Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 Strategi Intervensi Konseling Untuk Mengatasi Kecemasan Siswa YM. Indarwati Rahayu FIP IKIP Veteran Semarang Email : [email protected] ABSTRAK Kecemasan merupakan reaksi emosional yang ditimbulkan oleh penyebab yang tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan khawatir, tidak nyaman dan merasa terancam. Timbulnya kecemasan biasanya didahului oleh faktor-faktor tertentu. Demikian pula kecemasan yang di alami oleh para siswa SMP di Kabupaten Magelang yang berakibat pada pesimistik setiap kegiatan yang dilakukan. Sebab-sebab kecemasan ini bisa berupa kurangnya kepercayaan diri, adanya putus asa, frustasi, tidak dapat bertindak secara efektif, dan bahkan hingga sampai pada kegagalan dalam berprestasi. Oleh sebab itu tindakan intervensi konseling model ini dirasa mampu mengurangi dan bahkan menghilangkan rasa kecemasan yang ada pada diri siswa tersebut. Tujuan penelitian ini adalah: (1) membandingkan tingkat kecemasan siswa sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dan strategi konseling berupa Cognitif Restructing (CR) dan Systematic Desensitisasi (SD) dan (2) membandingkan keefektifan intervensi dan strategi konseling berupa Cognitif Restructing (CR) dan Systematic Desensitisasi (SD) yang dikombinasikan dengan tanpa dikombinasikan keduanya untuk menangani kecemasan siswa. Jenis penelitian ini adalah eksperiman dengan menggunakan model pretest-postest control group yaitu untuk membandingkan antara kedua konseling tersebut. Sedangkan sampel penelitian dipilih secara purposive random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan Strategi Intervensi Konseling (SIK), dan (2) SIK mampu mengatasi kecemasan pada siswa. Kata Kunci : Intervensi Konseling, Kecemasan PENDAHULUAN Hidup adalah misteri, tidak ada yang tau akan kejadian hari esok termasuk jalan hidup seseorang. Manusia sebagai makhluk hidup, makhluk Tuhan, dan manusia makhluk sosial akan mengalami beberapa fase dalam kehidupannya. Manusia tumbuh dan berkembang sepanjang usianya. Makin berkembang seseorang, makin bertambah usianya, dengan bertambahnya usia, manusia akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut, terutama karena adanya perubahan pada aspek biologis yang kemudian membawa perubahan secara psikologis dan sosial. Sepanjang perjalanan hidup seseorang, banyak peristiwa yang terjadi. Ada yang sedih, menyenangkan, menyakitkan, dan lain-lain. Tak jarang dari beberapa peristiwa yang dilalui seseorang mampu mengubah jalan hidupnya. Melihat dari fenomena yang ada dalam lingkungan masyarakat dan dari interview beberapa sampel yang diambil, bahwa yang semula tubuhnya terlihat segar, terlihat sehat, dan bahkan mampu melakukan aktivitas rutin yang biasanya dikerjakan setiap harinya tiba-tiba mengalami musibah yang membuatnya harus MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 110 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 istirahat total dan rutin melakukan chek up dokter. Akibat dari pola makan yang tidak terkontrol, banyak pikiran, kurang beristirahat, dan kurangnya berolah raga membuat siswa mengalami kecemasan. Senyum yang mengembang tiba-tiba menghilang ditelan keterkejutan dan kepanikan yang sulit dipahami. Peristiwa tersebut membuat seseorang harus mampu menerima kondisi diri yang baru bila menginginkan hidupnya tetap berjalan. Proses menerima diri tersebut tentunya bukan pekerjaan mudah dan cepat, sebaliknya memerlukan tahapan-tahapan yang berat dan panjang serta relatif lama. Ibarat sebuah rapat, dimana di dalamnya terjadi perdebatan untuk menuju kata mufakat atau sepakat atau menerima (Cakfu, 2006). Perdebatan tersebut tentu tidak selalu berjalan lancar, terkadang memerlukan penundaan sehingga memakan waktu berhari-hari. Di dalam dirinya penuh pergolakan psikis yang pada awalnya sulit untuk dipahami. Ada perasaan bingung, panik, khawatir, malu, putus asa, dan lain-lain itulah yang dinamakan kecemasan. Reaksi-reaksi tersebut menunjukkan bahwa dirinya belum bisa berdamai atau menerima dengan realita yang ada. Perlu waktu bagi dirinya untuk berproses sampai pada akhirnya mampu menerima kenyataan yang ada. Perubahaan fisiologis tersebut dapat mempengaruhi ketidakseimbangan psikologis