BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Ciri-ciri Morfologi Macaca fascicularis
II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Menurut
Lang
(2006)
taksonomi
monyet
ekor
panjang (Macaca
fascicularis) sebagai berikut :
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Primata
Sub Ordo
: Anthropoidea
Infra Ordo
: Catarrhini
Super Famili
: Cercopithecoidea
Famili
: Cercopithecidae
Genus
: Macaca
Spesies
: Macaca fascicularis
Sub Spesies
: M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M.
f.fascicularis, M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f. philipines, M. f.
tua, M. f. umbosa.
Monyet ekor panjang sering disebut juga long-tailed macaque, crab eating
monkey, dan cinomolgus monkey. Nama lokal monyet ekor panjang di berbagai
daerah di Indonesia adalah Cigaq (Minangkabau), Karau (Sumatera), Warik
(Kalimantan), Warek (Dusun), Bedes (Tengger), Ketek (Jawa), Kunyuk (Sunda),
Motak (Madura) dan Belo (Timor) (Supriatna dan Wahyono 2000). Monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) adalah satwa primata yang menggunakan kaki
depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari
(quandrapedalisme), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan
badan. Disamping itu memiliki bantalan duduk (ischial sallosity) yang melekat
pada tulang duduk (ischial) dan memiliki kantong makanan di pipi (cheek
pouches) (Napier and Napier 1985).
Lekagul and McNeely (1988) juga menjelaskan Macaca fascicularis
dinamakan monyet ekor panjang karena memilki ekor yang panjang, dan berkisar
antara 80% hingga 110% dari total panjang kepala dan tubuh. Ukuran panjang
badan dan kepala 360-508 mm, ekor 450-630 mm, kaki belakang 120-155 mm,
5
telinga 30-45 mm, bobot 2400-6500 gram (Suyanto, 2002). Monyet ekor panjang
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Sumber: NBII (2009)
Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) memiliki panjang tubuh berkisar antara 385 mm hingga 668
mm. Bobot tubuh jantan dewasa berkisar antara 3,5 kg hingga 8,0 kg, sedangkan
bobot tubuh rata-rata betina 3 kg. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan
bahwa monyet jantan dewasa mempunyai bobot badan berkisar antara 5,5 kg
hingga 10,9 kg dan betina antara 4,3 kg hingga 10,6 kg
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mempunyai dua warna utama
yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna
menurut musim, umur dan lokasi (Lekagul and McNeely 1988). Napier and
Napier (1985) secara umum menyatakan warna bulu monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) agak kecoklatan sampai abu-abu, pada bagian punggung
lebih gelap dibanding dengan bagian perut dan dada, rambut kepalanya pendek
tertarik kebelakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang
yang lebat, ekornya tertutup bulu halus.
II.1.2 Pemanfaatan Macaca fascicularis
Satwa primata adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki peranan
penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena secara anatomis dan
fisiologis satwa primata memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan
6
dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Menurut Sulaksono (2002),
bahwa variasi nilai rujukan parameter faal Macaca fascicularis menurut sentra
hewan dan jenis kelamin, masih dalam batas yang dapat ditolerir untuk hewan
percobaan yang dipelihara dengan kondisi pemeliharaan konvensional, sehingga
dengan demikian para peneliti Indonesia yang menggunakan kera sebagai model
penelitiannya dapat menggunakan nilai rujukan tersebut sebagai salah satu
referensinya.
II.1.3 Habitat
Pemeliharaan
monyet
sebagai
hewan
penelitian
harus
memenuhi
persyaratan yang telah diatur oleh sebuah komisi kesejahteraan hewan. Menurut
Moss (1992) kesejahteraan dalam arti luas yaitu menyangkut masalah fisik atau
mental dari hewan dan dapat bertingkah laku sesuai dengan kebiasaannya di alam
bebas. Komisi kesejahteraan memperhitungkan keselamatan hewan, orang
disekitarnya dan kemungkinan terjadi kecelakaan kerja. Komisi tersebut
memutuskan yang terbaik bagi hewan yaitu mendapat cukup kebebasan dalam
bergerak tanpa kesulitan berputar, merawat diri, berdiri, berbaring dan
merengangkan badan. Komisi ini juga mempertimbangkan keadaan pakan yang
diberikan. Hewan harus terbebas dari rasa lapar dan haus.
Habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar mulai dari
hutan hujan tropika, hutan musim sampai hutan rawa-mangrove, dan di hutan
iklim sedang (Cina dan Jepang) (Napier and Napier 1985). Supriatna dan
Wahyono (2000) menyatakan bahwa monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
hidup pada habitat hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi sekitar 1.000 m di atas permukaan laut. Pada umumnya, habitat asli
Macaca fascicularis selalu berada disepanjang lembah yang berbatasan dengan
air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai ataupun hutan, sehingga
monyet ekor panjang ini dapat menyesuaikan diri pada semua peringkat ekologi
(Ecologically diverse). Aktivitas fisik monyet ekor panjang ini secara teratur
dimulai dari matahari terbit hingga tenggelam lagi, hidupnya berkelompok dengan
jumlah kelompok sekitar 20 – 50 ekor dan selalu berpindah-pindah mengikuti
ketersediaan pakan. Dengan menilik habitat aslinya diatas tadi, kemungkinan suhu
7
yang cukup baik bagi kehidupan Macaca fascicularis berkisar diantara 25-27°C.
