Jurnal IDe - KPU Provinsi Jawa Timur

advertisement
Suara KPU Jawa Timur
KPU JAWA TIMUR
Jurnal IDe
Inspirasi Demokrasi
Mengawal Demokrasi Membangun Negeri
edisi
Juni 2016
08
Dari Redaksi
P
uji syukur kehadirat Allah SWT. sehingga Komisi Pemilihan Umum Jawa
Timur (KPU Jatim) dapat menerbitkan kembali Jurnal Ide (Inspirasi Demokrasi) Edisi bulan Juni Tahun 2016. Dimana kali ini sudah memasuki edisi ke-8.
Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada Komisioner, Sekretaris, dan seluruh
Staf KPU Jatim yang terlibat dalam penyusunan Jurnal Ide edisi ke-8 ini. Terima
kasih Kami ucapkan juga kepada KPU kabupaten/kota yang telah berpartisipasi.
Tema yang diangkat dalam edisi ke-8 ini yaitu, “Menakar Peran Ideal Partai Politik
(parpol) dalam Pemilu (pemilihan umum) dan Demokrasi.” Parpol, pemilu dan
demokrasi, seakan menjadi entitas yang tak terpisahkan. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang dianut Indonesia saat ini. Sistem pemerintahan yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sedangkan Pemilu merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada
saat pemilu dijadikan manifestasi prinsip kedaulatan rakyat, maka rakyat diberikan kebebasan untuk dipilih dan memilih calon-calon wakil rakyat yang dipercaya
dalam parpol.
Karenanya menjadi penting bagi partai politik untuk menjaga kepercayaan dan
amanah dari konstituen dan rakyat. Sebab jika hal ini diabaikan begitu saja akan
menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik, dan secara tidak langsung
akan berdampak kepercayaan terhadap pemilu. Mengingat partai politik adalah
peserta pemilu dan memiliki kontribusi besar dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi.
Hadirnya jurnal Ide dengan tema Menakar Peran Ideal Parpol dalam Pemilu dan
Demokrasi, bertujuan dapat menjadi media bagi KPU selaku penyelenggara pemilu yang berhubungan langsung dengan parpol, untuk menyampaikan pemikiran
ataupun gagasan. Harapannya melalui pemikiran-pemikiran yang terwadahi di
dalam jurnal ini, dapat menjadi masukan yang membangun segala pihak, khususnya parpol. Sehingga dapat membantu memberikan sumbangsih mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap parpol, membantu mewujudkan penerapan perpolitikan yang baik, serta proses demokrasi yang ideal di Indonesia.
Akhirnya, Kami tetap menyadari jurnal Ide ini tentunya masih terdapat banyak
kekurangan. Dengan demikian, segala saran dan kritik yang membangun bagi
proses perbaikan sangat Kami harapkan. r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
1
Daftar Isi
Hal 3
Menakar Peran Ideal Partai Politik
Dalam Pemilu dan Demokrasi
Hal 6
Kesadaran Pluralisme Dalam
Praktik Demokrasi Pancasila
Hal 9
Partai Politik, Pilihan Demokrasi
atau Kekuasaan
Hal 15
Demokrasi Yang Dipuja dan
Diterapkan di Indonesia
Hal 24
Hal 12
Fenomena Relawan Politik
Dalam Pemilu
Hal 20
Partai Politik, Gas Pol Rem Pol
Dalam Demokratisasi
KPU: Penguatan Kelembagaan
Untuk Demokrasi Berintegritas
Hal 28
Hal 31
Partai Politik, Demokrasi dan Pemilu:
Mewujudkan Pemimpin Yang
Berkualitas dan Berintegritas
Menggugat Peran Parpol
Dalam Pendidikan Politik
Hal 34
Peran Partai Politik Dalam
Mewujudkan Pemilu Berintegritas
Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo
Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi:
Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki.
Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor:
Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat
Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas
Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya
Tenggilis No. 1-3 Surabaya.
2
Jurnal IDe
MUHAMMAD ARBAYANTO, SH,. MH.
Divisi Hukum,
Pengawasan SDM dan Organisasi
KPU Jawa Timur
Menakar Peran Ideal Partai Politik
Dalam Pemilu dan Demokrasi
S
ecara bahasa, konsep demokrasi memakai istilah yang menurut asal kata
berarti rakyat berkuasa atau government by the people1 berasal dari Kata Yunani
demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti
kekuasaan/berkuasa. Pada mula pertumbuhannya demokrasi mencakup beberapa azas
dan nilai yang diwariskan dari masa lampau,
yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan
oleh aliran Reformasi serta perang agama
yang men­yusulnya.2 Gagasan demokrasi Yunani Kuno boleh dikatakan hilang dari pera­
daban dunia Barat saat Bangsa Romawi dikalahkan bangsa Eropa Barat, dan benua Eropa
memasuki Abad Pertengahan (600-1400).3
Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh
struktur sosial yang feodal (hubungan antara
vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta
spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat
agama lainnya, serta kehidupan politiknya
ditandai oleh perebutan kekuasaan antara
para bangsawan.
Renaissance adalah aliran yang meng­
hidupkan kembali minat kepada kesusastraan
dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama
Abad Pertengahan telah disisihkan. Hadir­
nya kembali gagasan demokrasi di Eropa
tidak lepas dari situasi pemerintahan abad
pertengahan yang teokratik, otokratik atau
oligarkis yang dirasakan menindas rakyat.4
Kondisi tersebut melahirkan sejumlah pemikiran tentang bagaimana negara dengan
sistem pemerintahannya bermanfaat bagi
kepentingan umum.
Marsiligilo (1270-1340) dikenal dengan
pendapatnya tentang pentingnya hukum
harus berasal dari rakyat melalui lembaga
legislatif. Dia mungkin merupakan filsuf
pertama yang menyatakan dengan tegas
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan sumber undang-undang ini ialah rakyat
sebagai keseluruhan.”5 Konsep demokrasi
yang kemudian berkembang pesat pada
abad ke-20 berawal dari buah pikiran sejumlah filsuf seperti Montesquieu (16881755) sebagai pelopor konsep Trias Politika,
yakni pemisa­han kekuasaan antara lembaga
legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga
yudikatif. Pemikiran Montesquieu merupakan pengembangan dari pemikiran filsuffilsuf sebelumnya, seperti Thomas Hobbes
(1588-1679), tentang hukum positif Negara
dan John Locke (1632-1704) tentang pembatasan kekuasaan. Ide demokrasi diperkaya
oleh pemikir besar Jean Jackues Rousseau
(1712-1778) yang mendasarkan pahamnya
pada hukum alam yang bersifat rasionalistik
individualis dan logis.6
1 Naskah Pidato Abraham Lincoln dalam peresmian Makam Nasional
Gettisburg tahun 1863. Dalam dokumen Merin Urofski., Prof.
2 Bertenz, K., Dr., Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-empat, 1984.
3 Ibid.
4 Ranadireksa, Ilmdarman., Arsitektur Konstitusi Demokratik,
Penerbit Fokus Media, 2007.
5 Sjachran Basah, Dr, S.H., C.N., Ilmu Negara, Penerbit Alumni
Bandung– 1987.
6 Franz Magnis-Suseno (2003), Dalam Bayang-Bayang Lenin,
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
3
Secara kronologis, bisa disimpulkan bahwa era modern ketatanegaraan ditandai tiga
tonggak konstitusi demokratik yakni, model
Inggris (parlementer, terjadi melalui proses
evolusi cukup panjang sejak magna charta,
1215), Amerika Serikat (sistem presidensial
dan federalisme, buah perang kemerdekaan,
1776) dan Perancis (buah revolusi Perancis,
1789). Kendati ketiganya memiliki predikat
yang sama sebagai sistem demokrasi, namun
adanya latar belakang yang berbeda, maka
terjadi perbedaan pula pada bentuk, sifat
dan karakter konstitusinya. Demokrasi dengan sistem parlementer model Inggris lebih
se­ring digunakan sebagai acuan dibandingkan dengan sistem parlementer lainnya
karena proses penyempurnaan sistemnya
berlangsung evolutif, sehingga lebih memudahkan untuk mengkaji dan menelusurinya.7
Konstitusi parlementer model Inggris, dan
konstitusi Presidensial model Amerika Serikat
se­ring dipakai acuan dalam memperbandingkan kedua sistem.
Partai Politik dalam Pendekatan Ilmu Politik
Partai Politik, megacu Miriam Budiardjo,
adalah suatu kelompok yang terorganisir
yang anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik-biasanya) dengan cara konstitusional-untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan
mereka.8 Sedangkan Carl Friedrich, memaknai partai politik sebagai sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terha­dap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan, berdasarkan pengu­
asaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Partai politik secara akademik ditegaskan sebagai alat untuk meraih kekuasaan
demi kesejahteraan rakyat, yaitu adanya
peningkatan kemampuan masyarakat dalam
enam pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia
Pustaka Utarna, Jakarta, 2005.
7 Ranadireksa, Liendarman.. Arsitektur Konstitusi Demokratik,
Penerbit Fok-us Media, 2007.
8 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit
Gramedia- Jakarta. 2008.
4
Jurnal IDe
memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka keberadaan partai politik membawa harapan
yang besar dari masyarakat. Oleh karena itu,
tidak salah jika partai politik ditempatkan
sebagai instrumen penting dalam mempermudah terciptanya iklim demokrasi sebagai
jalan yang dianggap paling mudah mencapai
kesejahteraan tersebut. Maka menjadi tugas
dan tanggungjawab partai politik untuk senantiasa sensitif, setidaknya melalui kemampuannya, dapat menyerap dan memahami berbagai
keluhan serta kepentingan masyarakat, sekaligus berusaha untuk memperbaikinya.
Partai politik juga merupakan perwujudan kekuatan politik utama di dalam ne­
gara, Merupakan perhimpunan rakyat yang
kehadi­rannya dan kemampuan serta perjuangannya, secara internal ditentukan oleh
pelembagaan organisasi, kepemimpinan,
ideologis dan strategi-taktik dari kelompok
yang berhimpun tersebut. Sinergi diantara
keempat elemen wujud partai itulah yang
menjamin keberhasilan partai dari dalam.9
Hadirnya partai politik bukan sekadar sebagai alat demokrasi, namun harus diletakkan
sebagai wadah peningkatan kualitas hidup.
Prof Miriam Budiardjo10 menerangkan, fungsi partai politik sebagai: sarana komunikasi
politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik,
pengatur konflik (conflict management), artikulasi dan agregasi kepentingan, jembatan
antara rakyat dan pemerintah.11
Partai Politik dalam Struktur Kekuasaan di
Indonesia
Jika mengacu kepada sejarah Indonesia,
sebenarnya bangsa Indonesia sudah mengenal bentuk-bentuk institusi politik modern
sejak awal abad 19, seperti misalnya partai¬partai politik, organisasi massa, surat kabar,
konsep machtvorming (merebut kekuasaan)
en machtwending (mempertahankan kekuasaan), demonstrasi dan pemogokah, dan
seterusnya.12 Dari berbagai institusi tersebut,
maka partai politik merupakan salah satu
unsur penting yang menopang keberlangsu­
ngan republik ini pada pasca kemerdekaan.
9 Ibid
10 Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Polilik. Gramedia, Jakarta, 2000.
11 Budiardjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
2008.
12 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945, 2002
Partai-partai politik itu hidup pada hampir seluruh sistem demokrasi di Indonesia.
Harus diakui bahwa sejak Indonesia merdeka,
kritik kepada sistem demokrasi yang diterapkan Indonesia adalah sistem demokrasi yang
merupakan demokrasi artifisial atau quasidemocracy, bukanlah demokrasi substansial.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sistem
demokrasi jika tidak jatuh kepada suasana
tirani kepemimpinan (Demokrasi Terpimpin
dan Orde Baru), maka jatuh kepada tirani
partai-partai (Demokasi Parlementer).13 Posisi
strategis partai politik dalam demokrasi di lndonesia termanifestasikan melalui Pasal 28 UUD
1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.” Melalui norma dasar
tersebut menjadi landasan lahirnya UndangUndang Republik Indonesia No 31 Tahun 2002
yang kemudian diperbarui lagi dengan UndangUndang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan terakhir melalui Undang Undang No 2
Tahun 2011 yang mengatur tentang Perubahan
terhadap UU No 2 Tahun 2008.
Ketika otoritarianisme Orde Baru jatuh,
maka negeri ini memasuki suatu periode
transisi demokrasi.14 Mulailah banyak dibicarakan tentang pentingnya konsolidasi
de­mok­rasi. Dalam berbagai kajian, periode ini biasanya terjadi di banyak negara
berkembang, dari rezim oligarki militer yang
berkuasa secara otoriter menuju kepada
suatu rezim sipil-demokratis. Seperti juga di
banyak negara berkembang lainnya, maka di
Indonesia pun pasca-kekuasaan otoritaria­
nisme, seluruh infrastruktur lembaga-lembaga yang menunjang ke arah demokratisasi
segera memperoleh hak-haknya atas kebebasan berserikat, bersuara dan berkumpul.
Banyak Surat kabar terbit, organisasi masa
didirikan, serikat buruh bermunculan, dan
ratusan partai baru didirikan. Dari berbagai
institusi demokrasi tersebut, maka partai
politik merupakan salah satu institusi yang
paling krusial untuk mengawal proses transisi
dan konsolidasi demokrasi ini.15 Paling tidak
ada beberapa alasan mengapa partai politik
13 Idem
14 Setiawan, Asep, Artikel : Basis Ideologi Orde Baru, 2007.
15 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945, 2002.
memiliki peran penting di dalam mengawal
transisi demokrasi tersebut, salah satunya
secara fungsional partai politik itu didirikan agar bisa memberikan kontribusi untuk
mengisi jabatan strategis di pemerintahan.
Selanjutnya, adanya perubahan UUD
1945 menegaskan bahwa Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki
fungsi yang sangat penting dalam rangka
membangun kehidupan politik nasional.16
Partai politik sebagai wahana demokrasi tak
bisa diabaikan eksistensinya, karena rekruitmen kepemimpinan dan anggota lembaga
kenega­raan nasional dan lokal pada cabang
kekuasaan eksekutif dan legislatif hanya dapat dilakukan melalui Partai Politik.17 Saat ini
Partai Politik terus menuai kritik menyangkut
tidak artikulatifnya terhadap aspirasi konstituen, maupun untuk mendukung peningkatan kualitas demokrasi. Intensitas kritik yang
mengemuka menunjukkan bahwa Partai Politik belum mampu menunjukkan progresivitas
kinerja demokrasinya. Hal ini semakin mempertegas bahwa partai politik belum siap
melahirkan kader-kader yang berkualitas.
