BAB II THEORITICAL BACKGROUND A. Anatomi Pankreas Gambar 1. Anatomi pankreas (Mc Graw-Hill Companies. 2010) 1 Gambar 2. Sel-sel pankreas (Mc Graw-Hill Companies 2 Fisiologi Pankreas 1. Sistem Endokrin a. Pengertian Kelenjar endokrin atau kelenjar buntu adalah kelejar-kelenjar yang mengirimkan hasil sekresinya langsung ke dalam darah yang beredar dalam jaringan kelenjar tanpa melewati duktus atau saluran dan hasil sekresinya disebut hormon. Beberapa dari organ endokrin ada yang menghasilkan satu macam hormon-hormon tunggal disamping itu ada juga yang menghasilkan lebih dari satu macam hormon atau hormon ganda, misalnya kelenjar hipofisis sebagai pengatur kelenjar. b. Fungsi Kelenjar Endokrin 1) Menghasilkan hormon-hormon yang dialirkan ke dalam darah yang diperlukan oleh jaringan-jaringan dalam tubuh tertentu. 2) Mengontrol aktivitas kelenjar tubuh. 3) Merangsang aktivitas kelenjar tubuh. 4) Merangsang pertumbuhan jaringan. 5) Mengatur metabolisme, oksidasi, meningkatkan absorbsi glukosa pada usus halus. 6) Mempengaruhi metabolisme lemak, protein, hidrat arang, vitamin, mineral dan air (Syaifuddin, 2006). Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan. Strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah. Panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa dan dilukiskan sebagai terdiri atas 3 bagian: a. Kepala pankreas, yang paling lebar, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam lekukan duodenum, dan yang praktis melingkarinya. b. Badan pankreas, merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama. 3 c. Ekor pankreas, adalah bagian yang runcing di sebelah kiri dan yang sebenarnya menyentuh limpa. Jaringan pankreas terdiri atas labula daripada sel secretori yang tersusun mengitari saluran-saluran halus. Saluran-saluran ini mulai dari persambungan saluran-saluran kecil dari labula yang terletak di dalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari kiri ke kanan. Saluransaluran kecil itu menerima saluran dari labula lain dan kemudian bersatu untuk membentuk saluran utama, yaitu duktus wirsungi (Pearce. 2009). Pada pankreas terdapat dua saluran yang mengalirkan hasil sekresi pankreas ke dalam duodenum: a. Ductus Wirsung, yang bersatu dengan duktus choledukus, kemudian masuk ke dalam duodenum melalui sphincter oddi. b. Ductus Sartorini, yang mengalirkan getah pancreas dari bagian atas caput pancreas dan kemudian bermuara ke duodenum sedikit di atas muara ductus pancreaticus pada papilla duodeni minor Kelenjar Pankreas. Pankreas terdiri atas dua jenis jaringan, yakni a. Asini, yang mensekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum. b. Pulau langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya keluar namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung ke dalam darah (Wiyono. 2006). Pulau Langerhans Pankreas manusia mempunyai 1 sampai 2 juta pulau langerhans. Setiap pulau langerhans hanya berdiameter 0.3 milimeter dan tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-sel tersebut. Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta, yang dapat dibedakan dari ciri morfologik dan pewarnaannya. Sel beta, yang mencakup kira-kira 60 persen dari semua sel, terletak terutama di tengah dari setiap pulau dan mensekresikan insulin. Sel alfa yang 4 mencakup kira-kira 25 persen dari seluruh sel, mensekresikan glukagon. Dan sel delta yang merupakan 10 persen dari seluruh sel, mensekresikan somatostatin. Selain itu, paling sedikit terdapat satu jenis sel lain, yang disebut sel PP, yang terdapat dalam jumlah sedikit dalam pulau langerhans dan mensekresi hormon yang fungsinya masih diragukan yakni polipetida pankreas. Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormon oleh hormon lainnya. Contohnya, insulin menghambat sekresi glukagon, dan somatostatin menghambat sekresi hormon insulin dan glukagon. Fungsi insulin yaitu: a. Meningkatkan metabolisme glukosa di dalam otot dan menyimpan glikogen di dalam otot. b. Meningkatkan ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh hati. c. Insulin mempunyai berbagai efek yang dapat menyebabkan timbulnya penyimpanan lemak di dalam jaringan lemak. d. Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membrane sel ke dalam sel-sel lemak. e. Insulin menyebabkan timbulnya pengangkutan secara aktif sebagian besar asam amino ke dalam sel. f. Di dalam hati, insulin menekan kecepatan glukoneogenesis. Fungsi glukagon yaitu: a. Meningkatkan konsentrasi glukosa darah yang merupakan suatu efek yang jelas bertentangan dengan efek insulin. b. Pemecahan glikogen hati (glikogenesis). c. Meningkatkan proses glukogenesis di dalam hati. 5 Fungsi somatostatin yaitu: a. Menekan sekresi insulin dan glukagon. b. Manurunkan gerakan lambung, duodenum, dan kandung empedu. Mengurangi sekresi dan absorpsi dalam saluran cerna. (Harnawatiaj. 2008). B. Definisi, etiologi, epidemiologi 1. Definisi a. Diabetes melitus adalah penyakit sistemis, chronis, multifactorial yang disifatkan dengan hiperglikemia. Gejala-gejala yang timbul adalah akibat yang kurangnya sekresi insulin yang cukup tetapi tidak efektif (Baradero. 