PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 ANALISIS YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DI KOTA BATAM (Studi Kasus Nomor : 26/Pdt.G/2011/PN.BTM) Karina Pramithasari Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam Indonesia Korespondensi: [email protected] Abstrak Berbagai sengketa sering terjadi didalam masyarakat baik antara individu ataupun kelompok masyarakat dengan perusahaan, bahkan antara masyarakat dengan pemerintah. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai, maka salah satu pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain terpaksa membawa perkara atau mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan guna memperoleh penyelesaian sengketa secara hukum yang diputus oleh hakim yang berwenang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sesuai dengan Undang-undang atau hukum yang berlaku. Penelitian bertujuan untuk mengethui bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap wanprestasi perjanjian jual beli tanah menurut KUHPerdata? Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara pada kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM tentang wanprestasi dalam perjanjian jual beli tanah di Kota Batam berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata. Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Terjadi Di Kota Batam. Peraturan pelaksanaan pembuatan akte tanah di Kota Batam hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak) merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, akan tetapi pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009. Kata Kunci: Wanprestasi, Perjanjian Jual Beli, Kota Batam A. PENDAHULUAN Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar dari kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah sebagai suatu benda yang dapat memenuhi kebutuhan manusia sudah lama dirasakan orang. Dalam berbagai aspek 174 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 kehidupan orang membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi manusia dapat dilihat dari kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Pasal 33 Undang–Undang Dasar 1945 menyebutkan : “bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat“. Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.1 Lajunya pertumbuhan penduduk khususnya di daerah perkotaan tidak diimbangi dengan jumlah lahan yang tersedia, sehingga menyebabkan tanah-tanah yang tersedia tidak cukup luas untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di atasnya. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, karena itu perlu dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan masyarakat.2 Berbagai sengketa sering terjadi didalam masyarakat baik antara individu ataupun kelompok masyarakat dengan perusahaan, bahkan antara masyarakat dengan pemerintah. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai, maka salah satu pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain terpaksa membawa perkara atau mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan guna memperoleh penyelesaian sengketa secara hukum yang diputus oleh hakim yang berwenang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sesuai dengan Undang-undang atau hukum yang berlaku. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah “Eigenrichting” (main hakim 1 2 K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia 1982, hal. 3 Ibid hal. 7 175 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 sendiri).3 Setiap para pihak yang berperkara di Pengadilan memiliki kewenangan masing-masing untuk mempertahankan haknya.Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Tanah merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu wujud dari kekuasaan yang dimilikiNya dan sebagai anugrah dari Tuhan yang Maha Esa kepada umatnya untuk dapat memiliki dan mengusainya dalam menjalankan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dapat dibayangkan bila manusia hidup tanpa adanya tanah, karena tanah adalah tempat mereka tinggal dan berdiam serta mencari nafkah dengan demikian sudahbarang tentu terdapat hubungan yang erat antara tanah dengan manusia. dimana terdapatnya hubungan yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain disatu pihak, dan tanah dipihak lain yaitu tanah dimana tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka dan tanah sebagai tempat mereka dimakamkan,begitu juga terdapat hubungan yang erat dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan tanah, dengan adanya hubungan tersebut maka manusia sebagai makhluk ciptaannya harus memanfaatkan dan melestarikan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu bentuk pengabdian terhadap ciptaanNya dan sebagai wujud pelaksanaan perintahNya.4 Adanya hubungan yang erat antara tanah dengan kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaanNya maka mereka berhak atas tanah itu untuk dapat memanfaatkannya dan dilestarikan. Namun dalam pelaksanaannya untuk memanfaatkan dan melestarikan tanah tersebut tidak akan dapat berjalan begitu saja tanpa adanya suatu ketentuan atau aturan hukum yang dapat membatasi sesuatu yang berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia atas tanah dalam kehidupannya sehari-hari, dan ketika sudah adanya aturan tersebut maka akan dapat tergambar apa yang menjadi hak seseorang dan sejauh mana hak tersebut dapat 3 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori danPraktek, Bandung, Alumni, 2002, hal. 12 4 Ibid, hal. 9 176 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 dilaksanakan dan dimanfaatkan, begitu juga dengan perbuatan dan tindakan yang harus dilaksanakan terhadap hak yang telah diberikan tersebut sehingga dengan demikian tidak ada pertentangan antara hak dan kewajiban seseorang yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.5 Adanya problema tersebut maka sudah menjadi tugas bagi suatu Negara sebagai organisasi yang menciptakan produk-produk hukum untuk mengatur kehidupan negaranya dalam rangka mewujudkan negara yang sejahtera, karena manusia akan hidup senang dan berkecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tentram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.6 Konsep hak mengusai Negara sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 33 ayat 3, didalam UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak Menguasai Negara dalam tingkat tertinggi adalah : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa. Bila diperhatikan keberadaan pasal tersebut tidak terlepas dari kehendak Negara agar masalah pertanahan di Indonesia tidak dikuasai secara sewenangwenang oleh pihak-pihak tertentu atau tuan-tuan tanah dengan tujuan dan maksudmaksud yang dapat merugikan kepentingan Negara pada umumnya dan masyarakat khususnya, serta untuk menentukan sepanjang mana hak atas tanah dan kewajiban Negara dan warga negaranya dalam hubungannya dengan tanah. 5 6 Ibid, hal. 11 Gunawan Kartasapoetra, Dkk, Hukum Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendaya-gunaan Tanah, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hal. 1 177 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Jumlah luasnya tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial budaya dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak umpamanya untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalanjalan untuk perhubungan. Sehingga bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah tidak seimbangnya antara persedian tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, telah menimbulkan persoalan dan persengketaan diberbagai aspek yang berhubungan dengan tanah.7 Kemudian tingginya nilai ekonomis terhadap tanah tersebut yang pada terjadi di daerah perkotaan yang pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan tanah, sementara dilain pihak luas tanah yang tersedia tidak bertambah, juga menimbulkan konflik atau penguasaan tanah.8 Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kerditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu kepengadilan, dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Ada 4 (empat) akibat wanprestasi, yaitu : 1. Perikatan tetap ada (Pasal 1243 KUHPerdata) Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkankreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. 