seseorang, seperti cemas, perasaan tidak berguna, salah dalam mengingat sesuatu, suasana hati berubah-ubah dan depresi. Adanya gangguan-gangguan ini akan berpengaruh dengan aktivitas sosial yang dilakukan, termasuk yang dialami oleh para siswa SMP di Magelang. Menurut Santrock (2002); kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, mengingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan yang muncul pada siswa dihubungkan dengan adanya kekhawatiran dalam menghadapi suatu situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatirkan, misalnya ujian, kurangnya percaya diri dan sebagainya. Masa yang penting dalam perjalanan hidup anak di antaranya adalah perubahan fungsi tubuh yang dapat mempengaruhi berbagai macam dalam kehidupan-nya, baik dalam kehidupan sosial, perasaan tentang dirinya, dan fungsi-fungsi lain dalam mengikuti proses pembelajaran. Setiap siswa mempunyai keyakinan dan harapan yang berbeda-beda, karena perbedaan itu maka tidak ada dua orang yang akan memberikan reaksi yang sama, meskipun tampaknya seakan-akan bereaksi dengan cara yang sama. Perubahan- perubahan psikis yang terjadi pada siswa akan menimbulkan sikap yang berbeda-beda antara lain yaitu adanya suatu krisis yang dimanifestasikan dalam simtom-simtom psikologis seperti: depresi, mudah tersinggung, dan mudah menjadi marah, dan diliputi banyak kecemasan. Menurut (Ghufron & Risnawita, 2010), membedakan perasaan cemas yaitu, kecemasan (Anxiety) adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 111 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 dirasakan sebagai ancaman, misalnya menjalani operasi. Kecemasan (trait anxiety) adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam menghadapi berbagai macam situasi. Kecemasan biasanya terjadi tanpa stimulus yang jelas, sehingga kecemasan harus dibedakan dengan rasa takut (fear) sebab takut muncul karena adanya ancaman yang jelas dari luar. Rasa takut berhubungan dengan tingkah laku spesifik untuk menghindar dan menjauh dari stimulus yang tidak menyenangkan. Sedangkan kecemasan merupakan akibat dari ancaman yang tidak jelas, tidak bisa dikontrol dan tidak bisa dihindari. Berbeda juga dengan stress, stress adalah perasaan tertekan, perasaan tertekan ini membuat orang mudah tersinggung, mudah marah, konsentrasi terhadap pekerjaan menjadi terganggu. Stress terjadi ketika seseorang tidak dapat mengatasi kecemasan ataupun ketakutannya. Salah satu ciri orang yang dapat menerima dirinya menurut Sheerer adalah dengan merasa yakin bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk menghadapi hidup, dan merasa bahwa dirinya masih dapat berharga bagi orang lain. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dan mampu menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Penerimaan diri seseorang itu dapat diwujudkan dalam bentuk menghargai diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki aktualisasi diri dapat menerima diri apa adanya, tidak mencela atas kekurangan-kekurangan dan kelemahankelemahannya. Seseorang yang memiliki penerimaan diri akan menerima apa yang telah terjadi dalam tuhuhnya dengan senang hati. Tentang hal tersebut dapat menurunkan kecemasan karena sejalan dengan adanya informasi akan membentuk suatu pemahaman diri, termasuk yang dialami oleh para siswa SMP di Magelang. KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Kecemasan, stress, takut, dan perasaan tegang (tension) meski merupakan istilah dengan pengertian yang berbeda satu dengan yang lain, tetapi semua itu menggambarkan kondisi kejiwaan manusia, apalagi di jaman seperti sekarang ini, yang penuh dengan berbagai ketidakpastian. Di antara sekian bentuk persoalan kejiwaan yang terjadi, para pakar kejiwaan sependapat bahwa kecemasan merupakan salah satu problematika manusia terbesar pada jaman ini. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan dengan dikomunikasikan secara interpersonal. Mengenai kekhawatiran atau ketegangan berupa perasaan cemas, tegang, dan emosi yang dialami oleh seseorang. Kecemasan adalah sesuatu keadaan tertentu terhadap kemampuannya dalam menghadapi objek tersebut. Hal tersebut berupa emosi yang kurang menyenangkan yang dialami oleh individu dan bukan kecemasan sebagai sifat yang melekat pada kepribadian (Corey, 2005). Menurut (Ghufron & Risnawita, 2010); kecemasan adalah suatu keadaan tertentu yaitu menghadapi situasi yang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 112 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 tidak pasti dan tidak menentu terhadap kemampuanya dalam menghadapi objek tersebut. Muchlas (1976) dalam Ghufron & Risnawita (2010) juga mendefinisikan kecemasan sebagai sesuatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai konflik atau ancaman. Sementara Fesit (2010), membedakan perasaan cemas menurut penyebabnya menjadi tua. Slameto (2003) juga mengemukakan kecemasan adalah kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Berdasarkan dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu kondisi emosional pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang bersifat subjektif. Hal tersebut berarti bahwa kecemasan (anxiety) dapat diartikan sebagai perasaan kuatir, cemas, gelisah, dan takut yang muncul secara bersamaan, yang biasanya diikuti dengan naiknya rangsangan pada tubuh, seperti: jantung berdebar-debar, keringat dingin. Kecemasan juga dapat timbul sebagai reaksi terhadap "bahaya" baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang tidak (hasil dari imajinasi saja) yang seringkali disebut dengan "free-floating anxiety" (kecemasan yang terus mengambang tanpa diketahui penyebabnya). Sebab Terjadinya Kecamasan Menurut Gerald (2006); penyebab dan lama berlangsungnya kecemasan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yakni: 1. Phobic Anxiety; yaitu kecemasan yang timbul dikarenakan oleh phobia (ketakutan) tertentu, misalnya: a. Cemas karena takut berada di dalam kamar tertutup; b. Cemas ketika tidur di ruang yang gelap; dan c. Cemas lantaran berada di tempat tinggi. 2. Acute Anxiety, ialah kecemasan yang muncul mendadak dengan intensitas yang tinggi, tetapi tidak terlalu lama akan lenyap, misalnya: a. Ketika melihat orang yang mirip dengan pembunuh keluarganya, ia segera ketakutan dan beberapa saat setelah orang tadi pergi ia tenang kembali; b. Akibat mendengar hiruk pikuk yang mengingatkannya pada peristiwa Medio Mei, seorang ibu muda langsung histeris ketakutan, namun sesaat sesudah ia sadar bahwa itu bukan peristiwa sesungguhnya, ia menjadi tenang kembali; 3. Chronic Anxiety, yakni kecemasan yang berlangsung lama dan terus menerus (dapat terjadi seumur hidup), meski dalam intensitas yang rendah, dan tanpa sebab yang jelas, misalnya: a. Orang "kagetan" b. Hendak bepergian, selalu ingin kencing. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 113 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 4. Normal Anxiety, yaitu kecemasan yang beralasan, misalnya: a. Menjelang ujian, perasaan cemas muncul begitu besar; dan b. Cemas menunggu hasil operasi tumor dari salah satu anggota keluarga. 5. Neurotic Anxiety, ialah kecemasan tanpa alasan yang jelas sebagai akibat konflik alam bawah sadar, misalnya: Sering punya perasaan bersalah akibat seringnya dipersalahkan pada masa kecil, dan kini muncul menjadi kecemasan yang berlarut-larut serta secara periodik muncul. Adapun penyebab kecemasan menurut Sigmund Freud dalam Fauzan (2008), seorang pakar psikologi, kecemasan akan muncul ketika: 1. Id (rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungan. Oleh Freud disebut sebagai Neurotic Anxiety; 2. Ego (bagian dari kepribadian manusia yang memberi kesadaran akan adanya dunia di luar dirinya, dan kemungkinan untuk berorientasi pada realita) menyadari akan adanya hal yang menguatirkan. Inilah yang menyebabkan Realistic Anxiety, menurut Freud; dan 3. Super Ego (kesadaran moral akan apa yang baik dan jahat) menjadi begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah dan rasa malu, yang disebut Moral Anxiety oleh Freud. Hikmawati (2010) menyebutkan bahwa kebenaran pandangan Freud tersebut tidak cukup menjelaskan penyebab kecemasan, sebab menurut Hikmawati, tidak ada kecemasan yang berdiri sendiri, yang lebih normal terjadi adalah kombinasi dari ketiganya sebagai reaksi terhadap realita-realita: 1. Ancaman, yaitu kesadaran akan adanya ancaman terhadap dirinya baik secara fisik, maupun psikis. 