2009). b. Diabetes mellitus adalah kumpulan genjala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono,2002). c. Diabetes melitus suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak mampu melepaskan insulin secara cukup (Medicastore. 2009). d. Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) (Smeltzer C. 2002 : 1220). Klasifikasi DM, menurut Augusfairly (2009); a. Diabetes Mellitus Tipe I Gambaran klieniknya biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa dewasa. b. Diabetes Mellitus Tipe II Diabetes mellitus tipe II adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 tahun dengan catatan tinggi dari pada rata-rata orang dewasa. c. Diabetes Mellitus Tipe Lain 6 Ada beberapa diabetes mellitus tipe yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyekit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM. d. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes mellitus gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Jenis ini sangat penting diketahui, karena dampaknya pada janin kurang baik jika tidak ditangani dengan benar 2. Etiologi a. Diabetes Mellitus Tipe I 1) Faktor Genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi dan kecendrungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. 2) Fakror Imunologi Adanya respon autoimune yang merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen. 3) Faktor Lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimune yang menimbulkan destruksi sel Beta. b. Diabetes Mellitus Tipe II Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMT II) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMT II ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel 7 sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMT II terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan glikemia. Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentukbentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa. Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah: 1. Usia (meningkat pada usia di atas 65 tahun). 2. Obesitas. 3. Riwayat keluarga (Rusari. 2009). Gejala yang lazim terjadi pada diabetes mellitus pada tahap awal sering ditemukan: a. Poliuria (banyak kencing). Hal ini disebabkab oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai malampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing. b. Polidipsia (banyak minum). Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuria, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum 8 c. Poliphagia (banyak makan). Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai dalam pembuluh darah. d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur menjadi glukosa maka tubuh berusaha mendapat peleburan zat dari bagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang berada ditubuh termasuk yang ada dijaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus. e. Mata kabur. Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas pilopi (glukosasarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dan lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak (Augusfarly. 2009). Komplikasi Komplikasi diabetes Mellitus adalah sebagai berikut: 1. Makroangiopati mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi dan pembuluh darah otak. 2. Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik dan nefropati diabetik. 3. Neuropati diabetik. 4. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih. 5. Ulkus diabetikum. Pada penderita DM sering dijumpai adanya ulkus yang disebut dengan ulkus diabetikum. Ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit 9 DM dengan neuropati perifer. Ulkus terjadi karena arteri menyempit dan selain itu juga terdapat gula berlebih pada jaringan yang merupakan medium yang baik sekali bagi kuman, ulkus timbul pada daerah yang sering mendapat tekanan ataupun trauma pada daerah telapak kaki ulkus berbentuk bulat biasa berdiameter lebih dari 1 cm berisi massa jaringan tanduk lemak, pus, serta krusta di atas. Grade ulkus diabetikum yaitu: 1. Grade 0 : tidak ada luka. 2. Grade I : merasakan hanya sampai pada permukaan kulit. 3. Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang. 4. Grade III : terjadi abses. 5. Grade IV : gangren pada kaki, bagian distal. 6. Grade V : gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal (Wiyono. 2008). 3. Epidemiologi Berdasarkan Laporan WHO tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono. 2006). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia jumlahnya sangat luar biasa. Pada tahun 2000 jumlah penderita 8.400.000 jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa dan diperkirakan tahun 2030 jumlah penderita bisa mencapai 21.300.000 jiwa. Data jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat 10 pada tahun yang akan datang. Menurut data WHO Indonesia meliputi urutan ke 6 di negara sebagai jumlah terbanyak setelah Cina, India, Unisoviet, Jepang dan Brazil (Soegondo 2008) Data International Diabeted Federation yang memperkirakan penderita DM di Indonesia meningkat dari 7 juta pada 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2010 (Mirza. 