ketahanan amida da efektivitasnya me asam lemak

advertisement
KETAHANAN AMIDA DALAM SISTEM RUMEN DAN
EFEKTIVITASNYA MEMODIFIKASI KOMPOSISI
ASAM LEMAK PADA TIKUS SEBAGAI
HEWAN MODEL PASCARUMEN
SITTI WAJIZAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ketahanan Amida dalam
Sistem Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak pada
Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sitti Wajizah
D061040031
ABSTRACT
SITTI WAJIZAH. Resistance of Amide in Ruminal System and Its
Effectiveness in Modifying Fatty Acid Composition in Rat as Post Ruminal
Model. Under supervision of KOMANG G. WIRYAWAN, WASMEN
MANALU, and DWI SETYANINGSIH.
Dietary n-3 polyunsaturated fatty acids (PUFA n-3), such as fish oil in
ruminant potentially decrease cholesterol concentration in meat. Due to extensive
lipolysis and hydrogenation of
n-3 PUFA by rumen microorganism, n-3
PUFA was reacted with butylamine to produce fish oil amides that resist
microbial breakdown in the rumen. Three in vitro trials were conducted to
determine whether fish oil amides were degraded and hydrogenated by ruminal
organism. The treatments consisted of ground corn hay supplemented with either
no lipid, fish oil, combination of fish oil and amide, and amide alone. After 24
hours incubation, the degradation of amide was lower for 10% supplementation
than for 5% supplementation (13% and 30% respectively). Fish oil amides had no
effect on VFA, acetat:propionate, NH3, microbial protein, and gas production.
Relative to control, fish oil amide significantly reduced the degradabilities of dry
and organic matters, and protozoa population in cultures. In in vivo experiment,
fish oil amide was added to rat diets as post ruminal model. This experiment was
conducted to study the effectiveness of fish oil amide in decreasing plasma
cholesterol and triglyceride concentrations, increasing PUFA in rat muscle and its
effect on blood hematological status. Thirty five male Sprague Dawley rats of 7
weeks old were randomly divided into 5 (five) treatment groups. Control group
(A) was fed with semi-purified diet containing of 8% corn oil. Treatment groups
were supplemented with 4.5% fish oil (B), 3% fish oil+1.5% fish oil amide (C),
1,5% fish oil+3% fish oil amide (D), and 4.5% fish oil amide (E), respectively.
The result showed that fish oil amide supplementation could maintain the number
of erythrocytes and hemoglobin, while hematocrit value began to decrease with
3% amide supplementation compared to fish oil supplementation (B) and 1.5%
amide supplementation (C). The number of leucocytes in group with 4.5% amide
supplementation significantly increased (P<0,05) compared to the group
supplementing fish oil (B). Fish oil amide supplementation had no effect on
plasma cholesterol and HDL concentrations, but began markedly increased
(P<0,05) plasma triglyceride, LDL concentrations, and muscle cholesterol at 3%
amide supplementation. There was no enriched levels of n-3 PUFA in rat muscle
with amide supplementation. It was concluded that 3% amide supplementation
gave negative impact on hematological status, plasma lipid profile, mucle and
adipose tissue.
Keywords: amide, fish oil, rumen, biohydrogenation, lipid profile
RINGKASAN
SITTI WAJIZAH. D061040031. Ketahanan Amida dalam Sistem Rumen
dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak pada Tikus
Sebagai Hewan Model Pascarumen. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Komang G.
Wiryawan, Prof. Wasmen Manalu, PhD, dan Dr. Dwi Setyaningsih, M.Si.
Pemberian pakan tinggi asam α-linolenat dan khususnya asam lemak
dengan rantai yang lebih panjang, yaitu EPA dan DHA, dapat memperbaiki
kandungan asam lemak tak jenuh rantai ganda atau polyunsaturated fatty acids
(PUFA) n-3 dalam jaringan daging domba untuk memenuhi standar kesehatan
yang optimal bagi diet manusia. Pada ruminansia, diet asam lemak mengalami
biohidrogenasi yang ekstensif oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan
didominasi oleh asam lemak jenuh yang mengarah pada pembentukan lipoprotein
berdensitas sangat rendah atau very-low-density lipoprotein (VLDL).
Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan melindungi
asam lemak, terutama PUFA n-3 dalam bentuk amida. Penelitian ini dimulai dari
tahap pembuatan amida minyak ikan, uji ketahanan dalam sistem rumen, dan
efektivitasnya dalam mengubah profil lemak pada hewan model. Identifikasi
gugus amida yang terbentuk dilakukan dengan spektroskopi inframerah,
sedangkan GC-MS digunakan untuk mengetahui kadar senyawa amida yang
terbentuk.
Pengujian dalam sistem rumen secara in vitro memperlihatkan bahwa
senyawa amida tetap terdeteksi dalam kultur setelah inkubasi selama 24 jam,
dengan tingkat degradasi masing-masing 30% untuk pemberian 5% dan 13%
untuk pemberian amida sebesar 10%. Namun kondisi ini belum mampu
memperbaiki kecernaan substrat dalam kultur. Kondisi lingkungan rumen, seperti
pH, produksi gas, VFA, NH3 dan protein mikrob, masih dapat dipertahankan pada
kisaran normal, dan tidak berbeda dari kontrol. Namun jumlah protozoa mulai
menurun, kemungkinan karena mengalami lisis akibat pemberian amida. Pada
pengujian ini, amida belum mampu mengatasi gangguan fermentasi akibat
pemberian lemak, terutama asam-asam lemak tak jenuh. Hal ini ditandai dengan
rendahnya degradasi bahan kering dan bahan organik dibandingkan dengan
kontrol yang tidak mendapat sumber lemak.
Percobaan pada tikus sebagai hewan model pascarumen menunjukkan
bahwa amida tidak dapat memasok EPA dan DHA dalam saluran pencernaan
yang ditunjukkan oleh kecilnya proporsi EPA dan DHA dalam jaringan otot
dibandingkan dengan pemberian minyak ikan. Tampaknya proses amidasi
memutuskan ikatan rangkap pada minyak sehingga jumlahnya berkurang, dan
sebagian mengalami penjenuhan. Hal ini terlihat dari kenaikan trigliserida dan
LDL plasma, serta kolesterol jaringan otot pada pemberian amida. Hal ini tidak
terlihat pada pemberian minyak ikan, karena EPA dan DHA bersifat menurunkan
sintesis kolesterol dalam hati, serta menekan produksi lipoprotein endogen,
meningkatkan eliminasi lipoprotein, atau meningkatkan aktivitas lipoprotein
lipase.
Pemberian amida menurunkan konsumsi dan kecernaaan bahan kering, serta
kecernaan lemak. Hal ini mengakibatkan turunnya pertambahan bobot badan
harian. Penurunan konsumsi bahan kering dapat disebabkan oleh faktor fisiologis
atau palatabilitas, karena bau amida yang agak menyengat. Suplementasi amida
tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi kolesterol total dan HDL, tetapi mulai
meningkatkan konsentrasi trigliserida, LDL, kolesterol daging pada pemberian
3% dalam ransum.
Meskipun masih berada dalam kisaran normal, suplementasi 3% amida
dalam ransum mulai memperlihatkan peningkatan jumlah leukosit, yang diikuti
dengan menurunnya kadar Hb darah.
Kata kunci: amida, minyak ikan, rumen, biohidrogenasi, profil lipid
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KETAHANAN AMIDA DALAM SISTEM RUMEN DAN
EFEKTIVITASNYA MEMODIFIKASI KOMPOSISI
ASAM LEMAK PADA TIKUS SEBAGAI
HEWAN MODEL PASCARUMEN
SITTI WAJIZAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dwi Apri Astuti, M.S.
Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
:
Nama
NRP
:
:
Ketahanan Amida dalam Sistem Rumen dan
Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak
pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen
Sitti Wajizah
D061040031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komang G Wiryawan
Ketua
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si.
Anggota
Prof. Wasmen Manalu, PhD.
Anggota
Diketahui
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 31 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
kesehatan dan kekuatan sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan
penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang mulai
dilaksanakan sejak tahun 2009 ini ialah perlindungan PUFA n-3 dalam sistem
rumen. Penelitian ini berjudul Ketahanan Amida Minyak Ikan dalam Sistem
Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Lemak pada Tikus sebagai
Hewan Model Pascarumen.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan
kepada Bapak Prof. Dr. Komang G. Wiryawan, Prof. Wasmen Manalu, PhD, dan
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberi
arahan serta bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga
penyusunan disertasi ini. Rasa terima kasih yang dalam juga penulis sampaikan
kepada ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS. M.Sc selaku Ketua Program Studi
Ilmu Nutrisi beserta para staf yang telah sekuat tenaga membantu penyelesaian
studi penulis di saat-saat terakhir ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti beserta
jajarannya, Rektor Unsyiah beserta jajarannya, Rektor IPB beserta jajarannya,
Pemerintah Provinsi Aceh yang telah mendukung penulis dengan beasiswa NAD,
Toyota Astra yang telah memberikan bantuan dana untuk membantu penyelesaian
studi, serta seluruh instansi dan perseorangan yang telah menyediakan fasilitas
dan bantuan bagi penulis, mulai dari masa kuliah hingga selesainya disertasi ini.
Kepada ayahanda dan ibunda tercinta penulis menghaturkan terima kasih
yang tulus atas doa yang tak pernah putus, kasih sayang yang tak pernah pupus,
dan dorongan semangat yang membuat penulis kembali bangkit. Kepada adikadikku terima kasih atas segala pengertian dan kasih sayang. Kepada suamiku
terkasih, terima kasih atas segala kesabaran dalam penantian yang panjang,
semoga kita dapat membangun harapan bersama ke depan.
Terima kasih kepada sahabat-sahabat setiaku Dr. drh. Nurliana, M.Si, dan
Dr. drh. Ummu Balqis, M. Si, serta adik-adikku di Radar 6 yang telah mendukung
penulis dalam penyelesaian studi ini. Kepada teman-teman pascasarjana PTK
yang senasib seperjuangan terima kasih atas segala kebersamaan, bantuan, dan
dukungan semangat yang senantiasa ada terutama di masa-masa sulit ini. Semoga
persahabatan kita tetap indah.
Disertasi ini masih penuh kekurangan, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan untuk menjadikan karya ini bermanfaat. Semoga Allah SWT
meridhai. Amiin
Bogor, Januari 2012
Sitti Wajizah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 28 Pebruari 1969 dari Bapak
Amiruddin Abdul Wahab dan Ibu Sitti Halimah Hamzah. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Banda Aceh dan pada tahun
yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK, dan lulus pada tahun
1992. Pada tahun 1996 penulis menjalani program magister (S-2) pada Sekolah
Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Ternak dan lulus pada tahun 1999.
Selanjutnya di tempat yang sama, pada tahun 2004 penulis menempuh program
pendidikan doktoral (S-3).
Sebuah artikel berjudul Profil Lemak Plasma dan Nilai Hematologi Tikus
Sprague Dawley dengan Suplementasi Amida Minyak Ikan telah disetujui untuk
diterbitkan pada Jurnal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala edisi
2012.
Penulis merupakan staf pengajar Jurusan Peternakan Universitas Syiah
Kuala sejak tahun 1993 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
xv
PENDAHULUAN……………………………………………………………
1
Latar Belakang……………………………………………………….
1
Tujuan Penelitian……………………………………………………..
3
Manfaat Penelitian……………………………………………………
3
Hipotesis Penelitian…………………………………………………..
3
TINJAUAN PUSTAKA
Suplementasi Lemak dalam Pakan Ruminansia……………………...
5
Metabolisme Lemak dalam Rumen…………………………………..
9
Tipe Lemak dan Kolesterol…………………………………………..
13
Minyak Ikan dan Peranannya………………………………………...
15
Perlindungan Asam Lemak dalam Rumen…………………………...
19
MATERI DAN METODE
Sintesis Amida Minyak Ikan…………………………………………
23
Metode Analisis Minyak Ikan dan Amida Minyak Ikan…………….
23
Uji Ketahanan Minyak Ikan secara In Vitro………………………….
26
Metode Analisis In Vitro……………………………………………..
27
Efektivitas Suplementasi Amida Minyak Ikan pada Tikus
sebagai Hewan Model Pascarumen………………………………….
30
Pengambilan Data dan Sampel ……………………………………..
31
Metode Analisis In Vivo……………………………………………..
32
Analisis Data…………………………………………………………
36
x
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produk Amida Minyak Ikan…………………………………………
37
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro………………….
41
Uji Efektivitas Amida Pascarumen…………………………………..
51
Pembahasan Umum…………………………………………………..
64
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………
69
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
71
LAMPIRAN…………………………………………………………………
79
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Asam lemak utama dalam diet……………………………………….
5
2
Asam lemak komponen lemak depo ternak (%)……………………
7
3
Komposisi lemak berbagai jenis ternak (%)…………………………
14
4
Tempat sintesa dan pengaruh prostaglandin
terhadap agregasi platelet……………………………………………..
17
5
Kandungan PUFA n-3 pada beberapa jenis ikan (%)…………………
18
6
Komposisi minyak ikan dan minyak jagung (%)……………………
30
7
Susunan ransum percobaan in vivo……………………………………
31
8
Karakteristik minyak ikan untuk amidasi……………………………..
37
9
Karakteristik amida minyak ikan……………………………………...
38
10
Komposisi kimia utama hasil amidasi minyak ikan…………………..
39
11
Rataan pH cairan rumen in vitro pada perlakuan penambahan
minyak ikan dan amida minyak ikan…………………………………
42
Rataan populasi protozoa/ml sampel rumen secara in vitro pada
perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan………...
43
Rataan N-NH3, VFA total, produksi gas, dan protein mikrob secara
in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida
minyak ikan………...............................................................................
44
Rataan VFA parsial (mM) secara in vitro pada perlakuan
penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
45
Rataan DBO(%) dan DBK (%) secara in vitro pada perlakuan
penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
48
Senyawa amida (%) pada kultur in vitro pada perlakuan
penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
50
Nilai rata-rata hematologi darah tikus pada perlakuan suplementasi
minyak ikan dan amida minyak ikan………………………………….
52
12
13
14
15
16
17
xii
18
19
Rataan konsentrasi lemak plasma dan daging tikus pada perlakuan
suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
54
Rataan bobot akhir, PBBH, konsumsi nutrient, kecernaan nutrient,
konversi pakan, dan kadar lemak daging tikus pada perlakuan
suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
62
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Lipolisis dan biohidrogenasi ………………………………………….
10
2
Fraksi lipida dalam duodenum ruminansia……………………………
11
3
Sintesis asam lemak jenuh dan asanm lemak tak jenuh tunggal
oleh mikrob……………………………………………………………
12
Jalur metabolisme asam lemak esensial dari prekursor
n-3 dan n-5 ……………………………………………………………
16
5
Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina………………….
38
6
Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea ………………………..
40
7
Spektra IR hasil reaksi ester minyak ikan dan urea ………………….
40
8
Spektra IR minyak ikan…………………………………….................
41
9
Kandungan asam lemak jaringan otot tikus pada perlakuan
suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
61
4
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 0 jam ……….
81
2
Analisis sidik ragam dan uji BNTpopulasi protozoa pada
inkubasi 12 jam………………………………………………………
81
3
Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 24 jam………
81
4
Analisis sidik ragam produksi gas……………………………………
82
5
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 0 jam…………………..
82
6
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 24 jam…………………
82
7
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 48 jam…………………
82
8
Analisis sidik ragam konsentrasi N-NH3…………………………….
83
9
Analisis sidik ragam konsentrasi VFA total…………………………
83
10
Analisis sidik ragam konsentrasi asetat………………………………
83
11
Analisis sidik ragam konsentrasi propionat…………………………
83
12
Analisis sidik ragam konsentrasi isobutirat………………………….
83
13
Analisis sidik ragam konsentrasi n-butirat…………………………..
84
14
Analisis sidik ragam konsentrasi isovalerat………………………….
84
15
Analisis sidik ragam rasio A:P………………………………………
84
16
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 0 jam………………………………………………….
84
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 24 jam…………………………………………………
85
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 48 jam…………………………………………………
85
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering
pada inkubasi 0 jam………………………………………………….
86
17
18
19
xv
20
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering
pada inkubasi 24 jam…………………………………………………
86
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering
pada inkubasi 48 jam…………………………………………………
87
22
Analisis sidik ragam protein mikrob…………………………………
87
23
Analisis sidik peragam dan uji BNT PBBH…………………………
88
24
Analisis sidik peragam eritrosit………………………………………
88
25
Analisis sidik peragam nilai hematokrit……………………………..
89
26
Analisis sidik peragam kadar hemoglobin
89
27
Analisis sidik peragam dan uji BNT jumlah leukosit………………..
90
28
Analisis sidik peragam jumlah neutrofil
90
29
Analisis sidik peragam jumlah jumlah limfosit………………………
91
30
Analisis sidik peragam jumlah monosit……………………………...
91
31
Analisis sidik peragam jumlah eosinofil…………………………….
91
32
Analisis sidik peragam konsentrasi kolesterol plasma……………….
92
33
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi trigliserida plasma..
92
34
Analisis sidik peragam konsentrasi HDL plasma……………………
93
35
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi LDL plasma………
93
36
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi kolesterol daging…
94
37
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan lemak daging……...
95
38
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam laurat………..
96
39
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam miristat…….
97
40
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitat……
98
41
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitoleat….
99
42
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam stearat……….
100
21
xvi
43
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam oleat………… 101
44
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linoleat……...
102
45
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linolenat…….
103
46
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam arakidonat…... 104
47
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan EPA……………….
105
48
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan DHA………………
106
49
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi bahan kering………..
106
50
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan bahan kering……….
107
51
Analisis sidik peragam konsumsi protein……………………………. 107
52
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan protein……………..
108
53
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi lemak……………….
108
54
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan lemak………………
109
xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan salah satu sumber daging yang paling banyak
dikonsumsi di dunia. Produksi daging domba terus meningkat karena memiliki
nilai ekonomis yang tinggi, dan sangat efisien dalam mengubah hijauan yang
berkualitas rendah menjadi daging yang berkualitas tinggi. Karakteristik daging
domba didominasi oleh kandungan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids
(SFA) yang tinggi, dan memiliki rasio asam lemak tak jenuh ganda atau
polyunsaturated fatty acids (PUFA) : SFA yang rendah (Cooper et al. 2004).
Berdasarkan hal tersebut maka Lee et al. (2004) menyatakan bahwa
konsumsi daging merah termasuk daging domba berisiko pada kesehatan, karena
tingginya kandungan SFA (40-50%) dan rendahnya kandungan PUFA. Konsumsi
SFA yang tinggi merupakan salah satu faktor pemicu berkembangnya beberapa
jenis kanker, penyakit jantung koroner atau coronary heart disease (CHD),
diabetes, dan obesitas. Asam lemak jenuh, terutama C14:0 dan C16:0, yang
berlebihan mengakibatkan otot rentan terhadap resistensi insulin sehingga timbul
hiperinsulinemia, atau meningkatkan produksi trigliserida dan kolesterol oleh hati
yang meningkatkan faktor risiko aterosklerosis kronis (Moibi & Christopherson
2001).
Manipulasi nutrisi merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan
komposisi lemak daging yang lebih sehat.
Pakan ternak berbasis hijauan
menghasilkan daging dengan sedikit lemak intramuskular dan kandungan PUFA
yang lebih tinggi dibandingkan pakan ternak berbasis konsentrat. Aktivasi enzim
∆-desaturase juga dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh tunggal
atau monounsaturated fatty acids (MUFA), yang berperan menurunkan penyakit
metabolis pada manusia. Pemberian asam linoleat dan asam α-linolenat juga akan
meningkatkan kandungan asam linoleat terkonjugasi atau conjugated linoleic
acids (CLA), yang mempunyai aktivitas antikarsinogenik (Hausman et al. 2009).
Ponnampalan et al. (2002) melaporkan bahwa sejak pertengahan 1990-an,
peran tipe lemak diet dalam mempertahankan kesehatan manusia terfokus pada
PUFA n-3 dalam diet. Salah satu sumber PUFA n-3 yang potensial adalah minyak
2
ikan laut yang mengandung asam eikosapentanoat (EPA; 20:5) dan asam
dokosaheksanoat (DHA; 22:6). Kecukupan EPA dan DHA dapat mencegah
terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung pada manusia dewasa. Minyak ikan
mengandung PUFA n-3, seperti EPA dan DHA, dalam jumlah yang berlimpah,
tetapi jarang terdapat pada lemak hewan (Irie & Sakimoto 1992).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian pakan tinggi asam αlinolenat, khususnya asam lemak dengan rantai yang lebih panjang, yaitu EPA
dan DHA, dapat memperbaiki kandungan PUFA n-3 dalam jaringan daging
domba untuk memenuhi standar kesehatan yang optimal bagi diet manusia.
Namun demikian, pada ruminansia, diet asam lemak mengalami hidrogenasi yang
ekstensif oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan didominasi oleh asam
lemak jenuh yang mengarah pada pembentukan lipoprotein berdensitas sangat
rendah atau very-low-density lipoprotein (VLDL). Trans-asam lemak tak jenuh
tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA) dan SFA yang merupakan
bagian dari VLDL selanjutnya tergabung ke dalam lemak otot, yang berimplikasi
pada rendahnya rasio PUFA : SFA pada daging domba (Jenkins 1993; Cooper et
al. 2004).
Gulati et al. (1999) melaporkan bahwa meskipun pada beberapa penelitian
didapatkan bahwa EPA dan DHA hanya mengalami modifikasi sebagian oleh
mikroorganisme rumen secara in vitro, hidrogenasi ruminal yang ekstensif terjadi
pada asam-asam lemak tersebut secara in vivo. Selain itu, pakan yang
mengandung PUFA memiliki beberapa pengaruh inter-relasi (baik positif maupun
negatif) terhadap metabolisme rumen yang mempengaruhi pola fermentasi,
jumlah protozoa, kecernaan pakan, efisiensi pertumbuhan mikrob, serta situs dan
kinetika pencernaan (Chikunya et al. 2004).
Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan pemberian
minyak yang tinggi asam lemak tidak jenuh yang dilapisi dengan suatu material
yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroorganisme rumen, tetapi dapat dicerna
dalam usus halus (Ekeren et al.1992). Penggunaan formaldehida dan mineral
terutama Ca sudah banyak digunakan, meskipun hasilnya belum konsisten.
Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam melindungi asam lemak, terutama
PUFA n-3, adalah dalam bentuk amida. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan
3
bahwa meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat
bertahan dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat.
Namun demikian, perlindungan dalam bentuk amida dari EPA dan DHA dalam
minyak ikan masih jarang dilakukan.
Berdasarkan pernyataan di atas, perlu dikaji pengaruh amida minyak ikan
pada pola fermentasi rumen, dan efektivitasnya dalam meningkatkan aliran EPA
dan DHA pascarumen, memperbaiki profil asam lemak plasma, dan deposisinya
dalam jaringan otot tikus sebagai hewan model pascarumen. Penggunaan tikus
didasarkan asumsi bahwa pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan dengan
pencernaan monogastrik pada nonruminan.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pembuatan amida minyak ikan.
2. Mengevaluasi ketahanan amida minyak ikan dalam rumen secara in
vitro.
3. Mengevaluasi
efektivitas
amida
minyak
ikan
pascarumen
menggunakan hewan model tikus.
Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan teknologi pembuatan amida minyak ikan.
2. Menentukan kemampuan melindungi PUFA n-3 dari degradasi sistem
rumen.
3. Menentukan profil lemak pada tikus sebagai hewan model.
Hipotesis Penelitian
1. Amida minyak ikan dapat melindungi PUFA n-3 dari biohidrogenasi
dalam rumen untuk pencernaan pascarumen.
2. Pemberian amida minyak ikan dapat meningkatkan kandungan PUFA
n-3 dalam jaringan otot tikus.
