SKRIPSI KARTIKA HANAZAFIRA PAMBUDI

advertisement
RATIO DECIDENDI HAKIM
DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA
DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
SKRIPSI
Oleh:
Kartika Hanazafira Pambudi
E1A011019
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
RATIO DECIDENDI HAKIM
DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA
DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman
Oleh:
Kartika Hanazafira Pambudi
E1A011019
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya:
Nama
: Kartika Hanazafira Pambudi
NIM
: E1A011019
Judul Skripsi
: Ratio Decidendi Hakim Dalam Memutus Sengketa
Tata
Usaha Negara Dikaitkan Dengan Asas Pembuktian Bebas
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN. Smg)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun
dibuatkan oleh orang lain.
Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di
atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apa pun dari
Fakultas.
Purwokerto,
Kartika Hanazafira Pambudi
E1A011019
RATIO DECIDENDI HAKIM
DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA
DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)
Oleh:
KARTIKA HANAZAFIRA PAMBUDI
E1A011010
ABSTRAK
Putusan Pengadilan harus memuat argumentasi atau alasan hakim dalam suatu
pertimbangan hukum yang dikenal dengan istilah ratio decidendi. Ratio decidendi
oleh Hakim termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara harus di dasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk mencapai putusan yang
memenuhi rasa keadilan bagi para pihak dan masyarakat pada umumnya dikenal
asas pembuktian bebas. Asas ini memberikan kebebasan pada Hakim Tata Usaha
Negara untuk menentukan beban pembuktian dan juga dalam hal menjatuhkan
putusan untuk memperoleh kebenaran materiil. Dalam hal ini peneliti tertariuntuk
meneliti tentang ratio decidendi dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg
dan penerapan asas pembuktian bebas oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dalam rangka menjawab hal
tersebut di atas maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan disusun
dengan tipe penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan,pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Metode analisis yang
digunakanadalah metode kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa ratio
decidendiHakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan peraturan
perundangundangan dan keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas.
Kata kunci:
Ratio decidendi, Asas pembuktian bebas dan Kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
ABSTRACT
Court verdict must contain a judge’s argument or reason in a law consideration
known as a ratio decidenci. Judge’s ratio decidenci included judge’s Pengadilan
Tata Usaha Negara must be based on legislation ordinance. To reach the decision
filling a justice for many sides and societies generally is acquainted as a freedom
verification basis. This principle gives a freedom to judge’s Pengadilan Tata
Usaha Negara for deciding verification burden and also making a verdict to get
material truth. In this case, the researcher is interested to canvass about a ratio
decidenci in the verdict number 03/G/2011/PTUN.Smg and an application of
freedom verification basis of judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara looking into
and discontinuing the lawsuit. In the answering of its case above, the researcher
uses approach method arranged by the research type of normative juridical with a
legislation, a conceptual, and a case approach. The used analysis method is
qualitative method. The result of the research states that ratio decidenci of judge’s
Pengadilan Tata Usaha Negara isn’t proper with legislation ordinance and makes a
mistake in applying freedom verification basis.
Keywords: Ratio Decidenci, the freedom verification basis, and the authority of
Pengadilan Tata Usaha Negara.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA dan tak lupa penulis memanjatkan
salawat kepada junjungan Nabi dan Rasul kita MUHAMMAD SAW sehingga
penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “RATIO DECIDENDI
HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA
DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis
Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)”. Skripsi ini disusun dalam rangka
memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa
penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya
membangun akan diterima dengan ketulusan hati.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Weda Kupita, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan
masukan yang membangun dengan kesabaran dan ketulusan hatinya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Sanyoto, S. H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Noor Asyik, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan nasehat yang baik selama menempuh pendidikan
di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
5. Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama
belajar dan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
6. Orang tua penulis yaitu Papah Drs. Leksono Pambudi dan Mamah
Prasetyaningsih, S.H. yang tanpa lelah mendoakan, mendukung baik
secara moril maupun materiil dan selalu sabar dalam menghadapi segala
tingkah laku serta tutur penulis sebagai anaknya.
7. Kakak
penulis
yaitu
Hayuningtyas
Pambudi
yang
selalu
sabar
mendengarkan segala keluh kesah penulis.
8. Aistetia Patriandita, Asti Salekhah Alfatin dan Prilia Primawati yang
selalu menjadi teman baik dalam suka maupun duka.
9. Mahfud Sahroni yang selalu menemani dalam suka dan duka serta selalu
sabar dalam menghadapi ketidaksabaran penulis.
10. Teman KKN Desa Glempang, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten
Banyumas: Eonni Juni Purwati, Kakak Afika Fahmudita, Kakak Nani,
Mami Intan, Eli Boy, Mba Izza, Zulfa, Pedra dan Sony.
11. Teman seperjuangan Risti Mutiara Khoirunisa, Nur Laila, Erina P., Dani
Habibi, Kusdianto, Ariawan, Panji, dsb.
12. Teman-teman kelas A angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Terima Kasih.
Purwokerto,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................ii
PERNYATAAN iii
ABSTRAK
iv
ABSTRACT
v
KATA PENGANTAR ........................................................................................iv
DAFTAR ISI
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1
B. Perumusan Masalah ......................................................................................11
C. Kerangka Teori..............................................................................................11
D. Tujuan Penelitian ..........................................................................................15
E. Kegunaan Penelitian......................................................................................16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ......................................17
1. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ..........................................17
2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.........................23
3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara ................................25
4. Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara............27
5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara..................................................29
B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ...................................................30
C. Ratio Decidenci Hakim .................................................................................40
D. Tindak Pidana Korupsi ..................................................................................42
E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ............................................................44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .......................................................................................48
B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................................48
C. Lokasi Penelitian ...........................................................................................49
D. Sumber Bahan Hukum ..................................................................................49
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ...........................................................51
F. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................................51
G. Metode Analisis Bahan Hukum ....................................................................51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................................52
B. Pembahasan ...................................................................................................88
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................................118
B. Saran ..............................................................................................................119
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan
peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam
empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,
Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).
Badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan mulai
diterapkan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14
Januari 1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut
diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.1
Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian
“Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang1
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, hlm. 2.
Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009):
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;
2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara.3
Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan
diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah
hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses
sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di
bidang Hukum Administrasi Negara (Sjachran Basah, 1989: 15) serta
lazimnya disebut sebagai penggugat dan tergugat.4
Para pihak yang bersengketa yaitu penggugat dan tergugat dalam
lingkup Peradilan Tata Usaha Negara sudah ditentukan secara limitatif atau
2
Ibid., hlm. 6.
Ibid., hlm. 6.
4
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU
PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 16.
3
terbatas dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan
bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam UndangUndang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dapat kita ketahui yang
dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara.
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menentukan bahwa orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi. Pernyataan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara
objek sengketa batal atau tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata
Usaha Negara objek sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar
putusan hakim.
Hukum Acara Tata Usaha Negara terdapat dua macam putusan, yaitu
putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Putusan yang bukan
putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari
dijatuhkannya
putusan
yang
bukan
putusan
akhir
adalah
untuk
memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara di sidang pengadilan.5
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa
tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 97 ayat (7), dapat diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa antara
lain sebagai berikut6:
a. Gugatan ditolak
b. Gugatan dikabulkan
c. Gugatan tidak diterima
d. Gugatan gugur
Hakim sebelum menjatuhkan amar putusan terhadap perkara yang
diperiksanya
tentunya
akan
mempertimbangkan
hal-hal
yang
ada
relevansinya terhadap perkara yang diperiksa. Pertimbangan hukum hakim
berisi antara lain argumentasi atau alasan hakim yang dijadikan pertimbangan
bagi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Argumentasi atau alasan
5
6
R. Wiyono, Op.Cit., hlm.188.
Ibid., hlm. 191.
hakim dalam suatu pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio
decidendi.7
Ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk
sampai pada suatu putusan. Ratio decidendi yang termuat dalam
pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu tolok
ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan. Putusan yang
tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan menyebabkan putusan
tersebut batal demi hukum.8
Alasan hakim pada pertimbangan hukum dalam suatu putusan harus
bersifat yuridis dan menjadi dasar suatu putusan. Putusan Pengadilan harus
memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan dan
sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.9 Baik
keperluan praktik maupun kajian akademis ratio decidendi atau reasoning
tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan
isu hukum.10
Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan, baik
secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal). Dalam
praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim yang menimbulkan persoalan
yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Nomor
7
03/G/2011/PTUN.Smg.
Sehingga
ratio
decidendi
dalam
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005, hlm. 16.
8
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194.
9
Philipus M. Hudjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 356.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-7, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2005. hlm. 94.
pertimbangan hukum tersebut perlu diteliti dan ditelaah lebih lanjut, untuk
kemudian dapat dijadikan suatu pembelajaran.
Duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor
03/G/2011/PTUN.Smg dijabarkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang menangani perkara antara Ir.Ridwan Santoso,M.Si sebagai
penggugat melawan Walikota Salatiga sebagai tergugat. Pada tahun 2011, Ir.
Agus Ridwan Santoso, M.Si sebagai mantan Pegawai Negeri Sipil
diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota Salatiga dengan mengeluarkan
Surat Keputusan Nomor : 888/290/2010, tertanggal 4 Oktober 2010 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (yang
selanjutnya disebut dengan Surat Keputusan Objek Sengketa).
Alasan diberhentikannya Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat)
karena telah melakukan tindak pidana korupsi dengan diperkuat adanya
Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan
Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, tindak pidana korupsi
tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam pelaksanaan proyek
pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat pembuat komitmen,
kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun panitia pemeriksa termasuk
dalam hal ini adalah Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim dapat dideskripsikan secara
singkat yaitu Majelis Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang
mendorong penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam
pertimbangannya, hakim
Pengadilan Tata
Usaha
Negara Semarang
menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor
02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah
bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim memutus
dalam amar putusannya sebagai berikut:
1. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:
888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si.
2. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Walikota
Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang
Pmberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir.
Agus Ridwan Santoso, M.Si.
3. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan Penggugat
sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta
merehabilitasi nama baiknya dan kehormatan diri Penggugat.
Ratio decidendi dari majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang terlihat janggal, karena yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim
adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana
korupsi. Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara Semarang menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri
Wonosari nomor 02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa
penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja
melakukan tindak pidana korupsi. Hal itu seolah hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara tidak menghargai suatu putusan yang sudah inkrah. Mencari
fakta-fakta atau menganalisis putusan Pengadilan Negeri bisa dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi apabila ada upaya banding. Bukan lingkup hakim Tata
Usaha Negara untuk memeriksa fakta-fakta dalam putusan pidana tersebut.
Padahal di sisi lain Tergugat dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan yaitu pada saat ada dugaan
tindak pidana korupsi terhadap penggugat, tergugat mengeluarkan surat
pemberhentian sementara nomor 887/06/2010 terhadap penggugat.
Untuk kepentingan peradilan, seorang Pegawai Negeri yang didakwa
telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh pihak yang
berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus
dikenakan pemberhentian sementara. Kemudian setelah keluar putusan inkrah
dari Pengadilan Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa penggugat terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, barulah
tergugat mengeluarkan surat pemberhentian dengan tidak hormat kepada
penggugat.
Berkaitan dengan kewenangan Hakim dalam mempertimbangkan suatu
sengketa Tata Usaha Negara, dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara dikenal adanya asas pembuktian bebas. Pengertian asas pembuktian
bebas adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bebas dalam menentukan
beban pembuktian dan menilai alat-alat bukti.11
Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurangkurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Sesuai dengan asas pembuktian bebas Hakim memang bebas dalam
menentukan beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan. Namun
demikian, hakim juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang ada. Terkait dengan kasus tersebut, hakim seharusnya memperhatikan
pula peraturan perundang-undangan tentang pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil.
Seorang Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat
apabila terbukti melakukan kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang ada hubungannya dengan jabatan. Mengenai kejahatan jabatan yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan Undang-Undang Nomor
43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan
perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam
ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c, yaitu :
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan.
11
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata
Usaha Negara), Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 62.
Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan
Pemerintah
Nomor
32 tahun
1979
pasal
9
huruf
a
tentang
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih
lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c,
yang menyatakan:
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;
Berdasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan pasal 9 huruf
a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil maka apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana
penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak
pidana kejahatan jabatan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.12
Dihubungkan dengan Pengertian Kejahatan jabatan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana adalah sejumlah kejahatan tertentu, yang
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai
Pegawai Negeri. Konsep yang menyangkut kejahatan jabatan dari ketentuan
12
Penjelasan PP Nomor 32 Tahun 1979.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut mengacu pada tindak
pidana korupsi yang saat ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari
hal – hal tersebut diatas, maka seharusnya Tergugat yang dimenangkan dalam
perkara ini, dan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan sah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis ingin
melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek yuridis normatif
dengan judul “RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS
SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS
PEMBUKTIAN BEBAS (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR
03/G/2011/PTUN.SMG)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan Keputusan Tata
Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan?
2. Bagaimanakah penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan
Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg?
C. Kerangka Teori
Secara sederhana negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan
menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi
hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum dan memberikan
petunjuk hidup pada masyarakat, guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).13
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia adalah
suatu negara hukum (rechtsstaat), jadi seasas negara-negara Eropa Barat
Kontinental.14
Indonesia tergolong sebagai negara hukum demokratis. Hukum yang
dijadikan aturan main (spelregel) dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan serta untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking)
antara penyelenggara negara dan pemerintahan di Indonesia adalah Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.15
Sebagai
negara
yang
demokratis,
Indonesia
memiliki
sistem
ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang
yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh
karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and
balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi
pemerintah adalah melalui lembaga peradilan.
13
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.
1.
14
Slamet Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan X, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1994, hlm. 21.
