Download, 5 Nopember 2008.
ftp://eosrp01v.ecs.nasa.gov/srtm/.
Dinas Dehidros, 2002. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret –
April 2002. Dinas Dehidros Jakarta.
Dinas Dehidros, 2003. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret –
April 2003. Dinas Dehidros Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima, 2003. Laporan Tahunan Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima.
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, 1998. Penyusunan Kebijakan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kerjasama dengan Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Ditjenkan Budidaya, 2005. Profil Rumput Laut Indonesia Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Departemen Perikanan dan Kelautan Jakarta.
English, S. Wilkinson, C. and Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. Australian Institute of Marine Science
Townsville,pp.368.
Esri, 1990. Understending GIS the Arc/Info Method Enviroment All Sistem
Recearch Institute FAO Soil Bull : 1 (1) : 1 – 12
Effendie, H., 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. 259 hal.
Fritz GJ. 1986. The Strukture and Reproduction of the Algae Vol. 2 VICAS
Puslishing House.
Food Chemical Codex, 1981. Carrageenan National Academy Fress, Washington,
pp 74 - 75.
Foucart, T., 1987. Analyse Factorielle Programmation Surmicro Ordinateur.
Masson Paris 249p.
75
Gang, Chen, L Shaojing, Y Shengyum. 1998. Estimation of carrying capacity for
mariculture Development in Xiamen, in The Regional Workshop on
Partnership in the Aplication of Integrated Coastal Management,
Chonburi, Thailand, pp. 81-90.
Gurno, Y.S. 2004. Biofilter Biomanipulasi, Paradigma Baru Dalam Pengendalian
Limbah Organik Budidaya perikanan di waduk dan tambak. Orasi
Ilmiah dalam Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Managemen
kualitas Perairan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta
Glicksman, M. 1983. Food Hidrocolloid, Vol.2 CRD Press. Inc. Florida.
Guanzon, NG.Gr. and De Castro, TR. 1992. The Effect of Different Stocking
Densities and Some Abiotic Factors on Cage Culture of Gracillaria sp.
(Rhodophyta, Gigartinales). Botanica Marina 35 : 239 – 243
Gunawan , 1998. Typical Geographic Information Resources Management
Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Indonesia.
Hadi, A. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005 134 hal.
Halid, I., Siregar, P.V. dan Indya 2004. Analisis Spasial dan Temporal Daerah
Potensi Penangkapan Ikan di Perairan Selat Makasar Bagian Selatan.
Ritek vol. 4 No. 1 Hal. 27 – 39.
Harimi, W.S., Siregar, V.P., Jaya, I. dan Khafid 2004. Studi Pola Arus Permukaan
di Perairan Indonesia dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri
TOPEX/POSEIDON. Maritek Vol.4 No.2 hal. 47 – 62.
Hellebust, JA. and Cragie, JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. London
: Cambridge University Press.
Huang, YM. Maliakal, S. Cheney, DP. Rorrer, GL. 1998. Comparison of
Development and Photosyntetic Gowth for Filamen Clump and
Regenerated Microplanlet Cultures of Agardhiella subulata
(Rodophyta, Gigartinales) Journal Phycological 34 : 893 – 901.
Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut.
Pewarta Oseana. LON-LIPI Jakarta Vol. 13 Hal : 153 – 163.
Hutagalung, 1997. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air Laut dalam
Hutagalung, Deddy Setiapermana, Hadi Riyono (eds). Metode Analisa
Air Laut, Sedimen dan Biota Buku 2 Jakarta. Pusat Litbang
Oseanologi LIPI.
76
Idris, I. Ginting, SP. dan Budiman, 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi.
Sebuah Kajian Terhadap Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer PT.
Sarana Komunikasi Utama 296 hal.
Ismail, W. Wardoyo, SE. Dan Priono, B. 1998. Lokasi-lokasi Potensial bagi Panti
Benih Terapung Ikan Karang di Selatan Pulau Bintang dan Karimun
Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume IV No.4, Edisi
Akuakultur. BRKP-DKP Jakarta.
Ismail, W., Imanto, T.P., Priono, B., dan Praseno 2003. Pemilihan Lokasi Ideal
Bagi Penempatan KJA Reservat di Kepulauan Riau, Lombok dan
Sumbawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.4 hal. 1 –
16.
Jones, AB. 1993. Macroalgal Nutrient Relationships. Departemen of Botany,
Universitas of Queensland.