3. Pemberian amida minyak ikan dapat memperbaiki profil lemak plasma
tikus.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Suplementasi Lemak dalam Pakan Ruminansia
Lipid adalah suatu substansi yang tidak larut air, tetapi larut dalam pelarut
organik (eter, kloroform, heksan, dll). Lipid dalam bahan pakan biasanya dalam
bentuk trigliserida yang terutama ditemukan dalam biji-bijian sereal, biji-bijian
penghasil minyak, dan lemak hewan. Selain itu, lipid dalam bahan pakan juga
terdapat dalam bentuk glikolipida yang terutama ditemukan dalam hijauan
rumput-rumputan dan leguminosa, dan sejumlah kecil terdapat dalam bentuk
fosfolipid (Wattiaux & Grummer 2006).
Ginsberg dan Karmally (2000) membagi asam lemak dalam diet menjadi 3
kelompok utama, yaitu asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA), asam
lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA), dan asam
lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA). Perbandingan
berdasarkan bobot antara PUFA dan SFA dikenal dengan rasio PUFA : SFA.
Asam lemak utama yang terdapat dalam triasilgliserol diet (lemak dan minyak)
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Asam lemak utama dalam diet
Kelompok asam lemak
Nama asam lemak
Asam lemak jenuh
Asam laurat (12:0)
Asam miristat (14:0)
Asam palmitat (16:0)
Asam stearat (18:0)
Asam lemak tak jenuh
Asam oleat (18:1n-6)
trans-16:1n-9 dan trans-18:1n-9
Omega 6
Asam linoleat (18:2n-6)
Omega 3
Asam α-linoleat (18:3n-3)
Asam eikosapentanoat (20:5n-3)
Asam dokosaheksanoat (22:6n-3)
Sumber: Ginsberg & Karmally (2000)
6
Lazimnya, pakan ternak produksi mengandung sedikit atau tanpa
penambahan lemak. Sumber asam lemak satu-satunya terdapat secara alami dalam
bahan pakan. Penggunaan lemak terutama terbatas pada pakan unggas dan
pengganti susu pada ruminansia muda. Namun demikian, akhir- akhir ini terjadi
perkembangan yang pesat dalam penambahan lemak pada pakan ternak produksi.
Pemberian lemak biasanya dimaksudkan untuk meningkatkan kepadatan energi
dalam pakan, di samping memiliki keuntungan lain, seperti meningkatkan
penyerapan nutrien larut lemak dan mengurangi debu pada pakan (Palmquist
1988).
Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang pengaruh asam lemak
tertentu pada kandungan lemak darah, dikeluarkanlah rekomendasi internasional
menyangkut jumlah dan komposisi lemak diet yang dikonsumsi. Lemak hewan
ternyata tidak direkomendasikan karena terlalu banyak mengandung SFA dan
terlalu sedikit PUFA. Di samping itu, pentingnya PUFA n-3 telah lama diketahui
sehingga rasio n-3: n-6 menjadi penting. Usaha untuk mendapatkan pangan asal
hewan yang lebih sehat bertujuan untuk mengubah pola asam lemak produk, agar
sedapat mungkin sesuai dengan rekomendasi kesehatan (Leibetseder 1997).
Ponnampalan et al. (2001) menambahkan bahwa tipe lemak pada pakan
ternak domestikasi dapat mempengaruhi komposisi asam lemak total dan lemak
netral pada jaringan otot. Asam lemak jenuh bila diberikan melebihi kebutuhan
akan dideposit pada jaringan lemak sebagai trigliserida cadangan, sedangkan
PUFA terutama n-3 sebagian besar dideposit dalam fosfolipid struktural.
Mayoritas lipid sel terdiri atas fosfolipid dan kolesterol, yang memainkan peranan
penting
dalam
menentukan
struktur
lipoprotein
plasma,
juga
sangat
mempengaruhi fungsi protein membran seperti aktivitas insulin pada jaringan
lemak otot.
Komposisi asam lemak pada domba dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
kastrasi, dan pakan. Ternak yang gemuk biasanya berumur tua, sehingga pengaruh
umur pada komposisi asam lemak menjadi relevan. Domba yang berumur di atas
satu tahun kandungan lemaknya menjadi lebih keras, dengan peningkatan
kandungan asam stearat dan penurunan kandungan asam oleat. Komposisi asam
lemak pada domba betina dan domba jantan kastrasi hanya sedikit berbeda,
7
namun terdapat perbedaan yang besar antara komposisi asam lemak subkutan
pada domba jantan dan domba jantan kastrasi. Perbedaan ini disebabkan domba
betina dan domba jantan kastrasi lebih gemuk daripada domba jantan pada umur
yang sama. Pengaruh penambahan lemak pada pakan relatif kecil dalam
mempengaruhi komposisi lemak karena asam lemak segera terhidrogenasi dalam
rumen, kecuali bila diberikan dalam bentuk terproteksi. Komponen pakan selain
lemak mempunyai pengaruh yang besar pada jenis asam lemak dalam depot
lemak, dalam kaitannya dengan sintesis asam lemak de nuvo (Enser 1991).
Komposisi asam lemak depo dari beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 2
berikut ini.
Tabel 2 Asam lemak komponen lemak depo ternak (%)
Komposisi asam lemak
Hewan
12:0
14:0
16:0
18:0
20:0
16:1
18:1
18:2
18:3
20:1
Sapi
-
6.3
27.4
14.1
-
-
49.6
2.5
-
-
Babi
-
1.8
21.8
8.9
0.8
4.2
53.4
6.6
0.8
0.8
Domba
-
4.6
24.6
30.5
-
-
36.0
4.3
-
-
Kambing
3.5
2.1
25.5
28.1
2.4
-
38.4
-
-
-
Kuda
0.4
4.5
25.9
4.7
0.2
6.8
33.7
5.2
16.3
2.3
Ayam
1.9
2.5
36.0
2.4
-
8.2
48.2
0.8
-
-
Kalkun
0.1
0.8
20.0
6.4
1.3
6.2
38.4
23.7
1.6
-
Sumber: deMan (1997).
Suplementasi lemak merupakan alternatif yang relatif murah dalam
formulasi pakan ternak pedaging, dan penggunaannya dapat memodifikasi
komposisi asam lemak daging. Namun, pemberian lemak dalam ransum
ruminansia terbatas sampai tingkat yang relatif rendah untuk mencegah timbulnya
masalah pada fermentasi rumen. Pemberian lemak dapat menurunkan pencernaan
serat karena menghambat fermentasi mikrob yang terjadi dalam rumen.
Penurunan kecernaan serat lebih parah pada pemberian sumber lemak yang tak
jenuh dibandingkan sumber lemak jenuh. Kandungan lemak dalam ransum
ruminansia berkisar antara 4-5%, sementara pada tingkat yang lebih tinggi
berpengaruh negatif pada fermentasi mikrob dalam rumen. Rekomendasi yang
8
umum untuk kandungan lemak dalam ransum tidak melebihi 6-7% dari bahan
kering ransum (Jenkins 1998; Bauman et al. 2003).
Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu
fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi
dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat
menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan
kecernaan berbarengan dengan turunnya produksi metan, hidrogen, dan VFA,
serta turunnya rasio asetat:propionat. Metabolisme protein dalam rumen juga
mengalami perubahan dengan terganggunya fermentasi rumen akibat penambahan
lemak. Penurunan kecernaan protein dalam rumen berbarengan dengan turunnya
konsentrasi amonia, dan meningkatnya aliran N ke dalam duodenum (Jenkins
1993).
Sintesis asam lemak de novo dipengaruhi oleh densitas energi pakan.
Pakan hijauan mempunyai densitas yang rendah, sehingga membatasi deposisi
lemak. Penambahan konsentrat biji-bijian yang kaya pati pada hijauan akan
meningkatkan densitas energi. Pati akan difermentasi dalam rumen menjadi asam
lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA), terutama asam asetat dan asam
propionat yang segera diserap dan digunakan sebagai substrat dalam sintesis asam
lemak (Enser 1991)
Penambahan lemak dalam ransum ruminansia juga dapat mengakibatkan
turunnya kecernaan asam lemak, yang umumnya berhubungan dengan sifat dari
komposisi asam lemak itu sendiri. Pada kondisi tertentu, kecernaan SFA dapat
lebih rendah dibandingkan kecernaan PUFA. Bilangan Iod atau Iodine Value (IV)
50 atau lebih berpengaruh kecil pada kecernaan asam lemak. Namun demikian,
kecernaan menurun bila IV menurun di bawah 50, terutama bila IV jatuh dari nilai
27 menjadi 11. Pada asupan asam lemak yang rendah, kecernaan asam lemak
sejati masing-masing mencapai 89% untuk lemak dengan IV>40 dan 74% untuk
lemak dengan IV<40. Namun demikian, kecernaan asam lemak semakin menurun
dengan meningkatnya asupan asam lemak dengan IV>40 (Jenkins 1998).
Komposisi lemak daging mencerminkan metabolisme lipid ransum dalam
rumen.
Jaringan
tubuh
ruminansia
tidak
mensintesis
PUFA,
sehingga
konsentrasinya dalam jaringan tubuh bergantung pada jumlah yang keluar dari
9
rumen. Untuk mendapatkan produk daging yang lebih sehat, terutama dengan
peningkatan PUFA dan mendapatkan rasio n-3:n-6 yang lebih baik, dilakukan
penambahan sumber PUFA n-3 dalam pakan ternak, terutama yang berasal dari
minyak ikan. Minyak ikan mengandung dua jenis asam lemak rantai panjang atau
long chain fatty acids (LCFA), yaitu EPA dan DHA yang biasanya diberikan
dalam bentuk lemak terlindungi (Chilliard et al. 2000; Bauman et al. 2003).
Metabolisme Lemak dalam Rumen
Demeyer dan Doreau (1999) menjelaskan bahwa hidrolisis merupakan
langkah pertama metabolisme lipid dalam rumen. Triasilgliserol, fosfolipid, dan
galaktosil lipid dalam pakan hijauan dan konsentrat segera mengalami hidrolisis
dalam rumen oleh lipase ekstraselular yang dihasilkan oleh sejumlah kecil bakteri.
Beberapa aktivitas kemungkinan berhubungan dengan fraksi protozoa.
Produk
akhir yang dihasilkan berupa asam lemak bebas, selain itu juga gliserol dan
galaktosa yang diubah menjadi VFA. Tingkat hidrolisis sangat tinggi terutama
pada lemak yang tidak terproteksi mencapai 85-95%, persentase hidrolisis lebih
tinggi pada pakan kaya lemak dibandingkan dengan pakan konvensional, dimana
sebagian besar lemak terdapat dalam struktur sel (Tamminga & Doreau 1991).
Hidrogenasi terjadi oleh berbagai jenis bakteri, dimulai dengan isomerisasi
oleh enzim bakteri (Gambar 1). Asam linolenat (C18:3 n-3) umumnya mengalami
hidrogenasi sempurna menjadi asam stearat (C18:0). Sebaliknya hidrogenasi asam
linoleat (C18:2
n-6) berlangsung tidak sempurna. Hidrogenasi menghasilkan
asam stearat dan asam trans-vaksenat (C18:1 n-7), menunjukkan tingkat
hidrogenasi yang tinggi terhadap asam linoleat dan asam linolenat. Rata-rata
hanya kurang dari 10% asam linoleat dan kurang dari 5% asam linolenat yang
terbebas dari hidrogenasi. Tingkat hidrogenasi asam trans-vaksenat menjadi asam
stearat bergantung pada kondisi rumen. Hidrogenasi menjadi asam stearat dipacu
oleh adanya cairan rumen bebas sel dan partikel pakan, tetapi dihambat oleh asam
linoleat dalam jumlah besar (Tamminga & Doreau 1991; Jenkins 1993)
10
Lipolisis dan biohidrogenasi
Lemak pakan teresterifikasi
lipase
galaktosidase
fosfolipase
FFA tak jenuh
(Cth: cis-9, cis-12, C18:2)
isomerase
cis-9, trans-11 C18:2
reduktase
trans-11 C18:1
reduktase
C18:0
Gambar 1 Tahap kunci lemak pakan teresterifikasi menjadi asam lemak jenuh oleh
lipolisis dan biohidrogenasi dalam rumen (Jenkins 1993).
Jenkins (1993) juga menambahkan bahwa tingkat hidrogenasi pada asam
lemak tak jenuh bergantung pada derajat ketidakjenuhan suatu asam lemak serta
jumlah dan frekuensi pemberiannya dalam pakan. Hidrogenasi yang dialami
PUFA dalam rumen diperkirakan berkisar 60-90%, sedangkan asam lemak rantai
panjang hanya mengalami sedikit degradasi dalam rumen. Sebagian besar asam
lemak yang disintesis oleh mikrob rumen bergabung dalam fosfolipid. Kira-kira
85-90% asam lemak yang meninggalkan rumen merupakan asam lemak bebas,
dan sekitar 10-15% adalah fosfolipid mikrob. Karena asam lemak bersifat
hidrofobik, maka akan terikat pada partikel pakan dan mengangkutnya menuju
duodenum. Lipolisis dalam rumen berlangsung sangat efisien. Oleh sebab itu,
hampir semua lemak yang teresterifikasi yang mencapai duodenum dalam bentuk
sel mikrob. Namun demikian, lipolisis dan biohidrogenasi menurun pada pH
rumen yang rendah, seperti pada pakan kaya biji-bijian (Palmquist 1988).
Lipid yang terdapat dalam duodenum ruminansia terbagi menjadi 3 fraksi
(Gambar 2), yaitu: lipid pakan yang lolos dari transformasi mikrob, lipid pakan
setelah mengalami transformasi mikrob, dan lipid mikrob. Lipid pakan yang
11
mengalami transformasi dan lipid mikrob dalam isi duodenum tersimpan dalam
jaringan ruminansia (Jenkins 1994).
Fraksi lipid dalam duodenum ruminansia
DIET
DL
a
RUMEN
DL
DLt
c
VFA
b
c
Mikroba
DUODENUM
DL
ML
DLt
Gambar 2 Lipid dalam duodenum ruminansia terdiri atas lipid pakan yang
mencapai duodenum tanpa perubahan (DL), lipid pakan setelah
hidrogenasi oleh mikrob rumen (DLt), dan lipida mikrobial (ML).
Huruf merujuk pada a) konversi DL menjadi DLt oleh biohidrogenasi,
b) sintesis lipid secara de novo oleh mikrob rumen dari VFA, dan
c) asupan langsung DL dan DLt oleh mikrob rumen (Jenkins 1994).
Jenkins (1993) melaporkan bahwa kandungan lipid total dari massa bakteri
kering dalam rumen berkisar antara 10-15%, baik yang berasal dari sumber
eksogen (asupan diet LCFA) maupun sumber endogen (sintesis de novo).
Sebagian asam lemak yang ditemukan dalam rumen merupakan komponen
fosfolipid membran mikrob. Asam lemak yang disintesis secara de novo terutama
terdiri atas C18:0 dan C16:0. Asam lemak bakteri mengandung 15-20% MUFA,
yang disintesis melalui jalur anaerobik (Gambar 3).
Bakteri rumen biasanya tidak mensintesis PUFA, kecuali dari kelompok
cyanobacteria. Namun demikian, PUFA yang dilaporkan terdapat dalam mikrob
rumen tampaknya berasal dari asupan eksogen dari asam lemak yang membentuk
PUFA. Tingkat suplementasi lemak dan komposisinya dapat berpengaruh pada
komposisi asam lemak dari mikroorganisme rumen (Bauman et al. 2003). Lipid
pascarumen terutama terdiri atas asam lemak jenuh tidak teresterifikasi atau Non-
12
esterified Fatty Acids (NEFA) yang berasal dari pakan dan mikrob (70%), dan
sejumlah kecil (10%-20%) fosfolipid mikrob. Umumnya, koefisien penyerapan
asam lemak individual dalam usus halus berkisar antara 80% (untuk SFA) sampai
92% (untuk PUFA) pada pakan konvensional dengan kandungan lemak rendah (23% bahan kering) (Bauchart 1993).
Sintesis asam lemak jenuh dan
asam lemak tak jenuh tunggal oleh mikrob
VFA
C10
β-hidroksi C10
β, γ
α, β
Dehidrasi
cis-3-dekanoat
Tanpa reduksi
trans-2-dekanoat
Dekanoat
---------Pemanjangan rantai-------C16:1
C16:0
---------Penambahan unit C2------C18:1
C18:0
Gambar 3 Sintesis MUFA oleh mikrob rumen melalui jalur anaerob
(Jenkins 1993).
Pemberian sejumlah besar EPA dan DHA diduga dapat menurunkan
tingkat hidrogenasinya, baik secara in vitro maupun in vivo dalam percobaan
jangka pendek (3 hari). Pasokan EPA dan DHA, melalui mekanisme yang belum
diketahui juga meningkatkan trans-MUFA dan conjugated linoleic acids (CLA)
(Chilliard et al. 2000).
13
Tipe Lemak dan Kolesterol
Tingginya konsumsi lemak dan SFA dipercaya secara luas berkonstribusi
terhadap meningkatnya kasus penyakit jantung koroner atau coronary heart
disease (CHD), yang merupakan penyebab kematian utama pada sebagian negara
industri. Adanya korelasi positif antara konsumsi lemak asal hewan dan kematian
yang disebabkan CHD, tampaknya sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi
lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang
merupakan faktor risiko timbulnya CHD. Lipoprotein merupakan kompleks
protein-lipid dalam darah, yang terdiri atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas
rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang molekulnya terdiri atas 46%
kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoproteins (HDL)
yang mengandung 20% kolesterol, dan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau
very low density lipoproteins (VLDL) yang mengandung 8% kolesterol.
Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL merupakan penyebab utama
timbulnya CHD, sebaliknya HDL berperan sebagai pelindung (Bender 1992;
Bandara 1997).
Bender (1992) menyatakan bahwa tingginya kandungan kolesterol total
darah sangat berhubungan dengan tingginya kejadian CHD, dan tingginya asupan
SFA dapat meningkatkan kandungan kolesterol darah. Miristat dan palmitat
merupakan SFA utama dalam diet yang menyebabkan meningkatnya kolesterol
darah, sehingga meningkatkan LDL. Stearat yang juga merupakan SFA yang
utama dalam diet tidak memperlihatkan pengaruh yang sama. Hal ini karena
stearat diubah menjadi oleat yang merupakan MUFA.
Asam lemak dengan
panjang rantai yang lebih pendek tampaknya juga tidak berpengaruh. Seperempat
dari SFA dipasok dari lemak asal daging, sehingga konsumsi daging sendiri
berada dalam ancaman. Komposisi lemak dari beberapa ternak dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut.
14
Tabel 3 Komposisi lemak berbagai jenis ternak (%)
Jenis lemak
Lemak total
Persentase dari lemak total
SAFA
MUFA
PUFA
Lemak sapi
67
43
48
4
Lemak domba
72
50
39
5
Lemak babi
71
37
41
15
Ayam, daging, dan kulit
18
33
42
19
Itik, daging, dan kulit
43
27
54
12
Hati sapi
7
30
18
26
Sumber: Bender (1992).
Gurr (1992) mendeskripsikan CHD sebagai suatu kondisi ketika arteri
utama (coronary) yang memasok darah ke jantung kehilangan kemampuan untuk
memasok darah dan oksigen dalam jumlah yang cukup ke otot jantung
(myocardium).
Tahapan
perkembangan
penyakit
ini
dimulai
dengan
menyempitnya arteri utama oleh endapan campuran kompleks lemak pada dinding
arteri, proses tersebut dikenal dengan asteriosklerosis. Tahapan yang fatal ketika
terbentuknya gumpalan darah (thrombosis) yang menghambat aliran darah
melalui arteri yang telah menyempit. Menurunnya aliran darah ke otot jantung
menyebabkan otot jantung kekurangan oksigen sehingga terjadi kerusakan yang
ekstensif, yang dikenal dengan serangan jantung (myocardial infraction).
Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) terutama dari seri n-3 mempunyai
pengaruh yang menguntungkan dalam menekan kejadian CHD, karena dapat
mencegah terjadinya asteriosklerosis dan komplikasi karena trombosis. Asam
lemak n-3 yang berasal dari laut memiliki pengaruh antitrombosis, memodifikasi
agregasi platelet, menurunkan kekentalan darah, dan meminimalisir respons
inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Pemberian PUFA n-3 pada ruminansia
bertujuan
meningkatkan
konsentrasinya
dalam
jaringan
tubuh
untuk
meningkatkan produksi dan kesehatan, serta meningkatkan asam lemak
nutraceuticals untuk meningkatkan kesehatan manusia (Jenkins 2004).
15
Minyak Ikan dan Peranannya
Ditemukannya hubungan antara lemak diet dengan penyakit pembuluh
darah jantung atau cardiovascular (CVD), telah menelurkan rekomendasi yang
menyarankan penggantian kolesterol dan SFA dalam diet dengan PUFA.
Kelompok PUFA ditandai dengan adanya ikatan rangkap pada rantai karbonnya.
Dua kelompok PUFA yang penting adalah PUFA n-6 dan PUFA n-3, yang
masing-masing posisi ikatan rangkap pertamanya pada atom karbon keenam dan
ketiga dari ujung metil rantai karbon. Kelompok PUFA n-6 penting dalam diet
dan terutama terdapat dalam minyak tumbuhan. Asam linoleat (18:2n-6) yang
merupakan sumber PUFA n-6 dalam diet terdapat dalam jumlah yang melimpah
dalam minyak tumbuhan (kedelai, jagung, dan safflower), dan merupakan
prekursor asam arakidonat (20:4n-6). Kelompok PUFA n-3 terkandung dalam
jumlah yang sedikit dalam kebanyakan bahan makanan, kecuali ikan. Asam
linolenat (18:3n-3) terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam jaringan
tumbuhan dan minyak kedelai. Ikan laut merupakan sumber yang kaya asam
eikosapentanoat atau EPA (20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat atau DHA
(22:6n-3). Asam linolenat juga merupakan prekursor EPA dan DHA (Kinsella
1987; Cunnane & Griffin 2002).
Bukti epidemiologis yang berhubungan dengan meningkatnya asupan
PUFA n-3 dari ikan dengan turunnya kejadian CHD, mendorong penelitian yang
intensif mengenai pengaruh minyak ikan pada resiko CHD. Secara nyata terlihat
bahwa PUFA n-3 dari minyak ikan lebih efektif dalam menurunkan
hiperlipidemia dibandingkan PUFA n-6 dari minyak tumbuhan, karena lebih
efektif dalam menghambat sintesis asam lemak dan pembentukan lipoprotein
dalam hati, serta meningkatkan katabolisme lipoprotein. Selain itu, PUFA n-3 dari
minyak ikan berpengaruh langsung pada kesehatan CVD, melalui pengaruhnya
pada fungsi platelet. Agregasi platelet yang berlebihan dapat menyebabkan stroke
yang menyebabkan trombosis dan menyumbat arteri ke otak. Beberapa PUFA n-3
seperti EPA dan asam DHA menghasilkan eikosanoid dengan pengaruh imflamasi
yang rendah, menyebabkan vasodilatasi, dan menghambat agregasi platelet
dibandingkan dengan PUFA n-6 dari minyak tumbuhan (Kinsella 1987; Azain
2004).
16
Menyangkut fungsinya sebagai prekursor eikosanoid,
EPA mendapat
perhatian khusus yang penting secara fisiologis. Asam ini termasuk kelompok
substansi yang secara fisiologis potensial, yaitu prostaglandin, tromboksan, dan
leukotrien. Ketiga substansi ini terbentuk dari prekursor asam lemak dengan
masuknya atom oksigen ke dalam rantai asam lemak. Asam lemak terpenting
yang bertindak sebagai prekursor untuk sintesis eikosanoid adalah asam
arakidonat. Proses oksigenasi terjadi dalam dua jalur utama, yaitu jalur siklik yang
membentuk prostaglandin dan tromboksan, dan jalur linear yang menghasilkan
leukotrien. Pembentukan prostaglandin dan tromboksan menjadi penting karena
perannya dalam agregasi platelet. Ada dua jenis PUFA yang terlibat dalam
produksi kedua substansi tadi, yaitu asam linoleat sebagai prekursor asam
arakidonat dan asam linolenat sebagai prekursor EPA dan DHA (Gambar 4)(Groff
& Gropper 2000; McCowen & Bistrian 2003).
