Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmodernisme ; Pengembangan Nuklir Iran Silsila Asri, S.IP, M.A Abstract This paper is purposed to explain the effectivity of non proliferation of nuclear weapons based on postmodernism perspective. Nuclear is a product of knowledge which was supported by power in its proliferation. In this case, postmodernism assumes that every knowledge is used by power to reach its objectives that no objective truths that are accompanied every knowledge. Nowdays nuclear has become a product that made every country involved in debate and disputes. In order to manage the proliferation of nuclear, great power countries whose has nuclear arranged NPT (non Proliferation treaty of nuclear weapon). NPT is a form of global governance that are tried to engaged every country to prolifate nuclear for peace and economic purpose. Contrary to this, Iran is prohibited to prolifate its nuclear and the great power attempt to imposed saction to Iran. In other chance Iran still have a solid desire to improve its nuclear and refused the UN and international recommendation. This conditions reflect that NPT regime fail to accommodate all its members values, ideas and truth in a concensus meaning. Pendahuluan Nuklir telah menjadi sebuah perdebatan dalam interaksi antara negara-negara di dunia. Perdebatan dan polemik ini muncul karena Nuklir memiliki nilai strategis, politis dan ekonomis, dan setiap aktor internasional yang memiliki kepentingan terhadp nuklir memiliki cara pandang yang berbeda terhadap perkembangan nuklir ini. Kemajuan yang pesat dalam perkembangan nuklir baik sebagai senjata maupun sebagai sumber energi alternatif di masa depan merupakan sebuah refleksi keberhasilan ilmu pengetahuan menciptakan sesuatu yang berguna untuk keamanan dan kesejahteraan umat manusia (dalam bidang energi) di masa depan, namun sekaligus juga merupakan sebuah potensi penghancur peradaban manusia yang sangat dahsyat. Pengembangan senjata nuklir di motori oleh negara-negara superpower, terutama Amerika Serikat pada masa perang dunia II, dan selanjutnya semasa perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berlomba untuk memperkuat diri dengan pengembangan berbagai teknologi persenjataan termasuk nuklir. Pasca perang dingin, dominasi nuklir tetap dipegang oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, serta beberapa negara seperti Perancis, Inggris dan China. Akan tetapi, dewasa ini muncul negara-negara bekemampuan nuklir baru seperti Iran, Korea Utara, Israel, yang membuat permasalah nuklir di era pasca perang dingin menjadi lebih kompleks. Perlombaan pembangunan senjata nuklir menyebabkan menumpuknya jumlah persenjataan nuklir yang dimiliki negara negara. Bahkan kekuatan stok senjata nuklir andaikata semuanya diledakkan sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan bumi. Hal ini kemudian mendorong negara Kaprodi Hubungan Internasional FISIPOL Univrab Pekanbaru 21 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran negara nuklir untuk mengatur kepemimilikan persenjataan nuklir dalam mekanisme arms control dan disarmament. Arms control merujuk pada sebuah kerangka bilateral ataupun multilateral yang membatasi jumlah ataupun jenis persenjataan yang boleh dimiliki oleh negara yang terikat dalam kerangka kerjasama tesebut. Sedangkan disarmament lebih merujuk pada pemusnahan senjata. Mekanisme tersebut kemudian digagaskan dalam bentuk sebuah regime internasional, sehingga lahirlah yang dikenal dengan Non Proliferation Treaty of Nuclear Weapons (NPT). Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dibentuk pada tahun 1968. Negara-negara yang terlibat dalam NPT mengadakan konferensi yang disebut sebagai Review Conference setiap lima tahun sekali untuk membahas program-program enforcement and compliance. NPT ini kini memiliki anggota sebanyak 187 negara dan memiliki tujuan yang dilandaskan pada tujuh isu utama yakni; universalitas, nonproliferation, nuclear disarmament, nuclear weapons free zone, security assurances, safeguards, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai.* Perjanjian ini (yang selanjutnya di sebut NPT) terbuka untuk ditandatangani pada tanggal 01 Juli 1969 dan pada hari itu Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan 59 negara lainnya menandatanganinya. NPT ini berlaku efektif ketika Amerika Serikat meratifikasinya pada tanggal 05 Maret 1970. China menerima NPT 09 Maret 1992, dan Prancis 03 Agustus 1992. Israel, India dan Pakistan tidak pernah menandatangani perjanjian tersebut, dan Korea Utara menarik diri dari NPT tahun 2003.† Iran mulai mengembangkan nuklirnya sejak tahun 1959 dengan dukungan Amerika Serikat, dan kemudian meratifikasi NPT tahun 1970. Dalam konstelasi politik dan keamanan internasional dewasa ini Iran dan Korea Utara merupakan sumber polemik utama persoalan nuklir. Iran dan Korea Utara memiliki keteguhan sikap untuk tetap mempertahankan dan melanjutkan program nuklirnya, meskipun telah dikecam oleh komunitas internasional dan dijatuhi berbagai macam sanksi. Tekanan internasional meningkat terhadap Iran pada saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) menjatuhkan putaran keempat sanksi terhadap Iran pada bulan Juni 2010, berkaitan dengan program nuklirnya.‡ Iran menolak tunduk pada tuntutan PBB untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya, dan menegaskan kembali bahwa program nuklirnya adalah untuk memproduksi bahan bakar nuklir untuk keperluan damai, dan membantah tuduhan-tuduhan berupaya membuat senjata atom seperti yang dicurigai oleh negaranegara Barat. Penolakan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden Ahmad Dinejad berikut ”Betapapun hebatnya ancaman dan sangsi dari berbagai kekuatan besar, bangsa kami tetap kuat untuk melanjutkan hidupnya, dan negara-negara besar itu tidak menjadi halangan (bagi kami) untu terus maju.” § Berita-berita yang * Charles W Kegley Jr & Eugene R Wittkopf. Wolrd Politics.Trend and Transformation.hal 581-582 Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons [NPT], diakses pada http://www.fas.org/nuke/control/npt/ tanggal 19 Juni 2010 ‡ Iran Imbau Barat Terima Kesepakatan Nuklir, diakses pada http://www.antaranews.com/berita/1276358172/iran-imbau-barat-terima-kesepakatan-nuklir, 19 Juni 2010 § Pernyataan ini dikutip dari artikel Kaunee.com “SangsinyaAhmadinejad: Program Nuklir Iran Tak Akan Berhenti Apapun Sangsinya” † 22 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran disampaikan oleh beberapa media menunjukkan keteguhan sikap Iran menantang sikap sebagian besar negaranegara di dunia dalam program pengembangan nuklir Iran. Iran tidak mau didikte dan tunduk terhadap kesepakatan PBB untuk menghentikan program nuklirnya. Berbagai tindakan dilakukan Iran sebagai bentuk perlawanan, mulai dari penolakan inspeksi yang dilakukan oleh IAEA sampai pada inisiasi Iran mengadakan pertemuan tandingan NPT untuk membangun sebuah kesepakatan nuklir baru. Setelah mengumumkan keinginannya untuk mendirikan 10 pabrik nuklir baru dalam 6 bulan mendatang, Iran mengadakan konferensi internasional mengenai perlucutan senjata nuklir, pada pertengahan April 2010 dengan partisipasi China.** Dalam pertemuan itu Iran ingin menggagaskan bahwa energi nuklir adalah hak semua negara dan senjata nuklir tidak hanya satu. Iran menginginkan perlucatan senjata nuklir yang lebih adil. Tekad Iran dan Korea untuk terus mengembangkan senjata nuklir di atas merupakan salah satu bentuk ketidakeffektivan NPT. Iran pada mulanya ingin mengembangkan nuklir dengan pertimbangan ekonomi dan tujuan damai. Sedangkan negara-negara barat terutama Amerika Serikat melihatnya sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap NPT yang telah ditandatangani oleh Iran tahun 1970. Amerika Serikat secara terus menerus membangun sebuah opini public dengan berbagai retorika bahwa pengembangan nuklir Iran mengancam perdamaian dunia. Berdasarkan polemik yang terjadi mengenai implementasi NPT dalam mengatur mekanisme pengembangan nuklir di dunia ini, penulis ingin memaparkan bagaimana regime NPT bekerja dalam mengatur mekanisme pengembangan nuklir di dunia dan bagaimana efektifitasnya. http://www.kaunee.com/index.php?option=com_content&view=article&id=327:ahmadinejad-program-nukliriran-tak-akan-berhenti-apapun-sangsinya&catid=35:Internasional&Itemid=95 diakses tanggal 19 Juni 2010 ** Iran Adakan Konferensi Perlucutan Senjata