Di tengah kritikan terhadap partai politik,
kini malah bermunculan partai-partai politik
baru. Meskipun pendirian partai politik tidak
dilarang dan bahkan mendapat perlindungan
hukum, namun patut dihitung baik buruknya.
Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi proses
konsolidasi demokrasi di Indonesia. Partaipartai politik yang ada cenderung berjalan
menjauhi pusat atau hendak mengembangkan sistem tersendiri (centrifugal). Kecen­
derungan ini disebut sebagai proses radika­
lisasi yang akan berujung kepada perpecahan
yang tak teratasi.18
Tantangan era demokrasi menuju terbentuk format pelembagaan demokrasi secara
lebih baik tentu menjadi sebuah persoalan
tersendiri bagi Bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan Partai Politik adalah salah satu dari
sekian banyak faktor yang harus dibenahi dalam rangka proyek pelembagaan demokrasi
tersebut. r
16 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945. 2002.
17 Gunanjar Sudarsa, Agus, Drs., Bc.,IP., M.Si., Sistem Multipartai
di Indonesia, 2008.
18 Salim, Zafrullah, Drs., MA., Dampak Sistem Multipartai Dalam
Kehidupan Politik Indonesia, 2005.
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
5
Kesadaran Pluralisme
Dalam Praktik Demokrasi Pancasila
1 juni 2016, Presiden Republik Indonesia telah mengumumkan dan menetapkan menjadi hari lahir Pancasila yaitu 1 juni dan selanjutnya hari
tersebut diperingati sebagai hari libur Nasional.
S
SYAIFULLOH
Divisi Tehnik Penyelenggaraan dan
Data KPU Kabupaten Ponorogo
6
Jurnal IDe
ebagaimana isi pidato beliau, “Dengan
mengucap syukur ke hadirat Allah, Keppres tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila”, kata Jokowi dalam peringatan Pidato
Bung Karno di Gedung Merdeka, Bandung,
Jawa Barat, 1 Juni 2016. Selanjutnya Presiden Jokowi menandatangani Keppres No. 24
tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila.
Perjalanan panjang Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia sudah semestinya
memberikan pengaruh terhadap kesadaran
pemahaman tentang keberagaan dan tole­
ransinya yang tinggi bagi bangsa ini, meski
demikian tantangan akan terorisme, radikalisme dan intoleransi sudah semestinya
dibentengi dengan keteguhan dan kekokohan pancasila sebagai satu-satunya ideologi
dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia termasuk salah satu negara
yang paling majemuk di dunia bila dilihat dari
segi etnis, bahasa, agama, dan sebagainya,.
Hal ini disadari betul oleh para founding fathers kita, sehingga mereka merumuskan
konsep pluralisme ini dengan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika.” Munculnya Sumpah
Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu
kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi
penjajah Belanda, yang kemudian dikenal
sebagai cikal-bakal munculnya wawasan
kebangsaan Indonesia melahirkan sebuah
masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis.
Kehidupan demokrasi di Indonesia yang
tercakup dalam kehidupan berbhineka
tunggal ika menjadi suatu realitas sekaligus
memberikan pemahaman terhadap plura­
lisme yang makin matang bagi bangsa untuk
mencapai cita-cita luhurnya. Cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia untuk mencapai
perikehidupan yang lebih baik tercermin dari
realitas sosial masyarakat yang plural baik
berdasar agama, suku, etnis dan kelompokkelompok masyarakat yang senantiasa menjungjung tinggi sikap toleran, hidup yang damai dan saling menghormati atas perbedaan.
Sejalan dengan hal tersebut dalam pluralisme
politik nilai demokrasi Pancasila disandarkan
pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan, dimana hak dan kewajiban
warga negara yang plural telah diatur melalui
kekuasaan negara dalam mekanisme politik
dan diatur sesuai hukum konstitusi dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian keberadaan kekuasaan
negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan secara langsung dengan kekuasaan rakyat. Penyaluran kekuasaan rakyat
dari berbagai jalur pada akhirnya bermuara
pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik
dan non partai politik. Hirarki nilai demokrasi
pada puncak tertinggi adalah pluralisme poli-
tik. Intinya rakyat dengan berbagai kelompok
dan beragam kepentingannya diperkenankan
untuk menguasai negara melalui berbagai
jalur kekuasaan yang telah dibentuk dan
dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan
yang telah membentuk kekuatan negara
pada prinsipnya paralel dengan jalur kekuasaan yang dimiliki rakyat.
Demokrasi dalam Pluralisme politik
setelah era reformasi politik 1998 sudah
seharusnya mampu membuka sumbatansumbatan agar kekuasaan dari berbagai ke­
lompok rakyat dapat mengalir dengan bebas
menuju penguasaan rakyat terhadap negara.
Demokrasi dapat menjamin bahwa plura­
lisme politik dalam sebuah negara tidak akan
melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada golongan
tertentu (seperti pada masa orde lama dan
orde baru Indonesia). Tidak boleh ada niat
apalagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi kelompok rakyat
yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan
negara, baik kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan
negara di daerah (pemda).
Dalam dimensi pluralisme politik, se­
suai dengan dasar konstitusi UUD 1945
pe­ngakuan hak-hak dalam kebebasan berpendapat, dan berserikat tercermin dalam
UUD 1945 pada Pasal 28E ayat (3) “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dalam mengimplementasikan pasal ini berbagai
cara yang da­pat dilakukan tentunya dengan
cara-cara yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Seluruh rakyat melalui berbagai
jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi
jalan untuk mengendalikan kekuasaan atau
mempenga­ruhi kekuasaan. Melalui jalan
tersebut rakyat dapat mengirim orang-orang
yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga
legislatif dan eksekutif. Sebagaimana hari ini
Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat masuk ke dalam lembaga
pemerintahan baik melalui jalur parpol dan
non parpol. Disam­ping rakyat parpol, rakyat
non parpol bisa masuk parlemen sebagai
anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga
bisa jadi gubernur, bupati/walikota melalui
jalur perseorangan. Kedua kelompok rakyat
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
7
ini telah diberi hak yang sama oleh negara
untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan,
sehingga dapat menempatkan diri untuk ikut
andil dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Mekanisme demokrasi yang secara prosedur harus melalui pemilu secara demokratis
dan berikut keberadaan partai politik sebagai media penyaluran aspirasi hak politik
rakyat dalam pemilu maupun hak rakyat non
partai (perseorangan) dalam kepentingan
bersamanya akan membentuk pemerinta­
han yang demokratis. Terlaksananya pemilu
yang demokratis diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum (KPU) yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri, sebagaimana
diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Penyelenggaraan pemilu menghasilkan pemerintahan yang demokratis baik dilembaga le­
gislatif maupun eksekutif.
Dalam uraian tersebut diatas menggambarkan bahwa paham kedaulatan demokrasi
berada ditangan rakyat yaitu pemilik kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kekuasaan
rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut mekanisme prosedur konstitusi UUD 1945
dengan membentuk pemerintahan yang
demokratis. Kekuasaan pemerintah pada
dasarnya adalah kekuasan rakyat sebagai
amanah untuk mengatur dan menjamin hakhak kedaulatannya. Rakyat Indonesia dengan
keberagaman etnis, budaya dan kepentingan
baik individu maupun kelompok adalah sebagai realitas kekuasaan. Dengan demikian
suatu pemerintahan yang demokratis adalah pengakuan hakikat manusia yang mempunyai kemampuan sama dalam hubungan
sosial, yaitu pengakuan partisipasi rakyat
dalam membentuk pemerintahan dan pengakuan hakikat dan martabat manusia yang
dilin­dungi oleh pemerintah terhadap hak-hak
asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sehingga kesadaran pluralisme dan
semangat demokrasi Pancasila dalam me­
ngelola kekuasaan jelas menjadi keniscayaan
untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Pluralisme dapat dikatakan sebagai jalan
terbaik untuk melayani, atau sebuah proses
yang mendorong lahirnya demokrasi paling
ideal dalam masyarakat yang semakin mo­
dern dan kompleks, agar setiap individu atau
kelompok dapat berpartisipasi dalam setiap
8
Jurnal IDe
pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak
individu dan kelompok melalui peraturan
dan perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Ini adalah sebagai gambaran bahwa
budaya demokratis dan pluralisme sesungguhnya telah terbangun dengan kokoh pada
rakyat Indonesia sejak lama seiring dengan
kokohnya Pancasila sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu, pluralisme mengklaim
bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup
bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak
setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus
diakui, dihargai secara sosial oleh penduduk
yang beragam.
Menjadi sangat penting untuk mengajak
kita semua betapa proses demokrasi tidak
hanya berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan aturan perundang-undangan yang
tertulis, namun nilai-nilai subtantif dalam
pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia
juga harus disemangati dengan pemahaman
terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa
Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD
1945. Sebagaimana disampaikan Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie pakar hukum tata negara
dalam bukunya; Konstitusi dan Konstitusio­
nalisme Indonesia, hal 31, “….yang terpen­ting
adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan bahwa undang-undang dasar
mengandung azas kedaulatan rakyat dan
demokrasi, jika para penyeleng­gara negara
tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen mewujudkan
demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya
menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan demokrasi itu tidak akan terwujud dalam
praktek. Sebaliknya, meskipun perumusan
undang-undang dasar tidak sempurna tetapi
semangat para penyelenggara bersih dan tulus
dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, maka perumusan
yang kurang dalam pasal undang-undang dasar
tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju
terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan
kelima sila pancasila yang dirumuskan dalam
pembukaan undang-undang dasar 1945.r
MH. FATKHUR ROHMAN, SH.I
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih
dan Pengembangan Informasi
KPU Kabupaten Lamongan
PARTAI POLITIK,
Pilihan Demokrasi atau Kekuasaan?
Partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk melakukan kaderisasi pada seluruh keanggotaannya serta media pemberdayaan pada
masyarakat. Partai politik adalah media terpenting dalam pengawalan
demokrasi di Negara ini, pengawalan terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah, pengawalan terhadap proses demokrasi dan
produk undang-undang. Partai Politik merupakan sarana partisipasi
politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
P
artai politik adalah bagian terpenting dalam kehidupan berdemokrasi,
bernegara dan berpolitik. Makna
Partai Politik dibenak sebagian orang akan
berbeda pendapat ketika membincang Partai Politik, masayarakat akan berpendapat
berbeda-beda, ada yang memaknai bahwa
Negara bisa diatur oleh Partai Politik, ada
juga yang berpendapat bahwa partai politik
adalah media pemberdayaan dimasyarakat,
penyalur aspirasi masyarakat, elemen terpenting dalam pengawalan produk undangundang. Adapula yang berpendapat bahwa
Partai Politik identik dengan kekuasaan, seni
berperan dan memainkan peran. Itulah sebagian pendapat dari persepsi masyarakat
ketika waktu santai sembari meminum kopi
diwarung kopi dalam obrolan tanpa maksud
apapun selain rutinitas penikmat kopi. Peran
serta Partai Politik dalam kebebasan berkumpul, berserikat, berhak mengeluarkan pendapat dan pandangan umum tentang perkembangan dinamika kenegaraan adalah peran
optimal yang diinginkan dalam melahirkan
kepemimpinan lokal, regional dan nasional.
Undang-undang Partai Politik nomor 31 tahun 2002 telah digubah menjadi UU nomor
02 tahun 2008, ini adalah wujud aktualisasi
Peran Partai Politik dalam berserikat, berkumpul dan tentunya juga terorientasi dalam
pengembangan pemberdayaan dimasyarakat
agar peran partai politik bisa lebih optimal
dalam kehidupan demokrasi dibangsa ini.
Kegiatan partai politik dalam kehidupan
berdemokrasi, juga melahirkan kepemimpinan sebagai sarana aspirasi masyarakat dan
partai dalam pengembangan visi, misi serta
program partai yang tersingkronisasi pada
orientasi kebijakan pemerintah serta peningkatan kehidupan sosial masyarakat. Lebih lanjut bahwa partai politik bukan hanya mesin
pengepul suara dalam momentum pemilihan
kepala daerah saja, namum lebih dari itu
bahwa peran partai politik adalah media kehidupan organisasi yang modernyang mampu menjadi “public policy” mempengaruhi
9
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
9
kebijakan pemerintah serta membangun visi
kebangsaan dengan pola governance culture
yang demokratis.
Seharusnya, visi, misi dan program partai politik adalah elaborasi organisasi mo­
dern yang juga harus melakukan pengelolaan pemberdayaan berbasis kepentingan
publik dan masyarakat berdasarkan prinsipprinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas
dan res­ponsibilitas. Dengan demikian partai
politik akan menjadi organisasi yang sehat
dan mampu memainkan peranannya dalam
kehidupan politik. Dinamika politik adalah dinamika demorasi dan kekuasaan. Demokrasi
yang sehat melahirkan kepemimpinan yang
tanpa tendensi politik balas budi. Orientasi
yang diarahkan bukan hanya kekuasaan berpolitik dan membangun dinasti kebijakan,
namun lebih terarah pada pendidikan politik
dengan memperhatikan keadilan dan kese­
taraan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara agar
iklim demokrasi dinegara Indonesia ini bukan
iklim orientasi kekuasaan semata.
Kehidupan demokrasi dinegara Indonesia
mengalami alur panjang dinamika dan berpolitik, decade kepemimpinan melahirkan
kebijakan untuk kepentingan masyarakat.
Namun, mampukah kehidupan bernegara
tanpa terbayang-bayangi kepenti­ngan partai
politik, tanpa terbayang-bayang bingkai kepentingan politik sekelompok elit pemangku
kebijakan? Sumber kekuasaan bukan hanya
semata berorientasi pada kepentingan politik
praktis, namun juga harus memikirkan efek
sosial kepemimpinan yang akan berjalan.
Kepentingan, kekuasaan, dinamika kebijakan, akan bersinergi dalam alur penciptaan
demokrasi pemerintahan yang good governance dan clean governance.
Egaletarian Dalam Demokrasi Pemilu Untuk
Melahirkan Kepemimpinan
Pemilihan umum memilliki sakral dalam
kehidupan berdemokrasi, pesta momentum
rakyat ini adalah hiruk pikuk kebebasan berpendapat dan berpolitik serta menggunakan
hak pilihnya yang diatur dalam undang-undang. Publik menginginkan penyelenggara
pemilunya harus jujur, adil, proporsional, pro10
Jurnal IDe
fesional dan tidak memihak. Partai politik
sebagai peserta pemilu juga dituntut oleh
masyarakat harus melahirkan kader serta
kepemimpinan yang sesuai dengan orientasi
perhatian program-program pemberdayaan
pada masyarakat yang berbasis arus bawah
(harus mengakar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat), bukan atas
dasar pencitraan publik semata.
Peran penyelenggara pemilu, peserta
pemilu (partai politik, gabungan partai politik
dan perseorangan), pemilih, adalah bagian
yang tidak terpisahkan dalam kesetaraan
demokrasi. Egaliterian dalam demokrasi adalah proses momentum dalam menciptakan
dan melahirkan kepemimpinan daerah serta
kepemimpinan nasional. Ketika sebagian
kepentingan politik tidak lagi terakomodir
maka kudeta politik pun akan terjalankan,
tentunya melalui seni mempengaruhi kebijakan dan kepentingan publik. Peran serta
kiprahnya pun tentunya memiliki perannya
masing-masing yang disesuaikan pada dinamika momentum politik nasional.
Demokrasi yang mengedepankan public policy bukan mengambil makna kuasa
kekuasaan, namun lebih diarahkan pada
strategi kebijakan tanpa terpengaruhi kekuatan kekuasaan semata. Namun, dalam paradigma melahirkan kepemimpinan egaliter
antara partai politik, penyelenggara pemilu
dan masyarakat memiliki peran yang sama
dalam penciptaan tatanan demokrasi yang
lebih obyektif, lebih mengedepankan sistem
kebijakan yang lebih transparan, terukur dan
tidak terdramatisir oleh kepentingan politik.
Pendidikan politik untuk publik dan
masyarakat sangat diperlukan guna me­
ning­katkan kesadaran hak dan kewajiban
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Peningkatan partisipasi politik dan inisiatif dari masyarakat juga
merupakan pendidikan moral of force dalam
pengembangan peningkatan kemandirian,
kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi
serta untuk membangun kesatuan elemen
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bernegara dan berbangsa,
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan
UUD 1945. Lebih obyektif lagi publik dapat
menilai bahwa proses menuju egaliterian dalam demokrasi yang melahirkan kepemimpi-
nan kedaerahan dan nasional adalah wujud
tanggungjawab bersama, yeng memiliki nilai
kontrol yang kuat dalam kancah konstitusi.
Demokrasi, adalah media yang obyektif, pilihan yang dinamis agar pola kepemimpinan
tidak semata menjunjung tinggi dinasti kuasa
kekuasaan saja. Namun, lebih terarah pada
pendidikan politik bagi rakyat, pendidikan
pemilihan bagi masyarakat, sikap profesional dan berintegritas bagi seluruh elemen
bangsa dalam menyambut suksesi demokrasi yang lebih obyektif. Negara sudah menjamin secara konstitusional bagi warga negara
dan partai politik untuk menciptakan sistem
pemilu yang efektif dan juga efisien.
Kekuasaan, Bingkai Demokrasi Yang Terselubung
Proses demokrasi yang telah terlewati
adalah dinamika politik yang bergulir. Kepentingan umum, kepentingan kelompok
atau golongan bukan dijadikan sebagai
struggle of power semata, namun; lahirnya
kekuasaan adalah proses alamiah yang lahir
dengan sendirinya atas dasar konsistensi,
integritas, profesionalitas yang sebanding
lurus dengan nilai dedikasi pemberdayaan
pada masyarakat.
Elektabilitas yang sudah dibangun tidak
serta merta muncul begitu saja, namun atas
proses panjang perjalanan liku-liku jatuh
bangun kepercayaan publik. Proses politik, dinamika politik, bersandingan dalam
koalisi kekuasaan adalah kepentingan yang
terjustifikasi untuk kepentingan bersama
masyarakat.
Mengacu Undang-undang Nomor 08 tahun 2015 tentang perubahan atas Undangundang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
adalah proses dinamika dalam melahirkan
kebijakan undang-undang untuk dipatuhi
serta dijalankan. Ini adalah jalan panjang
dinamika demokrasi di republik Indonesia,
yang penyelenggara pemilu, pemangku kebijakan, partai politik, lembaga Negara dan
seluruh elemen masyarakat berperan aktif
dalam melahirkan undang-undang ini. Ini
adalah salah satu contoh proses demokrasi
kebijakan yang dapat diterima oleh seluruh
elemen kepentingan. Proses demokrasi yang
tersentral pada kepentingan publik, kalah
atau menang dalam argumentasi kepenti­
ngan dan peran konsep sudah terlampaui,
semua terlebur dalam kepentingan bersama
yaitu siap menyambut momemtum pemilihan umum. Kepentingan adalah hal keharusan dalam berpolitik, kebijakan yang diambil
adalah hal keharusan untuk mensinergikan
antara kepentingan partai Politik dengan kepentingan Pemerintah agar sistem demokrasi yang dibangun tidak tumpang tindih atas
kebijakan yang telah dibuat serta tersyahkan
dalam rapat paripurna DPR.
Partai politik memiliki orientasi kekuasaan dan mampu menjadi mesin pendorong pengaruh kebijakan, konsepsi Power of
Institution mengekspresikan kemampuan
berkehendak yang terdistribusi secara massif oleh keterwakilan lembaga atau individu
dari partai politik di parlemen dan pemerintahan. Unsur mempengaruhi kebijakan, pengawalan kebijakan ini adalah media politik
yang dilakukan oleh partai politik. Pemangku
kebijakan di partai politik menolak anggapan
bahwa politik mempengaruhi kebijakan di organisasi serta orientasi kebijakan yang akan
dilakukan oleh pemerintah, semua masih
perlu ada kajian yang signifikan.
Tetapi, menggunakaan kekuasaan dalam iming-iming membangun sistem yang
demokratis, proses pengawalan kebijakan
publik yang dibuat pemerintah guna kepentingan masyarakat adalah aspirasi yang
mengindikasikan bahwa kekuasaan masih
melekat dalam bingkai demokrasi. Kepentingan bersama adalah media kontrak politik yang di-sounding-kan, karena kekuasaan
adalah orientasi yang terselubung dalam setiap organisasi manapun. Dengan kekuasaan,
semua kebijakan akan diperan­kan, dengan
kekuasaan maka dominasi kepen­tingan akan
tersanding dengan setiap prog­ram yang telah
direncanakan. Jadi, menurut penulis bahwa;
kekuasaan adalah orientasi politik keharusan
dari masing-masing partai politik sebagai
media kontrol kebijakan dan program pemerintah dalam pengawalan pertumbuhan
perekonomian bangsa. Demokrasi adalah
jalan tengah dalam membangun sebuah civil
society menuju pemerintahan yang good
governance dan clean governance.r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
1111
PRIMA AEQUINA S.
Divisi Hukum, Pengawasan SDM dan
Organisasi KPU Kabupaten Ngawi
Fenomena Relawan Politik
DALAM PEMILU
Demokrasi menjadi pilihan sebagian besar masyarakat dunia dalam bernegara. Dalam percaturan dunia sekarang ini, negara
yang ‘demokratis’ adalah sebuah kebanggaan bahkan keharusan. Demokrasi di percaya sebagai sebuah upaya dan mekanisme
untuk mewujudkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat yang akan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
N
egara demokrasi modern mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam
menentukan jalannya pemerintahan
melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sebagai sarana untuk membentuk pemerintahan. Pemilu merupakan ukuran penting bagi
derajat partisipasi politik. Melalui pemilu
yang dilaksanakan dalam satu periode tertentu, rakyat akan menyerahkan kedaulatannya kepada siapapun yang dianggap mampu
mewujudkan harapan hidup sejahtera. Pe­
n­ye­rahan kedaulatan rakyat dalam pemilu dilakukan dalam bentuk pemberian suara kepada
partai politik ( parpol )dan anggotanya untuk
dipilih menjadi anggota legislatif (parlemen)
serta sejumlah kedudukan politik lainnya.
Pemilu merupakan arena kontestasi
demokratis bagi kandidat dalam rangka
memperoleh kepercayaan dan mandat
politik publik, sehingga diharapkan Parpol
mampu mewadahi pluralitas aspirasi dan kepentingan masyarakat luas. Tujuan utamanya
adalah parpol mampu memenuhi harapan
rakyat akan terbentukya pemerintahan yang
12
Jurnal IDe
mampu mewujudkan keinginan untuk hidup
yang lebih baik.
Pun demikian, Indonesia, negara yang
telah menasbihkan diri sebagai negara
demokrasi sejak merdeka. Sejak itu pula
pemilu menjadi agenda yang wajib di laksanakan sebagai syarat sebuah negara demokrasi. Tercatat telah terlaksana 10 (sepuluh) kali
pesta demokrasi sejak indonesia merdeka.
Sekali pemilu dilaksanakan pada tahun 1955
(orde lama), 5 (lima) kali pemilu pada masa
orba (1977,1082, 1987, 1992, 1997) dan 4
(empat) kali pemilu pada masa reformasi
(1999, 2004, 2009, dan 2014).
Sepuluh kali pelaksanaan pesta demokrasi/pemilu, semestinya sudah mampu membawa indonesia pada sebuah kematangan
proses berpolitik dan berdemokrasi, yang
pada gilirannya akan membawa kesejahte­
raan bangsa. Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut terasa masih jauh panggang dari api. Terdapat kelemahan dalam
proses politik dan demokrasi di Indonesia.
Kelemahan tersebut diantaranya adalah
masih diperdebatkannya model dan sistem
kepartaian, sistem pemilu, akibatnya aturan
penyelenggaraan pemilu selalu disusun menjelang pelaksanaan pemilu berlangsung. Hal
ini berdampak pada kurang maksimalnya penyelenggaraan pemilu sebagai sarana perwujudan demokrasi substansial.
Persoalan lainnya akibat dari perdebatan
tentang sistem politik dan demokrasi yang
masih selalu berbenah, menyebabkan tingkat
konsentrasi partai politik dalam mewujudkan
pendidikan politik masyarakat berkurang.
Partai politik sibuk memperdebatkan wacana tentang sistem politik dan mengabaikan
pera­nan pendidikan politik bagi anggota partai maupun masyarakat luas.
Relawan Politik: Upaya Rakyat Bersuara
Dalam beberapa pemilu terakhir di era
reformasi, muncul kecenderungan menarik
adanya relawan politik, yaitu sekumpulan
orang yang bekerja untuk pemenangan peserta pemilu tertentu, baik itu partai, caleg ataupun calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Munculnya relawan politik
ini bukan hanya karena faktor sinisme dan
ketidakpercayaan politik, tetapi juga karena
faktor kebosanan masyarakat terhadap perilaku politik yang kian formalistik dan elitis
yang membuat pemerintah semakin tidak
memahami keinginan rakyatnya. Gerakan
relawan politik muncul dalam bentuk, penggalangan massa utk pencalonan kepala dae­
rah dari jalur perseorangan, pengawalan
pero­lehan suara, juga pengawasan pelanggaran aturan pemilu. Berbeda dengan tim
sukses/tim kampanye yang terdiri dari anggota parpol,mereka para relawan politik ini
pada umumnya adalah orang-orang merdeka yang tidak atau belum berafiliasi dengan
parpol manapun, keterlibatan mereka menjadi relawan adalah murni karena ketertarikan mereka pada calon yang mereka dukung.
Relawan bekerja atas dasar ikatan kesamaan tujuan untuk mengantar kandidatnya
menduduki jabatan politik sehingga dapat
menjalankan programnya. Pada umumnya
kandidat yang didukung oleh para relawan
ini adalah kandidat yang terpinggirkan oleh
partai politik atau didukung oleh minoritas
parpol, dalam hal ini relawan bergerak dalam upaya penggalangan massa dan dana.
Gerakan relawan politik di indonesia
muncul setelah beberapa kali pemilu era reformasi. Kran kebebasan berpolitik yang di
buka membuat rakyat di suguhi banyak pilihan cara untuk menyalurkan hak politiknya.
Era pemilihan presiden secara langsung tahun 2009 mulai membuka mata kita tentang
keterlibatan relawan politik, dengan munculnya relawan yang bergerak untuk mendukung salah satu kandidat, pada waktu itu
SBY-JK. Puncak kepopuleran relawan politik
terjadi pada pilpres 2014 lalu, kemenangan
pasangan Jokowi-JK tidak di pungkiri adalah
juga keberhasilan ‘relawan Jokowi’. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang
membuka jalan calon dari jalur perseoranSuara KPU Jawa Timur
Juni 2016
13
gan, membuat relawan politik diperlukan
untuk memuluskan jalan calon yang akan
menjadi peserta pemilihan dengan bekerja
menghimpun dukungan dari rakyat bagi
calon yang tidak melalui jalur partai politik.
Dalam pilkada serentak 2015 yang lalu terdapat 2 pemenang dari jalur perseorangan,
yaitu Nina Moerniani, Walikota Bontang dan
Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara.
Adalah fakta bahwa kandidat yang didukung oleh relawan politik biasanya adalah
kandidat yang minim dukungan parpol. Hal ini
menunjukkan bahwa rakyat mampu memilih
alternatif kandidat yang sesuai dengan yang
diharapkan dan sekaligus memenangkannya. Paradigma baru ‘kesukarelaan’ sebagai
basis relasi antara pemilih dan kandidat akan
menggantikan basis relasi transaksional yang
selama ini jamak terjadi. kemunculan gerakan relawan politik ini mengesampingkan
peran parpol dalam meraup suara dan merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem
politik yang ada. Dengan menjadi relawan
politik, rakyat bersuara tidak hanya menjadi
aktor politik yang pasif yang menggunakan
hak politiknya, tetapi rakyat bergerak me­
ngorganisasi kekuatan dengan aktif, tanpa
harus bergabung dalam parpol
Relawan Politik: Mau Dibawa Kemana?
Kehadiran relawan politik menjadi entitas baru dalam realitas politik kekinian di
indonesia. Relawan politik juga menjadi pilihan banyak orang yang masih ragu berpolitik apalagi politik praktis dibawah naungan
parpol tertentu. Kemunculan relawan politik
menjadi rambu-rambu bagi parpol, untuk
berbenah dan memperbaiki diri menjadi
lebih transparan, profesional dan peka menangkap kehendak rakyat.
