ETIKA TERAPAN | 1 ETIKA TERAPAN Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai moral, kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaiman manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (suara hati manusia) dan lainnya. Etika umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoretis, kendati istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupan sehari-hari dan tidak hanya bersifat teoretis. 1 Sementara itu etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika khusus di sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalaninya. Etika khusus juga merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan tersebut di pihak lain. 2 Etika khusus dibagi menjadi etika individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial, yang merupakan bagian terbesar dari etika khusus. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. Diagram di bawah ini menunjukkan pembagian etika, sebagai berikut di bawah ini: 3 1 Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penebit Kanisus, 1998), hlm. 32 2 Ibid, hlm. 32-33 3 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 7-8 2 | ETIKA TERAPAN Diagram Sistematika ETIKA UMUM Prinsip Moral dasar ETIKA ETIKA INDIVIDUAL KHUSUS terapan ETIKA SOSIAL PENDAKATAN ETIKA TERAPAN Ada dua pendekatan Etika khusus atau Etika Terapan, yaitu: pendekatan multidisipliner dan kasuistik yang akan dijelaskan di bawah ini. Pendekatan Multidisipliner Pada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau applied ethics ini memberikan kontribusi penting yang dapat diberika etika sebagai bagian dari filsafat kepada bidang lintas disiplin ilmu lainnya. Bukan hanya pada Fakultas Filsafat berkembang mata kuliah-mata kuliah seperti etika biomedis, etika bisnis, etika lingkungan hidup, etika media massa dan lain sebagainya. Perkembangan yang sama terjadi juga di fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis diberikan di Fakultas Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan seterusnya. Dengan ETIKA TERAPAN | 3 demikian etika bagaikan magnet yang menghimpun ilmu-ilmu atau bidang kajian lainnya.4 Kerja sama etika dengan disiplin ilmu lain tersebut diperlukan, sehubungan dengan etika harus melakukan pertimbangan-pertimbangan sesuatu yang di luar bidangnya. Seorang Etikawan tentunya akan mengalami kesulitan untuk memberikan pertimbangan dengan baik, bila tidak mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai dan lengkap yang hanya diperoleh dari disiplin ilmu yang membidanginya. 5 Misalnya, seorang etikawan tidak akan mendapatkan penjelasan yang memadai, ketika memberi pertimbangkan mengenai masalah bayi tabung, apabila etikawan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari dunia kedokteran. Demikian juga para profesional seperti halnya Ikatan dokter Indonesia pun menuliskan dampak teknologi kedokteran bagi etika.6 Kasuistik Sehubungan dengan etika terapan menggeluti masalah-masalah yang sangat konkret, tidak mengherankan bahwa di sini telah berkembang kebiasaan untuk mempelajari kasus, seperti yang telah dilakukan oleh ilmu kedokteran dengan etika biomedisnya dan ilmu manajemen dengan etika bisnisnya kasus-kasus banyak dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada buku-buku yang memuat kasus-kasus dan pembahasan dari kasus tersebut, baik di bidang etika biomedis maupun etika bisnis, misalnya kasus-kasus yang membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan kasus-kasus lainnya di bidang etika bisnis. 7 Kasuistik itu sendiri merupakan usaha memacahkan kasus-kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Jadi, Kasuistik ini sejalan dengan maksud umum dari etika 4 K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan Publika, 2005), hlm. 24-25 5 Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia – Alam, Iptek dan Kerja, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24 6 Kartono Mohamad di dalam K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 274 7 K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 26 4 | ETIKA TERAPAN terapan. Tidak mengherankan bila dalam suasana etis yang menandai jaman kita saat ini, timbul minat baru untuk kasusistik ini. Kasuistik itu sendiri memiliki sejarah panjang dan kaya yang sebenarnya sudah ada sejak Aristoteles menyatakan etika sebagai ilmu praktis. 8 Pertimbangan moral yang praktis selalu bersifat kasuistik. Dalam hal ini kasuistik secara khusus dapat membantu menjembatani kesenjangan antara relativisme9 dan absolutisme. Pada satu sisi adanya kasuistik mengandaikan secara tidak langsung bahwa relativisme moral tidak bisa dipertahankan. Dalam hal ini mengandaikan, bahwa setiap kasus memiliki “kebenaran-kebenaranannya” masing-masing, maka dalam pandangan ini kasuistik sebenarnya tidak diperlukan lagi. Di satu sisi norma-norma etis juga tidak juga bersifat absolut begitu saja, sehingga sulit diterapkan tanpa mempertimbangkan situasi konkret. Jadi faktor situasi konkret yang disebut dengan circumstantiae merupakan faktor yang penting yang menjadi pertimbangan, faktor inilah yang merupakan faktor khas yang menandai situasi tersebut atau dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai ‘sikon”. Sebuah rumusan klasik yang tetap berlaku hingga saat ini untuk memahami kasuistik ini berupa rumusan: “quis, quid, ubi, quibus auxiliis, cur, quomodo, quando” atau dalam bahasa Indonesia yang sudah sangat populer dengan “siapa, apa, di mana, dengan sarana mana, mengapa, bagaimana, kapan” kasuistik ini dirumuskan. 10 METODE ETIKA TERAPAN Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Etika sebagai ilmu yang praktis tidak ada metode yang siap pakai yang dapat begitu saja digunakan oleh orang yang berkecimpung dalam bidang ini. Pada etika terapan, variasi metode dan variasi 8 K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 275-276 9 Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa moralitas didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada kenyataannya tidak ada kebenaran dan kealahan mutlak. Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 37 10 K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm. 33-35 ETIKA TERAPAN | 5 pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada empat unsur yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika terapan. Empat unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi metode etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya. Empat unsur yang dimaksud disini adalah: Sikap awal, informasi, norma-norma moral, logika. Berikut di bawah ini dipaparkan empat unsur tersebut, sebagai berikut:11 1. Sikap Awal Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak dari titik nol dalam membentuk suatu pandangan mengenai masalah etis apa pun. Sikap moral ini dapat berupa pro atau kontra atau juga netral, atau malah tidak peduli sama sekali, namun sikap-sikap awal ini belum direfleksikan. Sikap awal ini terbentuk karena berbagai faktor misalnya pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi dll. Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya. Bisa jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan orang yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada awalnya mungkin kita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian, misalnya dalam masyarakat yang sudah biasa menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energinya, tanpa keberatan apa pun mereka menerima begitu saja penggunaan energi nuklir tersebut. Akan tetapi seiring dengan sikap negara yang menggunakan nuklir sebagai alat persenjataannya, seperti Korea Utara yang sering kali melakukan uji coba nukir ditambah dengan peristiwa gempa besar di Jepang yang merusak reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir yang efeknya begitu besar bagi manusia, peristiwa tersebut seperti membuka mata masyarakat akan bahaya energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dari peristiwa ini sikap awal orang akan tergugah dan menjadi problema etis. 2. Informasi Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang diperlukan adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis 11 K. Bertens, ETIKA, hlm. 295-303 6 | ETIKA TERAPAN yang terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi, seperti masalah di atas. Bisa saja sikap awal yang diambil pro, karena energi nuklir energi yang sangat murah namun menghasilkan energi listrik yang besar. Sikap awal seringkali bersifat subjektif yang tidak sesuai dengan kondisi objektifnya. Melalui informasi dapat diperoleh, bahwa bahan sisa-sisa energi nuklir ternyata tidak mudah musnah. Sampah nuklir mengandung radioaktif yang membutuhkan 6000 tahun untuk tidak aktif. Hal ini tentu sangat mencemari lingkungan, air, tanah dan udara melalui radioaktif yang dilepaskan ke udara. Tentu informasi-informasi ini diperoleh melalui data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, informasi tersebut diperoleh dari para ahli di bidangnya. Dengan demikian etika terapan memerlukan informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah etis tersebut, hal ini sesuai dengan konteks yang sudah dijelaskan di atas etika terapan mengadakan pendekatan multidisipliner. 3. Norma-norma Moral Metede etika terapan berikutnya adalah norma-norma moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan. Penerapan normanorma moral ini merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan norma-norma ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, tidak seperti mata kuliah teknik yang dapat menerapkan prinsip teori teknik secara langsung dalam mengaplikasikannya ke dalam praktik, misalnya dalam membangun sebuah bangunan. Hal ini lebih dikarenakan normanorma tersebut tidak dalam kondisi siap sedia dan tinggal diterapkan begitu saja, akan tetapi norma-norma tersbut perlu diuji dan dibuktikan terlebih dahulu, sebagai norma yang dapat diterima dan digunakan untuk kasus tersebut, serta dapat diterima secara umum. Misalnya mengenai masalah perbudakan, tidak serta merta semua orang menyadari bahwa hal itu tidak sesuai norma. Hal ini melalui penerapan pada sekelompok kecil yang akhirnya mempengaruhi orang secara keseluruhan, bahwa perbudakan bukan hal yang baik untuk kemanusiaan. 4. Logika ETIKA TERAPAN | 7 Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut uraian yang logis dan rasional dalam pemaparannya. Melalui bantuan logika dapat memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi mengenai masalah moral, kaitan antara kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan apakah penyimpulannya tersebut tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Melalui logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yang dipaparkan. Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep yang dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak terarah apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik yang dibahas itu secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih dahulu mendefinisikan mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan sebagainya secara jelas menurut aturan logika. Melalui pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut perdebatan moral menjadi lebih terarah dan menarik. PENUTUP Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika terapan juga bersifat multidisipliner, dalam hal ini memerlukan ilmu-ilmu lain selain etika untuk menjelaskan masalah yang disoroti, agar dalam penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat. Metode etika terapan terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap awal, informasi, norma-norma moral, logika DAFTAR PUSTAKA Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penebit Kanisus, 1998) Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia – Alam, Iptek dan Kerja, (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005) 8 | ETIKA TERAPAN Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989) K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Mizan Publika, 2005) Penerbit Teraju PT K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003) K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: 2007) Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004) ETIKA TERAPAN | 9 ETIKA SOSIAL oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan antara etika individual dan etika sosial. Bidang kajian etika individual membahas berbagai kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sementara itu etika sosial lebih menekankan kepada pembahasan kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Pembagian etika kedalam etika individual dan etika sosial ini pun sebenarnya diragukan relevansinya, mengingat manusia secara individu merupakan bagian dari masyarakat, dengan demikian agak sulit membedakan etika yang semata-mata untuk individu manusia tertentu dan etika yang semata-mata sosial. Sebut saja masalah yang berkaitan dengan kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh diri yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap saja pada akhirnya ‘merepotkan’ orang lain yang menemukan dirinya yang sudah didapati tidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan memiliki famili, teman-teman, tetangga dan lain sebagainya.12 Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat dilepaskan begitu saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke dalam etika individual kehilangan relevansinya, mengingat manusia sebagai mahluk sosial. PEMBAGIAN ETIKA SOSIAL Secara khusus etika sosial membahas menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, etika sosial memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Etika sosial menyangkut hubungan individu yang satu dengan individu yang lainnya, serta menyangkut juga interaksi sosial secara bersama-sama, termasuk dalam bentuk-bentuk kelembagaan (Keluarga, 12 hlm. 272 Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007), 10 | ETIKA TERAPAN masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap paham yang dianut, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing.13 Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di bawah ini:14 Etika Umum Etika Etika Individual - Sikap terhadap sesama - Etika Keluarga Etika Khusus Etika Sosial - Etika gender -Biomedis - Bisnis - Etika Profesi Etika Lingkungan -- Hukum - Ilmu - Etika Politik Pengetahuan - Pendidikan - Kritik Ideologi - dll Dengan demikian, melihat sistematika pembagian etika khusus di atas, hampir seluruh materi etika terapan yang diberikan dalam Mata Kuliah Etika di Universitas Kristen Maranatha pada setengah semester ini 13 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 14 Ibid, hlm. 34 34 ETIKA TERAPAN | 11 sebagian bersar merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang terdiri atas: Etika Bisnis, Etika Politik dan Etika Seksual. TEMA-TEMA ETIKA SOSIAL Berikut dipaparkan tema-tema yang terdapat dalam kajian Etika Sosial, sebagai berikut di bawah ini: Menurut buku Manual of Social Etics15 terdiri atas: The Natural Law, The Dignity of Man, Man’s Natural Rights, The Rights to Life, The Right to Bodily Integrity, The Family, The State, Lesser Associations in the State, Vocational Organization, Trade Unionism, Education, Property, Capitalism, Communism, Strikes, Wages, Profit-Sharing and Co-Partnership. Sedangkan menurut buku ETIKA Sosial karya Jenny Teichman16, Bagian Pertama: Dasar Etika terdiri dari (Moralitas dan Humanitas; Egoisme, Relativisme dan Konsekuensialisme); Bagian Kedua: Pembelaan Humanisme (Manusia dan Pribadi, Manusia dan Binatang, Manusia dan Mesin), Bagian Ketiga: Kematian dan Kehidupan (Eutanasia- Pro dan Kontra, Eutanasia – Logika dan Praktek, Aborsi, Etika Profesional), Bagian Keempat: Ideologi dan Nilai (Feminisme dan Maskulisme, Kebebasan Berpikir dan Berekspresi dan Kelompok Kiri, Kanan dan Hijau) DASAR ETIKA Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan bahwa teori-teori etika tidak mempengaruhi tindak-tanduk seseorang. Akan tetapi anggapan ini nampaknya keliru, teori yang berbeda akan membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompok konsekuensialis dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi manfaat 15 Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956) 16 Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998) 12 | ETIKA TERAPAN atau keuntungannya ketimbang sisi benar dan salah apa yang dilakukannya. 