PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN N, P DAN K PADA BUDIDAYA KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) IMAS ROHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Penentuan Dosis Pemupukan N, P dan K pada Budidaya Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2013 Imas Rohmawati NRP A252080071 ABSTRACT IMAS ROHMAWATI. Determination of N, P and K Fertilizer Rates for Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Production. Under supervision of ANAS D SUSILA as chairman and EDI SANTOSA as member of the advisory committee. The objective of the research was to determine optimum rate of N, P, and K fertilizer for katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) production. Experiments were conducted at vegetables garden Darmaga Field Unit University Farm, Bogor Agricultural University from May to December 2010. Treatments were N, P and K fertilizer at rate of 0%, 50%, 100%, 150% and 200% of fertilizer recommendation (100% N = 100 kg N.ha-1, 100% P = 135 kg P2O5.ha-1, 100% K = 135 kg K2O.ha-1). One hundred percent P, 50 % N, and 50 % K were applied before planting, while 25% N and 25% K were applied at 3rd and 6th week after planting. This experiment used randomized completely block design with four replications. Plot size was 5 m x 1.5 m. Katuk cuttings were planted in double rows per plot, with plant spacing of 50 cm x 25 cm. Results showed that N application had no effect on vegetative growth but increased on yield with a linear response pattern. P fertilizer application increased on plant height but had no effect on yields. K fertilizer treatment effected on yield with quadratic respon pattern. Multi-nutrient response approach was not applicable to this experiment, but the results of K fertilization treatment could be used to determine the maximum dose of fertilizer. Based on these formulated, equation was y=-0.0012x2+0.2529x+68.059 for K2O. The optimum rate for K was 105 kg K2O.ha-1. Keywords : katuk, fertilizer, multi-nutrient response RINGKASAN IMAS ROHMAWATI. Penentuan Dosis Pupuk N, P dan K pada Budidaya Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.). Dibimbing oleh ANAS D SUSILA sebagai ketua dan EDI SANTOSA sebagai anggota komisi pembimbing. Katuk merupakan tanaman semak tahunan yang memiliki adaptasi tropika dan subtropika serta produktif sepanjang tahun. Daun katuk mengandung protein, karbohidrat, zat besi, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C. Katuk sebagai sayuran indigenous di Indonesia sebagian besar masih dibudidayakan secara tradisional dengan areal yang tidak luas, sehingga produksinya belum dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinyu. Untuk itu diperlukan teknik budidaya terutama pemupukan yang tepat baik dosis maupun jenisnya, untuk mendukung produksi sayuran berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis pupuk N, P, dan K untuk pertumbuhan dan hasil panen optimum tanaman katuk. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei – Desember 2010 di Vegetable Garden, University Farm, IPB Dramaga, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor. Percobaan terdiri atas tiga percobaan paralel untuk menentukan pemupukan N, P dan K. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok empat ulangan dengan lima dosis pemupukan (0%, 50%, 100%, 150%, dan 200%, dimana 100% N = 100 kg N.ha-1, 100% P = 135 kg P2O5.ha-1, 100% K = 135 kg K2O.ha-1 dan pupuk selain perlakuan diberikan 100% sebagai pupuk dasar). Perlakuan pupuk N diberikan tiga tahap bersamaan dengan pupuk K sebagai pupuk dasar yaitu 50% saat tanam dan 25% pada 3 dan 6 MST, sementara pupuk dasar P diberikan 100% pada saat tanam. Perlakuan pupuk P diberikan satu tahap yaitu 100% sebelum tanam bersamaan dengan pupuk dasar N dan K sebanyak 50 %, sementara sisa pupuk dasar N dan K diberikan pada 3 dan 6 MST sebanyak 25%. Perlakuan pupuk K diberikan tiga tahap bersamaan dengan pupuk N sebagai pupuk dasar yaitu 50% saat tanam dan 25% pada 3 dan 6 MST, sementara pupuk dasar P diberikan 100% pada saat tanam. Bedeng yang digunakan berukuran 5 m x 1.5 m dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm. Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyulaman, pengendalian hama dan penyiangan gulma. Panen mulai dilakukan pada 9 MST dengan cara memotong tanaman katuk dan menyisakan batang setinggi 20 cm dari tanah untuk panen kedua. Perlakuan pemupukan N tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman maupun jumlah daun. Pola respon linier ditunjukkan pada bobot hasil panen per petak dan persentase bagian yang dapat dimakan. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan ini dosis N yang digunakan masih dapat ditingkatkan lagi. Perlakuan pemupukan P berpengaruh pada tinggi tanaman pada minggu ke-4 dan ke-6. Sementara terhadap jumlah daun, perlakuan pupuk P tidak berpengaruh pada seluruh pengamatan. Demikian pula halnya dengan bobot hasil panen, perlakuan P tidak memberikan pengaruh. Hal ini diduga karena kandungan P dalam tanah tinggi. Aplikasi pupuk K berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada awal pengamatan (2 MST) dengan pola respon kuadratik namun selanjutnya tidak memberikan pengaruh hingga 8 MST. Demikian pula pada jumlah daun katuk, perlakuan pupuk K hanya berpengaruh pada 2 MST, namun selanjutnya perlakuan pupuk K tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah daun hingga 8 MST. Untuk hasil panen, perlakuan K memberikan pola respon kuadratik terhadap bobot total per petak. Lahan percobaan tergolong ke dalam Ultisol dengan kriteria unsur N rendah, P sangat tinggi dan unsur K sangat rendah berdasarkan hasil analisis. Hal ini yang diduga menyebabkan respon pemupukan N, P dan K berbeda pada hasil panen tanaman katuk. Pendekatan multi-nutrient respon tidak dapat diterapkan pada percobaan ini dan juga tidak dapat ditentukan rekomendasi pemupukan. Namun meskipun demikian, hasil percobaan perlakuan pemupukan K masih dapat digunakan untuk metode single nutrient yaitu dengan cara menentukan titik maksimum pemupukan. Berdasarkan hasil panen bobot total per petak pada perlakuan K, diperoleh persamaan kuadrat untuk K ialah y = -0.0012x2+0.2529x+68.059 dengan R2=0.1511. Berdasarkan persamaan tersebut dapat ditentukan titik maksimum pemupukan, dengan cara dicari turunan pertama persamaan sama dengan nol. Nilai pemupukan K untuk memperoleh hasil maksimum sebesar 105 kg K2O.ha-1. ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN N, P DAN K PADA BUDIDAYA KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) IMAS ROHMAWATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ani Kurniawati, S.P., M.Si Judul Tesis : Nama NRP : : Penentuan Dosis Pemupukan N, P dan K pada Budidaya Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Imas Rohmawati A252080071 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Si. Ketua Dr. Edi Santosa, S.P, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal ujian : 21 Januari 2013 Tanggal lulus : 8 Februari 2013 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Penentuan Dosis Pemupukan N, P dan K pada Budidaya Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Si dan Dr. Edi Santosa, S.P, M.Si sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan saran sejak dimulainya penelitian hingga selesainya penulisan laporan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ani Kurniawati, S.P., M.Si sebagai penguji dan Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc yang telah memberikan masukan pada saat ujian tesis serta kepada Prof. Dr. Munif Ghulamahdi, M.S. sebagai ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor, Dekan serta rekan-rekan staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga dan rasa hormat yang mendalam kepada kedua orang tua [Bapak (alm) dan Mamah (almh)], mertua (Bapak dan Mamah), suamiku Agusalam Budiarso dan anakku Malik Adli Al-Abqary, serta seluruh keluarga yang selalu setia memberikan dukungan dan do’a untuk penulis agar dapat menyelesaikan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Bogor, Februari 2013 Imas Rohmawati RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 12 Mei 1981 dari pasangan Bapak Engkos (almarhum) dan Ibu Halimah (almarhumah). Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan SMU di SMU Negeri 1 Serang, lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Agronomi Universitas Padjadjaran melalui jalur UMPTN dan lulus pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana diperoleh tahun 2008 pada Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS (2008-2010). Sejak tahun 2006 hingga saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Banten. x i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan ................................................................................................... Hipotesis ............................................................................................... 1 3 3 TINJAUAN PUSTAKA Sayuran Indigenous ................................................................................ 4 Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) ............................................... 4 Pemupukan N, P dan K. ......................................................................... 5 Nitrogen ................................................................................................ 6 Fosfor ................................................................................................... 7 Kalium .................................................................................................. 9 Pemupukan dan Rekomendasi Pemupukan. ............................................ 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ................................................................................ Bahan dan Alat ...................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................. Pelaksanaan penelitian .......................................................................... Persiapan tanah dan pengambilan contoh tanah .............................. Penyemaian .................................................................................... Penanaman ..................................................................................... Panen ............................................................................................. Pengamatan dan Pengolahan Data .................................................. 14 14 14 15 15 16 16 16 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah ...................................................................................... Kondisi Umum ...................................................................................... Percobaan I: Pengaruh Pemupukan Nitrogen ......................................... Pengaruh Nitrogen terhadap pertumbuhan vegetatif……………….. Pengaruh Nitrogen terhadap hasil panen…………………………... Percobaan II: Pengaruh Pemupukan Fosfor ............................................ Pengaruh Fosfor terhadap pertumbuhan vegetatif ………………….. Pengaruh Fosfor terhadap hasil panen……………………………... Percobaan III: Pengaruh Pemupukan Kalium.......................................... . Pengaruh Kalium terhadap pertumbuhan vegetatif………………... . Pengaruh Kalium terhadap hasil panen……………………………. . 20 21 21 21 22 24 24 25 27 27 28 x i i Pembahasan Umum................................................................................ 29 Rekomendasi pemupukan N, P dan K pada tanaman katuk .............. 30 KESIMPULAN .............................................................................................. 33 SARAN.............................................................................................................. . 33 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 34 LAMPIRAN .................................................................................................. 40 x i i i DAFTAR TABEL Halaman 1 Percobaan paralel pemupukan N, P dan K .................................................. 14 2 Hasil analisis contoh tanah di lokasi percobaan .......................................... 20 3 Pengaruh pemberian dosis Nitrogen terhadap tinggi tanaman katuk ............ 21 4 Pengaruh pemberian dosis Nitrogen terhadap jumlah daun tanaman katuk .. 22 5 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Nitrogen berbeda ........................................................................................ 23 6 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Nitrogen berbeda.............................................................................. 23 7 Pengaruh pemberian dosis Fosfor terhadap tinggi tanaman katuk ............... 24 8 Pengaruh pemberian dosis Fosfor terhadap jumlah daun tanaman katuk ..... 24 9 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Fosfor berbeda ........................................................................................... 25 10 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Fosfor berbeda................................................................................. 25 11 Pengaruh pemberian dosis Kalium terhadap tinggi tanaman katuk .............. 27 12 Pengaruh pemberian dosis Kalium terhadap jumlah daun tanaman katuk .... 27 13 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Kalium berbeda .......................................................................................... 28 14 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Kalium berbeda ............................................................................... 28 x i v DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 Kurva pengaruh pemupukan N terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi……………. 31 Kurva pengaruh pemupukan P terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi……………. 31 Kurva pengaruh pemupukan K terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi……………. 32 x v DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ........................................................... 41 2 Tabel data iklim selama penelitian berlangsung tahun 2010 ......................... 42 3 Gambar tanaman katuk umur 13 MST pada berbagai perlakuan pupuk ........ 43 PENDAHULUAN Latar belakang Sayuran merupakan bagian dari tanaman atau seluruh tubuh tanaman yang dimakan dalam keadaan mentah atau masak, dimakan dengan menu utama namun bukan sebagai makanan pencuci mulut. Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting terutama sebagai sumber vitamin, mineral dan serat. Meskipun demikian tingkat konsumsi masyarakat akan sayuran masih rendah. Berdasarkan data dari Dirjen Hortikultura Deptan (2009), pada tahun 2007 tingkat konsumsi sayuran masyarakat Indonesia sebesar 40,90 kg/kapita/tahun. Hal tersebut masih jauh lebih rendah dari pada rekomendasi FAO/UNDP yaitu sebesar 75 kg/kapita/tahun (Food and Agriculture Organization 2009). Hal ini antara lain disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap keberagaman sayuran yang ada. Indonesia yang termasuk dalam wilayah Asia Tenggara memiliki beberapa keragaman spesies tanaman. Walaupun sekitar 100 spesies dianggap sebagai sayuran utama dan 125 spesies sebagai sayuran pendukung (Siemonsma dan Piluek 1993), hanya sekitar 50 spesies sayuran yang memiliki bentuk dan nilai komersial. Sekitar 30 spesies telah diintroduksi dari daerah temperate dan dibudidayakan di daerah dataran tinggi tropika (Engle 2002). Sayuran daun yang banyak dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat selama ini hanya sayuran yang terdapat di pasar tradisional atau supermarket seperti bayam, kangkung, daun singkong dan daun pepaya. Sebenarnya masih banyak jenis sayuran lain yang belum diketahui oleh sebagian masyarakat yang digolongkan ke dalam sayuran indigenous atau sayuran lokal. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) adalah salah satu jenis sayuran indigenous Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sayuran alternatif untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Daun katuk secara turun temurun dikenal sebagai sayuran yang dapat membantu meningkatkan produksi air susu ibu (ASI). Namun demikian, katuk masih dibudidayakan secara tradisional dengan areal yang tidak luas, sehingga produksinya belum dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinyu, padahal permintaan sayuran cukup besar. 2 Sebagai contoh permintaan sayuran indigenous di daerah Bekasi, Jawa Barat mencapai 2-4 ton/hari (Putrasamedja 2005). Untuk itu diperlukan teknik budidaya sayuran indigenous yang tepat terutama pemupukan yang tepat baik dosis maupun jenis pupuknya, untuk mendukung produksi sayuran indigenous. Pupuk merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya tanaman. Pemupukan merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kekurangan hara (tindakan penambahan hara ke dalam media tanam) Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur-unsur hara makro yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan tanaman. Secara alami, unsur-unsur hara makro tersebut terkandung di dalam tanah, namun kurang tersedia bagi tanaman sehingga ketersediaan N, P dan K adalah faktor yang paling membatasi pertumbuhan dan hasil maksimum (Tisdale, Nelson dan Beaton 1990). Teknik budidaya sayuran indigenous terutama pemupukan yang dilakukan sampai saat ini masih kurang tepat karena pupuk belum digunakan secara rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kemampuan tanah menyediakan hara. Pemupukan yang dilakukan selama ini masih menggunakan dosis anjuran secara umum sehingga pemupukan menjadi tidak efisien. Hal ini disebabkan karena belum tersedia data penelitian untuk menyusun rekomendasi pemupukan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman terhadap hara N, P dan K, padahal disisi lain kadar hara N, P, dan K tanah sangat bervariasi antara satu jenis tanah dengan jenis tanah lainnya, bahkan pada jenis tanah yang sama juga mempunyai tingkat ketersediaan hara N, P dan K yang berbeda. Pemberian pupuk yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan hara dalam tanah, menurunkan efisiensi pemupukan dan menimbulkan polusi yang berbahaya bagi lingkungan, sedangkan pemberian pupuk terlalu sedikit tidak dapat mencapai tingkat produksi yang optimal (Soepartini et al. 1994). Untuk mengatasi hal tersebut, rekomendasi pemupukan hendaknya dilakukan berdasarkan hasil uji tanah dan analisa tanaman dengan memperhatikan status hara, kebutuhan tanaman serta keadaan lingkungan (Rochyati 1996; Sabiham 1996). Menurut Hilman et al. (2008), sampai dengan saat ini penerapan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan analisis tanah pada tanaman sayuran belum ada. 3 Proses rekomendasi pemupukan yang didasarkan pada uji tanah melalui beberapa tahap. Proses pertama ialah uji korelasi yang bertujuan untuk menghasilkan metode ekstraksi terpilih untuk suatu tanaman pada suatu tanah di lokasi yang spesifik. Metode ekstraksi terbaik yang diperoleh dari uji korelasi kemudian dikalibrasikan dengan respon tanaman di lapangan. Uji korelasi dapat dilakukan pada satu lokasi atau multi lokasi. Uji kalibrasi dimaksudkan untuk mendapatkan hubungan antara selang kadar suatu unsur hara atau nilai kritisnya dengan respon tanaman di lapangan terhadap unsur hara tersebut (Setyorini et al. 2003). Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan metode tersebut antara lain Sugiartini et al. (2007) pada timun di lahan kering, Kartika dan Susila (2008) pada beberapa sayuran di Nanggung, Bogor; Susila et al. (2009a) pada kacang panjang, dan Izhar (2012) pada tanaman tomat. Keseluruhan proses rekomendasi yang telah dijabarkan di atas memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan data awal rekomendasi pemupukan dapat dilakukan shortcut (jalan cepat) melalui pendekatan multinutrient respons. Percobaan dilakukan dengan cara menanam pada tiga percobaan paralel perlakuan pemupukan N, P dan K. Masing-masing pupuk menggunakan dosis bertingkat, sehingga didapatkan kebutuhan masingmasing hara pada kondisi threshold yield (ambang batas) dan juga kondisi maksimum. Threshold yield mengacu pada titik awal respon hasil akibat tanpa pemberian hara. Pendekatan multi nutrient response akan menghasilkan beberapa pilihan rekomendasi pemupukan. Pilihan rekomendasi tersebut akan dievaluasi secara ekonomi, yaitu dibandingkan dengan harga pupuk yang berlaku sehingga didapatkan rekomendasi yang paling ekonomis (Waugh et al. 1973). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis pemupukan N, P, dan K untuk pertumbuhan dan produktivitas optimum tanaman katuk. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah peningkatan dosis pupuk akan meningkatkan hasil tanaman katuk. TINJAUAN PUSTAKA Sayuran Indigenous Sayuran indigenous adalah sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah atau ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (BALITSA 2007). Definisi sayuran indigenous menurut AVRDC (2006) adalah sayuran lokal (sayuran yang berasal dari tanaman asli daerah) atau sayuran yang telah beradaptasi di suatu daerah dan dapat tumbuh dengan baik dalam arti potensi dari tanaman tersebut dapat terekspresi secara penuh. Sayuran indigenous biasanya tumbuh di pekarangan rumah maupun kebun secara alami dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, baik sebagai sayuran yang dimasak maupun lalapan. Di Jawa Barat, yang dimaksud dengan sayuran indigenous adalah katuk, kemangi, poh-pohan, paria, kecipir/jaat, oyong, labu, koro/roay dan sebagainya (Rachman et al. 2002). Keunggulan sayuran indigenous antara lain lebih mudah dibudidayakan karena memiliki syarat tumbuh yang mudah, lebih resisten terhadap hama penyakit dan memiliki keaslian rasa. Sayuran indigenous seringkali digunakan sebagai obat-obatan maupun jamu-jamuan karena mengandung senyawa fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan yang sangat menguntungkan bagi kesehatan. Katuk merupakan salah satu sayuran yang diketahui mengandung senyawa fenol yang berupa golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan (Batari 2007). Flavonoid merupakan salah satu antioksidan yang dapat mengurangi akumulasi produk radikal bebas, menetralisir racun mencegah inflamasi serta melindungi penyakit genetik. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Katuk merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae. Diperkirakan katuk berasal dari India kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Indonesia. Biasanya katuk ditanam sebagai tanaman selingan dan ditanam sebagai pagar hidup di pekarangan rumah. Katuk merupakan tanaman semak tahunan yang memiliki adaptasi tropika dan subtropika serta produktif sepanjang tahun, namun pada saat cuaca dingin, katuk cenderung agak dorman (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Katuk dapat 5 tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 0 - 1500 m dpl. Bentuk tanaman seperti semak kecil dan dapat mencapai ketinggian 3 meter. Batang tanaman katuk umumnya panjang dan cabangnya lemah sehingga sering melengkung. Batang muda berwarna hijau dan yang tua berwarna coklat, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai seolah-olah terdiri dari daun majemuk, bentuk helaian daun lonjong sampai bulat, permukaan atas daun berwarna hijau gelap. Bunga katuk kecil-kecil, berwarna merah gelap sampai kekuning-kuningan dengan bintikbintik merah (Siemonsma dan Piluek 1993). Perbanyakan tanaman katuk umumnya dengan stek batang. Batang tanaman yang berkayu dipotong dengan panjang 15 - 20 cm. Untuk menanam katuk dengan stek digunakan jarak tanam 50x30 cm. Tanaman katuk dapat dipanen setelah berumur 2 – 2.5 bulan. Panen berikutnya dapat dilakukan setiap 4 minggu sekali (Susila 2008). Tanaman katuk biasanya dimanfaatkan daunnya sebagai lalapan atau dibuat sayur bening. Selain itu, manfaat lain dari tanaman katuk ini yaitu dapat melancarkan ASI serta obat beberapa penyakit seperti frambusia, sembelit dan borok (Astuti et al. 1997). Kandungan gizi tanaman katuk meliputi protein, karbohidrat, zat besi, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C. Katuk juga merupakan salah satu sayuran indigenous yang mempunyai kadar flavonoid tertinggi yaitu 831.70 mg per 100 g (Batari 2007). Pemupukan N, P dan K Tanah yang baik adalah tanah yang mampu menyediakan unsur hara secara lengkap. Jika kekurangan unsur hara, tanah dikatakan sebagai tanah yang tidak subur, yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Pengembalian unsur hara antara lain dapat dilakukan dengan pemupukan (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Pemberian pupuk dapat meningkatkan kandungan N, P dan K dalam tanah sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian pemupukan pada katuk masih terbatas. Sudiarto et al. (2002) menggunakan pupuk organik untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi katuk di desa Cilendek Timur. Dosis yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 6 dan 40 ton/ha. Penelitian Lestari (2008) menggunakan pupuk N, P dan K dengan dosis 100 kg/ha N, 135 kg/ha P2O5, 135 kg/ha K2O di desa Hambaro, Nanggung Kabupaten Bogor, tidak meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan juga hasil panen katuk. Ketersediaan hara-hara tersebut dalam tanah dan fungsi N, P dan K bagi tanaman dibahas sebagai berikut : Nitrogen Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang menjadi pembatas utama produksi tanaman, karena nitrogen merupakan hara essensial yang berfungsi sebagai bahan komponen inti sel, penyusun asam-asam amino, protein, enzim dan klorofil yang penting dalam proses fotosintesis (Jones 1998). Nitrogen diperlukan bagi pertumbuhan tanaman untuk pembentukan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar. Nitrogen juga berperan dalam pembentukan dinding sel tanaman berupa kalsium pektat, selulosa dan lignin. Kekurangan N akan menghentikan proses pertumbuhan dan reproduksi, dicirikan dengan vigor tanaman menjadi kerdil. Kekurangan N akan menyebabkan daun kecil dan dinding sel tipis sehingga daun menjadi kasar dan berserat, warna daun kekuningan dan hijau kemerah-merahan (Havlin et al. 2005). Gejala yang paling mudah diamati adalah klorosis (daun yang menguning) pada daun yang lebih tua karena hidrolisis dari kloroplas. Gejala tersebut juga terjadi karena mobilitas N dari daun tua ke daun muda (Bennet 1996). Tanaman menyerap N dalam bentuk NO3- dan NH4+. Tanaman mengabsorpsi N pada waktu tanaman tumbuh aktif, tetapi tidak selalu pada tingkat kebutuhan yang sama (Havlin et al. 2005) Banyaknya N yang dapat diabsorpsi tiap hari per satuan berat tanaman adalah maksimum pada saat tanaman masih muda dan berangsur-angsur menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Nitrogen adalah penyusun utama berat kering tanaman muda dibandingkan tanaman yang lebih tua. Nitrogen harus tersedia di dalam tanaman sebelum terbentuknya sel-sel baru, karena pertumbuhan tidak dapat berlangsung tanpa N. Waktu pemberian serta penempatan pupuk yang tepat pada fase-fase pertumbuhan akan mempertinggi efisiensi penggunaan pupuk sehingga absorpsi hara oleh tanaman efektif (Hardjowigeno 2003). 7 Nitrogen dalam tanah dapat hilang melalui proses volatisasi, penguraian, hidrolisis, denitrifikasi, pencucian dan diserap oleh akar tanaman (Prasad dan Power 1997). Nitrogen yang hilang melalui proses volatisasi, merupakan transformasi NH4+ yang dirubah ke dalam bentuk NH3- menguap ke atmosfer bila tanah kering. Volatisasi dapat terjadi pada urea atau sumber amonium lainnya (Eckert 2009). Nitrogen dibedakan atas tiga macam berdasarkan bentuk nitrogen yang terdapat dalam pupuk, yaitu pupuk nitrat, pupuk amonium dan pupuk amida. Pupuk amida yang umum digunakan adalah urea dengan rumus kimia CO(NH2)2. Urea merupakan sumber nitrogen anorganik yang paling umum digunakan di aerah tropis yang berbentuk kristal berwarna putih, mengandung N sekitar 45-46%, bersifat higroskopis, dan mempunyai reaksi fisiologis masam dengan ekivalen kemasaman sebesar 80 (Hardjowigeno 2003), mempunyai berat jenis 0,67 g/cc dan titik cair 132,70C. Pupuk urea walaupun dapat langsung dimanfaatkan tanaman melalui epidermis daun, namun umumnya di dalam tanah akan diubah menjadi amonium dan nitrat melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi terlebih dahulu oleh bakteri tanah. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004), efektivitas urea dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pH tanah awal, KTK tanah, kapasitas buffer tanah, suhu tanah dan kelembaban tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa kehilangan N-NH3 dari pemberian sejumlah urea meningkat dengan meningkatnya pH tanah dan menurunnya KTK tanah, sehingga urea kurang efektif pada tanah-tanah dengan pH tinggi dan KTK tanah rendah. Fosfor Fosfor (P) merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar setelah nitrogen (Soepardi 1983). Fosfor berperan dalam proses fotosintesis, respirasi, penyimpanan energi, transfer energi, pembelahan dan perbesaran sel serta berperan dalam pertumbuhan akar dan pucuk tanaman (Rochayati et al. 1999). Fungsi utama P dalam tanaman adalah penyusun DNA dan RNA, menyimpan dan mentransfer energi dalam bentuk ADP (Adenosine Diphospate) dan ATP (Adenosine Trifosfat) (Mosalli et al. 2005). Energi 8 diperoleh dari fotosintesis dan metabolisme karbohidrat yang disimpan dalam campuran fosfat untuk digunakan dalam proses-proses pertumbuhan dan produksi (Lukman 2010). Pada proses fotosintesis, cahaya yang ditangkap oleh bagian klorofil tanaman digunakan untuk pembentukan gula dari CO2 dan air dengan memanfaatkan energi dari ATP. Gula atau fotosintat hasil fotosintesis akan digunakan oleh tanaman untuk pembentukan organ-organ tanaman (Marschner 1995). Fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar dan tanaman muda, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah (Sarief 1984). Kadar fosfor paling tinggi terdapat pada bagian reproduktif tanaman (Ismunadji et al. 1991). Kekurangan unsur P dapat menyebabkan tanaman tidak mampu menyerap unsur lainnya, dan dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan secara drastis. Tanaman yang kekurangan fosfor akan tumbuh kerdil, daun berwarna hijau gelap dan pada tanaman tertentu timbul warna ungu. Selain itu biji tumbuh tidak sempurna, panen terlambat dan hasil panen bermutu rendah. Fosfor sangat mobil, sehingga gejala pertama biasanya terlihat pada daun yang lebih tua. Fosfor mobil dari daun ke buah (Bennet 1996). Ketersediaan fosfor tanah sangat rendah dan dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kondisi tanah dan daya serap tanaman. Sifat-sifat tanah yang menentukan ketersediaan unsur P adalah pH, kadar P, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, tipe liat dan kegiatan mikroba tanah (Buckman and Brady 1982). Sangat sedikit P tanah yang hilang akibat tercuci dan terbawa aliran air, sehingga pemupukan P terus menerus mengakibatkan akumulasi unsur tersebut di dalam tanah. Pergerakan unsur hara P tergantung kandungan bahan organik dan mineral di dalam tanah (Cassagne et al. 2000). Pergerakan P ini secara umum melalui sistem difusi dan tergantung oleh jerapan tanah, kelembaban tanah dan kapasitas serap P (Du et al. 2006). Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion organik cepat berubah menjadi senyawa fosfor organik setelah diserap dalam bentuk H2PO4-, umumnya cepat diesterifikasi melalui gugusan hidroksil berantai C menjadi fosfat berenergi tinggi (misalnya ATP) (Widjaya-Adhi 1993; Syers et al. 2008). 9 Kalium Kalium (K) merupakan salah satu unsur hara makro penting bagi tanaman karena terlibat langsung dalam beberapa proses fisiologis. Kalium memegang peranan penting dalam berbagai metabolisme tanaman, yaitu pengatur tekanan osmotik, pH sel, aktivitas enzim, keseimbangan kation anion sel, pengatur transpirasi dan transport asimilat (Marschner 1995). K terlibat dalam mempertahankan tekanan turgor sel dan mengontrol pembukaan dan penutupan stomata. Pembukaan dan penutupan stomata mengontrol ketersediaan CO2 dan juga fotosintesis (Masdar 2003). Kalium berperan memperkuat dinding sel dan terlibat dalam proses lignifikasi jaringan sklerenkim. Kalium juga berperan dalam sistem enzimatis, ketahanan tanaman, sintesa protein dan pengaturan pH (Amrutha et al. 2007). Gejala kekurangan K adalah pertumbuhan lambat terjadi sebelum muncul gejala (biasa disebut hidden hunger atau kelaparan tersembunyi). Karena K mobil, gejala pertama terjadi pada daun yang lebih tua. Klorosis terjadi di sekitar tepi dan ujung daun yang lebih tua dan menjadi hangus. Kalium diserap sebagai ion K+ dan paling banyak diserap tanaman dibanding kation-kation lain, terdapat di dalam cairan sel-sel hidup di bagian sitoplasma, vakuola dan inti sel. Serapan K oleh tanaman tidak hanya tergantung pada konsentrasi K dalam tanah tetapi juga pada komposisi kation. Keberadaan NH4+, Ca2+ atau Mg2+ yang berlebihan dalam tanah akan mengganggu serapan K (Laegreid et al. 1999). Serapan K oleh akar tanaman memegang peranan penting dalam mengontrol keseimbangan pertukaran dan ketersediaan K, karena deplesi K pada rizosfir akan memicu pelepasan K dari permukaan pertukaran. Grimme (1985) menyatakan bahwa suplai K untuk tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi, kandungan air tanah, akar tanaman dan serapan K. Beberapa hasil penelitian menunjukkan peran kalium pada tanaman. Pemberian kalium 160 kg K2O/ha pada kacang hijau dapat menaikkan tekanan osmotik dan potensial air dalam sel sehingga meningkatkan daya tahan terhadap kekurangan air (Arifin 1999). Kalium 300 kg KCl/ha meningkatkan kandungan karbohidrat dan gula dalam biji jagung manis (Suminarti 1999). Sementara kalium 370 kg K2SO4/ha dapat meningkatkan hasil dan kandungan zat terlarut serta memperbaiki warna buah tomat (Hartz et al. 1999). 