TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM ERA GLOBALISASI: KAJIAN TEORETIK Zen Istiarsono FKIP Universitas Kutai Kartanegara Abstract: Education, especially teaching and learning process in formal education has a job and responsibility to prepare human resources who have abilities to face world chalanging at present and in the future. Education that is carried out should be able to prepare students at least, five competences in globalization era, among others: (1) intelectual competency, (2) personal competency, (3) communicative competency, (4) socio-cultural competency, and (5) vocational competency. Key Words: globalization, education chalanging PENDAHULUAN Salah satu persoalan nasional dalam menghadapi masa depan bersama adalah peningkatan kemampuan pembangunan (development capability). Peningkatan ini paling utama terletak pada kemampuan sumber daya manusia sebagai subyek sekaligus obyek dari pembangunan itu dengan dilandasi penanaman sikap dasar yang benar terhadap usaha pembangunan itu sendiri (Buchori, 1994: 13). Sikap dasar yang benar dan bijaksana itu akan mampu melahirkan tindakan membangun yang sebenarnya (genuine development act) yang membawa kepada kesejahteraan masyarakat luas, tidak hanya sekedar tindakan membangun semu yang hanya mengejar target semata-mata. Terkait dengan persoalan tersebut di atas, program-program pendidikan sebagai pencetak pelaku pembangunan harus senantiasa berorientasi ke masa depan, mengembangkan wawasan serta sikap yang futuristic sekaligus antisipatoris. Dengan itu pendidikan akan mampu melahirkan generasi yang dewasa, peka serta peduli terhadap problematika yang akan muncul di masa depan. Di sisi lain pendidikan demikian akan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang berakselerasi dengan sangat cepat yang pada gilirannya akan dapat mengubah cara dan gaya hidup manusia. Socrates seorang filsuf besar mengatakan, setiap manusia pada dasarnya telah mempunyai pengetahuan dan yang perlu dilakukan adalah bagaimana menggali pengetahuan yang sudah ada itu. Socrates memandang orang lain bukan sebagai “bejana kosong”, melainkan subjek yang berpengetahuan (Marcel J. Mandagi, 1999). Dalam bahasa Paulo Freire, murid bukanlah “bank”, yang berfungsi menyimpan tabungan pengetahuan dan hafalan gurunya. Seorang siswa hendaknya mampu menyingkap realitas secara terus menerus, berfikir kritis terhadap realitas, mencari pengetahuan sendiri dan menemukan dirinya sendiri (Paulo Freire, 2000: 63-66). 19 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 Para pelaku dan pemikir pendidikan sudah sejak lama membicarakan peningkatan mutu pendidikan karena akan sangat berpengaruh terhadap mutu anak didik (Djiwandono, 2001: 27). Diskusi tentang kualitas pendidikan tidak saja menarik para praktisi pendidikan tetapi juga para pemerhati pendidikan. Mereka membahas sejak dari paradigma yang dipakai menyusun konsepsi peningkatan pendidikan, upaya-upaya membangun mutu proses penyelenggara pendidikan, sampai dengan takaran mutu pendidikan. Di lembaga pendidikan formal (sekolah) paling tidak ada empat hal pokok yang perlu mendapat perhatian berkait dengan peningkatan mutu pendidikan. Keempat hal tersebut adalah: (1) pengenalan secara jelas visi, misi dan tujuan pendidikan, (2) jabaran upaya peningkatan mutu pendidikan, (3) sumber daya pendukung (komponen penyelenggara sekolah), dan (4) cakupan keterlibatan faktor eksternal (Abbas, 1998). Keempat hal ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain, dan harus bergerak secara simultan dan bersama-sama. PEMBAHASAN 1. Globalisasi dan Perubahan Peradaban Arus globalisasi pada abad ini semakin memperlihatkan geliatnya, yang sangat berpengaruh disemua sektor kehidupan. Hal ini terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Semuanya ikut berpartisipasi dalam menghadapi era keterbukaan ini. Globalisasi merupakan tanda sebuah perubahan besar kehidupan umat manusia di mana masyarakatnya merupakan masyarakat transisi. Bagi negara kita hal tersebut secara nyata menunjukkan perubahan dari masyarakat yang berdasarkan pola kehidupan agraris menuju suatu masyarakat industri dan informasi dengan pola-pola kehidupan yang berbeda. Berbagai analisis mengindentifikasi kekuatan global tersebut bertumpu pada empat hal, yaitu (1) kemajuan IPTEK terutama dalam bidang informasi serta inovasiinovasi baru dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, (2) perdagangan bebas yang ditunjang oleh IPTEK, (3) kerjasama regional dan internasional antar bangsa tanpa mengenal batas negara, dan (4) meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bersama sekaligus meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi (Tilaar, 1998: 41). Empat kekuatan global tersebut di atas mengakibatkan suatu revolusi pemikiran dalam ikatan negara-negara maupun dalam ikatan budaya yang membutuhkan strategi budaya yang berwawasan ke depan. Pembangunan suatu bangsa, terlebih negara berkembang sangat membutuhkan pemikiran dan pengkajian sekaligus perencanaan yang matang karena globalisasi mengakibatkan banyak perubahan yang datangnya tiba-tiba dan bertubi-tubi. Pengkajian masa depan yang memperhitungkan kekuatan-kekuatan global dilakukan secara mendalam agar visi suatu bangsa yang telah terangkum dalam ideologi suatu bangsa lebih dapat berjalan serasi dengan memperkecil kemungkinan-kemungkinan terburuk akibat globalisasi. Visi masa depan sangat mempengaruhi cara berpikir, tingkah laku, perumusan pembangunan masyarakat dan pengembangan nasional agar dapat sejalan dengan kekuatan global yang tidak mungkin untuk dihindari. 20 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 Sikap yang paling bijaksana menghadapi globalisasi adalah mempersiapkan diri sebaiknya sehingga dapt memanfaatkan peluang yang terbuka di dalamnya. Dalam persiapan itulah sektor pendidikan sangat penting untuk mencetak produk sumber daya manusia Indonesia yang dapat menghadapi arus perubahan zaman. Drucket dan Stewart (dalam Saryono, 2002) mencatat bahwa pada masa ini dan lebih-lebih pada masa depan, keberadaan, kedudukan, perana pengetahuan menjadi hal yang strategis dan utama. Masa depan ditentukan oleh pengetahuan sehingga dunia bergabung dan berpijak kepada pengetahuan. Pengetahuan menjadi modal paling berharga dan paling dibutuhkan. Tanpa modal pengetahuan orang (bahkan bangsa dan negara) akan dipinggirkan dan ditinggalkan, sebaliknya dengan modal pengetahuan yang baik orang, bangsa dan negara dapat menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dan modal pengetahuan yang dibutuhkan dan yang cocok pada masa depan dapat diketahui dengan melihat kecenderungan-kecenderungan perubahan pengetahuan yang mengarah ke masa depan. Dalam konteks pentingny pengetahuan pada era sekarang dan yang akan datang ditndai oleh 13 kecenderungan yang dapat mempengaruhi dan membentuk masa depan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah : (a) berkembangnya komunikasi, (b) timbulnya dunia tanpa batas-batas ekonomi, (c) terjadinya lompatan besar menuju ekonomi dunia tunggal (menyatu), (d) berkembangnya perdagangan dan pembelajaran melalui internet, (e) berkembangnya masyarakat layanan baru, (f) terjadinya penyatuan antara yang besar (global) dengan yang kecil (lokal), (g) makin kuatnya era baru kesenangan dan kegembiraan, (h) terjadinya perubahan bentuk kerjasama mendasar, (i) makin banyaknya penemuan baru yang mengagumkan, (j) menguatnya nasionalisme budaya, (k) terjadinya ledakan paraktik mandiri, (l) berkembangnya perubahan kooperatif, dan (m) bangkitnya kekuatan dan tanggung jawab individu (kemenangan individu). Kecenderungan ini ditambah dengan kecenderungan pudarnya kecerdasan kognitif (IQ) pada satu pihak dan pihak lain muncul kesadaran pentingnya kesadaran emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan majemuk (MI). Arus globalisasi akan membawa bangsa kita yang merupakan bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia ke dalam sistem-sistem dunia yang lebih besar dan tidak terbatas. Kita dituntut mengikuti berbagai jaringan sistem budaya, sistem ekonomi, sistem pasar, sistem komunikasi dan sistem pengetahuan. 2. Problema Pendidikan Saat ini dunia pendidikan kita banyak sekali mendapatkan kritik berkaitan dengan sistem pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Salah satu kritik yang sangat tajam adalah bahwa proses belajar mengajar yang berlangsung di dunia pendidikan formal sekarang ini lebih banyak hanya sekedar mengejar target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan. Sehingga dalam prakteknya, peserta didik dipaksa mampu menerima semua informasi yang diberikan, tanpa diberikan peluang sedikitpun untuk melakukan perenungan aataupun refleksi secara kritis. Dan celakanya, materi yang disampaikan berupa konsepsi-konsepsi pengetahuan, aturan-aturan dan keterampilan yang sudah serba given (Malik Fadjar, 1996). Paulo Freire menyebut praktek ini dengan istilah konsep pendidikan “gaya bank”, 21 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 dan ia mengkritiknya sebagai praktek pendidikan yang menjauhkan dari misi ke arah pembebasan dan pemberdayaan. Menurutnya, dengan model pendidikan gaya ini, pengetahuan, nilai dan keterampilan dianggap sebagai anugerah yang dihibahkan oleh pendidik yang berperan sebagai