Jalur n-6
18:2n-6 (asam linoleat)
↓
20:3n-6
↓
20:4n-6 (asam arakidonat)
↓
Prostanoid seri-2
Leukotrien seri-4
inhibisi
←←←
Jalur n-3
18:3n-3 (asam linolenat)
↓
20:4n-3
↓
20:5n-3 (EPA dari minyak ikan)
↓
Prostanoid seri-3
Leukotrien seri-5
Gambar 4 Jalur metabolisme asam lemak esensial dari prekursor n-3 dan n-6
(McCowen & Bistrian 2003)
Proses oksigenasi siklik dari asam arakidonat akan menghasilkan
prostaglandin E2 (PGE2) yang mengganggu fungsi sistem imunitas karena
berperan dalam menghasilkan sel-sel T penekan. Konsumsi ikan laut yang
menyediakan EPA dalam jumlah tinggi dapat melindungi manusia dari trombosis
dan serangan jantung karena mengandung rasio PGI3/TXA3 yang terbaik. Tempat
sintesis dan pengaruh prostaglandin pada agregasi platelet dapat dilihat pada
Tabel 4 (Lands 1982; Kelley et al. 1988; Marinetti 1990; Terry et al. 2003).
17
Tabel 4 Tempat sintesis dan pengaruh prostaglandin pada agregasi platelet
Prostaglandin
Tempat sintesis
Pengaruhnya pada
agregasi
TXA2
Platelet
Stimulasi
PGI2
Sel endotel
Inhibisi
TXA3
Platelet
Tidak berpengaruh
PGI3
Sel endotel
Inhibisi
Sumber: Marinetti (1990)
Pemberian minyak ikan juga diketahui dapat menekan produksi
prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat, sehingga membatasi
pengaruh inflamasi dengan menghasilkan prostaglandin dan leukotrien seri 3 dan
5. Meningkatnya asupan EPA dan DHA dari minyak ikan akan meningkatkan
proporsi EPA dan DHA dalam plasma dan fosfolipid eritrosit, berbarengan
dengan menurunnya proporsi asam arakidonat dalam plasma dan fosfolipid
eritrosit dan menurunnya asam linoleat dalam fosfolipid eritrosit. Selain
menghambat
agregasi
platelet,
minyak
ikan
juga
berpengaruh
dalam
hipolipidemia dan menurunkan kolesterol plasma, yang pada akhirnya akan
meminimalisir pembentukan plak. EPA dalam minyak ikan juga dapat
menurunkan produksi faktor pengaktif platelet atau platelet activating-factor
(PAF), dan bersifat antiinflamasi karena menekan produksi leukotrien-B4 dalam
leukosit yang menyebabkan respons inflamasi pada leukosit (Marinetti 1990;
McCowen & Bistrian 2003; Trebble et al. 2003).
Minyak ikan mengandung berbagai jenis asam lemak, terutama dari
kelompok PUFA n-3. Ikan menyerap dan menyimpan berbagai asam lemak yang
tersedia dalam pakannya, selanjutnya juga mengubah komponen lain dari diet
seperti alkohol dari ester lilin menjadi asam lemak dan menyimpannya dalam
jaringan tubuh. Ikan juga mampu mensintesis asam lemak secara de novo serta
melakukan desaturasi dan perpanjangan dari asam lemak yang tersedia. Asam
lemak utama dalam minyak ikan adalah EPA dan DHA, yang jumlahnya
mencapai 20% atau lebih pada beberapa minyak, di samping sejumlah kecil asam
α-linolenat atau α-linolenic acid (LNA), seperti terlihat pada Tabel 5 (Enser
1991).
18
Tabel 5 Kandungan PUFA n-3 pada beberapa jenis ikan (%)
Jenis ikan
LNA
(18:3)
EPA
(20:5)
DHA
(22:6)
EPA + DHA
(20:5 + 22:6)
Atlantic mackerel
0.1
0.9
1.6
2.5
King mackerel
0.0
1.0
1.2
2.2
Chub mackerel
0.3
0.9
1.0
1.9
Atlantic salmon
0.1
0.6
1.2
1.8
Pacific herring
0.1
1.0
0.7
1.7
Atlantic herring
0.1
0.7
0.9
1.6
Lake trout
0.4
0.5
1.1
1.6
Bluefin tuna
0.0
0.4
1.2
1.6
Chinook salmon
0.1
0.8
0.6
1.4
Anchovy, Eropa
0.0
0.5
0.9
1.4
Atlantic bluefish
0.0
0.4
0.8
1.2
Sockeye salmon
0.1
0.5
0.7
1.2
Sarden, kaleng
0.5
0.4
0.6
1.1
Chum salmon
0.1
0.4
0.6
1.0
jarang
0.4
0.6
1.0
Pink salmon
Sumber: Nettleton (1995).
Dalam tinjauannya Azain (2004) mengungkapkan bahwa pemberian
minyak ikan untuk nonruminan dapat meningkatkan kandungan PUFA n-3 dalam
jaringan tubuh. Irie dan Sakimoto (1992) melaporkan bahwa pemberian diet
dengan 6% minyak ikan untuk babi selama 4 minggu, dapat meningkatkan
kandungan EPA dan DHA dalam daging masing-masing 5 dan 10 kali lipat.
Untuk memanipulasi profil asam lemak dalam jaringan tubuh ruminansia lebih
sulit. Meskipun ada peningkatan PUFA n-3 dalam fosfolipid otot pada pemberian
minyak ikan, fraksi tersebut hanya sejumlah kecil dari keseluruhan lemak daging.
Namun demikian, peningkatan PUFA n-3 pada daging tanpa lemak (lean) masih
dimungkinkan untuk mendapat daging yang mengandung PUFA n-3 dalam
jumlah yang cukup berarti (Nettleton 1994).
Pengujian terhadap komposisi kelompok lipid plasma menunjukkan bahwa
EPA terinkorporasi lebih baik dibandingkan DHA ke dalam cholesteryl ester dan
19
ini mencerminkan aktivitas dari lechitin cholesteryl acyl transferase. Fraksi
cholesteryl ester mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh atau unsaturated
fatty acids (UFA). Komposisi asam lemak dari triasilgliserol dan asam lemak
bebas dalam plasma serupa dengan dalam digesta abomasum, yang mencerminkan
pencernaan dan transfer lemak diet.
Kandungan EPA dan DHA dalam
triasilgliserol plasma tidak tercermin dalam triasilgliserol jaringan lemak. Tidak
adanya inkorporasi EPA atau DHA ke dalam triasilgliserol jaringan adiposa
menunjukkan bahwa pada tingkat intestinal asam lemak tersebut tergabung ke
dalam kilomikron triasilgliserol, tetapi tidak ditransfer dari pool plasma ke dalam
jaringan adiposa. Hal ini berbeda dari EPA dan DHA yang diserap oleh kelenjar
susu dan terinkorporasi ke dalam triasilgliserol susu. Suplementasi minyak ikan
tuna pada ruminansia menurunkan kandungan triasilgliserol dan kolesterol plasma
karena adanya penghambatan sintesis dalam usus dan hati (Kitessa et al. 2001).
Demirel et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan minyak linseed
bersama minyak ikan pada domba meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA
secara nyata dalam fosfolipid otot dan fraksi lemak netral dan polar dalam hati,
dibandingkan dengan pemberian minyak linseed secara tunggal. Perlakuan
tersebut juga meningkatkan rasio PUFA:SFA dalam hati dan jaringan adiposa
tetapi tidak dalam otot dan memperbaiki rasio PUFA n-6:n-3. Percobaan Gulati et
al. (1999) terhadap dosis minyak ikan yang diberikan pada domba menunjukkan
adanya hidrogenasi yang cukup besar terhadap EPA dan DHA bila konsentrasi
minyak ikan kurang dari 1 mg/ml cairan rumen, sedangkan produksi asam lemak
trans-C18:1 sangat tinggi. Pada konsentrasi minyak ikan yang lebih tinggi, isomer
ini menurun yang menandai adanya penghambatan biohidrogenasi.
Perlindungan Asam Lemak dalam Rumen
Ruminansia dan populasi mikrob yang hidup bersamanya berkembang
hanya dengan kandungan lemak yang rendah dalam pakan. Kelebihan lemak 23% dari bahan kering pakan dapat menghambat aktivitas mikrob, terutama bakteri
selulolitik dan metanogenesis. PUFA lebih bersifat toksik terhadap beberapa
mikrob rumen, terutama protozoa dan bakteri metanogen. Pemberian lemak juga
memperlihatkan penurunan kecernaan serat kasar, terutama pada domba.
20
Turunnya kecernaan serat kasar karena lemak melapisi partikel pakan, sehingga
mencegah pelekatan bakteri selulolitik. Pengaruh penghambatan meningkat
seiring tingkat kelarutan, karenanya asam lemak dengan rantai sedang (C 12-14)
dan asam lemak tak jenuh (minyak tumbuhan, minyak ikan) merupakan
penghambat yang kuat. Asam lemak yang tidak teresterifikasi memiliki efek
hambat yang lebih tinggi dari bentuk teresterifikasi, dan minyak bebas lebih
menghambat dibandingkan biji-bijian yang diberi utuh (Palmquist 1988; Van
Nevel 1991).
Pemberian minyak ikan yang kaya PUFA n-3 dapat mengubah profil asam
lemak pada jaringan dan organ tubuh ruminansia, terutama dengan penggabungan
EPA dan DHA, sehingga didapatkan produk ternak yang menguntungkan bagi
kesehatan manusia. Namun demikian, adanya biohidrogenasi asam lemak yang
ekstensif dalam rumen dapat menurunkan keuntungan pemberian PUFA n-3
seperti yang diharapkan. Untuk itu dilakukan perlindungan asam lemak yang
dapat mencegah PUFA n-3, terutama EPA dan DHA, mengalami perubahan
dalam rumen, sehingga memungkinkan penggabungannya dalam jaringan tubuh
ruminansia (Jones et al. 2005).
Berbagai pengaruh negatif dari pemberian lemak dalam jumlah tinggi pada
fermentasi rumen dapat diatasi dengan memungkinkan lemak dapat lolos dari
rumen. Teknik perlindungan lemak yang paling tua adalah melapisi emulsi lemak
dengan protein yang mendapat perlakuan formaldehid. Ikatan ini kemudian terurai
dalam abomasum sehingga asam lemak dapat diserap dalam usus halus. Cara ini
cukup efektif dalam meloloskan sejumlah besar PUFA dari degradasi dalam
rumen, tetapi ikut menurunkan
produksi trans-MUFA dan CLA. Karena
dinyatakan berbahaya bagi kesehatan manusia, teknik penggunaan formaldehid
sekarang dipertanyakan untuk produksi ternak dan berpengaruh buruk pada citra
produk. Penggunaan garam kalsium (Ca) merupakan teknik yang paling populer
karena kemampuannya dalam mencegah interaksi antara asam lemak dan mikrob,
terutama asam lemak dari minyak kelapa sawit yang tingkat kejenuhannya tinggi.
Garam tersebut tidak larut dalam rumen dan dapat mencegah penghambatan
terhadap kecernaan serat. Asam lemak dibebaskan dalam abomasum, sedangkan
Ca diserap dalam duodenum dan asam lemak diserap dalam jejunum. Namun
21
demikian, dilaporkan adanya hidrogenasi parsial terhadap asam lemak dalam
rumen, karena sabun yang terbentuk mengalami disosiasi dalam rumen. Disosiasi
meningkat jika pH rumen menurun dan kejadian ini lebih tinggi pada PUFA
dibandingkan asam lemak jenuh. Teknik terbaru yang mulai dikembangkan adalah
perlindungan asam lemak dalam bentuk amida asam lemak (Palmquist 1988;
Tamminga & Doreau 1991; Chilliard et al. 2000).
Amida asam lemak dihasilkan dengan mereaksikan asam lemak dengan
amina. Berdasarkan laju degradasi amida yang rendah oleh suspensi populasi
bakteri dan kebutuhan gugus karboksil bebas untuk biohidrogenasi oleh mikrob
rumen, Fotouhi dan Jenkins (1992a) menyatakan bahwa amida dari UFA akan
tahan terhadap biohidrogenasi oleh mikrob rumen. Mikrob rumen memerlukan
gugus karboksil bebas untuk menghilangkan ikatan rangkap dari UFA. Dari dua
percobaan in vitro terlihat penurunan kehilangan asam linoleat pada kultur rumen
jika UFA diberikan sebagai amida dibandingkan sebagai asam lemak bebas.
Pemberian linoleamida juga mengurangi destruksi ruminal dari asam linoleat
dibandingkan dengan pemberian asam linoleat tidak terlindungi atau kalsium
linoleat (Fotouhi & Jenkins 1992b).
Jenkins (1995) mensintesis amida skunder dari butilamina dan minyak
kedelai mengikuti metode Feairheller et al. (1994), untuk mengukur ketahanannya
terhadap biohidrogenasi dalam rumen. Dengan penambahan masing-masing 5%
butilsoyamida dan minyak kedelai pada pakan, ternyata dapat meningkatkan
konsentrasi asam linoleat plasma 22% pada pemberian minyak kedelai dan 58%
pada pemberian butilsoyamida dibandingkan kontrol. Jenkins (1997) juga
mensintesis amida dengan mereaksikan minyak kedelai dengan ethanolamina
menghasilkan
N-hidroksietilsoyamida.
Butilsoyamida
dan
N-
hidroksietilsoyamida yang dihasilkan tidak mengganggu fermentasi rumen dan
kecernaan serat serta dapat bertahan terhadap degradasi rumen, sehingga dapat
meningkatkan aliran asam lemak tersebut dalam rumen. Linolamida yang
dihasilkan dari kombinasi asam linoleat dan urea juga mampu mempertahankan
konsentrasi asam lemak C18:2n-6 dalam kultur rumen dan isi doudenum domba
lebih tinggi dibandingkan dengan asam linoleat bebas (Jenkins & Adams 2002).
22
Pada percobaan in vivo, Lundy et al. (2004) mengevaluasi biohidrogenasi
asam oleat dan linoleat dalam bentuk minyak kedelai, kalsium minyak kedelai,
dan amida minyak kedelai pada sapi perah laktasi. Aliran asam lemak pascarumen
dan laju biohidrogenasi diukur dari sampel omasal, dan didapatkan bahwa
pemberian minyak kedelai dalam bentuk garam kalsium dan amida belum mampu
menurunkan biohidrogenasi asam linoleat secara berarti, namun amida mampu
menurunkan biohidrogenasi asam oleat secara nyata. Tampaknya efektivitas
ketahanan garam kalsium atau amida terhadap biohidrogenasi bergantung pada
jenis asam lemak dan komposisi asam lemak.
23
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Hewan Pusat
Penelitian
Sumberdaya
(PPSHB-PAU),
Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas
Laboratorium
Ternak
Perah
Fakultas
Peternakan,
dan
Laboratorium Hewan Percobaan Southeast Asian Food and Agricultural Science
and Technology Center (SEAFAST Center) Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini terdiri atas tiga tahap, yaitu pembuatan amida minyak ikan, uji ketahanan
amida minyak ikan secara in vitro, dan uji efektivitas suplementasi amida minyak
ikan pada tikus sebagai hewan coba pascarumen.
Sintesis Amida Minyak Ikan
Minyak ikan yang digunakan untuk pembuatan amida minyak ikan lemuru
yang diperoleh dari Desa Muncar Banyuwangi, Jawa Timur. Selama
penyimpanan, minyak ikan ditambahkan butylated hydroksitoluen (BHT) untuk
melindungi minyak dari ketengikan oksidatif. Sebelum dilakukan reaksi amidasi
ditentukan dahulu bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan asam minyak
ikan yang digunakan.
Kandungan asam lemak utama dalam minyak ikan
ditentukan menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala atau
gas liquid chromatography flame ionized detector (GLC FID).
Proses amidasi dilakukan dengan tiga cara berbeda untuk mendapatkan
hasil yang terbaik yaitu:
1. Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan minyak ikan dan
urea, dengan perbandingan 1:1 (w/w) menurut prosedur Jenkins dan
Adams (2002). Reaksi
dilakukan dalam reaktor amidasi vakum
dengan kapasitas 500 ml dengan diameter 10 cm, yang dilengkapi
dengan pengaduk. Suhu pemanasan selama reaksi berlangsung
dikontrol dengan menggunakan termokopel. Pembuatan amida minyak
ikan dilakukan pada suhu 90⁰C dengan lama reaksi 4 jam. Produk yang
dihasilkan disaring dengan kertas saring.
2. Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan etil ester minyak
ikan dengan urea.
Etil ester minyak ikan diperoleh dari proses
esterifikasi minyak ikan menggunakan kalium etoksida 0.5M pada
24
suhu 75⁰C selama 2 jam, dengan flushing N2. Etil ester minyak ikan
yang terbentuk direaksikan dengan urea dengan rasio molar 1:2, pada
suhu 90⁰C dengan pengadukan.
Produk yang dihasilkan disaring
dengan kertas saring.
3.
Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan minyak ikan dan nbutilamin mengikuti metode Feairheller et al. (1994). Minyak ikan
direaksikan dengan n-butilamin dengan rasio molar 1 :8. Ke dalam
bahan juga ditambahkan Na-EDTA sebanyak 0.5% (w/w) dan BHT
sebanyak 0.05% (w/w), sebagai antioksidan selama proses amidasi
berlangsung. Bahan dipanaskan dengan hot plate dalam labu empat
leher yang dihubungkan dengan kondensor refluks dan dilakukan
flushing N2 untuk mengusir O2. Suhu dipertahankan pada kisaran 7778⁰C, yang merupakan titik didih n-butilamin, dengan kecepatan
pengadukan 150 rpm selama 5 jam. Setelah proses berakhir, produk
dilarutkan kembali dengan heksan, selanjutnya dicuci dengan akuades
70⁰C 3-4 kali untuk membuang kelebihan butilamin dan gliserol.
Kemudian produk dievaporasi dengan rotavapor dan selanjutnya
dikompressor untuk menguapkan dan menghilangkan sisa heksan.
Analisis kualitatif dilakukan untuk mengidentifikasi terbentuknya senyawa
amida dengan menggunakan spektroskopi inframerah atau infra red (IR). Analisis
semi kuantitatif untuk mengetahui jumlah senyawa amida yang dihasilkan
dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas dengan spektrometer massa
atau gas chromatography mass spectrometry GC-MS. Analisis proksimat
dilakukan untuk mengetahui kadar lemak dan N dari produk. Pengukuran
bilangan iod setelah reaksi juga dilakukan untuk mengetahui derajat
ketidakjenuhan yang masih bisa dipertahankan.
Metode Analisis Minyak ikan dan Amida Minyak Ikan
Bilangan iod
Dasar penentuan bilangan iod adalah reaksi adisi dengan ikatan rangkap
pada asam lemak tidak jenuh. Penentuan bilangan iod menurut metode Hanus
(Apriyantono et al. 1989) dilakukan dengan cara titrasi. Sejumlah bahan
ditimbang (0.1-0.5 gram) dalam erlenmeyer bertutup dan ditambahkan dengan 10
25
ml kloroform untuk melarutkan sampel, dan 25 ml pereaksi Hanus kemudian
dibiarkan selama 1 jam di tempat gelap sambil sekali-sekali dikocok. Kemudian
ditambahkan 10 ml larutan KI 15 % lalu dikocok. Erlenmeyer dan tutupnya dicuci
dengan 100 ml akuades. Titrasi dengan larutan standar Na2S2O3 0.1 N sampai
warna kuning iod hampir hilang, kemudian ditambahkan 2 ml larutan pati 1%
sebagai indikator. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Di samping itu
juga dilakukan penetapan blanko.
ml titrasi (blanko-sampel) x N Na2S2O3 x 12.69
Bilangan Iod = ---------------------------------------------------------berat sampel (gram)
Bilangan penyabunan
Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan
untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Penentuan bilangan
penyabunan dilakukan dengan metode titrasi (Apriyantono et al. 1989). Sejumlah
bahan ditimbang (1-5 gram) dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan 50 ml
KOH beralkohol. Kemudian dihubungkan dengan pendingin tegak dan direfluks
hingga tersabunkan sempurna. Larutan didinginkan dan ditambahkan 1 ml
indikator fenolftalen. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna merah
jambu hilang. Buat penetapan blanko seperti penetapan contoh.
ml titrasi (blanko-sampel) x N HCl x 56.1
Bilangan Penyabunan = ----------------------------------------------------bobot sampel (gram)
Bilangan asam
Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak.
Penentuan bilangan asam dilakukan dengan metode titrasi (Ketaren 2005).
Sejumlah bahan ditimbang (10-20 gram) dalam erlenmeyer 200 ml. Ditambahkan
50 ml alkohol netral 95%, dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit sambil
diaduk. Larutan ini kemudian dititer dengan KOH 0.1 N dengan indikator larutan
fenolftalen 1% dalam alkohol, sampai terlihat warna merah jambu. Dilakukan
26
penghitungan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam
lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak.
ml titrasi sampel x KOH x 56.1
Bilangan Asam = -------------------------------------bobot sampel (gram)
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro
Percobaan in vitro dilakukan menurut metode Tilley dan Terry (1963),
untuk mengetahui ketahanan amida asam lemak minyak ikan terhadap
biohidrogenasi oleh bakteri rumen dengan inkubasi menurut perlakuan untuk
mengetahui pelepasan asam lemak pascarumen. Unit percobaan dilakukan secara
terpisah. Penambahan lemak baik dalam bentuk minyak ikan maupun amida
minyak ikan, sebanyak 10% dari ransum. Senyawa amida yang tersisa
dalam
kultur dianalisis menggunakan GC-MS. Percobaan in vitro juga dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pemberian amida asam lemak pada pH cairan rumen,
konsentrasi N-NH3, VFA total cairan rumen, VFA parsial, produksi gas, jumlah
protozoa, protein mikrob, degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik
(DBO) pakan.
Sumber inokulum yang digunakan adalah cairan rumen domba, dan
sebagai substrat adalah hijauan jagung yang telah digiling halus. Berdasarkan
analisis proksimat, substrat hijauan jagung mengandung 91.82% bahan kering,
7.68% protein, 1.54% lemak, 28.88% serat kasar, 9.81% abu, dan 52.09% BETN.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas 4
perlakuan, dengan masing-masing 3 kelompok pengambilan cairan rumen sebagai
berikut:
R0 = Substrat hijauan jagung
R1 = R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
27
Metode Analisis In Vitro
Degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) in vitro
Inkubasi in vitro dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963).
Sampel yang telah disiapkan ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke
dalam tabung fermentor berkapasitas 100 ml. Larutan medium buffer yang terdiri
atas 2 gram trypticase, 400 ml air, 0.1 ml larutan mikromineral ditempatkan di
dalam erlenmeyer dan diaduk hingga larut. Selanjutnya ditambahkan 200 ml
larutan buffer, 200 ml larutan mikromineral, dan 1 ml resazurin dan 40 ml larutan
pereduksi. Medium lalu ditempatkan ke dalam water bath pada suhu 39⁰ C sambil
dialirkan gas CO2 dan diaduk dengan magnetic stirrer, hingga terjadi perubahan
warna medium dari biru ke merah muda hingga menjadi bening tidak berwarna
yang menandai medium telah tereduksi dengan sempurna. Selanjutnya 1 bagian
rumen dicampur dengan 4 bagian medium di bawah aliran gas CO2 di dalam
water bath sambil terus diaduk. Sebanyak 50 ml campuran medium diambil dan
dimasukkan ke dalam masing-masing tabung fermentor yang telah berisi sampel
dan 2 tabung fermentor yang tidak berisi sampel (blanko). Tabung fermentor
ditutup dengan tutup karet berventilasi, dan diinkubasi secara anaerob menurut
perlakuan, yaitu selama 0, 24 dan 48 jam dalam shaker water bath pada suhu 39⁰
C. Setelah inkubasi berakhir kultur ditetesi 2-3 tetes asam sulfat pekat, H2SO4 9M
kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan diambil untuk
analisis VFA, N-NH3, dan senyawa amida, sisanya disaring menggunakan kertas
saring Whatman no. 41, lalu ditentukan kadar bahan kering dan bahan organiknya.
Degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) dihitung dengan
persamaan :
BK awal - (BK residu - BK blanko)
DBK= ------------------------------------------- x 100%
BK awal
DBO=
BO awal - (BO residu – BO blanko)
------------------------------------------- x 100%
BO awal
Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan pada setiap akhir masa inkubasi dengan
menggunakan pH meter.
28
Pengukuran VFA parsial
Untuk analisis VFA, supernatan diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan
ke dalam tabung sampel yang bertutup. Ke dalam tabung tersebut ditambahkan 30
mg 5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)SO3H H2O) lalu dikocok. Kemudian
disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan disaring dengan
milipore hingga diperoleh cairan jernih. Sebanyak 1 µl cairan jernih diinjeksikan
ke gas kromatografi (AOAC 1995). Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu
diinjeksikan larutan VFA standar.
Perhitungan konsentrasi asam lemak dilakukan dengan rumus:
Tinggi sampel
Tinggi internal standar dalam standar
C = ------------------ x Konsentrasi standar x --------------------------------------------Tinggi standar
Tinggi internal standar dalam sampel
Pengukuran VFA total
Kadar VFA total ditentukan dengan metode destilasi uap (General
Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam
tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air. Tabung segera ditutup rapat
setelah ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Uap air panas akan mendesak VFA
melewati tabung destilasi yang terkondensasi dan ditampung dengan erlenmeyer
yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai mencapai volume sekitar 300 ml.
Selanjutnya ditambahkan indikator penophtalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi
dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna dari
merah menjadi bening. Sebagai blanko, dilakukan juga titrasi terhadap 5 ml
NaOH 0.5 N.
Perhitungan kadar VFA dihitung dengan rumus:
Konsentrasi VFA total = (b-s) x N HCl x 1000/5
dimana: b = volume titran blanko
s = volume titran sampel
Pengukuran N-NH3
Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik Microdifusi Conway (General
Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan di sebelah kiri
sekat cawan conway dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh ditempatkan pada sekat
sebelah kanan. Posisi cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak
bercampur sebelum cawan ditutup rapat. Pada cawan kecil di bagian tengah diisi
29
dengan asam borat berindikator metil red dan brom kressol green sebanyak 1 ml.
Kemudian cawan Conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin, digoyang dengan
perlahan hingga supernatan tercampur dengan larutan Na2CO3. Amonia yang
dibebaskan dari reaksi antara kedua bahan tersebut, selanjutnya akan ditangkap
oleh asam borat yang diperlihatkan dengan adanya perubahan warna. Setelah
dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar, amonium borat dititrasi dengan
H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna ke warna asal asam borat (merah
muda).
Volume titran dicatat, dan kadar N-NH3 dapat dihitung dengan rumus:
N-NH3 = (ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000) mM
Pengukuran Produksi Gas
Pengukuran produksi gas mengikuti prosedur Close dan Menke (1986)
sebagai berikut: Syringe kapasitas 100 ml diisi dengan 0.2 g sampel, kemudian
ditambahkan 30 ml cairan rumen yang telah dicampur dengan larutan buffer
dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya syringe diinkubasi dalam shaker waterbath
Pada suhu 39⁰C. Pengamatan dilakukan pada 0, 12, dan 48 jam dengan mencatat
volume gas yang terbentuk selama proses fermentasi.
Pengukuran sintesis protein mikrob
Sebanyak dua ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf,
kemudian disentrifus dengan kecepatan 15 000 rpm pada suhu 4⁰C selama 30
menit. Endapan yang terbentuk dibilas dengan akuades selanjutnya disentrifus lagi
pada kondisi yang sama. Selanjutnya, endapan disuspensikan dengan 2 ml NaOH
1 N, divortex lalu dipanaskan pada air bersuhu 60-70⁰C selama 10 menit. Analisis
protein mikrob dilakukan menurut Lowry et al. (1951). Pembacaan absorbansi
dilakukan pada 660 nm dan kadar protein sampel (mg/L) dapat dihitung
berdasarkan persamaan regresi kurva standar.
Perhitungan jumlah protozoa
Jumlah protozoa total dihitung dengan menggunakan hemositometer
(Ogimoto & Imai 1981). Sebanyak 0.5 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam
larutan MFS (Methylgreen Formalin-Saline), kemudian diteteskan pada
30
hemositometer dan jumlah protozoa dapat dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran 400 kali.
Efektivitas Suplementasi Amida Minyak Ikan pada Tikus sebagai
Hewan Model Pascarumen
Percobaan in vivo bertujuan untuk mempelajari efektivitas suplementasi
amida minyak ikan, dengan menggunakan hewan coba tikus sebagai model
pascarumen. Percobaan ini menggunakan 35 ekor tikus jantan strain Sprague
Dawley, yang berumur 7 minggu dengan kisaran bobot badan 120-160 g, yang
diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner Bogor.
Tikus ditempatkan di kandang individu berupa bak plastik yang dilengkapi
dengan panggung kasa , dasarnya beralas koran yang diganti setiap hari. Kandang
dibersihkan dua kali seminggu. Ransum tikus diformulasi berdasarkan metode
AOAC (1990) berupa ransum semi purified yang mengandung minyak jagung
sebagai ransum standar, dengan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan
menurut perlakuan (Tabel 7). Masa adaptasi dilakukan selama 7 hari dengan
pemberian ransum standar. Tikus dibagi secara acak
ke dalam 5 perlakuan
dengan jumlah masing-masing perlakuan sebanyak 7 ekor. Ransum percobaan
dan air minum diberikan secara ad libitum selama 6 minggu. Komposisi minyak
ikan dan minyak jagung, tersaji pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Komposisi minyak ikan dan minyak jagung (%)
Jenis Asam
Lemak
Asam lemak
SFA
Miristat
Palmitat
Stearat
Palmitoleat
Oleat
Linoleat
γ-Linolenat
α-Linolenat
Arakidonat
EPA
DHA
MUFA
PUFA
Minyak Ikan*
Minyak Jagung**
11.74
17.94
3.03
14.26
4.89
1.01
0.59
4.04
16.06
12.79
Keterangan : * Hasil Analisis Laboratorium Kimia Terpadu IPB (2010)
** www.scientificpsychic.com
11
2
28
58
1
-
31
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan
perlakuan sebagai berikut:
A= Kontrol (sumber lemak 8% minyak jagung)
B= Suplementasi 4,5% minyak ikan
C= Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan
D= Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan
E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Tabel 7 Susunan ransum percobaan in vivo
Bahan/Nutrien
Ransum
A
B
C
D
E
Kasein
114
114
114
114
114
Minyak Jagung
78
33
33
33
33
Minyak ikan
-
45
30
15
-
Amida Minyak Ikan
-
-
15
30
45
45.2
45.2
45.2
45.2
45.2
Vitamin
10
10
10
10
10
CMC (Selulosa)
10
10
10
10
10
Maizena (Pati)
700
700
700
700
700
Air
42.8
42.8
42.8
42.8
42.8
Bahan Kering
87.66
87.88
85.91
86.31
86.28
Abu
3.95
4.11
4.79
4.48
4.21
Lemak
12.36
12.39
8.84
9.9
8.7
Protein
10.15
10.57
11.04
11.72
12.14
Serat kasar
0.27
0.32
0.62
0.42
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Biologi Hewan, PPSHB IPB (2011)
0.17
Komposisi Bahan (g/kg)
Multimineral
Komposisi Nutrien (%)
Pengambilan Data dan Sampel
Data bobot badan tikus diperoleh dari penimbangan tikus setiap minggu.
Sisa pakan ditimbang setiap hari, sedangkan feses dikoleksi selama 10 hari
berturut-turut sebelum akhir pengamatan. Setelah 10 hari koleksi, feses setiap
harinya dikomposit untuk analisis proksimat dan senyawa amida dan kolesterol.
32
Pada akhir percobaan, dilakukan pengambilan darah melalui jantung
menggunakan alat suntik setelah tikus dibius dengan eter, kemudian darah
dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA. Sampel darah
dibagi menjadi dua, yaitu untuk analisis hematologi dan untuk analisis profil
lemak darah. Tikus dibunuh, daging paha belakang diambil untuk analisis kadar
lemak daging, komposisi asam lemak, dan kadar kolesterol daging.
Metode Analisis In Vivo
Pertambahan bobot badan
Dihitung berdasarkan selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal
dibagi lama waktu pengamatan. Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap
minggu.
Konsumsi ransum
Dihitung berdasarkan jumlah ransum yang disediakan dikalikan dengan
kandungan bahan keringnya, dikurangi sisa ransum dikalikan dengan bahan
kering sisa ransum tersebut.
Konversi pakan
Diperoleh berdasarkan jumlah konsumsi bahan kering pakan dibagi
dengan kenaikan bobot badan per satuan waktu.
Kecernaan zat makanan
Dihitung berdasarkan selisih zat-zat makanan dari konsumsi ransum yang
diukur dengan zat-zat makanan yang terkandung dalam feses, dibagi dengan zatzat makanan yang dikonsumsi, selama masa koleksi feses (10 hari).
Pengukuran nilai hematologi darah.
Pemeriksaan jumlah sel darah merah (eritrosit) menggunakan larutan
pengencer Hayem kemudian dihitung menggunakan hemositometer Neubauer di
bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Hal yang sama juga dilakukan untuk
menghitung jumlah sel darah putih (leukosit) dengan larutan pengencer Turk.
Diferensiasi leukosit dilakukan dengan sediaan apus darah yang diwarnai dengan
pewarna Giemsa. Pengamatan dan penghitungan persentase jenis sel dilakukan
menggunakan mikroskop. Kadar hematokrit ditentukan ke dalam tabung
mikrohematokrit lalu disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 11.500 rpm,
33
dan angka hematokrit dicatat (Sastradipraja et al., 1989). Pengukuran kadar
hemoglobin (Hb) dengan metode Cyanmethemoglobin (Merck, 1987).
Pengukuran kadar kolesterol dan trigliserida serum
Kolesterol serum ditentukan dengan metode CHOD-PAP (Cholesterol
Oxidase Phenol Amino Phenazone), yang merupakan enzymatic photometric test.
Prinsip pengukuran kolesterol dengan metode ini melibatkan enzim cholesterol
esterase yang memecah ikatan ester kolesterol menjadi kolesterol dan asam
lemak. Selanjutnya enzim cholesterol oksidase mengoksidasi kolesterol menjadi
cholest-3-one dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida bereaksi dengan 4aminoantipyrine dan fenol dengan adanya enzim peroksidase membentuk pigmen
quinoneimine sebagai indikator colorimetri. Spesimen yang digunakan adalah
serum atau standar sebanyak 10 µl ditambah 1 ml reagensia, kemudian dikocok
sampai homogen. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 10 µl yang
ditambah 1 ml reagensia. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 2025⁰ C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat
spektrofotometer.
Konsentrasi kolesterol dapat dihitung dengan rumus:
Kolesterol (mg/dl) =
∆A sampel
------------- x kons. standar (mg/dl)
∆A standar
Prinsip penentuan kolesterol LDL berdasarkan pengendapan LDL oleh
heparin pada titik isoelektriknya (pH 5,04). Setelah disentrifus, HDL dan VLDL
tetap tinggal dalam supernatan, sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengukuran
dengan metode enzimatis. Serum sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus, ditambahkan reagensia pengendap sebanyak 1 ml dan dikocok hingga
homogen, dibiarkan selama 10 menit pada suhu 15-25⁰C dan disentrifus dengan
kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan penentuan
konsentrasi kolesterol dalam supernatan, dengan memasukkan supernatan atau
standar sebanyak 50 µl ke dalam tabung dan ditambahkan 1 ml reagensia.
Campuran dikocok hingga homogen dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu
20-25⁰C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat
34
spektrofotometer. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 50 µl yang
ditambah 1 ml reagensia.
Konsentrasi kolesterol dalam supernatan dapat dihitung dengan rumus:
A sampel
Kolesterol (mg/dl) = ------------- x kons. Standar (mg/dl)
A standar
Kolesterol-LDL = Kolesterol total – kolesterol dalam supernatan
Prinsip penentuan kolesterol HDL didasarkan pada pengendapan
kolesterol LDL, VLDL dan kilomikron dengan penambahan phosphotungstic acid
dengan adanya ion magnesium. Setelah disentrifus, konsentrasi kolesterol dalam
fraksi HDL yang berada dalam supernatan dapat diukur. Serum sebanyak 500 µl
dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse, ditambahkan 1 ml reagen pengendap,
kemudian dikocok sampai homogen. Campuran dibiarkan selama 10 menit pada
suhu kamar, kemudian disentrifus selama 2 menit dengan kecepatan 12.000 rpm.
Supernatan yang jernih dipisahkan untuk dilakukan penentuan kadar kolesterol
dengan metode CHOD-PAP.
Supernatan atau standar sebanyak 100 µl selanjutnya dimasukkan ke dalam
tabung, ditambahkan 1 ml reagensia dan dikocok hingga homogen. Campuran
diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25⁰C, dan dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 500 nm dengan alat spektrofotometer. Sebagai blanko
digunakan air suling sebanyak 100 µl yang ditambah 1 ml reagensia.
Konsentrasi kolesterol-HDL dalam supernatan adalah:
A sampel
Kolesterol-HDL (mg/dl) =
------------- x kons. Standar (mg/dl)
A standar
Trigliserida serum ditentukan dengan colorimetric enzymatic test
menggunakan gliserol-3-fosfat oksidase (GPO). Prinsip penentuan trigliserida
melibatkan perombakan trigliserida secara enzimatis oleh lipoprotein lipase,
menghasilkan gliserol dan asam lemak. Enzim gliserokinase mengubah gliserol
dan ATP menjadi gliserol-3-fosfat dan ADP, yang selanjutnya dioksidasi oleh
enzim gliserol-3-fosfat oksidase menjadi dihidroksiaseton fosfat dan hidrogen
peroksida. Hidrogen peroksida bereaksi dengan 4-aminoantipyrine dan 4-
35
chlorophenol
dengan
adanya
enzim
peroksidase
membentuk
pigmen
quinoneimine sebagai indikator colorimetri. Spesimen yang digunakan adalah
serum atau standar sebanyak 10 µl ditambah 1 ml reagensia, kemudian dikocok
sampai homogen. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 10 µl yang
ditambah 1 ml reagen. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25⁰
C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat
spektrofotometer.
Konsentrasi trigliserida dapat dihitung dengan rumus:
Trigliserida (mg/dl) =
∆A sampel
------------- x kons. Standar (mg/dl)
∆A standar
Untuk mengoreksi gliserol bebas, konsentrasi trigliserida dari
perhitungan di atas dikurangi 10 mg/dl.
Komposisi asam lemak daging
Lemak daging diekstraksi dengan petroleum eter dengan metode soxhlet.
Komposisi asam lemak dianalisis sesuai dengan AOAC (1995). Sampel hasil
ekstraksi sebanyak 100 mg ditambah 4 ml NaOH 0.5 N di bawah gas nitrogen,
dikocok, tutup rapat dan dipanaskan pada suhu 100⁰C selama 5 menit. Kemudian
5 ml BF3 - metanol (boron triflouride 7% dalam metanol). Kemudian ditutup
rapat, dikocok dan dipanaskan kembali pada suhu 100⁰C selama 45 menit.
Ditambahkan 5 ml heksan dan diinkubasi selama 5 menit, ditutup dan dikocok
selama 30 detik kemudian ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh. Ditutup dan
dikocok kencang selama 10 menit, didiamkan 10 menit, ditempatkan di rotary
shaker selama 10 menit kemudian disentrifus selama 10 menit. Fase organik
(heksan) diambil dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, kemudian didiamkan selama
10 menit. Heksan dipekatkan, lalu diinjeksikan 2 µl ke dalam Gas
Chromatography.
Kolesterol daging dan feses
Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifus
ditambah dengan 8 ml alkohol : heksan (3:1), diaduk sampai homogen. Kemudian
pengaduk dibilas dengan larutan alkohol : heksan (3:1), dan disentrifus selama 10
menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100
36
ml, dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan kloroform sedikit demi
sedikit, sambil dituangkan ke dalam tabung berskala sampai volume 5 ml,
ditambahkan asam asetat anhidrat, lalu ditambahkan 0.2 ml H2SO4 pekat (p.a).
Campuran dikocok dan dibiarkan di tempat gelap selama 15 menit. Kemudian
absorbansinya dibaca pada gelombang 420 nm dengan standar yang digunakan
0.4 mg/ml.
Kadar kolesterol daging dapat dihitung dengan rumus :
(A sampel x konsentrasi sampel)/bobot sampel
Kadar kolesterol = --------------------------------------A standar
Analisis Data
Data yang diperoleh pada percobaan in vitro dianalisis dengan sidik ragam
(Analysis of Variance), sedangkan data yang diperoleh pada percobaan in vivo
dianalisis dengan sidik peragam (Analysis of Covariance). Analisis dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Terkecil atau Least Significant Difference (LSD) untuk
mengetahui perbedaan antarperlakuan (Steel & Torrie 1991).
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan di Laboratorium Surfactant and
Bioenergy Research Center (SBRC) dan Laboratorium Kimia Terpadu Institut
Pertanian Bogor, karakteristik minyak ikan disajikan pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8 Karakteristik Minyak Ikan untuk Amidasi
Jenis Analisis
Hasil
Bilangan iod
Bilangan penyabunan (mg KOH/g)
Bilangan asam (mg KOH/g)
Bobot jenis
Jenis asam lemak
Miristat
Palmitat
Palmitoleat
Stearat
Oleat
Linoleat
g-Linolenat
Arakidonat
EPA
DHA
158.09
201.80
1.40
0.89
Konsentrasi (%)
11.74
17.94
14.26
3.03
4.89
1.01
0.59
4.04
16.06
12.79
Produk Amida Minyak Ikan
Proses amidasi menggunakan n-butilamina mengikuti metode Feairheller
et al. (1994). Dari spektra hasil analisis menggunakan spektroskopi inframerah
(IR) didapat gugus amida asam lemak sebagai hasil reaksi minyak ikan dan
butilamina. Pada amida primer, vibrasi N-H berada pada angka gelombang 34003520 cm-1. Dari hasil uji spektrum IR sampel, maka diduga gugus N-H (ikatan
amida I) berada pada angka gelombang 3299.35 cm-1 (Gambar 5).
38
Gambar 5 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina
Amida asam lemak merupakan senyawa yang mempunyai reaktivitas yang
rendah dan stabilitas panas yang tinggi. Sifat kimia dari senyawa ini bergantung
pada panjang rantai hidrokarbon dan penggantian atom hidrogen pada atom N
(Bilyk et al. 1992). Karakteristik dari produk yang dianalisis Laboratorium Balai
Besar Pasca Panen dan Laboratorium Biologi Hewan PPSHB IPB tersaji pada
Tabel 9.
Tabel 9 Karakteristik Amida Minyak Ikan
Jenis Analisis
Hasil
Bilangan Iod
104.69
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g)
46.92
Bilangan Asam (mg KOH/g)
5.38
Bobot Jenis
0.81
Kadar Lemak (%)
93.43
Kadar N (%)
3.39
Pengaruh amidasi menurunkan bilangan iod karena pengaruh oksidasi
termal selama proses oksidasi memutuskan ikatan rangkap pada minyak, sehingga
jumlahnya berkurang. Namun, penurunan tersebut relatif kecil dibandingkan
39
dengan bahan bakunya (158 vs 104). Hal ini karena suhu yang digunakan tidak
terlalu tinggi (780C). Bilangan penyabunan turun tajam (201 vs 49) karena bahanbahan tersabunkan sisa amidasi terbuang setelah proses pencucian berkali-kali.
Proses oksidasi juga meningkatkan bilangan asam, karena terputusnya ester asam
lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas. Kadar lemak pada produk yang
dihasilkan menurun karena meningkatnya proporsi air dan kadar N pada proses
amidasi.
Bilyk et al. (1992) melakukan prosedur amidasi pada berbagai sumber
lemak menggunakan butilamina dengan perbandingan rasio molar 1:8. Meskipun
bilangan iod dari berbagai sumber lemak berbeda, laju reaksi relatif sama. Hal ini
menunjukkan bahwa ikatan rangkap terujung tidak terlibat dalam proses amidasi.
Fenomena ini terlihat pada hasil identifikasi senyawa amida yang terbentuk
menggunakan GC-MS disajikan pada Tabel 10, yang menunjukkan tingginya luas
area senyawa metil-eikosa-5,8,11,14,17-pentaenoat yang tidak teramidasi.
Tabel 10 Komposisi kimia utama hasil amidasi minyak ikan
No
Komponen
Luas Area (%)
1
Decanamide (kaprinamida)
2.41
2
Dodecanamide (lauramida)
4.85
3
Octadecanamide (stearamida)
34.93
4
9-Octadecenamide (oleamida)
12.48
5
Morinamide
3.49
6
Methyl-eicosa-5,8,11,14,17-pentaenoat
29.3
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta (2010)
Proses amidasi minyak ikan dengan menggunakan urea juga telah
dilakukan. Hasil spektrum IR memperlihatkan adanya gugus amida (N-H) yang
diduga merupakan urea yang tidak larut. Hasil amidasi juga tidak mencirikan
produk amida yang bersifat semi solid, dengan konsistensi masih berupa minyak
(Gambar 6).
40
Gambar 6 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea
Untuk meningkatkan kelarutan urea dalam minyak ikan, dilakukan
esterifikasi yang menghasilkan etil ester minyak ikan yang bersifat lebih polar.
Proses amidasi yang menggunakan etil ester minyak ikan dan urea tidak berhasil
membentuk gugus amida (N-H) (Gambar 7), hasilnya dapat dibandingkan dengan
minyak ikan tanpa perlakuan (Gambar 8).
Gambar 7 Spektra IR hasil reaksi etil ester minyak ikan dan urea
41
Gambar 8 Spektra IR minyak ikan
Kegagalan proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu
yang digunakan di bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor. Jenkins
dan Adams (2002) mereaksikan asam linoleat dan urea dengan pemanasan pada
suhu 190⁰C selama 4 jam, dan menghasilkan produk yang solid dengan
konsistensi seperti lilin.
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro
Uji ketahanan amida minyak ikan
(AMI) secara in vitro bertujuan
mengevaluasi ketahan AMI dalam sistem rumen, dan pengaruhnya pada
fermentasi dan lingungan rumen.
Kisaran pH rumen yang optimal untuk proses selulolisis, proteolisis, dan
deaminasi berkisar antara 6-7. Selulolisis terhambat total pada pH di bawah 6, dan
turunnya pH mengakibatkan turunnya kecernaan bahan kering. Penurunan nilai
pH berkorelasi dengan meningkatnya N mikrob, serta meningkatnya konsentrasi
VFA total dan parsial (Alltech 2012).
Status pH rumen in vitro akibat perlakuan berada pada tingkat optimal,
berkisar antara 6.71 sampai 6.96 (Tabel 11). Hasil sidik ragam memperlihatkan
tidak ada perbedaan nyata pada nilai pH antar perlakuan. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian amida minyak ikan (AMI) tidak mengganggu keseimbangan
lingkungan rumen, sehingga proses fermentasi masih dapat berjalan dengan baik.
42
Tabel 11 Rataan pH cairan rumen secara in vitro pada perlakuan penambahan
minyak ikan dan amida minyak ikan
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Waktu Inkubasi
0 jam
24 jam
6.96 ± 0.04
6.94 ± 0.06
6.90 ± 0.09
6.94 ± 0.11
6.91 ± 0.03
6.85 ± 0.04
6.85 ± 0.06
6.85 ± 0.05
48 jam
6.78 ± 0.09
6.80 ± 0.02
6.76± 0.09
6.71 ± 0.10
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Meskipun berbeda tidak nyata antarperlakuan, penambahan AMI
cenderung menurunkan pH setelah inkubasi 48 jam dibandingkan dengan
perlakuan minyak ikan (MI). Hasil ini menunjukkan penambahan AMI dapat
mengurangi gangguan fermentasi rumen akibat pemberian MI, sehingga produk
total asam yang dihasilkan lebih banyak.
Martin dan Jenkins (2002) melaporkan pada pH 5, distribusi asam lemak
rantai panjang atau long chain fatty acids (LCFA) pada kultur pH rendah sama
dengan proporsi LCFA pada medium, menunjukkan terhambatnya biohidrogenasi
oleh bakteri rumen. Hal ini karena bakteri utama yang terlibat pada proses
biohidrogenasi adalah bakteri selulolitik yang peka terhadap kondisi asam (pH<6)
dalam rumen.
Populasi protozoa mencapai setengah dari biomassa mikrob rumen, dan
sekitar tiga perempat asam lemak mikrob dalam rumen terdapat pada protozoa
(Jenkins et al. 2008). Pemberian AMI pada inkubasi 24 jam menurunkan populasi
protozoa secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol, namun
berbeda tidak nyata dengan perlakuan MI. Pada inkubasi 0 dan 24 jam, jumlah
protozoa berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan AMI pada
inkubasi 24 jam menunjukkan jumlah protozoa yang rendah (Tabel 12).
Penurunan jumlah protoza pada pemberian AMI, selain lemak merupakan agen
defaunasi bagi protozoa juga kemungkinan karena sifat racun dari amida.
43
Tabel 12 Rataan populasi protozoa/ml sampel rumen (105) secara in vitro pada
perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan
Perlakuan
0 jam
R0
R1
R2
R3
4.40 ± 2.88
4.93± 3.33
2.93± 2.20
5.57 ± 6.10
Waktu Inkubasi
12 jam
3.87a ± 2.05
2.13ab ± 1.97
1.07b ± 1.22
1.20b ± 1.39
24 jam
1.60 ± 1.44
1.20± 1.44
0.27 ± 0.46
0.67 ± 0.23
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Pakan tinggi lemak merupakan racun bagi protozoa rumen, karena
keterbatasan protozoa dalam memetabolisme asam lemak. Populasi protozoa
semakin menurun seiring banyaknya ikatan rangkap yang terkandung di dalam
asam lemak tidak jenuh berantai panjang (Hristov et al. 2004). Minyak yang
mengandung konsentrasi C:18 yang tinggi secara konsisten menurunkan jumlah
protozoa pada sapi dan domba. Data in vitro menunjukkan hilangnya masingmasing 48, 88, dan 100% protozoa pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% asam
linoleat pada media. Pada pemberian asam oleat, protozoa menurun masingmasing 26, 45, dan 78% pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% pada media inkubasi
(Hristov et al. 2005).
Amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam
amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk
pertumbuhan mikrob merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan
fermentasi hijauan (Wallace & Cotta 1988; Leng 1990). Tabel 13 memperlihatkan
konsentrasi amonia setelah inkubasi 6 jam, yang berbeda tidak nyata pada semua
perlakuan dan berada pada kisaran optimum yaitu 6-30 mg/dL atau 4-21 mM
(Yuan et al. 2010).
Hristov et al. (2004) melaporkan efek hambat yang kuat dari asam lemak
tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA) seperti asam linoleat dan
asam linolenat terhadap populasi dan aktivitas protozoa, kurang efektif dalam
menurunkan konsentrasi amonia. Asam lemak ini tidak menghambat aktivitas
proteolitik bakteri, tetapi menurunkan inkorporasi N pada protein protozoa.
44
Namun demikian, konsentrasi amonia yang tetap tinggi pada suplementasi minyak
dapat saja karena turunnya kebutuhan amonia untuk mendukung sintesis protein
mikrob (Kucuk et al. 2004).
Fermentasi dalam rumen menghasilkan asam lemak terbang atau volatile
fatty acids (VFA) sebagai produk utama untuk menyediakan energi dan karbon
untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan komunitas mikrob. Jumlah
VFA yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kecernaan serta kualitas ransum
yang difermentasi (Hvelplund 1991; Baldwin 1995). Konsentrasi VFA total
setelah inkubasi 6 jam berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan
dengan minyak ikan memperlihatkan jumlah VFA yang paling rendah, yaitu
119,52 mM (Tabel 12). VFA yang dihasilkan pada semua perlakuan berada pada
kisaran optimum bagi pertumbuhan mikrob, yaitu 80-180mM (Sutardi 1979).
Tabel 13 Rataan N-NH3, VFA total, produksi gas, dan protein mikrob secara in
vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan
Peubah
N-NH3 (mM)
VFA total (mM)
Produksi gas (ml)
Protein mikrob
(mg/L)
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
16.42 ± 3.88
152.73 ± 26.26
46.16a ± 8.30
517.10 ± 39.51
16.80 ± 4.09
119.52 ± 20.18
33.70b ± 4.93
509.10± 38.82
17.09 ± 4.10
153.40 ± 39.99
43.98a ± 9.12
500.64 ± 57.78
16.86 ± 4.6
130.30 ± 32.53
43.69a ± 4.53
511.38 ± 32.17
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Hasil penelitian ini mirip laporan Jenkins et al. (1996) yang mendapatkan
konsentrasi VFA total cenderung menurun pada pemberian minyak kedelai,
dibandingkan dengan pemberian butylsoyamide (amida minyak kedelai). Hal ini
mengindikasikan minyak kedelai mengganggu fermentasi rumen. Butylsoyamide
tidak mempengaruhi VFA rumen karena sifatnya yang inert dalam rumen.
Konversi trigliserida minyak kedelai menjadi amida asam lemak dapat
mengurangi pengaruh negatif minyak pada fermentasi rumen.
45
Konsentrasi VFA parsial setelah inkubasi 24 jam berbeda tidak nyata
antarperlakuan, namun ada kecenderungan turunnya rasio asetat:propionat secara
konsisten pada pemberian MI dan AMI, dibandingkan dengan kontrol (Tabel 14).
Turunnya rasio asetat:propionat mencerminkan terganggunya fermentasi serat
akibat sifat antibakteri asam lemak, dan terjadinya degradasi sebagian pada amida
oleh bakteri rumen, sehingga membebaskan asam lemak yang bersifat antibakteri
(Jenkins 1994).
Tabel 14 Rataan VFA parsial (mM) secara in vitro pada perlakuan penambahan
minyak ikan dan amida minyak ikan
Peubah
Perlakuan
Asetat (mM)
Propionat (mM)
Isobutirat (mM)
n-Butirat (mM)
Isovalerat (mM)
Rasio A:P
R0
R1
R2
R3
32.50 ± 3.98
11.52 ± 1.55
1.54 ± 0.17
4.80 ± 0.72
1.48 ± 0.58
2.85 ± 0.40
40.84 ± 11.06
15.73 ± 4.23
2.43 ± 0.23
6.63 ± 1.80
2.21 ± 0.28
2.68 ± 0.92
27.96± 5.38
11.79 ± 0.66
1.85 ± 0.80
3.32 ± 2.00
1.61 ± 0.83
2.36 ± 0.32
36.37 ± 25.40
15.95 ± 11.81
1.84 ± 0.52
6.74 ± 5.69
1.97 ± 0.51
2.32 ± 0.09
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi isobutirat dan
isovalerat dibandingkan dengan pemberian MI. Isobutirat dan isovalerat
merupakan asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty acids (BCFA)
dalam rumen yang berasal dari pemecahan asam amino rantai cabang atau
branched
chain
amino
acids
(BCAA).
Turunnya
konsentrasi
BCFA
mengindikasikan terhambatnya katabolisme asam amino (Hristov et al. 2004).
Penurunan populasi protozoa pada suplementasi AMI diduga mengakibatkan
berubahnya proporsi VFA yang secara tipikal berhubungan dengan turunnya
jumlah protozoa dalam rumen. Protozoa rumen terutama jenis Ciliata mempunyai
kapasitas proteolitik yang kuat. Penurunan populasi protozoa menurunkan
proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak pada penurunan konsentrasi
BCFA. Pada pemberian minyak, proporsi molar propionat diharapkan meningkat
dari konversi gliserol yang dipasok dari hasil hidrolisis triasilgliserol menjadi
46
propionat (Kucuk et al. 2004; Hristov et al. 2005). Hal ini terlihat pada
suplementasi MI dan AMI yang cenderung meningkatkan konsentrasi propionat
dibandingkan dengan kontrol.
Menurut Oldick & Firkins (2000), defaunasi menurunkan konsentrasi
asam butirat dan meningkatkan konsentrasi propionat, yang berhubungan dengan
turunnya populasi protozoa rumen pada pemberian lemak. Turunnya proporsi
asetat dan kecernaan serat mengindikasikan turunnya pertumbuhan atau aktivitas
bakteri selulolitik. LCFA bersifat toksik bagi beberapa jenis bakteri selulolitik
dalam rumen. Bakteri penghasil asetat lebih rentan terhadap pengaruh toksik dari
LCFA dibandingkan dengan bakteri penghasil propionat (Fotouhi & Jenkins
1992a; Ramos et al. 2009).
Pencernaan anaerobik dari selulosa, xylan, pati, pektin, dan gula oleh
mikrob rumen menghasilkan VFA, CO2, CH4, dan sejumlah kecil H2. Baik pada in
vivo maupun in vitro, VFA bereaksi dengan bufer bikarbonat melepaskan CO2,
sehingga produksi gas berjalan secara simultan dan seiring dengan pencernaan
serat (Schofield et al. 1994).
Total produksi gas selama
inkubasi 48 jam berbeda nyata (P<0,05)
antarperlakuan. Perlakuan minyak ikan menghasilkan produksi gas terendah, yaitu
33,70 ml (Tabel 12). Hal ini menunjukkan adanya gangguan fermentasi pakan
dalam rumen akibat pemberian minyak. Hal ini sejalan dengan rendahnya VFA
total yang dihasilkan pada perlakuan tersebut. Turunnya produksi gas juga dapat
disebabkan penggunaan H2 oleh bakteri untuk biohidrogenasi PUFA dalam MI.
Biohidrogenasi lemak dalam rumen dapat mengurangi penggunaan H2 untuk
produksi metan yang berimplikasi pada turunnya produksi gas (Mohammed et al.
2004).
Terdapat hubungan yang kuat antara laju kehilangan bahan organik secara
in vitro dan produksi gas. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi
mencerminkan jumlah substrat yang dicerna dan jalur metabolik mikrob. Asetat
dan butirat yang dihasilkan selama fermentasi, berhubungan dengan pelepasan
CO2 langsung dari metabolisme mikrob. Laju kecernaan dan sintesis mikrob dapat
mempengaruhi keseimbangan produk akhir metabolis antara gas dan VFA (Doane
et al. 1997).
47
Protein mikrob mempunyai keseimbangan asam amino yang baik,
sehingga sintesisnya dalam rumen perlu dioptimalkan. Nilai dari efesiensi sintesis
mikrob ditunjukkan sebagai gram N mikrob/kilogram bahan organik yang
tercerna dalam rumen (Ramos et al. 2009). Rataan sintesis protein mikrob setelah
inkubasi 48 jam tidak berbeda nyata antarperlakuan (Tabel 13).
Hal ini seiring dengan konsentrasi amonia yang merupakan sumber N bagi
pertumbuhan bakteri, bahkan 80% bakteri dapat tumbuh dengan amonia sebagai
satu-satunya sumber N. Ketersediaan VFA dan amonia yang cukup dapat
meningkatkan
sintesis
protein
mikrob.
Turunnya
konsentrasi
amonia
menunjukkan penurunan asupan N atau turunnya degradasi protein. (Baldwin
1995; Ramos et al. 2009 ).
Kim
et
al.
(2007)
melaporkan
pemberian
PUFA
menghambat
pertumbuhan protozoa rumen. Reduksi protozoa rumen diharapkan meningkatkan
proliferasi bakteri, sehingga pasokan N bakteri pascarumen meningkat pula. Hasil
penelitian tidak menunjukkan peningkatan sintesis protein mikrob, kemungkinan
karena percobaan dilakukan secara in vitro sehingga bakteri terakumulasi baik
yang masih hidup maupun yang telah lisis. Selain itu, populasi bakteri bersifat
dinamis, jika satu jenis bakteri dihambat pertumbuhannya maka bakteri jenis lain
akan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pemberian AMI
berdampak negatif terhadap populasi protozoa, tetapi relatif tidak berpengaruh
pada populasi bakteri.
Rataan degradasi bahan organik (DBO) pada perlakuan MI dan AMI
berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol pada inkubasi 24 dan 48 jam.
Rataan degradasi bahan kering (DBK) pada perlakuan MI dan AMI juga berbeda
nyata (P<0,05) dibanding kontrol pada semua masa inkubasi (Tabel 15). Hal ini
menunjukkan lemak berpengaruh negatif pada kecernaan pakan.
Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu
fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi
dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat
menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan
kecernaan ini disebabkan lemak yang melapisi partikel pakan, sehingga
menghambat pelekatan enzim mikrob (Jenkins 1993).
48
Tabel 15 Rataan DBO (%) dan DBK (%) secara in vitro pada perlakuan
penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan
Perlakuan
0 jam
R0
R1
R2
R3
6.90a ± 2.20
2.15b ± 1.72
4.82ab ± 2.82
3.79b ± 1.58
R0
R1
R2
R3
11.29a ± 4.54
2.41b ± 1.37
4.45b ± 1.05
5.05b ± 0.75
Waktu Inkubasi
24 jam
DBO (%)
21.14a ± 1.15
9.29b ± 0.93
9.69b ± 2.10
11.93b ± 4.32
DBK (%)
19.71a ± 1.31
8.77b ± 0.55
9.87b ± 2.03
11.69b ± 4.17
48 jam
35.23a ± 4.40
22.25b ± 3.14
24.77b ± 8.33
23.31b ± 6.81
32.68a ± 3.36
21.67b ± 3.22
23.55b ± 8.45
22.78b ± 6.83
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Jenkins (1993) juga menambahkan, pengaruh yang beragam dari sumber
lemak pada fermentasi disebabkan perbedaan struktur lipid. Salah satu faktor
adalah derajat ketidakjenuhan, karena asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty
acids (UFA) menghambat fermentasi lebih besar daripada asam lemak jenuh atau
saturated fatty acids (SFA). Kelompok karboksil bebas pada lemak yang tidak
terlindungi tampaknya merupakan penghambat yang penting pada fermentasi
rumen.
Terhambatnya fermentasi rumen pada pemberian MI yang ditandai dengan
turunnya DBO dan DBK secara nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol,
menunjukkan sifat antimikrob lipid. Sifat antimikrob lipid pada rumen mirip
dengan pengaruh sitotoksik asam lemak pada fungsi membran sel eukarotik.
LCFA melekat pada lipid bilayers pada membran biologis karena sifat hidrofobik
dan ampifiliknya. Lipid dalam rumen menghambat fermentasi dengan cara
memasuki membran plasma mikrob dan mengganggu fungsinya (Jenkins 1993).
Suplementasi AMI juga menurunkan DBO dan DBK secara nyata
(P<0.05) ) dibandingkan dengan kontrol. Terhambatnya fermentasi rumen pada
pemberian AMI dapat disebabkan oleh pemecahan amida oleh bakteri rumen
49
yang membebaskan asam lemak yang bersifat antimikrob, atau sifat antimikrob
secara langsung dari amida sendiri. Hasil serupa juga dilaporkan Jenkins (1997)
pada pemberian hydroxyethylsoyamide (HESA) yang mengakibatkan turunnya
kecernaan nutrien pada domba. Menurunnya populasi protozoa pada pemberian
MI dan AMI berdampak pada penurunan kecernaan serat, karena protozoa terlibat
dalam sepertiga aktivitas selulolitik rumen (Hristov et al. 2005).
Meskipun berbeda tidak nyata, pemberian AMI cenderung meningkatkan
DBO dan DBK dibandingkan dengan pemberian MI. Jenkins et al. (1996)
melaporkan proteksi asam lemak dengan ikatan amida dapat mencegah gangguan
fermentasi rumen yang sering terjadi bila UFA ditambahkan ke dalam pakan
ruminansia.
Substitusi kelompok karboksil asam lemak dengan kelompok
fungsional yang lain, seperti alkohol dan aldehid dapat menekan pengaruh negatif
pada fermentasi in vivo dan in vitro. Dugaan kelompok karboksil bebas diperlukan
untuk mengganggu fungsi membran, dapat dijelaskan dengan fakta penambahan
lemak dalam bentuk trigliserida, sabun kalsium, dan amida menyebabkan
berkurangnya gangguan fermentasi rumen (Jenkins 1993).
Biohidrogenasi UFA oleh mikrob rumen mengurangi aliran UFA ke
duodenum, sehingga pemberian minyak kaya UFA untuk ruminansia hanya
sedikit meningkatkan ketidakjenuhan jaringan tubuh, bahkan mengganggu
fermentasi rumen dan kecernaan serat. Perlindungan lipid terhadap biohidrogenasi
mikroorganisme rumen telah dimulai dengan menggunakan formaldehida. Teknik
ini berhasil melindungi sejumlah besar PUFA dari degradasi rumen. Penggunaan
formaldehida saat ini kurang populer karena meninggalkan residu yang
membahayakan kesehatan. Penggunaan garam kalsium dalam melindungi asam
lemak dari biohidrogenasi rumen juga populer, terutama pada minyak sawit.
Perlindungan yang lebih mutakhir dalam bentuk ikatan amida, yang merupakan
hasil reaksi antara UFA dan amina primer yang tahan terhadap biohidrogenasi
dan mengurangi gangguan fermentasi rumen (Jenkins et al. 1996; Chilliard et al.
2000).
Pada Tabel 16 terlihat bahwa degradasi amida setelah inkubasi 24 jam
pada penambahan 5% amida sebesar 30%, sedangkan pada penambahan 10%
amida turun menjadi 13%. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan bahwa
50
meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat bertahan
dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat. Pada
suplementasi linolamida, konsentrasi asam linoleat masih tetap tinggi pada kultur
setelah inkubasi selama 24 dan 48 jam, dan dalam duodenum dibandingkan
dengan konsentrasi asam linoleat pada suplementasi asam linoleat. Amida tahan
terhadap biohidrogenasi hanya bila ikatan amida berbentuk utuh, karena
kelompok karboksil bebas dibutuhkan untuk aktivitas biohidrogenasi oleh enzim
mikrob.
Senyawa AMI dalam kultur dianalisis pada inkubasi 0 dan 24 jam. Hasil
pengukuran tidak dianalisis secara statistik, disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Senyawa amida (%) pada kultur in vitro pada perlakuan penambahan
minyak ikan dan amida minyak ikan
Waktu Inkubasi
0 jam
24 jam
R0
0
8.16
Perlakuan
R1
R2
0
72.3
0
50.72
R3
75.55
65.56
Keterangan: R0 = Substrat hijauan jagung
R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan
R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan
R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Demeyer dan Doreau (1999) melaporkan pemberian lemak dalam bentuk
garam kalsium bersifat inert dalam rumen. Meskipun tidak mempengaruhi
metabolisme mikrob dalam rumen, garam kalsium mengalami hidrogenasi bila
kandungan asam lemaknya tidak jenuh dan pH rumen rendah. Kedua faktor
tersebut meningkatkan disosiasi garam kalsium. Lundy et al. (2004)
membandingkan efektivitas garam kalsium dan amida terhadap biohidrogenasi
rumen mendapatkan biohidrogenasi asam oleat lebih rendah pada amida daripada
garam kalsium. Namun demikian, penggunaan amida tidak memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan garam kalsium dalam mengurangi biohidrogenasi
asam linoleat. Hal ini diduga karena ikatan amida kurang stabil pada PUFA
dibandingkan asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids
(MUFA).
Penelitian ini tidak berhasil mengukur asam lemak yang terkandung dalam
kultur secara kuantitatif dengan menggunakan GC-FID. Kandungan senyawa
51
amida dideteksi secara kualitatif menggunakan
GC-MS. Pada perlakuan kontrol
(tanpa sumber minyak), ternyata setelah inkubasi 24 jam terdeteksi senyawa
amida. Hal ini diduga karena terjadi kontaminasi, baik pada waktu penanganan
ataupun analisis sampel.
Uji Efektivitas Amida Pascarumen
Uji efektivitas amida pascarumen menggunakan tikus sebagai hewan
model pascarumen. Hal ini karena pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan
dengan pencernaan monogastrik pada nonruminansia.
Nilai hematologi darah
Eritrosit merupakan bagian sel darah yang telah berdiferensiasi jauh dan
mempunyai fungsi khusus untuk pengangkutan oksigen. Pembentukan sel darah
merah berlangsung dalam sumsum tulang, yang dikendalikan oleh mekanisme
umpan balik negatif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui
darah. Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb), sejenis protein pengikat dan
pembawa oksigen yang mengandung besi. Persentase eritrosit di dalam 100 ml
darah total dinyatakan sebagai hematokrit (Leeson et al. 1990; Campbell et al.
2004).
Tabel 17 menunjukkan jumlah eritrosit pada semua kelompok perlakuan
berbeda tidak nyata dan masih berada dalam kisaran normal, yaitu 7x1069,7x106/mm3 (Ringler & Dabich 1979). Kadar Hb antarperlakuan juga tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pada perlakuan D dan E, kadar Hb
berada di bawah kisaran normal yaitu 11.4-19.2 g/dL. Pada perlakuan D, kadar Hb
adalah 10.94 g/dL dan nilai hematokrit adalah 32.92% paling rendah di antara
semua perlakuan. Nilai hematokrit yang rendah sangat dipengaruhi oleh kadar Hb
yang rendah, karena nilai hematokrit kira-kira tiga kali nilai Hb. Tikus yang
digunakan pada percobaan ini mempunyai nilai hematokrit yang lebih rendah dari
kisaran normal, yaitu 40.5-53% (Ringler & Dabich 1979).
Ada beberapa kemungkinan turunnya kadar Hb pada perlakuan D dan E.
Kemungkinan pertama sifat toksik dari amida yang merusak membran plasma
eritrosit, sehingga hemoglobin keluar dari sel ke dalam plasma yang disebut juga
hemolisis (Leeson et al. 1990). Kemungkinan lain, buruknya status nutrisi yang
52
disebabkan turunnya konsumsi dan kecernaan nutrien, serta gangguan
penyerapannya di usus halus menyebabkan menurunnya pasokan protein yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Tampaknya kemungkinan status nutrisi
yang menurun berpengaruh kuat dalam menurunkan kadar Hb pada tikus
percobaan, hal ini dibuktikan dengan kadar Hb yang normal pada perlakuan A, B,
dan C yang mempunyai kecernaan nutrien yang relatif tinggi.
Tabel 17 Nilai rata-rata hematologi darah tikus pada perlakuan suplementasi
minyak ikan dan amida minyak ikan
Peubah
6
3
Eritrosit (10 /mm )
Hematokrit (%)
Hb (g/dL)
Leukosit(103/mm3)
• Neutrofil (103/mm3)
• Limfosit (103/mm3)
• Monosit (102/mm3)
• Eosinofil (102/mm3)
A
8.57
35.92ab
12.14
13.01ab
3.38
8.90
4.98
2.30
B
7.67
37.46a
12.03
10.66b
2.42
7.72
2.93
2.40
Perlakuan
C
8.01
36.96a
11.98
14.80ab
2.61
11.19
6,34
3,64
D
8.39
32.92b
10.94
14.69ab
4.68
9.28
4.31
3.07
E
7.90
34.82ab
11.32
18.00a
3.99
13.04
7.51
2.16
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
A = Ransum kontrol (8% minyak jagung)
B = Suplementasi 4,5% minyak ikan
C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan
D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan
E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Hensyl (1990) mendefinisikan imunitas sebagai status atau kualitas
ketahanan suatu organisme terhadap infeksi. Leukosit merupakan bagian dari
sistem ketahanan tubuh yang terpenting. Sistem imun menggunakan sistem
limfatik dan peredaran darah sebagai lalu lintasnya ke seluruh tubuh. Hal ini
meliputi produksi antibodi yang spesifik yang mengenali organisme penginfeksi
atau material asing lainnya (antigen) atau aktivasi jaringan proteksi dari sel
khusus yang disebut limfosit (Sherman & Hallquist 1990; Gurr 1992).