15
Ridwan H. R., Op.Cit., hlm. 20.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan
peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam
empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,
Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).
Peradilan
Tata
Usaha
Negara adalah lingkungan
peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai
susunan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh
Pasal 8 ditentukan bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara terdiri dari:
1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama.
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan
Tingkat Banding.16
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang-
16
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 2.
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009)
adalah:
Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik
di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara akan berakhir dengan adanya putusan Hakim. Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2 jenis putusan, yaitu
putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Adanya putusan yang
disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut, dapat disimpulkan dari
perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.17
Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa
tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir dapat berupa gugatan ditolak,
gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur.
Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada
dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak
penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum
17
Ibid., hlm. 187.
berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum
untuk sampai pada suatu putusan.
Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau
biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum
terhadap duduk perkara.18 Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim
dapat dilihat dari ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan
oleh hakim itu sendiri.
Hakim bebas dalam menjatuhkan putusan. Hal tersebut sesuai dengan
salah satu asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu asas pembuktian
bebas. Asas pembuktian bebas sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 107
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bahwa Hakim menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk
sahnya
pembuktian
diperlukan
sekurang-kurangnya
dua
alat
bukti
berdasarkan keyakinan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986. Meskipun Hakim bebas dalam menentukan
beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan, namun harus tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan.
18
Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119.
2.
Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan
Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg.
E. Kegunaan Penelitian
1.
Secara Teoritis
Hasil
dari
penelitian
ini
diharapkan
dapat
digunakan
untuk
pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Acara
Tata Usaha Negara, khususnya mengenai ratio decidendi terkait dengan
kewenangan hakim dalam memutus perkara.
2.
Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan bagi
penulis sekaligus menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan
melakukan penelitian serupa, serta para praktisi Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar-Dasar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
1.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Lingkup peradilan di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara
yang masing-masing meliputi badan-badan peradilan tingkat Pertama dan
tingkat Banding.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia menganut
Dual System Of Courts yaitu disamping Peradilan Umum juga Peradilan
Administrasi yang berdiri sendiri. Peradilan Administrasi perlu adanya
penegasan lapangan sengketa/perkara administrasi sebagai
bidang
kompetensi peradilan yang bersangkutan. Sengketa atau perkara
administrasi merupakan perselisihan antara dua pihak yaitu warga negara
masyarakat/warga negara dan pemerintahan atau penguasa dalam bidang
hukum publik, khususnya hukum administrasi.19
Penegakan Hukum Administrasi Negara memerlukan suatu hukum
formil atau hukum acara yang berisi ketentuan-ketentuan tata cara
mewujudkan Hukum Administrasi Negara dalam kehidupan sehari-hari.
19
R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum
yang berisi ketentuan mengenai tata cara menegakkan Hukum
Administrasi Negara dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibedakan atas:
1. Hukum acara materiil yang meliputi:
a. Kompetensi absolut dan relatif;
b. Hak gugat;
c. Tenggang waktu menggugat;
d. Alasan menggugat;
e. Alat bukti
2. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkahlangkah atau tahapan yang terbagi atas:
a. Acara biasa;
b. Acara cepat;
c. Acara singkat.20
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan
Tata Usaha Negara sebagi Pengadilan pada tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan tingkat
banding.
Para pihak yang berperkara dalam Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara terdiri dua pihak yang berlawanan, yaitu pihak Penggugat
dan pihak Tergugat. Pihak Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha
20
Philipus M. Hadjon. Dkk., Op.Cit., hlm. 331.
Negara yaitu orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh
badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat mapun di
daerah. Dan pihak Tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan ketetapan berdasarkan wewenang sebagai alat
perlengkapan negara atau yang dilimpahkan kepadanya.
Perlindungan
hukum
akibat
dikeluarkannya
ketetapan
(beschikking) dapat ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui Peradilan
Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan.
Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang
dimana daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Gugatan
dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 11 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009):
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan
atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan.
Gugatan pada pokoknya harus memuat; identitas para pihak
(penggugat dan tergugat); posita (dasar tuntutan yang terdiri dari bagian
yang menguraikan tentang peristiwanya dan bagian yang menguraikan
tentang hukumnya); petitum atau tuntutan (apa yang diminta oleh
penggugat atau yang diharapkan diputuskan oleh hakim).21
Orang atau badan hukum yang kepentingannya dirugikan akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat menggugat badan
atau pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986:
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Kepentingan adalah syarat pokok agar seseorang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah
adanya kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
Secara garis besar ada 2 (dua) alasan yang dijadikan dasar
pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
2. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik.22
21
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001, hlm. 39.
22
W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 74.
Pengajuan gugatan harus memperhatikan tenggang waktu untuk
mengajukan gugatan, karena dengan lewatnya tenggang waktu gugatan,
ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan bahwa gugatan
tidak diterima atau tidak berdasar.23 Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa
gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh)
hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
berlangsung di samping Penggugat dan Tergugat, kadang-kadang ada
pihak ketiga yang mempunyai kepentingan juga terhadap penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga akibatnya kepada pihak
ketiga perlu diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud. Keikutsertaan pihak ketiga
dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang di dalam
kepustakaan biasa disebut intervensi, diatur dalam Pasal 83 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986.24
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menentukan bahwa selama pemeriksaan berlangsung
setiap orang atau badan hukum perdata yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik prakarsa
23
24
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 124.
Ibid., hlm. 76.
sendiri dengan mengajukan permohonan, permintaan dari para pihak
yang sedang bersengketa, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk
dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang
membela haknya, atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak
yang bersengketa.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 3
(tiga) jenis acara pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara
pemeriksaan cepat dan acara pemeriksaan singkat.
Pemeriksaan dengan acara biasa merupakan pemeriksaaan yang
dilakukan apabila tidak terdapat alasan khusus yang memenuhi kriteria
Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Pemeriksaan dengan menggunakan acara biasa tidak
boleh melebihi batas waktu 6 bulan sejak tanggal registrasi Sengketa
Tata Usaha Negara oleh Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara,
dan pemeriksaan dengan acara biasa dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua
dan Hakim Anggota.
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila dalam gugatan
yang diajukan oleh pihak Penggugat disebutkan adanya alasan-alasan
khusus agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara
dipercepat.25
Pemeriksaan dengan acara singkat dalam Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara merupakan sarana bagi Penggugat apabila
25
Ibid., hlm. 166.
gugatannya dinyatakan tidak diterima dalam Rapat Permusyawaratan
pada acara pemeriksaan biasa. Bentuk akhir dari acara pemeriksaan
singkat adalah penetapan, hal ini berbeda dengan bentuk akhir dari acara
pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat yaitu putusan.
2.
Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Asas-asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.
Asas-asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan
hukum, karena: Pertama, asas-asas hukum merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Peraturan hukum pada
akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas-asas hukum. Asas-asas
hukum adalah abstraksi dari peraturan hukum, yakni abstraksi tertinggi
yang dari padanya tidak dapat ditarik pengertian umum yang lebih tinggi
lagi. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau alasan bagi
lahirnya peraturan hukum.26
Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada
asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu:27
1.
2.
26
27
Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid =
praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai
ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal
67 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986).
Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW.
Asas ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100.
Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46.
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313.
3.
4.
Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim
dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara
lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80,
85 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum
publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara
berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang
bersengketa.
Ciri khas yang ada dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut dapat dijelaskan bahwa: Asas praduga rechmatig
dimaksudkan semua tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
pada saat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu
dianggap benar atau berdasarkan hukum (rechtmatig) sampai dengan
dibatalkan oleh yang berwenang; Asas pembuktian bebas sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim
sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986; Asas keaktifan Hakim dimaksudkan untuk mengimbangi
kedudukan Penggugat yang merupakan orang atau badan hukum perdata
dengan Tergugat yang merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mempunyai kedudukan lebih kuat; Asas Putusan Pengadilan
Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat dimaksudkan bahwa putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi semua orang. Maka dari itu
putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja dan bukan
hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Hal demikian itu
merupakan pengejawantahan esensi Peradilan Tata Usaha Negara yang
pada dasarnya menegakkan hukum publik.28
3.
Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
Masalah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut
Thorbecke apabila sengketa (fundamental petendi) terletak di lapangan
hukum publik yang memiliki kewenangan memutuskannya adalah Hakim
Administrasi. Menentukan kewenangan mengadili yang ada pada Hakim
Administrasi Negara menurut Buys adalah pokok dalam perselisihan
(objectum litis). Pihak yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya
dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, maka objectum litis itu
sendiri adalah suatu hak privat, oleh karena itu perkara yang
bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa atau peradilan umum.
Kompetensi yang sebagaimana dikemukakan oleh Buys lebih sempit
dibandingkan dengan kompetensi yang dikemukakan oleh Thorbercke.29
Kompetensi atau kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kompetensi relatif dan kompetensi
absolut.
Kompetensi relatif (wewenang/kekuasaan relatif) Peradilan Tata
Usaha Negara terkait dengan Pengadilan yang berwenang mengadili
sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam pasal 54
28
29
Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 75.
W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 33.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pengadilan yang berwenang
mengadili sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha
Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009):
Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.30
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;
2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara.31
30
31
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 6.
Ibid., hlm. 6.
Kompetensi absolut/wewenang mutlak menyangkut pembagian
kekuasaan mengadili antara badan-badan Pengadilan (attribute van
rechtsmacht). Wewenang absolut mengetahui badan peradilan seperti apa
yang berwenang mengadili suatu sengketa.32
4.
Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara
untuk
menetapkan
terbuktinya
fakta
yang
menjadi
dasar
dari
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat
terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.33
Peradilan Tata Usaha Negara menganut ajaran pembuktian bebas.
Hal tersebut tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata
Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah
ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan
yang mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan
diserahkan kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena
proses pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha
Negara yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
32
33
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 31.
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171
Nomor 51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan
untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.34
Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa:
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan
kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam
Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu
yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal
yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara
dapat menentukan sendiri:
a. apa yang harus dibuktikan;
b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus
dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang
harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
c. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian;
d. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Macam alat-alat bukti disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu:
a.
Surat atau tulisan;
b.
Keterangan ahli;
c.
Keterangan saksi;
d.
Pengakuan para pihak;
e.
Pengetahuan Hakim.
Ketentuan Pasal 100 tersebut menyebutkan alat-alat bukti yang sah
sehingga alat-alat bukti dalam ketentuan Pasal 100 bersifat limitatif
34
Ibid., hlm. 173
(terbatas; sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
alat bukti apa saja yang dapat digunakan), maka apabila ada alat-alat
bukti lain di luar ketentuan Pasal 100 tersebut harus dianggap bukan alat
bukti, seperti pita rekaman, film dan lain sebagainya.35
5.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara para pihak.36
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2
jenis putusan, yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir.
Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut,
dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.37
Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim
setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang
mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir
dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima
dan gugatan gugur.
35
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 84.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama, Edisi
Kedelapan, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 212.
37
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 187.
36
Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, megakibatkan putusan pengadilan
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan diucapkan,
baik dihadiri oleh satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir. Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir, maka atas perintah
hakim ketua sidang disampaikan salinan putusan dengan surat tercatat
kepada pihak-pihak yang tidak hadir ini.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengenal satu
macam tuntutan pokok, yaitu agar Surat Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak ada
tuntutan penggantian atau subsider atau lebih subsider. Tuntutan
tambahan berupa ganti rugi dan atau rehabilitasi.
B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilihat dari syaratsyarat pembuatannya dan dasar pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha
Negara, kedua hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Syarat-syarat Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara
Syarat-syarat
yang
harus
diperhatikan
dalam
pembuatan
beschikking ini mencakup syarat materiil dan syarat formil. Pembuatan
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
harus
memperhatikan
beberapa
persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum
(rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht). Syarat-
syarat materiil dan syarat-syarat formil adalah sebagai berikut:38
a. Syarat-syarat materiil terdiri atas :
1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus
berwenang;
2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak
(wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung
kekurangan-kekurangan yuridis (geen jurisdische gebreken in
de wilsvorming), seperti penipuan (berdrog), paksaan (dwang),
atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling);
3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar
peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu
harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
b. Syarat-syarat formil terdiri atas :
1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan harus dipenuhi;
2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya keputusan itu;
3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu
harus dipenuhi;
4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus
diperhatikan.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi syarat
materiil dan syarat formil, maka keputusan ini dikategorikan sah menurut
hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari
tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara
prosedural/formil maupun materiil.39
38
39
Ridwan HR. Op, Cit., hlm. 162.
Ibid, hlm. 163.
2.
Dasar Untuk Menguji Keputusan Tata Usaha Negara
Alasan mengajukan gugatan atau dasar gugatan yang diajukan
penggugat, pada prinsipnya sama dengan dasar pengujian yang dilakukan
oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.40
Menurut konsep Hukum Administrasi Negara, dasar untuk
melakukan
perbuatan
hukum
oleh
Pemerintah
adalah
adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh
wewenang dapat melalui atribusi, delegasi atau mandat yang akan
melahirkan kewenangan. Menurut asas legalitas, kewenangan harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Secara teoritis kita mengenal tiga macam jenis norma hukum
tertulis yang dibuat oleh pemerintah, yaitu norma hukum Peraturan
Perundang-undangan (regelling), norma hukum Ketetapan/Keputusan
Tata Usaha Negara (beschikking) dan norma hukum Putusan Pengadilan
(vonnis).
Kewenangan
pengujian
norma
hukum
putusan
pengadilan
dilakukan oleh pengadilan di atasnya dalam kerangka sistem pengajuan
upaya hukum, baik upaya hukum biasa (banding, kasasi), maupun upaya
hukum luar biasa (peninjauan kembali). Sedangkan pengujian norma
hukum Keputusan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
40
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 88.