Jones, AB. Preston, NP. and Dennison WC. 2003. The Efficiency and Condition of
Oysters and Macroalgal Used as Biological Filters of Shrimp Pond
Effluent. Aquaculture 33 : 1 – 19.
Kadi A.dan Atmaja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdya
Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI
Jakarta. 71 hal.
Kaur, S. Walia, TPS. and Mahajan, 2008. Compative Studies of Zinc, Cadnium,
Lead, and Copper on Economically Viable Adsorbents. Journal
Environmment Eng. Sci. 7 : 83 – 90.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) 1988. Keputusan Menteri KLH No.
02/1988 Tentang Baku Mutu Lingkungan. KLH Jakarta.
King, A.H., 1983. Brown Seaweed Extract (Alginat). in Glickman, M.(Ed.). Food
Hydrocolloids, Volume 11 CRC Press, Inc. Florida : 118 – 130.
Krom, MD. 1986. Evaluation of the Concepts of Assimilative Capacity as Applied
to Marine Waters . Ambio 15 (4).
Langdo, C. Evans, F. And Demetropoulos, C. 2004. An Environmentally
Sustainable, Integrated Co-Culture System for Dulse and Abalone
Production. Aquacultural Engineering 32 : 43 – 56.
Lee, TM. Chang, YC. Lin, YH. 1999. Differences in Physyiological Responses
between Winter and Summer (Gracilaria) Tenuistipitaa to Varying
Temperatur. Bot. Bull. Acad. Sin. 49 : 93 – 100.
77
Legendre, L. dan Lengendre, P. 1984. Numerical Ecology Elsevier. Sc Publ. Inc.
New York. 419p.
Levina, HG. 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as
Ecological Indicator, Academic Press London.
Lin, MN. 1974. Culture of Gracillaria. Fish Research Institute. Keelung Taipei.
p 1-8.
Luning K. 1990. Seaweed. The Enviromental Biogeografy and Ecophysiology.
Charles Yarish and Hugh Kirkman (Editor). John Wiley & Son, Inc.
Canada 527 p.
Manurung, D. dan Simbolon, D. 1997. Sebaran Suhu Permukaan Laut di Perairan
Selatan Jawa-Sumbawa dan Hubungannya dengan Pembentukan
Penangkapan Ikan Tuna. Buletin PSP Vol. VI No.1.
Maquire, 1991. An Over View and Defenition of GIS. p 9 – 20 In D.J. Maquire,
M.F. Good Child and D.W. Rhind eds). Geografical Information
Sistem. Loongman Scientific and Technical and John Wilen New
York.
Martono, 2002. Analisis Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Citra Satelit
NOAA11/AVHRR2 di Perairan Selatan Jawa Timur Hingga Pulau
Lombok. Neptunus Vol. 9 No.2 Hal. 89 – 97.
Matos, JS. Costa, A. Rodrigues, Pereira, R. and Pinto, IS. 2006. Experimental
integrated aquaculture of fish and red seaweed in Northern Portugal.
. Aquaculture (252): 3 1 -42.
Meade, JM. 1991. Aquaculture Management. Van Nostrand Reinhold. New
York.
Moll, B. and Deikman, J. 1995. Enteromorpha clatrat : A Potencial SeawaterIrrigated Crop. Bioresource Technology 52 : 225 – 260.
Morain, S. 1999. GIS Solution in Natural Resource Management : Balancing the
Technical-Political Equation . On Worrd Press. USA, 361 pp
Monte, LP. Brook, BW. Manuel, J. Rezon, Z. and Escalona, VHC. 2004. The
Carryng Capacity of Ecosystem. Global Ecology and Biogeography 13
: 485 – 495.
Muse, JO. Stripeikis, JD. Fernandez, FM., d’Huicque, L. Tudino, MB.Corducci,
CN. Troccoli, OE. 1999. Seaweeds in the Assessment of Heavy Metal
Pollution in the Gulf San Jorge Argentina. Environmental Pollution
104 : 315 – 322.
78
Msuya,
FE. And Neori, AM. 2002. Ulva Reticulata and Gracilaria Crassa
Macroalgae that Can Biofilter Effluent from Tidal Fishponds in
Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci 1 (2) : 117 – 126.
Neori, A. Krom, MD. Ellner, SP. Boyd, CE. Popper, D. Rabinovitch, R. Davison,
PJ. Orit, D. Zuber, D. Ucko, M. Angel, D. and Gordin, H. 1996.