1 0 Secara garis besar, keterlibatan kalium dikelompokkan dalam dua aspek yaitu: (1) aspek biofisik, dimana kalium berperan dalam pengendalian tekanan osmotik dan turgor sel serta stabilitas pH, (2) aspek biokimia, dimana kalium berperan dalam aktivitas enzim pada sintesis karbohidrat dan protein, serta meningkatkan translokasi fotosintat dari daun (Marschner 1995). Kadar kalium dalam tanah dibedakan menjadi tersedia dan tidak tersedia. Jumlah K tersedia sekitar 1- 2% dari total K di dalam tanah, sementara jumlah K tidak tersedia sekitar 90-98% dari total K di tanah (Hardjowigeno 2003). Unsur kalium dalam tanah mudah tercuci sehingga di daerah yang curah hujannya tinggi akan meningkatkan kehilangan hara tersebut. Untuk pengelolaan kalium yang baik, perlu diketahui status hara K tanah serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Marschner (1995) menyatakan bahwa ketersediaan atau status hara K untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis tanah, kadar liat, jenis mineral, kadar bahan organik dan kondisi iklim. Tanaman memerlukan kalium dalam jumlah tinggi berkisar 50-300 kg/ha/musim tanam (Laegreid et al. 1999). Jumlah ini hampir sama dengan serapan N, tapi distribusinya dalam tanaman lebih banyak pada serasah dibandingkan biji. Kekurangan unsur K menyebabkan pertumbuhan dan jumlah akar tanaman berkurang, sehingga pengambilan unsur hara dan air menjadi terbatas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan unsur K menjadi pembatas pada pertumbuhan tanaman tomat (Amisnaipa et al. 2009; Sugiartini 2007), kacang tanah (Silahooy 2008) dan kolesom (Mualim 2009). Pemupukan dan Rekomendasi Pemupukan Pupuk adalah suatu bahan organik atau anorganik, alami maupun buatan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah (Hardjowigeno 2003). Pemupukan merupakan penambahan unsur hara dengan input eksternal yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan hara sesuai kebutuhan tanaman yang tidak dapat dipasok oleh tanah (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Tidak semua hara dapat tersedia bagi tanaman, sebagian besar hara terikat pada proses-proses kimia di dalam tanah selain itu ketersediaan unsur hara tertentu yang berlebihan akan mempengaruhi hara lainnya. Pola tanam yang intensif akan mengakibatkan 1 1 defisiensi unsur hara apabila tidak dilakukan penambahan pupuk yang cukup (Masto et al. 2007). Diperlukan upaya penambahan pupuk atau perlakuan lainnya untuk membuat unsur hara utama dapat digunakan dan tersedia dalam jumlah optimum bagi tanaman (Juang et al. 2002). Pemupukan yang tepat dari suatu tanaman adalah mengetahui kebutuhan nutrisi tanaman untuk hasil produksi maksimum dan tingkat ketersediaan hara dari tanah (Susila, Prasetyo dan Palada 2009). Terdapat tiga filosofi rekomendasi pemupukan yaitu, cation saturation ratio, nutrient maintenance, dan sufficiency level (Olson et al. 1982). Cation saturation ratio adalah rekomendasi pemupukan berdasarkan jumlah kation ideal dalam tanah mengikuti pedoman 65% Ca, 10% Mg dan 5% K. Nutrient maintenance adalah rekomendasi pemupukan berdasarkan konsep jumlah hara yang harus ditambahkan sesuai dengan jumlah yang diambil oleh tanaman. Sufficiency level adalah rekomendasi pemupukan berdasarkan keperluan tanaman di luar kemampuan tanah untuk mendukung ketersediaan hara tersebut. Filosofi Sufficiency level dianggap paling berhasil memprediksi rekomendasi pupuk. Usaha pemupukan yang dilakukan sampai saat ini masih kurang tepat, karena pupuk belum digunakan secara rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kemampuan tanah menyediakan unsur hara. Pemupukan belum didasarkan atas hasil uji tanah, sehingga di beberapa tempat pemupukan dapat menaikkan hasil tanaman, tetapi di tempat lain tidak berpengaruh. Keadaan ini akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap sifat tanah dan lingkungan secara keseluruhan (Sabiham 1996). Efisiensi penggunaan pupuk dapat ditingkatkan dengan menyusun rekomendasi spesifik lokasi yang didasarkan pada rangkaian uji tanah untuk suatu sistem hara-tanah-tanaman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebaiknya pemupukan harus didasarkan atas hasil uji tanah dan analisis tanaman. Menurut Sabiham (1996), uji tanah telah berhasil dengan baik dalam membina status ketersediaan hara dalam tanah, interpretasi dan evaluasi hasil analisis serta penyusunan rekomendasi pemupukan, sedangkan analisis tanaman dapat melengkapi uji tanah sebagai salah satu bahan pertimbangan lainnya. 1 2 Tahapan kegiatan uji tanah meliputi: tahap ke-1 pengambilan contoh tanah yang benar dan dapat mewakili lokasi yang diminta rekomendasinya, tahap ke-2 analisis kimia di laboratorium dengan mengunakan metode yang tepat dan teruji, tahap ke-3 interpretasi hasil analisis dan tahap ke-4 rekomendasi pemupukan (Widjaya-Adhi 1995; Sabiham 1995). Tahap ke-2 biasanya dilakukan berdasarkan uji korelasi, sedangkan tahapan ke-3 dan ke-4 berdasarkan hasil penelitian uji kalibrasi di lapangan. Uji korelasi adalah suatu proses untuk menilai keeratan hubungan antara kadar unsur hara dalam tanah yang terekstrak oleh suatu metode ekstraksi dengan jumlah hara yang diserap oleh tanaman. Prinsip uji korelasi tanah adalah penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi rendah yang dapat mengekstrak unsur hara tertentu yang dikehendaki dan dibutuhkan tanaman (Johnson et al. 1984). Korelasi bertujuan untuk menghasilkan metode ekstraksi terpilih untuk suatu tanaman pada suatu tanah di lokasi yang spesifik. Metode ekstraksi spesifik terhadap satu tanaman dan tanah tertentu karena setiap tanaman memiliki perbedaan faktor genetik yang menentukan potensi fisiologis dan metabolis, sedangkan tanah memiliki sifat yang berbeda-beda. Metode ekstraksi yang terpilih memiliki nilai koefisien korelasi yang paling tinggi, serta merupakan cara yang paling sederhana, cepat, mudah, tepat dan teliti. Uji kalibrasi bertujuan untuk mendapatkan hubungan antara selang kadar suatu unsur hara atau nilai kritisnya dengan respon tanaman di lapangan terhadap unsur hara tersebut. Menurut Evans (1987) uji kalibrasi tanah adalah proses mengidentifikasi tingkat kekurangan atau kecukupan hara dan jumlah hara yang akan ditambahkan jika kekurangan . Penelitian uji kalibrasi dapat dilakukan pada satu lokasi atau multi lokasi (Widjaja-adhi 1995; Al Jabri 2007). Penelitian menggunakan satu lokasi dilakukan dengan cara tanah dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki selang ketersediaan hara mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Pilihan kedua yaitu multi lokasi, yaitu percobaan dilakukan pada lokasi yang secara alami memiliki selang ketersediaan hara yang beragam, namun masih dalam satu ordo tanah. Adapun tahapan utama melakukan proses pengujian kalibrasi tanah antara lain: analisis tanah, menumbuhkan tanaman di lapangan, mendapatkan data hasil yang dapat dipasarkan (marketable 1 3 yield), menghubungkan proses pengujian relatif uji tanah terhadap hasil dan mengulanginya pada beberapa jenis tanah, tanaman dan selama beberapa tahun (Rochayati et al. 1999). Setelah dilakukan uji kalibrasi, maka dilakukan proses optimasi pemupukan yang nantinya akan menghasikan rekomendasi pemupukan pada tiap kondisi tanah yang berbeda. Keseluruhan proses rekomendasi pemupukan tersebut memerlukan waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan data awal serta membangun rekomendasi pemupukan secara cepat dapat dilakukan shortcut (jalan cepat) melalui pendekatan multi nutrient respons. Percobaan multi nutrient response dilakukan dengan cara menanam pada tiga percobaan paralel perlakuan pemupukan N, P dan K. Masing-masing pupuk menggunakan dosis bertingkat 0%, 50%, 100%, 150% dan 200%. Hasil panen dikonversi menjadi hasil relatif, yaitu hasil pada perlakuan tersebut dibagi hasil tertinggi yang diperoleh pada perlakuan tersebut. Hal ini dilakukan agar ketiga percobaan dapat dibandingkan walaupun hasil panen tidak sama besar. Terdapat empat pilihan rekomendasi pemupukan, yaitu pada kondisi threshold yield (ambang batas) hara N, P dan K dan pada kondisi hasil maksimum. Threshold yield mengacu pada titik awal respon hasil akibat tanpa pemberian hara. Pendekatan multi nutrient response akan menghasilkan beberapa pilihan rekomendasi pemupukan, yang akan dievaluasi secara ekonomi, yaitu dibandingkan dengan harga pupuk yang berlaku sehingga didapatkan rekomendasi yang paling ekonomis (Waugh et al. 1973). Rekomendasi yang paling ekonomis diharapkan dapat diterapkan kepada petani. Meskipun demikian, pendekatan multi nutrient respons dan rekomendasi yang didapatkan hanya dapat diterapkan pada lokasi tertentu (spesifik lokasi), sehingga idealnya penentuan rekomendasi pemupukan melalui metode uji tanah. Melalui tahapan uji tersebut akan didapatkan uraian informasi akan kebutuhan unsur hara tanaman khususnya sayuran pada waktu dan tempat tertentu (Haden et al. 2007). BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 sampai Desember 2010, di Vegetable Garden, University Farm, IPB Dramaga, Bogor. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut (dpl). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah stek batang tanaman katuk, pupuk Urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, pupuk kandang, arang sekam, hormon tumbuh akar, fungisida, insektisida. Peralatan yang digunakan adalah polibag, peralatan tanam dan peralatan untuk pengamatan seperti penggaris (meteran), alat tulis, timbangan, dan kamera. Metode Penelitian Penelitian terdiri atas tiga percobaan paralel, yaitu percobaan pemupukan N, P dan K (Tabel 1). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok empat ulangan dengan lima dosis pemupukan (0%, 50%, 100%, 150%, dan 200%, dimana 100% N = 100 kg/ha N, 100% P = 135 kg/ha P2O5, 100% K = 135 kg/ha K2O dan pupuk selain perlakuan diberikan 100%). Tabel 1 Percobaan paralel pemupukan N, P dan K Hara Percobaan N N 0% 50 % 100 % 150 % 200 % P DA DA DA DA DA K DA DA DA DA DA Percobaan P N DA DA DA DA DA P 0% 50 % 100 % 150 % 200 % K DA DA DA DA DA Percobaan K N DA DA DA DA DA P DA DA DA DA DA K 0% 50 % 100 % 150 % 200 % Keterangan : DA : Dosis acuan 100% N = 100 kg N/ha, 100% P = 135 kg P2O5/ha , 100% K = 135 kg K2O/ha 1 5 Aplikasi pemupukan terdiri dari: 1. Perlakuan pupuk N : Pemupukan N diberikan tiga tahap yaitu 50% saat tanam, 25% pada 3 dan 6 MST. Hal ini dikarenakan pupuk N bekerja cepat dan mudah hilang, sehingga tidak diberikan sekaligus. Pada setiap perlakuan diberikan pupuk dasar berupa 135 kg/ha P2O5 dan 135 kg/ha K2O. Pupuk dasar diberikan bersamaan dengan pupuk perlakuan pada saat sebelum tanam yaitu sebanyak 100% P2O5 dan 50% K2O. Setelah tanam, pupuk K diberikan dua kali yaitu pada 3 dan 6 MST masing-masing 25%. 