Ketentuan mengenai hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang mengamanatkan diselenggarakannya hak gugat bagi orang atau
badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Petitum atau tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat yakni
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dinyatakan batal atau
tidak sah. Agar tujuan dari tuntutan tersebut dapat tercapai, maka gugatan
yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata harus memuat dasardasar gugatan atau alasan-alasan gugatan, hal ini sesuai dengan alasanalasan gugatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur bahwa alasan-alasan yang
dapat digunakan dalam gugatan adalah :
a.
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan ukuran) untuk
menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha Negara pada waktu
menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
bersifat melawan hukum atau tidak. Indroharto menegaskan bahwa
mengenai pengujian yang dilakukan oleh Hakim Tata Usaha Negara
tersebut perlu dipahami mengenai :
1. Aspek-aspek umum dari pengujian tersebut;
2. Ruang lingkup dari pengujian tersebut;
3. Dasar-dasar pengujiannya sendiri.41
Sesuai dengan dasar-dasar untuk menguji Keputusan Tata Usaha
Negara, berarti salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan
Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dikualifikasikan sebagai
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, dijelaskan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu :
1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal.
2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial.
3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak berwenang.
Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:42
1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira
memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak
mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak
berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu
keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha
41
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2000, hlm. 164.
42
Ibid., hlm. 172-173.
2)
3)
4)
5)
Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara
tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut
disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan
keputusan yang dimaksud.
Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut
sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah
mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang
demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya
delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan
pendelegasian dari si delegans.
Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu
wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri
bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.
Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari
peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok
ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara
adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur
adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.43
Mengenai keabsahan ditinjau dari segi kewenangan, berarti apabila
suatu Keputusan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan aspek
kewenangan dari Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya, maka
berarti Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah dikeluarkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. W. Riawan Tjandra
menegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang
43
Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 330.
(onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan
(bevoegdheidsgebreken). Cacat kewenangan meliputi 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan
tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau
apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya.
b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh
badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal
yang berada di luar batas wilayahnya (geografis).
c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena
jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain
sementara itu sudah berlaku peraturan baru.44
Sesuai dengan konsep kewenangan tersebut di atas, berarti Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara harus mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan doktrin, kewenangan yang ada pada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai
sah dan tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Indroharto menyatakan bahwa pengujian dari segi hukumnya
tidak hanya mengenai keputusannya saja, tetapi mengenai keseluruhan
proses pembentukan keputusan tersebut dalam segala tingkatannya.
Artinya pengujian itu juga mengenai : 45
a. Prosedur permohonannya : umpama apakah pemohon telah diberi
kesempatan untuk melengkapi surat-suratnya dalam waktu yang
layak?
b. Penelitian yang dilakukan oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan: apakah instansi tersebut telah
mengadakan penelitian mengenai pendapat-pendapat yang
44
45
W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 73.
Indroharto, Op. Cit., hlm. 168 – 169.
dikemukakan oleh mereka yang berkepentingan? Umpama yang
berkepentingan itu mengemukakan, bahwa ternyata ada
permohonan-permohonan yang keadaannya serupa dengan
permohonannya telah memperoleh izin yang dimohon maka
semestinya instansi tersebut juga perlu melakukan penelitian akan
kebenaran mengenai yang dikemukakan tersebut; apabila menurut
peraturannya ditentukan, bahwa yang berkepentingan harus
didengar, maka perlu diteliti apakah hal tersebut benar sudah
dilakukan oleh instansi tersebut? Apakah keharusan untuk meminta
pendapat instansi lain seperti yang ditentukan dalam peraturan yang
bersangkutan itu benar sudah dilakukan?
c. Keputusannya sendiri : apakah instansi yang bersangkutan itu benar
berwenang untuk mengeluarkan keputusan yang digugat itu?
Apakah peraturan yang menjadi dasar wewenang telah secara tepat
ditafsirkan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan itu? Apakah
benar telah dilakukan penimbangan secara layak mengenai
kepentingan-kepentingan yang terkait dengan keputusan itu?
Bagaimanakah keputusan mengenai hal itu atau keadaan yang
serupa pada waktu-waktu yang lampau? Apakah oleh instansi yang
bersangkutan telah dikeluarkan peraturan mengenai kebijaksanaan
yang akan ditempuh mengenai hal yang ditentukan dalam
keputusan itu? Apakah peraturan kebijaksanaan tersebut telah
dipublikasikan? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah
diberikan janji-janji tertentu kepada pemohon?
d. Bentuk keputusan yang digugat : apakah keputusan itu sendiri
sudah cukup jelas? Apakah keputusan itu memuat pertimbanganpertimbangan yang didasarkan kepada fakta-fakta yang benar?
Sejalan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dasar pengujian atau tolok ukur untuk menilai keabsahan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik ataukah tidak.
Berkaitan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
sebagai dasar pengujian terhadap keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, Indroharto juga mengemukakan sebagai berikut.46
46
Indroharto, Op. cit., hlm. 179.
1. Asas-asas formil mengenai pembentukan keputusan:
a. asas kecermatan formil;
b. asas fair play;
2. Asas-asas formil mengenai formulasi keputusan:
a. asas pertimbangan;
b. asas kepastian hukum formil;
3. Asas-asas materiil mengenai isi keputusan:
a. asas kepastian hukum materiil;
b. asas kepercayaan atau asas harapan yang telah ditimbulkan;
c. asas persamaan;
d. asas kecermatan;
e. asas keseimbangan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004, yang dimaksud Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik adalah meliputi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut meliputi :
a. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-undangan,
kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan
Negara.
b. Asas tertib Penyelenggaraan Negara, yakni asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenggaraan Negara.
c. Asas Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatiakn perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
d. Asas Proporsional, yakni asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara.
e. Asas Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
f. Asas Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggaraan Negara
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Praktik dalam Pengadilan, Hakim dalam lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara biasa menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik yang tidak terdapat dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Oleh karena itu, mengetahui dan
memahami Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang terdapat
dalam doktrin atau teori hukum adalah merupakan hal yang penting.
Beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik telah
mendapat tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi, serta dikembangkan oleh teori-teori Ilmu Hukum, yaitu
antara lain: 47
a. Asas Kepastian Hukum (rechtszekerheid beginsel/principle of legal
security);
b. Asas Keseimbangan (evenredigheid beginseel);
c. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (gelijkheid
beginsel/principle of equality);
d. Asas Bertindak cermat (zorgvuldigheid begilsel/principle of
carefulness);
e. Asas
Motivasi
untuk
setiap
keputusan
(motivering
beginsel/principle of motivation );
f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (priciple of non misuse
of copetence);
g. Asas Permainan yang Layak (priciple of fair play);
h. Asas Keadilan dan Kewajaran (redelijkheids beginsel of verbod van
wilekeur/principle of resonableness or prohibition arbitratiness);
i. Asas kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan Yang Wajar
(beginsel van apgewekte verctingen/principle of metting raised
expectation);
j. Asas Meniadakan Akibat-Akibat Suatu Keputusan Yang Batal
(herstel beginsel/principle undoing the consequences of an
annulled decision);
47
Ridwan, HR., Op. Cit., hlm 206-207.
k. Asas Perlindungan Atas Pandangan (cara) Hidup pribadi (principle
of protecting the personal of way of life).
l. Asas Kebijaksanaan (supienta)
m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principles of public
service).
C. Ratio Decidendi Hakim
Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada
dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak
penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum
berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum
untuk sampai pada suatu putusan. Inti dari suatu perkara yang yuridis, yakni
bagian dapat dianggap dianggap mempunyai sifat menentukan, disebut ratio
decidendi. Ratio decidendi ialah faktor-faktor yang sejati (material facts),
faktor-faktor yang ”esensiil” yang justru mengakibatkan keputusan begitu
itu.48
Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau
biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum
terhadap duduk perkara.49 Pada bagian putusan mengenai pertimbangan
hukum tersebut terdapat penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap faktafakta yang diajukan atau yang dibantah oleh penggugat dan/atau tergugat
dalam persidangan.
48
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta,
1983, hlm. 37-38
49
Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119.
Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan serta menjatuhkan
putusan, namun semua itu harus didasarkan pada aturan hukum yang ada dan
didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti. Hal ini
bertujuan agar dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim akan
memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa.
Putusan harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip
permufakatan bulat berkaitan dengan segi obyektivitas putusan. Putusan
Hakim harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan melalui penilaian
obyektif terhadap kaedah hukum. Apabila putusan dilihat sebagai penetapan
kaedah hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan
atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaedah
hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).50
Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim dapat dilihat dari
ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan oleh hakim itu
sendiri.
Pertimbangan hukum dalam suatu putusan adalah sangat penting dan
menentukan, hal ini dikarenakan apabila suatu putusan didasarkan pada suatu
pertimbangan hukum yang tidak cukup maka akan menjadi alasan untuk
membatalkan putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat kasasi.51
Putusan
yang
tidak
menyebutkan
atau
tidak
mencantumkan
pertimbangan atau argumentasi dari hakim sebelum memutus suatu perkara
atau sengketa, maka terhadap putusan tersebut berakibat batal demi hukum.
50
51
W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 120
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 195.
Batal demi hukum berarti putusan tersebut bagi hukum tidak mempunyai
akibat hukum tanpa diperlukan adanya putusan lagi untuk menyatakan batal
terhadap putusan tersebut.52
D. Tindak Pidana Korupsi
Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio.
Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Korupsi di dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut
“Korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak)
gejala dimana para pejabat, badan-badan negara meyalahgunakan wewenang
dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Tindak Pidana Korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Ancaman
Pidananya
seperti di Pasal 2 terkait dengan kerugian negara sebagai berikut :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di
pidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam
ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
Tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
salah satunya adalah tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan
52
Indroharto, Op. Cit., hlm. 130.
jabatan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah
seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya
melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau
membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini
sebagaimana rumusan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Selain pasal tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal-pasal lain
yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain:
a. Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. Pasal 10 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
d. Pasal 10 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
e. Pasal 10 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan jabatan biasanya
terkait dengan tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan. Pengadaan adalah
kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang
ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses
seleksi yang disebut dengan tender.
Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur.
Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya
paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk
dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau
ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta
tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam
Pasal 12 huruf i Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai berikut:
Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di
tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Pemberhentian
pemberhentian
sebagai
Pegawai
yang mengakibatkan
yang
Negeri
Sipil
bersangkutan
merupakan
kehilangan
statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.53
Jenis-Jenis
Pemberhentian
Sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil.
Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas pemberhentian
53
Sri Hartini, HJ. Sitiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.154.
dengan hormat sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil menerima hak-hak kepegawaiannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain hak atas pensiun.
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak kepegawaiannya antara lain hak
atas pensiun.
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena alasanalasan sebagai berikut:
1.
Meninggal dunia
2.
Atas permintaan sendiri
3.
Mencapai batas usia pensiun
4.
Ada penyederhanaan organisasi
5.
Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak
dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan dengan hormat atau
tidak diberhentikan karena hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang
dilakukan tidak berencana. Dan Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran
disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat. Adapun Pegawai Negeri Sipil
diberhentikan dengan tidak hormat karena: melakukan penyelewengan
terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dihukum penjara atau
kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana
umum, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, dan dihukum
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pindana yang dilakukan dengan berencana.
Selain itu, Pegawai Negeri Sipil diberhentikan sementara apabila:
diangkat menjadi pejabat Negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota
lembaga non structural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan tidak dengan hormat
dikarenakan antara lain
yaitu:
melanggar
Peraturan Disiplin Berat,
sumpah atau janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah atau janji jabatan
karena tidak setia kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah,
atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah, dan
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan peraturan peradilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana
kejahatan
jabatan
atau
hubungannya dengan jabatan.54
54
Ibid., hlm.155.
tindak
pidana
kejahatan
yang ada
Berdasarkan pembahasan tersebut permasalahan yang sering terjadi
dalam pemberhentian Pegawai Negeri Sipil adalah masalah mengenai
pelanggaran, tindak pidana, dan penyelewengan, sehingga perlu ditangani
lebih lanjut dengan sanksi yang jelas akan permasalahan tersebut.
Pemberhentian tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau
kurungan berdasarkan
peraturan
peradilan
yang
telah
mempunyai
kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan
jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang
Nomor
43
Tahun
1999
tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang
merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, yaitu :
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan.
Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan
Pemerintah
Nomor
32 tahun
1979
pasal
9
huruf
a
tentang
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih
lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c,
yang menyatakan bahwa:
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga
disebut juga penelitian hukum kepustakaan.55 Dalam penelitian dengan
pendekatan yuridis normatif, peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai sistem
normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan hukum
masyarakat.
Menurut L. Morris Cohen, penelitian hukum (legal research) terdapat
beberapa pendekatan yang digunakan yaitu statute approach, conceptual
approach, analytical approach, comparative approach, hystorical approach,
philosophical approach, dan case approach.56
Merujuk pendekatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan kasus (case research).
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif-analitis
sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Menurut Ronny
Hanintijo Soemitro, deskriptif analitis adalah menggambarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif,
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 14.
56
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 93.
PT Raja
praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam
penelitian ini.57
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT)
Universitas Jenderal Soedirman.
D. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder di bidang hukum
(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.58 Bahan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang bersifat
mengikat terdiri dari:
a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
c. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
57
Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1999, hlm. 97-98.
58
Suratman dan Phillips, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2012, hlm. 66.
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
g. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara
h. Peraturan
Pemerintah
Nomor
32
Tahun
1979
Tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
i. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil.
j. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor:
03/G/2011/PTUN.Smg.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku literatur hukum, jurnal penelitian
hukum, laporan hukum, media cetak.
