BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Transformasi 2.1.1. Wacana transformasi klasik dan regionalisme kritis dalam arsitektur. Akar kata transformasi merupakan perubahan dari satu keadaan menuju keadaan yang baru. Perubahan tersebut dapat berlangsung secara terus menerus secara keseluruhan maupun sebagian dalam merespon suatu keadaan ( Koesariani.et.al, 2002) dengan batasan/ koridor bahwa perubahan tersebut tidak menghapus substansi/esensi (Webster’s dictionary). Dari pemahaman ini dapatlah dimengerti bahwa esensi/konsep mendasar merupakan titik tolak terpenting transformasi yang tetap harus terbawa pada semua keadaan. Dalam ranah arsitektur, transformasi arsitektur dalam beberapa pengertian antara lain adalah the evolution of form yang berbasiskan tipologi bentuk (Colquhoun pada Nesbitt, 1995). Umumnya transformasi berangkat dari 3 tipe yakni nature organic, industrial, physical pattern (Vidler, 1995) ketiganya masih dalam kerangka tipologi bentuk. Antoniades (1992) pun menyatakan bahwa dua hal yang berkaitan dengan transformasi adalah formasi dan semantik itu sendiri. Dari berbagai wacana tentang transformasi yang beragam tersebut dapat disimpulkan bahwa transformasi memang merupakan kaidah perubahan pada sebuah bentuk. Artinya, aras pemahaman dan tujuan akhir dari konsep transformasi dari teori tersebut memang berujung pada gubahan bidang dan massa dengan tampilan fasade sebagai aspek terpenting dalam membentuk citra . Mengacu pada pemahaman teori Antoniades dapat ditebak bahwa gubahan akhir dari transformasi masih berakar kuat dari tipologi warisan bentuk yang ada. Berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Antoniades, Alex Tzonis dan Liane Levaivre (1995) mengemukakan wacana yang mengalihkan transformasi lewat bentukan nonklasik/non tipologi melainkan esensi terpenting dari sebuah rancangan pada suatu tempat. Pandangan ini muncul guna menjawab kecenderungan pengembangan arsitektur yang mengarah pada semangat chauvinistik/kedaerahan. Frampton (1995) kemudian mengembangkan wacana teori tersebut dan menyebutkan: “the term critical regionalism is not intended to denote the vernacular…….. the fundamental strategy of Critical Regionalism is to mediate the impact of universal civilization with elements derived indirectly from the peculiarities of particular place. It is clear from the above that Critical Regionalism depends upon maintaining a high level of critical selfconscioussness. It may find its governing inspiration in such things as the range and quality of the local light, or in the tectonic derived from a peculiar structural mode, or in the topography of a given site”. 10 Dengan kata lain karakter rancangan dan potensi tempat yang unik menjadi acuan utama dalam menghasilkan bentukan rancangan, yang dikenal dengan istilah regionalisme kritis. Faham regionalisme kritis muncul pada pengamatan wilayah yang tidak mempunyai warisan budaya tradisional sehingga untuk menunjukkan karakter yang unik, titik tolak sebuah rancangan mengacu pada keunikan tempat/place bukan pada tipologi. Hal ini umumnya terdapat pada sebuah daerah yang terbentuk pada era modern tanpa sebuah warisan identitas orisinal pada masa lalu (atau memiliki rentang budaya yang terlampau jauh dari masa silam karena akulturasi budaya yang semakin beragam) . Metode ini menghasilkan rancangan yang berbeda dengan transformasi klasik (mengolah bentuk dasar lewat tipologi semantik, skala dan proporsi) karena wujud akhir dari regionalisme kritis adalah non-tipologi. Beberapa praktek rancangan oleh arsitek asing di Bali seringkali meloncati kaidah tipologi klasik tersebut (baca antara lain: Cheong Yew Kuan pada Pieris,Anoma. 