Jumlah leukosit pada kelompok tikus perlakuan B nyata lebih rendah
(P<0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan E, meskipun masih
berada dalam kisaran normal yaitu 6000-18000/mm3 (Ringler & Dabich 1979).
Hal ini karena pemberian PUFA n-3 dalam jumlah moderat dapat mengatur fungsi
imun, dan menekan kejadian infeksi (McCowen & Bistrian 2003). Meningkatnya
53
konsumsi asam α-linolenat dapat menurunkan produksi interleukin 1β (IL-1β) dan
tumor necrosis factor (TNF-α) oleh oleh monosit darah, dan menurunkan
proliferasi limfosit darah. Pemberian minyak ikan pada tikus, mencit, atau kelinci
juga memperlihatkan penekanan proliferasi limfosit, aktivitas sitotoksik limfosit
T, aktivitas natural killer (NK), fagositosis yang dimediasi oleh makrofag, dan
penurunan produksi interleukin 2 (IL-2)yang bergantung pada proliferasi limfosit
(Thies et al. 1999; Kew et al. 2003).
Sebaliknya, pada kelompok tikus perlakuan E jumlah leukosit meningkat
nyata seiring dengan meningkatnya limfosit. Namun, jumlah leukosit tidak dapat
memberi informasi yang spesifik, dan diperlukan jumlah diferensiasi leukosit
untuk menjabarkannya (Aboderin & Oyetayo 2006).
Secara statistik, jumlah diferensiasi leukosit berbeda tidak nyata pada
semua kelompok perlakuan. Pada kelompok tikus perlakuan E menunjukkan
peningkatan pada jumlah limfosit dan monosit, yang kemungkinan sebagai
respons perlawanan tubuh terhadap sifat toksin dari amida. Kresno (1996)
menjelaskan bahwa bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, selsel
radang
seperti
neutrofil,
eosinofil,
monosit,
dan
makrofag
akan
menghancurkannya secara fagositosis, dengan memproduksi superoksida dan
jenis oksigen reaktif. Monosit dan makrofag juga menghasilkan sitokinin, yang
menghubungkan sel-sel radang dengan imunitas spesifik karena dapat merangsang
limfosit T dan B. Limfosit T berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi
virus dan merusak beberapa sel kanker, sedangkan limfosit B berperan dalam
pembentukan antibodi (Kew et al. 2003; Medicastrore 2012).
Profil lemak plasma dan jaringan otot
Lipoprotein merupakan kompleks protein-lipid dalam darah, yang terdiri
atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL)
yang molekulnya terdiri atas 46% kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau
high density lipoproteins (HDL) yang mengandung 20% kolesterol, dan
lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very low density lipoproteins (VLDL)
yang mengandung 8% kolesterol. Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL
merupakan penyebab utama timbulnya penyakit jantung koroner, sebaliknya HDL
berperan sebagai pelindung (Bender 1992).
54
Fungsi utama lipoprotein plasma mengangkut lipid dari tempat penyerapan
atau produksi, melalui sistem sirkulasi ke tempat yang menggunakannya.
Pembentuk lipoprotein seperti kolesterol dan trigliserida juga mempengaruhi laju
sintesis kolesterol dan asam lemak pada jaringan tubuh. Apolipoprotein
merupakan komponen esensial dalam mempertahankan struktur lipoprotein, dan
apolipoprotein tertentu bertindak sebagai kofaktor untuk integrasi enzim pada
metabolisme lipid dan mediasi pengikatan lipoprotein pada jaringan tubuh yang
dituju (Etherton & Etherton 1982). Rataan konsentrasi
lemak plasma tikus
percobaan disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Rataan konsentrasi lemak plasma dan daging tikus pada perlakuan
suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan
Peubah
Plasma
Kolesterol total
(mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)
HDL (mg/dl)
LDL (mg/dl)
Kolesterol daging
(mg/100g)
Perlakuan
A
B
C
D
E
48,89
40,95
42,86
54,10
47,92
50,04b
29,51
8.15b
73.67b
50,73b
21,81
8.33b
78.07b
64,26b
19,69
8.31b
84,81b
122,23a
20,69
11.65a
104.68a
94,56ab
24,06
11.43a
90.42a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
A = Ransum kontrol (8% minyak jagung)
B = Suplementasi 4,5% minyak ikan
C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan
D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan
E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Total kolesterol plasma dan HDL berbeda tidak nyata pada semua
kelompok perlakuan. Hal ini kemungkinan karena ransum kontrol mengandung
minyak jagung yang kaya asam linoleat yang mencapai 58%. Dari beberapa studi
metabolik melaporkan bahwa asam linoleat berpengaruh kuat dalam menurunkan
kolesterol plasma (Hu et al. 2001). Salah satu fungsi HDL adalah mengangkut
kolesterol dari jaringan peripheral kembali ke hati, selanjutnya digunakan untuk
sintesis asam empedu yang disekresi ke dalam jaringan usus. Sebagian besar
kolesterol serum pada tikus adalah HDL, dan memerlukan suplementasi tinggi
55
kolesterol dengan asam empedu dan tiourasil untuk menyebabkan arteriosklerosis
dan hiperlipidemia yang parah (Starr 1994; Harris 1997).
Suplementasi MI cenderung menurunkan konsentrasi kolesterol total
dibandingkan dengan kontrol, terutama karena menurunnya konsentrasi HDL. Hal
ini sejalan dengan laporan Harris (1997) yang menyatakan bahwa konsentrasi
kolesterol biasanya turun pada substitusi minyak ikan pada lemak jenuh maupun
lemak tak jenuh. Hal ini hampir selalu disebabkan menurunnya konsentrasi HDL,
sedangkan penurunan konsentrasi LDL tidak konsisten.
LDL merupakan hasil kerja enzim lipolitik pada VLDL dalam sirkulasi
darah. Faktor yang mempengaruhi sintesis dan sekresi VLDL memainkan peranan
penting dalam mengatur produksi LDL. VLDL terdiri atas trigliserida, fosfolipid,
kolesterol, ester kolesterol, dan berbagai apolipoprotein. Potensi ketersediaan
berbagai komponen tersebut akan mempengaruhi sintesis VLDL. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa ketersediaan kolesterol merupakan faktor terpenting.
Kolesterol dapat berasal dari ransum atau sintesis de novo. Sintesis de novo
terutama dikontrol oleh penghambatan umpan balik sterol dari enzim
hidroxymethylglutaryl-CoA
(HMG-CoA) reduktase dan HMG-CoA sintase
(Salter & White 1996).
Konsentrasi LDL plasma meningkat nyata (P<0,05) pada kelompok tikus
perlakuan D dan E. Hal ini diduga karena asam-asam lemak ikatan rangkap terikat
kuat dalam kompleks amida, sehingga penyerapannya dalam usus terhambat.
Selain itu, proses amidasi mengakibatkan putusnya ikatan rangkap pada minyak,
sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang. Amida merupakan ikatan yang
kuat, yang hanya terhidrolisis dalam larutan asam dan basa kuat (Wilbraham &
Matta 1992).
Minyak ikan yang digunakan dalam proses amidasi mengandung asam
miristat (C14) dan asam palmitat (C16) yang relatif tinggi, masing-masing
11.74% dan 17.94%. Asam lemak jenuh dengan 12-16 jumlah karbon cenderung
meningkatkan konsentrasi kolesterol total dan LDL plasma. Cara kerjanya diduga
dengan menekan reseptor terikat yang membersihkan kolesterol LDL dari
peredaran dan dengan meningkatkan sekresi VLDL kolesterol oleh hati.
Dibandingkan asam laurat (C12) dan asam palmitat, asam miristat lebih
56
berpotensi dalam meningkatkan kadar kolesterol plasma (Ginsberg & Karmally
2000; Hu et al. 2001).
Kelompok tikus perlakuan D memperlihatkan konsentrasi tigliserida
plasma yang nyata lebih tinggi (P<0,05), dibandingkan kelompok tikus perlakuan
A, B, dan C, namun tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus perlakuan E.
Seperti dugaan di atas, karena ikatan amida yang kuat mengganggu penyerapan
dalam usus halus, dan terjadinya penjenuhan ikatan rangkap pada proses amidasi
berimplikasi pada meningkatnya trigliserida plasma. Pemberian PUFA dapat
menurunkan trigliserida plasma melalui mekanisme penurunan produksi
endogenous lipoprotein yang kaya trigliserida (medium transport trigliserida
dalam darah), meningkatkan eliminasi lipoprotein yang kaya trigliserida, atau
meningkatkan aktivitas lipase lipoprotein. Selain itu, minyak ikan dapat diserap
secara efisien dalam usus dan dioksidasi lebih cepat daripada asam lemak lain,
sehingga berkonstribusi pada penurunan trigliserida (Herzberg 1991; Djoussé et
al. 2003).
Minyak ikan mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi kolesterol
plasma dan trigliserida dengan cara menghambat sintesis trigliserida dan VLDL
dalam hati. Produksi apolipoprotein B menurun dengan konsumsi minyak ikan
dibandingkan dengan minyak tumbuhan seperti minyak safflower atau minyak
zaitun. Mekanisme ini diperkuat dengan uji kultur hepatosit kelinci dan tikus
pada EPA dapat menghambat sintesis trigliserida dan merangsang sintesis
membran fosfolipid. Hasil serupa tidak ditunjukkan pada penggunaan minyak
zaitun (Connor 2000). Peningkatan tingkat pemberian AMI semakin menurunkan
pasokan EPA, sehingga tidak cukup untuk menghambat sintesis trigliserida dalam
hati.
Kadar kolesterol daging juga menunjukkan pola yang sama dengan kadar
trigliserida plasma. Konsekuensi dari meningkatnya kadar trigliserida terutama
asam miristat dan asam palmitat mengakibatkan peningkatan kolesterol plasma
yang terdeposisi dalam daging. Dalam sitosol, asam palmitat mengalami
perpanjangan menjadi asam lemah jenuh rantai panjang yang merupakan
prekursor kolesterol. Sintesis kolesterol de novo terutama terjadi di hati dan usus
57
halus, dan pengaturannya bergantung pada ketersediaan kolesterol dalam darah
(Goodridge & Sul 2000).
Pertumbuhan dinyatakan sebagai produksi sel-sel baru, tidak hanya
multiplikasi (hiperplasia) tetapi juga pembesaran sel (hipertropi) dan inkorporasi
komponen spesifik dari lingkungan. Pertumbuhan termasuk deposisi lemak,
meskipun massa otot menjadi perhatian utama (Owens et al. 1993). Pemberian
ransum tinggi lemak pada tikus dewasa dan sedang tumbuh menyebabkan
deposisi lemak tubuh yang lebih besar karena peningkatan jumlah dan ukuran sel
adiposa (Chilliard, 1993).
Sintesis trigliserida pada jaringan adiposa bergantung pada sumber karbon
untuk gliserol dan ketersediaan asam lemak untuk esterifikasi. Sumber asam
lemak untuk sintesis trigliserida dapat berasal dari sintesis asam lemak de nuvo
pada jaringan adiposa, asupan asam lemak bebas dari plasma, dan asam lemak
yang berasal dari hidrolisis kilomikron dan trigliserida VLDL oleh lipoprotein
lipase (LPL) (Etherton & Etherton 1982).
Pada Gambar 9 terlihat bahwa pemberian amida minyak ikan
meningkatkan proporsi asam palmitat dan palmitoleat dalam daging secara
konsisten. Kondisi ini berhubungan erat dengan naiknya konsentrasi trigliserida
dan LDL plasma, serta kolesterol daging. Bila dibandingkan dengan
kelompok
yang mendapat minyak ikan, terjadi peningkatan proporsi oleat dan linoleat yang
linear pada kelompok yang disuplementasi amida minyak ikan. EPA dan DHA
menurun secara linear dengan tingkat suplementasi amida minyak ikan, karena
proses amidasi mengurangi pasokan EPA dan DHA untuk tikus. Pada kelompok
kontrol, kandungan oleat dan linoleat jauh lebih tinggi daripada perlakuan lainnya,
karena minyak jagung merupakan sumber oleat dan linoleat yang baik.
Sheppard dan Herzberg (1992) melaporkan kandungan palmitat, oleat, dan
linoleat pada semua jaringan tubuh tikus yang mendapat minyak jagung mencapai
85% dari total asam lemak, sedangkan pada tikus yang mendapat minyak ikan
kandungannya 65%. EPA dan DHA sangat rendah dan hampir tidak terdeteksi
pada tikus yang diberi minyak jagung. Pada tikus yang mendapat minyak ikan
kandungan EPA dan DHA mencapai 4% dari keseluruhan asam lemak.
Menariknya, pada semua jaringan tubuh EPA terdapat dalam jumlah yang relatif
58
lebih kecil daripada DHA. Hal ini diduga penggunaan EPA atau retensi DHA
berlangsung selektif.
Dibandingkan dengan linoleat dan linolenat, efisiensi deposisi EPA dan
DHA cenderung rendah. Rendahnya inkorporasi dapat disebabkan oleh oksidasi
selektif, retrokonversi, atau deposisi pada jaringan lain. Hasil tersebut menguatkan
pengaruh komposisi asam lemak dalam ransum pada komposisi trigliserida, dan
memperlihatkan secara jelas bahwa PUFA n-3 disimpan secara efisien sebagai
cadangan trigliserida pada jaringan tubuh (Lin & Connor 1990;Sheppard &
Herzberg 1992).
Hasil serupa juga diperlihatkan pada penelitian ini, kandungan palmitat,
oleat, dan linoleat pada tikus yang diberi minyak jagung mencapai 57%,
sedangkan pada tikus yang disubstitusi dengan minyak ikan kandungannya 44%.
Pada tikus yang disubtitusi minyak ikan dengan konsentrasi EPA 16.06%
inkorporasinya dalam jaringan adiposa hanya 0.87%, sedangkan DHA dengan
konsentrasi 12.79% dalam minyak ikan terinkorporasi dalam jaringan adiposa
sebesar 3.06%.
Lin & Connor (1990) juga mendapatkan bahwa rasio DHA:EPA lebih
tinggi pada jaringan adiposa daripada dalam ransum. Kemampuan DHA
berinkorporasi ke dalam jaringan adiposa tiga kali lipat dibanding EPA. Terdapat
kemungkinan sejumlah EPA dikonversi menjadi DHA, karena EPA merupakan
prekursor DHA pada jalur sintesis asam lemak n-3. Karena DHA merupakan asam
lemak yang paling banyak terdapat dalam plasma, fenomena tersebut merupakan
hal yang wajar.
Pada tikus, komposisi asam lemak pada otot dan jaringan lemak dapat
dimodifikasi dengan memberi sumber minyak yang sesuai, karena asam lemak
diserap sepenuhnya dalam usus halus dan terinkorporasi dalam jaringan lemak.
Kandungan jenis asam lemak jaringan otot dan lemak tikus dapat menjadi
petunjuk jenis asam lemak yang dikonsumsi (Wood et al. 1998).
Lemak dalam ransum menyediakan substrat untuk pengisian lipid pada
jaringan adiposa, dan berpotensi dalam mengatur perkembangan jaringan adiposa.
Pada nonruminansia, lemak ransum menghambat sintesis asam lemak de nuvo dan
mengubah profil asam lemak jaringan adiposa dan jaringan lain, sehingga
59
mencerminkan profil asam lemak dalam ransum. Pemberian lemak tak jenuh
menghasilkan peningkatan kadar lipid tak jenuh pada jaringan adiposa subkutan
dan intramuskular (Hausman et al. 2009).
Pada rodensia, lipogenesis terjadi dalam hati dan jaringan adiposa.
Lipogenesis yang terjadi dalam hati secara spesifik dipengaruhi oleh derajat
ketidakjenuhan asam lemak yang menghambat aktivitas enzim fatty acid synthase
(FAS). Pada jaringan adiposa, tingkat penghambatan tidak berbeda antara lemak
jenuh dan lemak tidak jenuh. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas FAS berbeda
antarjaringan. Pada spesies dimana hati merupakan tempat lipogenesis utama,
UFA mempunyai efek hambat yang lebih besar daripada SFA. Pada tikus terbukti,
pemberian minyak ikan menurunkan ukuran sel dan bobot lapisan lemak (Azain
2004).
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
pemberian
AMI
cenderung
meningkatkan proporsi palmitat secara konsisten dibandingkan pemberian MI.
Hal ini diduga karena proses amidasi telah mengubah proporsi asam lemak dari
minyak ikan. Proses oksidasi termal menyebabkan terputusnya ikatan rangkap
pada minyak ikan sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang, atau
terputusnya rantai LCFA menjadi asam lemak yang lebih pendek. Meningkatnya
derajat kejenuhan lemak ransum menyebabkan meningkatnya lipogenesis dalam
hati. Naiknya kandungan palmitoleat pada pemberian AMI secara konsisten
merupakan hasil dari aktivitas enzim ∆-9 desaturase, yang mengubah palmitat
menjadi palmitoleat. Hal ini sejalan dengan laporan Clarke (1993) yang
menyatakan bahwa, lemak PUFA mempunyai kemampuan unik dalam menekan
pembentukan dan akumulasi asam lemak n-9. Kelompok asam lemak n-9
meningkat, jika ketersediaan SFA meningkat sebagai hasil dari peningkatan
aktivitas biosintesis asam lemak de novo, atau dari suplementasi lemak dalam
ransum.
Pemberian AMI tidak memperlihatkan kenaikan yang konsisten pada
kandungan laurat, miristat, dan stearat dibandingkat pemberian MI. Stearat
mengalami desaturasi menjadi oleat yang dikatalisasi oleh enzim ∆-9 desaturase.
Hal ini sejalan dengan peningkatan kandungan oleat secara konsisten pada
pemberian AMI, dibandingkan pemberian MI. Selain berasal dari ransum, asam
60
oleat juga dapat berasal dari pemanjangan palmitat, desaturasi stearat, atau
mengalami retrokonversi dari asam lemak yang lebih panjang. Hal ini dilaporkan
oleh Lin & Connor (1990) yang menemukan bahwa asam erusik yang merupakan
isomer dari asam setoleik, dideposit dalam jumlah yang rendah pada jaringan
adiposa kelinci dibandingkan asam linoleat. Pada saat yang sama, terjadi
peningkatan kandungan asam oleat dalam jaringan adiposa, yang menunjukkan
kemungkinan terjadi retrokonversi asam lemak.
Kandungan linoleat pada pemberian AMI secara linear meningkat
dibandingkan pemberian MI. Hal ini kemungkinan karena ada perubahan proporsi
PUFA n-3 akibat proses amidasi, yang ditunjukkan dengan hubungan negatif
antara kenaikan proporsi linoleat dengan penurunan proporsi EPA dan DHA pada
pemberian AMI. Proses amidasi dapat saja memutuskan rantai asam lemak
menjadi asam lemak yang lebih pendek. Kandungan linolenat dan arakidonat juga
tidak
memperlihatkan
kenaikan
yang
konsisten
pada
pemberian
AMI
dibandingkan dengan pemberian MI. Linolenat yang terdeteksi pada penelitian ini
adalah γ-linolenat, yang merupakan pemanjangan dari linoleat, bukan α-linolenat
yang merupakan asam lemak esensial dan prekursor dari EPA dan DHA.
Secara keseluruhan, pemberian AMI relatif tidak mempengaruhi
kandungan laurat, miristat, stearat, linolenat, dan arakidonat dibandingkan
pemberian MI. Namun pemberian AMI menurunkan pasokan EPA dan DHA,
yang berimplikasi pada meningkatnya kandungan palmitat, palmitoleat, dan oleat.
Asam lemak jenuh (%)
61
20
15
10
5
0
A
B
C
D
E
Perlakuan
Asam lemak tak jenu (%)
Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
25
20
15
10
5
0
A
B
C
D
E
Perlakuan
Asam lemak PUFA n-3 (%)
Palmitoleat
Oleat
Linoleat
Arakidonat
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
A
B
C
D
E
Perlakuan
Linolenat
EPA
DHA
Gambar 9 Kandungan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan asam lemak
n-3 dalam jaringan otot tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan
dan amida minyak ikan
Keterangan:
A = Ransum kontrol (8% minyak jagung)
B = Suplementasi 4,5% minyak ikan
C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan
D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan
E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
62
Produktivitas tikus
Tabel 19 Rataan berat akhir, PBBH, konsumsi nutrien, kecernaan nutrien
konversi pakan, dan kadar lemak daging tikus pada perlakuan
suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan
Peubah
A
Perlakuan
C
B
a
ab
D
E
213.27
1.08ab
11.10ab
94.17ab
1.126
218.61
1.30a
11.50a
94.58a
1.214
202.80
0.87ab
10.15ab
94.15ab
1.120
202.51
0.73ab
10.59ab
92.89b
1.240
195.10b
0.59b
10.01b
90.67c
1.215
Kecernaan Protein (%)
86.21a
87.88a
87.28a
85.34a
82.05b
Konsumsi Lemak (g/e/h)
1.37a
1.43a
0.90b
1.05b
0.87b
Kecernaan Lemak (%)
96.03a
95.64ab
89.84b
76.89c
59.43d
Konversi ransum*
Lemak daging (%)
10.28
1.03b
8.88
1.73ab
11.66
1.96a
14.61
1.77a
17.00
1.69ab
Bobot akhir (g)
PBBH (g/e/hr)
Konsumsi BK(g/e/hr)
Kecernaan BK (%)
Konsumsi Protein (g/e/hr)
ab
ab
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).
*Tidak diolah secara statistik
A = Ransum kontrol (8% minyak jagung)
B = Suplementasi 4,5% minyak ikan
C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan
D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan
E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Dari Tabel 19 di atas, secara umum terlihat bahwa pemberian AMI
mengakibatkan penurunan konsumsi dan kecernaan bahan kering, konsumsi dan
kecernaan lemak, serta kecernaan protein ransum yang diikuti oleh penurunan
bobot badan dan konversi ransum yang meningkat, terutama bila dibandingkan
dengan kelompok perlakuan B yang disuplementasi MI. Hal ini nyata terlihat
pada perlakuan E yang disuplementasi AMI tertinggi.
Jenkins (1995) juga mendapatkan ada penurunan konsumsi pakan yang
linear pada domba yang diberi stearylsoyamide. Hal ini menunjukkan, sumber
amina primer pada amida asam lemak berpengaruh pada pengaturan konsumsi
pakan. Turunnya tingkat konsumsi dapat disebabkan oleh palatabilitas yang
menurun karena bau ammonia yang tajam dari sisa butilamin yang tidak bereaksi,
atau merupakan respons fisiologis. Jenkins et al (2000) juga melaporkan
penurunan tingkat konsumsi pada pemberian oleamida yang kemungkinan
63
disebabkan oleh salah satu komponen dari amida (asam lemak, dan amonia), atau
oleh senyawa amida sendiri.
Turunnya kecernaan lemak seiring meningkatnya suplementasi amida
minyak ikan disebabkan sifat amida yang sukar dicerna oleh enzim pencernaan.
Hal ini sejalan dengan laporan Fotouhi dan Jenkins (1992b) yang menyatakan
bahwa amida yang disintesis dengan asam amino sebagai sumber amina lebih
mudah dicerna oleh enzim pencernaan dibandingkan dengan amida yang terbuat
dari butilamin. Seperti asilgliserol, asam-asam lemak pada amida harus dilepaskan
terlebih dahulu sebelum diserap oleh sel mukosa usus halus. Hidrolisis amida
asam lemak yang ekstensif terjadi di usus halus, baik oleh enzim mukosa amidase,
pankreatik protease, atau kombinasi keduanya (Jenkins et al. 2000).
Namun demikian, penurunan peubah-peubah tadi tidak memberi pengaruh
nyata pada kandungan lemak daging. Kandungan lemak daging tetap tinggi pada
suplementasi AMI. Hal ini kemungkinan karena turunnya rasio protein:lipid pada
daging. Penurunan pertambahan bobot badan harian yang konsisten akibat
suplementasi AMI, menurunkan kandungan protein dalam jaringan tubuh.
