BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Transformasi dalam arsitektur Transformasi dalam arsitektur bukanlah hal baru karena selalu berkait dengan masalah klasik tentang pembentukan citra lingkungan. Transformasi dalam arsitektur berkaitan dengan proses perubahan bentuk dari keadaan awal/dasar menjadi keadaan baru. Esensi yang sama dari beragam transformasi arsitektur yakni menghadirkan ruang karena berfungsi atau tidaknya arsitektur terletak pada berfungsi atau tidaknya ruang yang terjadi. Transformasi arsitektur yang banyak terjadi adalah mengalih-rupa bentuk dari bentuk arsitektur tradisional menuju arsitektur masa kini/kontemporer. Transformasi jenis ini banyak dilatarbelakangi oleh gejala perubahan jaman menuju modernisme. Modernisme membuat seluruh hasil karya manusia, termasuk arsitektur berganti rupa dalam siklus yang cepat. Sebagai dampak dari hal tersebut muncullah istilah arsitektur parodi, yang seolah berusaha tampil dalam konteks masa kini namun tergagap dalam wujud bentukan. Menuai kegagalan dalam fungsi rancangan adalah resiko terbesar ketika bentukan akhir yang hadir merupakan proses mentah yang prematur. Banyak hal yang dapat diamati tentang bagaimana sebuah rancangan mengadaptasi secara habishabisan icon lokal sebagai elemen ornamen namun terasa ambigu dalam keberadaannya. Fenomena standarisasi atap Bagonjong di Sumatera Barat dan Jogloisasi pada bangunan pemerintahan di Jawa yang sempat populer di awal tahun 80’an adalah contoh produk arsitektur parodi yang bernuansa chauvinistik/kedaerahan totaliter di masa tersebut. Menerapkan metode transformasi membutuhkan lebih dari sekadar merekaulang bentuk dasar. Perlu adanya wawasan tentang kondisi pengaruh dunia luar dengan menyesuaikan diri dengan kondisi lokal, perkawinan silang antara budaya setempat dengan pengaruh budaya dunia luar (hibridisasi). Tentu saja dasar utama dalam mengeksekusi sebuah keputusan hibridisasi haruslah berangkat terlebih dahulu dari pemahaman tentang dari manakah asal-usul orisinalitas sebuah masa lalu terbentuk. Ini adalah fundamen mendasar dalam menelurkan bentuk peradaban baru agar tidak terjebak dalam bentuk luar artifisial semata. Titik tolak dari konsep rancangan baru adalah merunut ulang ide-ide dasar di masa lalu yang menjadi dasar pembentukan pengelolaan lingkungan. Bukan tidak mungkin bila esensi kebudayaan baru yang hendak ditampilkan akan kembali menjadi parodi jika serapan budaya lokal hanya 2 difahami sebatas bentuk luar (kulit) semata sementara serapan budaya global jauh lebih dominan. Kecenderungan ini umumnya muncul saat melihat bentukan fisik arsitektur sebagai citra yang mempesonakan sehingga ide-ide dan falsafah yang mendasari di belakang bentukan tersebut tidak sempat terbaca lagi. Fokus terpenting dalam mengaplikasikan transformasi dalam arsitektur kini berada pada pilihan dalam kerangka fisik morfologi bentuk atau berangkat dari variabel tatanan nilai yang membentuk ruang. Kecenderungan berangkat dari komposisi gubahan fisik yang telah ada kemudian direka ulang secara skala, proporsi dan komposisi atau justru berangkat dari ide-ide pandangan ruang yang abstrak kemudian mewujud dalam bentukan fisik arsitektur. Perbedaan di antara kedua pernyataan ini adalah terletak pada titik berangkat transformasi. Di satu fihak melanjutkan bentukan yang ada sementara di lain fihak berusaha kembali pada gagasan yang mendasari bentuk untuk kemudian melahirkan gagasan rancangan baru. 1.1.2. Reinterpretasi, upaya merunut ulang arti makna sebuah rancangan Memahami sebuah bentuk rancangan berarti memahami ide-ide gagasan yang mendasari terbentuknya rancangan tersebut. Pengenalan dan identifikasi yang diarahkan pada gagasan konseptual menjadi titik tolak utama dalam membaca rancangan. Tinjauan terpenting dalam memaknai ulang sebuah rancangan berawal dari gagasan sebuah lingkungan yang terbentuk, kemudian pengaruh-pengaruh lanjut yang mendasari pembentukan sebuah lingkungan binaan. Adapun produk arsitektural yang disaksikan secara empiris adalah sebuah konsekuensi dari proses panjang abstrak imajiner menuju ke bentuk fisik rancangan. Dengan kata lain untuk menuju ke sebuah model rancangan kontekstual maka merunut ulang konsep sebuah rancangan merupakan tahapan awal kemudian menyusunnya kembali ke dalam konteks kekinian adalah tahap selanjutnya. Metode yang berkembang di antaranya adalah metode Defamiliarisasi yang diperkenalkan oleh sastrawan Schlovsky (1961). Sebuah rancangan dilihat sebagaimana teks yang disusun kemudian dibongkar makna utuh teks penyusun yang menyatukan keberadaan rancangan tersebut. Pencarian wujud baru dalam sebuah kebudayaan sedikit-banyak akan selalu bersinggungan dengan tatanan nilai tradisional. Produk kebudayaan tradisional bukanlah model yang serupa dengan produk modern yang cenderung revolusioner dan dialektik antara satu sama lain. Bahkan hakikatnya peradaban budaya tradisional adalah sebuah proses panjang yang terhubung antar generasi satu dengan yang lain. Fenomena 3 yang dikenal dengan istilah tradisi, tabu, wingit atau sederet aturan normatif yang saat kini mulai sulit untuk diterjemahkan lagi melalui kacamata modern. Hal ini berimbas pada teori arsitektur sehingga pada akhirnya produk fisik arsitektur adalah sebuah bentukan empirik yang harus dibaca melalui konteks sejarah, dinamika sosial dan proses kebudayaan-anthropologis setempat bukan hanya lewat kacamata pragmatis dan deterministik ala Vitruvian. Merunut ulang sebuah arti makna rancangan berarti membaca ulang lewat kajian sejarah saat tatanan nilai produk tersebut dilahirkan. Adapun proses loncatan teknologi membangun adalah setelah ditemukannya kaidah-kaidah dan pola budaya yang dapat berubah atau justru sebagai konstanta. 1.1.3. Pendopo, fenomena ruang sosial dalam kebudayaan Jawa Obyek studi pada thesis ini akan diarahkan pada ruang sosial pada budaya Jawa yang dikenal sebagai pendopo. Wujud pendopo sebagai ruang sosial banyak didapati pada masyarakat Jawa yang masih memegang nilai tradisional. Pendopo merupakan manifestasi dari banyak hal. Dari ruang sosial yang berproses melalui rangkaian batas-batas imajiner menuju mencapai batas-batas fisik (Santoso,2000), ruang yang berhubungan dengan kekuasan sosial terhadap masyarakat ( Ronald, 2000) hingga ajang pentas seni budaya (Santoso,2000). Keberadaan pendopo menjadi menarik oleh banyaknya wilayah yang menjadikan icon lokal Jawa ini sebagai ruang sosial budaya dalam beberapa kota, baik itu yang sifatnya fungsional sampai pada yang sifatnya simbolik. Permasalahan pendopo yang berada pada sebuah fasilitas ruang publik kota adalah pada nilai fungsi. Pendopo menjadi ambigu karena bentukan fisik yang berasosiasi pada satu kegiatan tertentu atau bahkan hanya bersifat simbolik semata. Prinsip efisiensi, kegunaan multifungsi, kompleksitas dan fleksibilitas pada fasilitas ruang kota menjadi kontradiksi bagi keberadaan pendopo yang digunakan pada aktifitas yang statis homogen. Padahal sejatinya, pendopo juga merupakan ruang yang menampung banyak fungsi heterogen. Santoso (2000) memaparkan penelitiannya tentang keberadaan pendopo di masyarakat Jawa Tengah sebagai ruang yang secara fungsi fleksibel menampung banyak kegiatan sosial dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Memekarkan fungsi dari pendopo untuk konteks masa kini dihadapkan pada permasalahan bagaimana struktur ruang pendopo dapat menjadi sebuah tempat yang bermakna untuk fasilitas ruang perkotaan dan kontekstual dari segi kekinian. 4 1.1.4. Transformasi pendopo Taman Krida Budaya Malang. Tesis ini akan menterjemahkan dan mentransformasikan ulang gagasan tentang pendopo serta mengkaji kemungkinan penerapan rancangan pendopo pada fungsi-fungsi ruang perkotaan. Pendopo merupakan bentukan archetype fasilitas sosial budaya yang terjadi di beberapa penjuru daerah di Jawa. Kecenderungan menghadirkan pendopo sebagai bagian dari fasilitas sosial budaya merupakan bagian yang tertanam dalam alam fikiran masyarakat Jawa, terutama jika penggagas dari keberadaan fasilitas tersebut adalah dari kalangan pemerintah daerah. Penerapan transformasi arsitektur pendopo adalah pada Taman Krida Budaya Malang, alasan pemilihan kasus adalah fasilitas ini memiliki pendopo yang awalnya dirancang sebagai fasilitas sosial budaya untuk masyarakat kota Malang. Seiring dengan perjalanan waktu fungsi yang diserap menjadi berkurang. Lokasi fasilitas berada di pusat kota baru dan berkembang menuju arah karakter kawasan yang jamak. Proyek ini digagas dengan asumsi bahwa Taman Krida Budaya Malang akan dibangun ulang. Perilaku masyarakat di ruang perkotaan yang cenderung mempersempit keberadaan ruang publik serta fasilitas ruang sosial kota yang terprivatisasi menjadi dasar utama untuk mentransformasikan pendopo Taman Krida Budaya Malang. Letak wilayah yang jauh dari akar budaya Jawa (Jogja-Solo) membuat kemungkinan pengembangan varian pendopo menjadi lebih dimungkinkan. Tujuan akhir tesis ini adalah untuk menghasilkan rancangan baru Taman Krida Budaya Malang yang merujuk pada pendopo pada skala urban sebagai gabungan antara produk masa lalu dengan konteks global. 1.2. Untuk Ruang Lingkup Masalah mengarahkan kajian guna mendapatkan kriteria-kriteria rancangan yang diinginkan, maka kajian akan dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Isu utama yang mendasari kajian ini adalah akulturasi antara dua produk kebudayaan, tradisional dan modern. Produk tradisional diarahkan pada pendopo sementara produk modern adalah keberadaan fasilitas sosial budaya kota pada setting urban. 2. Reinterpretasi pada pendopo berusaha diarahkan pada kajian yang menelusuri elemen-elemen yang membentuk pendopo kemudian diformulasikan ulang keberadaannya dengan metode transformasi. 5 3. Transformasi pada pendopo mengkaji beberapa aspek teori ruang dan bentuk dalam konteks budaya kosmologis Jawa untuk selanjutnya digabungkan dengan karakter ruang kota sehingga memiliki kejamakan fungsi dalam sebuah ruang perkotaan. Pada akhirnya fasilitas ruang sosial budaya kota dapat dikenali lalu berfungsi secara jamak/multi fungsi. 4. Aplikasi/penerapan rancangan pendopo pada Taman Krida Budaya Malang 1.3. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dari kajian ini untuk dibawa ke pada model rancangan pada lokasi Taman Krida Budaya Malang adalah: 1. Menentukan kriteria hasil reinterpretasi dan transformasi pendopo dari periode masa lalu menuju pada masa kini dengan pertimbangan aspek lokasi, topografi dan budaya setempat. 2. Menentukan kriteria fungsi pendopo masa kini bagi ruang perkotaan yang jamak fungsi dan kontekstual dari segi kekinian 1.4. Metodologi Pembahasan akan dikelompokkan dalam tiga bagian: Bagian pertama merupakan kajian yang meruntut ulang arti makna dari pendopo. Rancangan pendopo akan digali konsep-konsep dasar yang membentuk ruang. Analisis sejarah dan teori konsep ruang dalam budaya Jawa akan menjadi acuan dalam memahami keberadaan pendopo, hal ini berkaitan antara tali kesinambungan dimensi spasial yang memisahkan obyek di masa lalu dengan masa kini. Beberapa penelitian yang serupa akan menjadi referensi utama untuk selanjutnya akan diteruskan pada tahapan rancangan. Sifat bahasan penulisan ini adalah sebagai materi pelanjut bahasanbahasan lain yang serupa. Beberapa tema kajian yang membahas tentang keberadaan arsitektur tradisional (Jawa) antara lain pada Ronald (2000), Santoso (2000), Prijotomo (1995) sementara keberadaannya dalam konteks kekinian antara lain pada pandangan Arsitektur Nusantara (Pangarsa, 2006), (Prijotomo, 2005). Hasil dari analisa ini adalah kriteria-kriteria pembentuk pendopo. Metode transformasi menjadi langkah praksis desain pada sebuah wujud pendopo. Teori generik mengenai transformasi antara lain pada acuan Antoniades, 1992. Tema regionalisme kritis (Frampton, 1981)(TzonisLevaivre, 1995), Defamiliarisasi Schlovsky (1961) akan mengalami penyesuaian dengan konteks budaya Jawa. 6 Bagian kedua merupakan bagian telaah fungsi pendopo yang baru secara jamak pada wilayah urban perkotaan. Pandangan Carr (1995), Carmona et.all (2003) tentang ruang publik serta fasilitas umum bagi masyarakat kota akan menjadi bagian dari analisis. Hasil dari pemetaan skala urban ini adalah untuk melihat kecenderungan penggunaan ruang pada masyarakat perkotaan untuk kemudian di analisa dan di rancang fasilitas yang memadai untuk kondisi tersebut. Bagian ketiga merupakan gabungan dari kedua bagian dalam bentuk aplikasi/penerapan rancangan Taman Krida Budaya Malang yang baru. Fasilitas ini diasumsikan akan dirancang ulang oleh pemerintah daerah setempat. 1.5. Manfaat Manfaat thesis ini adalah sebagai pelengkap beberapa rancangan yang sebelumnya telah ada. Thesis ini akan menjadi sebuah referensi dalam bentuk praksis desain mengenai pendopo yang mengalami transformasi. 1.6. Tujuan Menghasilkan rancangan baru Taman Krida Budaya Malang yang merujuk pada pendopo pada skala urban sebagai gabungan antara produk masa lalu dengan konteks global. 1.7. Alur Penulisan Pengorganisasian penulisan dibagi menjadi beberapa bab antara lain; BAB 1 Pendahuluan Bab ini menguraikan isu transformasi arsitektur tradisional menuju pada konteks kekinian pada ruang perkotaan, . obyek studi yang dipelajari adalah pendopo. Pendopo akan dirancang ulang pada setting perkotaan sehingga memiliki ragam fungsi yang beraneka macam untuk memenuhi tuntutan aktifitas ruang kota.. Bab II Tinjauan Teori dan Metodologi Bab ini menjelaskan tentang kerangka teori dan metodologi yang digunakan sebagai alat untuk mengkaji isu transformasi pendopo BAB III Deskripsi Proyek Bab ini menjelaskan tentang tujuan sasaran transformasi yang hendak diaplikasikan. Objek area studi di lokasi pengamatan tempat kasus ini diangkat 7 adalah Taman Krida Budaya Malang. Program ruang dan deskripsi tata ruang urban perkotaan yang ada. Bab IV Analisis/Pembahasan Bab ini menjelaskan tentang langkah-langkah aplikasi dari teori dari transformasi pada objek studi dan lokasi tapak perancangan. Keluaran dari analisa ini adalah berupa konsep perancangan praksis. BAB V Penerapan/Ekskursus Bab ini berisikan hasil rancangan dari transformasi pendopo pada setting Taman Krida Budaya Malang Daftar Pustaka Lampiran 1.8. Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir yang digunakan dalam penyusunan tesis ini dijabarkan dalam skema diagram berikut. 8 8