Namun, perubahan suhu yang tidak menentu disaat sekarang ini menyebabkan
kondisi lingkungan bagi Macaca fascicularis tidaklah nyaman serta pakan yang
diperoleh dialam juga semakin menipis akibat dari kerusakan alam yang
dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Menurut Napier and
Napier (1985), habitat dan penyebarannya ditentukan oleh beberapa hal yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup yaitu sumber makanan, sungai atau mata air, dan
pohon untuk tidur dan beristirahat. Keterbatasan sumber makanan dan minuman
menyebabkan kemungkinan adanya daerah tertentu yang merupakan daerah
jelajah dari dua kelompok atau lebih. Perkelahian kelompok sering terjadi untuk
memperebutkan wilayah jelajah tersebut.
Kandang monyet harus dipertimbangkan untuk keperluan tingkah laku,
emosi, dan sosial. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tidak boleh
dikandangkan sendirian dan terpencil, karena akan menimbulkan suatu bentuk
cekaman yang mengganggu proses tingkah laku dan fisiologi normal (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988). Satwa primata harus dikandangkan di ruang atau daerah
sejauh mungkin dari kandang hewan lain. Syarat ini untuk mengurangi resiko
penularan penyakit dan keamanan dalam memelihara (Smith dan Mangkoewidjojo
1988). Kandang monyet harus dibuat dengan konstruksi yang kuat untuk
mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan dari monyet itu sendiri. Jenis
kandang kelompok yang terbuat dari ram kawat perlu dilengkapi tempat
peristirahatan yang agak tinggi dan bentuknya harus memadai. Kandang individu
harus dilengkapi dinding belakang geser (kandang jepit), sehingga monyet dapat
didorong ke bagian depan kandang. Fungsi kandang tersebut untuk mempermudah
dalam melakukan pemeriksaan, pemberian obat atau penyuntikan dan penanganan
lain yang harus dilakukan terhadap monyet tersebut. Setiap jenis kandang baik
kandang kelompok maupun kandang individu harus dilengkapi dengan tempat
makan dan minum yang memadai dan cukup kuat (Sajuthi 1984).
8
II.2 Parameter Fisiologis Macaca fascicularis
II.2.1 Glukosa
Glukosa merupakan hasil akhir dari pencernaan karbohidrat dalam saluran
pencernaan. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai bahan bakar utama untuk
oksidasi dan menyediakan energi untuk proses metabolisme. Bila karbohidrat
yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak daripada yang digunakan untuk
menyediakan energi, maka kelebihannya dengan segera akan disimpan dalam
bentuk glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Apabila masih terdapat
kelebihan karbohidrat, maka karbohidrat akan diubah menjadi trigliserida dan
kemudian disimpan di dalam jaringan adiposa (Guyton and Hall 1993).
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan dipergunakan
oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis dari
beberapa hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai 1) hormon
yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu, insulin 2) hormon yang
meningkatkan kadar glukosa darah yaitu, glukagon, epinefrin, glukokortikoid dan
hormon pertumbuhan. Insulin disekresikan oleh sel beta pulau Langherhans
pankreas. Sedangkan hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain
1) Glukagon yang disekresikan sel alpha pulau Langherhans pankreas, 2)
Epinefrin yang disekresikan oleh medula adrenal dan jaringan kromafin, 3)
Glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal, dan 4) hormon
pertumbuhan yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon yang
meningkatkan glukosa membentuk suatu mekanisme counter–regulator yang
mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin (Wilson and Price
1995).
Organ
hati,
jaringan
ekstrahepatik
dan
hormon
berperan
untuk
mempertahankan kadar glukosa dalam darah agar tetap stabil (Girindra 1988).
Pengaturan konsentrasi gula darah sangat erat hubungannya dengan hormon
insulin dan hormon glukagon yang dihasilkan oleh pankreas. Kecepatan
pengangkutan glukosa juga dengan pengangkutan beberapa monosakarida lain
ditingkatkan oleh insulin, kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sebagian
besar sel meningkat sampai 10 kali lipat atau lebih dibandingkan kecepatan
pengangkutan bila insulin tidak disekresikan (Guyton and Hall 1996). Pengaruh
9
konsentrasi glukosa darah terhadap sekresi glukagon bertentangan dengan efek
glukosa terhadap insulin. Glukagon adalah hormon yang disekresikan oleh sel
alpha pankreas, apabila konsentrasi gula darah turun sangat rendah, glukagon
merangsang pembentukan siklik AMP terutama di dalam sel-sel hati. Pengaruh
utama glukagon adalah mengubah glikogen hati menjadi glukosa dan
melepaskannya ke dalam darah (Guyton and Hall 1996).
Masuknya glukosa ke dalam darah setelah makan akan meningkatkan kadar
glukosa
darah
menyebabkan
insulin
diekskresikan
dengan
cepat
yang
menyebabkan absorb glukosa untuk kemudian disimpan di hati dalam bentuk
glikogen. Mekanisme insulin menurut Guyton and Hall 1993 yang menyebabkan
absorb dan penyimpanan glukosa di dalam hati meliputi:
1. Menghambat fosforilase, enzim yang menyebabkan glikogen hati dipecah
menjadi glukosa.