Seaweed Biofilters as Regulators of water Quality in Integrated Fish,
Seaweed Culture Units. Aquaculture 141 : 183 199
Neori, A. Ragg, LC. and Shpigel, M. 1998. The Integrated Culture of Seaweed,
Abalone, Fish, and Clems in Modular Intensive Land-Based System :
II. Performance and Nitrogen Partitioning Within an Abalone
(Haliotis tuberculata) and Macroalgae Culture Syastem. Aquacultural
Engineering 17 : 215 – 239.
Neori, A. Shpigel, and Ezra, DB. 2000. A Sustainable Integrated System for
Culture of Fish, Seaweed and Abalone. Aquaculture 186 : 279-291.
Nybakken, J. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT.
Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen,
M. Hutomo dan S. Sukardjo. 459 hal.
Odum, E.P, 1989. Ecology and Our Endagered Life Support Systems. Sinaeur
Associates, Inc., Publ. Sunderland Massachusetts.
Palupi, K. 1994. Cisadane River Water Pollution. Buletin Penelitian Kesehatan 22
(1) : 41 – 47.
Percival E. 1968. Marine Algae Carbohydrates dalam Marine Biology. Editor H.
Bames. George Allen and Unein Ltd London, pp. 137 – 161.
Peira, P. 2002. Beach Carryng Capacity Assesment : How Important it is ?.
Journal of Coastal Recearch, Special Issue 36 : 190 – 197.
PKSPL dan Enesar, 2007. Penempatan Tailing di Dasar Laut dalam Laporan
Pemantauan Lingkungan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor dan Enesar Consulting Pty Ltd Australia.
Penerbit PT. Newmont Nusa Tenggara. Mataram 1 – 54 hal.
Puspita, N. 1991. Laju Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut E.
denticulatum yang di Tanam di Pantai Geger Nusa Dua Bali. Skripsi
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Quano.1993. Training manual on assessment of the quantity and type of land
based pollutant discharge into the marine and coastal environment.
UNEF. Bangkok.
79
Radiarta, N. Wardoyo, S. Priono, B. dan Praseno 2003. Aplikasi Sistem Informasi
Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di
Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol.9 No.1 hal.67 – 77.
Radiarta, N. Adang Saputra, dan Ofri Johan, 2005. Penentuan Kelayakan Lahan
untuk Mengembangkan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi
Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito Propinsi
Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.1 : 1 –
14.
Radiarta, N. Prihadi, TH. Saputra, A. Haryadi, J. Dan Ofri Johan, 2007. Penentuan
Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma, spp.) Berdasarkan
Parameter Lingkungan di Perairan Kecamatan Moro Propinsi
Kepualauan Riau. Jurnal Riset Akuakultur Vol.2 No.3 : 319 – 328.
Rahayu, S. 1991. Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) dalam Air Bagi
Kehidupan Ikan. BPPTP No. XLV/91 Jakarta. 91 – 101 hal.
Rodríguez, SI. Huerta Diaz, MA.. Choumiline, Guinozes, HO. and Gonjalez JA.,
2002. Elemental Concentrations in Different Species of Seaweeds
from Loreto Bay, Baja California Sur, Mexico. Implication for the
Geochemical Control of Metal in Alga Tissue. Environmental
Pollution 114 : 145 – 160.
Rorrer, GL. Mullikin, RK. Huang, B. Gerwick, WH. Maliakel, S. Cheney, DP.
1998. Production of Bioactive Metabolites by Cell and Tissue Cultures
of Marine Macroalga in Bioreactor System. In FU.T.J. Singh, G.
Curtis (Eds). Plant Cell and Tissue Cultural for the Production of
Food Ingredients, Cluwer Academic/Plenum Publishing New York pp.
165 – 184.
Rorrer, GL. 2000. Cell and Tissue Cultures of Marine Seaweeds. In Spier, R.E.
(Ed.) Encyclopedia of Cell Technology Willey, pp. 1105 – 1116.
Rorrer, GL. and Cheney, DP. 2004. Bioprocess Enginering of Cell and Tissue
Cultures for Marine Seaweeds. Aquacultural Engeneering 32 : 11 – 41.