17 Demikian juga dengan Egoisme, dalam hal ini egoisme teoritis merupakan teori yang menempatkan moralitas pada kepentingan dirinya sendiri. Secara kodrati menurut faham ini segala tindakan manusia didorong oleh motivasi cinta diri dan tindakan-tindakan yang nampak sepertinya tidak menunjukan cinta diri, namun ternyata ada motivasi lain dibalik tindakannya tersebut. Misalnya hasrat menolong orang menurut faham ini didasari oleh rasa cinta diri itu sendiri. Sementara itu Friedrich Nietzsche menekankan bahwa pandangan egoisme itu harus dianut, manusia unggul harus menganut egoisme agar dapat memajukan bangsanya (Über-mensch). 18 Adapun Relativisme moral merupakan aliran etika yang menyatakan benar dan salahnya bergantung pada masyarakat tempat dimana manusia itu hidup. Seperti kita maklumi bahwa masing-masing kelompok masyarakat memiliki kode perilaku yang berbeda-beda. Dengan demikian terdapat standar moralitas yang berbeda-beda, seseorang tidak dapat menghakimi orang lain dari komunitas lain yang berbeda standar moralnya, bila ini terjadi maka ini berarti terjadi imperialisme kultur. Apabila berpegang pada sudut pandang relativisme moral, kegiatan para Ku Klux Klan dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tidak adil dari sudut pandang orang kulit hitam saja atau rasisme harus selalu dikutuk, kecuali ditempat dimana masyarakat dapat menerima pandangan membeda-bedakan menurut dasar ras. Maka dengan demikian, jika semua nilai bersifat relatif bagi suatu masyarakat, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa konsistensi yang logis sebagaimana adanya lebih baik daripada rasisme atau tirani, semuanya bergantung pada sudut pandang masyarakat bersangkutan.19 Menempatkan manusia pada sisi harkat dan martabatnya diperlukan dalam mempelajari berbagai teori-teori etika yang ada, agar kita dapat memiliki prinsip dalam mengambil sebuah tindakan. Dan prinsip 17 Ibid, hlm. 3 Ibid, hlm. 5-10 19 Ibid, hlm 10-15 18 ETIKA TERAPAN | 13 tindakan itu adalah terletak pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang menjadi dasar yang utama dalam tindakan seseorang. Jenny Teichman dengan tegas mengemukakan prinsip dasar yang harus dipegang dalam etika sosial, prinsip pertama adalah bahwa manusia secara intrinsik berharga, yakni kudus, dalam arti religius ataupun sekuler dan kedua bahwa manusia mempunyai hak-hak kodrati.20 KEHIDUPAN MANUSIA DAN NILAI INTRINSIK Lebih lanjut Jenny Teichman dalam bukunya ETIKA SOSIAL mengemukakan mengenai nilai intrinsik dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia dan nilai intrinsiknya dapat kita ketahui melalui pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:21 1. Hampir setiap orang ingin hidup, apakah mereka bahagia atau pun tidak dengan caranya masing-masing, menunjukkan kepada kita bahwa hidup itu memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar keberadaan jiwa maupun raganya. Selain itu orang-orang di mana pun menilai kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang-orang yang mereka cintai lebih tinggi daripada apa pun yang lain di dunia ini. 2. Kehidupan manusia hanya mempunyai nilai intrinsik jika layak dihidupi. Kehidupan yang bagaimana yang layak dihidupi itu? Apakah hidup yang tidak layak dijalani ada dalam penderitaan seperti dalam keadaan sakit yang berkepanjangan atau bahkan keadaan koma. Namun kehidupan dalam tahanan, kesedihan, ataupun kesakitan bahkan dalam kekurangan makanan pun ternyata dinilai layak dijalani. 3. Kaum utilitaris berpendapat bahwa hanya keadaan jiwa seperti dalam keadaan senang dan bahagia yang memiliki nilai intrinsik, pendapat ini digambarkan seperti menaruh kereta di depan kuda. Sementara itu apabila kita menilai sebilah pisau, kita menilainya 20 21 Jenny Teichman, hlm 20 Ibid, hlm. 22-24 14 | ETIKA TERAPAN hanya sebagai alat saja, lain halnya kita menilai sebuah Lukisan Leonardo da Vinci, maka kita mengatakan lukisan tersebut memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian penilaian memiliki nilai intrinsik tersebut dinilai dari kualitasnya bukan dilihat dari sisi instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga halnya dengan menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak berdaya mungkin dinilai tidak ada gunanya. 4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik, bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada halhal lain? Bagaimana suatu yang bernilai sekunder dapat memahami dan menciptakan sesuatu yang bernilai primer? 5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas teori bahwa kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan bertindak memperlakukan orang lain sebagai “cecunguk” yang layak diinjak dan ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang Yahudi. 6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada pada puncak tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak? Dalam poin-poin tersebut di atas dapatlah kita simpulkan bahwa setiap manusia bernilai pada dirinya sendiri, dan sama sekali tidak mengurangi nilainya manakala manusia ada dalam kehidupan tidak bahagia sekali pun. Sehingga tidak ada alasa bagi kita memandang rendah sesama kita, betapa pun secara kedudukan misalnya dia adalah rakyat jelata dan miskin sekali pun, tetaplah kita harus menghormati dia sebagai manusia. Karena manusia bernilai pada dirinya sendiri, maka manusia pun merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini dapat diartikan, bahwa tidak ada alasan sedikit pun bagi kita menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Tidak selayaknya mengorbankan orang-orang atau golongan yang lemah demi kemajuan masyarakat, hal ini jelas menyangkal manusiawinya sendiri. 22 22 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982). Hlm. 90-91 ETIKA TERAPAN | 15 HAK-HAK ASASI UNIVERSAL Gagasan mengenai hak-hak manusia yang universal atau hak-hak kodrati, merupakan konsep pokok yang mendasari dan menginspirasi revolusi Amerika maupun Prancis. Ada beberapa jenis hak yang berbeda, diantaranya: hak-hak warisan, hak-hak legal, hak-hak sipil, dan hak-hak kodrati atau hak-hak asasi manusia.23 Hak-hak warisan dalam hal ini tidak memerlukan negara dalam pembelaannya, hak ini terbahas secara implisit dalam saling pemahaman dan kepercayaan. Hak-hak legal mengandaikan adanya sistem hukum. Adapun Hak-hak sipil dimiliki oleh semua warga (dewasa) meliputi, hakhak yang berkaitan dengan hak legal, dan hak-hak yang berkaitan dengan pemerintah demokrasi seperti hak memilih. Sementara itu Hak-hak kodrati meliputi hak-hak mutlak dan universal. Hak-hak itu diakui sebagai dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali. 24 Mengenai hak kodrati ini, Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan dalam bukunya yang terkenal Leviathan, bahwa manusia memiliki hak asasi yang masing-masing setiap individu miliki, namun rangka pemenuhan haknya itu antara manusia yang satu dengan manusia yang lain terjadi yang namanya bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua) dan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Untuk itulah, Hobbes membayangkan sebuah “keadaan asali” atau the state of nature dimana saat semua manusia mengadakan kontrak sosial, setiap manusia dalam kontrak sosial itu menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodratinya kepada sebuah lembaga yang disebut negara, agar ada lembaga yang memiliki kekuatan mengamankan kepentingan manusia itu dan memaksakan norma-norma dan ketertibannya. 25 Berbeda dengan Hobbes yang menggambarkan keadaan manusia yang saling bertentangan, karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. John Locke (1632-1704) dalam bukunya The Second Treatise of Government, menggambarkan keadaan asali manusia yang 23 Jenny Teichman, hlm. 24-25 Ibid, hlm 26-27 25 F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 65-72 24 16 | ETIKA TERAPAN hidup bermasyarakat diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tak boleh dirampas darinya. Jadi dalam masyarakat asali itu ada kebebasan dan kesamaan.26 Dalam pemaparan di atas kita sudah melihat sekilas ide mengenai hak-hak asasi manusia yang universal ini dikemukakan oleh para filsuf, dan di dalam pemaparan mengenai kehidupan manusia dan nilai intrinsiknya telah dipaparkan bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri atau dengan kata lain “berharga’ dan memiliki martabat. Martabat manusia di hormati, apabila segenap anggota masyarakat dihormati hakhak asasinya. Hak Asasi Manusia Apa itu hak asasi manusia? Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki manusia karena ia manusia. Sejak seseorang berada dalam kandungan ibunya sampai dengan ia dilahirkan, ia sudah memiliki hak-hak asasi tersebut. Dalam pemandangan hak asasi manusia, bahwa hak-hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh masyarakat atau negara. 27 Hak asasi manusia tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok, sebagai berikut:28 (1) Hak-hak kebebasan, hak-hak ini bersifat melindungi kebebasan dan otonomi manusia dalam kehidupan pribadi. Hak-hak ini meliputi diantaranya: (a) hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak (pada dasarnya hak di dalam kebebasan fisik manusia); (b) kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan beragama (dan hak-hak lainnya yang meliputi kebebasan secara psikis); (c) perlindungan terhadap hak milik, hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang dan hak atas perlindungan hukum 26 Ibid, hlm 80-81 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 98-99 28 Ibid, hlm. 99-101 27 ETIKA TERAPAN | 17 lainnya (dan hak-hak lain yang berkaitan dengan kebebasan normatif). (2) Hak-hak demokratis, hak-hak ini berdasarkan keyakinan akan kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak untuk mengurus diri sendiri di dalamnya termasuk hak untuk memilih dengan bebas siapa yang akan mewakili dalam lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang, hak untuk menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berkumpul dan membentuk serikat (perkumpulan). (3) Hak-hak sosial, hak-hak ini berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini meliputi hak atas jaminan sosial dasar seperti hak atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar, perlindungan terhadap pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas perlakuan yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur masyarakat. Jelaslah hak-hak asasi manusia tersebut dapat dijabarkan dalam pembagian di atas dan hak-hak tersebut perlu dirumuskan secara konkrit, agar nilainilai dan filosofi hidup luhur yang menghargai martabat manusia tersebut memiliki arti dan dikongkritkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian menghormati hak-hak asasi manusia beserta harkat dan martabatnya dapat diukur. Hak-hak asasi manusia merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politi, sosial, ekonomi, kultural dan ideologis yang melindasnya. Maka sebaiknya pembangunan yang berperikemanusiaan dan bermartabat itu jelas ukurannya adalah tidak melanggar hak asasi manusia. MASALAH SOSIAL Dalam pemaparan di atas telah dijelaskan prinsip-prinsip dasar etika dalam memandang manusia sebagai mahluk sosial. Telah dijelaskan pula bagaimana manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri dan bagaimana implikasi etis dari setiap teori-teori etika yang dianut terhadap perlakuan terhadap manusia. Demikian juga dengan kenyataan bahwa 18 | ETIKA TERAPAN manusia sebenarnya memiliki suatu hak asasi yang telah dikembangkan oleh berbagai filsuf yang pada akhirnya tercetuslah hak asasi manusia yang didalamnya terdapat: (1) hak kebebasan, (2) hak demokratis dan (3) hak sosial. Sebagaimana pemaparan teori di atas, bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri, bermartabat dan memiliki hak asasi, pada kenyataannya manusia menghadapi berbagai masalah-masalah dalam kehidupan sosialnya. Masalah-masalah sosial tersebut ditimbulkan oleh adanya gelombang perubahan-perubahan cepat yang terjadi di masyarakat, hal inilah yang dituturkan para futuris Alvin Toffler juga Francis Fukuyama. Secara khas Fukuyama melihat bukan pada perubahan yang cepat itu, namun lebih dari itu akibat-akibat yang ditimbulkan dari perubahan tersebut pada tatanan masyarakat, berupa hubungan antar individu, aturan-aturan yang diterima bersama baik berupa yang formal maupun yang informal (berupa etika dan moralitas). Selanjutnya Fukuyama mencontohkan gelombang perubahan besar yang terjadi di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, yang dicirikan oleh meningkatnya secara tajam jumlah indikator patologi sosial, seperti tingginya tingkat krimininalitas, perceraian dan kehancuran kehidupan rumah tangga. 29 Lebih lanjut Wasino menuturkan bahwa di dalam perubahan sosial terdapat masalah sosial dan patologi sosial. Masalah sosial dapat meliputi masalah pendidikan dan kesehatan, sedangkan patologi sosial meliputi tindakan kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan wewenang, narkoba dan masalah prostitusi. 30 Masalah-masalah sosial inilah yang menjadi sorotan dalam etika sosial ini, sehubungan masalah-masalah sosial ini berpotensi pada pelanggaran terhadap martabat manusia dan pengingkaran pada nilai manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Pada dasarnya masalah dan patologi sosial itu terjadi akibat ketidaksanggupan manusia menghadapi gelombang perubahan (diantaranya modernisasi) yang begitu 29 Lihat Pengantar Rizal Mallarangeng dalam Francis Fukuyama, Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. xi-xiii 30 Wasino, KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008), hlm. 303 ETIKA TERAPAN | 19 cepat, sehingga mengakibatkan ketidaksanggupan dalam memenuhi hakhak sosialnya (hak atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar, perlindungan terhadap pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas perlakuan yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur masyarakat). Belajar Pada Revolusi Industri Eropa Dalam kurun waktu antara 1750 sampai dengan 1850, masyarakat di Eropa mengalami suatu perubahan yang sangat radikal. Abad pencerahan dan reformasi mendorong berbagai kemajuan peradaban manusia, mulai dari penemuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi yang mendorong aplikasi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dalam industri. Industri sedemikian pesatnya digerakan dengan mesin-mesin, sehingga menciptakan suatu revolusi industri di Eropa. Industri membutuhkan tenaga kerja yang besar, hal ini mendorong urbanisasi besar-besaran dari desa menuju kota besar. Dalam beberapa tahun terciptalah kelas baru dalam masyarakat, yaitu kelas kaum buruh. 31 Kondisi para urban kaum buruh tidak dalam kondisi yang baik, mereka ada dalam rumah-rumah petak yang kumuh dan serba kekurangan. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan jaminan sosial yang memadai dari pemerintah berupa jaminan kesehatan, semakin memperparah keadaan. Mereka bekerja begitu monoton yang mematikan kreativitas, bekerja di dalam kondisi pabrik yang kotor dan penuh polusi, mengakibatkan kesehatan mereka terganggu. Kondisi ini mendorong para keluarga buruh untuk memaksa anak-anak mereka ambil bagian dalam pekerjaan sebagai buruh pabrik. Demikianlah sekilas gambaran sosial Eropa dalam era revolusi industri tersebut, dan dapat dipastikan kemacetan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka, maka timbul pengangguran masal yang sudah pasti memperparah kondisi kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. 32 31 Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 62 32 Ibid, hlm. 62-63 20 | ETIKA TERAPAN Kondisi di atas sesuai dengan yang di ramalkan oleh Karl Marx yang meramalkan eksploitasi kaum buruh sedemikian rupa akan mengakibatkan krisis. Krisis ini disebabkan akibat penumpukan kapital yang menyebabkan suatu perusahaan semakin besar yang dapat menelan perusahaan yang lebih kecil, sampai pada akhirnya jumlah kaum kapitalis ini semakin sedikit dan terciptalah pemiskinan besar-besaran. Maka cepat atau lambat, pertumbuhan kapitalisme ini secara otomatis menumbuhkan kesadaran revolusioner dari dikalangan kaum buruh yang dieksploitasi dan miskin ini. Terciptalah pengangguran bertambah, inflasi meningkat drastis, produk tak terjual dan dengan sendirinya sistem kapitalis hancur, disinilah munculnya masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat tanpa kelas sosial. 33 Revolusi Industri yang melahirkan kaum kapitalis ini pada kenyataannya ada dalam jaman dimana Eropa ada dalam era liberalisme yang baru tumbuh. Era ini menempatkan individualisme, dimana perkembangan dan kebahagiaan individu merupakan nilai tertinggi pada manusia. Masyarakat semata-mata merupakan sarana demi kepentingan individu ini. Dan pemikiran Marx (yang sangat mengandrungi Hegel dengan cara berpikir dialektikanya), merupakan antitesis dari pemikiran liberalisme yang menempatkan individu pada tempat yang utama tersebut. Marx memimpikan suatu kondisi masyarakat yang tanpa kelas tersebut dalam kolektivisme. Kolektivisme ini kebalikan dari faham individualisme, dimana menempatkan masyarakat menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya sejauh memajukan secara keseluruhan. 