3. Bahan Hukum Tersier, sumbernya adalah bahan penunjang bahan
primer dan tersier yang berupa kamus hukum.59
59
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 38.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisir
bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Putusan Hakim
di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan Yurisprudensi yang relevan,
serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan obyek
penelitian.
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi
pustaka terhadap hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-makalah
dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang, serta Petunjuk Teknis maupun Petunjuk
Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang yang relevan dengan obyek penelitian.
F. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptifkualitatif, yaitu pembahasan secara sistematis dengan menggambarkan,
menjabarkan, menginterprestasikan norma atau kaidah hukum dan doktrin
hukum yang ada kaitan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti.
G. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan yang diperoleh
akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan
pokok permasalahan sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh tentang
masalah yang diteliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Para Pihak
1.1. Identitas Penggugat
Nama
: Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.
Kewarganegaraan
: Indonesia
Pekerjaan
: Mantan Pegawai Negeri Sipil
Alamat
: Jl. Diponegoro 82 G RT. 05 RW. 04,
Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan
Sidorejo Lor, Kota Salatiga
1.2. Identitas Tergugat
2.
Nama Jabatan
: Walikota Salatiga
Tempat Kedudukan
: Jalan Sukowati No. 51 Salatiga
Objek Gugatan
Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 888/ 290/ 2010 tanggal 4
Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.
3.
Kasus Posisi
Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) sebagai mantan
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota
Salatiga dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 888/290/2010,
tertanggal 4 Oktober 2010 tentang pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Alasan diberhentikannya Penggugat dalam hal ini karena
Penggugat secara melawan hukum telah melakukan tindak pidana
korupsi yang diperkuat dengan adanya Putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor
02/Pid.B/2010/PN.Wns
yang dilakukan secara bersama-sama dalam
pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat
pembuat komitmen, kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun
panitia pemeriksa termasuk dalam hal ini adalah Penggugat.
Penggugat
dalam
hal
ini
merasa
sangat
dirugikan
atas
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil) tersebut oleh Walikota Salatiga. Adapun alasan gugatan
Penggugat adalah sebagai berikut:
1.
Dalam Konsideran membaca, Tergugat menyebutkan pada Putusan
Pengadilan
Negeri
Wonosari
Nomor
02/Pid.B/2010/Pn.Wns,
tertanggal 12 Mei 2010, padahal sebagaimana tertuang dalam salinan
putusan dimaksud adalah dibacakan para hari Rabu tanggal 19 Mei
2010, dengan demikian Tergugat adalah tindakan yang tidak cermat,
ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenangwenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran dalam
obyek gugatan dimaksud sehingga bertentangan dengan fakta dasar
yang tidak benar;
2.
Dalam Konsideran menimbang, Tergugat salah dalam menafsirkan
sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP No. 32 Tahun 1979
Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, diterangkan bahwa
tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi dalam pasal
tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan baginya
dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian tindakan
Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang, ceroboh,
arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
3.
Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud
dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendesius karena
obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi (1) sebelum Pegawai
Negeri Sipil dijatuhi disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa
terlebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam
bentuk berita acara pemeriksaan (3) Apabila menurut hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kewenangan
untuk menjatuhkan disiplin kepada Pegawai Negeri Sipil tersebut
merupakan kewenangan Atasan langsung yang bersangkutan, maka
alasan langsung menjatuhkan hukuman disiplin;
a. Pejabat yang lebih tinggi maka alasan langsung tersebut wajib
melaporkan secara hirarki disertai berita acara langsung ;
b. Bertolak dari dasar tersebut diatas maka tindakan tergugat yang
telah menerbitkan obyek gugatan dimaksud telah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
demikian telah merampas hak konstitusional yang melekat pada
diri Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
3.
Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud
dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendensius karena
obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada
ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara
Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil yang berlaku secara sah sejak tanggal 1 Oktober 2010 yang
dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa sebagai pelaksana
lebih lanjut pasal 49 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, perlu menetapkan Peraturan
Kepala badan Kepegawaian Negara tentang ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
dalam romawi III huruf A Umum angka 3 disebutkan bahwa dengan
tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan
pidana,
Pegawai
Negeri
Sipil
yang
melakukan
pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin, dan dalam
penjelasan contoh disebutkan dalam hal demikian, meskipun yang
bersangkutan telah diperiksa oleh pihak yang berwajib atas dugaan
tindak pidana yang dilakukan dan diberhentikan sementara dari
jabatan negeri, maka atasan langsung yang bersangkutan wajib
melakukan pemeriksaan;
4.
Atas tindakan Tergugat yang telah menerbitkan surat keputusan
obyek gugatan tersebut,
kemudian Penggugat dengan dilandasi
itikad baik telah mengajukan banding administratif yang ditunjukkan
kepada Tergugat melalui surat Tertanggal 18 Oktober 2010, dimana
surat banding dimaksud juga ditembus kepada seluruh atasan
Tergugat, termasuk Menteri Dalam Negeri RI;
5.
Atas pengajuan banding tersebut ternyata Tergugat dengan itikad
buruk dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang
Baik
sama
sekali
tidak
merespon
dan
atau
tidak
menindaklanjuti Banding dari Penggugat tersebut padahal secara
jelas dan nyata sebagaimana tembusan yang diberikan justru Menteri
Dalam Negeri merespon Banding dimaksud dengan menerbitkan
Surat Nomor: 8333.88/4445/SJ, tertanggal 2 Desember 2010 yang
dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri telah memerintahkan
kepada Tergugat untuk melakukan penyelesaian atas permohonan
banding yang diajukan oleh Penggugat;
6.
Hingga gugatan diajukan Tergugat dengan itikad buruk sama sekali
belum merespon adanya perintah dari Menteri Dalam Negeri
tersebut dengan demikian secara jelas Tergugat selaku Pejabat Tata
Usaha Negara tidak menerapkan prinsip-prinsip pemerintah yang
baik (good governance) dan telah melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku;
7.
Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat
tersebut adalah produk Pejabat Tata Usaha Negara yang abscuur
libel dan cacat hukum karena Tergugat selaku Pejabat Tata Usaha
Negara telah bertindak secara sewenang-wenang, tidak menerapkan
asas-asas pemerintahan yang baik serta bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggugat kemudian mengajukan gugatan tanggal 14 Februari
2011 kepada pengadilan Tata Usaha Negara Semarang terhadap Walikota
Salatiga dengan Nomor register perkara 03/G/2011/PTUN.SMG.
Dalam gugatannya Penggugat mengajukan petitum sebagai berikut:
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Walikota Salatiga
Nomor:
888/290/2010
tanggal
4
Oktober
2010,
tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil
Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si;
3.
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Nomor :
888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010, tentang Pemberhentian Tidak
Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si;
4.
Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan penggugat
sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta
merehabilitasi nama baik dan kehormatan diri penggugat;
5.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini;
Pihak Tergugat menyangkal dalil gugatan Penggugat tersebut, dan
mengajukan jawaban gugatan sebagai berikut:
1.
Surat Keputusan objek sengketa tersebut diterbitkan oleh Tergugat
atas dasar Surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor:
862/194/ tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekonmendasi agar Ir.
Agus Ridwan Santoso, M.Si diberhentikan tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil;
2.
Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa
tersebut berdasarkan pada salinan putusan Pengadilan Negeri No.
02/Pid.B/2010/PN tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan
No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns);
3.
Berdasarkan
salinan
putusan
02/Pid.B/2010/PN.Wns
jelas-jelas
Pengadilan
disebutkan
Negeri
bahwa
No.
putusan
tersebut adalah tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan No.
02/Pid.B/2010/PN.Wns dari Tergugat), adapun pada hari Rabu
tanggal 19 Mei 2010 adalah tentang pembacaan putusan tersebut
dimana terhadap perkara tersebut, berdasarkan musyawarah Majelis
Hakim sudah diputus oleh Majelis Hakim pada tanggal 12 Mei 2010;
4.
Dalam Konsideran menimbang Tergugat sudah tepat dalam
menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundangundangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP Nomor 32
Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Dalil
gugatan Penggugat tidak jelas, kabur dan tidak lengkap karena Pasal
9 huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 seharusnya berbunyi: “Pegawai
Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau
tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”,
sehingga dalil gugatan Penggugat tersebut tidak jelas dan
mengaburkan bunyi Pasal 9 huruf a yang seolah-olah akan
menunjukkan bahwa Tergugat salah dalam pertimbangannya.
5.
Atas dalil gugatan tentang Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010
yang dikemukaan Penggugat bahwa Tergugat dalam menerbitkan
obyek gugatan telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku
adalah tidak benar. Bahwa disebutkan dalam penjelasan Pasal 24
Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010, dijelaskan tujuan
pemeriksaan yaitu ayat 1 “… Tujuan pemeriksaan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat ini adalah untuk mengetahui apakah Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan benar atau tidak melakukan
Pelanggaran
Disiplin
serta
untuk
mengetahui
faktor-faktor
pendorong atau menyebabkan ia melakukan pelanggaran disiplin…”
dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa tujuan pemeriksaan adalah
untuk mencari fakta-fakta yang terjadi atas pelanggaran disiplin, dan
pemeriksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat
tentang Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan dalam proses
pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Fakta yang terungkap dalam
proses Pengadilan Negeri tersebut dapat dipakai untuk memperoleh
fakta atas pelanggaran yang dilakukan Penggugat. Dari perkara
tersebut jelas dapat dipertimbangkan yang obyektif sehingga
dijatuhkan putusan untuk memberikan hukuman yang seadil-adilnya
sesuai dengan aturan yang ada. Sehingga atas dalil Penggugat yang
menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindakan yang tidak
beritikad baik, tergesa-gesa dan tendensius adalah tidak benar,
karena Tergugat dalam penjatuhannya sudah melalui pertimbangan
berdasarkan ketentuan yang berlaku berdasarkan fakta yang menjadi
alasan diterbitkannya objek gugatan dalam perkara ini;
6.
Berkaitan dengan dalil Penggugat dalam pemeriksaan harus
mendasarkan pada ketentuan Peraturan Ka BKN No. 21 Tahun 2010
dan ketentuan Pelaksana PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, menurut hemat Tergugat, Penggugat kurang
memahami makna dasar penerbitan Obyek Gugatan dimana
penetapan didasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, tertanggal 12 Mei 2010 dan daya
laku terhadap Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 yang telah
ditunjuk
oleh
Tergugat
secara
khusus
dalam
pemeriksaan
diundangkan pada 6 Juni 2010;
7.
Penggugat telah mendalilkan tentang Peraturan Pemerintah No. 53
Tahun 2010 yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juni 2010 padahal
proses terbitnya Obyek Gugatan adalah sebelum Peraturan tersebut
mulai diberlakukan, apabila Penggugat mendalilkan mengenai
pemeriksaan
berdasarkan
ketentuan
tersebut
adalah
tidak
berdasarkan hukum, sehingga dalil tersebut patut ditolak;
8.
Tergugat telah melakukan pertimbangan yang teliti dan telah sesuai
dengan peraturan dan ketentuan yang ada.
Majelis Hakim kemudian dalam putusannya memutuskan bahwa
mengabulkan
gugatan
Penggugat
untuk
seluruhnya.
Dalam
pertimbangannya majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam pertimbangannya, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang juga menyatakan bahwa dari putusan PN.Wonosari no.
02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah
bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan
tindak pidana korupsi.
4.
Pembuktian Para Pihak
4.1. Alat Bukti Tertulis Penggugat
P-1
P-2
P-3
P-4
P-5
P-6
P-7
P-8
Kartu Tanda Penduduk Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
(Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat
Keputusan
Walikota
Salatiga
Nomor:
888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 Tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor : 01 / Pem. D/UP/D.2 tertanggal 184-1996. Tentang Penetapan CPNS dalam masa
percobaan dalam golongan ruang PGPNS dengan NIP
490030559, dengan golongan III/a, pada Pemerintah
Dati II Gunung Kidul atas nama Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si (Fotocopy dari fotocopy);
Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor : 259/Pem. D/UP/D.2 tertanggal 209-1997 Tentang Pengangkatan Menjadi PNS atas Nama
Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Pemerintah Dati II
Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy);
Petikan Keputusan Gubernur Kepala daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor: 02/Pem.D/UP/D.1 tertanggal 10-32000 Tentang Kenaikan Pangkat dari Golongan III/a
Menjadi III/b atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan
Kabupaten Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari
fotocopy);
Petikan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:
01/GK/UP/Kep.D/DI tertanggal 20 Maret 2001 Tentang
Kenaikan Pangkat dari Golongan III/b menjadi III/c
atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten
Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy);
Petikan Bupati Gunung Kidul Nomor: 02/UP/Kep.D/DI
tertanggal 14 April 2008 Tentang Kenaikan Pangkat
dari Golongan III/c menjadi III/d atas nama Ir. Agus
Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Perikanan Kabupaten Dati II Gunung Kidul
(Fotocopy dari fotocopy);
Surat Keputusan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan
Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Nomor: SK
027/677 tertanggal 2 Agustus 2006 Tentang
Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia
Pemeriksaan Belanja Modal Kegiatan Peningkatan
P-9
P-10
P-11
P-12
P-13
P-14
P-15
P-16
P-17
Kapasitas Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kab.
Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006 (Fotocopy dari
fotocopy);
Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan
Negeri Wonosari Gunung Kidul Dalam Register
Perkara Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN. Wns tertanggal 26
Mei 2010 atas nama Terdakwa Sudaryanto, S.TP Bin
Kusnindiar DKK (Termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso,
M.Si) (Fotocopy dari fotocopy);
Surat Walikota Salatiga Nomor: 824. 3/1707 tertanggal
6 Juni 2008 Tentang Persetujuan Pindah/Mutasi tempat
kerja Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai
dengan aslinya);
Surat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor: 824/4191 tertanggal 16 Oktober
2001 Tentang Persetujuan atas Permohonan Pindah
Tempat Bekerja bagi Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
NIP. 490030559 (Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Badan
Kepegawaian Nomor: 824.3/09389 tertanggal 4
November 2008 Tentang Persetujuan Pindah A/n Ir.
Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559
(Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat Dari Badan Kepegawaian Negara Nomor:
00004/KEP/BU/23373/08 tertanggal 06 November
2008 Tentang Persetujuan dan Pemberian Tugas Kerja
Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai dengan
aslinya);
Surat dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul Badan
Kepegawaian Daerah Nomor: 824.2/099 tertanggal 04
Februari 2009 Tentang Penyerahan Pegawai Negri Sipil
A.n Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559
(Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat Tugas dari Pemerintah Kota Salatiga Sekertariat
Daerah Nomor : 824. 3/513/ 2009 tertaggal 27 April
2009 oerihal melaksanakan tugas pada Badan Permas,
Perempuan, KB dan Ketahanan Pangan Kota Salatiga
(Fotocopy sesuai dengan aslinya)
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai
Negeri Sipil Jangka Waktu Penilaian 1 Januari s/d 31
Desember 2009 (Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat
Keputusan
Walikota
Salatiga
Nomor:
887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang
Pemberitahuan Sementara dari Jabatan Pegawai Negeri
P-18
P-19
P-20
P-21
P-22
P-23
P-24
P-25
P-26
P-27
Sipil. A.n Ir. Agis Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy
sesuai dengan aslinya);
Tanda terima Surat Keputusan Walikota Salatiga
Nomor: 888/290/2010 tertanggal 4 Oktober 2010
Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai
Pegawai Negri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 tempat di
Rutan Wonosari, Gunung Kidul (Fotocopy sesuai
dengan aslinya);
Surat yang Ditujukan Walikota Salatiga selaku Badan
Kepegawaian (Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan) Kota Salatiga tertanggal 18 Oktober
2010 Perihal Banding Administrasi (Fotocopy dari
fotocopy);
Surat dari Kementerian Dalam Negri Republik
Indonesia Nomor: 833/445/SJ Tertanggal 2 Desember
2010 perihal Banding Administratif a.n Sdr.Ir. Agus
Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan
aslinya);
Surat dari Sekertariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga
Nomor: 830/1581/2010 perihal Tanggapan atas
keberatan (Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:
09/A/Pem.D/IP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009
Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai
Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n
Sudaryanto, STP (Fotocopy dari fotocopy);
Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor:
11/A/Pem.D/UP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009
Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai
Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n Nurhadi,
BA (Fotocopy dari fotocopy);
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 (28/1999)
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Fotocopy
dari fotocopy);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negri
Sipil (Fotocopy dari fotocopy);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53
Tahun 2010 Tentang Disiplin Pergawai Negri Sipil
(Fotocopy dari Fotocopy);
Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:
21 Tahun 2010 Tanggal 1 Oktober 2010 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil
(Fotocopy dari Fotocopy);
4.2. Alat Bukti Tertulis Tergugat
T-1
T-2
T-3
T – 4 a.
T – 4 b.
T-5
T-6
T-7
Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah Nomor: 862/194 Rhs tertanggal 31 Agustus
2010 Tentang Rekomendasi penyelesaian kasus an. Ir.
Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan
aslinya);
Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan
Negeri Wonosari Gunung Kidul dalam Register Perkara
Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN.Wns tertanggal 26 Mei
2010 atas nama Terdakwa Sudaryatno, S.TP Bin
Kusninda, DKK (termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso,
M.Si) (fotocopy dari fotocopy);
Surat
Keputusan
Walikota
Salatiga
Nomor:
887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang
Pemberhentian Sementara dari jabatan negeri Pegawai
Negeri Sipil a.n. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
(Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga
Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 31 Desember 2010
yang ditujukan kepada Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si
Perihal Tanggapan atas keberatan (Fotocopy sesuai
dengan aslinya);
Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga
Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 21 Januari 2011
yang ditujukan kepada SEKJEN KEMENDAGRI
Perihal Banding Administratis a.n. Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya);
Surat dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor:
W.13.U4/521/HK.01NII/2010 tertanggal 08 Juli 2010
Perihal
Putusan
Perkara
Pidana
Nomor:
02/Pid.B/2010/PN.Wns sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap sejak tanggal 29 Mei 2010 (Fotocopy
sesuai dengan aslinya) ;
Surat dari Badan Kepegawaian Negara Nomor:
K.REG.I/037/44A/2010 tertanggal 08 Nopember 2010
Perihal Banding Administratif an. Ir. Agus Ridwan
Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya) ;
Surat dari Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor: 833.88/4445/SJ
tertanggal 2 Desember 2010 Perihal Banding
Administratif a.n. Sdr. Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si
(Fotocopy sesuai dengan aslinya):
T-8
T-9
T - 10
T - 11
T - 12
T - 13
T - 14
T - 15
Surat dari Badan Pertimbangan Kepegawaian Nomor:
434/BAPEK/S.1/2010 tertanggal 19 Nopember 2010
Perihal Pengajuan keberatan atas pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas nama
Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai
dengan aslinya);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun
1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Fotocopy dari
fotocopy) ;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang, Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Fotocopy dari fotocopy);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Fotocopy dari fotocopy);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Fotocopy dari
fotocopy);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil (Fotocopy dari fotocopy);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53
Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Fotocopy dari fotocopy);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Fotocopy dari fotocopy).
4.3. Saksi Penggugat
Pihak Penggugat di dalam persidangan mengajukan 3 (tiga)
orang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah untuk
menguatkan dalil gugatan Penggugat. Saksi tersebut adalah:
1. Saksi 1 Penggugat
Nama
: Sudaryanto, SH
Jabatan
: Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Gunung Kidul
2. Saksi 2 Penggugat
Nama
: Listyo Agung Wahono, SH
Jabatan
: Kepala Bidang Mutasi Badan Kepegawaian
Daerah Pemerintah Kota Salatiga
3. Saksi 3 Penggugat
Nama
: Drs. Amin Singgih
Jabatan
: Pejabat baru di Badan Kepegawaian Daerah Kota
Salatiga
4.4. Saksi Tergugat
Pihak Tergugat mengajukan 1 (satu) orang saksi yang
memberikan keterangan dibawah sumpah untuk menguatkan dalildalil bantahannya. Saksi tersebut adalah:
Nama
: Suwarno, SE
Jabatan
: Kepala Bidang Administrasi BKD Pemkot Salatiga.
5. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
5.1. Dalam Eksepsi
5.1.1.
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat
adalah sebagimana diuraikan secara lengkap dalam
duduknya sengketa tersebut di atas;
5.1.2.
Menimbang bahwa Tergugat telah mengajukan eksepsi
terhadap gugatan Penggugat yang pada pokoknya berisi
bahwa Gugatan Penggugat kabur sehingga harus dinyatakan
Gugatan Penggugat tidak dapat diterima didasari alasan;
1. Bahwa Penggugat hanya mempermasalahkan Surat
Keputusan sebagai obyek sengketa melainkan harus
pula mengikutsertakan Surat Sekretaris Daerah Propinsi
Jawa Tengah No. 862/194 tanggal 31 Agustus 2010
sebagai Obyek Sengketa;
2. Bahwa Penggugat tidak pula mempermasalahkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Wonosari
No.
02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya;
5.1.3.
Menimbang bahwa terhadap eskepsi Tergugat tersebut
diatas Penggugat menyatakan menolak eksepsi tersebut di
dalam persidangan tanggal 28 Februari 2010 dan tetap pada
gugatannya;
5.1.4.
Menimbang bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut
Majelis Hakim memberikan pertimbangan terhadap alasanalasan eksepsi tersebut dengan pertimbangan sebagai
berikut;
5.1.5.
Menimbang bahwa dalam alasan eksepsi Tergugat yang
pertama
adalah
mempermasalahkan
mengenai
Surat
Penggugat
Keputusan
sebagai
hanya
obyek
Sengketa melainkan harus pula mengikutsertakan Surat
Sekretaris Daerah propinsi Jawa Tengah Nomor 862/194
tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa;
5.1.6.
Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam
perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga
Nomor
888/290/2010
tanggal
4
Oktober
tentang
Pemberhentian Tidak Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si yang diterbitkan atau
dikeluarkan oleh Walikota Salatiga;
5.1.7.
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 1
huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian
Pegawai
Pembinaan
Negeri
disebutkan
Sipil
Kepegawaian
Daerah
bahwa:
“Pejabat
Kabupaten/Kota
menetapkan pemberhentikan Pegawai Negeri Sipil Daerah
Kabupaten/Kota
yang
berpangkat
Penata
Tingkat
I
golongan ruang III/d dilingkungannya” dan mengacu pada
ketentuan Pasal 1 angka 5 dalam peraturan perundang
undangan yang sama disebutkan bahwa yang dimaksud
Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Gubernur/Bupati/Walikota,
Walikota
Salatiga
sehingga
mempunyai
Daerah
dengan
wewenang
adalah
demikian
untuk
memberhentikan Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat
Penata Tingkat I golongan ruang II/d di lingkungannya;
5.1.8
Menimbang bahwa dari gugatan yang diajukan Penggugat,
Majelis Hakim berpendapat bahwa sudah tepat dan dapat
dibenarkan apabila Penggugat hanya menjadikan Surat
Keputusan Walikota Salatiga No. 888/290/2010 tanggal 4
Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai Obyek
Sengketa karena telah bersifat konkrit, individu, dan final
serta telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat,
maka tanpa perlu mengikutsertakan surat Sekretaris Daerah
Propinsi Jawa Tengah No. 862/192 tanggal 31 Agustus
2010 sebagai obyek sengketa yang lainnya;
5.1.9
Menimbang
bahwa
mengingat
kewenangan
untuk
memberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ada pada
Walikota Salatiga in casu Tergugat sedangkan surat
Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 862/194
tanggal 31 Agustus 2010 adalah hanya merupakan
persetujuan saja tanpa ada unsur kewenangan untuk
memberhentikan dan surat tersebut masih perlu tindak
lanjut dari Tergugat sehingga dengan demikian surat
Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah tersebut belum
final dan belum dapat menimbulkan akibat hukum bagi
Penggugat, oleh karenanya surat Sekretaris Daerah Propinsi
Jawa Tengah Nomor 862/194 tanggal 31 Agustus 2010
tidak memenuhi unsur-unsur suatu Keputusan Tata Usaha
Negara
yang
dijadikan
sebagai
objek
sengketa
di
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5.1.10. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka
eksepsi
Tergugat
yang
menyatakan
bahwa
gugatan
Penggugat kabur oleh karena tidak mengikutsertakan surat
Sekertaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194
tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa tidak
beralasan hukum sehingga eksepsi tersebut harus ditolak;
5.1.11. Menimbang bahwa selanjutnya Majelis Hakim
akan
mempertimbangkan mengenai eksepsi kedua Tergugat yang
menyatakan bahwa gugatan Pengugat kabur oleh karena
Penggugat tidak mempersoalkan atau mempermasalahkan
Putusan Pengadilan Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns
dalam gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
pertimbangan sebagai berikut;
5.1.12. Menimbang bahwa kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antar orang atau Badan Hukum Perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat
maupun
Keputusan
di
daerah,
Tata
sebagai
Usaha
akibat
Negara,
dikeluarkannya
termasuk
sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang undangan
yang berlaku (vide Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara);
5.1.13. Menimbang bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final
yang menibulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata (vide Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara);
5.1.14. Menimbang bahwa memperhatikan kriteria tersebut diatas
yang menjadi kompetensi dari Badan Peradilan Tata Usaha
Negara, Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan tidak
mempermalahkannya Putusan Pengadilan Negeri Wonosari
Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatan Penggugat
tidaklah menyebabkan gugatan Penggugat menjadi kabur
oleh karena sebagai produk hukum yang dikeluarkan
lembaga peradilan yang merupakan pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dan bukan kekuasaan eksekutif dalam bidang
Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa
bahwa nilai produk lembaga peradilan tersebut, sehingga
dengan demikian eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa
gugatan Penggugat kabur kerena mempersoalkan atau
mempermaslahkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari
Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya tidak
beralasan hukum dan harus ditolak;
5.1.15. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan
mengenai eksepsi tersebut di atas yang menyatakan eksepsi
Tergugat tidak beralasan hukum sehingga harus ditolak
maka pemeriksaan dilanjutkan pada pokok perkara;
5.2. Dalam Pokok Perkara
5.2.1.
Menimbang bahwa maksud dari tujuan gugatan Penggugat
adalah sebagaimana tersebut diatas;
5.2.2.
Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam
perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga
Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si yang diterbitkan
atau dikeluarkan oleh Walikota Salatiga;
5.2.3.
Menimbang bahwa menurut Penggugat, Tergugat dalam
menerbitkan obyek sengketa tanpa mendasarkan pada AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik dan dilakukan dengan
cara yang bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku sebagaimana disebutkan oleh
Penggugat dalam surat gugatannya pada posita angka 17
dan 18;
5.2.4.
Menimbang bahwa dalil Penggugat tersebut dibantah oleh
Tergugat
dengan
menyatakan
bahwa
keputusan
mengeluarkan surat keputusan yang menjadi obyek
sengketa adalah sah menurut hukum, maka dengan
demikian menjadi pokok permalahan yang timbul dlam
perkara ini adalah : Apakah benar sengketa a quo yang
dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
5.2.5.
Menimbang bahwa terhadap pokok permasalahan tersebut
diatas, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai
berikut dibawah ini;
5.2.6.