2008). Dari data rekam medik Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin yang menderita penyakit diabetes mellitus terhitung mulai bulan Januari sampai Juli 2012 ditemukan 349 pasien, terdiri dari laki-laki 270 orang (209,91 %) dan perempuan 73 orang (21,28 %) dengan 6 orang yang dinyatakan meninggal dunia (Rekam Medis RSSI. 2012). 11 4. Narasi Pathofisiologi Ada faktor-faktor yang dikaitkan dengan diabetes. Diabetes type I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula infeksi virus yang menimbulkan destruksi sel beta. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik ke arah terjadinya diabetes type I. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. Resiko terjadinya diabetes type I meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki antigen HLA ini. Pada diabetes type I terdapat bukti adanya suatu respon autoimmun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolaholah sebagai jaringan asing. Autoimun terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen terdeteksi saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes type I. Pada kasus diabetes type I yang terjadi pada anak, seringkali infeksi flu atau batuk pilek yang berulang-ulang. Penyebabnya adalah infeksi oleh virus seperti mumps dan coxsackie. Hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus tertentu mengeluarkan toksin yang dapat merusak sel pankreas dan menimbulkan diabetes (Smeltzer, 2002). Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: 1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl. 2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah. 3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar 12 4. glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160-180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren (Ismail. 2008). Mekanisme yang tepat, yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes type II masih belum diketahui faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes type II seperti obesitas atau life style (sedetary lyfe) dan riwayat keluarga. Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes type II adalah mereka yang kelewat gemuk (obesitas) dengan gaya hidup sedetary life atau hidup santai. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resisten terhadap kerja insulin (insulin resistence), terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul di daerah sentral atau perut (central obesity). Dengan pengeluaran adipokinase dari lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah (hiperglikemia). Diabetes type II lebih banyak terkait dengan faktor riwayat keluarga atau keturunan. Apabila kedua orang tua atau salah satu 13 orang tua terkena diabetes, kemungkinan menderita diabetes lebih dari 50 persen pada anaknya (Tandara, 2008). Efek dari insulin yang kurang atau insulin yang tidak efektif; Kurangnya insulin baik relative atau absolute, akan mengakibatkan hyperglycemia dan terganggunya metabolisme lemak. Setelah makan jumlah insulin tidak cukup atau insulin tidak efektif, maka glucose tidak bisa ditarik dari peredaran darah dan glycogenesis (pembentukan glycogen dan glucose) akan terhambat. Karena sel-sel tidak memperoleh bahan bakar, maka hepar memproduksi glucose (melalui glycogenolysis atau gluconeogenesis) dan mengirim glucose ini ke dalam peredaran darah. Keadaan ini akan memperhebat hyperglicemia. Jaringan-jaringan lemak lemak, karena tidak bisa mengambil bahan bakar dari darah (tidak ada insulin), akan memetabolisme glycogen yang tersimpan dalam otot-otot dan jaringan-jaringan lemak. Transport asam amino ke dalam sel-sel otot-otot memerlukan insulin maka tanpa insulin sintesa dan uptake protein ke dalam sel-sel akan terganggu juga metabolisme triglycerides dan lemak dan glycerol ikut terganggu. Seharusnya yang terjadi adalah lypolisis (pemecahan triglycerides). Maka hepar akan meneruskan dan mengakibatkan pembentukan ketone bodies dari asam lemak. Perubahan-perubahan dalam metabolisme ini mengakibatkan glycosuria karena blood glucose sudah mencapai tingkat ”renalthreshold” yaitu 180 mg/dl pada ginjal yang normal. Dengan tingkat blood sugar (180 mg/dl), ginjal sudah tidak bisa mengreabsorbsi glukosa dari glomerular filtrate maka timbul glycosuria. Karena glukosa menarik air, maka osmotik diuresis akan terjadi yang mengakibatkan polyuria. Polyuria akan mengakibatkan hilangnya banyak air dan elektrolit lewat urine terutama sodium, chloride potossium dan phosphate. Hilangnya air dan sodium akan mengakibatkan sering merasa haus dan peningkatan intake air (polydipsia). Karena sel-sel tubuh juga mengalami kekurangan bahan bakar, maka pasien merasa sering lapar dan ada peningkatan intake makanan (polyphagia). Pada diabetes type I, lingkaran setan dengan hilangnya banyak glukosa lewat urine dan glukosa yang tidak dapat dipakai 14 (dalam darah) akan mengakibatkan banyak kalori yang hilang dan berat badan pasien menurun sekalipun dia banyak makan (Baradero. 