BAB II LANDASAN TEORI A. Partai Politik 1. Tinajuan Teoretis Partai Politik Partai Politik (parpol) menurut Miriam Budiardjo merupakan organisasi politik yang menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasi. Di negaranegara berkembang maupun negara-negara maju parpol menjadi ikhtiar yang penting dalam sebuah sistem politik. Pendapat atau aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang tak berbekas, apabila tak ditampung dan disalurkan sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat menjadi lebih teratur. Pendapat dan sikap yang bermacam-macam tersebut perlu diolah dan dirumuskan sehingga dapat disampaikan kepada pemerintah sebagai pembuat keputusan dalam bentuk tuntutan atau usul kebijakan umum. Artikulasi pendapat dan sikap dari berbagai kelompok yang sedikit banyak menyangkut hal yang sama digabungkan menjadi sebuah “penggabungan kepentingan” yang dalam suatu sistem politik merupakan input bagi pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya jika artikulasi pendapat dan sikap tersebut tidak terakumulasi dengan baik maka yang akan timbul adalah kompetisi kepentingan yang tak terkendalikan dan akhirnya akan menimbulkan anarki. Dengan kata lain, parpol bertugas mengatur kehendak umum yang kacau. Partai-Partai menysusun keteraturan dari kekacauan para pemberi suara yang banyak jumlahnya itu. 17 18 Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Djenal Hoesen (koesoemahatmadja, 1978:79), bahwa: Tanpa organisasi Partai tidak nungkin ada: 1. penyatuan pernyataan prinsip; 2. evolusi yang tertib dalam merumuskan kebijaksanaan; 3. pelaksanaan yang teratur daripada alat konstitusionil yang berupa pemilihan parlemen, dan seterusnya. Sebaliknya besar kemungkinan akan imbul (jika tidak ada organisasi Partai); 1. gerombolan-gerombolan dan komplotan-komplotan liar; 2. permintaan-permintaan dan petisi kepada pemerintah; 3. persetujuan-persetujuan rakyat; 4. pernyataan-pernyataan dan protes-protes. a) Pengertian Partai Politik Sebelum beranjak pada pengertian parpol, terlebih dahulu dikemukakan pengeritian Partai itu sendiri. Sigmund Neuman (1982:59) menjelaskan bahwa: Menjadi Partai dari sesuatu selalu berarti mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok dan membedakan diri dari kelompok lainnya. Setiap Partai pada intinya menunjukan adanya persekutuan (partnership) dengan suatu organisasi dan memisahkan diri dari organisasi lainnya dengan suatu program khusus. Penjelasan ini menunjukan bahwa definisi Partai itu sendiri menunjukan adanya suasana demokratis. Bahwa sebuah Partai dapat ada dengan sungguhsungguh jika sekurang-kurangnya ada satu kelompok lain yang bersaing (oposisi). Dan yang membedakan Partai dengan organisasi lainnya adalah bahwa Partai mempunyai program khusus yang tidak dipunyai organisasi lain, seperti ikut dalam kampanye yang bertujuan mempengaruhi kebijakan. 19 Selanjutnya Sigmund Neumann masih tentang parpol menegaskan bahwa: Parpol adalah organisasi yang artikulatif yang terdiri dari pelakupelaku Politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Dengan demikian parpol merupakan peranatara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas. Dari pendapat di atas, parpol diartikan sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan merebut kedaulatan politik melalui kekuasaan yang diperoleh itu melaksanakan kebijakankebijakan mereka. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Thomas H. Stevenson (Koesoemahatmadja, 1978:80) bahwa parpol adalah kelompok orang yang terorganisir untuk mengawasi pemerintah dalam menjalankan programnya dan agar anggota-anggotanya ditempatkan dalam bidang-bidang pemerintah. Jadi parpol selain mengawasi jalannya pemerintahan yang sesuai dengan program Partai juga berusaha agar anggota Partai masuk dalam jajaran birokrasi pemerintahan. Untuk lebih memahami pengertian parpol, berikut dikemukakan ciri-ciri parpol yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (1992:114-115), yaitu: 1. Parpol berakar dalam masyarakat lokal, dalam arti bahwa Partai mempunyai cabang-cabang di setiap daerah; 20 2. Melakukan kegiatan secara terus menerus, dengan penyusunan program kegiatan yang berkesinambungan; 3. Berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan; 4. Ikut serta dalam pemilu 5. Mempunyai landasan ideologi; 6. Sebagai Pembina kesadaran nasional dan mengarahkan massa untuk mencapai kemerdekaan (dalam masyarakat yang tengah dijajah). b) Fungsi –fungsi Parpol Miriam Budiardjo (1986:163-164) , menjelaskan mengenai fungsi parpol, yaitu: 1. 2. 3. 4. Partai sebagai sarana komunikasi politik Partai sebagai sarana sosialisasi politik Partai sebagai sarana recruitment politik Partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) Partai sebagai sarana komunikasi politik berfungsi mengkomunikasikan masyarakat (mereka yang diperintah “ruled”) arus ke atas terhadap pemerintah (mereka yang memerintah “ruler”) artinya bahwa parpol mengakomodasikan sikap-sikap dan tuntutan masyarakat yang diagregasikan dalam kepentingan Partai terhadap pemerintah yang berkuasa, dan juga arus ke bawah dalam arti bahwa parpol turut memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Partai sebagai sarana sosialisasi politik adalah penanaman nilai-nilai ideologi dan loyalitas kepada Negara dan Partai. Bagi bangsa Indonesia yang termasuk Negara berkembang mempunyai sifat yang heterogen dan parpol secara ideal dapat membantu peningkatan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional. 21 Partai sebagai rekrutmen politik, yaitu proses melalui mana Partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen dapat dilakukan terhadap siapa saja dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan rekrutmen tersebut Partai dapat menjamin kontinuitas dan kelestariannya, juga sekaligus dapat menjadi seleksi calon-calon pemimpin bangsa. Partai sebagai sarana pengatur konflik, adalah mengatur segala potensi konflik yang ada. Dengan keadaan bangsa Indonesia yang majemuk maka perbedaan-perbedaan etnis, status sosial ekonomi dan agama mudah sekali mengundang konflik. Tetapi tidak jarang pula justru parpollah yang menjadi pemicu potensi konflik tersebut seperti terjadi pada masa orde lama. 2. Parpol Dalam Negara Demokratis Negara demokratis adalah Negara yang berdasar pada prinsip-prinsip demokrasi, yang salah satunya yaitu pemerintahan yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat, maka sudah menjadi suatu keharusan jika rakyat diikutsertakan dalam kehidupan politik dan menjadi keharusan jika rakyat diikutsertakan dalam kehidupan pemerintahan dan dalam proses pembentukan kebijakan publik. Mengenai Negara demokrasi ini, Deliar Noer (1982:206) berpendapat bahwa: Didalam Negara demokratis dimana pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan pemerintah dan Negara, oleh karena kebijaksanaan ini menentukan hidup rakyat itu. 22 Dalam kehidupan masyarakat suatu Negara demokratis, dengan masyarakat yang begitu modern dan luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest agregation). Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh parpol. Parpol selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukan dalam program Partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum. Dengan demikian, tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui parpol. Dari penjelasan tersebut kita dapat mengetahui bahwa keberfungsian parpol akan terwujud dan terlaksana secara baik dan efektif jika berada dalam suatu Negara yang demokratis. Berkaitan dengan fungsi parpol dalam kehidupan Negara demokratis ini, Miriam Budiardjo (2001:163) menjelaskan bahwa: ...parpol berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan sencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demimkian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dimana parpol memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat. Negara demokratis, sangat menghargai adanya perbedaan antara individu dan kelompok. Namun Negara memberikan pula kesempatan politik yang sama bagi setiap individu dan kelompok untuk membentuk organisasi agar dapat mengawasi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan pendapat Ramlan Surbakti (1999:228) bahwa setiap individu dalam Negara 23 demokratis harus menggunakan kesempatan politik dengan menggabungkan diri ke dalam organisasi sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah dan membuat kebijakan yang menguntungkan mereka. Maka dibentuklah parpol sebagai wadah aspirasi dan partisipasi dari rakyat serta merupakan penghubung antara rakyat dengan pemimpin yang menguasai pemerintahan. Dengan posisi tersebut, parpol kini dianggap sebagai barometer demokrasi, karena demokratis atau tidaknya sistem politik suatu Negara, sangat bergantung oleh ada tidaknya parpol, terlepas dari apakah berfungsi atau tidaknya parpol. Fungsi parpol menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 adalah sebagai sarana: 1. Pendidikan politik bagi anggota-anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berNegara. 2. Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat. 3. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. 4. Partisipasi politik warga Negara;dan 5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik mlalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Dari uraian di atas dapat kita pastikan bahwa pada hakikatnya, fungsi parpol adalah untuk membela kepentingan rakyat demi tercapainya tujuan bersama. Selain itu, merujuk pada fungsi parpol yang dikemukakan oleh Sukarna (1978:91-116) bahwa parpol memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Pendidikan politik (political education) 2. Sosialisasi politik (political sosialisation) 3. Pemilihan-pemilihan pemimpin politik (political selection) 24 4. Pemanduan pemikiran-pemikiran politik (political agregation) 5. Melakukan tata-hubungan politik (political communication) 6. mengkritik rezim yang memerintah (criticsm of regime) 7. Membina opini masyarakat (simulating public opinion) 8. Mengusulkan calon (proposing candidates) 9. Bertanggung jawab atas pemerintahan (responsibility for government) 10. Menyelesaikan perselisihan (conflict management) 11. Mempersatukan pemerintahan (unifying the government). 12. Memerpejuangkan kepentingan-kepentingan rakyat (political articulation) 13. Memilih pejabat-pejabat yang akan diangkat (choosing appointive officers) . Fungsi parpol tersebut diajukan agar parpol dapat mengendalikan atau mengawasi pemerintahan dengan baik dan sesuai dengan harapan rakyat apabila parpol mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Hampir setiap ahli memiliki persaman dalam menjabarkan fungsi dari parpol, selaras dengan fungsi parpol di atas, Roy C. Marcides (Ichlasul Amal, 1988:27) menguraikan bahwa: “…fungsi-fungsi parpol yaitu: 1. Representasi (perwakilan) 2. Konversi dan Agregasi 3. Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi) 4. Persuasi 5. Reprosi 6. Rekrutmen (pengangkatan lembaga-lembaga baru) 7. Pemilihan pemimpin 8. Pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijakan 9. Kontrol terhadap pemerintah”. Dalam hal ini, Roy C. Marcidis (1988:27) menempatkan fungsi Partai sebagai sarana untuk memilih pemimpin, perumusan kebijakan, kontrol terhadap pemerintah, dan pertimbangan-pertimbangan yang memang pada kenyataannya fungsi tersebut telah terlihat dengan tidak meninggalkan fungsi lainnya yang juga dijalankan, sejalan dengan semakin kompleknya harapan masyarakat terhadap parpol sebagai lembaga yang mewakili rakyat dalam politik. 25 Terdapatnya persamaan dalam menguraikan fungsi parpol, dapat disimpulkan bahwa para ahli memandang parpol memiliki fungsi pokok yaitu sebagai sarana bagi rakyat untuk lebih menyadari tentang kehidupan politik dan pemerintahan melalui parpol. Sebuah permintaan akan sangat dipengaruhi oleh sistem politik melalui sejumlah bentuk dan fungsi yang berbeda di dalam sejumlah Negara sesuai dengan sistem politik yang diterapkan di Negara itu. Dalam Negara demokratis, selain memiliki fungsi di atas, parpol juga merupakan wadah sekaligus mengantar aspirasi masyarakat yang terbagi menjadi beberapa golongan. Hal ini merujuk pada pendapat Sigmund Neumann (2000:16) bahwa ”kalau dalam Negara demokrasi Partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan dalam masyarakat dan berusaha menyelenggarakan integrasi warga Negara ke dalam warga masyarakat hukum”. Hal yang berbeda diungkapkan oleh Ramlan Surbakti (1997:117) dalam mengangkat fungsi parpol dalam Negara demokrasi selain fungsi-fungsi yang dikemukakan terdahulu, kali ini lebih menempatkan pada bagaimana parpol berfungsi dalam menjalankan sebuah sistem politik demokrasi dan pemerintahan, bahwa: Parpol dalam sistem politik demokrasi melakukan tiga kegiatan. Adapun kegiatan itu meliputi seleksi calon-calon, kampanye, dan melaksanakan fungsi pemerintahan (legislatif dan/atau eksekutif). Apabila kekuasaan untuk memerintah telah diperoleh maka, parpol itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik. Maka peran parpol dalam Negara demokrasi adalah sebagai wadah partisipasi rakyat dalam menggunakan hak politiknya untuk lebih menyadari dan 26 mengawasi pemerintahan dan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari sistem politik agar dapat menjalankan fungsi dalam lembaga pemerintahan. 3. Partai Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada Langsung a) Keterlibatan Partai Politik dalam Pelaksanaan Pilkada Langsung Dalam pilkada, mekanisme rekrutmen Kepala Daerah sebagaimana halnya salah satu fungsi parpol yaitu sebagai sarana rekrutmen politik dilakukan dengan mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen politik, seperti rakyat dan Partai-partai politik. Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati ataupun Walikota/Wakil Walikota. Dalam peta politik di daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukan dengan kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dengan DPRD. Hubungan kemitraan dijlalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check and balances. Dalam hal ini yang menjadi aktor penting dalam pilkada adalah rakyat, parpol dan calon Kepala Daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung. Parpol sebagai bagian elemen penting dalam pelaksanaan pilkada mempunyai kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan kepada mereka. Catatan Pilkada selama ini menunjukan, 27 penyelenggaraan Pilkada oleh parpol menimbulkan bias demokrasi sampai setelah munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/ PUU V/2007 yang telah meloloskan calon perseorangan tanpa mekanisme parpol. Akan tetapi putusan MK tersebut juga tidak membatalkan kewajiban parpol membuka peluang bagi calon perorangan Mengenai keterlibatan parpol dalam proses pelaksanaan pilkada, Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 tersebut merumuskan pasal 59 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32/2004 sebagai berikut: (2) Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlahkursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. (3) Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”. Dalam proses Pilkada langsung yang demokratis arus in-put mengalir bukan dari parpol semata-mata namun juga dari kelompok di luar parpol. Calon Kepala Daerah yang berasal dari parpol atau perseorangan di luar parpol. Mereka menjalani proses, yakni menyelesaikan tahapan-tahapan kegiatan mulai dari penelitian syarat calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara sampai penetapan calon terpilih. Pada masa pendaftaran, calon mengajukan persyaratan untuk diteliti oleh penyelenggara, penelitian tersebut bersifat administratif berkala sehingga disebut juga dengan seleksi administratif. Dalam masa kampanye, calon berlomba merebut simpati rakyat dengan cara menawarkan visi, misi dan program kerja. 28 Out put proses Pilkada langsung adalah pasangan calon Kepala Daerah terpilih hasil seleksi masyarakat dalam pemungutan suara. b) Partai Politik dalam Rekrutmen Bakal Calon Kepala Daerah Parpol menjadi aktor utama masyarakat politik, yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil. Perannya mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas Negara untuk kepentingan masyarakat. Peran parpol itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, di dalamnya terjadi kompetisi dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada Partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Di sisi lain parpol dan pemilihan umum merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik,dalam rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi,regenerasi,dan seleksi para kandidat serta membangun legitimasi dan relasi antara Partai dengan masyarakat sipil. Ketika bicara soal rekrutmen politik, dalam konteks mendudukan para pejabat publik baik di legislatif ataupun eksekutif, Parpol memainkan peran sangat besar. Mulai dari upaya mengusulkan calon sampai kepada menghasilkan calon untuk memimpin lembaga-lembaga publik. Di sini Parpol memiliki keharusan untuk bisa menghadirkan sosok-sosok yang memang memiliki kredibilitas dan kapabilitas. Dalam hal rekrutmen pilkada langsung, tidak semua anggota pengurus parpol atau warga bisa menjadi calon Kepala Daerah. Kedudukan sebagai Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota, membutuhkan kompetensi tertentu 29 yang menunjukan kapasitas dan kapabilitas agar dapat memimpin pemerintahan dengan baik. Maka dari itu, sebelum memasuki kompetisi dalam Pilkada langsung, lazimnya parpol melakukan rekrutmen bakal calon. Rekrutmen dilakukan melalui prosedur seleksi yang bertingkat mulai dari seleksi sistem, seleksi parpol, seleksi administratif, seleksi penegakan hukum administratif, dan seleksi politis.Dalam sistem proporsional yang menggunakan sistem daftar nama (list) calon dalam pemilu, titik lemah seleksi sama sekali bukan terletak pada seleksi politik yang dilakukan rakyat (pemilih). Rakyat hanya memilih calon yang disodorkan parpol. Titik lemah terletak pada seleksi sistem oleh parpol, seleksi parpol yang ditentukan oleh pimpinan parpol, seleksi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum, seleksi penegakan hukum administratif oleh Panitia Pengawas Pemilu. Dalam seleksi sistem, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat seperti setia pada ideologi bangsa dan dasar Negara.. Dalam seleksi parpol, seorang calon wajib memenuhi kriteria tertentu, seperti loyalitas, dedikasi dan kredibilitas. Dalam seleksi administratif seorang calon wajib memenuhi berbagai kriteria, seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK/SKKBsurat keterangan kelakuan baik). Dalam seleksi penegakan hukum administratif diuji persyaratan seseorang yang dinyatakan lolos sebagai calon anggota DPR. Berdasarkan paparan sebelumnya, rekrutmen bakal calon menjadi calon oleh parpol atau gabungan parpol, dikenal dengan seleksi tahap kedua setelah seleksi sistem dalam rangkaian rekrutmen politik. Sistem rekrutmen bakal calon yang diberlakukan parpol berbeda-beda, hal ini dijelaskan menurut Joko J 30 Prihatmoko terbagi ke dalam dua bagian antara lain sistem pemilihan tertutup dan sistem konvensi. Kedua sistem pemilihan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Sistem Pemilihan Tertutup Sistem pemilihan tertutup adlaah sistem rekrutmen bakal calon yang dilakukan hanya oleh pengurus parpol dengan variasi sistem. Istilah ”Variasi sistem” merujuk pada mekanisme penentuan akhir bakal calon yang akan mengikuti kompetisi dalam pilkada langsung atau yang akan menjadi calon. Partai-parpol yang demokratis,umumnya menetapkan bahwa penentu akhir pencalonan adalah pengurus parpol setempat. Sedangkan Partai-parpol konservatif, dengan sistem kepemimpinan yang bergantung pada figur (personalized), pencalonan akhir ditentukan oleh pengurus pusat. 2) Sistem Konvensi Sistem rekrutmen calon yang sangat populer di Negara-Negara demokrasi adalah sistem konvensi. Sistem konvensi dilakukan dengan cara pemilihan pendahuluan terhadap bakal calon dari parpol oleh pengurus dan/ atau anggota parpol, sebagaimana dilakukan Partai Golkar dalam pemilu presiden/ Wakil Presiden 2004. Kelebihan sistem konvensi terletak pada pengembangan atau peningkatan popularitas bakal calon melalui proses kampanye internal Partai dan pendidikan politik yang ditawarkan (debat publik, penyampaian visi dan misi, dan lain-lain). Sistem konvensi sangat efektif bagi Partai kader, dan sebaliknya kurang efektif bagi Partai massa. 31 Sistem rekrutmen tertutup dan sistem konvensi umumnya memberlakukan syarat-syarat yang cukup berat bagi para bakal calon sebagaimana persyaratan calon Kepala Daerah, seperti pendidikan, usia, kesehatan jasmani dan rohani dan sebagainya. Syarat-syarat tersebut seolah-olah dirancang untuk dapat menunjang pelaksanaan tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah. Adapun kelemahan sistem rekrutmen konvensi mengabaikan kaderisasi. Namun demikian semakin banyak tokoh-tokoh terkenal, selebritis dan pemilik modal direkrut sebagai elit semakin besar munculnya persoalan kaderisasi (bottle neck). Rekrutmen dengan sistem konvensi juga menuntut kualitas seleksi dari parpol yang jauh lebih ketat terkait kriteria yang ditetapkan sebagai calon elit, seperti kesetiaan pada dasar Negara dan ideologi bangsa, dedikasi dan kredibilitas, dan sebagainya. B. Tinjauan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2007 telah mengabulkan judicial review terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak memberikan ruang keikutsertaan calon perseorangan dalam pilkada. Dengan demikian, kesesuaian dengan keputusan MK tersebut, para calon perseorangan akan dapat mempergunakan hak politiknya menjadi calon pemimpin daerah. MK berpendapat, pemberlakuan pencalonan Kepala Daerah secara perseorangan di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain agar tidak terjadi 32 dualisme hukum. Dualisme tersebut menimbulkan terlanggarnya hak warga Negara. Uji materi UU Pemda dimohonkan oleh anggota DPRD Kabupaten Lombok, Lalu Ranggalawe dengan kuasa hukum Suriahadi SH. Ranggalawe menganggap pasal-pasal dalam UU nomor 32 itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (1) sampai ayat (4), pasal 59 ayat (5) huruf a dan c, pasal 59 ayat (6), pasal 60 ayat (2) sampai ayat (5) UU Pemerintahan Daerah yang bertentangan dengan alinea IV, pasal 18 ayat (4), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Daerah itu, menurut pemohon, melanggar hak konstitusional warga Negara karena membatasi pencalonan Kepala Daerah secara perseorangan atau yang tidak melalui parpol 1. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 Dengan mengingat ketentuan Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4316) mengadili: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437), yang hanya memberi kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada, yaitu: 33 1. Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh parpol atau gabunganparpol”; 2. Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol”. 3. Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 4. Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Parpol atau gabungan parpol wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”. 3. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pasal-pasal UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437), yaitu: 1. Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh parpol atau gabungan parpol”; 2. Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol”; 3. Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” 4. Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Parpol atau gabungan parpol wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”; 4. Menyatakan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437) yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut: 1. Pasal 59 Ayat (1): ”Peserta pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon”; 2. Pasal 59 Ayat (2): ”Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”; 3. Pasal 59 Ayat (3): ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”. 5. Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya; 34 6. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 2. Pandangan Para Ahli Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/ PUU V/2007 Terhadap Putusan MK, beberapa ahli memberi tanggapan yang beragam, mereka umumnya terbelah dua, pro dan kontra. Dalam petitium putusan MK tersebut, diantarnya tertera nama Dr. Arbi Sanit yang memberi keterangan tertulis terhadap wacana calon perseorangan tersebut, dan secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap dibukanya peluang bagi calon perseorangan dalam pilkada. Dalam petitium putusan MK tersebut, Dr. Arbi Sanit dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa, Sekalipun rakyat, penguasa Negara dan daerah di Indonesia bertekad dan berupaya melaksanakan Demokrasi, akan tetapi realisasinya masih jauh dari optimal. Di dalam kehidupan politik yang memerankan fungsi pengelolaan penyelenggaraan Negara, sehingga mengarahkan dan memfasilitasi berbagai aspek kehidupan lainnya dari masyarakat dan bangsa serta Negara, berbagai prinsip dan keharusan demokrasi masih belum terwujud. Ada yang masih tersimpan di dalam cita-cita ideologi, ada yang masih di dalam wacana, ada yang sudah dituangkan di dalam Konstitusi dan Peraturan Perundangan, namun masih belum terlaksana. Di antara prinsip dan cita-cita demokrasi yang masih di dalam perjuangan untuk diakui (diterima) secara informal dan formal, ialah Calon Perseorangan untuk Pemilu Nasional maupun Lokal, seperti halnya untuk Pemilu anggota 35 Legislatif dan Pemimpin Eksekutif. Calon Perseorangan Pemilu ialah tokoh masyarakat yang menjadi peserta Pemilu secara perorangan tanpa menggunakan mekanisme kePartaian, akan tetapi memanfaatkan mekanisme kemasyarakatan dan atau kemampuan dan kekuatan pribadi. Di berbagai Negara, lembaga Calon Perseorangan dihidupkan, untuk menampung aspirasi golongan minoritas, sekalipun keberhasilannya lebih sukar tercapai di dalam Pemilu Nasional dibandingkan Pemilu Daerah. Di Indonesia Calon Pemilu Perseorangan seakan diperlakukan sebagai lembaga istimewa yang dijadikan sumber kontroversi bermotif kepentingan dan prosedural sampai ideologis. Kehadirannya dianggap melemahkan dan bahkan membahayakan eksistensi Parpol. Persyaratannya menjadi peserta Pemilu, bisa jadi menimbulkan masalah ketidakadilan dalam demokrasi. Dan Calon persorangan diartikan sebagai wujud individualisme yang merupakan perwujudan dari ideologi liberalisme. Sesungguhnyalah kontroversi yang mengkawatirkan segi negatif Calon Pemilu Perseorangan seperti itu, tidak perlu hadir dan dipertahankan, bila demokrasi hendak dipraktikkan secara bersungguh-sungguh, dalam artian substansial dan komprehensif. Substansial berarti bahwa prinsip dan praksis serta teknisnya terlaksana. Dan komprehensif berarti diberlakukan diseluruh aspek kehidupan, baik sebagai faktor penentu ataupun ditentukan, (independent dan dependent variabel), Karena itu, walau bagaimanapun, Calon Pemilu Perseorangan diperlukan dalam Pemilu Indonesia, termasuk Pilkada. Pertama, untuk mengoperasikan 36 paradigma kolektivisme (Pembukaan UUD) dan paradigma individualisme (pasal.19 HAM UUD) melalui lembaga Pemilu (Pilkada). Calon Pemilu dari Partai merupakan operasi kolektivisme yang terdiri dari perwakilan golongan yang disimbolkan oleh Partai. Sedangkan Calon Perseorangan adalah individu yang memperjuangkan haknya sejauh mungkin. Dengan begitu maka Pemilu menyelesaikan masalah yang dihadirkan oleh Amandemen UUD yaitu konflik yang mungkin dilandasi oleh kedua paradigma keNegaraan tersebut. Pemilu menghadirkan penyerasian konflik kolektivisme dengan individualisme. Kedua, Lembaga Calon Perseorangan memberikan peluang kepada upaya orang yang tidak menjadi anggota ataupun simpatisan Partai, untuk menggunakan haknya ikut Pemilu dan berkuasa atas Negara, apabila memperoleh suara Pemilih sebagaimana dipersyaratkan oleh Peraturan Perundangan yang berlaku. Apabila hanya sedikit orang yang tidak berPartai, maka Calon Perseorangan mewakili kelompok minoritas. Dan apabila banyak orang yang berPartai, maka Calon Perseorangan berfungsi sebagai katup penyelamat bagi kemungkinan tingginya angka Golput, yaitu orang yang tidak menggunakan hak pilih karena merasa tidak punya pilihan. Ketiga, Parpol sejauh ini mengalami krisis Calon Pemimpin sebagaimana dibuktikan oleh kesulitan memajukan Calon yang berkualifikasi tinggi dalam kapabilitas kepemimpinan dan dalam kadar popularitasnya. Hal itu berakar kepada Sistem Kaderisasi yang jauh dari efektif, karena kaderisasi masih berlangsung secara tradisional melalui sistem magang. 