Nuklir, diakses pada http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/11286-iran-adakan-konferensi-perlucutan-senjata-nuklirdan-penerapan-fasilitas-baru, 19 Juni 2010 23 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran Perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT) NPT (Non Pproloferation of Nuclear weapons) merupakan suatu regime internasional sebagai wadah yang mengatur pendayaagunaan dan pengembangan program nuklir negara-negara anggota. Dalam perjanjian ini terdapat pasal-pasal yang memberikan aturan serta batasan kepada negara anggota untuk mengembangkan nuklirnya. NPT terbentuk atas dasar kekhawatiran mulai banyaknya negara-negara yang berinisiatif untuk mempelajari, mengembangkan dan menggunakan nuklir untuk berbagai keperluan yang bernilai strategis, ekonomis dan untuk tujuan-tujuan politik. Negara-negara anggota NPT dibagi atas dua kategori besar yakni NSW (Nuclear Weapon States) dan NNSW (Non Nuclear Weapon States). NSW terdiri dari Amerika Serikat, Federasi Rusia , Perancis, Inggris dan Cina. Selebihnya adalah negara NNSW. Pengkategorian ini dilakukan untuk membedakan hak dan kewajiban negara-negara anggota NPT. Perbedaan inilah yang akhirnya memicu perdebatan dalam implemntasi NPT. NPT pada prinsipnya dibangun di atas tiga pilar, yaitu perlucutan senjata nuklir, anti-penyebaran dan pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai. Pengaturan mekanisme tersebut dalam implementasinya difasilitasi oleh sebuah badan yang dibentuk oleh PBB yakni IAEA (International Atomic Energy Agency. IAEA adalah suatu badan yang bertujuan untuk mewujudkan penggunaan energi nuklir secara damai dan melarangnya digunakan dalam bidang militer. Pada bagian pembukanya, NPT menyebutkan bahwa perang nuklir adalah suatu hal yang mutlak harus dihindari. Penyebaran senjata nuklir adalah berbahaya; walaupun begitu pengembangan bersama untuk tujuan damai sangat dianjurkan. Tiap orang menolak dengan keras adanya perlombaan senjata; dan pemusnahan nuklir dianggap mutlak harus dilakukan seiring dengan berjalannya waktu. Tiap Negara harus menjaga kedamaian dan keamanan, dan menggunakan sumber daya yang ada untuk memajukan pembangunan bukan untuk membuat senjata.†† Lebih jauh lagi perjanjian ini terbagi dalam tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi, pelucutan, dan hak mengembangkan nuklir untuk tujuan damai seperti dijelaskan sebagai berikut‡‡; a. Pada bagian pertama, pada bagian ini dipaparkan bahwa terdapat 5 negara yang diperbolehkan NPT untuk memiliki senjata nuklir; Perancis (masuk tahun 1992), RRC (1992), Uni Soviet (1968, kemudian hak dan kewajibannya diteruskan oleh Rusia), Britania Raya (1968), dan AS (1968). Hanya lima Negara ini (Nuclear Weapon States) ditambah DK PBB yang berhak memiliki nuklir. Dan Non Nuclear Weapon States setuju untuk tidak mengembangkan senjata nuklir (lihat artikel 1). †† Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons [NPT], diakses pada http://www.fas.org/nuke/control/npt/ tanggal 19 Juni 2010 ‡‡ The Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), diakses pada http://www.un.org/en/conf/npt/2005/npttreaty.html tanggal 19 Juni 2010 24 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri b. Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran Pada bagian kedua, dipaparkan tentang pelucutan senjata nuklir (artikel 6) dan bagaimana negara dapat keluar dari NPT (artikel 10). c. Bagian ketiga adalah tentang hak menggunakan tehnologi nuklir untuk tujuan damai. (artikel 4) Merujuk ke artikel 3, setiap NNWS dalam menjalankan perjanjian ini harus menerima safeguards agreement sebagai sekumpulan di dalam suatu persetujuan untuk melakukan perundingan bersama IAEA dan system penjagaan IAEA (safeguard agreement) untuk verifikasi pemenuhan kewajiban pengembangan nuklir untuk tujuan damai. Senjata nuklir sendiri dapat dilihat dari bahan-bahan yang dipakai untuk pengembangannya; bahan-bahan yang dilarang adalah uranium yang mengandung campuran isotop secara alami, uranium yang kadar U-nya susut (uranium susut kadar) dan thorium.§§ Merujuk pada isi dan maksud dari NPT tersebut, disimpulka bahwa negara-negara yang tergabung dalam NWS harus berusaha untuk mengurangi kepemilikan senjata nuklirnya, sedangkan negara NNWS tidak boleh memperoduksi dan memiliki senjata nuklir tetapi berhak untuk mengembangkan nuklir untuk keperluan damai. Dalam proses implementasinya NPT mengalami berbagai ganjalan yang pada kahirnya mempertanyakan keefektivan NPT sebagai sebuah mekanisme yang mengatur kepemilikan senjata nuklir demi terciptanya keamanan dan keteraturan di dunia ini. Iran sendiri termasuk pada kategori Non Nuclear Weapon States yakni Negara yang tidak mempunyai senjata nuklir dan idealnya tidak berusaha untuk menghasilkan senjata nuklir. Dalam konsep pengembangan senjata nuklir untuk kepentingan damai, kondisi yang ironis terjadi pada Iran, dimana dunia internasional yang dimotori oleh Amerika Serikat tidak mempercayai pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai. Pada awalnya Iran, untuk membuktikan bahwa pengembangan nuklir bertujuan damai telah mengikuti semua prosedur yang dikeluarkan oleh PBB menurut mekanisme NPT dan IAEA. Misalnya, Iran bersedia menerima inspeksi IAEA, dan bersedia menandatangani konvensi larangan ujicoba senjata nuklir dan konvensi larangan perluasan senjata biologi. Melalui mekanisme ini Iran bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa program nuklirnya bertujuan damai. Akan tetapi, Amerika Serikat, tidak mempercayai semua alas an pengembangan nuklir Iran dan berusaha untuk membangun opini public internasional bahwa pengembangan nuklir Iran berbahaya untuk keamanan dan peramaian internasional. Dalam upayanya untuk menghentikan pogram nulir Iran dan mendapatkan dukungan dunia internasional Amerika Serikat mempublikasikan penemuan satelit mereka tentang adanya fasilitas nuklir di Natanz dan Arak 18 Februari 2003. Iran juga disinyalir telah mengimpor uranium yang sudah diproses dari China 1992. Hal-hal ini telah melanggar NPT (merujuk ke kriteria uranium yang dilarang NPT). Tetapi Presiden Iran saat itu, Khatami, mengumumkan bahwa fasilitas ini ditujukan untuk menghasilkan bahan bakar nuklir, bukan untuk senjata. Publikasi ini menimbulkan keraguan di mata dunia bahwa Iran dapat mengembangkan suatu fasilitas tanpa diketahui dunia luar. Penemuan IAEA tentang uranium kadar tinggi yang dapat dipakai untuk senjata nuklir, ditambah teknologi tentang misil dari Korea Utara dan China, dan bantuan §§ International Atomic Energy Agency: Highlight of Activities. IAEA, Vienna 1973. 25 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran produksi dari Pakistan, medeskripsikan bahwa pengembangan nuklir Iran semakin berpotensi sebagai ancaman bagi keamanan dunia. Reaksi yang diharapkan Amerika Serikat muncul dari Inggris, Perancis, dan Jerman, yang memberi tekanan pada Iran untuk menutup seluruh fasilitas nuklirnya sampai Oktober 2003. Awalnya Iran setuju untuk melakukan transparansi pengembangan nuklir dengan IAEA dan bersedia bekerjasama penuh dengan tanpa campur tangan DK PBB. Tetapi Iran melakukan tindakan provokatif yang memuncak di tahun 2004 saat Iran mengumumkan bahwa mereka tetap akan mengembangkan produksi uranium. Hal ini membuat IAEA membuat laporran tertulis pada DK PBB, yang lalu melarang Iran mengembangkan kegiatan yang berbau proliferasi. Sampai bulan April 2009, Iran tetap bersikukuh pada pendiriannya dan tetap melanjutkan progam nuklirnya. Iran beralasan bahwa mereka telah menuruti Artikel IV dari NPT yang berisi bahwa negara dapat untuk mengembangkan penelitian, memproduksi, dan menggunakan energi nuklir untuk tujuan damai. Sehingga sampai saat ini persoalan nuklir Iran semakin hangat dan hebih di bicarakan dalam tataran poltik internasional. Persoalan pengembangan nuklir oleh suatu negara seperti Iran dan argumentasi-argumentasi yang dikemukan mengenai peran NPT sangat beragam. Keberagaman tersebut merupakan refleksi bahwa dunia ini tidak bersifat universal, dunia terdiri dari berbagai macam nilai, keyakinan dan budaya yang melingkupinya. Dalam tataran teoritis ilmu hubungan internasional, asumsi dan argumentasi mengenai perdebatan seputar pengembangan nuklir ini juga sangat beragam tergantung pada sudut pandang yang mendasari argumentasi tersebut. Selanjutnya akan dipaparkan menganai perdebatan nuklir dan NPT ini dari sudut pandang