2009). Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menebal. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung mangakibatkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk ini melalui pembuluh darah besar (makro) bisa merusak sel otak, jantung dan pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil (mikro) bisa merusak mata, ginjal, saraf dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi gnjal bsa mengakibatkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci darah (haemodialisa). Gangguan pada saraf bisa bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati) maka sebuah lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai dan kaki mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum) maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat membedakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama, sehingga sebagian tungkai harus diamputasi. 15 Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke (Soegondo. 2008). 16 SKEMA PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS, EDEMA PULMONAL, DAN GAGAL GINJAL Etiologi Genetik Transmisi Genetik Human Leukosit Antigen spesifik Memberi kode protein untuk mengatur respon sel T Reaksi autoimun akibat infeksi virus Coxsackie B4 Diturunkan secara autosomal dominan Usia Lansia Obesitas Peregangan sel tubuh Proses degeneratif Kurangnya jumlah tempat reseptor insulin Kelainan pengikatan insulin dengan reseptor Peregangan reseptor insulin - Penurunan fungsi pankreas - Penurunan respon reseptor insulin Kerja insulin terganggu Fungsi sel T terganggu Terjadi terus - menerus 17 Menyerang sel β pankreas Kegagalan sel β pankreas Hiperglikemia (Diabetes Melitus) Penurunan insulin Viskositas darah Terjadi gluconeogenesis Terjadi Lipolisis meningkat Protein tubuh berkurang Polipagia BB Trigliseride menumpuk di vaskular terjadi diuresis osmotik Gangguan produksi antibody terjadi atherosclerosis Poliuria Polidipsia system kekebalan tubuh menurun terjadi hipertensi Dehidrasi Trombosis beban jantung u/ memompakan darah Trombus ada kompensasi u/ meningkatkan cardiac output Terganggunya perfusi jaringan tekanan atrium kiri 18 Vascular cerebral Retina Hipoxia sel otak Retinopati Infark jaringan otak Kebutaan stroke iskemik Nefron proses filtrasi darah GFR < 125 ml/mnt terjadi terus-menerus terjadi terus- menerus hipertrofi atrium kiri tekanan pulmonal Edema pulmonal p nan kemampuan filtrasi akhirnya nefron rusak Gagal jantung Gagal ginjal 19 C. Collaborative Care Management 1. Diagnostik Test Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes melitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksa: a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl. b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl. c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam Post Prandial (PP) > 200 mg/dl) (Rusari. 2008). 2. Medication Berikut ini pembagian farmakologi untuk diabetes, yaitu: a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) 1) Golongan sulfonilurea, dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada penderita diabetes tipe I. Contohnya: glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpopamid. Obat ini menurunkan kadar gula dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektifitasnya. 2) Metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. 3) Akarbos, bekerja dengan cara menunda penyerapan glokusa di dalan usus. Obat hipoglikemik per oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika diet dan olah raga gagal menurunkan kadar gula darah secara adekuat. Jika obat hipoglikemik per oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan baik, meungkin perlu diberikan suntikan insulin (Medicastore. 2009) 20 b. Terapi Insulin Insulin disuntikan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di langan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri. Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda. 1) Insulin Kerja Cepat Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar, insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang mengalami beberapa kali suntikan setiap harinya dan suntikan 15-20 menit sebelum makan. 2) Insulin Kerja Sedang Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofon. Mulai bekerja dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama1826 jam. Insulin ini bisa disuntikan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dan dapat disuntikan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam. 3) Insulin Kerja Lama Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam (Medicastore. 2009) Type Sumber Quick-acting insulin: lispro Reguler Reguler (buffered) Intermediate-acting: NPH Lente Manusia Manusia Manusia Manusia Manusia Onset (jam) Segera O,5 0,5 1,5 2,5 Long_acting: ultralente Manusia 4 Combination Insulins: 70% NPH Manusia 30% reguler 0,5 Peak (jam) 1 2,5-5,0 1-3 4-12 7-15 Tidak ada Duration (jam) 3-4 6-8 6-8 24 28 Keruh 2-12 24 Keruh Apperance Jernih Jernih Jernih Keruh Keruh Tabel. 