keragaman teologis dan kualitas kehidupan keagamaan

advertisement
Akreditasi LIPI Nomor : 608/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
KERAGAMAN TEOLOGIS DAN KUALITAS
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Melacak Akar Paham Teologi Islam
di Indonesia
M. Ridwan Lubis
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai
Toleransi
Ahmad Ali MD
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif
Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang
Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu
I Ketut Donder
Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku
Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone,
Provinsi Sulawesi Selatan
Muhammad Hasbi
Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan
dan Peranannya dalam Relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon
Nurman Kholis
Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM
Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung,
Kabupaten Ponorogo
Mukhibat
Ajaran Kaharudin di Yayasan Maghfurullah
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Suhanah
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan:
Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan
Kustini & Nur Rofiah
Nomor
2
Volume
14
Halaman
193
Jakarta
Mei-Agustus 2015
ISSN 1412-663X
HARMONI
Jurnal Multikultural & Multireligius
KERAGAMAN TEOLOGIS DAN KUALITAS
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
HARMONI
Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015
PEMBINA:
Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI
PENGARAH:
Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI
PENANGGUNG JAWAB:
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
MITRA BESTARI:
Hisanori Kato (Butsuryo College Of Osaka), Jessica Soedirgo (University of Toronto),
M. Hisyam (LIPI), Alie Humaidi (LIPI), Ahmad Najib Burhani (LIPI), M. Adlin
Sila (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama), Koeswinarno (Balai Litbang
Agama Semarang), Nur Iman Soebono (Univ. Indonesia), Ikhsan Tanggok (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),
Abdul Mujib (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Wayan P. Windia (Univ. Udayana),
Budi Hermawan (Univ. Bunda Mulia), Mariana Aminudin (Komnas Perempuan),
Abdul Aziz (Electoral Research Institute), Ahmad Syafi’i Mufied (FKUB DKI Jakarta)
PEMIMPIN REDAKSI:
I Nyoman Yoga Segara
SEKRETARIS REDAKSI:
Fakhruddin
DEWAN REDAKSI:
1. Nuhrison M. Nuh
2. Ibnu Hasan Muchtar
3. Kustini
4. Haidlor Ali Ahmad
5. Zainuddin Daulay
6. Abdul Jamil
SIRKULASI & KEUANGAN:
Lastriyah & Rahmah Nur Fitriani
SEKRETARIAT & KEUANGAN:
Zaenal Abidin, Agus Mulyono, Slamet Firdaus, Muchtar & Fathan Kamal
REDAKSI & TATA USAHA:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta
Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421
Email : harmonij[email protected]
SETTING & LAYOUT
I Nyoman Suwardika
COVER
Mundzir Fadli
PENERBIT:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
HARMONI
Mei - Agustus 2015
HARMONI
ISSN 1412-663X
Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Pemimpin Redaksi ___5
Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia
M. Ridwan Lubis___ 9
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang
Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu
I Ketut Donder___22
Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon
Nurman Kholis___36
Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusifitas
Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga
Muhammad War’i___46
Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan
Pulung, Kabupaten Ponorogo
Mukhibat ___55
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
Ahmad Ali MD ___68
Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah
Efa Ida Amaliyah ___81
Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di
Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan
Muhammad Hasbi___97
Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Suhanah___110
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota
Pekalongan
Kustini & Nur Rofiah ___122
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
HARMONI
Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015
Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu
Abdul Jamil & Fakhruddin ___138
Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji oleh KUA Kecamatan di Kota
Padang
Rasyidul Basri ___160
Telaah Pustaka
Hantu di Balik Relasi Islam-Kristen di Indonesia
M. Zainuddin Daulay ___171
Lembar Abstrak ___174
Indeks Penulis ___ 186
Ucapan Terima Kasih ___190
Pedoman Penulisan ___191
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PENGANTAR REDAKSI
PENGANTAR REDAKSI
5
Keragaman Teologis dan Kualitas
Kehidupan Keagamaan
Sangat
beruntung
Indonesia
memiliki Bhinneka Tunggal Ika, sesanti
yang diambil dari manuskrip Sutasoma,
karya agung Mpu Tantular. Sesanti atau
motto tersebut mungkin sudah cukup
menggambarkan bahwa di atas bumi
Indonesia sudah lama hidup aneka suku,
agama, bahasa dan ras. Ini adalah gugusan
nyata tentang zamrud katulistiwa,
bukan lagi landscape imajiner, namun
laboratorium pluralitas. Bhinneka Tunggal
Ika bukan saja mengalasi keindonesiaan
tetapi juga menafasinya, menjadi way of
life.
Mungkin tidak banyak yang
menyadari bahwa semboyan negara itu
sesungguhnya adalah inspirasi bagi siapa
saja untuk memahami dan menerima
keragaman teologi. Ini karena motto yang
digenggam burung Garuda secara utuh
berbunyi Bhinneka Tunggal Ika tan hana
dharma mangrwa (meskipun berbedabeda tetapi tetap satu, tidak ada dharma
yang kedua). Kata dharma (bhs Sanskerta)
adalah
gambaran
dari
glorifikasi
Tuhan, selain berarti “kebenaran” atau
“kewajiban”. Maknawinya, Tuhan itu
tunggal dan keesaannya ditangkap oleh
ragam agama.
“Menerima keragaman agama
adalah menerima keragaman teologi,
begitu juga sebaliknya.” Kebajikan ini
mungkin terlalu idealistik, meskipun
bukan sesuatu yang muskil diwujudkan.
Masalahnya, secara alamiah ketika
manusia
dikelompokkan,
terlebih
dengan sengaja untuk maksud menangkalah akan condong lahir klaim-klaim
sepihak. Ada sikap superior pada
satu pihak, inferior di lain pihak. Tuas
oposisional ini juga merembes ke dalam
pilihan keyakinan internal setiap agama,
misalnya dengan aneka aliran atau paham
keagamaan. Hidup rukun akhirnya
hanya dimaknai secara artifisial di ruangruang formal, padahal dan seharusnya,
ada kesiapsediaan setiap orang untuk
menerima beragam keliyanan teologi.
Dalam spektrum yang lebih
makro, kemajemukan bangsa yang salah
satunya dibangun di atas keragaman
teologis, juga sering menjadi sasaran
untuk dipersalahkan sebagai sumber
friksi, meski tidak sedikit—atau mungkin
lebih banyak—yang menganggapnya
sebagai kekuatan potensial, sebagai
kekayaan paripurna. Atas hal ini, ada
baiknya membaca pernyataan Geertz
(1993) dalam Bahrul Hayat (2012:9-10)
yang menyatakan “…jika kekayaan
Indonesia
tidak
dikelola
dengan
baik dapat melahirkan pergesekanpergesekan kultural yang berujung pada
ketidakstabilan politik dan integrasi
bangsa”.
Untuk dapat memasuki keragaman
teologi agama-agama, lalu immersion
bersamanya,
penting
menyuburkan
tradisi studi keagamaan sehingga
ada ketercairan dalam melakukan
perbandingan kritis dan apresiatif
terhadap teologi orang lain. Ruh studi
komparasi agama sejatinya untuk
melapangkan sikap yang adil, berbaik
sangka dan apresiatif ketika memberikan
penilaian pada ragam teologi yang ada.
“Kecelakaan ideologi” yang patut
dihindari adalah klaim yang semata
bertujuan untuk mempermulia teologi
sendiri, terlebih dengan menggunakan
aksidensia
keagamaan
sebagai
pembanding, lalu menenggelamkan
substansi yang ternyata memiliki
kesamaan bahkan kesatuan (the commons
vision) dengan agama orang lain. Sikap
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
6
PEMIMPIN REDAKSI
eksklusif seperti ini akan dianggap
ketinggalan jaman dan tidak mendapat
tempat dalam era kesejagatan dewasa ini.
Frithjof Schuon (1976:15) menanggapinya
dengan “Inwardly, or in terms of substance,
the claims that a religion makes are absolute,
but outwardly, or in terms of form, and so
on the level of human contingency, they
are necessarily relative”. Seturut dengan
Schuon, Paul F. Knitter (Kata Pengantar
Budhy
Munawar-Rachman
dalam
Komaruddin Hidayat dan Muhammad
Wahyuni
Nafis,
1995:xxxix)
juga
menyatakan adanya ruang relativitas
dalam agama.
Tiga agenda ini tidak mengandaikan
bahwa semua agama atau teologi itu
serupa hanya karena filsafat ini berusaha
menemukan nilai-nilai keabadiannya. Jika
memaksakan pandangan bahwa semua
agama itu sama, maka akan dianggap
sesat pikir karena berusaha mereduksi
keberbedaan setiap agama yang justru
menjadi kekayaan. Pandangan itu
juga akan dapat dianggap tidak lagi
menghargai religiusitas yang partikular.
Padahal sebaliknya, filsafat perennial
membentangkan karpet merah untuk
dualistik antara fenomena dan noumena
dalam agama.
Sekali
lagi,
anjuran-anjuran
kebaikan di atas juga bukan perkara
mudah. Namun selalu ada cara moderat
yang dapat dipilih. Misalnya, para filosof,
kalau tidak menyebutnya sebagai kaum
sufi, menawarkan filsafat perennial
untuk menjelaskan segala peristiwa yang
bersifat hakiki, menyangkut kebajikan
dalam praktek hidup yang benar, yakni
ruh dari seluruh agama-agama dan
tradisi yang menyejarah dari kehidupan
manusia. Ruh itu menjadi the inner
identity dari masing-masing teologi untuk
memperkaya suasana hubungan batin
antarorang.
Titik persamaan yang hendak
dicari dalam filsafat perennial adalah
kesamaan-kesamaan transedental setiap
agama (transcendental unity of religions)
yang secara otentik melampui batas-batas
manifestasi lahiriah serta sesuatu yang
tidak lenyap karena perubahan waktu
dan tempat. Normatif memang, namun
itulah yang harus dijalankan untuk
memperantarai setiap perbedaan yang
semakin tajam akibat nirkesadaran akan
hakikat keabadian nilai kebenaran agama.
Filsafat perennial diharapkan menjadi
satu alat untuk memahami bukan hanya
keragaman teologi semata, karena
setelahnya
dibutuhkan
kesadaran
batiniah yang hanya bisa didapat melalui
pengalaman-pengalaman empirik demi
tercapainya ekumenisme. Salah satu
fungsi filsafat perennial yang paling
diakui untuk memahami kompleksitas
perbedaan-perbedaan itu adalah metadialog antaragama (interreligious dialogue).
Dalam diskursus filsafat agama,
perennialisme mengagendakan paling
tidak tiga diskusi penting, yakni tentang
Tuhan, wujud yang absolut dan tunggal;
tentang fenomena pluralisme; dan
tentang penelusuran akar-akar kesadaran
religiusitas individu maupun kelompok.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Pada Nomor 2 ini, Jurnal Harmoni
sengaja menghadirkan tema keragaman
teologis untuk memperlihatkan bahwa
betapa gemah ripahnya bangsa ini. Ridwan
Lubis melalui artikel Melacak Akar Paham
Teologi Islam di Indonesia mencoba untuk
menggali lebih dalam teologi Islam di
Indonesia hingga ke akar-akarnya. Ia lalu
mengaitkan perkembangan Islam hingga
berhadapan dengan adab modernitas.
Ada banyak tantangan yang harus segera
diselesaikan, selain Islam dengan dunia
luar juga secara internal. Menurutnya
ada banyak paham dan aliran yang
juga berkembang dan menjadi pilihan
penganut Islam. Sementara dalam kajian
pustaka yang dilakukan I Ketut Donder
melalui Keesaan Tuhan Dan Peta Wilayah
Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka
Tentang Pluralitas Konsep Teologi dlm Hindu
berhasil mengungkap keesaan Tuhan
PENGANTAR REDAKSI
yang dikaitkan dengan pluralitas teologis
dalam Hindu.
Namun meskipun ada banyak
paham teologis, dalam bingkai NKRI
maka paham-paham itu idealnya menjadi
wahana untuk membangun kerukunan
dan toleransi, baik antar maupun
interagama. Sebuah kualitas kehidupan
keagamaan yang diinginkan semua
penganut agama. Berkelindan dengan
keinginan ini, artikel Memahami Doktrin
Syiah dalam Bingkai Toleransi yang ditulis
Ahmad Ali MD dapat menjadi satu
pelajaran penting. Hal yang sama dapat
ditemukan dalam tulisan H. Muhammad
Hasbi tentang Qadariyah dan Jabariyah di
Pasar Pelelangan Ikan Bajoe Kabupaten Bone
Propinsi Sulawesi Selatan dan artikel Ajaran
Kaharudin di Yayasan Al-Maghfurullah
Kabupaten Cirebon Jawa Barat yang ditulis
Suhanah. Melalui artikel-artikel ini
pembaca dihadapkan pada realita betapa
dinamika paham keagamaan dalam
mewujudkan harmoni sering melalui
jalan berkelok, kadang menegang, tak
jarang melemah dengan berbagai faktor.
Apapun keras lunak hubungan
antarpaham (teologi) keagamaan tetap
berdampak langsung maupun tidak
langsung pada hubungan antaragama,
meskipun secara umum kehidupan
keagamaan di Indonesia pada 2014
berjalan dinamis namun tetap kondusif.
Bahkan
dalam
Laporan
Tahunan
Puslitbang
Kehidupan
Keagamaan
(2014:65) dinyatakan tidak ada letupan
istimewa, kecuali residu dari kasus-kasus
tahun sebelumnya.
Yang
arif
adalah
hubungan
antarpaham justru (harus) melahirkan
harmoni tanpa menghilangkan respon
kritis masing-masing penganut teologis.
Artikel yang ditulis Efa Ida Amaliyah
dalam Harmoni di Banjaran: Interaksi
Sunni-Syiah memperlihatkan bahwa
pada titik tertentu, dua paham besar ini
sesungguhnya dapat hidup harmoni.
Interrelasi
keduanya
menghasilkan
7
hibriditas demi dan untuk harmoni
hubungan antaragama. Harmonisasi
juga bisa diemanasikan melalui berbagai
simbol yang kemudian menjadi milik
bersama, sebagaimana temuan Nurman
Kholis dalam artikel Vihara Dewi Welas
Asih: Sejarah dan Peranannya dalam
Multikulturalisme di Kota Cirebon. Namun
dalam situasi yang lain, antisipasi
terhadap simbol, terutama bahasa-bahasa
agama yang sayangnya sering dijadikan
alat untuk melahirkan eksklusivisme.
Lebih dalam silahkan baca Mewaspadai
Pencitraan Berkedok Bahasa Agama,
Menumbuhkan
Inklusifisme
Beragama
(Dekonstruksi Bahasa Agama dalam Film
Negeri Tanpa Telinga) karya Muhammad
War’i.
Ujung terowongan dari kemampuan mengelola keragaman teologis
adalah semakin meningkatnya kualitas
kehidupan keagamaan yang salah satu
indikatornya jika pelayanan keagamaan
juga bermutu dan maksimal. Dalam
Nomor 2 ini ada dua temuan yang
memperlihatkan masih lemahnya lembaga
perkawinan
dalam
meningkatkan
kualitas umat. Temuan pertama adalah
Gugatan Perempuan Atas Makna Perkawinan
Studi tentang Cerai Gugat di Kota Pekalongan
yang ditulis Kustini dan Nur Rofiah, yang
kedua karya Abdul Jamil dan Fakhruddin
yang menyoal Isu dan Realitas dibalik
Tingginya Angka Cerai Gugat di Indramayu.
Pada temuan yang lain, karya
H. Rasyidul Basri tentang Efektivitas
Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji
Oleh KUA Kecamatan Di Kota Padang
menunjukkan pelayanan manasik haji
oleh KUA dianggap semakin efektif.
Pelayanan keagamaan juga semakin
baik dapat juga dibaca dalam artikel
Rekonstruksi Spirit Harmoni Melalui KPM
Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan
Pulung Kabupaten Ponorogo yang ditulis
Mukhibat.
Akhirnya, keragaman teologis jika
benar adalah sebuah potensi di jagat
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
8
PEMIMPIN REDAKSI
Indonesia akan selalui diuji seberapa
bagus ia dapat memberikan kontribusi
besar dalam meningkatkan kualitas
kehidupan keagamaan. Banyak penanda
untuk kualitas ini, salah satunya hubungan
harmoni antarpaham, antaragama dan
antarteologi serta pelayanan keagamaan
yang semakin optimal. Selamat membaca [*]
***
Daftar Pustaka
Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: Saadah Cipta Mandiri,
2012.
Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Massa Depan. Jakarta:
Paramadina, 1995
Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2015.
Schuon, Frithjof. Islam and The Perennial Philosophy, translated by J. Peter Hobson, World
of Islam Festival Publishing Company Ltd. 1976
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PENELITIAN
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
9
Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia
M Ridwan Lubis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015
Abstract
Abstrak
Ahlussunnah wal Jamaat was an icon of
theological understanding used in the
past as Islamic approach for Muslims in
Indonesia referring to preservation of
balance condition. On the other hand, this
theological understanding was effective
enough to reach islamization process
without causing social upheaval; however
it was weak to transform social system.
Then community had conversion into
Islam but their social system in economy,
politics, education, and law were
controlled by local tradition or western
modernism manipulation. This situation
changed after 1970s when reorganization
in teaching Islam occurred by introducing
the distinction between Islam teaching
and Islamic culture. However, these ideas
were getting reaction from intellectual
Muslims. The greatest goal of Ahlussunnah
wal Jamaah theology was formulating
a synergy among the Islamic discourse,
democracy, and nationality at NU Congress
in Situbondo in 1984, so Indonesia as a
country based on Pancasila was considered
as the final form of Islam toward the
statehood concept.
Teologi Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
ikon pemahaman teologi umat Islam di
Indonesia merupakan hasil pilihan pada
masa lalu sebagai sebuah pendekatan
islamisasi
yang
mengacu
kepada
pemeliharaan suasana equlibrium. Pada
satu sisi, model pemahaman teologi
tersebut, cukup ampuh untuk melakukan
proses islamisasi tanpa menimbulkan
kegoncangan sosial, tetapi kelemahan
pendekatan ini tidak efektif untuk melakukan
transformasi dalam berbagai pranata sosial.
Sehingga yang terjadi adalah komunitas
mengalami konversi ke dalam Islam tetapi
pranata sosial mereka baik dalam bidang
ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan
sebagainya lebih dikendalikan oleh tradisi
lokal atau rekayasa modernisme barat.
Keadaan itu mulai mengalami perubahan
citra setelah dekade 1970-an dengan
terjadinya reorganisasi pengajaran Islam
dengan memperkenalkan distingsi Islam
ajaran dengan Islam budaya. Akan tetapi,
gagasan tersebut memperoleh reaksi yang
cukup keras dari sesama intelektual muslim.
Prestasi terbesar dari teologi Ahlussunnah
wal Jamaah adalah merumuskan sinergi
antara wacana keislaman, demokrasi
dan kebangsaan pada Muktamar NU di
Situbondo pada tahun 1984, sehingga
Indonesia sebagai negara berdasarkan
Pancasila dipandang sebagai bentuk final
tuntutan Islam terhadap konsep kenegaraan
di Indonesia.
Keywords:
Civilization
Theology,
Nationality,
Kata
kunci:
Peradaban
Teologi,
Kebangsaan,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
10
M RIDWAN LUBIS
Pendahuluan
Konstruk Budaya Nusantara
Format keislaman di Indonesia
memiliki keunikan. Pada satu sisi dilihat
dari latar belakang sejarah Islamisasi,
Islam datang ke nusantara pada abad I
hijriyah. Daerah yang pertama didatangi
Islam adalah pantai timur sumatera yaitu
pasai dan perlak, sebuah kawasan yang
terletak di Aceh Utara yang sekarang.
Total populasi umat Islam di Indonesia
mencapai di atas 80 % yang tersebar di
kawasan Indonesia bagian barat, tengah
dan timur. Berdampingan dengan
kedatangan
agama-agama
mondial
lainnya, Indonesia seakan terpilah
melalui peta regionalisasi agamaagama. Indonesia juga memiliki akar
internalisasi lembaga pendidikan Islam
yang disebut pondok pesantren dengan
fungsinya selain sebagai pusat pengajian
Islam juga pusat penggerak transformasi
masyarakat dari kepercayaan animis dan
dinamis berubah menjadi bertauhid.
Selain itu, Islam Indonesia juga memiliki
peran
membangkitkan
patriotisme
yang menjadi lokomotif penggerak
semangat kebangsaan yang menjadi
kekuatan utama nasionalisme Indonesia
melawan penjajah. Tetapi, setelah era
kemerdekaan, sumbangan Islam terhadap
proses pembangunan bangsa mengalami
kemunduran.
Apabila
ditelusuri
lebih mendalam mengenai faktor
utama kemunduran tersebut adalah
melemahnya etos kerja dinamis, kreatif
dan inovatif akibat format teologis anutan
masyarakat bertemu dengan tarikan fikhsufistik yang lebih cenderung fatalistikdeterministik. Keadaan ini menimbulkan
kerisauan para intelektual muslim yang
kemudian melahirkan gagasan pemikiran
yang “menggugat” tradisi pemahaman
teologis umat Islam Indonesia. Hal inilah
pendorong munculnya minat untuk
melacak kembali akar pemahaman teologi
Islam di Indonesia.
Prof. Koentjaraningrat menyatakan
kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem, gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat sebagai milik manusia
yang diperoleh melalui proses belajar
(Agus,
2006:
34-35).
Kebudayaan
selanjutnya membentuk pola perilaku
yang dikirimkan melalui kehidupan
sosial, seni, agama, kelembagaan, dan
semua hasil kerja pemikiran suatu
kelompok manusia. Sedangkan Clifford
Geertz mengatakan bahwa kebudayaan
merupakan sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk
simbolik, yang dengan cara ini manusia
dapat berkomunikasi, melestarikan,
dan mengembangkan pengetahuan dan
sikapnya terhadap kehidupan.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
J. J Honigmann (dalam Koentjaraningrat,
2000) membedakan adanya tiga gejala
kebudayaan, yaitu: ideas, activities,
dan artifact, dan ini diperjelas oleh
Koentjaraningrat yang mengistilahkannya
dengan tiga wujud kebudayaan: 1).
Wujud ide dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tidak dapat diraba, dipegang
ataupun difoto, dan tempatnya ada di
alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan yang bersangkutan itu
hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi
mengatur, mengendalikan, dan memberi
arah kepada tindakan, kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat
sebagai sopan santun. Kebudayaan
ideal ini bisa juga disebut adat istiadat;
2). Wujud perilaku dinamakan sistem
sosial karena menyangkut tindakan
dan kelakuan berpola dari manusia
itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi,
difoto dan didokumentasikan karena
dalam sistem sosial ini terdapat aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi dan
berhubungan serta bergaul satu dengan
lainnya dalam masyarakat. Wujud
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
perilaku sifatnya kongkret karena dapat
diamati baik dalam tindakan maupun
tutur kata yang kemudian disebut
bahasa; 3). Wujud artefak disebut juga
kebudayaan fisik yaitu seluruhnya
merupakan hasil fisik. Sifatnya paling
kongkret dan bisa diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Agama telah pernah
menciptakan terjadinya perubahan sosial
yang dahsyat dalam kehidupan manusia.
Setidaknya terdapat dua kasus
perjalanan sejarah yang dapat dijadikan
bukti terjadinya revolusi kebudayaan
yaitu peradaban Islam yang terjadi antara
abad ketujuh sampai tiga belas masehi.
Selain itu, etos Protestan yang menjadi
pemicu lahirnya kapitalisme Eropa
yang merambah negeri-negeri di Asia,
Afrika maupun Amerika Latin. Cabangcabang Protestanisme seperti Calvinisme,
Methodisme, Baptisme lebih berorientasi
pada kehidupan duniawi. Kecerdasan
dalam berbisnis ini terungkap dalam
ide panggilan dan kesalehan agama
terungkap dalam ide takdir, bahwa
pencapaian keampunan dan keselamatan
di akhirat sepenuhnya ditentukan oleh
takdir kekuasaan dan kehendak Tuhan
(Sztompka, 2008: 276-277)
Budaya nusantara sebagai artikulasi
keberagamaan, merupakan kumpulan
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia yang ada di
nusantara. Budaya nusantara mempunyai
watak yang majemuk yang kesemuanya
berdasar kepada kepercayaan terhadap
zat yang
memiliki kekuasaan tidak
terbatas. Dalam rangka mendekatkan
diri kepada zat yang kuasa tersebut maka
konstruksi budaya nusantara terbentuk
melalui pola relativitas antara subyek
dengan obyek. Pola kepercayaan itu,
keberadaan manusia diri di alam semesta
berada dalam keraguan antara sebagai
subyek yaitu mempengaruhi alam semesta
atau obyek yaitu yang dipengaruhi alam
semesta. Atas dasar itu, berdasarkan hasil
pengalaman serta refleksi terhadap masa
11
lalu yang kemudian dibimbing primus
interpares secara arif menempatkan diri
berada pada dua posisi tersebut.
Model kepercayaan animisme dan
diamisme merupakan aktualisasi dari
perasaan ketidakberdayaan manusia
berhadapan dengan alam semesta. Siklus
pergantian musim membawa pengaruh
terhadap kehidupan manusia. Oleh
karena pergantian musim tersebut sering
menimbulkan
suasana
kedahsyatan
maka manusia menjadi tidak berdaya
dan kemudian mencari pelarian dari
berbagai ancaman kehidupan mereka.
Pemuka masyarakat, primus interpares,
melakukan penafsiran, penyederhanaan
dan perumusan logika terhadap berbagai
peristiwa alam semesta. Akibatnya,
muncul tokoh yang memiliki hubungan
dengan kekuatan supranatural serta
munculnya jalan keluar untuk mengatasi
berbagai kesulitan itu melalui pendekatan
mistik dan dogmatik. Ketokohan primus
interpares itu tidak hanya sekedar
dipahami sebagai sosok biasa akan tetapi
memiliki kekuatan luhur yang melekat
pada diri kepercayaan yang diebut
messianistik dan millenaristik. Messianistik
adalah kepercayaan tentang hak privilege
orang tertentu sebagai penyelamat
dan millenaristik adalah kepercayaan
atas akan datangnya tokoh pembaharu
pada setiap seribu tahun. Ketokohan
pemimpin spiritual memperoleh privelege
kewibawaan karena didukung oleh
adanya dua profesionalitas yaitu spiritual
power yang dimaknai sebagai kewibawaan
kerohanian yang mampu menjembatani
hubungan mikro kosmos dengan makro
kosmos dan demikian pula sebaliknya.
Sedangkan profesionalitas kedua adalah
temporal power yaitu kemampuan tokoh
menjadi pengelola kehidupan sosial
dalam berbagai aspeknya mulai dari
keluarga, pertanian, ekonomi, tradisi
budaya dan lain sebagainya. Dari dua
keterampilan tersebut maka tokoh primus
interpares muncul sebagai sumber rujukan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
12
M RIDWAN LUBIS
masyarakat dalam berbagai persoalan
kehidupan.
Para
mubalig
yang
datang
menyiarkan Islam tidak menyiarkan
teologi Islam berbekal tradisi kebudayaan
yang ada di negeri asalnya. Akan tetapi
mereka mengikuti irama kebiasaan
masyarakat sebagai obyek dakwah.
Dalam kaitan itulah mereka melakukan
tiga strategi pengembangan teologi Islam
yaitu adaptasi, akomodasi dan seleksi. Abdul
Kadir Ahmad memberi contoh tentang
konsep gurutta yang ada pada masyarakat
Bugis yang memiliki pandangan tentang
hidup yang spektrumnya jauh dari apa
yang dikenal sebagai hidup dalam dunia
nyata demikian juga pemahaman tentang
alam (Ahmad, 2008: 423).
Pengenalan teologi Islam kepada
masyarakat yang masih bersahaja tentu
saja tidak bisa berlangsung secara cepat
karena memerlukan berbagai proses
adaptasi, akomodasi dan seleksi. Adaptasi
adalah upaya melakukan penyesuaian
internalisasi ajaran Islam sesuai dengan
tingkat
kepahaman
masyarakat.
Akomodasi, upaya mengutip tradisi lokal
yang sudah akrab di dalam peta budaya
masyarakat sebagai sarana mengantarkan
kepada proses terjadinya pemahaman,
penghayatan dan pengamalan Islam.
Sedang seleksi adalah penapisan berbagai
tradisi lokal yang tidak sesuai dengan
konsep teologi Islam.
Meminjam teori George M Foster
ketika
menganalisis
keberhasilan
muballig memperkenalkan teologi Islam
menggantikan teologi lama. Foster
mengatakan bahwa keberhasilan mereka
disebabkan kemampuan mengatasi tiga
hambatan perubahan (barrier to change)
yaitu cutural barriers yang terdiri dari
nilai dan sikap, struktur budaya dan pola
penggerak serta kedudukan badan dari
adat istiadat. Hambatan kedua adalah
social barriers yang terdiri dari solidaritas
kelompok, konflik, wilayah otoritas dan
karakteristik struktur sosial. Hambatan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ketiga, psychological barriers yaitu persepsi
dasar perbedaan persilangan budaya,
persoalan komunikasi dan problem
pembelajaran (Soetomo, 2009: 158-159).
Teologi Islam kemudian tampil
menjadi konstruksi budaya nusantara
menggantikan tradisi kepercayaan lokal
maupun agama mondial yang datang
pada fase pertama yaitu Hinduisme
dan Buddhisme. Akan tetapi karena
fokus dakwah lebih banyak dilakukan
untuk membangun suasana perdamaian
dengan tradisi lokal maka pengenalan
teologi Islam lebih banyak ditekankan
pada pengayaan kerohanian (spiritual
enrichment).
Pendekatan
ini
lebih
menekankan untuk memelihara harmoni
terhadap budaya lokal sehingga lebih
menekankan konteks yang tinggi (high
context). Akibatnya, lambat melakukan
transformasi dari kehidupan agraris
menuju masyarakat urban. Wacana
keislaman hanya mampu melakukan
konversi teologis dan spiritualistik
tetapi kurang berhasil dalam melakukan
transformasi pranata sosial. Hal ini
disebabkan karena adanya keterlambatan
melakukan proses rasionalisasi ajaran
Islam sehingga Islam tidak bisa membawa
perubahan signifikan proses transformasi
itu.
Terdapat lima prinsip transformasi
untuk melakukan perubahan menuju
mayarakat yang lebih maju yakni
transformasi kepercayaan di mana
seseorang mencapai kesuksesan dalam
kehidupan
apabila
meyakini
dan
mendayagunakan kekuatan dan anugerah
Tuhan dalam dirinya. Transformasi
kepercayaan mencakup kesadaran diri,
nurani, imajinasi dan kehendak bebas.
Setiap manusia telah dianugerahi Allah
dua potensi yaitu kemauan (masyi-ah) dan
kemampuan (istitha’ah) untuk melakukan
perubahan. Prinsip kedua, transformasi
tujuan yaitu kesuksesan adalah buah dari
serangkaian pilihan dan keputusan yang
diambil dalam kehidupan. Peribahasa
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
mengatakan kamu adalah penjumlahan
dari pilihan dan keputusan yang kamu
ambil (you are the sum total of the choice
you make it). Prinsip ketiga adalah
transformasi karakter yaitu kesuksesan
dalam kehidupan adalah akumulasi dari
kebiasaan yang dilakukan terus menerus.
Memang perubahan selalu tidak nyaman
bahkan menyakitkan karena keluar dari
zona aman menuju kepada perilaku
baru (novum habitus). Prinsip keempat,
transformasi interpersonal yaitu sikap
dan perilaku ketika berhubungan
dengan orang lain dan prinsip kelima,
transformasi organisasi yaitu kesuksesan
ditentukan kemampuan bekerjasama
secara sinergis dan kreatif dengan orang
lain (Prijosaksono dan Mardianto, 2005:
xv-xxi).
Pola Islamisasi di Nusantara
Kesulitan melacak catatan sejarah
kedatangan Islam di Indonesia menurut
Taufik Abdullah disebabkan karena tidak
ada kesepakatan tentang pengertian
masuknya Islam di Indonesia dalam
tiga pilihan teoritis yaitu Islam datang,
Islam berkembang dan Islam menjadi
kekuatan politik (Taufik Abdullah, 1979:
1). Sejalan dengan strategi penyiaran
Islam para muballig memberi peluang
kepada masyarakat untuk memberikan
penafsiran terhadap Islam sesuai dengan
lingkungan budaya mereka. Oleh karena
itulah, terdapat keragaman dalam
implementasi Islam budaya di nusantara.
Islam nusantara lebih menekankan
terhadap pengenalan spiritualitas Islam
yang disebut tasawuf kemudian diiringi
penegasan aqidah. Target utama dalam
proses pengenalan terhadap aqidah
adalah penegasan akan ketauhidan
sebagai peralihan dari kepercayaan
polytheistik. Tetapi, sesuai dengan
format kepercayaan masyarakat maka
pendekatan teologis ini lebih menekankan
dimensi ilahiah dan kurang pada dimensi
insaniah. Akibatnya, pengenalan kepada
13
Allah Swt lebih dibatasi pengakuan
akan qudrah dan iradah Allah Swt yang
mutlak dan sedikit sekali membuka
ruang terhadap dinamika, kreativitas
dan inovasi bahkan cenderung dipahami
bahwa dimensi insaniah itu seakan
menyaingi Allah. Berkembangnya pola
pemahaman teologi yang cenderung
fatalistik dan deterministik diperkuat oleh
lingkungan kehidupan masyarakat yang
bergelut di dunia agraris baik pertanian
maupun kelautan.
Dalam kaitan itulah, pemahaman
aqidah di masyarakat lebih dominan
Ahlussunnah wal Jamaah sebaliknya
menolak aliran rasional seprti Mutazilah.
Secara konseptual, aliran Ahlussunnah wal
Jamaah tidak mengajarkan sikap fatalis
murni, nerimo. Karena pemahaman
aliran ini sebelum manusia melakukan
tawakkal terlebih dahulu dilakukan
usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar).
Tetapi dalam praktiknya, mayarakat
sulit mendinamisir dua konsep ini dalam
pergelutan kehidupan karena adanya
semacam perasaan bersalah (guilty feeling)
manakala cenderung memberikan porsi
terhadap usaha dan pilihan. Hal itulah
yang menjadi pendorong tumbuhnya
sikap sebagian masyarakat muslim yang
cenderung fatalistik.
Konstruksi pemahaman teologi
Islam semacam ini lebih menekankan
pada pengayaan emosionalitas dan
kurang membuka ruang rasionalitas
sehingga secara psikologis umat Islam
Indonesia lebih cepat memberikan reaksi
manakala ada persinggungan dengan
persoalan politik dan sebaliknya kurang
terpanggil berbicara pengembangan
Islam dalam pranata sosial seperti
ekonomi, pendidikan, politik, hukum,
sosial
dan
sebagainya.
Ditambah
lagi karena wacana keislaman yang
berkembang di Indonesia adalah warisan
pemikiran keislaman abad XIII Masehi
ketika dunia Islam memasuki fase
kemunduran peradaban setelah jatuhnya
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
14
M RIDWAN LUBIS
Baghdad sebagai lambang supremasi
kejayaan Islam. Pondok pesantren pada
satu sisi membawa dampak positif karena
melalui pesantren terjadi kesinambungan
generasi ulama yang bertugas untuk
melakukan revitalisasi warisan ulama
salaf (ihya atsar al salaf) yang dikenal
dengan tradisi syuhud ‘ain al syari’at.
Wawasan pemikiran pesantren pada
awal kelahiranmnya abad 16, kurang
memberi perhatian terhadap kemampuan
memahami
berbagai
persoalan
kontemporer. Metode berpikir yang
sebelumnya begitu canggih di kalangan
ulama yang disebut dengan ushul fiqh
lambat laun mengalami kemunduran
sehingga persoalan-persoalan kekinian
kurang
memperoleh
pengayaan
intelektual dan sebaliknya mereka lebih
mengedepankan fiqh sebagai gugusan
hasil pergumulan teoritis yang dilakukan
ushul fiqh. Keengganan melakukan
eksplorasi dalam ushul fiqh tidak terlepas
dari melemahnya kemampuan logika dan
filsafat ditambah pula konstruks relasi
antara ulama dengan para pelajarnya
yang menyebabkan para pelajar kurang
ada keberanian berbeda pendapat dengan
para gurunya karena sanksi moral sebagai
landasan etika dalam tradisi adab berguru
(adab al ta’lim wa al muta’allim).
Dengan
demikian,
persoalan
isamisasi di nusantara adalah karakter
keislaman yang lebih menekankan kepada
pemikiran teologi Islam yang normatif
dan kurang memberikan perhatian
terhadap teologi rasional dan fungsional.
Akibatnya, Islam secara teoritis unggul
dari semua teologi yang ada akan tetapi
pada tataran realita, tidak cukup kuat
berhadapan
dengan
perkembangan
kehidupan kontemporer baik di bidang
ekonomi, pendidikan, politik, hukum,
sosial dan sebagainya.
Teologi Ahlussunnah
Kejayaan peradaban dunia Islam
pada fase klasik, abad ketujuh sampai tiga
HARMONI
Mei - Agustus 2015
belas masehi, ditandai oleh keberhasilan
umat Islam memahami Islam secara
komprehensif (syumul) yaitu antara
aqidah, syariah dan tasawuf. Dalam alQuran ditemukan ayat yang menegaskan
adanya kesan kemandirian manusia
dalam menentukan perbuatannya (Q.S.
al-Ra’d [13]: 11) namun disamping
itu ada pula ayat yang menegaskan
kemahakuasaan mutlak Allah
(Q.S.
al-Anfal [8]: 17). Menurut sebagian
mufassir menunjukkan bahwa manusia
sesungguhnya dalam hal-hal tertentu
ikut
berpartisipasi
mewujudkan
perbuatannya. Akan tetapi pemikiran
teologi Islam di Indonesia dibentuk oleh
kekhawatiran penyimpangan dari aqidah.
Karena itu, lebih cenderung menganut
pemahaman teologi Ahlussunnah wal
Jamaah yang berdimensi ilahiah dan
mengabaikan dimensi insaniah. Pertanyan
yang bisa muncul adalah apakah teologi
yang dikatakan Ahlussunnah wal Jamaah
tersebut telah menjadi amalan umat Islam
di Indonesia?
Dalam pandangan penulis, umat
Islam Indonesia tidak sepenuhnya
berangkat dari semata-mata teologi
Ahlussunnah wal Jamaah tetapi teologi
yang telah direkonstruksi berdasarkan
tradisi kehidupan masyarakat yang
agraris yang lebih dititikberatkan kepada
kepasrahan kepada Allah dan sedikit sekali
memberikan ruang teologi yang rasionalfungsional.
Dalam
perbincangan
dengan
berbagai kelompok sosial sering diperoleh
jawaban bahwa ketika dipertanyakan
apakah praksis Islam yang mereka tekuni
sehari-hari baik dalam pemahaman,
penghayatan
maupun
pengamalan
maka jawabannya adalah Islam Ajaran
berdampingan dengan Islam Budaya.
Akan tetapi ketika dijelaskan bahwa
Islam Ajaran adalah Islam yang terdapat
dalam substansi Islam sebagaimana yang
dinyatakan dalam al-Quran dan
alHadist membuat mereka sadar bahwa
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
komitmen selama ini terhadap Islam
adalah Islam Budaya. Pemahaman
keislaman yang bisa mengantarkan
seseorang kepada Islam yang radikal
adalah ketika mengambil jarak dari
budaya dan menggali pengertian Islam
dari sumbernya. Kesalahan itu tentu saja
tidak bisa ditimpakan kepada masyarakat
di lapisan bawah. Penyebab utamanya
adalah keengganan sebagian kaum
terpelajar muslim untuk terjun langsung
kepada pendalaman radikal Islam dan
tidak menggantungkan pemahaman
kepada Islam Budaya. Islam Budaya akan
datang sendiri sebagaimana dahulu
juga para muballig menyampaikan
Islam dengan pengertian radikal namun
oleh karena perjalanan waktu, pola
pemahaman itu menerima berbagai
identitas baru sehingga menjelma menjadi
Islam Budaya. Terjadinya perubahan yang
lebih mengedepankan Islam Budaya
disebabkan karena intelektual muslim
tidak berani atau kurang memberi
perhatian memperkenalkan Islam Ajaran
sehingga masyarakat secara reflektif
dibentuk oleh berbagai format budaya
lokal.
Selanjutnya persepsi teologi yang
fatalistik ini diperkuat lagi dengan
persepsi masyarakat terhadap konsep
dalam tasawuf yang disebut zuhd yang
dipahami dengan meninggalkan dunia
secara mutlak karena dunia penuh
dengan berbagai kemungkaran. Hal ini
menjadi peluang yang dimanfaatkan
pula oleh penjajah melemahkan etos
keislaman. Dalam peta pemikiran yang
disusun oleh penasehat kolonial untuk
urusan pribumi mengklasifikasi Islam
dalam tiga kelompok. Kelompok pertama,
Islam ritual yang tidak hanya dibebaskan
untuk dilaksanakan namun justeru pihak
kolonial berupaya untuk membantunya.
Bantuan yang diberikan pihak kolonial
terhadap pelaksanaan Islam Ritual
bertujuan untuk membangun citra positif
terhadap kaum penjajah. Kedua, Islam
sosial yang diberikan kebebasan namun
15
tetap diawasi seperti kasus pelaksanaan
ibadah haji sehingga tidak berkembang
menjadi gelombang kekuatan politik.
Terakhir, Islam politik dipandang pihak
kolonial sangat berbahaya dengan
merujuk kepada berbagai kejadian
di Timur Tengah, Afrika dan Eropa.
Pihak kolonial tidak memberi peluang
berkembangnya Islam politik. Partai politik
Islam pertama di Indonesia yang bernama
PERMI yang dipimpin oleh Muchtar Lutfi
Al Ansori dan HA Gaffar Ismail langsung
dibubarkan sebelum sempat berkembang
(Noer,1978: 153) .
Kekuatan
Nusantara
dan
Kelemahan
Islam
Islam disebarkan di nusantara
melalui dakwah. Hal ini berbeda dengan
penyiaran Islam yang terjadi pada
sebagian dunia yang lain seperti Afrika,
Asia Timur, Asia Selatan, sebagian Eropa
yang disebarkan melalui penaklukan
(futuhat). Hasilnya adalah penyusupan
secara damai. Kekuatan Islam di
nusantara adalah Islam tumbuh dan
berkembang menjadi milik masyarakat
karena berhasil ditanamkan dalam
keyakinan masyarakat sebagai milik
asli (genuine) Indonesia yang semula
barang yang hilang dan ditemukan
kembali. Karena Islam menjadi milik asli
maka para mubalig yang datang hanya
sekedar agen yang memperkenalkan
Islam kepada masyarakat. Hsilnya
adalah, kolonialisme yang bercokol
puluhan bahkan ratusan tahun ternyata
tidak mampu membongkar Islam
dari keyakinan masyarakat sekalipun
berbagai cara telah mereka lakukan.
Kekuatan Islam yang menghambat laju
pergerakan kolonialisme di berbagai
pedesaan dilakukan oleh para kiai, santri
dan masyarakat setempat. Prof Sartono
Kartodirjo
melukiskan
perlawanan
petani Banten melawan kolonial muncul
dari para santri tarekat dan petani yang
bahu membahu melawan kolonial.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
16
M RIDWAN LUBIS
Kuatnya semangat perlawanan mereka
dipicu oleh etos kejuangan yang disebut
Sartono dengan asketisme intelektual yaitu
kerelaan menunda kenikmatan semntara
untuk meraih kenikmatan yang abadi.
Tumbuhnya semangat nasionalisme di
nusantara dipicu oleh term-term agama
yang digunakan menjadi pengungkit
nasionalisme seperti kesatuan arah kiblat,
kesatuan kepemimpinan melalui sholat,
kesamaan waktu berpuasa dan berbuka,
ibadah haji dan lain sebagainya. Puncak
dari kesadaran nasionalisme ini adalah
ketika KH. Hasyim Asy`ari mengeluarkan
Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober
1945 yang kemudian memicu lahirnya
pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya yang menewaskan Brigadir
Jenderal Mallaby, seorang perwira tinggi
tentara NICA. Isi dari Resolusi Jihad itu
adalah sebagai berikut: 1). Kemerdekaan
Indonesia
yang
diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib
dipertahankan; 2). Republik Indonesia
sebagai satu-satunya pemerintah yang
sah wajib dibela dan pertahankan; 3).
Musuh Republik Indonesia terutama
Belanda yang datang membonceng
tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah
tawanan perang bangsa Jepang, tentulah
akan menggunakan kesempatan politik
dan militer untuk kembali menjajah
Indonesia; 4). Umat Islam terutama
Nahdlatul Ulama wajib mengangkat
senjata melawan Belanda dan kawankawannya yang hendak kembali menjajah
Indonesia; 5). Kewajiban tersebut adalah
suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap
orang Islam (fardu ‘ain) yang berada pada
jarak radius 94 km (jarak di mana umat
Islam diperkenakna sembahyang Jama’
dan Qasar). Adapun mereka yang berada
di luar jarak tersebut berkewajiban
membantu saudara-saudaranya yang
berada dalam jarak radius 94 km itu
(Zuhri, 2013:.323).
Perkembangan Islam di nusantara
kemudian diperkaya dengan berbagai
tradisi yang saling berkembang sehingga
HARMONI
Mei - Agustus 2015
antara Islam satu daerah bisa berbeda
dengan Islam di daerah lainnya. Hal
itu menunjukkan sebagaimana yang
disebut Syah Wali Allah Al Dihlawi
dalam kitabnya Hujjat Allah Balighah,
bahwa Islam itu selalu muncul dalam
dua bentuk yaitu Islam Universal dan
Islam Lokal. Islam Universal adalah Islam
yang dipahami dan diamalkan secara
bersama oleh seluruh umat Islam tanpa
membedakan bentuk budaya, geografis,
idiologi politiknya. Sedang yang kedua
adalah Islam lokal yaitu aktualisasi Islam
yang berbeda antara satu daerah lainnya
terkait dengan respon masyarakat dalam
menyikapi berbagai peristiwa sosial
mulai dari proses kelahiran, perkawinan
maupun kematian di samping berbagai
aktivitas sosial lainnya. Mereka memiliki
berbagai kreativitas dalam menunjukkan
unsur Islam dalam kreasi budayanya.
Kelemahan Islam Nusantara adalah
orientasi dalam bidang pendidikan
yang hanya memadukan pendidikan
dengan pola yang lama. KH. Wahid
Hasyim dan KH. M. Ilyas, keduanya
pernah menjadi Menteri Agama RI pada
masa Pemerintahan Soekarno, pada
tahun 1930-an pernah mempelopori
model pendidikan yang memasukkan
unsur-unsur perkembangan modern
dalam pola pendidikan di Pesantren
Tebuireng Jombang sebagai sebuah
pengantar menuju sistem pendidikan
yang integrative dan holistik (Zuhri,
2009: 24-25). Menurut Prof. Mulyadhi
Kartanegara, dua system pendidikan
itu pada hakikatnya adalah satu karena
merupakan perpaduan dari ‘ilm al
tadwiniyat dan ‘ilm kauniyat (Kartanegara,
2005: 22). Penyebab keengganan pesantren
melakukan modernisasi sistim pendidikan
di pesantren pada dasarnya disebabkan
karena motivasi ghirah kepada Islam
sehingga khawatir terjadi pelemahan
terhadap Islam. Kelemahan berikutnya
Islam Nusantara adalah keterlambatan
mentautkan Islam dengan perkembangan
modern sehingga karena alam pikiran
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
sekuler
lebih
cepat
menangkap
modernitas itu maka corak pemikiran
sekuler lebih dominan dalam pergulatan
baik dalam pemikiran politik, ekonomi,
pendidikan dan hukum. Dampaknya
sebagaimana yang terlihat hari ini adalah
Islam mengalami marginalisasi apabila
diperhadapkan dengan modernitas. Oleh
karena itu, menurut Kuntowijoyo, hal
itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut
dan harus ada upaya mengatasinya.
Beliau menyebutkan perlunya dilakukan
reinterpretasi yang mencakup lima
program, yakni: Pertama, perlu lebih
dikembangkan
penafsiran
sosialstruktural daripada penafsiran individual
ketika memahami ketentuan-ketentuan
dalam al-Quran. Selama ini apabila
bertemu dengan ayat yang menyatakan
larangan hidup berlebih-lebihan maka
muncul penolakan akan tetapi yang
lebih penting lagi mencari sebab-sebab
struktural yang lebih mendasar mengapa
gejala hidup berlebih-lebihan itu bisa
muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Dari analisis struktural maka ditemukan
penyebabnya yaitu terjadinya konsentrasi
kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem
pemilikan sumber-sumber penghasilan
atas dasar etika keserakahan. Kedua,
mengubah cara berpikir subyektif
kepada cara berpikir obyektif. Konsep
teologi tentang zakat tidak hanya kepada
pelunasan kewajiban serta menyuburkan
harta dari muzaki akan tetapi hal lain
yang perlu dijelaskan bahwa zakat
adalah
merupakan
sarana
untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial yang
di dalamnya zakat merupakan salah satu
sarananya. Oleh karena itu, pada level
aktual dapat dikembangkan lembagalembaga keuangan yang bebas bunga
untuk membantu pemilikan modal kelas
ekonomi lemah. Ketiga, mengubah Islam
yang normatif menjadi teoritis. Selama
ini lebih terdorong menafsirkan ayat-ayat
al-Quran pada level normatif, padahal
al-Quran menawarkan berbagai prinsip
teori yang sifatnya grand theory seperti
17
hubungan takwa dengan terwujudnya
kesejahteraan sosial. Keempat, mengubah
pemahaman teologi Islam dari yang a
historis menjadi historis. Ketika al-Quran
mengemukakan
perjalanan
sejarah
berbagai kelompok umat manusia dalam
al-Quran, baik ahli taat maupun maksiat
terkesan bahwa umat Islam memandang
hal tersebut tidak melalui pendekatan
historis. Kisah Firaun mengingatkan
kita bahwa adanya kelompok tertindas
oleh kaum penindas tetap berlangsung
sepanjang masa baik karena sistem sosial
yang disebut feodalisme, kapitalisme,
maupun sosialisme yang melahirkan
kaum mustad’afin. Kelima, sebagai
program interpretasi yang merupakan
simpul dari empat program tersebut,
perlunya
merumuskan
formulasiformulasi yang lebih spesifik dan
empiris. Oleh karena itu, hendaknya
dapat memformulasikan pernyataan ayat
ke dalam realitas sekarang yaitu Allah
mengecam keras adanya monopoli dan
oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan
politik sehingga seluruh aset bangsa yang
berharga dikuasai oleh segelintir orang
(Kuntowijoyo, 1991: 473-477).
Munculnya Teologi Rasional Fungsional
Pada dekade 1970-an mulai
berhembus angin perubahan dari para
kalangan terdidik muslim khususnya
lulusan pendidikan dari universitas.
Perjumpaan mereka dengan wacana
rasionalisme di berbagai lembaga
tempat mereka menempuh studi dan
mengkaitkannya dengan perkembangan
Islam di Indonesia maka muncul berbagai
pemikiran. Indonesia yang memiliki
sejarah panjang terhadap perkembangan
Islam yang menjelma menjadi komunitas
besar seperti kerajaan yang memanjang di
seluruh nusantara tetapi kemudian tidak
berdaya menghadapi modernisme barat.
Sikap keprihatinan mereka diwujudkan
dalam perkenalan terhadap aliran-aliran
pemikiran teologi Islam. Dalam khazanah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
18
M RIDWAN LUBIS
pesantren para santri hanya pernah
dikenalkan dengan teologi Jabariyah,
Qadariyah maupun Ahlussunnah wal
Jamaah. Secara reflektif, aliran Jabariyah
dan Qadariyah tidak dibuka secara
transparan latar belakang munculnya
kedua aliran tersebut dan menelusuri
kekuatan serta kelemahannya. Kajian
di pesantren biasanya langsung masuk
ke dalam aliran teologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang selanjutnya disebut
Ahlussunnah wal Jamaah. Sekalipun
dua aliran ini sama-sama digolongkan
Ahlussunnah wal Jamaah akan tetapi pada
kenyataannya, fokus pembahasan tentang
sub aliran Asy’ariyah menempati porsi
yang lebih besar. Alasan kebijakan yang
demikian karena topik perbincangan
adalah berkenaan dengan aqidah dan
apabila tidak disikapi dengan sangat
hati-hati (ihtiyath) akan dapat berakibat
tergelincir kepada kesesatan. Namun
juga, kajian terhadap teologi sub-aliran
Asy’ariyah itu tidak dilakukan dengan
pembahasan terhadap konsep dasar
Asy’ariyah
dan kemudian dilakukan
pemetaan sosial terhadap pemahaman
akidah umat Islam Indonesia yang
berkembang dalam masyarakat. Atas
dasar itulah, konsep teologi keislaman
di Indonesaia bersikap reaktif dan pasif
terhadap perubahan.
Prof. Dr. Harun Nasution merasa
kurang puas dengan metode pengajaran
itu dan kemudian mencari jalan untuk
belajar metode studi pemikiran Islam
pada pemikiran yang berkembang di
barat. Beliau memperoleh wawasan baru
ketika ia berkenalan dengan pemikiran
Mutazilah yang membuka peluang untuk
menegaskan prinsip tauhid dari segi
pengembangan kebebasan rasionalitas.
Lebih lanjut dalam perkuliahan di Program
Studi Purnasarjana di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Program Pascasarjana
(S2) dan Program Doktor (S3) di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta mengkaitkan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
analisis historis perkembangan pemikiran
dalam Islam yang mencakup bidang
teologi, filsafat dan tasawuf. Kemudian
modal pengetahuan dalam memahami
perkembangan pemikiran dalam tiga
bidang tersebut dipergunakan untuk
memasuki studi babak baru tentang
Pembaruan Pemikiran Dalam Islam.
Tema pengkajian ini adalah melakukan
penelusuran dari sudut analisis historis
bahwa perkembangan Islam sejak abad
ketujuh sampai abad 20 telah melewati
empat babakan sejarah yaitu zaman
klasik Islam (abad 7 sampai 13 masehi).
Tema pembahasan ini dipandang
penting untuk mengetahui bahwa Islam
pernah mengalami kejayaan segera
setelah Rasulullah wafat dan sebaliknya
agama lain mengalami perkembangan
kemajuan
jauh
setelah
pembawa
agama mereka meninggalkan dunia.
Selain dari itu, revitalisasi teologi Islam
pada kenyataannya berbanding lurus
dengan tercapainya kejayaan peradaban
Islam sebaliknya pada teologi Kristen
memperoleh kejayaan peradaban dalam
pola berbanding terbalik dari komitmen
teologis. Lalu dilakukan penelusuran
faktor-faktor yang menjadi pengerak
terjadinya kemajuan peradaban Islam
yang intinya adalah kebebasan berpikir
yang melahirkan tiga unsur terbentuknya
peradaban yaitu kemajuan di bidang
ekonomi, stabilitas di bidang politik
dan keamanan dan etos keilmuan yang
dipegang oleh para intelektual muslim
yang kemudian didukung sepenuhnya
oleh khalifah/sultan.
Gerakan rasionalisasi teologi yang
dilakukan oleh Prof. Harun Nasution,
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
Ahmad Wahib menimbulkan reaksi
dengan penentang utamanya Prof. HM
Rasyidi yaitu Menteri Agama I Republik
Indonesia.
Pokok
peredebatannya
adalah beliau tidak setuju dengan studi
Pengantar Ilmu Agama dan pembaruan
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
pemikiran Dalam Islam karena terkesan
akan mengikuti alur pemikiran sarjana
barat terhadap Islam. Demikian juga
beliau tdak menyetujui argumen Prof.
Harun Nasution yang menyatakan bahwa
ijtihad itu bisa mencakup pemikiran
teologi jadi tidak hanya terbatas dalam
bidang fiqh. Perdebatan lainnya adalah
berkenaan dengan ide sekularisasi
yang dilancarkan Nurcholish Madjid
karena menurut beliau ide sekularisasi
adalah identik dengan sekularisme
yang meniadakan keberadaan agama.
Penggagas
berikutnya
pembaruan
pemikiran dalam Islam dilancarkan oleh
Munawir Syadzali, MA yang ketika itu
menjabat Menteri Agama pada masa orde
baru. Gagasan beliau yang terkenal adalah
Reaktualisasi Ajaran Islam yang berupaya
memperkenalkan metode pembaruan
pemikiran Islam agar ajaran tetap aktual
sepanjang masa tidak lapuk dimakan
usia. Butir pemikiran Munawir Syadzali
adalah bahwa Negara Islam bukanlah
suatu sistem yang baku akan tetapi
adalah tuntutan pemahaman Islam sesuai
dengan kepentingan ruang dan waktu
oleh karena itu bukan suatu ketetapan
yang absolut. Negara kebangsaan yang
demokratis juga merupakan perwujudan
dari tuntutan ajaran Islam. Perdebatan
tentang hubungan Islam dengan negara
kemudian ditengahi oleh NU melalui
Muktamarnya Tahun 1984 di Pesantren
Salafiyah-Syafi’iyah Asembagus Situbondo
yang diasuh KH.M Asad Syamsul
Arifin yang menyatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah
bentuk final dari tuntutan Islam bagi
negara Indonesia. Pemikiran itu lahir
dari seorang ulama yang menjadi
pemimpin pesantren yaitu KH. Ahmad
Siddiq yang kebetulan pula menjabat
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama maka tampaknya argumen beliau
dapat diterima oleh khalayak umat Islam
maupun kalangan nasionalis.
Menyongsong Lahirnya
Islam Indonesia
19
Peradaban
Posisi Indonesia berada di pusaran
garis khatulistiwa yang diapit oleh dua
benua yaitu Asia dan Australia dan juga
dipertemukan oleh dua samudera yaitu
Samudera Hindia dan Pasifik. Secara
geopolitis dan geo-strategis posisi ini
sangat menguntungkan karena berada
pada jalur perlintasan perdagangan. Hal
ini dapat dianalogikan dengan posisi
Mekkah sebagai tempat disyiarkannya
Islam yang berada pada titik perlintasan
jalur transportasi antara timur dengan
barat. Sejalan dengan itu, persebaran
Islam di nusantara pada masa lalu tidak
menimbulkan konflik sosial sehingga
Islam dapat menyebar ke seantero
nusantara dengan tetap terpeliharanya
budaya-budaya lokal.
Dilihat dari sudut psikologis,
kehadiran Islam melahirkan proses
transformasi sosial sehingga pusatpusat perdagangan pada masa lalu
identik dengan terbentuknya pusatpusat perkembangan Islam. Yogyakarta,
Pekalongan, Minangkabau, Sulawesi
Selatan adalah di antara pusat-pusat
kegiatan ekonomi yang sekaligus
juga pusat-pusat yang menjadi basis
komunitas Islam. Selanjutnya, dimensi
psikologis dari peran kesejarahan yang
dilakukan umat Islam dengan membawa
bendera Islam melancarkan perjuangan
merebut
kemerdekaan
menjadikan
pesantren bukan hanya sebagai basis
pengajan Islam akan tetapi juga sebagai
wahana pembibitan tokoh ulama yang
memiliki patriotisme dengan keteguhan
aqidah. Oleh karena itu pesantren
memiliki tiga fungsi sekaligus yaitu pusat
pengkajian ilmu-ilmu keislaman, pusat
gerakan melakukan transformasi budaya
dan pusat gerakan perlawanan terhadap
kolonialisme.
Format Islam Indonesia yang ramah
terhadap kemajemukan budaya sekaligus
juga kemajemukan agama menjadi faktor
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
20
M RIDWAN LUBIS
yang amat penting dalam menumbuhkan
peradaban Islam Nusantara. Keberadaan
Indonesia sebagai poros peradaban
Islam ditentukan oleh jumlah populasi
terbesar umat Islam di dunia, karakter
keislaman yang toleran, khazanah
lembaga pendidikan keislaman, integrasi
Islam ke dalam pernik-pernik budaya.
Hal itu menjadi modal sosial (social
capital) tampilnya Indonesia yang akan
menjadi pusat peradaban Islam di masa
depan. Namun demikian, tentu saja hal
itu tidaklah berlangsung mulus manakala
tidak diimbangi oleh adanya rekayasa
intervensi baik oleh kalangan intelektual
terlebih lagi oleh kebijakan birokrasi
pemerintahan. Tampilnya Indonesia
menjadi pusat peradaban Islam pada
dasarnya akan menolong pemerintah
dalam memajukan pembangunan di
Indonesia karena akan lahir generasi yang
memiliki pola pemikiran yang terbiasa
untuk mencari esensi dibanding simbol.
Penutup
Pemikiran
dalam
bidang
teologi beraliran Ahlussunnah wal
Jamaah menurut pandangan sebagian
merupakan faktor kelemahan Islam
Nusantara ketika melakukan rekayasa
terhadap
gagasan
pembentukan
peradaban Islam. Akibatnya, orientasi
pandangan teologi menjadi lemah yang
semestinya diharapkan bersifat dinamis,
kreatif dan inovatif menuju terbentuknya
sebuah peradaban Islam khas Indonesia.
Akan tetapi pada sisi lain patut juga
dipertimbangkan pandangan lain yang
melihat bahwa aliran teologi Ahlussunnah
wal Jamaah yang berkembang di Indonesia
sebagai sebuah sikap kesyukuran karena
dengan teologi Ahlussunnah wal Jamaah
sekaligus terjawab dua dinamika sosial.
Pertama, dengan teologi Ahlussunnah
wal Jamaah maka Islam dengan mudah
melakukan adaptasi terhadap budaya
lokal yang telah dibentuk lebih
HARMONI
Mei - Agustus 2015
dahulu melalui tradisi Hinduisme dan
Buddhisme. Di balik itu, sekaligus juga
Islam dapat bersikap akomodatif terhadap
proses
transformasi
perkembangan
masyarakat yang telah melewati fase
agraris menuju kepada fase industri.
Kedua, dengan sikap teologi
Ahlussunnah wal Jamaah yang fleksibel
diharapkan dapat menetralisir aliran
teologi
yang
dikembangkan
oleh
kelompok pemikiran radikalisme Islam
di Indonesia yang menjadi trend pada
paruh terakhir abad 20. Karena teologi
Ahlussunnah wal Jamaah membangun
kekuatan teologi yang menjadi pijakan
lahirnya ekilibrium dalam memandang
dinamika sosial, politik dan budaya
di tengah dinamika peralihan menuju
perkembangan modern. Keseimbangan
pendulum dinamika sosial itu hanya
akan bisa bertahan manakala pemikiran
teologi Islam memiliki pijakan dari
sumber utama ajaran Islam dan sekaligus
responsif terhadap perubahan zaman.
Dengan demikian diharapkan akan
terjadi kesinambungan (continuity) dan
perubahan (change) dalam kerangka
pemeliharaan tradisi lama yang masih
dipandang baik dan menggali berbagai
gagasan baru guna menghasilkan yang
lebih baik (al muhafazat ‘ala al qadim al
shalih wa al akhdz bi al jaded al ashlah).
Ketiga, teologi Ahlussunnah wal
Jamaah menjadi landasan melanjutkan
tradisi
kerukunan
yang
dapat
memperkuat
kehidupan
berbangsa
dengan meramu pluralitas sosial menjadi
sebuah kekuatan yang terjalin khususnya
antara paham keberagamaan dengan
kebangsaan di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Akan
tetapi, sebagai sebuah aliran pemikiran
harus disadari kebenarannya selalu
bersifat relatif karena akan tergantung
dengan bentuk perubahan social. Oleh
karena itu rekonstruksi teologi di masa
MELACAK AKAR PAHAM TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA
depan hendaknya terus dirancang
dalam berbagai studi eksplorasi guna
merumuskan bentuk kompromi yang
baru sehingga pemikiran teologi Islam
21
dapat mendukung terwujudnya relevansi
Islam dengan perubahan masa dan
tempat (al islam shalihun li kulli zaman wa
makan).
Daftar Pustaka
Ahmad, Abd Kadir. Ulama Bugis. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama,
2008.
Budairy Said dan Ali Zawawi. Dari Pesantren Untuk Bangsa: Biografi KH. Muhammad
Ilyas. Jakarta: Yayasan Saifudin Zuhri, 2009.Deliar Noer. The Modernist Muslim
Movement in Indonesia, 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu. Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2005
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991
Prijosaksono, Aribowo dan Marlan Mardianto. The Power of Transformation. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2005,
Soetomo. Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Sztompka, Piôtr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Zuhri, Saifuddin KH. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LkiS, 2013
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
22
I KETUT DONDER
PENELITIAN
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu:
Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi
dalam Hindu
I Ketut Donder
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 19April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 25 Juli 2015
Abstract
Abstrak
All religions worship to one God yet they
have different ways to understand and
pray. They teach transcendental concept
that is not easy to understand. Therefore,
it is required a knowledgeable spiritual
teacher to understand the religion properly.
Different understandings on transcendental
concept are caused by different religious
level that someone has. The Hindu sages
have solved this problem by providing
two areas of cognitive theology, namely
Nirguna Brhman and Satguna Brahman
and each is divided further into their subtheologies. The various Hindu theologies
aim to bring human beings whose different
religious level having same understanding
on God. It can avoid misconception on
Hindu teaching.
Semua agama menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, hanya nama-Nya, metode
memahami-Nya, dan cara menyembahNya
berbeda-beda.
Semua
agama
mengajarkan hal transendental yang tidak
mudah dipahami. Oleh sebab itu, untuk
memahami secara baik dan benar suatu
agama membutuhkan panduan seorang
guru yang memiliki pengetahuan yang
mapan tentang agama. Keanekaragaman
pemahaman terhadap yang transendental
sebagaimana diajarkan dalam semua
agama disebabkan oleh perbedaan tingkat
pengetahuan rohani setiap orang. Para
bijak Hindu memberikan solusi terhadap
pelan ini dengan membuat dua garis besar
peta wilayah kognitif teologis, yaitu teologi
Nirguna Brahman dan teologi Saguna
Brahman, selanjutnya dijabarkan menjadi
sub-sub teologi sesuai peta pemahaman
teologi setiap orang. Keragaman teologi
diciptakan dalam Hindu bertujuan agar
semua manusia dengan tingkat kerohanian
yang berbeda sama-sama memiliki
pemahaman tentang Tuhan. Melalui
pemahaman yang benar terhadap teologi
Hindu, seseorang tidak akan salahpaham
terhadap Hindu.
Keywords: God, Area, Cognitive, Theology,
Hindu
Kata kunci: Tuhan, Wilayah, Kognitif,
Teologi, Hindu
Pendahuluan
Para intelektual Hindu harus
berpikir serius untuk memberikan
penjelasan rasional tentang berbagai
hal, seperti ritual Hindu yang sering
HARMONI
Mei - Agustus 2015
mendapat kritikan baik berasal dari
luar muapun dari umat sendiri (Pandit,
2010:128 dan Donder, 2013:1). Artikel
ini para intelektual ingin mendorong
lebih serius berpikir tentang Teologi
Hindu. Hal ini sesuai dengan tuntutan
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
zaman seiring karakter dan peradaban
masyarakat modern yang dibentuk oleh
hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ciri masyarakat modern dewasa
ini adalah rasional dan ilmiah, termasuk
ketika berdialog tentang Tuhan. Mereka
membutuhkan jawaban-jawaban ilmiah
dan rasional. Terkait dengan tuntutan
karakter masyarakat modern seperti
itu, umat Hindu belum siap berdialog
teologis dengan umat agama lain. Hal
ini disebabkan karena berteologi dalam
lingkungan umat Hindu termasuk di
lingkungan para akademisinya belum
lazim.
Di lingkungan umat Hindu baik di
India maupun di Indonesia (Bali) lebih
lazim berdialog secara filosofis daripada
berdialog secara teologis. Beberapa
guru besar (profesor) di bidang filosofi,
mereka juga bersikap dingin terhadap
wacana teologi, alasannya karena
teologi itu cenderung bersifat dogmatis
dan apologetik. Walaupun pandangan
mereka sah-sah saja, namun dalam abad
post modern ini setiap umat beragama
(utamanya para tokoh umat) mutlak
harus memahami teologi agama yang
dianutnya. Jika mereka tidak memiliki
pengetahuan teologis, maka mereka
tidak akan mampu membedakan antara
berteologi dan berfilsafat. Dialog teologis
menggunakan sumber teks kitab suci
sebagai argumentasinya, sedangkan
dialog filosofi mengandalkan jawaban
spekulatif dari pikiran filosofi secara
radikal, dibantu juga oleh pandangan
para filsuf.
Tradisi para intelektual Hindu
yang tidak suka dengan dialog teologis
mengakibatkan sangat langkanya karya
intelektual Hindu di bidang teologi,
khususnya karya yang berjudul Teologi
Hindu. Berdasarkan data, di India sendiri
hanya ada satu buku Teologi Hindu
yang ditulis oleh orang asing, yaitu Dr.
Jose Pereira (1976, 1991, 2012), seorang
23
peneliti, penulis dan merangkap sebagai
misionaris Kristen. Ia menyusun Teologi
Hindu bersumber pada kitab-kitab
Upanisad yang tidak lain adalah pustaka
filsafat. Di Indonesia hanya ada empat
buku yang menyinggung tentang Teologi
Hindu, keempat buku tersebut ada yang
secara eksplisit berjudul Teologi Hindu
dan ada yang bersifat inplisit.
Keempat buku tersebut adalah,
Pertama, buku yang disusun oleh Gde
Pudja, M.A., SH. (1977), dengan judul
Teologi Hindu (Brahma Widya), buku
ini terlalu kecil dilihat dari jumlah
halamannya yang hanya berjumlah
54 halaman. Buku ini juga terlalu
kecil dilihat dari sudut pandang objek
formalnya karena di dalam buku ini
belum ada uraian yang jelas tentang apa
dan bagaimana struktur epistemologi
Teologi Hindu itu.
Buku kedua, adalah buku yang
disusun oleh Dr. I Made Titib (2003).
Buku ini walaupun lebih tebal dari buku
pertama, yakni 498 halaman, namun di
dalamnya hanya 45 halaman membahas
secara khusus tentang ketuhanan
dalam Hindu. Buku ini juga belum
menunjukkan karakter teologis dan
prosedur epistemologi Teologi Hindu
secara jelas dan tegas. Dalam buku ini,
objek formal Teologi Hindu juga belum
dibahas secara lugas. Buku ini hanya
secara implisit menguraikan tentang
Teologi Hindu, sebab buku ini ditulis
dengan judul Teologi dan Simbol-Simbol
dalam Agama Hindu.
Buku ketiga, adalah buku yang
ditulis oleh I Ketut Donder (2006)
dengan judul Brahmavida – Teologi Kasih
Semesta. Buku setebal 364 ini di dalamnya
terdapat uraian ontologi, epistemologi
dan aksiologi teologi secara umum serta
ontologi, epistemologi dan aksiologi
Teologi Hindu. Selain itu dalam buku ini
juga terdapat kritik terhadap bangunan
ilmu teologi saat ini yang dikungkung
oleh dogmatika dan apologetika.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
24
I KETUT DONDER
Buku keempat, adalah buku yang
juga ditulis oleh I Ketut Donder (2010)
berjudul Teologi – Memasuki Gerbang Ilmu
Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Paradigma
Sanatana Dharma. Buku ini merupakan
perluasan dari buku sebelumnya. Dalam
buku ini terdapat uraian tentang wilayahwilayah kognitif teologi yang sangat
berguna untuk mempelajari temtang
evolusi pemahaman manusia terhadap
pengetahuan
ketuhanan
(teologi).
Perbedaan kognitif teologis pada setiap
orang dan kelompok orang tidak perlu
diperdebatkan. Perbedaan cara pandang
merupakan esensi dari isi dunia yang
bersifat plural (pluralism). Sesuai dengan
karakter dunia yang plural, maka
Teologi Hindu (Brahmavidya) dibangun
atas dua cabang utama, yaitu Teologi
Nirguna Brahman dan Teologi Saguna
Brahman. Kedua cabang teologi tersebut
dikembangkan dalam berbagai derivasi
(cabang, turunan) teologis berupaya
memberikan solusi terhadap konflik
pemahamn teologis dari semua orang
dalam semua tingkatan umur dan semua
tingkatan pengetahuan.
Artikel ini merupakan jenis
studi kualitatif dengan pendekatan
teologi Hindu. Studi kualitatif yang
dimaksudkan dalam artikel ini adalah
kualitatif interteks yang terfokus pada
teks (buku) karya Donder (2010) dengan
judul Teologi: Memasuki Gerbang Ilmu
Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Perspektif
Sanatana Dharma. Alasan tentang fokus
studi teks pada buku karya Donder
tersebut karena hanya dalam buku
tersebut terdapat perihal uraian secara
jelas tentang pluralisme konsep Teologi
Hindu, evolusi kesadaran teologi, yang
disebut wilayah-wilayah teologi. Datadata diperoleh langsung dari teks-teks
(buku) yang berkaiatan dengan teologi
Hindu yang selanjutnya diverifikasi,
reduksi, dan kemudian dianalisis secara
deskriptif. Pada bagian terakhir dari studi
ini dilakukan penarikan kesimpulan.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Pembahasan
Kesalahpahaman terhadap Hindu Akibat
Studi Orientalisme
Agama Hindu dengan Veda sebagai
kitab sucinya merupakan agama paling
tua di dunia (Bleeker, 2004:7). Sivānanda
menyatakan bahwa: Veda merupakan
pustaka suci tertua dalam kepustakaan
umat manusia. Veda merupakan sumber
utama dari agama. Sejak dahulu kala
Veda hanya dilapalkan, namun abadabad belakangan setelah manusia mulai
berkurang kualitas daya hafalnya, maka
Veda mulai dituliskan. Veda bersifat abadi
dan tanpa pribadi.
Tanggal atau waktu turunnya wahyu
yang ditulis dalam Veda tidak mungkin
dapat diketahui secara pasti. Para ahli
sejarah agama seperti Joachim Wach dan
yang lainnya tidak akan dapat menetapkan
secara eksakta waktu turunnya wahyu
Tuhan yang kemudian ditulis di dalam
Veda. Sivānanda menambahkan bahwa
Veda merupakan
kebenaran spiritual
abadi, Veda juga merupakan perwujudan
dari pengetahuan ketuhanan. Bukubuku mungkin dapat dihancurkan tetapi
pengetahuan ketuhanan tidak mungkin
dapat dimusnahkan. Pengetahuan itu
abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda
juga abadi (Donder, 2006:v).
Uraian
Sivānanda
di
atas
mempermaklumkan kesulitan para ahli
sejarah agama untuk menetapkan umur
Veda. Mereka hanya mampu menyatakan
tahunnya secara spekulatif. Perkiraan
dari para ahli sejarah sangat berbedabeda, ada yang memperkirakan 6000 SM,
5000 SM, 4000 SM, 1500 SM dan bahkan
ada yang memperkirakan 400 SM, selisih
perbedaannya hingga ribuan tahun
sehingga tampak sebagai suatu yang
sangat tidak masuk akal (Donder, 2004:5
dan 2010:413).
Swami Prakashnanda Saraswati
menyatakan bahwa kegamangan dan
kekaburan
pengetahuan-pengetahuan
25
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
Hindu ini disebabkan oleh usaha
penghancuran sejarah dan kitab-kitab
Hindu oleh penjajah Inggris melalui
organisasi Asiatic Society yang lebih
dikenal dengan kajian-kajian Orientalism
(Saraswati, 2014:245). Hal ini sesuai
pendapat Richard King dan Edward W.
Said yang menguraikan Orientalisme yang
selalu mengacu pada wacana-wacana
khusus untuk mengkonseptualisasi
Timur (Said, 2010:3), menyebabkan
Timur sangat mudah dikendalikan
dan diatur. Orientalis selalu dikaitkan
dengan agenda imperial yang bertujuan
untuk mengendalikan atau menjajah
Timur (King, 2001:162). Dokumendokumen tentang usaha Dr. William
Jones sebagai wakil pemerintahan
kolonial Inggris di India dan juga
sebagai Directur Asiatic Society yang
berobsesi untuk mengkaburkan sekaligus
menghancurkan ajaran Hindu sampai saat
ini masih tersimpan di Museum Calcutta
sebagaimana tertulis dalam buku The
True History and The Religion of India karya
Swami Prakashananda Saraswati (2014).
Studi orientalisme merupakan
faktor utama kesalahpahaman terhadap
Hindu. Studi orientalisme telah berhasil
merusak pengetahuan sejarah dan
kitab-kitab suci Hindu. Akibatnya,
kesalahpahaman tersebut tidak saja dari
pihak non-Hindu, tetapi juga dialami oleh
umat Hindu sendiri. Kesalahpahaman
tersebut adalah wajar dan alamiah,
sebab kesalahpahaman itu disebabkan
ketidaktahuan. Sumber kesalahpahaman
itu adalah ketidaktahuan (Jelantik,1982:44
dan Wisasmaya, 2012:87). Cara untuk
mengurangi kesalahpahaman terhadap
segala suatu termasuk terhadap agama
adalah mempelajarinya secara objektif,
jujur, baik dan benar melalui sumber yang
valid (Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya,
2012:104). Hanya dengan cara demikian
maka
seseorang
akan
memiliki
pemahaman yang benar terhadap suatu
agama terlebih pada agama Hindu
yang penuh dengan penggunaan
berbagai macam simbol yang bertujuan
untuk menggambarkan Tuhan yang
tak terlukiskan. Oleh sebab itu agama
Hindu adalah agama yang sangat
kompleks (Smith, 2004:19) membutuhkan
pemahaman yang mendalam.
Bagi orang-orang yang tidak
memahami Hindu secara mendalam bisa
salah sangka terhadap Hindu. Sebagai
contoh, wahyu-wahyu Tuhan yang
diperoleh para maharsi melalui cara
samadhi (Bleeker, 2004:9) dianggap bukan
wahyu oleh orang-orang yang tidak
memahami agama Hindu.
Hindu Menyembah Tuhan Yang Maha Esa
Sebagaimana telah diuraikan bahwa
pada dasarnya semua agama menyembah
Tuhan Yang Satu dan Tuhan Yang Sama,
karena itu Hindu juga menyembah Tuhan
Yang Maha Esa sebagaimana diyakini
oleh semua penganut agama. Hal ini
secara eksplisit tersurat dalam Veda yang
menyatakan eko narayanadvityo’sti kascit
artinya ’hanya satu Tuhan tidak ada
duanya’. Pernyataan lainnya dalam Veda
ekam sat viprah bahuda vadanti artinya
’hanya satu Tuhan tetapi orang bijaksana
menyebutnya dengan banyak nama’
(Sudharta dan Atmaja, 2014:5-6).
Ide dasar bahwa Hindu adalah
agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa
sebagaimana juga semua agama sangat
jelas terdapat dalam teks-teks suci Hindu,
hanyalah pada penggunaan metode untuk
memahamiNya dan cara menyembahNya
saja yang berbeda. Perbedaan tersebut
adalah wajar dan dibenarkan oleh
Tuhan. Hal tersebut sebagai wujud cinta
dan kasih sayang Tuhan kepada umat
manusia yang masing-masing memiliki
perbedaan level pemahaman. Hal
tersebut sesuai dengan sloka Bhagavadgῑtā
IV.11 yang berbunyi: ”dari manapun
dan dengan cara apapun umat manusia
datang kepada Tuhan akan diterima”.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
26
I KETUT DONDER
Madrasuta (2010:17) menguraikan bahwa
sekalipun Veda menyatakan Tuhan itu
Satu dan hal ini dipertegas lagi dalam
Upanisad, tapi karena Hindu tidak
melarang umatnya untuk memuja hanya
salah satu aspek, salah satu sifat, salah
satu sinar (Dev) dari Tuhan, maka timbul
kesan (sebagai kesalahpahaman) bahwa
Hindu menyembah banyak Tuhan.
Setiap agama mengajarkan untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
namun karena Tuhan bersifat abstrak,
metafisik dan transenden (paravidya),
maka Tuhan tidak mudah untuk dipahami
oleh setiap orang, karena itu setiap orang
membutuhkan panduan seorang guru
yang mapan. Hal ini sangat relevan
dengan uraian pustaka Sarasamuscaya 40
dan Geguritan Sucita I.XII.40.
Sarasamuscaya 40 menyatakan:
”Kitab Suci takut pada orang bodoh
sebab khawatir akan disalahartikan”.
