bab ii telaah pustaka

advertisement
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Pajak
Ada beberapa definisi tentang pajak, antara lain:
a.
Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, Pajak adalah
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa bersadarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b.
Menurut Soemitro Rochmat yang dikutip oleh Mardiasmo, (2011)
yaitu:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undangundang (uang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
c.
Menurut Suandi (2011),
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara, baik bagi
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sebaliknya
bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi
laba bersih.
2.1.2 Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak
(orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT)) atas penghasilan yang
diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak. Sesuai dengan SAK No 46,
pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan
dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
8
9
2.1.2.1
Pengertian Pajak Penghasilan Badan
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib
Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian
tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak.
Undang-Undang PPh menganut asas materiil , artinya penentuan
mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.
Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak
1 Januari 1984. Undang-Undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan
terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 1
menjelaskan bahwa pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sementara
Subjek Pajak itu sendiri, berdasarkan UU No. 36/2008 dijelaskan pada Pasal 2
ayat 1, yaitu:
a. Orang Pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak
b. Badan
c. Bentuk Usaha Tetap
10
Dengan demikian, Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Subjek Pajak
Badan. Pada penjelasan Pasal 2 huruf b, UU No. 36/2008 disebutkan bahwa:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Penghasilan itu sendiri dalam Pasal 4 ayat (1), UU No. 36/2008,
dijelaskan bahwa:
Penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun………
2.1.2.2
Subjek Pajak Penghasilan Badan
Subjek Pajak Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
a.
Pembentukkannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
b.
Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
c.
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah, dan
d.
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
11
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka Subjek Pajak Badan dapat
berupa:
a.
Wajib Pajak Dalam Negeri berupa Badan Usaha, yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
b.
Wajib Pajak Luar Negeri berupa Badan atau Bentuk Usaha Tetap, yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia baik melalui bentuk usaha tetap.
2.1.2.3
Kewajiban Subjek Pajak Badan
Setiap badan usaha diwajibkan menggunakan pembukuan dalam
menghitung pajaknya. Artinya, wajib pajak tersebut harus membuat laporan laba
rugi setiap akhir tahun pajak, dimana tidak semua penghasilan digunakan dalam
penghitungan pajak yang harus dibayar kekurangannya pada akhir tahun.
Demikian pula dengan biaya yang tidak semuanya dapat dijadikan sebagai
pengurang penghasilan bruto. Dalam pasal 9 UU No. 36/2008 dijelaskan
mengenai biaya-biaya yang tidak dapat dijadikan pengurang dari pada penghasilan
bruto.
Penghasilan bruto dapat dikurangkan dengan biaya-biaya yang
berhubungan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara panghasilan
sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 6 UU No. 36/2008. Biaya-biaya
tersebut antara lain:
a.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha antara lain: biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan
12
pekerjaan atau jasa, upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan biayabiaya lainnya.
b.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pegeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 dan pasal 11A.
c.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
e.
Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g.
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1.
Telah dibebankan sebagai biaya dalam pelaporan laba-rugi komersial.
2.
Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jendral Pajak.
3.
Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus atau adanya
13
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
4.
Syarat sebagaimana dimaksudkan pada angka ke-3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
i.
Sumbangan
dalam
rangka
penanggulagan
bencana
nasional
yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j.
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k.
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
l.
Sumbagan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah, dan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2.1.2.4
Bukan Termasuk Subjek Pajak Peghasilan Badan
Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat
(1), menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan badan
adalah sebagai berikut:
a.
Badan perwakilan Negara asing
14
b.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat-pejabat lain dari
Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan
warga Negara Indonesia dan Negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
c.
Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi
tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO,
UNICEF.
d.
Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.2.5
Objek Pajak Penghasilan Badan
Objek pajak adalah keadaan, perbuatan, maupun peristiwa yang dapat
dikenakan pajak, misalnya:
a.
Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan
bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak bergerak, menempati
rumah tertentu (kebanyakan secara statis/tetap).
b.
Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan
rumah atau gedung, mengadakan pertunjukkan atau keramaian, memperoleh
penghasilan, bepergian keluar negeri.
c.
Peristiwa: anugerah yang diperoleh karena secara tak terduga, seperti hadiah.
15
Berkaitan dengan objek pajak penghasilan diatur pada pasal 4 ayat 1,
UU No 36/2008, sebagai berikut:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:
a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c.
Laba usaha.
d.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2.
Keuantungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
3.
Keuantungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
4.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
16
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Mentri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
diantara pihak-pihak yang bersangkutan, dan
5.
Keuntungan karena penjualan atau pegalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan.
e.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
g.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h.
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Keuntungan karena penilaian kembali aktiva.
n.
Premi asuransi.
o.
Iuran yang diterima atau diperoleh pekumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
17
p.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
q.
Penghasilan dari usaha berbasis syari’ah.
r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan
s.
Surplus Bank Indonesia.
2.1.2.6
Bukan Termasuk Objek Pajak Penghasilan Badan
Selain objek PPh, ada juga objek-objek yang tidak bisa dikurangkan,
objek-objek itu antara lain:
a.
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah,
b.
Harta hibaan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Mentri Keuangan,
c.
Warisan,
18
d.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal,
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit),
f.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa,
g.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik Negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;dan
2.
Bagi perseroan terbatas, badan milik Negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
h.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai,
i.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
19
j.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif,
k.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1.
Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2.
l.
Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
tahun sejak diperolehnya sisa lebih dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan,
n.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Soasial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
20
o.
Hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan
kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut
diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
2.1.3
2.1.3.1
Penghasilan dan Biaya
Penghasilan
a.
Penghasilan menurut PSAK No. 23
Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang
timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila
arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal
dari kontribusi penanaman modal.
Sedangkan menurut Mardiasmo (2011):
Penghasilan adalah tambahan kemampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidup ekonomisnya dalam suatu periode
tertentu, sepanjang tambahan kemampuan ini berupa uang atau
dapat dinilai dengan uang.
b.
Penghasilan menurut pajak
Para ahli menyarankan agar definisi penghasilan yang dipakai
hendaknya komprehensif tidak memandang sumbernya, artinya
dari apa atau dari mana saja sumber tambahan kemampuan untuk
menguasai barang dan jasa dapat dipakai memenuhi kebutuhan
legal atau ilegal, halal atau haram, termasuk hadiah, pembahasan
hutang, menang undian dan lain-lain.
Peraturan Perpajakan mendefinisikan penghasilan sebagai berikut:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
21
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun (UU No. 10 Tahun 1994 Pasal 4 ayat (1)
tentang PPh).
2.1.3.2
Pengakuan penghasilan
Penghasilan diakui pada saat diterima, artinya penghasilan itu diakui
pada saat kas benar-benar diterima, sedangkan penghasilan tersebut diakui pada
saat hak atas penghasilan tersebut diperoleh meskipun belum diterima kas.
2.1.3.3
Biaya
a.
Biaya menurut SAK
Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi yang
diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau yang
kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu.
b.
Biaya menurut pajak
Peraturan perpajakan tidak menggunakan istilah biaya dalam
menghitung penghasilan kena pajak tetapi istilah yang digunakan
adalah pengurang.
Biaya-biaya yang dimaksud dalam devinisi diatas lazim disebut
biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut harus
22
mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan,
menagih, memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
2.1.3.4
Pengakuan biaya
Baik dalam akuntansi maupun perpajakan biaya dapat terjadi sekalipun
belum ada pembayaran, selama satu biaya dapat dibuktikan untuk usaha
memperoleh penghasilan, ketentuan perpajakan mengakuinya sebagai biaya yang
dapat dikurangkan penghasilan.
Dalam menyusun pembukuan wajib pajak boleh memilih system stelsel
kas atau stelsel accrual, namun untuk tujuan penghitungan PPh, harus
menggunakan system stelsel accrual artinya biaya diakui pada saat biaya tersebut
terutang.
2.1.3.5
Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Biaya–biaya yang dapat dikurangkan dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak diatur dalam Undang-undang Perpajakan Nomor 36
Tahun 2008 Pasal 6 Ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. Biaya pembelian bahan baku;
2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
23
3. Bunga, sewa, dan royalti;
4. Biaya perjalanan;
5. Biaya pengolahan limbah;
6. Premi asuransi;
7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
peraturan Menteri Keuangan;
8. Biaya administrasi; dan
9. Pajak kecuali pajak penghasilan
b.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
c.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
e.
Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g.
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada direktorat jendral pajak; dan
24
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang Negara, atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. Tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil, yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan
Menteri Keuangan.
i.
Sumbangan
dalam
rangka
penanggulangan
bencana
nasional
yang
ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.
j.
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.
k.
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah.
l.
Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan peraturan pemerintah.
25
2.1.3.6
Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Untuk biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak, menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 36 Tahun
2008 Pasal 9 Ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.
Pembagian laba denga nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota.
c.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan keuali:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan.
2. Konsumen, dan perusahaan pajak piutang.
3. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial.
4. Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan.
5. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
6. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, dan
7. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri
Keuangan.
26
d.
Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa yang
dibayar oleh wajib pajak orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi
kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang
bersangkutan.
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan serta daerah tertentu dalam
bentuk natura yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diterapkan
dengan keputusan Menteri Keuangan.
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g.
Harta yang dihibahkan, bantuan/sumbangan dan warisan.
h.
Pajak penghasilan.
i.
Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya.
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau persekutuan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k.
Sanksi administrasi berupa bunga denda dan kenaikan serta pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang
pajak.
27
l.
Pengeluaran untuk mendapatkan, mengih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai manfaat lebih dari satu tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan/amortisasi.
2.1.3.7
Biaya yang Boleh Dikurangkan Sebesar 50%
Menurut Erly (2011), biaya-biaya yang hanya boleh dikurangkan
sebesar 50% dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai
berikut:
a.
Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya.
b.
Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon
seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu
karena jabatan atau pekerjaannya.
c.
Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan
atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai
tertentu karena jabatan atau pekerjaannya.
d.
Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenis
yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya.
28
2.1.4
Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan
pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja
perusahaan tersebut. Beberapa pengertian dari laporan keuangan, antara lain:
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007)
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan,
yang meliputi laporan neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi
keuangan, dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan
bagian integral dari laporan keuangan.
Menurut Hery (2013) menyatakan sebagai berikut, “Laporan keuangan
adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat
untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
2.1.4.1 Pengertian Laporan Keuangan Komersial
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, yang bertujuan untuk
menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan
bisnis dan ekonomi, khususnya informasi tentang prospek arus kas, posisi
keuangan, kinerja usaha dan aktivitas investasi pendanaan operasi.
2.1.4.2 Pengertian Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai
peraturan perpajakan, yang bertujuan menyediakan data dan informasi dalam
perhitungan besarnya pajak terutang (PPh, PPN, PPnBM). Undang-undang pajak
29
tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan
pembatasan untuk hal-hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun
biaya. Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba akuntansi dan laba
fiskal dapat berbeda. Secara umum, laporan keuangan disusun berdasarkan
standar akuntansi keuangan, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang.
Perusahaan dapat menyusun laporan keuangan akuntansi (komersial) dan
laporan keuangan fiskal secara terpisah atau melakukan koreksi fiskal terhadap
laporan keuangan akuntansi (komersial). Laporan keuangan yang dikoreksi akan
menghasilkan laporan keuangan fiskal.
2.1.5
Koreksi Fiskal atas Laporan Keuangan
Karena adanya perbedaan pokok antara laporan keuangan komersial dan
laporan keuangan fiskal maka perlu adanya koreksi fiskal yang terdiri dari koreksi
fiskal positif dan koreksi fiskal negatif.
2.1.5.1
Koreksi Fiskal Positif
Koreksi
fiskal
positif
adalah
koreksi/peyesuaian
yang
akan
mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat
PPh Badan terhutangnya juga akan meningkat. Koreksi fiskal positif diantaranya:
a.
Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan.
b.
Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP.
30
c.
Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang
ditangguhkan menurut WP lebih tinggi.
d.
Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
e.
Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.
2.1.5.2
Koreksi Fiskal Negatif
Koreksi
fiskal
negatif
adalah
koreksi/penyesuaian
yang
akan
mengakibatkan menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan
terhutangnya juga akan menurun. Koreksi fiskal negatif diantaranya:
a.
Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah,
selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
b.
Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek
pajak.
c.
Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.
2.1.5.3
Hubungan Antara Laporan Keuangan Fiskal dengan Laporan
Keuangan Komersial
Gunadi (2011), laporan keuangan fiskal (yang dilampirkan pada SPT)
dapat disusun dengan proses penyesuaian atau rekonsiliasi ketentuan perpajakan
terhadap laporan keuangan komersial. Untuk mengamankan data historis, atas
penyesuaian itu perlu diadakan pencatatan terhadap pos-pos yang menyebabkan
perbedaan sementara antara ketentuan pajak dan standar akuntansi keuangan
(misalnya penyusutan). Implikasi dari aktivitas itu menunjukkan adanya perangkat
31
pembukuan ganda terhadap pos-pos tertentu yang memungkinkan adanya
perbedaan ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi komersial untuk
mengamankan kontinuitas rekonsiliasi. Namun karena pembukuan itu dapat
direkonsiliasikan
secara
yuridis
fiskal/pembukuan
ganda
itu
dapat
dipertimbangkan.
2.1.5.4
Perbedaan Koreksi Fiskal
Adanya perbedaan dalam perlakuan penetapan pendapatan dan biaya
menurut Undang-undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000 dengan Standar
Akuntansi Keuangan sebagai akibat dari adanya beda tetap dan beda sementara.
Perlakuan akuntansi terhadap perbedaan tersebut perlu dilakukan koreksi antara
laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal, dan pengaruh
perbedaan tersebut terhadap laporan keuangan yaitu pada besarnya jumlah pajak
terutang dan jumlah laba usaha. Erly (2011), menjelaskan adanya perbedaan
antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu perbedaan waktu dan perbedaan tetap.
2.1.5.5
Beda Waktu
Perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu
pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan SAK.
Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi perbedaan waktu positif dan perbedaan
waktu negatif. perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban untuk
akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan
32
pendapatan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan pendapatan untuk
tujuan akuntansi. Perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan
mengakui beban lebih lambat dari pengakuan beban akuntansi komersial atau
akuntansi mengakui pendapatan lebih lambat dari pengakuan pendapatan menurut
ketentuan perpajakan.
Perbedaan lainnya adalah akibat perbedaan beban penyusutan dimana
pihak Dirjen Pajak menggunakan metode penyusutan Garis Lurus (Straight Line
Method) sementara perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang
lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban
penyusutan. Prakiraan umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberikan
kontribusi atas perbedaan tersebut. Dengan kata lain perbedaan metode yang
digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal dalam akuntansi
perpajakan ini disebut dengan beda waktu.
2.1.5.6
Beda Tetap
Bagi perusahaan, semua pemasukkan adalah pendapatan yang akan
menambah laba kena pajak, dan semua pengeluaran adalah beban yang akan
mengurangi laba kena pajak. Bagi Dirjen Pajak, tidak semua pemasukkan adalah
faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan
merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah
dikenakan pajak yang bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor
pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang
sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan (sumbangan,
33
entertaint, tanpa daftar normative). Dengan kata lain perbedaan yang terjadi
karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan
laba menurut SAK tanpa ada koreksi dikemudian hari. Perbedaan permanen
positif apabila ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan
pembebasan pajak, sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya
pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh fiskal.
2.1.5.7
Penyusutan
Terdapat perbedaan perhitungan penyusutan antara menurut Akuntansi
(PSAK) dengan menurut perpajakan (UU Perpajakan). Menurut PSAK No. 16
(Revisi 2007) menyatakan bahwa penyusutan asset dimulai pada saat asset
tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat asset tersebut berada pada lokasi
dan kondisi yang diinginkan agar asset siap digunakan sesuai dengan keinginan
dan maksud manajemen. Sedangkan UU Perpajakan khususnya Undang-undang
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa
penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta
yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut. Berdasarkan pengaturan PSAK 16 serta
Pasal 11 ayat (3) dan UU PPh No.36 tersebut, terlihat perbedaan syarat
dimulainya penyusutan aktiva tetap secara akuntansi dan perpajakan dimana:
1.
Secara akuntansi, aktiva tetap mulai disusutkan pada saat aktiva tersebut siap
untuk digunakan.
34
2.
Secara perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan pada bulan dilakannya
pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli).
Mardiasmo (2011), metode perhitungan penyusutan dalam perpajakan
hanya mengenal dua metode yaitu metode garis lurus (diperkenankan
dipergunakan untuk semua harta tetap berwujud) dan metode saldo menurun
(hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan
bangunan saja).
Dalam perpajakan, penyusutan dibagi menjadi 2 bagian yaitu
penyusutan yang berupa bangunan dan non-bangunan. Pada bagian tersebut
penyusutan dikelompok-kelompokkan berdasarkan umur masa manfaat dan
pengenaan negatif sesuai dengan pengelompokkan tersebut. Untuk lebih jelasnya
lihat pada tabel penyusutan dibawah ini.
Tabel 2.1
Kelompok dan Negatif Penyusutan
Kelompok Harta
Berwujud
Masa Manfaat
Negatif Penyusutan Sebagaimana dimaksud
dalam
Ayat (1)
Ayat (2)
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 Tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10%
Permanen
20 Tahun
5%
Tidak Permanen
10 Tahun
10%
II. Bangunan
Sumber : UU PPh No. 36 Tahun 2008
35
2.2
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan koreksi fiskal
dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel: 2.2
Penelitian Terdahulu
Rumusan
Masalah
Metode
Penelitian
Nama Peneliti
Judul
Felix Daniel
Wongso, Jantje
Tinangon,
Stanley
Walandouw
Analisis
Koreksi
Fiskal Dalam
Rangka
Perhitungan
PPh Badan
PT. Kawanua
Dasa Pratama
Bagaimana cara Deskriptif
mengetahui
kualitatif
koreksi
fiskal
yang dilakukan
PT.