2004. New Directions in Tropical Asian Architecture, Periplus). Identitas pengenalan/familiarisasi terhadap referensi masa lalu diwujudkan lewat ekspresi material, elemen-elemen pembentuk ruang yang umumnya terdapat pada arsitektur tradisional seperti; kolam, courtyard, atau motif racana yang menjadi bagian dari keunikan lokal sedangkan wujud utuh rancangan melepaskan diri dari khasanah umum yang dikenal lewat dogma kepala-badan-kaki. Regionalisme kritis bukanlah gaya arsitektur melainkan sebuah sikap. Mengambil bentuk dari konteks yang ada, bukan kembali ke arsitektur vernakuler melainkan menuju hybrid world culture, persilangan budaya antara budaya lokal dengan peradaban universal. 2.1.2. Metodologi transformasi arsitektur Secara umum, menurut Antoniades (1992) metode umum transformasi terbagi menjadi 3 kelompok bagian: 1. Tradisional ( penyesuaian bentuk oleh batasan-batasan eksternal dan internal) 2. Peminjaman ( mengambil bentuk suatu obyek dengan mengambil sifat 2&3 dimensinya untuk dialihkan dalam bentukan arsitektur) 3. Dekonstruksi atau dekomposisi (memecah unsur-unsur yang dimiliki untuk disusun kembali untuk menghasilkan kombinasi baru) Sedangkan batasan-batasan dari transformasi ini adalah identitas asal usul yang dapat dikenali agar tidak terjadi salah penafsiran. Sedangkan pada penerapannya, Koesariani 11 et.all (2002) memaparkan perlu ditentukan penetapan arah dan titik berat transformasi apakah mengarah pada fungsi, bentuk dan elemen, struktur material ataukah makna simbol. Transformasi dapat dilakukan terhadap seluruh konsep atau menitikberatkan pada salah satu yang paling sesuai dengan konsep baru yang diinginkan. Menentukan pendekatan yang akan dilakukan dapat dengan memilih beberapa metoda antara lain menurut Koesariani et.all (2002) : 1. Distorting, mendistorsikan atau menyimpangkan bentuk lama dalam komposisi, skala dan ukuran yang baru. 2. Regrouping/ reassembling, menyusun atau mengumpulkan kembali elemenelemen arsitektur yang dijadikan acuan ke dalam suatu pengelompokan baru atau menyusunnya menjadi kesatuan baru. 3. General Altering, mengganti secara umum konsep-konsep yang lama menjadi baru. 4. Analogi, membuat bentuk baru berdasarkan bentuk arsitektur atau bentuk dasar yang dijadikan contoh. 5. Metafora, memakai bentukan lama namun bukan dengan makna yang sebenarnya, berarti melakukan perubahan makna 6. Simbiosis, pembentukan karya baru akibat penerapan dua konsep budaya yang berbeda 7. Metamorfosis, yaitu perubahan yang terjadi secara bertahap dari bentuk dasar sehingga ditemukan bentuk yang terbaik untuk dipilih. Sementara itu, metode yang dikenalkan lewat regionalisme kritis awal mula diperkenalkan oleh sastrawan Schlovsky (1961) yakni: Metode defamiliarisasi, defamiliarisasi adalah usaha untuk menemukan pemahaman baru melalui proses pengenalan (identifying), penguraian (decomposing) dan pembentukan kembali (recomposing). Metode defamiliarisasi bekerja dengan cara memilih elemen regional yang memiliki potensi untuk bertindak sebagai ‘place-defining elements’ dan menggunakannya secara baru dibanding ‘familiar’ yang membuat mereka terasa berjarak, Pada akhirnya mengarahkan pengamat pada kondisi ‘metacognitive’ yang merupakan ‘forum of possible worlds’. ( Nesbitt, 1995) Bila ditelaah secara komparatif, perbedaan tahapan metode transformasi secara klasikal dibandingkan dengan metode defamiliarisasi terletak pada eksekusi keputusan 12 untuk mendekonstruksikan tatanan yang ada. Pada metode transformasi klasik, formasi dan proporsi merupakan merupakan batasan sehingga langkah-langkah yang tidak dikehendaki harus dihindari, seperti dekomposisi atau dekonstruksi karena akan mengaburkan pemahaman yang berujung ada salah penafsiran/misinterpretasi (Koesaerini, 2002). Wujud akhir dari transformasi ala Antoniades ini adalah berupa regionalisme romantik yang cenderung bersifat narsistik dan artifisial. Sementara itu pada proses defamiliarisasi, dekomposisi/penguraian merupakan bagian dari rangkaian proses yang dimaksudkan untuk mendapatkan esensi dari bentuk yang hadir sehingga didapat hakikat dari keunikan tanpa harus terbelenggu pada tipologi bentuk. Konsekuensi dari tahapan ini adalah tahap recomposing/penyusunan ulang akan berangkat dari tatanan nilai yang membentuk ruang, atau tatanan tektonika material yang membentuk citra. Familiarisasi bukan berangkat dari aras pemahaman bentuk melainkan pada ekspresi elemen-elemen yang menyusun bentuk itu sendiri. 2.1.3. Metode membaca ulang makna desain Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang berbasiskan pada norma aturan kosmologis. Wujud peradaban yang muncul adalah hasil dari terapan pola spatio temporal, sehingga produk peradaban merupakan bahasa bentuk yang mengandung makna-makna yang tersirat/samar. Pada bahasan ini masyarakat tradisional Jawa yang dibahas adalah masyarakat ideal normatif karena masyarakat Jawa yang riil/nyata sesungguhnya tidak ada oleh karena banyaknya perbedaan yang bersifat fenomenologis dan bercampurnya akulturasi di berbagai tempat (Yunianto, 2005). Masyarakat Jawa ideal hanya terfokus pada lingkungan keraton dan masyarakat Jawa tersebut hanyalah muncul pada kajian-kajian kebudayaan masa lampau lewat telaah Magnis Suseno (1991) atau Mulder (1985). Produk kebudayaan pun juga merupakan hasil evaluasi dari kajian masa lampau dan coba dihubungkan dengan rentang masa kini sebagai model perkembangan budaya yang masih mencoba memiliki akar budaya asal. Arsitektur tradisional sebagai wujud dari kebudayaan fisik sangat dipengaruhi oleh sistem budaya dan sistem sosial. Perubahan dalam sistem tersebutlah yang mempengaruhi tatanan peradaban fisik yang ada nantinya. Ungkapan verbal dari bentukan tersebut muncul lewat penamaan, identifikasi lewat penamaan. Oleh karena itu metode dalam menerapkan transformasi pada arsitektur tradisional berangkat dari pembacaan terhadap obyek yang dikaji secara maknawi, metode yang dikembangkan antara lain adalah semiotika. Kata kunci dalam semiotika adalah interpretasi yang 13 menyangkut tiga hal: pernyataan, penjelasan dan penerjemahan makna obyek rancangan yang dibaca. Secara deskriptif praksis langkah-langkah demikian dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Identifikasi falsafah arsitektur tradisional, memahami komponen pembentuk arsitektur tradisional baik tatanan fisik yang nampak dalam ragam arsitekturnya (bentuk, elemen, struktur, material) maupun tatanan kosmologis yang mendasari terbentuknya ruang. Dalam arsitektur tradisional khususnya Jawa, seringkali terdapat penamaan istilah-istilah yang berasosiasi pada dua hal; bentuk dan fungsi. Bentuk atap memiliki varian nama-nama tersendiri sesuai dengan fungsi yang diwadahi sedangkan fungsi bangunan pun memiliki nama tersendiri. Seperti contoh; terdapat makna yang tak sama untuk pendopo dan joglo, sekalipun orang seringkali menyamakan kedua pengertian ini. Sejatinya, pendopo merupakan fungsi sebuah fasilitas sedangkan joglo merupakan bentukan atap dan topangan sokoguru dibawahnya. Hal ini perlu diketahui agar tidak terjadi generalisasi yang didasarkan atas satu pemahaman saja sehingga berujung pada salah tafsir.. 2. interpretasi-reinterpretasi, membaca makna rancangan salah satunya adalah lewat tanda bahasa visual. Interpretasi merupakan pemaknaan dari hasil pembacaan wujud bentukan yang ada. Metode ini menjelajahi beberapa konsep-konsep falsafah arsitektur yang terdapat pada wujud rancangan itu sendiri. Salah satu metode yang berkembang digunakan antara lain metode hermeneutika, yang membaca tanda lambang lewat pendekatan sastra. Sastra dianggap memiliki padanan kata yang bersifat konotatif. Sehingga antara teks dan kenyataan dibatasi oleh ruang, waktu dan keadaan. Sastra dan arsitektur (terutama arsitektur tradisional) memiliki kesamaan yakni sebagai karya bermakna. Dalam dunia rancangan, permasalahan dalam membaca rancangan adalah kualitas alat bacanya yang dalam hal ini metodologi untuk membaca tanda makna rancangan tersebut. Arsitektur yang berkembang melalui teori Fenomenologi dipicu salah satunya oleh teks-sastra Martin Heidegger (Nesbitt, 1995), yang berarti arsitektur sendiri adalah hasil dari pemaknaan ulang dari membaca realitas sebuah tanda teks. Antara teks sastra dan arsitektur sendiri sebenarnya memiliki kesamaan yakni sebagai sebuah rancangan bermakna. Sastra