2.1. Jenis insulin (Baradero, 2009). 21 3. Surgery Pembedahan dapat dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dengan komplikasi seperti ganggren sehingga harus dilakukan amputasi (Augusfarly. 2009). 4. Treatment Penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan kronik. Penatalaksanaan diabetes mellitus tergantung pada ketepatan interaksi dari 3 faktor yaitu faktor aktivitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hipoglikemik oral dan insulin (Augusfarly. 2008). 5. Diet Diet pada penderita diabetes melitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain: Diet A : Diberikan pada semua penderita diabetes melitus pada umumnya, terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50%, lemak 30%, protein 20%. Diet B : Diberikan pada penderita diabetes terutama yang kurang tahan dengan dietnya, hyperkolestonemia, macroangiopati (misalnya CVA, penyakit jantung koroner), microangiopati (retinatopati diabetic, tapi belum ada netropati yang nyata), telah menderita diabetes dari 15 tahun, terdiri dari karbohidrat 68%, lemak 20%, protein 12%. Diet B1 : Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, terdiri dari karbohidrat 60%, lemak 20%, protein 20%.(Harnawatiaj. 2008) 22 6. Activity Aktivitas adalah suatu bagian penting dari medical management untuk setiap individu dengan DM. Kegiatan-kegiatan fisik mempunyai implikasi fisiologis dan psikologis yang penting. Gerak badan adalah sensitizer yang luar biasa untuk insulin dan dapat meningkatkan uptake ke dalam sel-sel otot skeletal (Baradero. 2009). 7. Health Education Perawat menjelaskan tentang hubungan antara proses penyakit, tanda dan gejala, dan komplikasi yang ditimbulkan. Perawat juga perlu menjelaskan pentingnya diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan diabetes melitus. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang diberikan. Sedangkan pendidikan tingkat lanjut yang perlu diberikan pada penderita DM tentang keterampilan bertahan hidup adalah: a. Menjaga kesehatan/kebersihan mulut dan kulit. Menjaga agar tempat pertemuan antara dua permukaan kulit (seperti lipatan paha, ketiak dan dibawah payudara) agar tetap bersih dan kering. b. Perawatan kaki yaitu agar kaki tetap bersih dan kering. Hindari stoking yang ketat, gunakan sepatu yang pas dan jangan keluar rumah tanpa alas kaki, hindarkan trauma dan luka. c. Periksa mata. d. Penanganan dalam mengendalikan tekanan darah,lemak dan kadar gula darah. (Smeltzer C. 2002). 23 TEORI PROSES PENUAAN (AGING PROCESS) A. Teori Penuaan Batasan-Batasan Lanjut Usia Meurut badan kesehatan dunia, lanjut usia meliputi: 1) Usia Pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. 2) Usia Lanjut (Elderly) antara 60 sampai 70 tahun. 3) Usia Lanjut Usia (Old) antara 75 sampai 90 tahun 4) Usia sangat Tua, diatas 90 tahun Gerontologi, studi ilmiah tentang efek penuaan dan penyakit yang berhubungan dengan penuaan pada manusia, meliputi aspek biologis, fisiologi, psikososial, dan aspek rohani dari penuaan. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem. Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan teori psikososial. Teori biologis 1. Genetika Tingkat perubahan 1. Gen Yang Diwariskan Dan Dampak Lingkungan 2. Dipakai dan rusak 2. Kerusakan Oleh Radikal Bebas (wear dan tear) 3. Lingkungan 3. Meningkatnya pajanan tehadap hal-hal yang berbahaya 4. Imunitas 4. Integritas sistem tubuh untuk melawan kembali 5. Neuroendokrin 5. Kelebihan atau kurangnya 24 produksi hormon Teori Psikologis Tingkat Proses 1. Kepribadian 1. Introvert lawan ekstrovert 2. Tugas Perkembangan 2. Maturasi sepanjang bentang kehiduipan 3. Disengagement (Pemutusan) 3. Antisipasi menarik diri 4. Aktivitas 4. Membantu mengembangkan usaha 5. Kontinuitas 5. Pengembangan individualitas 6. Ketidakseimbangan system 6. Kompensasi melalui pengorganisasian diri sendiri B. Perubahan Normal Pada Sistem Tubuh Akibat Penuaan 1. Perubahan Pada Sistem Sensori Akibat Penuaan a. Perubahan pada penglihatan 1) Penurunan kemampuan akomodasi. 2) Kontraksi pupil sepilis. 3) Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna jadi menguning. Implikasi klinisnya: 1) Kesukaran dalam membaca huruf-huruf yang kecil. 2) Penyempitan lapang pandang. 3) Penglihatan kabur, sensitivitas terhadap cahaya, penurunan penglihatan pada malam hari, kesukaran dengan persepsi kedalaman. b. Perubahan pada pendengaran Penurunan fungsional sensorineural secara lambat, implikasi klinisnya kehilangan pendengaran secara bertahap. c. Perubahan pada pengecapan 25 Jumlah total kuncup-kuncup perasa pada lidah mengalami penurunan bahkan kerusakan. Implikasi klinisnya, penurunan sesnsitivitas terhadap rasa manis, asam, asin, pahit. d. Penurunan sensasi penciuman 1) Penurunan sensasi penciuman 2) Nervous alfaktorius sangat kompleks tidak sepenuhnya dipahami dan diperkirakan mampu untuk melakukan regenerasi. Implikasi klinisnya, perbedaan respon terhadap bau. 2. Perubahan Pada Sistem Integumen Akibat Penuaan a. Waktu perbaikan sel epidermal lebih lambat b. Penurunan area kontak antara epidermis dan dermis c. Penipisan lapisan dermal d. Penurunan vaskularisasi e. Penurunan jumlah corpus meissner dan korpus pacini f. Penurunan jumlah dan kemampuan fungsional kelenjar keringat. Implikasi klinisnya: a. Kulit mudah rusak dan lecet b. Penyembuhan luka lebih lambat c. Penutupan dan penyembuhan luka buruk d. Termoregulasi berkurang, penurunan absorpsi agens topical e. Penurunan sensasi sentuhan dan tekanan dengan peningkatan resiko terhadap cedera f. Penurunan termoregulasi. 3. Perubahan Pada Sistem Muskuloskletal Akibat Penuaan a. Penurunan tinggi badan progresif yang disebabkan oleh penyempitan diskus intevertebrata b. Kekakuan rangka tulang dada pada keadaan mengembang c. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular d. Penurunan massa otot dengan kehilangan lemak subkutan. Imlikasi klinisnya: a. Postur tubuh bungkuk dengan penampilan barrel-chest 26 b. Peningkatan resiko jatuh c. Peningkatan rsiko fraktur d. Kontur tubuh yang tajam, pengkajian status hidrasi kulit, penurunan kekuatan otot. 4. Perubahan Pada Sistem Neurologis Akibat Penuaan a. Konduksi saraf perifer yang lebih lambat b. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron c. Termoregulasi oleh hipotalamus kurang aktif. Implikasi klinisnya: a. Refleks tendon dalam yang lebih lambat dan peningkatannya waktu reaksi b. Vasokontriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna c. Bahaya kehilangan panas tubuh. 5. Perubahan Pada Sistem Kardiovaskular Akibat Penuaan a. Ventrikel kiri menebal b. Katup jantung menebal c. Jumlah sel pacemaker menurun d. Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi e. Vena mengalami dilatasi, katup-katup menjadi tidak kompeten. Implikasi klinisnya: a. Penurunan kekuatan kontraktil b. Gangguan aliran darah melalui katup c. Umumnya mengalami disritmia d. Penumpukan baroreseptor e. Penumpulan respon terhadap panas dan dingin f. Edema ektremitas bawah dengan penumpukan darah. 6. Perubahan Pada Sistem Pulmonal Akibat Penuaan a. Paru-paru kecil dan kendur b. Hilangnya rekoil elastis c. Pembesaran alveoli d. Penurunan kapasitas vital, penurunan PaO2 residu 27 e. Pengerasan broncus dengan peningkatan resistensi f. Klasifikasi kartilago costa, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangan g. Hilangnya tonus otot thorax, kelemahan kenaikan dasar paru h. Kelenjar mukus kurang produktif i. Penurunan sensitivitas sfingter esofagus j. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi klinisnya: a. Penurunan daerah permukaan untuk difusi gas b. Penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume c. Dispnea pada saat aktivitas d. Emfisema sinilis, pernafasan abdominal, hilangnya suara paru pada bagian dasar e. Atelektasis, akumulasi cairan f. Sekresi kental sulit dikeluarkan g. Hilangnya sensasi haus, silia kurang aktif, aspirasi h. Tidak ada perubahan pada PaO2, kurang aktifnya paru-paru pada gangguan asam-basa. 7. Perubahan Pada Sistem Endokrin Akibat Penuaan a. Kadar glukosa darah meningkat b. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat c. Residu urine di dalam kandung kemih meningkat d. Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil e. Produksi T3 dan T4 sedikit menurun f. Waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi klinisnya: a. Glukosa darah puasa 140 mg/dl dianggap normal b. Kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dl dianggap normal c. Pemantauan glukosa urine tidak dapat diandalkan d. Serum T3 dan T4 tetap stabil. 8. Perubahan Pada Sistem Renal Dan Urinari Akibat Penuaan 28 a. Penebalan dasar membran b. Penurunan area permukaan glomerulus c. Penurunan panjang dan volume tubulus proximal d. Penurunan aliran darah vaskuler e. Penurunan massa otot yang tidak berlemak f. Peningkatan total lemak tubuh g. Penurunan cairan intrasel h. Penurunan sensasi haus i. Penurunan kemampuan untuk memekatkan urine j. Penurunan hormon yang penting untuk absorpsi kalsium dari saluran gastrointestinal k. Penurunan kapasitas kandung kemih l. Peningkatan volume residu m. Peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari n. Atrofi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi klinisnya: a. Filtrasi darah kurang efisien b. Penurunan total cairan tubuh c. Resiko dehidrasi d. Peningkatan resiko osteoporosis e. Peningkatan inkontinensia 9. Perubahan Pada Gastrointestinal System (Proses Menua) a. Rongga mulut 1) Hilangnya tulang periosteum dan peridontal 2) Retraksi dari struktur gusi 3) Hilangnya kuncup rasa. Implikasi klinisnya: 1) Tanggalnya gigi 2) Kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang pas 3) Perubahan sensasi rasa, peningkatan penggunaan garam. 29 b. Esofagus, lambung, usus 1) Dilatasi esofagus 2) Kehilangan tonus sfingter jantung 3) Penurunan refleks muntah 4) Atrofi mucus lambung 5) Penurunan motilitas lambung. Implikasi klinisnya: 1) Peningkatan resiko aspirasi 2) Perlambatan mencerna makanan 3) Penurunan absopsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, konstipasi sering terjadi. 10. Perubahan Pada Penuaan Sistem Reproduksi Wanita a. Perubahan yang terkait usia b. Penurunan esterogen yang bersirkulasi c. Penurunan androgen yang bersirkulasi. Implikasi klinisnya: a. Atropi jaringan payudara dan genital b. Penurunan massa tulang dengan resiko osteoporosis dan fraktur c. Peningkatan kecepatan aterosklerosis. (Stanley, et. al. 2007) 30 D. Nursing Management 1. Assessment a. Anamnese 1) Identitas Penderita Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Adanya rasa kesemutan pada kaki atau tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh-sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka. 3) Riwayat Kesehatan Sekarang Mengetahui penyakit yang dialami sekarang, termasuk dalam keluhan utama dari klien. 4) Riwayat Kesehatan Dahulu Adanya riwayat penyakit diabetes melitus atau penyakit-penyakit lainnya yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin, misalnya penyakit pankreas, adanya riwayat penyakit jantung, obesitas maupun aterosklerosis, tindakan medis yang pernah didapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita. 5) Riwayat Kesehatan Keluarga Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita diabetes melitus atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin, misalnya hipertensi, jantung. 6) Riwayat Psikososial Meliputi informasi mengenai perilaku perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita. 31 b. Pemeriksaan Fisik 1) Aktivitas dan Istirahat Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma. 2) Sirkulasi Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering dan merah, dan bola mata cekung. 3) Eliminasi Poliuri, nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat. 4) Nutrisi Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah. 5) Neurosensori Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma, dan bingung. 6) Nyeri Pembengkakan perut, meringis. 7) Respirasi Tachipnea, kusmaul, ronchi, wheezing, dan sesak nafas. 8) Keamanan Kulit rusak, lesi atau ulkus, menurunnya kekuatan umum. 9) Seksualitas Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun, dan terjadi impotent pada pria. (Harnawatiaj. 2008). 32 2. Nursing Diagnosis Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul klien diabetes melitus yaitu: a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik. b. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral. c. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia. d. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit. e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik. f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain. g. Kurang pengetahuan tentang penyakit, pragnosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan mengingat kesalahan interpretasi informasi. h. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan metabolik (neuropati perifer). 3. Expected Patient Outcomes a. Mempertahankan hidrasi adequat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat teraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal. b. Mencerna jumlah kalori atau nutrient yang tepat, menunjukan tingkat energi biasanya, berat badan stabil atau bertambah. c. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi. Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi. 33 d. Mempertahankan tingkat kesadaran atau orientasi. Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori. e. Mengungkapkan peningkatan tingkat energi. Menunjukan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan. f. Mengakui perasaan putus asa, mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan. g. Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, mengidentifikasi hubungan tanda atau gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab, dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan. h. Gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. 4. Nursing Intervensi a. Diagnosa 1 1) Pantau tanda-tanda vital. Rasional : Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. 2) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa. Rasional : Merupakan indicator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adequat. 3) Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine. Rasional : Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal dan keefektifan dari terapi yang diberikan. 4) Timbang berat badan tiap hari. Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti. 34 5) Berikan terapi cairan sesuai indikasi. Rasional : Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual. b. Diagnosa 2 1) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien. Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik. 2) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi. Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adequat (termasuk absorpsi dan utilisasinya) 3) Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik atau kultural. Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukan dalam perencanaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang. 4) Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makanan sesuai indikasi. Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya: memberikan informasi pada keluarga untuk memenuhi nutrisi pasien. 5) Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi. Rasional : Insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel. c. Diagnosa 3 1) Observasi tanda-tanda peradangan. Rasional : Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nasokomial. 35 2) Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri. Rasional : Mencegah timbulnya infeksi silang. 3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif. Rasional : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman. 4) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh. Rasional : Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit atau iritasi kulit dan infeksi. 5) Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam. Rasional : Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi secret. d. Diagnosa 4 1) Pantau tanda-tanda vital dan status mental. Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal. 2) Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya. Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas. 3) Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya. Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya. 4) Selidiki adanya parestesia, nyeri, atau kehilangan sensori pada paha atau kaki. Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan atau 36 distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan. e. Diagnosa 5 1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah. 2) Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup. Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan. 3) Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum atau sesudah melakukan aktifitas. Rasional : Mengindikasikan tingkat aktifitas tang dapat ditoleransi secara fisiologis. 4) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukab aktifitas sehari-hari sesuai toleransi. Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri yang positif sesuai tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi. f. Diagnosa 6 1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan. Rasional : Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah. 2) Tentukan tujuan atau harapan dari pasien atau keluarga. Rasional : Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi, kehilangan control diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping. 3) Berikan dukungan kepada pasien untuk ikut peran serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya. 37 Rasional: Meningkatkan perasaan control terhadap situasi. g. Diagnosa 7 1) Ciptakan lingkungan saling percaya. Rasional : Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar. 2) Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya. Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup. 3) Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat. Rasional : Diskusikan tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan dan mentaati program. 4) Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien atau orang terdekat. Rasional : Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih dekat. h. Diagnosa 8 1) Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema. Rasional: Mengetahui tingkat perfusi oksigen ke jaringan. 2) Kaji tanda vital. Rasional: Terjadinya peningkatan pada tanda – tanda vital, berfungsi mengetahui terjadinya hipotensi. 3) Kaji adanya nyeri. Rasional: Nyeri berakibat pada peningkatan tanda – tanda vital. 4) Lakukan perawatan luka. Rasional: Mencegah kerusakan luka yang lebih lanjut. 5) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. Rasional: Berguna dalam perawatan luka dan mencegah terjadinya infeksi yang lebih lanjut. 38 5. Evaluasi a. Klien dapat mempertahankan hidrasi adequat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat teraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, saluran urine tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam kadar normal. b. Klien dapat mempertahankan berat badan yang stabil, makan makanan yang sesuai kalori yang dibutuhkan, menunjukan tingkat energi biasanya. c. Klien dapat mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup yang mencegah terjadinya infeksi. d. Klien mampu mempertahankan tingkat kesadaran orientasi. e. Klien mengungkapkan peningkatan energi, dan mampu berpartisipasi dalam aktifitas yang diinginkan. f. Klien paham tentang penyakit, menghubungkan tanda dan gejala dengan proses penyakit, faktor penyebab, melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan rasional tindakan. g. Gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan: 1) Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan. 2) Tidak ada terinfeksi. (Harnawatiaj. 2008). 39 40 41