Kawanua
Dasa Pratama
dalam
rangka
perhitungan PPh
Badan ?
Analisis
Koreksi
Fiskal dalam
Apa perbedaan
pendapatan dan
biaya Pada PT.
(2014)
Elisa Delima
Sari, Rika
Lidyah
Hasil Penelitian
Untuk
kepentingan
pajak, perusahaan
membuat koreksi
fiskal atas
perhitungan laba
rugi sesuai
dengan UU
Perpajakan, untuk
menghasilkan
penghasilan kena
pajak yang
menjadi dasar
dalam
menghitung
besarnya pajak
yang terutang
perusahaan.
Perusahaan
menemukan
beberapa
perbedaan dalam
hal pengakuan
biaya dan
pengakuan
penghasilan
antara Standar
Akuntasi
Keuangan dan
Undang-Undang
Perpajakan.
Pendekatan Terdapat koreksi
Kualitatif
negatif atas
pendapatan
36
(2009)
Rangka
Perhitungan
PPh Badan
Pada PT.
Asuransi
Bumiputera
Cabang
Sekip
Palembang
Asuransi
Bumiputera
Cabang Sekip
Palembang ?
Hastoni, Robert
Pius Pardede,
dan Yuni
Astuti
Pengaruh
Rekonsiliasi
Fiskal
Terhadap
Perhitungan
PPh Terutang
Pada PDAM
Tirta Pakuan
Bogor
Apa yang
menyebabkan
perbedaan
antara laporanl
keuangan
komersial dan
laporan
keaungan fiskal
pada PDAM
Tirta Pakuan
Bogor?
(2009)
karena perbedaan
permanen, seperti
pendapatan bunga
dan jasa giro.
Koreksi positif
atas biaya karena
perbedaan
permanen seperti
klaim asuransi,
biaya pegawai,
biaya provisi dan
komisi, biaya
umum dan
administrasi, dan
sumbangan. Serta
perbedaan
pengakuan
pendapatan dan
beban pada
laporan komersial
dan laporan
fiskal.
Deskriptif
Asosiarif
Adanya
perbedaan dalam
menentukan
penghasilan dan
biaya antara SAK
dengan UU PPh
mengharuskan
PDAM Tirta
Pakuan Kota
Bogor melakukan
rekonsiliasi,
perbedaan itu
antara lain:
 Beda waktu ,
yaitu
perbedaan yang
bersifat
sementara ,
terjadi karena
adanya
ketidaksamaan
saat pengakuan
penghasilan
dan biaya oleh
administrasi
pajak dan
masyarakat
37
profesi akuntan
 Beda tetap,
yaitu
perbedaan yang
bersifat tetap,
terjadi karena
administrasi
pajak
menghitung
laba fiskal
berbeda dengan
laba menurut
SAK tanpa
koreksi
dikemudian
hari.
Sumber: data diolah penulis
2.3
Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian data, gambaran menyeluruh tentang rekonsiliasi fiskal
atas laporan keuangan komersial dalam menentukan pajak penghasilan terutang
yang merupakan kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
38
Gambar 2.1
PT METROKOM
Pendapatan, Beban, dan Laba
Pernyataan Standar Akuntansi
Laporan Keuangan
Fiskal
Keuangan (PSAK) 2007
Laporan Keuangan Komersial
Negatif
PPh
Koreksi Fiskal
Berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun
2008
PPh Kurang Bayar
Kredit Pajak
/ PPh Lebih Bayar
Sumber: data diolah penulis
PPh Badan
Terutang
39
PT Metrokom Jaya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
distributor barang-barang elektronik khususnya komputer. Dari bagan diatas dapat
dijelaskan bahwa, operasional perusahaan akan meghasilkan pendapatan, beban,
dan laba. Dari sana maka dibuatlah laporan keuangan komersial yang sesuai
dengan PSAK. Laporan keuangan komersial tersebut dikoreksi berdasarkan UU
PPh No. 36 Tahun 2008, sehingga terbentuklah Laporan Keuangan Fiskal.
Kemudian baru menetukan tarif PPh Badan, PPh badan terutang dan Kredit Pajak,
serta PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar.
Download