37 Sesungguhnya krisis kualitas dan kuantitas calon pemimpin Partai itu, memotivasi Partai untuk memanipulasi kedaulatan rakyat, karena dengan mamajukan calon asalan secara monopolistik, mengkondisikan Pemilih untuk tidak punya pilihan secara rasional. Apalagi kampanye lebih berfungsi sebagai penyembunyian kelemahan Calon Partai, dengan gembar gembor atau "iklan" kehebatan Calon tersebut. Dalam konteks ini Calon Perseorangan, sesungguhnya membantu Partai untuk memungkinkan tersedianya calon popular dan kapabel dengan konsekuensi kekecewaan rakyat kepada Partai tidak berubah menjadi dendam politik. Keempat, hadirnya Calon Perseorangan bisa jadi memotivasi Partai untuk mengembangkan sistem kader yang efektif, untuk keberhasilan memenangkan kompetisi politik. Memang sejauh ini di dalam Pemilu berlangsung kompetisi antar Partai, akan tetapi di samping sudah terbiasa, persaingan itu. tertutup dikalangan Partai. Calon Perseorangan membuka kompetisi itu seluas mungkin, sehingga mempertajam upaya untuk meningkatkan kualitas Calon Pemilu. Kelima, sejatinya adalah saatnya (urgen) untuk menanggulangi "krisis" Pemimpin dan Kepemimpinan Politik dan Pemerintahan Indonesia yang semakin kambuh karena berlangsung dalam waktu lama. Selama ini tugas Parpol untuk mengatasinya boleh dikatakan sebagai gagal. Dan tidak bisa solusi atas masalah ini sepenuhnya mengandalkan Parpol. Apalagi bila hendak mengatasinya secara lebih cepat dan mendasar. Maka strategi memperluas basis penyiapan calon pemimpin, tentulah 38 merupakan pilihan yang tepat, terutama dalam situasi Negara dan Masyarakat dewasa ini. Dengan begitu, lembaga Calon Perseorangan Pemilu dan Pilkada, akan lebih memberi harapan bagi perbaikan Demokrasi dan Negara. Pemahaman dan penerimaan serta operasionalisasi Lembaga CaIon Perseorangan Pemilu seperti itu, bisa diberlakukan apabila dihilangkan berbagai hambatan yang ada, mulai dari paradigma politik dan sistem politik serta Sistem Pemerintahan dan kepemimpinan politik. Sistem politik demokrasi konsensus berdasar sistem multi Partai, yang tidak menyediakan kondisi aman bagi para politisi termasuk penguasa, sehingga harus selalu siaga sebagai politisi dengan konsekuensi tidak sempat menjadi Negarawan yang tidak lagi bergulat dengan kegiatan mempertahankan kekuasaan, melainkan memanfaatkan posisi kekuasaan keNegaraan yang dikontrolnya untuk melayani rakyat banyak melalui kebijaksanaan yang dihasilkan. Karena itu, bila mengikut UUD Amandemen, dengan membangun Sistem polltik demokrasi mayoritas, maka sistem Partai sederhana yang dipersyaratkannya, secara otomatis memungkinkan adanya Calon Perseorangan. Sistim pemilu mayoritas yang sesuai dengan sistem politik demokrasi mayoritas serta sistem pemerintahan presidensial, dengan sendirinya menyediakan ruang bagi calon perseorangan untuk menjamin hak minoritas. Selain dari perubahan sistem politik dan pemerintahan, perlu pula diaktualkan paradigma kompetisi penuh di dalam kehidupan politik sejak pemilu sampai parpol dan pemerintahan. Bila kehidupan politik sepenuhnya 39 mengandalkan paradigma kolektivisme/kooperatifme, akan sukar diterima akal adanya calon perseorangan. Tentu saja perubahan UU Politik merupakan syarat operasionalisasi bagi berlakunya calon perseorangan. UU Pemilu dan UU Parpol dan UU SUSDUK memerlukan penyesuaian bila dikehendaki adanya calon perseorangan di dalam Pemilu. Akan tetapi hambatan paling strategis sesungguhnya berkaitan dengan gaya kepemimpinan para penguasa Negara yang berwenang melakukan perubahan UU Politik. Sejauh ini kelemahan visi dan kompetensi Negarawan serta kepemimpinan tradisional mereka, merupakan faktor kesulitan penting untuk melakukan pembaharuan Negara. Maka diperlukan pendewasaan dan pematangan para pemimpin itu, untuk bisa menerima pembaharuan seperti calon perseorangan. Hambatan perubahan yang terakhir ini, justru perlu disingkirkan terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebab Makamah Konstitusi baru bisa objektif sungguh, apabila terbebas dari bias Partai yang membesit dari kecenderungan dan atau kerja sama sementara hakim Makamah Konstitusi yang mengadili perkara ini dengan Parpol tertentu. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 ini, sembilan hakim konstitusi yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut, tiga di antaranya mengutarakan pendapat berbeda (dessenting opinion). Ketiga hakim itu adalah, Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan HAS Natabaya. Mereka menyatakan permohonan uji materi tidak beralasan dan syarat pencalonan Kepala Daerah melalui parpol tidak bertentangan dengan UUD 1945. 40 Khusus untuk pencalonan perseorangan dalam pilkada NAD, Roestandi mengatakan hal itu tidak dapat dijadikan perbandingan dan alasan untuk memberlakukan hal serupa di daerah lain. Hal itu disebabkan kondisi NAD saat ini tidak memungkinkan pelaksanaan pilkada seperti biasa. Selain itu, ketentuan calon perseorangan dalam pilkada NAD hanya akan diberlakukan untuk satu kali pilkada, sehingga tidak akan terulang pada pilkada berikutnya Menurut Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya Terhadap dalil Ranggawale, Natabaya melihatnya dari dua sudut pandang yaitu: 1) peranan parpol dalam sistem demokrasi perwakilan dan 2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Pengujian UU Pemda. 1. Peranan Parpol dalam Sistem Demokrasi Perwakilan. Bahwa dalam rangka pemberdayaan parpol pada era reformasi dan sesuai dengan keinginan para penyusun perubahan terhadap UUD 1945, maka salah satu sarana demokrasi dalam pemilihan Kepala Daerah ditentukan melalui parpol. Karena melalui parpol rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan berNegara. Parpol dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan Negara yang padu. Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplimentasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Didasari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada parpol sebagai aset nasional 41 berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama semakin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab berdemokrasi. Dengan demikian parpol akan merupakan saluran utama untuk memperjuangkan kehendak rakyat, bangsa dan Negara sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen calon pimpinan nasional maupun daerah. Maka, sudah seharusnyalah pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang penentuannya dilaksanakan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal parpol atau kesepakatan antar parpol yang bergabung. Mekanisme penentuan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang diatur dalam Pasal 56 jo Pasal 59 Ayat (3) UU Pemda telah bersesuaian dengan ketentuan Pasal 6A Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsungoleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Menurutnya sangat ironis kalau suatu undang-undang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan undang-undang itu sendiri (UU Pemda) telah mengambil alih mekanisme yang digunakan oleh UUD Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar (staatsgrundsgezet) dari Negara Indonesia. Apabila hal ini terjadi, maka mekanisme tersebut tidak sesuai dengan teori hirarki perundangan-undangan yang kita anut sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal 7 42 (1) Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang (Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang). c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Pemerintah. e. Peraturan Daerah. Bahwa Ranggawale dalam permohonannya telah membandingkan pengaturan Pasal 59 Ayat (3) UU Pemda dengan pengaturan Pasal 67 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana menurut Pemohon Pasal 67 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh telah mengakomodasikan keberadaan calon perseorangan. Tetapi, menurutnya Ranggawale telah keliru karena keberadaan calon perseorangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d, Undang-Undang Pemerintahan Aceh hanya untuk masa peralihan (overgang) sebelum terbentuknya Partai lokal dan ketentuan tersebut hanya berlaku einmalig (sekali jalan saja) karena sesudahnya tidak boleh lagi ada calon perseorangan. Hal ini ditegaskan dalam Bab XXXIX Ketentuan Peralihan Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berbunyi, ”Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan”. Tambahan lagi, untuk lebih jauh memahami mengapa calon perorangan diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lihat Pasal 67 Ayat (1) huruf d), hal ini tidak terlepas dari adanya Nota 43 Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintahan dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Nota Kesepahaman tersebut telah menandakan kilas baru searah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tetap menganut mekanisme rekrutmen pimpinan daerah dengan cara bahwa Pasangan Calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, parpol lokal atau gabungan parpol lokal, gabungan parpol dan parpol lokal. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam objek permohonan pengujian UU Pemda, Mahkamah Konstitusi telah pernah memeriksa, mengadili, dan memutuskan objek permohonan yang serupa dengan permohonan. Dalam putusan Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan politik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 Ayat (1) harus melalui pengusulan parpol melanggar Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 terhadap mana Mahkamah memberikan pertimbangan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”, dan 44 Pasal 28D Ayat (3) berbunyi, “Setiap warga Negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Adalah benar, bahwa hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungi oleh konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang yang berkenaan dengan itu, antara lain syarat usia, pendidikan, kesehatan jasmani dan rohani serta syaratsyarat lainnya. Persyaratan tersebut akan berlaku sama terhadap semua orang, tanpa membeda-bedakan orang baik karena alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik. Sementara itu, pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 Ayat (1) dan 28D Ayat (3) tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahwa persyaratan pengusulan calon pasangan Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah harus melalui pengusulan parpol, adalah merupakan mekanisme atau tata cara bagaimana pemilihan Kepala Daerah dimaksud dilaksanakan, dan sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui parpol dilakukan, sehingga dengan rumusan diskriminasi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Pasal 2 International Covenant 45 on Civil and Political Rights, yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui parpol demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir); Bahwa pembatasan hak-hak politik di atas itu dibenarkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, sepanjang pembatasan dimaksud dituangkan dalam undang-undang. “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Bahwa lagi pula diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah kepada parpol, tidaklah diartikan bahwa hal itu menghilangkan hak konstitusional warga Negara, in casu Pemohon untuk menjadi Kepala Daerah, sepanjang Pemohon memenuhi syarat Pasal 58 dan dilakukan menurut tata cara yang disebut dalam Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemda, persyaratan mana merupakan mekanisme atau prosedur mengikat setiap orang yang akan menjadi calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah; Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah 46 berpendapat permohonan Pemohon sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24 Ayat.84 (5), Pasal 59 Ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat diterima, sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (3) tidak cukup beralasan. Dalam Perkara Nomor 010/PUU-III/2005, Mahkamah menyatakan bahwa pengaturan Pasal 59 Ayat (2) adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) sehingga Pasal 59 Ayat (2) UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. 1. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 2. Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 3. Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Apabila putusan di atas kita analogkan dengan kasus Ranggawale, maka terdapat isu hukum (legal issue) yang sama, sehingga pengaturan pasal-pasal yang dimohonkan dalam kasus a quo juga merupakan pilihan kebijakan (legal policy) dari pembentuk undang-undang. Putusan yang tidak bulat diantara para hakim MK, melahirkan penilaian beragam yang memicu berbagai perdebatan dikalangan masyarakat. Terkait hal 47 tersebut, Tjahjo Kumolo, SH (2007) cenderung memihak tiga hakim yang berbeda pendapat tentang putusan MK tersebut. Tjahjo Kumolo menyatakan beberapa hal mengenai calon perseorangan tersebut, beberapa diantaranya menerangkan bahwa, Pertama, Pembatasan calon perseorangan yang bukan anggota parpol dalam Pilkada. Bahwa mereka harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dianggap membatasi hak warga Negara, tidak demokratis dan menyalahi konstitusi karena merugikan hak konstitusional warga Negara. Sementara, konstitusi memungkinkan pembatasan semacam itu, karena dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 285 ayat (2) UUD 1945. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pencalonan perseorangan melalui parpol hanya terbatas orang parpol, juga dinilai mengada-ada. Peluang itu ada dan dijamin dalam UU 32/2004 bahwa, Parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat . .melalui mekanisme yang demokratis dun transparan. Kalau misalnya dalam prosesnya yang bersangkutan tidak lolos seleksi melalui demokrasi internal parpol, itu soal lain. Namun faktanya banyak orang-orang nonPartai yang diusung parpol/gabungan parpol dapat memenangi Pilkada. Dengan pendapat diatas dan fakta sebagaimana 48 disebutkan, membuktikan bahwa MK keliru dalam mengukur kerugian konstitusional dan tidak dapat membuktikannya. Demikian pula, alasan calon hanya dari parpol tidak demokratis, dipahami sebagai alasan yang terlalu mengada ada, sebab Pilkada dipilih rakyat iangsung. Calon dari parpol tanpa adanya calon perseorangan tidak dapat dikatakan bahwa Pilkada tersebut telah melanggar hak asasi. Persoalan hak asasi adalah persoalan yang berkaitan dengan persoalan suku, ras, agama dan golongan (SARA), bukan persoalan perseorangan. Jadi, tidak adanya korelasi calon perseorangan dengan pelanggaran hak asasi. Keputusan MK hanya melihat aspek hukum tanpa melihat dan paham dengan masalah sosial, demokrasi dan politik. Maksud calon Pilkada melalui parpol semata agar ada yang bertanggung jawab terhadap Kepala Daerah yang terpilih tersebut. Pintu pencalonan Kepala Daerah melalui parpol, semata untuk pertanggungjawaban politik saja Kedua. Tata cara pemilihan Kepala Daerah di Nangroe Aceh sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 1 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. sebagai perbandingan/ruiukan. MK menganggap, pintu calon perseorangan haruslah dibuka, agar tidak terdapat dualisme dalam melaksanakan ketentuan pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Adanya dualisme dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga Negara yang dijamin oleh pasal28d ayat I dan ayat 3 UUD 1945. Sementara, sebagaimana diketahui, kekhususan bagi daerah Aceh dalam pencalonan Kepala Daerah, disebabkan kondisi saat itu yang belum memungkinkan untuk 49 dipersamakan dengan daerah lain. Dibukanya calon perseorangan di Aceh dikonstruksikan sebagai bagian dari reintegrasi pasca konflik. Kesempatan bagi calon perseorangan di Aceh diberikan karena parpol lokal belum efekif. Itupun hanya berlaku satu kali. Perbedaan itu tidak akan terjadi lagi dalam pemilihan Kepala Daerah pada waktu mendatang. Artinya, kecenderungan adanya semacam diskriminasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak warga Negara tidak dimungkinkan lagi. Ketiga, Status pemohon. Keputusan MK yang mengabulkan calon perseorangan (nonPartai) untuk mengikuti Pilkada, secara etis kurang tepat karena pemohon uji materi dilakukan oleh orang yang nota bene masih aktif menjadi pengurus parpol. Disisi lain, alasan pemohon sebagaimana dibenarkan MK, yang juga menjabat sebagai Anggota DPRD, Partainya masih dapat berkoalisi dalam Pilkada 2008. Tetapi, hanya karena pemohon tidak dicalonkan untuk Pilkada tahun depan, MK menilai pemohon telah mengalami kerugian konstitusional. Dalam kaitan ini, MK juga keliru membuat ukuran kerugian konstitusional. Pemohon yang bukan warga Negara nonPartai sebenarnya belum terbukti mengalami kerugian konstitusional apa pun. Calon perseorangan sebagai pemain baru dalam Pilkada melahirkan silang pendapat, bahkan mempertanyakan posisi parpol ke depan. Ada yang melihat putusan MK dipahami sebagai klimaks atas gagalnya peran dan fungsi parpol yang dijalankan selama ini. Dalam konteks ikhtiar membuka ruang demokrasi untuk menduduki jabatan ekskutif di tingkat lokal mungkin benar, sekaligus tantangan bagi Partai- 50 parpol agar memperkuat sendi dan kultur kePartaian, khususnya dalam menata rekruitmen pada jabatan politik. Tetapi, mesti disadari bahwa parpol tidak hanya terfokus pada fungsi rekruitmen politik untuk menduduki jabatan politik, tetapi lebih mulia dari itu. Sebagai kelompok terorganisir, parpol secara kontinyu menjalankan fungsi-fungsinya yang terhubung secara langsung dengan masyarakat, seperti pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah, dan juga artikulasi dan agregasi kepentingan yang lebih has. Karenanya, peran dan eksistensi parpol dalam konteks lebih luas, tetap tidak tergantikan dengan munculnya calon perseorangan. Dengan demikian patut diwaspadai, jika kehadiran calon perseorangan hanya terfokus pada upaya mendapatkan jabatan politik dan hanya sibuk mengumpulkan massa bila mendekati Pilkada. C. Calon Perseorangan dalam Pilkada 1. Tinajuan Teoretis Calon Perseorangan a) Pengertian Calon Perseorangan Pasal 59 ayat (1) b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa calon perseorangan adalah pasangan calon yang didukung oleh sejumlah orang. Pengertian calon perseorangan tersebut tidak dijelaskan secara terperinci, namun satu hal yang pasti mengenai calon perseorangan dalam pilkada adalah calon yang tidak diajukan parpol atau calon 51 yang memasuki arena pilkada dengan tidak memakai parpol sebagai kendaraannya. b) Syarat Calon Perseorangan Syarat untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Gubernur/ Wakil Gubernur diatur dalam pasal (2a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Aturan tersebut tidak memberikan ketentuan mutlak terhadap calon perseorangan, aturan disesuaikan dengan jumlah penduduk dari Provinsi tempatnya berdomisili. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000,000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen). c) Gambaran Umum Calon Perseorangan Pembolehan calon perseorangan dalam pilkada dinilai banyak kalangan sebagai pemenuhan hak konstitusional warga Negara. Proses pilkada yang hanya memberi kesempatan bagi pasang calon yang berasal dari parpol atau gabungan akan mengamputasi proses demokratisasi karena rakyat hanya disodori caloncalon dari parpol. Dari sisi kelembagaan demokrasi perwakilan, putusan MK itu dinilai sebagai penghambat pengembangan sistem (sistem building) karena pemerintah dalam putusan tersebut menegaskan sistem politik Indonesia telah 52 menempatkan parpol sebagi pilar utama penyangga demokrasi dan mekanisme yang dibangun di Indonesia adalah bedasarkan pada basis Partai, bukan perseorangan. Dan yang menjadi masalah, hingga kini peran parpol tidak tergantikan oleh institusi lain dalam sistem Negara demokrasi. Era transisi demokrasi pada tataran ideal memang memerlukan penguatan eksistensi parpol.Akan tetapi,jika oligarki parpol semakin menguat, jawaban yang tepat adalah memunculkan calon perseorangan untuk mengikis oligarki tersebut. Hegemoni parpol inilah yang tidak kita inginkan, sedangkan calon perseorangan bisa menjadi wacana untuk meminimalisasi hegemoni Partai-parpol tersebut dalam setiap kontes-kontes politik di Tanah Air. Oleh sebab itu, menurut Arizka WargaNegara (2007) terdapat Enam Alasan Kenapa kanal Calon Perseorangan harus dibuka. Merujuk pada fenomena tersebut, maka terdapat beberapa alasan politik untuk mendesak pemerintah pusat dan DPR RI mendukung segera diundangkannya calon perseorangan. Pertama,adanya calon perseorangan dalam arena pilkada adalah bagian dari demokratisasi di level lokal. Proses ini merupakan bagian dari penting dari proses pembangunan demokrasi lokal.Pada bagian lain, proses ini juga merupakan langkah positif bagi agitasi politik masyarakat yang selama ini seolah-olah tidak mempunyai akses untuk mengadu terhadap salahnya pilihan politik mereka dalam setiap arena pilkada di Indonesia. Kedua,dengan adanya calon perseorangan dapat mereduksi ketidakfree danfair-nya Partai-parpol dalam proses penentuan calon.Kita semua sudah sangat mahfum,era transisi demokrasi di Indonesia selalu diwarnai dengan adanya 53 oligarkisme Partai-parpol. Selama ini Partai-parpol tidak bisa diharapkan menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang mapan untuk rakyat. Ketiga,dengan adanya calon perseorangan maka akan memperbanyak variasi pilihan politik masyarakat dalam arena pilkada yang selama ini selalu disediakan hanya dengan mekanisme satu pintu oleh parpol. Arena pilkada yang hanya menggunakan mekanisme penentuan bakal calon hanya melalui parpol pada akhirnya membatasi pilihanpilihan politik masyarakat. Calon yang mempunyai modal uang besar akan menggusur calon-calon yang mempunyai popularitas,tetapi tidak memiliki modal uang dari tahap awal proses pilkada.Ini adalah sesuatu yang naif dan tidak fair.Esensi demokrasi adalah popular majoritybagaimana akan mencapai prinsip ini jika dari awal potensi calon yang akan memperoleh popular majority dari awal sudah terinterupsi. Keempat,dengan penentuan bakal calon di arena pilkada hanya dilakukan oleh parpol,maka hal ini akan menciptakan demokrasi elite di era transisi politik.Calon perseorangan diharapkan dapat mereduksi hal tersebut,meminimalisasi demokrasi elite,dan mewujudkan demokrasi rakyat. Kelima,calon perseorangan juga akan meminimalisasi politik uang (money politics) dalam internal Partaiparpol dalam penentuan bakal calon di arena pilkada.Sebuah renungan saja,jarang sekali terjadi seorang ketua umum parpol di tingkat lokal menjadi balon Gubernur,bupati, ataupun wali kota di arena pilkada. Bagaimana skenario pengaderan dalam tubuh parpol dapat berjalan dengan baik jika hal tersebut ’’dipelihara’’. 54 Keenam,momentum ini juga pada akhirnya dapat dijadikan sebuah ’’pembenaran demokrasi’’ untuk mendorong munculnya calon perseorangan dalam Pilpres 2009 yang akan datang. Sementara itu, mendukung dibukanya peluang untuk calon perseorangan dalam pilkada, dalam harian kompas (2004) La Ode Ida menyatakan ada empat bahaya jika calon perseorangan tidak mendapat kesempatan berkompetisi dalam pilkada langsung. Pertama, suburnya praktik politik uang karena parpol akan dibayar oleh orang-orang yang ingin dipilih. Kedua, pemaksaan terhadap rakyat untuk memilih calon-calon yang disodorkan parpol walaupun tidak disukai rakyat. Ketiga, terjadinya amputasi proses demokratisasi karena ruang partisipasi rakyat untuk memilih calon yang mereka inginkan telah ditutup. Sedangkan bahaya keempat, munculnya kekuatan parpol yang sentralistis. Masih dari sumber yang sama, Syamsudin Haris menegaskan bahwa bahaya paling menonjol dari pilkada tanpa calon perseorangan adalah makin kuatnya oligarki Partai-parpol di daerah. Oligarki itu kian subur karena parpol akan mencari calon Kepala Daerah meski yang bersangkutan tidak kapabel dan tidak aspiratif. Jika yang tidak kapabel dan tidak aspiratif itu ingin dicalonkan parpol, aspek yang akan menonjol adalah money politics yang kuat. Sementara itu Budi Kurniawan mencoba mengkritisi tentang urgensi calon perseorangant tersebut. Menurutnya ada dua arus utama dalam melihat perlukah calon perseorangan dalam sebuah suksesi politik termasuk pilkada. Pertama, kelompok pendukung pelembagaan demokrasi. Mereka berpendapat hanya parpol yang berhak menyalurkan atau menjadi kendaraan politik bagi calon Kepala 55 Daerah. Alasan ini berangkat dari kekhawatiran matinya parpol sebagai saluran aspirasi dan rekrutmen politik dalam sebuah sistem politik, jika calon perseorangan yang diakomodasi berujung pada hancurnya pelembagaan demokrasi. Lebih jauh mereka berpendapat, jika fungsi Partai sebagai aspirasi dan rekrutmen politik lemah, itu adalah hal yang wajar. Karena, umur demokrasi dan parpol di Indonesia masih muda, masih dalam tahap trial and error. Alasan lain adalah kita masih berada di era transisi demokrasi, atau pakar lain berpendapat kita masih di alam konsolidasi demokrasi menuju demokrasi. Suatu kesalahan jika kita mematikan bayi parpol dan demokrasi demi kepentingan sesaat serta mengabaikan kepentingan jangka panjang. Kritik terhadap pendapat tersebut adalah sama seperti pendapat para pakar pendukung teori transisi demokrasi, yaitu adanya pemaafan terhadap demokrasi dengan menggunakan variabel waktu. Dengan mengatakan ada periode transisi, segala kebobrokan mendapatkan maaf seluas-luasnya. Apa yang terjadi kini adalah persiapan dari demokrasi, demokrasi yang ideal masih akan datang pada suatu hari nanti. Pendapat ini tidak ada bedanya dengan pendapat kalangan Marxian yang mencita-citakan munculnya masyarakat tanpa kelas. Atau bahkan mitos masyarakat Jawa yang percaya akan munculnya ratu adil. Pendapat kelompok pertama ini juga melihat bagaimana nantinya hubungan check and balances eksekutif dan legislatif jika Kepala Daerah bukan dari parpol yang notabene anggota legislatif juga berasal dari parpol. Mereka 56 khawatir akan munculnya kembali kemandegan politik berupa konflik legislatif dan eksekutif seperti terjadi di Lampung beberapa waktu lalu. Kedua, adalah mereka yang memandang calon perseorangan perlu bagi pilkada untuk memberi ruang lebih bagi orang di luar parpol berpartisipasi. Parpol dianggap tidak mampu mencalonkan calon yang benar-benar menjadi keinginan masyarakat. Parpol dianggap curang, makelar politik, dan lain sebagainya yang intinya adalah ketidakpercayaan terhadap parpol sebagai satu-satunya perahu dalam pencalonan calon Kepala Daerah. Banyak alasan yang dikemukakan kelompok ini. Antara lain pertama, jika Aceh dapat menjalankan pilkada dengan calon perseorangan, kenapa daerah lain tidak. Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh (PA) memang mengatur tentang calon perseorangan di Pilkada Aceh. Tetapi apakah calon perseorangan itu benar-benar perseorangan. Sebenarnya di balik calon perseorangan di Aceh terdapat mesin politik, yaitu GAM GAM walaupun tidak mengaku sebagai parpol, tetapi pada praktiknya adalah parpol. GAM melakukan fungsi-fungsi parpol dan tujuannnya juga merebut kekuasaan dan mempertahankannya jika berhasil diperoleh. PP 11/2006 sendiri sebenarnya akomodasi terhadap kepentingan GAM yang tidak mungkin membuat parpol atau bergabung dengan parpol nasional. Kedua, alasan membuka space demokrasi yang lebar. Artinya, sistem politik seharusnya dapat membuka ruang bagi keinginan masyarakat seluas-luasnya. Ketika memang fungsi parpol sebagai saluran aspirasi dan rekrutmen politik lemah, seharusnya sistem dapat mengakomodasi saluran lainnya. Namun, 57 jika memang fungsi parpol sebagai saluran aspirasi dan rekrutmen politik benarbenar dijalankan dengan baik, otomatis saluran lain itu tidak diperlukan lagi. Kekhawatiran timbul jika calon perseorangan tidak diakomodasi, ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem yang berlaku justru semakin besar. d). Kelemahan dan Kelebihan Calon Perseorangan Hadirnya calon perseorangan dalam pilkada seolah menjadi kemenangan kecil bagi demokrasi di tingkat lokal. Kedaulatan rakyat yang diagungkan dalam Negara demokrasi teraktualisasikan dengan dibukanya kanal bagi calon perseorangan. Pemilih benar-benar memiliki wewenang dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan mereka. Calon perseorangan juga diyakini akan memberi motivasi terhadap parpol dalam menjaring pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab terhadap publik. Terkait dengan hal tersebut, Pantja Astawa (2007) mencatat beberapa aspek positif dari putusan MK tersebut. Pertama, dari sisi calon perseorangan itu sendiri, yakni memberi kesempatan tokoh potensial nonPartai untuk bisa tampil dalam pilkada. Hal ini juga akan menjadi preseden sekaligus menimbulkan efek 'snow ball' bagi diperbolehkannya juga calon perseorangan dalam pemilihan presiden. Selain itu, ada jaminan hak konstitusional warga Negara bidang politik dalam tatanan kehidupan demokrasi. Dari sisi masyarakat, adanya calon perseorangan, semakin menambah alternatif pilihan, di samping calon yang ditawarkan parpol. Parpol tidak lagi menjadi pintu masuk dalam pilkada sehingga dapat mengimbangi kelemahan, hambatan, dan kendala banyak parpol. 58 Selanjutnya Pantja Astawa meninjau dari sisi parpol itu sendiri, akan berlangsung satu proses 'deeksklusifikasi' Partai. Hal ini akan mendorong Partai untuk secara smart memperkuat eksistensi dan konsolidasi internal. Partai akan terpicu ekstra keras mengoptimalkan peran dan fungsinya melalui mesin politik yang dimiliki. Partai juga akan semakin selektif menyeleksi calon dalam proses rekrutmen calon yang akan diusung pada pilkada. Dalam kondisi parpol yang mesin politiknya bekerja dengan optimal menjalankan peran dan fungsinya, parpol yang secara sadar di-setting (diatur.) untuk berbagai kepentingan kekuasaan, tidak perlu merasa terancam dengan kehadiran calon perseorangan. Bukan tidak mungkin kelak dapat meniadakan calon perseorangan secara alamiah.. Meninjau dari sisi yang berbeda, Mohtar Mas’oed (Center For Democracy and Human Rights Studies, 2007) mengingatkan bahwa calon perseorangan tidak berarti selalu lebih baik daripada calon parpol. Bila calon perseorangan menang dalam Pilkada yang dikutinya tentu akan muncul pertanyaan selanjutnya bagaimana dia akan bekerja. Calon perseorangan menjadi kepala eksekutif tanpa struktur kekuasaan dasar untuk legislasi di parlemen. Dengan demikian sulit untuk membayangkan bagaimana calon perseorangan yang menang dalam pilkada itu menggalang dukungan terhadap agendanya.Padahal, lanjut Mas’oed parlemen tidak memiliki 'leverage' untuk mempengaruhi kepala eksekutif perseorangan. Dan yang lebih dikawatirkan adalah bila calon perseorangan itu tidak merasa perlu memperhatikan pendapat parlemen. Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi akan timbul persoalan politik lokal yang serius di mana-mana. 59 Sekalipun calon perseorangan mempunyai kelebihan, namun kita harus menyadari adanya konsekuensi dari rencana penerapan calon perseorangan. Mardiyanto (2007) perseorangan. mencoba Menurutnya, menganalisis calon beberapa perseorangan kelemahan rawan calon terhadap Pembengkakakan anggaran, baik yang bersumber dari pemerintah maupun cari calon itu sendiri. Jumlah calon yang akan muncul tidak dapat diprediksi. Potensinya berjumlah banyak. Dengan banyaknya calon perseorangan, mengakibatkan beban kerja penyelenggara pilkada bertambah besar, dan waktu penyelenggaraan pilkada akan makin panjang, terutama untuk penelitian dukungan, verifikasi lapangan masa kampanye. Tidak ada satu pun lembaga yang bertanggung jawab menyeleksi kualitas kepemimpinan dan profesionalitas calon perseorangan, karena sifatnya adalah perorangan. Pengalaman empiris menunjukan bahwa seorang Kepala Daerah harus kompeten dan menguasai penyelenggaraan pemerintah, pembangunan, pelayanan masyarakat. Sementara itu, KPUD bertanggungjawab hanya terhadap seleksi administratif. Munculnya fanatisme yang berlebihan dari pendukung calon perseorangan sering dengan persaingan yang kurang sehat antar calon. Karena jumlah massa yang sangat besar, maka fenomena demikian dapat melahirkan potensi disintegrasi sosial dan instabilitas wilayah. Calon perseorangan mengandung konsekuensi politik. Karena yang bersangkutan bukan berasal dari parpol, ketika terpilih menjadi Kepala Daerah kemungkinan tidak mendapat dukungan politik di lembaga legislatif, sehingga 60 jalanya roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat akan terganggu. Enam gejala di atas akan menciptakan kendala politik dan sosial yang besar, yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan daerah. Namun, Terlepas dari wacana kelemahan atau keunggulan calon perseorangan, peluang untuk calon perseorangan dalam pilkada harus dibuka, seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik dari CSIS Indra J Piliang menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya Negara di dunia yang konstitusinya telah menutup peluang bagi munculnya calon-calon perseorangan di pemilu. Jadi, hanya konstitusi Indonesia yang menutup peluang munculnya calon-calon perseorangan tersebut. Harusnya peluang itu dibuka bagaimanapun kecilnya. Tetapi hakekatnya calon perseorangan harus dibuka. 2. Tinajuan Teoretis Pilkada Langsung a) Makna dan Hakikat Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung Secara teoretis, urgensi diterapkannya sistem pilkada langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kesadaran berdemokrasi suatu masyarakat dalam Negara demokratis akan dapat terwujud melalui pendidikan politik, karena itu menjadi dasar atau hakikat pilkada langsung itu sendiri, maka hal ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami masyarakat guna mewujudkan tujuan pilkada secara efektif dalam pencapaian kehidupan masyarakat dan Negara yang demokratis 61 Sementara Brian Smith (Syarif Hidayat, 2005:22) secara tegas mengatakan bahwa: Pemilihan Kepala Daerah secara langsung bagi para Kepala Daerah (lokal government head) dan para anggota DPRD (lokal representative council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsive, serta terbangunnya apa yang mereka sebut dengan persamaan hak politik di tingkat lokal. Adapun keterkaitannya dengan pendapat di atas, bahwa pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung sudah diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 juncto dan pasal 119 serta diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian, pilkada secara langsung merupakan cara yang paling demokratis untuk benar-benar menjamin terselenggaranya aspirasi rakyat. Secara eksplisit pula, ketentuan tentang pilkada langsung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa “Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Berdasarkan bunyi pasal di atas, jelas terlihat bahwa dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan pesimisme dan optimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis. Selain itu Negara memberikan kesempatan kepada 62 masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah. Sehubungan dengan pengembalian hak-hak dasar tersebut, Prihatmoko (2005:21) menyatakan bahwa pilkada langsung memiliki nilai-nilai positif yakni: 1. 2. 3. 4. penarikan kedaulatan yang dititipkan DPRD sumber kekuasaan adalah rakyat rakyat adalah subjek demokrasi demokrasi merupakan sistem politik terbaik dari yang ada Dengan demikian, rakyat tidak hanya didorong untuk memilih calon pimpinannya akan tetapi juga memiliki hak untuk mencalonkan diri. Hak warga untuk dipilih dan memilih itu merupakan bagian terpenting dari prinsip demokrasi, yakni hak pilih universal. Sejalan dengan pemikiran di atas, pilkada langsung sebagai bentuk dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah salah satu wujud implementasi yang sudah mulai terasa sebagai tuntutan dari otonomi daerah. b) Asas-asas Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung Ciri pilkada yang demoktratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianutnya. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan suatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki. Dalam pandangan Prihatmoko (2005:207), asas pilkada langsung adalah sebagai pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaraan. Asas pilkada langsung juga berarti jalan atau sarana agar pilkada terlaksana dengan demokratis. 63 Asas-asas pilkada langsung tercermin dalam tahapan-tahapan kegiatan atau diterjemahkan secara teknis dalam elemen-elemen kegiatan pilkada, sehingga pilkada langsung dapat terlaksana dengan baik dan mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Asas yang digunakan dalam pilkada langsung sama dengan asas yang digunakan dalam pemilu 2004, yakni, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas pilkada langsung tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, yaitu “pemilihan Kepala Daerah langsung dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Penjelasan dari asas asas pilkada langsung itu dikemukakan sebagai berikut : 1) Langsung. Pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara dalam memilih wakil-wakil yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat dan di pemerintahan. 2) Umum. Pemilihan umum diikuti oleh setiap orang yang sudah memenuhi syarat. 3) Bebas. Maksudnya dalam memberikan suaranya, si pemilih tidak ada tekanan dari pihak manapun yang memungkinkan dia memberikan suara tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dia benar-benar bebas dalam menetukan pilihannya; 4) Rahasia. Artinya kerahasiaan pemberi suara atas calon atau organisasi/Partai peserta pemilihan umum yang dipilihnya tidak akan 64 diketahui oleh siapa pun, termsuk panitia pemungutan suara. Sehingga pemilih bebas dari ketakutan atau ancaman dari pihak manapun dalam memberikan suaranya dan setelah dia memberi suaranya. 5) jujur. Maksudnya adalah tidak boleh terjadi kecurangan kecurangan dalam pemilihan umum tersebut, baik oleh penyelenggara yang memanipulasikan suara-suara untuk kepentingan Partai/organisasi tertentu, atau oleh prganisasi, Partai peserta pemilihan umum yang berbuat kecurangan kecurangan dengann memberikan informasi tentang dirinya yang mungkin belum berhak memilih tetapi sudah memperoleh keterangan yang menyatakan ia berhak memilih atau memperoleh 2 kartu suara karena kelicikannya seghingga dapat memilih dua kotak suara yang berjauhan tempatnya. Jelasnya pemilihan harus berjalan dengan jujur. 6) Adil. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum setiap pemilihan dan parpol peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. C. Tata Cara Pencalonan Kepala Daerah 1) Jenis Sistem Pencalonan dalam Pilkada Kualitas kompetisi dalam pilkada sesungguhnya dapat dilihat dari sistem pencalonan dan pendaftaran calon yang digunakan. Pencalonan juga menjadi satu dimensi hak pilih aktif, yakni hak warga untuk dipilih. Dimensi lainya yaitu hak warga untuk memilih. Karena itulah, pencalonan merupakan tahapan penting yang ditunggu-tunggu masyarakat, khususnya parpol dalam pemilihan umum Kepala Daerah langsung. 65 Suatu pencalonan dapat dikatakan kompetitif apabila secara hukum dan kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan caloncalon atau kelompok-kelompok tertentu dengan alas an-alasan politik. Artinya ketentuan perundang-undangan harus memberikan akses yang besar bagi warga yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Namun bukan suatu hal yang tidak benar apabila diatur mengenai persyaratan calon karena kedudukan dan fungsi Kepala Daerah menuntut kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan yang memadai. Selama ini kita dikenalkan dengan dua jenis sistem pencalonan dalam pilkada langsung, yakni : 1. Sistem pencalonan terbatas adalah sistem pencalonan yang hanya membuka akses bagi calon-calon dari parpol. Paradigma yang dianut dalam sistem pencalonan terbatas adalah bahwa hanya Partai-parpol saja yang memiliki sumber daya manusia yang layak memimpin pemerintahan atau hanya Partaiparpol yang menjadi sumber kepemimpinan.komunitas atau kelompok lain dalam masyarakat, seperti organisasi massa, organisasi soisal, profesional, usahawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dianggap belum mampu mencetak sumber daya yang mampu memimpin pemerintahan atau menjadi sumber kepemimpinan. Oleh sebab itulah, sistem pencalonan terbatas dikenal sebagai salah satu cirri demokrasi elitis, yang biasa dianut di Negara-Negara otoritarian dan sosialis. Misalnya sistem ini pernah digunakan Uni Soviet tahun 1990-an sehingga seluruh Kepala Daerah adalah pengurus Partai komunis. 66 2. Sistem pencalonan terbuka memberi akses yang sama bagi anggota/pengurus Partai-parpol dan anggota komunitas atau kelompok-kelompok lain di masyarakat seperti organisasi masyarakat, organisasi sosial, professional, intelektual dan sebagainya. Paradigma sistem pencalonan terbuka adalah bahwa sumber daya manusia berkualitas tersebar dimana-mana dan sumber kepemimpinan dapat berasal dari latar belakang apapun. Sumber daya manusia memiliki kesempatan berkembang dan tumbuh secara sama di sekitor sosial, bisnis dan akademik. Sistem pencalonan terbuka semakin popular dengan berkembangnya industrialisasi sehingga wajar apabila dianut oleh Negara-Negara demokrasi mapan, yang notabene Negara industri dengan tingkat ekonomi maju atau sangat maju, seperti Amerika, perancis, jerman dan sebagainya. Pilkada di republik Rusia saat ini, misalnya sudah mengakomodasikan sistem pencalonan terbuka dengan pencalonan untuk anggota parlemen. Kedua sistem pencalonan dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut: bagan 1 Sistem Pencalonan terbatas Partai Calon n Gabungan Partai Calon Gabungan Partai bagan 2 Sistem Pencalonan tertutup Partai Calon n Calon perseorangan masyarakat Calon (Joko. J. Prihatmoko, 2005:237) Gabungan Partai Calon 67 Dari kedua bagan tersebut di atas, terdapat perbedaan paradigma kedua sistem pencalonan dalam pilkada langsung tersebut tidak serta merta meniadakan persamaan antara keduanya. Kedua sistem pencalonan itu memiliki persamaan antara keduanya. Kedua sistem pencalonan ini memiliki persamaan pada persyaratan parpol atau gabungan parpol yang berhak mendaftarkan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah. Umumnya digunkan batas minimal perolehan suara Partai dalam pemilihan anggota parlemen lokal atau DPRD, yakni 15-20%. Tujuan utama pencalonan melalui parpol atau gabungan parpol dengan syarat minimal perolehan suara tersebut tak hanya membatasi calon sehingga proses seleksi lebih berkualitas juga mengentalkan atau menguatkan integrasi dalam masyarakat pluralis. Dengan adanya parpol diharapkan bahwa fungsi yang dijalankan berhasil mengintegrasikan berbagai kelompok masyarakat sehingga dengan sendirinya mengeliminasi kecenderungan etnisitas dan primordialisme dalam pencalonan Kepala Daerah yang dapat menimbulkan konflik horizontal. Sedangkan untuk calon di luar parpol dikenal dengan calon perseorangan dalam sistem terbuka lazimnya dengan persyaratan dukungan pemilih dalam jumlah tertentu. Tidak ada patokan atau kriteria pasti mengenai jumlah dukungan pemilih tetapi disesuaikan dengan jumlah penduduk. 2. Ketentuan dan Implikasi Pencalonan dalam Pilkada Sistem pencalonan Pilkada langsung yang dirumuskan dalam UU No. 32/2004 dan PP No.6 Tahun 2005 merupakan sistem yang tidak memiliki batasbatas yang tegas sebagai sistem terbatas atau terbuka. Ketidakjelasan tersebut 68 melengkapi karakteristik rekrutmen pejabat publik di Indonesia. Indikator utama bahwa batas sistem pencalonan tidak jelas adalah bahwa mekanisme pendaftaran calon menempatkan parpol pada posisi dan fungsi yang sangat strategis. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 yang telah meloloskan calon perseorangan dalam pilkada, praktis menghapus ketentuan yang menegaskan bahwa parpol merupakan pintu satu-satunya pencalonan sistem terbatas. Hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mendaptarkan pasangan calon. Calon perseorangan, yang lazim dikenal dengan calon perseorangan, diakomodir dalam proses pencalonan Pilkada langsung dengan akses yang luas karena putusan MK tersebut telah menambah satu pintu yang diperuntukan bagi calon perseorangan tanpa melalui mekanisme Partai Sebelum muncul Undang-Undang No 12 Tahun 2008, terdapat ketentuan pasal 59 ayat (3) UU No. 32/ 2004 menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perorangan yang memenuhi syarat. Selanjutnya parpol dan gabungan parpol memproses bakal calon melalui mekanisme demokratis dan transparan. Penjelasan terhadap istilah ”mekanisme yang demokratis dan transparan” tidak mewajibkan dilaksanakannya konvensi sistem seleksi paling demokratis melainkan hnaya berdasarkan mekanisme yang berlaku dalam parpol dan gabungan parpol yang mencalonkan dan prosesnya dapat diakses publik. Mekanisme yang semestinya dapat dimaksimalkan melalui regulasi, namun didorong menjadi mekanisme politik, yakni bergantung pada kebijakan dan keputusan parpol atau gabungan parpol dalam membangun demokrasi. 69 Bagan 3 Sistem Pencalonan Tertutup Gaya Indonesia Partai Calon Partai Calon warga gabungan Partai warga gabungan Partai Calon Calon (Joko. J. Prihatmoko, 2005:242) Berdasarkan bagan 3, dapat diketahui hal yang penting bahwa pencalonan pilkada langsung bernuansa tertutup, karena tidak dijelaskannya ”dapat di akses publik”. Artinya walaupun bakal calon perseorangan mempunyai kesempatan menjadi calon peserta Pilkada langsung yang didaftarkan namun, penetu akhir tetaplah parpol atau gabungan parpol. Hal yang paling kuat mengindikasikan bahwa rekrutmen calon melalui Partai menggunakan sistem tertutup adalah tidak terdengarnya penggunaan sistem konvensi yang dikenal sebagai rekrutmen calon melalui Partai paling demokratis. Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007, Pasal 59 Ayat (1) UU No.32/2004 menyatakan bahwa ”Peserta pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon”. Perubahan terhadap pasal 59 ayat (1) telah meniadakan ketentuan bahwa parpol 70 merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan atau sekurang-kurangnya penyeleksi kepemimpinan dari komunitas lain di masyarakat. D. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung Cara yang paling efektif untuk membedakan pilkada langsung dan pilkada tidak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pilkada tidak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. Dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan jelas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan subjek politik, mereka menjadi pemilih, penyelenggara, pemantau, dan bahkan pengawas. Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1), (2) dan (3) UU No 32/2004, kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam masa persiapan adalah sebagi berikut: pasal 65 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 1) Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; 2) Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah; 3) Perencanaam penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah; 4) Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; 5) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sementara itu, tahap pelaksanaan terdiri dari enam kegiatan, yang masingmasing merupakan rangkaian yang saling terkait. Keenam tahapan itu adalah sebagai berikut: pasal 65 ayat (3) UU No 32/2004 1) Penetapan daftar pemilih; 71 2) 3) 4) 5) 6) Pendaftaran dan Penetapan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah; Kampanye; Pemungutan suara; Penghitungan suara; dan Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Persyaratan pilkada langsung akan lebih lengkap, dalam pengertian warga menggunakan hak pilih aktif apabila rakyat atau warga terlibat langsung dalam tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah terpilih. Keterlibatan tersebut tidak hanya menjadi calon saja, atau pemilih saja, namun juga mengawasi proses yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku shingga demokratisasi politik di daerah melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat terlaksana. E. Penylenggara Pemilihan Kepala Daerah Langsung Penyelenggara pilkada langsung akan menentukan kualitas pelaksanaan pilkada langsung. Pilkada langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan oleh lembaga yang perseorangant, mandiri dan non partisan. Dengan kelembagaan penyelenggara yang demikian, objektiivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi pemilihan dan peserta pilkada relative bisa dioptimalkan. Fungsi uatama penyelenggara pilkada adalah merencanakan dan menyelenggarakan tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa dioptimalkan apabila dilengkapi dengan mekanisme control dan (accountability) sehingga dibutuhkan pengawasan. pertanggungjawaban Terdapat tiga jenis pengawasan, yaitu: pertama pengawasan internal. Pengawasan ini dilakukan melalui mekanisme organisasi yang bersifat struttural dalam bentuk supervise dan pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial . 72 Kedua, pengawasan semi-eksternal. Pengawasan ini dilakukan dengan pembentukan lembaga pengawasan yang mandiri, otonom dan perseorangant namun berada di dalam struktur penylenggara yang bertugas mengawasi pelaksanaan tahap-tahap kegiatan. Ketiga, pengawasan eksternal. Pengawasan ini diwujudkan melaui pemantauan dan pengawasan masyarakat, parpol, pers dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). UU No. 32/2004 membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada langsung kepada tiga institusi, yaitu DPRD, KPUD dan Pemerintah Daerah. Secara fungsional, kedudukan ketiga institusi penyyelenggara pilkada langsung itu diuraikan lebih lanjut oleh Prihatmoko (2005:213-214) seperti di bawah ini: Pertama, DPRD merupakan pemegang otoritas politik, artinya bahwa DPRD merupakan representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan mandate penyelenggaraan pilkada langsung. Masih sebgaai pemegang otoritas politik yang merupakan representasi rakyat, DPRD juga menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyelenggarakan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon Kepala Daerah. Tujuannya adalah agar DPRD dan rakyat mengenal visi, misi, dan program calon Kepala Daerah. Selain hal tersebut, DPRD menjalankan fungsi-fungsi yang melekat sebagai lembaga legislative, khususnya pengawasan dan budgeting. Dalam pasal 66 ayat (3) UU No. 32/2004 disebutkan bahwa tugas dan wewenang DPRD mancakup: 1) Memberitahukan kepada Kepala Daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan; 2) Mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terpilih; 3) Melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan; 73 4) Membentuk panitia pengawas; 5) Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan 6) Meyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 027073/PUU-II/2004 dan perkara No. 005/PUU-III/2005, maka pasal 66 ayat (3) huruf c UU No. 32/2004 berubah dan menjadi “KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi KPUD bertanggung jawab pada public. Kepada DPRD, KPUD hanya menyampaikan laporan pelaksannaan tugasnya”. Kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai pelaksana teknis dan sebagai pemegang mandate penyelenggaraan pilkada langsung. Secara teknis, KPUD bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, muali dari pendaftaran pemilih sampai persiapan calon terpilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hokum dan ketentuan perundnagan. Dalam pilkada langsung, KPUD merupakan metamorfosa KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, KPUD merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan dan pengendaliaan penyelenggaraan pilkada langsung. Tugas dan wewenang KPUD mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 1) Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 74 2) Menkordinasi, menyelenggarakan, dan mengendaikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 3) Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 4) Meneliti sersyaratan parpol atau gabungan parpol yang mengusulkan calon. 5) Meneliti persyaratan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang diusulkan. 6) Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan 7) Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye. 8) Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 9) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 10) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. 11) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan perundnaga-undangan. 12) Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit. Sementara itu kewajiban KPUD yang telah digariskan pasal 6 PP No. 17 Tahun 2005 sebagai pengganti dari PP No. 6 Tahun 2005 adalah sebagai berikut : 1) memperlakukan pasangan calon secara adil dan merata. 2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3) Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat; 4) Memelihara arsip dan dokumen pemilih serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan. 5) Mempertanggungjawabkan anggaran; dan 6) Melaksanakan semua tahapan pemilihan tepat waktu. Ketiga, Pemerintah Daerah menjalankan fungsi fasilitas, pemerintah daerah berkewajiban memberikan fasilitas proses pilkada langsung meliputi bidang anggaran, personalia, dan kebijakan sebagai eksekutif. Selain itu, ada beberapa tugas teknis yang harus dilaksanakan untuk menunjang tahapan kegiatan. Tugas dan wewenang pemerintah daerah tidak secara tegas dirumuskan 75 dalam ketentuan perundangan,. Dalam pasal 144 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005dikatakan bahwa pemmerintah daerah dapat memberikan fasilitas dan dukungan kepada KPUD untuk kelancaraan pelaksanaan pemilihan. Tugas dan wewenag yang melekat dalam fungsi pemerintah yang telah dijalankan selama ini, menurut Prihatmoko (2005:219), adalah tugas anggaran, personalia, dan penunjang kegiatan pilkada langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam konstruksi penyelenggaraan pilkada lansungterdapat interelasi antara KPUD, DPRD dan pemerintah daerah. Secara umum bentuk interelasi antara KPUD, DRD dan pemerintah daerah bersifat koordinatif tanpa saling ketergantungan. F. Kelemahan dan Kelebihan Pilkada Langsung Pemilihan Kepala Daerah sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 4 yang menyataan bahwa Gubernur, Bupati, Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal tersebut ditindaklanjuti melalui disahkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 ayat 5 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Tidak dapat kita pungkiri bahwa mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Terkait hal 76 tersebut, Yahnu Wiguno Sanyoto (2007) menganalisis bahwa, kelebihan pemilihan secara langsung diantaranya: 1. adanya harmonisasi dalam konteks hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD; 2. menghasilkan Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah yang kredibel dan akuntabel; 3. memperkecil permainan politik uang antara Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dengan DPRD 4. mengurangi dominasi kepentingan parpol; 5. rakyat ikut bertanggung jawab terhadap pilihannya; 6. meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan terhadap pelaksanaan demokrasi lokal; 7. terciptanya tata pemerintahan lokal yang good governance and clean government; 8. kebijakan adanya pemilihan langsung merupakan bukti perwujudan pemerintahan yang demokratis. Sementara itu, L. Agustino (2007) memberi beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam proses pemilihan atau rekrutmen para wakil rakyat mendapat mandat politik dari warga masyarakatnya (Pilkada Langsung). Diantaranya: Pertama, dengan Pilkada Langsung penguatan demokratisasi di tingkat