orang yang mempunyai kelebihan kepada seorang murid yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Jadi pendidikan tidak lebih dari kegiatan menabung, di mana murid sebagai tempat menabung (bank) dan guru sebagai penabungnya. Dalam proses pendidikan gaya ini tidak ada dialog, yang ada guru memberikan pelajaran, peserta didik menerima, mengulang, menghafal dan mengikuti semua petunjuk guru (Paulo Freire, 2000). Secara umum, gambaran konsep pendidikan gaya bank ini menurut Freire adalah sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid diajar, (2) guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa, (3) guru berfikir, murid difikirkan, (4) guru bercerita, murid patuh mendengarkan, (5) guru menentukan peraturan, murid diatur, (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, (7) guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, (8) guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapat/persetujuannya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, (9) Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid, dan (10) guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka (Freire, 2000). Jika dalam institusi pendidikan telah terjadi pelembagaan dalam semua hal demikian ketatnya dan peserta didik hanya memiliki peranan sebagai obyek, hal ini akan memunculkan kenyataan sosial yang akan memperlihatkan kenyataan pendidikan yang sedang berlangsung di negeri kita. Karena melalui pendidikan kita dapat melihat keadaan masyarakat, sebaliknya juga melalui masyarakat kita dapat mengetahui keadaan pendidikan. Hal ini selaras dengan pernyataan Emile Durkheim bahwa pendidikan merupakan produk masyarakat. Begitu juga Ivan Illich mengatakan hal yang sama bahwa realitas sosial dibentuk oleh pendidikan formal (Malik Fadjar, 1996). Dan menurut Freire praktek pendidikan di atas akan menyebabkan peserta didik menjadi manusia yang tertindas, senantiasa takut dan menjauhi komunikasi dengan masyarakatnya (Freire, 2000). Dengan kondisi pendidikan formal kita yang seperti ini, sepertinya kita harus mengkaji ulang kurikulum-kurikulum yang pernah maupun yang sedang berjalan saat ini dan perlu disiapkan guru-guru yang berdedikasi dan memilki kemempuan yang cukup memadai sesuai dengan bidang masing-masing. Hal ini untuk mengantisipasi era globalisasi yang terus berjalan, sehingga dari pendidikan formal kita dapat menghasilkan sumber daya manusia yang siap pakai dan mampu bersaing di era globalisasi ini. PENUTUP Berkaitan dengan penjelasan-penjelasqan di atas bila dihubungkan dengan dunia pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada era globalisasi ini yakni: pertama, dunia kehidupan sudah sangat terbuka dan membentuk jaringan kerja sedemikian kompleks dalam sistem dunia. Hal ini harus diantisipasi dengan upaya mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang berkompetisi, berkooperasi serta bersinergi. 22 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 Atau dengan kata lain mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang mampu menghadapi persaingan dan juga mampu bersanding dengan perubahan. Kedua, mutu kompetensi yang berisi pengetahuan, kecakapan hidup, dan nilai. Tanpa kompetensi tertentu yang mencukupi untuk menghadapi era globalisasi atau kehidupan global seseorang atau suatu negara akan ditinggalkan oleh orang lain atau negara lain. Karena perubahan-perubahan yang terjadi tidak mengenal belas kasihan dan terus bergerak tanpa mengenal ampun. Karena itu jalan satu-satunya adalah mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki bekal kompetensi yang memadai mulai sekarang. Ketiga, kompetensi holistik, utuh, dan general (lintas disiplin) diperlukan dan diutamakan untuk sukses atau berhasil berperan dalam kehidupan global. Kompetensi fragmentatif (terpisah-pisah) dan spesialisasi sudah tidak mampu atau memadai untuk menghadapi kemajuan zaman yang telah terjadi. Karena itu mutlak perlu dipersiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi yang utuh dan senantiasa siap diperbaharui kompetensi. Keempat, sebagai konsekuensi logis Sumber Daya Manusia yang senantiasa siap memperbaharui kompetensintya, perlu ditanamkan belajar berkelanjutan, terus menerus sepanjang hayat. Harus dilahirkan sebuah generasi yang siap menjadi manusia pembelajar agar kompetensi yang dimiliki tetap mutakhir, cocok, aktual dan fungsional dengan tuntutan zaman. Kelima, dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang peka terhadap perubahan dan mandiri. Kehidupan masa depan tidak lagi semata-mata bergantung pada peran negara, lembaga, atau institusi. Negara, lembaga, atau institusi justru sangan membutuhkan