RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg) Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman SKRIPSI Oleh: Kartika Hanazafira Pambudi E1A011019 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg) SKRIPSI Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: Kartika Hanazafira Pambudi E1A011019 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya: Nama : Kartika Hanazafira Pambudi NIM : E1A011019 Judul Skripsi : Ratio Decidendi Hakim Dalam Memutus Sengketa Tata Usaha Negara Dikaitkan Dengan Asas Pembuktian Bebas (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN. Smg) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apa pun dari Fakultas. Purwokerto, Kartika Hanazafira Pambudi E1A011019 RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg) Oleh: KARTIKA HANAZAFIRA PAMBUDI E1A011010 ABSTRAK Putusan Pengadilan harus memuat argumentasi atau alasan hakim dalam suatu pertimbangan hukum yang dikenal dengan istilah ratio decidendi. Ratio decidendi oleh Hakim termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara harus di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk mencapai putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak dan masyarakat pada umumnya dikenal asas pembuktian bebas. Asas ini memberikan kebebasan pada Hakim Tata Usaha Negara untuk menentukan beban pembuktian dan juga dalam hal menjatuhkan putusan untuk memperoleh kebenaran materiil. Dalam hal ini peneliti tertariuntuk meneliti tentang ratio decidendi dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg dan penerapan asas pembuktian bebas oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dalam rangka menjawab hal tersebut di atas maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan disusun dengan tipe penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan,pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Metode analisis yang digunakanadalah metode kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa ratio decidendiHakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan dan keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas. Kata kunci: Ratio decidendi, Asas pembuktian bebas dan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara. ABSTRACT Court verdict must contain a judge’s argument or reason in a law consideration known as a ratio decidenci. Judge’s ratio decidenci included judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara must be based on legislation ordinance. To reach the decision filling a justice for many sides and societies generally is acquainted as a freedom verification basis. This principle gives a freedom to judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara for deciding verification burden and also making a verdict to get material truth. In this case, the researcher is interested to canvass about a ratio decidenci in the verdict number 03/G/2011/PTUN.Smg and an application of freedom verification basis of judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara looking into and discontinuing the lawsuit. In the answering of its case above, the researcher uses approach method arranged by the research type of normative juridical with a legislation, a conceptual, and a case approach. The used analysis method is qualitative method. The result of the research states that ratio decidenci of judge’s Pengadilan Tata Usaha Negara isn’t proper with legislation ordinance and makes a mistake in applying freedom verification basis. Keywords: Ratio Decidenci, the freedom verification basis, and the authority of Pengadilan Tata Usaha Negara. KATA PENGANTAR Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA dan tak lupa penulis memanjatkan salawat kepada junjungan Nabi dan Rasul kita MUHAMMAD SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan ketulusan hati. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Weda Kupita, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan masukan yang membangun dengan kesabaran dan ketulusan hatinya dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Sanyoto, S. H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Noor Asyik, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan nasehat yang baik selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 5. Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama belajar dan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Orang tua penulis yaitu Papah Drs. Leksono Pambudi dan Mamah Prasetyaningsih, S.H. yang tanpa lelah mendoakan, mendukung baik secara moril maupun materiil dan selalu sabar dalam menghadapi segala tingkah laku serta tutur penulis sebagai anaknya. 7. Kakak penulis yaitu Hayuningtyas Pambudi yang selalu sabar mendengarkan segala keluh kesah penulis. 8. Aistetia Patriandita, Asti Salekhah Alfatin dan Prilia Primawati yang selalu menjadi teman baik dalam suka maupun duka. 9. Mahfud Sahroni yang selalu menemani dalam suka dan duka serta selalu sabar dalam menghadapi ketidaksabaran penulis. 10. Teman KKN Desa Glempang, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas: Eonni Juni Purwati, Kakak Afika Fahmudita, Kakak Nani, Mami Intan, Eli Boy, Mba Izza, Zulfa, Pedra dan Sony. 11. Teman seperjuangan Risti Mutiara Khoirunisa, Nur Laila, Erina P., Dani Habibi, Kusdianto, Ariawan, Panji, dsb. 12. Teman-teman kelas A angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Terima Kasih. Purwokerto, Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................ii PERNYATAAN iii ABSTRAK iv ABSTRACT v KATA PENGANTAR ........................................................................................iv DAFTAR ISI ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1 B. Perumusan Masalah ......................................................................................11 C. Kerangka Teori..............................................................................................11 D. Tujuan Penelitian ..........................................................................................15 E. Kegunaan Penelitian......................................................................................16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar-Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ......................................17 1. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ..........................................17 2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.........................23 3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara ................................25 4. Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara............27 5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara..................................................29 B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ...................................................30 C. Ratio Decidenci Hakim .................................................................................40 D. Tindak Pidana Korupsi ..................................................................................42 E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil ............................................................44 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .......................................................................................48 B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................................48 C. Lokasi Penelitian ...........................................................................................49 D. Sumber Bahan Hukum ..................................................................................49 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ...........................................................51 F. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................................51 G. Metode Analisis Bahan Hukum ....................................................................51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .............................................................................................52 B. Pembahasan ...................................................................................................88 BAB V PENUTUP A. Simpulan .......................................................................................................118 B. Saran ..............................................................................................................119 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan mulai diterapkan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14 Januari 1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.1 Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang1 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 2. Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009): Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu: 1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara; 2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.3 Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di bidang Hukum Administrasi Negara (Sjachran Basah, 1989: 15) serta lazimnya disebut sebagai penggugat dan tergugat.4 Para pihak yang bersengketa yaitu penggugat dan tergugat dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara sudah ditentukan secara limitatif atau 2 Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 6. 4 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 16. 3 terbatas dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam UndangUndang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) dapat kita ketahui yang dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pernyataan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal atau tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar putusan hakim. Hukum Acara Tata Usaha Negara terdapat dua macam putusan, yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara di sidang pengadilan.5 Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (7), dapat diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa antara lain sebagai berikut6: a. Gugatan ditolak b. Gugatan dikabulkan c. Gugatan tidak diterima d. Gugatan gugur Hakim sebelum menjatuhkan amar putusan terhadap perkara yang diperiksanya tentunya akan mempertimbangkan hal-hal yang ada relevansinya terhadap perkara yang diperiksa. Pertimbangan hukum hakim berisi antara lain argumentasi atau alasan hakim yang dijadikan pertimbangan bagi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Argumentasi atau alasan 5 6 R. Wiyono, Op.Cit., hlm.188. Ibid., hlm. 191. hakim dalam suatu pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio decidendi.7 Ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan. Ratio decidendi yang termuat dalam pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu tolok ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan. Putusan yang tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.8 Alasan hakim pada pertimbangan hukum dalam suatu putusan harus bersifat yuridis dan menjadi dasar suatu putusan. Putusan Pengadilan harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan dan sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.9 Baik keperluan praktik maupun kajian akademis ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.10 Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan, baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal). Dalam praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim yang menimbulkan persoalan yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 7 03/G/2011/PTUN.Smg. Sehingga ratio decidendi dalam W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005, hlm. 16. 8 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194. 9 Philipus M. Hudjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 356. 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-7, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005. hlm. 94. pertimbangan hukum tersebut perlu diteliti dan ditelaah lebih lanjut, untuk kemudian dapat dijadikan suatu pembelajaran. Duduk perkara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg dijabarkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang menangani perkara antara Ir.Ridwan Santoso,M.Si sebagai penggugat melawan Walikota Salatiga sebagai tergugat. Pada tahun 2011, Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si sebagai mantan Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota Salatiga dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 888/290/2010, tertanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (yang selanjutnya disebut dengan Surat Keputusan Objek Sengketa). Alasan diberhentikannya Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) karena telah melakukan tindak pidana korupsi dengan diperkuat adanya Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat pembuat komitmen, kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun panitia pemeriksa termasuk dalam hal ini adalah Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si. Pertimbangan hukum Majelis Hakim dapat dideskripsikan secara singkat yaitu Majelis Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim memutus dalam amar putusannya sebagai berikut: 1. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si. 2. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pmberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si. 3. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan Penggugat sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta merehabilitasi nama baiknya dan kehormatan diri Penggugat. Ratio decidendi dari majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang terlihat janggal, karena yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari nomor 02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi. Hal itu seolah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak menghargai suatu putusan yang sudah inkrah. Mencari fakta-fakta atau menganalisis putusan Pengadilan Negeri bisa dilakukan oleh Pengadilan Tinggi apabila ada upaya banding. Bukan lingkup hakim Tata Usaha Negara untuk memeriksa fakta-fakta dalam putusan pidana tersebut. Padahal di sisi lain Tergugat dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan yaitu pada saat ada dugaan tindak pidana korupsi terhadap penggugat, tergugat mengeluarkan surat pemberhentian sementara nomor 887/06/2010 terhadap penggugat. Untuk kepentingan peradilan, seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Kemudian setelah keluar putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa penggugat terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, barulah tergugat mengeluarkan surat pemberhentian dengan tidak hormat kepada penggugat. Berkaitan dengan kewenangan Hakim dalam mempertimbangkan suatu sengketa Tata Usaha Negara, dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal adanya asas pembuktian bebas. Pengertian asas pembuktian bebas adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bebas dalam menentukan beban pembuktian dan menilai alat-alat bukti.11 Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurangkurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Sesuai dengan asas pembuktian bebas Hakim memang bebas dalam menentukan beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan. Namun demikian, hakim juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Terkait dengan kasus tersebut, hakim seharusnya memperhatikan pula peraturan perundang-undangan tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Seorang Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat apabila terbukti melakukan kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Mengenai kejahatan jabatan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c, yaitu : Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. 11 Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara), Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 62. Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan: Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; Berdasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil maka apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya.12 Dihubungkan dengan Pengertian Kejahatan jabatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sejumlah kejahatan tertentu, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai Pegawai Negeri. Konsep yang menyangkut kejahatan jabatan dari ketentuan 12 Penjelasan PP Nomor 32 Tahun 1979. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut mengacu pada tindak pidana korupsi yang saat ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari hal – hal tersebut diatas, maka seharusnya Tergugat yang dimenangkan dalam perkara ini, dan Keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan sah. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis ingin melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek yuridis normatif dengan judul “RATIO DECIDENDI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DIKAITKAN DENGAN ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR 03/G/2011/PTUN.SMG)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan? 2. Bagaimanakah penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg? C. Kerangka Teori Secara sederhana negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum dan memberikan petunjuk hidup pada masyarakat, guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).13 Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia adalah suatu negara hukum (rechtsstaat), jadi seasas negara-negara Eropa Barat Kontinental.14 Indonesia tergolong sebagai negara hukum demokratis. Hukum yang dijadikan aturan main (spelregel) dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara penyelenggara negara dan pemerintahan di Indonesia adalah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.15 Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. 13 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1. 14 Slamet Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan X, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 21. 15 Ridwan H. R., Op.Cit., hlm. 20. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan peradilan. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai susunan dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Pasal 8 ditentukan bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari: 1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama. 2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.16 Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 10 Undang- 16 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 2. Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) adalah: Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang melalui Pengadilan Tata Usaha Negara akan berakhir dengan adanya putusan Hakim. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2 jenis putusan, yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut, dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.17 Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur. Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum 17 Ibid., hlm. 187. berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum untuk sampai pada suatu putusan. Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum terhadap duduk perkara.18 Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim dapat dilihat dari ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan oleh hakim itu sendiri. Hakim bebas dalam menjatuhkan putusan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu asas pembuktian bebas. Asas pembuktian bebas sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986. Meskipun Hakim bebas dalam menentukan beban pembuktian dan juga dalam menjatuhkan putusan, namun harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apakah ratio decidendi hakim mengenai pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan. 18 Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119. 2. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. E. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Acara Tata Usaha Negara, khususnya mengenai ratio decidendi terkait dengan kewenangan hakim dalam memutus perkara. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan bagi penulis sekaligus menjadi pedoman dan acuan bagi mereka yang akan melakukan penelitian serupa, serta para praktisi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar-Dasar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 1. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Lingkup peradilan di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing meliputi badan-badan peradilan tingkat Pertama dan tingkat Banding. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia menganut Dual System Of Courts yaitu disamping Peradilan Umum juga Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri. Peradilan Administrasi perlu adanya penegasan lapangan sengketa/perkara administrasi sebagai bidang kompetensi peradilan yang bersangkutan. Sengketa atau perkara administrasi merupakan perselisihan antara dua pihak yaitu warga negara masyarakat/warga negara dan pemerintahan atau penguasa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum administrasi.19 Penegakan Hukum Administrasi Negara memerlukan suatu hukum formil atau hukum acara yang berisi ketentuan-ketentuan tata cara mewujudkan Hukum Administrasi Negara dalam kehidupan sehari-hari. 19 R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum yang berisi ketentuan mengenai tata cara menegakkan Hukum Administrasi Negara dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibedakan atas: 1. Hukum acara materiil yang meliputi: a. Kompetensi absolut dan relatif; b. Hak gugat; c. Tenggang waktu menggugat; d. Alasan menggugat; e. Alat bukti 2. Hukum acara formil (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkahlangkah atau tahapan yang terbagi atas: a. Acara biasa; b. Acara cepat; c. Acara singkat.20 Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagi Pengadilan pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan tingkat banding. Para pihak yang berperkara dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dua pihak yang berlawanan, yaitu pihak Penggugat dan pihak Tergugat. Pihak Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha 20 Philipus M. Hadjon. Dkk., Op.Cit., hlm. 331. Negara yaitu orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat mapun di daerah. Dan pihak Tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan ketetapan berdasarkan wewenang sebagai alat perlengkapan negara atau yang dilimpahkan kepadanya. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschikking) dapat ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan. Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang dimana daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 11 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009): Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Gugatan pada pokoknya harus memuat; identitas para pihak (penggugat dan tergugat); posita (dasar tuntutan yang terdiri dari bagian yang menguraikan tentang peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya); petitum atau tuntutan (apa yang diminta oleh penggugat atau yang diharapkan diputuskan oleh hakim).21 Orang atau badan hukum yang kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat menggugat badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986: Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Kepentingan adalah syarat pokok agar seseorang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah adanya kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Secara garis besar ada 2 (dua) alasan yang dijadikan dasar pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 2. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.22 21 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 39. 22 W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 74. Pengajuan gugatan harus memperhatikan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan, karena dengan lewatnya tenggang waktu gugatan, ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar.23 Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung di samping Penggugat dan Tergugat, kadang-kadang ada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan juga terhadap penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga akibatnya kepada pihak ketiga perlu diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud. Keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang di dalam kepustakaan biasa disebut intervensi, diatur dalam Pasal 83 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986.24 Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa selama pemeriksaan berlangsung setiap orang atau badan hukum perdata yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik prakarsa 23 24 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 124. Ibid., hlm. 76. sendiri dengan mengajukan permohonan, permintaan dari para pihak yang sedang bersengketa, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang membela haknya, atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 3 (tiga) jenis acara pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat dan acara pemeriksaan singkat. Pemeriksaan dengan acara biasa merupakan pemeriksaaan yang dilakukan apabila tidak terdapat alasan khusus yang memenuhi kriteria Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pemeriksaan dengan menggunakan acara biasa tidak boleh melebihi batas waktu 6 bulan sejak tanggal registrasi Sengketa Tata Usaha Negara oleh Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pemeriksaan dengan acara biasa dipimpin oleh Majelis Hakim Ketua dan Hakim Anggota. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila dalam gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat disebutkan adanya alasan-alasan khusus agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara dipercepat.25 Pemeriksaan dengan acara singkat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana bagi Penggugat apabila 25 Ibid., hlm. 166. gugatannya dinyatakan tidak diterima dalam Rapat Permusyawaratan pada acara pemeriksaan biasa. Bentuk akhir dari acara pemeriksaan singkat adalah penetapan, hal ini berbeda dengan bentuk akhir dari acara pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat yaitu putusan. 2. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Asas-asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas-asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, karena: Pertama, asas-asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Peraturan hukum pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas-asas hukum. Asas-asas hukum adalah abstraksi dari peraturan hukum, yakni abstraksi tertinggi yang dari padanya tidak dapat ditarik pengertian umum yang lebih tinggi lagi. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau alasan bagi lahirnya peraturan hukum.26 Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu:27 1. 2. 26 27 Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986). Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100. Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46. Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313. 3. 4. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80, 85 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa. Ciri khas yang ada dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tersebut dapat dijelaskan bahwa: Asas praduga rechmatig dimaksudkan semua tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada saat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu dianggap benar atau berdasarkan hukum (rechtmatig) sampai dengan dibatalkan oleh yang berwenang; Asas pembuktian bebas sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986; Asas keaktifan Hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan Penggugat yang merupakan orang atau badan hukum perdata dengan Tergugat yang merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai kedudukan lebih kuat; Asas Putusan Pengadilan Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat dimaksudkan bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi semua orang. Maka dari itu putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Hal demikian itu merupakan pengejawantahan esensi Peradilan Tata Usaha Negara yang pada dasarnya menegakkan hukum publik.28 3. Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Masalah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Thorbecke apabila sengketa (fundamental petendi) terletak di lapangan hukum publik yang memiliki kewenangan memutuskannya adalah Hakim Administrasi. Menentukan kewenangan mengadili yang ada pada Hakim Administrasi Negara menurut Buys adalah pokok dalam perselisihan (objectum litis). Pihak yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, maka objectum litis itu sendiri adalah suatu hak privat, oleh karena itu perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa atau peradilan umum. Kompetensi yang sebagaimana dikemukakan oleh Buys lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi yang dikemukakan oleh Thorbercke.29 Kompetensi atau kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif (wewenang/kekuasaan relatif) Peradilan Tata Usaha Negara terkait dengan Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam pasal 54 28 29 Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 75. W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 33. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009): Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.30 Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu: 1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara; 2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.31 30 31 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 6. Ibid., hlm. 6. Kompetensi absolut/wewenang mutlak menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antara badan-badan Pengadilan (attribute van rechtsmacht). Wewenang absolut mengetahui badan peradilan seperti apa yang berwenang mengadili suatu sengketa.32 4. Pembuktian Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.33 Peradilan Tata Usaha Negara menganut ajaran pembuktian bebas. Hal tersebut tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena proses pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang 32 33 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 31. R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171 Nomor 51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.34 Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: a. apa yang harus dibuktikan; b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri; c. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; d. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. Macam alat-alat bukti disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu: a. Surat atau tulisan; b. Keterangan ahli; c. Keterangan saksi; d. Pengakuan para pihak; e. Pengetahuan Hakim. Ketentuan Pasal 100 tersebut menyebutkan alat-alat bukti yang sah sehingga alat-alat bukti dalam ketentuan Pasal 100 bersifat limitatif 34 Ibid., hlm. 173 (terbatas; sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 alat bukti apa saja yang dapat digunakan), maka apabila ada alat-alat bukti lain di luar ketentuan Pasal 100 tersebut harus dianggap bukan alat bukti, seperti pita rekaman, film dan lain sebagainya.35 5. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.36 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mengenal adanya 2 jenis putusan, yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut, dapat disimpulkan dari perumusan Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.37 Putusan akhir merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat tertentu. Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa putusan akhir dapat berupa gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur. 35 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 84. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama, Edisi Kedelapan, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 212. 37 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 187. 36 Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, megakibatkan putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan diucapkan, baik dihadiri oleh satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir, maka atas perintah hakim ketua sidang disampaikan salinan putusan dengan surat tercatat kepada pihak-pihak yang tidak hadir ini. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengenal satu macam tuntutan pokok, yaitu agar Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak ada tuntutan penggantian atau subsider atau lebih subsider. Tuntutan tambahan berupa ganti rugi dan atau rehabilitasi. B. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilihat dari syaratsyarat pembuatannya dan dasar pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, kedua hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Syarat-syarat Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan beschikking ini mencakup syarat materiil dan syarat formil. Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht). Syarat- syarat materiil dan syarat-syarat formil adalah sebagai berikut:38 a. Syarat-syarat materiil terdiri atas : 1) Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang; 2) Karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis (geen jurisdische gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (berdrog), paksaan (dwang), atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling); 3) Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu; 4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. b. Syarat-syarat formil terdiri atas : 1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; 2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu; 3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi; 4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkan keputusan itu harus diperhatikan. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi syarat materiil dan syarat formil, maka keputusan ini dikategorikan sah menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formil maupun materiil.39 38 39 Ridwan HR. Op, Cit., hlm. 162. Ibid, hlm. 163. 2. Dasar Untuk Menguji Keputusan Tata Usaha Negara Alasan mengajukan gugatan atau dasar gugatan yang diajukan penggugat, pada prinsipnya sama dengan dasar pengujian yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.40 Menurut konsep Hukum Administrasi Negara, dasar untuk melakukan perbuatan hukum oleh Pemerintah adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh wewenang dapat melalui atribusi, delegasi atau mandat yang akan melahirkan kewenangan. Menurut asas legalitas, kewenangan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Secara teoritis kita mengenal tiga macam jenis norma hukum tertulis yang dibuat oleh pemerintah, yaitu norma hukum Peraturan Perundang-undangan (regelling), norma hukum Ketetapan/Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) dan norma hukum Putusan Pengadilan (vonnis). Kewenangan pengujian norma hukum putusan pengadilan dilakukan oleh pengadilan di atasnya dalam kerangka sistem pengajuan upaya hukum, baik upaya hukum biasa (banding, kasasi), maupun upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali). Sedangkan pengujian norma hukum Keputusan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 40 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 88. Ketentuan mengenai hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengamanatkan diselenggarakannya hak gugat bagi orang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Petitum atau tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat yakni agar Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah. Agar tujuan dari tuntutan tersebut dapat tercapai, maka gugatan yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata harus memuat dasardasar gugatan atau alasan-alasan gugatan, hal ini sesuai dengan alasanalasan gugatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah : a. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan ukuran) untuk menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha Negara pada waktu menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan bersifat melawan hukum atau tidak. Indroharto menegaskan bahwa mengenai pengujian yang dilakukan oleh Hakim Tata Usaha Negara tersebut perlu dipahami mengenai : 1. Aspek-aspek umum dari pengujian tersebut; 2. Ruang lingkup dari pengujian tersebut; 3. Dasar-dasar pengujiannya sendiri.41 Sesuai dengan dasar-dasar untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara, berarti salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dikualifikasikan sebagai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, dijelaskan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu : 1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal. 2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial. 3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:42 1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha 41 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 164. 42 Ibid., hlm. 172-173. 2) 3) 4) 5) Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan keputusan yang dimaksud. Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan pendelegasian dari si delegans. Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.43 Mengenai keabsahan ditinjau dari segi kewenangan, berarti apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan aspek kewenangan dari Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya, maka berarti Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang. W. Riawan Tjandra menegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang 43 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 330. (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken). Cacat kewenangan meliputi 3 (tiga) hal, yaitu : a. Onbevoegdheid riatione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang mengeluarkannya. b. Onbevoegdheid riatione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis). c. Onbevoegdheid riatione temporis, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.44 Sesuai dengan konsep kewenangan tersebut di atas, berarti Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin, kewenangan yang ada pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai sah dan tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Indroharto menyatakan bahwa pengujian dari segi hukumnya tidak hanya mengenai keputusannya saja, tetapi mengenai keseluruhan proses pembentukan keputusan tersebut dalam segala tingkatannya. Artinya pengujian itu juga mengenai : 45 a. Prosedur permohonannya : umpama apakah pemohon telah diberi kesempatan untuk melengkapi surat-suratnya dalam waktu yang layak? b. Penelitian yang dilakukan oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang bersangkutan: apakah instansi tersebut telah mengadakan penelitian mengenai pendapat-pendapat yang 44 45 W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 73. Indroharto, Op. Cit., hlm. 168 – 169. dikemukakan oleh mereka yang berkepentingan? Umpama yang berkepentingan itu mengemukakan, bahwa ternyata ada permohonan-permohonan yang keadaannya serupa dengan permohonannya telah memperoleh izin yang dimohon maka semestinya instansi tersebut juga perlu melakukan penelitian akan kebenaran mengenai yang dikemukakan tersebut; apabila menurut peraturannya ditentukan, bahwa yang berkepentingan harus didengar, maka perlu diteliti apakah hal tersebut benar sudah dilakukan oleh instansi tersebut? Apakah keharusan untuk meminta pendapat instansi lain seperti yang ditentukan dalam peraturan yang bersangkutan itu benar sudah dilakukan? c. Keputusannya sendiri : apakah instansi yang bersangkutan itu benar berwenang untuk mengeluarkan keputusan yang digugat itu? Apakah peraturan yang menjadi dasar wewenang telah secara tepat ditafsirkan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan itu? Apakah benar telah dilakukan penimbangan secara layak mengenai kepentingan-kepentingan yang terkait dengan keputusan itu? Bagaimanakah keputusan mengenai hal itu atau keadaan yang serupa pada waktu-waktu yang lampau? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah dikeluarkan peraturan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh mengenai hal yang ditentukan dalam keputusan itu? Apakah peraturan kebijaksanaan tersebut telah dipublikasikan? Apakah oleh instansi yang bersangkutan telah diberikan janji-janji tertentu kepada pemohon? d. Bentuk keputusan yang digugat : apakah keputusan itu sendiri sudah cukup jelas? Apakah keputusan itu memuat pertimbanganpertimbangan yang didasarkan kepada fakta-fakta yang benar? Sejalan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dasar pengujian atau tolok ukur untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik ataukah tidak. Berkaitan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar pengujian terhadap keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, Indroharto juga mengemukakan sebagai berikut.46 46 Indroharto, Op. cit., hlm. 179. 1. Asas-asas formil mengenai pembentukan keputusan: a. asas kecermatan formil; b. asas fair play; 2. Asas-asas formil mengenai formulasi keputusan: a. asas pertimbangan; b. asas kepastian hukum formil; 3. Asas-asas materiil mengenai isi keputusan: a. asas kepastian hukum materiil; b. asas kepercayaan atau asas harapan yang telah ditimbulkan; c. asas persamaan; d. asas kecermatan; e. asas keseimbangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang dimaksud Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah meliputi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas tersebut meliputi : a. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara. b. Asas tertib Penyelenggaraan Negara, yakni asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Negara. c. Asas Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatiakn perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. d. Asas Proporsional, yakni asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara. e. Asas Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. f. Asas Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik dalam Pengadilan, Hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara biasa menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang tidak terdapat dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Oleh karena itu, mengetahui dan memahami Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang terdapat dalam doktrin atau teori hukum adalah merupakan hal yang penting. Beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik telah mendapat tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta dikembangkan oleh teori-teori Ilmu Hukum, yaitu antara lain: 47 a. Asas Kepastian Hukum (rechtszekerheid beginsel/principle of legal security); b. Asas Keseimbangan (evenredigheid beginseel); c. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (gelijkheid beginsel/principle of equality); d. Asas Bertindak cermat (zorgvuldigheid begilsel/principle of carefulness); e. Asas Motivasi untuk setiap keputusan (motivering beginsel/principle of motivation ); f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (priciple of non misuse of copetence); g. Asas Permainan yang Layak (priciple of fair play); h. Asas Keadilan dan Kewajaran (redelijkheids beginsel of verbod van wilekeur/principle of resonableness or prohibition arbitratiness); i. Asas kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan Yang Wajar (beginsel van apgewekte verctingen/principle of metting raised expectation); j. Asas Meniadakan Akibat-Akibat Suatu Keputusan Yang Batal (herstel beginsel/principle undoing the consequences of an annulled decision); 47 Ridwan, HR., Op. Cit., hlm 206-207. k. Asas Perlindungan Atas Pandangan (cara) Hidup pribadi (principle of protecting the personal of way of life). l. Asas Kebijaksanaan (supienta) m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principles of public service). C. Ratio Decidendi Hakim Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Sebelum hakim menjatuhkan vonis untuk menjawab tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasar-dasar pertimbangan hukum berisi ratio decindendi atau reasoning yaitu argumentasi atau alasan hukum untuk sampai pada suatu putusan. Inti dari suatu perkara yang yuridis, yakni bagian dapat dianggap dianggap mempunyai sifat menentukan, disebut ratio decidendi. Ratio decidendi ialah faktor-faktor yang sejati (material facts), faktor-faktor yang ”esensiil” yang justru mengakibatkan keputusan begitu itu.48 Bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum atau biasa disebut dengan konsiderans berisi tentang uraian pertimbangan hukum terhadap duduk perkara.49 Pada bagian putusan mengenai pertimbangan hukum tersebut terdapat penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap faktafakta yang diajukan atau yang dibantah oleh penggugat dan/atau tergugat dalam persidangan. 48 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 37-38 49 Philipus M. Hadjon, Dkk, Op.Cit., hlm. 119. Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan serta menjatuhkan putusan, namun semua itu harus didasarkan pada aturan hukum yang ada dan didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti. Hal ini bertujuan agar dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim akan memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa. Putusan harus dihasilkan melalui musyawarah dengan prinsip permufakatan bulat berkaitan dengan segi obyektivitas putusan. Putusan Hakim harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan melalui penilaian obyektif terhadap kaedah hukum. Apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaedah hukum, maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaedah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).50 Mutu atau kualitas putusan yang dijatuhkan hakim dapat dilihat dari ratio decidendi atau argumentasi hukum yang diberikan oleh hakim itu sendiri. Pertimbangan hukum dalam suatu putusan adalah sangat penting dan menentukan, hal ini dikarenakan apabila suatu putusan didasarkan pada suatu pertimbangan hukum yang tidak cukup maka akan menjadi alasan untuk membatalkan putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat kasasi.51 Putusan yang tidak menyebutkan atau tidak mencantumkan pertimbangan atau argumentasi dari hakim sebelum memutus suatu perkara atau sengketa, maka terhadap putusan tersebut berakibat batal demi hukum. 50 51 W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 120 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 195. Batal demi hukum berarti putusan tersebut bagi hukum tidak mempunyai akibat hukum tanpa diperlukan adanya putusan lagi untuk menyatakan batal terhadap putusan tersebut.52 D. Tindak Pidana Korupsi Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio. Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi di dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Tindak Pidana Korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman Pidananya seperti di Pasal 2 terkait dengan kerugian negara sebagai berikut : (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan 52 Indroharto, Op. Cit., hlm. 130. jabatan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaimana rumusan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selain pasal tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal-pasal lain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, antara lain: a. Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Pasal 10 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; d. Pasal 10 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e. Pasal 10 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan jabatan biasanya terkait dengan tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan. Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender. Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. E. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pemberhentian pemberhentian sebagai Pegawai yang mengakibatkan yang Negeri Sipil bersangkutan merupakan kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.53 Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil terdiri atas pemberhentian 53 Sri Hartini, HJ. Sitiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.154. dengan hormat sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil menerima hak-hak kepegawaiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain hak atas pensiun. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, kehilangan hak-hak kepegawaiannya antara lain hak atas pensiun. Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat karena alasanalasan sebagai berikut: 1. Meninggal dunia 2. Atas permintaan sendiri 3. Mencapai batas usia pensiun 4. Ada penyederhanaan organisasi 5. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana. Dan Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat. Adapun Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan tidak hormat karena: melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, dan dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pindana yang dilakukan dengan berencana. Selain itu, Pegawai Negeri Sipil diberhentikan sementara apabila: diangkat menjadi pejabat Negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga non structural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Pegawai Negeri Sipil juga dapat diberhentikan tidak dengan hormat dikarenakan antara lain yaitu: melanggar Peraturan Disiplin Berat, sumpah atau janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah atau janji jabatan karena tidak setia kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah, dan dihukum penjara atau kurungan berdasarkan peraturan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau hubungannya dengan jabatan.54 54 Ibid., hlm.155. tindak pidana kejahatan yang ada Berdasarkan pembahasan tersebut permasalahan yang sering terjadi dalam pemberhentian Pegawai Negeri Sipil adalah masalah mengenai pelanggaran, tindak pidana, dan penyelewengan, sehingga perlu ditangani lebih lanjut dengan sanksi yang jelas akan permasalahan tersebut. Pemberhentian tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan peraturan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, yaitu : Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan bahwa: Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga disebut juga penelitian hukum kepustakaan.55 Dalam penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan hukum masyarakat. Menurut L. Morris Cohen, penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan yaitu statute approach, conceptual approach, analytical approach, comparative approach, hystorical approach, philosophical approach, dan case approach.56 Merujuk pendekatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case research). B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif-analitis sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Menurut Ronny Hanintijo Soemitro, deskriptif analitis adalah menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dari 55 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 14. 56 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 93. PT Raja praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini.57 C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman. D. Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.58 Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari: a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara c. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian 57 Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 97-98. 58 Suratman dan Phillips, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2012, hlm. 66. d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman g. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara h. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil i. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. j. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor: 03/G/2011/PTUN.Smg. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan hukum, media cetak. 3. Bahan Hukum Tersier, sumbernya adalah bahan penunjang bahan primer dan tersier yang berupa kamus hukum.59 59 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 38. E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisir bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Putusan Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan Yurisprudensi yang relevan, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka terhadap hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, serta Petunjuk Teknis maupun Petunjuk Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang yang relevan dengan obyek penelitian. F. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptifkualitatif, yaitu pembahasan secara sistematis dengan menggambarkan, menjabarkan, menginterprestasikan norma atau kaidah hukum dan doktrin hukum yang ada kaitan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti. G. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh tentang masalah yang diteliti. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Para Pihak 1.1. Identitas Penggugat Nama : Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. Kewarganegaraan : Indonesia Pekerjaan : Mantan Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jl. Diponegoro 82 G RT. 05 RW. 04, Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo Lor, Kota Salatiga 1.2. Identitas Tergugat 2. Nama Jabatan : Walikota Salatiga Tempat Kedudukan : Jalan Sukowati No. 51 Salatiga Objek Gugatan Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 888/ 290/ 2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. 3. Kasus Posisi Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) sebagai mantan Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatannya oleh Walikota Salatiga dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 888/290/2010, tertanggal 4 Oktober 2010 tentang pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Alasan diberhentikannya Penggugat dalam hal ini karena Penggugat secara melawan hukum telah melakukan tindak pidana korupsi yang diperkuat dengan adanya Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns yang dilakukan secara bersama-sama dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pejabat pembuat komitmen, kepala dinas, penyedia barang dan jasa maupun panitia pemeriksa termasuk dalam hal ini adalah Penggugat. Penggugat dalam hal ini merasa sangat dirugikan atas dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil) tersebut oleh Walikota Salatiga. Adapun alasan gugatan Penggugat adalah sebagai berikut: 1. Dalam Konsideran membaca, Tergugat menyebutkan pada Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/Pn.Wns, tertanggal 12 Mei 2010, padahal sebagaimana tertuang dalam salinan putusan dimaksud adalah dibacakan para hari Rabu tanggal 19 Mei 2010, dengan demikian Tergugat adalah tindakan yang tidak cermat, ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenangwenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran dalam obyek gugatan dimaksud sehingga bertentangan dengan fakta dasar yang tidak benar; 2. Dalam Konsideran menimbang, Tergugat salah dalam menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP No. 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, diterangkan bahwa tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi dalam pasal tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan baginya dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian tindakan Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang, ceroboh, arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; 3. Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendesius karena obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi (1) sebelum Pegawai Negeri Sipil dijatuhi disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran disiplin (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kewenangan untuk menjatuhkan disiplin kepada Pegawai Negeri Sipil tersebut merupakan kewenangan Atasan langsung yang bersangkutan, maka alasan langsung menjatuhkan hukuman disiplin; a. Pejabat yang lebih tinggi maka alasan langsung tersebut wajib melaporkan secara hirarki disertai berita acara langsung ; b. Bertolak dari dasar tersebut diatas maka tindakan tergugat yang telah menerbitkan obyek gugatan dimaksud telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan demikian telah merampas hak konstitusional yang melekat pada diri Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil; 3. Tindakan Tergugat yang menerbitkan obyek gugatan dimaksud dilakukan dengan itikad buruk, terburu-buru dan tendensius karena obyek gugatan dimaksud sama sekali tidak mendasarkan pada ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berlaku secara sah sejak tanggal 1 Oktober 2010 yang dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa sebagai pelaksana lebih lanjut pasal 49 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, perlu menetapkan Peraturan Kepala badan Kepegawaian Negara tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam romawi III huruf A Umum angka 3 disebutkan bahwa dengan tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin, dan dalam penjelasan contoh disebutkan dalam hal demikian, meskipun yang bersangkutan telah diperiksa oleh pihak yang berwajib atas dugaan tindak pidana yang dilakukan dan diberhentikan sementara dari jabatan negeri, maka atasan langsung yang bersangkutan wajib melakukan pemeriksaan; 4. Atas tindakan Tergugat yang telah menerbitkan surat keputusan obyek gugatan tersebut, kemudian Penggugat dengan dilandasi itikad baik telah mengajukan banding administratif yang ditunjukkan kepada Tergugat melalui surat Tertanggal 18 Oktober 2010, dimana surat banding dimaksud juga ditembus kepada seluruh atasan Tergugat, termasuk Menteri Dalam Negeri RI; 5. Atas pengajuan banding tersebut ternyata Tergugat dengan itikad buruk dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sama sekali tidak merespon dan atau tidak menindaklanjuti Banding dari Penggugat tersebut padahal secara jelas dan nyata sebagaimana tembusan yang diberikan justru Menteri Dalam Negeri merespon Banding dimaksud dengan menerbitkan Surat Nomor: 8333.88/4445/SJ, tertanggal 2 Desember 2010 yang dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri telah memerintahkan kepada Tergugat untuk melakukan penyelesaian atas permohonan banding yang diajukan oleh Penggugat; 6. Hingga gugatan diajukan Tergugat dengan itikad buruk sama sekali belum merespon adanya perintah dari Menteri Dalam Negeri tersebut dengan demikian secara jelas Tergugat selaku Pejabat Tata Usaha Negara tidak menerapkan prinsip-prinsip pemerintah yang baik (good governance) dan telah melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku; 7. Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat tersebut adalah produk Pejabat Tata Usaha Negara yang abscuur libel dan cacat hukum karena Tergugat selaku Pejabat Tata Usaha Negara telah bertindak secara sewenang-wenang, tidak menerapkan asas-asas pemerintahan yang baik serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggugat kemudian mengajukan gugatan tanggal 14 Februari 2011 kepada pengadilan Tata Usaha Negara Semarang terhadap Walikota Salatiga dengan Nomor register perkara 03/G/2011/PTUN.SMG. Dalam gugatannya Penggugat mengajukan petitum sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010, tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si; 3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Nomor : 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010, tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si; 4. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan penggugat sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta merehabilitasi nama baik dan kehormatan diri penggugat; 5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini; Pihak Tergugat menyangkal dalil gugatan Penggugat tersebut, dan mengajukan jawaban gugatan sebagai berikut: 1. Surat Keputusan objek sengketa tersebut diterbitkan oleh Tergugat atas dasar Surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194/ tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekonmendasi agar Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil; 2. Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa tersebut berdasarkan pada salinan putusan Pengadilan Negeri No. 02/Pid.B/2010/PN tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns); 3. Berdasarkan salinan putusan 02/Pid.B/2010/PN.Wns jelas-jelas Pengadilan disebutkan Negeri bahwa No. putusan tersebut adalah tanggal 12 Mei 2010 (vide Bukti Salinan Putusan No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns dari Tergugat), adapun pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2010 adalah tentang pembacaan putusan tersebut dimana terhadap perkara tersebut, berdasarkan musyawarah Majelis Hakim sudah diputus oleh Majelis Hakim pada tanggal 12 Mei 2010; 4. Dalam Konsideran menimbang Tergugat sudah tepat dalam menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundangundangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Dalil gugatan Penggugat tidak jelas, kabur dan tidak lengkap karena Pasal 9 huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 seharusnya berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”, sehingga dalil gugatan Penggugat tersebut tidak jelas dan mengaburkan bunyi Pasal 9 huruf a yang seolah-olah akan menunjukkan bahwa Tergugat salah dalam pertimbangannya. 5. Atas dalil gugatan tentang Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 yang dikemukaan Penggugat bahwa Tergugat dalam menerbitkan obyek gugatan telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku adalah tidak benar. Bahwa disebutkan dalam penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010, dijelaskan tujuan pemeriksaan yaitu ayat 1 “… Tujuan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini adalah untuk mengetahui apakah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan benar atau tidak melakukan Pelanggaran Disiplin serta untuk mengetahui faktor-faktor pendorong atau menyebabkan ia melakukan pelanggaran disiplin…” dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa tujuan pemeriksaan adalah untuk mencari fakta-fakta yang terjadi atas pelanggaran disiplin, dan pemeriksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat tentang Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Fakta yang terungkap dalam proses Pengadilan Negeri tersebut dapat dipakai untuk memperoleh fakta atas pelanggaran yang dilakukan Penggugat. Dari perkara tersebut jelas dapat dipertimbangkan yang obyektif sehingga dijatuhkan putusan untuk memberikan hukuman yang seadil-adilnya sesuai dengan aturan yang ada. Sehingga atas dalil Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindakan yang tidak beritikad baik, tergesa-gesa dan tendensius adalah tidak benar, karena Tergugat dalam penjatuhannya sudah melalui pertimbangan berdasarkan ketentuan yang berlaku berdasarkan fakta yang menjadi alasan diterbitkannya objek gugatan dalam perkara ini; 6. Berkaitan dengan dalil Penggugat dalam pemeriksaan harus mendasarkan pada ketentuan Peraturan Ka BKN No. 21 Tahun 2010 dan ketentuan Pelaksana PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, menurut hemat Tergugat, Penggugat kurang memahami makna dasar penerbitan Obyek Gugatan dimana penetapan didasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, tertanggal 12 Mei 2010 dan daya laku terhadap Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 yang telah ditunjuk oleh Tergugat secara khusus dalam pemeriksaan diundangkan pada 6 Juni 2010; 7. Penggugat telah mendalilkan tentang Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juni 2010 padahal proses terbitnya Obyek Gugatan adalah sebelum Peraturan tersebut mulai diberlakukan, apabila Penggugat mendalilkan mengenai pemeriksaan berdasarkan ketentuan tersebut adalah tidak berdasarkan hukum, sehingga dalil tersebut patut ditolak; 8. Tergugat telah melakukan pertimbangan yang teliti dan telah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang ada. Majelis Hakim kemudian dalam putusannya memutuskan bahwa mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Dalam pertimbangannya majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Dalam pertimbangannya, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga menyatakan bahwa dari putusan PN.Wonosari no. 02/pid.B/2010/PN.Wns tidak ditemukan fakta bahwa penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut, yaitu dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi. 4. Pembuktian Para Pihak 4.1. Alat Bukti Tertulis Penggugat P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 Kartu Tanda Penduduk Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 01 / Pem. D/UP/D.2 tertanggal 184-1996. Tentang Penetapan CPNS dalam masa percobaan dalam golongan ruang PGPNS dengan NIP 490030559, dengan golongan III/a, pada Pemerintah Dati II Gunung Kidul atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy dari fotocopy); Petikan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 259/Pem. D/UP/D.2 tertanggal 209-1997 Tentang Pengangkatan Menjadi PNS atas Nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Pemerintah Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy); Petikan Keputusan Gubernur Kepala daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 02/Pem.D/UP/D.1 tertanggal 10-32000 Tentang Kenaikan Pangkat dari Golongan III/a Menjadi III/b atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy); Petikan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 01/GK/UP/Kep.D/DI tertanggal 20 Maret 2001 Tentang Kenaikan Pangkat dari Golongan III/b menjadi III/c atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy); Petikan Bupati Gunung Kidul Nomor: 02/UP/Kep.D/DI tertanggal 14 April 2008 Tentang Kenaikan Pangkat dari Golongan III/c menjadi III/d atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Dati II Gunung Kidul (Fotocopy dari fotocopy); Surat Keputusan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Nomor: SK 027/677 tertanggal 2 Agustus 2006 Tentang Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia Pemeriksaan Belanja Modal Kegiatan Peningkatan P-9 P-10 P-11 P-12 P-13 P-14 P-15 P-16 P-17 Kapasitas Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kab. Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006 (Fotocopy dari fotocopy); Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan Negeri Wonosari Gunung Kidul Dalam Register Perkara Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN. Wns tertanggal 26 Mei 2010 atas nama Terdakwa Sudaryanto, S.TP Bin Kusnindiar DKK (Termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si) (Fotocopy dari fotocopy); Surat Walikota Salatiga Nomor: 824. 3/1707 tertanggal 6 Juni 2008 Tentang Persetujuan Pindah/Mutasi tempat kerja Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 824/4191 tertanggal 16 Oktober 2001 Tentang Persetujuan atas Permohonan Pindah Tempat Bekerja bagi Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559 (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Badan Kepegawaian Nomor: 824.3/09389 tertanggal 4 November 2008 Tentang Persetujuan Pindah A/n Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559 (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Dari Badan Kepegawaian Negara Nomor: 00004/KEP/BU/23373/08 tertanggal 06 November 2008 Tentang Persetujuan dan Pemberian Tugas Kerja Ke Pemerintah Kota Salatiga (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul Badan Kepegawaian Daerah Nomor: 824.2/099 tertanggal 04 Februari 2009 Tentang Penyerahan Pegawai Negri Sipil A.n Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si NIP. 490030559 (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Tugas dari Pemerintah Kota Salatiga Sekertariat Daerah Nomor : 824. 3/513/ 2009 tertaggal 27 April 2009 oerihal melaksanakan tugas pada Badan Permas, Perempuan, KB dan Ketahanan Pangan Kota Salatiga (Fotocopy sesuai dengan aslinya) Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Jangka Waktu Penilaian 1 Januari s/d 31 Desember 2009 (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang Pemberitahuan Sementara dari Jabatan Pegawai Negeri P-18 P-19 P-20 P-21 P-22 P-23 P-24 P-25 P-26 P-27 Sipil. A.n Ir. Agis Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Tanda terima Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tertanggal 4 Oktober 2010 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si pada hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 tempat di Rutan Wonosari, Gunung Kidul (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat yang Ditujukan Walikota Salatiga selaku Badan Kepegawaian (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) Kota Salatiga tertanggal 18 Oktober 2010 Perihal Banding Administrasi (Fotocopy dari fotocopy); Surat dari Kementerian Dalam Negri Republik Indonesia Nomor: 833/445/SJ Tertanggal 2 Desember 2010 perihal Banding Administratif a.n Sdr.Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat dari Sekertariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga Nomor: 830/1581/2010 perihal Tanggapan atas keberatan (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 09/A/Pem.D/IP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009 Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n Sudaryanto, STP (Fotocopy dari fotocopy); Surat Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 11/A/Pem.D/UP/K/P/GK tertanggal 29 Desember 2009 Tentang Pemberhentian Dengan Hormat sebagai Pegawai Negri Sipil dengan Hak Pensiun a.n Nurhadi, BA (Fotocopy dari fotocopy); Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 (28/1999) Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Fotocopy dari fotocopy); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negri Sipil (Fotocopy dari fotocopy); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pergawai Negri Sipil (Fotocopy dari Fotocopy); Peraturan kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 21 Tahun 2010 Tanggal 1 Oktober 2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil (Fotocopy dari Fotocopy); 4.2. Alat Bukti Tertulis Tergugat T-1 T-2 T-3 T – 4 a. T – 4 b. T-5 T-6 T-7 Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194 Rhs tertanggal 31 Agustus 2010 Tentang Rekomendasi penyelesaian kasus an. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Salinan Putusan Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan Negeri Wonosari Gunung Kidul dalam Register Perkara Nomor: 02/.Pid.B/2010/PN.Wns tertanggal 26 Mei 2010 atas nama Terdakwa Sudaryatno, S.TP Bin Kusninda, DKK (termasuk Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si) (fotocopy dari fotocopy); Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 887/06/2010 tertanggal 25 Januari 2010 Tentang Pemberhentian Sementara dari jabatan negeri Pegawai Negeri Sipil a.n. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 31 Desember 2010 yang ditujukan kepada Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si Perihal Tanggapan atas keberatan (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat dari Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Salatiga Nomor: 860/1581/2010 tertanggal 21 Januari 2011 yang ditujukan kepada SEKJEN KEMENDAGRI Perihal Banding Administratis a.n. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Surat dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor: W.13.U4/521/HK.01NII/2010 tertanggal 08 Juli 2010 Perihal Putusan Perkara Pidana Nomor: 02/Pid.B/2010/PN.Wns sudah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak tanggal 29 Mei 2010 (Fotocopy sesuai dengan aslinya) ; Surat dari Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.REG.I/037/44A/2010 tertanggal 08 Nopember 2010 Perihal Banding Administratif an. Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya) ; Surat dari Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 833.88/4445/SJ tertanggal 2 Desember 2010 Perihal Banding Administratif a.n. Sdr. Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya): T-8 T-9 T - 10 T - 11 T - 12 T - 13 T - 14 T - 15 Surat dari Badan Pertimbangan Kepegawaian Nomor: 434/BAPEK/S.1/2010 tertanggal 19 Nopember 2010 Perihal Pengajuan keberatan atas pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si (Fotocopy sesuai dengan aslinya); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Fotocopy dari fotocopy) ; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang, Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Fotocopy dari fotocopy); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Fotocopy dari fotocopy); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Fotocopy dari fotocopy); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Fotocopy dari fotocopy); Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Fotocopy dari fotocopy); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Fotocopy dari fotocopy). 4.3. Saksi Penggugat Pihak Penggugat di dalam persidangan mengajukan 3 (tiga) orang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah untuk menguatkan dalil gugatan Penggugat. Saksi tersebut adalah: 1. Saksi 1 Penggugat Nama : Sudaryanto, SH Jabatan : Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Gunung Kidul 2. Saksi 2 Penggugat Nama : Listyo Agung Wahono, SH Jabatan : Kepala Bidang Mutasi Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Salatiga 3. Saksi 3 Penggugat Nama : Drs. Amin Singgih Jabatan : Pejabat baru di Badan Kepegawaian Daerah Kota Salatiga 4.4. Saksi Tergugat Pihak Tergugat mengajukan 1 (satu) orang saksi yang memberikan keterangan dibawah sumpah untuk menguatkan dalildalil bantahannya. Saksi tersebut adalah: Nama : Suwarno, SE Jabatan : Kepala Bidang Administrasi BKD Pemkot Salatiga. 5. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim 5.1. Dalam Eksepsi 5.1.1. Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah sebagimana diuraikan secara lengkap dalam duduknya sengketa tersebut di atas; 5.1.2. Menimbang bahwa Tergugat telah mengajukan eksepsi terhadap gugatan Penggugat yang pada pokoknya berisi bahwa Gugatan Penggugat kabur sehingga harus dinyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima didasari alasan; 1. Bahwa Penggugat hanya mempermasalahkan Surat Keputusan sebagai obyek sengketa melainkan harus pula mengikutsertakan Surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 sebagai Obyek Sengketa; 2. Bahwa Penggugat tidak pula mempermasalahkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya; 5.1.3. Menimbang bahwa terhadap eskepsi Tergugat tersebut diatas Penggugat menyatakan menolak eksepsi tersebut di dalam persidangan tanggal 28 Februari 2010 dan tetap pada gugatannya; 5.1.4. Menimbang bahwa terhadap eksepsi Tergugat tersebut Majelis Hakim memberikan pertimbangan terhadap alasanalasan eksepsi tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut; 5.1.5. Menimbang bahwa dalam alasan eksepsi Tergugat yang pertama adalah mempermasalahkan mengenai Surat Penggugat Keputusan sebagai hanya obyek Sengketa melainkan harus pula mengikutsertakan Surat Sekretaris Daerah propinsi Jawa Tengah Nomor 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa; 5.1.6. Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober tentang Pemberhentian Tidak Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M.Si yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Walikota Salatiga; 5.1.7. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 1 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Pembinaan Negeri disebutkan Sipil Kepegawaian Daerah bahwa: “Pejabat Kabupaten/Kota menetapkan pemberhentikan Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d dilingkungannya” dan mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 5 dalam peraturan perundang undangan yang sama disebutkan bahwa yang dimaksud Pejabat Pembina Kepegawaian Gubernur/Bupati/Walikota, Walikota Salatiga sehingga mempunyai Daerah dengan wewenang adalah demikian untuk memberhentikan Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang II/d di lingkungannya; 5.1.8 Menimbang bahwa dari gugatan yang diajukan Penggugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa sudah tepat dan dapat dibenarkan apabila Penggugat hanya menjadikan Surat Keputusan Walikota Salatiga No. 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai Obyek Sengketa karena telah bersifat konkrit, individu, dan final serta telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat, maka tanpa perlu mengikutsertakan surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 862/192 tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa yang lainnya; 5.1.9 Menimbang bahwa mengingat kewenangan untuk memberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ada pada Walikota Salatiga in casu Tergugat sedangkan surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 adalah hanya merupakan persetujuan saja tanpa ada unsur kewenangan untuk memberhentikan dan surat tersebut masih perlu tindak lanjut dari Tergugat sehingga dengan demikian surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah tersebut belum final dan belum dapat menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat, oleh karenanya surat Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 tidak memenuhi unsur-unsur suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dijadikan sebagai objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 5.1.10. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat kabur oleh karena tidak mengikutsertakan surat Sekertaris Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 sebagai obyek sengketa tidak beralasan hukum sehingga eksepsi tersebut harus ditolak; 5.1.11. Menimbang bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai eksepsi kedua Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan Pengugat kabur oleh karena Penggugat tidak mempersoalkan atau mempermasalahkan Putusan Pengadilan Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan pertimbangan sebagai berikut; 5.1.12. Menimbang bahwa kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antar orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun Keputusan di daerah, Tata sebagai Usaha akibat Negara, dikeluarkannya termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku (vide Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara); 5.1.13. Menimbang bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menibulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (vide Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara); 5.1.14. Menimbang bahwa memperhatikan kriteria tersebut diatas yang menjadi kompetensi dari Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan tidak mempermalahkannya Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatan Penggugat tidaklah menyebabkan gugatan Penggugat menjadi kabur oleh karena sebagai produk hukum yang dikeluarkan lembaga peradilan yang merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan bukan kekuasaan eksekutif dalam bidang Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa bahwa nilai produk lembaga peradilan tersebut, sehingga dengan demikian eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat kabur kerena mempersoalkan atau mempermaslahkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns dalam gugatannya tidak beralasan hukum dan harus ditolak; 5.1.15. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan mengenai eksepsi tersebut di atas yang menyatakan eksepsi Tergugat tidak beralasan hukum sehingga harus ditolak maka pemeriksaan dilanjutkan pada pokok perkara; 5.2. Dalam Pokok Perkara 5.2.1. Menimbang bahwa maksud dari tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas; 5.2.2. Menimbang bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Walikota Salatiga; 5.2.3. Menimbang bahwa menurut Penggugat, Tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa tanpa mendasarkan pada AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik dan dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku sebagaimana disebutkan oleh Penggugat dalam surat gugatannya pada posita angka 17 dan 18; 5.2.4. Menimbang bahwa dalil Penggugat tersebut dibantah oleh Tergugat dengan menyatakan bahwa keputusan mengeluarkan surat keputusan yang menjadi obyek sengketa adalah sah menurut hukum, maka dengan demikian menjadi pokok permalahan yang timbul dlam perkara ini adalah : Apakah benar sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 5.2.5. Menimbang bahwa terhadap pokok permasalahan tersebut diatas, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut dibawah ini; 5.2.6. Menimbang bahwa Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Tergugat dengan mendasarkan Pasal 23 ayat 5 huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan dan dipidana selama 1 tahun dan denda Rp 50.000.000 berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns; 5.2.7. Menimbang bahwa ketentuan pasal 23 ayat 5 huruf c Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 menentukan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungnnya dengan jabatan; 5.2.8. Menimbang bahwa selanjutnya Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; 5.2.9. Menimbang bahwa dalam penjelasan Pasal 9 huruf a tersebut, dijelaskan bahwa apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidna kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dan tindakan pidana kejahatan jabatan yang dimaksud antara lain sebagimana dimaksud dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 5.2.10. Menimbang bahwa dari penjelasan Pasal 9 huruf a tersebut menegaskan adanya unsur kesengajaan dengan melakukan penyalahgunaan kepercayaan yang berupa jabatan atau pekerjaannya dengan frase “telah menyalahgunakan kepercayaan” yang merupakan suatu perbuatan aktif dan sengaja dilakukan dan dipertegas pula dengan menghubungkan tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab UndangUndang Hukum Pidana; 5.2.11. Menimbang bahwa dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai kejahatan jabatan terdapat unsur esensial yaitu adanya unsur sengaja melakukan suatu untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menerima hadiah atau janji; 5.2.12. Menimbang bahwa berdasarkan bukti bersurat tertanda P-8 diperoleh fakta bahwa Penggugat adalah merupakan salah satu panitia pemeriksa yang berkedudukan sebagai sekretaris panitia pemeriksa dalam kegiatan Belanja Modal Kegiatan Peningkatan Kapasitas Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006, maka posisi penggugat dipersamakan dengan pejabat umum sementara dalam hal pengadaan barang yang berposisi sebagai sekretaris Panitia Pemeriksa Barang; 5.2.13. Menimbang bahwa tugas Panitia Pemeriksa menurut Surat Keputusan sebagimana bunyi surat bertanda P-8 adalah meliputi a) melakukan pemeriksaan barang yang menjadi obyek pengadaan barang pengaduan/spesifikasi sesuai barang dengan mutu dokumen kelengkapan, kondisinya dicocokan dengan tertuang dalam dokumen kontrak; b) meneliti dan menerima barang sesuai dengan fungsi dan kegunaan barang secara umumnya; c) menerima barang tersebut sesuai dengan spesifikasi barang yang dituangkan dalam berita acara serah terima yang ditanda tangani oleh menandatangani penyedia dan berita acara pengguna hasil barang; pekerjaan d) yang selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang; 5.2.14. Menimbang bahwa dari serangkaian tugas dan tanggung jawab Panitia Pemeriksa barang tidak terdapat tugas dan tanggung jawab serta wewenang dari Panitia Pemeriksa untuk menyusun atau mengevaluasi mengenai Rencana Anggaran Biaya atau harga Perkiraan sendiri dari pengadaan barang tersebut, sehingga dengan demikian adanya temuan dari Tim Audit dan Investigasi BPKP mengenai kemahalan harga pengadaan barang sebesar Rp 38.840.000 yang menyebabkan kerugian negara adalah merupakan tanggung jawab dan keawenangan Panitia Pemeriksaan oleh karenanya kesalahan tersebut tidak dapat dibebankan kepada Panitia Pemeriksaan Barang; 5.2.15. Menimbang bahwa selanjutnya berdasarkan bukti P-9 berupa salinan Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns diperoleh fakta hukum bahwa Panitia Pemeriksaan Barang dalam kegiatan pengadaan tersebut kurang pengalaman memahami dalam dan kegiatan tidak mempunyai pengadaan armada penangkapan ikan, sehingga apa yang dilakukan hanyalah memeriksa dan meneliti kondisi barang yang ada; 5.2.16. Menimbang bahwa dalam suatu proses pengadaan barang yang telah ditunjuk penyedia barangnya seharusnya kuasa pengguna barang, PPK, panitia pengada dan panitia pemeriksa barang tidak diperbolehkan turut serta aktif menentukan dan memilih barang yang akan diadakan selain menunggu dan meminta perkembangan pengadaan barang tersebut sesuai dengan yang terdapat pada dokumen lelang; 5.2.17. Menimbang bahwa fakta yang terjadi dilapangan berdasarkan bukti P-9 adalah PPK (Ir. Agus Ridwan Santoso,M.Si), Tim Teknis dan Panitia Pemeriksa (Sudaryanto dan Nurhadi) ikut serta melakukan survey pembelian barang ke Penajam Kalimantan dan pada akhirnya PPK lah yang menentukan atau memilih barang yang akan dibeli (vide Putusan Pengadilan Negeri hal 54-55 dan Penggugat tidak termasuk yang mengikuti survey tersebut); 5.2.18. Menimbang bahwa dari kronologis pengadaan barang yang terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Wonosari tersebut nampak bahwa pembentukan panitia pengadaan dan pemeriksa barang kurang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya karena adanya peran PPK yang ikut serta dan menentukan jenis barang yang dibeli dalam pengadaan barang tersebut, sehingga pula tugas kedua panitia kurang dapat maksimal dan berujud adanya penyimpangan berupa adanya kerugian negara akibat tidak dilaksanakannya proses pengadaan dan pemeriksaan dengan baik; 5.2.19. Menimbang bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns tanggal 19 Mei 2010 Penggugat selaku sekretaris panitia pemeriksa barang dan panitia pemeriksa barang dinyatakan telah melakukan perbuatan yaitu membuat berita acara Pemeriksa Barang yang isinya menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim telah mencapai 100% dan sesuai kontrak berupa 4 unit kapal dalam keadaan baru tidak cacat meskipun terdapat beberapa kekurangan pekerjaan dan menyebabkan dapat dicairkannya pembayaran 100% oleh rekanan, dan perbuatan ini oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wonosari dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut; 5.2.20. Menimbang bahwa meskipun terbukti Penggugat telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatan perlu juga pertimbangan faktor-faktor pendorong Penggugat untuk melakukan tindak pidana kejahatan tersebut; 5.2.21. Menimbang bahwa memperhatikan dasar pemberhentian Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu Pasal 23 ayat 5 huruf c Undang Undang No. 43 tahun 1999 jo Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1979 tidak tampak adanya unsur sengaja melakukan suatu perbuatan dalam jabatannya tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menerima hadiah atau janji, yang terjadi adalah bahwa karena jabatannya itu Penggugat dan Panitia Pemeriksa lainnya membuat berita acara pemeriksaan Barang terhadap kapal yang ada yang isinya menyatakan bahwa barang-barang yang dikirim telah mencapai 100%; 5.2.22. Menimbang bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan fakta bahwa Penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan korupsi memperkaya diri sendiri dan menikmati hasilnya atau sengaja memperkaya orang lain dengan cara menerima hadiah atau janji dari orang lain tersebut, tetapi langkah dan produk yang dihasilkan panitia pemeriksa barang telah memperlancar pihak lain melakukan tindak pidana korupsi sehingga Penggugat dan Panitia Pemeriksa Barang lainnya dianggap ikutserta atau turut serta melakukan tindak pidana korupsi; 5.2.23. Menimbang bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintah dikenal adanya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai landasan pemerintah yang bersih dan berwibawa; 5.2.24. Menimbang bahwa salah satu Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik tersebut adalah asas proposionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara, maka hubungannya dengan sengketa a quo adalah bahwa Penggugat telah melaksanakan kewajibannya selaku sekretaris panitia pemeriksa barang sesuai dengan tugas dan wewenang yang ada padanya yang telah ditetapkan dalam surat keputusan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Nomor SK 027/677 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan dan Panitia Pemeriksa Barang Belanja Modal Kegiatan Peningkatan Kapasitas Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul Tahun Anggaran 2006 yaitu a) melakukan pemeriksaan barang yang menjadi obyek pengadaan barang sesuai dengan dokumen pengadaan/spesifikasi barang, mutu kelengkapan, kondisinya dicocokan dengan yang tertuang dalam dokumen kontrak; b) meneliti dan menerima barang sesuai dengan fungsi dan kegunaan barang secara umumnya; c) menerima barang tersebut sesuai dengan spesifikasi barang yang dituangkan dalam berita acara serah terima yang ditanda tangani oleh penyedia dan pengguna barang; d) menandatangani berita acara hasil pekerjaan yang selanjutnya diserahkan kepada pengguna barang; 5.2.25. Menimbang bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan Penggugat sebatas pada barang yang telah ada hasil dari pilihan PPK di Penajam Kalimantan dengan membuat daftar pemeriksaan terhadap barang dan membuat berita acaranya tanpa adanya unsur sengaja melakukan perbuatan korupsi memperkaya diri sendiri dan menikmati hasilnya atas sengaja memperkaya orang lain dengan cara menerima hadiah atau janji orang lain tersebut dengan membuat berita acara pemeriksaan barang 100%; 5.2.26. Menimbang bahwa yang perlu dipertimbangkan pula bahwa Penggugat maupun Panitia Pemeriksa Barang hanya bertugas memeriksa barang dan menyaksikan bahwa barang tersebut dapat digunakan dan berguna sesuai tujuan pengadaannya selanjutnya dibuat berita acaranya dan Panitia Pemeriksa Barang bukan orang yang ahli melakukan pengetesan atau menguji coba kapal baik dalam kegiatan uji coba pelayanan maupun uji penangkapan ikan serta tidak pula secara tegas dinyatakan bahwa kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab dan wewenang panitia pemeriksa barang; 5.2.27. Menimbang bahwa ketidakjelasan dokumen lelang maupun kontrak terhadap siapa yang harus melakukan kegiatan sea trial dan sea fishing serta siapa yang menanggung biaya kegiatan tersebut, mengakibatkan Panitia Pemeriksa Barang hanya melakukan pemeriksaan atas barang yang telah dipilih PPK tersebut, sehingga dalam hal ini Panitia Pemeriksa Barang berada dalam posisi yang terbatas dan tidak terlaksananya kegiatan sea trial dan sea fishing dianggap suatu tindak pidana korupsi; 5.2.28. Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, bahwa kesalahan Penggugat adalah kesalahan yang tidak disengaja dan karena keterbatasan pengetahuan dan keahlian di bidang perkapalan serta tidak ada niat maupun janji untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain melalui jabatannya tersebut, sebagaimana telah pula dinyatakan dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns, maka Tergugat seharusnya dapat melihat secara proporsional atas kejadian yang menimpa Penggugat; 5.2.29. Menimbang bahwa dalam memutus suatu perkara hakim mendasari pada hati nurani terlebih dahulu baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena itu hakim harus memutus berdasarkan hukum (Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif hal 10); 5.2.30. Menimbang bahwa oleh karena itu dalam memutus suatu perkara aturan hukum dan hati nurani berjalan secara beriringan dengan mendasari pada prinsip keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum; 5.2.31. Menimbang bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa a quo telah tidak memperhatikan hal-hal yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana kejahatan tersebut dan juga telah tidak mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur kesengajaan Penggugat untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain dengan menerima janji ataupun hadiah lewat jabatannya sehingga perlu mendapat hak atas perlindungan terhadap dirinya, maka perbuatan Tergugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu asas proporsionalitas; 5.2.32. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas, maka tindakan Tergugat yang telah menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas proporsional sesuai dengan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang Undang No. 9 Tahun 2004 jis Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha, sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan; 5.2.33. Menimbang bahwa dengan dikabulkannya gugatan Penggugat maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat sesuai Pasal 110 UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 5.2.34. Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap bukti-bukti yang tidak relevan tidak ikut dipertimbangkan tetapi tetap menjadi satu kesatuan dalam berkas putusan ini; 5.2.35. Mengingat Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang Undang No. 9 tahun 2004 jis Undang Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan perundangundangan yang lain yang berkaitan dengan perkara ini; 6. Diktum Putusan Hakim 6.1. Dalam Eksepsi 6.1.1. Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. 6.2. Dalam Pokok Perkara 6.1.1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 6.1.2. Menyatakan batal Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso M, Si; 6.1.3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor: 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso M, Si; 6.1.4. Mewajibkan Tergugat untuk mengembalikan kedudukan Penggugat sebagaimana posisi semula yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil serta merehabilitasi nama baiknya dan kehormatan diri Penggugat; 6.1.5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 156.500,- (seratus lima puluh enam ribu lima ratus rupiah). B. Pembahasan 1. Ketidaksesuaian Ratio Decidendi Hakim Mengenai Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa dengan Peraturan Perundang-Undangan Pengertian penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya memastikan berlakunya hukum positif dalam kehidupan sehari-hari, atau mewujudkan law in the book menjadi law in action, atau juga mewujudkan berlakunya hukum materiil dengan menggunakan hukum formil (hukum acara). Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati.60 Dengan demikian penegakan hukum dapat dimaknai sebagai menegakan hukum materiil dengan menggunakan tata cara sebagaimana yang sudah ditentukan dalam hukum formil atau hukum acara. Berdasarkan pengertian penegakan hukum di atas dapat dikemukakan pengertian hukum formil atau hukum acara. Hukum formil atau hukum acara adalah seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk menegakan hukum materiil. Sesuai dengan pengertian hukum acara tersebut, yang dimaksud dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah seperangkat aturan mengenai tata cara beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara 60 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 292 bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara. Adakalanya aparat pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, membuat keputusan yang melampaui batas kewenangannya (detournement de pouvior) atau ada kekeliruan dalam menerapkan peraturan hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang konkret (abus de droit), sehingga akibatnya ada masyarakat yang dirugikan oleh keputusannya itu. Maka Peradilan Tata Usaha Negara berfungsi sebagai badan tempat masyarakat mencari keadilan.61 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum formil dimaksudkan untuk menegakan hukum materiil yakni Hukum Administrasi Negara. Berbeda dengan pengaturan dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, maka model pengaturan hukum formil maupun hukum materiil yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam satu Undang-Undang yaitu Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 61 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 109 Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan peradilan yang ada dalam kekuasaan kehakiman, hal ini sesuai dengan bunyi dari pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sub sistem dari peradilan yang ada di Indonesia, sistem peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung sebagai badan peradilan yang tertinggi. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan: Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa atau perkara administrasi merupakan perselisihan antara dua pihak yaitu warga negara masyarakat/warga negara dan pemerintah atau penguasa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum administrasi.62 Sehingga, apabila terjadi sengketa antara rakyat (orang atau badan hukum perdata) melawan pemerintah (badan atau pejabat Tata Usaha Negara) dan sengketa tersebut adalah sengketa di bidang Tata Usaha Negara maka akan diselesaikan di Lembaga Peradilan Tata Usaha 62 R. Soegijatno Tjakranegara, Op. Cit., hlm. 22. Negara. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini sesuai dengan rumusan pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyebutkan: Pengadilan terdiri atas: a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat pertama; b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat banding; Kewenangan absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengertian “Sengketa Tata Usaha Negara” ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009): Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.63 Dari pengertian tersebut, dapat dilihat objek dari sengketa tata usaha negara ialah adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh lembaga tata usaha negara atau pemerintah atau keputusan dari aparat pada lembaga tata usaha atau pemerintah tersebut. 63 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 6. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara merupakan wewenang yudikatif dari PeradilanTata Usaha Negara.64 Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi, hal tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pernyataan yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal atau tidak sah atau juga menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa sah menurut hukum dituangkan dalam amar putusan hakim. Sebelum hakim menjatuhkan amar putusan untuk menjawab tuntutan dari pihak penggugat, terlebih dahulu hakim membuat dasardasar pertimbangan hukum berisi argumentasi atau alasan hukum untuk sampai pada suatu putusan. Argumentasi atau alasan hakim dalam suatu pertimbangan hukum dikenal dengan istilah Ratio Decidendi.65 Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata 64 C.S.T Kansil, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2000, hlm. 2 65 W. Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 16. Usaha Negara menentukan bahwa salah satu yang harus ada dalam suatu putusan hakim adalah alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Ratio Decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan. Ratio Decidendi yang termuat dalam pertimbangan hukum hakim dalam suatu putusan merupakan salah satu tolok ukur untuk menentukan mutu dari suatu putusan pengadilan. Putusan yang tidak mencantumkan pertimbangan hukum hakim akan menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum.66 Ratio decidendi hakim seharusnya dapat dipertanggung jawabkan, baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis akademis (doctrinal). Dalam praktik terdapat beberapa ratio decidendi hakim yang menimbulkan persoalan yuridis, salah satunya yakni dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. Kasus posisi dalam a quo dapat di deskripsikan secara singkat sebagai berikut: 1. Pada mulanya Penggugat (Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si.) yang merupakan Pegawai Negeri Sipil di Gunung Kidul pada bulan Oktober tahun 2008 ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y, sebelum terjerat perkara pidana tersebut Penggugat telah mengajukan permohonan mutasi ke pemerintah Salatiga dan permohonan tersebut dikabulkan, kemudian atas dasar penetapan sebagai tersangka oleh 66 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 194. penyidik Kejaksaan Tinggi D.I.Y tersebut Tergugat (Walikota Salatiga) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 887/06/2010, tertanggal 25 Januari 2010 tentang Pemberhentian Sementara Penggugat dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil. 2. Perkara tindak pidana korupsi tersebut diadili di Pengadilan Negeri Wonosari dalam perkara nomor 02/Pid.B/2010/Pn.Wns., adapun amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari menyatakan bahwa Penggugat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersamasama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. 3. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah inkrah, Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Nomor 888/290/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. (surat keputusan objek sengketa) 4. Penggugat merasa sangat dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan objek sengketa tersebut dengan alasan Tergugat dalam menerbitkan surat keputusan objek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. 5. Menurut Penggugat, tindakan Tergugat yang menerbitkan Surat Keputusan objek sengketa merupakan tindakan yang tidak cermat, ceroboh, tergesa-gesa, mendzolimi hak konstitusional, sewenangwenang dan telah salah dalam mengambil dasar Konsideran. 6. Dalam Konsideran menimbang menurut Penggugat, Tergugat salah dalam menafsirkan sekaligus mendasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya pada ketentuan Pasal 9 huruf a PP No. 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, diterangkan bahwa tindak pidana kejahatan jabatan dimaksud adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 s/d 436 KUHP, substansi dalam pasal tersebut adalah adanya unsur kesengajaan dan rencana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain untuk keuntungan baginya dari penyalahgunaan yang diamanatkan, dengan demikian tindakan Tergugat tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang, ceroboh, arogan tendesius dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga Penggugat mohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan surat keputusan objek sengketa batal atau tidak sah. Adapun pertimbangan hukum Hakim dapat dideskripsikan secara singkat, sebagai berikut: 1. Pokok permasalahan yang dibuktikan adalah apakah benar sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 2. Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh Tergugat dengan mendasrakan Pasal 23 ayat 5 huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979 dikarenakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana korupasi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 02/Pid.B/2010/PN.Wns; 3. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri Wonosari No. 02/Pid.B/2010/PN.Wns tidak diketemukan fakta bahwa Penggugat telah bersalah dalam jabatannya tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan korupsi; 4. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong penggugat melakukan tindak pidana korupsi; 5. Selain itu, Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tidak sesuai dengan asas proporsionalitas karena tidak memperhatikan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi, serta tidak mempertimbangkan ada tidaknya unsur kesengajaan dari Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi; 6. Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya tindakan Tergugat yang telah menerbitkan Surat Keputusan obyek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal 23 ayat 5 huruf c No. 43 Tahun 1999 jo Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas proporsional sesuai dengan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang Undang No. 9 Tahun 2004 jis UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha, sehingga gugatan Penggugat harus dikabulkan 7. Atas dasar pertimbangan hukum Hakim tersebut, Majelis Hakim kemudian mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya serta menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa batal dan tidak sah. Sesuai dengan kasus posisi dan pertimbangan hakim di atas, berikut ini akan dibahas mengenai ketidaksesuaian ratio decidendi Hakim mengenai pembatalan keputusan tata usaha negara objek sengketa dengan peraturan perundang-undangan. Pada awal pertimbangan hukum, Hakim menyatakan bahwa pokok permasalahan yang dibuktikan adalah apakah benar sengketa a quo yang dikeluarkan oleh Tergugat telah bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah : a. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut di atas yang kemudian dijadikan dasar-dasar (kriteria dan ukuran) untuk menguji (toetsingsgronden) bagi Hakim Tata Usaha Negara pada waktu menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan bersifat melawan hukum atau tidak. Salah satu alat untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah apakah Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Indroharto, suatu penetapan tertulis (KTUN) dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena antara lain:67 67 Ibid., hlm. 172-173. 1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengira memiliki suatu wewenang untuk mengeluarkan atau menolak mengeluarkan suatu keputusan, padahal ia sebenarnya tidak berwenang untuk berbuat demikian, atau dengan kata lain suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang sebenarnya badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak punya wewenang. Terhadap hal demikian apabila hal tersebut disengketakan maka hakim yang memeriksa harus membatalkan keputusan yang dimaksud. 2) Berdasarkan peraturan, yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk mengeluarkan suatu keputusan, tetapi wewenang tersebut sebenarnya tidak diberikan kepada instansi yang telah mengeluarkan keputusan yang sedang digugat. Kasuistis yang demikian biasanya berhubungan dengan delegasi yang sebenarnya delegasi tersebut tidak didasarkan adanya suatu keputusan pendelegasian dari si delegans. 3) Ada dasar dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu wewenang, akan tetapi keputusan yang disengketakan itu sendiri bertentangan dengan peraturan dasarnya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. 4) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya penetapan yang bersangkutan sebenarnya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 5) Penetapan yang disengketakan itu dikeluarkan menyimpang dari peraturan-peraturan prosedur yang harus ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, berarti salah satu alat uji atau tolok ukur keabsahan (rechtmatigheid) suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah berupa peraturan perundang-undangan, aspek-aspek yang diukur adalah meliputi: Wewenang, Prosedur, Substansi.68 Ditinjau dari segi wewenang, Tergugat sebagai Walikota merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang memang berwenang untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa: 68 Philipus M. Hadjon, dkk. Op. Cit., hlm. 330. (1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan: b. Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d kebawah di lingkungannya. Yang dimaksud dengan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas adalah Bupati/Walikota. Dalam hal ini Penggugat juga merupakan Pegawai Negeri dengan golongan III/d. Sehingga, Tergugat yang merupakan Walikota, dalam hal ini memang berwenang untuk mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak dengan hormat. Ditinjau dari segi prosedur, Tergugat dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara sudah sesuai dengan prosedur penerbitan, yaitu pada saat ada dugaan tindak pidana korupsi terhadap penggugat, Tergugat mengeluarkan surat pemberhentian sementara Nomor 887/06/2010 terhadap penggugat. Untuk kepentingan peradilan, seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa: Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenakan pemberhentian sementara. Setelah keluar putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa penggugat terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama, barulah tergugat mengeluarkan surat pemberhentian tidak dengan hormat kepada Penggugat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (5) huruf c, yaitu : Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan: Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan objek sengketa juga sudah didasarkan atas Surat Sekertaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor: 862/194 tanggal 31 Agustus 2010 perihal Rekomendasi Penyelesaian Kasus Atas Nama Ir. Agus Ridwan Santoso, M. Si. (Penggugat) yang merekomendasikan agar Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sehingga sudah tepat apabila Penggugat diberhentikan tidak dengan hormat. Ditinjau dari segi substansi, Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Tergugat sudah tepat. Karena Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa menunjuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang pada intinya menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang di pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan diberhentikan tidak dengan hormat. Maka sudah tepat bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi memang harus diberhentikan tidak dengan hormat, karena tindak pidana korupsi termasuk dalam pengertian tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Berdasarkan analisis keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa surat keputusan objek sengketa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penilaian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi kriteria adalah kewenangan pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, prosedur terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dan isi substansi Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sesuai dengan konsep keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara, sekalipun alasan terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara karena Penggugat melakukan tindak pidana korupsi, maka seharusnya pertimbangan hukum hakim tidak sampai pada menilai atau mengoreksi putusan hakim Pengadilan Negeri Wonosari yang menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Demikian pula seharusnya pertimbangan hukum hakim tidak sampai pada pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi, apalagi mempersoalkan ada/tidaknya unsur kesengajaan yang terdapat dalam diri Penggugat ketika melakukan tindak pidana korupsi. Secara substansiil yang harus dipertimbangkan untuk menilai sah/tidaknya surat keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa adalah: 1. Adanya putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang telah inkrah yang menyatakan bahwa Penggugat telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. 2. Isi ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Ketentuan Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di atas merupakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa, sehingga apabila terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil telah dijatuhi putusan pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, maka seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyidangkan perkara a quo harus menghormati putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang telah inkrah tersebut. Dan sudah menjadi suatu ketentuan yang pasti, putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang sudah inkrah tersebut dijadikan parameter untuk menilai secara substansial keabsahan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim di lingkungan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa fakta suatu tindak pidana yang telah diputus oleh pengadilan pidana. Karena masingmasing badan peradilan mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain. Wewenang masing-masing badan peradilan inilah yang dinamakan wewenang mutlak (kompetensi absolut).69 Sebagaimana telah dideskripsikan di atas bahwa Surat Keputusan objek sengketa dinyatakan batal atau tidak sah, hal ini menimbulkan suatu konsekuensi yuridis terhadap amar putusan hakim, yaitu dikabulkannya gugatan Penggugat. Untuk mengetahui ketepatan amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perlu dikemukakan ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa: Putusan Pengadilan dapat berupa: a. Gugatan ditolak; b. Gugatan dikabulkan; c. Gugatan tidak diterima; d. Gugatan gugur. 69 Riduan Syahrani, Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, P.T. Alumni, Bandung, 2009, hlm. 37-38. Berdasarkan jenis putusan tersebut, dalam perkara a quo seharusnya Hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak. Putusan berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau sah.70 Surat Keputusan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat dalam perkara a quo sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam hal ini seharusnya gugatan Penggugat ditolak dan Surat Keputusan objek sengketa tetap dinyatakan sah. 2. Penerapan Asas Pembuktian Bebas Dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg Asas hukum sangat penting karena Asas-asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas-asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, karena: Pertama, asas-asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Kedua, asas-asas hukum merupakan ratio logis atau alasan bagi lahirnya peraturan hukum.71 Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya, dan dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terdapat beberapa asas hukum yang melandasi. yaitu:72 70 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 192. Suparto Wijoyo, Op,Cit., hlm. 46. 