17 BAB II LANDASAN TEORI A. Partai Politik 1. Tinajuan Teoretis

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Partai Politik
1. Tinajuan Teoretis Partai Politik
Partai Politik (parpol) menurut Miriam Budiardjo merupakan organisasi
politik yang menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasi. Di negaranegara berkembang maupun negara-negara maju parpol menjadi ikhtiar yang
penting dalam sebuah sistem politik. Pendapat atau aspirasi seseorang atau
kelompok akan hilang tak berbekas, apabila tak ditampung dan disalurkan
sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat menjadi
lebih teratur. Pendapat dan sikap yang bermacam-macam tersebut perlu diolah
dan dirumuskan sehingga dapat disampaikan kepada pemerintah sebagai pembuat
keputusan dalam bentuk tuntutan atau usul kebijakan umum.
Artikulasi pendapat dan sikap dari berbagai kelompok yang sedikit banyak
menyangkut hal yang sama digabungkan menjadi sebuah “penggabungan
kepentingan” yang dalam suatu sistem politik merupakan input bagi pemerintah
yang berkuasa. Sebaliknya jika artikulasi pendapat dan sikap tersebut tidak
terakumulasi dengan baik maka yang akan timbul adalah kompetisi kepentingan
yang tak terkendalikan dan akhirnya akan menimbulkan anarki. Dengan kata lain,
parpol bertugas mengatur kehendak umum yang kacau. Partai-Partai menysusun
keteraturan dari kekacauan para pemberi suara yang banyak jumlahnya itu.
17
18
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Djenal Hoesen
(koesoemahatmadja, 1978:79), bahwa:
Tanpa organisasi Partai tidak nungkin ada:
1. penyatuan pernyataan prinsip;
2. evolusi yang tertib dalam merumuskan kebijaksanaan;
3. pelaksanaan yang teratur daripada alat konstitusionil yang berupa
pemilihan parlemen, dan seterusnya.
Sebaliknya besar kemungkinan akan imbul (jika tidak ada organisasi
Partai);
1. gerombolan-gerombolan dan komplotan-komplotan liar;
2. permintaan-permintaan dan petisi kepada pemerintah;
3. persetujuan-persetujuan rakyat;
4. pernyataan-pernyataan dan protes-protes.
a) Pengertian Partai Politik
Sebelum beranjak pada pengertian parpol, terlebih dahulu dikemukakan
pengeritian Partai itu sendiri. Sigmund Neuman (1982:59) menjelaskan bahwa:
Menjadi Partai dari sesuatu selalu berarti mengidentifikasikan diri
dengan suatu kelompok dan membedakan diri dari kelompok lainnya.
Setiap Partai pada intinya menunjukan adanya persekutuan (partnership)
dengan suatu organisasi dan memisahkan diri dari organisasi lainnya
dengan suatu program khusus.
Penjelasan ini menunjukan bahwa definisi Partai itu sendiri menunjukan
adanya suasana demokratis. Bahwa sebuah Partai dapat ada dengan sungguhsungguh jika sekurang-kurangnya
ada satu kelompok lain yang bersaing
(oposisi). Dan yang membedakan Partai dengan organisasi lainnya adalah bahwa
Partai mempunyai program khusus yang tidak dipunyai organisasi lain, seperti
ikut dalam kampanye yang bertujuan mempengaruhi kebijakan.
19
Selanjutnya
Sigmund Neumann masih tentang parpol
menegaskan
bahwa:
Parpol adalah organisasi yang artikulatif yang terdiri dari pelakupelaku Politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang
memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan
yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dan beberapa
kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Dengan
demikian parpol merupakan peranatara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di
dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Dari pendapat di atas, parpol diartikan sebagai suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan merebut
kedaulatan politik melalui kekuasaan yang diperoleh itu melaksanakan kebijakankebijakan mereka.
Pendapat
lainnya
dikemukakan
oleh
Thomas
H.
Stevenson
(Koesoemahatmadja, 1978:80) bahwa parpol adalah kelompok orang yang
terorganisir untuk mengawasi pemerintah dalam menjalankan programnya dan
agar anggota-anggotanya ditempatkan dalam bidang-bidang pemerintah. Jadi
parpol selain mengawasi jalannya pemerintahan yang sesuai dengan program
Partai juga berusaha agar anggota Partai masuk dalam jajaran birokrasi
pemerintahan.
Untuk lebih memahami pengertian parpol, berikut dikemukakan ciri-ciri
parpol yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (1992:114-115), yaitu:
1. Parpol berakar dalam masyarakat lokal, dalam arti bahwa Partai
mempunyai cabang-cabang di setiap daerah;
20
2. Melakukan kegiatan secara terus menerus, dengan penyusunan
program kegiatan yang berkesinambungan;
3. Berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan;
4. Ikut serta dalam pemilu
5. Mempunyai landasan ideologi;
6. Sebagai Pembina kesadaran nasional dan mengarahkan massa untuk
mencapai kemerdekaan (dalam masyarakat yang tengah dijajah).
b) Fungsi –fungsi Parpol
Miriam Budiardjo (1986:163-164) , menjelaskan mengenai fungsi parpol,
yaitu:
1.
2.
3.
4.
Partai sebagai sarana komunikasi politik
Partai sebagai sarana sosialisasi politik
Partai sebagai sarana recruitment politik
Partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
Partai sebagai sarana komunikasi politik berfungsi mengkomunikasikan
masyarakat (mereka yang diperintah “ruled”) arus ke atas terhadap pemerintah
(mereka yang memerintah “ruler”) artinya bahwa parpol mengakomodasikan
sikap-sikap dan tuntutan masyarakat yang diagregasikan dalam kepentingan Partai
terhadap pemerintah yang berkuasa, dan juga arus ke bawah dalam arti bahwa
parpol turut
memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Partai sebagai sarana sosialisasi politik adalah penanaman nilai-nilai
ideologi dan loyalitas kepada Negara dan Partai. Bagi bangsa Indonesia yang
termasuk Negara berkembang mempunyai sifat yang heterogen dan parpol secara
ideal dapat membantu peningkatan identitas nasional dan pemupukan integrasi
nasional.
21
Partai sebagai rekrutmen politik, yaitu proses melalui mana Partai mencari
anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam
proses politik. Rekrutmen dapat dilakukan terhadap siapa saja dari seluruh lapisan
masyarakat. Dengan rekrutmen tersebut Partai dapat menjamin kontinuitas dan
kelestariannya, juga sekaligus dapat menjadi seleksi calon-calon pemimpin
bangsa.
Partai sebagai sarana pengatur konflik, adalah mengatur segala potensi
konflik yang ada. Dengan keadaan bangsa Indonesia yang majemuk maka
perbedaan-perbedaan etnis, status sosial ekonomi dan agama mudah sekali
mengundang konflik. Tetapi tidak jarang pula justru parpollah yang menjadi
pemicu potensi konflik tersebut seperti terjadi pada masa orde lama.
2. Parpol Dalam Negara Demokratis
Negara demokratis adalah Negara yang berdasar pada prinsip-prinsip
demokrasi, yang salah satunya yaitu pemerintahan yang menempatkan kedaulatan
berada di tangan rakyat, maka sudah menjadi suatu keharusan jika rakyat
diikutsertakan dalam kehidupan politik dan menjadi keharusan jika rakyat
diikutsertakan dalam kehidupan pemerintahan dan dalam proses pembentukan
kebijakan publik.
Mengenai Negara demokrasi ini, Deliar Noer (1982:206) berpendapat
bahwa:
Didalam Negara demokratis dimana pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai
kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan pemerintah dan Negara,
oleh karena kebijaksanaan ini menentukan hidup rakyat itu.
22
Dalam
kehidupan
masyarakat
suatu
Negara
demokratis,
dengan
masyarakat yang begitu modern dan luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau
suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila
tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang
senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest agregation).
Semua
kegiatan
tersebut
dilakukan
oleh
parpol.
Parpol
selanjutnya
merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukan
dalam program Partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah
agar dijadikan kebijaksanaan umum. Dengan demikian, tuntutan dan kepentingan
masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui parpol. Dari penjelasan
tersebut kita dapat mengetahui bahwa keberfungsian parpol akan terwujud dan
terlaksana secara baik dan efektif jika berada dalam suatu Negara yang
demokratis.
Berkaitan dengan fungsi parpol dalam kehidupan Negara demokratis ini,
Miriam Budiardjo (2001:163) menjelaskan bahwa:
...parpol berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan
sencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan
demimkian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas, dimana parpol memainkan peranan sebagai penghubung
antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga
masyarakat.
Negara demokratis, sangat menghargai adanya perbedaan antara individu
dan kelompok. Namun Negara memberikan pula kesempatan politik yang sama
bagi setiap individu dan kelompok untuk membentuk organisasi agar dapat
mengawasi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ramlan Surbakti (1999:228) bahwa setiap individu dalam Negara
23
demokratis harus menggunakan kesempatan politik dengan menggabungkan diri
ke dalam organisasi sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah dan
membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Maka dibentuklah parpol sebagai wadah aspirasi dan partisipasi dari
rakyat serta merupakan penghubung antara rakyat dengan pemimpin yang
menguasai pemerintahan. Dengan posisi tersebut, parpol kini dianggap sebagai
barometer demokrasi, karena demokratis atau tidaknya sistem politik suatu
Negara, sangat bergantung oleh ada tidaknya parpol, terlepas dari apakah
berfungsi atau tidaknya parpol.
Fungsi parpol menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 adalah
sebagai sarana:
1. Pendidikan politik bagi anggota-anggotanya dan masyarakat luas agar
menjadi warga Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
berNegara.
2. Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai
perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan
masyarakat.
3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara.
4. Partisipasi politik warga Negara;dan
5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik mlalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Dari uraian di atas dapat kita pastikan bahwa pada hakikatnya, fungsi
parpol adalah untuk membela kepentingan rakyat demi tercapainya tujuan
bersama. Selain itu, merujuk pada fungsi parpol yang dikemukakan oleh Sukarna
(1978:91-116) bahwa parpol memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Pendidikan politik (political education)
2. Sosialisasi politik (political sosialisation)
3. Pemilihan-pemilihan pemimpin politik (political selection)
24
4. Pemanduan pemikiran-pemikiran politik (political agregation)
5. Melakukan tata-hubungan politik (political communication)
6. mengkritik rezim yang memerintah (criticsm of regime)
7. Membina opini masyarakat (simulating public opinion)
8. Mengusulkan calon (proposing candidates)
9. Bertanggung jawab atas pemerintahan (responsibility for government)
10. Menyelesaikan perselisihan (conflict management)
11. Mempersatukan pemerintahan (unifying the government).
12. Memerpejuangkan
kepentingan-kepentingan
rakyat
(political
articulation)
13. Memilih pejabat-pejabat yang akan diangkat (choosing appointive
officers) .
Fungsi parpol tersebut diajukan agar parpol dapat mengendalikan atau
mengawasi pemerintahan dengan baik dan sesuai dengan harapan rakyat apabila
parpol mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Hampir setiap ahli memiliki
persaman dalam menjabarkan fungsi dari parpol, selaras dengan fungsi parpol di
atas, Roy C. Marcides (Ichlasul Amal, 1988:27) menguraikan bahwa:
“…fungsi-fungsi parpol yaitu:
1. Representasi (perwakilan)
2. Konversi dan Agregasi
3. Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi)
4. Persuasi
5. Reprosi
6. Rekrutmen (pengangkatan lembaga-lembaga baru)
7. Pemilihan pemimpin
8. Pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan
9. Kontrol terhadap pemerintah”.
Dalam hal ini, Roy C. Marcidis (1988:27) menempatkan fungsi Partai
sebagai sarana untuk memilih pemimpin, perumusan kebijakan, kontrol terhadap
pemerintah, dan pertimbangan-pertimbangan yang memang pada kenyataannya
fungsi tersebut telah terlihat dengan tidak meninggalkan fungsi lainnya yang juga
dijalankan, sejalan dengan semakin kompleknya harapan masyarakat terhadap
parpol sebagai lembaga yang mewakili rakyat dalam politik.
25
Terdapatnya persamaan dalam menguraikan fungsi parpol, dapat
disimpulkan bahwa para ahli memandang parpol memiliki fungsi pokok yaitu
sebagai sarana bagi rakyat untuk lebih menyadari tentang kehidupan politik dan
pemerintahan melalui parpol. Sebuah permintaan akan sangat dipengaruhi oleh
sistem politik melalui sejumlah bentuk dan fungsi yang berbeda di dalam
sejumlah Negara sesuai dengan sistem politik yang diterapkan di Negara itu.
Dalam Negara demokratis, selain memiliki fungsi di atas, parpol juga
merupakan wadah sekaligus mengantar aspirasi masyarakat yang terbagi menjadi
beberapa golongan. Hal ini merujuk pada pendapat Sigmund Neumann (2000:16)
bahwa ”kalau dalam Negara demokrasi Partai mengatur keinginan dan aspirasi
golongan dalam masyarakat dan berusaha menyelenggarakan integrasi warga
Negara ke dalam warga masyarakat hukum”.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Ramlan Surbakti (1997:117) dalam
mengangkat fungsi parpol dalam Negara demokrasi selain fungsi-fungsi yang
dikemukakan terdahulu, kali ini lebih menempatkan pada bagaimana parpol
berfungsi dalam menjalankan sebuah sistem politik demokrasi dan pemerintahan,
bahwa:
Parpol dalam sistem politik demokrasi melakukan tiga kegiatan.
Adapun kegiatan itu meliputi seleksi calon-calon, kampanye, dan
melaksanakan fungsi pemerintahan (legislatif dan/atau eksekutif). Apabila
kekuasaan untuk memerintah telah diperoleh maka, parpol itu berperan
pula sebagai pembuat keputusan politik.
Maka peran parpol dalam Negara demokrasi adalah sebagai wadah
partisipasi rakyat dalam menggunakan hak politiknya untuk lebih menyadari dan
26
mengawasi pemerintahan dan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari sistem
politik agar dapat menjalankan fungsi dalam lembaga pemerintahan.
3. Partai Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada Langsung
a) Keterlibatan Partai Politik dalam Pelaksanaan Pilkada Langsung
Dalam pilkada, mekanisme rekrutmen Kepala Daerah sebagaimana halnya
salah satu fungsi parpol yaitu sebagai sarana rekrutmen politik dilakukan dengan
mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen
politik, seperti rakyat dan Partai-partai politik.
Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap
tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah baik Gubernur/Wakil
Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati ataupun Walikota/Wakil Walikota. Dalam
peta politik di daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya
equivalen dengan pemilihan anggota DPRD.