34 Faham individualisme melahirkan liberalisme dan faham kolektivisme melahirkan komunisme, merupakan dua buah faham yang saling berlawanan satu sama lain. Faham individualisme melahirkan negara-negara di Eropa Barat dan faham kolektivisme ini melahirkan negara di Eropa Timur. 33 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, (JakartaL PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 243-244s 34 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 87-89 ETIKA TERAPAN | 21 Bagaimana penilaian kita pada faham individualisme dan kolektivisme ini, jika dipandang dalam pandangan bahwa manusia memiliki nilai intrinsik, martabat dan hak asasi di atas? Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa masalah-masalah sosial tersebut ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan yang cepat yang terjadi dimasyarakat. Masalah dan patologi sosial ini juga mendorong perubahan secara ideologis dan cara pandang kita pada masyarakat seperti telah dipaparkan di atas. Banyak sosiolog mengungkapkan pemecahan bagi masalah dan patologi sosial ini, salah satunya adalah melalui pendidikan. Tokoh yang mengusulkan hal ini adalah Paulo Freire, berikut di bawah ini dipaparkan pemikirannya. Mengatasi Masalah Sosial Melalui Pendidikan (Pedagogi Kaum Tertindas Paulo Freire) Brasil pada tahun 1929 mengalami kejatuhan finansial yang sangat hebat, memaksa Freire kecil untuk memahami bagaimana rasanya kelaparan, kehidupan ekonomi keluarganya yang merupakan keluarga kelas menengah menjadi jatuh. Profesor Richard Shaull mengungkapkan, bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan waktu bocah itulah yang membentuk tekad Freire untuk perjuangan melawan kelaparan agar anakanak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang pernah dialaminya. 35 Berangkat dari kondisi nyata masyarakat golongan terbawah yang amat mengganggu suara hati Freire, telah mengarahkan dirinya pada penemuan istilah yang ia gambarkan sebagai suatu “kebudayaan bisu” atau “culture of silence” di kalangan orang-orang yang tersisih itu. Freire berpendapat bahwa kebodohan dan kelalaian mereka adalah akibat langsung dari keseluruhan situasi sosial ekonomi dan pengekangan politik di mana merekalah yang menjadi korbannya. 36 35 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm. x-xi 36 Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008), hlm. xxxi 22 | ETIKA TERAPAN Kebudayaan bisu ini dihasilkan dari proses internalisasi sudut pandang “penindas” sehingga orang-orang “tertindas” melihat diri mereka sendiri dari sudut pandang atau kaca mata penindas. Hal ini terjadi disebabkan karena pendidikan dan media massa yang dipakai kaum elite untuk menanamkan gambaran sosio-budaya mereka sendiri ke dalam orang miskin. Hasilnya adalah “kedudayaan bisu”, orang miskin menjadi “bisu” dan hampir tidak sanggup lagi mengungkapkan pandangan dan kepentingan mereka, dan sebaliknya para kaum elite bercita-cita menjadi seperti “panutan”. 37 Melihat kondisi demikian para “kaum tertindas” ini bukannya memiliki keberanian dan kemampuan untuk memahami dan menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka, melainkan tetap saja “tenggelam” dalam keadaannya yang sebenarnya kritis. Persoalan ini merupakan krisis identitas “kaum tertindas” sebagai akibat tekanan langsung maupun tidak langsung oleh para penguasa. Akibatnya mereka memandang ketidakberdayaan mereka dianggap sebagai suatu “takdir” atau kondisi yang menekan kehidupannya itu mereka menjadi fatalis. Kemudian Paulo Freire mengembangkan sebuah konsep yang dinamakan sebagai Pedagogi kaum tertindas. Dalam Konsep pendidikannya ini dijelaskan sebagai sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. (“an instrument for their critical discovery that both they and their appressors are manifestations of dehumanization”)38 Untuk menguraikan konsep pendidikan Paulo Freire ini dimulai dengan adanya kesadaran, yang Freire sendiri mengistilahkan sebagai concientizacao. Concintizacao atau ‘konsientisasi’ ini merupakan kata kunci yang sering dipergunakan oleh Paulo Freire, konsientisasi itu sendiri merupakan kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. 39 37 Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005), hlm. 262 38 Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum International Publishing, 2000), hlm 48 39 Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007), hlm 235 ETIKA TERAPAN | 23 Secara ontologis konsep pendidikan Paulo Freire menjadikan para peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya (humanisasi), manusia yang lengkap dengan aspek-aspek kepribadiannya. Menurut Paulo Freire bereksistensi tidak sekedar ada di dalam dunia, tetapi terlibat dalam hubungan bersama dengan dunia, dengan mencipta, mampu menyusun realitas kultural dan menambahkannya pada realitas natural yang tidak dibuat oleh manusia. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensinya. Menjadi subjek atau mahluk yang lebih manusiawi merupakan panggilan ontologis setiap manusia, menurut Paulo Freire. Pentingnya penyadaran ini berkaitan dengan kodrat manusia yang utuh sebagai subyek utuh yang tidak hanya sekedar beradaptasi, mempertahankan diri dari realitas dunia (seperti halnya binatang), namun juga sanggup untuk mengubah realitas tersebut. Manusia dengan kesadarannya memainkan peranannya dalam sejarah dengan menangkap tema-tema jamannya tidak tinggal diam dan ikut menjadi subjek dalam peranannya turut ambil bagian dalam sejarah tersebut. Mereduksi sisi kesadaran manusia dengan hanya menempatkan manusia menjadi objek dan menempatkannya hanya sebagai pengamat dari realitas inilah yang merupakan dehumanisasi. 40 Konsientisasi atau kesadaran di sini tidak sekedar berhenti pada tahap refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang akan selalu direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus. Praksis dalam pengertian Paulo Freire adalah proses dialektis yang berjalan tiada henti antara aksi dan refleksi serta antara refleksi dan aksi. Freire sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brasil yang menekankan pada hafalan dan sangat menggurui. Cara semacam ini menurutnya akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan manusia yang seharusnya dapat menyadari keberadaan dirinya akan realitas dunia yang dihadapi dan sanggup menentukan nasib sendiri. Pendidikan dalam pandangan Freire merupakan praktik pembebasan yang bukan hanya 40 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1984), hlm. 3-6 24 | ETIKA TERAPAN membebaskan orang-orang yang terdidik saja tetapi juga para pendidik. 41 Keduanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu mulai menganggap dirinya cukup berharga (walaupun miskin, buta huruf dan tidak menguasai teknologi) dan yang lain (gurunya) belajar berdialog meski masih saja dibayangi oleh peranan pendidik yang sangat menggurui dan hafalan seperti di atas. Demikianlah peranan pendidikan dalam menjawab masalahmasalah sosial, dimana pendidikan sangat berperan dalam penyadaran masyarakat akan realitasnya dan menjadikan dirinya sebagai subjek yang sanggup mengubah dunia walau sekecil apapun. Paulo Freire melalui pedagogi kaum tertindas ini menimbulkan sikap kurang senang dari para penguasa dan golongan status quo, karena kenyamanan mereka dalam menindas anggota masyarakat lainnya terusik. Beberapa saat kemudian pemerintah Brasil mencurigai program-program Paulo Freire ini, yang kemudian menyeret Freire ke pembuangan dari negara Brasil dan dikucilkan ke negara lain. Namun apa yang dilakukan Freire untuk menggugah kaum tertindas untuk sadar dan keluar dari ketertindasan ini, menjadi inspirasi bagi pengentasan masalah sosial pada beberapa negara dan membawanya menjadi pembicara di berbagai negara, bahkan menjadi dosen tamu di universitas terkemuka di Amerika serikat, walau pun di negara asalnya dia ditolak. Mengatasi Masalah Sosial Melalui Gerakan Ekonomi (model Grameen Bank Mohamad Yunus) Prof. Mohammad Yunus ekonom dari Bangladesh, beliau penerima penghargaan Nobel tahun 206 sebagai pengakuan tertinggi atas kiprahnya mengangkat harkat kaum miskin di Bangladesh melalui Grameen Bank. Moh. Yunus merupakan guru besar Universitas Cittagong, namun dengan rendah hati beliau mengatakan, “Saya ingin menjadi murid orang-orang miskin. Mereka adalah profeser saya.”42 41 Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984), hlm ix 42 Steve Gaspersz, “Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi Indonesia”, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 14 ETIKA TERAPAN | 25 Prof. Moh. Yunus mengentaskan salah satu masalah sosial, yaitu kemiskinan sejak tahun 1974. Berawal dengan pertemuan dengan seorang perempuan desa berusia 21 tahun bernama Sufia Begum yang merupakan ibu dari tiga anak, ketika ditanya oleh Prof. Moh. Yunus berapa penghasilannya dari perabotan anyaman bambu yang dibuatnya, Ibu muda itu menjawab 5 Taka atau sekitar Rp. 1.500 dari seorang pengijon untuk setiap barang yang dihasilkannya dan jumlah tersebut merupakan seperlima dari jumlah yang seharusnya ia terima kalau ia menjual sendiri perabotan rumah yang diproduksinya ini. “Saya terhenyak, ya Tuhan, untuk 5 taka saja wanita ini harus menjadi budak”, kata Prof. Moh Yunus. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengadakan riset dengan para mahasiswanya di desa Jobra tempat perempuan itu tinggal dan ternyata mendapati ada 43 penduduk desa yang meminjam uang totalnya sebesar 856 taka atau sekita Rp. 250.000,--. “Saya tidak tahan, saya bayar utang mereka itu dan mengatakan, kalian sekarang bebas!”, kata Prof. Moh. Yunus. Kemudian mereka dipersilahkan membayar kapan saja jika sudah punya uang. Ternyata mereka semua mencicil setiap hari selama setahun dan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Grameen Bank atay Bank Pedesaan dalam bahasa Bengali pada tahun 1983. Jaringan Grameen Bank saat ini begitu meluas dan telah menyalurkan kredit hingga miliaran dollar US kepada orang miskin di sekitar 70.000 desa.43 Mekanisme pengajuan kredit Grameen Bank ini secara sederhana dilakukan dengan cara setiap orang yang ingin meminjam harus membentuk kelompok yang berjumlah sebanyak 5 orang. Bila ada yang mengusulkan ingin meminjam uang, misalnya untuk membeli kambing, maka anggota yang lain harus mendukung gagasan itu dan yakin bahwa usahanya akan berhasil. Para anggota kelompok ini tidak memiliki kewajiban atas pinjaman yang diajukan oleh anggota yang lain, namun masing-masing memiliki kesempatan untuk mengajukan kredit dan dapat mengajukan kembali setelah seluruh anggota dipastikan telah mendapat gilirin mengajukan pinjaman. Gerakan kelompok kredit melalui Grameen 43 Alexander Paulus, “Your Thingking Determines Your Success: Rahasia Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.166-167 26 | ETIKA TERAPAN Bank ini telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di Bangladesh secara tajam, serta pendapatan per kapita Bangladesh meningkat dari USD 280 tahun 1985 menjadi USD 440 pada tahun 2006.44 PENUTUP Pada dasarnya Etika Sosial ini menekankan penghargaan pada manusia sebagai manusia dan memiliki martabat. Berbagai persoalan yang melibatkan individu bila ditelusuri akan juga melibatkan individu yang lainnya, sehingga persoalan individu tidak dapat dilepaskan dari individu yang lainnya. Manusia dalam menghadapi realitas yang ada terutama perubahan yang cepat, sering kali tidak dapat mengikuti perubahan itu dengan baik, akibatnya terjadilah yang dinamakan dengan masalah sosial dan patologi sosial. Prinsip mengatasi masalah dan patologi sosial ini adalah mengedepankan penghargaan manusia sebagai manusia itu sendiri, seperti apa yang dilakukan dalam model pedagogi kaum tertindas Paulo Freire dan Grameen Bank Prof. Moh. Yunus. DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998) Alexander Paulus, “Your Thingking Determines Your Success: Rahasia Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007) F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004) Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984) 44 Ibid, hlm. 167-169 ETIKA TERAPAN | 27 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982) Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999) Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998) Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005) Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007) Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956) Rizal Mallarangeng dalam Francis Fukuyama, Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999) Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008) Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008) Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum International Publishing, 2000) Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1984) Steve Gaspersz, “Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi Indonesia”, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009) Wasino, KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008) 28 | ETIKA TERAPAN ETIKA POLITIK oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Etika Politik merupakan cabang filsafat yang sudah sangat tua, kehadirannya bisa disejajarkan dengan kelahiran etika itu sendiri (filsafat moral). Etika politik menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan-persoalan praktik yang berkaitan dengan masalah politik. Para filsuf membahas mengenai masalah politik ini secara panjang lebar di dalam buku mereka masing-masing, misalnya Plato menulis buku yang berjudul Republic, mengemukakan secara sistematis dan rasional system politik yang ideal. Sementara Aristoteles, menulis buku yang berjudul Politics, dalam buku ini Aristoteles mengemukakan contoh yang relevansinya terbatas pada sebuah model negara-kota Yunani kuno yang merupakan perintis system politik demokrasi modern.45 Kedudukan etika politik itu sendiri di dalam filsafat, kurang lebih dapat dijelaskan, bahwa filsafat di bagi menjadi dua bagian yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Etika dikategorikan sebagai filsafat praktis, adapun etika itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu etika etika umum dan etika khusus atau etika terapan. Sedangkan etika terapan itu dibagi lagi menjadi beberapa bagian diantaranya etika sosial, di dalam etika sosial itulah letak etika politik (lihat pembagian lebih lengkap di dalam bagian etika sosial). POLITIK Beberapa waktu terakhir ini politik menjadi suatu kata yang paling populer, apalagi menjelang tahun pemilihan umum yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Tahun pemilihan umum tersebut, kemudian orang menyebutkannya sebagai tahun politik. Pada tahun politik tersebut orang berharap-harap cemas akan apa yang akan terjadi pada saat tahun politik ini, banyak orang yang mengamati berbagai perkembangan 45 Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 336-337 ETIKA TERAPAN | 29 yang terjadi mulai dari businessman, aktivis partai, pejabat, sampai rakyat biasa. Sehingga tidak mengherankan bila Aristoteles menyebutkan politik merupakan master of science, dalam arti pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Selanjutnya bagi Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Aristoteles mengemukakan, politik berarti mengatur apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.46 Penjelasan di atas mungkin memperjelas mengenai apa itu politik, selanjutnya Ramlan Surbakti menjelaskan mengenai politik ini paling tidak melalui lima pandangannya mengenai politik, yaitu: (1) politik merupakan usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama; (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3) politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum dan (5) politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.47 Dari penjelasan di atas, maka dapat kita dapat simpulkan bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan juga dalam rangka mempertahankan kekuasaan. ETIKA POLITIK Etika politik sebagai bagian dari etika sosial yang membahas mengenai kewajiban-kewajiban bidang kehidupan manusia dalam bidangnya masing-masing, etika politik merupakan ‘filsafat moral’ 46 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 1-2 47 Ibid, hlm. 1-2 30 | ETIKA TERAPAN mengenai kehidupan manusia dalam dimensi kehidupan politik. Dengan demikian moral merupakan salah satu kunci untuk masuk dalam pembahasan etika politik. Kata moral menunjuk pada manusia sebagai manusia, sehingga apabila kita menambahkan di depan moral dengan kewajiban. Maka kewajiban moral merupakan kewajiban manusia sebagai manusia, adapun norma moral merupakan norma untuk mengukur betul salah tindakan manusia sebagai manusia.48 Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga negara dalam hal ini tidak identik. Seperti yang Aristoteles kemukakan, bahwa identitas antara manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri baik.49 Dengan demikian apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara dalam hal ini hidup sesuai dengan aturan negara tersebut, dengan sendirinya menjadi buruk. Hal ini dapat kita lihat, misalnya di Afrika Selatan sebelum hukum politik aparteid dihapus, warga negara Afrika Selatan yang baik adalah warga yang taat pada hukum yang berlaku di negara itu, maka warga negara yang taat hukum dengan sendirinya menjadi orang yang tidak baik, karena hukum dalam negara tersebut tidak baik. Seperti halnya etika terapan yang lain, etika politik tidak berada pada tataran mencampuri politik praktis, tetapi lebih berfungsi memberikan alat-alat teoritis dan mempertanyakan berbagai hal mengenai legitimasi politik secara bertanggung jawab. Perkembangan etika politik didasari atas ambruknya legitimasi kekuasaan yang bersifat religius dan eliter, serta munculnya kesadaran akan kesalahan dikhotomi moral dan politik.50 48 Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 13-14 49 Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, hlm. 14-15 50 Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha ETIKA TERAPAN | 31 LEGITIMASI KEKUASAAN Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan, atas dasar hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memiliki wewenang untuk berkuasa? Seberapa pun besarnya kekuasaan seseorang selalu akan diperhadapkan pada tuntuntan untuk mempertanggungjawabkan. Adapun mengenai tanggung jawab ini merupakan salah satu faktor penentu dari sah tidaknya kekuasaan ini. 51 Seorang penguasa yang tidak sanggup mempertanggungjawabkan kekuasaannya, lambat laun ia tidak akan memperoleh dukungan masyaraka dan pada akhirnya menggoyahkan kedudukannya sebagai penguasa negara. Pada Prinsipnya ada tiga macam legitimasi kekuasaan: (1) legitimasi religius, (2) legitimasi eliter dan (3) legitimasi demokrasi. 