BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker
Kanker adalah penyebab utama kematian di sleuruh dunia, terhitung
8,2 juta kematian pada tahun 2012. Menurut WHO, kanker adalah istilah
umum untuk kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap
bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan
neoplasma. Salah satu ciri kanker adalah penciptaan cepat sel-sel abnormal
yang tumbuh melampaui batas-batas normal sel, dan kemudian dapat
menyerang bagian sebelah tubuh dan menyebar ke organ lain.
Kanker adalah suatu penyakit sel yang ditandai dengan suatu
pergeseran pada mekanisme kontrol yang mengatur proliferasi dan diferensiasi
sel.
Sel
yang
sudah
mengalami
transformasi
neoplastik
biasanya
mengekspresikan antigen permukaan sel yang tampaknya merupakan tipe
normal fetal dan mempunyai tanda lainnya dari “ketidakmatangan” yang jelas
dan dapat menunjukkan kelainan kromosom baik kualitatif maupun
kuantitatif, termasuk berbagai translokasi dan munculnya pengerasan dari
rangkaian gen. Sel-sel tersebut berkembang dengan cepat dan membentuk
tumor lokal yang dapat menekan atau menyerang struktur jaringan sehat
disekitarnya. Subpopulasi sel yang berada dalam tumor dapat digambarkan
sebagai “sel induk tumor”. Sel ini mempunyai kemampuan untuk mengulangi
siklus proliferasi berkali-kali dan berpindah ke sisi yang jauh di dalam tubuh
untuk membentuk koloni dalam berbagai organ tubuh, proses ini disebut
metastase (Katzung, 1998).
B. Kanker Payudara
Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang jaringan payudara.
Prognosis kanker payudara tergantung pada tingkat pertumbuhannya. Sampai
saat ini, penyebab pasti kanker payudara belum diketahui. Namun, ada
5
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
6
berbagai faktor resiko yang berhubungan dengan kanker payudara, beberapa
di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Faktor hormon. Faktor yang diduga memegang peranan dalam proses
kejadian kanker payudara ini adalah faktor hormon estrogen. Penelitian
membuktikan bahwa wanita usia dini (remaja) yang memakai alat
kontrasepsi ora (pil) sangat beresiko tinggi terserang kanker payudara.
2. Pernah menggunakan obat hormonal yang lama, seperti hormonal
replacement therapy (HRT) dan pengobatan kemadulan (infertilitas).
3. Pemakai kontrasepsi oral pada penderita tumor jinak payudara seperti
kelainan fibrokistik.
4. Wanita bekerja pada malam hari. Pusat Penelitian Kanker Fired Hutchison
Cancer di Seatle, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa wanita yang
bekerja malam hari mempunyai peluang 60% terkena kanker payudara.
Cahaya lampu yang kusam pada malam hari dapat menekan produksi
melatonin noctural pada otak sehingga hormon estrogen yang diproduksi
oleh ovarium meningkat. Padahal diketahui melatonin dapat menekan
pertumbuhan sel kanker payudara.
5. Faktor usia. Wanita berusia di atas 30 tahun, wanita yang mendapatkan
haid pertama pada umur kurang dari 10 tahun, dan wanita yang mengalami
menopause (mati haid) setelah usia 50 tahun, mempunyai kemungkinan
lebih besar mendapatkan kanker payudara.
6. Wanita yang tidak pernah melahirkan anak.
7. Wanita yang melahirkan anak pertamanya sesudah usia 35 tahun.
8. Wanita yang tidak pernah menyusui anak.
9. Terapi radiasi pada daerah sekitar dada dan payudara pernah dilakukan.
10. Riwayat keluarga. Beberapa riwayat keluarga yang dianjurkan untuk
deteksi dini yaitu ibu atau saudara perempuan terkena kanker payudara
atau kanker yang berhubungan dari ibu atau ayah, kanker ovarium,
endometrium, kolorektal, prostat, tumor otak, leukemia, dan sarkoma.
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
7
11. Pernah mengalami infeksi, trauma/benturan, operasi payudara akibat
tumor jinak (kelainan fibrokistik dan fibroadenoma), atau tumor ganas
payudara kontralateral (Purwastuti, 2008).
Penatalaksaan karsinoma primer payudara telah mengalami perubahan
besar karena usaha-usaha yang dilakukan untuk diagnosis dini dan
pelaksanaan berbagai uji klinik yang digabungkan dengan kemoterapi sistemik
sebagai tambahan dan pembedahan (Katzung, 1998).
C. Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan obatobatan atau hormon. Kemoterapi dapat digunakan dengan efektif pada
penyakit-penyakit baik yang diseminata maupun yang masih terlokalisasi.
Pada kanker payudara, penggunaan kemoterapi kombinasi pada wanita
premenopause dengan kelenjar limfe yang positif pada waktu mastektomi
nyata memberikan keuntungan. Telah diketahui bahwa beberapa program
kemoterapi sitotoksik dapat memperpanjang waktu bebas sakit dan waktu
bertahan secara keseluruhan. Metode pengobatan ini telah meningkatkan
kesembuhan pada penderita kanker payudara primer dengan risiko tinggi.
Rejimen aktif tersebut termasuk berbagai kombinasi, obat-obat siklofosfamid,
metotreksat, fluorourasil, doksorubicin dan vinkristin. Hasil yang diperoleh
dengan kombinasi kemoterapi ini lebih baik daripada hasil obat yang
digunakan secara tunggal dalam menanggulangi penyakit, karena kombinasi
kemoterapi ini akan lebih baik dalam menghadapi heterogenitas sel tumor dan
memberikan tumor log cell kill yang lebih besar. (Katzung, 1998)
Menurut National Comprehensive Cancer Network (NCCN) setiap
agen kemoterapi memiliki potensi emetogenik masing-masing yng memicu
terjadinya mual muntah. Beberapa klasifikasi telah dikembangkan untuk
menentukan tingkat emetogenik dari pengobatan kemoterapi, meskipun tidak
ada yang diterima secara universal.
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
8
NCCN membagi tingkat emetogenik agen kemoterapi menjadi 4 tingkat :
1. Sangat rendah : <10% kejadian emesis
2. Rendah
: 10-30% kejadian emesis
3. Sedang
: 30-90% kejadian emesis
4. Tinggi
: 90% atau lebih kejadian emesis
Terdapat beberapa agen kemoterapi yang digunakan untuk terapi kanker
payudara, antara lain doksorubisin, paclitaxel, capecitabin, gemcitabin,
vinorelbin,
eribulin,
siklofosfamid,
carboplatin,
docetaxel,
cisplatin,
traztuzumab, bevacizumab, epirubicin, ixabepilon dan fluorourasil. Masingmasing agen kemoterapi tersebut memiliki potensi emetogenik yang dapat
memicu terjadinya mual muntah.
Potensi emetogenik agen neoplastik menurut NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology; v.2.2014 (NCCN, 2014).
Tabel 1 potensi emetogenik agen antineoplastik NCCN Guidelines Version 2.2014
Antiemesis (NCCN, 2014)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
(<10%)
(10-30%)
(30-90%)
(>90%)
Bevacizumab
Docetaxel
Siklofosfamid
Siklofosfamid
Vinorelbine
Eribulin
(≤ 1,5 g/m2)
(> 1,5 g/m2)
Vinblastin
Fluorourasil
Doksorubisin
Cisplatin
Vincristine
Gemcitabin
Epirubisin
Ixabepilon
Paclitaxel
Traztuzumab
Lapatinib
D. Mual dan Muntah
Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar
pada daerah medula yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan
bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan oleh impuls iritasi yang
datang dari traktus gastrointestinal, impuls yang berasal dari otak bawah yang
berhubungan dengan motion sickness, atau impuls dari korteks serebri untuk
memulai muntah (Hall & Guyton, 1997).
Muntah merupakan suatu cara di mana traktus gastrointestinal
membersihkan dirinya sendiri dari isinya ketika hampir semua bagian atas
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
9
traktus gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat mengembang, atau bahkan
sangat
terangsang. Muntah kadang terjadi tanpa didahului perangsangan
prodormal mual, yang menunjukkan bahwa hanya bagian-bagian tertentu dari
pusat muntah yang berhubungan dengan peransangan mual. Distensi yang
berlebihan atau iritasi duodenum menyebabkan suatu rangsangan khusus yang
kuat untuk muntah (Hall & Guyton, 1997). Berikut ini grade mual muntah
yang digunakan untuk melakukan evaluasi efektifitas mual muntah:
Tabel 2 Grade mual muntah NCI (NCI, 2009)
Grade
0
1
2
3
4
Mual
Tidak mual
Hilang selera makan, kebiasaan makan
tidak berubah.
Asupan makan berkurang tanpa
penurunan berat badan bermakna; cairan
IV atau TPN perlu ≥ 24 jam.
Asupan kalori dan cairan oral tak
memadai; cairan IV tube feeding atau
TPN perlu ≥ 24 jam.
Mengancam nyawa.
Muntah
Tidak muntah
1 episode dalam 24 jam
2-5 episode / 24 jam; cairan IV
perlu < 24 jam.
≥ 6 episode / 24 jam; cairan IV atau
TPN perlu ≥24 jam.
Mengancam nyawa.
Keterangan : dalam penelitian ini untuk melihat efektifitas obat anti mual muntah dilihat
dari tingkat mual dan muntah yang terjadi. Obat dikatakan efektif jika mual muntah yang
terjadi pada grade 0-1 (Chambers, 2010).
Chemoreceptor trigger zone (CTZ), pusat muntah dan saluran
pencernaan mempunyai banyak neurotransmiter. Aktivasi neurotransmiter
oleh agen kemoterapi atau metabolitnya akan menyebabkan terjadinya
chemotherapy induced emesis. Reseptor saraf utama yang mengakibatkan
respon emesis adalah serotonin (5-hydroxytryptamine (5-HT3)) dan reseptor
dopamin. Reseptor saraf lain yang bekerja dalam menimbulkan emesis antara
lain reseptor asetilkolin, kortikosteroid, histamin, kanabinoid, opiat dan
neurokinin-1 (NK-1), yang berlokasi di pusat mual dan vestibular di otak.
Mual merupakan hasil dari stimulasi refleks yang dikontrol oleh otak. Mual
dipicu oleh impuls afferen ke pusat mual yang berlokasi di medula dari CTZ,
faring , saluran pencernaan dan kortkes serebral. Mual terjadi ketika impuls
afferen dikirim dari pusat mual ke pusat salivasi, otot abdomen, pusat
pernafasan dan saraf kranial (NCCN, 2014).
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
10
Tingkat kejadian dan keparahan dari mual muntah pada pasien yang
menjalani kemoterapi atau terapi radiasi (atau keduanya) dikarenakan
beberapa faktor , di antaranya : (1) agen kemoterapi yang digunakan (2) dosis
masing-masing agen kemoterapi (3) jadwal dan rute pemberian dari
penggunaan kemoterapi (4) target dari terapi radiasi (sistemik atau hanya
bagian tertentu) (5) individu pasien (usia, jenis kelamin, riwayat kemoterapi
dan riwayat penggunaan alkohol). Lebih dari 90% pasien yang menerima
kemoterapi dengan tingkat emetogenik yang tinggi akan beresiko mengalami
muntah. Namun, hanya 30% dari pasien tersebut yang mengalami muntah
apabila diberikan regimen pencegahan antiemetik sebelum pengobatan dengan
agen kemoterapi yang memiliki tingkat emetogenik yang tinggi. Kejadian
muntah dapat dicegah dengan pemberian regimen terapi entiemetik
profilaksis, namun mual lebih sulit untuk dikontrol (NCCN, 2014).
NCCN membagi tipe mual muntah berdasarkan waktu terjadinya :
1. Acute
Mual dan muntah yang terjadi setelah beberapa menit sampai beberapa
jam setelah administrasi obat dan biasanya dalam rentang waktu 24 jam.
2. Delayed
Mual muntah yang terjadi pada pasien berkembang menjadi lebih dari
24jam setelah pemberian kemoterapi
3. Anticpatory
Mual muntah tipe ini biasanya terjadi sebelum pasien menerima
kemoterapi siklus selanjutnya.
4. Breakthrough
Adalah muntah yang terjadi meskipun telah diberikan pengobatan
profilaksis dan membutuhkan penyelamatan dengan agen antiemetik.
5. Refractory
Adalah emesis yang terjadi selama siklus pengobatan berikutnya ketika
antiemetik profilaksis yang diberikan gagal dalam siklus sebelumnya.
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
11
Terapi antiemetik juga harus diberikan sebelum kemoterapi, hal ini
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap kemoterapi
yang menginduksi emesis. Terapi antiemetik juga harus dilanjutkan untuk
jangka waktu yang sama dengan durasi aktivitas emesis dari agen kemoterapi
yang digunakan. agen antiemetik dapat diberikan melalui oral, rektal,
intravena, intramuskular atau rute transdermal. Pada pasien tertentu yang tidak
mampu menelan, mungkin terapi antiemetik dapat diberikan melaui rute
transdermal. NCCN mencoba untuk menentukan rejimen terapi anti mual
muntah (antiemetik) untuk obat kemoterapi tertentu yang mencakup seluruh
durasi waktu pasien yang beresiko mengalami mual muntah. Dikhawatirkan
pada beberapa pasien mungkin tidak menerima profilaksis yang memadai
untuk emesis tertunda (delayed emesis). Untuk perlindungan maksimal
terhadap mual muntah akibat kemoterapi, terapi anti mual muntah (antiemetik)
harus dimulai sebelum kemoterapi. Terapi antiemetik juga harus dilanjutkan
untuk jangka waktu yang sama seperti durasi aktivitas emetik dari agen
kemoterapi yang digunakan.
1. Antagonis reseptor serotonin (5-HT3)
Antagonis selektif reseptor 5-HT3 pertama dikenalkan pada tahun
1990 untuk penatalaksaan kemoterapi yang menginduksi mual muntah.
Perkembangan agen antagonis reseptor 5-HT menunjukkan kemajuan
yang signifikan
dalam terapi antiemetik. Semua agen obat ini sudah
menunjukkan efektifitasnya dalam mengatur mual dan muntah akut akibat
kemoterapi. agen ini merupakan terapi pencegahan lini pertama untuk
kemoterapi dengan potensi emetogenik sedang sampai berat (Hesketh,
2008).
Pada tahun 2003 palonosetron disetujui sebagai antagonis reseptor
5-HT3 baru oleh Food and Drug Administration (FDA) ,agen ini memiliki
100x lipat afinitas lebih tinggi dibandingkan agen antagonis reseptor 5HT3 yang lain seperti ondansetron, granisetron dan dolasetron. Data
menunjukkan bahwa palonosetron menghambat reseptor 5-HT3 lebih lama
dibandingkan dengan antagonis 5-HT3 yang lain (Hesketh, 2008).
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
12
2. Antagonis Reseptor Neurokinin-1
Antagonis reseptor neurokinin-1 merupakan kelas baru dari agen
antiemetik yang efektif untuk mencegah terjadinya mual muntah yang
diinduksi kemoterapi. Pada tahun 2003 aprepitant dalam bentuk oral
disetujui oleh FDA sebagai obat pertama dari golongan ini. Dua uji klinik
prospektif fase 3 yang dilakukan untuk kemoterapi dengan tingkat
emetogenik berat menjadikan aprepitat disetujui. Karena manfaatnya yang
diperkirakan dapat mengurangi 50% resiko kejadian emesis, aprepitant
dijadikan komponen penting untuk terapi agen kemoterapi dengan tingkat
emetogenik berat (Hesketh, 2008).
Suatu studi mengevaluasi penggunaan aprepitant pada terapi
kemoterapi dengan tingkat sedang pada 866 pasien kanker payudara (99%
di antaranya perempuan) dan dijadwalkan pemberian siklofosfamid dan
antrasiklin. Dan efek samping emesis yang ada dapat ditolerir dengan
pemberian kombinasi aprepitant, ondansetron dan deksametason yang
diberikan pada hari 1 sebelum kemoterapi, diikuti pemberian aprepitant di
hari 2 dan 3 (Hesketh, 2008).
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid pertama kali terbukti efektif sebagai agen anti
emetik lebih dari 25 tahun yang lalu. Agen ini efektif apabila diberikan
sebagai agen tunggal untuk kemoterapi yang memiliki potensi emetogenik
rendah. Namun, memberikan efek yang lebih menguntungkan apabila
diberikan secara kombinasi dengan agen anti emetik lainnya. Telah
dibuktikan dengan baik ketika kortikosteroid dikombinasikan dengan
antagonis reseptor 5-HT3. Kortikosteroid juga efektif baik untuk emesis
akut maupun tertunda (Hesketh, 2008).
Evaluasi Efektivitas Penggunaan..., Azkalia Rizqi Alfarozy, Fakultas Farmasi UMP, 2015
Download