Ross, LG. Mendoza EAQM, and Beveridge MCM, 1993. The Application of
Geographical Informasi System to Site Selection for Coastal
Aquaculture : an Example Based on Salmonid Cage Culture
Aquaculture, 112 : 165 – 178.
Shpigel, M. and Neori, A. 1996. The Integrated Culture of Seaweed, Abalone,
Fish, and Clams in Modular Intensive Land – Based Syistems : I.
Proportions of Size and Projected Revenues. Aquacultural Engineering
Vol. 15 No. 5 : 313 – 326.
80
Shimoda, T. Suryati, E. and Ahmad, T. 2006. Evaluation in a Shrimp Aquaculture
System Using Mangroves, Oysters, and Seweed as Biofilters Based on
the Concentration of Nutrients and Chlorophyll a. Jarq 40 (2) : 189 –
193 http://www.jircas.affrc.go.jp.
Sitorus, H. Widigdo, B. Bibiana, WL. and Kadarwan Soewardi, 2005.
Nitrification in Biodegradation of Shrimp Culture Effluent. Jurnal
Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 12 No.1 : 59 – 67.
Soegiarto, A, Sulistijo; W.W. Atmadja dan H. Mubarak. 1979. Rumput Laut
(Alga), Manfaat, Potensi, dan Usaha Budidaya. LON-LIPI Jakarta 61
hal.
Soeviety, B. 1990. Laju Pertumbuhan dan Prosentase Berat Kering Alga Merah
pada Metode Penanaman Rakit Terapung dan Lepas Dasar di Perairan
Pantai Geger Nusa Dua Bali. Karya Ilmiah Fakultas Perikanan Institut
Pertanian Bogor.
Soselisa, A. 2006. Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-pulau
Padaido, Distrik Padaido Kabupaten Biak Numfor Papua. Disertasi
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor 258 hal.
Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Sumiono, B. Mahiswara, dan Iskandar, B. 1991. Usaha Penangkapan Udang
Panaeid dengan Trammel Net dan Jaring Klitik di Teluk Bima dan
Teluk Waworada Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut No.57 : 21 – 32.
Supit, SD. 1990. Karakteristik Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput
Laut (Eucheuma alvarezii) yang Berwarna Abu Coklat dan Hijau yang
di Tanam di Goba Lambungan Pasir Pulau Pari. Karya Ilmiah Fakultas
Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Suryaningrum, D. Utomo, D. Murtini, dan Yunijal 2000. Teknologi Pemanfaatan
Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan
Perikanan Jakarta 1 – 12 hal.
Sulistijo, 1987. The Harvest Quality of Alvarezzi Culture by Floating Method in
Pari Island Nort Jakarta. Research and Development Center for
Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta.
Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput
Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan Yang Berbeda dan
Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis Program
Pascasarjana IPB Bogor (Tidak dipublikasikan).
81
Suwirma, S. Surtipanti, S. dan Yatim (1981). Studi Kandungan Logam Berat Hg,
Pb, Cd, dan Cr dalam Beberapa Jenis Hasil Laut Segar. Majalah Batan
14 (1) : 2 – 8.
Tabachnick, B.G. dan L.S. Fidell., 1996. Using Multivariate Statistic. Third
Sdition Harpercollius College Publishers New York. P : 635 – 707.
Tarunamulia, Mustafa, A. dan Hanafi, A. 2001. Penentuan Lokasi Budidaya
Keramba Jaring apung dengan Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis. P : 43-56. Dalam Sudrajat et al. (Editor).
Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di
Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan-Japan International
Cooperation Agency Jakarta.
Trono, G.C. and Fortes. 1988. Philippina Seaweed. National Book Store, Inc
Metro. Manila 330 p.
Turner, G.E., 1988. Codes of practice and manual of procedures for consideration
on introductions and transfer of marine and freshwater organisms,
EIFAC/CECPI, Occasional Paper No.23, 44pp.
UNISCO/WHO/UNEP, 1992. Water Quality, Principles and Perspective
Academic Press, Inc. London 585p.
UNEP, 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of LandBased Pollutant Discharges Into the Marine and Coastal Environment.
RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Bangkok, 65p.
Utojo, Mansyur, A., Pirjan, AM., Mulia, T., dan Pantjara, B. 2004. Identifikasi
Kelayakan Lokasi Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Saleh
Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol.10 No.5 hal. 1 – 18.