Menimbang bahwa Penggugat diberhentikan tidak dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Tergugat dengan
mendasarkan Pasal 23 ayat 5 huruf c Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti
secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana
korupsi
yang
dilakukan
secara
bersama-sama
dan
berkelanjutan dan dipidana selama 1 tahun dan denda Rp
50.000.000
berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns;
5.2.7.
Menimbang bahwa ketentuan pasal 23 ayat 5 huruf c
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 menentukan bahwa
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat
karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan
atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungnnya dengan
jabatan;
5.2.8.
Menimbang bahwa selanjutnya Pasal 9 huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 disebutkan bahwa
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau
kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan suatu
tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;
5.2.9.
Menimbang bahwa dalam penjelasan Pasal 9 huruf a
tersebut, dijelaskan bahwa apabila seorang Pegawai Negeri
Sipil dipidana atau kurungan berdasarkan keputusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan
atau tindak pidna kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil
tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat karena
telah
menyalahgunakan
kepercayaan
yang
diberikan
kepadanya dan tindakan pidana kejahatan jabatan yang
dimaksud antara lain sebagimana dimaksud dalam Pasal
413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana;
5.2.10. Menimbang bahwa dari penjelasan Pasal 9 huruf a tersebut
menegaskan adanya unsur kesengajaan dengan melakukan
penyalahgunaan kepercayaan yang berupa jabatan atau
pekerjaannya dengan frase “telah menyalahgunakan
kepercayaan” yang merupakan suatu perbuatan aktif dan
sengaja
dilakukan
dan
dipertegas
pula
dengan
menghubungkan tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud
dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab UndangUndang Hukum Pidana;
5.2.11. Menimbang bahwa dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal
436 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur
mengenai kejahatan jabatan terdapat unsur esensial yaitu
adanya unsur sengaja melakukan suatu untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain dengan menerima hadiah atau
janji;
5.2.12. Menimbang bahwa berdasarkan bukti bersurat tertanda P-8
diperoleh fakta bahwa Penggugat adalah merupakan salah
satu
panitia
pemeriksa
yang
berkedudukan
sebagai
sekretaris panitia pemeriksa dalam kegiatan Belanja Modal
Kegiatan Peningkatan Kapasitas Sarana dan Prasarana
Perikanan Tangkap Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006,
maka posisi penggugat dipersamakan dengan pejabat umum
sementara dalam hal pengadaan barang yang berposisi
sebagai sekretaris Panitia Pemeriksa Barang;
5.2.13. Menimbang bahwa tugas Panitia Pemeriksa menurut Surat
Keputusan sebagimana bunyi surat bertanda P-8 adalah
meliputi a) melakukan pemeriksaan barang yang menjadi
obyek
pengadaan
barang
pengaduan/spesifikasi
sesuai
barang
dengan
mutu
dokumen
kelengkapan,
kondisinya dicocokan dengan tertuang dalam dokumen
kontrak; b) meneliti dan menerima barang sesuai dengan
fungsi dan kegunaan barang secara umumnya; c) menerima
barang tersebut sesuai dengan spesifikasi barang yang
dituangkan dalam berita acara serah terima yang ditanda
tangani
oleh
menandatangani
penyedia
dan
berita
acara
pengguna
hasil
barang;
pekerjaan
d)
yang
selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang;
5.2.14. Menimbang bahwa dari serangkaian tugas dan tanggung
jawab Panitia Pemeriksa barang tidak terdapat tugas dan
tanggung jawab serta wewenang dari Panitia Pemeriksa
untuk menyusun atau mengevaluasi mengenai Rencana
Anggaran Biaya atau harga Perkiraan sendiri dari
pengadaan barang tersebut, sehingga dengan demikian
adanya temuan dari Tim Audit dan Investigasi BPKP
mengenai kemahalan harga pengadaan barang sebesar Rp
38.840.000 yang menyebabkan kerugian negara adalah
merupakan tanggung jawab dan keawenangan Panitia
Pemeriksaan oleh karenanya kesalahan tersebut tidak dapat
dibebankan kepada Panitia Pemeriksaan Barang;
5.2.15. Menimbang bahwa selanjutnya berdasarkan bukti P-9
berupa salinan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor
02/Pid.B/2010/PN.Wns diperoleh fakta hukum bahwa
Panitia Pemeriksaan Barang dalam kegiatan pengadaan
tersebut
kurang
pengalaman
memahami
dalam
dan
kegiatan
tidak
mempunyai
pengadaan
armada
penangkapan ikan, sehingga apa yang dilakukan hanyalah
memeriksa dan meneliti kondisi barang yang ada;
5.2.16. Menimbang bahwa dalam suatu proses pengadaan barang
yang telah ditunjuk penyedia barangnya seharusnya kuasa
pengguna barang, PPK, panitia pengada dan panitia
pemeriksa barang tidak diperbolehkan turut serta aktif
menentukan dan memilih barang yang akan diadakan selain
menunggu dan meminta perkembangan pengadaan barang
tersebut sesuai dengan yang terdapat pada dokumen lelang;
5.2.17. Menimbang
bahwa
fakta
yang
terjadi
dilapangan
berdasarkan bukti P-9 adalah PPK (Ir. Agus Ridwan
Santoso,M.Si),
Tim
Teknis
dan
Panitia
Pemeriksa
(Sudaryanto dan Nurhadi) ikut serta melakukan survey
pembelian barang ke Penajam Kalimantan dan pada
akhirnya PPK lah yang menentukan atau memilih barang
yang akan dibeli (vide Putusan Pengadilan Negeri hal 54-55
dan Penggugat tidak termasuk yang mengikuti survey
tersebut);
5.2.18. Menimbang bahwa dari kronologis pengadaan barang yang
terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Wonosari
tersebut nampak bahwa pembentukan panitia pengadaan
dan pemeriksa barang kurang dapat berjalan dengan
sebagaimana mestinya karena adanya peran PPK yang ikut
serta dan menentukan jenis barang yang dibeli dalam
pengadaan barang tersebut, sehingga pula tugas kedua
panitia kurang dapat maksimal dan berujud adanya
penyimpangan berupa adanya kerugian negara akibat tidak
dilaksanakannya proses pengadaan dan pemeriksaan dengan
baik;
5.2.19. Menimbang bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns tanggal 19 Mei
2010 Penggugat selaku sekretaris panitia pemeriksa barang
dan panitia pemeriksa barang dinyatakan telah melakukan
perbuatan yaitu membuat berita acara Pemeriksa Barang
yang isinya menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim
telah mencapai 100% dan sesuai kontrak berupa 4 unit
kapal dalam keadaan baru tidak cacat meskipun terdapat
beberapa kekurangan pekerjaan dan menyebabkan dapat
dicairkannya
pembayaran
100%
oleh
rekanan,
dan
perbuatan ini oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Wonosari dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut;
5.2.20. Menimbang bahwa meskipun terbukti Penggugat telah
melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang berhubungan
dengan jabatan perlu juga pertimbangan faktor-faktor
pendorong Penggugat untuk melakukan tindak pidana
kejahatan tersebut;
5.2.21. Menimbang bahwa memperhatikan dasar pemberhentian
Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu Pasal 23 ayat
5 huruf c Undang Undang No. 43 tahun 1999 jo Pasal 9
huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1979 tidak
tampak adanya unsur sengaja melakukan suatu perbuatan
dalam jabatannya tersebut untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain dengan menerima hadiah atau janji, yang
terjadi adalah bahwa karena jabatannya itu Penggugat dan
Panitia
Pemeriksa
lainnya
membuat
berita
acara
pemeriksaan Barang terhadap kapal yang ada yang isinya
menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim telah
mencapai 100%;
5.2.22. Menimbang bahwa dari putusan Pengadilan Negeri
Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan
fakta bahwa Penggugat telah bersalah dalam jabatannya
tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan korupsi
memperkaya diri sendiri dan menikmati hasilnya atau
sengaja memperkaya orang lain dengan cara menerima
hadiah atau janji dari orang lain tersebut, tetapi langkah dan
produk yang dihasilkan panitia pemeriksa barang telah
memperlancar pihak lain melakukan tindak pidana korupsi
sehingga Penggugat dan Panitia Pemeriksa Barang lainnya
dianggap ikutserta atau turut serta melakukan tindak pidana
korupsi;
5.2.23. Menimbang
bahwa
dalam
penyelenggaraan
urusan
pemerintah dikenal adanya Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik sebagai landasan pemerintah yang bersih dan
berwibawa;
5.2.24. Menimbang bahwa salah satu Asas-Asas Umum Pemerintah
yang Baik tersebut adalah asas proposionalitas yaitu asas
yang
mengutamakan
keseimbangan
antara
hak
dan
kewajiban penyelenggara negara, maka hubungannya
dengan sengketa a quo adalah bahwa Penggugat telah
melaksanakan kewajibannya selaku sekretaris panitia
pemeriksa barang sesuai dengan tugas dan wewenang yang
ada padanya yang telah ditetapkan dalam surat keputusan
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan
Kabupaten Gunung Kidul Nomor SK 027/677 tentang
Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia Pemeriksa
Barang Belanja Modal Kegiatan Peningkatan Kapasitas
Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Dinas Perikanan
Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul
Tahun Anggaran 2006 yaitu a) melakukan pemeriksaan
barang yang menjadi obyek pengadaan barang sesuai
dengan dokumen pengadaan/spesifikasi barang, mutu
kelengkapan, kondisinya dicocokan dengan yang tertuang
dalam dokumen kontrak; b) meneliti dan menerima barang
sesuai dengan fungsi dan kegunaan barang secara
umumnya; c) menerima barang tersebut sesuai dengan
spesifikasi barang yang dituangkan dalam berita acara serah
terima yang ditanda tangani oleh penyedia dan pengguna
barang; d) menandatangani berita acara hasil pekerjaan
yang selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang;
5.2.25. Menimbang
bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang
tersebut dilaksanakan Penggugat sebatas pada barang yang
telah ada hasil dari pilihan PPK di Penajam Kalimantan
dengan membuat daftar pemeriksaan terhadap barang dan
membuat berita acaranya tanpa adanya unsur sengaja
melakukan perbuatan korupsi memperkaya diri sendiri dan
menikmati hasilnya atas sengaja memperkaya orang lain
dengan cara menerima hadiah atau janji orang lain tersebut
dengan membuat berita acara pemeriksaan barang 100%;
5.2.26. Menimbang bahwa yang perlu dipertimbangkan pula bahwa
Penggugat maupun Panitia Pemeriksa Barang hanya
bertugas memeriksa barang dan menyaksikan bahwa barang
tersebut dapat digunakan dan berguna sesuai tujuan
pengadaannya selanjutnya dibuat berita acaranya dan
Panitia Pemeriksa Barang bukan orang yang ahli melakukan
pengetesan atau menguji coba kapal baik dalam kegiatan uji
coba pelayanan maupun uji penangkapan ikan serta tidak
pula secara tegas dinyatakan bahwa kegiatan tersebut
menjadi tanggung jawab dan wewenang panitia pemeriksa
barang;
5.2.27. Menimbang bahwa ketidakjelasan dokumen lelang maupun
kontrak terhadap siapa yang harus melakukan kegiatan sea
trial dan sea fishing serta siapa yang menanggung biaya
kegiatan tersebut, mengakibatkan Panitia Pemeriksa Barang
hanya melakukan pemeriksaan atas barang yang telah
dipilih PPK tersebut, sehingga dalam hal ini Panitia
Pemeriksa Barang berada dalam posisi yang terbatas dan
tidak terlaksananya kegiatan sea trial dan sea fishing
dianggap suatu tindak pidana korupsi;
5.2.28. Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan hukum
tersebut di atas, bahwa kesalahan Penggugat adalah
kesalahan yang tidak disengaja dan karena keterbatasan
pengetahuan dan keahlian di bidang perkapalan serta tidak
ada niat maupun janji untuk memperkaya diri sendiri dan
orang lain melalui jabatannya tersebut, sebagaimana telah
pula dinyatakan dalam pertimbangan putusan Pengadilan
Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, maka
Tergugat seharusnya dapat melihat secara proporsional atas
kejadian yang menimpa Penggugat;
5.2.29. Menimbang bahwa dalam memutus suatu perkara hakim
mendasari pada hati nurani terlebih dahulu baru kemudian
dicarikan peraturannya, oleh karena itu hakim harus
memutus berdasarkan hukum (Satjipto Rahardjo, Hukum
Progresif hal 10);
5.2.30. Menimbang bahwa oleh karena itu dalam memutus suatu
perkara aturan hukum dan hati nurani berjalan secara
beriringan dengan mendasari pada prinsip keadilan,
kemanfaatan serta kepastian hukum;
5.2.31. Menimbang
bahwa
dari
pertimbangan-pertimbangan
tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat
dalam menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa a quo
telah tidak memperhatikan hal-hal yang mendorong
Penggugat melakukan tindak pidana kejahatan tersebut dan
juga telah tidak mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur
kesengajaan Penggugat untuk memperkaya diri sendiri
ataupun orang lain dengan menerima janji ataupun hadiah
lewat jabatannya sehingga perlu mendapat hak atas
perlindungan terhadap dirinya, maka perbuatan Tergugat
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik yaitu asas proporsionalitas;
5.2.32. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan
tersebut di atas, maka tindakan Tergugat yang telah
menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf
a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik terutama asas proporsional sesuai dengan Pasal 53
ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang
Undang No. 9 Tahun 2004 jis Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha,
sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan;
5.2.33. Menimbang
bahwa
dengan
dikabulkannya
gugatan
Penggugat maka biaya yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada Tergugat sesuai Pasal 110 UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
5.2.34. Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara terhadap bukti-bukti yang tidak relevan tidak ikut
dipertimbangkan tetapi tetap menjadi satu kesatuan dalam
berkas putusan ini;
5.2.35. Mengingat Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang
Undang No. 9 tahun 2004 jis Undang Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan perundangundangan yang lain yang berkaitan dengan perkara ini;
6. Diktum Putusan Hakim
6.1. Dalam Eksepsi
6.1.1. Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya.