postmodernisme. Nuklir dan Perjanjian Non Proliferasi Nuklir dalam Persektif Postmodernisme Postmodernisme merupakan salah satu filsafat ilmu sosial yang lahir dalam konsep-konsep aliran postpositivisme. Pemikiran postpositivisme berangkat dari asumsi dasar bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internsional, merupakan hasil dari sebuah konstruksi waktu dan tempat, bukan merupakan penemuan, karena itu tidak ada perbedaan mendasar antara subjek (analisis) dengan Objek (focus analisis). Postmodernis (kelompok-kelompok yang menganut paham postmodernisme), dengan asumsi yang sama juga mencoba untuk memberikan argumentasi-argumentasi menganai realitas sosial yang mengkritisi pemikiran-pemikiran positivisme seperti realis dan liberalis. Perbedaan pandangan terhadap realitas sosial , dalam kasus ini persoalan nuklir, akan menghasil sebuah pandangan yang berbeda, bahkan bertolak belakang dari kedua pendekatan tradisional tersebut. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “ A Primer on Postmodernisme”, Stanley J, Grenz menceritakan hal ihwal lahirnya postmodernisme. “Postmodernisme lahir di St. Louis, Missori, 15 Juli 1972, pukul 3.32. Ketika pertamakali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting rumah itu berdiri sebagai gambaran modernism, yang menggunakan teknologi untuk 26 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan manusia. Tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan itu. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah.”*** Cerita tersebut dianggap sebagai tonggak lahirnya era postmodernisme dan kematian era modernism. Deskripsi mengenai rumah yang ditujukan untuk kesejahteraan bersama dan dihancurkan oleh sendiri oleh penghuninya, bisa dijadikan sebagai sebuah analogi untuk menggambarkan mulai hancurnya regime NPT nuklir. Regime NPT nuklir merupakan sebuah bangunan yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan keamanan bersama masyarakat dunia dari bahaya nuklir telah dihancurkan secara perlahan oleh para negara anggotanya dengan cara yang beragam sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka masing-masing. Nilai dan keyakinan tersebut membentuk tujuan dan hal ini tidak sama antara satu dengan yang lain. Keberagaman dalam realitas sosial dalam pemikiran postmodernisme adalah sebuah keniscayaan. Pembahasan pandangan postmodernisme menganai regimen NPT, akan dikaitkan dengan asumsiasumsi dasar dari pemikiran postmodernisme. Pertama, asumsi dasar utama dari pemikiran ini adalah pluralime relative dan menolak sesuatu yang bersifat universal. Berkaitan dengan konsep ini postmodernisme bersinggungan dengan perspektif liberalis. Pluralisme dalam postmodernisme menghendaki adanya penghormatan terhadap peranan individu yang secara aktif berhubungan dengan komunitas sosialnya sesuai dengan nilai-nilai, ide dan keyakinan yang dianutnya. Pemikiran ini menghentikan pencarian bagi kesatuan realitas objektif. Dunia tidak memiliki pusat. Bahkan dalam beberapa pemikir postmodernime menyatakan tidak ada konsep dunia. Asumsi realism ini secara gambalang dapat dipahami bahwa, tidak ada sesuatu yang benar-benar sama di dunia ini dan tidak ada kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan tersebut menjadi satu kesatuan. Pemaksaan tersebut hanya akan menghancurkan dirinya dari dalam. Dalam hal ini, postmodernisme berargumentasi tidak ada pusat yang mengatur. Regime NPT dalam studi yang lain dikenal sebagai sebuah bentuk global governance untuk mengatur kepemilikan nuklir di seluruh dunia. Kaum posmodernisme adalah kaum yang sangat skeptic terhadap global governance. Dalam perkembangannya regime NPT tidak mampu menyatukan semua nilai-nilai, ide dan keyakinan yang berbeda dari negara-negara anggotanya. Iran melanggar NPT dan dengan keteguhan tekad yang tinggi tetap berusaha mengembangkan nuklirnya karena meyakini bahwa pengembangan nuklir tersebut adalah sebuah kebenaran yang diyakini akan mengantarkannya pada tujuan. Negara-negara lain terutama negara superpower melihat bahwa tindakan Iran adalah sebuah penyimpangan, karena mereka berkaca pada perspektif nilai, ide dan keyakinan mereka sendiri. Dalam hal kebenaran postmodernisme melihat bahwa kebenaran sangat relative bergantung kepada kelompok-kelompok yang meyakininya. Dalam pengertian bahwa nilai kebenaran akan suatu realitas sosial hanya berlaku pada *** Stanley J, Grenz, “ A Primer on Postmodernisme”, terjemahan Wilson Suwanto (Yayasan ANDI (Anggota IKAPi) : Yogyakarta, 2001) hal. 26 27 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran kelompok tertentu belum tentu benar untuk kelompok yang lain. Dalam pengertian ini juga kebenaran postmodernisme berhubungan dengan komunitas. Karena ada banyak komunitas , pasti ada banyak kebenaran yang berbeda. Banyak kaum postmodernisme yang percaya bahwa keanekaragaman kebenaran dapat hidup berdampingan dengan kesadaran akan pluralisme dan relativisme. Orang-orang postmodernisme dalam melihat kebenaran tidak mementingkan sistematika dan logika. Disamping itu mereka juga tidak perlu untuk membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah. Persoalan keyakinan dan kepercayaan adalah masalah konteks sosial. Para pemikir posmodernisme menyimpulkan “apa yang benar untuk kami, munkin saja salah bagi anda, dan apa yang salah bagi kami , mungkin saja benar dalam konteks anda” †††. Bila diterjemahkan dalam kasus tekad Iran untuk mengembangkan nuklirnya, Iran sudah sampai pada batas pemahaman ini. Iran merasa telah melakukan kebenaran dengan mengembangkan nuklir untuk kepentingan komunitasnya di masa depan, walaupun hal tersebut berbeda dengan kebenaran yang dianut oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Setelah berusaha untuk melakukan prosedur secara damai namun tetap tidak dipercayai Iran, memilih untuk tidak perlu memperdulikan lagi semua tuduhan dan tidak perlu membuktikannya. Sikap dan tindakan Iran ini menunjukkan bahwa Iran menyadari negaranya adalah sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas lain dengan keyakinan nilai-nilai yang berbeda. Kedua, asumsi dasar postmodernisme yang berkaitan dengan power (kekuasaan) adalah argumentasi mengenai hubungan antara power dengan ilmu pengetahuan. Dalam asumsi realis, power selalu dihubungkan dengan pengaruh, kapabilitas atau kontrol negara, sedangkan dalam pemikiran postmodernisme (berdasarkan pemikiran Focault) power tidak hanya sesuatu yang berbentuk “force” yang bisa diparktekkan dan dikontrol, lebih dari itu power adalah sesuatu yang produktif. ‡‡‡ Michel Foucault mengemukakan bahwa; “ … that power in fact produces knowledge. All power requires knowledge and all knowledge relies on and reinforces exixting power relation.”§§§ Dalam kaitannya dengan ilmupengetahuan power merupakan wahana untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Focault menyatakan bahwa pengetahuan tidak mungkin bisa melepaskan diri dari kekuasaan karena selalu berhubungan dengan “wacana”. Tindakan-tindakan dan lembaga-lembaga menghasilkan pengetahuan yang mendukung sistem kekuasaan. Dalam pengertian tersebut Focault menyingkirkan semua konsep mengenai pengetahuan yang bersifat objektif. Ia menyebut bahwa „ilmu pengetahuan sebagai ideologi, lalu menegaskan hubungannya dengan kekuasaan. Berdasarkan asumsi ini, kelahiran nuklir berdasarkan sejarahnya didukung oleh kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain. ††† Ibid, hal 30 Rosemary E. Shinko, Postmodernism: A Genealogy of Humanitarian Intervention dalam,Jennifer Streling _Folker, making Sense Of International Telation Theory, ( United State of America : Lynne Rienner Publisher, 2006) hal. 168-169 §§§ Steve Smith & Patricia Owens, “Alternative approach to International Relation Theory” dalam John Baylis & Steve Smith “ The Globalization of World Politics , Third Edition, (Great Britain : Oxford University Press, 2005). ‡‡‡ 28 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran Hubungan kekuasaan yang mendasari kelahiran nuklir dapat dilihat pada deskripsi mengenai kelahiran nuklir sebagai berikut. Pada bulan Oktober 1939 ketika pecahnya Perang Dunia II di Eropa, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt menerima surat dari seorang ahli Fisika, Albert Einstein, dan koleganya asal Hungaria, Leo Szilard. Kedua ilmuwan ini dalam surat tersebut menyatakan kemungkinan lahirnya kekuatan bom yang dahsyat dan belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu dengan menggunakan kekuatan nuklir. Mereka juga menyampaikan kekhawatiran bahwa Hittler dengan Jerman-nya sedang mengembangkan kekuatan bom ini. Jerman sangat berpotensi menjadi yang pertama mengembangkan bom atom karena Hittler telah memiliki senjata dan kemampuan untuk membangun kekuatan itu hingga Hittler dapat menghancurkan semua musuhnya dan mengatur dunia.**** Untuk menghindari mimpi buruk ini, Einstein dan Szilard mendesak pemerintah Amerika serikat untuk ikut serta dalam “perlombaan” membuat bom atom. Roosevelt pun setuju dengan program rahsia ini yang berlangsung selama 4,5 tahun bekerjasama dengan United Kingdom.Program yang bernama “Manhattan Project” ini mempekerjakan lebih dari 200.000 pekerja dan ribuan scientists dan engineers yang didominasi orang Eropa. Akhirnya, pada tanggal 16 Juli 1945 bom atom pertama diujicobakan di tengah Gurun Alamogordo, New Mexico. Kekuatan bom ini sungguh mencengangkan dunia bahkan mereka sendiri yang telah membuatnya.†††† Setelah ujicoba tersebut, tak lama kemudian Jerman menyerah. Ini berarti bahwa ancaman potensial bom atom yang dikembangkan Nazi sudah tidak ada lagi. Namun perang sangat hebat masih terjadi di Pasifik. Kondisi ini membuat Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, memutuskan untuk menggunakan bom atom demi mendesak Pemimpin Jepang agar menyerah secepat mungkin. Tanggal 6 Agustus terjadilah serangan bom atom dengan kekuatan yang setara 12,5 kiloton TNT dijatuhkan di Hiroshima, Jepang. Disusul kemudian serangan bom terhadap Nagasaki dengan kekuatan yang lebih besar -setara 22 kilotons TNT- pada tanggal 9 Agustus. Banyak korban yang terbakar hebat, terkena radiasi, dan sebagainya. Lima tahun setelah pengeboman ini sebanyak 54% warga asli sekitar meninggal akibat dua serangan bom tersebut yang meninggalkan bencana hingga bertahun-tahun kemudian.‡‡‡‡ Deskripsi mengenai lahirnya nuklir di atas membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa, nuklir adalah hasil dari proses modernisasi abad pencerahan, dan perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan untuk melanggengkan kekuasaa dan dominasi Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal ini juga, ilmu pengetahuan mengenai nuklir lalu dikembangkan oleh negara-negara dengan berbagai tujuan sehingga muncul kekhawatiran dari negara adikuasa tersebut. Kekhawatirannnya ini kemudian yang menghantarkan mereka untuk mengagaskan sebuah regime perjanjian untuk mengontrol pengemabangan nuklir. Namun dalam regime tersebut negara-negara besar berusaha untuk memaksakan nilai-nilai, ide dan keyakinan mereka untuk **** http://nobelprize.org/ Ibid ‡‡‡‡ Ibid †††† 29 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran menyalahkan dan menghancurkan orang lain. Dalam pandangan konstruktivisme, semua itu adalah sebuah grand narrative yang memuat tujuan-tujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam meyebarkan ide-ide tersebut, negara-negara yang berkuasa berusaha mengemasnya dalam sebuah bahasa yang provokatif dan bersifat retoris, sehingga bisa diterima oleh kelompok lain. Pemikiran postmodernisme menolak adanya upaya menguniversalkan nilai-nilai dengan narasi-narasi kebenaran seperi itu yang pada akhirnya menyalahkan kelompok lain. Regime NPT adalah sebuah bentuk global governance yang berupaya untuk menguniversalkan nilainilai kebenaran mengenai perkembangan nuklir. Akan tetapi, dari dalam terjadi pelemahan dan penghancuran karena, perbedaaan sikap dan tujuan masing-masing anggota. Terlebih lagi tujuan-tujuan keamanan bersama yang menajdi misi dari regime NPT ini tetap saja ditenggarai oleh keinginan sekompok negara untuk berkuasa. Negara-negara ini membangun pasal-pasal NPT dan kesepakatan-kesepakatan yang tidak seimbang. Dalam perspektif postmodernisme, keamanan bersama yang menajdi misi NPT ini adalah sesuatu yang utopis. Negaranegara anggota NPT adalah sebuah pluralitas sosial yang tidak bisa diabaikan begitu saja, dimana setiap kelompok memiliki nilai-nilai, ide, dan keyakinan sendiri-sendiri. Maing-masing kelompok akan bertindak lebih pragmatis. Pragmatisme postmodern yang digambarkan oleh Richard Rorty adalah sebuah pemahaman yang tidak membedakan