Utojo, Mansyur, A. Mustafa, A. Hasnawi, dan Tangko, AM. 2007. Pemilihan
Lokasi Budidaya Ikan, Rumput Laut, dan Tiram Mutiara yang Ramah
Lingkungan di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Jurnal Riset
Akuakulture Vol.2 : 303 – 318.
Villares, R. Puentre, E. and Carballeira, A. 2002. Seasonal Variation and
Background Level of Heavy Metal in Two Greed Seaweeds.
Environmental Pollution 119 : 79 – 90.
Wang, WL. dan Chiang, YM. 1994. Potential Economic Seaweed of Hengchun
Peninsula Taiwan. Economic Botany 48 (2) : 182 – 189.
Westermeier, R. Gomez, I. and Rivera, P. 1993. Suspendid Farming of Gracilaria
chilensis (Rhodophyta, Gigartinales) at Cariquilda River, Maullin
Chile. Aquaculture 113 : 215 – 229.
82
Widigdo, B. et al. 2000. Penyusunan Kriteria Ekologis untuk Pemulihan dan
Kelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL Bogor.
WHO (World Health Organization), 1999. Safety Evaluation of Certain Food
Additive. Genera : International Programme on Chemical Safety.
Wright, P. and Mason, CP. 1999. Spacial and Seasonal Variation in Heavy Metal
in the Sediments and Biota of Two Adjacent Estuaries, the Orwell and
the Stour. In Eastern England. The Science of the Total Environment
226 : 139 – 156.
Lampiran 1. Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Stasiun
I
II
III
Sampel
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
Suhu
(°C)
29
30
30
89
29.67
0.58
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
pH
7
9
8
24.00
8.00
1.00
Salinitas
(ppt)
32
33
33
98
32.67
0.58
Kedalaman
(m)
2
3
5
10.00
3.33
1.53
Kecerahan
(m)
1
1
2
4.00
1.33
0.58
Arus
(m/dtk)
0.15
0.20
0.20
0.55
0.18
0.03
30
31
31
92
30.67
0.58
9
8
9
26.00
8.67
0.58
33
35
34
102
34.00
1.00
3
5
6
14.00
4.67
1.53
2
2
4
8.00
2.67
1.15
0.21
0.20
0.20
0.61
0.20
0.01
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
30
31
32
93
31
1.00
9
9
8
26.00
8.67
0.58
34
35
35
104
34.67
0.58
4
6
6
16.00
5.33
1.15
3
4
4
11.00
3.67
0.58
0.35
0.34
0.35
1.04
0.35
0.01
1
2
29
30
8
9
34
35
7
10
5
5
0.35
0.34
Stasiun
VI
VII
VIII
Sampel
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
Suhu
(°C)
29
30
30
89
29.67
0.58
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
pH
7
9
8
24
8.00
1.00
Salinitas
(ppt)
32
33
33
98
32.67
0.58
Kedalaman
(m)
20
21
23
64.00
21.33
1.53
Kecerahan
(m)
7
7
7
21.00
7.00
0.00
Arus
(m/dtk)
0.15
0.20
0.20
0.55
0.18
0.03
30
30
31
91
30.33
0.58
9
8
9
26.00
8.67
0.58
33
34
34
101
33.67
0.58
20
18
24
62.00
20.67
3.06
7
7
7
21.00
7.00
0.00
0.21
0.20
0.20
0.61
0.20
0.01
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
29
30
31
90
30
1.00
9
9
8
26.00
8.67
0.58
34
35
35
104
34.67
0.58
3
5
4
12.00
4.00
1.00
3
4
4
11.00
3.67
0.58
0.34
0.34
0.36
1.04
0.35
0.01
1
2
30
31
8
9
34
36
6
5
6
5
0.34
0.35
IV
V
3
SUM
RATA2
STDEV
30
89
29.67
0.58
8
25.00
8.33
0.58
35
104
34.67
0.58
12
29.00
9.67
2.52
6
16.00
5.33
0.58
0.33
1.02
0.34
0.01
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
30
31
31
92
30.67
0.58
8
9
8
25.00
8.33
0.58
34
34
35
103
34.33
0.58
12
13
15
40.00
13.33
1.53
6
5
6
17.00
5.67
0.58
0.35
0.34
0.33
1.02
0.34
0.01
Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan diolah Tahun 2007
IX
X
3
SUM
RATA2
STDEV
30
91
30.33
0.58
8
25.00
8.33
0.58
35
105
35.00
1.00
4
15.00
5.00
1.00
4
15.00
5.00
1.00
0.35
1.04
0.35
0.01
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
29
29
30
88
29.33
0.58
9
9
8
26.00
8.67
0.58
34
35
35
104
34.67
0.58
12
7
5
24.00
8.00
3.61
7
6
7
20.00
6.67
0.58
0.34
0.35
0.35
1.04
0.35
0.01
Lampiran : 2. Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret - April 2007.
