BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera thoraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita meninggal setelah sampai ke rumah sakit, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thoraks dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thoraks yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thoraks.1 Trauma thoraks kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama terjadi akibat tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk.2 Trauma thoraks yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan nafas, hemotoraks luas, tamponade jantung, tension pneumothoraks, dada gail (flail chest), pneumotoraks terbuka dan kebocoran udara trakea-bronkus.Semua kelainan ini nmenyebabkan gawat dada atau thoraks akut sehingga diagnosis harus ditegakkan secara cepat dan penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru, dan pendarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan operasi, seperti membebaskan jalan nafas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga perikard, dan menutup sementara luka dada. Akan tetapi, kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus dada harus segera ditutup dengan jahitan yang kedap udara.2 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).3,4 2.2 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, cedera thoraks berjumlah kira-kira 25 % dari semua trauma penyebab kematian. Secara keseluruhan, angka mortalitas untuk orangorang dengan cedera thoraks sekitar 10%. Banyak kematian tersebut seharusnya dapat dicegah dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat. Diantara pasienpasien yang ditransfer ke ruang operasi dalam 24 jam pertama, insiden dari trauma tumpul dada dilaporkan telah meningkat sebesar 62,5%. Pada penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma, 96,3% mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan mekanisme penetrasi. Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri (10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Insidensi cedera dada sebesar 46%. Untuk pasien dengan cedera dada, angka mortalitas sebesar 15,7%, untuk yang tanpa cedera dada sebesar 12,8%.3,4 2.3 ETIOLOGI Penyebab trauma thorax ada 2 yaitu :1,2 a. Trauma tembus - Luka Tembak - Luka Tikam / tusuk 2 b. Trauma tumpul -Kecelakaan kendaraan bermotor - Jatuh - Pukulan pada dada 2.4 PATOFISIOLOGI Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah terkena tumbukan/ benturan. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan rangsangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis.3,4 Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).1 3 2.5 KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX A. Trauma dinding thorax dan paru 1. Tension Pneumothorax Tension pneumorothoraxberkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-wayvalve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.1 Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).1 Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan secara klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothoraxakan dapat membedakannya.1 4 Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanganan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting susu) di anterior dari garis midaxilaris.1 Gambar 2.4 Pneumothorax 2. Pneumothorax Terbuka ( Sucking Chest Wound ) Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.1 Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek 5 flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka. Penjahitan luka primer seringkali diperlukan.1 Gambar 2.3 Pneumothorax Terbuka 6 3. Flail Chest Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.1,3 Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.1 Terapi awal diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan/ kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.1 Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua pasien membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan 7 hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.1 Gambar 2.2 Perbedaan Inspirasi dan Ekspirasi Normal dengan Flail Chest 4. Kontusio Paru Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang.1.3 Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.1 8 Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.1 5. Pneumothoraks Sederhana Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.1 Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.1 Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.1 Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita harus didekompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.1 9 6. Hemothorax Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.1 Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.1 7. Hemothorax Masif Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.1 10 Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.1 Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi.Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.1 Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.1 8. Cedera Trakeobronkial Cedera terhadap trakea dan bronkus merupakan perlukaan yang luar biasa dan mempunyai potensi yang seringkali sudah terlihat pada saat penilaian awal. Perlukaan ini sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari 11 karina. Kebanyakan penderita meninggal di tempat kejadian. Bila penderita sudah sampai di rumah sakit, resiko kematian meningkat disebabkan karena cedera lain yang menyertai. Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan konsultasi segera.1 Pada penderita dengan perlukaan trakeobronkial sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutan dan tension pneumothorax dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneumothorax dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeobronkial. Sering dibutuhkan lebih dari satu selang dada pada kebocoran yang besar. Diagnosis perlukaan ini dilakukan dengan cara bronkoskopi. Intubasi pada cabang bronkus utama kontralateral dibutuhkan sementara waktu untuk mencukupi kebutuhan oksigenasi.1 Intubasi seringkali mengalami kesulitan karena adanya distorsi anatomi akibat hematom paratrakeal, akibat cedera orofaringeal yang menyertai atau cedera terhadap trakeobronkial itu sendiri. Untuk penderita seperti ini diperlukan intervensi operasi segera. Untuk penderita yang stabil, terapi operasi dari perlukaan trakeobronkial dapat ditunda sampai reaksi radang akut dan edema diserap.1 B. Trauma Jantung dan Aorta 1. Tamponade Jantung Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.1 Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan 12 arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.1 Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.1 Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 5 sampai 10 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.1 Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau 13 torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.1 Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subskifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.Karena luka jantung mungkin menutup sendiri, perikardiosentesis akan memperbaiki gejala untuk sementara. Namun semua penderita dengan perikardiosentesis yang positif akan memerlukan torakotomi, atau median sternotomi, utnuk pemeriksaan dan perbaikan cedera jantungnya. Perikardiosentesis mungkin negatif karena darah dalam rongga perikardium beku. Persiapan untuk merujuk pasien ini harus dilakukan. Perikardiotomi melalui suatu operasi torakotomi dapat menyelamatkan nyawa, namun hanya dapat dikerjakan oleh ahli bedah yang berpengalaman.1 Gambar 2.5 Tamponade Jantung 14 2. Trauma Tumpul Jantung Cedera tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.1 Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut.1 Pemeriksaan troponin tidak dilakukan pada kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia akan menurun secara bermakna.1 3. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption) Ruptur aorta traumatik sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi.1 15 Penderita dengan ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera. Walaupun ada darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulang akan ditemukan sedangkan perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila ruptur aorta berupa transeksi aorta, maka perdarahan yang terjadi masuk ke dalam rongga pleura dan menyebabkan hipotensi biasanya berakibat fatal dan penderita harus dilakukan operasi dalam hitungan menit.1 Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorax, terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan kriteria indikasi agresif untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3%.1 Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta. Terapi yang dilakukan dapat berupa penjahitan primer aorta atau reseksi dan dipasang graft. 1 4. Cedera Diafragma Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada sisi kiri, karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinkan terdiagnosisnya ataupun terjadinya rupture diafragma kanan. Sementara itu adanya usus, gaster, atau selang diagnostic mempermudah mendeteksi pada hemotorax kiri. Cedera tumpul menghasilkan robekan besar yang menyebabkan timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan cedera tajam 16 menghasilkan perforasi kecil yang sering membutuhkan waktu tahunan untuk berkembang menjadi hernia diafragmatika.1 Diagnosis ruptur diafragma sering terlewatkan bila salah menginterpretasikan foto toraks sebagai elevasi diafragma, dilatasi gaster akut, pneumohemothorax lokal atau hematom subpulmonal. Jika curiga laserasi pada diafragma kiri perlu dipasang nasogastric tube (NGT), bila selang NGT tampak pada rongga thorax, maka tidak perlu dilakukan rontgen dengan kontras. Kadang diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan foto rontgen walaupun telah dipasang selang NGT, pada keadaan ini pemeriksaan gastrointestinal bagian atas dengan kontras dilakukan dengan hati-hati bila diagnosis masih ragu-ragu. Bila cairan peritoneum ditemukan pada selang NGT, tindakan minimal invasive endoskopi (torakoskopi) dapat membantu mengevaluasi diafragma pada kasus yang diagnosisnya sulit ditegakkan.1 Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosa pada awal periode setelah trauma. Hepar sering mencegah terjadinya herniasi organ abdominal lain masuk ke rongga thorax. Ruptur diafragma sering ditemukan secara kebetulan, karena operasi untuk cedera abdominal lain. Terapinya adalah penjahitan langsung.1 C. Manifestasi Cedera Thorax Lain 1. Emfisema Subkutis Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi tekanan positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembangnya tension pneumothorax.1 2. Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia) Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang 17 meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta. 3. Fraktur Iga, Sternum dan Skapula Iga merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma. Perlukaan yang terjadi pada iga sering bermakna. Terfiksirnya iga yang fraktur akibat nyeri dapat menyebabkan gangguan ventilasi, oksigenasi dan reflek batuk. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna bila sudah ada penyakit paru-paru sebelumnya.1 Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung. Kontusio paru dapat menyertai fraktur sternum. Cedera tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Terapi operasi kadang diindikasikan untuk fraktur sternum atau skapula. Dislokasi sternoklavikula jarang menyebabkan bergesernya kaput klavikula ke arah mediastinum dengan mengakibatkan obstruksi dari vena cava superior.1 Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah (iga ke-4 sampai ke-9). Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga akan lebih melengkung lagi ke arah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti pneumothorax. Fraktur tulang iga terbawah ( iga 10 sampai 12) harus curiga adanya cedera hepar atau lien.1 Fraktur tulang iga mungkin tunggal atau multipel. Jika multipel, bentuk dan gerak thoraks mungkin masih memadai atau mungkin tidak (contoh : thoraks gail dengan pernapasan paradoksal). Diagnosis fraktur iga ditentukan berdasarkan gejala dan tanda nyeri lokal. Nyerinya berupa nyeri lokal dan nyeri kompresi kirikanan atau depan-belakang, dan nyeri pada gerak nafas. Jika terjadi fraktur iga multipel, biasanya dinding thoraks tetap stabil. Akan tetapi, jika beberapa iga mengalami fraktur beberapa tempat, suatu segmen dinding dada terlepas dari 18 kesatuannya. Fraktur iga tunggal atau majemuk dengan gerak dada yang masih memadai dan teratur ditangani dengan pemberian analgetik/ anestetik.2 Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanya deformitas harus curiga fraktur iga. Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.1 4. Cedera Tumpul Esofagus Cedera esofagus lebih sering disebabkan oleh karena cedera tembus. Cedera tumpul esofagus walaupun jarang terjadi tetapi mematikan bila tidak teridentifikasi. Cedera tumpul esofagus disebabkan oleh gaya kompresi dari isi gaster yang masuk ke dalam esofagus akibat cedera berat pada abdomen bagian atas. Gaya tersebut menyebabkan robekan linear pada esofagus bagian bawah dan mengakibatkan kebocoran cairan gaster ke dalam mediastinum.Akibat selanjutnya akan terjadi mediastinitis, yang cepat atau lambat akan pecah ke dalam rongga pleura yang kemudian akan menyebabkan tejadinya empyema. Cedera esofagus dapat disebabkan oleh kesalahan pemasangan instrumentasi (contoh : selang nasogaster, endoskopi dll).1 Gambaran klinis pada ruptur esofagus adalah muntah-muntah. Cedera esofagus harus dipertimbangkan pada penderita-penderita (1) yang mempunyai pneumothorax kiri atau hemothorax tanpa adanya fraktur iga, (2) penderita yang mengalami cedera langsung yang berat terhadap sternum bagian bawah atau epigastrium dan nyeri atau syok yang tidak proporsional terhadap cedera yang dialami, atau (3) didapatkan sisa makanan pada selang dada setelah darah keluar. Adanya udara mediastinum juga membantu diagnosis yang kemudian dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan memakai kontras atau sofagoskopi.1 Terapi yang dilakukan adalah drainase yang luas dari rongga pleura dan mediastinum dengan penjahitan langsung terhadap luka yang terjadi melalui 19 torakotomi jika hal ini memungkinkan. Operasi yang dilakukan dalam beberapa jam setelah cedera akan memberikan prognosis yang lebih baik.1 2.6 INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN 1. Pengelolaan penderita terdiri dari : A. Primary Survey Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.1 a. Airway Menjaga patensi airway dan ventilasi dengan melihat gerakan nafas pada hidung, mulut dan dada, mendengarkan suara nafasnya dan merasakan hawa nafas (look, listen, and feel), serta menginspeksi daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular. Serta reposisi kepala dan pasang cervical collar.1,4 Bila ada sumbatan airway atas (stridor), perubahan kualitas suara (bila masih bias bicara) dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sternoclavicular maka perlu dilakukan patensi jalan nafas dengan pemasangan endotracheal tube (ETT).1 b. Breathing Dada dan leher penderita harus terbuka selama menilai breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi, dan auskultasi.1 Gejala yang penting pada cedera thorax adalah hipoksia, termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pola pernafasan, terutama pernafasan yang lambat dan memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut, namun bila tidak ditemukan sianosis bukan berarti oksigenisasi jaringan adekuat. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu serta tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraksmasif , flail chest.1 20 c. Circulation Menilai kualitas, frekuensi dan keteraturan nadi. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi a.radialis dan a. dorsalis pedis tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperature. Vena leher harus dinilai adakah distensi atau tidak, ingat pada penderita hipovolemia, distensi vena leher tidak tampak walaupun ada tamponade jantung, tension pneumothoraks atau cedera diafragma.1 Monitoring jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita. Penderita yang dicurigai cedera thoraks terutama pada daerah sternum atau cedera deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya cedera miokard apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan mempermudah terjadinya. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia yang kerap terjadi, mungkin membutuhkan terapi dengan bolus lidokain segera (1mg/kgBB) dilanjutkan dengan drip lidokain (2-4 mg/menit).1 Managemennya berupa resusitasi cairan dengan memasang IV line, thorakotomi emergency bila diperlukanserta operasi Eksplorasi Vaskular Emergency.4 B. Resusitasi Fungsi Vital C. Secondary Survey Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalam dan teliti. Foto thoraks dibuat jika kondisi penderita memungkinkan, serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring pulse oximeter dan elektrokardiogram. Foto thoraks harus dinilai pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya pelebaran mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran detail anatomis mediastinum. Pada fraktur iga multiple atau fraktur iga pertama dan/ atau iga kedua harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi pada thoraks dan jaringan lunak dibawahnya sangat berat.1 21 D. Perawatan Definitive 1. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya 2. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. 3. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum. 4. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma-trauma yang bersifat khusus. 22 BAB III KESIMPULAN Cedera thorax sering ditemukan pada penderita cedera multipel dan dapat mengancam nyawa. Penderita dengan cedera thorax biasanya dapat diterapi atau diperbaiki kondisi sementara dengan tindakan yang relative sederhana seperti intubasi, ventilasi, selang dada atau perikardiosintesis dengan jarum. Kemampuan untuk mengenal cedera ini dan kemampuan melakukan tindakan dapat menyelamatkan nyawa.1 23 DAFTAR PUSTAKA 1. Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Jakarta: Komisi Trauma IKABI. 2004 ; 112-125 2. Sjamsuhidajat R, Jong Win D. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2005 ; 404-419. 3. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: Flail Chest, Pulmonary Contusion, and Blast Injury. Crit Care Clin 20 : 71-81. 2004. 4. Gopinath N. Thoracic Trauma. IJTCVS 2004; 20: 144-148 24