lokal dapat berwujud khususnya yang berkaitan dengan pembangunan legitimasi politik. Karena asumsinya Kepala Daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagain besar warga masyarakat. Kedua, dengan Pilkada Langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan lokal accountability. Ketika seorang kandidat terpilih menjadi Kepala Daerah, maka para wakil rakyat yang mendapat mandat akan 77 meningkatkan kualitas akuntabilitasnya (pertanggungjawabannya pada rakyat, khususnya konstituennya). Hal ini sangat mungkin dilakukan oleh karena obligasi moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai wujud pembangunan legitimasi politik. Mekanisme pemilihan Kepala Daerah yang selama ini berlangsung berkecenderungan menciptakan ketergantungan yang berlebihan Kepala Daerah pada parlemen (DPRD), legislative heavy, sehingga Kepala Daerah tersebut lebih meletakkan akuntabilitasnya pada anggota parlemen ketimbang pada warga masyarakat yang seharusnya dilayani.Dampak negatif yang muncul kemudian ialah munculnya fenomena politik uang antara Kepala Daerah dengan anggota parlemen, dimana Laporan Pertanggungjawaban (LPj) Kepala Daerah menjadi komoditas yang dinegosiasikan diantara kedua lembaga.Oleh karena itu, Pilkada Langsung sangat diharapkan sekali mampu mengikis fenomena tersebut. Ketiga, yang apabila lokal accountability ini berhasil diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga Negara dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal. Keempat, Pilkada Langsung akan meningkatkan kualitas kesadaran politik masyarakat termasuk didalamnya kualitas partisipasi rakyat. Karena masyarakat diminta untuk menggunakan kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dianggap pantas dan layak untuk menjadi pemimpinnya di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Selain itu, mekanisme inipun memberikan jalan untuk memelekan elite politik bahwasannya 78 pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya adalah warga masyarakat, dan bukan lembaga-lembaga lainnya. Selain adanya harapan akan penguatan demokratisasi di level lokal, banyak juga resistensi yang muncul sebelum Pilkada Langsung ini diundangkan dalam PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selanjutnya Sanyoto (2007) menganalisis kelemahan pilkada langsung antara lain: 1. membatasi pintu masuk bagi calon perseorangan atau perseorangan, sekalipun belum terdapat peraturan pelaksananya; 2. membuka lahan money politics yang baru; 3. membutuhkan dana yang sangat banyak; 4. masih minimnya pendidikan politik masyarakat; 5. adanya dilema pemilihan Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dan laporan pertanggungjawabannya; 6. adanya pengurangan fungsi DPRD. Sementara itu terkait kelemahan pilkada langsung, Agustino (2007) memandang Ada banyak resistensi dan kendala yang menganga lebar pada masa itu, mulai dari: pertama, sistem Pilkada Langsung akan melemahkan kedudukan DPRD. Karena diasumsikan dengan legitimasi yang besar dari rakyat pemilih, Kepala Daerah yang terpilih akan memiliki kedudukan dan legitimasi yang sangat kokoh atas DPRD, yang pada akhirnya akan memperlemah kedudukan DPRD terhadap Kepala Daerah. Pengalaman buruk masa Orde Baru dimana Kepala Daerah memiliki kekuatan yang sangat besar dibandingkan dengan DPRD membuat (sebagian) elite politik kita enggan untuk menerima sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Mereka membayangkan pendulum yang awalnya 79 menguntungkan parlemen (legislative heavy) akan kembali lagi kearah penguntungan Kepala Daerah (executive heavy) dan ini akan melukai makna penting demokrasi, menurut mereka. Tetapi juga, sebenarnya pendulum yang lebih condong/lebih berat ke arah legislatif pun mencederai arti penting demokrasi. Sejatinya, yang diharapkan oleh Pilkada Langsung ini bukan gambaran seperti tersebut di atas (yang bergerak ke arah legislatif atau eksekutif) tetapi terciptanya kesetimbangan kekuatan diantara lembaga-lemabaga Negara di daerah sehingga mekanisme saling kontrol terbangun diantara mereka. Kedua, sistem Pilkada Langsung akan memakan biaya yang sangat besar karena paling tidak banyak anggaran daerah (APBD) yang akan dikonsentrasikan pada KPUD ditiap tingkatan, dimana pertama adanya konsentrasi anggaran daerah untuk pemilihan Gubernur di tingkat propinsi, dan kedua konsentrasi anggaran pemilihan bupati/wali kota. Ketiga, munculnya “persaingan khusus” antara calon perseorangan dan calon parpol (kader Partai). Terakhir keempat, adanya pandangan yang menganggap rakyat belum siap untuk melaksanakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Menurut Agustinio, bila dielaborasi lebih dalam mengenai tantangan akan pemilihan Kepala Daerah langsung, maka bahwasannya keempat alasan itu dapat dipecahkan secara teoretik maupun secara logika-dialektis. pertama, persoalan melemahnya kedudukan parlemen (DPRD). Meningkatnya legitimasi Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih (voters) tidak berakibat langsung pada pelemahan posisi/kedudukan parlemen. Legitimasi Kepala Daerah 80 yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem pemilihan ini. Namun demikian, bukan berarti parlemen kemudian akan mejadi lemah, justru ia akan tetap bisa berperan dalam memberikan pengawasan (monitoring serta controling) terhadap kinerja Kepala Daerah (karena itulah fungsinya), melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Impak perubahan yang justru dihasilkan dari Pilkada Langsung ialah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan checks and balances dalam penyelengaraan Negara dan pemerintahan, karena parlemen semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya, kasus LPj misalnya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Pilkada Langsung akan memakan biaya yang sangat besar. Sistem pemilihan Kepala Daerah langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan pemilihan Kepala Daerah tidak langsung. Logikanya ialah dalam pemilihan Kepala Daerah tidak langsung pemilihan hanya dilakukan oleh DPRD semata sedangkan Pilkada Langsung dilakukan dengan mengikut sertakan partisipai publik sehingga terjadi perbedaan kebutuhan diantara keduanya, mulai dari: sosialisasi pemilihan itu sendiri, pemilihan panitia pengawas yang baru, pembuatan surat suara, hingga biaya operasional bagi panitia pelaksana pemilihan kelapa daerah langsung menjadi bagian yang integral dangan Pilkada ini. Sehingga tidak heran apabila biaya operasionalnya akan berbeda sama sekali dengan pemilihan tak langsung. 81 Ketiga, persaingan antara calon perseorangan dan calon dari Partai (politik) menjadi perselisihan yang justru menyudutkan kepentingan publik. Karena dalam mekanisme yang hanya membuka kesempatan bagi calon Kepala Daerah dari pintu parpol pada dasarnya justru menerbelakangkan calon pilihan rakyat arus bawah/akar rumput (grass-roots). Hal ini disebabkan calon Kepala Daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari keinginan mereka. Dalam mekanisme ini kemunculan calon Kepala Daerah hanya mungkin melalui pencalonan oleh Partai di daerah yang juga merupakan kepanjangan tangan (titipan) dari elite Partai pusat sebagai institusi yang banyak menentukan kiprah Partai-Partai di tingkat lokal. Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna oleh karena mereka memilih calon-calon yang tidak diproses melalui “kelembagaan” arus bawah atau akar rumput Partai. Idealnya ialah dibuka kesempatan kepada calon Kepala Daerah yang perseorangan sehingga calon-calon Kepala Daerah pilihan rakyat arus bawah atau akar rumput terepresentasikan. Logikanya, setiap warga Negara/masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menjadi menjadi pemilih maupun individu yang dipilih. Artinya setiap warga baik dari parpol maupun perseorangan dapat saja mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah dengan ketetapan-ketetapan atau aturan-aturan yang ditentukan KPUD kelak, tentunya. Keempat, tantangan akan asumsi belum siapnya rakyat pemilih (voters) untuk melaksanakan pemilihan Kepala Daerah langsung. Argumen ini sebenarnya tidak lagi relevan untuk diangkat pada saat proses demokratisasi dan proses 82 pendewasaan politik masyarakat seperti saat ini. Bila kita lakukan eksperimen atau penelitian kecil mengenai ketidaksiapan rakyat pemilih yang diukur dari kesiapan mental dan intelektualitas (dengan indikatior jenjang pendidikan formal), maka hal itu hanyalah suatu penglihatan yang sangat tidak jernih dan merendahkan kapasitas politik masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Terlalu lama rakyat pemilih di daerah dipinggirkan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan berNegara oleh penguasa atau elite-elite politik dan pemerintahan, sehingga wajar saja apabila penguasa atau elite-elite politik dan pemerintah yang selama ini lebih dekat dengan kekuasaan masih dibayang-bayangi oleh pemikiranpemikiran pesimis terhadap rakyatnya, yang secara konstitusional adalah pemilik kedaulatan yang sah dari republik ini. 3. Calon Perseorangan dalam Pilkada Bagi Demokratisasi Politik a) Hakikat Demokrasi Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau cratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa, jadi demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana rakyat memiliki kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo (2000:50) yang menyatakan bahwa arti demokrasi secara umum adalah “rakyat berkuasa” atau “Government or rule by the people” dengan kata lain; demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat (government of the people) dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan baik langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan) oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur dan adil. 83 Dalam pengertian klasik, demokrasi berarti bahwa seluruh warga Negara berhak berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi mereka, baik secara individual maupun kolektif. Pengertian demokrasi yang kuat (strong democracy) ini merefleksikan adanya kebutuhan mendasar manusia untuk mengekspresikan diri. Demokrasi senantiasa dianggap penting karena secara intrinsik ia memenuhi kebutuhan mendasar tersebut. Dalam pengertian modern, demokrasi berkonotasi perwakilan (representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun demikian, akar filosofisnya tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan individual. Sementara itu Robert Dahl (Ibnu Redjo, 2002:100-101) mengemukakan lima prinsip utama dalam demokrasi, yaitu sebagai berikut: 1. Adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lainnya. 2. Adanya partisipasi yang efektif yang menunjukan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan reperensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil. 3. Adanya enlightened under standing yang menunjukan bahwa rakyat mengerti dan memahami keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah (eksekutif). 4. Adanya control akhir yang diagendakan oleh rakyat (final control on the agenda by the demos). 5. Inclusiveness, yakni suatu pertanda yang menunjukan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat, yaitu semua anggota masyarakat dewasa kecuali orang-orang yang terganggu mentalnya. 84 Kelima prinsip yang dikemukakan oleh Robert Dahl di atas memberi arti bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses yang sistematik, karena demokrasi melibatkan berbagai potensi yang saling bepengaruh dan mempunyai kekuatan yang seimbang. Dengan kata lain, demokrasi menumbuhkan keseimbangan kekuatan antara lembaga-lembaga Negara dan antara lembaga Negara (suprastruktur politik) dengan lembaga masyarakat (infrastruktur politik) agar tidak terjadi dominasi penguasa terhadap rakyat, sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat mengutamakan kepentingan dan keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya demokrasi adalah kedaulatan rakyat, dimana rakyat adalah sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara, oleh karenanya demokrasi memiliki nilai dan prinsip tentang kebebasan dan persamaan hak dari yang diperintah dan yang memerintah. Orang yang memerintah harus merupakan orang yang dipilih melalui suatu mekanisme pemilihan yang jujur dan sesuai dengan aspirasi rakyat, sebab demokrasi bukanlah alat untuk mencapai kekuasaan, melainkan alat untuk mencapai tujuan berdasarkan keputusan bersama sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan. c) Pilkada dan Demokratisasi Politik Pilkada langsung merupakan suatu cermin adanya jaminan dan penghormatan terhadap hak politik masyarakat pada tingkat daerah dan lokal. 85 Secara harfiah, demokrasi berasal dari kata Demos dan Cratein. Demos berarti rakyat, sedang cratein berarti kekuasaan atau pemerintahan. Miriam Budiarjo menyebut demokrasi sebagai pemerintahan yang dikuasai oleh rakyat. Atau dalam adagium yang populer, biasa disebut sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Arynta Nugraha (Afifi, 2005:70) dan Dwipayana (2005) mengemukakkan secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, yaitu: 1. Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. 2. Dari sisi kompetisi politik, Pilkada langsung lebih memungkinkan munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam kompetisi politik yang lebih terbuka. 3. Pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk memiliki posisi yang sama dan setara dalam mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara baik tanpa harus menginduk pada kepentingan-kepentingan elit politik. 4. Pilkada langsung memungkinkan munculnya pimpinan yang aspiratif, handal, kompeten dan memiliki basis legitimasi dalam masyarakat. 