STASIUN
I
II
III
IV
Sampel
DO
pH
Salinitas
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
(mg/l)
5.50
5.80
5.90
17.20
5.73
0.208
9.00
9.00
8.00
26.00
8.67
0.577
(‰)
32.00
33.00
32.00
97.00
32.33
0.577
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
6.50
6.40
6.40
19.30
6.43
0.058
8.00
7.00
8.00
23.00
7.67
0.577
33.00
34.00
34.00
101.00
33.67
0.577
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
6.10
6.30
6.30
18.70
6.23
0.115
8.00
7.00
7.00
22.00
7.33
0.577
1
2
3
SUM
RATA2
6.50
6.40
6.50
19.40
6.45
8.00
8.00
7.00
23.00
8.00
34.00
35.00
35.00
104.00
34.67
0.577
35.00
34.00
35.00
104.00
34.50
Suhu
Nitrat
Fosfat
COD
Pb
Arus
Kecerahan
Kedalaman
Hama
(ºC)
28.00
31.00
32.00
91.00
30.33
2.082
(mg/l)
0.003
0.001
0.002
0.006
0.002
0.001
(mg/l)
0.031
0.029
0.014
0.074
0.02
0.009
(mg/l)
91.61
90.61
91.30
273.52
91.17
0.512
(mg/l)
0.007
0.007
0.006
0.020
0.007
0.001
(m/dtk)
0.12
0.13
0.12
0.37
0.12
0.006
(m)
1.00
2.00
2.00
5.00
1.67
0.577
(m)
2.00
3.00
5.00
10.00
3.33
1.528
(Ekor)
10.00
13.00
9.00
32.00
10.67
2.08
28.00
31.00
32.00
91.00
30.33
2.082
0.026
0.025
0.023
0.07
0.02
0.002
0.046
0.016
0.013
0.08
0.03
0.018
55.29
55.32
55.49
166.10
55.37
0.108
0.005
0.005
0.006
0.016
0.005
0.001
0.13
0.14
0.16
0.43
0.14
0.015
1.00
3.00
3.00
7.00
2.33
1.155
3.00
5.00
6.00
14.00
4.67
1.528
8.00
9.00
9.00
26.00
8.67
0.577
28.00
31.00
33.00
92.00
30.67
2.517
0.080
0.079
0.080
0.24
0.08
0.001
0.016
0.014
0.013
0.04
0.01
0.002
53.22
53.36
53.37
159.95
53.32
0.084
0.009
0.008
0.008
0.025
0.008
0.001
0.16
0.15
0.17
0.48
0.16
0.010
28.00
32.00
33.00
93.00
30.00
0.026
0.024
0.024
0.074
0.025
0.072
0.070
0.068
0.210
0.071
53.22
53.40
53.46
160.08
53.31
0.004
0.005
0.004
0.013
0.005
0.21
0.23
0.23
0.67
0.22
3.00
5.00
5.00
13.00
4.33
1.155
5.00
5.00
6.00
16.00
5.00
4.00
6.00
6.00
16.00
5.33
1.155
7.00
10.00
12.00
29.00
8.50
7.00
7.00
7.00
21.00
7.00
0.000
9.00
5.00
5.00
19.00
7.00
V
STDEV
0.058
0.577
0.577
2.646
0.001
0.002
0.125
0.001
0.012
0.577
2.517
2.309
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
6.50
6.40
6.40
19.30
6.43
0.058
9.00
8.00
8.00
25
8.33
0.577
36.00
35.00
35.00
106.00
35.33
0.577
28.00
32.00
33.00
93.00
31.00
2.646
0.135
0.193
0.132
0.460
0.153
0.034
0.015
0.013
0.011
0.039
0.013
0.002
49.18
49.31
49.42
147.91
49.30
0.120
0.007
0.007
0.006
0.020
0.007
0.001
0.32
0.31
0.32
0.95
0.32
0.006
6.00
6.00
5.00
17.00
5.67
0.577
12.00
13.00
15.00
40.00
13.33
1.528
3.00
9.00
6.00
18.00
6.00
3.000
Sumber : Data Hasil Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima pada Bulan Maret - April Tahun 2007
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) Pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima
STASIUN
I
Sampel
Bulu Babi
(Ekor)
Bl.Babi D.Pendek
(Ekor)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
1.33
2.31
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SUM
RATA2
STDEV
0
0
0
0
0
0
1
2
3
0
0
0
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
II
1
2
3
SUM
RATA2
STDEV
III
IV
Jenis Hama Pengganggu
Ikan Beronang
Ikan Kerapu
(Ekor)
(Ekor)
1
2
3
Bintang Laut
(Ekor)
Penyu Hijau
(Ekor)
Ikan kecil
(Ekor)
Jumlah Total
(Ekor)
0
0
0
0
0
0.00
0
0
0
0
0
0.00
0
0
0
0
0
0.00
10
9
9
28
9.33
0.58
10
13
9
32
10.7
2.89
0
0
0
0
0
0.00
0
1
0
1
0.33
0.58
1
1
0
2
0.67
0.58
0
0
0
0
0
0.00
7
7
9
23
7.67
1.15
8
9
9
26
8.67
2.31
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0.33
0.58
0
1
0
1
0.33
0.58
1
0
0
1
0.33
0.58
0
0
0
0
0
0.00
5
6
7
18
6
1.00
7
7
7
21
7
2.73
0
0
0
0
0
0
2
0
0
1
0
0
0
0
0
6
5
5
9
5
5
V
SUM
RATA2
STDEV
0
0
0
0
0
0
0
0
0.00
2
0.67
1.15
1
0.33
0.58
0
0
0.00
16
5.33
0.58
19
6.33
2.31
1
2
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1
3
1
1.00
0
0
0
0
0
0.00
0
2
0
2
0.67
1.15
0
0
0
0
0
0.00
3
5
5
13
4.33
1.15
3
9
6
18
6.0
3.31
SUM
RATA2
STDEV
Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan diolah Tahun 2007
Lampiran 4. Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di Teluk Waworada
STASIUN
Berat Bibit
(kg)/10 tali
Banyaknya rumpun
per tali
Banyakya
rumpun/10 tali
Produksi
(gram)/rumpun
Produksi
(Kg/10 tali)
Produksi
(Kg/ha)
I
II
II
IV
V
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
2000
2000
2000
2000
2000
1.630
1.824
1.964
2.144
2.440
3.260
3.648
3.928
4.288
4.880
32.600
36.480
39.280
42.880
48.800
Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan yang diolah Tahun 2007
Lampiran 5: Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara dengan Petani di Kabupaten Bima
Sampel
Berat Bibit
Produksi
Produksi
Produksi
Produksi (1.000 M2)
(Kg/16.500 rmp/50
tali)
8
4,950.00
9,900.00
8,250.00
6,600.00
9,900.00
39,600.00
7,920.00
2,151.34
Produktivitas
Lokasi
1
Desa Tanjung Mas
Kec. Monta
Petani
2
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
(Gr/rmpun)
3
30
40
30
40
30
170
34.00
5.477
(Gr/rmpun)
5
300
600
500
400
600
2400
480.00
130.384
(Kg/rmp)
6
0.300
0.600
0.500
0.400
0.600
2.4
0.48
0.130
(kg/330 rmp/tali)
7
99
198
165
132
198
792
158.40
43.027
Desa Laju
Kec. Langgudu
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
30
40
30
40
30
170
5.477
5.477
200
500
400
600
300
2000
158.114
158.114
0.200
0.500
0.400
0.600
0.300
2
0.158
0.158
66
165
132
198
99
660
52.178
52.178
3,300.00
8,250.00
6,600.00
9,900.00
4,950.00
33,000.00
2,608.88
2,608.88
33,000.00
82,500.00
66,000.00
99,000.00
49,500.00
330,000.00
26,088.79
26,088.79
Desa Doro O'O
Kec. Langgudu
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
30
40
30
40
30
170
34
600
400
400
400
400
2200
440
0.600
0.400
0.400
0.400
0.400
2.2
0.44
198
132
132
132
132
726
145.2
9,900.00
6,600.00
6,600.00
6,600.00
6,600.00
36,300.00
7,260.00
99,000.00
66,000.00
66,000.00
66,000.00
66,000.00
363,000.00
72,600.00
(Kg/ha)
9
49,500.00
99,000.00
82,500.00
66,000.00
99,000.00
396,000.00
79,200.00
21,513.37
STDEV
5.477
89.443
0.089
29.516
1,475.80