52 Legitimasi religius, merupakan legitimasi kekuasaan yang paling kuno, dimana kekuasaan dipandang dan dihayati bersumber dari alam gaib. Pemimpin rakyat atau raja dipandang sebagai perwujudan dari kekuasaan yang ilahi, sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta, sehingga melalui dirinya mengalir keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan keadilan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Implikasi dari legitimasi kekuasaan religius ini, penguasa berada melebihi penilaian moral, sehubungan raja sendiri merupakan perwujudan dari kekuatan Ilahi yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. 53 Legitimasi eliter, mendasarkan hak untuki memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Anggapan ini didasari bahwa perlu adanya kecakapan khusus yang harus dimiliki agar dapat memimpin seluruh rakyat. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat macam legitimasi eliter, yaitu legimasi aristokratis, pragmatis dalam hal ini golongan militer, ideologis dan teknokratis. Aristokratis secara tradisional merupakan suatu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat yang dianggap lebih unggul dari masyarakat yang lainnya, sehingga 51 Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,hlm. 30-31 52 Ibid, hlm. 54 53 Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 1 32 | ETIKA TERAPAN golongan ini dianggap paling berhak untuk memimpin. Adapun Pragmatis, merupakan golongan atau kelompok secara de facto menganggap diri paling tepat memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut kekuasaan dalam hal ini golongan militer. Ideologis, legitimasi ini mengadaikan adanya suatu ideologi negara yang mengikat seluruh masyarakat. Para pengemban ideologi dianggap tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdsarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya. Dalam hal ini contohnya adalah pemimpin partai komunis yang berkuasa. Sedang bentuk yang ketiga merupakan legitimasi demokrasi, yang berdasarkan kedaulatan rakyat. LEGITIMASI KEKUASAAN MENURUT ETIKA POLITIK MODERN Pada pemaparan di atas telah dijelaskan mengenai legitimasi kekuasaan, di mana atas dasar kuasanya tersebut negara dapat ‘memaksakan’ apa yang dikehendakinya kepada warganya. Pemaksaan kehendak negara kepada warganya tersebut apakah dapat dikatakan absah atau legitim. Penggunaan kekuasaan negara hanya absah apabila beberapa syarat mutlak dipenuhi. Dengan demikian sebenarnya tidak ada hak atas kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Berikut di bawah ini ada tiga prasyarat keabsahan atau legitimasi kekuasaan negara menurut etika politik modern, yaitu: (1) negara harus mengusahakan kesejahteraan umum; (2) negara harus bersifat demokratis dan (3) negara harus bersifat negara hukum. Secara rinci akan dijelaskan di bawah ini: 54 Sebelum menjelaskan tiga prasyarat legitimasi kekuasan negara menurut etika politik modern dijelaskan terlebih dahulu dua prinsip kehidupan bersama manusia, yaitu Prinsip solidaritas, bahwa dalam sebuah masyarakat, masing-masing anggota bersama-sama mengupayakan kesejahteraan bagi anggota masyarakat lainnya, senasib sepenanggungan. 54 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 116-123 ETIKA TERAPAN | 33 Prinsip subsidiaritas, lembaga yang lebih tinggi kedudukannya harus memberi bantuan kepada para anggotanya. (1) Prinsip Kesejahteraan umum, tujuan negara yang terutama adalah menciptakan kesejahteraan umum. Kondisi kesejahteraan umum ini berkaitan dengan pemenuhan kondisi kehidupan sosial anggota masyarakatnya, sehingga dapat mencapai keutuhan dan perkembangan kehidupan yang lebih baik. Ada dua pengertian dalam kaitan negara mengupayakan kesejahteraan umum ini, yaitu: (a) negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan negara adalah demi kesejahteraan manusia dan masyarakat, dengan demikian tugas negara pada hakikatnya adalah melayani. Dalam pengertian ini dipahami, apabila negara mengadakan pungutan-pungutan berupa pajak kepada warganya, bukan diartikan dalam kekuasaan negara kepada warganya, akan tetapi lebih diartikan sebagai kesediaan warga yang lain berkorban demi anggota masyarakat yang lainnya. (b) dalam pengertian kesejahteraan umum ini, negara tidak menyelenggarakan kesejahteraan masing-masing anggota masyarakatnya secara langsung, akan tetapi masing-masing individu mengupayakannya secara sendiri-sendiri, adapun negara mengupayakan melalui fungsi subsidier (membantu, menunjang), mengusahakan adanya semua kondisi yang diperlukan agar para anggota masyarakat sendiri dapat mengusahakan kesejahterannya. (2) Negara Demokratis, Dalam negara demokratis ini ada beberapa prinsip, yaitu Prinsip kedaulatan rakyat, mengatakan bahwa rakyat sendiri berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa. Setiap warga memiliki kedudukannya yang sama sebagai manusia dan warga negara, karenanya masingmasing tidak memiliki hak untuk memerintah orang lain, sehingga untuk memerintah masyarakat lainnya harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat itu sendiri. Prinsip perwakilan, dalam hal ini rakyat menjalankan kedaulatannya menurut prinsip perwakilan, karena tidak mungkin dilakukan secara langsung oleh masing-masing warga. Untuk 34 | ETIKA TERAPAN memenuhi prinsip pewakilan ini pemilihan umum merupakan sarana untuk memilih wakit-wakil rakyat. Ciri-ciri negara demokratis, sebuah negara belum dapat disebut demokratis hanya dengan mengadakan pemilihan umum dan mempunyai lembagalembaga perwakilan rakyat. (3) Negara Hukum. Tuntutan etis selain negara demokratis dalam hal mengenai cara penyelenggaraan kekuasaan negara berikutnya adalah negara harus taat pada hukum. Negara harus berwujud negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Pemerintah taat pada hukum, pemerintah dalam hal ini harus selalu bertindak dalam batas-batas hukum. Kalau pemerintah tidak berdasarkan hukum, masyarakat tidak mempunyai pegangan dan akibatnya pemerintah menjadi sewenang-wenang. Taat pada hukum berart: negara selalu bergerak dalam abats hukum dan dikontrol oleh lembaga kehakiman. Kebebasan hakim, kebebasan hakim merupakan pilar utama bagi sebuah Negara hukum. Hakim memiliki kebebasan dalam menjatuhkan keputusan dari tekanan kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Hakim sepenuhnya bertanggung jawab terhadap hukum yang berlaku menurut suara hatinya sendiri. Kebebasan hakim dari tekanan, ancaman dan paksaan pemerinatah merupakan tanda paling jelas sebuah negara yang sungguh-sungguh berwujud negara hukum. PENUTUP Jelaslah bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan juga dalam rangka mempertahankan kekuasaan, hanya dalam pelaksanaannya yang kita temui sering terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan di dalam menjalankan kekuasaan dan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. ETIKA POLITIK lebih kepada menyediakan sebuah kondisi ideal berupa alat-alat teoritis yang berguna untuk pelaksanaan menjalankan kekuasaan itu. Pada dasarnya legitimasi menurut kekuasaan etika politik modern ETIKA TERAPAN | 35 merupakan kondisi ideal yang ditawarkan dalam menjalan kekuasaan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsipprinsip Moral dasar Kenegaraan Modern Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987) Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1995) Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007) Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010) 36 | ETIKA TERAPAN ETIKA BISNIS oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Bisnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu profesi pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang profesional. Profesionalitas di sini tidak hanya diartikan dalam kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran, keuangan, sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. 55 Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa Etika Bisnis merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal ini dilihat lebih jauh oleh Kees Bertens yang menegaskan, bahwa kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern dan bisnis juga dipandang sebagai suatu kegiatan sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia. 56 Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat dari aspek bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi perusahaan yang mendatangkan keuntungan serta melakukan efisiensi, akan tetapi kegiatan bisnis juga melibatkan hubungan antara pengusahaan dengan karyawannya, pelanggan, masyarakat pada umumnya hingga pemerintah (hubungan antar manusia). Sehingga, diperlukan komitmen pribadi pengusaha yang tinggi, serius dalam menjalankan pekerjaannya, bertanggung jawab agar tidak sampai merugikan pihal lain. Dengan demikian sikap pengusaha yang diharapkan disini adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik dan tanggung jawab moral pribadinya. 55 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 56 Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 46-47 13 ETIKA TERAPAN | 37 Tiga Aspek Pokok dari Bisnis Kegiatan bisnis menurut K. Bertens dapat disorot dalam tiga sudut pandang yang berbeda yang tidak selalu dapat dipisahkan, yaitu: (1) sudut pandang ekonomi, (2) sudut pandang hukum, dan (3) sudut pandang etika, sebagai berikut di bawah ini: 57 (1) Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini, bisnis dipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Pencarian keuntungan dalam bisnis disini tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi, komunikasi sosial yang menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut. Dalam konteks seorang yang bekerja pada suatu perusahaan, motivasi utama untuk bekerja di perusahaan tersebut adalah untuk mendapatkan gaji. Walaupun seseorang bekerja pada perusahaan saudaranya, motivasi saudaranya tersebut bukan dalam rangka membantu usahanya, akan tetapi motivasi terbesar bekerja di sana adalah mendapatkan gaji. Good Business atau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis ini sedapat mungkin bisnis membawa paling besar keuntungan bagi perusahaannya. Dengan demikian kita dapat memaklumi bila seorang manajer operasi mempertahankan produktivitas perusahaannya menghasilkan barang pada suatu titik tertentu yang dianggap optimal agar biaya produksi dan biaya variabel lainnya menjadi bertambah besar yang ujung-ujungnya akan menaikan harga. (2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi ekonomis dalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut pandang dari aspek moral. Pertimbangannya adalah selalu ada masalah etis dari perilaku kita yang terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan dalam rangka mencapai keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita harus 57 Ibid, hlm. 13-32 38 | ETIKA TERAPAN menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan pertimbangan kita pun tidak mau kepentingan dan hak kita dilanggar yang berakibat kerugian bagi diri kita. Dengan demikian menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan dalam menjaga kepentingan bisnis kita. Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis yang menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik di sini merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral (berperilaku etis). (3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Ada banyak masalah hukum dalam praktik hubungan bisnis, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Seperti halnya etika, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya antara hukum dan etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine moribus?, apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian etika selalu harus menjiwai hukum. Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandngan hukum itu tidaklah cukup, perlu juga sudut pandang moral. Tidak semua hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi perlu juga pandangan moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum merupakan suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan tidak juga melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pebisnis. “If it’s morally wrong, it’s probably also illegal.” Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu juga dengan apakah perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi hukum, dapat ETIKA TERAPAN | 39 dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dapat menanyakan langsung kepada pengadilan dan meminta putusan hakim. Namun, dari aspek moral sulit mengukurnya apakah baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan tersebut. Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur, yaitu: hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum. Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini mengikat diri kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan bila mengabaikannya itu berarti kita sedang menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi dalam berbagai kasus bisnis yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga tingkat produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar keamanan. Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani, apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat subjektif hanya ada pada seorang supervisor tersebut. Tentunya ini sangat subjektif, dan bila hati nurani orang tersebut tidak dibina atau terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak semestinya, menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali. Kaidah emas, “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Atau dalam rumusan yang negatif berbunyi,”Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda.” Melalui prinsip kaidah emas ini, masingmasing kita akan mengukur apa yang akan kita lakukan terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak ingin rugi, maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula. Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga “audit sosial”. Kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum. ETIKA BISNIS Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan kata seperti “etika” dan “etis” yang dibedakan antara “etika sebagai praksis dan “etika sebagai refleksi”. 