SUARA DAN GAYA 45 SUARA DAN GAYA VIDEO CD VCD I: track 13 dan 14 Gamelan Jawa Tengah track 15 Kentangan dan geniqng, Benuaq Kaltim track 16 Gondang Sabangunan, Batak Toba track 17 Gong Waning, flores track 18 dan 19 Gong Kebyar, Bali track 20 Gamelan Banjar, Kalimantan Selatan track 22 Kulintang, Lampung track 23 Gamelan Degung Dari beberapa contoh ensambel gong yang sudah kita dengar atau tonton dalam kelas, dapat diketahui bahwa tiap-tiap ensambel memiliki ciri suara sendiri. Jika kita mendengarkan rekaman musik tertentu, kita akan dapat mengetahui apakah musik tersebut dimainkan pada gong kebyar Bali atau gamelan degung Sunda, talempong Minang, atau kentangan Benuaq, dan sebagainya. Dalam bab-bab berikutnya kita akan mempelajari unsur-unsur yang dapat membantu kita dalam mengenali dan membedakan antara satu ensambel dengan ensambel lainnya. 4.1. Instrumentasi1 Setiap ensambel memiliki perangkat alat musik yang khas. Contohnya, kita tidak akan mendengar suara suling dalam ensambel talempong Minangkabau. Kita juga tidak mungkin mendengar gambus dalam gamelan keraton dari Yogyakarta atau Surakarta, atau akordeon dalam gamelan degung. Hal itu tidak hanya terjadi dalam musik Indonesia. Dalam musik rock, kita jangan berharap mendengar suara bonang atau 1 Yang dibicarakan di sini adalah instrumentasi yang standar atau yang biasa dimainkan bersamasama dalam suatu ensambel. Dewasa ini, seorang musisi bisa saja membuat kreasi baru yang memadukan beberapa alat musik yang menurut tradisi tidak umum dimainkan secara bersamasama. 46 GONG angklung. Jadi, kita dapat mengetahui ensambel yang didengar dengan cara memahami instrumentasinya. Jika kita mendengar sebuah alat dawai yang dipetik (seperti celempung atau siter) dalam sebuah ensambel gong, ada kemungkinan bahwa ensambel itu berasal dari Jawa, bukan Bali atau Sumatera. Atau, jika kita mendengar suara alat bilahan logam, ensambelnya kemungkinan besar bukan berasal dari Minangkabau, Kalimantan Timur atau Flores. Istilah instrumentasi mencakup jumlah dan jenis alat musik yang dimainkan dalam suatu ensambel. Misalnya, tiga gong kecil, sebuah rebab, dan beberapa gendang adalah instrumentasi umum untuk ensambel ketuk tilu dari Jawa Barat. Tiga gong kecil, sebuah serunai, dan gendang adalah instrumentasi umum untuk ensambel saronen dari Madura. Jika kita sudah terbiasa mendengar suatu jenis ensambel gong, kita akan mengetahui alat musik yang akan muncul setiap kali kita mendengar ensambel tersebut. VIDEO CD 4.2. Wilayah Suara2 VCD I: track 19 Gong Kebyar, Bali track 20 Gamelan Banjar, Kalimantan Selatan track 38 Talempong Pacik, Minangkabau Ada ensambel gong yang memiliki wilayah suara yang luas, ada juga yang memiliki wilayah suara sempit. Pada musik talempong Minangkabau, misalnya, seluruh instrumennya hanya menggunakan lima nada dalam satu oktaf, dan hanya satu wilayah oktaf yang dipakai. Gong kebyar Bali juga memiliki lima nada dalam satu oktaf, namun wilayah suara meluas hingga mencapai empat oktaf. Rangkaian lima nada tersebut dibagi ke dalam empat kelompok instrumen dengan tingkat oktaf yang berbeda-beda, dari rendah hingga tinggi. Lalu beberapa gong besar memiliki bunyi lebih rendah daripada nada terendah yang terdapat dalam melodi. Karena itu, wilayah suara gong kebyar Bali secara keseluruhan menjadi sangat luas. (Lihat notasi wilayah suara gong kebyar Bali, hal. 48 dan 49.) Adapun gamelan Banjar dari Kalimantan Selatan memiliki wilayah suara yang sedikit lebih luas daripada talempong Minangkabau, namun lebih sempit daripada gong kebyar. VCD 1: track 21 Angklung, Bali track 22 Kulintang, Lampung track 23 Gamelan Degung track 24 Semar Pegulingan, Bali VIDEO CD 4.3. Tangga Nada Kita baru saja membahas nada-nada yang terdapat pada suatu instrumen. Rangkaian nada yang terdapat dalam suatu instrumen dinamakan tangga nada instrumen. Namun beberapa 2 Rentang jarak antara suara tertinggi dan suara terendah. SUARA DAN GAYA 47 alat