5. Kepala Daerah yang terpilih melalui pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara Kepala Daerah dengan DPRD. Manfaat pilkada langsung bagi demokratisasi politik di daerah sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya diuraikan sebagai berikut: Pertama, Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Partisipasi secara sempit bisa diartikan sebagai ambil alih bagian dalam proses perumusan dan penerapan kebijakan publik. Sedangkan dalam arti 86 luas, partisipasi politik mencakup setiap bentuk keterlibatan, langsung maupun tidak langsung dalam proses-proses politik. Berbagai macam bentuk partisipasi politik yang bisa dilakukan oleh rakyat seperti ikut serta dalam pemilihan umum, menjadi anggota atau aktif dalam organisasi politik, melakukan petisi, berdemonstrasi atau aksi damai, memboikot produk tertentu yang membahayakan masyarakat dan sebagainya. Partisipasi politik warga Negara dalam pilkada sangat penting diperhatikan dalam mengukur keberhasilan pilkada, karena dengan banyaknya partisipasi dari warga Negara terhadap pelaksanaan pilkada menunjukan bahwa pilkada adalah hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh warga Negara, karena dengan berpartisipasi warga Negara dapat menylaurkan hak-hak politiknya dengan baik. Budiani (2005) menyatakan bahwa “pilkada langsung akan mendorong masyarakat untuk mengetahui, mengerti dan menyadari arti pentingnya pilkada bagi kehidupan mereka, sehingga akan mendorong dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat”. Kedua, dari sisi kompetisi politik, pilkada langsung memungkinkan munculnya kandidat-kandidat yang lebih beragam dalam kompetisi politik yang lebih terbuka, dengan adanya kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pilkada sebagai calon, mengakibatkan banyaknya calon yang bermunculan. Ketiga, pilkada langsung akan memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk memiliki posisi yang sama dan setara dalam mengaktualisasikan hak-hak politiknya memiliki arti bahwa pilkada memiliki makna keterukaan, hal 87 ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hedenius (Prihatmoko, 2005:112113) bahwa ”suatu pemilu, termasuk di dalamnya pilkada langsung, disebut demokratis apabila memiliki makna, istilah bermakna merujuk pada tiga kriteris, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) kefektipan pemilu”. Keterbukaan yang dimaksud dalam pilkada adalah bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga Negara (universal suffrage, atau hak pilih universal), dan hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga Negara yang terbuka berarti bahwa hak pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga Negara dijamin memiliki hak pilih tanpa diskriminasi, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan hak-hak politiknya dengan bebas dan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Prihatmoko (2005:113) mengartikan keterbukaan sebagai ”persamaan nilai suara dari seluruh warga Negara tanpa kecuali”. Hal ini memberi arti bahwa semua warga Negara di hitung sama, tidak dibedakan antara kaum melarat, dari buta huruf sampai profesor, dan seterusnya untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya dan salah satu diantaranya adalah dengan bebas memilih calon Kepala Daerah secara langsung. Dari uraian di atas dapat didimpulkan bahwa dengan diberikannya kebebasan kepada rakyat untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya secara baik tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, maka secara otomatis rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik yang akan menentukan arah kehidupan mereka menjadi lebih baik. 88 Keempat, pilkada langsung memungkinkan munculnya pimpinan yang aspiratif, handal, kompeten dan memiliki basis legitimasi dalam masyarakat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak melalui lembaga perwakilan yaitu DPRD. Dengan dipilihnya Kepala Daerah oleh rakyat secara langsung maka Kepala Daerah akan lebih mementingkan kepentingan atau aspirasi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat di daerah, dan secara tidak langsung Kepala Daerah pasti memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sebagai Kepala Daerah pasti memilki rasa tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sebagai Kepala Daerah yang aspiratif dan handal. Kelima, Kepala Daerah yang terpilih melalui pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) antara Kepala Daerah dengan DPRD. Prihatmoko (2005:102) menjelaskan sebagai berikut: Seorang Kepala Daerah yang memiliki legitimasi adalah seorang Kepala Daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Melaui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, fair, dan adil sesuai dengan norma-norma asosial dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, dan menjalankan tugas dan fungsi Kepala Daerah sesuai dengan komitmen dalam proses kampanye. Pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat bagi Kepala Daerah dalam penguatan posisi Kepala Daerah dengan DPRD. Dengan kata lain, mendapat mandat langsung dari rakyat (melalui pilkada) maka Kepala Daerah bisa mengatakan ”tidak” kepada DPRD. Hal ini terlihat dari laporan 89 pertanggungjawaban Kepala Daerah, dimana Kepala Daerah tidak lagi mempertanggungjawabkan kegiatan pemerintahannya kepada DPRD. b. Calon Perseorangan Dalam Pilkada Bagi Demokratisasi Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU V/2007 yang meloloskan calon perseorangan dalam pilkada merupakan suatu keputusan hukum yang dinilai sebagai perwujudan demokrasi di tingkat lokal. Juga menjadi semangat baru bagi penguatan hak-hak publik, yang memungkinan adanya ruang bebas dan kompetisi yang sehat sesuai dengan aturan yang berlaku. Terkait dengan pemilihan yang demokratis, Bintan R Saragih (Pito, 300) Berpendapat: pemilu pertanda dari kehendak rakyat dalam suatu demokrasi, dengan pemilu suatu Negara menyebutkan dirinya sebagai Negara demokrasi dalam arti yang sebenarnya. Suatu Negara yang menyelenggarakan pemilihan umum pun belum tentu sepenuhnya dapat disebut sebagai suatu Negara yang betul-betul demokratis. Seperti disebutkan, masih dapat dipertanyakan seberapa banyak wakil rakyat dalam lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah lebih sedikit dari yang diangkat atau bila seluruhnya pun dipilih langsung oleh rakyat masih dipertanyakan apakah asas-asas pemilihan umum tersebut. Merujuk pada pendapat di atas, calon perseorangan tanpa mekanisme Partai dalam pilkada telah memaknai esensi demokrasi yang sesungguhnya karena kedaulatan benar-benar di tangan rakyat. Aturan yang hanya menetapkan Partai politk sebagai pintu satu-satunya dalam memasuki arena kompetisi dalam politik hanya akan menghilangkan salah satu keping nilai demokrasi. Walaupun dalam pengertian modern, demokrasi berkonotasi perwakilan (representative democracy) yang mengandaikan bahwa suara publik yang mayoritas dilimpahkan kepada sedikit orang/elite, yang selanjutnya diberi kewenangan untuk memerintah 90 atas nama suara publik mayoritas tersebut. Namun demikian, akar filosofisnya tetap sama yakni demi menjamin terpenuhi kebebasan individual. Terkait dengan hal di atas, Mardiyanto (2007) mengungkapkan signifikansi Calon Perseorangan. Menurutnya, dari kacamata demokrasi, munculnya Calon Perseorangan merupakan langkah positif dalam pengembangan demokrasi di Indonesia. Pilkada tidak lagi semata-mata sebagai otoritas parpol. Sekarang, kedaulatan rakyat dapat diaktualisasikan secara konkrit dalam wujud Calon Perseorangan, yang tidak merupakan partisan parpol. Signifikan kedua dari calon perseorangan ditunjukan oleh orientasi Kepala Daerah. Dari kacamata moralitas, Kepala Daerah adalah milik dari semua warga Negara di daerahnya. Oleh karena yang bersangkutan menggunakan jalur perseorangan, maka yang bersangkutan tidak terbebani hutang politik terhadap parpol yang mengantarkannya ke kursi wakil rakyat. Selanjutnya, Kritik tajam terhadap hegemoni parpol dalam pemilu yang demokratis dilontarkan oleh McIver (Pito, 299) yang menyatakan bahwa: Dengan pemilihan umum saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya . pada umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri. Organisasi Partai menguasai bagian yang terbesar dari seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara calon-calonnya dan calon-calon Partai lain. Kandidat yang merdeka sangat dipersulit dan sekurang-kurangnya ia membaurkan persoalan. Seleksi oleh Partai adalah jauh daripada suatu proses demokratis. Ia dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ; jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal, tentang kesediaan calon untuk mentaati perintah Partai dan tentang keinginan-keinginan daripada pemimpin-pemimpin inti pusat Partai yang mengendalikan Partai. 91 Sesungguhnya, pilkada langsung dari awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran berdemokrasi pada hakikat yang sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pelayannya (Kepala Daerah), yang tentu diharapkan dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik Di sisi lain, pilkada langsung dinilai sebagai suatu cara yang lebih beradab dalam meraih dan sekaligus juga melepaskan kekuasaan. Inilah salah satu keunggulan dari sistem demokrasi, yang melaluinya proses politik dapat berlangsung secara damai berdasarkan kesepakan bersama yang diputuskan secara langsung oleh setiap warga Negara. Hak politik yang paling mendasar dari setiap warga Negara dalam demokrasi adalah terbukanya kesempatan untuk menentukan sendiri dan ikut serta (partisipasi) dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Pilkada adalah salah satu sarana yang mewadahi hak politik mendasar tersebut. Oleh karenanya maka penyelenggaraan Pilkada harus mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. Senada dengan hal tersebut, Samuel Huntington (Pito, 301) menyatakan bahwa : pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam Negara modern. partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rakyat untuk mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Selanjutnya ia juga berpendapat, Negara modern, adalah Negara demokratis yang memberikan ruang khusus bagi keterlibatan rakyat dalam jabatan-jabatan publik. Setiap jabatan public ini merupakan arena kompetisi yang diperebutkan secara 92 wajar dan melibatkan setiap warga Negara tanpa diskriminasi rasial, suku, agama, golongan (bangsawan dan rakyat jelata), dan stereotype lainnya yang meminimalkan partisipasi setiap orang. Partisipasi politik dalam sistem pemilihan langsung mempunyai dua sisi. Pertama, partisipasi untuk memilih dan memutuskan sendiri pilihannya. Kedua, partisipasi untuk memilih dan sekaligus juga untuk dipilih. Hak seorang warga Negara untuk dipilih tidak dapat dibatasi oleh lembaga Negara dan parpol. Baik sebagai anggota masyarakat biasa ataupun sebagai anggota dari sebuah parpol, mempunyai kesamaan kedudukan di dalam konstitusi Negara. Artinya, undang-undang manapun tak dapat diadakan untuk membatasi hak politik warga Negara hanya karena ia bukan bagian atau anggota dari parpol tertentu. Segala peraturan dan ketentuan perundang-undangan harus tunduk dan patuh terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah menjamin hak-hak politik yang paling mendasar dari setiap warga Negara Republik Indonesia tersebut. Pada prinsipnya, tidak ada Negara (pemerintah), kelompok masyarakat, ataupun parpol yang bisa mengambil alih keputusan yang bertanggung-jawab dari seorang individu, dengan jalan mana ia akan mencari dan mewujudkan kesejahteraannya, penyempurnaannya dan kebahagiaannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Mandat Negara, pemerintah dan parpol justru adalah menjaga agar prinsip-prinsip yang paling mendasar tersebut dapat tetap tegak berdiri. Oleh karena itu maka parpol disebut sebagai salah satu dari pilar demokrasi yang menjaga “kemerdekaan” bagi setiap warga Negara. Kekuasaan yang berusaha untuk diraih oleh dan melalui parpol diselenggarakan dalam kerangka untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut 93 sehingga setiap warga Negara dapat mengusahakan kesejahteraannya bersamasama dengan pemerintah dan Negara yang bertindak sebagai fasilitator. Ini kondisi ideal yang harus terus-menerus diupayakan perwujudannya. Penyelenggaraan Pilkada adalah cerminan kecil dari kerangka besar ideal tersebut. Sistem demokrasi semestinya dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang kuat karena ia mendapatkan keabsahannya dari mayoritas suara masyarakat melalui pemilihan secara langsung. Pemerintahan yang kuat juga berarti bahwa ia mempunyai kemampuan untuk menentukan kapan perlu digunakan kekuasaan untuk menyelamatkan demokrasi, dan kapan kekuasaan itu sedang disalahgunakan untuk membatasi demokrasi, yang mengancam hak-hak mendasar dari warga Negara. Pemerintahan demokratis yang kuat juga harus dapat menjaga dan mengupayakan terselenggaranya jalan damai dan beradab untuk meraih dan sekaligus melepaskan kekuasaan melalui sistem pemilihan langsung. Sistem yang melaluinya hak-hak politik dari setiap warga Negara dapat ditegakkan, baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Itu tentu saja harus diwujudkan dalam perundang-undangan sebagai payung hukum untuk menjamin hak politik warga Negara. Dengan demikian segala bentuk ketentuan dan perudang-undangan merupakan kunci yang mengikat baik pemerintah maupun warga Negara dalam bingkai Negara demokratis. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa calon perseorangan menjadi obat mujarab bagi demokrasi yang selama ini dihegemoni oleh parpol. Tidak salah jika kehadirannya sangat dirindukan dalam melahirkan pemimpin 94 berkualitas, yang selama ini tidak muncul karena mekanisme internal parpol yang masih patut dipertanyakan keabsahannya. Apalagi dalam sistem politik yang demokratis menjadi keharusan pada setiap proses politik yang terjadi menciptakan masyarakat yang lebih partisipatif, terbuka dan bertanggungjawab yang bisa menjadi media bagi kebaikan bersama. Dalam sistem demokrasi, setiap warga memiliki hak untuk dipilih dan memilih (universal suffrage). Putusan MK tentang calon perseorangan dalam pilkada seolah merupakan kemenangan bagi upaya perwujudan demokrasi dengan melepas hak sipil warga Negara dari kungkungan dan belenggu parpol. Karena pilkada langsung, dari awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran berdemokrasi ini pada hakikat yang sesungguhnya.