6.2. Dalam Pokok Perkara
6.1.1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
6.1.2. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor:
888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus
Ridwan Santoso M, Si;
6.1.3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut surat Keputusan
Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober
2010 tentang Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso M, Si;
6.1.4. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan
Penggugat sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai
Negeri Sipil serta merehabilitasi nama baiknya dan
kehormatan diri Penggugat;
6.1.5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp 156.500,- (seratus lima puluh enam ribu lima
ratus rupiah).
B. Pembahasan
1.
Ketidaksesuaian Ratio Decidendi Hakim Mengenai Pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa dengan Peraturan
Perundang-Undangan
Pengertian penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya
memastikan berlakunya hukum positif dalam kehidupan sehari-hari, atau
mewujudkan law in the book menjadi law in action, atau juga
mewujudkan berlakunya hukum materiil dengan menggunakan hukum
formil (hukum acara). Penegakan hukum
secara konkret adalah
berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut
ditaati.60 Dengan demikian penegakan hukum dapat dimaknai sebagai
menegakan hukum materiil dengan menggunakan tata cara sebagaimana
yang sudah ditentukan dalam hukum formil atau hukum acara.
Berdasarkan
pengertian
penegakan
hukum
di
atas
dapat
dikemukakan pengertian hukum formil atau hukum acara. Hukum formil
atau hukum acara adalah seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk
menegakan hukum materiil. Sesuai dengan pengertian hukum acara
tersebut, yang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara adalah seperangkat aturan mengenai tata cara beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
60
Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 292
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan
cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara.
Adakalanya aparat pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan,
membuat
keputusan
yang
melampaui
batas
kewenangannya
(detournement de pouvior) atau ada kekeliruan dalam menerapkan
peraturan hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang
konkret (abus de droit), sehingga akibatnya ada masyarakat yang
dirugikan oleh keputusannya itu. Maka Peradilan Tata Usaha Negara
berfungsi sebagai badan tempat masyarakat mencari keadilan.61
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum formil
dimaksudkan
untuk
menegakan
hukum
materiil
yakni
Hukum
Administrasi Negara. Berbeda dengan pengaturan dalam Hukum Acara
Perdata dan Hukum Acara Pidana, maka model pengaturan hukum formil
maupun hukum materiil yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam satu Undang-Undang yaitu Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
61
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 109
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan
peradilan yang ada dalam kekuasaan kehakiman, hal ini sesuai dengan
bunyi dari pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sub sistem dari peradilan
yang ada di Indonesia, sistem peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah
Agung sebagai badan peradilan yang tertinggi. Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia
yang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan:
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha
Negara.
Sengketa atau perkara administrasi merupakan perselisihan antara
dua pihak yaitu warga negara masyarakat/warga negara dan pemerintah
atau penguasa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum
administrasi.62 Sehingga, apabila terjadi sengketa antara rakyat (orang
atau badan hukum perdata) melawan pemerintah (badan atau pejabat Tata
Usaha Negara) dan sengketa tersebut adalah sengketa di bidang Tata
Usaha Negara maka akan diselesaikan di Lembaga Peradilan Tata Usaha
62
R. Soegijatno Tjakranegara, Op. Cit., hlm. 22.
Negara. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan
Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini
sesuai dengan rumusan pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang menyebutkan:
Pengadilan terdiri atas:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat
pertama;
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan
tingkat banding;
Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara. Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1
Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009):
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.63
Dari pengertian tersebut, dapat dilihat objek dari sengketa tata usaha
negara ialah adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh lembaga tata usaha negara atau pemerintah atau
keputusan dari aparat pada lembaga tata usaha atau pemerintah tersebut.
63
R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 6.
Penyelesaian sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
merupakan wewenang yudikatif dari PeradilanTata Usaha Negara.64
Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai
dengan diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya
dalam daerah hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan.
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi, hal tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pernyataan yang
menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal atau
tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek
sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar putusan hakim.
Sebelum hakim menjatuhkan amar putusan untuk menjawab
tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasardasar pertimbangan hukum berisi argumentasi atau alasan hukum untuk
sampai pada suatu putusan. Argumentasi atau alasan hakim dalam suatu
pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio Decidendi.65 Pasal 109
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
64
C.S.T Kansil, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Pradnya
Paramitha, Jakarta, 2000, hlm. 2
65
W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 16.
Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu
putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Ratio Decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai pada suatu putusan. Ratio Decidendi yang termuat dalam
pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu
tolok ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan.
Putusan yang tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan
menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.66
Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan,
baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal).
Dalam praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim
yang
menimbulkan persoalan yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg.
Kasus posisi dalam a quo dapat di deskripsikan secara singkat
sebagai berikut:
1.
Pada mulanya Penggugat (Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.) yang
merupakan Pegawai Negeri Sipil di Gunung Kidul pada bulan
Oktober tahun 2008 ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak
pidana korupsi oleh penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y, sebelum
terjerat perkara pidana tersebut Penggugat telah mengajukan
permohonan mutasi ke pemerintah Salatiga dan permohonan tersebut
dikabulkan, kemudian atas dasar penetapan sebagai tersangka oleh
66
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194.
penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y tersebut Tergugat (Walikota
Salatiga) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 887/06/2010,
tertanggal 25 Januari 2010 tentang Pemberhentian Sementara
Penggugat dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil.
2.
Perkara tindak pidana korupsi tersebut diadili di Pengadilan Negeri
Wonosari dalam perkara nomor 02/Pid.B/2010/Pn.Wns., adapun
amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari menyatakan
bahwa Penggugat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersamasama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
3.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah inkrah, Tergugat
menerbitkan Surat Keputusan Nomor 888/290/2010 tanggal 4
Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai
Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. (surat
keputusan objek sengketa)
4.
Penggugat merasa sangat dirugikan atas diterbitkannya surat
keputusan objek sengketa tersebut dengan alasan Tergugat dalam
menerbitkan surat keputusan objek sengketa bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik.
5.
Menurut Penggugat, tindakan Tergugat yang menerbitkan Surat
Keputusan objek sengketa merupakan tindakan yang tidak cermat,
ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenangwenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran.
6.
Dalam Konsideran menimbang menurut Penggugat, Tergugat salah
dalam menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP
No. 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,
diterangkan bahwa tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi
dalam pasal tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan
baginya dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian
tindakan Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang,
ceroboh, arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga Penggugat mohon
kepada Majelis Hakim untuk menyatakan surat keputusan objek
sengketa batal atau tidak sah.
Adapun pertimbangan hukum Hakim dapat dideskripsikan secara
singkat, sebagai berikut:
1.
Pokok permasalahan yang dibuktikan adalah apakah benar sengketa
a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang Undang No. 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
2.
Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil oleh Tergugat dengan mendasrakan Pasal 23 ayat 5
huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 pasal 9 huruf a
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana
korupasi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan
berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Wonosari
Nomor
02/Pid.B/2010/PN.Wns;
3.
Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa
dari
putusan
Pengadilan
Negeri
Wonosari
No.
02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan fakta bahwa Penggugat
telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja melakukan
perbuatan korupsi;
4.
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga
mempertimbangkan faktor-faktor
yang mendorong penggugat
melakukan tindak pidana korupsi;
5.
Selain itu, Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangan
hukumnya bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara tidak sesuai dengan asas proporsionalitas karena tidak
memperhatikan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan
tindak pidana korupsi, serta tidak mempertimbangkan ada tidaknya
unsur kesengajaan dari Penggugat dalam melakukan tindak pidana
korupsi;
6.
Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas, maka
menurut Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya tindakan
Tergugat yang telah menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf a
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan
bertentangan
dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas
proporsional sesuai dengan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 jo Undang Undang No. 9 Tahun 2004 jis UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha,
sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan
7.
Atas dasar pertimbangan hukum Hakim tersebut, Majelis Hakim
kemudian mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya serta
menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal dan
tidak sah.
Sesuai dengan kasus posisi dan pertimbangan hakim di atas, berikut
ini akan dibahas mengenai ketidaksesuaian ratio decidendi Hakim
mengenai pembatalan keputusan tata usaha negara objek sengketa
dengan peraturan perundang-undangan. Pada awal pertimbangan hukum,
Hakim menyatakan bahwa pokok permasalahan yang dibuktikan adalah
apakah benar sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah
bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan
melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang
mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
adalah :
a.
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
tersebut di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan
ukuran) untuk menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha
Negara pada waktu menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan bersifat melawan hukum atau tidak.
Salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:67
67
Ibid., hlm. 172-173.
1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira
memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak
mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak
berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu
keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara
tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut
disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan
keputusan yang dimaksud.
2) Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut
sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah
mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang
demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya
delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan
pendelegasian dari si delegans.
3) Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu
wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri
bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain.
4) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya
penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.
5) Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari
peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok
ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara
adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur
adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.68
Ditinjau dari segi wewenang, Tergugat sebagai Walikota
merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memang berwenang untuk
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa. Hal ini
diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan
dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa:
68
Philipus M. Hadjon, dkk. Op. Cit., hlm. 330.
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota
menetapkan:
b. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota
yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d
kebawah di lingkungannya.
Yang dimaksud dengan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Kabupaten/Kota dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas adalah
Bupati/Walikota. Dalam hal ini Penggugat juga merupakan Pegawai
Negeri dengan golongan III/d. Sehingga, Tergugat yang merupakan
Walikota, dalam hal ini memang berwenang untuk mengeluarkan Surat
Keputusan Pemberhentian Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak
dengan hormat.
Ditinjau dari segi prosedur, Tergugat dalam
menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan,
yaitu pada saat ada dugaan tindak pidana korupsi terhadap penggugat,
Tergugat
mengeluarkan
surat
pemberhentian
sementara
Nomor
887/06/2010 terhadap penggugat.
Untuk kepentingan
peradilan, seorang Pegawai Negeri yang
didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh
pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat
penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa:
Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang
berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dikenakan pemberhentian sementara.
Setelah keluar putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Wonosari
yang menyatakan bahwa penggugat terbukti bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama- sama, barulah tergugat mengeluarkan
surat pemberhentian tidak dengan hormat kepada Penggugat. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam ketentuan pasal 23
ayat (5) huruf c, yaitu :
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
diperkuat
lagi
dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran
lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5)
huruf c, yang menyatakan:
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan
jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan.
Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan objek sengketa
juga sudah didasarkan atas Surat Sekertaris Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor: 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekomendasi
Penyelesaian Kasus Atas Nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.
(Penggugat) yang merekomendasikan agar Penggugat diberhentikan
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sehingga sudah tepat
apabila Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat.
Ditinjau dari segi substansi, Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh Tergugat sudah tepat. Karena Keputusan Tata Usaha
Negara objek sengketa menunjuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf
c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32
tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil yang pada intinya menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang di
pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan
suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang
ada hubungannya dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat.
Maka sudah tepat bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan
tindak pidana korupsi memang harus diberhentikan tidak dengan hormat,
karena tindak pidana korupsi termasuk dalam pengertian tindak pidana
kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya
dengan jabatan.
Berdasarkan analisis keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa surat keputusan
objek sengketa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penilaian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang menjadi kriteria adalah kewenangan
pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,
prosedur terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dan isi
substansi Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sesuai dengan
konsep keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara, sekalipun alasan
terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara karena Penggugat melakukan
tindak pidana korupsi, maka seharusnya pertimbangan hukum hakim
tidak sampai pada menilai atau mengoreksi putusan hakim Pengadilan
Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti
secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Demikian pula seharusnya
pertimbangan hukum hakim tidak sampai pada pertimbangan mengenai
faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana
korupsi, apalagi mempersoalkan ada/tidaknya unsur kesengajaan yang
terdapat dalam diri Penggugat ketika melakukan tindak pidana korupsi.
Secara substansiil yang harus dipertimbangkan untuk menilai
sah/tidaknya surat keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa adalah:
1.
Adanya putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang telah inkrah yang
menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti secara sah melakukan
tindak pidana korupsi.
2.
Isi ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf
a
Peraturan
Pemerintah
Nomor
32 tahun
1979
tentang
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil di atas merupakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Keputusan Tata Usaha Negara
objek sengketa, sehingga apabila terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil
telah dijatuhi putusan pidana penjara
atau
kurungan
berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, maka seharusnya
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyidangkan
perkara a quo harus menghormati putusan Pengadilan Negeri Wonosari
yang telah inkrah tersebut. Dan sudah menjadi suatu ketentuan yang pasti,
putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang sudah inkrah tersebut dijadikan
parameter untuk menilai secara substansial keabsahan Surat Keputusan
Tata Usaha Negara objek sengketa.
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim di
lingkungan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa fakta suatu
tindak pidana yang telah diputus oleh pengadilan pidana. Karena masingmasing badan peradilan mempunyai wewenang untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis
tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain.
Wewenang masing-masing badan peradilan inilah yang dinamakan
wewenang mutlak (kompetensi absolut).69
Sebagaimana telah dideskripsikan di atas bahwa Surat Keputusan
objek sengketa dinyatakan batal atau tidak sah, hal ini menimbulkan
suatu konsekuensi yuridis terhadap amar putusan hakim, yaitu
dikabulkannya gugatan Penggugat. Untuk mengetahui ketepatan amar
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perlu dikemukakan ketentuan
Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
menyatakan bahwa:
Putusan Pengadilan dapat berupa:
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima;
d. Gugatan gugur.