musik, seperti alat dawai (tanpa fret atau grip—pembatas nada pada papan jari) atau suara manusia, bersifat lentur atau fleksibel, dan mampu menghasilkan tangga nada apa saja yang berada dalam wilayah suara masing-masing. Tidak ada “tangga nada instrumen” pada rebab (dan alat dawai lain tanpa fret) atau suara vokal, karena instrumennya luwes, tidak terbatas pada tangga nada tertentu. Alat musik logam seperti gong dan alat bilahan tidak seluwes itu. Pada umumnya, setiap gong atau bilahan hanya menghasilkan satu nada saja. Jika suara alat musik itu sudah dilaras pada nada tertentu, maka akan sulit diubah. Beberapa gong atau bilahan ada yang dirangkai menjadi seperangkat alat, misalnya saron dan reyong. Tangga nada instrumennya merupakan rangkaian nada-nada yang dihasilkan oleh masing-masing gong atau bilahan. Jika dalam suatu ensambel ada gabungan beberapa rangkaian gong atau bilahan dengan tangga nada yang serupa, ensambel itu bisa dikatakan mempunyai tangga nada tertentu. Akan tetapi, jelas tangga nada pada ensambel itu tidak mudah diubah. Jadi, pada dasarnya suatu ensambel seperti itu hanya memiliki sebuah tangga nada tetap.3 Nada-nada tersebut mungkin akan diulang dalam beberapa tingkatan oktaf dari rendah hingga tinggi. Beberapa kebudayaan di dunia telah mengembangkan tangga nada sendiri yang khas. Musik Barat, misalnya, memiliki suatu tangga nada kromatis yang baku. Tangga nadanya terdiri dari dua belas nada: C C# - D - D# - E - F - F# - G - G# - A - A# - B - C’. Setiap nada mempunyai jarak (“interval”) yang sama dari nada di atas dan di bawahnya. Selain itu, terdapat standar pelarasan sehingga tangga nada pada semua alat musik orkes Barat bisa sama. Nada “A”, misalnya, memiliki tingkatan nada (frekuensi) yang sama atau hampir sama untuk semua ensambel dan alat yang mengikuti tangga nada baku itu. Sebagai contoh, tingkatan nada atau frekuensi standar untuk nada A adalah 440 Hertz (getaran per detik). 3 Di Jawa, gamelan jangkep (lengkap) atau gamelan slendro-pelog sebenarnya merupakan gabungan dari dua perangkat ensambel. Perangkat yang satu dilaras dengan tangga nada slendro dan yang lainnya dilaras dengan tangga nada pelog. 48 GONG Nama Nada Bali dan Pengertian Oktaf Gambar 4.1: Wilayah suara pada beberapa instrument dalam Gong Kebyar Bali, berada dalam empat lapisan oktaf. Dalam musik Bali, ding, dong, deng, dung, dang adalah nama nada, mirip dengan nama nada do re mi fa sol la si dalam musik Barat. Sebuah lagu bisa dinyanyikan dengan menggunakan sistem ini. Kita bisa memakai sistem ini untuk mengerti konsep oktaf. Semua nada dengan nama yang sama—semua ding, semua dong, dan seterusnya—dianggap “sama” oleh orang Bali, dengan perbedaan hanya bahwa ada ding lebih tinggi dan ding lebih rendah, dong lebih tinggi dan dong lebih rendah, dan seterusnya. Perbedaan tinggi-rendah itu untuk nada yang “sama” adalah perbedaan oktaf. Satu oktaf dalam musik Bali ini, kalau mulai dari ding, terdiri dari suara ding dong deng dung dang; kemudian oktaf yang lebih tinggi mulai dengan ding lagi. Antara ding paling bawah (sebelah kiri dalam gambar 4.1) dan ding yang berikut (lima tingkat ke atas) adalah jarak satu oktaf. Antara ding nomor dua itu dan ding nomor tiga, juga jarak satu oktaf. Sama halnya dengan nada-nada lain: antara deng paling bawah dan deng lima tingkat ke atas, satu oktaf, dan seterusnya. SUARA DAN GAYA 49 Gbr. 4.2: Wilayah suara pada beberapa instrumen dalam gong kebyar Bali, dalam notasi balok (o=dong, e=deng, u=dung, a=dang, i=ding) VIDEO CD VCD I, track 25-26 Gendhing Bonang, Jateng Di Jawa, Sunda dan Bali terdapat dua jenis tangga nada khas, yaitu slendro dan pelog. Kebanyakan gamelan dilaras ke dalam salah satu di antaranya, slendro atau pelog. Pada laras slendro, jarak atau interval antara nada yang satu dengan yang lain agak lebar (besar). Adapun pelog memiliki beberapa interval yang agak kecil (sempit) dan beberapa lagi yang agak besar. Biasanya di Indonesia tidak hanya satu standar pelarasan saja yang berlaku. Tangga nada slendro pada satu gamelan bisa sedikit berbeda dari tangga nada slendro pada gamelan lainnya, sekalipun dua-duanya tetap dianggap slendro. Tingkatan nada (frekuensi) gamelan yang satu juga bisa berbeda dari tingkatan nada gamelan lainnya. 