2. Perlakuan pupuk P : Pemupukan P diberikan satu tahap yaitu 100% sebelum tanam. Pada setiap perlakuan diberikan pupuk dasar berupa 100 kg/ha N dan 135 kg/ha K2O. Pupuk dasar diberikan bersamaan dengan pupuk perlakuan pada saat tanam yaitu sebanyak 50% pupuk N dan 50% pupuk K. Setelah tanam, pupuk N dan K2O diberikan dua kali yaitu pada 3 dan 6 MST masing-masing 25%. 3. Perlakuan pupuk K Pemupukan K2O diberikan tiga tahap yaitu 50% saat tanam, 25% pada 3 MST dan 6 MST. Pada setiap perlakuan diberikan pupuk dasar berupa 100 kg/ha N dan 135 kg/ha P2O5.. Pupuk dasar N diberikan pada saat tanam yaitu sebanyak 50% N dan pupuk dasar P debirikan sebelum tanam sebanyak 100% P2O5. Setelah tanam, pupuk N diberikan dua kali yaitu pada 3 dan 6 MST masing-masing 25%. Pelaksanaan Penelitian Persiapan tanah dan pengambilan contoh tanah Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah, kemudian dibuat bedeng dengan panjang 500 cm dan lebar 150 cm. Pengambilan contoh tanah dilakukan setelah tanah diolah. Contoh tanah yang diambil berasal dari tanah dengan kedalaman 20 cm, diambil secara komposit dengan alur berbentuk huruf W. Contoh tanah yang sudah diambil kemudian dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan batu-batuan atau kotoran-kotoran lain. 1 6 Setelah bersih dan teraduk rata diambil contoh seberat ±1 kg untuk dianalisis. Setelah contoh tanah diambil, kapur tanah ditebar di atas bedeng kemudian diaduk dengan tanah. Kapur tanah digunakan untuk menaikkan pH tanah, agar hara tersedia bagi tanaman. Dosis yang digunakan berjumlah 1.5 ton/ha dengan masa inkubasi dua minggu. Penyemaian Sebelum penanaman di lapangan, dilakukan perbanyakan tanaman katuk. Katuk diperbanyak menggunakan stek batang dengan panjang stek sekitar 20 cm. Bahan stek batang kemudian direndam dalam larutan fungisida dengan konsentrasi 1 g/L selama 10 menit. Setelah direndam dalam larutan fungisida, bahan stek dapat direndam dalam larutan hormon penginduksi akar dengan konsentrasi 200 mg/L setinggi 2 cm dari pangkal batang selama 2 jam. Kemudian bahan stek katuk ditanam secara vertikal dalam polibag berukuran 15 cm x 15 cm dengan menggunakan media tanam berupa campuran tanah, pupuk kandang ayam dan sekam dengan perbandingan 1:1:1. Media semai dijaga agar selalu lembab. Setelah 4 minggu setelah semai bibit tanaman katuk siap dipindah ke lapangan. Penanaman Bedeng yang telah siap ditanami dibuat lubang dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm. Setiap lubang tanam diisi satu bibit, sehingga setiap bedeng tanaman katuk terdapat 40 tanaman. Aplikasi pemupukan dilakukan dengan cara dibuat alur melingkari tanaman. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman pada bibit yang pertumbuhannya tidak baik atau mati, penyiangan gulma serta pengendalian hama dan penyakit yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Panen Tanaman katuk dikonsumsi bagian pucuk tanaman atau daun tanaman yang masih muda dan segar.Tanaman katuk termasuk tanaman tahunan, sehingga 1 7 panen katuk bisa dilakukan berkali-kali. Pada percobaan ini panen katuk dilakukan dua kali, yaitu pada 9 MST dan 13 MST. Panen katuk dimulai pada 9 MST, dengan cara memotong tanaman katuk dan menyisakan batang setinggi 20 cm dari tanah untuk panen kedua. Hasil panen dikumpulkan di tempat yang teduh. Pengamatan dan Pengolahan Data Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pengolahan data menggunakan analisis ragam (uji F) dan uji Polynomial Orthogonal dengan taraf 5%. Pengamatan pertumbuhan yaitu : 1. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang yang berada di permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh. Pengukuran dilakukan seminggu sekali. 2. Jumlah daun Penghitungan jumlah daun dilakukan berdasarkan jumlah daun yang telah membuka sempurna. Pengamatan produktivitas tanaman terdiri dari : 1. Bobot panen per tanaman Menimbang bobot basah tanaman sesaat setelah panen pada masing-masing tanaman contoh dengan menggunakan timbangan digital. 2. Bobot panen per petak Menimbang bobot basah tanaman sesaat setelah panen pada masing-masing petak dengan menggunakan timbangan digital. 3. Persentase bagian yang dapat dikonsumsi (edible part) Bagian yang dikonsumsi dari sayuran indigenous sebagian besar adalah daun muda. Dihitung menggunakan rumus: Persentase edible part : Bobot bagian yang bisa dikonsumsi (g) x 100% Brangkasan (g) 1 8 4. Hasil Relatif Merupakan hasil yang diperoleh dibagi hasil tertinggi pada masing-masing variabel. Hasil relatif = Yi x 100% Ymaks Keterangan : Yi = hasil pada perlakuan N, P, K ke-i Ymaks = hasil maksimum pada status hara N, P, K 5. Penentuan pilihan rekomendasi Data hasil relatif yang diperoleh dibuat persamaan kuadrat, kemudian dibaca secara bersama-sama untuk menentukan pilihan rekomendasi. Terdapat empat pilihan rekomendasi, yaitu berdasarkan pemupukan maksimum, sedangkan tiga yang lain berdasarkan ambang batas pemakaian pupuk N, P dan K . Pemupukan maksimum diperoleh dari turunan pertama persamaan kuadrat sama dengan nol. Kebutuhan pupuk P dan K pada ambang batas pupuk N dicari dengan cara menarik garis lurus secara horisontal sampai bertemu kurva persamaan P, kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk P pada kondisi ambang batas pupuk N. Demikian pula untuk pupuk K yang dibutuhkan dapat dicari dengan cara menarik garis lurus secara horisontal dari titik ambang batas pupuk N sampai bertemu dengan kurva persamaan K, kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk K pada kondisi ambang batas pupuk N. Kebutuhan pupuk N dan K pada ambang batas pupuk P dapat dicari dengan cara menarik garis lurus secara horisontal menuju kurva persamaan N dari titik ambang batas persamaan P, kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk N pada kondisi ambang batas pupuk P. Kebutuhan pupuk K dicari dengan menarik garis lurus secara horisontal dari titik ambang batas pupuk P sampai bertemu dengan kurva persamaan K, kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk K pada kondisi ambang batas pupuk P. Kebutuhan pupuk N dan P pada ambang batas pupuk K dicari dengan cara menarik garis lurus secara horisontal sampai bertemu kurva persamaan P, 1 9 kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk P pada kondisi ambang batas pupuk K. Demikian pula untuk pupuk N yang dibutuhkan dapat dicari dengan cara menarik garis lurus secara horisontal dari titik ambang batas pupuk K sampai bertemu dengan kurva persamaan N, kemudian ditarik garis ke bawah menuju sumbu X, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pupuk N pada kondisi ambang batas pupuk K. Terdapat pilihan rekomendasi dimana tidak diperlukan pemupukan sama sekali, yaitu pada pilihan yang menghasilkan hasil relatif paling kecil. Hal ini disebabkan letak ambang batas persamaan kuadrat pada perlakuan lain lebih tinggi. Evaluasi ekonomi dilakukan untuk menentukan pilihan rekomendasi yang paling optimal. Sensitivitas hasil relatif dan harga pupuk dievaluasi untuk melihat peubah mana yang lebih mudah berubah. Pilihan rekomendasi yang paling optimal adalah pilihan yang memiliki biaya relatif per satuan hasil relatif terkecil. 6. Data lain yang diambil sebagai data pendukung adalah data curah hujan, suhu, kelembaban udara dan jumlah hari hujan selama penelitian berlangsung. . HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis contoh tanah pada lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis tanah pada lokasi percobaan, tingkat kemasaman tanah termasuk dalam kriteria sangat masam dengan nilai pH 4.30. Tabel 2 Hasil analisis contoh tanah di lokasi percobaan Parameter pH H2 O KCl Bahan Organik C (%) N (%) C/N P2O5 (mg/100g) K2O (mg/100g) Nilai Tukar Kation Nilai Ca (cmol(+)/kg) Mg (cmol(+)/kg) K (cmol(+)/kg) Na (cmol(+)/kg) KTK Kejenuhan Basa (%) 4.02 0.46 0.14 0.08 12.20 39 Kriteria 4.3 3.8 Sangat Masam Sangat Masam 1.19 0.11 11 54 7 Rendah Rendah Sedang Sangat Tinggi Sangat Rendah Metode ekstraksi Walkey and Black Kjeldahl HCl 25% HCl 25% NH4-Acetat pH7 1N. Rendah Rendah Rendah Sangat Rendah Rendah Rendah Sumber : Laboratorium Tanah BBSDLP Balai Penelitian Tanah Bogor (2010) Kriteria menurut Balai Penelitian Tanah (2005) Kandungan N 0.11% tergolong rendah, K potensial 7 mg K2O/100 g tergolong sangat rendah dan Kdd 0.14 cmol(+)/kg tergolong rendah. P potensial 54 mg K2O/100 g tergolong sangat tinggi. Kapasitas tukar kation 12.20 tergolong rendah, kejenuhan basa 39% tergolong rendah. Kriteria kandungan hara tanah berdasarkan Balai Penelitian Tanah dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis tanah tersebut, secara umum tingkat kesuburan tanah pada lahan percobaan tergolong rendah. Penambahan pupuk diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi katuk. 2 1 Kondisi Umum Selama penelitian berlangsung kondisi curah hujan per bulan cukup tinggi yaitu berkisar antara 177.3 – 601.0 mm/bulan dengan jumlah hari hujan berkisar antara 18-29 hari. Kondisi suhu berkisar antara 25 – 27.10C dan kelembaban berkisar antara 77-86%. Data curah hujan, jumlah hari hujan, suhu dan kelembaban pada saat penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Selama percobaan dijumpai hama yang menyerang tanaman katuk. Hama yang menyerang tanaman katuk adalah ulat pemakan tangkai daun katuk. Pengendalian dilakukan secara mekanis dengan cara memotong bagian tanaman yang terserang hama. Tanaman katuk pada percobaan ini juga terserang hama rayap. Untuk mengurangi serangan rayap diaplikasikan Furadan 3G. Percobaan I : Pengaruh Pemupukan Nitrogen Pengaruh Nitrogen terhadap pertumbuhan vegetatif Hasil pengamatan tinggi tanaman (Tabel 3) pada minggu ke-2 sampai minggu ke-8 menunjukkan aplikasi pupuk N tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, dimana tinggi tanaman masih terus bertambah pada semua perlakuan. Perlakuan dosis pupuk N tidak meningkatkan tinggi tanaman secara linier maupun kuadratik dari awal pengamatan sampai akhir pengamatan. Aplikasi pemupukan N juga tidak berpengaruh terhadap jumlah daun katuk (Tabel 4). Hal ini diduga karena kandungan N dalam tanah yang rendah berdasarkan hasil analisis, sehingga range dosis N yang digunakan pada percobaan ini tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman maupun jumlah daun katuk. Tabel 3 Pengaruh pemberian dosis Nitrogen terhadap tinggi tanaman katuk Dosis Nitrogen (kg N ha-1) 0 50 100 150 200 Pola Responŧ Waktu Pengamatan 4 MST 6 MST 8 MST – – – – – – – – – cm– – – – – – – – – 26.42 37.42 51.47 75.33 25.08 35.50 47.00 63.98 24.63 35.57 48.80 68.89 25.60 35.55 49.17 70.08 25.72 33.91 47.73 67.18 tn tn tn tn 2 MST Keterangan: tn : tidak nyata; ŧ : uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk 2 2 Tabel 4 Pengaruh pemberian dosis Nitrogen terhadap jumlah daun tanaman katuk Dosis Nitrogen (kg N ha-1) 0 50 100 150 200 Pola Respon ŧ Waktu Pengamatan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST – – – – – – – – – helai– – – – – – – – – 6.43 8.88 14.72 26.50 5.56 8.18 14.28 24.38 5.87 9.00 14.97 24.25 5.85 8.63 15.25 28.28 6.00 8.94 15.10 29.44 tn tn tn tn Keterangan: tn : tidak nyata; ŧ : uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk Perlakuan N yang tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman katuk diduga disebabkan pula oleh rendahnya bahan organik di lahan percobaan tersebut yang menyebabkan penyerapan unsur hara kurang optimal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana nilai C organik termasuk kriteria rendah. Menurut USDA (1996), bahan organik adalah komponen esensial bagi tanah karena dapat menyediakan sumber energi dan karbon untuk mikroba tanah, membantu pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki kemampuan tanah untuk menyimpan dan mengalirkan udara dan air, menyimpan dan mensuplai unsur hara seperti nitrogen, fosfor dan sulfur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan organisme tanah, menahan unsur hara dengan menyediakan kapasitas tukar kation dan anion, dan menjaga tanah dalam kondisi gembur dengan bulk density yang lebih rendah. Pengaruh Nitrogen terhadap hasil panen Perlakuan N tidak berpengaruh terhadap bobot per tanaman pada panen pertama, namun memberikan respon secara linier pada bobot per petak. Pada panen kedua, perlakuan N tidak berpengaruh terhadap bobot per tanaman maupun bobot per petak. Perlakuan N berpengaruh pada total bobot per petak dan memberikan respon secara linier seiring dengan semakin tingginya dosis pupuk N yang diberikan (Tabel 5). Perlakuan pupuk N juga memberikan respon linier pada persentase bagian tanaman yang dapat dimakan pada periode panen kedua (Tabel 6). Peningkatan secara linier menunjukkan penambahan pupuk dosis 0-200% masih meningkatkan hasil tanaman, belum terdapat angka maksimal yang dicapai. Artinya range dosis N yang digunakan masih bisa ditambah. Namun jika 2 3 dilihat dari aspek keseimbangan unsur hara dan juga kelestarian lingkungan, penambahan N terus menerus akan menyebabkan toksisitas tanaman, menurunkan efisiensi pemupukan, pencemaran terhadap air dan tanah melalui pencucian serta pemborosan. Tabel 5 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Nitrogen berbeda Dosis Nitrogen (kg N ha-1) 0 50 100 150 200 Uji F Pola Responŧ Panen pertama Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 40.22 1000.8 36.85 1020.5 39.20 1103.9 47.96 1265.0 46.54 1226.7 tn * tn L* Panen kedua Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 28.74 891.9 17.10 655.6 16.06 749.8 30.21 1095.7 26.85 816.9 tn tn tn tn Total Bobot per petak (g/7.5 m2) 1892.7 1676.1 1853.7 2360.7 2043.6 * L* Keterangan: tn: tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ : uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk; L : Linier. Tabel 6 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Nitrogen berbeda Nitrogen (kg N ha-1) 0 50 100 150 200 Uji F Pola respon ŧ Bagian yang dapat dimakan (%) Panen pertama Panen kedua 63.18 55.68 62.94 53.24 61.81 57.13 62.88 50.98 61.27 50.12 tn * tn L Keterangan: tn: tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ : uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk; L : Linier. Berdasarkan data pada Tabel 5 tersebut, terlihat bahwa hasil panen kedua cenderung lebih rendah dibandingkan dengan panen pertama. Demikian pula halnya dengan persentase bagian yang dapat dimakan (Tabel 6), pada periode panen kedua persentasenya lebih rendah dari panen pertama. Hal tersebut diduga ada kaitannya dengan perlakuan yang diberikan. Pada panen pertama yaitu 9 MST, efek dari perlakuan diduga masih tinggi, sedangkan pada panen kedua, 13 MST, efek perlakuan kemungkinan tidak lagi optimal. Hal ini dimungkinkan pula akibat curah hujan yang tinggi pada saat penelitian, yang dapat menyebabkan 2 4 hilangnya nitrogen. Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk ion nitrat (NO3-) atau amonium (NH4+), yang keduanya merupan ion yang larut dalam air. Ion nitrat merupakan ion yang larut dalam air. Ion nitrat diserap dengan cepat oleh akar tanaman tetapi tercuci dengan mudah dari tanah dengan adanya curah hujan yang tinggi atau irigasi berlebihan (Hardjowigeno 2003). Percobaan II : Pengaruh Pemupukan Fosfor Pengaruh Fosfor terhadap pertumbuhan vegetatif Hasil pengamatan tinggi tanaman pada perlakuan pupuk P menunjukkan bahwa aplikasi pupuk P berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada minggu ke-4 dan 6 (Tabel 7), namun selanjutnya pada minggu ke-8 tidak menunjukkan pengaruh. Perlakuan pupuk P meningkatkan tinggi tanaman secara kuadratik pada pengamatan minggu ke-4 dan ke-6. Sementara terhadap jumlah daun, perlakuan pupuk P tidak berpengaruh pada seluruh pengamatan (Tabel 8). Hal ini diduga akibat belum seragamnya pertumbuhan tanaman katuk. Tabel 7 Pengaruh pemberian dosis Fosfor terhadap tinggi tanaman katuk Dosis Fosfor (kg P2O5 ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Uji F Pola Respon ŧ 2 MST 24.21 22.05 22.55 22.34 23.48 tn tn Waktu Pengamatan 4 MST 6 MST 8 MST – – – – – – – – – cm– – – – – – – – – 36.50 50.15 67.54 31.40 42.60 58.98 32.35 44.71 63.14 32.12 47.63 70.75 34.26 47.07 66.30 * * tn Q* Q* tn Keterangan: tn: tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ: uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk; Q : kuadratik. Tabel 8 Pengaruh pemberian dosis Fosfor terhadap jumlah daun tanaman katuk Dosis Fosfor (kg P2O5 ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Pola Respon ŧ 2 MST 5.87 5.28 6.22 5.72 5.12 tn Waktu Pengamatan 4 MST 6 MST 8 MST – – – – – – – – – helai– – – – – – – – – 11.50 16.19 26.63 9.41 15.31 25.97 10.12 16.25 24.75 10.31 16.47 26.70 9.31 16.38 29.43 tn tn tn Keterangan: tn: tidak nyata; ŧ: uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk. 2 5 Pengaruh Fosfor terhadap hasil panen Perlakuan P tidak memberikan pengaruh terhadap bobot per tanaman maupun bobot per petak, baik pada panen pertama maupun panen kedua. Demikian pula halnya, perlakuan P tidak memberikan pengaruh terhadap total bobot per petak (Tabel 9). Terhadap persentase bagian yang dapat dimakan, perlakuan pupuk P juga tidak memberikan pengaruh nyata baik pada periode panen pertama, maupun pada periode panen kedua (Tabel 10). Tabel 9 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Fosfor berbeda Dosis Fosfor (kg P2O5 ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Pola Respon ŧ Panen pertama Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 54.05 1398.6 38.76 1026.5 42.19 1177.9 48.97 1448.9 53.20 1274.6 tn tn Panen kedua Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 25.80 825.2 17.63 842.5 22.50 945.1 24.51 1121.1 24.22 842.5 tn tn Total Bobot per petak (g/7.5 m2) 2223.8 1869.0 2122.9 2570.1 2117.1 tn Keterangan: tn : tidak nyata; ŧ : uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk Tabel 10 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Fosfor berbeda Fosfor (kg P2O5 ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Pola respon ŧ Bagian yang dapat dimakan (%) Panen pertama Panen kedua 68.60 55.74 67.19 55.95 64.77 53.09 64.52 52.35 66.43 55.64 tn tn Keterangan: tn: tidak nyata; ŧ : uji polynomial ortogonal terhadap dosis pupuk. Hara P merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah hara N. Unsur P diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan adenosin diphospate (ADP) dan adenosin triphospate (ATP) yang merupakan sumber energi untuk proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, kecukupan hara P sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif dan reproduktif tanaman, meningkatkan kualitas hasil dan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Havlin et al. 2005). 2 6 Penambahan hara P ke dalam tanah melalui pemupukan menyebabkan ketersediaan hara P bagi tanaman meningkat. Pada penelitian ini, penambahan pupuk P ke dalam tanah hanya memberikan pengaruh pada tinggi tanaman tetapi tidak terhadap hasil. Hal ini diduga karena unsur P yang tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman dikarenakan pH tanah pada lokasi percobaan sangat masam (4.3). pH tanah sangat terlibat dalam ketersediaan unsur hara. pH tanah sangat masam disebabkan oleh kandungan H+ yang lebih tinggi yang menyebabkan unsur P dalam keadaan tak larut. Selain itu, lahan percobaan yang digunakan termasuk ke dalam jenis Ultisol, dimana salah satu cirinya adalah banyak mengandung liat, Al dan Fe. Pada pH rendah ion-ion fosfat bereaksi dengan aluminium hidroksida yang sangat aktif pada pH dibawah 4-5, sehingga menyebabkan P menjadi tidak tersedia (Fitter dan Hay 2002). Hal ini pula yang diduga menyebabkan P tanah terikat pada koloid liat dan membentuk ikatan Al-P. Ketersediaan unsur P merupakan faktor pembatas bagi tanaman yang dibudidayakan. Beberapa penelitian menunjukkan, unsur P merupakan pembatas pada pertumbuhan tanaman jagung (Nursyamsi 2002), kedelai (Nursyamsi dan Widayati 2004), buncis, kangkung, terong, cabai dan tomat (Kartika dan Susila 2008). Bahan organik dan karakteristik tanaman diduga pula mempengaruhi terhadap hasil penelitian ini. Cassagne et al. (2000) menyatakan bahwa pergerakan unsur hara P tergantung kandungan bahan organik dan mineral di dalam tanah. Karakteristik tanaman katuk yang tergolong ke dalam jenis sayuran indigenous diduga termasuk jenis tanaman yang merespon lambat atau tidak merespon sama sekali terhadap pemupukan. Beberapa penelitian terhadap tanaman katuk menunjukkan pemupukan tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif maupun hasil panen (Lestari 2008; Rahanita 2009; Purwoko et al. 2009) . 2 7 Percobaan III : Pengaruh Pemupukan Kalium Pengaruh Kalium terhadap pertumbuhan vegetatif Aplikasi pupuk K berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada awal pengamatan (2 MST) dengan pola respon kuadratik namun selanjutnya tidak memberikan pengaruh hingga 8 MST (Tabel 11). Demikian pula pada jumlah daun katuk, perlakuan pupuk K hanya berpengaruh pada 2 MST (Tabel 12), namun selanjutnya perlakuan pupuk K tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah daun hingga 8 MST. Tabel 11 Pengaruh pemberian dosis Kalium terhadap tinggi tanaman katuk Dosis Kalium (kg K2O ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Uji F Pola Respon ŧ 2 MST 22.45 23.73 25.15 24.11 23.55 * Q* Waktu Pengamatan 4 MST 6 MST – – – – – – – – – cm– – – – – – – – – 32.67 46.60 32.71 47.73 35.01 51.58 35.32 53.21 35.11 52.42 tn tn tn tn 8 MST 68.56 70.00 73.39 71.97 71.83 tn tn Keterangan: tn: tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ: uji polinomial ortogonal terhadap dosis pupuk; Q : kuadratik; Tabel 12 Pengaruh pemberian dosis Kalium terhadap jumlah daun tanaman katuk Dosis Kalium (kg K2O ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Uji F Pola Respon ŧ Waktu Pengamatan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST – – – – – – – – – helai– – – – – – – – – 5.72 8.62 14.38 26.69 6.88 9.40 17.50 29.53 6.75 9.00 15.94 30.88 6.31 7.87 15.91 28.78 5.59 8.25 15.63 25.81 * tn tn tn Q* tn tn tn Keterangan: tn:tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ : uji polynomial ortogonal terhadap dosis pupuk; Q:kuadratik. Hal ini diduga lebih dikarenakan oleh faktor bibit tanaman katuk dalam merespon pupuk yang diberikan di awal tanam, sebagai akibat dari faktor stek tanaman katuk yang tidak seluruhnya sama dan seragam. 2 8 Pengaruh Kalium terhadap hasil panen Perlakuan K secara nyata berpengaruh terhadap bobot per tanaman pada panen pertama dan bobot per petak panen kedua dengan pola respon kuadratik. Demikian pula pada total bobot per petak respon yang ditunjukkan adalah pola respon kuadratik (Tabel 13). Namun pada persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan, perlakuan K tidak memberikan pengaruh nyata pada panen pertama maupun kedua (Tabel 14). Tabel 13 Hasil panen pertama dan kedua tanaman katuk pada perlakuan pupuk Kalium berbeda Dosis Kalium (kg K2O ha-1) 0 67.5 135.0 202.5 270.0 Uji F Pola Respon ŧ Panen pertama Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 38.50 1296.3 56.18 1424.0 52.03 1335.6 56.88 1437.7 51.51 1338.9 * tn Q* tn Panen kedua Bobot Bobot per per tanaman petak (g/tan) (g/7.5 m2) 20.17 1007.6 35.83 1205.7 34.65 1557.6 21.68 1060.5 33.34 1076.1 tn * tn Q* Total Bobot per petak (g/7.5 m2) 2303.9 2629.6 2893.2 2498.2 2415.0 * Q* Keterangan: tn:tidak nyata; *: nyata pada taraf 5%; ŧ : uji polynomial ortogonal terhadap dosis pupuk; Q:kuadratik. Peningkatan secara kuadratik menunjukkan penambahan dosis pupuk K dengan range dosis 0-200% memiliki nilai maksimal pada suatu titik antara dosis 0-200%, setelah titik maksimal tersebut, total bobot per petak akan turun. Sebagai contoh pada Tabel 13, hasil total bobot per petak yang menunjukkan respon kuadratik, nilai maksimal bobot per petak terletak pada dosis pupuk K 135 kg K2O ha-1. Tabel 14 Persentase bagian tanaman katuk yang dapat dimakan pada perlakuan pupuk Kalium berbeda Kalium Bagian yang dapat dimakan (%) Panen pertama Panen kedua (kg K2O ha-1) 65.89 59.32 0 65.99 58.57 67.5 62.18 56.28 135.0 65.34 56.74 202.5 64.19 56.30 270.0 ŧ tn tn Pola Respon Keterangan: tn: tidak nyata; ŧ : uji polynomial ortogonal terhadap dosis pupuk. 2 9 Hasil analisis K tanah menunjukkan bahwa nilai K tanah sangat rendah. Ketersediaan K yang rendah menyebabkan pemupukan K pada kondisi tersebut memberikan respon yang signifikan terhadap hasil. Penambahan K ke dalam tanah menyebabkan peningkatan kandungan hara K tanah, sehingga kebutuhan hara K untuk pertumbuhan tanaman tercukupi. Tercukupinya hara K menyebabkan fungsi hara K dapat berfungsi dengan baik. Fungsi K antara lain dapat mengaktifkan sejumlah enzim yang terlibat dalam proses fotosintesis, sehingga mempercepat pertumbuhan dan juga dapat meningkatkan produksi (Havlin et al. 2005). Pembahasan Umum Hasil percobaan pemupukan N, P dan K pada tanaman katuk menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk hasil panen pada perlakuan P, sementara pada perlakuan N, pola respon yang didapat adalah linier dan pada perlakuan K secara nyata berpengaruh terhadap hasil panen dengan pola respon kuadratik. Hal tersebut terjadi diduga dikarenakan oleh pengaruh beberapa hal, diantaranya adalah kandungan unsur hara yang terdapat di lokasi percobaan (Tabel 2). Penampilan tanaman pada umur 13 MST dapat dilihat pada Lampiran 3. Bahan organik diduga juga berperan terhadap hasil panen. Hasil analisis tanah di lokasi percobaan menunjukkan rasio C/N termasuk kriteria sedang dengan nilai 11. Bahan organik adalah komponen esensial bagi tanah karena dapat menyediakan sumber energi dan karbon untuk mikroba tanah, membantu pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki kemampuan tanah untuk menyimpan dan mengalirkan udara dan air. Faktor lain yang diduga mempengaruhi terhadap hasil penelitian ini adalah mulsa. Jarak antar tanaman yang cukup lebar dan tidak diberi mulsa menyebabkan lebih mudah terjadinya evaporasi dikarenakan penanaman katuk dilakukan di lahan terbuka. Curah hujan yang tinggi pada saat penelitian diduga juga mempengaruhi hasil penelitian ini. Curah hujan tinggi dapat menyebabkan hilangnya nitrogen. Ion nitrat diserap dengan cepat oleh akar tanaman tetapi tercuci dengan mudah dari tanah dengan adanya curah hujan yang tinggi atau irigasi berlebihan. Faktor selanjutnya yang diduga berpengaruh adalah karakteristik tanaman katuk yang merupakan golongan tanaman indigenous dan terrmasuk kedalam tanaman 3 0 tahunan. Salah satu sifat tanaman indigenous adalah tidak responsif atau merespon lambat terhadap pemupukan. Jika dilihat dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, diduga tanaman katuk termasuk kedalam tanaman yang tidak responsif terhadap pemupukan. Rekomendasi pemupukan N, P dan K pada tanaman katuk Pendekatan multi-nutrient response adalah suatu metode yang dikembangkan untuk menentukan rekomendasi pemupukan menggunakan model kuadratik dari beberapa percobaan. Rekomendasi pemupukan dibuat berdasarkan hasil panen tanaman katuk. Hasil panen dikonversi menjadi hasil relatif, sehingga ketiga percobaan dapat dibandingkan walaupun hasil panen tidak sama besar. Analisis ekonomi dilakukan pada setiap pilihan rekomendasi. Rekomendasi pemupukan katuk didasarkan pada hasil dan nilai ekonomi yang paling menguntungkan. . Pilihan rekomendasi didasarkan pada kurva respon pemupukan N, P dan K pada beberapa tingkat dosis. Kurva tersebut merupakan hasil relatif dari bobot panen. Hasil relatif adalah hasil dari perlakuan dibagi hasil tertinggi yang diperoleh dari setiap percobaan. Terdapat empat pilihan rekomendasi, yang pertama yaitu berdasarkan pemupukan maksimum, sedangkan tiga yang lain berdasarkan ambang batas pemakaian pupuk N, P dan K (aplikasi 0). Apabila semua hasil percobaan menunjukkan pola respon yang sama yaitu pola respon kuadratik, maka ketiga grafik tersebut dapat dibaca bersama-sama untuk menentukan kebutuhan pada ambang batas N, P dan K. Hasil yang diperoleh pada percobaan ini menunjukkan bahwa hasil panen pada perlakuan pemupukan N memperlihatkan pola respon linier (Gambar 1), perlakuan pemupukan P tidak berpengaruh nyata (Gambar 2), sedangkan hanya pada perlakuan pemupukan K memperlihatkan pola respon kuadratik (Gambar 3). Oleh karena itu pendekatan multi-nutrient respon tidak dapat diterapkan pada percobaan ini dan juga tidak dapat ditentukan rekomendasi pemupukan untuk tanaman katuk. Meskipun demikian, hasil percobaan perlakuan pemupukan K yang menunjukkan pola respon kuadratik masih dapat digunakan untuk metode single nutrient yaitu dengan cara menentukan titik maksimum pemupukan. 3 1 0 0 . 0 0 0 . 0 0 6 0 . 0 0 4 0 . 0 0 1 8 ) ( % f i t l a R e l i s y H = 0 . 0 7 1 4 x + 6 4 . 0 1 2 a R ² = 2 0 . 0 . 0 0 . 1 7 1 7 0 0 0 0 5 0 1 N ( % ) ( 0 1 0 0 0 1 % = 1 3 5 5 0 k 2 g N . h a - 1 0 0 2 5 0 ) Gambar 1 Kurva pengaruh pemupukan N terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi. 1 0 0 . 0 0 0 . 0 0 6 0 . 0 0 4 0 . 0 0 2 0 . 0 0 8 ) ( % f i t l a R e l i s H a 8 y = 0 . 0 2 R 7 = 0 . 0 x + 5 0 . 4 5 4 ² 0 . 0 1 6 1 0 0 5 0 1 P ( % ) ( 1 0 0 0 0 % 1 = 1 3 5 k g 5 0 P 2 2 O 5 . h a - 1 0 0 2 5 0 ) Gambar 2 Kurva pengaruh pemupukan P terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi. 3 1 0 0 . 0 0 0 . 0 0 6 0 . 0 0 4 0 . 0 0 2 8 ) ( % f i t l a R e l 2 i 8 s H y = 0 - . 0 0 1 2 x + 0 . 2 5 2 9 x + 6 . 0 5 9 a R ² = 2 0 . 0 0 0 . 0 0 0 5 0 1 K ( % ) ( 1 0 0 % 0 0 = 0 1 1 3 5 k g K 2 . 5 O 1 5 1 1 0 . 2 h a - 1 0 0 2 5 0 ) Gambar 3 Kurva pengaruh pemupukan K terhadap hasil relatif katuk berdasarkan hasil produksi total terhadap hasil produksi total tertinggi. Berdasarkan hasil panen bobot total per petak pada perlakuan K, diperoleh persamaan kuadrat untuk K ialah y = -0.0012x2+0.2529x+68.059 dengan R2 = 0.1511. Berdasarkan persamaan tersebut dapat ditentukan titik maksimum pemupukan, dengan cara dicari turunan pertama persamaan sama dengan nol. Nilai pemupukan K untuk memperoleh hasil maksimum sebesar 105 kg K2O.ha-1. KESIMPULAN 1. Penentuan dosis pemupukan N, P, dan K menggunakan pendekatan multi nutrient respon untuk tanaman katuk di lahan Ultisol Cikabayan tidak tercapai karena hanya perlakuan pemupukan K yang memberikan pola respon kuadratik pada hasil relatif panen katuk. 2. Hasil perlakuan pemupukan K dapat digunakan untuk menentukan titik maksimum pemupukan menggunakan pendekatan single nutrient, dengan nilai pemupukan K untuk memperoleh hasil maksimum sebesar 105 kg K2O/ha. SARAN Untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dengan menggunakan pendekatan multi nutrient respon disarankan untuk melakukan percobaan di lahan dengan kriteria kandungan N, P dan K yang rendah sehingga bisa didapatkan rekomendasi dosis pemupukan terbaik untuk tanaman katuk. DAFTAR PUSTAKA [AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 2006. Thousands of Indigenous Vegetable Conserved. www.avrdc.org [BALITSA] Balai Penelitian Sayuran. 2007. Sayuran Indigenous, Perlu digali dan Dimaanfaatkan. http://www.litbang.deptan.go.id [04/12/2009] Al Jabri M. 2007. Perkembangan uji tanah dan strategi program uji tanah masa depan di Indonesia. J Litbang Pert. 26:54-66. Amrutha RNP, Nataraj S, Rajeev KV, Kavi PBK. 2007. Genome-wide analysis and identification of genes related to potassium transporter families in rice (Oryza sativa L.). J Plant Sci.172:708-721 Amisnaipa, Susila AD, Situmorang R, Purnomo DW. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylene. J Agron. Indo. 37(2):115-122. Arifin. 1999. Pemanfaatan kalium untuk meningkatkan daya tahan tanaman kacang hijau terhadap kekeringan. Jurnal Ilmiah Habitat 10 (108) : 58-62. Astuti Y, Wahjoedi B, Winarno MW. 1997. Efek diuretik infus akar katuk terhadap tikus putih. Warta Tumbuhan Obat 3: 42-43. Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. Batari R. 2007. Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Bennet WF. 1996. Nutrient Deficiencies and Toxicities on Crop Plants. USA: APS Press. St. Paul Minnessota. Buckman HO, Braddy NC. 1982. Ilmu tanah. Terjemahan dari Soil Science oleh Soegiman. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Cassagne N, Remaury M, Gauquelin T, Fabre A. 2000. Form and profile distribution of soil phosphorus in alpine Inceptisols and Spodosols. Geoderma 95:161-172. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 2009. Gambaran Kinerja Makro Hortikultura 2008. http://www.hortikultura.deptan.go.id/ [13/01/2010] 3 5 Du Z, Jianmin Z, Houyan W, Changwen D, Xiaoqin C. 2006. Potassium movement and transformation in an acid soil as affected by phosphorus. SSSA J. 70(6); ProQuest American Journal: 2057. Eckert D. 2009. Efficient fertilizer use mannual - Nitrogen. School of Natural Resources Ohio State. Engle LM. 2002. Collection and conservation of indigenous vegetable germplasm to enhance biodiversity and maintain livelihoods in ASEAN. Dalam : Proceedings of the Forum on The ASEAN-AVRDC Regional Network on Vegetable Research and Development (AARNET); Taiwan, 24-26 Sept 2001. Taiwan: AVRDC. Hal 65-77. Evans CE. 1987. Soil Test Calibration. Madison Special Publication. 21:23-39. [FAO] Food and Agriculture Organization. http://www.fao.org/ag/pdf/0606-2.pdf. [04/12/2009] 2009. . Fitter AH, Hay RKM. 2002. Enviromental Physiology of Plants. 3rd Ed. San Diego : Academic Press. p:79-130. Grimme H. 1985. The dynamics of potassium in the soil plant system. p.127-154. In Cooke (Ed) Potassium in The Agricultural System of The Humid Tropics. Prociding of The 19th Colloqium of The Inter. Potash Inst. Bangkok Haden VR, Katterings QM, Kahabka JE. 2007. Factor effecting change in soil test phosphorus following manure and fertilizer application. SSSA J. 71(4):1225-1232. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Cetakan Kelima. CV Akademika Pressindo. Jakarta. Hartz TK, Miyao EM, Mullen RJ, Cahn MD, Valencia JG, Brittan KL. 1999. Potassium requirements for maximum yield and fruit quality of processing tomato. J.Amer.Soc.Hort.Sci. 124:199-204 Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizer. An Introduction to Nutrient Management. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Hilman Y, Sutapradja H, Rosliani R, dan Suryono Y. 2008. Status hara fosfat dan kalium di sentra sayuran dataran rendah. J Hort. 18(1):27-37. Ismunadji M, Partohardjono S, Karama AS. 1991. Fosfor Peranan dan Penggunaannya dalam Bidang Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Bogor. 3 6 Izhar L. 2012. Pengembangan uji tanah untuk membangun kriteria rekomendsi pemupukan Fosfor dan Kalium pada Tomat [disertasi]. Bogor:Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Johnson GV, Isaac RA, Donohue SJ, Tucker MR, Woodruff JR. 1984. Procedure used by state soil testing laboratories in the southern region of the United States. USA: Southern Coop. Ser. Bull. Oklahoma State University: 190: 16. Jones JB Jr. 1998. Plant Nutrient Manual. CRC Press, Boca Raton, New York. Juang KW, Liou DC, Lee DY. 2002. Site-specific phosphorus application based on the rigging fertilizer-phosphorus availability index of soil. Env. Qual. J. 31:1248-1255. Kartika JG, Susila AD. 2008. Phosphorus correlation study for vegetable grown in the Ultisols-Nanggung, Bogor, Indonesia. Working Paper No. 7–8 in Sustainable Agriculture and Natural Resource Management Collaborative Research Support Program (SANREM CRSP). SANREM-TMPEGS Publication. Laegreid M, Bockman OC, Kaarstad O. 1999. Agriculture, Fertilizers and The Environment. CABI Publishing in Association with Nortsk Hydro ASA. Lestari MA. 2008. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan dan produktivitas beberapa sayuran Indigenous [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Leiwakabessy FM, Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lukman L. 2010. Efek pemberian fosfor terhadap pertumbuhan bibit manggis. J.Hort. 20(1):18-26. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. New York: Academic Press. Masdar. 2003. Pengaruh lama dan beratnya defisiensi kalium terhadap pertumbuhan tanaman durian (Durio zibethinus Murr.). J Akta Agro. 6(2):60-66. Masto RE, Chhonkar PK, Singh D, Patra AK. 2007. Soil quality response to longterm nutrient and crop management on a semi-arid Inceptisols. Agri. Ecost. and Env. 118:130-142. 3 7 Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron Indonesia. 37 (1):5561. Mosalli J, Girma K, Teal RK, Freeman KW, Martin KL, Raun WR. 2005. Effect of foliar application on winter grain yield, phosphorus uptake and use efficiency. J.Plant.Nutr. 29:2147-2163 Nursyamsi D. 2002. Studi korelasi uji tanah hara K tanah Oxisol dan Inceptisol untuk jagung (Zea mays). J. Tanah Trop 15:59-68. Nursyamsi D, Widayati RD. 2004. Batas kritis hara fosfor dalam tanah Andisol untuk Kedelai (Glycine max L.) Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 5(2):27-37. Olson RA, Frank KD, Grabouski PH, Rehm GW. 1982. Soil Testing Philosophies. Consequences of varying recommendation. Reprinted Crops and Soils Magazine. American Society of Agronomy, Inc., Wisconsin. Prasad R, Power JR. 1997. Soil Fertility Management for Sustainable Agriculture. Lewis Publishers. Boca Raton. New York. Purwoko BS, Kurnaitusolihat N, Susila AD, Palada MC, Reyes M. 2009. Effect of fertilizers on yield of indigenous vegetables. Dalam: Publikasi dan Diseminasi Hasil Penelitian Hortikultura Indonesia. Kumpulan Makalah Seminar Ilmiah; Bogor, 21-22 Oktober 2009. Bogor: Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 367. Putrasamedja S. 2005. Eksplorasi dan koleksi sayuran indigenous di Kabupaten Karawang. Buletin Plasma Nutfah 11:1. Rachman S, Suryadi, Witono, Hidayat AA, Komara U. 2002. Identifikasi dan dokumentasi diversitas, nilai ekonomis serta sistem pengelolaan sayuran indigenous. Laporan Kegiatan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Rahanita P. 2009. Pengaruh pupuk organik pada pertumbuhan dan hasil tanmaan Kenikir (Cosmos caudatus) dan Katuk (Sauropus androgynus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rochayati R, Setyorini D, Suping S, Widowati LR. 1999. Korelasi Uji Tanah Hara P dan K. [laporan tahunan] Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Bogor: Puslittanak. Rochyati S. 1996. Persiapan pelaksanaan percobaan uji korelasi dan kalibrasi. Disajikan Dalam: Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman, Kerjasama Fakultas Pertanian, IPB dengan Agriculture 3 8 Research and Management Project (ARMP), Bogor 25 November-7 Desember 1996. Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia 3 (terjemahan). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Sabiham S. 1995. Dasar, tujuan dan sasaran uji tanah dan analisis tanaman. [Materi Kuliah dan Praktikum] Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor: Litbang Pertanian. 23 Januari – 4 Februari 1995. Sabiham S. 1996. Prinsip-prinsip dasar uji tanah. Dalam: Pelatihan Optimalisasi Pemupukan. Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 19-31 Januari 1996. Sarief S. 1984. Kesuburan dan Pemupukan Tanah pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Setyorini D, Adiningsih JS, Rochayati S. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. Siemonsma JS, Piluek K (eds). 1993. Plant resources of Southeast Asia No. 8. Vegetables. Plant Resources of South-East Asia, Bogor, Indonesia. 412 pp. Silahooy C. 2008. Efek pupuk KCl dan SP-36 terhadap kalium tersedia, serapan kalium dan hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada tanah Brunizem. Bul. Agron. (36)(2);126-132. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepartini M, Nurjaya, Kasno A, Ardjakusumah S, Moersidi S, Adiningsih JS. 1994. Status hara P dan K serta sifat-sifat tanah sebagai penduga kebutuhan pupuk padi sawah di Pulau Lombok. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 12 : 23-34. Sudiarto, Maslahah N, Sukmajaya D. 2002. Pengaruh pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi katuk (Sauropus androgynus (L). Merr). Jurnal LITTRI. Vol.8 No.3. Sugiartini E. 2007. Kalibrasi Uji Tanah Hara P dan K pada Tanaman Sayuran di DKI Jakarta. http://jakarta.litbang.deptan.go.id. Suminarti NE.1999. Pengaruh pupuk kalium dan pemberian air terhadap hasil dan kualitas jagung manis. Jurnal Ilmiah Habitat 11 (109) : 57-63 3 9 Susila AD. 2008. Budidaya tanaman katuk. Publikasi No.06/SANREM CRSP/BAU. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asian Watershed SANREM CRSP-USAID. Susila AD, Kartika JG, Prasetyo T, Palada MC. 2009a. Correlation and Calibration Study of Soil P test for yard long bean (Vigna unguilata L) on ultisols in Nanggung-Bogor, Research report SANREM-CRSP. Susila AD, Prasetyo T, Palada MC. 2009b. Optimum fertilizer rate for Yard-long Bean (Vigna unguilata L) production in Ultisol Jasinga. Dalam: Publikasi dan Diseminasi Hasil Penelitian Hortikultura Indonesia. Kumpulan Makalah Seminar Ilmiah; Bogor, 21-22 Oktober 2009. Bogor: Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 315-323. Syers JK, Johnston AE, Curtin D. 2008. Efficiency of soil and fertilizer phosphorus use. FAO Fertilizer and Plant Nutrition Bulletin No. 18:123. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1990. Soil Fertility and Fertilizers. 4th ed. Macmilan Publ. Co. New York. [USDA] United State Departement of Agriculture. 1996. Soil Quality Indicators:Organic Matter. Washington DC: Natural Resources Conservation Service. hlm 2. Waugh DL, Cate RB, Nelson LA. 1973. Discontinuous model for rapid correlation, interpretation, and utilization of soil analysis and fertilizer response data. Technical Buletin No:7. Widjaya-Adhi IPG. 1993. Soil testing and formulating fertilizer recommendation. Indo. Agric. Res. Rev J. 15(4):71-79. Widjaja-Adhi IPG. 1995. Penggunaan Uji Tanah dan Analisis Daun Sebagai Dasar Rekomendasi Pemupukan. [Materi Kuliah dan Praktikum] Pelatihan dan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor: Litbang Pertanian. 23 Januari – 4 Februari 1995. LAMPIRAN 4 Lampiran 1 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Nilai Parameter C-organik (%) N (%) C/N ratio P2O5 HCl 25% (mg/100g) P2O5 (ppm) K2O (mg/100g) K2O-Morgan (ppm) KTK (me/100g) Susunan Kation : Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) Kejenuhan Basa (%) Sangat Rendah <1 <0.1 <5 <15 <4 <10 <10 <5 <2 <0.3 <0.1 <0.1 <20 Rendah Sedang Tinggi 1-2 0.1 - 0.2 5 – 10 15-20 5–7 10 - 20 10-20 5 – 16 2-2 0.21 - 0.5 11 – 15 21-40 8 – 10 21 - 40 21-40 17 – 24 3-5 0.51 - 0.75 16 – 25 41-60 11 – 15 41 - 60 41-60 25 – 40 Sangat Tinggi >5 >0.75 >25 >60 >15 >60 >60 >40 2-5 6 - 10 11 - 20 >20 0.4 – 1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 8.0 >8 0.1 – 0.3 0.4 – 0.5 0.6 – 1.0 >1 0.1 – 0.3 0.4 – 0.7 0.8 – 1.0 >1 20 - 40 41 - 60 61 - 80 >80 pH H2O Sangat Masam Masam Agak Netral Agak Alkalis Masam Alkalis <4.5 4.5 – 5.5 5.5 – 6.5 6.6 – 7.5 7.6 – 8.5 > 8.5 Sumber : Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, 2005. 1 4 Lampiran 2 Tabel data iklim selama penelitian berlangsung tahun 2010 Bulan April Curah hujan (mm) 527.0 Temperature (0C) 27.10 Kelembaban (%) 77.00 Hari hujan (hari) 21 Mei 330.9 26.70 84.00 18 Juni 303.4 25.89 85.85 22 Juli 270.4 25.78 83.58 22 Agustus 477.6 25.75 83.97 24 September 601.0 25.29 83.75 29 Oktober 436.2 25.40 86.00 26 November 284.3 25.00 82.00 27 Desember 177.3 25.50 83.20 29 Jumlah 3408.1 232.41 749.35 162 Rata-rata 378.6 25.82 83.26 23.14 Sumber : Pusat Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, 2010. 2 4 3 Lampiran 3 Gambar tanaman katuk umur 13 MST pada berbagai perlakuan pupuk 0 kg N/ha 50 kg N/ha 100 kg N/ha 150 kg N/ha 200 kg N/ha a) Gambar tanaman katuk umur 13 MST pada perlakuan pupuk N 0 kg P2O5/ha 67.5 kg P2O5/ha 135 kg P2O5/ha 202.5 kg P2O5/ha 270 kg P2O5/ha b) Gambar tanaman katuk umur 13 MST pada perlakuan pupuk P 0 kg K2O/ha c) 67.5 kg K2O/ha 135 kg K2O/ha 202.5 kg K2O/ha Gambar tanaman katuk umur 13 MST pada perlakuan pupuk K 270 kg K2O/ha