2. Meningkatkan ambilan glukosa dari darah oleh sel-sel hati.
3. Meningkatkan aktivitas enzim yang meningkatkan sintesis glikogen.
Peningkatan kadar glukosa setelah makan menyebabkan peningkatan
pengambilan glukosa oleh hati, otot dan jaringan lemak. Glukosa yang disimpan
di dalam hati nantinya akan dikonversi menjadi asam lemak dan asam lemak ini
diangkut ke dalam jaringan adiposa. Selain dikonversi menjadi asam lemak,
kelebihan glukosa akan ditransportasikan ke dalam sel otot dalam bentuk glikogen
otot. Glikogen otot berbeda dengan glikogen hati karena tidak dapat dikonversi
kembali menjadi glukosa dan dilepaskan ke dalam cairan tubuh (Guyton and Hall
2008). Ketika masuknya proses penyerapan glukosa dari saluran pencernaan
terhenti, maka kadar glukosa darah mulai menurun dan memberi isyarat untuk
mengambil proses kebalikan dari mekanisme sekresi hormon pankreas (Linder
1992). Mekanisme pengaturan glukosa darah menurut Ganong 1999, meliputi :
a.
Fungsi hati sebagai buffer glukosa, yaitu apabila glukosa darah meningkat
setelah makan menjadi konsentrasi yang sangat tinggi maka kecepatan
sekresi insulin juga meningkat. Sebanyak duapertiga glukosa diabsorbsi
oleh usus dan segera disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen, maka hati
melepaskan glukosa ke dalam darah.
10
b.
Fungsi insulin dan glukagon sebagai umpan balik terpisah dan sangat
penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang normal.
c.
Pada keadaan hipoglikemia efek glukosa darah yang rendah pada
hipotalamus akan merangsang susunan saraf simpatis. Sebaliknya epinefrin
yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan pelepasan glukosa
lebih lanjut ke hati, hal ini untuk mengatasi hipoglikemia berat.
d.
Hormon pertumbuhan dan kortisol disekresikan dalam respon terhadap
hipoglikemia yang berkepanjangan, yang akan menurunkan kecepatan
pengunaan glukosa oleh bagian terbesar sel-sel tubuh.
Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya
asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa
adalah kesimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan yang dikeluarkan
melalui aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan
masuk ke dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesi
glikogen dari glukosa oleh hati (Ganong 1999). Kadar gula darah merupakan
refleksi dari keadaan nutrisi, emosi dan fungsi endokrin (Girindra 1988).
Pada keadaan kadar glukosa dalam darah menurun maka secara bertahap
hati akan mengubah persediaan glikogen menjadi glukosa yang menggantikan
glukosa yang berkurang dalam sirkulasi. Setelah glikogen berkurang, tubuh mulai
mengubah asam-asam amino dari jaringan otot menjadi glukosa dan energi.
Sebelum persediaan asam amino berkurang, tubuh mulai mengurangi lemak yang
tersimpan di dalam jaringan hati menjadi asam lemak. Meski termasuk sumber
energi, asam lemak tidak dapat diubah menjadi glukosa. Hampir semua sel pada
tubuh mampu memetabolisir asam lemak, kecuali sel-sel otak dan sistem saraf
pusat yang hanya mengandalkan glukosa darah. Agar tidak terjadi kekurangan
energi lebih lanjut pada sistem saraf pusat, hati akan mengubah asam lemak
menjadi keton sebagai pengganti glukosa. Biasanya keton mulai diproduksi pada
hari ketiga puasa atau pada saat persediaan sudah sangat berkurang. Begitu kadar
keton dalam darah meningkat (disebut juga ketosis), otak dan organ-organ lain
akan memanfaatkannya sebagai energi (Gunawan 2004).
11
Kadar glukosa plasma pada suatu saat ditentukan oleh keseimbangan antara
jumlah glukosa yang masuk ke dalam aliran darah dan yang keluar dari aliran
darah. Penentu utama masuknya glukosa ke dalam aliran darah adalah:
a.
Diet nutrisi yang masuk.
b.
Kecepatan pemasukan ke dalam sel otot, jarigan adiposa dan organ lain.
c.
Aktivitas glukostatik hati.
Konsentrasi glukosa darah harus dijaga agar tidak terlalu tinggi karena:
a.
Glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik cairan ekstraseluler
dan apabila meningkat akan menimbulkan dehidrasi selular.
b.
Konsentrasi glukosa yang tinggi menyebabkan keluarnya glukosa dari urin.
c.
Keadaan di atas menimbulkan dieresis osmotik oleh ginjal, yang dapat
mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit yang dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit (Guyton and Hall 1996).
Glukagon
dengan
konsentrasi
abnormal
yang
sangat
besar
akan
menimbulkan efek, yaitu:
a.
Meningkatnya kekuatan jantung.
b.
Meningkatnya sekresi empedu.
c.
Menghambat sekresi asam lambung (Ganong 1999).
II.2.2 Kolesterol
Lemak atau lipid merupakan senyawa kimia dalam makanan yang terdiri
dari lemak netral (trigliserida), fosfolipid, kolesterol, dan beberapa senyawa lain.
Di dalam tubuh, lemak berfungsi sebagai sumber energi yang efisien ketika
disimpan dalam jaringan adiposa. Sejumlah kecil lemak dapat dicerna di dalam
lambung di bawah pengaruh lipase lambung. Namun, sebagian besar lemak
dicerna di dalam usus halus yang dipengaruhi lipase pankreas. Tahap awal
pencernaan lemak adalah emulsifikasi lemak oleh asam empedu. Kemudian lemak
yang teremulsi tersebut akan dipecah menjadi asam lemak (trigliserida dan
fosfolipid), gliserol, dan gliserida (Guyton and Hall 1993). Lemak di hati
disintesis dari karbohidrat dan protein yang berlebih. Setelah lemak disintesis
dalam hati, lemak ditransport dalam lipoprotein ke seluruh jaringan lemak untuk
disimpan (Guyton and Hall 1997).
12
Kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lemak berkomponen alkohol
steroid. Kolesterol sangat larut dalam lemak dan mampu membentuk ester dengan
asam lemak. Hampir 70% kolesterol dalam lipoprotein plasma adalah bentuk ester
kolesterol. Kolesterol diperoleh melalui dua jalur, yaitu eksogen dan endogen
(Guyton and Hall 1997). Kolesterol eksogen yaitu kolesterol yang diperoleh dari
hasil absorbs saluran pencernaan setiap hari. Sedangkan kolesterol endogen
adalah kolesterol yang diperoleh dari hasil pembentukan dalam sel tubuh. Pada
dasarnya kolesterol endogen yang beredar dalam lipoprotein plasma dibentuk
oleh hati, tetapi semua sel lain dalam tubuh juga sedikit membentuk kolesterol.
Sesuai dengan kenyataan bahwa banyak struktur membran sel terbentuk dari
kolesterol. Sebagian kolesterol dalam darah berasal dari hasil sintesis dalam tubuh
kurang lebih 1 gram/hari, sedangkan 0,3 gram/hari diperoleh dari makanan
(Harper et al. 1988; Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001).
Kolesterol yang bersifat endogen dipengaruhi oleh proses sintesis asam
lemak jenuh, lipoprotein, dan energi yang digunakan. Sedangkan kolesterol
eksogen dipengaruhi oleh konsumsi kolesterol dalam makanan (Sitopoe 1992;
Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001). Kadar kolesterol juga dipengaruhi oleh
faktor individu terhadap kemampuan mensintesis kolesterol serta kemampuan
mensekresi sterol dan garam empedu dari tubuh (Harper et al. 1988; Clarenburgh
2001; Bachorik et al 2001). Dalam tubuh kolesterol diabsorbsi oleh usus dan
diangkut oleh kilomikron yang kemudian dibawa ke hati untuk dimetabolisme.
Dalam hati terjadi peristiwa umpan balik negatif untuk mengatur kolesterol tubuh,
bila pemasukan kolesterol dalam diet meningkat maka sintesis menurun, begitu
pula sebaliknya (Guyton and Hall 1997).
Sekitar satu gram kolesterol dieliminasi dari tubuh setiap hari. Kurang lebih
separuhnya akan diekskresikan ke dalam feces setelah dikonversi menjadi asam
empedu, sisanya akan diekskresikan sebagai kolesterol. Sejumlah besar kolesterol
yang disekresikan ke dalam empedu akan direabsorbsi, dan diyakini bahwa
sebagian kolesterol merupakan precursor senyawa sterol feces dari mukosa
intestinal. Koprostanol merupakan sterol utama di dalam feces, senyawa ini
dibentuk dari kolesterol oleh bakteri yang ada di usus besar. Sejumlah besar
ekskresi asam empedu akan direabsorbsi kembali ke dalam sirkulasi portal,
13
kemudian diambil oleh hati untuk diekskresikan kembali ke empedu, keadaan ini
dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Asam empedu atau derivatnya yang tidak
direabsorbsi akan diekskresikan ke dalam feces (Harper et al. 2003).
Asam empedu primer (asam kolat dan asam kenodeoksikolat) disintesis dari
kolesterol. Reaksi 7α-hidroksilasi pada kolesterol merupakan tahap awal pada
biosintesis asam empedu, dan reaksi ini membatasi laju pada sintesis asam
empedu tersebut. Reaksi tersebut dikatalis oleh enzim mikrosomal yaitu enzim
7α-hidroksilase. Reaksi 7α-hidroksilasi ini memerlukan oksigen, NADPH serta
sitrokom P450. Defisiensi vitamin C akan mengganggu pembentukan asam
empedu pada tahap 7α-hidroksilasi dan menyebabkan akumulasi kolesterol serta
aterosklerosis. Asam empedu primer kemudian akan memasuki getah empedu
sebagai konjugat glisin dan taurin. Karena getah empedu mengandung kalium dan
natrium dalam jumlah cukup besar, maka asam empedu dan konjugatnya akan
membentuk garam empedu. Sebagian asam empedu primer di dalam usus
mengalami beberapa perubahan oleh aktivitas bakteri usus. Perubahan ini meliputi
reaksi dekonjugasi dan 7α-hidroksilasi yang menghasilkan asam empedu
sekunder, yaitu asam deoksikolat dari asam kolat, dan asam litokolat dari asam
kenodeoksikolat (Harper et al 2003).
Kolesterol diedarkan dalam plasma dalam bentuk lipoprotein, dapat pula
dinamakan kompleks antara lipid dengan apoliprotein. Sejumlah kolesterol dalam
makanan dapat diserap dalam berbagai bentuk tergantung dari macam-macam
spesies dan makanan (Clarenburgh 2001). Kolesterol merupakan prekursor
hormon steroid antara lain progesteron, glukokortikoid, mineralokortikoid,
androgen dan estrogen, selain itu kolesterol juga sebagai prekursor asam empedu
dan vitamin D (Harper et al. 1988; Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001).