Equivalensi tersebut ditunjukan dengan kedudukan yang sejajar antara
Kepala Daerah dengan DPRD. Hubungan kemitraan dijlalankan dengan cara
melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check and
balances. Dalam hal ini yang menjadi aktor penting dalam pilkada adalah rakyat,
parpol dan calon Kepala Daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan
pilkada langsung.
Parpol sebagai bagian elemen penting dalam pelaksanaan pilkada
mempunyai kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak
mungkin menyerahkan kepada mereka. Catatan Pilkada selama ini menunjukan,
27
penyelenggaraan Pilkada oleh parpol menimbulkan bias demokrasi sampai setelah
munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/ PUU V/2007 yang telah
meloloskan calon perseorangan tanpa mekanisme parpol. Akan tetapi putusan
MK tersebut juga tidak membatalkan kewajiban parpol membuka peluang bagi
calon perorangan
Mengenai keterlibatan parpol dalam proses pelaksanaan pilkada, Amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 tersebut merumuskan
pasal 59 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32/2004 sebagai berikut:
(2) Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon
apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15%
(lima belas persen) dari jumlahkursi DPRD atau 15% (lima belas
persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(3) Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang
demokratis dan transparan”.
Dalam proses Pilkada langsung yang demokratis arus in-put mengalir
bukan dari parpol semata-mata namun juga dari kelompok di luar parpol. Calon
Kepala Daerah yang berasal dari parpol atau perseorangan di luar parpol. Mereka
menjalani proses, yakni menyelesaikan tahapan-tahapan kegiatan mulai dari
penelitian syarat calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara sampai
penetapan calon terpilih.
Pada masa pendaftaran, calon mengajukan persyaratan untuk diteliti oleh
penyelenggara, penelitian tersebut bersifat administratif berkala sehingga disebut
juga dengan seleksi administratif. Dalam masa kampanye, calon berlomba
merebut simpati rakyat dengan cara menawarkan visi, misi dan program kerja.
28
Out put proses Pilkada langsung adalah pasangan calon Kepala Daerah terpilih
hasil seleksi masyarakat dalam pemungutan suara.
b) Partai Politik dalam Rekrutmen Bakal Calon Kepala Daerah
Parpol menjadi aktor utama masyarakat politik, yang memperoleh mandat
dari masyarakat sipil. Perannya mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas
Negara untuk kepentingan masyarakat. Peran parpol itu diletakkan dalam arena
pemilihan umum, di dalamnya terjadi kompetisi dan partisipasi politik masyarakat
sipil untuk memberikan mandat pada Partai atau kandidat pejabat politik yang
dipercayainya.
Di sisi lain parpol dan pemilihan umum merupakan tempat yang paling
tepat untuk proses rekrutmen politik,dalam rangka mengorganisir kekuasaan
secara
demokratis.
Rekrutmen
merupakan
arena
untuk
membangun
kaderisasi,regenerasi,dan seleksi para kandidat serta membangun legitimasi dan
relasi antara Partai dengan masyarakat sipil.
Ketika bicara soal rekrutmen politik, dalam konteks mendudukan para
pejabat publik baik di legislatif ataupun eksekutif, Parpol memainkan peran
sangat besar. Mulai dari upaya mengusulkan calon sampai kepada menghasilkan
calon untuk memimpin lembaga-lembaga publik. Di sini Parpol memiliki
keharusan untuk bisa menghadirkan sosok-sosok yang memang memiliki
kredibilitas dan kapabilitas.
Dalam hal rekrutmen pilkada langsung, tidak semua anggota pengurus
parpol atau warga bisa menjadi calon Kepala Daerah. Kedudukan sebagai Kepala
Daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota, membutuhkan kompetensi tertentu
29
yang menunjukan kapasitas dan kapabilitas agar dapat memimpin pemerintahan
dengan baik. Maka dari itu, sebelum memasuki kompetisi dalam Pilkada
langsung, lazimnya parpol melakukan rekrutmen bakal calon.
Rekrutmen dilakukan melalui prosedur seleksi yang bertingkat mulai dari
seleksi sistem, seleksi parpol, seleksi administratif, seleksi penegakan hukum
administratif, dan seleksi politis.Dalam sistem proporsional yang menggunakan
sistem daftar nama (list) calon dalam pemilu, titik lemah seleksi sama sekali
bukan terletak pada seleksi politik yang dilakukan rakyat (pemilih). Rakyat hanya
memilih calon yang disodorkan parpol. Titik lemah terletak pada seleksi sistem
oleh parpol, seleksi parpol yang ditentukan oleh pimpinan parpol, seleksi
administratif oleh Komisi Pemilihan Umum, seleksi penegakan hukum
administratif oleh Panitia Pengawas Pemilu.
Dalam seleksi sistem, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat seperti
setia pada ideologi bangsa dan dasar Negara.. Dalam seleksi parpol, seorang calon
wajib memenuhi kriteria tertentu, seperti loyalitas, dedikasi dan kredibilitas.
Dalam seleksi administratif seorang calon wajib memenuhi berbagai kriteria,
seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK/SKKBsurat keterangan
kelakuan baik). Dalam seleksi penegakan hukum administratif diuji persyaratan
seseorang yang dinyatakan lolos sebagai calon anggota DPR.
Berdasarkan paparan sebelumnya, rekrutmen bakal calon menjadi calon
oleh parpol atau gabungan parpol, dikenal dengan seleksi tahap kedua setelah
seleksi sistem dalam rangkaian rekrutmen politik. Sistem rekrutmen bakal calon
yang diberlakukan parpol berbeda-beda, hal ini dijelaskan menurut Joko J
30
Prihatmoko terbagi ke dalam dua bagian antara lain sistem pemilihan tertutup dan
sistem konvensi.
Kedua sistem pemilihan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Sistem Pemilihan Tertutup
Sistem pemilihan tertutup adlaah sistem rekrutmen bakal calon yang
dilakukan hanya oleh pengurus parpol dengan variasi sistem. Istilah ”Variasi
sistem” merujuk pada mekanisme penentuan akhir
bakal calon yang akan
mengikuti kompetisi dalam pilkada langsung atau yang akan menjadi calon.
Partai-parpol yang demokratis,umumnya menetapkan bahwa penentu akhir
pencalonan
adalah pengurus parpol setempat.
Sedangkan Partai-parpol
konservatif, dengan sistem kepemimpinan yang bergantung pada figur
(personalized), pencalonan akhir ditentukan oleh pengurus pusat.
2) Sistem Konvensi
Sistem rekrutmen calon yang sangat populer di Negara-Negara demokrasi
adalah sistem konvensi. Sistem konvensi dilakukan dengan cara pemilihan
pendahuluan terhadap bakal calon dari parpol oleh pengurus dan/ atau anggota
parpol, sebagaimana dilakukan Partai Golkar dalam pemilu presiden/ Wakil
Presiden 2004. Kelebihan sistem konvensi terletak pada pengembangan atau
peningkatan popularitas bakal calon melalui proses kampanye internal Partai dan
pendidikan politik yang ditawarkan (debat publik, penyampaian visi dan misi, dan
lain-lain). Sistem konvensi sangat efektif bagi Partai kader, dan sebaliknya kurang
efektif bagi Partai massa.
31
Sistem rekrutmen tertutup dan sistem konvensi umumnya memberlakukan
syarat-syarat yang cukup berat bagi para bakal calon sebagaimana persyaratan
calon Kepala Daerah, seperti pendidikan, usia, kesehatan jasmani dan rohani dan
sebagainya. Syarat-syarat tersebut seolah-olah dirancang untuk dapat menunjang
pelaksanaan tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah.
Adapun kelemahan sistem rekrutmen konvensi mengabaikan kaderisasi.
Namun demikian semakin banyak tokoh-tokoh terkenal, selebritis dan pemilik
modal direkrut sebagai elit semakin besar munculnya persoalan kaderisasi (bottle
neck). Rekrutmen dengan sistem konvensi juga menuntut kualitas seleksi dari
parpol yang jauh lebih ketat terkait kriteria yang ditetapkan sebagai calon elit,
seperti kesetiaan pada dasar Negara dan ideologi bangsa, dedikasi dan kredibilitas,
dan sebagainya.
B. Tinjauan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU
V/2007
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2007 telah mengabulkan
judicial review terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang tidak memberikan ruang keikutsertaan calon perseorangan dalam pilkada.
Dengan demikian, kesesuaian dengan keputusan MK tersebut, para calon
perseorangan akan dapat mempergunakan hak politiknya menjadi calon pemimpin
daerah. MK berpendapat, pemberlakuan pencalonan Kepala Daerah secara
perseorangan di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain agar tidak terjadi
32
dualisme hukum. Dualisme tersebut menimbulkan terlanggarnya hak warga
Negara.
Uji materi UU Pemda dimohonkan oleh anggota DPRD Kabupaten Lombok,
Lalu Ranggalawe dengan kuasa hukum Suriahadi SH. Ranggalawe menganggap
pasal-pasal dalam UU nomor 32 itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal
tersebut adalah pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (1) sampai ayat (4), pasal 59 ayat
(5) huruf a dan c, pasal 59 ayat (6), pasal 60 ayat (2) sampai ayat (5) UU
Pemerintahan Daerah yang bertentangan dengan alinea IV, pasal 18 ayat (4), pasal
27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Daerah itu, menurut pemohon, melanggar
hak konstitusional warga Negara karena membatasi pencalonan Kepala Daerah
secara perseorangan atau yang tidak melalui parpol
1. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007
Dengan mengingat ketentuan Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal
57 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4316) mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor
4437), yang hanya memberi kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol
dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada, yaitu:
33
1. Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh parpol atau gabunganparpol”;
2. Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh
parpol atau gabungan parpol”.
3. Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”.
4. Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Parpol atau gabungan
parpol wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya
memproses bakal calon dimaksud”.
3. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pasal-pasal UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun
2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437), yaitu:
1. Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh parpol atau gabungan parpol”;
2. Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh
parpol atau gabungan parpol”;
3. Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”
4. Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Parpol atau gabungan
parpol wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya
memproses bakal calon dimaksud”;
4. Menyatakan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437)
yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 59 Ayat (1): ”Peserta pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala
Daerah adalah pasangan calon”;
2. Pasal 59 Ayat (2): ”Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan
pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15%
(lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam
pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”;
3. Pasal 59 Ayat (3): ”Membuka kesempatan bagi bakal calon
perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”.
5. Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;
34
6. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
2. Pandangan Para Ahli Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
05/ PUU V/2007
Terhadap Putusan MK, beberapa ahli memberi tanggapan yang beragam,
mereka umumnya terbelah dua, pro dan kontra. Dalam petitium putusan MK
tersebut, diantarnya tertera nama Dr. Arbi Sanit yang memberi keterangan tertulis
terhadap wacana calon perseorangan tersebut, dan secara tidak langsung
memberikan dukungan terhadap dibukanya peluang bagi calon perseorangan
dalam pilkada.
Dalam petitium putusan MK tersebut, Dr. Arbi Sanit dalam keterangan
tertulisnya menyatakan bahwa, Sekalipun rakyat, penguasa Negara dan daerah di
Indonesia bertekad dan berupaya melaksanakan Demokrasi, akan tetapi
realisasinya masih jauh dari optimal. Di dalam kehidupan politik yang
memerankan fungsi pengelolaan penyelenggaraan Negara, sehingga mengarahkan
dan memfasilitasi berbagai aspek kehidupan lainnya dari masyarakat dan bangsa
serta Negara, berbagai prinsip dan keharusan demokrasi masih belum terwujud.
Ada yang masih tersimpan di dalam cita-cita ideologi, ada yang masih di dalam
wacana, ada yang sudah dituangkan di dalam Konstitusi dan Peraturan
Perundangan, namun masih belum terlaksana.
Di antara prinsip dan cita-cita demokrasi yang masih di dalam perjuangan
untuk diakui (diterima) secara informal dan formal, ialah Calon Perseorangan
untuk Pemilu Nasional maupun Lokal, seperti halnya untuk Pemilu anggota
35
Legislatif dan Pemimpin Eksekutif. Calon Perseorangan Pemilu ialah tokoh
masyarakat yang menjadi peserta Pemilu secara perorangan tanpa menggunakan
mekanisme kePartaian, akan tetapi memanfaatkan mekanisme kemasyarakatan
dan atau kemampuan dan kekuatan pribadi.
Di berbagai Negara, lembaga Calon Perseorangan dihidupkan, untuk
menampung aspirasi golongan minoritas, sekalipun keberhasilannya lebih sukar
tercapai di dalam Pemilu Nasional dibandingkan Pemilu Daerah. Di Indonesia
Calon Pemilu Perseorangan seakan diperlakukan sebagai lembaga istimewa yang
dijadikan sumber kontroversi bermotif kepentingan dan prosedural sampai
ideologis.
Kehadirannya
dianggap
melemahkan
dan
bahkan
membahayakan
eksistensi Parpol. Persyaratannya menjadi peserta Pemilu, bisa jadi menimbulkan
masalah ketidakadilan dalam demokrasi. Dan Calon persorangan diartikan sebagai
wujud individualisme yang merupakan perwujudan dari ideologi liberalisme.
Sesungguhnyalah kontroversi yang mengkawatirkan segi negatif Calon Pemilu
Perseorangan seperti itu, tidak perlu hadir dan dipertahankan, bila demokrasi
hendak dipraktikkan secara bersungguh-sungguh, dalam artian substansial dan
komprehensif. Substansial berarti bahwa prinsip dan praksis serta teknisnya
terlaksana. Dan komprehensif berarti diberlakukan diseluruh aspek kehidupan,
baik sebagai faktor penentu ataupun ditentukan, (independent dan dependent
variabel),
Karena itu, walau bagaimanapun, Calon Pemilu Perseorangan diperlukan
dalam Pemilu Indonesia, termasuk Pilkada. Pertama, untuk mengoperasikan
36
paradigma kolektivisme (Pembukaan UUD) dan paradigma individualisme
(pasal.19 HAM UUD) melalui lembaga Pemilu (Pilkada). Calon Pemilu dari
Partai merupakan operasi kolektivisme yang terdiri dari perwakilan golongan
yang disimbolkan oleh Partai. Sedangkan Calon Perseorangan adalah individu
yang memperjuangkan haknya sejauh mungkin.
Dengan begitu maka Pemilu menyelesaikan masalah yang dihadirkan oleh
Amandemen UUD yaitu konflik yang mungkin dilandasi oleh kedua paradigma
keNegaraan tersebut. Pemilu menghadirkan penyerasian konflik kolektivisme
dengan individualisme. Kedua, Lembaga Calon Perseorangan memberikan
peluang kepada upaya orang yang tidak menjadi anggota ataupun simpatisan
Partai, untuk menggunakan haknya ikut Pemilu dan berkuasa atas Negara, apabila
memperoleh
suara
Pemilih
sebagaimana
dipersyaratkan
oleh
Peraturan
Perundangan yang berlaku.