peran independen, kemandirian dan kekritisan. Pendidikan terutama pembelajaran di lembaga formal memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat yaitu mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang mampu menghadapi tantangan perubahan zaman yang tengah berlangsung dan yang akan terus berkembang maju. Pendidikan yang tengah berlangsung harus mampu mempersiapkan siswa minimal lima kompetensi yang dibutuhkan di era globalisasi ini, yaitu: (1) kompetensi intelektual, (2) kompetensi personal, (3) kompetensi komunikatif, (4) kompetensi sosial budaya, dan (5) kompetensi kinestesis vokasional. Kompetensi intelektual berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif (meneliti dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis. Kompetensi ini pada dasarnya menitik beratkan perhatian pada kemampuan penguasaan kognitif dan analisis, dan sekaligus penanaman tradisi intelektual dan rasional. Termasuk juga siswa-siswi diarahkan menjadi masyarakat pembaca (reading society) dan menjadi masyarakat penulis (writing society) sebagai syarat mutlak membentuk masyarakat atau bangsa intelektual. Kompetensi intelektual harus diikuti pula dengan kompetensi personal, antara lain berupa kemandirian, kekritisan, keuletan, independensi, kejujuran, keberanian, keadilan, keterbukaan, kemampuan mengelola diri sendiri dan kemampuan menempatkan diri. Diharapkan, dengan kedua kompetensi ini akan dihasilkan manusia yang memiliki keluhuran jiwa dan moral yang baik untuk membawa bangsa dan negara ke arah kemajuan dan bangsa yang bermoral dan beragama. Kompetensi personal dilengkapi 23 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2 dengan kompetensi komunikasi berupa kemahirwacaan, menguasai sarana komunikasi mutakhir, menguasai bahasa, bekerjasama dan membangun hubungan dengan pihak lain yang saling mendukung. Dimaksudkan dengan kompetensi in anak didik diajarkan terbiasa menerima gelombang teknologi yang terus berkembang dan terus berubah, terbiasa berkomuniksi lintas budaya yang tidak lagi dibatasi dimensi ruang, jarak dan waktu. Dengan demikian ada dilahirkan suatu generasi yang siap dengan berkembangnya komunikasi, mampu bersaing dan juga bersanding. Kompetensi sosial budaya berupa kemampuan hidup bersama dengan orang maupun bangsa lain, memahamo dan menyelami keberadaan orang lain, dan kemajuan bekerja sama. Kompetensi ini berujung pada tumbuhnya perasaan memahami dan menghargai keberanekaan dan keberagaman, rasa percaya diri tanpa harus memandang rendah pihak lain, menyadari kekurangan serta kelebihan. Dan yang paling penting adalah menjadi terbiasa untuk dikritik oleh pihak lain sekaligus mengkritik secara fair pihak lain, juga terbiasa melakukan otokritik terhadap diri sendiri. Sedangkan kompetensi kinetis-vokasional berupa kecakapan mengoperasikan sarana-sarana pengetahuan mutakhir, pekerjaan mutakhir, dan menggunakan alat-alat mutakhir yang mampu mendukung aktivitas dalam kehidupan global. Dengan bekal kompetensi-kompetensi tersebut, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan mampu menghasilkan generasi pembangunan yang berwawasan jauh ke depan sehingga pembangunan tidak hanya dalam arti fisik dan materil tetapi pembangunan yang terus berkelanjutan, yang mampu membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik dan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya. DAFTAR RUJUKAN Buchori, Mochtar. 1992. Pendidikan dalam Pembangunan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta. Darmaningtyas. 2004. Pendidikan Yang Memimiskan. Yogyakarta: Gerbang Press. Depdiknas. 2003. Undng-Undang RI Nomor 20,Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan nasional. Jakarta: Depdiknas. Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 2001. Revolusi Cara Belajar. Suntingan Ahmad Baiquni. Bandung: Penerbit KAIFA Giddens, Antony. 2001. Runaway Word: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan. Terjemahan Andy Kristiawan. Jakarta: Gramedia. Nurdin, Muhammad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Yogyakarta: Primasophie. Saryono, Djoko. 2002. Globalisasi, Sentralitas Kompetensi dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kertas Kerja Fakultas Sastra dan Program Pasca Sarjana Malang: Universitas Negeri Malang. S. Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam proses Belajar Mengajar. Jakarta:Bumi Aksara Syaukani. 2001. Pendidikan Paspor Masa Depan Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah. Jakarta: Nuansa Madani. Widjianto, Tjahjono. 2003. Pendidikan, Pembangunan dan Kemanusiaan. Majalah Pendidikan Gerbang. Ediai 10. 24 Jurnal Intelegensia, Volume 1, Nomor 2