antara apa yang seharusnya dan apa yang ada sekarang, melainkan lebih memusatkan perhatian pada cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir. Rorty mengajukan pertanyaan “ Kosakata mana yang bekerja lebih baik untuk mencapai tujuan di depan kita?” §§§§. dalam kerangka pragmatisme ini, negaranegara anggota yang beranekaragam tersebut, akan lebih mementingkan cara-cara yang lebih mendekatkannya pada tujuan dan kepentingan komunitasnya dan itulah kebenaran bagi mereka. Selain dari itu postmodernisme juga sangat skpetis atau bahkan menolak adalanya konsesus. Hal ini berkaitan kembali dengan penolakan postmodernisme terhadap penguniversalan nilai-nilai kebenaran. Consensus, hanya kan menghambat kebebasan bergerak setiap anggota yang beragam tersebut dan hal itu akan sangat sulit untuk dicapai. Kesimpulan Perjanjian non proliferasi nuklir merupakan sebuah bentuk global governance yang diharapkan mampu menjadi mekanisme yang mengatur kepemilikan, dan pengembangan nuklir untuk kepentingan kesejahteraan dan keamanan umat manusia. Sekita 170 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya lima negara besar yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir dan dalam mekanismenya regime ini tidak mampu mengakomodasi semua keberagaman yang dimiliki oleh setiap anggota. Pemikiran postmodernisme, skpetis dan bahkan menolak adanya konsensu yang dicapai dalam regime-regime internasional tersebut. §§§§ Op. Cit hal. 244 30 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru Silsila Asri Non Prolifration Treaty Senjata Nuklir dalam Perspektif Postmoderisme: Pengembangan Nuklir Iran Alas an utamanya adalah bahwa kbenaran dan nilai bukanlahsesuatu yang bisa dipaksakan secara universal. Setiap kelompok (negara) memiliki nilai-nilai, ide dan kebenaran yang diyakini sendiri, sehingga sangat mustahil menyatukannya dalam sebuah ide universal yang juga tidak memuat nilai-nilai keadilan. Keamanan dan kesejahteraan yang ditawarkan dalam konsep-konsep regime internasional atau bentuk –bentuk global governance bagi pemikiran postmodernise adalah sesuatu yang mustahil. Selanjutnya posmodernisme meyakini dala setiap ilmu pengetahuan dan kebenaran universal yang disebarluaskan memuat tujuan-tujuan kekuasaan. Posmodernisme meyakini bahwa keanekaragaman akan mampu hidup secara berdampingan sehingga tidak memerlukan sebuah consensus menganai paa yang harus dilakukan dan apa yang benar untuk dilakukan. Terhadap regime yang sudah ada postmodernisme menawarkan sebuah dekonstruksi sosial, karena masing-masing kelompok (local) suadah menagnut nilai, ide dan kebenarannya sendiri. Referensi 1. Streling, Jennifer dan Folker. 2006. Making Sense Of International Telation Theory. United State of America : Lynne Rienner Publisher. 2. Baylis, John & Steve Smith. 2005. “ The Globalization of World Politics. Third Edition. Great Britain : Oxford University Press. 3. Grenz, Stanley J. 2001. “ A Primer on Postmodernisme”, terjemahan Wilson Suwanto. Yayasan ANDI (Anggota IKAPi) : Yogyakarta. 4. Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons [NPT], diakses pada http://www.fas.org/nuke/control/npt/ tanggal 19 Juni 2010 5. The Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), diakses pada http://www.un.org/en/conf/npt/2005/npttreaty.html tanggal 19 Juni 2010 6. Iran Adakan Konferensi Perlucutan Senjata Nuklir, diakses pada http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/11286-iran-adakan-konferensi-perlucutan-senjatanuklir-dan-penerapan-fasilitas-baru 7. Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons [NPT], diakses pada http://www.fas.org/nuke/control/npt/ tanggal 19 Juni 2010 8. Iran Imbau Barat Terima Kesepakatan Nuklir, diakses pada http://www.antaranews.com/berita/1276358172/iran-imbau-barat-terima-kesepakatan-nuklir, 19 Juni 2010 9. Pernyataan ini dikutip dari artikel Kaunee.com “SangsinyaAhmadinejad: Program Nuklir Iran Tak Akan Berhenti Apapun Sangsinya” http://www.kaunee.com/index.php?option=com_content&view=article&id=327:ahmadinejadprogram-nuklir-iran-tak-akan-berhenti-apapun-sangsinya&catid=35:Internasional&Itemid=95 31 International Society Vol. 1 No. 1, Agustua 2014 Hubungan Internasional Univrab Pekanbaru