2. Konflik kemauan, yakni antara kemauan melakukan (approach) engan kemauan menghindar (avoidance). Approach, memberikan kepuasan yang diharapkan. Sedangkan Avoidance menghasilkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Terdapat tiga macam konflik kemauan, yaitu: a. Konflik akibat Approach-Approach, konflik ini timbul karena adanya kemauan yang sama-sama menyenangkan, tetapi tidak mungkin dilakukan sekaligus, sehingga menimbulkan kecemasan; b. Konflik akibat Approach-Avoidance, kemauan dan ketidakmauan yang sama kuatnya alasan masing-masing; dan c. Konflik akibat Avoidance-Avoidance, yaitu konflik yang ditimbulkan oleh karena dua alternatif yang hasil khirnya sama-sama tidak diinginkan. 3. Ketakutan, yaitu ketakutan pada sesuatu yang menyebabkan timbulnya kecemasan. Misalnya: takut gagal menimbulkan kecemasan ketika menghadapi ujian, takut ditolak MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 114 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 menimbulkan kecemasan di waktu berjumpa dengan orang baru. Bahkan ketakutan tanpa alasan pun dapat menimbulkan kecemasan yang makin lama makin serius. 4. Kebutuhan yang tidak terpenuhi, sekian banyaknya kebutuhan hidup yang paling mendasar disebutkan oleh berbagai ahli, seperti kebutuhan akan kenikmatan (Freud), kebutuhan akan kuasa (Alfred Adler), kebutuhan akan arti kehidupan (Victor Frankl), sampai pandangan cukup banyak orang akan kebutuhan mengasihi, dikasihi, dan merasa diri berharga. Dan kala kebutuhan, yang oleh Susabda diringkaskan menjadi tiga: security, survival, dan self-fulfilment itu, tidak tercukupi maka akan timbul kecemasan. 5. Keunikan kepribadian, setiap orang memiliki kepribadian yang unik dalam bersikap hati terhadap realita maupun bukan realita. Ada orang yang tidak tahan menghadapi persoalan kecil lalu timbul kecemasan, tetapi ada tipe orang yang menghadapi tekanan dan konflik hidup yang berat tanpa menimbulkan kecemasan apapun. Beberapa unsur pembentukan kepribadian seringkali menyebabkan besar kecilnya daya tahan terhadap konflik, yaitu: a. Unsur Psikologis: setiap orang "belajar" bagaimana ia berreaksi terhadap kesuksesan dan kegagalan. Pengalaman menentukan kadar kecemasan; b. Unsur keturunan:. beberapa sikap hati ditentukan oleh unsur genetika/ keturunan. Ada kalanya, seseorang lebih sensitif dikarenakan orang tuanya bertemperamen Sanguin-Melankolis misalnya; c. Unsur sosiologis: keadaan sosial potensial untuk membentuk kecemasan seseorang. Perasaan aman dan puas dalam kehidupan sosial (social life) menentukan besar kecilnya kadar kecemasan. Misalnya: kondisi sosial politik di Indonesia yang tidak menentu seperti sekarang ini, suatu hari kelak akan membentuk manusia Indonesia yang mudah cemas; d. Unsur fisiologis: kondisi kesehatan tubuh menentukan kadar kecemasan. Seseorang yang kurang sehat atau sakit-sakitan akan rentan terhadap perasaan cemas yang berkepanjangan. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang kerap kali cemas akan terganggu kesehatannya; dan e. Unsur teologis: kadar iman seseorang menentukan kadar kecemasannya. Semakin tinggi imannya, semakin rendah kecemasannya. Aspek dan Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Deffenbacher dan Hazaleus dalam Register (1991) dalam Rahmayanti (2011) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan, yaitu: 1. Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri; 2. Emosionalitas (imosionality) sebagai reaksi diri terhadap rangsang saraf otonomi, seprti janting berdebar-debar, keringat dingin, dan tegang; dan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 115 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 3. Gangguan dan hambatan dalam penyelesaian tugas merupakan kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas. Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan, bahwa aspek dari kecemasan meliputi kekhawatiran, emosionalitas, dan gangguan hambatan dalam menyelesai-kan tugas. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan ada berbagai macam, di antaranya adalah: 1. Pengalaman negatif pada masa lalu Merupakan hal tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan. 2. Pikiran yang tidak rasional Para psikolog memperdebatkan bahwa kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian, melainkan kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan. Sedangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan menurut Hurlock (2000) adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman diri Merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya sendiri, tanpa merupakan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri yang baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula. 2. Harapan-harapan yang realistik Harapan-harapan yang realistik akan membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seseorang tersebut kurang dapat menerima dirinya. 3. Bebas dari hambatan lingkungan Harapan individu yang tidak tercapai banyak yang berawal dari lingkungan yang tidak mendukung dan tidak terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orangtua, guru, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan yang penuh. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 116 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 4. Sikap lingkungan seseorang Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya. 5. Ada tidaknya tekanan emosi yang berat Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupun di lingkungan kerja akan mengganggu seseorang dan menyebabkan ketidak-seimbangan fisik dan psikologis. Secara fisik akan mempengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi dengan orang lain. Dengan tidak adanya tekanan yang berarti pada individu, akan memungkinkan anak yang lemah mental untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri. 6. Frekuensi keberhasilan Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan, hanya saja frekuensi kegagalan antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan individu yang bersangkutan menerima dirinya dengan baik. 7. Ada tidaknya identifikasi seseorang Pengenalan orang-orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya serta mempunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku. 8. Perspektif diri Perspektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri. Namun perspektif diri yang obyektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri. 9. Konsep diri yang stabil Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan memudahkan dia dalam usaha menerima dirinya. Apabila konsep dirinya selalu berubah-ubah maka dia akan kesulitan memahami diri dan menerimanya sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena indvidu memandang dirinya selalu berubah-ubah. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan mengenai faktor penyebab perilaku agresi yaitu amarah, faktor biologis, kesenjangan generasi, lingkungan,peran belajar model kekerasan, frustasi serta proses pendisiplinan yang keliru. Macam Kecemasan 1. Menurut Sundari (2005), macam kecemasan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: 2. Kecemasan merasa berdosa atau bersalah. Misalnya seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya atau keyakinannya; MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 117 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 3. Kecemasan karena akibat melihat dan mengetahui bahaya yang mengancam dirinya; dan 4. Kecemasan yang dalam bentuk kurang jelas, apa yang ditakuti tidak seimbang. Rasa takut sebenarnya suatu perbuatan yang biasa atau wajar kalau ada sesuatu yang ditakuti dan seimbang. Freud Corey (2003) juga membedakan kecemasan ke dalam 3 (tiga) hal yaitu: 1. Kecemasan realistik Merupakan kecemasan terhadap adanya tantangan atau bahaya dari dunia luar. Taraf kecemasan sesuai dengan tingkat ancaman dan kecemasan ini akan mereda apabila sumber-sumber yang mengancam hilang; 2. Kecemasan neurotis Merupakan rasa cemas yang timbul akibat rasa takut terhadap tidak terkendalinya nalurinaluri yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya; dan 3. Kecemasan moral Merupakan kecemasan terhadap hati nuraninya sendiri. Seseorang yang hati nuraninya berkembang dengan baik cenderung merasa berdosa bila melakukan sesuatu yang berlawanan dengan moral yang dimilikinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa macam-macam kecemasan adalah kecemasan yang bersifat relistik (misalnya: menyadari bahaya sedang mengancam dirinya), tidak realistik (neurotis) dan berdasarkan hati nurani (misalnya : moral, merasa bersalah atau berdosa). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan rencangan eksperimen dengan pretest-posttest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP se-Kabupaten Magelang yang mengalami kecemasan. Sampel penelitian adalah sebagian anggota populasi yang diambil dengan teknik cluster random sampling, yang selanjutnya semua siswa kelas VII untuk SMP di sekolah tersebut diminta mengisi HRS-A (Hamilton Rating Scale-Anxiety), sehingga diketahui siswa yang mengalami kecemasan. Langkah selanjutnya memilih siswa yang mengalami kecemasan secara acak, dan terpilih sebanyak 20 siswa sebagai subjek penelitian. Mengingat setiap tindakan dilakukan 3 (tiga) kali pertemuan, maka subjek sebanyak 20 siswa tersebut dianggap telah cukup, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu yang peneliti miliki. Siswa yang terpilih menjadi subjek penelitian sebanyak 20 orang tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kelompopk, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 5 (lima) orang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 118 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 anak. Satu kelompok mendapatkan perlakuan CR, satu kelompok mendapatkan perlakuan SD, satu kelompok yang mendapatkan perlakuan CR dan SD, dan satu kelompok lagi sebagai kelompok kontrol (waiting list), yaitu kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan saat itu, tetapi memperoleh perlakuan setelah eksperimen selesai dilaksanakan. Hasil menunjukkan bahwa t HRS-A adalah 3,615 dengan probabilitas 0,001, karena 0,001 < 0,05, berarti terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah menerima Strategi Intervensi Konseling (SIK) pada kelompok eksperimen. Dengan pernyataan seperti yang ditunjukkan hasil penelitian, hal tersebut membuktikan bahwa layanan Strategi Intervensi Konseling (SIK) efektif dapat menurunkan kecemasan siswa pada kelompok eksperimen. Pembahasan Pikiran yang khawatir terus-menerus bergulir dalam suatu lingkaran melodrama sehari-hari yang tak ada habis-habisnya, suatu rentetan kecemasan akan membawa ke rentetan berikutnya dan akan kembali ke awal lagi. Contoh-comtoh yang telah dikemukakan dalam kajian teori oleh Lizabeth Roemer dan Thomas Borkovec, ahli-ahli Psikologi dari Pennsylvania State University, yang penelitiannya tentang kekhawatiran (inti segala kecemasan) telah mengangkat topik itu sebagai gangguan kejiwaan menjadi bagian dari sains. Tentu saja tidak ada salahnya seseorang untuk khawatir, dengan terus-menerus memikirkan suatu masalah, yaitu memanfaatkan refeksi yang konstruktif, yang bisa jadi mirip khawatir dan dapat diperoleh suatu pemecahan. Sebenarnya, reaksi yang mendasari kekhawatiran adalah kewaspadaan terhadap bahaya yang mungkin (yang tak diragukan lagi) merupakan bagian sangat penting bagi kelangsungan hidup selama perjalanan evolusi. Bila rasa takut memicu otak emosional, bagian dari rasa cemas yang muncul akan memusatkan perhatian pada ancaman yang sedang dihadapi, bahkan memaksa pikiran untuk terus-menerus memikirkan cara mengatasi permasalahan yang ada dan mengabaikan hal-hal lain untuk sementara waktu. Dalam artian tertentu, kekhawatiran merupakan latihan terhadap segala sesuatu yang tidak beres dan cara mengatasinya. Peran kekhawatiran adalah mencari pemecahan positif akan resiko dalam kehidupan dengan mengantisipasi bahaya sebelum bahaya itu muncul. Disadari atau tidak, yang merepotkan adalah kekhawatiran kronis yang terus-menerus berulang yaitu kekhawatiran yang tak berujung pangkal dan tak pernah mendekati pemecahan positif. Sutau analisis yang cukup dipercaya mengenai kekhawatiran kronis menyatakan bahwa kekhawatiran memiliki semua ciri pembajakan emosi tingkat rendah: kekhawatiran muncul entah dari mana, tak dapat dikendalikan, menimbulkan dengung kecemasan terus-menerus, tak dapat ditembus oleh nalar, dan mengunci orang yang bersangkutan ke dalam suatu pandangan tunggal yang kaku tentang masalah yang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 119 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 merisaukan. Bila siklus kekhawatiran yang sama ini semakin menghambat dan tak kunjung hilang, kekhawatiran itu kan berubah menjadi pembajakan saraf dan gangguan kecemasan yang berlanjut: fobia, terobsesi dan kompulsif, mudah