LAPORAN TEKNIS: TAHUN ANGGARAN 2015 Dinamika dan Keragaman Genetik Sumberdaya Ikan di Wilayah Calon Kawasan Suaka Perikanan Sungai Kumbe Papua Oleh : Yoga Candra Ditya, Arif Wibowo, Marson, Mirna Dwirastina, Apriyadi, dan Rusmaniar BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2015 Dinamika dan Keragaman Genetik Sumberdaya Ikan di Wilayah Calon Kawasan Suaka Perikanan Sungai Kumbe Papua Yoga Candra Ditya, Arif Wibowo, Marson, Mirna Dwirastina, Apriyadi, dan Rusmaniar Abstrak Kegiatan penelitian di sungai kumbe dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap ketersediaan data dan informasi di wilayah Indonesia bagian timur terutama yang termasuk kedalam paparan sahul. Hal ini dikarenakan mengingat masih terbatasnya data dan informasi mengenai kegiatan penelitian di wilayah tersebut. Selain itu, kegiatan penelitian ini diharapkan juga bisa menjadi suatu bentuk dukungan terhadap program prioritas lintas K/L dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal (provinsi papua dan papua barat) yang merupakan salah satu agenda dari kebijakan pemerintah pusat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan di wilayah calon kawasan suaka perikanan Sungai Kumbe Papua sebagai bahan dasar dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam pengelolaan perairan sungai Kumbe. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015, dengan tiga kali survei di lapangan yaitu pada bulan Mei, Agustus dan November tahun 2015. Lokasi penelitian meliputi wilayah calon suaka perikanan berdasarkan penelitian yang dilakukan Satria et al (2012) yaitu Sakor dan Kaiza (Mahayulumb). Pengambilan data primer meliputi keragaman genetik dan jenis ikan, informasi pola sejarah hidup, biologi dan dinamikanya. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi morfologi dan DNA Barcoding. Diharapkan data dan informasi tentang dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan yang berafiliasi di calon kawasan suaka perikanan sungai kumbe dapat dijadikan sebagai salah satu komponen bahan pengelolaan, mengingat perairan sungai tersebut merupakan bagian dari kawasan pengelolaan perikanan perairan umum daratan (KPP-PUD 412) dari keseluruhan 14 KPP PUD yang ada di Indonesia. Ketersediaan data dan informasi yang akurat merupakan komponen penting yang dibutuhkan dalam rangka perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik sumberdaya ikan di Sungai Kumbe diperoleh paling tidak 7 Ordo, 15 famili dan 27 spesies ikan yang keseluruhan berhasil di barkode berdasarkan sekuens gen Cytochrom Oxidase Subunit 1 (COI) mitochondrial DNA. Selain itu, 11 spesies diantaranya di barkode untuk pertama kalinya. Sepuluh spesies ditemukan pada tahap larva dan juvenil di habitat rawa gambut Sungai Kumbe. Larva dan juvenile yang diidentifikasi terutama berasal dari Perciformes dan Antheriniformes. Kelompok Gobiidae termasuk dalam Perciformes yang terutama terdapat melimpah di dua lokasi (Yakui dan Sakor) dan ikan sumpit, Toxotes oligolepis terdeteksi di semua lokasi pengambilan sampel (termasuk alur sungai/Alfasera) Demikian pula, kami menemukan larva ikan dan juvenil dari jenis ikan lainnya seperti Pingalla lorentzi, Melanotaenia splendida inornata dan Iriatherina werneri di habitat rawa gambut. Ikan Sembilang (Neosilurus ater) di Sungai Kumbe memiliki keragaman genetik baik asam amino maupun nukleotida. 2 situs asam amino bersifat variabel (non sinonimous), 2 situs nukleotida yang bervariasi dan semuanya singleton. Kolaborasi hasil morfometrik dan meristik dapat disimpulkan bahwa populasi ikan sembilang di Sungai Kumbe dapat diperlakukan sebagai satu stok tunggal. Analisa sex ratio mengindikasikan meningkatnya persentasi ikan sembilang betina sejalan dengan makin besarnya ukuran ikan, dimana ikan ii sembilang di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning. Pola pertumbuhan ikan sembilang di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif. Makanan ikan sembilang berupa moluska, serangga, krustasea dan cacing. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan kakap rawa dari Sungai Kumbe mengidentifikasi tidak ada situs yang bervariasi. Hasil analisa karakter morfometrik dan karakter meristik ikan kakap rawa menunjukkan bahwa populasi ikan kakap rawa di Sungai Kumbe merupakan populasi yang tercampur sehingga bisa diperlakukan sebagai satu unit stok. Ikan kakap rawa di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning. Pola pertumbuhan ikan kakap rawa di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif. Ikan kakap rawa dikategorikan sebagai omnivora yang bersifat demersal. Makanan utamanya adalah alga dan dentritus. Ikan ini adalah ikan tropis dengan dasar sungai berpasir atau lumpur. Kata Kunci : dinamika, genetik, dna bercoding, suaka perikanan, kumbe, papua. iii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena kami dapat menyelesaikan Laporan Teknis Kegiatan TA 2015 yang berjudul Dinamika dan Keragaman Genetik Sumberdaya Ikan di Wilayah Calon Kawasan Suaka Perikanan Sungai Kumbe Papua. Kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan penelitian lanjutan tahun ke-2 (kedua) dari penelitian Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Perairan Sungai Kumbe Kabupaten Merauke Provinsi Papua yang dilakukan sebelumnya di Tahun 2014 di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang. Kegiatan penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal pada awal tahun kegiatan dan pelaksanaan kegiatan di lapangan mulai bulan Mei 2015 dan berakhir pada bulan Desember 2015. Kajian Dinamika dan Keragaman Genetik Sumberdaya Ikan di Wilayah Calon Kawasan Suaka Perikanan Sungai Kumbe Papua dilakukan sebagai bentuk evaluasi mengenai kelayakan suatu calon suaka perikanan dengan melihat dinamika dan keragaman genetik sumber daya ikan asli selain arwana yang mampu berafiliasi dan berpotensi ekologis dan ekonomis di wilayah calon suaka tersebut. Diharapkan hasil ini bisa menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan (stakeholders) dalam pengelolaan sumber daya ikan di sungai Kumbe Papua. Penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu terutama kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke dan Kepala Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U), para peneliti, teknisi dan pejabat struktural lingkup BP3U Palembang, sehingga Laporan Teknis ini dapat selesai. Kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun diharapkan untuk perbaikan penulisan Laporan Teknis ini. Palembang, Desember 2015 Tim Penulis iv DAFTAR ISI Hal LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i ABSTRAK ...................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .....................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Penerima Manfaat ................................................................................. 3 1.3 Strategi Pencapaian Keluaran................................................................ 3 BAB II METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 4 2.2. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 4 2.3. Analisa Data ................................................................................. ....... 8 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik Habitat Calon Suaka Perikanan Sungai Kumbe ............ 12 3.2. Keragaman Genetik dan Jenis Ikan .................................................... 22 3.3. Dinamika Larva Ikan ........................................... .............................. 35 3.4. Komunitas Ikan Tangkapan ............................................................... 43 3.5. Karakteristik Sumberdaya Ikan Ekonomis Penting ............................ 48 BAB IV KESIMPULAN ................................................................................ 61 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 62 v DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. Parameter Kualitas Air yang diamati Selama Penelitian ...................... 7 Tabel 2. Kualitas Air di Perairan Sungai Kumbe bulan Mei dan Agustus 2015.. 16 Tabel 3. Distribusi spasial dan temporal spesies ikan yang teridentifikasi ......... 39 Tabel 4. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan Mei 2015 di Sungai Kumbe, Papua ............................................................... 43 Tabel 5. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan Agustus 2015 di Sungai Kumbe, Papua ................................................ 44 Tabel 6. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan Mei 2015 di Sungai Kumbe, Papua .............................................................. 44 Tabel 7. Indeks keanekaragaman dan dominansi ikan di Sungai Kumbe ........... 47 Tabel 8. Distribusi dan kelimpahan ikan berdasarkan bulan pengamatan di lokasi penelitian ............................................................................................... 47 vi DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1. Peta sungai Kumbe ........................................................................... 4 Gambar 2. Rata-rata curah hujan per tahun ........................................................ 4 Gambar 3. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan Mei ............ 13 Gambar 4. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan Agustus .... 14 Gambar 5. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan November . 14 Gambar 6. Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Klorofil-a. ................. 19 Gambar 7. Indeks Keanekaragaman & Dominansi Fitoplankton Sungai Kumbe 20 Gambar 8. Kelimpahan dan Indeks Biologi Zooplankton di Sungai Kumbe ..... 20 Gambar 9. Kelimpahan Perifiton (sel/cm2) di Sungai Kumbe ........................... 21 Gambar 10. Indeks Keanekaragaman & Dominansi Perifiton di Sungai Kumbe 21 Gambar 11. Blue Catfish, Neoarius graeffei (Kner & Steindachner 1867) ........ 23 Gambar 12. Narrow-fronted Tandan, Neosilurus ater (Perugia, 1894) .............. 24 Gambar 13. Merauke pandan, Porochilus meraukensis (Weber 1913) .............. 24 Gambar 14. Philippine catfish, Clarias batrachus (Linnaeus, 1758) .................. 24 Gambar 15. Golden river rainbow fish, Melanotaenia goldie (Maclcay, 1883) .. 25 Gambar 16. Gobius, Glossogobius sp ................................................................. 26 Gambar 17. Banded archerfish, Toxotes jaculatrix (Pallas, 1767) ..................... 27 Gambar 18. Seven-spot archerfish, Toxotes chaterus (Hamilton, 1822) ............. 27 Gambar 19. Lorentz's grunter Banded archerfish, Pingalla lorentzi ................. 28 Gambar 20. Fly river gizzard shad, Ambassis agrammus (Günther, 1867) ........ 28 Gambar 21. Giant glassfish, Parambassis gulliveri (Castelnau, 1878) ........... 29 Gambar 22. Mouth almighty, Glossamia aprion (Richardson, 1842) ................ 29 Gambar 23. Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) ..................... 30 Gambar 24. Climbing perch, Anabas testudineus (Bloch 1792) ......................... 30 Gambar 25. Striped snakehead, Channa striata, Bloch 1792 ....................... 31 Gambar 26. Northern Saratoga, Scleropages jardinii (Saville-Kent, 1892) ....... 31 Gambar 27. Indo-Pacific tarpon, Megalops cyprinoides (Broussonet, 1782) ..... 32 Gambar 28. Fly river herring, Nematalosa flyensis (Wongratana, 1983) ........... 32 Gambar 29. Freshwater longtom, Strongylura kreffti (Gunther, 1866) .............. 33 Gambar 30. Giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii ................... 33 vii Gambar 31. Pohon Neighbour-joining phylogeny CO1 sequences menampilkan hubungan kekerabatan antar spesies. .................................................... 34 Gambar 32. Bentuk morfologi larva ikan di Sungai Kumbe dan aplikasi teknik DNA barcoding untuk identifikasi larva .............................................. 35 Gambar 33. Pohon Neighbour-joining sekuen COI menampilkan penempatan larva dalam tingkatan spesies ikan. Panjang cabang memperlihatkan jarak kimura 2 parameter. .............................................................................. 36 Gambar 34. Tahap awal fase pertumbuhan larva ikan teridentifikasi di Sungai Kumbe .................................................................................................. 38 Gambar 35. Tahap awal fase pertumbuhan larva ikan tidak teridentifikasi di Sungai Kumbe .................................................................................................. 38 Gambar 36. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Mei 2015 ............................................................ 45 Gambar 37. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Agustus 2015 ...................................................... 45 Gambar 38. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan November 2015 .................................................. 46 Gambar 39. Profil DNA ikan sembilang (Neosilurus ater) hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer COI F dan COI R ................................ 49 Gambar 40. Urutan sekuens ikan sembilang sepanjang 594 pb ......................... 50 Gambar 41. Data dasar pengukuran morfometrik ikan sembilang ...................... 52 Gambar 42. Tampilan morfologi alat kelamin betina dan telur pada TKG IV ikan sembilang .............................................................................................. 53 Gambar 43. Tampilan morfologi ikan sembilang ............................................... 54 Gambar 44. Profil DNA ikan kakap rawa hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer COI F dan COI R. ..................................................................... 55 Gambar 45. Urutan sekuens ikan kakap rawa sepanjang 618 pb ........................ 56 Gambar 46. Tampilan morfologi alat kelamin betina ikan kakap rawa .............. 58 Gambar 47. Tampilan gonad jantan TKG II ikan kakap rawa ............................ 59 Gambar 48. Tampilan morfologi ikan kakap rawa yang mencerminkan pertumbuhannya ................................................................................... 59 viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan umum di Kabupaten Merauke Provinsi Papua merupakan bagian dari kawasan pengelolaan perikanan perairan umum pada paparan sahul (KPP PUD 412). Kabupaten Merauke Provinsi Papua memiliki 3 sungai besar yaitu Bian, Kumbe dan Maro. Menurut Sulistyawan (2005) ketiga sungai ini (Bian, Kumbe, dan Maro = BIKUMA) mempunyai luas sekitar 23.593,83 km2. Sungai Kumbe yang merupakan salah satu sungai di wilayah Kabupaten Merauke, Papua yang termasuk ke dalam wilayah sungai Einlanden-Digul-Bikuma. Sungai tersebut memiliki panjang 300,42 km dengan luas daerah tangkapan air (catchment area) sebesar 3765,90 km2 (Departemen PU, 2008 dalam Satria et al, 2012). Sungai Kumbe terletak pada posisi 140o37’ BT dan 8o00’ LS di bagian hulu sungai dan 140o13’ BT dan 8o21’ LS di muara sungai yang berbatasan dengan Laut Arafura. Menurut Satria et al (2012) Sungai Kumbe memiliki sumberdaya ikan yang cukup beragam dan banyak sehingga aktivitas penangkapan ikan banyak dijumpai di bagian hulu sungai. Karakteristik sekeliling Sungai Kumbe berupa rawa-rawa dengan tumbuhan air yang padat serta dipenuhi oleh hutan bust. Selain ikan arwana irian, jenis ikan lain yang ditemukan di Sungai Kumbe cukup beragam dan kelimpahannya cukup tinggi, sehingga aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh penduduk setempat dapat kita temukan disepanjang sungai. Hasil penelitian Ditya et al (2014) ditemukan beberapa jenis ikan yaitu Nila, Gabus/Gastor, Kaca, Betik, Kakap rawa, Sembilang, Pelangi, Udang, Sumpit, Tulang, Julung-julung dan Bulanak. Dari beberapa jenis ikan hasil tangkapan tersebut yang berpotensi sebagai ikan konsumsi seperti ikan kakap rawa, udang, duri, tulang, dan sembilang. Sedangkan yang berpotensi sebagai ikan hias antara lain arwana, saku, kaca, sumpit dan pelangi (rainbow). Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat di daerah hulu sungai kumbe (alfasera) akan dijadikan lokasi perkebunan inti plasma antara masyarakat setempat dengan perusahan perkebunan. Hal yang dikhawatirkan oleh tokoh masyarakat di Kaiza adalah penurunan atau hilangnya spesies arwana yang merupakan ciri khas spesies di sungai kumbe. Informasi masyarakat sebelumnya di 1 alfasera ada yang berkecimpung di bidang jual beli arwana dikarenakan masih sering ditemukannya ikan arwana di sungai kumbe (alfasera), namun sekarang tidak lagi dikarenakan arwana yang diperoleh harus didapat dari sungai Bian. Hasil penelitian Satria et al (2012), menyatakan kegiatan penangkapan ikan di Sungai Kumbe pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun kegiatan penangkapan yang mampu memberikan pendapatan yang cukup besar bagi nelayan dan masyarakat di sekitar Sungai Kumbe adalah penangkapan ikan arwana. Oleh sebab itu, potensi sumberdaya ikan arwana memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat setempat, meskipun penangkapan dilakukan pada musim anakan ikan arwana. Lebih lanjut menurut Satria et al (2012), dampak dari kegiatan penangkapan ikan arwana pada musim asuhan (memelihara anakan di dalam mulut), haruslah mendapat perhatian yang sangat serius, karena menyangkut dengan kelestarian dari sumberdaya ikan arwana itu sendiri. Permasalahan alih fungsi lahan atau perubahan antropogenik tak dapat dihindari hal ini yang terjadi di wilayah pinggir sungai kumbe dan tentunya memberi tekanan yang tinggi terhadap potensi dan keberadaan ikan arwana perlu disikapi. Keberadaan suaka perikanan atau reservat sebagai wilayah perlindungan atas ikan arwana dan ikan-ikan lain yang berpotensi ekonomis dan ekologis diharapkan bisa mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, diiringi dengan adanya kajian mengenai potensi ikan lain yang bisa dijadikan sebagai ikan ekonomis/hias yang dapat memiliki nilai jual dan pangsa pasar, sehingga ketergantungan ekonomi nelayan atau masyarakat setempat terhadap ikan arwana dapat tergantikan dengan ikan lain yang memiliki potensi ekonomi. Hasil penelitian Satria et al (2012), calon suaka perikanan di perairan Sungai Kumbe berdasarkan karakteristik habitat ikan arwana ditentukan di lokasi Sakor dan Kaisa (Mahayulumb). Sakor merupakan tipe ekosistem sungai dan rawa banjiran dengan dicirikan warna air kehitaman, dipenuhi pohon yang tumbang dan perakaran. Lokasi Sakor dapat dijadikan sebagai lokasi pemijahan, perlindungan dan pembesaran. Sedangkan Kaisa (Mahayulub) merupakan tipe ekosistem rawa banjiran yang dapat dijadikan sebagai wilayah perlindungan dan pemijahan, yang dicirikan dengan warna air agak kehitaman dan dipenuhi oleh semak belukar dan pohon bus. 2 Pentingnya keberadaan suatu calon suaka perikanan ini tidak terlepas dari kajian penentuan lokasi yang telah dilakukan berdasarkan karakteristik habitat ikan ekonomis yang ditentukan. Namun tahapan tersebut tidak serta merta berhenti sampai disitu, tetapi masih perlu evaluasi dari berbagai aspek untuk mengetahui kelayakan calon suaka perikanan tersebut. Salah satu bentuk evaluasi mengenai kelayakan suatu calon suaka perikanan adalah dengan melihat dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan asli lain yang mampu berafiliasi dan berpotensi ekologis dan ekonomis di wilayah calon suaka tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan di wilayah calon suaka perikanan Sungai Kumbe Papua. Sedangkan sasaran yang diinginkan adalah diketahuinya dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan di wilayah calon suaka perikanan Sungai Kumbe Papua. 1.2. Penerima Manfaat (12) 1. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke Provinsi Papua. 2. Direktorat Jenderal Sumberdaya Ikan (Subdirektorat. Perairan Umum Daratan PUD). 3. Mahasiswa Perguruan Tinggi. 4. Masyarakat baik nelayan dan pemerhati lingkungan. 5. Peneliti bidang perikanan perairan umum daratan. 1.3. Strategi Pencapaian Keluaran Metodologi Penelitian Penelitian akan dilaksanakan dengan pendekatan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka, laporan teknis, dan hasil penelitian yang relevan dari instansi terkait (BP2KSI, BPS Provinsi Papua, BWS Mamberamo Papua, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Papua dan Kabupaten Merauke, Bappeda, BLH dan Perguruan Tinggi). Data primer yang dikumpulkan mencakup: Dinamika dan karakteristik sumberdaya ikan meliputi dinamika larva, keragaman genetik dan jenis ikan, informasi pola sejarah hidup, dan aspek biologi. Data primer dikumpulkan dari 3 (tiga) kali survai inventarisasi di wilayah calon kawasan suaka perikanan sungai kumbe yaitu di bulan Mei, Agustus dan Novermber. 3 II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Sungai Kumbe Papua, tepatnya di kawasan calon suaka perikanan yaitu Kaiza (Mahayulumb) dan Sakor. Kegiatan penelitian dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei, Agustus dan November 2015. Gambar 1. Peta Sungai Kumbe Gambar 2. Rata-rata curah hujan per tahun (Sumber: JCP, 2012) 2.2. Teknik Pengumpulan data: Keragaman Genetik dan Jenis Ikan Informasi keragaman genetik dan jenis-jenis ikan yang berafiliasi di wilayah calon kawasan suaka perikanan Sungai Kumbe Papua menggunakan pendekatan morfologi dan DNA Barcoding. Semua spesies ikan yang diperoleh (minimal 3 4 spesimen/spesies) di katalog (diberi label) dan disimpan di Museum koleksi ikan air tawar, Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U) Palembang. Hasil sekuense setiap spesies yang di diperoleh didaftarkan dan disimpan pada GenBank NCBI. Marka Molekuler Setiap specimen yang terpilih, dilakukan koleksi darah dan sebagian otot (kurang lebih berukuran 1 x 1 cm), selanjutnya dimasukkan atau disimpan dalam vial tube yang telah berisi alkohol absolut 99%. Vial tube diberi kode dan asal specimen, untuk kemudian disimpan dalam suhu kamar. Scapel dan sarung tangan untuk koleksi darah dan otot hanya digunakan sekali untuk setiap specimen dan langsung dibuang. Vial tube hanya berisi darah atau otot dari hanya satu specimen sampel. Selanjutnya vial tube dibawa ke laboratorium untuk dilakukan ekstraksi dan isolasi mtDNA. Ekstraksi dan isolasi mtDNA Isolasi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA mini kit for blood (Geneaid) yang dimodifikasi. Sel-sel darah ikan yang disimpan dalam alkohol 70% dicuci dengan air destilata dua kali kemudian disuspensikan dalam bufer STE (NaCl 1M, Tris-HCL 10mM, EDTA 0.1mM, pH 8) hingga volume 350µl. Sel-sel darah dilisis dengan SDS 1% dan proteinase K 0.125 mg/ml pada suhu 55oC selama 1 jam sambil dikocok pelan. Metode ekstraksi DNA selanjutnya mengikuti petunjuk Genomic DNA mini kit for fresh blood (Geneaid). Amplifikasi dan visualisasi fragmen mtDNA Amplifikasi sebagian fragmen D-Loop mtDNA menggunakan primer FishCOI-F (5'-ACT TCA AAC TTC CAY AAA GAY aty GG-3) and COI-Fish-R (5'TAG ACT TCT GGG TGG CCR AAR Aay CA-3 '). Ivanova et al. (2007). Komposisi reaksi PCR dilakukan dengan volume akhir 50 µl terdiri atas sampel DNA 5 µl, DW steril 16 µl, primer masing-masing 2 µl dan Taq ready mix 25 µl. Reaksi PCR dilakukan menggunakan mesin thermocycler BioApply dengan kondisi sebagai berikut: tahap pradenaturasi 95°C selama 10 menit, tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus yang masing-masing mencakup tahap denaturasi 94°C selama satu menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 48°C (42°C untuk gen sitokrom b) selama satu menit, pemanjangan (extension) pada suhu 72 °C selama 1,5 menit dan tahap terakhir yaitu pemanjangan akhir (final extension) pada suhu 72 °C selama 7 5 menit. Produk PCR diuji menggunakan PAGE 6% dalam bufer 1x TBE (10 Mm Tris-HCL, 1 M asam borat, dan EDTA 0.1 Mm) yang dijalankan pada kondisi 200 Mv selama 30 menit. Selanjutnya DNA diwarnai dengan pewarnaan sensitif perak. Perunutan produk PCR Produk PCR di atas gel poliakrilamid yang berukuran sesuai dengan desain primer dimurnikan dengan metode agarose-gel-cutting yang diikuti dengan spincoloumn DNA extraction from gel. Produk PCR yang sudah dimurnikan dijadikan cetakan dalam PCR for sequencing dengan menggunakan pasangan primer yang sama dengan amplifikasi awal. Informasi pola sejarah hidup, biologi dan dinamika larva ikan Analisa pola sejarah hidup, biologi dan dinamika larva ikan difokuskan pada ikan endemik yang berafiliasi dan memiliki nilai ekonomis dan budaya yang tinggi. Informasi ini terutama terkait dengan pola dinamika dan migrasi ikan dan didukung dengan ontogeni makanan, pertumbuhan, dan reproduksi. Komposisi Jenis Ikan Untuk mengetahui hasil tangkap dan komposisi jenis ikan, sampel ikan dikumpulkan dari hasil tangkapan nelayan pada saat survey dan dari catatan harian nelayan (enumerator). Jumlah jenis ikan dan sebarannya diketahui dari data jenis-jenis ikan yang dikumpulkan nelayan yang diletakkan dalam wadah yang telah diberikan pengawet. Contoh ikan didapatkan dari berbagai ukuran alat tangkap yang dioperasikan di lokasi riset. Dari data komposisi jenis ikan ini akan terlihat dinamika sebaran jenis-jenis ikan yang beruaya dari suatu stasiun ke stasiun lainnya. Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi Pada masing-masing stasiun, akan dilakukan pengambilan sampel air dan sedimen baik untuk parameter fisika, kimia maupun biologi. Contoh air pada perairan sungai Kumbe diambil dari atas perahu motor dengan menggunakan kemmerer water sampler. Sebagian contoh akan dianalisa di lapangan (suhu, kedalaman air, kecepatan arus, kecerahan, daya hantar listrik, pH, alkalinitas, kesadahan total, dan oksigen terlarut), unsur hara nitrogen dan fosfor (nitrogen total dan fosfor total) diawetkan pada suhu kurang dari 4oC dan dianalisa di Laboratorium 6 Kimia. Selengkapnya pengambilan sampel masing-masing parameter akan diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Kualitas Air yang diamati Selama Penelitian. No Parameter AIR 1. Fisika Peralatan Suhu Kecerahan Daya Hantar Listrik Kedalaman air Total Suspended Solids Total Dissolved Solids 2. 3. Kimia pH Oksigen terlarut Alkalinitas Hardness TN TP Metode Termometer Secchi Disk Conductivity meter Depth Sounder Visual Visual Elektrometri Visual Gravimetri Gravimetri pH-meter Spectrofotometer Spectrofotometer Visual Titrasi Winkler Titrimetri Titrimetri Spektrofotometri Spektrofotometri Biologi Hasil tangkapan, Berbagai Jenis dan komposisi tangkap ikan alat Enumerasi tangkapan nelayan hasil Contoh biota yang dikumpulkan antara lain perifiton, fitoplankton, zooplankton dan benthos. Perifiton diambil pada substrat tumbuhan (daun dan batang kayu) yang dicampur secara dekomposit, substrat tumbuhan yang dipilih adalah substrat yang sudah lama terendam di air. Contoh perifiiton yang diambil mengunakan scouring pad yang dilekatkan pada syringe yang sudah diketahui luasannya diambil sebanyak lima kali. Perifiton yang melekat pada scouring pad dilarutkan ke dalam botol 100 mL yang berisi air aquadest dan diawetkan dengan lugol sebanyak 5 sampai 10 tetes. Kelimpahan/kepadatan perifiton dihitung berdasarkan luasan substrat yang dikerik dengan scouring pad, diidentifikasi dan dihitung kelimpahan dan komposisi jenis di bawah mikroskop Merk Axiom P.C.101 dengan pembesaran 10x20 dengan metoda lintasan menggunakan Sedgwick-Rafter Counting Chamber (APHA, 2005). 7 Contoh fitoplankton pada perairan sungai Kumbe diambil pada kedalaman 30 cm secara langsung sebanyak 500 ml. Sampel fitoplankton diawetkan dengan larutan lugol sebanyak 1 ml untuk 100 mL sampel. Organisme tersebut diidentifikasi dan dihitung kelimpahan dan komposisi jenis di bawah mikroskop Merk Axiom P.C.101 dengan pembesaran 10x20. dengan metode lintasan menggunakan Sedgwick-Rafter Counting Chamber (APHA, 2005). 2.3. Analisa data Keragaman Genetik dan Jenis Ikan Hasil perunutan nukleotida diedit secara manual berdasarkan kromatogram. Runutan nukleotida yang sudah diedit kemudian saling disejajarkan antara bagian forward dan reverse menggunakan Clustal W yang tertanam dalam MEGA 4.0 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) (Tamura et al. 2007), kemudian dilakukan analisa variasi sekuense dan distribusi nukleotida. Analisis filogeni Neighbour Joining (NJ) dilakukan menggunakan MEGA 4.0 (Tamura et al. 2007), berdasarkan model substitusi nukleotida Kimura-2-paramater dengan bootstrap 10.000 kali. Informasi pola sejarah hidup, biologi dan dinamika larva ikan Struktur Saluran Pencernaan Analisis struktur saluran pencernaan dilakukan pengamatan secara makroanatomi, pengamatan pada posisi mulut, bentuk gigi, struktur tapis insang, faring, bentuk lambung dan panjang usus. Rasio panjang usus dihitung dengan rumus sebagai berikut: Rasio panjang usus (%) = PT × 100 PU Keterangan : PT = Panjang total ikan (mm) PU = Panjang usus ikan (mm) Komposisi Makanan Metode estimasi persentase volume organisme makanan dapat digunakan untuk menduga volume yang sesungguhnya, hal ini dilakukan karena volume sebenarnya tidak dapat diukur secara langsung. Data estimasi volume nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menghitung indeks bagian terbesar (Index of Preponderance) suatu jenis makanan yang dimanfaatkan oleh ikan. Penggunaan 8 metode ini adalah pada saat mengamati organisme dan mengelompokkannya berdasarkan jenisnya. Kemudian kelompok-kelompok tersebut diukur volumenya menggunakan gelas ukur. Persentase volume masing-masing organisme yang teramati jika dijumlahkan akan mencapai 100 %. Pertumbuhan Analisis hubungan panjang berat menggunakan uji regresi: W = aL b Keterangan: W = Berat tubuh ikan (gram) L = Panjang ikan (mm), a dan b = konstanta Jika b=3 (isometrik) atau b≠3 (alometrik). Reproduksi Untuk analisis biologi reproduksi dilakukan pengamatan dan pengukuran parameter-parameter sebagai berikut : jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, berat gonad, indeks kematangan gonad. Kemudian dilakukan pengukuran fekunditas total, telur matang dan rata-rata diameter telur. Nisbah kelamin Nisbah kelamin diketahui berdasarkan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap sampling yang dilakukan. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan sampel ikan tersebut. Untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, dilakukan uji ”Chi kuadrat” (X²) sebagai berikut: ( f 1 F)2 X² = F i 1, 2 , 3 s Keterangan : X² = Nilai distribusi kelamin Fi = Nilai pengamatan ikan ke-i F = Nilai harapan ke-i I = 1,2,3 S = Jumlah pengamatan Apabila nilai X²hit> X²tab (0,05), maka Ho ditolak yang berarti nisbah kelamin tidak seimbang, sedangkan jika X²hit< X²tab (0,05) Ho diterima, yang berarti nisbah kelamin seimbang. Morfologi dan Histologi Gonad 9 Penentuan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan jantan dan betina ditentukan secara morfologis mencakup warna, bentuk, dan ukuran gonad. Perkembangan gonad secara kualitatif ditentukan dengan mengamati TKG I-V berdasarkan morfologi gonad. Analisis secara histologis gonad ikan sampel dilakukan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad secara histologis dan pola pemijahannya. Untuk keperluan pengamatan histologi tersebut, dilakukan pengambilan gonad ikan jantan dan betina yang masih segar. Gonad ikan difiksasi dengan larutan Bouin, kemudian dianalisis di laboratorium dengan proses jaringan (agar bisa dipotong 5-7 mikron), pemotongan jaringan, dan pewarnaan dengan menggunakan haemotoxylin dan eosin. Komposisi Jenis Ikan Identifikasi jenis ikan dilakukan berdasarkan Allen (1991) dan Allen et al. (2000) yang kemudian dicek silang dengan data menurut Fishbase (Froese & Pauly, 2011). Pengukuran panjang dan penimbangan bobot tubuh dilakukan pada masingmasing ikan yang tertangkap. Jenis-jenis ikan yang belum teridentifikasi kemudian diawetkan menggunakan formalin 10% sebagai spesimen untuk keperluan identikasi lebih lanjut di laboratorium. Analisis data yang dilakukan meliputi penggunaan indeks relatif penting (IRI) dengan rumus sebagai berikut: (Jutagate et al., 2005): Indeks relatif penting (IRI): Keterangan: IRI = indeks relatif penting spesies ikan ke i %W = persentase berat dari spesies ke i dalam total tangkapan %N = persentase jumlah dari spesies ke i dalam total tangkapan %F = frekwensi kehadiran spesies ke i dalam total tangkapan Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi Analisa data lingkungan fisik, kimia dan biologi dilakukan secara analisis deskriptif berdasarkan data yang diperoleh dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Selain itu, parameter biologi disajikan dalam bentuk indeks biologi yang meliputi kelimpahan, keanekaragaman dan dominansinya. Kelimpahan parameter biologi perairan dihitung menggunakan rumus Sedwick Rafter (Welch, 1952; Edmonson, 1971) yaitu: 10 N = (ns x va)/(vs x vc) di mana: N : jumlah sel plankton per liter air contoh ns : jumlah sel plankton pada Sedwick Rafter va : volume air terkonsentrasi dalam botol/diendapkan (50 ml) vs : volume air dalam preparat Sedwick Rafter (1 ml) vc : volume air contoh yang diambil dalam botol (0,5 liter) Indeks keanekaragaman plankton dihitung dengan menggunakan persamaan Shanon-Wiener. Perhitungan ini menggambarkan analisis informasi mengenai jumlah individu serta berapa banyak jenis yang ada dalam suatu komunitas. Rumus perhitungan (Odum, 1971) yang digunakan adalah sebagai berikut: di mana: H’ = indeks keanekaragaman Shanon-Wiener pi = ni/N ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah seluruh individu Indeks Dominansi dihitung dengan menggunakan formula Simpson, yaitu: di mana: Di = Indeks Dominansi ni = jumlah individu tiap jenis N = jumlah total individu tiap jenis s = jumlah genera Kriteria indeks dominansi berkisar antara 0-1 : Dominan : jika Di > 0,5 Tidak dominan : jika Di ≤ 0,5 11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sungai Kumbe merupakan salah satu sungai yang berada di wilayah sungai BIKUMA yang terletak di Kabupaten Merauke. Jarak tempuh ke lokasi penelitian di Sungai Kumbe ditempuh dengan menggunakan kendaraan darat menuju Kampung Wayau/Baad yang terletak di Distrik Animha dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam dari Kota Merauke. Cakupan penelitian tidak meneliti keseluruhan aliran Sungai Kumbe, namun dibatasi pada kawasan yang berpotensi menjadi calon suaka perikanan berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Satria et al (2013). Kegiatan penelitian di Sungai Kumbe ini merupakan kelanjutan dari kegiatan penelitian sebelumnya di tahun 2014. Pada tahun 2014 kegiatan penelitian menitikberatkan pada kajian potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Sungai Kumbe sedangkan kegiatan penelitian tahun 2015 untuk melengkapi data pada kegiatan tahun sebelumnya dan menitikberatkan pada dinamika dan keragaman genetik sumberdaya ikan di wilayah calon suaka perikanan Sungai Kumbe. 3.1. Karakteristik Habitat Perairan Sungai Kumbe Menurut Satria (2012) tipe karakteristik habitat yang ditemukan di Sungai Kumbe dapat dikelompokkan menjadi 5 ciri/tipe, yaitu: a). rerumputan yang terendam air; b). pepohonan yang tumbang baik itu berupa batang kayu, dahan atau ranting yang terendam; c). semak belukar yang terendam air; d). akar pohon dan semak belukar di pinggiran sungai; dan e). pohon yang terendam di daerah teluk dan warna air kehitaman. Dengan mengacu pada tipe karakteristik habitat tersebut penelitian ini dilakukan dengan menginventarisir keragaman genetik sumberdaya perikanan dan dinamika larva yang ada di perairan Sungai Kumbe. Lokasi penelitian di Sungai Kumbe terdiri dari 2 calon kawasan suaka perikanan yaitu Sakor dan Mahayulumb (Kaisa). Dan dilengkapi dengan beberapa stasiun yang berpengaruh terhadap kehidupan nelayan dan juga menjadi sentra produksi ikan di Sungai Kumbe, yaitu: Baad, Yakau, Inggun (Wayau). Berikut ditampilkan lokasi penelitian yang dilakukan selama kegiatan penelitian berlangsung (Gambar 3; 4 dan 5). Mahayulumb (Kaisa) merupakan semenanjung pertama yang terletak setelah dari kampung kaisa ke arah hilir. Karakteristik lingkungan perairan berwarna agak kehitaman dan dipenuhi oleh tanaman pohon bus dan semak belukar. Habitat rawa banjiran ini memiliki luas pada musim banjir mencapai 9 ha, dengan pola tingkah laku ikan menjadikan tempat tersebut sebagai daerah perlindungan dan pemijahan. 12 Rawa Inggun merupakan ekosistem rawa banjiran yang terletak setelah kampung Wayau ke arah hilir. Rawa ini didominasi oleh tanaman air atau rerumputan dengan warna air agak kecoklatan. Luas hamparan perairan pada saat musim banjir mencapai 25 ha. Daerah ini menjadi daerah pengasuhan dan mencari makanan bagi beberapa spesies ikan. Yakau merupakan ekosistem sungai dan rawa banjiran dengan didominasi pohon bus dan semak belukar serta dengan air agak kecoklatan. Habitat sungai dan rawa banjiran ini memiliki luas pada musim banjir mencapai 16 ha, dengan pola tingkah laku ikan menjadikan tempat tersebut sebagai daerah perlindungan dan pemijahan. Baad merupakan ekosistem sungai dan rawa banjiran dan merupakan jalur utama sungai kumbe dengan warna air kecoklatan. Habitat sungai dan rawa banjiran ini memiliki luas pada musim banjir mencapai 18 ha, dengan pola tingkah laku ikan menjadikan tempat tersebut sebagai daerah perlindungan. Sakor merupakan ekosistem sungai dan rawa banjiran dengan bercirikan air agak kehitaman dan terdapat pohon-pohn tumbang dan perakaran. Luasan hamparan sungai dan rawa banjiran ini mencapai 40 ha pada saat musim banjir atau penghujan. Lokasi ini merupakan lokasi untuk pemijahan dan perlindungan. Sakor Yakau Mahayulumb Muara Inggun Baad Gambar 3. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan Bulan Mei. 13 Sakor Yakau Mahayulumb Muara Inggun Baad Gambar 4. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan Bulan Agustus. Sakor Yakau Mahayulumb Muara Inggun Baad Gambar 5. Beberapa lokasi penelitian Sungai Kumbe Pengamatan Bulan November. 14 Jika diperhatikan secara umum di perairan sungai kumbe pada pengamatan dari bulan Mei, Agustus dan November 2015 terlihat jelas perbedaan yang dipengaruhi oleh fluktuasi permukaan air pada kisaran 3-4 meter. Hal ini jika dibandingkan dengan pengamatan survei pada bulan Mei 2015 terlihat beberapa ekosistem paparan banjiran dan rawang yang mengalami penurunan permukaan air. Bahkan di beberapa lokasi penelitian pada saat bulan November perjalanan ke stasiun Yakau, badan sungai ada yang tertutup oleh tumbuhan air (kumpai) sehingga speed boat yang ditumpangi harus berjalan lambat dan hati-hati. Lebih lanjut ke arah hilir yaitu stasiun Baad dan Sakor fenomena menarik terjadi yaitu badan sungai dipenuhi oleh sejenis tumbuhan air yang menutupi hampir seluruh badan sungai, masyarakat sekitar menamakannya eceng gondok (bangoon) yang jika terkena tubuh akan terasa gatal. Tumbuhan air ini menurut masyarakat setempat berasal dari Kampung Salor yang muncul dari bulan September hingga awal Desember yang bergerak ke hulu seiring dengan air pasang laut yang mendorong tumbuhan air tersebut. Namun pada saat musim hujan tiba tumbuhan air tersebut baru akan hilang terbawa arus air dari hulu ke hilir. Beberapa parameter kualitas air yang diukur di perairan sungai Kumbe disajikan pada Tabel 2. Warna air di setiap lokasi penelitian rata-rata berwarna hijau kehitaman. Warna kehitaman dihasilkan oleh banyaknya serasah di dasar perairan yang memantulkan warna hitam, sementara airnya sendiri tidak berwarna (bening). Nilai kecerahan yang terukur selama penelitian di setiap lokasi penelitian cukup tinggi. Kondisi kecerahan yang tinggi sangat menguntungkan karena berhubungan dengan proses fotosintesis yang terjadi di perairan secara alami. Suhu perairan yang terukur selama penelitian di setiap lokasi fluktuasinya sangat kecil berkisar antara 27,4 – 29,70C. Menurut Mulyanto (1992), suhu air yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis adalah 25 – 32oC, atau dengan kata lain secara umum suhu air di Sungai Kumbe mendukung untuk kehidupan ikan. Hasil pengukuran oksigen terlarut di setiap lokasi penelitian berkisar antara 0,48-2,83 ppm. Rendahnya oksigen di beberapa lokasi penelitian diduga diakibatkan oleh terjadinya proses dekomposisi di dasar perairan yang menggunakan oksigen untuk proses penguraian bahan organik. 15 Tabel 2. Kualitas Air di Perairan Sungai Kumbe di bulan pengamatan tahun 2015. No Parameter Bulan Mei St.1 St.2 St.3 Bulan Agustus St.4 St.5 St.1 St.2 St.3 St.4 St.1 St.5 Bulan November St.3 St.4 St.5 1 Suhu air (°C) 27,4 27,4 27,7 29,7 27,7 28,4 27,8 28,1 28,1 27,4 28,9 29,3 31,9 31,5 2 Kecerahan (cm) 160 220 100 100 130 70 81 90 90 33 55 175 155 44 3 Kedalaman (m) 3,0 3,6 1,1 1,3 2,0 2,7 2,8 4,5 5,1 1,9 1,3 4,6 3,1 5,8 4 PH 5,34 5,18 5,40 5,36 5,43 5,51 5,48 5,38 5,32 5,22 6,75 6,99 6,30 6,89 5 DO 0,5 1,2 0,7 2,8 1,4 5,7 6,9 6,7 7,3 7,8 1,66 2,74 3,26 5,56 6 CO2 (mg/L) 9,68 11,08 8,62 7,92 9,86 6,16 7,04 5,28 5,28 6,16 3,96 3,52 3,96 2,20 7 Alkalinitas (mg/L) 8 9 7 9 10 5 7 7 5 6 10 7,5 4 6 8 Turbidity 3,99 3,77 7,40 1,99 6,82 14,10 21,40 7,52 8,70 52,50 9 TP (mg/L) 0,2734 0,0064 0,0584 0,0974 0,0214 0,0267 0,0155 0,0338 0,0267 0,0520 0,0019 0,0063 0,0013 0,0539 10 O-PO4 (mg/L) 0,0024 0,0054 0,0005 0,0025 0,0054 0,0115 0,0153 0,0099 0,0161 0,0092 0,0054 0,0048 0,0048 0,0302 11 NH 3 (mg/L) 0,1602 0,1093 0,2031 0,0625 0,0781 0,0391 0,0376 0,0569 0,0531 0,1201 0,1513 0,0633 0,0119 0,5370 12 NO3 (mg/L) 2,2959 0,1793 0,8878 0,1928 0,2959 1,4685 0,4056 0,5618 0,2471 1,6457 0,6115 0,0019 0,0058 0,6135 13 NO2 (mg/L) 0,0007 0,0021 0,0009 0,0012 0,0016 0,0057 0,0046 0,0060 0,0049 0,0193 0,0004 0,0017 0,0007 0,0102 14 TSS (mg/L) 6 17 13 27 16 28 38 29 5 46 15 Kesadahan (mg/L) 12,0 27,0 12,0 15,0 24,0 18,9 9,0 10,8 9.0 22,5 17,3 7,0 10,0 6,0 16 COD 7,16 8,65 6,99 10,48 7,99 2,16 2,83 2,00 1,50 1,66 69,90 2,19 4,24 5,62 1,72 5,06 2,90 5,41 3,95 3,14 1,78 4,28 6,67 4,28 17 3 Klorofil (mg/m ) Ket : St.1 = Baad; St.2 = Sakor; St.3 = Yakau; St.4 = Rawa Inggun; St.5 = Mahayulumb 16 Hasil pengukuran alkalinitas dan pH air selama penelitian di peroleh dengan kisaran 5-10 mg/l dan 5,18 – 5,51. Nilai pH relatif bersifat asam karena disebabkan oleh lahan gambut di sekitar sungai. Sedangkan Nilai alkalinitas tidak mempunyai perbedaan yang mencolok. Lebih lanjut, nilai klorofil-a merupakan pigmen hijau organisme fotoautotrof yang berperan sebagai mediator dalam proses fotosintesis. Keberadaan klorofil-a pada badan air merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi produktivitas primer perairan dan dapat sebagai indikator tingkat kesuburan perairan. Kandungan total klorofil-a di Sungai Kumbe berkisar antara 1,72-69,9 µg/L dengan nilai rata rata 35 µg/L. Konsentrasi klorofil menunjukkan bahwa Sungai Kumbe bersifat oligotrofik. Nilai karbondioksida dalam perairan sungai Kumber berkisar 5,28 – 11,08 mg/L pada hasil pengukuran bulan Mei dan Agustus. Menurut Boyd (1979) nilai karbondioksida tergolong rendah yaitu di bawah 5 mg/l. Kadar karbondioksida diperairan dapat mengalami pengurangan bahkan hilang diakibatkan proses fotosintesis, evaporasi dan agatasi air (Effendie, 2003). Nilai karbondioksida ditunjukan pada Tabel 2 di atas. Nilai karbondioksida yang tinggi terdapat pada bulan Mei di semua stasiun pengambilan sampel. Hal ini dapat dikarenakan masih banyaknya tumbuhan dan memungkinkan banyaknya aktivitas yang menjadikan nilai karbondioksida meningkat. Kedalaman merupakan fungsi dari curah hujan, masukan dari anak sungai, kemiringan tingkat erosi tepian dan dasar sungai, serta merupakan parameter fisika kunci yang akan menentukan produktivitas perairan sungai. Kedalaman hampir semua stasiun cukup berfluktuasi pada bulan Mei dan bulan Agustus. Pada bulan September beberapa stasiun ada yang mengalami penurunan dan ada juga yang mengalami peningkatan dari nilai kedalaman. Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi (diperkirakan sekitar 95%-100% ) menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam dan suhu tinggi (Effendi, 2003). Perairan yang memiliki nilai COD yang tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian (Effendi, 2003). Nilai tertinggi dari hasil analisa COD terdapat pada bulan Mei di stasiun Inggun sebesar 10,48 mg/L. Hasil analisa COD pada lokasi sampling penelitian masih di bawah ambang batas. Menurut UNESCO/WHO/UNEP (1992) dalam Effendi (2003), nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L. 17 Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amoniak dan nitrat, dan antara nitrat dan gas nitrogen oleh karena itu jumlah nitrit yang ditemukan relatif kecil (Effendie, 2003). Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan domestik, akan tetapi dalam jumlah kecil karena langsung mengalami oksidasi menjadi nitrat. Nitrit pada dasarnya merupakan bentuk utama senyawaan nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Senyawa ini merupakan senyawa stabil, yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perarian (Effendie, 2003). Nilai nitrit tertinggi pada bulan Agustus di stasiun Mahayulumb yaitu 0,0193 mg/L. Pada dasarnya nitrit adalah senyawa transisi nitrogen yang memiliki sifat toksik pada organisme, sehingga nilainya tidak boleh terlalu tinggi. Secara keseluruhan nilai nitrit berkisar antara 0,0007 – 0,0193 mg/L, yaitu dibawah batas maksimal dalam perairan yaitu 0,06 mg/L (Boyd, 1979). Ammonia di perairan bersumber dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur (Effendie, 2003). Pada bulan Agustus didapatkan rata-rata mengalami penurunan amoniak di sebagian besar stasiun pengamatan di perairan sungai Kumbe hanya stasiun Mahayulumb yang mengalami sebaliknya (Tabel 2). Nilai amonia tertinggi pada stasiun Mahayulumb pada bulan Agustus sebesar 0,1201. Nilai amoniak di perairan tergolong tinggi dimana nilainya melebihi 0,1 mg/l, dimana secara normal nilai ammonia bebas diatas 0,2 mg/L bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty,1978 dalam Effendie, 2003). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan akuatik (fitoplankton) fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat (Effendie, 2003). Kisaran kadar orthoposfat pada lokasi penelitian berkisar 0,0005–0,0161 mg/L. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan dapat diklasifikasikan menjadi perairan oligotrofik menuju perairan mesotrofik. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendie, 2003). Kisaran TSS yang didapatkan dari hasil analisa berkisar 5 mg/L sampai 46 mg/L. TSS tertinggi ditemukan pada stasiun Mahayulumb pada bulan Agustus sebesar 46 mg/L. Nilai TSS dengan nilai >400 mg/L dikategorikan memiliki pengaruh yang tidak baik untuk kepentingan perikanan (Alabaster dan Lloyd, 1982 dalam Effendie, 2003). 18 Kelimpahan dan Keanekaragaman Plankton Pengambilan sampel plankton dilakukan pada setiap stasiun pengamatan yaitu Baad, Sakor, Inggun, Yakau, dan Mahayulumb (Kaisa). Kelimpahan total fitoplankton tertinggi di Sakor dengan kelimpahan mencapai 2.578 sel/L masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kelimpahan di Yakau pada penelitian tahun sebelumnya yang mencapai 4.106 sel/L. Kelimpahan fitoplankton didominasi oleh genera Tribonema sp dan Ullothrix sp dari kelas Clorophyceae dan Synedra sp dari kelas Bacillariophyceae. 7 Kelimpahan Klorofil 6 2500 5 2000 4 1500 3 1000 2 500 Klorofil-a (mg/m3) Kelimpahan (Sel/L) 3000 1 0 0 Baad Sakor Inggun Yakau Mahayulumb Stasiun Gambar 6. Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Klorofil-a. Nilai indeks keanekaragaman fitoplankton pada lokasi pengamatan diperoleh nilai yang berkisar antara 1,07 – 2,52. Dengan stasiun Sakor diikuti Baad dan Yakau merupakan stasiun dengan indeks keaneragaman paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dengan demikian rentang indeks keanekaragaman fitoplankton di lokasi penelitian bermakna bahwa kondisi komunitas fitoplankton adalah sudah mengalami tekanan walaupun nilai H nya cenderung > 2. Menurut Lee et al. (1978) bahwa indeks keanekeragaman fitoplankton > 2,0 menunjukkan kondisi perairan tidak tercemar. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi perairan pada wilayah studi atau lokasi pengambilan contoh tergolong masih alami (belum tercemar) tetapi sudah ada gejala tekanan lingkungan. Indeks dominansi fitoplankton berada pada nilai yang moderat atau sedang < 0,5 yang berarti belum adanya jenis yang mendominasi pada perairan tersebut. 19 0,6 Keanekaragaman Dominansi 2,5 0,5 2 0,4 1,5 0,3 1 0,2 0,5 0,1 0 Dominansi Keanekaragaman 3 0 Baad Sakor Inggun Yakau Mahayulumb Stasiun Gambar 7. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Fitoplankton di Sungai Kumbe. Berdasarkan hasil pengamatan laboratorium, di perairan Sungai Kumbe tepatnya di lokasi pengambilan sampel didapatkan 19 spesies zooplankton yang termasuk dalam 4 kategori takson (Monogonota, Mastigophora, Crustacea dan Oxytrycha). Hasil analisis menunjukkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 4-110 ind/L. Nilai indeks keanekaragaman zooplankton di Sungai Kumbe berkisar antara 0-1,87 atau dengan ratarata indeks keanekaragaman 0,94 (H’<1) yang menunjukkan bahwa keanekaragaman zooplankton di perairan tersebut rendah. Hal ini didukung juga indeks dominansi zooplankton berada pada nilai yang tinggi (>1) yang berarti adanya jenis yang mendominasi pada perairan tersebut (Gambar 8). Kelimpahan Keanekaragaman Dominansi 120 2 80 1,5 60 1 40 Indeks Biologi Kelimpahan (Ind/l) 100 2,5 0,5 20 0 0 Baad Sakor Inggun Yakau Mahayulumb Stasiun Gambar 8. Kelimpahan dan Indeks Biologi Zooplankton di Sungai Kumbe 20 Pada Gambar 9 terlihat bahwa kelimpahan perifiton selama pengamatan di sungai Kumbe baik tahun 2015 dan 2014 terlihat bahwa pada stasiun Yakau merupakan stasiun di sungai Kumbe dengan kelimpahan perifiton lebih dominan dibandingkan dengan stasiun yang lainnya meskipun secara umum trend nya menurun di setiap stasiun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun Yakau memiliki peluang produktivitas primer yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Menurut Fatah & Makri (2011), salah satu organisme produsen penting yang berperan terhadap produktivitas primer perairan umum khususnya perairan sungai dan rawa adalah perifiton. Siklus hidup perifiton ini bersifat menetap yang hidup di atas atau sekitar substrat yang tenggelam, tetapi dengan tidak melakukan penetrasi ke dalam subtrat tersebut (Weitzel, 1979). Komunitas organisme ini sering digunakan untuk mendeteksi perubahan kualitas air akibat interaksi faktor alam dengan aktivitas manusia di daerah aliran sungai. Komunitas organisme ini mempunyai respon cepat terhadap perubahan kualitas air dan dapat menggambarkan kondisi lingkungan dalam jangka panjang (Marini, 2013). Mahayulu mb; 34820 Baad; 30078 Sakor; 47912 Yakau; 98726 Inggun; 21231 (a) (b) 2 Gambar 9. Kelimpahan Perifiton (sel/cm ) di Sungai Kumbe (a) 2015 dan (b) 2014. Keanekaragaman 3 0,35 0,3 0,25 2 0,2 1,5 0,15 1 Dominansi Keanekaragaman 2,5 0,1 0,5 0,05 0 0 Baad Sakor Inggun Yakau Mahayulumb Stasiun Gambar 10. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton di Sungai Kumbe. 21 3.2. Keragaman Genetik dan Jenis Ikan Sampai saat ini informasi genetik tentang ikan-ikan yang menghuni lahan gambut hitam Sungai Kumbe masih sangat terbatas dan sejauh yang kami ketahui belum pernah dipublikasi sebelumnya. Berikut disampaikan jenis-jenis ikan di calon kawasan suaka perikanan Sungai Kumbe yang berhasil kami barkode berdasarkan sekuens gen Cytochrom Oxidase Subunit 1 (COI) mitochondrial DNA, sebagai DNA referensi untuk identifikasi larva ikan untuk manajemen perikanan. Siluriformes (I) Arridae (1) 1. Neoarius graeffei (Kner & Steindachner 1867) Plotosidae (2) 2. Neosilurus ater (Perugia, 1894) 3. Porochilus meraukenensis, Weber 1913 Clariidae (3) 4. Clarias batrachus (Linnaeus, 1758) Antheriniformes (II) Melanotaeniidae (4) 5. Golden river rainbow fish, Melanotaenia goldie (Maclcay, 1883) Perciformes (III) Gobiidae (5) 6. Glossogobius sp Toxotidae (6) 7. Toxotes jaculatrix (Pallas, 1767) 8. Toxotes chaterus (Hamilton, 1822) Terapontidae (7) 9. Pingalla lorentzi (Weber, 1910) 10. Hephaestus trimaculatus (Macleay, 1883) Ambassidae (8) 11. Ambassis agramus (Günther, 1867) 12. Parambassis gulliveri (Castelnau, 1878) Apogonidae (9) 13. Glossamia aprion (Richardson, 1842) Cichlidae (10) 14. Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) 22 Anabantidae (11) 15. Anabas testudineus, Bloch 1792 Osteoglossiformes (IV) Osteoglossidae (12) 16. Scleropages jardinii (Saville-Kent, 1892) Elopiformes (V) Megalopidae (13) 17. Megalops cyprinoides (Broussonet, 1782) Clupeiformes (VI) Clupeidae (14) 18. Nematalosa flyensis (Wongratana, 1983) 19. Nematalosa papuaensis 20. Clupeoides venulosus, Weber & de Beaufort 1912 Beloniformes (VII) Belonidae (15) 21. Strongylura kreffti, Gunther 1866 22. Macrobrachium rosenbergii (De man, 1879). Siluriformes (I) Family Ariidae (I, 1) Gambar 11. Blue Catfish, Neoarius graeffei (Kner & Steindachner 1867) >1595279_3_f (PA 01) tattaaggtttcggtctgtcagtaacatagtgataccggcggctagaactgggagggataggagtaagagtacagcagtaattagaatggctcagacaa ataggggtgtttgatactgtgagatagctgggggcttcatattaataatagttgtgataaaattgatggcccctagaattgacgatacccctgctaggtgaag agaaaaaatagtaaggtctacggaggctcctgcgtgtgcaagatttccagcaaggggcgggtacacagtccatcctgttcctgctcctgcttcaacccctg atgaagcaagaagaagcaggaaagatggagggaggagtcagaagcttatattatttattcgggggaatgctatgtctggggctccgattattaggggaa caagtcagttcccaaagcctccaattataattggcattactataaagaaaattattacgaaagcatgagcggtgacgataacattataaatttgatcatcgc ctagaagggcgccgggttgagctaactctgcccgaattagcaggctaagggcggttccaactattccggctcaggcaccaaacactaggtaaagggtg cc 23 Family Plotosidae (I, 2) Gambar 12. Narrow-fronted Tandan, Neosilurus ater (Perugia, 1894) >1595282_6_f (PA 08) Tcgatctgttagtagcattgtaattccggcagctagtactggtagggataagagtagaagcacggcggtaattagtacggctcaaatgaataggggtgttt gatattgtgagatggctgggggtttcatattaataatagttgtaataaaattaatagccccgaggattgatgaaacccctgctaagtgaagtgagaagattg ttaggtctacggaagcccctgcgtgtgccaggtttccagctaggggtggatagacagttcatccggttccggccccagcttctactcctgacgatgcaaga agtagtagaaaggaggggggaagtaatcagaagcttatgttgtttattcgcggaaatgctatgtcgggtgcgccaattattagtgggattaatcagtttcca aatccaccgattataattggtattactataaagaaaattattacgaaggcgtgggcggtgacgataacattataaatttgatcatcaccaagaaaggcacc aggctgagctaattcggcccgaattaataggcttaaggctgtgcccaccattccggctcaggcaccaaacacaaggtaaagggtacc Gambar 13. Merauke pandan, Porochilus meraukensis (Weber 1913) >1671804_4_r (PA 26) tgtttaggtttcggtctgttagtagcatagtaataccagcagcgagcactggtagtgatagaagcagaagcacggctgtaattaacacggctcaaataaat agtggtgtttggtactgggagatggctgggggttttatattaataatagttgtaataaaattaatggccccaagaattgaggacacacccgccaaatgaag agaaaaaattgtcaggtctactgaagcccctgcatgtgcaaggtttcctgcaaggggcggataaacggttcatccggttccggcccccgcttctaccccgg aagatgcaagaagaagtaaaaatgatggagggagtaatcagaagcttatgttatttattcgtgggaatgctatatctggcgcaccaattattaatgggatt agtcaatttccgaacccaccaattataattggcattactataaagaaaattattacgaaggcatgggcagtaacaatgacattgtaaatttggtcatcgcca agaaaggcccctggttgagctaattcagcccggatgagcaggcttagggccgtacccactattccggctcaggcaccaaatacaaggtagagggtgcc Family Clariidae (I, 3) Gambar 14. Philippine catfish, Clarias batrachus (Linnaeus, 1758) 24 >kf604654.1| Clarias batrachus cctttatctagtatttggtgcctgagccggtatagtcggcacagccctaagcttactaatccgggcggaactagcacaaccaggagctcttttaggagatga ccaaatttacaatgttattgttactgcccacgccttcgtaataattttctttatagtaataccaattataattgggggcttcggaaactgacttgtgcccctaataa ttggggcacccgatatagcattcccacgaataaataacataagcttctgattactgcccccatcttttctactgctactcgcctcatcaggcgttgaagcagg ggctggaacagggtgaacagtgtacccaccccttgcaggaaacctggcacacgcgggagcctctgtagacttaacaatcttctccctacacctagcagg tgtatcatcaattcttgcctcaatcaacttcatcacaaccattattaatataaaaccaccatctatctcccaataccaaacacccttatttgtctgatctgtaata attacagcagtactcctactcttatctcttccagtactagctgcaggaatcactatattattaacagaccgaaatttaaacacaaccttcttcgaccctgctgg gggaggagacccaatcctttatcaacacctc Antheriniformes (II) Family Melanotaeniidae (II, 4) Female Gambar 15. Golden river rainbow fish, Melanotaenia goldie (Maclcay, 1883) >1595286_10_F (PA 36) Aagtattgtgattccagcagctaatacggggagggaaagaagaagaaggactgcagtaactaggactgctcagacaaacagaggtgtttggtattgtg aaattgcggggggttttatgttgataatcgtcgtaataaagttaatagcacccaggattgatgatacccctgccagatggagggagaaaatggtgagatc aacggatgcaccggcatgggctaagtttccggccagaggggggtagactgttcagcctgttccggccccagcttctactccggaggatgcaagtaagag gagaaatgaaggaggtagcagtcagaagcttatgttatttatacgcgggaatgctatatcaggggctccgattatcagaggaactagtcagtttccgaag cctccgatcatgatgggcatcactataaagaaaattattacgaatgcatgtgctgttacgattacattgtagatctggtcgtcacctaggagggagcctggct ggcttagttctgctcgaattaaaaggcttagggcggttccgactatcccggctcaagcaccaaatactagataaa Male Gambar 15. Golden river rainbow fish, Melanotaenia goldie (Maclcay, 1883) >1595286_11_F (PA 37) gtctgttaaaagtattgtgattccagcagctaatacggggagggaaagaagaagaaggactgcagtaactaggactgctcagacaaacagaggtgttt ggtattgtgaaattgcggggggttttatgttgataatcgtcgtaataaagttaatagcacccaggattgatgatacccctgccagatggagggagaaaatg gtgagatcaacggatgcaccggcatgggctaagtttccggccagaggggggtagactgttcagcctgttccggccccagcttctactccggaggatgca agtaagaggagaaatgaaggaggtagcagtcagaagcttatgttatttatacgcgggaatgctatatcaggggctccgattatcagaggaactagtcag tttccgaagcctccgatcatgatgggcatcactataaagaaaattattacgaatgcatgtgctgttacgattacattgtagatctggtcgtcacctaggaggg agcctggctggcttagttctgctcgaattaaaaggcttagggcggttccgactatcccggctcaagcaccaaatactagataaagggtgccaatg 25 Perciformes (III) Family Gobiidae (III, 5) Gambar 16. Gobius, Glossogobius sp >1595296_20_f (PA 46) ttagcattgtaattccggcagctagtactggtagggataagagtagaagcacggcggtaattagtacggctcaaatgaataggggtgtttgatattgtgag atggctgggggtttcatattaataatagttgtaataaaattaatagctccgaggattgatgaaacccctgctaagtgaagtgagaagattgttaggtctacg gaagcccctgcgtgtgccaggtttccagctaggggtggatagacagttcatccggttccggccccagcttctactcctgacgatgcaagaagtagtagaa aggaggggggaagtaatcagaagcttatgttgtttattcgcggaaatgctatgtcgggtgcgccaattattagtgggattaatcagtttccaaatccaccga ttataattggtattactataaagaaaattattacgaaggcgtgggcggtgacgataacattataaatttgatcatcaccaagaaaggcaccaggctgagct aattcggcccgaattaataggcttaaggctgtgcccaccattccggctcaggcaccaaacacaaggtaaagggtaccaata Gambar 16. Gobius, Glossogobius sp >1595291_15_f (PA 40) ggtaataccagcggctaggacaggaagggagagaaggaggagaacagcagtaataaggacagctcagacgaacaggggcgtctggtattgggaa atggcgggaggttttatgttaatgattgttgtgatgaagttgatggccccaagaattgaggagacccccgctaggtgaagggagaagatggtcaggtcta cggatgcccctgcgtgggccagattgcccgcgagaggggggtagacggttcaaccggtccctgctccggcttctacccctgaggaggcgagaaggag aaggaaagaaggggggagaagtcagaagcttatattgtttattcgagggaatgctatatcgggggctccaatcattaggggtactagtcagtttccaaag cctccgatcatgattggtataactataaagaaaattattacaaaggcatgtgccgtaacaatcacattataaatttggtcgtctcctaggagagcgccaggtt ggcttaattctgctcggattagcaggcttagagctgtgcccactataccggctcatgcaccgaaaactagataa Gambar 16. Gobius, Glossogobius sp >1595290_14_f (PA 39) gtccgtgagaagtattgtgatgccagcggcaagtactggtagggacaggagtaaaagtacggcagtaaccaacactgctcatacgaagagaggggtc tgatattgagaaatagctgggggttttatatttaggatagtggtaataaaattaatagccccgaggattgaggaaatgccagcaagatgtagggaaaaaa tagtgaggtccactgatgctccagcatgtgcgagatttcctgccagtggggggtatacagttcatcctgttccggcccccgcttcgactcaagaggaggaa agcagtagaaggaaggaagggggtagtagtcaaaagcttatattattcattcgagggaaggccatatcgggggcgccaattattaaagggactaatca gttcccaaaccccccaattatgattggtattactataaagaaaattataacaaatgcgtgggcggtgacaatgacgttgtagatttgatcatcgcctagtag ggcgcccggttgacttagctcagctcggattagcaggcttaaagcagtgcctaccataccagct 26 Family Toxotidae (III, 6) Gambar 17. Banded archerfish, Toxotes jaculatrix (Pallas, 1767) >1595281_5_f (PA 07) Atggtgatgccagcagctaggactggcagtgaaaggaggagaaggacagccgtgatgaggacggctcagacgaatagggggatttggtatatagtg acgaccgttggttttatgttaatgatggtcgtaatgaagttgattgcaccgagaattgaagaaaccccggccaggtggagtgagaagatggttaaatcaac agatgctccagcatgggccagattaccggccagaggggggtagactgtccagccagtaccagcacctgcttcgaccccagatgaggcaagaagcagt aggaaggagggtggtagaagtcagaagctcatgttgttcattcgagggaatgccatgtcaggagcgccaatcattaggggaacgagtcagtttccaaa accaccgattatgataggcatgactatgaagaaaattattacaaaggcgtgggctgtaacaattacattgtaaatctggtcgtcccctaaaagagcacca ggttggctaagttctgctcgaataagaaggcttagtgctgtacctactatcccagctcaagcaccgaatactagataaagggtgc Gambar 18. Seven-spot archerfish, Toxotes chaterus (Hamilton, 1822) >1595300_24_f (PA 52) agcagctaggactggcagtgaaaggaggagaaggacagccgtgatgaggacggctcagacgaatagggggatttggtatatagtgacgaccgttgg ttttatgttaatgatggtcgtaatgaagttgattgcaccgagaattgaagaaaccccggccaggtggagtgagaagatggttaaatcaacagatgctccag catgggccagattaccggccagaggggggtagactgtccagccagtaccagcacctgcttcgaccccagatgaggcaagaagcagtaggaaggagg gtggtagaagtcagaagctcatgttgttcattcgagggaatgccatgtcaggagcgccaatcattaggggaacgagtcagtttccaaaaccaccgattat gataggcatgactatgaagaaaattattacaaaggcgtgggctgtaacaattacattgtaaatctggtcgtcccctaaaagagcaccaggttggctaagtt ctgctcgaataagaaggcttagtgctgtacctactatcccagctcaagcaccgaatactagataaagggtgc 27 Family Teraponidae (III, 7) Gambar 19. Lorentz's grunter Banded archerfish, Pingalla lorentzi (Weber, 1910) >1595285_9_f (PA 34) Tagcattgtaattccggctgcaagtactggaagggagaggagaagaagtacagcagtgacgaggacagctcagacgaataagggggtttgatattgg gagatagcaggaggtttcatgttaatgatggttgtaataaaattaatggcgccaagaattgaagaaactccggccaggtggagggaaaagatggtcag gtctactgatgctccggcatgggccagattgccagcaagaggggggtagacggttcaaccagtccctgccccagcctctaccccagaagaagcaaga aggagtaggaaagaaggggggaggagtcagaagctcatgttatttattcgggggaatgccatgtcaggggccccaattattagggggacaagccagtt tccaaagcctccgatcatgattggcataactataaagaaaattattacaaaggcatgcgccgtaacaattacattataaatttggtcgtcccctaggagag cgccaggctggcttagttctgctcgaattagcaggcttagggctgtgcctaccattccagctcatgcaccaaataccaggtagagggtgccaatgt Family Ambassidae (III, 8) Gambar 20. Fly river gizzard shad, Ambassis agrammus (Günther, 1867) >1668802_3_r (PA 29) Atggtgatgccagcagctaggactggcagtgaaaggaggagaaggacagccgtgatgaggacggctcagacgaatagggggatttggtatatagtg acgaccgttggttttatgttaatgatggtcgtaatgaagttgattgcaccgagaattgaagaaaccccggccaggtggagtgagaagatggttaaatcaac agatgctccagcatgggccagattaccggccagaggggggtagactgtccagccagtaccagcacctgcttcgaccccagatgaggcaagaagcagt aggaaggagggtggtagaagtcagaagctcatgttgttcattcgagggaatgccatgtcaggagcgccaatcattaggggaacgagtcagtttccaaa accaccgattatgataggcatgactatgaagaaaattattacaaaggcgtgggctgtaacaattacattgtaaatctggtcgtcccctaaaagagcacca ggttggctaagttctgctcgaataagaaggcttagtgctgtacctactatcccagctcaagcaccgaata 28 Gambar 21. Giant glassfish, Parambassis gulliveri (Castelnau, 1878) >1599754_22_f (PA 50) Ctaagaagcatggtgatgccagcagctaggactggcagtgaaaggaggagaaggacagccgtgatgaggacggctcagacgaatagggggatttg gtatatagtgacgaccgttggttttatgttaatgatggtcgtaatgaagttgattgcaccgaaaattgaagaaaccccggccaggtggagtgagaagatgg ttaaatcaacagatgctccagcatgggccagattaccggccagaggggggtagactgtccagccagtaccagcacctgcttcgaccccagatgaggca agaagcagtaggaaggagggtggtagaagtcagaagctcatgttgttcattcgagggaatgccatgtcaggagcgccaatcattaggggaacgagtc agtttccaaaaccaccgattatgataggcatgactatgaagaaaattattacaaaggcgtgggctgtaacaattacattgtaaatctggtcgtcccctaaaa gagcaccaggttggctaagttctgctcgaataagaaggcttagtgctgtacctactatcccagctcaagcaccgaatactagataaagggtgccgatgtct ttgt Family Apogonidae (III, 9) Gambar 22. Mouth almighty, Glossamia aprion (Richardson, 1842) >fj346812.1| Glossamia aprion aaccacaaagacatcggcaccctttatctagtatttggtgcttgagctggcatagtcggaacagccctcagtctactaatccgagccgaactcagtcagcc aggggccctgcttggcgatgaccaaatttataacgtcatcgtcacagcacacgcgttcgtaataattttctttatagtaataccaattatgattgggggcttcg gcaactgactagtccctttaatgattggcgcccccgacatagcattcccccgaataaataatatgagcttctgactactccctccctcatttcttcttctcctcgc ttcctccggggttgaagccggggcaggaacaggctgaactgtttatccccctttagccggaaatctagcccatgcgggggcctccgtcgatttaactatctt ctcactccatctggcgggggtgtcgtcaattttgggggctgttaattttattaccacaattattaatataaaaccacccgccatcacccaatatcagaccccgc tatttgtatggtctgtattaattactgcagtcttactgcttctttcccttcctgtcctagccgcagggattacaatactactaacggatcgaaacttaaatacaactt tc 29 Family Cichlidae (III, 10) Gambar 23. Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758) >kc789552.1| Oreochromis niloticus ttctccaccaaccacaaggacatcggcaccctctatctagtatttggtgcttgagccggaatagtaggaactgcactaagcctcctaattcgggcagaact aagccagcccggctctcttctcggagacgaccaaatctataatgtaattgttacagcacatgctttcgtaataattttctttatagtaataccaattatgattgg aggctttggaaactgactagtacccctcatgattggtgcaccagacatggccttccctcgaataaataacatgagcttttgacttctccccccctcatttcttctt cttctcgcctcatctggagtcgaagcaggtgccggcacaggatggactgtttatcccccgctcgcaggcaatcttgcccacgctggaccttctgttgacttaa ccatcttctccctccacttggccggagtgtcatctattttaggtgcaattaattttatcacaaccattattaacatgaaaccccctgccatctcccaatatcaaac acccctatttgtgtgatccgtcctaattaccgcagtactactccttctatccctgcccgttcttgccgccggcatcacaatacttctaacagaccgaaacctaa acacaaccttctttgaccctgccggaggaggagaccccatcctataccaacacttattctgattcttcggacaccctgaggtg Family Apogonidae (III, 11) Gambar 24. Climbing perch, Anabas testudineus (Bloch 1792) >jx983214.1| Anabas testudineus cctttatttagtctttggtgcctgagctggaatggtgggcaccgctttaagccttctaattcgtgctgagctaagccaaccaggctcccttttaggtgacgacca gatttttaatgtaatcgttacagcacacgctttcgtaataattttctttatagtaatgccgatgataatcggaggcttcggaaactgacttattcccctaataattg gcgcgccagatatggctttccctcgaataaacaacataagcttctgactccttccaccctccttcctccttctccttgcctccgctgcagtagaagccggtgcg ggaacgggttgaactgtctacccccctttagccagcaacctagcccacgcaggagcatccgtagatttaaccattttttccttacacttagccggggtttcttc tatcttgggcgcaattaacttcatcacaacaattattaacataaaaccccctgccgcctctcaataccaaacacccttgtttgtttgatctgtccttattaccgct gtacttctcctcctttctcttcccgtccttgctgctggaattactatacttctcacagatcgaaacctgaacacctccttctttgacccagcgggtgggggagacc caattctttaccaacaccta 30 Family Channidae (III, 12) Gambar 25. Striped snakehead, Channa striata, Bloch 1792 >gb|kj937450.1| Channa striata cctttatctcgtatttggtgcctgagccggaatagtgggcacagccctcagccttctaattcgagcagaactaagccaacctggcgctctcctcggagacga tcaaatttataatgtaatcgtaacagcacacgcctttgtaataatctttttcatggttatgccaataataattggaggcttcggaaattgacttgttcctcttatgat cggtgcccccgacatggccttcccccgaataaataacatgagcttctgattgctccccccgtcattcctgcttttactagcctcttctgctgtagaagccgggg ccggaaccggatgaacagtttacccacccctagccagcaacttagcccacgcaggggcctccgtcgatctaacgatcttctccctacacctagctggtgt gtcctcaattctaggggccattaactttattactactattattaacataaaaccccctgctatttctcaatatcaaaccccactatttgtatgggctattttaattac agccgtactacttctactttccctcccagtattagctgcaggcattacaatgctactcacagaccgaaatctcaacaccaccttcttcgaccctgctggtgga ggggaccctattctttatcaacactt Osteoglossiformes (IV) Family Osteoglossidae (IV, 12) Source: Viktor Kravtchenko / Wikimedia Commons. License: CC by Attribution-ShareAlike Gambar 26. Northern Saratoga, Scleropages jardinii (Saville-Kent, 1892) >gi|558603453:5484-7031 Scleropages jardinii gtgacaattactcgctgatttttctcaactaaccacaaagacatcggaaccctatacctagtgtttggcgcctgggctgggatagttggcactgcccttagcc ttctaatccgcgcagagctaagccagccagggtctctgcttggcgatgaccaaatctacaatgtcctcgtaacagcgcatgccttcgtaataatcttcttcat agttataccaatcataatcggaggttttggcaactgactagttcccctaataattggtgctcctgacatagcattcccacgaataaacaacatgagcttctga ctactacccccctccttcctgcttctactggcctcctctggcgtggaggccggggctgggacgggatgaacagtctatcctcctttagcaggcaacctagctc atgctggcgcatcagtagacttaaccatcttttcgctccacctagcgggggtctcatcaatcctcggagcaatcaacttcattactacaatcattaatataaa acccccagctactacccagtaccaaacacccctttttgtttggtcagttctagtaactgccatcctcctgcttctatccctgccagtcctagctgcaggtatcact atgctcctaacagaccgcaacctaaacaccacattctttgaccccgctggcggaggggacccaatcctatatcaacacctattctgattcttcggccatcct gaagtgtacatcctgattctaccaggattcgggataatctcccacattgtggcatactactccggcaaaaaagaacctttcgggtacatgggaatagtttga gctatgatagccatcggcctcctaggtttcatcgtctgagcccaccacatattcacagtgggaatggatgtggacacccgtgcttattttacatctgctacaat aattatcgcaatcccaacgggtgttaaagtattcagctgactagccactctttacggcgggtcaatcaaatgggaagcaccattcttgtgggccctgggcttt atctttttatttacagtaggcggtctgaccggcattatcttagccaactcatccctagacattgtccttcacgacacctactacgtagtggctcacttccactatg tcctatcgatgggagcagtcttcgcaattataggtggctttgtccactgatttcccctattctcaggatacaccctccacagcacatgaacaaagatccacttc ggagtgatattcatcggagtaaacctaaccttcttcccccagcatttcctgggcctagccggcatgccgcgacgatactctgactacccagacgcctacac cctatgaaatgtaacctcatccattggctcattagtatccctagtagctgtcgcaatattcctattcattctctgagaagcatttgcggccaaacgagaagttcg agccacagaactaactcccacaaatgctgaatgacttcacggctgccctcccccctaccacacatttgaagagccagccttcgtccaatcccaaccgtaa 31 Elopiformes (V) Family Megalopidae (V, 13) Gambar 27. Indo-Pacific tarpon, Megalops cyprinoides (Broussonet, 1782) >1599009_23_f (PA 51) aggtaattcctgctgctaggactggtagagatagcaggaggagtactgcggtaaccaagactgaccaaacaaatagcggtgtttggtactgtgatatgg cgggtggttttatattgatgattgtagtaatgaagttaatagcacccaaaattgaagaaacacctgccagatgaagagaaaaaatagtaagatctacgga cgcgcctgcgtgggctaggtttccggcgagaggggggtagactgtccacccggtgcctgctcctgcttcaactcctgaagaggccaatagaagtaggaa tgatggtgggaggagccagaagctcatgttatttatgcggggaaatgctatgtcgggggccccgatcatgagcgggaccagtcagtttccaaatccgcca attaaaataggcattactataaagaaaattattacgaaggcatgtgccgtgacgataacattatagatttggtcatcaccaagtagtgccccgggttggctt agttcagcccgaattagcaaacttagtgctgttccgactatcccggctcaggcaccaaacactaggtaaagggtgccaatg Clupeiformes (VI) Family Clupeidae (VI, 16) Gambar 28. Fly river herring, Nematalosa flyensis (Wongratana, 1983) >1668804_5_r (PA 31) Ggatcgaagaatgtcgtatttagatttcggtcggtaagaagcatggtaataccggcagctaatactgggagggatagaagcagcagcacggcagtaac aaggactgcccacacaaacaggggtgtttggtattgtgaaattgcagggggtttcatgttaataattgtagtaataaaattaattgctccaaggattgacga aatacctgcaagatgaagggagaaaatggttaaatcaactgatgctcctgcgtgggctagattgcctgacaggggtggataaaccgttcaccccgtccct gctccggcctctactcccgaagaagcgagaagaagaaggaaggagggcgggagaagtcagaagctcatattatttattcgcgggaatgccatgtcgg gtgctccgatcattaggggtactaaccagttaccaaagcctccgatcatgattggcattactatgaagaaaatcattacgaaggcatgcgccgtaacgata acattataaatttggtcatcccctagaagcgcacccggttggctgagctccgctcggataagaaggcttagggcagtccctactatccccgctcaggcacc gaatactaaataaagggtgcc >1668805_6_R (PA 32) gaagaatgtcgtatttagatttcggtcggtaagaagcatggtaataccggcagctaatactgggagggatagaagcagcagcacggcagtaacaagg actgcccacacaaacaggggtgtttggtattgtgaaattgcagggggtttcatgttaataattgtagtaataaaattaattgctccaaggattgacgaaatac ctgcaagatgaagggagaaaatggttaaatcaactgatgctcctgcgtgggctagattgcctgacaggggtggataaaccgttcaccccgtccctgctcc ggcctctactcccgaagaagcgagaagaagaaggaaggagggcgggagaagtcagaagctcatattatttattcgcgggaatgccatgtcgggtgctc cgatcattaggggtactaaccagttaccaaagcctccgatcatgattggcattactatgaagaaaatcattacgaaggcatgcgccgtaacgataacatta taaatttggtcatcccctagaagcgcacccggttggctgagctccgctcggataagaaggcttagggcagtccctactatccccgctcaggcaccgaata ctaaataaaggg 32 Beloniformes (VII) Family Belonidae (VII, 15) Gambar 29. Freshwater longtom, Strongylura kreffti (Gunther, 1866) >1595280_4_f (PA 06) Atgtaagaagtatagtaattccagcagccagaacaggtaatgagaggagaagaagaacagcagtaattaggacagctcatacaaagagtggggttt ggtattgggaaattgcaggaggttttatgttaataattgtagtaataaaattaatagcccctagaattgatgaaatacctgctaagtgtagagaaaagattgt taaatctacagatgccccggcatgggctaaatttccggctaaaggagggtaaacggttcacccggttccagcacctgcttcaacccctgatgatgctagta ggaggagaaaggatggaggaaggagtcagaaactcatgttgtttattcgagggaatgctatatcaggggctccaattataaggggaataagtcagtttc caaatcctccgatcataattggtattactataaagaaaattattacaaaggcgtgtgccgtcacgattacattgtaaatttggtcgtcgcctaaaagggagcc gggttggcttaattctgctcgaattagaaggcttaaagcagtacctactattccagctcaagcaccgaatactagataaagggtgccgatgt Decapoda (VIII) Family Palaemonidae (VIII, 16) Gambar 30. Giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii (De Man, 1879) >1595283_7_f (PA 10) Ctgatagccccggctagaacgggtagcgagagaagaagtaagatggctgttaaaaatacggctcatacgaatagtggtagtcgatctatcgttattccg ggggctcgtatgttgattactgtggtaataaaatttacagctcctaagattgaagagacacctgccaggtgaagggagaagatgccgagatctactgaag ctccagcatgagcagttcctgctgctaagggtgggtagactgttcaccctgtgccgactcctctttctactatcccactagatagtagaagcgttagtgaggg tggtagcagtcagaatcttatgttgttcatccgtgggaacgctatgtctggggctcctagtattaagggtactaaccagttaccaaagcctccgatcatgattg gtataactatgaagaagattattacgaatgcgtgggcagtgacaattacattgtaaatctgatcgtttccaattagtctgcctggttgtcctaattctgctcgaa ttagaagtcttagtgacgtgcctactattcctgctcatgctccgaatacaaaatatagagttccaat 33 Rekontruksi hubungan kekerabatan spesies ikan di Sungai Kumbe Neoarius utarus KF227999.1| Neoarius graeffei Arridae Neoarius graeffei Porochilus meraukensis Plotosidae HM006980.1| Porochilus rendahli Hephaestus raymondi Terapontidae Megalops cyprinoides Megalopidae JX983366.1| Megalops cyprinoides Gobius sp Gobiidae KJ768236.1| Gobius niger Strongylura kreffti Belonidae JX983497.1| Strongylura strongylura Nematalosa flynensis(2) Nematalosa papuaensis Clupeidae Nematalosa flynensis HM006973.1| Nematalosa erebi Melanotaenia goldie Melanotaenia goldie(2) Melanotaeniidae KF491330.1| Melanotaenia goldiei Pingalla lorentzi Terapontidae HQ654762.1| Toxotes jaculatrix Toxotes jaculatrix Toxotidae Toxotes chaterus 0.05 Gambar 31. Pohon Neighbour-joining phylogeny CO1 sequences menampilkan hubungan kekerabatan antar spesies. Panjang lengan mewakili jarak Kimura dua parameter. 34 3.3. Dinamika Larva Ikan di Sungai Kumbe Informasi tentang larva ikan sangat diperlukan untuk mengetahui sejarah hidup yang sangat erat hubungannya dengan manajemen perikanan. Selain itu dengan analisis larva ikan memungkinkan analisa biodiversitas yang lebih komprehensif, tidak hanya pada fase dewasa saja. Tahap berbeda pada fase awal pertumbuhan larva ikan rawa gambut Sungai Kumbe, dari preflexion larvae ke postflexion ke prejuvenil dikoleksi menggunakan dua set bongo nets yang memiliki diameter 30 cm selama kurang lebih 15 menit dengan kecepatan 1 km/jam. Sampel larva ikan dikoleksi pada pagi hari (06:00 – 07:00) dan sore hari (05.00 – 06:00). Secara manual larva disortir langsung setelah diambil dan disimpan dalam botol vial 1.5 mL yang berisi larutan alkohol absolut. Larva dipisahkan berdasarkan perbedaan morfologi dasar di laboratorium, satu botol vial 1.5 mL berisi hanya 1 sampel larva ikan. Perwakilan larva yang memiliki morfologi berbeda akan diidentifikasi sampai tingkat spesies menggunakan pendekatan DNA barcoding. Gambar 32. Bentuk morfologi larva ikan di Sungai Kumbe dan aplikasi teknik DNA barcoding untuk identifikasi larva 35 LYP39 LIP34 LIS30 LYS24 LIS26 LIS65 LYP32 Melanotaenia splendida inornata LSS76 KF491463.1| Melanotaenia splendida inornata LIS32 LYS27 LIP3 LIS36 Melanotaenia goldie Melanotaenia goldie Melanotaenia goldie 2 LSP40 LSP39 LSS60 KF491171.1| Iriatherina werneri Iriatherina werneri LYP34 LIP23 LSP38 KF227948.1| Craterocephalus stercusmuscarum LIP1 LIP7 LIS12 LIP9 LIP4 LIP38 LYS31 Morphotype_1 LIP39 LYS57 LIS17 LIS9 LIP21 LIP32 LSS58 Morphotype_2 gb|kj937450.1| Channa striata gi|370989244|Clupeoides borneensis Megalops cyprinoides HM006973.1| Nematalosa erebi Nematalosa flyensis Nematalosa flyensis 2 Nematalosa flyensis Nematalosa flyensis 3 LYS5 LYS16 LYP4 LYS17 Morphotype_3 LYP10 LSP66 LSP53 LYP22 gi|558603453 Scleropages jardinii jx983214.1| Anabas testudineus LIS39 LYP17 LIP29 LIS66 LIS38 LSP 30 Toxotes oligolepis Toxotes oligolepis 2 Toxotes oligolepis Toxotes oligolepis 3 Toxotes oligolepis 4 LYP24 LIS52 LIS35A LIS55 LIS25 LIS37 LSS62 LIP11 Glossamia aprion fj346812.1| Glossamia aprion Ambassis agramus Neoarius graeffei Neoarius graeffei Neoarius utarus R JX983223.1| Arius arius kf604654.1| Clarias batrachus Porochilus meraukensis Neosilurus ater Neosilurus ater 2 Neosilurus ater Neosilurus ater 3 R Parambassis gulliveri EF609374.1| Hephaestus jenkinsi LYS35 Morphotype_4 LSP10 LYS22 Pingalla lorentzi LIS45 LSP49 LYP6 LYS13 LIS24 Strongylura kreffti 0.02 Gambar 33a. Pohon Neighbour-joining sekuen COI menampilkan penempatan larva dalam tingkatan spesies ikan. Panjang cabang memperlihatkan jarak kimura 2 parameter. 36 lanjutan gb|HQ654745.1| Oreochromis niloticus Gobi sp1 LSS12 LSS24 LSS80 LSS7 LSP109 LSS52 LSS20 LSP85 LSS38 LSS49 LSS53 LSS63 LSS33 LYS73 LSS5 LSS2 LSS18 LYS1 LSS45 LSP98 LSP105 LSS73 LSP94 LSP108 LSS40 LSS25 LSS34 LSS6 LSP114 LSS37 LSS85 LSS13 LSS48 LSP89 LSP101 LSP78 LSS30 LSP76 LSP75 LSP127 LSS81 LSS91 LSS32 LSS75 LSS31 LSS43 LSS87 LSP80 LSS86 LSP117 LSS16 LSS35 LSP92 LSP70 LSP60 LSP125 LSS19 LSS64 LSS78 LSP123 Morphotype_5 0.02 Gambar 33b. Pohon Neighbour-joining sekuen COI menampilkan penempatan larva dalam tingkatan spesies ikan. Panjang cabang memperlihatkan jarak kimura 2 parameter. 37 Melanotaenia splendida ornata Iriatherina werneri Pingalla lorentzi Glossamia aprion Toxotes oligolepis Gambar 34. Tahap awal fase pertumbuhan larva ikan teridentifikasi di Sungai Kumbe. Morphotype 1 Morphotype 2 Morphotype 3 Morphotype 5 Gambar 35. Tahap awal fase pertumbuhan larva ikan tidak teridentifikasi di Sungai Kumbe. 38 Tabel 3. Distribusi spasial dan temporal spesies ikan yang teridentifikasi (titik sampling 1/Alfasera, titik sampling 2/Inggun, titik sampling 3/Yakui and titik sampling 4/Sakor). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nama spesies Nama Interna Melanotaenia Chequered splendida inornata Rainbowfish (KF 491463.1) Melanotaenia goldie Golden river rainbow fish Iriatherina werneri Threadfin (KF 491171.1) Rainbowfish Nematalosa flyensis Fly river herring Toxotes oligolepis Western archerfish Glossamia aprion Mouth almighty (FJ 346812.1) Ambassis agrammus Fly river gizzard shad Neoarius graeffei Blue catfish Porochilus Merauke pandan meraukensis Neosilurus ater Narrow-fronted Tandan Parambassis Giant glassfish gulliveri Pingalla lorentzi Lorentz's grunter Banded archerfish Family Melanotaeniidae Situs 1 Mei ─ Situs 2 Situs 3 Situs 4 Maret Oktober Maret Oktober Maret Oktober 2 5 ─ 4 ─ 1 Melanotaeniidae (2) ─ ─ ─ ─ ─ ─ Melanotaeniidae ─ 1 ─ ─ 1 3 1 Clupeidae Toxotidae (1) (3) (1) 1 ─ 8 (1) 1 (1) ─ 1 ─ 1 ─ ─ Apogonidae ─ 1 ─ ─ ─ ─ 1 Ambassidae ─ (1) ─ ─ ─ ─ ─ Arridae Plotosidae (1) ─ ─ (1) ─ ─ ─ ─ ─ ─ (1) ─ ─ ─ Plotosidae (1) ─ ─ (2) ─ ─ ─ Ambassidae (1) ─ ─ ─ ─ ─ ─ Terapontidae (1) ─ 2 3 ─ 2 ─ 39 Continued…. No Nama spesies 13 Strongylura kreffti 14 15 Gobi sp Megalops cyprinoides 16 17 18 19 Nama Interna Family Belonidae Morphotype_1 Morphotype_2 Freshwater longtom ─ Indo-Pacific tarpon ─ ─ Morphotype_3 Morphotype_4 ─ ─ 20 Morphotype_5 ─ The adult specimens are shown in bracets Situs 1 Mei ─ Situs 2 Maret Oktober ─ ─ Situs 3 Maret (1) ─ Situs 4 ─ ─ Gobiidae Megalopidae (1) (1) ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ Atherinidae Atherinidae ─ ─ 11 ─ ─ ─ ─ ─ 2 ─ ─ ─ ─ 1 Osteoglossidae Terapontidae ─ ─ ─ ─ ─ ─ 5 ─ 1 1 2 ─ ─ ─ Gobiidae ─ ─ ─ 1 1 1 57 40 Hasil penelitian ini menginformasikan distribusi dan komposisi larva dan juvenile ikan, yang merupakan keanekaragaman hayati di perairan rawa gambut tropis Papua, Indonesia. Secara keseluruhan, sepuluh spesies ditemukan pada tahap larva dan juvenil di habitat rawa gambut Sungai Kumbe, sedangkan tambahan 18 spesies yang ditangkap dari saluran sungai atau zona rawa gambut pada tahap dewasa. Berbeda dengan sebagian besar kajian DNA barkode yang terfokus pada kelimpahan ichthyoplankon di habitat air tawar tropis (Frantine-Silva et al., 2015), kami hanya mampu mengidentifikasi sebagian kecil (41,26%) dari sampel yang disekuens (59 spesimen dari 143) sampai pada tingkat spesies. Selain itu, dari 27 spesies yang telah diidentifikasi, 11 spesies merupakan DNA barcode untuk pertama kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian keanekaragaman hayati yang relatif masih sangat terbatas telah dilakukan pada ikhtiofauna tropis rawa gambut (Dennis & Aldhous, 2006; Prentice & Parish, 1990; Yule, 2010), meskipun perairan lahan gambut tropis dikenal mendukung keanekaragaman ikan yang tinggi. Sebanyak 200-300 spesies ikan telah teridentifikasi dari habitat rawa gambut Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Sumatera) (Parish et al., 2008; Dennis & Aldhous, 2006) dengan 20% dari ikan air tawar Malaysia berasal di lahan gambut (Ahmad et al., 2002). Demikian juga, kajian ini menunjukkan ketidaklengkapan taksonomi perpustakaan referensi barcode DNA untuk ikan air tawar dari Papua dan menunjukkan bahwa identifikasi molekuler ikan di habitat rawa gambut tropis New Guinea masih pada tahap awal pengembangan. Hasil kami karena itu sejalan dengan temuan (Hubert et al., 2015) pada ikan karang di Indo-Pasifik yang menyatakan bahwa pengembangan referensi barcode DNA adalah pekerjaan yang sedang berjalan baik untuk air tawar dan maupun ikan laut. Spesimen tak dikenal dikelompokkan ke dalam lima kelompok terpisah yang kemudian disebut morphotypes. Kelompok terdekat diduga dari morphotype 1 tampaknya C. stercusmuscarum memperlihatkan perbedaan sebesar 3,2%. Hal ini menunjukkan bahwa morphotype 1 terkait dengan genus Craterocephalus. Lima spesies dalam genus Craterocephalus telah secara resmi diinformasikan dari pulau New Guinea (Allen, 1991). Morphotype 4 kemungkinan besar dari keluarga Terapontidae, sebagai tingkat urutan divergensi (6,7%) menempatkan larva dikenal di morphotype 4 dekat dengan genus Pingalla. Tingkat urutan perbedaan menunjukkan bahwa tiga morphotypes larva tak dikenal lainnya (morphotypes 2, 3 dan 5) terlalu jauh jarak genetiknya untuk klasifikasi spesies yang dapat diandalkan, sebagai jarak K2P terdekat antara morphotype tak dikenal dan urutan referensi berkisar antara 25,1% sampai 30,6%. Koleksi sampel ikan dewasa dimasa yang akan datang akan memecahkan pertanyaan-pertanyaan taksonomi. Mirip 41 dengan studi sebelumnya (Pegg et al., 2006; Valdez-Moreno et al., 2010; Ko et al., 2013; Hubert et al., 2015; Loh et al., 2013; Frantine-Silva et al., 2015). Hasil analisis kami menegaskan bahwa DNA barcode adalah alat yang efektif dan dapat diandalkan untuk identifikasi spesies dari larva dan juvenil ikan selama memiliki referensi sekuens yang lengkap dari spesies diidentifikasi dengan barcode. Larva dan juvenile yang diidentifikasi terutama berasal dari Perciformes dan Antheriniformes. Kelompok-kelompok taksonomi yang sama ditemukan dominan menurut (Allen, 1991) di wilayah Papua. Spesies yang diduga dalam kelompok Gobiidae termasuk dalam Perciformes yang terutama terdapat melimpah di dua lokasi (Yakui dan Sakor) yang menyediakan habitat yang cocok dengan adanya batang pohon di bawah air untuk penyembunyian dan tempat menempel. Oleh karena itu, meskipun hanya sejumlah kecil individu yang berhasil didapatkan sekuensnya, studi ini memberikan informasi baru pada distribusi, ekologi dan reproduksi berbagai jenis ikan di habitat rawa gambut Sungai Kumbe. Misalnya, Toxotes oligolepis terdeteksi di semua lokasi pengambilan sampel (termasuk alur sungai/Alfasera) tetapi saat ini sangat sedikit yang diketahui tentang biologi dan ekologi dari spesies ini. Ikan pemanah lain seperti T. chatareus dan T. jaculatrix yang memiliki tipe euryhaline dan menghuni hutan bakau terutama daerah payau di Pasifik Selatan dan Samudra Hindia, dan siklus hidup mereka melibatkan rute migrasi yang panjang, meskipun mereka juga dapat ditemukan di perairan pesisir dan hulu di air tawar (Allen, 1991; Allen et al., 2003; Temple et al., 2010). Ditemukannya larva dan juvenil Toxotes oligolepis di habitat rawa gambut menunjukkan bahwa lingkungan ini dapat berfungsi sebagai habitat perkembangbiakan penting bagi spesies ikan. Demikian pula, kami menemukan larva ikan dan juvenil dari jenis ikan lainnya seperti Pingalla lorentzi, Melanotaenia splendida inornata dan Iriatherina werneri di beberapa lokasi menunjukkan bahwa habitat rawa gambut memainkan peranan penting selama tahap awal kehidupan spesies ini. Dapat disimpulkan, penelitian ini merupakan langkah penting menuju perkembangan referensi barcode DNA yang komprehensif untuk ikan teleost yang tinggal di lingkungan rawa gambut tropis di Papua. Inisiasi referensi COI barcode dari Sungai Kumbe juga berkontribusi terhadap upaya barcode DNA global dalam identifikasi spesies ikan dan memberikan pengetahuan baru tentang penyebaran dan perekrutan pola larva di ekosistem rawa gambut tropis. Akhirnya, pekerjaan kami menunjukkan bahwa identifikasi ikan air tawar dengan metode molekuler di Papua masih pada tahap awal pengembangan . Kami mengantisipasi bahwa akumulasi data barcode DNA akan membantu konservasi keanekaragaman hayati di wilayah ini. 42 3.4. Komunitas Ikan Tangkapan di Sungai Kumbe Ikan hasil tangkapan percobaan (experimen fishing) di Sungai Kumbe pada bulan Mei diperoleh sebanyak 260 ekor yang terdiri dari 12 jenis ikan sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di lokasi tersebut didominasi oleh ikan-ikan berukuran berat yang relatif bervariasi. Hal tersebut terkait dengan selektifitas alat tangkap yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang relatif bervariasi sehingga ikan-ikan yang berukuran lebih kecil tertangkap juga. Ikan hasil tangkapan menggunakan jaring insang percobaan di Sungai Kumbe berdasarkan indeks relatif penting (IRI) memperlihatkan bahwa ikan duri (50,26%), sembilang (13,01%) dan kakap batu (12,42%) mempunyai nilai IRI yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketiga ikan tersebut merupakan ikan yang dominan tertangkap baik dari segi berat, jumlah individu dan frekuensi tertangkapnya. Tabel 4. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan Mei 2015 di Sungai Kumbe, Papua No. Nama Ikan Nama Ilmiah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Duri Sembilang Kakap Batu Kakap Rawa Saku Mata Bulan Arius latirostris Neosilurus ater Pingalla lorentzi Hephaestus raymondi Strongylura kreffti Megalops cyprinoides Ambassis agrammus Nematalosa flyensis Oreochromis niloticus Porochilus meraukensis Melanotaenia goldie Anabas testudineus JUMLAH Tulang Nila* Pelangi Betik* Panjang Total (cm) 17,5-39 11,1-38 6,6-18,3 6,8-23,7 7,1-37,7 8,6-24,3 6,3-8,3 23,5-29,6 10,2-15,9 11,5-13,8 3,7-8,3 14-21,1 Berat Tubuh (gr) 19-260 9-422 4,8-98 5,5-122 8-102 5,3-88 3,7-9,2 118-240 18-60 7,8-16,1 0,62-7,2 40-180 N W F %IRI 66 24 72 13 22 15 19 8 6 6 6 3 260 6345,9 2126,2 1098,64 749 618 337,9 111 1373 185 70,4 32,5 400 13448 4 3 2 4 2 2 2 1 3 2 2 1 28 50,26 13,01 12,42 7,32 4,52 2,87 2,82 2,30 1,91 0,98 0,88 0,71 100 Sedangkan ikan hasil tangkapan percobaan (experimen fishing) di Sungai Kumbe pada bulan Agustus yang merupakan musim kemarau adalah sebanyak 255 ekor yang terdiri dari 15 jenis ikan sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di lokasi tersebut juga didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran berat dan relatif bervariasi. Berdasarkan indeks relatif penting (IRI) memperlihatkan bahwa ikan tulang (34,37%), duri (28,47%) dan saku (13,32%) mempunyai nilai IRI yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa ketiga ikan tersebut merupakan ikan yang dominan tertangkap baik dari segi berat, jumlah individu dan frekuensi tertangkapnya. 43 Tabel 5. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan Agustus 2015 di Sungai Kumbe, Papua No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Nama Ikan Tulang Duri Saku Mata Bulan Sembilang Sumpit Kakap Batu Nila* Betik* Kakap Rawa Nama Ilmiah Nematalosa flyensis Arius latirostris Strongylura kreffti Megalops cyprinoides Neosilurus ater Toxotes jaculatrix Pingalla lorentzi Clupeoides venulosus Parambassis gulliveri Oreochromis niloticus Porochilus meraukensis Anabas testudineus Ambassis agrammus Hephaestus raymondi Neoarius graffei JUMLAH Panjang Total (cm) 8,7-32,2 9,0-40,0 30,3-45,3 9,1-30,5 24,9-36,1 8,5-22,8 7,9-27,5 6,2-23,5 5,7-24,8 14,0-18,8 12,0-18,0 9,5-21,2 5,6-9,7 15,0-18,2 12,6-15,9 Berat Tubuh (gr) 5-267 11-771 52-189 14-200 135-365 13-197 11-197 4-113 6-120 111-120 18-34 28-196 5-13 101 33 N W F %IRI 69 62 36 24 5 7 10 11 11 3 5 6 4 1 1 255 6936 5341 3556 1537 1013 798 471 287 300 348 119 420 31 101 33 21291 4 4 3 4 3 3 3 3 1 2 2 1 1 1 1 36 34,37 28,47 13,32 9,59 2,90 2,81 2,65 2,45 0,82 0,81 0,73 0,62 0,25 0,12 0,08 100 Lebih lanjut ikan hasil tangkapan percobaan (experimen fishing) di Sungai Kumbe pada bulan November yang merupakan musim peralihan adalah sebanyak 454 ekor yang terdiri dari 8 jenis ikan sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di lokasi tersebut juga didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran berat dan relatif bervariasi. Berdasarkan indeks relatif penting (IRI) memperlihatkan bahwa ikan duri (59,64%), dan tulang (34,73%) mempunyai nilai IRI yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kedua ikan tersebut merupakan ikan yang dominan tertangkap baik dari segi berat, jumlah individu dan frekuensi tertangkapnya. Tabel 6. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan pada bulan November 2015 di Sungai Kumbe, Papua No. Nama Ikan 1 2 3 4 5 6 7 8 Duri Tulang Saku Sumpit Mata Bulan Kakap Batu Nila* Nama Ilmiah Arius latirostris Nematalosa flyensis Strongylura kreffti Toxotes jaculatrix Megalops cyprinoides Pingalla lorentzi Oreochromis niloticus Clupeoides venulosus JUMLAH Panjang Total (cm) 64,0-8,5 30,5-8,2 44,3-29,1 23,4-16,2 24,5-17,9 20,5-10,8 15,5-12,8 16,6-14,1 Berat Tubuh (gr) 2529-9 208-9 113-38 198-116 103-85 127-30 69 29 N W F %IRI 327 102 9 5 4 5 1 1 454 8933 9178 677 850 374 314 69 29 20424 3 3 2 2 3 1 1 1 16 59,64 34,73 1,82 1,81 1,40 0,45 0,10 0,06 100 44 Gambar 36 menyajikan pengamatan persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Mei 2015. Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa ikan kakap batu (Pingalla lorentzi) merupakan ikan dengan jumlah spesies terbanyak diikuti oleh Arius latirostris dan Neosilurus ater. ketiga spesies ikan ini lebih dominan dari segi jumlah dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Sedangkan persentase berdasarkan biomassa menunjukkan bahwa Arius latirostris, Neosilurus ater, dan Pingalla lorentzi merupakan spesies ikan yang memiliki persentase bobot lebih besar dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Hal ini dikarenakan rata-rata kisaran bobot dari ikan tersebut adalah 9-422 gram. Gambar 36. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Mei 2015. Lebih lanjut pengamatan persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Agustus 2015 disajikan pada Gambar 37. Pada pengamatan persentase jumlah ternyata ikan tulang (Nematalosa flyensis) merupakan ikan dengan jumlah spesies terbanyak diikuti oleh Arius latirostris dan Neosilurus ater. Ketiga spesies ikan ini lebih dominan dari segi jumlah dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Sedangkan persentase berdasarkan biomassa menunjukkan bahwa Nematalosa flyensis, Arius latirostris, dan Strongylura kreffti merupakan spesies ikan yang memiliki persentase bobot lebih besar dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Porochilus Anabas Oreochrom Parambassi is niloticus meraukens testudineu Clupeoides s gulliveri is s venulosus 1% 4% 2% 2% Pingalla 4% lorentzi Toxotes Neosilurus 4% jaculatrix ater 3% 2% Megalops cyprinoides Strongylura kreffti 10% 14% Ambassis Hephaestu agrammus s raymondi 2% 1% Neoarius graffei 0% Nematalos a flyensis 27% Pingalla Oreochro Clupeoides Anabas Porochilus lorentzi meraukens Parambass Toxotes venulosus testudineu mis 2% is gulliveri jaculatrix 1% niloticus is s Neosilurus 1%4% 2% 1%2% ater 5% Strongylur a kreffti 17% Arius latirostris 24% Ambassis Hephaestu Neoarius agrammus s raymondi graffei 0% 0% 0% Nematalos a flyensis 33% Arius latirostris 25% Megalops cyprinoide s 7% Gambar 37. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan Agustus 2015. 45 Pengamatan persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan November 2015 disajikan pada Gambar 38. Pada pengamatan persentase jumlah ternyata ikan duri (Arius latirostris) merupakan ikan dengan jumlah spesies terbanyak diikuti oleh ikan tulang (Nematalosa flyensis). Hal yang sama juga terlihat dari persentase berdasarkan biomassa yang menunjukkan Nematalosa flyensis dan Arius latirostris merupakan spesies ikan yang memiliki persentase bobot lebih besar dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Dengan kisaran biomassa yang ditemukan 92529 gram untuk Arius latirostris dan 9-208 gram untuk Nematalosa flyensis. Oreochrom Strongylur Toxotes Pingalla Megalops is niloticus aNematalos kreffti jaculatrix lorentzi cyprinoides 0% 1% 1% 1% a 2% flyensis 23% Clupeoides venulosus 0% Arius latirostris 72% Toxotes jaculatrix Strongylur 4% a kreffti 3% Pingalla Oreochro Megalops lorentzi mis cyprinoide s 2% niloticus 0% 2% Nematalos a flyensis 45% Clupeoides venulosus 0% Arius latirostris 44% Gambar 38. Persentase komposisi hasil tangkapan berdasarkan jumlah dan biomassa pada bulan November 2015. Jika diperhatikan dari kegiatan experiment fishing yang dilakukan dari bulan Mei, Agustus dan November 2015 terlihat ikan-ikan yang tertangkap masih didominasi dengan ikan-ikan asli papua. Sama seperti hal nya penelitian yang dilakukan Satria et al (2013) dan Rahardjo et al (2011), dengan jaring insang percobaan di hulu sungai Kumbe 78,57% merupakan ikan asli papua yang merupakan bagian dari distribusi ikan paparan sahul. Menurut Kartikasari et al. (2012) persebaran ikan-ikan air tawar di Papua sangat terkait erat dengan sejarah geologi pulau Nugini yang dahulu tergabung dengan daratan Australia. Lebih lanjut menurut Sentosa & Satria (2013), beberapa jenis ikan yang tertangkap di bagian hulu Sungai Kumbe, terutama dari famili Cichlidae seperti nila, Anabantidae (betok) serta Chanidae (gabus toraja) merupakan jenis ikan-ikan introduksi di kawasan Nugini, khususnya Merauke sejalan dengan laporan Allen (1991). Dari hasil perhitungan yang dikategorikan ikan introduksi masih belum mendominasi yakni dapat dilihat pada nilai IRI Oreochromis niloticus (3,13%), Anabas testudineus (0,90%) dan Channa striata (0,34%). Hal ini disebabkan masyarakat setempat telah memanfaatkan ikan-ikan introduksi tersebut sebagai target tangkapan, terutama untuk konsumsi sehingga aktivitas tersebut 46 secara tidak langsung juga turut mengontrol perkembangan populasinya di alam (Sentosa & Satria, 2013). Tabel 7. Indeks keanekaragaman dan dominansi ikan di Sungai Kumbe Lokasi S H’ N D 5 8 11 5 8 11 5 8 11 5 8 11 Mahayulumb 8 8 5 65 73 106 1,7388 1,4870 0,9155 0,2236 0,3458 0,4938 Inggun 10 8 7 153 76 52 1,9887 1,6942 1,4584 0,1702 0,2275 0,2981 Yakau 6 8 5 14 15 83 1,8095 1,9913 0,6280 0,1837 0,1467 0,6126 Sakor 4 9 - 28 87 - 0,9695 1,6430 - 0,4792 0,2802 - Keterangan: 5: Mei; 8: Agustus; 11: November s = jumlah jenis N = jumlah total ikan H’ = indeks keanekaragaman D = indeks dominansi Indeks keanekaragaman dan dominansi ikan di empat lokasi survei Sungai Kumbe disajikan pada Tabel 7. Secara umum nilai H’ relatif hampir sama dengan penelitian Binur (2010) di Rawa Kaliki, Merauke dengan nilai H’ berkisar antara 1,411-1,950. Nilai H’ ikan-ikan hasil tangkapan di Sungai Kumbe berkisar antara 0,6280-1,9887 dengan nilai D berkisar antara 0,1702-0,6126. Berdasarkan kriteria indeks ekologi menurut McDonald (2003) dan Fachrul (2008), secara umum meskipun berfluktuasi terlihat bahwa keempat lokasi penelitian yaitu: Rawa Mahayulumb, Inggun, Yakau dan Sakor memiliki tingkat keanekaragaman sedang (1,5<H’<3,5) dengan dominansi rendah sehingga struktur komunitas relatif stabil. Tabel 8. Distribusi dan kelimpahan ikan berdasarkan bulan pengamatan di lokasi penelitian. Spesies Ikan Arius latirostris Ambassis agrammus Anabas testudineus* Clupeoides venulosus Hephaestus raymondi Megalops cyprinoides Melanotaenia goldie Nematalosa flyensis Neosilurus ater Oreochromis niloticus* Parambassis gulliveri Pingalla lorentzi Porochilus meraukensis Strongylura kreffti Toxotes jaculatrix 5 √ √ √ √ √ √ √ √ - Mahayulumb 8 √ √ √ √ √ √ √ √ 11 √ √ √ √ √ 5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - Inggun 8 √ √ √ √ √ √ √ √ - 11 √ √ √ √ √ √ √ 5 √ √ √ √ √ √ - Yakau 8 √ √ √ √ √ √ √ √ 11 √ √ √ √ √ - 5 √ √ √ √ - Sakor 8 √ √ √ √ √ √ √ √ √ - 11 - Keterangan: 5: Mei; 8: Agustus; dan 11: November. 47 Berdasarkan percobaan penangkapan dengan menggunakan jaring insang diperoleh distribusi dan kelimpahan ikan yang didapat berdasarkan bulan pengamatan di lokasi penelitian seperti yang tersaji pada Tabel 8. Pada tabel terlihat bahwa berdasarkan lokasi penelitian ikan duri (Arius latirostris) merupakan jenis ikan yang sering ditemukan di hampir setiap lokasi penelitian diikuti dengan ikan mata bulan (Megalops cyprinoides) dan tulang (Nematalosa flyensis). Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut memiliki dinamika spasial dalam hal distribusi ruaya paling luas dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Ruaya merupakan aktivitas penting bagi ikan yang merupakan bagian dari daur hidupnya. Menurut Utomo & Samuel (2005), berdasarkan tujuan mengapa ikan melakukan ruaya, maka ruaya ikan di perairan umum dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu ruaya pemijahan, ruaya untuk mencari makan, dan ruaya untuk menghindar dari lingkungan yang kurang baik. Sedangkan jika diperhatikan berdasarkan dinamika temporal yaitu bulan pengamatan terlihat bahwa ikan duri (Arius latirostris) merupakan jenis ikan yang sering ditemukan di sepanjang bulan pengamatan diikuti dengan ikan mata bulan (Megalops cyprinoides), tulang (Nematalosa flyensis) dan saku (Strongylura kreffti). Untuk ketiga jenis terakhir hanya ditemukan di satu atau dua lokasi penelitian yang sama. Hal ini memungkinkan bahwa ikan-ikan tersebut secara temporal beruaya pada lokasi yang sama hal ini dimungkinkan karena ekosistem di lokasi penelitian yang masih mendukung untuk kehidupan ikan-ikan tersebut. 3.5. Karakteristik Sumberdaya Ikan Ekonomis Penting Neosilurus ater Ragam genetik populasi ikan sembilang Informasi Keragaman genetik merupakan bagian dari keragaman hayati yang memiliki pengertian yang lebih luas, yakni keragaman struktural maupun fungsional dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan molekul DNA. Molekul DNA dapat pula berfungsi menjadi penanda molekular yang mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Semua karakter yang ditampilkan baik secara nyata atau tidak oleh satu individu hewan tidak lain adalah pencerminan karakter gen yang dimiliki oleh individu hewan tersebut, atau dapat disebut bahwa semua informasi yang dapat diamati pada suatu individu hewan adalah penanda genetik dari individu tersebut. Karakteristik penanda molekular ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi karena penanda ini bebas dari 48 pengaruh-pengaruh epistasi, lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi yang lebih akurat (Muladno, 2006). Informasi keragaman genetik dan penanda genetik dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap sekuense mtDNA. Hal ini karena mtDNA bersifat maternal dan diturunkan oleh parentalnya tanpa rekombinasi (Harrison, 1989; Amos & Hoelzel, 1992), molekulnya kompak dan ukuran panjangnya relatif pendek (16000–20000 nukleotida) tidak sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan utuh, tingkat evolusi yang tinggi (5-10 kali lebih besar dari DNA inti) sehingga dapat memperlihatkan dengan jelas perbedaan antar populasi dan hubungan kekerabatan (Brown et al., 1979; Brown, 1983), memiliki jumlah copy yang besar 1000-10000 dan lebih cepat dan mudah mendapatkan hasil dari jaringan yang telah diawetkan sebelumnya (Brown, 1983). Gen penyandi protein dari DNA mitokondria adalah bagian yang sering digunakan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan sebagai penanda genetik suatu spesies.Diantara gen penyandi protein yang sering digunakan untuk mempelajari keragaman genetik adalah gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI). Selain itu, Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat pula digunakan sebagai penanda genetik untuk mempelajari keragaman jenis dan hubungan kekerabatan diantara kelompoknya (intraspesies) maupun kelompok lainnya (interspesies) (Ping et al., 2007). Informasi tentang ragam genetik ikan sembilang (Neosilurus ater) berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) selama ini masih sangat terbatas. DNA total diisolasi dari cuplikan otot ikan sembilang dan hasil isolasi DNA total digunakan sebagai cetakan untuk amplikasi gen Cytochrome c Oxidase Subunit I (COI) DNA mitokondria dengan teknik PCR. Amplikasi gen Cytochrome c Oxidase Subunit I (COI) menghasilkan fragmen gen COI berukuran rata-rata 594 pb pada spesimen ikan sembilang. Profil DNA hasil amplikasi disajikan pada Gambar 39 dan urutan sekuense dapat terlihat pada Gambar 40. Gambar 39. Profil DNA ikan sembilang (Neosilurus ater) hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer COI F dan COI R. 49 Gambar 40. Urutan sekuens ikan sembilang sepanjang 594 pb Dari 197 asam amino hasil translasi 594 nukleotida pada gen COI parsial ikan sembilang, terdiri dari 195 situs asam amino bersifat kekal, 2 situs asam amino bersifat variabel yang terdiri dari 2 situs asam amino sinonimous. Perubahan asam amino yang terjadi adalah bersifat non sinonimous, sehingga pengamatan melalui asam amino dapat mendeteksi adanya penanda genetik ikan sembilang. Kondisi ini menurut Nei & Kumar (2000) karena adanya substitusi nukleotida yang dapat menyebabkan perubahan asama amino atau bersifat non sinonimous, namun ada pula yang tidak menyebabkan perubahan asam amino didalam hasil translasinya atau bersifat sinonimious. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan sembilang dari Sungai Kumbe mengidentifikasi 2 situs nukleotida yang bervariasi dan semuanya singleton. Komposisi empat basa nukleotida dari 594 nukleotida gen COI yang mentranslasikan 197 asam amino secara keseluruhan, rata-rata nukleotida T adalah yang paling banyak ditemukan (25.9%), sedangkan rata-rata yang paling sedikit ditemukan adalah C (18%). Hasil ini berbeda dengan yang diinformasikan oleh Doadrio et al. (2002) & Peng et al. (2004), bahwa nilai G yang rendah, umum ditemukan pada DNA mitokondria ikan. Rata-rata komposisi basa 50 nukleotida A+T secara keseluruhan pada ikan sembilang adalah lebih banyak (55.2%) daripada rata-rata G+C (44.8%). Komposisi basa nukleotida A+T yang lebih banyak daripada G+C juga ditemukan oleh Ketmaier et al. (2004). Berdasarkan posisi kodon, komposisi basa nukleotida pada posisi pertama triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida G (39%), sedangkan nukleotida C mempunyai frekwensi yang paling sedikit yaitu 7.6%. Komposisi pada posisi kedua dari triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida A (42.9%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida T (13%). Nilai G yang lebih rendah pada posisi kedua triplet kodon juga ditemukan oleh Peng et al. (2004). Komposisi pada posisi ketiga triplet kodon, frekuensi paling banyak ditemukan adalah nukleotida C (31.8%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida A (18.7%). Keragaman terbesar komposisi basa nukleotida dari keseluruhan triplet kodon gen COI ikan sembilang terletak pada posisi kodon ketiga. Peng et al. (2004), Ketmaier et al. (2004), Doadrio & Perdices (2005) juga mendapatkan keragaman terbesar pada posisi kodon ketiga dari keselurah kodon gen penyandi protein pada DNA mitokondria. Variasi morfologi ikan sembilang Variasi morfologis pada ikan dapat digunakan untuk mengidentifikasi stok dan melihat perbedaan antar populasi. Identifikasi stok ikan dapat dilakukan melalui pengukuran pada struktur morfologis (karakter morfometrik) (Tschibwabwa, 1997; Sudarto, 2003; Gustiano, 2003) dan karakter meristik (Seymour, 1959; MacCrimmon and Clayton, 1985; Al-Hasan, 1984; 1987a,b)) dan marka molekular (Waltner, 1988; Krueger, 1986; Sudarto, 2003). Morfometrik adalah perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan, sementara meristik adalah bagian yang dapat dihitung dari ikan yang merupakan jumlah bagian-bagian tubuh ikan. Perbedaan morfologis antar populasi dapat berupa perbedaan jumlah, ukuran dan bentuk (Sprent, 1972), keunggulan menggunakan karakter morfologis dalam membedakan populasi adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya besar dan tidak memerlukan waktu lama (Mustafa, 1999; Gustiano, 2003). Untuk kepentingan ini maka dilakukan analisa morfologi untuk ikan sembilang di Sungai Kumbe. Lokasi sampling ditentukan secara purposive sampling, pada daerah yang ada ikan sembilangnya dan diperkirakan memiliki skala geografik yang berbeda. Koleksi ikan sample dilakukan secara acak dengan jumlah sample specimen ikan sembilang perlokasi diusahakan berkisar antara 1 sampai 30 spesimen. Ikan yang dijadikan sample 51 memiliki ukuran berat lebih dari 1 (satu) kg (jika memungkinkan), tidak dilakukan pengambilan sample berdasarkan jenis kelamin dan pada tahap juveniles. Hal ini untuk mengurangi variasi sebagai akibat sexual dimorphism dan ontogenetic allometry (Hood & Heins, 2000). Pengukuran morfometrik specimen dilakukan dengan menggunakan digital caliper yang memiliki ketelitian sampai 0.10 mm, pada 15 karakter morfometrik bentuk badan dan 4 karakter meristik, dilakukan penghitungan manual dibantu kaca pembesar (Gambar 41), di bagian sisi sebelah kiri tubuh ikan. Metode pengukuran dengan menggunakan manual digital calliper adalah metode yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam studi morfologi, paling tidak terdapat 31 dari 42 studi tentang subjek ini yang telah dipublikasikan (Scaeffer, 1991). Gambar 41. Data dasar pengukuran morfometrik ikan sembilang Hasil analisis memperlihatkan walaupun analisis morfometrik memperlihatkan perbedaan yang lebih besar diarea yang berbeda dibandingkan karakter meristik namun semua analisis morfometrik dan meristik memperlihatkan keberadaan unit populasi yang tercampur. Kolaborasi hasil morfometrik dan meristik dapat disimpulkan bahwa populasi ikan sembilang di Sungai Kumbe dapat diperlakukan sebagai satu stok tunggal. Biologi Reproduksi Reproduksi pada ikan berhubungan erat dengan fekunditas dan gonad sebagai alat reproduksi seksualnya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa aspek biologi reproduksi terdiri atas rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan pertama kali matang gonad dan memijah. Reproduksi sebagian besar ikan sangat dipengaruhi oleh musim dan sebagian besar spesies berlangsung pada awal musim hujan. Hal ini berkenaan dengan strategi reproduksi, strategi reproduksi yang dilakukan oleh ikan (Welcomme, 1979) antara lain mencari tempat aman dan terlindungi untuk meletakkan telur, disana 52 terdapat makanan maksimum dan aktivitas makan mudah dan cukup waktunya, dan terlindungi dari predator. Analisa sex ratio mengindikasikan meningkatnya persentasi ikan sembilang betina sejalan dengan makin besarnya ukuran ikan, sex ratio yang terpengaruh ukuran juga dilaporkan pada species lain oleh Lucio & Uriarte (1990). Identifikasi ikan sembilang betina dapat terlihat pada tampilan morfologinya, dimana ikan sembilang di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning, hal ini berdasarkan frekuensi ditemukannya ikan sembilang betina TKG IV yang ditemukan pada hampir setiap bulan pengamatan, Gambar 42. Umumnya, siklus reproduksi ikan dipengaruhi oleh faktor abiotik (suhu air dan panjang hari) dan biotik (kelimpahan makanan) (Wootton, 1998). Gambar 42. Tampilan morfologi alat kelamin betina dan telur pada TKG IV ikan sembilang Pertumbuhan ikan sembilang Pengertian pertumbuhan secara umum adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu maupun komunitas Perubahan itu terjadi pada keseluruhan tubuh atau organ-organ tertentu dan jaringan, atau bisa jadi perubahan tersebut berkaitan dengan komponen tubuh seperti organ dan jaringan (Effendie 2002). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit (Effendie 1997), serta umur dan maturitas (Moyle & Cech 2004). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kadar amonia di perairan, dan salinitas (Moyle & Cech 2004). 53 Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui melalui hubungan panjang total (mm) dan berat total (gr). Berdasarkan hubungan panjang-berat ikan sembilang diperoleh nilai b, nilai b adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Pola pertumbuhan ikan sembilang di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif yang berarti pola pertumbuhan berat cenderung lebih cepat daripada pertumbuhan panjang tubuh, tampilan morfologi ikan sembilang yang mencerminkan pertumbuhannya terlihat pada Gambar 43. Gambar 43. Tampilan morfologi ikan sembilang Makanan ikan sembilang Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk menjalankan metabolisme tubuhnya. Makanan merupakan kunci pokok bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa kekurangan makanan merupakan faktor pembatas bagi perkembangan populasi ikan di perairan. Beberapa faktor makanan yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, akses terhadap makanan, dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Kebiasaan makanan (food habit) ikan, penting untuk diketahui, karena pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan, dan selera organisme terhadap makanan. Ikan sembilang adalah ikan asli Pulau Papua Newguinea dan Australia. Ikan ini menggunakan sungut yang ada di bagian kepalanya untuk mendeteksi makanannya di dasar perairan, makanan ikan sembilang berupa moluska, serangga, krustasea dan cacing. Dikenal sebagai ikan soliter mendiami perairan yang berarus tidak deras atau perairan tenang di rawa. 54 Pingalla lorentzi Ragam genetik populasi Pingalla lorentzi, kakap rawa adalah jenis ikan yang apabila ditangkap mengeluarkan suara dengkuran atau dikenal dengan grunters. Pada umumnya ikan ini ditemukan di perairan pantai yang dangkal di Samudera Hindia dan Pasifik Barat, di mana mereka tinggal di air asin, payau dan habitat air tawar, tetapi ada juga ditemukan jauh dari pantai. Mereka tumbuh hingga mencapai panjang 80 cm dan memakan ikan dan invertebrata. Sejalan dengan keprihatinan global yang terus meningkat terkait dengan hilangnya keanekaragaman hayati dan upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati maka diperlukan langkah-langkah untuk mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati dan merencanakan strategi konservasi untuk spesies yang jumlahnya di alam telah menurun. Kebijakan untuk melindungi spesies memerlukan masukan ilmiah pada struktur genetik dari spesies asli. Informasi genetik sangat bermanfaat bagi manajemen perikanan berkelanjutan. Penanda molekuler telah terbukti jauh lebih unggul dibandingkan pendekatan konvensional (Wilson et al., 2004). Data variasi genetik tidak hanya memberikan manfaat terkait dengan identifikasi taksonomi dan asal lokasi ikan namun juga karakterisasi ragam genetik yang diperlukan untuk merencanakan secara efektif strategi konservasi dan rehabilitasi populasi alami. Bagian DNA yang umum digunakan sebagai penanda spesifik adalah gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) (Hebert et al., 2003) bagian dari gen-gen yang ada dalam DNA mitokondria. Pada studi ini, amplikasi gen Cytochrome c Oxidase Subunit I (COI) menghasilkan fragmen gen COI berukuran rata-rata 618 pb pada spesimen ikan kakap rawa. Profil DNA hasil amplikasi disajikan pada Gambar 44 dan urutan sekuense dapat terlihat pada Gambar 45. Gambar 44. Profil DNA ikan kakap rawa hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer COI F dan COI R. 55 Gambar 45. Urutan sekuens ikan kakap rawa sepanjang 618 pb 56 Dari 206 asam amino hasil translasi 618 nukleotida pada gen COI parsial ikan kakap rawa, terdiri dari seluruhnya situs asam amino bersifat kekal. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan kakap rawa dari Sungai Kumbe mengidentifikasi tidak ada situs yang bervariasi walaupun dibandingkan dengan spesies dari Australia. Komposisi empat basa nukleotida dari 618 nukleotida gen COI yang mentranslasikan 206 asam amino secara keseluruhan, rata-rata nukleotida A adalah yang paling banyak ditemukan (29.6%), sedangkan rata-rata yang paling sedikit ditemukan adalah C (18.4%). Rata-rata komposisi basa nukleotida A+T secara keseluruhan pada ikan sembilang adalah lebih banyak (52.1%) daripada rata-rata G+C (47.9%). Berdasarkan posisi kodon, komposisi basa nukleotida pada posisi pertama triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida A (42.1%), sedangkan nukleotida T mempunyai frekwensi yang paling sedikit yaitu 14.0%. Komposisi pada posisi kedua dari triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan adalah nukleotida C (30.6%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida T (27%). Komposisi pada posisi ketiga triplet kodon, frekuensi paling banyak ditemukan adalah nukleotida G (32.5%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida C (10.7%). Basa nukleotida COI dapat digunakan sebagai penanda genetik spesifik ikan kakap rawa. Penanda molekuler dapat diandalkan dan memiliki hasil yang konsisten untuk identifikasi diantara spesies (Ryan & Esa, 2006) dan tingkat keragaman genetik (Vrijenhoek, 1998). Lebih jauh, Smith & Wayne (1996) and Nguyet et al. (2006), mengatakan bahwa aplikasi teknik molekuler (seperti DNA sekuensing) menyediakan pemahaman baru dan yang lebih mendalam tentang taksonomi, struktur populasi dan manajemen dan konservasi ikan kakap rawa. Gen penyandi protein berdasarkan posisi kodon, memiliki region yang kekal (conserve) dan region yang beragam (Farias et al., 2001). Region yang conserve dapat dijadikan sebagai penanda genetik (barcoding) untuk mengidentifikasi keaslian genetik suatu jenis secara akurat dan juga sebagai barcoding untuk mengetahui daerah asal suatu spesies; sedangkan region yang beragam dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan. 57 Variasi morfologi ikan kakap rawa Tingkatan klasifikasi biologi disusun berdasarkan kemiripan karakter dan kemampuan untuk dapat berkembang biak. Organisme bisa dimasukkan dalam satu group spesies melalui berbagai pendekatan, salah satunya penampakan luar tubuh atau morfologi (Mayr, 1970). Walaupun konvensional namun pendekatan ini terbukti valid, memiliki berbagai keunggulan antara lain; mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya besar dan tidak memerlukan waktu lama (Mustafa, 1999; Humpries et al., 1981; Gustiano, 2003). Seperti halnya pada ikan sembilang hasil analisa 15 karakter morfometrik dan 4 karakter meristik ikan kakap rawa menunjukkan bahwa populasi ikan kakap rawa di Sungai Kumbe merupakan populasi yang tercampur sehingga bisa diperlakukan sebagai satu unit stok. Biologi Reproduksi ikan kakap rawa Estimasi karakteristik sejarah hidup ikan, seperti musim pemijahan, umur dan usia kematangan dan fekunditas adalah hal yang mendasar untuk dapat memprediksi tanggapan spesies terhadap perubahan lingkungan, memahami adaptasi tanggapan spesies terhadap penangkapan, memberi arah untuk pengelolaan perikanan, mengembangkan teknik budidaya ikan, memberikan informasi kajian ekologi pada tingkat komunitas atau ekosistem dan atau mendisign strategi reproduksi ikan (Winemiller & Rose, 1992). Analisa sex ratio mengindikasikan meningkatnya persentasi ikan kakap rawa betina sejalan dengan makin besarnya ukuran ikan. Ikan betina bisa dibedakan berdasarkan tampilan morfologi, Gambar 10. Ikan kakap rawa di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning, hal ini berdasarkan frekuensi ditemukannya ikan sembilang betina TKG IV yang ditemukan pada hampir setiap bulan pengamatan, Gambar 46. Gambar 46. Tampilan morfologi alat kelamin betina ikan kakap rawa 58 Gambar 47. Tampilan gonad jantan TKG II ikan kakap rawa Pertumbuhan ikan kakap rawa Dalam perspektif manajemen perikanan, banyak rujukan biologi diestimasi menggunakan parameter sejarah hidup, seperti yang berhubungan dengan dinamika pertumbuhan (Quinn & Deriso, 1999). Perkiraan parameter pertumbuhan menjadi dasar untuk menduga stok ikan. Pertumbuhan adalah aspek biologi utama untuk menduga populasi ikan yang dieksploitasi dan perbedaan pertumbuhan dari kelas ukuran secara langsung mempengaruhi parameter awal dari metode analisis pendugaan. Pengetahuan dengan memasukkan perbedaan pertumbuhan diantara jenis kelamin, area atau kedalaman membawa analisa yang dilakukan menjadi lebih objektif terkait dengan kelimpahan stok (landa et al., 2002). Pola pertumbuhan ikan sembilang di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif yang berarti pola pertumbuhan berat cenderung lebih cepat daripada pertumbuhan panjang tubuh, tampilan morfologi ikan sembilang yang mencerminkan pertumbuhannya terlihat pada Gambar 48. Gambar 48. Tampilan morfologi ikan kakap rawa yang mencerminkan pertumbuhannya 59 Makanan ikan kakap rawa Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme terhadap makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia, habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur ikan, periode harian mencari makanan dan jenis kompetitor (Hickley 1993 dalam Satria & Kartamihardja, 2002). Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam lambungnya (Weatherley dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Ikan kakap rawa dikategorikan sebagai omnivora yang bersifat demersal. Makanan utamanya adalah alga dan dentritus. Ikan ini adalah ikan tropis dengan dasar sungai berpasir atau lumpur. Jika diamati kebiasaan makanan alaminya dari kedua jenis ikan diatas menunjukkan bahwa jenis serangga banyak dimanfaatkan oleh ikan dengan persentase sebesar 15-100% kemudian diikuti oleh makrofita atau tumbuhan air (5-90%) dan bijibijian (75,00%). Hal yang sama juga disampaikan oleh Satria et al (2013), yang menunjukkan bahwa ikan-ikan di sungai Kumbe lebih banyak memanfaatkan serangga sebagai makanannya dengan presentase 66,67% diikuti oleh serasah 58,33% dan ikan 50%. Sedangkan komponen makanan alami yang sedikit dimanfaatkan oleh ikan di Sungai Kumbe adalah dari kelompok krustasea (8,33%) diikuti oleh detritus (16,67%). Dari pengamatan kebiasaan makanan terhadap kedua jenis ikan tersebut diperoleh bahwa kedua jenis ikan memiliki kebiasaan makanan yang bervariasi dan termasuk dalam kategori eurifagus (Effendie, 2002). Habitat sungai kumbe yang berarus lambat dengan dipenuhi daerah rawa banjiran dan dicirikan terdapat banyak tumbuhan air (makrofita) menjadi habitat yang baik bagi serangga. Hal tersebut yang membuat populasi serangga melimpah dan tak heran serangga menjadi jenis makanan yang paling sering digemari oleh ikan-ikan di sungai kumbe. 60 IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Keragaman genetik sumberdaya ikan di calon kawasan suaka perikanan Sungai Kumbe didapatkan 7 Ordo, 15 famili dan 27 spesies ikan yang keseluruhan berhasil di barkode berdasarkan sekuens gen Cytochrom Oxidase Subunit 1 (COI) mitochondrial DNA. Selain itu, dari 27 spesies ikan tersebut 11 spesies diantaranya di barkode untuk pertama kalinya. Dinamika larva didapatkan sepuluh spesies yang ditemukan pada tahap larva dan juvenil di calon kawasan suaka perikanan Sungai Kumbe. Larva dan juvenile yang diidentifikasi terutama berasal dari Perciformes dan Antheriniformes. Kelompok Gobiidae termasuk dalam Perciformes yang terutama terdapat melimpah di dua lokasi (Yakau dan Sakor) dan ikan sumpit (Toxotes oligolepis) yang terdeteksi di semua lokasi pengambilan sampel (termasuk alur sungai/Alfasera). Demikian pula, kami menemukan larva ikan dan juvenil dari jenis ikan lainnya seperti Pingalla lorentzi, Melanotaenia splendida inornata dan Iriatherina werneri di habitat rawa gambut. Ikan Sembilang (Neosilurus ater) di Sungai Kumbe memiliki keragaman genetik baik asam amino maupun nukleotida. 2 situs asam amino bersifat variabel (non sinonimous), 2 situs nukleotida yang bervariasi dan semuanya singleton. Kolaborasi hasil morfometrik dan meristik dapat disimpulkan bahwa populasi ikan sembilang di Sungai Kumbe dapat diperlakukan sebagai satu stok tunggal. Analisa sex ratio mengindikasikan meningkatnya persentasi ikan sembilang betina sejalan dengan makin besarnya ukuran ikan, dimana ikan sembilang di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning. Pola pertumbuhan ikan sembilang di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif. Makanan ikan sembilang berupa moluska, serangga, krustasea dan cacing. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan kakap rawa dari Sungai Kumbe mengidentifikasi tidak ada situs yang bervariasi. Hasil analisa karakter morfometrik dan karakter meristik ikan kakap rawa menunjukkan bahwa populasi ikan kakap rawa di Sungai Kumbe merupakan populasi yang tercampur sehingga bisa diperlakukan sebagai satu unit stok. Ikan kakap rawa di Sungai Kumbe memiliki tipe partial spawning. Pola pertumbuhan ikan kakap rawa di Sungai Kumbe, baik jantan dan betina adalah alometrik positif. Ikan kakap rawa dikategorikan sebagai omnivora yang bersifat demersal. Makanan utamanya adalah alga dan dentritus. Ikan ini adalah ikan tropis dengan dasar sungai berpasir atau lumpur. 61 DAFTAR PUSTAKA Ahmad A., A.B. Ali & M. Mansor. 2002. Conserving a highly diverse aquatic ecosystem of Malaysia. In: A case study of freshwater fish diversity in peat swamp habitat. Paper S7 O9. Proc. Workshop. Tropeat. Bali. P. 9. Allen G.R. 1991. Field Guide to the Freshwater Fishes of New Guinea. Christensen Research Institute. University of California. USA. P. 268. Allen G.R., S.H. Midgley & M. Allen. 2002. Field Guide to the Freshwater Fishes of Australia. Perth: Western Australian Museum. P. 394. Amos, B & A.R, Hoelzel. 1992. Applications of molecular genetic techniques to the conservation of small populations. Biological Conservation 6, p. 133– 144. Brown, W. M., George M. & A. C. Wilson. 1979. Rapid evolution of mitochondrial DNA, Proc. Natl Acad. Sci. USA. 76: p. 1967-71. Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA, pp 62-88. In: M. Nei and R.K. Koehn (eds). Evolution of Genes and Proteins. Sinauer, Sunderland, MA. Dennis C & P. Aldhous. 2006. A tragedy with many players. Nature. 430: 396398. Doadrio I., J.A. Carmona & A. Machordom. 2002. Haplotype diversity and phylogenetic relationships among the Iberian Barbels (Barbus, Cyprinidae) reveal two evolutionary lineages. J Hered. 93:140-147. Effendie M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. . 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Frantine-Silva W., S.H. Sofia, M.L. Orsi & F.S. Almeida. 2015. DNA barcoding of freshwater ichthyoplankton in the Neotropics as a tool for ecological monitoring. Mol Ecol Resour. 2015 Feb 6. doi: 10.1111/1755-0998.12385. Gustiano R. 2003. Taxonomy and phylogeny of Pangasiidae catfishes from Asia (Ostariophysi, Siluriformes). Thesis For The Doctor’s Degree (Ph.D.) Katholieke Universiteit Leuven, Belgium. 296 P. 62 Harrison, R.G. 1989. Animal mitochondrial DNA as a genetic marker in population and evolutionary biology. Trends in Evolutionand Ecology 4, p. 6–11. Hebert P.D.N., S. Ratnasingham & J.R. deWaard. 2003. Barcoding animal life: cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species. Proc. R. Soc. B 270, S96–S99. Hood C.S. & Heins, D.C. 2000. Ontogeny and allometry of body shape in the blacktail shiner, Cyprinella venusta. Copeia 2000: 270–275. Hubert N., B. Espiau, C. Meyer & Planes. 2015. Identifying the ichthyoplankton of a coral reef using DNA barcodes. Molecular Ecology Resources. 15: 57– 67. Humphries J. M., Bookstein F. L., Chernoff B., Smith G. R., Elder R. L. & S. G. Poss. 1981. Multivariate discrimination by shape in relation to size. J. Syst. Zool. 30(3) : 291-308. Ketmaier V., P.G. Bianco, M. Cobolli, M. Krivokapic, R. Caniglia & E. De Matthaesis. 2004. Molecular phylogeny of two lineages of Leuciscinae Cyprinids (Telestes and Sardinius) from the Peri-Mediterranean area based on Cytochrome-b data. Mole Phylogenet Evol. 32:1061-1071. Ko, H-Ling, Wang Y-Tze, Chiu T-Sheng, Lee M-An, Leu M-Yih, Chang K-Zong, Chen W-Yu, Shao K-Tsao. 2013. Evaluating the accuracy of morphological identification of larval fishes by applying DNA Barcoding. PLoS ONE. 8(1): 1-7. Krueger C.C. 1986. Incorporation of the stock concept into fisheries management. Paper presented at the Symposium Fisheries Genetics: Today and Tomorrow. Annual Meeting of the American Fisheries Society, Providence, RI. Landa J., P. Pereda, R. Duarte & M. Azevedo. 2002. Growth of anglerfish (Lophius Piscatorius and L. budegassa) in Atlantic Iberian waters. Portugal. Elsevier Science. Loh W.K.W., P. Bond, K.J. Ashton, D.T. Roberts & I.R. Tibbetts. 2014. DNA barcoding of freshwater fishes and the development of a quantitative qPCR 63 assay for the species-specific detection and quantification of fish larvae from plankton samples. Journal of Fish Biology. 85: 307–328. Lucio P & A. Uriarte. 1990. Aspects of the reproductive biology of the anchovy, Engraulis encrasicolus L., during 1987 and 1988 in the Bay of Biscay. ICES CM 1990/H: 20 pp. MacCrimmon H.R and R.R. Clayton. 1985. Meristic and morphometric identity of Baltic stocks of Atlantic salmon (Salmo solar). Can. J. ZooL. 63: p. 20322037. Mayr E. 1970. Populations, Species and evolution. The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, 433p. Moyle P.B and J.J. Cech. 1996. Fishes an Introduction to Ichthiology. Prentice Hall, New Jersey. Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bogor. Mustafa, S. 1999. Genetic In Sustainable Fisheries Management. Fishing Newbooks. London, 223 p. Nei, M & S. Kumar. 2000. Molecular evolution and phylogenetics. New York: Oxford University Press. Nikolsky G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. Parish F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, L. Stringer (Eds.) 2008. Assessment on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen. Pegg G.G., B. Sinclair, L. Briskey & W.J. Aspde. 2006. MtDNA barcode identification of fish larvae in the southern Great Barrier Reef, Australia. Scientia Marina, 70, 7–12. 64 Peng Z., S. Heng & Y. Zhang. 2004. Phylogenetic relationships of Glyptosternoid fishes (Siluriformes: Sisoridae) inferred from mitochondrial Cytochrome b gene sequences. Mol Phyogenetic Evol. 31: 979-987. Ping, Y., Z. Hao., C. Li-qiao., Y. Jin-yun., Y. Na., G. Zhi-min and S. Da-xiang. 2007. Genetic structure of the oriental river prawn (Macrobrachium nipponense) from Yangtze and Lancang River, inferred from COI gene sequence. Zoological Research, 28(2): 113-118. Prentice C & D. Parish. 1990. Conservation of peat swamp forest: A forgotten ecosystem. Proceedings of the International Conference on Tropical Biodiversity: 128-144. Quinn T.J. & R.B Deriso. 1999. Quantitative Fish Dynamics. Oxford University, New York. 542 pp. Satria H & E.S. Kartamihardja. 2002. Distribusi Panjang Total dan Kebiasaan Makanan Yuwana Ikan Payangka (Ophiocara porocephala). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8(1): 41-50. Schaeffer K. M. 1991. Geografic variation in morphometric characters and gillraker counts in yellow fin tuna (Tunnus albacares) from pacific ocean. Fish Buletin. 89 : p. 289-297. Seymour A. 1959. Effects of temperature upon the formation of vertebrae and fin rays in young chinook salmon. Trans. Amer. Fish. Soc. 88: p. 58-69. Sprent P. 1972. The Mathematics of size and shape. Biometrics 28 :p. 23-37. Sudarto 2003. Systematic revision and phylogenetic relationships among population of clariid species in Southeast Asia. Doctor Dissertation University of Indonesia. 371 p. Temple S.E., N.S. Hart, N.J. Marshall & S.P. Collin. 2010. A spitting image: specializations in archerfish eyes for vision at the interface between air and water. Proc R Soc B 277:2607– 2615. doi:10.1098/rspb.2010.0345. Tschibwabwa S. M. 1997. Systematic of African species of genera Labeo (Telestei, Cyprinidae) in the ichthyological region of lower Guinea and Congo. PhD Dissertation. Namur. 65 Valdez-Moreno M.V., L. Asquez-Yeomans, M. Elıas-Gutierrez, N.V. Ivanova &P.D.N. Hebert. 2010. Using DNA barcodes to connect adults and early life stages of marine fishes from the Yucatan Peninsula, Mexico: potential in fisheries management. Marine and Freshwater Research. 61: 665–671. Waltner C.M. 1988. Electhrporetic, Morphometric, And Meristic Comparison Of Walleye Broadstock In South Dakota. Thesis. South Dakota State University, 86 p. Welcomme R.L. 1979. Fisheries Ecology of Floodplain River. Longman. London, 317 p. Wilson A.J., J.A. Hutchings & M.M. Ferguson. 2004. Dispersal in a stream dwelling salmonid: inferences from tagging and microsatellite studies. Conserv Genet. 5:25–37. Wootton, R.J., 1998. Ecology of Teleost Fishes, 2nd ed. Kluwer Academic Publishers, London. Yule C.M. 2010. Loss of biodiversity and ecosystem functioning in IndoMalayan peat swamp forests. Biodiversity and Conservation. 19: 393–409. ΑΙ-Hassan L.A.J. 1984: Meristic comparison of Liza abu from Basrah, Iraq and Karkhah River, Arabistan, Iran. Cybium 8. 3: 107-108. ΑΙ-Hassan L.A.J. 1987a: Comparison of meristic characters of mosquito fish, Gambusia affinis (Baird and Girard) from Basrah and Baghdad, Iraq. Pakistan J. Zool 19. 1: 69-73. ΑΙ-Hassan L.A.J. 1987b: Variations in meristic characters of Nematolosa nasus from Iraqi and Kuwaiti waters. Jap. J. Ichthyol 33. 4: 422-425. Anonymous. 2006. Digital key to aquatic insects. Vally City State University Macroinvertebrate Lab. North Dakota. http://www.waterbugkey.vcsu.edu.86 p. 14 Desember 2006 Anonymous, 2013. Sistem mcrm.blogspot.com/2012/04/ Sosial Ekologi. sistem-ekologi-sosial.html http://tropicaldiakses 11 Desember 2013. American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods For the Examination of Water and Wastewater. 21st edition. Washington DC. 66 Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama USA. 359p. Dirjen Sumberdaya Air. 2012. Profil Balai Wilayah Sungai Papua. Eccles, D.H. 1992. FAO species identification sheets for fishery purposes. Field guide to the freshwater fishes of Tanzania. Prepared and published with the support of the United Nations Development Programme (project URT/87/016). FAO, Rome. 145 p. Henderson, H.F., 1973 Stratification and circulation in Kainji Lake. Geophys.Monogr., 17:489–9. JCP. 2012. Water resources management planningand integrated water resources management tools. Document B1.2 PPP Results Einlanden-Digul-Bikuma basin IWRM case study. Water Mondiaal Partner for water royal Netherlands Embassy in Jakarta. Kartamihardja, E., N.N. Wiadnyana., S. Koeshendrajana., C. Umar., M.F. Rahardjo., Krismono., & Z. Fahmi. 2012. Naskah Akademik Penetapan Kawasan Pengelolaan Perikanan di Perairan Umum Daratan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balitbang KP. Kartikasari, S.N., A.J. Marshall & B.M. Beehler (eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia, Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International, Jakarta. 982 p. [KLH]. 2008. Konsep Pedoman Umum Pengelolaan Ekosistem Danau. Koeshendrajana, S. 2013. Model peengelolaan perikanan secara terpadu di rawa banjiran Giam Siak Kecil. Identifikasi komponen penyusun pengelolaan perikanan di rawa banjiran Giam Siak Kecil, Provinsi Riau. Disampaikan pada FGD ‘Diagnosis Potensi dan Permasalahan Pemanfatan dan Pendayagunaan Sumber Daya Perikanan di Rawa Banjiran Giam Siak Kecil, 26-29 April 2013 Macan, T.T 1959. A guide to freshwater invertebrate animals. Longman Green and Co Ltd. London. 118 p. Mc. Cafferty, W. Patrick, & A. V. Prolonsha. 1981. Aquatic entomology. Jones and Barlet Publiher. London. 448 p. 67 Menon, A.G.K. 1999. Check list - fresh water fishes of India. Rec. Zool. Surv. India, Misc. Publ., Occas. Pap. No. 175, 366 p. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Parson, T.., Takashi, M., & Hargrave, B. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press, New York. 330 p. Pennak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons. Peraturan Menteri KP No. PER.27/MEN/2012 tentang pedoman umum industrialisasi kelautan dan perikanan. Peraturan Menteri KP No. PER.29/MEN/2012 tentang pedoman penyusunan rencana pengelolaan perikanan di bidang penangkapan ikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Lampiran VI wilayah sungai. Rahardjo, M.F., D.S. Sjafei, R. Affandi, Sulistiono & J. Hutabarat. 2011. Iktiology. Lubuk Agung, Bandung. 396 p. Reddy, K.N. 1995. Prawns and shrimps (Crustacea : Decapoda) Estuarine ecosystem series, Part 2 : Hugli Matla Estuary ZSI, Calcutta 289 – 314. Samuel. 2010. Sumberdaya Perairan Sungai Musi (Plankton, Benthos dan Tumbuhan Air). Bunga Rampai Perikanan Perairan Sungai Musi Sumatera Selatan. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Balitbang KP. Satria, H., A.R. Syam., A. Rahman., A.A. Sentosa., B. Irianto., U. Sukandi., Y. Nugraha., U. Hasanah., P. Prahoro., & E.S. Kartamihardja. 2012. Pengkajian Stok Dan Karakteristik Habitat Ikan Arwana Irian (Scleropages Jardinii) Di Sungai Kumbe Kabupaten Merauke – Papua. Laporan teknis (unpublish). BP2KSI Jatiluhur. Sentosa, A.A., & H. Satria. 2013. Komposisi ikan hasil tangkapan jaring insang di bagian hulu sungai kumbe, kabupaten merauke, papua. Draft Makalah Seminar Perikanan UGM Yogyakarta. Smith, S.B., A.P. Donahue., R.J. Lipkin., V.S. Blazer., C.J. Schmitt., & R.W. Goede. 2002. Illustrated field guide for assessing external and internal anomalies in fish. U.S. Information and Technology Report 68 USGS/BRD/ITR-2002-0007. September 2002. Department of the interior. U.S. Geological Survey. 46 p. Sulistyawan, B.S. 2005. Integrated BIKUMA (Bian, Kumbe, Maro) Catchments Management. Makalah disampaikan dalam NGBC (New Guinea Biology Conference) VII. Jayapura–Indonesia, 20–22 Agustus 2005. Taki, Y. 1974. Fishes of the Lao Mekong Basin. United States Agency for International Development Mission to Laos Agriculture Division. 232 p. Trewavas, E. 1983. Tilapiine species of the genera Sarotherodon, Oreochromis and Danakilia. London: British Museum (Natural History) Publications No 878 p. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang no 31 tahun 2004 tntang perikanan. Weber, M and L.F. de Beaufort, 1913. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. II.- Malacopterygii, Myctophoidea, Ostariophysi: I.- Siluroidea. E.J. Brill, Leiden. 404 p. Welcomme, R.L. 1985. River basins. FAO Fish Tech Pap. (202): 60 p. Yusuf, I. A. 2011. Memahami Focus Group Discussion. http://bincangmedia.wordpress.com/2011/03/28/relasi-media-dan konsumtivisme-pada-remaja/. 28 Maret 2011. 69 Lampiran 1. Beberapa foto selama kegiatan penelitian. Dokumentasi sebelum berangkat Perjalanan menuju lokasi sampling Basecamp penelitian Penarikan jaring experiment Sampling larva dengan scoopnet Pengukuran kualitas air Ikan tangkapan nelayan Pengamatan morfometrik meristik Pengamatan TKG Ikan Pengepakan sampel cargo 70 Lampiran 2. Komposisi Fitoplankton di Sungai Kumbe Mei 2015 Stasiun Fitoplankton Genus Sakor Baad Yakau Inggun Mahayulumb 1 Navicula 3 26 1 0 0 2 Diatoma 14 0 11 0 1 3 Coscinodiscus 2 5 0 1 0 4 Synedra 6 138 4 1 1 5 Cyclotella 0 0 2 2 1 6 Coconeis 0 2 0 0 0 7 Fragilaria 0 0 5 1 0 8 Nitszchia 0 0 2 1 0 9 Mougeotia 30 90 8 0 52 10 Closterium 5 3 0 4 8 11 Cosmarium 16 48 5 3 3 12 Micrasterias 0 0 1 9 0 13 Staurastrum 13 47 3 5 10 14 Ulothrix 266 37 214 51 204 15 Aulacoseira 0 0 110 0 0 16 Tribonema 0 262 4 0 0 17 Melosira 35 41 0 0 0 18 Scenedesmus 0 11 0 11 0 19 Xanthidium 7 69 2 0 8 20 Euastrum 0 2 0 0 0 21 Triploceras 40 120 0 0 0 22 Pleurotaenium 1 1 3 1 2 23 Tetraedron 0 1 1 0 0 24 Selenastrum 3 0 0 0 0 25 Microspora 0 0 6 0 0 26 Zygnema 41 0 0 0 0 27 Spodylosium 30 0 0 0 0 28 Oscillatoria 38 0 95 0 0 29 Anabaena 25 31 0 0 0 30 Merismopedia 0 0 0 8 0 575 934 477 98 290 Jumlah (Sel/liter) 71 Lampiran 3. Komposisi Fitoplankton di Sungai Kumbe Agustus 2015 Fitoplankton Genus 1 Coconeis 2 Coscinodiscus 3 Cyclotella 4 Cymbella 5 Diatoma 6 Diploneis 7 Fragilaria 8 Navicula 9 Rhizosolenia 10 Stauroneis 11 Synedra 12 Tabellaria 13 Surirella 14 Nitszchia 15 Closterium 16 Cosmarium 17 Melosira 18 Mougeotia 19 Oedogonium 20 Scenedesmus 21 Spirogyra 22 Staurastrum 23 Tribonema 24 Ulothrix 25 Xanthidium 26 Aphanocapsa 27 Gomphosphaeria 28 Oscillatoria Jumlah (Sel/liter) Sakor 53 0 0 2 39 3 38 5 0 1 6 14 0 0 21 0 0 2 48 0 7 1 18 0 0 0 1 144 403 Baad 0 0 3 0 0 0 0 1 26 0 95 0 2 0 5 4 0 0 0 0 0 3 0 61 1 0 1 0 202 Stasiun Yakau Inggun Mahayulumb 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 2 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 442 3 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 3 0 0 38 0 0 5 6 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 25 0 0 0 0 0 266 0 0 0 0 0 30 19 0 0 0 0 0 0 0 812 34 13 72 Lampiran 4. Komposisi Zooplankton di Sungai Kumbe Mei 2015 Zooplankton Genus 1 Peridinium 2 Euglena 3 Dinobryon 4 Difflugia 5 Diaptomus 6 Nauplius 7 Notholca 8 Tricocerca 9 Polyartha 10 Hexartha 11 Euchlanis 12 Tintinnidium Jumlah (Ind/liter) Sakor 0 1 0 1 0 2 0 0 0 0 0 0 4 Baad 3 0 0 1 0 10 2 2 1 0 0 1 20 Stasiun Yakau Inggun Mahayulumb 0 37 2 0 4 0 0 3 0 0 0 0 1 1 0 0 5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 2 53 2 Lampiran 5. Komposisi Zooplankton di Sungai Kumbe Agustus 2015 Zooplankton Genus 1 Difflugia 2 Euglena 3 Peridinium 4 Trachelomonas 5 Nauplius 6 Keratella 7 Notholca 8 Rotifera 9 Oxytrycha 10 Paramaecium 11 Verticella Jumlah (Ind/liter) Sakor 1 2 0 2 0 0 0 1 0 1 1 8 Baad 0 0 1 0 2 2 1 0 0 0 0 4 Stasiun Yakau Inggun Mahayulumb 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 2 1 73 Lampiran 6. Komposisi Perifiton di Sungai Kumbe Mei 2015 Perifiton Genus 1 Coconeis 2 Coscinodiscus 3 Cyclotella 4 Diatoma 5 Epithemia 6 Fragilaria 7 Frustulia 8 Navicula 9 Nitszchia 10 Pleorosigma 11 Stauroneis 12 Synedra 13 Ankistrodesmus 14 Cladophora 15 Closterium 16 Coelastrum 17 Cosmarium 18 Euastrum 19 Melosira 20 Mougeotia 21 Ooedogonium 22 Pleurotaenium 23 Spodylosium 24 Staurastrum 25 Ulothrix 26 Anabaena 27 Aphanocapsa 28 Gomphosphaeria 29 Oscillatoria Jumlah (Sel/cm2) Sakor 0 1 1 44 0 171 0 32 0 0 7 4 0 89 6 0 0 1 0 32 0 0 0 1 0 0 0 0 17 406 Baad 0 4 0 2 0 2 1 5 1 1 0 6 0 0 5 2 16 0 4 15 24 1 8 0 31 35 0 0 0 163 Stasiun Yakau Inggun Mahayulumb 16 0 1 10 0 0 8 0 0 35 0 0 0 0 1 0 2 0 0 0 0 25 3 10 0 0 2 0 0 0 11 0 0 0 3 2 7 0 0 158 0 0 17 4 3 0 0 0 28 10 0 0 1 0 0 0 0 100 0 20 132 0 33 0 3 1 0 0 0 47 0 3 36 0 0 175 0 0 0 0 120 0 0 2 373 15 0 1178 41 198 74 Lampiran 7. Komposisi Perifiton di Sungai Kumbe Agustus 2015 Perifiton Genus 1 Amphora 2 Asterionella 3 Coscinodiscus 4 Cymbella 5 Diatoma 6 Fragilaria 7 Navicula 8 Stauroneis 9 Synedra 10 Cladophora 11 Closterium 12 Cosmarium 13 Mougeotia 14 Oedogonium 15 Spirogyra 16 Tribonema 17 Triploceras 18 Ulothrix 19 Anabaena 20 Aphanizomenon 21 Oscillatoria 22 Paramaecium Jumlah (Sel/cm2) Sakor 0 0 2 0 9 27 52 1 14 2 15 0 44 0 1 0 0 10 0 0 94 1 272 Baad 3 0 0 0 7 29 0 0 19 35 16 0 29 0 0 0 0 14 0 34 76 0 262 Stasiun Yakau Inggun Mahayulumb 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 1 0 40 3 1 90 9 43 34 7 43 1 0 0 0 0 0 0 0 29 4 1 3 5 0 0 0 141 35 20 75 0 0 0 30 5 0 35 0 0 0 0 0 40 0 0 0 0 0 0 18 16 35 0 0 0 217 259 294 75 Lampiran 8. Beberapa larva yang ditemukan di sungai Kumbe. 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97