72 Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 313. 71 1. 2. 3. 4. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1986). Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal: 58, 63 ayat (1) dan (2), 80, 85 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa. Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal pembuktian menganut ajaran pembuktian bebas. Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa.73 Asas pembuktian bebas dalam Peradilan Tata Usaha Negara tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang pada intinya menyatakan bahwa pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas. 73 R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 171. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada Hakim. Ajaran pembuktian bebas diikuti karena proses pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil.74 Eksistensi asas pembuktian bebas diatur dalam Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa tergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: c. apa yang harus dibuktikan; d. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri; e. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; f. kekuatan pembuktian yang telah diajukan. 74 Ibid., hlm. 119. Asas pembuktian bebas terdapat empat aspek: ruang-lingkup pembuktian (”bewijsomvang”), pembagian beban pembuktian (”bewijslastverdeling”), alat-alat bukti (”bewijsmiddelen”) dan penilaian penghargaan pembuktian (”bewijswaardering”). Keempat aspek ini membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri yang merupakan karakteristik hukum acara (pembuktian) Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:75 a. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian ”bewijsomvang”); b. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian - ”bewijslastverdeling”); c. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti - ”bewijsmiddelen”); d. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek penilaian penghargaan pembuktian -”bewijswaardering”). Hakim dalam melakukan pembuktian jika dilihat dari aspek luas pembuktian tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak.76 Pada pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi pusat perhatian adalah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Disini Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara meneliti apakah badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu (Tergugat) pada waktu menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara itu bertolak pada fakta yang benar-benar relevan atau tidak. 75 76 Suparto Wijoyo, Op.Cit., hlm. 115. Ibid., hlm. 116. Berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata yang berdasarkan Pasal 1865 BW jo. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg tentang beban pembuktian yang mendalilkan bahwa siapa yang menggugat, dialah yang membuktikan,77 dalam Hukum Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan aspek pembagian beban pembuktian bertumpu pada aspek bewijslastverdeling dari asas pembuktian bebas, dimana Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak boleh menolak suatu gugatan atas dalih penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. Pembagian beban pembuktian oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah dengan cara menentukan kepada pihak Penggugat harus dibebankan pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara), dan sebaliknya kepada Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) akan dibebankan pembuktian bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan adalah sah dan berdasarkan undang-undang. Berdasarkan aspek alat-alat bukti tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat Hakim dalam memilih alat-alat bukti. Secara teoritis, terdapat pembagian Keputusan Tata Usaha Negara menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking) dan 2. Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking). 77 Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm. 118. Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking), pada dasarnya hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan bagi Pejabat yang yang bersangkutan menginterprestasikannya. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking) didasarkan pada suatu kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas fries ermessen (discretionary power). Ada 2 (dua) macam kebebasan ini, yakni: 1. Kebebasan kebijaksanaan, yaitu kebebasan bertindak dalam arti kebebasan untuk memutus secara mandiri. 2. Kebebasan interpretasi, yaitu kebebasan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menginterpretasikannya. Terhadap kedua jenis Keputusan Tata Usaha Negara diatas dapat dilakukan pengujian apakah suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu rechmatig atau onrechmatig. Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking) diuji melalui hukum tertulis (peraturan perundang-undangan). Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bebas tidak cukup diuji dengan hukum tertulis saja, melainkan juga dengan hukum tidak tertulis yang berupa Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.78 Tolok ukur pengujian Keputusan Tata Usaha Negara terikat (gebonden beschikking) melalui hukum tertulis oleh hakim Pengadilan 78 Ibid., hlm. 125-127. Tata Usaha Negara didasarkan pada pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi: (1) Alat bukti ialah : b. surat atau tulisan; c. keterangan ahli; d. keterangan saksi; e. pengakuan para pihak; f. pengetahuan Hakim (2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Sedangkan dasar hukum kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara bebas (vrije beschikking) yang digugat adalah ialah Pasal 16 Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. JUKLAK Mahkamah Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, pada butir V Tentang Diktum putusan angka 1. Pasal 16 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan demikian dalam hukum dikenal dengan asas Ius Curia Novit, yang berarti pengadilan (hakim) tahu hukum. Selajutnya Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penjelasannya menyatakan: Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.79 Dalam hubungannya dengan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa apabila dihubungkan dengan adanya 2 (dua) golongan Keputusan Tata Usaha Negara, maka Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa dikategorikan sebagai keputusan Tata Usaha Negara yang terikat (gebonden beschikking). Alasannya yaitu karena Surat Keputusan objek sengketa tidak didasarkan pada kewenangan bebas (fries ermessen), akan tetapi didasarkan pada peraturan perundangundangan yang sudah jelas, pasti dan ketat. Berdasarkan hal tersebut maka tolok ukur untuk menilai keabsahan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa adalah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, dengan demikian Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa tidak tepat apabila keabsahannya dinilai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penilaian pembuktian dalam aspek penilaian – penghargaan pembuktian, diserahkan sepenuhnya kepada Hakim.80 Ketentuan Pasal 107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menegaskan : “… untuk sahnya pembuktian diperlukan dua alat bukti berdasarkan 79 80 Ibid., hlm. 128-129. Ibid., hlm. 130. keyakinan Hakim”. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman berikut: a. Pertama, untuk memperoleh suatu kebenaran materiil, diperlukan dua alat bukti yang sah, yang ditetapkan oleh Undang-Undang (Pasal 100 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara). b. Kedua, biarpun bertumpuk-tumpuk alat bukti, belum cukup untuk memaksa Hakim menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi diperlukan keyakinan Hakim. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Hakim Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kebebasan yang luas dalam rangka mencari kebenaran materiil. Dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg, Hakim sudah menerapkan asas pembuktian bebas dalam pertimbangan hukumnya. Adapun penerapan asas pembuktian bebas dalam perkara a quo dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Hakim menentukan sendiri mengenai apa yang harus dibuktikan, yaitu: “Tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan Tergugat tidak mempertimbangkan ada/tidaknya unsur kesengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi.” 2. Baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak mempersoalkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal yang disampaikan oleh para pihak. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memang menganut asas pembuktian bebas, namun asas pembuktian bebas disini bukan berarti Hakim bebas tanpa batas dalam menerapkannya. Meskipun, Hakim memiliki kewenangan bebas dalam memutus suatu perkara, namun Hakim tetap terikat, yaitu harus tetap sesuai dengan hukum yaitu harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang ada. Ratio decidendi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg. sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Hakim membuat pertimbangan hukum tersendiri tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Padahal jelas dinyatakan dalam ketentuan pasal pasal 23 ayat (5) huruf c, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, bahwa: Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Dan diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 pasal 9 huruf a tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 23 ayat (5) huruf c, yang menyatakan: Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila di pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan yang salah satunya adalah korupsi harus diberhentikan tidak dengan hormat. Apalagi sudah diperkuat dengan adanya putusan inkrah dari Pengadilan Negeri yang menyatakan Ir. Ridwan Santoso, M.Si (Penggugat) terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi hukuman penjara. Sehingga keputusan Tergugat untuk memberhentikan Penggugat tidak dengan hormat memang sudah tepat. Seharusnya Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memahami hal tersebut dan menerapkan peraturan perundangundangan yang ada dalam hal menentukan beban pembuktian dan menjatuhkan putusan. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini telah mengabaikan kewenangan dari masing-masing lingkungan peradilan. Setiap lingkungan peradilan mempunyai kewenangan mutlak masingmasing yang seharusnya tidak boleh digunakan oleh lingkungan peradilan yang lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi dan menyatakan ada ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang tidak menghargai putusan Hakim Pengadilan Negeri. Tidak seharusnya Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan Tergugat karena hal tersebut merupakan kewenangan Hakim Pengadilan Negeri. Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Tindak Pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat luas. Sehingga, untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat maka memang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentiakan tidak dengan hormat. Masyarakat pasti akan merasa sangat dirugikan apabila seorang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak dijatuhi hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepadanya. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas. Karena tidak memperhatikan hukum yang berlaku. BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Ratio decidendi Hakim Mengenai Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena dalam pertimbangannya, hakim menilai putusan Pengadilan Negeri mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat, baik mengenai faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi maupun unsur ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi tersebut, serta tidak tepat dalam mempertimbangkan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa dari segi substansial. Untuk menentukan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa, seharusnya Hakim tidak sampai pada penilaian terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penggugat, karena hal itu merupakan kewenangan Hakim Pengadilan Negeri Wonosari. 2. Penerapan asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg ditandai dengan adanya kebebasan Hakim dalam menentukan apa yang harus dibuktikan. Menurut Majelis Hakim yang harus dibuktikan adalah faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi serta unsur ketidaksengajaan Penggugat dalam melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian Hakim telah melampaui kewenangan Hakim pidana yaitu Hakim Pengadilan Negeri Wonosari. Selain itu, baik Penggugat maupun Tergugat sebenarnya tidak mempersoalkan faktor-faktor yang mendorong Penggugat melakukan tindak pidana korupsi, hal ini berarti Hakim tidak terikat pada hal-hal yang disampaikan oleh para pihak. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Hakim sebenarnya telah menerapkan asas pembuktian bebas dalam Putusan Nomor 03/G/2011/PTUN.Smg, namun Hakim keliru dalam menerapkan asas pembuktian bebas tersebut karena tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memang bebas dalam hal menetukan apa yang harus dibuktikan dan penilaian terhadap pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Namun, Hakim seharusnya tetap memperhatikan kebenaran materiil sesuai dengan hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yakni Pasal 23 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 jo. Pasal 9 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979. B. Saran 1. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara lebih memperhatikan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, dan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta asasasas hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, agar tepat dalam mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang diadilinya. 2. Mahkamah Agung dapat memberikan pengarahan dan pendidikan lebih kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, agar Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak keliru dalam menjatuhkan suatu putusan. Daftar Pustaka Buku Literatur: Atmosudirjo, Slamet Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Cetakan X. H.R, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Harahap, Zairin. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hartini, Sri, Sitiajeng, Kadarsih, & Tedi, Sudrajat, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Indroharto. 2000. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kansil, C.S.T. 2000. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha. M. Hudjon, Philipus, dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Marzuki, Peter Mahmud . 2005. Penelitian Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Liberty. Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Prodjohamidjojo, Mr. Martiman. 2005. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU PTUN 2004. Bogor: Ghalia Indonesia. Pudjosewojo, Kusumadi. 1983. Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. Tjakranegara, R. Soegijatno. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soemitro, Ronny Haninjito. 1999. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Suratman dan Phillips. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta. Syahrani, Riduan. 2009. Kata – Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung: P.T. Alumni. Tjandra, W. Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Wijoyo, Suparto. 2005. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara). Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Wiyono, R. 2013. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Putusan Pengadilan: Putusan Pengadilan Tata 03/G/2011/PTUN.Smg. Usaha Negara Semarang Nomor: