PETITA, VOL 3 No. 2 Desember 2016 ANALISIS YURIDIS

advertisement
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
ANALISIS YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI PERJANJIAN JUAL
BELI TANAH DI KOTA BATAM
(Studi Kasus Nomor : 26/Pdt.G/2011/PN.BTM)
Karina Pramithasari
Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan
Batam Indonesia
Korespondensi: [email protected]
Abstrak
Berbagai sengketa sering terjadi didalam masyarakat baik antara individu ataupun
kelompok masyarakat dengan perusahaan, bahkan antara masyarakat dengan pemerintah. Apabila
sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai, maka salah satu pihak yang merasa haknya
diganggu pihak lain terpaksa membawa perkara atau mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan
guna memperoleh penyelesaian sengketa secara hukum yang diputus oleh hakim yang berwenang
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sesuai dengan
Undang-undang atau hukum yang berlaku. Penelitian bertujuan untuk mengethui bagaimanakah
tinjauan yuridis terhadap wanprestasi perjanjian jual beli tanah menurut KUHPerdata? Bagaimana
pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara pada kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 /
PN.BTM tentang wanprestasi dalam perjanjian jual beli tanah di Kota Batam berdasarkan kitab
undang-undang hukum perdata.
Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Terjadi Di Kota
Batam. Peraturan pelaksanaan pembuatan akte tanah di Kota Batam hanya mengatur tentang
peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat
tidak diatur di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum
bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak) merupakan salah satu
bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam hukum perdata, transaksi jual beli
merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234
KUHPerdata).
Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G /
2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus
dikabulkan oleh karena telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut,
Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya
kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, akan tetapi
pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi yaitu sejak tanggal 31
Maret 2009.
Kata Kunci: Wanprestasi, Perjanjian Jual Beli, Kota Batam
A. PENDAHULUAN
Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting
dalam kehidupan manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar dari
kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah sebagai suatu benda yang dapat
memenuhi kebutuhan manusia sudah lama dirasakan orang. Dalam berbagai aspek
174
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
kehidupan orang membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi manusia dapat
dilihat dari kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah.
Pasal 33 Undang–Undang Dasar 1945 menyebutkan :
“bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dipergunakan sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat“.
Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan
hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang
lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik
kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan
penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.1
Lajunya pertumbuhan penduduk khususnya di daerah perkotaan tidak
diimbangi dengan jumlah lahan yang tersedia, sehingga menyebabkan tanah-tanah
yang tersedia tidak cukup luas untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di
atasnya. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan
mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa, karena itu perlu dibina demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan masyarakat.2
Berbagai sengketa sering terjadi didalam masyarakat baik antara individu
ataupun kelompok masyarakat dengan perusahaan, bahkan antara masyarakat
dengan pemerintah. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara
damai, maka salah satu pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain terpaksa
membawa perkara atau mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan guna
memperoleh penyelesaian sengketa secara hukum yang diputus oleh hakim yang
berwenang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sesuai dengan
Undang-undang atau hukum yang berlaku.
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak
yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah “Eigenrichting” (main hakim
1
2
K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia 1982, hal. 3
Ibid hal. 7
175
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
sendiri).3 Setiap para pihak yang berperkara di Pengadilan memiliki kewenangan
masing-masing untuk mempertahankan haknya.Pasal 1865 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut”.
Tanah merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa sebagai salah satu wujud dari kekuasaan yang dimilikiNya dan
sebagai anugrah dari Tuhan yang Maha Esa kepada umatnya untuk dapat memiliki
dan mengusainya dalam menjalankan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
dapat dibayangkan bila manusia hidup tanpa adanya tanah, karena tanah adalah
tempat mereka tinggal dan berdiam serta mencari nafkah dengan demikian
sudahbarang tentu terdapat hubungan yang erat antara tanah dengan manusia.
dimana terdapatnya hubungan yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain
disatu pihak, dan tanah dipihak lain yaitu tanah dimana tempat mereka berdiam,
tanah yang memberi makan mereka dan tanah sebagai tempat mereka
dimakamkan,begitu juga terdapat hubungan yang erat dengan Tuhan Yang Maha
Esa yang menciptakan tanah, dengan adanya hubungan tersebut maka manusia
sebagai makhluk ciptaannya harus memanfaatkan dan melestarikan tanah tersebut
dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu bentuk pengabdian terhadap ciptaanNya
dan sebagai wujud pelaksanaan perintahNya.4
Adanya hubungan yang erat antara tanah dengan kehidupan manusia sebagai
makhluk ciptaanNya maka mereka berhak atas tanah itu untuk dapat
memanfaatkannya dan dilestarikan. Namun dalam pelaksanaannya untuk
memanfaatkan dan melestarikan tanah tersebut tidak akan dapat berjalan begitu saja
tanpa adanya suatu ketentuan atau aturan hukum yang dapat membatasi sesuatu
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia atas tanah dalam
kehidupannya sehari-hari, dan ketika sudah adanya aturan tersebut maka akan dapat
tergambar apa yang menjadi hak seseorang dan sejauh mana hak tersebut dapat
3
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
danPraktek, Bandung, Alumni, 2002, hal. 12
4
Ibid, hal. 9
176
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
dilaksanakan dan dimanfaatkan, begitu juga dengan perbuatan dan tindakan yang
harus dilaksanakan terhadap hak yang telah diberikan tersebut sehingga dengan
demikian tidak ada pertentangan antara hak dan kewajiban seseorang yang dapat
merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.5
Adanya problema tersebut maka sudah menjadi tugas bagi suatu Negara
sebagai organisasi yang menciptakan produk-produk hukum untuk mengatur
kehidupan negaranya dalam rangka mewujudkan negara yang sejahtera, karena
manusia akan hidup senang dan berkecukupan kalau mereka dapat menggunakan
tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan
manusia akan dapat hidup tentram dan damai kalau mereka dapat menggunakan
hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang
berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.6
Konsep hak mengusai Negara sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal
33 ayat 3, didalam UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak
Menguasai Negara dalam tingkat tertinggi adalah :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi,
air dan ruang angkasa itu.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa.
Bila diperhatikan keberadaan pasal tersebut tidak terlepas dari kehendak
Negara
agar
masalah
pertanahan
di
Indonesia
tidak
dikuasai
secara
sewenangwenang oleh pihak-pihak tertentu atau tuan-tuan tanah dengan tujuan dan
maksudmaksud yang dapat merugikan kepentingan Negara pada umumnya dan
masyarakat khususnya, serta untuk menentukan sepanjang mana hak atas tanah dan
kewajiban Negara dan warga negaranya dalam hubungannya dengan tanah.
5
6
Ibid, hal. 11
Gunawan Kartasapoetra, Dkk, Hukum Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendaya-gunaan
Tanah, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hal. 1
177
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Jumlah luasnya tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali
sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah.
Selain bertambah banyaknya manusia yang memerlukan tanah untuk tempat
perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial budaya dan
teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak umpamanya untuk
perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalanjalan
untuk perhubungan. Sehingga bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi
sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah tidak seimbangnya
antara persedian tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, telah menimbulkan
persoalan dan persengketaan diberbagai aspek yang berhubungan dengan tanah.7
Kemudian tingginya nilai ekonomis terhadap tanah tersebut yang pada
terjadi di daerah perkotaan yang pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan akan tanah, sementara dilain pihak luas tanah yang tersedia tidak
bertambah, juga menimbulkan konflik atau penguasaan tanah.8
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak
tiga kali oleh kerditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditur berhak membawa persoalan itu kepengadilan, dan pengadilanlah yang akan
memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Ada 4 (empat) akibat
wanprestasi, yaitu :
1. Perikatan tetap ada (Pasal 1243 KUHPerdata) Kreditur masih dapat menuntut
kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi.
Disamping itu kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan
melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkankreditur akan mendapat
keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur.9
7
K. Wantjik Saleh, Ibid, hal. 7
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, Gunung
Agung, 2005, hal. 5
9
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Terjemahan KUHPerdata, Jakarta, Pradnya Paramitha, 1994, hal.
8
178
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah
debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari
324
pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa.