40 | ETIKA TERAPAN Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi tersebut, di bawah ini:58 Etika sebagai praksis59 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya “Ada unsur tidak etis dalam proses akuisisi”, “Tegakkan etika bisnis dengan Undang-undang Anti Korupsi”, contoh kalimat tersebut menunjuk kepada etika sebagai praksis, misalnya orang yang memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu harus secara konsisten dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga nilai dan norma dalam bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan). Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar, majalah maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau analis-analis dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis, misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini. Baik berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain berikut analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang membicarakan kasus etis tersebut merupakan wujud dari etika sebagai refleksi pada taraf popular. Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah, dijalankan dan secara kritis, metodis dan sistematis menjadikan refleksi ini mencapai taraf ilmiah. Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik buruknya perilaku manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai “filsafat 58 Ibid, hlm. 32 - 35 Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan praktik, dengan demikian praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan. Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88 59 ETIKA TERAPAN | 41 praktis”. Secara keseluruh etika membicarakan berbagai hal mengenai pemikiran moral yang lebih terarah kepada masalah-masalah konkret dan membuka diri pada topik-topik konkret dan aktual sebagai objek penyelidikannya. Dalam hal etika yang membuka diri dalam topik konkret inilah sering kita sebut sebagai “etika terapan” Etika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada masalah-masalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika terapan etika bisnis dapat dijalankan dalam taraf makro, meso dan mikro. Dalam taraf makro, etika bisnis membicarakan masalah moral skala besar, misalnya keadilan dalm suatu masyarakat terutama berkaitan dengan kaum buruh. Sementara dalam taraf meso (menengah), etika bisnis meneliti masalah etis di bidang organisasi misalnya perusahaan, lembaga dan lainnya. Sementara dalam tataran mikro, memfokuskan diri pada masalahmasalah moral dalam bisnis di kalangan manajer, karyawan, produsen, konsumen dll. 60 Bisnis dan Etika Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika sebagai filsafat praktis yang mengkaji masalah-masalah moral, sampai dengan pembahasan etika bisnis sebagai etika terapan yang mengkhususkan dirinya mengkaji masalah-masalah moral di bidang bisnis. Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih kepada bagaimana bisnis tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang benar bisnis memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis dan etika? Mitos Bisnis Amoral Business is business, sering kita dengar ungkapan ini yang intinya menekankan bahwa urusan bisnis tidak ingin dicampuri dengan berbagai hal yang tidak berhubungan dengan bisnis. Ungakan ini menurut De George dalam buku Etika Bisnis Sonny Keraf disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan ini menggambarkan, bahwa orang berbisnis adalah semata-mata berbisnis dan bukan sedang beretika. Singkat kata, mitos bisnis amoral ini menyatakan bahwa kegiatan bisnis tidak ada 60 K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37 42 | ETIKA TERAPAN hubungannya dengan masalah etika atau moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh dicampuradukkan, bisnis hanya dapat dinilai dengan kategori dan normanorma bisnis dan bukan dengan kategori dan norma-norma etika. 61 Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan dengan etika, maka yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak lain dari memperoleh keuntungan. Maka kegiatan operasi perusahaan berfokus pada menekankan biaya serendah mungkin, mengejar output produksi yang optimal, bisa saja untuk mengejar produksi yang optimal pebisnis memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya tanpa memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara itu di bidang pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa dengan target-target penjualannya, tidak peduli bagaimana cara mencapai target tersebut yang penting target terpenuhi. Demikian pun dengan bagian sumber daya manusia, bisa saja mengabaikan aturan-aturan normatif dibidang ketenagakerjaan demi mempertahankan tingkat efisiensi produksi. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya bisnis tersebut dijalankan dengan menghalalkan berbagai cara ini, pasti pebisnis tersebut akan menemui berbagai persoalan di dalamnya. Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak dapat terima sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki kaitan dengan masalah moral. KEADILAN Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun memanfaatkan sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar abad ke 19, di Eropa Barat telah berkembang pemikiran di bidang kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi cara berpikir utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa cara berpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility) yang paling besar bagi kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu dianggap baik dan 61 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56 ETIKA TERAPAN | 43 memadai ukurannya adalah manfaat yang mendatangkan kebahagiaan yang terbesar yang menjadi pilihan tindakannya. 62 Sumbangan pemikiran seperti di atas cukup menolong para pebisnis, mengingat kompleksitas bisnis saat ini. Melalui prinsip utilitarianisme tersebut tampaknya merupakan cara sederhana dalam memecahkan permasalahan yang kompleks dalam dunia bisnis, artinya cukup berprinsip dari segi kemanfaatan pebisnis dapat mengambil pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini kurang memadai, mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-ujunganya dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain. Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai dalam mengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi kegiatan bisnis ini berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity), sehingga perlu ada pemikiran lain yang membantu mengatasi masalah ini, diantaranya adalah teori keadilan. Teori Keadilan John Rawls63 John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk membayangkan sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang memperbincangkan mengenai isi dan bentuk suatu masyarakat yang adil dengan kondisi belum ada apa-apa. Jadi masyarakat yang adil tersebut diciptakan dari nol. Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki tingkat objektivitas yang maksimal, setiap orang akan memikirkan suatu masyarakat yang mampu memberikan manfaat dan berkat bagi dirinya sendiri. Dalam situasi demikian menurut Rawls akhirnya, bila orang-orang itu berakal sehat maka, masyarakat itu harus bertindak “fair” kepada setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata lain, dalam masyarakat tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan secara tidak “fair”. Rawls 62 Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36 63 Ibid, hlm. 37-40 44 | ETIKA TERAPAN menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat “fair”. “Justice as fairness”. Kemudian apakah “fairness” itu? Rawls menjelaskan dua prinsip. Pertama, “Equality” atau kesamaan. Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama. “Fair” berarti setiap orang harus tunduk pada peraturan main yang sama dan peraturan main itu tidak dirumuskan hanya untuk menguntungkan sebagian orang. Kedua, Kesamaan tidaklah sama dengan persamaan. Karena, memang orang tidak sama. Memperlakukan semua orang secara mutlak sama, justru tidak menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Dengan demikian, maka pembedaan adalah tidak adil, sedangkan perbedaan itu diperlukan demi keadilan. Kemudian, perbedaan manakah yang dikatakan adil atau “fair” tersebut? Rawls menyatakan, perbedaan dapat dikatakan “fair” apabila “hasilnya mendatangkan keuntungan bagi semua orang, khususnya anggota-anggota masyarakat yang paling lemah kedudukannya”. Dengan demikian perbedaan “diharamkan” bila ia hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yang kedudukannya kuat. Jadi, perbedaan dapat diterima, bila mereka yang berada di tingkat paling bawah menganggap perbedaan itu menguntungan mereka. Rawl mengatakan, “Bukanlah suatu ketidakadilan bila keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh yang sedikit, dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yang lemah mengalami perbaikan.” Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah prinsip-prinsip “fair” ini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh setiap orang yang berakal sehat. Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan “apa yang seharusnya” merupakan nilai yang luhur dan berharga, sehingga orang dengan sukarela dan sungguh-sungguh mau mengikatkan dirinya. Sehingga dalam keputusan etis yang diambil dalam praktik berbisnis bukan saja dari segi manfaat yang paling besar yang akan diperoleh, tetapi juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di dalamnya. KEUNTUNGAN Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah: berapa besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan bagaimana pula ETIKA TERAPAN | 45 ukuran-ukuran etisnya? Pandangan umum mengatakan bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar bila orang berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi keuntungan atau profit maximization merupakan satu-satunya tujuan bagi perusahaan.64 Hal ini dapat kita lihat dalam teks buku-buku pegangan mahasiswa ekonomi, profit maximization ini masih dipelajari sampai saat ini. Mari kita lihat sebagai misal bagaimana maksimalisasi laba itu diperoleh dalam kondisi industri kompetitif sempurna, yang mana produksi akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat sama dengan biaya marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus MR=MC, pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan mahasiswa Ekonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.65 Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh mahasiswa ekonomi sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini bukan menjadi satu-satunya pegangan dalam menjalankan berbisnis dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritis dalam memang prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan satu-satunya tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada pengerahan semua sumber daya perusahaan agar mencapai profit yang maksimum. Pengerahan sumber daya ini termasuk juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, janganjangan demi profit maksimum ini perusahaan menjadikan karyawan hanya sebagai alat semata. Tidak heran bila beberapa waktu yang lalu kita menemukan sebuah perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan buruhnya dengan semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang belum cukup umur (masih usia anak-anak)66. Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka jelas sangat ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18, yaitu Immanuel Kant. Kant menuturkan dalam bukunya Foundations of the 64 Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70 65 Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212 66 http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Guga t.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24 46 | ETIKA TERAPAN Metaphysics of Moral (1785), “Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.”67 Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan karyawannya sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak menganggap karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk memperoleh keuntungan yang menjadi tujuan utamanya. Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut kita akui bahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis agar dapat memiliki etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu karya amal, bisnis tetaplah bisnis yang mencari keuntungan. Keuntungan merupakan unsur yang hakiki dalam berbisnis, namun keuntungan pebisnis tidak boleh memutlakan keuntungan. Maksimalisasi keuntungan sebagai suatu tujuan perusahaan akan berakibat timbulnya keadaan yang tidak etis. Dengan demikian kita harus melihat ulang mengenai keuntungan itu dengan memandang keuntungan sebagai suatu yang relatif. Relativasi Keuntungan68 Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan membedakan keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi (motive). Maksud atau purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi bersifat subjektif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya: kita memberikan sedekah kepada pengemis supaya ia bias makan (merupakan maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Demikian juga dengan bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud (purpose) dari bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan merupakan motivasi dalam berbisnis. Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit bukanlah satu-satunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang menggambarkan relativasi keuntungan dalam bisnis diantaranya: keuntungan merupakan 67 James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 68 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162 235-236 ETIKA TERAPAN | 47 tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan, keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa barang dan jasa dihargai oleh masyarakat, keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha, keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan dan keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha. KONSUMEN Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, dapat didefinisikan sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”69 Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan produsen sudah seharusnya mendapat perhatian. Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut, harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segisegi etis dari relasi bisnis (dalam hal ini konsumen sudah mendesak), mengingat posisi konsumen sering dalam posisi yang lemah. Walau pun konsumen memiliki gelas “raja” namun pada kenyataannya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai sebab. 70 Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke dalam empat hak konsumen, sebagai berikut:71 1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko tertentu untuk konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan dan keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk tersebut tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan keamanan produsen. 69 Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), hlm. 22-23 70 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228 71 Ibid, hlm. 228-230 48 | ETIKA TERAPAN 2. 3. 4. 5. 6. Hak atas informasi, konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relavan mengenai produk yang dibelinya, baik bahan baku apa saja yang digunakan dalam membuat produk tersebut, cara memakainya, maupun risiko yang menyertai pemakaian itu. Hak untuk memilih, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga produk dapat berbeda, konsumen berhak untuk membandingkan sebelum memutuskan membeli. Hak untuk didengar, konsumen berhak atas keinginannya tentang produk atau jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya. Hak lingkungan hidup, ia berhak produk dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses alam. Konsumen boleh menuntut bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini. Hak konsumen atas pendidikan, konsumen diharapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya. Tanggung jawab Menyediakan Produk yang Aman Dalam bagian hak telah dijelaskan hak apa saja yang dimiliki konsumen, sebaliknya produsen sendiri dituntut tanggung jawab untuk menyediakan produk yang dihasilkannya tersebut aman. Tiga pandangan tentang tanggung jawab produsen dalam menyediakan produk yang ditawarkan kepada konsumen tersebut aman dapat dipaparkan sebagai berikut:72 1. Teori kontrak, jika konsumen membeli sebuah produk atau jasa, konsumen seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjual produk tersebut, misal seseorang memarkir kendaraannya di sebuah tempat parkir umum, ia mendapatkan struk tanda parkir dan dibelakang struk tersebut tertera berbagai ketentuan-ketentuan mengenai parkir di tempat tersebut, atau jika 72 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239 ETIKA TERAPAN | 49 anda membuka rekening tabungan di bank anda akan disodori berbagai syarat dan ketentuan tabungan yang harus anda ketahui. 