Kolesterol merupakan pengatur permeabilitas membran untuk mempertahankan
integritas sel tubuh sehingga dapat mencegah penguapan air secara berlebihan
pada permukaan kulit. Selain itu kolesterol adalah pembentuk sel otak dan vitamin
D (Hutapea 1993; Guyton and Hall 1997; Clarenburgh 2001).
14
II.2.3 Trigliserida
Trigliserida atau lemak netral adalah asam organik hidrokarbon sederhana
berantai panjang. Trigliserida terbentuk dari suatu ester gliserol, dibentuk oleh
reaksi dua molekul asil-lemak-KoA dengan gliserol 3-fosfat membentuk asam
fosfatidat, yang mengalami defosforilasi menjadi diasilgliserol. Sebagian besar
lemak dan minyak di alam terdiri atas 98-99% trigliserida. Molekul ini kemudian
diasilasi oleh molekul ketiga asil-lemak-KoA menjadi triasilgliserol. Apabila
terdapat satu asam lemak dalam ikatan dengan gliserol maka dinamakan
monogliserol. Fungsi utama trigliserida adalah sebagai penyedia energi. Lemak
disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan
energi, enzim lipase dalam lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan
asam lemak serta melepasnya ke pembuluh darah. Oleh sel-sel yang
membutuhkan kemudian dibakar dan menghasilkan energi, karbondioksida dan air
yang menggantikan kehilangan air ketika bernafas (Guyton and Hall 1997;
Clarenburgh 2001; Bachorik et al. 2001).
Oksidasi lemak dapat menghasilkan cukup energi untuk mempertahankan
suhu tubuh, untuk sintesis aktif asam amino dan protein, selain untuk aktivitas lain
yang membutuhkan energi, seperti transport membran. Selain itu, degradasi
trigliserida menjadi glukosa darah, setelah fosforilasi enzimatik menjadi gliserol
fosfat dan oksidasinya menjadi dihidroksi aseton fosfat (Clarenburgh 2001).
Pada hewan normal, biosintesis dan oksidasi trigliserida terjadi bersamaan
dalam keadaan imbang sehingga jumlah lemak dalam tubuh relatif konstan selama
jangka waktu panjang, walaupun mungkin terjadi sedikit perubahan dalam jangka
waktu pendek, bersamaan dengan waktu berfluktuasinya kalori yang terpakai.
Kecepatan biosintesis trigliserida diubah secara drastis oleh aktivitas beberapa
hormon. Insulin contohnya, melangsungkan perubahan karbohidrat menjadi
trigilserida. Trigliserida juga dapat digunakan sebagai cadangan makanan pada
hewan yang tinggal di daerah bersuhu rendah saat hibernasi (Clarenburgh 2001).
Hampir seluruh lemak dari diet, dengan pengecualian asam lemak rantai
pendek, diabsorbsi dari usus ke dalam limfe. Selama pencernaan sebagian besar
trigliserida dipecah menjadi monogliserida dan asam lemak. Kemudian sewaktu
melalui sel epitel usus, keduanya disintesis kembali menjadi molekul trigliserida
15
baru yang berkumpul dan masuk ke dalam limfe dalam bentuk droplet kecil yang
tersebar yang disebut kilomikron (Guyton and Hall 1997).
II.2.4 SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase) dan SGOT (Serum
Glutamat Oksaloasetat Transminase)
Aspartate aminotransferase (AST atau SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT atau SGPT) adalah enzim-enzim hati yang paling sensitif dan digunakan
secara luas mendeteksi kerusakan hati. AST (SGOT) normalnya ditemukan dalam
suatu keanekaragaman dari jaringan termasuk hati, jantung, otot, ginjal, dan otak.
SGOT dilepaskan kedalam serum ketika satu saja dari jaringan-jaringan ini
rusak. ALT (SGPT) normalnya ditemukan sebagian besar di hati. SGPT dilepas
ke dalam aliran darah sebagai akibat dari kerusakan hati. Oleh karenanya SGPT
digunakan sebagai suatu indikator yang cukup spesifik dari keadaan (status) hati
(Guyton dan Hall 1997).
SGPT dan SGOT merupakan dua enzim transminase yang dihasilkan
terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim
meningkat. Batasan normal SGOT adalah 5 sampai 40 unit per liter serum (bagian
cair dari darah). Sedangkan batasan normal SGPT adalah 7 sampai 56 unit per
liter serum. Enzim SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran
gugus amino dari asam amino (Guyton dan Hall 1997; Hayes 2007). SGPT akan
memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keton dari α-ketoglutarat
membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat akan diubah menjadi laktat.
Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang
membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisasinya. SGOT juga berperan
dalam deaminasi asam amino, SGOT mengkatalisasi pemindahan gugus amino
pada aspartat ke gugus keton dari α-ketoglutarat membentuk glutamat dan
oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut
dikatalisasi oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH
dalam reaksi ini (Poedjiadi 1994). Secara normal organ mengalami regenerasi sel,
termasuk hati. Pada keadaan ini sel yang telah rusak digantikan oleh sel yang
baru, jadi pada keadaan normal, keberadaan SGPT dalam darah itu normal, hal
tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi.
16
GPT
α-ketoglutarat + alanin
piruvat + NADH + H
+
piruvat + L-glutamat
LDH
L-laktat + NAD+
GOT
α-ketoglutarat + aspartat
oksaloasetat + NADH + H+
L-glutamat + oksaloasetat
MDH
L-malat + NAD+
Gambar 2. Peran GPT dan GOT dalam Deaminasi Protein
Sumber: Poedjiadi (1994)
Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan
mengakibatkan enzim GOT dan GPT, arginase, laktat dehidrogenase, dan γglutamil transminase bebas keluar sel, sehingga enzim masuk ke pembuluh darah
melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986).
Namun demikian, indikator yang lebih baik untuk mendeteksi kerusakan jaringan
hati adalah SGPT dan SGOT, karena kedua enzim tresebut akan meningkat
terlebih dahulu dan peningkatannya lebih drastis dibanding enzim-enzim lainnya
(Amin 1995; Callbreath 1992). Oleh karena itu melalui hasil tes laboratorium,
keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati (Girindra
1986).
Oleh karena itu menurut pemaparan di atas faktor yang erat kaitannya
dengan perubahan kadar SGPT dan SGOT yaitu laju metabolisme protein, dan
laju regenerasi sel, yang mungkin diantaranya dapat dipengaruhi oleh tingkat
aktivitas fisik (Girindra 1986, Suarsana et al. 2006).
II.2.5 Ureum
Ureum merupakan hasil akhir dari metabolisme protein dalam tubuh.
Senyawa-senyawa ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh secara terus-menerus
untuk memastikan terus berlangsungnya metabolisme protein dalam sel (Price
2005). Ureum dihidrolisis di dalam air dengan bantuan urease sehingga dihasilkan
amonia dan CO2 (Guyton and Hall 1997). Kadar ureum dalam darah bergantung
pada katabolisme (pemecahan) protein dalam hati yang disekresikan ke dalam
17
ginjal dan diekskresikan melalui urin. Ketika air direabsorbsi dari tubulus,
konsentrasi ureum dalam tubulus akan meningkat sehingga muncul gradien
konsentrasi yang menyebabkan reabsorbsi urea. Ureum tidak bisa memasuki
tubulus sebanyak air, sehingga ureum direabsorbsi secara pasif dari tubulus.
Ureum yang masih tertinggal akan masuk ke dalam urin untuk akhirnya
diekskresikan (Raphael 1987). Ureum dengan kadar tinggi dalam tubuh akan
bersifat toksik karena sifatnya yang mendenaturasikan protein (Doxey 1983).
Ginjal adalah organ ekskresi utama dalam tubuh yang terletak pada dinding
posterior abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal memiliki tiga bagian utama
yaitu, korteks (bagian luar), medulla, dan pelvis renalis (Guyton 1995). Menurut
Price 2005, ginjal merupakan organ penyaring plasma dan unsur-unsur plasma
darah, secara selektif ginjal menyerap kembali air dan unsur-unsur berguna dari
filtrat kemudian mengekskresi kelebihan dan produk buangan plasma. Menurut
Raphael 1987, pembentukan urin dimulai dengan proses filtrasi glomerulus
plasma. Aliran plasma ginjal kira-kira 660 ml/menit yang setara dengan sekitar
25% curah jantung. Seperlima dari plasma dialirkan melalui glomerulus ke
kapsula Bowman yang dikenal sebagai laju filtrasi glomerulus. Sel-sel darah dan
molekul-molekul protein yang besar atau bermuatan negatif secara efektif tertahan
oleh seleksi glomerulus, sedangkan molekul berukuran kecil atau bermuatan
positif langsung tersaring. Saat filtrat mengalir melalui tubulus ada beberapa zat
yang diambil atau ditambahkan ke dalam filtrat sehingga hanya sekitar 1,5 L/hari
yang diekskresikan sebagai urin.
Ginjal memiliki fungsi yang multipel antara lain sebagai pengatur
keseimbangan air dan elektrolit, pengatur konsentrasi osmolitas cairan tubuh,
pangatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan
kimia asing, dan sekresi hormon (Ganong 2003). Guyton 1995 menyebutkan
bahwa efek dari gagal ginjal akut atau kronis secara umum dapat berupa edema
umum, asidosis, tingginya konsentrasi nitrogen non-protein terutama urea, dan
tingginya konsentrasi produk retensi urin lainnya, termasuk kreatinin, asam urat,
fenol, basa guanidine, sulfat, fosfat dan kalium. Maka dari itu sangat penting
unutuk melakukan pemeriksaan terhadap fungsi normal ginjal. Beberapa indikator
18
pemeriksaan laboratorium ginjal antara lain pemeriksaan kadar kreatinin dan
ureum dalam serum darah (Raphael 1987).
Ureum selain direabsorbsi secara pasif dari tubulus ternyata juga diabsorbsi
ke medulla ginjal dan berperan terhadap 40% osmolaritas interstisium medulla
ginjal saat ginjal membentuk urin pekat secara maksimal (Guyton 1995).
Mekanisme reabsorbsi ureum ke medulla ginjal, yaitu air mengalir ke cabang
asenden ansa Henle dan masuk ke tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis
hanya sedikit ureum yang direabsorbsi karena segmen ini impermiabel terhadap
ureum. Dengan tingginya konsentrasi ADH, air direabsorbsi secara cepat dari
tubulus koligentes kortikalis dan konsentrasi ureum juga meningkat dengan cepat.