4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1236
KUHPerdata. Bentuk konflik atau persoalan itu salah satunya adanya masalah
kepemilikan tanah antar warga, tanah yang merupakan hak milik dari seseorang
dalam setiap kepemilikannya tidak tertutup kemugkinan akan menimbulkan
permasalahan, seperti dalam alas hak atas kepemilikan tanah tersebut baik yang
berupa surat keterangan tanah maupun pada tingkat yang lebih tinggi yaitu
sertifikat, adakalanya terhadap tanah yang telah didaftarkan tersebut sudah ada
pemilik terlebih dahulu atau sudah diterbitkan secara sah kepemilikan atas
tanahnya baik berupa surat keterangan tanah maupun surat keterangan ganti rugi,
walaupun belum ada sertifikat atas tanah tersebut.
Tumpang tindih terhadap alas hak atas tanah ini dalam hal kepemilikan
tanah, memaksa seseorang yang merasa hak dan kepentingannya terganggu, harus
menyelesaikan persoalan tersebut baik melalui jalan musyawarah antara dua belas
pihak yang bersengketa maupun pada tingkat akhir, menyelesaikan permasalahan
tersebut melalui jalur pengadilan sebagai wadah untuk mencari keadilan, dalam hal
ini adalah dengan mengajukan gugatan atau tuntutan hukum melalui pengadilan
yang berwenang, dan sudah menjadi tugas baginya untuk membuktikan haknya
tersebut didepan persidangan.
Menurut Abdul Kadir Muhammad ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan
dalam membuat surat gugatan, ketiga hal tersebut adalah :
1. Gugatan harus berisikan keterangan lengkap dari para pihak yang berpekara,
seperti umur, alamat, pekerjaan dan agama
179
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
2. Dasar gugatan yang memuat tentang uraian kejadian dan uraian tentang hukum,
yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari
gugatan tersebut
3. Didalam gugatan harus ada apa yang dimohonkan atau apa yang dituntut oleh
Penggugat supaya diputuskan oleh Hakim, isi dari pada tuntutan itu adalah
berupa :
a. Primer atau tuntutan pokok
b. Subsidier atau tuntutan pengganti, apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim.10
Pada dasarnya para pihak yang mengajukan tuntutannya ke muka
pengadilan bertujuan untuk mendapatkan perlindungan hukum, akan tetapi
walaupun ada asas-asas hukum acara perdata yang mengemukakan bahwa
pengadilan boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang
diajukan dengan dalil bahwa hukum tak ada orang kurang jelas melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sebagaimana yang terjadi dalam perkara Nomor : 26 / Pdt.G / 2011
/PN.BTM, dimana penggugat ( yayasan Visi Kudus) telah membeli tanah dan milik
tergugat I (Nelson pakpahan) yang terletak di Bukit Kemuning, Kelurahan
Mangsang , Kecamatan sungai Beduk, Kota Batam seluas dua hektar. Bahwa
penggugat membutuhkan sebidang tanah dan membayarkan kepada tergugat I
sebesar Rp 600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) untuk biaya penerbitan dokumendokumen atas lahan tersebut. Didalam perjanjian telah dicantumkan bahwa pada
tanggal 31-03-2009 paling lambat untuk tergugat I merealisasikan pangalihan atas
lahan tersebut namun pada tanggal yang telah disepakati Tergugat I tidak dapat
memenuhi kewajibannya tersebut. Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan
tergugat I harus mengembailikan Uang muka yang telah dibayarkan kepada
penggugat, namun pada nyatanya telah berulang kali penggugat memberikan
peringatan agar tergugat I mengembailkan uang muka tersebut namun tidak di
indahkan tergugat I. maka penggugat tidak mau tinggal diam dan mengajukan
gugatannya ke Paniteraan Pengadilan Negeri Kota Batam, yang pada inti materi
gugatanya adalah tergugat wanprestasi terhadap jual beli tanah yang telah mereka
sepakati.
10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Alumni, 1993, hal. 56
180
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti
mengenai wanprestasi terhadap perjanjian jual beli tanah, maka dari itu peneliti
tertarik untuk mengambil judul jurnal “ Analisis Yuridis Terhadap Wanprestasi
Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam ( Studi Putusan Perkara Nomor :
26/Pdt.G/2011/PN.BTM ).”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas, maka
penulis menerapkan masalah pokok sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap wanprestasi perjanjian jual beli tanah
menurut KUHPerdata?
2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara pada kasus
Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM tentang wanprestasi dalam perjanjian jual
beli tanah di Kota Batam berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata ?
C. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang
Menurut KUHPerdata.
Politik hukum nasional adalah sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang
menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.11 Selanjutnya
dikatakan bahwa dari segi lain masalah politik hukum adalah mengenai nilai-nilai,
penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa masalah politik hukum nasional akan selalu berupa keharusan
atau kebijaksanaan untuk mengadakan suatu pilihan terhadap hukum mana yang
harus dibentuk dan diberlakukan serta mengenai kearah mana hukum hendak
dikembangkan dalam suatu wilayah Negara Republik Indonesia yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakatnya, sehubungan dengan bermacam-macam sistem
hukum yang ada. Politik Hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah yang mencakup:12
11
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia , 1986
hal 160
12
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Surabaya: LaksBang Pressinso, 2006 hal 51
181
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar
dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materimateri hukum
di bidang pertanahan.
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supermasi
hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum.
3. Politik hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang
menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan
ditegakkan, termasuk hukum di bidang pertanahan.
Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan
untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
unsurunsur agraria yang meliputi : bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas
tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya
tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria.13
Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan
pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan pada sila kelima Pancasila
dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan
pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat
mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Kemudian politik
agraria pada waktu yang lalu, tidak menjadikan pembaharuan agraria sebagai
landasan pembangunan. Tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (yakni segala
sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya) hanyalah dipandang sebagai objek, tempat segala kegiatan
pembangunan dilaksanakan dengan orientasi tunggal yakni pertumbuhan ekonomi.
13
Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Jakarta: Refika Aditama, 2007 hal 38.
182
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Sebagai dampaknya, hingga saat ini dapat dirasakan adanya ketimpangan
dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
yang tidak jarang berujung pada terjadinya berbagai konflik antar subjek hak
dengan posisi tawar yang berbeda. Di samping itu, eksploitasi yang berlebihan
terhadap sumber-sumber agraria itu telah mengakibatkan kemunduran sumber
agraria dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Pembaharuan agraria diperlukan sebagai suatu agenda politik selama bagian
terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan
yang terkait dengan pertanian. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan
penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan
upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan
tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaharuan agraria.14
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Pengelolaan (HPL) tidak disebutkan secara
eksplisit, baik dalam diktum, batang tubuh, maupun penjelasannya. Namun
demikian, dalam praktik, keberadaan Hak Pengelolaan berikut landasan hukumnya
telah berkembang sedemikian rupa dengan berbagai ekses dan permasalahannya.
Semula Hak Pengelolaan dimaksudkan sebagai fungsi
“pengelolaan”, namun dalam perkembangannya kemudian, fungsi itu berubah
menjadi “hak”.
AP Perlindungan (1989) berpendapat bahwa Hak Pengelolaan adalah hak
atas tanah yang tidak dijumpai istilahnya di dalam UUPA, sedangkan Boedi
Harsono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan adalah “gempilan” dari hak
menguasai Negara. Pemegang Hak Pengelolaan mempunyai kewenangan
menggunakan tanahnya untuk keperluan sendiri, namun, ditegaskan oleh Boedi
Harsono (1997) bahwa hal itu bukanlah tujuan pemberian Hak Pengelolaan. Tujuan
utama pemberian Hak Pengelolaan adalah bahwa tanah Hak Pengelolaan itu
disediakan untuk digunakan bagi pihak lain yang memerlukan.
Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan merupakan
“bagian” dari hak menguasai Negara yang (sebagian) kewenangannya dilimpahkan
14
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta:
Kompas, 2001 hal 81.
183
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
kepada pemegang Hak Pengelolaan. Oleh karena itu, Hak Pengelolaan itu
merupakan fungsi/kewenangan publik sebagaimana hak menguasai Negara, dan
tidak tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal 16
UUPA karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. Akan tetapi,
karena kebutuhan praktis yakni untuk memberikan hak atas tanah diatas Hak
Pengelolaan kepada pihak ketiga lebih mengemuka, maka pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga melalui perjanjian antara pemegang Hak Pengelolaan dengan
pihak ketiga itu pada akhirnya lebih menonjolkan aspek keperdataan dari Hak
Pengelolaan itu.15
Dalam pelaksanaan tugas Otorita Batam seluruh areal tanah yang terletak di
Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Batam yang
mempunyai wewenang untuk :
a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan
hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal
43 Undang-Undang Pokok Agraria;
d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan
Hal-hal yang yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah
Industri pulau Batam diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria.