2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur.9 7 K. Wantjik Saleh, Ibid, hal. 7 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, 2005, hal. 5 9 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Terjemahan KUHPerdata, Jakarta, Pradnya Paramitha, 1994, hal. 8 178 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari 324 pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa. 4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1236 KUHPerdata. Bentuk konflik atau persoalan itu salah satunya adanya masalah kepemilikan tanah antar warga, tanah yang merupakan hak milik dari seseorang dalam setiap kepemilikannya tidak tertutup kemugkinan akan menimbulkan permasalahan, seperti dalam alas hak atas kepemilikan tanah tersebut baik yang berupa surat keterangan tanah maupun pada tingkat yang lebih tinggi yaitu sertifikat, adakalanya terhadap tanah yang telah didaftarkan tersebut sudah ada pemilik terlebih dahulu atau sudah diterbitkan secara sah kepemilikan atas tanahnya baik berupa surat keterangan tanah maupun surat keterangan ganti rugi, walaupun belum ada sertifikat atas tanah tersebut. Tumpang tindih terhadap alas hak atas tanah ini dalam hal kepemilikan tanah, memaksa seseorang yang merasa hak dan kepentingannya terganggu, harus menyelesaikan persoalan tersebut baik melalui jalan musyawarah antara dua belas pihak yang bersengketa maupun pada tingkat akhir, menyelesaikan permasalahan tersebut melalui jalur pengadilan sebagai wadah untuk mencari keadilan, dalam hal ini adalah dengan mengajukan gugatan atau tuntutan hukum melalui pengadilan yang berwenang, dan sudah menjadi tugas baginya untuk membuktikan haknya tersebut didepan persidangan. Menurut Abdul Kadir Muhammad ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan dalam membuat surat gugatan, ketiga hal tersebut adalah : 1. Gugatan harus berisikan keterangan lengkap dari para pihak yang berpekara, seperti umur, alamat, pekerjaan dan agama 179 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 2. Dasar gugatan yang memuat tentang uraian kejadian dan uraian tentang hukum, yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan tersebut 3. Didalam gugatan harus ada apa yang dimohonkan atau apa yang dituntut oleh Penggugat supaya diputuskan oleh Hakim, isi dari pada tuntutan itu adalah berupa : a. Primer atau tuntutan pokok b. Subsidier atau tuntutan pengganti, apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.10 Pada dasarnya para pihak yang mengajukan tuntutannya ke muka pengadilan bertujuan untuk mendapatkan perlindungan hukum, akan tetapi walaupun ada asas-asas hukum acara perdata yang mengemukakan bahwa pengadilan boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tak ada orang kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Sebagaimana yang terjadi dalam perkara Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 /PN.BTM, dimana penggugat ( yayasan Visi Kudus) telah membeli tanah dan milik tergugat I (Nelson pakpahan) yang terletak di Bukit Kemuning, Kelurahan Mangsang , Kecamatan sungai Beduk, Kota Batam seluas dua hektar. Bahwa penggugat membutuhkan sebidang tanah dan membayarkan kepada tergugat I sebesar Rp 600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) untuk biaya penerbitan dokumendokumen atas lahan tersebut. Didalam perjanjian telah dicantumkan bahwa pada tanggal 31-03-2009 paling lambat untuk tergugat I merealisasikan pangalihan atas lahan tersebut namun pada tanggal yang telah disepakati Tergugat I tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan tergugat I harus mengembailikan Uang muka yang telah dibayarkan kepada penggugat, namun pada nyatanya telah berulang kali penggugat memberikan peringatan agar tergugat I mengembailkan uang muka tersebut namun tidak di indahkan tergugat I. maka penggugat tidak mau tinggal diam dan mengajukan gugatannya ke Paniteraan Pengadilan Negeri Kota Batam, yang pada inti materi gugatanya adalah tergugat wanprestasi terhadap jual beli tanah yang telah mereka sepakati. 10 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Alumni, 1993, hal. 56 180 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti mengenai wanprestasi terhadap perjanjian jual beli tanah, maka dari itu peneliti tertarik untuk mengambil judul jurnal “ Analisis Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam ( Studi Putusan Perkara Nomor : 26/Pdt.G/2011/PN.BTM ).” B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas, maka penulis menerapkan masalah pokok sebagai berikut : 1. Bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap wanprestasi perjanjian jual beli tanah menurut KUHPerdata? 2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara pada kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM tentang wanprestasi dalam perjanjian jual beli tanah di Kota Batam berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata ? C. PEMBAHASAN 1. Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Menurut KUHPerdata. Politik hukum nasional adalah sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.11 Selanjutnya dikatakan bahwa dari segi lain masalah politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah politik hukum nasional akan selalu berupa keharusan atau kebijaksanaan untuk mengadakan suatu pilihan terhadap hukum mana yang harus dibentuk dan diberlakukan serta mengenai kearah mana hukum hendak dikembangkan dalam suatu wilayah Negara Republik Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya, sehubungan dengan bermacam-macam sistem hukum yang ada. Politik Hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup:12 11 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia , 1986 hal 160 12 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Surabaya: LaksBang Pressinso, 2006 hal 51 181 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materimateri hukum di bidang pertanahan. 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supermasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. 3. Politik hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan, termasuk hukum di bidang pertanahan. Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsurunsur agraria yang meliputi : bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria.13 Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan pada sila kelima Pancasila dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Kemudian politik agraria pada waktu yang lalu, tidak menjadikan pembaharuan agraria sebagai landasan pembangunan. Tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) hanyalah dipandang sebagai objek, tempat segala kegiatan pembangunan dilaksanakan dengan orientasi tunggal yakni pertumbuhan ekonomi. 13 Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Refika Aditama, 2007 hal 38. 182 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Sebagai dampaknya, hingga saat ini dapat dirasakan adanya ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang tidak jarang berujung pada terjadinya berbagai konflik antar subjek hak dengan posisi tawar yang berbeda. Di samping itu, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber agraria itu telah mengakibatkan kemunduran sumber agraria dalam kualitas maupun kuantitasnya. Pembaharuan agraria diperlukan sebagai suatu agenda politik selama bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan yang terkait dengan pertanian. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaharuan agraria.14 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Pengelolaan (HPL) tidak disebutkan secara eksplisit, baik dalam diktum, batang tubuh, maupun penjelasannya. Namun demikian, dalam praktik, keberadaan Hak Pengelolaan berikut landasan hukumnya telah berkembang sedemikian rupa dengan berbagai ekses dan permasalahannya. Semula Hak Pengelolaan dimaksudkan sebagai fungsi “pengelolaan”, namun dalam perkembangannya kemudian, fungsi itu berubah menjadi “hak”. AP Perlindungan (1989) berpendapat bahwa Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang tidak dijumpai istilahnya di dalam UUPA, sedangkan Boedi Harsono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan adalah “gempilan” dari hak menguasai Negara. Pemegang Hak Pengelolaan mempunyai kewenangan menggunakan tanahnya untuk keperluan sendiri, namun, ditegaskan oleh Boedi Harsono (1997) bahwa hal itu bukanlah tujuan pemberian Hak Pengelolaan. Tujuan utama pemberian Hak Pengelolaan adalah bahwa tanah Hak Pengelolaan itu disediakan untuk digunakan bagi pihak lain yang memerlukan. Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan merupakan “bagian” dari hak menguasai Negara yang (sebagian) kewenangannya dilimpahkan 14 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Kompas, 2001 hal 81. 