2. Teori perhatian semestinya, atau disebut dengan the due care theory. Pandangan ini bertolak dari posisi konsumen yang lemah, maka produsen mempunyai lebih banyak pengetahuan dan pengalaman pada produk tersebut. Maka kewajiban produsen adalah menjaga agar konsumen tidak merasa dirugikan, misalnya produsen mainan wajib mencantumkan dalam kemasan akan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari mainan yang dijualnya. 3. Teori biaya sosial, produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Demikianlah tanggung jawab produsen ini, agar konsumen tidak mengalami kerugian atas pemakain barang dan jasa yang ditawarkannya. IKLAN Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai bentuk informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai kehidupan kita, dari mulai bangun pagi kita menyalakan TV sudah ditawari berbagai iklan. Kemudian kita pergi ke tempat pekerjaan di jalanan kita menemukan berbagai iklan media luar ruangan yang memenuhi berbagai tempat. Setelah tiba di kantor kita buka komputer kerja dan terhubung dengan internet, di internet pun kembali kita menemukan iklan. Demikian seterusnya sampai kita terlelap tidur barulah kita terbebas dari iklan tersebut. Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui suatu media. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran promosi yang terdiri dari personal selling, sales promotion dan publicity. Sejatinya iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain: memberikan informasi atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi 50 | ETIKA TERAPAN produk, menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat komunikasi dan menjaring khalayak. 73 Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi masalah etis di dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat dalam topik etika bisnis? Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak kritik dan menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti dipahami secara umum, untuk membuat sebuah iklan perusahaan tidak segan-segan membelanjakan dananya yang besar, kemudian budget dana yang besar itu bila diamati tidak menambah suatu produk dan tidak juga meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya hanyalah penyedot biaya yang besar yang alih-alihnya dibebankan kepada konsumen untuk membayarnya. Sebagai misal produk susu formula untuk bayi, konsumen membayar mahal untuk satu kali susu formula. Kalau dihitung biaya produksi saja sampai ke tangan konsumen dikurangi biaya iklan, konsumen mungkin tidak harus membayar mahal untuk sekaleng susu formula tersebut. Harga menjadi mahal setelah ditambahkan dengan komponen biaya promosi mulai dengan membiayai para tenaga penjualan (Sales Promotion Girl) yang selalu stand-by di outlet/supermarket, tenaga penjualan yang datang berkunjung ke rumah sakit menemui dokter, bidan dan ibu-ibu yang baru melahirkan, iklan diberbagai media (cetak, elektronik, media luar ruangan dll). Masalah tidak berhenti sampai pada biaya besar yang dibebankan kepada konsumen, tetapi masalah sosio kultural juga menjadi perhatian. Tidak jarang iklan yang hilir mudik di media komunikasi menampilkan suatu suasana hedonis, materialis, tidak mendidik, dan cenderung mendorong sikap konsumtif kepada masyarakat.74 Demikianlah permasalahan etis yang dapat dikaji dalam periklanan ini. 73 Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010), hlm. 2-4 74 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264 ETIKA TERAPAN | 51 Periklanan dan Kebenaran Tahun 2012 yang lalu seorang ibu yang bernama Milla tertarik dengan “iklan” bermerek Nissan March. Milla pun membeli Nissan March matic pada 7 Maret 2011 seharga Rp159,8 juta. “Nyatanya, mobil (Nissan March) saya kok boros banget. Saya sih nggak mengharapkan yang mulukmuluk seperti di iklan, ya sekitar 1:14 atau 1:13, saya rasa sudah cukup bagus. Tetapi setelah melakukan pengujian beberapa kali, hanya mampu 1:7 atau 1:8,” kata Milla. Milla pun akhirnya mengajukan gugatan secara resmi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah keluhannya ini tidak didengar oleh Nissan. 75 Apabila ibu Milla merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan oleh produsen mobil tersebut, bagaimana dengan anda? Pernahkah anda membaca iklan yang anda tahu, pernyataan dalam iklan tersebut tidak mengandung kebenaran, ‘bombastis’ dan cenderung dibesar-besarkan? Iklan memang memiliki stereotipe (mendapatkan ‘cap’ dari masyarakat) yang suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori (dipastikan) disamakan dengan tidak bisa dipercaya. 76 Tentu saja berbohong merupakan suatu perbuatan yang tidak etis. Tetapi apakah benar iklan mengandung unsur kebohongan? Dalam konteks moral harus dilihat “maksud” dalam perbuatan berbohong ini. “Maksud” disini adalah ada unsur kesengajaan. Dapat saja sebuah iklan mengatakan sesuatu yang tidak benar, misalnya iklan sebuah obat yang sangat efektif mengatasi rasa sakit, ternyata ada efek samping yang tidak terduga sebelumnya. Iklan obat ini tidak berbohong, karena tidak dengan sengaja menyimpang efek samping yang ditimbulkan. Maksud berikutnya adalah agar orang lain percaya, dalam hal ini iklan informatif dan iklan persuasif. Unsur informasi selalu benar, misalnya menginformasikan kandungan makanan, zat pewarna, pengawet dan infomrasi produknya halal.77 75 http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissanberupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42 76 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266 77 Ibid, hlm. 266 52 | ETIKA TERAPAN Iklan dalam penggunaan bahasa menggunakan retorika sendiri yang cenderung produknya adalah yang terbaik dibidangnya atau nomor satu di kelasnya. Misalnya “melezatkan setiap masakan”, “membersihkan paling bersih”, “bintang segala bir”, dll. Bahasa periklanan disini sarat dengan superlatif dan hiperbol. Dalam hal ini si pemasang iklan tidak bermaksud sama sekali agar public percaya begitu saja, dan tentunya publik pun tahun bahasa retorika tersebut tidak perlu dimengerti secara harafiah. Maksudnya di sini bukan memberi informasi yang belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon pembeli. Setelah mengamati masalah periklanan di atas, ternyata cukup sulit memlihat hal yang etis dan tidak etis di dalam periklanan. Sama halnya dengan sulit untuk membedakan antara “melebih-lebihkan” dan “berbohong”, sehingga masalah kebenaran di dalam periklanan tidak dapat dipecahkan dengan cara membedakan secara hitam dan putih. Banyak bergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk menerimanya atau tidak.78 Kembali ke kasus Ibu Milla di atas, pertanyaannya apakah Nissan berbohong? Di dalam konten iklan itu dinyatakan kendaaran irit/hemat bahan bakar dan di atas pernyataan irit itu ada tanda asteris (*) yang menerangkan kendaraan tersebut telah diuji tingkat konsumsi bahan bakarnya di sebuah sirkuit oleh outo bild. Akal sehat kita membandingkan sirkuit yang bebas hambatan dan jalanan di Jakarta yang macet parah, kirakira kendaraan macam apa yang dapat menghemat bahan bakar sampai dengan 21 Km /liter atau minimal 14 km/liter? Jadi apakah Nissan berbohong dalam iklannya? TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN Tanggung jawab sosial diartikan sebagai menjalankan sebuah bisnis yang memenuhi atau melampaui harapan etis dan legal yang dimiliki masyarakat terhadap bisnis tersebut. Dalam hal ini memastikan 78 Ibid, hlm. 269 ETIKA TERAPAN | 53 keberhasilan komersial dalam cara-cara yang menghormati nilai-nilai etis dan menghormati orang, masyarakat dan lingkungannya. 79 Tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibedakan dengan tanggung jawab ekonomis perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan yang dimaksud di sini merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis. Perusahaan dalam hal ini melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu kelompok masyarakat, misalnya perusahaan menyelenggarakan pelatihan keterampilan untuk para penganggur di lingkungannya. 80 Tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat dilihat dari sisi negatif, di mana perusahan menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan tertentu, yang sebenarnya menguntungkan secara ekonomis. Misalnya sebuah perusahaan kertas membuang limbahnya langsung ke sungai, praktik ini menguntungkan secara ekonomis, karena tidak perlu membuat pengolahan air limbah yang mahal. Dalam hal menanggung kerugian masyarakat inilah perusahaan harus bertanggung jawab, sehingga tanggung jawab sosial di sini diartikan dari sisi negatif. Demikianlah perusahaan seyogyanya selain melakukan kegiatan yang menguntungkan bagi perusahaannya, juga memperhatikan berbagai kegiatan yang memberikan sumbangan yang berarti untuk masyarakat secara luas. PENUTUP Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di atas merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis yang ada dalam kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan hidup secara khusus akan dibahas dalam topik Etika Lingkungan hidup. 79 Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), 80 Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297 hlm. 143 54 | ETIKA TERAPAN DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998) Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2004) Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010) Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001) Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008) Jacobus Tarigan, MA. (Penyunting), ETIKA BISNIS: Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994) James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004) Kees Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000) Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003) Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004) ETIKA TERAPAN | 55 Sumber internet: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan. Gugat.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24 http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumennissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42 56 | ETIKA TERAPAN ETIKA KERJA Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai etika kerja ini, ada baiknya kita terlebih dahulu mendapatkan penjelasan mengenai kerja. Beberapa orang beranggapan, bahwa pekerjaan itu merupakan suatu beban atau bahkan sebagai suatu kutukan karena kita telah berdosa kepada Tuhan. Sebagian lagi berpendapat, kerja merupakan kewajiban manusia agar dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan kehidupannya di dalam dunia ini. Dalam sebuah artikel bagi orang Jawa berpandangan mengenai kerja. Bahwa hidup di dunia merupakan ujian yang harus diselesaikan dengan berbagai cara. Orang hidup menurut pengertian Jawa wajib bekerja keras, tanpa pamrih yang berlebihan seperti ungkapan bila seseorang ditanya tentang tujuan mereka bekerja, adalah ‘ngupoyo upo’ artinya mencari sebutir nasi. Ungkapan ini menggambarkan betapa beratnya pekerjaan yang harus diupayakan sedemikian rupa.81 Mengenai arti kerja itu, memang bergantung kepada bagaimana seseorang tersebut memaknainya. Marilah kita melihat mengenai kerja ini dipandang dari tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Ternyata, bekerja merupakan bagian dari hakikat manusia itu sebagai manusia. Pada awal penciptaan, manusia ditempatkan di sebuah taman, namun bukan sebagai penikmat taman itu, tetapi Tuhan menempatkan manusia di sana untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Singkatnya, Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja. Jadi salah bila mengatakan kerja itu sebagai beban atau kutukan.82 Adapun bagi seorang seniman, hakekat kerja adalah penciptaan. Maka atas dasar penicptaan inilah, seorang seniman mampu memandang bahan-bahan sebagai sesuatu yang mampu mengoyakan gairannya untuk 81 Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm. 307 82 Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 100-101 ETIKA TERAPAN | 57 berkreasi, untuk mendapatkan warna atau bentuk terbaik digali sedemikian rupa dalam proses penciptaannnya. 83 Nah kalau begitu, menurut anda apa itu kerja? ETHOS KERJA Ethos merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang sering digunakan dalam bahasa modern saat ini. Menurut kamus Concise Oxford Dictionary (1974) ethos dapat didefinisikan sebagai characteristic spirit of community, people or system, atau merupakan sebagai suasana yang khas menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem. Sehingga bila kita mendengar ‘ethos kerja’ atau ‘etika profesi’ itu berarti menunjuk pada suasana khas yang menandai kerja atau profesi. Suasana khas yang dimaksud ini berkaitan dengan suasana yang baik secara moral. Suasana yang bernuansa etis tersebut dalam kelompok kerja atau profesi tersebut.84 Sehingga dalam rangka menuangkan suasana yang etis tersebut, biasanya kelompok tersebut menuangkannya dalam suatu kode etik atau dituangkan dalam peraturan perusahaan. Lebih lanjut mengenai ethos kerja ini, Jansen H. Sinamo yang dikenal sebagai Bapak Ethos Indonesia merumuskan ada 8 Ethos Kerja yang dikembangkannya, adalah: (1) kerja adalah rahmat: bekerja dengan tulus dan penuh rasa syukur; (2) kerja adalah amanah: bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab; (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas penuh integritas; (4) kerja adalah aktualisasi diri: bekerja keras penuh semangat, (5) kerja adalah ibadah: bekerja dengan serius penuh kecintaan; (6) kerja adalah seni: bekerja cerdas penuh kreativitas; (7) kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan; (8) kerja adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati. 85 Delapan rumusan ethos kerja di atas sangat menarik sarat dengan nilai-nilai religius dan etis yang memberikan makna terhadap pekerjaan yang ditekuni. 