Pada tanggal 18 Pebruari 1977 setelah 4 tahun Kepres 41 Tahun 1973
diterbitkan, menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Di Daerah
Industri Pulau Batam.
Melalui
Keputusan tersebut
Menteri
Dalam
Negeri memutuskan
memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk areal tanah
di gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh & Ngenang dan Pulau Kasam
15
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hal 204.
184
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Kabupaten Kepulauan Riau Propinsi Riau dengan syarat-syarat/ketentuan sebagai
berikut:16
1. Hak Pengelolaan tersebut diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang
dimaksud dipergunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung
sejak didaftarkannya pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat;
2. Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada penerima hak untuk
dipergunakan
sebagai
pengembangan
daerah
industri,
pelabuhan,
pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan dan lain-lain usaha yang
berkaitan dengan itu;
3. Apabila diatas areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut
masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, maka
pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima
hak, demikian pula pemindahan penduduk ketempat pemukiman baru;
4. Penerima hak untuk pemberian Hak Pengelolaan tersebut diharuskan
membayar biaya administrasi sebesar :
a. Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah rupiah) yang harus disetor kepada
Kas Negara setempat atas mata anggaran Direktorat Jenderal
Agraria Departemen Dalam Negeri dan harus dilunaskan dalam
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keputusan ini.
b. Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) yang harus disetor ke Bank
Rakyat Indonesia Jalan Veteran Jakarta atau rekening Yayasan Dana
Landreform No. Rek. 32-A-7-2274, atau di setor langsung kepada
Administratur Yayasan Dana Landreform Jalan Sisingamangaraja
No. 2 Kebayoran Baru Jakarta dan harus dilunaskan dalam waktu
yang sama seperti ditentukan dalam sub a diatas.
5. Dalam rangka pemberian Hak Pengelolaan ini, tanah-tanah yang telah
dibebaskan dari hak-hak rakyat, harus diberi tandatanda batas sesuai
dengan ketentuan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria No.8
Tahun 1961, untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh Kantor Sub
16
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan
Tanah Didaerah Industri Pulau Batam.
185
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Direktorat Agraria setempat;
6. Terhadap areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dan telah
dilakukan pengukuran, sebagai dimaksud pada angka 5 diatas sehingga
telah dapat diketahui luasnya dengan pasti harus didaftarkan pada Kantor
Sub Direktorat Agraria Setempat untuk kemudian dapat dikeluarkan
sertifikat tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri
Agraria No. 1 tahun 1966;
7. Hak Pengelolaan yang telah dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya
sebagai dimaksud dalam angka 6 diatas, memberikan wewenang kepada
pemegang haknya (Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)
untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan tersebut
kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan
Agraria yang berlaku.
d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan dari
pihak ketiga tersebut.
8. Tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut harus dipelihara
sebaik-baiknya;
9. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan ini
kepada pihak lain dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan, kecuali
dengan izin
Menteri Dalam Negeri c.q Direktur Jenderal Agraria;
10. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai Hak
Pengelolaan tersebut seluruhnya atau sebagian kepada Negara, apabila
areal tanah tadi tidak dipergunakan lagi sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 tersebut diatas;
11. Pemberian Hak Pengelolaan tersebut dapat ditinjau kembali atau dibatalkan
apabila :
186
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
a. Luas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut
ternyata melebihi keterluan
b. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan
dipelihara sebagaimana mestinya
c. Salah satu syarat atau ketentuan dalam surat keputusan ini tidak
dipenuhi sebagaimana mestinya.
12. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak
Pengelolaan ini menjadi beban/tanggungan sepenuhnya dari Penerima hak.
Otorita Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan memiliki kewenangan
yang sangat luas atas tanah-tanah di Pulau Batam dan sekitarnya, mulai dari
merencanakan peruntukan, penggunaan, menyerahkan bagian-bagian tanah kepada
pihak lain termasuk memungut uang wajib tahunan (UWTO) atas tanah yang
diserahkan penggunaannya kepada pihak lain tersebut.
Pengaturan pengalokasian tanah di Kota Batam diatur oleh Otorita Batam
sebagaimana berdasarkan Keputusan Presiden No 41 Tahun 1973 tentang Daerah
Industri Pulau Batam, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977
tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam
danKeputusan Menteri Agraria/Ka. BPN Nomor 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan
dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang danpulaupulau lain disekitarnya. Oleh karena itu Otorita Batam selaku pemegang hak
pengelolaan
berhak
merencanakan
peruntukan
dan
penggunaan
tanah,
menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak lain serta menerima uang
pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan sesuai dengan wewenangnya yang
diterangkan dalam Pasal 6 ayat 2. b Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden No 41 Tahun
1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa gambar
penetapan lokasi (PL) hanyalah bukti identitas yang menjelaskan letak, kondisi dan
keberadaan tanah. Gambar Penetapan Lokasi dan Surat Keputusan Pengalokasian
Tanah merupakan dokumen yang hubungannya tidak dapat dipisahkan dan bersifat
otentik karena diterbitkan oleh Instansi yang berwenang.
187
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Ketentuan mengenai peralihan hak oleh pihak ketiga diatur secara tertulis
dalam surat perjanjian alokasi tanah (SPJ) antara Otorita Batam dengan Pemohon
tanah. Surat perjanjian dibuat berdasarkan surat keputusan ketua Otorita Batam
tentang pengalokasian dan penggunaan tanah atas bagian-bagian tertentu dari tanah
hak pengelolaan Otoritas Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Surat keputusan ini dikeluarkan oleh Otorita Batam atas tanah yang dimohon
setelah dilunasinya pembayaran uang wajib Tahunan Otorita Batam untuk jangka
waktu 30 tahun. Dalam surat perjanjian antara Otorita Batam dengan Pemohon
Surat Perjanjian Jual Beli (SPJ) Pasal 11 ayat 1 menerangkan bahwa pemohon tidak
diperkenankan membuat perjanjian dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
peralihan tanah dengan pihak lain sebelum mendapatkan persetujuan tertulis dari
Otorita Batam. Maka dari itu dapat diperoleh pengertian bahwa setiap peralihan
tanah diperbolehkan asal telah memperoleh persetujuan tertulis dari Otorita Batam.
Setiap penerbitan surat persetujuan peralihan dan/atau pemecahan hak atas
tanah, pemohon tanah wajib membayar biaya administrasi sebesar 2,5 % (dua koma
lima persen) dari jumlah Uang Wajib Tahunan Otorita Batam (UWTO).
Surat persetujuan yang disertai bukti-bukti pembayaran menjadi dasar
pemohon tanah untuk memperoses peralihan tanahnya dengan membuat Akta
Peralihan Hak Atas Tanah dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) dalam
hal hak atas tanah tersebut telah bersertipikat atau dihadapan Notaris jika hak atas
tanah tersebut belum disertipikatkan (Pasal 11 ayat 5 SPJ).
KUHPerdata memandang jual beli dari sisi perikatan semata yaitu dalam
bentuk kewajiban dalam lapangan kekayaan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1457 KUHPerdata bahwa “ jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain
untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.” Pada sisi kebendaan sebagaimana
yang diatur pada buku kedua KUHPerdata yang sifatnya tertutup sehingga tidak
diperkenankan mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa jual beli sepanjang
mengenai tanah sejak berlakunya UUPA, maka semua ketentuan yang termuat
188
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
dalam buku II KUHPerdata dicabut. Selanjutnya sebagai Peraturan Pelaksana
Undang-undang tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 19 disebutkan bahwa jual beli tanah
harus dibuktikan dengan sebuah akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Hal ini sesuai dengan jual beli tanah menurut hukum adat yang
bersifat terang/nyata yang mana perbuatan pemindahan hak harus dilaksanakan
didepan pejabat yang berwenang dalam hal ini PPAT.
PPAT berhak untuk menolak pembuatan akta jual beli tanah yang belum
bersertipikat atau tidak disampaikan sertipikat hak atas tanah bersangkutan.
Peraturan pelaksana tersebut hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli
dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur
di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah
(Belum bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak)
merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata.
Dalam hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang
mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234
KUHPerdata).
