Panggilan Tanah Air

advertisement
PANGGILAN TANAH AIR
.
PANGGILAN TANAH AIR
Noer Fauzi Rachman, Ph.D
Prakarsa Desa
Panggilan Tanah Air
Penulis : Noer Fauzi Rachman, Ph.D
Penyelaras bahasa : Haslinda Qodariah
Tata letak : Prasetyo
Desain cover : Yayak Adya Yatmaka
Gambar cover : Yayak Adya Yatmaka
Prakarsa Desa
(Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan, BP2DK)
Gedung Permata Kuningan Lt 17
Jl. Kuningan Mulia, Kav. 9C
Jakarta Selatan 12910
Jl. Tebet Utara III-H No. 17
Jakarta Selatan 10240
t/f. +6221 8378 9729
m. +62821 2188 5876
e. [email protected]
w. www.prakarsadesa.id
Cetakan Pertama, 2015
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Noer Fauzi Rachman (penulis) Panggilan Tanah Air
Cet. 1—Jakarta:
144 hal., 14 X 20 cm
ISBN: 978-602-0873-00-8
© Hak Cipta dilindungi undang-undang
All Rights Reserved
Pengantar Penerbit
Bagaimana nasib desa di masa depan? Apakah setelah terbitnya
UU Desa, yakni UU No. 6 tahun 2014, maka akan dengan
sendirinya nasib desa berubah, dan akan dengan sendirinya gerak
pembangunan menempatkan desa sebagai subyek? Apa dasar
dari pandangan tersebut? Jika kita yakin akan kerja undangundang, maka yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah
ada dasar dari keyakinan kita tersebut? Bagaimana kondisi desa
saat ini? Bagaimana kondisi kampung-kampung dewasa ini?
Apakah dalam keadaan ideal? Ataukah desa, kampung dan atau
dengan nama lainnya, telah berada dalam suatu situasi yang
membuatnya tidak mudah untuk mengubah arah nasibnya? Jika
demikian, apa yang harus dilakukan?
Naskah ini adalah hasil refleksi panjang Noer Fauzi Rachman,
v
panggilan tanah air
Ph.D., seorang guru pendidikan rakyat, yang telah bekerja
demikian lama dalam urusan keagrariaan, pedesaan dan
pemberdayaan masyarakat secara luas. Noer Fauzi Rachman,
hendak memperlihatkan suatu keadaan “gawat”, yakni keadaan
yang dilukiskannya sebagai keadaan porak-poranda, ketika tanah
air Indonesia porak-poranda. Tentu saja naskah ini bukan jenis
naskah yang mengundang kita untuk bersedih meratapi
keadaan. Sebaliknya, naskah ini dimaksudkan untuk
mengundang keterlibatan, mengundang agar kita bersedia
menjadi pandu tanah air, sebagaimana yang tertuang dalam lagu
Indonesia Raya.
Mengapa naskah ini terbit, di dalam rute pembangunan Sistem
Informasi Desa dan Kawasan (SIDEKA)? Sebagaimana disebut
di atas, bahwa naskah ini dimaksudkan menjadi energi bagi suatu
semangat baru. Dengan semangat tersebut, maka sangat
diharapkan lahirnya suatu cara pandang baru, sedemikian rupa
sehingga SIDEKA tidak diperlakukan hanya sebagai teknologi
(aplikasi yang sempit), melainkan menjadi “teknologi
pemberdayaan” yang baru, dan karenanya disebut sebagai cara
baru menghadirkan negara. Untuk karena itu pula, diucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang mendukung terbitnya
naskah ini, yang kelak akan ditempatkan sebagai bahan pokok
pembelajaran bagi para Pandu Desa yang akan menggerakkan
pembangunan SIDEKA. Diucapkan terima kasih kepada
Departement of Foreign Affairs and Trade-DFAT Australia, yang
memungkinkan penerbitan naskah ini. Pun semua pihak, baik
dari perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, maupun
komunitas, yang langsung maupun tidak, ikut memberikan
vi
pengantar penerbit
kontribusi bagi terbitnya naskah ini, dan juga penyebarannya.
Akhirnya, selamat membaca, merenungi nasib bangsa, dan
menjawab panggilan kepanduan: menyelamatkan tanah air, dan
membawanya kepada masa depan baru, yang lebih baik dan lebih
bermakna, sebagaimana maksud dari proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945.
Jakarta, April 2015.
vii
.
Pengantar Penulis
Sebagai pembuka dari apa yang saya uraikan secara panjang
lebar dalam buku ini, mari kita bayangkan apa yang masih sering
dibicarakan banyak orang mengenai tanah air kita ini. Biarkan
diri dan imajinasi kita bersafari pada keindahan kampungkampung halaman yang beragam, apakah itu di pulau-pulau
kecil, di pantai-pantai, hutan-hutan, ladang-ladang pertanian,
permukiman kaki gunung, di dalam hutan dataran tinggi, maupun
sabana-sabana? Kemudian tariklah nafas dalam-dalam sembari
memejamkan mata sambil membayangkan semua keindahan
keanekaragaman bentang alam itu. Sungguh mempesona dan
tiada taranya bukan?
Selanjutnya bacalah nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa” karya
pujangga Ismail Marzuki (1914-1958) berikut ini:
ix
panggilan tanah air
Tanah Airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai
Berbisik-bisik, raja klana
Memuja pulau, nan indah permai
Tanah airku, Indonesia
Ternyata kita bisa juga membaca sambil menyanyikannya.
Bagaimanakah rasa takjub dan imajinasi yang ditimbulkannya?
Karya dari Ismail Marzuki yang senada adalah “Indonesia Tanah
Air Beta” berikut ini.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
x
pengantar penulis
Satu lagi, mari kita pelajari lagu “Tanah Airku” karya pujangga
lain Saridjah Niung Bintang Soedibio (1908-1993), yang lebih
terkenal dengan panggilan Ibu Sud.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah ku m’rasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Betapa istimewanya bila kita bisa menyanyikan dengan perlahan
dan penuh perasaan lagu itu. Lagu Ibu Sud di atas berusaha
menggambarkan masyhur dan permainya Indonesia kepada
orang yang telah atau sedang berkelana di negeri orang. Mereka
yang telah jauh bertualang, menjelajah berbagai negeri dan
menyeberangi berbagai lautan, akhirnya sadar bahwa tidak ada
negeri yang lebih indah yang bisa ditemukan selain negerinya
sendiri: Indonesia. Maka, sekali pun mungkin menetap
selamanya di negeri orang, tidak akan hilang tanah air tersebut
dari kalbunya, malahan membangga-banggakannya pada siapa
pun yang ia temui.
xi
panggilan tanah air
Generasi saya mempelajari lagu-lagu itu melalui mata pelajaran
“Seni Suara” semasa kami berada di Sekolah Dasar (SD) di tahun
1970-an, dan melalui acara televisi. Saat itu kami baru mengenal
televisi sebagai produk teknologi baru dan menjadi sumber
media hiburan yang segera saja populer di kalangan anak-anak.
Pada saat itu, menyanyi menjadi salah satu acara idaman kami di
Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan pengarah acara A.T.
Mahmud dan pengasuh acara Ibu Mul untuk “Lagu Pilihanku”
dan Ibu Fat untuk “Ayo Menyanyi”. Kedua acara itu diiringi oleh
Ibu Meinar yang memainkan piano. Acara lomba menyanyi pun
semarak di Radio Republik Indonesia (RRI) maupun radio-radio
swasta. Karena di sekolah, siaran TVRI, RRI maupun radio-radio
swasta sering memperdengarkan berbagai nyanyian seperti itu,
kami pun menjadi pandai menyanyikannya.
Siapakah di antara para orang tua yang bisa ditanyakan situasi
dan pengaruh dari pengajaran menyanyi dan siaran-siaran itu?
Siapakah kini yang masih sering melantunkan lagu-lagu itu? Atau,
di manakah kita masih dapat mendengarkan lagu-lagu itu
sekarang? Seolah semuanya sudah hilang dan terlupakan begitu
saja. Dimana kita bisa temukan tanda-tanda jejak bahwa kita
pernah memiliki imaji bersama tentang apa itu tanah air,
sebagaimana tergambar begitu mempesona dalam lagu-lagu di
atas.
Memulai dengan pembukaan tersebut, naskah buku ini hendak
mengangkat tema tanah air sebagai kampung halaman rakyat.
Bukan “tanah air” sebagai imaji ideal yang simbolik, umum dan
abstrak, yang dijadikan rujukan dalam romantisme atas alam yang
xii
pengantar penulis
indah melalui tamasya. Tanah air yang saya maksudkan di sini
adalah tempat nyata dimana rakyat Indonesia benar-benar hidup
dan mempertahankannya.
Sudah lebih dari seperempat abad saya belajar dan menjadi saksi
dari porak-porandanya tanah air melalui “perampasanperampasan tanah” yang nyata di kampung-kampung halaman
rakyat di seantero Nusantara. Salah satu tonggak penting yang
tidak bisa saya lupakan adalah Lokakarya Advokasi Kasus-Kasus
Pertanahan, 8-11 November 1993, yang diselenggarakan secara
bersama oleh Yayasan Sintesa - Kisaran, LBH Pos - Bandar
Lampung, Lembaga Pengembangan Pendidikan Pedesaan (LPPP)
- Bandung, Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat (LEKHAT) Yogyakarta, dan Yayasan Manikaya Kauci - Denpasar. Pertemuan
itu dihadiri oleh lebih 100 aktivis agraria dari lebih tujuh puluh
(70) kelompok/lembaga, dan menghasilkan sebanyak 27 naskah
yang mengungkapkan pengalaman advokasi dan pengorganisasi
rakyat di kasus-kasus pertanahan. Naskah-naskah ini kemudian
dibukukan dalam Benny K. Harman dkk (1995), dan Noer Fauzi
dan Boy Fidro (1998). Hingga kini saya masih terus mempelajari
situasi porak-porandanya tanah air rakyat akibat perampasanperampasan tanah. Saat mengedit akhir naskah ini, saya baru
saja selesai pulang dari Banda Aceh, setelah bersama pengacara
dan paralegal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
mempelajari karakteristik empat kasus konflik agraria yang
tersebar di empat kabupaten sehubungan dengan perluasan
wilayah konsesi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa
sawit. Kasus-kasus itu penting dipelajari dalam konteks provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berstatus wilayah “Otonomi
xiii
panggilan tanah air
Khusus” sebagai hasil dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
ditandatangani di Helsinki, 2005. Apakah semaraknya demokrasi
politik yang terbuka, dan pengaturan pembagian kewenangan
pemerintah Pusat dan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam
dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan mengakui
klaim-klaim rakyat dan memulihkan situasi tanah air kampung
halamannya yang porak poranda itu.
Buku kecil ini hendak mengajak kita semua membuka mata
melihat situasi sebagian dari tanah air, kampung halaman tempat
hidup rakyat di desa-desa, di seantero Nusantara (nusa – antara,
artinya gugusan pulau-pulau). Saya merasa tugas utama buku
kecil ini adalah, pertama-tama, menunjukkan perlunya kita
memperhatikan bagaimana reorganisasi ruang untuk meluaskan
cara/sistem produksi kapitalis yang menghasilkan komoditaskomoditas global. Selanjutnya, naskah ini akan berhasil
menjalankan tugasnya, bila pembaca dapat mengidamkan dan
membayangkan suatu cara pengabdian untuk memperbaiki
situasi tanah air kampung halaman rakyat.
Saya menyampaikan terima kasih kepada Gunawan Wiradi, Roem
Topatimasang, Mia Siscawati, Hendro Sangkoyo, Hilmar Farid,
R. Yando Zakaria, Dadang Juliantara, Haslinda, Yuslam Fikri,
Rachmi Diyah Larasati, Sandra Moniaga, Abdon Nababan, Usep
Setiawan, Ahmad Nashih Luthf i, Eko Cahyono, Bosman
Batubara, Iwan Nurdin, Dewi Kartika, Siti Maimunah, Siti
Rachma Herwati, Samuel Pangerapan, Raharja Waluya Jati,
Ignatius Kristanto, Yohanes Krisnawan, Isnaini, Paskah Irianto,
xiv
pengantar penulis
Budi Supriatna, Sapei Rusin, dan banyak teman lain yang
tertinggal di daftar dan tidak bisa saya masukkan dalam daftar
itu, termasuk semua yang telah mengundang saya
menyampaikan ceramah/kuliah dan mereka yang menyampaikan pertanyaan, komentar kritis, dan pujian untuk ceramahceramah saya di berbagai tempat dan kesempatan yang berbedabeda.
Terima kasih khusus pada Hendro Sangkoyo yang mengijinkan
penggunaan karyanya untuk dimuat di bab V, Parakitri T.
Simbolon yang mengijinkan pemuatan ringkasan yang dibuatnya
atas Tan Malaka, Hatta dan Sukarno untuk Lampiran 1a, 1b, dan
1c. Tidak lupa juga banyak terima kasih untuk Haslinda untuk
memeriksa dan memperbaiki tata bahasa dan kalimat naskah
buku ini. Istri saya tercinta, Budi Prawitasari, dan kedua putra
kami, Tirta Wening dan Lintang Pradipta, berkorban tidak terkira
untuk keleluasaan yang saya dapatkan selama ini, termasuk
untuk menuliskan naskah ini. Saya tidak tahu cara
menyampaikan terima kasih yang layak untuk pengorbanan yang
mereka berikan. Pengabdian saya untuk rakyat dan tanah air
Indonesia adalah pengabdian kalian juga.
Terakhir rasa terima kasih kepada penerbit yang mengusahakan
membuat buku ini sampai ke tangan pembaca sekalian. Selamat
menikmati.
Studio Tanah Air Kita,
Bogor, 2015
xv
.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum,
kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada
pada diri mereka”
(Al Quran, surah Ar-Ra’d ayat 11)
Daftar Isi
Pengantar Penerbit ~~ v
Pengantar Penulis ~~ ix
I.
Pembuka ~~ 1
II.
Situasi Umum Tanah Air Kita ~~ 5
III.
Reorganisasi Ruang ~~ 15
IV.
Merasani “Kutukan Kolonial” ~~ 25
V.
VI.
Masa Depan Tanah Air, Tanah Air Masa Depan ~~ 39
Penutup: Panggilan Ideologis untuk Pandu ~~ 57
Lampiran-lampiran
0
0
0
Tan Malaka (1925) Naar de “Republiek Indonesia” ~~ 65
Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka ~~
76
Soekarno (1933) ”Mencapai Indonesia Merdeka” ~~ 88
xix
panggilan tanah air
0
0
0
0
0
0
Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ~~ 103
Pidato Soekarno Memproklamasikan Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 ~~ 105
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
~~ 107
Lirik Lagu “Indonesia Raya” versi asal (1928) ~~ 110
Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi
(1958, 2009) ~~ 112
Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi
(dengan Ejaan Yang Disempurnakan) ~~ 114
Daftar Pustaka ~~ 117
xx
-I-
Pembuka
Naskah ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia
sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya
melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap
transaksi jual-beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk
berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau
keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim
ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Di Indonesia sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif
mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Bukankah demikian?
Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai
kesempatan, saya hendak menunjukkan sisi lain dari pasar
sebagai mekanisme yang sering dianggap normal, alamiah dan
sudah seharusnya demikian itu. Jarang orang memikirkan secara
sungguh-sungguh bagaimana pasar pada mulanya dibentuk oleh
perusahaan raksasa dan dengan cara bagaimana perusahaanperusahaan raksasa pada mulanya memperoleh modal untuk
produksi barang-barang dagangan yang kemudian dipasarkan.
1
panggilan tanah air
Naskah ini berangkat dari pengalaman-pengalaman saya, selama
hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat
menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang dijalankan oleh
berbagai kekuatan, dalam rangka menciptakan modal bagi
perusahaan-perusahaan raksasa. Terutama perusahaanperusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan,
kehutanan, dan perkebunan untuk membangun sistem produksi
kapitalisme, yang menghasilkan barang dagangan untuk
diperjualbelikan di pasar bagi sebesar-besar keuntungan
perusahaan.
Operasi kekerasan yang dimaksud di atas terutama mencakup
pelepasan hubungan kepemilikan rakyat terhadap tanah, sumber
daya alam dan wilayah, perubahan secara drastis tata guna dari
tanah, sumber daya alam dan wilayah, serta perubahan posisi
kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan keberadaan sistem
produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya
alam dan wilayah itu. Operasi kekerasan itu, selain menghasilkan
modal bagi perusahaan-perusahaan untuk pertama kalinya,
sesungguhnya di kalangan rakyat melahirkan ketegangan hingga
pertengkaran sosial, dislokasi sosial hingga migrasi, bahkan
perasaan tercerabut yang dapat melahirkan protes
berkelanjutan. Namun sebagian besar rakyat mengalah dan
kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung
halamannya, dan tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah,
sumber daya alam, dan wilayah yang telah dikapling perusahaanperusahaan itu. Ada sedikit saja rakyat yang berhasil
mempertahankan diri atau menghalau perusahaan-perusahaan
yang mengkapling tanah-tanah mereka itu.
2
pembuka
Bagaimana sesungguhnya kita menyikapi semua ini? Pendek
kata, naskah ini bermaksud menggugah bagaimana kita bersikap
menghadapi porak-porandanya tanah air, kampung halaman
rakyat akibat reorganisasi ruang untuk perluasan cara/sistem
produksi kapitalisme yang menghasilkan komoditas-komoditas
global. Lebih lanjut, saya berharap naskah ini dapat membuat
kita mengidamkan, memikirkan, dan merintis usaha-usaha
memulihkan rakyat dan alam yang porak-poranda itu. Terbuka
kemungkinan rakyat memilih dan menjadikan kampung atau
desa (apapun namanya) sebagai tempat berangkat dan sekaligus
tujuan pengabdian. Kita berangkat dari apa yang pernah
dikemukakan Muhammad Yamin dalam perdebatan pembuatan
pasal 18-B UUD 1945, yakni:
“... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam
mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul
beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada
susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau
Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri
Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis,
di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya.”
3
.
- II -
Situasi Umum Tanah Air Kita
Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa Indonesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh
elite pemerintahan nasional di zaman Reformasi melalui
Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut: (i)
ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan
sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, (ii) konflikkonflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus
di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan
ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat
dinikmati rakyat.1 Tiga golongan masalah ini sayangnya diabaikan
oleh banyak pejabat publik dan sama sekali tidak diurus secara
serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat
yang berhubungan dengan masalah agraria dan pengelolaan
sumber daya alam, serta para pejabat pemerintahan daerah.
Rakyat Indonesia di desa-desa selayaknya menyambut abad XXI
dengan penuh kegembiraan dan optimisme, namun pada
kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin
5
panggilan tanah air
di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman
maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir.
Rakyat pedesaan menanggung beban berat secara kolektif
sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan
lingkungan hidupnya semakin hari menyempit, produktivitasnya
semakin hari merosot, lingkungan ekosistemnya semakin hari
semakin tidak mendukung kehidupan, dan secara relatif
kesejahteraannya menurun.
Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang
rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian,
perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk
miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah
tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Data sensus
pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan
sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan
hasil sensus pertanian 2003.
Secara retorik, setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang,
berganti pekerjaan dari pertanian. Bila kita lihat lebih jauh, seperti
ditunjukkan oleh Khudori (2014) laju konversi lahan pertanian
rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 19922002), dan bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode
2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010.
Bila ambil saja rata-rata konversi 129.000 ha/tahun, maka secara
retorik setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat
berubah menjadi lahan non-pertanian.
6
situasi umum tanah air kita
Arus pengurangan jumlah petani dimulai sejak pertengahan abad
20 yang lalu, dan diperhebat dalam dekade yang lalu di Indonesia. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin
sempit dari tahun ke tahun, dibanding dengan mereka yang
membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian
juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di
pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa
menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan
memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui
kerja migran, di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar
negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya
berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan
pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi
pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti
mereka. Di sana sini, pengalaman pahit hidup kerja sebagai
migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan,
diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai
nasib buruk, yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk
pergi.
Dunia pertanian dan hidup di desa bukanlah masa depan yang
menjanjikan bagi pemuda-pemudi, padahal masa depan
pertanian rakyat bergantung pada siapa yang akan bertani
(White 2011, 2012). Kaum paling miskin bekerja menjadi kelas
terendah dalam sektor informal dan hidup di komunitaskomunitas pondok dalam wilayah-wilayah kumuh dan marjinal
di kota-kota (Jellinek 1977). Mereka mudah sekali berpindahpindah menjadi sesuatu yang diistilahkan oleh Jan Breman
sebagai footloose labor (Breman 1977).
7
panggilan tanah air
Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula
motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya.
Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang
semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kotakota tidak kembali ke desa, menjadi konsumtif, dengan membeli/
menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta
motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya
membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet
di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan
jam pulang menuju pinggiran kota.
Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang
terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most
dramatic change in the second half of this century, and the one
which cuts us forever from the world of the past, is the death of
the peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam
paruh kedua abad (kedua puluh) ini, yang untuk selamanya
memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian
petani” (Hobsbawm, 1994:288-9). Istilah untuk berkurangnya
jumlah orang desa yang bekerja sebagai petani, yang dibuat oleh
para sarjana peneliti masalah agraria , adalah depeasantization
(Araghi 1995, McMichael 2014). Ini untuk menunjukkan
bagaimana berbagai kekuatan ekonomi politik bekerja pada
tingkat global sehingga menghasilkan kecenderungan
pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan, dan semakin
kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya. Lebih
8
situasi umum tanah air kita
lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization
(Bryceson 1996) untuk menunjukkan semakin kecilnya andil
kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan
orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.
Tidak dipungkiri bahwa semua itu dilakukan dalam rangka
menciptakan suatu cara hidup baru dengan gaya perkotaan
modern (urban modernity), yang banyak dianggap sebagai
keniscayaan yang harus ditempuh. Henri Lefebrve (1970/2003)
menyebutnya sebagai urban revolution, bahwa masyarakat global sekarang ini sedang mengalami proses urbanisasi dan
masyarakat perkotaan sekarang ini terbentuk sebagai hasil
proses urbanisasi. Ia memaksudkan bahwa ini bukan sekadar
perubahan lokasi hidup di kota-kota, melainkan seluruh cara
hidup, berpikir dan bertindak yang berbeda secara total.
Kampung halaman rakyat di desa-desa porak-poranda untuk
melayani cara hidup masyarakat perkotaan, termasuk kaum elite
kaya yang hidup di kota-kota yang berjaringan satu sama lain,
termasuk dengan dihubungkan oleh lapangan terbang, mobil
dan jaringan jalan highway, hotel, pusat perbelanjaan dan
perumahan gated-communities, hingga kantor-kantor
perusahaan maupun pemerintahan di pusat kota metropolitan.
Elite perkotaan kita ini hidup di metropolitan cities seperti Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, hingga Singapura, dan
bersama-sama dengan elite perkotaan di negara-negara pasca
kolonial lain dalam jaringan dengan kota-kota New York, London, dan Tokyo, dan sebagainya (Sassen 2001, 2005, Roy and
Ong 2011).
9
panggilan tanah air
Saya bukan akan membahas sisi modernisasi yang mentereng
itu. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi komoditas
globallah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan melalui
konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan,
perkebunan, infrastruktur, dll. Produktivitas rakyat yang hidup
di lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan
dan sama sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai. Cerita
dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang
sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru
itu tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di
kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, pemerintah
menyampaikan keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan
fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah para
perusahaan raksasa (biasa disebut: investor!) bekerja untuk
memperbesar kapasitas produksi komoditas-komoditas global,
mensirkulasikannya, dan menjualbelikan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan keuntungan dan penumpukan
kekayaan.
Ketika naskah ini ditulis, saya membaca berita di Koran Kompas
edisi 18 April 2015 “Konflik Lahan Adat Meningkat”. Suryati,
Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan
Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang menjadi narasumber berita
itu melaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April 2015,
terdapat setidaknya konflik lahan antara 18 komunitas adat
dengan PT Toba Pulp and Paper yang beroperasi di kawasan
Toba. “Setidaknya konflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau
17.722 jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di Kabupaten
Humbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir,
10
situasi umum tanah air kita
Dairi, dan Simalungun.” (Kompas “Konflik Lahan Adat
Meningkat” 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL
memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan
Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan
seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK
Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih
269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU).
Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu. Ke-18
kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak
komunitas yang sudah kalah dan mengalah terhadap PT TPL atau
PT IIU.2 Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di
sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (Hak Pengusahaan
Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada
tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20
tahun.
Baru-baru ini di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan
istimewa mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu,
yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten
Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana
seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan
tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor
PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun
mereka yang dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan maupun
sayur-sayuran.
Secuplik cerita satu kasus konflik agraria ini dimaksudkan untuk
11
panggilan tanah air
menunjukkan masalah tanah air rakyat yang kronis. Lebih dari
itu, sinyalemen mengenai sebaran konflik agraria di seantero
Nusantara sudah menujukkan luasannya di seantero Nusantara
(Konsorsium Pembaruan Agraria 2014).3 Di sini saya tidak akan
memperpanjang cerita-cerita kasus semacam itu. Di naskah ini,
saya akan mengarahkan penjelasan mengenai sebab utama dari
porak-porandanya rakyat dan tanah airnya, yang berlangsung
secara sistemik, sebagai akibat dari reorganisasi ruang untuk
perluasan cara/sistem produksi kapitalisme untuk menghasilkan
komoditas-komoditas global.
Catatan Akhir
1
Satu mandat utama dari TAP MPR ini adalah penyelesaian
pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai
perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang
berlaku. Ironisnya tidak ada satupun Presiden Republik Indonesia yang
menjalankan arah kebijakan dan mandat yang termuat di dalam
Ketetapan MPR itu. Semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undangundang agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji
konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai
dengan UUD 1945 yang berlaku. Yang terbanyak diuji adalah Undangundang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Yang baru saja dibatalkan adalah
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air. Air sebagai sumber daya yang vital tidak boleh diswastakan,
dan harus dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
2
Pertama kalinya saya membaca satu kasus dari wilayah ini melalui
buku Ibrahim Gidrach Zakir (1980) Dari Jenggawah ke Siria-ria: Sebuah
Peneguhan Sikap di Hadapan Pengadilan Mahasiswa, yang diterbitkan
12
situasi umum tanah air kita
di Bandung oleh Badan kerjasama Pembelaan Mahasiswa Indonesia.
Buku ini adalah Pledoi Ibrahim Gidrach Zakir, salah seorang mahasiswa
yang dipenjarakan oleh rezim militer Orde Baru karena tuntutan mereka
agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia.
Kasus ini telah menjadi perhatian para pekerja hak asasi manusia sejak
akhir ahun 1989. Saya membacanya di YLBHI (1990), Laporan Keadaan
Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Naskah akademik terbaik mengenai
perjuangan agraria di sana, termasuk yang digerakkan oleh ibu-ibu
Sugapa, adalah Simbolon, Indira Juditka 1998 Peasant Women and Access
to Land; Customary Law, State Law and Gender Based Ideology; The Case
of the Toba - Batak (North Sumatra). PhD thesis in Wageningen University.
3
Salah satunya dibuat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
yang melaporkan bahwa sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi
472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan konflik mencapai
2.860.977,07 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887
kepala keluarga (KK). Data KPA memperlihatkan konflik agraria tertinggi
pada tahun ini terjadi pada proyek-proyek infrastruktur, yaitu sebanyak
215 konflik agraria (45,55%) di sektor ini. Selanjutnya ekspansi perluasan
perkebunan skala besar menempati posisi kedua yaitu 185 konflik agraria
(39,19%), dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27 (5,72%), pertanian 20
(4,24%), pertambangan 14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%),
lain-lain 7 konflik (1,48%). Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi
peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 atau meningkat 27,9% dari
tahun 2013. Secara kumulatif selama 10 tahun masa pemerintahan SBY
(2004-2014) setidaknya telah terjadi 1.520 konflik agraria di seluruh
wilayah Republik Indonesia, dengan luasan areal konflik seluas
6.541.951,00 hektar dan melibatkan lebih dari 977.103 kepala keluarga
(KK), yang harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik
berkepanjangan. Dapatlah dikatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir ini rata-rata hampir dua hari sekali terjadi konflik agraria (KPA,
2014).
13
.
- III -
Reorganisasi Ruang
Secara gamblang saya mengajak pembaca melihat sebagian
situasi rakyat dan tanah airnya yang porak-poranda itu sebagai
bagian akibat dari reorganisasi ruang yang digerakkan oleh
kekuatan-kekuatan yang memperluas sistem-sistem produksi
kapitalis. Sebagai suatu sistem produksi yang mendasarkan pada
pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola
produksi, dan yang senantiasa berorientasi untuk
pelipatgandaan keuntungan si pemilik, mesin-mesin industrinya
harus terus bergerak memproduksi tak henti-henti untuk
menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar
dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian
disirkulasikan sedemikian rupa sehingga bisa sampai pada
konsumen.
Seperti diuraikan secara padat oleh Schumpeter (1944/1976:8283), sebagai suatu sistem ekonomi yang khusus, kapitalisme tidak
pernah statis tapi sangat dinamis. Perubahan yang dihasilkan
oleh kapitalisme bukan hanya dikarenakan fakta bahwa
kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial
15
panggilan tanah air
dan alam yang berubah. Memang penting juga melihat pengaruh
kekuatan politik dan segala pergolakan yang timbul dari padanya
pada perubahan industrial, akan tetapi semua itu bukanlah
penggerak utamanya. Tidak pula hanya karena pengaruh yang
begitu rupa dari ilmu dan jumlah modal yang diinvestasikan, atau
oleh pengaruh khusus dari sistem-sistem moneter, yang
semuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang
membentuk dan menggerakkan mesin kapitalis sesungguhnya
berasal dari kemampuannya membuat rakyat mengkonsumsi
barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melalui cara-cara
produksi baru, transportasi baru, pasar-pasar baru, dan
manajemen organisasi industrial baru.
Barang-barang dagangan selalu harus dibeli dan rakyat kita
dipacu untuk terus menjadi konsumen belaka. Mekanismemekanisme baru untuk memperbesar konsumsi terus-menerus
diperbarui: yang lama diganti dan yang baru diciptakan.
Kapitalisme akan mati bila tidak ada yang membeli barang
dagangan (komoditi) yang mereka hasilkan. Dari hari ke hari,
sistem produksi kapitalis terus-menerus menghasilkan barangbarang baru, termasuk untuk menggantikan barang-barang
dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi non-kapitalis.
Saat ini, kita lihat kenyataan bahwa selera rakyat dibentuk melalui
iklan dan gaya hidup konsumtif yang mampu membangkitkan
gairah mengidamkan dan membeli barang-barang baru. Upaya
pembiasaan membeli pun digencarkan melalui iklan-iklan TV,
radio, billboard hingga penjualan di mall-mall, supermarket di
kota-kota hingga minimarket dan toko-toko di kelurahan/desadesa, serta situs-situs maya yang menawarkan secara online.
16
reorganisasi ruang
Demikianlah, ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukan
reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar
cara/sistem produksi kapitalisme bisa meluas secara geografis
(geographic expansion). Istilah yang dimaksudkan di sini lebih
luas maknanya dari istilah yang disebut oleh pemerintah sebagai
“penataan ruang”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan
istilah ruang dalam “reorganisasi ruang” di sini mencakup: (a)
ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan
teknokratik yang diistilahkan master plan, grand design, dan
sebagainya; (b) ruang material, tempat kita hidup; dan (c) praktikpraktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang,
memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan
ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan,
termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian
negara, atau korporasi, atau rakyat.1
Reorganisasi ruang dilakukan terus-menerus oleh kekuatan yang
bermaksud melipatgandakan keuntungan perusahaanperusahaan kapitalis. Keuntungan itu pada dasarnya diperoleh
dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara
penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasi
tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang bernilai
tambah. Komoditas atau barang dagangan yang dihasilkan oleh
sistem produksi kapitalis itu ditransportasikan sedemikian rupa
mulai dari tempat ia diproduksi hingga diperdagangkan dan
dikonsumsi rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup
maupun melayani kebiasaan berbelanja (budaya konsumtif).
Saat ini, tidak bisa tidak, kita harus membicarakan kapitalisme,
17
panggilan tanah air
dan memahami cara bekerjanya. Sebab, kapitalisme telah
menjadi suatu sistem produksi yang menguasai Indonesia dan
dunia sekarang ini. Fernand Braudel, sejarawan Perancis dan
pemimpin dari Aliran Annales (Annales School) dalam ilmu
sejarah, menulis kalimat yang dikutipkan di atas itu dalam salah
satu karya klasiknya Civilization and Capitalism 15th – 18th Century
Volume II: the Wheels of Commerce: “manakala kapitalisme diusir
keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Ia
melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk
kegiatan ekonomi yang tak bisa dihindari memanggil ingatan
kita pada kata ini dan tidak bisa tidak” (Braudel 1979:231).
Manusia-manusia yang sepenuhnya menikmati menjadi bagian
dari sirkuit produksi-konsumsi komoditas itu terus
menyebarluaskan kehebatan dari sistem produksi ini, dan
meyakini bahwa kita tidak bisa mengelak kecuali menjadi bagian
dari pada kapitalisme. Kita sepenuhnya bisa memahami mereka
yang bekerja mengabdikan dirinya secara profesional dengan
andalan keahliannya, memperoleh upah, penghargaan, dan
jaminan karir yang diatur secara manajemen.
Umumnya yang tidak mereka ceritakan adalah cara bagaimana
sistem-sistem produksi kapitalis ini wilayah kerjanya semakin
meluas melalui operasi-operasi kekerasan, terutama merampas
tanah kepunyaan rakyat, dan membatasi bahkan membuat
rakyat tidak bisa lagi memanfaatkan tanah dan sumber daya
alamnya, mengubah secara drastis dan dramatis tata guna tanah
.
yang ada, dan menciptakan kelompok-kelompok pekerja yang
terpaksa maupun siap sedia untuk didisiplinkan menjadi
18
reorganisasi ruang
penggerak sistem produksi kapitalis itu.
Saya mengajak kita melihat bagaimana nasib sebagian besar
rakyat Indonesia yang melanjutkan hidup di desa-desa dengan
cara menguasai dan memanfaatkan tanah dan wilayahnya melalui
sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani,
penggembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga
pengelolaan pesisir dan laut. Ekspansi sistem-sistem produksi
kapitalis akan memaksa kehidupan mereka berubah. Keadaan
kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai mereka
telah, sedang dan akan terus diubah oleh industri pengerukan
(batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen,
marmer, dsb), industri pulp and paper, industri perkebunan
kelapa sawit, industri perumahan dan turisme, industri
manufaktur, dan lain sebagainya.
Semua sistem produksi baru ini perlu dipahami sebagai bagian
dalam jaringan produksi internasional/global yang ekspansif.
Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang industri
pertambangan, kehutanan, pekebunan, manufaktur,
perumahan dan turisme, infrastruktur, dan lainnya, bekerja
berdasarkan lisensi atau surat izin yang diperoleh dari pejabat
publik yang berwenang, seperti Menteri Pertambangan yang
membuat Kontrak Karya Pertambangan, Menteri Kehutanan
yang mengeluarkan izin HPH/HPHTI, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang mengeluarkan Surat Keputusan HGU, dan
lainnya. Lisensi-lisensi itu menjadi alas hukum untuk
menyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris (petani, nelayan,
masyarakat adat yang mengumpulkan hasil hutan/laut, dsb-nya)
19
panggilan tanah air
dari tanah dan wilayah hidupnya, baik oleh perusahaanperusahaan pemegang lisensi itu, maupun aparatur keamanan/
polisi yang bekerja untuk perusahan-perusahaan pemegang
lisensi itu. Konsesi-konsesi berupa taman-aman nasional dan
kawasan konservasi lainnya, yang dihasilkan oleh keputusankeputusan Menteri Kehutanan, juga menjadi dasar penyingkiran
rakyat atas nama biodiversity hotspot,di mana spesies-spesies
flora fauna yang langka dan ekosistemnya perlu dikonservasi.
Saat ini yang sedang menjadi andalan pemerintah adalah
pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti
pembangunan jalan, pelabuhan, lapangan terbang beserta
aerocity, kompleks industri pengolahan, dsb. Berbeda dengan
yang lain, infrastruktur memiliki fungsi khusus melayani
komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan jalan darat atau
kereta api, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditas
ditransportasikan dari satu tempat ke tempat lainnya hingga
sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan
infrastruktur yang masif ini ikut menyumbang juga pada
penyingkiran rakyat dari kampung halamannya.
Sejak masa kebijakan otonomi daerah dimulai tahun 2000,
pemerintah daerah lebih tertarik memburu rente yang dapat
diperolehnya, baik dari pembagian keuangan pemerintah pusat,
maupun dari pemberian izin-izin. Bertarung dalam pemilu kepala
daerah menghabiskan biaya yang sangat mahal, dan itu membuat
kepala daerah harus mempunyai cara mendapatkan kompensasi
dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada itu. Cara
itu menemukan bentuk praktisnya ketika desakan desentralisasi
20
reorganisasi ruang
berujung pada kewenangan kabupaten dalam pemberian izin lokasi,
izin usaha pertambangan, dan sebagainya.
Alih-alih mengurus masalah porak-porandanya tanah air,
kampung halaman rakyat, negara memfasilitasi pemenuhan
kepentingan akumulasi kekayaan segelintir orang, sebagaimana
disinyalir oleh Karl Marx (1948) dalam pamfletnya yang
termasyhur The Communist Manifesto bahwa “(t)he executive
of the modern state is nothing but a committee for managing
the common affairs of the whole bourgeoisie.” Tentu saja,
keberadaan negara yang bersifat melulu instrumental terhadap
perluasan sistem kapitalisme ini sesungguhnya bertentangan
dengan maksud pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana
dicita-citakan pada masa pendiriannya. Justru sebaliknya, negara
diidamkan sebagai kekuatan pembebas rakyat.
Barang-barang yang diperjualbelikan dihasilkan di pabrik-pabrik
yang lokasinya jauh dari tempat barang itu dijual. Semua barang
itu dimungkinkan hadir melalui rantai komoditas (commodity
chain) yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasikonsumsi. Tontonlah video 20 menit yang diproduksi oleh Annie
Leonard, dkk. dari Story of Stuff Project. Mereka menunjukkan
bagaimana daya rusak dari sistem produksi kapitalis dan pola
konsumsi yang dibentuknya https://www.youtube.com/
watch?v=9GorqroigqM. Dengan menonton film ini dan film-film
mereka lainnya (lihat informasinya di http://storyofstuff.org) kita
akan tercengang dan terinspirasi!
Indonesia menduduki posisi khusus dalam sirkuit ini. Istilahnya,
21
panggilan tanah air
terdapat pembagian kerja yang telah diatur secara internasional
(international division of labour), di mana posisi dan andil Indonesia dalam tata perekonomian global itu sungguh penting
untuk dicermati. Kebijakan industri mengatur kehadiran pabrikpabrik yang menghasilkan barang dagangan sesuai standar dan
secara massal. Semua itu diatur dalam perjalanan industrialisasi
Indonesia secara nasional, yang telah melintasi beberapa kali
periode. Kita telah mengalami suatu pengalaman industrialisasi
substitusi impor (ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga
industrialisasi orientasi ekspor (IOE) pada tengah tahun 1980an. Muaranya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri
khusus (special economic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik,
dengan sistem produksi kapitalis yang mendasarkan diri pada cara
pabrik model Fordism. Istilah Fordism ini berasal dari nama
industrialis Amerika Henry Ford, yang membangun pabrik mobil
Ford dengan suatu sistem sosial dan ekonomi modern berbasiskan
bentuk produksi massal industri yang memiliki standar. Teknik dalam
manajemen industrinya disebut sebagai assembly line dengan alat
“ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif.
Di akhir tahun 1990-an, setelah Presiden Jenderal Soeharto turun
tahta dan rezim otoritarian Orde Baru kehilangan
cengkeramannya, sebagai respon manajemen industri terhadap
gerakan-gerakan serikat buruh yang semakin menguat,
dimulailah mekanisme sub-contracting, tidak memerlukan suatu
hubungan industrial yang memberi peran bagi serikat-serikat
buruh, terutama dalam kontrak kerja yang mencakup kondisi
kerja dan penentuan nilai upah. Lebih dari itu, suatu model
manajemen industri baru, yang disebut sebagai post-fordism,
22
reorganisasi ruang
yakni suatu sistem manajemen industri untuk produksi barang
dagangan yang massal melalui mekanisme yang lebih lentur
dalam skala produksi, spesialisasi, lokasi produksi, dan
sebagainya, dengan basis penggunaan teknologi informasi,
komunikasi dan transportasi baik dalam rantai pasokan untuk
produksi (supply chain) hingga sirkulasi barang dagangan sampai
ke konsumen.
Model paling akhir dan terbaru adalah yang disebut sebagai “jaringan
produksi internasional” (international production network), atau
juga disebut sebagai jaringan produksi global (global production
network). Jaringan produksi internasional/global berlangsung dalam
skala besar dan sedang dilayani oleh negara, termasuk melalui
pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur dalam kerangka
pelaksanaan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) dan
Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
(ERIA 2009, 2010, Pemerintah Indonesia 2011). Pelajarilah apresiasi
dan kritik atas rancangan MP3EI sebagai Master Plan untuk
mereorganisasi ruang bagi perluasan investasi dan pasar di Asia
melalui pembangunan proyek infrastruktur raksasa (Rachman dan
Januardi 2014).
Konsep-konsep baru, seperti koridor ekonomi, konektivitas,
kawasan ekonomi khusus, dan lainnya, diandalkan untuk
meyakinkan pembaca mengenai keharusan proyek-proyek
infrastruktur raksasa dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai
sumber bahan mentah bagi investasi perusahaan-perusahaan
untuk menghasilkan dan mensirkulasikan komoditas global. Pada
gilirannya Indonesia hendak dijadikan bagian dari “Pabrik Asia”
23
panggilan tanah air
(Asia Factory). Istilah Asia Factory ini dibuat untuk menunjukkan
suatu model baru dalam produksi komoditas yang berisi jaringanjaringan produksi tingkat regional yang menghubungkan pabrikpabrik di berbagai wilayah ekonomi Asia yang memproduksi
bagian-bagian dan komponen-komponen yang kemudian dirakit,
dan produk akhirnya dikirim ke wilayah-wilayah “ekonomi maju”
(ADB 2013: 2).
Contoh yang terbaik adalah produksi cellphone. Kita tidak bisa
lagi mengenali di mana cellphone sesungguhnya diproduksi. Kita
tidak bisa lagi percaya tanda-tanda lokasi produksinya pada label
barang dagangan itu, seperti “made in Japan”, “made in Korea”, “made in Indonesia”, dsb. Tontonlah suatu film (4 menit,
23 detik) yang dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia/World
Trade Organization (WTO) berjudul Made in The World: https://
www.youtube.com/watch?v=KMkJu8S8ztE.2
Menonton film singkat itu, kita akan terkesan, dan memahami
kecenderungan baru yang mengagumkan, sekaligus
mengkhawatirkan!
Catatan Akhir
1
Rujukan mengenai konsep produksi ruang ini berangkat dari
pemikiran Henri Lefebvre (1992). Menurut Lefebvre (1976), kapitalisme
akan mati bila tidak memperluas diri dengan melakukan ekspansi
geografis ini. Penjelasan lebih terbaru dibuat oleh Harvey (2003, 2005,
2006)
2
Terima kasih untuk Hendro Sangkoyo yang telah menunjukkan
video ini.
24
- IV -
Merasani “Kutukan Kolonial”
Ayolah kita sedikit lebih dalam memahami apakah modal itu,
bagaimana mekanisme bekerjanya modal sebagai suatu
kekuatan pengubah tanah air rakyat di seantero kepulauan Indonesia, memporak-porandakan cara berproduksi yang ada
dalam ruang hidup rakyat berserta seluruh kelangsungan layanan
alamnya. Lebih lanjut, marilah kita menyadari betapa pentingnya
hadir dan berperan sebagai pejuang tanah air, merintis cara
berjuang baru menghadapi konteks perkembangan kapitalisme
yang baru, dan menjadi bagian dari perjuangan tanah air itu.
Ellen M. Wood (1994, 2002) membedakan market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative
(pasar-sebagai-keharusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja
melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia
pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa
yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia
mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih
dari itu, perusahaan-perusahaan raksasa sanggup membentuk
bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan
25
panggilan tanah air
pemerintahan hingga pada pemikiran bagaimana ekonomi pasar
itu diagung-agungkan. Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan
dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis
sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan
keuntungan melalui kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta
peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, serta
efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan
sirkulasi barang dagangan.
Karena karakter kapitalisme yang progresif inilah kita
menyaksikan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang,
sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga
penggantian para pekerja yang keterampilannya tidak lagi dapat
dipakai. Istilah Joseph Schumpeter yang dibuat terkenal oleh
David Harvey adalah creative destruction (Harvey 2006).
Maksudnya, sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme
ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua komponen
yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati halhal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya.
Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah
dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin
penciptaan keuntungan dan keberlangsungan akumulasi modal.
Hal ini mencakup juga perubahan hubungan kepemilikan dan
tata guna mengenai tanah dan sumber daya alam, tata guna
tanah, hutan, pantai, dan sebagainya. Membangun sistem
produksi kapitalistik dimulai dengan menghancurkan terlebih
dahulu sistem produksi nonkapitalis yang telah terlebih dahulu
ada di wilayah yang disasar itu.
26
merasani “kutukan kolonial”
Menurut David Harvey (2006), creative destruction itu semakin
mencolok saat berbagai praktik dan kebijakan pemerintah
didasari oleh paham neoliberalisme. Dalam hal ini neoliberalisme
merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan
individu untuk berusaha sebagai norma tertingi dan paling baik
dilindungi dan dicapai dengan tata kelembagaan ekonomi yang
mengandalkan jaminan atas hak kepemilikan pribadi, pasar
bebas, dan perdagangan bebas. Paham neoliberalisme tidak anti
pada
intervensi
pemerintah,
melainkan
justru
mendayagunakannya. Aransemen kelembagaan dan kebijakan
ekonomi yang diabdikan untuk mengoperasionalisasikan paham
ini secara sungguh-sungguh dirancang untuk terwujud,
termasuk privatisasi, finansialisasi, dan berbagai formula
menghadapi krisis-krisis finansial dan ekonomi.
Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatu topik yang baru
bagi Indonesia sebagai bangsa. Cara bagaimana kapitalisme ini
bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara
gamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan
kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai arus balik menandingi
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajari pada
karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju
Republik Indonesia), Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka.
Siapakah yang sekarang membaca naskah-naskah itu?1
Mereka adalah para pendiri bangsa yang fasih mengkritik
kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Karya-karya mereka
27
panggilan tanah air
itu sanggup menjadi rujukan utama bagi semua orang Indonesia
yang berusaha mencari tahu akar-akar kesengsaraan rakyat Indonesia. Selanjutnya pamflet yang ditulis Tan Malaka, Soekarno
dan Mohammad Hatta yang ditulis hampir secara bersamaan
mampu menjadi rujukan untuk mengerti mengapa Indonesia
Merdeka adalah suatu cita-cita dan sekaligus pembentuk dari
cara rakyat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, zonder
kapitalisme, dan kolonialisme.
Di sini kita musti secara khusus menyebut andil Soekarno dalam
merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam pidato di
BPUPKI 1 Juni 1945. Ia dengan jelas dan jenius menunjukkan
bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan
sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga
negaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum
kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera,
yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang pangan kepadanya?”
Arah politik agraria Indonesia di masa awal kemerdekaan adalah
menghilangkan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme untuk
memberi jalan bagi sistem ekonomi nasional bekerja atas prinsip
pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” – kalimat yang perumusannya dibuat oleh
Drs. Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Meski wacana land reform berhasil menjadi kebijakan
nasional, namun dua sistem agraria warisan kolonialisme, yakni
28
merasani “kutukan kolonial”
perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera dan
penguasaan lahan hutan oleh Perhutani di Jawa, berhasil
berlanjut hidup dengan menempatkan diri sebagai perusahaanperusahaan milik negara, yang dikerangkakan sebagai bagian
dari Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, kebijakan land reform
berfokus pada urusan membatasi penguasaan tanah-tanah
pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan
tanah-tanah guntai, redistribusi tanah-tanah negara dan
pengaturan bagi hasil (Fauzi 1999, Rachman 2012).
Land reform kemudian bergeser dari agenda bangsa untuk
mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang
membelah pengelompokan sosial-politik dan membuat
perebutan tanah menjadi basis dari konflik yang lebih luas di
pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dan sebagian Nusa
Tenggara. Konflik itu berkulminasi menjadi pembunuhan massal,
penangkapan dan pemenjaraan puluhan ribu orang yang
digolongkan komunis, pelarangan PKI, ideologi komunis, dan
organisasi yang digolongkan dalam underbow-nya. Konflik itu
juga berpuncak pada digulingkannya Soekarno melalui suatu cara
kudeta merangkak, naiknya jenderal Soeharto sebagai Presiden
RI, dan awal mula dari rezim otoritarianisme militer.
Seperti ditunjukkan oleh sejarawan Hilmar Farid (2005), suatu
kekerasan massal yang berlangsung 1965-1966, merupakan
primitive accumulation, bagian dari proses awal kembalinya
kapitalisme berkembang di Indonesia. Apa yang terjadi di
periode itu terus akan menanti untuk diungkap, dan memerlukan
keberanian, sikap kritis, dan moral bijaksana untuk memahami
29
panggilan tanah air
yang terjadi dalam babak sejarah itu, termasuk
menghubungkannya dengan perkembangan kapitalisme, yang
sempat jeda terhenti sepanjang sekitar 23 tahun, yakni 19421945, 1945-1949, 1949-1957, dan 1958-1965.
Sekarang kita bisa memandang betapa penting periode ketika
Soekarno memimpin 1958-1965 itu. Soekarno telah menegaskan
fondasi ideologis untuk menandingi kapitalisme kolonialisme.
Selain Soekarno, kita ingat juga Mohammad Hatta dan
Mochammad Tauchid yang telah meletakkan dasar-dasar baru
pengaturan agraria nasional, yang berdasarkan kritik terhadap
cara politik agaria kolonial bekerja. Mohammad Hatta telah
meletakkan dasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber daya
alam) untuk diperlakukan sebagai komoditas (barang dagangan).
Kita ingat juga Mochammad Tauchid dalam bukunya Masalah
Agraria jilid 1 dan 2 (1952/3), yang memberikan penjelasan paling
menyeluruh tentang politik agraria Indonesia, termasuk
meletakkan dasar bahwa penyelesaian masalah agraria
menentukan kelangsungan hidup bangsa dan rakyat Indonesia.
Selain Pancasila yang telah menjadi ideologi negara, Soekarno
telah pula melahirkan formula Trisakti (Berdaulat dalam Politik,
Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam
Kebudayaan) untuk menginspirasi perjuangan dekolonisasi
dalam segala bentuknya, bukan hanya untuk Indonesia tapi
untuk perjuangan kemerdekaan negeri-negeri terjajah lainnya,
sebagaimana secara fundamental ditegaskan dalam deklarasi
“Dasasila Bandung” yang dihasilkan oleh Konferensi Asia-Afrika
1955.2
30
merasani “kutukan kolonial”
Namun, selama kepemimpinan langsung Presiden Soekarno
(1958-1965), Indonesia belum berhasil mengatasi apa yang saya
istilahkan “kutukan kolonial”, yang secara lantang pernah
disampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidang pleno pertama
Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus
1959. Kutukan itu, pertama, “Indonesia mendjadi pasar
pendjualan daripada produk-produk negeri pendjadjah atau
negeri-negeri luaran di tanah air kita”; kedua, “Indonesia
mendjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil
kapitalisme di negeri pendjadjah atau negeri-negeri lain”, dan
ketiga, “Indonesia mendjadi tempat investasi daripada modalmodal pendjadjah dan modal-modal asing jang lain”.
Kutukan kolonial ini menemukan rezim penguasa politik yang
mewujudkannya, rezim otoritarian-militer Orde Baru (19661998), yang kembali menjalankan politik agraria kolonial,
khususnya dengan mempraktikkan kembali azas domein Negara.
Sejarah politik agraria di Hindia-Belanda memberi pelajaran
bahwa pemberlakuan azazdomein negara, baik dengan
Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-undang
Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan Agrarische Wet
1870, menyatakan klaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak
dapat dibuktikan adanya hak kepemilikan pribadi (eigendom) di
atasnya maka menjadi domain pemerintah. Pemberlakuan
pernyataan domein (domein verklaring) ini merupakansuatu cara
agar perusahaan-perusahaan dari negara-negara Eropa dapat
memperoleh hak-hak pemanfaatan yang eksklusif atas tanah/
wilayah di tanah jajahan, membentuk rezim tenaga kerja kolonial
yang khusus, dan menjadi sistem-sistem agraria kehutanan dan
31
panggilan tanah air
perkebunan, yang menghasilkan komoditas ekspor (Tauchid
1952/2009:32-90; Peluso 1992:44-67, Simbolon 1995/2007:155-7,
Fauzi 1999:33-37).
Rezim penguasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto yang berkuasa melalui peralihan kekuasaan yang
berdarah-darah di tahun 1965-1966, kembali memberlakukan
azas domein ini. Melalui sistem perizinan (lisensi) yang serupa
dijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badan pemerintahan
pusat mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi
pertambangan, kehutanan dan perkebunan, dan mengeluarkan
paksa penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Tiap-tiap rezim
kebijakan dari badan pemerintah pusat memiliki instrumen
hukum dan birokrasi pemberian lisensi yang berbeda-beda.
Nama, definisi, dan bentuk dari lisensi-lisensi itu berubah dari
waktu ke waktu, sesuai dengan keperluan perusahaan untuk
mengakumulasikan kekayaan, karakteristik sumber daya alam
yang disasar, dan rancangan pemerintah untuk
mengkomodifikasi atau mengkonservasi sumber daya alam.
Untuk menyebut beberapa saja, misalnya, rezim perizinan
pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral memiliki “Kontak Karya” dan “Kontrak Karya
Pertambangan”; rezim perizinan kehutanan di Kementerian
Kehutanan3 memiliki “Hak Pengusahaan Hutan” dan “Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri” yang kemudian diganti
menjadi nama “Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan
Alam (IUPHHK-HA)”, dan “Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)”; rezim perizinan
kehutanan untuk konservasi memiliki kekhususan bentuk yakni
32
merasani “kutukan kolonial”
“Taman Nasional”, “Cagar Alam”, “Taman Wisata Alam”, dll.,
hingga yang baru adalah “Izin Pemanfatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi
Ekosistem)”; dan Badan Pertanahan Nasional memiliki instrumen “Hak Guna Usaha (HGU)” untuk perkebunan-perkebunan.
Teritorialisasi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan,
melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984/5,
untuk pertama kalinya menetapkan kawasan hutan negara
seluas sekitar 2/3 dari total wilayah daratan Republik Indonesia.
TGHK mengatur secara agregat hutan permanen dikategorikan
menjadi: (1) hutan produksi seluas 64,3 juta hektar; (2) hutan
lindung seluas 30,7 juta hektar; (3) wilayah konservasi dan hutan
cagar alam seluas 18,8 juta hektar; dan (4) hutan produksi, yang
dapat diubah peruntukannya, seluas 26,6 juta hektar. Luasan
masing-masing kategori ini kemudian berubah setelah ada pembaruan data dari Departemen Kehutanan. Kewenangan legal
Menteri Kehutanan mengeluarkan lisensi berbentuk surat-surat
izin pemanfaatan hutan sesuai dengan kategori-kategori itu.
Wilayah-wilayah rakyat yang masuk dalam kawasan hutan negara
itu nasibnya bergantung pada kelompok kategori di mana
wilayah rakyat itu berada, dan lisensi-lisensi yang dikeluarkan
Menteri Kehutanan yang mencakup atau mengenai wilayah
rakyat itu. Konflik-konflik agraria struktural muncul ketika rakyat
menolak disingkirkan oleh perusahaan pemegang izin, dan
melakukan perlawanan secara terus-menerus. Konflik-konflik ini
merebak di mana-mana dan menjadi kronis, karena pemerintah
terus saja berfungsi melayani dan melindungi kepentingan33
panggilan tanah air
kepentingan perusahaan-perusahaan, dan tidak ada mekanisme
penyelesaian konflik yang tepat untuk menjamin tercapainya
keadilan agraria (Rachman 2013).
Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah airnya
telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan
kekerasan, pengkaplingan wilayah secara f isik, hingga
penggunaan wacana dan simbol-simbol baru yang menunjukkan
status kepemilikan yang bukan lagi dipunyai rakyat. Bila saja
sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk
mengklaim dan menguasai kembali tanah dan wilayah yang telah
diambil alih oleh pemerintah dan diberikan ke perusahaanperusahaan itu, maka mereka menerima akibat yang sangat
nyata, yakni menjadi sasaran tindakan kekerasan secara langsung
maupun melalui birokrasi aparatus hukum negara.
Pengkapling-kaplingan dan pemutusan hubungan kepemilikan
rakyat dengan tanah airnya itu pada intinya adalah penghentian
secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam
tertentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal
perusahaan-perusahaan kapitalistik.4 Jadi, perubahan dari alam
menjadi “sumber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagi
rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah airnya dan sebagian
dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah
proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja
dan hidup di tanah airnya. Orang-orang ini hanya akan
mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu
menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah
mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan
34
merasani “kutukan kolonial”
pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota pasca
kolonial, yang dijuluki planet of slums (Davis 2006), banyak
dilahirkan oleh proses demikian ini.
Betapa ironisnya bahwa sebagian dari wajah Indonesia masih
mengidap “kutukan kolonial” setelah hampir 70 tahun berjalan
melewati “jembatan emas” kemerdekaan. Sesungguhnya,
“kutukan kolonial” itu, oleh Soekarno dikontraskan dengan
keperluan untuk secara leluasa “menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Secara
jelas hal ini dipidatokan oleh Ir. Soekarno dalam Badan Persiapan
Usaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni tahun 1945, setelah memaknai
kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”. Kita sudah
menyelesaikan revolusi nasional yang menghasilkan
kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, dan perjalanan Indonesia masa lalu membentuk kebiasaan-kebiasaan yang
menyulitkan kita mencapai cita-cita kemerdekaan itu.
Mengapa kita mesti leluasa? Karena, dalam memikirkan
mengenai masa depan Indonesia, kita tidak boleh dikekang dan
dikungkung oleh cara-cara penyelenggaraan pemerintahan yang
lalu. Cara-cara yang menggagalkan itu tidak perlu diulang. Indonesia seharusnya tidak lagi berkedudukan yang melanggengkan
kedudukan Indonesia sebagai “Een natie van koelies enen koelie
onder de naties”, “A nation of coolies and a coolie amongst nations”.
Bagaimana kita bisa membebaskan diri dari “kutukan kolonial”
ini?
35
panggilan tanah air
Catatan Akhir
1
Bagi yang sulit mendapatkan naskah-naskah ini, ikutilah ringkasan
karya-karya itu yang dibuat oleh Parakitri T. Simbolon, seorang
cendekiawan cum wartawan di Lampiran 1a, Lampiran 1b, dan Lampiran
1c
2
Isi Dasasila Bandung yang dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika
pada tahun 1955 menjadi relevan dan mendesak untuk diaktualisasikan.
Kita mengingat butir-butir “Dasasila Bandung” yang selengkapnya, yakni:
(1) Menghormati hak-hak asasi manusia dan tujuan-tujuan serta
asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan BangsaBangsa;
(2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua
bangsa,
(3) Mengakui persamaan semua etnis dan persamaan semua
bangsa, besar maupun kecil;
(4) Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam masalahmasalah dalam negeri negara lain;
(5) Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri
sendiri secara sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai
dengan Piagam PBB;
(6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan
kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah
satu negara-negara besar, dan tidak melakukan campur tangan
terhadap negara lain;
(7) Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun
penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau
kemerdekaan politik suatu Negara;
(8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara
damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase, atau
penyelesaian masalah hukum, ataupun lain-lain cara damai,
menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai
dengan Piagam PBB;
(9) Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama; dan
36
merasani “kutukan kolonial”
(10)Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
3
Sejak tahun 2014, Presiden Jokowi mengubahnya menjadi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
4
Karl Marx dalam Capital (1867) mengembangkan konsep “the socalled primitive accumulation”, yang mendudukkan proses perampasan
tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian
memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja
bebas. Marx mengerjakan kembali temuan Adam Smith (pemikir
ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak
terlihat” [invisible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana
pasar bekerja), bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu
sebelum pembagian kerja”, sebagaimana tertulis dalam karya
terkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). Michael Perelman
memecahkan misteri penggunaan kata “primitive“ dalam “primitive
accumulation“. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx,
kata primitive berasal dari istilah previous accumulation- Adam Smith.
Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata
“previous” dari karya Adam Smith menjadi “ursprunglich“, di mana
penerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudian
menerjemahkannya menjadi kata “primitive“ (Perelman 2000:25).
Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation“ dari Adam
Smith dan “primitive accumulation“ dari Karl Marx, dan relevansinya
untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat
ditemukan dalam Perelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007).
37
.
-V-
Masa Depan Tanah Air,
Tanah Air Masa Depan
Rezim Orde Baru adalah rezim ekstraktif (extractive regime)
(Gellert 2010), yang berhasil melahirkan elite oligarki penguasa
ekonomi dan politik Indonesia, dan merupakan mitra kerja
perusahaan-perusahaan asing transnasional. Dari waktu ke
waktu, kekayaan mereka diperoleh melalui perusahaanperusahaan raksasa pertambangan minyak, gas, emas, batu bara,
dsb., perusahaan-perusahaan pembalakan kayu, hingga
perusahaan-perusahaan perkebunan untuk kayu lapis, bubur
kertas, kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka adalah tiang
penyangga keberlangsungan rezim Orde Baru. Karenanya,
pemerintah perlu memastikan mereka mempunyai konsesikonsesi tanah dan sumber daya alam untuk akumulasi kekayaan
mereka itu.1
Konsesi-konsesi itu bisa bekerja bila kekuatan lembaga lokal yang
sudah terlebih dahulu menguasai dan mengatur tanah airnya itu
dilumpuhkan. Penyeragaman nama, bentuk, susunan, dan
kedudukan desa dilakukan oleh rezim Orde Baru, dan
dikombinasikan dengan paket-paket insentif politik uang melalui
39
panggilan tanah air
berbagai Instruksi Presiden (inpres), berhasil melumpuhkan
kekuatan serta menghilangkan kewenangan lembaga-lembaga
adat/lokal untuk mengatur tanah airnya.2
Selama Indonesia berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru,
desa didudukkan sebagai sasaran pengaturan dan sekaligus
kekuatan untuk mengendalikan dan sekaligus memobilisir
rakyat. Kepala desa bersama dengan Bintara Pembina Desa
(Babinsa) dan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (Babinkamtibmas) menjadi aparat pengendalian
teritorial dan mobilisasi rakyat. Di atas birokrasi pemerintahan
desa, terdapat struktur pengendali dan mobilisasi yang
terkordinasi dalam Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika)
yang terdiri dari camat, Komandan Rayon Militer (Danramil), dan
Kepala Polisi Sektor (Kapolsek).3
Setelah Orde Baru tumbang, DPR RI dan Pemerintah menyadari
bahwa penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan
desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5/1979
tentang Pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945. Demikian yang ditulis dalam bagian
“menimbang” Undang-Undang No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Norma dasar yang termuat dalam pasal
18 UUD 1945 diabaikan oleh pemerintahan Orde Baru. Secara
khusus, pada penjelasan pasal 18 UUD 1945 itu secara eksplisit
dinyatakan bahwa :
“Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250
“Zelfbesturende
landschappen”
dan
40
masa depan tanah air, tanah air masa depan
”Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali,
nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang
dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan
asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut”.
Warisan yang kita dapat saat ini adalah sebagian dari tanah air
yang porak-poranda, berada dalam situasi krisis sosial ekologi
yang parah. Komponen utama krisis itu, sebagaimana pernah
ditunjukkan oleh Hendro Sangkoyo (1999) adalah keselamatan
rakyat yang tidak terjamin, produktivitas rakyat yang menurun,
layanan alam yang rusak, dan kesejahteraan rakyat merosot.
Quo vadis? Mau kemana kita menuju?
Pedoman apa yang bisa kita rujuk untuk bisa keluar dari krisis itu,
menempuh jalan mencapai cita-cita bersama dengan cara yang
baru?
Situasi membangun arus balik untuk memperjuangkan tanah air
harus berurusan dengan proyek-proyek pembangunan,
terutama proyek pembangunan untuk mengatasi kemiskinan.
Suatu jenis proyek pembangunan yang penting dalam menata
ulang pemerintahan lokal ini diberi nama Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Di tahun
41
panggilan tanah air
2007 dan seterusnya, PNPM Mandiri menjadi andalan untuk
pengentasan kemiskinan, dengan jangkauan 2.827 kecamatan
dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 triliun. Pada tahun 2008
jumlah kecamatan yang dijangkau menjadi 3.999 kecamatan
dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 triliun. Sedangkan
pada tahun 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia
yang berjumlah sekitar 5.263 kecamatan akan mendapat PNPM
Mandiri. Besarnya bantuan langsung pada tahun 2007 antara
Rp 750 juta s/d Rp 1,5 miliar per kecamatan, sementara pada
tahun 2008 besarnya bantuan per kecamatan sudah ada yang
mencapai Rp 3 miliar (Menko Kesra 2008). Sampai akhir
kepemimpinan SBY-Boediono di tahun 2014, secara total PPK
dan PNPM Mandiri Perdesaan telah mengalokasikan dana
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 74,46 triliun.
Sedangkan dana BLM P2KP (Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan) dan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2008
- 2013 sebesar Rp 9,124 triliun dan pada 2014 dana yang
dialokasikan sebesar 1,380 triliun.
Sampai saat tahun terakhir kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, kedua jenis program tersebut diklaim
“telah menghasilkan berbagai dampak positif terhadap
peningkatan kapasitas, kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat” (Paket Informasi PNPM Mandiri 2014:23). Apa yang
sesungguhnya dihasilkan?
Selain berhasil membangkitkan partisipasi rakyat dalam
pembangunan proyek-proyek infrastruktur skala kecil-kecil,
PNPM berhasil membentuk komunitas miskin menjadi
42
masa depan tanah air, tanah air masa depan
masyarakat proyek. Struktur administratif program ini membuka
persaingan antar kelompok satu dengan lainnya dalam proses
penyampaian proposal proyek untuk perolehan dana. Semuanya
itu mengandung norma-nilai kewirausahaan, inovasi individual,
dan kompetisi pasar bebas. Norma-nilai demikian itu
menyertakan prinsip-prinsip, seperti akuntabilitas yang
dilaksanakan melalui aturan-aturan maupun prosedur yang
mensyaratkan transparansi dalam pengambilan keputusan, dan
hak partisipasi individu yang dilaksanakan melalui aturan maupun
prosedur seperti voting, sistem kuota, dan kewajiban konsultasi
(Rawski 2006:942). Lebih jauh, melalui proyek-proyek ini
pemerintah berhasil “memerintah melalui komunitas” dalam
rangka mengatur ulang aspirasi, keyakinan, perilaku, tindakan,
dan hal-hal subjektivitas lainnya (Li 2014). Pendek kata, PPK
menggunakan teknologi partisipatif sebagai alat pengantar dari
norma-nilai yang cocok dan diperlukan mereka agar bisa hidup
dalam masyarakat yang didominasi oleh hubungan-hubungan
sosial yang kapitalistik (Carrol 2010:86).
Babak PNPM berakhir setelah kabinet Jokowi-JK tersusun dan
mulai bekerja dengan sembilan agenda utama yang diberi nama
“Nawa Cita”, yang salah satunya “Membangun Indonesia dari
Pinggiran dengan Memperkuat Daerah dan Desa dalam
Kerangka Negara Kesatuan”. Undang-undang Nomor 6/2014
tentang Desa menjadi rujukan yang utama dan kesempatan bagi
desa untuk diutamakan.4 Dirumuskan bahwa “desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
43
panggilan tanah air
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.” Penyebutan desa dan desa adat
dapat disesuaikan dengan nama setempat.
Tidak mudah bagi elit pemerintah kabupaten/kota dan DPRD
Kabupaten/kota untuk membuat pengaturan-pengaturan
dengan azas-azas baru yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Desa tersebut. Para legislator dan eksekutif pembuat aturan perlu
memiliki imajinasi yang baru, khususnya karena azas-asas baru
dalam UU tentang Desa ini.5 Undang-undang Desa ini tidak bisa
dijalankan dengan mentalitas “hanya sekedar melaksanakan
sesuai instruksi”.
Masalahnya juga, banyak elit pemerintah desa dan juga sebagian
anggota masyarakat desa, saat ini sudah terbiasa diposisikan
sebagai yang diatur. Desa terbiasa diatur sebagai bawahan dari
birokrasi kecamatan (dan bukan sebagai entitas yang memiliki
hak asal-usul), sasaran dari berbagai macam proyek yang
dipegang oleh badan-badan pemerintah (bukan unit yang
mengatur sendiri apa yang menjadi kepentingannya), dan diatur
secara seragam (dan bukan mempertimbangkan
keanekaragaman geografi dan sejarah masing-masing).
Mereka yang terpanggil sebagai pandu, terlepas apapun posisi
formalnya, perlu mengembangkan cara pandang baru dengan
imajinasi yang baru. Hendro Sangkoyo (1999) mengundang kita
untuk memulai dari cara kita memahami apa sesungguhnya
44
masa depan tanah air, tanah air masa depan
“pemerintahan” itu.
“Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima
sebagai ketentuan bagi rakyat, yang nyaris diterima begitu
saja dan dianggap bersifat alami. Dalam mitos yang
sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu,
pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang
bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang,
barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai
pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan
pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling
jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan.
Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan
dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap
pada para pengelola negara yang baru serta pada
ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor
nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang
tetap takzim pada akar kata itu: perintah.
Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang
sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu
kepada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah
membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan
tanpa rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang,
perombakan dekorasi panggung dan/atau skenario baru
saja mengandung resiko kegagalan yang sama, selama
rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan
mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya.
Otonomi pemerintahan daerah dari campur tangan
45
panggilan tanah air
berlebihan pemerintah pusat di Jakarta, serta besarnya
ruang pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada
proses pemerintahan daerah pada saat ini, merupakan
situasi persimpangan yang genting bagi rakyat:
meneruskan tradisi pertunjukan sebagai penonton dalam
panggung-panggung yang lebih kecil, atau bersama-sama
berperan sebagai pemain, mengurusi apa yang hendak
dimainkan bersama. Keputusan yang harus rakyat
tentukan pada saat ini bukan saja bergantung pada
kehendak sendiri, melainkan juga pada keterdesakan
waktu untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis
yang selama lebih dari satu generasi yang lampau telah
mengasingkan rakyat dari wilayah hidupnya.
Ya, kita musti mengurus secara sungguh-sungguh pemulihan
kerusakan sosial dan ekologis yang menjadi syarat-syarat
keberlangsungan hidup rakyat. Tidak ada jalan lain! Bagaimana
kampung atau desa dapat dijadikan tempat berangkat dan
sekaligus sasaran pengabdian? Saya menganjurkan untuk benarbenar mempelajari panduan yang berikut ini diuraikan secara
kental oleh Hendro Sangkoyo,6 agar dapat kita dapat bekerja
mengenali dan menangani krisis sosial ekologis melalui
pemahaman baru atas tiga golongan masalah: (a) keselamatan
dan kesejahteraan rakyat, (b) keutuhan fungsi-fungsi faal ruang
hidup, dan (c) produktivitas rakyat.
A. Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat
Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun
46
masa depan tanah air, tanah air masa depan
rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus
dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alatalatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah halaman, harta benda,
nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat karena proses
penyelenggaraan perubahan selama tiga puluh tahun terakhir
ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan
rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda pengurusan
masyarakat dan wilayah, akan terus jatuh korban. Keselamatan
rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses
pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan, termasuk
pembaruan hukum, dan dari penyelenggaraan fungsi-fungsi
politik seperti pengelolaan produksi dan keuangan. Akan tetapi
yang lebih penting lagi adalah bahwa mengurus keselamatan
rakyat harus menjadi tindakan kolektif sehari-hari dari lembagalembaga politik terkecil pada aras desa hingga kabupaten.
Kesejahteraan rakyat, meskipun senantiasa menjadi semboyan,
program, pos anggaran, dan indikator, tidak pernah kita urus
sebagai syarat dari kerja birokrasi negara. Tak terpisahkan dari
konsep pokok “keselamatan”, rakyat selama ini “mendapatkan”
dua akibat perubahan terencana pada keadaan
kesejahteraannya, yang saling bertolak belakang: pelayanan
kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, sekaligus
perampasan kesejahteraan lewat berbagai mekanisme, baik
langsung maupun tidak, seperti politik fiskal, perampasan tanah
dan tempat tinggal rakyat sebagai syarat investasi produksi, dan
politik konstruksi fisik sarana pelayanan umum di pusat-pusat
pemukiman.
47
panggilan tanah air
Pemenuhan syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat di sini
merupakan cara bagi rakyat khususnya pada aras desa untuk
ikut menentukan arah dan besaran perubahan yang menyangkut
dirinya secara teratur dan terorganisir. Proses pemenuhan
persyaratan tersebut di atas menuntut tiga syarat (dua hal dalam
syarat pertama dapat dipenuhi langsung pada tingkat
kesepakatan bersama):
(1) pemetaan berkala mengenai keadaan persyaratan bagi
rakyat desa dan agenda tindakan bersama untuk
mengoreksi kegagalan pemenuhan;
(2) usaha kolektif untuk mengatasi kesulitan rakyat memenuhi
syarat keselamatan/kesejahteraannya sendiri; dan
(3) pelayanan publik lewat peralatan kenegaraan termasuk
dana dan ketentuan hukum;
Prioritas utama agenda tindakan pada saat ini adalah perumusan
dan penyepakatan persyaratan keselamatan dan kesejahteraan
setempat, serta penerapan ketiga proses di atas dalam suatu
proses belajar bersama yang harus melibatkan warga desa,
legislator daerah (DPRD kabupaten) dan pengurus-pengurus
negara di daerah (pemerintah kabupaten).
B. Keutuhan Fungsi-fungsi Faal Ruang Hidup
Hilangnya sumber-sumber air bersama, gundulnya wilayahwilayah dataran tinggi dan curam yang genting kedudukannya
dalam daur tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara
tanah karena cara produksi tani yang mementingkan hasil jangka
48
masa depan tanah air, tanah air masa depan
pendek, atau karena kegiatan penambangan, pengeruhan dan
pendangkalan aliran sungai, hilangnya sumber-sumber hayati
perairan pesisir, adalah beberapa contoh tidak terpenuhinya
kelangsungan “pelayanan alam” bagi kehidupan yang
dikandungnya, yang bersifat mendorong pengawetan bahkan
peluasan pemiskinan rakyat khususnya di desa, dan merupakan
ancaman jangka panjang terhadap syarat-syarat keselamatan dan
kesejahteraan rakyat.
Kata “pelayanan alam” sendiri telah mengalami evolusi, dari
kondisi material yang memungkinkan berkembang dan
terbaruinya kehidupan di sebuah bentang alam (dalam masa
hidup kita, dapat disebut sebagai kehidupan simbiotik dari
tumbuhan dan hewan, termasuk kehidupan spesies manusia),
menjadi “kegiatan produksi nilai”, di mana keberadaan air, hara
tanah, oksigen, nitrogen, karbon, biota, bahkan “pemandangan
indah”, diperlakukan sebagai sebuah kelas dalam sistem
klasifikasi industrial, setara dengan perdagangan grosir, binatu,
atau reparasi dan semir sepatu. Lebih jauh, dalam empat dekade
terakhir, rasionalitas publik tengah disubversi menjadi logika
keberlanjutan produksi nilai, misalnya ketika kendali publik atas
daur reproduksi air tawar dipersamakan dengan “monopoli”,
dan oleh karenanya harus dihapuskan untuk memungkinkan
persaingan bagi perusahaan air pribadi/swasta. “Pelayanan alam”
dibubuhi nilai tukar, dan karenanya diperlakukan sebagai barang
untuk dijualbelikan. Logika kebutuhan air untuk pertanian pangan
hendak disetarakan dengan logika kebutuhan air untuk kapal
tanker, pusat belanja atau hotel, untuk memudahkan penentuan
harga. Hutan direduksi keberadaan materialnya sebagai
49
panggilan tanah air
onggokan zat karbon yang terkandung dalam pohon dan
tanahnya, dihitung bobot matinya, dan dibubuhi harganya dalam
ukuran kilogram atau ton. Apa-apa yang berharga untuk
dilindungi dan apa-apa yang bisa rusak dari bentang-alam hutan
beserta penghuninya dicomot sebagian kecilnya saja, yaitu
terurainya zat karbon ke atmosfir, seolah-olah kita semua adalah
benda mati yang boleh diperlakukan sebagai seonggok zat
karbon. Itulah sebabnya, segala sesuatu dalam skema jual-beli
dan penciptaan nilai atas nilai-uang dari zat karbon, termasuk
dalam program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan
adalah penghinaan terhadap logika kehidupan itu sendiri. Dalam
hal ini, apa yang tengah dirusak dengan kecepatan penuh oleh
logika neoliberal dari pengurusan publik sekarang bukanlah
ketersediaan air, lahan atau bahan-bahan alami, melainkan syarat
keberlangsungan fungsi-fungsi faal infrastruktur ekologis dari
sebuah ruang hidup, beserta ikatan menyejarahnya dengan
masyarakat manusia di situ.
Selama empat puluh tahun terakhir, proses penjalaran kerusakan
alam setempat maupun pencegahan atau perlindungannya
berjalan terlepas dari proses pengurusan keselamatan dan
kesejahteraan serta produktivitas rakyat maupun dari proses
politik desa. Wilayah-wilayah yang seharusnya dikelola bersama
untuk dicegah proses kerusakannya — seperti di wilayah
berhutan — telah dijadikan sebagai kompleks-kompleks
berpagar dan berpatok kekuasaan negara (tanah negara, hutan
negara, dll.) yang bahkan tidak boleh disentuh, apalagi
dimanfaatkan oleh rakyat setempat.
50
masa depan tanah air, tanah air masa depan
Ketika pencurian besar-besaran terhadap segala yang bersifat
‘milik negara’, menjadi kesepakatan tidak tertulis di antara
pengurus negara setempat dan pemilik modal pribadi, untuk
berbagai maksud dan tujuan, maka akibatnya wilayah-wilayah
perlindungan yang eksklusif pun turut menjadi sasaran utama.
Tidak berlakunya konsep ‘kepentingan bersama’ dan ‘milik
bersama’ menjadi pelancar penjarahan atas wilayah-wilayah
yang seharusnya dimanfaatkan atau dilindungi secara hati-hati.
Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil
dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan
teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu
menghentikan laju perusakan apalagi menumbuhkan keinginan
rakyat untuk memulihkannya.
Tandingan terhadap penciptaan wilayah-wilayah negara itu
adalah penciptaan wilayah-wilayah kelola bersama. Kepentingan
rakyat atas kelangsungan pelayanan alam, serta kebutuhan
pemanfaatan bahan terbarui dari hutan, perbukitan dan dataran
tinggi, daratan dan perairan pesisir, bukan saja harus diakui secara
resmi, tetapi justru harus menjadi tumpuan dari usaha
mempertahankan kelangsungan pelayanan alam atau pemulihan
wilayah-wilayah rusak yang sering dinamai ‘lahan kritis’ itu.
Sampai hari ini, instrumen terpenting dalam operasionalisasi
logika ekstraksi nilai dari setiap jengkal bentang alam adalah
praktik institusional pembongkaran dan perkiraan nilai komersial
atas sumber daya alam, dari tenunan ruang-ruang hidup beserta
infrastruktur ekologisnya, menjadi “ruang” sebagai kategori stok
kapital. Dalam sistem dan praktik bertutur mengenai ruang
51
panggilan tanah air
macam itu, pemilahan fungsi-fungsi sosial-ekologis dari bentang
daratan dan perairan digantikan dengan pertimbangan lokasi
dalam angan-angan memaksimalkan surplus dari rerantai
penciptaan nilai dan rerantai produksi/pasokan/konsumsi
barang. Hilangnya imajinasi sosial-ekologis tentang pulau, yang
telah nyaris paripurna digantikan dengan sistem kepercayaan
pada garis-garis batas juro-politik, bukanlah tanda kurangnya
kecerdasan semata, tetapi adalah produk dari pengerahan
kepatuhan politik terhadap rezim penataan ruang tanpa asas
keselamatan manusia dan kelangsungan ruang-hidupnya. Di
setiap pulau di kepulauan Indonesia, bermakna tidaknya agenda
pembaruan politik tani sepenuhnya bergantung pada ada
tidaknya agenda pembaruan pikiran tentang duduk perkara kota
di dalam logika keberlangsungan sosial-ekologis pada skala pulau.
Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar
kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan
legislatif di daerah.
C. Produktivitas Rakyat
Selama tiga puluh tahun terakhir dapat kita nyatakan dengan
tegas bahwa produktivitas rakyat, khususnya pekerja tani, tidak
pernah beranjak dari kedudukannya yang sangat rendah untuk
menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri.
Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa
produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat
teknologi dan efisiensi produksi, rendahnya produktivitas
pekerja tani merupakan akibat dari penekanan sistematis atas
52
masa depan tanah air, tanah air masa depan
nilai tukar produk petani, serentak dengan penyedotan
tabungan rakyat lewat pengurangan atau penghapusan subsidi
input produksi termasuk penyediaan pengairan dan angkutan
rakyat, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang
diskriminatif terhadap bentuk-bentuk tradisional hak dan kuasa
rakyat atas tanah dan wilayah serta terhadap kemampuan lokal
untuk menghasilkan bahan pangan. Naiknya produktivitas
pertanian pangan maupun pertanian lainnya —karena
tambahan input per satuan luas lahan— tidak menjadikan naiknya
produktivitas kerja tani, bahkan memperbesar kebutuhan untuk
kerja sampingan nontani. Selama politik produktivitas pertanian
tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan nilai produk tani,
dan selama masing-masing daerah tidak menerapkan syaratsyarat perlindungan pada tanah-tanah rakyat desa dari
pembelian atau pengambilalihan untuk berbagai fungsi-fungsi
non pertanian seperti pariwisata, rakyat desa khususnya pekerja
tani tanpa tanah akan tetap miskin, dan proses pemusatan hak
milik dan kuasa atas lahan di desa akan terus merambat luas,
tanpa atau dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas
tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah.
Produktivitas rakyat desa karenanya harus kembali dipelajari,
dibaca, dan ditakar dalam bingkai persoalan setempat (desa atau
antar desa). Demikian juga, tindakan sistematis meningkatkan
produktivitas rakyat hanya masuk akal apabila tindakan tersebut
berguna bagi rakyat desa khususnya pekerja tani untuk
memenuhi syarat keselamatan dan kesejahteraannya. Dalam
neraca desa, naiknya produksi hasil tani per hektar, begitu pula
tersedianya barang-barang indikator kesejahteraan yang biasa
53
panggilan tanah air
digunakan (listrik, jalan raya, televisi, dan sebagainya) harus serta
merta selalu dikoreksi dengan ada tidaknya penggusuran baru
atau perampasan hak yang belum dipulihkan kembali, kemiskinan
kronis, ketidakmampuan warga memenuhi syarat keselamatan,
kesehatan atau pendidikan yang dibutuhkannya, atau naiknya
pengeluaran tunai untuk mencukupi syarat kesehatan maupun
pelayanan sosial sehari-hari seperti pendidikan anak.
Produktivitas rakyat juga harus dikoreksi pada tingkat abstraksi.
Gagasan produktivitas yang mengacu semata pada proses
penciptaan nilai pakai atau tukar telah terbukti mengasingkan
satu kesatuan ekonomis seperti rumah tangga dari yang lain dan
menjadikan desa sebagai wilayah pemusatan pemilikan atau
penguasaan tanah. Produktivitas desa dan peningkatannya
menjadi identik dengan penguatan golongan terkaya di desa.
Sebagai tandingannya, produktivitas seharusnya mengacu pada
kemampuan kolektif rakyat di satu wilayah terorganisir/wilayah
kelola, untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan
kesejahteraannya. Efisiensi produksi, perbandingan modal
dengan output, dan berbagai takaran produktivitas lain dengan
demikian tunduk pada batasan tandingan tersebut di atas. Dalam
pengukuran berkala, pembesaran polarisasi kuasa di desa
menjadi pembagi dalam fungsi produktivitas setempat; begitu
pula kegagalan pemenuhan syarat keselamatan atau
kesejahteraan dari warga, atau kegagalan perlindungan alam.
Hanya dengan syarat produktivitas sedemikianlah demokratisasi
politik desa menjadi kepentingan mendasar bagi rakyat sendiri,
bukan pusat-pusat kuasa di ibu kota politik.
54
masa depan tanah air, tanah air masa depan
Catatan Akhir
1
Bagaimana dinamika kekuasaan oligarki bekerja dalam periode yang
berbeda-beda dapat dipelajari dari karya-karya Robison (1986), Robison
dan Hadiz (2004, 2014), dan Winter (2014).
2
Zakaria (2000) menunjukkan perjalanan pengaturan negara
mengenai desa sejak kolonial hingga akhir Orde Baru.
3
Struktur pengendali dan mobilisasi rakyat ini serupa dengan yang
dilakukan oleh pemerintah balatentara Jepang ketika menguasai Jawa
1942-1945. Aiko Kurosawa (1993) sangat baik menjelaskan apa yang
dilakukan pemerintahan balatentara Jepang dengan memperlakukan
desa sebagai alat memobilisir dan mengendalikan rakyat. Susunan,
kedudukan dan bentuk dari organisasi Rukun Tetangga-Rukun Warga
(RT-RW), Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Koperasi Unit Desa
(KUD), pertahanan sipil (hansip) beserta doktrin Hankamrata dan
peraturan “1 x 24 jam harus lapor”, dan sebagainya.
4
Saat ini Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi memulai rekrutmen 16.000 fasilitator desa. Akan
banyak kepentingan yang mengarah ke desa, baik untuk suatu politik
membangun konstituensi politik, menjadikannya sasaran pengaturan,
hingga yang mau meraup keuntungan bisnis melalui pencarian lisensi
atau menawarkan jasa. Banyak mantan fasilitator PNPM Mandiri yang
diperkirakan akan masuk melamar untuk mendapatkan posisi itu. Ke
mana orientasi mereka, dan bagaimana cara kita ikut membentuk
mereka menjadi pandu-pandu rakyat dan tanah airnya?
5
Pengaturan-pengaturan mengenai desa itu harus berdasarkan pada
13 (tiga belas) asas, yakni: (1) rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak
asal usul; (2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal
dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat
desa; (3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap
sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap
mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; (4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan
55
panggilan tanah air
bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di
tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa; (5)
kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk
membangun desa; (6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat
desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa;
(7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak
yang berkepentingan; (8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian
masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh
masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta
keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin; (9) kemandirian, yaitu suatu proses
yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk
melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya
dengan kemampuan sendiri; partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam
suatu kegiatan; kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
(10) partispasi; (11) kesetaraan; (12) pemberdayaan, yaitu upaya
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui
penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa; dan (13)
keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan desa.
6
Hendro Sangkoyo secara khusus memodifikasi apa yang pernah
ditulisnya pada tahun 1999 (Sangkoyo 1999) untuk dimuat untuk naskah
buku ini.
56
- VI -
Penutup:
Panggilan Ideologis untuk Pandu
Sudah lama kita hidup dalam situasi di mana “agraria adalah
akibat, kapitalisme adalah sebab” (Juliantara 1997). Mari kita buat
arus balik, dengan menjadikan situasi tanah air rakyat, menjadi
tempat berangkat, yang harus terlebih dahulu dirawat dan diurus
untuk dipastikan keberlanjutannya. Karena itu, tanah air rakyat
juga sekaligus tempat pengabdian. Kita tidak bisa sekedar
berangan-angan, dan menganggap segala sesuatunya bisa
dijalankan dengan mudah dan bisa begitu saja sesuai dengan
angan-angan. Saya ingat suatu pepatah penting bahwa memang
manusia dapat mengubah sejarah, tapi tidak dalam situasi yang
kita pilih sendiri. Kita hidup dengan berbagai kebiasaan yang
kita terima sebagai warisan.1
Jadi sudah pasti tidak mudah. Soekarno pernah mengingatkan
bahwa “kesoelitan-kesoelitan hendaknja tidak mendjadi
penghalang daripada tekad kita, tidak mendjadi penghalang
daripada kesediaan kita oentoek teroes berdjoang dan teroes
bekerdja, bahkan kesoelitan-kesoelitan itu hendaknja mendjadi
satoe tjamboekan bagi kita oentoek berdjalan teroes, bekerdja
57
panggilan tanah air
teroes oleh karena memang diharapkan daripada kita sekarang
ini realisasi daripada penjelenggaraan daripada masjarakat jang
adil dan makmoer jang telah lama ditjita-tjitakan oleh rakjat Indonesia”. Lebih lanjut, pada sidang pleno pertama Dewan
Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959,
Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus “dengan tegas
haroes menoedjoe kepada masjarakat adil dan makmoer”, yang
pada waktu itu disebutnya sebagai “masjarakat sosialis a la Indonesia”. Upaya merealisasikannya “tidak boleh tidak kita haroes
mengadakan planning dan kita haroes mengadakan pimpinan
dan haroes kita mengadakan kerahan tenaga. … Tanpa planning, tanpa pimpinan, tanpa pengerahan tenaga tak moengkin
masjarakat jang ditjita-tjitakan oleh rakjat Indonesia itoe bisa
tertjapai dan terealisasi”.
Perencanaan, pengerahan tenaga dan kepemimpinan yang
bagaimana?
Tentu konteks waktu dan ruang ketika dan di mana Soekarno
menyampaikan pesan itu sudah jauh berbeda. Tapi, kita bisa
memperlakukannya sebagai rujukan dan inspirasi.
Pemimpin dalam semua satuan, termasuk di desa-desa, harus
bekerja secara gotong-royong dengan perencanaan yang
matang. Adalah tugas kita semua untuk kembali menjadikan
perjuangkan tanah air sebagai pijakan, termasuk untuk
pemerintah yang selayaknya memposisikan diri dan menjalankan
perannya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
58
penutup: panggilan ideologis untuk pandu
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (kalimat dari Pembukaan UUD 1945. Lihat Lampiran 2,
Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945).
Di sini saya menganjurkan kita semua untuk segera
menggenapkan tekad dan mengerahkan segala daya upaya
untuk merintis arus balik memperjuangkan tanah air, dengan
benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masingmasing kampung/desa, lalu kawasan, lalu pulau, hingga
mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa maritim terbesar
di dunia.
Penggunaan istilah “arus balik” di atas secara sadar dipakai
merujuk pada novel karya Pramoedya Ananta Toer,2 dan juga
diinspirasi oleh konsep counter-movement dari Karl Polanyi
(1944). Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat
modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement):
pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar)
ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda.
Membuat arus balik ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis
dan sekaligus semangat mengubah nasib. Apa yang diutamakan
oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat
dari daya rusak pasar kapitalis. Arus balik atau gerakan tandingan
itu sesungguhnya menandingi prinsip “pengaturan diri-sendiri”
dari pasar kapitalis (Polanyi 1944:130). Sesungguhnya, Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, dan Cita-cita Pembentukan
Negara Republik Indonesia merupakan keberanian membuat
59
panggilan tanah air
suatu arus balik pada zamannya (lihat Lampiran 3, Pidato
Soekarno Memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945).
Marilah kita, para tetua bapak dan ibu, terutama para pemuda
dan pemudi, menjadi pandu tanah air, merintis dan membangun
arus balik dengan menjadikan kampung/desa atau apapun
namanya sebagai tempat berangkat dan sekaligus tempat kita
mengabdi.3
Panggilan menjadi pandu ini adalah panggilan ideologis.
Ketahuilah, kepanduan adalah salah satu dari dasar-dasar
persatuan Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam “Putusan
Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia”, 28 Oktober 1928 (lihat
Lampiran 4, Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia)
Saya menjadi ingat pada kata-kata utama dalam teks lagu
kebangsaan Indonesia Raya versi asal, yang dikenal sebagai karya
Wage Rudolf Supratman. Lirik Indonesia Raya untuk pertama
kalinya dipublikasi di Koran Sin Po 10 November 1928, kira-kita
sebulan setelah W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia
Raya itu dengan biola pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.4
Seluruh lirik lagu itu terdiri dari tiga stanza.5 Perhatikanlah baitbait pertama dari tiap stanza. Karena “Indonesia tanah airku,
tanah tumpah darahku”, maka “di sanalah aku berdiri jadi pandu
ibuku” (dari bait pertama stanza pertama); Karena “Indonesia
tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”, maka “di sanalah aku
berdiri untuk selama-lamanya” (dari bait pertama stanza kedua);
dan karena “Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti”,
60
penutup: panggilan ideologis untuk pandu
maka “di sanalah aku berdiri, menjaga ibu sejati” (dari bait
pertama stanza ketiga).
Sebagai penutup, marilah kita hayati panggilan ideologis menjadi
pandu, dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya versi asal (Lihat
Lampiran 5c: Indonesia Raya oleh Wage Rudolf Supratman).
Memang akan terasa panjang karena tiga stanza. Namun, justru
karena itu, kita diajak menghayati filosofi yang terkandung di
dalam lirik lagunya, khususnya mengenai keniscayaan “berdiri”
menjadi “pandu” “untuk selama-lamanya” “menjaga ibu sejati”.
Bukankah semua itumerupakan panggilan dari tanah air.
Selamat merasa, berpikir, memutuskan, dan bekerja.
Catatan Akhir
1
Kalimat terkenal dari Karl Marx (1852): “Manusia membuat
sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak membuatnya seperti apa yang
mereka inginkan dalam situasi yang mereka pilih sendiri, tapi dalam
situasi yang langsung dihadapi, ditentukan dan diteruskan dari masa
lampau. Tradisi dari semua generasi yang sudah mati membebani
bagaikan impian buruk di benak manusia yang hidup.”
2
Menurut Hilmar Farid (2014) “Arus Balik karya Pramoedya Ananta
Toer (1985) disebut novel sejarah bukan semata karena latarnya
mengambil tempat di Tuban lima ratus tahun yang lalu, tapi karena
novel itu menggambarkan sebuah transformasi yang hebat, sebuah
arus balik yang hebat, dalam sejarah perairan kita. Sejarah sebagai kritik
bertujuan mengenali semua kekuatan yang membentuk transformasi
itu. Kesadaran inilah yang akan menjadi landasan bagi transformasi besar
di masa mendatang.”
61
panggilan tanah air
3
Cf. Zakaria (2005).
4
Majalah Mingguan Tempo baru-baru ini membuat edisi khusus
Hari Kemerdekaan Muhammad Yamin (1903-1962) 18-24 Agustus 2014.
Salah satu liputannya adalah mengindikasikan bahwa Muhammad Yamin
lah yang menuliskan dan memberikan teks lagu Indonesia Raya itu untuk
Wage Rudolf Supratman.
5
Saya berterima kasih pada Gunawan Wiradi (2004) “Lagu
Kebangsaan dan Nasionalisme”. https://sajogyoinstitute.wordpress.com/
2013/09/20/lagu-kebangsaan-dan-nasionalisme/ (unduh terakhir pada 4
April 2015)
62
Lampiran-lampiran
.
Lampiran 1a
Tan Malaka (1925)
Naar de “Republiek Indonesia”
[Ringkasan dibuat oleh Parakitri T. Simbolon]
Ringkasan ini dibuat berdasarkan terjemahan Ongko D. atas
karya Tan Malaka, Menudju Republik Indonesia (Jakarta: Yayasan
“Massa”, 19 Februari 1986), 82 halaman. Aslinya bahasa Belanda,
Naar de “Republiek Indonesia” (Canton: April 1925 untuk cetakan
pertama/ Tokyo: Desember 1925 untuk cetakan kedua). Isinya
14 sub-judul dalam cetakan pertama,15 sub-judul cetakan kedua.
Ringkasan ini berdasarkan cetakan kedua: tiga pengantar, tiga
bab inti, satu penjelasan, dan delapan sisanya merupakan program aksi.
Tiga pengantar yaitu INTERUPSI, KETERANGAN PADA CETAKAN
KEDUA, dan KATA PENGANTAR.
INTERUPSI: mulai dengan epigram “Kelahiran suatu pikiran
sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan
penderitaan-penderitaan bawaan kelahirannya itu.”; dalam
cetakan pertama banyak kesalahan karena kurangnya
persediaan huruf latin dan bahasa Belanda yang sudah lama tak
digunakan; brosur ditulis singkat mengingat kecilnya minat baca
masyarakat yang dituju; yang dituju adalah “golongan terpelajar
65
panggilan tanah air
(intelektuil) dari penduduk Indonesia”; brosur ditulis sebagai
satu-satunya cara mendekati masyarakat Indonesia akibat
pengasingan Tan Malaka oleh Dirk Fock, gubernur-jenderal
Hindia Belanda.
KETERANGAN PADA CETAKAN KEDUA: permintaan akan brosur
ini terus meningkat; kesalahan sudah berkurang tapi masih tetap
banyak; tambahan sub-judul baru tentang Majelis
Permusyawaratan Indonesia; beberapa penegasan baru seperti
dugaan yang terbukti bahwa golongan terpelajar Tiongkok lebih
aktif daripada golongan terpelajar Indonesia; sebulan sebelum
cetakan kedua terbit, lima juta golongan terpelajar Tiongkok
serentak meninggalkan sekolah untuk bergabung dengan
perlawanan rakyat; namun demikian perlawanan rakyat Indonesia makin meruncing; perlawanan rakyat makin berkembang
ibarat “Padi tumbuh tak berisik ...”
KATA PENGANTAR: brosur disusun berdasarkan kesadaran akan
pertentangan kelas sosial dan didorong oleh kenyataan berupa
“krisis dewasa ini”; beda dengan negeri-negeri terjajah lain, Indonesia tidak punya kelas menengah dan pertentangan kelas
berimpit dengan perbedaan rasial; akibatnya sumber pemimpin
(golongan terpelajar) buat organisasi revolusioner sangat miskin,
dan sumber yang miskin itu pun dibuat putus hubungan dengan
rakyat oleh penjajah; krisis dunia sangat mempertajam
pertentangan kelas di Indonesia sehingga golongan terpelajar
terpaksa menentukan sikap dan memilih pihak; makanya brosur
“memberikan tangga kepada saudara [golongan terpelajar],
supaya saudara dapat turun kepada rakyat.”
66
lampiran-lampiran
***
Tiga bab inti: Bab I SITUASI DUNIA; Bab II SITUASI INDONESIA;
Bab III TUJUAN PKI. [PKI – Partai Komunis Indonesia – harap
dibaca “Kekuatan Revolusioner”, karena memang demikianlah
kenyataannya waktu itu – Pts].
Bab I SITUASI DUNIA: Perang Dunia I (1914-1918) telah memecah
dunia antara negara-negara yang kalah dan yang menang
perang, namun dua-duanya menderita secara ekonomi. Yang
kalah bayar biaya dan pampasan perang, yang menang bayar
biaya perang. Karena itu dua-duanya harus ditolong oleh para
raja-uang Amerika Serikat seperti J.P. Morgan, melalui organisasi
bantuan seperti Rencana Dawes (1924).Dua-duanya juga harus
tunduk terhadap kekuatan modal tersebut, yang kalah menjadi
negeri setengah-jajahan, yang menang menjadi sekutu yang
patuh. Itu berarti kapitalisme bukannya terpukul seperti
diharapkan segera setelah Revolusi Rusia (1917-1920), tapi
agaknya bakal memperoleh masa damai untuk berkembang.
Semua hal itu membuat kekuatan revolusioner menghadapi
kesulitan menentukan sikap: bergerak dengan perkiraan
kapitalisme segera akan runtuh atau kapitalisme akan
berkembang dalam masa damai. Kesulitan ini diatasi dengan tidak
memilih perkiraan yang mana pun, tapi membuat kekuatan
revolusioner tidak boleh lupa dengan kesadaran pertentangan
kelas sosial, yang kini bekerja pada tataran negara. Negaranegara yang menang perang bakal bersaing di bidang modal
[kolonialisme dan imperialisme], sedang negara-negara
67
panggilan tanah air
setengah jajahan karena kalah perang siap menanti kesempatan
yang timbul akibat persaingan itu. Demikianlah Jepang menjadi
pesaing besar di Asia, dan Jerman menanti kesempatan di Eropa.
Dua-duanya “dapat menimbulkan perang dunia baru”.
Sementara Jerman dan Jepang menanti kesempatan baik,
pertentangan kelas sosial terus bergolak menuju kehancuran
kapitalisme untuk diganti dengan sistem kemasyarakatan yang
baru. Ternyata kekuatan revolusioner dunia sekarang jauh lebih
terkait satu sama lain, makanya kekuatan revolusioner wajib
bergerak sesuai dengan asas pertentangan kelas sosial, ada atau
tidak ada peluang akibat persaingan dunia kapitalis. Kekuatan
revolusioner patut memusatkan upaya untuk “membentuk di
mana-mana Partai Rakyat Pekerja dan memperkuatnya,
membawa massa yang menderita di bawah pimpinan kita dan
akhirnya memperkuat ikatan dan setia-kawan internasional.”
Dengan demikian “Jika nanti waktu untuk bertindak bagi kita
telah datang,” kekuatan revolusioner sudah siap.
***
Bab II SITUASI INDONESIA: Mengibaratkan kapitalisme sebagai
gedung, Indonesia adalah satu di antara tiang yang mendukung
gedung itu. Kita tahu, cepat atau lambat, gedung itu pasti runtuh,
tapi kita tidak tahu bagaimana runtuhnya. Gelombang politik
ekonomi dunia akibat Perang Dunia I telah mematahkan satu
tiangnya yang rapuh, kapitalisme Rusia, dan seluruh gedung
terancam runtuh. Sayang, “datang budak-budaknya, yaitu kaum
Sosial Demokrat” untuk menyelamatkannya. Jadi kita kaum
68
lampiran-lampiran
revolusioner Indonesia tidak boleh menunggu gedung itu runtuh
baru bertindak, karena kalau “kapitalisme kolonial di Indonesia
besok atau lusa jatuh, kita [sudah] harus mampu menciptakan
tata-tertib baru yang lebih kuat dan sempurna di Indonesia.”
Sementara “[k]apitalisme Eropa dan Amerika didukung [oleh]
kaum Sosial Demokrat”, sedang “ [d]i tanah-tanah jajahan
seperti: Mesir, India, [...] dan Filipina, imperialisme yang sedang
goyah didukung oleh borjuis nasional, [...] di Indonesia tak ada
[...] yang mampu menolong [...]. Pertentangan antara rakyat
Indonesia dan imperialisme Belanda [terjadi secara langsung,
dan] makin lama [...] makin tajam. [...] Suara merdu politik etis
[sudah] diganti dengan [...] tongkat karet [...] dan gemerincing
pedang.”
Pertentangan seperti itulah yang berkobar di Bandung,
Sumedang, Ciamis, dan Sidoarjo, utamanya sejak Februari 1925.
“Rakyat Indonesia di bawah [...] siksaan di luar batas
prikemanusiaan tetap menuntut hak-hak kelahirannya [hak-hak
asasi].” Itulah “hak-hak yang semenjak puluhan tahun yang lalu
telah diakui di Eropa dan Amerika, tapi oleh imperialisme Belanda
dijawab dengan tindakan-tindakan biadab.” Namun demikian,
“tongkat karet dan pistol tak akan mampu mengundurkan rakyat
yang sedang melangkah maju.”
“Politik apakah yang harus kita lakukan pula sekarang?”
Jawabannya tergantung pada kemampuan kaum revolusioner
untuk melihat kenyataan sosial Indonesia dengan kacamata
pertentangan kelas. “ Lebih dari 300 tahun imperialisme Belanda
69
panggilan tanah air
melakukan politik ‘gertakan’ dan ‘tindasan’. Belum pernah politik
semacam itu oleh rakyat Indonesia [...] disambut dengan terangterangan dan sewajarnya, sebagaimana telah terjadi pada 1
Pebruari [1925].” Sambutan ini berbeda dengan aneka
perlawanan sebelumnya seperti Perang Jawa atau Perang Aceh.
Perlawanan ini berkobar “karena sumpah, jimat, suara gaib atau
segala kegelapan-kegelapan feodal”, sedang perlawanan sejak
Februari 1925 “karena hak-hak yang nyata dan wajar sebagai
manusia [hak-hak asasi]”. Kini penjajah “berkata kepada diri
sendiri ‘Orang Indonesia tak dapat lagi digertak dan ditindas’”.
Orang Indonesia menimpali, “’Selamat jalan jiwa-jiwa budak [...]
buat selama-lamanya’”.
Perlawanan seperti barusan dikemukakan akan membuat
imperialisme Belanda menyadari bahwa “lebih dari yang sudahsudah, [...] ucapan Multatuli akan lantang bergema di kupingnya:
‘Jika setiap orang Jawa meludah ke tanah, maka mati
tenggelamlah orang-orang Belanda’”. Karena itu “akan
dibicarakan cara memperbaiki keadaan ekonomi rakyat” dan
“memberikan hak-hak politik lebih banyak kepada golongan
orang Indonesia tertentu”.
Namun demikian, karena “mengenal susunan sosial-ekonomi
Indonesia”, kekuatan revolusioner Indonesia tahu bahwa
“pemegang kekuasaan itu tak akan dapat selangkah [pun] keluar
dari lingkungan sempit birokrasinya.” Imperialisme Belanda tak
akan “[dapat] dengan seketika [...] memperbaiki kesalahankesalahan yang telah berlangsung berabad-abad dengan
serentak.”
70
lampiran-lampiran
Kesalahan-kesalahan tersebut menjadi jelas dengan
perbandingan. Inggris yang menjajah India membiarkan “industri
nasional yang kuat” berkembang sehingga “di sana [terdapat]
jembatan untuk menghubungkan [...] modal Inggris dengan
modal nasional” dan “menghubungkan politik imperialisme dan
politik nasional. Tetapi politik imperialisme Belanda sejak semula
[sengaja menghancurkan] industri kecil dan perdagangan kecil
nasional, teristimewa di Jawa.” Akibatnya “mati jugalah kerajinan
dan inisiatif suku Jawa” yang mestinya mampu membangun
“industri nasional modern”. Akibat lebih jauh lagi, imperialisme
Belanda tidak bisa “mendapatkan titik pertemuan untuk suatu
kompromi ekonomi dengan orang-orang Indonesia.
Berhubungan dengan itu suatu kompromi dalam politik [akan
sulit pula]”.
Apa saja yang akan coba dilakukan oleh imperialisme Belanda
untuk membuka kompromi itu “akan hanya berarti satu tetes
air di atas besi yang membara”. Itu berarti “krisis Indonesia
bukan hanya krisis politik, seperti di Mesir, India-Inggris, dan
Filipina, akan tetapi juga terutama adalah krisis ekonomi. Krisis
ekonomi ini tak akan dapat disembuhkan dalam beberapa
tahun.” Karena itu “[...] imperialisme Belanda tak akan mungkin
mendekati rakyat Indonesia dengan memberikan konsesi politik
dan ekonomi, ia harus melakukan politik biadab yang lama,
warisan dari Oost Indische Compagnie”.
“Marx pernah berkata: ‘Proletariat tak akan kehilangan sesuatu
miliknya, kecuali belenggu budaknya’. Kalimat ini dapat kita
gunakan di Indonesia lebih luas. Di sini anasir-anasir bukan
71
panggilan tanah air
proletar berada dalam penderitaan yang sama dengan buruh
industri, karena di sini tak ada industri nasional, perdagangan
nasional”.
***
Bab III TUJUAN PKI. “Tujuan Partai-partai Komunis dunia ialah
menggantikan sistem kapitalisme dengan komunisne.” Namun,
penggantian ini tidak bisa serta-merta. Perlu suatu masa
peralihan yang tidak bisa dipastikan lamanya. “Dalam masa
peralihan ini, proletariat melakukan diktatur atas borjuasi. [...].
Sovyet adalah perwujudan diktatur proletariat. Tujuan Sovyet
ialah menghapuskan kapitalisme dan mempersiapkan
tumbuhnya komunisme.”
Selama masa peralihan, diktatur proletariat menasionalisasi
industri-industri yang penting, artinya diserahkan kepada negara
proletar. Dengan nasionalisasi, hak milik pribadi dihapus.
“Dengan demikian akan hapuslah anarchisme dalam produksi,
yaitu: menghasilkan barang [...] yang satu sama lain tidak ada
sangkut-pautnya [...] Sebagai gantinya diadakanlah rasionalisasi,
yaitu menghasilkan barang-barang keperluan hidup menurut
kebutuhan masyarakat. Dengan hapusnya hak milik
perseorangan dan anarki dalam produksi, persaingan juga akan
hapus” dan hilang pulalah semua kelas sosial seperti kelas proletar
dan kelas borjuasi.
“Dengan hapusnya persaingan, tak akan berlaku lagi politik
imperialisme, yaitu politik modal-bank sesuatu negara kapitalis
72
lampiran-lampiran
untuk [menjajah] negara-negara [lain guna menampung]
kelebihan hasil pabriknya [...]. Sebagai gantinya tersusunlah hak
milik bersama, produksi terencana, penukaranproduksi dengan
sukarela dan internasionalisme, yaitu: perdamaian, kerjasama
dan persaudaraan antara berbagai bangsa di dunia.” Pendeknya
terciptalah masyarakat komunis, masyarakat tanpa kelas sosial.
“Apa yang diuraikan di atas adalah teori komunis yang bisa
menjadi kenyataan jika kapitalisme dunia jatuh serentak,
sebagaimana yang hampir-hampir terjadi pada tahun-tahun
pertama sesudah revolusi Bosjewiki di Rusia.” Ternyata
kapitalisme dunia tidak runtuh serentak, malah tertolong oleh
golongan sosial demokrat. Bolsjewiki Rusia pun “mengadakan
langkah mundur pada tahun 1921. Langkah mundur ini harus
diterima dalam arti ekonomi dan taktik. [...] Negara Sovyet
mengijinkan berlakunya kembali hak milik perseorangan kepada
petani-petani yang merupakan 80% [...] penduduk Rusia dan
kepada borjuis-borjuis kecil di kota-kota.” Perdagangan pun
dilakukan “atas dasar kapitalisme”. Pendeknya para petani dan
borjuis kecil “dapat ditarik dalam barisan pendukung Negara
Buruh”. Inilah yang disebut PEB (Politik Ekonomi Baru).
PEB tidak hanya berlaku “khusus di Rusia yang terbelakang”,
tapi juga di negeri-negeri kapitalis. Jika demikian halnya, PEB
lebih penting lagi berlaku di Indonesia yang kapitalismenya
bersifat “kolonial dan tidak tumbuh secara tersusun dari
masyarakat Indonesia sendiri [...] Ia dipaksakan dengan
kekerasan oleh suatu negeri imperialis Barat dalam masyarakat
feodal Timur”. Dirumuskan lain “proletariat Indonesia berada
73
panggilan tanah air
lebih rendah daripada proletariat Eropah Barat dan Amerika.
Diktator proletariat yang tulen akan dapat membahayakan peri
penghidupan ekonomi di Indonesia, terlebih jika revolusi dunia
tak kunjung datang. Akibatnya [...] bagian yang terbesar
daripada penduduk, yaitu orang-orang yang bukan proletar,
sangat mudah dihasut melawan buruh Indonesia yang kecil
jumlahnya.”
“Untuk menjamin peri penghidupan ekonomi di Indonesia dalam
kemerdekaan nasional yang mungkin datang, kepada penduduk
yang bukan proletar harus diberikan kesempatan [...]
mengusahakan hak milik perseorangan dan perusahaanperusahaan kapitalis. Sudah barang tentu, perusahaanperusahaan besar harus segera dinasionalisir. Dengan demikian
kegiatan ekonomi rakyat dapat dikembangkan tanpa kekuatiran
akan datangnya [kelas-kelas] lainnya. Dengan demikian
perimbangan ekonomi antara proletar dan bukan proletar dapat
dicapai dan dipertahankan.”
“Memang kita harus selalu ingat bahwa buruh [Indonesia]
menurut kualitas dan kuantitasnya ada rendah, sedang orangorang bukan proletar [berjumlah] besar dan revolusioner. [...]
Karenanya dalam ‘INDONESIA MERDEKA’ cara bagaimana pun
kepada orang-orang bukan proletar harus diberikan kesempatan
mengeluarkan suaranya. Akan tepat adanya, jika buruh dalam
perang kemerdekaan nasional yang mungkin datang,
mewujudkan barisan pelopor [bagi] seluruh rakyat, maka
perusahaan-perusahaan besar akan jatuh di tangannya, dan
selaras dengan itu kekuasaan politik. Perimbangan politik dengan
74
lampiran-lampiran
orang-orang bukan proletar akan mudah ... diciptakan, yang ...
sangat penting adanya bagi Indonesia Merdeka.”
Perkembangan selanjutnya “tergantung kepada keadaan
internasional dan lebih lanjut pada perkembangan industri di
Indonesia sendiri.”
***
Sembilan sub-judul lain semuanya menyangkut program
nasional, strategi dan taktik. Betapa penting pun kesembilan
sub-judul ini, semuanya tidak mengubah konsistensi tiga bab
inti yang diringkas di atas. Apa yang sekarang ini disebut “visi
dan misi” politik sudah tercakup dalam tiga bab inti tersebut.
Oleh karena itu kesembilan sub-judul itu tidak diringkas dalam
kesempatan ini. % (Parakitri T. Simbolon, 21 Juni 2009)
Sumber:
http://zamrudkatulistiwa.com/2009/06/21/naar_de_republiek_
indonesia_/ (unduh terakhir pada 5 Mei 2015)
75
Lampiran 1b
Mohammad Hatta (1932)
Ke Arah Indonesia Merdeka
[Ringkasan dibuat oleh Parakitri T. Simbolon]
Tulisan tentang “visi-misi” Bung Hatta ini pertama kali terbit pada
1932 berbentuk brosur berisi asas dan tujuan Pendidikan Nasional
Indonesia, kemudian dimuat dalam buku bunga-rampainya,
Kumpulan Karangan, jilid I (Djakarta: Balai Buku 1952-53, empat
jilid). Ringkasan ini disusun berdasarkan karya yang sama yang
dimuat dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan
dan( Kerakyatan (Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia,
1998) hlm 211- 30. Brosur ini langsung mulai dengan semacam
pengantar tanpa sub-judul, lalu seterusnya terdiri dari tiga subjudul: “I. Kebangsaan”; “II. Kerakyatan”; dan “Arti Kedaulatan
Rakyat bagi Pergerakan Sekarang”.
Pengantar tanpa judul
“Pendidikan Nasional Indonesia menuju Indonesia Merdeka! Dan
pasal 2 daripada Peraturan Dasar menyebut, bahwa
perkumpulan berasas Kebangsaan dan Kerakyatan”. Dua kata
ini sering “menjadi buah bibir ... sekarang” tapi sekaligus banyak
orang yang “menyangka [...] kedua-dua pengertian itu sekarang
tidak laku lagi.”
76
lampiran-lampiran
Menurut orang itu yang laku adalah “’semangat internasional’”,
dengan Jenewa, Swis, sebagai “pusat ‘pergaulan
internasional’”. Lalu mereka berkata: “Tidakkah kita tersesat,
kalau kita masih gila dasar kebangsaan? Dan apakah pergerakan
kita nanti tidak mundur ke belakang kembali?”
Mereka juga bilang: “[B]ukankah orang sudah bosan [dengan]
‘kerakyatan’ dan ‘demokrasi’?” Yang benci terhadap‘kerakyatan’
dan ‘demokrasi’ bukan hanya golongan bangsawan dan fasis tapi
juga kaum komunis. “Tidakkah Mustafa Kemal, pemimpin Turki
Muda, [malah] kembali dari demokrasi ke diktatur? Jikalau
sekarang kaum radikal ... kanan dan ... kiri [di mana-mana] sudah
memuntahkan dasar kerakyatan, mestikah kita membangkitkan
dan meninggikannya lagi?”
Begitulah keberatan banyak orang terhadap “‘kebangsaan’”
dan “’kerakyatan’”.Namun, “siapa yang menyelidiki [sejarah]
dunia dengan betul” tahu bahwa keberatan banyak orang itu
“lemah sekali”. Memang soal kebangsaan dan kerakyatan tidak
mudah, apalagi kalau dua-duanya jadi “sepasang” pengertian.
Namun, “[j]ika diperhatikan pula sejarah pergerakan
kemerdekaan di ... dunia ini dan susunan masyarakat zaman
sekarang, maka jelaslah ... bahwa dasar ‘dua sepasang’ itu kuat
dan cocok dengan keperluan pergerakan Indonesia di masa
sekarang.”
“I. Kebangsaan”
“Pendidikan Nasional Indonesia bersifat kebangsaan karena ia
77
panggilan tanah air
menuju Indonesia Merdeka, yaitu kemerdekaan bangsa dan
tanah air. [...] Tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas
dari semangat kebangsaan.” Jika perdamaian antarbangsa dan
manusia itu baik, maka hal itu hanya mungkin terwujud bila lebih
dulu “ada kemerdekaan bangsa. Hanya bangsa-bangsa dan
manusia yang sama derajat dan sama merdeka [yang] dapat
bersaudara. Tuan dan budak [tidak dapat] bersaudara.”
“Oleh sebab itu tidak salah langkah Pendidikan Nasional Indonesia, kalau ia berdasar kebangsaan. Ia tidak pula memundurkan
kembali pergerakan kita karena itu, malainkan memajukan dan
memperkuat rohnya.” T idak hanya itu. “Sejarah dunia
memperlihatkan [...][betapa] kuatnya roh kebangsaan itu. [...]
Cinta bangsa dan tanah air sudah menjadi nyanyian yang merdu
di telinga orang banyak, istimewa bangsa yang tidak merdeka,
karena bangsa itu menjadi ukuran manusia dalam pergaulan
internasional.”
Namun, “kita [juga] insaf” bahwa kebangsaan “dapat
dipergunakan oleh satu golongan saja, misalnya kaum majikan,
untuk memuaskan hawa nafsunya. Rakyat ... dipakai sebagai
perkakas saja.” Harus juga diakui, “rakyat menjadi perkakas [...]
sebagian besar tergantung [pada] didikan rakyat. Rakyat yang
bersifat ... budak memang sudi mengorbankan diri untuk
golongan yang dipertuan [...]. Akan tetapi rakyat yang sadar akan
harga dirinya tidak mudah disuruh berbuat demikian, [apalagi]
rakyat yang insaf akan kedaulatan dirinya!”
Sesungguhnya semangat internasionalisme kalah dengan
78
lampiran-lampiran
“semangat kebangsaan”. Ambil Irlandia sebagai contoh sesudah
PD I “tatkala [bangsa itu] berjuang melawan Inggris untuk
mencapai kemerdekaannya.” Labour Party Irlandia sudah
berupaya “menanam bibit internasionalisme dan persaudaraan
umum”, tapi usaha itu gagal. Kaum buruh Irlandia tetap
“berpihak kepada partai Sinn Fein yang semata-mata berdasar
kebangsaan. Pada pemilihan umum untuk parlemen Irlandia,
Labour Party hampir tidak dapat suara.”
Hal yang sama terjadi di India, Mesir, Tiongkok, dan juga Indonesia sehubungan dengan PKI. “Partai ini memakai dasar
internasionalisme dan program serta janji-janjinya sangat menarik
hati rakyat .... [Tapi], PKI sendiri tidak sanggup menarik orang
banyak ke dalam golongannya. Supaya dapat pengaruh atas
rakyat, [PKI] terpaksa mendirikan suatu anak partai, yaitu Sarekat
Rakyat, yang tiada berdasar komunisme, melainkan bersifat
nasionalisme radikal. Sebagian besar mereka adalah “kaum
saudagar-saudagar kecil.” [...] “Kalau ada partai yang menyebut
sifatnya ‘internasional’, itu cuma nama saja, batinnya nasional
juga!” Kenyataan ini tidak hanya ada di negeri jajahan, tapi juga
di Eropa. Dalam Perang Dunia I, “kaum buruh Jerman berbunuhbunuhan dengan kaum buruh Perancis”, padahal dua-duanya
berasaskan internasionalisme. Lagipula, kaum buruh Jerman di
bawah panji sosial demokrat bersatu dengan “kaum kapitalis
untuk membela tanah air Jerman.”
“Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia daripada memakai
topeng internasional palsu, lebih baik terus terang memakai baju
kebangsaan, nasionalisme yang benar!” Kebangsaan yang benar
79
panggilan tanah air
perlu ditegaskan karena “[k]ebangsaan ada bermacam-macam
menurut rupa dan warna golongan yang memajukannya. Ada
kebangsaan cap ningrat, ada kebangsaan cap intelek dan ada
pula kebangsaan cap rakyat.”
“Jikalau kaum ningrat menyebut Indonesia Merdeka, maka
[yang] terbayang di muka mereka [adalah] suatu Indonesia yang
terlepas dari tangan Belanda, akan tetapi takluk ke bawah
kekuasaan mereka. Dari zaman dulu kala sampai ... sekarang
kaum ningrat ... tetap menjadi golongan pemerintah.” Di bawah
kerajaan dulu, mereka “menjadi tunjangan raja-raja itu, menjadi
tiang kekuasaan otokrasi dan feodalisme.” Demikian juga
sekarang di zaman penjajahan Belanda, kaum ningrat,
“Inlandsche Hoofden”, dibuat langsung memerintah rakyat
demi kekuasaan penjajah.
“Bagaimana pula rupa kebangsaan ... cap ... intelek? Menurut
paham kaum intelek, kaum terpelajar atau ... cerdik pandai, Indonesia Merdeka haruslah berada di bawah kekuasaan mereka
sendiri. Negeri tidak maju dan makmur kalau tidak dikemudikan
oleh orang yang berpengetahuan tinggi. Bagi mereka, orang
menjadi orang pemerintah bukan karena keturunannya,
melainkan karena kecakapan sendiri. Bukan bangsawan karena
darah yang mereka akui, melainkan bangsawan karena otak dan
kecakapan.”
Menurut mereka, karena “miskin dan alpa dan terpaksa pula
bekerja keras” untuk bisa hidup, “rakyat tidak mempunyai waktu
untuk memikirkan politik dan keselamatan negeri. [Oleh] sebab
80
lampiran-lampiran
itu tidak wajib rakyat [...] diberi [hak] suara tentang urusan
negeri. [...]. [N]asib rakyat dan urusan negeri ada di tangan kaum
intelek. Mereka mengumpamakan diri mereka sebagai dewa
orang banyak. [...] Nyatalah bahwa rakyat, [...], tidak lain daripada
perkakas kaum intelek saja.”
“[B]ukan kebangsaan ningrat dan bukan pula kebangsaan intelek
yang dikehendaki oleh Pendidikan Nasional Indonesia, melainkan
kebangsaan rakyat! ‘Karena rakyat itu badan dan jiwa bangsa’.
Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita.
[...] Hidup atau matinya Indonesia Merdeka ... tergantung
kepada semangat rakyat. [...] [K]aum terpelajar baru ada berarti,
kalau di sampingnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan
kedaulatan dirinya.”
“Sebab itu menurut keyakinan Pendidikan Nasional Indonesia,
kebangsaan itu haruslah dihinggapi semangat rakyat, jadi
berdasar kerakyatan!”
“II. Kerakyatan”
“Seperti halnya soal kebangsaan, pengertian tentang
kerakyatan bermacam-macam pula, menurut sifat golongan
yang menganjurkannya. ... Kerakyatan yang dipahamkan oleh
Pendidikan Nasional Indonesia sebagai asas yang kedua ...
berlainan daripada cita-cita kerakyatan yang biasa, tiruan dari
demokrasi Barat. Dalam pasal 2 Peraturan Dasar [Pendidikan
Nasional Indonesia] ditulis:”
81
panggilan tanah air
Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada
rakyat. Segala hukum (recht; peraturan-peraturan negri)
haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang
hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan
haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau [hukum itu
berdasarkan] kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah
yang menjadi pangakuan oleh segala jenis manusia yang
beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.
Agar asas kerakyatan ini terwujud dalam Indonesia Merdeka,
“haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian
haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal
bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara
mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian
negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat.
[...] [R]akyat itu [adalah] daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi
orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau satu
golongan kecil saja yang memutuskan nasib ... bangsa, melainkan
rakyat sendiri. Inilah arti Kedaulatan Rakyat! Inilah suatu dasar
demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya, [t]idak saja
dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial
...; keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak.”
Asas “kedaulatan rakyat yang menjadi dasar Pendidikan Nasional
Indonesia” ini berbeda sekali “dengan demokrasi cara Barat
[...]”, yang dikenal juga dengan moderne democratie. Rakyat
memerintah diri sendiri dengan perantaraan Badan-badan
Perwakilan, yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri. Akan
82
lampiran-lampiran
tetapi melakukan asas-asas demokrasi itu berbeda-beda dalam
praktek, menurut keperluan golongan masing-masing. Sebab
itu ada conservatieve democratie, ada liberale democratie, ada
vrijzinnige democratie, dan ada pula sociale democratie. Mana
golongan yag kuat atau berpengaruh besar, itulah yang memberi
rupa kepada demokrasi tadi.”
“[S]usunan demokrasi itu masing-masing” tidak akan dibicarakan. “Cukuplah buat pengetahuan, bahwa di waktu sekarang
kaum kapitalis yang berkuasa di benua Barat. Oleh sebab itu
demokrasi di sana memakai rupa kapitalistische democratie yang
juga dinamai burgerlijke democratie. Dan (cita-cita moderne
democratie yang begitu bagus ... tidak berlaku lagi. [...].”
Penyimpangan cita-cita demokrasi modern di Barat itu
bersumber dalam individualisme yang menjadi dasarnya. Seperti
mula-mula dirumuskan oleh filsuf Prancis J.J. Rousseau dalam
dasawarsa-dasawarsa pertengahan kedua abad ke-18,
individualisme adalah keyakinan bahwa “manusia itu lahir
merdeka dan hidup merdeka”. Oleh karena itu, pemerintahan
otokrasi yang “ditunjang oleh kaum ningrat [atau] foedalisme”
ditentang keras lalu dirobohkan oleh semangat individualisme
itu. Dengan demikian semangat individualisme “memberi
kemerdekaan kepada orang-orang untuk menentukan nasib
sendiri”. Namun, karena sumber daya masih tetap dikuasai oleh
segelintir orang, kemerdekaan orang per orang itu tidak
menghasilkan “demokrasi enonomi”, tapi hanya “demokrasi
politik”. Timbul perpecahan sosial melalui “perjuangan kelas
kasta”.
83
panggilan tanah air
Revolusi individualisme atau “individueele revolutie” di Prancis
dengan serentak ditimpali dengan revolusi industri atau
“industrieele revolutie” di Inggris. Maka revolusi ganda itu
melahirkan “Kapitalisme Modern”. Jadi, “[s]emangat
individualisme memajukan politik liberalisme dan liberalisme
memperkuat roh kapitalisme. Dalam politik [...] tiap-tiap manusia
lahir merdeka dan hidup merdeka.” Makanya tidak aneh kalau
dalam konstitusi pertama Prancis hasil revolusi orang dilarang
berserikat. Akibatnya celaka bagi buruh, karena mereka tidak
bisa lagi mengandalkan serikat sekerja untuk membela
kepentingan sendiri terhadap majikan. Sebaliknya majikan boleh
berbuat apa saja, karena “[d]alam ekonomi, semangat
individualisme [...] [berarti] laissez faire, laissez passer”, yang
berarti boleh berbuat sesuka hati.
“Jadinya, demokrasi Barat [...] tidak membawa kemerdekaan
rakyat yang sebenarnya, melainkan menegakkan kekuasaan
kapitalisme. Sebab itu demokrasi politik saja tidak cukup untuk
mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat.
Harus ada pula demokrasi ekonomi ... [yaitu] bahwa segala
penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak harus
berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga”. Dirumuskan
lain “[b]agaimana pemerintahan negeri harus dijalankan dan
bagaimana caranya rakyat mesti hidup, semuanya itu harus
merupakan hasil keputusan rakyat atas mufakat.”
Mufakat ini merupakan “sifat kemasyarakatan (gemeenshap)”
bangsa kita “semenjak zaman purbakala”. Itulah sendi
“demokrasi asli Indonesia.” Namun, bagaimana pun “bagusnya
84
lampiran-lampiran
di masa dahulu, [demokrasi asli kita itu] tidak [lagi] mencukupi di
waktu sekarang”. Lagi pula demokrasi asli kita itu “hanya
terdapat pada pemerintahan desa saja”, sedang
“[p]emerintahan di atas semata-mata berdasarkan otokrasi. Di
atas otonomi desa berdiri ‘Daulat Tuanku’ yang [bertindak]
sewenang-wenang [...]. Kita harus melanjutkan demokrasi asli
menjadi Kedaulatan Rakyat, supaya terdapat peraturan
pemerintahan rakyat untuk Indonesia seumumnya. ‘Daulat
Tuanku’ (Raja) mesti diganti dengan ‘Daulat Rakyat’!” [...]
“Sekarang jelaslah apa yang disebut di atas, bawa Kedaulatan
Rakyat yang dimajukan oleh Pendidikan Nasional Indonesia
sungguh pun baru, sebenarnya tidak asing bagi rakyat Indonesia, karena tersusun di atas demokrasi tua yang ada di tanah air
kita. Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, tetapi tidak pada
tempat yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi,
menurut kehendak pergaulan hidup sekarang. Sepadan dengan
betul dengan semangat demokrasi asli Indonesia, cita-cita
Kedaulatan Rakyat paham Pendidikan Nasional Indonesia
berdasar pada rasa-bersama, kolektivitas!”
“Arti Kedaulatan Rakyat bagi Pergerakan Sekarang”
“Sekarang kita maklum, bahwa cita-cita yang di atas hanya dapat
dicapai, kalau Indonesia sudah merdeka serta rakyat Indonesia
sudah memerintah dirinya sendiri dan kalau hukum dan undangundang negeri cocok dengan perasaan keadilan dan kebenaran
yang hidup dalam sanubari rakyat yang banyak.”
85
panggilan tanah air
“Bahwa Indonesia lambat laun mesti merdeka, itu tidak dapat
disangkal lagi. Itu sudah Hukum Riwayat [Hukum Sejarah]! Indonesia Merdeka bukan perkara dapat atau tidak, hanya perkara
waktu saja.”
“Sebab itu apa yang diucapkan oleh Pendidikan Nasional Indonesia tidak tinggal di awang-awang, melainkan berarti pada
waktu sekarang, selagi rakyat dalam perjuangan.”
“Dari mulai sekarang cita-cita Kedaulatan Rakyat harus ditanam
di dalam hati rakyat! Kalau tidak, rakyat tidak akan insaf akan
harga dirinya, tidak tahu, bahwa ia raja atas dirinya sendiri,
sehingga ia tidak mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan
siapa juga. Dan kalau Indonesia sampai merdeka, ia akan tinggal
tertindas, karena kekuasaan tentu jatuh ke dalam tangan kaum
ningrat, sebab merekalah yang banyak mempunyai orang cerdik
pandai. Dan dalam Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak
berarti rakyat merdeka!”
“[...]”( “Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia mendidik
rakyat, supaya insaf akan kedaulatan dirinya dan paham kepada
makna dan maksud dasar Kedaulatan Rakyat. [...].”
“Jalan yang dipakai oleh Pendidikan Nasional untuk mencapai
tujuan itu ialah terutama mendidik rakyat dalam hal-hal politik,
ekonomi, dan sosial dengan memperhatikan asas-asas
Kedaulatan Rakyat.”
“[...]”
86
lampiran-lampiran
“Moga-moga Pendidikan Nasional Indonesia lekas mendapat
perhatian daripada rakyat jelata, sebagai pohon yang rindang
tempat marhaen Indonesia berlindung, dan sebagai langgar
umum, tempat rakyat mengasah budi dan pekerti.” % (Parakitri
T. Simbolon, 24 Juni 2009)
Sumber:
http://zamrudkatulistiwa.com/2009/06/24/ke_arah_indonesia_
merdeka/ (unduh terakhir pada 5 Mei 2015)
87
Lampiran 1c
Soekarno (1933)
”Mencapai Indonesia Merdeka”
[Ringkasan dibuat oleh Parakitri T. Simbolon]
Ringkasan “visi-misi” Bung Karno ini berdasarkan “Mencapai
Indonesia Merdeka” dalam Ir. Soekarno, Di bawah Bendera
Revolusi (Djakarta: Panitya Penerbit Di bawah Bendera Revolusi,
1964), jilid pertama, cetakan ketiga, hlm. 257-324.
Seperti diungkapkan di bagian awal karya ini, Soekarno
menuliskannya di Pangalengan pada 30 Maret 1933. Pangalengan,
suatu kota kecil pegunungan di sebelah selatan kota Bandung.
“[S]ekembali ... dari ... tournée ... ke Jawa Tengah ...
membangkitkan Rakyat sedjumlah 89.000 orang,” Soekarno
“berpakansi beberapa hari [di sana] melepaskan kelelahan badan.”
Ia sendiri menyebut karyanya ini “risalah”, juga “vlugschrift”, yang
dua-duanya berarti karangan ringkas, brosur, pamflet.
Risalah ini ditujukan kepada “orang yang baru mendjejakkan kaki
di gelanggang perjoangan”. Agar tidak “terlalu tebal” dan
“terlalu mahal”, “hanya garis-garis besar sahaja” yang
dikemukakan. “Mitsalnya fatsal ‘Di Seberang Jembatan Emas’
kurang jelas, sehingga akan dipaparkan lebih rinci dalam karya
lain.
88
lampiran-lampiran
Di luar pengantar yang tanpa sub-judul, risalah ini terdiri dari 10
sub-judul:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Sebab-sebabnya Indonesia Tidak Merdeka
Dari Imperialisme-Tua ke Imperialisme-Modern
“Indonesia, Tanah Yang Mulya, Tanah Kita Yang Kaya; (Di
sanalah kita Berada, untuk Selama-lamanya” ...)
“Di Timur Matahari Mulai Bercahaya, Bangun dan Berdiri,
Kawan Semua”...
Gunanya Ada Partai
Indonesia Merdeka Suatu Jembatan
Sana Mau ke Sana, Sini Mau ke Sini
Machtsvorming, Radikalisme, Massa-Aksi
Diseberangnya Jembatan Emas
Mencapai Indonesia-Merdeka!
1. Sebab-sebabnya Indonesia Tidak Merdeka
Risalah mulai dengan menolak tesis “Professor Veth” bahwa
Indonesia “tidak pernah merdeka [...] dari zaman Hindu sampai
sekarang [...] Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan: mulamula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda.” Namun sejarah
menunjukkan yang sebaliknya: “[K]aum yang kuasa di dalam
zaman Hindu itu [...] tidak terutama sekali kaum penjajah [...].
Mereka bukanlah kaum yang merebut kerajaan, tetapi mereka
sendirilah yang mendirikan kerajaan di Indonesia! Mereka
menyusun staat Indonesia, yang tahadinya tidak ada staat Indonesia!” Hubungan kerajaan Indonesia itu dengan Hindustan
“bukanlah perhubungan kekuasaan, [...] tetapi ialah
89
panggilan tanah air
perhubungan peradaban, perhubungan cultuur.”
[...]
“Negeri Indonesia ketika itu merdeka, – tetapi penduduk Indonesia, Rakyat-jelata Indonesia, Marhaen Indonesia ... tidak
pernah merdeka.” Namun begitulah nasib semua rakyat jelata
di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Mereka “diperintah
oleh raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi
perkakas sahaja dari raja-raja itu dengan segala balakeningratannya ...”.
Karena itu sebab-sebabnya Indonesia dijajah, tidak merdeka,
harus dicari dalam masa “[t]iga empat ratus tahun yang lalu, di
dalam abad keenam belas ketujuh belas ... ketika “feodalisme
Eropah” surut dan diganti dengan “vroeg-kapitalisme”,
kapitalisme tua, yaitu timbulnya kelas “pertukangan dan
perdagangan, yang giat sekali berniaga di seluruh benua EropaBarat.” Kelas kapitalis ini semakin kuat sampai dapat mencapai
“kedudukan kecakrawartian”, kuasa pemerintahan. Segera
Eropa menjadi sempit bagi kapitalisme tua itu, sehingga
“timbullah suatu nafsu, suatu stelsel” untuk menguasai “benuabenua lain, – terutama sekali di benua Timur, di benua Azia!”
Itulah “imperialisme”.
Sementara itu “... masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat
Azia umumnya, pada waktu itu kebetulan sakit”, maksudnya
“suatu masyarakat ‘in transformatie’ ..., yang sedang asyik
‘berganti bulu’: “[dari] feodalisme-kuno” atau “feodalisme
90
lampiran-lampiran
Brahmanisme” ke “feodalisme-baru, feodalismenya ke-Islaman, yang sedikit lebih demokratis ...”. Masa ‘berganti bulu” itu
tercermin antara lain dalam “pertempuran antar Demak dan
Majapahit, atau Banten dan Pajajaran”. Pertempuranpertempuran itu “membikin badan masyarakat menjadi ‘demam’
dan menjadi ‘kurang-tenaga’, dan lambat-laun dikalahkan oleh
kapitalisme-tua Eropa melalui nafsu imperialismenya.
2. Dari Imperialisme-Tua ke Imperialisme-Modern
“Tahukah pembaca bagaimana mekarnya imperialisme itu, ...
dari imperialisme-kecil menjadi imperialisme raksasa [...,] dari
imperialisme-tua menjadi imperialisme modern?” Untuk itu
pembaca perlu tahu lebih dulu bahwa “[i]mperialisme adalah
anaknya kapitalisme. Imperialisme-tua dilahirkan oleh
kapitalisme-tua, imperialisme-modern dilahirkan oleh
kapitalisme-modern. [Namun] [w]ataknya kapitalisme-tua adalah
berbeda besar dengan wataknya kapitalisme-modern. [...] Maka
imperialisme-tua yang dilahirkan oleh kapitalisme-tua itu, –
imperialismenya [VOC] dan ... [Tanam Paksa] – ... niscayalah satu
watak dengan ‘ibunya’, yakni watak-tua, watak-kolot, watakkuno.”
Watak kuno imperialisme-tua itu “menghantam ke kanan dan
ke kiri, [menjalankan] stelsel monopoli dengan kekerasan dan
kekejaman ... mengadakan sistim paksa ..., membinasakan ribuan
jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-kerajaan ..., membasmi
milliunan tanaman cengkeh dan pala .... Ia melahirkan aturan
contingenten [pajak berupa hasil bumi] dan leverantien [hak
91
panggilan tanah air
monopoli beli hasil bumi] yang sangat berat dipikulnya oleh
Rakyat [...].”
“Tetapi lambat-laun di Eropah modern-kapitalisme mengganti
vroeg-kapitalisme yang sudah tua-bangka. Paberik-paberik,
bingkil-bingkil, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan, kota-kota
industri timbullah seakan-akan jamur di musim dingin, dan tatkala
modern-kapitalisme ini sudah dewasa, maka modalkelebihannya alias surplus kapital-nya lalu ingin dimasukkan di
Indonesia ...”. Mereka tidak sabar menunggu di pintu gerbang
Indonesia. Mereka memekik dengan semboyan-semboyan
seperti kebebasan buruh, kebebasan menyewa tanah,
persaingan bebas. “Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870,
dibukalah pintu gerbang itu!” Maka masuklah “modal-partikelir
di Indonesia, – mengadakan paberik-paberik gula di mana-mana,
kebon-kebon teh di mana-mana, onderneming-onderneming
tembakau di mana-mana, dan lain sebagainya ...”.
“Cara pengambilan [rezeki dengan jalan monopoli] berobah,
sistimnya berobah, wataknya berobah, tetapi banyakkah
perobahan bagi Rakyat Indonesia? Banjir harta yang keluar dari
Indonesia bukan semakin surut, tetapi malahan makin besar,
drainage Indonesia malahan makin [besar].” Maka sejak “adanya
opendeur politiek [politik pintu terbuka] di dalam tahun 1905,
maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rezeki
di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda sahaja, tetapi juga
modal Inggeris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga
modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal
lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah
92
lampiran-lampiran
imperialisme yang internasional karenanya. Raksasa ‘biasa yang
dulu ... kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang
bermulut sepuluh!”
Drainase itu digambarkan dengan perbandingan antara ekspor
dan impor untuk 1924-1930. Rata-rata jumlah ekspor/tahun f
1.527.799.571, sedang rata-rata jumlah impor/tahun f 875.917.143.
Jadi rata-rata rasio ekspor dan impor adalah 174/100, sedang rasio
tertinggi 226/100 dan terendah 135/100. “Sedang bandingannya
ekspor/impor di negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada
‘mendingan’, [dan] bandingan itu di dalam tahun 1924: Afrika
Selatan 119/100; Filipina 123/100; India 123/100; Mesir 129/100, Sri
Lanka 133/100. “[M]aka buat Indonesia, ia menjadi yang paling
celaka [...]”. Sebanyak 75 persen nilai ekspor itu berasal dari
“delapan macam hatsil onderneming landbouw” atau hasil
pertanian yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat.
Untung bersih bagi semua onderneming itu rata-rata f
515.000.000/tahun, “lima ratus lima belas milliun rupiah setahun,
dan ini adalah 9% á 10% dari mereka punya modal-induk!”, sedang
“bagi Marhaen, yang membanting tulang dan berkeluh-kesah
mandi keringat bekerja membikinkan untung sebesar itu, ratarata di dalam zaman ‘normal’ [sebelum meleset] ta’ lebih dari
delapan sen seorang sehari ...”
3. “Indonesia, Tanah yang Mulya ...”
Marhaen dapat “ta’ lebih dari delapan sen seorang sehari. Dan
ini pun bukan hisapan-jempol kaum pembohong, bukan
93
panggilan tanah air
hasutannya kaum penghasut, bukan agitasinya pemimpin-agitator. [...] Memang hanya orang munafik dan durhaka sahajalah
yang tak’ berhenti-henti berkemak-kemik: ‘Indonesia sejahtera.
Rakyatnya kenyang-senang.” [...]. Kenyataan ini “ta’ dapat
dibantah lagi. Dr Huender telah mengumpulkan angkaangka[nya]. [...] Ia membagi pendapatan Kang Marhaen itu
dalam tiga bagian: ... dari padinya, ... dari palawijanya, ... dari
perkuliannya bilamana Marhaen tengan ‘vrij’”.
[...]
“En toch, barangkali risalah ini dibaca oleh fihak ‘twijvelaars’
alias fihak ‘ragu-ragu’ di kalangan kita punya intellectuelen yang
karena terlampau kenyang ‘cekokan kolonial’ tidak percaya
bahwa Marhaen papa-sengsara?” Cara manjur melenyapkan
keraguan mereka itu adalah menganjurkan mereka pergi ke
kalangan Marhaen sendiri, lalu melihat dengan mata kepala
sendiri. Boleh juga periksa “perkataan Professor Boeke yang
berbunyi, bahwa hidupnya bapak tani adalah hidup ‘ellendig’,
hidup yang sengsara keliwat sengsara’”. Boleh juga buka “surarsurat chabar [...] dan mengumpulkan ‘syair megatruh’ [...] yang
melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen yang ... sudah
‘sekarang makan besok tidak’ itu”.
[...]( “O, Marhaen, hidupmu sehari-hari morat-marit” tapi “kamu
boleh menyanyi: Indonesia,Tanah Yang Mulya/ Tanah Kita Yang
Kaya/ Disanalah kita Berada/ Untuk Selama-lamanya.”
94
lampiran-lampiran
4. “Di Timur Matahari Mulai Bercahaya,”
“Tetapi hal-hal yang saya ceritakan di atas ini hanyalah kerusakan
lahir sahaja. Kerusakan bathin pun ternyata [timbul] di manamana. Stelsel imperialisme yang butuh pada kaum buruh itu,
sudah [menyelewengkan] semangat kita menjadi semangat
perburuhan ... yang hanya senang jikalau bisa menghamba.
Rakyat Indonesia sediakala terkenal sebagai Rakyat yang gagahberani ..., yang perahu-perahunya melintasi lautan dan samodra
..., kini terkenal sebagai ‘het zachtste volk der aarde’, ‘Rakyat
yang paling lemah-budi di seluruh muka bumi’. Rakyat Indonesia itu kini menjadi Rakyat yang hilang kepercayaannya pada diri
sendiri, hilang keperibadiannya [...]”.
Itu pun “belum bencana bathin yang paling besar! Bencana bathin
yang paling besar ialah bahwa Rakyat Indonesia itu percaya bahwa
ia memang adalah ‘Rakyat-kambing’ yang selamanya harus dipimpin
dan dituntun”. Rakyat seperti itu percaya saja semboyan
imperialisme bahwa mereka datang di Indonesia bukan untuk cari
rezeki, malainkan datang membawa “’maksud suci’ ... ‘missioncacrée’ [untuk mencapai] ‘beschaving’ dan ‘orde en rust’, –
‘[peradaban]’ dan ‘[ketertiban] umum’.”
Namun semua itu “hanyalah omong-kosong belaka”, dan kita
akan binasa kalau terus percaya omong-kosong tersebut, ‘dan
pantas binasa di dalam lumpur penghinaan dan nerakanya
kegelapan. [...] Tetapi ... Alhamdulillah, di Timur matahari mulai
bercahaya, fajar mulai menyingsing! Obat tidur imperialisme yang
berabad-abad kita minum ... perlahan-lahan mlai kurang dayanya.
95
panggilan tanah air
[...] Berabad-abad kita sudah lembek hingga seperti kapuk dan
agar-agar. Yang [kita] butuhkan kini ialah otot-otot yang kerasnya
sebagai baja, urat-urat-syaraf yang kuatnya sebagai besi,
kemauan yang kerasnya sebagai batu-hitam ... dan jika perlu,
berani terjun ke dasarnya samodra!”
Fajar menyingsing itu adalah pergerakan kebangsaan kita.
“Pergerakan memang bukan tergantung [pada] seorang
pemimpin ..., pergerakan adalah bikinannya nasib kita yang
sengsara. [Pergerakan] pada hakekatnya adalah usaha
masyarakat sakit yang mengobati diri sendiri. [...] Oleh karena
itulah kita harus mempunyai [...] pergerakan yang ... cocok dan
sesuai dengan hukum-hukumnya masyarakat dan terus menuju
ke arah doelnya masyarakat, ya’ni masyarakat yang selamat dan
sempurna. [...]. Haibatkanlah pergerakanmu menjadi
pergerakan yang bewust dan insyaf, yang karenanya akan
menjadi haibat sebagai tenaganya gempa. Fajar mulai
menyingsing. Sambutlah fajar itu dengan kesadaran, dan kamu
akan segera melhat matahari terbit.”
5. Gunanya Ada Partai
“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena
ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak
karena ‘ideal’ saja ... [tapi] karena ingin perbaikan nasib [di segala
bidang].” Namun, perbaikan nasib “hanyalah bisa datang
seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme
dan imperialisme. [...] Oleh karena itu ... pergerakan kita itu ...
yang ingin merobah samasekali sifatnya masyarakat ... yang
96
lampiran-lampiran
samasekali ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan
kapitalisme. Pergerakan kita janganlah hanya ... ingin rendahnya
pajak, ... tambahnya upah, janganlah hanya ingin perbaikanperbaikan kecil yang bisa tercapai hari sekarang ...”.
Perubahan yang begitu besar harus “dibarengi dengan
gemuruhnya banjir pergerakan Rakyat-Jelata. [...]. Kita pun harus
menggerakkan Rakyat-jelata di dalam suatu pergerakan radikal
yang bergelombangan sebagai banjir, menjelmakan pergerakan
massa yang tahadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi
suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, ya’ni massaaksi yang insyaf akan jalan dan maksud-maksudnya.”
“Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan ...
yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu
partai yang mendidik Rakyat-jelata itu ke dalam ke-bewest-an
dan keradikalan.” [...]. Partai yang demikian ... bukan partai
burjuis, bukan partai ningrat, bukan ‘partai-Marhaen’ yang
reformistis, bukan pun ‘partai radikal’ yang hanya amuk-amukan
sahaja, – tetapi partai-Marhaen yang radikal yang tahu saat
menjatuhkan pukulan-pukulannya.”
6. Indonesia Merdeka Suatu Jembatan
Dengan partai seperti itulah pergerakan kebangsaan mencapai
maksudnya: “suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang
tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan
imperialisme. [...]. Dan syarat yang pertama untuk
menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme ... ialah:
97
panggilan tanah air
k i t a h a r u s m e r d e k a. Kita harus merdeka, agar supaya kita
bisa leluasa bercancut-tali-wanda menggugurkan stelsel
kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, supaya kita
bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat-baru yang tiada
kapitalisme dan imperialisme. [...]. Dapatkah Ramawijaja
mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu
[masih] terikat kaki dan tangannya ...?”
Syarat kedua, “mengikhtiarkan kemerdekaan nasional”, kaum
Marhaen “j u g a h a r u s m e n j a g a j a n g d i d a l a m
k e m e r d e k a a n – n a s i o n a l i t u k a u m Ma r h a e n l a h j
a n g m e m e g a n g k e k u a s a a n, – bukan kaum borjuis
Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan musuh kaumMarhaen. [...].
Adakah dus saya kini mengutamakan klassenstrijd [pertentangan
kelas]? Saya belum mengutamakan klassenstrijd antara bangsa
Indonesia dengan bangsa Indonesia, walau pun tiap-tiap nafsu
kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi.
Saya seorang nasionalis ... selamanya menganjurkan supaya
semua tenaga nasional yang bisa dipakai menghantam musuh
untuk mendatangkan kemerdekaan-nasional itu, haruslah
dihantamkan pula.”
“‘De sociale tegenstellingen worden in onvrije landen in
nationale vormen uitgevochten’, ‘pertentangan sosial di negerinegeri yang ta’ merdeka diperjoangkan secara nasional’,
begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi
kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat,
98
lampiran-lampiran
suatu strijdmoment. Di belakang Indonesia Merdeka itu kita
kaum Marhaen masih harus mendirikan kita punya Gedung
Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme.” Jadi,
syarat ketiga adalah: kesadaran bahwa kemerdekaan nasisonal
hanyalah jembatan emas.
7. Sana Mau ke Sana, Sini Mau ke Sini
“Tapi sekarang timbul pertanyaan: bagaimana kita [memenuhi]
... tiga [syarat] itu?”
“[K]ita lebih dulu harus mengetahui hakekatnya kedudukan
antara imperialisme dan kita, hakekat kedudukan antara s a n a
dan s i n i.” Inilah yang menentukan “azas-azas perjoangan kita,
... strategi kita, ... taktik kita ... ‘houding’ [sikap] kita terhadap ...
kaum sana itu ...”
Hakekat “kedudukan” itu “boleh kita gambarkan dengan satu
perkataan sahaja: p e r t e n t a n g a n. Pertentangan di dalam
segala hal. [...] Tidak ada persesuaian antara sana dan sini. Antara
sana dan sini ada pertentangan sebagai api dan air, sebagai
serigala dan rusa, sebagai kejahatan dan kebenaran.” Inilah
“yang oleh kaum Marxis disebutkan d i a l e k t i k-nya sesuatu
keadaan ...” Pertentang sana dan sini berada dalam dialektik itu,
yang disebut “ber-antitese”.
Dialektik ini “menyuruh kita selamanya ... t i d a k b e k e r j a [s a
m a] terhadap ... kaum sana itu, – s a m p a i kepada saat
keunggulan dan kemenangan. [...] kemenangan hanyalah bisa
99
panggilan tanah air
kita capai dengan kebiasaan s e n d i r i, tenaga s e n d i r i, usaha
s e n d i r i. [...]. Inilah yang biasanya kita sebutkan politik
‘p e r c a y a p a d a k e k u a t a n s e n d i r i’, politik ‘s e l f –
h e l p dan n o n – c o o p e r a t i o n’.”
8. Machtsvorming, Radikalisme, Massa-Aksi
Selain membawa kita ke “politik selfhelp dan non-cooperation”,
dialektika tadi juga membawa kita “ke dalam kawah
candradimukanya politik machtsvorming, radikalisme dan massaaksi.” Machtsvorming “adalah ... pembikinan kuasa ... jalan satusatunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita.” Jalan
satu-satunya, karena “’nooit heeft een klasse vrijwillig van haar
bevoorrechte positie afstand gedaan”, begitulah Karl Marx
berkata ... ‘Ta’ pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hakhaknya dengan ridlanya kemauan sendiri’.”
“Radikalisme” berarti menggunakan “machtsvorming” kita,
bukan “kepandaian putar lidah, bukan kepandaian menggerutu
dengan hati dendam terhadap kaum sana.” Dengan kata lain,
“[t]iap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar sampai yang
kecil-kecil, adalah hatsilnya d e s a k a n dengan kita punya tenaga.
Oleh karena itu ‘teori’ dan ‘prinsip’ sahaja buat saya belum cukup.
Tia-tiap orang bisa menutup dirinya di dalam kamar, dan
menggerutu ‘ini tidak menurut teori’, ‘itu tidak menurut prinsip’.
Saya tidak banyak menghargakan orang yang demikian itu. Tetapi
yang paling sukar ialah, di muka musuh yang kuat dan membutatuli ini, menyusun suatu m a c h t yang terpikul oleh suatu prinsip.
Keprinsipiilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa
100
lampiran-lampiran
menundukkan musuh di dalam perjoangan yang haibat, bolehlah
kita buang ke dalam sungai Gangga. Keprinsipiilan dan
keradikalan yang menjelmakan kekuasaan, itulah kemauan Ibu!”
9. Di Seberangnya Jembatan Emas
“Adakah Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidupkemanusiaan yang [leluasa dan sempurna, ... yang secara
manusia dan selayak manusia]? Indonesia-Merdeka sebagai saya
katakan di atas, adalah menjanjikan tetapi belum pasti
menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian
itu.” Yang menjanjikan itu “barulah menjadi ketentuan, kalau
Marhaen sedari sekarang sudah insyaf seinsyaf-insyafnya bahwa
Indonesia-Merdeka hanyalah suatu jembatan, – sekali pun suatu
jembatan emas!– yang harus dilalui dengan segala keawasan
dan keprajinaan, jangan sampai di atas jembatan itu KeretaKemenangan dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen.”
Satu calon kusir ialah “kaum ningrat” dengan “nasionalismekeningratan” mereka. “Mereka masih hidup dalam keadaan
feodalisme [...] yang biasanya setia sekali pada kaum yang di
atas ... Tetapi menurut cita-citanya di dalam Indonesia-Merdeka
itu merekalah yang harus menjadi ‘kepala’ ... yang sejak zaman
purbakala, sejak feodalisme Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an toch sudah menjadi ‘pohon beringin’ yang melindungi
kaum ‘kawulo’”. Calon kusir lain ialah “nasionalisme-keborjuisan”
milik kaum modal, industri, kaum berpunya. Dua-duanya memuja
individualisme, yang menjerumuskan Marhaen ke lembah
demokrasi politik belaka.
101
panggilan tanah air
Terhadap mereka ini Marhaen mengajukan demokrasi
berdasarkan “gotong royong”, dalam bentuk “sosio-demokrasi”
dan “sosio-nasionalisme”. “Dengungkanlah sampai melintasi
tanah-datar dan gunung dan samodra, bahwa Marhaen di
seberangnya jembatan-emas akan mendirikan suatu masyarakat
yang tiada keningratan dan tiada keborjuisan, tiada kelas-kelasan
dan tiada kapitalisme.”
“Bahagialah partai-pelopor yang demikian itu! “Bahagialah
massa yang dipelopori partai yang demikian itu! “Hiduplah sosionasionalisme dan soio-demokrasi!”
10. Mencapai Indonesia-Merdeka!
“Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah ke muka,
susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan
di dalam risalah ini. Haibatkanlah partainya Marhaen, agar supaya
menjadi partai pelopornya massa. Haibatkanlah semua semangat
yang ada di dalam dadamu, haibatkanlah semua kecakapanmengrorganisasi yang ada di dalam tubuhmu, haibatkanlah
semua keberanian banteng yang ada di dalam nyawamu [...].”
“Hidupkanlah massa-aksi, untuk mencapai IndonesiaMerdeka!” % (Parakitri T. Simbolon. Rebo, 1 Juli 2009).
Sumber:
http://zamrudkatulistiwa.com/2009/07/01/mancapai_indonesia_
merdeka/ (unduh terakhir pada 5 Mei 2015)
102
Lampiran 2
Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
103
panggilan tanah air
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
104
Lampiran 3
Pidato Soekarno Memproklamasikan
Kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 1945
Saudara-saudara sekalian!
Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan
peristiwa maha-penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan
tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombang aksi
kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu, ada naiknya dan ada
turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di
Jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional
juga tidak berhenti-berhenti. Di dalam Jaman Jepang ini,
tampaknya-saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi
pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap
kita percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya
kita benar-benar mengambil nasib bangsa dengan nasib tanah
air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani
mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri
dengan kuatnya. Maka kami tadi malam telah mengadakan
musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari
seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu se-iya sekata
berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk
menyatakan kemerdekaan kita.
105
panggilan tanah air
Saudara-saudara! dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu,
dengarkanlah proklamasi kami :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan
dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya.
Jakarta, 17-08-1945
Demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka!
Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita. Mulai
saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara
Republik Indonesia, – merdeka kekal dan abadi. Insya Allah,
Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!
106
Lampiran 4
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang berdasarkan
kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra
(Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen,
Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi
dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928
di negeri Djakarta;
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan
pembitjaraan ini;
Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama :
Kedoea :
Ketiga :
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA
MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATU,
TANAH INDONESIA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA
MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA
INDONESIA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA
MENDJOEN-DJOENG BAHASA PERSATUAN,
BAHASA INDONESIA
107
panggilan tanah air
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan
kejakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelan
kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan kejakinan persatoean
Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar
persatoeannya:
KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini
disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka
rapat perkoempoelan-perkoempoelan.
108
lampiran-lampiran
109
Lampiran 5a
Lirik Lagu “Indonesia Raya”
versi asli (1928)1
I
Indonesia, tanah airkoe, Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri, Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe, Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe: “Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe, Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja, Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain :
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe, jang koetjinta.
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia, Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep, Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka, Poesaka kita semoeanja,
Marilah kita berseroe: “Indonesia Bersatoe”.
110
lampiran-lampiran
Soeboerlah tanahnja, Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoea,
Sedarlah hatinja, Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain :
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
III
Indonesia,tanah jang soetji, Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri, Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri, Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:”Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja, S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja, Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain :
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’, Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
(2x)
111
Lampiran 5b
Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
versi Resmi (1958, 2009)2
I
Indonesia Tanah Airkoe, Tanah Toempah Darahkoe
Di sanalah Akoe Berdiri, Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe, Bangsa Dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe, Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra’jatkoe, Sem’wanja
Bangoenlah Djiwanja Bangoenlah Badannja Oentoek Indonesia
Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
II
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja
Di sanalah Akoe Berdiri, Oentoek Slama-Lamanja
Indonesia Tanah Poesaka, P’saka Kita Semoeanja,
Marilah Kita Mendo’a Indonesia Bahagia
112
lampiran-lampiran
Soeboerlah Tanahnja, Soeboerlah Djiwanja,
Bangsanja, Ra’jatnja, Sem’wanja,
Sadarlah Hatinja, Sadarlah Boedinja,
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahkoe, Negrikoe, Jang Koetjinta
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
III
Indonesia Tanah Jang Seotji, Tanah Kita Jang Sakti
Di sanalah Akoe Berdiri, ‘Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri, Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji, Indonesia Abadi
S’lamatlah Ra’jatnja, S’lamatlah Poetranja
Poelaoenja, Laoetnja, Sem’wanja
Madjoelah Negrinja, Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Tanahkoe Negrikoe, Jang Koetjinta
Indonesia Raja, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja
113
Lampiran 5c
Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
versi Resmi (dengan Ejaan Yang Disempurnakan)
I
Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain :
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya!
II
Indonesia, tanah yang mulia, Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri, Untuk selama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka, Pusaka kita semuanya,
Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.
114
lampiran-lampiran
Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain :
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya!
III
Indonesia, tanah yang suci, Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri, N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.
Selamatlah rakyatnya, Selamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya.
Majulah Negerinya, Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain(2x)
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya, Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya!
115
panggilan tanah air
Catatan Akhir
1
Lihat Panitia Penyusun Naskah Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya (1972), Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan. Versi ini menggunakan sistem ejaan
Van Ophuijsen yang secara resmi dipakai di Hindia Belanda sejak 1901
hingga 1947. Soewandi, Menteri Pendidikan Republik Indonesia,
memutuskan mengganti sistem ejaan Van Ophuijsen ini menjadi Ejaan
Republik (atau juga disebut Ejaan Soewandi) semenjak 17 Maret 1947.
Kemudian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Mansuri Saleh mengganti Ejaan Republik ini menjadi Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) pada 23 Mei 1972.
2
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, stanza
pertama dari “Indonesia Raja” ini digunakan sebagai lirik resmi lagu
kebangsaan Indonesia, yang juga dikukuhkan dengan Undang-undang
No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Di dalam Lampiran UU 24/2009 ini dimuat pula yang disebut
“Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Asli dengan T iga Stanza”.
Naskah yang dimuat disini berasal dari Lampiran UU 22/2009 ini.
116
Daftar Pustaka
Braudel, Fernand. 1979. Civilization and Capitalism 15th–18th
Century. Vol. 2. The Wheels of Commerce. New York: Harper
& Row.
Breman, Jan. 1996. Footloose Labour, Work and Life in the Informal Sector Economy of West India. Cambridge: Cambridge University Press.
Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.
De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value
Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.
ERIA. 2009. Comprehensive Asia Development Plan. ERIA: Jakarta
(ERIA.
____. 2010. “Comprehensive Asia Development Plan and Beyond-Growth Strategies to More Prosperous East Asia”.
ERIAPolicy Brief no. 2010-02, October 2010.
Fauzi, Noer, 1997, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan
Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska
Kolonial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik,
Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia
p.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.
_____. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan
Agraria bekerja sama dengan Insist Press dan Pustaka
Pelajar.
117
panggilan tanah air
_____. 2001. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Yogyakarta:
Karsa bekerja sama dengan Insist Press.
Noer Fauzi dan Boy Fidro (Eds), 1998, Pembangunan Berbuah
Sengketa, Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan
Sepanjang Orde Baru. Kisaran: Yayasan Sintesa dan
Serikat Petani Sumatera Utara.
Farid, Hilmar. 2005. “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and
Capitalist Expansion, 1965–66". Inter-Asia Cultural Studies 6(1):3-16
_____. 2014. Arus Balik Kebudayaan. Sejarah Sebagai Kritik. Pidato
Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta, 10 November 2014.
Geller, Paul K. 2010. “Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesian Development”, Rural Sociology 75(1): 28–57.
Harman, Benny K., Paskah Irianto, Noer Fauzi dan Sigit Pranawa
(Eds). 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan
Kasus Tanah. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia.
Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury
into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.
_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University
Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford
University Press.
_____. 2006. “Neo-liberalism as Creative Destruction. Geogr.
Ann., 88 B (2): 145–158
Hadiz, Vedi dan Richard Robison. 2004. Reorganizing Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets.
118
daftar pustaka
London: Routledge Curzon.
_____. 2014. “Ekonomi Politik Oligarki dan pengorganisasian
Kembali Kekuasaan di Indonesia”.Prisma 33(1): 35-56.
Hobsbawm, Eric. 1994. Age of Extremes: The Short Twentieth
Century, 1914–1991. London: Penguin.
Juliantara, Dadang. 1997. “Agraria adalah Akibat, Kapitalisme
adalah Sebab!”, Jurnal Suara Pembaruan Agraria No. 3/
1997.
Khudori. 2014. “Darurat Lahan Pertanian,” Kompas, 30 Januari
2013.
Konsorsium Pembaruan Agraria 2014. Laporan Akhir Tahun 2014
Konsorsium Pembaruan Agraria. Jakarta: Konsorsium
Pembaruan Agraria.
Kurosawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang
Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945.
Terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta: Grasindo. 1993.
Lefebvre, Henri. (1970/2003). The Urban Revolution. Foreword
by Neil Smith. Translated by Robert Bononno. University
of Minnesota Press.
_____. 1974/1992. The Production of Space. Donald NicholsonSmith (Translator). London: Wiley-Blackwell.
_____. 1976. The Survival of Capitalism: Reproduction of the
Relations of Production. New York: St Martin’s Press.
Marx, Karl. 1852/1994. The Eighteenth Brumaire of Louise
Bonaparte. Moscow: International Publisher
_____. 1976/1898. Capital, Vol. 1, trans. Ben Fowkes.
Harmondsworth, Penguin Books.
Panitia Penyusun Naskah Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya (1972), Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
119
panggilan tanah air
Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource
Control and Resistance in Java. Berkeley: University of
California Press, 1992.
Pemerintah Indonesia. 2011. Master Plan Percepatan dan
Perluasan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kantor
Kementerian Koordinator Perekonomian.
_____. 2006 Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan
Sumberdaya di Jawa. Jakarta: Konphalindo
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical
Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Polanyi, Karl. 1967 (1944).The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon
Press.
_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and
Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
Rachman, Noer Fauzi. 2013. “Mengapa Konflik-Konflik Agraria
Terus-Menerus Meletus di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s
Working Paper No. 1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http:/
/www.sajogyo-institute.or.id/article/mengapa-konflikkonflik-agraria-terus-menerus-meletus-di-sana-sini
(diunduh 29 Juni 2013).
Schumpeter, Joseph A. 1944. Capitalism, Socialism and Democracy. Allen & Unwin.
Saasen, Saskia. 2001. The Global City: New York, London Tokyo.
Updated 2 ed. Princeton: Princeton Univesity Press.
Sangkoyo, Hendro. 1998. Pembaruan Agraria dan Pemenuhan
Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah.
120
daftar pustaka
Kertas Kerja No. 9. Konsorsium Pembaruan Agraria.
Simbolon, Parakitri T. 1999. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Toer, Pramoedya Ananta. 1984. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.
Tauchid, Mochammad. 1952/3. Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Jilid 1 dan
2. Jakarta: Penerbit Tjakrawala.
_____. 1952/2009. Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia,
Yogyakarta : STPN Press, 2009
White, Ben. 2011. “Who Will Own The Countryside? Disposession,
Rural Youth and The Future of Farming”. Valedictory Address delivered on 13 October 2011 on the occasion of the
59th Dies Natalis of the International Institute of Social
Studies, the Hague.
______. 2012. “Agriculture and the Generation Problem: Rural
Youth, Employment and Farming”. IDS Bulletin 43: 9-19. 6
November 2012.
Winters, Jeffrey A. 2014. ”Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Prisma 33(1): 11-34.
Wibowo. I. dan Francis Wahono (Eds.), 2003, Neoliberalisme,
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Wiradi, Gunawan. 2004. “Lagu Kebangsaan dan Nasionalisme”.
https://sajogyoinstitute.wordpress.com/2013/09/20/lagukebangsaan-dan-nasionalisme/ (unduh pada 4 April 2015)
Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer
View. London, Verso.
_____. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of
the Market”. Monthly Review 46 (3).
121
panggilan tanah air
Zakaria, R. Yando. 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah
Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat.
_____. 2005. Merebut Negara: Beberapa Catatan Reflektif
tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan
Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Karsa.
122
Tentang Penulis
Noer Fauzi Rachman, Ph.D. adalah pelajar
politik dan perubahan agraria, gerakan sosial
pedesaan, dan pendidikan rakyat, yang telah
bekerja dalam bidang-bidang itu selama
sekitar 30 tahun. Sekarang ia bekerja sebagai
Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa
(BP2DK), peneliti utama di Sajogyo Institute
untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia, anggota Dewan
Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan pengajar mata
kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2 Sosiologi
Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Ia memperoleh gelar PhD
di University of California, Berkeley tahun 2011 dalam bidang
Environmental Science, Policy and Management (ESPM),
dengan disertasi “The Resurgence of Land Reform Policy and
Agrarian Movements in Indonesia”. Disertasi ini akan diterbitkan
menjadi buku oleh Insist Press pada tahun 2015 ini. Ia menulis
banyak buku, artikel dan panduan latihan, termasuk Petani dan
Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Insist Press dan
Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999; serta Land Reform dari
Masa Ke Masa. Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia 19452012. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2013.
.
Download