183 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 kepada pemegang Hak Pengelolaan. Oleh karena itu, Hak Pengelolaan itu merupakan fungsi/kewenangan publik sebagaimana hak menguasai Negara, dan tidak tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. Akan tetapi, karena kebutuhan praktis yakni untuk memberikan hak atas tanah diatas Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga lebih mengemuka, maka pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga melalui perjanjian antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga itu pada akhirnya lebih menonjolkan aspek keperdataan dari Hak Pengelolaan itu.15 Dalam pelaksanaan tugas Otorita Batam seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Batam yang mempunyai wewenang untuk : a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut; b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria; d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan Hal-hal yang yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah Industri pulau Batam diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria. Pada tanggal 18 Pebruari 1977 setelah 4 tahun Kepres 41 Tahun 1973 diterbitkan, menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau Batam. Melalui Keputusan tersebut Menteri Dalam Negeri memutuskan memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk areal tanah di gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh & Ngenang dan Pulau Kasam 15 Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hal 204. 184 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Kabupaten Kepulauan Riau Propinsi Riau dengan syarat-syarat/ketentuan sebagai berikut:16 1. Hak Pengelolaan tersebut diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang dimaksud dipergunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkannya pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat; 2. Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada penerima hak untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan dan lain-lain usaha yang berkaitan dengan itu; 3. Apabila diatas areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, maka pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ketempat pemukiman baru; 4. Penerima hak untuk pemberian Hak Pengelolaan tersebut diharuskan membayar biaya administrasi sebesar : a. Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah rupiah) yang harus disetor kepada Kas Negara setempat atas mata anggaran Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan harus dilunaskan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keputusan ini. b. Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) yang harus disetor ke Bank Rakyat Indonesia Jalan Veteran Jakarta atau rekening Yayasan Dana Landreform No. Rek. 32-A-7-2274, atau di setor langsung kepada Administratur Yayasan Dana Landreform Jalan Sisingamangaraja No. 2 Kebayoran Baru Jakarta dan harus dilunaskan dalam waktu yang sama seperti ditentukan dalam sub a diatas. 5. Dalam rangka pemberian Hak Pengelolaan ini, tanah-tanah yang telah dibebaskan dari hak-hak rakyat, harus diberi tandatanda batas sesuai dengan ketentuan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria No.8 Tahun 1961, untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh Kantor Sub 16 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Didaerah Industri Pulau Batam. 185 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Direktorat Agraria setempat; 6. Terhadap areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dan telah dilakukan pengukuran, sebagai dimaksud pada angka 5 diatas sehingga telah dapat diketahui luasnya dengan pasti harus didaftarkan pada Kantor Sub Direktorat Agraria Setempat untuk kemudian dapat dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 1 tahun 1966; 7. Hak Pengelolaan yang telah dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya sebagai dimaksud dalam angka 6 diatas, memberikan wewenang kepada pemegang haknya (Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam) untuk : a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan Agraria yang berlaku. d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan dari pihak ketiga tersebut. 8. Tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut harus dipelihara sebaik-baiknya; 9. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan ini kepada pihak lain dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan, kecuali dengan izin Menteri Dalam Negeri c.q Direktur Jenderal Agraria; 10. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai Hak Pengelolaan tersebut seluruhnya atau sebagian kepada Negara, apabila areal tanah tadi tidak dipergunakan lagi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tersebut diatas; 11. Pemberian Hak Pengelolaan tersebut dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila : 186 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 a. Luas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut ternyata melebihi keterluan b. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan dipelihara sebagaimana mestinya c. Salah satu syarat atau ketentuan dalam surat keputusan ini tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. 12. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak Pengelolaan ini menjadi beban/tanggungan sepenuhnya dari Penerima hak. Otorita Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan memiliki kewenangan yang sangat luas atas tanah-tanah di Pulau Batam dan sekitarnya, mulai dari merencanakan peruntukan, penggunaan, menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak lain termasuk memungut uang wajib tahunan (UWTO) atas tanah yang diserahkan penggunaannya kepada pihak lain tersebut. Pengaturan pengalokasian tanah di Kota Batam diatur oleh Otorita Batam sebagaimana berdasarkan Keputusan Presiden No 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam danKeputusan Menteri Agraria/Ka. BPN Nomor 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang danpulaupulau lain disekitarnya. Oleh karena itu Otorita Batam selaku pemegang hak pengelolaan berhak merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak lain serta menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan sesuai dengan wewenangnya yang diterangkan dalam Pasal 6 ayat 2. b Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden No 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa gambar penetapan lokasi (PL) hanyalah bukti identitas yang menjelaskan letak, kondisi dan keberadaan tanah. Gambar Penetapan Lokasi dan Surat Keputusan Pengalokasian Tanah merupakan dokumen yang hubungannya tidak dapat dipisahkan dan bersifat otentik karena diterbitkan oleh Instansi yang berwenang. 187 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Ketentuan mengenai peralihan hak oleh pihak ketiga diatur secara tertulis dalam surat perjanjian alokasi tanah (SPJ) antara Otorita Batam dengan Pemohon tanah. Surat perjanjian dibuat berdasarkan surat keputusan ketua Otorita Batam tentang pengalokasian dan penggunaan tanah atas bagian-bagian tertentu dari tanah hak pengelolaan Otoritas Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Surat keputusan ini dikeluarkan oleh Otorita Batam atas tanah yang dimohon setelah dilunasinya pembayaran uang wajib Tahunan Otorita Batam untuk jangka waktu 30 tahun. Dalam surat perjanjian antara Otorita Batam dengan Pemohon Surat Perjanjian Jual Beli (SPJ) Pasal 11 ayat 1 menerangkan bahwa pemohon tidak diperkenankan membuat perjanjian dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan peralihan tanah dengan pihak lain sebelum mendapatkan persetujuan tertulis dari Otorita Batam. Maka dari itu dapat diperoleh pengertian bahwa setiap peralihan tanah diperbolehkan asal telah memperoleh persetujuan tertulis dari Otorita Batam. Setiap penerbitan surat persetujuan peralihan dan/atau pemecahan hak atas tanah, pemohon tanah wajib membayar biaya administrasi sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari jumlah Uang Wajib Tahunan Otorita Batam (UWTO). Surat persetujuan yang disertai bukti-bukti pembayaran menjadi dasar pemohon tanah untuk memperoses peralihan tanahnya dengan membuat Akta Peralihan Hak Atas Tanah dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) dalam hal hak atas tanah tersebut telah bersertipikat atau dihadapan Notaris jika hak atas tanah tersebut belum disertipikatkan (Pasal 11 ayat 5 SPJ). KUHPerdata memandang jual beli dari sisi perikatan semata yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan kekayaan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata bahwa “ jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.” Pada sisi kebendaan sebagaimana yang diatur pada buku kedua KUHPerdata yang sifatnya tertutup sehingga tidak diperkenankan mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang ditetapkan dalam undang-undang. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa jual beli sepanjang mengenai tanah sejak berlakunya UUPA, maka semua ketentuan yang termuat 188 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 dalam buku II KUHPerdata dicabut. Selanjutnya sebagai Peraturan Pelaksana Undang-undang tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 19 disebutkan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan sebuah akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan jual beli tanah menurut hukum adat yang bersifat terang/nyata yang mana perbuatan pemindahan hak harus dilaksanakan didepan pejabat yang berwenang dalam hal ini PPAT. PPAT berhak untuk menolak pembuatan akta jual beli tanah yang belum bersertipikat atau tidak disampaikan sertipikat hak atas tanah bersangkutan. Peraturan pelaksana tersebut hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak) merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Dalam transaksi jual beli timbul suatu hak dan kewajiban yang diperjanjikan oleh pihak-pihaknya baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Bentuk perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak secara bebas dan terbuka karena perjanjian antar para pihak menganut asas kebebasan berkontrak64 yaitu pihakpihak yang terikat dalam perjanjian bebas menentukan aturan main antara mereka dalam memenuhi yang diperjanjikan tanpa melanggar suatu undangundang, kesusilaan, dan ketertiban hukum yang berlaku. Perjanjian tersebut yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1320 KUHPerdata) mempunyai kekuatan hukum dan menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Oleh karena itu dasar peralihan hak atas tanah kepada pihak ketiga adalah berdasarkan surat perjanjian (SPJ) antara Otorita Batam mempunyai kekuatan hukum dan berlaku bagi para pihak dan pihak ketiga. 189 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Pada ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa jual beli tanah merupakan salah satu bentuk peralihan atas tanah yang menjadi kewenangan PPAT. Pada dasarnya Notaris dalam pembuatan akta pemindahan dan penyerahan hak dengan dasar peralihan hak berdasarkan gambar penetapan lokasi yang diterbitkan oleh Otorita Batam tidak menyalahi kewenangan PPAT karena Notaris juga berhak membuat akta-akta dibidang pertanahan sebagaimana yang disebut dalam UUJN Pasal 15 ayat 2 huruf f. Kewenangan pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan ini bukan akta yang menjadi kewenangan PPAT yaitu akta Jual beli, Tukar menukar, Hibah, Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pembagian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik, Pemberian hak tanggungan, Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Selain akta akta tersebut diatas Notaris berwenang membuat akta lain yang diperlukan sepanjang dalam lingkup perjanjian yang manjadi kewenangannya. Peralihan pada tanah yang belum bersertipikat bukan merupakan jual beli yang dimaksud dalam kewenangan akta PPAT oleh karena itu fungsi Notaris berperan dalam pembuatan akta otentik mengenai semua perjanjian selama kewajiban itu tidak diberikan kepada pejabat lain (Pasal 15 UUJN). Maka blanko akta yang digunakan bukanlah blanko akta PPAT tetapi akta Notaril yang diberi nama tersendiri yaitu akta pemindahan dan penyerahan hak. Akta pemindahan dan penyerahan hak ini memiliki unsur yang sama dengan akta jual beli dalam PPAT yaitu Terang/Nyata dan tunai. Meskipun demikian peralihan hak terhadap tanah di Kota Batam bukan dipandang pada sudut jual belinya (peralihan hak atas tanah) melainkan sudut peralihan hak menguasai tanah yang diberikan oleh Otorita Batam. Tanah di Kota Batam yang berdiri diatas tanah hak pengelolaan dalam pengalihan hak yang dimohon kepada Otorita pada prinsipnya sama dengan dengan peralihan tanah garapan yang menggunakan sistem pemberian ganti rugi. Dimana pihak pertama bersedia memberikan penguasaan atas tanah tersebut kepada pihak kedua dan pihak kedua bersedia memberikan sejumlah nilai ganti rugi untuk tanah tersebut Maka dalam akta penyerahan (acte van transport) terdapat tulisan berupa perkataan-perkataan yang menyatakan bahwa 190 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 pihak pertama telah menyerahkan hak atas bendanya kepada pihak kedua, sedangkan pihak kedua menyatakan telah menerima dengan baik penyerahan hak atas benda tersebut. Akta penyerahan ini harus dibuat secara otentik yaitu dengan akta Notaris.65 Penyerahan yang sah (juridische levering) baru terjadi jika akta penyerahannya (acte van transport) telah didaftar dalam Buku (Register) Tanah atau telah dilakukan balik nama oleh Pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Akta pemindahan dan penyerahan hak ini merupakan salah satu bentuk suatu perjanjian pemberian ganti rugi yang telah diperbaharui. Penyelesaian tanah sengketa dengan pemberian ganti rugi diatur dalam KEPPRES Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum. Pada Pasal 1 dan 9 menjelaskan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (harus) dilakukan dengan musyawarah. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan, mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.17 Kesepakatan untuk dicapai musyawarah tidak hanya mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sebagai imbalan tetapi juga kesediaan pihak yang bersangkutan untuk menyerahkan tanah kepada pihak yang memerlukan.18 Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan Ketua Otorita Batam dalam surat keputusannya dan surat perjanjiannya dengan pemohon bahwa setiap peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat dilakukan dihadapan Notaris. Oleh karena akta pemindahan dan penyerahan hak ini belum memenuhi peralihan hak seutuhnya sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maka dalam akta pemindahan dan penyerahan hak ini juga berisikan pemberian suatu kuasa oleh Pihak Pertama kepada Pihak kedua yaitu kuasa menjual, mengurus, mengelola, memakai dan membebani dengan hak atas 17 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan :Jilid I, Jakarta: Ind-Hill. Co, 2002, Hal. 124 18 Boedi Harsono, sejarah. Op.cit.,, Hal. 195 191 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 tanggungan (jika telah bersertipikat) dan kuasa penguasaan lainnya. Dengan kuasakuasa tersebut penerima hak berhak menjual kepada pihak lain, mengajukan suatu hak dan mendaftarkan hak tersebut ke kantor pertanahan agar tanah tersebut bersertipikat. Berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dalam Undang-undang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan yang berlaku. Namun ada pula pengecualian terhadap Pasal tersebut yaitu pada ayat 2 nya menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Mentri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Dalam Pasal tersebut dapat dilihat bahwa pemindahan hak hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta PPAT dan akta PPAT menjadi syarat pendaftaran tanah. Dengan pendaftaran tanah akan diterbitkan sertipikat sebagai alat bukti kuat yang memiliki daya pembuktian yang lebih luas. Pembuatan akta PPAT bukan sebagai menyatakan sahnya perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan karena akta PPAT hanya alat bukti yang menyatakan bahwa benar telah dilakukan suatu perbuatan hukum (syarat formil). Sahnya suatu perbuatan hukum yang dilakukan harus dilihat kembali syarat materiil perbuatan hukum itu sendiri yaitu harus memenuhi syarat tunai, terang dan nyata, serta syarat perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata ketika perbuatan hukum itu dituangkan dalam suatu perjanjian.19 19 Boedi Harsono, Op.cit., Hal. 515 192 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Dengan kata lain pemindahan tanah seperti pada akta pemindahan dan penyerahan hak yang merupakan akta Notaris adalah sah menurut hukum apabila dilakukan memenuhi syarat perbuatan hukum baik syarat formil dan materiilnya, yaitu syarat perjanjian, tidak melanggar ketentuan umum serta dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Perbuatan hukum pemindahan hak dengan akta Notaris menurut hukum juga memiliki kadar kebenaran atau kekuatan pembuktiannya yang sempurna sepanjang dibuat oleh seorang Notaris yang berwenang dan dalam wilayah kerjanya. Kekuatan pembuktian yang sempurna itu menyatakan kebenaran tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (Pasal 1870 KUHPerdata). Karena Pemindahan haknya adalah peralihan tanah yang belum bersertipikat, maka oleh Kepala seksi Pendaftaran terlebih dahulu dilakukan kegiatan mengumumkan tentang tanah Hak Guna Bangunan diatas hak Pengelolaan tersebut di Kantor Pertanahan, Kantor Kepala Desa/ Kelurahan dan Kantor Kecamatan. Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan tanah tersebut. Apabila selama 60 hari berturut-turut tidak ada pihak yang berkeberatan, Kepala seksi Pendaftaran Tanah akan memuat terlebih dahulu buku tanah dan setipikat tanah atas nama penjual. Setelah itu barulah dilakukan pencatatan adanya perbuatan hukum jual beli tersebut pada buku tanah atau sertipikat tanah hak (yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur). Dalam hal ini nama pemilik semula (penjual) dicoret dan diganti nama pemilik yang baru (pembeli). 2. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata Gugatan merupakan uraian konkrit tentang peristiwa serta hubungan hukum sehingga hakim dapat memeriksa dan mengadili perkaranya. Supomo menjelaskan bahwa isi gugatan harus memuat apa yang dituntut terhadap tergugat, dasardasarnya penuntutan tersebut dan bahwa tuntutan itu harus terang dan jelas.68 Pendapat Supomo mengharuskan penggugat dapat mengkonkritisasi dasardasar gugatan dengan mengemukakan tentang apa yang digugat. Jika seseorang 193 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 mengajukan gugatan, maka pada waktu gugatan diajukan, penggugat tidak perlu pada saat itu melampirkan alat-alat bukti.2021 Perkara gugatan tentang wanprestasinya tergugat dalam jual beli tanah antara penggugat dan tergugat tertuang dalam gugatan penggugat menyatakan bahwa tanah yang dibeli dituangkan dalam surat perjanjian. Tanah tersebut adalah yang terletak Bukit Kemuning, Kelurahan Mangsang, Kecamatan sungai beduk , Kota Batam dengan sertifikat PL tertanggal 20 maret 2003 Nomor:23070150 terdaftar atas nama PT. DALILTANI CIPTA SELARAS. Alat-alat bukti diajukan pada waktu tahap pembuktian. Tidak jarang terjadi bahwa penggugat waktu mendaftarkan gugatannya langsung melampirkan surat bukti Bahwa didalam pasal 1 SURAT PERJANJIAN BERSAMA tanggal 13Februari 2009 (bukti P.1)Tergugat I mengikatkan diri untuk melakukan pengurusan penerbitan Dokumen-dokumen atas lahan tersebut pada butir 2 dalil gugatan ini,yang antara lain meliputi ijin Prinsip,gambar penetapan lokasi,Surat perjanjian,Surat keputusan Sertipikat hingga tercatat atas bnama Penggugat (yayasan Visi Kudus Indonesia). Bahwa hingga tanggal 31-03-2009(tanggal tiga puluh satu maret tahun dua ribu sembilan)Tergugat I tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Penggugat sebagai mana telah ditentukan dalam surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009(Bukti P.1).22 Bahwa Tergugat I telah lalai memenuhi kewajiban nya kepada Penggugat sebagaimana ditentukan dalam surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009 (Bukti P.1), karena Tergugat I tidak mengembalikan Uang Muka (Down Payment) sebesar Rp. 600.000.000,00- (enam ratus juta rupiah) kepada Penggugat secara utuh paling lambat pada tanggal 31-03-2009 (tanggal Tiga puluh satu Maret tahun Duaribu Sembilan). Oleh karena itu Tergugat I telah terbukti melakukan Wanprestasi yang mengakibatkan kerugian Penggugat sebesar Rp. 600.000.000,00(enam ratus juta rupiah) ditambah bunga sebesar 12% (Duabelas Persen) pertahun terhitung sejak tanggal 13 Februari 2009 sampai dibayar lunas kepada Penggugat; oleh karena itu cukup beralasan Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan 20 R.Supomo,Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972, hal. 21 22 Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM 194 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Negeri Batam berkenan menghukum Tergugat I untuk mengembalikan Uang Muka (Down Payment) sebesar Rp. 600.000.000,00-(enam ratus juta rupiah) kepada Penggugat secara utuh, setelah adanya putusan atas perkara ini, ditambah bunga 12 % (Duabelas Persen) pertahun terhitung sejak tanggal 13 Februari 2009 sampai dibayar luas kepada Penggugat.23 Menurut Mariam Darusbadrulzaman ada 3 (tiga) bentuk dari orang yang tidak memenuhi perikatan :24 1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan 2. Dibitur terlambat memenuhi perikatan 3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Di dalam prakteknya sehari-hari sukar untuk menyatakan saar-saat dimana debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan prestasi itu pun ditentukan, cidera janji yang tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bentuk pernyataan lalai sesuai dengan Pasal 1238 KUHPerdata adalah :23 1. Berbentuk “surat perintah” atau akta lain yang sejenis 2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan debitur telah dianggap bersalah jika satu kalisajapun dia melewati batas waktu yang diperjanjikan, 3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan dan biasa juga disebut sommasi. Jangka waktu yang telah disepakati oleh penggugat dan tergugat telah berakhir namun tergugat juga belum melaksanakan kewajibanya untuk menyerahkan tanah beserta bangunan yang berada diatasnya, meskipun penggugat sudah berulangulang 23 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti,2001, hal. 19 24 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 62 195 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 kali memberitahukan hal tersebut kepada tergugat, namun tergugat sama sekali tidak mengabaikan peringatan tersebut. Pasal 1234 KUHPerdata yang mengatakan : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau 73 M. jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya.25 Jadi maksud “berada dalam keadaan lalai “ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila saat dilampauinya, maka debitur ingkar janji. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:26 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi yang akan dilakukannya 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan 3.Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat 4. Melakukan apa sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi, dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa (forcemajeure) maka debitur dianggap melakukan ingkar janji. Wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah diperjanjikan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu : 1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian 2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur, dalam arti bahwa debitur di sini dianggap tidak bersalah. Wanprestasi adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak yang melakukan perjanjian tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Untuk dapat menentukan 25 26 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 323 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hal. 19 196 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 apakah wanprestasi atau tidaknya seseorang. Abdul Kadir menyebutkan dapat ditentukan dari bentuk perjanjiannya : 1. Perjanjian tersebut mempunyai tenggang waktu tertentu 2. Perjanjian yang tidak mempunyai tenggang waktu tertentu. Untuk mengetahui adanya kesalahan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :27 1. Perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan, 2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada si pembuat, yaitu bahwa ia dapat menduga tentang akibatnya. Apakah suatu akibat itu dapat diduga atau tidak, maka harus diukur secara obyektif dan subyektif. Obyektif yaitu apabila menurut manusia yang normal akibat tersebut dapat diduga dan subyektif jika akibat tersebut menurut keahlian seseorang dapat diduga melakukan kesalahan.28 Berdasarkan uraian di atas bahwa kesalahan mempunyai pengertian yaitu dalam arti luas yang meliputi kesengajaan dan kelalaian, dan dalam arti sempit yang hanya meliputi kelalaian saja. Bahwa Penggugat telah berulangkali memperingatkan Tergugat I untuk mengembalikan Uang Muka (DownPayment)sebesar Rp.600.000.000,00-(enam ratus juta rupiah) kepada Penggugat secara utuh, tetapi Tergugat I tidak melaksanakannya, sehingga Penggugat mengajukan Gugatan ini terhadap Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III melalui Ketua Pengadilan Negeri Batam. Bahwa Tergugat II telah berjanji bertanggungjawab menjamin Tergugat I apabila tidak konsisten memenuhi isi Surat Perjanjian Bersama tanggal 13 Februari 2009 (vide: Pasal 6 Surat Perjanjian Bersama tanggal 13 Februari 2009). Tetapi Tergugat II tidak melaksanakan tanggungjawabnya tersebut sehingga Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Batam.29 Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki. Untuk terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya maksud untuk 27 R. Subekti, Op.Cit, hal. 45 http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Januari 2015 pukul 15.00 WIB27 29 Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM 28 197 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 menimbulkan kerugian kepada orang lain. Cukup kiranya jika sipembuat walaupun mengetahui akan akibatnya tapi tetap melakukan perbuatan. Sedangkan kelalaian adalah perbuatan dimana sipembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain. Dalam melaksanakan suatu perikatan seseorang juga bertanggung jawab untuk perbuatan-perbuatan dari orang yang di bawah tanggungannya.30 Maka sejak saat itu pulalah debitur harus menanggung akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi dalam hal ini fungsi penetapan lalai adalah merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan saat terjadinya ingkar janji.31 Untuk mengetahui siapakah pihak yang dirugikan dalam perkara ini, maka erlu diadakan pembuktian dipersidangan. Pembuktian merupakan hal sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas Hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benarbenar ada atau tidak.32 Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Pembuktian merupakan hal yang penting dalam memenangkan suatu persengketaan dalam pengadilan. Pembuktian adalah hal meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil terhadap suatu persengketaan di Pengadilan.33 Didalam menjatuhkan beban pembuktian Hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah, karena pembebanan yang berat sebelah a priori menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan. Semua peristiwa dan keadaan yang konkret harus diperhatikan secara seksama olehnya.33 Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain menunjuk pada 30 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 351 http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Januari 2015 pukul 14.00 WIB 32 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hal. 41 33 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hal. 43 33 R. Subekti, Op.Cit, hal. 1 31 198 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut, sehingga siapa yang harus membuktikannya tidak ditentukan secara pasti dalam ketentuan Undang-undang, akan tetapi berdasarkan bunyi Pasal 283 RBg yang menyatakan bahwa: “ barang siapa yang beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang, harus membuktikan hak atau keadaan itu.” Hal ini dikenal dengan azas Actori Incumbit Probation. Adapun Pembuktian yang diajukan oleh penggugat dimukapersidangan adalah :34 1. Fotocopy surat perjanjian bersama tanggal 20 November 2008, yang dibuat oleh penggugat, Tergugat I dan tergugat II, diberi tanda P-1. 2. Fotocopy surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009, yang dibuat oleh Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II diberi tanda P-2; 3. Surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009, yang dibuat oleh Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II, diberi tanda P-3; 4. Fotocopy Putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor:1045/PID.B/2009/PN.BTM., tanggal 4 Maret 2010, dalam perkara terdakwa nama : NELSON PAKPAHAN, diberi tanda P-4; 5. 5.Fotocopy Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor:103/Pid/2010/PTR,tanggal 28 April 2010 dalam perkara terdakwa nama: NELSON PAKPAHAN, diberi tanda P-5; 6. 6. Fotocopy Putusan Mahkamah Agung Nomor:1127 K/Pid/2010 tanggal 29 Juni 2010, dalam perkara terdakwa nama: NELSON PAKPAHAN, diberi tanda P-6; 7. Fotocopy Kwitansi penerimaan uang sebesar Rp.600.000.000,(enam ratus juta rupiah), yang ditandatangani diatas materai Rp.6.000,tertanggal 13 Februari 2009, diberi tanda P-7; 7. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia tertanggal 31 Maret 2008, diberi tanda P-8; 8. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia tertanggal 28 Nopember 2008, diberi tanda P-9; 34 Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM 199 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 9. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia tertanggal 27 Februari 2009, diberi tanda P-10; 10. Fotocopy Tanda Terima Penyerahan Uang Tunai Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) oleh HAJARUDIN HARAHAP, Pangkat Brigadir Kepala, Jabatan Anggota Polisi Unit III SatReskrim Polresta Barelang, tertanggal 20 September 2010, diberi tanda P-11; 11. Fotocopy Faktur Tagihan Uang Wajib Otorita No.1625/F/VII/2008, tertangal 23 Juli 2008, diberi tanda P-12; 12. Fotocopy Surat Keputusan Ketua Otorita Batam, Nomor:0027/KPTS/KDL$/ XI/2008, tertanggal 27 Nopember 2008, diberi tanda P-13; 13. Fotocopy Surat Perjanjian Pengalokasian, Pengunaan dan Pengurusan Tanah Atas Bagian-Bagian Tertentu dari pada Tanah Hak Pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, No :0031/SPJ/KDL$/XI/2008, tertanggal 27 November 2008, diberi tanda P-14; 14. Fotocopy Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:C-3867.HT.01.02.TH2007, diberi tanda P-15; 15. Fotocopy Akta Pendirian Yayasan Visi Kudus Indonesia, tanggal 15 September 2007 Nomor:67, dibuat dihadapan SOEHENDRO GAUTAMA, SH., Notaris di Batam, diberi tanda P-16; Bahwa kesemua fotocopy surat tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan telah dicocokkan dengan aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai asli, kecuali bukti P-11, P-12, P-13 dan bukti P-14 diajukan tanpa asli; Sementara itu tergugat dalam pembuktiannya dipersidangan juga mengajukan alat-alat bukti sangkalan tergugat atas wanprestasi yang dinyatakan oleh penggugat terhadap tergugat :1. 1. Salinan Rekening Koran Kredit Kepemilikan Rumah di Bank Tabungan Negera Persero) Cabang 00027 Batam, atas nama NELSON PAKPAHAN dwngan alamat Perumahan Bukit Kemuning Blok F.3 Nomor:02 RT.02 RW.016, Kelurahan Mangsang, Sei Beduk, Kota Batam,diberi tanda T.1; bahwa fotocopy surat tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan telahdicocokkan dengan aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai 200 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 asli; Menimbang, bahwa Tergugat III untuk mendukung dalil-dalil bantahannya telah mengajukan bukti surat berupa: 2. Fotocopy Surat Perjanjian Pekerjaan Nomor:133/SPP/MPB-BNR/36 RUMAHCHANDRA/ X/08, diberi tanda T.III-1; 3. Fotocopy Surat Perintah Kerja 132/SPK-MPB/36 RUMAHCHANDRA/ IX/2008, tertanggal 26 September 2008, diberi tanda T.III-2; 4. Fotocopy Berita Acara Serah Terima Bilyet Giro beserta lampiran fotocopy Bilyet Giro Bank Mandiri, diberi tanda T.III-3; Bahwa kesemua fotocopy surat tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan telah dicocokkan dengan aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai asli; Bahwa Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II telah terikat pada surat perjanjian bersama tertanggal 13 Februari 2009 mengenai pengadaan lahan beserta dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh Penggugat dan akan diurus oleh Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat II, kemudian untuk melaksanakan perjanjian tersebut, Penggugat telah menyerahkan uang sebesar Rp.600.000.000,- ( enam ratus juta rupiah) kepada Tergugat I sebagai pembayaran tahap pertama untuk pengurusan penerbitan dokumen-dokumen atas lahan yang dibutuhkan oleh Penggugat, akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian bersama, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, (enam ratus juta rupiah) dan di dalam putusan tersebut ada pertimbangan bahwa uang Rp.600.000.000,-( enam ratus juta rupiah) yang diterima Tergugat I dari penggugat dipergunakan untuk pembiayaan proyek Tergugat II di Perumahan Batam Nirwana Residence karena Tergugat II adalah kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA BIRU (Tergugat III) , yang kemudian dikembalikan oleh Tergugat III kepada Tergugat I dalam bentuk Bilyet Giro sebesar Rp.215.228.500 (dua ratus lima belas juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus). 201 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Menimbang, bahwa di dalam jawaban, Tergugat I pada pokoknya membenarkan seluruh dalil dari Penggugat akan tetapi Tergugat I minta dilepaskan dari pembayaran uang sebesar Rp.600.000.000,-( enam ratus juta rupiah) karena Tergugat I telah menerima hukuman pidana, demikian juga Tergugat II menyatakan di persidangan bahwa ia membenarkan semua gugatan Penggugat tersebut, sedangkan Tergugat III membantah dalil Penggugat dengan mendalilkan bahwa tidak ada hubungan hukum antara Tergugat III dengan Tergugat I, dan Tergugat III tidak pernah mengembalikan uang sebesar Rp.215.228.500,- (dua ratus lima belas juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus) kepada Tergugat I melainkan kepada PT.ELMERINDO PUTRI FORTUNA. Maka penguasaan tergugat terhadap objek perkara adalah perbuatan wanprestasi Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, undang-undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai. Pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) dari kreditur kepada debitur dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi, dengan pesan ini kreditur menentukan dengan pasti pada saat manakah debitur dalam kesalahan dalam arti luas dan dalam arti sempit kesengajaan kelalaian. Kelalaian keadaan ingkar janji, manakala ia tidak memenuhi prestasinya. Dalam hal penetapan lalai, menggingat adanya bentuk wanprestasi maka penetapan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak dibutuhkan : 1. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian; 2. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan karena debitur dianggap masih dapat berprestasi; 3. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu tetapi Meijers berpendapat lain, apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif, pernyataan lalai tidak perlu. Hal ini diperbolehkan untuk membuat persetujuan yang meniadakan tanggung jawab yang terjadi akibat kesengajaan atau kelalaian dari orang yang di 202 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 bawah perintahnya. Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur karena sejak saat itu debitur harus: 1. Mengganti kerugian; 2. Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur; 3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut: 1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian. 2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian. 3. Dapat menuntut penggantian kerugian. 4. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian. 5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian Pengakhiran suatu persoalan yang telah diserahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikannya dan selalu diakhiri dengan keputusan, akan tetapi putusan dari persidangan atau putusan hakim bukanlah satu-satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara, karena selain dari keputusan hakim masih terdapat penetapan sebagai salah satu pengakhiran perkara. Putusan merupakan suatu pernyataan oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan uatu perkara atau sengketa antara para pihak. Dalam memberikan putusan atau penetapannya harus disertai alasanalasan putusan atau pertimbanganpertimbangan yang menjadi dasar untuk mengadili. Keharusan adanya alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan dalam suatu putusan merupakan sebagai tanggung jawab hakim kepada masyarakat terhadap putusan yang diberikannya dan pertanggung jawaban kepada yang lebih tinggi sehingga putusan tersebut mempunyai nilai obyektif. Ketentuan yang mengharuskan adanya pertimbangan pengadilan ditentukan dalam Pasal 195 RBg ayat (1), 184 HIR yang menyatakan : putusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar keputusan dan akhirnya putusan pengadilan negeri 203 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan.Pertimbangan yang termuat dalam suatu putusan dibagi dua yaitu pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya dan juga mengenai hukumnya. Mengenai peristiwa atau duduk perkaranya merupakan tugas dari pihak yang mengemukakanya dan membuktikannya dalam persidangan dengan menghadirkan atau menyediakan alat bukti sedangkan mengenai hukumnya merupakan tugas dari para hakim. Pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim harus berdasarkan musyawarah Majelis yang bersifat rahasia. Bersifat rahasia ialah agar pembicaraan dalam musyawarah harus dirahasiakan, tidak boleh keluar sampai diketahui masyarakat luas, apalagi dicantumkan secara resmi dalam putusan. Sudikno Mertokusumo menyebutkan semua putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasanalasan atau argumentasi ini dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hukum dari pada putusnya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum. Sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif . Adapun pertimbangan yang diambil oleh Majelis Hakim adalah : 1. Pertimbangan Dalam Eksepsi Tergugat dalam eksepsinya Menimbang, bahwa terhadap eksepsi angka 1, pengadilan berpendapat adalah hak dari Penggugat untuk mengajukan gugatan kepada siapapun yang dianggap oleh Penggugat telah melanggar haknya, dalam perkara ini Penggugat menarik Tergugat III sebagai pihak oleh karena hubungan dengan Tergugat I sebagai kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA BIRU (Tergugat III) dan karena Tergugat III telah mengembalikan uang sebesar Rp.215.228.500,- (dua ratus lima belas juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus) kepada Tergugat I, yang akan diminta Penggugat dalam petitum untuk diserahkan kepada Penggugat (lihat Posita angka 12 dan petitum angka 6) sedangkan apakah ada hubungan hukum atau tidaknya atau benar tidaknya Tergugat III telah melanggar hak Penggugat akan menjadi pembuktian dalam pokok perkara, sehingga eksespi Tergugat II haruslah ditolak. Menurut pertimbangan hakim bahwa untuk menentukan apakah tergugat telah melakukan tuntutan hukum kepada penggugat atas jual beli terhadap tanah dan 204 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 bangunan yang menurut tergugat hal tersebut belum terjadi, maka diperlukan pembuktian dipersidangan baik dari bukti surat maupun dari keterangan saksisaksi dan hal tersebut bukanlah eksepsi dan hal tersebut dipertimbangkan dalam pokok perkara. Oleh karena perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak yang berpekara, maka dalam Undang-undang tidak ada ketentuan 98 Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM yang mewajibkan tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Namun apabila tergugat tidak memberikan jawaban apapun terhadap gugatan penggugat, ia harus menyadari bahwa ia harus memikul segala akibat, dimana mungkin sekali dia akan dikalahkan. Menurut hemat penulis pembuatan keputusan oleh Majelis Hakim haruslah mempertimbangkan bukti-bukti yang telah diajukan oleh para pihak dalam persidangan dengan hal tersebutlah erupakan dasar Majelis Hakim memberikan putusan, memberikan penilaian terlebih dahulu mengenai nilai dari pembuktian yang telah diajukan oleh para pihak yang berperkara, atas penilaian terhadap atau alat bukti yang diajukan di persidangan maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan setiap fakta yang diajukan dipersidangan dan memberikan putusan berdasarkan penilaian terhadap alat bukti yang sah. Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara hakim harus mengetahui dulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti, hakim harus menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan. Setelah hakim mengetahui duduk perkara melalui proses pembuktian, perkara dianggap selesai dan dilanjutkan dengan pemberian putusan. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 2. Pertimbangan Dalam Pokok Perkara Setelah majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh tergugat terhadap gugatan penggugat, maka majelis hakim juga akan memperhatikan pertimbangan dalam pokok perkara. Alasan-alasan dalam putusan apabila tidak dicantumkan atau kurang memberikan alasan-alasan dalam putusan apabila tidak 205 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 mencerminkan atau kurang memberikan alasanalasan putusan (onvoldoende gemotiveerd) akan mengakibatkan putusan tersebut harus dibatalkan.35 Alasan yang dicantumkan dalam pertimbangan sabagai dasar putusan terdiri dari 2 macam pertimbangan, yaitu :35 1. Alasan mengenai keadaan atau fakta; dan 2. Alasan mengenai hukumnya Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatannya mendalilkan pada pokoknya bahwa Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II telah terikat pada SURAT PERJANJIAN BERSAMA tertanggal 13 Februari 2009 mengenai pengadaan lahan beserta dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh Penggugat dan akan diurus oleh Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat II, kemudian untuk melaksanakan perjanjian tersebut, Penggugat telah menyerahkan uang sebesar Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) kepada Tergugat I sebagai pembayaran tahap pertama.36. Untuk pengurusan penerbitan dokumen-dokumen atas lahan yang dibutuhkan oleh Penggugat, akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian bersama, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, (enam ratus juta rupiah) dan di dalam putusan tersebut ada pertimbangan bahwa uang Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) yang diterima Tergugat I dari penggugat dipergunakan untuk pembiayaan proyek Tergugat II di Perumahan Batam Nirwana Residence karena Tergugat II adalah kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA BIRU (Tergugat III) , yang kemudian dikembalikan oleh Tergugat III kepada Tergugat I dalam bentuk Bilyet Giro sebesar Rp.215.228.500(dua ratus lima belas juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus).37 35 .R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cetakan ke-9, Bandung: Sumur, 1982, hal. 129 36 Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 15 37 Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM 206 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Maka untuk itu majelis hakim perlu membuktikan terhadap kebenaran dari gugatan penggugat dan sangkalan dari tergugat. Penentuan pihak mana yang harus membuktikan suatu peristiwa atau kejadian dalam proses pembuktian, merupakan pemberian beban pembuktian, menurut pasal 283 RBg menyatakan : Barang siapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu.38 Majelis hakim dalam pertimbangannya melihat bukti-bukti penggugat bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan 16 (enam belas) buah bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d. P-16, Tergugat I untuk mendukung dalil-dalil bantahannya mengajukan 1 (satu) buah bukti surat yang diberi tanda T.I dan Tergugat III mengajukan 3 (tiga) buah bukti surat yang diberi tanda T.III-1 s/d T.III-3, sedangkan Tergugat II tidak mengajukan suatu bukti apapun di persidangan ini; Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan dalil-dalil yang menjadi sengketa dalam perkara ini, pengadilan akan mengemukakan terlebih dahulu fakta yang tidak perlu dibuktikan oleh karena tidak ada bantahan dari para pihak, yaitu : a) bahwa pada tanggal 20 Nopember 200, Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II telah mengadakan perjanjian bersama, yang kemudian diperbaharui dengan SURAT PERJANJIAN BERSAMA tertanggal 13 Februari 2009 dan dirubah kembali pada tanggal 01 April 2009, mengenai pengadaan lahan beserta dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh Penggugat dan akan diurus oleh Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat II, sesuai pula dengan bukti P-1, bukti P-2 dan bukti P-3; b) bahwa pada tanggal 13 Februari 2009 untuk melaksanakan perjanjian tersebut, Pengugat telah menyerahkan uang sebesar Rp.600.000.000,(enam ratus juta rupiah) secara bertahap kepada Tergugat I, sesuai pula dengan bukti P-7, bukti P-8, bukti P-9 dan bukti P-10; c) bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang 38 Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, cet ke-4,Jakarta: Ghalia Indonesia,1981, hal. 71 207 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah), sesuai bukti P-4,bukti P-5 danbukti P-6 Menimbang, bahwa dalil Penggugat yang dibantah oleh Tergugat III sehingga menjadi pokok sengekta ayang harus dibuktikan adalah mengenai hubungan antara Tergugat III dengan Tergugat I dan mengenai pengembalian uang sebesar Rp.215.228.500,- kepada Tergugat I, yang menurut dalil dalam jawaban Tergugat III, tidak ada hubungan hukum antara Tergugat III dengan Tergugat I dan uang dikembalikan bukan kepada Tergugat I melainkan kepada PT.ELMERINDO PUTRI FORTUNA. Berdasarkan hasil pembuktian tersebut maka hakim akan menghubungkan peristiwa atau fakta hukum perkara tersebut dengan peraturan perundangundangan yang mengatur peristiwa yang dihadapi, upaya menghubungkan tersebut dilakukan oleh hakim dengan mencari dalam peraturan hukum tertulis. Pencarian aturan yang mengatur permasalahan yang akan diputusnya merupakan upaya hakim dalam menerapkan aturan tertulis kepada peristiwa konkrit yang dihadapi, hal ini merupakan upaya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) akan tetapi pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009. Untuk adanya akibat hukum yang sempurna maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat, jika salah satu syarat-syarat tidak dipenuhi, maka akibat 208 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 yang timbul tidak pula terpenuhi, jika dalam perjanjian tersebut kredit tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan atau debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya, maka dapatlah dikatakan bahwa telah terjadi prbuatan wanprestasi. Apabila siberhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka ia dapat dikatakan melakukan wanprestasi ia adalah alpa atau lalai atau cidera janji, dengan kata lain ia melanggar perjanjian atau apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3) Melakukan apa yang dijanjikanya, tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya Ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi kreditur, karena sejak saat tersebut, debitur berkewajiban mengganti kerugian dari ingkar janji debitur maka kreditur dapat menuntut a) Pemenuhan perikatan; b) Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; c) Ganti rugi; d) Pembatalan persetujuan timbal balik; e) Pembatalan dengan ganti rugi Dihubungkan dengan pendapat ahli diatas, wanprestasi terlihat bahwa tergugat tidak melakukan kewajibannya dalam hal pengurusan surat tanah kepada penggugat, hal ini berarti tergugat melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. “Kelalaian/kealpaan (siberhutang atau debitur adalah pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancam dengan beberapa sanksi dan hukuman. Hukuman atau akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi empat macam, yaitu : i. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; ii. Membayar perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim. 209 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 Apabila putusan pengadilan negeri dimintakan banding, permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan baik secara lisan ataupun secara tertulis dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya pengumuman kepada yang bersangkutan . Pemeriksaan ditingkat banding adalah pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri. Dalam pemeriksaan banding, majelis hakim tingkat banding mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pemohon banding dalam memori bandingnya. Apabila dalam memori banding tidak terdapat hal-hal yang baru. Dengan pemeriksaan ulang dapat dikoreksi apakah putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri sudah tepat atau kurang tepat atau ada kesalahan. Pemeriksaan ulang dilakukan dari awal meliputi semua fakta dan mengeani hukumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo upaya penemuan hukum merupakan suatu proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit. Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Oleh karena itu dalam pertimbangan majelis hakim baik dalam Pengadilan Tingkat Pertama maupun dalam Pengadilan Tingkat Banding pada perkara ini sudah sangat tepat. E. KESIMPULAN 1. Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Terjadi Di Kota Batam. Peraturan pelaksanaan pembuatan akte tanah di Kota Batam 210 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak) merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). 2. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, akan tetapi pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009. DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Alumni,1993 Basrah, Buku III KUH Perdata Tentang Perikatan Jual Beli Dan Pembahasan Kasus, Medan: FH USU, 1981 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 2005 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan : Jilid I, Jakarta: Ind-Hill. Co, 2002 Gunawan Kartasapoetra, Dkk, Hukum Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina Aksara, 1985 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 211 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, Jakarta: Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia, 1996 J. Satrio., Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1998 K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 ,Hukum Acara Perdata RBG/HIR, cet ke-4,Jakarta: Ghalia, Indonesia,1981 Mahadi., Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989 Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda Dengan Indonesia, Medan: Proyek Hukum Perdata , 1987 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994 Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Refika Aditama, 2007 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Surabaya: LaksBang Pressinso, 2006 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia , 1986 R. Setiawan, Aneka Masalah Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992 R. Subekti., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994 R. Supomo, Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri , Jakarta: Pradnya Paramita , 1972 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cetakan ke-9, Bandung: Sumur, 1982 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori danb Praktek, Bandung; Alumni, 2002 Ronny Hantijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986 Sriono, S. (2013). Telaah Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa (Al Ijarah) Dalam Perbankan Syariah. Jurnal Ilmiah Advokasi, 1(1), 79-89. Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1997 212 PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 B. PERATURAN PERUNDANFG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 C. MAKALAH , JURNAL, DAN MAJALAH Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1990, Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, Medan: PPsUSU, 2002 D. KAMUS Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990 E. WEBSITE http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Januari 2015 pukul 15.00 WIB 213