panik. Pada masing-masing gangguan ini kekhawatiran tampil dalam polanya sendiri-sendiri, bagi penderita fobia, kecemasan terpaku pada situasi yang ditakutkan; bagi penderita obsesi, kekhawatiran terpusat pada cara mencegah bencana yang ditakutkan; pada penderita mudah panik, kekhawatiran dapat terfokus pada takut mati atau pada kemungkinan terserang panik itu sendiri. Pada setiap penyakit ini, ciri khasnya adalah kekhawatiran tampil dalam bentuk yang amat sangat berlebih-lebihan. Semua kompulsi ini disebabkan oleh ketakutannya yang luar biasa hebat terhadap sumber masalah, ia terus-menerus risau bahwa segala sesuatunya, ia akan mendapatkan kekhawatiran. Dalam peragaan kecemasan akan kecemasan yang amat luar biasa tersebut, permintaan untuk mengungkapkan kecemasan hanya dalam satu menit itu, dalam beberapa detik saja, telah berkembang menjadi kontemplasi akan terjadinya bencana seumur hidup. Kecemasan biasanya mengikuti alur pemikiran semacam itu, kisah akan diri sendiri yang melompat-lompat dari satu masalah ke masalah lain dan amat sering melibatkan catastrophizing, yaitu membayangkan terjadinya tragedy yang mengerikan. Kekhawatiran hampir selalu diungkapakan pada telinga pikiran, bukan pada mata pikiran (jadi, dalam katakata, bukan dalam imaji) suatu fakta yang amat berarti untuk mengendalikan kekhawatiran. Borkovec dan rekan-reakannya mulai mempelajari kekhawatiran itu sendiri ketika mereka berupaya mencari pengobatan untuk insomnia. Menurut pengamatan penelitipeneliti lain, kecemasan muncul dalam dua bentuk: kognitif, atau kecemasan yang muncul akibat adanya pikiran yang meriasukan, dan somatik, yaitu kecemasan yang mengakibatkan gejala-gejala fisologis, seperti berpeluh, jantung berdebar-debar, atau ketegangan otot. Menurut Borkovec, seorang penderita insomnia bukan karena alasan somatic, tetapi yang membuat mereka selalu terjaga adalah pikiran-pikiran yang menganggu. Penderita insomnia adalah tukang khawatir kronis, dan tak henti-hentinya khawatir meskipun mereka sangat mengantuk. Salah satu cara yang berhasil untuk menolong mereka agar tertidur adalah menjauhkan mereka dari pikiran-pikiran yang mencemaskan, memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan hasil metode selaksai. Pendek kata, kekhawatiran dapat dihentikan dengan mengalihkan perhatian. Tetapi, sebagian orang-orang yang mudah khawatir agaknya amat sulit melakuknnya. Borkovec yakin bahwa alasannya ada kaitannya dengan keuntungan yang diperoleh dari kekhawatiran yang justru memperkuat kebiasaan tersebut. Kekhawatiran tampaknya juga memunculkan suatu yang positif: kekhawatian adalah cara untuk menghadapi kemungkinan ancaman, mengatasi bahaya-bahaya yang mungkin datang. Fungsi kekhawatiran (apabila MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 120 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 berhasil) adalah untuk melatih mengenali bahaya dan menyajikan pemecahan untuk menghadapinya. Tetapi kekhawatiran tidak selalu sesukses itu. Pemecahan dan pola padang yang baru akan suatu masalah biasanya tidak datang dari rasa khawatir, apalagi kekhawatiran kronis. Tukang-tukang khawatir biasannya bukan mencari pemecahan masalah potensial, mereka justru bayangkan bahaya itu sendiri, dan dengan cara sedemikian rupa menenggelamkan diri dalm ketakutan yang berkaitan dengan bahaya itu sementara tetap berpijak pada pola pikir yang sama. Penderita tahap kronis merisaukan segala macam sesuatu, sebagian besar di antaranya hampir tak mungkin terjadi; mereka menghawatirkan bahaya-bahaya dalam hidup mereka yang orang lain tak pernah merisaukannya. Namun, penderita tahap kronis mengemukakan kepada Borkovec bahwa kekhawatiran membantu mereka, dan bahwa kekhawatiran mereka terus-menerus muncul, suatu lingkaran pemikiran yang di dorong oleh kecemasan yang tak berujung. Ini berarti bahwa kekhawatiran menjadi sesuatu yang mirip dengan kecanduan mental. Tetapi anehnya sebagaimana diutarakan oleh Borkovac, kebiasaan khawatir itu begitu kuat sehingga mirip takhayul. Karena orang mengkhawatirkan banyak hal yang kecil kemungkinan akan sungguh-sungguh terjadi (contoh: orang yang dikasihi tewas dalam kecelakaan, jatuh bangkrut, dan semacamnya), maka pasti ada daya tarik tersendiri dalam kekhawatiran, setidak-tidaknya bagi limbik yang primitif. Seperti jimat untuk mengusir rohroh jahat, secara psikologis, kekhawatiran berguna untuk mencegah bahaya yang dicemaskan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini berusa menghilangkan kecemasan yang terjadi pada siswa, dengan berbagai cara dan metode agar kecemasan pada anak dapat dihindarkan atau bahkan dihilangkan. Desensitisasi sistematik (Systematic Desensitization) dikembangkan dalam tradisi behavioristik. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan dan respon sering dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penanganan. Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatiran. Pembongkaran bertahap atau berangsur terhadap rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi orang tersebut ketika dia diminta membayangkan situasi yang serba menakutkan atau hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Teknik desensitisasi sistematik ini bertujuan untuk mengajar siswa untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN Teknik systematic 121 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 desensitizitation juga bertujuan untuk mengajarkan klien untuk memindah-kan respon ketakutan kepada aktivitas lain, membongkar rangsangan stimulus yang berlangsung dalam fantasi yang para siswa miliki. PENUTUP Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat diberikan kesimpulan: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan setalah siswa menerima Strategi Intervensi Konseling (SIK); dan 2. Strategi Intervensi Konseling (SIK) efektif dapat mengatasi kecemasan yang dialami oleh para siswa SMP. Saran Berdasarkan simpulan yang diperoleh, maka saran yang dapat diberikan adalah: 1. Kepala sekolah agar benar-benar memberikan perhatian terhadap fasilitas dan kesempatan kepada guru Bimbingan dan Konseling (BK) dalam pelaksanaan layanan dan bimbingan kepada siswa; 2. Guru BK harus memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pasti memberikan keberhasilan, salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melaksanakan layanan konseling dengan standart dan prosedur operasional yang benar; 3. Organisasi guru BK melalui Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) melakukan kegiatan pelatihan prosedur pelaksanaan operasional layanan bimbingan kelompok; dan 4. Jurusan atau program studi di LPTK membekali calon guru BK dengan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sikap (WPKNS), baik secara teoretispraktis demi kemantapan layanan konseling beserta standart dan prosedur operasionalnya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto. Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta. Cakfu. Adolf, 2006, Penerimaan Diri Sebagai Kunci Sukses. (online) dalam www.zyi.net (diakses 17 Agustus 2009). Corey. Freud, 2003, Teori dan Praktik Konseling serta Psikoterapi. Bandung: Reflika Aditama. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 122 Vol : XXI, No : 1, MARET 2014 Corey. Geraldin, 2005, Teori dan Praktik-Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Fauzan. Lutfi, 2008, Systematic Desensitization: Prosedur Pelemahpekaan Berangsur terhadap Gangguan Phobia dan Kecemasan, Malang: Universitas Negeri Malang. Fesit. Jeist & Fesit. J Gregory, 2010, Teori Kepribadian (Theoris of Personality) Buku 1 Edesi 7, Jakarta: Salemba Humanika Gerald, C., 2006, Psikologi Abnormal Edisi ke-9, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini, 2010, Teori-teori Psikologi, Yogjakarta: AR-Ruz Media. Hikmawati. Fenti, 2010, Bimbingan Konseling, Jakarta: Rajawali Press. Hurlock. E.B, 2000, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan: Istiwidayati), Jakarta: Erlangga. Rahmayanti. Liny, 2011, Analisis Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Ujian Sekolah, Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Santrock. J.W, 2002, Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup), Edisi Kelima (Terjemahan), Jakarta: Erlangga. Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, 2005, Metode Statistika, Bandung: Trasito Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta. Sundari. Siti, 2005, Kesehatan Mental dalam Kehidupan, Jakarta: Rineka Cipta. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN 123