Dalam transaksi jual beli timbul suatu hak dan kewajiban yang diperjanjikan
oleh pihak-pihaknya baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Bentuk perjanjian
tersebut dibuat oleh para pihak secara bebas dan terbuka karena perjanjian antar
para pihak menganut asas kebebasan berkontrak64 yaitu pihakpihak yang terikat
dalam perjanjian bebas menentukan aturan main antara mereka dalam memenuhi
yang diperjanjikan tanpa melanggar suatu undangundang, kesusilaan, dan
ketertiban hukum yang berlaku. Perjanjian tersebut yang dibuat dengan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1320 KUHPerdata)
mempunyai kekuatan hukum dan menjadi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Oleh karena itu dasar
peralihan hak atas tanah kepada pihak ketiga adalah berdasarkan surat perjanjian
(SPJ) antara Otorita Batam mempunyai kekuatan hukum dan berlaku bagi para
pihak dan pihak ketiga.
189
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Pada ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa
jual beli tanah merupakan salah satu bentuk peralihan atas tanah yang menjadi
kewenangan PPAT. Pada dasarnya Notaris dalam pembuatan akta pemindahan dan
penyerahan hak dengan dasar peralihan hak berdasarkan gambar penetapan lokasi
yang diterbitkan oleh Otorita Batam tidak menyalahi kewenangan PPAT karena
Notaris juga berhak membuat akta-akta dibidang pertanahan sebagaimana yang
disebut dalam UUJN Pasal 15 ayat 2 huruf f.
Kewenangan pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan ini bukan
akta yang menjadi kewenangan PPAT yaitu akta Jual beli, Tukar menukar, Hibah,
Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pembagian
hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik, Pemberian hak tanggungan,
Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Selain akta akta tersebut diatas
Notaris berwenang membuat akta lain yang diperlukan sepanjang dalam lingkup
perjanjian yang manjadi kewenangannya.
Peralihan pada tanah yang belum bersertipikat bukan merupakan jual beli
yang dimaksud dalam kewenangan akta PPAT oleh karena itu fungsi Notaris
berperan dalam pembuatan akta otentik mengenai semua perjanjian selama
kewajiban itu tidak diberikan kepada pejabat lain (Pasal 15 UUJN). Maka blanko
akta yang digunakan bukanlah blanko akta PPAT tetapi akta Notaril yang diberi
nama tersendiri yaitu akta pemindahan dan penyerahan hak.
Akta pemindahan dan penyerahan hak ini memiliki unsur yang sama dengan
akta jual beli dalam PPAT yaitu Terang/Nyata dan tunai. Meskipun demikian
peralihan hak terhadap tanah di Kota Batam bukan dipandang pada sudut jual
belinya (peralihan hak atas tanah) melainkan sudut peralihan hak menguasai tanah
yang diberikan oleh Otorita Batam. Tanah di Kota Batam yang berdiri diatas tanah
hak pengelolaan dalam pengalihan hak yang dimohon kepada Otorita pada
prinsipnya sama dengan dengan peralihan tanah garapan yang menggunakan sistem
pemberian ganti rugi. Dimana pihak pertama bersedia memberikan penguasaan atas
tanah tersebut kepada pihak kedua dan pihak kedua bersedia memberikan sejumlah
nilai ganti rugi untuk tanah tersebut Maka dalam akta penyerahan (acte van
transport) terdapat tulisan berupa perkataan-perkataan yang menyatakan bahwa
190
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
pihak pertama telah menyerahkan hak atas bendanya kepada pihak kedua,
sedangkan pihak kedua menyatakan telah menerima dengan baik penyerahan hak
atas benda tersebut. Akta penyerahan ini harus dibuat secara otentik yaitu dengan
akta Notaris.65 Penyerahan yang sah (juridische levering) baru terjadi jika akta
penyerahannya (acte van transport) telah didaftar dalam Buku (Register) Tanah
atau telah dilakukan balik nama oleh Pejabat yang berwenang dalam hal ini Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah.
Akta pemindahan dan penyerahan hak ini merupakan salah satu bentuk suatu
perjanjian pemberian ganti rugi yang telah diperbaharui. Penyelesaian tanah
sengketa dengan pemberian ganti rugi diatur dalam KEPPRES Nomor 55 Tahun
1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan umum. Pada Pasal 1 dan 9 menjelaskan bahwa pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (harus) dilakukan dengan
musyawarah. Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan
sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan
antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk
memperoleh kesepakatan, mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.17 Kesepakatan
untuk dicapai musyawarah tidak hanya mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
sebagai imbalan tetapi juga kesediaan pihak yang bersangkutan untuk menyerahkan
tanah kepada pihak yang memerlukan.18
Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan Ketua Otorita Batam dalam surat
keputusannya dan surat perjanjiannya dengan pemohon bahwa setiap peralihan hak
atas tanah yang belum bersertipikat dilakukan dihadapan Notaris. Oleh karena akta
pemindahan dan penyerahan hak ini belum memenuhi peralihan hak seutuhnya
sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah maka dalam akta pemindahan dan penyerahan hak ini
juga berisikan pemberian suatu kuasa oleh Pihak Pertama kepada Pihak kedua yaitu
kuasa menjual, mengurus, mengelola, memakai dan membebani dengan hak atas
17
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan :Jilid
I, Jakarta: Ind-Hill. Co, 2002, Hal. 124
18
Boedi Harsono, sejarah. Op.cit.,, Hal. 195
191
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
tanggungan (jika telah bersertipikat) dan kuasa penguasaan lainnya. Dengan kuasakuasa tersebut penerima hak berhak menjual kepada pihak lain, mengajukan suatu
hak dan mendaftarkan hak tersebut ke kantor pertanahan agar tanah tersebut
bersertipikat.
Berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dalam Undang-undang Pendaftaran Tanah
menyatakan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah/PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan yang berlaku.
Namun ada pula pengecualian terhadap Pasal tersebut yaitu pada ayat 2 nya
menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh
Mentri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang
tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala
Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar
pemindahan hak yang bersangkutan.
Dalam Pasal tersebut dapat dilihat bahwa pemindahan hak hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta PPAT dan akta PPAT menjadi syarat
pendaftaran tanah. Dengan pendaftaran tanah akan diterbitkan sertipikat sebagai
alat bukti kuat yang memiliki daya pembuktian yang lebih luas. Pembuatan akta
PPAT bukan sebagai menyatakan sahnya perbuatan hukum pemindahan hak yang
dilakukan karena akta PPAT hanya alat bukti yang menyatakan bahwa benar telah
dilakukan suatu perbuatan hukum (syarat formil). Sahnya suatu perbuatan hukum
yang dilakukan harus dilihat kembali syarat materiil perbuatan hukum itu sendiri
yaitu harus memenuhi syarat tunai, terang dan nyata, serta syarat perjanjian Pasal
1320 KUHPerdata ketika perbuatan hukum itu dituangkan dalam suatu
perjanjian.19
19
Boedi Harsono, Op.cit., Hal. 515
192
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Dengan kata lain pemindahan tanah seperti pada akta pemindahan dan
penyerahan hak yang merupakan akta Notaris adalah sah menurut hukum apabila
dilakukan memenuhi syarat perbuatan hukum baik syarat formil dan materiilnya,
yaitu syarat perjanjian, tidak melanggar ketentuan umum serta dibuat dihadapan
pejabat umum yang berwenang. Perbuatan hukum pemindahan hak dengan akta
Notaris menurut hukum juga memiliki kadar kebenaran atau kekuatan
pembuktiannya yang sempurna sepanjang dibuat oleh seorang Notaris yang
berwenang dan dalam wilayah kerjanya. Kekuatan pembuktian yang sempurna itu
menyatakan kebenaran tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (Pasal 1870
KUHPerdata).
Karena Pemindahan haknya adalah peralihan tanah yang belum
bersertipikat, maka oleh Kepala seksi Pendaftaran terlebih dahulu dilakukan
kegiatan mengumumkan tentang tanah Hak Guna Bangunan diatas hak Pengelolaan
tersebut di Kantor Pertanahan, Kantor Kepala Desa/ Kelurahan dan Kantor
Kecamatan. Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan tanah tersebut.
Apabila selama 60 hari berturut-turut tidak ada pihak yang berkeberatan,
Kepala seksi Pendaftaran Tanah akan memuat terlebih dahulu buku tanah dan
setipikat tanah atas nama penjual. Setelah itu barulah dilakukan pencatatan adanya
perbuatan hukum jual beli tersebut pada buku tanah atau sertipikat tanah hak (yang
terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur). Dalam hal ini nama pemilik semula
(penjual) dicoret dan diganti nama pemilik yang baru (pembeli).
2. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus
Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam
Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab
UndangUndang Hukum Perdata
Gugatan merupakan uraian konkrit tentang peristiwa serta hubungan hukum
sehingga hakim dapat memeriksa dan mengadili perkaranya. Supomo menjelaskan
bahwa isi gugatan harus memuat apa yang dituntut terhadap tergugat, dasardasarnya penuntutan tersebut dan bahwa tuntutan itu harus terang dan jelas.68
Pendapat Supomo mengharuskan penggugat dapat mengkonkritisasi dasardasar
gugatan dengan mengemukakan tentang apa yang digugat. Jika seseorang
193
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
mengajukan gugatan, maka pada waktu gugatan diajukan, penggugat tidak perlu
pada saat itu melampirkan alat-alat bukti.2021
Perkara gugatan tentang wanprestasinya tergugat dalam jual beli tanah
antara penggugat dan tergugat tertuang dalam gugatan penggugat menyatakan
bahwa tanah yang dibeli dituangkan dalam surat perjanjian. Tanah tersebut adalah
yang terletak Bukit Kemuning, Kelurahan Mangsang, Kecamatan sungai beduk ,
Kota Batam dengan sertifikat PL tertanggal 20 maret 2003 Nomor:23070150
terdaftar atas nama PT. DALILTANI CIPTA SELARAS.
Alat-alat bukti diajukan pada waktu tahap pembuktian. Tidak jarang terjadi
bahwa penggugat waktu mendaftarkan gugatannya langsung melampirkan surat
bukti Bahwa didalam pasal 1 SURAT PERJANJIAN BERSAMA tanggal
13Februari 2009 (bukti P.1)Tergugat I mengikatkan diri untuk melakukan
pengurusan penerbitan Dokumen-dokumen atas lahan tersebut pada butir 2 dalil
gugatan ini,yang antara lain meliputi ijin Prinsip,gambar penetapan lokasi,Surat
perjanjian,Surat keputusan Sertipikat hingga tercatat atas bnama Penggugat
(yayasan Visi Kudus Indonesia). Bahwa hingga tanggal 31-03-2009(tanggal tiga
puluh satu maret tahun dua ribu sembilan)Tergugat I tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada Penggugat sebagai mana telah ditentukan dalam surat
perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009(Bukti P.1).22
Bahwa Tergugat I telah lalai memenuhi kewajiban nya kepada Penggugat
sebagaimana ditentukan dalam surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009
(Bukti P.1), karena Tergugat I tidak mengembalikan Uang Muka (Down Payment)
sebesar Rp. 600.000.000,00- (enam ratus juta rupiah) kepada Penggugat secara utuh
paling lambat pada tanggal 31-03-2009 (tanggal Tiga puluh satu Maret tahun
Duaribu Sembilan). Oleh karena itu Tergugat I telah terbukti melakukan
Wanprestasi yang mengakibatkan kerugian Penggugat sebesar Rp. 600.000.000,00(enam ratus juta rupiah) ditambah bunga sebesar 12% (Duabelas Persen) pertahun
terhitung sejak tanggal 13 Februari 2009 sampai dibayar lunas kepada Penggugat;
oleh karena itu cukup beralasan Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan
20
R.Supomo,Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972, hal.
21
22
Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM
194
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Negeri Batam berkenan menghukum Tergugat I untuk mengembalikan Uang Muka
(Down Payment) sebesar Rp. 600.000.000,00-(enam ratus juta rupiah) kepada
Penggugat secara utuh, setelah adanya putusan atas perkara ini, ditambah bunga 12
% (Duabelas Persen) pertahun terhitung sejak tanggal 13 Februari 2009 sampai
dibayar luas kepada Penggugat.23
Menurut Mariam Darusbadrulzaman ada 3 (tiga) bentuk dari orang yang
tidak memenuhi perikatan :24
1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
2. Dibitur terlambat memenuhi perikatan
3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Di dalam prakteknya sehari-hari sukar untuk menyatakan saar-saat dimana
debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan
perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan prestasi itu
pun ditentukan, cidera janji yang tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah
untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bentuk pernyataan lalai sesuai
dengan Pasal 1238 KUHPerdata adalah :23
1.
Berbentuk “surat perintah” atau akta lain yang sejenis
2.
Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri apabila dalam surat perjanjian telah
ditetapkan ketentuan debitur telah dianggap bersalah jika satu kalisajapun dia
melewati batas waktu yang diperjanjikan,
3.
Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan dan biasa
juga disebut sommasi.
Jangka waktu yang telah disepakati oleh penggugat dan tergugat telah berakhir
namun tergugat juga belum melaksanakan kewajibanya untuk menyerahkan tanah
beserta bangunan yang berada diatasnya, meskipun penggugat sudah berulangulang
23
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya
Bakti,2001, hal. 19
24
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 62
195
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
kali memberitahukan hal tersebut kepada tergugat, namun tergugat sama sekali
tidak mengabaikan peringatan tersebut.
Pasal 1234 KUHPerdata yang mengatakan : Penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila
debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
73 M. jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu
tertentu telah dilampauinya.25
Jadi maksud “berada dalam keadaan lalai “ialah peringatan atau pernyataan dari
kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila
saat dilampauinya, maka debitur ingkar janji.
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat
macam:26
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi yang akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan
3.Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan apa sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi, dan jika ia tidak
melaksanakan
kewajibannya
tersebut
bukan
karena
keadaan
memaksa
(forcemajeure) maka debitur dianggap melakukan ingkar janji. Wanprestasi adalah
keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah
diperjanjikan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua
kemungkinan yaitu :
1.
Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban
maupun karena kelalaian
2.
Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemampuan
debitur, dalam arti bahwa debitur di sini dianggap tidak bersalah.
Wanprestasi adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak yang melakukan
perjanjian tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Untuk dapat menentukan
25
26
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 323
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hal. 19
196
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
apakah wanprestasi atau tidaknya seseorang. Abdul Kadir menyebutkan dapat
ditentukan dari bentuk perjanjiannya :
1. Perjanjian tersebut mempunyai tenggang waktu tertentu
2. Perjanjian yang tidak mempunyai tenggang waktu tertentu.
Untuk mengetahui adanya kesalahan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :27
1.
Perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan,
2.
Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada si pembuat, yaitu bahwa ia
dapat menduga tentang akibatnya. Apakah suatu akibat itu dapat diduga atau tidak,
maka harus diukur secara obyektif dan subyektif. Obyektif yaitu apabila menurut
manusia yang normal akibat tersebut dapat diduga dan subyektif jika akibat tersebut
menurut keahlian seseorang dapat diduga melakukan kesalahan.28
Berdasarkan uraian di atas bahwa kesalahan mempunyai pengertian yaitu
dalam arti luas yang meliputi kesengajaan dan kelalaian, dan dalam arti sempit yang
hanya
meliputi
kelalaian
saja.
Bahwa
Penggugat
telah
berulangkali
memperingatkan Tergugat I untuk mengembalikan Uang Muka
(DownPayment)sebesar Rp.600.000.000,00-(enam ratus juta rupiah) kepada
Penggugat secara utuh, tetapi Tergugat I tidak melaksanakannya, sehingga
Penggugat mengajukan Gugatan ini terhadap Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat
III melalui
Ketua Pengadilan Negeri Batam. Bahwa Tergugat II telah berjanji
bertanggungjawab menjamin Tergugat I apabila tidak konsisten memenuhi isi Surat
Perjanjian Bersama tanggal 13 Februari 2009 (vide: Pasal 6 Surat Perjanjian
Bersama tanggal 13 Februari 2009). Tetapi Tergugat II tidak melaksanakan
tanggungjawabnya tersebut sehingga Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Batam.29
Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan
dikehendaki. Untuk terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya maksud untuk
27
R. Subekti, Op.Cit, hal. 45
http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Januari
2015 pukul 15.00 WIB27
29
Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM
28
197
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Cukup kiranya jika sipembuat walaupun
mengetahui akan akibatnya tapi tetap melakukan perbuatan. Sedangkan kelalaian
adalah perbuatan dimana sipembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya
akibat yang merugikan orang lain. Dalam melaksanakan suatu perikatan seseorang
juga bertanggung jawab untuk perbuatan-perbuatan dari orang yang di bawah
tanggungannya.30
Maka sejak saat itu pulalah debitur harus menanggung akibat-akibat yang
merugikan yang disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi dalam hal ini fungsi
penetapan lalai adalah merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan saat
terjadinya ingkar janji.31
Untuk mengetahui siapakah pihak yang dirugikan dalam perkara ini, maka erlu
diadakan pembuktian dipersidangan. Pembuktian merupakan hal sangat penting
dalam penyelesaian suatu perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana.
Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas Hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benarbenar
ada atau tidak.32
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Pembuktian merupakan hal yang
penting dalam memenangkan suatu persengketaan dalam pengadilan. Pembuktian
adalah hal meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil terhadap suatu
persengketaan di Pengadilan.33
Didalam menjatuhkan beban pembuktian Hakim harus bertindak arif dan
bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah, karena pembebanan yang berat sebelah a
priori menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan. Semua peristiwa dan keadaan
yang konkret harus diperhatikan secara seksama olehnya.33
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain menunjuk pada
30
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 351
http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal 20 Januari
2015 pukul 14.00 WIB
32
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hal. 41
33
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, hal. 43
33
R. Subekti, Op.Cit, hal. 1
31
198
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut,
sehingga siapa yang harus membuktikannya tidak ditentukan secara pasti dalam
ketentuan Undang-undang, akan tetapi berdasarkan bunyi Pasal 283 RBg yang
menyatakan bahwa: “ barang siapa yang beranggapan mempunyai suatu hak atau
suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang, harus
membuktikan hak atau keadaan itu.” Hal ini dikenal dengan azas Actori Incumbit
Probation. Adapun Pembuktian yang diajukan oleh penggugat dimukapersidangan
adalah :34
1. Fotocopy surat perjanjian bersama tanggal 20 November 2008, yang dibuat
oleh penggugat, Tergugat I dan tergugat II, diberi tanda P-1.
2. Fotocopy surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009, yang dibuat
oleh Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II diberi tanda P-2;
3. Surat perjanjian bersama tanggal 13 Februari 2009, yang dibuat oleh
Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II, diberi tanda P-3;
4. Fotocopy
Putusan
Pengadilan
Negeri Batam
Nomor:1045/PID.B/2009/PN.BTM., tanggal 4 Maret 2010, dalam perkara
terdakwa nama : NELSON PAKPAHAN, diberi tanda P-4;
5. 5.Fotocopy Putusan
Pengadilan
Tinggi Pekanbaru
Nomor:103/Pid/2010/PTR,tanggal 28 April 2010 dalam perkara terdakwa
nama: NELSON PAKPAHAN, diberi tanda P-5;
6. 6. Fotocopy Putusan Mahkamah Agung Nomor:1127 K/Pid/2010 tanggal 29
Juni 2010, dalam perkara terdakwa nama: NELSON PAKPAHAN, diberi
tanda P-6; 7. Fotocopy Kwitansi penerimaan uang sebesar Rp.600.000.000,(enam ratus juta rupiah), yang ditandatangani diatas materai Rp.6.000,tertanggal 13 Februari 2009, diberi tanda P-7;
7. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia
tertanggal 31 Maret 2008, diberi tanda P-8;
8. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia
tertanggal 28 Nopember 2008, diberi tanda P-9;
34
Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM
199
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
9. Fotocopy Rekening Koran BII atas nama Yayasan Visi Kudus Indonesia
tertanggal 27 Februari 2009, diberi tanda P-10;
10. Fotocopy Tanda Terima Penyerahan Uang Tunai Rp.100.000.000,- (seratus
juta rupiah) oleh HAJARUDIN HARAHAP, Pangkat Brigadir Kepala,
Jabatan Anggota Polisi Unit III SatReskrim Polresta Barelang, tertanggal 20
September 2010, diberi tanda P-11;
11. Fotocopy Faktur Tagihan Uang Wajib Otorita No.1625/F/VII/2008, tertangal
23 Juli 2008, diberi tanda P-12;
12. Fotocopy
Surat Keputusan
Ketua Otorita
Batam,
Nomor:0027/KPTS/KDL$/ XI/2008, tertanggal 27 Nopember 2008, diberi
tanda P-13;
13. Fotocopy Surat Perjanjian Pengalokasian, Pengunaan dan Pengurusan Tanah
Atas Bagian-Bagian Tertentu dari pada Tanah Hak Pengelolaan
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, No :0031/SPJ/KDL$/XI/2008, tertanggal 27 November 2008, diberi tanda P-14;
14. Fotocopy Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor:C-3867.HT.01.02.TH2007, diberi tanda P-15;
15. Fotocopy Akta Pendirian Yayasan Visi Kudus Indonesia, tanggal 15
September 2007 Nomor:67, dibuat dihadapan SOEHENDRO GAUTAMA,
SH., Notaris di Batam, diberi tanda P-16; Bahwa kesemua fotocopy surat
tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan telah dicocokkan dengan
aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai asli, kecuali bukti P-11,
P-12, P-13 dan bukti P-14 diajukan tanpa asli; Sementara itu tergugat dalam
pembuktiannya dipersidangan juga mengajukan alat-alat bukti sangkalan
tergugat atas wanprestasi yang dinyatakan oleh penggugat terhadap tergugat
:1.
1.
Salinan Rekening Koran Kredit Kepemilikan Rumah di Bank Tabungan
Negera Persero) Cabang 00027 Batam, atas nama NELSON PAKPAHAN
dwngan alamat Perumahan Bukit Kemuning Blok F.3 Nomor:02 RT.02
RW.016, Kelurahan Mangsang, Sei Beduk, Kota Batam,diberi tanda T.1;
bahwa fotocopy surat tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan
telahdicocokkan dengan aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai
200
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
asli; Menimbang, bahwa Tergugat III untuk mendukung dalil-dalil
bantahannya telah mengajukan bukti surat berupa:
2.
Fotocopy Surat Perjanjian Pekerjaan Nomor:133/SPP/MPB-BNR/36
RUMAHCHANDRA/ X/08, diberi tanda T.III-1;
3.
Fotocopy
Surat Perintah
Kerja 132/SPK-MPB/36
RUMAHCHANDRA/ IX/2008, tertanggal 26 September 2008, diberi
tanda T.III-2;
4.
Fotocopy Berita Acara Serah Terima Bilyet Giro beserta lampiran fotocopy
Bilyet Giro Bank Mandiri, diberi tanda T.III-3; Bahwa kesemua fotocopy
surat tersebut telah bermaterai cukup dan di persidangan telah dicocokkan
dengan aslinya ternyata fotocopy surat tersebut telah sesuai asli;
Bahwa Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II telah terikat pada surat
perjanjian bersama tertanggal 13 Februari 2009 mengenai pengadaan lahan beserta
dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh Penggugat dan akan diurus oleh
Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat II, kemudian untuk melaksanakan
perjanjian tersebut, Penggugat telah menyerahkan uang sebesar Rp.600.000.000,- (
enam ratus juta rupiah) kepada Tergugat I sebagai pembayaran tahap pertama untuk
pengurusan penerbitan dokumen-dokumen atas lahan yang dibutuhkan oleh
Penggugat, akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian
bersama, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan
uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat
I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, (enam ratus juta
rupiah) dan di dalam putusan tersebut ada pertimbangan bahwa uang
Rp.600.000.000,-( enam ratus juta rupiah) yang diterima Tergugat I dari penggugat
dipergunakan untuk pembiayaan proyek Tergugat II di Perumahan Batam Nirwana
Residence karena Tergugat II adalah kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA
BIRU (Tergugat III) , yang kemudian dikembalikan oleh Tergugat III kepada
Tergugat I dalam bentuk Bilyet Giro sebesar Rp.215.228.500 (dua ratus lima belas
juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus).
201
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Menimbang, bahwa di dalam jawaban, Tergugat I pada pokoknya
membenarkan seluruh dalil dari Penggugat akan tetapi Tergugat I minta dilepaskan
dari pembayaran uang sebesar Rp.600.000.000,-( enam ratus juta rupiah) karena
Tergugat I telah menerima hukuman pidana, demikian juga Tergugat II menyatakan
di persidangan bahwa ia membenarkan semua gugatan Penggugat tersebut,
sedangkan Tergugat III membantah dalil Penggugat dengan mendalilkan bahwa
tidak ada hubungan hukum antara Tergugat III dengan Tergugat I, dan Tergugat III
tidak pernah mengembalikan uang sebesar Rp.215.228.500,- (dua ratus lima belas
juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus) kepada Tergugat I melainkan
kepada PT.ELMERINDO PUTRI FORTUNA.
Maka penguasaan tergugat terhadap objek perkara adalah perbuatan
wanprestasi Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi,
undang-undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai.
Pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) dari kreditur kepada debitur dengan
mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah selambat-lambatnya ia
mengharapkan pemenuhan prestasi, dengan pesan ini kreditur menentukan dengan
pasti pada saat manakah debitur dalam kesalahan dalam arti luas dan dalam arti
sempit kesengajaan kelalaian. Kelalaian keadaan ingkar janji, manakala ia tidak
memenuhi prestasinya.
Dalam hal penetapan lalai, menggingat adanya bentuk wanprestasi maka
penetapan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak dibutuhkan :
1. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai
tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian;
2. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai
diperlukan karena debitur dianggap masih dapat berprestasi;
3. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat
pernyataan lalai perlu tetapi Meijers berpendapat lain, apabila karena
kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif,
pernyataan lalai tidak perlu.
Hal ini diperbolehkan untuk membuat persetujuan yang meniadakan
tanggung jawab yang terjadi akibat kesengajaan atau kelalaian dari orang yang di
202
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
bawah perintahnya. Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur
karena sejak saat itu debitur harus:
1. Mengganti kerugian;
2. Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntut
salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut:
1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3. Dapat menuntut penggantian kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian
Pengakhiran suatu persoalan yang telah diserahkan kepada pengadilan untuk
menyelesaikannya dan selalu diakhiri dengan keputusan, akan tetapi putusan dari
persidangan
atau
putusan
hakim
bukanlah
satu-satunya
bentuk
untuk
menyelesaikan perkara, karena selain dari keputusan hakim masih terdapat
penetapan sebagai salah satu pengakhiran perkara. Putusan merupakan suatu
pernyataan oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan uatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
Dalam memberikan putusan atau penetapannya harus disertai alasanalasan
putusan atau pertimbanganpertimbangan yang menjadi dasar untuk mengadili.
Keharusan adanya alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan dalam suatu
putusan merupakan sebagai tanggung jawab hakim kepada masyarakat terhadap
putusan yang diberikannya dan pertanggung jawaban kepada yang lebih tinggi
sehingga putusan tersebut mempunyai nilai obyektif.
Ketentuan yang mengharuskan adanya pertimbangan pengadilan ditentukan
dalam Pasal 195 RBg ayat (1), 184 HIR yang menyatakan : putusan hakim harus
memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya,
begitu pula tentang dasar-dasar keputusan dan akhirnya putusan pengadilan negeri
203
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan mengenai para pihak mana yang
hadir pada waktu putusan diucapkan.Pertimbangan yang termuat dalam suatu
putusan dibagi dua yaitu pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau
peristiwanya dan juga mengenai hukumnya.
Mengenai peristiwa atau duduk perkaranya merupakan tugas dari pihak
yang mengemukakanya dan membuktikannya dalam persidangan dengan
menghadirkan atau menyediakan alat bukti sedangkan mengenai hukumnya
merupakan tugas dari para hakim. Pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim
harus berdasarkan musyawarah Majelis yang bersifat rahasia. Bersifat rahasia ialah
agar pembicaraan dalam musyawarah harus dirahasiakan, tidak boleh keluar sampai
diketahui masyarakat luas, apalagi dicantumkan secara resmi dalam putusan.
Sudikno Mertokusumo menyebutkan semua putusan Pengadilan harus
memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasanalasan
atau argumentasi ini dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hukum dari pada
putusnya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu
hukum. Sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif .
Adapun pertimbangan yang diambil oleh Majelis Hakim adalah :
1. Pertimbangan Dalam Eksepsi
Tergugat dalam eksepsinya Menimbang, bahwa terhadap eksepsi angka 1,
pengadilan berpendapat adalah hak dari Penggugat untuk mengajukan gugatan
kepada siapapun yang dianggap oleh Penggugat telah melanggar haknya, dalam
perkara ini Penggugat menarik Tergugat III sebagai pihak oleh karena hubungan
dengan Tergugat I sebagai kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA BIRU
(Tergugat III) dan karena Tergugat III telah mengembalikan uang sebesar
Rp.215.228.500,- (dua ratus lima belas juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima
ratus) kepada Tergugat I, yang akan diminta Penggugat dalam petitum untuk
diserahkan kepada Penggugat (lihat Posita angka 12 dan petitum angka 6)
sedangkan apakah ada hubungan hukum atau tidaknya atau benar tidaknya Tergugat
III telah melanggar hak Penggugat akan menjadi pembuktian dalam pokok perkara,
sehingga eksespi Tergugat II haruslah ditolak.
Menurut pertimbangan hakim bahwa untuk menentukan apakah tergugat
telah melakukan tuntutan hukum kepada penggugat atas jual beli terhadap tanah dan
204
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
bangunan yang menurut tergugat hal tersebut belum terjadi, maka diperlukan
pembuktian dipersidangan baik dari bukti surat maupun dari keterangan saksisaksi
dan hal tersebut bukanlah eksepsi dan hal tersebut dipertimbangkan dalam pokok
perkara.
Oleh karena perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak
yang berpekara, maka dalam Undang-undang tidak ada ketentuan 98 Perkara Pada
Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM yang mewajibkan tergugat untuk
menjawab gugatan penggugat. Namun apabila tergugat tidak memberikan jawaban
apapun terhadap gugatan penggugat, ia harus menyadari bahwa ia harus memikul
segala akibat, dimana mungkin sekali dia akan dikalahkan.
Menurut hemat penulis pembuatan keputusan oleh Majelis Hakim haruslah
mempertimbangkan bukti-bukti yang telah diajukan oleh para pihak dalam
persidangan dengan hal tersebutlah erupakan dasar Majelis Hakim memberikan
putusan, memberikan penilaian terlebih dahulu mengenai nilai dari pembuktian
yang telah diajukan oleh para pihak yang berperkara, atas penilaian terhadap atau
alat bukti
yang diajukan di persidangan maka Majelis Hakim akan
mempertimbangkan setiap fakta yang diajukan dipersidangan dan memberikan
putusan berdasarkan penilaian terhadap alat bukti yang sah.
Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara hakim harus mengetahui dulu
secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui
dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti, hakim harus
menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan.
Setelah hakim mengetahui duduk perkara melalui proses pembuktian,
perkara dianggap selesai dan dilanjutkan dengan pemberian putusan. Putusan hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
2. Pertimbangan Dalam Pokok Perkara
Setelah majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh tergugat
terhadap gugatan penggugat, maka majelis hakim juga akan memperhatikan
pertimbangan dalam pokok perkara. Alasan-alasan dalam putusan apabila tidak
dicantumkan atau kurang memberikan alasan-alasan dalam putusan apabila tidak
205
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
mencerminkan atau kurang memberikan alasanalasan putusan (onvoldoende
gemotiveerd) akan mengakibatkan putusan tersebut harus dibatalkan.35
Alasan yang dicantumkan dalam pertimbangan sabagai dasar putusan terdiri dari 2
macam pertimbangan, yaitu :35
1. Alasan mengenai keadaan atau fakta; dan
2. Alasan mengenai hukumnya
Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatannya mendalilkan pada
pokoknya bahwa Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II telah terikat pada
SURAT PERJANJIAN BERSAMA tertanggal 13 Februari 2009 mengenai
pengadaan lahan beserta dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh Penggugat
dan akan diurus oleh Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat II, kemudian untuk
melaksanakan perjanjian tersebut, Penggugat telah menyerahkan uang sebesar
Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) kepada Tergugat I sebagai pembayaran
tahap pertama.36.