Selanjutnya Geguritan Sucita I.XII.40
menyatakan: ”Karena demikian luhur
dan halusnya isi sastra dan agama,
karena itu tidak mudah dipelajari secara
mandiri, karena harus meminta petunjuk
dari guru yang mapan. Jika tidak, maka
seseorang bisa sangat bertentangan
dengan apa yang dipahaminya” (Krishna,
2015:41; Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya,
2012:104).
Menyadari keanekaragaman kualitas
pemahaman akibat perbedaan evolusi
dan level kecerdasan setiap orang dalam
memahami yang transendental, maka
para bijak Hindu secara garis besarnya
membuat dua macam teologi. Pertama,
teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi
yang menjelaskan tentang Tuhan yang
tidak dikaitkan dengan atribut apapun,
tidak bisa diasumsikan dengan sifat
apapun dan tidak bisa dibayangkan seperti
apapun. Kedua teologi Saguna Brahman
adalah teologi yang menjelaskan tentang
Tuhan dengan atribut dan bermanifestasi
HARMONI
Mei - Agustus 2015
sebagai sinar-sinar suci (Dev). Dua macam
teologi ini sesuai dengan peta wilayah
kognitif pemahaman teologis manusia
yang selanjutnya dijabarkan ke dalam
sub-sub peta wilayah kognisia teologis
berdasarkan level pemahaman teologi
setiap orang.
Teologi Hindu dan Kesalahpahaman
terhadap Hindu
Kata-kata Teologi Hindu sampai
saat ini masih sangat asing di telinga
umat Hindu termasuk di telinga para
intelektual Hindu. Padahal Teologi
Hindu mutlak harus dipahami oleh setiap
umat Hindu. Donder (2010) dalam Teologi
Sanatana Dharma menguraikan bahwa
pembahasan tentang teologi dalam
Hindu sesungguhnya bukanlah sesuatu
yang baru. Bhagavadgita sebagai pustaka
Hindu yang sangat tua pada setiap
akhir percakapan selalu ditutup dengan
kalimat: Ity śrῑmad bhagavadgῑtāsupaniatsu
brahmavidyāyām ......., yang artinya:
“Inilah wejangan Bhagavadgῑtā, yaitu
ilmu tentang Tuhan Yang Maha
Mutlak (teologi).” Kalimat ini diulang
sebanyak 18 kali pada setiap akhir bab
Bhagavadgῑtā. Hal tersebut membuktikan
bahwa pembicaraan tentang Brahmavidya
atau ilmu ketuhanan (teologi) bukanlah
hal baru dalam khazanah pengetahuan
Hindu.
Aryabhatta (dalam Titib, 1996:7 dan
2003:7) menyatakan bahwa Bhagavadgῑtā
diwejangkan oleh Sri Krishna saat
Bharatayuda yang jatuh pada tanggal 18
Februari 3102 SM, sehingga Teologi Hindu
telah dibicarakan sejak 5117 tahun yang
lalu. Sejak lima ribu tahun lebih Teologi
Hindu telah dibahas dengan cakupan
teologi yang sangat luas meliputi bidang
pengetahuan dan kepercayaan yang
sangat luas pula meliputi segala macam
isme yang dianut oleh manusia, karena
itu pula Brahmavidya dapat disebut
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
sebagai Teologi Kasih Semesta (Donder,
2006; 2010).
Pengkajian Teologi Hindu mutlak
harus dilakukan sebagaimana pustaka
Brahma Sūtra I.I.1 menyatakan athāto
brahmajijñāsā yaitu ’penyelidikan ke dalam
Brahman harus dilakukan’ (Śakarācārya,
2011:6). Svami Viresvarananda (dalam
Donder, 2010:69) menyatakan bahwa
penyelidikan adalah hal yang sangat
penting, karena ada ketidak-pastian
mengenai hal itu, dan kita menemukan
berbagai pandangan yang berlainan
bahkan bertentangan mengenai sifat-sifatNya. Hasil penyelidikan itu akan mampu
mengungkap tentang pengetahuan Sang
Diri yang selanjutnya membawa manusia
untuk dapat mengalami pembebasan
sejati. Karena itu secara aksiologis
penyelidikan tentang Brahman melalui
pengujian dengan naskah-naskah Vedanta
yang berkaitan denganNya menjadi
sangat penting dan berharga.
Lebih lanjut, Svami Viresvarananda
(dalam Donder 2010: 69) menguraikan
bahwa
agar
manusia
memahami
pengetahuan tentang Brahman (Tuhan)
secara benar, maka Tuhan harus diberikan
atribut seperti nama atau gelar, manifestasi
atau sifat-sifatNya yang tertentu. Jika
Tuhan tidak beratribut maka tidak
mungkin dapat dijangkau oleh manusia
suci sekalipun apalagi manusia biasa
atau masyarakat awam. Brahman yang tak
terjangkau oleh pengetahuan manusia
itu, masuk dalam wilayah pengetahuan
paravidya, pengetahuan ketuhanan atau
teologi pada wilayah pemahaman ini
disebut pengetahuan Nirguna Brahma.
Tuhan pada wilayah teologi ini tidak
mungkin diajarkan secara umum kepada
masyarakat luas sebagaimana juga
diisyaratkan dalam Bhagavadgita X:2 dan
XII.5 (Radhakrishnan, 2014: 303 dan 346;
Krishna, 2015:389 dan 476).
Pengetahuan
teologi
Nirguna
Brahma hanya dapat dikuasai oleh
sebagian kecil umat manusia atau
27
hanya dikuasai oleh orang-orang suci
(para rsi, yogi, sufi), yaitu mereka yang
sudah terbebas dari kesadaran fisik atau
kesadaran materi. Orang seperti itu
adalah orang yang setiap detik selalu
ingat dan berhubungan dengan Tuhan,
atau dalam setiap tarikan napasnya selalu
ada Tuhan yang melampaui batasan
nama, bentuk, atribut, manifestasi, dsb.
Sedangkan untuk kebutuhan manusia
pada umumnya, maka para bijak
menciptakan pengetahuan tentang Tuhan
yang memiliki nama, bentuk, atribut dan
berbagai manifestasi yang spesifik sesuai
tujuan pemujaan. Pengetahuan tentang
Tuhan dengan atribut ini masuk dalam
wilayah kognitif teologi Saguna Brahma.
Sesungguhnya
teologi
Saguna
Brahma ini bersifat metodologis agar
seluruh umat manusia mengalami
pencerahan
dan
sampai
kepada
pengetahuan transenden serta dapat
mengalami hubungan dengan Tuhan.
Pada wilayah kognitif teologi Saguna
Brahma inilah munculnya ñyasa atau
bentuk-bentuk simbol keagamaan dalam
bentuk gambar, patung, wajah dewa, dsb.
Sehingga kehadiran segala bentuk simbol
harus dilihat sebagai sarana atau alat
yang digunakan untuk mempermudah
aplikasi metode pengetahuan tentang
Tuhan Saguna Brahama. Jika saja setiap
orang atau para penulis buku, pengarang
buku, para peneliti, para teolog, dan
para ilmuwan memahami hal ini, maka
niscaya tidak akan ada kesalahpahaman
dan tudingan yang sumir terhadap Hindu
(Donder, 2010).
Dalam
upaya
membangun
hubungan yang harmonis antara sesama
manusia, maka setiap penganut agama
sangat penting memahami secarai baik
dan benar tentang teologi sebagaimana
diajarkan di dalam agama yang dianutnya.
Tidak ada iman yang kokoh tanpa
dilandasi oleh pemahaman teologi sesuai
dengan agama yang dianutnya. Artikel
yang ditulis Donder (2008:22-23) dalam
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
28
I KETUT DONDER
majalah Media Hindu Jakarta dengan
judul Umat Hindu Mutlak Memahami Teologi
Hindu. Pada artikel tersebut ditulis bahwa
”Semua konversi agama yang selama ini
dialami umat Hindu sejak zaman dulu
hingga saat ini merupakan isyarat bahwa
Teologi Hindu tidak tertanam kuat hingga
menjadi dasar keyakinan yang kuat
terhadap sebagian besar umat Hindu di
Indonesia, India dan khususnya di Bali.
Selain itu, setiap penganut agama penting
juga untuk memahami agama lain secara
proporsional untuk membangun sikap
dan pikiran yang positif terhadap semua
agama sebagai suatu realitas yang tidak
bisa diabaikan.
agar umat beragama tidak bertengkar
hanya karena perbedaan lereng gunung
agama yang dilalui. Hal ini sangat sesuai
dengan pernyataan Bhagavadgita III.21
(Radhakrishnan, 2014:160 dan Krishna,
2015:163).
Gambar 1
Sketsa Tesis Frithjof Schuon tentang
Titik Temu Agama-agama
Wilayah Teologi Secara Esoteris dan
Eksoteris
Frithjof
Schuon
membagi
umat manusia dalam dua kelompok
pemahaman teologis yang dituangkan
dalam sketsa esoteris dan eksoteris
sebagaimana gambar (Gbr.1) di bawah.
Schoun (1987) berpendapat bahwa konflik
tentang Tuhan terjadi pada masyarakat
umum yang belum memiliki pengetahuan
teologis yang mapan. Tetapi pada tataran
perspektif spiritualitas agama yang sangat
mapan seperti para yogi dan para sufi
tidak ada lagi konflik teologis. Kenyataan
ini dapat dianalogikan seperti para
pemanjat gunung, mereka akan melihat
pemandangan yang berbeda sesuai
dengan lereng gunung yang dilaluinya.
Semua pemandangan yang berbedabeda itu akan terlihat secara keseluruhan
ketika semua pemanjat gunung sampai
pada puncak gunung.
Sejalan dengan pandangan Schuon,
Donder (2010:31-33) sesuai dengan
fokus artikel ini menguraikan bahwa
ajaran Hindu mengelompokkan seluruh
umat manusia dalam dua kelompok
teologis, yaitu kelompok ahli (jñani) dan
kelompok awam (ajñani). Kelompok
jñani akan menggunakan teologi Nirguna
Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan
tentang Tuhan Yang Tidak Diberi
Atribut Apapun atau Tuhan Yang Tidak
Termanifestasikan. Sedangkan kelompok
ajñani menggunakan teologi Saguna
Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan
tentang Tuhan yang sebaliknya. Hal ini
relevan dengan tesis Schuon tentang
wilayah pemahaman esoteris dan
eksoteris.
Pada tingkat esoteris semua jalan
dan semua cara mendapat penghargaan
dan pengakuan yang sama. Untuk
m emban g un keh armon is an a ta u
kedamaian antarumat beragama, para
pendaki gunung spiritualitas agama yang
sudah sampai pada level esoteris memiliki
kewajiban untuk memberi teladan
Berdasarkan
analisis
teologis
itulah maka muncul konsep dan metode
berbeda-beda untuk menggambarkan
Tuhan Yang Sama. Kehadiran konsep
Tuhan yang digambarkan seperti
manusia, leluhur, benda-benda kosmis
dibutuhkan untuk kelompok awam
(ajñani atau orang pada umumnya).
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Sumber: Frithjof Schuon (1987:x)
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
Sedangkan kehadiran konsep Tuhan
Yang tidak dapat dibayangkan seperti
apapun adalah konsep teologi untuk
para jñani (para resi atau yogi). Pluralitas
teologis yang muncul dalam Hindu
untuk menolong umat manusia yang
memiliki berbagai level pengetahuan dan
kesadaran spiritual agar semua manusia
secara bersama-sama mencapai yang
transendental sebagaimana (Gbr.2). Jika
pluralitas konsep teologi Hindu dipahami
secara komprehensif maka seseorang
tidak akan salahpaham terhadap Agama
Hindu.
Wilayah-Wilayah Kognitif
dalam Teologi Hindu
Teologis
Kepercayaan seseorang kepada
Tuhan atau yang bersifat transendensi
ditentukan oleh tingkat kematangan
pengetahuan seseorang tentang konsep
Tuhan atau transendensi tersebut.
Semakin mampu seseorang berinsteraksi
makin mampu seseorang memahami hal
yang abstrak. Oleh sebab itu pemahaman
umat manusia terhadap Tuhan yang
abstrak atau Tuhan yang transenden
dapat dikelompokkan dan dipetakan
berdasarkan konsep wilayah-wilayah
kognitif teologis (Donder, 2010:31-44).
29
Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan
Ketuhanan Tanpa Wujud (A)
Objek
pertama
dan
utama
Brahmavidya atau teologi adalah Tuhan,
Tuhan dalam pengertian pertama adalah”
Tuhan Yang Tidak Dapat Dibatasi oleh
Ruang dan Waktu”. Tuhan dalam definisi
ini berada pada wilayah tanpa batas (Gbr.
2) yaitu gambar sketsa ilustrasi yang
hendak menggambarkan posisi tentang
wacana Tuhan berada pada wilayah
yang diberi simbol (A) (Donder, 2006:13,
2010:33). Oleh sebab itu tidak mungkin
bagi manusia dengan pengetahuan sangat
terbatas dapat membatasi Tuhan yang
Tak Terbatas. Tuhan dalam konsep teologi
Nirguna Brahma, tidak memiliki bentuk
tertentu, tidak memiliki nama tertentu,
tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu
apapun. Brahman atau Tuhan bukan ini
atau itu (neti neti) atau Impersonal God.
Selama kita memberi nama apapun
namaNya, hal itu telah mendefinisikan
Tuhan Yang Tak Terbatas ke dalam nama
atau bahasa yang terbatas. Hal ini tidak
mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya
’Pengetahuan tentang Tuhan’ pada
wilayah ini tidak mengizinkan pemujaNya untuk membayangkan Tuhan yang
Tak Terpikirkan (Acintya) sebagai apapun.
Gambar. 2
Sketsa Wilayah-Wilayah Teologi
Sumber: Donder (2010:34)
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
30
I KETUT DONDER
Sungguh sangat sulit membayangkan
bagaimana cara memuja Tuhan Yang
Tidak Terbayangkan. Kitab suci Hindu
dengan lugas menggambarkan wilayah
Tuhan yang Nirguna Brahma (Bhagavadgita
X.2; XII.5).
Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan
Ketuhanan Sebagai Simbol (B)
Donder
(2010:116,
2013:60)
menguraikan bahwa definisi Tuhan
sebagai bukan sesuatu, tidak berwujud
sesuatu, tidak mirip dengan apapun
menjadi
persoalan
besar
bagi
manusia. Karena manusia tidak dapat
memfokuskan pikirannya pada sesuatu
yang tidak berwujud apa-apa. Karena
itu, maka muncullah
simbol bunyi
sebagaimana dilukiskan pada Gbr. 2
dengan huruf AUM
OM yang juga
dijelaskan dalam Bhagavadgita X.25, 33.
Konsep Tuhan pada wilayah teologi (B),
masih termasuk dalam wilayah teologi
Nirguna Brahma atau Tuhan tidak dapat
dibayangkan. Sebagai Tuhan yang tidak
dapat dibayangkan, maka Ia sulit dipuja
oleh umat manusia pada umumnya, sebab
Tuhan sebagai objek pemujaan sifatnya
harus dapat dibayangkan. Aktivitas
pemujaan, persis seperti seorang yang
akan memanah, jika pikirannya tidak
terfokuskan maka sasaran pemujaan
bisa meleset. Demikian pula hakikat
Tuhan sebagai objek yang disembah oleh
manusia, untuk itu orang suci berkenan
memberikan solusi melalui simbol aksara
(huruf).
Dari sekian banyaknya aksara,
maka ada 3 (tiga) aksara yang mewakili
semuanya itu, yaitu: pertama, huruf (A)
yang karena artikulasinya menyebabkan
mulut dalam posisi terbuka yang mirip
dengan tanda “lebih besar” (>) atau
tanda lebih kecil (<) dalam simbol-simbol
matematik. Simbol itu diasumsikan
sebagai “saat penciptaan”, karena ada
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ruang yang terbuka (kosong) yang
menjadi tempat bagi hadirnya ciptaan.
Kedua, huruf (U) yang membuat mulut
seolah membentuk simbol union ( ),
simbol ini diasumsikan sebagai “saat
pemeliharaan”. Dan yang ketiga, huruf (M)
atau jika diguling ke kiri akan membentuk
simbol jumlah (Σ), bentuk simbol ini sama
dengan simbol (=), membentuk mulut
tertutup rapat yang mengandung makna
sebagai kondisi berakhirnya sesuatu,
penutup, atau peleburan. Ketiga simbol
tersebut mengandung hakikat dari Tri
Murti (tiga manifestasi Tuhan sebagai
Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur),
mewakili seluruh manifestasiNya. Tidak
ada kata-kata di dunia dalam bahasa
apapun yang dapat mewakili seluruh
manifestasi Tuhan melebih dari kata
AUM (Donder, 2010:36, 2013:60).
Nir-saguna Brahma, Wilayah Pengetahuan
Ketuhanan Semipribadi (C)
Wilayah ketiga dari peta wilayahwilayah pengetahuan ketuhanan (teologi)
seperti terlihat pada (Gbr. 2) di atas
adalah wilayah yang ditunjukkan oleh
daerah (C) terdiri dari wilayah (C1 dan
C2). Wilayah irisan antara wilayah teologi
Nirguna Brahma (A) dan wilayah teologi
Saguna Brahma (E). Sehingga wilayah ini
dapat disebut sebagai wilayah perpaduan
antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma.
Wilayah teologis ini dapat disebut sebagai
wilayah semi antara Nirguna Brahma dan
Saguna Brahma atau dapat disebut sebagai
wilayah teologi Nir-saguna Brahma atau
wilayah yang non-rasional tetapi dapat
dideskripsikan secara rasional. Deskripsi
ini termasuk dalam kawasan Tuhan yang
tidak dapat dibayangkan, namun karena
kebutuhan manusia, maka penjelasanpenjelasan di wilayah Saguna Brahma
dapat dijadikan sebagai sarana untuk
memperkuat deskripsi dan argumenasi
teologi Nirguna Brahma (Donder, 2010:35).
Dalam hal ini manusia boleh memahami
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
Tuhan melalui atribut-atribut nama,
warna, dan wujud sesuatu. Apapun nama
yang ditujukan kepada Tuhan adalah
simbol sekaligus bentuk, paling tidak
dalam bentuk kata-kata. Chandra Bose
(dalam Donder, 2010:37:) dalam karyanya
yang berjudul The Call of Veda mengatakan
bahwa nama Tuhan dalam pikiranpun
adalah suatu simbol yang sama
esensinya dengan gambar atau patung.
Sesungguhnya teologi dari semua agama
berada pada wilayah teologi ini. Jika saja
hakikat teologi seperti ini dipahami oleh
para pemeluk agama, maka tidak akan
ada pertengkaran atau pelecehan agama
oleh siapapun hanya karena perbedaan
nama Tuhan yang dipujaNya.
Saguna Brahma, Wilayah
Ketuhanan Berperibadi (D)
Pengetahuan
Donder (2010:38) menguraikan
bahwa sesungguhnya apa yang disebut
oleh teologi Barat sebagai teologi
monotheisme berada pada wilayah teologi
Saguna Brahma ini. Dalam monotheisme
Barat ini, Tuhan dibayangkan sebagai
laki-laki yang berada jauh (transendent)
di suatu tempat yang disebut sorga. Dari
tempat yang jauh itu, Tuhan menguasai
dan mengurus alam semesta berserta
seluruh ciptaan-Nya. Toynbee (dalam
Madrasuta, 2010:17) menyatakan bahwa
Tuhan Yang Esa dan transenden terpisah
atau berada di luar universum. Selaras
dengan Toynbee dalam Hindu, Tuhan
sebagai personal God dilukiskan sebagai
sosok manifestasi (para Deva) dengan
fungsi atau tugas masing-masing sesuai
dengan sifatNya. Dalam wilayah teologi
Saguna Brahma (D), masih terdapat rasa
enggan untuk mengeksplisitkan Tuhan
yang personal sebagai yang benar-benar
personal, karena di dalamnya masih ada
berbagai pertimbangan termasuk juga
memasukkan unsur Nirguna Brahma.
31
Wilayah Saguna Brahma, Tuhan Berperibadi
(E)
Di
wilayah-wilayah
teologis,
maka teologi Saguna Brahma (E) atau
teologi yang mengasumsikan Tuhan
menggunakan berbagai macam atribut
adalah wilayah teologi yang paling
mudah untuk di dekati oleh nalar
manusia. Nalar, atau akal menjadi sangat
penting dan perlu dihargai (Donder,
2010:39). Suyono
(2008:157) dalam
Reformasi Teologi menyatakan bahwa ilmu
Kalam (Teologi Islam) sejak awal berciri
rasional-dialektis. Karena itu teologi Islam
mampu berdialog dengan perkembangan
ilmu pengetahuan kontemporer. Abduh
(dalam Suyono, 2008:171) menyatakan
bahwa dalam Risalat, akal diakui
sebagai kekuatan atau daya yang dapat
membedakan manusia dengan mahluk
lain. Dengan akal manusia dapat
mengetahui baik hal-hal konkrit di alam
ini yang harus terus diselidiki, dengan
itu bisa menggapai keyakinan adanya
Sang Pencipta maupun hal-hal yang
abstrak seperti sifat-sifat Tuhan. Suyona
(2008:172) menguraikan bahwa akal
yang dimaksudkan di sini adalah akal
yang berada pada derajat tinggi, bukan
akal orang-orang awam. Tingkatan akal
tertinggi yang mendapat limpahan dari
Tuhan bisa menjadi pendukung dan
penopang agama yang paling kokoh
dan merupakan sumber keyakinan bagi
iman yang benar. Sesuai sifat filsafat yang
mengandalkan akal secara radikal, maka
dalam filsafat Ketuhanan juga ada banyak
cara melihat Tuhan.
Uraian Suyono dan Santoso
penting dirujuk pada tulisan ini untuk
menunjukkan bahwa keanekaragaman
teologi di antara berbagai agama
adalah
suatu
keniscayaan
karena
keanekaragaman
itu
lahir
dari
kemampuan akal manusia yang berbedabeda dalam menggambarkan yang
transenden. Sehingga keanekaragaman
teologi dalam satu agama juga merupakan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
32
I KETUT DONDER
suatu keniscayaan. Perbedaan teologi itu
lahir dari tantangan nyata yang dialami
oleh komunitas umat beragama. Dalam
rangka memecahkan persoalan-persoalan
teologis yang dialami oleh umat beragama
di berbagai tempat, ruang, dan waktu
yang berbeda maka lahirlah perbedaanperbedaan teologi (Gbr.1 dan Gbr.2).
Hal ini dapat menjelaskan keberadaan
bermacam-macam teologi mulai dari praanimisme hingga monoteisme semuanya
itu berguna bagi manusia. Semua bentuk
teologi sebagai jawaban atas persolan
teologis yang pada akhirnya dapat
dikonsumsi oleh umat manusia sesuai
dengan situasi dan kondisi atau perspektif
tempat, ruang, dan waktu. Karena itu
para tokoh umat harus menjadi teladan
dalam menghargai perbedaan konsep
teologis sesuai sloka Bhagavadgita III.21
dan Bhagavadgita III.26 (Krishna, 2015:163,
166).
Wilayah Tuhan Berperibadi (F)
Wilayah teologi Personal God (F)
sebagaimana ditunjukkan pada Gbr.1
dan Gbr.2 di atas yang terhubung
dengan kotak-kotak agama relevan
dengan tesis Schuon tentang esoteris
dan eksoteris. Hal itu menunjukkan
bahwa setiap agama memiliki teologi
sendiri (Donder, 2010:43). Objek teologi
semua agama adalah sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, perbedaannya terletak
pada
prosedur
epistemologisnya.
Seharusnya setiap teologi agama sebagai
sebuah ilmu pengetahuan ilmiah tidak
membenturkan prosedur epistemologi
yang memang berbeda. Sebuah perspektif
pasti akan berbeda dengan perspektif
yang lainnya. Hal terpenting yang
harus dipertimbangkan adalah bahwa
apapun pengetahuan teologi itu, harus
bermanfaat sebesar-besarnya dalam
mewujudkan rasa damai dan bahagia
dalam kehidupan umat manusia. Itulah
aksiologi yang terpenting dari teologi.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Berdasarkan uraian di atas sangat
jelaslah bahwa ontologi atau objek
material teologi adalah Tuhan. Teologi
berhadapan dengan objek yang sulit
dideskripsikan, yaitu objektif yang bersifat
melampaui realitas (super-realitas) atau
nirguna. Walaupun demikian manusia
dengan segenap akalnya berupaya agar
dapat memuja Tuhan secara sungguhsungguh, maka manusia mencetuskan
ide-ide metodologi yang dituangkan
dalam prosedur teologi. Melalui prosedur
tersebut Tuhan Yang Maha Abstrak atau
Objek Yang Melampaui Realitas (superrealitas), direalisasikan melalui simbolsimbol yang berkenaan dengan sifat-sifat
tertentu yang ada pada-Nya (saguna).
Dengan demikain, Tuhan Yang
Tak Terbatas, diberikan batasan-batasan
tertentu demi kebutuhan manusia agar
umat manusia dapat melaksanakan
hubungan dengan Tuhan. Teologi apapun
yang lahir melalui prosedur epistemologis
sesuai dengan pandangan setiap agama
adalah hal mulia karena teologi itu
sangat membantu umat manusia dalam
mewujudkan hubungan dengan Tuhan.
Hubungan dengan Tuhan Yang Tak
Terbatas tidak mudah dilaksanakan oleh
manusia yang terbatas (Bhagavadgita
XII.5), sebab para dewa dan para maharsi
sekalipun tidak mengenal Tuhan dalam
arti yang sebenar-Nya (Bhagavadgita X.2)
sebagaimana kedua sloka Bhagavadgita
tersebut telah dikutif di atas. Jadi
kehadiran Tuhan dalam Saguna Brahma
bersifat metodologis. Walaupun Tuhan
dalam dimensi Saguna Brahma bersifat
metodis, namun di dalamnya terdapat
semua kebenaran absolut ‘mutlak tak
terbantahkan’.
Dalam
masyarakat
Hindu
Bali, Teologi Saguna Brahman ini
dimplementasikan dalam bentuk ritual
yang beraneka macam, seperti ritual
Labuh Gentuh (Sukabawa, 2014) bahkan
ritual Tantik Ngerehang Barong (Subagia,
2015) dan berbagai ritual lainya seperti
upacara pemujaan pada berbagai
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
manifestasi Tuhan yang diekspresikan
kepada segmen-segmen alam, termasuk
kurban binatang ataupun animal sacrifice
(Donder, 2012).
Penutup
Agama Hindu sebagaimana juga
agama-agama lainnya, menyembah Tuhan
Yang Maha Esa, persoalan pokok yang
membedakan antara Hindu dan agamaagama lainnya adalah bahwa secara garis
besarnya Hindu memiliki dua macam
teologi, yaitu Teologi Nirguna Brahman,
yaitu teologi yang membahas tentang
Tuhan yang tidak dapat disamakan
dengan apa saja. Teologi jenis pertama
ini bukan ditujukan kepada umat biasa.
Teologi ini hanya bisa dipahami oleh
orang-orang yang memiliki pengetahuan
spiritual yang mapan seperti para rsi, yogi
atau para sufi.
33
Dunia ini tidak hanya dihuni
orang-orang yang mapan pengetahuan
spiritualnya, tetapi juga orang-orang
biasa. Teologi Saguna Brahman adalah
teologi yang cocok untuk umat manusia
pada umumnya. Teologi ini membolehkan
manusia untuk membayangkan Tuhan
Yang Tak Terbayangkan. Berdasarkan
konsep Teologi Saguna Brahman inilah
kemudian muncul konsep manifestasi
Tuhan dan munculnya simbol-simbol
religius untuk membantu manusia dalam
mengatasi kesulitan membayangkan
Tuhan.
Menyadari adanya dua konsep
teologi di atas, para tokoh agama harus
menjadi teladan dalam menghargai
perbedaan teologi setiap agama. Sikap ini
penting karena apapun dilakukan oleh
para tokoh akan diikuti oleh masyarakat
dan bahkan oleh dunia.
Daftar Pustaka
Amin, M. Darori. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti dalam Kesusastraan Islam Kejawen.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Kementerian Agama RI, 2011
Bose, A.C. The Call of Vedas. terj. I Wayan Maswinara. Surabaya: 2005
Donder, I Ketut. Panca Dhatu – Atom, Atma dan Animisme. Surabaya: Paramita, 2004
Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Mengenal Agama-Agama. Surabaya: Paramita, 2010.
Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Teologi Sosial Perspektif Hindu. Surabaya: Paramita,
2013.
Donder, I Ketut. ”Logical Interpretation of Some Permofming Hindu Rituals.” Thesis
Philosophy Doctor. India: Department of Sanskrit, Faculty of Arts, Rabindra
Bharati University Kolkata, 2013.
Donder, I Ketut. Brahmavidya Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita, 2006.
Donder, I Ketut. Teologi – Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita, 2010.
Donder, I Ketut. ”Agama dan Taman Bunga yang Indah,” Majalah Media Hindu, Februari
2015, hal.46-47.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
34
I KETUT DONDER
Donder, I Ketut. “The Essence of Animal Sacrifice in Balinese Hindu Ritual: Discourse
Around Theological, Philosophical, Mythological, Ritual and Scientific Phenomenna”
International Journal Multidisciplinary Educational Recearchn, Vol. 1, Issue 4,
September 2012 p.1-27.
Donder, I Ketut. ”Pemikiran Swami Vivekananda Tentang Pluralisme Agama-Agama,”
Majalah Media Hindu, September 2011, hal. 32-33.
Donder, I Ketut.”Umat Hindu Mutlak Harus Memahami Teologi Hindu,” Majalah Media
Hindu, September 2008, hal.22-23.
Jelantik, Ida Ketut. Geguritan Sucita. Surabaya: Paramita, 1982
Krishnan, Anand, Bhagavad Gita Bagi Orang Modern. Cibubur: Centre for Vedic and
Dharmic Studies, 2015
Krishnan, Anand. Dvipantara Dharma Sastra-Sarasamuscaya, Slokantara, Sevaka Dharma.
Cibubur: Centre for Vedic and Dharmic Studies, 2015
Madrasuta, Ngakan Made. Tuhan Agama & Negara. Jakarta: Media Hindu, 2010
Pandit, Bansi. The Hindu Mind – Fundamentals of Hindu Religion and Philosophy for All
Ages. New Delhi: New Age Books, 2009
Pereira, Jose, Teologi Hindu. Ed. I Ketut Donder. Surabaya: Paramita, 2012.
Prasoon, Shikant. Hinduism Eternal Human Religion – Clarified and Simplified. Delhi:
Hindologi Book, 2009
Puja, I Gde. Bhagavadgita. Surabaya: Paramita, 2013
Puja, I Gde. Teologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya: 1999.
Radhakrishnan, S. The Bhagavadgita. India: HarperCollin Publisher, 2014
Said, Edward W. Orientalisme – Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai
Subjek. Yogyakarta: 2010
Śa karācārya. Brahma Sūtra Bhā ya. Kolkata: Advaita Ashram,2011:
Saraswati, Swami Prakshānanda. Kebenaran Sejarah dan Agama Hindu, terj. I Ketut Donder.
Surabaya: World Hindu Parisad dan Paramita, 2014.
Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Subagia, I Made. “Ritual Tantrik Ngerehang Barong dan Rangda Di Desa Pakraman Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”, Disertasi Doktor Ilmu Agama.
Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2014.
Sudharta, Tjok Rai dan I Wayan Sukabawa, ”Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh Di Jalan Tol
Bali Mandara Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”,Disertasi
Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2015
Suka Yasa, I Wayan. “Rasa: Daya Estetik – Religius Geguritan Sucita”, Disertasi Doktor
Linguistik. Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana, 2010.
Suka Yasa, I Wayan. “Omkara Pranawa: Aksara, Tattva, Sastra”, Penelitian Dosen Program
Doktor Universitas Hindu Indonesia, 2015.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
KEESAAN TUHAN DAN PETA WILAYAH KOGNITIF TEOLOGI HINDU: KAJIAN PUSTAKA TENTANG PLURALITAS KONSEP TEOLOGI...
35
Suyono, H. Yusuf, Reformasi Teologi Muhammad QAbduh Vis ậ Vis Muhammad Iqbal.
Semarang: RaSAIL, 2008
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Hindu. Surabaya: Paramita, 2006
Wisasmaya, Ida Komang. Geguritan Sucita-Subudi Karya Besar Ida Ketut Jelantik. Surabaya:
Paramita, 2012
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
36
NURMAN KHOLIS
PENELITIAN
Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya
dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim
di Cirebon
Nurman Kholis
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015
dan direvisi 15 April 2015
Abstract
Abstrak
This research applied a qualitative
research with historical approach. Data
collection techniques were interviews and
observation. The purposes of this research
were as follows: 1). revealing Dewi Welas
Asih Temple development 2). explaining
the role of the Dewi Welas Asih Temple in
relation between Buddhist-Tionghoa and
Muslims in Cirebon nowadays. The result
of this research could be concluded that:
1). Buddhism came and grew in Indonesian
archipelago since the 5th century until the
15th century. Over the next five centuries,
Buddhist civilization dimmed and then
rose again after the formation of Republic
of Indonesia in 1945; 2). The historical
traces of Buddhism at past was marked by
establishment of Dewi Welas Asih Temple
in 1595; 3). The relationship between
Buddhist-Tionghoa and Muslims was
harmonious.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan pendekatan
sejarah. Tekhnik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dan observasi. Adapun tujuan
penelitian i.ni adalah sebagai berikut: 1).
Mengungkapkan perkembangan Vihara
Dewi Welas Asih; 2). Mengungkapkan
peranan Vihara Dewi Welas Asih dalam
relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di
Kota Cirebon pada masa kini. Berdasarkan
hasil penelitian, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: 1). Agama Buddha masuk
dan berkembang ke Nusantara sejak abad
ke-5 hingga abad ke-15. Selama sekitar
lima abad berikutnya, peradaban Buddha
meredup dan kemudian bangkit kembali
setelah terbentuknya Negara Kesatuan
RI pada tahun 1945; 2). Jejak sejarah
perkembangan agama Buddha pada masa
silam salah satunya terdapat di Vihara Dewi
Welas Asih yang diperkirakan berdiri pada
tahun 1595; 3). Mengenai relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon,
hubungan mereka berjalan harmonis dan
nyaris tidak pernah ada konflik.
Keywords: Harmony, Tionghoa Ethnic,
Buddhist-Muslim Relations
Pendahuluan
Berbagai agama telah berkembang
di nusantara sejak berabad-abad lamanya.
Ada yang tumbuh berkembang, ada
yang hilang, dan ada yang telah redup
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Harmoni, Etnis Tionghoa, Relasi
Umat Buddha-Muslim
kemudian hidup kembali, sebagaimana
halnya agama Buddha yang pernah
mengalami kemunduran seiring jatuhnya
Kerajaan Majapahit pada 1429. Selama
sekitar lima abad, peradaban Buddha
VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON
meredup dan kemudian bangkit kembali
setelah terbentuknya Negara Kesatuan
RI pada 1945 (http://www.buddhayana.
or.id, diakses 18 Agustus 2014).
Kebangkitan agama Buddha di era
modern ini, yakni pada masa masa akhir
penjajahan, telah dirintis sejak berdirinya
Perhimpunan Theosofi yang mempelajari
inti kebijaksanaan dari semua agama.
Melalui kelompok ini pula situs-situs
peninggalan umat Buddha pada masa
silam seperti Candi Borobudur dapat
ditemukan dan direkonstruksi (Darma
Suryapranata. Wawancara, 16 April 2014).
Kelompok ini pun mengundang seorang
Bikkhu dari Srilangka yaitu Nerada Thera
untuk berceramah di berbagai kota di
Indonesia pada 1934. Pada tahun ini pula
muncul sebuah perkumpulan bernama
Sam Kauw yang didirikan oleh Kwee Tek
Hoay untuk mempelajari tiga ajaran,
yaitu Buddha, Konghuchu, dan Tao.
Upaya membangkitkan kembali agama
Buddha kemudian muncul melalui
penyelenggaraan Waisak secara besarbesaran di Candi Borobudur pada 1953.
Setahun kemudian, Ashin Jinarkkhita
ditahbiskan sebagai Bikkhu pertama yang
merupakan orang asli orang Indonesia.
Seiring perkembangan tersebut, vihara
pun semakin banyak didirikan oleh
umat Buddha di Indonesia (http://www.
buddhayana.or.id, diakses 18 Agustus
2014).
Dalam perkembangannya, mengingat sebagian penganutnya berasal
dari etnis Tionghoa, tempat ibadah
umat Buddha ini selain disebut vihara
juga ada yang menyebutnya dengan
sebutan kelenteng. Namun sejak 1965,
istilah, pernak-pernik, maupun arsitektur
yang bercirikan Tionghoa dilarang
berkembang di Indonesia. Rumah ibadah
penganut Konfusianisme dan Taoisme
yang disebut Bio atau Miao pun harus
menambahkan kata vihara atau cetiya di
depan nama kelenteng atau berganti nama
37
dengan menggunakan bahasa Sanskerta
atau Pali (Sulani, 2013).
Selain perubahan-perubahan tersebut,
Pemerintah Orde Baru melakukan
penataan terhadap lembaga keagamaan
Buddha
dengan
membersihkannya
dari
anasir-anasir
adat
Tionghoa
yang dianggap sebagai budaya asing.
Ini terlihat dari isi Instruksi Menteri
Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun
1988 tentang Penataan Klenteng bahwa
tidak dibenarkan bangunan keagamaan
kepercayaan
tradisional
Tionghoa
menggunakan sebutan vihara atau cetya.
Bahkan, Walubi pun saat itu menyatakan
Imlek bukan hari raya agama Buddha
(http://www.buddhayana.or.id, diakses
18 Agustus 2014).
Namun, sejak munculnya Orde
Reformasi, agama Buddha yang juga
dilestarikan oleh Etnis Tionghoa di
Indonesia semakin berkembang. Hal ini
membuat komunitas Buddha-Tionghoa
semakin mudah menampilkan simbolsimbol keagamaan yang pada gilirannya
budaya komunitas ini dapat diterima
masyarakat luas. Salah satu simbol
tersebut adalah Vihara Dewi Welas Asih
yang diperkirakan telah berdiri pada
akhir abad ke-16 yakni sekitar tahun 1595
di Cirebon.
Realitas ini tentu menarik untuk
dilakukan pengkajian terutama mengenai
hubungan antara komunitas BuddhaTionghoa dan Muslim di Cirebon yang
lebih menampilkan harmoni daripada
konflik. Dengan demikian, berkenaan
dengan pola komunikasi dan interaksi
antarkomunitas beragama, model kajian
yang dapat dilakukan adalah kajian
yang tidak hanya terfokus pada konflik
kekerasan bernuansa agama, tetapi juga
seimbang dalam hal potensi integrasi
yang ada dalam komunitas agama
tersebut (Suprapto, 2013: 4).
Hal ini tentu
dihubungkan dengan
relevan jika
perkembangan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
38
NURMAN KHOLIS
agama di Cirebon khususnya mengenai
fakta sejarah adanya salah seorang istri
Sunan Gunung Jati bernama Ong Tin
yang berasal dari Tionghoa. Sebagian
pengikutnya bahkan ada yang tetap
beragama Buddha dan ada yang memeluk
Islam (Lihat Laksmiwati, 2013). Oleh
karena itu, selain pengkajian mengenai
relasi antar komunitas tersebut, menarik
juga untuk mengetahui bagaimana Vihara
Dewi Welas Asih berkembang dari masa
ke masa hingga dapat bertahan dan
bagaimana tempat sembahyang tersebut
kini difungsikan. Kedua hal ini perlu
diungkap sehubungan dengan hubungan
antara komunitas Tionghoa dengan
komunitas lain di Indonesia terutama
sebelum era reformasi 1998 yang lebih
banyak
membicarakan
konfliknya
daripada integrasinya.
Perbincangan soal konflik terkait
hubungan umat Buddha dengan umat
Islam pada skala regional di Asia
Tenggara juga terjadi ketika pembicaraan
mengenai pemeluk agama Buddha lebih
banyak soal kekerasan umat Buddha
kepada umat Islam di sana. Padahal
di sisi lain hubungan umat Buddha
dengan umat Islam di Indonesia sebagai
umat mayoritas berlangsung dengan
harmonis, namun tidak banyak diketahui
dan menjadi perbincangan masyarakat
luas di tingkat nasional, regional, dan
internasional.
Berdasarkan
paparan
dan
permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah: 1). Mengungkapkan
perkembangan Vihara Dewi Welas Asih;
2). Mengungkapkan peranan Vihara
Dewi Welas Asih dalam relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Kota Cirebon
pada masa kini.
Adapun landasan teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
integrasi sosial. Menurut M. Atho
Mudzhar (dalam Suprapto, 2013: 39),
integrasi sosial merupakan proses
atau potensialitas yang mendorong
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ke arah proses yang mana komponenkomponen
dua
kelompok
sosial
atau lebih menjadi terpadu sehingga
memberikan kebersamaan dan kesatuan
antara kelompok-kelompok yang ada.
Memperjelas
pengertian
tersebut,
Suprapto menyatakan bahwa integrasi
sosial adalah proses interaksi sosial yang
berlangsung menuju kesatuan sosial.
Proses ini dapat terjadi ketika setiap
anggota kelompok memberi pengakuan
dan juga menerima anggota kelompok
yang berbeda serta memberi kesempatan
kepadanya untuk berpartisipasi dalam
interaksi yang lebih luas (Suprapto, 2013:
40).
Fungsi semacam ini terdapat
dalam suatu agama yang memiliki
fungsi mengintegrasikan sistem sosial
pada bagian-bagian yang terpisah dan
menjadikannya suatu kesatuan. Suatu
kesatuan dimaksud tentu bukan dalam
konteks isi dan doktrin dan keyakinan,
melainkan pada hal kerja dan fungsi yang
dijalankannya suatu agama bagi suatu
sistem sosial. Dengan demikian, dalam
kajian ini, hal yang menarik bukan terletak
pada perbedaan karakteristik keyakinan
dan ritual suatu agama, melainkan pada
hal ihwal kerjanya yakni berupa fungsifungsi integratif yang dijalankan semua
agama bagi sistem sosialnya (Jones, 2010:
57).
Oleh karena itu, minat para ahli
sosiologi terhadap efek agama daripada
keyakinan konstituennya dikarenakan
beberapa hal. Pertama, sistem keyakinan
keagamaan banyak yang bercampur
bersama sehubungan dengan kesamaan
fungsi integratif yang dijalankan. Kedua,
sistem keyakinan banyak yang sangat
berbeda, tanpa acuan kepada tuhan atau
dewa atau roh halus atau kehidupan
sesudah mati, yang eksis setara dengan
agama. Hal inilah yang memperjelas
pengertian tentang karakteristik utama
dari eksplanasi fungsional (Jones,
2010:58).
VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON
Dengan demikian, bagi fungsionalis, konsekuensi-konsekuensi yang
tidak disengaja dari tindakan dan
tindakan manusia perlu dilakukan
identifikasi
terhadap
konsekuensikonsekuensi tersebut. Meskipun tindakan
ini tidak disadari oleh warga masyarakat
bersangkutan bahwa tindakan tersebut
mengandung efek fungsional yang
sangat penting bagi sistem sosial. Dalam
upaya membedakan kedua tingkat
analisis tersebut, kaum fungsionalis
pada umumnya mengacu kepada fungsi
“manifes” dari instuisi atau yang disadari
oleh warga masyarakat dan fungsi “laten”
atau yang tidak disadari oleh masyarakat.
Fungsi-fungsi yang tidak disadari ini
menurut para fungsionalis justeru
lebih penting untuk diidentifikasi guna
memahami fungsi dan kebertahanan
sistem sosial.
Karakteristik dari analisis fungsionalis
sebagaimana dimaksud meliputi: 1).
Perhatian lebih difokuskan pada efek
suatu aktivitas atau keyakinan, daripada
unsur-unsur
dasar
penyusunnya,
sehingga lebih memperhatikan kerja
dari suatu aktivitas atau keyakinan
tersebut daripada unsur-unsur aktivitas
atau keyakinan; dan 2). Penekanan
pada kebutuhan untuk keluar dari
eksplanasi warga masyarakat yang dikaji
mengenai aktivitas mereka dalam upaya
mengungkapkan signifikansi fungsional
yang sesungguhnya dari keyakinan dan
perilaku yang dilembagakan (Jones, 2010:
59).
Kajian tentang Vihara Dewi Welas
Asih telah dilakukan oleh peneliti
Belanda, J.L.J.Y. Ezerman dan hasil
penelitiannya dituangkan dalam bahasa
Belanda Beschrivjing van den Koan-IemTempel “Tiao-Kak Sie” Te Cheribon” yang
diterbitkan pada tahun 1918. Buku ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu Kuno oleh S. M. Latief dengan
judul “Perihal Kelenteng Tiao Kak Sie di
Tjirebon” dan kemudian diterjemahkan
39
ke dalam bahasa Indonesia oleh Iwan
Satibi (Ie Tiong Bie) pada 2003 dalam
judul Catatan Mengenai Kelenteng Koan Iem
“Tiao-Kak-Sie”.
Buku karangan Ezzerman tersebut
menurut Iwan Satibi sangat berharga
untuk diketahui generasi sekarang.
Sebab, menurutnya generasi orang-orang
Tionghoa saat ini sudah tidak mengerti
bahasa Belanda dan bahasa Melayu kuno.
Melalui penerjemahannya ke dalam
bahasa Indonesia, Iwan berharap agar
buku ini dapat disebarkan secara cumacuma kepada semua orang yang berminat
untuk membaca dan mempelajarinya.
Namun demikian, buku tersebut
hanya mendeskripsikan kondisi Vihara
Dewi Welas Asih seabad yang lalu
dan abad-abad sebelumnya. Sehingga
untuk mengetahui perkembangan vihara
tersebut pada masa sekarang dalam
kaitannya dengan kerukunan antarumat
beragama,
maka
kajian
tentang
perkembangan dan peranan vihara
ini perlu dilakukan kembali. Dengan
demikian, informasi dan hasil telaah atas
perkembangan Vihara Dewi Welas Asih
sejak awal didirikan hingga fungsinya
dalam relasi Buddhis-Tionghoa dengan
Muslim di Cirebon pada saat ini dapat
diketahui secara lebih luas.
Metode Penelitian
Dalam melihat dan melakukan
analisis terhadap perkembangan Vihara
Dewi Welas Asih dari masa ke masa, maka
dalam penelitian ini digunakan sebuah
pendekatan sejarah yakni sebuah metode
penelitian yang berisi seperangkat aturan
dan prinsip secara sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah
secara efektif, menilainya secara kritis,
dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil
yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Langkah-langkah tersebut dilakukan
melalui:
1).
Pengumpulan
objek
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
40
NURMAN KHOLIS
yang berasal dari suatu zaman dan
pengumpulan
bahan-bahan
tertulis
dan lisan yang relevan (heuristik); 2).
Menyingkirkan
bahan-bahan
yang
tidak otentik (kritik atau verifikasi); 3).
Menyimpulkan kesaksian yang dapat
dipercaya berdasarkan bahan-bahan
otentik (auffassung atau interpretasi);
dan 4). Menyusun kesaksian yang dapat
dipercaya menjadi suatu penyajian yang
berarti (Darstellung atau historiografi
(Abdurahman, 1999: 43-44). Selanjutnya,
untuk memperoleh informasi mengenai
bagaimana vihara ini difungsikan dalam
relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim
di Kota Cirebon dilakukan melalui
wawancara dengan berbagai informan
dan observasi ke tempat sembahyang
ini selama 7 hari yakni sejak tanggal 15
hingga 21 April tahun 2014.
Hasil dan Pembahasan
Sejarah dan Perkembangan Vihara Dewi
Welas Asih hingga Abad ke-20
Vihara Dewi Welas Asih ini dahulu
lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng
Tiao Kak Sie. “Sie” artinya rumah orang
beribadat (tempat bertapa). “Tio” berarti
air pasang (air naik), dan “kak” berarti
bangun dari tidur atau membangunkan
atau membawa kepada akal yang benar.
Dengan demikian, Kelenteng Tiao Kak Sie
mempunyai dua arti. Pertama, kelenteng
merupakan tempat yang dibangunkan
oleh air pasang. Kedua, kelenteng
merupakan tempat akal bertambah (Nur,
2006: 102). Vihara ini diperkirakan berdiri
pada 1595 M, namun pendirinya tidak
diketahui dengan pasti. Pada masa-masa
awal pendiriannya, banyak masyarakat
Tionghoa di Kampung Srindil, Sembung
dan Talang ditugaskan untuk membantu
armada Kekaisaran Ming dari Tiongkok
untuk menyediakan perbekalan kapal,
perdagangan dan hubungan diplomatik
dengan Pulau Jawa. Kelenteng ini
dahulunya dibuat dengan memakai
HARMONI
Mei - Agustus 2015
perhitungan Hong Sui. Di Tiongkok,
kelentengnya dibangun menghadap ke
arah Selatan disebabkan di Selatan dari
Tiongkok merupakan daerah yang selalu
bercahaya sepanjang tahun (Nur, 2006:
102).
Catatan tertua lain berkenaan
dengan tahun pendirian Vihara Tiao Kak
Sie yaitu tahun 1658. Hal ini berdasarkan
papan bertulis atau “Pai” yang berisi
pepatah singkat yang ditujukan kepada
para Dewa untuk penghormatan.
Biasanya pada Pai tertulis nama pemberi
dan tahun pemberian Pai itu. Pai tersebut
terletak di atas altar samping pada
dinding belakang (Nur, 2006: 103).
Pada salah satu Pai tertulis: “Khanghi, tahun Mo-sut, pada musim Chiu
(musim rontok) pada hari yang baik
ini disumbangkan oleh Tan Kok Liong”.
Pada pai yang lainnya terdapat tulisan
:“Khang –hi, tahun Mo sut, bulan ke tujuh
disumbangkan pada hari yang baik
oleh Liem Ciok Tiong”. Khang-hi adalah
nama seorang kaisar yang memerintah
Tiongkok dan sezaman dengan Raja
Lodewijk di Eropa. Nama tahun diambil
dari siklus tahun Tionghoa yang lamanya
60 tahun. Adapun tahun-tahun renovasi
vihara ini yang tercatat adalah tahun 1791,
1829, dan 1889 (Ezerman, 2003: 6).
Catatan mengenai renovasi yang
terjadi di tahun 1791 dapat dibaca pada
dua bua batu terukir yang terletak pada
dinding kanan dan kiri pada ruang
utama depan. Sedangkan mengenai
renovasi kedua dan ketiga terdapat pada
dua papan kayu lepas yang diletakkan
di serambi beratap tetapi tidak tertutup.
Serambi itu ada dibelakang kelenteng yang
sebenarnya. Tulisan papan ini merupakan
pertanggungjawaban mengenai keuangan
pembangunan dan daftar nama para
donator
Pada
pertanggungjawaban
pengeluaran uang tahun 1791 diperoleh
informasi
bahwa
biaya
renovasi
menggunakan mata uang VOC. Di
dalamnya dengan jelas dan terperinci
VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON
ditulis jumlah material dan jumlah
hari kerja. Jumlah hari-hari kerja orang
Tionghoa adalah 1688 hari, sedangkan
jumlah hari kerja orang pribumi adalah
1518 hari (Ezerman, 2003: 7).
Pada saat Ezerman menuliskan
hasil penelitiannya pada 1918, vihara ini
berada pada perbatasan perkampungan
Tionghoa. Bangunan tersebut dikelilingi
oleh kantor-kantor dan gudang-gudang.
Lalu lintas pada jalan antara kantor dan
perkampungan Tionghoa pun padat.
Selain itu, juga terdapat jalan kereta api
yang terletak dekat pintu gerbang, dokar
berlalu lalang, pedati yang ditarik oleh
sepasang kerbau berjalan dengan pelanpelan. Karena itu, sepanjang hari dapat
ditemukan di sana perjuangan hidup
manusia dan hewan (Ezerman, 2003: 1).
Mengenai kata “Sie”, Ezerman
menjelaskan arti kata “Sie” sebagai tempat
tinggal para rohaniwan. Jika dikaitkan
dengan Koan Iem, “Sie” berarti vihara.
Oleh karena itu, pada vihara-vihara yang
besar di Pulau Pinang atau Singapura dan
terutama di Tiongkok banyak rohaniwan
yang bertempat tinggal di sana. Dengan
demikian vihara dapat dikatakan sebagai
sebuah asrama rohaniwan. Namun, di
vihara di Cirebon, hanya ada seorang
Hwee Shio yang memimpin kebaktian
di samping bertugas sebagai penunggu
vihara. Sedangkan “Tiao” berarti air
laut yang sedang naik atau pasang dan
“Kak” berarti bangun dari tidur atau
membangunkan/membawa
ke
arah
pencerahan yang benar. Dengan demikian,
Vihara Tiao Kak Sie bermakna “Vihara di
mana gelombang pasang membangunkan
kita” atau “Vihara di mana pencerahan
kita akan bertambah”. Menurutnya, arti
yang kedua ini merupakan pandangan
yang terdapat dalam agama Buddha
(Ezerman, 2003: 4).
Selanjutnya, terkait dengan elemen
lain yang terdapat pada bangunan
Vihara Tiao Kak Sie, Ezerman pernah
menyaksikan
kunjungan
Gubernur
41
Jenderal Idenburg di Semarang pada
sekitar tahun 1910/1911. Penduduk
pribumi, orang Eropa dan orang Tionghoa
berlomba untuk membuat semacam tugu
atau pintu gerbang selamat datang. Tugu
selamat datang buatan orang Tionghoa
itu terlihat lebih apik dan serasi apabila
dibandingkan dengan yang lainnya.
Padahal tugu/pintu gerbang itu hanya
terbuat dari bambu dan kertas dengan
warna merah disertai dengan aksara
Tionghoa. Elemen inilah yang dapat
dilihat pada pintu gerbang “Tiao Kak Sie”
(Ezerman, 2003: 5).
Kondisi Vihara Dewi Welas Asih pada
Masa Kini
Vihara Dewi Welas Asih saat ini
berlokasi di Jl. Kantor No. 2, Kampung
Kamiran atau PaTionghoan, Kelurahan
Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk,
Kota Cirebon. Komplek yang berada di
kawasan perkantoran dan pemukiman
penduduk ini terletak pada koordinat 06º
02‘ 04” Lintang Selatan dan 108º 03’ 135”
Bujur Timur. Di sebelah utara vihara ini
terdapat Gudang Pelabuhan Pos 2 dan
sebelah timur adalah Gudang Pelabuhan
Pos 1. Di sebelah Selatan terdapat taman
dan Jl. Pasuketan dan di sebelah Barat
terdapat Bank Mandiri (Nur, 2006: 103).
Vihara ini memiliki bangunan
utama seluas 1.600 m2 yang menghadap
ke Selatan dan berdiri di lahan seluas
1.857 m2. Adapun komplek tempat
ibadah ini terbagi menjadi: Halaman
Pertama, Halaman Kedua, Bangunan
Utama dan Bangunan Sayap. Bagian
depan halaman pertama dibatasi dengan
pagar dan gerbang berbentuk Pura
Hindu, sedangkan pagar sebelah Barat
dan Timur dari tembok. Berikutnya
di halaman kedua terdapat bangunan
Pat Kwa Ceng (tempat peristirahatan),
tempat peribadatan agama Buddha yang
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
42
NURMAN KHOLIS
disebut Cetya Dharma Rakhita, dua tempat
pembakaran kertas dan dua patung singa
di halaman depan (Nur, 2006: 103).
Di dalam bangunan utama terdiri
atas serambi dan ruang utama. Di
dalamnya terdapat ruang bagian depan,
tengah dan ruang suci utama. Pada
dinding sebelah kiri dan kanan pada
ruang utama yang berlantai keramik
warna merah bata dihiasi gambar. Ia
menceritakan bakti seorang anak kepada
orang tua, pengadilan, dan penyiksaan
terhadap orang-orang berdosa. Masingmasing dinding ruang bagian depan ini
juga ditempel prasasti yang menyebutkan
nama
penyumbang
serta
tahun
pemugaran (Nur, 2006: 103).
Tiang pendukung atap vihara ini
terdiri atas empat buah, berbentuk segi
empat, berwarna merah dan ditempel
papan bertuliskan huruf Tionghoa.
Sementara plafonnya terbuat dari kayu
dan atapnya dari genteng berbentuk
pelana yang dihiasi dengan bunga,
burung dan daun-daunan. Pada ruang
utama bagian depan terdapat altar Dewi
Tie Kong, tempat abu, tempat lilin dan
tergantung dua lonceng dan satu bedug.
Pada ruangan bagian tengah terdapat
altar untuk Dewa Hok Tek Ceng Sing (Dewa
Bumi), altar untuk Dewa Seng Hong Yah
(Dewa Akhirat/Hukum), tempat abu, dua
pembakaran kertas dan dua gentong abu
(Nur, 2006: 104).
Berikutnya pada ruang suci utama
memiliki enam tiang, yaitu dua tiang
bulat warna merah bergambar naga dan
empat tiang bulat merah polos. Dewadewa yang dipuja diletakkan di dalam
ruangan terbuat dari kayu dan terletak
di atas pondasi. Dewa utama adalah
Kwam Im Pou Sat dengan pengiringnya,
Dewa Thian Siang Seng Bo (Dewa Laut/
Pelayaran) berserta pengiringnya dan
Dewa Kwam Te Kun (Dewa Perang). Di
depan masing-masing dewa terdapat
meja altar dan di atasnya terdapat tempat
abu dan lilin (Nur, 2006: 104).
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Pada bangunan sayap sebelah timur
terdapat altar Dewa Lak Kwam Yah (Dewa
Dagang), altar Dewa Couw Su Kong (Dewa
Dapur), altar dewa Hian Thian Siang Tie
dan pengiringnya, Dewa Sam ong Hu dan
Kong Tik Coen Ong, gudang, dua ruang
kosong dan aula yang dipergunakan
untuk ibadat agama Buddha Mahayana.
Di depan gudang terdapat jangkar dengan
tinggi 3 meter yang diduga dibawa oleh
orang Tiongkok yang datang dengan naik
kapal (Nur, 2006: 104)
Sementara pada bangunan sayap
belakang terdiri atas tempat air untuk
bersuci, gudang, ruang perpustakaan,
altar Hian Thian Siang Tie (Dewa Langit),
altar Tjin Fu Su (kumpulan dewa-dewa)
dan kantor sekretariat. Pada bangunan
sayap sebelah Barat merupakan ruangan
untuk belajar kitab agama Buddha. Di
bangunan sayap ini memiliki pintu di
depan (Selatan) yang merupakan pintu
samping di sebelah Barat bangunan
utama. Khusus untuk bangunan sayap
belakang, altar Hian Thian Siang Tie (Dewa
Langit) mempunyai atap tersendiri,
berbentuk pelana, penutup atap dari
genting. Ujung bubungan atap berbentuk
lengkung ke atas (Nur, 2006: 105)
Pada gerbang kedua vihara ini
terukir nama “Tiao Kak Sie” (Ezerman,
2003: 10). Kedua panel yang mendampingi
nama ini, merupakan kiasan dari tiga hal
yang sangat disukai oleh orang di negara
Tiongkok, ialah umur panjang, kekayaan
dan anak. Umur panjang itu digambarkan
sebagai orang-orang tua yang gagah
perkasa, kekayaan digambarkan pada
pakaian yang bagus-bagus, dan anakanak digambarkan sebagaimana biasanya
anak-anak. Pakaian yang dikenakan oleh
orang-orang ini adalah busana Tiongkok
kuno, sebagaimana pada pertunjukan
sandiwara Tionghoa kuno. Di dalam
vihara tersebut, busana semacam ini
dapat ditemui juga pada berbagai lukisan
yang ada. Pada lukisan-lukisan busana
itu ternyata lebih bagus daripada busana
VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON
yang dipergunakan pada masa negara
Tiongkok diperintah oleh raja-raja Tartar
(Ezerman, 2003: 5-6).
Selain itu, terdapat empat buah
panel yang diletakkan tidak terlalu tinggi
dan berlukiskan bunga-bunga. Hal ini
merupakan simbol-simbol empat musim
di Tiongkok. Bunga yang dilukiskan itu
yaitu bunga Persik, bunga Teratai (Lian
Hwa), bunga Btan (Bwee Hwa) dan bungan
Chrysant (Kiok Hwa). Bunga-bunga
tersebut melambangkan musim dingin,
musim semi, musim panas, dan musim
gugur. Karena itu, lukisan bunga-bunga
ini sangat disukai oleh orang-orang
Tionghoa. Mereka juga seringkali melihat
lukisan-likisan pada keramik, border,
ukiran kayu, dan lukisan-lukisan lainnya
(Ezerman, 2003: 5).
Peran Keagamaan, Sosial, dan Budaya
Vihara Dewi Welas Asih
Terkait jumlah penganut agama
Buddha di Cirebon, penulis tidak
memperoleh data resmi dari Kantor
Kementerian Agama Kota Cirebon
sehubungan tidak adanya unit kerja yang
menangani agama Buddha di kantor
tersebut. Demikian halnya di Kantor
Catatan Sipil Kota Cirebon. Sehingga
penulis hanya memperoleh informasi
tentang perkiraan jumlah tersebut secara
tidak resmi dari kedua tokoh agama
Buddha yakni Darma Suryapranata dan
Ian Siskartedja yang masing-masing
menyebut jumlah penganut agama
Buddha di Cirebon adalah sekitar 5000-an
dan 3000-an umat (Darma Suryapranata
dan Ian Siskartedja. Wawancara. 16 dan
17 April 2014).
Kemudian terkait ajaran, vihara ini
tidak murni dari ajaran agama Buddha
dari India karena sudah beradaptasi
dengan budaya Tionghoa. Hal ini terjadi
karena agama Buddha memiliki toleransi
yang besar. Dengan demikian, peradaban
yang dibawa oleh umat Buddha seperti
43
bola karet yang menggelinding sehingga
pasti ada berbagai unsur budaya yang
terbawa, sebagaimana tampilan unsurunsur yang ada pada Vihara Dewi Welas
Asih (Sungkono. Wawancara 17 April
2014).
Adapun aliran dalam agama
Buddha yang berkembang di vihara
ini yaitu Theravada, Mahayana, dan
Tantrayana (Sungkono. Wawancara. 17
April 2014). Secara umum perbedaan
ketiganya dapat ditinjau dari penggunaan
patung yakni pada vihara/cetya aliran
Theravada hanya terdapat patung
Siddharta Buddha Gautama; pada vihara/
cetya aliran Mahayana selain terdapat
patung Buddha Matreya (Buddha masa
depan), juga patung Dewi Kwan Im dan
patung dewa-dewa; dan pada vihara/
cetya aliran Tantrayana yang berasal dari
Tibet dapat ditemukan patung-patung
berwarna warni dalam sosok Siddharta
Buddha Gautama, Buddha Maitreya dan
dewa-dewa (Eko Supeno. Wawancara. 21
April 2014).
Dalam hal aktivitas keagamaan, Vihara
Dewi Welas Asih menyelenggarakan
berbagai aktivitas keagamaan meliputi
sembahyang
tahun
baru
Imlek,
sembahyang Hari Tri Suci Waisak,
sembahyang Pelimpahan Jasa (Pati Dana),
sembahyang Tiong Cio, sembahyang
Uposata setiap tanggal 1 dan 15 lunar,
dan sembahyang Tiang Cin (Sungkono.
Wawancara 17 April 2014).
Penganut Buddha sendiri menurut
Eko Supeno terdiri dari empat kategori.
Pertama, orang mengerti dharma (ajaran
Buddha), ber-KTP Buddha dan suka
berkunjung ke vihara. Kedua, orang
mengerti dharma, tidak ber-KTP Buddha
tetapi suka berkunjung ke vihara. Ketiga,
orang tidak mengerti dharma, ber-KTP
Buddha, tetapi tidak suka ke vihara.
Keempat, orang mengerti dharma, ber-KTP
Buddha tetapi tidak suka berkunjung ke
vihara (Eko Supeno. Wawancara 17 April
2014).
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
44
NURMAN KHOLIS
Berkenaan dengan kegiatan sosial
dan budaya, Vihara Dewi Welas asih juga
menyelenggarakan pembagian sembako
bagi masyarakat Cirebon yang mayoritas
muslim. Selain itu, vihara ini juga
memiliki sebuah grup kesenian Barongsai
bernama “Singa Mas” dan telah meraih
prestasi dalam berbagai kejuaraan,
salah satunya yaitu Juara II se-Asia yang
diikuti oleh 14 negara. Grup kesenian ini
dipimpin oleh Ian Siskartedja, seorang
Tionghoa beragama Kristen. Adapun
jumlah anggotanya adalah 168 orang
dan dipilah menjadi 14 orang dalam satu
tim. Peserta grup seni Barongsai tersebut
adalah para pelajar di tingkat SLTP dan
SLTA yang hampir semuanya beragama
Islam. Saat penelitian ini dilakukan,
penulis juga melihat dan mendengar Ian
mengingatkan salah seorang anggota
yang sedang melakukan latihan bernama
Ahmad Siddiq agar melaksanakan shalat
terlebih dahulu. Toleransi antarpemeluk
agama dalam grup seni pertunjukan dari
Tionghoa bernuansa Buddha ini, juga
ditunjukkan dengan penampilannya
dalam berbagai acara di pesantrenpesantren di Cirebon seperti di Babakan
Ciwaringin, Buntet, dan Kempek (Ian
Siskartedja. Wawancara 17 April 2014).
Dengan demikian, relasi pihak Vihara
Dewi Welas Asih dengan masyarakat
sekitarnya yang mayoritasnya muslim
dapat dikatakan berjalan harmonis. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Muslim,
Kepala Seksi Syariah Kantor Kementerian
Agama Kota Cirebon. Menurutnya, ia
belum pernah mendengar adanya konflik.
Bahkan masyarakat muslim banyak
mendatangi vihara ini salah satunya pada
saat kegiatan pembagian angpau (Muslim.
Wawancara 17 April 2014).
Meskipun demikian, berkenaan
dengan mayoritas anggota grup Barongsai
ini merupakan pelajar muslim, Eko
Supeno dari Pembimas Buddha Kanwil
Propinsi Jawa Barat tetap menyarankan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
kepada mereka untuk berhati-hati
karena menurutnya, sebelum Barongsai
itu dikeluarkan ada ritual dengan
menggunakan patung sebagai medianya
(Eko Supeno. Wawancara 21 April 2014).
Penutup
Agama Buddha masuk dan
berkembang ke nusantara sejak abad ke-5
hingga abad ke-15. Para penyebar agama
ini sebagian beretnis Tionghoa. Selama
sekitar lima abad berikutnya, peradaban
Buddha
meredup
dan
kemudian
bangkit kembali setelah terbentuknya
Negara Kesatuan RI pada 1945. Dengan
perkembangan tersebut, Komunitas
Buddha-Tionghoa
pun
kemudian
membuat berbagai kreasi bernuansa
budaya etnisnya termasuk pada tempat
ibadah mereka.
Sejak tahun 1965, istilah, pernakpernik,
maupun
arsitektur
yang
bercirikan Tionghoa dilarang berkembang
di Indonesia. Hal ini dikarenakan,
Pemerintah Orde Baru memandang perlu
untuk melakukan penataan terhadap
lembaga keagamaan Buddha, salah
satunya
dengan
membersihkannya
dari anasir-anasir adat Tionghoa yang
dianggap sebagai budaya asing. Namun,
sejak munculnya Orde Reformasi, ajaran
Buddha yang juga dilestarikan oleh etnis
Tionghoa ini semakin berkembang.
Jejak sejarah perkembangan agama
Buddha pada masa silam salah satunya
terdapat di Vihara Dewi Welas Asih yang
diperkirakan berdiri pada 1595. Pada
masa-masa awal pendiriannya, banyak
masyarakat Tionghoa di Kampung
Srindil, Sembung dan Talang ditugaskan
untuk membantu armada Kekaisaran
Ming dari Tiongkok untuk menyediakan
perbekalan kapal, perdagangan dan
hubungan diplomatik dengan Pulau
Jawa.
VIHARA DEWI WELAS ASIH: PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA DALAM RELASI BUDDHIS-TIONGHOA DENGAN MUSLIM DI CIREBON
Aliran agama Buddha yang kini
berkembang di Vihara Dewi Welas
Asih adalah Theravada, Mahayana,
dan Tantrayana. Sedangkan aktivitas
keagamaan vihara Dewi Welas ini
antara lain sembahyang tahun baru
imlek, sembahyang Hari Tri Suci
Waisak, sembahyang Pelimpahan Jasa
(Pati Dana), sembahyang Tiong Cio,
sembahyang Uposata setiap tanggal 1
dan 15 lunar, dan sembahyang Tiang
Cin. Kemudian berkenaan dengan peran
sosial dan budaya, Vihara Dewi Welas
asih juga menyelenggarakan pembagian
sembako bagi masyarakat Cirebon yang
mayoritasnya beragama Islam.
Mengenai relasi Buddhis-Tionghoa
dengan Muslim di Cirebon dapat dilihat
pada kegiatan yang difasilitasi Vihara
Dewi Welas Asih melalui grup kesenian
Barongsai bernama “Singa Mas”. Grup
kesenian yang beranggotakan 168 pelajar
SLTP dan SLTA ini mayoritas beragama
Islam. Bahkan ekspresi multikulturalisme
45
ini juga ditunjukkan melalui penampilan
grup Barongsai dan Liong ini dalam
berbagai acara di pesantren-pesantren di
Cirebon seperti di Babakan Ciwaringin,
Buntet, dan Kempek. Dengan demikian,
relasi Vihara Dewi Welas Asih dengan
masyarakat sekitarnya yang mayoritasnya
beragama Islam, selama ini dapat
dikatakan berjalan harmonis dan nyaris
tidak pernah ada konflik.
Namun,
sebagai
catatan
rekomendasi, Seksi Syariah Kantor
Kementerian Agama Kota Cirebon
dan pihak-pihak terkait lainnya perlu
memberikan bimbingan kepada para
pelajar muslim agar mereka dapat
menyadari dan membedakan aspek
budaya dan ritual dalam praktik kesenian
Barongsai tersebut, mengingat sebelum
Barongsai dikeluarkan, terdapat sebuah
ritual menggunakan patung sebagai
medianya yang perlu dilakukan oleh
pelaku seni Barongsai.
Daftar Pustaka
Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999
Buku Panduan. Musyawarah Nasional IX Majelis Buddhayana Indonesia, 13-15 Desember
2013
Ezerman, J.L.J.Y. Catatan Mengenai Kelenteng Koan Iem “Tiao-Kak-Sie”, Perhimpunan
Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia, 2003
Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme
(Alih bahasa Achmad Fedyani Saifuddin dari Introducing Sosial Theory). Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
Laksmiwati, Dyah Komala. Putri Ong Tin Ni. Yogyakarta: Deepublish, 2013
Nur, Adin Imaduddi (ed.). Potensi Wisata Budaya Kota Cirebon. Kota Cirebon: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, 2006
Sulani, Puji. Model Arsitektur dan Pemanfaatan Cetiya Dewi Samudera Singkawang. Laporan
Hasil Penelitian. Jakarta: Puslitang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2013
Suprapto. Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid: Kontestasi, Integrasi dan Resolusi Konflik
Hindu-Muslim. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013
Internet
Sejarah Buddhayana, dalam http://www.buddhayana.or.id, diakses 20 Agustus 2014
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
46
MUHAMMAD WAR’I
PENELITIAN
Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma
(berbahasa) Penumbuh Inklusivitas Beragama: Analisis
Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga
Muhammad War’i
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This paper aims to open religious
understanding that concerns not only on
startling speech but also behavior aspects.
Movie entitled “Negeri Tanpa Telinga”
movie directs towards the deconstruction
of language describing the use of religious
language which is often just as a feigned
imaging. Language is not solely a reflection
of the attitude determined grammatically.
Language understanding should be plural
so it can guide someone towards pragmatic
pluralism horizon. This view will give more
impact to someone’s life inclusiveness
including in terms of religion.
Tulisan ini bertujuan untuk membuka
pemahaman keagamaan agar tidak terpaku
pada keterpanaan tuturan, tapi mengajak
untuk melihat substansi prilaku. Dalam
film Negeri Tanpa Telinga kita diarahkan
menuju dekonstruksi kebahasaan yang
memaparkan tentang penggunaan bahasa
agama sering kali hanya sebatas pencitraan
yang menipu. Bahasa bukanlah cerminan
sikap dimana bahasa tidak semata
ditentukan oleh struktur bahasa secara
gramatik. Pemahaman bahasa harus plural
sehingga menggerakkan seseorang menuju
horison pragmatik pluralism. Pandangan
ini selanjutnya akan berimplikasi pada
inklusifitas seseorang dalam kehidupannya
termasuk dalam hal beragama.
Keywords: Religious Language, Pragmatic
Pluralism, Inclusivity
Pendahuluan
Penggunaan bahasa-bahasa keagamaan seperti tahmid (subhanallah), istighfar
(astaghfirullah), istirja’ (innalillahi) dan
sebagainya dalam pandangan teologis
menunjukkan pada sesuatu yang sakral
atau menunjukkan seseorang yang taat
kepada agamanya. Istilah-istilah tersebut
digunakan oleh orang-orang muslim
dalam beberapa tempat atau keadaan.
Namun demikian, dewasa ini penggunaan
kata-kata tersebut banyak ditemukan di
khalayak bahkan dituturkan oleh orangorang yang secara realitas tidak terlalu
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Bahasa Agama, Pragmatik
Pluralisme, Inklusifitas
memahami agama. Artinya istilah-istilah
tersebut telah digunakan secara umum
oleh beberapa orang atau kelompok.
Di Indonesia, penggunaan kata-kata
tersebut atau kata-kata Arab seperti akhi,
ukhti, ikhtiar, dan sebagainya digunakan
oleh kelompok-kelompok keislaman dan
juga beberapa partai politik. Penggunaan
istilah tersebut di satu sisi mungkin
ingin menonjolkan praktik keagamaan
di dalam dirinya seperti ketika seseorang
mendengar berita kematian dia akan
berucap
“innalillahi
wainna
ilaihi
rojiun,” ketika bangga pada sesuatu
HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ...
mengucapkan “subhanallah” atau sebagai
eksistensi teologis untuk bisa diakui
sebagai seseorang yang Islam dengan
penguasaan bahasa Arab yang bagus
seperti penggunaan bahasa Arab pada
saat ceramah keagamaan dan sebagainya.
Dalam teori bahasa (filsafat analitik)
kita mengenal banyak konsep yang
menggambarkan hal tersebut, dalam hal
ini fenomena tersebut dilihat sebagai
lambang religiusitas seseorang yakni
dari sisi semiotik. Artinya pengunaan
bahasa-bahasa keagamaan itu menjadi
simbol seseorang berasal dari kelompok
mana atau sebagai pendongkrak strata
sosial pada komunitas muslim yang
membanggakan bahasa Arab.
Berkaitan dengan penggunaan
bahasa
tersebut,
fenomena
yang
berbeda ditunjukkan dalam film Negeri
Tanpa Telinga. Di dalam film tersebut
ditunjukkan tentang sebuah partai politik
yang dalam komunikasi verbalnya sering
kali menggunakan bahasa-bahasa agama
bahkan ketika transaksi korupsi tengah
dilakukan, seperti:
47
Menurut penulis, film tersebut
ingin mendekonstruksi penggunaan
bahasa-bahasa agama yang seringkali
menipu pendengarnya. Dalam hal ini
film itu secara tidak langsung ingin
mengatakan bahwa tidaklah orangorang yang menggunakan bahasa Arab
atau istilah-istilah keagamaan memiliki
karakter keagamaan yang baik, tetapi
kita harus lihat lebih jauh bagaimana
kesesuaian kata-kata dengan tindakan.
Model semacam ini bisa kita identifikasi
menggunakan filsafat bahasa perspektif
teori bahasa Austin (Mustansyir, 2007:
56).
Dari latar belakang tersebut maka
dalam tulisan ini mencoba menjelaskan
beberapa pokok pembahasan, yakni
bagaimana model dekonstruksi bahasa
dalam film Negeri Tanpa Telinga, serta
bagaimana bentuk pencitraan yang
ingin dibangun oleh kelompok tertentu
dengan menggunakan bahasa-bahasa
keagamaan? Dari tulisan ini pula
diharapkan hadir sebuah kajian tentang
sebuah paradigma baru mengenai bahasa
yang perlu dimaknai sebagai sesuatu
yang tidak mesti mewakili watak atau
karakter seseorang maupun kelompok
tertentu yang menuturkannya.
“Alhamdulillah
ustadz,
impor
daging sapi senilai 40 milyar telah
deal oleh anggota dewan. Adapun
bagian untuk Partai Amal Surga
alhamdulillah sudah dialokasikan
empat puluh persennya.”
Deskripsi Singkat Film Negeri Tanpa
Telinga (2014)
Demikian pula beberapa contoh
pernyataan lainnya yang secara orientasi
bahasa begitu kacau dan menunjukkan
hal yang tidak balance menurut logika
bahasa. Menurut penulis, di sinilah hal
yang patut dan menarik dikaji, yaitu soal
orientasi bahasa yang menggambarkan
hal yang tidak sejalan dengan paradigma
bahasa
pada
umumnya.
Artinya
penggunaan bahasa-bahasa keagamaan
itu tidak menunjukkan pekerjaan yang
berorientasi agama atau penutur yang
memiliki sifat keagamaan yang baik.
Film ini dirilis pertama kali pada
tahun 2014, yang disutradarai oleh
Lola Amaria. Secara substantif film
ini mengkritisi fenomena korupsi di
negeri ini yang dilakukan oleh beberapa
partai politik. Ilustrasi dalam film ini
dimulai dengan seorang pria yang
meminta kepada seorang dokter untuk
merusakkan pendengarannya karena
bosan mendengar kasus korupsi yang
tidak pernah usai. Dari sana kemudian di
flash back ke awal cerita yang menceritakan
tentang kisah si pria tersebut yang
berprofesi sebagai tukang urut yang
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
48
MUHAMMAD WAR’I
memiliki pelanggan dari kalangan politisi.
Di setiap aktivitas mengurutnya dia selalu
melakukan obrolan-obrolan kecil dengan
pelanggannya. Tanpa disadari mereka
menceritakan banyak hal tentang skandal
korupsi yang mereka lakukan.
Dalam film ini ada tiga partai politik
yang disebutkan, yakni Partai Amal
Surga, Partai Martobat, dan Partai Pohon
Teduh. Semua partai ini terlibat dalam
kasus korupsi yang dilakukan. Pada
akhirnya semua rencana para politisi
tersebut terbongkar dan para pelakunya
dimasukkan ke penjara. Adegan dalam
film ini memaparkan beberapa realitas
a moral di balik perpolitikan suatu
bangsa seperti praktik suap menyuap,
gratifikasi seks, dan kisah asmara antar
anggota partai. Adapun titik tekan dalam
pembahasan ini adalah bahasa keagamaan
yang dilakukan oleh Partai Amal
Surga yang sering kali menggunakan
bahasa-bahasa keagamaan dalam misi
pengadaan proyek mereka. Kata-kata
yang dimaksudkan di sini adalah, katakata seperti Subhanallah, Astaghfirullah,
Alhamdulillah, serta beberapa kata-kata
bahasa Arab seperti Ana, Antum, Akhi,
dan sebagainya.
Di samping melihat bahasabahasa keagamaan, penelitian ini juga
menelisik beberapa simbol keagamaan
yang dilibatkan dalam mendeskripsikan
seorang penutur yang menggunakan
bahasa agama tadi seperti jenggot, jidat
hitam, tasbih, baju koko dan lainnya.
Diharapkan dari analisis ini adalah
sebuah pemaknaan teks yang bersifat
dekonstruktif untuk menunjukkan model
berbahasa manusia yang di luar tradisi
umum. Namun sebelum memaparkan
lebih lanjut, penulis ungkapkan di sini
beberapa artikel ataupun catatan yang
membahas film Negeri Tanpa Telinga
tersebut.
Melalui penelusuran di internet
penulis menemukan beberapa artikel
terkait yang ditulis di antaranya adalah
HARMONI
Mei - Agustus 2015
artikel review film yang dimuat di majalah
online yomamen.com dengan judul,
Negeri Tanpa Telinga: Politik, Uang dan
Ranjang. (2014). Di samping itu tulisan
Agus Setyanto di Kompasiana.com
dengan judul: Negeri Tanpa Telinga: Kado
untuk Politikus Pemain Sirkus (Setyanto,
2014). Demikian pula berbagai artikel
serupa yang merupakan review atau
persepsi pembaca tentang film tersebut.