69
Riduan Syahrani, Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, P.T. Alumni, Bandung,
2009, hlm. 37-38.
Berdasarkan jenis putusan tersebut, dalam perkara a quo seharusnya
Hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak. Putusan
berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha
Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal
atau sah.70 Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh
Tergugat dalam perkara a quo sudah sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku sehingga dalam hal ini seharusnya gugatan Penggugat
ditolak dan Surat Keputusan objek sengketa tetap dinyatakan sah.
2. Penerapan Asas Pembuktian Bebas Dalam Putusan Nomor
03/G/2011/PTUN.Smg
Asas hukum sangat penting karena Asas-asas hukum merupakan
“jantungnya” peraturan hukum. Asas-asas hukum adalah unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum, karena: Pertama, asas-asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau
alasan bagi lahirnya peraturan hukum.71
Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada
asas-asas hukum yang melandasinya, dan dalam Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara terdapat beberapa asas hukum yang melandasi.
yaitu:72
70
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 192.
Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46.
72
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313.
71
1.
2.
3.
4.
Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid =
praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai
ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67
ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986).
Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas
ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya
saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100.
Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim
dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena
Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara
lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80, 85
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum
publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara
berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang
bersengketa.
Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal pembuktian menganut
ajaran pembuktian bebas. Hukum pembuktian adalah hukum yang
mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang
menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Fakta tersebut dapat terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.73
Asas pembuktian bebas dalam Peradilan Tata Usaha Negara
tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata Usaha
Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna
memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
73
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171.
Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran
atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan
kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena proses
pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara
yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan untuk
memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.74
Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
Hakim.
Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa:
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan
kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam
Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu
yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal
yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara
dapat menentukan sendiri:
c. apa yang harus dibuktikan;
d. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus
dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus
dibuktikan oleh Hakim sendiri;
e. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian;
f. kekuatan pembuktian yang telah diajukan.
74
Ibid., hlm. 119.
Asas pembuktian bebas terdapat empat aspek: ruang-lingkup
pembuktian
(”bewijsomvang”),
pembagian
beban
pembuktian
(”bewijslastverdeling”), alat-alat bukti (”bewijsmiddelen”) dan penilaian
penghargaan pembuktian (”bewijswaardering”). Keempat aspek ini
membawa
konsekuensi-konsekuensi
tersendiri
yang
merupakan
karakteristik hukum acara (pembuktian) Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu:75
a. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta
yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian ”bewijsomvang”);
b. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian
beban pembuktian - ”bewijslastverdeling”);
c. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam
memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti - ”bewijsmiddelen”);
d. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek
penilaian penghargaan pembuktian -”bewijswaardering”).
Hakim dalam melakukan pembuktian jika dilihat dari aspek luas
pembuktian tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak.76
Pada pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi pusat
perhatian adalah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Disini Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara meneliti apakah badan atau
pejabat Tata Usaha Negara pada waktu (Tergugat) pada waktu
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara itu bertolak pada fakta yang
benar-benar relevan atau tidak.
75
76
Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 115.
Ibid., hlm. 116.
Berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata yang berdasarkan
Pasal 1865 BW jo. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg tentang beban
pembuktian yang mendalilkan bahwa siapa yang menggugat, dialah yang
membuktikan,77 dalam Hukum Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan
aspek
pembagian
beban
pembuktian
bertumpu
pada
aspek
bewijslastverdeling dari asas pembuktian bebas, dimana Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak boleh menolak suatu gugatan atas
dalih penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. Pembagian beban
pembuktian oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
dengan cara menentukan kepada pihak Penggugat harus dibebankan
pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh Tergugat (Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara), dan sebaliknya kepada Tergugat (Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara) akan dibebankan pembuktian bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan adalah sah dan
berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan aspek alat-alat bukti tidak dikehendaki adanya
ketentuan yang mengikat Hakim dalam memilih alat-alat bukti. Secara
teoritis, terdapat pembagian Keputusan Tata Usaha Negara menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking) dan
2. Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking).
77
Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm. 118.
Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking), pada
dasarnya hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya
suatu
ruang kebebasan
bagi
Pejabat
yang
yang bersangkutan
menginterprestasikannya. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara
bebas (vrije beschikking) didasarkan pada suatu kebebasan bertindak
yang lazimnya dikenal dengan asas fries ermessen (discretionary power).
Ada 2 (dua) macam kebebasan ini, yakni:
1. Kebebasan kebijaksanaan, yaitu kebebasan bertindak dalam arti
kebebasan untuk memutus secara mandiri.
2. Kebebasan interpretasi, yaitu kebebasan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara untuk menginterpretasikannya.
Terhadap kedua jenis Keputusan Tata Usaha Negara diatas dapat
dilakukan pengujian apakah suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu
rechmatig atau onrechmatig. Keputusan Tata Usaha Negara terikat
(gebonden beschikking) diuji melalui hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan). Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bebas
tidak cukup diuji dengan hukum tertulis saja, melainkan juga dengan
hukum tidak tertulis yang berupa Asas-asas Umum Pemerintahan Yang
Baik.78
Tolok ukur pengujian Keputusan Tata Usaha Negara terikat
(gebonden beschikking) melalui hukum tertulis oleh hakim Pengadilan
78
Ibid., hlm. 125-127.
Tata Usaha Negara didasarkan pada pasal 100 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, yang berbunyi:
(1) Alat bukti ialah :
b. surat atau tulisan;
c. keterangan ahli;
d. keterangan saksi;
e. pengakuan para pihak;
f. pengetahuan Hakim
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Sedangkan dasar hukum kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking)
yang digugat adalah ialah Pasal 16 Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. JUKLAK Mahkamah
Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, pada butir V
Tentang Diktum putusan angka 1. Pasal 16 Ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004, berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Ketentuan demikian dalam hukum dikenal dengan asas Ius Curia Novit,
yang berarti pengadilan (hakim) tahu hukum. Selajutnya Pasal 28 Ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penjelasannya menyatakan:
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat.79
Dalam hubungannya dengan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek
sengketa apabila dihubungkan dengan adanya 2 (dua) golongan
Keputusan Tata Usaha Negara, maka Surat Keputusan Tata Usaha
Negara objek sengketa dikategorikan sebagai keputusan Tata Usaha
Negara yang terikat (gebonden beschikking). Alasannya yaitu karena
Surat Keputusan objek sengketa tidak didasarkan pada kewenangan
bebas (fries ermessen), akan tetapi didasarkan pada peraturan perundangundangan yang sudah jelas, pasti dan ketat. Berdasarkan hal tersebut
maka tolok ukur untuk menilai keabsahan Surat Keputusan Tata Usaha
Negara objek sengketa adalah peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini yaitu Undang-Undang
Nomor
43
Tahun
1999 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, dengan demikian Surat Keputusan
Tata Usaha Negara objek sengketa tidak tepat apabila keabsahannya
dinilai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Penilaian pembuktian dalam aspek penilaian – penghargaan
pembuktian, diserahkan sepenuhnya kepada Hakim.80 Ketentuan Pasal
107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan : “…
untuk sahnya pembuktian diperlukan dua alat bukti berdasarkan
79
80
Ibid., hlm. 128-129.
Ibid., hlm. 130.
keyakinan Hakim”. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman
berikut:
a.
Pertama, untuk memperoleh suatu kebenaran materiil, diperlukan
dua alat bukti yang sah, yang ditetapkan oleh Undang-Undang
(Pasal 100 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara).
b.
Kedua, biarpun bertumpuk-tumpuk alat bukti, belum cukup untuk
memaksa Hakim menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi
diperlukan keyakinan Hakim.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kebebasan yang luas
dalam rangka mencari kebenaran materiil. Dalam Putusan Nomor
03/G/2011/PTUN.Smg, Hakim sudah menerapkan asas pembuktian
bebas dalam pertimbangan hukumnya.
Adapun penerapan asas pembuktian bebas dalam perkara a quo
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.
Hakim menentukan sendiri mengenai apa yang harus dibuktikan,
yaitu:
“Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara
objek sengketa tidak
mempertimbangkan faktor-faktor
yang
mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan
Tergugat tidak mempertimbangkan ada/tidaknya unsur kesengajaan
Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi.”
2.
Baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak mempersoalkan
faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana
korupsi. Hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal yang
disampaikan oleh para pihak.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memang menganut asas
pembuktian bebas, namun asas pembuktian bebas disini bukan berarti
Hakim bebas tanpa batas dalam menerapkannya. Meskipun, Hakim
memiliki kewenangan bebas dalam memutus suatu perkara, namun
Hakim tetap terikat, yaitu harus tetap sesuai dengan hukum yaitu harus
tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
hukum yang ada.
Ratio decidendi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. sebagaimana telah diuraikan
dalam bab sebelumnya, Hakim membuat pertimbangan hukum tersendiri
tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Padahal
jelas dinyatakan dalam ketentuan pasal pasal 23 ayat (5) huruf c,
Undang-Undang
Nomor
43
Tahun
1999
tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974, bahwa:
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Dan diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun
1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan:
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil apabila di pidana penjara atau kurungan
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan
jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas menyatakan
bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang ada hubungannya dengan jabatan yang salah satunya adalah korupsi
harus diberhentikan tidak dengan hormat. Apalagi sudah diperkuat
dengan adanya putusan inkrah dari Pengadilan Negeri yang menyatakan
Ir. Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi hukuman penjara. Sehingga
keputusan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat tidak dengan
hormat memang sudah tepat. Seharusnya Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara memahami hal tersebut dan menerapkan peraturan perundangundangan yang ada dalam hal menentukan beban pembuktian dan
menjatuhkan putusan.
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini telah
mengabaikan kewenangan dari masing-masing lingkungan peradilan.
Setiap lingkungan peradilan mempunyai kewenangan mutlak masingmasing yang seharusnya tidak boleh digunakan oleh lingkungan
peradilan yang lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan menyatakan
ada ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi
menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang
tidak menghargai putusan Hakim Pengadilan Negeri. Tidak seharusnya
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai mengenai tindak pidana
korupsi yang dilakukan Tergugat karena hal tersebut merupakan
kewenangan Hakim Pengadilan Negeri.
Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan
nilai-nilai dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Tindak Pidana
korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat
luas. Sehingga, untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat maka
memang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi harus diberhentiakan tidak dengan hormat. Masyarakat pasti akan
merasa sangat dirugikan apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang
terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak dijatuhi hukuman yang
seharusnya dijatuhkan kepadanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa
Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas. Karena tidak
memperhatikan hukum yang berlaku.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Ratio decidendi Hakim Mengenai Pembatalan Keputusan Tata Usaha
Negara Objek Sengketa dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Karena
dalam
pertimbangannya, hakim menilai putusan Pengadilan Negeri mengenai
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat, baik mengenai
faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana
korupsi maupun unsur ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan
tindak
pidana
korupsi
tersebut,
serta
tidak
tepat
dalam
mempertimbangkan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara objek
sengketa dari segi substansial. Untuk menentukan keabsahan Keputusan
Tata Usaha Negara objek sengketa, seharusnya Hakim tidak sampai pada
penilaian terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat,
karena hal itu merupakan kewenangan Hakim Pengadilan Negeri
Wonosari.
2.
Penerapan
asas
pembuktian
bebas
dalam
Putusan
Nomor
03/G/2011/PTUN.Smg ditandai dengan adanya kebebasan Hakim dalam
menentukan apa yang harus dibuktikan. Menurut Majelis Hakim yang
harus dibuktikan adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat
melakukan tindak pidana korupsi serta unsur ketidaksengajaan Penggugat
dalam melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian Hakim telah
melampaui kewenangan Hakim pidana yaitu Hakim Pengadilan Negeri
Wonosari. Selain itu, baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak
mempersoalkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan
tindak pidana korupsi, hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal
yang disampaikan oleh para pihak. Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa Hakim sebenarnya telah menerapkan
asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg,
namun Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas tersebut
karena tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memang bebas dalam hal
menetukan apa yang harus dibuktikan dan penilaian terhadap pembuktian
sebagaimana diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986. Namun, Hakim seharusnya tetap memperhatikan kebenaran
materiil sesuai dengan hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yakni Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1979.
B. Saran
1.
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara lebih memperhatikan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara, dan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta asasasas hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, agar tepat dalam
mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang diadilinya.
2.
Mahkamah Agung dapat memberikan pengarahan dan pendidikan lebih
kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, agar Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara tidak keliru dalam menjatuhkan suatu putusan.
Daftar Pustaka
Buku Literatur:
Atmosudirjo, Slamet Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Cetakan X.
H.R, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Harahap, Zairin. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Hartini, Sri, Sitiajeng, Kadarsih, & Tedi, Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Indroharto. 2000. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Buku I. Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kansil, C.S.T. 2000. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT.
Pradnya Paramitha.
M. Hudjon, Philipus, dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Marzuki, Peter Mahmud . 2005. Penelitian Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan
Pertama. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Liberty.
Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Prodjohamidjojo, Mr. Martiman. 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha
Negara Dan UU PTUN 2004. Bogor: Ghalia Indonesia.
Pudjosewojo, Kusumadi. 1983. Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Aksara Baru.
Tjakranegara, R. Soegijatno. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Soemitro, Ronny Haninjito. 1999. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suratman dan Phillips. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.
Syahrani, Riduan. 2009. Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung:
P.T. Alumni.
Tjandra, W. Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi
Revisi. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi
(Peradilan Tata Usaha Negara). Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga
University Press.
Wiyono, R. 2013. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Ketiga.
Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Putusan Pengadilan:
Putusan
Pengadilan
Tata
03/G/2011/PTUN.Smg.
Usaha
Negara
Semarang
Nomor:
Download