Untuk pengurusan penerbitan dokumen-dokumen atas lahan yang
dibutuhkan oleh Penggugat, akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan dalam
perjanjian bersama, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga
mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON
PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, (enam
ratus juta rupiah) dan di dalam putusan tersebut ada pertimbangan bahwa uang
Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah) yang diterima Tergugat I dari penggugat
dipergunakan untuk pembiayaan proyek Tergugat II di Perumahan Batam Nirwana
Residence karena Tergugat II adalah kontraktor dari PT.MUTIARA PERMATA
BIRU (Tergugat III) , yang kemudian dikembalikan oleh Tergugat III kepada
Tergugat I dalam bentuk Bilyet Giro sebesar Rp.215.228.500(dua ratus lima belas
juta dua ratus dua puluh delapan ribu lima ratus).37
35
.R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cetakan ke-9, Bandung: Sumur,
1982, hal. 129
36
Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-I, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993, hal. 15
37
Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM
206
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Maka untuk itu majelis hakim perlu membuktikan terhadap kebenaran dari
gugatan penggugat dan sangkalan dari tergugat. Penentuan pihak mana yang harus
membuktikan suatu peristiwa atau kejadian dalam proses pembuktian, merupakan
pemberian beban pembuktian, menurut pasal 283 RBg menyatakan : Barang siapa
mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk
meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah
membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu.38
Majelis hakim dalam pertimbangannya melihat bukti-bukti penggugat
bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan 16
(enam belas) buah bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d. P-16, Tergugat I untuk
mendukung dalil-dalil bantahannya mengajukan 1 (satu) buah bukti surat yang
diberi tanda T.I dan Tergugat III mengajukan 3 (tiga) buah bukti surat yang diberi
tanda T.III-1 s/d T.III-3, sedangkan Tergugat II tidak mengajukan suatu bukti
apapun di persidangan ini;
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan dalil-dalil yang menjadi
sengketa dalam perkara ini, pengadilan akan mengemukakan terlebih dahulu fakta
yang tidak perlu dibuktikan oleh karena tidak ada bantahan dari para pihak, yaitu :
a) bahwa pada tanggal 20 Nopember 200, Penggugat dengan Tergugat I dan
Tergugat II telah mengadakan perjanjian bersama, yang kemudian
diperbaharui dengan SURAT PERJANJIAN BERSAMA tertanggal 13
Februari 2009 dan dirubah kembali pada tanggal 01 April 2009, mengenai
pengadaan lahan beserta dokumen-dokumennya yang diperlukan oleh
Penggugat dan akan diurus oleh Tergugat I dengan jaminan dari Tergugat
II, sesuai pula dengan bukti P-1, bukti P-2 dan bukti P-3;
b) bahwa pada tanggal 13 Februari 2009 untuk melaksanakan perjanjian
tersebut, Pengugat telah menyerahkan uang sebesar Rp.600.000.000,(enam ratus juta rupiah) secara bertahap kepada Tergugat I, sesuai pula
dengan bukti P-7, bukti P-8, bukti P-9 dan bukti P-10;
c) bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak
memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang
38
Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, cet ke-4,Jakarta: Ghalia Indonesia,1981, hal. 71
207
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan
Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan
uang milik Penggugat sebesar
Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah), sesuai bukti P-4,bukti P-5
danbukti P-6
Menimbang, bahwa dalil Penggugat yang dibantah oleh Tergugat III
sehingga menjadi pokok sengekta ayang harus dibuktikan adalah mengenai
hubungan antara Tergugat III dengan Tergugat I dan mengenai pengembalian uang
sebesar Rp.215.228.500,- kepada Tergugat I, yang menurut dalil dalam jawaban
Tergugat III, tidak ada hubungan hukum antara Tergugat III dengan Tergugat I dan
uang dikembalikan bukan kepada Tergugat I melainkan kepada PT.ELMERINDO
PUTRI FORTUNA.
Berdasarkan hasil pembuktian tersebut maka hakim akan menghubungkan
peristiwa atau fakta hukum perkara tersebut dengan peraturan perundangundangan
yang mengatur peristiwa yang dihadapi, upaya menghubungkan tersebut dilakukan
oleh hakim dengan mencari dalam peraturan hukum tertulis. Pencarian aturan yang
mengatur permasalahan yang akan diputusnya merupakan upaya hakim dalam
menerapkan aturan tertulis kepada peristiwa konkrit yang dihadapi, hal ini
merupakan upaya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Menimbang,
bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena telah menjadi
fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak
memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya
kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN
(Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-(enam ratus juta
rupiah) akan tetapi pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan
wanprestasi yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009.
Untuk adanya akibat hukum yang sempurna maka perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat, jika salah satu syarat-syarat tidak dipenuhi, maka akibat
208
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
yang timbul tidak pula terpenuhi, jika dalam perjanjian tersebut kredit tidak
memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan atau debitur tidak melaksanakan
kewajiban prestasinya, maka dapatlah dikatakan bahwa telah terjadi prbuatan
wanprestasi.
Apabila siberhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukannya, maka ia dapat dikatakan melakukan wanprestasi ia adalah alpa atau
lalai atau cidera janji, dengan kata lain ia melanggar perjanjian atau apabila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi
(kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikanya, tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi kreditur, karena sejak
saat tersebut, debitur berkewajiban mengganti kerugian dari ingkar janji debitur
maka kreditur dapat menuntut
a) Pemenuhan perikatan;
b) Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
c) Ganti rugi;
d) Pembatalan persetujuan timbal balik;
e) Pembatalan dengan ganti rugi
Dihubungkan dengan pendapat ahli diatas, wanprestasi terlihat bahwa
tergugat tidak melakukan kewajibannya dalam hal pengurusan surat tanah kepada
penggugat, hal ini berarti tergugat melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana yang dijanjikan.
“Kelalaian/kealpaan (siberhutang atau debitur adalah pihak yang wajib
melakukan sesuatu), diancam dengan beberapa sanksi dan hukuman. Hukuman atau
akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi empat macam, yaitu :
i.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
ii.
Membayar perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim.
209
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
Apabila putusan pengadilan negeri dimintakan banding, permohonan banding
disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan baik
secara lisan ataupun secara tertulis dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
terhitung mulai hari berikutnya pengumuman kepada yang bersangkutan .
Pemeriksaan ditingkat banding adalah pemeriksaan ulang terhadap perkara
yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri. Dalam pemeriksaan
banding, majelis hakim tingkat banding mempertimbangkan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh pemohon banding dalam memori bandingnya. Apabila dalam
memori banding tidak terdapat hal-hal yang baru. Dengan pemeriksaan ulang dapat
dikoreksi apakah putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri sudah tepat atau
kurang tepat atau ada kesalahan. Pemeriksaan ulang dilakukan dari awal meliputi
semua fakta dan mengeani hukumnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo upaya penemuan hukum merupakan suatu
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit.
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa
dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya
menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya
secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah
cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan.
Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk
kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara
paksa oleh alat-alat Negara.
Oleh karena itu dalam pertimbangan majelis hakim baik dalam Pengadilan
Tingkat Pertama maupun dalam Pengadilan Tingkat Banding pada perkara ini sudah
sangat tepat.
E. KESIMPULAN
1. Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Terjadi
Di Kota Batam. Peraturan pelaksanaan pembuatan akte tanah di Kota Batam
210
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat
sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur di dalamnya.
Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum
bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak)
merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam
hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang
mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal
1234 KUHPerdata).
2. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26
/ Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli
Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena
telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut,
Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang
yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN
(Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, akan tetapi
pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi
yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009.
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
Alumni,1993
Basrah, Buku III KUH Perdata Tentang Perikatan Jual Beli Dan Pembahasan
Kasus, Medan: FH USU, 1981
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia,
Jakarta: Gunung Agung, 2005
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi
Kenikmatan : Jilid I, Jakarta: Ind-Hill. Co, 2002
Gunawan Kartasapoetra, Dkk, Hukum Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
211
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, Jakarta: Fakultas
EkonomiUniversitas Indonesia, 1996
J. Satrio., Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1998
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
,Hukum Acara Perdata RBG/HIR, cet ke-4,Jakarta: Ghalia,
Indonesia,1981
Mahadi., Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989
Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta:
Gramedia, 1989
Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama
Hukum Belanda Dengan Indonesia, Medan: Proyek Hukum Perdata , 1987
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994
Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, Jakarta: Refika Aditama, 2007
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Surabaya: LaksBang Pressinso, 2006
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia , 1986
R. Setiawan, Aneka Masalah Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992
R. Subekti., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1994
R. Supomo, Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri , Jakarta: Pradnya
Paramita , 1972
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cetakan ke-9,
Bandung: Sumur, 1982
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori danb Praktek, Bandung; Alumni, 2002
Ronny Hantijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982
Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986
Sriono, S. (2013). Telaah Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa (Al Ijarah) Dalam
Perbankan Syariah. Jurnal Ilmiah Advokasi, 1(1), 79-89.
Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-I,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta:
Institut Bankir Indonesia, 1997
212
PETITA, VOL 3 No. 2
Desember 2016
B. PERATURAN PERUNDANFG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
C. MAKALAH , JURNAL, DAN MAJALAH
Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian,
Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta, 1990,
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumetera Utara, Disertasi, Medan:
PPsUSU, 2002
D. KAMUS
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990
E. WEBSITE
http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/wanprestasi.html, diakses pada tanggal
20 Januari 2015 pukul 15.00 WIB
213
Download