14,758.05
Desa Karampi
Kec. Langgudu
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
30
40
30
40
30
170
34
5.477
200
500
400
600
600
2300
460
167.332
0.200
0.500
0.400
0.600
0.600
2.3
0.46
0.167
66
165
132
198
198
759
151.8
55.220
3,300.00
8,250.00
6,600.00
9,900.00
9,900.00
37,950.00
7,590.00
2,760.98
33,000.00
82,500.00
66,000.00
99,000.00
99,000.00
379,500.00
75,900.00
27,609.78
Desa Rupe
Kec. Langgudu
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
1
2
3
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
30
40
30
40
30
170
34
5.477
30
40
30
40
30
170
34
5.477
600
400
400
400
400
2200
440
89.443
400
500
600
500
500
2500
500
70.711
0.600
0.400
0.400
0.400
0.400
2.2
0.44
0.089
0.400
0.500
0.600
0.500
0.500
2.5
0.5
0.071
198
132
132
132
132
726
145.2
29.516
132
165
198
165
165
825
165
23.335
9,900.00
6,600.00
6,600.00
6,600.00
6,600.00
36,300.00
7,260.00
1,475.80
6,600.00
8,250.00
9,900.00
8,250.00
8,250.00
41,250.00
8,250.00
1,166.73
99,000.00
66,000.00
66,000.00
66,000.00
66,000.00
363,000.00
72,600.00
14,758.05
66,000.00
82,500.00
99,000.00
82,500.00
82,500.00
412,500.00
82,500.00
11,667.26
1
2
3
80
90
90
1700
2000
2000
1.700
2.000
2.000
561
660
660
28,050.00
33,000.00
33,000.00
280,500.00
330,000.00
330,000.00
Desa Dumu
Kec. Langgudu
Ds.Bajo Pulo
Kecamatan Sape
4
5
Jumlah
Rata-rata
STDEV
Desa Pai
Kecamatan Wera
80
80
420
84
5.477
1
90
2
90
3
90
4
80
5
80
Jumlah
430
Rata-rata
86
STDEV
5.48
Sumber : Hasil Wawancara dengan Petani Rumput Laut Tahun 2008
1900
1600
9200
1840
181.659
1.900
1.600
9.2
1.84
0.182
627
528
3036
607.2
59.947
31,350.00
26,400.00
151,800.00
30,360.00
2,997.37
313,500.00
264,000.00
1,518,000.00
303,600.00
29,973.74
2000
1700
1900
2000
1900
9500
1900
122.47
2.000
1.700
1.900
2.000
1.900
9.5
2
0.12
660
561
627
660
627
3135
627
40.42
33,000.00
28,050.00
31,350.00
33,000.00
31,350.00
156,750.00
31,350.00
2,020.83
330,000.00
280,500.00
313,500.00
330,000.00
313,500.00
1,567,500.00
313,500.00
20,208.29
Lampiran 6. Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara dengan Petani pada musim yang berbeda
Produktivitas
Stasiun/lokasi
Musim Hujan
Musim Kemarau
Hujan/Kemarau
(Kg/Ha)
(Kg/Ha)
(Kg/Ha)
32.600
1.400
396.000
I
36.480
1.900
330.000
II
39.280
2.200
363.000
III
42.880
2.600
379.000
IV
48.800
2.800
363.000
V
412.000
VI
1.518.000
VII
1.567.500
VIII
Jumlah
Rata-rata
STDEV
200.040
25.005
21.229
10.900
1.363
1.205
2,243.000
373.833
28.743
Lampiran 7. Data produksi rumput laut masing-masing stasiun pengamatan pada musim kemarau di Teluk Waworada
STASIUN Berat Bibit Banyaknya
Banyakya
Produksi
Produksi
Produksi
(kg)/10 tali rumpun/tali
rumpun/10 tali
(gram)/rumpun
(Kg/10 tali) (Kg/ha)
I
40
200
2000
70
140
1400
II
40
200
2000
95
190
1900
II
40
200
2000
110
220
2200
IV
40
200
2000
130
260
2600
V
40
200
2000
140
280
2800
Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan yang diolah Tahun 2008
Download