sebagai kreasi dalam dunia teks sedang arsitektur merupakan kreasi dalam dunia material /kebendaan. Karena yang menjadi 14 obyek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung, maka untuk dapat beralih dalam pemaknaan baru (rancangan Arsitektur) sebenarnya adalah tingkat keabsahan dan kevalidan dalam interpretasi. Validitas interpretasi diperoleh dengan beberapa pendekatan seperti pendekatan lintas pengetahuan dan keilmuan atau dengan pembacaan yang didasarkan atas pemahaman karya-karya terdahulu. Hal ini dicapai dengan membaca antar beberapa teks secara berdampingan pada saat yang sama atau membaca teks yang dilatarbelakangi oleh pemahaman teks-teks sebelumnya. Dalam metode hermeneutika, obyek dipandang sebagai teks yang harus dibaca. Pembacaan akan dilakukan dengan landasan bahwa penguraian obyek menjadi bagian-bagian untuk dibaca harus dikembalikan pada kesatuan obyek yang tak terpisahkan untuk kemudian diinterpretasikan kembali. 3. rekontekstualisasi dan rekomposisi. Merupakan tahapan penyusunan ulang yang didasarkan atas pemahaman ulang hasil pembacaan melalui makna tanda lambang. Penyusunan ini tidak terpaku pada batasan bentuk luar karena esensi terpenting dari pembentuk rancangan lama tersebut telah didapatkan melalui serangkaian pembacaan obyek. Familiarisasi/Kedekatan antara pengamat dan obyek pada kondisi masa lampau di dapat melalui susunan elemen-elemen romantik yang disusun ulang secara fragmentasi. Fragmentasi dengan tetap memperhatikan unsur kedekatan antara pengamat dan obyek.. Secara skematik penjabaran metodologi tersebut dapat didiagramkan pada halaman berikut. 15 15 16 2.2 Tinjauan pendopo 2.2.1 Makna pendopo dalam tradisi kebudayaan Jawa. Asal usul sejarah keberadaan pendopo disejajarkan dengan mandapa pada kebudayaan India, sebuah koridor paviliun yang mengarahkan pengunjung menuju kuil (en.wikipedia.com). Mandapa dalam budaya India tersusun atas pilar-pilar batu yang dimotif sedemikian rupa lalu disusun secara berderet membentuk koridor menuju kuil Hindu. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan bahwa mandapa India tersusun atas konstruksi batu candi, berskala kecil dan tidak terdapat center melainkan sebagai koridor semata. Perbedaan yang mendasar dari keduanya terletak pada fungsi yang berbeda antara Pendopo dan Mandapa. Mandapa lebih merupakan koridor transisi saja. Gambar 2.1: sketsa mandapa di India yang berfungsi sebagai koridor pavilliun menuju kuil Hindu Sumber: Hinduism and the Religious Arts. www. En.wikipedia.com 17 Secara etimologis, dalam sistem kebudayaan Jawa pendopo dapat dimaknai dengan beberapa pengertian antara lain: Pe-andhap-an (pangandhapan)= wilayah bawah/ rendah (Priatmodjo.1999) Sementara itu berkaitan dengan kedudukan dan karakter fisik dari pendopo dapat dijelaskan dengan berbagai pengertian antara lain: Bagian rumah yang berlantai rendah ,lebih rendah dari omah (Priatmodjo. 1999) Bagian bangunan rumah Jawa yang terbuka tanpa dinding (Mangunwijaya. 1999) Bagian depan rumah Jawa/ dengan empat sokoguru/ dan delapan tiang penjuru (Jatman pada Santoso.2000) Gambar.2.1: skema komposisi rumah Jawa, beserta kedudukannya terhadap bangunan lain. Sumber: Indonesian heritage, Grolier,1998 Arsitektur Jawa berangkat dari arsitektur rumah tinggal yang dalam kaidah bahasa Jawa disebut sebagai omah. pendopo merupakan bagian dari omah yang keberadaannya ada di bagian paling depan, atau berada pada bagian yang menjadi perantara yang menjembatani menuju ruang yang lebih privat. Pengertian etimologi pendopo menunjukkan pengertian bahwa sifat pendopo merupakan satu rangkaian dari hirarki rumah Jawa dan berurutan dari tingkat publik hingga privat. Beberapa pengertian pendopo tersebut inilah yang mengarahkan kedudukan pendopo sebagai ruang antara/transisi yang menjembatani dunia luar (outer) dengan dunia dalam (inner) pada falsafah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa melihat sistem kehidupan secara dualisme 18 sehingga perwujudan simbolisasi berkategori dua muncul dalam konsep bipolar (Tjahjono,1985). Pola hunian dibagi secara tegas melalui dua kutub, depan dan belakang. Dalam konteks lingkungan pendopo menjadi pengikat keberadaan rumahrumah di sekeliling yang biasanya digunakan sebagai ajang pertemuan keluarga besar. 2.2.2 Pemisahan pendopo dari arsitektur rumah Jawa. Dalam penjelasan tentang sejarah pendopo, Kusno (2000) memaparkan proses pemisahan pendopo dari kesatuan unit hunian lainnya yang kemudian digunakan sebagai model representasi arsitektur Jawa yang termodifikasi di era kolonial. Tercatat bahwa Maclaine Pont, arsitek Belanda, banyak melakukan gubahan fungsi dan bentuk pada pendopo. Dari era tradisional kemudian berpindah ke era kolonial, pendopo menjadi terasionalisasi dari segi posisi kedudukan dan skala yang kemudian model ini berkembang pada seluruh daerah sehingga arsitektur Jawa terwakili oleh keberadaan pendopo di masa kolonial. pendopo tidak lagi merupakan bagian dari kesatuan rumah Jawa secara utuh namun menjadi bangunan tunggal yang telah bertransformasi posisi dan fungsi dalam masyarakat modern. Dalam masa kini keberadaan pendopo terbagi menjadi dua yakni pendopo yang masih berakar dari arsitektur rumah Jawa (dengan segala kesatuan unitnya meliputi pendopo-peringgitan-dalem) dan yang berdiri tunggal sebagai hasil modifikasi pada jaman kolonial. Namun dari semua itu, orisinalitas/keotentikan pendopo masihlah dapat terlacak yakni berangkat dari arsitektur rumah Jawa. 2.2.3 Karakteristik pendopo, konsepsi bentuk, ruang dan fungsi. 2.2.3.1 Ragam fungsi pendopo Penelitian Santoso (2000) tentang keberadaan rumah Jawa (omah) menyangkut beberapa pembahasan mengenai pendopo. Penelusuran terhadap keberadaan pendopo antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. sebagai ruang yang berproses. Keberadaan pendopo sebagai ruang sosial/ gathering place merupakan rangkaian proses dari ruang yang sifatnya abstrak (dengan batas imajiner) menuju ruang konkret (dengan batas-batas fisik). 19 Gambar 2.2: skema peralihan ruang dari sifat abstrak imajiner menuju kongkret. Sumber: analisa Dari pola runutan ini , massa terbesar pendopo merupakan massa pengikat dari keberadaan massa-massa tersebar di sekelilingnya. Dalam penelitian Santoso (2000), dijelaskan bahwa berkumpulnya keluarga lewat acara-acara khusus ditempatkan pada pendopo. Dari pola tatanan ini sebenarnya nampak bahwa sekalipun ruang secara fisik belum terbentuk namun ruang secara abstrak imajiner sudah terpola lewat aktifitas pola spatio temporal. Artinya untuk beralih pada tatanan fisik bentuk hanyalah tinggal menunggu masalah waktu saja. 2. pendopo sebagai ruang apresiasi budaya. Keberadaan pendopo merupakan ruang bagi masyarakat strata sosial manapun untuk datang dan menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan ini membagi ruang menjadi 3 bagian: 20 luar ( pendopo), tengah (peringgitan) dan dalam (dalem). Aktifitas ini memperkuat struktur keberadaan 3 ruang tersebut. (Santoso.200) Gambar 2.3: pendopo sebagai ruang apresiasi budaya Sumber: analisa 3. pendopo sebagai ruang sosial. Sifat ruang pada arsitektur Jawa yang cair dapat ditemukan pada pendopo yang digunakan sebagai ruang penerima tamu atau ruang penunggu. Sementara di lain waktu untuk ruang yang sama fungsinya dapat berupa ruang pertunjukan sosial budaya. Pola Aktifitas ini mendekonstruksi fungsi sebelumnya. Untuk ruang yang sama namun telah memiliki setting yang berbeda. (Fleksibilitas ruang dalam budaya Jawa) 4. pendopo sebagai ekspresi otoritas kekuasaan, karakter ini dimunculkan pada lingkungan kraton sebagai wujud kekuasaan dari raja saat menerima tamu (Ronald, 2000) Lokasi penerimaan tamu berada di pendopo dimana raja duduk menghadap keluar sementara para tamu duduk bersila menghadap ke lingkungan dalam. Fungsi ini terjadi pada lingkungan pendopo yang memang satu bagian integral dari lingkungan keraton secara keseluruhan. Dari fenomena tersebut di atas nampak bahwa posisi pendopo merupakan ruang situasional. Menjembatani satu proses ritual pada proses lainnya, berubah fungsi dan kedudukan pada ruang yang sama, serta merupakan wilayah antara (Pangarsa, 2001). 21 2.2.3.2 Tipologi pendopo Secara tipologi bentuk, bentukan yang populer digunakan sebagai wujud pendopo adalah pola Joglo. Atap Joglo merupakan perwujudan dari atap yang berasal dari Tajug yang digabungkan menjadi dua (joglo= tajug-loro) (Prijotomo, 1995). Bentukan ini merupakan simbol hirarki yang tidak sakral karena atap tajug umumnya digunakan sebagai bangunan peribadatan. Dalam segi perwujudan bentuk, konsepsi gunung-laut diwujudkan dalam atap pendopo berupa Joglo. Dalam falsafah Jawa dikenal istilah “Gunung Laut” yang merupakan ungkapan dua faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa. “Gunung” merepresentasikan Merapi di sisi utara sedangkan “laut” merepresentasikan laut Selatan, orientasi bangunan maka diarahkan pada sumbu utara selatan. Dari beberapa transkrip, menunjukkan bahwa Joglo merupakan simbolisasi dari gunung (Yunianto, 1999), sementara pandangan pemahaman lain mengacu pada makna kata Joglo itu sendiri yang bermakna Jug-loro/ tajug-dua.(Prijotomo, 1995). Lebih lanjut lagi Prijotomo (2005) memaparkan tentang falsafah arsitektur nusantara yang merupakan arsitektur pernaungan bukan sebaliknya arsitektur perlindungan layaknya tradisi Barat yang mengisolasi diri dari lingkungan karena iklim yang kurang bersahabat. Secara eksplisit hal demikian nampak pada wujud arsitektur yang transparan penuh bukaan pada pendopo karena selain sikap manusia Jawa yang bersahabat, iklimnya pun juga iklim yang bersahabat pula. Oleh karena itu esensi utama menurut Prijotomo (2005) dari arsitektur vernakuler Jawa adalah pada naung dan pola ruang dibawahnya, bukan sebaliknya layaknya tradisi Vitruvian yang berkosentrasi pada fasad dan tampilan sebagai unsur penentu utama pembentuk citra. Gambar 2.4: skema arsitektur vernakular Jawa pendopo Keterangan: secara konseptual merujuk pada pandangan Prijotomo (2005), ide dari arsitektur vernakular Jawa adalah pada “pernaungan”, sedangkan dinding bersifat transparan. Hal demikian berarti fokus perhatian pada tipologi adalah pada naung dan pola konfigurasi ruang di bawah naung itu sendiri. Sumber: Indonesian Heritage, Grolier. 1998 22 2.2.3.3 Kosmologi spasial pendopo Skema dari Tjahjono (1985) menunjukkan pola konfigurasi spatial pada sistem tata ruang Jawa yang berbasiskan cosmos, center and duality. Cosmos sebagai hierarki, Center sebagai orientasi inti / pusat dan Duality yang merujuk pada pasangan, baik itu pasangan antara satu elemen dengan elemen lain dalam skala ruang, massa maupun lingkungan makro. Secara eksplisit hal demikian tergambarkan pada pola pendopo yang simetris sebagai sistem kesetimbangan, berorientasi pada sumbu axis utara selatan sebagai cosmos, sokoguru di tengah yang menopang Joglo sebagai center dan duality diwakili oleh cerminan pendopo yang berupa Dalem/ rumah induk. Karena skema spasial yang hadir adalah hasil peralihan dari sistem tata nilai kosmologis maka pola ini dapat saja hadir dalam bentukan yang berbeda dalam segi tatanan ruang menyesuaikan dengan karakter topografi yang ada namun secara esensial nilai universalnya tetaplah sama. Mengacu pada pernyataan Priatmodjo (1999) tentang Pengandhapan , pendopo merupakan satu tahapan dari hierarki menuju ke dalam ruang-massa bangunan Jawa yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa secara konfigurasi spasial pendopo merupakan fungsi teras/ serambi yang digunakan sebagai area penerima, dengan derajat ruang yang bersifat semi publik. 2.3 Tinjauan transformasi pendopo. 2.3.1 Studi preseden pendopo orisinal Bila dirangkum dalam satu pengertian yang utuh maka dapat dismpulkan bahwa pendopo merupakan wilayah transisi -semi publik yang merupakan kembaran pasangan dari rumah induk (dalem). Artinya, keberadaan pendopo selalu berpasangan (sistem dualitas) dengan ruang dibelakangnya yakni dalem. Perbedaan yang menjadikan pendopo berbeda terhadap fungsi ruang yang lain adalah pendopo merupakan kembaran dalam skala/proporsi dan bentuk terhadap rumah induk. Ilustrasi tabel pada pengamatan beberapa contoh pendopo pada lingkungan keraton dan kotagede di Jogja serta beberapa contoh di Jawa Timur di bawah ini akan menjelaskan karakteristik dari pendopo. 23 Pendopo pada Dalem Bupati Purwodidrjan, Yogyakarta 23 Bagian pribadi bagian service Bagian umum pawon gadri Potongann membujur Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 24 Pendopo pada R. Prawirorono, Yogyakarta 24 Bagian servis dapur Bagian dalam Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 Bagian umum 25 Pendopo pada Rumah Wedana Sekulanggi, Yogyakarta 25 Bagian pribadi dan servis Bagian umum Lumbung gandok Gedong gongso Halaman mujka Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 26 Pendopo pada Dalem Ngadinegaran, Yogyakarta 26 Bagian servis Bagian pribadi Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 Bagian umum 27 Pendopo pada Dalem Suryomataraman, Yogyakarta 27 Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 28 Pendopo pada Dalem Surodigdo, Yogyakarta Bagian pribadi 28 Gambar 2.5 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa Sumber: Ronald . 1998 Bagian umum 29 Site rumah di daerah Rejowinangun Blitar Perbedaan antara pendopo di wilayah yogyakarta dengan arsitektur pendoopo di Blitar Jawa Timur adalah kompleksitas massa yang mengelilinginya.. 29 Site Rumah kyai di desa Gogourung Blitar tidak semua lapisan masyarakat memiliki pendopo sebagai ruang sosial. Selain strata tertentu saja yang memiliki ruang sosial pada masyarakat umum hanya digantikan pada latar. Gambar 2.6 Skema pola kedudukan pendopo pada arsitektur rumah Jawa di daerah Blitar, Jawa Timur Sumber: Mudjijono .1992 30 2.3.2 Studi preseden pendopo yang bertransformasi pendopo banyak digunakan sebagai kerangka acuan dalam mereka ulang arsitektur Jawa. Beberapa di antaranya ada yang bersifat parodi, ada juga yang berusaha mengambil bentukan secara utuh untuk dimodifikasi secara skala proporsi (Distorting) dan mangalami pembongkaran di beberapa bagian (Decomposing). Beberapa contoh yang dipaparkan ini adalah macam pendopo yang bertransformasi dalam kerangka tipologi bentuk. 1. pendopo Rumah Seni Cemeti pendopo pada rumah seni cemeti merupakan respon atas kondisi modern dan tradisional sehingga desain rumah seni ini adalah perpaduan dari dua budaya yang berbeda antara tradisional dan modern. Secara fisik wujud pendopo beserta pola ruang yang ada masih menganut pola spasial pendopo namun suasana interior ruang yang terbentuk bernuansa modern karena terdapat bidang masif geometrik yang menabrak sisi kanan pendopo (superimposed). Sementara konsep atap pendopo yang umumnya berpola joglo digantikan limasan karena ingin berkesan informal. Metode transformasi yang digunakan adalah simbiosis dan general altering. Gambar. 2.5 : Rumah Seni Cemeti Yogyakarta Keterangan: pendopo dihadirkan sebagai esensi dasarnya yakni serambi. Diletakkan di posisi depan sebagai ruang penerima tamu galeri. Transparansi nampak dalam fasad pendopo sekalipun di hadirkan bilah kisi kayu vertikal. Sokoguru dipertahankan sebagai pusat/ center dari pola spasial yang ada. Sementara bentukan atap dipilih bermodel limasan dengan alasan 31 lebih informal daripada bentuk joglo yang berkesan formal. Dari pola alih rupaan ini dapat disimpul-ulangkan bahwa bentukan pendopo tidak harus berupa Joglo sebagai medium naung. Sumber: www.alambina.net , tardiyana. Et.all 2. Villa Gunung Salak Jaya Ibrahim Tawaran pendekatan perancangan yang mengambil “analogi” sebagai metode yang digunakan. Deretan pohon kelapa sebagai analogi tiang-tiang pendopo namun didalam desain ini tidak terdapat fungsi atap sebagai pernaungan itu sendiri. Jenis transformasi ini dapat dikategorikan sebagai kelompok borrowing/ meminjam bentukan tiang pendopo untuk diterjemahkan dalam rupa yang lain. Gambar. 2.5 Villa Gunung Salak\Jaya Ibrahim Keterangan: Jaya Ibrahim, seniman arsitek menganalogikan pendopo sebagai deretan pohon kelapa yang ditata dengan pola Grid. Sedangkan sokoguru ditengah pendopo dianalogikan dengan perkerasan lantai model segiempat yang dikitari dengan tiang pendek setinggi 1m. Orientasi dibuat mengacu pada arah Gunung salak sebagai arah hadap bangunan. Pendekatan transformasi yang dilakukan oleh arsitek dikategorikan dalam ranah analogi Sumber: Laras, 2000. 32 3. Lobby Hotel Kartika Chandra Jakarta pendopo ini masih menunjukkan kesamaan dengan wujud pendopo pada umumnya, hanya saja telah mengalami pembesaran skala yang hal demikian berarti terdapat pembaruan metode konstruksi dan material yang dipakai. Perubahan yang dilakukan adalah menghilangkkan sokoguru yang berada di pusat ruang dan digantikan dengan motif lantai yang berbeda serta meletakkan pot bunga ditengah ruang. Atap tumpangsari masih dipertahankan. Ini adalah kelompok transformasi secara tradisional karena menyangkut skala dan pengaruh besaran ruang. Gambar. 2.6 Lobby Hotel Kartika Chandra Jakarta Keterangan: Lobby Hotel kartika chandra mengadopsi pendopo sebagai ruang penerima (transisi). Model pendopo diwujudkan sama dengan aslinya engan perbedaan material dan menghilangkan 4 sokoguru di tengah. Namun kesan Center/ pusat tetap dimunculkan dengan pola lantai ditengah pendopo yang berpola segiempat dan diletakkan pot bunga berukuran besar. Sumber: Koesaerini. 2002 33 2.4 Kesimpulan, kerangka dasar / archetype pendopo Dari beberapa tinjauan tentang pendopo, dapat disimpulkan bahwa metode mentransformasikan pendopo pada konteks kekinian adalah antara lain: 1. pendopo merupakan sebuah fungsi pengikat dalam kejamakan ruang –massa disekelilingnya. Ia memposisikan diri sebagai fungsi bukan form/bentuk. 2. pendopo merupakan pasangan dari dalem (rumah induk) karenanya, ia tidak berdiri sebagai bangunan tunggal. 3. pendopo bersifat transisi dalam hierarki ruang, berpola naung dalam bentukan dan transparan dalam perwajahan. (Prijotomo, 2005) 4. Kerangka universal yang diposisikan dalam jiwa vernakular berkesinambungan untuk rentang antar waktu adalah pola Cosmos, Center and Duality (Tjahjono, 1985). Cosmos sebagai pola orientasi awal dan akhiran, Center sebagai pusat dan inti spasial, Duality sebagai pasangan, baik itu keterkaitan antara ruang luar dan dalam, satu massa dengan massa yang lain, bukan sebuah bentukan tunggal yang berdiri sendiri. 5. Tipologi bangunan pendopo adalah bangunan non-sakral, sekalipun demikian pola bentukan naungan atap bersifat fleksibel. 6. Sokoguru dan tiang pengeret merupakan penanda Center/pusat. Esensi terpenting dari tiang-tiang tersebut adalah sebagai penanda. Oleh karenanya, hal demikian dapat beralih pada sistem penanda yang lain namun dengan tetap mengedepankan pola center itu sendiri. Berikut adalah tabel hasil taksonomi karakteristik pendopo beserta makna yang menyertai keberadaan elemen-elemen pada pendopo tersebut. Gambar 2.4: skema archetype pola spasial pendopo Keterangan: secara konseptual pendopo akan selalu berpasangan dengan dalem karena merujuk pada konsep dualisme. Sedangkan peringgitan akan menjadi medium ruang pencerminan atau peralihan dari kedua ruang di hadapannya. Sumber: analisa 34 Obyek Elemen Nama elemen penyusun Joglo Atap Limasan Wajah Detil Jug-loro (tajug loro), bermakna dua tajug. Sifat non sakral. Formal Non sakral, digunakan sebagai bangunan informal Karakteristik fungsi Arsitektur Pernaungan Tiang-tiang pengeret Hierarki penanda lapislapis spasial Sokoguru Hierarki penanda center spasial OmahPeringgitanpendopo & Gandok Wilayah antara sekaligus sebagai wilayah pengikat kedudukan antar massa Kesatuan massa sebagai wujud cosmos sementara unit pendopo sebagai Transisi Stilistika, tanda bahasa visual Stilistika pendopo Tatanan massa Kedudukan & makna Ragam motif ornamen, nanasan, bubungan, tumpangsari Tabel 2.1: kerangka dasar elemen pada pendopo Transparan/ vista menerus 35 Gambar 2.4: Ilustrasi archetype pendopo Keterangan: bentuk archetype pendopo dalam single unit beserta padanannya dengan massa di sekitar. Sumber: analisa