Selanjutnya, cairan tubulus mengalir ke bagian medulla duktus koligentes
sehingga konsentrasi ureum semakin tinggi dan berdifusi ke interstitium ginjal
dan pada akhirnya konsentrasi ureum dalam urin tetap tinggi meskipun sebagian
telah direabsorbsi. Hal ini meyebabkan kadar ureum normal sangat tinggi dalam
urin sedangkan dalam darah kebalikannya (Price 2005). Ureum merupakan
produk ekskresi primer dari katabolisme protein yang dibentuk di hati dengan
bahan dari amonia dan CO2 melalui proses biokimia yang dikenal dengan siklus
Ornithin (Raphael 1987). Gangguan ginjal kronik akan menyebabkan penurunan
laju filtrasi glomerulus (fungsi penyaringan ginjal) sehingga kemampuan ginjal
menyaring ureum maupun kreatinin juga menurun, akibatnya zat-zat tersebut
meningakt jumlahnya dalam darah (Doxey 1983).
II.2.6 Kreatinin
Kreatinin adalah produk endogenous akhir dari metabolisme kreatin fosfat
yang terjadi di dalam otot dan dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir
konstan serta diekskresikan dalam urin dengan kecepatan yang sama (Guyton and
Hall 1997). Ekskresi kreatinin pada setiap individu terkait erat dengan ukuran
jaringan otot. Zat ini dijumpai dalam jumlah yang besar di otot dan hadir di darah
dan urin dalam jumlah yang sangat kecil dalam kondisi normal.
Melalui reaksi dehidrasi dalam otot kreatin akan diubah menjadi kreatinin
yang mudah diperfusi ke seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin
(Raphael
1987).
Kreatinin
merupakan
sisa
metabolisme
fosfat
otot,
19
keberadaannya dalam tubuh dengan jumlah yang tinggi ataupun rendah dapat
memberi dampak buruk bagi tubuh. Peningkatan kadar kreatinin dapat
mengakibatkan
gagal
glomerulonefritis,
ginjal
dehidrasi,
akut
dan
penurunan
kronis,
aliran
nekrosis
darah
ke
tubular
akut,
ginjal
(syok
berkepanjangan, gagal jantung kongestif), leukemia. Kreatinin dalam jumlah
rendah dapat mengakibatkan distrofi otot dan myasthenia gravis. (Riswanto
2010). Sisa metabolisme harus diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu jika
terjadi peningkatan atau penurunan kadar kreatinin dalam tubuh maka interpretasi
klinik akan cenderung pada gangguan fungsi ginjal.
Kreatinin diekskresi dalam urin melalui proses filtrasi dalam glomerulus
tetapi tidak direabsorbsi di tubulus bahkan sejumlah kecil disekresi oleh tubulus
terutama bila kadar kreatinin dalam serum tinggi (Todd and Sanford 2008).
Kreatinin dengan bebas melintasi membran glomerulus dan hanya sebagian kecil
disekresi ke dalam tubulus nefron. Kreatinin merupakan indeks GFR yang lebih
cermat dibandingkan ureum karena kecepatan produksinya sedkit sekali
mengalami perubahan daalm massa otot. Oleh karena itu, pada kondisi normal
kreatinin dijumpai dalam urin dengan konsentrasi sedikit. Konsentrasi dan
ekskresi total harian kreatinin tetap konstan meskipun ada perubahan pola
makanan (Frandson 1992).
Selain faktor diet, faktor katabolik, jenis kelamin dan aktivitas juga
diketahui tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kreatinin dalam plasma.
Akan tetapi kadang dijumpai bahwa kadar kreatinin dalam plasma hewan yang
masih muda lebih tinggi jumlahnya daripada hewan dewasa (Doxey 1983).
Peningkatan kadar kreatinin dalam darah dapat dipengaruhi berbagai hal. Salah
satu diantaranya yaitu gangguan fungsi ginjal sehingga fungsi nefron menurun
dan ekskresi kreatinin juga menurun dan pada akhirnya kadar kreatinin dalam
plasma akan meningkat (Frandson 1992).
II.3 Fisiologi Adaptasi
II.3.1 Suhu dan Kelembaban
Suhu merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kondisi panas atau
dingin suatu benda ataupun makhluk hidup. Semakin tinggi panas benda tersebut
20
semakin tinggi suhu benda tersebut. Suhu tubuh makhluk hidup merupakan suhu
dalam atau suhu inti di bagian dalam makhluk hidup tersebut. Suhu tubuh normal
Macaca
fascicularis
berada
pada
kisaran
37ºC
sampai
dengan
40ºC
(Chantalakhana and Skunmun 2002).
Suhu tubuh merupakan suhu yang berada di bagian dalam tubuh, atau
disebut juga suhu inti. Kondisi suhu tubuh relatif stabil, kecuali jika terjadi
gangguan seperti demam. Suhu tubuh bukan suhu permukaan yang mengacu pada
suhu kulit atau jaringan di bawah kulit, karena suhu permukaan ini mudah
mengalami kenaikan dan penurunan sesuai dengan suhu lingkungan. Namun, kulit
merupakan system pengatur radiator panas yang efektif dan aliran darah ke kulit
permukaan mekanisme penyebaran panas yang paling efektif dari inti tubuh ke
kulit. Tetapi, tidak ada tingkat suhu tubuh yang dapat dianggap normal karena
pengukuran pada banyak orang menunjukkan suatu rentang suhu normal. Suhu
tubuh dapat bervariasi tergantung kerja fisik dan kondisi lingkungan yang ekstrim
(Guyton and Hall 2008).
Kelembaban adalah kandungan partikel air di udara. Besaran yang sering
dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah kelembaban nisbi yang
diukur dengan higrometer. Kelembaban nisbi adalah perbandingan massa uap air
terhadap massa udara kering yang dinyatakan dalam persen. Kelembaban nisbi
dapat berubah sesuai tempat dan waktu. Saat siang hari kelembaban nisbi
berangsur-angsur turun kemudian meningkat pada sore hingga menjelang pagi
hari. Kelembaban berkaitan dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya
meningkatkan nilai kelembaban. Kelembaban dapat mempengaruhi kecepatan
hilangnya panas dari tubuh hewan melalui kulit dan saluran pernafasan
(Chantalakhana and Skunmun 2002). Hewan yang diperlakukan pada suhu tinggi
dalam waktu yang cukup lama dapat mengalami perubahan pada ketebalan lemak
tubuh dan rontoknya bulu (Suprayogi et al. 2006). Suhu dan kelembaban udara
yang tinggi menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimiawi pada makhluk
hidup. Perubahan fisiologis dan biokimiawi ini mengakibatkan proses
homeostasis tubuh agar kondisi menjadi normal kembali. Apabila proses
homeostasis tidak mampu mengembalikan kondisi normal tubuh maka akan dapat
21
mengubah tingkah laku, metabolisme, aliran darah, respirasi, nafsu makan dan
sistem fisiologis lainnya pada makhluk hidup (Suprayogi et al. 2009).
II.3.2 Termoregulasi dan Adaptasi Tubuh
Proses fisiologis yang dilakukan tubuh untuk menjaga keseimbangan suhu
internal tubuh pada kondisi normal disebut termoregulasi. Termoregulasi pada
manusia diatur pada hipotalamus anterior. Pengaruh suhu terhadap hewan
digolongkan menjadi poikiloterm dan homoioterm. Hewan homoioterm memiliki
suhu tubuh lebih stabil, karena adanya reseptor dalam otak yang dapat mengatur
suhu tubuh (Swenson 1997). Hewan berdarah panas (homoioterm) merupakan
hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya pada suhu yang konstan yang
umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan. Contoh hewan berdarah
panas adalah bangsa burung dan mamalia (termasuk Macaca fascicularis). Hewan
berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya kurang lebih sama dengan
suhu lingkungan (Guyton and Hall 1993).
Zona nyaman adalah kondisi nyaman seekor hewan dalam kondisi fisiologis
sehingga hewan dapat menjalankan aktivitas hidupnya secara normal (White
2009). Kondisi fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan (suhu dan kelembaban
lingkungan) dan perilaku hewan tersebut. Keberadaan zona nyaman atau kondisi
fisiologis dapat mempengaruhi tingkat metabolik dan produksi hewan.
Mekanisme kehilangan panas melalui kulit terjadi melalui konveksi, konduksi,
radiasi dan evaporasi. Jika suhu kulit lebih tinggi daripada suhu lingkungan, maka
tubuh kehilangan panas melalui mekanisme konveksi, konduksi, radiasi dan
evaporasi. Namun, jika suhu lingkungan lebih tinggi daripada suhu kulit, maka
tubuh mendapatkan panas melalui makanan dan fermentasi rumen atau sekum
yang diatur oleh hormon (tiroksin, hormon pertumbuhan dan glukokortikod) dan
aktivitas tubuh (Yousef 1984; Suprayogi et al. 2006).
II.3.3 Stres
Stres merupakan gejala yang tidak baik berdasarkan keadaan klinis dan
fisiologis. Respon tubuh terhadap stres terjadi karena aktivasi sistem saraf dan
hormon tertentu. Salah satu penyebab stres adalah suhu lingkungan. Saat stres,
22
akan terjadi stimulasi terhadap hipotalamus yang kemudian akan menskresikan
corticotrophin releasing hormone (CRH) yang memberikan sinyal kepada
kelenjar hipofisis anterior yang menyebabkan pelepasan sejumlah besar
adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan kemudian meneruskan stimulasi pada
kelenjar adrenal terutama korteks adrenal pada fase fasciculata untuk
memproduksi glukokortikoid yang mempresentasikan kortisol untuk disekresi
lebih banyak. Efek fisiologis glukokortikoid terhadap metabolisme adalah
stimulasi glukoneogenesis oleh hati, mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik sehingga lebih banyak asam amino yang tersedia dalam plasma untuk
masuk ke dalam proses glukoneogenesis dalam hati, pengurangan penggunaan
glukosa oleh sel dan menekan transpor glukosa ke dalam sel, dan mobilisasi asam
lemak dari jaringan adiposa (Guyton and Hall 1993). Hal ini dilakukan oleh tubuh
untuk memperoleh tambahan energi. Kondisi stres juga dapat mempengaruhi
perilaku, penurunan kecernaan pakan, peningkatan konsumsi air yang pada
akhirnya mengakibatkan penurunan bobot badan (Guyton and Hall 2008).
Download