347 BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Keterlibatan perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) dalam dunia dagang di kota Medan dimulai saat perempuan Batak Toba menikah, berumah tangga dan berkeluarga. Tidak mudah mengawali usaha dagang yang mereka jalani sehingga sekarang kelihatannya mereka sudah sangat memahami seluk beluk dunia dagang dan dapat menjalaninya dengan baik hingga puluhan tahun. Dengan besarnya curahan waktu yang dihabiskan inang-inang dalam berdagang dapat disimpulkan aktifitas kerja mereka banyak menguras energi dan waktu. Energi yang muncul dalam aktifitas dagang diakibatkan ketika inang-inang dihadapkan dengan beban ganda dan dalam situasi liminalitas dalam kebudayaannya. Dalam kasus perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) tahap liminalitas (peralihan) berada pada saat seorang perempuan yang akan memasuki kehidupan baru saat ia menikah dan dimasukkan dalam clan suaminya dengan kehidupan dan nilai-nilai yang baru yang berbeda dari sebelumnya saat mereka berada dalam clan ayahnya. Perempuan pedagang Batak Toba (inanginang) akan mengalami suatu situasi ambigu atau tidak jelas seolah-olah dia berdiri “di ambang pintu” “tidak di sini dan tidak disana”. Meskipun berhubungan dengan kedua clan marga ayah dan suaminya tetapi ia sebenarnya tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. Secara kultural perempuan Batak Toba dalam kondisi yang tidak jelas dan membingungkan. Seakan-akan dia berada di dua clan ayah sekaligus clan suaminya. Namun demikian dalam 348 kenyataanya dia bukanlah anggota penuh kedua clan tersebut. Satu sisi ia belum dapat melepaskan sepenuhnya nilai-nilai dan pengalaman yang diperolehnya sewaktu masih berada di clan ayahnya sebelum menikah, tetapi realitas yang ia hadapi mengharuskannya untuk segera berinteraksi dengan situasi yang baru, nilai-nilai baru dan penggalaman baru. Dalam kasus pedagang perempuan Batak Toba (inang-inang) dihadapkan pada realitas di mana ia harus merekonstruksi ulang status dan peran-peran yang dijalankannya. Dalam situasi liminalitas inilah inang-inang memutuskan untuk bekerja keras dalam kegiatan dagang tidak lain agar dapat keluar dari situasi liminalitas dalam kebudayaannya. Perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) berusaha merefleksikan eksistensinya terkait dengan pengalaman mendasar yang diperolehnya selama hidupnya. Pengalaman liminal yang diperolehnya akan menjadi tahap refleksi terhadap peralihan status, kedudukan dan perannya. Peralihan ini juga menjadi tanda bahwa mereka dihadapkan pada realitas terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang sesuai dengan status dan kedudukannya. Inang-inang mendapatkan makna hidupnya dalam rangkaian tahap-tahap yang dilaluinya. Ada semacam ideologi yang dikonstruksi yang bersumber dari budaya Batak Toba bahwa perempuan Batak Toba yang telah berumah tangga memikul beban kultural (cultural burden) bahwa dalam pundaknya dibebankan kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anaknya. Konstruksi bahwa seorang ibu dan istri yang baik bukan lagi yang tinggal di rumah memelihara dan mengurus anak-anak dan suaminya melainkan seorang istri dan ibu yang baik adalah yang mampu menghidupi keluarga dan memberikan pendidikan yang baik bagi anakanaknya walaupun dengan cara bekerja sekeras mungkin. Masyarakat Batak Toba 349 dalam kasus inang-inang mengekspresikan pengabdian keibuan pada umumnya dengan bekerja tanpa mengenal lelah dalam memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anaknya, bukan dengan cara tinggal di rumah bersama anak mereka. Menjadi suatu hal yang paradoks dalam realitasnya beban kultural ini dikonstruksi menjadi beban yang harus diemban perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) di kota Medan. Tidak lain agar tujuan hidup atau misi budaya mereka dapat tercapai. Secara kultural orang Batak Toba dengan sistem patrilinealnya menempatkan