Secara general tulisan-tulisan tersebut
hanya mengkaji substansi film tersebut
berupa pesan moral dan kritik terhadap
perpolitikan yang menghalalkan berbagai
cara. Sedangkan penelitian ini lebih
menekankan pada kajian kebahasaan,
yakni mengkaji bahasa-bahasa keagamaan
yang sering digunakan oleh para kader
Partai Amal Syurga dalam melakukan
transaksi korupsinya. Untuk kepentingan
analisis, berikut penulis tuliskan cuplikan
percakapan yang menggunakan bahasabahasa keagamaan dan bahasa Arab
dalam beberapa adegan.
Adegan Pertama: Percakapan Ustadz
Etawa dengan Kobir
“Kobir sini..” “Iya Ustadz.” “Makin
lama ane makin demen sama Anti.”
“Subhanallah.. na’am Tat.. tapi ngomongngomong emang Ustadz masih sering
kencan sama Anti Tat?” “Masih..”
“Terus gimana tuh ustadz dengan si
Nila, Hanum,...” (dengan suara agak
meninggi). “Astaghfirullahalazhim, jangan
keras-keras entar Inge tau gimana?”
(Inge adalah nama istri si Ustadz).
“Astaghfirullahalazim, maaf Ustadz saya
lupa tat..” dan seterusnya.
Adegan Dua: Percakapan Ustadz (Pak
Etawa) dan Momon melalui percakapan
telepon
“Assalamualaikum Ustadz, apa kabar
pak Ustadz?” “Waalaikumussalam. kabar
baik Mon lagi dipijat nih.” “Aduhh, jangan-
HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ...
49
jangan itu gara-gara salah tidur Tat.” “Ini
bukan gara-gara salah tidur Mon, ini garagara kelinci yang ente kirim tadi malem.”
(kelinci sebagai perumpamaan untuk
wanita pelayan seks) “Waduh itu kado
spesial buat Ustadz, kualitas bintang lima
itu.” “Itu kelinci memang spesial, tapi
masalahnya Masya Allah itu tidak cocok
untuk orang tua kayak ane. Masak ane
dibanting-banting Masya Allah..” “hehe,
Masya Allah..” dan seterusnya.
“Tat sabar Tat!, tawakkal Tat!, ane yakin
Allah akan menolong kita Tat..” “Ente
beraninya bilang begitu ya, gak malu sama
Allah?” “Iya malu tat.. “ “Kamu bilang
semua terkendali itu sekarang Momon
ditangkap sama KAPAK.” “Tat Demi
Allah Tat, wallahi Tat.” “Astaghfirullah.. loe
bawa nama Allah lagi loe..” (sambil terus
beristighfar). “ Tat, ane sudah berikhtiar Tat
dengan maksimal agar tidak ketahuan”
dan seterusnya.
Adegan Tiga: Percakapan Momon dan
Lukas
Adegan satu dan dua berisi
percakapan tentang transaksi seks para
anggota Partai Amal Surga. Adapun
adegan tiga dan empat tentang suap
menyuap yang dilakukan kader Partai
Amal Surga dengan salah seorang klien.
“Assalamualaikum, gimana kabar Pak
Lukas?” “Kabar saya baik.” “Alhamdulillahi
robbil alamin.” “Oh ya Pak Lukas, izin
penambahan impor daging domba telah
beres semua, pak Lukas tidak perlu
khawatir lagi.” “Puji Tuhan, aman ya?”
“Aman pak. ....... oya, kemarin jatah Pak
Lukas sekitar 13 persen ya?” “Iya benar,
tapi saya mau minta tambahan. 13 persen
kan tidak ada apa-apanya?” “betul.”
(Sambil tertawa), “Tapi semuanya sudah
disiapkan ya Pak Lukas kan, termasuk
satu onta besar dan tiga domba gemuk?
Itu semua buat Pak Etawa Pak Lukas!”
“Loh kok mintanya onta sama domba?”
“Hehe,, Astaghfirullahalazhim, maksud
saya yang 1.3 M.” “Owh, lok itu sudah
saya siapkan.” .....“Oh ya komitmen fee 40
M untuk Partai Amal Surga bagaimana
Pak Lukas?” “Mas Momon tidak usah
pikirkan itu, semua sudah saya bereskan.”
dan seterusnya.
Adegan Empat: Percakapan Kabir dan
Ustadz Etawa
Kabir menerima telepon dan
dikabarkan
bahwa
Momon
telah
ditangkap
KAPAK
(komisi
yang
bertugas memberantas korupsi). “Eh
Bir, ada apa?” “Astaghfirullahalazhim,
Pak Momon ditangkap KAPAK Tat.”
“Astaghfirullahalazhim... (berulang-ulang)”
Metode Analisis
Tulisan ini adalah tulisan yang
menggunakan
kajian
kebahasaan
perspektif semiotika dengan prinsip
kajian dekonstruksi Derrida. Dalam
pandangan teori ini bahasa merupakan
penanda yang tidak terikat petanda
(Sobur, 2010: 136). Hal ini merupakan
antitesa dari konsep penanda dan
petandanya (signifier/signified) Ferdinand
de Saussure. Menurut Derrida bahasa
seharusnya bebas dari ikatan sistemik
yang berpotensi mengekang makna.
Konsep petanda dan penanda bagi
Derrida merupakan langkah menuju
sistematisasi bahasa (Norris, 2002: 2425). Konsekuensi dari keduanya adalah
lahirnya bahasa yang tidak terbuka pada
interpretasi yang lebih luas dan dalam.
Dari
hal
tersebut,
Derrida
kemudian memunculkan konsep bahasa
yang menekankan pada aspek dinamika
makna. Artinya setiap kata sebagai
tanda bahasa merupakan satu hal
yang tidak bisa dipatenkan maknanya,
namun harus selalu disesuaikan dengan
waktu dan tempat menurut kebutuhan
yang ada. Terkait dengan hal ini para
ahli menyimpulkan teori dekonstruksi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
50
MUHAMMAD WAR’I
bahasa Derrida dengan dua poin utama
yakni “mimesis tanpa asal usul” dan
“apokalips tanpa akhir.” Maksud kedua
point ini, yang pertama adalah tiruan
suatu karya merupakan dekonstruksi
karya itu sendiri, bukan dari yang lain.
Sedangkan maksud yang kedua adalah
bahasa merupakan parodi di atas parodi
bukan parodi di atas kehidupan atau
apapun. Model apokalips tanpa akhir
ini merupakan teori yang relevan untuk
menganalisis fenomena bahasa agama
dalam realitas perbuatan a moral yang
menjadi objek kajian ini.
Selain
meminjam
model
dekonstruksi Derrida penulis juga
menggunakan beberapa teori yang
relevan untuk kepentingan analisis.
Seperti teori filsafat bahasa Austin dengan
konsep tindakan bahasa-nya. Hal ini
penting untuk bisa mendapatkan analisis
yang tajam dan sesuai dengan rumusan
masalah dalam tulisan ini.
Terkait penggunaan teori semiotika
dalam analisis film, Alex Sobur (2010)
telah memberikan beberapa alternatif
penting dalam kajiannya, di antaranya:
tanda dalam sinematografi memiliki
motivasi tertentu. Artinya petanda
sebagai bentuk kongkrit suatu benda
(meminjam
pandangan
Barthes)
memotivasi penanda dan melampauinya
(Masak dalam Sobur, 2009: 132). Dengan
demikian, pernyataan para pemain film
Negeri Tanpa Telinga ketika menggunakan
bahasa-bahasa agama tersebut memiliki
motivasi tersendiri, apakah dalam bentuk
keinginan subjektif individu ataupun
intersubjektif kelembagaan.
Dekonstruksi Bahasa
Negeri Tanpa Telinga.
dalam
Film
Sebagaimana
disinggung
di
awal, umumnya penggunaan bahasa
maupun simbol keagamaan dalam
realitas kehidupan menunjukkan kepada
baiknya suatu pekerjaan atau baiknya
HARMONI
Mei - Agustus 2015
karakter seseorang. Para kiai misalnya
ketika dihadapkan pada musibah,
mereka akan menyebut Innalillah sebagai
bentuk kepasrahan diri kepada Allah
dan akan menyebut Subhanallah atau
Masya Allah ketika terkesan atau takjub
pada suatu hal atau peristiwa. Intinya
penyebutan-penyebutan bahasa tersebut
mengindikasikan spiritualitas seseorang
yang dekat dengan Tuhan.
Realitas yang berbeda ditunjukkan
dalam film Negeri Tanpa Telinga. Di
dalamnya ada sebuah partai politik yang
secara kultural sering menggunakan
bahasa-bahasa agama atau bahasa Arab
dalam interaksi bahasanya. Keanehan
begitu terlihat ketika penggunaan bahasa
keagamaan itu tidak pada tempatnya,
seperti percakapan dalam adegan
pertama di atas. Hal ini karena bahasa
yang seharusnya menunjukkan karakter
baiknya seseorang ataupun komunitas
tidak tercermin dalam prilaku penutur
bahasa tersebut. Penggunaan kalimat
Astaghfirullah misalnya, tidak dalam
kesadaran akan kesalahan diri kepada
Tuhan, tetapi karena kesalahan teknis
yang mereka lakukan dalam proses suapmenyuap. Demikian pula penggunaanpenggunaan bahasa keagamaan lainnya
yang secara lapangan bahasa sangat
bertentangan. Jika dalam analisis
Austin (Mustansyir, 2007: 56), model
seperti ini merupakan model tindakan
bahasa illokusi, yakni diterima atau
tidaknya suatu pernyataan tergantung
pada tindakan bahasanya. Maksudnya
sesuai ataukah tidak sesuai antara kata
dan kapasitas dia sebagai penutur
atau pembuktian tuturannya dalam
realitas. Menurut Austin seseorang yang
menggunakan bahasa kemudian tidak
konsekuen dengan pernyataannya, maka
hal itu merupakan kalimat yang tidak
baik. Dalam hal ini Austin lebih melihat
proses berbahasa dari sisi etika.
Berdasarkan pada landasan teoritis
di atas, dapat dikatakan bahwa film
HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ...
Negeri Tanpa Telinga khususnya mengenai
penggunaan bahasa-bahasa keagamaan
tersebut memiliki tujuan dekonstruktif
tentang pemaknaan bahasa, yakni
bahasa merupakan suatu cara seseorang
mengungkapkan
bukan
hanya
tentang maksud verbalnya tetapi juga
mengandung motif-motif lain yang tidak
ditunjukkan langsung oleh mulutnya tapi
oleh tindakan lain berupa penggunaan
simbol-simbol. Jika kita melihat dengan
seksama
menggunakan
pandangan
semiotik, atribut yang digunakan oleh
para kader Partai Amal Surga merupakan
atribut-atribut orang muslim yang secara
simbolik bermakna ketaatan ataupun
ketaqwaan. Penggunaan baju koko,
sorban misalnya, merupakan usaha
untuk menghadirkan karakter Islami
seseorang. Di samping itu, sosok pemain
seperti Ustadz Etawa ataupun Kabir
misalnya juga menggunakan simbolsimbol keagamaan yang bersifat alamiah
seperti jenggot dan jidat hitam. Pada
kenyataannya simbol-simbol tersebut
merupakan ciri beberapa kelompok
yang mengatakan diri sebagai orang
yang mengikuti nabi. Namun demikian
realitas yang ditayangkan dalam film
Negeri Tanpa Telinga sangat bertentangan
dengan pandangan umum (world view)
masyarakat.
Model dekonstruksi bahasa dalam
film tersebut kini semakin jelas, bahwa
penggunaan bahasa-bahasa keagamaan
ataupun bahasa Arab yang sering kali
dipandang sebagai bahasa agama
tidaklah menjadi cermin atau makna
sesungguhnya dari pernyataan kalimat
tersebut (ketidaksesuaian penanda dan
petanda). Artinya seseorang yang sedikitsdikit menyebut tahmid (subhanallah)
dalam pekerjaan sehari-hari mereka
ataupun kata-kata pujian lainnya tidaklah
menunjukkan kebenaran tindakan bahasa
penutur ataupun baiknya karakter orang
51
tersebut, namun harus dilihat lebih jauh
motif dan realitas sesungguhnya.
Dekonstruksi
bahasa
dalam
film Negeri Tanpa Telinga selanjutnya
memberikan efek kesadaran berbahasa
yang lebih dinamis, yakni suatu
pemahaman yang tidak beraturan atau
tidak sistematis (semiotic of chaos). Artinya
aktivitas berbahasa yang mencakup
struktur bahasa ataupun simbol-simbol
bahasa tidaklah menjadi penentu
makna suatu tuturan melainkan sebagai
salah satu unsur pembentuk makna
yang sesungguhnya, di mana makna
akhir dalam suatu kegiatan berbahasa
ditentukan oleh pemahaman struktur
dan konteks yang terkait dengannya.
Pencitraan yang Menipu
Dilihat dari sudut pandang realitas,
adegan-adegan dalam film Negeri Tanpa
Telinga tidaklah asing bahkan telah sering
kita saksikan di dunia nyata. Penggunaan
bahasa-bahasa agama itu pun juga tidak
terlepas dari pencitraan partai politik
untuk menarik simpati para pendukung
partai Islam. Bahasa-bahasa tersebut
digunakan untuk membangun citra,
yakni sebuah pencitraan yang menipu.
Kita mungkin sejenak akan dibius dengan
kesopanan dan kesantunan tuturannya
yang dihiasi dengan kosa kata-kosa kata
Arab yang memberikan kesan teologis
yang kuat. Beberapa golongan memang
secara nyata bisa kita saksikan menjadi
korban dari pencitraan yang menipu
itu, bahkan mungkin kita sendiri sempat
terjerat di dalamnya. Mungkin karena
pengetahuan yang kurang tentang agama
Islam, ataupun pemahaman bahasa
Arab sebagai bahasa agama, beberapa
orang kemudian melihat setiap orang
yang menggunakan bahasa Arab sebagai
seorang yang baik dan patut dipercaya.
Itulah yang membuat banyak masyarakat
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
52
MUHAMMAD WAR’I
tertipu
dengan
realitas-realitas
perpolitikan yang menggunakan agama
sebagai kedok dalam pencitraannya.
Sejatinya agama tetaplah agama
dengan nilai-nilai substantif yang ada
di dalamnya, bukan justru direduksi ke
dalam bahasa ataupun simbol-simbol
yang menipu. Kasus para koruptor
yang menggunakan bahasa agama
untuk mengelabui masyarakat dalam
orientasi politiknya adalah tindakan
kejahatan moral yang tidak hanya
melukai manusia tapi juga Tuhan
sebagai pemilik agama. Cukup sudah
penipuan dengan pencitraan-pencitraan
yang mengatasnamakan agama dalam
berjuang padahal hanya ingin mencari
kepuasaan diri dan keserakahan. Kita
patut lebih selektif kepada mereka
yang hadir untuk memimpin. Meski
dia berkoko maupun bersurban bahkan
jikapun keningnya berwarna hitam. Itu
semua bukan tanda kesalehan seorang
pemimpin. Tapi kesalehan itu sejatinya
ada pada diri yang termanifestasi setiap
waktu dalam tingkah laku.
Negeri Tanpa Telinga hanyalah
salah satu cerminan realitas yang cukup
menggugah untuk dijadikan cermin
kehidupan. Dalam pandangan teori sastra
mimesis (A Teeuw, 1998: 15) kita melihat
bahwa karya sastra atau produk apapun
dari manusia merupakan cerminan dari
realitas yang tengah terjadi. Fenomena
orang-orang yang mengkomoditaskan
agama dengan simbol-simbol dan bahasa
adalah fenomena kehidupan yang
sebenarnya tidak hanya dalam bidang
politik, tapi juga pada bidang-bidang
yang lain dari kehidupan kita seperti
sosial, ekonomi (Anis, 2013: 276) dan
budaya.
Memahami bahasa, Menumbuhkan
inklusivitas beragama
bisa
Implikasi selanjutnya setelah kita
mengetahui model kebohongan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
yang menjadikan bahasa agama sebagai
modusnya adalah kita bisa lebih
inklusif dalam melihat setiap kelompok
masyarakat maupun keagamaan. Karena
banyak sekali paham keagamaan yang
secara formal begitu spiritual dan agamis,
namun di balik semua itu mereka justru
menggunakan citra itu untuk melakukan
hal-hal yang bertentangan bahkan dengan
agama yang mereka citrakan. Dengan
demikian, kita tidak boleh ekslusif dalam
membawa sebuah kepercayaan, karena
kita perlu mengkaji lebih jauh setiap
identitas maupun cara suatu komunitas.
Dalam hal ini teori Language Games
relevan dijadikan sebagai pisau analisis,
menurut Ludwig Wittgenstein suatu
pernyataan tidak bisa dimaknai hanya
melalui tuturan yang bersifat struktural,
tapi harus dilihat penutur, konteks
dan tuturannya (Mustansyir, 2007: 35).
Artinya, pemaknaan bahasa ada pada
penggunaan, bukan pada bahasa secara
produk yang baku. Pandangan ini bisa
dilihat dalam pernyataan Wittgenstein
yang tekenal, “Dont ask what the mean, but
ask how to use.” Dari perspektif ini kita bisa
mengatakan bahwa pemaknaan bahasa
secara language games, atau permainan
bahasa akan memberikan alternatif
makna yang beragam. Demikian pula
dalam kajian ini penggunaan bahasa
agama harus dipahami lebih luas dan
beragam.
Selain Language Games, pandangan
Charles S. Peirce tentang pluralisme
pragmatik (pragmatic pluralism) juga
sejalan
dengan
fenomena
dalam
pembahasan ini. Menurut Peirces (B.
Rosenthal, 1994: 41), makna itu tergantung
pada kebiasaan (meaning as habit),
dengan arti bahwa makna terlahir bukan
hanya dari struktur bahasa tapi dari
intensitas hubungan antar subjektif yang
membentuk kebiasaan suatu komunitas.
Dengan demikian makna tuturan harus
dilihat dari kebiasaan suatu komunitas
bahasa. Pada gilirannya model ini akan
HORISON PRAGMATIC PLURALISM SEBAGAI PARADIGMA (BERBAHASA) PENUMBUH INKLUSIFITAS BERAGAMA: ANALISIS BAHASA ...
membentuk pluralitas makna berbahasa
yang ditentukan oleh berbagai aspek di
luar bahasa.
Pemahaman yang luas tentang
bahasa akan melahirkan diri seseorang
yang memiliki pandangan yang luas
pula (inklusif), adapun pandangan
yang luas akan memiliki dampak pada
sikap menghargai orang lain yang
berseberangan dengannya, baik dalam
hal budaya maupun ideologi. Menurut
Albana,
perpecahan
dalam
suatu
kelompok dipengaruhi oleh pemaknaan
bahasa mereka yang berbeda-beda
(Albanna, 2005: 10). Dengan demikian
dibutuhkan
pemahaman
bahasa
yang utuh dan komprehensif untuk
membangun pandangan yang lebih
inklusif. Pandangan yang inklusif tersebut
akan bisa tercapai jika setiap orang
memiliki horison pemahaman bahasa
yang luas yakni horison pemahaman yang
berparadigma pragmatik pluralism. Ketika
suatu pemahaman inklusif tumbuh
dalam diri seseorang maka konflik yang
berbau ras maupun sosial keagamaan
53
bisa diminimalisir.
Penutup
Secara
linguistik,
pemaknaan
bahasa (bahasa keagamaan) dalam film
Negeri Tanpa Telinga mengarah pada
pemaknaan bahasa yang lebih berprinsip
pragmatic pluralism. Di dalamnya kita
diarahkan untuk tidak tertipu dengan
bahasa seseorang termasuk dengan
simbol-simbol keagamaan yang sering
kali mengecoh, karena pemaknaan
bahasa ada pada kebiasaan bukan tuturan
seseorang. Memang agama selalu menjadi
hal empuk untuk dikomoditaskan,
termasuk dijadikan pencitraan dalam
perpolitikan di negeri ini. Pada gilirannya
masyarakat sering ditipu dengan modelmodel seperti hal tersebut. Maka dari itu
pemahaman bahasa masyarakat harus
lebih luas dan tajam guna menghindarkan
diri dari penipuan-penipuan bahasa
dan tindakan yang sering kali berkedok
agama. Di samping itu pemahaman
bahasa dan penilaian agama yang
substantif merupakan hal yang niscaya
untuk membuka inklusivitas diri dalam
beragama dan memaknai setiap fenomena
yang ada.
Daftar Pustaka
Anis, Elis Z. Islam Ala Iklan; Komodifikasi Identitas Islam dalam Iklan Televisi. Dalam Jurnal
Islamic Review Volume II No 2. Pati: STAIMAFA Press, 2013.
Albana, Hasan. Majmuatu Rasail. Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2012
B. Rosenthal, Sandra. Charles Peirce’s Pragmatic Pluralism. New York: State University of
New York Press, 1994.
Hidayat Asep Ahmad. Filsafat Bahasa; Mengungkap Hakekat Bahasa, Makna Dan Tanda.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Norris, Christopher. Deconsturction Theory And Practice. London: Rottledge, 2002.
Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika; Kode, Gaya dan Matinya Makna.
Bandung: Matahari, 2012.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
54
MUHAMMAD WAR’I
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Tanpa penulis. Negeri Tanpa Telinga: Politik, Uang dan Ranjang. 2014 Dalam situs: http://
yomamen.com/negeri-tanpa-telinga-politik-uang-dan-urusan-ranjang/akses
tanggal 24 juni 2015
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997.
Setyanto, Agus. Negeri Tanpa Telinga: Kado untuk Politikus Pemain Sirkus. 2014 Dalam situs:
http://www.kompasiana.com/masgaz/film-negeri-tanpa-telinga-kado-untukpolitikus-pemain-sirkus_54f67a85a33311a17c8b4daf akses tanggal 24 Juni 2015
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PENELITIAN
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
55
Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya
Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung, Kabupaten
Ponorogo
Mukhibat
Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 16 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This research was conducted in Pulung
Ponorogo to figure out the development
model in forming the harmonious
spirit of social-religious life through the
Thematic Community Service Internship
(KPM) Posdaya (Family Empowerment
Post)-Mosque Based. First, the thematic
Community Service Internship (KPM)
Posdaya (Family Empowerment Post)Mosque Based in STAIN Ponorogo with
Participant Action Research (PAR) approach
had been able to create spaces and
integrative communication medium and
decreased the rigidity of communication
among different community. Social
activities centralized at mosque made
people conscious that their religion taught
a wisdom to build harmonious life. Second,
the difference became positive energy in
developing harmony, peacefulness and
prosperity. The dialogue activities enriched
their theological dialogue empowering
mosque in wider perpectives that not only
function as praying and preaching but
also education, economic, social, culture,
communication and information activities.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Pulung Ponorogo guna mengetahui model
pengembangan merangkai spirit harmoni
kehidupan sosial keagamaan melalui KPM
Tematik Posdaya berbasis masjid. Hasil
penelitian dengan pendekatan kualitatif
ini menunjukkan: Pertama, KPM Tematik
Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga)
berbasis Masjid STAIN Ponorogo dengan
pendekatan PAR telah mampu menghasilkan
ruang atau wadah komunikasi yang akrab
dan integratif, serta mencairkan kebekuan
komunikasi antar masyarakat yang berbeda,
beragam, dan bertikai. Kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dipusatkan dari masjid
telah menyadarkan masyarakat bahwa
agama yang dianutnya terdapat hikmahhikmah sebagai modal dalam merangkai
harmonisasi kehidupan. Kedua, perbedaan
faham keagamaan menjadi energi positif
dalam membina kerukunan, kedamaian
dan kesejahteraan bersama. Dialog aksi
telah memperkaya dialog teologis mereka,
dengan berfungsinya masjid dalam dimensi
yang sangat luas tidak hanya fungsi ibadah
dan dakwah saja tetapi juga memiliki
fungsi edukasi, ekonomi, sosial, budaya,
komunikasi dan informasi.
Keywords: Reconstruction, Harmony,
Dialogue Activities, Mosque, KPM
Kata kunci: Rekonstruksi, Harmoni, Dialog
Aksi, Masjid, KPM
Pendahuluan
sosial-ekonomi, dan kesehatan, telah
memperlihatkan
dampak
global.
Kecenderungan global ini menurut
Noorhaidi Hasan (2012: xiv) akan
berpengaruh terhadap format dan
arah kehidupan sosial keagamaan.
Fenomena sosial dengan berbagai
isu problematik yang terkait dengan
kemajemukan, pendidikan, kehidupan
bermasyarakat
dan
berbangsa,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
56
MUKHIBAT
Sebagaimana
diketahui,
Indonesia
merupakan contoh negara di mana
pertarungan
memperebutkan
pusat
medan wacana (center of the discursive
field) berlangsung sangat intens. Berbagai
macam ormas dan gerakan keagamaan
dari yang bercorak radikal, militan,
moderat
progresif
sampai
liberal
berupaya mengekspresikan identitas
dan kepentingan masing-masing melalui
aktivitas diskursif yang dinamis. Hal ini
menurut pendekatan teori ruang publik
Jurgen Habermas yang dikutip oleh
Qodir (2015: 43) akan terjadi pertarungan
(kontestasi) antarkelompok masyarakat.
Pengabdian masyarakat dalam
konteks Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam disingkat PTKI tidak hanya
dimaknai sebagai sarana produksi
pengetahuan (transfer of values and
knowledge) yang mempunyai fungsi dalam
membentuk watak dan perilaku Muslim,
tetapi juga harus mendorong lahirnya
individu yang berkepribadian istimewa
(tahdhib) (Zaman, 2002: 23). Artinya
PTKI harus memiliki fungsi sosial yang
berperan dalam mewujudkan kehidupan
yang penuh kedamaian dan harmonis
bagi masyarakat.
Dengan mencermati isu di
atas, Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P3M) STAIN Ponorogo
sejak tahun 2013 telah merevitalisasi
program pengabdian dan pengembangan
masyarakatnya di Pulung Ponorogo dalam
bentuk Kuliah Pengabdian Masyarakat
(KPM) Tematik Pos Pemberdayaan
Keluarga (Posdaya) yang berpusat di
masjid dengan pendekatan Participatory
Action Research (PAR). Masjid dalam
kontek
KPM
Posdaya
dipahami
sebagai sentra aktivitas keagamaan dan
sosial kemasyarakatan yang memiliki
multifungsi dan sarana mengembangkan
modal sosial sebagai bentuk da’wah bil hal
(LPM UIN Malang, 2011: 5). Program ini
mengemban misi dakwah kultural yang
bersifat bottom up dengan melakukan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
pemberdayaan kehidupan beragama
dalam bentuk dialog aksi berdasarkan
nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh
masyarakat.
Pilihan di Kecamatan Pulung
didasarkan pada komposisi penduduk
di Pulung yang cukup beragam dari
segi aliran keagamaan, yakni NU,
Muhammadiyah, LDII, Jamah Tabligh,
MTA, dan Salafi. Beragamnya berbagai
paham keagamaan tersebut sangat
berpotensi munculnya konflik yang akan
mengusik keharmonisan kehidupan
keagamaan di Kecamatan Pulung yang
bisa mengarah pada disharmoni. Adapun
penduduk non-Muslim yakni Kristen
terdapat di Desa Pulung Merdiko, yang
pada 2011 terjadi gesekan dengan umat
Islam yang cukup tajam, karena pendirian
gereja di desa tersebut.
Potret best practice dialog umat
beragama melalui kegiatan KPM tersebut
sangat perlu dieksplorasi agar temuannya
bisa dipublikasikan, sehingga terdapat
kontribusi baru bagi pengembangan
model format harmonisasi. Contoh
membangun spirit harmonisasi antarumat
beragama dengan KPM Posdaya berbasis
masjid masih jarang dilakukan. Oleh
sebab itu, penelitian ini sangat penting
untuk memperkaya model merangkai
spirit harmonisasi kehidupan beragama
dan bermasyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini menjawab dua hal, yaitu:
1). Bagaimana pendekatan dan metode
KPM Tematik Posdaya berbasis masjid
dalam menghidupkan modal sosial
masyarakat untuk membangun harmoni
dalam keragaman di kecamatan Pulung
Ponorogo? 2) Bagaimana respon-adaptasi
umat beragama dan masyarakat terhadap
program KPM Posdaya Tematik Berbasis
Masjid dalam Merangkai Idealisme
Harmonisasi Masyarakat di Kecamatan
Pulung Ponorogo?
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan
pendekatan
dan
metode KPM tematik posdaya berbasis
masjid dalam membentuk harmoni
dan menjelaskan penerimaan umat
beragama, ormas keagamaan dalam
memanfaatkan posdaya berbasis masjid
untuk membangun kerukunan umat
beragama. Adapun signifikasi penelitian
ini diarahkan pada pihak-pihak berikut
ini: 1). P3M STAIN Ponorogo, kegiatan
ini berguna untuk memperkuat dan
memperkaya strategi untuk membina
keragaman
dan
memberdayakan
masyarakat dalam menjalin harmonisasi
kehidupan
sosial
keagamaan;
2).
Kementerian Agama RI dan PTKI lain
di Indonesia, dapat menjadi best practices
dan lesson learned yang bisa diaplikasikan
di daerah-daerah lain dalam pembinaan
dialog dan harmonisasi kerukunan umat
beragama yang selama ini ada.
Untuk menjawab tujuan penelitian
ini, rekonstruksi spirit harmoni hubungan
umat beragama digunakan sebagai
kerangka teori sebagaimana setiap
agama sangat menginginkan tumbuh
dan terwujudnya harmoni melalui ikatan
atau lingkup yang lebih kecil, seperti
keluarga, perkumpulan, dan komunitas.
Persoalannya, dalam aras historis, misi
agama tidak selalu artikulatif. Dalam
perjalanan sejarahnya, agama selain
sebagai alat pemersatu sosial, agama
juga dapat menjadi unsur konflik. Hal ini
karana agama memiliki faktor integrasi
dan disintegrasi (Basyuni, 2007: 45).
Faktor integrasi, agama mengajarkan
persaudaraan
atas
dasar
iman,
kebangsaan, dan kemanusiaan. Faktor
disintegrasi, jika agama dipahami secara
sempit dan kaku dapat menimbulkan
prasangka negatif terhadap agama lain.
Dalam rangka mendamaikan faktor
integrasi dengan distintegrasi diperlukan
resolusi
konflik
agar
kedamaian
57
kehidupan sosial dan agama dapat
terwujud (Syamsiatun, 2013: 193).
Harmoni dan kerukunan umat
beragama merupakan cita-cita yang
diidealkan agar
kehidupan penuh
dengan toleransi, penghargaan terhadap
pluralisme dan pemikiran yang inklusif
(Poerwanto, 2000: 222). Kerukunan
merujuk pada pemahaman “berada
dalam keadaan selaras”, “tenang dan
tentram”, “tanpa perselisihan dan
pertentangan”, “bersatu dalam maksud
untuk saling membantu”. Rukun dapat
dipahami juga sebagai suatu keberadaan
semua pihak yang berada dalam keadaan
damai satu sama lain, suka bekerjasama,
saling menerima dalam suasana tenang
dan sepakat (Suseno, 2001: 39).
Lawan
kerukunan
adalah
disharmoni. Disharmoni terjadi karena
dua faktor yaitu, faktor internal terjadi
karena adanya perbedaan penafsiran
terhadap ajaran agama dan faktor
eksternal terjadi karena faktor pendidikan,
politik, kesejahteraan masyarakat dan
lemahnya modal sosial. Kesejahteraan
masyarakat menjadi faktor yang juga
sangat menentukan bagi keharmonisan
sosial. Orang yang lemah tentunya dekat
dengan kemiskinan. Dalam keadaan
miskin inilah, orang mudah terprovokasi
untuk melakukan tindakan anarkis
sehingga kehilangan trust, solidarity, social
cohesion di antara sesama (Rahardjo, 2010:
240).
Disharmoni bisa diatasi dengan,
dialog dalam bentuk desain program
berupa dialog karya untuk memecahkan
masalah kemanusiaan dan meningkatkan
kesejahteraan hidup bersama (Ali, 1994:
14). Dialog model ini menurut Paul
Knitter (1995) disebut dengan dialog aksi,
yakni dialog yang memfokuskan pada
kesejahteraan manusia, kemiskinan, dan
masalah-masalah sosial lainnya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
58
MUKHIBAT
Dialog akan mengatasi rivalitas,
penindasan, kebencian, menciptakan
harmoni dan menjauhkan sikap hidup
yang saling menghancurkan (Bagus,
2005: 161). Bagaimana dialog aksi itu
muncul? Dialog aksi harus menjadi
bagian penting untuk terbentuknya
masyarakat komunikatif, masyarakat
damai apalagi terhadap masyarakat
yang plural dengan agama yang plural.
Dalam masyarakat plural, kehidupan
secara kelompok dapat menjadi eksklusif
dan orang mengambil jalan sesuai
dengan pribadinya yang cenderung
individualistik dan egois (Zimmermann,
1984: 2). Dalam menghadapi pluralisme
seperti ini, pemikiran rekonstruksi
pandangan moral yang bersifat universal
mutlak diperlukan.
Pertanyaannya pendekatan yang
seperti apa yang dapat menyelesaikan
konflik-konflik yang terjadi selama
ini? Selama ini pemerintah menempuh
dua
pendekatan.
Pertama,
aparat
keamanan melakukan tekanan represif
terhadap pihak-pihak terlibat dengan
melerai serta menangkap pimpinan
dan provokator maupun mengadili
yang dipandang bersalah. Kedua, pihak
birokrasi
memberikan
kemampuan
terbaik
intelektual
akademis
dan
strategis politis mereka menawarkan
solusi. Dalam antropologi, strategi ini
dikonsepsikan sebagai “etik” (Asry,
2013: xi). Namun pendekatan ini sering
kurang berhasil karena ketika habis masa
pertemuan kesepakatan, mereka kembali
terpancing emosi harga diri dan dendam
ketidakpuasan atas kebijakan yang
ditempuh.
Dua pendekatan tersebut memang
cukup berhasil dalam menyelesaikan
masalah-masalah
disharmoni
di
masyarakat, namun belakangan muncul
sejumlah kritik terhadap dua pendekatan
tersebut. Untuk itu harus ada suatu
pendekatan yang mempercayakan bahwa
mereka yang berbeda, beragam, bahkan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
bertikai memiliki abilitas memahami
masalah mereka dan mencari solusi
bersama. Dengan kata lain mereka
sendiri memahami penciptaan situasi
agar kembali atau terus damai. Jadi
pengembangan masyarakat mulai dari
belakang “community development start
from behind”. Dengan pendekatan ini,
pihak-pihak yang bertikai, berbeda,
dan beragam akan mampu melakukan
dialog kehidupan. Dialog kehidupan
menurut Hans Kung (1998: 32) sebagai
bukti bahwa setiap orang beragama
bersedia membuktikan keimanannya
masing-masing, di mana masing-masing
umat bersedia meletakkan iman pada
posisi yang setara dan melakukan aksi
bersama untuk mencapai kehidupan
yang sejahtera lahir dan batin. Dialog
ini dapat dilakukan dengan pola
pendampingan
dengan
pendekatan
andragogis partisipatoris (Mahdi, 2009: 41).
Dari pendekatan inilah menginspirasi
lahirnya Penelitian Tindakan Terlibat
“Partisipatory Action Research”.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif
naturalistik,
yaitu
penelitian
yang
mengarahkan formatnya pada keaslian
data, kealamiahan, ungkapan subyek
(realistik) dan bersifat induktif (Muhadjir,
2000: 108). Penelitian ini merupakan
studi komunitas, maka semua subyek,
lokasi, dokumen, aktivitas dan peristiwa
yang mempunyai keterkaitan dengan
fokus penelitian ini merupakan sumber
data penelitian ini. Sumber data dalam
penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari data
yang langsung diambil melalui kegiatan.
Sedangkan data sekunder diperoleh
dengan mendokumentasikan informasi
naratif dan gambar seperti buku statistik
Kecamatan Pulung Ponorogo.
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
Pengumpulan data dilakukan
melalui: 1). Kajian pustaka yaitu
mempelajari beberapa dokumen dan
literatur pendukung; 2). Wawancara
mendalam (indepth interview) dengan
tokoh-tokoh agama dan masyarakat
Pulung,
3).
Observasi
lapangan
khususnya mengenai suasana kehidupan
masyarakat dan tradisi yang selama ini
mereka anut; dan 4). Diskusi terbatas
atau Focused Group Discussion (FGD).
Penelitian ini dilaksanakan selama empat
bulan terhitung sejak Juli sampai dengan
Oktober 2015 di Kecamatan Pulung
Ponorogo. Data dianalisis dengan metode
analisis kualitatif sesuai saran dari Miles
& Hubermen (1992: 16-19), yaitu: reduksi
data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Sekilas Kecamatan Pulung Ponorogo
Kecamatan Pulung merupakan
salah satu dari 21 kecamatan di
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa
Timur, Indonesia. Pulung memiliki arti
keberuntungan yang tidak terduga-duga.
Kecamatan Pulung terletak 25 km sebelah
Timur Kota Ponorogo dengan jumlah
penduduk 45.950 jiwa yang terdiri dari
22.978 laki-laki dan 22.972 perempuan,
KK 22791, tingkat pertumbuhan, 0,28,
dan kepadatan penduduk adalah 916
dan terdiri dari 18 Desa (Data Statistik
Kabupaten Ponorogo Jawa Timur 2013).
Luas wilayah Kecamatan Pulung adalah
127,55 km², dengan batas-batasnya yaitu
sebelah Utara adalah Kecamatan Ngebel,
sebelah Timur Kecamatan Pudak, sebelah
Selatan Kecamatan Sooko dan Sawoo
serta sebelah Barat adalah Kecamatan
Siman.
Keadaan sosial masyarakat Pulung
sangat nampak dilihat dari keadaan
sosial kemasyarakatannya, yakni dari
terjalinnya hubungan masyarakat yang
59
harmonis antara pemerintah desa dan
masyarakat pada umumnya. Adat
istiadat di Kecamatan Pulung sangat
kental dengan nuansa gotong royong
dan kekeluargaan. Hal ini terlihat dari
kegiatan-kegiatan lokal seperti bece’an,
aqiqah, sunatan, dzikir fida’, yasinan, berjanji,
sambatan, bersih desa serta hajatan
(Laporan KPM STAIN Ponorogo, 2014).
Masyarakat Kecamatan Pulung
mayoritas beragama Islam, sehingga
kegiatan keagamaan umat Islam terlihat
lebih semarak dibanding dengan umat
lain, baik yang berkaitan dengan kegiatan
peribadatan maupun kegiatan sosial
keagamaan. Secara khusus, kehidupan
keagamaan
masyarakat
Kecamatan
Pulung nampak manakala kegiatankegiatan yang bernuansa ubudiyah
(vertikal) secara massal banyak dilakukan
masyarakat, seperti shalat berjamaah,
menghadiri majlis taklim, yasinan, tahlilan,
takziyah, istighozah, manakiban, peringatan
hari-hari besar Islam yang dilengkapi
dengan berbagai jenis perlombaan.
Sarana ibadah bagi kaum Muslimin
di Kecamatan Pulung semakin tercukupi
pada kurun waktu 15 tahun terakhir,
yakni sekarang terdapat sekitar 57 buah
masjid dan 168 musholla, sementara
gereja ada satu di Desa Pulung Merdiko.
Penduduk yang beragama Kristen di
Pulung sekitar 1,27% dari total penduduk
54.442 jiwa (Data Kependudukan
Kecamatan Pulung). Semua kegiatan
ibadah umat Kristiani di Kecamatan
Pulung dipusatkan di gereja Desa Pulung
Merdiko, letaknya sebelah selatan
Kecamatan Pulung searah dengan jalur
ke pusat agama Kristen di Desa Klepu.
Sarana ibadah yang ada di Kecamatan
Pulung dari segi kuantitas cukup baik.
Artinya jumlah secara proporsional
cenderung berbanding lurus mengikuti
jumlah pemeluk agamanya. Namun
jumlah yang proporsional belum diikuti
kualitas beragama yang menggembirakan,
karena umat Islam masih banyak yang
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
60
MUKHIBAT
melaksanakan kegiatan ibadah di rumah
masing-masing. Artinya sarana ibadah
yang sudah tersedia, baru berfungsi
secara minimal.
Salah satu persoalan yang ada
di Kecamatan Pulung adalah semakin
berkurangnya pemimpin agama yang
peduli pada nilai-nilai kemasyarakat
pada tingkat lokal karena terpengaruh
menguatnya identitas dan simbol
keagamaan yang bersifat global. Keadaan
demikian terjadi hampir pada semua
organisasi keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah, LDII, Jamaah Tablig,
dan MTA. Sebagai akibatnya konflik
yang berupa gesekan/ketegangan juga
sempat mewarnai kehidupan keagamaan
di Kecamatan Pulung, yakni pengelolaan
tempat ibadah, kehadiran Jamaah Tabligh,
perbedaan faham agama, antara NU,
Muhammadiyah, LDII dan MTA, serta
Salafi (Nurudin, wawancara, 24 September
2014). Namun secara umum dalam
relasi agama, sosial, budaya, dan politik
masyarakat Pulung berkomitmen pada
upaya untuk mewujudkan kesetaraan
pada semua ranah. Itusetidaknya yang
terekam selama pelaksanaan KPM STAIN
Ponorogo berlangsung.
Pendekatan dan Metode KPM Tematik
Posdaya Berbasis Masjid dalam
Membangun Spirit Harmoni
Program
pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat
berbasis
masjid yang dilakukan secara bersama
oleh STAIN Ponorogo adalah hal baru
dan bernilai sangat strategis. Selama
ini, pengembangan masyarakat selalu
menjadikan kantor desa atau lembagalembaga teknis lainnya sebagai basis.
Kebijakan itu tidak keliru, tetapi
berdasarkan
pengalaman
selama
ini ternyata terasa kurang strategis.
Pengembangan masyarakat berbasis
HARMONI
Mei - Agustus 2015
kantor desa seolah-olah harus bersifat
dinas dan formal, sehingga menjadikan
kegiatannya terasa formal pula.
Gagasan yang awalnya diperkenalkan oleh Yayasan Dana Mandiri
untuk mengambil strategi baru, dengan
menjadikan masjid sebagai basis adalah
merupakan ide yang cerdas. Masyarakat,
terutama komunitas Muslim selalu
menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan,
terutama pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat ritual, misalnya shalat berjama’ah,
pengajian rutin dan lain-lain. Oleh karena
itu, dengan menjadikan masjid sebagai
basis, maka kegiatan itu akan relevan
dengan kultur yang selama itu hidup dan
berkembang.
Pertanyaannya kenapa berpusat
di masjid? karena masjid merupakan
sentra
aktivitas
keagamaan
dan
sosial kemasyarakatan yang memiliki
multifungsi dan sarana mengembangkan
modal sosial sebagai bentuk da’wah bil
hal (LPM UIN Malang, 2011: 5). Datang
ke masjid merupakan panggilan teologis
dan spiritual. Lebih dari itu, masjid juga
bisa dipandang sebagai institusi sosial,
tempat di mana interaksi sosial terjadi.
Masyarakat jamaah masjid mempunyai
modal sosial sebagai dasar untuk
membinaanya, yang dapat memunculkan
sinergitas antara peran masjid sebagai
pusat pemberdayaan umat dengan fungsifungsi keluarga serta menumbuhkan
rasa saling percaya (trust), solidaritas
(solidarity), kerja bersama (collective
action), kerjasama (cooperation), kerekatan
sosial (social cohession) dan sikap inklusif,
serta penghargaan harkat-martabat bagi
masyarakat. Maka sangat tepat apabila
dikatakan bahwa masjid bisa menjadi
perekat kuat untuk merajut harmoni
di antara masyarakat terutama sesama
Muslim.
Berdasarkan komitmen P3M
STAIN Ponorogo keseluruhan kegiatan
KPM
mempergunakan
pendekatan
participatory action research (PAR). PAR
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
tidak memisahkan antara teori, praktik,
dan transformasi sosial, serta komitmen
untuk membangun ilmu pengetahuan
rakyat (people knowledge) yang berbasis
lokalitas. Kelebihan PAR menurut Agus
Rasidi (2014) kebutuhan (needs) dan
potensi jamaah yang sesungguhnya,
dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
dan budaya dapat dikembangkan dengan
baik. Model ini dipergunakan atas
pertimbangan pentingnya “kerjasama
aktif” antara peneliti (pihak luar) dan
anggota masyarakat dengan menekankan
pada proses belajar. PAR dipandang
sebagai pilihan paling sesuai untuk
prinsip-prinsip penyelenggaraan program
pemberdayaan masyarakat yang secara
eksplisit menekankan pentingnya caracara partisipatif (Ditpertais, 2013: 14-15).
Pendekatan PAR dalam KPM
Posdaya STAIN Ponorogo digunakan
secara
konsisten
dengan
alasan:
Pertama, PAR menghargai masyarakat di
Kecamatan Pulung telah memiliki modal
sosial dalam bentuk pengetahuan dan
pengalaman untuk dapat berkembang
menjadi
kekuatan
sosial
dalam
membangun masyarakat yang lebih
sejahtera lahir dan batin. Kedua, PAR
memiliki seperangkat metode untuk
membangkitkan kesadaran manusia
atau komunitas untuk ”melek” akan
permasalahan mereka sendiri dengan
langkah mapping, transector, pohon
masalah, dan matrik rangking. Ketiga, PAR
menciptakan kebersamaan antara insider
dan outsider serta intern insider sendiri.
Keempat, PAR mendorong masyarakat
Pulung mandiri tidak tergantung pada
bantuan dari luar. Kelima, PAR menutup
kekurangan model-model penelitian
pada umumnya yang ”bekerja di atas
meja”.
Adapun metode dan langkahlangkah KPM dengan model PAR di
Kecamatan Pulung Ponorogo, yaitu: 1).
Mapping, teknik ini untuk memfasilitasi
jamaah masjid dan masyarakat dalam
61
menggambarkan
keadaan
wilayah
berkaitan dengan peta sosial keagamaan
(topikal). Dalam rangka menghindari
kekeliruan informasi, posisi, dan kondisi
sosial keagamaan penduduk tim KPM
mengadakan pemetaan dengan cara
musyawarah bersama-sama dengan
jamaah masjid dan masyarakat yang
bertempat di rumah kepala dusun;
2). Transector, adalah penelusuran
wilayah untuk menemukan modal
sosial masyarakat sebagai satu kesatuan
yang merupakan prasarat terciptanya
hubungan
yang
harmonis,
yakni
dalam bentuk interaksi, kerjasama,
komunikasi dalam berbagai aspek
kehidupan baik ekonomi, keagamaan,
kesehatan, dan pendidikan. Transektor
ini sangat penting bagi tim KPM untuk
mendesain
program
pemberdayaan
dan pengembangan jamaah masyarakat
masjid agar masyarakat mau dan mampu
mengembangkan modal sosial tersebut
dalam melakukan kerja sama, interaksi,
komunikasi kegiatan dialog aksi yang
lain; 3). Venn Diagram, untuk melihat pola
relasi, interaksi sosial jamaah masjid dan
masyarakat dengan berbagai lembaga
atau institusi desa yang ada (Tim P3M
STAIN Ponorogo, 2014: 7). Venn Diagram
ini mampu mendeteksi komunikasi dan
interaksi antar institusi masyarakat desa,
sehingga dapat diketahui efektif tidak
saluran komunikasi yang ada dalam
menjalin kerjasama atau aksi sosial. Selain
itu Venn Diagram juga digunakan untuk
mengidentifikasi
apa
permasalahan
masyarakat, siapa-siapa yang terlibat,
mengapa
permasalahan
tersebut
muncul, di mana lokus permasalahan
muncul (menunjuk peran dominan),
serta bagaimana bentuk dan pola peran
dimainkan. Hasil Venn Diagram ini adalah
adanya institusi-institusi di masyarakat
tidak terhubung dengan bagus, artinya
ada saluran komunikasi yang tidak
jalan antara kelompok masyarakat
dengan masyarakat yang lain. Sehingga
kegiatan ekomoni, pendidikan agama
hanya terbatas pada kelompok mereka
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
62
MUKHIBAT
sendiri yang secara ideologi keagamaan
mempunyai kesamaan;
4). Timeline,
adalah penelusuran alur sejarah suatu
masyarakat dengan menggali kejadiankejadian penting yang pernah dialami
pada alur waktu tertentu.
Berdasarkan langkah-langkah di
atas, tim KPM mendesain programprogram seperti kegiatan kerjasama
bidang perekonomian (home industry),
pertanian, kesehatan, sosial keagamaan,
dan pendidikan. Bidang perekonomian
Tim KPM melakukan motivation trainning
dengan mendatangkan nara sumber
dari Dinas Peternakan Ponorogo,
sekaligus menjejaringkan modal bagi
pengembangan usaha sapi perah.
Kegiatan ini dilakukan selama dua hari
dan usaha keras dari tim KPM, jamaah
dan masyarakat yang berbeda faham
ajaran agama dan bahkan berbeda agama
sangat antusias dalam mengikuti acara
tersebut. Hasil dari kegiatan ini muncul
kesadaran beberapa warga yang telah
mempunyai usaha sapi perah dengan
ikhlas membagikan ilmunya kepada
warga yang lain.
Hal yang sama terjadi pada kegiatan
penyuluhan kesehatan dan pendidikan,
masyarakat seakan terhipnotis oleh
pesona dari mahasiswa KPM STAIN
Ponorogo, sehingga mereka sangat
termotivasi untuk secara bersama-sama
menjalankan program yang berkaitan
dengan kesehatan seperti Posyandu
maupun pendidikan dalam bentuk
bimbingan belajar bagi putra-putrinya.
Kerja sama bidang-bidang tersebut,
telah menjadi saluran komunikasi yang
efektif dalam membangun hubungan
dialogis
antara
umat
beragama.
Komunikasi antara mereka terjalin
secara
intens
tanpa
memandang
perbedaan keyakinan, dan yang paling
penting adalah tolong menolong dalam
kebersamaan melakukan pekerjaan. Di
masyarakat Kecamatan Pulung telah
terjadi pertemuan hati dan pikiran intern
HARMONI
Mei - Agustus 2015
beragama yang berbeda faham maupun
yang sefaham.
KPM Posdaya Berbasis Masjid di
Pulung sejak tahun 2014 telah berhasil
melakukan revitalisasi fungsi masjid
dalam peran sosial dan keagamaan, yaitu:
1). Meningkatkan kapasitas kelembagaan
masjid terutama pembenahan manajemen
masjid dikelola secara profesional, agar
peran masjid sebagai pusat peradaban
Islam bekerja secara professional; 2).
Menyegarkan modal sosial jamaah masjid
sebagai kekuatan dalam membangun
komitmen
untuk
mengembangkan
Posdaya; 3). Meningkatkan kapasitas
SDM kader Posdaya masjid yang
mampu menjadi fasilitator yang baik dan
efektif dalam mendampingi jamaah; 4).
Melestarikan eksistensi masjid melalui
peran generasi muda agar estafeta
kepemimpinan takmir berjalan dengan
baik, yang dapat mengantarkan masjid
menjadi makmur dan jama’ahnya menjadi
sejahtera; 5). Membangun jejaring pihakpihak terkait sehingga Posdaya yang
dikembangkan mendapatkan dukungan
dari berbagai stakeholder.
Respon-Adaptasi
dan
Partisipasi
Masyarakat terhadap Program KPM
Tematik Posdaya Berbasis Masjid
dalam Dialog Aksi
Masyarakat di Kecamatan Pulung
sangat mendukung program KPM STAIN
Ponorogo dengan pendekatan PAR
(Participatory Action Reseach) dan Focused
Group Discussion (FGD) yang menurut
mereka sangat menguntungkan bagi
masyarakat. Mereka selama ini tidak dapat
mengetahui potensi dan masalah yang
selama hadapi serta tidak mengetahui
jalan mana yang harus ditempuh untuk
mengatasinya (Agus, wawancara, 10
Agustus 2014). Program-program seperti
kesejahteraan manusia, kemiskinan,
pendidikan menyangkut kebutuhan dasar
mereka dengan pendekatan andragogy
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
sangat cocok dengan karakteristik
masyarakat, karena mempunyai tujuan
esensial yaitu pengembangan masyarakat
dan peningkatan kualitas manusia, maka
perubahan yang terjadi adalah perubahan
kualitas diri (insaniah) (Suisyanto, 2005:
41).
Nilai budaya yang berlaku
di masyarakat Pulung juga telah
berpengaruh terhadap persepsi mereka
tentang pendidikan, terutama dalam
memandang nilai anak. Nilai dipandang
sebagai kaidah hidup yang akan selalu
dihargai, dipelihara, dan diagungkan
dalam mengambil keputusan. Kaidah
hidup seseorang akan tercermin dalam
pola pikir, aspirasi, persepsi, dan perilaku
(Kaswardi, 2006: 7). Nilai-nilai tersebut,
yang menjadikan pemerintah desa dan
semua unsur masyarakat yang berbeda
faham dan agama bersedia duduk
bersama untuk membicarakan tentang
kepentingan pendidikan agama bagi
anak-anak mereka.
Nilai-nilai budaya juga telah
memunculkan keinginan yang kuat dari
jamaah dan masyarakat di Kecamatan
Pulung untuk tidak saja berpartisipasi
tetapi senantiasa mencari jalan bagi
keterlibatan dalam suatu kegiatan KPM
seperti kegiatan ekonomi, kesehatan,
sosial keagamaan. Jamaah dan masyarakat
telah melibatkan diri dan selalu mencari
kesempatan yang dapat memperkaya
hubungan-hubungan sosial mereka.
Pola kegiatan seperti di atas yang
memanfaatkan kearifan-kearifan lokal
merupakan alternatif merangkai spirit
harmoni yang patut dipertimbangkan.
Melalui kesediaan berbagai aktor lokal
terlibat dalam berbagai kegiatan sosial
menjadikan potensi konflik sebagai energi
positif bagi masyarakat. Hal ini menurut
John Haba sebagaimana dikutip oleh
Irwan Abdullah (2008: 27), dipercayai dan
diakui sebagai elemen-elemen penting
yang mampu mempertebal kohesi sosial.
Fenomena ini menurut pandangan teori
63
fungsionalisme-struktural, telah terjadi
penguatan hubungan sosial, karena
masyarakat telah menyadari bahwa
hubungan sosial dan solidaritas dapat
diperkuat dengan berbagai kerjasama
kehidupan. Teori ini juga memandang
bahwa
masyarakat
membutuhkan
kondisi kohesif sehingga kehidupan
sosial sangat bergantung pada solidaritas
yang didasarkan pada resiprositas dan
kerjasama (Kahmad, 2002: 169).
Partisipasi jamaah masjid dan
masyarakat yang tinggi dalam berbagai
program KPM menunjukkan telah
terjadi dialog aksi di antara mereka.
Dialog aksi bukan hanya sebuah pilihan,
tetapi telah menjadi kebutuhan hidup
yang menentukan masa depan mereka.
Menurut Knitter (1995: 85), inilah dialog
dalam arti sebenarnya: suatu perjumpaan
di mana semua pihak berbicara tanpa rasa
takut, namun juga dan sama pentingnya,
mendengarkan tanpa rasa takut. Dialog
yang tidak saja pada tataran teologis tetapi
juga merekomendasikan kesejahteraan
manusia pada semua tingkatan dan
dalam semua dimensi.
Dialog seperti ini menurut Knitter
(1995: 151), akan menambah kredibilitas
moral, karena tidak hanya dilakukan
pada tingkat intelektual dan spiritual,
tetapi juga selalu menyentuh masalah
permasalahan sosial masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa KPM STAIN
Ponorogo dengan berbagai program
nyata bersama masyarakat telah mampu
membangun kesadaran dan merumuskan
bersama dengan masyarakat akan
kebenaran ajaran agama dalam perspektif
pemeluk agama lain dan bagaimana
kewajiban yang harus dijalankan dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Kehidupan dan kemanusiaan inilah
yang menjadi titik temu agama-agama
untuk membangun dan mengembangkan
hubungan dan kerjasama antar umat
beragama untuk kebaikan semua umat
manusia (Asry, 2013: xxiii).
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
64
MUKHIBAT
Kegiatan sosial kemasyarakatan
yang direncanakan dari masjid telah
menyadarkan masyarakat bahwa agama
yang dianutnya terdapat hikmah-hikmah
(wisdom) ketuhanan dan kemanusiaan
yang mirip, atau bahkan sama antara
satu sama lain, maka kearifan terdalam
pada masing-masing tidak hanya dapat
memerkaya dan mempersubur satu
sama lain, tetapi juga dapat dan akan
terus memberi kehangatan makna bagi
mereka dan bahkan bagi masa depan
anak-anaknya. Dengan kata lain, hikmah
dan kearifan yang dikandung oleh ajaran
agama diyakini akan terus relevan dan
aktual, apalagi jika digali dan diperkaya
dengan cara dialog aksi yang selama ini
dilakukan bersama tim KPM. Berdasarkan
keyakinan yang demikian hanya dengan
kekayaan wisdom itu manusia-manusia
sepanjang waktu dapat terus memberi
makna di dalam hidupnya, dapat
menjadi manusia yang otentik. Lebih
dari itu, dialog aksi dapat menjadi “air
yang hangat” yang dapat melembutkan
pergaulan dan hubungan antaragama
yang dirasa semakin ”mengeras.”
Kerjasama, interaksi dan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan KPM,
sebagai bentuk dialog dalam rangka
membudayakan hidup rukun dan
harmonis di antara mereka. Ajaran
agama mereka yang selama ini dianutnya
ternyata memiliki tanggung jawab
dan kewajiban untuk menyelesaikan
berbagai problematika kehidupan. Hal
ini menurut Waryani Fajar Riyanto dalam
Hodgson (2014: 568) disebut dengan
Islamicate, yakni agama Islam bagi
masyarakat bermakna sebagai hubungan
sosial dan budaya, yang memunculkan
semangat bersama mengenai perlunya
membangun
kerukunan
antarumat
beragama. Fenomena ini membuktikan
bahwa respon jamaah dan masyarakat
terhadap masalah kerukunan beragama
untuk menuju hari depan yang lebih baik
HARMONI
Mei - Agustus 2015
bagi kelangsungan hidup bermasyarakat
telah manjadi nilai hidup mereka yang
akan diwariskan pada anak cucu mereka.
Masyarakat Pulung juga semakin
antusias menjalankan sholat berjamaah,
perbedaan faham ajaran agama antara
LDII, Salafi, NU, Muhammadiyah,
Kristen yang selama mewarnai dalam
kehidupan beragama juga tidak kelihatan
lagi (Fieldnote KPM STAIN Ponorogo
tahun 2014). Mereka masing-masing
telah bersedia meletakkan iman pada
posisi yang setara dan melakukan aksi
bersama untuk mencapai kehidupan
yang sejahtera lahir dan batin bagi
daerah tempat tinggalnya. Perbedaan
yang berpotensi konflik tersebut benarbenar telah menjadi energi positif bagi
masyarakat dalam membina kerukunan,
kedamaian dan kesejahteraan bersama.
Menurut Knitter (2003: 246) dialog
aksi yang terjadi pada masyarakat
Pulung tersebut berhubungan erat
dengan dialog telogis mereka. Dialog
aksi akan membentuk persahabatan
baru di antara umat beragama, suatu
persahabatan yang diukir dan dipererat
dengan berbagi pengalaman. Karena
persahabatan itu, dialog teologis-mistis
dapat berkembang. Dalam bahasa Knitter
“dialog etis akan mengasuh teologi.” Ada
hubungan yang kuat antara dialog etis
dan teologis untuk saling menghimbau,
saling menghidupkan, dan saling
mentransformasikan
Dengan demikian dialog umat
beragama dapat dimaknai bukan sekadar
usaha menyelesaikan konflik yang ada,
melainkan usaha untuk membangun
suatu “masyarakat yang saling bergaul,”
suatu “masyarakat penuh kasih dan
bernalar” melintasi berbagai halangan
ras, etnis, dan agama; umat belajar
memahami perbedaan-perbedaan yang
ada bukan sebagai ancaman, melainkan
sebagai sesuatu yang “wajar” dan
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
“normal.” Knitter, percaya bahwa dialog
merupakan ikhtiar untuk membantu
umat dalam memahami dan menerima
yang lain dalam “keberlainan” mereka.
Dialog aksi telah membuat masyarakat
jamaah masjid merasa nyaman berada
“di rumah” dengan kemajemukan,
membangun rasa saling menghargai
dalam keanekaragaman. KPM Posdaya
Berbasis Masjid telah memainkan
peran sebagai resolusi konflik dalam
membentuk suatu kerukunan dan
kedamaian masyarakat Pulung Ponorogo.
Penutup
KPM Tematik Posdaya Berbasis
Masjid
dilakukan
menggunakan
pendekatan PAR dengan langkahlangkah mapping, transector, venn diagram,
dan timeline telah mampu mencairkan
kebekuan komunikasi antarmasyarakat
yang berbeda, beragam, dan bertikai.
Modal sosial jamaah masjid telah menjadi
integrative climate (bridging social capital)
65
dalam bentuk civic association sebagai
dasar untuk membinanya, sehingga
muncul sinergitas antara peran masjid
sebagai pusat pemberdayaan umat
dengan fungsi-fungsi keluarga.
Kegiatan sosial yang dipusatkan
dari
masjid
semacam
ini
telah
menyadarkan masyarakat bahwa agama
yang dianutnya terdapat hikmah-hikmah
(wisdom) sebagai modal dalam merangkai
keharmonisan dalam kehidupan memiliki
tanggung jawab dan kewajiban untuk
menyelesaikan berbagai problematika
kehidupan. Dialog aksi yang mereka
lakukan telah benar-benar memperkaya
dialog teologis mereka, hal ini telah
terbukti dengan berfungsinya masjid
dalam dimensi yang sangat luas, tidak
hanya fungsi ibadah dan dakwah, tetapi
juga fungsi edukasi, ekonomi, sosial dan
budaya, serta komunikasi dan informasi,
dan jejaring sosial. Dialog kehidupan
telah menjadi “air hangat” yang dapat
melembutkan pergaulan dan hubungan
antaragama.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, (ed.). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Ali, Mukti. “Dialog dan Kerjasama Agama dalam Menanggulangi Kemiskinan” dalam
Sairin, Weinata (ed.), Dialog Antar Umat Beragama: Membangun Pilar-Pilar
Keindonesiaan yang Kukuh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer, Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011.
Asry,
M. Yusuf. Masyarakat Membangun Harmoni, Resolusi Konflik dan
Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama RI, 2013.
Basyuni, Muhammad M. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Balitbang dan Diklat Depag RI, 2007.
Ditpertais. Panduan Program Pemberdayaan Mutu Madrasah/Pesantren
Perguruan Tinggi Agama Islam. Jakarta: Kementerian Agama RI,
2013.
Dampingan
Ditpertais,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
66
MUKHIBAT
El Mahdi, Lathifatul Azizah. “Dialog Aksi Antrumat Beragama: Strategi Membangun
Perdamaian dan Kesejahteraan Bangsa: dalam Harmoni, Volume VIII, Nomor 30,
April-Juni 2009: 41.
Hasan, Noorhaidi. “Dakwah, Aktivitas Diskursif dan Tantangan Globalisasi” dalam
Kementerian Agama RI, Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat
Beragama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002
Kaswardi. Mandat Masyarakat yang Dijalankan oleh Sistem Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta,
2006.
Kementerian Agama RI. Peran Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.
Kementerian Agama RI. Peranan Forum Kerukuan Umat Beragama. Jakarta: Kementerian
Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010.
Knitter, Paul. One earth Many Religions, Multifaith Dialogue & Global Responsibility. with
Preface by Hans Kung, Maryknoll. New York: Orbis Books, 1995.
Knowles, Malcolm. Modern Practice of Edult Education from Paedagogy to Andragogy.
Chicago: Fiolet Publishing Company, 1979.
Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Paramadina, Jakarta,
Paramadina Juli-Desember, 1998.
Laporan KPM STAIN Ponorogo di Kecamatan Pulung Ponorogo.
LPM UIN Malang. Pedoman Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat Tematik Posdaya
Berbasis Masjid. Malang: PT Citra Kharisme Bunda, 2011.
Miles, M. B. and A.M. Hubermen. Analisis Data Kualitatif. terj. Tjetjep Rohadi. Jakarta:
UI Press, 1992.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
P3M STAIN Ponorogo. Buku Pedoman Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) Posdaya
Berbasis Masjid dengan Pendekatan Participatory Action Research (PAR). Ponorogo:
STAIN Po Press, 2014.
Qodir, Zuly. “Kontestasi Penyiaran Agama di Ruang Publik:Relasi Kristen dan Islam di
Kota Jayapura” dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius,Vol. 14,
No. 1 Januari-April 2015.
Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan. Jakarta:
Kencana, 2010.
Rasidi, Agus. Manajemen Masjid dan Masjid Online, 16 September 2014, http://www.
arroyyan. Com.
Riyanto, Waryani Fajar. Studi Islam Indonesia (1950-2014), Rekonstruksi Sejarah Perkembangan
Studi Islam Integratif di Program Pascasarjana PTAI & Annual International Concerence
on Islamic Studies (AICIS). Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2014.
Suisyanto, (ed). Islam Dakwah & Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN
Yogyakarta: 2005.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
REKONSTRUKSI SPIRIT HARMONI MELALUI KPM POSDAYA BERBASIS MASJID DI KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO
67
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2001.
Syamsiyatun, Siti. Islamic ethics and Social Problems in Indonesia. Geneva:
net, 2013.
Globethics.
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Masyarakat Membangun Harmoni:
Resolusi Konflik Dan Bina Damai Etnorelijius Di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.
Zaman, Muhammad Qasim. The Ulama in Contemporary Islam. Pricenton and Oxford:
Pricenton University Press, 2002.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
68
AHMAD ALI MD
PENELITIAN
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
Ahmad Ali MD
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Abstract
Abstrak
Understanding Shia doctrine cannot
be separated from its point of view. Its
mainstream view is certainly not always
right. Non-mainstream view is more
relevant and more proper in portraying
Shia and its doctrine. The sixth Muslim
pillars and Islamic jurisprudence are
different from mainstream doctrines (Sunni
doctrines) but they are not considered as
deviance because they have their own
various perspectives. It can be seen from
mut’ah marriage that is not absolute;
there is a relevant perspective revealed
by Ja‘far al-Subhânî. He states that mut’ah
marriage is allowed by some determined
requirements and unlike common view
discrediting its perspective. Therefore to
understand Shia doctrine at least is needed
five
non-authoritative
interpretations
such
as
honesty,
perseverance,
comprehensiveness, rationality, and selfcontrol. Those understandings contribute
to tolerance towards Shia.
Memahami doktrin Syiah tidak dapat
dilepaskan dari sudut pandang terhadapnya.
Sudut pandang mainstrem tidak selalu
tepat. Justru sudut pandang non mainstrem
relevan dan tepat dalam memotret Syiah
dan doktrin ajarannya. Doktrin rukun iman,
dan doktrin fikih yang berbeda dengan
doktrin mainstrem (mazhab Sunni) tidak
boleh serta merta dijustifikasi sebagai sesat,
keluar dari Islam sebab di dalam Syiah
sendiri terdapat pula pandangan yang
beragam. Sebagai bukti, doktrin kehalalan
nikah mut’ah bukanlah bersifat mutlak;
ada pandangan, seperti dikemukakan oleh
Ja‘far al-Subhânî, yang lebih relevan dan
sejalan dengan perkembangan zaman.
Dalam pandangan tersebut, nikah mut’ah
dibolehkan dengan persyaratan yang ketat,
dan tidak seperti gambaran umum yang
mendiskreditkannya. Oleh karena itu,
dalam memahami doktrin Syiah diperlukan
lima hal interpretasi non-otoritarian, yaitu
kejujuran, kesungguhan, komprehensif,
kerasionalan, dan pengendalian diri/
kehati-hatian. Pemahaman demikian akan
mendorong tumbuhnya toleransi terhadap
Syiah.
Keywords: Shia, doctrine, Ja‘far al-Subhânî,
authoritative interpretation, tolerance.
Pendahuluan
Tanpa pemahaman yang baik
terhadap Syiah, maka seseorang atau
kelompok justru akan melahirkan antipati
bahkan pengkafiran dan tindakan
anarkis terhadapnya. Padahal takfîr
tidak serta merta dapat dilekatkan pada
seseorang atau aliran tertentu. Terdapat
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Syiah, doktrin, Ja‘far al-Subhânî,
interpretasi otoritatif, toleransi.
persyaratan yang ketat mengenai takfîr ini,
misalnya dikemukakan oleh Ibn al-Subkî,
sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Husain
Syaraf al-Dîn al-Mûsawî: ”...maka hukum
pengkafiran hanyalah boleh ditujukan
kepada orang yang mengingkari dua
kalimat syahadat dan keluar dari agama
Islam secara keseluruhan....” (al-Mûsawî,
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
69
1967: 28-29). Hal ini karena Islam sangat
mengedepankan ajaran toleransi dalam
pelaksanaan ajaran agama. Disebutkan
dalam Firman Allah Swt: ”Bagi kami
amal-amal (ajaran agama) kami, dan bagi
kamu amal-amal (ajaran agama) kamu”
(QS. al-Syu‘arâ [42]: 15, al-Qashash [28]:
55).
dengan argumen pemurnian teologis,
sementara Muhsin menerima keberadaan
Syiah tanpa harus menerima interpretasi
ajaran agama Islam dari Muslim Syiah.
Argumentasinya adalah untuk menjaga
nilai-nilai universal, seperti pluralisme,
toleransi, dan hak-hak kewarganegaraan
(Farida, 2014: 159-174).
Secara umum, sudut pandang
dalam memahami Syiah dan ajarannya
dapat penulis kelompokkan menjadi tiga
macam. Pertama, sudut pandang antipati,
yang secara apriori menolak Syiah, dan
memandangnya sebagai aliran sesat
bahkan di luar Islam. Sudut pandang
ini direpresentasikan oleh Persatuan
Islam (Persis), Front Pembela Islam (FPI),
Forum Umat Islam Indonesia (FUII), dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua,
sudut pandang yang menerima Syiah.
Sudut pandang ini menyatakan bahwa
Syiah tidak keluar dari agama Islam, dan
perbedaan ajarannya dengan aliran yang
lain adalah masuk dalam ranah khilafiyah.
Sudut pandang ini direpresentasikan
oleh kalangan internal Syiah sendiri, dan
Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah (Muhsin).
Ketiga, sudut pandang moderat-kritis,
yang tidak serta merta menerima ataupun
menolak Syiah, tetapi penerimaan atau
penolakan terhadapnya selalu didasarkan
pandangan moderat dan kritis dalam
bingkai toleransi beragama. Pandangan
ini direpresentasikan kalangan intelektual
dan akademisi. Dalam kerangka tiga
sudut pandang di atas, posisi penulis
termasuk dalam sudut pandang yang
ketiga.
Untuk itu, diperlukan uraian yang
komprehensif mengenai asal usul dan
varian Syiah, serta doktrin atau ajaran
pokoknya, di antaranya doktrin imâmah,
‘ishmah, haram mengucapkan amin
dalam shalat, dan doktrin halal nikah
mut’ah. Penelitian ini akan mengkaji
bagaimana memahami doktrin Syiah
dalam bingkai toleransi? Oleh karena itu
penelitian ini merupakan jenis penelitian
kepustakaan. Dalam hal ini, penulis
menggunakan referensi kitab-kitab Syiah,
dan pandangan Ja‘far al-Subhânî, tokoh
Syiah terkemuka, yang menjadi marja‘
al-taqlîd, serta menganalisisnya dengan
pendekatan filsafat. Dalam analisis ini
dipergunakan lima parameter interpretasi
otorotatif versi Khaled Abou El-Fadl.
Pendekatan filsafat tersebut relevan
digunakan, karena dapat menghasilkan
kajian yang kritis dan mendalam.
Dengan cara ini, akan diperoleh wawasan
mengenai pemahaman konsep Syiah
yang proporsional, sehingga mendorong
tumbuhnya sikap toleransi yang tinggi.
Dalam konteks ini Anik Farida
telah melakukan penelitian mengenai
respon
organisasi
kemasyarakatan
Islam terhadap Syiah di Bandung, Jawa
Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa respon terhadap eksistensi
Syiah di Bandung, Jawa Barat dapat
dikelompokkan menjadi dua, yang
direpresentasikan oleh dua ormas, yaitu
FUUI dan Muhsin. FUUI menolak Syiah
Asal-Usul dan Varian Syiah
Memahami asal-usul dan varian
Syiah ini penting untuk menghindarkan
generalisasi Syiah, yang mengakibatkan
kesalahpahaman dalam memahami Syiah
dan ajarannya. Asal kata Syiah, yang
bentuk nisbatnya adalah Syî‘î, adalah alfirqah min al-nâs (suatu aliran manusia)
baik untuk seorang, dua orang maupun
jamak, baik laki-laki maupun perempuan
dengan lafad satu dan makna satu. Syiah
adalah istilah umum yang pengertiannya
mencakup semua pendukung ‘Alî ibn
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
70
AHMAD ALI MD
Abî Thâlib r.a. dan semua ahli baitnya
(ahli baitihi ajma‘în), sehingga menjadi
nama khusus. Para pendukung ‘Alî itu
sederhananya berarti ”partai” ‘Alî. AlAzharî, sebagaimana dikutip oleh Muhsin
al-Amîn, mengatakan bahwa: ”Makna
Syiah adalah kaum yang condong kepada
‘itrah nabi dan mencintai mereka” (alAmîn, 1998: I, 19).
Pada awal kelahirannya, sikap Syiah
merupakan sikap politik yang mendukung
‘Alî r.a. sebagai pemimpin (imam/
khalifah). Dukungan ini didasarkan
pada keberpihakan Syiah kepada ‘Alî.
Keanggotaan kelompok ini dipersempit
pada orang-orang yang mendukung ‘Alî
dan keturunannya. Sikap ini merupakan
respon terhadap pembentukan prinsip
turunan oleh Muawiyah. Sungguhpun
demikian, prinsip keturunan pun tidak
menyelesaikan masalah, karena Syiah
telah melakukan tindakan yang melebihi
terhadap penentangnya (El-Affendi, 2001:
32, Tholib, 2007: 178-179).
Dalam perkembangannya selama
bertahun-tahun, Syiah berkembang dari
hanya sebagai partai politik menjadi
sekte, dan beberapa kelompok kecil
atau banyak varian, yang terlibat dalam
konflik dan permusuhan dengan Sunni
dengan tingkatan yang berbeda-beda,
yang berbeda dari arus utama dalam
beberapa wilayah hukum. Meskipun
demikian, kesuksesan yang dicapai oleh
negara yang diilhami oleh Syiah, tidak
membawa perbedaan yang signifikan
dari praktik umum negara-kekuasaan
yang dibangun oleh Muawiyah yang
bersandar pada paksaan, pajak ilegal dan
dispensasi korup dari dana publik. Hal
ini terjadi pada abad IV Hijriah, ketika
seluruh dunia Islam berada di bawah
pemerintahan Syiah. Negara-negara ini
tidak berbeda dengan saingannya, negara
Sunni. Bahkan beberapa di antaranya
lebih tidak adil dan jauh menyimpang
dari cita-cita Islam, daripada beberapa
negara tetangganya yang dekaden atau
HARMONI
Mei - Agustus 2015
negara-negara sebelumnya (El-Affendi,
2001: 32-33).
Adapun varian Syiah dapat dilihat
dari klasifikasi yang dikemukakan oleh
al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl
al-Asy‘arî (w. 330 H.), yang mendapat
julukan Syaikh Ahl al-Sunnah wa-alJamâ‘ah. Dalam kitabnya Maqâlât alIslâmiyyîn, al-Asy‘ârî membagi Syiah
kepada tiga varian besar. Pertama, alGhâliyyah (extrimist sects), yaitu mereka
yang mengkultuskan ‘Alî r.a. secara
ekstrim; mempertuhankan dirinya atau
menganggapnya sebagai nabi, terdiri atas
15 (lima belas) firqah. Kedua, al-Râfidhah,
yaitu mereka yang mengklaim adanya
teks dalil mengenai ‘Alî r.a. sebagai orang
yang paling berhak sebagai khalifah pasca
wafatnya Nabi; di samping juga mereka
berlepas diri dari para khalifah sebelum
‘Alî dan para sahabat pada umumnya;
mereka selain al-Kâmiliyyah berjumlah
24 (dua puluh empat) varian. Mereka
dikenal juga sebagai al-Imâmiyyah.
Ketiga, al-Zaidiyyah, yaitu para pengikut
Zaid ibn ‘Alî ibn al-Husain; mereka lebih
mengutamakan ‘Alî r.a. dibandingkan
seluruh sahabat yang lain, meskipun
tetap mengakui kekhalifahan Abû Bakar
dan ‘Umar r.a. Keterangan lebih rinci
mengenai varian Syiah ini dapat dilihat
dalam al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn
Ismâ‘îl al-Asy‘arî dalam kitabnya Maqâlât
al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf al-Mushallîn, ed.
Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd
(1950: 65-155), dan Abû ‘Îsâ Muhammad
Ibn Husain al-Mishrî, dalam kitabnya alMausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib waal-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah
(2011: I, 153-174).
Terkait dengan varian-varian Syiah,
ada klasifikasi menarik yang dibuat oleh
‘Alî Syarî‘ati (1933-1977) mengenai Syiah,
yaitu ”Syiah Hitam” dan “Syiah Merah”.
Istilah Syiah Hitam dialamatkan kepada
jenis Syiah penguasa, yang berbeda
dengan Syiah ‘Alî dan Imam al-Husain.
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
Sedangkan Syiah Merah digunakan
untuk menyebut Syiah ‘Alî, yakni Syiah
kesyahidan (Shi‘ism of martyrdom)
--Islam yang berselimutkan jubah merah
kesyahidan. Dalam pandangan Syari‘ati,
sebagaimana
dijelaskan Azyumardi
Azra (1996: 77-78), Syiah yang benar
ialah Syiah protes dan revolusioner.
Syiah revolusioner ini merupakan Syiah
awal, yang dipersonifikasikan Abû Dzâr
(al-Ghifarî) dengan kepapaannya, dan
Imam al-Husain dengan kesyahidannya.
Keduanya dipandang sebagai simbol
perjuangan abadi ketertindasan melawan
penguasa yang zalim. Islam Syiah
revolusioner ini dalam perjalanannya
kemudian mengalami ”penjinakan” atau
pelunakan di tangan kelas atas, penguasa
politik dan ulama yang memberikan
legitimasi atas ”Islam” versi penguasa.
Keseluruhan varian Syiah di
atas merujuk pada empat kitab hadis
utama, yang dikenal sebagai al-Kutub alArba‘ah. Keempat kitab hadis ini adalah
al-Kâfî karya Hujjat al-Islâm Abû Ja‘far
Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulainî (w.
328/329 H.), Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh
karya Abû Ja‘far Muhammad ibn ‘Alî ibn
Mûsâ ibn Bâbawaih al-Qarnî al-Qummî,
yang dikenal sebagai Syaikh al-Shadûq
(320-381 H.), dan Tahdzîb al-Ahkâm dan alIstibshâr fî Mâ Ikhtalafa min al-Akhbâr, karya
al-Syaikh Abû Ja‘far Muhammad ibn
Hasan al-Thûsî (385-460 H.). Inilah Empat
Kitab yang dijadikan pegangan (sumber)
utama hadis, dan sumber hukum dalam
mazhab Syiah. Sungguhpun demikian,
terdapat perbedaan di antara mereka
dalam menilai status dan kualitas hadis
dalam empat kitab tersebut. Pemahaman
yang tidak utuh mengenai hal ini
mengakibatkan kesalahpahaman pula
dalam memahami ajaran atau doktrin
Syiah, seperti doktrin nikah mut’ah.