83 Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 105 84 Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm.219 85 Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23 58 | ETIKA TERAPAN Melihat pemaparan pendahuluan kita mendapat penjelasan mengenai konsep-konsep, nilai-nilai etis dan hakekat mengenai kerja itu sendiri. Sedangkan pada bagian ethos kerja kita mendapatkan penjelasan tentang bagaimana sikap dan praktik dari bekerja tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara ETIKA KERJA dan ETHOS KERJA adalah etika itu berada pada tataran ideal (ingat bahan kuliah pertama), sedangkan ethos berada pada situasi yang faktual. Atau secara singkat kita katakan etika kerja adalah teori dan ethos kerja adalah praktiknya. PEKERJAAN DAN PROFESI Bila kita menanyakan mengenai profesi seseorang, sering kali kita mendapatkan jawaban pekerjaan orang tersebut, misalnya: Profesi bapak sekarang apa pak? Bapak tersebut menjawab, “Saya memiliki profesi sebagai dokter”. Sepintas dari jawaban bapak tersebut antara profesi dan pekerjaan yang digelutinya adalah memang sama, profesi sebagai dokter ya bekerja juga sebagai dokter. Dengan demikian pekerjaan seolah sama dengan profesi, dan profesi sama dengan pekerjaan. Pemahaman ini tidaklah salah, karena profesi merupakan pekerjaan, yang ditekuni oleh seseorang. Namun demikian, antara pekerjaan dan profesi sebenarnya terdapat perbedaan, sehubungan dengan hal yang dikerjakan yang kita golongkan sebagai profesi memiliki kekhususan.86 Berikut di bawah ini merupakan ciri dari profesi, sebagai berikut:87 a. Pengertian Profesi Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi dalam hal ini moral yang mendalam. Dengan demikian seseorang yang layak disebut sebagai profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi 86 Antonius Atosokhi Gea, hlm. 219-220 A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS – Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penerbit KANISIUS, 1998), hlm. 35-48 87 ETIKA TERAPAN | 59 serta memiliki komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya. Dengan demikian secara sederhana kita dapat katakan, seorang yang profesional adalah orang yang kehidupannya didedikasikan sepenuhnya pada pekerjaannya dan mendapat penghidupan dari pekerjaannya tersebut. Atas pertimbangan tersebut orang tersebut memiliki disiplin, ketekunan dan keseriusan sebagai wujud komitmen atas pekerjaannya. Ada tiga hal yang membedakan pekerjaan seorang profesional dan pekerjaan sebagai sebuah hobi, yaitu: (1) pekerjaan sebagai hobi dijalankan terutama demi kepuasan dan kepentingan pribadi, (2) pekerjaan sebagai hobi tidak punya dampak dan kaitan langsung yang serius dengan kehidupan dan kepentingan orang lain, serta tidak mempunyai tanggung jawab moral yang serius atas hasil pekerjaan itu bagi orang lain. (3) pekerjaan sebagai hobi bukan merupakan sumber utama dari nafkah hidupnya. Untuk menjelaskan ketiga poin ini tentu kita bisa membedakan kegiatan photography sebagai profesional dan hobi. Dalam hal orang menjalankan profesi luhur, misalnya profesi sebagai dokter, penasihat hukum, hakim, jaksa, rahaniawan (pendeta atau pastor), tentara dan sebagainya, pada kenyataannya mereka membutuhkan nafkah hidup dan bahkan hidup dari profesi ini. Akan tetapi tujuan utama mereka adalah menjalankan profesi luhur ini, bukan untuk memperoleh nafkah hidup, melainkan untuk mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat. Hal ini dapat kita melihat dalam diri seorang dokter yang bernama, dr. Lo Siauw Ging. Seorang dokter senior di kota Solo ini tidak pernah menentukan tarif untuk pasien yang datang kepadanya. Bahkan ia lebih banyak memberikan pelayanan Cuma-cuma kepada pasien yang kurang mampu. Ketika ditanya oleh wartawan mengenai 60 | ETIKA TERAPAN motivasinya ini, dokter senior ini mengatakan, “kalau mau cari duit jangan jadi dokter, jadilah pedagang”88 Dalam hubungan antara pengabdian kepada masyarakat dan nafkah hidup berkembang menjadi saling mengisi dan mengkondisikan. Pada satu pihak, para profesional ingin mengadikan seluruh hidupnya demi kepentingan banyak orang. Namun di pihak lain semakin ia profesional dalam menjalankan profesinya, semakin banyak pula ia memperoleh imbalan atas profesinya itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari profesionalismenya. Artinya, semakin baik dan profesional ia melayani masyarakat, semakin banyak pula orang yang menjadi langganannya dan karena itu ia akan memperoleh imbalan yang semakin baik. Maka istilah profesional hampir identik dengan mutu, komitmen, tanggung jawab dan bayaran yang tinggi. b. Ciri-ciri Profesi Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita peroleh ciri-ciri profesi, yaitu: (1) adanya keahlian dan keterampilan khusus. (2) adanya komitmen moral yang tinggi. (3) orang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya. (4) pengabdian kepada masyarakat. (5) profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk mejalankan profesi tersebut, misal dokter, akuntan publik, pengacara dll. (6) kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi, misalnya IDI untuk dokter, IAI untuk Akuntan, dll. c. Prinsip-prinsip Etika Profesi Ada empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. (1) Prinsip tanggung jawab, seorang yang profesioan sudah dengan sendirinya bertanggung jawab. Pertama, tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kepentingan atau bahkan 88 http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kayajangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014 ETIKA TERAPAN | 61 kehidupan orang lain. (2) Prinsip keadilan, prinsip ini menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang yang dilayani dalam profesinya. (3) Prinsip otonomi, merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. (4) Prinsip integritas moral, berdasarkanhakikat dan ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yangpunya integritas pribadi atau moral yang tinggi. KEWAJIBAN SEBAGAI KARYAWAN DAN PERUSAHAAN89 Dalam kaitan dengan kerja dan mempekerjakan pada baian ini dibahas mengenai kewajiban karyawan dan kewajiban perusahaan. Kewajiban karyawan dan perusahaan di sini, tidak bermaksud membahas seluruh hubungan kewajiban antara karyawan dan perusahaan, tetapi bagian ini membatasi hubungan yang dapat menimbulkan masalahmasalah etis. Permasalahan itu diantaranya: konflik antara kewajibankewajiban moral atau yang kita kenal sebagai dilema moral, misalnya sebagai karyawan menghadapi kondisi harus memenuhi dua kewajiban yang berbeda, disatu sisi sebagai karyawan ia memiliki kewajiban harus bekerja datang ke kantor tepat waktu, di sisi lain ia juga sebagai kepala keluarga berkewajiban memperhatikan anaknya yang sedang sakit. Mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu? Berikut di bawah ini dipaparkan kewajiban karyawan dan perusahaan. Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan Dari sekian banyak kewajian karyawan terhadap perusahaan, dipaparkan hanya tiga kewajian yang menimbulkan masalah khusus, yaitu kewajiban ketaatan, konfidensial dan loyalitas, yang dipaparkan sebagai berikut di bawah ini: 89 K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm. 167-225 62 | ETIKA TERAPAN a. Kewajiban ketaatan, karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, sehubungan keterikatan kita dengan perusahaan itu menimbulkan konsekuensi ketaatan pada pimpinan di dalam perusahaan tersebut. Ketaatan di sini tidak berarti apa pun yang diperintahkan pimpinan kita sebagai karyawan harus taat, kita tidak harus mematuhi perintah pimpinan dalam hal, (1) perintah yang tidak bermoral, misalnya atas meminta karyawan melakukan praktik penipuan (transaksi fiktif), (2) perintah yang tidak wajar, walau pun dari segi etika tidak ada masalah (bukan masalah etis), misalnya perintah yang tidak hubungannya dengan kepentingan perusahaan seperti pimpinan meminta sopir perusahaan mencuci mobil pribadinya, atau pimpinan meminta mengantar jemput anaknya. (3) tidak perlu mematuhi walaupun demi kepentingan perusahaan, namun tidak sesuai dengan job deskripsi yang disepakati, misalnya seorang karyawan bagian keuangan tidak berkewajiban mematui perintah mengirim barang pesanan kepada klien perusahaan. Namun hal ini perlu dilihat kasus per kasus, bila perusahaan tempat kita bekerja merupakan perusahaan berskala kecil, maka tidak menutup kemungkinan kita bekerja melampaui dari job deskripsi yang telah disepakati, anda sebagai karyawan di bagian keuangan harus dapat juga menjual produk perusahaan anda. b. Kewajiban konfidensialitas, kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial (rahasia) yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Dalam konteks perusahaan konfidensialitas memang peranan yang penting, misalnya akuntan, dengan pekerjaannya ia mempunyai akses pada informasi penting perusahaan. Informasi ini diperoleh karena pekerjaannya sebagai karyawan di bagian tersebut dan jika ia tidak bekerja di bagian ini tentu saja ia tidak akan mengetahui informasi rahasia tersebut. Mengapa sebagai karyawan perlu menyimpan informasi rahasia ini? Alasan utamanya adalah perusahaan merupakan pemilik informasi rahasia tersebu, berarti membuka informasi rahasia sama dengan mencuri. Kemudian alasan lainnya adalah dewasa ini persaingan bisnis sudah sedemikian ketat, memiliki informasi ETIKA TERAPAN | 63 tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap perusahaan lainnya dengan drastis, sehingga membuka rahasia perusahaan akan sangat mengganggu kompetisi yang fair. Rahasia perusahaan ini, misalnya formula sebuah produk, resep masakan disebuah restoran terkenal, racikan komposisi farmasi di perusahaan obat dll. c. Kewajiban Loyalitas, merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari apa yang merugikan kepentingan perusahaan. Faktor yang bisa membahayakan loyalitas ini adalah konflik kepentingan, antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan, misalnya seorang montir bengkel resmi mobil, setiap selesai jam kerja dia mengerjakan perbaikan mobil di rumah customer. Hal ini tidak salah selama kepentingan pribadi dan perusahaan tidak saling bersaing, lain halnya dengan kejadian misalnya ada seorang klien bengkel resmi tersebut mempertimbangkan mahalnya biaya perbaikan dan spare part yang juga tidak murah, anda sebagai montir kemudian menawari klien bengkel tersebut untuk jasa perbaikan yang sama tentunya dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada bengkel tempat anda bekerja tawarkan. Demikianlah kurang lebih kewajiban karyawan terhadap perusahaan tempat di mana ia bekerja. Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan Berikut ini dipaparkan mengenai kewajiban perusahaan terhadap karyawannya, sebagai berikut: a. Perusahaan tidak boleh mempraktikan diskriminasi, diskriminasi di sini menyangkut masalah gender, ras, golongan maupun agama tertentu. 64 | ETIKA TERAPAN b. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, terkait dengan keselamatan kerja tersebut bisa terwujud bila tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja adalah aman, jika bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat, kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit. c. Kewajiaban memberi gaji yang adil, sampai saat ini tidak dapat disangkal gaji merupakan salah satu motivasi dalam bekerja, karena itu perusahaan harus memperhatikan dalam pemberian gaji ini. Beberapa pertimbangan dalam memberikan gaji antara lain: (1) menurut keadilan distributif, upah atau gaji dianggap adil, bila merupakan imbalan untuk prestasi. Sehingga wajar bila seseorang yang telah memberikan prestasinya yang besar diberikan upah yang lebih besar. Berikut beberapa faktor agar gaji itu dianggap adil atau fair, antara lain berpegang pada: a) peraturan hukum, b) upah yang lazim dalam sektror industri tertentu atau daerah tertentu, c) kemampuan perusahaan, d) sifat khusus pekerjaan tertentu, e) perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan, f) perundingan upah/gaji yang fair. d. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena, ada beberapa alasan mengapa perusahaan memberhentikan karyawan, antara lain: internal perusahaan (restrukturisasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan lain), alasan eksternal (resesi ekonomi, konjungtur) dan kesalahan karyawan itu sendiri. PENUTUP Pada bagian ini kita sudah belajar mengenai memaknai pekerjaan, bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang bekerja, manusia didesain untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang. ETIKA KERJA berada pada tataran ideal yang mencoba mendalami mengenai makna dari kerja, sedangkan ETHOS KERJA berada pada situasi yang faktual dalam praktik sehari-hari. Pemahaman antara pekerjaan dan profesi, mempertajam kita bagaimana kita bersikap profesional dalam menjalani ETIKA TERAPAN | 65 profesi. Dan apabila kita bekerja pada orang lain atau suatu perusahaan, kita memiliki kewajiban dan sebaliknya perusahaan pun memiliki kewajiban perusahaan. DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS – Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penerbit KANISIUS, 1998) Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005) Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997) Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 1990) Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010) K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000) Sumber Internet: http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kayajangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014 66 | ETIKA TERAPAN ETIKA LINGKUNGAN Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA. PENDAHULUAN Dalam bagian di awal-awal pertemuan Etika bagian dari Etika dasar dengan jelas disebutkan, bahwa dalam pembahasan Etika tidak dapat dilepaskan dari manusia. Namun pada bagian ini justru etika membahas lingkungan, sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa etika membahas mengenai masalah lingkungan? Seperti halnya Etika Bisnis, bahwa sudut pandang etika melihat bisnis dalam aspek hubungan antar manusia yang satu dan yang lainnya dalam lapangan dunia bisnis. Demikian halnya pula Etika lingkungan, sama sekali tidak meninggalkan manusia dan hanya membahas lingkungan. Tetapi, justru memandang masalah-masalah yang terjadi di bidang lingkungan hidup ini dalam sudut pandang manusia sebagai sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini. Menurut A. Sonny Keraf dalam bukunya ETIKA LINGKUNGAN HIDUP menegaskan, bahwa tidak dapat disangsikan lagi berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi di lingkup nasional, maupun global, sebagaian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan di laut, hutang, atmosfer, air, tanah dan sebagainya berawal dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan cenderung mementingkan diri sendiri. 90 Selanjutnya menurut Arne Naess di dalam A. Sonny Keraf menegaskan bahwa, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandangan dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar dan radikal. Menurutnya diperlukan sebuah gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi budaya masyarakat secara keseluruhan. 91 Beberapa waktu yang lalu ada seorang warga negara asing di Bandung menulis mengenai kota Bandung yang disebutnya sebagai 90 A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm.1-2 91 Ibid, hlm. 2 ETIKA TERAPAN | 67 “Bandung The City of Pigs”, “Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi.” Dari pernyataan tersebut dikaitkan dengan etika lingkungan hidup adalah yang diperlukan menutut gaya hidup baru yang tidak menyangkut orang per orang namun seluruh warga kota Bandung. Dengan demikian diperlukan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk berinterkasi secara baru dengan lingkungannya dan alam semesta. Dengan demikian masalah lingkungan tidak dapat disangkal lagi, inti permasalahannya ada dalam sikap moral manusia dalam memandang dan memperlakukan alam. LINGKUNGAN HIDUP Lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup (termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya) yang memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.92 Dari definisi di atas jelaslah, bahwa lingkungan hidup merupakan ruang sebagai tempat bagi manusia dan mahluk hidup lainnya tinggal dan hidup bersama. Secara singkat lingkungan hidup itu sendiri meliputi lingkungan biofisik yang terdiri atas abiotik dan biotik, lingkungan sosial ekonomi dan lingkungan budaya.93 TEORI ETIKA LINGKUNGAN HIDUP Pada prinsipnya etika lingkungan berusaha untuk memberikan kejelasan rumusan tentang tindakan atau perilaku, yang baik atau pun yang tidak baik, secara moral bagi individu maupun masyarakat. Melalui etika ini juga mencoba untuk menetapkan kewajiban yang seharusnya secara 92 Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 95-96 93 Lihat handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha 68 | ETIKA TERAPAN alamiah, secara setia dilakukan oleh seseorang pada diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam hubungan dengan tatanan kehidupan. 