Turunnya proporsi protein meningkatkan proporsi lemak secara relatif. Hal ini
disebabkan proporsi lemak jenuh yang relatif tinggi pada suplementasi AMI,
cenderung meningkatkan esterifikasi asam lemak. Peningkatan ini mengisyaratkan
bahwa peningkatan asupan asam lemak (terutama yang kaya asam lemak jenuh),
penurunan lipolisis, dan peningkatan reesterifikasi, secara ekstensif mengimbangi
penurunan sintesis asam lemak de novo yang terjadi dalam jaringan adiposa dan
hati (Chilliard 1993).
Kandungan lemak daging terendah terlihat pada kelompok kontrol yang
mendapat minyak jagung, meskipun memiliki bobot badan dan konversi pakan
yang lebih baik daripada kelompok yang mendapat suplementasi AMI. Hal ini
karena PUFA yang terdapat pada minyak jagung lebih cepat dioksidasi atau dapat
merangsang aktivitas jaringan lemak cokelat, sehingga jaringan otot menjadi lebih
lean (Chilliard 1993).
64
Pembahasan Umum
Metabolisme asam lemak dalam rumen berpengaruh besar pada komposisi
asam lemak daging ruminansia. Meskipun asam lemak tak jenuh ganda atau
polyunsaturated fatty acids (PUFA), seperti asam linoleat dan asam α-linolenat
terdapat dalam jumlah melimpah pada rerumputan dan bahan pakan lainnya,
konsentrasinya dalam daging relatif rendah. Perubahan utama dari lemak diet
karena hidrolisis dan biohidrogenasi oleh mikroorganisme dalam rumen,
menyebabkan reduksi PUFA mencapai 70-90% yang bertransformasi menjadi
lemak jenuh terutama asam stearat, atau trans-isomer dari asam lemak tak jenuh
tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA)
Perlindungan PUFA dalam ransum terhadap aktivitas mikroorganisme
rumen dan mencegah gangguan fermentasi rumen, dapat dilakukan dengan
pemberian amida. Amida terbentuk dari reaksi asam lemak dan amina yang
mensubsitusi kelompok karboksil asam, sehingga tidak tersedia kelompok
karboksil bebas yang dibutuhkan oleh mikrob rumen untuk menghilangkan ikatan
rangkap dari asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA). Pada
penelitian ini, amida diperoleh dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamin.
Proses amidasi dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamina
berhasil membentuk senyawa amida yang diinginkan. Proses amidasi dengan
mereaksikan minyak ikan dan urea terkendala oleh kelarutan urea yang rendah
dalam minyak ikan. Penggunaan minyak ikan dalam bentuk ester untuk
meningkatkan kelarutan juga belum menghasilkan senyawa amida. Kegagalan
proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu yang digunakan di
bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor.
Uji ketahanan amida dalam sistem rumen secara in vitro menunjukkan
bahwa suplementasi amida dapat mempertahankan pH rumen dalam kisaran
normal, sehingga fermentasi masih dapat berjalan. Namun demikian, pemberian
minyak ikan (MI) dan amida minyak ikan (AMI) menurunkan populasi protozoa
rumen. Penurunan secara tajam terjadi seiring meningkatnya tingkat suplementasi
AMI. Hal ini mengindikasikan penurunan populasi protozoa bukan semata-mata
disebabkan sifat antibakteri dari PUFA, tetapi kemungkinan karena sifat toksik
65
dari amida. Meskipun berdampak negatif pada pertumbuhan protozoa, tetapi
relatif tidak berpengaruh pada populasi bakteri.
Pertumbuhan bakteri rumen bergantung pada ketersediaan asam lemak
terbang atau volatile fatty acids (VFA) dan amonia yang optimal. Suplementasi
amida dapat mempertahankan konsentrasi amonia dan VFA pada tingkat
optimum, menunjukkan masih berlangsungnya aktivitas degradasi protein.
Meskipun relatif kecil, suplementasi amida dapat memperbaiki degradasi bahan
organik (DBO) dan bahan kering (DBK) dibandingkan minyak ikan. Hal ini
sejalan dengan produksi gas dan konsentrasi VFA total yang lebih besar
dibandingkan suplementasi MI. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi
mencerminkan jumlah substrat yang dicerna secara in vitro.
Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi asam isobutirat
dan asam isovalerat dibandingkan pemberian MI. Hal ini karena penurunan
populasi protozoa menurunkan proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak
pada penurunan konsentrasi asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty
acids (BCFA). Rasio asetat:propionat cenderung menurun pada pemberian MI dan
AMI, karena terganggunya fermentasi serat akibat sifat antibakteri asam lemak,
dan terjadinya degradasi sebagian pada amida oleh bakteri rumen. Konsentrasi
propionat cenderung meningkat pada suplementasi MI dan AMI. Turunnya rasio
asetat:propionat mencerminkan adanya penurunan produksi metan yang
merupakan petunjuk ada pengalihan hidrogen dari metan untuk pembentukan
propionat.
Uji efektivitas amida pascarumen pada tikus sebagai hewan model,
menunjukkan bahwa suplementasi AMI meningkatkan jumlah leukosit seiring
peningkatan tingkat pemberian. Kemungkinan amida bersifat toksik, sehingga
peningkatan leukosit mencerminkan respons pertahanan tubuh melawan zat asing.
Suplementasi amida juga mengakibatkan penurunan kadar Hb yang diduga karena
buruknya status nutrisi akibat turunnya kecernaan nutrien, sehingga menurunkan
pasokan protein yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.
Konsentrasi kolesterol total dan lipoprotein berdensitas tinggi atau high
density lipoprotein (HDL) relatif tidak terpengaruh akibat suplementasi AMI,
namun meningkatkan konsentrasi trigliserida dan lipoprotein berdensitas rendah
66
atau low density lipoprotein (LDL) dalam plasma. Hal ini kemungkinan karena
proses amidasi memutuskan ikatan rangkap pada PUFA, sehingga sebagian asam
lemak mengalami penjenuhan atau berubah menjadi asam lemak yang lebih
pendek. PUFA mempunyai kemampuan menghambat lipogenesis dalam hati,
sedangkan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA) yang proporsinya
meningkat pada amida mempunyai kemampuan yang rendah dalam menghambat
lipogenesis dalam hati. Hal ini berdampak pada naiknya konsentrasi tigliserida
plasma dan kolesterol daging.
Suplementasi AMI juga belum mampu memperbaiki profil lemak daging,
karena rendahnya pasokan EPA dan DHA. Proses amidasi belum berhasil
mempertahankan kandungan EPA dan DHA tetap tinggi pada produk.
Kemungkinan lain proses amidasi belum berjalan sempurna, sehingga masih ada
sisa amina yang tidak bereaksi. Akibatnya terjadi gangguan pada sistem rumen
secara in vitro, terutama ditunjukkan oleh menurunnya populasi protozoa dan
degradasi substrat. Pada percobaan in vivo, tampaknya amida juga mulai
mengganggu fisiologis hewan, dengan meningkatnya jumlah leukosit, turunnya
kadar Hb, dan turunnya kecernaan nutrien. Hal ini berpengaruh pada turunnya
produktifitas dari hewan.
Penggunaan tikus sebagai hewan model sistem pencernaan pascarumen
terkendala karena tikus mempunyai sistem metabolisme yang berbeda dengan
rumiansia. Bila amida diberikan pada ruminansia, kemungkinan akan memberi
pengaruh yang berbeda. Beberapa mikrob dalam rumen mempunyai kemampuan
menetralisir substansi racun yang mungkin terkandung dalam amida, sehingga
tidak mengganggu pencernaan pascarumen. Pemberian substrat yang telah
mengalami fermentasi secara in vitro pada tikus, lebih dapat memberi gambaran
yang mendekati pencernaan pascarumen pada ruminansia.
Lipogenesis pada ruminansia terutama terjadi pada jaringan adiposa,
sedangkan lipogenesis pada tikus terutama terjadi dalam hati, di samping jaringan
adiposa. Perbedaan ini berpengaruh pada deposisi asam lemak dalam jaringan
tubuh. Pola deposisi asam lemak kemungkinan juga berbeda pada berbagai
spesies hewan.
67
Sintesis amida dari asam oleat dan asam linoleat cukup berhasil,
kemungkinan karena rantai asam lemak yang lebih pendek, atau karena lemak
yang diberikan berupa asam lemak yang lebih reaktif. Pemakaian minyak ikan
dalam bentuk trigliserida kemungkinan kurang reaktif, dan adanya asam lemak
rantai panjang, yaitu EPA dan DHA membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
reaksi yang sempurna. Proses amidasi berpeluang memberi hasil yang lebih baik,
bila minyak ikan yang digunakan dalam bentuk ester.
68
69
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Amida minyak ikan dapat dihasilkan dari reaksi minyak ikan dan nbutilamin.
2. Suplementasi amida minyak ikan dapat bertahan terhadap biohidrogenasi
rumen, namun belum meningkatkan aktivitas fermentasi rumen secara in
vitro.
3. Suplementasi amida minyak ikan belum efektif dalam memperbaiki profil
lemak plasma dan jaringan otot hewan model
4. Suplementasi amida minyak ikan masih dapat
mempertahankan nilai
hematologi darah hewan model dalam kisaran normal, meskipun mulai
berpengaruh negatif pada pemberian 3% dalam ransum, yang ditandai
dengan kenaikan leukosit dan perununan kadar Hb
5. Tingkat suplementasi 3% mulai memperlihatkan penurunan produktivitas
hewan model
Saran
1. Teknik pembuatan amida perlu diperbaiki untuk mempertahankan
kandungan PUFA n-3 tetap tinggi pada produk, sehingga meningkatkan
evektivitas penggunaannya dalam ransum
2. Alternatif sumber amina untuk proses amidasi yang lebih murah dan aman
perlu dikaji untuk menghindari biaya yang tinggi dan kemungkinan
terjadinya toksisitas
70
71
DAFTAR PUSTAKA
Aboderin FI, Oyetayo VO. 2006. Haematological studies of rats fed different
doses of probiotic, Lactobacillus plantarum, isolated from fermenting corn
slurry. Pakistan J. of Nutrition. 5:102-105.
Alltech. 2012. Asidosis. [Terhubung berkala]. www.alltech.com/animal_nutrition/
beef_cattle/challenges/beef_cattle_acidosis. Diunduh 05/02/2012.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB. Bogor: IPB Press.
[AOAC]. 1990. The Associaton of Official Analytical Chemist. Washington D.C.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Fatty Acid Oils and
Fats. Washington, DC.
Azain MJ. 2004. Role of fatty acids in adipocyte growth and development. J Anim
Sci 82:916-924.
Baldwin RL. 1995. Modelling Ruminant Digestion and Metabolism. London:
Chapman & Hall.
Bandara ABPA. 1997. Modifying fatty acid composition of bovine milk by
abomasal infusion or dietary supplementation of seed oils or fish oils
[dissertation]. Blacksburg, Virginia USA: Faculty of the Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Bauchart D. 1993. Lipid absorption and transport in ruminants. J Dairy Sci
76:3864-3881.
Bauman DE, Perfield II JW, de Veth MJ, Lock AL. 2003. New perspectives on
lipid digestion and metabolism in ruminants. Proc Cornell Nutr Conf pp.
175-189. [Terhubung berkala] http://www.ansci.cornell.edu/bauman/
conference_proceedings/articles/2003_cnc_bauman_et_al.pdf.
Diunduh
13/11/2006.
Bender A. 1992. Meat and meat products in human nutrition in developing
countries. Rome: FAO
Bilyk A, Bistline Jr. RG, Piazza GJ, Feairheller SH, Haas MJ. 1992. A novel tech
nique for the preparation of secondary fatty amides. J Am Oil Chem Soc.
69:488.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Jilid 3, Ed ke-5. Manalu W,
penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Chikunya S et al. 2004. Bihydrogenation of dietary n-3 PUFA and stability of
ingested vitamin E in the rumen, and their effects on microbial activity in
sheep. Br J Nutr 91:539-550.
Chilliard Y. 1993. Dietary fat and adipose tissue metabolism in ruminants, pigs,
and rodents: A review. J Dairy Sci 76:3897-3931.
Chilliard Y, Ferlay A, Mansbridge RM, Doreau M. 2000. Ruminant milk fat
plasticity: nutritional control of saturated, polyunsaturated, trans and
conjugated fatty acids. Ann Zootech 49:181-205.
72
Clarke SD. 1993. Regulation of fatty acid synthase gene expression: an approach
for reducing fat accumulation. J Anim Sci 71:1957-1965.
Close WH, Menke KH. 1986. Manual Selected Topics in Animal Nutrition.
Germany: University oh Hohenheim, The Institute of Animal Nutrition
Stuftgart.
Connor WE. 2000. Importance of n-3 fatty acids in health and disease. Am J Clin
Nutr. 71(suppl):171S-175S.
Cooper SL et al. 2004. Manipulation of the n-3 polyunsaturated fatty acid content
of muscle and adipose tissue in lambs. J Anim Sci 82:1461-1470.
Cunnane SC, Griffin BA. 2002. Nutrition and metabolism of lipid. Di dalam:
Gibney MJ, Vorster HH, Kok FJ, editor. Introduction to Human Nutrition.
Oxford: Blackwell Sci. Ltd. pp. 81-115.
deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi Ke-2. Bandung:ITB.
Demeyer D, Doreau M. 1999. Targets and procedures for altering ruminant meat
and milk lipids. Proc Nutr Soc 58:593-607.
Demirel G et al. 2004. Effects of dietary n-3 polyunsaturated fatty acids, breed
and dietary vitamin E on the fatty acids of lamb muscle, liver and adipose
tissue. Br J Nutr 91:551-565.
Djoussé Let al. 2003. Dietary linolenic acid is inversely associated with plasma
triacylglicerol: the national heart, lung, and blood institute family heart
study. Am J Clin Nutr. 78:1098-1102.
Doane PH, Schofield P, Pell AN. 1997. Neutral detergent fiber disappearance and
gas and volatile fatty acid production during the in vitro fermentation of six
forages. J Anim Sci 75:3342-3352.
Ekeren PA, Smith DR, Lunt DK, Smith SB. 1992. Ruminal biohydrogenation of
fatty acids from high-oleate sunflower seeds. J Anim Sci 70:2574-2580.
Enser M. 1991. Animal carcass fats and fish oils. Di dalam: Rossell JB, Pritchard
JLR, editor. Analysis of Oilseeds, Fats and Fatty Foods. London and New
York: Elsv. Appl. Sci.pp. 329-394.
Etherton PMK, Etherton TD. 1982. The role of lipoproteins in lipid metabolism of
meat animals. J Anim Sci 55:804-817.
Feairheller SH et al. 1994. A novel technique for the preparation of secondary
fatty amides. III. Alkanolamides, diamides and aralkylamides. J Am Oil
Chem Soc 71(8): 863-866.
Fotouhi N, Jenkins TC. 1992a. Resistance of fatty acyl amides to degradation and
hydrogenation by ruminal microorganisms. J Dairy Sci 75:1527-1532.
Fotouhi N, Jenkins TC. 1992b. Ruminal biohydrogenation of linoleoyl methionine
and calcium linoleate in sheep. J Anim Sci 70:3607-3614.
General Laboratory Procedures. 1966. Departement of Dairy Science. University
of Wisconsin. Madison.
73
Ginsberg HN , Karmally W. 2000. Nutrition, lipids, and cardiovascular disease.
Di dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of
Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Co. pp. 917-944.
Goodridge AG , Sul HS. 2000. Lipid metabolism-synthesis and oxidation. Di
dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of
Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Co. pp. 917-944.
Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Ed ke3. Belmont-USA: Wadsworth Thomson Learning.
Gurr MI. 1992. Role of Fats in Food and Nutrition. London and New York: Elsv.
Appl. Sci.
Gulati SK, Ashes JR, Scott TW. 1999. Hydrogenation of eicosapentanoic and
docosahexaenoic acids and their incorporation into milk fat. Anim Feed Sci
Technol 79:57-64.
Harris WS. 1997. n-3 Fatty acids and serum lipoproteins: animal studies. Am J
Clin Nutr. 65(suppl):1611S-1616S.
Hausman GJ et al. 2009. Board-Invited Review: The biology and regulation of
preadipocytes and adipocytes in meat animal. J Anim Sci 87:1218-1246.
Hensyl W. 1990. Stedman’s Medical Dictionary, 25th Ed. Baltimore :Williams &
Wilkins.
Herzberg GR. 1991. Fish oil in the treatment of hypertriglyceridemia. Can Med
Assoc J. 145 (7).
Hristov AN, Ivan M, McAllister TA. 2004. In vitro effects of individual fatty
acids on protozoa numbers and on fermentation products in ruminanal fluid
from cattle fed a high-concentrate, barley based diet. J Anim Sci 82:26932704.
Hristov AN, Kennington RL, McGuire MA, Hunt CW. 2005. Effect of diets
containing linoleic acid-or-oleic acid-rich oils on ruminal fermentation and
nutrient digestibility, and performance and fatty acid composition of adipose
and muscle tissues of finishing cattle. J Anim Sci 83:1312-1321.
Hu FB, JE Manson, Willet WC. 2001. Types of dietary fat and risk of coronary
heart disease: A critical review. J. of the American College and Nutrition.
20:5-19.
Hvelplund, T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in the rumen. Di
dalam: Jouany JP, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant
Digestion. Paris: INRA.
Irie M, Sakimoto M. 1992. Fat characteristics of pig fed fish oil containing
eicosapentanoic and docosahexaenoic acids. J Anim Sci 70:470-477.
Jenkins TC. 1993. Lipid metabolism in the rumen. J Dairy Sci 76:3851-3863.
Jenkins TC. 1994. Regulation of lipid metabolism in the rumen. J Nutr
124:1372S-1376S.
74
Jenkins TC. 1995. Buylsoyamide protects soybean oil from ruminal
biohydrogenation: Effects of butylsoyamide on plasma fatty acids and
nutrient digestion in sheep. J Anim Sci 73:818-823.
Jenkins TC, Bateman HG, Block SM. 1996. Butylsoyamide increases unsaturated
of fatty acids in plasma and milk of lactating dairy cows. J Dairy Sci.
79:585-590.
Jenkins TC. 1997. Ruminal fermentation and nutrient digestion in sheep fed
hydroxyehylsoyamide. J Anim Sci 75:2277-2283.
Jenkins T. 1998. The benefit and limitation of fat in dairy rations. Department of
Animal and Veterinary Sciences Clemson University-Clemson, SC.
[Terhubung berkala] http://www.txanc.org/proceedings/1998/benefits.pdf.
Diunduh 28/04/2006.
Jenkins TC, Thompson CE, Bridges Jr WC. 2000. Site of administration and
duration of feeding oleamide to cattle on feed intake and ruminal fatty acid
concentration. J Anim Sci 78:2745-2753.
Jenkins TC, Adams CS. 2002. The biohydrogenation of linoleamide in vitro and
its effects on linoleic acid concentration in duodenal contents of sheep. J
Anim Sci 80:533-540.
Jenkins T. 2004. Challenges of meeting cow demands for omega fatty acids.
Department of Animal and Veterinary Sciences Clemson UniversityClemson, SC 29634: [Terhubung berkala]. http://dairy.ifas.ufl.edu/
rns/2004/Jenkins.pdf. Diunduh 28/04/2006.
Jenkins TC, Wallace RJ, Moate PJ, Mosley EE. 2008. Board-Invited Review:
Recent advances in biohydrogenation of unsaturated fatty acids within the
rumen microbial ecosystem. J Anim Sci 86:397-412.
Jones DF, Weiss WP, Palmquist DL. 2005. Dietary fish oil for dairy cows:1.
Effects on milk fatty acid production and composition. Research and
Reviews: Dairy Special Circular 163-99. [Terhubung berkala]
http://ohioline.osu.edu/sc163/sc163-16.hmtl. Diunduh 13/06/2005.
Kelley DS, Nelson GJ, Serrato CM, Schmidt PC, Branch LB. 1988. Effects of
type of dietary fat on indices of immune status of rabbits. J Nutr 118:13761384.
Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Kew S et al. 2003. Lack of effect of food enriched with plant-or marine-derived n3 Fatty acids on human immune function. Am. J. Clin. Nutr. 77:1287-1295.
Kim SC, Adesogan AT, Badinga L, Staples CR. 2007. Effects of dietary n-6:n-3
fatty acid ratio on feed intake, digestibility, and fatty acid profiles of ruminal
contents, liver, and muscle of growing lambs. J Anim Sci 85:706-716.
Kinsella JE. 1987. Seafoods and Fish Oils in Human Health and Disease. New
York and Basel: Marcel Dekker, Inc.
75
Kitessa SM et al. 2001. Utilisation of fish oil in ruminants I. Fish oil metabolism
in sheep. Anim Feed Sci Technol 89:189-199.
Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-3.
Jakarta:FKUI.
Kucuk O, Hess BW, Rule DC. 2004. Soybean oil supplementation on highconcentrate diet does not effect site and extent of organic matter, starch,
neutral detergent fiber, or nitrogen digestion, but influences both ruminal
metabolism and intestinal flow of fatty acids in limit-fed lambs. J Anim Sci
82:2985-2995.
Lands WEM. 1982. Biochemical observation on dietary long chain fatty acids
from fish oil and their effect on prostaglandin synthesis in animals and
humans. Di dalam: Barlow SM, and Stansby ME, editor. Nutritional
Evaluation of Long-Chain Fatty Acids in Fish Oil. London and New York:
Academic Press. pp. 267-282.
Lee JH, Waller JC, Melton SL, Saxton AM, Pordesimo LO. 2004. Feeding
encapsulated ground full-fat soybeans to increase polyunsaturated fat
concentration and effects on flavor volatile in fresh lamb. J Anim Sci
82:2734-2741.
Leeson CR, Lesson TS, Paparo AA. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Leibetseder J. 1997. The effect of nutrition on the composition of animal fat.
Anim Res Dev 45:46-58.
Leng RA. 1990. Factors affecting the utilization of ‘poor quality’ forages by
ruminants particularly under tropical condition. Di dalam: Nutrition
Research Reviews. Vol 3. Smith RH, editor. Cambridge. Cambridge
University Press.
Lin DS, Connor WE. 1990. Rapid Communication: Are the n-3 fatty acids from
dietary fish oil deposited in the triglyceride stores of adipose tissue. Am. J.
Clin. Nutr. 51:535-539.
Lowry OH, Rosebourgh NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement
with the Folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193.265-275.
Lundy III FP, Block E, Bridges Jr. WC, Bertrand JA, Jenkins TC. 2004. Ruminal
biohydrogenation in Holstein cows fed soybean fatty acids as amides or
calcium salts. J Dairy Sci 87:1038-1046.
Marinetti GV. 1990. Disorders of Lipid Metabolism. New York: Plenum Press.
Martin SA , Jenkins TC. 2002. Factors affecting conjugated linoleic acid and
trans-C18:1 fatty acid production by mixed ruminal bacteria. J Anim Sci
80:3347-3352.
McCowen KC, Bistrian BR. 2003. Immunonutrition: problematic or problem
solving? Am J Clin Nutr 77:764-770.
Medicastore. 2012. Biologi Darah.[Terhubung berkala] http://medicastore.com/
penyakit/160/Biologi_Darah.hmtl. Diunduh 22/01/2012
76
Merck Indonesia. 1987. Buku Pedoman Kerja Kimia Klinik.
Mohammed N et al. 2004. Effect of Japanese horseradish oil on methan
production and ruminal fermentation in vitro and in steers. J Anim Sci
82:1839-1846.
Moibi JA, Christopherson RJ. 2001. Effect of environmental temperature and a
protected lipid supplement on the fatty acid profile of ovine longissimus
dorsi muscle, liver and adipose tissues. Livest Prod Sci 69:245-254.
Nettleton JA. 1994. Omega-3 Fatty Acids and Health. New York: Chapman &
Hall.
Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Tokyo: Japan Sci. Soc.
Press.
Oldick BS, Firkins JL. 2000. Effects of degree of fat saturation on fiber digestion
and microbial protein synthesis when diets are fed twelve times daily. J
Anim Sci 78:2412-2420.
Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factors that alter growth and
development of ruminants. J Anim Sci 71:3138-3150.
Palmquist DL. 1988. The feeding value of fats. Di dalam: Ørskov ER, editor.
Feed Science. Amsterdam: Elsv. Sci. Pub. BV. pp. 293-312.
Ponnampalam EN et al. 2001. Effect of dietary modification of muscle long-chain
n-3 fatty acid on plasma insulin and lipid metabolites, carcass traits, and fat
deposition in lambs. J Anim Sci 79:895-903.
Ponnampalam EN, Sinclair AJ, Hosking BJ, Egan AR. 2002. Effects of dietary
lipid type on muscle fatty acid composition, carcass leanless, and meat
toughness in lambs. J Anim Sci 80:628-636.
Ramos S, Tejido ML, Martinez ME, Ranilla MJ, Carro MD. 2009. Microbial
protein synthesis, ruminal digestion, microbial populations, and nitrogen
balance in sheep fed diets varying in forage-to-concentrate ratio and type of
forage. J Anim Sci 87:2924-2934.
Ringler DH. Dabich L. 1979. Hematology and Clinical Biochemistry. Di dalam:
The Laboratory Rat. Volume I Biology and Diseases. Baker JH, Lindsey JR,
Weisbroth SH (eds). Academic Press, Inc.
Salter AM, White D. 1996. Effects of dietary fat on cholesterol metabolism:
regulation of plasma LDL concentrations. Nutr Res Rev. 9:241-275.
Sastradipradja D et al. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. PAU. IPB.
Schofield P, Pitt RE, Pell AN. 1994. Kinetics of fiber digestion in vitro gas
production. J Anim Sci 72:2980-2991.
Scintificpsychic. 2012. Fatty acid composition of some common edible fats and
oils. [Terhubung berkala]. http://www.scientificpsychic.co./fitness/fatty
acids1.hmtl. Diunduh 04/02/2012.
77
Sheppard K, Herzberg GR. 1992. Triacylglycerol composition of adipose tissue,
muscle and liver of rat fed diet containing fish oil or corn oil. Nutr Res.
12:1405-1418.
Sherman AR, Hallquist NA. 1990. Immunity. Di dalam: Present Knowledge in
Nutrition. Brown ML (ed). 6th Edition. International Life Sci. Institute Nutr.
Found. Washington D.C.
Starr C. 1994. Biology. Concepts and Applications. Wadsworth Publishing
Company. Belmont. CA.
Steel RGD, and Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik. Soemantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.
Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh
mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Di
dalam: Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor:
LPP-IPB.
Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: Jouany JP,
editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Paris: INRA.
pp. 151-164.
Terry PD, Rohan TE, Wolk A. 2003. Intake of fish and marine fatty acids and the
risks of cancers of the breast and prostate and of other hormone-related
cancers: a review of the epidemiologic evidence. Am J Clin Nutr 77:532543.
Thies F et al. 1999. Manipulation of the type of fat consumed by growing pigs
affects plasma and mononuclear cell fatty acid compositions and
lymphocyte and phagocyte functions. J Anim Sci 77:137-147.
Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of
forage crops. J Br Grassl Soc 18:104-109.
Trebble TM et al. 2003. Prostaglandin E2 production and T cell function after
fish-oil supplementation: respons to antioxidant cosupplementation. Am J
Clin Nutr 78:376-382.
Van Nevel CJ. 1991. Modification of rumen fermentation by use of additives. Di
dalam: Jouany JP, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant
Digestion. Paris: INRA. pp. 263-281.
Wallace RJ, Cotta MA. 1988. Metabolism of nitrogen-containing compounds. Di
dalam: Hobson PN, editor. The Rumen Microbial Ecosystem . London.
Appl. Sci.
Wattiaux MA, Grummer RR. 2006. Lipid metabolism in dairy cows. Babcock
Institute for International Dairy Research and Development University of
Wisconsin-Madison. http://babcock.wisc.edu/downloads/de/04.en.pdf. [13
Nov 2006].
Wilbraham AC , Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Ahmadi
S , penerjemah. Bandung: Penerbit ITB.
78
Wood JD et al. 1999. Manipulating meat quality and composition. Animal
Nutrition and Metabolism Group Symposium on ‘Improving meat
production for future needs’. Proceeding of Nutrition Society.58, 363-370.
Yuan ZQ et al. 2010. Effects of dietary supplementation with alkyl polyglycoside,
a non ionic surfactant, on nutrient digestion and ruminal fermentation in
goats. J Anim Sci 88:3984-3991.
79
LAMPIRAN
80
81
Lampiran 1 Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 0 jam
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
1001216.667
113491.667
500608.333
37830.556
Galat
6
228983.333
38163.889
Total
11
1343691.667
F hitung
F tabel
0.05
0.99
0.01
4.76
9.78
Lampiran 2 Analisis sidik ragam dan uji BNT populasi protozoa pada
inkubasi 12 jam
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
2
147466.667
73733.333
Perl
Galat
3
6
149866.667
82933.333
49955.556
13822.222
Total
11
380266.667
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
386.667
213.333
a
ab
R2
R3
106.667
120.000
b
b
BNT 0.05
234.90
3.61
4.76
0.01
9.78
Lampiran 3 Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 24 jam
SK
db
JK
KT
2
3
33066.667
30933.333
16533.333
10311.111
9244.444
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
Galat
6
55466.667
Total
11
119466.667
1.12
4.76
0.01
9.78
82
Lampiran 4 Analisis sidik ragam produksi gas
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
284.577
278.853
142.288
92.951
Galat
6
106.015
17.669
Total
11
669.445
Perlakuan
Rataan
R0
46.160
a
R1
R2
33.697
43.980
b
a
R3
43.687
a
BNT 0.05
8.40
F hitung
F tabel
0.05
5.26
4.76
0.01
9.78
Notasi
Lampiran 5 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 0 jam
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
2
3
0.043
0.006
0.021
0.002
Galat
6
0.008
0.001
Total
11
0.056
1.49
0.01
4.76
9.78
Lampiran 6 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 24 jam
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
2
3
0.010
0.009
0.005
0.003
Galat
6
0.008
0.001
Total
11
0.027
2.44
0.01
4.76
9.78
Lampiran 7 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 48 jam
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
2
0.025
0.013
Perl
Galat
3
6
0.014
0.023
0.005
0.004
Total
11
0.062
1.19
4.76
0.01
9.78
83
Lampiran 8 Analisis sidik ragam konsentrasi N-NH3
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
138.403
0.701
69.201
0.234
Galat
6
1.367
0.228
Total
11
140.471
F hitung
F tabel
0.05
1.03
0.01
4.76
9.78
Lampiran 9 Analisis sidik ragam konsentrasi VFA total
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
2
3
669.026
2553.501
334.513
851.167
1139.943
Galat
6
6839.655
Total
11
10062.182
0.75
0.01
4.76
9.78
Lampiran 10 Analisis sidik ragam konsentrasi Asetat
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
911.031
271.419
455.516
90.473
Galat
6
714.236
119.039
Total
11
1896.687
F hitung
F tabel
0.05
0.76
0.01
4.76
9.78
Lampiran 11 Analisis sidik ragam konsentrasi Propionat
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
2
144.641
72.321
Perl
Galat
3
6
52.679
175.623
17.560
29.270
Total
11
372.943
0.60
4.76
0.01
9.78
Lampiran 12 Analisis sidik ragam konsentrasi Isobutirat
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
2
0.250
0.125
Perl
Galat
3
6
1.261
1.725
0.420
0.288
Total
11
3.236
1.46
4.76
0.01
9.78
84
Lampiran 13 Analisis sidik ragam konsentrasi n-Butirat
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
18.373
24.054
9.187
8.018
Galat
6
61.939
10.323
Total
11
104.367
F hitung
F tabel
0.05
0.78
0.01
4.76
9.78
Lampiran 14 Analisis sidik ragam konsentrasi Isovalerat
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
2
3
0.698
1.004
0.349
0.335
Galat
6
2.039
0.340
Total
11
3.740
0.98
0.01
4.76
9.78
Lampiran 15 Analisis sidik ragam rasio A:P
SK
db
JK
KT
Kel
2
0.771
0.386
Perl
Galat
3
6
0.584
1.468
0.195
0.245
Total
11
2.823
F hitung
F tabel
0.05
0.80
4.76
0.01
9.78
Lampiran 16 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 0 jam
SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05
Kel
3
13.542
4.514
Perl
Galat
3
9
133.988
41.172
44.663
4.575
Total
15
188.702
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
9.898
2.149
a
b
R2
R3
4.820
3.793
ab
b
BNT 0.01
4.92
9.76
3.86
0.01
6.99
85
Lampiran 17 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 24 jam
SK
db
JK
KT
3
3
27.914
368.288
9.305
122.763
5.324
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
Galat
9
47.918
Total
15
444.120
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
19.708
8.766
a
b
R2
R3
9.868
11.693
b
b
BNT 0.01
4.51
23.06
0.01
3.86
6.99
Lampiran 18 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik
pada inkubasi 48 jam
SK
db
JK
KT
Kel
3
353.016
117.672
Perl
Galat
3
9
429.854
81.645
143.285
9.072
Total
15
864.516
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
35.234
22.248
a
b
R2
R3
24.771
23.313
b
b
BNT 0.01
6.92
F hitung
F tabel
0.05
15.79
3.86
0.01
6.99
86
Lampiran 19 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada
inkubasi 0 jam
SK
db
JK
KT
3
3
12.674
176.225
4.225
58.742
6.641
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
Galat
9
59.767
Total
15
248.665
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
11.291
2.408
a
b
R2
R3
4.446
5.051
b
b
BNT 0.01
5.92
8.85
0.01
3.86
6.99
Lampiran 20 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada
inkubasi 24 jam
SK
db
JK
KT
Kel
3
35.854
11.951
Perl
Galat
3
9
293.883
34.674
97.961
3.853
Total
15
364.412
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
19.708
8.766
a
b
R2
R3
9.868
11.693
b
b
BNT 0.01
4.51
F hitung
F tabel
0.05
25.43
3.86
0.01
6.99
87
Lampiran 21 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada
inkubasi 48 jam
SK
db
JK
KT
3
3
324.721
308.000
108.240
102.667
Galat
9
100.495
11.166
Total
15
733.216
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0
R1
32.683
21.670
a
b
R2
R3
23.554
22.783
b
b
BNT 0.01
7.68
F hitung
F tabel
0.05
Kel
Perl
9.19
0.01
3.86
6.99
Lampiran 22 Analisis sidik ragam protein mikrob
SK
db
JK
KT
Kel
Perl
2
3
8241.228
419.795
4120.614
139.932
Galat
6
6642.489
1107.081
Total
11
15303.511
F hitung
F tabel
0.05
0.13
4.76
0.01
9.78
88
Lampiran 23 Analisis sidik peragam dan uji BNT pertambahan bobot badan
harian
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
805.514
12895.143
13700.657
YY
3509.829
22090.857
25600.686
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
11464.084
13914.345
2450.261
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
395.313
612.565
1.55
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A
B
1.079
1.295
ab
a
C
D
0.871
0.725
ab
ab
E
0.589
b
BNT
2.70
4.04
0.618
Lampiran 24 Analisis sidik peragam jumlah eritrosit
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
-16.535
329.134
312.600
YY
2.846
57.764
60.610
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
64
50.841
54.526
3.685
1.753
0.058
F hitung
0.03
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
89
Lampiran 25 Analisis sidik peragam nilai hematokrit
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
198.290
428.136
626.426
YY
102.914
286.070
388.984
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
274.356
364.553
90.197
KT
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
9.461
22.549
2.38
2.70
4.04
Lampiran 26 Analisis sidik peragam kadar hemoglobin
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
51.538
171.399
222.937
YY
8.769
52.372
61.141
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
50.494
58.046
7.552
1.741
1.888
F hitung
1.08
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
90
Lampiran 27 Analisis sidik peragam dan uji BNT jumlah leukosit
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
-89.020
751.021
662.001
YY
193.122
1325.659
1518.780
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
1289.613
1491.496
201.883
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
44.469
50.471
1.13
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A
B
13.011
10.661
ab
b
C
D
14.799
14.690
ab
ab
E
17.996
BNT
2.70
4.04
a
7.313
Lampiran 28 Analisis sidik peragam jumlah neutrofil
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
4
30
34
Jumlah Hasil Kali
XX
414.457
15647.714
16062.171
XY
-95.991
-122.682
-218.673
YY
26.416
184.717
211.132
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
183.755
208.155
24.401
6.336
6.100
F hitung
0.96
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
91
Lampiran 29 Analisis sidik peragam jumlah limfosit
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
8.999
858.278
867.277
YY
122.591
822.611
945.202
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
29
33
4
775.534
898.373
122.839
26.743
30.710
F tabel 0.05
1.15
F tabel 0.01
2.70
4.04
Lampiran 30 Analisis sidik peragam jumlah monosit
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
4
30
34
414.457
15647.714
16062.171
XY
0.497
40.052
40.549
YY
0.884
6.476
7.359
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
29
33
4
6.373
7.257
0.884
0.220
0.221
1.01
F tabel 0.05
F tabel 0.01
2.70
4.04
Lampiran 31 Analisis sidik peragam jumlah eosinofil
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
4
30
34
Jumlah Hasil Kali
XX
414.457
15647.714
16062.171
XY
-21.108
-237.563
-258.671
YY
11.409
119.234
130.643
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
115.628
126.478
10.850
3.987
2.712
F hitung
0.68
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
92
Lampiran 32 Analisis sidik peragam konsentrasi kolesterol plasma
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
-539.651
-446.546
-986.197
YY
789.603
4230.051
5019.654
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
4217.308
4959.103
741.795
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
145.424
185.449
1.28
2.70
4.04
Lampiran 33 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi trigliserida plasma
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
-2977.433
-1563.671
-4541.104
YY
28113.814
70803.369
98917.183
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
70647.112
97633.320
26986.208
F hitung
F tabel 0.01
2436.107
6746.552
2.77
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A
B
50.036
50.730
b
b
C
D
64.256
122.233
b
a
E
94.556
BNT
F tabel 0.05
ab
54.130
2.70
4.04
93
Lampiran 34 Analisis sidik peragam konsentrasi HDL plasma
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
70.937
910.314
981.251
YY
434.933
2651.558
3086.491
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
2598.600
3026.545
427.945
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
89.607
106.986
1.19
2.70
4.04
Lampiran 35 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi LDL plasma
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
4
30
34
Jumlah Hasil Kali
XX
414.457
15647.714
16062.171
XY
-147.571
-171.857
-319.429
YY
93.714
226.857
320.571
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
224.970
314.219
89.249
Perlakuan
KT
Rataan
F hitung
F tabel 0.01
7.758
22.312
2.88
Notasi
(0.05)
A
73.672
b
B
C
78.070
84.814
ab
ab
D
E
104.684
90.423
a
ab
BNT
F tabel 0.05
28.217
2.70
4.04
94
Lampiran 36 Analisis sidik peragam dan uji BNT kolesterol daging
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
XX
Perlakuan
4
648.700
Galat
15
3239.500
Total
19
3888.200
Perlakuan terkoreksi
Y terkoreksi terhadap X
XY
-552.074
-740.719
-1292.793
YY
2555.976
4979.133
7535.109
F tabel
db
JK
KT
14
18
4
4809.766
7105.266
2295.500
343.555
573.875
Perlakuan
Rataan
Notasi
(0.05)
A
B
73.672
78.070
b
ab
C
D
84.814
104.684
ab
a
E
90.423
ab
BNT
28.217
F hitung
F tabel 0.05
1.67
3.11
0.05
5.04
95
Lampiran 37 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan lemak daging
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
5.095
-12.725
-7.630
YY
1.453
1.430
2.882
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
9
13
4
1.351
2.857
1.506
0.150
Perlakuan
Rataan
F hitung
0.376
Notasi (0.05)
A
1.026
b
B
C
1.729
1.964
ab
a
D
E
1.765
1.692
a
ab
BNT
0.726
2.51
F tabel
F tabel
0.05
0.01
3.63
6.42
96
Lampiran 38 Analisis sidik peragam dan uji BNT asam laurat daging
SK
Jumlah
Db
Hasil Kali
XX
Perlakuan
4
239.054
Galat
10
2053.106
Total
14
2292.161
Perlakuan terkoreksi
Y terkoreksi terhadap X
XY
-0.103
0.460
0.357
YY
0.004
0.005
0.009
F tabel
db
JK
KT
F hitung
9
13
4
0.005
0.009
0.004
0.001
0.001
0.05
2.09
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
0.127
b
a
B
C
0.143
0.166
ab
ab
a
a
D
E
0.175
0.163
a
ab
a
a
0.043
0.062
BNT
F tabel 0.01
6.42
97
Lampiran 39 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam miristat
SK
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
JK
0.223
3.342
3.120
Perlakuan
Jumlah Hasil Kali
Db
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
Y terkoreksi terhadap X
F tabel
KT
F hitung 0.05
F tabel
0.01
0.025
0.780
31.50
3.63
Rataan
Notasi (0.05)
A
1.136
d
B
C
2.406
2.264
a
ab
D
E
2.067
1.670
b
c
BNT
XY
9.001
-3.873
5.128
5.925
6.42
YY
3.124
0.230
3.354
db
9
13
4
98
Lampiran 40 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitat
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
-24.933
-33.696
-58.629
YY
18.709
7.670
26.379
Y terkoreksi terhadap X
F tabel
db
9
13
4
Perlakuan
JK
7.117
24.879
17.763
Rataan
KT
F hitung
0.05
0.791
4.441
5.62
3.63
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
16.180
b
ab
B
C
15.581
16.368
b
b
b
ab
D
E
17.739
18.556
ab
a
ab
a
1.666
2.394
BNT
F tabel 0.01
6.42
99
Lampiran 41 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitoleat
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
9.026
7.715
16.740
YY
12.782
6.924
19.707
Y terkoreksi terhadap X
F tabel
db
JK
9
13
4
6.895
19.585
12.689
Perlakuan
Rataan
KT
F hitung
0.05
0.766
3.172
4.14
Notasi (0.05)
3.63
Notasi (0.01)
A
3.632
b
b
B
C
5.158
5.862
ab
a
ab
ab
D
E
5.959
6.136
a
a
ab
ab
1.640
2.356
BNT
F tabel 0.01
6.42
100
Lampiran 42 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam stearat
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
-9.470
-6.277
-15.747
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9
13
4
0.396
1.412
1.016
0.044
0.254
F tabel
F tabel
0.05
0.01
5.77
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
B
3.076
2.420
a
b
a
b
C
D
2.392
2.749
b
ab
b
ab
E
2.879
a
ab
0.393
0.565
BNT
6.42
YY
1.105
0.415
1.520
101
Lampiran 43 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam oleat
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
-62.350
-67.359
-129.709
YY
99.108
17.569
116.677
Y terkoreksi terhadap X
F tabel
db
JK
9
13
4
15.359
109.337
93.978
23.494
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
20.743
b
ab
B
C
16.269
18.515
c
bc
b
b
D
E
20.948
23.768
b
a
ab
a
2.448
3.517
BNT
KT
F hitung
0.05
F tabel 0.01
1.707
13.77
3.63
6.42
102
Lampiran 44 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linoleat
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
4
10
14
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
XY
-85.414
-29.884
-115.298
YY
120.172
21.863
142.035
Y terkoreksi terhadap X
F hitung
F tabel
F tabel
0.01
JK
9
13
4
21.428
136.235
114.808
Perlakuan
Rataan
Notasi
(0.05)
Notasi
(0.01)
A
20.157
a
a
B
C
12.172
13.047
c
c
b
b
D
E
15.228
16.199
bc
b
b
ab
2.891
4.154
BNT
KT
0.05
db
2.381
28.702
12.06
3.63
6.42
103
Lampiran 45 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linolenat
SK
Jumlah
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
-3.711
0.495
-3.215
YY
0.253
0.067
0.320
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
9
13
4
0.067
0.315
0.249
0.007
Perlakuan
Rataan
F hitung
0.062
Notasi (0.05)
F tabel
F tabel
0.05
0.01
8.39
3.63
Notasi (0.01)
A
1.181
a
a
B
C
0.829
0.822
b
b
b
b
D
E
0.918
0.913
b
b
b
b
0.161
0.232
BNT
6.42
104
Lampiran 46 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam arakidonat
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
-6.045
7.405
1.360
YY
1.839
0.472
2.310
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9
13
4
0.445
2.310
1.865
0.049
0.466
F tabel
F tabel
0.05
0.01
9.43
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi
(0.01)
A
1.851
a
a
B
C
1.065
0.849
b
b
b
b
D
E
1.004
1.016
b
b
b
b
0.417
0.599
BNT
6.42
105
Lampiran 47 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan EPA
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
7.484
5.346
12.831
YY
0.972
0.222
1.195
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9
13
4
0.208
1.123
0.915
0.023
0.229
F tabel
F tabel
0.05
0.01
9.87
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
B
0.149
0.872
c
a
b
a
C
D
0.640
0.481
ab
b
a
ab
E
0.325
bc
ab
0.285
0.410
BNT
6.42
106
Lampiran 48 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan DHA
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali
XX
239.054
2053.106
2292.161
4
10
14
XY
15.226
9.313
24.539
YY
5.106
1.754
6.859
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
9
13
4
1.712
6.597
4.885
0.190
F hitung
F tabel 0.05
6.42
3.63
1.221
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
1.687
b
b
B
C
3.062
2.199
a
b
a
ab
D
E
1.837
1.391
b
b
b
b
0.817
1.174
BNT
F tabel 0.01
6.42
Lampiran 49 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi bahan kering
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
30.297
395.635
425.932
YY
12.286
50.323
62.608
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
40.319
51.314
10.994
1.390
2.749
F hitung
1.98
F tabel 0.05
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
B
11.095
11.497
ab
a
a
a
C
D
10.152
10.592
ab
ab
a
a
E
10.010
BNT
b
a
1.293
1.743
F tabel 0.01
4.04
107
Lampiran 50 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan bahan kering
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
61.669
-18.409
43.260
YY
71.115
30.623
101.738
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
30.601
101.622
71.021
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
1.055
17.755
16.83
2.70
4.04
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
94.170
a
ab
B
C
94.582
94.148
a
a
a
ab
D
E
92.894
90.674
b
c
b
c
1.127
1.518
BNT
Lampiran 51 Analisis sidik peragam konsumsi protein
SK
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
4
30
34
Jumlah Hasil Kali
XX
414.457
15647.714
16062.171
XY
-1.389
45.430
44.041
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
0.505
0.592
0.087
0.017
0.022
F hitung
1.25
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
YY
0.076
0.637
0.712
108
Lampiran 52 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan protein
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
93.309
66.880
160.188
YY
147.889
116.146
264.035
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
29
33
4
KT
115.860
262.438
146.577
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
3.995
36.644
9.17
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi
(0.05)
Notasi
(0.01)
A
B
86.208
87.884
ab
ab
a
a
C
D
87.284
85.344
a
b
a
a
E
82.045
c
b
2.192
2.954
BNT
4.04
Lampiran 53 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi lemak
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
10.141
38.507
48.648
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
0.461
2.376
1.915
0.016
Perlakuan
0.479
Rataan
F hitung
F tabel 0.05
30.11
Notasi (0.05)
2.70
4.04
Notasi (0.01)
A
1.371
a
a
B
1.427
a
a
C
0.897
c
b
D
1.048
b
b
E
0.871
d
b
0.138
0.186
BNT
F tabel 0.01
YY
1.967
0.556
2.523
109
Lampiran 54 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan lemak
SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan
Galat
Total
Perlakuan terkoreksi
XX
414.457
15647.714
16062.171
4
30
34
XY
693.142
-357.971
335.171
YY
6744.101
547.594
7291.695
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
29
33
4
539.405
7284.701
6745.296
F hitung
F tabel 0.05
18.600
1686.324
90.66
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
96.034
a
a
B
C
95.637
89.843
a
b
ab
b
D
E
76.886
59.425
c
d
c
d
4.730
6.374
BNT
F tabel 0.01
4.04
Download