Sebagaimana diketahui bahwa status
hadis yang mutawâtir dalam kitab-kitab
hadis Syiah, termasuk Sunni, sangatlah
sedikit, berbeda dengan hadis âhâd yang
sangat banyak jumlahnya. Dalam hal
71
inilah muncul banyak pendapat. Secara
garis besar, perbedaan pendapat dalam
Syiah tersebut terbagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama, kelompok
yang menerima hadis âhâd sebagai
hujjah hukum. Kedua, kelompok yang
menyatakan bahwa hadis âhâd bukan
merupakan hujjah hukum, karena bukan
dalil yang sifatnya pasti (definitif). Dari
perbedaan pandangan tersebut muncul
banyak varian pendapat: 1) Kelompok
yang secara mutlak menolak kehujahan
hadis âhâd; 2) Kelompok yang menerima
kehujahan hadis âhâd, khususnya yang
terdapat dapat al-Kutub al-Arba‘ah,
karena dipastikan kebenarannya; 3)
Kelompok yang menerima kehujahan
hadis âhâd pun terbelah menjadi banyak
varian: (a) Kelompok yang menerima
kehujahan semua hadis âhâd yang
terdapat dalam al-Kutub al-Arba‘ah
semata, dengan mengecualikan hadis
yang menyalahi hadis yang masyhur; (b)
Kelompok yang menyatakan kehujahan
sebagian hadis âhâd dalam al-Kutub alArba‘ah, dengan tolok ukur pengamalan
sahabat (‘amal al-ashhâb); (c) Kelompok
lainnya mendasarkan tolok ukurnya
pada keadilan rawi atau kemutlakan
kredibilitasnya ataupun persangkaan
kuat semata tanpa mempertimbangkan
sifat rawi dan seterusnya (Ali MD, 2012:
228-242).
Dalam kaitannya dengan hadishadis di luar Syiah yang tersebut dalam
al-Kutub
al-Sittah/al-Kutub
al-Sab‘ah
(Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmidzî,
Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, dan
Musnad Ahmad bin Hanbal), hadis-hadis
ini tidaklah dijadikan hujah oleh Syiah.
Riwayat-riwayat sahih dalam kitab-kitab
hadis Sunni ini ditolak oleh Syiah karena
dinilai da’if, disebabkan para perawi
dalam sanadnya (yang merupakan para
sahabat senior dan para imam yang
amanah) tidak percaya terhadap akidah
Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah (al-Sâlus,
2011: 142). Oleh karena itu, dalam Syiah,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
72
AHMAD ALI MD
ada tiga unsur tarjîh (riwayat hadis
yang diunggulkan), yaitu kemasyhuran,
kesesuaian dengan al-Kitab dan alSunnah, dan perbedaan dari pendapat
umum/Sunni (al-Muzhaffar, 1421: III,
217). Sebagai bukti, Syiah Ja’fariyah
mengutamakan riwayat masyhur atas
yang tidak masyhur bahkan atas hadishadis yang sesuai dengan al-Kitab dan alSunnah. Dalam hal ini, al-Muzhaffar (1421:
III, 227) mengatakan: ”Hasilnya, tidak
ada satu kaidah pun yang meniscayakan
untuk mendahulukan salah satu di antara
hadis-hadis yang ditarjih, selain karena
kemasyhuran sebagai syarat diterimanya
dan didahulukan”.
Beberapa
Doktrin
Kontroversial
Syiah
yang
Penggunaan terma kontroversial
ini didasarkan pada keterkaitannya
dengan doktrin umum atau mainstream,
sebagaimana yang terdapat dalam
Sunni. Di samping itu, dalam beberapa
rincian doktrin tersebut, terdapat pula
perbedaan di dalam Syiah itu sendiri.
Beberapa doktrin Syiah yang penulis
pandang kontroversial, di antaranya
doktrin dalam bidang rukun iman
dan hukum/fikih. Di antara doktrin
Syiah yang penting dikemukakan di
sini adalah doktrin imâmah, ta’mîn
(membaca amîn dalam salat), dan nikah
mut’ah. Ketiga doktrin ini dipilih karena
dapat merepresentasikan tiga dimensi,
yaitu dimensi teologis/politis, ibadah
dan dimensi muamalah, dalam hal ini
aspek nikah. Di luar ketiga doktrin
tersebut, masih banyak doktrin lain yang
kontroversial, seperti doktrin taqiyyah
(mengemukakan atau menampakkan
sesuatu yang berbeda dengan yang
sejatinya/yang disembunyikan).
Dalam bidang rukun iman (ushûl
al-‘aqâ’id), doktrin Syiah Imâmiyyah ada
5 (lima), yaitu al-tauhîd, al-nubuwwah, alimâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd (al-Ghathâ’,
HARMONI
Mei - Agustus 2015
1993: 64-79)
. Doktrin rukun iman ini berbeda
dengan versi Sunni. Berkaitan dengan
imâmah, misalnya yang menjadi titik
perbedaan antara Syiah dan Sunni
berkisar pada tiga poin penting, yaitu:
1) Keharusan pengangkatan imam dari
sisi Allah SWT, yakni nabi tidak boleh
melupakannya dan menyerahkan kepada
umat, tetapi wajib menentukan imam; 2)
Keharusan seorang imam memiliki‘ishmah
(maksum), yakni keterpeliharan diri dari
maksiat, salah dan lupa); dan 3) Keharusan
seorang imam memiliki ilmu laduni dari
Allah Swt, yakni mengetahui segala ilmu
atau ilmu syariat saja yang dibutuhkan
umat. Bagi Sunni, pengangkatan imam
tidak menjadi keharusan bagi Allah
Swt. Mengenai imam tidaklah maksum,
karena yang maksum hanyalah nabi.
Demikian juga imam tidak harus memiliki
ilmu laduni dari Allah Swt (Ibn Husain
al-Mishrî, 2011: I, 203-231, dan al-‘Âmilî,
2007: 282).
Dalam
bidang
hukum/fikih,
terdapat ajaran atau doktrin Syiah yang
populer dan berbeda tajam dengan
doktrin Sunni, di antaranya doktrin
membaca amin dalam sholat dan doktrin
nikah mut’ah. Syiah mengharamkan
mengucapkan ta’mîn (membaca amîn/
âmîn) dalam sholat. Membaca amin
dalam sholat mengakibatkan sholat
menjadi batal, karena dipandang sebagai
perbuatan orang di luar sholat. Sangat
maklum bahwa dalam Mazhab Sunni
disunnahkan setelah selesai membaca alFâtihah dalam shalat untuk membaca
ta’mîn, yakni membaca âmîn/amîn, artinya
Allâhumma istajib, Ya Allah kabulkanlah
permohonanku. Hukum sunnah ini
disepakati
mazhab
empat,
yakni
Hanafiyyah, Mâlikiyyah, Syâfiiyyah dan
Hanâbilah (al-Mughniyyah, 2008: 94).
Dalilnya: HR Imam Ahmad, Abû Dâwud,
al-Tirmîdzî dari Wâ’il bin Hajar ia berkata:
Aku mendengar Nabi s.a.w. membaca
maka beliau
membaca âmîn, dengan memanjangkan
suaranya. Dari Abî Hurairah ia berkata:
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
adalah Rasulullah s.a.w. ketika membaca
beliau
membaca âmîn sehingga dapat didengar
oleh orang yang berada di shaf awal di
dekatnya (HR. Abû Dâwud dan Ibn
Mâjah).
Membaca amîn ketika selesai
membaca surat al-Fâtihah bagi orang di
luar sholat hukumnya sunnah, dan bagi
orang yang sedang sholat, baik sholat
sendirian (munfarid) atau berjamaah:
menjadi imam ataupun makmum, dan
dalam semua keadaan (sholat jahar
ataupun sholat siri, sholat wajib ataupun
sholat sunnah; sholat yang dilakukan
dengan berdiri ataupun duduk ataupun
berbaring bagi yang tidak mampu berdiri
atau duduk) hukumnya sunnah muakkad
(sangat disunnahkan). Dasarnya hadis
riwayat al-Bukharî dan Muslim dari Abû
Hurairah r.a., di antaranya versi berikut:
”Jika imam membaca amîn maka kalian
bacalah amîn, karena sesungguhnya
siapa yang bacaan amînnya cocok
dengan bacaan aminnya Malaikat, maka
diampunilah dosanya yang telah lewat.”
(Muttafaq ‘alaih).
Dikatakan
pengertian
cocok
itu pada waktunya, dikatakan juga
pada dikabulkannya do’a (ijâbah), dan
dikatakan juga pada sifat ikhlasnya.
Imam al-Nawawî (w. 676 H.) menjelaskan
bahwa membaca âmin/amîn tersebut
sunnah dilakukan dengan jahar (keras)
dalam sholat yang bacaan fatihahnya
disunahkan dibaca jahar, karena mengikuti
bacaan surat al-Fâtihah tersebut (alNawawî, 2002: I, 111). Ketentuan hukum
kesunnahan membaca amin dalam
sholat di atas sangat berbeda dengan
Mazhab Syiah Imâmiyah. Bagi Imâmiyah,
hukum membaca ta’mîn (amîn/âmîn)
adalah haram dan membatalkan sholat,
baik dalam sholat munfarid (sendirian),
maupun sholat berjamaah, baik sebagai
73
imam maupun makmum. Hal ini karena
ta’mîn itu dipandang sebagai perkataan
manusia, padahal dalam sholat tidaklah
sah suatu perkataan manusia. Ketentuan
Mazhab Imâmiyyah ini adalah penolakan
terhadap hadis riwayat dari Abû
Hurairah yang dijadikan dasar hukum
empat mazhab di atas, yang dinilainya
tidak sahih (al-Mughniyyah, 2008: 94, dan
Ali MD, 2015: 69-73).
Dalam masalah nikah mut’ah harus
dikemukakan bahwa terdapat perbedaan
antara doktrin dalam tataran normatif (law
in book) dan dalam praktik di lapangan
(law in society). Hal ini sebagaimana
ditunjukkan dalam penelitian Sukron
Makmun dalam Jurnal Muwazah (2009).
Menurutnya, nikah mut’ah secara resmi
tercantum dalam hukum perdata (Civil
Law) Republik Islam Iran, sebagaimana
tampak dalam Undang-Undang Rumah
Tangga (droit civil la famille/huqûqe
khâvâdeh). Dalam undang-undang ini
disebutkan dua jenis perkawinan yang
dianggap sah menurut hukum positif
Iran, yaitu nikah permanen (nikâh dâ’im)
dan nikah yang tidak permanen (nikâh
munqathi‘). Nikah jenis yang kedua disebut
nikah mut’ah atau nikâh mu’aqqat, atau
lebih populer dengan sebutan”sîgheh”
di kalangan masyarakat Iran, dan kawin
kontrak di masyarakat Indonesia. Dalam
penelitiannya disebutkan bahwa nikah
tidak permanen ini secara de-facto jarang
dilakukan masyarakat Iran, dan bahkan
secara bertahap, prakteknya semakin
tidak diminati masyarakat setempat
(Makmun, 2009: 153).
Berbagai riwayat/hadis mengenai
nikah mut’ah yang dijadikan dalil oleh
Syiah bagi kehalalannya, dinilai banyak
terjadi pertentangan dan merupakan
riwayat yang lemah (idhtirâb). Penisbatan
beberapa riwayat itu kepada para imam
dapat dikatakan sebagai pencederaan.
Padahal jika dihubungkan dengan teksteks yang lainnya dalam kitab-kitab
Syiah itu sendiri dan apalagi jika di-cross
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
74
AHMAD ALI MD
reverence (rujuk silang) dengan teks di
luar kitab Syiah, maka penggunaan teksteks hadis untuk menjustifikasi kehalalan
nikah mut’ah tidaklah râjih, tidak
otoritatif, tetapi justru otoriter. Ada teksteks hadis dalam kitab-kitab Syiah sendiri
yang disandarkan kepada para imam
yang menetapkan keharaman nikah
mut’ah. Akan tetapi teks-teks tersebut
dimaknai dan diterapkan Syiah sebagai
bentuk taqiyyah, untuk tujuan tertentu/
penyelamatan diri. Misalnya teks hadis
berikut:
1. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî
dan al-‘Âmilî dalam Wasâ’il al-Syî‘ah
menyebutkan: ”…Dari ‘Abdullâh
ibn Sinân dari al-Mufadhdhal ibn
‘Umar ia berkata, ”Aku mendengar
Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata
tentang
mut’ah:
”Tinggalkanlah,
tidaklah
seorang
kalian
malu
diketahui auratnya….” (al-Kulainî,
1375: V, 453, al-Âmilî, VII, 450).
2. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî
menyebutkan Ketika ‘Alî ibn Yaqthîn
bertanya kepada Abû al-Hasan a.s.
tentang mut’ah, ia menjawab:”Tidak
untukmu, tetapi itu saja (nikah
syar’i), karena sungguh Allah telah
mencukupkan dirimu dari mut’ah.”
(al-Kulainî, 1475: V, 452).
3. Al-Kulainî dalam al-Furû’ min al-Kâfî
menyebutkan: Dari ‘Ammâr berkata:
Abû ‘Abdillâh ‘alaih al-salâm berkata
kepadaku dan Sulaimân ibn Khâlid:
”Sungguh telah diharamkan atas
kalian berdua nikah mut’ah.” (alKulainî, 2005: II, 48).
Dalam mazhab Syiah, tidak ada
perbedaan pendapat mengenai kehalalan
nikah mut’ah secara jelas tanpa ada
keragu-raguan
(sharâhatan
wa-dûna
taraddud). Meskipun demikian, menurut
Ja‘far al-Subhânî, salah seorang marjâ‘ altaqlîd, dalam kitabnya Rasâ’il wa-Maqâlât
Tabhatsu fî Mawâdhi‘i Falsafiyyatin waKalâmiyyatin wa-Fiqhiyyatin wa-Fîhâ alHARMONI
Mei - Agustus 2015
Da‘watu ilâ al-Taqrîb Baina al-Madzâhib,
kebolehan nikah mut’ah itu tidaklah
diterapkan kecuali dalam batasan yang
ketat dan khusus (illâ fî hudûd dhîqatin wakhâshshah), dan tidak sebagaimana yang
dikemukakan oleh sebagian pendapat
yang telah tersebar dalam masyarakat
dan dengan bentuk yang dianggap
tercela dan campuran (al-Subhânî, 1419:
538). Dengan demikian, menurut penulis,
pendapat Ja‘far al-Subhânî itulah yang
tepat dan seharusnya dijadikan pegangan
dalam memahami doktrin Syiah tentang
nikah mut’ah.
Hal ini karena pendapat Syiah yang
menghalalkan nikah mut’ah secara total
(mutlak), dengan mendasarkan kepada
riwayat-riwayat hadis dalam empat kitab
hadis pokok mereka (al-Kutub al-Arba‘ah)
dan kitab hadis lainnya, tidaklah obyektif,
melainkan subjektif dan terjebak ke dalam
bentuk pemahaman atau interpretasi
yang otoriter (sewenang-wenang). Hal ini
tidak lepas dari posisi dan sudut pandang
Syiah terhadap empat kitab hadis utama
tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan
di atas, terdapat dua kelompok utama
Syiah dalam memandang status hadis
âhâd dalam empat kitab di atas. Dalam
hal ini, hadis terkait nikah mut’ah tidaklah
termasuk hadis dalam kategori mutawâtir,
melainkan hadis âhâd. Status hadis
âhâd sendiri ini diterima kehujahannya
oleh sebagian Syiah, tetapi ditolak oleh
sebagian yang lainnya.
Penilaian penulis ini didasarkan
kepada prosedur atau mekanisme
dalam memahami dan menetapkan
hukum Islam. Ada 5 (lima) syarat agar
pemahaman dan penerapan hukum itu
otoritatif, sebagaimana dikemukakan
oleh Khaled Abou El Fadl (Guru Besar
Hukum Islam di Fakultas Hukum
UCLA,
Amerika
Serikat).
Panca
prasyarat otoritatif ini harus dipenuhi
oleh seseorang, kelompok, lembaga atau
organisasi agar tidak mudah melakukan
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
tindakan yang sewenang-wenang dalam
menentukan fatwa-fatwa keagamaan
(El-Fadl, 2001: 55-56). Kelima syarat di
atas sebagai berikut. Pertama: melakukan
kejujuran (honesty). Prasyarat kejujuran
mencakup harapan bahwa wakil (yang
mengemban amanat membuat keputusan
hukum) tidak bersikap pura-pura
memahami apa yang sebenarnya tidak ia
ketahui dan bersikap terus terang tentang
wawasan ilmu dan kemampuannya
dalam memahami perintah Tuhan. Kedua,
kesungguhan (diligence). Maksudnya
bahwa seseorang bertanggung jawab
atas keputusannya yang menyesatkan
atau melanggar hak orang lain. Oleh
karena itu, bagi orang-orang yang
berakal, semakin bersentuhan dengan
hak orang lain, maka semakin besar pula
keharusannya untuk semakin berhatihati, dan semakin keras upaya mereka
dalam
melaksanakan
kewajibannya
terhadap orang lain. Semakin besar
pelanggaran yang dilakukan terhadap
hak orang lain, maka semakin besar pula
pertanggungjawabannya di sisi Tuhan.
Ketiga,
kemenyeluruhan
(comprehensiveness), berarti mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait.
Maksudnya adalah bahwa seseorang/
kelompok/lembaga yang akan mengambil
keputusan hukum haruslah telah mencoba
untuk menyelidiki perintah Allah Swt
secara menyeluruh dan berharap ia telah
mempertimbangkan semua perintah
yang relevan, membuat upaya terusmenerus untuk menemukan semua
perintah yang relevan, dan tidak melepas
tanggung jawabnya untuk menyelidiki
atau menemukan alur pembuktian
tertentu. Keempat, melakukan rasionalitas
(reasonableness), yaitu melakukan upaya
interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis).
Meskipun rasionalitas ini dipandang
sebagai konsep yang abstrak, tetapi
setidaknya dalam kondisi tertentu
dipandang benar secara umum. Ketika
seseorang/kelompok/lembaga memilih
75
sebuah formula, maka ia/mereka harus
mengenal komunitas interpretasi dan
komunitas makna yang akan dihadapi.
Untuk itu, harus dipertimbangkan perihal
formula tertentu yang tetap sehingga
bisa dipahami oleh komunitas tertentu.
Di samping itu harus pula menyadari
bahwa penelusuran makna bukanlah
persoalan pribadi, tetapi realitas dan
makna tersebut diformulasikan dalam
dan oleh berbagai komunitas. Ini bukan
berarti bahwa komunitas makna tertentu
harus diikuti dan tidak boleh diabaikan
atau dikesampingkan. Tetapi, justru ini
menegaskan bahwa komunitas makna
yang sudah established dan integritas teks
itu sendiri haruslah dihormati. Meminjam
istilah Umberto Eco, sebagaimana
dijelaskan oleh El-Fadl, seseorang tidak
perlu melakukan ”interpretasi yang
berlebihan” terhadap teks dengan cara
memasukkan sebuah teks fiktif yang
tidak konsisten ke dalam teks tersebut.
Dengan kata lain, seseorang tidak boleh
membaca suatu perintah tentang hukum
dengan cara sedemikian rupa sehingga
seseorang akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan yang menyatakan bahwa
teks itu memberikan perintah-perintah
seperti yang diinginkan pembaca, bukan
menampilkan perintah yang sebenarnya
dikehendaki teks. Penafsiran yang
esktrim atau berlebihan terhadap teks
bisa terjadi dengan cara membuka teks
itu dimasuki dengan beragam makna
yang tidak terbatas, sehingga tidak cukup
ditampung oleh teks tersebut. Di sisi
lain, teks yang terbuka untuk dimasuki
berbagai makna dapat ditafsirkan
seseorang, tetapi teks itu justru diyakini
dengan kuat hanya dapat menampung
sebuah makna an sich. Jika demikian,
seseorang
telah
sewenang-wenang
menutup cakupan makna teks tersebut.
Baik membuka teks tanpa batasan maupun
menutup teks secara otoriter adalah
bentuk pelanggaran terhadap prasyarat
rasionalitas dan prasyarat yang lainnya.
Singkatnya,
penyumbatan
terhadap
proses interpretasi tersebut adalah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
76
AHMAD ALI MD
bentuk kezaliman, dan sikap otoriter.
Dalam konteks inilah, interpretasi atau
pemahaman terhadap hadis mengenai
keutamaan nikah mut’ah, dan menjadikan
kriteria bagi kesempurnaan iman (kamâl
al-îmân) tampak tidak memenuhi syarat
reasonableness.
Pemahaman
atau
penafsiran
yang sangat tidak rasional tampak
dalam pandangan, yang menurut alSayyid Husain al-Mûsawî, dinisbatkan
kepada Fathullâh al-Kâsyânî dalam
karyanya Manhaj al-Qâshidîn. Dalam
Manhaj al-Qâshidîn, menurut suatu
sumber, dikatakan bahwa: ”Anak yang
dilahirkan dari perkawinan mut’ah lebih
utama daripada anak yang dilahirkan
melalui nikah yang tetap. Dan orang
yang mengingkari nikah mut’ah ia
kafir dan murtad.” Pandangan yang
mengutamakan anak hasil nikah mut’ah
dibandingkan dengan anak hasil nikah
yang syar’i sangatlah berlebih-lebihan
dan tidaklah rasional. Lebih dari itu
pandangannya yang mengkafirkan dan
memurtadkan orang yang mengingkari
kehalahan nikah mut’ah sangatlah ekstrim
(al-Mûsawî, t.t.).
Kelima, melakukan pengendalian
diri (self-restraint). Pengendalian diri
berarti bahwa seorang wakil harus
mengenal batasan peran yang dia miliki.
Seorang wakil perlu menahan diri untuk
tidak menarik kesimpulan tentang suatu
persoalan jika bukti-buktinya tidak
mencukupi. Prasyarat ini secara logis
menghendaki agar seseorang wakil
menunjukkan tingkat kerendahan dan
pengendalian diri yang layak dalam
menjelaskan kehendak hukum Tuhan.
Prasyarat ini sebenarnya telah dijelaskan
dengan baik dalam ungkapan Islam,
wallâhu a‘lam (dan Tuhan tahu yang
terbaik).
Kelima prasyarat di atas hendaklah
dijadikan sebagai uji atau parameter
shahih
untuk
meneliti
berbagai
kemungkinan pemaknaan teks sebelum
HARMONI
Mei - Agustus 2015
akhirnya digunakan untuk membuat
keputusan hukum dan merasa yakin
bahwa seseorang atau kelompok ataupun
lembaga
betul-betul
mengemban
sebagian perintah Tuhan. Prasyarat
inipun terlihat tidaklah dipenuhi dalam
pandangan-pandangan ulama Syiah yang
menghalalkan nikah mut’ah secara mutlak
dan sikap ekstrim yang mengkafirkan dan
memurtadkan orang yang mengingkari
nikah mut’ah. Pandangan demikian
tentu menunjukkan bahwa penafsirnya
tidaklah melakukan pengendalian diri
secara
sungguh-sungguh,
sehingga
menjustifikasi pemahamannya sebagai
yang paling benar. Sebagai implikasinya
adalah bahwa pemahaman yang lainnya
dipandang salah, bahkan harus dikafirkan
dan dimurtadkan.
Selain menggunakan parameter 5
prasyarat pemahaman dan penerapan
hukum Islam dalam mendudukkan
problematika nikah mut’ah, pendekatan
Mashlahah tepat untuk diterapkan.
Nikah mut’ah meskipun mengandung
kemaslahatan bagi si pelakunya, berupa
kenikmatan biologis ataupun psikologis,
tetapi sebetulnya di dalamnya terkandung
mafsadat. Di antara mafsadatnya yang
ditimbulkan dalam nikah mut’ah adalah
pembolehan mut’ah dengan perempuan
secara terus-menurus bahkan dengan
banyak merupakan perendahan terhadap
martabat wanita, dan dari sisi medis
tidaklah baik bagi kesehatan. Tegasnya
bahwa
sungguhpun
bagi
pelaku
mut’ah (laki-laki maupun perempuan),
merasakan kemanfaatan, tetapi mafsadat
yang terkandung di dalamnya cukup jelas,
yaitu merendahkan harkat perempuan
karena perempuan dipandang sebagai
obyek seksual kaum pria belaka. Dengan
demikian dari tinjauan ini menjadi jelas
bahaya dan mafsadat mut’ah baik dari
segi religiusitas, sosial, dan etika/moral.
Sebagaimana diketahui bahwa kemuliaan
atau kehormatan adalah prinsip yang
fundamental dalam Islam, termasuk
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
dalam kategori hifzh al-‘irdh.
Andaikan terdapat kemaslahatan
dalam nikah mut’ah itu tentu nikah
mut’ah itu tidaklah diharamkan. Akan
tetapi karena banyak mafsadatnya maka
Rasul mengharamkannya, demikian
pula Amîr al-Mu’minîn. Oleh karena itu,
berdasarkan kaidah fiqh ”Dar’ al-mafâsid
muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih”, maka
nikah mut’ah hukumnya haram.
Berdasarkan analisis di atas, nikah
mut’ah dalam konteks untuk mendapatkan
pemahaman dan penerapan hukum
Islam yang tepat sebaiknya ditempatkan
sebagai masalah khilâfiyah. Sungguhpun
demikian, penulis lebih cenderung
berpendapat dengan mendasarkan pada
paradigma Maqâshid al-Syarî‘ah, yang
lebih menekankan substansi hukum/
ajaran Islam, seperti keadilan dan
kehormatan/harga diri. Menurut penulis,
hukum nikah mut’ah dengan persyaratan
yang sangat ketat bisa halal. Hal ini
sebagaimana pula dikemukakan oleh
Ja‘far al-Subhânî, seorang marja’ taqlid di
Iran.
Maksud bahwa hukum nikah mut’ah
dengan persyaratan yang sangat ketat
bisa halal adalah bahwa dalam kondisi
tertentu nikah mut’ah bisa menjadi solusi
alternatif dalam menghindari terjadinya
zina. Tetapi nikah mut’ah bukanlah solusi
yang terbaik. Masih ada solusi yang
lain, misalnya nikah lagi (berpoligami)
bagi seorang pria yang ingin nikah lagi,
tanpa harus dengan melakukan nikah
mut’ah, atau nikah siri, bagi yang tidak
ingin nikah secara resmi yang dicatat
oleh pihak/pegawai yang berwenang/
KUA (Kantor Urusan Agama). Sebab
suatu hubungan perkawinan itu diikat
(merupakan suatu ikatan yang kuat
(mitsâqan ghalîzhan) untuk suatu tujuan
sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan
sakinah, mawaddah warahmah tentu
diharapkan akan senantiasa berjalan
hingga batas penghabisan, ketika kedua
atau salah satu pasangan itu meninggal
77
dunia. Sedangkan dalam nikah mut’ah,
hubungan perkawinannya sangat dibatasi
waktu, sehingga tujuan nikah tersebu
(membentuk keluarga sakinah, mawaddah
wa rahmah) juga terbatas. Ini tidak jauh
beda dengan perkawinan yang kemudian
timbul perceraian. Dalam perkawinan
(nikah biasa) itu sendiri sulit dicapai
tujuan sakinah, mawaddah warahmah,
apalagi melalui nikah mut’ah. Tentu
maqâshid al-Syarî‘ah tidak akan tercapai.
Sungguhpun demikian, berdasarkan
Siyâsah al-Syar‘iyyah dapat dilakukan
(suatu kebijakan) pelarangan terhadap
nikah mut’ah. Pelarangan ini dilakukan
dengan berbagai pertimbangan mengenai
kemaslahatan dan kemadaratan yang
ditimbulkan dari nikah mut’ah. Di
antaranya karena dalam nikah mut’ah
tentu tidak ada wali dan saksi, apalagi
pencatatan nikah, maka mengakibatkan
tidak ada kekuatan hukum, sehingga
salah satu pihak ketika dizalimi oleh
pasangannya, misalnya tidak memberikan
warisan atas sebuah akad mut’ah yang
dicantumkan persyaratan saling mewarisi,
maupun tidak memenuhi maskawin yang
tidak diberikan secara kontan (dihutang),
tidak dapat menuntut hukumnya,
sebab tidak ada pihak yang mengetahui
(saksi) tentang akad mereka. Tanpa ada
pencatatan perkawinan, nikah mut’ah itu
tidak mempunyai kekuatan hukum dalam
pandangan hukum positif seperti di
negara kita, Indonesia (Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Intruksi Presiden Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum IslamKHI). Dalam Pasal 4 KHI disebutkan
bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Dalam
UU tentang Perkawinan ini pada Pasal 2
Ayat (1), disebutkan bahwa ”Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Dalam hukum
Islam, terdapat ketentuan tentang rukun
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
78
AHMAD ALI MD
dan syarat perkawinan yang sah, seperti
dalam Pasal 14 KHI disebutkan tentang
rukun dan syarat, bahwa perkawinan
harus ada …c. Wali nikah; d. Dua orang
saksi;…. Tegasnya menurut ketentuan ini,
sahnya suatu pernikahan (perkawinan)
adalah dengan wali dan saksi. Oleh karena
nikah mut’ah berlangsung tanpa wali dan
saksi, ia bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tersebut. Bahkan
berdasarkan RUU Hukum Materil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan,
pelaku nikah mut’ah dapat dipidana.
Tentu pemidanaan ini dapat diterapkan
ketika RUU Hukum Materill Peradilan
Agama Bidang Perkawinan tersebut, yang
melarang nikah mut’ah, telah diundangundangkan dan diberlakukan.
Penutup
Berdasarkan analisis di atas diperoleh
kesimpulan bahwa cara memahami
doktrin Syiah dalam bingkai toleransi
adalah dengan tidak menggeneralisirnya
terhadap semua aliran Syiah, yang
mengakibatkan penilaian sesat terhadap
pengikutnya bahkan keluar dari Islam.
Hal ini karena terdapat beragam varian
dalam Syiah sendiri. Syiah Zaidiyah
dan Syiah Imamiyyah masih berada
dalam koridor Islam; sementara Syiah
Ghâliyyah
(ekstrim)
telah
sangat
menyimpang dan keluar dari Islam.
Secara teknis, memahami doktrin Syiah
harus dilakukan dengan menggunakan
lima perangkat pemahaman atau
interpretasi non-otoritarian versi Khaled
Abou El-Fadl, yaitu penuh kejujuran
(honesty),
kesungguhan
(diligence),
kemenyeluruhan
(comprehensiveness),
yakni
mempertimbangkan
berbagai
aspek yang terkait, mempertimbangkan
rasionalitas (reasonableness) dalam upaya
interpretasi dan menganalisis perintahperintah Tuhan itu secara rasional (logis),
HARMONI
Mei - Agustus 2015
disertai pengendalian diri (self-restraint)
dalam menetapkan putusan hukum.
Dengan pemahaman model ini,
muncul pemaknaan bahwa doktrin ‘ishmah
lebih tepat dimaknai sebagai kriteria
ideal bagi imam, dan keterpeliharaan
menyeluruh terhadap kriteria ideal bagi
nabi sebagai utusan Allah Swt. Doktrin
hukum haramnya membaca amin dalam
sholat harus dimaknai sebagai bentuk
perbedaan penetapan hukum, karena
ada perbedaan dalam memahami hadis
riwayat Abû Hurairah yang dijadikan
dasar hukumnya. Adapun doktrin
hukum halalnya nikah mut’ah harus
ditempatkan dalam kerangka maslahat
dan mafsadat, dan dalam prosedur yang
sangat ketat. Hal ini sejalan dengan
teori Mashlahah yang menjunjung tinggi
maqâshid al-Syarî‘ah. Penghalalan mutlak
nikah mut’ah merupakan pandangan
yang otoriter, di samping karena
mendasarkan pada hadis âhâd, yang
dalam Syiah sendiri terdapat beragam
penilaian, karena merupakan pandangan
yang tidak mempertimbangkan lima
perangkat otoritatif dalam pemahaman
hukum di atas (kejujuran, kesungguhan,
kemenyeluruhan
rasionalitas,
dan
pengendalian diri/kehati-hatian).
Oleh
karena
itu,
perlu
dipublikasikan bahwa doktrin rukun
Iman dan doktrin hukum Syiah yang
berbeda dengan mainstream (Sunni)
tidaklah boleh menjadikan pengikut Syiah
dikucilkan yang berakibat pengabaian
terhadap hak-hak konstitusional dan
kewargaannya. Toleransi harus didorong
untuk direalisasikan dalam menciptakan
hubungan yang harmonis di antara
sesama umat beragama dan warga negara.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap
doktrin Syiah tersebut harus dilakukan
dengan menggunakan lima perangkat
pemahaman non-otoritarian versi Abou
El-Fadl di atas.
MEMAHAMI DOKTRIN SYIAH DALAM BINGKAI TOLERANSI
79
Daftar Pustaka
Abou El-Fadl, Khaled M. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women.
Oxford: Oneworld, 2001.
Ali MD, Ahmad. ”Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul
Fikih”. Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius. Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 13, No. 3
(September-Desember 2014), hlm. 126-137.
-------------. ”Hadis Sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Syiah”. Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu
Ushuluddin. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Vol. 13, No. 3 (2012), hlm. 228-242.
-------------. Mutiara Al-Fatihah. Tangerang: PSP Nusantara, 2015.
al-‘Âmilî, al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ. Al-Shahîh min Sîrat al-Nabî al-A‘zham. Beirut: Dâr
al-Hadîts li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nasyr, 2007.
al-‘Âmilî, al-Syaikh Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr. Wasâ’il al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ’il
al-Syarî‘ah. Editor ‘Abd al-Rahîm al-Rabbânî al-Syîrâzî, Tehran: Maktabat alIslâmiyyah, t.t.
al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Syî‘ah. Editor al-Sayyid Hasan al-Amîn.
Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mathbû‘ât, 1998.
al-Asy‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf alMushallîn. Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat alNahdhah al-Mishriyyah, 1950.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Judul Asli
Who Need an Islamic State?. Penerjemah Amiruddin Ar-Rani. Yogyakarta: LKiS,
2001.
Farida, Anik. ”Respon Organsasi Massa Islam terhadap Syiah di Bandung Jawa Barat”.
Jurnal Penamas, Vol. 27, No. 2 (Juli-September 2014), 159-175.
al-Ghathâ’, Muhammad al-Husain al-Kâsyif. Ashl al-Syî‘ah wa-Ushûluhâ. Edisi Keempat.
Beirut: Mu’assasat al-A‘lamî li-al-Mathbû‘ât, 1993.
Halm, Heinzm. Shi‘ism. Second edition. Ttranslated from German as Die Schia by Janet
Watson. United Kingdom: Edinburgh University Press Ltd, 2004.
Ibn Husain al-Mishrî, Abû ‘Îsâ Muhammad. al-Mausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq waal-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-Mu‘âshirah.
Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011.
al-Kulainî, al-Furû‘ min al-Kâfî, dalam ‘Alî Akbar al-Ghifârî. al-Kutub al-Arba‘ah. Qum:
Mu’assasat Anshâriyyan li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nashr, 2005.
Makmun, Sukron. ”Fenomena Pernikahan Mut’ah di Republik Islam Iran (Antara Ada
dan Tiada)”. Muwâzâh, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2009), hlm. 153-163.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
80
AHMAD ALI MD
Mughniyyah, Muhammad Jawwâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Khamsah: al-Ja‘farî-alHanafî-al-Mâlikî-al-Syâfi‘î-al-Hanbalî. Kairo: Maktabat al-Syurûq al-Duwaliyyah,
2008.
al-Mûsawî, ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn. Al-Fushul al-Muhimmah fî Ta’lîf al-Ummah. Cet.
ke-4. Najaf: Mathba‘ah al-Nu‘mân, 1967.
al-Mûsawî, al-Sayyid Husain. Lillâhi..Tsumma li-al-Târîkh: Kasyf al-Asrâr wa-Tabri’at alA’immat al-Athhâr (T.tp.: Tp., Tt.).
al-Muzhaffar, Abd al-Husain Syaraf al-Dîn Muhammad Ridhâ. Ushûl al-Fiqh. Qum:
Mu’assasat Mathbû‘ât Ismâ‘îliyân, 1421.
al-Sâlus, ‘Alî Ahmad. Ensiklopedi Sunnah Syiah: Studi Perbandingan Hadis & Fiqh. Judul
Asli Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah fî al-Ushûl wa-al-Furû‘ (Mausû‘ah
Syâmilah): Dirâsah Muqâranah fî al-Fiqh wa-al-Hadîts. Penerjemah Asmuni
Solihin Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
al-Subhânî, Ja‘far. al-Rasâ’il al-Arba‘: Qawâ‘id Ushûliyyah wa-Fiqhiyyah Taqrîran li-Buhûts
al-Faqîh al-Muhaqqiq al-Syaikh Ja‘far al-Subhânî. Qum: Mu’assasat al-Imâm alShâdiq, 1415.
Tholib, Udjang. ”The Historical Background of the Sunnite-Shi’ite Conflict in Iraq”.
Indo-Islamika: Journal of Islamic Sciences. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Vol. 4, No. 2 (2007), hlm. 117-206.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PENELITIAN
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
81
Harmoni di Banjaran:
Interaksi Sunni-Syiah
Efa Ida Amaliyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 4 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This paper shows the interaction of SunniShia followers in Banjaran Bangsri, Jepara
and the violence impact experienced by
Shia followers in many regions toward
Shia followers in Banjaran Bangsri.The
relationship between Sunni and Shia shows
a harmonious life in social interaction.
They realize that they have different ways
of worship but they do not want to widen
those differences. They live together in
socio-humanitarian relation. They respect
each other. It occurs because the existence
of Mbah Muhammad Arif who unified
Sunni and Syiah. Mbah Muhammad
Arif was the founder of Banjaran as well
as the Islam disseminator at Banjaran.
There is no conflict between Sunni-Shia
followers although there was any religious
sentiment after Sunni-Syiah conflict in
Sampang Madura and it does not influence
the relationship between Sunni-Syiah at
Banjaran Bangsri Jepara.
Tulisan ini menunjukan tentang interaksi
Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri
Jepara dan dampak kekerasan yang
dialami pengikut Syiah di berbagai daerah
terhadap pengikut Syiah di Desa Banjaran.
Pengikut Sunni maupun Syiah di Desa
Banjaran menunjukkan wajah harmonis
dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua
belah pihak menyadari ada perbedaan
dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin
memperlebar jurang perbedaan itu. Mereka
memilih untuk bersama-sama dalam
konteks hubungan sosial-kemanusiaan.
Hal ini dikarenakan masing-masing kedua
pihak saling menghormati. Kondisi ini tidak
lepas dari keberadaan Mbah Muhammad
Arif yang bagi masyarakat Banjaran sebagai
simbol penyatu antara Sunni-Syiah. Mbah
Muhammad Arif merupakan cikal bakal
adanya desa tersebut sekaligus sebagai
penyebar ajaran Islam di daerah tersebut.
Tidak ada konflik antara mereka, meskipun
ada sentimen dari konflik Sunni-Syiah di
Sampang Madura. Tidak ada pengaruh
konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura
dengan hubungan Sunni-Syiah di Desa
Banjaran Bangsri Jepara.
Keywords: Sunni, Shia, Social Interaction,
Conflict, Banjaran Village
Pendahuluan
Agama mempunyai kedudukan
yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia, tidak hanya sebagai alat untuk
membentuk watak dan moral, tetapi
juga menentukan falsafah hidup dalam
Kata kunci: Sunni, Syiah, Interaksi Sosial,
Konflik, Desa Banjaran
suatu masyarakat. Hal ini berarti nilainilai dan norma-norma budaya telah
turut dipengaruhi oleh agama yang
terbentuk bersamaan dengan awal mula
sejarah umat manusia. Sebagai fenomena
kemasyarakatan dan kebudayaan, agama
tidaklah berdiri sendiri, ia akan selalu
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
82
EFA IDA AMALIYAH
berada dalam posisi mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh manusia.
Tidak dapat dimungkiri bahwa
agama adalah keyakinan dan karena
keyakinan telah dimaknai sebagai sebuah
wujud dari hasil berfikir, maka seseorang
meyakini atau tidak meyakini sosok
Tuhan, memeluk atau tidak memeluk
suatu agama tertentu merupakan hasil
keputusan diri seseorang. Dengan
demikian, keyakinan juga merupakan
sebuah kesadaran akal terhadap sebuah
kebenaran tertentu, meskipun acapkali
akal pun sering mengalami kesulitan
untuk memahami keyakinan (Khadiq,
2009: 40).
Di samping itu, agama, selain menjadi
bagian penting dari kecenderungan
manusia dalam melakukan eksternalisasi
dan membangun makna dan dunia
sosial, agama juga merupakan sarana
untuk memperoleh legitimasi sosial dan
pemeliharaan dunia (world maintenance).
Sangatlah beralasan jika kemudian,
agama bisa melegitimasi institusi
dan keteraturan sosial dengan status
ontologisnya untuk dapat memberikan
legitimasi yang kuat dan objektif
pada keteraturan tersebut (Bernard T.
Adeney, 2004: 267-310). Oleh karena itu,
sangatlah wajar apabila kehadirannya
menjadi wacana yang berpengaruh
dalam hubungan antara agama dengan
perubahan sosial. Pengaruh ini setidaknya
menyangkut dua hal yakni pendapat
yang menempatkan agama sebagai suatu
yang seharusnya berubah mengikuti arus
kondisi interaksi manusia serta pendapat
yang menempatkan agama sebagai suatu
yang kehadirannya lebih dipicu oleh
‘kegelisahan’ terhadap perkembangan
kondisi interaksi manusia hari ini yang
terkesan semakin membangun jarak
terhadap kontrol agama (Abdullah,
Soetrisno, 2003: 2).
Agama memang seperti dua
sisi mata uang. Di satu sisi, agama
diandalkan sebagai basis moral bagi
HARMONI
Mei - Agustus 2015
umat manusia sebab ia mendoktrinkan
manusia untuk hidup rukun dengan
memegang teguh pesan ke-Tuhan-an
kepada segenap manusia. Agama dalam
dimensi ini dipenuhi pesan keselamatan
(salam) dan cinta-kasih (rahman-rahim)
bagi sesama makhluk. Di sisi lain, agama
sering dijadikan alat untuk melegitimasi
atau melegalkan berbagai bentuk
kekerasan. Hal ini dikarenakan agama
telah ditafsirkan dan diadaptasi secara
salah oleh pemeluknya. Dimensi inilah
yang menunjukkan wajah agama yang
akhirnya sangat menakutkan (M. Kodim,
http://desantara.org/v3).
Ahmala Arifin dalam bukunya
“Tafsir Pembebasan, Metode Interpretasi
Progresif Ala Farid Esack” menyebutkan
bahwa taqwa berarti memperlihatkan
suara hati nurani sendiri seraya menyadari
bahwa dia sangat bergantung pada
kehendak Tuhan (Arifin, 2011: 74).. Artinya
taqwa menjadi aktualisasi dari keimanan
seseorang. Jika keimanan seseorang
terhadap Tuhan dan sebuah agamanya
kuat, maka orang tersebut akan berusaha
mendekatkan diri kepada Sang Khaliq/
Tuhan. Taqwa menjadi sebuah garis
pemandu “guide lines” seorang manusia
baik bagi dirinya sendiri maupun dalam
interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Oleh karena itu, agama tidak
hanya merupakan dogma semata, tetapi
juga disusun oleh berbagai kekuatan
logika dan penafsiran, mitos, ekletisisme
budaya yang dipraksiskan secara massif
dan mengandung pada klaim kebenaran
(truth claim). Dalam wujudnya yang
nyata, klaim kebenaran semacam ini
nampak ketika muncul kekerasan atas
nama agama, yakni sebuah ekspresi yang
menyiratkan sebentuk pengungkapan
dan penafsiran pemeluknya terhadap
pesan ke-Tuhan-an yang diikuti beragam
mitos klaim kebenaran dan karenanya,
pesan Tuhan kemudian gagal didialogkan
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
dengan
perkembangan
manusia (ibid).
peradaban
Problem klaim kebenaran inilah
yang kemudian menyebabkan agama
menjadi salah satu hal yang sering
melahirkan konflik dan ketegangan sosial.
Klaim tentang dirinya paling benar, yang
lainnya sesat, klaim yang melahirkan
sebuah
keyakinan
yang
disebut
dengan “doctrine of salvation” (doktrin
keselamatan), bahwa keselamatan (surga)
adalah hak para pengikut agama tertentu
saja, sedangkan yang lainnya celaka dan
akan masuk neraka (Thoha, 2005: 1).
Dalam konteks inilah, berbagai
perilaku agama seseorang atau masyarakat,
secara umum dapat ditafsirkan sebagai
satu kesatuan yang merepresentasikan
keberagamaannya (Khandiq, 2009: 168).
Representasi keberagamaan termasuk
sikap eksklusifisme telah menjadikan
agama seakan-akan bersifat antagonis.
Antagonisme dimaksud dapat terjadi baik
dalam wujud ketegangan di kalangan
intern umat beragama maupun antarumat
beragama (Effendy, 2001: 24). Terkait
dengan ketegangan tersebut, banyak
yang berpersepsi bahwa akar ketegangan
bersumber dari lingkup teologis atau
sengketa pandangan dalam memahami
norma-norma agama dan ajaran-ajaran
yang
sesungguhnya
mengandung
ragam penafsiran. Namun demikian,
sifat eksklusifitas semacam ini tidak
akan pernah bisa dihilangkan meskipun
berpotensi menjadikan pemeluknya
dalam situasi saling berkonflik.
Keanekaragaman di dunia modern
memang dihadapkan pada banyak
tantangan, terutama di tingkat akar
rumput (grass-root). Terlebih di dalam
masyarakat yang terdiri dari berbagai
kelompok agama, budaya serta kelompokkelompok
lain
yang
mempunyai
kepentingan dan orientasinya berbeda.
Secara faktual, konflik antaraagama
83
memang pernah terjadi dan bahkan telah
menyebar luas dalam masyarakat, konflik
yang terjadi akibat adanya klaim-klaim
kebenaran tersebut. Realitas ini tentu
dapat kita lihat sehari-hari melalui media
massa dan media elektronik.
Dalam konteks keanekaragaman
ini, Indonesia tentu bukanlah sebuah
negara tanpa konflik, bahkan ia
merupakan salah satu negara yang
sangat paham wajah konflik dalam
segala bentuk dan dimensinya. Konflik
berwajah agama, etnik, suku, ras dan
golongan, apalagi konflik yang jelasjelas bernuansa politis. Pada saat yang
sama, realitas keberagaman tersebut
berkorelasi sejajar dengan tingkat potensi
konflik yang semakin meluas. Dalam
teori sosial ditegaskan bahwa semakin
homogen sebuah negara, semakin rendah
potensi konflik yang terjadi. Sementara
Indonesia memiliki akar heterogenitas
yang cukup tinggi. Oleh karena itu, caracara yang dilakukan untuk merespon
persoalan bangsa yang begitu kompleks
ini haruslah berbeda dengan cara-cara
yang dilakukan di negara-negara yang
relatif homogen (Abdullah, 2008: 6).
Misalnya, dalam kasus-kasus kekerasan
seperti yang dialami oleh penganut
Ahmadiyah baik yang ada di Lombok,
Tasikmalaya, Padang, dan di beberapa
daerah lainnya; terhadap jemaat Gereja
HKBP di Bekasi, dan lain sebagainya
termasuk kekerasan terhadap komunitas
Syiah di Sampang, Madura adalah
potret ketidakberpihakan pemerintah
terhadap korban tindak kekerasan.
Sebagaimana terlihat dalam kasuskasus penindasan terhadap kelompok
minoritas di Indonesia, pemerintah tidak
berdaya menghadapi tekanan kelompok
mayoritas yang menuntut dihilangkannya
ajaran dari komunitas agama yang
berbeda dengan mereka. Pemerintah
cenderung mengamankan posisinya
dengan mendukung kelompok mayoritas
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
84
EFA IDA AMALIYAH
daripada memberikan dan menjamin
rasa aman dan kebebasan beragama bagi
setiap warga negara (Afdillah, 2003).
Konflik yang mengatasnamakan
agama seakan-akan sudah menjadi
hal yang biasa untuk didengar. Kasus
demi kasus, silih berganti dengan
menampakkan wajah yang berbeda satu
sama lain, semua dilatarbelangi oleh
sikap eksklusivisme para pemeluk agama
terhadap ajarannya. Salah satu contoh
dari sekian banyak kasus yang pernah
terjadi di Indonesia adalah kasus konflik
Sunni-Syiah di Sampang, Madura yang
terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012.
Kaum Sunni melakukan aksi penyerangan
dan membakar permukiman kaum
Syiah di Desa Karanggayam, Sampang,
Madura,
serta
mengusir
mereka.
Awalnya kasus ini dilatarbelakangi
oleh adanya konflik keluarga. Namun
dalam perkembangannya, konflik ini
bertumpang-tindih dengan persoalan
politik dan kesalahpahaman terkait
keyakinan dan praktik keagamaan yang
diyakini oleh Kaum Syiah (Affan, http://
www.bbc.co.uk).
Tidak seperti yang terjadi di
Sampang, Madura, interaksi sosial
Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri,
Jepara
berlangsung
nyaris
tanpa
gesekan,
termasuk
menyangkut
masalah peribadatan. Jika ada pengikut
Sunni meninggal, pengikut Syiah ikut
menyolatkan dengan cara Syiah, dan
imam sholatnya adalah penganut Sunni.
Begitupun sebaliknya apabila warga Syiah
yang meninggal. Meskipun Jepara dikenal
sebagai basis Sunni, terutama Nahdliyin,
penganut Syiah tidak lagi beribadah
secara taqiyyah (sembunyi-sembunyi).
Bahkan di rumah penganut Syiah juga
terpampang lukisan yang menandakan
ke-Syiah-an
(http://www.darut-taqrib.
org/berita/2012/03/22/kedamaian-sunnidan-syiah-di-jepara-1/).
Selanjutnya, dalam kegiatan seharihari pengikut Syiah dan pengikut Sunni
HARMONI
Mei - Agustus 2015
berinteraksi layaknya masyarakat pada
umumnya. Syiah dan Sunni hanya
sebuah seragam dan pada hakikatnya
keduanya adalah sama. Banyak kegiatan
yang pernah diselenggarakan secara
bersama-sama seperti; maulid nabi, isra
miraj, arbain dan kegiatan keagamaan
lainnya. Ketika kaum Sunni mengadakan
sebuah acara, maka kaum Syiah akan
diberi surat undangan baik surat yang
berisi permintaan untuk menjadi panitia
maupun sebagai undangan dalam
kegiatan, begitu sebaliknya apabila kaum
Syiah tersebut akan menyelenggarakan
sebuah kegiatan. Hubungan Sunni dan
Syiah di Banjaran tidak pernah ada
gesekan antar satu sama lain. Kaum
Sunni dan Syiah di sana sangat menjaga
keharmonisan
hubungan
melalui
berbagai cara. Secara historis, pola sosial
yang dilakukan oleh kaum Syiah di
Banjaran ini berbeda dengan kaum Syiah
yang ada di Desa Bangsri meskipun
kaum Syiah yang ada di Desa Bangsri
adalah guru kaum Syiah Desa Banjaran.
Namun karena mereka tidak mau hidup
bermasyarakat dan cenderung menutup
diri dari masyarakat, maka kaum Syiah
Desa Bangsri ditinggalkan oleh kaum
Syiah yang berada di Desa Banjaran.
Seiring
perjalanan
waktu,
khususnya pasca konflik Sunni-Syiah
di Sampang, meskipun di awal telah
dikemukakan bahwa hubungan antara
kaum Sunni dan Syiah di Banjaran telah
berlangsung penuh keterbukaan, namun
sejak kemunculan kasus Sunni-Syiah di
Sampang Madura, kondisi tersebut sedikit
mengalami perubahan. Hal tersebut
terlihat dari sikap dan kesan kecurigaan
terhadap orang yang dipandang asing
bagi kaum Syiah di Banjaran. Sikap
tersebut terlihat pada saat beberapa
mahasiswa Ushuluddin dari sebuah
perguruan tinggi yang sedang melakukan
tugas mata kuliah sosiologi agama di
Desa Banjaran, berhenti di depan Masjid
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
Syiah yang sedang direnovasi. Sikap yang
ditunjukkan oleh sebagian orang yang
ada di masjid adalah cenderung menaruh
curiga, mereka memandang gerak-gerak
mahasiswa tersebut yang menyebabkan
ketidaknyamanan mahasiswa tersebut
untuk berada di sana. Padahal mahasiswa
tersebut hanya menunggu kedatangan
teman mahasiswa lainnya yang memang
sedang melaksanakan tugas kuliah.
Kejadian
tersebut
setidaknya
menunjukan bahwa dampak konflik
Sunni-Syiah di Sampang, Madura
telah berimbas terhadap daerah lain
khususnya dalam hal sikap kaum Syiah
yang kemudia terlihat cenderung defensif
dan sensitif terhadap orang asing di luar
komunitas mereka seperti terjadi di Desa
Banjaran.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
tentang interaksi kaum Sunni-Syiah di
Desa Banjaran Bangsri Jepara, dan dampak
kekerasan yang dialami pengikut Syiah
di berbagai daerah terhadap pengikut
Syiah di Desa Banjaran. Dari kajian ini
diharapkan adanya kesadaran masyarakat
luas bahwa harmonisasi dalam interaksi
sosial akan memunculkan suasana
damai dan nyaman. Karenanya, harus
ada upaya-upaya untuk menyatukan
masyarakat yang berbeda dalam hal
keyakinan agar tidak terjadi konflik
berkepanjangan. Di samping itu, perlu
upaya-upaya penyadaran bahwa hidup
berdampingan dalam realitas perbedaan
bisa dijalankan dengan menghormati
keyakinan yang dipegang oleh masingmasing masyarakat.
Tujuan lain dari kajian ini adalah
sebagai bahan evaluasi dalam rangka
meminimalisasi konflik akibat perbedaan
perspektif sehingga tujuan dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara
dapat tercapai terlebih di era kekinian
khususnya
menyangkut
fenomena
masih besarnya sentimen kecurigaan di
85
kalangan masyarakat Indonesia terutama
di kalangan masyarakat bawah (grassroot).
Hasil dan Pembahasan
Sekilas Banjaran
Banjaran merupakan desa yang
cukup ramai. Mobilitas keluar masuk
desa ini pun terbilang relatif mudah
karena tersedianya jalan raya beraspal
yang menghubungkan desa tersebut
dengan kota-kota di sekitarnya, seperti
Mlonggo, Kediri, dan jalan raya menuju
ke Kudus. Angkutan umum pun tersedia
seperti bus, becak dan transportasi
lainnya. Jarak Banjaran ke Jakarta sekitar
300 KM, ke ibukota Propinsi (Semarang)
sekitar 50 KM, ke ibukota kabupaten
(Jepara) sekitar 20 kilometer dan dari
ibukota kecamatan adalah 2 KM.
Secara sosial, masyarakat Banjaran
yang mayoritas muslim ini termasuk
masyarakat majemuk dalam hal afiliasi
organisasi dan aliran keagamaan.
Masyarakat di Desa Banjaran tergabung
ke dalam banyak organisasi keagamaan,
antara lain NU (Nahdlatul ’Ulama) dan
Muhammadiyah yang merepresentasi
mazhab Sunni dan juga terdapat
pengikut mazhab Syiah. Namun dalam
kesehariannya,
perbedaan
tersebut
tidak menimbulkan sentimen atau
kecemburuan.
Interaksi sosial masyarakat Desa
Banjaran relatif berjalan harmonis
meskipun
beragam
mazhab
atau
keyakinan yang dianutnya terutama antara
Sunni dan Syiah. Perbedaan tersebut
tidak menimbulkan permasalahan yang
signifikan dikarenakan masing-masing
senantiasa saling menghormati. Kondisi
inilah yang kemudian mendorong
beberapa peneliti dari berbagai daerah
untuk meneliti tentang keharmonisan
atau interaksi sosial yang terjadi di sana.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
86
EFA IDA AMALIYAH
Sosok Mbah Muhammad Arif,
Pemersatu Masyarakat Banjaran
Tokoh
Masyarakat
muslim
Banjaran,
sebagaimana muslim di belahan lainnya,
merunut asal-usul nenek moyang mereka
dari Adam dan Hawa. Mereka percaya
bahwa Adam dan Hawa adalah asal
mula manusia. Oleh karena itu mereka
mengakui bahwa kedua orang tersebut
sebagai nenek moyang.
Dalam term nenek moyang
tersebut, masyarakat Banjaran juga
mengakui bahwa arwah nenek moyang
yang sudah meninggal seratus tahun
yang lalu merupakan leluhur mereka.
Mereka menganggap leluhur mereka
mempunyai hubungan yang lebih dekat
dengan Tuhan. Leluhur dimaksud adalah
mbah Muhammad Air yang dipandang
sebagai perantara yang berhubungan
dengan Tuhan mewakili mereka. Mbah
Muhammad Arif juga dipandang oleh
masyarakat Banjaran sebagai pemersatu
di antara perbedaan mazhab dan
keyakinan.
Pandangan masyarakat Banjaran
tentang sosok mbah Muhammad Arif
ini tidak lepas dari perannya sebagai
pendiri Banjaran sehingga kemudian
dipandang sebagai nenek moyang dan
leluhur mereka. Masyarakat Banjaran
sangat
mempercayai
keberadaan
leluhur
mereka.
Bahkan
sebagai
bentuk penghormatan terhadap mbah
Muhammad Arif, setiap tanggal 1 Suro
masyarakat setempat mengadakan haul
selama satu hari dua malam di sekitar
makam mbah Muhammad Arif. Kegiatan
tersebut dimulai pagi hari sekitar pukul
05.00 dengan melakukan khataman alQuran, dilanjutkan dengan pembacaan
hadroh.
Mereka
beranggapan
bahwa
mbah Muhammad Arif adalah orang
yang pertama kali membangun wilayah
mereka sehingga mereka menganggap
dirinya sebagai cikal-bakal tempat
HARMONI
Mei - Agustus 2015
tersebut. Bukti keberadaan Mbah
Muhammad Arif di komunitas mereka
adalah adanya peninggalan masjid dan
bedug dan kentongan. Masjid tersebut
dinamakan Masjid Muhammad Arif
dengan desain awal berbentuk ciri khas
Jawa yang diperkirakan berdiri abad XIII
lebih tepatnya tahun 1266 M. Hal tersebut
terlihat pada pintu masuk yakni adanya
tulisan kaligrafi dengan kayu sebagai
ornamen pahatannya. Masjid tersebut
kemudian
mengalami
perombakan
pertama pada tahun 1986 dan hingga
saat ini telah mengalami enam kali
perombakan.
Namun,
berdasarkan
masukan dari Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah, bentuk masjid tersebut akan
dikembalikan ke bentuk semula untuk
menunjukkan ciri khas ke-Jawa-an nya
(Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni 2014).
Sebelum
dikemukakan
lebih
lanjut, Masjid Muhammad Arif yang
dimaksud dalam tulisan ini bukanlah
masjid yang dibangun oleh kaum Syiah
sebagaimana dikemukakan di awal. Oleh
karena itu, kedua masjid tersebut adalah
dua masjid yang berbeda. Mengenai
hal ini, bahkan seorang tokoh Syiah
Desa Banjaran bernama Ali menyatakan
bahwa masjid yang dibangun oleh kaum
Syiah tersebut bukanlah sebuah masjid
melainkan sebuah musholla. Karena
menurutnya, masjid yang dianggapnya
yang sah dan tepat disebut masjid adalah
masjid yang dibangun oleh Simbah Kyai
Haji Muhammad Arif, yaitu Masjid
Muhammad Arif. Selain itu, karena beliau
merupakan seorang yang sangat berjasa
dalam penyebaran agama Islam di Desa
Banjaran. Atas alasan itulah, masjid yang
dibangun kaum Syiah tersebut lebih tepat
disebut musholla, meskipun oleh kaum
Syiah juga dipergunakan untuk shalat
Jum’at.
Selanjutnya, selain masjid, peninggalan lain dari Mbah Muhammad
Arif adalah bedug dan kentongan yang
merupakan elemen masjid dan kedua
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
benda tersebut hingga saat ini masih
terdapat di Masjid Muhammad Arif.
Selain karena fungsinya, bedug dan
kentongan tersebut juga dipercaya sebagai
peninggalan yang mempunyai nilai
tersendiri bagi warga sekitar. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Abdun
Nasir:
“Bedug ini memang selamanya
ditaruh di masjid ini, dan dia
tidak “cocok” untuk diletakkan di
tempat lain, sebagai contoh bedug
pernah dipinjam oleh desa untuk
suatu acara, ternyata suara yang
dikeluarkan tidak nyaring bahkan
cenderung jelek. Hal ini berbeda
ketika bedug diletakkan di masjid
ini, ketika dipukul maka terdengar
suara yang nyaring, enak dan dapat
didengar dengan radius 1 KM.
Melihat fenomena tersebut kami
selaku ta’mir membuat kesepakatan
untuk
tidak
memindahkan
bedug dan kentongan ke tempat
lain, meskipun itu hanya untuk
dipinjam, karena memang sudah
satu paket dengan masjid tersebut.”
(Abdun Nasir. Wawancara. 25 Juni
2014)
Selain masjid, bedug dan kentongan,
penanda lain tentang keberadaan Mbah
Muhammad Arif adalah makam beliau.
Makam, oleh masyarakat Banjaran
dibedakan makam menjadi dua, yaitu
makam biasa, tempat kakek-nenek,
orangtua, dan kerabat lain yang meninggal
dikebumikan serta makam Mbah
Muhammad Arif. Makam Mbah Arif
tempatnya sangat asri karena dikelilingi
oleh sawah yang memunculkan suasana
sejuk. Layaknya makam-makam Sunan
di Jawa, makam Mbah Muhammaad
Arif juga diberikan kelambu dengan
dikelilingi makam-makam keturunan dan
kerabatnya. Sekarang makam tersebut
menjadi tempat yang selalu dikunjungi
oleh warga masyarakat setempat dengan
motivasi-motivasi yang berbeda, terutama
disertai dengan acara ritual bancaan.
87
Bancaan merupakan sebuah sebutan
masyarakat Banjaran untuk sebuah
tradisi bersih desa. Pada acara tersebut,
masyarakat Banjaran datang membawa
saran bancaan berupa ambengan yaitu
makanan yang disiapkan untuk acara
selamatan, berupa nasi dengan lauk pauk
seperti urap, oseng, tahu, tempe, ayam
inkung dll yang dibawa dan disajikan
dengan baskom dan nampan.
Mengenai sosok mbah Muhammad
Arif ini, jika ditelusuri latar belakangnya,
beliau merupakan pendatang dari negara
Yaman. Untuk menghindar dari pihak
kolonial dan orang-orang yang tidak suka
terhadapnya, beliau memutuskan untuk
menyamarkan nama aslinya. Baginya,
penyamaran tersebut lebih memudahkan
untuk menyebarkan Agama Islam karena
mempunyai nama yang sangat khas. Hal
ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Abdun Nasir yang masih merupakan
keturunan mbah Muhammad Arif.
Cerita-cerita menyangkut mbah
Muhammad Arif itu menunjukkan bahwa
hingga saat ini warga masyarakat Banjaran
dan sekitarnya masih mempercayai Mbah
Muhammad Arif dan menghormatinya
sebagai pendiri desa.
Relasi Sunni-Syiah di Desa Banjaran
Sebagaimana telah disinggung di
awal, perbedaan mazhab Sunni-Syiah
di dalam masyarakat Banjaran tidaklah
menjadi jurang pemisah bagi mereka.
Interaksi sosial masyarakat Desa Banjaran
justru berjalan harmonis dan mereka
senantiasa saling menghormati.
Dalam hal jumlah pengikut, saat
ini terdapat 100 hingga 150 keluarga
pengikut Syiah di Desa Banjaran. Jumlah
pengikut Syiah paling banyak terdapat di
RW 1 yaitu di Dusun Candi, sedangkan
jumlah terbanyak kedua di Dusun
Montrong atau di RW 13. Informasi ini
berdasarkan keterangan Jazori, Sekretaris
Desa (Carik) Banjaran, Jazori (43 tahun):
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
88
EFA IDA AMALIYAH
“Syiah di desa ini memang
mempunyai jumlah yang banyak
dibanding desa-desa lain sekitar
Desa Banjaran, yaitu sekitar 5%
dari jumlah warga yang jumlahnya
delapan ribu sekian. Jumlah yang
terbanyak ada di Dusun Candi
atau RW 1 yang kebetulan letaknya
berdekatan dengan masjid dan
makam mbah Muhammad Arif.
Mereka juga mempunyai tempat
ibadah sendiri atau yang biasa
disebut langgar atau musholla.
Mengapa mereka menyebutnya
sebagai langgar karena bagi
mereka Masjid “Muhammad Arif”
adalah masjid untuk semua, Cuma
kebetulan mereka punya tempat
sendiri. Hal ini karena mereka
secara mazhab berbeda dengan
Sunni, sehingga lebih nyaman
untuk sholat di tempat mereka
sendiri.
Meskipun
demikian,
ketika ada acara tertentu di Masjid
“Muhammad Arif” mereka juga
akan datang. Jumlah terbanyak
kedua meskipun tetap minoritas
adalah di Dusun Montro atau RW
13, tetapi mereka tidak mempunyai
tempat sholat sendiri, yang ada
hanya sebuah asrama/pondok
Syiah, sehingga mereka tetap
mengikuti sholat sebagaimana yang
dilakukan oleh pengikut Sunni.
Meskipun demikian kedua belah
pihak saling menghormati (Jazori.
Wawancara. 22 Juni 2015; Lihat,
http://khabarsoutheastasia.com).
Selanjutnya, menurut pandangan
Jazori, Sunni dan Syiah relatif sama
dalam hal ibadah mahdhah, karena Syiah
di Desa Banjaran hampir sama dengan
Sunni, misalnya apabila ada warga desa
yang meninggal dari paham keagamaan
apapun, pengikut Syiah dan Sunni
bersama-sama untuk melakukan sholat
Jenazah hingga proses penguburan.
Tidak hanya itu, mereka juga tetap
HARMONI
Mei - Agustus 2015
menjaga kebersamaan dengan tahlil atau
doa bersama bagi jenazah.
Dalam kegiatan sehari-hari kaum
Syiah dan Sunni berinteraksi layaknya
masyarakat pada umumnya, dan menurut
tokoh Syiah bernama Ali (45 tahun)
hubungan pengikut Sunni dan Syiah di
daerahnya berjalan rukun dan nyaris
tidak pernah ada gesekan satu sama lain.
Mereka selalu menjaga keharmonisan
hubungan
dengan
berbagai
cara.
Hubungan ini penting dijaga karena
menurutnya, sebagai manusia seseorang
tidak bisa lepas dari interaksi sosial, dan
harus bermasyarakat. Untuk senantiasa
menjaga keharmonisan, mereka selalu
menjalin hubungan dengan saling
menghormati dalam perbedaan (Ali.
Wawancara. 24 Juni 2014). Hal senada
juga disampaikan oleh seorang tokoh
Sunni di Banjaran yakni Abdun Nasir:
“Kami tahu bahwa kami berbeda
secara ideologi, tapi hal tersebut
tidak menghalangi untuk selalu
menjaga keharmonisan hubungan
sebagai mahluk sosial, itu sudah
sering saya jelaskan ke masyarakat
RW 01 ketika ada pertemuanpertemuan. Kita sudah sama-sama
paham lah apa yang kita imani, tetapi
jangan lupa bahwa iman letaknya
dihati tidak perlu digembargemborkan, pokoknya kamu tahu
saya Sunni, saya tahu kamu Syiah,
maka selesai! Tidak perlu diungkitungkit lagi. Hal ini terjadi karena
saya sendiri mempunyai keluarga
yang Syiah dan itu tidak menjadi
suatu permasalahan bagi kami,
kami tetap bersosialisasi secara
baik tanpa menyinggung satu sama
lain. Saat Lebaran, karena saya ini
termasuk yang tua di sini, maka
baik Sunni maupun Syiah datang
berkunjung untuk bermaaf-maafan.
Semoga kondisi di sini bisa menjadi
contoh yang baik.” (Abdun Nasir.
Wawancara. 25 Juni 2014).
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
Pengikut Sunni yang merupakan
mayoritas di desa tersebut komposisinya
merata berada di seluruh wilayah
Desa Banjaran. Namun demikian, baik
pengikut Sunni maupun Syiah lebih
memilih menunjukkan wajah harmonis
dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua
belah pihak menyadari ada perbedaan
dalam ibadah, tetapi mereka tidak ingin
memperlebar jurang perbedaan itu.
Mereka juga memilih untuk bersamasama dalam ibadah ketika dalam konteks
ada hubungan kemanusiaan. Bentuk
toleransi yang diwujudkan dalam
kerukunan beragama antara SunniSyiah, di antaranya: 1). Toleransi pada
hari raya. Mereka bertoleransi ketika
ada perbedaan Hari Raya Idul Fitri,
karena mereka melakukan sesuai dengan
keyakinan masing-masing; 2). Toleransi
agama dalam beribadah; 3). Toleransi
agama dalam acara acara hajatan; 4).
Mereka akan berbaur untuk merayakan
hajatan di salah satu pengikut Sunni atau
Syiah; 5). Toleransi agama dalam kegiatan
gotong royong. Mereka saling berbaur
dan kerjasama dalam kegiatan kerja bakti
pembersihan jalan, kerja bakti perayaan
17 Agustus, dan lain-lain; 6). Toleransi
agama ketika ada orang sakit atau
meninggal. Mereka akan melaksanakan
apa yang diyakini oleh yang berduka.
Melihat fenomena tentang interaksi
sosial antara Sunni-Syiah, menunjukkan
bahwa interaksi berjalan dengan baik,
masing-masing mempunyai tenggang
rasa dan tepo seliro yang kuat. Fenomena
inilah yang pernah dikemukakan oleh
Herbert Blumer tentang interaksi sosial
yang dimaknai sebagai hubunganhubungan
sosial
yang
dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat
berupa hubungan antara individu yang
satu dengan individu lainnya, antara
kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya, maupun antara kelompok
dengan individu. Dalam interaksi ini juga
terdapat simbol, di mana simbol diartikan
sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya
89
diberikan kepadanya oleh mereka yang
menggunakannya. Proses Interaksi sosial
semacam ini menurut Herbert Blumer
adalah pada saat manusia bertindak
terhadap sesuatu atas dasar makna
yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
manusia. Kemudian makna yang dimiliki
sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya. Makna
lainnya adalah makna yang tidak bersifat
tetap namun dapat diubah. Perubahan
terhadap makna ini dapat terjadi melalui
proses penafsiran yang dilakukan orang
ketika menjumpai sesuatu. Proses
tersebut disebut juga dengan interpretative
process. Interaksi sosial juga dapat terjadi
bila antara dua individu atau kelompok
terdapat kontak sosial dan komunikasi.
Kontak sosial merupakan tahap pertama
dari terjadinya hubungan sosial dan
komunikasi merupakan penyampaian
suatu informasi dan pemberian tafsiran
dan reaksi terhadap informasi yang
disampaikan (Affan, p://www.bbc.co.uk).
Lalu bagaimana hubungan antara
konflik Sunni-Syiah yang terjadi di
Sampang, Madura dengan sentimen
keagamaan yang muncul pasca peristiwa
tersebut di kalangan pengikut kedua
mazhab (Sunni dan Syiah)? Tentu tidak
dapat dimungkiri bahwa peristiwa
tersebut telah menggugah rasa empati di
kalangan penganut keduanya di daerah
manapun, termasuk di Desa Banjaran
Bangsri Jepara. Meskipun demikian,
sentimen sentimen semacam itu tidak
mempengaruhi hubungan keduanya
yang hingga saat ini masih berjalan
harmonis. Hal inilah yang nampak dalam
keseharian hidup mereka sebagaimana
pula yang dikemukakan oleh Abdun
Nasir:
“Kami masih seperti yang duludulu, konflik tentang Sunni-Syiah
di daerah manapun meskipun
ada kasus yang baru di Madura
tetapi tidak berpengaruh terhadap
kami. Karena kami sudah tahu
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
90
EFA IDA AMALIYAH
“rumah”
masing-masing
dan
tidak akan saling menganggu.
Bagi kami, kami adalah saudara
dan mempunyai sosok yang
dianggap sebagai pemersatu antara
kami yang berbeda. Saya hanya
mendengar dan tahu kalau kasus
yang di Madura, maka Syiah sini
mengirimkan relawan dan bantuan
logistik untuk membantu di sana.
Tetapi tidak menganggu kehidupan
sosial kami. Karena ya itu, kami
sudah tahu masing-masing rumah
kami.” (Abdun Nasir. Wawancara.
25 Juni 2014).
Demikian pula
dikemukakan oleh Ali:
halnya
yang
“Asal-usulnya adalah itu merupakan
konflik individu yang dibawa ke
kaum Sunni dan Syiah. Dan itu tidak
berimbas sampai daerah Banjaran.
Akan tetapi kaum Syiah yang di
Banjaran membantu dalam hal
sandang dan pangan yang digalang
oleh pemuda Syiah dan kemudian
dikirim ke Sampang. Selain itu
pemuda Syiah juga sangat aktif
dalam kegiatan, jika dibandingkan
dengan pemuda Sunni. Pemuda
Syiah setiap hari ahad atau jumat
sering melakukan bersih-bersih
masjid maupun membantu ketika
ada bencana maupun musibah,
seperti kebakaran, kebanjiran dan
lain sebagainya. Pemuda Syiah
sangat kompak dan sangat aktif
dalam kegiatan bermasyarakat.”
(Ali. Wawancara. 19 Juni 2014).
Keberlangsungan suasana hidup
yang harmonis antara pengikut Sunni
dan Syiah di Banjaran yang dijaga dan
dirawat melalui berbagai cara termasuk
melalui kerja-kerja sosial kemanusiaan
tersebut menjelaskan sebuah teori yang
dikemukakan oleh Ashutosh Varsney
dalam penelitiannya tentang konflik antara
Hindu dan Islam di India, sebagaimana
dikutip oleh Marwan (2008: 51). Ashutosh
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Varsney menyatakan bahwa perdamaian
antara dua komunitas yang berbeda akan
tercipta bila dilakukan ikatan kerjasama
dalam bentuk hubungan kemanusiaan
(civic engagement) yang teratur. Ikatan
kemanusiaan itu harus tetap terjaga
dan terbina, sebab jika terjadi kelalaian,
konflik akan muncul kembali. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa ikatan kerjasama
itu dapat diwujudkan dalam dua bentuk,
yaitu bentuk “hubungan asosiasi dan
hubungan kegiatan hidup sehari-hari
(associational forms engagement dan everyday
forms of engagement). Bentuk asosiasi lebih
baik karena dapat diikat oleh organisasi” .
Hubungan kerjasama itu dapat dibangun
dengan dua macam cara, yaitu : dengan
meningkatkan komunikasi antar anggota
masyarakat yang berbeda agama dan
melalui kerjasama dalam bidang ekonomi
dan budaya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dari kedua belah fihak
(Varshney, 2014: 9).
Refleksi
Terkait dengan ketegangan dan
konflik sosial yang diakibatkan oleh
pemaknaan agama, pada dasarnya
tidak perlu terjadi dalam kehidupan
masyarakat yang modern, apabila masingmasing agama mengutamakan nilainilai universal yang dapat menyejukkan
hati
pemeluknya,
mengembangkan
sikap kejujuran dan keadilan dalam
mengembangkan misi dakwahnya serta
menghindari sikap saling mencurigai
satu sama lain. Keharmonisan ini terjadi
apabila mereka tidak hanya sebatas
memperbanyak
dan
memperindah
tempat ibadah semata melainkan lebih
mengutamakan
peningkatan
mutu
keberagamaan
penganutnya
dalam
wujud meningkatkan kesadaran dalam
mengembangkan
sikap
toleransi,
persatuan dan kesatuan serta sikap saling
mencintai kepada sesama manusia.
Dengan demikian agama dapat menjadi
cahaya penerang seluruh aktifitas
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
keseharian. Di sinilah agama sungguhsungguh nampak menjadi sumber
etika dalam kehidupan sosial yang
dapat membangkitkan kepedulian dan
kejujuran dan dapat menghindarkan
pemeluknya dari perilaku-perilaku tidak
bermoral. Keragamam etnik, budaya, adat
istiadat dan keragaman agama inilah yang
justeru menjadi modal sosial yang begitu
strategis bagi masyarakat Indonesia guna
memasuki kehidupan global yang sarat
ditandai dengan perjumpaan berbagai
tradisi dan kecenderungan pemikiran
yang berbeda-beda (Marwan, 2008).
Berkaitan dengan konflik SunniSyiah, sebenarnya konflik tersebut
hanyalah satu dari sekian banyak kasus
konflik yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan di dalam praktik ajaran Islam
yang kemudian berujung pada sikap
saling menyesatkan antara satu dengan
yang lainnya. Dalam konteks ini, Sunni
memang bersikap lebih agresif terhadap
kelompok Syiah. Konflik semacam ini,
pada kenyataannya selalu berdampak
luas dan cenderung menjadi konflik
turun-menurun yang akan selalu
diungkit kembali dan dibesar-besarkan
demi kepentingan pihak tertentu.
Solusi yang penting ditawarkan
dalam mengatasi masalah tersebut tentu
harus dimulai dari keterlibatan aktif para
tokoh keduanya guna menyelesaikan
akar permasalahannya. Dengan begitu,
penanaman sikap-sikap inklusif akan
lebih mudah dilakukan kepada pengikut
Sunni-Syiah di tingkat akar rumput demi
terciptanya kerukunan dalam hidup
bermasyarakat. Interaksi antara pengikut
Sunni-Syiah sejatinya terjadi sebagaimana
interaksi sesama manusia yakni saling
menghormati dan menjaga keyakinannya
masing-masing tanpa disertai ketegangan
dan tanpa melukai dan menghakimi
dalam mempertahankan argumentasinya
masing-masing.
Tentunya, hubungan yang harmonis
akan terjadi dan akan selalu ada selama
91
tidak menyinggung soal keyakinan
sehingga hubungan harmonis akan tetap
berjalan dengan baik tanpa masalah
yang berarti. Sikap-sikap semacam ini
dilakukan oleh kaum Sunni-Syiah di
Banjaran karena mereka tentu menyadari
bahwa dalam hidup bermasyarakat
sangatlah
memerlukan
sosialisasi,
kerjasama dan tentu saja berusaha
semaksimal mungkin merawat kesadaran
menahan diri dan menghindari konflik
dan ketegangan. Komitmen kebersamaan
dalam
menjaga
keharmonisan
di
tengah realitas perbedaan ini sangatlah
dibutuhkan. Artinya, perdamaian tidak
akan tercapai tanpa ada rasa saling
menghormati dan menjunjung tinggi rasa
kebersamaan dalam masyarakat. Atas
dasar itu, keharmonisan bermasyarakat
sangat bergantung pada sikap seseorang
menghargai perbedaan dan berusaha
menjaga diri untuk tidak saling
mendominasi.
Realitas
interaksi
Sunni-Syiah
di Banjaran yang berlangsung rukun
sebagaimana uraian-uraian di atas
merupakan potret yang baik untuk
dijadikan contoh tentang bagaimana
sikap kita terhadap masyarakat yang
majemuk. Sikap saling menghargai dan
menghormati terhadap pilihan hidup
individu tentu merupakan sikap ideal
demi terwujudnya kehidupan masyarakat
yang tentram dan harmonis, karena
dengan menghargai dan menghormati
orang lain, mereka pun akan melakukan
hal yang sama terhadap kita.
Di samping itu, munculnya
berbagai mazhab seharusnya tidak
menjadi penyebab perpecahan, saling
berseberangan, saling membenci dan
mencaci. Tetapi, hendaknya dijadikan
sebagai faktor pendorong terjadinya
penguatan hubungan, berlomba-lomba
dalam kebaikan, dan tentu saja penting
untuk memperluas wawasan. Meskipun
realitasnya tentu saja muncul sebuah
ironi, “budaya dialog” seakan sudah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
92
EFA IDA AMALIYAH
mulai tergeser oleh “budaya otot” dalam
menyikapi perbedaan, baik dalam dialog
inter-religius maupun intra-religius.
Padahal, dalam sejarahnya, Rasulullah
Muhammad tidak menutup pintu dialog
dengan orang musyrik, orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani. Bahkan beliau
melakukan dialog dengan golongangolongan tersebut, beliau menyambut
dan berdialog dengan semuanya.
Budaya dialog juga tumbuh subur di
kalangan ulama-ulama klasik. Meskipun,
tidak jarang terjadi perdebatan sengit di
antara mereka dalam mempertahankan
pendapatnya.
Tetapi,
perbedaan
pandangan dan pemikiran tersebut tidak
menghalangi mereka di dalam menjaga
persaudaraan dan menjalin kasih sayang
yang diperintahkan oleh Allah Swt. Cara
menghadapi pemikiran-pemikiran itu
adalah dengan berdialog bukan dengan
cara kekerasan.