Apabila hanya sedikit orang yang tidak berPartai, maka Calon
Perseorangan mewakili kelompok minoritas. Dan apabila banyak orang yang
berPartai, maka Calon Perseorangan berfungsi sebagai katup penyelamat bagi
kemungkinan tingginya angka Golput, yaitu orang yang tidak menggunakan hak
pilih karena merasa tidak punya pilihan. Ketiga, Parpol sejauh ini mengalami
krisis Calon Pemimpin sebagaimana dibuktikan oleh kesulitan memajukan Calon
yang berkualifikasi tinggi dalam kapabilitas kepemimpinan dan dalam kadar
popularitasnya.
Hal itu berakar kepada Sistem Kaderisasi yang jauh dari efektif, karena
kaderisasi masih berlangsung secara tradisional melalui sistem magang.
37
Sesungguhnya krisis kualitas dan kuantitas calon pemimpin Partai itu, memotivasi
Partai untuk memanipulasi kedaulatan rakyat, karena dengan mamajukan calon
asalan secara monopolistik, mengkondisikan Pemilih untuk tidak punya pilihan
secara rasional. Apalagi kampanye lebih berfungsi sebagai penyembunyian
kelemahan Calon Partai, dengan gembar gembor atau "iklan" kehebatan Calon
tersebut.
Dalam konteks ini Calon Perseorangan, sesungguhnya membantu Partai
untuk memungkinkan tersedianya calon popular dan kapabel dengan konsekuensi
kekecewaan rakyat kepada Partai tidak berubah menjadi dendam politik.
Keempat, hadirnya Calon Perseorangan bisa jadi memotivasi Partai untuk
mengembangkan sistem kader yang efektif, untuk keberhasilan memenangkan
kompetisi politik. Memang sejauh ini di dalam Pemilu berlangsung kompetisi
antar Partai, akan tetapi di samping sudah terbiasa, persaingan itu. tertutup
dikalangan Partai.
Calon Perseorangan membuka kompetisi itu seluas mungkin, sehingga
mempertajam upaya untuk meningkatkan kualitas Calon Pemilu. Kelima,
sejatinya adalah saatnya (urgen) untuk menanggulangi "krisis" Pemimpin dan
Kepemimpinan Politik dan Pemerintahan Indonesia yang semakin kambuh karena
berlangsung dalam waktu lama. Selama ini tugas Parpol untuk mengatasinya
boleh dikatakan sebagai gagal. Dan tidak bisa solusi atas masalah ini sepenuhnya
mengandalkan Parpol. Apalagi bila hendak mengatasinya secara lebih cepat dan
mendasar. Maka strategi memperluas basis penyiapan calon pemimpin, tentulah
38
merupakan pilihan yang tepat, terutama dalam situasi Negara dan Masyarakat
dewasa ini.
Dengan begitu, lembaga Calon Perseorangan Pemilu dan Pilkada, akan
lebih memberi harapan bagi perbaikan Demokrasi dan Negara. Pemahaman dan
penerimaan serta operasionalisasi Lembaga CaIon Perseorangan Pemilu seperti
itu, bisa diberlakukan apabila dihilangkan berbagai hambatan yang ada, mulai dari
paradigma
politik
dan
sistem
politik
serta
Sistem
Pemerintahan
dan
kepemimpinan politik.
Sistem politik demokrasi konsensus berdasar sistem multi Partai, yang
tidak menyediakan kondisi aman bagi para politisi termasuk penguasa, sehingga
harus selalu siaga sebagai politisi dengan konsekuensi tidak sempat menjadi
Negarawan yang tidak lagi bergulat dengan kegiatan mempertahankan kekuasaan,
melainkan memanfaatkan posisi kekuasaan keNegaraan yang dikontrolnya untuk
melayani rakyat banyak melalui kebijaksanaan yang dihasilkan. Karena itu, bila
mengikut UUD Amandemen, dengan membangun Sistem polltik demokrasi
mayoritas, maka sistem Partai sederhana yang dipersyaratkannya, secara otomatis
memungkinkan adanya Calon Perseorangan. Sistim pemilu mayoritas yang sesuai
dengan
sistem
politik
demokrasi
mayoritas
serta sistem
pemerintahan
presidensial, dengan sendirinya menyediakan ruang bagi calon perseorangan
untuk menjamin hak minoritas.
Selain dari perubahan sistem politik dan pemerintahan, perlu pula
diaktualkan paradigma kompetisi penuh di dalam kehidupan politik sejak pemilu
sampai
parpol
dan
pemerintahan.
Bila
kehidupan
politik
sepenuhnya
39
mengandalkan paradigma kolektivisme/kooperatifme, akan sukar diterima akal
adanya calon perseorangan. Tentu saja perubahan UU Politik merupakan syarat
operasionalisasi bagi berlakunya calon perseorangan. UU Pemilu dan UU Parpol
dan UU SUSDUK memerlukan penyesuaian bila dikehendaki adanya calon
perseorangan di dalam Pemilu.
Akan tetapi hambatan paling strategis sesungguhnya berkaitan dengan
gaya kepemimpinan para penguasa Negara yang berwenang melakukan perubahan
UU Politik. Sejauh ini kelemahan visi dan kompetensi Negarawan serta
kepemimpinan tradisional mereka, merupakan faktor kesulitan penting untuk
melakukan pembaharuan Negara. Maka diperlukan pendewasaan dan pematangan
para pemimpin itu, untuk bisa menerima pembaharuan seperti calon perseorangan.
Hambatan perubahan yang terakhir ini, justru perlu disingkirkan terlebih
dahulu dari Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebab Makamah Konstitusi baru bisa
objektif sungguh, apabila terbebas dari bias Partai yang membesit dari
kecenderungan dan atau kerja sama sementara hakim Makamah Konstitusi yang
mengadili perkara ini dengan Parpol tertentu.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 ini,
sembilan hakim konstitusi yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut, tiga di
antaranya mengutarakan pendapat berbeda (dessenting opinion). Ketiga hakim itu
adalah, Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan HAS Natabaya. Mereka
menyatakan permohonan uji materi tidak beralasan dan syarat pencalonan Kepala
Daerah melalui parpol tidak bertentangan dengan UUD 1945.
40
Khusus untuk pencalonan perseorangan dalam pilkada NAD, Roestandi
mengatakan hal itu tidak dapat dijadikan perbandingan dan alasan untuk
memberlakukan hal serupa di daerah lain. Hal itu disebabkan kondisi NAD saat
ini tidak memungkinkan pelaksanaan pilkada seperti biasa. Selain itu, ketentuan
calon perseorangan dalam pilkada NAD hanya akan diberlakukan untuk satu kali
pilkada, sehingga tidak akan terulang pada pilkada berikutnya
Menurut Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya Terhadap dalil Ranggawale,
Natabaya melihatnya dari dua sudut pandang yaitu: 1) peranan parpol dalam
sistem demokrasi perwakilan dan 2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang
berkaitan dengan Pengujian UU Pemda.
1. Peranan Parpol dalam Sistem Demokrasi Perwakilan.
Bahwa dalam rangka pemberdayaan parpol pada era reformasi dan sesuai
dengan keinginan para penyusun perubahan terhadap UUD 1945, maka salah satu
sarana demokrasi dalam pemilihan Kepala Daerah ditentukan melalui parpol.
Karena melalui parpol rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan
pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan
berNegara. Parpol dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan,
kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan Negara
yang padu.
Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut
diimplimentasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin
terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Didasari bahwa proses menuju
kehidupan politik yang memberikan peran kepada parpol sebagai aset nasional
41
berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama
semakin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab berdemokrasi.
Dengan demikian parpol akan merupakan saluran utama untuk
memperjuangkan kehendak rakyat, bangsa dan Negara sekaligus sebagai sarana
kaderisasi dan rekrutmen calon pimpinan nasional maupun daerah. Maka, sudah
seharusnyalah pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol
yang penentuannya dilaksanakan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal parpol atau kesepakatan antar parpol yang bergabung.
Mekanisme penentuan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang diatur dalam Pasal
56 jo Pasal 59 Ayat (3) UU Pemda telah bersesuaian dengan ketentuan Pasal 6A
Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsungoleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol
atau gabungan parpol peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
Menurutnya
sangat ironis kalau suatu undang-undang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan undang-undang itu sendiri (UU
Pemda) telah mengambil alih mekanisme yang digunakan oleh UUD Tahun 1945
yang merupakan hukum dasar (staatsgrundsgezet) dari Negara Indonesia. Apabila
hal ini terjadi, maka mekanisme tersebut tidak sesuai dengan teori hirarki
perundangan-undangan yang kita anut sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Ayat
(1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan.
Pasal 7
42
(1) Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang (Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang).
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Pemerintah.
e. Peraturan Daerah.
Bahwa Ranggawale
dalam permohonannya telah membandingkan
pengaturan Pasal 59 Ayat (3) UU Pemda dengan pengaturan Pasal 67 Ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
dimana menurut Pemohon Pasal 67 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 11
tentang Pemerintahan Aceh telah mengakomodasikan keberadaan calon
perseorangan. Tetapi, menurutnya Ranggawale telah keliru karena keberadaan
calon perseorangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d,
Undang-Undang Pemerintahan Aceh hanya untuk masa peralihan (overgang)
sebelum terbentuknya Partai lokal dan ketentuan tersebut hanya berlaku einmalig
(sekali jalan saja) karena sesudahnya tidak boleh lagi ada calon perseorangan. Hal
ini ditegaskan dalam Bab XXXIX Ketentuan Peralihan Pasal 256 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berbunyi, ”Ketentuan
yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan
pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan”.
Tambahan lagi, untuk lebih jauh memahami mengapa calon perorangan
diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (lihat Pasal 67 Ayat (1) huruf d), hal ini tidak terlepas dari adanya Nota
43
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintahan dan
Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Nota
Kesepahaman tersebut telah menandakan kilas baru searah perjalanan Provinsi
Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur,
sejahtera dan bermartabat.
Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik
di Aceh secara berkelanjutan. Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tetap
menganut mekanisme rekrutmen pimpinan daerah dengan cara bahwa Pasangan
Calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, parpol lokal atau gabungan
parpol lokal, gabungan parpol dan parpol lokal.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam objek permohonan pengujian UU Pemda, Mahkamah Konstitusi
telah pernah memeriksa, mengadili, dan memutuskan objek permohonan yang
serupa dengan permohonan. Dalam putusan Mahkamah telah mempertimbangkan
bahwa apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan politik yang dilakukan
berdasarkan Pasal 59 Ayat (1) harus melalui pengusulan parpol melanggar Pasal
27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 terhadap mana Mahkamah
memberikan pertimbangan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”, dan
44
Pasal 28D Ayat (3) berbunyi, “Setiap warga Negara memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan.”
Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan
juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme
rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Adalah
benar, bahwa hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan dilindungi oleh konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang yang berkenaan dengan itu,
antara lain syarat usia, pendidikan, kesehatan jasmani dan rohani serta syaratsyarat lainnya. Persyaratan tersebut akan berlaku sama terhadap semua orang,
tanpa membeda-bedakan orang baik karena alasan agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan
keyakinan politik. Sementara itu, pengertian diskriminasi yang dilarang dalam
Pasal 27 Ayat (1) dan 28D Ayat (3) tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Bahwa persyaratan pengusulan calon pasangan Kepala Daerah/wakil
Kepala Daerah harus melalui pengusulan parpol, adalah merupakan mekanisme
atau tata cara bagaimana pemilihan Kepala Daerah dimaksud dilaksanakan, dan
sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam
pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui parpol dilakukan, sehingga
dengan rumusan diskriminasi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Pasal 2 International Covenant
45
on Civil and Political Rights, yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak
didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui
parpol demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena
pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak
dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui
kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir); Bahwa
pembatasan hak-hak politik di atas itu dibenarkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD
1945, sepanjang pembatasan dimaksud dituangkan dalam undang-undang.
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Bahwa lagi pula diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan
pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah kepada parpol, tidaklah
diartikan bahwa hal itu menghilangkan hak konstitusional warga Negara, in casu
Pemohon untuk menjadi Kepala Daerah, sepanjang Pemohon memenuhi syarat
Pasal 58 dan dilakukan menurut tata cara yang disebut dalam Pasal 59 Ayat (1)
dan Ayat (3) UU Pemda, persyaratan mana merupakan mekanisme atau prosedur
mengikat setiap orang yang akan menjadi calon Kepala Daerah/wakil Kepala
Daerah;
Bahwa
berdasarkan
uraian
pertimbangan
tersebut,
Mahkamah
46
berpendapat permohonan Pemohon sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal
24 Ayat.84 (5), Pasal 59 Ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65,
Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan 86, Pasal
88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai dengan
Pasal 112, Paragraf keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat
diterima, sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 Ayat (1) dan
Ayat (3) tidak cukup beralasan.
Dalam Perkara Nomor 010/PUU-III/2005, Mahkamah menyatakan bahwa
pengaturan Pasal 59 Ayat (2) adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy)
sehingga Pasal 59 Ayat (2) UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat
(1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.
1. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
2. Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
3. Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga Negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Apabila putusan di atas kita analogkan dengan kasus Ranggawale, maka
terdapat isu hukum (legal issue) yang sama, sehingga pengaturan pasal-pasal yang
dimohonkan dalam kasus a quo juga merupakan pilihan kebijakan (legal policy)
dari pembentuk undang-undang.
Putusan yang tidak bulat diantara para hakim MK, melahirkan penilaian
beragam yang memicu berbagai perdebatan dikalangan masyarakat. Terkait hal
47
tersebut,
Tjahjo Kumolo, SH (2007) cenderung memihak
tiga hakim yang
berbeda pendapat tentang putusan MK tersebut.
Tjahjo Kumolo menyatakan beberapa hal mengenai calon perseorangan
tersebut, beberapa diantaranya menerangkan bahwa, Pertama, Pembatasan calon
perseorangan yang bukan anggota parpol dalam Pilkada. Bahwa mereka harus
diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dianggap membatasi hak warga
Negara, tidak demokratis dan menyalahi konstitusi karena merugikan hak
konstitusional warga Negara. Sementara, konstitusi memungkinkan pembatasan
semacam itu, karena dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 285 ayat (2) UUD 1945.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Pencalonan perseorangan melalui parpol hanya terbatas orang parpol, juga
dinilai mengada-ada. Peluang itu ada dan dijamin dalam UU 32/2004 bahwa,
Parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya
bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat . .melalui mekanisme yang
demokratis dun transparan. Kalau misalnya dalam prosesnya yang bersangkutan
tidak lolos seleksi melalui demokrasi internal parpol, itu soal lain. Namun
faktanya banyak orang-orang nonPartai yang diusung parpol/gabungan parpol
dapat memenangi Pilkada. Dengan pendapat diatas dan fakta sebagaimana
48
disebutkan, membuktikan bahwa MK keliru dalam mengukur kerugian
konstitusional dan tidak dapat membuktikannya.
Demikian pula, alasan calon hanya dari parpol tidak demokratis, dipahami
sebagai alasan yang terlalu mengada ada, sebab Pilkada dipilih rakyat iangsung.
Calon dari parpol tanpa adanya calon perseorangan tidak dapat dikatakan bahwa
Pilkada tersebut telah melanggar hak asasi. Persoalan hak asasi adalah persoalan
yang berkaitan dengan persoalan suku, ras, agama dan golongan (SARA), bukan
persoalan perseorangan. Jadi, tidak adanya korelasi calon perseorangan dengan
pelanggaran hak asasi.
Keputusan MK hanya melihat aspek hukum tanpa melihat dan paham
dengan masalah sosial, demokrasi dan politik. Maksud calon Pilkada melalui
parpol semata agar ada yang bertanggung jawab terhadap Kepala Daerah yang
terpilih tersebut. Pintu pencalonan Kepala Daerah melalui parpol, semata untuk
pertanggungjawaban politik saja
Kedua. Tata cara pemilihan Kepala Daerah di Nangroe Aceh sebagaimana
tertuang dalam UU No. 1 1 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. sebagai
perbandingan/ruiukan. MK menganggap, pintu calon perseorangan haruslah
dibuka, agar tidak terdapat dualisme dalam melaksanakan ketentuan pasal 18 ayat
4 UUD 1945. Adanya dualisme dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga
Negara yang dijamin oleh pasal28d ayat I dan ayat 3 UUD 1945. Sementara,
sebagaimana diketahui, kekhususan bagi daerah Aceh dalam pencalonan Kepala
Daerah, disebabkan kondisi saat itu yang belum memungkinkan untuk
49
dipersamakan dengan daerah lain. Dibukanya calon perseorangan di Aceh
dikonstruksikan sebagai bagian dari reintegrasi pasca konflik.
Kesempatan bagi calon perseorangan di Aceh diberikan karena parpol
lokal belum efekif. Itupun hanya berlaku satu kali. Perbedaan itu tidak akan
terjadi lagi dalam pemilihan Kepala Daerah pada waktu mendatang. Artinya,
kecenderungan adanya semacam diskriminasi yang mengakibatkan terlanggarnya
hak warga Negara tidak dimungkinkan lagi.
Ketiga,
Status pemohon. Keputusan MK yang mengabulkan calon
perseorangan (nonPartai) untuk mengikuti Pilkada, secara etis kurang tepat karena
pemohon uji materi dilakukan oleh orang yang nota bene masih aktif menjadi
pengurus parpol. Disisi lain, alasan pemohon sebagaimana dibenarkan MK, yang
juga menjabat sebagai Anggota DPRD, Partainya masih dapat berkoalisi dalam
Pilkada 2008. Tetapi, hanya karena pemohon tidak dicalonkan untuk Pilkada
tahun depan, MK menilai pemohon telah mengalami kerugian konstitusional.
Dalam kaitan ini, MK juga keliru membuat ukuran kerugian konstitusional.
Pemohon yang bukan warga Negara nonPartai sebenarnya belum terbukti
mengalami kerugian konstitusional apa pun.
Calon perseorangan sebagai pemain baru dalam Pilkada melahirkan silang
pendapat, bahkan mempertanyakan posisi parpol ke depan. Ada yang melihat
putusan MK dipahami sebagai klimaks atas gagalnya peran dan fungsi parpol
yang dijalankan selama ini.
Dalam konteks ikhtiar membuka ruang demokrasi untuk menduduki
jabatan ekskutif di tingkat lokal mungkin benar, sekaligus tantangan bagi Partai-
50
parpol agar memperkuat sendi dan kultur kePartaian, khususnya dalam menata
rekruitmen pada jabatan politik. Tetapi, mesti disadari bahwa parpol tidak hanya
terfokus pada fungsi rekruitmen politik untuk menduduki jabatan politik, tetapi
lebih mulia dari itu.
Sebagai kelompok terorganisir, parpol secara kontinyu menjalankan
fungsi-fungsinya yang terhubung secara langsung dengan masyarakat, seperti
pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat
dengan pemerintah, dan juga artikulasi dan agregasi kepentingan yang lebih has.
Karenanya, peran dan eksistensi parpol dalam konteks lebih luas, tetap tidak
tergantikan dengan munculnya calon perseorangan. Dengan demikian patut
diwaspadai, jika kehadiran calon perseorangan hanya terfokus pada upaya
mendapatkan jabatan politik dan hanya sibuk mengumpulkan massa bila
mendekati Pilkada.
C. Calon Perseorangan dalam Pilkada
1. Tinajuan Teoretis Calon Perseorangan
a) Pengertian Calon Perseorangan
Pasal 59 ayat (1) b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa calon perseorangan adalah pasangan
calon yang didukung oleh sejumlah orang. Pengertian calon perseorangan tersebut
tidak dijelaskan secara terperinci, namun satu hal yang pasti mengenai calon
perseorangan dalam pilkada adalah calon yang tidak diajukan parpol atau calon
51
yang memasuki arena pilkada dengan tidak memakai parpol
sebagai
kendaraannya.
b) Syarat Calon Perseorangan
Syarat untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Gubernur/ Wakil
Gubernur diatur dalam pasal (2a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Aturan
tersebut tidak memberikan ketentuan mutlak terhadap calon perseorangan, aturan
disesuaikan dengan jumlah penduduk dari Provinsi tempatnya berdomisili.
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000,000 (dua juta)
jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);Provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta)
sampai dengan
6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan
12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat
persen); dan Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas
juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
c) Gambaran Umum Calon Perseorangan
Pembolehan calon perseorangan dalam pilkada dinilai banyak kalangan
sebagai pemenuhan hak konstitusional warga Negara. Proses pilkada yang hanya
memberi kesempatan bagi pasang calon yang berasal dari parpol atau gabungan
akan mengamputasi proses demokratisasi karena rakyat hanya disodori caloncalon dari parpol. Dari sisi kelembagaan demokrasi perwakilan, putusan MK itu
dinilai sebagai penghambat pengembangan sistem (sistem building) karena
pemerintah dalam putusan tersebut menegaskan sistem politik Indonesia telah
52
menempatkan parpol sebagi pilar utama penyangga demokrasi dan mekanisme
yang dibangun di Indonesia adalah
bedasarkan pada basis Partai, bukan
perseorangan. Dan yang menjadi masalah, hingga kini peran parpol tidak
tergantikan oleh institusi lain dalam sistem Negara demokrasi.
Era transisi demokrasi pada tataran ideal memang memerlukan penguatan
eksistensi parpol.Akan tetapi,jika oligarki parpol semakin menguat, jawaban yang
tepat adalah memunculkan calon perseorangan untuk mengikis oligarki tersebut.
Hegemoni parpol inilah yang tidak kita inginkan, sedangkan calon perseorangan
bisa menjadi wacana untuk meminimalisasi hegemoni Partai-parpol tersebut
dalam setiap kontes-kontes politik di Tanah Air.
Oleh sebab itu, menurut
Arizka WargaNegara (2007) terdapat Enam
Alasan Kenapa kanal Calon Perseorangan harus dibuka. Merujuk pada fenomena
tersebut, maka terdapat beberapa alasan politik untuk mendesak pemerintah pusat
dan
DPR
RI mendukung
segera diundangkannya
calon
perseorangan.
Pertama,adanya calon perseorangan dalam arena pilkada adalah bagian dari
demokratisasi di level lokal. Proses ini merupakan bagian dari penting dari proses
pembangunan demokrasi lokal.Pada bagian lain, proses ini juga merupakan
langkah positif bagi agitasi politik masyarakat yang selama ini seolah-olah tidak
mempunyai akses untuk mengadu terhadap salahnya pilihan politik mereka dalam
setiap arena pilkada di Indonesia.
Kedua,dengan adanya calon perseorangan dapat mereduksi ketidakfree
danfair-nya Partai-parpol dalam proses penentuan calon.Kita semua sudah sangat
mahfum,era transisi demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan adanya
53
oligarkisme Partai-parpol. Selama ini Partai-parpol tidak bisa diharapkan menjadi
wahana pembelajaran demokrasi yang mapan untuk rakyat.
Ketiga,dengan adanya calon perseorangan maka akan memperbanyak
variasi pilihan politik masyarakat dalam arena pilkada yang selama ini selalu
disediakan hanya dengan mekanisme satu pintu oleh parpol. Arena pilkada yang
hanya menggunakan mekanisme penentuan bakal calon hanya melalui parpol
pada akhirnya membatasi pilihanpilihan politik masyarakat. Calon yang
mempunyai modal uang besar akan menggusur calon-calon yang mempunyai
popularitas,tetapi tidak memiliki modal uang dari tahap awal proses pilkada.Ini
adalah sesuatu yang naif dan tidak fair.Esensi demokrasi adalah popular
majoritybagaimana akan mencapai prinsip ini jika dari awal potensi calon yang
akan memperoleh popular majority dari awal sudah terinterupsi.
Keempat,dengan penentuan bakal calon di arena pilkada hanya dilakukan
oleh parpol,maka hal ini akan menciptakan demokrasi elite di era transisi
politik.Calon
perseorangan
diharapkan
dapat
mereduksi
hal
tersebut,meminimalisasi demokrasi elite,dan mewujudkan demokrasi rakyat.
Kelima,calon perseorangan juga akan meminimalisasi politik uang (money
politics) dalam internal Partaiparpol dalam penentuan bakal calon di arena
pilkada.Sebuah renungan saja,jarang sekali terjadi seorang ketua umum parpol di
tingkat lokal menjadi balon Gubernur,bupati, ataupun wali kota di arena pilkada.
Bagaimana skenario pengaderan dalam tubuh parpol dapat berjalan dengan baik
jika hal tersebut ’’dipelihara’’.
54
Keenam,momentum ini juga pada akhirnya dapat dijadikan sebuah
’’pembenaran demokrasi’’ untuk mendorong munculnya calon perseorangan
dalam Pilpres 2009 yang akan datang.
Sementara itu, mendukung dibukanya peluang untuk calon perseorangan
dalam pilkada, dalam harian kompas (2004) La Ode Ida menyatakan ada empat
bahaya jika calon perseorangan tidak mendapat kesempatan berkompetisi dalam
pilkada langsung. Pertama, suburnya praktik politik uang karena parpol akan
dibayar oleh orang-orang yang ingin dipilih. Kedua, pemaksaan terhadap rakyat
untuk memilih calon-calon yang disodorkan parpol walaupun tidak disukai rakyat.
Ketiga, terjadinya amputasi proses demokratisasi karena ruang partisipasi rakyat
untuk memilih calon yang mereka inginkan telah ditutup. Sedangkan bahaya
keempat, munculnya kekuatan parpol yang sentralistis.
Masih dari sumber yang sama, Syamsudin Haris menegaskan bahwa
bahaya paling menonjol dari pilkada tanpa calon perseorangan adalah makin
kuatnya oligarki Partai-parpol di daerah. Oligarki itu kian subur karena parpol
akan mencari calon Kepala Daerah meski yang bersangkutan tidak kapabel dan
tidak aspiratif. Jika yang tidak kapabel dan tidak aspiratif itu ingin dicalonkan
parpol, aspek yang akan menonjol adalah money politics yang kuat.
Sementara itu Budi Kurniawan mencoba mengkritisi tentang urgensi calon
perseorangant tersebut. Menurutnya ada dua arus utama dalam melihat perlukah
calon perseorangan dalam sebuah suksesi politik termasuk pilkada. Pertama,
kelompok pendukung pelembagaan demokrasi. Mereka berpendapat hanya parpol
yang berhak menyalurkan atau menjadi kendaraan politik bagi calon Kepala
55
Daerah. Alasan ini berangkat dari kekhawatiran matinya parpol sebagai saluran
aspirasi dan rekrutmen politik dalam sebuah sistem politik, jika calon
perseorangan yang diakomodasi berujung pada hancurnya pelembagaan
demokrasi.
Lebih jauh mereka berpendapat, jika fungsi Partai sebagai aspirasi dan
rekrutmen politik lemah, itu adalah hal yang wajar. Karena, umur demokrasi dan
parpol di Indonesia masih muda, masih dalam tahap trial and error. Alasan lain
adalah kita masih berada di era transisi demokrasi, atau pakar lain berpendapat
kita masih di alam konsolidasi demokrasi menuju demokrasi. Suatu kesalahan jika
kita mematikan bayi
parpol dan demokrasi demi kepentingan sesaat serta
mengabaikan kepentingan jangka panjang.
Kritik terhadap pendapat tersebut adalah sama seperti pendapat para pakar
pendukung teori transisi demokrasi, yaitu adanya pemaafan terhadap demokrasi
dengan menggunakan variabel waktu. Dengan mengatakan ada periode transisi,
segala kebobrokan mendapatkan maaf seluas-luasnya. Apa yang terjadi kini
adalah persiapan dari demokrasi, demokrasi yang ideal masih akan datang pada
suatu hari nanti. Pendapat ini tidak ada bedanya dengan pendapat kalangan
Marxian yang mencita-citakan munculnya masyarakat tanpa kelas. Atau bahkan
mitos masyarakat Jawa yang percaya akan munculnya ratu adil.
Pendapat kelompok pertama ini juga melihat bagaimana nantinya
hubungan check and balances eksekutif dan legislatif jika Kepala Daerah bukan
dari parpol yang notabene anggota legislatif juga berasal dari parpol. Mereka
56
khawatir akan munculnya kembali kemandegan politik berupa konflik legislatif
dan eksekutif seperti terjadi di Lampung beberapa waktu lalu.
Kedua, adalah mereka yang memandang calon perseorangan perlu bagi
pilkada untuk memberi ruang lebih bagi orang di luar parpol berpartisipasi. Parpol
dianggap tidak mampu mencalonkan calon yang benar-benar menjadi keinginan
masyarakat. Parpol dianggap curang, makelar politik, dan lain sebagainya yang
intinya adalah ketidakpercayaan terhadap parpol sebagai satu-satunya perahu
dalam pencalonan calon Kepala Daerah.
Banyak alasan yang dikemukakan kelompok ini. Antara lain pertama, jika
Aceh dapat menjalankan pilkada dengan calon perseorangan, kenapa daerah lain
tidak. Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan
Aceh (PA) memang mengatur tentang calon perseorangan di Pilkada Aceh. Tetapi
apakah calon perseorangan itu benar-benar perseorangan. Sebenarnya di balik
calon perseorangan di Aceh terdapat mesin politik, yaitu GAM
GAM walaupun tidak mengaku sebagai parpol, tetapi pada praktiknya
adalah parpol. GAM melakukan fungsi-fungsi parpol dan tujuannnya juga
merebut kekuasaan dan mempertahankannya jika berhasil diperoleh. PP 11/2006
sendiri sebenarnya akomodasi terhadap kepentingan GAM yang tidak mungkin
membuat parpol atau bergabung dengan parpol nasional. Kedua, alasan membuka
space demokrasi yang lebar. Artinya, sistem politik seharusnya dapat membuka
ruang bagi keinginan masyarakat seluas-luasnya.
Ketika memang fungsi parpol sebagai saluran aspirasi dan rekrutmen
politik lemah, seharusnya sistem dapat mengakomodasi saluran lainnya. Namun,
57
jika memang fungsi parpol sebagai saluran aspirasi dan rekrutmen politik benarbenar dijalankan dengan baik, otomatis saluran lain itu tidak diperlukan lagi.
Kekhawatiran
timbul
jika
calon
perseorangan
tidak
diakomodasi,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem yang berlaku justru semakin besar.
d). Kelemahan dan Kelebihan Calon Perseorangan
Hadirnya calon perseorangan dalam pilkada seolah menjadi kemenangan
kecil bagi demokrasi di tingkat lokal. Kedaulatan rakyat yang diagungkan dalam
Negara demokrasi teraktualisasikan dengan dibukanya kanal bagi calon
perseorangan. Pemilih benar-benar memiliki wewenang dalam memilih pemimpin
yang sesuai dengan keinginan mereka. Calon perseorangan juga diyakini akan
memberi motivasi terhadap parpol dalam menjaring pemimpin yang berkualitas
dan bertanggung jawab terhadap publik.
Terkait dengan hal tersebut, Pantja Astawa (2007) mencatat beberapa
aspek positif dari putusan MK tersebut. Pertama, dari sisi calon perseorangan itu
sendiri, yakni memberi kesempatan tokoh potensial nonPartai untuk bisa tampil
dalam pilkada. Hal ini juga akan menjadi preseden sekaligus menimbulkan efek
'snow ball' bagi diperbolehkannya juga calon perseorangan dalam pemilihan
presiden. Selain itu, ada jaminan hak konstitusional warga Negara bidang politik
dalam tatanan kehidupan demokrasi. Dari sisi masyarakat, adanya calon
perseorangan, semakin menambah alternatif pilihan, di samping calon yang
ditawarkan parpol. Parpol tidak lagi menjadi pintu masuk dalam pilkada sehingga
dapat mengimbangi kelemahan, hambatan, dan kendala banyak parpol.
58
Selanjutnya Pantja Astawa meninjau dari sisi parpol itu sendiri, akan
berlangsung satu proses 'deeksklusifikasi' Partai. Hal ini akan mendorong Partai
untuk secara smart memperkuat eksistensi dan konsolidasi internal. Partai akan
terpicu ekstra keras mengoptimalkan peran dan fungsinya melalui mesin politik
yang dimiliki. Partai juga akan semakin selektif menyeleksi calon dalam proses
rekrutmen calon yang akan diusung pada pilkada. Dalam kondisi parpol yang
mesin politiknya bekerja dengan optimal menjalankan peran dan fungsinya,
parpol yang secara sadar di-setting (diatur.) untuk berbagai kepentingan
kekuasaan, tidak perlu merasa terancam dengan kehadiran calon perseorangan.
Bukan tidak mungkin kelak dapat meniadakan calon perseorangan secara
alamiah..
Meninjau dari sisi yang berbeda, Mohtar Mas’oed (Center For Democracy
and Human Rights Studies, 2007) mengingatkan bahwa calon perseorangan tidak
berarti selalu lebih baik daripada calon parpol. Bila calon perseorangan menang
dalam Pilkada yang dikutinya tentu akan muncul pertanyaan selanjutnya
bagaimana dia akan bekerja. Calon perseorangan menjadi kepala eksekutif tanpa
struktur kekuasaan dasar untuk legislasi di parlemen. Dengan demikian sulit untuk
membayangkan bagaimana calon perseorangan yang menang dalam pilkada itu
menggalang dukungan terhadap agendanya.Padahal, lanjut Mas’oed parlemen
tidak memiliki 'leverage' untuk mempengaruhi kepala eksekutif perseorangan.
Dan yang lebih dikawatirkan adalah bila calon perseorangan itu tidak merasa
perlu memperhatikan pendapat parlemen. Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi
akan timbul persoalan politik lokal yang serius di mana-mana.
59
Sekalipun calon perseorangan mempunyai kelebihan, namun kita harus
menyadari adanya konsekuensi dari rencana penerapan calon perseorangan.
Mardiyanto
(2007)
perseorangan.
mencoba
Menurutnya,
menganalisis
calon
beberapa
perseorangan
kelemahan
rawan
calon
terhadap
Pembengkakakan anggaran, baik yang bersumber dari pemerintah maupun cari
calon itu sendiri. Jumlah calon yang akan muncul tidak dapat diprediksi.
Potensinya berjumlah banyak.
Dengan banyaknya calon perseorangan, mengakibatkan beban kerja
penyelenggara pilkada bertambah besar, dan waktu penyelenggaraan pilkada akan
makin panjang, terutama untuk penelitian dukungan, verifikasi lapangan masa
kampanye. Tidak ada satu pun lembaga yang bertanggung jawab menyeleksi
kualitas kepemimpinan dan profesionalitas calon perseorangan, karena sifatnya
adalah perorangan. Pengalaman empiris menunjukan bahwa seorang Kepala
Daerah
harus
kompeten
dan
menguasai
penyelenggaraan
pemerintah,
pembangunan, pelayanan masyarakat. Sementara itu, KPUD bertanggungjawab
hanya terhadap seleksi administratif.
Munculnya fanatisme yang berlebihan dari pendukung calon perseorangan
sering dengan persaingan yang kurang sehat antar calon. Karena jumlah massa
yang sangat besar, maka fenomena demikian dapat melahirkan potensi
disintegrasi sosial dan instabilitas wilayah.
Calon perseorangan mengandung konsekuensi politik. Karena yang
bersangkutan bukan berasal dari parpol, ketika terpilih menjadi Kepala Daerah
kemungkinan tidak mendapat dukungan politik di lembaga legislatif, sehingga
60
jalanya roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat akan
terganggu.
Enam gejala di atas akan menciptakan kendala politik dan sosial yang
besar, yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan daerah. Namun,
Terlepas dari wacana kelemahan atau keunggulan calon perseorangan, peluang
untuk calon perseorangan dalam pilkada harus dibuka, seperti yang diungkapkan
oleh pengamat politik dari CSIS Indra J Piliang menegaskan bahwa Indonesia
merupakan satu-satunya Negara di dunia yang konstitusinya telah menutup
peluang bagi munculnya calon-calon perseorangan di pemilu. Jadi, hanya
konstitusi Indonesia yang menutup peluang munculnya calon-calon perseorangan
tersebut. Harusnya peluang itu dibuka bagaimanapun kecilnya. Tetapi hakekatnya
calon perseorangan harus dibuka.
2. Tinajuan Teoretis Pilkada Langsung
a) Makna dan Hakikat Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Secara teoretis, urgensi diterapkannya sistem pilkada langsung sangat erat
terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang
demokratis dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Kesadaran berdemokrasi suatu masyarakat dalam Negara demokratis akan
dapat terwujud melalui pendidikan politik, karena itu menjadi dasar atau hakikat
pilkada langsung itu sendiri, maka hal ini sangat penting untuk diketahui dan
dipahami masyarakat guna mewujudkan
tujuan pilkada secara efektif dalam
pencapaian kehidupan masyarakat dan Negara yang demokratis
61
Sementara Brian Smith (Syarif Hidayat, 2005:22) secara tegas mengatakan
bahwa:
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung bagi para Kepala Daerah
(lokal government head) dan para anggota DPRD (lokal representative
council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya
pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsive, serta terbangunnya
apa yang mereka sebut dengan persamaan hak politik di tingkat lokal.
Adapun keterkaitannya dengan pendapat di atas, bahwa pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung sudah diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 juncto dan pasal 119 serta diatur dalam
Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan,
pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dengan demikian, pilkada secara langsung merupakan cara yang paling
demokratis untuk benar-benar menjamin terselenggaranya aspirasi rakyat.
Secara eksplisit pula, ketentuan tentang pilkada langsung tercermin dalam
cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada.
Dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa “Kepala Daerah dan wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, jelas terlihat bahwa dipilihnya sistem
pilkada langsung mendatangkan pesimisme dan optimisme tersendiri. Pilkada
langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di
daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen
politik lokal secara demokratis. Selain itu Negara memberikan kesempatan kepada
62
masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang
menyangkut harkat hidup rakyat daerah.
Sehubungan dengan pengembalian hak-hak dasar tersebut, Prihatmoko
(2005:21) menyatakan bahwa pilkada langsung memiliki nilai-nilai positif yakni:
1.
2.
3.
4.
penarikan kedaulatan yang dititipkan DPRD
sumber kekuasaan adalah rakyat
rakyat adalah subjek demokrasi
demokrasi merupakan sistem politik terbaik dari yang ada
Dengan demikian, rakyat tidak hanya didorong untuk memilih calon
pimpinannya akan tetapi juga memiliki hak untuk mencalonkan diri. Hak warga
untuk dipilih dan memilih itu merupakan bagian terpenting dari prinsip
demokrasi, yakni hak pilih universal. Sejalan dengan pemikiran di atas, pilkada
langsung sebagai bentuk dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah salah satu wujud implementasi yang sudah mulai terasa sebagai
tuntutan dari otonomi daerah.
b) Asas-asas Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung
Ciri pilkada yang demoktratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianutnya.
Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan
sarana untuk menciptakan suatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki.
Dalam pandangan Prihatmoko (2005:207), asas pilkada langsung adalah sebagai
pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada
merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses
penyelenggaraan. Asas pilkada langsung juga berarti jalan atau sarana agar
pilkada terlaksana dengan demokratis.
63
Asas-asas pilkada langsung tercermin dalam tahapan-tahapan kegiatan
atau diterjemahkan secara teknis dalam elemen-elemen kegiatan pilkada, sehingga
pilkada langsung dapat terlaksana dengan baik dan mencerminkan nilai-nilai
demokrasi. Asas yang digunakan dalam pilkada langsung sama dengan asas yang
digunakan dalam pemilu 2004, yakni, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil. Rumusan mengenai asas-asas pilkada langsung tercantum dalam pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, yaitu “pemilihan Kepala Daerah
langsung dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.
Penjelasan dari asas asas pilkada langsung itu dikemukakan sebagai
berikut :
1) Langsung. Pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan
suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara dalam
memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat dan
di pemerintahan.
2) Umum. Pemilihan umum diikuti oleh setiap orang yang sudah memenuhi
syarat.
3) Bebas. Maksudnya dalam memberikan suaranya, si pemilih tidak ada
tekanan dari pihak manapun yang memungkinkan dia memberikan suara
tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dia benar-benar bebas dalam
menetukan pilihannya;
4) Rahasia.
Artinya
kerahasiaan
pemberi
suara
atas
calon
atau
organisasi/Partai peserta pemilihan umum yang dipilihnya tidak akan
64
diketahui oleh siapa pun, termsuk panitia pemungutan suara. Sehingga
pemilih bebas dari ketakutan atau ancaman dari pihak manapun dalam
memberikan suaranya dan setelah dia memberi suaranya.
5) jujur. Maksudnya adalah tidak boleh terjadi kecurangan kecurangan dalam
pemilihan umum tersebut, baik oleh penyelenggara yang memanipulasikan
suara-suara untuk kepentingan Partai/organisasi tertentu, atau oleh
prganisasi, Partai peserta pemilihan umum yang berbuat kecurangan
kecurangan dengann memberikan informasi
tentang dirinya yang
mungkin belum berhak memilih tetapi sudah memperoleh keterangan yang
menyatakan ia berhak memilih atau memperoleh 2 kartu suara karena
kelicikannya seghingga dapat memilih dua kotak suara yang berjauhan
tempatnya. Jelasnya pemilihan harus berjalan dengan jujur.
6) Adil. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum setiap pemilihan dan
parpol peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta
bebas dari kecurangan pihak manapun.
C. Tata Cara Pencalonan Kepala Daerah
1) Jenis Sistem Pencalonan dalam Pilkada
Kualitas kompetisi dalam pilkada sesungguhnya dapat dilihat dari sistem
pencalonan dan pendaftaran calon yang digunakan. Pencalonan juga menjadi satu
dimensi hak pilih aktif, yakni hak warga untuk dipilih. Dimensi lainya yaitu hak
warga untuk memilih. Karena itulah, pencalonan merupakan tahapan penting yang
ditunggu-tunggu masyarakat, khususnya parpol dalam pemilihan umum Kepala
Daerah langsung.
65
Suatu pencalonan dapat dikatakan kompetitif apabila secara hukum dan
kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan caloncalon atau kelompok-kelompok tertentu dengan alas an-alasan politik. Artinya
ketentuan perundang-undangan harus memberikan akses yang besar bagi warga
yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Namun
bukan suatu hal yang tidak benar apabila diatur mengenai persyaratan calon
karena kedudukan dan fungsi Kepala Daerah menuntut kapasitas dan kapabilitas
kepemimpinan yang memadai. Selama ini kita dikenalkan dengan dua jenis sistem
pencalonan dalam pilkada langsung, yakni :
1. Sistem pencalonan terbatas adalah sistem pencalonan yang hanya membuka
akses bagi calon-calon dari parpol. Paradigma yang dianut dalam sistem
pencalonan terbatas adalah bahwa hanya Partai-parpol saja yang memiliki
sumber daya manusia yang layak memimpin pemerintahan atau hanya Partaiparpol yang menjadi sumber kepemimpinan.komunitas atau kelompok lain
dalam masyarakat, seperti organisasi massa, organisasi soisal, profesional,
usahawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dianggap belum mampu
mencetak sumber daya yang mampu memimpin pemerintahan atau menjadi
sumber kepemimpinan. Oleh sebab itulah, sistem pencalonan terbatas dikenal
sebagai salah satu cirri demokrasi elitis, yang biasa dianut di Negara-Negara
otoritarian dan sosialis. Misalnya sistem ini pernah digunakan Uni Soviet
tahun 1990-an sehingga seluruh Kepala Daerah adalah pengurus Partai
komunis.
66
2.
Sistem pencalonan terbuka memberi akses yang sama bagi anggota/pengurus
Partai-parpol
dan anggota komunitas atau kelompok-kelompok lain
di
masyarakat seperti organisasi masyarakat, organisasi sosial, professional,
intelektual dan sebagainya. Paradigma sistem pencalonan terbuka adalah
bahwa sumber daya manusia berkualitas tersebar dimana-mana dan sumber
kepemimpinan dapat berasal dari latar belakang apapun. Sumber daya
manusia memiliki kesempatan berkembang dan tumbuh secara sama di sekitor
sosial, bisnis dan akademik. Sistem pencalonan terbuka semakin popular
dengan berkembangnya industrialisasi sehingga wajar apabila dianut oleh
Negara-Negara demokrasi mapan, yang notabene Negara industri dengan
tingkat ekonomi maju atau sangat maju, seperti Amerika, perancis, jerman dan
sebagainya.
Pilkada
di
republik
Rusia
saat
ini,
misalnya
sudah
mengakomodasikan sistem pencalonan terbuka dengan pencalonan untuk
anggota parlemen. Kedua sistem pencalonan dapat digambarkan dalam bentuk
bagan sebagai berikut:
bagan 1
Sistem Pencalonan terbatas
Partai
Calon
n
Gabungan
Partai
Calon
Gabungan
Partai
bagan 2
Sistem Pencalonan tertutup
Partai
Calon
n
Calon
perseorangan
masyarakat
Calon
(Joko. J. Prihatmoko, 2005:237)
Gabungan
Partai
Calon
67
Dari kedua bagan tersebut di atas, terdapat perbedaan paradigma kedua
sistem pencalonan dalam pilkada langsung tersebut tidak serta merta meniadakan
persamaan antara keduanya. Kedua sistem pencalonan itu memiliki persamaan
antara keduanya. Kedua sistem pencalonan ini memiliki persamaan pada
persyaratan parpol atau gabungan parpol yang berhak mendaftarkan calon Kepala
Daerah/wakil Kepala Daerah. Umumnya digunkan batas minimal perolehan suara
Partai dalam pemilihan anggota parlemen lokal atau DPRD, yakni 15-20%.
Tujuan utama pencalonan melalui parpol atau gabungan parpol dengan syarat
minimal perolehan suara tersebut tak hanya membatasi calon sehingga proses
seleksi lebih berkualitas juga mengentalkan atau menguatkan integrasi dalam
masyarakat pluralis.
Dengan adanya parpol diharapkan bahwa fungsi yang dijalankan berhasil
mengintegrasikan berbagai kelompok masyarakat sehingga dengan sendirinya
mengeliminasi kecenderungan etnisitas dan primordialisme dalam pencalonan
Kepala Daerah yang dapat menimbulkan konflik horizontal. Sedangkan untuk
calon di luar parpol dikenal dengan calon perseorangan dalam sistem terbuka
lazimnya dengan persyaratan dukungan pemilih dalam jumlah tertentu. Tidak ada
patokan atau kriteria pasti mengenai jumlah dukungan pemilih tetapi disesuaikan
dengan jumlah penduduk.
2. Ketentuan dan Implikasi Pencalonan dalam Pilkada
Sistem pencalonan Pilkada langsung yang dirumuskan dalam UU No.
32/2004 dan PP No.6 Tahun 2005 merupakan sistem yang tidak memiliki batasbatas yang tegas sebagai sistem terbatas atau terbuka. Ketidakjelasan tersebut
68
melengkapi karakteristik rekrutmen pejabat publik di Indonesia. Indikator utama
bahwa batas sistem pencalonan tidak jelas adalah bahwa mekanisme pendaftaran
calon menempatkan parpol pada posisi dan fungsi yang sangat strategis.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 yang telah
meloloskan calon perseorangan dalam pilkada, praktis menghapus ketentuan yang
menegaskan bahwa
parpol merupakan pintu satu-satunya pencalonan sistem
terbatas. Hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mendaptarkan pasangan
calon. Calon perseorangan, yang lazim dikenal dengan calon perseorangan,
diakomodir dalam proses pencalonan Pilkada langsung dengan akses yang luas
karena putusan MK tersebut telah menambah satu pintu yang diperuntukan bagi
calon perseorangan tanpa melalui mekanisme Partai
Sebelum muncul Undang-Undang No 12 Tahun 2008, terdapat ketentuan
pasal 59 ayat (3) UU No. 32/ 2004 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan
parpol wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perorangan
yang memenuhi syarat. Selanjutnya parpol dan gabungan parpol memproses bakal
calon melalui mekanisme demokratis dan transparan. Penjelasan terhadap istilah
”mekanisme yang demokratis dan transparan” tidak mewajibkan dilaksanakannya
konvensi sistem seleksi paling demokratis melainkan hnaya berdasarkan
mekanisme yang berlaku dalam parpol dan gabungan parpol yang mencalonkan
dan prosesnya dapat diakses publik. Mekanisme yang semestinya dapat
dimaksimalkan melalui regulasi, namun didorong menjadi mekanisme politik,
yakni bergantung pada kebijakan dan keputusan parpol atau gabungan parpol
dalam membangun demokrasi.
69
Bagan 3
Sistem Pencalonan Tertutup Gaya Indonesia
Partai
Calon
Partai
Calon
warga
gabungan Partai
warga
gabungan Partai
Calon
Calon
(Joko. J. Prihatmoko, 2005:242)
Berdasarkan bagan 3, dapat diketahui hal yang penting bahwa pencalonan
pilkada langsung bernuansa tertutup, karena tidak dijelaskannya ”dapat di akses
publik”. Artinya walaupun bakal calon perseorangan mempunyai kesempatan
menjadi calon peserta Pilkada langsung yang didaftarkan namun, penetu akhir
tetaplah parpol atau gabungan parpol. Hal yang paling kuat mengindikasikan
bahwa rekrutmen calon melalui Partai menggunakan sistem tertutup adalah tidak
terdengarnya penggunaan sistem konvensi yang dikenal sebagai rekrutmen calon
melalui Partai paling demokratis.
Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU
V/2007,
Pasal 59 Ayat (1) UU No.32/2004 menyatakan bahwa ”Peserta
pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon”.
Perubahan terhadap pasal 59 ayat (1) telah meniadakan ketentuan bahwa parpol
70
merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan atau sekurang-kurangnya
penyeleksi kepemimpinan dari komunitas lain di masyarakat.
D. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Cara yang paling efektif untuk membedakan pilkada langsung dan pilkada
tidak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan.
Dalam pilkada tidak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan
sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. Dalam pilkada langsung,
keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan jelas terlihat dan terbuka
lebar. Rakyat merupakan subjek politik, mereka menjadi pemilih, penyelenggara,
pemantau, dan bahkan pengawas.
Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap
persiapan dan tahap pelaksanaan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 65
ayat (1), (2) dan (3) UU No 32/2004, kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam
masa persiapan adalah sebagi berikut:
pasal 65 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
1) Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya
masa jabatan;
2) Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa
jabatan Kepala Daerah;
3) Perencanaam penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah;
4) Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
5) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
Sementara itu, tahap pelaksanaan terdiri dari enam kegiatan, yang masingmasing merupakan rangkaian yang saling terkait. Keenam tahapan itu adalah
sebagai berikut:
pasal 65 ayat (3) UU No 32/2004
1) Penetapan daftar pemilih;
71
2)
3)
4)
5)
6)
Pendaftaran dan Penetapan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah;
Kampanye;
Pemungutan suara;
Penghitungan suara; dan
Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Persyaratan pilkada langsung akan lebih lengkap, dalam pengertian warga
menggunakan hak pilih aktif apabila rakyat atau warga terlibat langsung dalam
tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala
Daerah terpilih. Keterlibatan tersebut tidak hanya menjadi calon saja, atau pemilih
saja, namun juga mengawasi proses yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang
berlaku shingga demokratisasi politik di daerah melalui pemilihan Kepala Daerah
secara langsung dapat terlaksana.
E. Penylenggara Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Penyelenggara pilkada langsung akan menentukan kualitas pelaksanaan
pilkada langsung. Pilkada langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan
oleh lembaga yang perseorangant, mandiri dan non partisan. Dengan kelembagaan
penyelenggara yang demikian, objektiivitas dalam arti transparansi dan keadilan
bagi pemilihan dan peserta pilkada relative bisa dioptimalkan.
Fungsi uatama penyelenggara pilkada adalah merencanakan dan
menyelenggarakan tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa dioptimalkan
apabila dilengkapi dengan mekanisme control dan
(accountability)
sehingga
dibutuhkan
pengawasan.
pertanggungjawaban
Terdapat
tiga
jenis
pengawasan, yaitu: pertama pengawasan internal. Pengawasan ini dilakukan
melalui mekanisme organisasi yang bersifat struttural dalam bentuk supervise dan
pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial .
72
Kedua, pengawasan semi-eksternal. Pengawasan ini dilakukan dengan
pembentukan lembaga pengawasan yang mandiri, otonom dan perseorangant
namun berada di dalam struktur penylenggara yang bertugas mengawasi
pelaksanaan tahap-tahap kegiatan. Ketiga, pengawasan eksternal. Pengawasan ini
diwujudkan melaui pemantauan dan pengawasan masyarakat, parpol, pers dan
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
UU No. 32/2004 membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada langsung
kepada tiga institusi, yaitu DPRD, KPUD dan Pemerintah Daerah. Secara
fungsional, kedudukan ketiga institusi penyyelenggara pilkada langsung itu
diuraikan lebih lanjut oleh Prihatmoko (2005:213-214) seperti di bawah ini:
Pertama, DPRD merupakan pemegang otoritas politik, artinya bahwa DPRD
merupakan representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan
mandate penyelenggaraan pilkada langsung. Masih sebgaai pemegang otoritas
politik yang merupakan representasi rakyat, DPRD juga menyelenggarakan rapat
paripurna untuk menyelenggarakan penyampaian visi, misi, dan program dari
pasangan calon Kepala Daerah. Tujuannya adalah agar DPRD dan rakyat
mengenal visi, misi, dan program calon Kepala Daerah. Selain hal tersebut,
DPRD menjalankan fungsi-fungsi yang melekat sebagai lembaga legislative,
khususnya pengawasan dan budgeting. Dalam pasal 66 ayat (3) UU No. 32/2004
disebutkan bahwa tugas dan wewenang DPRD mancakup:
1) Memberitahukan kepada Kepala Daerah mengenai akan berakhirnya
masa jabatan;
2) Mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah
yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan
Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terpilih;
3) Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
73
4) Membentuk panitia pengawas;
5) Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan
6) Meyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian
visi, misi, dan program dari pasangan calon Kepala Daerah dan wakil
Kepala Daerah.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 027073/PUU-II/2004 dan perkara No. 005/PUU-III/2005, maka pasal 66 ayat (3)
huruf c UU No. 32/2004 berubah dan menjadi “KPUD tidak bertanggungjawab
kepada DPRD tetapi KPUD bertanggung jawab pada public. Kepada DPRD,
KPUD hanya menyampaikan laporan pelaksannaan tugasnya”.
Kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai pelaksana
teknis dan sebagai pemegang mandate penyelenggaraan pilkada langsung. Secara
teknis, KPUD bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, muali dari
pendaftaran pemilih sampai persiapan calon terpilih. KPUD juga membuat
regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai
dengan koridor hokum dan ketentuan perundnagan.
Dalam pilkada langsung, KPUD merupakan metamorfosa KPU provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003,
KPUD merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan
aspek perencanaan, penyelenggaraan dan pengendaliaan penyelenggaraan pilkada
langsung.
Tugas dan wewenang KPUD mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan wakil
Kepala Daerah.
1) Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil
Kepala Daerah sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
74
2) Menkordinasi, menyelenggarakan, dan mengendaikan semua tahapan
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
3) Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta
pemungutan suara pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
4) Meneliti sersyaratan parpol atau gabungan parpol yang mengusulkan
calon.
5) Meneliti persyaratan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah
yang diusulkan.
6) Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan
7) Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye.
8) Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan
hasil pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
9) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah dan wakil Kepala Daerah.
10) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah dan wakil Kepala Daerah.
11) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan
perundnaga-undangan.
12) Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye
dan mengumumkan hasil audit.
Sementara itu kewajiban KPUD yang telah digariskan pasal 6 PP No. 17
Tahun 2005 sebagai pengganti dari PP No. 6 Tahun 2005 adalah sebagai berikut :
1) memperlakukan pasangan calon secara adil dan merata.
2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
3) Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan
pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
4) Memelihara arsip dan dokumen pemilih serta mengelola barang
inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5) Mempertanggungjawabkan anggaran; dan
6) Melaksanakan semua tahapan pemilihan tepat waktu.
Ketiga, Pemerintah Daerah menjalankan fungsi fasilitas, pemerintah
daerah berkewajiban memberikan fasilitas proses pilkada langsung meliputi
bidang anggaran, personalia, dan kebijakan sebagai eksekutif. Selain itu, ada
beberapa tugas teknis yang harus dilaksanakan untuk menunjang tahapan
kegiatan. Tugas dan wewenang pemerintah daerah tidak secara tegas dirumuskan
75
dalam ketentuan perundangan,. Dalam pasal 144 ayat (2) PP No. 6 Tahun
2005dikatakan bahwa pemmerintah daerah dapat memberikan fasilitas dan
dukungan kepada KPUD untuk kelancaraan pelaksanaan pemilihan.
Tugas dan wewenag yang melekat dalam fungsi pemerintah yang telah
dijalankan selama ini, menurut Prihatmoko (2005:219), adalah tugas anggaran,
personalia, dan penunjang kegiatan pilkada langsung. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dalam konstruksi penyelenggaraan pilkada lansungterdapat
interelasi antara KPUD, DPRD dan pemerintah daerah. Secara umum bentuk
interelasi antara KPUD, DRD dan pemerintah daerah bersifat koordinatif tanpa
saling ketergantungan.
F. Kelemahan dan Kelebihan Pilkada Langsung
Pemilihan Kepala Daerah sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945
pasal 18 ayat 4 yang menyataan bahwa Gubernur, Bupati, Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis. Hal tersebut ditindaklanjuti melalui disahkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 ayat 5
yang menyatakan bahwa Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan dan
pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa mekanisme pemilihan Kepala Daerah
secara langsung akan memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Terkait hal
76
tersebut, Yahnu Wiguno Sanyoto (2007) menganalisis bahwa,
kelebihan
pemilihan secara langsung diantaranya:
1. adanya harmonisasi dalam konteks hubungan antara Kepala Daerah
dengan DPRD;
2. menghasilkan Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah yang kredibel dan
akuntabel;
3. memperkecil permainan politik uang antara Kepala Daerah/wakil
Kepala Daerah dengan DPRD
4. mengurangi dominasi kepentingan parpol;
5. rakyat ikut bertanggung jawab terhadap pilihannya;
6. meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan
demokrasi lokal;
7. terciptanya tata pemerintahan lokal yang good governance and clean
government;
8. kebijakan adanya pemilihan langsung merupakan bukti perwujudan
pemerintahan yang demokratis.
Sementara itu, L. Agustino (2007) memberi beberapa catatan penting
dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi di tingkat
lokal dalam proses pemilihan atau rekrutmen para wakil rakyat mendapat mandat
politik
dari
warga
masyarakatnya
(Pilkada
Langsung).
Diantaranya:
Pertama, dengan Pilkada Langsung penguatan demokratisasi di tingkat lokal
dapat berwujud khususnya yang berkaitan dengan pembangunan legitimasi
politik. Karena asumsinya Kepala Daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi
yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang
merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih,
sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis
mendapat dukungan dari sebagain besar warga masyarakat.
Kedua, dengan Pilkada Langsung diharapkan mampu membangun serta
mewujudkan lokal accountability. Ketika seorang kandidat terpilih menjadi
Kepala Daerah, maka para wakil rakyat yang mendapat mandat akan
77
meningkatkan kualitas akuntabilitasnya (pertanggungjawabannya pada rakyat,
khususnya konstituennya). Hal ini sangat mungkin dilakukan oleh karena obligasi
moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan
sebagai wujud pembangunan legitimasi politik. Mekanisme pemilihan Kepala
Daerah
yang
selama
ini
berlangsung
berkecenderungan
menciptakan
ketergantungan yang berlebihan Kepala Daerah pada parlemen (DPRD),
legislative
heavy,
sehingga
Kepala
Daerah
tersebut
lebih
meletakkan
akuntabilitasnya pada anggota parlemen ketimbang pada warga masyarakat yang
seharusnya dilayani.Dampak negatif yang muncul kemudian ialah munculnya
fenomena politik uang antara Kepala Daerah dengan anggota parlemen, dimana
Laporan Pertanggungjawaban (LPj) Kepala Daerah menjadi komoditas yang
dinegosiasikan diantara kedua lembaga.Oleh karena itu, Pilkada Langsung sangat
diharapkan sekali mampu mengikis fenomena tersebut.
Ketiga, yang apabila lokal accountability ini berhasil diwujudkan, maka
optimalisasi equilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga Negara
dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi
di level lokal.
Keempat, Pilkada Langsung akan meningkatkan kualitas kesadaran politik
masyarakat termasuk didalamnya kualitas partisipasi rakyat. Karena masyarakat
diminta untuk menggunakan kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya
untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dianggap pantas dan layak untuk
menjadi pemimpinnya di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Selain itu,
mekanisme inipun memberikan jalan untuk memelekan elite politik bahwasannya
78
pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya adalah warga masyarakat, dan
bukan lembaga-lembaga lainnya.
Selain adanya harapan akan penguatan demokratisasi di level lokal,
banyak juga resistensi yang muncul sebelum Pilkada Langsung ini diundangkan
dalam PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Selanjutnya Sanyoto (2007) menganalisis kelemahan pilkada langsung
antara lain:
1. membatasi pintu masuk bagi calon perseorangan atau perseorangan,
sekalipun belum terdapat peraturan pelaksananya;
2. membuka lahan money politics yang baru;
3. membutuhkan dana yang sangat banyak;
4. masih minimnya pendidikan politik masyarakat;
5. adanya dilema pemilihan Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dan
laporan pertanggungjawabannya;
6. adanya pengurangan fungsi DPRD.
Sementara itu terkait
kelemahan pilkada langsung, Agustino (2007)
memandang Ada banyak resistensi dan kendala yang menganga lebar pada masa
itu, mulai dari: pertama, sistem Pilkada Langsung akan melemahkan kedudukan
DPRD. Karena diasumsikan dengan legitimasi yang besar dari rakyat pemilih,
Kepala Daerah yang terpilih akan memiliki kedudukan dan legitimasi yang sangat
kokoh atas DPRD, yang pada akhirnya akan memperlemah kedudukan DPRD
terhadap Kepala Daerah. Pengalaman buruk masa Orde Baru dimana Kepala
Daerah memiliki kekuatan yang sangat besar dibandingkan dengan DPRD
membuat (sebagian) elite politik kita enggan untuk menerima sistem pemilihan
Kepala Daerah secara langsung. Mereka membayangkan pendulum yang awalnya
79
menguntungkan parlemen (legislative heavy) akan kembali lagi kearah
penguntungan Kepala Daerah (executive heavy) dan ini akan melukai makna
penting demokrasi, menurut mereka.
Tetapi juga, sebenarnya pendulum yang lebih condong/lebih berat ke arah
legislatif pun mencederai arti penting demokrasi. Sejatinya, yang diharapkan oleh
Pilkada Langsung ini bukan gambaran seperti tersebut di atas (yang bergerak ke
arah legislatif atau eksekutif) tetapi terciptanya kesetimbangan kekuatan diantara
lembaga-lemabaga Negara di daerah sehingga mekanisme saling kontrol
terbangun diantara mereka.
Kedua, sistem Pilkada Langsung akan memakan biaya yang sangat besar
karena paling tidak banyak anggaran daerah (APBD) yang akan dikonsentrasikan
pada KPUD ditiap tingkatan, dimana pertama adanya konsentrasi anggaran daerah
untuk pemilihan Gubernur di tingkat propinsi, dan kedua konsentrasi anggaran
pemilihan bupati/wali kota. Ketiga, munculnya “persaingan khusus” antara calon
perseorangan dan calon parpol (kader Partai). Terakhir keempat, adanya
pandangan yang menganggap rakyat belum siap untuk melaksanakan pemilihan
Kepala Daerah secara langsung.
Menurut Agustinio, bila dielaborasi lebih dalam mengenai tantangan akan
pemilihan Kepala Daerah langsung, maka bahwasannya keempat alasan itu dapat
dipecahkan secara teoretik maupun secara logika-dialektis. pertama, persoalan
melemahnya kedudukan parlemen (DPRD). Meningkatnya legitimasi Kepala
Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih (voters) tidak berakibat
langsung pada pelemahan posisi/kedudukan parlemen. Legitimasi Kepala Daerah
80
yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem
pemilihan ini.
Namun demikian, bukan berarti parlemen kemudian akan mejadi lemah,
justru ia akan tetap bisa berperan dalam memberikan pengawasan (monitoring
serta controling) terhadap kinerja Kepala Daerah (karena itulah fungsinya),
melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Impak
perubahan yang justru dihasilkan dari Pilkada Langsung ialah terciptanya kondisi
yang lebih baik bagi pelaksanaan checks and balances dalam penyelengaraan
Negara dan pemerintahan, karena parlemen semakin tidak diberi peluang untuk
menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya, kasus LPj misalnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Pilkada Langsung akan
memakan biaya yang sangat besar. Sistem pemilihan Kepala Daerah langsung
yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar bila
dibandingkan dengan pemilihan Kepala Daerah tidak langsung. Logikanya ialah
dalam pemilihan Kepala Daerah tidak langsung pemilihan hanya dilakukan oleh
DPRD semata sedangkan Pilkada Langsung dilakukan dengan mengikut sertakan
partisipai publik sehingga terjadi perbedaan kebutuhan diantara keduanya, mulai
dari: sosialisasi pemilihan itu sendiri, pemilihan panitia pengawas yang baru,
pembuatan surat suara, hingga biaya operasional bagi panitia pelaksana pemilihan
kelapa daerah langsung menjadi bagian yang integral dangan Pilkada ini.
Sehingga tidak heran apabila biaya operasionalnya akan berbeda sama sekali
dengan pemilihan tak langsung.
81
Ketiga, persaingan antara calon perseorangan dan calon dari Partai
(politik) menjadi perselisihan yang justru menyudutkan kepentingan publik.
Karena dalam mekanisme yang hanya membuka kesempatan bagi calon Kepala
Daerah dari pintu parpol pada dasarnya justru menerbelakangkan calon pilihan
rakyat arus bawah/akar rumput (grass-roots). Hal ini disebabkan calon Kepala
Daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari
keinginan mereka. Dalam mekanisme ini kemunculan calon Kepala Daerah hanya
mungkin melalui pencalonan oleh Partai di daerah yang juga merupakan
kepanjangan tangan (titipan) dari elite Partai pusat sebagai institusi yang banyak
menentukan kiprah Partai-Partai di tingkat lokal.
Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak
sepenuhnya bermakna oleh karena mereka memilih calon-calon yang tidak
diproses melalui “kelembagaan” arus bawah atau akar rumput Partai. Idealnya
ialah dibuka kesempatan kepada calon Kepala Daerah yang perseorangan
sehingga calon-calon Kepala Daerah pilihan rakyat arus bawah atau akar rumput
terepresentasikan. Logikanya, setiap warga Negara/masyarakat mempunyai hak
yang sama untuk menjadi menjadi pemilih maupun individu yang dipilih. Artinya
setiap warga baik dari parpol maupun perseorangan dapat saja mencalonkan diri
sebagai calon Kepala Daerah dengan ketetapan-ketetapan atau aturan-aturan yang
ditentukan KPUD kelak, tentunya.
Keempat, tantangan akan asumsi belum siapnya rakyat pemilih (voters)
untuk melaksanakan pemilihan Kepala Daerah langsung. Argumen ini sebenarnya
tidak lagi relevan untuk diangkat pada saat proses demokratisasi dan proses
82
pendewasaan politik masyarakat seperti saat ini. Bila kita lakukan eksperimen
atau penelitian kecil mengenai ketidaksiapan rakyat pemilih yang diukur dari
kesiapan mental dan intelektualitas (dengan indikatior jenjang pendidikan formal),
maka hal itu hanyalah suatu penglihatan yang sangat tidak jernih dan
merendahkan kapasitas politik masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Terlalu
lama rakyat pemilih di daerah dipinggirkan peranannya dalam kehidupan
berbangsa dan berNegara oleh penguasa atau elite-elite politik dan pemerintahan,
sehingga wajar saja apabila penguasa atau elite-elite politik dan pemerintah yang
selama ini lebih dekat dengan kekuasaan masih dibayang-bayangi oleh pemikiranpemikiran pesimis terhadap rakyatnya, yang secara konstitusional adalah pemilik
kedaulatan yang sah dari republik ini.
3. Calon Perseorangan dalam Pilkada Bagi Demokratisasi Politik
a) Hakikat Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat dan
“kratos atau cratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa, jadi demokrasi adalah
bentuk pemerintahan dimana rakyat memiliki kekuasaan. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Budiardjo (2000:50) yang menyatakan bahwa arti demokrasi
secara umum adalah “rakyat berkuasa” atau “Government or rule by the people”
dengan kata lain; demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat
(government of the people) dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat
dan dijalankan baik langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan) oleh
wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur dan
adil.
83
Dalam pengertian klasik, demokrasi berarti bahwa seluruh warga Negara
berhak berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan
keputusan yang akan mempengaruhi mereka, baik secara individual maupun
kolektif. Pengertian demokrasi yang kuat (strong democracy) ini merefleksikan
adanya kebutuhan mendasar manusia untuk mengekspresikan diri. Demokrasi
senantiasa dianggap penting karena secara intrinsik ia memenuhi kebutuhan
mendasar tersebut.
Dalam
pengertian
modern,
demokrasi
berkonotasi
perwakilan
(representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang
mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi
kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun
demikian, akar filosofisnya tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan
individual.
Sementara itu Robert Dahl (Ibnu Redjo, 2002:100-101) mengemukakan
lima prinsip utama dalam demokrasi, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu
dengan rakyat yang lainnya.
2. Adanya partisipasi yang efektif yang menunjukan adanya proses dan
kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan
reperensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil.
3. Adanya enlightened under standing yang menunjukan bahwa rakyat
mengerti dan memahami keputusan-keputusan yang diambil oleh
pemerintah (eksekutif).
4. Adanya control akhir yang diagendakan oleh rakyat (final control on
the agenda by the demos).
5. Inclusiveness, yakni suatu pertanda yang menunjukan bahwa yang
berdaulat adalah seluruh rakyat, yaitu semua anggota masyarakat
dewasa kecuali orang-orang yang terganggu mentalnya.
84
Kelima prinsip yang dikemukakan oleh Robert Dahl di atas memberi arti
bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses yang sistematik, karena
demokrasi melibatkan berbagai potensi yang saling bepengaruh dan mempunyai
kekuatan yang seimbang. Dengan kata lain, demokrasi menumbuhkan
keseimbangan kekuatan antara lembaga-lembaga Negara dan antara lembaga
Negara (suprastruktur politik) dengan lembaga masyarakat (infrastruktur politik)
agar tidak terjadi dominasi penguasa terhadap rakyat, sehingga berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat mengutamakan kepentingan dan
keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya
demokrasi adalah kedaulatan rakyat, dimana rakyat adalah sebagai pemegang
kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam
penyelenggaraan Negara, oleh karenanya demokrasi memiliki nilai dan prinsip
tentang kebebasan dan persamaan hak dari yang diperintah dan yang memerintah.
Orang yang memerintah harus merupakan orang yang dipilih melalui suatu
mekanisme pemilihan yang jujur dan sesuai dengan aspirasi rakyat, sebab
demokrasi bukanlah alat untuk mencapai kekuasaan, melainkan alat untuk
mencapai tujuan berdasarkan keputusan bersama sehingga pelaksanaannya harus
sesuai dengan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, yang menempatkan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan.
c) Pilkada dan Demokratisasi Politik
Pilkada langsung merupakan suatu cermin adanya jaminan dan
penghormatan terhadap hak politik masyarakat pada tingkat daerah dan lokal.
85
Secara harfiah, demokrasi berasal dari kata Demos dan Cratein. Demos berarti
rakyat, sedang cratein berarti kekuasaan atau pemerintahan. Miriam Budiarjo
menyebut demokrasi sebagai pemerintahan yang
dikuasai oleh rakyat. Atau
dalam adagium yang populer, biasa disebut sebagai pemerintahan yang berasal
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Arynta Nugraha (Afifi, 2005:70) dan Dwipayana (2005) mengemukakkan
secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, pilkada
langsung
menawarkan
sejumlah
manfaat
dan
sekaligus
harapan
bagi
pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, yaitu:
1. Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi
masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan
politik di tingkat lokal.
2. Dari sisi kompetisi politik, Pilkada langsung lebih memungkinkan
munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam kompetisi
politik yang lebih terbuka.
3. Pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada warga Negara
untuk memiliki posisi yang sama dan setara dalam mengaktualisasikan
hak-hak politiknya secara baik tanpa harus menginduk pada
kepentingan-kepentingan elit politik.
4. Pilkada langsung memungkinkan munculnya pimpinan yang aspiratif,
handal, kompeten dan memiliki basis legitimasi dalam masyarakat.
5. Kepala Daerah yang terpilih melalui pilkada akan memiliki legitimasi
politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balances) di daerah; antara Kepala Daerah dengan DPRD.
Manfaat pilkada langsung bagi demokratisasi politik di daerah
sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi
masyarakat dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di
tingkat lokal. Partisipasi secara sempit bisa diartikan sebagai ambil alih bagian
dalam proses perumusan dan penerapan kebijakan publik. Sedangkan dalam arti
86
luas, partisipasi politik mencakup setiap bentuk keterlibatan, langsung maupun
tidak langsung dalam proses-proses politik. Berbagai macam bentuk partisipasi
politik yang bisa dilakukan oleh rakyat seperti ikut serta dalam pemilihan umum,
menjadi anggota atau aktif dalam organisasi politik, melakukan petisi,
berdemonstrasi atau aksi damai, memboikot produk tertentu yang membahayakan
masyarakat dan sebagainya.
Partisipasi politik warga Negara dalam pilkada sangat penting diperhatikan
dalam mengukur keberhasilan pilkada, karena dengan banyaknya partisipasi dari
warga Negara terhadap pelaksanaan pilkada menunjukan bahwa pilkada adalah
hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh warga Negara, karena
dengan berpartisipasi warga Negara dapat menylaurkan hak-hak politiknya
dengan baik. Budiani (2005) menyatakan bahwa “pilkada langsung akan
mendorong masyarakat untuk mengetahui, mengerti dan menyadari arti
pentingnya pilkada bagi kehidupan mereka, sehingga akan mendorong dan
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat”.
Kedua, dari sisi kompetisi politik, pilkada langsung memungkinkan
munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam kompetisi politik yang
lebih terbuka, dengan adanya kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pilkada sebagai calon, mengakibatkan banyaknya calon yang
bermunculan.
Ketiga, pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada warga
Negara untuk memiliki posisi yang sama dan setara dalam mengaktualisasikan
hak-hak politiknya memiliki arti bahwa pilkada memiliki makna keterukaan, hal
87
ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hedenius (Prihatmoko, 2005:112113) bahwa ”suatu pemilu, termasuk di dalamnya pilkada langsung, disebut
demokratis apabila memiliki makna, istilah bermakna merujuk pada tiga kriteris,
yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) kefektipan pemilu”.
Keterbukaan yang dimaksud dalam pilkada adalah bahwa akses pada
pilkada harus terbuka bagi setiap warga Negara (universal suffrage, atau hak pilih
universal), dan hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga Negara yang
terbuka berarti bahwa hak pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga
Negara dijamin memiliki hak pilih tanpa diskriminasi, sehingga mereka bisa
mengaktualisasikan hak-hak politiknya dengan bebas dan tanpa ada intervensi
dari pihak manapun.
Prihatmoko (2005:113) mengartikan keterbukaan sebagai ”persamaan nilai
suara dari seluruh warga Negara tanpa kecuali”. Hal ini memberi arti bahwa
semua warga Negara di hitung sama, tidak dibedakan antara kaum melarat, dari
buta huruf sampai profesor, dan seterusnya untuk mengaktualisasikan hak-hak
politiknya dan salah satu diantaranya adalah dengan bebas memilih calon Kepala
Daerah secara langsung.
Dari uraian di atas dapat didimpulkan bahwa dengan diberikannya
kebebasan kepada rakyat untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara
baik tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, maka secara otomatis rakyat
dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik yang akan menentukan arah
kehidupan mereka menjadi lebih baik.
88
Keempat, pilkada langsung memungkinkan munculnya pimpinan yang
aspiratif, handal, kompeten dan memiliki basis legitimasi dalam masyarakat. Hal
ini sangat mungkin terjadi karena Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat, tidak melalui lembaga perwakilan yaitu DPRD. Dengan dipilihnya Kepala
Daerah oleh rakyat secara langsung maka Kepala Daerah
akan lebih
mementingkan kepentingan atau aspirasi yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat di daerah, dan secara tidak langsung Kepala Daerah pasti memiliki
rasa tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya sebagai Kepala Daerah pasti memilki rasa tanggung jawab yang
besar untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sebagai Kepala
Daerah yang aspiratif dan handal.
Kelima, Kepala Daerah yang terpilih melalui pilkada akan memiliki
legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balances) antara Kepala Daerah dengan DPRD. Prihatmoko
(2005:102) menjelaskan sebagai berikut:
Seorang Kepala Daerah yang memiliki legitimasi adalah seorang
Kepala Daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Melaui proses kampanye dan
pemilihan yang bebas, fair, dan adil sesuai dengan norma-norma asosial
dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih
secara objektif, dan menjalankan tugas dan fungsi Kepala Daerah sesuai
dengan komitmen dalam proses kampanye.
Pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat bagi Kepala Daerah
dalam penguatan posisi Kepala Daerah dengan DPRD. Dengan kata lain,
mendapat mandat langsung dari rakyat (melalui pilkada) maka Kepala Daerah
bisa mengatakan ”tidak” kepada DPRD. Hal ini terlihat dari laporan
89
pertanggungjawaban Kepala Daerah, dimana Kepala Daerah tidak lagi
mempertanggungjawabkan kegiatan pemerintahannya kepada DPRD.
b. Calon Perseorangan Dalam Pilkada Bagi Demokratisasi Politik
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 yang meloloskan
calon perseorangan dalam pilkada
merupakan suatu keputusan hukum yang
dinilai sebagai perwujudan demokrasi di tingkat lokal. Juga menjadi semangat
baru bagi penguatan hak-hak publik, yang memungkinan adanya ruang bebas dan
kompetisi yang sehat sesuai dengan aturan yang berlaku.
Terkait dengan pemilihan yang demokratis, Bintan R Saragih (Pito, 300)
Berpendapat:
pemilu pertanda dari kehendak rakyat dalam suatu demokrasi, dengan
pemilu suatu Negara menyebutkan dirinya sebagai Negara demokrasi
dalam arti yang sebenarnya. Suatu Negara yang menyelenggarakan
pemilihan umum pun belum tentu sepenuhnya dapat disebut sebagai suatu
Negara yang betul-betul demokratis. Seperti disebutkan, masih dapat
dipertanyakan seberapa banyak wakil rakyat dalam lembaga perwakilan
yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah lebih sedikit dari yang diangkat
atau bila seluruhnya pun dipilih langsung oleh rakyat masih dipertanyakan
apakah asas-asas pemilihan umum tersebut.
Merujuk pada pendapat di atas, calon perseorangan tanpa mekanisme
Partai dalam pilkada telah memaknai
esensi demokrasi yang sesungguhnya
karena kedaulatan benar-benar di tangan rakyat. Aturan yang hanya menetapkan
Partai politk sebagai pintu satu-satunya dalam memasuki arena kompetisi dalam
politik hanya akan menghilangkan salah satu keping nilai demokrasi. Walaupun
dalam pengertian modern, demokrasi berkonotasi perwakilan (representative
democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan
kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah
90
atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun demikian, akar filosofisnya
tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan individual.
Terkait dengan hal di atas,
Mardiyanto (2007) mengungkapkan
signifikansi Calon Perseorangan. Menurutnya, dari kacamata demokrasi,
munculnya Calon Perseorangan merupakan langkah positif dalam pengembangan
demokrasi di Indonesia. Pilkada tidak lagi semata-mata sebagai otoritas parpol.
Sekarang, kedaulatan rakyat dapat diaktualisasikan secara konkrit dalam wujud
Calon Perseorangan, yang tidak merupakan partisan parpol. Signifikan kedua dari
calon perseorangan ditunjukan oleh orientasi Kepala Daerah. Dari kacamata
moralitas, Kepala Daerah adalah milik dari semua warga Negara di daerahnya.
Oleh karena yang bersangkutan menggunakan jalur perseorangan, maka yang
bersangkutan
tidak
terbebani
hutang
politik
terhadap
parpol
yang
mengantarkannya ke kursi wakil rakyat.
Selanjutnya, Kritik tajam terhadap hegemoni parpol dalam pemilu yang
demokratis dilontarkan oleh McIver (Pito, 299) yang menyatakan bahwa:
Dengan pemilihan umum saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya .
pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan
mereka sendiri. Organisasi Partai menguasai bagian yang terbesar dari
seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara
calon-calonnya dan calon-calon Partai lain. Kandidat yang merdeka
sangat dipersulit dan sekurang-kurangnya ia membaurkan persoalan.
Seleksi oleh Partai adalah jauh daripada suatu proses demokratis. Ia
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ; jasa yang telah diberikan
dalam hal keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang
gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal,
tentang kesediaan calon untuk mentaati perintah Partai dan tentang
keinginan-keinginan daripada pemimpin-pemimpin inti pusat Partai yang
mengendalikan Partai.
91
Sesungguhnya,
pilkada
langsung
dari
awal
prosesnya
ingin
mengembalikan kesadaran berdemokrasi pada hakikat yang sesungguhnya.
Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa
yang berhak untuk dijadikan pelayannya (Kepala Daerah), yang tentu diharapkan
dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik
Di sisi lain, pilkada langsung dinilai sebagai
suatu cara yang lebih
beradab dalam meraih dan sekaligus juga melepaskan kekuasaan. Inilah salah satu
keunggulan dari sistem demokrasi, yang melaluinya proses politik dapat
berlangsung secara damai berdasarkan kesepakan bersama yang diputuskan secara
langsung oleh setiap warga Negara.
Hak politik yang paling mendasar dari setiap warga Negara dalam
demokrasi adalah terbukanya kesempatan untuk menentukan sendiri dan ikut serta
(partisipasi) dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Pilkada adalah
salah satu sarana yang mewadahi hak politik mendasar tersebut. Oleh karenanya
maka penyelenggaraan Pilkada harus mendorong peningkatan partisipasi politik
masyarakat.
Senada dengan hal tersebut, Samuel Huntington (Pito, 301) menyatakan
bahwa :
pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam
Negara modern. partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rakyat
untuk mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.
Selanjutnya ia juga berpendapat,
Negara modern, adalah Negara demokratis yang memberikan ruang
khusus bagi keterlibatan rakyat dalam jabatan-jabatan publik. Setiap
jabatan public ini merupakan arena kompetisi yang diperebutkan secara
92
wajar dan melibatkan setiap warga Negara tanpa diskriminasi rasial, suku,
agama, golongan (bangsawan dan rakyat jelata), dan stereotype lainnya
yang meminimalkan partisipasi setiap orang.
Partisipasi politik dalam sistem pemilihan langsung mempunyai dua sisi.
Pertama, partisipasi untuk memilih dan memutuskan sendiri pilihannya. Kedua,
partisipasi untuk memilih dan sekaligus juga untuk dipilih. Hak seorang warga
Negara untuk dipilih tidak dapat dibatasi oleh lembaga Negara dan parpol. Baik
sebagai anggota masyarakat biasa ataupun sebagai anggota dari sebuah parpol,
mempunyai kesamaan kedudukan di dalam konstitusi Negara.
Artinya, undang-undang manapun tak dapat diadakan untuk membatasi
hak politik warga Negara hanya karena ia bukan bagian atau anggota dari parpol
tertentu. Segala peraturan dan ketentuan perundang-undangan harus tunduk dan
patuh terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah menjamin hak-hak politik
yang paling mendasar dari setiap warga Negara Republik Indonesia tersebut.
Pada prinsipnya, tidak ada Negara (pemerintah), kelompok masyarakat,
ataupun parpol yang bisa mengambil alih keputusan yang bertanggung-jawab dari
seorang individu, dengan jalan mana ia akan mencari dan mewujudkan
kesejahteraannya, penyempurnaannya dan kebahagiaannya, baik sebagai pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat. Mandat Negara, pemerintah dan parpol
justru adalah menjaga agar prinsip-prinsip yang paling mendasar tersebut dapat
tetap tegak berdiri. Oleh karena itu maka parpol disebut sebagai salah satu dari
pilar demokrasi yang menjaga “kemerdekaan” bagi setiap warga Negara.
Kekuasaan yang berusaha untuk diraih oleh dan melalui parpol
diselenggarakan dalam kerangka untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut
93
sehingga setiap warga Negara dapat mengusahakan kesejahteraannya bersamasama dengan pemerintah dan Negara yang bertindak sebagai fasilitator. Ini
kondisi ideal yang harus terus-menerus diupayakan perwujudannya.
Penyelenggaraan Pilkada adalah cerminan kecil dari kerangka besar ideal
tersebut. Sistem demokrasi semestinya dapat menghasilkan sebuah pemerintahan
yang kuat karena ia mendapatkan keabsahannya dari mayoritas suara masyarakat
melalui pemilihan secara langsung. Pemerintahan yang kuat juga berarti bahwa ia
mempunyai kemampuan untuk menentukan kapan perlu digunakan kekuasaan
untuk
menyelamatkan
demokrasi,
dan
kapan
kekuasaan
itu
sedang
disalahgunakan untuk membatasi demokrasi, yang mengancam hak-hak mendasar
dari warga Negara.
Pemerintahan demokratis yang kuat juga harus dapat menjaga dan
mengupayakan terselenggaranya jalan damai dan beradab untuk meraih dan
sekaligus melepaskan kekuasaan melalui sistem pemilihan langsung. Sistem yang
melaluinya hak-hak politik dari setiap warga Negara dapat ditegakkan, baik hak
untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Itu tentu saja harus diwujudkan dalam
perundang-undangan sebagai payung hukum untuk menjamin hak politik warga
Negara. Dengan demikian segala bentuk ketentuan dan perudang-undangan
merupakan kunci yang mengikat baik pemerintah maupun warga Negara dalam
bingkai Negara demokratis.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa calon perseorangan menjadi
obat mujarab bagi demokrasi yang selama ini dihegemoni oleh parpol. Tidak
salah jika kehadirannya sangat dirindukan dalam melahirkan pemimpin
94
berkualitas, yang selama ini tidak muncul karena mekanisme internal parpol yang
masih patut dipertanyakan keabsahannya. Apalagi dalam sistem politik yang
demokratis menjadi keharusan pada setiap proses politik yang terjadi menciptakan
masyarakat yang lebih partisipatif, terbuka dan bertanggungjawab yang bisa
menjadi media bagi kebaikan bersama.
Dalam sistem demokrasi, setiap warga memiliki hak untuk dipilih dan
memilih (universal suffrage). Putusan MK tentang calon perseorangan dalam
pilkada seolah merupakan kemenangan bagi upaya perwujudan demokrasi dengan
melepas hak sipil warga Negara dari kungkungan dan belenggu parpol. Karena
pilkada langsung, dari awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran
berdemokrasi ini pada hakikat yang sesungguhnya.
Download