Sudah jamak, setelah pemilu usai, kandidat yang menang akan memberikan balas
jasa bagi siapa saja yang membantu, entah itu
rela­wan, donatur, apalagi parpol. Balas jasa
ini biasanya berupa jabatan ataupun proyek
tertentu. “ Tidak ada makan siang gratis” kutipan ini kiranya cocok untuk menggambarkan
hal tersebut. Adanya pihak lain yang masuk
dalam daftar, membuat salah satu peran
parpol sebagai sarana untuk memperoleh
jabatan publik menjadi tereduksi. Kontestasi
antara parpol dan relawan politik pada akh14
Jurnal IDe
irnya tidak dapat di hindari. Jika demikian
apakah kemudian di indonesia relawan politik telah menggantikan peran parpol ?
Eksistensi relawan politik itu sendiri
hingga kini belum terwadahi secara hukum,
malah dapat disebut sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB), tidak jelas jenis kelaminnya, bukan parpol tetapi mempunyai aktivitas sama, khususnya dalam penggalangan
massa. Menurut Martin Walecki, seorang
ahli ilmu politik dari Oxford, relawan politik tidak ubahnya sebagai partai ke 3, orang
yang mempengaruhi hasil pemilu tetapi bukan pelaku/parpol peserta pemilu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa relawan
politik itu ada, memberi kontribusi dan telah
menjadi salah satu aktor yang menentukan
dalam dunia perpolitikan di indonesia, kiprahnya mampu menjadi salah satu penentu
arah kepemimpinan bangsa, sehingga keberadaan dari relawan politik ini layak di pertahankan. Di dalam paket undang-undang
politik dan kepemiluan kita sendiri belum
diatur tentang relawan politik ini, sehingga
perlu dibuatkan aturan mengenai bentuk dan
domain para relawan politik ini, untuk tidak
menimbulkan gesekan dengan peran dan
fungsi parpol dalam pemilu dan bisa menjadi
sebab munculnya elit baru yang tercipta dari
upaya penggembosan parpol. Relawan politik bisa menjadi partner dari parpol untuk
menjalankan fungsi chek and rechek, karena
bagaimanapun membiarkan parpol berjuang
sendiri untuk membangun ruang politik yang
sehat, bukan saja tidak pada tempatnya melainkan juga kurang bijaksana.
Fakta tentang relawan politik diatas
merupakan gambaran dari potret politik demokrasi kepemiluan di negara kita.
Keberadaan gerakan kerelawanan politik
menjadi kekuatan politik baru. Maka hal ini
menarik untuk kita kaji bersama untuk melengkapi khazanah sistem sistem demokrasi
di Indonesia.
Sikap yang bijaksana tentu tidak menafikan keberadaan relawan politik, tidak juga
menganggap keberadaan relawan politik sebagai vis a vis Partai politik. Karena memang
demokrasi formal meletakkan partai politik
sebagai aktor utamanya. Tetapi bagaimana
mengkaji posisi relawan politik dalam rangka
penguatan sistem kepartaian.r
BINTANG FAJAR ADISATRIA, S.Kom
Staff Teknis Hupmas
KPU Kabupaten Kediri
Demokrasi Yang Dipuja dan
Diterapkan di Indonesia
Sebagai sarana dalam melaksanakan kedaulatan rakyat,
dan menjadi proses pergantian kekuasaan secara damai
yang dilakukan secara berkala, Pemilu telah memiliki prinsip
yang digariskan oleh konstitusi. Dimana pada prinsip tersebut
terdapat kehidupan ketatanegaraan rakyat yang berdau­
lat, dimana dikenal sebagai demokrasi. Kedaulatan rakyat
ini ditandai atas peran aktif warga negara yang turut serta
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan.
J
eans Bodin ( 1536-1596 ) seorang ahli
kenegaraan asal Perancis yang memperkenalkan istilah tentang kedaulatan
mengatakan, “Kedaulatan adalah kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini
sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagibagi.” Makna Tunggal berarti hanya ada satu
kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu
tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari
kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti
kekuasaan negara itu berlangsung terusmenerus tanpa terputus-putus. Maksudnya
pemerintah dapat berganti-ganti, kepala
negara dapat berganti atau meninggal dunia,
tetapi negara dengan kekuasaanya berlang-
sung terus tanpa terputus-putus. Adanya pemerintahan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Dari prinsip tersebut dapat dipahami
bahwa Pemilu merupakan kegiatan politik
yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara.
Sebagai sebuah tatanan demokrasi yang bersifat universal, Pemilu merupakan sebuah
kawah candradimuka terbentuknya pemerintahan perwakilan (representative government), wujud pemerintahan perwakilan ini
diwujudkan dimana setiap masyarakat secara individu memiliki hak dipilih untuk dapat
menjadi pemimpin atau wakil rakyat maupun
hak memilih untuk dapat memilih pemimpin
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
15
atau wakilnya di lembaga legislatif. Di zaman
modern seperti saat ini, Pemilu merupakan
gambaran yang sangat ideal dimana menjadi
parameter, apakah sebuah negara tersebut
demokrasi atau tidak. Bahkan pengertian
demokrasi sendiri secara sederhana tidak
lain tidak bukan adalah sistem politik yang
berisi para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam sistem tersebut, dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan
berkala. Disini sirkulasi elit pun terjadi.
Sirkulasi elit yang terjadi dalam pemilu
yakni baik antara elit politik satu dengan elit
politik lainnya, maupun pergantian kelas dari
kelas elit politik yang lebih rendah menjadi
kelas elit politik yang lebih tinggi. Di Indonesia, sirkulasi tersebut menjadi begitu mulus
dan berjalan sukses tanpa kekerasan. Ka­
rena diadakan begitu adil dan demokratis.
Dengan kata lain, pemilu disebut sebagai
aktivitas politik dimana selain menjadi lembaga, sekaligus juga menjadi praktik politik
terjadinya sebuah pemerintahan perwakilan
(representative government). Dalam sebuah
negara yang berdemokrasi, pemilihan
umum merupakan vital part, karena merupakan sebuah parameter untuk mengukur
demokratis tidaknya sebuah negara dimana
jalannya sebuah pemilihan umum di negara
tersebut. Pemilu merupakan implementasi
dari sebuah ungkapan yang dikatakan yakni,
bentuk pemerintahan dibentuk oleh rakyat
dan diperuntukkan kesehjateraan rakyat.
Jadi pemilihan umum adalah salah satu cara
untuk memilih wakil rakyat.
Beberapa fungsi dari pemilu yang tidak
dapat terpisahkan antara satu sama lain,
yaitu: Pertama, dimana pemilu menjadi sarana sebuah legitimasi politik. Sudah menjadi kebutuhan pemerintah untuk mewadahi pemilu dalam sebuah sistem politik,
menjadikan pemilu sebagai penegakkan
keabsahan pemerintahan yang berkuasa,
begitu pula dengan program dan kebijakan
yang dihasilkan oleh pemerintahan tersebut.
Dengan begitu, pemerintahan yang berkuasa
tidak hanya memiliki otoritas saat berkuasa,
namun memiliki untuk memberikan sanksi
berupa hukuman dan ganjaran bagi mereka
yang melanggar berdasarkan hukum yang
telah disepakati bersama. Fungsi legitimasi
menurut Ginsberg ialah sebuah konseku­ensi
16
Jurnal IDe
logis yang dimiliki dari pemilihan umum,
yaitu mengubah suatu keterlibatan politik
massa dari yang bersifat sporadis dan dapat membahayakan, menjadi sumber utama
bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Ada tiga alasan mengapa pemilu di Indonesia menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui
pemilu pemerintah dapat meyakinkan atau
setidaknya memperbarui berbagai kesepa­
ka­tan politik dengan rakyat. Kedua, melalui
pemilu perilaku rakyat atau warga negara
dapat dipengaruhi oleh pemerintah untuk
meningkatkan respon terhadap kebijakan
yang dibuat. Ketiga, di era modern seperti
saat ini pemerintah dapat mengandalkan
kesepakatan (consent) secara sadar dari
rakyat tanpa harus mengadakan pemaksaan
(coercion) untuk mempertahankan legitimasinya, hal ini dapat menunjukkan bahwa
melalui kesepakatan yang diperoleh melalui
hegemoni pemerintah yang berkuasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana pengendali (control), pelestarian legitimasi dan otoritasnya daripada menggunakan
kekerasan dan dominasi. Terkait hal ini, maka
penting untuk mewujudkan sistem pemilu
yang benar-benar mengarah pada nilai-nilai
demokrasi. Pemilihan sistem pemilu ini sa­
ngat penting. Sistem pemilu ini bukan tercipta karena dipilih, namun kebanyakan tercipta
karena kondisi yang ada didalam masyarakat
serta sejarah yang mempengaruhinya.
Kita merasakan begitu besarnya perubahan arus politik dimana pada tahun 1998,
yang ditandai lengsernya presiden Soeharto
memiliki dampak yang sangat luas. Salah
satu diantaranya kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu kali ini
benar-benar Luber (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Pada tahun 1999 de­ngan diikuti
oleh 48 Partai politik menunjukkan demokratisasi ini membawa efek juga terhadap pola
relasi konsekuensi antara Presiden dan DPR.
Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi “Tukang Stempel”, saat ini DPR beralih menjadi
mengawasi segala kebijakan presiden. Disini
dapat kita lihat format politik tidak lagi menjadi dominan (atau bahkan exceutive heavy)
seperti pada saat orde baru tetapi juga tidak
menjadi terlalu legislative heavy seperti saat
orde lama maupun demokrasi parlementer
yang membawa citra negatif. Dengan beralihnya rezim presiden Soeharto yang digantikan oleh wakilnya BJ Habibie, membawa
babak baru dalam proses demokratisasi di
Indonesia. Pada saat itu Presiden BJ Habibie
mendapatkan tuntutan dari berbagai pihak
tertutama rakyat untuk segera mewujudkan
pemerintahan baru yang terbebas dari legitimasi orde baru.
Oleh karena itu, secara konstitusional
BJ Habibie memiliki tugas utama untuk menyelenggarakan pemilu. Langkah awal saat
itu adalah dengan membentuk Tim Tujuh
yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu
dengan segera. Selain itu, Partai Golkar yang
menjadi produk orde baru mempersiapkan
diri menjadi partai politik baru serta perpecahan di dalam PPP menjadi banyak partai
saat itu menandai langkah awal dari proses
demokratisasi di Indonesia. Selama pemerintahan orde baru terjadi pemilu sebanyak
6 (enam) kali secara berkala dari tahun 1966
hingga 1997, begitu pula di era Reformasi,
yang diikuti multipartai pada 7 Juni 1999 dan
pemilu berikutnya 5 April 2004.
Dari sistem multipartai dengan segmen
dan ideologi yang beragam pada Pemilu 1999,
menunjukan bahwa Indonesia sebenarnya
tidak buta politik meskipun sistem Pemilunya masih proporsional tanpa menyer­takan
nama calegnya dalam kartu suara. Tapi Pemilu di era Reformasi menjadi ajang kompetisi
yang sehat bagi para kontestan Pemilu. Disini
pula lembaga pelaksanaan Pemilu diawali de­
ngan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Meskipun pada awalnya terdapat kekurangan, satu hal bahwa pemilu tahun 1999 me­
rupakan cerminan dari keinginan masyarakat
akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil,
akuntabel serta memunculkan pemimpin
yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Hingga pada masa pemilu selanjutnya pemilu
2004, pemilu 2009 Hingga pemilu 2014 selalu bergulir dengan penuh demokratis, dan
selalu menjadi harapan tumpuan masyarakat
Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang
benar-benar berkualitas dengan melibatkan
seluruh kepentingan masyarakat. Meskipun
terkadang tekanan publik baik itu dari pihak
peserta pemilu sampai beberapa ormas
maupun LSM sangat mudah mempengaruhi
kredibilitas kebijakan KPU sehingga terkesan
KPU sebagai penyelenggara kurang kompatibel, kurang menjaga citra independensi profesionalnya. Kelemahan selanjutnya datang
dari kesadaran hukum masyarakat untuk
menggunakan hak Pilihnya masih kurang.
Baik itu mengurus terdaftar atau tidak dirinya dalam DPS dan DPT sehingga karena
kurangnya kesadaran akan hak pilihnya ini
menimbulkan banyaknya pemilih yang belum terdaftar di DPT, meskipun pihak KPU
sudah menggunakan sistem online melalui
Sidalih. Tetapi percuma saja, kalau sistem
online bekerja namun tidak ada kesadaran
untuk menggunakan hak pilihnya, sama saja
nol. Kemudian kelemahan terakhir adalah
budaya siap menang dan kalah dalam Pemilu secara elegan masih belum dihayati oleh
masing-masing peserta pemilu. Ikrar dan
Janji berupa kontrak politik yang dipajang
indah dan ditanda-tangani oleh pucuk pimpinan partai politik pun terkesan hanya cere­
monial belaka. Ujung-ujungnya tetap saja
beberapa kejadian tidak mengenakan terjadi
karena belum siap menerima kekalahan de­
ngan legowo.
Oleh karena itu sukses berjalannya Pemilu yang demokratis di Indonesia menjadi
peran segenap elemen didalamnya. Peran
elit politik bangsa sangat dibutuhkan terkait
konteks positif untuk menjaga lancarnya
proses demokratisasi melalui pemilu bukan
malah menjadikan pemilu serta pelembagaan
pemilu itu sendiri menjadi tempat bertarung
elit politik yang dapat berakibat kemunduran
bagi proses demokratisasi di Indonesia. Pada
tingkat aktor politik, kepentingan elite politik
dan kepentingan partai saat ini hanya bersifat pendek dan masih mendominasi pada
arah transisi demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan
terselenggaranya Pemilu secara prosedural,
namun melembaganya komitmen demokrasi
pada partai-partai dan pemimpin-pemimpin
yang dihasilkannya. Dengan begitu, transisi
demokrasi masih akan berlangsung dalam
tarik-menarik kepentingan pribadi, partai
dan kelompok. Sehingga cenderung me­
ngarah pada pelestarian status quo politik
ketimbang menuju suatu demokrasi yang
lebih baik serta pemerintahan yang bersih
dan bertanggung jawab.r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
17
KPU Jawa Timur
Kunjungan Ketua KPU RI Husni
Kamil Manik ke KPU Jawa
Timur, 18 Mei 2016.