laki-laki sebagai pemeran utama dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam hal nafkah yang seharusnya akan diperolehnya dari suami yang akan menjamin kehidupannya. Dalam realitasnya inang-inang bekerja keras dalam kegiatan dagang dalam menghidupi rumah tangga dan keluarga mereka. Kondisi paradoks ini dikarenakan inang-inang dihadapkan dalam situasi liminalitas dalam kebudayaannya. Sebagai migran Batak Toba pada umumnya inang-inang berasal dari daerah Tapanuli Utara, dengan bekerja inang-inang mengalami transformasi fisik dari “ruang kultural” daerah asal mereka kemudian merantau dan dapat beradaptasi dalam lingkungan kerja mereka di sebuah pasar induk grosiran dan eceran di pusat kota Medan. Aktifitas dagang yang dijalankan inang-inang hingga puluhan tahun menyebabkan mereka dapat keluar dari ruang kultural masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan sistem patrilineal yang cenderung patriarkis. Sebagai migran Batak Toba dengan beraktifitas dagang inang-inang kemudian dapat beradaptasi dalam lingkungan perkotaan dan dapat mengembangkan 350 kebudayaannya dengan nilai-nilai yang lebih longgar dan egalitarian serta dapat keluar dari perangkap patriarkis kebudayaannya. Dengan bekerja dalam kegiatan dagang inang-inang melakukan transaksi sosial terhadap peran dan status yang mereka jalankan baik dari ranah domestik ke publik. Transaksi sosial berhubungan dengan adanya transaksi perbedaan antara peran dan status sosial inang-inang dari rumah tangga dan keluarga tempat ia tinggal kemudian mengalami perbedaan peran dan status sosial saat seorang inang-inang beraktifitas dagang dalam pekerjaannya. Aktifitas dagang yang dilakukan inang-inang menciptakan status dan peran mereka menjadi pribadi penting dan tidak tersubordinasi baik dalam rumah tangga, keluarga dan dalam pekerjaan mereka. Status dan peran mereka menjadi pribadi-pribadi yang mandiri, tegas, mampu mengambilkeputusan, dan mampu mengambil resiko atas segala tindakan baik berkaitan dengan kegiatan dagang dan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga mereka. Mereka mampu mengatur dan mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan dukungan penuh dari anak-anak yang sudah cukup dewasa dan suami (dengan beberapa perkecualian). Dalam ranah pekerjaan walaupun mereka dikenal sebagai pedagang kecil yang bekerja keras tanpa mengenal lelah tidaklah membuat mereka dipandang rendah melainkan dihargai dan dinilai tinggi oleh masyarakatnya. Inang-inang mampu mengendalikan rumah tangga dan keluarga mereka dari berbagai tantangan kehidupan. Identitas inang-inang dalam hal ini dapat dilihat telah keluar dari konstruksi kultural patriarkis dalam masyarakat Batak Toba. Oleh karena peran yang mereka jalankan sebagai pedagang perempuan Batak Toba (inang-inang) bukan hanya terbukti mampu menghidupi 351 keluarga dan rumah tangga mereka, melainkan dapat memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Nilai pendidikan inilah menempatkan mereka dihargai masyarakatnya. Nilai pendidikan menjadi nilai penting dalam rangka mencapai misi budaya mereka sebagai orang Batak Toba. Inang-inang dalam kajian ini umumnya adalah migran yang berasal dari Tapanuli Utara yang merantau ke kota Medan. Adapun alasan mereka merantau umumnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari daerah asalnya. Selain itu juga karena maksud bergabung dengan keluarga atau atas ajakan teman dan orang-orang sedaerah asal. Dengan bekerja inang-inang mulai membangun dunianya sendiri yaitu dunia dagang yang sangat berbeda dengan dunia kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Dimana inang-inang dapat keluar dari rutinitas kehidupan rumah tangga dan keluarganya sehari-hari. Inang-inang dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuannya serta kehidupan sosial budaya mereka. Di pasarlah mereka dapat membangun pertemanan, persahabatan bahkan persaudaraan dengan berbagai pihak seperti sesama pedagang, agen petugas pemasok barang-barang dagangan, berbagai pihak yang menawarkan jasa (pemuda setempat) dan para langganan mereka sehingga dapat membuat hidup mereka lebih mudah dan bermakna. Tidak mengherankan inang-inang bertahan dalam pekerjaannya hingga puluhan tahun lamanya. Dengan demikian kerja bagi perempuan pedagang Batak Toba (inanginang) ternyata sangat bermakna bagi rumah tangga dan keluarga mereka. Tidak hanya sekedar untuk kelangsungan hidup anggota keluarga dan rumah tangga mereka, yang kemudian menjadi lebih penting agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang baik. Prinsip hidup yang mereka pegang adalah 352 pendidikan menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk mencapai kemuliaan dan kemajuan hidup. Mereka punya kepercayaan bahwa anak-anak harus punya pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Tujuannya tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik dari kehidupan orang tuanya. Pendidikan anak sebagai modal dasar bagi mereka untuk meningkatkan mobilitas sosial rumah tangga dan keluarga mereka. Pendidikan ternyata memegang peranan penting bagi mereka tidak lain dalam rangka mencapai tujuan hidup atau misi budaya mereka yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan), hamaraon (kekayaan) dan hasangapan (kehormatan). Satu-satunya cara yang strategis untuk mencapai misi budaya tersebut tidak lain lewat pendidikan. Dengan pendidikanlah mereka menjadi maju, berkembang dan sejahtera. Misi budaya ini di dukung dengan nilai-nilai agama terutama agama Kristen. Oleh karena itu sejak masuknya agama Kristen mereka menjadi orang Batak Toba yang baik dan berpendidikan tidak lain untuk mencapai misi budaya tersebut. Pekerjaan sebagai pedagang ini umumnya dilakukan oleh para perempuan Batak Toba yang telah berumah tangga yang berasal dari strata ekonomi bawah. Pada umumnya suami mereka berkerja di sektor informal atau bahkan sama sekali tidak bekerja. Dalam penelitian ini terungkap bahwa umumnya inang-inang ini adalah sebagai pencari nafkah utama. Di satu pihak mereka sulit melepaskan atau meninggalkan usaha yang sekarang mereka tekuni karena alasan agar dapat mempertahankan kesinambungan hidup (survive) dan masalah kesempatan kerja karena mereka sulit memperoleh pekerjaan lain. Di pihak lain pekerjaan mereka tampaknya bisa menjanjikan untuk pendidikan anak-anak mereka. Nilai pendidikan inilah menempatkan mereka dihargai masyarakatnya. 353 Bagi inang-inang kerja bukan hanya sekedar untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pendidikan anak-anak mereka. Namun demikian yang terpenting dengan bekerja keras inang-inang mampu menunjukkan ekistensi dan martabat dirinya. Dengan bekerja keras inang-inang mendapatkan tempat dan martabatnya dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Dengan memanfaatkan nilai-nilai kultural, bekerja bagi inang-inang merupakan jalan yang dicapai inang-inang untuk mendapatkan status, otonomi, pengambilkeputusan secara mandiri, mobilitas dan ketegasan dalam rumah tangga, keluarga dan masyarakat Batak Toba yang patrilineal. Secara tidak langsung inang-inang melakukan perlawanan (resistensi) terhadap sistem patrilineal Batak Toba yang secara kultural mempunyai kecenderungan menempatkan perempuan dalam status yang subordinat dan dalam kondisi yang liminal. Dengan bekerja keras dalam kegiatan dagang inang-inang mendapatkan kemandiriannya, tidak menjadi subordinat dan dapat keluar dari situasi liminalitas dalam kebudayaannya. Dalam membangun dunia dagangnya inang-inang memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada padanya. Modal awal yang dipunyai inang-inang dalam penelitian ini cukup bervariasi dari Rp 500.000.- hingga Rp. 4.631.000.- dengan keuntungan yang mereka peroleh setiap harinya antara Rp. 100.000 - Rp. 311.000.- Inang-inang juga memanfaatkan nilai-nilai kultural yang sumbernya berasal dari nilai-nilai budaya Batak Toba. Sebagai perempuan Batak Toba mereka mempunyai etos kerja yang tinggi. Oleh karena dari sejak kecil mereka sudah diharapkan dapat berkontribusi baik di rumah tangga dan keluarga mereka. Dengan demikian dari sejak kecil mereka dibiasakan untuk bekerja. Dari 354 sejarahnya perempuan Batak Toba dikenal sebagai perempuan pekerja yang tangguh. Nilai-nilai budaya sebagaimana tujuan hidup mereka yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan), hamoraon (kekayaan) dan hasangapan (kehormatan), tidak lain dapat dicapai dengan kerja keras yang tiada henti. Selain itu inang-inang membangun jaringan atau hubungan-hubungan sosial yang tercipta puluhan tahun dalam rangka mendukung kegiatan dagangnya. Dalam penelitian ini terungkap kegiatan jual beli yang dijalankan oleh inang-inang baik hubungan inang dengan pembeli atau pelanggannya maupun hubungan inang dengan agen pemasok barang kebutuhan yang akan diperjualbelikan semuanya mengandalkan asas kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan tidak akan mungkin terciptakan kegiatan jual beli yang baik. Demikian juga bagi inang-inang yang bekerja meninggalkan anak-anak yang masih kecil baik dengan suami, anak-anak yang lebih besar didasarinya juga karena adanya asas kepercayaan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa modal ekonomi bukanlah hal yang utama yang menentukan keberhasilan mereka dalam berdagang. Modal ekonomi kelihatannya tidak terlalu menjadi halangan yang berarti bagi mereka untuk berdagang. Dengan memanfaatkan nilai-nilai kultural, bekerja bagi inang-inang dapat memberikan kompensasi bagi kekurangan uang dan sebagai bagian dari strategi inang-inang untuk meraih status dan otonominya. Dengan kemauan dan kerja keras mereka mampu membangun usahanya dari bawah sekali tanpa modal ekonomi, pendidikan dan pengalaman yang memadai. Usaha mereka kemudian menjadi berkembang hingga akhirnya dikenal dunia dagang sebagai dunianya perempuan Batak Toba (inang-inang) di kota Medan. 355 Dari berbagai ilustrasi uraian kasus dapat diambil kesimpulan dengan aktifitas dagang yang dilakukan oleh inang-inang berimplikasi memudarnya batas-batas gender terkait dengan peran dan sifat-sifat yang diterakan pada lakilaki dan perempuan terutama dalam konstruksi kultural masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan sistem patrilinealnya. Peran-peran dan sifat-sifat perempuan dan laki-laki ini terkait dalam ranah domestik maupun publik. Batas-batas ranah domestik dan publik dalam rumah tangga dan keluarga perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) kelihatannya mulai mencair. Tidak ada lagi istilah pembagian pekerjaan atas peran-peran gender yang kaku sebagaimana konstruksi ideal dalam masyarakat Batak Toba yang patrilinel. Perempuan (inang) tidak mendapat halangan berpartisipasi di ranah publik bahkan dalam kasus ini menjadi utama. Sebaliknya bagi laki-laki (suami) terbuka kesempatan berpartisipasi dalam ranah domestik (dengan beberapa perkecualian). Dalam kasus rumah tangga dan keluarga inang-inang yang menjadi menonjol adalah terbukanya kesempatan yang besar bagi anak-anak laki-laki dalam ranah domestik dan berpartisipasi dalam dunia dagang yang secara kultural dianggap hanya merupakan ranah pekerjaan perempuan. Demikian pula tidak ada hambatan yang berarti terhadap anak-anak perempuan untuk mendapatkan tempat dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga mereka terutama dalam akses terhadap pendidikan. Lewat pendidikanlah jalan bagi rumah tangga dan keluarga inang-inang menempatkan anak perempuan dan anak laki-laki setara (tidak berbeda). Dengan pendidikan pula persoalan persamaan hak waris terhadap anak laki-laki tidak menjadi kendala. Oleh karena warisan yang dianggap penting bagi rumah tangga dan keluarga inang-inang adalah mewariskan pendidikan dibandingkan mewariskan harta. 356 Bahwa budaya sebagai sistem pengetahuan yang menjadi pedoman dalam memecahkan masalah kehidupan tidak kaku dan beku, dia fleksibel dan memiliki daya lentur sesuai dengan kebutuhan pada waktu dan tempat tertentu. Beberapa unsur (traits) budaya dapat berubah untuk kebutuhan tertentu tanpa merusak seluruh tatanan budaya yang ada atau menyebabkan penyandang budaya itu kehilangan identitasnya. Demikian halnya pada budaya patrilineal Batak Toba yang cenderung dikonstruksi patriarkis ketika dihadapkan pada realitas kehidupan yang dijalankan inang-inang memperlihatkan fleksibilitas (daya lenturnya) dalam menyesuaikan peran gender dalam rumah tangga dan keluarga mereka. Peranperan domestik dan publik bisa saja dipertukarkan. Inang-inang di Pasar Induk Sentral Pasar Medan sebagai istri yang semula berperan dalam bidang domestik dan laki-laki sebagai suami dalam bidang publik bisa saja bertukar peran. Istri yang bertugas sebagai pedagang seharian dan penghasil dana untuk membiayai keseluruhan keperluan rumah tangga, termasuk biaya sekolah anak-anak dari SD sampai Perguruan Tinggi, sedang suami mengurus rumah tangga termasuk menjaga dan mengasuh anak-anak mereka. Pertukaran peran ini telah berhasil dengan sukses (dengan beberapa perkecualian), terutama dalam mencapai misi budaya dalam kehidupan orang Batak Toba. Inang-inang mampu mengatur dan mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan memiliki otonomi penuh atas rumah tangga dan keluarga serta atas pekerjaan mereka. Selain itu dengan bekerja mereka dapat menjalankan aktivitas sosial budaya sebagai bagian dari komunitas masyarakat Batak Toba. Dan yang tak kalah pentingnya dengan bekerja inang-inang dapat mewujudkan 357 tiga misi budaya yang menjadi tujuan hidup mereka yaitu hagabeon, hamaraon dan hasangapon. Sebagai orang Batak Toba dalam sebuah komunitas yang cukup kuat ikatan adat istiadatnya, mereka tetap dapat menjalankan aktifitas adat dengan baik. Dalam beberapa kasus terungkap aktivitas adat diambil alih oleh suamisuami mereka. Hubungan dengan orang tua dan sanak saudara mereka di kampung tetap terjaga baik. Ini diperlihatkan paling tidak kalau ada acara adat yang penting mereka tetap akan pulang kampung dan yang paling sering menjadi perhatian orang kampung adalah pendidikan anak. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa inang-inang mempunyai andil yang besar dalam memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya dan atas usaha kerja kerasnya ia mendapat tempat dan dihargai dalam komunitas masyarakat Batak Toba. Umumnya rumah tangga dan keluarga mereka termasuk dalam kelompok Serikat Tolong Menolong (STM) dan punguan marga di lingkungannya. Pada saat inang-inang bekerja, pengasuhan anak-anak yang masih kecil umumnya diasuh oleh suami (dengan beberapa perkecualian) atau anak-anak mereka yang telah cukup besar. Hanya sebagian kecil dari mereka yang mempunyai masalah dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga akibat bekerja di luar rumah. Ini dikarenakan beberapa alasan, karena: (1) bidang pekerjaan yang mereka tekuni dapat dihentikan kapan saja untuk kemudian dapat dilanjutkan lagi (2) anggota keluarga terutama anak-anak yang besar turut membantu mengurus rumah tangga dan suami (dengan beberapa perkecualian); (3) kearifan inanginang dalam membagi waktu antara tugas publik dan mendelegasikan pekerjaanpekerjaan domestik kepada anak-anak yang cukup besar maupun suami (dengan 358 beberapa perkecualian). Umumnya keluarga inang-inang tidak lagi mencerminkan profil keluarga luas lebih beralih ke keluarga inti. Dalam suatu rumah tangga hanya tinggal anak-anak, suami dan istri. Hal ini juga yang menyebabkan kontrol patriarki tidak lagi ditemukan dalam rumah tangga dan keluarga mereka. Dengan kata lain inang-inang dapat keluar dari perangkap kebudayaannya dan dalam situasi liminalitas dalam kebudayaannya. Berbagai ilustrasi kasus yang digambarkan dalam penelitian ini menunjukkan adanya dinamika dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga inang-inang terkait dalam relasi sosial dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga mereka. Situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga dan keluarga menuntut mereka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian hubungan gender. Pola kehidupan merekapun memperlihatkan pembentukan ke arah pola hubungan egaliter dalam rumah tangga, keluarga dan masyarakatnya. Implikasi teoritis terpenting dari kajian ini adalah mengkaji persoalan fenomena perempuan (ibu) bekerja tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan relasi gender, kultur masyarakat dan kebudayaannya. Kajian seperti ini sebaiknya menggunakan pendekatan holistik sebagaimana pendekatan etnografi dengan pespektif gender (feminisme) agar subjektifitas perempuan dapat dilihat dengan dimensi keberagamannya dan dalam konteks yang berbeda-beda. Selain itu yang menjadi alasan pengunanan pendekatan ini adalah mencakup tiga elemen pokok yang penting. Pertama, karena kajian ini akan fokus kepada isu-isu gender, memahami relasi gender dan hubungan sosial, pranata sosial dan proses sosial yang merupakan kenyataan sosial tak lain adalah suatu konstruksi sosial buatan manusia itu sendiri dalam rangka menanggapi realitas kehidupannya. Oleh karena 359 realitas gender diartikan sebagai konstruksi sosial kultural atas realitas sosial yang ada. Kedua, karena pendekatan ini memberikan kemampuan berpikir dialektis sehingga diharapkan mampu mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan bersifat adanya ketimpangan-ketimpangan, kontradiksi-kontradiksi dan paradoks yang merupakan konstruksi sosial budaya atas realitas dalam kehidupan seharihari. Pendekatan ini diharapkan mampu menampilkan hakekat masyarakat yang bercorak pluralistik, dinamis dan kompleks sehingga dapat memberikan suatu sistem penafsiran yang sistematis, ilmiah dan menyakinkan. Ketiga, karena hubungan gender tidak dilihat sebagai bersifat alamiah dan kekal sehingga status hubungan gender dilihat sebagai produk sosial kultural dan kekuatan historis yang telah dikonstruksikan secara sosial oleh manusia dan dapat mengalami perubahan. B. Rekomendasi Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam kesimpulan, ada beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada berbagai pihak, baik bagi penelitian lain maupun pengambil kebijakan yang terkait dengan persoalan pedagang perempuan Batak Toba (inang-inang) di Kota Medan. Pertama, penelitian yang lebih mendalam masih diperlukan untuk mendapatkan gambaran beban kultural (cultural burden) pada perempuan Batak Toba dari berbagai strata ekonomi dalam masyarakatnya agar dapat memberikan pemahaman baru melihat persoalan perempuan Batak Toba yang bekerja dalam kultur patrilineal Batak Toba dari berbagai strata ekonomi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Selain itu diperlukannya penelitian yang lebih intensif 360 mengenai makna kerja dalam kaitannya dengan konflik peran gender baik terhadap perempuan atau laki-laki Batak Toba. Kedua, perlunya penataan ulang lokasi dan lingkungan Sentral pasar (tradisional) berdasarkan kebutuhan-kebutuhan perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) khususnya menyangkut sarana dan prasarana yang memudahkan pedagang maupun pembeli tanpa melakukan “penggusuran” baik terhadap lokasi inang-inang berjualan maupun lokasi pemasok barang-barang dagangan mengingat pasar Induk Sentral pasar merupakan pasar tertua dan terbesar yang ada di kota Medan. Pasar ini telah ada sejak zaman Kolonial Belanda dan telah memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan taraf kehidupan masyarakatnya. Ketiga, perlu dilakukan berbagai program penguatan kapasitas perempuan pedagang Batak Toba (inang-inang) oleh berbagai pihak yang terkait salah satunya lewat program kredit usaha mikro yang berprespektif gender mengingat perempuan memberikan andil yang nyata bagi peningkatan mobilitas sosial dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya.