11 BAB I A. Latar Belakang Tugas perkembangan

advertisement
11
BAB I
A. Latar Belakang
Tugas perkembangan remaja menurut Erikson adalah pembentukan
identitas diri. Pembentukan identitas diri tidaklah dimulai dan berakhir pada masa
remaja, salah satu bentuk pembentukan identitas diri remaja yaitu orientasi
seksual (Santrock, 2002). Orientasi seksual merupakan pilihan hubungan intim
seseorang dengan lawan jenis atau yang sejenisnya (Duran & Barlow, 2003).
Pada umumnya, seseorang di dalam lingkungan masyarakat luas akan diarahkan
untuk memiliki orientasi heteroseksual dan menentang orientasi homoseksual.
Heteroseksual adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan orientasi
seksual seseorang terhadap lawan jenis. Sementara homoseksual merupakan
istilah yang digunakan untuk menunjukan orientasi seksual seseorang terhadap
sesama jenis.
Feldmen
(1990)
menyebutkan
bahwa
homoseksual
merupakan
ketertarikan seksual seseorang terhadap jenis kelamin yang sama. Menurut
Kendall (1998) homoseksualitas tidak hanya terbatas pada kontak seksual antara
seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga
menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan
sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama. Homoseksual
menjadi sebuah perbedaan karena heteroseksual (ketertarikan fisik, emosi dan
afeksi yang ditujukan pada orang dari jenis kelamin yang berbeda) adalah
orientasi seksual yang dianggap benar dan dapat diterima oleh sebagian besar
orang (Greene & Croom, 2000).
Pada tahun 1973, homoseksualitas dihilangkan sebagai suatu kategori
diagnostik oleh American Psyhiatric Association (APA) dan dari Diagnostic and
12
Statistical Manual of Mental Disorder (DSMMD). Hal ini disebabkan oleh
pandangan bahwa
homoseksual adalah suatu gaya hidup alternatif, sebagai
suatu variasi seksualitas manusia dan bukan suatu gangguan psikologis
(Cameron & Kirk, 2007). Pada tahun 1945, dideklarasikannya Hak Asasi Manusia
(HAM) yang menjamin hak mendasar manusia seperti hak untuk hidup, hak
untuk mendapat perlindungan dan hak-hak yang lain. Sejak itu, keberadaan
homoseksual mulai diakui. Hal ini dipertegas dengan adanya International
Conference of Population and Development (ICPD) yang diselenggarakan pada
tahun 1994. Konferensi ini menghasilkan 12 butir prinsip mengenai hak
kesehatan reproduksi dan seksual. Pada akhir tahun 2006, 29 orang ahli hukum
internasional merumuskan
29 prinsip hak-hak manusia yang terkait dengan
orientasi dan identitas gender. Prinsip-prinsip ini dikenal dengan Yogyakarta
Principles (Triawan, 2008).
Dideklarasikannya Hak Asazi Manusia, diselenggarakannya ICPD dan
adanya Yogyakarta principles serta dihilangkannya homoseksual sebagai suatu
gangguan psikologis, seharusnya keberadaan kaum homoseksual memiliki
kesetaraan
yang
sama
dengan
kaum
heteroseksual
di
tengah-tengah
masyarakat. Namun dalam kenyataannya, homoseksual seringkali mendapatkan
penolakan dan tindakan diskriminasi. Dari tahun ketahun keberadaan kaum
homoseksual di Indonesia semakin meningkat. Gaya nusantara yang merupakan
salahsatu organisasi yang melindungi LGBT dari diskriminasi menyatakan jumlah
gay dan lesbian dewasa ini sekitar 20 juta orang jika termasuk waria, namun
permasalahannya tidak semua orang yang memiliki hubungan dengan sesama
gender atau waria mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian. Jika
perhitungannya hanya gay atau lesbian totalnya sekitar 2 juta orang namun, jika
13
memakai perhitungan Kinsey (pernah melakukan hubungan dengan sesama
lelaki, setidaknya sekali) untuk Indonesia sekitar 53 juta lelaki homoseksual, jika
perilaku seksual lelaki-waria dipakai sebagai perhitungan, persentasenya bisa
mencapai seratus sembilan puluhan juta orang (Gaya nusantara, 2012).
Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah lingkungan masyarakat
senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai yang ada dan stereotipe
yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak
memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis. Di Indonesia
sendiri hanya melegalkan perkawinan heteroseksual sedangkan perkawinan
homoseksual tidak diperbolehkan. Kemudian
memperbolehkan
hubungan
homoseksual.
norma agama yang tidak
Pelanggar
dapat
menghadapi
hukuman mati di beberapa daerah Muslim fundamentalis seperti Iran dan bagian
Nigeria (Wikipedia, 2012). Aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk
menghindari relasi dengan kaum homoseksual. Hal ini tentunya dapat menutup
kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya/bekerja, bersekolah atau
pun kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang
lain (E-psikologi, 2012). Berdasarkan hasil penelitian, 90% masyarakat
merasakan ketidak nyamanan hidup berdampingan dengan tetangga yang
memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis (news.detik.com). Penelitian
yang dilakukan Kim (2008) mengenai merasa didiskriminasi (perceived
discrimination) dan orientasi seksual, menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara heteroseksual dan non heteroseksua, seksual minoritas merasakan
diskriminasi yang lebih tinggi dari orang-orang yang heteroseksual. Senada
dengan itu Mays, Cochran dan Rhue (1993) melaporkan individu homoseksual
14
dan biseksual melaporkan tingginya tingkat diskriminasi yang mereka terima dari
hari ke hari.
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang pria homoseksual pada
tanggal 19 Februari 2013, disebutkan bahwa dia sudah terbiasa dan kebal
mendapat hinaan dari orang lain. Selain itu, dari pengakuan seorang wanita
homoseksual yang menyebutkan bahwa dia merasa tidak diterima dikalangan
masyarakat. Orang-orang seringkali menjaga jarak dari dirinya ketika mereka
mengetahui bahwa dia adalah seorang homo (lesbi). Penolakan lingkungan
terhadap keberadaan homoseksual juga dinyatakan oleh
seorang pria homo
yang menyatakan:
Sulit bagi kita untuk menjadi terbuka secara umum, mengingat
penolakan yang sering terjadi. Terutama di lingkungan terdekat,
yakni keluarga. Mereka takut akan dibullying lagi jika membuka
identitas mereka. Meski ada sebagian yang nekat dan kemudian
diterima, ada juga yang ditolak. Jika ada keterbukaan pemahaman
tentang keragaman gender pada keluarga misalnya, hal itu akan
menjadi mudah. Jika masih ada penyerangan, dan diskriminasi, hal
itu kadang kembali menciutkan niat mereka membuka diri.
(www.kaskus.co.id).
Disamping itu, peneliti juga pernah mendapatkan sebuah pesan di akun
Face Book pada tanggal 2 Oktober 2013 dari seorang homoseksual (lesbi) yang
menyatakan:
Pada ge-er aja orang-orang itu, dikiranya kami bakal doyan dengan
semua perempuan. merasanya seksi, terus ditutup'in, menghindar
dari kami, seolah mereka takut bakal diperkosa. takut pergi berdua,
takut sekamar berdua bahkan dalam kondisi kepepet pun kalau bisa
gak sama kami deh. mungkin lebih baik diperkosa laki-laki daripada
ditolong seorang lesbian. hahahaaa.. hahahaaa... hahaaa... atau
kalau tidak begitu, seseorang akan menghasut yang lain untuk
menjaga jarak dengan kami. kalau kena orang yang bener-bener
awam, malah lebih pahit lagi. sering dapat respon seperti: 'o, kamu
menstruasi juga toh?', 'o, kamu pakai bedak juga toh?', o, payudara
kamu bisa besar juga toh?', 'o, kamu bisa sakit hati juga toh?', atau
juga.......... 'o, badan rambo, hati helokitti'... hahaha... kasian
pasangan hidupnya orang itu, dia akan dituntut bersikap seperti apa
yang kelihatan di luarnya. bukan berdasarkan kapasitasnya. kalau
15
aku, hemm.. percayalah, bahwa semakin aku di-begitukan, semakin
dalam aku bisa 'menyelami esensi hidup ini. semakin orang-orang
itu meributkan hal" yang superficial, semakin aku merasakan sisi
hidup yang fundamental: aku hidup SEBAGAI seorang
homoseksual, bukan UNTUK MENJADI seorang homoseksual.
pernah aku berpikir, mungkin kalau aku adalah pastor, biarawan,
biksu, aku akan lebih 'aman'. tidak akan ada yang melihatku
sebagai seorang yang 'di luar kebanyakan', semua melihatku
sebagai orang suci. dan aku hidup tenang bahagia. but once again,
damn... that's only a label. you can replace one label with another
label. yang berlabel raga kita, bukan ruh kita.
Selain hal di atas, bentuk diskriminasi lain yang diterima orang-orang
homoseksual yaitu adanya homophobia di lingkungan masyarakat. Homophobia
adalah suatu sebutan bagi orang atau kelompok yang phobia atau takut atau
benci atau memiliki sikap sinistik terhadap para homoseksual yang dilandasi oleh
beragam alasan (Aruspelangi, 2014). untuk melindungi hak-haknya dari
diskriminasi homophobia, untuk itu kaum homoseksual memperingati hari
Internasional Melawan Homophobia (International Day Against Homophobia/
IDAHO) setiap tanggal 17 Mei (Triawan & Arianto, 2008).
Hasil wawancara peneliti dengan sepuluh orang yang mengaku menjaga
jarak dengan orang-orang homoseksual, mereka menyatakan alasan mereka
adalah karena takut, jijik, tidak suka melihat mereka centil-centil, tidak di
bolehkan
agama,
dan
menganggap
bahwa
pergaulan
dengan
orang
homoseksual itu bisa membawa dampak buruk karena hal yang buruk dapat
merusak kebiasaan yang baik dan takut tertular.
Di Indonesia sendiri ada beberapa komunitas yang melindungi lesbian,
bisexual, gay dan transsexual (LGBT) dari berbagai bentuk diskriminasi
diantaranya yang paling populer yaitu Gaya nusantara dan Arus pelangi. Gaya
nusantara dan Arus pelangi bekerja sama melakukan penelitian studi kasus
mengenai diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT yang ditulis oleh Triawan &
16
Arianto (2008) menjelaskan LGBT mendapatkan diskriminasi di berbagai bidang
diantaranya yaitu sosial, hukum, ekonomi, politik dan budaya. Selain itu Riset
tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus pelangi menunjukkan bahwa 89,3% LGBT
di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena identitas seksualnya, 79,1%
responden menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan psikis, 46,3%
responden menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 26,3% kekerasan
ekonomi, 45,1% kekerasan seksual, 63,3% kekerasan budaya. Bahkan
kekerasan yang biasa dialami sudah diterima pada saat usia sekolah dalam
bentuk bullying. 17,3% LGBT pernah mencoba untuk bunuh diri diri, dan
16,4%nya bahkan pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali
(Aruspelangi, 2014).
Berbagai bentuk kebencian dan perlakuan yang tidak menyenangkan
terhadap kaum homoseksual dapat menyebabkan penurunan self esteem (harga
diri) pada individu tersebut (Greene & Croom, 2000). Schmitt, Branscombe,
Kobrynowicz, & Owen (2002) menyatakan Orang yang merasakan dirinya
mendapatkan diskriminasi memiliki
efek negatif terhadap harga diri (self
esteem). Harga diri adalah evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan dirinya dan kebiasaan individu dalam memandang dirinya yang
diekspresikan dalam, sikap menerima atau menolak, dan mengindikasikan
besarnya
kepercayaan
individu
terhadap
kemampuan,
keberartian
dan
kesuksesan. Swann dan Spivey (2004) menyatakan ada dua hal yang
mempengaruhi harga diri homoseksual yaitu: pertama pengungkapan diri (selfdisclosure) tentang identitas dan orientasi seksualnya. Kedua, isolasi dan stigma
sosial terhadap gay dan lesbian yang dapat menurunkan harga dirinya
17
Harga diri bersumber pada kemampuan mengontrol dan mengatur
tingkah laku orang lain yang ditandai dengan penerimaan dan penghargaan
orang lain terhadap individu, keberartian, ketaatan mengikuti standar sosial dan
keberhargaan (Coopersmith, 1967).
Menurut Baron dan Byrne (1997) harga diri adalah sebuah bentuk
evaluasi yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri yang dinyatakan dalam
sikap positif atau negatif. Baron dan Byrne juga mengatakan harga diri
merupakan bentuk dialog pengalaman subjektif dengan diri sendiri yang
diperoleh dari perilaku verbal yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan
karakteristik orang yang berinteraksi dengan individu. Perkembangan harga diri
terbentuk melalui proses pembelajaran hasil interaksi dengan lingkungan, baik
lingkungan
keluarga,
sekolah
ataupun
masyarakat
melalui
penerimaan,
perlakuan dan penghargaan yang diterima individu. Landasan harga diri yang
sehat dibangun pada masa kanak-kanak. Perilaku dan pengalaman-pengalaman
yang tidak konsisten dengan standar internal yang dimiliki individu dapat
mempengaruhi taraf harga diri individu (Larsen & Buss, 2005).
Harga diri yang dirasakan homoseksual berkaitan erat dengan kesehatan
mental. Sebagian besar tindakan bunuh diri di kalangan remaja terjadi pada
individu muda homoseksual yang mendapatkan penolakan dari keluarga atau
komunitas di sekitarnya. Penolakan ini dapat menyebabkan penderitaan, harga
diri yang rendah, kebencian terhadap diri sendiri, depresi, dan keputusasaan.
Internalisasi tersebut tanpa terapi dan dukungan dapat memicu penyalahgunaan
zat dan pada akhirnya bunuh diri (Wong, Eaton, Wison, Winkelstein, Schwartz,
2002).
18
Penelitian yang dilakukan oleh Guillon, Crocg, dan Bailey (2003) dan
juga menyebutkan bahwa harga diri yang rendah ditemukan pada individu yang
memiliki gangguan psikiatris yaitu depresi, gangguan makan, gangguan
kecemasan, dan penyalahgunaan zat. Harga diri yang rendah juga bisa
mengakibatkan fobia sosial dan kesulitan interpersonal seperti kesepian (Izgic,
Akyuz, Dogan, & Kugu, 2004). Penelitian Dumont dan Provost (1999) terhadap
subjek remaja menunjukkan bahwa harga diri muncul sebagai faktor pelindung
yang paling utama terhadap stres dan depresi di bandingkan faktor-faktor lain
seperti dukungan sosial, strategi koping, dan aktivitas sosial.
Penelitian Heimpel, Wood, Marshall, Brown (2002) menunjukkan bahwa
Individu yang memiliki harga diri yang tinggi dapat beradaptasi secara positif
terhadap kejadian-kejadian negatif dalam hidupnya dan memiliki motivasi untuk
bangkit kembali setelah menerima kegagalan jika dibandingkan dengan individu
yang memiliki harga diri rendah. Selain itu berdasarkan hasil penelitian
Joshanloo & Afshari (2011) yang dilakukan di iran menunjukkan harga diri dan
kepribadian secara signifikan berkolerasi dengan kepuasan hidup.
Guindon (2009) menyatakan bahwa teori kepribadian memiliki kontribusi
dalam memahami harga diri. Penelitian yang dilakukan Malekiha, Abedi &
Baghban (2012) menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara
kepribadian dan harga diri dengan kebahagiaan dan depresi. Kepribadian
merupakan sekumpulan trait psikologis dan mekanisme dalam diri individu yang
diorganisasikan, relatif bertahan dan mempengaruhi interaksi juga adaptasi
individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial (Larsen dan
Buss, 2002).
19
Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Lippa
(2008)
menjelaskan adanya perbedaan kepribadian berkaitan dengan perbedaan jenis
kelamin dan perbedaan orientasi seksual. Kemungkinan faktor lingkungan sosial
yang menyebabkan heteroseksual dan homoseksual berbeda dalam kepribadian.
Perilaku yang muncul dan unik dapat dilihat dalam tipe kepribadian terutama
dalam tipe kepribadian big five, karena tipe kepribadian big five dianggap dapat
menerangkan sebagian besar kepribadian manusia yang menjadi dasar
dan
landasan berperilaku (Paunonen, 2003).
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti
perbedaan harga diri berdasarkan orientasi seksual dan dimensi kepribadian big
five.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: Apakah ada perbedaan harga diri berdasarkan orientasi seksual dan
dimensi kepribadian?
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui perbedaan harga diri dilihat dari orientasi seksual dan dimensi
kepribadian
Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu
psikologi khususnya dalam psikologi perkembangan dan psikologi sosial
mengenai harga diri yang dimiliki oleh orang-orang homoseksual dan
heteroseksual serta kepribadiannya.
20
2. Manfaat praktis, memberikan pengetahuan serta kesadaran pada
masyarakat khususnya orang-orang yang tinggal atau berbaur dengan
orang homoseksual terutama keluarga, betapa pentingnya harga diri bagi
seseorang dalam membina hubungan sosial yang harmonis baik itu pada
orang-orang heteroseksual maupun homoseksual.
3. Memberikan pengetahuan mengenai dampak dari diskriminasi yang
dirasakan individu terhadap harga dirinya.
4. Memberikan pengetahuan mengenai perbedaan harga diri ditinjau dari
dimensi kepribadian.
5. Memberikan pengetahuan mengenai dimensi kepribadian yang dimiliki
individu heteroseksual dan homoseksual.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai harga diri telah banyak dilakukan baik di dalam
maupun luar negeri, namun penelitian ini tetap memiliki perbedaan dengan
penelitian lainnya baik pada subjek penelitian ataupun pada variabel lainnya.
Beberapa penelitian mengenai harga diri yaitu, penelitian mengenai harga diri
yang dilakukan oleh Swann & Spivey (2004) pada 205 orang remaja putri yang
lesbi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga diri dengan
identitas seksual individu dan identitas dalam keanggotaan kelompok selama
remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Joshanloo & Afshari (2011) mengenai
kepribadian big five dan harga diri sebagai prediktor kepuasan hidup mahasiswa
di Iran. Mereka meneliti 235 mahasiswa muslim, hasil penelitian menunjukkan
ektraversi dan neurotism merupakan prediktor yang sangat kuat terhadap
kepuasan hidup,begitu juga dengan harga diri, secara signifikan sebagai
21
prediktor terhadap kepuasan hidup mahasiswa muslim di Iran. Penelitian yang
dilakukan oleh Ananda (2013) mengenai perbedaan harga diri antara ibu rumah
tangga yang bekerja dengan yang tidak bekerja menunjukan hasil bahwa adanya
perbedaan yang signifikan antara ibu rumah tangga yang bekerja dengan yang
tidak bekerja dimana ibu rumah tangga yang bekerja memiliki harga diri lebih
tinggi dari ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Penelitian mengenai harga diri
yang dilakukan oleh Rohmah (2004) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
saat sebelum dilakukan penelitian harga diri, kondisi kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tidak berbeda penyesuaian dirinya. Setelah pelatihan, terhadap
perbedaan penyesuaian diri antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol (U=3.0; p<0.01), dengan demikian penelitian ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh pelatihan harga diri terhadap penyesuaian diri pada remaja.
Penelitian yang dilakukan Rahmania & Yuniar (2012) pada remaja putri
yang berusia 15-18 tahun yang berstatus sebagai siswa sekolah menengah atas
dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 100 orang. Dari hasil analisis data
penelitian diperoleh nilai korelasi antara harga diri dengan kecenderungan body
dysmorphic disorder sebesar -0,405 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (r=0,405, p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan
antara harga diri dengan kecenderungan body dysmorhic disorder. Semakin
tinggi harga diri maka semakin rendah kecenderungan BDD dan sebaliknya.
Penelitian mengenai harga diri yang dilakukan Yakushko (2005) pada 85 orang
gay, lesbian dan biseksual (LGBT) yang kristen menunjukkan, harga diri yang
tinggi dapat diprediksi dari besarnya dukungan sosial yang dirasakan, konflik
internal mengenai orientasi seksual, eksistensial well being, dan orientasi sosial
keagamaan.
Download