50 GONG Gbr. 4.3: Gamelan Banjar, Kalimantan Selatan Beberapa kebudayaan musik lain di Indonesia tidak menggunakan tangga nada baku atau standar seperti slendro dan pelog. Namun, pada kebudayaan musik tersebut pasti terdapat kriteria mengenai tangga nada yang dianggap cocok atau memuaskan. Kriteria itu tidak harus terwujud dalam satu standar baku. Salah satu cara untuk membedakan tangga nada adalah dengan menghitung banyaknya nada yang terdapat di dalamnya. Beberapa ensambel dengan gong memiliki tangga nada yang terdiri atas empat nada. Sementara ensambel lainnya memiliki lima nada, enam nada, atau tujuh nada. Suatu jenis tangga nada yang sering ditemukan di Indonesia (selain tangga nada yang diadopsi dari musik luar, misalnya tangga nada Barat atau tangga nada dari Timur Tengah) adalah jenis tangga nada yang terdiri dari lima nada. Jenis ini disebut pentatonik. Namun, banyak variasi bentuk tangga nada yang bisa diciptakan dengan lima nada. Antara tangga nada yang satu dengan yang lain bisa sangat berbeda. Supaya dapat membedakan dua macam tangga nada pentatonik, tidak cukup hanya menghitung nada saja, melainkan kita juga harus memiliki telinga yang peka! SUARA DAN GAYA 51 Dalam tabel berikut, kita bisa melihat perbandingan dari beberapa contoh tangga nada pentatonik yang berbeda-beda. Masih banyak lagi kemungkinan bentuk tangga nada pentatonik yang bisa dibangun (yang dipakai di suatu kebudayaan maupun yang tidak). Budaya Musik P E N T A T O N I K Tangga Nada Barat/Eropa Kromatis (Nama alternatif)) C C C# Db D D D# Eb E E Bali (Pelog) C Db Sunda (degung) C Batak Toba C D E Jawa Slendro C D E Jawa Pelog Bem C D Jawa Pelog Barang C F# Gb Eb Eb Db F F G G G# Ab G Ab F Ab F A# Bb B B Bb G G Eb G F A A Gb A Ab Ab Dalam tabel di atas, nada (pitch) yang tercantum dalam tangga nada pentatonik tidak persis sama dengan nada dalam tangga nada Barat. Pencantuman nada di sini hanya sebagai gambaran yang relatif dekat dengan nada yang dimaksud. Nada “A B C” dan seterusnya dipakai sebagai gambaran, kurang lebih mirip dengan nada yang dibicarakan. Semua tangga nada pentatonik yang tertera di sini dimulai pada nada yang sama (C), supaya perbedaan struktur kelihatan. 52 GONG Nomor untuk nada Dalam buku ini kadang-kadang kami menandai nada atau tingkatan dalam sebuah tangga nada dengan angka. Misalnya, tangga nada slendro Jawa kami tulis 1 2 3 5 6. Sistem ini, tanpa 4 atau 7, disebut “notasi Kepatihan,” dan sekarang sudah umum dalam penulisan gendhing Jawa. Ada alasan teknis/teoritis mengapa 4 dan 7 tidak muncul dalam notasi slendro, walaupun muncul dalam notasi pelog (untuk gendhing-gendhing tertentu). . 1 2 3 5 6 1 Alat bilahan dengan tangga nada slendro 1 2 3 4 5 7 Alat bilahan dengan tangga nada pelog Dari segi logika, tangga nada slendro juga bisa diberi angka lain, misalnya sesuai dengan urutan bilahan dari kiri: . 1 2 3 4 5 1 Ataupun dari kanan . 1 5 4 3 2 1 Ada cara lain lagi: penomoran bisa mulai dari nada terpenting dalam satu lagu. Misalnya, kalau satu lagu mulai dari bilahan nomor dua dari kiri, dan sering kembali ke nada itu, dan berhenti pula pada nada itu, mungkin kita akan menganggap nada itu sebagai nomor 1: . 5 1 2 3 4 5 Jelaslah bahwa banyak sistem penomoran bisa diterapkan. Ini berarti bahwa kalau kita ingin melagukan sebuah notasi dengan angka, kita harus tahu dulu sistem mana yang diterapkan. Karena itu, dalam buku ini selalu diterangkan arti angka dalam notasi. Bisa diartikan dengan dibandingkan dengan tangga nada Barat (misalnya, 1 = D, 2 = E, dan seterusnya), atau dengan dibandingkan dengan struktur do-re-mi (misalnya, 1 = do, 2 = re, dan seterusnya).