Akreditasi LIPI Nomor : 608/AU3/P2MI-LIPI/03/2015 Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 KERAGAMAN TEOLOGIS DAN KUALITAS KEHIDUPAN KEAGAMAAN Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia M. Ridwan Lubis Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Ahmad Ali MD Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu I Ketut Donder Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan Muhammad Hasbi Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon Nurman Kholis Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Mukhibat Ajaran Kaharudin di Yayasan Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Suhanah Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Kustini & Nur Rofiah Nomor 2 Volume 14 Halaman 193 Jakarta Mei-Agustus 2015 ISSN 1412-663X HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius KERAGAMAN TEOLOGIS DAN KUALITAS KEHIDUPAN KEAGAMAAN Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015 PEMBINA: Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENGARAH: Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENANGGUNG JAWAB: Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan MITRA BESTARI: Hisanori Kato (Butsuryo College Of Osaka), Jessica Soedirgo (University of Toronto), M. Hisyam (LIPI), Alie Humaidi (LIPI), Ahmad Najib Burhani (LIPI), M. Adlin Sila (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama), Koeswinarno (Balai Litbang Agama Semarang), Nur Iman Soebono (Univ. Indonesia), Ikhsan Tanggok (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Abdul Mujib (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Wayan P. Windia (Univ. Udayana), Budi Hermawan (Univ. Bunda Mulia), Mariana Aminudin (Komnas Perempuan), Abdul Aziz (Electoral Research Institute), Ahmad Syafi’i Mufied (FKUB DKI Jakarta) PEMIMPIN REDAKSI: I Nyoman Yoga Segara SEKRETARIS REDAKSI: Fakhruddin DEWAN REDAKSI: 1. Nuhrison M. Nuh 2. Ibnu Hasan Muchtar 3. Kustini 4. Haidlor Ali Ahmad 5. Zainuddin Daulay 6. Abdul Jamil SIRKULASI & KEUANGAN: Lastriyah & Rahmah Nur Fitriani SEKRETARIAT & KEUANGAN: Zaenal Abidin, Agus Mulyono, Slamet Firdaus, Muchtar & Fathan Kamal REDAKSI & TATA USAHA: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421 Email : harmonij[email protected] SETTING & LAYOUT I Nyoman Suwardika COVER Mundzir Fadli PENERBIT: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI HARMONI Mei - Agustus 2015 HARMONI ISSN 1412-663X Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015 DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Pemimpin Redaksi ___5 Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia M. Ridwan Lubis___ 9 Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu I Ketut Donder___22 Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon Nurman Kholis___36 Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusifitas Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga Muhammad War’i___46 Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Mukhibat ___55 Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Ahmad Ali MD ___68 Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah Efa Ida Amaliyah ___81 Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan Muhammad Hasbi___97 Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Suhanah___110 Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Kustini & Nur Rofiah ___122 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015 Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu Abdul Jamil & Fakhruddin ___138 Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji oleh KUA Kecamatan di Kota Padang Rasyidul Basri ___160 Telaah Pustaka Hantu di Balik Relasi Islam-Kristen di Indonesia M. Zainuddin Daulay ___171 Lembar Abstrak ___174 Indeks Penulis ___ 186 Ucapan Terima Kasih ___190 Pedoman Penulisan ___191 HARMONI Mei - Agustus 2015 PENGANTAR REDAKSI PENGANTAR REDAKSI 5 Keragaman Teologis dan Kualitas Kehidupan Keagamaan Sangat beruntung Indonesia memiliki Bhinneka Tunggal Ika, sesanti yang diambil dari manuskrip Sutasoma, karya agung Mpu Tantular. Sesanti atau motto tersebut mungkin sudah cukup menggambarkan bahwa di atas bumi Indonesia sudah lama hidup aneka suku, agama, bahasa dan ras. Ini adalah gugusan nyata tentang zamrud katulistiwa, bukan lagi landscape imajiner, namun laboratorium pluralitas. Bhinneka Tunggal Ika bukan saja mengalasi keindonesiaan tetapi juga menafasinya, menjadi way of life. Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa semboyan negara itu sesungguhnya adalah inspirasi bagi siapa saja untuk memahami dan menerima keragaman teologi. Ini karena motto yang digenggam burung Garuda secara utuh berbunyi Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa (meskipun berbedabeda tetapi tetap satu, tidak ada dharma yang kedua). Kata dharma (bhs Sanskerta) adalah gambaran dari glorifikasi Tuhan, selain berarti “kebenaran” atau “kewajiban”. Maknawinya, Tuhan itu tunggal dan keesaannya ditangkap oleh ragam agama. “Menerima keragaman agama adalah menerima keragaman teologi, begitu juga sebaliknya.” Kebajikan ini mungkin terlalu idealistik, meskipun bukan sesuatu yang muskil diwujudkan. Masalahnya, secara alamiah ketika manusia dikelompokkan, terlebih dengan sengaja untuk maksud menangkalah akan condong lahir klaim-klaim sepihak. Ada sikap superior pada satu pihak, inferior di lain pihak. Tuas oposisional ini juga merembes ke dalam pilihan keyakinan internal setiap agama, misalnya dengan aneka aliran atau paham keagamaan. Hidup rukun akhirnya hanya dimaknai secara artifisial di ruangruang formal, padahal dan seharusnya, ada kesiapsediaan setiap orang untuk menerima beragam keliyanan teologi. Dalam spektrum yang lebih makro, kemajemukan bangsa yang salah satunya dibangun di atas keragaman teologis, juga sering menjadi sasaran untuk dipersalahkan sebagai sumber friksi, meski tidak sedikit—atau mungkin lebih banyak—yang menganggapnya sebagai kekuatan potensial, sebagai kekayaan paripurna. Atas hal ini, ada baiknya membaca pernyataan Geertz (1993) dalam Bahrul Hayat (2012:9-10) yang menyatakan “…jika kekayaan Indonesia tidak dikelola dengan baik dapat melahirkan pergesekanpergesekan kultural yang berujung pada ketidakstabilan politik dan integrasi bangsa”. Untuk dapat memasuki keragaman teologi agama-agama, lalu immersion bersamanya, penting menyuburkan tradisi studi keagamaan sehingga ada ketercairan dalam melakukan perbandingan kritis dan apresiatif terhadap teologi orang lain. Ruh studi komparasi agama sejatinya untuk melapangkan sikap yang adil, berbaik sangka dan apresiatif ketika memberikan penilaian pada ragam teologi yang ada. “Kecelakaan ideologi” yang patut dihindari adalah klaim yang semata bertujuan untuk mempermulia teologi sendiri, terlebih dengan menggunakan aksidensia keagamaan sebagai pembanding, lalu menenggelamkan substansi yang ternyata memiliki kesamaan bahkan kesatuan (the commons vision) dengan agama orang lain. Sikap Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 6 PEMIMPIN REDAKSI eksklusif seperti ini akan dianggap ketinggalan jaman dan tidak mendapat tempat dalam era kesejagatan dewasa ini. Frithjof Schuon (1976:15) menanggapinya dengan “Inwardly, or in terms of substance, the claims that a religion makes are absolute, but outwardly, or in terms of form, and so on the level of human contingency, they are necessarily relative”. Seturut dengan Schuon, Paul F. Knitter (Kata Pengantar Budhy Munawar-Rachman dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995:xxxix) juga menyatakan adanya ruang relativitas dalam agama. Tiga agenda ini tidak mengandaikan bahwa semua agama atau teologi itu serupa hanya karena filsafat ini berusaha menemukan nilai-nilai keabadiannya. Jika memaksakan pandangan bahwa semua agama itu sama, maka akan dianggap sesat pikir karena berusaha mereduksi keberbedaan setiap agama yang justru menjadi kekayaan. Pandangan itu juga akan dapat dianggap tidak lagi menghargai religiusitas yang partikular. Padahal sebaliknya, filsafat perennial membentangkan karpet merah untuk dualistik antara fenomena dan noumena dalam agama. Sekali lagi, anjuran-anjuran kebaikan di atas juga bukan perkara mudah. Namun selalu ada cara moderat yang dapat dipilih. Misalnya, para filosof, kalau tidak menyebutnya sebagai kaum sufi, menawarkan filsafat perennial untuk menjelaskan segala peristiwa yang bersifat hakiki, menyangkut kebajikan dalam praktek hidup yang benar, yakni ruh dari seluruh agama-agama dan tradisi yang menyejarah dari kehidupan manusia. Ruh itu menjadi the inner identity dari masing-masing teologi untuk memperkaya suasana hubungan batin antarorang. Titik persamaan yang hendak dicari dalam filsafat perennial adalah kesamaan-kesamaan transedental setiap agama (transcendental unity of religions) yang secara otentik melampui batas-batas manifestasi lahiriah serta sesuatu yang tidak lenyap karena perubahan waktu dan tempat. Normatif memang, namun itulah yang harus dijalankan untuk memperantarai setiap perbedaan yang semakin tajam akibat nirkesadaran akan hakikat keabadian nilai kebenaran agama. Filsafat perennial diharapkan menjadi satu alat untuk memahami bukan hanya keragaman teologi semata, karena setelahnya dibutuhkan kesadaran batiniah yang hanya bisa didapat melalui pengalaman-pengalaman empirik demi tercapainya ekumenisme. Salah satu fungsi filsafat perennial yang paling diakui untuk memahami kompleksitas perbedaan-perbedaan itu adalah metadialog antaragama (interreligious dialogue). Dalam diskursus filsafat agama, perennialisme mengagendakan paling tidak tiga diskusi penting, yakni tentang Tuhan, wujud yang absolut dan tunggal; tentang fenomena pluralisme; dan tentang penelusuran akar-akar kesadaran religiusitas individu maupun kelompok. HARMONI Mei - Agustus 2015 Pada Nomor 2 ini, Jurnal Harmoni sengaja menghadirkan tema keragaman teologis untuk memperlihatkan bahwa betapa gemah ripahnya bangsa ini. Ridwan Lubis melalui artikel Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia mencoba untuk menggali lebih dalam teologi Islam di Indonesia hingga ke akar-akarnya. Ia lalu mengaitkan perkembangan Islam hingga berhadapan dengan adab modernitas. Ada banyak tantangan yang harus segera diselesaikan, selain Islam dengan dunia luar juga secara internal. Menurutnya ada banyak paham dan aliran yang juga berkembang dan menjadi pilihan penganut Islam. Sementara dalam kajian pustaka yang dilakukan I Ketut Donder melalui Keesaan Tuhan Dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka Tentang Pluralitas Konsep Teologi dlm Hindu berhasil mengungkap keesaan Tuhan PENGANTAR REDAKSI yang dikaitkan dengan pluralitas teologis dalam Hindu. Namun meskipun ada banyak paham teologis, dalam bingkai NKRI maka paham-paham itu idealnya menjadi wahana untuk membangun kerukunan dan toleransi, baik antar maupun interagama. Sebuah kualitas kehidupan keagamaan yang diinginkan semua penganut agama. Berkelindan dengan keinginan ini, artikel Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi yang ditulis Ahmad Ali MD dapat menjadi satu pelajaran penting. Hal yang sama dapat ditemukan dalam tulisan H. Muhammad Hasbi tentang Qadariyah dan Jabariyah di Pasar Pelelangan Ikan Bajoe Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan dan artikel Ajaran Kaharudin di Yayasan Al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon Jawa Barat yang ditulis Suhanah. Melalui artikel-artikel ini pembaca dihadapkan pada realita betapa dinamika paham keagamaan dalam mewujudkan harmoni sering melalui jalan berkelok, kadang menegang, tak jarang melemah dengan berbagai faktor. Apapun keras lunak hubungan antarpaham (teologi) keagamaan tetap berdampak langsung maupun tidak langsung pada hubungan antaragama, meskipun secara umum kehidupan keagamaan di Indonesia pada 2014 berjalan dinamis namun tetap kondusif. Bahkan dalam Laporan Tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan (2014:65) dinyatakan tidak ada letupan istimewa, kecuali residu dari kasus-kasus tahun sebelumnya. Yang arif adalah hubungan antarpaham justru (harus) melahirkan harmoni tanpa menghilangkan respon kritis masing-masing penganut teologis. Artikel yang ditulis Efa Ida Amaliyah dalam Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah memperlihatkan bahwa pada titik tertentu, dua paham besar ini sesungguhnya dapat hidup harmoni. Interrelasi keduanya menghasilkan 7 hibriditas demi dan untuk harmoni hubungan antaragama. Harmonisasi juga bisa diemanasikan melalui berbagai simbol yang kemudian menjadi milik bersama, sebagaimana temuan Nurman Kholis dalam artikel Vihara Dewi Welas Asih: Sejarah dan Peranannya dalam Multikulturalisme di Kota Cirebon. Namun dalam situasi yang lain, antisipasi terhadap simbol, terutama bahasa-bahasa agama yang sayangnya sering dijadikan alat untuk melahirkan eksklusivisme. Lebih dalam silahkan baca Mewaspadai Pencitraan Berkedok Bahasa Agama, Menumbuhkan Inklusifisme Beragama (Dekonstruksi Bahasa Agama dalam Film Negeri Tanpa Telinga) karya Muhammad War’i. Ujung terowongan dari kemampuan mengelola keragaman teologis adalah semakin meningkatnya kualitas kehidupan keagamaan yang salah satu indikatornya jika pelayanan keagamaan juga bermutu dan maksimal. Dalam Nomor 2 ini ada dua temuan yang memperlihatkan masih lemahnya lembaga perkawinan dalam meningkatkan kualitas umat. Temuan pertama adalah Gugatan Perempuan Atas Makna Perkawinan Studi tentang Cerai Gugat di Kota Pekalongan yang ditulis Kustini dan Nur Rofiah, yang kedua karya Abdul Jamil dan Fakhruddin yang menyoal Isu dan Realitas dibalik Tingginya Angka Cerai Gugat di Indramayu. Pada temuan yang lain, karya H. Rasyidul Basri tentang Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji Oleh KUA Kecamatan Di Kota Padang menunjukkan pelayanan manasik haji oleh KUA dianggap semakin efektif. Pelayanan keagamaan juga semakin baik dapat juga dibaca dalam artikel Rekonstruksi Spirit Harmoni Melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo yang ditulis Mukhibat. Akhirnya, keragaman teologis jika benar adalah sebuah potensi di jagat Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 8 PEMIMPIN REDAKSI Indonesia akan selalui diuji seberapa bagus ia dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan. Banyak penanda untuk kualitas ini, salah satunya hubungan harmoni antarpaham, antaragama dan antarteologi serta pelayanan keagamaan yang semakin optimal. Selamat membaca [*] *** Daftar Pustaka Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: Saadah Cipta Mandiri, 2012. Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Massa Depan. Jakarta: Paramadina, 1995 Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2015. Schuon, Frithjof. Islam and The Perennial Philosophy, translated by J. Peter Hobson, World of Islam Festival Publishing Company Ltd. 1976 HARMONI Mei - Agustus 2015 PENELITIAN MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA 9 Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia M Ridwan Lubis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015 Abstract Abstrak Ahlussunnah wal Jamaat was an icon of theological understanding used in the past as Islamic approach for Muslims in Indonesia referring to preservation of balance condition. On the other hand, this theological understanding was effective enough to reach islamization process without causing social upheaval; however it was weak to transform social system. Then community had conversion into Islam but their social system in economy, politics, education, and law were controlled by local tradition or western modernism manipulation. This situation changed after 1970s when reorganization in teaching Islam occurred by introducing the distinction between Islam teaching and Islamic culture. However, these ideas were getting reaction from intellectual Muslims. The greatest goal of Ahlussunnah wal Jamaah theology was formulating a synergy among the Islamic discourse, democracy, and nationality at NU Congress in Situbondo in 1984, so Indonesia as a country based on Pancasila was considered as the final form of Islam toward the statehood concept. Teologi Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ikon pemahaman teologi umat Islam di Indonesia merupakan hasil pilihan pada masa lalu sebagai sebuah pendekatan islamisasi yang mengacu kepada pemeliharaan suasana equlibrium. Pada satu sisi, model pemahaman teologi tersebut, cukup ampuh untuk melakukan proses islamisasi tanpa menimbulkan kegoncangan sosial, tetapi kelemahan pendekatan ini tidak efektif untuk melakukan transformasi dalam berbagai pranata sosial. Sehingga yang terjadi adalah komunitas mengalami konversi ke dalam Islam tetapi pranata sosial mereka baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan sebagainya lebih dikendalikan oleh tradisi lokal atau rekayasa modernisme barat. Keadaan itu mulai mengalami perubahan citra setelah dekade 1970-an dengan terjadinya reorganisasi pengajaran Islam dengan memperkenalkan distingsi Islam ajaran dengan Islam budaya. Akan tetapi, gagasan tersebut memperoleh reaksi yang cukup keras dari sesama intelektual muslim. Prestasi terbesar dari teologi Ahlussunnah wal Jamaah adalah merumuskan sinergi antara wacana keislaman, demokrasi dan kebangsaan pada Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984, sehingga Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila dipandang sebagai bentuk final tuntutan Islam terhadap konsep kenegaraan di Indonesia. Keywords: Civilization Theology, Nationality, Kata kunci: Peradaban Teologi, Kebangsaan, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 10 M RIDWAN LUBIS Pendahuluan Konstruk Budaya Nusantara Format keislaman di Indonesia memiliki keunikan. Pada satu sisi dilihat dari latar belakang sejarah Islamisasi, Islam datang ke nusantara pada abad I hijriyah. Daerah yang pertama didatangi Islam adalah pantai timur sumatera yaitu pasai dan perlak, sebuah kawasan yang terletak di Aceh Utara yang sekarang. Total populasi umat Islam di Indonesia mencapai di atas 80 % yang tersebar di kawasan Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Berdampingan dengan kedatangan agama-agama mondial lainnya, Indonesia seakan terpilah melalui peta regionalisasi agamaagama. Indonesia juga memiliki akar internalisasi lembaga pendidikan Islam yang disebut pondok pesantren dengan fungsinya selain sebagai pusat pengajian Islam juga pusat penggerak transformasi masyarakat dari kepercayaan animis dan dinamis berubah menjadi bertauhid. Selain itu, Islam Indonesia juga memiliki peran membangkitkan patriotisme yang menjadi lokomotif penggerak semangat kebangsaan yang menjadi kekuatan utama nasionalisme Indonesia melawan penjajah. Tetapi, setelah era kemerdekaan, sumbangan Islam terhadap proses pembangunan bangsa mengalami kemunduran. Apabila ditelusuri lebih mendalam mengenai faktor utama kemunduran tersebut adalah melemahnya etos kerja dinamis, kreatif dan inovatif akibat format teologis anutan masyarakat bertemu dengan tarikan fikhsufistik yang lebih cenderung fatalistikdeterministik. Keadaan ini menimbulkan kerisauan para intelektual muslim yang kemudian melahirkan gagasan pemikiran yang “menggugat” tradisi pemahaman teologis umat Islam Indonesia. Hal inilah pendorong munculnya minat untuk melacak kembali akar pemahaman teologi Islam di Indonesia. Prof. Koentjaraningrat menyatakan kebudayaan merupakan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat sebagai milik manusia yang diperoleh melalui proses belajar (Agus, 2006: 34-35). Kebudayaan selanjutnya membentuk pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja pemikiran suatu kelompok manusia. Sedangkan Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. HARMONI Mei - Agustus 2015 J. J Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu: ideas, activities, dan artifact, dan ini diperjelas oleh Koentjaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan: 1). Wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat; 2). Wujud perilaku dinamakan sistem sosial karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Wujud MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA perilaku sifatnya kongkret karena dapat diamati baik dalam tindakan maupun tutur kata yang kemudian disebut bahasa; 3). Wujud artefak disebut juga kebudayaan fisik yaitu seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling kongkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Agama telah pernah menciptakan terjadinya perubahan sosial yang dahsyat dalam kehidupan manusia. Setidaknya terdapat dua kasus perjalanan sejarah yang dapat dijadikan bukti terjadinya revolusi kebudayaan yaitu peradaban Islam yang terjadi antara abad ketujuh sampai tiga belas masehi. Selain itu, etos Protestan yang menjadi pemicu lahirnya kapitalisme Eropa yang merambah negeri-negeri di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Cabangcabang Protestanisme seperti Calvinisme, Methodisme, Baptisme lebih berorientasi pada kehidupan duniawi. Kecerdasan dalam berbisnis ini terungkap dalam ide panggilan dan kesalehan agama terungkap dalam ide takdir, bahwa pencapaian keampunan dan keselamatan di akhirat sepenuhnya ditentukan oleh takdir kekuasaan dan kehendak Tuhan (Sztompka, 2008: 276-277) Budaya nusantara sebagai artikulasi keberagamaan, merupakan kumpulan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang ada di nusantara. Budaya nusantara mempunyai watak yang majemuk yang kesemuanya berdasar kepada kepercayaan terhadap zat yang memiliki kekuasaan tidak terbatas. Dalam rangka mendekatkan diri kepada zat yang kuasa tersebut maka konstruksi budaya nusantara terbentuk melalui pola relativitas antara subyek dengan obyek. Pola kepercayaan itu, keberadaan manusia diri di alam semesta berada dalam keraguan antara sebagai subyek yaitu mempengaruhi alam semesta atau obyek yaitu yang dipengaruhi alam semesta. Atas dasar itu, berdasarkan hasil pengalaman serta refleksi terhadap masa 11 lalu yang kemudian dibimbing primus interpares secara arif menempatkan diri berada pada dua posisi tersebut. Model kepercayaan animisme dan diamisme merupakan aktualisasi dari perasaan ketidakberdayaan manusia berhadapan dengan alam semesta. Siklus pergantian musim membawa pengaruh terhadap kehidupan manusia. Oleh karena pergantian musim tersebut sering menimbulkan suasana kedahsyatan maka manusia menjadi tidak berdaya dan kemudian mencari pelarian dari berbagai ancaman kehidupan mereka. Pemuka masyarakat, primus interpares, melakukan penafsiran, penyederhanaan dan perumusan logika terhadap berbagai peristiwa alam semesta. Akibatnya, muncul tokoh yang memiliki hubungan dengan kekuatan supranatural serta munculnya jalan keluar untuk mengatasi berbagai kesulitan itu melalui pendekatan mistik dan dogmatik. Ketokohan primus interpares itu tidak hanya sekedar dipahami sebagai sosok biasa akan tetapi memiliki kekuatan luhur yang melekat pada diri kepercayaan yang diebut messianistik dan millenaristik. Messianistik adalah kepercayaan tentang hak privilege orang tertentu sebagai penyelamat dan millenaristik adalah kepercayaan atas akan datangnya tokoh pembaharu pada setiap seribu tahun. Ketokohan pemimpin spiritual memperoleh privelege kewibawaan karena didukung oleh adanya dua profesionalitas yaitu spiritual power yang dimaknai sebagai kewibawaan kerohanian yang mampu menjembatani hubungan mikro kosmos dengan makro kosmos dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan profesionalitas kedua adalah temporal power yaitu kemampuan tokoh menjadi pengelola kehidupan sosial dalam berbagai aspeknya mulai dari keluarga, pertanian, ekonomi, tradisi budaya dan lain sebagainya. Dari dua keterampilan tersebut maka tokoh primus interpares muncul sebagai sumber rujukan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 12 M RIDWAN LUBIS masyarakat dalam berbagai persoalan kehidupan. Para mubalig yang datang menyiarkan Islam tidak menyiarkan teologi Islam berbekal tradisi kebudayaan yang ada di negeri asalnya. Akan tetapi mereka mengikuti irama kebiasaan masyarakat sebagai obyek dakwah. Dalam kaitan itulah mereka melakukan tiga strategi pengembangan teologi Islam yaitu adaptasi, akomodasi dan seleksi. Abdul Kadir Ahmad memberi contoh tentang konsep gurutta yang ada pada masyarakat Bugis yang memiliki pandangan tentang hidup yang spektrumnya jauh dari apa yang dikenal sebagai hidup dalam dunia nyata demikian juga pemahaman tentang alam (Ahmad, 2008: 423). Pengenalan teologi Islam kepada masyarakat yang masih bersahaja tentu saja tidak bisa berlangsung secara cepat karena memerlukan berbagai proses adaptasi, akomodasi dan seleksi. Adaptasi adalah upaya melakukan penyesuaian internalisasi ajaran Islam sesuai dengan tingkat kepahaman masyarakat. Akomodasi, upaya mengutip tradisi lokal yang sudah akrab di dalam peta budaya masyarakat sebagai sarana mengantarkan kepada proses terjadinya pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam. Sedang seleksi adalah penapisan berbagai tradisi lokal yang tidak sesuai dengan konsep teologi Islam. Meminjam teori George M Foster ketika menganalisis keberhasilan muballig memperkenalkan teologi Islam menggantikan teologi lama. Foster mengatakan bahwa keberhasilan mereka disebabkan kemampuan mengatasi tiga hambatan perubahan (barrier to change) yaitu cutural barriers yang terdiri dari nilai dan sikap, struktur budaya dan pola penggerak serta kedudukan badan dari adat istiadat. Hambatan kedua adalah social barriers yang terdiri dari solidaritas kelompok, konflik, wilayah otoritas dan karakteristik struktur sosial. Hambatan HARMONI Mei - Agustus 2015 ketiga, psychological barriers yaitu persepsi dasar perbedaan persilangan budaya, persoalan komunikasi dan problem pembelajaran (Soetomo, 2009: 158-159). Teologi Islam kemudian tampil menjadi konstruksi budaya nusantara menggantikan tradisi kepercayaan lokal maupun agama mondial yang datang pada fase pertama yaitu Hinduisme dan Buddhisme. Akan tetapi karena fokus dakwah lebih banyak dilakukan untuk membangun suasana perdamaian dengan tradisi lokal maka pengenalan teologi Islam lebih banyak ditekankan pada pengayaan kerohanian (spiritual enrichment). Pendekatan ini lebih menekankan untuk memelihara harmoni terhadap budaya lokal sehingga lebih menekankan konteks yang tinggi (high context). Akibatnya, lambat melakukan transformasi dari kehidupan agraris menuju masyarakat urban. Wacana keislaman hanya mampu melakukan konversi teologis dan spiritualistik tetapi kurang berhasil dalam melakukan transformasi pranata sosial. Hal ini disebabkan karena adanya keterlambatan melakukan proses rasionalisasi ajaran Islam sehingga Islam tidak bisa membawa perubahan signifikan proses transformasi itu. Terdapat lima prinsip transformasi untuk melakukan perubahan menuju mayarakat yang lebih maju yakni transformasi kepercayaan di mana seseorang mencapai kesuksesan dalam kehidupan apabila meyakini dan mendayagunakan kekuatan dan anugerah Tuhan dalam dirinya. Transformasi kepercayaan mencakup kesadaran diri, nurani, imajinasi dan kehendak bebas. Setiap manusia telah dianugerahi Allah dua potensi yaitu kemauan (masyi-ah) dan kemampuan (istitha’ah) untuk melakukan perubahan. Prinsip kedua, transformasi tujuan yaitu kesuksesan adalah buah dari serangkaian pilihan dan keputusan yang diambil dalam kehidupan. Peribahasa MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA mengatakan kamu adalah penjumlahan dari pilihan dan keputusan yang kamu ambil (you are the sum total of the choice you make it). Prinsip ketiga adalah transformasi karakter yaitu kesuksesan dalam kehidupan adalah akumulasi dari kebiasaan yang dilakukan terus menerus. Memang perubahan selalu tidak nyaman bahkan menyakitkan karena keluar dari zona aman menuju kepada perilaku baru (novum habitus). Prinsip keempat, transformasi interpersonal yaitu sikap dan perilaku ketika berhubungan dengan orang lain dan prinsip kelima, transformasi organisasi yaitu kesuksesan ditentukan kemampuan bekerjasama secara sinergis dan kreatif dengan orang lain (Prijosaksono dan Mardianto, 2005: xv-xxi). Pola Islamisasi di Nusantara Kesulitan melacak catatan sejarah kedatangan Islam di Indonesia menurut Taufik Abdullah disebabkan karena tidak ada kesepakatan tentang pengertian masuknya Islam di Indonesia dalam tiga pilihan teoritis yaitu Islam datang, Islam berkembang dan Islam menjadi kekuatan politik (Taufik Abdullah, 1979: 1). Sejalan dengan strategi penyiaran Islam para muballig memberi peluang kepada masyarakat untuk memberikan penafsiran terhadap Islam sesuai dengan lingkungan budaya mereka. Oleh karena itulah, terdapat keragaman dalam implementasi Islam budaya di nusantara. Islam nusantara lebih menekankan terhadap pengenalan spiritualitas Islam yang disebut tasawuf kemudian diiringi penegasan aqidah. Target utama dalam proses pengenalan terhadap aqidah adalah penegasan akan ketauhidan sebagai peralihan dari kepercayaan polytheistik. Tetapi, sesuai dengan format kepercayaan masyarakat maka pendekatan teologis ini lebih menekankan dimensi ilahiah dan kurang pada dimensi insaniah. Akibatnya, pengenalan kepada 13 Allah Swt lebih dibatasi pengakuan akan qudrah dan iradah Allah Swt yang mutlak dan sedikit sekali membuka ruang terhadap dinamika, kreativitas dan inovasi bahkan cenderung dipahami bahwa dimensi insaniah itu seakan menyaingi Allah. Berkembangnya pola pemahaman teologi yang cenderung fatalistik dan deterministik diperkuat oleh lingkungan kehidupan masyarakat yang bergelut di dunia agraris baik pertanian maupun kelautan. Dalam kaitan itulah, pemahaman aqidah di masyarakat lebih dominan Ahlussunnah wal Jamaah sebaliknya menolak aliran rasional seprti Mutazilah. Secara konseptual, aliran Ahlussunnah wal Jamaah tidak mengajarkan sikap fatalis murni, nerimo. Karena pemahaman aliran ini sebelum manusia melakukan tawakkal terlebih dahulu dilakukan usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar). Tetapi dalam praktiknya, mayarakat sulit mendinamisir dua konsep ini dalam pergelutan kehidupan karena adanya semacam perasaan bersalah (guilty feeling) manakala cenderung memberikan porsi terhadap usaha dan pilihan. Hal itulah yang menjadi pendorong tumbuhnya sikap sebagian masyarakat muslim yang cenderung fatalistik. Konstruksi pemahaman teologi Islam semacam ini lebih menekankan pada pengayaan emosionalitas dan kurang membuka ruang rasionalitas sehingga secara psikologis umat Islam Indonesia lebih cepat memberikan reaksi manakala ada persinggungan dengan persoalan politik dan sebaliknya kurang terpanggil berbicara pengembangan Islam dalam pranata sosial seperti ekonomi, pendidikan, politik, hukum, sosial dan sebagainya. Ditambah lagi karena wacana keislaman yang berkembang di Indonesia adalah warisan pemikiran keislaman abad XIII Masehi ketika dunia Islam memasuki fase kemunduran peradaban setelah jatuhnya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 14 M RIDWAN LUBIS Baghdad sebagai lambang supremasi kejayaan Islam. Pondok pesantren pada satu sisi membawa dampak positif karena melalui pesantren terjadi kesinambungan generasi ulama yang bertugas untuk melakukan revitalisasi warisan ulama salaf (ihya atsar al salaf) yang dikenal dengan tradisi syuhud ‘ain al syari’at. Wawasan pemikiran pesantren pada awal kelahiranmnya abad 16, kurang memberi perhatian terhadap kemampuan memahami berbagai persoalan kontemporer. Metode berpikir yang sebelumnya begitu canggih di kalangan ulama yang disebut dengan ushul fiqh lambat laun mengalami kemunduran sehingga persoalan-persoalan kekinian kurang memperoleh pengayaan intelektual dan sebaliknya mereka lebih mengedepankan fiqh sebagai gugusan hasil pergumulan teoritis yang dilakukan ushul fiqh. Keengganan melakukan eksplorasi dalam ushul fiqh tidak terlepas dari melemahnya kemampuan logika dan filsafat ditambah pula konstruks relasi antara ulama dengan para pelajarnya yang menyebabkan para pelajar kurang ada keberanian berbeda pendapat dengan para gurunya karena sanksi moral sebagai landasan etika dalam tradisi adab berguru (adab al ta’lim wa al muta’allim). Dengan demikian, persoalan isamisasi di nusantara adalah karakter keislaman yang lebih menekankan kepada pemikiran teologi Islam yang normatif dan kurang memberikan perhatian terhadap teologi rasional dan fungsional. Akibatnya, Islam secara teoritis unggul dari semua teologi yang ada akan tetapi pada tataran realita, tidak cukup kuat berhadapan dengan perkembangan kehidupan kontemporer baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, sosial dan sebagainya. Teologi Ahlussunnah Kejayaan peradaban dunia Islam pada fase klasik, abad ketujuh sampai tiga HARMONI Mei - Agustus 2015 belas masehi, ditandai oleh keberhasilan umat Islam memahami Islam secara komprehensif (syumul) yaitu antara aqidah, syariah dan tasawuf. Dalam alQuran ditemukan ayat yang menegaskan adanya kesan kemandirian manusia dalam menentukan perbuatannya (Q.S. al-Ra’d [13]: 11) namun disamping itu ada pula ayat yang menegaskan kemahakuasaan mutlak Allah (Q.S. al-Anfal [8]: 17). Menurut sebagian mufassir menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya dalam hal-hal tertentu ikut berpartisipasi mewujudkan perbuatannya. Akan tetapi pemikiran teologi Islam di Indonesia dibentuk oleh kekhawatiran penyimpangan dari aqidah. Karena itu, lebih cenderung menganut pemahaman teologi Ahlussunnah wal Jamaah yang berdimensi ilahiah dan mengabaikan dimensi insaniah. Pertanyan yang bisa muncul adalah apakah teologi yang dikatakan Ahlussunnah wal Jamaah tersebut telah menjadi amalan umat Islam di Indonesia? Dalam pandangan penulis, umat Islam Indonesia tidak sepenuhnya berangkat dari semata-mata teologi Ahlussunnah wal Jamaah tetapi teologi yang telah direkonstruksi berdasarkan tradisi kehidupan masyarakat yang agraris yang lebih dititikberatkan kepada kepasrahan kepada Allah dan sedikit sekali memberikan ruang teologi yang rasionalfungsional. Dalam perbincangan dengan berbagai kelompok sosial sering diperoleh jawaban bahwa ketika dipertanyakan apakah praksis Islam yang mereka tekuni sehari-hari baik dalam pemahaman, penghayatan maupun pengamalan maka jawabannya adalah Islam Ajaran berdampingan dengan Islam Budaya. Akan tetapi ketika dijelaskan bahwa Islam Ajaran adalah Islam yang terdapat dalam substansi Islam sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran dan alHadist membuat mereka sadar bahwa MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA komitmen selama ini terhadap Islam adalah Islam Budaya. Pemahaman keislaman yang bisa mengantarkan seseorang kepada Islam yang radikal adalah ketika mengambil jarak dari budaya dan menggali pengertian Islam dari sumbernya. Kesalahan itu tentu saja tidak bisa ditimpakan kepada masyarakat di lapisan bawah. Penyebab utamanya adalah keengganan sebagian kaum terpelajar muslim untuk terjun langsung kepada pendalaman radikal Islam dan tidak menggantungkan pemahaman kepada Islam Budaya. Islam Budaya akan datang sendiri sebagaimana dahulu juga para muballig menyampaikan Islam dengan pengertian radikal namun oleh karena perjalanan waktu, pola pemahaman itu menerima berbagai identitas baru sehingga menjelma menjadi Islam Budaya. Terjadinya perubahan yang lebih mengedepankan Islam Budaya disebabkan karena intelektual muslim tidak berani atau kurang memberi perhatian memperkenalkan Islam Ajaran sehingga masyarakat secara reflektif dibentuk oleh berbagai format budaya lokal. Selanjutnya persepsi teologi yang fatalistik ini diperkuat lagi dengan persepsi masyarakat terhadap konsep dalam tasawuf yang disebut zuhd yang dipahami dengan meninggalkan dunia secara mutlak karena dunia penuh dengan berbagai kemungkaran. Hal ini menjadi peluang yang dimanfaatkan pula oleh penjajah melemahkan etos keislaman. Dalam peta pemikiran yang disusun oleh penasehat kolonial untuk urusan pribumi mengklasifikasi Islam dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, Islam ritual yang tidak hanya dibebaskan untuk dilaksanakan namun justeru pihak kolonial berupaya untuk membantunya. Bantuan yang diberikan pihak kolonial terhadap pelaksanaan Islam Ritual bertujuan untuk membangun citra positif terhadap kaum penjajah. Kedua, Islam sosial yang diberikan kebebasan namun 15 tetap diawasi seperti kasus pelaksanaan ibadah haji sehingga tidak berkembang menjadi gelombang kekuatan politik. Terakhir, Islam politik dipandang pihak kolonial sangat berbahaya dengan merujuk kepada berbagai kejadian di Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Pihak kolonial tidak memberi peluang berkembangnya Islam politik. Partai politik Islam pertama di Indonesia yang bernama PERMI yang dipimpin oleh Muchtar Lutfi Al Ansori dan HA Gaffar Ismail langsung dibubarkan sebelum sempat berkembang (Noer,1978: 153) . Kekuatan Nusantara dan Kelemahan Islam Islam disebarkan di nusantara melalui dakwah. Hal ini berbeda dengan penyiaran Islam yang terjadi pada sebagian dunia yang lain seperti Afrika, Asia Timur, Asia Selatan, sebagian Eropa yang disebarkan melalui penaklukan (futuhat). Hasilnya adalah penyusupan secara damai. Kekuatan Islam di nusantara adalah Islam tumbuh dan berkembang menjadi milik masyarakat karena berhasil ditanamkan dalam keyakinan masyarakat sebagai milik asli (genuine) Indonesia yang semula barang yang hilang dan ditemukan kembali. Karena Islam menjadi milik asli maka para mubalig yang datang hanya sekedar agen yang memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Hsilnya adalah, kolonialisme yang bercokol puluhan bahkan ratusan tahun ternyata tidak mampu membongkar Islam dari keyakinan masyarakat sekalipun berbagai cara telah mereka lakukan. Kekuatan Islam yang menghambat laju pergerakan kolonialisme di berbagai pedesaan dilakukan oleh para kiai, santri dan masyarakat setempat. Prof Sartono Kartodirjo melukiskan perlawanan petani Banten melawan kolonial muncul dari para santri tarekat dan petani yang bahu membahu melawan kolonial. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 16 M RIDWAN LUBIS Kuatnya semangat perlawanan mereka dipicu oleh etos kejuangan yang disebut Sartono dengan asketisme intelektual yaitu kerelaan menunda kenikmatan semntara untuk meraih kenikmatan yang abadi. Tumbuhnya semangat nasionalisme di nusantara dipicu oleh term-term agama yang digunakan menjadi pengungkit nasionalisme seperti kesatuan arah kiblat, kesatuan kepemimpinan melalui sholat, kesamaan waktu berpuasa dan berbuka, ibadah haji dan lain sebagainya. Puncak dari kesadaran nasionalisme ini adalah ketika KH. Hasyim Asy`ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian memicu lahirnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby, seorang perwira tinggi tentara NICA. Isi dari Resolusi Jihad itu adalah sebagai berikut: 1). Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; 2). Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah wajib dibela dan pertahankan; 3). Musuh Republik Indonesia terutama Belanda yang datang membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia; 4). Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawankawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia; 5). Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap orang Islam (fardu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenakna sembahyang Jama’ dan Qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km itu (Zuhri, 2013:.323). Perkembangan Islam di nusantara kemudian diperkaya dengan berbagai tradisi yang saling berkembang sehingga HARMONI Mei - Agustus 2015 antara Islam satu daerah bisa berbeda dengan Islam di daerah lainnya. Hal itu menunjukkan sebagaimana yang disebut Syah Wali Allah Al Dihlawi dalam kitabnya Hujjat Allah Balighah, bahwa Islam itu selalu muncul dalam dua bentuk yaitu Islam Universal dan Islam Lokal. Islam Universal adalah Islam yang dipahami dan diamalkan secara bersama oleh seluruh umat Islam tanpa membedakan bentuk budaya, geografis, idiologi politiknya. Sedang yang kedua adalah Islam lokal yaitu aktualisasi Islam yang berbeda antara satu daerah lainnya terkait dengan respon masyarakat dalam menyikapi berbagai peristiwa sosial mulai dari proses kelahiran, perkawinan maupun kematian di samping berbagai aktivitas sosial lainnya. Mereka memiliki berbagai kreativitas dalam menunjukkan unsur Islam dalam kreasi budayanya. Kelemahan Islam Nusantara adalah orientasi dalam bidang pendidikan yang hanya memadukan pendidikan dengan pola yang lama. KH. Wahid Hasyim dan KH. M. Ilyas, keduanya pernah menjadi Menteri Agama RI pada masa Pemerintahan Soekarno, pada tahun 1930-an pernah mempelopori model pendidikan yang memasukkan unsur-unsur perkembangan modern dalam pola pendidikan di Pesantren Tebuireng Jombang sebagai sebuah pengantar menuju sistem pendidikan yang integrative dan holistik (Zuhri, 2009: 24-25). Menurut Prof. Mulyadhi Kartanegara, dua system pendidikan itu pada hakikatnya adalah satu karena merupakan perpaduan dari ‘ilm al tadwiniyat dan ‘ilm kauniyat (Kartanegara, 2005: 22). Penyebab keengganan pesantren melakukan modernisasi sistim pendidikan di pesantren pada dasarnya disebabkan karena motivasi ghirah kepada Islam sehingga khawatir terjadi pelemahan terhadap Islam. Kelemahan berikutnya Islam Nusantara adalah keterlambatan mentautkan Islam dengan perkembangan modern sehingga karena alam pikiran MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA sekuler lebih cepat menangkap modernitas itu maka corak pemikiran sekuler lebih dominan dalam pergulatan baik dalam pemikiran politik, ekonomi, pendidikan dan hukum. Dampaknya sebagaimana yang terlihat hari ini adalah Islam mengalami marginalisasi apabila diperhadapkan dengan modernitas. Oleh karena itu, menurut Kuntowijoyo, hal itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus ada upaya mengatasinya. Beliau menyebutkan perlunya dilakukan reinterpretasi yang mencakup lima program, yakni: Pertama, perlu lebih dikembangkan penafsiran sosialstruktural daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan dalam al-Quran. Selama ini apabila bertemu dengan ayat yang menyatakan larangan hidup berlebih-lebihan maka muncul penolakan akan tetapi yang lebih penting lagi mencari sebab-sebab struktural yang lebih mendasar mengapa gejala hidup berlebih-lebihan itu bisa muncul di tengah kehidupan masyarakat. Dari analisis struktural maka ditemukan penyebabnya yaitu terjadinya konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumber-sumber penghasilan atas dasar etika keserakahan. Kedua, mengubah cara berpikir subyektif kepada cara berpikir obyektif. Konsep teologi tentang zakat tidak hanya kepada pelunasan kewajiban serta menyuburkan harta dari muzaki akan tetapi hal lain yang perlu dijelaskan bahwa zakat adalah merupakan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Oleh karena itu, pada level aktual dapat dikembangkan lembagalembaga keuangan yang bebas bunga untuk membantu pemilikan modal kelas ekonomi lemah. Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Selama ini lebih terdorong menafsirkan ayat-ayat al-Quran pada level normatif, padahal al-Quran menawarkan berbagai prinsip teori yang sifatnya grand theory seperti 17 hubungan takwa dengan terwujudnya kesejahteraan sosial. Keempat, mengubah pemahaman teologi Islam dari yang a historis menjadi historis. Ketika al-Quran mengemukakan perjalanan sejarah berbagai kelompok umat manusia dalam al-Quran, baik ahli taat maupun maksiat terkesan bahwa umat Islam memandang hal tersebut tidak melalui pendekatan historis. Kisah Firaun mengingatkan kita bahwa adanya kelompok tertindas oleh kaum penindas tetap berlangsung sepanjang masa baik karena sistem sosial yang disebut feodalisme, kapitalisme, maupun sosialisme yang melahirkan kaum mustad’afin. Kelima, sebagai program interpretasi yang merupakan simpul dari empat program tersebut, perlunya merumuskan formulasiformulasi yang lebih spesifik dan empiris. Oleh karena itu, hendaknya dapat memformulasikan pernyataan ayat ke dalam realitas sekarang yaitu Allah mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan politik sehingga seluruh aset bangsa yang berharga dikuasai oleh segelintir orang (Kuntowijoyo, 1991: 473-477). Munculnya Teologi Rasional Fungsional Pada dekade 1970-an mulai berhembus angin perubahan dari para kalangan terdidik muslim khususnya lulusan pendidikan dari universitas. Perjumpaan mereka dengan wacana rasionalisme di berbagai lembaga tempat mereka menempuh studi dan mengkaitkannya dengan perkembangan Islam di Indonesia maka muncul berbagai pemikiran. Indonesia yang memiliki sejarah panjang terhadap perkembangan Islam yang menjelma menjadi komunitas besar seperti kerajaan yang memanjang di seluruh nusantara tetapi kemudian tidak berdaya menghadapi modernisme barat. Sikap keprihatinan mereka diwujudkan dalam perkenalan terhadap aliran-aliran pemikiran teologi Islam. Dalam khazanah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 18 M RIDWAN LUBIS pesantren para santri hanya pernah dikenalkan dengan teologi Jabariyah, Qadariyah maupun Ahlussunnah wal Jamaah. Secara reflektif, aliran Jabariyah dan Qadariyah tidak dibuka secara transparan latar belakang munculnya kedua aliran tersebut dan menelusuri kekuatan serta kelemahannya. Kajian di pesantren biasanya langsung masuk ke dalam aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah yang selanjutnya disebut Ahlussunnah wal Jamaah. Sekalipun dua aliran ini sama-sama digolongkan Ahlussunnah wal Jamaah akan tetapi pada kenyataannya, fokus pembahasan tentang sub aliran Asy’ariyah menempati porsi yang lebih besar. Alasan kebijakan yang demikian karena topik perbincangan adalah berkenaan dengan aqidah dan apabila tidak disikapi dengan sangat hati-hati (ihtiyath) akan dapat berakibat tergelincir kepada kesesatan. Namun juga, kajian terhadap teologi sub-aliran Asy’ariyah itu tidak dilakukan dengan pembahasan terhadap konsep dasar Asy’ariyah dan kemudian dilakukan pemetaan sosial terhadap pemahaman akidah umat Islam Indonesia yang berkembang dalam masyarakat. Atas dasar itulah, konsep teologi keislaman di Indonesaia bersikap reaktif dan pasif terhadap perubahan. Prof. Dr. Harun Nasution merasa kurang puas dengan metode pengajaran itu dan kemudian mencari jalan untuk belajar metode studi pemikiran Islam pada pemikiran yang berkembang di barat. Beliau memperoleh wawasan baru ketika ia berkenalan dengan pemikiran Mutazilah yang membuka peluang untuk menegaskan prinsip tauhid dari segi pengembangan kebebasan rasionalitas. Lebih lanjut dalam perkuliahan di Program Studi Purnasarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Program Pascasarjana (S2) dan Program Doktor (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengkaitkan HARMONI Mei - Agustus 2015 analisis historis perkembangan pemikiran dalam Islam yang mencakup bidang teologi, filsafat dan tasawuf. Kemudian modal pengetahuan dalam memahami perkembangan pemikiran dalam tiga bidang tersebut dipergunakan untuk memasuki studi babak baru tentang Pembaruan Pemikiran Dalam Islam. Tema pengkajian ini adalah melakukan penelusuran dari sudut analisis historis bahwa perkembangan Islam sejak abad ketujuh sampai abad 20 telah melewati empat babakan sejarah yaitu zaman klasik Islam (abad 7 sampai 13 masehi). Tema pembahasan ini dipandang penting untuk mengetahui bahwa Islam pernah mengalami kejayaan segera setelah Rasulullah wafat dan sebaliknya agama lain mengalami perkembangan kemajuan jauh setelah pembawa agama mereka meninggalkan dunia. Selain dari itu, revitalisasi teologi Islam pada kenyataannya berbanding lurus dengan tercapainya kejayaan peradaban Islam sebaliknya pada teologi Kristen memperoleh kejayaan peradaban dalam pola berbanding terbalik dari komitmen teologis. Lalu dilakukan penelusuran faktor-faktor yang menjadi pengerak terjadinya kemajuan peradaban Islam yang intinya adalah kebebasan berpikir yang melahirkan tiga unsur terbentuknya peradaban yaitu kemajuan di bidang ekonomi, stabilitas di bidang politik dan keamanan dan etos keilmuan yang dipegang oleh para intelektual muslim yang kemudian didukung sepenuhnya oleh khalifah/sultan. Gerakan rasionalisasi teologi yang dilakukan oleh Prof. Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib menimbulkan reaksi dengan penentang utamanya Prof. HM Rasyidi yaitu Menteri Agama I Republik Indonesia. Pokok peredebatannya adalah beliau tidak setuju dengan studi Pengantar Ilmu Agama dan pembaruan MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA pemikiran Dalam Islam karena terkesan akan mengikuti alur pemikiran sarjana barat terhadap Islam. Demikian juga beliau tdak menyetujui argumen Prof. Harun Nasution yang menyatakan bahwa ijtihad itu bisa mencakup pemikiran teologi jadi tidak hanya terbatas dalam bidang fiqh. Perdebatan lainnya adalah berkenaan dengan ide sekularisasi yang dilancarkan Nurcholish Madjid karena menurut beliau ide sekularisasi adalah identik dengan sekularisme yang meniadakan keberadaan agama. Penggagas berikutnya pembaruan pemikiran dalam Islam dilancarkan oleh Munawir Syadzali, MA yang ketika itu menjabat Menteri Agama pada masa orde baru. Gagasan beliau yang terkenal adalah Reaktualisasi Ajaran Islam yang berupaya memperkenalkan metode pembaruan pemikiran Islam agar ajaran tetap aktual sepanjang masa tidak lapuk dimakan usia. Butir pemikiran Munawir Syadzali adalah bahwa Negara Islam bukanlah suatu sistem yang baku akan tetapi adalah tuntutan pemahaman Islam sesuai dengan kepentingan ruang dan waktu oleh karena itu bukan suatu ketetapan yang absolut. Negara kebangsaan yang demokratis juga merupakan perwujudan dari tuntutan ajaran Islam. Perdebatan tentang hubungan Islam dengan negara kemudian ditengahi oleh NU melalui Muktamarnya Tahun 1984 di Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Asembagus Situbondo yang diasuh KH.M Asad Syamsul Arifin yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final dari tuntutan Islam bagi negara Indonesia. Pemikiran itu lahir dari seorang ulama yang menjadi pemimpin pesantren yaitu KH. Ahmad Siddiq yang kebetulan pula menjabat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama maka tampaknya argumen beliau dapat diterima oleh khalayak umat Islam maupun kalangan nasionalis. Menyongsong Lahirnya Islam Indonesia 19 Peradaban Posisi Indonesia berada di pusaran garis khatulistiwa yang diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia dan juga dipertemukan oleh dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Secara geopolitis dan geo-strategis posisi ini sangat menguntungkan karena berada pada jalur perlintasan perdagangan. Hal ini dapat dianalogikan dengan posisi Mekkah sebagai tempat disyiarkannya Islam yang berada pada titik perlintasan jalur transportasi antara timur dengan barat. Sejalan dengan itu, persebaran Islam di nusantara pada masa lalu tidak menimbulkan konflik sosial sehingga Islam dapat menyebar ke seantero nusantara dengan tetap terpeliharanya budaya-budaya lokal. Dilihat dari sudut psikologis, kehadiran Islam melahirkan proses transformasi sosial sehingga pusatpusat perdagangan pada masa lalu identik dengan terbentuknya pusatpusat perkembangan Islam. Yogyakarta, Pekalongan, Minangkabau, Sulawesi Selatan adalah di antara pusat-pusat kegiatan ekonomi yang sekaligus juga pusat-pusat yang menjadi basis komunitas Islam. Selanjutnya, dimensi psikologis dari peran kesejarahan yang dilakukan umat Islam dengan membawa bendera Islam melancarkan perjuangan merebut kemerdekaan menjadikan pesantren bukan hanya sebagai basis pengajan Islam akan tetapi juga sebagai wahana pembibitan tokoh ulama yang memiliki patriotisme dengan keteguhan aqidah. Oleh karena itu pesantren memiliki tiga fungsi sekaligus yaitu pusat pengkajian ilmu-ilmu keislaman, pusat gerakan melakukan transformasi budaya dan pusat gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Format Islam Indonesia yang ramah terhadap kemajemukan budaya sekaligus juga kemajemukan agama menjadi faktor Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 20 M RIDWAN LUBIS yang amat penting dalam menumbuhkan peradaban Islam Nusantara. Keberadaan Indonesia sebagai poros peradaban Islam ditentukan oleh jumlah populasi terbesar umat Islam di dunia, karakter keislaman yang toleran, khazanah lembaga pendidikan keislaman, integrasi Islam ke dalam pernik-pernik budaya. Hal itu menjadi modal sosial (social capital) tampilnya Indonesia yang akan menjadi pusat peradaban Islam di masa depan. Namun demikian, tentu saja hal itu tidaklah berlangsung mulus manakala tidak diimbangi oleh adanya rekayasa intervensi baik oleh kalangan intelektual terlebih lagi oleh kebijakan birokrasi pemerintahan. Tampilnya Indonesia menjadi pusat peradaban Islam pada dasarnya akan menolong pemerintah dalam memajukan pembangunan di Indonesia karena akan lahir generasi yang memiliki pola pemikiran yang terbiasa untuk mencari esensi dibanding simbol. Penutup Pemikiran dalam bidang teologi beraliran Ahlussunnah wal Jamaah menurut pandangan sebagian merupakan faktor kelemahan Islam Nusantara ketika melakukan rekayasa terhadap gagasan pembentukan peradaban Islam. Akibatnya, orientasi pandangan teologi menjadi lemah yang semestinya diharapkan bersifat dinamis, kreatif dan inovatif menuju terbentuknya sebuah peradaban Islam khas Indonesia. Akan tetapi pada sisi lain patut juga dipertimbangkan pandangan lain yang melihat bahwa aliran teologi Ahlussunnah wal Jamaah yang berkembang di Indonesia sebagai sebuah sikap kesyukuran karena dengan teologi Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus terjawab dua dinamika sosial. Pertama, dengan teologi Ahlussunnah wal Jamaah maka Islam dengan mudah melakukan adaptasi terhadap budaya lokal yang telah dibentuk lebih HARMONI Mei - Agustus 2015 dahulu melalui tradisi Hinduisme dan Buddhisme. Di balik itu, sekaligus juga Islam dapat bersikap akomodatif terhadap proses transformasi perkembangan masyarakat yang telah melewati fase agraris menuju kepada fase industri. Kedua, dengan sikap teologi Ahlussunnah wal Jamaah yang fleksibel diharapkan dapat menetralisir aliran teologi yang dikembangkan oleh kelompok pemikiran radikalisme Islam di Indonesia yang menjadi trend pada paruh terakhir abad 20. Karena teologi Ahlussunnah wal Jamaah membangun kekuatan teologi yang menjadi pijakan lahirnya ekilibrium dalam memandang dinamika sosial, politik dan budaya di tengah dinamika peralihan menuju perkembangan modern. Keseimbangan pendulum dinamika sosial itu hanya akan bisa bertahan manakala pemikiran teologi Islam memiliki pijakan dari sumber utama ajaran Islam dan sekaligus responsif terhadap perubahan zaman. Dengan demikian diharapkan akan terjadi kesinambungan (continuity) dan perubahan (change) dalam kerangka pemeliharaan tradisi lama yang masih dipandang baik dan menggali berbagai gagasan baru guna menghasilkan yang lebih baik (al muhafazat ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jaded al ashlah). Ketiga, teologi Ahlussunnah wal Jamaah menjadi landasan melanjutkan tradisi kerukunan yang dapat memperkuat kehidupan berbangsa dengan meramu pluralitas sosial menjadi sebuah kekuatan yang terjalin khususnya antara paham keberagamaan dengan kebangsaan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, sebagai sebuah aliran pemikiran harus disadari kebenarannya selalu bersifat relatif karena akan tergantung dengan bentuk perubahan social. Oleh karena itu rekonstruksi teologi di masa MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA depan hendaknya terus dirancang dalam berbagai studi eksplorasi guna merumuskan bentuk kompromi yang baru sehingga pemikiran teologi Islam 21 dapat mendukung terwujudnya relevansi Islam dengan perubahan masa dan tempat (al islam shalihun li kulli zaman wa makan). Daftar Pustaka Ahmad, Abd Kadir. Ulama Bugis. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008. Budairy Said dan Ali Zawawi. Dari Pesantren Untuk Bangsa: Biografi KH. Muhammad Ilyas. Jakarta: Yayasan Saifudin Zuhri, 2009.Deliar Noer. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978. Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu. Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2005 Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991 Prijosaksono, Aribowo dan Marlan Mardianto. The Power of Transformation. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005, Soetomo. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Sztompka, Piôtr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Zuhri, Saifuddin KH. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LkiS, 2013 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 22 I KETUT DONDER PENELITIAN Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu I Ketut Donder Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 19April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 25 Juli 2015 Abstract Abstrak All religions worship to one God yet they have different ways to understand and pray. They teach transcendental concept that is not easy to understand. Therefore, it is required a knowledgeable spiritual teacher to understand the religion properly. Different understandings on transcendental concept are caused by different religious level that someone has. The Hindu sages have solved this problem by providing two areas of cognitive theology, namely Nirguna Brhman and Satguna Brahman and each is divided further into their subtheologies. The various Hindu theologies aim to bring human beings whose different religious level having same understanding on God. It can avoid misconception on Hindu teaching. Semua agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya nama-Nya, metode memahami-Nya, dan cara menyembahNya berbeda-beda. Semua agama mengajarkan hal transendental yang tidak mudah dipahami. Oleh sebab itu, untuk memahami secara baik dan benar suatu agama membutuhkan panduan seorang guru yang memiliki pengetahuan yang mapan tentang agama. Keanekaragaman pemahaman terhadap yang transendental sebagaimana diajarkan dalam semua agama disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan rohani setiap orang. Para bijak Hindu memberikan solusi terhadap pelan ini dengan membuat dua garis besar peta wilayah kognitif teologis, yaitu teologi Nirguna Brahman dan teologi Saguna Brahman, selanjutnya dijabarkan menjadi sub-sub teologi sesuai peta pemahaman teologi setiap orang. Keragaman teologi diciptakan dalam Hindu bertujuan agar semua manusia dengan tingkat kerohanian yang berbeda sama-sama memiliki pemahaman tentang Tuhan. Melalui pemahaman yang benar terhadap teologi Hindu, seseorang tidak akan salahpaham terhadap Hindu. Keywords: God, Area, Cognitive, Theology, Hindu Kata kunci: Tuhan, Wilayah, Kognitif, Teologi, Hindu Pendahuluan Para intelektual Hindu harus berpikir serius untuk memberikan penjelasan rasional tentang berbagai hal, seperti ritual Hindu yang sering HARMONI Mei - Agustus 2015 mendapat kritikan baik berasal dari luar muapun dari umat sendiri (Pandit, 2010:128 dan Donder, 2013:1). Artikel ini para intelektual ingin mendorong lebih serius berpikir tentang Teologi Hindu. Hal ini sesuai dengan tuntutan KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... zaman seiring karakter dan peradaban masyarakat modern yang dibentuk oleh hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ciri masyarakat modern dewasa ini adalah rasional dan ilmiah, termasuk ketika berdialog tentang Tuhan. Mereka membutuhkan jawaban-jawaban ilmiah dan rasional. Terkait dengan tuntutan karakter masyarakat modern seperti itu, umat Hindu belum siap berdialog teologis dengan umat agama lain. Hal ini disebabkan karena berteologi dalam lingkungan umat Hindu termasuk di lingkungan para akademisinya belum lazim. Di lingkungan umat Hindu baik di India maupun di Indonesia (Bali) lebih lazim berdialog secara filosofis daripada berdialog secara teologis. Beberapa guru besar (profesor) di bidang filosofi, mereka juga bersikap dingin terhadap wacana teologi, alasannya karena teologi itu cenderung bersifat dogmatis dan apologetik. Walaupun pandangan mereka sah-sah saja, namun dalam abad post modern ini setiap umat beragama (utamanya para tokoh umat) mutlak harus memahami teologi agama yang dianutnya. Jika mereka tidak memiliki pengetahuan teologis, maka mereka tidak akan mampu membedakan antara berteologi dan berfilsafat. Dialog teologis menggunakan sumber teks kitab suci sebagai argumentasinya, sedangkan dialog filosofi mengandalkan jawaban spekulatif dari pikiran filosofi secara radikal, dibantu juga oleh pandangan para filsuf. Tradisi para intelektual Hindu yang tidak suka dengan dialog teologis mengakibatkan sangat langkanya karya intelektual Hindu di bidang teologi, khususnya karya yang berjudul Teologi Hindu. Berdasarkan data, di India sendiri hanya ada satu buku Teologi Hindu yang ditulis oleh orang asing, yaitu Dr. Jose Pereira (1976, 1991, 2012), seorang 23 peneliti, penulis dan merangkap sebagai misionaris Kristen. Ia menyusun Teologi Hindu bersumber pada kitab-kitab Upanisad yang tidak lain adalah pustaka filsafat. Di Indonesia hanya ada empat buku yang menyinggung tentang Teologi Hindu, keempat buku tersebut ada yang secara eksplisit berjudul Teologi Hindu dan ada yang bersifat inplisit. Keempat buku tersebut adalah, Pertama, buku yang disusun oleh Gde Pudja, M.A., SH. (1977), dengan judul Teologi Hindu (Brahma Widya), buku ini terlalu kecil dilihat dari jumlah halamannya yang hanya berjumlah 54 halaman. Buku ini juga terlalu kecil dilihat dari sudut pandang objek formalnya karena di dalam buku ini belum ada uraian yang jelas tentang apa dan bagaimana struktur epistemologi Teologi Hindu itu. Buku kedua, adalah buku yang disusun oleh Dr. I Made Titib (2003). Buku ini walaupun lebih tebal dari buku pertama, yakni 498 halaman, namun di dalamnya hanya 45 halaman membahas secara khusus tentang ketuhanan dalam Hindu. Buku ini juga belum menunjukkan karakter teologis dan prosedur epistemologi Teologi Hindu secara jelas dan tegas. Dalam buku ini, objek formal Teologi Hindu juga belum dibahas secara lugas. Buku ini hanya secara implisit menguraikan tentang Teologi Hindu, sebab buku ini ditulis dengan judul Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Buku ketiga, adalah buku yang ditulis oleh I Ketut Donder (2006) dengan judul Brahmavida – Teologi Kasih Semesta. Buku setebal 364 ini di dalamnya terdapat uraian ontologi, epistemologi dan aksiologi teologi secara umum serta ontologi, epistemologi dan aksiologi Teologi Hindu. Selain itu dalam buku ini juga terdapat kritik terhadap bangunan ilmu teologi saat ini yang dikungkung oleh dogmatika dan apologetika. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 24 I KETUT DONDER Buku keempat, adalah buku yang juga ditulis oleh I Ketut Donder (2010) berjudul Teologi – Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Buku ini merupakan perluasan dari buku sebelumnya. Dalam buku ini terdapat uraian tentang wilayahwilayah kognitif teologi yang sangat berguna untuk mempelajari temtang evolusi pemahaman manusia terhadap pengetahuan ketuhanan (teologi). Perbedaan kognitif teologis pada setiap orang dan kelompok orang tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan cara pandang merupakan esensi dari isi dunia yang bersifat plural (pluralism). Sesuai dengan karakter dunia yang plural, maka Teologi Hindu (Brahmavidya) dibangun atas dua cabang utama, yaitu Teologi Nirguna Brahman dan Teologi Saguna Brahman. Kedua cabang teologi tersebut dikembangkan dalam berbagai derivasi (cabang, turunan) teologis berupaya memberikan solusi terhadap konflik pemahamn teologis dari semua orang dalam semua tingkatan umur dan semua tingkatan pengetahuan. Artikel ini merupakan jenis studi kualitatif dengan pendekatan teologi Hindu. Studi kualitatif yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah kualitatif interteks yang terfokus pada teks (buku) karya Donder (2010) dengan judul Teologi: Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Perspektif Sanatana Dharma. Alasan tentang fokus studi teks pada buku karya Donder tersebut karena hanya dalam buku tersebut terdapat perihal uraian secara jelas tentang pluralisme konsep Teologi Hindu, evolusi kesadaran teologi, yang disebut wilayah-wilayah teologi. Datadata diperoleh langsung dari teks-teks (buku) yang berkaiatan dengan teologi Hindu yang selanjutnya diverifikasi, reduksi, dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Pada bagian terakhir dari studi ini dilakukan penarikan kesimpulan. HARMONI Mei - Agustus 2015 Pembahasan Kesalahpahaman terhadap Hindu Akibat Studi Orientalisme Agama Hindu dengan Veda sebagai kitab sucinya merupakan agama paling tua di dunia (Bleeker, 2004:7). Sivānanda menyatakan bahwa: Veda merupakan pustaka suci tertua dalam kepustakaan umat manusia. Veda merupakan sumber utama dari agama. Sejak dahulu kala Veda hanya dilapalkan, namun abadabad belakangan setelah manusia mulai berkurang kualitas daya hafalnya, maka Veda mulai dituliskan. Veda bersifat abadi dan tanpa pribadi. Tanggal atau waktu turunnya wahyu yang ditulis dalam Veda tidak mungkin dapat diketahui secara pasti. Para ahli sejarah agama seperti Joachim Wach dan yang lainnya tidak akan dapat menetapkan secara eksakta waktu turunnya wahyu Tuhan yang kemudian ditulis di dalam Veda. Sivānanda menambahkan bahwa Veda merupakan kebenaran spiritual abadi, Veda juga merupakan perwujudan dari pengetahuan ketuhanan. Bukubuku mungkin dapat dihancurkan tetapi pengetahuan ketuhanan tidak mungkin dapat dimusnahkan. Pengetahuan itu abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda juga abadi (Donder, 2006:v). Uraian Sivānanda di atas mempermaklumkan kesulitan para ahli sejarah agama untuk menetapkan umur Veda. Mereka hanya mampu menyatakan tahunnya secara spekulatif. Perkiraan dari para ahli sejarah sangat berbedabeda, ada yang memperkirakan 6000 SM, 5000 SM, 4000 SM, 1500 SM dan bahkan ada yang memperkirakan 400 SM, selisih perbedaannya hingga ribuan tahun sehingga tampak sebagai suatu yang sangat tidak masuk akal (Donder, 2004:5 dan 2010:413). Swami Prakashnanda Saraswati menyatakan bahwa kegamangan dan kekaburan pengetahuan-pengetahuan 25 KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... Hindu ini disebabkan oleh usaha penghancuran sejarah dan kitab-kitab Hindu oleh penjajah Inggris melalui organisasi Asiatic Society yang lebih dikenal dengan kajian-kajian Orientalism (Saraswati, 2014:245). Hal ini sesuai pendapat Richard King dan Edward W. Said yang menguraikan Orientalisme yang selalu mengacu pada wacana-wacana khusus untuk mengkonseptualisasi Timur (Said, 2010:3), menyebabkan Timur sangat mudah dikendalikan dan diatur. Orientalis selalu dikaitkan dengan agenda imperial yang bertujuan untuk mengendalikan atau menjajah Timur (King, 2001:162). Dokumendokumen tentang usaha Dr. William Jones sebagai wakil pemerintahan kolonial Inggris di India dan juga sebagai Directur Asiatic Society yang berobsesi untuk mengkaburkan sekaligus menghancurkan ajaran Hindu sampai saat ini masih tersimpan di Museum Calcutta sebagaimana tertulis dalam buku The True History and The Religion of India karya Swami Prakashananda Saraswati (2014). Studi orientalisme merupakan faktor utama kesalahpahaman terhadap Hindu. Studi orientalisme telah berhasil merusak pengetahuan sejarah dan kitab-kitab suci Hindu. Akibatnya, kesalahpahaman tersebut tidak saja dari pihak non-Hindu, tetapi juga dialami oleh umat Hindu sendiri. Kesalahpahaman tersebut adalah wajar dan alamiah, sebab kesalahpahaman itu disebabkan ketidaktahuan. Sumber kesalahpahaman itu adalah ketidaktahuan (Jelantik,1982:44 dan Wisasmaya, 2012:87). Cara untuk mengurangi kesalahpahaman terhadap segala suatu termasuk terhadap agama adalah mempelajarinya secara objektif, jujur, baik dan benar melalui sumber yang valid (Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya, 2012:104). Hanya dengan cara demikian maka seseorang akan memiliki pemahaman yang benar terhadap suatu agama terlebih pada agama Hindu yang penuh dengan penggunaan berbagai macam simbol yang bertujuan untuk menggambarkan Tuhan yang tak terlukiskan. Oleh sebab itu agama Hindu adalah agama yang sangat kompleks (Smith, 2004:19) membutuhkan pemahaman yang mendalam. Bagi orang-orang yang tidak memahami Hindu secara mendalam bisa salah sangka terhadap Hindu. Sebagai contoh, wahyu-wahyu Tuhan yang diperoleh para maharsi melalui cara samadhi (Bleeker, 2004:9) dianggap bukan wahyu oleh orang-orang yang tidak memahami agama Hindu. Hindu Menyembah Tuhan Yang Maha Esa Sebagaimana telah diuraikan bahwa pada dasarnya semua agama menyembah Tuhan Yang Satu dan Tuhan Yang Sama, karena itu Hindu juga menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana diyakini oleh semua penganut agama. Hal ini secara eksplisit tersurat dalam Veda yang menyatakan eko narayanadvityo’sti kascit artinya ’hanya satu Tuhan tidak ada duanya’. Pernyataan lainnya dalam Veda ekam sat viprah bahuda vadanti artinya ’hanya satu Tuhan tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama’ (Sudharta dan Atmaja, 2014:5-6). Ide dasar bahwa Hindu adalah agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana juga semua agama sangat jelas terdapat dalam teks-teks suci Hindu, hanyalah pada penggunaan metode untuk memahamiNya dan cara menyembahNya saja yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah wajar dan dibenarkan oleh Tuhan. Hal tersebut sebagai wujud cinta dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia yang masing-masing memiliki perbedaan level pemahaman. Hal tersebut sesuai dengan sloka Bhagavadgῑtā IV.11 yang berbunyi: ”dari manapun dan dengan cara apapun umat manusia datang kepada Tuhan akan diterima”. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 26 I KETUT DONDER Madrasuta (2010:17) menguraikan bahwa sekalipun Veda menyatakan Tuhan itu Satu dan hal ini dipertegas lagi dalam Upanisad, tapi karena Hindu tidak melarang umatnya untuk memuja hanya salah satu aspek, salah satu sifat, salah satu sinar (Dev) dari Tuhan, maka timbul kesan (sebagai kesalahpahaman) bahwa Hindu menyembah banyak Tuhan. Setiap agama mengajarkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, namun karena Tuhan bersifat abstrak, metafisik dan transenden (paravidya), maka Tuhan tidak mudah untuk dipahami oleh setiap orang, karena itu setiap orang membutuhkan panduan seorang guru yang mapan. Hal ini sangat relevan dengan uraian pustaka Sarasamuscaya 40 dan Geguritan Sucita I.XII.40. Sarasamuscaya 40 menyatakan: ”Kitab Suci takut pada orang bodoh sebab khawatir akan disalahartikan”. Selanjutnya Geguritan Sucita I.XII.40 menyatakan: ”Karena demikian luhur dan halusnya isi sastra dan agama, karena itu tidak mudah dipelajari secara mandiri, karena harus meminta petunjuk dari guru yang mapan. Jika tidak, maka seseorang bisa sangat bertentangan dengan apa yang dipahaminya” (Krishna, 2015:41; Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya, 2012:104). Menyadari keanekaragaman kualitas pemahaman akibat perbedaan evolusi dan level kecerdasan setiap orang dalam memahami yang transendental, maka para bijak Hindu secara garis besarnya membuat dua macam teologi. Pertama, teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang tidak dikaitkan dengan atribut apapun, tidak bisa diasumsikan dengan sifat apapun dan tidak bisa dibayangkan seperti apapun. Kedua teologi Saguna Brahman adalah teologi yang menjelaskan tentang Tuhan dengan atribut dan bermanifestasi HARMONI Mei - Agustus 2015 sebagai sinar-sinar suci (Dev). Dua macam teologi ini sesuai dengan peta wilayah kognitif pemahaman teologis manusia yang selanjutnya dijabarkan ke dalam sub-sub peta wilayah kognisia teologis berdasarkan level pemahaman teologi setiap orang. Teologi Hindu dan Kesalahpahaman terhadap Hindu Kata-kata Teologi Hindu sampai saat ini masih sangat asing di telinga umat Hindu termasuk di telinga para intelektual Hindu. Padahal Teologi Hindu mutlak harus dipahami oleh setiap umat Hindu. Donder (2010) dalam Teologi Sanatana Dharma menguraikan bahwa pembahasan tentang teologi dalam Hindu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Bhagavadgita sebagai pustaka Hindu yang sangat tua pada setiap akhir percakapan selalu ditutup dengan kalimat: Ity śrῑmad bhagavadgῑtāsupaniatsu brahmavidyāyām ......., yang artinya: “Inilah wejangan Bhagavadgῑtā, yaitu ilmu tentang Tuhan Yang Maha Mutlak (teologi).” Kalimat ini diulang sebanyak 18 kali pada setiap akhir bab Bhagavadgῑtā. Hal tersebut membuktikan bahwa pembicaraan tentang Brahmavidya atau ilmu ketuhanan (teologi) bukanlah hal baru dalam khazanah pengetahuan Hindu. Aryabhatta (dalam Titib, 1996:7 dan 2003:7) menyatakan bahwa Bhagavadgῑtā diwejangkan oleh Sri Krishna saat Bharatayuda yang jatuh pada tanggal 18 Februari 3102 SM, sehingga Teologi Hindu telah dibicarakan sejak 5117 tahun yang lalu. Sejak lima ribu tahun lebih Teologi Hindu telah dibahas dengan cakupan teologi yang sangat luas meliputi bidang pengetahuan dan kepercayaan yang sangat luas pula meliputi segala macam isme yang dianut oleh manusia, karena itu pula Brahmavidya dapat disebut KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... sebagai Teologi Kasih Semesta (Donder, 2006; 2010). Pengkajian Teologi Hindu mutlak harus dilakukan sebagaimana pustaka Brahma Sūtra I.I.1 menyatakan athāto brahmajijñāsā yaitu ’penyelidikan ke dalam Brahman harus dilakukan’ (Śakarācārya, 2011:6). Svami Viresvarananda (dalam Donder, 2010:69) menyatakan bahwa penyelidikan adalah hal yang sangat penting, karena ada ketidak-pastian mengenai hal itu, dan kita menemukan berbagai pandangan yang berlainan bahkan bertentangan mengenai sifat-sifatNya. Hasil penyelidikan itu akan mampu mengungkap tentang pengetahuan Sang Diri yang selanjutnya membawa manusia untuk dapat mengalami pembebasan sejati. Karena itu secara aksiologis penyelidikan tentang Brahman melalui pengujian dengan naskah-naskah Vedanta yang berkaitan denganNya menjadi sangat penting dan berharga. Lebih lanjut, Svami Viresvarananda (dalam Donder 2010: 69) menguraikan bahwa agar manusia memahami pengetahuan tentang Brahman (Tuhan) secara benar, maka Tuhan harus diberikan atribut seperti nama atau gelar, manifestasi atau sifat-sifatNya yang tertentu. Jika Tuhan tidak beratribut maka tidak mungkin dapat dijangkau oleh manusia suci sekalipun apalagi manusia biasa atau masyarakat awam. Brahman yang tak terjangkau oleh pengetahuan manusia itu, masuk dalam wilayah pengetahuan paravidya, pengetahuan ketuhanan atau teologi pada wilayah pemahaman ini disebut pengetahuan Nirguna Brahma. Tuhan pada wilayah teologi ini tidak mungkin diajarkan secara umum kepada masyarakat luas sebagaimana juga diisyaratkan dalam Bhagavadgita X:2 dan XII.5 (Radhakrishnan, 2014: 303 dan 346; Krishna, 2015:389 dan 476). Pengetahuan teologi Nirguna Brahma hanya dapat dikuasai oleh sebagian kecil umat manusia atau 27 hanya dikuasai oleh orang-orang suci (para rsi, yogi, sufi), yaitu mereka yang sudah terbebas dari kesadaran fisik atau kesadaran materi. Orang seperti itu adalah orang yang setiap detik selalu ingat dan berhubungan dengan Tuhan, atau dalam setiap tarikan napasnya selalu ada Tuhan yang melampaui batasan nama, bentuk, atribut, manifestasi, dsb. Sedangkan untuk kebutuhan manusia pada umumnya, maka para bijak menciptakan pengetahuan tentang Tuhan yang memiliki nama, bentuk, atribut dan berbagai manifestasi yang spesifik sesuai tujuan pemujaan. Pengetahuan tentang Tuhan dengan atribut ini masuk dalam wilayah kognitif teologi Saguna Brahma. Sesungguhnya teologi Saguna Brahma ini bersifat metodologis agar seluruh umat manusia mengalami pencerahan dan sampai kepada pengetahuan transenden serta dapat mengalami hubungan dengan Tuhan. Pada wilayah kognitif teologi Saguna Brahma inilah munculnya ñyasa atau bentuk-bentuk simbol keagamaan dalam bentuk gambar, patung, wajah dewa, dsb. Sehingga kehadiran segala bentuk simbol harus dilihat sebagai sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode pengetahuan tentang Tuhan Saguna Brahama. Jika saja setiap orang atau para penulis buku, pengarang buku, para peneliti, para teolog, dan para ilmuwan memahami hal ini, maka niscaya tidak akan ada kesalahpahaman dan tudingan yang sumir terhadap Hindu (Donder, 2010). Dalam upaya membangun hubungan yang harmonis antara sesama manusia, maka setiap penganut agama sangat penting memahami secarai baik dan benar tentang teologi sebagaimana diajarkan di dalam agama yang dianutnya. Tidak ada iman yang kokoh tanpa dilandasi oleh pemahaman teologi sesuai dengan agama yang dianutnya. Artikel yang ditulis Donder (2008:22-23) dalam Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 28 I KETUT DONDER majalah Media Hindu Jakarta dengan judul Umat Hindu Mutlak Memahami Teologi Hindu. Pada artikel tersebut ditulis bahwa ”Semua konversi agama yang selama ini dialami umat Hindu sejak zaman dulu hingga saat ini merupakan isyarat bahwa Teologi Hindu tidak tertanam kuat hingga menjadi dasar keyakinan yang kuat terhadap sebagian besar umat Hindu di Indonesia, India dan khususnya di Bali. Selain itu, setiap penganut agama penting juga untuk memahami agama lain secara proporsional untuk membangun sikap dan pikiran yang positif terhadap semua agama sebagai suatu realitas yang tidak bisa diabaikan. agar umat beragama tidak bertengkar hanya karena perbedaan lereng gunung agama yang dilalui. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan Bhagavadgita III.21 (Radhakrishnan, 2014:160 dan Krishna, 2015:163). Gambar 1 Sketsa Tesis Frithjof Schuon tentang Titik Temu Agama-agama Wilayah Teologi Secara Esoteris dan Eksoteris Frithjof Schuon membagi umat manusia dalam dua kelompok pemahaman teologis yang dituangkan dalam sketsa esoteris dan eksoteris sebagaimana gambar (Gbr.1) di bawah. Schoun (1987) berpendapat bahwa konflik tentang Tuhan terjadi pada masyarakat umum yang belum memiliki pengetahuan teologis yang mapan. Tetapi pada tataran perspektif spiritualitas agama yang sangat mapan seperti para yogi dan para sufi tidak ada lagi konflik teologis. Kenyataan ini dapat dianalogikan seperti para pemanjat gunung, mereka akan melihat pemandangan yang berbeda sesuai dengan lereng gunung yang dilaluinya. Semua pemandangan yang berbedabeda itu akan terlihat secara keseluruhan ketika semua pemanjat gunung sampai pada puncak gunung. Sejalan dengan pandangan Schuon, Donder (2010:31-33) sesuai dengan fokus artikel ini menguraikan bahwa ajaran Hindu mengelompokkan seluruh umat manusia dalam dua kelompok teologis, yaitu kelompok ahli (jñani) dan kelompok awam (ajñani). Kelompok jñani akan menggunakan teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan Yang Tidak Diberi Atribut Apapun atau Tuhan Yang Tidak Termanifestasikan. Sedangkan kelompok ajñani menggunakan teologi Saguna Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang sebaliknya. Hal ini relevan dengan tesis Schuon tentang wilayah pemahaman esoteris dan eksoteris. Pada tingkat esoteris semua jalan dan semua cara mendapat penghargaan dan pengakuan yang sama. Untuk m emban g un keh armon is an a ta u kedamaian antarumat beragama, para pendaki gunung spiritualitas agama yang sudah sampai pada level esoteris memiliki kewajiban untuk memberi teladan Berdasarkan analisis teologis itulah maka muncul konsep dan metode berbeda-beda untuk menggambarkan Tuhan Yang Sama. Kehadiran konsep Tuhan yang digambarkan seperti manusia, leluhur, benda-benda kosmis dibutuhkan untuk kelompok awam (ajñani atau orang pada umumnya). HARMONI Mei - Agustus 2015 Sumber: Frithjof Schuon (1987:x) KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... Sedangkan kehadiran konsep Tuhan Yang tidak dapat dibayangkan seperti apapun adalah konsep teologi untuk para jñani (para resi atau yogi). Pluralitas teologis yang muncul dalam Hindu untuk menolong umat manusia yang memiliki berbagai level pengetahuan dan kesadaran spiritual agar semua manusia secara bersama-sama mencapai yang transendental sebagaimana (Gbr.2). Jika pluralitas konsep teologi Hindu dipahami secara komprehensif maka seseorang tidak akan salahpaham terhadap Agama Hindu. Wilayah-Wilayah Kognitif dalam Teologi Hindu Teologis Kepercayaan seseorang kepada Tuhan atau yang bersifat transendensi ditentukan oleh tingkat kematangan pengetahuan seseorang tentang konsep Tuhan atau transendensi tersebut. Semakin mampu seseorang berinsteraksi makin mampu seseorang memahami hal yang abstrak. Oleh sebab itu pemahaman umat manusia terhadap Tuhan yang abstrak atau Tuhan yang transenden dapat dikelompokkan dan dipetakan berdasarkan konsep wilayah-wilayah kognitif teologis (Donder, 2010:31-44). 29 Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Tanpa Wujud (A) Objek pertama dan utama Brahmavidya atau teologi adalah Tuhan, Tuhan dalam pengertian pertama adalah” Tuhan Yang Tidak Dapat Dibatasi oleh Ruang dan Waktu”. Tuhan dalam definisi ini berada pada wilayah tanpa batas (Gbr. 2) yaitu gambar sketsa ilustrasi yang hendak menggambarkan posisi tentang wacana Tuhan berada pada wilayah yang diberi simbol (A) (Donder, 2006:13, 2010:33). Oleh sebab itu tidak mungkin bagi manusia dengan pengetahuan sangat terbatas dapat membatasi Tuhan yang Tak Terbatas. Tuhan dalam konsep teologi Nirguna Brahma, tidak memiliki bentuk tertentu, tidak memiliki nama tertentu, tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu apapun. Brahman atau Tuhan bukan ini atau itu (neti neti) atau Impersonal God. Selama kita memberi nama apapun namaNya, hal itu telah mendefinisikan Tuhan Yang Tak Terbatas ke dalam nama atau bahasa yang terbatas. Hal ini tidak mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya ’Pengetahuan tentang Tuhan’ pada wilayah ini tidak mengizinkan pemujaNya untuk membayangkan Tuhan yang Tak Terpikirkan (Acintya) sebagai apapun. Gambar. 2 Sketsa Wilayah-Wilayah Teologi Sumber: Donder (2010:34) Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 30 I KETUT DONDER Sungguh sangat sulit membayangkan bagaimana cara memuja Tuhan Yang Tidak Terbayangkan. Kitab suci Hindu dengan lugas menggambarkan wilayah Tuhan yang Nirguna Brahma (Bhagavadgita X.2; XII.5). Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Sebagai Simbol (B) Donder (2010:116, 2013:60) menguraikan bahwa definisi Tuhan sebagai bukan sesuatu, tidak berwujud sesuatu, tidak mirip dengan apapun menjadi persoalan besar bagi manusia. Karena manusia tidak dapat memfokuskan pikirannya pada sesuatu yang tidak berwujud apa-apa. Karena itu, maka muncullah simbol bunyi sebagaimana dilukiskan pada Gbr. 2 dengan huruf AUM OM yang juga dijelaskan dalam Bhagavadgita X.25, 33. Konsep Tuhan pada wilayah teologi (B), masih termasuk dalam wilayah teologi Nirguna Brahma atau Tuhan tidak dapat dibayangkan. Sebagai Tuhan yang tidak dapat dibayangkan, maka Ia sulit dipuja oleh umat manusia pada umumnya, sebab Tuhan sebagai objek pemujaan sifatnya harus dapat dibayangkan. Aktivitas pemujaan, persis seperti seorang yang akan memanah, jika pikirannya tidak terfokuskan maka sasaran pemujaan bisa meleset. Demikian pula hakikat Tuhan sebagai objek yang disembah oleh manusia, untuk itu orang suci berkenan memberikan solusi melalui simbol aksara (huruf). Dari sekian banyaknya aksara, maka ada 3 (tiga) aksara yang mewakili semuanya itu, yaitu: pertama, huruf (A) yang karena artikulasinya menyebabkan mulut dalam posisi terbuka yang mirip dengan tanda “lebih besar” (>) atau tanda lebih kecil (<) dalam simbol-simbol matematik. Simbol itu diasumsikan sebagai “saat penciptaan”, karena ada HARMONI Mei - Agustus 2015 ruang yang terbuka (kosong) yang menjadi tempat bagi hadirnya ciptaan. Kedua, huruf (U) yang membuat mulut seolah membentuk simbol union ( ), simbol ini diasumsikan sebagai “saat pemeliharaan”. Dan yang ketiga, huruf (M) atau jika diguling ke kiri akan membentuk simbol jumlah (Σ), bentuk simbol ini sama dengan simbol (=), membentuk mulut tertutup rapat yang mengandung makna sebagai kondisi berakhirnya sesuatu, penutup, atau peleburan. Ketiga simbol tersebut mengandung hakikat dari Tri Murti (tiga manifestasi Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur), mewakili seluruh manifestasiNya. Tidak ada kata-kata di dunia dalam bahasa apapun yang dapat mewakili seluruh manifestasi Tuhan melebih dari kata AUM (Donder, 2010:36, 2013:60). Nir-saguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Semipribadi (C) Wilayah ketiga dari peta wilayahwilayah pengetahuan ketuhanan (teologi) seperti terlihat pada (Gbr. 2) di atas adalah wilayah yang ditunjukkan oleh daerah (C) terdiri dari wilayah (C1 dan C2). Wilayah irisan antara wilayah teologi Nirguna Brahma (A) dan wilayah teologi Saguna Brahma (E). Sehingga wilayah ini dapat disebut sebagai wilayah perpaduan antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma. Wilayah teologis ini dapat disebut sebagai wilayah semi antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma atau dapat disebut sebagai wilayah teologi Nir-saguna Brahma atau wilayah yang non-rasional tetapi dapat dideskripsikan secara rasional. Deskripsi ini termasuk dalam kawasan Tuhan yang tidak dapat dibayangkan, namun karena kebutuhan manusia, maka penjelasanpenjelasan di wilayah Saguna Brahma dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat deskripsi dan argumenasi teologi Nirguna Brahma (Donder, 2010:35). Dalam hal ini manusia boleh memahami KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... Tuhan melalui atribut-atribut nama, warna, dan wujud sesuatu. Apapun nama yang ditujukan kepada Tuhan adalah simbol sekaligus bentuk, paling tidak dalam bentuk kata-kata. Chandra Bose (dalam Donder, 2010:37:) dalam karyanya yang berjudul The Call of Veda mengatakan bahwa nama Tuhan dalam pikiranpun adalah suatu simbol yang sama esensinya dengan gambar atau patung. Sesungguhnya teologi dari semua agama berada pada wilayah teologi ini. Jika saja hakikat teologi seperti ini dipahami oleh para pemeluk agama, maka tidak akan ada pertengkaran atau pelecehan agama oleh siapapun hanya karena perbedaan nama Tuhan yang dipujaNya. Saguna Brahma, Wilayah Ketuhanan Berperibadi (D) Pengetahuan Donder (2010:38) menguraikan bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh teologi Barat sebagai teologi monotheisme berada pada wilayah teologi Saguna Brahma ini. Dalam monotheisme Barat ini, Tuhan dibayangkan sebagai laki-laki yang berada jauh (transendent) di suatu tempat yang disebut sorga. Dari tempat yang jauh itu, Tuhan menguasai dan mengurus alam semesta berserta seluruh ciptaan-Nya. Toynbee (dalam Madrasuta, 2010:17) menyatakan bahwa Tuhan Yang Esa dan transenden terpisah atau berada di luar universum. Selaras dengan Toynbee dalam Hindu, Tuhan sebagai personal God dilukiskan sebagai sosok manifestasi (para Deva) dengan fungsi atau tugas masing-masing sesuai dengan sifatNya. Dalam wilayah teologi Saguna Brahma (D), masih terdapat rasa enggan untuk mengeksplisitkan Tuhan yang personal sebagai yang benar-benar personal, karena di dalamnya masih ada berbagai pertimbangan termasuk juga memasukkan unsur Nirguna Brahma. 31 Wilayah Saguna Brahma, Tuhan Berperibadi (E) Di wilayah-wilayah teologis, maka teologi Saguna Brahma (E) atau teologi yang mengasumsikan Tuhan menggunakan berbagai macam atribut adalah wilayah teologi yang paling mudah untuk di dekati oleh nalar manusia. Nalar, atau akal menjadi sangat penting dan perlu dihargai (Donder, 2010:39). Suyono (2008:157) dalam Reformasi Teologi menyatakan bahwa ilmu Kalam (Teologi Islam) sejak awal berciri rasional-dialektis. Karena itu teologi Islam mampu berdialog dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Abduh (dalam Suyono, 2008:171) menyatakan bahwa dalam Risalat, akal diakui sebagai kekuatan atau daya yang dapat membedakan manusia dengan mahluk lain. Dengan akal manusia dapat mengetahui baik hal-hal konkrit di alam ini yang harus terus diselidiki, dengan itu bisa menggapai keyakinan adanya Sang Pencipta maupun hal-hal yang abstrak seperti sifat-sifat Tuhan. Suyona (2008:172) menguraikan bahwa akal yang dimaksudkan di sini adalah akal yang berada pada derajat tinggi, bukan akal orang-orang awam. Tingkatan akal tertinggi yang mendapat limpahan dari Tuhan bisa menjadi pendukung dan penopang agama yang paling kokoh dan merupakan sumber keyakinan bagi iman yang benar. Sesuai sifat filsafat yang mengandalkan akal secara radikal, maka dalam filsafat Ketuhanan juga ada banyak cara melihat Tuhan. Uraian Suyono dan Santoso penting dirujuk pada tulisan ini untuk menunjukkan bahwa keanekaragaman teologi di antara berbagai agama adalah suatu keniscayaan karena keanekaragaman itu lahir dari kemampuan akal manusia yang berbedabeda dalam menggambarkan yang transenden. Sehingga keanekaragaman teologi dalam satu agama juga merupakan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 32 I KETUT DONDER suatu keniscayaan. Perbedaan teologi itu lahir dari tantangan nyata yang dialami oleh komunitas umat beragama. Dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan teologis yang dialami oleh umat beragama di berbagai tempat, ruang, dan waktu yang berbeda maka lahirlah perbedaanperbedaan teologi (Gbr.1 dan Gbr.2). Hal ini dapat menjelaskan keberadaan bermacam-macam teologi mulai dari praanimisme hingga monoteisme semuanya itu berguna bagi manusia. Semua bentuk teologi sebagai jawaban atas persolan teologis yang pada akhirnya dapat dikonsumsi oleh umat manusia sesuai dengan situasi dan kondisi atau perspektif tempat, ruang, dan waktu. Karena itu para tokoh umat harus menjadi teladan dalam menghargai perbedaan konsep teologis sesuai sloka Bhagavadgita III.21 dan Bhagavadgita III.26 (Krishna, 2015:163, 166). Wilayah Tuhan Berperibadi (F) Wilayah teologi Personal God (F) sebagaimana ditunjukkan pada Gbr.1 dan Gbr.2 di atas yang terhubung dengan kotak-kotak agama relevan dengan tesis Schuon tentang esoteris dan eksoteris. Hal itu menunjukkan bahwa setiap agama memiliki teologi sendiri (Donder, 2010:43). Objek teologi semua agama adalah sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, perbedaannya terletak pada prosedur epistemologisnya. Seharusnya setiap teologi agama sebagai sebuah ilmu pengetahuan ilmiah tidak membenturkan prosedur epistemologi yang memang berbeda. Sebuah perspektif pasti akan berbeda dengan perspektif yang lainnya. Hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah bahwa apapun pengetahuan teologi itu, harus bermanfaat sebesar-besarnya dalam mewujudkan rasa damai dan bahagia dalam kehidupan umat manusia. Itulah aksiologi yang terpenting dari teologi. HARMONI Mei - Agustus 2015 Berdasarkan uraian di atas sangat jelaslah bahwa ontologi atau objek material teologi adalah Tuhan. Teologi berhadapan dengan objek yang sulit dideskripsikan, yaitu objektif yang bersifat melampaui realitas (super-realitas) atau nirguna. Walaupun demikian manusia dengan segenap akalnya berupaya agar dapat memuja Tuhan secara sungguhsungguh, maka manusia mencetuskan ide-ide metodologi yang dituangkan dalam prosedur teologi. Melalui prosedur tersebut Tuhan Yang Maha Abstrak atau Objek Yang Melampaui Realitas (superrealitas), direalisasikan melalui simbolsimbol yang berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang ada pada-Nya (saguna). Dengan demikain, Tuhan Yang Tak Terbatas, diberikan batasan-batasan tertentu demi kebutuhan manusia agar umat manusia dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan. Teologi apapun yang lahir melalui prosedur epistemologis sesuai dengan pandangan setiap agama adalah hal mulia karena teologi itu sangat membantu umat manusia dalam mewujudkan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan Yang Tak Terbatas tidak mudah dilaksanakan oleh manusia yang terbatas (Bhagavadgita XII.5), sebab para dewa dan para maharsi sekalipun tidak mengenal Tuhan dalam arti yang sebenar-Nya (Bhagavadgita X.2) sebagaimana kedua sloka Bhagavadgita tersebut telah dikutif di atas. Jadi kehadiran Tuhan dalam Saguna Brahma bersifat metodologis. Walaupun Tuhan dalam dimensi Saguna Brahma bersifat metodis, namun di dalamnya terdapat semua kebenaran absolut ‘mutlak tak terbantahkan’. Dalam masyarakat Hindu Bali, Teologi Saguna Brahman ini dimplementasikan dalam bentuk ritual yang beraneka macam, seperti ritual Labuh Gentuh (Sukabawa, 2014) bahkan ritual Tantik Ngerehang Barong (Subagia, 2015) dan berbagai ritual lainya seperti upacara pemujaan pada berbagai KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... manifestasi Tuhan yang diekspresikan kepada segmen-segmen alam, termasuk kurban binatang ataupun animal sacrifice (Donder, 2012). Penutup Agama Hindu sebagaimana juga agama-agama lainnya, menyembah Tuhan Yang Maha Esa, persoalan pokok yang membedakan antara Hindu dan agamaagama lainnya adalah bahwa secara garis besarnya Hindu memiliki dua macam teologi, yaitu Teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang membahas tentang Tuhan yang tidak dapat disamakan dengan apa saja. Teologi jenis pertama ini bukan ditujukan kepada umat biasa. Teologi ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan spiritual yang mapan seperti para rsi, yogi atau para sufi. 33 Dunia ini tidak hanya dihuni orang-orang yang mapan pengetahuan spiritualnya, tetapi juga orang-orang biasa. Teologi Saguna Brahman adalah teologi yang cocok untuk umat manusia pada umumnya. Teologi ini membolehkan manusia untuk membayangkan Tuhan Yang Tak Terbayangkan. Berdasarkan konsep Teologi Saguna Brahman inilah kemudian muncul konsep manifestasi Tuhan dan munculnya simbol-simbol religius untuk membantu manusia dalam mengatasi kesulitan membayangkan Tuhan. Menyadari adanya dua konsep teologi di atas, para tokoh agama harus menjadi teladan dalam menghargai perbedaan teologi setiap agama. Sikap ini penting karena apapun dilakukan oleh para tokoh akan diikuti oleh masyarakat dan bahkan oleh dunia. Daftar Pustaka Amin, M. Darori. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti dalam Kesusastraan Islam Kejawen. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011 Bose, A.C. The Call of Vedas. terj. I Wayan Maswinara. Surabaya: 2005 Donder, I Ketut. Panca Dhatu – Atom, Atma dan Animisme. Surabaya: Paramita, 2004 Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Mengenal Agama-Agama. Surabaya: Paramita, 2010. Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Teologi Sosial Perspektif Hindu. Surabaya: Paramita, 2013. Donder, I Ketut. ”Logical Interpretation of Some Permofming Hindu Rituals.” Thesis Philosophy Doctor. India: Department of Sanskrit, Faculty of Arts, Rabindra Bharati University Kolkata, 2013. Donder, I Ketut. Brahmavidya Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita, 2006. Donder, I Ketut. Teologi – Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita, 2010. Donder, I Ketut. ”Agama dan Taman Bunga yang Indah,” Majalah Media Hindu, Februari 2015, hal.46-47. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 34 I KETUT DONDER Donder, I Ketut. “The Essence of Animal Sacrifice in Balinese Hindu Ritual: Discourse Around Theological, Philosophical, Mythological, Ritual and Scientific Phenomenna” International Journal Multidisciplinary Educational Recearchn, Vol. 1, Issue 4, September 2012 p.1-27. Donder, I Ketut. ”Pemikiran Swami Vivekananda Tentang Pluralisme Agama-Agama,” Majalah Media Hindu, September 2011, hal. 32-33. Donder, I Ketut.”Umat Hindu Mutlak Harus Memahami Teologi Hindu,” Majalah Media Hindu, September 2008, hal.22-23. Jelantik, Ida Ketut. Geguritan Sucita. Surabaya: Paramita, 1982 Krishnan, Anand, Bhagavad Gita Bagi Orang Modern. Cibubur: Centre for Vedic and Dharmic Studies, 2015 Krishnan, Anand. Dvipantara Dharma Sastra-Sarasamuscaya, Slokantara, Sevaka Dharma. Cibubur: Centre for Vedic and Dharmic Studies, 2015 Madrasuta, Ngakan Made. Tuhan Agama & Negara. Jakarta: Media Hindu, 2010 Pandit, Bansi. The Hindu Mind – Fundamentals of Hindu Religion and Philosophy for All Ages. New Delhi: New Age Books, 2009 Pereira, Jose, Teologi Hindu. Ed. I Ketut Donder. Surabaya: Paramita, 2012. Prasoon, Shikant. Hinduism Eternal Human Religion – Clarified and Simplified. Delhi: Hindologi Book, 2009 Puja, I Gde. Bhagavadgita. Surabaya: Paramita, 2013 Puja, I Gde. Teologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya: 1999. Radhakrishnan, S. The Bhagavadgita. India: HarperCollin Publisher, 2014 Said, Edward W. Orientalisme – Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: 2010 Śa karācārya. Brahma Sūtra Bhā ya. Kolkata: Advaita Ashram,2011: Saraswati, Swami Prakshānanda. Kebenaran Sejarah dan Agama Hindu, terj. I Ketut Donder. Surabaya: World Hindu Parisad dan Paramita, 2014. Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987. Subagia, I Made. “Ritual Tantrik Ngerehang Barong dan Rangda Di Desa Pakraman Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”, Disertasi Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2014. Sudharta, Tjok Rai dan I Wayan Sukabawa, ”Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh Di Jalan Tol Bali Mandara Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”,Disertasi Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2015 Suka Yasa, I Wayan. “Rasa: Daya Estetik – Religius Geguritan Sucita”, Disertasi Doktor Linguistik. Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana, 2010. Suka Yasa, I Wayan. “Omkara Pranawa: Aksara, Tattva, Sastra”, Penelitian Dosen Program Doktor Universitas Hindu Indonesia, 2015. HARMONI Mei - Agustus 2015 KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI... 35 Suyono, H. Yusuf, Reformasi Teologi Muhammad QAbduh Vis ậ Vis Muhammad Iqbal. Semarang: RaSAIL, 2008 Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Hindu. Surabaya: Paramita, 2006 Wisasmaya, Ida Komang. Geguritan Sucita-Subudi Karya Besar Ida Ketut Jelantik. Surabaya: Paramita, 2012 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 36 NURMAN KHOLIS PENELITIAN Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Cirebon Nurman Kholis Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015 dan direvisi 15 April 2015 Abstract Abstrak This research applied a qualitative research with historical approach. Data collection techniques were interviews and observation. The purposes of this research were as follows: 1). revealing Dewi Welas Asih Temple development 2). explaining the role of the Dewi Welas Asih Temple in relation between Buddhist-Tionghoa and Muslims in Cirebon nowadays. The result of this research could be concluded that: 1). Buddhism came and grew in Indonesian archipelago since the 5th century until the 15th century. Over the next five centuries, Buddhist civilization dimmed and then rose again after the formation of Republic of Indonesia in 1945; 2). The historical traces of Buddhism at past was marked by establishment of Dewi Welas Asih Temple in 1595; 3). The relationship between Buddhist-Tionghoa and Muslims was harmonious. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sejarah. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Adapun tujuan penelitian i.ni adalah sebagai berikut: 1). Mengungkapkan perkembangan Vihara Dewi Welas Asih; 2). Mengungkapkan peranan Vihara Dewi Welas Asih dalam relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Kota Cirebon pada masa kini. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1). Agama Buddha masuk dan berkembang ke Nusantara sejak abad ke-5 hingga abad ke-15. Selama sekitar lima abad berikutnya, peradaban Buddha meredup dan kemudian bangkit kembali setelah terbentuknya Negara Kesatuan RI pada tahun 1945; 2). Jejak sejarah perkembangan agama Buddha pada masa silam salah satunya terdapat di Vihara Dewi Welas Asih yang diperkirakan berdiri pada tahun 1595; 3). Mengenai relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon, hubungan mereka berjalan harmonis dan nyaris tidak pernah ada konflik. Keywords: Harmony, Tionghoa Ethnic, Buddhist-Muslim Relations Pendahuluan Berbagai agama telah berkembang di nusantara sejak berabad-abad lamanya. Ada yang tumbuh berkembang, ada yang hilang, dan ada yang telah redup HARMONI Mei - Agustus 2015 Kata kunci: Harmoni, Etnis Tionghoa, Relasi Umat Buddha-Muslim kemudian hidup kembali, sebagaimana halnya agama Buddha yang pernah mengalami kemunduran seiring jatuhnya Kerajaan Majapahit pada 1429. Selama sekitar lima abad, peradaban Buddha VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON meredup dan kemudian bangkit kembali setelah terbentuknya Negara Kesatuan RI pada 1945 (http://www.buddhayana. or.id, diakses 18 Agustus 2014). Kebangkitan agama Buddha di era modern ini, yakni pada masa masa akhir penjajahan, telah dirintis sejak berdirinya Perhimpunan Theosofi yang mempelajari inti kebijaksanaan dari semua agama. Melalui kelompok ini pula situs-situs peninggalan umat Buddha pada masa silam seperti Candi Borobudur dapat ditemukan dan direkonstruksi (Darma Suryapranata. Wawancara, 16 April 2014). Kelompok ini pun mengundang seorang Bikkhu dari Srilangka yaitu Nerada Thera untuk berceramah di berbagai kota di Indonesia pada 1934. Pada tahun ini pula muncul sebuah perkumpulan bernama Sam Kauw yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay untuk mempelajari tiga ajaran, yaitu Buddha, Konghuchu, dan Tao. Upaya membangkitkan kembali agama Buddha kemudian muncul melalui penyelenggaraan Waisak secara besarbesaran di Candi Borobudur pada 1953. Setahun kemudian, Ashin Jinarkkhita ditahbiskan sebagai Bikkhu pertama yang merupakan orang asli orang Indonesia. Seiring perkembangan tersebut, vihara pun semakin banyak didirikan oleh umat Buddha di Indonesia (http://www. buddhayana.or.id, diakses 18 Agustus 2014). Dalam perkembangannya, mengingat sebagian penganutnya berasal dari etnis Tionghoa, tempat ibadah umat Buddha ini selain disebut vihara juga ada yang menyebutnya dengan sebutan kelenteng. Namun sejak 1965, istilah, pernak-pernik, maupun arsitektur yang bercirikan Tionghoa dilarang berkembang di Indonesia. Rumah ibadah penganut Konfusianisme dan Taoisme yang disebut Bio atau Miao pun harus menambahkan kata vihara atau cetiya di depan nama kelenteng atau berganti nama 37 dengan menggunakan bahasa Sanskerta atau Pali (Sulani, 2013). Selain perubahan-perubahan tersebut, Pemerintah Orde Baru melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa yang dianggap sebagai budaya asing. Ini terlihat dari isi Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng bahwa tidak dibenarkan bangunan keagamaan kepercayaan tradisional Tionghoa menggunakan sebutan vihara atau cetya. Bahkan, Walubi pun saat itu menyatakan Imlek bukan hari raya agama Buddha (http://www.buddhayana.or.id, diakses 18 Agustus 2014). Namun, sejak munculnya Orde Reformasi, agama Buddha yang juga dilestarikan oleh Etnis Tionghoa di Indonesia semakin berkembang. Hal ini membuat komunitas Buddha-Tionghoa semakin mudah menampilkan simbolsimbol keagamaan yang pada gilirannya budaya komunitas ini dapat diterima masyarakat luas. Salah satu simbol tersebut adalah Vihara Dewi Welas Asih yang diperkirakan telah berdiri pada akhir abad ke-16 yakni sekitar tahun 1595 di Cirebon. Realitas ini tentu menarik untuk dilakukan pengkajian terutama mengenai hubungan antara komunitas BuddhaTionghoa dan Muslim di Cirebon yang lebih menampilkan harmoni daripada konflik. Dengan demikian, berkenaan dengan pola komunikasi dan interaksi antarkomunitas beragama, model kajian yang dapat dilakukan adalah kajian yang tidak hanya terfokus pada konflik kekerasan bernuansa agama, tetapi juga seimbang dalam hal potensi integrasi yang ada dalam komunitas agama tersebut (Suprapto, 2013: 4). Hal ini tentu dihubungkan dengan relevan jika perkembangan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 38 NURMAN KHOLIS agama di Cirebon khususnya mengenai fakta sejarah adanya salah seorang istri Sunan Gunung Jati bernama Ong Tin yang berasal dari Tionghoa. Sebagian pengikutnya bahkan ada yang tetap beragama Buddha dan ada yang memeluk Islam (Lihat Laksmiwati, 2013). Oleh karena itu, selain pengkajian mengenai relasi antar komunitas tersebut, menarik juga untuk mengetahui bagaimana Vihara Dewi Welas Asih berkembang dari masa ke masa hingga dapat bertahan dan bagaimana tempat sembahyang tersebut kini difungsikan. Kedua hal ini perlu diungkap sehubungan dengan hubungan antara komunitas Tionghoa dengan komunitas lain di Indonesia terutama sebelum era reformasi 1998 yang lebih banyak membicarakan konfliknya daripada integrasinya. Perbincangan soal konflik terkait hubungan umat Buddha dengan umat Islam pada skala regional di Asia Tenggara juga terjadi ketika pembicaraan mengenai pemeluk agama Buddha lebih banyak soal kekerasan umat Buddha kepada umat Islam di sana. Padahal di sisi lain hubungan umat Buddha dengan umat Islam di Indonesia sebagai umat mayoritas berlangsung dengan harmonis, namun tidak banyak diketahui dan menjadi perbincangan masyarakat luas di tingkat nasional, regional, dan internasional. Berdasarkan paparan dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1). Mengungkapkan perkembangan Vihara Dewi Welas Asih; 2). Mengungkapkan peranan Vihara Dewi Welas Asih dalam relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Kota Cirebon pada masa kini. Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi sosial. Menurut M. Atho Mudzhar (dalam Suprapto, 2013: 39), integrasi sosial merupakan proses atau potensialitas yang mendorong HARMONI Mei - Agustus 2015 ke arah proses yang mana komponenkomponen dua kelompok sosial atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan antara kelompok-kelompok yang ada. Memperjelas pengertian tersebut, Suprapto menyatakan bahwa integrasi sosial adalah proses interaksi sosial yang berlangsung menuju kesatuan sosial. Proses ini dapat terjadi ketika setiap anggota kelompok memberi pengakuan dan juga menerima anggota kelompok yang berbeda serta memberi kesempatan kepadanya untuk berpartisipasi dalam interaksi yang lebih luas (Suprapto, 2013: 40). Fungsi semacam ini terdapat dalam suatu agama yang memiliki fungsi mengintegrasikan sistem sosial pada bagian-bagian yang terpisah dan menjadikannya suatu kesatuan. Suatu kesatuan dimaksud tentu bukan dalam konteks isi dan doktrin dan keyakinan, melainkan pada hal kerja dan fungsi yang dijalankannya suatu agama bagi suatu sistem sosial. Dengan demikian, dalam kajian ini, hal yang menarik bukan terletak pada perbedaan karakteristik keyakinan dan ritual suatu agama, melainkan pada hal ihwal kerjanya yakni berupa fungsifungsi integratif yang dijalankan semua agama bagi sistem sosialnya (Jones, 2010: 57). Oleh karena itu, minat para ahli sosiologi terhadap efek agama daripada keyakinan konstituennya dikarenakan beberapa hal. Pertama, sistem keyakinan keagamaan banyak yang bercampur bersama sehubungan dengan kesamaan fungsi integratif yang dijalankan. Kedua, sistem keyakinan banyak yang sangat berbeda, tanpa acuan kepada tuhan atau dewa atau roh halus atau kehidupan sesudah mati, yang eksis setara dengan agama. Hal inilah yang memperjelas pengertian tentang karakteristik utama dari eksplanasi fungsional (Jones, 2010:58). VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON Dengan demikian, bagi fungsionalis, konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja dari tindakan dan tindakan manusia perlu dilakukan identifikasi terhadap konsekuensikonsekuensi tersebut. Meskipun tindakan ini tidak disadari oleh warga masyarakat bersangkutan bahwa tindakan tersebut mengandung efek fungsional yang sangat penting bagi sistem sosial. Dalam upaya membedakan kedua tingkat analisis tersebut, kaum fungsionalis pada umumnya mengacu kepada fungsi “manifes” dari instuisi atau yang disadari oleh warga masyarakat dan fungsi “laten” atau yang tidak disadari oleh masyarakat. Fungsi-fungsi yang tidak disadari ini menurut para fungsionalis justeru lebih penting untuk diidentifikasi guna memahami fungsi dan kebertahanan sistem sosial. Karakteristik dari analisis fungsionalis sebagaimana dimaksud meliputi: 1). Perhatian lebih difokuskan pada efek suatu aktivitas atau keyakinan, daripada unsur-unsur dasar penyusunnya, sehingga lebih memperhatikan kerja dari suatu aktivitas atau keyakinan tersebut daripada unsur-unsur aktivitas atau keyakinan; dan 2). Penekanan pada kebutuhan untuk keluar dari eksplanasi warga masyarakat yang dikaji mengenai aktivitas mereka dalam upaya mengungkapkan signifikansi fungsional yang sesungguhnya dari keyakinan dan perilaku yang dilembagakan (Jones, 2010: 59). Kajian tentang Vihara Dewi Welas Asih telah dilakukan oleh peneliti Belanda, J.L.J.Y. Ezerman dan hasil penelitiannya dituangkan dalam bahasa Belanda Beschrivjing van den Koan-IemTempel “Tiao-Kak Sie” Te Cheribon” yang diterbitkan pada tahun 1918. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Kuno oleh S. M. Latief dengan judul “Perihal Kelenteng Tiao Kak Sie di Tjirebon” dan kemudian diterjemahkan 39 ke dalam bahasa Indonesia oleh Iwan Satibi (Ie Tiong Bie) pada 2003 dalam judul Catatan Mengenai Kelenteng Koan Iem “Tiao-Kak-Sie”. Buku karangan Ezzerman tersebut menurut Iwan Satibi sangat berharga untuk diketahui generasi sekarang. Sebab, menurutnya generasi orang-orang Tionghoa saat ini sudah tidak mengerti bahasa Belanda dan bahasa Melayu kuno. Melalui penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, Iwan berharap agar buku ini dapat disebarkan secara cumacuma kepada semua orang yang berminat untuk membaca dan mempelajarinya. Namun demikian, buku tersebut hanya mendeskripsikan kondisi Vihara Dewi Welas Asih seabad yang lalu dan abad-abad sebelumnya. Sehingga untuk mengetahui perkembangan vihara tersebut pada masa sekarang dalam kaitannya dengan kerukunan antarumat beragama, maka kajian tentang perkembangan dan peranan vihara ini perlu dilakukan kembali. Dengan demikian, informasi dan hasil telaah atas perkembangan Vihara Dewi Welas Asih sejak awal didirikan hingga fungsinya dalam relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Cirebon pada saat ini dapat diketahui secara lebih luas. Metode Penelitian Dalam melihat dan melakukan analisis terhadap perkembangan Vihara Dewi Welas Asih dari masa ke masa, maka dalam penelitian ini digunakan sebuah pendekatan sejarah yakni sebuah metode penelitian yang berisi seperangkat aturan dan prinsip secara sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui: 1). Pengumpulan objek Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 40 NURMAN KHOLIS yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan (heuristik); 2). Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik (kritik atau verifikasi); 3). Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan otentik (auffassung atau interpretasi); dan 4). Menyusun kesaksian yang dapat dipercaya menjadi suatu penyajian yang berarti (Darstellung atau historiografi (Abdurahman, 1999: 43-44). Selanjutnya, untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana vihara ini difungsikan dalam relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Kota Cirebon dilakukan melalui wawancara dengan berbagai informan dan observasi ke tempat sembahyang ini selama 7 hari yakni sejak tanggal 15 hingga 21 April tahun 2014. Hasil dan Pembahasan Sejarah dan Perkembangan Vihara Dewi Welas Asih hingga Abad ke-20 Vihara Dewi Welas Asih ini dahulu lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng Tiao Kak Sie. “Sie” artinya rumah orang beribadat (tempat bertapa). “Tio” berarti air pasang (air naik), dan “kak” berarti bangun dari tidur atau membangunkan atau membawa kepada akal yang benar. Dengan demikian, Kelenteng Tiao Kak Sie mempunyai dua arti. Pertama, kelenteng merupakan tempat yang dibangunkan oleh air pasang. Kedua, kelenteng merupakan tempat akal bertambah (Nur, 2006: 102). Vihara ini diperkirakan berdiri pada 1595 M, namun pendirinya tidak diketahui dengan pasti. Pada masa-masa awal pendiriannya, banyak masyarakat Tionghoa di Kampung Srindil, Sembung dan Talang ditugaskan untuk membantu armada Kekaisaran Ming dari Tiongkok untuk menyediakan perbekalan kapal, perdagangan dan hubungan diplomatik dengan Pulau Jawa. Kelenteng ini dahulunya dibuat dengan memakai HARMONI Mei - Agustus 2015 perhitungan Hong Sui. Di Tiongkok, kelentengnya dibangun menghadap ke arah Selatan disebabkan di Selatan dari Tiongkok merupakan daerah yang selalu bercahaya sepanjang tahun (Nur, 2006: 102). Catatan tertua lain berkenaan dengan tahun pendirian Vihara Tiao Kak Sie yaitu tahun 1658. Hal ini berdasarkan papan bertulis atau “Pai” yang berisi pepatah singkat yang ditujukan kepada para Dewa untuk penghormatan. Biasanya pada Pai tertulis nama pemberi dan tahun pemberian Pai itu. Pai tersebut terletak di atas altar samping pada dinding belakang (Nur, 2006: 103). Pada salah satu Pai tertulis: “Khanghi, tahun Mo-sut, pada musim Chiu (musim rontok) pada hari yang baik ini disumbangkan oleh Tan Kok Liong”. Pada pai yang lainnya terdapat tulisan :“Khang –hi, tahun Mo sut, bulan ke tujuh disumbangkan pada hari yang baik oleh Liem Ciok Tiong”. Khang-hi adalah nama seorang kaisar yang memerintah Tiongkok dan sezaman dengan Raja Lodewijk di Eropa. Nama tahun diambil dari siklus tahun Tionghoa yang lamanya 60 tahun. Adapun tahun-tahun renovasi vihara ini yang tercatat adalah tahun 1791, 1829, dan 1889 (Ezerman, 2003: 6). Catatan mengenai renovasi yang terjadi di tahun 1791 dapat dibaca pada dua bua batu terukir yang terletak pada dinding kanan dan kiri pada ruang utama depan. Sedangkan mengenai renovasi kedua dan ketiga terdapat pada dua papan kayu lepas yang diletakkan di serambi beratap tetapi tidak tertutup. Serambi itu ada dibelakang kelenteng yang sebenarnya. Tulisan papan ini merupakan pertanggungjawaban mengenai keuangan pembangunan dan daftar nama para donator Pada pertanggungjawaban pengeluaran uang tahun 1791 diperoleh informasi bahwa biaya renovasi menggunakan mata uang VOC. Di dalamnya dengan jelas dan terperinci VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON ditulis jumlah material dan jumlah hari kerja. Jumlah hari-hari kerja orang Tionghoa adalah 1688 hari, sedangkan jumlah hari kerja orang pribumi adalah 1518 hari (Ezerman, 2003: 7). Pada saat Ezerman menuliskan hasil penelitiannya pada 1918, vihara ini berada pada perbatasan perkampungan Tionghoa. Bangunan tersebut dikelilingi oleh kantor-kantor dan gudang-gudang. Lalu lintas pada jalan antara kantor dan perkampungan Tionghoa pun padat. Selain itu, juga terdapat jalan kereta api yang terletak dekat pintu gerbang, dokar berlalu lalang, pedati yang ditarik oleh sepasang kerbau berjalan dengan pelanpelan. Karena itu, sepanjang hari dapat ditemukan di sana perjuangan hidup manusia dan hewan (Ezerman, 2003: 1). Mengenai kata “Sie”, Ezerman menjelaskan arti kata “Sie” sebagai tempat tinggal para rohaniwan. Jika dikaitkan dengan Koan Iem, “Sie” berarti vihara. Oleh karena itu, pada vihara-vihara yang besar di Pulau Pinang atau Singapura dan terutama di Tiongkok banyak rohaniwan yang bertempat tinggal di sana. Dengan demikian vihara dapat dikatakan sebagai sebuah asrama rohaniwan. Namun, di vihara di Cirebon, hanya ada seorang Hwee Shio yang memimpin kebaktian di samping bertugas sebagai penunggu vihara. Sedangkan “Tiao” berarti air laut yang sedang naik atau pasang dan “Kak” berarti bangun dari tidur atau membangunkan/membawa ke arah pencerahan yang benar. Dengan demikian, Vihara Tiao Kak Sie bermakna “Vihara di mana gelombang pasang membangunkan kita” atau “Vihara di mana pencerahan kita akan bertambah”. Menurutnya, arti yang kedua ini merupakan pandangan yang terdapat dalam agama Buddha (Ezerman, 2003: 4). Selanjutnya, terkait dengan elemen lain yang terdapat pada bangunan Vihara Tiao Kak Sie, Ezerman pernah menyaksikan kunjungan Gubernur 41 Jenderal Idenburg di Semarang pada sekitar tahun 1910/1911. Penduduk pribumi, orang Eropa dan orang Tionghoa berlomba untuk membuat semacam tugu atau pintu gerbang selamat datang. Tugu selamat datang buatan orang Tionghoa itu terlihat lebih apik dan serasi apabila dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal tugu/pintu gerbang itu hanya terbuat dari bambu dan kertas dengan warna merah disertai dengan aksara Tionghoa. Elemen inilah yang dapat dilihat pada pintu gerbang “Tiao Kak Sie” (Ezerman, 2003: 5). Kondisi Vihara Dewi Welas Asih pada Masa Kini Vihara Dewi Welas Asih saat ini berlokasi di Jl. Kantor No. 2, Kampung Kamiran atau PaTionghoan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Komplek yang berada di kawasan perkantoran dan pemukiman penduduk ini terletak pada koordinat 06º 02‘ 04” Lintang Selatan dan 108º 03’ 135” Bujur Timur. Di sebelah utara vihara ini terdapat Gudang Pelabuhan Pos 2 dan sebelah timur adalah Gudang Pelabuhan Pos 1. Di sebelah Selatan terdapat taman dan Jl. Pasuketan dan di sebelah Barat terdapat Bank Mandiri (Nur, 2006: 103). Vihara ini memiliki bangunan utama seluas 1.600 m2 yang menghadap ke Selatan dan berdiri di lahan seluas 1.857 m2. Adapun komplek tempat ibadah ini terbagi menjadi: Halaman Pertama, Halaman Kedua, Bangunan Utama dan Bangunan Sayap. Bagian depan halaman pertama dibatasi dengan pagar dan gerbang berbentuk Pura Hindu, sedangkan pagar sebelah Barat dan Timur dari tembok. Berikutnya di halaman kedua terdapat bangunan Pat Kwa Ceng (tempat peristirahatan), tempat peribadatan agama Buddha yang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 42 NURMAN KHOLIS disebut Cetya Dharma Rakhita, dua tempat pembakaran kertas dan dua patung singa di halaman depan (Nur, 2006: 103). Di dalam bangunan utama terdiri atas serambi dan ruang utama. Di dalamnya terdapat ruang bagian depan, tengah dan ruang suci utama. Pada dinding sebelah kiri dan kanan pada ruang utama yang berlantai keramik warna merah bata dihiasi gambar. Ia menceritakan bakti seorang anak kepada orang tua, pengadilan, dan penyiksaan terhadap orang-orang berdosa. Masingmasing dinding ruang bagian depan ini juga ditempel prasasti yang menyebutkan nama penyumbang serta tahun pemugaran (Nur, 2006: 103). Tiang pendukung atap vihara ini terdiri atas empat buah, berbentuk segi empat, berwarna merah dan ditempel papan bertuliskan huruf Tionghoa. Sementara plafonnya terbuat dari kayu dan atapnya dari genteng berbentuk pelana yang dihiasi dengan bunga, burung dan daun-daunan. Pada ruang utama bagian depan terdapat altar Dewi Tie Kong, tempat abu, tempat lilin dan tergantung dua lonceng dan satu bedug. Pada ruangan bagian tengah terdapat altar untuk Dewa Hok Tek Ceng Sing (Dewa Bumi), altar untuk Dewa Seng Hong Yah (Dewa Akhirat/Hukum), tempat abu, dua pembakaran kertas dan dua gentong abu (Nur, 2006: 104). Berikutnya pada ruang suci utama memiliki enam tiang, yaitu dua tiang bulat warna merah bergambar naga dan empat tiang bulat merah polos. Dewadewa yang dipuja diletakkan di dalam ruangan terbuat dari kayu dan terletak di atas pondasi. Dewa utama adalah Kwam Im Pou Sat dengan pengiringnya, Dewa Thian Siang Seng Bo (Dewa Laut/ Pelayaran) berserta pengiringnya dan Dewa Kwam Te Kun (Dewa Perang). Di depan masing-masing dewa terdapat meja altar dan di atasnya terdapat tempat abu dan lilin (Nur, 2006: 104). HARMONI Mei - Agustus 2015 Pada bangunan sayap sebelah timur terdapat altar Dewa Lak Kwam Yah (Dewa Dagang), altar Dewa Couw Su Kong (Dewa Dapur), altar dewa Hian Thian Siang Tie dan pengiringnya, Dewa Sam ong Hu dan Kong Tik Coen Ong, gudang, dua ruang kosong dan aula yang dipergunakan untuk ibadat agama Buddha Mahayana. Di depan gudang terdapat jangkar dengan tinggi 3 meter yang diduga dibawa oleh orang Tiongkok yang datang dengan naik kapal (Nur, 2006: 104) Sementara pada bangunan sayap belakang terdiri atas tempat air untuk bersuci, gudang, ruang perpustakaan, altar Hian Thian Siang Tie (Dewa Langit), altar Tjin Fu Su (kumpulan dewa-dewa) dan kantor sekretariat. Pada bangunan sayap sebelah Barat merupakan ruangan untuk belajar kitab agama Buddha. Di bangunan sayap ini memiliki pintu di depan (Selatan) yang merupakan pintu samping di sebelah Barat bangunan utama. Khusus untuk bangunan sayap belakang, altar Hian Thian Siang Tie (Dewa Langit) mempunyai atap tersendiri, berbentuk pelana, penutup atap dari genting. Ujung bubungan atap berbentuk lengkung ke atas (Nur, 2006: 105) Pada gerbang kedua vihara ini terukir nama “Tiao Kak Sie” (Ezerman, 2003: 10). Kedua panel yang mendampingi nama ini, merupakan kiasan dari tiga hal yang sangat disukai oleh orang di negara Tiongkok, ialah umur panjang, kekayaan dan anak. Umur panjang itu digambarkan sebagai orang-orang tua yang gagah perkasa, kekayaan digambarkan pada pakaian yang bagus-bagus, dan anakanak digambarkan sebagaimana biasanya anak-anak. Pakaian yang dikenakan oleh orang-orang ini adalah busana Tiongkok kuno, sebagaimana pada pertunjukan sandiwara Tionghoa kuno. Di dalam vihara tersebut, busana semacam ini dapat ditemui juga pada berbagai lukisan yang ada. Pada lukisan-lukisan busana itu ternyata lebih bagus daripada busana VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON yang dipergunakan pada masa negara Tiongkok diperintah oleh raja-raja Tartar (Ezerman, 2003: 5-6). Selain itu, terdapat empat buah panel yang diletakkan tidak terlalu tinggi dan berlukiskan bunga-bunga. Hal ini merupakan simbol-simbol empat musim di Tiongkok. Bunga yang dilukiskan itu yaitu bunga Persik, bunga Teratai (Lian Hwa), bunga Btan (Bwee Hwa) dan bungan Chrysant (Kiok Hwa). Bunga-bunga tersebut melambangkan musim dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur. Karena itu, lukisan bunga-bunga ini sangat disukai oleh orang-orang Tionghoa. Mereka juga seringkali melihat lukisan-likisan pada keramik, border, ukiran kayu, dan lukisan-lukisan lainnya (Ezerman, 2003: 5). Peran Keagamaan, Sosial, dan Budaya Vihara Dewi Welas Asih Terkait jumlah penganut agama Buddha di Cirebon, penulis tidak memperoleh data resmi dari Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon sehubungan tidak adanya unit kerja yang menangani agama Buddha di kantor tersebut. Demikian halnya di Kantor Catatan Sipil Kota Cirebon. Sehingga penulis hanya memperoleh informasi tentang perkiraan jumlah tersebut secara tidak resmi dari kedua tokoh agama Buddha yakni Darma Suryapranata dan Ian Siskartedja yang masing-masing menyebut jumlah penganut agama Buddha di Cirebon adalah sekitar 5000-an dan 3000-an umat (Darma Suryapranata dan Ian Siskartedja. Wawancara. 16 dan 17 April 2014). Kemudian terkait ajaran, vihara ini tidak murni dari ajaran agama Buddha dari India karena sudah beradaptasi dengan budaya Tionghoa. Hal ini terjadi karena agama Buddha memiliki toleransi yang besar. Dengan demikian, peradaban yang dibawa oleh umat Buddha seperti 43 bola karet yang menggelinding sehingga pasti ada berbagai unsur budaya yang terbawa, sebagaimana tampilan unsurunsur yang ada pada Vihara Dewi Welas Asih (Sungkono. Wawancara 17 April 2014). Adapun aliran dalam agama Buddha yang berkembang di vihara ini yaitu Theravada, Mahayana, dan Tantrayana (Sungkono. Wawancara. 17 April 2014). Secara umum perbedaan ketiganya dapat ditinjau dari penggunaan patung yakni pada vihara/cetya aliran Theravada hanya terdapat patung Siddharta Buddha Gautama; pada vihara/ cetya aliran Mahayana selain terdapat patung Buddha Matreya (Buddha masa depan), juga patung Dewi Kwan Im dan patung dewa-dewa; dan pada vihara/ cetya aliran Tantrayana yang berasal dari Tibet dapat ditemukan patung-patung berwarna warni dalam sosok Siddharta Buddha Gautama, Buddha Maitreya dan dewa-dewa (Eko Supeno. Wawancara. 21 April 2014). Dalam hal aktivitas keagamaan, Vihara Dewi Welas Asih menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan meliputi sembahyang tahun baru Imlek, sembahyang Hari Tri Suci Waisak, sembahyang Pelimpahan Jasa (Pati Dana), sembahyang Tiong Cio, sembahyang Uposata setiap tanggal 1 dan 15 lunar, dan sembahyang Tiang Cin (Sungkono. Wawancara 17 April 2014). Penganut Buddha sendiri menurut Eko Supeno terdiri dari empat kategori. Pertama, orang mengerti dharma (ajaran Buddha), ber-KTP Buddha dan suka berkunjung ke vihara. Kedua, orang mengerti dharma, tidak ber-KTP Buddha tetapi suka berkunjung ke vihara. Ketiga, orang tidak mengerti dharma, ber-KTP Buddha, tetapi tidak suka ke vihara. Keempat, orang mengerti dharma, ber-KTP Buddha tetapi tidak suka berkunjung ke vihara (Eko Supeno. Wawancara 17 April 2014). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 44 NURMAN KHOLIS Berkenaan dengan kegiatan sosial dan budaya, Vihara Dewi Welas asih juga menyelenggarakan pembagian sembako bagi masyarakat Cirebon yang mayoritas muslim. Selain itu, vihara ini juga memiliki sebuah grup kesenian Barongsai bernama “Singa Mas” dan telah meraih prestasi dalam berbagai kejuaraan, salah satunya yaitu Juara II se-Asia yang diikuti oleh 14 negara. Grup kesenian ini dipimpin oleh Ian Siskartedja, seorang Tionghoa beragama Kristen. Adapun jumlah anggotanya adalah 168 orang dan dipilah menjadi 14 orang dalam satu tim. Peserta grup seni Barongsai tersebut adalah para pelajar di tingkat SLTP dan SLTA yang hampir semuanya beragama Islam. Saat penelitian ini dilakukan, penulis juga melihat dan mendengar Ian mengingatkan salah seorang anggota yang sedang melakukan latihan bernama Ahmad Siddiq agar melaksanakan shalat terlebih dahulu. Toleransi antarpemeluk agama dalam grup seni pertunjukan dari Tionghoa bernuansa Buddha ini, juga ditunjukkan dengan penampilannya dalam berbagai acara di pesantrenpesantren di Cirebon seperti di Babakan Ciwaringin, Buntet, dan Kempek (Ian Siskartedja. Wawancara 17 April 2014). Dengan demikian, relasi pihak Vihara Dewi Welas Asih dengan masyarakat sekitarnya yang mayoritasnya muslim dapat dikatakan berjalan harmonis. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muslim, Kepala Seksi Syariah Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon. Menurutnya, ia belum pernah mendengar adanya konflik. Bahkan masyarakat muslim banyak mendatangi vihara ini salah satunya pada saat kegiatan pembagian angpau (Muslim. Wawancara 17 April 2014). Meskipun demikian, berkenaan dengan mayoritas anggota grup Barongsai ini merupakan pelajar muslim, Eko Supeno dari Pembimas Buddha Kanwil Propinsi Jawa Barat tetap menyarankan HARMONI Mei - Agustus 2015 kepada mereka untuk berhati-hati karena menurutnya, sebelum Barongsai itu dikeluarkan ada ritual dengan menggunakan patung sebagai medianya (Eko Supeno. Wawancara 21 April 2014). Penutup Agama Buddha masuk dan berkembang ke nusantara sejak abad ke-5 hingga abad ke-15. Para penyebar agama ini sebagian beretnis Tionghoa. Selama sekitar lima abad berikutnya, peradaban Buddha meredup dan kemudian bangkit kembali setelah terbentuknya Negara Kesatuan RI pada 1945. Dengan perkembangan tersebut, Komunitas Buddha-Tionghoa pun kemudian membuat berbagai kreasi bernuansa budaya etnisnya termasuk pada tempat ibadah mereka. Sejak tahun 1965, istilah, pernakpernik, maupun arsitektur yang bercirikan Tionghoa dilarang berkembang di Indonesia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah Orde Baru memandang perlu untuk melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha, salah satunya dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa yang dianggap sebagai budaya asing. Namun, sejak munculnya Orde Reformasi, ajaran Buddha yang juga dilestarikan oleh etnis Tionghoa ini semakin berkembang. Jejak sejarah perkembangan agama Buddha pada masa silam salah satunya terdapat di Vihara Dewi Welas Asih yang diperkirakan berdiri pada 1595. Pada masa-masa awal pendiriannya, banyak masyarakat Tionghoa di Kampung Srindil, Sembung dan Talang ditugaskan untuk membantu armada Kekaisaran Ming dari Tiongkok untuk menyediakan perbekalan kapal, perdagangan dan hubungan diplomatik dengan Pulau Jawa. VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON Aliran agama Buddha yang kini berkembang di Vihara Dewi Welas Asih adalah Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Sedangkan aktivitas keagamaan vihara Dewi Welas ini antara lain sembahyang tahun baru imlek, sembahyang Hari Tri Suci Waisak, sembahyang Pelimpahan Jasa (Pati Dana), sembahyang Tiong Cio, sembahyang Uposata setiap tanggal 1 dan 15 lunar, dan sembahyang Tiang Cin. Kemudian berkenaan dengan peran sosial dan budaya, Vihara Dewi Welas asih juga menyelenggarakan pembagian sembako bagi masyarakat Cirebon yang mayoritasnya beragama Islam. Mengenai relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Cirebon dapat dilihat pada kegiatan yang difasilitasi Vihara Dewi Welas Asih melalui grup kesenian Barongsai bernama “Singa Mas”. Grup kesenian yang beranggotakan 168 pelajar SLTP dan SLTA ini mayoritas beragama Islam. Bahkan ekspresi multikulturalisme 45 ini juga ditunjukkan melalui penampilan grup Barongsai dan Liong ini dalam berbagai acara di pesantren-pesantren di Cirebon seperti di Babakan Ciwaringin, Buntet, dan Kempek. Dengan demikian, relasi Vihara Dewi Welas Asih dengan masyarakat sekitarnya yang mayoritasnya beragama Islam, selama ini dapat dikatakan berjalan harmonis dan nyaris tidak pernah ada konflik. Namun, sebagai catatan rekomendasi, Seksi Syariah Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon dan pihak-pihak terkait lainnya perlu memberikan bimbingan kepada para pelajar muslim agar mereka dapat menyadari dan membedakan aspek budaya dan ritual dalam praktik kesenian Barongsai tersebut, mengingat sebelum Barongsai dikeluarkan, terdapat sebuah ritual menggunakan patung sebagai medianya yang perlu dilakukan oleh pelaku seni Barongsai. Daftar Pustaka Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999 Buku Panduan. Musyawarah Nasional IX Majelis Buddhayana Indonesia, 13-15 Desember 2013 Ezerman, J.L.J.Y. Catatan Mengenai Kelenteng Koan Iem “Tiao-Kak-Sie”, Perhimpunan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia, 2003 Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme (Alih bahasa Achmad Fedyani Saifuddin dari Introducing Sosial Theory). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010 Laksmiwati, Dyah Komala. Putri Ong Tin Ni. Yogyakarta: Deepublish, 2013 Nur, Adin Imaduddi (ed.). Potensi Wisata Budaya Kota Cirebon. Kota Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2006 Sulani, Puji. Model Arsitektur dan Pemanfaatan Cetiya Dewi Samudera Singkawang. Laporan Hasil Penelitian. Jakarta: Puslitang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2013 Suprapto. Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Kontestasi, Integrasi dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013 Internet Sejarah Buddhayana, dalam http://www.buddhayana.or.id, diakses 20 Agustus 2014 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 46 MUHAMMAD WAR’I PENELITIAN Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusivitas Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga Muhammad War’i Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Abstract Abstrak This paper aims to open religious understanding that concerns not only on startling speech but also behavior aspects. Movie entitled “Negeri Tanpa Telinga” movie directs towards the deconstruction of language describing the use of religious language which is often just as a feigned imaging. Language is not solely a reflection of the attitude determined grammatically. Language understanding should be plural so it can guide someone towards pragmatic pluralism horizon. This view will give more impact to someone’s life inclusiveness including in terms of religion. Tulisan ini bertujuan untuk membuka pemahaman keagamaan agar tidak terpaku pada keterpanaan tuturan, tapi mengajak untuk melihat substansi prilaku. Dalam film Negeri Tanpa Telinga kita diarahkan menuju dekonstruksi kebahasaan yang memaparkan tentang penggunaan bahasa agama sering kali hanya sebatas pencitraan yang menipu. Bahasa bukanlah cerminan sikap dimana bahasa tidak semata ditentukan oleh struktur bahasa secara gramatik. Pemahaman bahasa harus plural sehingga menggerakkan seseorang menuju horison pragmatik pluralism. Pandangan ini selanjutnya akan berimplikasi pada inklusifitas seseorang dalam kehidupannya termasuk dalam hal beragama. Keywords: Religious Language, Pragmatic Pluralism, Inclusivity Pendahuluan Penggunaan bahasa-bahasa keagamaan seperti tahmid (subhanallah), istighfar (astaghfirullah), istirja’ (innalillahi) dan sebagainya dalam pandangan teologis menunjukkan pada sesuatu yang sakral atau menunjukkan seseorang yang taat kepada agamanya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh orang-orang muslim dalam beberapa tempat atau keadaan. Namun demikian, dewasa ini penggunaan kata-kata tersebut banyak ditemukan di khalayak bahkan dituturkan oleh orangorang yang secara realitas tidak terlalu HARMONI Mei - Agustus 2015 Kata kunci: Bahasa Agama, Pragmatik Pluralisme, Inklusifitas memahami agama. Artinya istilah-istilah tersebut telah digunakan secara umum oleh beberapa orang atau kelompok. Di Indonesia, penggunaan kata-kata tersebut atau kata-kata Arab seperti akhi, ukhti, ikhtiar, dan sebagainya digunakan oleh kelompok-kelompok keislaman dan juga beberapa partai politik. Penggunaan istilah tersebut di satu sisi mungkin ingin menonjolkan praktik keagamaan di dalam dirinya seperti ketika seseorang mendengar berita kematian dia akan berucap “innalillahi wainna ilaihi rojiun,” ketika bangga pada sesuatu HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ... mengucapkan “subhanallah” atau sebagai eksistensi teologis untuk bisa diakui sebagai seseorang yang Islam dengan penguasaan bahasa Arab yang bagus seperti penggunaan bahasa Arab pada saat ceramah keagamaan dan sebagainya. Dalam teori bahasa (filsafat analitik) kita mengenal banyak konsep yang menggambarkan hal tersebut, dalam hal ini fenomena tersebut dilihat sebagai lambang religiusitas seseorang yakni dari sisi semiotik. Artinya pengunaan bahasa-bahasa keagamaan itu menjadi simbol seseorang berasal dari kelompok mana atau sebagai pendongkrak strata sosial pada komunitas muslim yang membanggakan bahasa Arab. Berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut, fenomena yang berbeda ditunjukkan dalam film Negeri Tanpa Telinga. Di dalam film tersebut ditunjukkan tentang sebuah partai politik yang dalam komunikasi verbalnya sering kali menggunakan bahasa-bahasa agama bahkan ketika transaksi korupsi tengah dilakukan, seperti: 47 Menurut penulis, film tersebut ingin mendekonstruksi penggunaan bahasa-bahasa agama yang seringkali menipu pendengarnya. Dalam hal ini film itu secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa tidaklah orangorang yang menggunakan bahasa Arab atau istilah-istilah keagamaan memiliki karakter keagamaan yang baik, tetapi kita harus lihat lebih jauh bagaimana kesesuaian kata-kata dengan tindakan. Model semacam ini bisa kita identifikasi menggunakan filsafat bahasa perspektif teori bahasa Austin (Mustansyir, 2007: 56). Dari latar belakang tersebut maka dalam tulisan ini mencoba menjelaskan beberapa pokok pembahasan, yakni bagaimana model dekonstruksi bahasa dalam film Negeri Tanpa Telinga, serta bagaimana bentuk pencitraan yang ingin dibangun oleh kelompok tertentu dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan? Dari tulisan ini pula diharapkan hadir sebuah kajian tentang sebuah paradigma baru mengenai bahasa yang perlu dimaknai sebagai sesuatu yang tidak mesti mewakili watak atau karakter seseorang maupun kelompok tertentu yang menuturkannya. “Alhamdulillah ustadz, impor daging sapi senilai 40 milyar telah deal oleh anggota dewan. Adapun bagian untuk Partai Amal Surga alhamdulillah sudah dialokasikan empat puluh persennya.” Deskripsi Singkat Film Negeri Tanpa Telinga (2014) Demikian pula beberapa contoh pernyataan lainnya yang secara orientasi bahasa begitu kacau dan menunjukkan hal yang tidak balance menurut logika bahasa. Menurut penulis, di sinilah hal yang patut dan menarik dikaji, yaitu soal orientasi bahasa yang menggambarkan hal yang tidak sejalan dengan paradigma bahasa pada umumnya. Artinya penggunaan bahasa-bahasa keagamaan itu tidak menunjukkan pekerjaan yang berorientasi agama atau penutur yang memiliki sifat keagamaan yang baik. Film ini dirilis pertama kali pada tahun 2014, yang disutradarai oleh Lola Amaria. Secara substantif film ini mengkritisi fenomena korupsi di negeri ini yang dilakukan oleh beberapa partai politik. Ilustrasi dalam film ini dimulai dengan seorang pria yang meminta kepada seorang dokter untuk merusakkan pendengarannya karena bosan mendengar kasus korupsi yang tidak pernah usai. Dari sana kemudian di flash back ke awal cerita yang menceritakan tentang kisah si pria tersebut yang berprofesi sebagai tukang urut yang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 48 MUHAMMAD WAR’I memiliki pelanggan dari kalangan politisi. Di setiap aktivitas mengurutnya dia selalu melakukan obrolan-obrolan kecil dengan pelanggannya. Tanpa disadari mereka menceritakan banyak hal tentang skandal korupsi yang mereka lakukan. Dalam film ini ada tiga partai politik yang disebutkan, yakni Partai Amal Surga, Partai Martobat, dan Partai Pohon Teduh. Semua partai ini terlibat dalam kasus korupsi yang dilakukan. Pada akhirnya semua rencana para politisi tersebut terbongkar dan para pelakunya dimasukkan ke penjara. Adegan dalam film ini memaparkan beberapa realitas a moral di balik perpolitikan suatu bangsa seperti praktik suap menyuap, gratifikasi seks, dan kisah asmara antar anggota partai. Adapun titik tekan dalam pembahasan ini adalah bahasa keagamaan yang dilakukan oleh Partai Amal Surga yang sering kali menggunakan bahasa-bahasa keagamaan dalam misi pengadaan proyek mereka. Kata-kata yang dimaksudkan di sini adalah, katakata seperti Subhanallah, Astaghfirullah, Alhamdulillah, serta beberapa kata-kata bahasa Arab seperti Ana, Antum, Akhi, dan sebagainya. Di samping melihat bahasabahasa keagamaan, penelitian ini juga menelisik beberapa simbol keagamaan yang dilibatkan dalam mendeskripsikan seorang penutur yang menggunakan bahasa agama tadi seperti jenggot, jidat hitam, tasbih, baju koko dan lainnya. Diharapkan dari analisis ini adalah sebuah pemaknaan teks yang bersifat dekonstruktif untuk menunjukkan model berbahasa manusia yang di luar tradisi umum. Namun sebelum memaparkan lebih lanjut, penulis ungkapkan di sini beberapa artikel ataupun catatan yang membahas film Negeri Tanpa Telinga tersebut. Melalui penelusuran di internet penulis menemukan beberapa artikel terkait yang ditulis di antaranya adalah HARMONI Mei - Agustus 2015 artikel review film yang dimuat di majalah online yomamen.com dengan judul, Negeri Tanpa Telinga: Politik, Uang dan Ranjang. (2014). Di samping itu tulisan Agus Setyanto di Kompasiana.com dengan judul: Negeri Tanpa Telinga: Kado untuk Politikus Pemain Sirkus (Setyanto, 2014). Demikian pula berbagai artikel serupa yang merupakan review atau persepsi pembaca tentang film tersebut. Secara general tulisan-tulisan tersebut hanya mengkaji substansi film tersebut berupa pesan moral dan kritik terhadap perpolitikan yang menghalalkan berbagai cara. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada kajian kebahasaan, yakni mengkaji bahasa-bahasa keagamaan yang sering digunakan oleh para kader Partai Amal Syurga dalam melakukan transaksi korupsinya. Untuk kepentingan analisis, berikut penulis tuliskan cuplikan percakapan yang menggunakan bahasabahasa keagamaan dan bahasa Arab dalam beberapa adegan. Adegan Pertama: Percakapan Ustadz Etawa dengan Kobir “Kobir sini..” “Iya Ustadz.” “Makin lama ane makin demen sama Anti.” “Subhanallah.. na’am Tat.. tapi ngomongngomong emang Ustadz masih sering kencan sama Anti Tat?” “Masih..” “Terus gimana tuh ustadz dengan si Nila, Hanum,...” (dengan suara agak meninggi). “Astaghfirullahalazhim, jangan keras-keras entar Inge tau gimana?” (Inge adalah nama istri si Ustadz). “Astaghfirullahalazim, maaf Ustadz saya lupa tat..” dan seterusnya. Adegan Dua: Percakapan Ustadz (Pak Etawa) dan Momon melalui percakapan telepon “Assalamualaikum Ustadz, apa kabar pak Ustadz?” “Waalaikumussalam. kabar baik Mon lagi dipijat nih.” “Aduhh, jangan- HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ... 49 jangan itu gara-gara salah tidur Tat.” “Ini bukan gara-gara salah tidur Mon, ini garagara kelinci yang ente kirim tadi malem.” (kelinci sebagai perumpamaan untuk wanita pelayan seks) “Waduh itu kado spesial buat Ustadz, kualitas bintang lima itu.” “Itu kelinci memang spesial, tapi masalahnya Masya Allah itu tidak cocok untuk orang tua kayak ane. Masak ane dibanting-banting Masya Allah..” “hehe, Masya Allah..” dan seterusnya. “Tat sabar Tat!, tawakkal Tat!, ane yakin Allah akan menolong kita Tat..” “Ente beraninya bilang begitu ya, gak malu sama Allah?” “Iya malu tat.. “ “Kamu bilang semua terkendali itu sekarang Momon ditangkap sama KAPAK.” “Tat Demi Allah Tat, wallahi Tat.” “Astaghfirullah.. loe bawa nama Allah lagi loe..” (sambil terus beristighfar). “ Tat, ane sudah berikhtiar Tat dengan maksimal agar tidak ketahuan” dan seterusnya. Adegan Tiga: Percakapan Momon dan Lukas Adegan satu dan dua berisi percakapan tentang transaksi seks para anggota Partai Amal Surga. Adapun adegan tiga dan empat tentang suap menyuap yang dilakukan kader Partai Amal Surga dengan salah seorang klien. “Assalamualaikum, gimana kabar Pak Lukas?” “Kabar saya baik.” “Alhamdulillahi robbil alamin.” “Oh ya Pak Lukas, izin penambahan impor daging domba telah beres semua, pak Lukas tidak perlu khawatir lagi.” “Puji Tuhan, aman ya?” “Aman pak. ....... oya, kemarin jatah Pak Lukas sekitar 13 persen ya?” “Iya benar, tapi saya mau minta tambahan. 13 persen kan tidak ada apa-apanya?” “betul.” (Sambil tertawa), “Tapi semuanya sudah disiapkan ya Pak Lukas kan, termasuk satu onta besar dan tiga domba gemuk? Itu semua buat Pak Etawa Pak Lukas!” “Loh kok mintanya onta sama domba?” “Hehe,, Astaghfirullahalazhim, maksud saya yang 1.3 M.” “Owh, lok itu sudah saya siapkan.” .....“Oh ya komitmen fee 40 M untuk Partai Amal Surga bagaimana Pak Lukas?” “Mas Momon tidak usah pikirkan itu, semua sudah saya bereskan.” dan seterusnya. Adegan Empat: Percakapan Kabir dan Ustadz Etawa Kabir menerima telepon dan dikabarkan bahwa Momon telah ditangkap KAPAK (komisi yang bertugas memberantas korupsi). “Eh Bir, ada apa?” “Astaghfirullahalazhim, Pak Momon ditangkap KAPAK Tat.” “Astaghfirullahalazhim... (berulang-ulang)” Metode Analisis Tulisan ini adalah tulisan yang menggunakan kajian kebahasaan perspektif semiotika dengan prinsip kajian dekonstruksi Derrida. Dalam pandangan teori ini bahasa merupakan penanda yang tidak terikat petanda (Sobur, 2010: 136). Hal ini merupakan antitesa dari konsep penanda dan petandanya (signifier/signified) Ferdinand de Saussure. Menurut Derrida bahasa seharusnya bebas dari ikatan sistemik yang berpotensi mengekang makna. Konsep petanda dan penanda bagi Derrida merupakan langkah menuju sistematisasi bahasa (Norris, 2002: 2425). Konsekuensi dari keduanya adalah lahirnya bahasa yang tidak terbuka pada interpretasi yang lebih luas dan dalam. Dari hal tersebut, Derrida kemudian memunculkan konsep bahasa yang menekankan pada aspek dinamika makna. Artinya setiap kata sebagai tanda bahasa merupakan satu hal yang tidak bisa dipatenkan maknanya, namun harus selalu disesuaikan dengan waktu dan tempat menurut kebutuhan yang ada. Terkait dengan hal ini para ahli menyimpulkan teori dekonstruksi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 50 MUHAMMAD WAR’I bahasa Derrida dengan dua poin utama yakni “mimesis tanpa asal usul” dan “apokalips tanpa akhir.” Maksud kedua point ini, yang pertama adalah tiruan suatu karya merupakan dekonstruksi karya itu sendiri, bukan dari yang lain. Sedangkan maksud yang kedua adalah bahasa merupakan parodi di atas parodi bukan parodi di atas kehidupan atau apapun. Model apokalips tanpa akhir ini merupakan teori yang relevan untuk menganalisis fenomena bahasa agama dalam realitas perbuatan a moral yang menjadi objek kajian ini. Selain meminjam model dekonstruksi Derrida penulis juga menggunakan beberapa teori yang relevan untuk kepentingan analisis. Seperti teori filsafat bahasa Austin dengan konsep tindakan bahasa-nya. Hal ini penting untuk bisa mendapatkan analisis yang tajam dan sesuai dengan rumusan masalah dalam tulisan ini. Terkait penggunaan teori semiotika dalam analisis film, Alex Sobur (2010) telah memberikan beberapa alternatif penting dalam kajiannya, di antaranya: tanda dalam sinematografi memiliki motivasi tertentu. Artinya petanda sebagai bentuk kongkrit suatu benda (meminjam pandangan Barthes) memotivasi penanda dan melampauinya (Masak dalam Sobur, 2009: 132). Dengan demikian, pernyataan para pemain film Negeri Tanpa Telinga ketika menggunakan bahasa-bahasa agama tersebut memiliki motivasi tersendiri, apakah dalam bentuk keinginan subjektif individu ataupun intersubjektif kelembagaan. Dekonstruksi Bahasa Negeri Tanpa Telinga. dalam Film Sebagaimana disinggung di awal, umumnya penggunaan bahasa maupun simbol keagamaan dalam realitas kehidupan menunjukkan kepada baiknya suatu pekerjaan atau baiknya HARMONI Mei - Agustus 2015 karakter seseorang. Para kiai misalnya ketika dihadapkan pada musibah, mereka akan menyebut Innalillah sebagai bentuk kepasrahan diri kepada Allah dan akan menyebut Subhanallah atau Masya Allah ketika terkesan atau takjub pada suatu hal atau peristiwa. Intinya penyebutan-penyebutan bahasa tersebut mengindikasikan spiritualitas seseorang yang dekat dengan Tuhan. Realitas yang berbeda ditunjukkan dalam film Negeri Tanpa Telinga. Di dalamnya ada sebuah partai politik yang secara kultural sering menggunakan bahasa-bahasa agama atau bahasa Arab dalam interaksi bahasanya. Keanehan begitu terlihat ketika penggunaan bahasa keagamaan itu tidak pada tempatnya, seperti percakapan dalam adegan pertama di atas. Hal ini karena bahasa yang seharusnya menunjukkan karakter baiknya seseorang ataupun komunitas tidak tercermin dalam prilaku penutur bahasa tersebut. Penggunaan kalimat Astaghfirullah misalnya, tidak dalam kesadaran akan kesalahan diri kepada Tuhan, tetapi karena kesalahan teknis yang mereka lakukan dalam proses suapmenyuap. Demikian pula penggunaanpenggunaan bahasa keagamaan lainnya yang secara lapangan bahasa sangat bertentangan. Jika dalam analisis Austin (Mustansyir, 2007: 56), model seperti ini merupakan model tindakan bahasa illokusi, yakni diterima atau tidaknya suatu pernyataan tergantung pada tindakan bahasanya. Maksudnya sesuai ataukah tidak sesuai antara kata dan kapasitas dia sebagai penutur atau pembuktian tuturannya dalam realitas. Menurut Austin seseorang yang menggunakan bahasa kemudian tidak konsekuen dengan pernyataannya, maka hal itu merupakan kalimat yang tidak baik. Dalam hal ini Austin lebih melihat proses berbahasa dari sisi etika. Berdasarkan pada landasan teoritis di atas, dapat dikatakan bahwa film HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ... Negeri Tanpa Telinga khususnya mengenai penggunaan bahasa-bahasa keagamaan tersebut memiliki tujuan dekonstruktif tentang pemaknaan bahasa, yakni bahasa merupakan suatu cara seseorang mengungkapkan bukan hanya tentang maksud verbalnya tetapi juga mengandung motif-motif lain yang tidak ditunjukkan langsung oleh mulutnya tapi oleh tindakan lain berupa penggunaan simbol-simbol. Jika kita melihat dengan seksama menggunakan pandangan semiotik, atribut yang digunakan oleh para kader Partai Amal Surga merupakan atribut-atribut orang muslim yang secara simbolik bermakna ketaatan ataupun ketaqwaan. Penggunaan baju koko, sorban misalnya, merupakan usaha untuk menghadirkan karakter Islami seseorang. Di samping itu, sosok pemain seperti Ustadz Etawa ataupun Kabir misalnya juga menggunakan simbolsimbol keagamaan yang bersifat alamiah seperti jenggot dan jidat hitam. Pada kenyataannya simbol-simbol tersebut merupakan ciri beberapa kelompok yang mengatakan diri sebagai orang yang mengikuti nabi. Namun demikian realitas yang ditayangkan dalam film Negeri Tanpa Telinga sangat bertentangan dengan pandangan umum (world view) masyarakat. Model dekonstruksi bahasa dalam film tersebut kini semakin jelas, bahwa penggunaan bahasa-bahasa keagamaan ataupun bahasa Arab yang sering kali dipandang sebagai bahasa agama tidaklah menjadi cermin atau makna sesungguhnya dari pernyataan kalimat tersebut (ketidaksesuaian penanda dan petanda). Artinya seseorang yang sedikitsdikit menyebut tahmid (subhanallah) dalam pekerjaan sehari-hari mereka ataupun kata-kata pujian lainnya tidaklah menunjukkan kebenaran tindakan bahasa penutur ataupun baiknya karakter orang 51 tersebut, namun harus dilihat lebih jauh motif dan realitas sesungguhnya. Dekonstruksi bahasa dalam film Negeri Tanpa Telinga selanjutnya memberikan efek kesadaran berbahasa yang lebih dinamis, yakni suatu pemahaman yang tidak beraturan atau tidak sistematis (semiotic of chaos). Artinya aktivitas berbahasa yang mencakup struktur bahasa ataupun simbol-simbol bahasa tidaklah menjadi penentu makna suatu tuturan melainkan sebagai salah satu unsur pembentuk makna yang sesungguhnya, di mana makna akhir dalam suatu kegiatan berbahasa ditentukan oleh pemahaman struktur dan konteks yang terkait dengannya. Pencitraan yang Menipu Dilihat dari sudut pandang realitas, adegan-adegan dalam film Negeri Tanpa Telinga tidaklah asing bahkan telah sering kita saksikan di dunia nyata. Penggunaan bahasa-bahasa agama itu pun juga tidak terlepas dari pencitraan partai politik untuk menarik simpati para pendukung partai Islam. Bahasa-bahasa tersebut digunakan untuk membangun citra, yakni sebuah pencitraan yang menipu. Kita mungkin sejenak akan dibius dengan kesopanan dan kesantunan tuturannya yang dihiasi dengan kosa kata-kosa kata Arab yang memberikan kesan teologis yang kuat. Beberapa golongan memang secara nyata bisa kita saksikan menjadi korban dari pencitraan yang menipu itu, bahkan mungkin kita sendiri sempat terjerat di dalamnya. Mungkin karena pengetahuan yang kurang tentang agama Islam, ataupun pemahaman bahasa Arab sebagai bahasa agama, beberapa orang kemudian melihat setiap orang yang menggunakan bahasa Arab sebagai seorang yang baik dan patut dipercaya. Itulah yang membuat banyak masyarakat Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 52 MUHAMMAD WAR’I tertipu dengan realitas-realitas perpolitikan yang menggunakan agama sebagai kedok dalam pencitraannya. Sejatinya agama tetaplah agama dengan nilai-nilai substantif yang ada di dalamnya, bukan justru direduksi ke dalam bahasa ataupun simbol-simbol yang menipu. Kasus para koruptor yang menggunakan bahasa agama untuk mengelabui masyarakat dalam orientasi politiknya adalah tindakan kejahatan moral yang tidak hanya melukai manusia tapi juga Tuhan sebagai pemilik agama. Cukup sudah penipuan dengan pencitraan-pencitraan yang mengatasnamakan agama dalam berjuang padahal hanya ingin mencari kepuasaan diri dan keserakahan. Kita patut lebih selektif kepada mereka yang hadir untuk memimpin. Meski dia berkoko maupun bersurban bahkan jikapun keningnya berwarna hitam. Itu semua bukan tanda kesalehan seorang pemimpin. Tapi kesalehan itu sejatinya ada pada diri yang termanifestasi setiap waktu dalam tingkah laku. Negeri Tanpa Telinga hanyalah salah satu cerminan realitas yang cukup menggugah untuk dijadikan cermin kehidupan. Dalam pandangan teori sastra mimesis (A Teeuw, 1998: 15) kita melihat bahwa karya sastra atau produk apapun dari manusia merupakan cerminan dari realitas yang tengah terjadi. Fenomena orang-orang yang mengkomoditaskan agama dengan simbol-simbol dan bahasa adalah fenomena kehidupan yang sebenarnya tidak hanya dalam bidang politik, tapi juga pada bidang-bidang yang lain dari kehidupan kita seperti sosial, ekonomi (Anis, 2013: 276) dan budaya. Memahami bahasa, Menumbuhkan inklusivitas beragama bisa Implikasi selanjutnya setelah kita mengetahui model kebohongan HARMONI Mei - Agustus 2015 yang menjadikan bahasa agama sebagai modusnya adalah kita bisa lebih inklusif dalam melihat setiap kelompok masyarakat maupun keagamaan. Karena banyak sekali paham keagamaan yang secara formal begitu spiritual dan agamis, namun di balik semua itu mereka justru menggunakan citra itu untuk melakukan hal-hal yang bertentangan bahkan dengan agama yang mereka citrakan. Dengan demikian, kita tidak boleh ekslusif dalam membawa sebuah kepercayaan, karena kita perlu mengkaji lebih jauh setiap identitas maupun cara suatu komunitas. Dalam hal ini teori Language Games relevan dijadikan sebagai pisau analisis, menurut Ludwig Wittgenstein suatu pernyataan tidak bisa dimaknai hanya melalui tuturan yang bersifat struktural, tapi harus dilihat penutur, konteks dan tuturannya (Mustansyir, 2007: 35). Artinya, pemaknaan bahasa ada pada penggunaan, bukan pada bahasa secara produk yang baku. Pandangan ini bisa dilihat dalam pernyataan Wittgenstein yang tekenal, “Dont ask what the mean, but ask how to use.” Dari perspektif ini kita bisa mengatakan bahwa pemaknaan bahasa secara language games, atau permainan bahasa akan memberikan alternatif makna yang beragam. Demikian pula dalam kajian ini penggunaan bahasa agama harus dipahami lebih luas dan beragam. Selain Language Games, pandangan Charles S. Peirce tentang pluralisme pragmatik (pragmatic pluralism) juga sejalan dengan fenomena dalam pembahasan ini. Menurut Peirces (B. Rosenthal, 1994: 41), makna itu tergantung pada kebiasaan (meaning as habit), dengan arti bahwa makna terlahir bukan hanya dari struktur bahasa tapi dari intensitas hubungan antar subjektif yang membentuk kebiasaan suatu komunitas. Dengan demikian makna tuturan harus dilihat dari kebiasaan suatu komunitas bahasa. Pada gilirannya model ini akan HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ... membentuk pluralitas makna berbahasa yang ditentukan oleh berbagai aspek di luar bahasa. Pemahaman yang luas tentang bahasa akan melahirkan diri seseorang yang memiliki pandangan yang luas pula (inklusif), adapun pandangan yang luas akan memiliki dampak pada sikap menghargai orang lain yang berseberangan dengannya, baik dalam hal budaya maupun ideologi. Menurut Albana, perpecahan dalam suatu kelompok dipengaruhi oleh pemaknaan bahasa mereka yang berbeda-beda (Albanna, 2005: 10). Dengan demikian dibutuhkan pemahaman bahasa yang utuh dan komprehensif untuk membangun pandangan yang lebih inklusif. Pandangan yang inklusif tersebut akan bisa tercapai jika setiap orang memiliki horison pemahaman bahasa yang luas yakni horison pemahaman yang berparadigma pragmatik pluralism. Ketika suatu pemahaman inklusif tumbuh dalam diri seseorang maka konflik yang berbau ras maupun sosial keagamaan 53 bisa diminimalisir. Penutup Secara linguistik, pemaknaan bahasa (bahasa keagamaan) dalam film Negeri Tanpa Telinga mengarah pada pemaknaan bahasa yang lebih berprinsip pragmatic pluralism. Di dalamnya kita diarahkan untuk tidak tertipu dengan bahasa seseorang termasuk dengan simbol-simbol keagamaan yang sering kali mengecoh, karena pemaknaan bahasa ada pada kebiasaan bukan tuturan seseorang. Memang agama selalu menjadi hal empuk untuk dikomoditaskan, termasuk dijadikan pencitraan dalam perpolitikan di negeri ini. Pada gilirannya masyarakat sering ditipu dengan modelmodel seperti hal tersebut. Maka dari itu pemahaman bahasa masyarakat harus lebih luas dan tajam guna menghindarkan diri dari penipuan-penipuan bahasa dan tindakan yang sering kali berkedok agama. Di samping itu pemahaman bahasa dan penilaian agama yang substantif merupakan hal yang niscaya untuk membuka inklusivitas diri dalam beragama dan memaknai setiap fenomena yang ada. Daftar Pustaka Anis, Elis Z. Islam Ala Iklan; Komodifikasi Identitas Islam dalam Iklan Televisi. Dalam Jurnal Islamic Review Volume II No 2. Pati: STAIMAFA Press, 2013. Albana, Hasan. Majmuatu Rasail. Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2012 B. Rosenthal, Sandra. Charles Peirce’s Pragmatic Pluralism. New York: State University of New York Press, 1994. Hidayat Asep Ahmad. Filsafat Bahasa; Mengungkap Hakekat Bahasa, Makna Dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014. Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Norris, Christopher. Deconsturction Theory And Practice. London: Rottledge, 2002. Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika; Kode, Gaya dan Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 54 MUHAMMAD WAR’I Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009. Tanpa penulis. Negeri Tanpa Telinga: Politik, Uang dan Ranjang. 2014 Dalam situs: http:// yomamen.com/negeri-tanpa-telinga-politik-uang-dan-urusan-ranjang/akses tanggal 24 juni 2015 Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997. Setyanto, Agus. Negeri Tanpa Telinga: Kado untuk Politikus Pemain Sirkus. 2014 Dalam situs: http://www.kompasiana.com/masgaz/film-negeri-tanpa-telinga-kado-untukpolitikus-pemain-sirkus_54f67a85a33311a17c8b4daf akses tanggal 24 Juni 2015 HARMONI Mei - Agustus 2015 PENELITIAN REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 55 Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Mukhibat Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 16 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015 Abstract Abstrak This research was conducted in Pulung Ponorogo to figure out the development model in forming the harmonious spirit of social-religious life through the Thematic Community Service Internship (KPM) Posdaya (Family Empowerment Post)-Mosque Based. First, the thematic Community Service Internship (KPM) Posdaya (Family Empowerment Post)Mosque Based in STAIN Ponorogo with Participant Action Research (PAR) approach had been able to create spaces and integrative communication medium and decreased the rigidity of communication among different community. Social activities centralized at mosque made people conscious that their religion taught a wisdom to build harmonious life. Second, the difference became positive energy in developing harmony, peacefulness and prosperity. The dialogue activities enriched their theological dialogue empowering mosque in wider perpectives that not only function as praying and preaching but also education, economic, social, culture, communication and information activities. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pulung Ponorogo guna mengetahui model pengembangan merangkai spirit harmoni kehidupan sosial keagamaan melalui KPM Tematik Posdaya berbasis masjid. Hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menunjukkan: Pertama, KPM Tematik Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) berbasis Masjid STAIN Ponorogo dengan pendekatan PAR telah mampu menghasilkan ruang atau wadah komunikasi yang akrab dan integratif, serta mencairkan kebekuan komunikasi antar masyarakat yang berbeda, beragam, dan bertikai. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dipusatkan dari masjid telah menyadarkan masyarakat bahwa agama yang dianutnya terdapat hikmahhikmah sebagai modal dalam merangkai harmonisasi kehidupan. Kedua, perbedaan faham keagamaan menjadi energi positif dalam membina kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan bersama. Dialog aksi telah memperkaya dialog teologis mereka, dengan berfungsinya masjid dalam dimensi yang sangat luas tidak hanya fungsi ibadah dan dakwah saja tetapi juga memiliki fungsi edukasi, ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan informasi. Keywords: Reconstruction, Harmony, Dialogue Activities, Mosque, KPM Kata kunci: Rekonstruksi, Harmoni, Dialog Aksi, Masjid, KPM Pendahuluan sosial-ekonomi, dan kesehatan, telah memperlihatkan dampak global. Kecenderungan global ini menurut Noorhaidi Hasan (2012: xiv) akan berpengaruh terhadap format dan arah kehidupan sosial keagamaan. Fenomena sosial dengan berbagai isu problematik yang terkait dengan kemajemukan, pendidikan, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 56 MUKHIBAT Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan contoh negara di mana pertarungan memperebutkan pusat medan wacana (center of the discursive field) berlangsung sangat intens. Berbagai macam ormas dan gerakan keagamaan dari yang bercorak radikal, militan, moderat progresif sampai liberal berupaya mengekspresikan identitas dan kepentingan masing-masing melalui aktivitas diskursif yang dinamis. Hal ini menurut pendekatan teori ruang publik Jurgen Habermas yang dikutip oleh Qodir (2015: 43) akan terjadi pertarungan (kontestasi) antarkelompok masyarakat. Pengabdian masyarakat dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan Islam disingkat PTKI tidak hanya dimaknai sebagai sarana produksi pengetahuan (transfer of values and knowledge) yang mempunyai fungsi dalam membentuk watak dan perilaku Muslim, tetapi juga harus mendorong lahirnya individu yang berkepribadian istimewa (tahdhib) (Zaman, 2002: 23). Artinya PTKI harus memiliki fungsi sosial yang berperan dalam mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian dan harmonis bagi masyarakat. Dengan mencermati isu di atas, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Ponorogo sejak tahun 2013 telah merevitalisasi program pengabdian dan pengembangan masyarakatnya di Pulung Ponorogo dalam bentuk Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Tematik Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang berpusat di masjid dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR). Masjid dalam kontek KPM Posdaya dipahami sebagai sentra aktivitas keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang memiliki multifungsi dan sarana mengembangkan modal sosial sebagai bentuk da’wah bil hal (LPM UIN Malang, 2011: 5). Program ini mengemban misi dakwah kultural yang bersifat bottom up dengan melakukan HARMONI Mei - Agustus 2015 pemberdayaan kehidupan beragama dalam bentuk dialog aksi berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh masyarakat. Pilihan di Kecamatan Pulung didasarkan pada komposisi penduduk di Pulung yang cukup beragam dari segi aliran keagamaan, yakni NU, Muhammadiyah, LDII, Jamah Tabligh, MTA, dan Salafi. Beragamnya berbagai paham keagamaan tersebut sangat berpotensi munculnya konflik yang akan mengusik keharmonisan kehidupan keagamaan di Kecamatan Pulung yang bisa mengarah pada disharmoni. Adapun penduduk non-Muslim yakni Kristen terdapat di Desa Pulung Merdiko, yang pada 2011 terjadi gesekan dengan umat Islam yang cukup tajam, karena pendirian gereja di desa tersebut. Potret best practice dialog umat beragama melalui kegiatan KPM tersebut sangat perlu dieksplorasi agar temuannya bisa dipublikasikan, sehingga terdapat kontribusi baru bagi pengembangan model format harmonisasi. Contoh membangun spirit harmonisasi antarumat beragama dengan KPM Posdaya berbasis masjid masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat penting untuk memperkaya model merangkai spirit harmonisasi kehidupan beragama dan bermasyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini menjawab dua hal, yaitu: 1). Bagaimana pendekatan dan metode KPM Tematik Posdaya berbasis masjid dalam menghidupkan modal sosial masyarakat untuk membangun harmoni dalam keragaman di kecamatan Pulung Ponorogo? 2) Bagaimana respon-adaptasi umat beragama dan masyarakat terhadap program KPM Posdaya Tematik Berbasis Masjid dalam Merangkai Idealisme Harmonisasi Masyarakat di Kecamatan Pulung Ponorogo? REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendekatan dan metode KPM tematik posdaya berbasis masjid dalam membentuk harmoni dan menjelaskan penerimaan umat beragama, ormas keagamaan dalam memanfaatkan posdaya berbasis masjid untuk membangun kerukunan umat beragama. Adapun signifikasi penelitian ini diarahkan pada pihak-pihak berikut ini: 1). P3M STAIN Ponorogo, kegiatan ini berguna untuk memperkuat dan memperkaya strategi untuk membina keragaman dan memberdayakan masyarakat dalam menjalin harmonisasi kehidupan sosial keagamaan; 2). Kementerian Agama RI dan PTKI lain di Indonesia, dapat menjadi best practices dan lesson learned yang bisa diaplikasikan di daerah-daerah lain dalam pembinaan dialog dan harmonisasi kerukunan umat beragama yang selama ini ada. Untuk menjawab tujuan penelitian ini, rekonstruksi spirit harmoni hubungan umat beragama digunakan sebagai kerangka teori sebagaimana setiap agama sangat menginginkan tumbuh dan terwujudnya harmoni melalui ikatan atau lingkup yang lebih kecil, seperti keluarga, perkumpulan, dan komunitas. Persoalannya, dalam aras historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Dalam perjalanan sejarahnya, agama selain sebagai alat pemersatu sosial, agama juga dapat menjadi unsur konflik. Hal ini karana agama memiliki faktor integrasi dan disintegrasi (Basyuni, 2007: 45). Faktor integrasi, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Faktor disintegrasi, jika agama dipahami secara sempit dan kaku dapat menimbulkan prasangka negatif terhadap agama lain. Dalam rangka mendamaikan faktor integrasi dengan distintegrasi diperlukan resolusi konflik agar kedamaian 57 kehidupan sosial dan agama dapat terwujud (Syamsiatun, 2013: 193). Harmoni dan kerukunan umat beragama merupakan cita-cita yang diidealkan agar kehidupan penuh dengan toleransi, penghargaan terhadap pluralisme dan pemikiran yang inklusif (Poerwanto, 2000: 222). Kerukunan merujuk pada pemahaman “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Rukun dapat dipahami juga sebagai suatu keberadaan semua pihak yang berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerjasama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat (Suseno, 2001: 39). Lawan kerukunan adalah disharmoni. Disharmoni terjadi karena dua faktor yaitu, faktor internal terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap ajaran agama dan faktor eksternal terjadi karena faktor pendidikan, politik, kesejahteraan masyarakat dan lemahnya modal sosial. Kesejahteraan masyarakat menjadi faktor yang juga sangat menentukan bagi keharmonisan sosial. Orang yang lemah tentunya dekat dengan kemiskinan. Dalam keadaan miskin inilah, orang mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis sehingga kehilangan trust, solidarity, social cohesion di antara sesama (Rahardjo, 2010: 240). Disharmoni bisa diatasi dengan, dialog dalam bentuk desain program berupa dialog karya untuk memecahkan masalah kemanusiaan dan meningkatkan kesejahteraan hidup bersama (Ali, 1994: 14). Dialog model ini menurut Paul Knitter (1995) disebut dengan dialog aksi, yakni dialog yang memfokuskan pada kesejahteraan manusia, kemiskinan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 58 MUKHIBAT Dialog akan mengatasi rivalitas, penindasan, kebencian, menciptakan harmoni dan menjauhkan sikap hidup yang saling menghancurkan (Bagus, 2005: 161). Bagaimana dialog aksi itu muncul? Dialog aksi harus menjadi bagian penting untuk terbentuknya masyarakat komunikatif, masyarakat damai apalagi terhadap masyarakat yang plural dengan agama yang plural. Dalam masyarakat plural, kehidupan secara kelompok dapat menjadi eksklusif dan orang mengambil jalan sesuai dengan pribadinya yang cenderung individualistik dan egois (Zimmermann, 1984: 2). Dalam menghadapi pluralisme seperti ini, pemikiran rekonstruksi pandangan moral yang bersifat universal mutlak diperlukan. Pertanyaannya pendekatan yang seperti apa yang dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi selama ini? Selama ini pemerintah menempuh dua pendekatan. Pertama, aparat keamanan melakukan tekanan represif terhadap pihak-pihak terlibat dengan melerai serta menangkap pimpinan dan provokator maupun mengadili yang dipandang bersalah. Kedua, pihak birokrasi memberikan kemampuan terbaik intelektual akademis dan strategis politis mereka menawarkan solusi. Dalam antropologi, strategi ini dikonsepsikan sebagai “etik” (Asry, 2013: xi). Namun pendekatan ini sering kurang berhasil karena ketika habis masa pertemuan kesepakatan, mereka kembali terpancing emosi harga diri dan dendam ketidakpuasan atas kebijakan yang ditempuh. Dua pendekatan tersebut memang cukup berhasil dalam menyelesaikan masalah-masalah disharmoni di masyarakat, namun belakangan muncul sejumlah kritik terhadap dua pendekatan tersebut. Untuk itu harus ada suatu pendekatan yang mempercayakan bahwa mereka yang berbeda, beragam, bahkan HARMONI Mei - Agustus 2015 bertikai memiliki abilitas memahami masalah mereka dan mencari solusi bersama. Dengan kata lain mereka sendiri memahami penciptaan situasi agar kembali atau terus damai. Jadi pengembangan masyarakat mulai dari belakang “community development start from behind”. Dengan pendekatan ini, pihak-pihak yang bertikai, berbeda, dan beragam akan mampu melakukan dialog kehidupan. Dialog kehidupan menurut Hans Kung (1998: 32) sebagai bukti bahwa setiap orang beragama bersedia membuktikan keimanannya masing-masing, di mana masing-masing umat bersedia meletakkan iman pada posisi yang setara dan melakukan aksi bersama untuk mencapai kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dialog ini dapat dilakukan dengan pola pendampingan dengan pendekatan andragogis partisipatoris (Mahdi, 2009: 41). Dari pendekatan inilah menginspirasi lahirnya Penelitian Tindakan Terlibat “Partisipatory Action Research”. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif naturalistik, yaitu penelitian yang mengarahkan formatnya pada keaslian data, kealamiahan, ungkapan subyek (realistik) dan bersifat induktif (Muhadjir, 2000: 108). Penelitian ini merupakan studi komunitas, maka semua subyek, lokasi, dokumen, aktivitas dan peristiwa yang mempunyai keterkaitan dengan fokus penelitian ini merupakan sumber data penelitian ini. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari data yang langsung diambil melalui kegiatan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mendokumentasikan informasi naratif dan gambar seperti buku statistik Kecamatan Pulung Ponorogo. REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO Pengumpulan data dilakukan melalui: 1). Kajian pustaka yaitu mempelajari beberapa dokumen dan literatur pendukung; 2). Wawancara mendalam (indepth interview) dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat Pulung, 3). Observasi lapangan khususnya mengenai suasana kehidupan masyarakat dan tradisi yang selama ini mereka anut; dan 4). Diskusi terbatas atau Focused Group Discussion (FGD). Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan terhitung sejak Juli sampai dengan Oktober 2015 di Kecamatan Pulung Ponorogo. Data dianalisis dengan metode analisis kualitatif sesuai saran dari Miles & Hubermen (1992: 16-19), yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dan Pembahasan Sekilas Kecamatan Pulung Ponorogo Kecamatan Pulung merupakan salah satu dari 21 kecamatan di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pulung memiliki arti keberuntungan yang tidak terduga-duga. Kecamatan Pulung terletak 25 km sebelah Timur Kota Ponorogo dengan jumlah penduduk 45.950 jiwa yang terdiri dari 22.978 laki-laki dan 22.972 perempuan, KK 22791, tingkat pertumbuhan, 0,28, dan kepadatan penduduk adalah 916 dan terdiri dari 18 Desa (Data Statistik Kabupaten Ponorogo Jawa Timur 2013). Luas wilayah Kecamatan Pulung adalah 127,55 km², dengan batas-batasnya yaitu sebelah Utara adalah Kecamatan Ngebel, sebelah Timur Kecamatan Pudak, sebelah Selatan Kecamatan Sooko dan Sawoo serta sebelah Barat adalah Kecamatan Siman. Keadaan sosial masyarakat Pulung sangat nampak dilihat dari keadaan sosial kemasyarakatannya, yakni dari terjalinnya hubungan masyarakat yang 59 harmonis antara pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya. Adat istiadat di Kecamatan Pulung sangat kental dengan nuansa gotong royong dan kekeluargaan. Hal ini terlihat dari kegiatan-kegiatan lokal seperti bece’an, aqiqah, sunatan, dzikir fida’, yasinan, berjanji, sambatan, bersih desa serta hajatan (Laporan KPM STAIN Ponorogo, 2014). Masyarakat Kecamatan Pulung mayoritas beragama Islam, sehingga kegiatan keagamaan umat Islam terlihat lebih semarak dibanding dengan umat lain, baik yang berkaitan dengan kegiatan peribadatan maupun kegiatan sosial keagamaan. Secara khusus, kehidupan keagamaan masyarakat Kecamatan Pulung nampak manakala kegiatankegiatan yang bernuansa ubudiyah (vertikal) secara massal banyak dilakukan masyarakat, seperti shalat berjamaah, menghadiri majlis taklim, yasinan, tahlilan, takziyah, istighozah, manakiban, peringatan hari-hari besar Islam yang dilengkapi dengan berbagai jenis perlombaan. Sarana ibadah bagi kaum Muslimin di Kecamatan Pulung semakin tercukupi pada kurun waktu 15 tahun terakhir, yakni sekarang terdapat sekitar 57 buah masjid dan 168 musholla, sementara gereja ada satu di Desa Pulung Merdiko. Penduduk yang beragama Kristen di Pulung sekitar 1,27% dari total penduduk 54.442 jiwa (Data Kependudukan Kecamatan Pulung). Semua kegiatan ibadah umat Kristiani di Kecamatan Pulung dipusatkan di gereja Desa Pulung Merdiko, letaknya sebelah selatan Kecamatan Pulung searah dengan jalur ke pusat agama Kristen di Desa Klepu. Sarana ibadah yang ada di Kecamatan Pulung dari segi kuantitas cukup baik. Artinya jumlah secara proporsional cenderung berbanding lurus mengikuti jumlah pemeluk agamanya. Namun jumlah yang proporsional belum diikuti kualitas beragama yang menggembirakan, karena umat Islam masih banyak yang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 60 MUKHIBAT melaksanakan kegiatan ibadah di rumah masing-masing. Artinya sarana ibadah yang sudah tersedia, baru berfungsi secara minimal. Salah satu persoalan yang ada di Kecamatan Pulung adalah semakin berkurangnya pemimpin agama yang peduli pada nilai-nilai kemasyarakat pada tingkat lokal karena terpengaruh menguatnya identitas dan simbol keagamaan yang bersifat global. Keadaan demikian terjadi hampir pada semua organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, LDII, Jamaah Tablig, dan MTA. Sebagai akibatnya konflik yang berupa gesekan/ketegangan juga sempat mewarnai kehidupan keagamaan di Kecamatan Pulung, yakni pengelolaan tempat ibadah, kehadiran Jamaah Tabligh, perbedaan faham agama, antara NU, Muhammadiyah, LDII dan MTA, serta Salafi (Nurudin, wawancara, 24 September 2014). Namun secara umum dalam relasi agama, sosial, budaya, dan politik masyarakat Pulung berkomitmen pada upaya untuk mewujudkan kesetaraan pada semua ranah. Itusetidaknya yang terekam selama pelaksanaan KPM STAIN Ponorogo berlangsung. Pendekatan dan Metode KPM Tematik Posdaya Berbasis Masjid dalam Membangun Spirit Harmoni Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat berbasis masjid yang dilakukan secara bersama oleh STAIN Ponorogo adalah hal baru dan bernilai sangat strategis. Selama ini, pengembangan masyarakat selalu menjadikan kantor desa atau lembagalembaga teknis lainnya sebagai basis. Kebijakan itu tidak keliru, tetapi berdasarkan pengalaman selama ini ternyata terasa kurang strategis. Pengembangan masyarakat berbasis HARMONI Mei - Agustus 2015 kantor desa seolah-olah harus bersifat dinas dan formal, sehingga menjadikan kegiatannya terasa formal pula. Gagasan yang awalnya diperkenalkan oleh Yayasan Dana Mandiri untuk mengambil strategi baru, dengan menjadikan masjid sebagai basis adalah merupakan ide yang cerdas. Masyarakat, terutama komunitas Muslim selalu menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, terutama pada kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual, misalnya shalat berjama’ah, pengajian rutin dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan menjadikan masjid sebagai basis, maka kegiatan itu akan relevan dengan kultur yang selama itu hidup dan berkembang. Pertanyaannya kenapa berpusat di masjid? karena masjid merupakan sentra aktivitas keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang memiliki multifungsi dan sarana mengembangkan modal sosial sebagai bentuk da’wah bil hal (LPM UIN Malang, 2011: 5). Datang ke masjid merupakan panggilan teologis dan spiritual. Lebih dari itu, masjid juga bisa dipandang sebagai institusi sosial, tempat di mana interaksi sosial terjadi. Masyarakat jamaah masjid mempunyai modal sosial sebagai dasar untuk membinaanya, yang dapat memunculkan sinergitas antara peran masjid sebagai pusat pemberdayaan umat dengan fungsifungsi keluarga serta menumbuhkan rasa saling percaya (trust), solidaritas (solidarity), kerja bersama (collective action), kerjasama (cooperation), kerekatan sosial (social cohession) dan sikap inklusif, serta penghargaan harkat-martabat bagi masyarakat. Maka sangat tepat apabila dikatakan bahwa masjid bisa menjadi perekat kuat untuk merajut harmoni di antara masyarakat terutama sesama Muslim. Berdasarkan komitmen P3M STAIN Ponorogo keseluruhan kegiatan KPM mempergunakan pendekatan participatory action research (PAR). PAR REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO tidak memisahkan antara teori, praktik, dan transformasi sosial, serta komitmen untuk membangun ilmu pengetahuan rakyat (people knowledge) yang berbasis lokalitas. Kelebihan PAR menurut Agus Rasidi (2014) kebutuhan (needs) dan potensi jamaah yang sesungguhnya, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya dapat dikembangkan dengan baik. Model ini dipergunakan atas pertimbangan pentingnya “kerjasama aktif” antara peneliti (pihak luar) dan anggota masyarakat dengan menekankan pada proses belajar. PAR dipandang sebagai pilihan paling sesuai untuk prinsip-prinsip penyelenggaraan program pemberdayaan masyarakat yang secara eksplisit menekankan pentingnya caracara partisipatif (Ditpertais, 2013: 14-15). Pendekatan PAR dalam KPM Posdaya STAIN Ponorogo digunakan secara konsisten dengan alasan: Pertama, PAR menghargai masyarakat di Kecamatan Pulung telah memiliki modal sosial dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman untuk dapat berkembang menjadi kekuatan sosial dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera lahir dan batin. Kedua, PAR memiliki seperangkat metode untuk membangkitkan kesadaran manusia atau komunitas untuk ”melek” akan permasalahan mereka sendiri dengan langkah mapping, transector, pohon masalah, dan matrik rangking. Ketiga, PAR menciptakan kebersamaan antara insider dan outsider serta intern insider sendiri. Keempat, PAR mendorong masyarakat Pulung mandiri tidak tergantung pada bantuan dari luar. Kelima, PAR menutup kekurangan model-model penelitian pada umumnya yang ”bekerja di atas meja”. Adapun metode dan langkahlangkah KPM dengan model PAR di Kecamatan Pulung Ponorogo, yaitu: 1). Mapping, teknik ini untuk memfasilitasi jamaah masjid dan masyarakat dalam 61 menggambarkan keadaan wilayah berkaitan dengan peta sosial keagamaan (topikal). Dalam rangka menghindari kekeliruan informasi, posisi, dan kondisi sosial keagamaan penduduk tim KPM mengadakan pemetaan dengan cara musyawarah bersama-sama dengan jamaah masjid dan masyarakat yang bertempat di rumah kepala dusun; 2). Transector, adalah penelusuran wilayah untuk menemukan modal sosial masyarakat sebagai satu kesatuan yang merupakan prasarat terciptanya hubungan yang harmonis, yakni dalam bentuk interaksi, kerjasama, komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, keagamaan, kesehatan, dan pendidikan. Transektor ini sangat penting bagi tim KPM untuk mendesain program pemberdayaan dan pengembangan jamaah masyarakat masjid agar masyarakat mau dan mampu mengembangkan modal sosial tersebut dalam melakukan kerja sama, interaksi, komunikasi kegiatan dialog aksi yang lain; 3). Venn Diagram, untuk melihat pola relasi, interaksi sosial jamaah masjid dan masyarakat dengan berbagai lembaga atau institusi desa yang ada (Tim P3M STAIN Ponorogo, 2014: 7). Venn Diagram ini mampu mendeteksi komunikasi dan interaksi antar institusi masyarakat desa, sehingga dapat diketahui efektif tidak saluran komunikasi yang ada dalam menjalin kerjasama atau aksi sosial. Selain itu Venn Diagram juga digunakan untuk mengidentifikasi apa permasalahan masyarakat, siapa-siapa yang terlibat, mengapa permasalahan tersebut muncul, di mana lokus permasalahan muncul (menunjuk peran dominan), serta bagaimana bentuk dan pola peran dimainkan. Hasil Venn Diagram ini adalah adanya institusi-institusi di masyarakat tidak terhubung dengan bagus, artinya ada saluran komunikasi yang tidak jalan antara kelompok masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sehingga kegiatan ekomoni, pendidikan agama hanya terbatas pada kelompok mereka Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 62 MUKHIBAT sendiri yang secara ideologi keagamaan mempunyai kesamaan; 4). Timeline, adalah penelusuran alur sejarah suatu masyarakat dengan menggali kejadiankejadian penting yang pernah dialami pada alur waktu tertentu. Berdasarkan langkah-langkah di atas, tim KPM mendesain programprogram seperti kegiatan kerjasama bidang perekonomian (home industry), pertanian, kesehatan, sosial keagamaan, dan pendidikan. Bidang perekonomian Tim KPM melakukan motivation trainning dengan mendatangkan nara sumber dari Dinas Peternakan Ponorogo, sekaligus menjejaringkan modal bagi pengembangan usaha sapi perah. Kegiatan ini dilakukan selama dua hari dan usaha keras dari tim KPM, jamaah dan masyarakat yang berbeda faham ajaran agama dan bahkan berbeda agama sangat antusias dalam mengikuti acara tersebut. Hasil dari kegiatan ini muncul kesadaran beberapa warga yang telah mempunyai usaha sapi perah dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada warga yang lain. Hal yang sama terjadi pada kegiatan penyuluhan kesehatan dan pendidikan, masyarakat seakan terhipnotis oleh pesona dari mahasiswa KPM STAIN Ponorogo, sehingga mereka sangat termotivasi untuk secara bersama-sama menjalankan program yang berkaitan dengan kesehatan seperti Posyandu maupun pendidikan dalam bentuk bimbingan belajar bagi putra-putrinya. Kerja sama bidang-bidang tersebut, telah menjadi saluran komunikasi yang efektif dalam membangun hubungan dialogis antara umat beragama. Komunikasi antara mereka terjalin secara intens tanpa memandang perbedaan keyakinan, dan yang paling penting adalah tolong menolong dalam kebersamaan melakukan pekerjaan. Di masyarakat Kecamatan Pulung telah terjadi pertemuan hati dan pikiran intern HARMONI Mei - Agustus 2015 beragama yang berbeda faham maupun yang sefaham. KPM Posdaya Berbasis Masjid di Pulung sejak tahun 2014 telah berhasil melakukan revitalisasi fungsi masjid dalam peran sosial dan keagamaan, yaitu: 1). Meningkatkan kapasitas kelembagaan masjid terutama pembenahan manajemen masjid dikelola secara profesional, agar peran masjid sebagai pusat peradaban Islam bekerja secara professional; 2). Menyegarkan modal sosial jamaah masjid sebagai kekuatan dalam membangun komitmen untuk mengembangkan Posdaya; 3). Meningkatkan kapasitas SDM kader Posdaya masjid yang mampu menjadi fasilitator yang baik dan efektif dalam mendampingi jamaah; 4). Melestarikan eksistensi masjid melalui peran generasi muda agar estafeta kepemimpinan takmir berjalan dengan baik, yang dapat mengantarkan masjid menjadi makmur dan jama’ahnya menjadi sejahtera; 5). Membangun jejaring pihakpihak terkait sehingga Posdaya yang dikembangkan mendapatkan dukungan dari berbagai stakeholder. Respon-Adaptasi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Program KPM Tematik Posdaya Berbasis Masjid dalam Dialog Aksi Masyarakat di Kecamatan Pulung sangat mendukung program KPM STAIN Ponorogo dengan pendekatan PAR (Participatory Action Reseach) dan Focused Group Discussion (FGD) yang menurut mereka sangat menguntungkan bagi masyarakat. Mereka selama ini tidak dapat mengetahui potensi dan masalah yang selama hadapi serta tidak mengetahui jalan mana yang harus ditempuh untuk mengatasinya (Agus, wawancara, 10 Agustus 2014). Program-program seperti kesejahteraan manusia, kemiskinan, pendidikan menyangkut kebutuhan dasar mereka dengan pendekatan andragogy REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO sangat cocok dengan karakteristik masyarakat, karena mempunyai tujuan esensial yaitu pengembangan masyarakat dan peningkatan kualitas manusia, maka perubahan yang terjadi adalah perubahan kualitas diri (insaniah) (Suisyanto, 2005: 41). Nilai budaya yang berlaku di masyarakat Pulung juga telah berpengaruh terhadap persepsi mereka tentang pendidikan, terutama dalam memandang nilai anak. Nilai dipandang sebagai kaidah hidup yang akan selalu dihargai, dipelihara, dan diagungkan dalam mengambil keputusan. Kaidah hidup seseorang akan tercermin dalam pola pikir, aspirasi, persepsi, dan perilaku (Kaswardi, 2006: 7). Nilai-nilai tersebut, yang menjadikan pemerintah desa dan semua unsur masyarakat yang berbeda faham dan agama bersedia duduk bersama untuk membicarakan tentang kepentingan pendidikan agama bagi anak-anak mereka. Nilai-nilai budaya juga telah memunculkan keinginan yang kuat dari jamaah dan masyarakat di Kecamatan Pulung untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan dalam suatu kegiatan KPM seperti kegiatan ekonomi, kesehatan, sosial keagamaan. Jamaah dan masyarakat telah melibatkan diri dan selalu mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial mereka. Pola kegiatan seperti di atas yang memanfaatkan kearifan-kearifan lokal merupakan alternatif merangkai spirit harmoni yang patut dipertimbangkan. Melalui kesediaan berbagai aktor lokal terlibat dalam berbagai kegiatan sosial menjadikan potensi konflik sebagai energi positif bagi masyarakat. Hal ini menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah (2008: 27), dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial. Fenomena ini menurut pandangan teori 63 fungsionalisme-struktural, telah terjadi penguatan hubungan sosial, karena masyarakat telah menyadari bahwa hubungan sosial dan solidaritas dapat diperkuat dengan berbagai kerjasama kehidupan. Teori ini juga memandang bahwa masyarakat membutuhkan kondisi kohesif sehingga kehidupan sosial sangat bergantung pada solidaritas yang didasarkan pada resiprositas dan kerjasama (Kahmad, 2002: 169). Partisipasi jamaah masjid dan masyarakat yang tinggi dalam berbagai program KPM menunjukkan telah terjadi dialog aksi di antara mereka. Dialog aksi bukan hanya sebuah pilihan, tetapi telah menjadi kebutuhan hidup yang menentukan masa depan mereka. Menurut Knitter (1995: 85), inilah dialog dalam arti sebenarnya: suatu perjumpaan di mana semua pihak berbicara tanpa rasa takut, namun juga dan sama pentingnya, mendengarkan tanpa rasa takut. Dialog yang tidak saja pada tataran teologis tetapi juga merekomendasikan kesejahteraan manusia pada semua tingkatan dan dalam semua dimensi. Dialog seperti ini menurut Knitter (1995: 151), akan menambah kredibilitas moral, karena tidak hanya dilakukan pada tingkat intelektual dan spiritual, tetapi juga selalu menyentuh masalah permasalahan sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa KPM STAIN Ponorogo dengan berbagai program nyata bersama masyarakat telah mampu membangun kesadaran dan merumuskan bersama dengan masyarakat akan kebenaran ajaran agama dalam perspektif pemeluk agama lain dan bagaimana kewajiban yang harus dijalankan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Kehidupan dan kemanusiaan inilah yang menjadi titik temu agama-agama untuk membangun dan mengembangkan hubungan dan kerjasama antar umat beragama untuk kebaikan semua umat manusia (Asry, 2013: xxiii). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 64 MUKHIBAT Kegiatan sosial kemasyarakatan yang direncanakan dari masjid telah menyadarkan masyarakat bahwa agama yang dianutnya terdapat hikmah-hikmah (wisdom) ketuhanan dan kemanusiaan yang mirip, atau bahkan sama antara satu sama lain, maka kearifan terdalam pada masing-masing tidak hanya dapat memerkaya dan mempersubur satu sama lain, tetapi juga dapat dan akan terus memberi kehangatan makna bagi mereka dan bahkan bagi masa depan anak-anaknya. Dengan kata lain, hikmah dan kearifan yang dikandung oleh ajaran agama diyakini akan terus relevan dan aktual, apalagi jika digali dan diperkaya dengan cara dialog aksi yang selama ini dilakukan bersama tim KPM. Berdasarkan keyakinan yang demikian hanya dengan kekayaan wisdom itu manusia-manusia sepanjang waktu dapat terus memberi makna di dalam hidupnya, dapat menjadi manusia yang otentik. Lebih dari itu, dialog aksi dapat menjadi “air yang hangat” yang dapat melembutkan pergaulan dan hubungan antaragama yang dirasa semakin ”mengeras.” Kerjasama, interaksi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan KPM, sebagai bentuk dialog dalam rangka membudayakan hidup rukun dan harmonis di antara mereka. Ajaran agama mereka yang selama ini dianutnya ternyata memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Hal ini menurut Waryani Fajar Riyanto dalam Hodgson (2014: 568) disebut dengan Islamicate, yakni agama Islam bagi masyarakat bermakna sebagai hubungan sosial dan budaya, yang memunculkan semangat bersama mengenai perlunya membangun kerukunan antarumat beragama. Fenomena ini membuktikan bahwa respon jamaah dan masyarakat terhadap masalah kerukunan beragama untuk menuju hari depan yang lebih baik HARMONI Mei - Agustus 2015 bagi kelangsungan hidup bermasyarakat telah manjadi nilai hidup mereka yang akan diwariskan pada anak cucu mereka. Masyarakat Pulung juga semakin antusias menjalankan sholat berjamaah, perbedaan faham ajaran agama antara LDII, Salafi, NU, Muhammadiyah, Kristen yang selama mewarnai dalam kehidupan beragama juga tidak kelihatan lagi (Fieldnote KPM STAIN Ponorogo tahun 2014). Mereka masing-masing telah bersedia meletakkan iman pada posisi yang setara dan melakukan aksi bersama untuk mencapai kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi daerah tempat tinggalnya. Perbedaan yang berpotensi konflik tersebut benarbenar telah menjadi energi positif bagi masyarakat dalam membina kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan bersama. Menurut Knitter (2003: 246) dialog aksi yang terjadi pada masyarakat Pulung tersebut berhubungan erat dengan dialog telogis mereka. Dialog aksi akan membentuk persahabatan baru di antara umat beragama, suatu persahabatan yang diukir dan dipererat dengan berbagi pengalaman. Karena persahabatan itu, dialog teologis-mistis dapat berkembang. Dalam bahasa Knitter “dialog etis akan mengasuh teologi.” Ada hubungan yang kuat antara dialog etis dan teologis untuk saling menghimbau, saling menghidupkan, dan saling mentransformasikan Dengan demikian dialog umat beragama dapat dimaknai bukan sekadar usaha menyelesaikan konflik yang ada, melainkan usaha untuk membangun suatu “masyarakat yang saling bergaul,” suatu “masyarakat penuh kasih dan bernalar” melintasi berbagai halangan ras, etnis, dan agama; umat belajar memahami perbedaan-perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dan REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO “normal.” Knitter, percaya bahwa dialog merupakan ikhtiar untuk membantu umat dalam memahami dan menerima yang lain dalam “keberlainan” mereka. Dialog aksi telah membuat masyarakat jamaah masjid merasa nyaman berada “di rumah” dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman. KPM Posdaya Berbasis Masjid telah memainkan peran sebagai resolusi konflik dalam membentuk suatu kerukunan dan kedamaian masyarakat Pulung Ponorogo. Penutup KPM Tematik Posdaya Berbasis Masjid dilakukan menggunakan pendekatan PAR dengan langkahlangkah mapping, transector, venn diagram, dan timeline telah mampu mencairkan kebekuan komunikasi antarmasyarakat yang berbeda, beragam, dan bertikai. Modal sosial jamaah masjid telah menjadi integrative climate (bridging social capital) 65 dalam bentuk civic association sebagai dasar untuk membinanya, sehingga muncul sinergitas antara peran masjid sebagai pusat pemberdayaan umat dengan fungsi-fungsi keluarga. Kegiatan sosial yang dipusatkan dari masjid semacam ini telah menyadarkan masyarakat bahwa agama yang dianutnya terdapat hikmah-hikmah (wisdom) sebagai modal dalam merangkai keharmonisan dalam kehidupan memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Dialog aksi yang mereka lakukan telah benar-benar memperkaya dialog teologis mereka, hal ini telah terbukti dengan berfungsinya masjid dalam dimensi yang sangat luas, tidak hanya fungsi ibadah dan dakwah, tetapi juga fungsi edukasi, ekonomi, sosial dan budaya, serta komunikasi dan informasi, dan jejaring sosial. Dialog kehidupan telah menjadi “air hangat” yang dapat melembutkan pergaulan dan hubungan antaragama. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, (ed.). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Ali, Mukti. “Dialog dan Kerjasama Agama dalam Menanggulangi Kemiskinan” dalam Sairin, Weinata (ed.), Dialog Antar Umat Beragama: Membangun Pilar-Pilar Keindonesiaan yang Kukuh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer, Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Asry, M. Yusuf. Masyarakat Membangun Harmoni, Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2013. Basyuni, Muhammad M. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag RI, 2007. Ditpertais. Panduan Program Pemberdayaan Mutu Madrasah/Pesantren Perguruan Tinggi Agama Islam. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2013. Dampingan Ditpertais, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 66 MUKHIBAT El Mahdi, Lathifatul Azizah. “Dialog Aksi Antrumat Beragama: Strategi Membangun Perdamaian dan Kesejahteraan Bangsa: dalam Harmoni, Volume VIII, Nomor 30, April-Juni 2009: 41. Hasan, Noorhaidi. “Dakwah, Aktivitas Diskursif dan Tantangan Globalisasi” dalam Kementerian Agama RI, Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012. Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002 Kaswardi. Mandat Masyarakat yang Dijalankan oleh Sistem Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta, 2006. Kementerian Agama RI. Peran Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013. Kementerian Agama RI. Peranan Forum Kerukuan Umat Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010. Knitter, Paul. One earth Many Religions, Multifaith Dialogue & Global Responsibility. with Preface by Hans Kung, Maryknoll. New York: Orbis Books, 1995. Knowles, Malcolm. Modern Practice of Edult Education from Paedagogy to Andragogy. Chicago: Fiolet Publishing Company, 1979. Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Paramadina, Jakarta, Paramadina Juli-Desember, 1998. Laporan KPM STAIN Ponorogo di Kecamatan Pulung Ponorogo. LPM UIN Malang. Pedoman Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat Tematik Posdaya Berbasis Masjid. Malang: PT Citra Kharisme Bunda, 2011. Miles, M. B. and A.M. Hubermen. Analisis Data Kualitatif. terj. Tjetjep Rohadi. Jakarta: UI Press, 1992. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. P3M STAIN Ponorogo. Buku Pedoman Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Posdaya Berbasis Masjid dengan Pendekatan Participatory Action Research (PAR). Ponorogo: STAIN Po Press, 2014. Qodir, Zuly. “Kontestasi Penyiaran Agama di Ruang Publik:Relasi Kristen dan Islam di Kota Jayapura” dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius,Vol. 14, No. 1 Januari-April 2015. Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta: Kencana, 2010. Rasidi, Agus. Manajemen Masjid dan Masjid Online, 16 September 2014, http://www. arroyyan. Com. Riyanto, Waryani Fajar. Studi Islam Indonesia (1950-2014), Rekonstruksi Sejarah Perkembangan Studi Islam Integratif di Program Pascasarjana PTAI & Annual International Concerence on Islamic Studies (AICIS). Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2014. Suisyanto, (ed). Islam Dakwah & Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN Yogyakarta: 2005. HARMONI Mei - Agustus 2015 REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 67 Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2001. Syamsiyatun, Siti. Islamic ethics and Social Problems in Indonesia. Geneva: net, 2013. Globethics. Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik Dan Bina Damai Etnorelijius Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013. Zaman, Muhammad Qasim. The Ulama in Contemporary Islam. Pricenton and Oxford: Pricenton University Press, 2002. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 68 AHMAD ALI MD PENELITIAN Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Ahmad Ali MD Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Abstract Abstrak Understanding Shia doctrine cannot be separated from its point of view. Its mainstream view is certainly not always right. Non-mainstream view is more relevant and more proper in portraying Shia and its doctrine. The sixth Muslim pillars and Islamic jurisprudence are different from mainstream doctrines (Sunni doctrines) but they are not considered as deviance because they have their own various perspectives. It can be seen from mut’ah marriage that is not absolute; there is a relevant perspective revealed by Ja‘far al-Subhânî. He states that mut’ah marriage is allowed by some determined requirements and unlike common view discrediting its perspective. Therefore to understand Shia doctrine at least is needed five non-authoritative interpretations such as honesty, perseverance, comprehensiveness, rationality, and selfcontrol. Those understandings contribute to tolerance towards Shia. Memahami doktrin Syiah tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang terhadapnya. Sudut pandang mainstrem tidak selalu tepat. Justru sudut pandang non mainstrem relevan dan tepat dalam memotret Syiah dan doktrin ajarannya. Doktrin rukun iman, dan doktrin fikih yang berbeda dengan doktrin mainstrem (mazhab Sunni) tidak boleh serta merta dijustifikasi sebagai sesat, keluar dari Islam sebab di dalam Syiah sendiri terdapat pula pandangan yang beragam. Sebagai bukti, doktrin kehalalan nikah mut’ah bukanlah bersifat mutlak; ada pandangan, seperti dikemukakan oleh Ja‘far al-Subhânî, yang lebih relevan dan sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam pandangan tersebut, nikah mut’ah dibolehkan dengan persyaratan yang ketat, dan tidak seperti gambaran umum yang mendiskreditkannya. Oleh karena itu, dalam memahami doktrin Syiah diperlukan lima hal interpretasi non-otoritarian, yaitu kejujuran, kesungguhan, komprehensif, kerasionalan, dan pengendalian diri/ kehati-hatian. Pemahaman demikian akan mendorong tumbuhnya toleransi terhadap Syiah. Keywords: Shia, doctrine, Ja‘far al-Subhânî, authoritative interpretation, tolerance. Pendahuluan Tanpa pemahaman yang baik terhadap Syiah, maka seseorang atau kelompok justru akan melahirkan antipati bahkan pengkafiran dan tindakan anarkis terhadapnya. Padahal takfîr tidak serta merta dapat dilekatkan pada seseorang atau aliran tertentu. Terdapat HARMONI Mei - Agustus 2015 Kata kunci: Syiah, doktrin, Ja‘far al-Subhânî, interpretasi otoritatif, toleransi. persyaratan yang ketat mengenai takfîr ini, misalnya dikemukakan oleh Ibn al-Subkî, sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn al-Mûsawî: ”...maka hukum pengkafiran hanyalah boleh ditujukan kepada orang yang mengingkari dua kalimat syahadat dan keluar dari agama Islam secara keseluruhan....” (al-Mûsawî, MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI 69 1967: 28-29). Hal ini karena Islam sangat mengedepankan ajaran toleransi dalam pelaksanaan ajaran agama. Disebutkan dalam Firman Allah Swt: ”Bagi kami amal-amal (ajaran agama) kami, dan bagi kamu amal-amal (ajaran agama) kamu” (QS. al-Syu‘arâ [42]: 15, al-Qashash [28]: 55). dengan argumen pemurnian teologis, sementara Muhsin menerima keberadaan Syiah tanpa harus menerima interpretasi ajaran agama Islam dari Muslim Syiah. Argumentasinya adalah untuk menjaga nilai-nilai universal, seperti pluralisme, toleransi, dan hak-hak kewarganegaraan (Farida, 2014: 159-174). Secara umum, sudut pandang dalam memahami Syiah dan ajarannya dapat penulis kelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, sudut pandang antipati, yang secara apriori menolak Syiah, dan memandangnya sebagai aliran sesat bahkan di luar Islam. Sudut pandang ini direpresentasikan oleh Persatuan Islam (Persis), Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam Indonesia (FUII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua, sudut pandang yang menerima Syiah. Sudut pandang ini menyatakan bahwa Syiah tidak keluar dari agama Islam, dan perbedaan ajarannya dengan aliran yang lain adalah masuk dalam ranah khilafiyah. Sudut pandang ini direpresentasikan oleh kalangan internal Syiah sendiri, dan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah (Muhsin). Ketiga, sudut pandang moderat-kritis, yang tidak serta merta menerima ataupun menolak Syiah, tetapi penerimaan atau penolakan terhadapnya selalu didasarkan pandangan moderat dan kritis dalam bingkai toleransi beragama. Pandangan ini direpresentasikan kalangan intelektual dan akademisi. Dalam kerangka tiga sudut pandang di atas, posisi penulis termasuk dalam sudut pandang yang ketiga. Untuk itu, diperlukan uraian yang komprehensif mengenai asal usul dan varian Syiah, serta doktrin atau ajaran pokoknya, di antaranya doktrin imâmah, ‘ishmah, haram mengucapkan amin dalam shalat, dan doktrin halal nikah mut’ah. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana memahami doktrin Syiah dalam bingkai toleransi? Oleh karena itu penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi kitab-kitab Syiah, dan pandangan Ja‘far al-Subhânî, tokoh Syiah terkemuka, yang menjadi marja‘ al-taqlîd, serta menganalisisnya dengan pendekatan filsafat. Dalam analisis ini dipergunakan lima parameter interpretasi otorotatif versi Khaled Abou El-Fadl. Pendekatan filsafat tersebut relevan digunakan, karena dapat menghasilkan kajian yang kritis dan mendalam. Dengan cara ini, akan diperoleh wawasan mengenai pemahaman konsep Syiah yang proporsional, sehingga mendorong tumbuhnya sikap toleransi yang tinggi. Dalam konteks ini Anik Farida telah melakukan penelitian mengenai respon organisasi kemasyarakatan Islam terhadap Syiah di Bandung, Jawa Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa respon terhadap eksistensi Syiah di Bandung, Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi dua, yang direpresentasikan oleh dua ormas, yaitu FUUI dan Muhsin. FUUI menolak Syiah Asal-Usul dan Varian Syiah Memahami asal-usul dan varian Syiah ini penting untuk menghindarkan generalisasi Syiah, yang mengakibatkan kesalahpahaman dalam memahami Syiah dan ajarannya. Asal kata Syiah, yang bentuk nisbatnya adalah Syî‘î, adalah alfirqah min al-nâs (suatu aliran manusia) baik untuk seorang, dua orang maupun jamak, baik laki-laki maupun perempuan dengan lafad satu dan makna satu. Syiah adalah istilah umum yang pengertiannya mencakup semua pendukung ‘Alî ibn Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 70 AHMAD ALI MD Abî Thâlib r.a. dan semua ahli baitnya (ahli baitihi ajma‘în), sehingga menjadi nama khusus. Para pendukung ‘Alî itu sederhananya berarti ”partai” ‘Alî. AlAzharî, sebagaimana dikutip oleh Muhsin al-Amîn, mengatakan bahwa: ”Makna Syiah adalah kaum yang condong kepada ‘itrah nabi dan mencintai mereka” (alAmîn, 1998: I, 19). Pada awal kelahirannya, sikap Syiah merupakan sikap politik yang mendukung ‘Alî r.a. sebagai pemimpin (imam/ khalifah). Dukungan ini didasarkan pada keberpihakan Syiah kepada ‘Alî. Keanggotaan kelompok ini dipersempit pada orang-orang yang mendukung ‘Alî dan keturunannya. Sikap ini merupakan respon terhadap pembentukan prinsip turunan oleh Muawiyah. Sungguhpun demikian, prinsip keturunan pun tidak menyelesaikan masalah, karena Syiah telah melakukan tindakan yang melebihi terhadap penentangnya (El-Affendi, 2001: 32, Tholib, 2007: 178-179). Dalam perkembangannya selama bertahun-tahun, Syiah berkembang dari hanya sebagai partai politik menjadi sekte, dan beberapa kelompok kecil atau banyak varian, yang terlibat dalam konflik dan permusuhan dengan Sunni dengan tingkatan yang berbeda-beda, yang berbeda dari arus utama dalam beberapa wilayah hukum. Meskipun demikian, kesuksesan yang dicapai oleh negara yang diilhami oleh Syiah, tidak membawa perbedaan yang signifikan dari praktik umum negara-kekuasaan yang dibangun oleh Muawiyah yang bersandar pada paksaan, pajak ilegal dan dispensasi korup dari dana publik. Hal ini terjadi pada abad IV Hijriah, ketika seluruh dunia Islam berada di bawah pemerintahan Syiah. Negara-negara ini tidak berbeda dengan saingannya, negara Sunni. Bahkan beberapa di antaranya lebih tidak adil dan jauh menyimpang dari cita-cita Islam, daripada beberapa negara tetangganya yang dekaden atau HARMONI Mei - Agustus 2015 negara-negara sebelumnya (El-Affendi, 2001: 32-33). Adapun varian Syiah dapat dilihat dari klasifikasi yang dikemukakan oleh al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Asy‘arî (w. 330 H.), yang mendapat julukan Syaikh Ahl al-Sunnah wa-alJamâ‘ah. Dalam kitabnya Maqâlât alIslâmiyyîn, al-Asy‘ârî membagi Syiah kepada tiga varian besar. Pertama, alGhâliyyah (extrimist sects), yaitu mereka yang mengkultuskan ‘Alî r.a. secara ekstrim; mempertuhankan dirinya atau menganggapnya sebagai nabi, terdiri atas 15 (lima belas) firqah. Kedua, al-Râfidhah, yaitu mereka yang mengklaim adanya teks dalil mengenai ‘Alî r.a. sebagai orang yang paling berhak sebagai khalifah pasca wafatnya Nabi; di samping juga mereka berlepas diri dari para khalifah sebelum ‘Alî dan para sahabat pada umumnya; mereka selain al-Kâmiliyyah berjumlah 24 (dua puluh empat) varian. Mereka dikenal juga sebagai al-Imâmiyyah. Ketiga, al-Zaidiyyah, yaitu para pengikut Zaid ibn ‘Alî ibn al-Husain; mereka lebih mengutamakan ‘Alî r.a. dibandingkan seluruh sahabat yang lain, meskipun tetap mengakui kekhalifahan Abû Bakar dan ‘Umar r.a. Keterangan lebih rinci mengenai varian Syiah ini dapat dilihat dalam al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl al-Asy‘arî dalam kitabnya Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf al-Mushallîn, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd (1950: 65-155), dan Abû ‘Îsâ Muhammad Ibn Husain al-Mishrî, dalam kitabnya alMausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib waal-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah (2011: I, 153-174). Terkait dengan varian-varian Syiah, ada klasifikasi menarik yang dibuat oleh ‘Alî Syarî‘ati (1933-1977) mengenai Syiah, yaitu ”Syiah Hitam” dan “Syiah Merah”. Istilah Syiah Hitam dialamatkan kepada jenis Syiah penguasa, yang berbeda dengan Syiah ‘Alî dan Imam al-Husain. MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI Sedangkan Syiah Merah digunakan untuk menyebut Syiah ‘Alî, yakni Syiah kesyahidan (Shi‘ism of martyrdom) --Islam yang berselimutkan jubah merah kesyahidan. Dalam pandangan Syari‘ati, sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra (1996: 77-78), Syiah yang benar ialah Syiah protes dan revolusioner. Syiah revolusioner ini merupakan Syiah awal, yang dipersonifikasikan Abû Dzâr (al-Ghifarî) dengan kepapaannya, dan Imam al-Husain dengan kesyahidannya. Keduanya dipandang sebagai simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syiah revolusioner ini dalam perjalanannya kemudian mengalami ”penjinakan” atau pelunakan di tangan kelas atas, penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas ”Islam” versi penguasa. Keseluruhan varian Syiah di atas merujuk pada empat kitab hadis utama, yang dikenal sebagai al-Kutub alArba‘ah. Keempat kitab hadis ini adalah al-Kâfî karya Hujjat al-Islâm Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulainî (w. 328/329 H.), Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh karya Abû Ja‘far Muhammad ibn ‘Alî ibn Mûsâ ibn Bâbawaih al-Qarnî al-Qummî, yang dikenal sebagai Syaikh al-Shadûq (320-381 H.), dan Tahdzîb al-Ahkâm dan alIstibshâr fî Mâ Ikhtalafa min al-Akhbâr, karya al-Syaikh Abû Ja‘far Muhammad ibn Hasan al-Thûsî (385-460 H.). Inilah Empat Kitab yang dijadikan pegangan (sumber) utama hadis, dan sumber hukum dalam mazhab Syiah. Sungguhpun demikian, terdapat perbedaan di antara mereka dalam menilai status dan kualitas hadis dalam empat kitab tersebut. Pemahaman yang tidak utuh mengenai hal ini mengakibatkan kesalahpahaman pula dalam memahami ajaran atau doktrin Syiah, seperti doktrin nikah mut’ah. Sebagaimana diketahui bahwa status hadis yang mutawâtir dalam kitab-kitab hadis Syiah, termasuk Sunni, sangatlah sedikit, berbeda dengan hadis âhâd yang sangat banyak jumlahnya. Dalam hal 71 inilah muncul banyak pendapat. Secara garis besar, perbedaan pendapat dalam Syiah tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang menerima hadis âhâd sebagai hujjah hukum. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa hadis âhâd bukan merupakan hujjah hukum, karena bukan dalil yang sifatnya pasti (definitif). Dari perbedaan pandangan tersebut muncul banyak varian pendapat: 1) Kelompok yang secara mutlak menolak kehujahan hadis âhâd; 2) Kelompok yang menerima kehujahan hadis âhâd, khususnya yang terdapat dapat al-Kutub al-Arba‘ah, karena dipastikan kebenarannya; 3) Kelompok yang menerima kehujahan hadis âhâd pun terbelah menjadi banyak varian: (a) Kelompok yang menerima kehujahan semua hadis âhâd yang terdapat dalam al-Kutub al-Arba‘ah semata, dengan mengecualikan hadis yang menyalahi hadis yang masyhur; (b) Kelompok yang menyatakan kehujahan sebagian hadis âhâd dalam al-Kutub alArba‘ah, dengan tolok ukur pengamalan sahabat (‘amal al-ashhâb); (c) Kelompok lainnya mendasarkan tolok ukurnya pada keadilan rawi atau kemutlakan kredibilitasnya ataupun persangkaan kuat semata tanpa mempertimbangkan sifat rawi dan seterusnya (Ali MD, 2012: 228-242). Dalam kaitannya dengan hadishadis di luar Syiah yang tersebut dalam al-Kutub al-Sittah/al-Kutub al-Sab‘ah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmidzî, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, dan Musnad Ahmad bin Hanbal), hadis-hadis ini tidaklah dijadikan hujah oleh Syiah. Riwayat-riwayat sahih dalam kitab-kitab hadis Sunni ini ditolak oleh Syiah karena dinilai da’if, disebabkan para perawi dalam sanadnya (yang merupakan para sahabat senior dan para imam yang amanah) tidak percaya terhadap akidah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah (al-Sâlus, 2011: 142). Oleh karena itu, dalam Syiah, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 72 AHMAD ALI MD ada tiga unsur tarjîh (riwayat hadis yang diunggulkan), yaitu kemasyhuran, kesesuaian dengan al-Kitab dan alSunnah, dan perbedaan dari pendapat umum/Sunni (al-Muzhaffar, 1421: III, 217). Sebagai bukti, Syiah Ja’fariyah mengutamakan riwayat masyhur atas yang tidak masyhur bahkan atas hadishadis yang sesuai dengan al-Kitab dan alSunnah. Dalam hal ini, al-Muzhaffar (1421: III, 227) mengatakan: ”Hasilnya, tidak ada satu kaidah pun yang meniscayakan untuk mendahulukan salah satu di antara hadis-hadis yang ditarjih, selain karena kemasyhuran sebagai syarat diterimanya dan didahulukan”. Beberapa Doktrin Kontroversial Syiah yang Penggunaan terma kontroversial ini didasarkan pada keterkaitannya dengan doktrin umum atau mainstream, sebagaimana yang terdapat dalam Sunni. Di samping itu, dalam beberapa rincian doktrin tersebut, terdapat pula perbedaan di dalam Syiah itu sendiri. Beberapa doktrin Syiah yang penulis pandang kontroversial, di antaranya doktrin dalam bidang rukun iman dan hukum/fikih. Di antara doktrin Syiah yang penting dikemukakan di sini adalah doktrin imâmah, ta’mîn (membaca amîn dalam salat), dan nikah mut’ah. Ketiga doktrin ini dipilih karena dapat merepresentasikan tiga dimensi, yaitu dimensi teologis/politis, ibadah dan dimensi muamalah, dalam hal ini aspek nikah. Di luar ketiga doktrin tersebut, masih banyak doktrin lain yang kontroversial, seperti doktrin taqiyyah (mengemukakan atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sejatinya/yang disembunyikan). Dalam bidang rukun iman (ushûl al-‘aqâ’id), doktrin Syiah Imâmiyyah ada 5 (lima), yaitu al-tauhîd, al-nubuwwah, alimâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd (al-Ghathâ’, HARMONI Mei - Agustus 2015 1993: 64-79) . Doktrin rukun iman ini berbeda dengan versi Sunni. Berkaitan dengan imâmah, misalnya yang menjadi titik perbedaan antara Syiah dan Sunni berkisar pada tiga poin penting, yaitu: 1) Keharusan pengangkatan imam dari sisi Allah SWT, yakni nabi tidak boleh melupakannya dan menyerahkan kepada umat, tetapi wajib menentukan imam; 2) Keharusan seorang imam memiliki‘ishmah (maksum), yakni keterpeliharan diri dari maksiat, salah dan lupa); dan 3) Keharusan seorang imam memiliki ilmu laduni dari Allah Swt, yakni mengetahui segala ilmu atau ilmu syariat saja yang dibutuhkan umat. Bagi Sunni, pengangkatan imam tidak menjadi keharusan bagi Allah Swt. Mengenai imam tidaklah maksum, karena yang maksum hanyalah nabi. Demikian juga imam tidak harus memiliki ilmu laduni dari Allah Swt (Ibn Husain al-Mishrî, 2011: I, 203-231, dan al-‘Âmilî, 2007: 282). Dalam bidang hukum/fikih, terdapat ajaran atau doktrin Syiah yang populer dan berbeda tajam dengan doktrin Sunni, di antaranya doktrin membaca amin dalam sholat dan doktrin nikah mut’ah. Syiah mengharamkan mengucapkan ta’mîn (membaca amîn/ âmîn) dalam sholat. Membaca amin dalam sholat mengakibatkan sholat menjadi batal, karena dipandang sebagai perbuatan orang di luar sholat. Sangat maklum bahwa dalam Mazhab Sunni disunnahkan setelah selesai membaca alFâtihah dalam shalat untuk membaca ta’mîn, yakni membaca âmîn/amîn, artinya Allâhumma istajib, Ya Allah kabulkanlah permohonanku. Hukum sunnah ini disepakati mazhab empat, yakni Hanafiyyah, Mâlikiyyah, Syâfiiyyah dan Hanâbilah (al-Mughniyyah, 2008: 94). Dalilnya: HR Imam Ahmad, Abû Dâwud, al-Tirmîdzî dari Wâ’il bin Hajar ia berkata: Aku mendengar Nabi s.a.w. membaca maka beliau membaca âmîn, dengan memanjangkan suaranya. Dari Abî Hurairah ia berkata: MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI adalah Rasulullah s.a.w. ketika membaca beliau membaca âmîn sehingga dapat didengar oleh orang yang berada di shaf awal di dekatnya (HR. Abû Dâwud dan Ibn Mâjah). Membaca amîn ketika selesai membaca surat al-Fâtihah bagi orang di luar sholat hukumnya sunnah, dan bagi orang yang sedang sholat, baik sholat sendirian (munfarid) atau berjamaah: menjadi imam ataupun makmum, dan dalam semua keadaan (sholat jahar ataupun sholat siri, sholat wajib ataupun sholat sunnah; sholat yang dilakukan dengan berdiri ataupun duduk ataupun berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau duduk) hukumnya sunnah muakkad (sangat disunnahkan). Dasarnya hadis riwayat al-Bukharî dan Muslim dari Abû Hurairah r.a., di antaranya versi berikut: ”Jika imam membaca amîn maka kalian bacalah amîn, karena sesungguhnya siapa yang bacaan amînnya cocok dengan bacaan aminnya Malaikat, maka diampunilah dosanya yang telah lewat.” (Muttafaq ‘alaih). Dikatakan pengertian cocok itu pada waktunya, dikatakan juga pada dikabulkannya do’a (ijâbah), dan dikatakan juga pada sifat ikhlasnya. Imam al-Nawawî (w. 676 H.) menjelaskan bahwa membaca âmin/amîn tersebut sunnah dilakukan dengan jahar (keras) dalam sholat yang bacaan fatihahnya disunahkan dibaca jahar, karena mengikuti bacaan surat al-Fâtihah tersebut (alNawawî, 2002: I, 111). Ketentuan hukum kesunnahan membaca amin dalam sholat di atas sangat berbeda dengan Mazhab Syiah Imâmiyah. Bagi Imâmiyah, hukum membaca ta’mîn (amîn/âmîn) adalah haram dan membatalkan sholat, baik dalam sholat munfarid (sendirian), maupun sholat berjamaah, baik sebagai 73 imam maupun makmum. Hal ini karena ta’mîn itu dipandang sebagai perkataan manusia, padahal dalam sholat tidaklah sah suatu perkataan manusia. Ketentuan Mazhab Imâmiyyah ini adalah penolakan terhadap hadis riwayat dari Abû Hurairah yang dijadikan dasar hukum empat mazhab di atas, yang dinilainya tidak sahih (al-Mughniyyah, 2008: 94, dan Ali MD, 2015: 69-73). Dalam masalah nikah mut’ah harus dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara doktrin dalam tataran normatif (law in book) dan dalam praktik di lapangan (law in society). Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Sukron Makmun dalam Jurnal Muwazah (2009). Menurutnya, nikah mut’ah secara resmi tercantum dalam hukum perdata (Civil Law) Republik Islam Iran, sebagaimana tampak dalam Undang-Undang Rumah Tangga (droit civil la famille/huqûqe khâvâdeh). Dalam undang-undang ini disebutkan dua jenis perkawinan yang dianggap sah menurut hukum positif Iran, yaitu nikah permanen (nikâh dâ’im) dan nikah yang tidak permanen (nikâh munqathi‘). Nikah jenis yang kedua disebut nikah mut’ah atau nikâh mu’aqqat, atau lebih populer dengan sebutan”sîgheh” di kalangan masyarakat Iran, dan kawin kontrak di masyarakat Indonesia. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa nikah tidak permanen ini secara de-facto jarang dilakukan masyarakat Iran, dan bahkan secara bertahap, prakteknya semakin tidak diminati masyarakat setempat (Makmun, 2009: 153). Berbagai riwayat/hadis mengenai nikah mut’ah yang dijadikan dalil oleh Syiah bagi kehalalannya, dinilai banyak terjadi pertentangan dan merupakan riwayat yang lemah (idhtirâb). Penisbatan beberapa riwayat itu kepada para imam dapat dikatakan sebagai pencederaan. Padahal jika dihubungkan dengan teksteks yang lainnya dalam kitab-kitab Syiah itu sendiri dan apalagi jika di-cross Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 74 AHMAD ALI MD reverence (rujuk silang) dengan teks di luar kitab Syiah, maka penggunaan teksteks hadis untuk menjustifikasi kehalalan nikah mut’ah tidaklah râjih, tidak otoritatif, tetapi justru otoriter. Ada teksteks hadis dalam kitab-kitab Syiah sendiri yang disandarkan kepada para imam yang menetapkan keharaman nikah mut’ah. Akan tetapi teks-teks tersebut dimaknai dan diterapkan Syiah sebagai bentuk taqiyyah, untuk tujuan tertentu/ penyelamatan diri. Misalnya teks hadis berikut: 1. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî dan al-‘Âmilî dalam Wasâ’il al-Syî‘ah menyebutkan: ”…Dari ‘Abdullâh ibn Sinân dari al-Mufadhdhal ibn ‘Umar ia berkata, ”Aku mendengar Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata tentang mut’ah: ”Tinggalkanlah, tidaklah seorang kalian malu diketahui auratnya….” (al-Kulainî, 1375: V, 453, al-Âmilî, VII, 450). 2. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî menyebutkan Ketika ‘Alî ibn Yaqthîn bertanya kepada Abû al-Hasan a.s. tentang mut’ah, ia menjawab:”Tidak untukmu, tetapi itu saja (nikah syar’i), karena sungguh Allah telah mencukupkan dirimu dari mut’ah.” (al-Kulainî, 1475: V, 452). 3. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî menyebutkan: Dari ‘Ammâr berkata: Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata kepadaku dan Sulaimân ibn Khâlid: ”Sungguh telah diharamkan atas kalian berdua nikah mut’ah.” (alKulainî, 2005: II, 48). Dalam mazhab Syiah, tidak ada perbedaan pendapat mengenai kehalalan nikah mut’ah secara jelas tanpa ada keragu-raguan (sharâhatan wa-dûna taraddud). Meskipun demikian, menurut Ja‘far al-Subhânî, salah seorang marjâ‘ altaqlîd, dalam kitabnya Rasâ’il wa-Maqâlât Tabhatsu fî Mawâdhi‘i Falsafiyyatin waKalâmiyyatin wa-Fiqhiyyatin wa-Fîhâ alHARMONI Mei - Agustus 2015 Da‘watu ilâ al-Taqrîb Baina al-Madzâhib, kebolehan nikah mut’ah itu tidaklah diterapkan kecuali dalam batasan yang ketat dan khusus (illâ fî hudûd dhîqatin wakhâshshah), dan tidak sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian pendapat yang telah tersebar dalam masyarakat dan dengan bentuk yang dianggap tercela dan campuran (al-Subhânî, 1419: 538). Dengan demikian, menurut penulis, pendapat Ja‘far al-Subhânî itulah yang tepat dan seharusnya dijadikan pegangan dalam memahami doktrin Syiah tentang nikah mut’ah. Hal ini karena pendapat Syiah yang menghalalkan nikah mut’ah secara total (mutlak), dengan mendasarkan kepada riwayat-riwayat hadis dalam empat kitab hadis pokok mereka (al-Kutub al-Arba‘ah) dan kitab hadis lainnya, tidaklah obyektif, melainkan subjektif dan terjebak ke dalam bentuk pemahaman atau interpretasi yang otoriter (sewenang-wenang). Hal ini tidak lepas dari posisi dan sudut pandang Syiah terhadap empat kitab hadis utama tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, terdapat dua kelompok utama Syiah dalam memandang status hadis âhâd dalam empat kitab di atas. Dalam hal ini, hadis terkait nikah mut’ah tidaklah termasuk hadis dalam kategori mutawâtir, melainkan hadis âhâd. Status hadis âhâd sendiri ini diterima kehujahannya oleh sebagian Syiah, tetapi ditolak oleh sebagian yang lainnya. Penilaian penulis ini didasarkan kepada prosedur atau mekanisme dalam memahami dan menetapkan hukum Islam. Ada 5 (lima) syarat agar pemahaman dan penerapan hukum itu otoritatif, sebagaimana dikemukakan oleh Khaled Abou El Fadl (Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat). Panca prasyarat otoritatif ini harus dipenuhi oleh seseorang, kelompok, lembaga atau organisasi agar tidak mudah melakukan MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI tindakan yang sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan (El-Fadl, 2001: 55-56). Kelima syarat di atas sebagai berikut. Pertama: melakukan kejujuran (honesty). Prasyarat kejujuran mencakup harapan bahwa wakil (yang mengemban amanat membuat keputusan hukum) tidak bersikap pura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang wawasan ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, kesungguhan (diligence). Maksudnya bahwa seseorang bertanggung jawab atas keputusannya yang menyesatkan atau melanggar hak orang lain. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang berakal, semakin bersentuhan dengan hak orang lain, maka semakin besar pula keharusannya untuk semakin berhatihati, dan semakin keras upaya mereka dalam melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan terhadap hak orang lain, maka semakin besar pula pertanggungjawabannya di sisi Tuhan. Ketiga, kemenyeluruhan (comprehensiveness), berarti mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Maksudnya adalah bahwa seseorang/ kelompok/lembaga yang akan mengambil keputusan hukum haruslah telah mencoba untuk menyelidiki perintah Allah Swt secara menyeluruh dan berharap ia telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan, membuat upaya terusmenerus untuk menemukan semua perintah yang relevan, dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu. Keempat, melakukan rasionalitas (reasonableness), yaitu melakukan upaya interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis). Meskipun rasionalitas ini dipandang sebagai konsep yang abstrak, tetapi setidaknya dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum. Ketika seseorang/kelompok/lembaga memilih 75 sebuah formula, maka ia/mereka harus mengenal komunitas interpretasi dan komunitas makna yang akan dihadapi. Untuk itu, harus dipertimbangkan perihal formula tertentu yang tetap sehingga bisa dipahami oleh komunitas tertentu. Di samping itu harus pula menyadari bahwa penelusuran makna bukanlah persoalan pribadi, tetapi realitas dan makna tersebut diformulasikan dalam dan oleh berbagai komunitas. Ini bukan berarti bahwa komunitas makna tertentu harus diikuti dan tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan. Tetapi, justru ini menegaskan bahwa komunitas makna yang sudah established dan integritas teks itu sendiri haruslah dihormati. Meminjam istilah Umberto Eco, sebagaimana dijelaskan oleh El-Fadl, seseorang tidak perlu melakukan ”interpretasi yang berlebihan” terhadap teks dengan cara memasukkan sebuah teks fiktif yang tidak konsisten ke dalam teks tersebut. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membaca suatu perintah tentang hukum dengan cara sedemikian rupa sehingga seseorang akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa teks itu memberikan perintah-perintah seperti yang diinginkan pembaca, bukan menampilkan perintah yang sebenarnya dikehendaki teks. Penafsiran yang esktrim atau berlebihan terhadap teks bisa terjadi dengan cara membuka teks itu dimasuki dengan beragam makna yang tidak terbatas, sehingga tidak cukup ditampung oleh teks tersebut. Di sisi lain, teks yang terbuka untuk dimasuki berbagai makna dapat ditafsirkan seseorang, tetapi teks itu justru diyakini dengan kuat hanya dapat menampung sebuah makna an sich. Jika demikian, seseorang telah sewenang-wenang menutup cakupan makna teks tersebut. Baik membuka teks tanpa batasan maupun menutup teks secara otoriter adalah bentuk pelanggaran terhadap prasyarat rasionalitas dan prasyarat yang lainnya. Singkatnya, penyumbatan terhadap proses interpretasi tersebut adalah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 76 AHMAD ALI MD bentuk kezaliman, dan sikap otoriter. Dalam konteks inilah, interpretasi atau pemahaman terhadap hadis mengenai keutamaan nikah mut’ah, dan menjadikan kriteria bagi kesempurnaan iman (kamâl al-îmân) tampak tidak memenuhi syarat reasonableness. Pemahaman atau penafsiran yang sangat tidak rasional tampak dalam pandangan, yang menurut alSayyid Husain al-Mûsawî, dinisbatkan kepada Fathullâh al-Kâsyânî dalam karyanya Manhaj al-Qâshidîn. Dalam Manhaj al-Qâshidîn, menurut suatu sumber, dikatakan bahwa: ”Anak yang dilahirkan dari perkawinan mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui nikah yang tetap. Dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.” Pandangan yang mengutamakan anak hasil nikah mut’ah dibandingkan dengan anak hasil nikah yang syar’i sangatlah berlebih-lebihan dan tidaklah rasional. Lebih dari itu pandangannya yang mengkafirkan dan memurtadkan orang yang mengingkari kehalahan nikah mut’ah sangatlah ekstrim (al-Mûsawî, t.t.). Kelima, melakukan pengendalian diri (self-restraint). Pengendalian diri berarti bahwa seorang wakil harus mengenal batasan peran yang dia miliki. Seorang wakil perlu menahan diri untuk tidak menarik kesimpulan tentang suatu persoalan jika bukti-buktinya tidak mencukupi. Prasyarat ini secara logis menghendaki agar seseorang wakil menunjukkan tingkat kerendahan dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak hukum Tuhan. Prasyarat ini sebenarnya telah dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam, wallâhu a‘lam (dan Tuhan tahu yang terbaik). Kelima prasyarat di atas hendaklah dijadikan sebagai uji atau parameter shahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum HARMONI Mei - Agustus 2015 akhirnya digunakan untuk membuat keputusan hukum dan merasa yakin bahwa seseorang atau kelompok ataupun lembaga betul-betul mengemban sebagian perintah Tuhan. Prasyarat inipun terlihat tidaklah dipenuhi dalam pandangan-pandangan ulama Syiah yang menghalalkan nikah mut’ah secara mutlak dan sikap ekstrim yang mengkafirkan dan memurtadkan orang yang mengingkari nikah mut’ah. Pandangan demikian tentu menunjukkan bahwa penafsirnya tidaklah melakukan pengendalian diri secara sungguh-sungguh, sehingga menjustifikasi pemahamannya sebagai yang paling benar. Sebagai implikasinya adalah bahwa pemahaman yang lainnya dipandang salah, bahkan harus dikafirkan dan dimurtadkan. Selain menggunakan parameter 5 prasyarat pemahaman dan penerapan hukum Islam dalam mendudukkan problematika nikah mut’ah, pendekatan Mashlahah tepat untuk diterapkan. Nikah mut’ah meskipun mengandung kemaslahatan bagi si pelakunya, berupa kenikmatan biologis ataupun psikologis, tetapi sebetulnya di dalamnya terkandung mafsadat. Di antara mafsadatnya yang ditimbulkan dalam nikah mut’ah adalah pembolehan mut’ah dengan perempuan secara terus-menurus bahkan dengan banyak merupakan perendahan terhadap martabat wanita, dan dari sisi medis tidaklah baik bagi kesehatan. Tegasnya bahwa sungguhpun bagi pelaku mut’ah (laki-laki maupun perempuan), merasakan kemanfaatan, tetapi mafsadat yang terkandung di dalamnya cukup jelas, yaitu merendahkan harkat perempuan karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka. Dengan demikian dari tinjauan ini menjadi jelas bahaya dan mafsadat mut’ah baik dari segi religiusitas, sosial, dan etika/moral. Sebagaimana diketahui bahwa kemuliaan atau kehormatan adalah prinsip yang fundamental dalam Islam, termasuk MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI dalam kategori hifzh al-‘irdh. Andaikan terdapat kemaslahatan dalam nikah mut’ah itu tentu nikah mut’ah itu tidaklah diharamkan. Akan tetapi karena banyak mafsadatnya maka Rasul mengharamkannya, demikian pula Amîr al-Mu’minîn. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah fiqh ”Dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih”, maka nikah mut’ah hukumnya haram. Berdasarkan analisis di atas, nikah mut’ah dalam konteks untuk mendapatkan pemahaman dan penerapan hukum Islam yang tepat sebaiknya ditempatkan sebagai masalah khilâfiyah. Sungguhpun demikian, penulis lebih cenderung berpendapat dengan mendasarkan pada paradigma Maqâshid al-Syarî‘ah, yang lebih menekankan substansi hukum/ ajaran Islam, seperti keadilan dan kehormatan/harga diri. Menurut penulis, hukum nikah mut’ah dengan persyaratan yang sangat ketat bisa halal. Hal ini sebagaimana pula dikemukakan oleh Ja‘far al-Subhânî, seorang marja’ taqlid di Iran. Maksud bahwa hukum nikah mut’ah dengan persyaratan yang sangat ketat bisa halal adalah bahwa dalam kondisi tertentu nikah mut’ah bisa menjadi solusi alternatif dalam menghindari terjadinya zina. Tetapi nikah mut’ah bukanlah solusi yang terbaik. Masih ada solusi yang lain, misalnya nikah lagi (berpoligami) bagi seorang pria yang ingin nikah lagi, tanpa harus dengan melakukan nikah mut’ah, atau nikah siri, bagi yang tidak ingin nikah secara resmi yang dicatat oleh pihak/pegawai yang berwenang/ KUA (Kantor Urusan Agama). Sebab suatu hubungan perkawinan itu diikat (merupakan suatu ikatan yang kuat (mitsâqan ghalîzhan) untuk suatu tujuan sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan sakinah, mawaddah warahmah tentu diharapkan akan senantiasa berjalan hingga batas penghabisan, ketika kedua atau salah satu pasangan itu meninggal 77 dunia. Sedangkan dalam nikah mut’ah, hubungan perkawinannya sangat dibatasi waktu, sehingga tujuan nikah tersebu (membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah) juga terbatas. Ini tidak jauh beda dengan perkawinan yang kemudian timbul perceraian. Dalam perkawinan (nikah biasa) itu sendiri sulit dicapai tujuan sakinah, mawaddah warahmah, apalagi melalui nikah mut’ah. Tentu maqâshid al-Syarî‘ah tidak akan tercapai. Sungguhpun demikian, berdasarkan Siyâsah al-Syar‘iyyah dapat dilakukan (suatu kebijakan) pelarangan terhadap nikah mut’ah. Pelarangan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan mengenai kemaslahatan dan kemadaratan yang ditimbulkan dari nikah mut’ah. Di antaranya karena dalam nikah mut’ah tentu tidak ada wali dan saksi, apalagi pencatatan nikah, maka mengakibatkan tidak ada kekuatan hukum, sehingga salah satu pihak ketika dizalimi oleh pasangannya, misalnya tidak memberikan warisan atas sebuah akad mut’ah yang dicantumkan persyaratan saling mewarisi, maupun tidak memenuhi maskawin yang tidak diberikan secara kontan (dihutang), tidak dapat menuntut hukumnya, sebab tidak ada pihak yang mengetahui (saksi) tentang akad mereka. Tanpa ada pencatatan perkawinan, nikah mut’ah itu tidak mempunyai kekuatan hukum dalam pandangan hukum positif seperti di negara kita, Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum IslamKHI). Dalam Pasal 4 KHI disebutkan bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Dalam UU tentang Perkawinan ini pada Pasal 2 Ayat (1), disebutkan bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam hukum Islam, terdapat ketentuan tentang rukun Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 78 AHMAD ALI MD dan syarat perkawinan yang sah, seperti dalam Pasal 14 KHI disebutkan tentang rukun dan syarat, bahwa perkawinan harus ada …c. Wali nikah; d. Dua orang saksi;…. Tegasnya menurut ketentuan ini, sahnya suatu pernikahan (perkawinan) adalah dengan wali dan saksi. Oleh karena nikah mut’ah berlangsung tanpa wali dan saksi, ia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Bahkan berdasarkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, pelaku nikah mut’ah dapat dipidana. Tentu pemidanaan ini dapat diterapkan ketika RUU Hukum Materill Peradilan Agama Bidang Perkawinan tersebut, yang melarang nikah mut’ah, telah diundangundangkan dan diberlakukan. Penutup Berdasarkan analisis di atas diperoleh kesimpulan bahwa cara memahami doktrin Syiah dalam bingkai toleransi adalah dengan tidak menggeneralisirnya terhadap semua aliran Syiah, yang mengakibatkan penilaian sesat terhadap pengikutnya bahkan keluar dari Islam. Hal ini karena terdapat beragam varian dalam Syiah sendiri. Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyyah masih berada dalam koridor Islam; sementara Syiah Ghâliyyah (ekstrim) telah sangat menyimpang dan keluar dari Islam. Secara teknis, memahami doktrin Syiah harus dilakukan dengan menggunakan lima perangkat pemahaman atau interpretasi non-otoritarian versi Khaled Abou El-Fadl, yaitu penuh kejujuran (honesty), kesungguhan (diligence), kemenyeluruhan (comprehensiveness), yakni mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait, mempertimbangkan rasionalitas (reasonableness) dalam upaya interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis), HARMONI Mei - Agustus 2015 disertai pengendalian diri (self-restraint) dalam menetapkan putusan hukum. Dengan pemahaman model ini, muncul pemaknaan bahwa doktrin ‘ishmah lebih tepat dimaknai sebagai kriteria ideal bagi imam, dan keterpeliharaan menyeluruh terhadap kriteria ideal bagi nabi sebagai utusan Allah Swt. Doktrin hukum haramnya membaca amin dalam sholat harus dimaknai sebagai bentuk perbedaan penetapan hukum, karena ada perbedaan dalam memahami hadis riwayat Abû Hurairah yang dijadikan dasar hukumnya. Adapun doktrin hukum halalnya nikah mut’ah harus ditempatkan dalam kerangka maslahat dan mafsadat, dan dalam prosedur yang sangat ketat. Hal ini sejalan dengan teori Mashlahah yang menjunjung tinggi maqâshid al-Syarî‘ah. Penghalalan mutlak nikah mut’ah merupakan pandangan yang otoriter, di samping karena mendasarkan pada hadis âhâd, yang dalam Syiah sendiri terdapat beragam penilaian, karena merupakan pandangan yang tidak mempertimbangkan lima perangkat otoritatif dalam pemahaman hukum di atas (kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan rasionalitas, dan pengendalian diri/kehati-hatian). Oleh karena itu, perlu dipublikasikan bahwa doktrin rukun Iman dan doktrin hukum Syiah yang berbeda dengan mainstream (Sunni) tidaklah boleh menjadikan pengikut Syiah dikucilkan yang berakibat pengabaian terhadap hak-hak konstitusional dan kewargaannya. Toleransi harus didorong untuk direalisasikan dalam menciptakan hubungan yang harmonis di antara sesama umat beragama dan warga negara. Oleh karena itu, pemahaman terhadap doktrin Syiah tersebut harus dilakukan dengan menggunakan lima perangkat pemahaman non-otoritarian versi Abou El-Fadl di atas. MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI 79 Daftar Pustaka Abou El-Fadl, Khaled M. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld, 2001. Ali MD, Ahmad. ”Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih”. Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 13, No. 3 (September-Desember 2014), hlm. 126-137. -------------. ”Hadis Sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Syiah”. Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 13, No. 3 (2012), hlm. 228-242. -------------. Mutiara Al-Fatihah. Tangerang: PSP Nusantara, 2015. al-‘Âmilî, al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ. Al-Shahîh min Sîrat al-Nabî al-A‘zham. Beirut: Dâr al-Hadîts li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nasyr, 2007. al-‘Âmilî, al-Syaikh Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr. Wasâ’il al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ’il al-Syarî‘ah. Editor ‘Abd al-Rahîm al-Rabbânî al-Syîrâzî, Tehran: Maktabat alIslâmiyyah, t.t. al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Syî‘ah. Editor al-Sayyid Hasan al-Amîn. Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mathbû‘ât, 1998. al-Asy‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf alMushallîn. Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat alNahdhah al-Mishriyyah, 1950. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Judul Asli Who Need an Islamic State?. Penerjemah Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS, 2001. Farida, Anik. ”Respon Organsasi Massa Islam terhadap Syiah di Bandung Jawa Barat”. Jurnal Penamas, Vol. 27, No. 2 (Juli-September 2014), 159-175. al-Ghathâ’, Muhammad al-Husain al-Kâsyif. Ashl al-Syî‘ah wa-Ushûluhâ. Edisi Keempat. Beirut: Mu’assasat al-A‘lamî li-al-Mathbû‘ât, 1993. Halm, Heinzm. Shi‘ism. Second edition. Ttranslated from German as Die Schia by Janet Watson. United Kingdom: Edinburgh University Press Ltd, 2004. Ibn Husain al-Mishrî, Abû ‘Îsâ Muhammad. al-Mausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah. Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011. al-Kulainî, al-Furû‘ min al-Kâfî, dalam ‘Alî Akbar al-Ghifârî. al-Kutub al-Arba‘ah. Qum: Mu’assasat Anshâriyyan li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nashr, 2005. Makmun, Sukron. ”Fenomena Pernikahan Mut’ah di Republik Islam Iran (Antara Ada dan Tiada)”. Muwâzâh, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2009), hlm. 153-163. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 80 AHMAD ALI MD Mughniyyah, Muhammad Jawwâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Khamsah: al-Ja‘farî-alHanafî-al-Mâlikî-al-Syâfi‘î-al-Hanbalî. Kairo: Maktabat al-Syurûq al-Duwaliyyah, 2008. al-Mûsawî, ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn. Al-Fushul al-Muhimmah fî Ta’lîf al-Ummah. Cet. ke-4. Najaf: Mathba‘ah al-Nu‘mân, 1967. al-Mûsawî, al-Sayyid Husain. Lillâhi..Tsumma li-al-Târîkh: Kasyf al-Asrâr wa-Tabri’at alA’immat al-Athhâr (T.tp.: Tp., Tt.). al-Muzhaffar, Abd al-Husain Syaraf al-Dîn Muhammad Ridhâ. Ushûl al-Fiqh. Qum: Mu’assasat Mathbû‘ât Ismâ‘îliyân, 1421. al-Sâlus, ‘Alî Ahmad. Ensiklopedi Sunnah Syiah: Studi Perbandingan Hadis & Fiqh. Judul Asli Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah fî al-Ushûl wa-al-Furû‘ (Mausû‘ah Syâmilah): Dirâsah Muqâranah fî al-Fiqh wa-al-Hadîts. Penerjemah Asmuni Solihin Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001. al-Subhânî, Ja‘far. al-Rasâ’il al-Arba‘: Qawâ‘id Ushûliyyah wa-Fiqhiyyah Taqrîran li-Buhûts al-Faqîh al-Muhaqqiq al-Syaikh Ja‘far al-Subhânî. Qum: Mu’assasat al-Imâm alShâdiq, 1415. Tholib, Udjang. ”The Historical Background of the Sunnite-Shi’ite Conflict in Iraq”. Indo-Islamika: Journal of Islamic Sciences. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Vol. 4, No. 2 (2007), hlm. 117-206. HARMONI Mei - Agustus 2015 PENELITIAN HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH 81 Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah Efa Ida Amaliyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 4 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Abstract Abstrak This paper shows the interaction of SunniShia followers in Banjaran Bangsri, Jepara and the violence impact experienced by Shia followers in many regions toward Shia followers in Banjaran Bangsri.The relationship between Sunni and Shia shows a harmonious life in social interaction. They realize that they have different ways of worship but they do not want to widen those differences. They live together in socio-humanitarian relation. They respect each other. It occurs because the existence of Mbah Muhammad Arif who unified Sunni and Syiah. Mbah Muhammad Arif was the founder of Banjaran as well as the Islam disseminator at Banjaran. There is no conflict between Sunni-Shia followers although there was any religious sentiment after Sunni-Syiah conflict in Sampang Madura and it does not influence the relationship between Sunni-Syiah at Banjaran Bangsri Jepara. Tulisan ini menunjukan tentang interaksi Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri Jepara dan dampak kekerasan yang dialami pengikut Syiah di berbagai daerah terhadap pengikut Syiah di Desa Banjaran. Pengikut Sunni maupun Syiah di Desa Banjaran menunjukkan wajah harmonis dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua belah pihak menyadari ada perbedaan dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin memperlebar jurang perbedaan itu. Mereka memilih untuk bersama-sama dalam konteks hubungan sosial-kemanusiaan. Hal ini dikarenakan masing-masing kedua pihak saling menghormati. Kondisi ini tidak lepas dari keberadaan Mbah Muhammad Arif yang bagi masyarakat Banjaran sebagai simbol penyatu antara Sunni-Syiah. Mbah Muhammad Arif merupakan cikal bakal adanya desa tersebut sekaligus sebagai penyebar ajaran Islam di daerah tersebut. Tidak ada konflik antara mereka, meskipun ada sentimen dari konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura. Tidak ada pengaruh konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura dengan hubungan Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri Jepara. Keywords: Sunni, Shia, Social Interaction, Conflict, Banjaran Village Pendahuluan Agama mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tetapi juga menentukan falsafah hidup dalam Kata kunci: Sunni, Syiah, Interaksi Sosial, Konflik, Desa Banjaran suatu masyarakat. Hal ini berarti nilainilai dan norma-norma budaya telah turut dipengaruhi oleh agama yang terbentuk bersamaan dengan awal mula sejarah umat manusia. Sebagai fenomena kemasyarakatan dan kebudayaan, agama tidaklah berdiri sendiri, ia akan selalu Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 82 EFA IDA AMALIYAH berada dalam posisi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa agama adalah keyakinan dan karena keyakinan telah dimaknai sebagai sebuah wujud dari hasil berfikir, maka seseorang meyakini atau tidak meyakini sosok Tuhan, memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu merupakan hasil keputusan diri seseorang. Dengan demikian, keyakinan juga merupakan sebuah kesadaran akal terhadap sebuah kebenaran tertentu, meskipun acapkali akal pun sering mengalami kesulitan untuk memahami keyakinan (Khadiq, 2009: 40). Di samping itu, agama, selain menjadi bagian penting dari kecenderungan manusia dalam melakukan eksternalisasi dan membangun makna dan dunia sosial, agama juga merupakan sarana untuk memperoleh legitimasi sosial dan pemeliharaan dunia (world maintenance). Sangatlah beralasan jika kemudian, agama bisa melegitimasi institusi dan keteraturan sosial dengan status ontologisnya untuk dapat memberikan legitimasi yang kuat dan objektif pada keteraturan tersebut (Bernard T. Adeney, 2004: 267-310). Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila kehadirannya menjadi wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pengaruh ini setidaknya menyangkut dua hal yakni pendapat yang menempatkan agama sebagai suatu yang seharusnya berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia serta pendapat yang menempatkan agama sebagai suatu yang kehadirannya lebih dipicu oleh ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang terkesan semakin membangun jarak terhadap kontrol agama (Abdullah, Soetrisno, 2003: 2). Agama memang seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, agama diandalkan sebagai basis moral bagi HARMONI Mei - Agustus 2015 umat manusia sebab ia mendoktrinkan manusia untuk hidup rukun dengan memegang teguh pesan ke-Tuhan-an kepada segenap manusia. Agama dalam dimensi ini dipenuhi pesan keselamatan (salam) dan cinta-kasih (rahman-rahim) bagi sesama makhluk. Di sisi lain, agama sering dijadikan alat untuk melegitimasi atau melegalkan berbagai bentuk kekerasan. Hal ini dikarenakan agama telah ditafsirkan dan diadaptasi secara salah oleh pemeluknya. Dimensi inilah yang menunjukkan wajah agama yang akhirnya sangat menakutkan (M. Kodim, http://desantara.org/v3). Ahmala Arifin dalam bukunya “Tafsir Pembebasan, Metode Interpretasi Progresif Ala Farid Esack” menyebutkan bahwa taqwa berarti memperlihatkan suara hati nurani sendiri seraya menyadari bahwa dia sangat bergantung pada kehendak Tuhan (Arifin, 2011: 74).. Artinya taqwa menjadi aktualisasi dari keimanan seseorang. Jika keimanan seseorang terhadap Tuhan dan sebuah agamanya kuat, maka orang tersebut akan berusaha mendekatkan diri kepada Sang Khaliq/ Tuhan. Taqwa menjadi sebuah garis pemandu “guide lines” seorang manusia baik bagi dirinya sendiri maupun dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, agama tidak hanya merupakan dogma semata, tetapi juga disusun oleh berbagai kekuatan logika dan penafsiran, mitos, ekletisisme budaya yang dipraksiskan secara massif dan mengandung pada klaim kebenaran (truth claim). Dalam wujudnya yang nyata, klaim kebenaran semacam ini nampak ketika muncul kekerasan atas nama agama, yakni sebuah ekspresi yang menyiratkan sebentuk pengungkapan dan penafsiran pemeluknya terhadap pesan ke-Tuhan-an yang diikuti beragam mitos klaim kebenaran dan karenanya, pesan Tuhan kemudian gagal didialogkan HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH dengan perkembangan manusia (ibid). peradaban Problem klaim kebenaran inilah yang kemudian menyebabkan agama menjadi salah satu hal yang sering melahirkan konflik dan ketegangan sosial. Klaim tentang dirinya paling benar, yang lainnya sesat, klaim yang melahirkan sebuah keyakinan yang disebut dengan “doctrine of salvation” (doktrin keselamatan), bahwa keselamatan (surga) adalah hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan yang lainnya celaka dan akan masuk neraka (Thoha, 2005: 1). Dalam konteks inilah, berbagai perilaku agama seseorang atau masyarakat, secara umum dapat ditafsirkan sebagai satu kesatuan yang merepresentasikan keberagamaannya (Khandiq, 2009: 168). Representasi keberagamaan termasuk sikap eksklusifisme telah menjadikan agama seakan-akan bersifat antagonis. Antagonisme dimaksud dapat terjadi baik dalam wujud ketegangan di kalangan intern umat beragama maupun antarumat beragama (Effendy, 2001: 24). Terkait dengan ketegangan tersebut, banyak yang berpersepsi bahwa akar ketegangan bersumber dari lingkup teologis atau sengketa pandangan dalam memahami norma-norma agama dan ajaran-ajaran yang sesungguhnya mengandung ragam penafsiran. Namun demikian, sifat eksklusifitas semacam ini tidak akan pernah bisa dihilangkan meskipun berpotensi menjadikan pemeluknya dalam situasi saling berkonflik. Keanekaragaman di dunia modern memang dihadapkan pada banyak tantangan, terutama di tingkat akar rumput (grass-root). Terlebih di dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok agama, budaya serta kelompokkelompok lain yang mempunyai kepentingan dan orientasinya berbeda. Secara faktual, konflik antaraagama 83 memang pernah terjadi dan bahkan telah menyebar luas dalam masyarakat, konflik yang terjadi akibat adanya klaim-klaim kebenaran tersebut. Realitas ini tentu dapat kita lihat sehari-hari melalui media massa dan media elektronik. Dalam konteks keanekaragaman ini, Indonesia tentu bukanlah sebuah negara tanpa konflik, bahkan ia merupakan salah satu negara yang sangat paham wajah konflik dalam segala bentuk dan dimensinya. Konflik berwajah agama, etnik, suku, ras dan golongan, apalagi konflik yang jelasjelas bernuansa politis. Pada saat yang sama, realitas keberagaman tersebut berkorelasi sejajar dengan tingkat potensi konflik yang semakin meluas. Dalam teori sosial ditegaskan bahwa semakin homogen sebuah negara, semakin rendah potensi konflik yang terjadi. Sementara Indonesia memiliki akar heterogenitas yang cukup tinggi. Oleh karena itu, caracara yang dilakukan untuk merespon persoalan bangsa yang begitu kompleks ini haruslah berbeda dengan cara-cara yang dilakukan di negara-negara yang relatif homogen (Abdullah, 2008: 6). Misalnya, dalam kasus-kasus kekerasan seperti yang dialami oleh penganut Ahmadiyah baik yang ada di Lombok, Tasikmalaya, Padang, dan di beberapa daerah lainnya; terhadap jemaat Gereja HKBP di Bekasi, dan lain sebagainya termasuk kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura adalah potret ketidakberpihakan pemerintah terhadap korban tindak kekerasan. Sebagaimana terlihat dalam kasuskasus penindasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, pemerintah tidak berdaya menghadapi tekanan kelompok mayoritas yang menuntut dihilangkannya ajaran dari komunitas agama yang berbeda dengan mereka. Pemerintah cenderung mengamankan posisinya dengan mendukung kelompok mayoritas Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 84 EFA IDA AMALIYAH daripada memberikan dan menjamin rasa aman dan kebebasan beragama bagi setiap warga negara (Afdillah, 2003). Konflik yang mengatasnamakan agama seakan-akan sudah menjadi hal yang biasa untuk didengar. Kasus demi kasus, silih berganti dengan menampakkan wajah yang berbeda satu sama lain, semua dilatarbelangi oleh sikap eksklusivisme para pemeluk agama terhadap ajarannya. Salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura yang terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012. Kaum Sunni melakukan aksi penyerangan dan membakar permukiman kaum Syiah di Desa Karanggayam, Sampang, Madura, serta mengusir mereka. Awalnya kasus ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik keluarga. Namun dalam perkembangannya, konflik ini bertumpang-tindih dengan persoalan politik dan kesalahpahaman terkait keyakinan dan praktik keagamaan yang diyakini oleh Kaum Syiah (Affan, http:// www.bbc.co.uk). Tidak seperti yang terjadi di Sampang, Madura, interaksi sosial Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri, Jepara berlangsung nyaris tanpa gesekan, termasuk menyangkut masalah peribadatan. Jika ada pengikut Sunni meninggal, pengikut Syiah ikut menyolatkan dengan cara Syiah, dan imam sholatnya adalah penganut Sunni. Begitupun sebaliknya apabila warga Syiah yang meninggal. Meskipun Jepara dikenal sebagai basis Sunni, terutama Nahdliyin, penganut Syiah tidak lagi beribadah secara taqiyyah (sembunyi-sembunyi). Bahkan di rumah penganut Syiah juga terpampang lukisan yang menandakan ke-Syiah-an (http://www.darut-taqrib. org/berita/2012/03/22/kedamaian-sunnidan-syiah-di-jepara-1/). Selanjutnya, dalam kegiatan seharihari pengikut Syiah dan pengikut Sunni HARMONI Mei - Agustus 2015 berinteraksi layaknya masyarakat pada umumnya. Syiah dan Sunni hanya sebuah seragam dan pada hakikatnya keduanya adalah sama. Banyak kegiatan yang pernah diselenggarakan secara bersama-sama seperti; maulid nabi, isra miraj, arbain dan kegiatan keagamaan lainnya. Ketika kaum Sunni mengadakan sebuah acara, maka kaum Syiah akan diberi surat undangan baik surat yang berisi permintaan untuk menjadi panitia maupun sebagai undangan dalam kegiatan, begitu sebaliknya apabila kaum Syiah tersebut akan menyelenggarakan sebuah kegiatan. Hubungan Sunni dan Syiah di Banjaran tidak pernah ada gesekan antar satu sama lain. Kaum Sunni dan Syiah di sana sangat menjaga keharmonisan hubungan melalui berbagai cara. Secara historis, pola sosial yang dilakukan oleh kaum Syiah di Banjaran ini berbeda dengan kaum Syiah yang ada di Desa Bangsri meskipun kaum Syiah yang ada di Desa Bangsri adalah guru kaum Syiah Desa Banjaran. Namun karena mereka tidak mau hidup bermasyarakat dan cenderung menutup diri dari masyarakat, maka kaum Syiah Desa Bangsri ditinggalkan oleh kaum Syiah yang berada di Desa Banjaran. Seiring perjalanan waktu, khususnya pasca konflik Sunni-Syiah di Sampang, meskipun di awal telah dikemukakan bahwa hubungan antara kaum Sunni dan Syiah di Banjaran telah berlangsung penuh keterbukaan, namun sejak kemunculan kasus Sunni-Syiah di Sampang Madura, kondisi tersebut sedikit mengalami perubahan. Hal tersebut terlihat dari sikap dan kesan kecurigaan terhadap orang yang dipandang asing bagi kaum Syiah di Banjaran. Sikap tersebut terlihat pada saat beberapa mahasiswa Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi yang sedang melakukan tugas mata kuliah sosiologi agama di Desa Banjaran, berhenti di depan Masjid HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH Syiah yang sedang direnovasi. Sikap yang ditunjukkan oleh sebagian orang yang ada di masjid adalah cenderung menaruh curiga, mereka memandang gerak-gerak mahasiswa tersebut yang menyebabkan ketidaknyamanan mahasiswa tersebut untuk berada di sana. Padahal mahasiswa tersebut hanya menunggu kedatangan teman mahasiswa lainnya yang memang sedang melaksanakan tugas kuliah. Kejadian tersebut setidaknya menunjukan bahwa dampak konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura telah berimbas terhadap daerah lain khususnya dalam hal sikap kaum Syiah yang kemudia terlihat cenderung defensif dan sensitif terhadap orang asing di luar komunitas mereka seperti terjadi di Desa Banjaran. Berdasarkan uraian tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang interaksi kaum Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri Jepara, dan dampak kekerasan yang dialami pengikut Syiah di berbagai daerah terhadap pengikut Syiah di Desa Banjaran. Dari kajian ini diharapkan adanya kesadaran masyarakat luas bahwa harmonisasi dalam interaksi sosial akan memunculkan suasana damai dan nyaman. Karenanya, harus ada upaya-upaya untuk menyatukan masyarakat yang berbeda dalam hal keyakinan agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Di samping itu, perlu upaya-upaya penyadaran bahwa hidup berdampingan dalam realitas perbedaan bisa dijalankan dengan menghormati keyakinan yang dipegang oleh masingmasing masyarakat. Tujuan lain dari kajian ini adalah sebagai bahan evaluasi dalam rangka meminimalisasi konflik akibat perbedaan perspektif sehingga tujuan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara dapat tercapai terlebih di era kekinian khususnya menyangkut fenomena masih besarnya sentimen kecurigaan di 85 kalangan masyarakat Indonesia terutama di kalangan masyarakat bawah (grassroot). Hasil dan Pembahasan Sekilas Banjaran Banjaran merupakan desa yang cukup ramai. Mobilitas keluar masuk desa ini pun terbilang relatif mudah karena tersedianya jalan raya beraspal yang menghubungkan desa tersebut dengan kota-kota di sekitarnya, seperti Mlonggo, Kediri, dan jalan raya menuju ke Kudus. Angkutan umum pun tersedia seperti bus, becak dan transportasi lainnya. Jarak Banjaran ke Jakarta sekitar 300 KM, ke ibukota Propinsi (Semarang) sekitar 50 KM, ke ibukota kabupaten (Jepara) sekitar 20 kilometer dan dari ibukota kecamatan adalah 2 KM. Secara sosial, masyarakat Banjaran yang mayoritas muslim ini termasuk masyarakat majemuk dalam hal afiliasi organisasi dan aliran keagamaan. Masyarakat di Desa Banjaran tergabung ke dalam banyak organisasi keagamaan, antara lain NU (Nahdlatul ’Ulama) dan Muhammadiyah yang merepresentasi mazhab Sunni dan juga terdapat pengikut mazhab Syiah. Namun dalam kesehariannya, perbedaan tersebut tidak menimbulkan sentimen atau kecemburuan. Interaksi sosial masyarakat Desa Banjaran relatif berjalan harmonis meskipun beragam mazhab atau keyakinan yang dianutnya terutama antara Sunni dan Syiah. Perbedaan tersebut tidak menimbulkan permasalahan yang signifikan dikarenakan masing-masing senantiasa saling menghormati. Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa peneliti dari berbagai daerah untuk meneliti tentang keharmonisan atau interaksi sosial yang terjadi di sana. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 86 EFA IDA AMALIYAH Sosok Mbah Muhammad Arif, Pemersatu Masyarakat Banjaran Tokoh Masyarakat muslim Banjaran, sebagaimana muslim di belahan lainnya, merunut asal-usul nenek moyang mereka dari Adam dan Hawa. Mereka percaya bahwa Adam dan Hawa adalah asal mula manusia. Oleh karena itu mereka mengakui bahwa kedua orang tersebut sebagai nenek moyang. Dalam term nenek moyang tersebut, masyarakat Banjaran juga mengakui bahwa arwah nenek moyang yang sudah meninggal seratus tahun yang lalu merupakan leluhur mereka. Mereka menganggap leluhur mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan. Leluhur dimaksud adalah mbah Muhammad Air yang dipandang sebagai perantara yang berhubungan dengan Tuhan mewakili mereka. Mbah Muhammad Arif juga dipandang oleh masyarakat Banjaran sebagai pemersatu di antara perbedaan mazhab dan keyakinan. Pandangan masyarakat Banjaran tentang sosok mbah Muhammad Arif ini tidak lepas dari perannya sebagai pendiri Banjaran sehingga kemudian dipandang sebagai nenek moyang dan leluhur mereka. Masyarakat Banjaran sangat mempercayai keberadaan leluhur mereka. Bahkan sebagai bentuk penghormatan terhadap mbah Muhammad Arif, setiap tanggal 1 Suro masyarakat setempat mengadakan haul selama satu hari dua malam di sekitar makam mbah Muhammad Arif. Kegiatan tersebut dimulai pagi hari sekitar pukul 05.00 dengan melakukan khataman alQuran, dilanjutkan dengan pembacaan hadroh. Mereka beranggapan bahwa mbah Muhammad Arif adalah orang yang pertama kali membangun wilayah mereka sehingga mereka menganggap dirinya sebagai cikal-bakal tempat HARMONI Mei - Agustus 2015 tersebut. Bukti keberadaan Mbah Muhammad Arif di komunitas mereka adalah adanya peninggalan masjid dan bedug dan kentongan. Masjid tersebut dinamakan Masjid Muhammad Arif dengan desain awal berbentuk ciri khas Jawa yang diperkirakan berdiri abad XIII lebih tepatnya tahun 1266 M. Hal tersebut terlihat pada pintu masuk yakni adanya tulisan kaligrafi dengan kayu sebagai ornamen pahatannya. Masjid tersebut kemudian mengalami perombakan pertama pada tahun 1986 dan hingga saat ini telah mengalami enam kali perombakan. Namun, berdasarkan masukan dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, bentuk masjid tersebut akan dikembalikan ke bentuk semula untuk menunjukkan ciri khas ke-Jawa-an nya (Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni 2014). Sebelum dikemukakan lebih lanjut, Masjid Muhammad Arif yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah masjid yang dibangun oleh kaum Syiah sebagaimana dikemukakan di awal. Oleh karena itu, kedua masjid tersebut adalah dua masjid yang berbeda. Mengenai hal ini, bahkan seorang tokoh Syiah Desa Banjaran bernama Ali menyatakan bahwa masjid yang dibangun oleh kaum Syiah tersebut bukanlah sebuah masjid melainkan sebuah musholla. Karena menurutnya, masjid yang dianggapnya yang sah dan tepat disebut masjid adalah masjid yang dibangun oleh Simbah Kyai Haji Muhammad Arif, yaitu Masjid Muhammad Arif. Selain itu, karena beliau merupakan seorang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Desa Banjaran. Atas alasan itulah, masjid yang dibangun kaum Syiah tersebut lebih tepat disebut musholla, meskipun oleh kaum Syiah juga dipergunakan untuk shalat Jum’at. Selanjutnya, selain masjid, peninggalan lain dari Mbah Muhammad Arif adalah bedug dan kentongan yang merupakan elemen masjid dan kedua HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH benda tersebut hingga saat ini masih terdapat di Masjid Muhammad Arif. Selain karena fungsinya, bedug dan kentongan tersebut juga dipercaya sebagai peninggalan yang mempunyai nilai tersendiri bagi warga sekitar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdun Nasir: “Bedug ini memang selamanya ditaruh di masjid ini, dan dia tidak “cocok” untuk diletakkan di tempat lain, sebagai contoh bedug pernah dipinjam oleh desa untuk suatu acara, ternyata suara yang dikeluarkan tidak nyaring bahkan cenderung jelek. Hal ini berbeda ketika bedug diletakkan di masjid ini, ketika dipukul maka terdengar suara yang nyaring, enak dan dapat didengar dengan radius 1 KM. Melihat fenomena tersebut kami selaku ta’mir membuat kesepakatan untuk tidak memindahkan bedug dan kentongan ke tempat lain, meskipun itu hanya untuk dipinjam, karena memang sudah satu paket dengan masjid tersebut.” (Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni 2014) Selain masjid, bedug dan kentongan, penanda lain tentang keberadaan Mbah Muhammad Arif adalah makam beliau. Makam, oleh masyarakat Banjaran dibedakan makam menjadi dua, yaitu makam biasa, tempat kakek-nenek, orangtua, dan kerabat lain yang meninggal dikebumikan serta makam Mbah Muhammad Arif. Makam Mbah Arif tempatnya sangat asri karena dikelilingi oleh sawah yang memunculkan suasana sejuk. Layaknya makam-makam Sunan di Jawa, makam Mbah Muhammaad Arif juga diberikan kelambu dengan dikelilingi makam-makam keturunan dan kerabatnya. Sekarang makam tersebut menjadi tempat yang selalu dikunjungi oleh warga masyarakat setempat dengan motivasi-motivasi yang berbeda, terutama disertai dengan acara ritual bancaan. 87 Bancaan merupakan sebuah sebutan masyarakat Banjaran untuk sebuah tradisi bersih desa. Pada acara tersebut, masyarakat Banjaran datang membawa saran bancaan berupa ambengan yaitu makanan yang disiapkan untuk acara selamatan, berupa nasi dengan lauk pauk seperti urap, oseng, tahu, tempe, ayam inkung dll yang dibawa dan disajikan dengan baskom dan nampan. Mengenai sosok mbah Muhammad Arif ini, jika ditelusuri latar belakangnya, beliau merupakan pendatang dari negara Yaman. Untuk menghindar dari pihak kolonial dan orang-orang yang tidak suka terhadapnya, beliau memutuskan untuk menyamarkan nama aslinya. Baginya, penyamaran tersebut lebih memudahkan untuk menyebarkan Agama Islam karena mempunyai nama yang sangat khas. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdun Nasir yang masih merupakan keturunan mbah Muhammad Arif. Cerita-cerita menyangkut mbah Muhammad Arif itu menunjukkan bahwa hingga saat ini warga masyarakat Banjaran dan sekitarnya masih mempercayai Mbah Muhammad Arif dan menghormatinya sebagai pendiri desa. Relasi Sunni-Syiah di Desa Banjaran Sebagaimana telah disinggung di awal, perbedaan mazhab Sunni-Syiah di dalam masyarakat Banjaran tidaklah menjadi jurang pemisah bagi mereka. Interaksi sosial masyarakat Desa Banjaran justru berjalan harmonis dan mereka senantiasa saling menghormati. Dalam hal jumlah pengikut, saat ini terdapat 100 hingga 150 keluarga pengikut Syiah di Desa Banjaran. Jumlah pengikut Syiah paling banyak terdapat di RW 1 yaitu di Dusun Candi, sedangkan jumlah terbanyak kedua di Dusun Montrong atau di RW 13. Informasi ini berdasarkan keterangan Jazori, Sekretaris Desa (Carik) Banjaran, Jazori (43 tahun): Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 88 EFA IDA AMALIYAH “Syiah di desa ini memang mempunyai jumlah yang banyak dibanding desa-desa lain sekitar Desa Banjaran, yaitu sekitar 5% dari jumlah warga yang jumlahnya delapan ribu sekian. Jumlah yang terbanyak ada di Dusun Candi atau RW 1 yang kebetulan letaknya berdekatan dengan masjid dan makam mbah Muhammad Arif. Mereka juga mempunyai tempat ibadah sendiri atau yang biasa disebut langgar atau musholla. Mengapa mereka menyebutnya sebagai langgar karena bagi mereka Masjid “Muhammad Arif” adalah masjid untuk semua, Cuma kebetulan mereka punya tempat sendiri. Hal ini karena mereka secara mazhab berbeda dengan Sunni, sehingga lebih nyaman untuk sholat di tempat mereka sendiri. Meskipun demikian, ketika ada acara tertentu di Masjid “Muhammad Arif” mereka juga akan datang. Jumlah terbanyak kedua meskipun tetap minoritas adalah di Dusun Montro atau RW 13, tetapi mereka tidak mempunyai tempat sholat sendiri, yang ada hanya sebuah asrama/pondok Syiah, sehingga mereka tetap mengikuti sholat sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut Sunni. Meskipun demikian kedua belah pihak saling menghormati (Jazori. Wawancara. 22 Juni 2015; Lihat, http://khabarsoutheastasia.com). Selanjutnya, menurut pandangan Jazori, Sunni dan Syiah relatif sama dalam hal ibadah mahdhah, karena Syiah di Desa Banjaran hampir sama dengan Sunni, misalnya apabila ada warga desa yang meninggal dari paham keagamaan apapun, pengikut Syiah dan Sunni bersama-sama untuk melakukan sholat Jenazah hingga proses penguburan. Tidak hanya itu, mereka juga tetap HARMONI Mei - Agustus 2015 menjaga kebersamaan dengan tahlil atau doa bersama bagi jenazah. Dalam kegiatan sehari-hari kaum Syiah dan Sunni berinteraksi layaknya masyarakat pada umumnya, dan menurut tokoh Syiah bernama Ali (45 tahun) hubungan pengikut Sunni dan Syiah di daerahnya berjalan rukun dan nyaris tidak pernah ada gesekan satu sama lain. Mereka selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan berbagai cara. Hubungan ini penting dijaga karena menurutnya, sebagai manusia seseorang tidak bisa lepas dari interaksi sosial, dan harus bermasyarakat. Untuk senantiasa menjaga keharmonisan, mereka selalu menjalin hubungan dengan saling menghormati dalam perbedaan (Ali. Wawancara. 24 Juni 2014). Hal senada juga disampaikan oleh seorang tokoh Sunni di Banjaran yakni Abdun Nasir: “Kami tahu bahwa kami berbeda secara ideologi, tapi hal tersebut tidak menghalangi untuk selalu menjaga keharmonisan hubungan sebagai mahluk sosial, itu sudah sering saya jelaskan ke masyarakat RW 01 ketika ada pertemuanpertemuan. Kita sudah sama-sama paham lah apa yang kita imani, tetapi jangan lupa bahwa iman letaknya dihati tidak perlu digembargemborkan, pokoknya kamu tahu saya Sunni, saya tahu kamu Syiah, maka selesai! Tidak perlu diungkitungkit lagi. Hal ini terjadi karena saya sendiri mempunyai keluarga yang Syiah dan itu tidak menjadi suatu permasalahan bagi kami, kami tetap bersosialisasi secara baik tanpa menyinggung satu sama lain. Saat Lebaran, karena saya ini termasuk yang tua di sini, maka baik Sunni maupun Syiah datang berkunjung untuk bermaaf-maafan. Semoga kondisi di sini bisa menjadi contoh yang baik.” (Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni 2014). HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH Pengikut Sunni yang merupakan mayoritas di desa tersebut komposisinya merata berada di seluruh wilayah Desa Banjaran. Namun demikian, baik pengikut Sunni maupun Syiah lebih memilih menunjukkan wajah harmonis dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua belah pihak menyadari ada perbedaan dalam ibadah, tetapi mereka tidak ingin memperlebar jurang perbedaan itu. Mereka juga memilih untuk bersamasama dalam ibadah ketika dalam konteks ada hubungan kemanusiaan. Bentuk toleransi yang diwujudkan dalam kerukunan beragama antara SunniSyiah, di antaranya: 1). Toleransi pada hari raya. Mereka bertoleransi ketika ada perbedaan Hari Raya Idul Fitri, karena mereka melakukan sesuai dengan keyakinan masing-masing; 2). Toleransi agama dalam beribadah; 3). Toleransi agama dalam acara acara hajatan; 4). Mereka akan berbaur untuk merayakan hajatan di salah satu pengikut Sunni atau Syiah; 5). Toleransi agama dalam kegiatan gotong royong. Mereka saling berbaur dan kerjasama dalam kegiatan kerja bakti pembersihan jalan, kerja bakti perayaan 17 Agustus, dan lain-lain; 6). Toleransi agama ketika ada orang sakit atau meninggal. Mereka akan melaksanakan apa yang diyakini oleh yang berduka. Melihat fenomena tentang interaksi sosial antara Sunni-Syiah, menunjukkan bahwa interaksi berjalan dengan baik, masing-masing mempunyai tenggang rasa dan tepo seliro yang kuat. Fenomena inilah yang pernah dikemukakan oleh Herbert Blumer tentang interaksi sosial yang dimaknai sebagai hubunganhubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi ini juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya 89 diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Proses Interaksi sosial semacam ini menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Makna lainnya adalah makna yang tidak bersifat tetap namun dapat diubah. Perubahan terhadap makna ini dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process. Interaksi sosial juga dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial dan komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan (Affan, p://www.bbc.co.uk). Lalu bagaimana hubungan antara konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang, Madura dengan sentimen keagamaan yang muncul pasca peristiwa tersebut di kalangan pengikut kedua mazhab (Sunni dan Syiah)? Tentu tidak dapat dimungkiri bahwa peristiwa tersebut telah menggugah rasa empati di kalangan penganut keduanya di daerah manapun, termasuk di Desa Banjaran Bangsri Jepara. Meskipun demikian, sentimen sentimen semacam itu tidak mempengaruhi hubungan keduanya yang hingga saat ini masih berjalan harmonis. Hal inilah yang nampak dalam keseharian hidup mereka sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Abdun Nasir: “Kami masih seperti yang duludulu, konflik tentang Sunni-Syiah di daerah manapun meskipun ada kasus yang baru di Madura tetapi tidak berpengaruh terhadap kami. Karena kami sudah tahu Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 90 EFA IDA AMALIYAH “rumah” masing-masing dan tidak akan saling menganggu. Bagi kami, kami adalah saudara dan mempunyai sosok yang dianggap sebagai pemersatu antara kami yang berbeda. Saya hanya mendengar dan tahu kalau kasus yang di Madura, maka Syiah sini mengirimkan relawan dan bantuan logistik untuk membantu di sana. Tetapi tidak menganggu kehidupan sosial kami. Karena ya itu, kami sudah tahu masing-masing rumah kami.” (Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni 2014). Demikian pula dikemukakan oleh Ali: halnya yang “Asal-usulnya adalah itu merupakan konflik individu yang dibawa ke kaum Sunni dan Syiah. Dan itu tidak berimbas sampai daerah Banjaran. Akan tetapi kaum Syiah yang di Banjaran membantu dalam hal sandang dan pangan yang digalang oleh pemuda Syiah dan kemudian dikirim ke Sampang. Selain itu pemuda Syiah juga sangat aktif dalam kegiatan, jika dibandingkan dengan pemuda Sunni. Pemuda Syiah setiap hari ahad atau jumat sering melakukan bersih-bersih masjid maupun membantu ketika ada bencana maupun musibah, seperti kebakaran, kebanjiran dan lain sebagainya. Pemuda Syiah sangat kompak dan sangat aktif dalam kegiatan bermasyarakat.” (Ali. Wawancara. 19 Juni 2014). Keberlangsungan suasana hidup yang harmonis antara pengikut Sunni dan Syiah di Banjaran yang dijaga dan dirawat melalui berbagai cara termasuk melalui kerja-kerja sosial kemanusiaan tersebut menjelaskan sebuah teori yang dikemukakan oleh Ashutosh Varsney dalam penelitiannya tentang konflik antara Hindu dan Islam di India, sebagaimana dikutip oleh Marwan (2008: 51). Ashutosh HARMONI Mei - Agustus 2015 Varsney menyatakan bahwa perdamaian antara dua komunitas yang berbeda akan tercipta bila dilakukan ikatan kerjasama dalam bentuk hubungan kemanusiaan (civic engagement) yang teratur. Ikatan kemanusiaan itu harus tetap terjaga dan terbina, sebab jika terjadi kelalaian, konflik akan muncul kembali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ikatan kerjasama itu dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk “hubungan asosiasi dan hubungan kegiatan hidup sehari-hari (associational forms engagement dan everyday forms of engagement). Bentuk asosiasi lebih baik karena dapat diikat oleh organisasi” . Hubungan kerjasama itu dapat dibangun dengan dua macam cara, yaitu : dengan meningkatkan komunikasi antar anggota masyarakat yang berbeda agama dan melalui kerjasama dalam bidang ekonomi dan budaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari kedua belah fihak (Varshney, 2014: 9). Refleksi Terkait dengan ketegangan dan konflik sosial yang diakibatkan oleh pemaknaan agama, pada dasarnya tidak perlu terjadi dalam kehidupan masyarakat yang modern, apabila masingmasing agama mengutamakan nilainilai universal yang dapat menyejukkan hati pemeluknya, mengembangkan sikap kejujuran dan keadilan dalam mengembangkan misi dakwahnya serta menghindari sikap saling mencurigai satu sama lain. Keharmonisan ini terjadi apabila mereka tidak hanya sebatas memperbanyak dan memperindah tempat ibadah semata melainkan lebih mengutamakan peningkatan mutu keberagamaan penganutnya dalam wujud meningkatkan kesadaran dalam mengembangkan sikap toleransi, persatuan dan kesatuan serta sikap saling mencintai kepada sesama manusia. Dengan demikian agama dapat menjadi cahaya penerang seluruh aktifitas HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH keseharian. Di sinilah agama sungguhsungguh nampak menjadi sumber etika dalam kehidupan sosial yang dapat membangkitkan kepedulian dan kejujuran dan dapat menghindarkan pemeluknya dari perilaku-perilaku tidak bermoral. Keragamam etnik, budaya, adat istiadat dan keragaman agama inilah yang justeru menjadi modal sosial yang begitu strategis bagi masyarakat Indonesia guna memasuki kehidupan global yang sarat ditandai dengan perjumpaan berbagai tradisi dan kecenderungan pemikiran yang berbeda-beda (Marwan, 2008). Berkaitan dengan konflik SunniSyiah, sebenarnya konflik tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan di dalam praktik ajaran Islam yang kemudian berujung pada sikap saling menyesatkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, Sunni memang bersikap lebih agresif terhadap kelompok Syiah. Konflik semacam ini, pada kenyataannya selalu berdampak luas dan cenderung menjadi konflik turun-menurun yang akan selalu diungkit kembali dan dibesar-besarkan demi kepentingan pihak tertentu. Solusi yang penting ditawarkan dalam mengatasi masalah tersebut tentu harus dimulai dari keterlibatan aktif para tokoh keduanya guna menyelesaikan akar permasalahannya. Dengan begitu, penanaman sikap-sikap inklusif akan lebih mudah dilakukan kepada pengikut Sunni-Syiah di tingkat akar rumput demi terciptanya kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Interaksi antara pengikut Sunni-Syiah sejatinya terjadi sebagaimana interaksi sesama manusia yakni saling menghormati dan menjaga keyakinannya masing-masing tanpa disertai ketegangan dan tanpa melukai dan menghakimi dalam mempertahankan argumentasinya masing-masing. Tentunya, hubungan yang harmonis akan terjadi dan akan selalu ada selama 91 tidak menyinggung soal keyakinan sehingga hubungan harmonis akan tetap berjalan dengan baik tanpa masalah yang berarti. Sikap-sikap semacam ini dilakukan oleh kaum Sunni-Syiah di Banjaran karena mereka tentu menyadari bahwa dalam hidup bermasyarakat sangatlah memerlukan sosialisasi, kerjasama dan tentu saja berusaha semaksimal mungkin merawat kesadaran menahan diri dan menghindari konflik dan ketegangan. Komitmen kebersamaan dalam menjaga keharmonisan di tengah realitas perbedaan ini sangatlah dibutuhkan. Artinya, perdamaian tidak akan tercapai tanpa ada rasa saling menghormati dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam masyarakat. Atas dasar itu, keharmonisan bermasyarakat sangat bergantung pada sikap seseorang menghargai perbedaan dan berusaha menjaga diri untuk tidak saling mendominasi. Realitas interaksi Sunni-Syiah di Banjaran yang berlangsung rukun sebagaimana uraian-uraian di atas merupakan potret yang baik untuk dijadikan contoh tentang bagaimana sikap kita terhadap masyarakat yang majemuk. Sikap saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan hidup individu tentu merupakan sikap ideal demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tentram dan harmonis, karena dengan menghargai dan menghormati orang lain, mereka pun akan melakukan hal yang sama terhadap kita. Di samping itu, munculnya berbagai mazhab seharusnya tidak menjadi penyebab perpecahan, saling berseberangan, saling membenci dan mencaci. Tetapi, hendaknya dijadikan sebagai faktor pendorong terjadinya penguatan hubungan, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan tentu saja penting untuk memperluas wawasan. Meskipun realitasnya tentu saja muncul sebuah ironi, “budaya dialog” seakan sudah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 92 EFA IDA AMALIYAH mulai tergeser oleh “budaya otot” dalam menyikapi perbedaan, baik dalam dialog inter-religius maupun intra-religius. Padahal, dalam sejarahnya, Rasulullah Muhammad tidak menutup pintu dialog dengan orang musyrik, orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Bahkan beliau melakukan dialog dengan golongangolongan tersebut, beliau menyambut dan berdialog dengan semuanya. Budaya dialog juga tumbuh subur di kalangan ulama-ulama klasik. Meskipun, tidak jarang terjadi perdebatan sengit di antara mereka dalam mempertahankan pendapatnya. Tetapi, perbedaan pandangan dan pemikiran tersebut tidak menghalangi mereka di dalam menjaga persaudaraan dan menjalin kasih sayang yang diperintahkan oleh Allah Swt. Cara menghadapi pemikiran-pemikiran itu adalah dengan berdialog bukan dengan cara kekerasan. Isu lain yang juga perlu diperhatikan dalam dialog adalah pemerintah, etnisitas, struktur okupasi dan kompetisi lokal, dan plural policing. Mengenai isu okupasi dan kompetisi, Rizal menjelaskan bahwa kedua hal tersebut merupakan salah satu tantangan pasca-migrasi dan transmigrasi yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Inilah momen ketika para pendatang yang beragama atau beretnis berbeda bertemu dengan para penduduk setempat, yang tak jarang menimbulkan “gesekan-gesekan sosial” tertentu. Isu selanjutnya adalah plural policing yang menekankan bahwa polisi tidak bisa menangani sengketa keagamaan jika pihak-pihak yang bertikai, patron, dan para pendukung mereka tidak mendukung upaya rekonsilisiasi. Jika setiap orang kukuh dengan posisinya masing-masing, konfrontasi yang tidak sehat bisa jadi tidak akan pernah menemukan jalan keluarnya (http://crcs. ugm.ac.id, diakses 14 Juli 2013) HARMONI Mei - Agustus 2015 Penutup Kesimpulan Berdasarkan penjabaran analisis dan pembahasan di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, agama mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tetapi juga menentukan falsafah hidup suatu masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Namun demikian, agama juga tidaklah berdiri sendiri karena ia akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia. Kedua, berbagai perilaku keberagamaan seseorang atau masyarakat, secara umum dapat ditafsirkan sebagai satu kesatuan yang merepresentasikan keberagamaannya, termasuk sikap eksklusifitas beragama yang kemudian menjadikan agama seakan bersifat antagonis. Antagonisme yang kemudian berwujud dalam ketegangan di kalangan intern umat beragama itu sendiri maupun antarumat beragama. Ketiga, banyak yang memiliki persepsi bahwa akar ketegangan bersumber dari lingkup teologis dan sengketa pandangan dalam memahami norma-norma agama dan ajaran-ajaran yang sesungguhnya bersifat multi penafsiran beragam. Keempat, sifat eksklusifisme yang inheren dalam setiap agama tidak akan pernah bisa dihilangkan dan akan selalu berpotensi konflik menjadi sebagaimana terjadi di kalangan penganut Sunni-Syiah di berbagai daerah. Namun demikian, fenomena semacam ini tidak terjadi di kalangan penganut Sunni-Syiah di Desa Banjaran. Justeru perbedaan di antara mereka lebih memilih menunjukkan wajah harmonis dalam hubungan kemasyarakatan di Desa Banjaran yang mayoritas masyaakatnya adalah Sunni. HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH Kelima, hubungan harmonis di kalangan Sunni-Syiah yang tidak terkena dampak sentimen keagamaan pasca konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura atau lainnya juga disebabkan oleh adanya sosok pemersatu bernama mbah Muhammad Arif, meskipun sudah wafat sejak beratus tahun lalu namun dipandang sebagai sosok pemersatu bagi masyarakat Banjaran. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dalam tulisan ini terdapat beberapa saran yakni: Pertama, keberlangsungan suasana hidup yang harmonis antara pengikut Sunni dan Syiah di Banjaran yang dijaga dan dirawat melalui berbagai cara termasuk melalui kerja-kerja sosial kemanusiaan membuktikan dengan nyata bahwa kegiatan-kegiatan semacam 93 ini harus ditanamkan terus menerus dan dijaga keberlangsungannya oleh para tokoh agama dan masyarakat di Desa Banjaran. Keterlibatan aktif para tokoh dari kedua kalangan tersebut sangatlah penting khususnya dalam hal penanaman sikap-sikap inklusif kepada pengikut Sunni-Syiah di tingkat akar rumput serta sikap-sikap saling menghormati dan menjaga keyakinannya masing-masing tanpa disertai ketegangan dan tanpa melukai dan menghakimi yang lain. Kedua, perlu ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga dan membina keharmonisan tersebut melalui dua cara yakni menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bertujuan meningkatkan komunikasi antar tokoh agama, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat Desa Banjaran dari kalangan penganut Sunni dan Syiah. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, dkk (eds). Pendahuluan: Menimbang solusi dari dalam: Kearifan Lokal dan Konflik Agama-agama. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascarsarjana UGM, 2008 Abdulsyani. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 2002 Afdillah, Muhammad. Dari Masjid ke Panggung Politik: Studi Kasus Peran Pemuka Agama dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang Jawa Timur. Tesis S2 Agama dan Lintas Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013. Ashutosh, Varshney. Ethnic Conflict And Civic Life. London: Yale University Press, 2014. Ali, Mursyid (Ed). Pemetaan Kerukunan Kehidupan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009 Anggota IKPI. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983. Appleby, R. Scott. The Ambivalence from The Sacred: Religion, Violance and Reconciliation. USA: Rowman dan Littlefield Press, 2000 Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2010 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 94 EFA IDA AMALIYAH Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2011 Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2012 Bagir, Haidar “Syiah dan Kerukunan Umat” Opini , Republika, Jumat, 20 Januari 2012 / 26 Shafar 1433 Bashiroh, Ummu. Konflik Syi’ah-Sunni dan Solusinya dalam Perspektif Keilmuan di Sampang Madura. makalah Mata Kuliah Perbandingan Agama, 2014 Brian, Morris. Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer. Yogyakarta: AK Group, 2003 Bahtiar Effendy. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Galang Press: Yogyakarta, 2001. Fatkhiyati. Interaksi Sosial Antar Pemeluk Agama: Studi Kasus Agama Islam dan Agama Khonghucu di Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Skripsi S1 Ushuluddin / Perbandingan Agama. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2005. Hidayat, Adang Taufik. Pemikiran Politik Islam Syi’ah dan Sunni Tentang Kekuasaan: Studi Pembagian Kekuasaan Politik di Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan. Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2012. Kawedhar, Widyabakti Hesti dan Diatmika Wijayanti. Detik-Detik Ujian Nasional Sosiologi Tahun Pelajaran 2012/2013. Klaten: Intan Pariwara, 2012. Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama: Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme, dan Modernitas. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Khadiq. Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat. Yogyakarta: Teras, 2009. Kirana, Candra, dkk. Strategi Khusus Menghadapi Ujian Nasional SMA/MA Sosiologi. Klaten, Viva Pakarindo, 2011. Kuper, Adam. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Raja Grafido Persada, 1996. Lederach, John Paul. Transformasi Konflik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2005 Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik. Jogjakarta: LKiS, 2005 Michael S., Northcott, “Pendekatan Sosiologi” dalam Peter Carnolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, 1999, hal 267-310. Hand Out: Bernard T. Adeney: Sociology of Religion Reader. Yogyakarta, 2004 Munthe, Atom Ginting dan Arie I.Chandra. Profil Sikap terhadap Pluralisme: Perspektif Mahasiswa atas Kehidupan Kampus dalam Konteks Nasional dan Global (Studi Kasus di STAI & UNAI), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada MasyarakatUNPAR 2011 Na’im, Ngainu. Teknologi Kerukunan: Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras, 2011 Pals, Danial L. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCiSoD, 2011 HARMONI Mei - Agustus 2015 HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH 95 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 Salahuddin, Marwan. Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo: Praktik Hubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik, dalam Irwan Abdullah (eds). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascarsarjana UGM, 2008 Sigmund, Freud. “Agama dan Kepribadian”, dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Relgion. Yogyakarta: Qalam, 1996. Hand out Irwan Abdullah, Theories of Religion and Society: A Reader. Yogyakarta: CRCS, 2004 Syaefullah, Asep. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007 Swidler, Leonard. Death or Dialoge. Minneapolis: Fortress Press, 1993 Taher, Tarmizi. Menuju Umatan Wasathan Kerukunan Beragama di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, 1998 Taher, Tarmizi. Menjadi Muslim Moderat, Beragama di Tengah Peradaban Global. Jakarta: Hikmah, 2004 Thoha, Anis Malik. Tren Pluralitas Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005 Tim Penyusun. Strategi Khusus Menghadapi Ujian Nasional SMA/MA Sosiologi. Klaten: Viva Pakarindo, 2011. Wim Beuken, Karl-Josep Kuschel. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Internet: Al-Hamid Jakfar Al-Qadri dalam buku Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, http://www. nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,43941-lang,id-c,buku t,Menyikapi +Perbedaan+dengan+Berdialog-.phpx Alif Bhakti, http://ilmudaninfo.wordpress.com/2013/01/14/kerukunan-umat-beragama/ waktu akses, 08 Juni 2014 Pukul, 11:33 Azizah Febriana, http://azizahfebrinia93.wordpress.com/2013/05/06/sekilas-tentangkonflik-syiah-sunni-di-sampang-madura/, diakses tanggal 09 Juni 2014. Data Monografi Desa Banjaran, tahun 2013 Georg Simmel, On Individuality and Social Forms, 1971: 46), dalam http://indososio. wordpress.com/2012/12/06/pertukaran-sebagai-dasar-interaksi/ Heyder Affan, http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/08/130731_ lapsus_syiah_sidoarjo_kilasbalik.shtml, diakses tanggal 06 Juni 2014. http://crcs.ugm.ac.id/news/868/Laporan-Tahunan-CRCS-Kualitas-Konflik-AgamaMeningkat-Mediasi-Dilematis.html, diakses tanggal 14 Juli 2013 http://naturaladli.blogspot.com/2013/01/kerukunan-umat-beragama_3232.html http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2012/11/28/feature-03 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 96 EFA IDA AMALIYAH http://www.darut-taqrib.org/berita/2012/03/22/kedamaian-sunni-dan-syiah-di-jepara-1/ Harmoni Sunni-Syiah di Banjaran Jepara, dalam http://www.gusdurian.net/id/peristiwa/ Harmoni-Sunni-Syiah-Jepara/ Kodim, M. Kekerasan Atas Nama Agama, dalam http://desantara.org/v3, diambil tanggal 5 Juni 2011 Presentasi Nor Cholis dalam awal. Pelajar Indonesia di Hadhramaut Gagas Rekonsiliasi Sunni-Syi’ah, diambil dari NU ONLINE HARMONI Mei - Agustus 2015 PENELITIAN PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN 97 Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan Muhammad Hasbi STAIN Watampone E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 13 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Abstract Abstrak This research applies descriptive method for describing or explaining a problem and phenomenon which exist until now. The issues discussed in this research are: 1). How is society’s view on Qadariya and Jabariya doctrines? 2). How is the role of Qadariya and Jabariya theology towards society at Bajo Fish Auction market? This result concludes that based on Islamic perspective, human deeds are interpreted into viewpoints. Human beings have a freedom and desire to do some deeds that they want. They create their deeds. It is called Qodariya doctrine. Conversely, the second group’s view point is different. They think that human beings cannot make their own deeds but God can make them. For this group, man cannot do anything, they dont have the power to do anything because they are controlled by God. Their thought is called Jabariya. Some societies of Bajo fish auction market agree to one or both of them to view those doctrines. Some of them also have different point of view towards those doctrines. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan suatu masalah, kejadian, fenomena yang ada hingga masa sekarang. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimana pandangan masyarakat di pasar pelelangan ikan Bajo tentang Qadariyah dan Jabariyah? 2). Bagaimana peran teologi Qadariyah dan Jabariyah terhadap masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo? Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam pemikiran Islam, tindakan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran. Pertama, manusia mempunyai kebebasan dan kehendak untuk melakukan perbuatan, dan perbuatan tersebut diciptakan oleh manusia. Ini menunjukan bahwa manusia yang menghendaki perbuatannya. Apa yang dia inginkan, dia bisa melakukannya. Dalam pemikiran Islam, cara pandang model ini dikenal dengan paham Qodariya. Sebaliknya, bagi kelompok kedua, tindakan manusia tidak diciptakan oleh manusia, melainkan oleh Tuhan. Bagi kelompok ini, manusia tidak dapat berbuat apaapa, dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan karena Allah yang mengendalikan. Dalam pemikiran Islam, cara pandang semacam ini dikenal dengan sebutan Jabariyah. Terhadap kedua paham tersebut, masyarakat di pasar pelelangan ikan Bajo ada yang menyatakan setuju terhadap salah satu atau keduanya dan ada pula yang memiliki pendapat berbeda dengan kedua paham tersebut. Keywords: Qadariya, Jabariya, Society, Bajo Fish Auction Market Kata kunci: Qadariyah, Jabariyah, Masyarakat, Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 98 MUHAMMAD HASBI Pendahuluan Tuhan adalah pencipta manusia dan alam semesta. Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan penjalanan hidupnya. Manusia diberi kebebasan dalam mengatur hidupnya atau terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalam menghadapi berbagai masalah, terdapat dua konsep yang berkembang di kalangan muslim yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut paham Qadariyah (free will dan free act), manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya (Nasution, 1986: 31). Nama Qadariyah berawal dari sebuah pengertian manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan tidak tunduk pada qadar yang ditetapkan Tuhan. Menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, paham Qadariyah pertama kali dipelopori oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan alDimasyqy yang terinspirasi dari seorang nasrani Irak yang masuk Islam (Amin, 1965: 255). Dalam perkembangannya, Ghailan terus menyiarkan paham Qadariyah hingga ke Damaskus, dan mendapat tantangan dari Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-’Aziz. Setelah Umar wafat ia kembali meneruskan ajarannya di masyarakat. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang menentukan perbuatanperbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri (al-Gurabi: 33). Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Manusia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Dalam pandangan HARMONI Mei - Agustus 2015 paham tersebut, tidak dikenal sebuah pemikiran tentang nasib manusia dan perbuatan-perbuatannya sebagai sesuatu yang telah ditentukan semenjak zaman azali (Muhammad Hasbi, 2010: 52). Berbeda dengan paham Qodariyah, kaum Jabariyah (predestination atau fatalism) berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam paham ini terdapat sebuah cara pandang dan keyakinan bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan. Paham Jabariyah diperkenalkan pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham (Mulyono dan Bashori, 2010:140), dan yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Perlu diketahui bahwa Jahm yang dimaksud adalah sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah (Amin, 1965: 286). Manusia, menurut Jahm tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa tanpa ada kekuasaan, kemauan dan pilihan yang melekat dalam dirinya. Perbuatan-perbuatan yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tidak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam bendabenda mati. Oleh karena itu, manusia dinyatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk perbuatan-perbuatan mengerjakan kewajiban, menerima PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN pahala dan menerima siksaan (alSyahrastaniy: 87). Menurut paham ini pula, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Manusia dalam pandangan paham ini, hanyalah merupakan wayang yang digerakkan sebab manusia bergerak, berusaha dan berbuat karena digerakkan oleh Tuhan, sehingga tanpa gerak dan usaha dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apaapa. Namun demikian, di dalam paham tersebut, juga terdapat pandangan yang moderat sebagaimana diperkenalkan oleh al-Husain ibn Muhammad al-Najjar. Menurutnya, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia tetap mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan tersebut. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasb atau acquisition (al-Syahrastaniy: 89). Pandangan yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Dirar ibn ‘Amr yang menyebutkan perbuatan-perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan Tuhan. Selanjutnya, mengenai perkembangan dan pengaruh kedua paham tersebut, telah nyata bahwa keduanya telah berkembang jauh melebihi batas wilayah tempat kedua paham tersebut lahir dan tumbuh, salah satunya telah masuk hingga ke Indonesia. Untuk menelusuri kedua paham tersebut dalam pandangan masyarakat di Indonesia, peneliti melakukan sebuah penelitian terhadap pelaku pasar pelelangan ikan Bajo yang merupakan pusat perbelanjaan ikan bagi masyarakat Bajo dan masyarakat Kota Watampone. Pelelangan ikan ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupatan 99 Bone, Sulawesi Selatan. Masyarakat pesisir pantai Bajo memang bermata pencaharian pokok menangkap ikan dengan menggunakan perahu layar. Dalam sejarahnya, Suku Bajo memang dikenal sebagai suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan “manusia perahu”. Sebagai manusia perahu, masyarakat Suku Bajo mengenal budaya Alloping, sebagai pedoman atau aturan membangun perahu. Budaya AIloping inilah yang kemudian berkembang menjadi budaya Appabolang, terutama setelah mereka menetap dalam suatu hunian dan mengelompok menjadi suatu pemukiman. Budaya Appabolang ini merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat Suku Bajo dalam mendirikan/membangun rumah tinggalnya. Faktor-faktor tersebut adalah agama/kepercayaan, hubungan sosial, mata pencaharian, pengetahuan, pola hidup, dan lingkungan alam. Di perairan Bajo dikenal dengan jenis pasang surut ganda campuran (mixed tide, prevailing semidiurnal) yaitu 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari. Keadaan ini menjadi tantangan bagi rumah tinggal yang berhubungan langsung dengan laut untuk tetap bertahan dan menyesuaikan diri dengan air pasang dan kelembaban yang ditimbulkannya. Kencangnya angin yang bertiup dari laut maupun dari darat dapat mengubah suhu udara menjadi sangat dingin. Curah hujan terjadi sepanjang tahun sehingga sulit menentukan musim hujan atau musim kemarau. Hal-hal seperti inilah yang banyak mendatangkan masalah dan sangat penting diperhatikan untuk mengetahui paham mereka, khususnya paham Qadariyah dan Jabariyah. di Sebagaimana atas, sebagai telah diuraikan manusia perahu, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 100 MUHAMMAD HASBI masyarakat Suku Bajo melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya di atas perahu. Namun seiring perjalanan waktu, manusia perahu tersebut kemudian menetap dalam suatu hunian dan mengelompok membentuk suatu pemukiman. Meskipun demikian, budaya laut mereka masih begitu besar mempengaruhi kehidupannya bahkan hingga saat sekarang. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Bone untuk membangun Pelelangan ikan di Bajo yang dibangun pada tahun 2011 di era pemerintahan H. Andi M. Idris Galigo, SH. Dalam perkembangannya, setelah terpilihnya Dr. H. Andi Fashar Mahdin Fadjalani dan Drs. H. Ambo Dalle, MM, sebagai Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Bone periode 2013-2018, pelelangan Ikan ini pun semakin ramai dikarenakan tempatnya yang sangat strategis. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pandangan paham Qodariyah dan Jabariyah dalam pandangan masyarakat Bajo, maka dalam tulisan ini dikemukakan lebih khusus tentang pandangan masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo tentang kedua paham tersebut serta peran teologisnya di dalam masyarakat. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan suatu masalah dan fenomena yang ada hingga saat sekarang. Dengan kata lain, metode deskriptif dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan tentang fenomena yang ada, dan berlaku sampai sekarang. Populasi dalam penelitian terdiri atas populasi utama (pokok) dan populasi penunjang (sekunder). Pada populasi utama meliputi seluruh pelaku pasar pelelangan ikan Bajo di Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone. HARMONI Mei - Agustus 2015 Sedangkan sampel penelitian dipilih dari populasi penelitian tersebut yakni hanya beberapa sampel penelitian. Dari beberapa jumlah sampel penelitian utama tersebut, digunakan metode acak atau cluster random sampling dengan mengacu pada pertimbangan jangkauan tempat penelitian, yaitu seluruh pelaku pasar pelelangan ikan pesisir pantai Bajo, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone. Sedangkan sampel penunjang meliputi sampel yang digunakan di pasar pelelangan ikan Bajo yang cukup diwakili oleh sampel yang representatif untuk diwawancarai guna mengetahui pandangannya tentang paham Qadariyah dan Jabariyah dan pengaruhnya terhadap cara pandang dan kehidupan mereka. Pertimbangannya, dari sampel tersebut diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang akurat tentang segala yang dibutuhkan. Untuk memperoleh informasi yang komprehensif, maka dalam penelitian ini digunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut, yaitu: 1). Observasi dan pencatatan yang sistematis terhadap pelaku pasar pelelangan ikan Bajo. Pencatatan ini terdiri atas pencatatan yang bersifat deskriptif dan reflektif; 2). Wawancara; 3). Angket, yaitu dengan melakukan pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan yang diberikan kepada seluruh anggota sampel dengan menggunakan sistem perwakilan pada pelaku pasar pelelangan ikan Bajo. Dengan metode ini data yang akan diberikan oleh responden akan lebih akurat dan diharapkan objektif, mengingat angket yang diberikan mencakup pertanyaanpertanyaan yang cukup simple dan jelas. Setelah informasi terkumpul, selanjutnya, dilakukan analisis data guna mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, angket dan lainlain untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari meaning. Hasil dan Pembahasan Sekilas tentang Masyarakat Pesisir Pantai Bajo Nenek moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai pelaut ulung. Julukan tersebut tampaknya masih melekat pada keseharian masyarakat pesisir pantai Bajo, khususnya masyarakat Suku Bajo. Sejak ratusan tahun, masyarakat Suku Bajo memang hidup di atas laut. Dengan hanya menggunakan perahu, mereka piawai mengarungi gelombang demi gelombang tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya, para pendahulu Suku Bajo memutuskan membangun pemukiman di permukaan samudera. Di mata masyarakat suku Bajo, laut adalah segalanya. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, masyarakat Suku Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Masyarakat Bajo merupakan nelayan tradisional yang mampu memanfaatkan kekayaan laut untuk bertahan hidup. Pada umumnya, masyarakat Suku Bajo tersebar dan hidup di perairan Indonesia dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Hampir di seluruh wilayah perairan di Indonesia mengenal adanya masyarakat Suku Bajo yang hidup dan bertempat tinggal di daerah pesisir laut. Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang 101 membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya kelautan. Seperti masyarakat lain, masyarakat nelayan juga menghadapi banyak ragam masalah, antara lain: 1). Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat; 2). Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga mempengaruhi dinamika usaha; 3). Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada; 4). Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik; 5). Degradasi sumberdaya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut maupun di pulau-pulau kecil; 6). Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional. Masyarakat pesisir memang mempunyai keunikan tersendiri. Masyarakat pesisir mampu menampilkan suatu perbedaan bentuk dan tradisi yang mencerminkan keanekaragaman daerah dan kekayaan warisan sejarah. Rumah tradisional suku-suku yang mendiami kawasan pesisir pantai di seluruh nusantara. Bentuk-bentuk unik yang ditampilkan merupakan cerminan identitas lokal yang memperkaya khazanah budaya nusantara dan keanekaragaman rumah tradisional yang ada di nusantara menunjukan karya seni yang memiliki kualitas seni yang tinggi. Kemudian, terbentuknya permukiman komunitas Suku Bugis dan Suku Bajo di pesisir pantai Bajo di sekitar pelelangan ikan ini dilatarbelakangi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 102 MUHAMMAD HASBI oleh sebagian besar masyarakatnya yang mempunyai sumber mata pencaharian sebagai nelayan. Mereka membentuk permukiman kampung nelayan untuk memudahkan aksesibilitas terhadap kegiatan sehari-hari sebagai nelayan, mulai dari penangkapan ikan ataupun hasil-hasil laut lainnya sampai pada tahapan pemasaran yang dilakukan di pasar pelelangan ikan Bajo. Paham ke-Jabariyah-an dan keQadariyah-an Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo Teologi Islam merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat disangkal keberadaannya. Dalam ranah pemikiran Islam, perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoxal. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia (Qadariyah), di mana perbuatan-perbuatan manusia tidak lebih merupakan ciptaaan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bisa lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia sangat bisa untuk tidak melakukannya. Kedua, bagi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia (Jabariyah), melainkan oleh Allah Swt. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah Swt. Konsepsi tentang perbuatan manusia memang seringkali menjadi faktor dalam menentukan maju dan mundurnya, berkembang dan terbelakangnya keadaan umat Islam saat ini. Bagi kalangan liberal, paham Jabariyah yang kemudian diformulasikan oleh Asy’ari dan dianut oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, merupakan faktor utama mundurnya umat Islam sekarang ini. Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju, paham Qadariyah atau Mutazilah yang HARMONI Mei - Agustus 2015 harus dianut atau dijadikan worldview untuk mengembalikan kemajuan peradaban Islam sebagaimana pandangan Abdul Rahman. Menurutnya, manusia harus berusaha semaksimal mungkin untuk meraih kesuksesan dalam berbisnis dengan memegang sebuah semangat: “kalau orang bisa kenapa kita tidak bisa” dan “tidak boleh terlebih dahulu tunduk kepada takdir karena tidak ada manusia yang mengetahui takdirnya, karena itu adalah rahasia Tuhan” (Abdul Rahman. Wawancara. 1 September 2013). Berbeda dengan Abdul Rahman, Malla menyatakan bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya untuk menentukan nasibnya, karena semuanya tergantung pada takdir Tuhan (Malla. Wawancara. 5 September 2013). Sedangkan Samsuddin berpendapat sebaliknya, “nasib manusia tergantung sejauh mana usaha manusia itu untuk menentukan perjalanan hidupnya, namun demikian manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala apa yang telah ia perbuat.” Samsuddin secara jujur menyatakan bahwa istilah Qadariyah dan Jabariyah betul-betul tidak dipahami dan bahkan baru pertama kali mendengar istilah tersebut. Tetapi, selama ini, ia berusaha berbisnis menjual ikan di pelelangan ikan Bajo tiada lain didasari atas kemauan dan kehendaknya sendiri (Samsuddin. Wawancara. 3 September 2013). Sejalan dengan pandangan Samsuddin, Samsu yang tidak mengenal paham Qadariyah dan Jabariyah ini berpandangan bahwa manusia mampu mewujudkan perbuatan-perbuatannya untuk berusaha dan berbisnis (Samsu. Wawancara. 5 September 2013). Berbeda dengan Samsu, Mondeng menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang lemah yang diciptakan oleh Allah Swt, dalam kelemahannya tersebut banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hal ini senada dengan pandangan al- PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN Asy’ari, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution. Dalam hal ini, Mondeng berpandangan bahwa manusia mempunyai daya sendiri. Akan tetapi, daya manusia itu tidak mempunyai arti apa-apa tanpa ditopang oleh daya Tuhan atau kemauan Tuhan (Mondeng. Wawancara. 2 September 2013). Oleh karena itu, untuk terwujudnya perbuatan diperlukan dua daya yakni daya Tuhan dan daya manusia. Namun demikian, faktor yang paling berpengaruh dan efektif pada akhirnya adalah daya Tuhan. Menurut pengamatan peneliti, pandangan Samsuddin, Malla dan Mondeng, pada dasarnya melakukan pembelaan terhadap konsep keadilan Tuhan. Demikian pula halnya Jufri. Meskipun tidak memahami secara mendalam tentang konsepsi kedua teologi tersebut, namun pandangannya mirip dengan cara pandang teologi Qadariyah, membela Allah dalam hal keadilan. Bagi mereka, Allah itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kezaliman, yang kedua sifat tersebut justeru terdapat dalam perbuatan manusia. Karenanya, bagi mereka perbuatan zalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Meskipun, tanpa disadari, dengan pandangan teologisnya semacam ini, justeru mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah Swt. Di sisi lain, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Mondeng menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Namun, dalam hal ini, pandangan Mondeng berbeda dengan pandangan Asy’ari bahwa Allah bisa saja melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka berbuat maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan neraka sudah ditetapkan penghuninya. 103 Kemudian, menurut Senabe, perbuatan manusia juga merupakan ciptaan Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Manusia tidak dapat berbuat tanpa dibarengi dengan perbuatan Tuhan. Artinya, dalam tindakan manusia terdapat perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan (Senabe. Wawancara., 26 September 2013). Sungguhpun demikian, menurut Hamid, segala kemauan dan kehendak manusia adalah kemauan dan kehendak Tuhan. Perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia sendiri (Hamid. Wawancara. 22 September 2013). Merujuk pada pandangan Senabe, peneliti memandang bahwa pandangan Senabe tersebut terdapat kemiripan dengan pandangan Maturidiah. Bagi Maturidiah, perbuatan itu ada dua, yaitu: pertama, perbuatan Tuhan dan kedua, perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Perbuatan manusia, bagi Maturidi, adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya Pendapat Hamid semacam ini adalah sama dengan pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara, bahwa kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan, ini mengandung arti paksaan atau fatalism. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidiah menarik hal tersebut kepada paham masyi’ah atau kemauan dan ridha atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 104 MUHAMMAD HASBI tetapi tidak selamanya dengan kerelaan Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan sebaliknya, betul bahwa manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan tersebut tidak atas kerelaan Tuhan. Peran Teologi Qadariyah dan Jabariyah terhadap Masyarakat Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo Teologi takdir memang sangatlah penting. Ia menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan maju dan mundurnya umat Islam. Ada cara pandang terhadap takdir yang dapat menyebabkan umat Islam mundur dan lemah dan ada pula yang justeru dapat mendorong umat Islam kepada kemajuan dan kekuatan. Dua pemikiran mengenai takdir tersebut adalah paham Jabariyah (predestination) dan paham Qadariyah (free will). Oleh karena itu, Samsuddin mengatakan bahwa deegaga missengngi garisi warekkenna, artinya tidak ada satu pun manusia mengetahui takdirnya. Atas dasar itulah, manusia wajib berikhtiar, berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh kebahagian dan kesenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Samsuddin. Wawancara. 5 September 2013). Hal ini, berbeda dengan pandangan yang dikemukakan Malla. Menurutnya, meskipun manusia berusaha banting tulang untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dunia, tetapi jikalau memang Tuhan takdirkan menjadi orang miskin, maka manusia itu akan menjadi miskin (Malla. Wawancara. 28 September 2013). Mengamati kedua pandangan tersebut, tampak bahwa pandangan Samsuddin lebih sejalan dengan paham Qadariyah. Sedangkan Malla lebih sejalan dengan paham Jabariyah. Paham Qadariyah tampaknya merupakan paham minoritas HARMONI Mei - Agustus 2015 di kalangan umat Islam. Menurut paham ini, takdir Tuhan adalah ketentuan Tuhan bagi mahluk-Nya. Takdir ini menjelma dalam bentuk sifat-sifat alam atau hukum-hukum sebab-akibat yang pasti berlaku. Manusia diberi kebebasan dalam kemauan dan perbuatan, diberi tanggung jawab, supaya manusia dapat diuji apakah beriman, beramal saleh atau sebaliknya. Dengan paham ini, manusia diberi landasan untuk bekerja keras, bekerja semaksimal kemampuan dan bertanggung jawab demi dunia dan akhirat. Ada juga mengambil sikap tengah antara Jabariyah dan Qadariyah, yang disebut paham “kasab”. Namun, dalam sejarah teologi Islam, paham tersebut hanya membagi paham takdir kepada dua paham yang disebutkan di atas. Dalam hal sifat-sifat Tuhan, Jufri tegas menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat (Jufri. Wawancara. 28 September 2013). Pandangan semacam ini berbeda dengan pandangan Mutazilah yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak mempunyai sifat, berbeda dengan AlAsy’ari yang berpendapat sebaliknya, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Bagi Mutazilah, mustahil Tuhan sendiri merupakan pengetahuan (‘Ilm), karena yang benar, Tuhan itu mengetahui (Alim). Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, bukanlah dengan ZatNya. Dalam hal wujud, mengenai pertanyaan apakah Tuhan dapat dilihat di akhirat atau tidak? Menurut Mondeng, (Wawancara. 2 September 2013) dan Saide (Wawancara. 21 September 2013), Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti, sebagaimana pemahaman mereka. Dalam hal ini, menurut pengamatan peneliti pengaruh al-Asy’ari terhadap pemikiran tersebut juga cukup penting untuk diamati karena tidak dapat dimungkiri bahwa dalam pemikiran al-Asy’ari, Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Hal ini tentu didasarkan pada argumen akal PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN dan nash. Bagi al-Asy’ari, hanyalah yang tidak mempunyai wujudlah yang tidak dapat dilihat. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena itu dapat dilihat. Argumen al-Qur’an yang dikemukakannya antara lain: “Wajah-wajah yang ketika itu berseriseri memandang kepada Allah” (QS. alQiyamah: 22-23). Selanjutnya, dalam hal keadilan Tuhan, Midang menyatakan bahwa Allah adalah adil dan manusia wajib berterima kasih kepada-Nya, meyakini bahwa Allah adalah Maha Adil. Keadilan diartikannya “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya” (Midang. Wawancara. 4 September 2013). Dengan konsepsi keadilan ini, Hajjah Cahe menyatakan bahwa tidak mungkin Allah memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka atau memasukkan seluruh manusia ke dalam Surga. Tuhan itu adil, jikalau Ia memasukkan orang kafir ke dalam neraka dan memasukkan orang mukmin ke dalam Surga. Samsuddin juga mengatakan bahwa tidak mungkin Tuhan akan memasukkan orang mukmin ke dalam neraka atau memasukkan orang kafir ke dalam surga karena menurutnya, neraka sudah dipersiapkan oleh Allah untuk orang kafir dan surga adalah tempatnya orang-orang yang beriman (Hajjah Cahe. Wawancara. 5 September 2013). Dalam hal keadilan tersebut, Jufri memberikan pandangannya bahwa Allah tidak mungkin menganiaya seluruh umat manusia, baik di dunia atau di akhirat (Jufri. Wawancara. 28 September 2013). Jelaslah bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kemauan dan kehendak Allah. Manusia dalam kelemahannya justeru banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah (Hamid. Wawancara. 22 September 2013). Akal manusia, menurut Senabe, mempunyai daya yang lemah, akibatnya, 105 menjadikan manusia kurang mempunyai ruang gerak, karena terikat pada dogmadogma. Dengan demikian, sangat sukar untuk dapat mengikuti dan menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern, seperti yang terjadi pada masyarakat di Bajo. Hal ini dapat menjadi salah satu dari faktorfaktor yang memperlambat kemajuan dan pembangunan. Paham Jabariyah yang berkembang dalam masyarakat pelelangan ikan Bajo, seperti tentang rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan manusia-manusia enggan mengubah nasibnya sendiri dan mengubah struktur masyarakat. Ia selalu mempersalahkan takdir atas kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan, karena minimnya pendidikan sehingga sulit mengikuti perkembangan zaman (Sanabe. Wawancara. 26 September 2013) Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Samsuddin dan Jufri bahwa manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas untuk berbuat termasuk keinginan untuk berusaha atau berbisnis. Menurut peneliti, justeru pandangan semacam ini sudah sesuai dengan paham Qadariah. Term Qadariah mengandung dua arti. Pertama: orangorang yang memandang manusia berkuasa dan bebas dalam perbuatanperbuatannya. Dalam arti itu Qadariah berasal dari qadara yakni berkuasa. Kedua: Orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan sejak azali. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib. Kaum Qadariah adalah kaum yang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh daya mereka sendiri dan bukan oleh Tuhan. Di samping itu, ada pula masyarakat di pasar pelelangan ikan Bajo yang berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan Tuhan atau dalam Teologi Islam dikenal dengan nama Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 106 MUHAMMAD HASBI Jabariah. Sedangkan Qadariyah atau free will mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatanperbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusialah yang menciptakan perbuatanperbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan tersebut. Perbuatan ialah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baru. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih. Keterangan-keterangan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya apakah daya untuk mewujudkan perbuatan merupakan daya manusia sendiri? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya suatu perbuatan, harus ada kemampuan ataupun kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak tersebut sehingga selanjutnya akan terwujud suatu perbuatan. Terkait hal tersebut, menurut Jamil, manusia dalam melakukan perbuatan tidak bisa terlepas dari dua perbuatan, yakni perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Dalam perbuatanperbuatan ini terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak sebagaimana dimaksud adalah pembuat gerak yang sebenarnya (al-fa’il laha ‘ala haqiqatiha) yaitu Tuhan dan yang bergerak adalah manusia. Jadi, manusia merupakan tempat berlakunya perbuatan Tuhan sebagaimana ditegaskan Jamil dalam pandangannya (Jamil. Wawancara. 27 September 2013). Lebih lanjut Jamil HARMONI Mei - Agustus 2015 menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia dan daya untuk berbuat dalam diri manusia. Perbuatan manusia terjadi dengan daya Tuhan. Oleh karena itu, sebagai penegasan perlu kembali dikemukakan bahwa untuk terwujudnya perbuatan diperlukan dua daya yakni daya Tuhan dan daya manusia. Namun demikian, pada akhirnya daya Tuhan lah yang berpengaruh dan efektif dalam pewujudan suatu perbuatan. Ini mempertegas bahwa daya manusia tidaklah efektif jikalau tidak disokong oleh daya Tuhan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jikalau dikemukakan bahwa daya manusia lebih merupakan impotensi daripada merupakan hal lain meskipun terdapat hubungan yang erat di antara keduanya yakni manusia dan perbuatan. Dengan demikian, pandangan yang menyebutkan manusia sebagai unsur yang menciptakan perbuatannya, tentu tidak sepenuhnya tepat (Jamil. Wawancara. 27 September 2013). Oleh karena itu, perlu ada term baru yang selaras dengan apa yang disebut dalam al-Quran tentang hal ihwal perbuatan manusia. Lalu mengenai term kehendak dalam paham Jabariyah mengenai upah dan hukuman, mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Soal salah atau benar dalam menggunakan pilihan tersebut tentunya mengandung dua konsekuensi, yakni memperoleh upah atau hukuman. Namun dalam paham Jabariyah, manusia tentu tidak dapat melakukan pilihan, manusia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya. Hal ini bermakna di dalam kemauan manusia sebenarnya adalah kemauan Tuhan dan perbuatan manusia sesungguhnya merupakan wujud kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia. Inilah yang kemudian dimaknai sebagai fatalisme. Dalam Jabariyah, manusia melakukan segala perbuatan PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN baik dan buruk, atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan Tuhan. Tuhan tidak menyukai manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan, dan sebaliknya, benar bahwa manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, akan tetapi tidak atas kerelaan Tuhan. Jadi, term kehendak dalam pengertian tersebut bukanlah bermakna kebebasan berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, melainkan kebebasan berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Konsepsi tentang kebebasan ini jelaslah berbeda dengan kebebasan menurut paham Qodariyah yang kadar kebebasannya dalam menentukan kehendak relatif lebih kecil dibandingkan dengan kebebasan dalam paham Qadariyah. Perbedaan lain yang terdapat dalam kedua paham tersebut adalah tentang daya yang dalam pandangan Jabariyah ditegaskan bahwa daya untuk berbuat tidaklah diciptakan sebelumnya melainkan bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya semacam ini tampaknya lebih kecil dibandingkan daya yang dipahami dalam teologi Qadariyah. Oleh karena itu, konsepsi manusia di dalam paham Jabariyah tidaklah sebebas manusia di dalam paham Qadariyah. Adapun tentang Jabariyah dalam pandangan Maturidiyah golongan Bukhara khususnya mengenai term kehendak seperti halnya kehendak berbuat adalah sama dengan term kehendak yang dimaknai dan dipahami di dalam paham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti konsepsi kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebasan kehendak bagi golongan tersebut dimaknai hanya sebagai kebebasan 107 untuk berbuat sesuatu tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Dalam konsepsi daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Namun demikian, kebebasan manusia di dalam paham ini tidaklah sebesar kebebasan yang memperoleh tempat istimewa di dalam paham Qodariyah karena bagaimanapun, perbuatan manusia hanyalah bersifat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia bisa digunakan sebatas untuk melakukan perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta, dan dalam ciptaan-Nya tersebut adalah perbuatan manusia. Dengan demikian manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti berpandangan bahwa kebebasan manusia tidaklah mutlak sebab kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri, seperti halnya manusia datang ke dunia ini sebagai sebuah kejadian yang bukan merupakan kemauan dan kekuasaan manusia.Tanpa disadari dan diketahuinya, manusia telah mendapati dirinya telah berada di dunia. Demikian pula dalam hal kematian, setiap orang pada dasarnya ingin terus hidup, tetapi bagaimanapun kematian tetap akan datang, sekarang atau besok. Tidak dapat dimungkiri, kebebasan dan kekuasaan manusia sesungguhnya dibatasi oleh hukum alam. Manusia tersusun antara lain dari materi dan sifat materi adalah terbatas sehingga menyesuaikan dengan unsur materinya yang bersifat terbatas. Manusia, hidup dilingkupi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan dan hukum alam ini tidak dapat diubah oleh manusia sehingga manusia harus tunduk kepada hukum alam tersebut, seperti halnya api, sifatnya ialah membakar dan manusia Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 108 MUHAMMAD HASBI tidak dapat mengubah sifat tersebut. Hal yang dapat dibuat oleh manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tidak dapat dilahap api, meskipun faktanya memang ada tubuh manusia yang tidak terbakar jikalau tersentuh oleh api. Peristiwa semacam ini dilihat dari sudut pandang paham Qadariyah, sebenarnya bukan api yang tidak dapat membakar, melainkan ada tubuh tertentu yang tidak dapat dibakar api. Peristiwa ini dapat terjadi, tentu karena melalui proses tertentu yang juga merupakan suatu hukum alam yaitu melalui latihanlatihan tertentu seperti yang dialami oleh seorang fakir di India, kakinya tidak dapat dibakar oleh api. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia memang dapat menyusun suatu zat yang tidak dapat dibakar oleh api, seperti sebuah material bernama asbestos. Proses tertentu yang disusun dan dibuat oleh manusia dalam material asbestos sehingga menjadikan material tersebut tahan panas dan api, sama halnya dengan tubuh manusia yang tidak dapat dibakar api karena telah melalui proses tertentu. Artinya, api tetap mempunyai sifat membakar, tetapi asbestos diciptakan manusia sebagai material yang mempunyai sifat tahan api sehingga asbestos tidak dapat dibakar oleh api. Uraian tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa kebebasan dan kekuasaan manusia sesungguhnya memang terbatas dan terikat oleh hukum alam karena pada hakikatnya hukum alam merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dilawan dan ditentang manusia. Kebebasan manusia hanyalah sebatas memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diikutinya. Penegasan semacam ini HARMONI Mei - Agustus 2015 perlu dikemukakan mengingat paham Qadariyah dapat disalahartikan sebagai sebuah paham yang bermakna manusia adalah bebas sebebas-bebasnya dan manusia dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan Penutup Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat dua kesimpulan utama dalam penelitian ini yakni: Pertama, manusia adalah makhluk yang lemah yang diciptakan oleh Allah Swt dan dalam kelemahannya, manusia banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Cara pandang semacam ini turut berkembang dalam pandangan masyarakat Indonesia khususnya dalam pandangan beberapa orang warga masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo di Kabupaten Bone. Kedua, sebagian besar masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo di Kabupaten Bone terpengaruh oleh paham Qadariyah dan sebagian lainnya terpengaruh oleh paham Jabariyah, yakni manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya. Ketiga, munculnya cara pandang yang sejalan dengan teologi Qadariyah dan Jabariyah dalam masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo di Kabupaten Bone menandakan bahwa kedua paham tersebut berpotensi menjadi salah satu faktor penyebab maju dan mundurnya umat Islam khususnya sebagaimana tergambar dalam pandangan pelaku pasar pelelangan ikan Bajo. Satu dari kedua paham tersebut ada yang mendorong umat Islam maju dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan ada pula justeru dapat menyebabkan umat Islam menjadi lemah dan mengalami kemunduran. PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN 109 Daftar Pustaka al-Ghurabiy, Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah. Kairo: t.p; t.th. al-Syahrastaniy, Muhammad ‘Abd. Al-Karim ibn Abiy Bakar Ahmad. Al-Milal wa alNihal. Kairo: Dar al-Fikr, t. th. Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: al-Nahdah, 1965. Ensiklopedi Indonesia. Jilid III, Jakarta: Icgtiar Baru-van Hoeve 1982. Hans Wehr. A Dictionary of Modern Written Arabic, Mu’jam al-Lugah al-Arabiyah al-Mua’ shirah. Cet III; Bairut: Libanon: Librairie du liban, 1980. Hasbi, Muhammad. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Mitra Cendekia, 2010 Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang: UIN-Maliki Press, 2010 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Jogjakarta: Ponpes al-Munawwir, 1984. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V. Jakarta: UI Press, 1986. Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002. Zaini,Hasan, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 110 SUHANAH PENELITIAN Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Suhanah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail : [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 16 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015 Abstract Abstrak This research employs case study method with qualitative approach. The purpose of this research is to figure out some information related to al-Maghfurullah Foundation cases consisting of: 1). Profile of al-Maghfurullah Foundation; 2). Its religious activities; 3). Chronology of alMaghfurullah Foundation is considered as deviant religious teaching; 4). Government and stakeholders efforts in solving alMaghfurullah Foundation cases. The result of research shows that Kaharudin as the leader of al-Maghfurullah Foundation and teacher undertakes some deviant religious teachings and practices that lead to social upheaval and issue Indonesian Ulema Council fatwa to handle development of Kaharudin’s teaching. It can be seen that no parties deal with this cases seriously, comprehensively, systematically, and continuously. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai informasi yang berkenaan dengan kasus Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi: 1). Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2). Aktifitas Keagamaannya; 3). Kronologi Yayasan al-Maghfurullah di anggap menyimpang; 4). Upaya-upaya penanganan pemerintah dan pihak terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan al-Maghfurullah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Kaharudin sebagai pimpinan Yayasan al-Maghfurullah sekaligus sebagai mursyid (guru) dalam praktiknya telah mengajarkan ajaran menyimpang. Ajaran yang dikembangkan itu ternyata mengandung sejumlah penyimpangan yang kemudian menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan menyebabkan keluarnya fatwa MUI yang tentang ajaran yang dikembangkan Kaharudin. Dalam penanganan kasus Yayasan alMaghfurullah belum terlihat adanya pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan dalam menangani kasus semacam ini. Keywords : Kaharuddin teachings, alMaghfirullah Foundation, Fatwa and Social Upheavel Pendahuluan Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah HARMONI Mei - Agustus 2015 Kata kunci: Ajaran Kaharudin; Yayasan alMaghfurullah, Fatwa dan Keresahan Sosial. Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, dinyatakan bahwa pembangunan bidang agama merupakan pemenuhan salah satu hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 28 AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT dan 29 Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan bidang agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia damai, adil, demokratis dan sejahtera. Pembangunan bidang agama tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang mengamanatkan agar pembangunan bidang agama diarahkan pada pencapaian sasaran pokok, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab (Balitbang, 2010: 1). Pembangunan bidang agama telah dapat dikatakan mencapai hasil yang cukup baik, tetapi masih terdapat sejumlah permasalahan yang membutuhkan penanganan yang lebih serius dan terprogram. Permasalahan yang dihadapi antara lain: masih terdapat kesenjangan pemahaman keagamaan dan harmonisasi sosial serta kerukunan di kalangan umat beragama belum optimal. Fenomena munculnya berbagai pemikiran, paham, aliran dan gerakan keagamaan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, di satu sisi dapat dinilai positif, sebagai salah satu indikator kebebasan beragama di negeri ini yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun di sisi lain, kebebasan dalam mengekspresikan kebebasan beragama tersebut seringkali menimbulkan keresahan masyarakat yang pada akhirnya berhadapan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Perkembangan kehidupan keagamaan tersebut antara lain disebabkan karena faktor internal dan eksternal. 111 Faktor internal antara lain disebabkan adanya perbedaan penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama, paradigma pemikiran yang dipergunakan dalam menafsirkan, dan penekanan pengamalan agama secara eksklusif yang hanya mengakui paham mereka saja yang benar, sedangkan paham lainnya dianggap sesat dan kafir. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pemikiran dari luar seperti pemikiran yang dianggap liberal dalam mamahami teks-teks agama, maupun cara merespon terhadap realitas kehidupan yang berkembang dewasa ini. Dalam realitasnya, perbedaan tersebut telah menimbulkan berbagai aliran dan paham keagamaan. Aliran-aliran tersebut ada yang masih dapat ditolerir oleh kelompok mainstream, dan ada pula yang dianggap menyimpang bahkan sesat, seperti yang dialami oleh Yayasan al-Maghfurullah yang ada di Kabupaten Cirebon (http://news.liputan6.com/ r e a d / 2 0 3 6 3 3 3 / wa r g a - s e g e l - r u m a h diduga-aliran-sesat, diakses 16 Agustus 2014). Terkait dengan aktivitas keagamaannya, Yayasan al-Maghfurullah ini berawal dari aktivitas pengajian tengah malam berupa ceramah dan tanya jawab yang bertempat di Desa Klayan Blok Alhidayah Kebon Jero, RT 12, RW 3 dan RT 13, RW 4 Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon. Pimpinannya bernama Kaharudin yang berasal dari Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu (Keluarga Az-Zaitun Indramayu). Sebagaimana diketahui bahwa sejumlah mantan pengikut alMaghfurullah melaporkan pimpinan al-Magfurullah yakni Kaharudin ke MUI dan ormas Islam, dengan tudingan mengajarkan aliran sesat, seperti melarang pengikutnya untuk melakukan silaturahim kepada orang tuanya dan pengakuan Kaharudin sebagai sosok suci, bahkan menganggap dirinya sebagai Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 112 SUHANAH tuhan. Sejumlah massa dari berbagai ormas Islam pada selasa 25 Februari 2014 mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Yayasan al-Maghfurullah merupakan aliran sesat. Pada akhirnya, tanggal 27 April 2014, Kaharudin dipanggil Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon, selain meminta klarifikasi secara personal, juga mengkonfrontir Kaharudin dengan sejumlah mantan pengikutnya (Danus dan Faturrahman. Wawancara. 9 Oktober 2014). Kedatangan Kaharudin di Kantor MUI Kabupaten Cirebon pun sempat disambut emosi para mantan pengikut dan sejumlah aktifis yang menunggu di halaman Kantor tersebut. Namun berkat pengawalan ketat polisi, emosi massa dapat diredam dan dikendalikan. Puluhan polisi berdatangan terlebih dahulu dengan menggunakan dua mobil Dalmas untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketua Bidang Hukum dan perundang-undangan MUI Kabupaten Cirebon, KH. Mukhlisin Munzari mengatakan bahwa Kaharudin datang dengan ditemani sekitar tujuh orang pengikutnya untuk melakukan klarifikasi atas tudingan tersebut. Semua hasil klarifikasi dan konfrontasi antara Kaharudin dan mantan pengikutnya akan menjadi bahan rapat MUI untuk menentukan fatwa yang akan dikeluarkan. Berdasarkan keterangan yang berhasil dikumpulkan MUI sejauh ini, Kaharudin hampir dipastikan bahwa ia melakukan penyimpangan dalam cara mengajarkan syariat Islam kepada pengikutnya. Namun terkait isi dari ajaran tersebut, MUI masih belum menemukan hal-hal yang menyimpang. Menurut Mukhlisin, satu poin krusial yang bisa menjadi dasar bagi MUI untuk memfatwakan al-Maghfurullah sebagai aliran yang menyimpang adalah larangan dari Kaharudin terhadap pengikutnya untuk menemui HARMONI Mei - Agustus 2015 orangtuanya. Namun sejauh ini Kaharudin membantah adanya larangan itu, bahkan ia mengaku selalu mengingatkan untuk bersilaturahim kepada orang tuanya, akan tetapi pengikutnya sendiri yang tidak mau menemui orang tuanya. Terkait dengan hal tersebut, salah seorang mantan pengikut Kaharudin, Sri Miyati (58 Tahun) mengatakan bahwa lima orang anak saya sudah mengikuti Aliran Kaharudin sejak tahun 2008 dan sejak itulah mereka tidak pernah mau datang menemui kedua orangtuanya. Ketika ditanyakan, jawabannya tidak diperbolehkan oleh Kaharudin, karena menurutnya belum waktunya untuk pulang. Dalam hal lain, menurut Ibu Sri, dirinya juga sempat diajak oleh anak-anaknya untuk ikut dalam aliran ini, namun baru beberapa hari saja ia merasakan banyak penyimpangan. Salah satu penyimpangannya adalah ketika sepasang suami isteri hendak berhubungan intim, ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kaharudin. Akhirnya ibu Sri pun memutuskan untuk ke luar dari al-Maghfurullah dan berhasil mengajak empat anaknya ikut ke luar. Namun demikian masih ada anak ketiga dari Ibu Sri yang tidak mau ke luar dan masih setia mengikuti Kaharudin yaitu Alimi. Pada saat Kaharudin datang ke MUI, anaknya ikut mendampingi Kaharudin, namun saat diajak pulang, sebagaimana pengakuan ibu Sri, ia tidak mau sepertinya ia dihipnotis dan tidak mau mendengarkan kata-kata orang tua serta saudara-saudaranya (http://www.pikiran-rakyat.com/jawabarat/2014/02/27/271839/kaharudin-danmantan-pengikutnya-bersitegang-dimui, diakses 15 Agustus 2014). Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Nahi Munkar (Almanar) Cirebon, Andi Mulya mendesak agar MUI tetap mengeluarkan fatwa sesat bagi al-Maghfurullah. Mengingat keterangan AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT belasan mantan pengikut lebih kuat daripada bantahan Kaharudin. Menurut Andi, biarkan saja mereka membantah tuduhan itu, karena menurutnya, maling memang tetap tidak mau mengaku, dan yang jelas terbukti adalah sudah banyaknya kesaksian tentang paham yang diajarkan Kaharudin. Andi Mulya pun menuturkan bahwa apabila MUI memang tidak mau mengeluarkan fatwa sesat, Aliansi Masyarakat Nahi Munkar tidak menjamin apabila warga sekitar Yayasan al-Maghfurullah marah dan main hakim sendiri karena Kaharudin sudah lama meresahkan masyarakat. Terlebih lagi setelah banyak pengikutnya yang ke luar dan mengadukan ajarannya kepada masyarakat (CNS. Wawancara. 28 Februari 2014). Sugeng Prasojo (Sekretaris Yayasan al-Maghfurullah) menegaskan bahwa tuduhan gurunya mengaku tuhan adalah fitnah sebab masjid ini tentu saja bersifat terbuka untuk umum dan semua orang boleh melaksanakan ibadah sholat di masjid ini, namun warga setempatlah yang tidak mau datang ke sini. Apa yang ditegaskan Sugeng itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh mantan pengikut al-Maghfurullah dan masyarakat setempat, karena menurut penuturan tetangga depan Yayasan al-Maghfurullah yang bernama Le (pedagang sapi). Ia mengatakan bahwa ketika tamunya yang berasal dari Jakarta datang untuk membeli sapi, kemudian ingin melaksanakan sholat di Masjid Yayasan al-Maghfurullah tidak diperbolehkan bahkan ditanyakan KTPnya. Hal yang sama dialami oleh salah seorang petani yang tinggal di daerah Klayan yang mengalami pelarangan untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat di Masjid Yayasan al-Maghfurullah. Oleh karena itu, berdasarkan informasi tersebut dapat dikemukakan bahwa aktivitas keagamaan yang dilakukan Yayasan alMaghfurullah bersifat tertutup. Terkait 113 dengan klarifikasi ini, selanjutnya Sugeng menjelaskan bahwa Kaharudin dan pengurus lainnya yang juga didampingi oleh beberapa santri telah menghadiri undangan MUI Kabupaten Cirebon terkait tuntutan dikeluarkannya fatwa sesat terhadap Yayasan al-Maghfurullah dan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada hasil kajian MUI. Atas dasar uraian tersebut, maka peneliti memandang perlunya dilakukan penelitian untuk mengkaji Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah yang terdapat di Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan uraian di atas, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Bagaimana Profil Yayasan al-Maghfurullah? 2). Bagaimana Aktifitas Keagamaannya? 3). Bagaimana Kronologi Yayasan al-Maghfurullah dianggap menyimpang? 4). Bagaimana upaya penanganan pemerintah dan pihak terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan al-Maghfurullah?. Oleh karena itu, mengacu pada rumusan permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai informasi yang berkenaan dengan persoalan-persoalan Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi: 1). Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2). Aktifitas Keagamaannya; 3). Kronologi Yayasan al-Maghfurullah di anggap menyimpang; 4). Upaya-upaya penanganan pemerintah dan pihak terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan al-Maghfurullah. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Adapun data yang dihimpun dalam penelitian ini meliputi: 1). Latar belakang keberadaan Yayasan al-Maghfurullah dianggap sesat; 2). Profil Tokoh/Pimpinan Yayasan alJurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 114 SUHANAH Maghfurullah; 3). Aktifitas keagamaan Yayasan al-Maghfurullah yang dipermasalahkan; 4). Keterkaitannya terhadap lembaga keagamaan lain; 5). Penanganan yang dilakukan aparatur pemerintah dan organisasi keagamaan terhadap kasus Yayasan al-Maghfurullah tersebut; 5). Metode pengajarannya. Selanjutnya, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data lapangan. Sedangkan wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh yang terlibat antara lain: Pimpinan Yayasan al-Maghfurullah, pengikutnya baik yang masih aktif maupun yang sudah keluar dari yayasan, Pengurus MUI Kabupaten Cirebon, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota, Kepala KUA, Kepala Desa, MUI, FKUB, Polres, Polsek (Kepolisian), Kepala Dusun, tetangga terdekatnya, masyarakat sekitar, dan lain-lainnya. Sedangkan pengamatan dilakukan secara langsung yakni melihat Masjid dan rumah-rumah yang ada di Yayasan al-Maghfurullah serta pengamatan mengenai bagaimana interaksi sosial mereka terhadap masyarakat. Semua informasi yang didapat, catatan yang berhasil dikumpulkan, kemudian diinventarisasi, seleksi dan koreksi, klasifikasi, komparasi, interpretasi, dan ditarik beberapa kesimpulan pokok yang bersifat umum dan menyeluruh. Beberapa penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan tentang kasuskasus aktual kehidupan keagamaan telah banyak dilakukan dan kasus-kasus terbaru yang sudah dilakukan di antaranya adalah: Asnawati, “Penandatanganan Deklarasi Damai Kasus Pengikut Tajul Muluk di Sampang”. Hasil penelitiannya menunjukan adanya deklarasi damai antara kedua belah pihak yang disinyalir HARMONI Mei - Agustus 2015 hanya sebuah rekayasa yang dilakukan dengan mengatasnamakan sebagai wakil dari warga Sampang. Hal ini nampak dalam deklarasi damai tersebut yang tidak melibatkan tokoh agama setempat, aparat pemda setempat dan Kementerian Agama Kabupaten Sampang (Asnawati, 2012). Asnawati dan Suhanah, “Kasus Penyimpangan Tariqat At-Tijaniyah oleh Sumarna, di Sukabumi, Jawa Barat”. Hasil penelitian menyatakan bahwa penyimpangan Aliran Tariqat AtTijaniyah oleh Sumarna antara lain meliputi: 1). Menggantikan sholat subuh dengan shalat duha; 2). Meniadakan sholat Jumat bagi dirinya sendiri, karena beranggapan bahwa dirinya telah suci dan disucikan Allah sehingga berakibat terjadinya suatu pembakaran rumah pengikut aliran At-Tijaniyah Sumarna dan terjadinya pembunuhan saudara Ustadz Edin (sepupu dari Sumarna) (Asnawati dan Suhana, 2012). Suhanah, “Potret Radikalisasi Gerakan Keagamaan: Studi Kasus Organisasi GARDAH di Kota Cirebon, Jawa Barat”. Hasil penelitian menyatakan bahwa GARDAH bergerak dalam penanganan Aliran sesat, pemurtadan, perjudian dan minuman keras, bekerjasama dengan organisasi lainnya, terutama pihak Al-Manar (Aliansi Masyarakat Nahi Munkar). Penanganannya terhadap kasus pemurtadan dan aliran sesat, berakibat para pelakunya menghadapi persoalan hukum. Sedangkan penanganan terhadap peredaran minuman keras dan perjudian berdampak pada penutupan tempat penjualan minuman keras. Hal tersebut diperkuat dengan pengesahan Perda Pelarangan Minuman keras oleh Walikota setempat (Suhana, 2012). Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, “Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia”, Dalam buku tersebut disebutkan bahwa indikator aliran dan gerakan keagamaan AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT bermasalah antara lain: 1). Otoritas penafsiran mutlak pada keinginan sang Imam/pemimpin; 2). Kegiatannya membahayakan bagi diri dan penganut serta warga masyarakat lainnya; 3). Mengaku menerima wahyu; 4). Mengaku sebagai Nabi; 5). Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; 6). Ada struktur dan aturan yang ketat yang mutlak diikuti dan ditaati oleh anggota yang tidak berdasar dari teks dan konteks wahyu; 7). Berlebihan dalam mengamalkan ajaran agama keluar jauh dari teks dan konteks wahyu; 8). Aktivitasnya ekslusif (menutup diri). Hasil dan Pembahasan Profil Yayasan al-Maghfurullah Berdasarkan penuturan beberapa orang mantan pengikut Yayasan al-Maghfurullah, Kaharudin yang disebut sebagai mursyid di yayasan tersebut, berasal dari Indramayu. Ia pernah mengenyam pendidikan SD dan diteruskan ke SMP dan SMA persamaan. Ia juga pernah belajar di Az-Zaitun NII KW IX Indramayu selama 20 tahun lebih. Karena dia ingin belajar Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, maka ia keluar dari Az-Zaitun dengan membawa uang sebanyak Rp. 40.000.000. Di Indramayu, Kaharuddin belajar tarekat kepada gurunya yang bernama Syekh Muruddin selama 1 tahun. Setelah itu, ia pergi ke Cirebon di Desa Klayan. Dari uang 40.000.000 tersebut Kaharuddin membeli sebuah rumah kecil di Villa Intan dengan ukuran 5x6 lalu membuka warung kecilkecilan untuk isterinya berdagang. Sisa uangnya kemudian dijadikan modal untuk berdagang bunga di mall. Namun usahanya ini tidak beruntung alias bangkrut sehingga Kaharuddin tidak mempunyai pekerjaan dan bersama isterinya berjualan di warung tersebut (Danus dan Yopri. Wawancara. 8 Agustus 2014). 115 Menurut salah seorang pengikutnya yang masih aktif sampai sekarang, diperoleh informasi bahwa tempat tinggal Kaharudin bermula dari rumah ukuran 5x6. Pada tahun 2002-2005, ia mengajak beberapa kenalannya untuk melakukan pengajian di rumahnya. Awalnya hanya dua orang yaitu Zakaria dan Danus yang tertarik mengaji bersamanya. Ketertarikan keduanya ini disebabkan oleh pengajaran Kaharuddin tentang tarekat, yang hakekat materinya adalah tentang nafsu yang intinya adalah tidak boleh mengumbar nafsu, dan harus hidup sederhana, bersikap disiplin dalam segala hal terutama sholat tepat waktu, istiqomah dan harus melaksanakan sholat sunat malam serta berdzikir hingga menjelang shubuh. Dari kedua orang yang ikut pengajian inilah, kemudian jumlah orang yang hadir mengikuti pengajian bertambah menjadi 13 orang. Seiring waktu berjalan terus, orang yang ikut pengajian meningkat menjadi sebanyak 25 orang. Semakin hari pengajian pimpinan Kaharuddin ini semakin bertambah sehingga ia bersama jamaahnya mulai memikirkan tempat yang lebih luas dikarenakan rumah di villa intan tersebut sudah tidak dapat menampung orangorang yang ingin belajar di pengajian tersebut (Zakaria. Wawancara. 10 Agustus 2014). Di pengajian yang dilaksanakan di Villa Intan ini, pimpinan menganjurkan jamaahnya untuk mengumpulkan sumbangan per orang sebesar 500 ribu rupiah dan untuk suami isteri sebesar 1 juta rupiah. Dari 25 pengikut ini kemudian terkumpul uang sebesar 25 juta rupiah. Dikarenakan uang yang terkumpul baru sebesar 25 juta, maka dilakukan kembali pengumpulan uang yang dilakukan oleh para pengikut hingga terkumpul uang sebesar 61 juta. Dengan uang sebesar 61 juta inilah, dibelikan tanah seluas 1.289 meter dan diniatkan untuk membangun Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 116 SUHANAH sebuah masjid di Desa Klayan sebagai tempat pengajian dan aktivitas keagamaan yang diajarkan Kaharudin. Selanjutnya, cara pengumpulan dana di antara para jemaah pengikut Kaharudin ini dipandang tidak efektif dan hanya berlangsung hingga tahun 2007, maka Zakaria mendapatkan masukan dari seseorang bahwa untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid disarankan membuat yayasan. Dengan yayasan inilah kemudian dibuatlah proposal pembangunan masjid sesuai dengan tujuan yang diharapkan jamaah pengajian. Sejak itulah mulai disusun kepengurusan yayasan yang digerakan oleh Zakaria dan Danus atas perintah pimpinan. Pada Tahun 2008, berdasarkan akta notaris No. 01 yang ditanda tangani oleh Ruli Mastuti, notaris Kabupaten Cirebon, pada tanggal 11 September tahun 2008, yayasan tersebut berdiri dengan aset tanah seluas 1000 meter. Yayasan ini diberi nama al-Maghfurullah yang berkantor pusat di Jalan Soban, Blok Kebon Jero, Rt 15 Rw 04, Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Dari kepengurusan yang ada, Kaharuddin tidak termasuk di dalam struktur organisasi, baik sebagai pembina, pengurus maupun pengawas. Kaharudin hanya berperan sebagai seorang Mursyid (guru) di al-Magfurullah. Meskipun demikian, pada pelaksanaan kegiatan sehari-harinya kedudukan mursyid ini lebih tinggi dari semua pengurus yang ada di dalam susunan organisasi tersebut. Dalam kapasitas tersebut, Kaharuddin diposisikan sebagai Mursyid (guru yang diakui oleh para jamaahnya sebagai pimpinan mereka), sehingga kepengurusan yang ada hanya merupakan simbol saja dikarenakan semua aktifitas di al-Magfurullah, mulai dari pengajian sampai pembangunan sarana dan prasarana. Kaharudin dapat menunjuk siapapun untuk menjadi pengurus atau HARMONI Mei - Agustus 2015 mewakili mursyid dalam bertindak. Hal ini dikarenakan kedudukan dan peran Kaharuddin sebagai khalifah sesuai dengan perintah nasab ( Syeh Abdul Qadir Djaelani) sebagaimana hasil tawasulnya dengan nasab tersebut (Yopry, Danus, Zakaria dan Sugeng. Wawancara. 10 Agustus 2014). Dengan berdirinya yayasan ini secara sah di notaris, maka niatan untuk membangun masjid di Desa Klayan di atas tanah 1000 meter tersebut mulai dirancang. Pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah terisolasi dan jauh dari pemukiman penduduk bahkan terkesan hutan dan tidak ada jalan. Namun, berkat Danus dan Zakaria dilakukan pengurukan tanah selama 4 tahun untuk membuat jalan aspal yang tadinya hanya jalan setapak untuk menuju ke lokasi masjid yang akan dibangun. Sementara itu, Kaharuddin dan semua muridnya mulai mencari dana dengan membuat proposal permohonan bantuan dana pembangunan masjid dan majelis taklim, melalui zakat, infak, shodaqoh dan wakaf atas nama Yayasan al-Magfurullah yang ditujukan ke berbagai pihak, baik di jalan-jalan maupun ke rumah-rumah penduduk (dor to dor). Pencarian dana tersebut dilakukan di kota Cirebon dan sekitarnya hingga ke daerah Bandung dan Jakarta. Selain rencana pembangunan masjid, Yayasan al-Maghfurullah juga mempunyai program pembebasan tanah dan tanah itu akan dipergunakan untuk kepentingan sarana pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, peduli yatim piatu dan kaum dhuafa. Di samping itu, Kaharudin juga menyelenggarakan sebuah kegiatan berupa pengajian malam hari yang dilakukan pada setiap malam jumat, malam sabtu dan malam minggu. Dalam melakukan pengajian tersebut, kitab yang dipakai oleh Kaharuddin berpedoman kepada kitab al-Quran dan Kitab Munjiat. Metode yang digunakan dalam pengajian AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ini adalah ceramah, yaitu Kaharudin menyampaikan suatu materi pada saat pertemuan berlangsung, setelah materi disampaikan, kemudian dilakukan tanya jawab kepada murid-muridnya. Dalam pengajian ini materi yang disampaikan meliputi: penggalangan dana, yang wajib dilakukan bagi setiap pengikut dan ia mengajarkan tentang hidup sederhana, bersikap disiplin, sholat tepat waktu, menahan hawa nafsu, taat pada pimpinan dan melakukan sholat sunat malam secara rutinitas, sehingga banyak orang yang tertarik mengikuti ajarannya (Alimi. Wawancara. 12 Agustus 2014). Selain itu dalam pengajiannya juga ada materi lain yang disampaikan oleh Kaharudin yaitu meliputi: 1). Kaharudin melarang pengikutnya untuk menemui orang tuanya yang tidak sepaham dengannya; 2). Yayasan al-Maghfurullah dalam melakukan aktivitasnya bersifat ekslusif; 3). Orang yang bukan pengikutnya tidak boleh bertemu dengan guru (Mursyid); 4). Dalam pengajarannya Kaharudin mengaku Mahdi, Rasul dan Tuhan; 5). Menganggap kafir kepada murid yang ke luar atau tidak sepaham dengan gurunya; 6). Melarang muridnya melaksanakan sholat di tempat lainnya; 7). Semua ibadah muridnya harus izin dengan gurunya; 8). Bagi murid yang taat pada pimpinan, jaminannya surga, juga sebaliknya yang tidak taat sanksinya neraka; 9). Mewajibkan murid dalam setiap sholatnya membayangkan di hadapannya wajah guru (Faturrohman dan Yopry. Wawancara. 12 Agustus 2014). Dengan melihat ajaran-ajaran yang disampaikan Kaharudin itu, ternyata ada penyimpangan sebagaimana yang disebutkan di atas, seperti kriteria yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu mengkafirkan orang muslim yang tidak sepaham dengannya, adalah aliran bermasalah. Adapun 10 kriteria tersebut yaitu: 1). Mengingkari salah satu dari rukun iman dan rukun Islam; 2). Meyakini 117 dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (al-Quran dan as-sunah); 3). Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; (4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi alQuran; 5). Melakukan penafsiran alQuran yang tidak berdasarkan kaidahkaidah tafsir; 6). Mengingkari kedudukan hadis Nabi Muhammad Saw sebagai sumber ajaran Is-lam; 7). Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8). Mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir; 9). Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, sholat fardlu tidak 5 waktu; 10). Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti meng-kafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Kronologi Yayasan Diduga Sesat al-Magfurullah Kasus adanya tuduhan terhadap Yayasan al-Magfurullah yang diduga sesat, sesungguhnya sudah muncul sejak tahun 2012, demikian diungkapkan oleh Bahruddin selaku Ketua Umum MUI Kabupaten Cirebon. Pada waktu itu, Faturrohman salah seorang mantan murid Kaharuddin di Yayasan al-Magfurullah melaporkan kepada MUI pada tanggal 12 Oktober 2012 tentang ajaran gurunya yang bernama ajaran Kaharudin. Ajaran tersebut bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Ajaran yang dianggap bertentangan tersebut antara lain: 1). Kaharuddin mengaku sebagai Imam Mahdi dan sebagai Syeh Abdul Qodir Djailani; 3). Ibadah murid harus seizin guru; 4). Murid dilarang berguru pada kyai lain, 5). Murid dilarang membaca kitab-kitab lain tanpa seizin guru; 6). Memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua yang tidak sepaham dengan gurunya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 118 SUHANAH Dengan adanya pengaduan tersebut MUI berusaha untuk memanggil Kaharudin dan meminta klarifikasi atas tuduhan Faturrohman. Namun yang hadir hanya muridnya saja dan membantah semua tuduhan yang disampaikan oleh Faturrahman. Selain Faturrahman, beberapa murid Kaharudin lainnya dengan alasan yang berbeda-beda juga memilih ikut keluar dari Yayasan alMaghfurullah. Pada awal Februari tahun 2014, ada lagi seorang mantan pengikut Yayasan alMaghfurullah yaitu Danus yang keluar dari Yayasan al-Maghfurullah dengan alasan gurunya telah menyimpang dalam memberikan pengajaran kepada muridmuridnya. Menurut penuturan Danus, hal yang dianggap menyimpang antara lain: 1). Memutuskan silaturahmi dengan kedua orangtua; 2). Mengharuskan kepada muridnya ketika melakukan sholat, membayangkan seolah-olah di depannya ada mursyid atau gurunya (Kaharudin); 3). Jangan melakukan sholat sunah sebelum mendapatkan perintah dari Kaharudin, walaupun sholat sunah itu dilaksanakan secara rutin; 4). Dalam melaksanakan puasa baik wajib maupun sunah pada jam setengah enam sudah melakukan buka puasa, karena menerapkan fajar sidik. 5). Kaharudin mengaku Imam Mahdi; 6). Kaharudin mengaku Nabi; 7). Kaharudin mengaku Tuhan. Sedangkan menurut penuturan mantan pengikut lainnya ajaran Kaharudin yang dianggap menyimpang adalah: 1). Setiap murid diwajibkan dalam sholatnya seolah-olah di hadapannya ada Kaharudin; 2). Orang yang bukan muridnya tidak boleh bertemu dengan Kaharudin; 3). Hubungan dengan masyarakat sekitar di luar pengikutnya adalah haram; 4). Orang yang sudah belajar dengan Kaharudin tidak boleh lagi belajar dengan guru lain (Rodjai dan HARMONI Mei - Agustus 2015 Sihabuddin. Wawancara. 13 Agustus 2014). Dengan melihat uraian tersebut di atas, berdasarkan penuturan dari para mantan pengikut yang keluar, maka kondisi tersebut meresahkan warga yang berada di sekitar Yayasan alMaghfurullah. Akibatnya ratusan warga Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon bersama sejumlah anggota ormas Islam Cirebon yang tergabung dengan ALMANAR (Aliansi Masyarakat Nahi Munkar) melakukan aksi penutupan paksa terhadap aliran sesat yang berkedok Yayasan al-Maghfurullah pada tanggal 3 Maret 2014. Warga dan sejumlah ormas Islam melakukan penggrebekan karena sudah geram mendengarkan laporan dari para mantan pengikut Kaharudin. Untuk menghindari amukan massa, akhirnya Kaharudin diamankan Kapolres Cirebon. Setelah terjadinya penyerbuan, Kaharudin diamankan Kapolsek Kabupaten Cirebon dan dibawa ke Polres Kota Cirebon, kemudian dikembalikan sekitar pukul 17.00 hingga pukul 22.00 dikarenakan tidak ada bukti-bukti yang menjadi dasar penahanan Kaharudin. Selanjutnya pasca pemanggilan Kaharudin oleh MUI dan setelah dilakukan konfrontir dengan mantan pengikutnya yakni Faturrohman serta pengkajian atas hasil dari laporan para mantan, maka berdasarkan hal tersebut, keluarlah fatwa MUI tertanggal 03 Maret 2014 dengan Nomor: 20/MUI/Kab.,Cbn/III/2014, yang memutuskan bahwa: 1). Sanad dan Matan/Wirid Thariqat Qadiriyah Naqsabandiyah Yayasan al-Maghfurullah Desa Klayan termasuk mu’tabarah yang sama dengan thariqat lainnya; 2). Guru/Mursyid Thariqat Qadiriyah Naqsabandiyah al-Maghfurullah tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh ahli thariqat seperti tercantum dalam kitab Tanwirul Qulub; 3). Guru/Mursyid Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah al-Maghfurullah menafsirkan ayat- AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ayat al-Quran tidak menggunakan kaidah-kaidah tafsir; 4) Guru/Mursyid Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah Al-Maghfurullah Desa Klayan, apabila mengaku Mahdi, Ghauts dan Rasul serta memandang kafir/murtad kepada murid yang keluar atau orang lain yang tidak sepaham dengan ajarannya adalah menyimpang dari aqidah Islamiyah; 5). Guru/Mursyid Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah Yayasan al-Maghfurullah Desa Klayan, apabila mewajibkan murid dalam setiap shalatnya membayangkan wajah guru dengan memasang foto guru di depan sajadah dan melarang atau mengharamkan silaturahim dengan orang tua atau orang lain yang tidak sepaham atau menentang ajarannya maka jelas bertentangan dengan syariat Islam. 119 kalau murid taat pada guru balasannya adalah surga; 6). Bagi murid yang tidak taat pada guru, sanksinya neraka dan mendapatkan kecelakaan (Masruri dan Danus. Wawancara. 13 Agustus 2014). Namun demikian, hal yang sangat disayangkan adalah peneliti tidak bisa bertemu dengan Kaharudin selaku pimpinan Yayasan al-Maghfurullah, karena menurut para mantan pengikut maupun keterangan dari Polsek Cirebon, beliau sekarang ini keberadaannya masih dirahasiakan oleh pihak Polres Cirebon dikarenakan situasi masyarakat yang belum kondusif. Dampak Peristiwa Penyerangan dan Upaya Pemerintah dalam Penanganan Kasus Yayasan al-Maghfurullah Alasan Pengikut yang Masih Tetap Bertahan dan Memilih Keluar dari Yayasan al-Maghfurullah Bagi yang tetap memilih untuk bertahan, terdapat beberapa alasan yaitu: Dengan belajar di Yayasan alMaghfurullah, merasa ada ketenangan batin, yang tadinya sakit-sakitan menjadi sembuh; Pimpinan mengajarkan tentang kedisiplinan, istiqomah, melaksanakan shalat tepat waktu, hidup sederhana, menahan hawa nafsu dan melaksanakan shalat sunat malam secara rutin (Abdul Ghani dan Sugeng. Wawancara. 13 Agustus 2014). Sedangkan bagi muridmurid yang memilih keluar dari Yayasan al-Maghfurullah terdapat beberapa alasan sebagai berikut: 1). Sudah tidak tahan dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan gurunya; 2). Semua ibadah yang dilakukan murid harus seizin dengan gurunya; 3). Melarang muridnya melaksanakan sholat di masjid lain; 4). Murid yang keluar dari Yayasan al-Maghfurullah dianggap masuk neraka; 5). Adanya jaminan spiritual, Dampak dari peristiwa penyerangan terhadap Yayasan al-Maghfurullah menimbulkan beberapa hal yakni: Asset milik Yayasan al-Maghfurullah menjadi terbengkalai; Pengikutnya menjadi terpecah belah; Keberadaan guru (Kaharudin) disembunyikan; Keluarnya fatwa MUI. Adapun upaya pemerintah (Pejabat Kementerian Agama, aparat kepolisian dari Polsek Sumber, Polres Sumber, Polsek Gunung Jati dan Polres Cirebon) dan MUI Kabupaten Cirebon dalam penanganan kasus ini tidaklah mudah dikarenakan kedua belah pihak bersikukuh mempertahankan pendapatnya masing-masing. Keduanya berani bersumpah atas nama Allah Swt ketika dipertemukan di hadapkan MUI. Namun ketika terjadi penyerangan dari masyarakat setempat dan ormas Islam, maka hal yang terjadi adalah: 1). Kaharudin diamankan Kapolsek dan dibawa ke Polresta (Wilayah Hukum Kota Cirebon); 2). Semua pengikutnya yang masih setia dikeluarkan dari rumah Yayasan al-Maghfurullah; 3). Keberadaan Kaharudin disembunyikan oleh pihakpihak terkait; 4). Semua asset Yayasan alJurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 120 SUHANAH Maghfurullah terbengkalai ditinggalkan begitu saja dan hingga saat ini belum ada upaya-upaya konkrit dalam penyelesaian kasus ini; 5). Kaharudin diamankan hanya sekitar 5 jam karena belum ada bukti-bukti yang menjadi dasar penahanan (Kapolsek Kabupaten Cirebon. Wawancara. 9 Agustus 2014). Mengacu pada peristiwa tersebut, dan dengan merujuk pada Panduan Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia, terlihat bahwa dalam penanganan kasus Yayasan al-Maghfurullah tersebut belum terlihat adanya pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan dalam menangani kasus semacam ini. Pihak pemerintah dan aparatnya juga nampak bingung dalam menanganinya. Di satu sisi, keresahan dan anarkisme massa sulit dibendung, di sisi lain bagaimanapun juga ada individuindividu pengikut ajaran menyimpang ini yang harus dilindungi hak hidupnya sebagai warga negara. Dengan demikian, hingga penelitian ini berjalan, pihak pemerintah belum bisa menyelesaikan peristiwa ini secara maksimal dan baru hanya sebatas pengamanan pengikut setia dan pimpinannya dikeluarkan dari Yayasan al-Maghfurullah. Penutup Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni sebagai berikut: Pertama, Kaharudin sebagai pimpinan Yayasan al-Maghfurullah sekaligus sebagai mursyid (guru) dalam praktiknya telah mengajarkan ajaran menyimpang. Kedua, Yayasan al-Maghfurullah yang pada awalnya bergerak dalam bidang dawah dan mengajarkan tentang hidup sederhana, bersikap disiplin, istiqomah, sholat tepat waktu, menahan HARMONI Mei - Agustus 2015 hawa nafsu, taat pada pimpinan dan melakukan sholat sunat malam secara rutin telah mendorong orang untuk tertarik mengikuti ajarannya. Ketiga, pada awalnya ajaran yang disampaikan Kaharudin kepada pengikutnya adalah hal yang baikbaik dan membuat orang tertarik untuk menjadi pengikutnya. Namun dalam perkembangannya, ajaran yang dikembangkan itu ternyata mengandung sejumlah penyimpangan yang kemudian menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan menyebabkan keluarnya fatwa sesat oleh MUI yang ditujukan kepada ajaran yang dikembangkan Yayasan al-Maghfurullah. Keempat, penanganan kasus Yayasan al-Maghfurullah tersebut belum terlihat adanya pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan dalam menangani kasus semacam ini. Pihak pemerintah dan aparatnya juga nampak bingung dalam menanganinya. Di satu sisi, keresahan dan anarkisme massa sulit dibendung, di sisi lain bagaimanapun juga ada individuindividu pengikut ajaran menyimpang ini yang harus dilindungi hak hidupnya sebagai warga negara. Dengan demikian, hingga penelitian ini berjalan, pihak pemerintah belum bisa menyelesaikan peristiwa ini secara maksimal dan baru hanya sebatas pengamanan pengikut setia dan pimpinannya dikeluarkan dari Yayasan al-Maghfurullah. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yakni: Pertama, sebaiknya pihak pemerintah (Pejabat Kementerian Agama, Aparat Kepolisian dari Polsek Sumber, Polres Sumber, Polsek Gunung Jati dan Polresta Cirebon) serta MUI Kabupaten Cirebon, perlu AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT melakukan mediasi kepada pihak yang berkonflik antara pengikut yang masih setia pada Kaharudin dan pihak yang sudah keluar dari kelompok tersebut. Selain itu pimpinan dan pengikut yang masih setia di Yayasan al-Maghfurullah perlu diberikan pembinaan keagamaan yang berkesinambungan untuk kembali ke ajaran Islam yang benar. Kedua, Fatwa MUI tentang Yayasan al-Maghfurullah sudah tepat, yaitu mengambil jalan 121 tengah, meskipun menimbulkan ketidakpuasan dari pihak yang keluar dari Yayasan al-Maghfurullah. Oleh karena itu pihak pemerintah dan MUI, sebaiknya dalam mengeluarkan fatwa tersebut lebih diperjelas bahwa ajaran yang dibawa Kaharudin itu dalam praktiknya menyimpang. Ketiga, Pihak pemerintah sebaiknya memanfaatkan kembali asset yang ada untuk kepentingan umat Islam pada umumnya. Daftar Pustaka Fatwa MUI Nomor: 20/MUI/Kab.,Cbn/III/2014 Tanggal 03 Maret 2014 Kementerian Agama RI. Rencana Strategis. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2010. Kementerian Agama RI. Buku Panduan Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2011. Kementerian Agama RI. Kasus-kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2012. Kementerian Agama RI. Buku I: Kasus-Kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2012. Kementerian Agama RI. Buku II: Kasus-Kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2012. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 122 KUSTINI & NUR ROFIAH PENELITIAN Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Kustini Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email: [email protected] Nur Rofiah PTIQ Jakarta Email: rofiah_nur @yahoo.com Naskah diterima redaksi tanggal 23 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Abstract Abstrak Divorce is seen as the most hated halal based on Allah viewpoint stated in Hadits that Muslims must build marriage system and tradition to achieve harmonious and happy family, so the divorce can be prevented. In fact, the divorce phenomenon happens in some areas in Indonesia, particularly wifeinitiated divorce. This research focuses on three aspects. The first one is the reason of wives to propose divorce. The second is its effects and the last is social structure response towards divorce phenomenon. This study applies qualitative approach and the data collection techniques consist of interview, document analysis, and observation. The result of study shows that the loss of marriage meaning is caused by the divorce. Divorce also contributes negative impact for family life and children. However, in some certain time it can give positive impact for women because they have obvious status and do not burden to do their duty as wives. Penyebutan perceraian sebagai perbuatan halal yang paling dibenci Allah dalam sebuah hadist merupakan peringatan keras bagi umat muslim agar mewujudkan sistem dan tradisi perkawinan yang melahirkan keluarga sakinah, sehingga perceraian dapat dicegah. Faktanya fenomena perceraian, khususnya cerai-gugat, terjadi di berbagai daerah. Penelitian ini difokuskan pada tiga hal: alasan istri mengajukan cerai-gugat, dampak cerai gugat, serta respon struktur sosial terhadap fenomena cerai-gugat. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualtiatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, studi dokumen, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hilangnya makna perkawinan sebagai sebab utama cerai-gugat. Ada banyak dampak negatif dari cerai-gugat terhadap kehidupan keluarga dan anak, tetapi dalam batas tertentu memberi dampak posisif bagi perempuan karena memiliki status yang jelas serta tidak terbebani untuk melakukan kewajiban sebagai istri. Keywords: Gender, Women, Marriage, Wife-Initiated Divorce, Pekalongan. Kata kunci: Gender, Perempuan, Perkawinan, Cerai-Gugat, Pekalongan. HARMONI Mei - Agustus 2015 GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN Pendahuluan Kota Pekalongan merupakan salah satu dari 35 kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik diketahui bahwa pada akhir Bulan Maret 2015, penduduk Kota Pekalongan berjumlah 290.870 dengan perbandingan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan yaitu 145.540 laki-laki, dan 145.420 perempuan. Ciri khas Kota 123 memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Lonjakan angka cerai-gugat bukanlah sesuatu yang baru terjadi, namun sejak lama telah terjadi dominasi cerai-gugat atas cerai-talak di Kota Batik tersebut. Data perceraian Pengadilan Agama (PA) Kota Pekalongan dalam kurun waktu 2010-2014 menunjukkan bahwa meskipun angka cerai-talak dan cerai-gugat sama-sama fluktuatif, namun angka cerai-gugat selalu lebih tinggi daripada cerai-talak. Tabel-1 Jumlah Cerai Talak dan Cerai Gugat di Kota Pekalongan Tahun 2010-2014 Tahun Cerai Talak Jumlah Persentase 2010 96 29% 2011 92 25% 2012 133 2013 2014 Cerai Gugat Jumlah 238 Jumlah Persentase 71% 334 269 75% 361 31% 293 69% 426 165 32% 353 68% 518 143 30% 332 70% 475 Sumber: Kantor Pengadilan Agama Kota Pekalongan Pekalongan sebagai kota batik terlihat dari jenis pekerjaan sebagian besar masyarakatnya yang bekerja di industri batik termasuk industri batik yang dikerjakan di rumah-rumah oleh para perempuan. Apabila menyusuri gang sempit di sudut Kota Pekalongan, tampak hampir di setiap rumah, perempuan sedang memegang canting, menyelupkan ke lilin panas dan membeberkan kain untuk dilukis dengan motif batik. Meskipun aktivitas perempuan di rumah-rumah cukup menunjukkan otoritas perempuan di bidang ekonomi, tetapi sesungguhnya di dalam keluarganya mereka menghadapi berbagai masalah. Hal itu terlihat dari banyaknya perempuan yang Menurut Wahid Abidin, Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Pekalongan, dominasi cerai-gugat atas cerai-talak masih terjadi hingga kini. Selama tahun 2015 sampai dengan bulan Maret, Pengadilan Agama Kota Pekalongan telah memutuskan 37 ceraitalak dan 74 cerai-gugat di mana jumlah cerai-gugat dua kali lipat dari cerai-talak. Namun sebetulnya lebih tingginya angka cerai-gugat dibanding angka cerai-talak ini sudah cukup lama terjadi di manamana, tidak hanya di Kota Pekalongan (Abidin, Wawancara, Kamis 16 April 2015). Naiknya angka perceraian di satu sisi dan dominasi cerai-gugat atas ceraitalak yang terus terjadi di sisi lain, perlu Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 124 KUSTINI & NUR ROFIAH menjadi perhatian serius, terutama setelah terjadi perubahan kebijakan yang sangat signifikan terkait dengan lembaga yang menangani perceraian. Semula Kementerian Agama RI mempunyai wewenang menyeluruh terkait perkawinan, mulai dari pengesahan perkawinan masyarakat muslim melalui Kantor Urusan Agama (KUA), pembinaan keluarga sakinah melalui Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), hingga pengesahan perceraian melalui Pengadilan Agama. Namun sejak tahun 2004, Pengadilan Agama telah dipindahkan ke Mahkamah Agung RI dan sejak tahun 2009 BP4 tidak lagi berada di dalam struktur Kementerian Agama. Dengan demikian wewenang Kementerian Agama RI terkait perkawinan tinggal pengesahannya saja. Penelitian tentang alasan, dampak, dan respon struktur sosial atas ceraigugat menjadi penting dalam upaya mengetahui dan memahami muncul dan berkembangnya dominasi cerai-gugat atas cerai-talak di Pekalongan. Dalam konteks perkawinan dan rumah tangga, keutuhan perkawinan memiliki peran dan posisi yang strategis. Mengapa demikian? Lembaga perkawinan yang terwujud dalam kehidupan keluarga pada dasarnya, baik langsung maupun tidak, memiliki kaitan dengan berbagai sistem dalam kehidupan masyarakat seperti sistem politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan maupun hukum kenegaraan (Eshleman, 2003). Oleh karena itu, kasus cerai-gugat merupakan peristiwa sosial yang tidak dapat dipandang sederhana sehingga penting untuk dilakukan penelitian mengenai kasus cerai-gugat tersebut guna mengetahui secara mendalam mengenai alasan dan latar belakang istri melakukan cerai-gugat; dampak cerai-gugat pada keluarga dan respon struktur sosial atas cerai-gugat. HARMONI Mei - Agustus 2015 Penelitian ini memiliki signifikansi dengan tugas pokok unit kerja maupun lembaga yang secara khusus menangani masalah perkawinan dan perceraian. Secara khusus hasil penelitian ini dirancang untuk memberi masukan bagi Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam serta lembaga yang menangani masalah perkawinan dan keluarga. Selain itu diharapkan menjadi masukan bagi Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung yang menangani proses perceraian. Permasalahan terkait dengan kehidupan perkawinan, keluarga, maupun perceraian telah menjadi salah satu topik penelitian. Tahun 2001 Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian di beberapa daerah terkait masalah perceraian. Karim (2002) yang melakukan penelitian di Cilacap mengungkapkan data bahwa selama tahun 1996-2000 jumlah kasus cerai-gugat jauh lebih banyak dibanding kasus ceraitalak, berkisar antara 60 % sampai 82%. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa masih banyak tokoh agama yang berpandangan bahwa proses perceraian tidak perlu melalui pengadilan agama, tetapi dapat dilakukan di manapun ketika suami menghendaki. Fenomena perceraian tidak melalui pengadilan agama juga ditemukan pada penelitian Kustini di Sukabumi (2000). Rumitnya struktur keluarga, akibat kepergian istri menjadi buruh migran, atau ketidaksiapan suami ditinggal istri, menjadi salah satu penyebab perkawinan maupun perceraian dilakukan secara tidak tercatat. Penelitian lain menyimpulkan bahwa untuk menghindari terjadinya perceraian, suami istri harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup melalui program kursus calon pengantin (Kustini, 2011). Faktor penyebab terjadinya peceraian juga ditemukan pada penelitian GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN Nur Rofiah dan Kustini (2013). Pernikahan usia muda karena keluarga ingin terbebas dari beban ekonomi untuk merawat anak perempuan, menjadikan pernikahan rentan berakhir dengan perceraian yang akhirnya justru menambah beban ekonomi keluarga perempuan. Penelitian Gugatan Perempuan atas Hilangnya Makna Perkawinan di Kota Pekalongan ini secara khusus membahas tentang perceraian yang diajukan perempuan, melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. Ada dua kata kunci yang penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu perkawinan dan cerai-gugat. Meskipun peraturan perundangan terkait perkawinan di Indonesia didasarkan pada hukum Islam klasik (Fiqh), namun terdapat perkembangan yang sangat signifikan pada definisi dua kata kunci ini. Para ulama Fiqh empat madzhab pada umumnya mendefinisikan perkawinan sebatas ikatan fisik yang secara spesifik dikaitkan dengan hubungan seksual. Misalnya definisi nikah sebagai akad (perjanjian) yang berakibat kepemilikan seks secara sengaja (ulama Hanafiyah), akad yang memberikan hak pada lakilaki untuk mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan (ulama Syafi’iyah), akad yang memberikan hak kepemilikan manfaat alat kelamin dan seluruh badan istri (ulama Malikiyah), dan akad untuk memperoleh kesenangan seksual (ulama Hanabilah). (Hasyim, 2001). Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab I Pasal 1 mendefinisikan perkawinan secara berbeda, yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi ini menegaskan bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kebahagiaan 125 lahir batin bagi pasangan suami-istri dan anak-anak. Kata kunci kedua adalah istilah cerai-gugat. Dalam Fiqh, istilah yang pengertiannya mirip dengan cerai-gugat adalah khulu’. Madzhab Hanafiyah mendefinisikan khulu’ sebagai hilangnya kepemilikan nikah yang berpijak pada qabul dari istri dengan menggunakan lafaz khulu’ atau yang semakna (Ghandur:1967). Madzhab Malikiyah mendefinisikan khulu’ sebagai thalak dengan tebusan atau harta pengganti (‘iwadh) (Ar-Ra’ini, t.th). Madzhab Syafi’iyah mengatakan bahwa khulu’ adalah perceraian dengan tebusan menggunakan lafz talak atau khulu’ (Qalyubi dan Umairah, 1995). Sementara Madzhab Hanabilah menjelaskan bahwa khulu’adalah putusnya perkawinan suami terhadap istri dengan menggunakan tebusan yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan menggunakan lafaz tertentu. (az-Zuhaili: 2006). Salah satu poin penting dalam definisi khulu’ yang berkembang di kalangan ulama Fiqh adalah adanya tebusan yang diberikan oleh istri kepada suami. Definisi cerai-gugat, meskipun sering dikaitkan dengan khulu’, sebetulnya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa ceraigugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud (Ali; 2009). Definisi ini tidak mengandung arti bahwa putusan ceraigugat berada di tangan suami, karena hakim mempunyai wewenang untuk menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 126 KUSTINI & NUR ROFIAH tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap (Sidang Perceraian, 2015). Definisi cerai-gugat yang lebih memadai dikemukakan oleh Ahrum Hoerudin, yaitu suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak istri) kepada Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku (Hoerudin, 1999). Kedua definisi di atas samasama tidak menyebutkan soal tebusan yang dibayarkan oleh istri sebagaimana berkembang dalam definisi khulu’. Istilah cerai-gugat sendiri mengalami perubahan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan istilah gugatan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 114: putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian (Fokusmedia, 2005). Demikian pula Pasal 132 KHI menjelaskan tentang gugatan perceraian sebagai berikut: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mencakup wilayah tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami. Adapun istilah cerai-gugat muncul didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menggunakan istilah cerai-talak untuk permohonan talak dan cerai-gugat untuk gugatan perceraian (Harahap, 2003). Cerai-gugat merupakan peristiwa yang terkait dengan sebuah relasi sehingga dapat dianalisis melalui empat teori berikut ini. Pertama, adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory). Teori ini memandang bahwa hubungan interpersonal dilandasi oleh harapan HARMONI Mei - Agustus 2015 memperoleh imbalan dari adanya hubungan tersebut. Perkawinan adalah hubungan interpersonal antara suami dan istri yang dibangun di atas harapan masing-masing pihak. Kedua, adalah teori pilihan sosial (social choice theory). Teori ini mempunyai ide dasar bahwa orang-orang bertindak secara sengaja ke arah suatu tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan (Coleman, 1990b: 13). Ketiga, teori ketidakadilan gender (gender injusttice). Menurut teori ini, hubungan yang tidak setara antara lakilaki dan perempuan dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan, dan multi beban. Keempat, teori Qiwamah atau kepemimpinan dalam keluarga di mana sebagai keluarga seorang suami diharapkan menafkahi istri dan anak-anak. Metode Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kota Pekalongan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2015. Pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus digunakan dengan pertimbangan peneliti dapat mengembangkan deskripsi dan analisis mendalam dari beberapa kasus terkait dengan kasus cerai-gugat. Peneliti menggunakan strategi studi kasus untuk mempelajari kasus-kasus yang terikat waktu dan tempat (Creswell, 2007). Karena itu narasumber utama dalam penelitian ini dipilih tiga orang perempuan yang melakukan cerai-gugat dengan kriteria usia perceraian paling lama adalah tiga tahun terakhir, serta usia perkawinan ketika itu paling lama lima tahun. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tiga narasumber utama, yang dilengkapi wawancara dengan kerabat atau tetangga mereka, dengan tokoh masyarakat sebanyak dua orang yaitu satu laki-laki dan satu perempuan, dengan pimpinan lembaga yang menjadi GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN stake holder perkawinan yaitu pejabat Kementerian Agama RI di kota maupun kecamatan; pejabat di Pengadilan Agama Kota Pekalongan, dan Ketua BP4 Kota Pekolangan. Data juga digali melalui diskusi kelompok terfokus dengan kader LSM Pekka (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) sebanyak delapan orang. Data ini kemudian dilengkapi dengan kajian dokumen-dokumen yang relevan. Hasil dan Pembahasan Sesuai dengan karakteristik narasumber utama yaitu tiga perempuan yang melakukan cerai gugat dalam jangka waktu tiga tahun terakhir dan usia perkawinan tidak lebih dari lima tahun, maka penelitian ini mengambil tiga kasus sebagai berikut yaitu Riri, Rara, dan Rere (semua nama samaran). Kasus 1. Riri (31 tahun) menikah pertama kali dengan teman SMA Riko (nama samaran) ketika Riri berusia 24 tahun. Madu pernikahan hanya dirasakan Riri selama 3 bulan. Setelah itu suaminya menjadi pemarah, mengeluarkan katakata kasar, dan tidak bertanggung jawab. Tiga bulan setelah menikah Riri hamil, namun hal itu tidak mengubah perilaku suaminya. Bahkan ia meninggalkan rumah tanpa kabar berita. Belakangan diketahui bahwa Riko terjerat kasus narkoba sehingga harus melarikan diri untuk menghindari kejaran polisi. Karena tidak ada kepastian keberadaan suami selama lebih dari 4 tahun, maka Riri mengajukan cerai-gugat. Perceraian tidak membuat Riri jera untuk berumah tangga. Dua tahun kemudian, teman perempuan Riri memperkenalkan dengan seorang laki-laki bernama Dadi. Nasib baik belum berpihak kepada Riri. Suami kedua pun punya kebiasaan yang tidak baik yaitu pembohong, tidak punya pekerjaan, tetapi gaya hidup ingin terlihat mewah. 127 Akhirnya dengan berat hati Riri kembali mengajukan cerai gugat. Kasus 2. Setelah empat tahun putus sekolah ketika kelas IV SD, Rara dinikahkan dengan laki-laki anak kenalan ibunya. Ketika itu ayahnya sudah meninggal. Karena tidak saling kenal, maka selama sebulan perkawinan Rara tidak tahan karena saling diam dengan suaminya lalu mengajukan gugatan cerai yang disetujui suaminya. Ia pun menikah lagi. Kali ini dengan laki-laki yang dipacarinya selama sebulan. Setelah melahirkan anak pertama berusia tiga bulan, suami pergi ke Jakarta untuk mencari nafkah. Tidak ada kabar, tidak ada uang yang dikirimkan sejak kepergiannya, hingga suatu hari keluarga suami mengabarkan bahwa suami telah menikah lagi. Ketika anak berusia enam tahun ia secara resmi menggugat cerai suami keduanya. Kemudian ia pacaran dengan laki-laki yang sudah punya istri sah dan dua istri siri. Para tetangga pun sudah mengingatkannya. Namun karena istri sah pacarnya meninggal dan pacarnya berjanji tidak akan menikah atau pacaran lagi setelah menikah dengannya, Rara pun mau dinikahi. Janji pun tinggal janji. Suami punya pacar berkali-kali dan puncaknya adalah ketika suami pamit merantau ke pulau seberang untuk bekerja. Ternyata suami kawin lagi dengan perempuan yang satu kota dengan Rara. Akhirnya Rara mantap untuk mengajukan gugatan cerai pada suami ketiganya. Kasus 3. Rere adalah perempuan mandiri yang cukup punya posisi di sebuah toko batik ternama di Pekalongan. Ia hidup bersama beberapa kakaknya yang sudah berkeluarga di rumah orangtua mereka yang sudah meninggal semua. Ia menikah dengan lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Setelah menikah barulah ia tahu bahwa suaminya pelit dan sangat pencemburu. Ia mencemburui teman-teman lelaki Rere, dan yang paling Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 128 KUSTINI & NUR ROFIAH parah adalah ketika ia mencemburui kakak ipar Rere. Pada suatu hari, suami mengajak ke rumah orangtuanya. Karena waktu hampir magrib, Rere minta perginya setelah magrib. Suami merasa Rere tidak mau diajak pergi padahal semua baju pun sudah dikemas, kata Rere. Suami marah dan mengeluarkan ucapan, “Kamu aku jatuhkan talak satu”. Lalu pergi meninggalkan Rere. Mereka kemudian saling diam. Rere menunggu inisiatif suami untuk minta maaf karena menjatuhkan talak tanpa alasan yang kuat. Namun suaminya tidak juga datang hingga berbulan-bulan. Rere pun merasa perkawinannya tidak perlu dipertahankan dan ia pun menabung. Setelah uang cukup, Rere secara resmi menggugat cerai suami. Berdasarkan tiga kasus tersebut dan diperkaya dengan informasi yang diperoleh dari hasil diskusi kelompok terfokus, dapat dianalisis tiga hal terkait dengan permasalahan penelitian yaitu alasan istri cerai-gugat, dampak, serta respon struktur sosial. Alasan Istri Cerai-Gugat Pengadilan agama mengategorikan penyebab perceraian menjadi 15 faktor. Namun demikian, perceraian termasuk cerai-gugat pada umumnya menjadi puncak akumulasi beragam persoalan yang muncul sehingga alasan perceraian yang sesungguhnya dapat diduga kuat terdiri lebih dari satu hal. Oleh karena itu, alasan perceraian yang tertulis dalam data Pengadilan Agama harus dilihat sebagai alasan yang paling utama. Adapun data faktor penyebab terjadinya perceraian di Kota Pekalongan adalah sebagai berikut: Tabel-2 Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Kota Pekalongan 2010-2014 Faktor Penyebab Poligami Tidak Sehat Krisis Akhlak Cemburu Kawin Paksa Ekonomi Tidak ada tanggungjawab Kawin di bawah umur Kekejaman Jasmani Penganiayaan/Kekejaman Mental Dihukum Cacat biologis Politis Gangguan pihak ketiga Tidak ada keharmonisan Lain-lain 2010 2 11 5 2 67 148 0 2 2 1 2 0 30 62 0 Sumber: Pengadilan Agama Kota Pekalongan, 2014 HARMONI Mei - Agustus 2015 2011 2 12 6 2 71 161 0 2 2 1 3 0 33 72 0 2012 0 3 2 0 80 187 0 1 1 0 1 0 12 134 1 2013 0 7 13 0 99 160 0 7 0 0 4 0 44 133 3 2014 0 21 11 1 106 154 0 7 0 1 6 0 48 52 2 GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN Data di atas sejalan dengan pernyataan Mustaqoroh, Ketua Pengadilan Agama Kota Pekalongan, bahwa faktor ekonomi mempunyai andil dalam gugat-cerai masyarakat Kota Pekalongan, baik bagi kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas. “Angka cerai-gugat di Kota Pekalongan ini tinggi. Sebagian besar terjadi karena masalah ekonomi yaitu tidak ada tanggung jawab suami untuk memenuhi nafkah bagi keluarganya. Ada pula istri yang lebih kuat secara ekonomi namun karena suami tidak peduli, maka istri menggugat. Kasus lain terjadinya cerai gugat adalah krisis moral yakni perselingkuhan dan perzinahan yang banyak terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas.” (Mustaqoroh. Wawancara. 16 April 2015). Dari ungkapan tersebut terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Seperti diungkapkan Gelles (1995) bahwa mereka yang kurang pendidikan dengan status pekerjaan rendah, lebih riskan untuk terjadinya perceraian. Namun demikian, persoalan utamanya bukanlah tunggal karena faktor ekonomi melainkan tidak adanya tanggungjawab sebagai suami baik ketika ekonomi keluarga tersebut kurang maupun memadai atau cukup. Tidak adanya tanggungjawab suami sebagai alasan utama diperkuat oleh hasil wawancara dengan tiga narasumber utama dan hasil Diskusi Kelompok Terfokus yang dihadiri kader Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) terdiri dari perempuan yang telah atau sedang melakukan ceraigugat, dan perempuan yang melakukan pendampingan. Mereka menyebutkan bahwa proses cerai-gugat pada umumnya diawali dengan “status gantung” yang cukup lama, yakni tidak dicerai namun juga tidak diberi nafkah sama sekali 129 selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Pada masa tersebut, istri sudah menjalani kehidupan seperti janda, yakni menafkahi diri sendiri dan anaknya tanpa dukungan materi maupun non-materi dari suami. Tidak adanya tanggungjawab suami dalam keluarga yang menjadi faktor pemicu istri melayangkan ceraigugat muncul dalam bentuk sebagai berikut: 1. Macetnya komunikasi: saling diam selama satu bulan pertama perkawinan. 2. Penelantaran nafkah: a). Suami meninggalkan istri dan anak yang baru berusia tiga bulan ke Jakarta untuk bekerja tetapi tidak memberi kabar, tidak mengirim uang, dan ternyata menikah lagi. Mantan suami tidak pernah menemui anaknya yang kini sudah berusia 10 tahun; b). Suami tinggal beda kota untuk menghindari jeratan hukum, tidak memberikan perhatian baik materi maupun non materi padahal istri sedang hamil; c). Tidak memberi nafkah pada istri, bahkan dinafkahi istri padahal istri hanya kerja serabutan sehingga adanya suami malah memperberat beban hidup. 3. Egois dan kekanak-kanakan: a). Masih suka pulang malam dan main dengan teman-temannya; b). Mementingkan kebutuhan sekunder misalnya kredit motor baru daripada kebutuhan primer keluarga; c). Mudah mengancam cerai pada istri karena masalah sepele; d). Suka berbohong, bicara tinggi, dan inginnya hidup mewah tapi tidak bekerja; e). Suami tidak memahami pekerjaan istri yang mengharuskan banyak pergi, sementara suami juga tidak mampu menafkahi dengan semestinya; f). Suami kerap memarahi istri di depan teman-teman kerjanya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 130 KUSTINI & NUR ROFIAH 4. Bermasalah dengan keluarga istri: a). Tidak bersikap baik pada anak bawaan istri; b). Suami pergi begitu saja setelah mengagunkan sertifikat rumah mertua ke bank untuk usaha namun karena usaha macet kemudian tidak mampu mencicil. Istri lalu menjadi TKW untuk melunasi hutang tersebut agar rumah tidak disita bank; c). Istri tinggal bersama mertua dan tidak akur; d). Suami menunjukkan rasa suka pada adik istri. 5. Kekerasan: a). Suami melakukan kekerasan fisik pada istri atau pada anak bawaan istri; b). Meninggalkan istri ke pulau lain untuk bekerja, ternyata untuk menikah lagi dengan perempuan dari kota yang sama dengan istri; c). Suami menikah lagi dengan perempuan lain dan tinggal tidak jauh dari rumah istri. Alasan cerai-gugat pada umumnya terjadi lebih dari satu, berlangsung dalam bentuk yang beragam, dan dalam masa yang cukup lama hingga istri meyakini bahwa makna perkawinan sudah tidak ada atau dalam istilah salah seorang narasumber: duwe bojo karo ora nduwe bojo podo wae (punya suami dan tidak punya suami sama saja) (Wawancara; 18 April 2015). Beragamnya alasan menunjukkan bahwa selain ada pertimbangan cost dan reward, relasi perkawinan juga merupakan tukar tambah (trade off) dari banyak hal antara lain pendapatan, cinta dan kasih sayang, berbagi pekerjaan rumah tangga, maupun kepuasan seksual (Collins & Coltrane, 1992). Karena itu, jika hanya masalah ekonomi, tetapi suami tetap tanggung jawab dan mencintai keluarga, maka kehendak untuk bercerai dari istri bisa jadi tidak akan terlaksana. Dampak Cerai-Gugat Perempuan yang mengajukan ceraigugat pada umumnya telah menjalani kehidupan tanpa kehadiran figur suami HARMONI Mei - Agustus 2015 yang cukup lama. Dalam kondisi seperti ini, perceraian yang sesungguhnya bukan hal baik menjadi pilihan terbaik di antara pilihan buruk yang ada, yakni bertahan dalam perkawinan yang telah kehilangan maknanya, ataukah mengajukan ceraigugat dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, cerai-gugat di samping mempunyai dampak negatif, ia juga mempunyai dampak positif, sebagaimana pengakuan salah satu narasumber: ”Bismillahirokhmanirrakhim, saya menguatkan diri untuk mengajukan perceraian. Ketika Hakim mengetok palu tanda perceraian itu diputuskan, saya juga sedih. Menjalani hidup sebagai status janda sesungguhnya lebih berat dibandingkan dengan digantung dalam perkawinan. Tapi saya berpikir perceraian akan lebih baik bagi masa depan saya. Ketika saya bilang ke suami (melalui telepon), bahwa saya mau mengajukan ceraigugat, dia hanya bilang “Terserah kowe. Sak karepmu”. (Wawancara. 18 April 2015). Dampak cerai-gugat juga dirasakan oleh keluarga perempuan. Ibu salah seorang narasumber merasa bersalah karena telah ikut menyetujui anaknya melakukan cerai-gugat: ”Saya kadang berpikir apakah sikap saya pada anak saya ini bener. Di satu sisi saya kasihan anak saya diperlakukan tidak baik oleh suaminya sehingga saya mendorong dia untuk melakukan cerai-gugat. Tapi setelah diputus cerai seperti sekarang saya berpikir terus apakah saya berdosa?” (Wawancara. 19 April 2015) Perempuan yang mengajukan ceraigugat sebagaimana diungkapkan di awal mempunyai dua pilihan yang sama-sama GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN tidak ideal. Dampak positif muncul jika dibandingkan dengan perkawinan dan keluarga yang tidak sehat sebelum ceraigugat. Berikut adalah dampak positif cerai-gugat: 1). Istri memperoleh status hukum yang jelas; 2). Terbebas dari beberapa hal yaitu: kewajiban sebagai istri, perselisihan berkelanjutan dengan suami, dari rasa cemburu karena orang ketiga, dan terbebas dari berbagai bentuk kekerasan yag dilakukan suami; 3). Berkurang beban ekonomi karena tidak harus menafkahi suami; 4). Hubungan dengan keluarga besar istri membaik terutama mereka yang cerai-gugat karena ada persoalan yang tersangkut dengan keluarga istri; 5). Bisa memulai hidup baru dengan pasangan baru yang mungkin lebih baik; 6). Dapat fokus bekerja dan membesarkan anak dengan tenang walau tanpa ayahnya. Di samping dampak positif, ada banyak dampak negatif yang dialami perempuan yaitu: 1). Menghadapi stigma janda sebagai perempuan yang tidak pandai menjadi istri, penggoda suami orang, kesepian, pilah-pilih, dll; 2). Lawan jenis lebih terbuka melancarkan godaan dan perhatian, baik yang bersifat serius maupun tidak; 3). Nafkah anak dalam cerai-gugat semakin macet; 4). Memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan anaknya walau hanya dengan kerja serabutan; 5). Menjalankan peran sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak-anak; 6). Sendiri mengurus segala keperluan anak; 7). Anak jarang bertemu ayahnya bahkan ada yang tidak pernah bertemu ayahnya hingga usia 10 tahun; 8). Sikap suami yang tidak terima digugat cerai sehingga melayangkan ancaman kepada istri. Dampak negatif cerai-gugat di atas pada umumnya telah dialami oleh istri yang melakukan cerai-gugat setelah masa “status gantung” cukup lama sehingga perbedaan yang muncul hanyalah pada status hukum dan segala implikasi hukumnya. 131 Respon Struktur Sosial atas CeraiGugat Di Kota Pekalongan terdapat empat stakeholder yang berhubungan langsung dengan urusan perkawinan serta perceraian, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang mengesahkan perkawinan, BP4 yang bertugas melestarikan perkawinan, Pengadilan Agama yang berwenang mengesahkan perceraian, dan tokoh masyarakat dan agama yang menjadi rujukan masyarakat ketika menghadapi masalah perkawinan. KUA se-Kota Pekalongan yaitu KUA Pekalongan Barat, Timur, Selatan dan Utara hingga kini bersama-sama melaksanakan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) setiap hari Selasa dari jam 0830 sampai dengan jam 12.30 bertempat di Kantor BP4 yang diikuti oleh calon pengantin atau pasangan suami-istri yang baru menikah. Dalam pelaksanaan Suscatin ini seharusnya BP4 mengambil peran maksimal sesuai dengan misinya. Namun saat ini kursus digerakkan oleh KUA karena kondisi BP4 di Kota ini secara kelembagaan vakum. Kepengurusan BP4 Kota Pekalongan sebetulnya sudah terbentuk sejak Januari 2015, namun hingga kini (Juni 2015) SK kepengurusan belum juga turun sehingga BP4 belum melakukan kegiatan apapun (Khairunnida, 2013). Pengadilan Agama, sebagaimana BP4, juga mengalami perubahan struktural sangat signifikan. Setelah pindah ke Mahkamah Agung, tugas dan wewenang peradilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 semakin banyak meliputi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi Syariah. Perkara yang ditangani pengadilan agama semakin beragam, namun jumlah hakim Pengadilan Agama sangat terbatas. Di Kota Pekalongan, Pengadilan Agama hanya memiliki Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 132 KUSTINI & NUR ROFIAH enam orang hakim, satu orang hakim ketua dan satu orang hakim wakil ketua yang menangani 30 hingga 40 perkara setiap bulannya (Wawancara. Kamis 16 April 2015). Dalam proses penyelesaian perkara perceraian, Pengadilan Agama menjadikan proses mediasi sebagai syarat sah putusan perceraian. Meskipun mediasi bisa dilakukan oleh mediator non-hakim yang bersertifikat, namun karena mediator seperti ini belum ada dan jika ada pun pihak yang berperkara harus membayar ekstra, maka proses mediasi hingga kini dilakukan oleh mediator hakim. Peran BP4 yang sangat strategis dalam proses pelestarian perkawinan ini kemudian ditumpukan pada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Melalui pengajian dan majelis taklim, masyarakat kemudian memperoleh pengetahuan tentang bagaimana sebuah perkawinan itu mesti dijaga. Namun demikian, pengajian dan majelis taklim adalah forum belajar agama secara umum sehingga tidak selalu menyinggung persoalan perkawinan dan keluarga. (Ustadzah Faizah. Wawancara. Sabtu 18 April 2015). Masyarakat Kota Pekalongan memberikan kepercayaan pada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh inilah yang dimintai nasehat ketika mengalami masalah perkawinan. Namun kendalanya adalah para tokoh ini juga masih punya pandangan agama yang kadang adil gender namun kadang juga bias gender. “Salah satu hal yang prinsip dalam Islam adalah istri tidak boleh pergi tanpa izin suami. Kalau istri tetap pergi dan suami tidak suka (tidak mengizinkan) sehingga menceraikan, itu adalah hal yang wajar. Tetapi suami tidak harus (tidak wajib) izin ketika akan pergi, hanya memang sebaiknya memberi tahu kepada istri. Jika pun istri HARMONI Mei - Agustus 2015 tidak setuju dan suami tetap pergi, bukanlah suatu dosa bagi suami” (Amil/lebe Kelurahan Kramat Sari. Wawancara. 21 April 2015). Analisis Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan tidak hanya mengandung komitmen antara suami dengan istri tetapi juga komitmen antara suamiistri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dengan demikian, tidak hanya dipandang sebagai perjanjian sosial yang mengandung tanggungjawab kepada masyarakat dan negara, melainkan juga perjanjian spiritual yang mengandung nilai-nilai agama atau ketuhanan. Meskipun berbeda dengan definisi perkawinan Fiqh klasik yang menitikberatkan definisi nikah pada relasi fisik khususnya relasi seksual suami istri, namun cara pandang atas perkawinan yang mengaitkan dengan nilai-nilai ritual dan sakral agama sebagaimana ada dalam UU Perkawinan justru sejalan dengan istilah al-Qur’an yang menyebut perkawinan sebagai Mitsaqan Ghalizhan (perjanjian kokoh) (Anshor, 2012), sejalan dengan konsep sakinah, mawaddah wa rahmah dalam al-Qur’an (keluarga harmonis) yaitu sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarga merasa tenang dan tentram, tidak ada kekerasan, kebutuhan, hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga terpenuhi dengan baik (Rofiah, 2012), dan juga sejalan dengan hadist yang mengaitkan relasi suami-istri dengan konsep ketaqwaan pada Allah (alBaghawi, 1983). Di Masyarakat beragama seperti Indonesia, norma agama sejatinya selalu mewarnai kehidupan perkawinan, dan selalu ada hubungan antara sistem keagamaan dengan sistem keluarga, sehingga apapun yang terjadi dalam kehidupan perkawinan merupakan implementasi atas pemahaman keagamaan terkait perkawinan dan keluarga (Eshleman, 2003). GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN Alasan utama istri melakukan cerai-gugat adalah karena ia sudah meyakini bahwa makna perkawinan telah hilang yang terlihat dari berbagai aspek yaitu ekonomi, cinta kasih, berbagi pekerjaan rumah tangga, maupun kepuasan seksual. Jika menggunakan teori trade off sebagaimana diungkapkan Collins & Coltrane (1992), maka ketika satu hal berkurang misalnya ekonomi, perkawinan akan tetap langgeng jika hal lain, misalnya cinta kasih, tetap terjaga dalam perkawinan. Melalui teori pertukaran sosial, relasi perkawinan yang berakhir dengan cerai-gugat mengindikasikan bahwa istri tidak lagi merasa memperoleh kebahagiaan (reward), dan lebih banyak mengalami kesulitan atau penderitaan (social cost). Dalam perspektif teologis dan yuridis, hilangnya makna perkawinan dapat dijelaskan bahwa sakinah (ketenteraman) dalam istilah al-Qur’an dan kebahagiaan lahir batin dalam istilah Undang-Undang Perkawinan sebagai tujuan perkawinan gagal dicapai. Tidak adanya tanggungjawab (qiwamah) seorang menjadi sangat krusial karena masyarakat muslim meyakini bahwa dalam keluarga, suami mempunyai peran sebagai penanggungjawab keluarga (Qawwam). Quraish Shihab menjelaskan bahwa Qa’im adalah istilah untuk orang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya, sedangkan Qawwam disematkan pada orang yang melaksanakan tugas tersebut sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang (Shihab, 2009). Lakilaki disebut Qawwam oleh an-Nisa/4:34 berarti bahwa mereka adalah orang yang semestinya melaksanakan tugas sebagai penanggungjawab keluarga sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang. Hasil penelitian ini menunjukkan hilangnya perkawinan sebagai faktor yang makna utama 133 perceraian, sejalan dengan temuan penelitian Ranga and Sekhar (2002) di India yang berjudul Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cutural Study. Penelitian ini menunjukkan para istri yang mengajukan cerai tidak terbatas pada mereka yang memiliki pendidikan atau pekerjaan yang mapan. Meskipun secara sosial perempuan India berada pada posisi tidak terdidik atau buta huruf dan sulit memperoleh lapangan kerja, mereka tetap memilih bercerai karena problem yang dihadapi dalam perkawinan sudah tidak bisa ditolerir lagi Salah satu tugas utama atau apa yang paling diharapkan dari seorang suami adalah perlindungan atas istri dan pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimana disebutkan pada anNisa/4:34 dan dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 Ayat 1. Tidak adanya pemberian nafkah lahir maupun batin terjadi terutama pada masa status gantung yang berlangsung cukup lama sebelum istri melakukan cerai gugat. Tidak adanya tanggungjawab sebagai suami untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi faktor paling dominan penyebab cerai-gugat di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa Qiwamah (kepemimpinan dalam keluarga) tidak berjalan semestinya dan menjadi alasan yang dibenarkan oleh Undang-Undang Perkawinan maupun Fiqh sebagai alasan cerai-gugat. Menurut teori pertukaran sosial (exchange theory) setiap pasangan melihat kehidupan perkawinan dalam dua tahapan. Pertama, pasangan membandingkan keuntungan relatif dalam perkawinan. Jika salah satu atau keduanya merasa hanya sedikit mendapatkan keuntungan, maka kepuasan perkawinan pasangan akan menjadi rendah, sehingga memilih hidup tanpa perkawinan menjadi salah satu pilihan. Dalam kondisi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 134 KUSTINI & NUR ROFIAH seperti ini perceraian dianggap sebagai alternatif. Pada tingkatan kedua, pasangan membandingkan kebahagiaan dan kesulitan ketika berelasi dalam perkawinan. Dalam tahapan tertentu ia merasa lebih menguntungkan jika hidup selain dalam pernikahan, misalnya menjadi lajang kembali melalui perceraian (Klein and White, 1996). Cerai Gugat mengindikasikan seorang istri tidak mendapatkan manfaat dari perkawinannya. Seorang istri di samping tidak memperoleh harapan yang ditumpukan pada suami melalui perkawinannya, mereka juga mengalami beberapa bentuk ketidakadilan gender, meliputi marjinalisasi (proses pemiskinan bagi kaum perempuan), subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1997). Misalnya suami yang tidak menafkahi istri, bahkan dinafkahi istri, tetapi kemudian ia selingkuh atau bahkan kawin lagi. Istri dalam hal ini mengalami marjinalisasi dalam bentuk tidak dilibatkan atas keputusan suami untuk menikah lagi, subordinasi dalam bentuk perasaan sakit hatinya dianggap tidak penting, pelabelan negatif dalam bentuk dipandang tidak becus sebagai istri sehingga suami mencari istri lagi, kekerasan dalam bentuk kekerasan psikologis, dan beban ganda karena ia menjalani fungsi sebagai ibu sekaligus ayah. Cerai-gugat sebagaimana ceraitalak menyebabkan banyak perempuan akhirnya berperan sebagai orangtua tunggal, padahal sejak kecil tidak disiapkan menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Ketika diharuskan menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah tunggal, perempuan menjadi rentan untuk mendapatkan pekerjaan dengan risiko tinggi, bahkan menjadi korban HARMONI Mei - Agustus 2015 perdagangan perempuan. Di samping itu, cerai-gugat juga menyebabkan anak tumbuh tanpa figur ayah sebagai teladan yang mengakibatkan anak mengalami kebingungan ketika tumbuh menjadi remaja. Sayangnya, meskipun tidak adanya tanggungjawab menjadi faktor dominan penyebab cerai-gugat di Kota Pekalongan, namun struktur sosial formal perkawinan seperti KUA, BP4, dan Pengadilan Agama justru sedang berada dalam masa pencarian sistem koordinasi yang efektif. Sementara itu, tokoh agama dan masyarakat serta lembaga yang bisa menjadi stake holder perkawinan pun masih memerlukan dukungan agar bisa memanfaatkan forum-forum sosial sebagai sarana pendidikan tentang perkawinan dan keluarga yang sakinah bagi seluruh anggota keluarga, yakni suami, istri, dan anak-anak sesuai perkembangan zaman. Hilangnya makna perkawinan sebagai sebab utama perempuan melakukan cerai-gugat, menunjukkan bahwa objek utama gugatan para istri bukanlah para suami semata melainkan lebih substantif lagi adalah gugatan pada makna perkawinan. Penutup Perceraian bukanlah pilihan yang menyenangkan, baik bagi istri, suami, maupun anak-anak. Namun setelah mengalami pergulatan batin yang cukup lama, serta mempertimbangkan banyak hal (reward dan cost), akhirnya perempuan “berani” untuk menggugat cerai. Sebab utama cerai-gugat adalah hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah. Pasangan (khususnya suami) tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan. GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN Ada dampak positif maupun negatif dari pasca cerai-gugat. Stigma sebagai “janda” dengan segala risikonya harus dialami perempuan. Ia juga harus berperan sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Namun pasca ceraigugat istri memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum yang jelas, lebih siap untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi suami, serta terbebas dari perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam ikatan perkawinan. Dengan demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang dirasakan lebih baik ketimbang hidup dalam perkawinan. Struktur sosial formal perkawinan dalam hal ini KUA, BP4, dan Pengadilan Agama sedang dalam pencarian model koordinasi terkait pelestarian lembaga perkawinan. Sedangkan BP4 dalam kondisi vakum, dan secara kelembagaan Pengadilan Agama juga tengah berada dalam masa penyesuaian setelah berada di bawah Mahkamah Agung. Kondisi ini menyebabkan lembaga stakeholders perkawinan tidak bisa berperan secara maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya. Sedangkan struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga sosial terkait belum sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana pendidikan untuk membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan.. Rekomendasi Beberapa upaya untuk mempertahankan makna perkawinan yang selaras dengan perkembangan zaman perlu dilakukan, baik pada masa pra perkawinan, selama perkawinan, maupun ketika perkawinan diujung tanduk. Relasi suami istri dengan pola partnership lebih memungkinkan bertahan daripada pola atasan dan bawahan. 135 Dalam relasi partnership memungkinkan suami-istri dan orangtua-anak untuk bertukar peran secara fleksibel. Pola relasi atasan dan bawahan menjadi sangat riskan ketika suami yang didudukkan sebagai atasan tidak mampu memenuhi kewajibannya namun tetap mempertahankan otoritasnya. Pola partnership dalam perkawinan dan keluarga bisa ditanamkan secara terus menerus oleh para tokoh agama dalam beragam pengajian dan secara terstruktur dapat disampaikan dalam Kursus Calon Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai strategis karena diberikan tepat ketika pasangan akan atau baru memasuki gerbang rumah tangga sehingga perlu dirancang model, modul, dan modalnya. Vakumnya lembaga BP4 semakin memperlebar kekosongan ruang intervensi selama masa perkawinan. Pasangan suami-istri ketika mengalami masalah dalam perkawinan yang tidak bisa diatasi sendiri, memerlukan penengah yang cukup berwibawa untuk mendudukkan kedua belah pihak dan mendengarkan masalah versi masingmasing untuk kemudian bersama-sama mengupayakan solusi. BP4 menjadi penting untuk dikuatkan karena menjadi lembaga yang paling relevan untuk mengemban misi pelestarian perkawinan. Pemerintah daerah sudah semestinya memandang naiknya angka perceraian dan dominasi cerai-gugat sebagai masalah serius dan bersedia memperkuat BP4 misalnya dari segi pendanaan. Dengan dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa bergerak dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di daerah tersebut dalam upaya pelestarian perkawinan. Pasangan suami-istri yang sudah sampai ke Pengadilan Agama pada umumnya adalah mereka yang sudah tidak mampu mengatasi masalah perkawinannya. Dalam kondisi seperti ini, maka proses mediasi menjadi sangat Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 136 KUSTINI & NUR ROFIAH penting untuk dilakukan secara lebih intensif dengan pendekatan kekeluargaan yang lebih mungkin dilakukan oleh mediator non hakim. BP4 dapat membantu Pengadilan Agama untuk memperbanyak mediator non-hakim bersertifikat yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan mengingat terbatasnya jumlah hakim dan meluasnya wewenang Pengadilan Agama setelah pindah ke Mahkamah Agung. Pemerintah memainkan peran Daerah dapat secara maksimal dengan memberikan layanan terpadu perkawinan dan keluarga yang melibatkan seluruh stakeholder yang ada di wilayah tersebut. Layanan perkawinan dan keluarga satu pintu ini dapat memberikan layanan informasi dan pendidikan pra perkawinan, layanan administrasi hingga resepsi perkawinan, layanan penasehatan dan mediasi selama masa perkawinan, sehingga pasangan suami istri yang menginjakkan kaki ke Pengadilan Agama telah dipastikan sebagai pasangan yang memang sudah tidak bisa dipertahankan perkawinannya. Daftar Pustaka Al-Baghawi, Muhyi as-Sunnah Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud. Syarhus Sunnah. Damaskus dan Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Anshor, Maria Ulfah. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:. Dalam Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”, April 2012, h. 19-30. Ar-Ra’ini, Khutab. Mawahib al-Jalil. Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th, j Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu. Beirut: Dar al Fikr, 2006 Creswell. John W. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches, London: Sage Publications, 2007. Collins, Randall & Coltrane, Scott. Sociology of Marriage and the Family: Gender, Love and Property. (3rd ed.). Chicago: Nelson-Hall Inc, 1992. Eshleman, J. Ross. The family. 10th Edition. New York: Pearson Education Inc, 2003. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 1997 Fokusmedia. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia, 2005 Gelles, Richard J. Contemporary Families A Sociological View. California: Sage Publications, 1995. Ghandur, Ahmad. ath-Thalaq fi asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun. Mesir: Dar alMa’arif, 1967. Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama. Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2003 HARMONI Mei - Agustus 2015 GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN 137 Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam: Sebuah Dokumentasi. Bandung, 2001. Herien, Puspitawati. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor, PT IPB Press, 2012. Hoerudin, Ahrum. Pengadilan Agama (Bahasan tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999. Kesindo Utama. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Surabaya: Kesindo Utama, 2012. Khairunnida, Daan Dini. Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Hasil Penelitian di 6 Wilayah. Jakarta: Kerjasama Rahima, BP4, UNFPA, dan KPPPA. 2013. Klein, David M. White, James M. Family Theories An Introduction. California: SAGE Publications, 1996. Kustini. Perceraian di Kalangan Buruh Migran Perempuan: Studi Kasus di Desa Kadupura, Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, 2002. Kustini. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, 2011. Qalyubi dan ‘Umairah. Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah. Beirut: Dar- al Fikr, 1995, j. 3. Rofiah, Nur. et al. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013. Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di Cianjur, dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 -158. Rangan, Rao ABSV. Sekhar K. Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cultural Study, Journal of Comparative Family Studies, Autum 2002: 33, 4, ProQuest, h. 557. Shihab, Muhammad Qurasih. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009. Tim Redaksi. Sidang Perceraian Tanpa Dihadiri Pihak Suami http://www.hukumonline.com/ klinik/detail/lt51dab90028cba/sidang-perceraian-tanpa-dihadiri-pihak-suami Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 138 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN PENELITIAN Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu Abdul Jamil Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail: [email protected] Fakhruddin Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail : [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Abstract Abstrak Many assumptions that divorce in Indramayu are the highest number in Indonesia nowadays. It is also considered as a culture. The causes of divorce are polygamy, low education, oversea migrant worker, and early marriages. Data from religious court shows that the number of wife-initiated divorce in Indramayu is relatively high. In 2014, the number of wifeinitiated divorce is 72% while husbandinitiated divorce is 28% in Indramayu. The result shows that divorces undertaken by wives are caused some factors such as the intensity of the problem (problem severity ) faced by wife, support from their parents, psychological suffering after divorce that they feel happier with their divorce status, and the experience from their family so they understand every step in conducting wife-initiated divorce. The greatest impact of divorce is psychological suffering which they will be disappointed towards marriage. The research concludes that the current institution that mediates a divorce in Indramayu is Lebe because KUA (Religious Affairs Office), BP4 (Marriage Counseling Agency) and PA (Religious Court) are relatively ineffective. Hingga saat ini, banyak asumsi yang berkembang, bahwa perceraian di Indramayu adalah tertinggi di Indonesia, perceraian dianggap sudah menjadi budaya. Faktor penyebab perceraian diasumsikan karena banyaknya poligami, rendahnya pendidikan masyarakat, banyaknya perempuan yang menjadi TKI di luar negeri, dan banyaknya pernikahan di bawah umur. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) jumlah cerai-gugat di Indramayu termasuk tinggi. Pada tahun 2014, di Kabupaten Indramayu, jumlah cerai-gugat adalah 72% dari angka perceraian, sedangkan cerai-talak hanya 28%. Melalui penelitian kualitatif dengan tema isu dan realitas di balik kasus cerai-gugat di Indramayu, disimpulkan bahwa keberanian istri melakukan ceraigugat adalah didasari oleh beberapa faktor yaitu, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, adanya dukungan (pembelaan) dari orang tua, penderitaan psikologis setelah bercerai dirasa lebih ringan dibanding tetap dalam perkawinan, dan adanya pengalaman pihak keluarga dekat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dalam melakukan cerai-gugat. Dampak terberat dari ceraigugat adalah penderitaan psikologis yang dialami istri yaitu perasaan kecewa terhadap pernikahan. Penelitian juga menyimpulkan, bahwa saat ini lembaga yang berperan dalam memediasi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe, sementara KUA, BP4 dan PA tidak efektif berperan. Keywords: Wife-Initiated Divorce, Lebe, Religious Court Kata kunci: Cerai-gugat, lebe, Pengadilan Agama. HARMONI Mei - Agustus 2015 ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU Pendahuluan Secara nasional, angka perceraian terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) MA, secara berurutan, jumlah kasus perceraian pada tahun 2010 sampai dengan 2014 adalah sebanyak 251.208 kasus; 276.792 kasus; 304.395 kasus, 361.816 kasus, dan 382.231 kasus. Masih menurut data dari Badilag MA, di balik angka-angka tersebut ternyata fenomena cerai-gugat, yaitu gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri terhadap suami melalui pengadilan agama ternyata lebih tinggi dibanding cerai-talak (cerai oleh suami). Misalnya pada tahun 2014 angka kasus perceraian melalui cerai-talak (talak oleh suami) adalah sebanyak 113.850 kasus, sedangkan angka kasus perceraian melalui ceraigugat (istri menggugat talak) sebanyak 268.381 kasus. Artinya, secara persentase jumlah cerai-gugat adalah sebesar 70 persen dan jumlah cerai-talak adalah 30 persen. Sedangkan pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2013, angka ceraigugat adalah sebanyak 250.036 kasus dan angka cerai-talak sebanyak 111.456 kasus. Apabila dipersentasekan maka jumlah jumlah cerai-gugat adalah 69 persen, sedangkan cerai-talak adalah 31 persen. Angka-angka tersebut mencerminkan bahwa kasus perceraian di Indonesia lebih banyak terjadi melalui cerai-gugat. Bagi sebagian orang, hal itu mungkin dianggap sebagai hal biasa atau wajar, mengingat angka pertumbuhan penduduk dan dinamika persoalan yang dihadapi setiap tahun juga meningkat, sehingga dipastikan angka perkawinan semakin banyak dan otomatis angka perceraian juga mengalami kenaikan. Pandangan semacam ini juga berlaku bagi besarnya cerai-gugat sebagai peristiwa yang dianggap biasa seiring meningkatnya emansipasi atau keterlibatan perempuan dalam banyak 139 lapangan kerja, kemandirian perempuan, serta keterbukaan informasi. Namun demikian, fenomena ini kiranya tetap perlu mendapat perhatian semua pihak, setidaknya karena dua alasan: Pertama, di balik cerai-gugat ada kemungkinan terjadi suatu fenomena sosial banyaknya perempuan yang diperlakukan tidak adil oleh suami atau dengan kata lain, perempuan banyak mengalami kekerasan fisik maupun psikis dari suami. Kedua, makna perkawinan intinya adalah membangun sebuah keluarga, dan keluarga merupakan unsur dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, apabila keluarga mengalami gangguan dan secara kualitas terjadi penurunan, maka secara tidak langsung dapat berdampak pada menurunnya kualitas masyarakat. Angka-angka perceraian yang diungkapkan di atas menunjukkan adanya persoalan dalam perkawinan atau keluarga pada sebagian masyarakat Indonesia, sehingga fenomena ini tentu menarik untuk didiskusikan. Untuk mengetahui secara lebih detail dan mendalam seputar persoalan perceraian dan dampaknya pada keluarga, maka fenomena ini juga perlu dilihat dari dekat, bagaimana kehidupan pasangan dalam keluarga-keluarga tersebut sehingga kemudian memutuskan perceraian. Satu hal yang menarik adalah adanya informasi bahwa ada daerah-daerah yang memiliki angka perceraian tertinggi, salah satunya adalah Kabupaten Indramayu. Secara faktual, setiap tahunnya angka perceraian di Indramayu memang terus meningkat termasuk cerai-gugat. Berdasarkan data Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, pada tahun 2013 jumlah cerai talak adalah 2.079 kasus dan cerai gugat 5.959 kasus. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah cerai-talak adalah 2.220 kasus dan cerai-gugat 5.847 kasus. Hingga saat ini, banyak labeling atau stigma yang berkembang di dalam maupun Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 140 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN di luar masyarakat Indramayu yaitu: perceraian di Indramayu adalah tertinggi di Indonesia; perceraian adalah sudah menjadi budaya; penyebab perceraian tersebut dikarenakan banyaknya poligami; rendahnya pendidikan masyarakat; banyaknya perempuan yang menjadi TKI di luar negeri; dan banyaknya pernikahan di bawah umur. Di samping itu, juga terdapat isu bahwa banyaknya perceraian berkorelasi dengan banyaknya “rangda” (janda) yang kemudian berprofesi menjadi “penjaja cinta” di sejumlah wilayah kawasan prostitusi di Indonesia. Berbagai labeling atau stigma tersebut secara tidak langsung telah “mem-bully” masyarakat Indramayu, sebab masyarakat Indramayu notabene merupakan masyarakat yang agamis secara kultur. Bahkan Pemerintah Kabupaten Indramayu juga telah banyak menetapkan sejumlah Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati yang bernuansa syariat, seperti wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah (Perda No 2/2003), Pelarangan Minuman Beralkohol (Perda No 7/2005), Surat Edaran Bupati Tahun 2001 tentang Wajib Busana Muslim dan Pandai al-Quran untuk Siswa Sekolah, dan lainnya. Segala asumsi negatif tentang masyarakat Indramayu tersebut perlu dibuktikan dengan sebuah kajian yang memadai. Untuk itu penting dilakukan sebuah penelitian terkait fenomena perceraian di kalangan masyarakat muslim di Kabupaten Indramayu. Selanjutnya, persoalan spesifik lainnya seputar perceraian di Indramayu adalah pertanyaan tentang mengapa tingkat cerai-gugat di Indramayu relatif tinggi? dan Apa sesungguhnya faktor di balik keputusan istri yang berani melakukan cerai-gugat? dan bagaimana pula dampaknya terhadap keluarga serta sejauhmana struktur (pranata dan lembaga) sosial dan lingkungan merespon fenomena cerai gugat tersebut?. Melalui HARMONI Mei - Agustus 2015 kajian ini, informasi terkait perceraian di Indramayu secara umum akan digali dan kemudian dideskripsikan dan secara spesifik akan lebih banyak membahas kasus cerai gugat. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tiga pertanyaan penelitian yakni sebagai berikut: Pertama, apa saja alasan-alasan dari istri di Indramayu sehingga melakukan ceraigugat. Kedua, apakah dampak-dampak dari cerai-gugat yang dialami pasangan tersebut, dan Ketiga, bagaimana respon struktur sosial menanggapi banyaknya kasus cerai-gugat. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan memiliki siginfikansi atau manfaat untuk: Pertama, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian Agama RI dalam menetapkan kebijakan terkait penasehatan maupun pembinaan perkawinan. Kedua, penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi pihak-pihak terkait (BP4, Ormas Islam, LSM, akademisi dan pihak terkait lainnya) untuk menjadi bahan pertimbangan dalam usaha merumuskan program kegiatan dalam membangun keluarga sakinah dan sejahtera sebagai upaya membangun bangsa. Untuk mendalami permasalahan di atas, penelitian ini merujuk pada peraturan perundang-undangan. Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian disebutkan sebagai salah satu yang dapat menyebabkan putusnya sebuah perkawinan selain karena kematian dan atas keputusan pengadilan. Dengan demikian, perceraian diakui dalam hukum peraturan perundangan. Terkait tata cara perceraian telah diatur dalam undang-undang tersebut yakni pada Pasal 39 yang berbunyi: 1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; 2). Untuk melakukan perceraian harus ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri; 3). Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Terkait tekhnis pengajuan pengajuan perceraian dijelaskan secara lebih rinci pada Pasal 40 yaitu: 1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan; 2). Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada Ayat (1) Pasal 40 ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Mengenai hal ini, dalam hukum Islam telah dijelaskan bahwa perceraian atau disebut talak pada dasarnya merupakan hak yang dimiliki suami, sehingga hanya suami yang mengendalikan talak tersebut, dan seorang istri tidak memiliki hak untuk mengajukan talak. Namun demikian dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu perkawinan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka dalam perkawinan di Indonesia khususnya, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pihak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan istilah ceraigugat. Sedangkan cerai yang diajukan oleh pihak suami ke pengadilan agama dikenal dengan istilah cerai-talak. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 20 disebutkan bahwa gugat perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Sementara alasan-alasan perceraian disebutkan dalam Pasal 19, yaitu: a). Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b). Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa 141 alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c). Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d). Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain; e). Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri; f). Antara suami dan istri terus menerus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, perceraian di samping dapat dilakukan oleh suami (cerai talak) juga dapat dilakukan oleh isteri (cerai gugat). Selain tercantum dalam peraturan perundangan tersebut, gugat cerai juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 114 yang selengkapnya berbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Selanjutnya dalam Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam dijelaskan: “Perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar ta’lik talak dan tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, di antaranya adalah cerai-gugat dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.” Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan tersebut, apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama yang selanjutnya disebut sebagai cerai-gugat. Salah satu teori yang bisa dipakai dalam mencermati fenomena perceraian termasuk cerai gugat adalah teori pertukaran. Teori ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 142 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN dan Harlod Kelley (1959), Sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan, dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Thibaut dan Kelly berpendapat bahwa ketika orang berinteraksi, mereka dituntun oleh tujuan. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional. Menurut Thibaut dan Kelly, orang terlibat dalam “urutan perilaku” (Behavior Squence) atau serangkaian tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan mereka. Ketika orang-orang terlibat dalam urutan-urutan perilaku, mereka tergantung hingga batas tertentu pada pasangan mereka dalam hubungan tersebut. Saling ketergantungan ini memunculkan konsep kekuasaan (Power) atau ketergantungan seseorang terhadap yang lain untuk mencapai hasil akhir. Ada dua jenis kekuasaan dalam teori Thibaut dan Kelly. Pertama, Pengendalian nasib (Fate Control) adalah kemampuan untuk mempengaruhi hasil akhir pasangan. Kedua, pengandalian perilaku (Behavior Control) adalah kekuatan untuk menyebabkan perubahan perilaku orang lain. Thibaut dan Kelly menyatakan bahwa orang mengembangkan pola-pola pertukaran untuk menghadapi perbedaan kekuasaan dan untuk mengatasi pengorbanan yang diasosiakan dengan penggunaan kekuasaan. Sementara Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi: ”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu HARMONI Mei - Agustus 2015 tadi“. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi: “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi: ”seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tinggi pengorbanan, makin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Secara resmi, Homans mulai memperkenalkan teori pertukaran sosialnya pada 1950-an. Semangat Homans dalam memunculkan teori barunya ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menyempurnakan atau memperbaiki apa yang dianggapnya merupakan kekuarangan dari teori fungsional. Homans dapat dianggap sebagai bapak pencetus teori pertukaran. Teori pertukaran Homans sangat jelas dipengaruhi oleh teori behaviorisme dari psikologi. Teori pertukarannya cenderung mikro-sosiologis dan menitikberatkan pada kebebasan aktor dalam bertindak yang didasarkan pada dimensi reward dan cost. Perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan (reinforcement), sejarah imbalan dan biaya (cost) yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan. Homans percaya bahwa proses ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU pertukaran dapat dijelaskan lewat beberapa pernyataan proposisional yang saling berhubungan dan berasal dari psikologi Skinnerian. Proposisi itu adalah proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu agresi (approval agressian). Proposisi Sukses terdapat dalam statemen yang menyatakan: “bahwa dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu”. Proposisi Stimulus, “jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama”. Sedangkan Proposisi Nilai, “semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu”.Adapun mengenai Proposisi Deprivasi-Satiasi, disebutkan: “semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu”. Proposisi Restu-Agresi, “bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya”. Bilamana tindakan seorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan merasa senang; dia akan lebih 143 mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya (Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2008, hlm., 361-367). Teori pertukaran sosial yang sudah dipaparkan tersebut digunakan dalam melihat kasus-kasus cerai-gugat di Indramayu. Pada satu sisi, keberanian isteri menggugat cerai sebagai bentuk agresifitas prilaku. Fenomena tersebut bisa dipahami sebagaimana dalam proposisi Restu-Agresi: “di mana tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif”. Kesediaan isteri menerima perkawinan ternyata tidak mendapatkan balasan sebagaimana diharapkan dari suami. Keberanian perempuan menggugat cerai ini juga dapat menjadi indikator semakin “beraninya” perempuan mendobrak mitos. Keberanian dan kemampuan untuk hidup mandiri, juga menjadi pemicu penting ketika perempuan harus menggugat cerai suaminya. Sebab dalam masyarakat patriarki, sebenarnya terdapat ketidaksetaraan (inequal) antara laki-laki dengan perempuan. Patriarkhi telah begitu berurat akar dalam struktur masyarakat, dan penolakan ketidakadilan gender tersebut merupakan ancaman terhadap struktur sosial yang telah mapan dan menjadi “kesepakatan bersama” (Mose, J.C. 1996). Sementara itu Ihromi (1995) mengatakan, bahwa peran pokok perempuan dalam sebuah kebudayaan dibagi ke dalam tiga hal. Pertama, peran produktif yang menyangkut pendapatan demi kelangsungan hidup keluarga, tanpa perempuan harus mendapat gaji selayaknya, seperti bertani dan berdagang. Kedua, peran reproduksi, peran yang menyangkut kelangsungan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 144 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN hidup manusia dalam keluarga, seperti melahirkan; menyusui; memasak dan beberapa pekerjaan domestik lainnya. Ketiga, peran sosial, yakni peran yang terkait dengan hubungan komunal luar/ sosialisasi. Penelitian tentang kasus perceraian di Indramayu bukanlah yang pertama dilakukan. Ada beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Pepen Nazaruddin dari UI dengan judul, “Makna Kawin Muda dan Perceraian Upaya Memahami Masalah Sosial dan Perspektif Penyandang Masalah: Studi di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Dt II Indramayu Propinsi Jawa Barat.” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masalah sosial kawin muda dan perceraian ditafsirkan oleh informan sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari. Akan tetapi terdapat informan yang menafsirkan makna kawin dan bercerai di usia muda sebagai suatu solusi/alternatif pemecahan masalah. Konsekuensinya di antara mereka ada yang melaksanakan perkawinan dan perceraian di usia muda. Walaupun demikian perkawinan usia muda dan perceraian itu sendiri bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya mereka karena peristiwa itu hanyalah hasil kompromi anggota masyarakat yang menjadi informan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Oleh karena itu makna kawin muda dan perceraian itu sendiri terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan dinamika kemampuan berpikir mereka. Kedua, penelitian Mohammad Fikri Rizal dengan judul, “Pengaruh Profesi Tenaga Kerja Wanita dengan Tingginya Angka Perceraian di Kabupaten Indramayu”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian perceraian di Kabupaten Indramayu dari tahun 2011-2013 terus meningkat, disamping HARMONI Mei - Agustus 2015 itu pola persebaran tingkat perceraian di Kabupaten Indramayu semakin merata dan semakin tinggi dari Tahun 2011 sampai tahun 2013. Alasan ekonomi merupakan alasan yang paling banyak diajukan sebagai alasan perceraian di Kabupaten Indramayu pada Tahun 2013. Profesi seorang perempuan di Kabupaten Indramayu pada tahun 2013 dapat mempengaruhi terjadinya peristiwa perceraian di Kabupaten Indramayu. Dengan model regresi Status Pernikahan terdapat hubungan yang positif antara profesi tenaga kerja wanita dengan peristiwa perceraian di Kabupaten Indramayu pada tahun 2013. Seorang istri yang mempunyai profesi tenaga kerja wanita memiliki kecenderungan untuk bercerai semakin tinggi. Adapun penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indramayu yang secara geografis berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, Kabupaten Cirebon di Tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di sebelah Barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Hari jadi Kabupaten Indramayu jatuh pada 7 Oktober 1527. Meskipun Indramayu berada di wilayah Provinsi Jawa Barat yang notabene merupakan tanah Pasundan yang berbudaya dan berbahasa Sunda, namun sebagian besar penduduk Indramayu berbahasa Jawa khas Indramayu, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Dermayon, yakni dialek Bahasa Jawa yang hampir serupa dengan Dialek Cirebon dan Serang Banten. Mengenai data kependudukan, jumlah penduduk Kabupaten Indramayu pada tahun 2013 adalah 1.690.977 Jiwa, dengan luas wilayah: 2.092,10 km2. Adapun kepadatan Penduduk adalah 805,44 Orang/km2. Jumlah terbesar penduduk berada di Kecamatan Kandanghaur, Haurgeulis, Anjatan, dan Juntinyuat ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU (di atas 40 ribu). Sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah berada di Kecamatan Pasekan, Bangodua, dan Cantigi (di bawah 15 ribu). Metode Penelitian Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, wawancara, dan observasi. Dalam studi kepustakaan, data sekunder digali dari: 1). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat terkait data demografi, ekonomi, pendidikan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk masyarakat Indramayu; 2). Penelitian terdahulu yang relevan dengan tema kajian; 3). Data-data statistik seputar jumlah perkawinan dan perceraian yang diperoleh dari Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Indramayu. Sedangkan untuk wawancara dilakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang dikelompokkan dalam dua kategori: key informan dan informan biasa. Untuk kategori key informan adalah istri (sebagai pelaku) yang telah melakukan cerai gugat dan suami sebagai pasangan yang dicerai dengan ceraigugat. Kriteria key informan dimaksud adalah mereka yang saat penelitian dilakukan usia perkawinannya dalam masa kritis perkawinan (1-5 tahun masa perkawinan). Sedangkan informan biasa terdiri atas suami, orang tua, unsur keluarga dekat (suami-istri) yang mendampingi proses cerai gugat, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu (Wakil Panitera, Hakim yang memediasi pasangan yang mengajukan perceraian (cerai gugat), Pejabat Kantor Kementerian Agama yang terdiri atas unsur Kepala Seksi Urusan Agama 145 Islam, Kepala dan Staf KUA/Penghulu, lebe, pengurus PCNU Kabupaten Indramayu, aktivis Urban Institute, tokoh agama, dan warga masyarakat. Setiap wawancara dilakukan perekaman dan kemudian dilakukan transkrip. Dalam proses pencarian data ini, untuk keabsahannya dilakukan triangulasi, yaitu membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu informasi. Kemudian, dalam pengolahan data dilakukan analisis data yang terdiri dari beberapa tahapan yakni, data yang berhasil dikumpulkan diseleksi dan disusun kemudian dijelaskan secara sistematis dan dianalisis dengan menggunakan logika induktif, yaitu melalui silogisme yang dibangun berdasarkan data lapangan yang bersifat khusus dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif maka kesimpulan tersebut hanya berlaku pada suatu hal yang merupakan objek penelitian dan tidak dapat digeneralisir untuk semua kasus. Hasil dan Pembahasan Pandangan dan Fakta Seputar Tingginya Perceraian di Indramayu Pe r c e r a i a n di Indramayu menempati posisi tertinggi di Indonesia. Pandangan tersebut hampir diyakini oleh banyak masyarakat, baik di Indramayu maupun dari daerah lain. Setiap harinya (kecuali Sabtu dan Minggu atau hari libur) gedung Pengadilan Agama Kota Indramayu dipadati banyak anggota masyarakat, yaitu suami dan/atau istri, yang ingin mengurus proses perceraian atau keluarga dan kerabat yang mengantar. Menurut M. Sodik, Wakil Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu dan juga dibenarkan oleh salah seorang hakim di Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu tersebut, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 146 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN setiap harinya gedung itu didatangi kurang lebih seratus pengunjung dari masyarakat yang mengajukan perceraian. Dengan banyaknya kasus perceraian di Indramayu, memperkuat dugaan bahwa Kabupaten Indramayu menempati posisi tertinggi dalam kasus perceraian di Indonesia. Namun demikian, jika dilihat dari perbandingan di kota/kabupaten lainnya di Indonesia, sebenarnya yang menempati posisi tertinggi adalah Banyuwangi, Jawa Timur. Berdasarkan data yang dikeluarkan pihak Kantor Kementerian Agama dan Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, angka perkawinan pada tahun 2014 adalah sekitar 22.624 kasus, sedangkan angka perceraian adalah 8.067 kasus. Apabila dipersentasekan kasus perceraian tersebut adalah sekitar 26% jika dibanding angka perkawinan pada tahun yang sama. Sedangkan untuk Banyuwangi pada tahun 2014 angka perkawinan adalah 15.752 kasus, sedangkan perceraian mencapai 6.711 kasus. Jika dipersentasekan angka perceraian di Banyuwangi adalah sekitar 30%, dibandingkan dengan angka perkawinan pada tahun tersebut. Dengan melihat angka persentase ini, maka Kabupaten Banyuwangi memiliki angka perceraian lebih tinggi dibanding Indramayu. Terkait dengan adanya pernyataan bahwa perceraian merupakan budaya masyarakat Indramayu, hal itu tidak sepenuhnya dibenarkan oleh penduduk di sana. Sebagian masyarakat misalnya, An (49 tahun) menyatakan: “Tidak benar jika dikatakan sudah menjadi budaya, memang ada perceraian tapi bukan karena budaya, tapi karena banyak usia belum matang dan minim dari segi pendidikan, di samping itu ekonomi suami belum memadai, HARMONI Mei - Agustus 2015 suami kerjanya belum tetap masih buruh dan kadang pengangguran”. Pandangan yang hampir serupa juga dinyatakan oleh AS (55 tahun). Menurutnya: “Ada unsur pasangan itu belum siap menikah tapi terpaksa harus menikah, jadi tidak siap menghadapi tantangan rumah tangga, akhirnya ya tidak bisa bertahan. Baru satu, dua tahun sudah bercerai.” Sementara itu, berdasarkan pengakuan warga masyarakat lainnya AR (43 th), ia setuju bahwa banyak terjadi kasus perceraian di Indramayu dan itu sudah menjadi budaya. Alasannya, di lingkungan keluarganya banyak yang menjalani perkawinan lebih dari satu kali. Lebih lengkap AR menyatakan: “Ayah saya sudah menikah dua kali, bahkan ibu saya menikah tiga kali, demikian kerabatnya yang lain, paman, bibi juga begitu mereka ada yang tidak hanya satu kali menjalani perkawinan. Jadi meski saya gak setuju, tapi nyatanya demikian, banyak perceraian di sini”. Gambaran di atas menunjukkan masih terdapat perbedaan persepsi di masyarakat, dalam menilai apakah perceraian merupakan budaya di masyarakat Indramayu. Namun demikian fakta yang diungkapkan berdasarkan jumlah kasus perceraian dari Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa hingga saat ini kasus perceraian di Kabupaten Indramayu relatif tinggi yaitu mencapai 26% dari angka perkawinan pada tahun yang sama. Penyebab Tingginya Perceraian di Indramayu Dalam hal perceraian, terdapat pandangan lain bahwa di Kabupaten ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU Indramayu banyak laki-laki Indramayu yang melakukan poligami sehingga hal demikian menjadi faktor penyebab tingginya cerai gugat. Mayoritas masyarakat Indramayu adalah muslim yang umumnya memiliki pemahaman (khususnya laki-laki), bahwa poligami diperbolehkan dalam Islam. Alasannya adalah karena ada dalam al-Quran dan Hadits. Pandangan ini kemudian digunakan kaum laki-laki untuk membenarkan praktik poligami. Mengenai hal ini, ZA (55 tahun), seorang guru agama mengatakan: “Dalam Islam, laki-laki itu punya hak menikah lebih dari satu, tapi namanya hak, itu bisa digunakan bisa tidak, beda dengan kewajiban. Kalo kewajiban itu harus (dilaksanakan). Dalam kesempatan yang lain, lebih lanjut AS menjelaskan: “Jika keadaan tertentu, maka bisa digunakan hak itu, dengan cara lebih dahulu meminta ijin secara baik-baik pada isteri, misalnya karena sudah lama tidak punya anak. Kalo dikatakan sunnah (mengikuti ajaran Nabi) juga tidak benar, itu sesuai keadaan saja. Masa kawin lagi dengan yang lebih muda disebut Sunnah, itu ngambil enaknya saja, kalau pernikahan Nabi itu dengan yang umurnya tua, apa dia mau?” Sementara itu, Mj (36 tahun), seorang anak tokoh agama, memberikan penjelasan yang agak berbeda. Menurutnya: “Karena poligami adalah hak suami maka boleh tidak seijin istri, jika harus ijin isteri ya, mana ada isteri yang mengijinkan suminya punya isteri lagi.” 147 Dalam pandangan Mj tersebut, adalah umum dan wajar jika suami melakukan poligami, baik secara terangterangan maupun secara sembunyisembunyi. Alasan yang dikemukakan oleh Mj adalah karena agama membolehkan praktik tersebut. Pandangan bolehnya praktik poligami memang diyakini oleh cukup banyak masyarakat di Indramayu. Implikasinya adalah, muncul beberapa kasus di mana suami melakukan poligami tanpa seijin isteri pertama, sehingga hal tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kasus perceraian. Meski tidak menjadi mayoritas dari penyebab perceraian, pertengkaran dan konflik mulai terjadi ketika diketahui oleh isteri bahwa suaminya telah beristri lagi (biasanya dilakukan secara kawin siri). Ketika suami tetap dalam pendiriannya bahwa ia ingin berpoligami, maka akhirnya konflik semakin memuncak dan sulit didamaikan. Akibatnya tidak sedikit peristiwa tersebut berakhir dengan perceraian, dan umumnya pihak istri menuntut cerai-gugat ke Pengadilan Agama. Pandangan lainnya tentang penyebab perceraian di Indramayu adalah adanya problem kemiskinan yang kemudian menyebabkan perceraian, termasuk cerai-gugat. Problem kemiskinan ini dapat dilihat dari rerata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Indramayu yang menempati posisi IPM terendah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 dan tingginya jumlah penduduk kategori miskin di Indramayu yang menduduki rangking kedua di Provinsi Jawa Barat. Alasan ekonomi yang menjadi penyebab kasus perceraian terlihat pada data tahun 2014 yakni mencapai 6.814 kasus atau mencapai 92% dari total kasus yaitu 7.385 perceraian. Dengan demikian, sangat logis bahwa penyebab tingginya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 148 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN perceraian di Indramayu adalah karena persoalan ekonomi, ketika data perceraian tersebut dihubungkan dengan data indeks kemiskinan yang ada di Indramayu yang memang cukup tinggi. menjadi TKI di luar negeri antara lain: Malaysia, Taiwan, Singapura, Jepang, Korea, Cina, Arab Saudi, Oman, Qatar, Eni Emirat Arab, Brunei Darussalam, dan lainnya. Tabel 1 Alasan Penyebab Perceraian di Indramayu No 1 Moral 2 3 4 5 6 7 8 Penyebab Perceraian Poligami Tidak Sehat Krisis Moral Cemburu M e n i n g g a l k a n Kawin paksa Kewajiban Ekonomi Tidak ada Tanggung Jawab Kawin di Bawah Umur M e n y a k i t i Menyakiti Jasmani Jasmani Menyakiti Mental Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Politis Berselisih Gangguan Pihak Ketiga Tidak ada Keharmonisan Lain-Lain Jumlah Namun demikian, menurut Supyan, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu yang biasa memediasi perceraian, untuk kasus perceraian karena alasan ekonomi biasanya dikarenakan penghasilan suami setiap bulannya sedikit, yakni di bawah satu juta. Namun, menurutnya, tidak semua kasus perceraian terjadi karena alasan ekonomi melainkan berkaitan dengan faktor lain. Istri biasanya masih mau menerima jika alasannya hanya faktor kurang bisa menafkahi isteri dan keluarga. Namun menurut Supyan terdapat alasan lain yakni: “Biasanya istri karena kecewa, kok gak mau gigih berusaha, malah leha-leha (santai), perilaku suami menjengkelkan, kalau malem HARMONI Mei - Agustus 2015 2010 23 34 9 28 3205 9 0 2 0 0 0 0 67 1060 0 4437 2011 13 10 4 50 4905 34 0 4 0 1 3 0 202 324 0 5550 2012 22 4 4 15 6493 15 2 2 0 1 0 0 63 88 0 6709 2013 8 2 10 3 8136 19 0 2 1 0 0 0 22 53 0 8256 2014 75 176 21 14 6814 47 1 29 5 0 11 1 88 103 0 7385 keluyuran pulang lewat tengah malam. Di situ istri merasa kurang diperhatikan, adakalanya malah ditemukan suami iseng dengan perempuan lain.” Lebih lanjut Supyan menjelaskan, “Kurang lebih hanya 10% saja sebenarnya perceraian yang murni dikarenakan alasan ekonomi.” Pandangan lain mengenai penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah banyaknya perempuan yang menjadi TKI di luar negeri telah menjadi penyebab terjadinya peristiwa ceraigugat. Tingginya angka kemiskinan di Indramayu mendorong banyak penduduk untuk mencari pekerjaan di kota-kota lain, termasuk mengadu nasib ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU Dari tahun ke tahun, jumlah TKI secara nasional memang mengalami peningkatan jumlah. Berdasarkan data BNP2TKI, pada tahun 2011 jumlahnya 586.802 orang; tahun 2012 jumlahnya 494.609 orang; tahun 2013 jumlahnya 512.168 orang; dan tahun 2014 jumlahnya 429.872 orang. Dari jumlah tersebut, mayoritas TKI adalah pekerja perempuan yaitu mencapai 62 persen, sedangkan lakilaki sebanyak 38 persen. Berdasarkan status perkawinan diperoleh keterangan bahwa yang telah menikah jumlahnya mencapai 56 persen, belum menikah sebanyak 35 persen dan status cerai 9 persen. Mengenai jumlah TKI secara nasional, diperoleh keterangan bahwa pada tahun 2015, Kabupaten Indramayu menduduki angka tertinggi dalam pengiriman TKI ke luar negeri. Berdasarkan angka-angka di atas khususnya mengenai status perkawinan para pekerja TKI, di mana 62 persen TKI adalah perempuan dan 56 persen TKI adalah berstatus kawin, maka bisa dipastikan bahwa banyak TKI perempuan asal Indramayu yang dalam status memiliki suami kemudian bekerja di luar negeri. Hubungan suami-istri jarak jauh ini sangat rawan untuk terjadinya praktik poligami tanpa izin pihak istri, khususnya suami yang ditinggalkan oleh istrinya yang menjadi TKI di luar negeri. Banyak kasus diungkapkan oleh beberapa informan, ketika istri bekerja sebagai TKI di luar negeri, maka suami kemudian menikah lagi, bahkan dengan menggunakan uang yang dikirim oleh isterinya. Menurut AS (52 tahun), seorang tokoh masyarakat: “Sangat wajar jika karena istrinya yang jauh di luar negeri berbulanbulan bahkan bertahun-tahun, padahal suami memiliki kebutuhan biologis. Hal itu mendorong suami mencari isteri lagi yang 149 dinikah secara siri guna memenuhi kebutuhannya itu.” Nampaknya persoalan kemiskinan, yaitu ketidakmampuan suami mencukupi kebutuhan rumah tangga berkorelasi dengan isteri yang kemudian berusaha mencari solusi dengan mencari kerja di luar negeri, dan adanya pandangan agama – dalam perspektif umum masyarakat (laki-laki) – yang membolehkan poligami, memunculkan banyak kasus istri yang menjadi TKI kemudian melakukan ceraigugat setelah mengetahui suaminya telah menikahi perempuan lain secara siri tanpa seijinnya. Selain praktik poligami dan banyaknya perempuan menjadi TKI, di Kabupaten Indramayu juga berkembang suatu pandangan bahwa kemiskinan (ekonomi lemah) dan kebodohan (lemahnya tingkat pendidikan) telah menjadi penyebab banyaknya perceraian. Bagi sebagian masyarakat Indramayu, ada yang menilai bahwa ada dua faktor utama penyebab tingginya perceraian di Indramayu, yaitu soal rendahnya pendidikan pasangan suami-istri atau salah satunya dan rendahnya keadaan ekonomi. Saat ini, sulit untuk dapat mengetahui berapa rata-rata pendidikan pasangan yang menikah. Meskipun data tersebut dilaporkan oleh masing-masing KUA kepada Kepala Seksi Urusan Agama Islam di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Indramayu, namun pada saat dijumlahkan, angka yang muncul tidaklah valid. Menurut seorang staf di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Indramayu, selama ini banyak KUA yang tidak menuliskan laporan secara detail dan benar, khususnya terkait data pendidikan pasangan yang menikah. Laporan yang dikirim biasanya hanya menyangkut jumlah N (peristiwa nikah) saja yang ditulis secara benar, sedang data lainnya tidak ditulis secara cermat. Namun demikian, berdasarkan data BPS Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 150 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN Provinsi Jawa Barat diperoleh keterangan bahwa di Kabupaten Indramayu ratarata indeks pendidikannya terendah yaitu hanya 71,30 dari indeks rata-rata Jawa Barat sebesar 82,31. Oleh karena itu, meskipun tidak ada angka pasti namun dapatlah dikemukakan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan tingginya angka perceraian, dan sangat mungkin bahwa kedua hal tersebut memiliki korelasi yang kuat. Sebab, meskipun asumsi ini tidak bersifat absolut, namun kualitas pendidikan seseorang sangat berhubungan dengan kemampuan dalam pencapaian atau keberhasilan ekonominya. Terlebih dari data yang ada disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu disebabkan oleh faktor ekonomi. Pandangan lain yang berkembang di Indramayu mengenai penyebab perceraian adalah banyak peristiwa perkawinan di bawah umur (belum siap menikah). Padahal, tingkat kematangan seseorang sangat dibutuhkan dalam menghadapi problem-problem yang akan dihadapi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, kematangan usia perkawinan sangat penting dalam hubungan pernikahan. Berdasarkan data yang ada, jumlah perkawinan usia dini atau usia di bawah umur jumlahnya relatif tidak berkurang setiap tahunnya. Pada tahun 2014 misalnya, jumlahnya mencapai 429 kasus, sedangkan sebelumnya yaitu tahun 2013 ada 455 kasus. Jika berdasarkan data tahun 2014 yang menunjukkan jumlah angka perkawinan mencapai 22.625 peristiwa, maka jumlah perkawinan dengan salah satu pasangan masih dibawah umur mencapai 2 persen. Beberapa informan memberikan kesaksian bahwa mereka yang menikah di bawah umur umumnya terpaksa menikah karena ‘kecelakaan’ yaitu telah hamil sebelum menikah. Pernikahannya HARMONI Mei - Agustus 2015 tentu tidak didasari niat yang kuat untuk membina rumah tangga, melainkan hanya ‘menutup’ malu atau sekedar agar bayi yang dikandung memiliki ayah. Setelah bayi lahir, biasanya rumah tangganya tidak bisa dipertahankan. Mengenai kasus semacam ini, memang tidak ada data pasti yang menunjukkan bahwa kasus perkawinan karena ‘kecelakaan’, dan perkawinan dengan usia di bawah umur tersebut kemudian perkawinannya berakhir dengan perceraian, namun patut diduga bahwa dalam usia yang belum matang, akan sangat rentan bagi pasangan suami-istri untuk mampu membina rumah tangga, apalagi jika ekonomi juga menjadi faktor yang turut membebani. Dari data dispensasi perkawinan yang ada, diketahui bahwa jumlah dispensasi nikah secara statistik bersifat fluktuatif. Pada tahun 2010 jumlahnya adalah 169 orang, tahun 2011 jumlahnya 311 orang, tahun 2012 jumlahnya 350 orang, tahun 2013 jumlahnya 455 orang, dan tahun 2014 jumlahnya 249 orang. Dispensasi nikah adalah surat dispensasi yang dikeluarkan adalah pengadilan agama ketika masyarakat mengajukan permohonan untuk nikah namun terkendala karena usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur. Berdasarkan ketentuan yang ada, bagi masyarakat yang usia perkawinan belum mencapai ketentuan atau masih dibawah umur maka tidak akan mendapatkan persetujuan penghulu (PPN) di KUA kecuali telah mendapatkan dispensasi nikah dari pengadilan agama. Seputar Kasus Cerai-Gugat Kabupaten Indramayu di Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu perkawinan, ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka dalam perkawinan di Indonesia khususnya, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pihak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan istilah cerai gugat. Adapun cerai yang diajukan oleh pihak suami ke pengadilan agama dikenal dengan istilah cerai talak saja. Jika dilihat dari perspektif hukum Islam, hak talak pada dasarnya hanya dimiliki suami, sehingga hanya suami yang mengendalikan talak tersebut, seorang istri tidak memiliki hak untuk talak. Namun demikian dalam Islam juga dikenal adanya pembatalan (fasad) nikah oleh hakim di pengadilan karena hal-hal yang telah ditetapkan, dalam konteks itulah cerai-gugat kemudian menjadi bagian dari hukum Islam. Di Kabupaten Indramayu angka perceraian setiap tahun cenderung menunjukkan angka yang meningkat. Demikian halnya dengan angka ceraigugat, meskipun pada tahun 2014 jumlahnya lebih sedikit jika dibanding tahun 2013, namun dari tahun 2010 sampai dengan 2013 datanya meningkat tajam, sehingga secara umum berdasarkan perbandingan data dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, angka cerai-gugat frekuensinya menunjukkan peningkatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. 151 Dibalik Keputusan Isteri Melakukan Cerai-Gugat Dari hasil kajian terhadap tiga pasangan (suami-isteri) di Indramayu, secara umum, keputusan isteri melakukan cerai-gugat dilakukan dalam proses yang relatif panjang, diawali dengan perenungan oleh individu (isteri sebagai pelaku), kemudian membicarakannya ke orang yang dipercayai dalam keluarga, kapada orang tua, dan kemudian pihak di luar keluarga yaitu untuk kasus di Indramayu adalah kepada lebe (modin). Cerai gugat juga terpaksa diinisiasi oleh istri sebab dalam kasus di Indramayu biasanya suami “nambang dawa”, yaitu tidak mau menceraikan istri. Untuk lebih memahami persoalan dan dinamika yang mengiringi cerai-gugat di Indramayu, berikut ini gambaran singkat latar belakang di balik keputusan isteri yang akhirnya berani melakukan cerai-gugat ke Pengadilan Agama (PA). Kasus yang menjadi contoh adalah tiga pasangan keluarga yang semuanya berasal dari Kabupaten Indramayu yaitu, 1). Pasangan Ns dan Mj; 2). Pasangan Ami dan YH; dan 3). Pasangan Cl dan Jd. Pasangan Mj (Suami) dan Ns (Isteri) Ns (istri), pendidikan SLTP, umur 29 tahun, kini (setelah bercerai) ia tinggal di rumah orang tua yang berprofesi sebagai tukang becak di Desa Pakandangan, Tabel 2 Data Cerai-Talak dan Cerai-Gugat di Indramayu Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Cerai Talak 1,047 1,333 1,714 2,079 2,220 Cerai Gugat 4,067 4,970 5,670 5,959 5,847 Jumlah 5,114 6,303 7,384 8,038 8,067 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 152 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN sementara ibunya berjualan jagung rebus keliling. Ns menikah dengan Mj (suami) berumur 36 tahun, pekerjaan Mj adalah petani, berasal dari keluarga cukup terpandang. Saat menikah ia memiliki surat resmi bahwa statusnya adalah duda. Sebelum berkenalan dan kemudian menikah pada bulan Desember tahun 2014. Beberapa hari menikah, ada perempuan yang menelpon Ns dan mengaku sebagai isteri Mj. Ia sebelum pergi menjadi TKI ke luar negeri dinikahi oleh Mj. Ketika NS mengonfirmasi, Mj tidak mau berterus terang. Sejak itu, Ns meminta kembali ke rumah orang tuanya dan menyatakan tidak mau meneruskan pernikahan. Ns menceritakan masalah rumah tangganya kepada kakak perempuannya. Oleh kakak perempuannya kemudian disampaikan kepada keluarga termasuk ayah dan ibunya. Akhirnya ayah ibu Ns meminta Ns menjelaskan apa yang terjadi. Setelah mendengar apa yang dialami Ns, pihak orang tua dan keluarga memahami persoalan yang terjadi, dan kemudian menyerahkan keputusan kepada Ns. Ns bertekad untuk menggugat cerai, tidak mau meneruskan perkawinannya sebab sudah dibohongi Mj, apalagi akan dijadikan sebagai isteri kedua. Pada dasarnya orang tua sangat menyesali peristiwa buruk yang menimpa anaknya. Kedua orang tua Ns sebenarnya tidak mau ada perceraian, namun mendukung penuh keputusan anaknya, sebab sejak awal Mj tidak berterus terang, ia hanya mengaku duda. Ns mendengar dari sepupunya yang pernah cerai gugat, bahwa untuk mengurus cerai gugat, pengurusannya dilakukan di pengadilan agama melalui lebe. Maka setelah mendapat dukungan keluarga, ia menyampaikan maksudnya ke lebe (Pak Mulyani). di rumah orang tuanya di Desa Singaraja. Meski setelah pernikahannya dengan YH (suami) belum dikaruniai anak, namun dengan kesepakatan suami, ia mengangkat anak. Anak angkat tersebut masih keponakan (anak dari kakak Am). Sedangkan YH, umur 33 tahun, pendidikan STM, keluarga cukup mampu tinggal di perumahan (komplek), meski tidak ada bapak (sudah meninggal) tapi ibunya punya usaha travel. YH sendiri memiliki mobil Elf dan dia sendiri yang menyupir. Masa pacaran dijalani cukup lama sekitar 5 tahun. Sesuai kesepakatan berdua, pada saat yang telah ditentukan, YH pun melamar Am ditemani ibunya. Setelah satu bulan, atas kesepakatan pihak keluarga, kemudian ditetapkan hari pernikahan. Rumah tangga Am dan YH awalnya berjalan harmonis, tidak ada kendala soal ekonomi sebab YH menyupir sendiri mobil Elf-nya untuk trayek penumpang Indramayu- Cirebon, sehingga penghasilannya cukup lumayan, bahkan ia sendiri sering membawa penumpang dari biro travel milik ibunya ke berbagai kota. Pasangan YH (Suami) dan Am (Isteri) Pada tahun 2011, suami Am mulai jarang pulang, ketika ditanya alasannya, YH mengatakan bahwa ia banyak mengantar /membawa penumpang. Ternyata ketika YH mulai sering pergi dan lama tidak pulang, YH mempunyai pacar di Yogya, bahkan kemudian dijadikan isterinya. Suatu saat YH pulang ke Indramayu dan istri barunya tetap tinggal di Yogyakarta. Karena jarak yang jauh, saat YH ‘bergilir’ ke isteri muda maka dia menetap lebih lama, jadi hanya sesekali saja pulang ke Indramayu. Jika di Indramayu hanya satu sampai dua minggu, sedang jika di Yogya bisa sampai sebulan bahkan dua bulan. Am (istri) saat ini berumur 28 tahun, ia kini (setelah bercerai) tinggal Kurang lebih tiga tahun, Am mencoba menahan diri (2011-2014). Kini HARMONI Mei - Agustus 2015 ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU (2014) rumah tangga Am mulai goyah, Am sudah tidak lagi mampu bersabar, padahal selama itu, menurut Am, dia mencoba menunggu jika suatu saat suaminya akan sadar, kembali seperti dulu. Menanggapi keputusan Am yang sudah bulat untuk cerai, akhirnya orang tua menyarankan untuk proses gugatan cerai tersebut. Am diarahkan agar menemui Lebe yaitu Hafidz. Ketika Am juga menyampaikan (konfirmasi) ke YH, ia mengatakan tidak mau menceraikan, tetapi jika Am yang mengajukan ia setuju dan akan mengganti biaya perceraian. Lebe Hafid akhirnya berani meneruskan gugatan cerai dari Am dan mengajukannya ke Pengadilan Agama (PA). Pasangan Jd (Suami) dan Cl (Isteri) Cl (istri), umurnya 16 tahun saat menikah dengan Jd (suami), pendidikannya tidak sampai lulus SD. Saat ini (2015) ia tinggal di rumah orang tuanya. Ayahnya bekerja sebagai sopir. Ia menikah dengan Jd (suami), saat itu umur Jd 17 tahun saat menikah. Ia bekerja sebagai buruh bangunan. Setelah dilamar, pada waktu yang telah ditentukan akhirnya keduanya menikah pada tahun 2004. Satu bulan setelah menikah, keduanya tinggal di rumah orang tua Cl. Setelah itu baru pindah ke rumah orang tua Jd di daerah Tegal Sembadra Kecamatan Balongan. Dalam waktu yang relatif lama, keduanya berhasil membangun rumah tangga yaitu selama tujuh tahun. Dalam kurun waktu tujuh tahun tersebut keduanya berhasil menjalani kehidupan rumah tangga hingga keduanya telah dikarunia dua anak. Beberapa tahun kemudian, mulai ada cekcok dalam rumah tangga, sebab penghasilan Jd tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maklum pekerjaan Jd hanya buruh bangunan. Keadaan itu sebenarnya oleh Cl masih 153 tidak dianggap terlalu mengganggu. Ia masih bisa menerima, namun bagaimanapun ekonomi berpengaruh pada kehidupan rumah tangga. Cekcok makin meningkat di tahun 2013, sebab Jd suka membawa perempuan (pacar). Konflik semakin meningkat pada bulan Agustus 2013, Jd menyampaikan keinginan untuk menikah lagi, di depan matanya, Jd berani membawa perempuan, bahkan dengan terus terang ia mengatakan sudah tidak suka dengan Cl. Menyikapi hal itu akhirnya Cl menyampaikan niat ingin menggugat cerai. Jd mengatakan, “Kalo mau cerai ya udah kamu yang urus, nanti uangnya saya ganti.” Cl pun akhirnya mendatangi Lebe Hafid dan menyampaikan keinginan menggugat cerai. Setelah bercerai dengan Jd, kini (2015) Cl bekerja serabutan kadang mencuci baju milik tetangga, atau pekerjaan lain. Meski sudah bercerai, Jd masih memberikan uang untuk kebutuhan anaknya. Saat ini kedua anaknya terpisah, anak pertama tinggal di orang tua Jd sedangkan yang kecil bersama Cl. Refleksi atas Kasus Cerai-Gugat Dari contoh tiga kasus pasangan yang bercerai melalui cerai-gugat itu dapat disimpulkan, keberanian istri melakukan gugat cerai didasari oleh banyak faktor yaitu, Pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 154 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN dibanding meneruskan atau tetap dalam perkawinan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak isteri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat. Fenomena di atas, sejalan dengan teori pertukaran Homans yang melihat bahwa interaksi antar individu yang melakukan pertukaran terdapat suatu hukum dasar yaitu kepentingan (imbalan dan keuntungan yang didapat oleh individu yang melakukan pertukaran). Dalam teori pertukaran sosial antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Dalam kasus keberanian istri-istri (Ns, Am dan Cl) melakukan gugatan perceraian, maka keputusan itu diambil ketika istri melakukan perhitungan untung-rugi, keputusan diambil ketika istri menganggap tidak lagi ada keuntungan jika harus mempertahankan hubungan, bahkan setelah dirasa banyak HARMONI Mei - Agustus 2015 pengorbanan, sementara imbalan yang diperoleh sangat minim sehingga akhirnya istri memutuskan tidak lagi mempertahankan perkawinan. Dampak Cerai-Gugat Perceraian adalah peristiwa yang sangat tidak diharapkan oleh siapapun. Namun keputusan bercerai melalui ceraigugat, terpaksa dilakukan oleh istri kerena merasa tidak ada pilihan lain. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa diambil karena pilihan tetap membina rumah tangga akan terasa lebih berat dan lebih terasa menyiksa batin. Setelah bercerai, secara ekonomi dampaknya tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal bersama orang tua, mereka pun bisa bekerja walau hanya mendapatkan gaji/ honor kecil karena kerja serabutan (tidak tetap). Namun bukan berarti tidak ada persoalan, meski dampak dari perceraian nampaknya telah lama dipikirkan, soal psikologis merupakan persoalan paling serius yang dirasakan oleh pihak isteri. Ada kekecewaan yang mendalam atas perilaku suami yang tidak menjaga kesetiaan dan menghargai komitmen dalam rumah tangga. Sementara bagi anak-anak, usia anak Am dan Cl yang masih kecil (di bawah lima tahun) belum memahami apa yang terjadi dalam hubungan orang tuanya. Sehingga secara psikologis belum bisa dilihat (belum membekas). Namun ada sedikit kesulitan bagi Cl, sebab saat ini untuk anak kedua diasuh oleh Cl sendiri, sedangkan anak pertamanya diasuh oleh mertuanya. Ketika ingin bertemu maka ia harus pergi ke mertuanya tersebut. Untuk kehidupan ke depan, Ns berencana kembali menjadi TKI di luar negeri, ia sudah mendaftarkan diri di salah satu agen tenaga kerja. Ami saat ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU ini bekerja di Warnet sebagai tukang pembersih, ia juga masih mendapatkan uang dari mantan suaminya (YH), baik keperluan dirinya maupun anak angkatnya. Sementara Cl bekerja serabutan kadang dengan mencuci baju milik tetangga, atau pekerjaan lain. Mantan suami (Jd) juga masih memberikan uang untuk kebutuhan anaknya. Ketiganya (Ns, Am dan Cl) hingga saat ini (2015) belum berniat untuk bersuami lagi. Mereka masih trauma, dan ingin bekerja saja mencari uang buat diri sendiri dan anaknya. Peran Struktur Sosial dalam Kasus Cerai-Gugat Salah satu struktur sosial yang biasanya berperan dalam pembinaan perkawinan dan menjadi lembaga konsultasi perceraian adalah BP4. Kepengurusan BP4 ada di tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, dan kecamatan. Untuk di Kabupaten Indramayu keberadaan BP4 nampaknya belum dapat dikatakan eksis, karena saat ini kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat kabupaten, kepengurusan BP4 belum terbentuk. Saat ini struktur sosial yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah lebe, yang keberadaannya lebih bersifat individu. Kedudukan lebe sendiri adalah lebih mirip sebagai staf non-PNS dan nonhonorer di kelurahan atau desa. Setiap kelurahan/desa memiliki satu orang lebe. Meski statusnya tidak mendapat gaji/ honor, peran lebe sangat signifikan di masyarakat. Sejumlah tugas dan fungsi melekat pada seorang lebe dalam melayani masyarakat, dari mulai pengurusan kematian, hari besar keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya yang dilakukan di tingkat kelurahan/desa, 155 namun status yang paling dikenal oleh masyarakat adalah di bidang membantu mengurus pendaftaran perkawinan, dan menjadi mediator sekaligus mengurus gugatan perceraian di pengadilan agama. Dengan rutinitasnya mengurus pendaftaran perkawinan dan perceraian, stigma negatif kadang diberikan sejumlah masyarakat kepada lebe sebagai ‘calo’ atau ‘biro jasa’ dalam dua kasus tersebut. Stigma tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab status lebe adalah resmi sebagai anggota masyarakat yang diangkat oleh aparat kelurahan/desa. Di samping itu, keberadaan lebe yang notabene tokoh agama, sangat membantu masyarakat dalam mengurusi pendaftaran perkawinan maupun perceraian yang keduanya merupakan persoalan yang dekat dengan wilayah keagamaan. Dalam kasus perceraian di Indaramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe. Disini lebe ternyata tidak hanya mengurus pendaftaran perceraian persoalan administratif saja, namun juga menjadi mediator kedua belah pihak. Sebagai contoh dalam kasus perceraian antara Ns dan Mj yang disebabkan Mj (suami) ternyata ketika menikah mengaku status duda, Mj berbohong sebab ternyata telah beristri dengan seorang wanita berstatus TKI di Arab Saudi. Pada awalnya kasus ceraigugat itu disampaikan oleh Ns kepada Lebe Mulyani, setelah ia menerima informasi itu Mulyani kemudian memverifikasinya kepada kedua belah pihak. Lebe Mulyani mendatangi Mj (suami Ns) dan orang tuanya. Di sini, Lebe Mulyani juga berusaha melakukan mediasi awal. Di depan Mj, Lebe Mulyani menjelaskan bahwa ia mewakili Ns untuk melakukan cerai-gugat. Mulyani ingin mengetahui tanggapan dari Mj. Jika masih ada kemungkinan untuk diperbaiki hubungan keduanya (suami-istri) maka lebe berusaha untuk memperbaiki hubungan tersebut, namun jika tidak ada Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 156 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN tanda untuk kembali membina rumah tangga, maka barulah ia meneruskannya ke pengadilan agama. Dalam kasus Ns versus Mj, keduabelah pihak sulit dimediasi oleh Mulyani, sebab pihak Mj bersikeras bahwa ia ingin berpoligami, sementara Ns juga bersikeras menolak dipoligami. Peran dan eksistensi lebe dalam memediasi perceraian sangat positif sehingga perlu diapresiasi, pemerintah kiranya bisa meningkatkan optimalisasi peran tersebut dengan memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi kapasitas maupun insentif lainnya. Selama ini belum pernah ada program kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dalam peningkatan kapasitas lebe dalam memediasi kasus-kasus perceraian. Selama ini, lebe lebih banyak dilibatkan dalam mensosialisasikan peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama RI, seperti biaya nikah, tata cara pembayaran biaya nikah, dan lainnya. Dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Indramayu, sebenarnya ada proses yang disebut mediasi. Dalam tahapan mediasi, kedua belah pihak akan diundang dan oleh hakim yang ditetapkan pihak Pengadilan Agama (PA) keduanya akan diupayakan untuk bisa berdamai atau tidak melakukan perceraian. Namun demikian, dalam banyak kasus perceraian dengan proses cerai-gugat, jarang sekali pihak suami mau datang ke pengadilan agama, dengan alasan jika pihak sumai datang, maka proses persidangannya akan lebih lama. Untuk itu berdasarkan informasi, selama ini untuk kasus cerai-gugat jarang ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan yang ada di Pengadilan Agama (PA), proses mediasi dilakukan jika kedua belah pihak (suami-istri) mau hadir memenuhi undangan pihak Pengadilan Agama (PA). Dengan demikian, mediasi di Pengadilan Agama (PA) sebenarnya kurang maksimal sebagai upaya mencegah/ HARMONI Mei - Agustus 2015 mengantisipasi kasus-kasus perceraian, khususnya perceraian yang melalui cerai-gugat. Supyan, Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu yang biasa melakukan mediasi mengatakan, “Kalau kasus yang sudah masuk ke Pengadilan Agama (PA), biasanya sulit didamaikan, sebab kasusnya sudah parah, jadi sebaiknya ada mediasi terlebih dahulu sebelum ke Pengadilan Agama (PA).” Masih menurut Supyan, pihak pengadilan agama biasanya akan mengabulkan permohonan cerai-gugat, jika ditemukan dalam rumah tangganya telah terjadi pertengkaran yang terus menerus yang tidak bisa didamaikan meskipun telah melibatkan keluarga sebagai pendamai. Penutup Kesimpulan Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, faktor tertinggi yang menjadi penyebab tingginya perceraian di Indramayu adalah ekonomi. Berdasarkan data yang ada, disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena faktor ekonomi. Namun demikian, dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang kadang ikut mengiringi penyebab perceraian tersebut yaitu, adanya perselingkuhan dan poligami tidak sehat (tidak sesuai prosedur), rendahnya tingkat pendidikan pasangan, banyaknya istri yang menjadi TKI di luar negeri, serta adanya unsur usia pasangan yang belum siap, hal ini diindikasikan dengan adanya beberapa pernikahan di bawah umur. Jumlah cerai-gugat di Indramayu termasuk tinggi. Pada tahun 2014, berdasarkan data Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, untuk cerai-gugat (cerai yang diajukan istri) 72%, sedangkan cerai-talak (cerai yang diajukan suami) hanya 28%. Berdasarkan kajian terhadap tiga kasus cerai-gugat di Kabupaten ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU Indramayu, keberanian istri melakukan cerai-gugat didasari oleh beberapa faktor yaitu, Pertama, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Kedua, adanya pihak yang mendukung melakukan niat bercerai, biasanya dukungan (pembelaan) dari orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/ penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam perkawinan. Keempat, adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai-gugat. Setelah bercerai, dampak perceraian paling berat adalah dirasakan oleh istri. Dari tiga kasus yang secara singkat telah diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa diambil karena pilihan tetap membina rumah tangga akan terasa lebih berat dan lebih terasa menyiksa batin. Meski dampak dari perceraian nampaknya telah lama dipikirkan, itu bukan berarti tidak ada persoalan, khususnya dampak psikologis, di mana istri merasakan kekecewaan akibat perilaku suami yang menyakiti secara psikologis. Adapun secara ekonomi dampaknya tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal bersama orang tua, merekapun bisa bekerja walau hanya mendapatkan gaji/ honor kecil karena kerja serabutan (tidak tetap). Secara kelembagaan, setidaknya ada empat lembaga yang mengurusi soal pembinaan perkawinan dan perceraian, yaitu BP4, KUA, meditor di Pengadilan Agama (PA), dan lebe. Saat ini lembaga yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe. Keberadaan lebe 157 yang notabene tokoh agama sangat membantu masyarakat dalam mengurusi pendaftaran perkawinan maupun perceraian yang keduanya merupakan persoalan yang dekat dengan wilayah keagamaan. Dalam kasus perceraian di Indramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe, sehingga lebe bisa dikatakan masih efektif dalam memediasi perceraian. Adapun untuk BP4 di Indramayu, saat ini keberadaan BP4 nampaknya belum dapat dikatakan eksis. Mengapa demikian? Saat ini kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk. Sementara KUA, sebagaimana telah diketahui bahwa setelah berlakunya UU No. 3 Th 2006, maka mediasi perceraian dilakukan oleh pengadilan agama yang berada di bawah MA, di mana proses mediasi tersebut dijembatani oleh seorang hakim yang ditunjuk pengadilan agama tersebut. Sejak saat itu Peran KUA terkait perkawinan, kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan pra perkawinan atau kursus calon pengantin. Untuk mediasi oleh hakim di Pengadilan Agama (PA), selama ini kasus cerai-gugat jarang ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan yang ada di pengadilan agama, proses mediasi dilakukan jika, kedua belah pihak (suamiistri) mau hadir memenuhi undangan pihak pengadilan agama. Dengan demikian maka mediasi di pengadilan agama menjadi kurang maksimal sebagai upaya mencegah/mengantisipasi kasuskasus perceraian, khususnya perceraian yang melalui cerai-gugat, sebab sudah menjadi modus, jika ingin proses di pengadilan agama itu segera selesai, maka pihak tergugat jangan sampai Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 158 ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN hadir, sehingga hakim bisa langsung mengabulkan permohonan cerai-gugat tersebut. Rekomendasi Dari kajian dan kesimpulan tersebut, terdapat beberapa rekomendasi sebagai berikut: Pertama, berdasarkan data yang ada di Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah dikarenakan faktor ekonomi. Maka, dalam upaya menanggulangi tingginya angka perceraian itu harus dilakukan melalui upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di segala bidang, seperti optimalisasi potensi daerah bagi peningkatan APBD, intensifikasi dan diversifikasi sumberdaya alam, peningkatan SDM, memperbanyak lapangan kerja, peningkatan bidang ekonomi kreatif, dan usaha lainnya yang bersifat memajukan ekonomi masyarakat dan pembangunan. Sementara terkait faktor-faktor lain yang mengiringinya yaitu perselingkuhan, poligami tidak sesuai prosedur. Maka diperlukan reorientasi paradigma keagamaan tentang bolehnya poligami perlu dilakukan. Kedua, meski dalam laporan Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu disebutkan bahwa 92% penyebab perceraian di Indramayu adalah karena faktor ekonomi, namun hasil kajian ini juga menemukan bahwa faktor tersebut tidak berdiri sendiri atau bukan faktor tunggal. Ada faktor-faktor lain yang mengiringi yaitu, kurangnya perhatian suami terhadap isteri sehingga terjadi perselisihan (pertengkaran) yang terus menerus. Untuk itu perlunya peningkatan program pembinaan keluarga yang dilakukan secara periodik, hal ini bisa dilakukan oleh Kementerian Agama melalui KUA atau pemerintah daerah melalui BP4. Ketiga, saat ini kepengurusan BP4 di sejumlah KUA kecamatan yang ada di Indramayu hanya ‘papan nama’. Bahkan untuk tingkat kabupaten kepengurusan BP4 belum terbentuk. Maka penelitian ini merekomendasikan agar secara kelembagaan BP4 di Kabupaten Indramayu perlu direvitalisasi, baik ditingkat Kabupaten maupun Kecamatan. Agar lebih efektif, seyogyanya BP4 masuk dalam pembinaan oleh pemerintah daerah, termasuk pendanaan kegiatannya. Kepengurusan BP4 juga seyogyanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, sehingga dapat memberikan legitimasi bagi BP4 untuk akses ke pemerintah daerah. Keempat, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa peran lebe dalam memediasi perceraian sangat positif sehingga perlu diapresiasi, pemerintah kiranya bisa meningkatkan optimalisasi peran tersebut dengan memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi kapasitas maupun insentif lainnya. Selama ini belum pernah ada program kegiatan yang dilaksanakan pemerintah dalam peningkatan kapasitas lebe dalam memediasi kasus-kasus perceraian. Daftar Pustaka Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna, 1993. Ihromi, Tapi Omas (ed). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. HARMONI Mei - Agustus 2015 ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU 159 Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural. Yogyakarta: LkiS, 2005. Mosse, J.C. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Edisi keenam. Jakarta: Kencana, 2010. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 160 RASYIDUL BASRI PENELITIAN Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji pada KUA Kecamatan di Kota Padang Rasyidul Basri Balai Diklat Keagamaan Padang, Email: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 29 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Abstract Abstrak This research applies survey and descriptive method with quantitative and qualitative approach. This research aims to figure out the effectiveness, supporting and inhibiting factors in conducting Hajj Manasik guidance at sub-District Religous Affair Office in Padang in 2014. The sample is 100 of 929 participants from 10 sub-District Religious Affair Offices consisting of head of subDistrict Religious Affair Office/ committee, head of Hajj and Umrah department, head of Padang Religious Affairs Office and Hajj participants.The results shows that the guidance Hajj Manasik implementation 2014 in Padang City is effective in manager level while management, programs, and infrastructure need to be developed. It can be seen on the achievements of the management indicator: 75.55% manager indicator, 71.72% management indicator, 67.85% program indicator, and 69.43% infrastructure indicator. Recommendation is for General Director of Hajj and Umrah through West Sumatera Religious Affairs Office to issue the latest Religious Minister decree containing sub-District Religious Affair Office`s tasks as a Hajj consultant at sub-district level and give a service on marriage and reconciliation. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan metode survei dan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas, faktor-faktor pendukung, dan penghambat pelaksanaan bimbingan manasik haji KUA Kecamatan di Kota Padang pada tahun 2014. Sampel penelitian sebanyak 100 orang yang diambil dari peserta sebanyak 929 orang pada 10 KUA Kecamatan dengan komposisi Kepala KUA/Panitia Kecamatan, Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Padang, dan calon jamaah haji. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan bimbingan manasik haji oleh KUA Kecamatan di Kota Padang tahun 2014 pada indikator pengelola dikategorikan efektif, sementara pengelolaan, program, dan sarana prasarana masih belum efektif. Hal itu terlihat pada capaian indikator pengelola sebesar 75,55%, pengelolaan 71,72%, program 67,85%, dan sarana prasarana 69,43%. Adapun rekomendasi dkepada Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah melalui Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat untuk menerbitkan Praturan Menteri Agama terbaru yang berisikan tugas KUA sebagai konsultan haji di tingkat kecamatan selain melayani nikah dan rujuk. Keywords: Effectiveness, the implementation of Guidance Hajj Manasik, Sub-District Religious Affair Office HARMONI Mei - Agustus 2015 Kata kunci: Efektivitas, Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji, KUA Kecamatan. EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG Pendahuluan Pembekalan calon jamaah haji dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan tugas pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Agama RI yang berwewenang sebagai penyelenggara ibadah haji. Lembaga itu berkewajiban memberikan pembinaan dan bimbingan pelaksanaan ibadah haji. Undang-undang Nomor 13 Pasal 7 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji terkandung pernyataan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan jamaah haji. Seharusnya, KUA Kecamatan sebagai lembaga terdepan Kementerian Agama RI menjadi pelaksana bimbingan manasik haji yang dapat dihandalkan bagi calon jamaah haji di wilayah kecamatan. Bimbingan manasik haji merupakan salah satu tahapan pembinaan calon jamaah haji yang bertujuan untuk membekali mereka dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat melaksanakan ibadah secara mandiri, baik, dan benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Namun, lembaga tersebut hanya bertugas memberikan pelayanan, pengawasan, dan pelaksanaan nikah dan rujuk (Peraturan PMA Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA Kecamatan). Namun demikian, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas pada PMA, sejak tahun 2006 sampai sekarang, KUA Kecamatan telah melaksanakan bimbingan manasik haji. Sayangnya, bimbingan manasik jamaah haji itu seringkali diabaikan atau tidak dianggap penting oleh calon jamaah haji. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Imam Syaukani pada tahun 2011 menyebutkan sebuah fakta 161 bahwa bimbingan manasik haji yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan dinilai buruk oleh responden. Berdasarkan kasus inilah, peneliti melakukan observasi terhadap bimbingan manasik haji yang diselenggarakan KUA Kecamatan di bawah kordinasi Kantor Kementerian Agama Kota Padang pada tanggal 24 s.d. 30 Juni 2014 dengan jumlah peserta 988 orang di 10 KUA Kecamatan dari jumlah keseluruhan kecamatan di Kota Padang yakni 11 kecamatan. 1 kecamatan tersebut tidak melaksanakan kegiatan karena pertimbangan jumlah jamaah yang sedikit. Hasil observasi mengenai kehadiran peserta pada kegiatan manasik haji sangatlah bervariasi. Hari pertama diikuti sekitar 75%, lalu hari berikutnya berkurang menjadi 60-50% dari seluruh jumlah calon jamaah. Padahal dalam tata tertib disebutkan bahwa jumlah peserta yang hadir semestinya tidak berkurang karena diharuskan setiap peserta mengikuti kegiatan sampai selesai. Fenomena itu menunjukkan bahwa ada yang belum efektif dalam pelaksanaan bimbingan manasik haji di KUA Kecamatan walaupun pelatihan itu diberikan secara gratis kepada mereka. Uniknya, mereka lebih memilih bimbingan manasik yang diselenggarakan oleh KBIH dengan bayaran 1 s.d. 2,5 juta di luar setoran dana BPIH. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan bimbingan manasik haji oleh KUA Kecamatan di Kota Padang? Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan efektifitas pelaksanaan bimbingan manasik haji oleh KUA Kecamatan di Kota Padang. Selanjutnya, berdasarkan studi pustaka yang peneliti lakukan, sejauh ini belum ada penelitian mengenai masalah bimbingan manasik haji oleh KUA Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 162 RASYIDUL BASRI Kecamatan di Kota Padang. Beberapa penelitian ilmiah tentang masalah perhaji-an hanya meliputi: “Ibadah Haji Dalam Sorotan Publik” pada tahun 2007, ”Manajemen Pelayanan Haji di Indonesia” pada tahun 2009, “Pelayanan Haji Dalam Sorotan Publik Jilid 2 untuk Wilayah Timur” yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makasar pada tahun 2013. Kerangka Teori Efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan manajemen yang telah dikaitkan dengan hasil kerja, sasaran, dan target yang diharapkan (Anorega, 2000:178). Sedangkan istilah bimbingan berarti proses layanan yang diberikan kepada individu-individu guna membantu mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihan, rencana, dan interpretasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri yang baik (Prayitno, 2004:94). Kemudian, istilah manasik berasal dari bahasa Arab dengan bentuk kata dasar nusuk yang berarti ibadah, bakti kepada Allah, (Yunus, 1995:450). Ali (2004:283) mengemukakan bahwa kata “haji” dalam bahasa Arab bermakna mengunjungi sesuatu. Artinya, manasik haji dalam kegiatan ibadah haji dilakukan dengan cara mendatangi Baitullah di Mekkah sebagai bentuk ketundukan dan kepatuhan seseorang hamba kepada khalik-Nya. Menurut Baidhowi (2006:3), pembinaan merupakan tahapan bimbingan terhadap calon jamaah haji yang dilaksanakan di tanah air dan di Arab Saudi. Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012, Pasal 15 dan 16 menyebutkan bahwa pemerintah wajib memberikan bimbingan kepada jamaah haji mulai dari sebelum keberangkatan, HARMONI Mei - Agustus 2015 selama dalam perjalanan, selama di Arab Saudi sampai dengan proses kepulangan ke Indonesia. Bimbingan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tatap muka di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten/ kota. Dalam hal ini, program Kementerian Agama RI memberikan bimbingan manasik haji sebelum calon jamaah haji berangkat ke Mekkah bertujuan agar calon jamaah ketika berada di tanah suci tidak merasa kaget dan ragu ketika melaksanakan ibadah haji. Dirjen PHU (2009:1) pun menjelaskan bahwa bimbingan manasik haji dimaksudkan agar jamaah dalam melaksanakan ibadah haji sesuai dengan alur sehingga mereka benar melaksanakan kegiatan ibadah itu. Bimbingan manasik haji dapat mempersiapkan jamaah yang isthitha’, dengan cara memberikan pembekalan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap selama pelaksanaan ibadah haji. Indikator Efektivitas Indikator efektivitas bimbingan manasik haji menyangkut pengelola, pengelolaan, program, dan sarana prasarana. Jika keempat indikator itu berfungsi maka akan tampak langkah pencapaian tujuan, peran sistem dan sub sistem, serta sumber daya manusia sebagai pelaku yang memiliki potensi penggerak kegiatan organisasi. Di samping itu, pencapaian tujuan dan sasaran pembelajaran yang sesuai dengan keinginan semua pihak di dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, pengelola, pengelolaan, program, dan sarana prasarana merupakan variabel bebas sedangkan tujuan, peran sistem, sub sistem, dan SDM merupakan variabel terikat. Siswanto (1990:18) menyebut EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG bahwa pengelola bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan pekerjaan tertentu yang telah diprogramkan dengan hasil yang memuaskan. Di samping berperan sebagai manajer, pengelola juga bertanggungjawab atas aktivitas dan hasil kerja bawahannya. Pengelola yang profesional menurut Khailani (2008:30) adalah kondisi seseorang yang benarbenar memiliki keahlian dan keterampilan serta sikap mental yang terpuji sehingga perbuatan dan pekerjaannya berada dalam kondisi yang terbaik dari penilaian semua pihak. KUA sebagai suatu organisasi atau unit terdepan dari Kementerian Agama RI pada dasarnya memiliki daya atau kemampuan untuk menciptakan yang terbaik atau disebut dengan istilah consumer surplus. Consumer surplus adalah kepuasan yang dicapai atau dirasakan oleh pemberi jasa melebihi harapan yang diinginkan oleh konsumen (Winardi, 2004:65). Semakin tinggi tingkat consumer surplus suatu organisasi, maka semakin tinggi pula daya tahan hidup organisasi yang bersangkutan, karena semakin dibutuhkan oleh konsumen. Seiring dengan pemikiran tersebut yang memosisikan KUA Kecamatan dan Kementerian Agama RI sebagai organisasi atau lembaga penyedia manfaat, bagi calon jamaah haji dan sebagai customer surplus mereka bersedia mengeluarkan biaya untuk memenuhi keinginan demi mendapatkan kepuasan Dengan kondisi demikian, KUA Kecamatan yang bertugas sebagai pengelola bimbingan manasik haji sejatinya harus memahami keinginan 163 masyarakat pengguna jasanya sebagaimana tertuang dalam visi dan misi Kementerian Agama RI. Dalam konteks ini pula, Yulius (2007:37-38) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan Kepala KUA Kecamatan harus mempunyai nilai-nilai yang tumbuh dari visi dan misi Kementerian Agama, antara lain: keimanan dan ketaqwaan, ikhlas beramal, semangat sebagai pejuang, sederhana, pantang menyerah, pelayan masyarakat, semangat bekerja sebagai ibadah. Selanjutnya terkait dengan pengelolaan, kata ini dimaknai sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan kegiatan kerja dalam mencapai tujuan tertentu. Siswanto (1999:31) mengungkapkan komponen pengelolaan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemotivasian, dan pengendalian. Di samping pengelola dan pengeloaan, aspek yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya program yang jelas. Menurut Siagian (1994:189), program haruslah merupakan kumpulan proyek-proyek yang telah dirancang agar kegiatan yang dilaksanakan harmonis dan terintegrasi sehingga program tersebut membuat sasaran dapat tercapai secara keseluruhan. Program bimbingan manasik haji oleh KUA Kecamatan ini, jika merujuk kepada petunjuk Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama dalam surat dengan Nomor DT.VII/I/ HJ.01/ 1472/2013 tertanggal 20 Mei 2013 jelas terlihat sebagaimana tertulis pada tabel berikut. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 164 RASYIDUL BASRI Tabel 1. Program Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan No 1. Materi Pertemuan ke-1 Bimbingan Perjalanan Ibadah Haji Bimbingan Kesehatan Haji Pokok Bahasan 1. Persiapan sebelum berangkat ke asrama haji embarkasi 2. Kegiatan di asrama haji 3. Kegiatan selama di pesawat 4. Kegiatan di bandara Arab 5. Kegiatan diperjalanan menuju pemondokan 6. Kegiatan dipondokan Makkah/Medinah 7. Kegiatan Arafah, Mudzalifah, Mina Metode Ceramah, Tanya Jawab, Simulasi (CTS) 1. Pelayanan kesehatan jamaah haji di tanah air dan Arab Saudi 2. Jenis obat yang boleh dibawa ke tanah suci 3. Penangan dini terhadap jamaah risti 4. Asuransi bagi jamaah dan petugas haji 2. Pertemuan ke-2 Bimbingan Pelaksanaan Ibadah Haji 1. Etika dan akhlakul karimah selama pelaksanaan ibadah haji 2. Pengertian haji ifrad, tamattu’, dan qiran. 3. Macam-macam DAM 4. Pelaksanaan Shalat Arbain CTS 3. Pertemuan ke-3 Bimbingan Pelaksanaan Ibadah Haji/Umarah 1. 2. 3. 4. 5. Berpakaian dan Shalat Sunat Ihram Niat dan bacaan Talbiyah Thawaf Sai Tahalul CTS 4. Pertemuan ke-4 Bimbingan pelaksanaan ibadah haji/ umrah 1. Praktek memakai pakian ihram 2. Praktek niat dan shalat sunat ihram 3. Praktek tawaf, sai, dan tahalul CTS 5. Pertemuan ke-5 Bimbingan pelaksanaan ibadah haji 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. CTS 6. Pertemuan ke-6 Bimbingan pelaksanaan ibadah haji. Praktek memakai pakaian ihram Praktek niat dan Shalat Arbain Praktek wukuf, mabid mudzalifah, dan mina Praktek melempar jamarat Praktek tawaf ifadhah Praktek tahalul/memotong rambut CTS 7. Pertemuan ke-7 Ibadah dan kegiatan selama di dalam pesawat 1. 2. 3. 4. 5. CTS Ihram/miqat Wukuf di Arafah Mabid di Muzdalifah Mabid di Mina Melontar jamarat Thawaf ifadhah Tahalul awal dan tsani Bersuci (wudhu/tayamum di pesawat) Shalat di pesawat Makan dan minum di pesawat Membaca al-Qur’an, dzikir, dan do’a Tata cara menggunakan fasilitas di atas pesawat Sumber: Juknis Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji tahun 2013 HARMONI Mei - Agustus 2015 EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG Aspek terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah sarana dan prasana yang tersedia. Menurut Yusak (2002:15), salah satu aspek yang seharusnya mendapat perhatian utama dari setiap administrator adalah sarana dan prasarana pembelajaran. Sarana merupakan semua alat/media yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran atau bimbingan sedangkan prasarana mencakup lahan, bangunan gedung, dan tempat berlangsung kegiatan bimbingan berguna untuk peningkatan mutu dan relevansi layanan yang disediakan. Menurut Iskandar Idy (2007:13), kelengkapan sarana dan prasarana kegiatan bimbingan manasik haji di KUA Kecamatan yang harus disediakan sebagai berikut: tempat pertemuan dan perlengkapannya, white board/papan tulis berikut spidol, kapur,dan penghapus, Flip chart “ menuju haji mabrur”, OHP beserta lampu cadangan, transparan OHP, alat peraga kabah mini, mas’a, dan patung peragaan, pengeras suara (sound system), infocus, dan film proses perjalanan haji. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method, yakni pendekatan kuantitatif dengan metode survei dan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Metode survei digunakan untuk menemukan besaran nilai efektifitas sedangkan metode deskriptif digunakan untuk memaknai besaran nilai yang diperoleh berdasarkan survei. Menurut Arikunto (2001:94) penelitian dengan menggunakan metode survei dilakukan dengan cara data dikumpulkan dari sejumlah sampel/ populasi untuk mewakili seluruh populasi yang ada. Jenis survei yang dipakai ialah Cross-Sectional Surveys di mana pengumpulan data dilakukan dalam satu waktu pengambilan. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendalami hasil deskripsi respon calon jamaah 165 haji terhadap pelaksanaan bimbingan manasik haji pada KUA Kecamatan di Kota Padang. Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 1 Maret s.d. 30 Mei 2014. Calon jamaah haji yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah peserta bimbingan manasik haji pada tahun 2014 dengan pemilihan lokasi di lingkungan kerja KUA Kecamatan Kementerian Agama Kota Padang yang menyelenggarakan bimbingan manasik haji. Populasi dalam penelitian adalah seluruh jamaah pada 10 KUA Kecamatan yang ikut bimbingan manasik haji di Kota Padang pada tahun 2014 dengan jumlah sebanyak 988 orang. Sedangkan Sampel yang akan dijadikan responden dalam penelitian diambil sesuai dengan teknik pengambilan sample data Kuantitatif. Gay (2009:176) mengemukakan jika populasi berkisar 1000 atau kurang, maka yang akan dijadikan sampel adalah 10% dari populasi yang ada. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Klasifikasi responden dibagi dua jenis: Pertama, responden yang berjumlah 50 orang dengan kriteria mengikuti bimbingan manasik haji sampai selesai mulai dari pertemuan 1 sampai dengan pertemuan 7 (Lihat Tabel 1). Kedua, responden sebanyak 50 orang yang tidak mengikuti kegiatan bimbingan manasik haji sampai selesai. Tidak mengikuti kegiatan sampai selesai maksudnya adalah responden yang tidak mengikuti pelatihan mulai dari pertemuan 1 sampai dengan pertemuan 7. Apabila satu pertemuan saja tidak diikuti maka dianggap sebagai responden kriteria kedua. Namun demikian, responden yang tidak mengikuti pelatihan sampai selesai karena sakit atau berhalangan datang tidak dimasukkan dalam kriteria kedua ini. Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan sekunder. Data primer adalah data Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 166 RASYIDUL BASRI yang diperoleh dari calon jamaah haji yang mengikuti bimbingan manasik pada 10 KUA Kecamatan di Kota Padang. Sedangkan data sekunder atau data penunjang adalah berupa dokumentasi, literatur, tulisan pada website. Semua sumber data itu akan dipergunakan untuk memperkuat analisis yang akan diuraikan pada pembahasan. Selanjutnya, pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu menyebarkan kuesioner dan wawancara. Kuesioner diberikan kepada responden untuk diisi secara objektif menurut apa yang mereka alami. Pertanyaan dalam angket disusun berdasarkan indikator keberhasilan dalam bimbingan manasik haji yang dilampirkan pada bagian akhir laporan penelitian. Sedangkan wawancara bertujuan untuk menguatkan akurasi data yang diperoleh dari kuesioner. Data yang diperoleh melalui angket dan daftar isian akan dianalisis dengan mengukur indeks respon jamaah dengan skala likert sebagai berikut: kategori sangat efektif bernilai 4, efektif bernilai 3, kurang efektif bernilai 2, dan tidak efektif bernilai 1. Kemudian, nilai dihitung menggunakan rumus (Brammen; 2005:9-10) berikut. Keterangan: = Nilai rata-rata = Skor total dari jawaban angket = Jumlah responden Selanjutnya, persentase dari setiap item akan dinilai dengan menggunakan rumus: jumlah responden. Selanjutnya, hasil penghitungan akan dikonversi dengan rentangan nilai dalam tabel berikut. Tabel 2 Rentangan Nilai dalam Penelitian Rentangan 3.01-4.00 2.01-3.00 1.01-2.00 0.01-1.00 Tingkat Capaian 86%-100% 76%-85% 56%-75% < 55% Deskripsi Sangat Efektif Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif Data dianalisis menggunakan teknik analisis kuantitatif dilanjutkan dengan penafsiran kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif diolah dengan teknik statistika deskriptif. Setelah mendapatkan gambaran, data kuantitatif diolah dengan analisis kualitatif model interaktif dengan tahapan: seleksi dan reduksi data, klasifikasi dan display data, lalu interpretasi dan kesimpulan (Brammen, 2005:9). Pembahasan Jumlah peserta bimbingan manasik haji yang dilaksanakan KUA Kecamatan se-Kota Padang adalah: Padang Timur sebanyak 117 orang, Padang Barat sebanyak 60 orang, Padang Utara sebanyak 105 orang, Padang Selatan sebanyak 54 orang, Kota Tangah sebanyak 254 orang, Nanggalo sebanyak 78 orang, Kuranji sebanyak 128 orang, Pauh sebanyak 44 orang, Lubuk Begalung sebanyak 99 orang, Lubuk Kilangan sebanyak 45 orang sehingga total keseluruhan adalah 929 (Sumber Data: Laporan Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji Kemenag Kota Padang tahun 2014). Pengelola P adalah nilai persentase yang akan dicari, F adalah frekuensi dari satu item pertanyaan dan n adalah HARMONI Mei - Agustus 2015 Berdasarkan hasil analisis deskripsi kuantitatif yang diuraikan sebelumnya EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG keseluruhan bimbingan manasik haji yang dilaksanakan oleh 10 KUA Kecamatan di Kota Padang belum efektif. Hal itu didasarkan pada tingkat capaian nilai responden yang diperoleh kurang dari 80%. Data indikator pengelola diperoleh dengan rata-rata nilai sebesar 3,02 dengan tingkat capaian responden sebesar 75,48%. Jumlah itu dikategorikan kurang efektif. Pelaksanaan kegiatan itu masih memerlukan upaya peningkatan kinerja pengelola sehingga mencapai kriteria efektif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan kinerja pengelola dan panita agar lebih profesional. Pengelola sebagai aparat Kementerian Agama RI seharusnya mempunyai semangat kerja sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada visi dan misi Kementerian Agama RI. Dalam hal ini, hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan motivasi dan profesionalitas dalam melaksanakan tugas. Untuk itu, langkah-langkah untuk mencapai hal tersebut dapat dilakukan seperti berikut: a). Meningkatkan kompetensi manejerial melalui program Pendidikan dan Pelatihan (diklat); b). Mengaplikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam visi dan misi Kementerian Agama RI di setiap KUA Kecamatan; c). Memberikan porsi lebih banyak kepada Kepala KUA Kecamatan sebagai petugas yang menyertai jamaah atau petugas kloter setiap tahunnya; d). Pembinaan jamaah haji ditetapkan menjadi bagian tugas pokok KUA Kecamatan; dan e). Membentuk dan menetapkan jabatan baru yaitu fungsional konsultan penyelenggaraan haji di tingkat kecamatan. Pengelolaan Dalam hal pengelolaan, berdasarkan data hasil jawaban dari indikator pengelolaan diperoleh nilai rata-rata 167 sebesar 2,63 dengan tingkat capaian responden sebesar 65,84%. Besaran nilai itu mengindikasikan bahwa pengelolaan pada bimbingan manasik haji pada KUA Kecamatan di Kota Padang tahun 2013 belum efektif. Ada beberapa hal dari aspek pengelolaan yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan berkaitan dengan tidak efektifnya pengelolaan bimbingan manasik haji itu. Data yang diperoleh dari penelitian ini sebetulnya memperlihatkan bahwa para Kepala KUA sudah berupaya maksimal melaksanakan kegiatan itu sesuai dengan pedoman yang instruksikan. Akan tetapi, karena dana dan juklak yang diberikan oleh pihak terkait terlambat, hal itu berakibat terhadap pelaksanaan bimbingan manasik haji di tingkat kecamatan. Keterlambatan itu terjadi karena persoalan birokrasi. Oleh karena itu, menurut Peneliti, untuk meningkatkan kinerja KUA Kecamatan dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada KUA Kecamatan untuk menyelenggarakan bimbingan manasik haji lebih awal dari KBIH dan pihak terkait harus segera mencairkan dana kegiatan. Program Nilai rata-rata penyebaran kuesioner sebesar 2,65 dengan tingkat capaian responden sebesar 66,35%. Besaran nilai itu mengindikasikan bahwa komponen program bimbingan manasik haji yang dilaksanakan oleh 10 KUA Kecamatan di Kota Padang pada tahun 2013 belum efektif. Peserta menyatakan bahwa program bimbingan manasik haji yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan kurang efektif, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Misalnya, kegiatan itu dilaksanakan hanya 7 kali pertemuan dan Kabupaten/Kota sebanyak 3 kali Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 168 RASYIDUL BASRI pertemuan. Pembelajaran dipadatkan, tidak ada pertemuan untuk pengulangan materi. Materi bimbingan yang dibelajarkan sebagai berikut. Hal ini berbeda dengan bimbingan manasik haji yang diselenggarakan oleh KBIH yang sudah berlangsung sejak 5 bulan sebelumnya dengan Tabel 14 Materi Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan No Jam 1. Hari ke 1 08-10.00 10-12.00 2. 3. Hari ke 2 08-12.00 Hari ke 3 08-12.00 4. Hari ke 4 5. Hari ke 5 Materi Pembukaan Perjalanan Ibadah haji Ketentuan manasik haji Manasik ibadah haji Manasik ibadah haji Manasik ibadah haji 6. Hari ke 6 Kesehatan ibadah haji 7. Hari ke 7 Praktek Pokok Bahasan a. b. c. a. b. a. b. c. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. a. b. Prosedur perjalanan ibadah haji Hak dan kewajiban jamaah Pelayanan di asrama haji dan tanah suci Pengertian haji dan umrah Syarat, rukun, dan wajib haji dan umrah Shalat Arbain Ziarah di kota Mekkah dan Medinah Kondisi sosial budaya bangsa arab Mabit muzdalifah dan mina Melontar jamarat Tahalul awal dan tsani Nafar awal dan tsani Miqat, ihram, talbiyah Tawaf, sai, umrah, ifadhah, sunat dan wada Wukuf di arafah Dam Akhlak, hikmah haji dan umrah Pelestarian haji mabrur Praktek haji Praktek umrah Sumber: Laporan Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan Padang Timur tahun 2013 Dari tabel tersebut terlihat bahwa materi pembelajaran dan ketersediaan waktu yang dialokasikan lebih sedikit jika dibandingkan dengan rencana program yang telah didesain oleh Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama RI. Di samping itu, pelaksanaan bimbingan manasik bagi calon jamaah haji dilakukan serentak oleh KUA Kecamatan se-Kota Padang pada tanggal 24 s.d. 30 Juni tahun 2014 sehingga waktu pelaksanaan bimbingan manasik hanya 7 kali pertemuan. Dengan demikian, setiap materi disajikan hanya dalam satu waktu, tanpa ada pengulangan sesudahnya. HARMONI Mei - Agustus 2015 program belajar 2 kali dalam seminggu. Program bimbingan manasik KBIH yang berlangsung lama dan materi dibelajarkan berulang kali membuat calon jamaah haji lebih menguasai materi. Di samping itu, mereka menjadi lebih akrab dengan guru pembimbing. Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis data dari wawancara, diperoleh rumusan solusi guna merevitalisasi kinerja KUA Kecamatan dalam bimbingan calon jamaah haji khususnya dalam pelaksanaan program, yakni sebagai berikut: Kegiatan bimbingan manasik haji dengan jumlah tatap muka 7 kali EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG 169 pertemuan perlu ditinjau ulang kembali. Alokasi waktu 7 kali pertemuan dan materi pembelajaran yang padat menyebabkan calon jamaah haji sukar untuk menguasai materi dan praktek bimbingan manasik secara mendalam. Cara demikian mustahil mencapai target yang diharapkan untuk mempersiapkan calon jamaah mandiri dalam melaksanakan ibadahnya; dan Kementerian Agama RI umumnya. Di lain pihak, masyarakat pun akan mendapatkan pelayanan prima sebagai wujud dari sistem pemerintahan yang baik (good governance) terutama dalam era transparansi dan akuntabilitas pada sekarang ini. Pelaksanaan bimbingan manasik haji di KUA Kecamatan sebaiknya tidak dilakukkan pada hari-hari kerja, tetapi dilakukan pada hari libur, seperti hari Sabtu atau Minggu; Penutup Kriteria narasumber harus yang memiliki sertifikat sebagai pelatih, bukan hanya jamaah haji yang telah selesai menunaikan ibadah haji saja. Sarana dan Prasarana Sesuai dengan hasil penilaian responden terhadap indikator sarana dan prasarana dalam pelaksanaan bimbingan manasik haji di KUA Kecamatan, skor yang didapatkan adalah nilai rata-rata sebesar 2,53 dengan tingkat capaian responden sebesar 63,15%. Besaran nilai itu mengindikasikan bahwa sarana dan prasarana manasik haji yang dilaksanakan KUA Kecamatan di Kota Padang pada tahun 2014 belum efektif. Berdasarkan data tersebut, penyebab calon jamaah haji memberikan respon belum efektif karena sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sarana dan prasarana yang digunakan masih status pinjaman baik ruangan belajar maupun sarana pendukung lainnya, seperti sound system, warless, white board, infocus, dan sebagainya. Untuk itu, pihak terkait perlu menyiapkan anggaran yang ditetapkan dari Kementerian Agama RI untuk melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan sehingga meningkatkan martabat KUA Kecamatan khususnya Bimbingan manasik haji yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan khususnya di Kota Padang pada tahun 2014 belum efektif. Peserta jamaah haji lebih memilih bimbingan manasik KBIH daripada yang dilaksanakan KUA Kecamatan disebabkan beberapa hal berikut: Pertama, pihak pengelola terutama KUA kurang percaya diri untuk menyelenggarakan kegiatan itu karena belum mendapatkan diklat secara profesional. Apalagi, tugas tersebut hanya tugas tambahan semata bukan termasuk dalam tugas pokok. Kedua, pelaksanaan bimbingan manasik haji terlambat. Hal itu disebabkan oleh juklak dan juknis serta keterlambatan penyaluran anggaran penyelenggaraan dari Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama kepada KUA Kecamatan. Ketiga, jumlah pertemuan hanya 7 kali yang seharusnya 13 kali. Jika jumlah pertemuan banyak maka sangat dimungkinkan untuk dilakukannya pengulangan materi sehingga peserta lebih paham. Hal itu akan berdampak untuk membangun sikap mandiri ketika jamaah sudah berada di Mekkah. Keempat, sarana dan prasarana yang kurang lengkap dan memadai. Sarana dan prasarana yang digunakan KUA Kecamatan masih status pinjaman dari lembaga lain. Oleh karena itu, pemerintah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 170 RASYIDUL BASRI harus menambah alokasi dana untuk melengkapi sarana dan prasarana tersebut sehingga proses pembelajaran dapat berjalan lancar dan tepat sasaran. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Bedjo, Siswanto. Manajemen Modern. Bandung: Sinar Baru, 1989. Brammen, Julia. Mixing Method Qualitative and Quantitative Research, (Terj. Nakhiah Afrawi.) et, all: Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Tim penyusun. “Laporan Tahunan Tahun 2014”. Padang: BPS Kota Padang, 2014. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka, 2005. Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah. Pola Pembinaan Jamaah Haji. Jakarta: Depag RI, 2006. Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah. Pola Bimbingan Manasik Haji Calon Jamaah Haji. Jakarta: Depag RI, 2007. Iskandar, Idy. Pola Bimbingan Manasik Jamaah Haji, Panduan Pembimbing bagi KUA Kecamatan. Jakarta: Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah, 2007. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990. Syaukani, Imam (ed). Kepuasan Jamaah Haji Terhadap kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1430H/2009M. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011. Siagian, P Sondang. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Peraturan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA Kecamatan. HARMONI Mei - Agustus 2015 RESENSI BUKU “HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA 171 “Hantu” di Balik Relasi Islam-Kristen di Indonesia Judul : Agama & Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam Penulis : Richard M. Daulay Kata Sambutan : M. Jusuf Kalla, Luhut B. Panjaitan, dan S.H. Sarundajang Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta Cetakan : I, 2015 Tebal : 378 halaman M. Zainuddin Daulay Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail : [email protected] “Apa sih hantu dalam relasi IslamKristen itu? Itulah pertanyaan yang mungkin diajukan oleh pembaca ketika melihat judul resensi buku ini. Jawaban tentang hantu itu, tentu bukan dalam artian sebenarnya, melainkan sebuah mesteri tentang Kristenisasi dan Islamisasi yang sulit untuk bisa tampak nyata namun dirasakan, bahkan ada yang ketakutan di antara orang yang merasa melihatnya. Seperti itu saya mencoba mengibaratkan uraian mengenai hubungan Kristen dan Islam pada Era Reformasi di Indonesia yang menjadi jantung bahasan buku yang diresensi ini. Apakah sesederhana itu tantangan Islam-Kristen di Indonesia? Tentu tidak, namun sebagai langkah awal saya rasa pemahaman tentang isu Kristenisasi dan Islamisasi ini merupakan modal penting untuk membangun relasi IslamKristen di Indonesia. Selebihnya, tentang gangguan relasi yang lain bisa dibaca di banyak sumber. Bagaimana cara kita bisa mengetahui misteri Kristenisasi dan Islamisasi itu? Kini ada sebuah buku yang mencoba menyingkap ketertutupan lorong-lorong gelap dimaksud, yaitu buku Agama & Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam, karya Richard M. Daulay, seorang pendeta Gereja Methodist Indonesia (GMI) yang tak kenal lelah untuk berpikir dan menulis. Sebelumnya ia juga pernah menulis sejumlah buku, di antaranya: Religion in Politics, Amerika Versus Irak, Gereja Methodist Indonesia, Islamisasi dan Kristenisasi, dll. Buku Agama & Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam ini awalnya merupakan disertasi Richard Daulay di Sekolah Pasca Sarjana Universitas gajah Mada, tahun 2014 yang membahas sikap umat Kristen terhadap dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya di Era Reformasi, yang oleh penulis disebut sebagai “Kebangkitan Islam Politik”. Buku ini memang berargumentasi bahwa perubahan kebijakan politik Orde Baru yang lebih Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 172 M. ZAINUDDIN DAULAY akomodatif terhadap kalangan Islam sejak tahun 1980-an merupakan awal atau pemicu terhadap bangkitnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Gerakan politik Islam di Era Reformasi, menurut pandangan penulis telah mengubah tatanan perpolitikan di Indonesia ke arah yang diskriminatif berdasarkan perbedaan agama. Buku ini memberikan gambaran respons umat Kristen terhadap gerakan politik Islam dimaksud. Paling sedikit ada dua hal yang dikatakan menakutkan buat umat Kristen di Era Reformasi. Pertama, menguatnya sikap intoleransi terhadap kebebasan beragama. Kedua, politik syariat Islam (Islamisasi) dan diskriminasi. Tren Islamisasi menurut penulis terjadi hampir di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, hukum, dan sebagainya). Di antara isu Islamisasi, ada isu lain yang diikut sertakan, yaitu ”Negara Islam.” yang juga diklaim penulis sangat menakutkan bagi kalangan Kristen. Dalam hal ini dikatakan, ada keyakin di kalangan kristen, “apabila hal itu terjadi, status orang Kristen di Indonesia akan menjadi warga negara kelas dua, seperti yang terjadi di negaranegara Timur Tengah, di mana orang Kristen diberi status dhimmi (protected)— yaitu warga negara yang ditaklukkan dan dilindungi tetapi dengan status warga negara ”kelas dua”. Richard juga membahas tentang isu diskriminasi dalam buku ini. Diungkapkan bahwa umat Kristen memandang bahwa perda-perda syariat Islam yang hanya diperuntukkan dan diberlakukan khusus bagi penganut agama Islam dan tidak berlaku bagi penganut agama lain, termasuk Kristen, adalah sebagai kebijakan diskriminatif. Oleh karena itu, hal ini menjadi persoalan politik yang serius bagi umat Kristen di Indonesia. Bentuk diskriminasi yang HARMONI Mei - Agustus 2015 lain adalah praktik negara dan lembagalembaga negara terhadap umat Kristen dalam kaitannya dengan jabatan-jabatan penting di berbagai bidang. Dinyatakan oleh penulis, secara resmi atau tidak resmi identitas agama dijadikan pertimbangan penting untuk menempatkan seseorang dalam posisi-posisi tertentu di negeri ini. Berbeda dengan masa sejak awal merdeka hingga akhir Orde Baru yang dianggap menganut “merit system” sehingga banyak orang-orang Kristen duduk dalam jabatan publik, baik sipil maupun militer pada masa itu. Oleh karena itu, Era Reformasi bagi kalangan Kristen dianggap sebagai proses Islamisasi sehingga merupakan mimpi buruk yang menghantui dan menakutkan. Selain membahas isu Islamisasi, buku ini juga membahas isu Kristenisasi. Saat membahas isu Kristenisasi, di bagian inilah kita akan melihat pertaruhan objektivitas penulis, antara sebagai diri seorang pendeta atau akademisi, yakni apakah akan memberikan bobot yang sama atau tidak terhadap satu objek bahasan pada dua kelompok yang berbeda. Di bagian ini ada memang pengakuan yang cukup objektif menyatakan bahwa sejak dulu sampai sekarang umat Kristen dan Islam selalu berada dalam persaingan untuk menambah jumlah pengikut. Selain itu diakui pula, hubungan paling ”panas” selama ini di antara agama-agama yang ada adalah antara Islam dan Kristen. Di bagian lain juga ada pernyataan mengenai kristenisasi (pemurtadan) sudah lama menjadi ”momok” yang menghantui hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang, isu tersebut dinyatakan sering mencederai relasi Islam-Kristen. Namun bagaimana bentuk pencederaan itu tidak cukup banyak disinggung dalam buku ini. Akhirnya, ungkapan tentang isu Kristenisasi ditutup dengan sebuah kalimat pendek bahwa fakta “HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA tentang kristenisasi secara massal, boleh dikatakan tidak terjadi lagi di Indonesia, telah berakhir sejak tahun 1970-an.” Hal yang menarik, meskipun pokok bahasan buku ini mengenai pergulatan Kristen dan Islam yang diwarnai banyak ketegangan, namun buku ini juga memberikan sumbangan pemikiran dalam menggalang persaudaraan nasional dan memperkokoh kerjasama lintas agama. Hal lain yang jarang kita jumpai dalam karya sejarah kekristenan di Indonesia, yakni dapat digambarkan secara jelas peta perpolitikan umat Kristen meskipun denominasinya banyak membentang dari Barat sampai Timur Nusantara. Secara tipologis penulis menggambarkan berdasarkan identitas gereja-gereja Kristen yang beragam. Richard Daulay tidak hanya memaparkan bagaimana gereja-gereja yang awalnya dipengaruhi Pietisme kemudian menjadi kawan dalam membangun Indonesia, namun Richard juga berani mengemukakan pandangan kritis terhadap gereja serta tidak menghindar dari kemungkinan konflik dalam mengemukakan sikap umat Kristen menjawab kebangkitan gerakan Islam, terutama mengenai tudingan Islamisasi dan diskriminasi, meskipun patut dipertanyakan apakah masih sebatas opini atau fakta. Setelah membaca habis buku ini saya berani mengambil kesimpulan bahwa siapapun yang ingin mengetahui bagaimana gereja-gereja Kristen dengan wawasan politiknya yang berkembang di Indonesia dan bagaimana bentuk hantu yang menakutkan itu hingga kini, buku 173 ini adalah buku terlugas yang mengupas hal itu dibanding buku-buku sejenis yang pernah terbit. Sayangnya buku ini tak menampilkan pendapat lain yang memberikan analisis tentang kebangkitan Islam di Era reformasi sebagai buah dari lepasnya Indonesia dari belenggu penjajah yang membuat banyak umat Islam memperoleh akses ke dunia pendidikan tinggi sehingga merupakan konsekuensi wajar di kemudian hari, yaitu banyak umat Islam menempati posisi strategis di berbagai jabatan publik di negeri ini. Tak ada gading yang tak retak, walau buku ini telah menjadi terbitan yang terlugas dari buku-buku sejenis, buku ini tidaklah sempurna karena sebagai karya sejarah, bahasan penting dalam buku ini menyangkut soal diskriminasi terhadap umat kristen dalam jabatan publik yang terjadi secara sistemik, tidak disertai sumber dokumen autentik sebagai data primer atau sumber utama. Andai saja buku ini menyertakan dokumen-dokumen terkait bahasan pokok atau sorotan utama tentang hal dimaksud, maka buku ini akan bisa naik posisinya sebagai buku panduan wajib bagi mahasiswa. Terlepas dari itu, apapun kekurangannya saya memandang buku ini adalah buku yang patut dibaca dan perlu bagi banyak kalangan, para penyelenggara negara, politisi, pemimpin umat beragama, dan mahasiswa. Buku ini bisa menjadi sumber inspirasi dalam memerangi “hantu-hantu” yang mengganggu relasi antar agama, khususnya antara Kristen dan Islam di Indonesia. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 LEMBAR ABSTRAK 174 ISSN 1412-663X INDEKS ABSTRAK JURNAL VOL. 13 NO 1 TAHUN 2014 INDONESIA INGGRIS Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia 1. M Ridwan Lubis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015 Teologi Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ikon pemahaman teologi umat Islam di Indonesia merupakan hasil pilihan pada masa lalu sebagai sebuah pendekatan islamisasi yang mengacu kepada pemeliharaan suasana equlibrium. Pada satu sisi, model pemahaman teologi tersebut, cukup ampuh untuk melakukan proses islamisasi tanpa menimbulkan kegoncangan sosial, tetapi kelemahan pendekatan ini tidak efektif untuk melakukan transformasi dalam berbagai pranata sosial. Sehingga yang terjadi adalah komunitas mengalami konversi ke dalam Islam tetapi pranata sosial mereka baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan sebagainya lebih dikendalikan oleh tradisi lokal atau rekayasa modernisme barat. Keadaan itu mulai mengalami perubahan citra setelah dekade 1970-an dengan terjadinya reorganisasi pengajaran Islam dengan memperkenalkan distingsi Islam ajaran dengan Islam budaya. Akan tetapi, gagasan tersebut memperoleh reaksi yang cukup keras dari sesama intelektual muslim. Prestasi terbesar dari teologi Ahlussunnah wal Jamaah adalah merumuskan sinergi antara wacana keislaman, demokrasi dan kebangsaan pada Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984, sehingga Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila dipandang sebagai bentuk final tuntutan Islam terhadap konsep kenegaraan di Indonesia. Ahlussunnah wal Jamaat was an icon of theological understanding used in the past as Islamic approach for Muslims in Indonesia referring to preservation of balance condition. On the other hand, this theological understanding was effective enough to reach islamization process without causing social upheaval; however it was weak to transform social system. Then community had conversion into Islam but their social system in economy, politics, education, and law were controlled by local tradition or western modernism manipulation. This situation changed after 1970s when reorganization in teaching Islam occurred by introducing the distinction between Islam teaching and Islamic culture. However, these ideas were getting reaction from intellectual Muslims. The greatest goal of Ahlussunnah wal Jamaah theology was formulating a synergy among the Islamic discourse, democracy, and nationality at NU Congress in Situbondo in 1984, so Indonesia as a country based on Pancasila was considered as the final form of Islam toward the statehood concept. Kata kunci: Peradaban Keywords: Civilization HARMONI Teologi, Mei - Agustus 2015 Kebangsaan, Theology, Nationality, LEMBAR ABSTRAK 2. 175 Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu I Ketut Donder Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 19April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 25 Juli 2015 Semua agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya nama-Nya, metode memahami-Nya, dan cara menyembahNya berbeda-beda. Semua agama mengajarkan hal transendental yang tidak mudah dipahami. Oleh sebab itu, untuk memahami secara baik dan benar suatu agama membutuhkan panduan seorang guru yang memiliki pengetahuan yang mapan tentang agama. Keanekaragaman pemahaman terhadap yang transendental sebagaimana diajarkan dalam semua agama disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan rohani setiap orang. Para bijak Hindu memberikan solusi terhadap pelan ini dengan membuat dua garis besar peta wilayah kognitif teologis, yaitu teologi Nirguna Brahman dan teologi Saguna Brahman, selanjutnya dijabarkan menjadi sub-sub teologi sesuai peta pemahaman teologi setiap orang. Keragaman teologi diciptakan dalam Hindu bertujuan agar semua manusia dengan tingkat kerohanian yang berbeda sama-sama memiliki pemahaman tentang Tuhan. Melalui pemahaman yang benar terhadap teologi Hindu, seseorang tidak akan salahpaham terhadap Hindu. All religions worship to one God yet they have different ways to understand and pray. They teach transcendental concept that is not easy to understand. Therefore, it is required a knowledgeable spiritual teacher to understand the religion properly. Different understandings on transcendental concept are caused by different religious level that someone has. The Hindu sages have solved this problem by providing two areas of cognitive theology, namely Nirguna Brhman and Satguna Brahman and each is divided further into their subtheologies. The various Hindu theologies aim to bring human beings whose different religious level having same understanding on God. It can avoid misconception on Hindu teaching. Keywords: God, Area, Cognitive, Theology, Hindu Kata kunci: Tuhan, Wilayah, Kognitif, Teologi, Hindu Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 176 ISSN 1412-663X 3. Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Cirebon Nurman Kholis Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015 dan direvisi 15 April 2015 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sejarah. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Adapun tujuan penelitian i.ni adalah sebagai berikut: 1). Mengungkapkan perkembangan Vihara Dewi Welas Asih; 2). Mengungkapkan peranan Vihara Dewi Welas Asih dalam relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Kota Cirebon pada masa kini. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1). Agama Buddha masuk dan berkembang ke Nusantara sejak abad ke-5 hingga abad ke-15. Selama sekitar lima abad berikutnya, peradaban Buddha meredup dan kemudian bangkit kembali setelah terbentuknya Negara Kesatuan RI pada tahun 1945; 2). Jejak sejarah perkembangan agama Buddha pada masa silam salah satunya terdapat di Vihara Dewi Welas Asih yang diperkirakan berdiri pada tahun 1595; 3). Mengenai relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon, hubungan mereka berjalan harmonis dan nyaris tidak pernah ada konflik. Kata kunci: Harmoni, Etnis Tionghoa, Relasi Umat Buddha-Muslim HARMONI Mei - Agustus 2015 This research applied a qualitative research with historical approach. Data collection techniques were interviews and observation. The purposes of this research were as follows: 1). revealing Dewi Welas Asih Temple development 2). explaining the role of the Dewi Welas Asih Temple in relation between Buddhist-Tionghoa and Muslims in Cirebon nowadays. The result of this research could be concluded that: 1). Buddhism came and grew in Indonesian archipelago since the 5th century until the 15th century. Over the next five centuries, Buddhist civilization dimmed and then rose again after the formation of Republic of Indonesia in 1945; 2). The historical traces of Buddhism at past was marked by establishment of Dewi Welas Asih Temple in 1595; 3). The relationship between Buddhist-Tionghoa and Muslims was harmonious. Keywords: Harmony, Tionghoa Ethnic, Buddhist-Muslim Relations LEMBAR ABSTRAK 4. 177 Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusifitas Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga Muhammad War’i Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Tulisan ini bertujuan untuk membuka pemahaman keagamaan agar tidak terpaku pada keterpanaan tuturan, tapi mengajak untuk melihat substansi prilaku. Dalam film Negeri Tanpa Telinga kita diarahkan menuju dekonstruksi kebahasaan yang memaparkan tentang penggunaan bahasa agama sering kali hanya sebatas pencitraan yang menipu. Bahasa bukanlah cerminan sikap dimana bahasa tidak semata ditentukan oleh struktur bahasa secara gramatik. Pemahaman bahasa harus plural sehingga menggerakkan seseorang menuju horison pragmatik pluralism. Pandangan ini selanjutnya akan berimplikasi pada inklusifitas seseorang dalam kehidupannya termasuk dalam hal beragama. Kata kunci: Bahasa Agama, Pragmatik Pluralisme, Inklusifitas This paper aims to open religious understanding that concerns not only on startling speech but also behavior aspects. Movie entitled “Negara Tanpa Telinga” movie directs towards the deconstruction of language describing the use of religious language which is often just as a feigned imaging. Language is not solely a reflection of the attitude determined grammatically. Language understanding should be plural so it can guide someone towards pragmatic pluralism horizon. This view will give more impact to someone’s life inclusiveness including in terms of religion. Keywords: Religious Language, Pragmatic Pluralism, Inclusivity Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 178 ISSN 1412-663X 5. Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Mukhibat Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 16 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015 Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pulung Ponorogo guna mengetahui model pengembangan merangkai spirit harmoni kehidupan sosial keagamaan melalui KPM Tematik Posdaya berbasis masjid. Hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menunjukkan: Pertama, KPM Tematik Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) berbasis Masjid STAIN Ponorogo dengan pendekatan PAR telah mampu menghasilkan ruang atau wadah komunikasi yang akrab dan integratif, serta mencairkan kebekuan komunikasi antar masyarakat yang berbeda, beragam, dan bertikai. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dipusatkan dari masjid telah menyadarkan masyarakat bahwa agama yang dianutnya terdapat hikmahhikmah sebagai modal dalam merangkai harmonisasi kehidupan. Kedua, perbedaan faham keagamaan menjadi energi positif dalam membina kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan bersama. Dialog aksi telah memperkaya dialog teologis mereka, dengan berfungsinya masjid dalam dimensi yang sangat luas tidak hanya fungsi ibadah dan dakwah saja tetapi juga memiliki fungsi edukasi, ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan informasi. This research was conducted in Pulung Ponorogo to figure out the development model in forming the harmonious spirit of social-religious life through the Thematic Community Service Internship (KPM) Posdaya (Family Empowerment Post)-Mosque Based. First, the thematic Community Service Internship (KPM) Posdaya (Family Empowerment Post)Mosque Based in STAIN Ponorogo with Participant Action Research (PAR) approach had been able to create spaces and integrative communication medium and decreased the rigidity of communication among different community. Social activities centralized at mosque made people conscious that their religion taught a wisdom to build harmonious life. Second, the difference became positive energy in developing harmony, peacefulness and prosperity. The dialogue activities enriched their theological dialogue empowering mosque in wider perpectives that not only function as praying and preaching but also education, economic, social, culture, communication and information activities. Kata kunci: Rekonstruksi, Harmoni, Dialog Aksi, Masjid, KPM Keywords: Reconstruction, Harmony, Dialogue Activities, Mosque, KPM HARMONI Mei - Agustus 2015 LEMBAR ABSTRAK 6. 179 Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Ahmad Ali MD Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Memahami doktrin Syiah tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang terhadapnya. Sudut pandang mainstrem tidak selalu tepat. Justru sudut pandang non mainstrem relevan dan tepat dalam memotret Syiah dan doktrin ajarannya. Doktrin rukun iman, dan doktrin fikih yang berbeda dengan doktrin mainstrem (mazhab Sunni) tidak boleh serta merta dijustifikasi sebagai sesat, keluar dari Islam sebab di dalam Syiah sendiri terdapat pula pandangan yang beragam. Sebagai bukti, doktrin kehalalan nikah mut’ah bukanlah bersifat mutlak; ada pandangan, seperti dikemukakan oleh Ja‘far al-Subhânî, yang lebih relevan dan sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam pandangan tersebut, nikah mut’ah dibolehkan dengan persyaratan yang ketat, dan tidak seperti gambaran umum yang mendiskreditkannya. Oleh karena itu, dalam memahami doktrin Syiah diperlukan lima hal interpretasi non-otoritarian, yaitu kejujuran, kesungguhan, komprehensif, kerasionalan, dan pengendalian diri/ kehati-hatian. Pemahaman demikian akan mendorong tumbuhnya toleransi terhadap Syiah. Kata kunci: Syiah, doktrin, Ja‘far al-Subhânî, interpretasi otoritatif, toleransi. Understanding Shia doctrine cannot be separated from its point of view. Its mainstream view is certainly not always right. Non-mainstream view is more relevant and more proper in portraying Shia and its doctrine. The sixth Muslim pillars and Islamic jurisprudence are different from mainstream doctrines (Sunni doctrines) but they are not considered as deviance because they have their own various perspectives. It can be seen from mut’ah marriage that is not absolute; there is a relevant perspective revealed by Ja‘far al-Subhânî. He states that mut’ah marriage is allowed by some determined requirements and unlike common view discrediting its perspective. Therefore to understand Shia doctrine at least is needed five non-authoritative interpretations such as honesty, perseverance, comprehensiveness, rationality, and selfcontrol. Those understandings contribute to tolerance towards Shia. Keywords: Shia, doctrine, Ja‘far al-Subhânî, authoritative interpretation, tolerance. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 180 ISSN 1412-663X Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah 7. Efa Ida Amaliyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 4 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Tulisan ini menunjukan tentang interaksi Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri Jepara dan dampak kekerasan yang dialami pengikut Syiah di berbagai daerah terhadap pengikut Syiah di Desa Banjaran. Pengikut Sunni maupun Syiah di Desa Banjaran menunjukkan wajah harmonis dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua belah pihak menyadari ada perbedaan dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin memperlebar jurang perbedaan itu. Mereka memilih untuk bersama-sama dalam konteks hubungan sosial-kemanusiaan. Hal ini dikarenakan masing-masing kedua pihak saling menghormati. Kondisi ini tidak lepas dari keberadaan Mbah Muhammad Arif yang bagi masyarakat Banjaran sebagai simbol penyatu antara Sunni-Syiah. Mbah Muhammad Arif merupakan cikal bakal adanya desa tersebut sekaligus sebagai penyebar ajaran Islam di daerah tersebut. Tidak ada konflik antara mereka, meskipun ada sentimen dari konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura. Tidak ada pengaruh konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura dengan hubungan Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri Jepara. Kata kunci: Sunni, Syiah, Interaksi Sosial, Konflik, Desa Banjaran HARMONI Mei - Agustus 2015 This paper shows the interaction of SunniShia followers in Banjaran Bangsri, Jepara and the violence impact experienced by Shia followers in many regions toward Shia followers in Banjaran Bangsri.The relationship between Sunni and Shia shows a harmonious life in social interaction. They realize that they have different ways of worship but they do not want to widen those differences. They live together in socio-humanitarian relation. They respect each other. It occurs because the existence of Mbah Muhammad Arif who unified Sunni and Syiah. Mbah Muhammad Arif was the founder of Banjaran as well as the Islam disseminator at Banjaran. There is no conflict between Sunni-Shia followers although there was any religious sentiment after Sunni-Syiah conflict in Sampang Madura and it does not influence the relationship between Sunni-Syiah at Banjaran Bangsri Jepara. Keywords: Sunni, Shia, Social Interaction, Conflict, Banjaran Village LEMBAR ABSTRAK 8. 181 Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan Muhammad Hasbi STAIN Watampone E-mail: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 13 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan suatu masalah, kejadian, fenomena yang ada hingga masa sekarang. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimana pandangan masyarakat di pasar pelelangan ikan Bajo tentang Qadariyah dan Jabariyah? 2). Bagaimana peran teologi Qadariyah dan Jabariyah terhadap masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan Bajo? Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam pemikiran Islam, tindakan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran. Pertama, manusia mempunyai kebebasan dan kehendak untuk melakukan perbuatan, dan perbuatan tersebut diciptakan oleh manusia. Ini menunjukan bahwa manusia yang menghendaki perbuatannya. Apa yang dia inginkan, dia bisa melakukannya. Dalam pemikiran Islam, cara pandang model ini dikenal dengan paham Qodariya. Sebaliknya, bagi kelompok kedua, tindakan manusia tidak diciptakan oleh manusia, melainkan oleh Tuhan. Bagi kelompok ini, manusia tidak dapat berbuat apaapa, dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan karena Allah yang mengendalikan. Dalam pemikiran Islam, cara pandang semacam ini dikenal dengan sebutan Jabariyah. Terhadap kedua paham tersebut, masyarakat di pasar pelelangan ikan Bajo ada yang menyatakan setuju terhadap salah satu atau keduanya dan ada pula yang memiliki pendapat berbeda dengan kedua paham tersebut. This research applies descriptive method for describing or explaining a problem and phenomenon which exist until now. The issues discussed in this research are: 1). How is society’s view on Qadariya and Jabariya doctrines? 2). How is the role of Qadariya and Jabariya theology towards society at Bajo Fish Auction market? This result concludes that based on Islamic perspective, human deeds are interpreted into viewpoints. Human beings have a freedom and desire to do some deeds that they want. They create their deeds. It is called Qodariya doctrine. Conversely, the second group’s view point is different. They think that human beings cannot make their own deeds but God can make them. For this group, man cannot do anything, they dont have the power to do anything because they are controlled by God. Their thought is called Jabariya. Some societies of Bajo fish auction market agree to one or both of them to view those doctrines. Some of them also have different point of view towards those doctrines. Keywords: Qadariya, Jabariya, Society, Bajo Fish Auction Market Kata kunci: Qadariyah, Jabariyah, Masyarakat, Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 182 ISSN 1412-663X Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 9. Suhanah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail : [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 16 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai informasi yang berkenaan dengan kasus Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi: 1). Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2). Aktifitas Keagamaannya; 3). Kronologi Yayasan al-Maghfurullah di anggap menyimpang; 4). Upaya-upaya penanganan pemerintah dan pihak terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan al-Maghfurullah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Kaharudin sebagai pimpinan Yayasan al-Maghfurullah sekaligus sebagai mursyid (guru) dalam praktiknya telah mengajarkan ajaran menyimpang. Ajaran yang dikembangkan itu ternyata mengandung sejumlah penyimpangan yang kemudian menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan menyebabkan keluarnya fatwa MUI yang tentang ajaran yang dikembangkan Kaharudin. Dalam penanganan kasus Yayasan alMaghfurullah belum terlihat adanya pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan dalam menangani kasus semacam ini. Kata kunci: Ajaran Kaharudin; Yayasan alMaghfurullah, Fatwa dan Keresahan Sosial. HARMONI Mei - Agustus 2015 This research employs case study method with qualitative approach. The purpose of this research is to figure out some information related to al-Maghfurullah Foundation cases consisting of: 1). Profile of al-Maghfurullah Foundation; 2). Its religious activities; 3). Chronology of alMaghfurullah Foundation is considered as deviant religious teaching; 4). Government and stakeholders efforts in solving alMaghfurullah Foundation cases. The result of research shows that Kaharudin as the leader of al-Maghfurullah Foundation and teacher undertakes some deviant religious teachings and practices that lead to social upheaval and issue Indonesian Ulema Council fatwa to handle development of Kaharudin’s teaching. It can be seen that no parties deal with this cases seriously, comprehensively, systematically, and continuously. Keywords : Kaharuddin teachings, alMaghfirullah Foundation, Fatwa and Social Upheavel LEMBAR ABSTRAK 10. 183 Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Kustini Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email: [email protected] Nur Rofiah PTIQ Jakarta Email: rofiah_nur @yahoo.com Naskah diterima redaksi tanggal 23 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Penyebutan perceraian sebagai perbuatan halal yang paling dibenci Allah dalam sebuah hadist merupakan peringatan keras bagi umat muslim agar mewujudkan sistem dan tradisi perkawinan yang melahirkan keluarga sakinah, sehingga perceraian dapat dicegah. Faktanya fenomena perceraian, khususnya cerai-gugat, terjadi di berbagai daerah. Penelitian ini difokuskan pada tiga hal: alasan istri mengajukan cerai-gugat, dampak cerai gugat, serta respon struktur sosial terhadap fenomena cerai-gugat. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualtiatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, studi dokumen, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hilangnya makna perkawinan sebagai sebab utama cerai-gugat. Ada banyak dampak negatif dari cerai-gugat terhadap kehidupan keluarga dan anak, tetapi dalam batas tertentu memberi dampak posisif bagi perempuan karena memiliki status yang jelas serta tidak terbebani untuk melakukan kewajiban sebagai istri. Divorce is seen as the most hated halal based on Allah viewpoint stated in Hadits that Muslims must build marriage system and tradition to achieve harmonious and happy family, so the divorce can be prevented. In fact, the divorce phenomenon happens in some areas in Indonesia, particularly wifeinitiated divorce. This research focuses on three aspects. The first one is the reason of wives to propose divorce. The second is its effects and the last is social structure response towards divorce phenomenon. This study applies qualitative approach and the data collection techniques consist of interview, document analysis, and observation. The result of study shows that the loss of marriage meaning is caused by the divorce. Divorce also contributes negative impact for family life and children. However, in some certain time it can give positive impact for women because they have obvious status and do not burden to do their duty as wives. Kata kunci: Gender, Perempuan, Perkawinan, Cerai-Gugat, Pekalongan. Keywords: Gender, Women, Marriage, Wife-Initiated Divorce, Pekalongan. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 184 ISSN 1412-663X Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu 11. Abdul Jamil Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail: [email protected] Fakhruddin Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama E-mail : [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015 Hingga saat ini, banyak asumsi yang berkembang, bahwa perceraian di Indramayu adalah tertinggi di Indonesia, perceraian dianggap sudah menjadi budaya. Faktor penyebab perceraian diasumsikan karena banyaknya poligami, rendahnya pendidikan masyarakat, banyaknya perempuan yang menjadi TKI di luar negeri, dan banyaknya pernikahan di bawah umur. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) jumlah cerai-gugat di Indramayu termasuk tinggi. Pada tahun 2014, di Kabupaten Indramayu, jumlah cerai-gugat adalah 72% dari angka perceraian, sedangkan cerai-talak hanya 28%. Melalui penelitian kualitatif dengan tema isu dan realitas di balik kasus cerai-gugat di Indramayu, disimpulkan bahwa keberanian istri melakukan ceraigugat adalah didasari oleh beberapa faktor yaitu, intensitas persoalan (beratnya permasalahan) yang dihadapi istri, adanya dukungan (pembelaan) dari orang tua, penderitaan psikologis setelah bercerai dirasa lebih ringan dibanding tetap dalam perkawinan, dan adanya pengalaman pihak keluarga dekat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dalam melakukan cerai-gugat. Dampak terberat dari ceraigugat adalah penderitaan psikologis yang dialami istri yaitu perasaan kecewa terhadap pernikahan. Penelitian juga menyimpulkan, bahwa saat ini lembaga yang berperan dalam memediasi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe, sementara KUA, BP4 dan PA tidak efektif berperan. Many assumptions that divorce in Indramayu are the highest number in Indonesia nowadays. It is also considered as a culture. The causes of divorce are polygamy, low education, oversea migrant worker, and early marriages. Data from religious court shows that the number of wife-initiated divorce in Indramayu is relatively high. In 2014, the number of wifeinitiated divorce is 72% while husbandinitiated divorce is 28% in Indramayu. The result shows that divorces undertaken by wives are caused some factors such as the intensity of the problem (problem severity ) faced by wife, support from their parents, psychological suffering after divorce that they feel happier with their divorce status, and the experience from their family so they understand every step in conducting wife-initiated divorce. The greatest impact of divorce is psychological suffering which they will be disappointed towards marriage. The research concludes that the current institution that mediates a divorce in Indramayu is Lebe because KUA (Religious Affairs Office), BP4 (Marriage Counseling Agency) and PA (Religious Court) are relatively ineffective. Kata kunci: Cerai-gugat, lebe, Pengadilan Agama. Keywords: Wife-Initiated Divorce, Lebe, Religious Court HARMONI Mei - Agustus 2015 LEMBAR ABSTRAK 12. 185 Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji di KUA Kecamatan di Kota Padang Rasyidul Basri Balai Diklat Keagamaan Padang, Email: [email protected] Naskah diterima redaksi tanggal 29 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015 Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan metode survei dan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas, faktor-faktor pendukung, dan penghambat pelaksanaan bimbingan manasik haji KUA Kecamatan di Kota Padang pada tahun 2014. Sampel penelitian sebanyak 100 orang yang diambil dari peserta sebanyak 929 orang pada 10 KUA Kecamatan dengan komposisi Kepala KUA/Panitia Kecamatan, Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Padang, dan calon jamaah haji. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan bimbingan manasik haji oleh KUA Kecamatan di Kota Padang tahun 2014 pada indikator pengelola dikategorikan efektif, sementara pengelolaan, program, dan sarana prasarana masih belum efektif. Hal itu terlihat pada capaian indikator pengelola sebesar 75,55%, pengelolaan 71,72%, program 67,85%, dan sarana prasarana 69,43%. Adapun rekomendasi dkepada Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah melalui Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat untuk menerbitkan Praturan Menteri Agama terbaru yang berisikan tugas KUA sebagai konsultan haji di tingkat kecamatan selain melayani nikah dan rujuk. Kata kunci: Efektivitas, Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji, KUA Kecamatan. This research applies survey and descriptive method with quantitative and qualitative approach. This research aims to figure out the effectiveness, supporting and inhibiting factors in conducting Hajj Manasik guidance at sub-District Religous Affair Office in Padang in 2014. The sample is 100 of 929 participants from 10 sub-District Religious Affair Offices consisting of head of subDistrict Religious Affair Office/ committee, head of Hajj and Umrah department, head of Padang Religious Affairs Office and Hajj participants. The results shows that the guidance Hajj Manasik implementation 2014 in Padang City is effective in manager level while management, programs, and infrastructure need to be developed. It can be seen on the achievements of the management indicator: 75.55% manager indicator, 71.72% management indicator, 67.85% program indicator, and 69.43% infrastructure indicator. Recommendation is for General Director of Hajj and Umrah through West Sumatera Religious Affairs Office to issue the latest Religious Minister decree containing sub-District Religious Affair Office`s tasks as a Hajj consultant at sub-district level and give a service on marriage and reconciliation. Keywords: Effectiveness, the implementation of Guidance Hajj Manasik, Sub-District Religious Affair Office Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 INDEKS PENULIS 186 ISSN 1412-663X A Abdul Jamil Puslitbang Kehidupan Keagamaan Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Ahmad Ali MD Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Arif Gunawan Santoso Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Tabanni sebagai Haluan Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Arnis Rachmadhani Balai Litbang Agama Semarang Kearifan Lokal pada Komunitas Adat Kejawen Bonokeling Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Asnawati Puslitbang Kehidupan Keagamaan Komunitas Millah Abraham: Perkembangan Ajaran dan Persebarannya di Haurgeulis Indramayu Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 C Cahyo Pamungkas Research Center for Regional Resources, The Indonesia Institute of Sciences (LIPI) Ethnic Conflict Theory, Religiosity, and Cultural Bond: Approaches Combined to Resolve Religious Intolerance in Ambon Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 E Efa Ida Amaliyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah Volume 14, Nomor 1, Mei-Agustus 2015 F Fakhruddin Puslitbang Kehidupan Keagamaan Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 HARMONI Mei - Agustus 2015 INDEKS PENULIS 187 H Haidlor Ali Ahmad Puslitbang Kehidupan Keagamaan Rukun Kematian: Kearifan Lokal dan Modal Sosial bagi Kerukunan Umat Beragama di Kota Bandar Lampung Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 I Idrus Ruslan Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung Dialektika Agama Missi: Studi Interaksi Sosial Pemeluk Agama Islam, Katolik, dan Buddha di Margorejo Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 I Ketut Donder Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 K Kustini Puslitbang Kehidupan Keagamaan Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 M M Ridwan Lubis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 M. Zainuddin Daulay Puslitbang Kehidupan Keagamaan Hantu di Balik Relasi Islam-Kristen di Indonesia Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 188 ISSN 1412-663X Muhammad Hasbi STAIN Watampone Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Muhammad War’i Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusifitas Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Muhtar Puslitbang Kehidupan Keagamaan Pelayanan Keagamaan Masyarakat Perbatasan (Studi Kasus di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur) Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Mukhibat Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 N Nurman Kholis Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Cirebon Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Nur Rofiah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 R Rasyidul Basri Balai Diklat Keagamaan Padang Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji di KUA Kecamatan di Kota Padang Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 HARMONI Mei - Agustus 2015 INDEKS PENULIS 189 S Servulus Bobo Riti BNP2TKI Bara Merapu sebagai Kepercayaan Asli Orang Sumba (Perspektif Pelayanan Hak Sipil dan Ancaman Kepunahan) Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Suhanah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Eksistensi Agama Tao dan Pelayanan Hak-hak Sipil di Kota Palembang Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Suhanah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 W Wahyu Setiawan STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Pasraman sebagai Media Pembentuk Identitas Pasca Konflik (Studi terhadap Internalisasi Tri Hita Karana pada Masyarakat Balinuraga Lampung Selatan) Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Z Zaenal Abidin Eko Putro Politeknik Negeri Jakarta Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Zuly Qodir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Kontestasi Penyiaran Agama di Ruang Publik: Relasi Kristen dan Islam di Kota Jayapura Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 UCAPAN TERIMAKASIH 190 ISSN 1412-663X Redaksi Jurnal Harmoni mengucapkan terimakasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari Tetap atas peran serta dan selalu aktif demi meningkatkan kualitas Jurnal Harmoni. Selain itu juga telah memberikan perhatian, kontribusi, koreksi dan pengayaan wawasan secara konstruktif, yaitu kepada: 1. Prof. Dr. Koeswinarno (Balai Litbang Agama Semarang) 2. Prof. Dr. H. Muhammad Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 3. Prof. Dr. Hisanori Kato (Butsuryo College of Asaka) 4. Dr. H. Muhammad Adlin Sila, Ph.D (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama) 5. Dr. Jessica Sodirgo (Universitas of Toronto) 6. Dr. Alie Humaidi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 7. Dr. Abdul Aziz (Electoral Research Institute) 8. H. Ahmad Syafe’i Mufid, MA (Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta) HARMONI Mei - Agustus 2015 PEDOMAN PENULISAN “HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA 191 PEDOMAN PENULISAN JURNAL HARMONI PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEAGAMAAN KEMENTERIAN AGAMA RI 1. Artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertakan abstrak dalam bahasa Inggris dan Indonesia. 2. Konten artikel mengenai: a. Pemikiran, Aliran, Paham dan Gerakan Keagamaan b. Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan c. Hubungan Antar Agama dan Kerukunan Umat Beragama 3. Penulisan dengan menggunakan MS Word pada kertas berukuran A4, dengan font Times New Roman 12, spasi 1,5, kecuali tabel. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri dan kanan 3,17 cm dengan panjang tulisan maksimal 15 halaman isi di luar lampiran. 4. Kerangka tulisan hasil riset dan kajian pustaka tersusun berdasarkan sistematika berikut: a. Judul b. Nama c. Alamat lembaga dan e-mail penulis d. Abstrak e. Kata kunci f. Pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah, teori, hipotesis [opsional], tujuan penelitian) g. Metode Penelitian (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data). h. Hasil dan Pembahasan i. Penutup (simpulan dan saran [opsional]) j. Daftar Pustaka (harus mengacu pustaka 80% terbitan 5 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber primer). 5. Judul mencerminkan isi tulisan. 6. Nama penulis (tanpa gelar) diketik lengkap di bawah judul beserta alamat lengkap. Bila alamat lebih dari satu diberi tanda asteriks *) dan diikuti alamat penulis sekarang. Jika penulis lebih dari satu orang, kata penghubung digunakan kata “dan”. 7. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) berjarak 1 spasi dan maksimal 150 kata. 8. Kata kunci terdiri dari 5 kata, dan ditulis italic. 9. Setiap tabel, gambar dan grafik harus diberi nomor, judul dan keterangan sumber. 10. Pengutipan dalam artikel berbentuk body note, dengan ketentuan berikut: Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2 192 ISSN 1412-663X a. Setelah kutipan, dicantumkan nama belakang penulisnya, tahun penulisan dan halaman buku dimaksud. Contoh: ….(kutipan)…(Madjid, 1997: 98). b. Buku yang dikutip ditulis secara lengkap pada bibliografi. 11. Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan nomor urut pustaka (alphabet) yang dikutip: a. Buku dengan penulis satu orang. Contoh: Hockett, Charles F. A Course in Modern Linguistics. New York: The Macmillan Company, 1963. b. Buku dengan dua atau tiga pengarang. Contoh: Oliver, Robert T., and Rupert L. Cortright. New Training for Effective Speech. New York: Henry Holt and Company, Inc., 1958. c. Buku dengan banyak pengarang, hanya nama pengarang pertama yang dicantumkan dengan susunan terbalik. Contoh: Morris, Alton C., et.al. College English, the First Year. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1964. d. Buku yang terdiri dari dua jilid atau lebih. Contoh: Intensive Course in English, 5 Vols. Washington: English Language Service, Inc., 1964. e. Sebuah edisi dari karya seorang pengarang atau lebih. Contoh: Ali, Lukman, ed. Bahasa dan Kasusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung, 1967. f. Sebuah kumpulan bunga rampai atau antologi. Contoh: Jassin, H.B. ed. Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi. 2 jld. Jakarta: Balai Pustaka, 1969. g. Sebuah buku terjemahan. Contoh: Multatuli. Max Havelaar, atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terj. H.B. Jassin, Jakarta: Djambatan, 1972. h. Artikel dalam sebuah himpunan. Judul artikel selalu ditulis dalam tanda kutip. Contoh: Riesman, David. “Caracter and Society,” Toward Liberal Education, eds. Louis G. Locke, William M. Gibson, and George Arms. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1962. i. Artikel dalam ensiklopedi. Contoh: Wright, J.T. “Language Varieties: language and Dialect,” Encyclopaedia of Linguistics, Information and Control (Oxford: Pergamon Press Ltd., 1969), hal. 243251. “Rhetoric,” Encyclopaedia Britannica, 1970, XIX, 257-260. j. Artikel majalah. Contoh: Kridalaksana, Harimurti. “Perhitungan Leksikostastistik atas Delapan Bahasa Nusantara Barat serta Penentuan Pusat Penyebaran Bahasa-bahasa itu berdasarkan Teori HARMONI Mei - Agustus 2015 PEDOMAN PENULISAN 193 Migrasi,” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Oktober 1964, hal. 319-352. Samsuri, M.A. “Sistem Fonem Indonesia dan suatu Penyusunan Edjaan Baru,” Medan Ilmu Pengetahuan, 1:323-341 (Oktober, 1960). k. Artikel atau bahan dari harian. Contoh: Arman, S.A. “Sekali Lagi Teroris,” Kompas, 19 Januari 1973, hal. 5. Kompas, 19 Januari 1973. l. Tesis dan Disertasi yang belum diterbitkan. Contoh: Parera, Jos. Dan. “Fonologi Bahasa Gorontalo.” Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 1964. m. Bila pustaka yang dirujuk terdapat dalam prosiding. Contoh: Mudzhar, M Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, Prosiding Seminar Pertumbuhan Aliran/Faham Keagamaan Aktual di Indonesia. Jakarta, 5 Juni, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009. n. Bila pustaka yang dirujuk berupa media massa. Contoh: Azra, Azyumardi. 2009, Meneladani Syaikh Yusuf Al-Makassari, Republika, 26 Mei: 8. o. Bila pustaka yang dirujuk berupa website. Contoh: Madjid, Nucrcholis, 2008, Islam dan Peradaban. www.swaramuslim.org., diakses tanggal .... p. Bila pustaka yang dirujuk berupa lembaga. Contoh: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya. LIPI, 2009. Jakarta. q. Bila pustaka yang dirujuk berupa makalah dalam pertemuan ilmiah, dalam kongres, simposium atau seminar yang belum diterbitkan. Contoh: Sugiyarto, Wakhid. Perkembangan Aliran Baha’i di Tulungagung. Seminar Kajian Kasus Aktual. Bogor, 22-24 April. 2007. r. Bila pustaka yang dirujuk berupa dokumen paten. Contoh: Sukawati, T.R. 1995. Landasan Putar Bebas Hambatan. Paten Indonesia No ID/0000114. s. Bila pustaka yang dirujuk berupa laporan penelitian. Contoh: Hakim, Bashori A. Tarekat Samaniyah di Caringin Bogor. Laporan Penelitian. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama Jakarta. 2009. 13. Redaksi: Editor/Penyunting mempunyai wewenang untuk memperbaiki artikel sesuai pedoman Jurnal Harmoni Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 2