Isu lain yang juga perlu diperhatikan
dalam dialog adalah pemerintah, etnisitas,
struktur okupasi dan kompetisi lokal,
dan plural policing. Mengenai isu okupasi
dan kompetisi, Rizal menjelaskan bahwa
kedua hal tersebut merupakan salah satu
tantangan pasca-migrasi dan transmigrasi
yang harus dihadapi oleh masyarakat
Indonesia. Inilah momen ketika para
pendatang yang beragama atau beretnis
berbeda bertemu dengan para penduduk
setempat, yang tak jarang menimbulkan
“gesekan-gesekan
sosial”
tertentu.
Isu selanjutnya adalah plural policing
yang menekankan bahwa polisi tidak
bisa menangani sengketa keagamaan
jika pihak-pihak yang bertikai, patron,
dan para pendukung mereka tidak
mendukung upaya rekonsilisiasi. Jika
setiap orang kukuh dengan posisinya
masing-masing,
konfrontasi
yang
tidak sehat bisa jadi tidak akan pernah
menemukan jalan keluarnya (http://crcs.
ugm.ac.id, diakses 14 Juli 2013)
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran analisis
dan pembahasan di atas, maka terdapat
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, agama mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, tidak hanya sebagai alat untuk
membentuk watak dan moral, tetapi
juga menentukan falsafah hidup suatu
masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai
dan norma-norma budaya dibentuk dari
agama. Namun demikian, agama juga
tidaklah berdiri sendiri karena ia akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
manusia.
Kedua,
berbagai
perilaku
keberagamaan seseorang atau masyarakat,
secara umum dapat ditafsirkan sebagai
satu kesatuan yang merepresentasikan
keberagamaannya,
termasuk
sikap
eksklusifitas beragama yang kemudian
menjadikan agama seakan bersifat
antagonis. Antagonisme yang kemudian
berwujud dalam ketegangan di kalangan
intern umat beragama itu sendiri maupun
antarumat beragama.
Ketiga, banyak yang memiliki
persepsi
bahwa
akar
ketegangan
bersumber dari lingkup teologis dan
sengketa pandangan dalam memahami
norma-norma agama dan ajaran-ajaran
yang sesungguhnya bersifat multi
penafsiran beragam.
Keempat, sifat eksklusifisme yang
inheren dalam setiap agama tidak akan
pernah bisa dihilangkan dan akan selalu
berpotensi konflik menjadi sebagaimana
terjadi di kalangan penganut Sunni-Syiah
di berbagai daerah. Namun demikian,
fenomena semacam ini tidak terjadi di
kalangan penganut Sunni-Syiah di Desa
Banjaran. Justeru perbedaan di antara
mereka lebih memilih menunjukkan
wajah harmonis dalam hubungan
kemasyarakatan di Desa Banjaran yang
mayoritas masyaakatnya adalah Sunni.
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
Kelima,
hubungan
harmonis
di kalangan Sunni-Syiah yang tidak
terkena dampak sentimen keagamaan
pasca konflik Sunni-Syiah di Sampang,
Madura atau lainnya juga disebabkan
oleh adanya sosok pemersatu bernama
mbah Muhammad Arif, meskipun sudah
wafat sejak beratus tahun lalu namun
dipandang sebagai sosok pemersatu bagi
masyarakat Banjaran.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka dalam tulisan ini terdapat beberapa
saran yakni: Pertama, keberlangsungan
suasana hidup yang harmonis antara
pengikut Sunni dan Syiah di Banjaran
yang dijaga dan dirawat melalui berbagai
cara termasuk melalui kerja-kerja sosial
kemanusiaan membuktikan dengan
nyata bahwa kegiatan-kegiatan semacam
93
ini harus ditanamkan terus menerus dan
dijaga keberlangsungannya oleh para
tokoh agama dan masyarakat di Desa
Banjaran. Keterlibatan aktif para tokoh
dari kedua kalangan tersebut sangatlah
penting khususnya dalam hal penanaman
sikap-sikap inklusif kepada pengikut
Sunni-Syiah di tingkat akar rumput serta
sikap-sikap saling menghormati dan
menjaga keyakinannya masing-masing
tanpa disertai ketegangan dan tanpa
melukai dan menghakimi yang lain.
Kedua, perlu ada upaya-upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menjaga dan membina keharmonisan
tersebut melalui dua cara yakni
menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang bertujuan meningkatkan komunikasi
antar tokoh agama, tokoh masyarakat
dan anggota masyarakat Desa Banjaran
dari kalangan penganut Sunni dan Syiah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, dkk (eds). Pendahuluan: Menimbang solusi dari dalam: Kearifan Lokal dan
Konflik Agama-agama. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Sekolah Pascarsarjana UGM, 2008
Abdulsyani. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Afdillah, Muhammad. Dari Masjid ke Panggung Politik: Studi Kasus Peran Pemuka Agama
dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antara Komunitas Sunni dan Syiah di
Sampang Jawa Timur. Tesis S2 Agama dan Lintas Budaya. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 2013.
Ashutosh, Varshney. Ethnic Conflict And Civic Life. London: Yale University Press, 2014.
Ali, Mursyid (Ed). Pemetaan Kerukunan Kehidupan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2009
Anggota IKPI. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Appleby, R. Scott. The Ambivalence from The Sacred: Religion, Violance and Reconciliation.
USA: Rowman dan Littlefield Press, 2000
Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta:
Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2010
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
94
EFA IDA AMALIYAH
Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta:
Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2011
Bagir, Zainal Abidin, dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta:
Center For Religious and Cultural Studies (CRCS), 2012
Bagir, Haidar “Syiah dan Kerukunan Umat” Opini , Republika, Jumat, 20 Januari 2012
/ 26 Shafar 1433
Bashiroh, Ummu. Konflik Syi’ah-Sunni dan Solusinya dalam Perspektif Keilmuan di Sampang
Madura. makalah Mata Kuliah Perbandingan Agama, 2014
Brian, Morris. Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer. Yogyakarta:
AK Group, 2003
Bahtiar Effendy. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Galang Press: Yogyakarta,
2001.
Fatkhiyati. Interaksi Sosial Antar Pemeluk Agama: Studi Kasus Agama Islam dan Agama
Khonghucu di Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Skripsi S1 Ushuluddin /
Perbandingan Agama. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2005.
Hidayat, Adang Taufik. Pemikiran Politik Islam Syi’ah dan Sunni Tentang Kekuasaan: Studi
Pembagian Kekuasaan Politik di Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan.
Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik Program
Pascasarjana Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.
Kawedhar, Widyabakti Hesti dan Diatmika Wijayanti. Detik-Detik Ujian Nasional Sosiologi
Tahun Pelajaran 2012/2013. Klaten: Intan Pariwara, 2012.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama: Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme, dan
Modernitas. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Khadiq. Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat.
Yogyakarta: Teras, 2009.
Kirana, Candra, dkk. Strategi Khusus Menghadapi Ujian Nasional SMA/MA Sosiologi.
Klaten, Viva Pakarindo, 2011.
Kuper, Adam. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Raja Grafido Persada, 1996.
Lederach, John Paul. Transformasi Konflik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press,
2005
Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik. Jogjakarta: LKiS, 2005
Michael S., Northcott, “Pendekatan Sosiologi” dalam Peter Carnolly, ed., Aneka
Pendekatan Studi Agama, 1999, hal 267-310. Hand Out: Bernard T. Adeney:
Sociology of Religion Reader. Yogyakarta, 2004
Munthe, Atom Ginting dan Arie I.Chandra. Profil Sikap terhadap Pluralisme: Perspektif
Mahasiswa atas Kehidupan Kampus dalam Konteks Nasional dan Global (Studi Kasus
di STAI & UNAI), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada MasyarakatUNPAR 2011
Na’im, Ngainu. Teknologi Kerukunan: Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta:
Teras, 2011
Pals, Danial L. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCiSoD, 2011
HARMONI
Mei - Agustus 2015
HARMONI DI BANJARAN: INTERAKSI SUNNI-SYIAH
95
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008
Salahuddin, Marwan. Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo: Praktik Hubungan
Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik, dalam Irwan Abdullah
(eds). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah
Pascarsarjana UGM, 2008
Sigmund, Freud. “Agama dan Kepribadian”, dalam Daniel L. Pals, Seven Theories
of Relgion. Yogyakarta: Qalam, 1996. Hand out Irwan Abdullah, Theories of
Religion and Society: A Reader. Yogyakarta: CRCS, 2004
Syaefullah, Asep. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007
Swidler, Leonard. Death or Dialoge. Minneapolis: Fortress Press, 1993
Taher, Tarmizi. Menuju Umatan Wasathan Kerukunan Beragama di Indonesia. Jakarta: Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat, 1998
Taher, Tarmizi. Menjadi Muslim Moderat, Beragama di Tengah Peradaban Global. Jakarta:
Hikmah, 2004
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralitas Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005
Tim Penyusun. Strategi Khusus Menghadapi Ujian Nasional SMA/MA Sosiologi. Klaten:
Viva Pakarindo, 2011.
Wim Beuken, Karl-Josep Kuschel. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Internet:
Al-Hamid Jakfar Al-Qadri dalam buku Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, http://www.
nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,43941-lang,id-c,buku t,Menyikapi
+Perbedaan+dengan+Berdialog-.phpx
Alif Bhakti, http://ilmudaninfo.wordpress.com/2013/01/14/kerukunan-umat-beragama/
waktu akses, 08 Juni 2014 Pukul, 11:33
Azizah
Febriana, http://azizahfebrinia93.wordpress.com/2013/05/06/sekilas-tentangkonflik-syiah-sunni-di-sampang-madura/, diakses tanggal 09 Juni 2014.
Data Monografi Desa Banjaran, tahun 2013
Georg Simmel, On Individuality and Social Forms, 1971: 46), dalam http://indososio.
wordpress.com/2012/12/06/pertukaran-sebagai-dasar-interaksi/
Heyder
Affan,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/08/130731_
lapsus_syiah_sidoarjo_kilasbalik.shtml, diakses tanggal 06 Juni 2014.
http://crcs.ugm.ac.id/news/868/Laporan-Tahunan-CRCS-Kualitas-Konflik-AgamaMeningkat-Mediasi-Dilematis.html, diakses tanggal 14 Juli 2013
http://naturaladli.blogspot.com/2013/01/kerukunan-umat-beragama_3232.html
http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2012/11/28/feature-03
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
96
EFA IDA AMALIYAH
http://www.darut-taqrib.org/berita/2012/03/22/kedamaian-sunni-dan-syiah-di-jepara-1/
Harmoni Sunni-Syiah di Banjaran Jepara, dalam http://www.gusdurian.net/id/peristiwa/
Harmoni-Sunni-Syiah-Jepara/
Kodim, M. Kekerasan Atas Nama Agama, dalam http://desantara.org/v3, diambil tanggal
5 Juni 2011
Presentasi Nor Cholis dalam awal. Pelajar Indonesia di Hadhramaut Gagas Rekonsiliasi
Sunni-Syi’ah, diambil dari NU ONLINE
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PENELITIAN
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
97
Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku
Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone,
Provinsi Sulawesi Selatan
Muhammad Hasbi
STAIN Watampone
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 13 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This research applies descriptive method
for describing or explaining a problem
and phenomenon which exist until now.
The issues discussed in this research are:
1). How is society’s view on Qadariya and
Jabariya doctrines? 2). How is the role of
Qadariya and Jabariya theology towards
society at Bajo Fish Auction market? This
result concludes that based on Islamic
perspective, human deeds are interpreted
into viewpoints. Human beings have a
freedom and desire to do some deeds that
they want. They create their deeds. It is
called Qodariya doctrine. Conversely, the
second group’s view point is different.
They think that human beings cannot make
their own deeds but God can make them.
For this group, man cannot do anything,
they dont have the power to do anything
because they are controlled by God. Their
thought is called Jabariya. Some societies
of Bajo fish auction market agree to one or
both of them to view those doctrines. Some
of them also have different point of view
towards those doctrines.
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif
yang
bertujuan
untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan suatu
masalah, kejadian, fenomena yang ada
hingga masa sekarang. Masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: 1).
Bagaimana pandangan masyarakat di pasar
pelelangan ikan Bajo tentang Qadariyah
dan Jabariyah? 2). Bagaimana peran
teologi Qadariyah dan Jabariyah terhadap
masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan
Bajo? Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa dalam pemikiran Islam, tindakan
manusia diinterpretasikan oleh dua aliran.
Pertama, manusia mempunyai kebebasan
dan kehendak untuk melakukan perbuatan,
dan perbuatan tersebut diciptakan oleh
manusia. Ini menunjukan bahwa manusia
yang menghendaki perbuatannya. Apa
yang dia inginkan, dia bisa melakukannya.
Dalam pemikiran Islam, cara pandang
model ini dikenal dengan paham Qodariya.
Sebaliknya, bagi kelompok kedua, tindakan
manusia tidak diciptakan oleh manusia,
melainkan oleh Tuhan. Bagi kelompok
ini, manusia tidak dapat berbuat apaapa, dia tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan perbuatan karena Allah yang
mengendalikan. Dalam pemikiran Islam,
cara pandang semacam ini dikenal dengan
sebutan Jabariyah. Terhadap kedua paham
tersebut, masyarakat di pasar pelelangan
ikan Bajo ada yang menyatakan setuju
terhadap salah satu atau keduanya dan
ada pula yang memiliki pendapat berbeda
dengan kedua paham tersebut.
Keywords: Qadariya, Jabariya, Society,
Bajo Fish Auction Market
Kata
kunci:
Qadariyah,
Jabariyah,
Masyarakat, Pelaku Pasar Pelelangan Ikan
Bajo
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
98
MUHAMMAD HASBI
Pendahuluan
Tuhan adalah pencipta manusia dan
alam semesta. Tuhan bersifat Maha Kuasa
dan mempunyai kehendak yang bersifat
mutlak. Manusia sebagai ciptaan Tuhan,
bergantung pada kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan dalam menentukan
penjalanan hidupnya. Manusia diberi
kebebasan dalam mengatur hidupnya
atau terikat seluruhnya pada kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan.
Dalam
menghadapi
berbagai
masalah, terdapat dua konsep yang
berkembang di kalangan muslim yaitu
Qadariyah dan Jabariyah. Menurut
paham Qadariyah (free will dan free act),
manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya (Nasution, 1986:
31). Nama Qadariyah berawal dari sebuah
pengertian manusia mempunyai qudrah
atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan tidak tunduk pada
qadar yang ditetapkan Tuhan. Menurut
keterangan ahli-ahli teologi
Islam,
paham Qadariyah pertama kali dipelopori
oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan alDimasyqy yang terinspirasi dari seorang
nasrani Irak yang masuk Islam (Amin,
1965: 255).
Dalam perkembangannya, Ghailan
terus menyiarkan paham Qadariyah
hingga ke Damaskus, dan mendapat
tantangan dari Khalifah Umar ibn ‘Abd.
Al-’Aziz. Setelah Umar wafat ia kembali
meneruskan ajarannya di masyarakat.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, manusia
sendirilah yang menentukan perbuatanperbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri, dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri (al-Gurabi:
33). Dalam paham ini manusia merdeka
dalam
tingkah
lakunya.
Manusia
berbuat baik adalah atas kemauan dan
kehendaknya sendiri. Dalam pandangan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
paham tersebut, tidak dikenal sebuah
pemikiran tentang nasib manusia dan
perbuatan-perbuatannya sebagai sesuatu
yang telah ditentukan semenjak zaman
azali (Muhammad Hasbi, 2010: 52).
Berbeda dengan paham Qodariyah,
kaum Jabariyah (predestination atau
fatalism)
berpendapat
sebaliknya,
manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya. Manusia terikat pada
kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa. Memang dalam paham
ini terdapat sebuah cara pandang dan
keyakinan bahwa manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Perbuatan-perbuatan
manusia
telah
ditentukan dari semula oleh qada dan
qadar Tuhan.
Paham Jabariyah diperkenalkan
pertama kali dalam sejarah teologi
Islam oleh
al-Ja’d ibn Dirham
(Mulyono dan Bashori, 2010:140), dan
yang menyiarkannya adalah Jahm ibn
Safwan dari Khurasan. Perlu diketahui
bahwa Jahm yang dimaksud adalah sama
dengan Jahm yang mendirikan golongan
al-Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah
(Amin, 1965: 286). Manusia, menurut
Jahm tidak mempunyai kekuasaan untuk
berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri
dan tidak mempunyai pilihan. Manusia
dalam perbuatan-perbuatannya adalah
dipaksa tanpa ada kekuasaan, kemauan
dan pilihan yang melekat dalam dirinya.
Perbuatan-perbuatan
yang
diciptakan Tuhan di dalam diri
manusia, tidak ubahnya dengan gerak
yang diciptakan Tuhan dalam bendabenda mati. Oleh karena itu, manusia
dinyatakan berbuat bukan dalam arti
sebenarnya, tetapi dalam arti majazi.
Segala perbuatan manusia merupakan
perbuatan
yang
dipaksakan
atas
dirinya termasuk perbuatan-perbuatan
mengerjakan
kewajiban,
menerima
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
pahala dan menerima siksaan (alSyahrastaniy: 87). Menurut paham ini
pula, segala perbuatan manusia tidak
merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Manusia
dalam pandangan paham ini, hanyalah
merupakan wayang yang digerakkan
sebab manusia bergerak, berusaha dan
berbuat karena digerakkan oleh Tuhan,
sehingga tanpa gerak dan usaha dari
Tuhan manusia tidak bisa berbuat apaapa.
Namun demikian, di dalam paham
tersebut, juga terdapat pandangan yang
moderat sebagaimana diperkenalkan
oleh al-Husain ibn Muhammad al-Najjar.
Menurutnya, Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan
manusia,
baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia tetap mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatan-perbuatan
tersebut. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Inilah yang dimaksud dengan kasb
atau acquisition (al-Syahrastaniy: 89).
Pandangan yang kurang lebih sama
dikemukakan oleh Dirar ibn ‘Amr yang
menyebutkan
perbuatan-perbuatan
manusia pada hakekatnya diciptakan
Tuhan.
Selanjutnya, mengenai perkembangan dan pengaruh kedua paham
tersebut, telah nyata bahwa keduanya
telah berkembang jauh melebihi batas
wilayah tempat kedua paham tersebut
lahir dan tumbuh, salah satunya telah
masuk hingga ke Indonesia. Untuk
menelusuri kedua paham tersebut dalam
pandangan masyarakat di Indonesia,
peneliti melakukan sebuah penelitian
terhadap pelaku pasar pelelangan ikan
Bajo yang merupakan pusat perbelanjaan
ikan bagi masyarakat Bajo dan masyarakat
Kota Watampone. Pelelangan ikan ini
termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
Tanete Riattang Timur, Kabupatan
99
Bone, Sulawesi Selatan. Masyarakat
pesisir pantai Bajo memang bermata
pencaharian pokok menangkap ikan
dengan menggunakan perahu layar.
Dalam sejarahnya, Suku Bajo memang
dikenal sebagai suku bangsa pelaut di
Indonesia yang telah mengembangkan
suatu kebudayaan maritim sejak beberapa
abad lamanya, sehingga dikenal dengan
sebutan “manusia perahu”.
Sebagai
manusia
perahu,
masyarakat Suku Bajo mengenal budaya
Alloping, sebagai pedoman atau aturan
membangun perahu. Budaya AIloping
inilah yang kemudian berkembang
menjadi budaya Appabolang, terutama
setelah mereka menetap dalam suatu
hunian dan mengelompok menjadi suatu
pemukiman. Budaya Appabolang ini
merupakan faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan bagi masyarakat Suku Bajo
dalam mendirikan/membangun rumah
tinggalnya. Faktor-faktor tersebut adalah
agama/kepercayaan, hubungan sosial,
mata pencaharian, pengetahuan, pola
hidup, dan lingkungan alam. Di perairan
Bajo dikenal dengan jenis pasang surut
ganda campuran (mixed tide, prevailing
semidiurnal) yaitu 2 kali pasang dan 2
kali surut dalam sehari. Keadaan ini
menjadi tantangan bagi rumah tinggal
yang berhubungan langsung dengan laut
untuk tetap bertahan dan menyesuaikan
diri dengan air pasang dan kelembaban
yang
ditimbulkannya.
Kencangnya
angin yang bertiup dari laut maupun
dari darat dapat mengubah suhu udara
menjadi sangat dingin. Curah hujan
terjadi sepanjang tahun sehingga sulit
menentukan musim hujan atau musim
kemarau. Hal-hal seperti inilah yang
banyak mendatangkan masalah dan
sangat penting diperhatikan untuk
mengetahui paham mereka, khususnya
paham Qadariyah dan Jabariyah.
di
Sebagaimana
atas, sebagai
telah
diuraikan
manusia perahu,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
100
MUHAMMAD HASBI
masyarakat Suku Bajo melakukan
segala aktivitas dan menghabiskan
hidupnya di atas perahu. Namun seiring
perjalanan waktu, manusia perahu
tersebut kemudian menetap dalam suatu
hunian dan mengelompok membentuk
suatu pemukiman. Meskipun demikian,
budaya laut mereka masih begitu
besar mempengaruhi kehidupannya
bahkan hingga saat sekarang. Hal inilah
yang mendorong Pemerintah Daerah
Kabupaten Bone untuk membangun
Pelelangan ikan di Bajo yang dibangun
pada tahun 2011 di era pemerintahan
H. Andi M. Idris Galigo, SH. Dalam
perkembangannya, setelah terpilihnya
Dr. H. Andi Fashar Mahdin Fadjalani
dan Drs. H. Ambo Dalle, MM, sebagai
Bupati dan wakil Bupati Kabupaten
Bone periode 2013-2018, pelelangan
Ikan ini pun semakin ramai dikarenakan
tempatnya yang sangat strategis.
Untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai pandangan paham Qodariyah
dan
Jabariyah
dalam
pandangan
masyarakat Bajo, maka dalam tulisan
ini dikemukakan lebih khusus tentang
pandangan masyarakat pelaku pasar
pelelangan ikan Bajo tentang kedua
paham tersebut serta peran teologisnya
di dalam masyarakat.
Metode Penelitian
Penelitian
ini
menggunakan
metode deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan suatu
masalah dan fenomena yang ada hingga
saat sekarang. Dengan kata lain, metode
deskriptif dilakukan untuk menjawab
persoalan-persoalan tentang fenomena
yang ada, dan berlaku sampai sekarang.
Populasi dalam penelitian terdiri atas
populasi utama (pokok) dan populasi
penunjang (sekunder). Pada populasi
utama meliputi seluruh pelaku pasar
pelelangan ikan Bajo di Kecamatan
Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Sedangkan sampel penelitian dipilih dari
populasi penelitian tersebut yakni hanya
beberapa sampel penelitian.
Dari beberapa jumlah sampel
penelitian utama tersebut, digunakan
metode acak atau cluster random sampling
dengan mengacu pada pertimbangan
jangkauan tempat penelitian, yaitu
seluruh
pelaku
pasar
pelelangan
ikan pesisir pantai Bajo, Kecamatan
Tanete Riattang Timur, Kabupaten
Bone. Sedangkan sampel penunjang
meliputi
sampel yang digunakan di
pasar pelelangan ikan Bajo yang cukup
diwakili oleh sampel yang representatif
untuk diwawancarai guna mengetahui
pandangannya tentang paham Qadariyah
dan Jabariyah dan pengaruhnya terhadap
cara pandang dan kehidupan mereka.
Pertimbangannya, dari sampel tersebut
diharapkan dapat memberikan data dan
informasi yang akurat tentang segala
yang dibutuhkan.
Untuk memperoleh informasi yang
komprehensif, maka dalam penelitian
ini digunakan tekhnik pengumpulan
data sebagai berikut, yaitu: 1). Observasi
dan pencatatan yang sistematis terhadap
pelaku pasar pelelangan ikan Bajo.
Pencatatan ini terdiri atas pencatatan
yang bersifat deskriptif dan reflektif; 2).
Wawancara; 3). Angket, yaitu dengan
melakukan pengumpulan data dalam
bentuk pertanyaan
yang diberikan
kepada seluruh anggota sampel dengan
menggunakan sistem perwakilan pada
pelaku pasar pelelangan ikan Bajo. Dengan
metode ini data yang akan diberikan
oleh responden akan lebih akurat dan
diharapkan objektif, mengingat angket
yang diberikan mencakup pertanyaanpertanyaan yang cukup simple dan jelas.
Setelah informasi terkumpul, selanjutnya,
dilakukan analisis data guna mencari dan
menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara, angket dan lainlain untuk meningkatkan pemahaman
peneliti tentang kasus yang diteliti dan
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
menyajikannya sebagai temuan bagi orang
lain. Sedangkan untuk meningkatkan
pemahaman tersebut analisis perlu
dilanjutkan dengan berupaya mencari
meaning.
Hasil dan Pembahasan
Sekilas tentang Masyarakat Pesisir Pantai
Bajo
Nenek moyang bangsa Indonesia
dikenal sebagai pelaut ulung. Julukan
tersebut tampaknya masih melekat pada
keseharian masyarakat pesisir pantai
Bajo, khususnya masyarakat Suku Bajo.
Sejak ratusan tahun, masyarakat Suku
Bajo memang hidup di atas laut. Dengan
hanya menggunakan perahu, mereka
piawai mengarungi gelombang demi
gelombang tanpa mengenal lelah. Hingga
akhirnya, para pendahulu Suku Bajo
memutuskan membangun pemukiman
di permukaan samudera.
Di mata masyarakat suku Bajo, laut
adalah segalanya. Mereka memandang
laut sebagai satu-satunya sumber
penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau,
masyarakat Suku Bajo memandang laut
sebagai lahan mencari nafkah, tempat
tinggal, serta beranak-pinak. Masyarakat
Bajo merupakan nelayan tradisional yang
mampu memanfaatkan kekayaan laut
untuk bertahan hidup. Pada umumnya,
masyarakat Suku Bajo tersebar dan
hidup di perairan Indonesia dengan mata
pencaharian sebagai nelayan. Hampir di
seluruh wilayah perairan di Indonesia
mengenal adanya masyarakat Suku Bajo
yang hidup dan bertempat tinggal di
daerah pesisir laut.
Secara
geografis,
masyarakat
nelayan adalah masyarakat yang hidup,
tumbuh dan berkembang di kawasan
pesisir, yakni suatu kawasan transisi
antara wilayah darat dan laut. Sebagai
suatu sistem, masyarakat nelayan
terdiri atas kategori-kategori sosial yang
101
membentuk kesatuan sosial. Mereka juga
memiliki sistem nilai dan simbol-simbol
kebudayaan sebagai referensi perilaku
mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan
inilah yang menjadi pembeda antara
masyarakat nelayan dengan kelompok
sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat
pesisir,
baik
langsung
maupun
tidak
langsung,
menggantungkan
kelangsungan hidupnya dari mengelola
potensi sumberdaya kelautan.
Seperti masyarakat lain, masyarakat
nelayan juga menghadapi banyak ragam
masalah, antara lain: 1). Kemiskinan,
kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan
ekonomi yang datang setiap saat; 2).
Keterbatasan akses modal, teknologi dan
pasar sehingga mempengaruhi dinamika
usaha; 3). Kelemahan fungsi kelembagaan
sosial ekonomi yang ada; 4). Kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang
rendah sebagai akibat keterbatasan akses
pendidikan, kesehatan dan pelayanan
publik; 5). Degradasi sumberdaya
lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut
maupun di pulau-pulau kecil; 6). Belum
kuatnya kebijakan yang berorientasi
pada kemaritiman sebagai pilar utama
pembangunan nasional.
Masyarakat
pesisir
memang
mempunyai
keunikan
tersendiri.
Masyarakat pesisir mampu menampilkan
suatu perbedaan bentuk dan tradisi
yang mencerminkan keanekaragaman
daerah dan kekayaan warisan sejarah.
Rumah tradisional suku-suku yang
mendiami kawasan pesisir pantai di
seluruh nusantara. Bentuk-bentuk unik
yang ditampilkan merupakan cerminan
identitas lokal yang memperkaya
khazanah
budaya
nusantara
dan
keanekaragaman rumah tradisional yang
ada di nusantara menunjukan karya seni
yang memiliki kualitas seni yang tinggi.
Kemudian, terbentuknya permukiman komunitas Suku Bugis dan Suku
Bajo di pesisir pantai Bajo di sekitar
pelelangan ikan ini dilatarbelakangi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
102
MUHAMMAD HASBI
oleh sebagian besar masyarakatnya yang
mempunyai sumber mata pencaharian
sebagai nelayan. Mereka membentuk
permukiman kampung nelayan untuk
memudahkan aksesibilitas terhadap
kegiatan sehari-hari sebagai nelayan,
mulai dari penangkapan ikan ataupun
hasil-hasil laut lainnya sampai pada
tahapan pemasaran yang dilakukan di
pasar pelelangan ikan Bajo.
Paham ke-Jabariyah-an dan keQadariyah-an Pelaku Pasar Pelelangan
Ikan Bajo
Teologi Islam merupakan suatu
kenyataan sejarah yang tidak dapat
disangkal
keberadaannya.
Dalam
ranah pemikiran Islam, perbuatan
manusia diinterpretasikan oleh dua
aliran yang paradoxal. Pertama, ada
yang memandangnya sebagai kehendak
bebas manusia (Qadariyah), di mana
perbuatan-perbuatan manusia tidak lebih
merupakan ciptaaan manusia sendiri.
Manusialah yang berkehendak. Apa
yang dia inginkan, dia bisa lakukan.
Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia
sangat bisa untuk tidak melakukannya.
Kedua, bagi kelompok ini perbuatan
manusia itu bukan diciptakan oleh
manusia (Jabariyah), melainkan oleh Allah
Swt. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa,
manusia tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan perbuatan. Manusia hanyalah
dikendalikan Allah Swt.
Konsepsi
tentang
perbuatan
manusia memang seringkali menjadi
faktor
dalam
menentukan
maju
dan mundurnya, berkembang dan
terbelakangnya keadaan umat Islam
saat ini. Bagi kalangan liberal, paham
Jabariyah yang kemudian diformulasikan
oleh Asy’ari dan dianut oleh Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, merupakan faktor utama
mundurnya umat Islam sekarang ini.
Bagi mereka, jika umat Islam ingin maju,
paham Qadariyah atau Mutazilah yang
HARMONI
Mei - Agustus 2015
harus dianut atau dijadikan worldview
untuk
mengembalikan
kemajuan
peradaban Islam sebagaimana pandangan
Abdul Rahman. Menurutnya, manusia
harus berusaha semaksimal mungkin
untuk meraih kesuksesan dalam berbisnis
dengan memegang sebuah semangat:
“kalau orang bisa kenapa kita tidak bisa”
dan “tidak boleh terlebih dahulu tunduk
kepada takdir karena tidak ada manusia
yang mengetahui takdirnya, karena itu
adalah rahasia Tuhan” (Abdul Rahman.
Wawancara. 1 September 2013).
Berbeda dengan Abdul Rahman,
Malla menyatakan bahwa manusia
tidak memiliki daya dan upaya untuk
menentukan nasibnya, karena semuanya
tergantung pada takdir Tuhan (Malla.
Wawancara.
5
September
2013).
Sedangkan Samsuddin berpendapat
sebaliknya, “nasib manusia tergantung
sejauh mana usaha manusia itu untuk
menentukan
perjalanan
hidupnya,
namun demikian manusia dituntut
untuk mempertanggungjawabkan segala
apa yang telah ia perbuat.” Samsuddin
secara jujur menyatakan bahwa istilah
Qadariyah dan Jabariyah betul-betul tidak
dipahami dan bahkan baru pertama kali
mendengar istilah tersebut. Tetapi, selama
ini, ia berusaha berbisnis menjual ikan di
pelelangan ikan Bajo tiada lain didasari
atas kemauan dan kehendaknya sendiri
(Samsuddin. Wawancara. 3 September
2013). Sejalan dengan pandangan
Samsuddin, Samsu yang tidak mengenal
paham Qadariyah dan Jabariyah ini
berpandangan bahwa manusia mampu
mewujudkan perbuatan-perbuatannya
untuk berusaha dan berbisnis (Samsu.
Wawancara. 5 September 2013).
Berbeda dengan Samsu, Mondeng
menjelaskan bahwa manusia sebagai
makhluk yang lemah yang diciptakan
oleh Allah Swt, dalam kelemahannya
tersebut banyak bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hal
ini senada dengan pandangan al-
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
Asy’ari, seperti yang diungkapkan
oleh Harun Nasution. Dalam hal ini,
Mondeng berpandangan bahwa manusia
mempunyai daya sendiri. Akan tetapi,
daya manusia itu tidak mempunyai
arti apa-apa tanpa ditopang oleh daya
Tuhan atau kemauan Tuhan (Mondeng.
Wawancara. 2 September 2013). Oleh
karena itu, untuk terwujudnya perbuatan
diperlukan dua daya yakni daya Tuhan
dan daya manusia. Namun demikian,
faktor yang paling berpengaruh dan
efektif pada akhirnya adalah daya Tuhan.
Menurut pengamatan peneliti,
pandangan Samsuddin, Malla dan
Mondeng, pada dasarnya melakukan
pembelaan terhadap konsep keadilan
Tuhan. Demikian pula halnya Jufri.
Meskipun tidak memahami secara
mendalam tentang konsepsi kedua teologi
tersebut, namun pandangannya mirip
dengan cara pandang teologi Qadariyah,
membela Allah dalam hal keadilan. Bagi
mereka, Allah itu harus adil. Dia tidak
mungkin dinisbatkan dengan kejahatan
dan kezaliman, yang kedua sifat tersebut
justeru terdapat dalam perbuatan
manusia. Karenanya, bagi mereka
perbuatan zalim, buruk, jahat dan juga
perbuatan baik itu merupakan perbuatan
murni manusia. Meskipun, tanpa
disadari, dengan pandangan teologisnya
semacam ini, justeru mereka menafikan
kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah
Swt.
Di sisi lain, dengan penekanan
yang berbeda, bahkan mungkin bisa
dikatakan
bertentangan,
Mondeng
menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa
dan berkehendak secara Mutlak. Namun,
dalam hal ini, pandangan Mondeng
berbeda dengan pandangan Asy’ari
bahwa Allah bisa saja melakukan apa
saja yang dikehendaki-Nya. Dia bisa saja
memasukkan orang yang suka berbuat
maksiat ke dalam surga. Karena dari
awal, surga dan neraka sudah ditetapkan
penghuninya.
103
Kemudian,
menurut
Senabe,
perbuatan manusia juga merupakan
ciptaan Tuhan. Manusia sama sekali
tidak memiliki kekuatan. Manusia tidak
dapat berbuat tanpa dibarengi dengan
perbuatan Tuhan. Artinya, dalam
tindakan manusia terdapat perbuatan
manusia dan perbuatan Tuhan (Senabe.
Wawancara., 26 September 2013).
Sungguhpun demikian, menurut Hamid,
segala kemauan dan kehendak manusia
adalah kemauan dan kehendak Tuhan.
Perbuatan manusia mempunyai wujud
atas kehendak Tuhan dan bukan atas
kehendak manusia sendiri (Hamid.
Wawancara. 22 September 2013).
Merujuk pada pandangan Senabe,
peneliti memandang bahwa pandangan
Senabe tersebut terdapat kemiripan
dengan pandangan Maturidiah. Bagi
Maturidiah, perbuatan itu ada dua,
yaitu: pertama, perbuatan Tuhan dan
kedua, perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan mengambil bentuk penciptaan
daya dalam diri manusia dan pemakaian
daya itu sendiri merupakan perbuatan
manusia. Daya diciptakan bersama-sama
dengan perbuatan. Perbuatan manusia,
bagi Maturidi, adalah perbuatan manusia
dalam arti sebenarnya dan bukan
dalam arti kiasan. Pemberian upah dan
hukum didasarkan atas pemakaian daya
yang diciptakan. Dengan demikian,
manusia diberi hukaman atas kesalahan
pemakaian daya dan diberi upah atas
pemakaian yang benar dari daya
Pendapat Hamid semacam ini
adalah sama dengan pendapat aliran
Maturidiah, baik golongan Samarkand
maupun Bukhara, bahwa kemauan
manusia adalah sebenarnya kemauan
Tuhan, ini mengandung arti paksaan
atau fatalism. Tetapi sebagai pengikut
Abu Hanifah, al-Maturidiah menarik
hal tersebut kepada paham masyi’ah
atau kemauan dan ridha atau kerelaan.
Manusia melakukan segala perbuatan
baik dan buruk atas kehendak Tuhan,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
104
MUHAMMAD HASBI
tetapi tidak selamanya dengan kerelaan
Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat
jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik
atas kehendak Tuhan dan sebaliknya,
betul bahwa manusia berbuat buruk
atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan
tersebut tidak atas kerelaan Tuhan.
Peran Teologi Qadariyah dan Jabariyah
terhadap Masyarakat Pelaku Pasar
Pelelangan Ikan Bajo
Teologi takdir memang sangatlah
penting. Ia menjadi salah satu faktor
utama yang menyebabkan maju dan
mundurnya umat Islam. Ada cara
pandang terhadap takdir yang dapat
menyebabkan umat Islam mundur dan
lemah dan ada pula yang justeru dapat
mendorong umat Islam kepada kemajuan
dan kekuatan. Dua pemikiran mengenai
takdir tersebut adalah paham Jabariyah
(predestination) dan paham Qadariyah
(free will).
Oleh karena itu, Samsuddin
mengatakan bahwa deegaga missengngi
garisi warekkenna, artinya tidak ada satu
pun manusia mengetahui takdirnya. Atas
dasar itulah, manusia wajib berikhtiar,
berusaha semaksimal mungkin untuk
memperoleh kebahagian dan kesenangan
dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat
(Samsuddin. Wawancara. 5 September
2013). Hal ini, berbeda dengan pandangan
yang dikemukakan Malla. Menurutnya,
meskipun manusia berusaha banting
tulang untuk mencari dan mendapatkan
kebahagiaan dan kesenangan dunia,
tetapi jikalau memang Tuhan takdirkan
menjadi orang miskin, maka manusia itu
akan menjadi miskin (Malla. Wawancara.
28 September 2013).
Mengamati kedua pandangan
tersebut, tampak bahwa pandangan
Samsuddin lebih sejalan dengan paham
Qadariyah. Sedangkan Malla lebih sejalan
dengan paham Jabariyah. Paham Qadariyah
tampaknya merupakan paham minoritas
HARMONI
Mei - Agustus 2015
di kalangan umat Islam. Menurut paham
ini, takdir Tuhan adalah ketentuan
Tuhan bagi mahluk-Nya. Takdir ini
menjelma dalam bentuk sifat-sifat alam
atau hukum-hukum sebab-akibat yang
pasti berlaku. Manusia diberi kebebasan
dalam kemauan dan perbuatan, diberi
tanggung jawab, supaya manusia dapat
diuji apakah beriman, beramal saleh
atau sebaliknya. Dengan paham ini,
manusia diberi landasan untuk bekerja
keras, bekerja semaksimal kemampuan
dan bertanggung jawab demi dunia dan
akhirat. Ada juga mengambil sikap tengah
antara Jabariyah dan Qadariyah, yang
disebut paham “kasab”. Namun, dalam
sejarah teologi Islam, paham tersebut
hanya membagi paham takdir kepada
dua paham yang disebutkan di atas.
Dalam hal sifat-sifat Tuhan,
Jufri tegas menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat (Jufri. Wawancara. 28
September 2013). Pandangan semacam
ini berbeda dengan pandangan Mutazilah
yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak
mempunyai sifat, berbeda dengan AlAsy’ari yang berpendapat sebaliknya,
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Bagi
Mutazilah, mustahil Tuhan sendiri
merupakan pengetahuan (‘Ilm), karena
yang benar, Tuhan itu mengetahui (Alim).
Artinya, Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya, bukanlah dengan ZatNya.
Dalam hal wujud, mengenai
pertanyaan apakah Tuhan dapat dilihat
di akhirat atau tidak? Menurut Mondeng,
(Wawancara. 2 September 2013) dan
Saide (Wawancara. 21 September 2013),
Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti,
sebagaimana pemahaman mereka. Dalam
hal ini, menurut pengamatan peneliti
pengaruh al-Asy’ari terhadap pemikiran
tersebut juga cukup penting untuk
diamati karena tidak dapat dimungkiri
bahwa dalam pemikiran al-Asy’ari,
Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Hal
ini tentu didasarkan pada argumen akal
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
dan nash. Bagi al-Asy’ari, hanyalah yang
tidak mempunyai wujudlah yang tidak
dapat dilihat. Setiap wujud mesti dapat
dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh karena
itu dapat dilihat. Argumen al-Qur’an
yang dikemukakannya antara lain:
“Wajah-wajah yang ketika itu berseriseri memandang kepada Allah” (QS. alQiyamah: 22-23).
Selanjutnya, dalam hal keadilan
Tuhan, Midang menyatakan bahwa
Allah adalah adil dan manusia wajib
berterima kasih kepada-Nya, meyakini
bahwa Allah adalah Maha Adil. Keadilan
diartikannya
“menempatkan sesuatu
pada tempat yang sebenarnya” (Midang.
Wawancara. 4 September 2013). Dengan
konsepsi keadilan ini, Hajjah Cahe
menyatakan bahwa tidak mungkin
Allah memasukkan seluruh manusia ke
dalam neraka atau memasukkan seluruh
manusia ke dalam Surga. Tuhan itu adil,
jikalau Ia memasukkan orang kafir ke
dalam neraka dan memasukkan orang
mukmin ke dalam Surga. Samsuddin
juga mengatakan bahwa tidak mungkin
Tuhan akan memasukkan orang mukmin
ke dalam neraka atau memasukkan orang
kafir ke dalam surga karena menurutnya,
neraka sudah dipersiapkan oleh Allah
untuk orang kafir dan surga adalah
tempatnya orang-orang yang beriman
(Hajjah Cahe. Wawancara. 5 September
2013). Dalam hal keadilan tersebut, Jufri
memberikan pandangannya bahwa Allah
tidak mungkin menganiaya seluruh umat
manusia, baik di dunia atau di akhirat
(Jufri. Wawancara. 28 September 2013).
Jelaslah bahwa manusia merupakan
makhluk yang lemah dan tidak dapat
berbuat apa-apa tanpa kemauan dan
kehendak
Allah.
Manusia
dalam
kelemahannya justeru banyak tergantung
kepada kehendak dan kekuasaan Allah
(Hamid. Wawancara. 22 September
2013). Akal manusia, menurut Senabe,
mempunyai daya yang lemah, akibatnya,
105
menjadikan manusia kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat pada dogmadogma. Dengan demikian, sangat sukar
untuk dapat mengikuti dan menerima
perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern, seperti
yang terjadi pada masyarakat di Bajo. Hal
ini dapat menjadi salah satu dari faktorfaktor yang memperlambat kemajuan
dan
pembangunan. Paham Jabariyah
yang berkembang dalam masyarakat
pelelangan ikan Bajo, seperti tentang
rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan
Tuhan, menjadikan manusia-manusia
enggan mengubah nasibnya sendiri dan
mengubah struktur masyarakat. Ia selalu
mempersalahkan takdir atas kemiskinan,
kebodohan, dan ketertinggalan, karena
minimnya pendidikan sehingga sulit
mengikuti perkembangan zaman (Sanabe.
Wawancara. 26 September 2013)
Namun demikian, sebagaimana
diungkapkan oleh Samsuddin dan Jufri
bahwa manusia dipandang mempunyai
daya yang besar lagi bebas untuk berbuat
termasuk keinginan untuk berusaha
atau berbisnis. Menurut peneliti, justeru
pandangan semacam ini sudah sesuai
dengan paham Qadariah. Term Qadariah
mengandung dua arti. Pertama: orangorang yang memandang manusia
berkuasa dan bebas dalam perbuatanperbuatannya. Dalam arti itu Qadariah
berasal dari qadara yakni berkuasa. Kedua:
Orang-orang yang memandang nasib
manusia telah ditentukan sejak azali.
Dengan demikian, qadara di sini berarti
menentukan, yaitu ketentuan Tuhan
atau nasib. Kaum Qadariah adalah kaum
yang memandang perbuatan-perbuatan
mereka diwujudkan oleh daya mereka
sendiri dan bukan oleh Tuhan. Di samping
itu, ada pula masyarakat
di pasar
pelelangan ikan Bajo yang berpandangan
bahwa perbuatan-perbuatan manusia
telah ditentukan Tuhan atau dalam
Teologi Islam dikenal dengan nama
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
106
MUHAMMAD HASBI
Jabariah. Sedangkan Qadariyah atau free
will mengandung faham kebebasan dan
berkuasanya manusia atas perbuatanperbuatannya.
Dalam paham Qadariyah manusialah yang menciptakan perbuatanperbuatannya, manusia berbuat baik
dan buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya (al-istita’ah)
untuk mewujudkan kehendak itu telah
terdapat dalam diri manusia sebelum
adanya perbuatan. Perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan pada diri
manusia, tetapi manusia sendirilah
yang mewujudkan perbuatan tersebut.
Perbuatan ialah apa yang dihasilkan
dengan daya yang bersifat baru.
Manusia adalah makhluk yang
dapat memilih. Keterangan-keterangan di
atas dengan jelas memperlihatkan bahwa
kehendak untuk berbuat adalah kehendak
manusia. Tetapi selanjutnya apakah
daya untuk mewujudkan perbuatan
merupakan daya manusia sendiri? Untuk
menjawab pertanyaan semacam ini
perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk
terwujudnya suatu perbuatan, harus ada
kemampuan ataupun kehendak dan daya
untuk melaksanakan kehendak tersebut
sehingga selanjutnya akan terwujud
suatu perbuatan.
Terkait hal tersebut, menurut
Jamil, manusia dalam melakukan
perbuatan tidak bisa terlepas dari dua
perbuatan, yakni perbuatan manusia
dan perbuatan Tuhan. Dalam perbuatanperbuatan ini terdapat dua unsur,
penggerak yang mewujudkan gerak
dan badan yang bergerak. Penggerak
sebagaimana dimaksud adalah pembuat
gerak yang sebenarnya (al-fa’il laha
‘ala haqiqatiha) yaitu Tuhan dan yang
bergerak adalah manusia. Jadi, manusia
merupakan tempat berlakunya perbuatan
Tuhan sebagaimana ditegaskan Jamil
dalam pandangannya (Jamil. Wawancara.
27 September 2013). Lebih lanjut Jamil
HARMONI
Mei - Agustus 2015
menyatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan manusia dan
daya untuk berbuat dalam diri manusia.
Perbuatan manusia terjadi dengan daya
Tuhan. Oleh karena itu, sebagai penegasan
perlu kembali dikemukakan bahwa untuk
terwujudnya perbuatan diperlukan dua
daya yakni daya Tuhan dan daya manusia.
Namun demikian, pada akhirnya daya
Tuhan lah yang berpengaruh dan efektif
dalam pewujudan suatu perbuatan.
Ini mempertegas bahwa daya manusia
tidaklah efektif jikalau tidak disokong
oleh daya Tuhan. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jikalau dikemukakan
bahwa daya manusia lebih merupakan
impotensi daripada merupakan hal lain
meskipun terdapat hubungan yang erat
di antara keduanya yakni manusia dan
perbuatan. Dengan demikian, pandangan
yang menyebutkan manusia sebagai
unsur yang menciptakan perbuatannya,
tentu tidak sepenuhnya tepat (Jamil.
Wawancara. 27 September 2013). Oleh
karena itu, perlu ada term baru yang
selaras dengan apa yang disebut dalam
al-Quran tentang hal ihwal perbuatan
manusia.
Lalu mengenai term kehendak
dalam paham Jabariyah mengenai upah
dan hukuman, mengandung arti bahwa
kemauan manusialah yang menentukan
pemakaian daya, baik dipergunakan
untuk kebaikan maupun kejahatan. Soal
salah atau benar dalam menggunakan
pilihan tersebut tentunya mengandung
dua konsekuensi, yakni memperoleh upah
atau hukuman. Namun dalam paham
Jabariyah, manusia tentu tidak dapat
melakukan pilihan, manusia tidak bebas,
tetapi berada di bawah paksaan daya yang
lebih kuat dari dirinya. Hal ini bermakna
di dalam kemauan manusia sebenarnya
adalah kemauan Tuhan dan perbuatan
manusia
sesungguhnya
merupakan
wujud kehendak Tuhan, bukan kehendak
manusia. Inilah yang kemudian dimaknai
sebagai fatalisme. Dalam Jabariyah,
manusia melakukan segala perbuatan
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
baik dan buruk, atas kehendak Tuhan,
tetapi tidak selamanya dengan kerelaan
Tuhan. Tuhan tidak menyukai manusia
berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat
baik atas kehendak Tuhan dan dengan
kerelaan hati Tuhan, dan sebaliknya,
benar bahwa manusia berbuat buruk
atas kehendak Tuhan, akan tetapi
tidak atas kerelaan Tuhan. Jadi, term
kehendak dalam pengertian tersebut
bukanlah bermakna kebebasan berbuat
sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan,
melainkan kebebasan berbuat sesuatu
yang tidak disukai Tuhan. Dengan kata
lain, kebebasan kehendak
manusia
hanya merupakan
kebebasan dalam
memilih antara apa yang disukai dan
apa yang tidak disukai. Konsepsi tentang
kebebasan ini jelaslah berbeda dengan
kebebasan menurut paham Qodariyah
yang
kadar
kebebasannya
dalam
menentukan kehendak relatif lebih kecil
dibandingkan dengan kebebasan dalam
paham Qadariyah.
Perbedaan lain yang terdapat
dalam kedua paham tersebut adalah
tentang daya yang dalam pandangan
Jabariyah ditegaskan bahwa daya untuk
berbuat tidaklah diciptakan sebelumnya
melainkan
bersama-sama
dengan
perbuatan yang bersangkutan. Daya
semacam ini tampaknya lebih kecil
dibandingkan daya yang dipahami
dalam teologi Qadariyah. Oleh karena
itu, konsepsi manusia di dalam paham
Jabariyah tidaklah sebebas manusia di
dalam paham Qadariyah.
Adapun tentang Jabariyah dalam
pandangan
Maturidiyah
golongan
Bukhara khususnya mengenai term
kehendak seperti halnya kehendak berbuat
adalah sama dengan term kehendak
yang dimaknai dan dipahami di dalam
paham golongan Samarkand. Mereka
juga mengikuti konsepsi kehendak
dan kerelaan hati Tuhan. Kebebasan
kehendak bagi golongan tersebut
dimaknai hanya sebagai kebebasan
107
untuk berbuat sesuatu tidak dengan
kerelaan hati Tuhan. Dalam konsepsi
daya juga sama, yaitu daya diciptakan
bersama-sama
dengan
perbuatan.
Namun demikian, kebebasan manusia
di dalam paham ini tidaklah sebesar
kebebasan yang memperoleh tempat
istimewa di dalam paham Qodariyah
karena
bagaimanapun,
perbuatan
manusia hanyalah bersifat melakukan
perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
sehingga manusia tidak mempunyai
daya untuk menciptakan. Daya yang ada
pada manusia bisa digunakan sebatas
untuk melakukan perbuatan. Hanya
Tuhan yang dapat mencipta, dan dalam
ciptaan-Nya tersebut adalah perbuatan
manusia. Dengan demikian manusia
hanya dapat melakukan perbuatan yang
telah diciptakan Tuhan baginya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
peneliti berpandangan bahwa kebebasan
manusia tidaklah mutlak sebab kebebasan
dan kekuasaan manusia dibatasi oleh
hal-hal
yang tidak dapat
dikuasai
oleh manusia sendiri, seperti halnya
manusia datang ke dunia ini sebagai
sebuah kejadian yang bukan merupakan
kemauan dan kekuasaan manusia.Tanpa
disadari dan diketahuinya, manusia telah
mendapati dirinya telah berada di dunia.
Demikian pula dalam hal kematian,
setiap orang pada dasarnya ingin terus
hidup, tetapi bagaimanapun kematian
tetap akan datang, sekarang atau besok.
Tidak
dapat
dimungkiri,
kebebasan dan kekuasaan manusia
sesungguhnya dibatasi oleh hukum alam.
Manusia tersusun antara lain dari materi
dan sifat materi adalah terbatas sehingga
menyesuaikan dengan unsur materinya
yang bersifat terbatas. Manusia, hidup
dilingkupi oleh hukum-hukum alam
yang diciptakan Tuhan dan hukum alam
ini tidak dapat diubah oleh manusia
sehingga manusia harus tunduk kepada
hukum alam tersebut, seperti halnya api,
sifatnya ialah membakar dan manusia
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
108
MUHAMMAD HASBI
tidak dapat mengubah sifat tersebut.
Hal yang dapat dibuat oleh manusia
adalah membuat atau menyusun sesuatu
yang tidak dapat dilahap api, meskipun
faktanya memang ada tubuh manusia
yang tidak terbakar jikalau tersentuh
oleh api. Peristiwa semacam ini dilihat
dari sudut pandang paham Qadariyah,
sebenarnya bukan api yang tidak dapat
membakar, melainkan ada tubuh tertentu
yang tidak dapat dibakar api. Peristiwa
ini dapat terjadi, tentu karena melalui
proses tertentu yang juga merupakan
suatu hukum alam yaitu melalui latihanlatihan tertentu seperti yang dialami oleh
seorang fakir di India, kakinya tidak
dapat dibakar oleh api.
Dengan
kemajuan
ilmu
pengetahuan manusia memang dapat
menyusun suatu zat yang tidak dapat
dibakar oleh api, seperti sebuah material
bernama asbestos. Proses tertentu yang
disusun dan dibuat oleh manusia dalam
material asbestos sehingga menjadikan
material tersebut tahan panas dan api,
sama halnya dengan tubuh manusia
yang tidak dapat dibakar api karena
telah melalui proses tertentu. Artinya, api
tetap mempunyai sifat membakar, tetapi
asbestos diciptakan manusia sebagai
material yang mempunyai sifat tahan api
sehingga asbestos tidak dapat dibakar
oleh api.
Uraian tersebut memperlihatkan
dengan jelas bahwa kebebasan dan
kekuasaan
manusia sesungguhnya
memang terbatas dan terikat oleh hukum
alam karena pada hakikatnya hukum alam
merupakan kehendak dan kekuasaan
Tuhan yang tidak dapat dilawan dan
ditentang manusia. Kebebasan manusia
hanyalah sebatas memilih hukum
alam mana yang akan ditempuh dan
diikutinya. Penegasan semacam ini
HARMONI
Mei - Agustus 2015
perlu dikemukakan mengingat paham
Qadariyah dapat disalahartikan sebagai
sebuah paham yang bermakna manusia
adalah bebas
sebebas-bebasnya dan
manusia dapat melawan kehendak dan
kekuasaan Tuhan
Penutup
Berdasarkan
pemaparan
di
atas, terdapat dua kesimpulan utama
dalam penelitian ini yakni: Pertama,
manusia adalah makhluk yang lemah
yang diciptakan oleh Allah Swt dan
dalam kelemahannya, manusia banyak
bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan
Tuhan.
Cara
pandang
semacam ini turut berkembang dalam
pandangan
masyarakat
Indonesia
khususnya dalam pandangan beberapa
orang warga masyarakat pelaku pasar
pelelangan ikan Bajo di Kabupaten Bone.
Kedua, sebagian besar masyarakat
pelaku pasar pelelangan ikan Bajo di
Kabupaten Bone terpengaruh oleh
paham Qadariyah dan sebagian lainnya
terpengaruh oleh paham Jabariyah, yakni
manusia tidak mempunyai kebebasan
untuk
menentukan
perbuatannya.
Ketiga, munculnya cara pandang yang
sejalan dengan teologi Qadariyah dan
Jabariyah dalam masyarakat pelaku
pasar pelelangan ikan Bajo di Kabupaten
Bone menandakan bahwa kedua paham
tersebut berpotensi menjadi salah satu
faktor penyebab maju dan mundurnya
umat Islam khususnya sebagaimana
tergambar dalam pandangan pelaku pasar
pelelangan ikan Bajo. Satu dari kedua
paham tersebut ada yang mendorong
umat Islam maju dan berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman dan ada
pula justeru dapat menyebabkan umat
Islam menjadi lemah dan mengalami
kemunduran.
PAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH PADA PELAKU PASAR PELELANGAN IKAN BAJO DI KABUPATEN BONE, PROVINSI SULAWESI SELATAN
109
Daftar Pustaka
al-Ghurabiy, Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah. Kairo: t.p; t.th.
al-Syahrastaniy, Muhammad ‘Abd. Al-Karim ibn Abiy Bakar Ahmad. Al-Milal wa alNihal. Kairo: Dar al-Fikr, t. th.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: al-Nahdah, 1965.
Ensiklopedi Indonesia. Jilid III, Jakarta: Icgtiar Baru-van Hoeve 1982.
Hans Wehr. A Dictionary of Modern Written Arabic, Mu’jam al-Lugah al-Arabiyah al-Mua’
shirah. Cet III; Bairut: Libanon: Librairie du liban, 1980.
Hasbi, Muhammad. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Mitra Cendekia, 2010
Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Jogjakarta: Ponpes al-Munawwir,
1984.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V. Jakarta:
UI Press, 1986.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2002.
Zaini,Hasan, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, Cet. I, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1997.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
110
SUHANAH
PENELITIAN
Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Suhanah
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail : [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 16 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This research employs case study method
with qualitative approach. The purpose
of this research is to figure out some
information related to al-Maghfurullah
Foundation cases consisting of: 1). Profile
of al-Maghfurullah Foundation; 2). Its
religious activities; 3). Chronology of alMaghfurullah Foundation is considered as
deviant religious teaching; 4). Government
and stakeholders efforts in solving alMaghfurullah Foundation cases. The result
of research shows that Kaharudin as the
leader of al-Maghfurullah Foundation and
teacher undertakes some deviant religious
teachings and practices that lead to social
upheaval and issue Indonesian Ulema
Council fatwa to handle development of
Kaharudin’s teaching. It can be seen that
no parties deal with this cases seriously,
comprehensively, systematically, and
continuously.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi kasus. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui berbagai
informasi yang berkenaan dengan kasus
Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi: 1).
Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2). Aktifitas
Keagamaannya; 3). Kronologi Yayasan
al-Maghfurullah di anggap menyimpang;
4). Upaya-upaya penanganan pemerintah
dan pihak terkait dalam penyelesaian
kasus Yayasan al-Maghfurullah. Dari
hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa:
Kaharudin sebagai pimpinan
Yayasan
al-Maghfurullah
sekaligus
sebagai mursyid (guru) dalam praktiknya
telah mengajarkan ajaran menyimpang.
Ajaran yang dikembangkan itu ternyata
mengandung sejumlah penyimpangan
yang kemudian menimbulkan keresahan
di kalangan masyarakat dan menyebabkan
keluarnya fatwa MUI yang tentang
ajaran yang dikembangkan Kaharudin.
Dalam penanganan kasus Yayasan alMaghfurullah belum terlihat adanya pihak
yang secara serius, komprehensif, sistemik
dan berkesinambungan dalam menangani
kasus semacam ini.
Keywords : Kaharuddin teachings, alMaghfirullah Foundation, Fatwa and
Social Upheavel
Pendahuluan
Dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Ajaran Kaharudin; Yayasan alMaghfurullah, Fatwa dan Keresahan Sosial.
Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014,
dinyatakan bahwa pembangunan bidang
agama merupakan pemenuhan salah satu
hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi,
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 28
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
dan 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan bidang agama merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pembangunan nasional yang bertujuan
untuk mewujudkan Indonesia damai,
adil, demokratis dan sejahtera.
Pembangunan
bidang
agama
tersebut sejalan dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025 yang mengamanatkan
agar pembangunan bidang agama
diarahkan pada pencapaian sasaran
pokok, yaitu terwujudnya masyarakat
Indonesia
yang
berakhlak
mulia,
bermoral, beretika, berbudaya dan
beradab (Balitbang, 2010: 1).
Pembangunan
bidang
agama
telah
dapat
dikatakan
mencapai
hasil yang cukup baik, tetapi masih
terdapat sejumlah permasalahan yang
membutuhkan penanganan yang lebih
serius dan terprogram. Permasalahan
yang dihadapi antara lain: masih terdapat
kesenjangan pemahaman keagamaan dan
harmonisasi sosial serta kerukunan di
kalangan umat beragama belum optimal.
Fenomena munculnya berbagai
pemikiran, paham, aliran dan gerakan
keagamaan di Indonesia beberapa tahun
terakhir ini, di satu sisi dapat dinilai
positif, sebagai salah satu indikator
kebebasan beragama di negeri ini
yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Namun di sisi lain,
kebebasan
dalam
mengekspresikan
kebebasan beragama tersebut seringkali
menimbulkan keresahan masyarakat
yang pada akhirnya berhadapan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku yaitu Penetapan Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama.
Perkembangan kehidupan keagamaan tersebut antara lain disebabkan
karena faktor internal dan eksternal.
111
Faktor internal antara lain disebabkan
adanya perbedaan penafsiran terhadap
pokok-pokok ajaran agama, paradigma
pemikiran yang dipergunakan dalam
menafsirkan, dan penekanan pengamalan
agama secara eksklusif yang hanya
mengakui paham mereka saja yang benar,
sedangkan paham lainnya dianggap sesat
dan kafir. Sedangkan faktor eksternal
adalah pengaruh pemikiran dari luar
seperti pemikiran yang dianggap liberal
dalam mamahami teks-teks agama,
maupun cara merespon terhadap realitas
kehidupan yang berkembang dewasa ini.
Dalam realitasnya, perbedaan tersebut
telah menimbulkan berbagai aliran
dan paham keagamaan. Aliran-aliran
tersebut ada yang masih dapat ditolerir
oleh kelompok mainstream, dan ada pula
yang dianggap menyimpang bahkan
sesat, seperti yang dialami oleh Yayasan
al-Maghfurullah yang ada di Kabupaten
Cirebon
(http://news.liputan6.com/
r e a d / 2 0 3 6 3 3 3 / wa r g a - s e g e l - r u m a h diduga-aliran-sesat, diakses 16 Agustus
2014).
Terkait
dengan
aktivitas
keagamaannya, Yayasan al-Maghfurullah
ini berawal dari aktivitas pengajian
tengah malam berupa ceramah dan tanya
jawab yang bertempat di Desa Klayan
Blok Alhidayah Kebon Jero, RT 12, RW 3
dan RT 13, RW 4 Kecamatan Gunungjati,
Kabupaten
Cirebon.
Pimpinannya
bernama Kaharudin yang berasal dari
Kecamatan
Haurgeulis,
Kabupaten
Indramayu
(Keluarga
Az-Zaitun
Indramayu).
Sebagaimana diketahui bahwa
sejumlah
mantan
pengikut
alMaghfurullah melaporkan pimpinan
al-Magfurullah yakni Kaharudin ke
MUI dan ormas Islam, dengan tudingan
mengajarkan
aliran
sesat,
seperti
melarang pengikutnya untuk melakukan
silaturahim kepada orang tuanya dan
pengakuan Kaharudin sebagai sosok suci,
bahkan menganggap dirinya sebagai
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
112
SUHANAH
tuhan. Sejumlah massa dari berbagai
ormas Islam pada selasa 25 Februari 2014
mendesak MUI untuk mengeluarkan
fatwa yang menegaskan bahwa Yayasan
al-Maghfurullah merupakan aliran sesat.
Pada akhirnya, tanggal 27 April
2014, Kaharudin dipanggil Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon,
selain meminta klarifikasi secara personal,
juga mengkonfrontir Kaharudin dengan
sejumlah mantan pengikutnya (Danus
dan Faturrahman. Wawancara. 9 Oktober
2014). Kedatangan Kaharudin di Kantor
MUI Kabupaten Cirebon pun sempat
disambut emosi para mantan pengikut
dan sejumlah aktifis yang menunggu
di halaman Kantor tersebut. Namun
berkat pengawalan ketat polisi, emosi
massa dapat diredam dan dikendalikan.
Puluhan polisi berdatangan terlebih
dahulu dengan menggunakan dua mobil
Dalmas untuk mengantisipasi hal-hal
yang tidak diinginkan.
Ketua
Bidang
Hukum
dan
perundang-undangan MUI Kabupaten
Cirebon, KH. Mukhlisin Munzari
mengatakan bahwa Kaharudin datang
dengan ditemani sekitar tujuh orang
pengikutnya untuk melakukan klarifikasi
atas tudingan tersebut. Semua hasil
klarifikasi dan konfrontasi antara
Kaharudin dan mantan pengikutnya
akan menjadi bahan rapat MUI untuk
menentukan fatwa yang akan dikeluarkan.
Berdasarkan keterangan yang berhasil
dikumpulkan MUI sejauh ini, Kaharudin
hampir dipastikan bahwa ia melakukan
penyimpangan dalam cara mengajarkan
syariat Islam kepada pengikutnya.
Namun terkait isi dari ajaran tersebut,
MUI masih belum menemukan hal-hal
yang menyimpang.
Menurut Mukhlisin, satu poin
krusial yang bisa menjadi dasar bagi MUI
untuk memfatwakan al-Maghfurullah
sebagai aliran yang menyimpang
adalah
larangan
dari
Kaharudin
terhadap pengikutnya untuk menemui
HARMONI
Mei - Agustus 2015
orangtuanya. Namun sejauh ini Kaharudin
membantah adanya larangan itu, bahkan
ia mengaku selalu mengingatkan untuk
bersilaturahim kepada orang tuanya,
akan tetapi pengikutnya sendiri yang
tidak mau menemui orang tuanya.
Terkait dengan hal tersebut, salah
seorang mantan pengikut Kaharudin, Sri
Miyati (58 Tahun) mengatakan bahwa
lima orang anak saya sudah mengikuti
Aliran Kaharudin sejak tahun 2008 dan
sejak itulah mereka tidak pernah mau
datang menemui kedua orangtuanya.
Ketika ditanyakan, jawabannya tidak
diperbolehkan oleh Kaharudin, karena
menurutnya belum waktunya untuk
pulang.
Dalam hal lain, menurut Ibu
Sri, dirinya juga sempat diajak oleh
anak-anaknya untuk ikut dalam aliran
ini, namun baru beberapa hari saja ia
merasakan
banyak
penyimpangan.
Salah satu penyimpangannya adalah
ketika sepasang suami isteri hendak
berhubungan intim, ia harus meminta
izin terlebih dahulu kepada Kaharudin.
Akhirnya ibu Sri pun memutuskan untuk
ke luar dari al-Maghfurullah dan berhasil
mengajak empat anaknya ikut ke luar.
Namun demikian masih ada anak ketiga
dari Ibu Sri yang tidak mau ke luar dan
masih setia mengikuti Kaharudin yaitu
Alimi. Pada saat Kaharudin datang
ke MUI, anaknya ikut mendampingi
Kaharudin, namun saat diajak pulang,
sebagaimana pengakuan ibu Sri, ia
tidak mau sepertinya ia dihipnotis dan
tidak mau mendengarkan kata-kata
orang tua serta saudara-saudaranya
(http://www.pikiran-rakyat.com/jawabarat/2014/02/27/271839/kaharudin-danmantan-pengikutnya-bersitegang-dimui, diakses 15 Agustus 2014).
Sementara itu, Ketua Aliansi
Masyarakat Nahi Munkar (Almanar)
Cirebon, Andi Mulya mendesak agar
MUI tetap mengeluarkan fatwa sesat bagi
al-Maghfurullah. Mengingat keterangan
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
belasan mantan pengikut lebih kuat
daripada bantahan Kaharudin. Menurut
Andi, biarkan saja mereka membantah
tuduhan itu, karena menurutnya, maling
memang tetap tidak mau mengaku,
dan yang jelas terbukti adalah sudah
banyaknya kesaksian tentang paham
yang diajarkan Kaharudin. Andi Mulya
pun menuturkan bahwa apabila MUI
memang tidak mau mengeluarkan fatwa
sesat, Aliansi Masyarakat Nahi Munkar
tidak menjamin apabila warga sekitar
Yayasan al-Maghfurullah marah dan
main hakim sendiri karena Kaharudin
sudah lama meresahkan masyarakat.
Terlebih lagi setelah banyak pengikutnya
yang ke luar dan mengadukan ajarannya
kepada masyarakat (CNS. Wawancara. 28
Februari 2014).
Sugeng Prasojo (Sekretaris Yayasan
al-Maghfurullah) menegaskan bahwa
tuduhan gurunya mengaku tuhan adalah
fitnah sebab masjid ini tentu saja bersifat
terbuka untuk umum dan semua orang
boleh melaksanakan ibadah sholat di
masjid ini, namun warga setempatlah
yang tidak mau datang ke sini.
Apa yang ditegaskan Sugeng itu
bertentangan dengan apa yang dikatakan
oleh mantan pengikut al-Maghfurullah
dan masyarakat setempat, karena
menurut penuturan tetangga depan
Yayasan al-Maghfurullah yang bernama
Le (pedagang sapi). Ia mengatakan
bahwa ketika tamunya yang berasal
dari Jakarta datang untuk membeli sapi,
kemudian ingin melaksanakan sholat di
Masjid Yayasan al-Maghfurullah tidak
diperbolehkan bahkan ditanyakan KTPnya. Hal yang sama dialami oleh salah
seorang petani yang tinggal di daerah
Klayan yang mengalami pelarangan
untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat
di Masjid Yayasan al-Maghfurullah. Oleh
karena itu, berdasarkan informasi tersebut
dapat dikemukakan bahwa aktivitas
keagamaan yang dilakukan Yayasan alMaghfurullah bersifat tertutup. Terkait
113
dengan klarifikasi ini, selanjutnya Sugeng
menjelaskan bahwa Kaharudin dan
pengurus lainnya yang juga didampingi
oleh beberapa santri telah menghadiri
undangan MUI Kabupaten Cirebon
terkait tuntutan dikeluarkannya fatwa
sesat terhadap Yayasan al-Maghfurullah
dan pihaknya menyerahkan sepenuhnya
kepada hasil kajian MUI. Atas dasar uraian
tersebut, maka peneliti memandang
perlunya dilakukan penelitian untuk
mengkaji Ajaran Kaharudin di Yayasan
al-Maghfurullah yang terdapat di
Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1). Bagaimana Profil
Yayasan al-Maghfurullah? 2). Bagaimana
Aktifitas Keagamaannya? 3). Bagaimana
Kronologi Yayasan al-Maghfurullah
dianggap menyimpang? 4). Bagaimana
upaya penanganan pemerintah dan pihak
terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan
al-Maghfurullah?.
Oleh karena itu, mengacu pada
rumusan permasalahan tersebut maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui berbagai informasi yang
berkenaan dengan persoalan-persoalan
Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi:
1). Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2).
Aktifitas Keagamaannya; 3). Kronologi
Yayasan al-Maghfurullah di anggap
menyimpang;
4).
Upaya-upaya
penanganan pemerintah dan pihak
terkait dalam penyelesaian kasus Yayasan
al-Maghfurullah.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan
model penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Adapun data
yang dihimpun dalam penelitian ini
meliputi: 1). Latar belakang keberadaan
Yayasan al-Maghfurullah dianggap sesat;
2). Profil Tokoh/Pimpinan Yayasan alJurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
114
SUHANAH
Maghfurullah; 3). Aktifitas keagamaan
Yayasan
al-Maghfurullah
yang
dipermasalahkan; 4). Keterkaitannya
terhadap lembaga keagamaan lain; 5).
Penanganan yang dilakukan aparatur
pemerintah dan organisasi keagamaan
terhadap kasus Yayasan al-Maghfurullah
tersebut; 5). Metode pengajarannya.
Selanjutnya, pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan melalui
kajian pustaka, wawancara mendalam
serta pengamatan lapangan. Kajian
pustaka dilakukan baik sebelum maupun
sesudah pengumpulan data lapangan.
Sedangkan wawancara dilakukan dengan
tokoh-tokoh yang terlibat antara lain:
Pimpinan Yayasan al-Maghfurullah,
pengikutnya baik yang masih aktif
maupun yang sudah keluar dari yayasan,
Pengurus MUI Kabupaten Cirebon, Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/
Kota, Kepala KUA, Kepala Desa, MUI,
FKUB, Polres, Polsek (Kepolisian),
Kepala Dusun, tetangga terdekatnya,
masyarakat sekitar, dan lain-lainnya.
Sedangkan
pengamatan
dilakukan
secara langsung yakni melihat Masjid
dan rumah-rumah yang ada di Yayasan
al-Maghfurullah
serta
pengamatan
mengenai bagaimana interaksi sosial
mereka terhadap masyarakat. Semua
informasi yang didapat, catatan yang
berhasil
dikumpulkan,
kemudian
diinventarisasi, seleksi dan koreksi,
klasifikasi, komparasi, interpretasi, dan
ditarik beberapa kesimpulan pokok yang
bersifat umum dan menyeluruh.
Beberapa penelitian Puslitbang
Kehidupan Keagamaan tentang kasuskasus aktual kehidupan keagamaan telah
banyak dilakukan dan kasus-kasus terbaru
yang sudah dilakukan di antaranya
adalah:
Asnawati, “Penandatanganan
Deklarasi Damai Kasus Pengikut Tajul
Muluk di Sampang”. Hasil penelitiannya
menunjukan adanya deklarasi damai
antara kedua belah pihak yang disinyalir
HARMONI
Mei - Agustus 2015
hanya sebuah rekayasa yang dilakukan
dengan mengatasnamakan sebagai wakil
dari warga Sampang. Hal ini nampak
dalam deklarasi damai tersebut yang
tidak melibatkan tokoh agama setempat,
aparat pemda setempat dan Kementerian
Agama Kabupaten Sampang (Asnawati,
2012). Asnawati dan Suhanah, “Kasus
Penyimpangan Tariqat At-Tijaniyah oleh
Sumarna, di Sukabumi, Jawa Barat”.
Hasil penelitian menyatakan bahwa
penyimpangan Aliran Tariqat AtTijaniyah oleh Sumarna antara lain
meliputi: 1). Menggantikan sholat subuh
dengan shalat duha; 2). Meniadakan
sholat Jumat bagi dirinya sendiri, karena
beranggapan bahwa dirinya telah suci
dan disucikan Allah sehingga berakibat
terjadinya suatu pembakaran rumah
pengikut aliran At-Tijaniyah Sumarna
dan terjadinya pembunuhan saudara
Ustadz Edin (sepupu dari Sumarna)
(Asnawati dan Suhana, 2012). Suhanah,
“Potret Radikalisasi Gerakan Keagamaan:
Studi Kasus Organisasi GARDAH di Kota
Cirebon, Jawa Barat”. Hasil penelitian
menyatakan bahwa GARDAH bergerak
dalam
penanganan
Aliran
sesat,
pemurtadan, perjudian dan minuman
keras, bekerjasama dengan organisasi
lainnya, terutama pihak Al-Manar
(Aliansi Masyarakat Nahi Munkar).
Penanganannya
terhadap
kasus
pemurtadan dan aliran sesat, berakibat
para pelakunya menghadapi persoalan
hukum.
Sedangkan
penanganan
terhadap peredaran minuman keras dan
perjudian berdampak pada penutupan
tempat penjualan minuman keras. Hal
tersebut diperkuat dengan pengesahan
Perda Pelarangan Minuman keras oleh
Walikota setempat (Suhana, 2012). Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama RI,
“Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan
Keagamaan Bermasalah di Indonesia”,
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa
indikator aliran dan gerakan keagamaan
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
bermasalah antara lain: 1). Otoritas
penafsiran mutlak pada keinginan
sang Imam/pemimpin; 2). Kegiatannya
membahayakan bagi diri dan penganut
serta warga masyarakat lainnya; 3).
Mengaku menerima wahyu; 4). Mengaku
sebagai Nabi; 5). Menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal;
6). Ada struktur dan aturan yang ketat
yang mutlak diikuti dan ditaati oleh
anggota yang tidak berdasar dari teks
dan konteks wahyu; 7). Berlebihan dalam
mengamalkan ajaran agama keluar
jauh dari teks dan konteks wahyu; 8).
Aktivitasnya ekslusif (menutup diri).
Hasil dan Pembahasan
Profil Yayasan al-Maghfurullah
Berdasarkan penuturan beberapa
orang
mantan
pengikut
Yayasan
al-Maghfurullah,
Kaharudin
yang
disebut sebagai mursyid di yayasan
tersebut, berasal dari Indramayu. Ia
pernah mengenyam pendidikan SD dan
diteruskan ke SMP dan SMA persamaan.
Ia juga pernah belajar di Az-Zaitun NII
KW IX Indramayu selama 20 tahun lebih.
Karena dia ingin belajar Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, maka ia keluar
dari Az-Zaitun dengan membawa uang
sebanyak Rp. 40.000.000. Di Indramayu,
Kaharuddin belajar tarekat kepada
gurunya yang bernama Syekh Muruddin
selama 1 tahun. Setelah itu, ia pergi
ke Cirebon di Desa Klayan. Dari uang
40.000.000 tersebut Kaharuddin membeli
sebuah rumah kecil di Villa Intan dengan
ukuran 5x6 lalu membuka warung kecilkecilan untuk isterinya berdagang. Sisa
uangnya kemudian dijadikan modal
untuk berdagang bunga di mall. Namun
usahanya ini tidak beruntung alias
bangkrut sehingga Kaharuddin tidak
mempunyai pekerjaan dan bersama
isterinya berjualan di warung tersebut
(Danus dan Yopri. Wawancara. 8 Agustus
2014).
115
Menurut salah seorang pengikutnya
yang masih aktif sampai sekarang,
diperoleh informasi bahwa tempat
tinggal Kaharudin bermula dari rumah
ukuran 5x6. Pada tahun 2002-2005, ia
mengajak beberapa kenalannya untuk
melakukan pengajian di rumahnya.
Awalnya hanya dua orang yaitu Zakaria
dan Danus yang tertarik mengaji
bersamanya. Ketertarikan keduanya ini
disebabkan oleh pengajaran Kaharuddin
tentang tarekat, yang hakekat materinya
adalah tentang nafsu yang intinya adalah
tidak boleh mengumbar nafsu, dan harus
hidup sederhana, bersikap disiplin dalam
segala hal terutama sholat tepat waktu,
istiqomah dan harus melaksanakan
sholat sunat malam serta berdzikir hingga
menjelang shubuh.
Dari kedua orang yang ikut
pengajian inilah, kemudian jumlah
orang yang hadir mengikuti pengajian
bertambah menjadi 13 orang. Seiring
waktu berjalan terus, orang yang ikut
pengajian meningkat menjadi sebanyak 25
orang. Semakin hari pengajian pimpinan
Kaharuddin ini semakin bertambah
sehingga ia bersama jamaahnya mulai
memikirkan tempat yang lebih luas
dikarenakan rumah di villa intan tersebut
sudah tidak dapat menampung orangorang yang ingin belajar di pengajian
tersebut (Zakaria. Wawancara. 10 Agustus
2014).
Di pengajian yang dilaksanakan di
Villa Intan ini, pimpinan menganjurkan
jamaahnya
untuk
mengumpulkan
sumbangan per orang sebesar 500 ribu
rupiah dan untuk suami isteri sebesar 1
juta rupiah. Dari 25 pengikut ini kemudian
terkumpul uang sebesar 25 juta rupiah.
Dikarenakan uang yang terkumpul baru
sebesar 25 juta, maka dilakukan kembali
pengumpulan uang yang dilakukan oleh
para pengikut hingga terkumpul uang
sebesar 61 juta. Dengan uang sebesar 61
juta inilah, dibelikan tanah seluas 1.289
meter dan diniatkan untuk membangun
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
116
SUHANAH
sebuah masjid di Desa Klayan sebagai
tempat
pengajian
dan
aktivitas
keagamaan yang diajarkan Kaharudin.
Selanjutnya, cara pengumpulan
dana di antara para jemaah pengikut
Kaharudin ini dipandang tidak efektif
dan hanya berlangsung hingga tahun
2007, maka Zakaria mendapatkan
masukan dari seseorang bahwa untuk
mengumpulkan dana pembangunan
masjid disarankan membuat yayasan.
Dengan yayasan inilah kemudian
dibuatlah proposal pembangunan masjid
sesuai dengan tujuan yang diharapkan
jamaah pengajian. Sejak itulah mulai
disusun kepengurusan yayasan yang
digerakan oleh Zakaria dan Danus atas
perintah pimpinan.
Pada Tahun 2008, berdasarkan akta
notaris No. 01 yang ditanda tangani oleh
Ruli Mastuti, notaris Kabupaten Cirebon,
pada tanggal 11 September tahun 2008,
yayasan tersebut berdiri dengan aset
tanah seluas 1000 meter. Yayasan ini diberi
nama al-Maghfurullah yang berkantor
pusat di Jalan Soban, Blok Kebon Jero,
Rt 15 Rw 04, Desa Klayan, Kecamatan
Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.
Dari kepengurusan yang ada,
Kaharuddin tidak termasuk di dalam
struktur organisasi, baik sebagai pembina,
pengurus maupun pengawas. Kaharudin
hanya berperan sebagai seorang Mursyid
(guru) di al-Magfurullah. Meskipun
demikian, pada pelaksanaan kegiatan
sehari-harinya
kedudukan
mursyid
ini lebih tinggi dari semua pengurus
yang ada di dalam susunan organisasi
tersebut. Dalam kapasitas tersebut,
Kaharuddin diposisikan sebagai Mursyid
(guru yang diakui oleh para jamaahnya
sebagai pimpinan mereka), sehingga
kepengurusan yang ada hanya merupakan
simbol saja dikarenakan semua aktifitas
di al-Magfurullah, mulai dari pengajian
sampai pembangunan sarana dan
prasarana. Kaharudin dapat menunjuk
siapapun untuk menjadi pengurus atau
HARMONI
Mei - Agustus 2015
mewakili mursyid dalam bertindak. Hal
ini dikarenakan kedudukan dan peran
Kaharuddin sebagai khalifah sesuai
dengan perintah nasab ( Syeh Abdul Qadir
Djaelani) sebagaimana hasil tawasulnya
dengan nasab tersebut (Yopry, Danus,
Zakaria dan Sugeng. Wawancara. 10
Agustus 2014).
Dengan berdirinya yayasan ini
secara sah di notaris, maka niatan untuk
membangun masjid di Desa Klayan di
atas tanah 1000 meter tersebut mulai
dirancang. Pada awalnya lokasi tersebut
merupakan daerah terisolasi dan jauh dari
pemukiman penduduk bahkan terkesan
hutan dan tidak ada jalan. Namun,
berkat Danus dan Zakaria dilakukan
pengurukan tanah selama 4 tahun untuk
membuat jalan aspal yang tadinya hanya
jalan setapak untuk menuju ke lokasi
masjid yang akan dibangun. Sementara
itu, Kaharuddin dan semua muridnya
mulai mencari dana dengan membuat
proposal permohonan bantuan dana
pembangunan masjid dan majelis taklim,
melalui zakat, infak, shodaqoh dan wakaf
atas nama Yayasan al-Magfurullah yang
ditujukan ke berbagai pihak, baik di
jalan-jalan maupun ke rumah-rumah
penduduk (dor to dor). Pencarian dana
tersebut dilakukan di kota Cirebon dan
sekitarnya hingga ke daerah Bandung
dan Jakarta. Selain rencana pembangunan
masjid, Yayasan al-Maghfurullah juga
mempunyai
program
pembebasan
tanah dan tanah itu akan dipergunakan
untuk kepentingan sarana pendidikan,
pemberdayaan ekonomi umat, peduli
yatim piatu dan kaum dhuafa.
Di samping itu, Kaharudin juga
menyelenggarakan sebuah kegiatan
berupa pengajian malam hari yang
dilakukan pada setiap malam jumat,
malam sabtu dan malam minggu. Dalam
melakukan pengajian tersebut, kitab yang
dipakai oleh Kaharuddin berpedoman
kepada kitab al-Quran dan Kitab Munjiat.
Metode yang digunakan dalam pengajian
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
ini adalah ceramah, yaitu Kaharudin
menyampaikan suatu materi pada saat
pertemuan berlangsung, setelah materi
disampaikan, kemudian dilakukan tanya
jawab kepada murid-muridnya. Dalam
pengajian ini materi yang disampaikan
meliputi: penggalangan dana, yang wajib
dilakukan bagi setiap pengikut dan ia
mengajarkan tentang hidup sederhana,
bersikap disiplin, sholat tepat waktu,
menahan hawa nafsu, taat pada pimpinan
dan melakukan sholat sunat malam
secara rutinitas, sehingga banyak orang
yang tertarik mengikuti ajarannya (Alimi.
Wawancara. 12 Agustus 2014).
Selain itu dalam pengajiannya juga
ada materi lain yang disampaikan oleh
Kaharudin yaitu meliputi: 1). Kaharudin
melarang pengikutnya untuk menemui
orang tuanya yang tidak sepaham
dengannya; 2). Yayasan al-Maghfurullah
dalam
melakukan
aktivitasnya
bersifat ekslusif; 3). Orang yang bukan
pengikutnya tidak boleh bertemu dengan
guru (Mursyid); 4). Dalam pengajarannya
Kaharudin mengaku Mahdi, Rasul dan
Tuhan; 5). Menganggap kafir kepada
murid yang ke luar atau tidak sepaham
dengan gurunya; 6). Melarang muridnya
melaksanakan sholat di tempat lainnya;
7). Semua ibadah muridnya harus izin
dengan gurunya; 8). Bagi murid yang
taat pada pimpinan, jaminannya surga,
juga sebaliknya yang tidak taat sanksinya
neraka; 9). Mewajibkan murid dalam
setiap sholatnya membayangkan di
hadapannya wajah guru (Faturrohman
dan Yopry. Wawancara. 12 Agustus 2014).
Dengan melihat ajaran-ajaran yang
disampaikan Kaharudin itu, ternyata
ada penyimpangan sebagaimana yang
disebutkan di atas, seperti kriteria yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
yaitu mengkafirkan orang muslim yang
tidak sepaham dengannya, adalah aliran
bermasalah. Adapun 10 kriteria tersebut
yaitu: 1). Mengingkari salah satu dari
rukun iman dan rukun Islam; 2). Meyakini
117
dan atau mengikuti akidah yang tidak
sesuai dengan dalil syar’i (al-Quran
dan as-sunah); 3). Meyakini turunnya
wahyu setelah al-Quran; (4) Mengingkari
otentisitas dan atau kebenaran isi alQuran; 5). Melakukan penafsiran alQuran yang tidak berdasarkan kaidahkaidah tafsir; 6). Mengingkari kedudukan
hadis Nabi Muhammad Saw sebagai
sumber ajaran Is-lam; 7). Menghina,
melecehkan dan atau merendahkan para
nabi dan rasul; 8). Mengingkari Nabi
Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul
terakhir; 9). Mengubah, menambah dan
atau mengurangi pokok-pokok ibadah
yang telah ditetapkan oleh syari’ah,
seperti haji tidak ke Baitullah, sholat
fardlu tidak 5 waktu; 10). Mengkafirkan
sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti
meng-kafirkan muslim hanya karena
bukan kelompoknya.
Kronologi Yayasan
Diduga Sesat
al-Magfurullah
Kasus adanya tuduhan terhadap
Yayasan al-Magfurullah yang diduga
sesat, sesungguhnya sudah muncul sejak
tahun 2012, demikian diungkapkan oleh
Bahruddin selaku Ketua Umum MUI
Kabupaten Cirebon. Pada waktu itu,
Faturrohman salah seorang mantan murid
Kaharuddin di Yayasan al-Magfurullah
melaporkan kepada MUI pada tanggal
12 Oktober 2012 tentang ajaran gurunya
yang bernama ajaran Kaharudin. Ajaran
tersebut bertentangan dengan akidah
dan syariat Islam. Ajaran yang dianggap
bertentangan tersebut antara lain: 1).
Kaharuddin mengaku sebagai Imam
Mahdi dan sebagai Syeh Abdul Qodir
Djailani; 3). Ibadah murid harus seizin
guru; 4). Murid dilarang berguru pada
kyai lain, 5). Murid dilarang membaca
kitab-kitab lain tanpa seizin guru; 6).
Memutuskan hubungan antara anak
dengan orang tua yang tidak sepaham
dengan gurunya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
118
SUHANAH
Dengan
adanya
pengaduan
tersebut MUI berusaha untuk memanggil
Kaharudin dan meminta klarifikasi
atas tuduhan Faturrohman. Namun
yang hadir hanya muridnya saja dan
membantah semua tuduhan yang
disampaikan oleh Faturrahman. Selain
Faturrahman, beberapa murid Kaharudin
lainnya dengan alasan yang berbeda-beda
juga memilih ikut keluar dari Yayasan alMaghfurullah.
Pada awal Februari tahun 2014, ada
lagi seorang mantan pengikut Yayasan alMaghfurullah yaitu Danus yang keluar
dari Yayasan al-Maghfurullah dengan
alasan gurunya telah menyimpang dalam
memberikan pengajaran kepada muridmuridnya. Menurut penuturan Danus,
hal yang dianggap menyimpang antara
lain: 1). Memutuskan silaturahmi dengan
kedua orangtua; 2). Mengharuskan
kepada muridnya ketika melakukan
sholat, membayangkan seolah-olah di
depannya ada mursyid atau gurunya
(Kaharudin); 3). Jangan melakukan sholat
sunah sebelum mendapatkan perintah
dari Kaharudin, walaupun sholat
sunah itu dilaksanakan secara rutin; 4).
Dalam melaksanakan puasa baik wajib
maupun sunah pada jam setengah enam
sudah melakukan buka puasa, karena
menerapkan fajar sidik. 5). Kaharudin
mengaku Imam Mahdi; 6). Kaharudin
mengaku Nabi; 7). Kaharudin mengaku
Tuhan.
Sedangkan menurut penuturan
mantan
pengikut
lainnya
ajaran
Kaharudin yang dianggap menyimpang
adalah: 1). Setiap murid diwajibkan dalam
sholatnya seolah-olah di hadapannya
ada Kaharudin; 2). Orang yang bukan
muridnya tidak boleh bertemu dengan
Kaharudin; 3). Hubungan dengan
masyarakat sekitar di luar pengikutnya
adalah haram; 4). Orang yang sudah
belajar dengan Kaharudin tidak boleh
lagi belajar dengan guru lain (Rodjai dan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Sihabuddin. Wawancara. 13 Agustus
2014).
Dengan melihat uraian tersebut di
atas, berdasarkan penuturan dari para
mantan pengikut yang keluar, maka
kondisi tersebut meresahkan warga
yang berada di sekitar Yayasan alMaghfurullah. Akibatnya ratusan warga
Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati,
Cirebon bersama sejumlah anggota ormas
Islam Cirebon yang tergabung dengan
ALMANAR (Aliansi Masyarakat Nahi
Munkar) melakukan aksi penutupan
paksa terhadap aliran sesat yang berkedok
Yayasan al-Maghfurullah pada tanggal 3
Maret 2014. Warga dan sejumlah ormas
Islam melakukan penggrebekan karena
sudah geram mendengarkan laporan dari
para mantan pengikut Kaharudin. Untuk
menghindari amukan massa, akhirnya
Kaharudin diamankan Kapolres Cirebon.
Setelah terjadinya penyerbuan,
Kaharudin
diamankan
Kapolsek
Kabupaten Cirebon dan dibawa ke Polres
Kota Cirebon, kemudian dikembalikan
sekitar pukul 17.00 hingga pukul 22.00
dikarenakan tidak ada bukti-bukti yang
menjadi dasar penahanan Kaharudin.
Selanjutnya
pasca
pemanggilan
Kaharudin oleh MUI dan setelah dilakukan
konfrontir dengan mantan pengikutnya
yakni Faturrohman serta pengkajian atas
hasil dari laporan para mantan, maka
berdasarkan hal tersebut, keluarlah fatwa
MUI tertanggal 03 Maret 2014 dengan
Nomor: 20/MUI/Kab.,Cbn/III/2014,
yang memutuskan bahwa: 1). Sanad
dan Matan/Wirid Thariqat Qadiriyah
Naqsabandiyah Yayasan al-Maghfurullah
Desa Klayan termasuk mu’tabarah
yang sama dengan thariqat lainnya;
2). Guru/Mursyid Thariqat Qadiriyah
Naqsabandiyah al-Maghfurullah tidak
memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh ahli thariqat seperti tercantum dalam
kitab Tanwirul Qulub; 3). Guru/Mursyid
Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah
al-Maghfurullah
menafsirkan
ayat-
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
ayat al-Quran tidak menggunakan
kaidah-kaidah tafsir; 4) Guru/Mursyid
Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah
Al-Maghfurullah Desa Klayan, apabila
mengaku Mahdi, Ghauts dan Rasul
serta memandang kafir/murtad kepada
murid yang keluar atau orang lain
yang tidak sepaham dengan ajarannya
adalah
menyimpang
dari
aqidah
Islamiyah; 5). Guru/Mursyid Thariqat
Qadiriyah Naqsyabandiyah Yayasan
al-Maghfurullah Desa Klayan, apabila
mewajibkan murid dalam setiap shalatnya
membayangkan wajah guru dengan
memasang foto guru di depan sajadah
dan melarang atau mengharamkan
silaturahim dengan orang tua atau orang
lain yang tidak sepaham atau menentang
ajarannya maka jelas bertentangan
dengan syariat Islam.
119
kalau murid taat pada guru balasannya
adalah surga; 6). Bagi murid yang tidak
taat pada guru, sanksinya neraka dan
mendapatkan kecelakaan (Masruri dan
Danus. Wawancara. 13 Agustus 2014).
Namun demikian, hal yang sangat
disayangkan adalah peneliti tidak bisa
bertemu dengan Kaharudin selaku
pimpinan Yayasan al-Maghfurullah,
karena menurut para mantan pengikut
maupun keterangan dari Polsek Cirebon,
beliau sekarang ini keberadaannya masih
dirahasiakan oleh pihak Polres Cirebon
dikarenakan situasi masyarakat yang
belum kondusif.
Dampak Peristiwa Penyerangan dan
Upaya Pemerintah dalam Penanganan
Kasus Yayasan al-Maghfurullah
Alasan Pengikut yang Masih Tetap
Bertahan dan Memilih Keluar dari
Yayasan al-Maghfurullah
Bagi yang tetap memilih untuk
bertahan, terdapat beberapa alasan
yaitu: Dengan belajar di Yayasan alMaghfurullah, merasa ada ketenangan
batin, yang tadinya sakit-sakitan menjadi
sembuh; Pimpinan mengajarkan tentang
kedisiplinan, istiqomah, melaksanakan
shalat tepat waktu, hidup sederhana,
menahan hawa nafsu dan melaksanakan
shalat sunat malam secara rutin (Abdul
Ghani dan Sugeng. Wawancara. 13
Agustus 2014). Sedangkan bagi muridmurid yang memilih keluar dari Yayasan
al-Maghfurullah terdapat beberapa alasan
sebagai berikut: 1). Sudah tidak tahan
dengan penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan gurunya; 2). Semua
ibadah yang dilakukan murid harus
seizin dengan gurunya; 3). Melarang
muridnya melaksanakan sholat di masjid
lain; 4). Murid yang keluar dari Yayasan
al-Maghfurullah
dianggap
masuk
neraka; 5). Adanya jaminan spiritual,
Dampak dari peristiwa penyerangan
terhadap
Yayasan
al-Maghfurullah
menimbulkan beberapa hal yakni: Asset
milik Yayasan al-Maghfurullah menjadi
terbengkalai;
Pengikutnya
menjadi
terpecah belah; Keberadaan guru
(Kaharudin) disembunyikan; Keluarnya
fatwa MUI. Adapun upaya pemerintah
(Pejabat Kementerian Agama, aparat
kepolisian dari Polsek Sumber, Polres
Sumber, Polsek Gunung Jati dan Polres
Cirebon) dan MUI Kabupaten Cirebon
dalam penanganan kasus ini tidaklah
mudah dikarenakan kedua belah
pihak bersikukuh mempertahankan
pendapatnya masing-masing. Keduanya
berani bersumpah atas nama Allah Swt
ketika dipertemukan di hadapkan MUI.
Namun ketika terjadi penyerangan
dari masyarakat setempat dan ormas
Islam, maka hal yang terjadi adalah: 1).
Kaharudin diamankan Kapolsek dan
dibawa ke Polresta (Wilayah Hukum
Kota Cirebon); 2). Semua pengikutnya
yang masih setia dikeluarkan dari rumah
Yayasan al-Maghfurullah; 3). Keberadaan
Kaharudin disembunyikan oleh pihakpihak terkait; 4). Semua asset Yayasan alJurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
120
SUHANAH
Maghfurullah terbengkalai ditinggalkan
begitu saja dan hingga saat ini belum ada
upaya-upaya konkrit dalam penyelesaian
kasus ini; 5). Kaharudin diamankan hanya
sekitar 5 jam karena belum ada bukti-bukti
yang menjadi dasar penahanan (Kapolsek
Kabupaten Cirebon. Wawancara. 9
Agustus 2014).
Mengacu pada peristiwa tersebut,
dan dengan merujuk pada Panduan
Penanganan
Aliran
dan
Gerakan
Keagamaan Bermasalah di Indonesia,
terlihat bahwa dalam penanganan
kasus Yayasan al-Maghfurullah tersebut
belum terlihat adanya pihak yang secara
serius, komprehensif, sistemik dan
berkesinambungan dalam menangani
kasus semacam ini. Pihak pemerintah dan
aparatnya juga nampak bingung dalam
menanganinya. Di satu sisi, keresahan
dan anarkisme massa sulit dibendung, di
sisi lain bagaimanapun juga ada individuindividu pengikut ajaran menyimpang
ini yang harus dilindungi hak hidupnya
sebagai warga negara. Dengan demikian,
hingga penelitian ini berjalan, pihak
pemerintah belum bisa menyelesaikan
peristiwa ini secara maksimal dan baru
hanya sebatas pengamanan pengikut
setia dan pimpinannya dikeluarkan dari
Yayasan al-Maghfurullah.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian
di
atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
yakni
sebagai
berikut:
Pertama,
Kaharudin sebagai pimpinan Yayasan
al-Maghfurullah
sekaligus
sebagai
mursyid (guru) dalam praktiknya telah
mengajarkan ajaran menyimpang.
Kedua, Yayasan al-Maghfurullah
yang pada awalnya bergerak dalam
bidang dawah dan mengajarkan tentang
hidup sederhana, bersikap disiplin,
istiqomah, sholat tepat waktu, menahan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
hawa nafsu, taat pada pimpinan dan
melakukan sholat sunat malam secara
rutin telah mendorong orang untuk
tertarik mengikuti ajarannya.
Ketiga, pada awalnya ajaran
yang disampaikan Kaharudin kepada
pengikutnya adalah hal yang baikbaik dan membuat orang tertarik
untuk menjadi pengikutnya. Namun
dalam perkembangannya, ajaran yang
dikembangkan itu ternyata mengandung
sejumlah penyimpangan yang kemudian
menimbulkan keresahan di kalangan
masyarakat dan menyebabkan keluarnya
fatwa sesat oleh MUI yang ditujukan
kepada ajaran yang dikembangkan
Yayasan al-Maghfurullah.
Keempat,
penanganan
kasus
Yayasan
al-Maghfurullah
tersebut
belum terlihat adanya pihak yang secara
serius, komprehensif, sistemik dan
berkesinambungan dalam menangani
kasus semacam ini. Pihak pemerintah dan
aparatnya juga nampak bingung dalam
menanganinya. Di satu sisi, keresahan
dan anarkisme massa sulit dibendung, di
sisi lain bagaimanapun juga ada individuindividu pengikut ajaran menyimpang
ini yang harus dilindungi hak hidupnya
sebagai warga negara. Dengan demikian,
hingga penelitian ini berjalan, pihak
pemerintah belum bisa menyelesaikan
peristiwa ini secara maksimal dan baru
hanya sebatas pengamanan pengikut
setia dan pimpinannya dikeluarkan dari
Yayasan al-Maghfurullah.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut
maka penelitian ini menghasilkan
beberapa rekomendasi yakni: Pertama,
sebaiknya pihak pemerintah (Pejabat
Kementerian Agama, Aparat Kepolisian
dari Polsek Sumber, Polres Sumber,
Polsek Gunung Jati dan Polresta Cirebon)
serta MUI Kabupaten Cirebon, perlu
AJARAN KAHARUDIN DI YAYASAN AL-MAGHFIRULLAH KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT
melakukan mediasi kepada pihak yang
berkonflik antara pengikut yang masih
setia pada Kaharudin dan pihak yang
sudah keluar dari kelompok tersebut.
Selain itu pimpinan dan pengikut yang
masih setia di Yayasan al-Maghfurullah
perlu diberikan pembinaan keagamaan
yang berkesinambungan untuk kembali
ke ajaran Islam yang benar. Kedua, Fatwa
MUI tentang Yayasan al-Maghfurullah
sudah tepat, yaitu mengambil jalan
121
tengah,
meskipun
menimbulkan
ketidakpuasan dari pihak yang keluar dari
Yayasan al-Maghfurullah. Oleh karena itu
pihak pemerintah dan MUI, sebaiknya
dalam mengeluarkan fatwa tersebut
lebih diperjelas bahwa ajaran yang
dibawa Kaharudin itu dalam praktiknya
menyimpang. Ketiga, Pihak pemerintah
sebaiknya memanfaatkan kembali asset
yang ada untuk kepentingan umat Islam
pada umumnya.
Daftar Pustaka
Fatwa MUI Nomor: 20/MUI/Kab.,Cbn/III/2014 Tanggal 03 Maret 2014
Kementerian Agama RI. Rencana Strategis. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2010.
Kementerian Agama RI. Buku Panduan Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan
Bermasalah di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2011.
Kementerian Agama RI. Kasus-kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan. Jakarta:
Badan Litbang Dan Diklat, 2012.
Kementerian Agama RI. Buku I: Kasus-Kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan.
Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2012.
Kementerian Agama RI. Buku II: Kasus-Kasus Keagamaan Aktual Kehidupan Keagamaan.
Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat, 2012.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
122
KUSTINI & NUR ROFIAH
PENELITIAN
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan
Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan
Kustini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Email: [email protected]
Nur Rofiah
PTIQ Jakarta
Email: rofiah_nur @yahoo.com
Naskah diterima redaksi tanggal 23 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Abstract
Abstrak
Divorce is seen as the most hated halal based
on Allah viewpoint stated in Hadits that
Muslims must build marriage system and
tradition to achieve harmonious and happy
family, so the divorce can be prevented. In
fact, the divorce phenomenon happens in
some areas in Indonesia, particularly wifeinitiated divorce. This research focuses on
three aspects. The first one is the reason
of wives to propose divorce. The second
is its effects and the last is social structure
response towards divorce phenomenon.
This study applies qualitative approach
and the data collection techniques consist
of interview, document analysis, and
observation. The result of study shows that
the loss of marriage meaning is caused
by the divorce. Divorce also contributes
negative impact for family life and children.
However, in some certain time it can give
positive impact for women because they
have obvious status and do not burden to
do their duty as wives.
Penyebutan perceraian sebagai perbuatan
halal yang paling dibenci Allah dalam
sebuah hadist merupakan peringatan keras
bagi umat muslim agar mewujudkan sistem
dan tradisi perkawinan yang melahirkan
keluarga sakinah, sehingga perceraian dapat
dicegah. Faktanya fenomena perceraian,
khususnya cerai-gugat, terjadi di berbagai
daerah. Penelitian ini difokuskan pada tiga
hal: alasan istri mengajukan cerai-gugat,
dampak cerai gugat, serta respon struktur
sosial terhadap fenomena cerai-gugat.
Penelitian dilakukan melalui pendekatan
kualtiatif dengan teknik pengumpulan data
wawancara, studi dokumen, dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hilangnya makna perkawinan sebagai
sebab utama cerai-gugat. Ada banyak
dampak negatif dari cerai-gugat terhadap
kehidupan keluarga dan anak, tetapi dalam
batas tertentu memberi dampak posisif bagi
perempuan karena memiliki status yang
jelas serta tidak terbebani untuk melakukan
kewajiban sebagai istri.
Keywords: Gender, Women, Marriage,
Wife-Initiated Divorce, Pekalongan.
Kata
kunci:
Gender,
Perempuan,
Perkawinan, Cerai-Gugat, Pekalongan.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
Pendahuluan
Kota
Pekalongan
merupakan
salah satu dari 35 kabupaten/kota yang
ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
diketahui bahwa pada akhir Bulan
Maret 2015, penduduk Kota Pekalongan
berjumlah 290.870 dengan perbandingan
yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan yaitu 145.540 laki-laki, dan
145.420 perempuan. Ciri khas Kota
123
memutuskan untuk menggugat cerai
suaminya. Lonjakan angka cerai-gugat
bukanlah sesuatu yang baru terjadi,
namun sejak lama telah terjadi dominasi
cerai-gugat atas cerai-talak di Kota Batik
tersebut. Data perceraian Pengadilan
Agama (PA) Kota Pekalongan dalam
kurun waktu 2010-2014 menunjukkan
bahwa meskipun angka cerai-talak dan
cerai-gugat sama-sama fluktuatif, namun
angka cerai-gugat selalu lebih tinggi
daripada cerai-talak.
Tabel-1
Jumlah Cerai Talak dan Cerai Gugat
di Kota Pekalongan Tahun 2010-2014
Tahun
Cerai Talak
Jumlah
Persentase
2010
96
29%
2011
92
25%
2012
133
2013
2014
Cerai Gugat
Jumlah
238
Jumlah
Persentase
71%
334
269
75%
361
31%
293
69%
426
165
32%
353
68%
518
143
30%
332
70%
475
Sumber: Kantor Pengadilan Agama Kota Pekalongan
Pekalongan sebagai kota batik terlihat
dari jenis pekerjaan sebagian besar
masyarakatnya yang bekerja di industri
batik termasuk industri batik yang
dikerjakan di rumah-rumah oleh para
perempuan. Apabila menyusuri gang
sempit di sudut Kota Pekalongan, tampak
hampir di setiap rumah, perempuan
sedang memegang canting, menyelupkan
ke lilin panas dan membeberkan kain
untuk dilukis dengan motif batik.
Meskipun aktivitas perempuan
di rumah-rumah cukup menunjukkan
otoritas perempuan di bidang ekonomi,
tetapi
sesungguhnya
di
dalam
keluarganya
mereka
menghadapi
berbagai masalah. Hal itu terlihat
dari banyaknya perempuan yang
Menurut Wahid Abidin, Wakil
Ketua
Pengadilan
Agama
Kota
Pekalongan, dominasi cerai-gugat atas
cerai-talak masih terjadi hingga kini.
Selama tahun 2015 sampai dengan
bulan Maret, Pengadilan Agama Kota
Pekalongan telah memutuskan 37 ceraitalak dan 74 cerai-gugat di mana jumlah
cerai-gugat dua kali lipat dari cerai-talak.
Namun sebetulnya lebih tingginya angka
cerai-gugat dibanding angka cerai-talak
ini sudah cukup lama terjadi di manamana, tidak hanya di Kota Pekalongan
(Abidin, Wawancara, Kamis 16 April
2015).
Naiknya angka perceraian di satu
sisi dan dominasi cerai-gugat atas ceraitalak yang terus terjadi di sisi lain, perlu
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
124
KUSTINI & NUR ROFIAH
menjadi perhatian serius, terutama
setelah terjadi perubahan kebijakan yang
sangat signifikan terkait dengan lembaga
yang menangani perceraian. Semula
Kementerian Agama RI mempunyai
wewenang
menyeluruh
terkait
perkawinan, mulai dari pengesahan
perkawinan masyarakat muslim melalui
Kantor Urusan Agama (KUA), pembinaan
keluarga
sakinah
melalui
Badan
Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian
Perkawinan (BP4), hingga pengesahan
perceraian melalui Pengadilan Agama.
Namun sejak tahun 2004, Pengadilan
Agama telah dipindahkan ke Mahkamah
Agung RI dan sejak tahun 2009 BP4
tidak lagi berada di dalam struktur
Kementerian Agama. Dengan demikian
wewenang Kementerian Agama RI terkait
perkawinan tinggal pengesahannya saja.
Penelitian tentang alasan, dampak,
dan respon struktur sosial atas ceraigugat menjadi penting dalam upaya
mengetahui dan memahami muncul dan
berkembangnya dominasi cerai-gugat
atas cerai-talak di Pekalongan. Dalam
konteks perkawinan dan rumah tangga,
keutuhan perkawinan memiliki peran
dan posisi yang strategis. Mengapa
demikian? Lembaga perkawinan yang
terwujud dalam kehidupan keluarga pada
dasarnya, baik langsung maupun tidak,
memiliki kaitan dengan berbagai sistem
dalam kehidupan masyarakat seperti
sistem politik, ekonomi, keagamaan,
pendidikan maupun hukum kenegaraan
(Eshleman, 2003). Oleh karena itu, kasus
cerai-gugat merupakan peristiwa sosial
yang tidak dapat dipandang sederhana
sehingga penting untuk dilakukan
penelitian mengenai kasus cerai-gugat
tersebut
guna
mengetahui
secara
mendalam mengenai alasan dan latar
belakang istri melakukan cerai-gugat;
dampak cerai-gugat pada keluarga dan
respon struktur sosial atas cerai-gugat.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Penelitian ini memiliki signifikansi
dengan tugas pokok unit kerja maupun
lembaga yang secara khusus menangani
masalah perkawinan dan perceraian.
Secara khusus hasil penelitian ini
dirancang untuk memberi masukan
bagi Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas
Islam serta lembaga yang menangani
masalah perkawinan dan keluarga.
Selain itu diharapkan menjadi masukan
bagi Ditjen Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung yang menangani
proses perceraian.
Permasalahan
terkait
dengan
kehidupan
perkawinan,
keluarga,
maupun perceraian telah menjadi
salah satu topik penelitian. Tahun 2001
Puslitbang
Kehidupan
Keagamaan
melakukan penelitian di beberapa daerah
terkait masalah perceraian. Karim (2002)
yang melakukan penelitian di Cilacap
mengungkapkan data bahwa selama
tahun 1996-2000 jumlah kasus cerai-gugat
jauh lebih banyak dibanding kasus ceraitalak, berkisar antara 60 % sampai 82%.
Penelitian ini juga menemukan fakta
bahwa masih banyak tokoh agama yang
berpandangan bahwa proses perceraian
tidak perlu melalui pengadilan agama,
tetapi dapat dilakukan di manapun ketika
suami menghendaki.
Fenomena perceraian tidak melalui
pengadilan agama juga ditemukan pada
penelitian Kustini di Sukabumi (2000).
Rumitnya struktur keluarga, akibat
kepergian istri menjadi buruh migran,
atau ketidaksiapan suami ditinggal istri,
menjadi salah satu penyebab perkawinan
maupun perceraian dilakukan secara tidak
tercatat. Penelitian lain menyimpulkan
bahwa untuk menghindari terjadinya
perceraian, suami istri harus dibekali
dengan pengetahuan yang cukup melalui
program kursus calon pengantin (Kustini,
2011). Faktor penyebab terjadinya
peceraian juga ditemukan pada penelitian
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
Nur Rofiah dan Kustini (2013). Pernikahan
usia muda karena keluarga ingin terbebas
dari beban ekonomi untuk merawat anak
perempuan, menjadikan pernikahan
rentan berakhir dengan perceraian
yang akhirnya justru menambah beban
ekonomi keluarga perempuan. Penelitian
Gugatan Perempuan atas Hilangnya Makna
Perkawinan di Kota Pekalongan ini secara
khusus membahas tentang perceraian
yang diajukan perempuan, melengkapi
penelitian-penelitian sebelumnya.
Ada dua kata kunci yang penting
untuk dijelaskan dalam penelitian ini,
yaitu perkawinan dan cerai-gugat.
Meskipun peraturan perundangan terkait
perkawinan di Indonesia didasarkan
pada hukum Islam klasik (Fiqh), namun
terdapat perkembangan yang sangat
signifikan pada definisi dua kata kunci
ini. Para ulama Fiqh empat madzhab pada
umumnya mendefinisikan perkawinan
sebatas ikatan fisik yang secara spesifik
dikaitkan dengan hubungan seksual.
Misalnya definisi nikah sebagai akad
(perjanjian) yang berakibat kepemilikan
seks secara sengaja (ulama Hanafiyah),
akad yang memberikan hak pada lakilaki untuk mengambil manfaat seksual
dari alat kelamin perempuan (ulama
Syafi’iyah), akad yang memberikan hak
kepemilikan manfaat alat kelamin dan
seluruh badan istri (ulama Malikiyah),
dan akad untuk memperoleh kesenangan
seksual (ulama Hanabilah). (Hasyim,
2001).
Sementara itu, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Bab I Pasal 1 mendefinisikan perkawinan
secara berbeda, yaitu ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi
ini menegaskan bahwa perkawinan
bertujuan mewujudkan kebahagiaan
125
lahir batin bagi pasangan suami-istri dan
anak-anak.
Kata kunci kedua adalah istilah
cerai-gugat. Dalam Fiqh, istilah yang
pengertiannya mirip dengan cerai-gugat
adalah khulu’. Madzhab Hanafiyah
mendefinisikan khulu’ sebagai hilangnya
kepemilikan nikah yang berpijak pada
qabul dari istri dengan menggunakan lafaz
khulu’ atau yang semakna (Ghandur:1967).
Madzhab Malikiyah mendefinisikan
khulu’ sebagai thalak dengan tebusan atau
harta pengganti (‘iwadh) (Ar-Ra’ini, t.th).
Madzhab Syafi’iyah mengatakan bahwa
khulu’ adalah perceraian dengan tebusan
menggunakan lafz talak atau khulu’
(Qalyubi dan Umairah, 1995). Sementara
Madzhab Hanabilah menjelaskan bahwa
khulu’adalah putusnya perkawinan suami
terhadap istri dengan menggunakan
tebusan yang diambil suami dari istrinya
atau selainnya, dengan menggunakan
lafaz tertentu. (az-Zuhaili: 2006). Salah
satu poin penting dalam definisi khulu’
yang berkembang di kalangan ulama Fiqh
adalah adanya tebusan yang diberikan
oleh istri kepada suami.
Definisi cerai-gugat, meskipun
sering
dikaitkan
dengan
khulu’,
sebetulnya
mempunyai
perbedaan
yang cukup signifikan. Salah satu
definisi menyebutkan bahwa ceraigugat adalah ikatan perkawinan yang
putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri ke pengadilan agama,
yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga pengadilan
agama
mengabulkan
permohonan
dimaksud (Ali; 2009). Definisi ini tidak
mengandung arti bahwa putusan ceraigugat berada di tangan suami, karena
hakim mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan
yang dijatuhkan apabila tergugat tidak
hadir atau tidak juga mewakilkan kepada
kuasanya untuk menghadap meskipun ia
sudah dipanggil dengan patut. Apabila
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
126
KUSTINI & NUR ROFIAH
tergugat tidak mengajukan upaya
hukum verzet (perlawanan) terhadap
putusan verstek itu, maka putusan
tersebut dianggap sebagai putusan
yang berkekuatan hukum tetap (Sidang
Perceraian, 2015). Definisi cerai-gugat
yang lebih memadai dikemukakan oleh
Ahrum Hoerudin, yaitu suatu gugatan
yang diajukan oleh penggugat (pihak
istri) kepada Pengadilan Agama, agar tali
perkawinan dirinya dengan suaminya
diputuskan melalui suatu putusan
Pengadilan Agama, sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku (Hoerudin,
1999). Kedua definisi di atas samasama tidak menyebutkan soal tebusan
yang dibayarkan oleh istri sebagaimana
berkembang dalam definisi khulu’.
Istilah
cerai-gugat
sendiri
mengalami
perubahan.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menggunakan
istilah gugatan perceraian sebagaimana
termaktub dalam Pasal 114: putusnya
perkawinan disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau gugatan
perceraian (Fokusmedia, 2005). Demikian
pula Pasal 132 KHI menjelaskan tentang
gugatan perceraian sebagai berikut:
Gugatan perceraian diajukan oleh istri
atau kuasanya pada pengadilan agama
yang daerah hukumnya mencakup
wilayah tempat tinggal penggugat kecuali
istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa seizin suami. Adapun
istilah cerai-gugat muncul didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang
menggunakan istilah cerai-talak untuk
permohonan talak dan cerai-gugat untuk
gugatan perceraian (Harahap, 2003).
Cerai-gugat merupakan peristiwa
yang terkait dengan sebuah relasi
sehingga dapat dianalisis melalui empat
teori berikut ini. Pertama, adalah teori
pertukaran sosial (social exchange theory).
Teori ini memandang bahwa hubungan
interpersonal dilandasi oleh harapan
HARMONI
Mei - Agustus 2015
memperoleh imbalan dari adanya
hubungan tersebut. Perkawinan adalah
hubungan interpersonal antara suami
dan istri yang dibangun di atas harapan
masing-masing pihak. Kedua, adalah teori
pilihan sosial (social choice theory). Teori ini
mempunyai ide dasar bahwa orang-orang
bertindak secara sengaja ke arah suatu
tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai
atau pilihan-pilihan (Coleman, 1990b:
13). Ketiga, teori ketidakadilan gender
(gender injusttice). Menurut teori ini,
hubungan yang tidak setara antara lakilaki dan perempuan dapat menimbulkan
ketidakadilan gender dalam bentuk
marjinalisasi, subordinasi, stigmatisasi,
kekerasan, dan multi beban. Keempat,
teori Qiwamah atau kepemimpinan dalam
keluarga di mana sebagai keluarga
seorang suami diharapkan menafkahi
istri dan anak-anak.
Metode Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kota
Pekalongan. Pengumpulan data dilakukan
pada bulan April 2015. Pendekatan
kualitatif dengan strategi studi kasus
digunakan dengan pertimbangan peneliti
dapat mengembangkan deskripsi dan
analisis mendalam dari beberapa kasus
terkait dengan kasus cerai-gugat. Peneliti
menggunakan strategi studi kasus
untuk mempelajari kasus-kasus yang
terikat waktu dan tempat (Creswell,
2007). Karena itu narasumber utama
dalam penelitian ini dipilih tiga orang
perempuan yang melakukan cerai-gugat
dengan kriteria usia perceraian paling
lama adalah tiga tahun terakhir, serta
usia perkawinan ketika itu paling lama
lima tahun. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam
dengan tiga narasumber utama, yang
dilengkapi wawancara dengan kerabat
atau tetangga mereka, dengan tokoh
masyarakat sebanyak dua orang yaitu
satu laki-laki dan satu perempuan,
dengan pimpinan lembaga yang menjadi
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
stake holder perkawinan yaitu pejabat
Kementerian Agama RI di kota maupun
kecamatan; pejabat di Pengadilan Agama
Kota Pekalongan, dan Ketua BP4 Kota
Pekolangan. Data juga digali melalui
diskusi kelompok terfokus dengan kader
LSM Pekka (Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga) sebanyak delapan
orang. Data ini kemudian dilengkapi
dengan kajian dokumen-dokumen yang
relevan.
Hasil dan Pembahasan
Sesuai
dengan
karakteristik
narasumber utama yaitu tiga perempuan
yang melakukan cerai gugat dalam
jangka waktu tiga tahun terakhir dan usia
perkawinan tidak lebih dari lima tahun,
maka penelitian ini mengambil tiga kasus
sebagai berikut yaitu Riri, Rara, dan Rere
(semua nama samaran).
Kasus 1. Riri (31 tahun) menikah
pertama kali dengan teman SMA Riko
(nama samaran) ketika Riri berusia 24
tahun. Madu pernikahan hanya dirasakan
Riri selama 3 bulan. Setelah itu suaminya
menjadi pemarah, mengeluarkan katakata kasar, dan tidak bertanggung jawab.
Tiga bulan setelah menikah Riri hamil,
namun hal itu tidak mengubah perilaku
suaminya. Bahkan ia meninggalkan
rumah tanpa kabar berita. Belakangan
diketahui bahwa Riko terjerat kasus
narkoba sehingga harus melarikan diri
untuk menghindari kejaran polisi. Karena
tidak ada kepastian keberadaan suami
selama lebih dari 4 tahun, maka Riri
mengajukan cerai-gugat. Perceraian tidak
membuat Riri jera untuk berumah tangga.
Dua tahun kemudian, teman perempuan
Riri memperkenalkan dengan seorang
laki-laki bernama Dadi. Nasib baik belum
berpihak kepada Riri. Suami kedua pun
punya kebiasaan yang tidak baik yaitu
pembohong, tidak punya pekerjaan,
tetapi gaya hidup ingin terlihat mewah.
127
Akhirnya dengan berat hati Riri kembali
mengajukan cerai gugat.
Kasus 2. Setelah empat tahun
putus sekolah ketika kelas IV SD, Rara
dinikahkan dengan laki-laki anak
kenalan ibunya. Ketika itu ayahnya sudah
meninggal. Karena tidak saling kenal,
maka selama sebulan perkawinan Rara
tidak tahan karena saling diam dengan
suaminya lalu mengajukan gugatan
cerai yang disetujui suaminya. Ia pun
menikah lagi. Kali ini dengan laki-laki
yang dipacarinya selama sebulan. Setelah
melahirkan anak pertama berusia tiga
bulan, suami pergi ke Jakarta untuk
mencari nafkah. Tidak ada kabar,
tidak ada uang yang dikirimkan sejak
kepergiannya, hingga suatu hari keluarga
suami mengabarkan bahwa suami telah
menikah lagi. Ketika anak berusia enam
tahun ia secara resmi menggugat cerai
suami keduanya. Kemudian ia pacaran
dengan laki-laki yang sudah punya
istri sah dan dua istri siri. Para tetangga
pun sudah mengingatkannya. Namun
karena istri sah pacarnya meninggal dan
pacarnya berjanji tidak akan menikah
atau pacaran lagi setelah menikah
dengannya, Rara pun mau dinikahi. Janji
pun tinggal janji. Suami punya pacar
berkali-kali dan puncaknya adalah ketika
suami pamit merantau ke pulau seberang
untuk bekerja. Ternyata suami kawin
lagi dengan perempuan yang satu kota
dengan Rara. Akhirnya Rara mantap
untuk mengajukan gugatan cerai pada
suami ketiganya.
Kasus 3. Rere adalah perempuan
mandiri yang cukup punya posisi di
sebuah toko batik ternama di Pekalongan.
Ia hidup bersama beberapa kakaknya
yang sudah berkeluarga di rumah
orangtua mereka yang sudah meninggal
semua. Ia menikah dengan lelaki yang
tidak begitu dikenalnya. Setelah menikah
barulah ia tahu bahwa suaminya pelit
dan sangat pencemburu. Ia mencemburui
teman-teman lelaki Rere, dan yang paling
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
128
KUSTINI & NUR ROFIAH
parah adalah ketika ia mencemburui
kakak ipar Rere. Pada suatu hari, suami
mengajak ke rumah orangtuanya. Karena
waktu hampir magrib, Rere minta
perginya setelah magrib. Suami merasa
Rere tidak mau diajak pergi padahal
semua baju pun sudah dikemas, kata
Rere. Suami marah dan mengeluarkan
ucapan, “Kamu aku jatuhkan talak
satu”. Lalu pergi meninggalkan Rere.
Mereka kemudian saling diam. Rere
menunggu inisiatif suami untuk minta
maaf karena menjatuhkan talak tanpa
alasan yang kuat. Namun suaminya tidak
juga datang hingga berbulan-bulan. Rere
pun merasa perkawinannya tidak perlu
dipertahankan dan ia pun menabung.
Setelah uang cukup, Rere secara resmi
menggugat cerai suami.
Berdasarkan tiga kasus tersebut
dan diperkaya dengan informasi yang
diperoleh dari hasil diskusi kelompok
terfokus, dapat dianalisis tiga hal terkait
dengan permasalahan penelitian yaitu
alasan istri cerai-gugat, dampak, serta
respon struktur sosial.
Alasan Istri Cerai-Gugat
Pengadilan agama mengategorikan
penyebab perceraian menjadi 15 faktor.
Namun demikian, perceraian termasuk
cerai-gugat pada umumnya menjadi
puncak akumulasi beragam persoalan
yang muncul sehingga alasan perceraian
yang sesungguhnya dapat diduga kuat
terdiri lebih dari satu hal. Oleh karena itu,
alasan perceraian yang tertulis dalam data
Pengadilan Agama harus dilihat sebagai
alasan yang paling utama. Adapun data
faktor penyebab terjadinya perceraian di
Kota Pekalongan adalah sebagai berikut:
Tabel-2
Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
di Pengadilan Agama Kota Pekalongan 2010-2014
Faktor Penyebab
Poligami Tidak Sehat
Krisis Akhlak
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Tidak ada tanggungjawab
Kawin di bawah umur
Kekejaman Jasmani
Penganiayaan/Kekejaman Mental
Dihukum
Cacat biologis
Politis
Gangguan pihak ketiga
Tidak ada keharmonisan
Lain-lain
2010
2
11
5
2
67
148
0
2
2
1
2
0
30
62
0
Sumber: Pengadilan Agama Kota Pekalongan, 2014
HARMONI
Mei - Agustus 2015
2011
2
12
6
2
71
161
0
2
2
1
3
0
33
72
0
2012
0
3
2
0
80
187
0
1
1
0
1
0
12
134
1
2013
0
7
13
0
99
160
0
7
0
0
4
0
44
133
3
2014
0
21
11
1
106
154
0
7
0
1
6
0
48
52
2
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
Data di atas sejalan dengan
pernyataan
Mustaqoroh,
Ketua
Pengadilan Agama Kota Pekalongan,
bahwa faktor ekonomi mempunyai andil
dalam gugat-cerai masyarakat Kota
Pekalongan, baik bagi kelas menengah ke
bawah maupun kelas menengah ke atas.
“Angka cerai-gugat di Kota
Pekalongan ini tinggi. Sebagian
besar terjadi karena masalah
ekonomi yaitu tidak ada tanggung
jawab suami untuk memenuhi
nafkah bagi keluarganya. Ada pula
istri yang lebih kuat secara ekonomi
namun karena suami tidak peduli,
maka istri menggugat. Kasus lain
terjadinya cerai gugat adalah krisis
moral yakni perselingkuhan dan
perzinahan yang banyak terjadi
pada masyarakat tingkat ekonomi
menengah ke atas.” (Mustaqoroh.
Wawancara. 16 April 2015).
Dari ungkapan tersebut terlihat
bahwa faktor ekonomi menjadi salah
satu penyebab terjadinya perceraian.
Seperti diungkapkan Gelles (1995) bahwa
mereka yang kurang pendidikan dengan
status pekerjaan rendah, lebih riskan
untuk terjadinya perceraian. Namun
demikian, persoalan utamanya bukanlah
tunggal karena faktor ekonomi melainkan
tidak adanya tanggungjawab sebagai
suami baik ketika ekonomi keluarga
tersebut kurang maupun memadai atau
cukup. Tidak adanya tanggungjawab
suami sebagai alasan utama diperkuat
oleh hasil wawancara dengan tiga
narasumber utama dan hasil Diskusi
Kelompok Terfokus yang dihadiri kader
Pemberdayaan
Perempuan
Kepala
Keluarga (Pekka) terdiri dari perempuan
yang telah atau sedang melakukan ceraigugat, dan perempuan yang melakukan
pendampingan. Mereka menyebutkan
bahwa proses cerai-gugat pada umumnya
diawali dengan “status gantung” yang
cukup lama, yakni tidak dicerai namun
juga tidak diberi nafkah sama sekali
129
selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun. Pada masa tersebut, istri sudah
menjalani kehidupan seperti janda, yakni
menafkahi diri sendiri dan anaknya tanpa
dukungan materi maupun non-materi
dari suami.
Tidak
adanya
tanggungjawab
suami dalam keluarga yang menjadi
faktor pemicu istri melayangkan ceraigugat muncul dalam bentuk sebagai
berikut:
1. Macetnya
komunikasi:
saling
diam selama satu bulan pertama
perkawinan.
2. Penelantaran nafkah: a). Suami
meninggalkan istri dan anak yang
baru berusia tiga bulan ke Jakarta
untuk bekerja tetapi tidak memberi
kabar, tidak mengirim uang, dan
ternyata menikah lagi. Mantan suami
tidak pernah menemui anaknya yang
kini sudah berusia 10 tahun; b). Suami
tinggal beda kota untuk menghindari
jeratan hukum, tidak memberikan
perhatian baik materi maupun non
materi padahal istri sedang hamil;
c). Tidak memberi nafkah pada istri,
bahkan dinafkahi istri padahal istri
hanya kerja serabutan sehingga
adanya suami malah memperberat
beban hidup.
3. Egois dan kekanak-kanakan: a). Masih
suka pulang malam dan main dengan
teman-temannya; b). Mementingkan
kebutuhan sekunder misalnya kredit
motor baru daripada kebutuhan
primer
keluarga;
c).
Mudah
mengancam cerai pada istri karena
masalah sepele; d). Suka berbohong,
bicara tinggi, dan inginnya hidup
mewah tapi tidak bekerja; e). Suami
tidak memahami pekerjaan istri
yang mengharuskan banyak pergi,
sementara suami juga tidak mampu
menafkahi dengan semestinya; f).
Suami kerap memarahi istri di depan
teman-teman kerjanya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
130
KUSTINI & NUR ROFIAH
4. Bermasalah dengan keluarga istri:
a). Tidak bersikap baik pada anak
bawaan istri; b). Suami pergi begitu
saja setelah mengagunkan sertifikat
rumah mertua ke bank untuk usaha
namun karena usaha macet kemudian
tidak mampu mencicil. Istri lalu
menjadi TKW untuk melunasi hutang
tersebut agar rumah tidak disita bank;
c). Istri tinggal bersama mertua dan
tidak akur; d). Suami menunjukkan
rasa suka pada adik istri.
5. Kekerasan: a). Suami melakukan
kekerasan fisik pada istri atau pada
anak bawaan istri; b). Meninggalkan
istri ke pulau lain untuk bekerja,
ternyata untuk menikah lagi dengan
perempuan dari kota yang sama
dengan istri; c). Suami menikah lagi
dengan perempuan lain dan tinggal
tidak jauh dari rumah istri.
Alasan cerai-gugat pada umumnya
terjadi lebih dari satu, berlangsung dalam
bentuk yang beragam, dan dalam masa
yang cukup lama hingga istri meyakini
bahwa makna perkawinan sudah tidak
ada atau dalam istilah salah seorang
narasumber: duwe bojo karo ora nduwe bojo
podo wae (punya suami dan tidak punya
suami sama saja) (Wawancara; 18 April
2015). Beragamnya alasan menunjukkan
bahwa selain ada pertimbangan cost dan
reward, relasi perkawinan juga merupakan
tukar tambah (trade off) dari banyak hal
antara lain pendapatan, cinta dan kasih
sayang, berbagi pekerjaan rumah tangga,
maupun kepuasan seksual (Collins &
Coltrane, 1992). Karena itu, jika hanya
masalah ekonomi, tetapi suami tetap
tanggung jawab dan mencintai keluarga,
maka kehendak untuk bercerai dari istri
bisa jadi tidak akan terlaksana.
Dampak Cerai-Gugat
Perempuan yang mengajukan ceraigugat pada umumnya telah menjalani
kehidupan tanpa kehadiran figur suami
HARMONI
Mei - Agustus 2015
yang cukup lama. Dalam kondisi seperti
ini, perceraian yang sesungguhnya bukan
hal baik menjadi pilihan terbaik di antara
pilihan buruk yang ada, yakni bertahan
dalam perkawinan yang telah kehilangan
maknanya, ataukah mengajukan ceraigugat dengan segala konsekuensinya.
Oleh karena itu, cerai-gugat di samping
mempunyai dampak negatif, ia juga
mempunyai dampak positif, sebagaimana
pengakuan salah satu narasumber:
”Bismillahirokhmanirrakhim, saya
menguatkan diri untuk mengajukan
perceraian.
Ketika
Hakim
mengetok palu tanda perceraian
itu diputuskan, saya juga sedih.
Menjalani hidup sebagai status
janda sesungguhnya lebih berat
dibandingkan dengan digantung
dalam perkawinan. Tapi saya
berpikir perceraian akan lebih baik
bagi masa depan saya. Ketika saya
bilang ke suami (melalui telepon),
bahwa saya mau mengajukan ceraigugat, dia hanya bilang “Terserah
kowe. Sak karepmu”. (Wawancara.
18 April 2015).
Dampak
cerai-gugat
juga
dirasakan oleh keluarga perempuan.
Ibu salah seorang narasumber merasa
bersalah karena telah ikut menyetujui
anaknya melakukan cerai-gugat:
”Saya kadang berpikir apakah
sikap saya pada anak saya ini
bener. Di satu sisi saya kasihan
anak saya diperlakukan tidak
baik oleh suaminya sehingga saya
mendorong dia untuk melakukan
cerai-gugat. Tapi setelah diputus
cerai seperti sekarang saya berpikir
terus apakah saya berdosa?”
(Wawancara. 19 April 2015)
Perempuan yang mengajukan ceraigugat sebagaimana diungkapkan di awal
mempunyai dua pilihan yang sama-sama
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
tidak ideal. Dampak positif muncul jika
dibandingkan dengan perkawinan dan
keluarga yang tidak sehat sebelum ceraigugat. Berikut adalah dampak positif
cerai-gugat: 1). Istri memperoleh status
hukum yang jelas; 2). Terbebas dari
beberapa hal yaitu: kewajiban sebagai
istri, perselisihan berkelanjutan dengan
suami, dari rasa cemburu karena orang
ketiga, dan terbebas dari berbagai bentuk
kekerasan yag dilakukan suami; 3).
Berkurang beban ekonomi karena tidak
harus menafkahi suami; 4). Hubungan
dengan keluarga besar istri membaik
terutama mereka yang cerai-gugat karena
ada persoalan yang tersangkut dengan
keluarga istri; 5). Bisa memulai hidup baru
dengan pasangan baru yang mungkin
lebih baik; 6). Dapat fokus bekerja dan
membesarkan anak dengan tenang walau
tanpa ayahnya.
Di samping dampak positif, ada
banyak dampak negatif yang dialami
perempuan yaitu: 1). Menghadapi stigma
janda sebagai perempuan yang tidak
pandai menjadi istri, penggoda suami
orang, kesepian, pilah-pilih, dll; 2).
Lawan jenis lebih terbuka melancarkan
godaan dan perhatian, baik yang bersifat
serius maupun tidak; 3). Nafkah anak
dalam cerai-gugat semakin macet; 4).
Memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya
dan anaknya walau hanya dengan kerja
serabutan; 5). Menjalankan peran sebagai
ayah sekaligus ibu bagi anak-anak; 6).
Sendiri mengurus segala keperluan anak;
7). Anak jarang bertemu ayahnya bahkan
ada yang tidak pernah bertemu ayahnya
hingga usia 10 tahun;
8). Sikap
suami yang tidak terima digugat cerai
sehingga melayangkan ancaman kepada
istri. Dampak negatif cerai-gugat di atas
pada umumnya telah dialami oleh istri
yang melakukan cerai-gugat setelah masa
“status gantung” cukup lama sehingga
perbedaan yang muncul hanyalah pada
status hukum dan segala implikasi
hukumnya.
131
Respon Struktur Sosial atas CeraiGugat
Di Kota Pekalongan terdapat
empat stakeholder yang berhubungan
langsung dengan urusan perkawinan serta
perceraian, yaitu Kantor Urusan Agama
(KUA) yang mengesahkan perkawinan,
BP4
yang
bertugas
melestarikan
perkawinan, Pengadilan Agama yang
berwenang mengesahkan perceraian,
dan tokoh masyarakat dan agama yang
menjadi rujukan masyarakat ketika
menghadapi masalah perkawinan.
KUA se-Kota Pekalongan yaitu
KUA Pekalongan Barat, Timur, Selatan
dan Utara hingga kini bersama-sama
melaksanakan Kursus Calon Pengantin
(Suscatin) setiap hari Selasa dari jam 0830 sampai dengan jam 12.30 bertempat
di Kantor BP4 yang diikuti oleh calon
pengantin atau pasangan suami-istri
yang baru menikah. Dalam pelaksanaan
Suscatin ini seharusnya BP4 mengambil
peran maksimal sesuai dengan misinya.
Namun saat ini kursus digerakkan
oleh KUA karena kondisi BP4 di
Kota ini secara kelembagaan vakum.
Kepengurusan BP4 Kota Pekalongan
sebetulnya sudah terbentuk sejak Januari
2015, namun hingga kini (Juni 2015) SK
kepengurusan belum juga turun sehingga
BP4 belum melakukan kegiatan apapun
(Khairunnida, 2013).
Pengadilan Agama, sebagaimana
BP4,
juga
mengalami
perubahan
struktural sangat signifikan. Setelah
pindah ke Mahkamah Agung, tugas dan
wewenang peradilan agama berdasarkan
UU No. 3 Tahun 2006 semakin banyak
meliputi memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara umat Islam
dalam bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi Syariah. Perkara yang ditangani
pengadilan agama semakin beragam,
namun jumlah hakim Pengadilan Agama
sangat terbatas. Di Kota Pekalongan,
Pengadilan Agama hanya memiliki
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
132
KUSTINI & NUR ROFIAH
enam orang hakim, satu orang hakim
ketua dan satu orang hakim wakil ketua
yang menangani 30 hingga 40 perkara
setiap bulannya (Wawancara. Kamis 16
April 2015). Dalam proses penyelesaian
perkara perceraian, Pengadilan Agama
menjadikan proses mediasi sebagai
syarat sah putusan perceraian. Meskipun
mediasi bisa dilakukan oleh mediator
non-hakim yang bersertifikat, namun
karena mediator seperti ini belum ada
dan jika ada pun pihak yang berperkara
harus membayar ekstra, maka proses
mediasi hingga kini dilakukan oleh
mediator hakim.
Peran BP4 yang sangat strategis
dalam proses pelestarian perkawinan
ini kemudian ditumpukan pada tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Melalui
pengajian dan majelis taklim, masyarakat
kemudian memperoleh pengetahuan
tentang bagaimana sebuah perkawinan itu
mesti dijaga. Namun demikian, pengajian
dan majelis taklim adalah forum belajar
agama secara umum sehingga tidak selalu
menyinggung persoalan perkawinan dan
keluarga. (Ustadzah Faizah. Wawancara.
Sabtu 18 April 2015).
Masyarakat
Kota
Pekalongan
memberikan kepercayaan pada tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh
inilah yang dimintai nasehat ketika
mengalami masalah perkawinan. Namun
kendalanya adalah para tokoh ini juga
masih punya pandangan agama yang
kadang adil gender namun kadang juga
bias gender.
“Salah satu hal yang prinsip dalam
Islam adalah istri tidak boleh
pergi tanpa izin suami. Kalau istri
tetap pergi dan suami tidak suka
(tidak
mengizinkan)
sehingga
menceraikan, itu adalah hal yang
wajar. Tetapi suami tidak harus
(tidak wajib) izin ketika akan pergi,
hanya memang sebaiknya memberi
tahu kepada istri. Jika pun istri
HARMONI
Mei - Agustus 2015
tidak setuju dan suami tetap pergi,
bukanlah suatu dosa bagi suami”
(Amil/lebe Kelurahan Kramat Sari.
Wawancara. 21 April 2015).
Analisis
Bagi
masyarakat
Indonesia,
perkawinan tidak hanya mengandung
komitmen antara suami dengan istri
tetapi juga komitmen antara suamiistri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan dengan demikian, tidak
hanya dipandang sebagai perjanjian
sosial yang mengandung tanggungjawab
kepada
masyarakat
dan
negara,
melainkan juga perjanjian spiritual yang
mengandung nilai-nilai agama atau
ketuhanan. Meskipun berbeda dengan
definisi perkawinan Fiqh klasik yang
menitikberatkan definisi nikah pada relasi
fisik khususnya relasi seksual suami istri,
namun cara pandang atas perkawinan
yang mengaitkan dengan nilai-nilai
ritual dan sakral agama sebagaimana
ada dalam UU Perkawinan justru sejalan
dengan istilah al-Qur’an yang menyebut
perkawinan sebagai Mitsaqan Ghalizhan
(perjanjian kokoh) (Anshor, 2012),
sejalan dengan konsep sakinah, mawaddah
wa rahmah dalam al-Qur’an (keluarga
harmonis) yaitu sebuah keluarga yang
seluruh anggota keluarga merasa tenang
dan tentram, tidak ada kekerasan,
kebutuhan, hak dan kewajiban seluruh
anggota keluarga terpenuhi dengan baik
(Rofiah, 2012), dan juga sejalan dengan
hadist yang mengaitkan relasi suami-istri
dengan konsep ketaqwaan pada Allah (alBaghawi, 1983). Di Masyarakat beragama
seperti Indonesia, norma agama sejatinya
selalu mewarnai kehidupan perkawinan,
dan selalu ada hubungan antara sistem
keagamaan dengan sistem keluarga,
sehingga apapun yang terjadi dalam
kehidupan
perkawinan
merupakan
implementasi
atas
pemahaman
keagamaan terkait perkawinan dan
keluarga (Eshleman, 2003).
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
Alasan utama istri melakukan
cerai-gugat adalah karena ia sudah
meyakini bahwa makna perkawinan
telah hilang yang terlihat dari berbagai
aspek yaitu ekonomi, cinta kasih, berbagi
pekerjaan rumah tangga, maupun
kepuasan seksual. Jika menggunakan
teori trade off sebagaimana diungkapkan
Collins & Coltrane (1992), maka ketika
satu hal berkurang misalnya ekonomi,
perkawinan akan tetap langgeng jika
hal lain, misalnya cinta kasih, tetap
terjaga dalam perkawinan. Melalui teori
pertukaran sosial, relasi perkawinan
yang berakhir dengan cerai-gugat
mengindikasikan bahwa istri tidak
lagi merasa memperoleh kebahagiaan
(reward), dan lebih banyak mengalami
kesulitan atau penderitaan (social cost).
Dalam perspektif teologis dan
yuridis, hilangnya makna perkawinan
dapat
dijelaskan
bahwa
sakinah
(ketenteraman) dalam istilah al-Qur’an
dan kebahagiaan lahir batin dalam
istilah Undang-Undang Perkawinan
sebagai tujuan perkawinan gagal dicapai.
Tidak adanya tanggungjawab (qiwamah)
seorang menjadi sangat krusial karena
masyarakat muslim meyakini bahwa
dalam keluarga, suami mempunyai peran
sebagai penanggungjawab keluarga
(Qawwam). Quraish Shihab menjelaskan
bahwa Qa’im adalah istilah untuk orang
yang melaksanakan tugas dan atau apa
yang diharapkan darinya, sedangkan
Qawwam disematkan pada orang yang
melaksanakan tugas tersebut sesempurna
mungkin,
berkesinambungan,
dan
berulang-ulang (Shihab, 2009). Lakilaki disebut Qawwam oleh an-Nisa/4:34
berarti bahwa mereka adalah orang yang
semestinya melaksanakan tugas sebagai
penanggungjawab keluarga sesempurna
mungkin,
berkesinambungan,
dan
berulang-ulang.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
hilangnya
perkawinan sebagai faktor
yang
makna
utama
133
perceraian, sejalan dengan temuan
penelitian Ranga and Sekhar (2002) di
India yang berjudul Divorce: Process
and Correlates: A Cross-Cutural Study.
Penelitian ini menunjukkan para istri yang
mengajukan cerai tidak terbatas pada
mereka yang memiliki pendidikan atau
pekerjaan yang mapan. Meskipun secara
sosial perempuan India berada pada
posisi tidak terdidik atau buta huruf dan
sulit memperoleh lapangan kerja, mereka
tetap memilih bercerai karena problem
yang dihadapi dalam perkawinan sudah
tidak bisa ditolerir lagi
Salah satu tugas utama atau apa
yang paling diharapkan dari seorang
suami adalah perlindungan atas istri
dan pemenuhan kebutuhan hidup
sebagaimana disebutkan pada anNisa/4:34 dan dikukuhkan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 34 Ayat 1. Tidak
adanya pemberian nafkah lahir maupun
batin terjadi terutama pada masa status
gantung yang berlangsung cukup lama
sebelum istri melakukan cerai gugat.
Tidak adanya tanggungjawab sebagai
suami untuk memenuhi kebutuhan
hidup menjadi faktor paling dominan
penyebab cerai-gugat di Kota Pekalongan
menunjukkan
bahwa
Qiwamah
(kepemimpinan dalam keluarga) tidak
berjalan semestinya dan menjadi alasan
yang dibenarkan oleh Undang-Undang
Perkawinan maupun Fiqh sebagai alasan
cerai-gugat.
Menurut teori pertukaran sosial
(exchange
theory)
setiap
pasangan
melihat kehidupan perkawinan dalam
dua
tahapan.
Pertama,
pasangan
membandingkan keuntungan relatif
dalam perkawinan. Jika salah satu
atau keduanya merasa hanya sedikit
mendapatkan
keuntungan,
maka
kepuasan perkawinan pasangan akan
menjadi rendah, sehingga memilih
hidup tanpa perkawinan menjadi
salah satu pilihan. Dalam kondisi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
134
KUSTINI & NUR ROFIAH
seperti ini perceraian dianggap sebagai
alternatif.
Pada
tingkatan
kedua,
pasangan membandingkan kebahagiaan
dan kesulitan ketika berelasi dalam
perkawinan. Dalam tahapan tertentu
ia
merasa
lebih
menguntungkan
jika hidup selain dalam pernikahan,
misalnya menjadi lajang kembali melalui
perceraian (Klein and White, 1996).
Cerai Gugat mengindikasikan seorang
istri tidak mendapatkan manfaat dari
perkawinannya.
Seorang istri di samping tidak
memperoleh harapan yang ditumpukan
pada suami melalui perkawinannya,
mereka juga mengalami beberapa
bentuk ketidakadilan gender, meliputi
marjinalisasi (proses pemiskinan bagi
kaum perempuan), subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, stereotype dan diskriminasi,
pelabelan negatif, kekerasan, bekerja
lebih banyak, serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender (Fakih, 1997). Misalnya
suami yang tidak menafkahi istri, bahkan
dinafkahi istri, tetapi kemudian ia
selingkuh atau bahkan kawin lagi. Istri
dalam hal ini mengalami marjinalisasi
dalam bentuk tidak dilibatkan atas
keputusan suami untuk menikah lagi,
subordinasi dalam bentuk perasaan sakit
hatinya dianggap tidak penting, pelabelan
negatif dalam bentuk dipandang tidak
becus sebagai istri sehingga suami
mencari istri lagi, kekerasan dalam
bentuk kekerasan psikologis, dan beban
ganda karena ia menjalani fungsi sebagai
ibu sekaligus ayah.
Cerai-gugat sebagaimana ceraitalak menyebabkan banyak perempuan
akhirnya berperan sebagai orangtua
tunggal, padahal sejak kecil tidak
disiapkan menjadi kepala keluarga dan
pencari nafkah. Ketika diharuskan menjadi
kepala keluarga dan pencari nafkah
tunggal, perempuan menjadi rentan
untuk mendapatkan pekerjaan dengan
risiko tinggi, bahkan menjadi korban
HARMONI
Mei - Agustus 2015
perdagangan perempuan. Di samping
itu, cerai-gugat juga menyebabkan anak
tumbuh tanpa figur ayah sebagai teladan
yang mengakibatkan anak mengalami
kebingungan ketika tumbuh menjadi
remaja.
Sayangnya,
meskipun
tidak
adanya tanggungjawab menjadi faktor
dominan penyebab cerai-gugat di Kota
Pekalongan, namun struktur sosial
formal perkawinan seperti KUA, BP4, dan
Pengadilan Agama justru sedang berada
dalam masa pencarian sistem koordinasi
yang efektif. Sementara itu, tokoh agama
dan masyarakat serta lembaga yang
bisa menjadi stake holder perkawinan
pun masih memerlukan dukungan agar
bisa memanfaatkan forum-forum sosial
sebagai sarana pendidikan tentang
perkawinan dan keluarga yang sakinah
bagi seluruh anggota keluarga, yakni
suami, istri, dan anak-anak sesuai
perkembangan zaman.
Hilangnya makna perkawinan
sebagai
sebab
utama
perempuan
melakukan cerai-gugat, menunjukkan
bahwa objek utama gugatan para istri
bukanlah para suami semata melainkan
lebih substantif lagi adalah gugatan pada
makna perkawinan.
Penutup
Perceraian bukanlah pilihan yang
menyenangkan, baik bagi istri, suami,
maupun anak-anak. Namun setelah
mengalami pergulatan batin yang cukup
lama, serta mempertimbangkan banyak
hal (reward dan cost), akhirnya perempuan
“berani” untuk menggugat cerai. Sebab
utama cerai-gugat adalah hilangnya
makna perkawinan bagi perempuan yang
dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab
laki-laki, baik sebagai suami maupun
ayah. Pasangan (khususnya suami)
tidak cukup memiliki kesadaran dan
pengetahuan
tentang
pentingnya
mempertahankan ikatan perkawinan.
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
Ada dampak positif maupun
negatif dari pasca cerai-gugat. Stigma
sebagai “janda” dengan segala risikonya
harus dialami perempuan. Ia juga harus
berperan sebagai kepala keluarga dan
orang tua tunggal. Namun pasca ceraigugat istri memiliki kepastian tentang
masa depannya, status hukum yang jelas,
lebih siap untuk hidup mandiri karena
tidak ada harapan dinafkahi suami,
serta terbebas dari perselisihan yang
selama ini terjadi ketika masih dalam
ikatan perkawinan. Dengan demikian,
perempuan bisa memulai hidup baru
yang dirasakan lebih baik ketimbang
hidup dalam perkawinan.
Struktur sosial formal perkawinan
dalam hal ini KUA, BP4, dan Pengadilan
Agama sedang dalam pencarian model
koordinasi terkait pelestarian lembaga
perkawinan. Sedangkan BP4 dalam
kondisi vakum, dan secara kelembagaan
Pengadilan Agama juga tengah berada
dalam masa penyesuaian setelah berada
di bawah Mahkamah Agung. Kondisi
ini menyebabkan lembaga stakeholders
perkawinan tidak bisa berperan secara
maksimal
dalam
mempersiapkan
perkawinan atau mempertahankannya.
Sedangkan struktur sosial non formal
perkawinan dalam hal ini tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan lembaga
sosial terkait belum sepenuhnya berperan
maksimal
sebagai
sebagai
sarana
pendidikan untuk membangun dan
menguatkan kembali makna perkawinan..
Rekomendasi
Beberapa
upaya
untuk
mempertahankan makna perkawinan
yang selaras dengan perkembangan
zaman perlu dilakukan, baik pada masa
pra perkawinan, selama perkawinan,
maupun ketika perkawinan diujung
tanduk. Relasi suami istri dengan pola
partnership lebih memungkinkan bertahan
daripada pola atasan dan bawahan.
135
Dalam relasi partnership memungkinkan
suami-istri dan orangtua-anak untuk
bertukar peran secara fleksibel. Pola
relasi atasan dan bawahan menjadi
sangat riskan ketika suami yang
didudukkan sebagai atasan tidak mampu
memenuhi kewajibannya namun tetap
mempertahankan otoritasnya.
Pola partnership dalam perkawinan
dan keluarga bisa ditanamkan secara terus
menerus oleh para tokoh agama dalam
beragam pengajian dan secara terstruktur
dapat disampaikan dalam Kursus Calon
Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai
strategis karena diberikan tepat ketika
pasangan akan atau baru memasuki
gerbang rumah tangga sehingga perlu
dirancang model, modul, dan modalnya.
Vakumnya lembaga BP4 semakin
memperlebar
kekosongan
ruang
intervensi selama masa perkawinan.
Pasangan suami-istri ketika mengalami
masalah dalam perkawinan yang
tidak bisa diatasi sendiri, memerlukan
penengah yang cukup berwibawa untuk
mendudukkan kedua belah pihak dan
mendengarkan masalah versi masingmasing untuk kemudian bersama-sama
mengupayakan solusi. BP4 menjadi
penting untuk dikuatkan karena menjadi
lembaga yang paling relevan untuk
mengemban misi pelestarian perkawinan.
Pemerintah daerah sudah semestinya
memandang naiknya angka perceraian
dan dominasi cerai-gugat sebagai masalah
serius dan bersedia memperkuat BP4
misalnya dari segi pendanaan. Dengan
dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa
bergerak dan menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak di daerah tersebut dalam
upaya pelestarian perkawinan.
Pasangan suami-istri yang sudah
sampai ke Pengadilan Agama pada
umumnya adalah mereka yang sudah
tidak mampu mengatasi masalah
perkawinannya. Dalam kondisi seperti
ini, maka proses mediasi menjadi sangat
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
136
KUSTINI & NUR ROFIAH
penting untuk dilakukan secara lebih
intensif dengan pendekatan kekeluargaan
yang lebih mungkin dilakukan oleh
mediator non hakim. BP4 dapat membantu
Pengadilan Agama untuk memperbanyak
mediator non-hakim bersertifikat yang
berasal dari tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh perempuan mengingat
terbatasnya jumlah hakim dan meluasnya
wewenang Pengadilan Agama setelah
pindah ke Mahkamah Agung.
Pemerintah
memainkan peran
Daerah
dapat
secara maksimal
dengan memberikan layanan terpadu
perkawinan
dan
keluarga
yang
melibatkan seluruh stakeholder yang
ada di wilayah tersebut. Layanan
perkawinan dan keluarga satu pintu ini
dapat memberikan layanan informasi
dan pendidikan pra perkawinan, layanan
administrasi hingga resepsi perkawinan,
layanan penasehatan dan mediasi selama
masa perkawinan, sehingga pasangan
suami istri yang menginjakkan kaki
ke Pengadilan Agama telah dipastikan
sebagai pasangan yang memang sudah
tidak bisa dipertahankan perkawinannya.
Daftar Pustaka
Al-Baghawi, Muhyi as-Sunnah Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud. Syarhus Sunnah.
Damaskus dan Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Anshor, Maria Ulfah. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:. Dalam
Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”, April
2012, h. 19-30.
Ar-Ra’ini, Khutab. Mawahib al-Jalil. Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th, j
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu. Beirut: Dar al Fikr, 2006
Creswell. John W. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches,
London: Sage Publications, 2007.
Collins, Randall & Coltrane, Scott. Sociology of Marriage and the Family: Gender, Love and
Property. (3rd ed.). Chicago: Nelson-Hall Inc, 1992.
Eshleman, J. Ross. The family. 10th Edition. New York: Pearson Education Inc, 2003.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustakan Pelajar,
1997
Fokusmedia. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Bandung: Fokusmedia, 2005
Gelles, Richard J. Contemporary Families A Sociological View. California: Sage Publications,
1995.
Ghandur, Ahmad. ath-Thalaq fi asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun. Mesir: Dar alMa’arif, 1967.
Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama. Cetakan ke-2.
Jakarta: Sinar Grafika, 2003
HARMONI
Mei - Agustus 2015
GUGATAN PEREMPUAN ATAS MAKNA PERKAWINAN STUDI TENTANG CERAI-GUGAT DI KOTA PEKALONGAN
137
Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam:
Sebuah Dokumentasi. Bandung, 2001.
Herien, Puspitawati. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor, PT IPB
Press, 2012.
Hoerudin, Ahrum. Pengadilan Agama (Bahasan tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan
Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama). Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999.
Kesindo Utama. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji. Surabaya: Kesindo Utama, 2012.
Khairunnida, Daan Dini. Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Hasil Penelitian di
6 Wilayah. Jakarta: Kerjasama Rahima, BP4, UNFPA, dan KPPPA. 2013.
Klein, David M. White, James M. Family Theories An Introduction. California: SAGE
Publications, 1996.
Kustini. Perceraian di Kalangan Buruh Migran Perempuan: Studi Kasus di Desa Kadupura,
Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada Program
Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor, 2002.
Kustini. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama. Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, 2011.
Qalyubi dan ‘Umairah. Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah. Beirut: Dar- al Fikr, 1995, j. 3.
Rofiah, Nur. et al. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh
dan Konselor BP4. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013.
Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di
Cianjur, dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 -158.
Rangan, Rao ABSV. Sekhar K. Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cultural Study,
Journal of Comparative Family Studies, Autum 2002: 33, 4, ProQuest, h. 557.
Shihab, Muhammad Qurasih. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Tim Redaksi. Sidang Perceraian Tanpa Dihadiri Pihak Suami http://www.hukumonline.com/
klinik/detail/lt51dab90028cba/sidang-perceraian-tanpa-dihadiri-pihak-suami
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
138
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
PENELITIAN
Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat
di Indramayu
Abdul Jamil
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail: [email protected]
Fakhruddin
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail : [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Abstract
Abstrak
Many assumptions that divorce in
Indramayu are the highest number in
Indonesia nowadays. It is also considered
as a culture. The causes of divorce are
polygamy, low education, oversea migrant
worker, and early marriages. Data from
religious court shows that the number
of wife-initiated divorce in Indramayu is
relatively high. In 2014, the number of wifeinitiated divorce is 72% while husbandinitiated divorce is 28% in Indramayu.
The result shows that divorces undertaken
by wives are caused some factors such
as the intensity of the problem (problem
severity ) faced by wife, support from
their parents, psychological suffering after
divorce that they feel happier with their
divorce status, and the experience from
their family so they understand every step
in conducting wife-initiated divorce. The
greatest impact of divorce is psychological
suffering which they will be disappointed
towards marriage. The research concludes
that the current institution that mediates a
divorce in Indramayu is Lebe because KUA
(Religious Affairs Office), BP4 (Marriage
Counseling Agency) and PA (Religious
Court) are relatively ineffective.
Hingga saat ini, banyak asumsi yang
berkembang,
bahwa
perceraian
di
Indramayu adalah tertinggi di Indonesia,
perceraian dianggap sudah menjadi budaya.
Faktor penyebab perceraian diasumsikan
karena banyaknya poligami, rendahnya
pendidikan
masyarakat,
banyaknya
perempuan yang menjadi TKI di luar negeri,
dan banyaknya pernikahan di bawah umur.
Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA)
jumlah cerai-gugat di Indramayu termasuk
tinggi. Pada tahun 2014, di Kabupaten
Indramayu, jumlah cerai-gugat adalah 72%
dari angka perceraian, sedangkan cerai-talak
hanya 28%. Melalui penelitian kualitatif
dengan tema isu dan realitas di balik kasus
cerai-gugat di Indramayu, disimpulkan
bahwa keberanian istri melakukan ceraigugat adalah didasari oleh beberapa
faktor yaitu, intensitas persoalan (beratnya
permasalahan) yang dihadapi istri, adanya
dukungan (pembelaan) dari orang tua,
penderitaan psikologis setelah bercerai
dirasa lebih ringan dibanding tetap dalam
perkawinan, dan adanya pengalaman pihak
keluarga dekat, sehingga pihak istri dapat
memahami tahapan dalam melakukan
cerai-gugat. Dampak terberat dari ceraigugat adalah penderitaan psikologis yang
dialami istri yaitu perasaan kecewa terhadap
pernikahan. Penelitian juga menyimpulkan,
bahwa saat ini lembaga yang berperan
dalam memediasi perceraian di Indramayu
adalah hanya lebe, sementara KUA, BP4
dan PA tidak efektif berperan.
Keywords: Wife-Initiated Divorce, Lebe,
Religious Court
Kata kunci: Cerai-gugat, lebe, Pengadilan
Agama.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
Pendahuluan
Secara nasional, angka perceraian
terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Berdasarkan data dari Badan
Peradilan Agama (Badilag) MA, secara
berurutan, jumlah kasus perceraian pada
tahun 2010 sampai dengan 2014 adalah
sebanyak 251.208 kasus; 276.792 kasus;
304.395 kasus, 361.816 kasus, dan 382.231
kasus. Masih menurut data dari Badilag
MA, di balik angka-angka tersebut
ternyata fenomena cerai-gugat, yaitu
gugatan perceraian yang dilakukan oleh
istri terhadap suami melalui pengadilan
agama ternyata lebih tinggi dibanding
cerai-talak (cerai oleh suami). Misalnya
pada tahun 2014 angka kasus perceraian
melalui cerai-talak (talak oleh suami)
adalah sebanyak 113.850 kasus, sedangkan
angka kasus perceraian melalui ceraigugat (istri menggugat talak) sebanyak
268.381 kasus. Artinya, secara persentase
jumlah cerai-gugat adalah sebesar 70
persen dan jumlah cerai-talak adalah
30 persen. Sedangkan pada tahun
sebelumnya yaitu tahun 2013, angka ceraigugat adalah sebanyak 250.036 kasus dan
angka cerai-talak sebanyak 111.456 kasus.
Apabila dipersentasekan maka jumlah
jumlah cerai-gugat adalah 69 persen,
sedangkan cerai-talak adalah 31 persen.
Angka-angka tersebut mencerminkan
bahwa kasus perceraian di Indonesia
lebih banyak terjadi melalui cerai-gugat.
Bagi sebagian orang, hal itu
mungkin dianggap sebagai hal biasa atau
wajar, mengingat angka pertumbuhan
penduduk dan dinamika persoalan yang
dihadapi setiap tahun juga meningkat,
sehingga dipastikan angka perkawinan
semakin banyak dan otomatis angka
perceraian juga mengalami kenaikan.
Pandangan semacam ini juga berlaku
bagi besarnya cerai-gugat sebagai
peristiwa yang dianggap biasa seiring
meningkatnya
emansipasi
atau
keterlibatan perempuan dalam banyak
139
lapangan kerja, kemandirian perempuan,
serta keterbukaan informasi.
Namun demikian, fenomena ini
kiranya tetap perlu mendapat perhatian
semua pihak, setidaknya karena dua
alasan: Pertama, di balik cerai-gugat ada
kemungkinan terjadi suatu fenomena
sosial banyaknya perempuan yang
diperlakukan tidak adil oleh suami atau
dengan kata lain, perempuan banyak
mengalami kekerasan fisik maupun psikis
dari suami. Kedua, makna perkawinan
intinya adalah membangun sebuah
keluarga, dan keluarga merupakan unsur
dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu,
apabila keluarga mengalami gangguan
dan secara kualitas terjadi penurunan,
maka secara tidak langsung dapat
berdampak pada menurunnya kualitas
masyarakat.
Angka-angka perceraian yang
diungkapkan di atas menunjukkan
adanya persoalan dalam perkawinan
atau keluarga pada sebagian masyarakat
Indonesia, sehingga fenomena ini tentu
menarik untuk didiskusikan. Untuk
mengetahui secara lebih detail dan
mendalam seputar persoalan perceraian
dan dampaknya pada keluarga, maka
fenomena ini juga perlu dilihat dari dekat,
bagaimana kehidupan pasangan dalam
keluarga-keluarga tersebut sehingga
kemudian memutuskan perceraian. Satu
hal yang menarik adalah adanya informasi
bahwa ada daerah-daerah yang memiliki
angka perceraian tertinggi, salah satunya
adalah Kabupaten Indramayu.
Secara faktual, setiap tahunnya
angka perceraian di Indramayu memang
terus meningkat termasuk cerai-gugat.
Berdasarkan data Pengadilan Agama
Kabupaten Indramayu, pada tahun 2013
jumlah cerai talak adalah 2.079 kasus dan
cerai gugat 5.959 kasus. Sedangkan pada
tahun 2014 jumlah cerai-talak adalah
2.220 kasus dan cerai-gugat 5.847 kasus.
Hingga saat ini, banyak labeling atau stigma
yang berkembang di dalam maupun
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
140
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
di luar masyarakat Indramayu yaitu:
perceraian di Indramayu adalah tertinggi
di Indonesia; perceraian adalah sudah
menjadi budaya; penyebab perceraian
tersebut
dikarenakan
banyaknya
poligami;
rendahnya
pendidikan
masyarakat;
banyaknya
perempuan
yang menjadi TKI di luar negeri; dan
banyaknya pernikahan di bawah umur.
Di samping itu, juga terdapat isu bahwa
banyaknya
perceraian
berkorelasi
dengan banyaknya “rangda” (janda) yang
kemudian berprofesi menjadi “penjaja
cinta” di sejumlah wilayah kawasan
prostitusi di Indonesia.
Berbagai labeling atau stigma
tersebut secara tidak langsung telah
“mem-bully” masyarakat Indramayu,
sebab masyarakat Indramayu notabene
merupakan masyarakat yang agamis
secara kultur. Bahkan Pemerintah
Kabupaten Indramayu juga telah banyak
menetapkan sejumlah Peraturan Daerah
dan Keputusan Bupati yang bernuansa
syariat, seperti wajib Belajar Madrasah
Diniyah Awaliyah (Perda No 2/2003),
Pelarangan Minuman Beralkohol (Perda
No 7/2005), Surat Edaran Bupati Tahun
2001 tentang Wajib Busana Muslim dan
Pandai al-Quran untuk Siswa Sekolah,
dan lainnya. Segala asumsi negatif tentang
masyarakat Indramayu tersebut perlu
dibuktikan dengan sebuah kajian yang
memadai. Untuk itu penting dilakukan
sebuah penelitian terkait fenomena
perceraian
di kalangan masyarakat
muslim di Kabupaten Indramayu.
Selanjutnya, persoalan spesifik
lainnya seputar perceraian di Indramayu
adalah pertanyaan tentang mengapa
tingkat cerai-gugat di Indramayu relatif
tinggi? dan Apa sesungguhnya faktor
di balik keputusan istri yang berani
melakukan cerai-gugat? dan bagaimana
pula dampaknya terhadap keluarga
serta sejauhmana struktur (pranata dan
lembaga) sosial dan lingkungan merespon
fenomena cerai gugat tersebut?. Melalui
HARMONI
Mei - Agustus 2015
kajian ini, informasi terkait perceraian
di Indramayu secara umum akan digali
dan kemudian dideskripsikan dan secara
spesifik akan lebih banyak membahas
kasus cerai gugat.
Oleh karena itu, berdasarkan latar
belakang di atas, terdapat tiga pertanyaan
penelitian yakni sebagai berikut: Pertama,
apa saja alasan-alasan dari istri di
Indramayu sehingga melakukan ceraigugat. Kedua, apakah dampak-dampak
dari cerai-gugat yang dialami pasangan
tersebut, dan Ketiga, bagaimana respon
struktur sosial menanggapi banyaknya
kasus cerai-gugat.
Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan memiliki siginfikansi atau
manfaat untuk: Pertama, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan
bagi Kementerian Agama RI dalam
menetapkan kebijakan terkait penasehatan
maupun pembinaan perkawinan. Kedua,
penelitian ini diharapkan menjadi
informasi bagi pihak-pihak terkait (BP4,
Ormas Islam, LSM, akademisi dan pihak
terkait lainnya) untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam usaha merumuskan
program kegiatan dalam membangun
keluarga sakinah dan sejahtera sebagai
upaya membangun bangsa.
Untuk mendalami permasalahan di
atas, penelitian ini merujuk pada peraturan
perundang-undangan. Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian
disebutkan sebagai salah satu yang
dapat menyebabkan putusnya sebuah
perkawinan selain karena kematian dan
atas keputusan pengadilan. Dengan
demikian, perceraian diakui dalam
hukum peraturan perundangan. Terkait
tata cara perceraian telah diatur dalam
undang-undang tersebut yakni pada
Pasal 39 yang berbunyi: 1). Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak; 2).
Untuk melakukan perceraian harus
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
ada cukup alasan bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai
suami istri; 3). Tata cara perceraian di
depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut. Terkait
tekhnis pengajuan pengajuan perceraian
dijelaskan secara lebih rinci pada
Pasal 40 yaitu: 1). Gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan; 2). Tata cara
mengajukan gugatan tersebut pada Ayat
(1) Pasal 40 ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Mengenai
hal
ini,
dalam
hukum Islam telah dijelaskan bahwa
perceraian atau disebut talak pada
dasarnya merupakan hak yang dimiliki
suami, sehingga hanya suami yang
mengendalikan talak tersebut, dan
seorang istri tidak memiliki hak untuk
mengajukan talak. Namun demikian
dalam rangka melindungi hak-hak istri
dari adanya unsur-unsur yang tidak
dikehendaki dalam suatu perkawinan,
terutama adanya kekerasan dalam
rumah tangga, baik fisik maupun psikis,
maka dalam perkawinan di Indonesia
khususnya, dikenal adanya cerai yang
diajukan oleh pihak istri ke pengadilan
agama yang dikenal dengan istilah ceraigugat. Sedangkan cerai yang diajukan
oleh pihak suami ke pengadilan agama
dikenal dengan istilah cerai-talak.
Dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Pasal 20
disebutkan bahwa gugat perceraian
diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.
Sementara
alasan-alasan
perceraian disebutkan dalam Pasal 19,
yaitu: a). Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b). Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
141
alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya; c). Salah satu pihak
mendapatkan hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung; d).
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau
penganiyayaan
berat
yang
membahayakan pihak lain; e). Salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/istri; f). Antara
suami dan istri terus menerus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
Dengan demikian, berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku
di Indonesia, perceraian di samping
dapat dilakukan oleh suami (cerai talak)
juga dapat dilakukan oleh isteri (cerai
gugat). Selain tercantum dalam peraturan
perundangan tersebut, gugat cerai juga
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 114 yang selengkapnya berbunyi:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena
perceraian
dapat
terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian”. Selanjutnya dalam Pasal
116 huruf g Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan: “Perceraian dapat terjadi
karena alasan suami melanggar ta’lik talak
dan tidak sedikit pula yang putus karena
putusan pengadilan, di antaranya adalah
cerai-gugat dengan alasan pelanggaran
ta’lik talak.” Dengan adanya hak untuk
mengajukan gugatan tersebut, apabila
seorang istri ingin bercerai dengan
suaminya, tentu saja didasarkan pada
alasan-alasan yang dibenarkan oleh
hukum, maka ia dapat mengajukan
perceraian ke Pengadilan Agama yang
selanjutnya disebut sebagai cerai-gugat.
Salah satu teori yang bisa dipakai
dalam mencermati fenomena perceraian
termasuk cerai gugat adalah teori
pertukaran. Teori ini dikembangkan
oleh tokoh-tokoh teori pertukaran sosial
antara lain adalah psikolog John Thibaut
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
142
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
dan Harlod Kelley (1959), Sosiolog
George Homans (1961), Richard Emerson
(1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan
teori ini, kita masuk ke dalam hubungan
pertukaran dengan orang lain karena
dari padanya kita memperoleh imbalan,
dengan kata lain hubungan pertukaran
dengan orang lain akan menghasilkan
suatu imbalan bagi kita.
Thibaut dan Kelly berpendapat
bahwa ketika orang berinteraksi, mereka
dituntun oleh tujuan. Hal ini sejalan
dengan pemikiran yang menyatakan
bahwa manusia merupakan makhluk
yang rasional. Menurut Thibaut dan Kelly,
orang terlibat dalam “urutan perilaku”
(Behavior Squence) atau serangkaian
tindakan yang ditujukan untuk mencapai
tujuan mereka. Ketika orang-orang
terlibat dalam urutan-urutan perilaku,
mereka tergantung hingga batas tertentu
pada pasangan mereka dalam hubungan
tersebut. Saling ketergantungan ini
memunculkan konsep kekuasaan (Power)
atau ketergantungan seseorang terhadap
yang lain untuk mencapai hasil akhir.
Ada dua jenis kekuasaan dalam teori
Thibaut dan Kelly. Pertama, Pengendalian
nasib (Fate Control) adalah kemampuan
untuk mempengaruhi hasil akhir
pasangan. Kedua, pengandalian perilaku
(Behavior Control) adalah kekuatan untuk
menyebabkan perubahan perilaku orang
lain. Thibaut dan Kelly menyatakan
bahwa orang mengembangkan pola-pola
pertukaran untuk menghadapi perbedaan
kekuasaan
dan
untuk
mengatasi
pengorbanan yang diasosiakan dengan
penggunaan kekuasaan.
Sementara
Homans
dalam
bukunya “Elementary Forms of Social
Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa
proposisi dan salah satunya berbunyi:
”Semua tindakan yang dilakukan oleh
seseorang, makin sering satu bentuk
tindakan tertentu memperoleh imbalan,
makin
cenderung
orang
tersebut
menampilkan
tindakan
tertentu
HARMONI
Mei - Agustus 2015
tadi“. Proposisi ini secara eksplisit
menjelaskan bahwa satu tindakan
tertentu akan berulang dilakukan jika
ada imbalannya. Proposisi lain yang
juga memperkuat proposisi tersebut
berbunyi: “Makin tinggi nilai hasil suatu
perbuatan bagi seseorang, makin besar
pula kemungkinan perbuatan tersebut
diulanginya kembali”. Bagi Homans,
prinsip dasar pertukaran sosial adalah
“distributive justice” – aturan yang
mengatakan bahwa sebuah imbalan harus
sebanding dengan investasi. Proposisi
yang terkenal sehubungan dengan prinsip
tersebut berbunyi: ”seseorang dalam
hubungan pertukaran dengan orang
lain akan mengharapkan imbalan yang
diterima
oleh
setiap
pihak sebanding dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkannya – makin
tinggi pengorbanan, makin tinggi
imbalannya
dan keuntungan yang
diterima oleh setiap pihak harus
sebanding dengan investasinya –
makin tinggi investasi, makin tinggi
keuntungan”.
Secara resmi, Homans mulai
memperkenalkan
teori
pertukaran
sosialnya pada 1950-an. Semangat
Homans dalam memunculkan teori
barunya ini dimaksudkan sebagai
upaya untuk menyempurnakan atau
memperbaiki apa yang dianggapnya
merupakan kekuarangan dari teori
fungsional. Homans dapat dianggap
sebagai bapak pencetus teori pertukaran.
Teori pertukaran Homans sangat jelas
dipengaruhi oleh teori behaviorisme dari
psikologi. Teori pertukarannya cenderung
mikro-sosiologis dan menitikberatkan
pada kebebasan aktor dalam bertindak
yang didasarkan pada dimensi reward
dan cost. Perhatian utamanya lebih tertuju
pada pola-pola penguatan (reinforcement),
sejarah imbalan dan biaya (cost) yang
menyebabkan orang melakukan apa-apa
yang mereka lakukan.
Homans percaya bahwa proses
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
pertukaran dapat dijelaskan lewat
beberapa
pernyataan
proposisional
yang saling berhubungan dan berasal
dari psikologi Skinnerian. Proposisi itu
adalah proposisi sukses, stimulus, nilai,
deprivasi-satiasi, dan restu agresi (approval
agressian). Proposisi Sukses terdapat
dalam statemen yang menyatakan:
“bahwa dalam setiap tindakan,
semakin sering suatu tindakan
tertentu memperoleh ganjaran,
maka kian kerap ia akan melakukan
tindakan itu”. Proposisi Stimulus,
“jika di masa lalu terjadinya
stimulus yang khusus, atau
seperangkat stimuli, merupakan
peristiwa di mana tindakan
seseorang memperoleh ganjaran,
maka semakin mirip stimuli yang
ada sekarang ini dengan yang
lalu itu, akan semakin mungkin
seseorang melakukan tindakan
serupa atau yang agak sama”.
Sedangkan
Proposisi
Nilai,
“semakin tinggi nilai suatu tindakan,
maka kian senang seseorang melakukan
tindakan
itu”.Adapun
mengenai
Proposisi Deprivasi-Satiasi, disebutkan:
“semakin sering di masa yang baru
berlalu seseorang menerima suatu
ganjaran
tertentu,
maka
semakin
kurang bernilai bagi orang tersebut
peningkatan setiap unit ganjaran itu”.
Proposisi Restu-Agresi, “bila tindakan
seseorang tidak memperoleh ganjaran
yang diharapkannya, atau menerima
hukuman yang tidak diharapkannya,
atau menerima hukuman yang tidak
diinginkan, maka dia akan marah; dia
menjadi sangat cenderung menunjukkan
perilaku agresif, dan hasil perilaku
demikian menjadi lebih bernilai baginya”.
Bilamana tindakan seorang memperoleh
ganjaran yang diharapkannya, khusus
ganjaran yang lebih besar dari yang
dikirakan, atau tidak memperoleh
hukuman yang diharapkannya, maka
dia akan merasa senang; dia akan lebih
143
mungkin melaksanakan perilaku yang
disenanginya, dan hasil dari perilaku
yang demikian akan menjadi lebih bernilai
baginya (Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman, 2008, hlm., 361-367).
Teori pertukaran sosial yang sudah
dipaparkan tersebut digunakan dalam
melihat kasus-kasus cerai-gugat di
Indramayu. Pada satu sisi, keberanian
isteri menggugat cerai sebagai bentuk
agresifitas prilaku. Fenomena tersebut
bisa dipahami sebagaimana dalam
proposisi Restu-Agresi: “di mana
tindakan seseorang tidak memperoleh
ganjaran yang diharapkannya, atau
menerima
hukuman
yang
tidak
diharapkannya, atau menerima hukuman
yang tidak diinginkan, maka dia akan
marah; dia menjadi sangat cenderung
menunjukkan
perilaku
agresif”.
Kesediaan isteri menerima perkawinan
ternyata tidak mendapatkan balasan
sebagaimana diharapkan dari suami.
Keberanian perempuan menggugat cerai
ini juga dapat menjadi indikator semakin
“beraninya” perempuan mendobrak
mitos. Keberanian dan kemampuan
untuk hidup mandiri, juga menjadi
pemicu penting ketika perempuan
harus menggugat cerai suaminya. Sebab
dalam masyarakat patriarki, sebenarnya
terdapat ketidaksetaraan (inequal) antara
laki-laki dengan perempuan. Patriarkhi
telah begitu berurat akar dalam struktur
masyarakat, dan penolakan ketidakadilan
gender tersebut merupakan ancaman
terhadap struktur sosial yang telah mapan
dan menjadi “kesepakatan bersama”
(Mose, J.C. 1996). Sementara itu Ihromi
(1995) mengatakan, bahwa peran pokok
perempuan dalam sebuah kebudayaan
dibagi ke dalam tiga hal. Pertama, peran
produktif yang menyangkut pendapatan
demi kelangsungan hidup keluarga,
tanpa perempuan harus mendapat
gaji selayaknya, seperti bertani dan
berdagang. Kedua, peran reproduksi,
peran yang menyangkut kelangsungan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
144
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
hidup manusia dalam keluarga, seperti
melahirkan; menyusui; memasak dan
beberapa pekerjaan domestik lainnya.
Ketiga, peran sosial, yakni peran yang
terkait dengan hubungan komunal luar/
sosialisasi.
Penelitian tentang kasus perceraian
di Indramayu bukanlah yang pertama
dilakukan. Ada beberapa penelitian yang
sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh
Pepen Nazaruddin dari UI dengan judul,
“Makna Kawin Muda dan Perceraian
Upaya Memahami Masalah Sosial dan
Perspektif Penyandang Masalah: Studi
di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten
Dt II Indramayu Propinsi Jawa Barat.”
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
masalah sosial kawin muda dan perceraian
ditafsirkan oleh informan sebagai suatu
masalah sosial yang perlu dihindari.
Akan tetapi terdapat informan yang
menafsirkan makna kawin dan bercerai di
usia muda sebagai suatu solusi/alternatif
pemecahan masalah. Konsekuensinya di
antara mereka ada yang melaksanakan
perkawinan dan perceraian di usia
muda. Walaupun demikian perkawinan
usia muda dan perceraian itu sendiri
bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya
mereka karena peristiwa itu hanyalah
hasil kompromi anggota masyarakat
yang menjadi informan dengan masalah
yang dihadapi pada saat itu. Oleh karena
itu makna kawin muda dan perceraian
itu sendiri terus menerus mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai
dengan dinamika kemampuan berpikir
mereka.
Kedua,
penelitian
Mohammad
Fikri Rizal dengan judul, “Pengaruh
Profesi Tenaga Kerja Wanita dengan
Tingginya
Angka
Perceraian
di
Kabupaten Indramayu”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian perceraian
di Kabupaten Indramayu dari tahun
2011-2013 terus meningkat, disamping
HARMONI
Mei - Agustus 2015
itu pola persebaran tingkat perceraian di
Kabupaten Indramayu semakin merata
dan semakin tinggi dari Tahun 2011
sampai tahun 2013. Alasan ekonomi
merupakan alasan yang paling banyak
diajukan sebagai alasan perceraian di
Kabupaten Indramayu pada Tahun 2013.
Profesi seorang perempuan di Kabupaten
Indramayu pada tahun 2013 dapat
mempengaruhi terjadinya peristiwa
perceraian di Kabupaten Indramayu.
Dengan model regresi Status Pernikahan
terdapat hubungan yang positif antara
profesi tenaga kerja wanita dengan
peristiwa perceraian di Kabupaten
Indramayu pada tahun 2013. Seorang istri
yang mempunyai profesi tenaga kerja
wanita memiliki kecenderungan untuk
bercerai semakin tinggi.
Adapun penelitian ini dilakukan
di Kabupaten Indramayu yang secara
geografis berbatasan dengan Laut Jawa di
Utara, Kabupaten Cirebon di Tenggara,
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten
Sumedang, serta Kabupaten Subang di
sebelah Barat. Kabupaten Indramayu
terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi
atas sejumlah 313 desa dan kelurahan.
Hari jadi Kabupaten Indramayu jatuh
pada 7 Oktober 1527.
Meskipun
Indramayu
berada
di wilayah Provinsi Jawa Barat yang
notabene merupakan tanah Pasundan yang
berbudaya dan berbahasa Sunda, namun
sebagian besar penduduk Indramayu
berbahasa Jawa khas Indramayu, atau
masyarakat
setempat
menyebutnya
dengan istilah Dermayon, yakni dialek
Bahasa Jawa yang hampir serupa dengan
Dialek Cirebon dan Serang Banten.
Mengenai data kependudukan, jumlah
penduduk Kabupaten Indramayu pada
tahun 2013 adalah 1.690.977 Jiwa, dengan
luas wilayah: 2.092,10 km2. Adapun
kepadatan Penduduk adalah 805,44
Orang/km2. Jumlah terbesar penduduk
berada di Kecamatan Kandanghaur,
Haurgeulis, Anjatan, dan Juntinyuat
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
(di atas 40 ribu). Sedangkan jumlah
penduduk terkecil adalah berada di
Kecamatan Pasekan, Bangodua, dan
Cantigi (di bawah 15 ribu).
Metode Penelitian
Penelitian dengan pendekatan
kualitatif ini menggunakan teknik
pengumpulan
data
melalui
studi
kepustakaan, wawancara, dan observasi.
Dalam studi kepustakaan, data sekunder
digali dari: 1). Laporan Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat terkait
data demografi, ekonomi, pendidikan,
dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) untuk masyarakat Indramayu; 2).
Penelitian terdahulu yang relevan dengan
tema kajian; 3). Data-data statistik seputar
jumlah perkawinan dan perceraian
yang diperoleh dari Pengadilan Agama
(PA) dan Kantor Kementerian Agama
Kabupaten
Indramayu.
Sedangkan
untuk wawancara dilakukan wawancara
mendalam dengan sejumlah informan
yang dikelompokkan dalam dua kategori:
key informan dan informan biasa.
Untuk kategori key informan
adalah istri (sebagai pelaku) yang telah
melakukan cerai gugat dan suami sebagai
pasangan yang dicerai dengan ceraigugat. Kriteria key informan dimaksud
adalah mereka yang saat penelitian
dilakukan usia perkawinannya dalam
masa kritis perkawinan (1-5 tahun masa
perkawinan).
Sedangkan informan
biasa terdiri atas suami, orang tua,
unsur keluarga dekat (suami-istri)
yang mendampingi proses cerai gugat,
tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat
struktural Pengadilan Agama Kabupaten
Indramayu (Wakil Panitera, Hakim yang
memediasi pasangan yang mengajukan
perceraian (cerai gugat), Pejabat Kantor
Kementerian Agama yang terdiri atas
unsur Kepala Seksi Urusan Agama
145
Islam, Kepala dan Staf KUA/Penghulu,
lebe, pengurus PCNU Kabupaten
Indramayu, aktivis Urban Institute,
tokoh agama, dan warga masyarakat.
Setiap wawancara dilakukan perekaman
dan kemudian dilakukan transkrip.
Dalam proses pencarian data ini, untuk
keabsahannya dilakukan triangulasi,
yaitu membandingkan dan mengecek
derajat kepercayaan suatu informasi.
Kemudian, dalam pengolahan data
dilakukan analisis data yang terdiri dari
beberapa tahapan yakni, data yang berhasil
dikumpulkan diseleksi dan disusun
kemudian dijelaskan secara sistematis dan
dianalisis dengan menggunakan logika
induktif, yaitu melalui silogisme yang
dibangun berdasarkan data lapangan
yang bersifat khusus dan bermuara pada
kesimpulan-kesimpulan yang bersifat
umum. Sebagaimana lazimnya penelitian
kualitatif maka kesimpulan tersebut
hanya berlaku pada suatu hal yang
merupakan objek penelitian dan tidak
dapat digeneralisir untuk semua kasus.
Hasil dan Pembahasan
Pandangan dan Fakta Seputar Tingginya
Perceraian di Indramayu
Pe r c e r a i a n
di
Indramayu
menempati posisi tertinggi di Indonesia.
Pandangan tersebut hampir diyakini oleh
banyak masyarakat, baik di Indramayu
maupun dari daerah lain. Setiap harinya
(kecuali Sabtu dan Minggu atau hari
libur) gedung Pengadilan Agama Kota
Indramayu dipadati banyak anggota
masyarakat, yaitu suami dan/atau istri,
yang ingin mengurus proses perceraian
atau keluarga dan kerabat yang
mengantar. Menurut M. Sodik, Wakil
Panitera Pengadilan Agama Kabupaten
Indramayu dan juga dibenarkan oleh
salah seorang hakim di Pengadilan
Agama Kabupaten Indramayu tersebut,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
146
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
setiap harinya gedung itu didatangi
kurang lebih seratus pengunjung dari
masyarakat yang mengajukan perceraian.
Dengan banyaknya kasus perceraian di
Indramayu, memperkuat dugaan bahwa
Kabupaten Indramayu menempati posisi
tertinggi dalam kasus perceraian di
Indonesia.
Namun demikian, jika dilihat dari
perbandingan di kota/kabupaten lainnya
di Indonesia, sebenarnya yang menempati
posisi tertinggi adalah Banyuwangi,
Jawa Timur. Berdasarkan data yang
dikeluarkan pihak Kantor Kementerian
Agama dan Pengadilan Agama Kabupaten
Indramayu, angka perkawinan pada
tahun 2014 adalah sekitar 22.624 kasus,
sedangkan angka perceraian adalah
8.067 kasus. Apabila dipersentasekan
kasus perceraian tersebut adalah sekitar
26% jika dibanding angka perkawinan
pada tahun yang sama. Sedangkan
untuk Banyuwangi pada tahun 2014
angka perkawinan adalah 15.752 kasus,
sedangkan perceraian mencapai 6.711
kasus.
Jika dipersentasekan angka
perceraian di Banyuwangi adalah
sekitar 30%, dibandingkan dengan
angka perkawinan pada tahun tersebut.
Dengan melihat angka persentase ini,
maka Kabupaten Banyuwangi memiliki
angka perceraian lebih tinggi dibanding
Indramayu.
Terkait dengan adanya pernyataan
bahwa perceraian merupakan budaya
masyarakat Indramayu, hal itu tidak
sepenuhnya dibenarkan oleh penduduk
di sana. Sebagian masyarakat misalnya,
An (49 tahun) menyatakan:
“Tidak benar jika dikatakan
sudah menjadi budaya, memang
ada perceraian tapi bukan karena
budaya, tapi karena banyak usia
belum matang dan minim dari
segi pendidikan, di samping itu
ekonomi suami belum memadai,
HARMONI
Mei - Agustus 2015
suami kerjanya belum tetap masih
buruh dan kadang pengangguran”.
Pandangan yang hampir serupa
juga dinyatakan oleh AS (55 tahun).
Menurutnya:
“Ada unsur pasangan itu belum
siap menikah tapi terpaksa harus
menikah, jadi tidak siap menghadapi
tantangan rumah tangga, akhirnya
ya tidak bisa bertahan. Baru satu,
dua tahun sudah bercerai.”
Sementara
itu,
berdasarkan
pengakuan warga masyarakat lainnya
AR (43 th), ia setuju bahwa banyak terjadi
kasus perceraian di Indramayu dan itu
sudah menjadi budaya. Alasannya, di
lingkungan keluarganya banyak yang
menjalani perkawinan lebih dari satu
kali. Lebih lengkap AR menyatakan:
“Ayah saya sudah menikah dua
kali, bahkan ibu saya menikah tiga
kali, demikian kerabatnya yang lain,
paman, bibi juga begitu mereka ada
yang tidak hanya satu kali menjalani
perkawinan. Jadi meski saya gak
setuju, tapi nyatanya demikian,
banyak perceraian di sini”.
Gambaran di atas menunjukkan
masih terdapat perbedaan persepsi
di masyarakat, dalam menilai apakah
perceraian merupakan budaya di
masyarakat
Indramayu.
Namun
demikian fakta yang diungkapkan
berdasarkan jumlah kasus perceraian
dari Pengadilan Agama Kabupaten
Indramayu menunjukkan bahwa hingga
saat ini kasus perceraian di Kabupaten
Indramayu relatif tinggi yaitu mencapai
26% dari angka perkawinan pada tahun
yang sama.
Penyebab Tingginya Perceraian di
Indramayu
Dalam hal perceraian, terdapat
pandangan lain bahwa di Kabupaten
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
Indramayu banyak laki-laki Indramayu
yang melakukan poligami sehingga
hal demikian menjadi faktor penyebab
tingginya
cerai
gugat.
Mayoritas
masyarakat Indramayu adalah muslim
yang umumnya memiliki pemahaman
(khususnya laki-laki), bahwa poligami
diperbolehkan dalam Islam. Alasannya
adalah karena ada dalam al-Quran
dan Hadits. Pandangan ini kemudian
digunakan
kaum
laki-laki
untuk
membenarkan
praktik
poligami.
Mengenai hal ini, ZA (55 tahun), seorang
guru agama mengatakan:
“Dalam Islam, laki-laki itu punya
hak menikah lebih dari satu, tapi
namanya hak, itu bisa digunakan
bisa tidak, beda dengan kewajiban.
Kalo
kewajiban
itu
harus
(dilaksanakan).
Dalam kesempatan yang lain, lebih
lanjut AS menjelaskan:
“Jika keadaan tertentu, maka bisa
digunakan hak itu, dengan cara
lebih dahulu meminta ijin secara
baik-baik pada isteri, misalnya
karena sudah lama tidak punya
anak. Kalo dikatakan sunnah
(mengikuti ajaran Nabi) juga tidak
benar, itu sesuai keadaan saja.
Masa kawin lagi dengan yang lebih
muda disebut Sunnah, itu ngambil
enaknya saja, kalau pernikahan
Nabi itu dengan yang umurnya tua,
apa dia mau?”
Sementara itu, Mj (36 tahun),
seorang anak tokoh agama, memberikan
penjelasan
yang
agak
berbeda.
Menurutnya:
“Karena poligami adalah hak suami
maka boleh tidak seijin istri, jika
harus ijin isteri ya, mana ada isteri
yang mengijinkan suminya punya
isteri lagi.”
147
Dalam pandangan Mj tersebut,
adalah umum dan wajar jika suami
melakukan poligami, baik secara terangterangan maupun secara sembunyisembunyi. Alasan yang dikemukakan oleh
Mj adalah karena agama membolehkan
praktik tersebut. Pandangan bolehnya
praktik poligami memang diyakini oleh
cukup banyak masyarakat di Indramayu.
Implikasinya adalah, muncul beberapa
kasus di mana suami melakukan
poligami tanpa seijin isteri pertama,
sehingga hal tersebut menjadi penyebab
terjadinya beberapa kasus perceraian.
Meski tidak menjadi mayoritas dari
penyebab perceraian, pertengkaran dan
konflik mulai terjadi ketika diketahui oleh
isteri bahwa suaminya telah beristri lagi
(biasanya dilakukan secara kawin siri).
Ketika suami tetap dalam pendiriannya
bahwa ia ingin berpoligami, maka
akhirnya konflik semakin memuncak
dan sulit didamaikan. Akibatnya tidak
sedikit peristiwa tersebut berakhir
dengan perceraian, dan umumnya pihak
istri menuntut cerai-gugat ke Pengadilan
Agama.
Pandangan
lainnya tentang
penyebab perceraian di Indramayu
adalah adanya problem kemiskinan yang
kemudian menyebabkan perceraian,
termasuk
cerai-gugat.
Problem
kemiskinan ini dapat dilihat dari rerata
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Kabupaten Indramayu yang menempati
posisi IPM terendah di Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2013 dan tingginya
jumlah penduduk kategori miskin di
Indramayu yang menduduki rangking
kedua di Provinsi Jawa Barat.
Alasan ekonomi yang menjadi
penyebab kasus perceraian terlihat pada
data tahun 2014 yakni mencapai 6.814
kasus atau mencapai 92% dari total kasus
yaitu 7.385 perceraian. Dengan demikian,
sangat logis bahwa penyebab tingginya
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
148
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
perceraian di Indramayu adalah karena
persoalan ekonomi, ketika data perceraian
tersebut dihubungkan dengan data indeks
kemiskinan yang ada di Indramayu yang
memang cukup tinggi.
menjadi TKI di luar negeri antara lain:
Malaysia, Taiwan, Singapura, Jepang,
Korea, Cina, Arab Saudi, Oman, Qatar,
Eni Emirat Arab, Brunei Darussalam, dan
lainnya.
Tabel 1
Alasan Penyebab Perceraian di Indramayu
No
1
Moral
2
3
4
5
6
7
8
Penyebab Perceraian
Poligami Tidak Sehat
Krisis Moral
Cemburu
M e n i n g g a l k a n Kawin paksa
Kewajiban
Ekonomi
Tidak ada Tanggung Jawab
Kawin di Bawah Umur
M e n y a k i t i Menyakiti Jasmani
Jasmani
Menyakiti Mental
Dihukum
Cacat Biologis
Terus Menerus Politis
Berselisih
Gangguan Pihak Ketiga
Tidak ada Keharmonisan
Lain-Lain
Jumlah
Namun demikian, menurut Supyan,
Hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Indramayu yang biasa memediasi
perceraian, untuk kasus perceraian
karena
alasan
ekonomi
biasanya
dikarenakan penghasilan suami setiap
bulannya sedikit, yakni di bawah satu juta.
Namun, menurutnya, tidak semua kasus
perceraian terjadi karena alasan ekonomi
melainkan berkaitan dengan faktor lain.
Istri biasanya masih mau menerima jika
alasannya hanya faktor kurang bisa
menafkahi isteri dan keluarga. Namun
menurut Supyan terdapat alasan lain
yakni:
“Biasanya istri karena kecewa, kok
gak mau gigih berusaha, malah
leha-leha (santai), perilaku suami
menjengkelkan,
kalau
malem
HARMONI
Mei - Agustus 2015
2010
23
34
9
28
3205
9
0
2
0
0
0
0
67
1060
0
4437
2011
13
10
4
50
4905
34
0
4
0
1
3
0
202
324
0
5550
2012
22
4
4
15
6493
15
2
2
0
1
0
0
63
88
0
6709
2013
8
2
10
3
8136
19
0
2
1
0
0
0
22
53
0
8256
2014
75
176
21
14
6814
47
1
29
5
0
11
1
88
103
0
7385
keluyuran pulang lewat tengah
malam. Di situ istri merasa kurang
diperhatikan, adakalanya malah
ditemukan suami iseng dengan
perempuan lain.”
Lebih lanjut Supyan menjelaskan,
“Kurang lebih hanya 10% saja sebenarnya
perceraian yang murni dikarenakan
alasan ekonomi.”
Pandangan lain mengenai penyebab
tingginya perceraian di Indramayu
adalah banyaknya perempuan yang
menjadi TKI di luar negeri telah menjadi
penyebab terjadinya peristiwa ceraigugat. Tingginya angka kemiskinan
di Indramayu mendorong banyak
penduduk untuk mencari pekerjaan di
kota-kota lain, termasuk mengadu nasib
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
Dari tahun ke tahun, jumlah TKI
secara nasional memang mengalami
peningkatan jumlah. Berdasarkan data
BNP2TKI, pada tahun 2011 jumlahnya
586.802 orang; tahun 2012 jumlahnya
494.609 orang; tahun 2013 jumlahnya
512.168 orang; dan tahun 2014 jumlahnya
429.872 orang. Dari jumlah tersebut,
mayoritas TKI adalah pekerja perempuan
yaitu mencapai 62 persen, sedangkan lakilaki sebanyak 38 persen. Berdasarkan
status perkawinan diperoleh keterangan
bahwa yang telah menikah jumlahnya
mencapai 56 persen, belum menikah
sebanyak 35 persen dan status cerai 9
persen. Mengenai jumlah TKI secara
nasional, diperoleh keterangan bahwa
pada tahun 2015, Kabupaten Indramayu
menduduki angka tertinggi dalam
pengiriman TKI ke luar negeri.
Berdasarkan angka-angka di atas
khususnya mengenai status perkawinan
para pekerja TKI, di mana 62 persen
TKI adalah perempuan dan 56 persen
TKI adalah berstatus kawin, maka bisa
dipastikan bahwa banyak TKI perempuan
asal Indramayu yang dalam status
memiliki suami kemudian bekerja di
luar negeri. Hubungan suami-istri jarak
jauh ini sangat rawan untuk terjadinya
praktik poligami tanpa izin pihak istri,
khususnya suami yang ditinggalkan
oleh istrinya yang menjadi TKI di luar
negeri. Banyak kasus diungkapkan oleh
beberapa informan, ketika istri bekerja
sebagai TKI di luar negeri, maka suami
kemudian menikah lagi, bahkan dengan
menggunakan uang yang dikirim oleh
isterinya.
Menurut AS (52 tahun), seorang
tokoh masyarakat:
“Sangat wajar jika karena istrinya
yang jauh di luar negeri berbulanbulan bahkan bertahun-tahun,
padahal suami memiliki kebutuhan
biologis. Hal itu mendorong
suami mencari isteri lagi yang
149
dinikah secara siri guna memenuhi
kebutuhannya itu.”
Nampaknya persoalan kemiskinan,
yaitu ketidakmampuan suami mencukupi
kebutuhan rumah tangga berkorelasi
dengan isteri yang kemudian berusaha
mencari solusi dengan mencari kerja di
luar negeri, dan adanya pandangan agama
– dalam perspektif umum masyarakat
(laki-laki) – yang membolehkan poligami,
memunculkan banyak kasus istri yang
menjadi TKI kemudian melakukan ceraigugat setelah mengetahui suaminya telah
menikahi perempuan lain secara siri
tanpa seijinnya.
Selain praktik poligami dan
banyaknya perempuan menjadi TKI, di
Kabupaten Indramayu juga berkembang
suatu pandangan bahwa kemiskinan
(ekonomi lemah) dan kebodohan
(lemahnya tingkat pendidikan) telah
menjadi penyebab banyaknya perceraian.
Bagi sebagian masyarakat Indramayu,
ada yang menilai bahwa ada dua faktor
utama penyebab tingginya perceraian
di Indramayu, yaitu soal rendahnya
pendidikan pasangan suami-istri atau
salah satunya dan rendahnya keadaan
ekonomi. Saat ini, sulit untuk dapat
mengetahui berapa rata-rata pendidikan
pasangan yang menikah. Meskipun data
tersebut dilaporkan oleh masing-masing
KUA kepada Kepala Seksi Urusan Agama
Islam di Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Indramayu, namun pada
saat dijumlahkan, angka yang muncul
tidaklah valid. Menurut seorang staf di
Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Indramayu, selama ini banyak KUA
yang tidak menuliskan laporan secara
detail dan benar, khususnya terkait data
pendidikan pasangan yang menikah.
Laporan yang dikirim biasanya hanya
menyangkut jumlah N (peristiwa nikah)
saja yang ditulis secara benar, sedang
data lainnya tidak ditulis secara cermat.
Namun demikian, berdasarkan data BPS
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
150
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
Provinsi Jawa Barat diperoleh keterangan
bahwa di Kabupaten Indramayu ratarata indeks pendidikannya terendah
yaitu hanya 71,30 dari indeks rata-rata
Jawa Barat sebesar 82,31. Oleh karena
itu, meskipun tidak ada angka pasti
namun dapatlah dikemukakan bahwa
tingkat pendidikan berhubungan dengan
tingginya angka perceraian, dan sangat
mungkin bahwa kedua hal tersebut
memiliki korelasi yang kuat. Sebab,
meskipun asumsi ini tidak bersifat
absolut, namun kualitas pendidikan
seseorang sangat berhubungan dengan
kemampuan dalam pencapaian atau
keberhasilan ekonominya. Terlebih dari
data yang ada disebutkan bahwa 92%
penyebab perceraian di Indramayu
disebabkan oleh faktor ekonomi.
Pandangan lain yang berkembang
di Indramayu mengenai penyebab
perceraian adalah banyak peristiwa
perkawinan di bawah umur (belum siap
menikah). Padahal, tingkat kematangan
seseorang sangat dibutuhkan dalam
menghadapi problem-problem yang akan
dihadapi dalam rumah tangga. Oleh
karena itu, kematangan usia perkawinan
sangat
penting
dalam
hubungan
pernikahan. Berdasarkan data yang ada,
jumlah perkawinan usia dini atau usia
di bawah umur jumlahnya relatif tidak
berkurang setiap tahunnya. Pada tahun
2014 misalnya, jumlahnya mencapai 429
kasus, sedangkan sebelumnya yaitu tahun
2013 ada 455 kasus. Jika berdasarkan data
tahun 2014 yang menunjukkan jumlah
angka perkawinan mencapai 22.625
peristiwa, maka jumlah perkawinan
dengan salah satu pasangan masih
dibawah umur mencapai 2 persen.
Beberapa informan memberikan
kesaksian bahwa mereka yang menikah
di bawah umur umumnya terpaksa
menikah karena ‘kecelakaan’ yaitu telah
hamil sebelum menikah. Pernikahannya
HARMONI
Mei - Agustus 2015
tentu tidak didasari niat yang kuat untuk
membina rumah tangga, melainkan hanya
‘menutup’ malu atau sekedar agar bayi
yang dikandung memiliki ayah. Setelah
bayi lahir, biasanya rumah tangganya
tidak bisa dipertahankan. Mengenai
kasus semacam ini, memang tidak ada
data pasti yang menunjukkan bahwa
kasus perkawinan karena ‘kecelakaan’,
dan perkawinan dengan usia di bawah
umur tersebut kemudian perkawinannya
berakhir dengan perceraian, namun
patut diduga bahwa dalam usia yang
belum matang, akan sangat rentan bagi
pasangan suami-istri untuk mampu
membina rumah tangga, apalagi jika
ekonomi juga menjadi faktor yang turut
membebani.
Dari data dispensasi perkawinan
yang ada, diketahui bahwa jumlah
dispensasi nikah secara statistik bersifat
fluktuatif. Pada tahun 2010 jumlahnya
adalah 169 orang, tahun 2011 jumlahnya
311 orang, tahun 2012 jumlahnya 350
orang, tahun 2013 jumlahnya 455 orang,
dan tahun 2014 jumlahnya 249 orang.
Dispensasi nikah adalah surat dispensasi
yang dikeluarkan adalah pengadilan
agama ketika masyarakat mengajukan
permohonan untuk nikah namun
terkendala karena usia perkawinan
belum mencapai ketentuan atau masih
dibawah umur. Berdasarkan ketentuan
yang ada, bagi masyarakat yang usia
perkawinan belum mencapai ketentuan
atau masih dibawah umur maka tidak
akan mendapatkan persetujuan penghulu
(PPN) di KUA kecuali telah mendapatkan
dispensasi nikah dari pengadilan agama.
Seputar
Kasus
Cerai-Gugat
Kabupaten Indramayu
di
Dalam rangka melindungi hak-hak
istri dari adanya unsur-unsur yang tidak
dikehendaki dalam suatu perkawinan,
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
terutama adanya kekerasan dalam
rumah tangga, baik fisik maupun psikis,
maka dalam perkawinan di Indonesia
khususnya, dikenal adanya cerai yang
diajukan oleh pihak istri ke pengadilan
agama yang dikenal dengan istilah cerai
gugat. Adapun cerai yang diajukan
oleh pihak suami ke pengadilan agama
dikenal dengan istilah cerai talak saja.
Jika dilihat dari perspektif hukum Islam,
hak talak pada dasarnya hanya dimiliki
suami, sehingga hanya suami yang
mengendalikan talak tersebut, seorang
istri tidak memiliki hak untuk talak.
Namun demikian dalam Islam juga
dikenal adanya pembatalan (fasad) nikah
oleh hakim di pengadilan karena hal-hal
yang telah ditetapkan, dalam konteks
itulah cerai-gugat kemudian menjadi
bagian dari hukum Islam.
Di Kabupaten Indramayu angka
perceraian setiap tahun cenderung
menunjukkan angka yang meningkat.
Demikian halnya dengan angka ceraigugat, meskipun pada tahun 2014
jumlahnya lebih sedikit jika dibanding
tahun 2013, namun dari tahun 2010 sampai
dengan 2013 datanya meningkat tajam,
sehingga secara umum berdasarkan
perbandingan data dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2014, angka
cerai-gugat frekuensinya menunjukkan
peningkatan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
151
Dibalik Keputusan Isteri Melakukan
Cerai-Gugat
Dari hasil kajian terhadap tiga
pasangan (suami-isteri) di Indramayu,
secara umum, keputusan isteri melakukan
cerai-gugat dilakukan dalam proses
yang relatif panjang, diawali dengan
perenungan oleh individu (isteri sebagai
pelaku), kemudian membicarakannya ke
orang yang dipercayai dalam keluarga,
kapada orang tua, dan kemudian pihak
di luar keluarga yaitu untuk kasus di
Indramayu adalah kepada lebe (modin).
Cerai gugat juga terpaksa diinisiasi
oleh istri sebab dalam kasus di Indramayu
biasanya suami “nambang dawa”, yaitu
tidak mau menceraikan istri. Untuk lebih
memahami persoalan dan dinamika yang
mengiringi cerai-gugat di Indramayu,
berikut ini gambaran singkat latar
belakang di balik keputusan isteri yang
akhirnya berani melakukan cerai-gugat
ke Pengadilan Agama (PA). Kasus yang
menjadi contoh adalah tiga pasangan
keluarga yang semuanya berasal dari
Kabupaten Indramayu yaitu, 1). Pasangan
Ns dan Mj; 2). Pasangan Ami dan YH;
dan 3). Pasangan Cl dan Jd.
Pasangan Mj (Suami) dan Ns (Isteri)
Ns (istri), pendidikan SLTP, umur 29
tahun, kini (setelah bercerai) ia tinggal di
rumah orang tua yang berprofesi sebagai
tukang becak di Desa Pakandangan,
Tabel 2
Data Cerai-Talak dan Cerai-Gugat di Indramayu
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Cerai Talak
1,047
1,333
1,714
2,079
2,220
Cerai Gugat
4,067
4,970
5,670
5,959
5,847
Jumlah
5,114
6,303
7,384
8,038
8,067
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
152
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
sementara ibunya berjualan jagung
rebus keliling. Ns menikah dengan Mj
(suami) berumur 36 tahun, pekerjaan
Mj adalah petani, berasal dari keluarga
cukup terpandang. Saat menikah ia
memiliki surat resmi bahwa statusnya
adalah duda. Sebelum berkenalan dan
kemudian menikah pada bulan Desember
tahun 2014. Beberapa hari menikah,
ada perempuan yang menelpon Ns dan
mengaku sebagai isteri Mj. Ia sebelum
pergi menjadi TKI ke luar negeri dinikahi
oleh Mj. Ketika NS mengonfirmasi, Mj
tidak mau berterus terang. Sejak itu, Ns
meminta kembali ke rumah orang tuanya
dan menyatakan tidak mau meneruskan
pernikahan.
Ns menceritakan masalah rumah
tangganya kepada kakak perempuannya.
Oleh kakak perempuannya kemudian
disampaikan kepada keluarga termasuk
ayah dan ibunya. Akhirnya ayah ibu Ns
meminta Ns menjelaskan apa yang terjadi.
Setelah mendengar apa yang dialami Ns,
pihak orang tua dan keluarga memahami
persoalan yang terjadi, dan kemudian
menyerahkan keputusan kepada Ns.
Ns bertekad untuk menggugat cerai,
tidak mau meneruskan perkawinannya
sebab sudah dibohongi Mj, apalagi akan
dijadikan sebagai isteri kedua. Pada
dasarnya orang tua sangat menyesali
peristiwa buruk yang menimpa anaknya.
Kedua orang tua Ns sebenarnya tidak mau
ada perceraian, namun mendukung penuh
keputusan anaknya, sebab sejak awal Mj
tidak berterus terang, ia hanya mengaku
duda. Ns mendengar dari sepupunya
yang pernah cerai gugat, bahwa untuk
mengurus cerai gugat, pengurusannya
dilakukan di pengadilan agama melalui
lebe. Maka setelah mendapat dukungan
keluarga, ia menyampaikan maksudnya
ke lebe (Pak Mulyani).
di rumah orang tuanya di Desa Singaraja.
Meski setelah pernikahannya dengan
YH (suami) belum dikaruniai anak,
namun dengan kesepakatan suami, ia
mengangkat anak. Anak angkat tersebut
masih keponakan (anak dari kakak
Am). Sedangkan YH, umur 33 tahun,
pendidikan STM, keluarga cukup mampu
tinggal di perumahan (komplek), meski
tidak ada bapak (sudah meninggal) tapi
ibunya punya usaha travel. YH sendiri
memiliki mobil Elf dan dia sendiri yang
menyupir.
Masa pacaran dijalani cukup lama
sekitar 5 tahun. Sesuai kesepakatan
berdua, pada saat yang telah ditentukan,
YH pun melamar Am ditemani ibunya.
Setelah satu bulan, atas kesepakatan
pihak keluarga, kemudian ditetapkan
hari pernikahan. Rumah tangga Am dan
YH awalnya berjalan harmonis, tidak
ada kendala soal ekonomi sebab YH
menyupir sendiri mobil Elf-nya untuk
trayek penumpang Indramayu- Cirebon,
sehingga penghasilannya cukup lumayan,
bahkan ia sendiri sering membawa
penumpang dari biro travel milik ibunya
ke berbagai kota.
Pasangan YH (Suami) dan Am (Isteri)
Pada tahun 2011, suami Am mulai
jarang pulang, ketika ditanya alasannya,
YH mengatakan bahwa ia banyak
mengantar /membawa penumpang.
Ternyata ketika YH mulai sering pergi
dan lama tidak pulang, YH mempunyai
pacar di Yogya, bahkan kemudian
dijadikan isterinya. Suatu saat YH pulang
ke Indramayu dan istri barunya tetap
tinggal di Yogyakarta. Karena jarak yang
jauh, saat YH ‘bergilir’ ke isteri muda
maka dia menetap lebih lama, jadi hanya
sesekali saja pulang ke Indramayu. Jika
di Indramayu hanya satu sampai dua
minggu, sedang jika di Yogya bisa sampai
sebulan bahkan dua bulan.
Am (istri) saat ini berumur 28
tahun, ia kini (setelah bercerai) tinggal
Kurang lebih tiga tahun, Am
mencoba menahan diri (2011-2014). Kini
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
(2014) rumah tangga Am mulai goyah, Am
sudah tidak lagi mampu bersabar, padahal
selama itu, menurut Am, dia mencoba
menunggu jika suatu saat suaminya akan
sadar, kembali seperti dulu. Menanggapi
keputusan Am yang sudah bulat untuk
cerai, akhirnya orang tua menyarankan
untuk proses gugatan cerai tersebut.
Am diarahkan agar menemui Lebe yaitu
Hafidz. Ketika Am juga menyampaikan
(konfirmasi) ke YH, ia mengatakan tidak
mau menceraikan, tetapi jika Am yang
mengajukan ia setuju dan akan mengganti
biaya perceraian. Lebe Hafid akhirnya
berani meneruskan gugatan cerai dari
Am dan mengajukannya ke Pengadilan
Agama (PA).
Pasangan Jd (Suami) dan Cl (Isteri)
Cl (istri), umurnya 16 tahun
saat menikah dengan Jd (suami),
pendidikannya tidak sampai lulus SD.
Saat ini (2015) ia tinggal di rumah orang
tuanya. Ayahnya bekerja sebagai sopir.
Ia menikah dengan Jd (suami), saat itu
umur Jd 17 tahun saat menikah. Ia bekerja
sebagai buruh bangunan. Setelah dilamar,
pada waktu yang telah ditentukan
akhirnya keduanya menikah pada tahun
2004.
Satu bulan setelah menikah,
keduanya tinggal di rumah orang tua
Cl. Setelah itu baru pindah ke rumah
orang tua Jd di daerah Tegal Sembadra
Kecamatan Balongan. Dalam waktu
yang relatif lama, keduanya berhasil
membangun
rumah
tangga
yaitu
selama tujuh tahun. Dalam kurun
waktu tujuh tahun tersebut keduanya
berhasil menjalani kehidupan rumah
tangga hingga keduanya telah dikarunia
dua anak. Beberapa tahun kemudian,
mulai ada cekcok dalam rumah tangga,
sebab penghasilan Jd tidak mencukupi
kebutuhan
keluarganya.
Maklum
pekerjaan Jd hanya buruh bangunan.
Keadaan itu sebenarnya oleh Cl masih
153
tidak dianggap terlalu mengganggu.
Ia masih bisa menerima, namun
bagaimanapun ekonomi berpengaruh
pada kehidupan rumah tangga. Cekcok
makin meningkat di tahun 2013, sebab
Jd suka membawa perempuan (pacar).
Konflik semakin meningkat pada
bulan Agustus 2013, Jd menyampaikan
keinginan untuk menikah lagi, di
depan matanya, Jd berani membawa
perempuan, bahkan dengan terus
terang ia mengatakan sudah tidak suka
dengan Cl. Menyikapi hal itu akhirnya
Cl menyampaikan niat ingin menggugat
cerai. Jd mengatakan, “Kalo mau cerai
ya udah kamu yang urus, nanti uangnya
saya ganti.” Cl pun akhirnya mendatangi
Lebe Hafid dan menyampaikan keinginan
menggugat cerai.
Setelah bercerai dengan Jd, kini
(2015) Cl bekerja serabutan kadang
mencuci baju milik tetangga, atau
pekerjaan lain. Meski sudah bercerai,
Jd masih memberikan uang untuk
kebutuhan anaknya. Saat ini kedua
anaknya terpisah, anak pertama tinggal
di orang tua Jd sedangkan yang kecil
bersama Cl.
Refleksi atas Kasus Cerai-Gugat
Dari contoh tiga kasus pasangan
yang bercerai melalui cerai-gugat itu
dapat disimpulkan, keberanian istri
melakukan gugat cerai didasari oleh
banyak faktor yaitu, Pertama, intensitas
persoalan (beratnya permasalahan) yang
dihadapi istri, sejauh istri merasa bisa
mengatasi, umumnya istri akan berusaha
menahan dan bersabar namun jika
dirasakan tidak mampu ditanggung maka
gugatan cerai merupakan keputusan
terakhir. Kedua, adanya pihak yang
mendukung melakukan niat bercerai,
biasanya dukungan (pembelaan) dari
orang tua. Ketiga, adanya asumsi bahwa
kesusahan/penderitaan psikologis setelah
bercerai dirasakan akan lebih ringan
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
154
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
dibanding meneruskan atau tetap dalam
perkawinan. Keempat, adanya pengalaman
pihak keluarga dekat atau teman yang
pernah melakukan cerai gugat, sehingga
pihak isteri dapat memahami tahapan
dan proses dalam cerai gugat.
Fenomena di atas, sejalan dengan
teori pertukaran Homans yang melihat
bahwa interaksi antar individu yang
melakukan pertukaran terdapat suatu
hukum dasar yaitu kepentingan (imbalan
dan keuntungan yang didapat oleh
individu yang melakukan pertukaran).
Dalam teori pertukaran sosial antara
perilaku dengan lingkungan terdapat
hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal). Karena lingkungan kita
umumnya terdiri atas orang-orang lain,
maka kita dan orang-orang lain tersebut
dipandang mempunyai perilaku yang
saling mempengaruhi. Dalam hubungan
tersebut terdapat unsur imbalan (reward),
pengorbanan (cost) dan keuntungan
(profit). Imbalan merupakan segala
hal yang diperloleh melalui adanya
pengorbanan, pengorbanan merupakan
semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah imbalan dikurangi
oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial
terdiri atas pertukaran paling sedikit
antar dua orang berdasarkan perhitungan
untung-rugi.
Misalnya,
pola-pola
perilaku di tempat kerja, percintaan,
perkawinan, persahabatan – hanya akan
langgeng manakala kalau semua pihak
yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi
perilaku seseorang dimunculkan karena
berdasarkan
perhitungannya,
akan
menguntungkan bagi dirinya, demikian
pula sebaliknya jika merugikan maka
perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Dalam kasus keberanian istri-istri
(Ns, Am dan Cl) melakukan gugatan
perceraian, maka keputusan itu diambil
ketika istri melakukan perhitungan
untung-rugi,
keputusan
diambil
ketika istri menganggap tidak lagi ada
keuntungan jika harus mempertahankan
hubungan, bahkan setelah dirasa banyak
HARMONI
Mei - Agustus 2015
pengorbanan, sementara imbalan yang
diperoleh sangat minim sehingga
akhirnya istri memutuskan tidak lagi
mempertahankan perkawinan.
Dampak Cerai-Gugat
Perceraian adalah peristiwa yang
sangat tidak diharapkan oleh siapapun.
Namun keputusan bercerai melalui ceraigugat, terpaksa dilakukan oleh istri kerena
merasa tidak ada pilihan lain. Dari tiga
kasus yang secara singkat telah diuraikan,
nampak keputusan itu terpaksa diambil
karena pilihan tetap membina rumah
tangga akan terasa lebih berat dan lebih
terasa menyiksa batin. Setelah bercerai,
secara ekonomi dampaknya tidak begitu
terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal
bersama orang tua, mereka pun bisa
bekerja walau hanya mendapatkan gaji/
honor kecil karena kerja serabutan (tidak
tetap). Namun bukan berarti tidak ada
persoalan, meski dampak dari perceraian
nampaknya telah lama dipikirkan, soal
psikologis merupakan persoalan paling
serius yang dirasakan oleh pihak isteri.
Ada kekecewaan yang mendalam atas
perilaku suami yang tidak menjaga
kesetiaan dan menghargai komitmen
dalam rumah tangga.
Sementara bagi anak-anak, usia
anak Am dan Cl yang masih kecil (di
bawah lima tahun) belum memahami
apa yang terjadi dalam hubungan orang
tuanya. Sehingga secara psikologis belum
bisa dilihat (belum membekas). Namun
ada sedikit kesulitan bagi Cl, sebab saat ini
untuk anak kedua diasuh oleh Cl sendiri,
sedangkan anak pertamanya diasuh oleh
mertuanya. Ketika ingin bertemu maka ia
harus pergi ke mertuanya tersebut.
Untuk kehidupan ke depan, Ns
berencana kembali menjadi TKI di luar
negeri, ia sudah mendaftarkan diri di
salah satu agen tenaga kerja. Ami saat
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
ini bekerja di Warnet sebagai tukang
pembersih, ia juga masih mendapatkan
uang dari mantan suaminya (YH),
baik keperluan dirinya maupun anak
angkatnya.
Sementara
Cl
bekerja
serabutan kadang dengan mencuci
baju milik tetangga, atau pekerjaan
lain. Mantan suami (Jd) juga masih
memberikan uang untuk kebutuhan
anaknya. Ketiganya (Ns, Am dan Cl)
hingga saat ini (2015) belum berniat untuk
bersuami lagi. Mereka masih trauma, dan
ingin bekerja saja mencari uang buat diri
sendiri dan anaknya.
Peran Struktur Sosial dalam Kasus
Cerai-Gugat
Salah satu struktur sosial yang
biasanya berperan dalam pembinaan
perkawinan dan menjadi lembaga
konsultasi perceraian adalah BP4.
Kepengurusan BP4 ada di tingkat
nasional,
provinsi,
kota/kabupaten,
dan kecamatan. Untuk di Kabupaten
Indramayu keberadaan BP4 nampaknya
belum dapat dikatakan eksis, karena saat
ini kepengurusan BP4 hanya ada ‘papan
nama’ di sejumlah KUA kecamatan yang
ada di Indramayu. Bahkan untuk tingkat
kabupaten, kepengurusan BP4 belum
terbentuk.
Saat ini struktur sosial yang dapat
dikatakan berperan dalam mengurusi
perceraian di Indramayu adalah lebe, yang
keberadaannya lebih bersifat individu.
Kedudukan lebe sendiri adalah lebih
mirip sebagai staf non-PNS dan nonhonorer di kelurahan atau desa. Setiap
kelurahan/desa memiliki satu orang lebe.
Meski statusnya tidak mendapat gaji/
honor, peran lebe sangat signifikan di
masyarakat. Sejumlah tugas dan fungsi
melekat pada seorang lebe dalam melayani
masyarakat, dari mulai pengurusan
kematian, hari besar keagamaan, dan
kegiatan keagamaan lainnya yang
dilakukan di tingkat kelurahan/desa,
155
namun status yang paling dikenal oleh
masyarakat adalah di bidang membantu
mengurus pendaftaran perkawinan, dan
menjadi mediator sekaligus mengurus
gugatan perceraian di pengadilan agama.
Dengan rutinitasnya mengurus
pendaftaran perkawinan dan perceraian,
stigma negatif kadang diberikan sejumlah
masyarakat kepada lebe sebagai ‘calo’
atau ‘biro jasa’ dalam dua kasus tersebut.
Stigma tersebut tidak sepenuhnya benar,
sebab status lebe adalah resmi sebagai
anggota masyarakat yang diangkat oleh
aparat kelurahan/desa. Di samping itu,
keberadaan lebe yang notabene tokoh
agama, sangat membantu masyarakat
dalam
mengurusi
pendaftaran
perkawinan maupun perceraian yang
keduanya merupakan persoalan yang
dekat dengan wilayah keagamaan.
Dalam
kasus
perceraian
di
Indaramayu, masyarakat umumnya
menggunakan jasa lebe. Disini lebe ternyata
tidak hanya mengurus pendaftaran
perceraian persoalan administratif saja,
namun juga menjadi mediator kedua
belah pihak. Sebagai contoh dalam
kasus perceraian antara Ns dan Mj yang
disebabkan Mj (suami) ternyata ketika
menikah mengaku status duda, Mj
berbohong sebab ternyata telah beristri
dengan seorang wanita berstatus TKI di
Arab Saudi. Pada awalnya kasus ceraigugat itu disampaikan oleh Ns kepada
Lebe Mulyani, setelah ia menerima
informasi
itu
Mulyani
kemudian
memverifikasinya kepada kedua belah
pihak. Lebe Mulyani mendatangi Mj
(suami Ns) dan orang tuanya. Di sini,
Lebe Mulyani juga berusaha melakukan
mediasi awal. Di depan Mj, Lebe Mulyani
menjelaskan bahwa ia mewakili Ns untuk
melakukan cerai-gugat. Mulyani ingin
mengetahui tanggapan dari Mj. Jika
masih ada kemungkinan untuk diperbaiki
hubungan keduanya (suami-istri) maka
lebe berusaha untuk memperbaiki
hubungan tersebut, namun jika tidak ada
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
156
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
tanda untuk kembali membina rumah
tangga, maka barulah ia meneruskannya
ke pengadilan agama. Dalam kasus
Ns versus Mj, keduabelah pihak sulit
dimediasi oleh Mulyani, sebab pihak Mj
bersikeras bahwa ia ingin berpoligami,
sementara Ns juga bersikeras menolak
dipoligami.
Peran dan eksistensi lebe dalam
memediasi perceraian sangat positif
sehingga perlu diapresiasi, pemerintah
kiranya bisa meningkatkan optimalisasi
peran tersebut dengan memberikan
dukungan yang memadai, baik dari
segi kapasitas maupun insentif lainnya.
Selama ini belum pernah ada program
kegiatan yang dilaksanakan pemerintah
dalam peningkatan kapasitas lebe dalam
memediasi
kasus-kasus
perceraian.
Selama ini, lebe lebih banyak dilibatkan
dalam mensosialisasikan peraturan atau
kebijakan yang dikeluarkan Kementerian
Agama RI, seperti biaya nikah, tata cara
pembayaran biaya nikah, dan lainnya.
Dalam
kasus
perceraian
di
Pengadilan
Agama
Indramayu,
sebenarnya ada proses yang disebut
mediasi. Dalam tahapan mediasi, kedua
belah pihak akan diundang dan oleh
hakim yang ditetapkan pihak Pengadilan
Agama (PA) keduanya akan diupayakan
untuk bisa berdamai atau tidak
melakukan perceraian. Namun demikian,
dalam banyak kasus perceraian dengan
proses cerai-gugat, jarang sekali pihak
suami mau datang ke pengadilan agama,
dengan alasan jika pihak sumai datang,
maka proses persidangannya akan lebih
lama. Untuk itu berdasarkan informasi,
selama ini untuk kasus cerai-gugat jarang
ada mediasi, sebab berdasarkan ketentuan
yang ada di Pengadilan Agama (PA),
proses mediasi dilakukan jika kedua belah
pihak (suami-istri) mau hadir memenuhi
undangan pihak Pengadilan Agama (PA).
Dengan demikian, mediasi di Pengadilan
Agama
(PA)
sebenarnya
kurang
maksimal sebagai upaya mencegah/
HARMONI
Mei - Agustus 2015
mengantisipasi kasus-kasus perceraian,
khususnya perceraian yang melalui
cerai-gugat. Supyan, Hakim Pengadilan
Agama Kabupaten Indramayu yang biasa
melakukan mediasi mengatakan, “Kalau
kasus yang sudah masuk ke Pengadilan
Agama (PA), biasanya sulit didamaikan,
sebab kasusnya sudah parah, jadi
sebaiknya ada mediasi terlebih dahulu
sebelum ke Pengadilan Agama (PA).”
Masih menurut Supyan, pihak pengadilan
agama biasanya akan mengabulkan
permohonan cerai-gugat, jika ditemukan
dalam rumah tangganya telah terjadi
pertengkaran yang terus menerus yang
tidak bisa didamaikan meskipun telah
melibatkan keluarga sebagai pendamai.
Penutup
Kesimpulan
Secara umum, berdasarkan data
yang diperoleh dari Pengadilan Agama
Kabupaten Indramayu, faktor tertinggi
yang menjadi penyebab tingginya
perceraian di Indramayu adalah ekonomi.
Berdasarkan data yang ada, disebutkan
bahwa 92% penyebab perceraian di
Indramayu adalah karena faktor ekonomi.
Namun demikian, dalam penelitian
ini ditemukan adanya beberapa faktor
yang kadang ikut mengiringi penyebab
perceraian tersebut
yaitu, adanya
perselingkuhan dan poligami tidak
sehat (tidak sesuai prosedur), rendahnya
tingkat pendidikan pasangan, banyaknya
istri yang menjadi TKI di luar negeri, serta
adanya unsur usia pasangan yang belum
siap, hal ini diindikasikan dengan adanya
beberapa pernikahan di bawah umur.
Jumlah cerai-gugat di Indramayu
termasuk tinggi. Pada tahun 2014,
berdasarkan data Pengadilan Agama
Kabupaten Indramayu, untuk cerai-gugat
(cerai yang diajukan istri) 72%, sedangkan
cerai-talak (cerai yang diajukan suami)
hanya 28%. Berdasarkan kajian terhadap
tiga kasus cerai-gugat di Kabupaten
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
Indramayu, keberanian istri melakukan
cerai-gugat didasari oleh beberapa faktor
yaitu, Pertama, intensitas persoalan
(beratnya permasalahan) yang dihadapi
istri, sejauh istri merasa bisa mengatasi,
umumnya istri akan berusaha menahan
dan bersabar namun jika dirasakan
tidak mampu ditanggung maka gugatan
cerai merupakan keputusan terakhir.
Kedua, adanya pihak yang mendukung
melakukan niat bercerai, biasanya
dukungan (pembelaan) dari orang tua.
Ketiga, adanya asumsi bahwa kesusahan/
penderitaan psikologis setelah bercerai
dirasakan akan lebih ringan dibanding
meneruskan atau tetap dalam perkawinan.
Keempat, adanya pengalaman pihak
keluarga dekat atau teman yang pernah
melakukan cerai gugat, sehingga pihak
istri dapat memahami tahapan dan proses
dalam cerai-gugat.
Setelah bercerai, dampak perceraian
paling berat adalah dirasakan oleh istri.
Dari tiga kasus yang secara singkat telah
diuraikan, nampak keputusan itu terpaksa
diambil karena pilihan tetap membina
rumah tangga akan terasa lebih berat
dan lebih terasa menyiksa batin. Meski
dampak dari perceraian nampaknya
telah lama dipikirkan, itu bukan berarti
tidak ada persoalan, khususnya dampak
psikologis, di mana istri merasakan
kekecewaan akibat perilaku suami yang
menyakiti secara psikologis. Adapun
secara ekonomi dampaknya tidak begitu
terasa, sebab saat ini mereka bisa tinggal
bersama orang tua, merekapun bisa
bekerja walau hanya mendapatkan gaji/
honor kecil karena kerja serabutan (tidak
tetap).
Secara kelembagaan, setidaknya
ada empat lembaga yang mengurusi soal
pembinaan perkawinan dan perceraian,
yaitu BP4, KUA, meditor di Pengadilan
Agama (PA), dan lebe. Saat ini lembaga
yang dapat dikatakan berperan dalam
mengurusi perceraian di Indramayu
adalah hanya lebe. Keberadaan lebe
157
yang notabene tokoh agama sangat
membantu masyarakat dalam mengurusi
pendaftaran
perkawinan
maupun
perceraian yang keduanya merupakan
persoalan yang dekat dengan wilayah
keagamaan. Dalam kasus perceraian
di Indramayu, masyarakat umumnya
menggunakan jasa lebe, sehingga lebe bisa
dikatakan masih efektif dalam memediasi
perceraian.
Adapun untuk BP4 di Indramayu,
saat ini keberadaan BP4 nampaknya
belum dapat dikatakan eksis. Mengapa
demikian? Saat ini kepengurusan BP4
hanya ada ‘papan nama’ di sejumlah
KUA kecamatan yang ada di Indramayu.
Bahkan
untuk
tingkat
kabupaten
kepengurusan BP4 belum terbentuk.
Sementara KUA, sebagaimana telah
diketahui bahwa setelah berlakunya UU
No. 3 Th 2006, maka mediasi perceraian
dilakukan oleh pengadilan agama yang
berada di bawah MA, di mana proses
mediasi tersebut dijembatani oleh
seorang hakim yang ditunjuk pengadilan
agama tersebut. Sejak saat itu Peran KUA
terkait perkawinan, kini hanya sebatas
melakukan
pencatatan
perkawinan
dan rujuk, serta pembekalan terhadap
penasehatan pra perkawinan atau kursus
calon pengantin.
Untuk mediasi oleh hakim di
Pengadilan Agama (PA), selama ini
kasus cerai-gugat jarang ada mediasi,
sebab berdasarkan ketentuan yang ada
di pengadilan agama, proses mediasi
dilakukan jika, kedua belah pihak (suamiistri) mau hadir memenuhi undangan
pihak pengadilan agama. Dengan
demikian maka mediasi di pengadilan
agama menjadi kurang maksimal sebagai
upaya mencegah/mengantisipasi kasuskasus perceraian, khususnya perceraian
yang melalui cerai-gugat, sebab sudah
menjadi modus, jika ingin proses di
pengadilan agama itu segera selesai,
maka pihak tergugat jangan sampai
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
158
ABDUL JAMIL & FAKHRUDDIN
hadir, sehingga hakim bisa langsung
mengabulkan permohonan cerai-gugat
tersebut.
Rekomendasi
Dari kajian dan kesimpulan
tersebut, terdapat beberapa rekomendasi
sebagai berikut: Pertama, berdasarkan
data yang ada di Pengadilan Agama
Kabupaten Indramayu, 92% penyebab
perceraian
di
Indramayu
adalah
dikarenakan faktor ekonomi. Maka,
dalam upaya menanggulangi tingginya
angka perceraian itu harus dilakukan
melalui upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat di segala bidang, seperti
optimalisasi
potensi
daerah
bagi
peningkatan
APBD,
intensifikasi
dan diversifikasi sumberdaya alam,
peningkatan
SDM,
memperbanyak
lapangan kerja, peningkatan bidang
ekonomi kreatif, dan usaha lainnya yang
bersifat memajukan ekonomi masyarakat
dan pembangunan. Sementara terkait
faktor-faktor lain yang mengiringinya
yaitu perselingkuhan, poligami tidak
sesuai prosedur. Maka diperlukan
reorientasi paradigma keagamaan tentang
bolehnya poligami perlu dilakukan. Kedua,
meski dalam laporan Pengadilan Agama
Kabupaten Indramayu disebutkan bahwa
92% penyebab perceraian di Indramayu
adalah karena faktor ekonomi, namun
hasil kajian ini juga menemukan bahwa
faktor tersebut tidak berdiri sendiri atau
bukan faktor tunggal. Ada faktor-faktor
lain yang mengiringi yaitu, kurangnya
perhatian suami terhadap isteri sehingga
terjadi perselisihan (pertengkaran) yang
terus menerus. Untuk itu perlunya
peningkatan
program
pembinaan
keluarga yang dilakukan secara periodik,
hal ini bisa dilakukan oleh Kementerian
Agama melalui KUA atau pemerintah
daerah melalui BP4.
Ketiga, saat ini kepengurusan BP4
di sejumlah KUA kecamatan yang ada di
Indramayu hanya ‘papan nama’. Bahkan
untuk tingkat kabupaten kepengurusan
BP4 belum terbentuk. Maka penelitian
ini merekomendasikan agar secara
kelembagaan
BP4
di
Kabupaten
Indramayu perlu direvitalisasi, baik
ditingkat Kabupaten maupun Kecamatan.
Agar
lebih
efektif,
seyogyanya
BP4 masuk dalam pembinaan oleh
pemerintah daerah, termasuk pendanaan
kegiatannya. Kepengurusan BP4 juga
seyogyanya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Indramayu, sehingga
dapat memberikan legitimasi bagi BP4
untuk akses ke pemerintah daerah.
Keempat,
penelitian
ini
juga
menyimpulkan bahwa peran lebe dalam
memediasi perceraian sangat positif
sehingga perlu diapresiasi, pemerintah
kiranya bisa meningkatkan optimalisasi
peran tersebut dengan memberikan
dukungan yang memadai, baik dari
segi kapasitas maupun insentif lainnya.
Selama ini belum pernah ada program
kegiatan yang dilaksanakan pemerintah
dalam peningkatan kapasitas lebe dalam
memediasi kasus-kasus perceraian.
Daftar Pustaka
Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna, 1993.
Ihromi, Tapi Omas (ed). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
ISU DAN REALITAS DI BALIK TINGGINYA ANGKA CERAI-GUGAT DI INDRAMAYU
159
Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komunitas Lintas Budaya Masyarakat Multikutural.
Yogyakarta: LkiS, 2005.
Mosse, J.C. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati (penterjemah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Edisi keenam.
Jakarta: Kencana, 2010.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
160
RASYIDUL BASRI
PENELITIAN
Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji
pada KUA Kecamatan di Kota Padang
Rasyidul Basri
Balai Diklat Keagamaan Padang,
Email: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 29 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Abstract
Abstrak
This research applies survey and descriptive
method with quantitative and qualitative
approach. This research aims to figure out
the effectiveness, supporting and inhibiting
factors in conducting Hajj Manasik guidance
at sub-District Religous Affair Office in
Padang in 2014. The sample is 100 of 929
participants from 10 sub-District Religious
Affair Offices consisting of head of subDistrict Religious Affair Office/ committee,
head of Hajj and Umrah department, head
of Padang Religious Affairs Office and Hajj
participants.The results shows that the
guidance Hajj Manasik implementation
2014 in Padang City is effective in manager
level while management, programs, and
infrastructure need to be developed. It
can be seen on the achievements of the
management indicator: 75.55% manager
indicator, 71.72% management indicator,
67.85% program indicator, and 69.43%
infrastructure indicator. Recommendation
is for General Director of Hajj and Umrah
through West Sumatera Religious Affairs
Office to issue the latest Religious Minister
decree containing sub-District Religious
Affair Office`s tasks as a Hajj consultant
at sub-district level and give a service on
marriage and reconciliation.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan metode survei
dan kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif. Penelitian ini bertujuan
mengetahui
efektivitas,
faktor-faktor
pendukung, dan penghambat pelaksanaan
bimbingan manasik haji KUA Kecamatan
di Kota Padang pada tahun 2014.
Sampel penelitian sebanyak 100 orang
yang diambil dari peserta sebanyak 929
orang pada 10 KUA Kecamatan dengan
komposisi Kepala KUA/Panitia Kecamatan,
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan
Umrah, Kepala Kantor Kementerian Agama
Kota Padang, dan calon jamaah haji. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan
bimbingan manasik haji oleh KUA
Kecamatan di Kota Padang tahun 2014
pada indikator pengelola dikategorikan
efektif, sementara pengelolaan, program,
dan sarana prasarana masih belum efektif.
Hal itu terlihat pada capaian indikator
pengelola sebesar 75,55%, pengelolaan
71,72%, program 67,85%, dan sarana
prasarana 69,43%. Adapun rekomendasi
dkepada Dirjen Penyelenggara Haji dan
Umrah melalui Kanwil Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Barat untuk menerbitkan
Praturan Menteri Agama terbaru yang
berisikan tugas KUA sebagai konsultan haji
di tingkat kecamatan selain melayani nikah
dan rujuk.
Keywords:
Effectiveness,
the
implementation of Guidance Hajj Manasik,
Sub-District Religious Affair Office
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Kata kunci: Efektivitas, Pelaksanaan
Bimbingan Manasik Haji, KUA Kecamatan.
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG
Pendahuluan
Pembekalan
calon
jamaah
haji
dengan
pengetahuan,
sikap,
dan keterampilan merupakan tugas
pemerintah
di
bawah
koordinasi
Kementerian
Agama
RI
yang
berwewenang sebagai penyelenggara
ibadah haji. Lembaga itu berkewajiban
memberikan pembinaan dan bimbingan
pelaksanaan ibadah haji. Undang-undang
Nomor 13 Pasal 7 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah haji terkandung
pernyataan
bahwa
pemerintah
berkewajiban melakukan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan dengan
menyediakan
layanan
administrasi,
bimbingan ibadah haji, akomodasi,
transportasi,
pelayanan
kesehatan,
keamanan, dan hal-hal lain yang
diperlukan jamaah haji.
Seharusnya,
KUA
Kecamatan
sebagai lembaga terdepan Kementerian
Agama RI menjadi pelaksana bimbingan
manasik haji yang dapat dihandalkan bagi
calon jamaah haji di wilayah kecamatan.
Bimbingan manasik haji merupakan salah
satu tahapan pembinaan calon jamaah
haji yang bertujuan untuk membekali
mereka dengan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan agar dapat melaksanakan
ibadah secara mandiri, baik, dan benar
sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Namun, lembaga tersebut hanya
bertugas
memberikan
pelayanan,
pengawasan, dan pelaksanaan nikah
dan rujuk (Peraturan PMA Nomor 39
Tahun 2012 tentang Organisasi dan
Tata Kerja KUA Kecamatan). Namun
demikian, meskipun tidak dinyatakan
dengan tegas pada PMA, sejak tahun
2006 sampai sekarang, KUA Kecamatan
telah melaksanakan bimbingan manasik
haji. Sayangnya, bimbingan manasik
jamaah haji itu seringkali diabaikan
atau tidak dianggap penting oleh calon
jamaah haji.
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Imam Syaukani pada
tahun 2011 menyebutkan sebuah fakta
161
bahwa bimbingan manasik haji yang
dilaksanakan oleh KUA Kecamatan
dinilai buruk oleh responden.
Berdasarkan kasus inilah, peneliti
melakukan observasi terhadap bimbingan
manasik haji yang diselenggarakan KUA
Kecamatan di bawah kordinasi Kantor
Kementerian Agama Kota Padang pada
tanggal 24 s.d. 30 Juni 2014 dengan jumlah
peserta 988 orang di 10 KUA Kecamatan
dari jumlah keseluruhan kecamatan
di Kota Padang yakni 11 kecamatan. 1
kecamatan tersebut tidak melaksanakan
kegiatan karena pertimbangan jumlah
jamaah yang sedikit.
Hasil
observasi
mengenai
kehadiran peserta pada kegiatan manasik
haji sangatlah bervariasi. Hari pertama
diikuti sekitar 75%, lalu hari berikutnya
berkurang menjadi 60-50% dari seluruh
jumlah calon jamaah. Padahal dalam
tata tertib disebutkan bahwa jumlah
peserta yang hadir semestinya tidak
berkurang karena diharuskan setiap
peserta mengikuti kegiatan sampai
selesai. Fenomena itu menunjukkan
bahwa ada yang belum efektif dalam
pelaksanaan bimbingan manasik haji di
KUA Kecamatan walaupun pelatihan
itu diberikan secara gratis kepada
mereka. Uniknya, mereka lebih memilih
bimbingan manasik yang diselenggarakan
oleh KBIH dengan bayaran 1 s.d. 2,5 juta
di luar setoran dana BPIH.
Berdasarkan latar belakang
masalah yang diuraikan sebelumnya,
rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana
pelaksanaan
bimbingan
manasik haji oleh KUA Kecamatan di
Kota Padang? Adapun tujuan penelitian
ini adalah mendeskripsikan efektifitas
pelaksanaan bimbingan manasik haji oleh
KUA Kecamatan di Kota Padang.
Selanjutnya, berdasarkan studi
pustaka yang peneliti lakukan, sejauh ini
belum ada penelitian mengenai masalah
bimbingan manasik haji oleh KUA
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
162
RASYIDUL BASRI
Kecamatan di Kota Padang. Beberapa
penelitian ilmiah tentang masalah perhaji-an hanya meliputi: “Ibadah Haji
Dalam Sorotan Publik” pada tahun
2007, ”Manajemen Pelayanan Haji di
Indonesia” pada tahun 2009, “Pelayanan
Haji Dalam Sorotan Publik Jilid 2 untuk
Wilayah Timur” yang dilakukan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Makasar pada tahun 2013.
Kerangka Teori
Efektivitas berhubungan dengan
pencapaian tujuan manajemen yang
telah dikaitkan dengan hasil kerja,
sasaran, dan target yang diharapkan
(Anorega, 2000:178). Sedangkan istilah
bimbingan berarti proses layanan yang
diberikan kepada individu-individu
guna membantu mereka memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan dalam membuat pilihan,
rencana, dan interpretasi yang diperlukan
untuk menyesuaikan diri yang baik
(Prayitno, 2004:94). Kemudian, istilah
manasik berasal dari bahasa Arab dengan
bentuk kata dasar nusuk yang berarti
ibadah, bakti kepada Allah, (Yunus,
1995:450). Ali (2004:283) mengemukakan
bahwa kata “haji” dalam bahasa Arab
bermakna mengunjungi sesuatu. Artinya,
manasik haji dalam kegiatan ibadah
haji dilakukan dengan cara mendatangi
Baitullah di Mekkah sebagai bentuk
ketundukan dan kepatuhan seseorang
hamba kepada khalik-Nya.
Menurut Baidhowi (2006:3),
pembinaan
merupakan
tahapan
bimbingan terhadap calon jamaah haji
yang dilaksanakan di tanah air dan di
Arab Saudi. Peraturan Menteri Agama
Nomor 14 Tahun 2012, Pasal 15 dan 16
menyebutkan bahwa pemerintah wajib
memberikan bimbingan kepada jamaah
haji mulai dari sebelum keberangkatan,
HARMONI
Mei - Agustus 2015
selama dalam perjalanan, selama di Arab
Saudi sampai dengan proses kepulangan
ke Indonesia. Bimbingan secara langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk tatap muka di
tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten/
kota.
Dalam hal ini, program Kementerian
Agama RI memberikan
bimbingan
manasik haji sebelum calon jamaah
haji berangkat ke Mekkah bertujuan
agar calon jamaah ketika berada di
tanah suci tidak merasa kaget dan ragu
ketika melaksanakan ibadah haji. Dirjen
PHU (2009:1) pun menjelaskan bahwa
bimbingan manasik haji dimaksudkan
agar jamaah dalam melaksanakan ibadah
haji sesuai dengan alur sehingga mereka
benar melaksanakan kegiatan ibadah
itu. Bimbingan manasik haji dapat
mempersiapkan jamaah yang isthitha’,
dengan cara memberikan pembekalan
tentang pengetahuan, keterampilan, dan
sikap selama pelaksanaan ibadah haji.
Indikator Efektivitas
Indikator efektivitas bimbingan
manasik haji menyangkut pengelola,
pengelolaan, program, dan sarana
prasarana. Jika keempat indikator itu
berfungsi maka akan tampak langkah
pencapaian tujuan, peran sistem dan
sub sistem, serta sumber daya manusia
sebagai pelaku yang memiliki potensi
penggerak kegiatan organisasi. Di
samping itu, pencapaian tujuan dan
sasaran pembelajaran yang sesuai
dengan keinginan semua pihak di dalam
proses pembelajaran. Oleh sebab itu,
pengelola, pengelolaan, program, dan
sarana prasarana merupakan variabel
bebas sedangkan tujuan, peran sistem,
sub sistem, dan SDM merupakan variabel
terikat.
Siswanto
(1990:18)
menyebut
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG
bahwa pengelola bertanggung jawab
atas pelaksanaan tugas dan pekerjaan
tertentu yang telah diprogramkan dengan
hasil yang memuaskan. Di samping
berperan sebagai manajer, pengelola juga
bertanggungjawab atas aktivitas dan
hasil kerja bawahannya. Pengelola yang
profesional menurut Khailani (2008:30)
adalah kondisi seseorang yang benarbenar memiliki keahlian dan keterampilan
serta sikap mental yang terpuji sehingga
perbuatan dan pekerjaannya berada
dalam kondisi yang terbaik dari penilaian
semua pihak.
KUA sebagai suatu organisasi
atau unit terdepan dari Kementerian
Agama RI pada dasarnya memiliki daya
atau kemampuan untuk menciptakan
yang terbaik atau disebut dengan istilah
consumer surplus. Consumer surplus adalah
kepuasan yang dicapai atau dirasakan
oleh pemberi jasa melebihi harapan yang
diinginkan oleh konsumen (Winardi,
2004:65).
Semakin
tinggi
tingkat
consumer surplus suatu organisasi, maka
semakin tinggi pula daya tahan hidup
organisasi yang bersangkutan, karena
semakin dibutuhkan oleh konsumen.
Seiring dengan pemikiran tersebut yang
memosisikan KUA Kecamatan dan
Kementerian Agama RI sebagai organisasi
atau lembaga penyedia manfaat, bagi
calon jamaah haji dan sebagai customer
surplus mereka bersedia mengeluarkan
biaya untuk memenuhi keinginan demi
mendapatkan kepuasan
Dengan kondisi demikian, KUA
Kecamatan yang bertugas sebagai
pengelola bimbingan manasik haji
sejatinya harus memahami keinginan
163
masyarakat
pengguna
jasanya
sebagaimana tertuang dalam visi dan
misi Kementerian Agama RI. Dalam
konteks ini pula, Yulius (2007:37-38)
mengemukakan bahwa karakteristik
kepemimpinan Kepala KUA Kecamatan
harus mempunyai nilai-nilai yang
tumbuh dari visi dan misi Kementerian
Agama, antara lain: keimanan dan
ketaqwaan, ikhlas beramal, semangat
sebagai pejuang, sederhana, pantang
menyerah, pelayan masyarakat, semangat
bekerja sebagai ibadah.
Selanjutnya
terkait
dengan
pengelolaan, kata ini dimaknai sebagai
suatu rangkaian pekerjaan atau usaha
yang dilakukan oleh sekelompok orang
untuk melakukan kegiatan kerja dalam
mencapai tujuan tertentu. Siswanto
(1999:31) mengungkapkan komponen
pengelolaan terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan,
pemotivasian,
dan pengendalian. Di
samping pengelola dan pengeloaan,
aspek yang tidak kalah pentingnya adalah
tersedianya program yang jelas. Menurut
Siagian (1994:189), program haruslah
merupakan kumpulan proyek-proyek
yang telah dirancang agar kegiatan yang
dilaksanakan harmonis dan terintegrasi
sehingga program tersebut membuat
sasaran dapat tercapai secara keseluruhan.
Program bimbingan manasik haji
oleh KUA Kecamatan ini, jika merujuk
kepada petunjuk Dirjen Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kementerian Agama
dalam surat dengan Nomor DT.VII/I/
HJ.01/ 1472/2013 tertanggal 20 Mei 2013
jelas terlihat sebagaimana tertulis pada
tabel berikut.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
164
RASYIDUL BASRI
Tabel 1.
Program Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan
No
1.
Materi
Pertemuan ke-1
Bimbingan Perjalanan
Ibadah Haji
Bimbingan Kesehatan
Haji
Pokok Bahasan
1. Persiapan sebelum berangkat ke asrama haji
embarkasi
2. Kegiatan di asrama haji
3. Kegiatan selama di pesawat
4. Kegiatan di bandara Arab
5. Kegiatan diperjalanan menuju pemondokan
6. Kegiatan dipondokan Makkah/Medinah
7. Kegiatan Arafah, Mudzalifah, Mina
Metode
Ceramah,
Tanya
Jawab,
Simulasi
(CTS)
1. Pelayanan kesehatan jamaah haji di tanah air
dan Arab Saudi
2. Jenis obat yang boleh dibawa ke tanah suci
3. Penangan dini terhadap jamaah risti
4. Asuransi bagi jamaah dan petugas haji
2.
Pertemuan ke-2
Bimbingan
Pelaksanaan Ibadah
Haji
1. Etika dan akhlakul karimah selama
pelaksanaan ibadah haji
2. Pengertian haji ifrad, tamattu’, dan qiran.
3. Macam-macam DAM
4. Pelaksanaan Shalat Arbain
CTS
3.
Pertemuan ke-3
Bimbingan
Pelaksanaan Ibadah
Haji/Umarah
1.
2.
3.
4.
5.
Berpakaian dan Shalat Sunat Ihram
Niat dan bacaan Talbiyah
Thawaf
Sai
Tahalul
CTS
4.
Pertemuan ke-4
Bimbingan pelaksanaan ibadah haji/
umrah
1. Praktek memakai pakian ihram
2. Praktek niat dan shalat sunat ihram
3. Praktek tawaf, sai, dan tahalul
CTS
5.
Pertemuan ke-5
Bimbingan
pelaksanaan ibadah
haji
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
CTS
6.
Pertemuan ke-6
Bimbingan
pelaksanaan ibadah
haji.
Praktek memakai pakaian ihram
Praktek niat dan Shalat Arbain
Praktek wukuf, mabid mudzalifah, dan mina
Praktek melempar jamarat
Praktek tawaf ifadhah
Praktek tahalul/memotong rambut
CTS
7.
Pertemuan ke-7
Ibadah dan kegiatan
selama di dalam
pesawat
1.
2.
3.
4.
5.
CTS
Ihram/miqat
Wukuf di Arafah
Mabid di Muzdalifah
Mabid di Mina
Melontar jamarat
Thawaf ifadhah
Tahalul awal dan tsani
Bersuci (wudhu/tayamum di pesawat)
Shalat di pesawat
Makan dan minum di pesawat
Membaca al-Qur’an, dzikir, dan do’a
Tata cara menggunakan fasilitas di atas
pesawat
Sumber: Juknis Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji tahun 2013
HARMONI
Mei - Agustus 2015
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG
Aspek terakhir yang tidak boleh
dilupakan adalah sarana dan prasana
yang tersedia. Menurut Yusak (2002:15),
salah satu aspek yang seharusnya
mendapat perhatian utama dari setiap
administrator adalah sarana dan prasarana
pembelajaran.
Sarana
merupakan
semua alat/media yang diperlukan
untuk mencapai tujuan pembelajaran
atau bimbingan sedangkan prasarana
mencakup lahan, bangunan gedung, dan
tempat berlangsung kegiatan bimbingan
berguna untuk peningkatan mutu dan
relevansi layanan yang disediakan.
Menurut
Iskandar
Idy
(2007:13),
kelengkapan sarana dan prasarana
kegiatan bimbingan manasik haji di
KUA Kecamatan yang harus disediakan
sebagai berikut: tempat pertemuan dan
perlengkapannya, white board/papan tulis
berikut spidol, kapur,dan penghapus, Flip
chart “ menuju haji mabrur”, OHP beserta
lampu cadangan, transparan OHP, alat
peraga kabah mini, mas’a, dan patung
peragaan, pengeras suara (sound system),
infocus, dan film proses perjalanan haji.
Metode Penelitian
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
mix
method,
yakni
pendekatan kuantitatif dengan metode
survei dan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif. Metode
survei digunakan untuk menemukan
besaran nilai efektifitas sedangkan metode
deskriptif digunakan untuk memaknai
besaran nilai yang diperoleh berdasarkan
survei. Menurut Arikunto (2001:94)
penelitian dengan menggunakan metode
survei dilakukan dengan cara data
dikumpulkan dari sejumlah sampel/
populasi untuk mewakili seluruh populasi
yang ada. Jenis survei yang dipakai
ialah Cross-Sectional Surveys di mana
pengumpulan data dilakukan dalam
satu waktu pengambilan. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk mendalami
hasil deskripsi respon calon jamaah
165
haji terhadap pelaksanaan bimbingan
manasik haji pada KUA Kecamatan di
Kota Padang.
Penelitian ini dilakukan sejak
tanggal 1 Maret s.d. 30 Mei 2014. Calon
jamaah haji yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah peserta bimbingan
manasik haji pada tahun 2014 dengan
pemilihan lokasi di lingkungan kerja
KUA Kecamatan Kementerian Agama
Kota Padang yang menyelenggarakan
bimbingan manasik haji.
Populasi dalam penelitian adalah
seluruh jamaah pada 10 KUA Kecamatan
yang ikut bimbingan manasik haji di Kota
Padang pada tahun 2014 dengan jumlah
sebanyak 988 orang. Sedangkan Sampel
yang akan dijadikan responden dalam
penelitian diambil sesuai dengan teknik
pengambilan sample data Kuantitatif.
Gay (2009:176) mengemukakan jika
populasi berkisar 1000 atau kurang, maka
yang akan dijadikan sampel adalah 10%
dari populasi yang ada. Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 100 orang.
Klasifikasi responden dibagi dua jenis:
Pertama, responden yang berjumlah
50 orang dengan kriteria mengikuti
bimbingan manasik haji sampai selesai
mulai dari pertemuan 1 sampai dengan
pertemuan 7 (Lihat Tabel 1). Kedua,
responden sebanyak 50 orang yang tidak
mengikuti kegiatan bimbingan manasik
haji sampai selesai. Tidak mengikuti
kegiatan sampai selesai maksudnya
adalah responden yang tidak mengikuti
pelatihan mulai dari pertemuan 1
sampai dengan pertemuan 7. Apabila
satu pertemuan saja tidak diikuti maka
dianggap sebagai responden kriteria
kedua. Namun demikian, responden
yang tidak mengikuti pelatihan sampai
selesai karena sakit atau berhalangan
datang tidak dimasukkan dalam kriteria
kedua ini.
Ada dua jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu data primer
dan sekunder. Data primer adalah data
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
166
RASYIDUL BASRI
yang diperoleh dari calon jamaah haji
yang mengikuti
bimbingan manasik
pada 10 KUA Kecamatan di Kota Padang.
Sedangkan data sekunder atau data
penunjang adalah berupa dokumentasi,
literatur, tulisan pada website. Semua
sumber data itu akan dipergunakan
untuk memperkuat analisis yang akan
diuraikan pada pembahasan.
Selanjutnya, pengumpulan data
pada penelitian ini dilakukan dengan
dua cara, yaitu menyebarkan kuesioner
dan wawancara. Kuesioner diberikan
kepada responden untuk diisi secara
objektif
menurut apa yang mereka
alami. Pertanyaan dalam angket disusun
berdasarkan
indikator
keberhasilan
dalam bimbingan manasik haji yang
dilampirkan pada bagian akhir laporan
penelitian.
Sedangkan
wawancara
bertujuan untuk menguatkan akurasi
data yang diperoleh dari kuesioner.
Data yang diperoleh melalui angket
dan daftar isian akan dianalisis dengan
mengukur indeks respon jamaah dengan
skala likert sebagai berikut: kategori sangat
efektif bernilai 4, efektif bernilai 3, kurang
efektif bernilai 2, dan tidak efektif bernilai 1.
Kemudian, nilai dihitung menggunakan
rumus (Brammen; 2005:9-10) berikut.
Keterangan:
= Nilai rata-rata
= Skor total dari jawaban angket
= Jumlah responden
Selanjutnya, persentase dari setiap
item akan dinilai dengan menggunakan
rumus:
jumlah responden. Selanjutnya, hasil
penghitungan akan dikonversi dengan
rentangan nilai dalam tabel berikut.
Tabel 2
Rentangan Nilai dalam Penelitian
Rentangan
3.01-4.00
2.01-3.00
1.01-2.00
0.01-1.00
Tingkat
Capaian
86%-100%
76%-85%
56%-75%
< 55%
Deskripsi
Sangat Efektif
Efektif
Kurang Efektif
Tidak Efektif
Data dianalisis menggunakan
teknik analisis kuantitatif dilanjutkan
dengan penafsiran kualitatif. Data yang
bersifat kuantitatif diolah dengan teknik
statistika deskriptif. Setelah mendapatkan
gambaran, data kuantitatif diolah dengan
analisis kualitatif model interaktif
dengan tahapan: seleksi dan reduksi
data, klasifikasi dan display data, lalu
interpretasi dan kesimpulan (Brammen,
2005:9).
Pembahasan
Jumlah peserta bimbingan manasik
haji yang dilaksanakan KUA Kecamatan
se-Kota Padang adalah: Padang Timur
sebanyak 117 orang, Padang Barat
sebanyak 60 orang, Padang Utara sebanyak
105 orang, Padang Selatan sebanyak 54
orang, Kota Tangah sebanyak 254 orang,
Nanggalo sebanyak 78 orang, Kuranji
sebanyak 128 orang, Pauh sebanyak 44
orang, Lubuk Begalung sebanyak 99
orang, Lubuk Kilangan sebanyak 45
orang sehingga total keseluruhan adalah
929 (Sumber Data: Laporan Pelaksanaan
Bimbingan Manasik Haji Kemenag Kota
Padang tahun 2014).
Pengelola
P adalah nilai persentase yang
akan dicari, F adalah frekuensi dari
satu item pertanyaan dan n adalah
HARMONI
Mei - Agustus 2015
Berdasarkan hasil analisis deskripsi
kuantitatif yang diuraikan sebelumnya
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG
keseluruhan
bimbingan
manasik
haji yang dilaksanakan oleh 10 KUA
Kecamatan di Kota Padang belum efektif.
Hal itu didasarkan pada tingkat capaian
nilai responden yang diperoleh kurang
dari 80%. Data indikator pengelola
diperoleh dengan rata-rata nilai sebesar
3,02 dengan tingkat capaian responden
sebesar 75,48%. Jumlah itu dikategorikan
kurang efektif. Pelaksanaan kegiatan itu
masih memerlukan upaya peningkatan
kinerja pengelola sehingga mencapai
kriteria efektif.
Oleh karena itu, perlu adanya
upaya peningkatan kinerja pengelola
dan panita agar lebih profesional.
Pengelola sebagai aparat Kementerian
Agama RI seharusnya mempunyai
semangat kerja sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung pada visi dan misi
Kementerian Agama RI. Dalam hal ini,
hal yang harus menjadi perhatian adalah
bagaimana meningkatkan motivasi dan
profesionalitas dalam melaksanakan
tugas. Untuk itu, langkah-langkah untuk
mencapai hal tersebut dapat dilakukan
seperti berikut: a). Meningkatkan
kompetensi manejerial melalui program
Pendidikan dan Pelatihan (diklat);
b). Mengaplikasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam visi dan misi Kementerian
Agama RI di setiap KUA Kecamatan; c).
Memberikan porsi lebih banyak kepada
Kepala KUA Kecamatan sebagai petugas
yang menyertai jamaah atau petugas
kloter setiap tahunnya; d). Pembinaan
jamaah haji ditetapkan menjadi bagian
tugas pokok KUA Kecamatan; dan e).
Membentuk dan menetapkan jabatan
baru
yaitu
fungsional
konsultan
penyelenggaraan
haji
di
tingkat
kecamatan.
Pengelolaan
Dalam hal pengelolaan, berdasarkan
data hasil jawaban dari indikator
pengelolaan diperoleh nilai rata-rata
167
sebesar 2,63 dengan tingkat capaian
responden sebesar 65,84%. Besaran nilai
itu mengindikasikan bahwa pengelolaan
pada bimbingan manasik haji pada KUA
Kecamatan di Kota Padang tahun 2013
belum efektif. Ada beberapa hal dari
aspek pengelolaan yang perlu diperbaiki
dan ditingkatkan berkaitan dengan
tidak efektifnya pengelolaan bimbingan
manasik haji itu.
Data yang diperoleh dari penelitian
ini sebetulnya memperlihatkan bahwa
para Kepala KUA sudah berupaya
maksimal
melaksanakan
kegiatan
itu sesuai dengan pedoman yang
instruksikan. Akan tetapi, karena dana
dan juklak yang diberikan oleh pihak
terkait terlambat, hal itu berakibat
terhadap pelaksanaan bimbingan manasik
haji di tingkat kecamatan. Keterlambatan
itu terjadi karena persoalan birokrasi.
Oleh karena itu, menurut Peneliti, untuk
meningkatkan kinerja KUA Kecamatan
dapat dilakukan dengan cara memberikan
kewenangan kepada KUA Kecamatan
untuk menyelenggarakan bimbingan
manasik haji lebih awal dari KBIH dan
pihak terkait harus segera mencairkan
dana kegiatan.
Program
Nilai
rata-rata
penyebaran
kuesioner sebesar 2,65 dengan tingkat
capaian responden sebesar 66,35%.
Besaran nilai itu mengindikasikan bahwa
komponen program bimbingan manasik
haji yang dilaksanakan oleh 10 KUA
Kecamatan di Kota Padang pada tahun
2013 belum efektif. Peserta menyatakan
bahwa program bimbingan manasik haji
yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan
kurang efektif, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Misalnya, kegiatan itu
dilaksanakan hanya 7 kali pertemuan
dan Kabupaten/Kota sebanyak 3 kali
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
168
RASYIDUL BASRI
pertemuan. Pembelajaran dipadatkan,
tidak ada pertemuan untuk pengulangan
materi.
Materi
bimbingan
yang
dibelajarkan sebagai berikut.
Hal ini berbeda dengan bimbingan
manasik haji yang diselenggarakan
oleh KBIH yang sudah berlangsung
sejak 5 bulan sebelumnya dengan
Tabel 14
Materi Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan
No
Jam
1. Hari ke 1
08-10.00
10-12.00
2.
3.
Hari ke 2
08-12.00
Hari ke 3
08-12.00
4.
Hari ke 4
5.
Hari ke 5
Materi
Pembukaan
Perjalanan Ibadah haji
Ketentuan manasik haji
Manasik ibadah haji
Manasik ibadah haji
Manasik ibadah haji
6.
Hari ke 6
Kesehatan ibadah haji
7.
Hari ke 7
Praktek
Pokok Bahasan
a.
b.
c.
a.
b.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
d.
a.
b.
a.
b.
Prosedur perjalanan ibadah haji
Hak dan kewajiban jamaah
Pelayanan di asrama haji dan tanah suci
Pengertian haji dan umrah
Syarat, rukun, dan wajib haji dan umrah
Shalat Arbain
Ziarah di kota Mekkah dan Medinah
Kondisi sosial budaya bangsa arab
Mabit muzdalifah dan mina
Melontar jamarat
Tahalul awal dan tsani
Nafar awal dan tsani
Miqat, ihram, talbiyah
Tawaf, sai, umrah, ifadhah, sunat dan
wada
Wukuf di arafah
Dam
Akhlak, hikmah haji dan umrah
Pelestarian haji mabrur
Praktek haji
Praktek umrah
Sumber: Laporan Bimbingan Manasik Haji KUA Kecamatan Padang Timur tahun 2013
Dari tabel tersebut terlihat bahwa
materi pembelajaran dan ketersediaan
waktu yang dialokasikan lebih sedikit
jika dibandingkan dengan rencana
program yang telah didesain oleh
Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah
Kementerian Agama RI. Di samping itu,
pelaksanaan bimbingan manasik bagi
calon jamaah haji dilakukan serentak
oleh KUA Kecamatan se-Kota Padang
pada tanggal 24 s.d. 30 Juni tahun 2014
sehingga waktu pelaksanaan bimbingan
manasik hanya 7 kali pertemuan. Dengan
demikian, setiap materi disajikan hanya
dalam satu waktu, tanpa ada pengulangan
sesudahnya.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
program belajar 2 kali dalam seminggu.
Program bimbingan manasik KBIH yang
berlangsung lama dan materi dibelajarkan
berulang kali membuat calon jamaah haji
lebih menguasai materi.
Di samping itu, mereka menjadi
lebih akrab dengan guru pembimbing.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis
data dari wawancara, diperoleh rumusan
solusi guna merevitalisasi kinerja KUA
Kecamatan dalam bimbingan calon
jamaah haji khususnya dalam pelaksanaan
program, yakni sebagai berikut:
Kegiatan
bimbingan
manasik
haji dengan jumlah tatap muka 7 kali
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN BIMBINGAN MANASIK HAJI PADA KUA KECAMATAN DI KOTA PADANG
169
pertemuan perlu ditinjau ulang kembali.
Alokasi waktu 7 kali pertemuan dan materi
pembelajaran yang padat menyebabkan
calon jamaah haji sukar untuk menguasai
materi dan praktek bimbingan manasik
secara mendalam. Cara demikian mustahil
mencapai target yang diharapkan untuk
mempersiapkan calon jamaah mandiri
dalam melaksanakan ibadahnya;
dan Kementerian Agama RI umumnya.
Di lain pihak, masyarakat pun akan
mendapatkan pelayanan prima sebagai
wujud dari sistem pemerintahan yang
baik (good governance) terutama dalam
era transparansi dan akuntabilitas pada
sekarang ini.
Pelaksanaan bimbingan manasik
haji di KUA Kecamatan sebaiknya tidak
dilakukkan pada hari-hari kerja, tetapi
dilakukan pada hari libur, seperti hari
Sabtu atau Minggu;
Penutup
Kriteria narasumber harus yang
memiliki sertifikat sebagai pelatih, bukan
hanya jamaah haji yang telah selesai
menunaikan ibadah haji saja.
Sarana dan Prasarana
Sesuai dengan hasil penilaian
responden terhadap indikator sarana dan
prasarana dalam pelaksanaan bimbingan
manasik haji di KUA Kecamatan, skor
yang didapatkan adalah nilai rata-rata
sebesar 2,53 dengan tingkat capaian
responden sebesar 63,15%. Besaran nilai
itu mengindikasikan bahwa sarana dan
prasarana manasik haji yang dilaksanakan
KUA Kecamatan di Kota Padang pada
tahun 2014 belum efektif.
Berdasarkan
data
tersebut,
penyebab calon jamaah haji memberikan
respon belum efektif karena sarana dan
prasarana yang kurang memadai. Sarana
dan prasarana yang digunakan masih
status pinjaman baik ruangan belajar
maupun sarana pendukung lainnya,
seperti sound system, warless, white board,
infocus, dan sebagainya. Untuk itu, pihak
terkait perlu menyiapkan anggaran yang
ditetapkan dari Kementerian Agama RI
untuk melengkapi sarana dan prasarana
yang diperlukan dalam melaksanakan
kegiatan
sehingga
meningkatkan
martabat KUA Kecamatan khususnya
Bimbingan manasik haji yang
dilaksanakan oleh KUA Kecamatan
khususnya di Kota Padang pada tahun
2014 belum efektif. Peserta jamaah
haji lebih memilih bimbingan manasik
KBIH daripada yang dilaksanakan KUA
Kecamatan disebabkan beberapa hal
berikut:
Pertama, pihak pengelola terutama
KUA kurang percaya diri untuk
menyelenggarakan kegiatan itu karena
belum mendapatkan diklat secara
profesional. Apalagi, tugas tersebut hanya
tugas tambahan semata bukan termasuk
dalam tugas pokok.
Kedua, pelaksanaan bimbingan
manasik haji terlambat. Hal itu disebabkan
oleh juklak dan juknis serta keterlambatan
penyaluran anggaran penyelenggaraan
dari Dirjen Penyelenggara Haji dan
Umrah Kementerian Agama kepada KUA
Kecamatan.
Ketiga, jumlah pertemuan hanya
7 kali yang seharusnya 13 kali. Jika
jumlah pertemuan banyak maka sangat
dimungkinkan untuk dilakukannya
pengulangan materi sehingga peserta
lebih paham. Hal itu akan berdampak
untuk membangun sikap mandiri ketika
jamaah sudah berada di Mekkah.
Keempat, sarana dan prasarana yang
kurang lengkap dan memadai. Sarana
dan prasarana yang digunakan KUA
Kecamatan masih status pinjaman dari
lembaga lain. Oleh karena itu, pemerintah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
170
RASYIDUL BASRI
harus menambah alokasi dana untuk
melengkapi sarana dan prasarana
tersebut sehingga proses pembelajaran
dapat berjalan lancar dan tepat sasaran.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Bedjo, Siswanto. Manajemen Modern. Bandung: Sinar Baru, 1989.
Brammen, Julia. Mixing Method Qualitative and Quantitative Research, (Terj. Nakhiah
Afrawi.) et, all: Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Tim penyusun. “Laporan Tahunan Tahun 2014”. Padang: BPS Kota Padang, 2014.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas
dan Balai Pustaka, 2005.
Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah. Pola Pembinaan Jamaah Haji. Jakarta: Depag RI,
2006.
Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah. Pola Bimbingan Manasik Haji Calon Jamaah Haji.
Jakarta: Depag RI, 2007.
Iskandar, Idy. Pola Bimbingan Manasik Jamaah Haji, Panduan Pembimbing bagi KUA
Kecamatan. Jakarta: Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah, 2007.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Syaukani, Imam (ed). Kepuasan Jamaah Haji Terhadap kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji
Tahun 1430H/2009M. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011.
Siagian, P Sondang. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Peraturan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA
Kecamatan.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
RESENSI BUKU
“HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA
171
“Hantu” di Balik Relasi Islam-Kristen
di Indonesia
Judul
: Agama & Politik di Indonesia: Umat
Kristen di Tengah Kebangkitan Islam
Penulis
: Richard M. Daulay
Kata Sambutan : M. Jusuf Kalla, Luhut B. Panjaitan, dan
S.H. Sarundajang
Penerbit
: BPK Gunung Mulia, Jakarta
Cetakan
: I, 2015
Tebal
: 378 halaman
M. Zainuddin Daulay
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail : [email protected]
“Apa sih hantu dalam relasi IslamKristen itu? Itulah pertanyaan yang
mungkin diajukan oleh pembaca ketika
melihat judul resensi buku ini. Jawaban
tentang hantu itu, tentu bukan dalam
artian sebenarnya, melainkan sebuah
mesteri tentang Kristenisasi dan Islamisasi
yang sulit untuk bisa tampak nyata namun
dirasakan, bahkan ada yang ketakutan di
antara orang yang merasa melihatnya.
Seperti itu saya mencoba mengibaratkan
uraian mengenai hubungan Kristen dan
Islam pada Era Reformasi di Indonesia
yang menjadi jantung bahasan buku yang
diresensi ini.
Apakah sesederhana itu tantangan
Islam-Kristen di Indonesia? Tentu tidak,
namun sebagai langkah awal saya rasa
pemahaman tentang isu Kristenisasi
dan Islamisasi ini merupakan modal
penting untuk membangun relasi IslamKristen di Indonesia. Selebihnya, tentang
gangguan relasi yang lain bisa dibaca
di banyak sumber. Bagaimana cara kita
bisa mengetahui misteri Kristenisasi dan
Islamisasi itu? Kini ada sebuah buku
yang mencoba menyingkap ketertutupan
lorong-lorong gelap dimaksud, yaitu
buku Agama & Politik di Indonesia:
Umat Kristen di Tengah Kebangkitan
Islam, karya Richard M. Daulay, seorang
pendeta Gereja Methodist Indonesia
(GMI) yang tak kenal lelah untuk berpikir
dan menulis. Sebelumnya ia juga pernah
menulis sejumlah buku, di antaranya:
Religion in Politics, Amerika Versus Irak,
Gereja Methodist Indonesia, Islamisasi dan
Kristenisasi, dll.
Buku Agama & Politik di Indonesia:
Umat Kristen di Tengah Kebangkitan
Islam ini awalnya merupakan disertasi
Richard Daulay di Sekolah Pasca Sarjana
Universitas gajah Mada, tahun 2014 yang
membahas sikap umat Kristen terhadap
dinamika keagamaan di Indonesia,
khususnya di Era Reformasi, yang oleh
penulis disebut sebagai “Kebangkitan
Islam Politik”. Buku ini memang
berargumentasi
bahwa
perubahan
kebijakan politik Orde Baru yang lebih
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
172
M. ZAINUDDIN DAULAY
akomodatif terhadap kalangan Islam
sejak tahun 1980-an merupakan awal atau
pemicu terhadap bangkitnya kembali
gerakan Islam politik di Indonesia
yang memperjuangkan agar Indonesia
menjadi sebuah negara Islam. Gerakan
politik Islam di Era Reformasi, menurut
pandangan penulis telah mengubah
tatanan perpolitikan di Indonesia ke
arah yang diskriminatif berdasarkan
perbedaan agama.
Buku ini memberikan gambaran
respons umat Kristen terhadap gerakan
politik Islam dimaksud. Paling sedikit
ada dua hal yang dikatakan menakutkan
buat umat Kristen di Era Reformasi.
Pertama, menguatnya sikap intoleransi
terhadap kebebasan beragama. Kedua,
politik syariat Islam (Islamisasi) dan
diskriminasi. Tren Islamisasi menurut
penulis terjadi hampir di segala bidang
(politik, ekonomi, budaya, hukum, dan
sebagainya). Di antara isu Islamisasi,
ada isu lain yang diikut sertakan, yaitu
”Negara Islam.” yang juga diklaim
penulis sangat menakutkan bagi kalangan
Kristen. Dalam hal ini dikatakan, ada
keyakin di kalangan kristen, “apabila
hal itu terjadi, status orang Kristen di
Indonesia akan menjadi warga negara
kelas dua, seperti yang terjadi di negaranegara Timur Tengah, di mana orang
Kristen diberi status dhimmi (protected)—
yaitu warga negara yang ditaklukkan dan
dilindungi tetapi dengan status warga
negara ”kelas dua”.
Richard juga membahas tentang
isu diskriminasi dalam buku ini.
Diungkapkan bahwa umat Kristen
memandang bahwa perda-perda syariat
Islam yang hanya diperuntukkan dan
diberlakukan khusus bagi penganut
agama Islam dan tidak berlaku bagi
penganut agama lain, termasuk Kristen,
adalah sebagai kebijakan diskriminatif.
Oleh karena itu, hal ini menjadi persoalan
politik yang serius bagi umat Kristen di
Indonesia. Bentuk diskriminasi yang
HARMONI
Mei - Agustus 2015
lain adalah praktik negara dan lembagalembaga negara terhadap umat Kristen
dalam kaitannya dengan jabatan-jabatan
penting di berbagai bidang. Dinyatakan
oleh penulis, secara resmi atau tidak resmi
identitas agama dijadikan pertimbangan
penting untuk menempatkan seseorang
dalam posisi-posisi tertentu di negeri ini.
Berbeda dengan masa sejak awal merdeka
hingga akhir Orde Baru yang dianggap
menganut “merit system” sehingga
banyak orang-orang Kristen duduk
dalam jabatan publik, baik sipil maupun
militer pada masa itu. Oleh karena itu,
Era Reformasi bagi kalangan Kristen
dianggap sebagai proses Islamisasi
sehingga merupakan mimpi buruk yang
menghantui dan menakutkan.
Selain membahas isu Islamisasi,
buku ini juga membahas isu Kristenisasi.
Saat membahas isu Kristenisasi, di bagian
inilah kita akan melihat pertaruhan
objektivitas penulis, antara sebagai diri
seorang pendeta atau akademisi, yakni
apakah akan memberikan bobot yang sama
atau tidak terhadap satu objek bahasan
pada dua kelompok yang berbeda. Di
bagian ini ada memang pengakuan yang
cukup objektif menyatakan bahwa sejak
dulu sampai sekarang umat Kristen dan
Islam selalu berada dalam persaingan
untuk menambah jumlah pengikut. Selain
itu diakui pula, hubungan paling ”panas”
selama ini di antara agama-agama yang
ada adalah antara Islam dan Kristen. Di
bagian lain juga ada pernyataan mengenai
kristenisasi (pemurtadan) sudah lama
menjadi ”momok” yang menghantui
hubungan Islam-Kristen di Indonesia.
Sejak zaman penjajahan Belanda hingga
sekarang, isu tersebut dinyatakan
sering mencederai relasi Islam-Kristen.
Namun bagaimana bentuk pencederaan
itu tidak cukup banyak disinggung
dalam buku ini. Akhirnya, ungkapan
tentang isu Kristenisasi ditutup dengan
sebuah kalimat pendek bahwa fakta
“HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA
tentang kristenisasi secara massal, boleh
dikatakan tidak terjadi lagi di Indonesia,
telah berakhir sejak tahun 1970-an.”
Hal yang menarik, meskipun
pokok bahasan buku ini mengenai
pergulatan Kristen dan Islam yang
diwarnai
banyak
ketegangan,
namun buku ini juga memberikan
sumbangan
pemikiran
dalam
menggalang persaudaraan nasional dan
memperkokoh kerjasama lintas agama.
Hal lain yang jarang kita jumpai dalam
karya sejarah kekristenan di Indonesia,
yakni dapat digambarkan secara jelas
peta perpolitikan umat Kristen meskipun
denominasinya banyak membentang
dari Barat sampai Timur Nusantara.
Secara tipologis penulis menggambarkan
berdasarkan
identitas
gereja-gereja
Kristen yang beragam. Richard Daulay
tidak hanya memaparkan bagaimana
gereja-gereja yang awalnya dipengaruhi
Pietisme kemudian menjadi kawan
dalam membangun Indonesia, namun
Richard juga berani mengemukakan
pandangan kritis terhadap gereja serta
tidak menghindar dari kemungkinan
konflik dalam mengemukakan sikap
umat Kristen menjawab kebangkitan
gerakan Islam, terutama mengenai
tudingan Islamisasi dan diskriminasi,
meskipun patut dipertanyakan apakah
masih sebatas opini atau fakta.
Setelah membaca habis buku ini
saya berani mengambil kesimpulan
bahwa siapapun yang ingin mengetahui
bagaimana gereja-gereja Kristen dengan
wawasan politiknya yang berkembang di
Indonesia dan bagaimana bentuk hantu
yang menakutkan itu hingga kini, buku
173
ini adalah buku terlugas yang mengupas
hal itu dibanding buku-buku sejenis
yang pernah terbit. Sayangnya buku ini
tak menampilkan pendapat lain yang
memberikan analisis tentang kebangkitan
Islam di Era reformasi sebagai buah dari
lepasnya Indonesia dari belenggu penjajah
yang membuat banyak umat Islam
memperoleh akses ke dunia pendidikan
tinggi sehingga merupakan konsekuensi
wajar di kemudian hari, yaitu banyak
umat Islam menempati posisi strategis di
berbagai jabatan publik di negeri ini.
Tak ada gading yang tak retak,
walau buku ini telah menjadi terbitan
yang terlugas dari buku-buku sejenis,
buku ini tidaklah sempurna karena
sebagai karya sejarah, bahasan penting
dalam buku ini menyangkut soal
diskriminasi terhadap umat kristen
dalam jabatan publik yang terjadi secara
sistemik, tidak disertai sumber dokumen
autentik sebagai data primer atau sumber
utama. Andai saja buku ini menyertakan
dokumen-dokumen terkait bahasan
pokok atau sorotan utama tentang hal
dimaksud, maka buku ini akan bisa naik
posisinya sebagai buku panduan wajib
bagi mahasiswa.
Terlepas
dari
itu,
apapun
kekurangannya saya memandang buku
ini adalah buku yang patut dibaca
dan perlu bagi banyak kalangan, para
penyelenggara negara, politisi, pemimpin
umat beragama, dan mahasiswa. Buku
ini bisa menjadi sumber inspirasi
dalam
memerangi
“hantu-hantu”
yang mengganggu relasi antar agama,
khususnya antara Kristen dan Islam di
Indonesia.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
LEMBAR ABSTRAK
174
ISSN 1412-663X
INDEKS ABSTRAK JURNAL VOL. 13 NO 1 TAHUN 2014
INDONESIA
INGGRIS
Melacak Akar Paham Teologi Islam
di Indonesia
1.
M Ridwan Lubis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015
Teologi Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
ikon pemahaman teologi umat Islam di
Indonesia merupakan hasil pilihan pada
masa lalu sebagai sebuah pendekatan
islamisasi
yang
mengacu
kepada
pemeliharaan suasana equlibrium. Pada
satu sisi, model pemahaman teologi
tersebut, cukup ampuh untuk melakukan
proses islamisasi tanpa menimbulkan
kegoncangan sosial, tetapi kelemahan
pendekatan ini tidak efektif untuk melakukan
transformasi dalam berbagai pranata sosial.
Sehingga yang terjadi adalah komunitas
mengalami konversi ke dalam Islam tetapi
pranata sosial mereka baik dalam bidang
ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan
sebagainya lebih dikendalikan oleh tradisi
lokal atau rekayasa modernisme barat.
Keadaan itu mulai mengalami perubahan
citra setelah dekade 1970-an dengan
terjadinya reorganisasi pengajaran Islam
dengan memperkenalkan distingsi Islam
ajaran dengan Islam budaya. Akan tetapi,
gagasan tersebut memperoleh reaksi yang
cukup keras dari sesama intelektual muslim.
Prestasi terbesar dari teologi Ahlussunnah
wal Jamaah adalah merumuskan sinergi
antara wacana keislaman, demokrasi
dan kebangsaan pada Muktamar NU di
Situbondo pada tahun 1984, sehingga
Indonesia sebagai negara berdasarkan
Pancasila dipandang sebagai bentuk final
tuntutan Islam terhadap konsep kenegaraan
di Indonesia.
Ahlussunnah wal Jamaat was an icon of
theological understanding used in the
past as Islamic approach for Muslims in
Indonesia referring to preservation of
balance condition. On the other hand, this
theological understanding was effective
enough to reach islamization process
without causing social upheaval; however
it was weak to transform social system.
Then community had conversion into
Islam but their social system in economy,
politics, education, and law were
controlled by local tradition or western
modernism manipulation. This situation
changed after 1970s when reorganization
in teaching Islam occurred by introducing
the distinction between Islam teaching
and Islamic culture. However, these ideas
were getting reaction from intellectual
Muslims. The greatest goal of Ahlussunnah
wal Jamaah theology was formulating
a synergy among the Islamic discourse,
democracy, and nationality at NU Congress
in Situbondo in 1984, so Indonesia as a
country based on Pancasila was considered
as the final form of Islam toward the
statehood concept.
Kata
kunci:
Peradaban
Keywords:
Civilization
HARMONI
Teologi,
Mei - Agustus 2015
Kebangsaan,
Theology,
Nationality,
LEMBAR ABSTRAK
2.
175
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian
Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi
dalam Hindu
I Ketut Donder
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 19April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 25 Juli 2015
Semua agama menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, hanya nama-Nya, metode
memahami-Nya, dan cara menyembahNya
berbeda-beda.
Semua
agama
mengajarkan hal transendental yang tidak
mudah dipahami. Oleh sebab itu, untuk
memahami secara baik dan benar suatu
agama membutuhkan panduan seorang
guru yang memiliki pengetahuan yang
mapan tentang agama. Keanekaragaman
pemahaman terhadap yang transendental
sebagaimana diajarkan dalam semua
agama disebabkan oleh perbedaan tingkat
pengetahuan rohani setiap orang. Para
bijak Hindu memberikan solusi terhadap
pelan ini dengan membuat dua garis besar
peta wilayah kognitif teologis, yaitu teologi
Nirguna Brahman dan teologi Saguna
Brahman, selanjutnya dijabarkan menjadi
sub-sub teologi sesuai peta pemahaman
teologi setiap orang. Keragaman teologi
diciptakan dalam Hindu bertujuan agar
semua manusia dengan tingkat kerohanian
yang berbeda sama-sama memiliki
pemahaman tentang Tuhan. Melalui
pemahaman yang benar terhadap teologi
Hindu, seseorang tidak akan salahpaham
terhadap Hindu.
All religions worship to one God yet they
have different ways to understand and
pray. They teach transcendental concept
that is not easy to understand. Therefore,
it is required a knowledgeable spiritual
teacher to understand the religion properly.
Different understandings on transcendental
concept are caused by different religious
level that someone has. The Hindu sages
have solved this problem by providing
two areas of cognitive theology, namely
Nirguna Brhman and Satguna Brahman
and each is divided further into their subtheologies. The various Hindu theologies
aim to bring human beings whose different
religious level having same understanding
on God. It can avoid misconception on
Hindu teaching.
Keywords: God, Area, Cognitive, Theology,
Hindu
Kata kunci: Tuhan, Wilayah, Kognitif,
Teologi, Hindu
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
176
ISSN 1412-663X
3.
Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam
Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim
di Cirebon
Nurman Kholis
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 7 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015
dan direvisi 15 April 2015
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan pendekatan
sejarah. Tekhnik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dan observasi. Adapun tujuan
penelitian i.ni adalah sebagai berikut: 1).
Mengungkapkan perkembangan Vihara
Dewi Welas Asih; 2). Mengungkapkan
peranan Vihara Dewi Welas Asih dalam
relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di
Kota Cirebon pada masa kini. Berdasarkan
hasil penelitian, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: 1). Agama Buddha masuk
dan berkembang ke Nusantara sejak abad
ke-5 hingga abad ke-15. Selama sekitar
lima abad berikutnya, peradaban Buddha
meredup dan kemudian bangkit kembali
setelah terbentuknya Negara Kesatuan
RI pada tahun 1945; 2). Jejak sejarah
perkembangan agama Buddha pada masa
silam salah satunya terdapat di Vihara Dewi
Welas Asih yang diperkirakan berdiri pada
tahun 1595; 3). Mengenai relasi BuddhisTionghoa dengan Muslim di Cirebon,
hubungan mereka berjalan harmonis dan
nyaris tidak pernah ada konflik.
Kata kunci: Harmoni, Etnis Tionghoa, Relasi
Umat Buddha-Muslim
HARMONI
Mei - Agustus 2015
This research applied a qualitative
research with historical approach. Data
collection techniques were interviews and
observation. The purposes of this research
were as follows: 1). revealing Dewi Welas
Asih Temple development 2). explaining
the role of the Dewi Welas Asih Temple in
relation between Buddhist-Tionghoa and
Muslims in Cirebon nowadays. The result
of this research could be concluded that:
1). Buddhism came and grew in Indonesian
archipelago since the 5th century until the
15th century. Over the next five centuries,
Buddhist civilization dimmed and then
rose again after the formation of Republic
of Indonesia in 1945; 2). The historical
traces of Buddhism at past was marked by
establishment of Dewi Welas Asih Temple
in 1595; 3). The relationship between
Buddhist-Tionghoa and Muslims was
harmonious.
Keywords: Harmony, Tionghoa Ethnic,
Buddhist-Muslim Relations
LEMBAR ABSTRAK
4.
177
Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa)
Penumbuh Inklusifitas Beragama: Analisis Bahasa Keagamaan
dalam Film Negeri Tanpa Telinga
Muhammad War’i
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Tulisan ini bertujuan untuk membuka
pemahaman keagamaan agar tidak terpaku
pada keterpanaan tuturan, tapi mengajak
untuk melihat substansi prilaku. Dalam
film Negeri Tanpa Telinga kita diarahkan
menuju dekonstruksi kebahasaan yang
memaparkan tentang penggunaan bahasa
agama sering kali hanya sebatas pencitraan
yang menipu. Bahasa bukanlah cerminan
sikap dimana bahasa tidak semata
ditentukan oleh struktur bahasa secara
gramatik. Pemahaman bahasa harus plural
sehingga menggerakkan seseorang menuju
horison pragmatik pluralism. Pandangan
ini selanjutnya akan berimplikasi pada
inklusifitas seseorang dalam kehidupannya
termasuk dalam hal beragama.
Kata kunci: Bahasa Agama, Pragmatik
Pluralisme, Inklusifitas
This paper aims to open religious
understanding that concerns not only on
startling speech but also behavior aspects.
Movie entitled “Negara Tanpa Telinga”
movie directs towards the deconstruction
of language describing the use of religious
language which is often just as a feigned
imaging. Language is not solely a reflection
of the attitude determined grammatically.
Language understanding should be plural
so it can guide someone towards pragmatic
pluralism horizon. This view will give more
impact to someone’s life inclusiveness
including in terms of religion.
Keywords: Religious Language, Pragmatic
Pluralism, Inclusivity
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
178
ISSN 1412-663X
5.
Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid
di Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo
Mukhibat
Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 16 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 30 Juli 2015
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Pulung Ponorogo guna mengetahui model
pengembangan merangkai spirit harmoni
kehidupan sosial keagamaan melalui KPM
Tematik Posdaya berbasis masjid. Hasil
penelitian dengan pendekatan kualitatif
ini menunjukkan: Pertama, KPM Tematik
Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga)
berbasis Masjid STAIN Ponorogo dengan
pendekatan PAR telah mampu menghasilkan
ruang atau wadah komunikasi yang akrab
dan integratif, serta mencairkan kebekuan
komunikasi antar masyarakat yang berbeda,
beragam, dan bertikai. Kegiatan sosial
kemasyarakatan yang dipusatkan dari masjid
telah menyadarkan masyarakat bahwa
agama yang dianutnya terdapat hikmahhikmah sebagai modal dalam merangkai
harmonisasi kehidupan. Kedua, perbedaan
faham keagamaan menjadi energi positif
dalam membina kerukunan, kedamaian
dan kesejahteraan bersama. Dialog aksi
telah memperkaya dialog teologis mereka,
dengan berfungsinya masjid dalam dimensi
yang sangat luas tidak hanya fungsi ibadah
dan dakwah saja tetapi juga memiliki
fungsi edukasi, ekonomi, sosial, budaya,
komunikasi dan informasi.
This research was conducted in Pulung
Ponorogo to figure out the development
model in forming the harmonious
spirit of social-religious life through the
Thematic Community Service Internship
(KPM) Posdaya (Family Empowerment
Post)-Mosque Based. First, the thematic
Community Service Internship (KPM)
Posdaya (Family Empowerment Post)Mosque Based in STAIN Ponorogo with
Participant Action Research (PAR) approach
had been able to create spaces and
integrative communication medium and
decreased the rigidity of communication
among different community. Social
activities centralized at mosque made
people conscious that their religion taught
a wisdom to build harmonious life. Second,
the difference became positive energy in
developing harmony, peacefulness and
prosperity. The dialogue activities enriched
their theological dialogue empowering
mosque in wider perpectives that not only
function as praying and preaching but
also education, economic, social, culture,
communication and information activities.
Kata kunci: Rekonstruksi, Harmoni, Dialog
Aksi, Masjid, KPM
Keywords: Reconstruction, Harmony,
Dialogue Activities, Mosque, KPM
HARMONI
Mei - Agustus 2015
LEMBAR ABSTRAK
6.
179
Memahami Doktrin Syiah
dalam Bingkai Toleransi
Ahmad Ali MD
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Memahami doktrin Syiah tidak dapat
dilepaskan dari sudut pandang terhadapnya.
Sudut pandang mainstrem tidak selalu
tepat. Justru sudut pandang non mainstrem
relevan dan tepat dalam memotret Syiah
dan doktrin ajarannya. Doktrin rukun iman,
dan doktrin fikih yang berbeda dengan
doktrin mainstrem (mazhab Sunni) tidak
boleh serta merta dijustifikasi sebagai sesat,
keluar dari Islam sebab di dalam Syiah
sendiri terdapat pula pandangan yang
beragam. Sebagai bukti, doktrin kehalalan
nikah mut’ah bukanlah bersifat mutlak;
ada pandangan, seperti dikemukakan oleh
Ja‘far al-Subhânî, yang lebih relevan dan
sejalan dengan perkembangan zaman.
Dalam pandangan tersebut, nikah mut’ah
dibolehkan dengan persyaratan yang ketat,
dan tidak seperti gambaran umum yang
mendiskreditkannya. Oleh karena itu,
dalam memahami doktrin Syiah diperlukan
lima hal interpretasi non-otoritarian, yaitu
kejujuran, kesungguhan, komprehensif,
kerasionalan, dan pengendalian diri/
kehati-hatian. Pemahaman demikian akan
mendorong tumbuhnya toleransi terhadap
Syiah.
Kata kunci: Syiah, doktrin, Ja‘far al-Subhânî,
interpretasi otoritatif, toleransi.
Understanding Shia doctrine cannot
be separated from its point of view. Its
mainstream view is certainly not always
right. Non-mainstream view is more
relevant and more proper in portraying
Shia and its doctrine. The sixth Muslim
pillars and Islamic jurisprudence are
different from mainstream doctrines (Sunni
doctrines) but they are not considered as
deviance because they have their own
various perspectives. It can be seen from
mut’ah marriage that is not absolute;
there is a relevant perspective revealed
by Ja‘far al-Subhânî. He states that mut’ah
marriage is allowed by some determined
requirements and unlike common view
discrediting its perspective. Therefore to
understand Shia doctrine at least is needed
five
non-authoritative
interpretations
such
as
honesty,
perseverance,
comprehensiveness, rationality, and selfcontrol. Those understandings contribute
to tolerance towards Shia.
Keywords: Shia, doctrine, Ja‘far al-Subhânî,
authoritative interpretation, tolerance.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
180
ISSN 1412-663X
Harmoni di Banjaran:
Interaksi Sunni-Syiah
7.
Efa Ida Amaliyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 4 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Tulisan ini menunjukan tentang interaksi
Sunni-Syiah di Desa Banjaran Bangsri
Jepara dan dampak kekerasan yang
dialami pengikut Syiah di berbagai daerah
terhadap pengikut Syiah di Desa Banjaran.
Pengikut Sunni maupun Syiah di Desa
Banjaran menunjukkan wajah harmonis
dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua
belah pihak menyadari ada perbedaan
dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin
memperlebar jurang perbedaan itu. Mereka
memilih untuk bersama-sama dalam
konteks hubungan sosial-kemanusiaan.
Hal ini dikarenakan masing-masing kedua
pihak saling menghormati. Kondisi ini tidak
lepas dari keberadaan Mbah Muhammad
Arif yang bagi masyarakat Banjaran sebagai
simbol penyatu antara Sunni-Syiah. Mbah
Muhammad Arif merupakan cikal bakal
adanya desa tersebut sekaligus sebagai
penyebar ajaran Islam di daerah tersebut.
Tidak ada konflik antara mereka, meskipun
ada sentimen dari konflik Sunni-Syiah di
Sampang Madura. Tidak ada pengaruh
konflik Sunni-Syiah di Sampang Madura
dengan hubungan Sunni-Syiah di Desa
Banjaran Bangsri Jepara.
Kata kunci: Sunni, Syiah, Interaksi Sosial,
Konflik, Desa Banjaran
HARMONI
Mei - Agustus 2015
This paper shows the interaction of SunniShia followers in Banjaran Bangsri, Jepara
and the violence impact experienced by
Shia followers in many regions toward
Shia followers in Banjaran Bangsri.The
relationship between Sunni and Shia shows
a harmonious life in social interaction.
They realize that they have different ways
of worship but they do not want to widen
those differences. They live together in
socio-humanitarian relation. They respect
each other. It occurs because the existence
of Mbah Muhammad Arif who unified
Sunni and Syiah. Mbah Muhammad
Arif was the founder of Banjaran as well
as the Islam disseminator at Banjaran.
There is no conflict between Sunni-Shia
followers although there was any religious
sentiment after Sunni-Syiah conflict in
Sampang Madura and it does not influence
the relationship between Sunni-Syiah at
Banjaran Bangsri Jepara.
Keywords: Sunni, Shia, Social Interaction,
Conflict, Banjaran Village
LEMBAR ABSTRAK
8.
181
Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku
Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone,
Provinsi Sulawesi Selatan
Muhammad Hasbi
STAIN Watampone
E-mail: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 13 Mei 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif
yang
bertujuan
untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan suatu
masalah, kejadian, fenomena yang ada
hingga masa sekarang. Masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: 1).
Bagaimana pandangan masyarakat di pasar
pelelangan ikan Bajo tentang Qadariyah
dan Jabariyah? 2). Bagaimana peran
teologi Qadariyah dan Jabariyah terhadap
masyarakat pelaku pasar pelelangan ikan
Bajo? Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa dalam pemikiran Islam, tindakan
manusia diinterpretasikan oleh dua aliran.
Pertama, manusia mempunyai kebebasan
dan kehendak untuk melakukan perbuatan,
dan perbuatan tersebut diciptakan oleh
manusia. Ini menunjukan bahwa manusia
yang menghendaki perbuatannya. Apa
yang dia inginkan, dia bisa melakukannya.
Dalam pemikiran Islam, cara pandang
model ini dikenal dengan paham Qodariya.
Sebaliknya, bagi kelompok kedua, tindakan
manusia tidak diciptakan oleh manusia,
melainkan oleh Tuhan. Bagi kelompok
ini, manusia tidak dapat berbuat apaapa, dia tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan perbuatan karena Allah yang
mengendalikan. Dalam pemikiran Islam,
cara pandang semacam ini dikenal dengan
sebutan Jabariyah. Terhadap kedua paham
tersebut, masyarakat di pasar pelelangan
ikan Bajo ada yang menyatakan setuju
terhadap salah satu atau keduanya dan
ada pula yang memiliki pendapat berbeda
dengan kedua paham tersebut.
This research applies descriptive method
for describing or explaining a problem
and phenomenon which exist until now.
The issues discussed in this research are:
1). How is society’s view on Qadariya and
Jabariya doctrines? 2). How is the role of
Qadariya and Jabariya theology towards
society at Bajo Fish Auction market? This
result concludes that based on Islamic
perspective, human deeds are interpreted
into viewpoints. Human beings have a
freedom and desire to do some deeds that
they want. They create their deeds. It is
called Qodariya doctrine. Conversely, the
second group’s view point is different.
They think that human beings cannot make
their own deeds but God can make them.
For this group, man cannot do anything,
they dont have the power to do anything
because they are controlled by God. Their
thought is called Jabariya. Some societies
of Bajo fish auction market agree to one or
both of them to view those doctrines. Some
of them also have different point of view
towards those doctrines.
Keywords: Qadariya, Jabariya, Society,
Bajo Fish Auction Market
Kata
kunci:
Qadariyah,
Jabariyah,
Masyarakat, Pelaku Pasar Pelelangan Ikan
Bajo
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
182
ISSN 1412-663X
Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
9.
Suhanah
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail : [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 16 April 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 22 Juli 2015
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi kasus. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui berbagai
informasi yang berkenaan dengan kasus
Yayasan al-Maghfurullah yaitu meliputi: 1).
Profil Yayasan al-Maghfurullah; 2). Aktifitas
Keagamaannya; 3). Kronologi Yayasan
al-Maghfurullah di anggap menyimpang;
4). Upaya-upaya penanganan pemerintah
dan pihak terkait dalam penyelesaian
kasus Yayasan al-Maghfurullah. Dari
hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa:
Kaharudin sebagai pimpinan
Yayasan
al-Maghfurullah
sekaligus
sebagai mursyid (guru) dalam praktiknya
telah mengajarkan ajaran menyimpang.
Ajaran yang dikembangkan itu ternyata
mengandung sejumlah penyimpangan
yang kemudian menimbulkan keresahan
di kalangan masyarakat dan menyebabkan
keluarnya fatwa MUI yang tentang
ajaran yang dikembangkan Kaharudin.
Dalam penanganan kasus Yayasan alMaghfurullah belum terlihat adanya pihak
yang secara serius, komprehensif, sistemik
dan berkesinambungan dalam menangani
kasus semacam ini.
Kata kunci: Ajaran Kaharudin; Yayasan alMaghfurullah, Fatwa dan Keresahan Sosial.
HARMONI
Mei - Agustus 2015
This research employs case study method
with qualitative approach. The purpose
of this research is to figure out some
information related to al-Maghfurullah
Foundation cases consisting of: 1). Profile
of al-Maghfurullah Foundation; 2). Its
religious activities; 3). Chronology of alMaghfurullah Foundation is considered as
deviant religious teaching; 4). Government
and stakeholders efforts in solving alMaghfurullah Foundation cases. The result
of research shows that Kaharudin as the
leader of al-Maghfurullah Foundation and
teacher undertakes some deviant religious
teachings and practices that lead to social
upheaval and issue Indonesian Ulema
Council fatwa to handle development of
Kaharudin’s teaching. It can be seen that
no parties deal with this cases seriously,
comprehensively, systematically, and
continuously.
Keywords : Kaharuddin teachings, alMaghfirullah Foundation, Fatwa and
Social Upheavel
LEMBAR ABSTRAK
10.
183
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan
Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan
Kustini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Email: [email protected]
Nur Rofiah
PTIQ Jakarta
Email: rofiah_nur @yahoo.com
Naskah diterima redaksi tanggal 23 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Penyebutan perceraian sebagai perbuatan
halal yang paling dibenci Allah dalam
sebuah hadist merupakan peringatan keras
bagi umat muslim agar mewujudkan sistem
dan tradisi perkawinan yang melahirkan
keluarga sakinah, sehingga perceraian dapat
dicegah. Faktanya fenomena perceraian,
khususnya cerai-gugat, terjadi di berbagai
daerah. Penelitian ini difokuskan pada tiga
hal: alasan istri mengajukan cerai-gugat,
dampak cerai gugat, serta respon struktur
sosial terhadap fenomena cerai-gugat.
Penelitian dilakukan melalui pendekatan
kualtiatif dengan teknik pengumpulan data
wawancara, studi dokumen, dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hilangnya makna perkawinan sebagai
sebab utama cerai-gugat. Ada banyak
dampak negatif dari cerai-gugat terhadap
kehidupan keluarga dan anak, tetapi dalam
batas tertentu memberi dampak posisif bagi
perempuan karena memiliki status yang
jelas serta tidak terbebani untuk melakukan
kewajiban sebagai istri.
Divorce is seen as the most hated halal based
on Allah viewpoint stated in Hadits that
Muslims must build marriage system and
tradition to achieve harmonious and happy
family, so the divorce can be prevented. In
fact, the divorce phenomenon happens in
some areas in Indonesia, particularly wifeinitiated divorce. This research focuses on
three aspects. The first one is the reason
of wives to propose divorce. The second
is its effects and the last is social structure
response towards divorce phenomenon.
This study applies qualitative approach
and the data collection techniques consist
of interview, document analysis, and
observation. The result of study shows that
the loss of marriage meaning is caused
by the divorce. Divorce also contributes
negative impact for family life and children.
However, in some certain time it can give
positive impact for women because they
have obvious status and do not burden to
do their duty as wives.
Kata
kunci:
Gender,
Perempuan,
Perkawinan, Cerai-Gugat, Pekalongan.
Keywords: Gender, Women, Marriage,
Wife-Initiated Divorce, Pekalongan.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
184
ISSN 1412-663X
Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat
di Indramayu
11.
Abdul Jamil
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail: [email protected]
Fakhruddin
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
E-mail : [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 30 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 28 Juli 2015
Hingga saat ini, banyak asumsi yang
berkembang,
bahwa
perceraian
di
Indramayu adalah tertinggi di Indonesia,
perceraian dianggap sudah menjadi budaya.
Faktor penyebab perceraian diasumsikan
karena banyaknya poligami, rendahnya
pendidikan
masyarakat,
banyaknya
perempuan yang menjadi TKI di luar negeri,
dan banyaknya pernikahan di bawah umur.
Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA)
jumlah cerai-gugat di Indramayu termasuk
tinggi. Pada tahun 2014, di Kabupaten
Indramayu, jumlah cerai-gugat adalah 72%
dari angka perceraian, sedangkan cerai-talak
hanya 28%. Melalui penelitian kualitatif
dengan tema isu dan realitas di balik kasus
cerai-gugat di Indramayu, disimpulkan
bahwa keberanian istri melakukan ceraigugat adalah didasari oleh beberapa
faktor yaitu, intensitas persoalan (beratnya
permasalahan) yang dihadapi istri, adanya
dukungan (pembelaan) dari orang tua,
penderitaan psikologis setelah bercerai
dirasa lebih ringan dibanding tetap dalam
perkawinan, dan adanya pengalaman pihak
keluarga dekat, sehingga pihak istri dapat
memahami tahapan dalam melakukan
cerai-gugat. Dampak terberat dari ceraigugat adalah penderitaan psikologis yang
dialami istri yaitu perasaan kecewa terhadap
pernikahan. Penelitian juga menyimpulkan,
bahwa saat ini lembaga yang berperan
dalam memediasi perceraian di Indramayu
adalah hanya lebe, sementara KUA, BP4
dan PA tidak efektif berperan.
Many assumptions that divorce in
Indramayu are the highest number in
Indonesia nowadays. It is also considered
as a culture. The causes of divorce are
polygamy, low education, oversea migrant
worker, and early marriages. Data from
religious court shows that the number
of wife-initiated divorce in Indramayu is
relatively high. In 2014, the number of wifeinitiated divorce is 72% while husbandinitiated divorce is 28% in Indramayu.
The result shows that divorces undertaken
by wives are caused some factors such
as the intensity of the problem (problem
severity ) faced by wife, support from
their parents, psychological suffering after
divorce that they feel happier with their
divorce status, and the experience from
their family so they understand every step
in conducting wife-initiated divorce. The
greatest impact of divorce is psychological
suffering which they will be disappointed
towards marriage. The research concludes
that the current institution that mediates a
divorce in Indramayu is Lebe because KUA
(Religious Affairs Office), BP4 (Marriage
Counseling Agency) and PA (Religious
Court) are relatively ineffective.
Kata kunci: Cerai-gugat, lebe, Pengadilan
Agama.
Keywords: Wife-Initiated Divorce, Lebe,
Religious Court
HARMONI
Mei - Agustus 2015
LEMBAR ABSTRAK
12.
185
Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji
di KUA Kecamatan di Kota Padang
Rasyidul Basri
Balai Diklat Keagamaan Padang,
Email: [email protected]
Naskah diterima redaksi tanggal 29 Juni 2015, diseleksi 15 Juli dan direvisi 29 Juli 2015
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan metode survei
dan kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif. Penelitian ini bertujuan
mengetahui
efektivitas,
faktor-faktor
pendukung, dan penghambat pelaksanaan
bimbingan manasik haji KUA Kecamatan
di Kota Padang pada tahun 2014.
Sampel penelitian sebanyak 100 orang
yang diambil dari peserta sebanyak 929
orang pada 10 KUA Kecamatan dengan
komposisi Kepala KUA/Panitia Kecamatan,
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan
Umrah, Kepala Kantor Kementerian Agama
Kota Padang, dan calon jamaah haji. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan
bimbingan manasik haji oleh KUA
Kecamatan di Kota Padang tahun 2014
pada indikator pengelola dikategorikan
efektif, sementara pengelolaan, program,
dan sarana prasarana masih belum efektif.
Hal itu terlihat pada capaian indikator
pengelola sebesar 75,55%, pengelolaan
71,72%, program 67,85%, dan sarana
prasarana 69,43%. Adapun rekomendasi
dkepada Dirjen Penyelenggara Haji dan
Umrah melalui Kanwil Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Barat untuk menerbitkan
Praturan Menteri Agama terbaru yang
berisikan tugas KUA sebagai konsultan haji
di tingkat kecamatan selain melayani nikah
dan rujuk.
Kata kunci: Efektivitas, Pelaksanaan
Bimbingan Manasik Haji, KUA Kecamatan.
This research applies survey and descriptive
method with quantitative and qualitative
approach. This research aims to figure out
the effectiveness, supporting and inhibiting
factors in conducting Hajj Manasik guidance
at sub-District Religous Affair Office in
Padang in 2014. The sample is 100 of 929
participants from 10 sub-District Religious
Affair Offices consisting of head of subDistrict Religious Affair Office/ committee,
head of Hajj and Umrah department, head
of Padang Religious Affairs Office and Hajj
participants. The results shows that the
guidance Hajj Manasik implementation
2014 in Padang City is effective in manager
level while management, programs, and
infrastructure need to be developed. It
can be seen on the achievements of the
management indicator: 75.55% manager
indicator, 71.72% management indicator,
67.85% program indicator, and 69.43%
infrastructure indicator. Recommendation
is for General Director of Hajj and Umrah
through West Sumatera Religious Affairs
Office to issue the latest Religious Minister
decree containing sub-District Religious
Affair Office`s tasks as a Hajj consultant
at sub-district level and give a service on
marriage and reconciliation.
Keywords:
Effectiveness,
the
implementation of Guidance Hajj Manasik,
Sub-District Religious Affair Office
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
INDEKS PENULIS
186
ISSN 1412-663X
A
Abdul Jamil
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Ahmad Ali MD
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang
Memahami Doktrin Syiah dalam Bingkai Toleransi
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Arif Gunawan Santoso
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Tabanni sebagai Haluan Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Arnis Rachmadhani
Balai Litbang Agama Semarang
Kearifan Lokal pada Komunitas Adat Kejawen Bonokeling
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Asnawati
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Komunitas Millah Abraham: Perkembangan Ajaran dan Persebarannya di Haurgeulis Indramayu
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
C
Cahyo Pamungkas
Research Center for Regional Resources, The Indonesia Institute of Sciences (LIPI)
Ethnic Conflict Theory, Religiosity, and Cultural Bond: Approaches Combined to Resolve
Religious Intolerance in Ambon
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
E
Efa Ida Amaliyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (ATIAN) Kudus
Harmoni di Banjaran: Interaksi Sunni-Syiah
Volume 14, Nomor 1, Mei-Agustus 2015
F
Fakhruddin
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di Indramayu
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
HARMONI
Mei - Agustus 2015
INDEKS PENULIS
187
H
Haidlor Ali Ahmad
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Rukun Kematian: Kearifan Lokal dan Modal Sosial bagi Kerukunan Umat Beragama di Kota
Bandar Lampung
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
I
Idrus Ruslan
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Dialektika Agama Missi: Studi Interaksi Sosial Pemeluk Agama Islam, Katolik, dan Buddha di
Margorejo Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
I Ketut Donder
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu: Kajian Pustaka tentang Pluralitas
Konsep Teologi dalam Hindu
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
K
Kustini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
M
M Ridwan Lubis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
M. Zainuddin Daulay
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Hantu di Balik Relasi Islam-Kristen di Indonesia
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
188
ISSN 1412-663X
Muhammad Hasbi
STAIN Watampone
Paham Qadariyah dan Jabariyah pada Pelaku Pasar Pelelangan Ikan Bajo di Kabupaten Bone,
Provinsi Sulawesi Selatan
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Muhammad War’i
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Horison Pragmatic Pluralism sebagai Paradigma (berbahasa) Penumbuh Inklusifitas Beragama:
Analisis Bahasa Keagamaan dalam Film Negeri Tanpa Telinga
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Muhtar
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Pelayanan Keagamaan Masyarakat Perbatasan (Studi Kasus di Kabupaten Belu Nusa Tenggara
Timur)
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Mukhibat
Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo
Rekonstruksi Spirit Harmoni melalui KPM Posdaya Berbasis Masjid di Kecamatan Pulung,
Kabupaten Ponorogo
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
N
Nurman Kholis
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI
Vihara Dewi Welas Asih: Perkembangan dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa
dengan Muslim di Cirebon
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
Nur Rofiah
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Gugatan Perempuan atas Makna Perkawinan: Studi tentang Cerai-Gugat di Kota Pekalongan
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
R
Rasyidul Basri
Balai Diklat Keagamaan Padang
Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji di KUA Kecamatan di Kota Padang
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
HARMONI
Mei - Agustus 2015
INDEKS PENULIS
189
S
Servulus Bobo Riti
BNP2TKI
Bara Merapu sebagai Kepercayaan Asli Orang Sumba (Perspektif Pelayanan Hak Sipil dan
Ancaman Kepunahan)
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Suhanah
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Eksistensi Agama Tao dan Pelayanan Hak-hak Sipil di Kota Palembang
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Suhanah
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Ajaran Kaharudin di Yayasan al-Maghfurullah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Volume 14, Nomor 2, Mei-Agustus 2015
W
Wahyu Setiawan
STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Pasraman sebagai Media Pembentuk Identitas Pasca Konflik (Studi terhadap Internalisasi Tri
Hita Karana pada Masyarakat Balinuraga Lampung Selatan)
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Z
Zaenal Abidin Eko Putro
Politeknik Negeri Jakarta
Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Zuly Qodir
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kontestasi Penyiaran Agama di Ruang Publik: Relasi Kristen dan Islam di Kota Jayapura
Volume 14, Nomor 1, Januari-April 2015
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
UCAPAN TERIMAKASIH
190
ISSN 1412-663X
Redaksi Jurnal Harmoni mengucapkan terimakasih dan memberikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari Tetap atas peran serta dan selalu
aktif demi meningkatkan kualitas Jurnal Harmoni. Selain itu juga telah memberikan
perhatian, kontribusi, koreksi dan pengayaan wawasan secara konstruktif, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. Koeswinarno (Balai Litbang Agama Semarang)
2. Prof. Dr. H. Muhammad Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
3. Prof. Dr. Hisanori Kato (Butsuryo College of Asaka)
4. Dr. H. Muhammad Adlin Sila, Ph.D (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama)
5. Dr. Jessica Sodirgo (Universitas of Toronto)
6. Dr. Alie Humaidi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
7. Dr. Abdul Aziz (Electoral Research Institute)
8. H. Ahmad Syafe’i Mufid, MA (Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta)
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PEDOMAN PENULISAN
“HANTU” DI BALIK RELASI ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA
191
PEDOMAN PENULISAN JURNAL HARMONI
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEAGAMAAN
KEMENTERIAN AGAMA RI
1. Artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertakan abstrak dalam
bahasa Inggris dan Indonesia.
2. Konten artikel mengenai:
a. Pemikiran, Aliran, Paham dan Gerakan Keagamaan
b. Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan
c. Hubungan Antar Agama dan Kerukunan Umat Beragama
3. Penulisan dengan menggunakan MS Word pada kertas berukuran A4, dengan font
Times New Roman 12, spasi 1,5, kecuali tabel. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri
dan kanan 3,17 cm dengan panjang tulisan maksimal 15 halaman isi di luar lampiran.
4. Kerangka tulisan hasil riset dan kajian pustaka tersusun berdasarkan sistematika
berikut:
a. Judul
b. Nama
c. Alamat lembaga dan e-mail penulis
d. Abstrak
e. Kata kunci
f. Pendahuluan (berisi latar belakang, rumusan masalah, teori, hipotesis [opsional],
tujuan penelitian)
g. Metode Penelitian (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data,
metode analisis data).
h. Hasil dan Pembahasan
i. Penutup (simpulan dan saran [opsional])
j. Daftar Pustaka (harus mengacu pustaka 80% terbitan 5 tahun terakhir dan 80%
berasal dari sumber primer).
5. Judul mencerminkan isi tulisan.
6. Nama penulis (tanpa gelar) diketik lengkap di bawah judul beserta alamat lengkap.
Bila alamat lebih dari satu diberi tanda asteriks *) dan diikuti alamat penulis sekarang.
Jika penulis lebih dari satu orang, kata penghubung digunakan kata “dan”.
7. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) berjarak 1 spasi dan maksimal 150 kata.
8. Kata kunci terdiri dari 5 kata, dan ditulis italic.
9. Setiap tabel, gambar dan grafik harus diberi nomor, judul dan keterangan sumber.
10. Pengutipan dalam artikel berbentuk body note, dengan ketentuan berikut:
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
192
ISSN 1412-663X
a. Setelah kutipan, dicantumkan nama belakang penulisnya, tahun penulisan dan
halaman buku dimaksud. Contoh: ….(kutipan)…(Madjid, 1997: 98).
b. Buku yang dikutip ditulis secara lengkap pada bibliografi.
11. Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan nomor urut pustaka (alphabet) yang
dikutip:
a. Buku dengan penulis satu orang. Contoh:
Hockett, Charles F. A Course in Modern Linguistics. New York: The Macmillan
Company, 1963.
b. Buku dengan dua atau tiga pengarang. Contoh:
Oliver, Robert T., and Rupert L. Cortright. New Training for Effective Speech.
New York: Henry Holt and Company, Inc., 1958.
c. Buku dengan banyak pengarang, hanya nama pengarang pertama yang
dicantumkan dengan susunan terbalik. Contoh:
Morris, Alton C., et.al. College English, the First Year. New York: Harcourt, Brace
& World, Inc., 1964.
d. Buku yang terdiri dari dua jilid atau lebih. Contoh:
Intensive Course in English, 5 Vols. Washington: English Language Service, Inc.,
1964.
e. Sebuah edisi dari karya seorang pengarang atau lebih. Contoh:
Ali, Lukman, ed. Bahasa dan Kasusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia
Baru. Jakarta: Gunung Agung, 1967.
f. Sebuah kumpulan bunga rampai atau antologi. Contoh:
Jassin, H.B. ed. Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi. 2 jld. Jakarta: Balai Pustaka, 1969.
g. Sebuah buku terjemahan. Contoh:
Multatuli. Max Havelaar, atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terj. H.B.
Jassin, Jakarta: Djambatan, 1972.
h. Artikel dalam sebuah himpunan. Judul artikel selalu ditulis dalam tanda kutip.
Contoh:
Riesman, David. “Caracter and Society,” Toward Liberal Education, eds. Louis G.
Locke, William M. Gibson, and George Arms. New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1962.
i. Artikel dalam ensiklopedi. Contoh:
Wright, J.T. “Language Varieties: language and Dialect,” Encyclopaedia of
Linguistics, Information and Control (Oxford: Pergamon Press Ltd., 1969), hal.
243251. “Rhetoric,” Encyclopaedia Britannica, 1970, XIX, 257-260.
j. Artikel majalah. Contoh:
Kridalaksana, Harimurti. “Perhitungan Leksikostastistik atas Delapan Bahasa
Nusantara Barat serta Penentuan Pusat Penyebaran Bahasa-bahasa itu berdasarkan Teori
HARMONI
Mei - Agustus 2015
PEDOMAN PENULISAN
193
Migrasi,” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Oktober 1964, hal. 319-352.
Samsuri, M.A. “Sistem Fonem Indonesia dan suatu Penyusunan Edjaan Baru,” Medan
Ilmu Pengetahuan, 1:323-341 (Oktober, 1960).
k. Artikel atau bahan dari harian. Contoh:
Arman, S.A. “Sekali Lagi Teroris,” Kompas, 19 Januari 1973, hal. 5. Kompas, 19
Januari 1973.
l. Tesis dan Disertasi yang belum diterbitkan. Contoh:
Parera, Jos. Dan. “Fonologi Bahasa Gorontalo.” Skripsi Sarjana Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.
m. Bila pustaka yang dirujuk terdapat dalam prosiding. Contoh:
Mudzhar, M Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, Prosiding Seminar
Pertumbuhan Aliran/Faham Keagamaan Aktual di Indonesia. Jakarta, 5 Juni,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009.
n. Bila pustaka yang dirujuk berupa media massa. Contoh:
Azra, Azyumardi. 2009, Meneladani Syaikh Yusuf Al-Makassari, Republika, 26 Mei:
8.
o. Bila pustaka yang dirujuk berupa website. Contoh:
Madjid, Nucrcholis, 2008, Islam dan Peradaban. www.swaramuslim.org., diakses
tanggal ....
p. Bila pustaka yang dirujuk berupa lembaga. Contoh:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti
dan Angka Kreditnya. LIPI, 2009. Jakarta.
q. Bila pustaka yang dirujuk berupa makalah dalam pertemuan ilmiah, dalam
kongres, simposium atau seminar yang belum diterbitkan. Contoh:
Sugiyarto, Wakhid. Perkembangan Aliran Baha’i di Tulungagung. Seminar Kajian
Kasus Aktual. Bogor, 22-24 April. 2007.
r. Bila pustaka yang dirujuk berupa dokumen paten. Contoh:
Sukawati, T.R. 1995. Landasan Putar Bebas Hambatan. Paten Indonesia No
ID/0000114.
s. Bila pustaka yang dirujuk berupa laporan penelitian. Contoh:
Hakim, Bashori A. Tarekat Samaniyah di Caringin Bogor. Laporan Penelitian.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama Jakarta. 2009.
13. Redaksi: Editor/Penyunting mempunyai wewenang untuk memperbaiki artikel
sesuai pedoman Jurnal Harmoni
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14
No. 2
Download