Diskusi Kamisan di KPU
Jawa Timur, 12 Mei 2016.
Pelantikan Sekretaris KPU
Bojonegoro Moh. Sapiq di KPU
Jawa Timur, 1 Juni 2016.
18
18
JurnalIDe
IDe
Jurnal
r Dalam Bingkai
KPU Kota Batu Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Pilkada ke KPU
Jawa Timur, 1 Juni 2016.
Workshop Jurnal Inspirasi
Demokrasi (IDE) Suara KPU Jawa
Timur, 26 Mei 2016.
Prosesi Pengambilan Sumpah/
Janji PNS (alih status) Pegawai di
Lingkungan KPU Jawa Timur, 13
Mei 2016.
Suara
KPU
Jawa
Timur
2016
Suara
KPU
Jawa
Timur Juni
Juni
2016
1919
MUHAMAD RIDHOL MUJIB
Divisi Sosialisasi
KPU Kabupaten Lumajang
PARTAI POLITIK,
Gas Pol Rem Pol Dalam Demokratisasi
Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi
hanyalah kepentingan. Begitulah gambaran awal saat kita mencoba mengkaji dan mendiskusikan politik diantara peran dan eksisten partai politik hingga detik ini.
M
eski sebenarnya kalau kita lihat
dari perspektif definisinya, banyak
pakar yang sepaham tentang partai
politik tersebut sebagai wadah berkumpulnya sejumlah orang yang terorganisir dengan
mempunyai cita-cita bersama dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui
mekanisme konstitusional untuk melahirkan
kebijakan yang berguna bagi masyarakat atau
khalayak umum.
Agar perebutan kekuasaan tersebut tidak
karut marut negara mewadahi dalam sebuah
bingkai pemilihan umum (Pemilu), yang didalamnya terbangun aturan sistem pemilihan,
penyelenggaraan hingga aturan kepesertaannya. Hal ini merupakan sebuah siklus dalam
tatanan bernegara yang berkiblat pada sistem
demokrasi. Di Indonesia misalnya, pemilu
digelar selama 5 tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanah UUD
1945 pasal 22E. Dalam proses demokrasi ini
partai politik merupakan bagian terpenting
20
Jurnal IDe
yang tak bisa dipandang sebelah mata atau
ditiadakan. Dalam teori kelembagaan partai
politik merupakan sarana mendorong pembangunan politik bagi semua warga negara.
Partai politik mempunyai status dan peranan
penting dalam demokrasi.
Tak heran jika banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya
menentukan demokrasi, seperti dikatakan
Schattscheider (1942), “Political parties created democracy.” Karena itu partai politik
merupakan pilar penting untuk diperkuat
derajat kelembagaannya (the degree of insti­
tutionalization) dalam setiap sistem politik
yang demokratis. Meski demikian tak sedikit
pula yang kritis dan skeptis terhadap partai
politik. Bahkan ada yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu
sebenaranya tidak lebih sekedar menjadi
kendaraan politik bagi sekelompok elit yang
berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu
birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik
hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung dan
berhasil memenangkan suara rakyat yang
mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu
“at the expense of the general will” (Rousseau, 1762) atau kepentingan umum (Perot,
1992).
Fenomena ini kemudian kita sepakat bahwa demokrasi tanpa partai politik ibarat sayur
tanpa garam. Meski kepentingan menjadi tujuan dari sebuah partai, namum keberadan
partai politik apa lagi dalam pemilu menjadi
hal mutlak agar proses demokratisasi dalam
sebuah pemilu bisa berjalan tanpa cacat.
Sebenarnya, partai politik tak hanya sekedar ada disaat ada gawe demokrasi se­perti
pemilu maupun pilkada, tapi partai politik
harus ada setiap saat sebagai salah satu pilar
demokrasi yang menjembatani kepentingan
rakyat disaat berkeluh kesah terkiat permasalahan sosial yang ada. Namun faktanya,
partai politik masih belum bisa bermain ganda dengan jadi penyambung lidah rakyatnya
sekaligus menjadi sekumpulan orang-orang
yang berhaluan sama dengan ideologi tertentu untuk mencapai kepentingan tertentu,
melalui sebuah kekuasaan politik, sesuai
teori dasarnya.
Nah! Disini lah sebenarnya peran ganda
sebuah partai yang harus dimaksimalkan untuk bisa merebut hati rakyat tanpa melukai­
nya dengan janji-janji kampanye. Selama ini
partai terkesan gas pol rem pol hanya membaktikan kepentingan pada sebuah janji politik yang kadang hanya menggelitik tapi tak
berbuah simpatik. Apalagi di era multipartai
ini tingkat skpetisme masyarakat terhadap
keberadaan partai semakin meningkat. Hasil
survey Cirus Surveyor Group tahun 2014 lalu
yang melibatkan 2.200 responden tersebar
di 33 provinsi menunjukkan angka prosenetase yang cukup fantastis, yakni 79,2% publik mengatakan tidak percaya lagi kepada
partai politik karena tidak akan bisa membawa aspirasi rakyatnya. Hanya 9,4% publik
masih menaruh harapan pada partai politik,
sedang­kan sisanya 11,4% menyatakan tidak
tahu atau tidak menjawab. Fakta inilah yang
seharusnya menjadi autokritik bagi semua
partai agar mampu merebut kembali hati
rakyat dengan terus menggas programnya
dan cepat mengerem jika dominasi kepen­
tingannya terlalu menonjol.
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
21
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik. Bahwa berdirinya parpol merupakan
wujud dari pengakuan hak asasi bagi rakyat
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
28 A sampai J. Prof Miriam Budiarjo, dalam
Dasar-Dasar Ilmu Politik: ”Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan
memperoleh kekuasaan politik dengan cara
konstitusional.” Fungsi parpol ialah sebagai
sarana komunikasi politik, sosialisasi politik
dan pendidikan politik, rekrutmen politik dan
yang terakhir pengatur konflik.
Fungsi pertama sebagai sarana komunikasi politik, parpol memiliki fungsi untuk
merumuskan kebijakan yang telah dibuat,
lalu dari kebijakan tersebut disampaikanlah
informasi dari pemerintah kepada rakyat
ataupun sebaliknya sehingga kebijakan strategis yang ada bisa saling terjadi sinergi antara
pemerintah dan rakyat. Dalam implementasinya kita mengenal ajaran Trias poli­tica
dari Montesquieu yang membagi kekuasaan
menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Parpol dalam hal ini, baik ketika
menempatkan wakilnya sebagai eksekutif
maupun legislatif haruslah mengedepankan
kepentingan rakyat sebagai suatu kewajiban
sehingga eksistensi parpol tetap terjaga dan
upaya untuk menjadi wahana demokrasi bisa
dituangkan secara nyata.
Kemudian fungsi parpol yang kedua, yaitu
sebagai sosialisasi politik dan pendidikan politik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan legislatif, tentu mempunyai
harapan bahwa produk hukum tersebut bisa
diterapkan secara nyata dimasyarakat. Untuk
bisa diterima oleh masyarakat, maka parpol
perlu memperkenalkan visi, misi, dan berbagai program kerja sehingga para pemilih bisa
merasakan sebuah pendidikan politik. Ketiga, fungsi partai politik sebagai rekrutmen
politik, parpol harus mampu mengakomodir
setiap warga negara yang sudah mempunyai
hak pilih agar bisa ikut berpartisipasi dalam
setiap kerja organisasinya maupun menjadi bagian penting atau fungsionaris dalam
partai. Sehingga fungsi keempat, yakni par22
Jurnal IDe
tai politik sebagai pengatur konflik mampu
meminimalisir friksi-friksi kepentingan yang
terkadang bisa memecah belah kepenti­
ngan yang lebih besar untuk kepentingan
bangsa dan negara. Namun, pada kenyataannya masih sedikit parpol yang mengedukasi
masyarakat tentang politik, kebanyakan justru melupakan fungsi bahwa parpol juga berperan untuk meningkatkan kualitas politik di
Indonesia.
Belum lagi dalam konteks kepemiluan,
peran strategis parpol haruslah lebih diprio­
ritaskan. Tak hanya statusnya sebagai peserta pemilu tapi sebagai bagian dari sistem
demokrasi kepartaian yang sekedar berbicara
kepentingan partainya sendiri, namun lebih
pada mengedepankan kepentingan bangsa
dan negara. Maka sangat perlu kiranya ada
sebuah perubahan konstruktif pada sebuah
ralitas perang dan fungsinya, agar eksistensi
dan program partai tak sekedar menajdi jargon dan lips service belaka. Hal ini harusnya
bisa dibuktikan dalam kontestasi kepemimpinan negara dan pemerintahan baik di legislatif maupun eksekutif, parpol harus mampu
memposisikan lebih dari sekedar menjadi peserta, namun bargaining position-nya menjadi pelangi demokratisasi di saat momen
pemilu maupun di saat kekuasaan berada
digenggamannya. Sehingga tudingan sederhana yang ditujukan ke partai politik yang
hanya disibukkan dengan menyusun strategi
pemenangan tapi tidak dalam rangka ikut
memperbaiki sistem demokrasi yang ingin
dibangun oleh negera ini, harus terbantahkan dengan pola dan skema yang sesuai de­
ngan arah dan kebijakan kepentingan besar
bangsa ini.
Sehingga memahami partai politik,
demokrasi dan Pemilu akan utuh dalam
memaknainya, utuh menjadi satu kesatuan
yang tidak bisa terpisahkan. Demokrasi tanpa adanya pemilu dan partai politik, ibarat
minuman tanpa pemanis, sedangkan partai
politik dan pemilu tanpa demokrasi ibarat
makanan tanpa resep. Jika ketiganya tak menyatu, maka akan terjadi sebuah kegaduhan
politik berkepanjangan, dan tujuan good
governance di negeri ini hanya akan menajdi
cita-cita yang terus menggelantung di langit.
Maka dari itulah dalam setiap momentum
pemilu demokratisasi adalah harga mati yang
harus ditegakkan oleh semua stakeholder.
Mulai dari penyelenggaranya, pesertanya
(parpol) hingga dukungan pemerintah sebagai entitas yang punya gawe dalam siklus
pergantian kepemimpinan eksekutif maupun
legislatif.
Menelisik setiap momen penyelenggaraan pemilu, tak jarang partai politik dan
penyelenggara terkesan kurang bisa mengharmoniskan setiap tahapan yang seudah
menjadi ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku. Hal yang sering terjadi “pertikaian” dalam menegakkan demokrasi dalam pemilu, yakni terkait peran dan fungsinya
peserta dan penyelenggara, terkadang hanya
saling mengusik sebuah aturan yang secara
substansi sebenarnya kedua belah pihak
memahami tafsir aturannya. Namun karena
mengedepankan ego kepentingan akhirnya
menomerduakan kepentingan bersama.
Kasus sengekta hasil pemilu yang berujung pada meja Mahkamah Konstitusi tak
lepas dari kelalaian yang juga disebabkan
oleh peran partai sendiri dalam mengawal
proses penghitungan surat suara yang secara
ajek dikawal oleh saksi yang disebar pada
setiap tingkatan. Disamping pula penguatan
penyelenggara pemilu ditingkatan paling
bawah yakni KPPS yang kurang kaffah dalam
menjalankan prosedur atau aturan mainnya.
Sehingga menimbulkan ekses perbedaan
pandang hasil dari penghitungan antara penyelenggara dan partai politik yang diwakili
saksinya. Bahkan antara penyelenggara saja
terkadang juga terjadi perbedaan hasil
penghitungan suara. Hal ini disebabkan faktor komunikasi antara pihak terkait kurang
bisa terjalin harmonis, disamping penguatan
masing-masing pelaksanan di lapangan yang
terkesan asal-asalan.
Belum lagi partai politik yang “mengabadikan” konflik internalnya yang secara
tidak langsung ikut menyumbangkan insta­
bilitas perpolitikan dan demokratisasi di
negara ini. Partai politik yang seharusnya
menjadi institusi utama bagi pembangunan
dan pematangan pengembangan demokrasi
sering kali mengalami konflik internal sebagai akibat tidak berjalannya mekanisme
demokrasi di internal setipa parpol. Parpol di
Indonesia belum memiliki tradisi kuat untuk
menjalankan roda organisasi secara rasional
dan demokratis. Hal ini menunjukkan parpol
di Indonesia belum mengalami institusiona­
lisasi secara baik. Kedepan diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar untuk mencapai hal tersebut, dengan penguatan kaderisai
partai politik dari tingkatan paling dasar hingga
menciptakan kader partai yang ideologis, militan, berpikir progresif dan inovatif dalam membangun kepentingan de­ngan tetap berpijak
pada arah kebijakan partai politik itu sendiri.
Kondisi ini berbeda 1800 (seratus delapan puluh derajat) dengan kondisi partai
politik di negara-negara maju yang kecen­
derungan mampu menyelenggarakan fungsi
partai sebagai penghubung antara rakyat
dengan pemerintah sebagai eksekutif. Dimana partai politik memerankan fungsinya
tak sekedar musiman demokrasi yang terhelat lima tahunan, tapi setiap saat parpol
hadir demi ikut mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegera demi terwujudnya
masyarakat adil dan makmur searah dengan
cita-cita founding father bangsa.
Apalagi kalau kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik
serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata
Cara Penghitungan, Penganggaran Dalam
APBD, Pengajuan, Penyaluran dan Laporan
Pertanggungjawaban Penggunaan bantuan
Keuangan Partai Politik. Setiap parpol yang
mendapatkan kursi di Dewan mendapatkan
bantuan dana politik atau banpol, dimana
bantuan tersebut, selain sebagai operasional partai, dana yang besarannya tergantung
jumlah kursi partai agar dimanfaatkan untuk
pendidikan politik ke konstituennya. Sesuai
fungsinya sebagai sarana komunikasi politik,
sosialisasi politik dan pendidikan politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik.
InsyaAllah kita harus positive thinking
jika dengan segela hak yang diterima partai
politik tersebut, masih bisa menambah ghirah partai untuk terus berkontribusi positif
pada pembangunan demokratisasi di negeri
tercinta Indonesia. Hanya satu semboyan
yang harus kita gelorakan bersama segenap
komponen bangsa ini “Jangan Kembali Pulang Kalau Tiada Kau Menang, Walau Mayat
Terkapar di Medan Juang, tuk Indonesia
Demokrasi Ditegakkan!” r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
23
NUR SYAMSI
Komisioner KPU Kota Surabaya
KPU: Penguatan Kelembagaan
Untuk Demokrasi Berintegritas
Yusuf Qordhawi, seorang tokoh Islam dari Mesir, mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu wadah bagi masyarakat untuk memilih
seorang yang menjadi pengatur kepentingan masyarakat dimana
pimpinannya bukanlah orang yang dibenci, peraturannya bukan
yang masyarakat tidak kehendaki dan masyarakat berhak meminta
pertanggungjawaban apabila pemimpin tersebut salah.
M
erujuk pendapat tersebut, praktek pengelolaan demokrasi membutuhkan tiga unsur penting
yaitu wadah/sarana, orang yang dipilih, dan
masyarakat sebagai pemilih. Terhadap unsur
orang yang akan dipilih dan masyarakat pemilih, keduanya mempunyai ketergantungan
kepentingan satu sama lain. Ketergantungan
tersebut kemudian dipertemukan dalam semuah mekanisme yang disebut demokrasi.
Merujuk UUD 1945 pasal 22E, secara
umum, demokrasi yang dijalankan oleh
bangsa ini telah memenuhi dua unsur pen­
ting berdasar pengertian Dr Yusuf Qordhawi.
Pertama, peserta pemilu dalam hal ini adalah
parpol sebagai institusi serta DPR, DPD, Pre­
siden dan wakil presiden, dan DPRD sebagai
output yang dihasilkan dari proses pemilu
(ayat 2, 3 dan 4). Partai politik sebagai rumah persinggahan para kandidat yang akan
24
Jurnal IDe
meminta mandat dari rakyat adalah tempat
dimana kandidat merumuskan berbagai kebijakan penting dan bernilai bagi rakyat, kemudian dikonfirmasikan kepada rakyat untuk
mendapat persetujuan.
Di sinilah ruang pemilihan oleh rakyat
yang sesungguhnya, dimana rakyat akan
melakukan seleksi dan pilihan terhadap berbagai rumusan nilai yang dibangun oleh partai dan calonnya. Rumusan nilai-nilai inilah
yang seharusnya dipilih oleh rakyat yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk pilihan orang di bilik suara. Rumusan nilai-nilai
itu pulalah yang selanjutnya akan dijalankan
oleh para kandidat yang terpilih dalam tataran teknis di lembaga perwakilan yang
sekaligus akan menjadi sarana kontrol bagi
rakyat untuk memilih kembali para wakilnya
atau justru memberikan sanksi dengan tidak
memilih kembali.
Kedua adalah wadah atau sarana (pemilu) berserta penyelenggara pemilihan yang
dimandatkan kepada sebuah lembaga yang
bernama Komisi Pemilihan Umum (ayat 1 dan
5). KPU hadir mewakili negara dalam proses
penyelenggaraan kontestasi lima tahunan
dalam rangka memperebutkan kepercayaan
rakyat yang dilakukan oleh partai politik. Kehadiran KPU dengan sifat kemandiriannya
dimaksudkan agar tujuan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
ini betul-betul tercapai (ayat 1). Sehingga,
tujuan pokok dari demokrasi untuk menghasilkan pimpinan bukan orang yang dibenci
dan orang yang dikehendaki oleh mayoritas
masyarakat terpenuhi.
Unsur yang belum disebut secara eksplisit dalam pasal 22E adalah rakyat sebagai
pemilih, rakyat yang akan diwakili dan yang
akan menyerahkan mandat pengaturan negara kepada orang-orang yang akan dipilihnya. Untuk itu peran dan fungsi rakyat diatur
dalam undang-undang pemilihan presiden,
undang-undang pemilihan legislatif dan undang-undang pilkada.
Sejak pemilu legislatif tahun 2014 KPU
telah mulai membangun sistem kerja yang
mengedepankan tansparansi dan akuntabilitas. Terdapat beberapa sistem kerja yang
telah dihasilkan KPU. Pertama, Sistem In-
formasi Data Pemilih (Sidalih). Belajar dari
pemilu ke pemilu berikutnya, persoalan data
pemilih menjadi persoalan yang akut yang
susah dipecahkan. Oleh karena itu, KPU
mengha­dirkan inovasi yang berbasis IT untuk
me­ngurai problem data pemilih dengan ha­
dirnya Sidalih. Fungsi pokok dari Sidalih adalah aplikasi berbasis online yang dibangun
untuk membantu petugas di KPU kabupa­
ten/kota dalam melakukan pengolahan data
pemilih secara lebih mudah, cepat dan tepat.
Sistem informasi yang telah dioperasionalkan
sejak pemilu legislatif dan pilpres tahun 2014
ini juga bermanfaat bagi partai politik selaku
peserta pemilu dan masyarakat selaku pemilih untuk turut serta mengawasi dan melibatkan diri dengan memberi masukan kepada
petugas tentang data output Sidalih.
Di luar kedua manfaat tersebut, Sidalih
juga mempunyai manfaat lain yang mempermudah warga Negara untuk bisa tetap
menggunakan hak pilihnya sekalipun berada
di luar wilayah administrasi kependudukan.
Kejadian yang langsung bisa dirasakan oleh
semua lapisan masyarakat terhadap manfaat
Sidalih adalah ketika pelaksanaan pilpres
2014. Pilpres yang tidak mengenal daerah
pemilihan memungkinkan semua masyarakat
bisa menggunakan hak pilihnya dimana saja
sesuai dengan peraturan dan tata cara yang
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
25
telah ditetapkan oleh KPU. Dengan output
dari aplikasi sidalih melalui www.data.kpu.
go.id para pemilih yang mengurus surat
pindah pilih bisa dilayani dengan cepat oleh
petugas. Petugas dengan cepat pula mampu
melakukan verifikasi pemilih hanya dengan
memasukkan identitas kependudukan. Apa­
kah pemilih tesebut telah terdaftar sebagai
pemilih tetap atau tidak, asal wilayah pemilih
dan seterusnya. Selanjutnya diberikan surat
pindah pilih oleh petugas untuk bisa menggunakan hak pilihnya di tempat terdekat.
Meminjam istilah Chirul Anam, Komisioner
KPU Provinsi Jawa Timur Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Data, “KPU telah mampu memindahkan pendataan pemilih yang berbasis
manual ke pendataan yang berbasis komputer.” (http://www.koran-sindo.com/news)
Kedua, Sistem Informasi Pendaftaran dan
Verifikasi Partai Politik (SIPOL) adalah sebuah
sistem yang dibangun untuk membantu KPU
dan partai politik (parpol) dan pihak-pihak
terkait dalam menjalankan pekerjaan yang
terkait dengan tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol sebagai peserta pemilu. Dengan
bantuan SIPOL, data partai politik beserta
komponen-komponennya dapat diproses
lebih cepat dan ditingkatkan kualitasnya.
(https://sipol.kpu.go.id/files/panduan_sipol_parpol). Dengan sistem ini proses pendaftaran dan verifikasi partai politik akan berjalan
terbuka, tanpa ada yang ditutupi atau bahkan
dimanipulasi, semua proses berjalan dengan
bisa dimonitoring oleh semuanya.
Selain sistem-sistem informasi kepemiluan yang telah diluncurkan sejak pemilu
tahun 2014, upaya membangun sistem informasi juga terus dilakukan dengan meluncurkan beberapa aplikasi sistem informasi pada
saat pelaksanaan pilkada serentak 2015. Pertama, Sistem Informasi Tahapan Pilkada (SITaP). SITaP adalah sistem informasi mengenai tahapan Pilkada. Diharapkan, keberadaan
SITaP dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai seluruh tahapan pilkada
tahun 2015. SITaP dapat dijadikan sebagai
sarana bagi penyelenggara pemilu untuk menyampaikan data dan informasi yang update
me­ngenai pelaksanaan tahapan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Data
yang dimasukan ke dalam SITaP adalah data
resmi yang digunakan dalam proses pemili26
Jurnal IDe
han dan validitas datanya sudah melalui verifikasi dan persetujuan pejabat berwenang.
Sekalipun aplikasi ini baru diluncurkan dan
diaplikasikan pada saat penyelenggaraan
pilkada serentak 2015, secara fungsi sistem
ini seharusnya bisa dikembangkan tidak
hanya untuk pilkada tetapi juga bisa diadopsi
pada pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Dengan mengadopsi sistem ini akan bisa
memberi kemudahan bagi para kontestan
baik itu kontenstan pemilihan legistaltif
maupun kontestan pilpres mendatang dalam mengikuti perkembangan tahapan demi
tahapan pelaksanaan pemilu.
Kedua, Sistem informasi logistik (Silog).
Sistem informasi ini diaplikasikan untuk
kebutuhan pengadaan logistik pemilu dan
pilkada. Silog menunjang kinerja KPU dalam
mengelola data dan informasi penyebaran
logistik secara tepat dan akurat. Dengan
Silog, proses perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi logistik bisa berjalan
seimbang. Silog akan terintegrasi de­ngan
website informasi data KPU. Masyarakat
langsung bisa mengakses proses penyebaran
logistik ke masing-masing daerah. Adapun
yang menjadi kebutuhan logistik seperti kertas surat suara berdasar jumlah DPT yang
sudah ditetapkan, plus dua persen. Serta
kebutuhan lainnya seperti kebutuhan tinta,
segel, formulir, kotak suara, plus jalur distribusi logistiknya. Aplikasi ini apabila ditaati
dimasing-masing satker, akan mampu meminimalisir adanya niat-niat yang tidak baik dari
seluruh proses yang bersinggungan dengan
logistik pemilu. Karena seluruh proses harus
terintegrasi dengan sistem yang ada.
Ketiga, Sistem Informasi Pencalonan (SILON). SILON adalah sistem informasi yang digunakan oleh KPU untuk melakukan verifikasi
atas dukungan calon perseorangan pada saat
Pilkada. KPU dapat secara cepat mendeteksi
data ganda dukungan calon perseorangan.
Jumlah rekapnya dan sebaran dukungan dapat diketahui dengan cepat. Selain itu, Silon
juga menyajikan berbagai data tentang calon
yang telah mendaftar dan terima oleh KPU.
Dan juga partai politik yang mau mendaftarkan calonnya bisa softcopy syarat calon dan
syarat pencalonan untuk diserahkan kepada
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai salah satu syarat pendaftaran
Keempat, Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG). Isu strategis yang selalu
menjadi bahan sengketa dalam pemilu selain
sengketa pencalonan adalah sengketa hasil,
maka KPU pada pelaksanaan pilkada serentak 2015 juga menghadirkan sebuah aplikasi
yang merupakan terobosan luar biasa, menjawab tantangan dan isu pemanfaatan kemajuan teknologi informasi sebagai alat controlling oleh masyarakat, sistem ini diberi nama
SITUNG. SITUNG adalah sistem informasi
berbasis teknologi untuk menampilkan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
realtime. SITUNG merupakan aplikasi untuk
memastikan prinsip dan asas transparan
penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu)
ataupun pilkada yang dapat dijalankan de­
ngan baik, sekaligus mendorong partisipasi
masyarakat dalam mengawal hasil pilkada
secara terbuka dan transparan. Dalam pro­
ses pilkada 2015 ini, formulir yang akan di­
pindai adalah formulir C1 hasil penghitungan
perolehan suara pasangan calon di tempat
pemungutan suara (TPS). Dalam proses pindai tersebut operator melakukannya dengan
apa adanya tanpa memperbaiki model C1
tersebut. Jika nantinya terjadi kesalahan,
perbaikan kesalahan pada model C1 akan
diperbaiki pada rapat rekapitulasi pada tingkat di atasnya atau di kecamatan. Adapun
jenis-jenis aplikasi di dalam SITUNG pilkada
serentak 2015 terdiri dari aplikasi pindai,
e-rekap atau entri data model C1, formulir
rekapitulasi hasil penghitungan suara di kecamatan dan kabupaten/kota berbentuk file
pdf, dan aplikasi publikasi hasil pilkada.
Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay
mengatakan “Publikasi hasil pilkada berbasis
hasil perhitungan suara di TPS akan menutup
celah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengubah atau mengotak-atik
hasil perolehan suara.” (http://www.kpu.
go.id/Jurnal Suara KPU RI; Nov-Des 2015).
Sekalipun SITUNG adalah hasil yang bersifat
sementara, bukan hasil resmi yang menjadi
penetapan hasil suatu pilkada, tetapi dengan
SITUNG masyarakat bisa mengawal pergerakan hasil dari para kontestan yang dipilihnya
mulai dari TPS sampai menjadi hasil penetepan hanya dengan menekan menu-menu
yang disediakan di aplikasi ini, sekaligus mementahkan beberapa asumsi kelompok yang
mengatakan bahwa hasil perolehan suara
bisa dimanipulasi melalui proses rekap ma­
nual. Sistem inilah yang disebut oleh Chairul
Anam sebagai E-rekap. (http://www.koransindo.com/news). Sementara hasil resmi
akan ditetapkan oleh KPU masing-masing
tingkatan, dan dituangkan ke dalam sertifikat
hasil penghitungan suara.
Kelima, E-PPID
diluncurkan sebagai
wujud komitmen KPU dalam mendukung
keterbukaan informasi publik. Transparansi
adalah salah satu prinsip yang selalu dite­
rapkan oleh KPU sejak awal penyelenggaraan
pemilu. Dengan semakin baiknya pelayanan
informasi kepada masyarakat, partisipasi
masyarakat diharapkan semakin meningkat.
Keterbukaan informasi yang menjadi hak
publik akan dibuka seluas-seluasnya dalam
rangka menghindari berbagai kecurigaan,
baik kecurigaan terhadap proses penyelenggaraan pemilu maupun terhadap pengelolaan data pemilu.
Berbagai upaya kontrukstif KPU dalam
rangka penguatan kelembagaan ini telah
mendapat pengakuan dari berbagai pihak.
Namun demikian haruslah disadari bersama
oleh setiap individu yang berada di dalamnya
bahwa pembangunan dan operasional ber­
bagai sistem informasi ini tidak untuk menambahi beban kerja tetapi dalam kerangka
meletakkan lembaga KPU pada porsinya.
Yaitu, KPU yang senantiasa berdiri tegak be­
kerja dengan independen, profesional, imparsial, objektif, transparan, akuntabel, dan
berintegritas. Jika diimplementasikan dengan benar, sistem yang selama ini dijalankan
tanpa disadari mampu memperlebar jarak
pertemuan penyelenggara dengan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam
konteks mis-management dan mis-profesional penyelenggaraan pemilu.
Sekalipun berbagai upaya transparansi
KPU ini telah mendapatkan banyak apresiasi
dari kelompok masyarakat. Namun, tentu
saja masyarakat masih menunggu berbagai
upaya pembangunan sistem pelayanan yang
lain –seraya tidak menarik-narik lembaga ini
keluar dari fungsinya- termasuk bagaimana
sistem komputerais KPU dalam membangun
budaya kerja dilingkungannya sebagai upaya
penguatan kelembagaan agar pemilu kian
hari kian berintegritas. r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
27
M. SYAMSUL ARIFIN, SH.
Divisi Hukum dan Pengawasan
KPU Kabupaten Sampang
Partai Politik, Demokrasi dan Pemilu:
Mewujudkan Pemimpin Yang
Berkualitas dan Berintegritas
“Keberhasilan pemilu tidak hanya diukur pada suksesnya Negara ini melaksanakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis,
tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dalam pemilu yang
demokratis tersebut mampu melahirkan para pemimpin yang
berkualitas dan berintegritas.”
Membangun Partai Politik Yang Sehat
Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas undangundang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai
politik yang dimaksud dengan partai politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara suka rela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan
undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Maka dengan hal tersebut
keberadaan partai politik mempunyai peran
penting dalam mewujudkan Negara yang
baik dan sejahtera.
Namun beberapa waktu terakhir, keberadaan partai politik banyak menuai
masalah khusunya dalam persolan hukum
dan kebijakan. Didalam permasalahan hukum
sudah banyak para politikus yang terjerat kasus korupsi baik ditingkatan pusat sampai
ditingkat daerah. Menurut direktur eksekutif
28
Jurnal IDe
pusat kajian anti korupsi (pukat) Universitas
gajah mada (UGM), Hasrul Halili dalam hasil
penelitian yang dilakukan pukat selama 2 bulan (15 Januari-15 Maret 2014) menyimpulkan bahwa: “Tidak ada satupun partai yang
memiliki kader yang menduduki jabatan publik yang tidak memiliki kaitan dengan praktik
korupsi.” Adapun data yang disampaikan
terkait prosentase dalam keterkaitan dugaan korupsi politik, Partai Demokrat memiliki
kedudukan pertama de­ngan prosentase 28,
40 persen, disusul Partai Hanura (23,50 persen), PDIP (18.08 persen), PKS (17,24 persen),
Partai Golkar (16,03 persen), PKB (14,28
persen), PPP (13,16 persen) dan Partai Gerindra (3,85 persen). (http://m.hukumonline.
com/berita/baca/lt5329627e98607/pukat-seluruh-parpol-terlibat-kasus-korupsi)
Maka ada yang salah dalam organisasi
partai politik dengan melihat kondisi partai politik yang sering terlibat dalam kasus
korupsi. Sedangkan dalam undang-undang
nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik
(pasal 11) menyatakan partai politik berfungsi sebagai sarana: (1) Pendidikan politik
bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (2)
Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan
masyarakat; (3) Penyerap, penghimpun dan
penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan
Negara; (4) Partisipasi politik warga Negara
Indonesia; dan (5) Rekruitmen politik dalam
proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.
Namun sayangnya menurut Prof. Miriam
Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu
Politik” menyatakan sering terjadi anomali
terhadap peran dan fungsi partai politik sebagai contoh partai politik yang semestinya
berfungsi sebagai komunikasi politik sering
disalahgunakan sebagai propaganda politik
untuk mencapai kepentingan partai tersebut. Partai yang semestinya menciptakan
iklim politik yang kondusif agar tidak terjadi
konflik, sebaliknya sering terlibat konflik yang
berdampak tidak stabilnya sosial politik dan
ekonomi masyarakat.
Maka atas hal tersebut perlu pembenahan dan perbaikan dalam membangun partai politik kedepan diantaranya: (1) Partai
politik harus mampu menjalankan perannya
sebagai pengawal aspirasi masyarakat; (2)
Menghilangkan pragmatisme partai politik
dengan hanya mempertahankan kekuasaan
daripada mempertahankan idealisme partai politik. Menurut Ratnawati (2006) dalam
bukunya “Sistem Kepartaian di Era Transisi”,
secara khusus kajian tentang partai politik
di Indonesia dipengaruhi oleh adanya politik
aliran, yaitu beberapa aliran ideologis yang
berkembang dan mempengaruhi kehidupan
politik Indonesia; (3) Menghilangkan budaya
elitisme partai, dimana dalam perjalanannya
keberadaan partai politik Indonesia hanya
dikuasai elit-elit tertentu yang berkembang
menjadi semacam dinasti partai politik; (4)
Melakukan rekruitmen anggota dengan pola
kaderisasi dan pendidikan yang sitematis serta berkelanjutan. Hal ini sangat penting dika­
renakan seringkali partai politik tidak mampu
mencetak kader-kadernya yang mempunyai
integritas dan kapabilitas khususnya dalam
menjelang pemilu; (5) Partai politik harus
mampu dan mandiri dalam mengelola
keuangan partai. Hal tersebut agar partai
dan atau anggotanya tidak terjerumus dalam
tindak pidana korupsi. Partai yang tidak sehat
secara financialnya hanya akan menjadikan
partai sebagai alat untuk mengeruk keuangan Negara.
Melahirkan Pemimpin Yang Berkualitas Dan
Beritegritas Dalam Pemilu Yang Demokratis
Dalam setiap 5 (lima) tahun sekali
bangsa Indonesia selalu mengadakan hajatan pemilihan umum yang demokratis, baik
pemilihan umum legislatif maupun eksekutif
mulai dari pusat sampai ke kabupaten/kota.
Namun apakah dalam perjalanannya pemilu
yang demokratis akan melahirkan pemimpin
yang berkualitas dan berintegritas? Serta bagaimana cara mewujudkannya?
Untuk mewujudkan pemimpin yang
berkualitas dan berintegris dalam pemilu
yang demokratis tidak mudah, namun hal
tersebut dapat terwujud jika Negara ini
betul-betul mewujudkannya. Faktor-faktor
apa sajakah yang dapat mewujudkan melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas dalam pemilu yang demokratis?
yaitu: (1) Regulasi hukumnya; (2) partai politik yang sehat; (3) penyelenggaraan pemilu
yang baik dan; (4) Penyelenggara pemilu
yang berintegritas.
Regulasi hukum yang baik dalam pemilu
Seperti yang kita ketahui Negara ini telah beberapa kali melakukan revisi undangundang tentang kepemiluan baik undang-undang tentang penyelenggara pemilu maupun
undang-undang tentang penyelenggaraan
pemilu. Hal tersebut tidak lain demi kemajuan dan membaiknya pemilu kedepan yang
lebih baik.
Aturan hukum yang baik adalah sebagai
awal dari terciptanya pemilu yang demokratis sebagaimana yang telah damanatkan dalam pasal 22E ayat 1 Undang-undang Dasar
1945 telah menyebutkan ada enam ukuran
pemilu yang demokratis yaitu langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun
tidak hanya itu, penyelenggara Pemilu yang
menjadi turunannya kemudian menambahkan beberapa kriteria lagi seperti transparan,
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
29
akuntabel dan professional.
Partai politik yang sehat
Sebagaimana yang telah kami jelaskan
diawal sebelumnya, maka dengan membangun partai politik yang sehat diharapkan
partai politik akan memberikan dampak yang
positif dalam pembangunan Negara ini kedepan yaitu dengan melahirkan kader-kader
yang mempunyai jiwa nasionalisme terhadap
Negara dan berintegritas, serta partai politik
dapat memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan arti penting demokrasi dalam
sebuah pemilu. Dengan partai politik yang
sehat, maka partisipasi rakyat dalam politik
akan terus mengalami kenaikan, khususnya
dalam pemilu pesta demokrasi Indonesia.
Penyelenggaraan pemilu yang baik
Penyelenggaraan pemilu yang baik akan
mengantarkan proses pemilu yang baik pula.
Demi mewujudkan pemilu yang baik maka
tidak terlepas dari magaimana cara Negara
mengkonsep dalam merumuskan penyelenggaraan pemilu yang baik. Dalam perjalanannya undang-undang pemilu baik pemilihan
umum legislatif, pemilihan umum presiden
maupun pemilihan umum kepala daerah se­
ring mengalami perubahan, tergantung situasi dan kondisi politik pada saat itu.
Namun yang paling menarik serta mungkin agak memberatkan bagi penyelenggara
pemilu (KPUD) adalah pertama kalinya ne­
gara ini melakukan pemilihan umum kepala
daerah secara serentak sehingga banyak
problematika yang muncul pada saat pelaksanaannya. Menurut Husni Kamil Manik (ke­
tua KPU RI), ada 12 (dua belas) permasalahan
yang muncul dalam pilkada serentak tahun
2015 yaitu : Pertama, Terkait adanya temuan
dokumen palsu di 8 daerah, diantaranya simalungun. Kedua, adanya dualisme kepe­
ngurusan partai politik di 18 daerah salah
satunya di Sumba Timur. Ketiga, masalah
persyaratan dukungan partai politik terjadi
di 16 daerah diantaranya di Belitung Timur
dan Sorong Selatan. Keempat, masalah yang
berkaitan dengan waktu pendaftaran seperti
yang terjadi di satu daerah, yaitu Supiori. Kelima KPU menemukan adanya permasalahan
yang berkaitan dengan pemenuhan doku30
Jurnal IDe
men dari instansi lain, seperti di Jambi dan
Kotawaringin Timur. Keenam, persyaratan
mantan narapidana yang maju dalam pilkada
pada lima daerah diantaranya Bengkulu Selatan dan Sidoarjo. Ketujuh, masalah dalam
status petahana yang kembali maju dalam
Pilkada tahun 2015, ini terjadi di enam daerah diantaranya Tanjung Jabung Timur dan
Ogan Ilir. Kedelapan, masalah dukungan terhadap calon perseorangan yang terjadi di 25
daerah. Kesembilan, berkaitan de­ngan syarat
kesehatan terdapat di 3 daerah, diantaranya
Musi Rawas dan Musi Rawas Utara. Kesepuluh, masalah perubahan dokumen pencalonan yang terjadi di 3 daerah. Kesebelas, yaitu
adanya masalah terhadap calon kepala daerah yang bermasalah dengan status tersangkanya di satu daerah yakni Bengkalis. Keduabelas, pergantian calon diluar ketentuan,
yaitu di Simalungun dan Sigi.
Penyelenggara pemilu yang berintegritas
Selain dari Regulasi hukumnya, partai
politik yang sehat, penyelenggaraan pemilu
yang baik, yang tidak kalah pentinya adalah
penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Dalam hal ini KPU dan Bawaslu mempunyai
peranan penting untuk mewujudkan pemilu
demokratis yaitu langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, serta transparan,
akuntabel dan professional. Namun selain
dua lembaga tersebut ada lembaga lain yang
menyokong tersenggelaranya pemilu dengan
baik yaitu polri sebagai intsitusi pengamanan
pemilu, serta lembaga peradilan yang khusus
menangani sengketa kepemiluan yang harus
independen, netral dan profesional.
Kesimpulan
Maka untuk “mewujudkan pemimpin
yang berkualitas dan beritegritas” dalam
pemilu yang demokratis harus bersinergi dan
tersistematis yaitu dimulai dari membangun
partai politik yang sehat, mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang baik dan penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Dengan melahirkan para pemimpin yang
berkualitas dan berintegritas tersebut maka
diharapkan pembangunan nasional Negara
Indonesia akan semakin maju, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sumber
daya manusianya.r
UMMU CHAIRU WARDANI
Divisi Sosialisasi, Pendidikan
dan Pengembangan Informasi
KPU Kota Blitar
Menggugat Peran Parpol
Dalam Pendidikan Politik
Mengapa kita mempertanyakan peran partai dalam pendidikan politik? Pendidikan bukanya tugas pemerintah? Me­
ngapa harus melibatkan partai? Mungkin itu yang menjadi
pertanyaan kita setelah membaca judul tulisan ini.
S
eperti kita ketahui bersama, negara
sudah memberikan jaminan warga untuk bebas berpolitik. Amanah itu tencantum diantaranya pada Undang-Undang
dasar 1945 pasal 27 (1) Segala warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sementara pasal 28 menegaskan
tentang adanya pe­ngakuan negara untuk
kemerdekaan berkumpul dan berserikat
yaitu “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan
undang-undang.” Sehingga jelaslah, bahwa
setiap warga negara diakui dan dijamin oleh
negara hak berpolitiknya.
Peran partai dalam pendidikan politik, sesuai amanah dalam Undang-Undang Nomor
2 tahun 2008 tentang partai Politik, pendidikan politik menjadi salah satu fungsi dari Partai Politik seperti tercantum pada pada pasal
11 (1.a) yaitu Partai politik berfungsi sebagai
sarana pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas, agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini juga ditegaskan lagi pada pada pasal 13 mengenai
kewajiban partai politik yaitu pada poin (e)
melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya. Jadi sudah
jelas, Partai politik mempunyai tanggungjawab yang besar untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara Indonesia.
Partai Politik
Pengertian partai politik tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2008,
tentang Partai Politik, yaitu Partai politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara Sementara
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
31
Firmansyah (2011) mendefinisikan bahwa
Partai politik merupakan perwujudan konkret dari kepentingan politik yang diperjuangkan oleh suatu kelompok masyarakat. Agar
aspirasi politiknya terfasilitasi, maka kelompok tersebut perlu bergabung dan membentuk organisasi yang dapat diperjuangkan
aspirasinya.
Politik dan Pendidikan Politik
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu
Polis yang berarti kota atau komunitas secara
keseluruhan. Plato dalam Firmasnyah (2011)
menyatakan politik adalah semua usaha dan
aktifitas untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik
dibandingkan kondisi sekarang. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa politik bukanlah suatu konsep yang diciptakan,
melainkan sesungguhnya bisa ditemukan
di setiap orang. Sementara dalam perkembangan sejarahnya, Miller dalam Firmansyah
(2011:50) menyatakan bahwa politik terkait
erat dengan keberagaman (diversity). Sedangkan Dahl menyatakan bahwa a political
system as any persistent pattern of human
relationships that involves, to a significant
extent, control, influence and authority. (system politik sangat erat hubungannya de­
ngan keberagaman kepentingan, konflik dan
kekuasaan).
Pendidikan politik
Apa itu yang dimaksud pendidikan Politik? Banyak yang salah kaprah memaknai
pendidikan politik. Dalam arti sempit, politik
hanya dimaknai sebagai kampanye, atau sosialisasi yang diadakan oleh penyelenggara
pemilu ketika ada kegiatan pemilu dalam hal
ini sosialisasi, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Padahal
dalam arti sesungguhnya pendidikan politik
memiliki arti dan cakupan yang lebih luas.
Sesuai instruksi presiden Nomor 12 tahun
1982 tentang Pendidikan Politik bagi ge­
nerasi muda disitu disebutkan bahwa pada
prinsipnya, pendidikan politik bagi generasi
muda merupakan usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan
kenegaraan, guna menunjang kelestarian
Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945
sebagai budaya bangsa. Sementara dalam
32
Jurnal IDe
Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang
partai politik Bab 1 ayat 4 disebutkan bahwa
pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban,
dan tanggungjawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan Sitepu (2016) berpendapat bahwa pendidikan politik jika dikaitkan dengan
partai bisa diartikan sebagai usaha sadar
dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan
perjuangan partai politik tersebut kepada
massa­nya agar mereka sadar akan peran
dan fungsi, serta hak dan kewajibannya Sebagai manusia atau warga negara.
Bagaimana Peran Partai di Indonesia Dalam
Pendidikan Politik
Peran Partai Politik di Indonesia dalam
pendidikan politik, menurut penulis sampai
saat ini masih sangat minim. Masyarakat
merasakan geliat kehidupan sebuah partai
politik di sekitar mereka, hanya saat momen
tertentu, khususnya saat pemilihan umum,
baik pemilu legislatif, kepala daerah, maupun pemilihan presiden dan wakil Presiden. Apalagi saat pemilu legislatif, dimana
masing-masing partai akan memperebutkan
kursi di parlemen, baru ramai-ramai calon
legislatif mendekatkan diri pada masyarakat,
dengan beragam cara, bahkan cenderung
ke cara yang pragmatis. Merangkum dari
beberapa penelitian oleh KPU di tingkat kabupaten/kota di Indonesia, yang diterbitkan
oleh KPU RI dalam buku Partisipasi Pemilih
dalam Pemilu 2014, khususnya dalam penelitian mengenai “Politik Uang” disitu terlihat
betapa sebenarnya politik uang itu sangat
dominan mempengaruhi masyarakat saat
pemilu legislatif. Meskipun sulit dibuktikan
secara hukum, namun issue yang berkembang dan memang diakui oleh sebagian besar masyarakat bahwa ada “perang uang”
antar beberapa calon. Menurut penelitian
Lembaga Survei Nasional (LSN) menjelang
pemilu 9 April 2014, mayoritas publik yang
merupakan responden mereka (69,1%)
mengaku bersedia menerima uang dari para
calon legislator atau partai politik de­ngan
dalih yang berbeda-beda. Padahal pada
pemilu legislatif tahun 2009, survei dengan
tema yang sama menunjukkan yang bersedia
menerima uang dari caleg atau partai kurang
dari 40%. Hal ini tentunya merupakan suatu
“contoh pembelajaran politik yang buruk“
bagi masyarakat dan menodai demokrasi
itu sendiri. Masyarakat yang seharusnya
bisa berfikir rasional dalam menentukan pilihannya, akibat sifat pragmatis ini, menjadi
memilih berdasarkan “siapa yang membayar
paling mahal “ atas pilihan mereka. Cara-cara
elit Partai yang ingin berhasil secara instan
ini, merupakan salah satu bentuk kegagalan
partai dalam menjalankan tugasnya dalam
pendidikan politik. Arbi Sanit, dalam buku
Menggugat Partai Politik (2003:10) menyebutkan bahwa kegagalan fungsional Partai
dari lepas dari dari krisis yang dialami dalam
kepemimpinan Partai. Kegagalan pemimpin
sebagai pribadi yang diunggulkan oleh warga
dan elit partai, dipilah menjadi tiga unsur (1)
Orientasi Sikap dan tingkah lakunya (2)kematangan etis mereka (3) kemampuan melakukan tugas.
Diakui atau tidak, munculnya tokoh-tokoh
baru di partai dalam parlemen sebagai buah
dari sikap pragmatisme masyarakat pemilih dalam pemilu legislatif, ikut mendukung
terpilihnya wakil rakyat “yang bukan murni
merupakan kader partai”, sehingga mereka tidak bisa menjiwai apalagi mentransfer
nilai-nilai yang menjadi jiwa dan roh partai
pada masyarakat. Sikap pragmatis ini menimbulkan adanya pemain-pemain baru di parlemen, yang duduk di parlemen karena mereka
mempunyai kemampuan untuk “membeli”
suara pemilih. Sehingga tidak heran, jika
dalam perjalanannya, banyak wakil rakyat
di parlemen yang harus mundur dari keanggotaannya di dewan sebelum habis masa jabatan, karena terjerat beberapa kasus, yang
tentunya hal ini dapat mencoreng citra partai
dan parlemen di mata masyarakat.
Di sisi lain, sikap beberapa elit partai yang
sulit memisahkan jabatan di elit partai dengan jabatan negara, sebagaimana diinginkan
oleh rakyat, supaya saat menjadi pejabat
negara mereka dapat fokus mengedepankan
kepentingan rakyat, ternyata masih belum
bisa dilakukan oleh beberapa pejabat negara
yang memiliki latar belakang Partai. Kecen­
derungan mereka untuk lebih tunduk pada
keputusan partai dari pada mengutamakan
kepentingan masyarakat dalam penyele-
saikan beberapa masalah dan konflik yang
menyangkut kepentingan masyarakat, merupakan salah satu sebab yang menggagalkan
fungsi partai terhadap masyarakat.
Kebiasaan mengedepankan etika moral
yang berdasarkan atas nurani masing-masing, bukan atas dasar etika politik dimana
pertanggungjawaban politik diberikan kepada publik, juga ikut mendistorsi fungsi partai
kepada negara dan rakyat secara seimbang,
karena mereka masih mengedepankan kepentingan diri dan golongan. Beberapa menteri yang merupakan perwakilan dari partai
di kabinet, seringkali harus bertabrakan
dengan kepen­tingan partai mereka dalam
menjalankan tugasnya. Bahkan tak jarang,
beberapa menteri yang dianggap tak sejalan
lagi dengan partai yang menunjuknya untuk
terlibat di kabinet, “diancam dilengserkan
dari kabinet” oleh partai yang menunjuknya.
Tentunya hal ini merupakan sebuah pembelajaran yang buruk dari sebuah partai
bagi kepentingan pendidikan politik bagi
masyarakat.
Tidak jelasnya pola pendidikan politik di
masing-masing partai, juga turut memperburuk pelaksanaan proses pendidikan politik
oleh partai bagi masyarakat. Setidaknya, saat
ini partai mulai berbenah diri, untuk memperbaiki kualitas pengkaderan dan lebih santun berperilaku dalam kehidupan politiknya,
sehingga memberikan contoh yang baik bagi
masyarakat pemilihnya. Sikap bertanggungjawab dan menomorsatukan kepentingan
masyarakat di atas kepentingan pribadi atau
golongan saat mereka terpilih di parlemen,
merupakan pembelajaran politik yang sangat berguna untuk meningkatkan kesadaran
politik warga. Setidaknya masyarakat tidak
lagi apatis dengan pemimpin yang mereka
pilih dan ke depan, dapat meningkatkan
peran aktif masyarakat dalam kegiatan politik yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Setidaknya masyarakat yang tingkat kesadaran politiknya tinggi, dapat menggunakan
hak-hak politiknya dengan lebih baik dan
menjadi pemilih yang rasional yang dapat
menggunakan hak pilih mereka dengan alasan-alasan yang masuk akal sehingga nantinya akan terpilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat meneruskan aspirasi rakyat
yang diwakilinya.r
Suara KPU Jawa Timur
Juni 2016
33
AFIDATUSHOLIKHA, M.Pd.I
Divisi Teknis Penyelenggaraan,
Program dan Data
KPU Kabupaten Mojokerto
Peran Partai Politik Dalam
Mewujudkan Pemilu Berintegritas
Partai politik sesungguhnya adalah alat dan tulang punggung
dari Demokrasi, keberadaan Partai Politik menduduki posisi strategis sebagai jembatan hubungan yang intensif antara masyarakat
sipil dengan pemerintah. Dalam praktiknya Partai Politik dapat
menjadi penghubung antara pemilih, proses pemilihan umum
dan pemerintah yang dihasilkan dari proses tersebut.
N
amun terkadang fungsi ini tidak berjalan baik karena dalam proses rekrutmen calon, Partai politik sering
bertindak kurang profesional sebagaimana
diamanatkan oleh Anggaran Dasar Rumah
Tangganya sendiri. Sehingga wakil rakyat
yang dihasilkan tidak mampu menjalankan
fungsinya dengan baik sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Pelaksanaan Pemilihan Umum untuk
memilih calon legislatif sudah semakin dekat,
diskursus yang berkaitan dengan pesta
demokrasi tersebut semakin gencar dibicarakan. Beberapa waktu belakangan ini wacana
sistem pemilu dari proporsional terbuka sebagaimana diamanatkan dalam undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah pasal 5 ayat 1, ingin dirubah kembali menjadi sistem proporsional tertutup semakin menguat, setidaknya beberapa partai
34
Jurnal IDe
politik besar telah mulai menyuarakannya.
Menyusul hasil evaluasi dari beberapa partai
politik yang berpendapat bahwasanya sistem
proporsional terbuka dengan suara terba­
nyak tidak mampu menjamin bahwa wakil
rakyat yang dihasilkan nanti bisa bekerja
dengan baik dikarenakan belum tentu merupakan kader loyal partai politik. Demikian
juga sistem ini dianggap telah menciptakan
pemilu yang berbiaya mahal dan meningkatkan persaingan internal yang cukup sengit
antar kader dalam satu partai politik.
Seyogyanya tidak fair jika realitas kondisi
diatas menjadikan sistem proporsional terbuka sebagai kambing hitamnya, justru yang
lebih penting adalah bagaimana partai politik mampu melaksanakan fungsinya dengan
baik sebagai sarana rekrutmen politik dalam
pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi sebagimana diamanatkan dalam
Undang-undang nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik pasal 11 ayat 1e. Seringkali
dalam proses rekrutmen calon wakilnya par-
tai politik tidak melaksanakan secara maksimal sesuai dengan kriteria, prosedur dan tata
cara rekrutmen kader.
Dalam beberapa kasus, partai politik
terkadang dapat dianalogikan sebagai kendaraan umum yang bisa mengangkut orang
dari mana saja, yang penting dia bisa menyediakan anggaran besar untuk proses mengantarkannya sampai pada tempat tujuan, tanpa
memperdulikan apakah penumpang tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan
dan tidak perlu bersusah-susah melakukan
proses sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Sebagai akibatnya, calon-calon
yg dimunculkan untuk bersaing dalam merebut jabatan wakil rakyat, terkadang hanya
bermodalkan finansial besar yang memunculkan potensi praktik money politics dalam
membangun popularitas dan keterpilihan.
Partai politik dalam melakukan penja­
ringan seyogyanya melakukan mekanisme
de­ngan benar seperti menetapkan kriteria
calon wakil rakyat baik dari sisi kredibilitas,
kemampuan akademik, prestasi dan pengab­
diannya di masyarakat, loyalitas dan pengabdiannya terhadap partai politik selama ini.
Kriteria tersebut benar-benar dijadikan acuan
dalam menentukan calon yang akan direkomendasi oleh partai politik, tidak hanya sekedar formalitas saja. Seleksi dilakukan secara
affair dan tidak menempatkan kemampuan
finansial sebagai kriteria utama.
Sesungguhnya inilah yang akan menjawab kekhawatiran partai politik bahwa
sistem proporsional terbuka menghasilkan
wakil rakyat yang bukan representasi dari
kader partai politik yang telah disiapkan. Hal
ini juga akan menjawab tudingan sistem ini
telah menciptakan pemilu yang berbiaya mahal. Karena, melalui proses penjaringan calon
yang benar dengan sendirinya partai politik
akan memilih calon yang selama ini telah
membangun terus menerus investasi sosial
politik mereka di dalam masyarakat pemilihnya. Mereka yang telah melakukan kegiatankegiatan bermanfaat dan berkelanjutan daSuara KPU Jawa Timur
Juni 2016
35
lam masyarakat yang diinisiasi dan dilakukan
oleh para calon legislatif tersebut. Keuntungannya akan membangun popularitas dan
elektabilitas diri yang bersangkutan, karena
langsung mengena kepada masyarakat. Se­
hingga pada saat Pemilu dilaksanakan, me­
reka tidak perlu lagi menyiapkan senjata finansial yang cukup besar.
Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara teknis dalam proses pemilihan umum tentunya tidak terlalu mempermasalahkan sistem yang akan dipakai, apakah
proporsional terbuka ataupun tertu­tup. KPU
akan selalu siap melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya secara maksimal dan berdasarkan asas-asas penyelenggara pemilu
sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Namun berbicara keberhasilan pemilihan
umum secara komperehensif tentunya tidak
bisa hanya mengandalkan kinerja penyelenggara, peserta pemilu juga harus mendukung
agar pelaksanaan pemilihan umum bisa
berjalan dengan baik. Salah satunya adalah
menyiapkan kader-kader terbaik mereka un-
36
Jurnal IDe
tuk ikut bertarung dalam memperebutkan
kursi legislatif di masing-masing wilayahnya. Partai politik melalui calon-calon wakil
rakyatnya juga harus mampu memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat sebagaimana amanat undang-undang nomor 2
Tahun 2011 pasal 11 ayat 1a dengan tidak
melakukan praktik money politics melainkan
menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan
tidak melanggar peraturan.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, Ketua
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) Prof DR Djimly as-Shiddiqy menyatakan bahwa kedepan rule of etics seyogyanya
tidak hanya diberlakukan kepada penyelenggara pemilu saja, melainkan juga terhadap
peserta pemilu. Dengan adanya kode etik bagi
peserta pemilu, maka para kontestan tidak akan
melakukan praktik-praktik ilegal dan curang
dalam meraup suara sebanyak-banyaknya dari
pemilih. Pada akhirnya pemilu yang berintegritas akan bisa diwujudkan dalam pelaksanaan
pemilihan umum dan menghasilkan wakil-wakil
rakyat seperti yang diharapkan.r
Download