94 Ada beberapa pandangan yang dikembangkan mengenai hubungan manusia dengan alam, penekanannya pada kenyataan bahwa lingkungan itu penting dan bermanfaat bagi manusia. Selain dari pada itu, alam juga memiliki nilai pada dirinya sendiri yang harus dihargai dan dihormati. Pandangan-pandangan etika lingkungan yang dikembang dalam hal ini ada tiga teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environtmental Etihics, Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori tersebut dikenal juga sebagai antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.95 Antroposentrisme Pandangan antroposentris ini merupakan pandangan yang telah lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan ini hanya memiliki nilai alat semata atau instrumental value bagi kepentingan umat manusia. Pandangan antroposentris ini sering dikaitkan dengan pandangan masyarakat barat yang melihat lingkungan hidup dari sisi maknanya bagi kesejahteraan adan kemakmuaran manusia semata. Mereka memandang hubungan dengan lingkungan sebagai sebuah hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Dalam kaitan ini hanya manusia yang subjek sedangkan alam lingkungan adalah objek. Dengan demikian alam diteliti, dieksplorasi, kemudian dieksploitasi 96 Tinjauan kritis atas pandangan teori etika antroposentrisme ini sebagai berikut seperti dipaparkan di bawah ini: 97 (1) Pandangan ini didasarkan pada filsafat yang mengklaim, bahwa manusia diklaim sebagai yang mempunyai nilai tertinggi dan terpenting dalam kehidupan ini. 94 Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 159-160 95 Ibid, hlm. 31 96 Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 137 97 Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 41-43 ETIKA TERAPAN | 69 Ajaran inilah yang menempatkan manusia sebagai yang sentral dalam alam semesta, menjadikan manusia menjadi arogan terhadap alam, (2) Antroposentrisme sangat instrumentalis, sehingga alam dipandang sebagai alat kebutuhan manusia semata. Kalau pun ia peduli terhadap alam, semata-mata demi kelangsungan atas jaminan kebutuhan bagi manusia. Jelaslah teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit atau shallow environmental ethics. (3) Antroposentrisme sangat bersifat teleologis, karena pertimbangan peduli terhadap alam semata-mata karena didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia belaka. (4) Pandangan ini dituduh menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan-tindakan eksplotatif terhadap alam. (5) Walau pun demikian, pandangan ini cukup menjadi alasan kuat bagi upaya pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Demi kelangsungan hidup manusia, maka manusia wajib memelihara dan melestarikan lingkungan alamnya. Biosentrisme Biosentrisme merupakan pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai intrinsik dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan-kepentingan manusia. Dengan demikian teori biosentrisme ini berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Manusia memiliki tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan alam tersebut.98 Paul Taylor di dalam Fachruddin M. Mangunjaya menguraikan empat keyakinan yang mendasari pandangan biosentrisme ini, yaitu: 99 (1) Keyakinan bahwa manusia merupakan anggota dari komunitas kehidupan di bumi dalam pengertian yang sama dan dalam kerangka yang sama di mana mahluk hidup lain juga anggota komunitas yang sama. (2) Spesies manusia bersama dengan semua spesies lain adalah bagian yang saling bergantung sehingga kelangsungan hidup mana pun serta peluangnya untuk berkembang atau sebaliknya, tidak ditentukanoleh kondisi fisik 98 Ibid, hlm. 43-44 Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 23-24 99 70 | ETIKA TERAPAN melainkan oleh relasinya antara satu dengan yang lainnya. (3) Semua organisme merupakan pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya sendiri, sehingga setiap spesies merupakan unik dalam mengejar keperluannya dengan caranya sendiri. (4) Keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari mahluk yang lain. Dalam pandangan biosentris dapat disimpulkan bahwa tidak ada kelebihan lain antara manusia secara biologis dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Dalam posisi manusia sebagai mahluk yang dapat netral dalam rangka bagian dari alam yang dapat juga mengalami kerusakan dan kebinasaan apabila berhadapan dengan faktor-faktor alami lainnya yang tidak berbeda nasibnya dengan mahluk-mahluk lainnya. 100 Tinjauan kritis atas teori etika lingkungan hidup biosentris ini dapat dikemukakan sebagai berikut:101 (1) Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam yang bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang bernilai, bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Sehingga prinsip moral yang dikembangkan di sini, “erupakan hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan.” (2) Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi. (3) Sehubungan dengan manusia tidak berbeda dengan mahluk biologis lainnya, maka seorang yang bernama Leopold menghindari penyamaan tersebut. Menurutnya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Hanya, dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan kelangsungandan kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggungjawab untuk mengorbankan integritas, stabilitas seta beauty dari mahluk hidup lainnya. 100 101 Ibid, hlm 24 Antonius Atosokhi Gea, hlm. 44-46 ETIKA TERAPAN | 71 (4) Teori biosentrisme, disebut juga sebagai intermediate environmental ethics yang menyangkut kedudukan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini. Pada dasarnya teori ini berpusat pada komunitas biotis dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya, sehingga teori ini memberikan bobot yang sama kepada semua mahluk hidup. Ekosentrisme Ekosentrisme ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Dalam pemaparan di atas, biosentrisme memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, sedangkan ekosentrisme lebih memusatkan perhatian pada seluruh komunitas, baik yang hidup maupun yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda abiotik lainnya saling terkait satu sama lain, misalnya air di sungai sangat menentukan bagi kehidupan yang ada di dalamnya.102 Tinjauan kritis atas pandangan etika ekonsentrisme dapat dipaparkan di bawah ini: 103 (1) Ekosentrisme, yang disebut sebagai deep environmental ethics atau deep ecology merupakan suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh isinya. Dalam hal ini perhatiannya bukan hanya kepada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. (2) Arne Naes menggunakan juga istilah ecosophy, eco berarti rumah tangga dan sophy berarti kebijaksanaan. Maka ecosophy diartikan sebagai kebijaksanaan yang mengatur hidup selaras dalam alam sebagai rumah tangga dalam arti luas. Sehingga ecosophy ini merupakan gerakan dari seluruh penghuni alam semesta, untuk menjaga dan memelihara lingkungannya secara arif dan bijaksana selayaknya sebuah rumah tangga. (3) Deep Ecology menganut prinsip biospheric egalitarianism, merupakan pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup merupakan anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. (4) Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi 102 103 Antonius Atosokhi Gea, hlm. 47-49 Ibid, hlm. 47-49 72 | ETIKA TERAPAN kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Deep ecology ini mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan bukan sekedar dampak yang tampak dipermukaan saja dan berjangka pendek. Alam harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, medis dan biologis. PENDEKATAN TEKNOKRATIS Apabila diamati kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor diantaranyanya pola pendekatan manusia modern terhadap alam yang dikenal dengan sebutan teknokratis (dari bahasa Yunani tekne merupakan keterampilan dan krattein menguasai). Sehingga teknokratis diaratikan, bahwa manusia sekadar mau menguasai alam. Alam dipandang sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam juga merupakan tumpukan kekayaan dan energi yang dapat dimanfaatkan. Sikap teknokratis ini dapat diringkas sebagai sikap merampas dan membuang, alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak mengambil apa saja yang diperlukan dan apa yang tidak diperluka, begitu pula produk-produk samping pekerjaan manusia begitu saja dibuang.104 Pendekatan teknokratis mempunyai lima ciri khas, sebagai berikut:105 a. Kepercayaan akan Kemajuan Sejarah dipahami sebagai sejarah kemajuan linear. Kemajuan itu sendiri dipahami sebagai penguasaan dan pemanfaatan alam yang semakin total. Karena kepercayaan akan kemajuan itu manusia tidak dapat membatasi diri, tidak sanggup untuk mencapai dan menjaga suatu keseimbangan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Kemajuan memaksa manusia untuk menjadi perusak. b. Segala-galanya dapat diciptakan 104 Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PB VI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 147 105 Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 146-148 ETIKA TERAPAN | 73 Ciri kedua kebudayaan teknokratis ini tidak adanya batas alamiah lagi bagi usaha manusia. Prinsip-prinsip perlawanan terhadap keterbatas yang ada menjadi suatu hal yang dipuja-puja dalam kebudayaan teknokratis ini. Dengan demikian batas-batas alamiah tersebut dianggap tantangan bagi manusia untuk bisa mengatasinya. c. Demitologisasi alam Manusia pernah mengalami suatu penghayatan yang berpandangan alam dianggap sebagai sesuatu yang penuh misteri, sehingga manusia harus menghormati alam sedemikian rupa. Hal ini jelas tampak dalam dunia agraris, ketika para petani akan menggarap tanahnya, mereka melakukan upacara ritual-ritual untuk mengawali penggarapannya. Namun kondisi saat ini, alam sudah didemitologisasikan atau orang sudah mengesampingkan unsur-unsur mitos terhadap alam itu. Akibatnya manusia tidak menghargai alam sedemikian rupa, alam dapat diekspoitasi dan bahkan dijadikan tempat untuk membuang sampah. d. Rasionalitas Irasional Dalam budaya teknokratis rasionalis teknologis telah menjadi irasional. Dalam konsep maksimalisasi keuntungan produksi, orang tidak lagi melayani kebutuhan manusia. Namun yang terjadi saat ini kebutuhan itu seolah-olah diciptakan oleh produsen, demi kelansungan produksi agar terus berjalan. Perusahaan sedemikian rupa meluncurkan produkproduk baru yang memaksa orang merasa membutuhkan produk barunya tersebut, produk tersebut seolah membunuh produk lamanya dan orang dikondisikan untuk terus memburu produk-produk baru tersebut. Demi produk baru tersebut manusia mengeksploitasi kekayaan allam dan merusaknya sedemikian rupa. Sebenarnya manusia bisa hidup tanpa merusak, namun kebudayaan teknokratis ini menciptakan gaya hidup manusia sedemikian rupa, sehingga berusaha untuk terus update dengan teknologi yang baru. Hampir setiap tahun produsen kendaraan bermotor meluncurkan produk barunya dengan berbagai kelebihan-kelebihan yang seolah menjawab kebutuhan manusia, padahal mobil yang lama masih layak digunakan. e. Pendekatan Monokasual 74 | ETIKA TERAPAN Ciri kelima kebudayaan teknokratis adalah monokausal. Pendekatan monokausal ini dimaksud sebagai campur tangan manusia dalam proses alamiah diarahkan secara eksklusif pada pencapaian tujuantujuan tertentu. Melalui teknologi memungkinkan untuk mengendalikan perubahan-perubahan yang diinginkan namun dampak lain dari pengendalian dari intervensi manusia ini tidak mempertimbangkan hal-hal lainnya. Hal ini terjadi, karena lingkungan ini merupakan supersistem yang saling terkait, apabila manusia mengendalikan salah satu dari supersitem itu, maka akan mempengaruhi hal-hal lainnya. Misalnya: dalam hal petani berusaha mengendalikan hama wereng, mereka melakukan upaya dengan menyemprot pestisida, hama memang berhasil dimatikan. Namun bersama-sama dengan matinya hama itu, mati juga musuh alami hama wereng tersebut, sehingga pada saat muncul hama wereng yang kebal terhadap pestisida tersebut, hama tersebut menjadi merajalela. Pendekatan monokausal ini dalam jangka pendek dapat mengatasi persoalan, namun dalam jangka panjang dapat merusak tatanan yang ada. MUNCULNYA KESADARAN LINGKUNGAN Dampak kerusakan alam saat ini sudah dirasakan kita bersama. Secara global saat ini terjadi perubahan yang makin terasa pada beberapa dekade terakhir ini, seperti meningkatnya badai tropis, perubahan pola cuaca, banjir, longsor, mencairnya es di kutub utara dan selatan yang begitu mengkhawatirkan yang jelas berdampak pada kenaikan muka air laut, kebakaran hutan yang diiringi dengan kabut tebal yang melintas ke wilayah negara lain, dan peristiwa-peristiwa lingkungan lainnya yang membuat kita merasa prihatin dan cemas. Dalam upaya menanggapi dan mengatasi dampak kerusakan lingkungan tersebut, berikut akan dipaparkan upaya-upaya manusia dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan tersebut. World Environment Movement Gerakan kesadaran lingkungan secara internasional diprakarsai oleh PBB dengan mengadakan Knferensi Gerakan Lingkungan Hidup ETIKA TERAPAN | 75 Sedunia atau World Environment Programme (UNEP). Sejak itu, gerakan lingkungan melibatkan berbagai negara di dunia juga melibatkan lembagalembaga non-pemerintah atau non government organization atau di Indonesia lebih dikenal dengan LSM.106 Konferensi Rio de Janeiro (1992) Konferensi lingkungan berikutnya terjadi di Ibu Kota Brasil Rio de Janeiro, Juni 1992. Sebanyak 154 kepala negara hadir dalam konferensi tersebut yang kemudia masing-masing negara meratifikasi hasil konvensi yang diberlakukan dua tahun kemudian tahun 1994. Dalam konferensi tersebut disepakati mekanisme kerja diantaranya membentuk Conference of the Parties to the Convention (COP) sebagai badan pengambil keputusan konvensi. COP dipimpin presiden beserta biro dan dipilih bergilir di antara menteri lingkungan negara anggota.107 Konferensi ini membahas permasalahan lingkungan yang semakin besar yang tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang tetapi juga di negara maju. Dampak-dampak pembangunan yang meningkat berupa hujan asam, lautan yang semakin kotor, pencemaran udara, tanah yang semakin tandus serta kepunahan flora dan fauna. Kesimpulan akhir dari konferensi ini, menyatakan bahwa lingkungan bukannya semakin baik malahan kualitas lingkungan semakin buruk, sehingga PBB perlu merumuskan komitmenya kembali untuk mengelola lingkungan. Dalam KTT Rio ini ditegaskan kembali Deklarasi Stockholm 1972 dan merekomendasikan 21 agenda yang diantaranya: dibentuk prosedur secar hukum dan administrasi di tingkat nasional; dibentuk prosedur secara hukum dan administrasi untuk kompensasi, pemulihan lingkungan dan lain-lain; adanya akses bagi individu, kelompok dan organisasi. 108 106 Antonius Atosokhi Gea, hlm. 89-90 Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 18 108 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm.145-146 107 76 | ETIKA TERAPAN Protokol Kyoto (1997) Protokol Kyoto diselenggarakan pada bulan 1-10 Desember 1997 yang diikuti oleh 2.200 delegasi dari 158 negara anggota Konvensi. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Protokol Kyoto merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya melalui metodologi untuk menghitung penurunan emisi yang jelas dan mekanisme penaatan terhadap pencapaian target penurunan emisi yang mengikat. Jika ada pihak yang tidak menaatinya akan ada konsekuensinya. 109 PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam The World Commission on Environment and Development (1987). Konsep Pembangungan berkelanjutan tersebut dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan memperhitungkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangungan berkelanjutan ini merupakan konsep pembangunan yang mempertimbangkan sumber daya langka untuk generasi masa depan. Dalam konsep pembangungan berkelanjutan ini mengijinkan kegiatan manusia untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya yang optimal sekaligus memelihara lingkungan untuk generasi mendatang. 110 Susan Smith di dalam N.H.T. Siahaan mengartikan Sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya dengan cara ini dapat dicapai empat hal, yaitu: (1) Pemeliharaan hasil-hasil 109 Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit Panembahan, 2008), hlm. 146-147 Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 27 ETIKA TERAPAN | 77 yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber-daya yang dapat diperbarui, (2) Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible resources), (3) Pemerliharaan sistem-sistem pendukung ekologis, (4) Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati. 111 Dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan ini, diharapkan manusia tetap dapat membangun dengan mempertimbangkan kelestarian alam yang tentunya sangat berdampak bagi generasi mendatang. PENUTUP Jelaslah bahwa etika lingkungan disini sangat berkaitan dengan manusia dan dalam membahas masalah-masalah yang terjadi di bidang lingkungan, memandang manusia sebagai sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini. Berbagai pandangan-pandangan etika lingkungan hidup antroposentris, biosentris dan ekosentris memberikan pandangan kepada kita, mengenai bagaimana manusia memandang lingkungannya. Budaya Teknokratis memberikan kontribusi pada ketidakseimbangan lingkungan dan manusia. Upaya-upaya manusia dalam mengatasi masalah lingkungan ini telah dilakukan melalui berbagai upaya secara global mulai dari world environment movement hingga protokol Kyoto. Dengan demikian masalah lingkungan ini merupakan tanggung jawab kita bersama. DAFTAR PUSTAKA A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT. Kompas Media Nusantara, 2010) Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996) Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005) N.H.T. Siahaan, hlm. 147-148 78 | ETIKA TERAPAN Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 159-160 Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit Panembahan, 2008) Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas Media Nusantara, 2010) Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008) Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PB VI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989) Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995) N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004) Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002) Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002) handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha